karya tulis asd 2010

64
Peranan Pariwisata Berbasis Budaya dalam Melestarikan Budaya Tradisional Bali Oleh : Achmad Rhesa Saputra, 0806317911 Ilmu Administrasi Fiskal FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

Upload: kuncupcupu1368

Post on 23-Jun-2015

491 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: KARYA TULIS ASD 2010

Peranan Pariwisata Berbasis Budaya

dalam Melestarikan Budaya Tradisional Bali

Oleh :

Achmad Rhesa Saputra, 0806317911

Ilmu Administrasi Fiskal

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2010

Page 2: KARYA TULIS ASD 2010

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dan juga telah memberikan kami kesempatan untuk

menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul ”Peranan Pariwisata Berbasis

Budaya dalam Melestarikan Budaya Tradisional Bali”.

Penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan dukungan baik moril maupun materil, diantaranya:

1. Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI.

3. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, yang senantiasa buka setiap hari

sehingga kami dapat mengumpulkan informasi mengenai BPK.

4. Orang tua kami.

5. Teman-teman kami, khususnya jurusan Ilmu Administrasi.

Kami sebagi penulis menyadari akan kekurangan pada karya tulis ilmiah kami,

yang mana tentunya masih jauh dari sempurna terlebih dalam pembuatan karya tulis ini

kami mengerjakannya sambil belajar atau leraning by doing . Untuk itu, kami

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna terciptanya karya-karya kami yang

lebih baik di masa yang akan datang.

Depok, Februari 2010

Penulis

Page 3: KARYA TULIS ASD 2010

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

RINGKASAN iv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Gagasan Kreatif 3

D. Tujuan Penulisan 4

E. Manfaat Penulisan 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Landasan Teori 5

2.2 Pendapat yang Relevan 11

BAB III METODE PENULISAN 13

BAB IV ISI 14

A. Analisis Permasalahan 14

Pariwisata sebagai langkah penyelamatan budaya bangsa 14

Manfaat Pariwisata dari Sektor Ekonomis 16

Pariwisata Merusak Budaya 18

Tidak Ada Budaya yang Asli 19

Pariwisata Memperkuat Budaya 22

Rencana Aksi Pariwisata Berbasis Budaya 26

B. Simpulan 32

C. Saran 33

DAFTAR PUSTAKA vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP vii

Page 4: KARYA TULIS ASD 2010

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penilaian Wisman Terhadap Objek Wisata 15

Page 5: KARYA TULIS ASD 2010

RINGKASAN

Indonesia merupaka negara yang sangat kaya akan budaya, namun kebudayaan itu

tampaknya semakin terancam di masa globalisasi seperti sekarang. Proses masuknya

kebudayaan barat melalui berbagai media perlahan tapi pasti semakin melunturkan

kebudayaan Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka budaya mutlak harus

dilestarikan. Menjaga nilai-nilai budaya merupakan kewajiban bersama sebagai generasi

pewaris kebudayaan tersebut. Cara yang baik untuk melestarikan seni budaya adalah

dengan mempraktikkannya secara berkelanjutan. Hal ini berangkat dari pemahaman

bahwa sesuatu yang terus menerus dikerjakan, maka tidak akan terlupakan dan akan

melekat serta terpatri di dalam sanubari. Oleh karena itu, perlu adanya usaha untuk

membuat masyarakat mau menjalankan praktik-paraktik seni budaya tersebut.

Menjadikan kebudayaan sebagai komoditas pariwisata merupakan cara yang tepat agar

masyarakat memiliki kemauan untuk berkecimpung di bidang seni-budaya.

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk Menunjukkan keuntungan

penerapan pariwisata berbasis budaya terhadap kelestarian budaya. Sebagai landasan

teori, pariwisata dapat diartikan keseluruhan gelaja-gejala yang ditimbulkan oleh

perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal

sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh

penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu. Batasan ini merupakan definisi

yang diterima oleh The Assocition Internatinale des Experts Scientifique du Tourisme

(AIEST) yang berlaku sampai saat ini.

Penulisan karya tulis ini menggunakan metode studi literatur. Data-data didapat

dari berbagai buku dan beberapa artikel dari internet. Dalam karya tulis ini, penulis

membahas mengenai dampak positif pariwisataterhadap kebudayaan Bali, selain itu

penulis juga menganalisa dua pendapat yang bertolak belakang terkait pariwisata

berbasis budaya.

Penulis menyimpulkan bahwa pariwisata dapat berdampak positif, yakni

melestarikan kebudayaan Bali. Penambahan anggaran sektor pariwisata di dalam APBN

ataupun APBD penulis rekomendasikan sebagai saran.

Page 6: KARYA TULIS ASD 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia telah dikenal di seluruh dunia akan kekayaannya yang berlimpah,

baik itu sumber daya alam maupun kekayaan budayanya. Dalam hal kultural, kita

tidak dapat menafikan lagi jika Indonesia merupakan salah satu negara yang

benar-benar diberkahi Tuhan dengan keanekaragaman budaya. Betapa tidak,

dengan lebih dari tujuh ratus empat puluh suku bangsa yang hidup di Indonesia,

berkembangnya lima agama besar dunia, lokasinya yang terletak di jalur silang

antara dua samudera dan dua benua, dan terdiri dari tujuh belas ribu lebih pulau

yang berserakan di wilayah khatulistiwa sepanjang tiga ribu mil dari Timur ke

Barat dan seribu mil dari Utara ke Selatan, telah menjadikan Indonesia menjadi

negara yang sangat majemuk. Kemajemukan bangsa ini pula yang membuat

Indonesia memiliki seni budaya yang melimpah ruah. Hal itu merupakan potensi,

sekaligus amanah yang harus kita jaga.

Dengan semua kekayaan itu, kini Indonesia memasuki masa di mana

kehidupan semakin membutuhkan interaksi yang tidak terbatas sehingga

masyarkat dunia terkoneksi dengan masyarakat di belahan dunia lain. Batas

negara pun menjadi semu atau borderless. Dunia seolah menjadi sebuah

perkampungan kecil dan hal itulah yang sekarang dikenal dengan istilah

globalisasi. Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20,

telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap

menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan

bangsa.  Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan.  Bagi bangsa

Indonesia budaya adalah kekuatan. Kesenian rakyat, salah satu bagian dari

kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi.

Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi

Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika

seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka

Page 7: KARYA TULIS ASD 2010

berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-

bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya.

Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai

bangsa, yang dahulu dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk

yang lebih luas dengan nama globalisasi.

Apa yang dikatakan Thiong’O tentu saja dapat mengancam kekayaan budaya

yang dimiliki Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, budaya merupakan perekat

berbagai perbedaan yang ada, misalnya perbedaan agama. Sebagai contoh, di

kalangan masyarakat adat di Sulawesi Barat, adat menjadi perekat bersama dalam

menghadapi ketegangan yang lahir dari perbedaan agama, khususnya di daerah

Polmas, Sulawesi Barat, dalam kasus ketegangan antara komunitas penganut

Islam dan penganut agama Kristen. Konflik bermula ketika adat dilepaskan

sebagai ikatan kebersamaan dalam konteks kebangsaan. (Ahmad Baso : 2010  ).

Selain sebagai perekat, budaya merupakan harga diri serta jati diri bangsa yang

harus tetap lestari keberadaannya.

Dampak negatif globalisasi pada aspek kultural Indonesia, sedikit banyak

telah tampak dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Gaya hidup

masyrarakat Indonesia yang semakin kebarat-baratan, perilaku yang telah

mengabaikan adat ketimuran, serta seni budaya yang semakin dilupakan adalah

bukti nyata bahwa globalisasi telah mengancam eksistensi kebudayaan Indonesia.

Untuk itulah diperlukan tindakan penanggulangan yang segera atas isu ini karena

arti pentingnya yang sangat vital . Dalam membangun bangsa Indonesia menjadi

bangsa yang tangguh, budaya nasional perlu dibina dan dikedepankan agar dapat

berfungsi sebagai pemersatu anak bangsa, karena tidak ada bangsa yang berhasil

maju kecuali maju sebagai satu kesatuan yang utuh dalam mempertahan-kan jati

diri dan budayanya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka budaya mutlak harus dilestarikan.

Menjaga nilai-nilai budaya merupakan kewajiban bersama sebagai generasi

pewaris kebudayaan tersebut. Cara yang baik untuk melestarikan seni budaya

adalah dengan mempraktikkannya secara berkelanjutan. Hal ini berangkat dari

pemahaman bahwa sesuatu yang terus menerus dikerjakan, maka tidak akan

Page 8: KARYA TULIS ASD 2010

terlupakan dan akan melekat serta terpatri di dalam sanubari. Oleh karena itu,

perlu adanya usaha untuk membuat masyarakat mau menjalankan praktik-paraktik

seni budaya tersebut. Menjadikan kebudayaan sebagai komoditas pariwisata

merupakan cara yang tepat agar masyarakat memiliki kemauan untuk

berkecimpung di bidang seni-budaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang muncul adalah

sebagai berikut:

1. Mengapa sektor pariwisata bisa membuat masyarakat menekuni seni dan

budaya?

2. Apakah benar jika sektor pariwisata justru akan menghancurkan

kebudayaan?

3. Langkah apa saja yang dapat ditempuh dalam melaksanakan program

pariwisata berbasis budaya?

C. Gagasan Kreatif

Penulis mengemukakan gagasan pariwisata berbasis kebudayaan untuk

dijadikan solusi dalam menjaga kelestarian budaya di Indonesia. Gagasan ini

penulis pilih sebagai alternatif solusi karena dapat memberikan dorongan yang

kuat kepada masyarakat agar dapat terus mempraktikkan berbagai macam seni

budaya yang ada. Pariwisata Indonesia pada dasarnya telah menngunakan konsep

pariwisata budaya mengingat terdapat begitu besar potensi keragaman budaya

yang dimiliki Indonesia. Untuk itu, program ini hendaknya terus digalakkan

karena agar dapat berjalan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam karya tulis ini, penulis menganalisis dua buah pendapat yang saling

bertentangan mengenai pariwisata berbasis budaya. Kemudian penulis memilih

Page 9: KARYA TULIS ASD 2010

satu pendapat yang penulis anggap valid terkait masalah ini. Selain itu penulis

juga berusaha menunjukkan langkah konkret dalam bentuk rencana aksi yang

dapat dilakukan dalam rangka menjalankan program ini.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:

1. Menunjukkan keuntungan penerapan pariwisata berbasis budaya terhadap

kelestarian budaya.

2. Menganalisis dua pendapat yang bertentangan mengenai pariwisata

berbasis budaya.

3. Menyajikan rencana aksi sebagai langkah nyata untuk memulai program

pariwisata berbasis budaya.

E. Manfaat Penulisan

1. Memberi alternatif solusi dalam menjaga eksistensi kebudayaan Indonesia

dengan cara pemanfaatan budaya tersebut.

2. Menambah wawasan bagi pembaca mengenai permasalahan budaya yang

ada di Indonesia, khusnya pariwisata berbasis budaya.

Page 10: KARYA TULIS ASD 2010

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Landasan Teori

PARIWISATA

Kata pariwisata sesungguhnya baru popular di Indonesia setelah

diselenggarakan Musyawarah Nasional Tourism ke-2 di Tretes, Jawa Timur, pada

tahun 1958. Sebelumnya sebagai kata ganti “pariwisata” digunakan kata

“tourisme” yang berasal dari bahsa Belanda.

Seorang ahli ekonomi bangsa Austria Herman V. Schulard pada tahun

1910 telah memberikan batasan kepada pariwisata sebagai sejumlah kegiatan,

terutama yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian yang secara langsung

berhubungan dengan masuknya, ada pendiaman dan bergeraknya orang-orang

asing keluar masuk suatu kota, suatu daerah atau suatu negara.

E. Guyer Freuler merumuskan pengertian pariwisata dengan memberikan

batasan sebagai berikut: “Pariwisata dalam artian modern merupakan fenomena

dari zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan

pergantian hawa, penilaian yang sadar akan menumbuhkan cinta kepada

keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan

berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasuk dari perkembangan

perniagaan industri, perdagangan serta penyempurnaan dari alat-alat

pengangkutan.”

Batasan yang lebih bersifat teknis dikemukakan oleh Prof. Hunzieker dan

Prof. K. Krapf dalam tahun 1942 dimana batasanya mengatakan bahwa

kepariwisataan adalah keseluruhan gelaja-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan

dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara,

Page 11: KARYA TULIS ASD 2010

asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan

dari aktivitas yang bersifat sementara itu. Batasan ini merupakan definisi yang

diterima oleh The Assocition Internatinale des Experts Scientifique du Tourisme

(AIEST) yang berlaku sampai saat ini.

Pariwisata mempunyai berbagai tujuan, dan salah satunya adalah

kebudayaan. Wisatawan secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu

untuk mendapat kesenangan. Di samping pariwisata dengan tujuan umum itu

terdapat apa yang disebut dengan pariwisata minat khusus. Yang khusus itu

objeknya, yaitu bisa alam dan bisa pula budaya. Dalam minat khusus tersebut

terdapat varian yang pasif dan yang aktif. Yang pasif, wisatawan terutama

menerima’sajian’, dalam arti menikmati suatu lingkungan alam yang

mengagumkan atau yang langka, ataupun menyaksikan ekspresi-ekspresi budaya

yang khas, dan mungkin langka pula seperti upacara-upacara daur kosmik. Untuk

yang aktif, wisatawan melakukan sesuatu kegiatan terkait dengan objeknya,

seperti arung jeram dalah hal wisata alam. Dalam hal wisata budaya, wisatawan

ikut melakukan kegiatan untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya, seperti

belajar disertai praktek membuat anyam-anyaman, membatik, belajar menari, dan

lain-lain.

KEBUDAYAAN

Pengertian Kebudayaan Menurut Beberapa Ahli

1. Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya

terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan

kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota

masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern

Page 12: KARYA TULIS ASD 2010

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial,

ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan

sosial.

3. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

dengan belajar.

4. Dr. K. Kupper

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah

bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun

kelompok.

5. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh

para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan

melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua

masyarakat.

6. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap

dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup

manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan

penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya

bersifat tertib dan damai.

7. Francis Merill

Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi sosial

Page 13: KARYA TULIS ASD 2010

Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai

anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.

8. Bounded et.al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari

kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa

sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya

di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di

harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem

pendidikan dan semacam itu.

9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)

Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas

manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara

sosial dan bukan sekedar di alihkan secara genetikal.

10. Robert H Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat,

mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan,

keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan

warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.

11. R. Seokmono

Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun

hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.

Kesimpulan

Page 14: KARYA TULIS ASD 2010

Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai

kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang

terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari

kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah

benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,

berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,

bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi seni dan lain-lain, yang

kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan

kehidupan bermasyarakat.

WISATA BERBASIS BUDAYA

Wisata berbasisi budaya diartikan sebagai jenis kegiatan pariwisata yang

objeknya adalah kebudayaan. Ini dibedakan dari minat-minat khusus lain, seperti

wisata alam, dan wisata petualangan. Namun tidak berrati seorang wisatwan tidak

bisa memiliki lebih dari satu program wisata.

Objek ‘daya tarik’ wisata budaya itu dapat berkisar pada beberapa hal, seperti:

kesenian (seni rupa dan segala bentuk seni pertunjukkan), tata busana, boga,

upacara adat, demonstrasi kekebalan dan komunikasi dengan alam ghaib,

lingkungan binaan, serta keterampilan-keterampilan khusus fungsional seperti

membuat alat-alat dan sebagainya).

Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis,

dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat

kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata.

Kompromi-kompromi sering harus diambil. Namun yang memerlukan hehati-

hatian lebih besar adalah dalam niatan untuk ‘mengemas’ sajian-sajian yang

bermakna religi bagi masyrkat pemiliknya. Perlu dijaga betul agr agar di suatu

sisi, tidak terjadi pelecehan terhadap praktek religi yang bersangkutan, dan di sisi

lain tidak mendorong orang ke jalan musyrik.

Page 15: KARYA TULIS ASD 2010

GLOBALISASI          

Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang

bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses

manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi

mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh

aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan

permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan

globalisasi untuk kepentingan kehidupan.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu

keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat

semenjak lama.  Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari

perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian

W.  Pye, 1966 ). Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar

dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar

lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah

diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai

sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.

Dalam kata globalisasi tersebut mengandung suatu  pengertian akan

hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang dan jasa antar negara

diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam perdagangan. Dan

dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang masuk bukan hanya

barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya

dan lain-lain.         

Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada

penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia,

yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi

tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi

Page 16: KARYA TULIS ASD 2010

modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan

lebih baik secara budaya.

Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang.

Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau

menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian

lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat

dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya.  

Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004)

adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan

politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan

merasuk ke dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi

produk global. 

B. Pendapat yang Terkait

Prof. Selo Soemardjan: kebudayaan akan terus berkembang, karena memang

dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan,

seperti adanya perkembangan industri pariwisata.

Prof. Emil Salim: pencemaran seni budaya itu bergerak sesuai dengan

perkembangan dan pertambahan penduduk. Contoh: film di tahun lima puluhan

dan bandingkan dengan film Indonesia masa kini. Perubahan-perubahan unsure

kebudayaannya tampak sekali. Baik itu dari tata kehidupan masyarakatnya

maupun mode pakaian, hiasan dan sebagainya. Mengenai kemungkinan

kebudayaan asing terserap ke dalam kebudayaan kita, hal demikian adalah wajar

saja karena ada pergaulan dengan orang asing, baik karena pergaulan ekonomi,

politik atau pergaulan internasional lainnya.

Prof. Dr. Edi Sedyawati: agar kebudayaan dapat lestari dan selalu eksis, maka

upaya-upaya yang perlu dijamin kelangsungannya meliputi perlindungan,

pengembangan, dan pemanfaatannya.

Page 17: KARYA TULIS ASD 2010

Mohammad Husein Hutagalung: eksistensi budaya dan pariwisata adalah dua hal

yang tidak dapat dipisahkan. Di salah satu sisi, budaya memiliki potensi untuk

menarik orang-orang yang akan berujung pada perkembangan sektor pariwisata.

Di sisi lain, pariwisata dapat menjaga bahkan mengembangkan kebudayaan dan

nilai-nilainya. Namun di samping itu, eksploitasi kebudayaan dapat menjadi

negatif ketika dikembangkan tanpa tanggung jawab.

Prof. Dr. S. Budhisantoro: Selama ini pariwisata hanya dilihat dari sisi

keuntungan materi saja. Pariwisata dikatakan penghasil devisa yang prospektif

yang harus dikembangkan sebagai suatu industri. Namun pengalaman mengatakan

lain, pengembangan pariwisata itu jelas dapat membahayakan pengemmbangan

kebudayaan selanjutnya. Demi mengejar dolar wisatawan, terjadi pengikisan

kehidupan beragama melalui penodaan terhadap upacara-upacara keagamaan yang

disulap menjadi barang dagangan konsumsi wisatawan.

Greenwood: kebudayaan telah dipaket-paket, dihargakan, dan dijual bagaikan

menjual barang dagangan lainnya, seperti fast food! Komoditisasi kebudayaan

pada akhirnya telah merampok manusia dari makna, nilai, pada mana mereka

mengorganisasikan hidup dan kehidupannya.

John Naisbitt: semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin

menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal,

namun bertindak global.  Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita

harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh

kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia

Internasional.  Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang

dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-

masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam  era

globalisasi ini.  

Page 18: KARYA TULIS ASD 2010

BAB III

METODE PENULISAN

Penulisan karyat tulis ini berdasarkan studi literatur dan metode deduktif.

Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:

Menentukan tema yang disediakan, kemudian peneliti merumuskan

masalah. Setelah diketahui permasalahan yang akan dibahas selanjutnya dilakukan

proses pengumpulan data. Untuk mengumpulkan data penulis melakukan studi

literatur dengan membaca beberapa buku dan merujuk ke artikel-artikel di

internet. Setelah data-data terkumpul, penulis mengolah data tersebut. Pengolahan

data dilakukan secara kualitatif, dengan mengaitkan antara dengan rumusan

masalah yang sudah diketahui dengan data-data yang terkumpul. Dengan

informasi yang ada, penulis berusaha menelusuri penyebab terjadinya masalah

dan mencarikan solusi untuk masalah tersebut. Setelah mengolah semua informasi

yang ada, penulis mengambil kesimpulan dengan mempertimbangkan segala

kemungkinan positif maupun negatif yang mungkin terjadi. Tahap selanjutnya

adalah penulis merumuskan saran dan rekomendasi terkait kesimpulan yang

didapatkan.

Page 19: KARYA TULIS ASD 2010

BAB IV

ISI

A. Analisis Permasalahan

Pariwisata sebagai Langkah Penyelamatan Budaya Bangsa

Budaya bangsa adalah aset nasional yang tidak terkira harganya. Di masa

globalisasi seperti sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa masyrakat kita

khususnya yang hidup di daerah perkotaan mulai meninggalkan budaya tradisonal

dan justru meniru budaya asing. Dalam menghadapi kenyataan ini perlu adanya

tindakan penyelamatan budaya bangsa, sebagai langkah yang berkelanjutan agar

kebudayaan nasional tidak punah dan Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.

Salah satu alternatif solusi dalam menjaga kebudayaan Indonesia adalah dengan

menggalakkan pariwisata berbasis budaya secara merata di seluruh daerah di

seantero negeri. Dengan adanya penggiatan kegiatan pariwisata berbasis budaya,

diharapkan akan terjadi kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sebagai

pemilik budaya untuk tetap menghidupkan budaya tradisonal tersebut. Budaya

yang berkembang di daerah tertentu dijadikan komoditi pariwisata agar dapat

menguntungkan secara eknomis sehingga dapat meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Pada dasarnya terdapat simbosis mutualisme antara pariwasata

dengan budaya sendiri. Dengan adanya tambahan motif ekonomi dari kegiatan

pariwisata, maka masyarkat diharapkan dapat semakin terdorong untuk

menghidupkan kembali berbagai potensi budaya yang dimilikinya untuk

dipertunjukkan kepada para wisatawan.

Budaya sendiri memang menjadi nilai plus dari sektor pariwisata

Indonesia. Untuk itu potensi budaya yang dimiliki hendaknya benar-benar

dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan penelitian Citra Pariwisata Indonesia,

budaya merupakan aspek dengan nilai tertinggi dalam hal menarik minat

wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia.

Page 20: KARYA TULIS ASD 2010

Tabel 1Penilaian Wisman terhadap Objek dan Daya Tarik Wisata

Indonesia Tahun 2003(Skala 1 = negatif, 2 = agak negarif, 3 = cukup, 4 = positif, 5 = sangat positif)

No. Elemen Pariwisata

Persepsi

Skala

Sangat Tidak Menarik

Tidak Menarik

Menarik/Tidak Menarik

menarikSangat Menarik

1 2 3 4 5 6 7 81 Keindahan Alam 0,79 2,01 9,38 48,41 39,42 4,022 Peninggalan Sejarah 0,72 1,73 15,54 51,15 30,86 8,393 Budaya 0,59 1,26 8,32 47,5 42,33 4,114 Karya Manusia 0,64 3,21 18,37 46,08 31,7 3,81Sumber: Data Lapangan, Penelitian Citra Pariwisata Indonesia, 2003

Dari tabel di atas dapat dilihat jika atraksi budaya merupakan aspek yang

dipersepsikan denga skor tertinggi yakni 4,11. Hal ini disebabkan karena

wisatawan memang ingin mencari hal yang berbeda dengan biasanya. Dasar

pemikirannya, semua negara sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan devisa

dari sektor pariwisata. Pengadaan fasilitas bagi wisatawan dibangun seperti suatu

perlombaan. Negara yang satu ingin melebihi negara yang lain. Namun

kenyataanya apa yang mereka sajikan pada dasarnya sama. Hotel yang mereka

bangun, tempat-tempat rekreasi yang mereka ciptakan, shopping center yang

tersedia, semuanya serupa. Kalau begitu apa perbedaan suatu negara dengan

negara lain?

Disinilah pentingnya suatu “nilai plus” harus diciptakan untuk menarik lebih

banyak wisman ke dalam negeri. Nilai plus tersebut adalah “hasil seni budaya”

yang spesifik yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Dengan menonjolkan

seni budaya yang ada, tidak hanya kehidupan ekonomi masyrakat yang membaik,

tapi juga keanekaragaman budaya Indonesia dapat lestari.

Page 21: KARYA TULIS ASD 2010

Menurut Ritchie dan Zins (Chapter 19, Social and Cultural Impacts;

dalam buku Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text, hlm. 221),

ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan, yaitu:

Bahasa (language)

Kebiasaan Masyarakat (Traditions)

Kerajinan Tangan (Handicraft)

Makanan dan Kebiasaan Makan (Foods and Eating Habits)

Musik dan Kesenian (Art and Music)

Sejarah suatu tempat (History of the Region)

Cara Kerja dan Teknolgi (Work and Technology)

Agama (Religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang

dapat disaksikan

Bentuk dan Karakteristik Arsitektur di masing-masing Daerah

Tujuan Wisata (Architectural Characteristic in the Area)

Tata Cara Berpakaian Penduduk Setempat (Dress and Clothes)

Sistem Pendidikan (Educational System)

Aktivitas pada Waktu Senggang (Leisure Activities)

Manfaat Pariwisata dari Sektor Ekonomis

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat

dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:

1. Dampak terhadap penerimaan devisa,

2. Dampak terhadap penerimaan masyarakat,

3. Dampak terhadap kesempatan kerja,

4. Dampak terhadap harga-harga,

5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,

6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol,

7. Dampak terhadap pembanguna pada umumnya,

8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Page 22: KARYA TULIS ASD 2010

Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa

pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak

yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan

pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan

kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan

keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya.

Peranan pariwisata bagi pembangunan ekonomi di daerah tujuan wisata seperti

Bali, tidak perlu dipertanyakan lagi. Kontribusi pariwisata menunjukkan trend

yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 transaksi

penukaran valuta asing adalah sebesar 95,105 juta dollar AS. Angka ini

mengalami kenaikan, menjadi 456, 105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada

tahun 1997 (sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS.

Selanjutnya, karena nilai tukar dollar yang melonjak, penukaran valuta asing

hanya mencapai niali 868,078 juta dollar AS pada tahun 2000.

Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun 1998, dampak pengeluaran

wisatawan terhadap pendapatan masyarakat mencapai 45,3%, sedangkan dampak

dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara

keseluruhan, industri pariwisata menyumbang sebesar 51,6% terhadap pendapatan

masyarakat Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38% dari

seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan oleh sektor pariwisata .

Angka ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 1995 (yaitu

sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke

tahun jika aspek budaya tetap dinomorsatukan untuk menjadi komoditi pariwisata.

Hal itu disebabkan adanya prediksi bahwa menjelang akhir abad ke-20 atau

permulaan abad ke-21, diperkirakan selera wisatawan mancanegara akan banyak

mengalami perubahan dalam permintaan.

Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman lebih

banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam

industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama

untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan

penelitian yang dilakuakn oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh

Page 23: KARYA TULIS ASD 2010

suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan

daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan

menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-

bangunan kuno yang tinggi nilainya.

Antara dan Parining (1999) juga mengemukakan bahwa pariwisata

mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan banyak sektor, melalui

apa yang disebut open-loop effect dan induced-effect. Dengan menggunakan

model SAM (Social Accounting Matrix), ditemukan bahwa pengaruh pengeluaran

wisatawan sangat signifikan terhadap denyut nadi perekonomian Bali, yang

meliputi belasan sektor.

Pariwisata Merusak budaya

Kaum yang pesimis dengan dampak perkembangan pariwisata terhadap

budaya menyatakan, kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak

keaslian atau keutuhan esensi dari suatu produk budaya. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ,menghancurkan kebudayaan

lokal. Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk

dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya

dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan

oleh Britton (1977):

“Culutural expressionas are bastradized in order to be more

comprehensible and therefore saleable to mass tourism” (Britton, 1977:

272)

Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara

utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami

nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan

nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu

wisatawan yang ingin menyaksikannya.

Page 24: KARYA TULIS ASD 2010

Seiring dengan meningkatnya dominasi nilai eknomi, komoditas atas

kebudayaan selalu terlihat sangat menonjol di semua daerah wisata (Greenwood,

1978), dan warisan budaya telah berubah fungsi menjadi modal pariwisata

(Picard, 1990). Untuk kasus Bali, memang tidak dapat disangkal bahwa kesenian

telah mengalami banyak perubahan, dan orientasi seniman bukan lagi semata-

mata pada seni seni yang religius, melainkan lebih banyak berorientasi pada

ekonomi. Kesenian sudah mengalami proses komoditisasi, dimana nilai seni

sudah diukur dengan uang (harga pasar), sebagaimana layaknya komoditas lain.

Tidak Ada Budaya yang Asli

Sebenarnya, hal-hal seperti di atas tidak benar adanya. Mengenai

kekhawatiran akan berubahnya kebudayaan asli setempat akibat adanya

pariwisata, sosiolog Selo Soemarjan mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya,

kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak,

memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya

perkembangan industri pariwisata. Proses saling mempengaruhi adalah gejala

yang wajar dalam interaksi antar masyarakat.  Melalui interaksi dengan berbagai

masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang

mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses

dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang

penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu

menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang

terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi

banyak negara-negara berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan

kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung

selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa

lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa

dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar.

Kemudian, timbul pertanyaan lainnya. Apabila mengalami suatu

modifikasi, apakah hal itu akan menghilangkan keaslian dan mutu budaya

tersebut? Menurut Profesor Haryati Subadio, memang dalam mengembangkan

Page 25: KARYA TULIS ASD 2010

kebudayaan yang dipersoalkan adalah mutu, akan tetapi popularisasi, atau

penyederhanaan bukan berarti perlu menurunkan mutu itu. Misalnya pertunjukkan

tarian yang dan musik yang diperpendek belum tentu berarti harus menjadi

ceroboh dan sembarangan tekniknya. Apabila pertunjukkkan yang diperpendek

tersebut mutu teknis dan seninya tinggi, maka tidak akan merugikan standar

kebudayaan.

Masalah asli tidaknya suatu budaya memang menjadi perdebatan tersendiri

bagi sejumlah pihak. Namun konsep ‘keaslian’ itu sendiri adalah sesuatu yang

sangat problematik. Ada beberapa permasalahan yang sangat mendasar dalam

membicarakan keaslian ini. Berbicara masalah keaslian, umumnya citra yang

terbayangkan adalah masyarakat yang dicirikan oleh keadaannya yang ‘alami’,

‘primitif’, dan ‘eksotik’. Kenyataannya, tidak ada suatu kebudayaan pun yang

sepenuhnya statis, yang tidak berubah dalam denyut waktu. Semua masyarakat

dan kebudayaannya selalu berubah, walaupun dengan laju perubahan yang

berbeda.

Permaslahan lain adalah pendefinisian terhadap suatu ‘keaslian’.

Penelitian di Bali (Pitana, 1996) menunjukkan bahwa wisatawan memberikan

penekanan yang yang sangat bervariasi tentang makna ‘keaslian’ tersebut. Hal ini

sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh ahli pariwisata Erick Cohen (1988)

yang mengatakan bahwa keaslian adalah sesuatu yang negotiable, karena keaslian

adalah suatu konsep yang merupakan hasil konstruksi sosial yang sangat

kontekstual. Terlebih lagi dengan kaitannya dengan pariwisata, keaslian bukanlah

sesuatu yang statis, karena wisatawan sendiri bukanlah konsumen pasif,

melainkan konsumen aktif, yang turut menentukan ‘tingkat keaslian’ sesuatu

masyarakat atau hasil kebudayaan. Dalam hak produksi cinderamata misalnya,

sebagian besar wisatawan mengatakan bahwa ‘keaslian’ berhubungan erat dengan

keunikan cinderamata tersebut bagi suatu daerah, yang berarti tidak bisa

ditemukan di daerah lainnya. Dikarenakan keunikan daerah yang menjadi standar,

maka karya jiplakan yang dilakukan oleh seniman lokal, sebagaimana ditemukan

pada karya-karya seni (lukis, patung) di Bali masih tetap termasuk ‘asli’

(authentic), tetapi patung Gaya Asmat (Papua) yang dibuat di Bali adalah ‘tiruan’,

Page 26: KARYA TULIS ASD 2010

dan oleh karenanya tidak ‘autentik’. Disamping itu ada juga wisatawan yang

berpendapat bahwa keaslian juga ditentukan oleh material yang digunakan. Suatu

keaslian memang benar-benar ‘asli’ bila material yang digunakan adalah material

yang telah digunakan secara mentradisi, yaitu material lokal dan alami. Berbagai

aksesoris luar (misalnya pewarna) dianggap mengurangi keaslian.

Cukup banyak juga wisatawan yang berpendapat bahwa kriteria yang

sangat fundamental di dalam menentukan keaslian adalah senimannya sendiri.

Artinya, suatu karya seni akan menjadi autentik kalau menggunakan bahan-bahan

tradisional, alami, dan dikerjakan dengan tangan (bukan mesin), dan senimannya

adalah ‘orang asli’. Jadi patung Asmat yang menggunakan bahan lokal Papua,

dikerjakan di Papua, namun kalau senimannya bukan orang Asmat, bukanlah

suatu karya yang ‘asli’. Selain itu yang tidak akalh pentingnya, banyak juga

wisatawan yang berpendapat bahwa karya asli adalah karya yang tidak tersentuh

komoditisasi. Karya-karya yang diperjualnelikan sebagai komoditas bukanlah

sesuatu yang asli, karena pembuatnya tidak didorong oleh motivasi tradisional,

dan tidak sakral lagi. Dengan kata lain, keaslian karya tersebut telah berkurang

karena motivasi pembuatnya tidak terikat dengan tujuan-tujuan penggunaan

tradisional.

Hal senada juga terjadi pada bentuk kesenian lain. Banyak wisatawan yang

menilai bahwa tari-tarian Bali yang asli adalah tari-tarian yang secara tradisional

dipertunjukkan dalam kegiatan-kegiatan ritual, yang bukan diperuntukkan

wisatawan. Tari-tarian kreasi baru dianggap tidak asli, karena diciptakan bukan

karena dorongan religious, melainkan dorongan seni yang tidak bernafaskan

agama Hindu. Apalagi kesenian yang sengaja dipaket-paketkan untuk

dipertunjukkan kepada wisatawan.

Keaslian kebudayaan sering dikaitkan dengan identitas masyarakat. Dari

berbagai contoh diatas, kiranya cukup beralasan kalau banyak orang dewasa ini

menghawatirkan ‘keaslian kebudayaan’ daerah tujuan wisata (khusunya aspek

seni) akan hilang. Namun di balik itu, perlu juga direnungkan kembali, bahwa

pada dasarnya sangat sulit menemukan sesuatu yang ‘asli’, dan ini tidak selalu

berasosiasi dengan perkembangan pariwisata. Dengan ataupun tanpa pariwisata,

Page 27: KARYA TULIS ASD 2010

masyarakat akan selalu berubah. Kekhawatiran bahwa pariwisata akan

menghilangkan ‘keaslian’ dan ‘identitas’ masyarakat nampaknya terlalu

berlebihan. Pada tingkat yang lebih ekstrim, tidak berlebihan kiranya apabila

dikatakan bahwa ‘masyarakat asli’ atau ‘kebudayaan asli’ tidak pernah ada dalam

sejarah kebudayaan, karena masyarakat dan kebudayaan selalu berubah dlam

fungsi waktu. Sejalan dengan ini, perlu diketengahkan bawha keaslian dan

identitas bukanlah suatu harga mati (fixed), melainkan sesuatu yang selalu

berubah, dalam proses interaksi dengan lingkungan luar, ataupun dinamika

internal masyarakat itu sendiri.

Selain masalah ‘keaslian’ sebuah kebudayaan, masalah yang sering

diperdebatkan juga adalah masalah menurunnya mutu suatu produk kesenian yang

telah dikomoditisasi. Penilaian tentang menurun/mendangkalnya mutu suatu karya

seni pada dasarnya bukanlah hal sederhana yang bisa dilakukan siapa saja. Tim

Appraisal of BaliTourism Study menilai bahwa ‘penurunan’ kualitas kesenian

hanya dapat dinilai oleh para ahli dan kritikus seni, yang jumlahnya hanya

segelintir, sedangkan masyarakat luas umumnya tidak melihat hal tersebut.

Sejalan dengan hal ini, Profesor Haryati lebih lanjut mengatakan bahwa tidak

semua hal yang dikomoditisasi berari rendah mutunya. Bila pembuatannya tetap

indah dan memperhatikan teknik dan penghalusan penyelesaian, maka mutu seni

bisa tetap terjamin.

Pariwisata Memperkuat Budaya

Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah mengalami erosi,

yang dapat dilihat dari munculnya komoditisasi terhadap kebudayaan; terjadinya

penurunan kualitas hasil kesenian; pencemaran kesenian sakral, ritual, ataupun

tempat suci; dan bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia Bali dewasa ini

sudah semakin kecil kemauannya untuk mempertahankan identitas budayanya.

Sebaliknya, banyak juga ahli Sosiologi dan Antropologi yang melihat

bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan Bali, melainkan

Page 28: KARYA TULIS ASD 2010

justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan

(cultural involution). McKean (1978) mengatakan,

“... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua

itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan

tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses

konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.”

Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali

will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam

Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali

bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan

transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan

tradisional masyarakat (Lansing, 1974).

Penelitian lapangan di beberapa daerah pariwisata menunjukkan bahwa

organisasi sosial tradisional (khususnya Banjar dan desa Pakraman) bahkan

bertambah kuat, bertambah dinamis. Pariwisata telah menjadi wahana dinamisasi

masyarakat. Hal ini terkait erat dengan peningkatan ekonomi yang dibawa oleh

kepariwisataan serta semakin bertumbuhkembangnya kesadaran akan ‘identitas

diri’ (Pitana, 1991, 1995). Penemuan ini menghidupkan kembali tesis Noronha,

bahwa industri pariwisata tidak mencabut keterikatan manusia Bali terhadap

organisasi internasional, di mana budaya Bali berakar, yaitu desa Pakraman

(Banjar). Bahkan pariwisata dapat memperkuat desa Pakraman, melalui aliran

ekonomi yang dibawa oleh pariwisata, yang disalurkan kepada lembaga-lembaga

tradisional oleh pelaku pariwisata. Noronha (1979: 201-201) mengatakan:

“… the income gained from a tourist performance and sale of crafts is

channeled back to strengthen the religious and temporal bonds that are source of

strength for the Balinese: the Banjar and the village temples”.

Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Bali secara dinamis dan kreatif

telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi untuk

melakuakn ‘metamorphosis’. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas

Page 29: KARYA TULIS ASD 2010

manusia dan kebudayaan Bali sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat.

Perubahan sosial-budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan

internasionalisasi dan tradisionalisasi ini memyebabkan manusia Bali seakan-akan

melakukan ‘konversi’. Namun konversi tersebut dilakukan tetap dalam agama

Hindu dengan nuansa Bali yang kental, atau apa yang oleh Clifford Geertz (1973)

disebut sebagai internal conversion.

Internasionalisasi dan globalisasi budaya selalu menimbulkan pertanyaan

akan identitas budaya dan manusia lokal. Ada asumsi umum bahwa dalam proses

internasionalisasi dan modernisasi, masyarakat lokal akan terjepit,

termarginalisasi, dan kehilangan identitas budayanya (Lanfant, 1995).

Kenyataannya, meskipun budaya pariwisata telah menjadi budaya Bali, dan Bali

telah mengalami proses Touristfication, identitas budaya masyarakat Bali masih

tetap, kalau tidak boleh dikatakan menguat. Temuan-temuan di lapangan juga

menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat

pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah

tercerai-berai tidaklah benar. Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah

pandangan orang yang semula pesimistis terhadap kelestarian budaya Bali.

Meskipun telah lama terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas ke-

Bali-an ternyata menguat dengan semakin derasnya arus internsionalisasi.

Pembangunan pariwisata telah menyebabkan adanya proses

destructuringand restructuring dari mesia etnis, yang pada akhirnya justru

memperkuat identitas. Manusia Bali tentu tidak mau ‘dikonversi’ dalam arti yang

statis, menjadi a timeless society. Orang Bali melestarikan budayanya tidaklah

dalam artian statis, karena kebudayaan pada dasarnya adalah produk sementara

yang masih selalu berproses. Masyarakat Bali sadar bahwa mereka harus

mengadaptasi diri dengan dunia yang tengah berubah, sementara pada saat yang

sama mereka juga sadar untuk menjaga kontinyuitas budaya dan identitasnya.

Dengan cara ini, masyarakat Bali secara terus-menerus mengukir dan mengukir

kembali identitasnya, sementara benang merah kelaluan tidak diputus. Proses

internasioanalisasi, terutama yang terjadi melalui aktivitas kepariwisataan, secara

bersamaan diikuti oleh proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke

Page 30: KARYA TULIS ASD 2010

dalam, mencari identitas masa lalu, yang bisa disebut sebagai proses

‘tradisionalisasi’ atau ‘balinisasi’ orang Bali sendiri.

Hal ini sejalan juga dengan pendapat antropolog senior yang lama

melakukan penelitian di Jawa dan Bali, Clifford Geertz. Geertz mengedepankan

bahwa pelestarian tidak boleh diartikan sebagai usaha ‘membekukan’ sebuah

kebudayaan, karena kebudayaan memang selalu berubah, direkonstruksi dan

direkreasi, sebagai respons terhadap situasi yang berubah. Usaha untuk

membekukan kebudayaan atas nama keaslian atau otentisitas, justru akan

menghasilkan dekadensi. Geertz (1999: 19) menulis bahwa kebudayaan dan

peninggalan budaya:

“… is not some solid, unmoving block of objects, practices, beliefs, and

understanding… It is something that is constantly changing, constantly being

reconstructed, and recreated, in response to new circumstances and emerging

needs…”

Masyarakat Bali dalam banyak hal telah menemukan kembali berbagai

tradisi yang (konon) pernah ada, suatu proses yang oleh Hobsbawm (1983)

disebut sebagai reinvention of tradition. Tradisi-tradisi baru dimunculkan, dengan

legitimasi tradisi lama, atau ajaran susatra agama. Tradisi atau elemen budaya

baru yang ditumbuhkembangkan, bukan saja untuk kepentingan pariwisata, tetapi

(bahkan lebih sering) adalah untuk dikonsumsi masyrakat sendiri.

Contoh konkret dengan adanya pariwisata justru semakin digalakkannya

penghidupan kembali atau semakin digiatkannya pembangunan-pembnagunan

untuk mempertahankan nilai-nilai budaya. Seperti pembangunan Taman Mini

Indonesia Indah, Pembangunan panggung Sendratari Ramayana Prambanan,

Pagelaran seni dan Budaya, promosi seni budaya Indonesia ke luar negeri. Bahkan

pembangunan sarana akomodasi pariwisata seperti hotel atau restoran yang secara

terang-terangan mengadopsi suasana atau kekhasan yang berakar pada nilai seni

dan budaya bangsa. Itu semua walaupun pada awalnya dititikberatkan pada

motivasi ekonomis, tetapi secara sadar atau tidak kegiatan tersebut merupakan

usaha mendorong upaya pelestarian nilai-nilai bangsa. Hal ini diperkuat dengan

Page 31: KARYA TULIS ASD 2010

pendapat Mihardjo (2000:2) bahwa salah satu alasan pariwisata sebagai sektor

andalan adalah melestarikan dan memperkaya budaya nasional.

Rencana Aksi Pariwisata Berbasis Budaya

Untuk mewujudkan program pariwisata berbasis budaya dengan lebih terkonsep,

diperlukan strategi pelaksanaan yang jelas dan berkelanjutan mengenai langkah-

langkah konkret yang harus dilakukan. strategi tersebut dituangkan dalam bentuk

rancana aksi yang melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam menyukseskan

program pariwisata berbasisi budaya ini.

a. Zonasi Pariwisata

Hal yang paling utama dalam mewujudkan kegiatan pariwisata tentu saja

menciptakan tempat atau lokasi berlangsungnya kegiatan tersebut. Dalam

membentuk lokasi wisata, pemerintah daerah yang tentu saja paling

mengenal potensi daerahnya sendiri hendaknya dapat menciptakan semacam

zonasi objek wisata yang nantinya akan dijadikan pusat pariwisata berbasis

budaya ini (tourist center). Zonasi ini dibagi ke beberapa zona lagi sesuai

dengan keadaan atau kondisi daerah yang bersangkutan. Sebagai contoh,

zona pertama ditujukan untuk wisata kuliner yang menyajikan beragai

macam makanan daerah, wisata belanja untuk memfasilitasi penjualan

produk kesenian lokal seperti kerajinan tangan dan sebagainya, serta wisata

kesenian tradisional yang menyuguhkan aneka tarian, seni peran tradisional,

seni musik, dan lain sebagainya. Zona dua diperuntukkan untuk wisata

sejarah, misalnya museum, benteng, dan bangunan peninggalan sejarah

lainnya. Selain itu zona dua juga bisa dikombinasikan dengan wisata religius

yang menyuguhkan tempat-tempat ibadah berbagai agama. Zonasi ini

bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan keadaan suatu tempat

tertentu. Konsep zonasi objek wisata ini akan menjadi pedoman dalam

mempromosikan objek wisata kepada masyarakat luas lewat berbagai media

komunikasi visual dan memudahkan pelaku pariwisata untuk

mengagendakan berbagai atraksi unggulan di setiap zonasi objek wisata.

Page 32: KARYA TULIS ASD 2010

Dengan demikian, para wisatawan akan tersebar ke berbagai objek wisata

sesuai dengan minatnya masing-masing tanpa harus menumpuk dan

terkonsetrasi di satu tempat tertentu. Zonasi objek wisata semacam itu

menjadi penting bagi wisatawan yang akan mengunjungi suatu daerah.

Dengan zonasi objek wisata seperti itu lebih memudahkan wisatawan untuk

mengunjungi objek wisata sesampainya mereka turun dari kereta api,

pesawat terbang, bus pariwisata, atau kendaraan pribadi. Mereka tidak akan

kebingungan karena memiliki panduan dalam bentuk buku objek wisata kota

Yogyakarta atau denah lokasi, sistem pertandaan yang dengan cermat dan

unik akan memandu wisatawan menuju objek wisata yang diinginkan.

b. Penyelenggaraan Cultural Event

Setelah lokasi wisata sudah didapat, maka lokasi tersebut hendaknya

dihidupkan dengan penyelenggaraan berbagai kegiatan budaya (cultural

event) seperti festival budaya, pawai kesenian, lomba-lomba dan sebagainya.

Di antara berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan, penyelenggaraan

festival atau pesta kesenian dikenal ampuh untuk menarik minat wisatawan

sekaligus melestarikan kebudayaan lokal. Contohnya adalah Pesta Kesenian

Bali (Annual Bali Festival) yang telah berlangsung selama lebih dari dua

puluh tahun. Pesta kesenian yang melibatkan rakyat banyak ini didahului

dengan festival di tingkat kabupaten dan setelah itu baru diselenggarakan di

Denpasar sebagai puncak acara. Semenjak itu muncullah beberapa kesenian

tradisional yang selama ini jarang dijumpai atau dipertunjukkan ke

masyarakat banyak. Berbagai kesenian dan tetabuhan yang hanya terdapat di

daerah-daerah tertentu saja, seperti Tek-tekan di Tabanan, Tari Guak di

Buleleng, Makepung di Kabupaten Jembrana, Bumbung Gebyok dari

Nagara dan banyak kesenian lainnya. Mengenai hal ini, Gubernur Bali, Ida

Bagus Mantra mengklaim bahwa pesta kesenian semacam ini telah

membangkitkan kembali hasrat untuk menggali kesenian rakyat yang sudah

lama hilang dalam kehidupan masyarakat Bali. Diharapkan dengan adanya

Page 33: KARYA TULIS ASD 2010

kegiatan semacam ini, maka akan merangsang kemunculan kegiatan-

kegiatan seni-budaya lainnya.

c. Pembangunan Fasilitas Penunjang

Di samping pembangunan zona wisata, pembangunan fasilitas-fasilitas

penunjang pun tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan program ini.

Wisatawan akan semakin nyaman apabila dilakukan penataan rute jalan

wisata. Selain itu disediakan pula kendaraan bermesin ataupun tidak yang

dirancang khusus untuk mengangkut wisatawan keliling lokasi wisata. Street

furniture di ruang publik sebagai wahana melepas lelah, tempat parkir yang

tertata rapi, membersihkan sampah, menata taman kota lengkap dengan

patung-patung kota yang dapat menimbulkan kesan indah, bersih, nyaman.

Semuanya itu sangat didambakan wisatawan dalam rangka mendapatkan

pengalaman dan kenangan khusus ketika mereka melancong di kawasan

tersebut.

d. Pemberdayaan Pelaku Budaya

Proses selanjutnya dari rencana aksi program ini menyangkut pelaku seni-

budaya itu sendiri. Seniman juga tidak boleh luput dari proses

pembangunan. Sebagai subjek pariwisata para seniman merupakan salah

satu kunci kesuksesan program ini karena peran mereka sangat besar dan

signifikan. Tidak hanya bertugas untuk menciptakan karya seni yang layak

untuk disuguhkan ke wisatawan, tapi juga sekaligus sebagai penjaga seni-

budaya itu sendiri agar masih berada dalam koridor kemurnian. Maksudnya

adalah, dalam pengelolaan kegiatan kepariwisataan, orang-orang yang

banyak tahu tentang seni budaya dan seni tradisional harus ikut dilibatkan.

Hal itu ditujukan untuk mencegah terjadinya perusakan nilai-nilai atau

esensi dari suatu kebudayaan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian orang-

orang yang bergerak di dalam industri pariwisata yang kadang jalan sendiri

Page 34: KARYA TULIS ASD 2010

tanpa memperhatikan diperlukannya sentuhan tangan para seniman yang

nyatanya masih banyak mengharapkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan

bidangnya. Para pelaku industri pariwisata yang ada hendaknya jangan

jangan sampai hanya “sekedar menjual saja”. Kepada mereka juga

diharapkan suatu kesadaran untuk dapat memelihara bagaimana penyajian

suatu kesenian yang pantas untuk ditunjukkan. Sangat ideal sekali kalau

pertunjukkan itu disenangi para wisatawan, tapi penyajiannya tetap pada

norma-norma yang hidup dalam kebiasaan masyarakat yang tradisional. Satu

hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk menangani seni budaya

dan kepariwisataan jangan sekali mencoba-coba dan ditangani oleh mereka

yang masih amatir. Inilah yang selama ini banyak terjadi, sehingga

menimbulkan perdebatan mengenai keaslian suatu budaya.

Mengenai masalah ini, seniman Putu Wijaya mengungkapkan bahwa

menurutnya, kesenian di Indonesia ini dianggap sebagai suatu dosa. Katanya

kesenian itu tidak berguna bagi kehidupan dan kurang mendapat perhatian

khusus. Karena itu pula lah nasib seniman seolah tidak tentu arah. Dewasa

ini, para pekerja seni dan seniman merasakan kurang adanya perlindungan

yang sungguh-sungguh membina dan memperjuangkan nasib para pencipta

kesenian. Di masa kejayaan kerajaan dahulu, para raja dan kerabat keraton

sengaja menunjuk “jhuru bharata” (koordinator penggelar) untuk

memperhatikan kehidupan para seniman maupun pujangga yang mengabdi

pada keraton. Di beberapa daerah tujuan wisata di Bali misalnya, para

seniman dalam mendukung keberhasilan industri pariwisata masih pergi ke

hotel-hotel dengan naik truk dan memperoleh upah pagelaran yang relatif

rendah. Kesan bahwa mereka masih menjadi objek bukan subjek dalam

industri pariwisata belum terhapus. Oleh karena itu, hendaknya keberadaan

para seniman ini dianggap sebagai profesional yang betul-betul dilibatkan

dalam setiap kegiatan seni budaya, dan diupah dengan layak sesuai jasa

profesional yang mereka berikan. Selain itu, untuk menghargai para

seniman, di luar negeri biasanya diadakan pemberian hadiah-hadiah kepada

mereka yang berprestasi di bidang kebudayaan atau kesenian tertentu. Di

Indonesia hal tersebut dapat diwujudkan dengan pemberian anugerah seni

Page 35: KARYA TULIS ASD 2010

budaya untuk mendorong para seniman agar dapat berkarya lebih produktif

dan kreatif lagi.

Selain perbaikan nasib seniman secara perorangan, harus juga diperhatikan

keberlangsungan hidup kelompok-kelompok kesenian yang biasanya

tergabung dalam sanggar seni tertentu. Sanggar seni merupakan sarana

pembelajaran mengenai kesenian tradisional yang sangat positif

keberadaannya dalam mengembangkan sektor pariwisata. Di Bali, setiap

desa memiliki grup kesenian sendiri yang sewaktu-waktu dapat diminta

untuk mempertunjukkan atraksinya kepada wisatawan. Ini sangat membantu

Biro-biro perjalanan untuk merencanakan acara bagi wisatawan yang akan

didatangkan ke Bali. Untuk itu, eksistensi kelompok-kelompok seni seperti

ini perlu didorong dengan memberikan bantuan bisa berupa dana atau

peralatan kesenian tertentu.

e. Promosi

Salah satu cara yang paling ampuh untuk mendatangkan wisatawan adalah

dengan berpromosi melalui berbagai media seperti televisi, internet, radio,

brosur, majalah, atau koran. Selain itu, promosi yang tak kalah efektif juga

bisa dilakukan melalui agen perjalanan dan perusahaan penerbangan.

Publikasi ke masyarakat luas merupakan salah satu aspek dimana masih

Indonesia cukup tertinggal. Bandingkan saja dengan negara tetangga

terdekat yakni Malaysia. Malaysia dengan semboyan "Truly Asia"

melakukan promosi yang gencar dan berhasil menyedot lebih dari 10 juta

wisatawan mancanegara (wisman) pada 2003 dan tahun 2005 setiap bulan

mampu mendatangkan wisman rata-rata 1,3 juta orang, sedangkan Indonesia

baru berencana mencapai angka 10 juta per tahun pada tahun 2009. Hal ini

cukup memprihatinkan mengingat Malaysia tidak memiliki potensi dasar

pariwisata sehebat Indonesia.

Page 36: KARYA TULIS ASD 2010

f. Peran Serta Stakeholder

Selain semua strategi diatas, sukses atau tidaknya program pariwisata

berbasis budaya ini tentu saja dipengaruhi oleh masyarakat umum sendiri.

Kesiapan masyarakat untuk menerima para turis yang datang kedaerahnya

akan sangat menentukan keberhasilan sektor ini. Di beberapa tempat,

komersialisasi pariwisata yang gencar merupakan gejala baru sehingga

ditakutkan masyarakat tidak sepenuhnya siap dalam berpartisipasi

menyambut para wisatawan. Ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam

memanfaatkan keuntungan ekonomis program ini merupakan salah satu

tindakan yang sangat disayangkan. Selain itu, gejala sosial budaya seperti ini

dapat menimbulkan reaksi masyarakat yang kadang-kadang menjurus ke

arah tindak kriminal yang tidak diharapkan. Kesenjangan dalam kemampuan

melihat dan memanfaatkan peluang usaha itu biasanya menimbulkan

kecemburuan sosial yang pada akhirnya mengundang pertentangan sosial

disertai kekerasan yang kurang mendukung perkembangan industri ini.

Untuk itu, diperlukan pula peran aktif pemerintah dalam hal ini Departemen

Budaya dan Pariwisata, untuk mensosialisasikan nilai-nilai baru kepada

masyarakat agar dapat berperilaku harmonis sesuai dengan pembangunan

yang akan dilakukan. Selain itu, regulasi terkait hal ini juga harus dibuat dan

diimplementasikan ke dalam masyarakat. Pada level pengawasan, pihak

kepolisian hendaknya sigap dengan segala kemungkinan pelanggaran yang

ada. Sedangkan yang tidak kalah penting dari semua hal ini tentunya

kewajiban pemerintah dalam penyediaan anggaran pariwisata yang

mencukupi.

Kegiatan pariwisata berbasis budaya sangat mungkin dilakukan di Indonesia.

Hal itu dikarenakan pengembangan pariwisata di Indonesia pada dasarnya

menggunakan konsep pariwisata budaya (cultural tourism) seperti yang telah

ditetapkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2009, hanya saja belum

dilaksanakan secara merata di Indonesia. Dengan menggiatkan program ini secara

merata, maka tidak hanya keuntungan ekonomi yang didapat, tetapi yang lebih

Page 37: KARYA TULIS ASD 2010

esensisal lagi, kebudayaan tradisonal yang dapat dilestarikan. Dengan demikian,

pariwisata berbasis budaya juga menjawab permasalahan bangsa dalam hal

menjaga kulturalisme Indonesia.

B. Simpulan

Dari penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pariwisata berbasis budaya dapat mendorong masyarakat untuk melakukan

berbagai kegiatan seni budaya karena adanya motif ekonomi. Sektor

pariwisata yang telah maju dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat,

sehingga masyarakat dengan senang hati menggantungkan kehidupan

ekonominya di bidang tersebut. Ketika masyarakat sudah bergelut di

bidang seni budaya dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, maka mau

tidak mau mayarakat akan terus melakukan kegiatan seni tersebut. Dengan

demikian, berbagai produk seni budaya akan terus diparktikkan, dengan

kata lain, seni budaya tersebut akan lestari.

2. Terkait isu hilangnya keaslian seni budaya yang ditakutkan masyarakat

sebagai akibat dari pariwisata, asumsi tersebut pada dasarnya dianggap

terlalu berlebihan. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa suatu budaya

yang benar-benar asli tidak pernah ada dalam sejarah kebudayaan. Budaya

adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran

waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi

masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

3. Berbagai pendapat maupun pandangan yang menghipotesiskan hancurnya

kebudayaan lokal karena pengaruh pariwisata dapat dipatahkan dengan

berbagai kasus di Bali. Kasus Bali menunjukkan bahwa meskipun

berbagai gejala erosi kebudayaan terjadi, tetapi pariwisata lebih berperan

sebagai pelestari kebudayaan dalam arti yang luas. Bahkan pariwisata

telah terbukti menjadi wahana utama dalam pelestarian kebudayaan ini,

sekaligus menjadi pelatuk dinamika masyarakat.

Page 38: KARYA TULIS ASD 2010

4. Untuk mewujudkan program pariwisata berbasis budaya, dapat dilakukan

dengan memulai beberapa hal seperti zonasi pariwisata, penyelenggaraan

cultural event, pembangunan fasilitas penunjang, pemberdayaan pelaku

budaya, promosi, dan meningkatkan peran serta stakeholder.

C. Saran

Dalam penyelenggaraan pariwisata berbasis budaya, diperlukan dukungan

dana yang tidak sedikit. Untuk itulah, pemerintah pusat atau daerah hendaknya

menambah anggaran sektor pariwisata dalam APBN atau APBD. Selama ini

masalah utama yang menghalangi perkembangan pariwisata Indonesia adalah

pendanaan. Tidak seperti sektor lainnya (pendidikan), pemerintah tampaknya

masih sulit untuk meluluskan permintaan kenaikan anggaran sektor pariwisata.

Dengan dukungan dana yang memadai serta penanganan yang professional, maka

pariwisata dapat berkembang sehingga berdampak positif terhadap perkembangan

budaya.

Program ini hendaknya diselenggarakan secara merata oleh seluruh daerah di

Indonesia. Dengan begitu, setiap daerah tidak hanya berpeluang untuk

meningkatkan kesejahteraan penduduknya, namun juga kebudayaan tradisional

dari berbagai provinsi di Indonesia dapat terjaga, sehingga kemajemukan

masyarakat Indonesia benar-benar terjaga walaupun berada di tengah-tengah arus

globalisasi.

Page 39: KARYA TULIS ASD 2010

DAFTAR PUSTAKA

Pitana, I Gede dan Putu G. Gayatri.(2005). Sosiologi Pariwisata.

Yogyakarta: Andi.

Yoeti, Oka A.. (1996). Anatomi Pariwisata Indonesia. Bandung: Angkasa.

Yoeti, Oka A., dkk. (1996).Pariwisata Budaya, masalah dan solusinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Yunus, R. Hamzah, dkk. (1992). Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Budaya Daerah Riau. Departemen Pnedidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Pembinanaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Riau 1991-1992.

Page 40: KARYA TULIS ASD 2010

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

1. Nama Lengkap : Achmad Rhesa Saputra

2 Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 19 Oktober 1990

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Kebangsaan : Indonesia

5. Agama : Islam

6. Status Perkawinan : Belum Menikah

7. Pekerjaan : Mahasiswa

8. Alamat Rumah : Asrama Mahasiswa UI Depok

9. Nomor HP : 085268987535

10. E-mail : [email protected]

Riwayat Pendidikan Formal

No Tahun Institusi Jurusan/ Program Keterangan1. 1994 – 1996 TK Bhayangkari2. 1996 – 2002 SDN 2503. 2002 – 2005 SMPN 384. 2005 – 2008 SMAN 18 IPS5. 2008 -sekarang Univ. Indonesia S-1 Administrasi Fiskal

III. Riwayat Pendidikan Non Formal

No Tahun Institusi Keterangan1. 1999 – 2001 Bimbel LAPAN2. 2005 – 2006 Bimbel TEKNOS3. 2008 Bimbel Alumni STAN4. 2008 Bimbel Nurul Fikri4. 2009 Nurul Fikri English Course Conversation Class5. 2009 - sekarang LBPP LIA Conversation Class

Pelatihan dan Seminar yang Pernah Diikuti

No TahunInstitusi

PenyelenggaraDeskripsi Keterangan

1. 2007 PT. Sriwijaya Perdana

Pelatihan Jurnalistik 6 Bulan

Page 41: KARYA TULIS ASD 2010

2. 2008 HMJIA Workshop Gerakan Ayo Menulis

3. 2008 HMJIA Seminar Dunia Kerja

4. 2009 UI-Cita Cinta Seminar Dunia Kerja

5. 2009 FE UI Tax Intercollegiate

6. 2009 HMJIA Seminar Pajak Adm Days

7. 2009 Tanoto Foundation Writing Workshop

Pengalaman Organisasi

No Tahun Organisasi Jabatan Keterangan

12009-

sekarangKOSTAF

Anggota divisi Kajiandan Tim Redaksi Kostaf

Media

22009-

sekarangKemas UI Anggota

Paguyuban Kedaerahan

Pengalaman Kepanitiaan

No Tahun Nama Kegiatan Penyelenggara Posisi

1 2007Oprec Wartawan

LepassPT. Srwijaya Perdana Ketua Panitia

2 2009 Try Out Kemas UI Kemas UI Staf Sponsorship 3 2009 Baksos Kemas UI Kemas UI PJ Danus4 2009 Pensi Sumsel Kemas UI Staf Acara, MC

5 2009Welcome Maba

Kemas UIKemas UI Ketua Panitia

6 2009 Kajian Pajak 2 Kostaf Staf Acara, MC7 2009 Kajian Pajak 4 Kostaf Ketua Panitia7 2009 Adm Days HMJIA Staf Debat8 2009 Adm Award HMJIA Staf Dokumentasi9 2009 Seminar Pajak Kostaf Staf Acara10 2009 Taxplore Kostaf Staf Acara11 2009 Bedah Kampus BEM UI Staf Sponsorship

Page 42: KARYA TULIS ASD 2010

Prestasi

No TahunInstitusi

PenyelenggaraDeskripsi Keterangan

1. 2006 Pertamina Lomba Pidato Bahasa Inggris tingkat Kota Palembang

10 besar

2. 2006 Kwartir Daerah Sumatera Selatan

Lomba Pidato Bahasa Inggris tingkat Provinsi Sumatera Selatan

Juara 3

3. 2008 Universitas PGRI Palembang

Lomba Cepat Tangkas Akuntansi tingkat SMA/SMK se-Sumatera Selatan

Juara 3

4. 2008 Depdiknas Ujian Nasional tingkat SMAN 18

Nilai tertinggi dalam UN di SMA

Pengalaman Kerja

1. Wartawan Muda Harian Umum Siwijaya Post (2007-2008)

Jabatan : Koordinator

Deskripsi Pekerjaan : Menulis halaman khusus pelajar dan remaja di salah

satu koran lokal yang terbit di Sumatera Selatan.

Bursa Asrama UI (sekarang)

Jabatan : Cheff Business Operating (CBO)

Deskripsi Pekerjaan : Merencanakan produk-produk atau layanan apa saja yang akan ditawarkan kepada konsumen, kemudian mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak untuk pengadaan berbagai produk tambahan lainnya , serta melakukan stock opname.