kasus afta

Upload: mmedyastanti

Post on 14-Jul-2015

327 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

STUDI KASUS Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area, AFTA) adalah sebuah persetujuan oleh ASEAN mengenai sektor produksi lokal di seluruh negara ASEAN. Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN memiliki enam anggota, yaitu, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja pada 1999. AFTA sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat pendatang baru tersebut dibutuhkan untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk bergabung ke dalam ASEAN, namun diberi kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban penurunan tarif AFTA. Tujuan didirikannya AFTA adalah sebagai berikut :

Meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar Menarik investasi asing langsung ke ASEAN

dunia melalui penghapusan bea dan halangan non-bea dalam ASEAN

Sejak Januari 2010, era AFTA telah dimulai dan pada saat itulah negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN. Dan ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China. Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai terlalu memaksakan diri bergabung dengan rezim perdagangan bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. AFTA-CHINA 2010 benar-benar menimbulkan banyak pertentangan dari banyak kalangan, khususnya mereka para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ini dikarenakan Usaha Kecil dan Menengah merupakan salah satu pihak yang paling di rugikan dengan adanya AFTA-CHINA ini. Hal ini di karenakan para pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia belum semuanya siap bertarung dalam kancah dunia pasar bebas ini.

Perdagangan bebas ASEAN sudah diputuskan berlaku 1 Januari 2010. Dan China dipastikan bergabung, lewat apa yang disebut dengan ASEAN China Free Trade Agreement atau ACFTA. Masuknya Cina dalam perdagangan bebas ASEAN ini meresahkan kalangan produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk China bebas masuk ke pasar ASEAN, termasuk Indonesia. Para produsen pesimis produk mereka akan mampu bersaing dengan produk Cina yang harganya jauh lebih murah. Kekhawatiran para pelaku usaha kecil dan menengah sangatlah beralasan, ini disebabkan dengan adanya pasar bebas ini dipastikan produk China akan membanjiri pasar di seluruh Indonesia, dan itu artinya produk-produk dari dalam negeri khususnya produk-produk usaha kecil dan menengah ini akan dipaksa untuk bersaing dengan produk-produk China yang terkenal dengan harga yang sangat murah dengan kualitas yang lumayan bagus. Sebelum diberlakukanya perdagangan bebas saja produk China sudah membanjiri pasar indonesia, jadi bisa dibayangkan bagaimana jika pasar bebas itu benar-benar di berlakukan di Indonesia pada tahun 2010 ini, tentunya benar-benar akan memberikan ancaman untuk para pelaku usaha dalam negeri khususnya pelaku usaha kecil dan menengah. Permasalahan : Bagaimana sikap Indonesia dalam menghadapi implementasi ACFTA? PEMBAHASAN : Dengan adanya ACFTA tersebut nantinya akan menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Di sisi lain hal ini bisa menjadi ancaman akan tetapi disisi yang lain ini bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan untuk dunia usaha di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan harga yang ditawarkan dalam dunia usaha. ACFTA Menjadi Suatu Ancaman ACFTA yang diberlakukan di tahun 2010 ini bisa menjadi ancaman jika kondisi pelaku usaha dalam negeri khususnya usaha kecil dan menengah belum memiliki kualitas dan kemampuan dalam hal memasarkan produk mereka, lebih detailnya untuk pelaku usaha kecil di Indonesia masih banyak yang tidak memiliki kemampuan akan produk

mereka, bagaimana pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia bisa memiliki produk yang berkualitas dan di jual dengan harga murah seperti halnya produk China. Selain itu, Indonesia tidak cukup dominan dalam hal keunggulan komparatif produk-produk ekspornya. Faktanya barang-barang dari China mengalir deras ke pasar Indonesia. Kini China sudah menjadi sumber utama impor Indonesia, yakni 17,2 persen dari total impor nonmigas. Sebaliknya, China hanya menyerap 8,7 persen dari keseluruhan ekspor nonmigas Indonesia. Berarti, penetrasi barang-barang China ke pasar kita jauh lebih gencar ketimbang sebaliknya. Sementara itu, struktur barang yang diperdagangkan cenderung tak simetris. Komoditas primer mendominasi ekspor Indonesia ke China, sedangkan ekspor China ke Indonesia didominasi oleh produk-produk manufaktur yang sangat beragam. Tak pelak lagi, ancaman paling besar dihadapi oleh industri manufaktur kita. Menjadi Peluang dan Tantangan ACFTA bermanfaat menjadikan peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk-produk Indonesia, biaya produksi dan semakin rendah dan pasti bagi pengusaha/produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan barang modal/pendukung dari negara ASEAN lainnya, termasuk biaya pemasaran, pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga dan mutu tertentu, kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan beraliansi dengan peluang bisnis di negara ASEAN lainnnya. Dengan adanya pasar bebas ini bagi sebagian kalangan dunia usaha, khususnya untuk mereka yang memiliki usaha yang memiliki kualitas dan manajemen yang baik, adanya pasar bebas ini bisa dijadikan tantangan bagi pelaku dunia usaha bagaimana mereka bisa bersaing secara sehat dengan produk-produk dari China sehingga pelaku usaha akan semakin menjadikan pasar bebas ini suatu semangat dan modal untuk memotivasi mereka untuk selalu meningkatkan kualitas dan harga produk mereka sehingga bisa terjangkau oleh konsumen. Karena ketika pelaku usaha dalam negeri sudah kuat dan memiliki kualitas terbaik dan dengan harga yg murah dan terjangkau pasar bebas ini tidak perlu dikhawatirkan. Oleh karena itu, pengusaha/produsen Indonesia

dituntut untuk terus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis professional untuk dapat memenangkan kompetisi produk dengan negara-negara ASEAN lainnya. Bertarung dalam lumpur AFTA AFTA bagi Indonesia adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi, perdagangan bebas menyediakan sederet peluang dan harapan, namun di sisi lain berpotensi menggilas yang tidak siap melalui persaingan tanpa ampun. Beberapa hal, oleh karenanya perlu ditekankan kembali agar setiap kebijakan ekonomi ke depan dapat selalu diproyeksikan pada peningkatan daya saing sembari memperhatikan ketahanan ekonomi nasional, yaitu bahwa: 1) ketergantungan antar berbagai kekuatan ekonomi di kawasan akan semakin besar dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian domestik Indonesia, khususnya yang paling perlu diwaspadai adalah transaksi perdagangan dan arus investasi asing langsung; 2) melihat berbagai indikator yang ada, Indonesia tidak dapat berharap terlalu banyak dari AFTA kecuali Indonesia dapat menciptakan terobosan-terobosan di bidang perdagangan secara cukup spektakuler. Keunggulan komparatif yang relatif rendah, kemiripan produk-produk ekspor andalan di antara sesama anggota AFTA, adalah antara lain yang mendasari asumsi ini; 3) Indonesia masih cukup dapat berharap banyak dari transaksi perdagangan unilateral maupun perdagangan melalui media lain seperti APEC, dimana partner-partner dagang tradisional Indonesia berada.