karya a. a. navis dan implikasinya pada...
TRANSCRIPT
MOTIVASI TOKOH DIFABEL
DALAM NOVEL SARASWATI SI GADIS DALAM SUNYI
KARYA A. A. NAVIS DAN IMPLIKASINYA
PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan
oleh
Madhensia Putri Pratiwi
NIM 1111013000102
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
Skripsi berjudul "Motivasi Tokoh Difabet dalam Novel Saraswati SiGadis dalam sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia" disusun oleh Madhensia putri pratiwi NomorInduk Mahasiswa 1111013000102, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam UjianMunaqasah pada tanggal 14 Juli 2016 dihadapan dewan penguji. Karena ifu,penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd.) dalam bidang pendidikan
Bahasa dan Sasta Indonesia.
Jakarta, 14 Juli 2016
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/prodi)
Makvun Subuki.,M.Hum.NrP. 19800305200901 i 0ls
S eketari s P aniti a (S ekretari s Jurus anlprodi)
Dona Aii Karunia Putra. MA.NrP. 19840409201101 1 015
Penguji I
Nurvati Diihad?h. IVI.Pd.. MA.NIP. 19660829199903 2 003
Penguji II
Tanggal
t2..Jplt..3:(o
20 Jrl; eot6
4;.?.7.:?Pr(
19 J,tA eotL
Tanda Tansan
/
NrP. 19841126
i
ABSTRAK
Madhensia Putri Pratiwi, 1111013000102, “Motivasi Tokoh Difabel dalam
Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.
Sebagai kaum difabel, Saraswati mengalami diskriminasi baik dalam keluarga
maupun di masyarakat seperti perbedaan kesempatan dalam hal pendidikan,
pekerjaan, dan kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual menjadi salah satu
bentuk ketidakadilan yang diterima Saraswati sebelum akhirnya memperoleh
aktualisasi diri.
Tujuan analisis ini adalah mendeskripsikan motivasi tokoh difabel yang
terkandung dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis yang
diharapkan dapat menjadi referensi dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Metode yang digunakan
adalah metode deskriptif analisis. Subjek penelitian ini adalah motivasi tokoh
difabel dan objek penelitian ini adalah novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
Karya A. A. Navis. Teknik pengumpulan data dalam analisis ini dengan
menggunakan teknik kepustakaan yaitu dilakukan dengan mengumpulkan
sejumlah sumber untuk memperoleh data intrinsik secara hermeneutik.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan teori Abraham Maslow, tampak
motivasi pada tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi meliputi
enam kebutuhan dasar manusia yakni: 1) motivasi kebutuhan fisiologis; 2)
motivasi kebutuhan akan rasa aman; 3) motivasi kebutuhan akan cinta; 4)
motivasi kebutuhan akan penghargaan diri; 5) motivasi kebutuhan untuk
mengetahui dan mengerti; dan 6) motivasi kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Kata Kunci: Motivasi, Difabel, Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, A. A.
Navis, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
ii
ABSTRACT
Madhensia Putri Pratiwi, 1111013000102, “Motivasi Tokoh Difabel dalam
Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Kelas VIII” Department of Indonesian Language and Literature, the Faculty of
Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta. Adviser: Rosida Erowati, M.Hum
As difabel people, Saraswati get discrimination both in family and society such as
opportunity gap in education, occupation and physical, psychological, even sexual
violence which become one of injustice case faced by Saraswati before she get
self-actulaization.
The purpose of this analysis is to describe motivation of difabel’s character which
is implied on Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel by A.A navis, it is also hoped
that it can be used as references in teaching and learning Indonesian language and
literature in junior high school. The method used in this research is descriptive
analysis. The subject of this research is motivation of difabel character on
Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, as for the object of this research is Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi novel by A.A Navis. The technique of collecting data in this
analysis is by kepustakaan, collecting several resources to get intrinsic data
hermeneutically.
Based on the analysis of Abraham Maslow theory, there is motivation in difabel
characters on Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel included 6 basic needs of
human being: 1) motivation of physiological needs; 2) motivation of securty can
needs; 3) motivation of love need; 4) motivation of self-appreciation needs; 5)
motivation of needs to know and understand; 6) motivation of needs to self-
actualization
Keywords: Motivation, Difabel, Novel of Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, A. A.
Navis, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani
kepada penulis sehingga diberi kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW. beserta para keluarga dan sahabatnya.
Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam proses penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari nasihat,
saran dan motivasi dari berbagai pihak yang dengan ketulusan hati mau
membantu dan membimbing penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang memudahkan dalam segala proses baik formal maupun informal;
3. Dona Aji Karunia P., selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang memudahkan dalam segala proses administrasi;
4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu berusaha
meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi, sabar dalam
membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan hingga akhirnya
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dan
dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah
iv
memberikan ilmu dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
6. Ucapan teristimewa ditujukan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Medi
Prayitno dan Budiwiyati, S.Pd yang telah merawat, membimbing, tidak henti-
hentinya memberikan doa dan dorongan baik moril, materil, dan ilmu sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tanda bakti;
7. Ucapan teristimewa ditujukan kepada adik-adik tersayang yaitu Fiveti Novia
Pratiwi dan Muhammad Made Ardika yang telah memberikan motivasi,
keceriaan, kehangatan di tengah perjalanan hidup hingga saat selesainya skripsi
ini;
8. Ucapan teristimewa juga ditujukan kepada Ade Munawar Luthfi, Rizky Jadwiko,
Dicky Permana Putra dan Fakhrazade Khafabihi yang bersedia menjadi tempat
berkeluh kesah dan tanpa henti memberikan doa, perhatian, saran, semangat dan
dukungan;
9. Sahabat seperjuangan “Genk Che” Ade Nurfadillah, Amalia Rosyidah, Astri
Pertiwi, Rahayu Handayani, dan Rohmatun Masruroh yang sejak awal
perkuliahan menjadi tempat berkeluh kesah, selalu memberi keceriaan, saling
mendukung, menyemangati, mendoakan, dan memberikan saran.
10. Teman-teman seperjuangan yang menjadi tempat diskusi dan berkeluh kesah
dalam proses penulisan skripsi ini, Adam Zakaria, Astra P. Leksana, Irmalia N.
Aminuddin, Irma Wulandari, Lilyani Susanti, Marchita Fajarwati, Muhammad
Irfan, Nova Liana, Okeu Yudipratomo, Sidqi Daivan. R, Sukaesih, Yohanes, dan
Syifa Fauziah;
11. Teman-teman PPKT di SMA PGRI 56 Ciputat yang telah bekerja sama dengan
kompak selama praktik mengajar. Terimakasih atas pengalaman, keceriaan,
dukungan, doa, semangat dan waktu yang telah kalian berikan;
12. Teman-teman seperjuangan di SD Negeri Pondok Makmur angkatan 2004-2005,
SMP Negeri 8 Tangerang angkatan 2007-2008, SMA Negeri 5 Tangerang
angkatan 2010-2011 dan PBSI kelas C angkatan 2011 yang telah mengajarkan
penulis arti dari kekeluargaan, kebersamaan, kepedulian dan kekompakan.
v
Terimakasih atas keceriaan, doa, dukungan, semangat, pengalaman dan waktu
yang telah kalian berikan;
13. Keluarga besar SMA PGRI 56 Ciputat yang telah memberi kesempatan kepada
penulis untuk praktik mengajar, menambah pengalaman dan ilmu untuk bekal di
masa depan;
14. Keluarga besar POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) yang telah memberikan ruang
berkreativitas untuk mengembangkan potensi dalam berkesenian; dan
15. Keluarga besar Teater Syahid yang telah memberi banyak pelajaran dan
pengalaman berharga dalam berkesenian;
Terima kasih pula kepada pihak-pihak yang telah memudahkan penulis
dalam mempermudah penyelesaian skripsi ini, baik secara struktural ataupun
kultural. Semoga limpahan rahmat Allah, Tuhan yang maha kuasa, terhikmat
kepada kita semua. Tentunya sangat besar harapan penulis agar penelitian ini
dapat bermanfaat baik secara pribadi maupun pembaca.
Jakarta, 7 Juni 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK ........................................................................................................................ i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identitas Masalah ............................................................................................ 5
C. Pembatasan Masalah ....................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
F. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6
G. Metodologi Penelitian ..................................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Motivasi .......................................................................................... 11
1. Pengertian Motivasi............................................................................. 11
2. Ciri-ciri Motivasi ................................................................................. 12
3. Fungsi Motivasi ................................................................................... 12
4. Sudut Pandang Humanistik dan Teori Motivasi Melalui Pendekatan
Maslow ................................................................................................ 13
B. Hakikat Disabilitas........................................................................................ 16
1. Pengertian Disabilitas .......................................................................... 16
2. Hak dan Kewajiban Penyandang Disabilitas ...................................... 18
3. Penggambaran Penyandang Disabilitas .............................................. 19
C. Hakikat Novel ............................................................................................... 22
1. Pengertian Novel ................................................................................. 22
2. Unsur Intrinsik Novel .......................................................................... 24
vii
3. Unsur Ekstrinsik Novel ....................................................................... 31
D. Pendekatan Psikologi Sastra ......................................................................... 32
E. Pembelajaran Sastra Indonesia ..................................................................... 34
F. Penelitian yang Relevan ............................................................................... 38
BAB III BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi A. A. Navis ..................................................................................... 40
B. Pandangan Hidup A. A. Navis ...................................................................... 41
C. Karya-karya A. A. Navis .............................................................................. 44
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya
A. A. Navis ................................................................................................... 45
1. Tema .................................................................................................... 45
2. Alur atau plot ....................................................................................... 49
3. Tokoh dan Penokohan ......................................................................... 57
4. Latar .................................................................................................... 73
5. Sudut Pandang ..................................................................................... 82
6. Gaya Bahasa ........................................................................................ 84
7. Amanat ................................................................................................ 90
B. Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam
Sunyi Karya A. A. Navis............................................................................... 91
1. Motivasi Kebutuhan Fisiologis ........................................................... 92
2. Motivasi Kebutuhan Akan Perasaan Aman ........................................ 96
3. Motivasi Kebutuhan Akan Cinta ......................................................... 99
4. Motivasi Kebutuhan Akan Penghargaan Diri ................................... 101
5. Motivasi Kebutuhan untuk Mengetahui dan Mengerti ..................... 103
6. Motivasi Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri...................................... 106
C. Implikasi Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia ................................................................................... 109
viii
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................................... 113
B. Saran ........................................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 115
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFRENSI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyandang disabilitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat. Mereka hidup, berkembang dan berinteraksi di tengah-tengah
masyakarat. Namun, mereka kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan sehari-
hari karena keadaan dan keterbatasan yang dimiliki. Umumnya masyarakat
menganggap keberadaan penyandang disabilitas sebagai sesuatu hal yang
merepotkan. Ada pula yang menganggap penyandang disabilitas “aneh” sehingga
mereka semakin terpojok dalam pergaulan sehari-hari.
Hashim Djojohadikusumo dalam sambutannya di acara dialog dan
penampilan bakat anak-anak istimewa penyandang disabilitas di kantor DPP
Partai Gerindra, Sabtu (19/9/15) mengatakan, “saat ini banyak dari masyarakat
Indonesia yang belum menyadari betapa pentingnya keberadaan fasilitas dan
sarana prasarana serta pendidikan bagi para anak-anak berkebutuhan khusus dan
saudara-saudara kita kaum difabel atau disabilitas lainnya”.1 Terabaikannya
masalah “difabel” di negara berkembang seperti Indonesia ini disebabkan oleh
adanya faktor sosial budaya, faktor ekonomi, dan lemahnya kebijakan dan
penegakan hukum yang kurang memihak penyandang disabilitas. Hal ini
menyebabkan difabel terabaikan dalam segala aspek kehidupan.
Secara tidak sadar masyarakat sekitar juga mengabaikan hak dan kewajiban
penyandang disabilitas. Akibatnya sebagai bagian dari masyarakat, para
penyandang disabilitas tidak dapat menikmati hak dan kewajiban mereka
sebagaimana mestinya. Padahal secara jelas pemerintah sudah menetapkan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 untuk melindungi hak-hak penyandang
disabilitas.
1Endang Saputra, Gerindra Konsisten Perjuangkan Kaum Difabel, 2015,
(www.satuharapan.com), diakses pada tanggal 11 Februari 2016 pada pukul 16.15 WIB.
2
Dalam bidang pendidikan ternyata masih terdapat gambaran ketidakadilan
terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
Jika merujuk Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Pasal 12 seharusnya “setiap
lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.”2
Namun hal tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Hingga kini instansi
pendidikan tinggi belum menyediakan sarana dan prasarana bagi mahasiswa
penyandang disabilitas. Seperti yang terlihat pada Portal Berita Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta “Kita akui, memang kampus ini belum memfasilitasi
mereka (mahasiswa difabel),” ujar Wakil Rektor (Warek) II Bidang Administrasi
Umum, Amsal Bakhtiar.3
Terdapat ketidakadilan lain di bidang pendidikan yang diterima oleh
penyandang disabilitas, seperti informasi yang diambil dari website resmi Panitia
Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia
dan ditulis oleh Joni Yulianto dalam artikelnya yang menyatakan bahwa seorang
calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak
tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna
keseluruhan maupun sebagian.4 Persyaratan tersebut jelas menjadi penghalang
penyandang disabilitas untuk mengembangkan minat, bakat dan kecerdasannya di
perguruan tinggi negeri.
Selain bidang pendidikan, dalam bidang pekerjaan penyandang disabilitas
juga kerap mengalami ketidakadilan. Rendahnya kualitas sumber daya
penyandang disabilitas menjadi asumsi bahwa mereka tidak dapat bersaing
dengan manusia normal dalam bidang pekerjaan. Padahal sudah dijelaskan pada
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 pasal 13 bahwa “setiap penyandang cacat
2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 12, Tentang Penyandang
Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 3.
3Thohirin, Buka Sejak Dulu, UIN Tak Fasilitasi Mahasiswa Difabel, 2014, (http://
lpminstitut.com), diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 19.00 WIB.
4Joni Yulianto, Pernyataan Sikap: Cabut Persyaratan Diskriminatif SNMPTN 2014!, 2014,
(http://solider.or.id), diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 19.45 WIB.
3
mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatannya.”5 Tidak jarang penyandang disabilitas
memanfaatkan keterbatasannya untuk menjadi pengemis karena kurangnya
lapangan pekerjaan untuk orang-orang seperti mereka.
Permasalahan-permasalahan aktual di atas kini ternyata telah diangkat oleh
Ali Akbar Navis dalam novel yang berjudul Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
(SSGDS). Novel ini menarik perhatian karena mengambil latar peristiwa PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), yang melibatkan dua pihak
secara garis besar yaitu pusat (Jakarta) dan daerah (Sumatra Barat). Salah satu
pemicunya adalah munculnya ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah. Oleh
sebab itu novel ini termasuk novel sosial dan sejarah. Selain itu, novel ini seperti
menjadi catatan harian dari seorang gadis penyandang disabilitas sejak lahir
bernama Saraswati. Penggunaan diksi “Saudaraku” membuat Saraswati sebagai
narator seolah-olah mengajak pembaca untuk ikut serta memberikan pendapat
terhadap keseharian tokoh.
Kondisi Saraswati yang bisu dan tuli sehingga berbeda dengan orang-orang
normal menyebabkan Saraswati mengalami diskriminasi baik dalam keluarga
maupun di masyarakat. Persoalan perbedaan kesempatan dalam hal pendidikan
dan pekerjaan menjadi salah satu ketidakadilan yang diterima Saraswati sebagai
kaum difabel. Selain itu, kekerasan yang diterima Saraswati mulai dari kekerasan
fisik seperti pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti
penindasan, penghinaan, dan pelecehan merupakan ketidakadilan yang Saraswati
terima di lingkungan masyarakat.
A. A. Navis seorang cerpenis dan novelis yang terkenal sebagai “pencemooh
tak kenal ampun”, karena sikapnya yang kritis terhadap berbagai persoalan
kehidupan dan kemasyarakatan mampu menyindir semua lapisan masyarakat
dengan karya-karyanya. Anak sulung yang lahir di Padang Panjang 17 Oktober
1924 ini merupakan sosok orang yang senantiasa memperhatikan keadaan di
5Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 13, Tentang Penyandang
Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 4.
4
sekelilingnya lalu menuliskan semuanya dalam karya sastra. Seperti salah satu
kutipan pada novel SSGDS berikut:
…. Aku banyak mengenal orang-orang seperti diriku, entah perempuan
entah laki-laki. Tak seorang pun di antara mereka yang menjadi manusia
sama layaknya dengan manusia lainnya. Di mana pun orang-orang bisu
seperti aku hanyalah jadi bahan olok-olok anak-anak belaka. Hanya jadi
orang suruhan belaka. Aku kenal sebuah keluarga yang menaruh seorang
perempuan bisu di rumahnya. Kerjanya hanya mencuci baju orang.6
Kemampuan A. A. Navis dalam bercerita menggugah pembaca untuk
mengamati setiap peristiwa di dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi.
Kritik pengarang dalam memandang fenomena yang terjadi pada masyarakat
ketika itu terkait penyandang disabilitas dalam masyarakat, sangat dapat dirasakan
oleh pembaca. Kegelisahan A. A. Navis yang disampaikan melalui tokoh
utamanya merupakan bentuk kritik terhadap keadaan masyarakat tersebut.
Pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, A. A. Navis berhasil
memperlihatkan kepada pembaca kekuatan-kekuatan besar yang tersembunyi di
dalam diri manusia, kekuatan yang tidak disadari seseorang di dalam dirinya lewat
tokoh Saraswati, seorang gadis difabel. Saraswati mampu untuk tetap bertahan
dan berjuang dalam menjalani hidupnya. Tujuan hidup dan motivasi yang kuat
telah menjadi energi besar bagi dirinya untuk terus berjuang melawan
keterbatasan yang dimiliki dan mampu menegaskan bahwa kekurangan secara
fisik bukan menjadi hambatan seseorang berusaha meraih cita-citanya.
Novel yang terbit pada tahun 1970 ini menjadi salah satu novel bernilai
inspiratif dan dapat memotivasi pembacanya. Sejak kemunculannya, novel
Saraswati Si Gadis dalam Sunyi mendapat tanggapan yang positif dari kalangan
pembaca. Membaca novel yang pernah memenangkan sayembara mengarang
UNESCO/IKAPI pada tahun 1968 ini membuat pembaca seolah-olah melihat
potret nyata kehidupan penyandang disabilitas yang ternyata terlupakan. Dapat
dikatakan bahwa novel SSGDS menjadi pelopor lahirnya novel-novel yang
mengangkat kisah mengenai tokoh difabel seperti Biola Tak Berdawai karya Seno
6A. A. Navis, Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,
2002), hlm. 11
5
Aji Gumira (2004), Moga Bunda disayang Allah karya Tere Liye (2006), Hati
kedua karya Achi T. M (2011) dan lain sebagainya.
Pembelajaran sastra mengenai analisis novel dapat diterapkan oleh guru
untuk membangun kreativitas peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra.
Dengan mengetahui pelajaran hidup dan motivasi yang dapat diambil dari tokoh
penyandang disabilitas pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi menjadikan
peserta didik lebih berwawasan dan berpikir kritis lewat motivasi kehidupan yang
sifatnya mendidik. Selain itu, diharapkan pandangan negatif terhadap penyandang
disabilitas dapat berubah lebih baik dan semakin banyak yang peduli dengan
penyandang disabilitas. Dengan begitu akan semakin terbuka lebar juga peluang
bagi adanya persamaan hak untuk setiap golongan masyarakat termasuk
penyandang disabilitas. Dengan demikian novel ini bukan hanya sekedar karya
sastra semata, tetapi sebagai motivasi kehidupan yang dapat dijadikan bekal dalam
menghadapi kehidupan seperti sekarang ini. Selain itu dapat dijadikan sebuah
proses pendidikan untuk meraih cita-cita demi terciptanya generasi muda yang
berkualitas.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengambil judul
Motivasi Tokoh Difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A.
A. Navis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan
beberapa masalah, sebagai berikut:
1. Penyandang disabilitas kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan
sehari-hari karena keadaan dan keterbatasan yang dimiliki.
2. Terabaikannya masalah “difabel” dalam berbagai aspek kehidupan di negara
berkembang seperti Indonesia.
3. Banyak terjadi pelanggaran terhadap hak penyandang disabilitas terutama
dalam bidang pendidikan dan pekerjaan.
6
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis
membatasi masalah hanya pada motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dan implikasinya terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia.
D. Rumusan Masalah
Agar permasalahan dalam analisis ini menjadi jelas dan terarah, perlu
adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam analisis sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur yang membangun novel Saraswati Si Gadis dalam
Sunyi karya A. A. Navis?
2. Bagaimana motivasi tokoh difabel digambarkan dalam novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis?
3. Bagaimana implikasi analisis Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A.
Navis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan analisis ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui struktur yang membangun novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A. Navis.
2. Untuk mengetahui gambaran motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati
Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
3. Untuk mengetahui implikasi analisis novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
karya A. A. Navis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis sebagai berikut:
7
1. Manfaat Teoretis
Analisis ini diharapkan dapat memperkaya penelitian sastra Indonesia dan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi
perkembangan sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Hasil analisis ini dapat digunakan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai
masukan bahan ajar apresiasi sastra dalam pengembangan materi
pembelajaran apresiasi sastra.
b. Bagi Peserta Didik
Karya sastra diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan peserta didik
tentang motivasi tokoh difabel yang terdapat dalam novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis sehingga mampu memetik pelajaran
mengenai persoalan kehidupan dan masalah kehidupan.
c. Bagi Peneliti Lain
Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi penulis
lain yang akan melakukan analisis sastra dengan permasalahan yang sejenis
dan dapat menambah wawasan kepada penikmat karya sastra tentang
motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya
A. A. Navis.
G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode deskriptif analisis.
Dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul
dengan analisis.7 Metode yang penyajiannya berupa kata-kata maupun kalimat-
kalimat dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu untuk menemukan unsur-
unsurnya yang kemudian dapat dianalisis. Dengan demikian hasil penelitian ini
berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, dan menafsirkan.
7Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 53.
8
Pada dasarnya, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus.
Pertama, pendekatan tekstual yakni yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam
karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik yang mengkaji aspek
psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh
karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya
sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologis sang penulis
ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis
sebagai pribadi maupun wakil masyarakat.8 Dalam hal ini penulis menggunakan
pendekatan objektif untuk menganalisis struktur yang membangun novel SSGDS
dan pendekatan tekstual untuk menganalisis motivasi tokoh difabel yang
tergambar dalam novel SSGDS.
Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam analisis ini meliputi sumber data dan
teknik pengumpulan data.
1. Sumber Data
Sumber data untuk analisis ini terdapat dua sumber, yaitu data primer dan
data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam analisis ini adalah novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A. Navis diterbitkan pertama kali oleh Gramedia
Pustaka Utama, tahun 2002 dengan tebal halaman 136.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan berupa data yang berhubungan
dengan analisis ini sebagai pelengkap dan penunjang seperti Undang-
Undang Dasar, buku, artikel, jurnal dari internet yang terkait dengan
permasalahan yang ingin dibahas dan beberapa penelitian yang relevan
dengan analisis ini.
8Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), hlm. 97-
98.
9
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam analisis ini dengan menggunakan teknik
kepustakaan yaitu dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah
sumber seperti buku-buku teori, referensi online, surat kabar, majalah, UUD dan
kamus untuk memperoleh data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah
dan tujuan penelitian dalam hal ini adalah analisis motivasi tokoh difabel dalam
novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
Data yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian disimak dan
dibaca dengan cermat dan teliti secara berulang-ulang untuk memperoleh
informasi yang akurat. Informasi ini berkenaan dengan seluruh isi cerita yang
berkaitan dengan gambaran motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
Kemudian, pencatatan dilakukan perbagian dalam tiap kalimat, frase hingga
ke bagian terbesar secara keseluruhan isi novel. Fokus data yang dicatat berupa
unsur intrinsik novel dan gambaran motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati
Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
3. Teknik Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari hasil teknik data diolah dan dianalisis
dengan teknik ini dalam beberapa tahap. Pertama, penulis mengkategorikan data
berdasarkan unsur intrinsik yang terkandung dalam novel. Kemudian dilakukan
analisis lebih mendalam mengenai unsur intrinsik dalam novel tersebut dengan
menggunakan pendekatan objektif. Unsur intrinsik itu berupa, tema, alur, latar,
tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
Kedua, mengkategorikan hal-hal yang berkaitan dengan teori motivasi
Abraham H. Maslow yang terdapat dalam novel. Setelah menemukan hal-hal yang
berkaitan tersebut, penulis menganalisisnya menggunakan pendekatan psikologi
sastra dengan mengkaitkan antara teori motivasi Abraham H. Maslow yang telah
diperoleh dengan kondisi psikologis tokoh difabel dalam novel.
Ketiga, penulis pengimplikasikan motivasi tokoh difabel yang terkandung
dalam novel dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester genap. Hal tersebut dapat dijadikan
10
motivasi untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan diterapkan dalam dunia
pendidikan terutama pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah,
sehingga tujuan dari analisis novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A.
Navis dapat tercapai dengan baik. Seluruh analisis ini disusun secara sistematis
dengan memberikan kutipan sebagai bentuk data sehingga memudahkan dalam
mendeskripsikan makna yang terkandung dalam novel Saraswati Si Gadis dalam
Sunyi karya A. A. Navis.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Untuk melakukan aktivitas sehari-hari, sebenarnya ada peranan motivasi di
dalamnya. Oleh sebab itu, seberapa besar motivasi yang dimiliki seorang individu
menjadi salah satu penentu dalam kemajuan hidupnya. Setiap orang memiliki cara
yang berbeda-beda untuk mendefinisikan motivasi. Namun pada intinya motivasi
adalah suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu
secara sadar maupun tidak sadar.
Mc. Donald dalam Sardiman A. M. menganggap motivasi sebagai
“perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya
“feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.”1 Selain itu,
Mc. Donald juga mengemukakan tiga elemen penting dari pengertian motivasi
yakni:
a. Motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu
manusia.
b. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang.
c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan.2
Hal tersebut dipertegas oleh James O. Whittaker dalam Wasty Soemanto
yang mengatakan bahwa motivasi adalah “kondisi-kondisi atau keadaan yang
mengaktifkan atau memberi dorongan kepada makhluk untuk bertingkah laku
mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh motivasi tersebut.”3 Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Morgan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang
sekaligus menjadi aspek dari motivasi, yaitu: “keadaan yang mendorong tingkah
laku (“motivating states”), tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut
1Sardiman A. M, Interaksi & Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm.73.
2Ibid., hlm.74.
3Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 193.
12
(“motivated behavior”), dan tujuan daripada tingkah laku tersebut (“goals or ends
of such behavior”).”4
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi akan
menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi pada diri manusia yang
berhubungan dengan gejala kejiwaan, perasaan dan emosi. Hal tersebut
dirangsang oleh faktor dari luar tetapi tumbuh dalam diri seseorang, sehingga mau
dan ingin melakukan sesuatu kegiatan/pekerjaan sesuai dengan tujuan. Tujuan
tersebut dapat tercapai jika kita memiliki motivasi. Motivasi yang ada dalam diri
setiap orang berbeda-beda. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah
mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan.
2. Ciri-ciri Motivasi
Sardiman berpendapat, seseorang dikatakan memiliki motivasi jika
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang
lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai);
b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah;
d. Lebih senang bekerja mandiri;
e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin;
f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu);
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini; dan
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. 5
3. Fungsi Motivasi
Sardiman dalam bukunya juga menjelaskan tiga fungsi motivasi, yaitu:
a. Mendorong manusia untuk berbuat, bertindak sebagai penggerak atau motor
yang melepaskan energi. Jadi, dalam hal ini motivasi merupakan motor
penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
4Ibid., hlm. 194.
5Sardiman A. M, op. cit., hlm. 83.
13
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus
dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang
harus dikerjakan untuk mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. 6
4. Sudut Pandang Humanistik dan Teori Motivasi Melalui Pendekatan
Maslow
Abraham Maslow lahir di Manhattan, New York, 1 April 1908. Maslow
menghabiskan masa kecilnya yang tidak bahagia di Brooklyn. Kehidupan
pribadinya diwarnai dengan rasa sakit baik fisik maupun psikologis. Saat remaja
ia adalah orang yang sangat pemalu, tidak bahagia, terisolasi, dan tidak menyukai
dirinya sendiri. Walaupun begitu, Maslow banyak menerima penghargaan semasa
hidupnya termasuk keikutsertaannya pada pemilihan presiden American
Psychological Association untuk masa jabatan tahun 1967-1968. Saat meninggal,
ia adalah seseorang yang terkenal bukan hanya di profesi psikologi tetapi di antara
orang-orang terpelajar pada umumnya, terutama di bidang bisnis manajemen,
marketing, teologi, konseling, pendidikan, ilmu perawatan, dan bidang lain yang
berhubungan dengan kesehatan.7
Dalam A. Supratiknya, Abraham Maslow bersikap kritis terhadap ilmu
pengetahuan. Menurutnya ilmu pengetahuan mekanik klasik seperti yang
dikemukakan behaviorisme tidak cocok untuk mempelajari seluruh kepribadian,
sehingga ia menganjurkan ilmu pengetahuan humanistik sebagai pelengkap
karena ilmu humanistik menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai,
individualitas, kesadaran, tujuan estetika, dan jangkauan yang lebih tinggi dari
kodrat manusia.8 Abraham Maslow sebagai arsitek penggerak humanistik dalam
Supratiknya mengemukakan sejumlah asumsi yang menakjubkan tentang kodrat
6Ibid., hlm. 85.
7Handriatno, Teori Kepribadian Edisi Tujuh, Terj. dari Theories of Personality 7
th Edition
oleh Jess Feist dan Gregory. J. Feist, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika, 2013), hlm. 326-330.
8A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis), Terj. dari Theories Of Personality oleh Calvin S Hall & Gardner Lindzey,
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 111.
14
manusia. Sebenarnya kodrat manusia menurut pembawaan tidaklah jahat, orang-
orang memiliki kodrat bawaan yang pada hakikatnya baik atau sekurang-
kurangnya netral.9
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang humanistik
menentang sudut pandang psikodinamika yang memandang bahwa tanpa disadari
tingkah laku manusia digerakkan oleh sesuatu yang bersifat negatif, seperti
konflik, permusuhan, kecemasan, dan pesimis. Senada dengan yang dikatakan
Freud dalam Frank. G. Goble bahwa selamanya manusia hidup dalam konflik
dengan dirinya sendiri maupun dengan masyarakat.10
Selain itu sudut pandang
humanistik juga berlawanan dengan sudut pandang behaviorisme yang
memandang bahwa lingkungan yang akan menentukan proses belajar asosiatif
atau proses belajar stimulus-respon sebagai penjelasan terpenting tentang tingkah
laku manusia.11
Handriatno mengatakan bahwa teori kepribadian Maslow dibuat
berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. Pertama, Maslow
mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi. Kedua, motivasi
biasanya kompleks atau terdiri dari beberapa hal. Ketiga, orang-orang berulang
kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan. Keempat, semua orang di mana pun
termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama. Kelima, kebutuhan-kebutuhan dapat
dibentuk menjadi sebuah hierarki. Konsep kebutuhan hierarki ini beranggapan
bahwa kebutuhan-kebutuhan di level rendah harus terpenuhi atau paling tidak
cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih
tinggi menjadi hal yang memotivasi.12
Seseorang melakukan aktivitas didorong oleh adanya faktor-faktor
kebutuhan biologis, insting, unsur-unsur kejiwaan yang lain (dalam dirinya) serta
adanya pengaruh perkembangan budaya manusia (luar dirinya). Motivasi akan
selalu berkaitan dengan kebutuhan, sebab seseorang akan terdorong melakukan
9Ibid., hlm. 109.
10
Frank. G. Goble, Mazhab Tiga (Psikologi Humanistik Abraham Maslow), (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 20.
11Ibid., hlm. 23.
12
Handriatno, op. cit., hlm. 330-331.
15
sesuatu bila merasa ada suatu kebutuhan. Seperti konsep fundamental unik dari
pendirian teoretis Maslow “manusia dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar
yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber
genetis atau naluriah.”13
Pandangan Maslow dalam Albertine Minderop yakni, manusia didorong
oleh kebutuhan-kebutuhan universal yang dibawa sejak lahir dan tersusun dari
kebutuhan yang paling rendah hingga paling kuat. Tingkah laku manusia lebih
ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan
bahagia dan memuaskan.14
Selain itu, Maslow dalam A. Supratiknya mengemukakan suatu teori
tentang motivasi manusia yang dibedakan menjadi dua kebutuhan, yakni
kebutuhan dasar dan metakebutuhan. Kebutuhan dasar meliputi lapar, kasih
sayang, rasa aman, harga diri, dan sebagainya. Sedangkan metakebutuhan
meliputi keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.15
Lebih jelasnya lagi, Maslow sebagaimana yang ditulis oleh Dimyati
membagi kebutuhan pokok menjadi lima tingkat, yaitu:
a) Kebutuhan fisiologis, berkenaan dengan kebutuhan pokok manusia seperti
pangan, sandang, dan perumahan. b) Kebutuhan akan perasaan aman, berkenaan
dengan keamanan yang bersifat fisik dan psikologis. c) Kebutuhan sosial,
berkenaan dengan perwujudan berupa diterima oleh orang lain, jati diri yang khas,
13Frank. G. Goble, op.cit., hlm. 70.
14
Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Karya Sastra Metode, Teori dan Contoh Kasus),
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 279-280.
15A. Supratiknya, op. cit.
16
berkesempatan maju, merasa diikutsertakan, dan pemilikan harga diri. d)
Kebutuhan akan penghargaan diri. e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri, berkenaan
dengan kebutuhan individu untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan
kemampuannya. 16
Dalam bukunya, Maslow sendiri menambahkan tentang teori manusia salah
satunya yakni: f) kebutuhan untuk mengetahui dan memahami. Bagi Maslow
sekalipun telah mengetahui sesuatu, kita akan terdorong untuk mengetahui secara
detail di satu pihak dan di lain pihak untuk semakin mengetahui secara lebih
meluas ke arah falsafah dunia, teologi dan lain-lain. Dengan demikian, kita akan
mendalilkan suatu keinginan untuk memahami, mengatur, mengorganisir,
menganalisa, mencari kaitan dan makna, membentuk suatu sistem nilai-nilai. Bila
keinginan itu telah dapat diterima sebagai bahan pembahasan, kita akan melihat di
mana keinginan untuk mengetahui lebih kuat dibanding dengan keinginan untuk
memahami.17
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang sangat membutuhkan motivasi baik
dari luar maupun dalam dirinya guna memenuhi suatu kebutuhan. Menurut
pemaparan di atas ada enam kebutuhan dasar manusia yakni fisiologis, rasa aman,
kasih sayang, harga diri, hasrat untuk mengetahui dan memahami, dan aktualisasi
diri. Seseorang akan terdorong melakukan sesuatu bila merasa ada suatu
kebutuhan. Oleh karena itu, teori kebutuhan tersebut diharapkan dapat membantu
mengungkapkan motivasi dari tingkah laku dan sikap tokoh utama dalam
memenuhi kebutuhan tersebut seperti pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
karya A. A. Navis.
B. Hakikat Disabilitas
1. Pengertian Disabilitas
Penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa negatif dan terkesan
diskriminatif telah diperhalus dengan istilah disabilitas pada tahun 1997.
16Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet. 4,
hlm. 81-82.
17Nurul Imam, Motivasi dan Kepribadian, Terj. dari Motivation and Personality oleh
Abraham H. Maslow, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1993), Cet. 4, hlm. 62.
17
Penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus karena tergolong cacat atau
menyandang ketunaan dan juga mereka yang memiliki bakat istimewa atau anak
potensial.
Lewis dalam Tri Wibowo B. S mengungkapkan bahwa dahulu istilah
“ketidakmampuan” (disability) dan “cacat” (handicap) dapat dipakai bersama-
sama, namun sekarang kedua istilah itu dibedakan. Disability adalah keterbatasan
fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Sedangkan handicap adalah
kondisi yang terjadi pada seseorang sehingga menderita ketidakmampuan.
Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap
orang itu sendiri.18
Mengutip pendapat Union of the Physically Impaired Against Segregasi
(UPIAS/Persatuan Penyandang Cacat Melawan Segregasi) dalam Siti Napsiyah,
kecacatan adalah “sesuatu yang diletakan pada kekurangsempurnaan tubuh kami
dengan cara mengisolasi dan mengeluarkan kita dari proses partisipasi dalam
kehidupan masyarakat secara penuh.”19
Sedangkan disabilitas adalah “terbatasnya
aktivitas yang disebabkan oleh organisasi sosial kontemporer (kekuasaan) yang
tidak mempertimbangkan mereka yang memiliki kekurangan secara fisik dan
dengan demikian menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas
sosial.”20
Pendapat lain dikemukakan oleh Disabled People’s International (DPI)
bahwa kekurangan fisik atau (impairment) adalah “keterbatasan fungsional pada
seorang individu yang disebabkan oleh kekurangan fisik, mental dan sensorik.”
Sedangkan, disabilitas adalah “hilangnya kesempatan untuk mengambil bagian
dalam kehidupan normal di dalam masyarakat dengan tingkatan yang sama
dengan yang lain dikarenakan halangan fisik dan sosial.”21
18Tri Wibowo B. S, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Terj. dari Educational Psychology
2nd
Edition oleh John W. Santrock, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm. 220.
19Siti Napsiyah, dkk., Disabilitas (Sebuah Pengantar), Terj. dari Disability oleh Colin
Barnes dan Geof Mercer, (Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2007), Cet. 1, hlm. 17.
20Ibid., hlm. 18.
21
Ibid., hlm. 105.
18
Sedangkan definisi penyandang disabilitas menurut Undang-undang RI
Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas adalah “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b) penyandang cacat mental; dan c)
penyandang cacat fisik dan mental.”22
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa disabilitas
merupakan bentuk ketidaksempurnaan dalam bentuk fisik, metal, dan sensorik
yang menyebabkan terhambatnya kemampuan seseorang dalam aktivitas sosial.
Tidak hanya itu, bahkan penyandang disabilitas kerap mendapat perlakuan
berbeda di lingkungan masyarakat karena kondisi keterbatasannya yang berbeda
dengan orang-orang normal pada umumnya.
2. Hak dan Kewajiban Penyandang Disabilitas
Mengutip Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang
disabilitas, setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh:
“a) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; c) perlakuan yang sama
untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; d)
aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; e) rehabilitasi, bantuan sosial,
dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan f) hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.” 23
Kebijakan baru yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, tertuang
dalam UU nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of
Persons With Disabilities atau Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, yang menjelaskan:
“setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari
eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak
22Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1, Tentang Penyandang
Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 1.
23Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6, Tentang Penyandang
Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 2-3.
19
untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya
berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk
mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian,
serta dalam keadaan darurat.”24
Selain mempunyai hak, penyandang disabilitas juga mempunyai kewajiban
yang diatur dalam Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang
disabilitas, yakni:
a. setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
b. kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan
dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.25
3. Penggambaran Penyandang Disabilitas
a. Disabilitas sebagai bentuk penindasan sosial
Iris Marison Young dalam Siti Napsiyah membedakan lima aspek utama
penindasan: eksploitasi, marginalisasi, pelemahan, imperialisme kultur, dan
kekerasan. Marginalisasi mengacu kepada upaya-upaya untuk menghilangkan
sebuah kelompok sosial dari mayoritas kehidupan sosial sehari-hari secara
sistematis. Kebijakan-kebijakan sosial dengan cara memberikan bantuan,
kesejahteraan, dan pelayanan bisa diambil untuk menghindari marginalisasi yang
terjadi pada penyandang cacat, tetapi solusi seperti ini bisa menimbulkan
ketergantungan sosial dan ekonomi.
Imperialisme kultural merupakan aspek penindasan sosial yang lebih
dalam pada abad sekarang ini, penandaan antara masyarakat normal dan
penyandang cacat telah sangat mapan secara kultural. Penyandang cacat
dipisahkan, dilihat sebagai sosok yang menyimpang dari yang normal.
Hal yang tampak dari kekerasan dan pelecahan sebagai bentuk penindasan
terhadap penyandang cacat bahwa kekerasan ini terjadi secara sistematis dan luas.
Tidak melihat apakah kekerasan tersebut terjadi secara fisik atau mental misalnya
24Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011, Tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-
hak Penyandang Disabilitas), (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 2011), hlm. 35.
25Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 7, Tentang Penyandang
Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 3.
20
pelecehan seksual, baik berada dalam kebijakan atau ejekan-ejekan verbal,
kekerasan tersebut muncul karena korban berasal dari kategori kelompok sosial
tertentu yaitu penyandang cacat. 26
b. Disabilitas di masyarakat dunia
Disabilitas menjadi fokus perhatian pada beberapa dekade belakangan ini
dengan meningkatnya aktivisme politik oleh masyarakat dan organisasi mereka
pada level internasional dan meningkatnya perdebatan mengenai pertumbuhan
program pelayanan alternatif yang kebanyakan berkaitan dengan rehabilitasi
berbasis kemasyarakatan. Mengutip pendapat Miles dalam Siti Napsiyah, “pada
awalnya para advokat model sosial mendefinisikan disabilitas sebagai isu
biomedika dan terkonsentrasi pada ketidakmampuan sebagai fenomena-fenomena
sosial, ekonomi, politik, dan budaya.”27
Lebih lanjut Ingstad dan Whyte mengatakan dalam budaya Cina pikiran hati
dan tubuh dipandang suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Dari perspektif penyakit dan disabilitas ini dipahami sebagai tanda atau produk
ketidakseimbangan dalam suatu realisme konstituen dari sistem totalitas fisik dan
pikiran. Hal ini memiliki implikasi penting dan spesifik untuk cara-cara dimana
masyarakat dengan ketidakberdayaannya dipersepsikan dan diperlakukan oleh
anggota keluarga dan masyarakat di Cina.28
New Internationalis tahun 1992 mengutarakan bahwa kemiskinan,
kekurangan kesehatan dan perhatian pada infrastruktur sosial tidak hanya menjadi
salah satu faktor penyebab timbulnya disabilitas di sebagian besar masyarakat
dunia. Kebanyakan penyebab disabilitas menyebar ke praktik budaya tertentu
(seperti program keluarga berencana atau meniadakan kelahiran bagi wanita),
bencana alam (gempa bumi, banjir), korban pembangunan ekonomi (akibat
industrialisasi dan populasi). Salah satu contoh bersumber dari UNESCO tahun
26Siti Napsiyah, dkk., op.cit., hlm. 30-34.
27
Ibid., hlm. 206.
28Ibid., hlm. 207.
21
1995 di Kamboja, diperkirakan 100.000 orang cacat fisik sebagai akibat langsung
dari peperangan yang menggunakan ranjau.29
Sementara itu Siti Napsiyah berpendapat, bagi keluarga miskin dan
individu-individu yang tidak mampu memberikan makanan yang cukup,
kehadiran anak-anak yang tidak berdaya mempunyai efek yang sangat mengerikan
seperti ditemukannya laporan dari masyarakat di Asia dan Afrika tentang
terjadinya pembunuhan janin karena ketidakberdayaan yang dianggap sebagai
suatu gambaran universal tradisi masyarakat.30
Oleh karenanya, penyandang
disabilitas memerlukan proses pemberdayaan.
c. Pemberdayaan penyandang disabilitas melalui program keterampilan
menjahit
Penyandang disabilitas perlu mendapat perhatian yang serius dan dapat
didayagunakan selayaknya manusia pada umumnya agar mempunyai kemampuan
dalam menjalani kehidupannya. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan
kesejahteraan penyandang disabilitas dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan,
salah satunya menjahit.
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Amirah Mukminina, adanya
program keterampilan menjahit yang diterapkan oleh Yayasan Wisma Cheshire
dalam memberdayakan penyandang disabilitas, tampak mulai adanya perubahan.
Yang awalnya mereka sama sekali belum bisa menjahit, setelah mengikuti
keterampilan menjahit di yayasan mereka sudah bisa menjahit dengan tangan,
menggunakan mesin dan mengenal macam-macam peralatan menjahit.
Mereka sudah bisa membuat produk hasil karya mereka sendiri. Bukan
hanya pengetahuan yang didapat, melainkan penghasilan karena semua hasil
kerajinan dijual di toko yayasan dan mereka mendapat upah pembuatan barang
yang dihitung dari jumlah produk yang dijahit.31
29Organisasi Perburuhan Internasional, “Fakta Tentang Penyandang Disabilitas dan Pekerja
Anak”, Jurnal Sosial, 2011, hlm. 216-217.
30Ibid., hlm. 210.
31
Amirah Mukminina, “Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Melalui Program
Keterampilan Menjahit di Yayasan Wisma Cheshire Jakarta Selatan”, Skripsi pada Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2013, hlm. 77-78, tidak dipublikasikan.
22
d. Dampak rendahnya pendidikan pada penyandang disabilitas
Semua anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dasar.
Namun, UNESCO dalam artikel Organisasi Perburuhan Internasional
memperkirakan bahwa sepertiga dari 75 juta anak di seluruh dunia yang tidak
bersekolah adalah penyandang disabilitas. Kemungkinan seorang anak usia 6-11
tahun dengan disabilitas untuk bersekolah hanyalah setengah dari anak tanpa
disabilitas. Di Indonesia, meskipun pemerintah sudah mengupayakan pendidikan
yang inklusif, tingkat partisipasi sekolah dasar dari anak-anak penyandang
disabilitas masih sekitar 60% lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak tanpa
disabilitas.32
Kajian cepat yang dilakukan oleh ILO-East di Indonesia menunjukkan
bahwa dalam kasus anak-anak penyandang disabilitas, keprihatinan orang tua
untuk melindungi anaknya menjadi peran penting dalam keputusan untuk tidak
mempekerjakan mereka. Akan tetapi bukti dari penelitian lain mengarah pada
simpulan yang berbeda, sebuah working paper dari ILO-IPEC mengambil
perspektif lebih global, mengatakan bahwa disabilitas bisa menjadi faktor
pendorong bagi anak untuk masuk menjadi pekerja anak.33
Ketika tekanan
ekonomi meningkat dan tingkat pendidikan rendah, maka hidup dengan disabilitas
dapat mengakibatkan anak jauh lebih rentan terhadap eksploitasi seperti yang
terjadi di Indonesia, salah satu contohnya menjadi pengemis.
C. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Mengutip pendapat dari Burhan Nurgiantoro, novel berasal dari bahasa
Italia yaitu novellai yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil”
dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa.”34
Novel
merupakan salah satu bagian dari prosa yang mudah diterima masyarakat. Salah
32Organisasi Perburuhan Internasional, op.cit., hlm. 4.
33
Ibid., hlm. 5.
34Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013), hlm. 9.
23
satu alasannya karena novel menceritakan peristiwa-peristiwa kehidupan yang
biasanya dialami oleh pembaca dalam keseharian.
Wijaya Heru Santosa menyebutkan bahwa istilah novel tercakup roman,
karena sebelum Perang Dunia II di Indonesia istilah roman lebih dulu dipakai
daripada novel. Digunakannya istilah roman pada waktu itu dinilai wajar karena
sastrawan Indonesia umumnya berorientasi ke negeri Belanda. Setelah
kemerdekaan barulah sastrawan Indonesia beralih ke bacaan-bacaan berbahasa
Inggris dan istilah novel dikenal.35
Definisi novel menurut Wahyudi Siswanto adalah “bentuk prosa rekaan
yang lebih pendek dari roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa
tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun
demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema,
plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.”36
Sementara itu R. J Rees dalam
Furqonul Aziez mengatakan bahwa novel adalah “sebuah cerita fiksi dalam
bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan
cerminan kehidupan nyata dan digambarkan dalam suatu plot yang cukup
kompleks.”37
Pendapat lain diutarakan oleh H. B Jassin dalam Suroto mengenai
pengertian novel yakni “suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang
menceritakan suatu kejadian luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita),
luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian,
pemusatan, kehidupan dalam satu saat, dalam satu krisis yang menentukan.”38
Definisi tersebut berbeda dengan pendapat Virginia Wolf dalam Henry Guntur
Tarigan, “sebuah roman atau novel ialah sebuah eksplorasi atau suatu kronik
35Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta:
Yuma Pustaka, 2010), hlm. 47.
36Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141.
37
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar), (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1
38Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA, (Jakarta:
Erlangga, 1989), hlm. 19.
24
penghidupan, merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh,
ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.”39
Pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis di dalamnya
mengandung kehidupan sehari-hari dengan berbagai permasalahan yang dihadapi
oleh tiap tokohnya. Dengan gaya bahasa yang sesuai untuk menghadirkan
berbagai karakter dan penggambaran latar serta situasi yang bertujuan untuk
menyampaikan informasi atau pesan pada pembaca.
2. Unsur Intrinsik Novel
Karya sastra bentuk prosa pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur
intrinsik, unsur tersebut terdiri dari:
a. Tema
Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa tema adalah “ide
yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang
dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.”40
Sedangkan Hayati dan
Winarno Adiwardoyo menganggap tema sebagai “gagasan sentral pengarang yang
mendasari penyusunan suatu cerita dan sekaligus menjadi sasaran dari cerita
itu.”41
Mengutip pendapat Suroto, “bila seorang pengarang mengemukakan hasil
karyanya, tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya.
Sesuatu yang menjadi pokok persoalan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya
itulah yang disebut tema.”42
Hampir semua gagasan yang ada di kehidupan ini
bisa dijadikan tema, biasanya tema tentang perjuangan hidup, nilai-nilai
kehidupan, masalah sosial, budaya, karakter dalam kehidupan dan lain
sebagainya.
Kita dapat menemukan tema setelah membaca dan menafsirkan melalui
jalan cerita yang tergambar dalam sebuah karya sastra. Seperti yang dikemukakan
oleh Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto, bahwa seorang pengarang dapat
39Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), hlm.
167.
40Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 161.
41
Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra Penunjang Pengajaran
Bahasa Sastra Indonesia, (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), hlm. 13.
42Suroto, op.cit., hlm. 88.
25
memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses
kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila telah
selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut,
menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkannya
dengan tujuan penciptaan pengarang.43
Gagasan pokok yang terkandung pada novel Saraswati Si Gadis dalam
Sunyi karya A. A. Navis ditafsirkan melalui jalan cerita yang tergambar dalam
novel. Melalui novel ini A. A. Navis hendak menyampaikan pemikirannya kepada
pembaca tentang perjuangan tokoh difabel untuk mengaktualisasikan diri. Hal
tersebut menjadi tema besar dalam novel SSGdS yang tersusun dalam alur cerita
secara progresif.
b. Alur atau plot
Wahyudi Siswanto mengutip pendapat Abrams tentang pengertian alur
yakni “rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahapan peristiwa sehingga
menjadi sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita,”44
dengan demikian alur merupakan suatu urutan peristiwa yang terangkai menjadi
satu kesatuan sehingga menghasilkan suatu cerita yang utuh.
Selain itu, Suroto berpendapat bahwa alur atau plot ialah “jalan cerita
berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut
hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita.”45
Hayati dan Winarno
Adiwardoyo mengatakan “peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita tidak hanya
berupa tindakan-tindakan fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik. Tindakan fisik
misalnya: ucapan, gerak-gerik; sedangkan tindakan non-fisik misalnya: sikap,
kepribadian, cara berpikir.”46
Tahap plot yang dikemukakan oleh Tasrif dalam Burhan Nurgiantoro dibagi
menjadi lima tahapan yakni: 1) Tahap penyituasian, berisi pengenalan situasi latar
dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini menjadi tahap pembuka pemberian informasi
awal yang melandasi cerita berikutnya. 2) Tahap pemunculan konflik. Pada tahap
43Wahyudi siswanto, loc.cit.
44
Ibid, hlm. 159.
45Suroto, op.cit., hlm. 89.
46
Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op.cit., hlm. 10.
26
ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang memicu timbulnya konflik
mulai dimunculkan. Konflik tersebut nantinya akan berkembang pada tahap
berikutnya. 3) Tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini konflik yang
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa-peristiwa
dramatik yang menjadi inti cerita pun semakin mencekam dan menegangkan. 4)
Tahap klimaks. Konflik atau pertentangan yang terjadi baik yang dilakukan atau
dialami para tokoh cerita mencapai titik puncak. Biasanya klimaks tersebut akan
dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya
konflik utama. 5) Tahap penyelesaian. Konflik yang telah mencapai klimaks
kemudian diberi jalan keluar hingga cerita berakhir.47
Tahapan alur di atas digunakan dalam menganalisis novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Jika dilihat dari tataran cerita, alur novel
SSGdS terjadi secara kronologis sesuai dengan logika cerita dan waktu terjadinya
peristiwa. Di mulai dari memperkenalkan kesunyian yang dialami tokoh utama
dengan berbagai konflik yang harus dijalani hingga akhirnya mampu
mengaktualisasikan diri.
c. Tokoh dan penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang pasti ada. Tokoh sangat
penting dalam cerita, karena tokoh merupakan unsur yang membawakan cerita
dari awal hingga akhir. Menurut Aminudin dalam Wahyudi Siswanto yang
disebut sebagai tokoh adalah pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
terjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang dalam menampilkan tokoh disebut
sebagai penokohan.48
Perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita menurut Hayati dan Winarno
Adiwardoyo merupakan pemberian sifat, baik lahir maupun batin pada seorang
tokoh yang terdapat pada cerita. Sifat-sifat yang diberikan pada tokoh cerita akan
tercermin pada pikiran dan perbuatannya. Watak inilah yang membedakan tokoh
satu dengan tokoh lain.49
47Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 209-210.
48
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 142.
49Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op.cit., hlm. 11.
27
Ada beberapa cara menurut Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto untuk
memahami watak tokoh yakni melalui:
“1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya; 2) gambaran yang
diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun
cara berpakaian; 3) menunjukkan bagaimana perilakunya; 4) melihat
bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; 5) memahami
bagaimana jalan pikirannya; 6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara
tentangnya; 7) melihat tokoh lain berbicara dengannya; 8) melihat
bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya; dan 9)
melihat bagaimana tokoh itu dalam reaksi tokoh yang lain.” 50
Menurut Burhan Nurgiantoro, tokoh-tokoh dalam cerita dapat dibedakan
dalam beberapa kategori menurut sudut pandang dan tinjauan tertentu: 1) tokoh
utama (tokoh yang tergolong penting dan mendominasi sebagian besar cerita) dan
tokoh tambahan (tokoh yang hanya sekali atau beberapa kali dimunculkan dan
mendapat porsi penceritaan yang relatif pendek); 2) tokoh protagonis (tokoh yang
mengalami konflik) dan antagonis (tokoh yang menjadi penyebab terjadinya
konflik); 3) tokoh sederhana (tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
atau watak tertentu) dan tokoh bulat (tokoh yang memiliki berbagai sisi
kehidupan, kepribadian dan jati diri); 4) tokoh statis (tokoh yang tidak mengalami
perubahan watak sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi) dan berkembang
(tokoh yang mengalami perubahan watak sejalan dengan tuntutan peristiwa secara
keseluruhan; dan 5) tokoh tipikal (tokoh yang diciptakan berdasarkan persepsi
tokoh di dunia nyata) dan netral (tokoh imaji yang hanya hidup dalam cerita).51
Tokoh merupakan unsur yang membawakan cerita, baik yang dipengaruhi
oleh tokoh lain maupun dengan lingkungan. Ada banyak tokoh yang terdapat
dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis, namun dalam
analisis ini akan diuraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan menguasai
isi cerita seperti Saraswati sebagai tokoh utama sekaligus narator, sedangkan
Busra, Angah, Bisri, laki-laki tua bisu, Uni Ros (guru menjahit dan menyulam),
dan Guru Andika sebagai tokoh tambahan.
50Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 145.
51
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 258-278.
28
d. Latar
Latar biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi untuk
melengkapi cerita baik tentang lingkungan, waktu, dan tata cara kehidupan para
tokoh dalam menjalankan perannya di masyarakat seperti yang dikemukakan oleh
Burhan Nurgiantoro yang membagi unsur latar menjadi tiga bagian yakni:
1) latar tempat, menunjukan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan; 2) latar
waktu, berhubungan dengan “kapan” terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan;
dan 3) latar sosial-budaya, berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.52
Mengutip apa yang dikatakan Leo Hamalian dan Federick R. Karell dalam
Aminuddin, dan lebih lanjut Wahyudi Siswanto menjelaskan bahwa “latar cerita
dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta
benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang
berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu
masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu.” Kemudian Kenney
menambahkan dalam Sudjiman bahwa cakupan latar cerita dalam cerita fiksi
meliputi “penggambaran lokasi geografis, pemandangan, princian perlengkapan
sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu
berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun,
lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh.”53
Suroto menjelaskan bahwa latar berfungsi sebagai pendukung alur dan
perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa
yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang
harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang
akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung atau
melalui bacaan-bacaan serta informasi dari orang lain.54
Latar akan memberikan
warna tersendiri pada sebuah cerita. Pembaca akan mempunyai persepsi tersendiri
tentang peristiwa yang tergambar melalui latar yang disuguhkan.
52Ibid, hlm. 314-322.
53
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 149.
54Suroto, op.cit., hlm. 94.
29
Latar menjadi landasan berlangsungnya berbagai peristiwa yang diceritakan
cerita fiksi. Latar dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis
tidak lepas dari tempat, waktu, dan sosial budaya yang terjadi dalam cerita. Latar
dalam novel ini sekitar tahun 1958 saat peristiwa PRRI yang memberi dampak
besar bagi watak dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Dengan begitu
latar dapat berfungsi untuk memperkuat keyakinan pembaca terhadap perjuangan
tokoh utama (difabel) dalam memperoleh aktualisasi diri.
e. Sudut pandang
Suroto berpendapat mengenai pengertian sudut pandang yakni, “kedudukan
atau posisi pengarang dalam cerita tersebut.”55
Mengutip pendapat Hayati dan
Winarno Adiwardoto mengenai sudut pandang, “posisi pengarang dalam suatu
cerita atau cara pengarang memandang suatu cerita.”56
Pengertian dari kedua
tokoh tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda, yakni sudut pandang dalam karya
fiksi adalah tempat suatu pengarang memposisikan dirinya dalam cerita mengenai
tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gaya bahasanya.
Dalam bukunya, Burhan Nurgiantoro membedakan sudut pandang
berdasarkan pembedaan yang sudah umum diketahui orang yakni:
1) Sudut pandang persona ketiga “Dia”
Dalam sudut pandang ini narator berada di luar cerita dan menggunakan
kata pengganti (ia, dia, mereka) untuk menampilkan tokoh-tokohnya. Sudut
pandang “dia” dibedakan lagi berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yakni mahatau (narator
bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”;
dan pengamat (sama dengan “mahatau” hanya saja narator terbatas pada
satu tokoh saja).
2) Sudut pandang persona pertama “Aku”
Dalam sudut pandang ini narator ikut terlibat dalam cerita sebagai tokoh
kisah yang menceritakan seluruh peristiwa yang dialami. Berdasarkan peran
dan kedudukannya dalam cerita, sudut pandang “aku” dibedakan menjadi
55Suroto, op. cit., hlm. 96.
56
Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op. cit., hlm. 12.
30
dua golongan, yakni “aku” menduduki peran utama dan “aku menduduki
peran tambahan.
3) Sudut pandang persona kedua “Kau”
Dalam teknik sudut pandang ini biasanya dipakai untuk
“mengoranglainkan” diri sendiri sebagai orang lain. Hal tersebut digunakan
sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia.
4) Sudut pandang campuran
Dalam sudut pandang ini pengarang dapat berganti teknik, dari teknik satu
ke teknik yang lain dalam sebuah cerita yang ditulisnya tergantung kemauan
dan kreativitas yang dimiliki. Penggunaan sudut pandang ini dapat berupa
sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatau dan “dia”
sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh
utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi. Selain itu, berupa campuran
antara persona pertama dan ketiga bahkan kadang diselingi persona kedua
sekaligus 57
Pemilihan sudut pandang yang tepat akan membuat cerita menjadi lebih
kuat dalam segi penyampaian dan keterikatan, sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai. Dalam novel SSGdS pengarang menggunakan sudut pandang
orang pertama sebagai pelaku utama untuk menggambarkan perjuangan tokoh
utama (difabel) untuk memperoleh aktualisasi diri.
f. Gaya bahasa
Pusat perhatian dalam masalah penggunaan bahasa untuk mengungkapkan
ide atau tema pada karya sastra adalah kecocokan bahasa yang digunakan dengan
persoalan yang diangkat. Dalam hal ini Hayati dan Winarno Adiwardoyo
berpendapat gaya bahasa dapat dijadikan sebagai media ekspresi pikiran dan
perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik.58
Gaya penceritaan menurut Wahyudi Siswanto mencakup teknik penulisan
dan teknik penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh
57Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 347-362.
58
Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op.cit., hlm. 2.
31
pengarang untuk menulis karya sastranya. Sedangkan teknik penceritaan adalah
cara yang digunakan oleh pengarang dalam menyajikan karya sastranya.59
Penggunaan gaya bahasa yang menarik akan membuat pembaca tertarik
menyelesaikan cerita hingga akhir. Hal ini yang dilakukan A. A. Navis dalam
novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi dengan banyak menggunakan gaya bahasa
untuk mempertegas perjuangan tokoh difabel dalam memperoleh aktualisasi diri.
g. Amanat
Mengutip pendapat Wahyudi Siswanto bahwa amanat dianggap sebagai
“gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini
biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.”60
Dalam karya sastra, pengarang selalu memberikan suatu pesan yang dapat diambil
oleh pembacanya baik tersirat ataupun tersurat. Pesan atau amanat yang tersirat,
memaksa pembaca mencari sendiri di dalam teks dengan mencermati tokoh-tokoh
yang ada di dalam cerita dan memahami secara keseluruhan maksud dari cerita
yang disajikan.
Melalui novel SSGdS, A. A. Navis ingin memberikan gambaran realita
penyandang disabilitas yang selama ini terlupakan. Namun, pencapaian Saraswati
akan kebutuhan aktualisasi diri menjadi ajang pembuktian bahwa keterbatasan
bukanlah halangan untuk hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain,
sehingga pembaca akan memiliki motivasi, jiwa optimis dan kepercayaan diri
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal.
3. Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik menurut Burhan Nurgiantoro adalah “unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra yang tidak secara langsung ikut terlibat membangun
atau mempengaruhi sistim organisme karya sastra.”61
Lebih lengkapnya Suroto
menambahkan yang dimaksud dengan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada
di luar karya sastra, biasanya ikut mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra.
Unsur-unsur tersebut terdiri dari latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan
59Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 162.
60
Ibid.
61Burhan Nurgiantoro, op.cit., hlm. 23.
32
dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik,
persoalan sejarah, ekonomi, pengerahuan agama dan lain sebagainya.
Tiap bentuk karya sastra memiliki unsur ekstrinsik yang berbeda, mencakup
berbagai aspek kehidupan sosial yang tampak menjadi latar belakang
penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu
mempelajari semua aspek kehidupan manusia. Jika pengarang kurang mengetahui
kehidupan manusia dan segala keunikan yang dimiliki, maka sebuah karya yang
dihasilkan akan terasa hambar bahkan janggal.62
D. Pendekatan Psikologi Sastra
Psikologi dalam istilah lama disebut ilmu jiwa, menurut Muhibbinsyah
“psikologi berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology
merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: 1)
psyche yang memang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah
psikologi memang berarti ilmu jiwa.”63
Pendapat lain dikemukakan oleh M.
Purwanto yang menganggap psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia, yang dimaksud dengan tingkah laku di sini ialah segala kegiatan,
tindakan, perbuatan manusia baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan,
yang disadari maupun yang tidak disadari. Termasuk di dalamnya cara berbicara,
berjalan, berfikir/mengambil keputusan, cara ia melakukan sesuatu, cara bereaksi
terhadap segala sesuatu yang datang dari luar dirinya maupun dari dalam
dirinya.64
Sedangkan bagi Albertine Minderop, sastra dianggap sebagai “karya tulis
yang memberikan hiburan dan disampaikan dengan bahasa yang unik, indah dan
artistik serta mengandung nilai-nilai kehidupan dan ajaran moral sehingga mampu
menggugah pengalaman, kesadaran moral, spiritual dan emosional pembaca.”65
Sastra lahir sebagai hasil ungkapan jiwa pengarang berdasarkan ide, gagasan,
62Suroto. op.cit., hlm. 138.
63
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), hlm. 7.
64M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm. 1.
65Albertine Minderop, op. cit., hlm. 76.
33
peristiwa, realita kehidupan masyarakat serta nilai-nilai yang diamanatkan lewat
tokoh-tokoh cerita melalui media bahasa. Dalam kajian sastra yang menggunakan
pendekatan psikologi sastra inilah, hubungan antara sastra dan psikologi terjadi.
Perkembangan kajian sastra yang bersifat interdisipliner telah
mempertemukan ilmu sastra dengan ilmu lainnya, salah satunya psikologi.
Pertemuan tersebut melahirkan pendekatan dalam kajian sastra yakni psikologi
sastra. Jadi, psikologi sastra adalah sebuah interdisipliner antara psikologi dan
sastra. Mempelajari psikologi sastra sama halnya dengan mempelajari tingkah
laku manusia dari sebuah karya sastra.
Seperti yang dikemukakan oleh Suwardi Endraswara, bahwa psikologi
sastra adalah “kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan.”66
Karena tujuan dari psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung dalam suatu karya sastra. Dalam kajian psikologi sastra berusaha
mengungkapkan sistem kepribadian meliputi tiga unsur kejiwaan yang saling
berkaitan, yaitu id, ego, dan super ego.
Roekhan berpendapat bahwa pada dasarnya psikologi sastra akan ditopang
oleh tiga pendekatan sekaligus:
Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh
dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang
mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang
terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi
pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif,
yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses
kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi
maupun wakil masyarakatnya.67
Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan
potret kejiwaan yang ia miliki. Dalam sebuah karya sastra terkandung fenomena-
fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya yang secara sadar
atau tidak sadar diciptakan oleh pengarang dengan menggunakan teori psikologi,
sehingga karya sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi.
66Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), hlm.96.
67
Ibid, hlm.97-98.
34
Langkah yang dilakukan oleh peneliti psikologi sastra dengan sasaran
psikologi tokoh, yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian
keseluruhan baik berupa unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Namun, tekanan pada
unsur intrinsik yaitu tentang penokohan dan perwatakannya. Kedua, masalah tema
suatu karya. Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur
cerita.68
Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman
sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti: “pertama, pentingnya psikologi
sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan. Kedua, dengan
pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada peneliti tentang masalah
perwatakan yang dikembangkan. Ketiga, penelitian semacam ini sangat
membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah
psikologis.”69
E. Pembelajaran Sastra Indonesia
Mengutip pendapat Dimyati dan Mudjiono bahwa pembelajaran dianggap
sebagai “proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa
dalam memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap.”70
Guru bukan hanya berperan sebagai pengajar yang mentransfer ilmu sesuai
dengan bidang yang ia kuasai, tetapi juga sebagai pendidik karakter anak bangsa.
Ia harus menciptakan suasana kelas yang memungkinkan terjadinya interaksi
belajar mengajar sehingga dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan
menyenangkan.
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupannya selalu berhubungan
dengan orang lain. Mereka saling berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang
di sekitarnya maupun yang jauh sekalipun. Bahasa merupakan alat komunikasi
yang paling penting bagi manusia karena dengan bahasa, manusia dapat
mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran, gagasan atau perasaannya. Selain
68Ibid., hlm. 104.
69
Ibid., hlm. 12.
70Dimyati dan Mudjiono, op.cit., hlm. 157.
35
itu, bahasa juga digunakan sebagai alat penyampaian pesan dari seseorang kepada
orang lain baik secara lisan maupun tulisan
Dalam dunia pendidikan para pengajar terus berupaya meningkatkan
keberhasilan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Basennang
Saliwangi, pengajaran berbahasa berupaya untuk melatih siswa menemukan
konsep-konsep yang berkaitan dengan semantik, pemahaman arti kata, kalimat, isi
paragraf, dan isi secara keseluruhan, juga prinsip tentang bahasa yang
digunakan.71
Sedangkan menurut Wahyudi Siswanto, melalui pengajaran sastra
siswa diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati
karya sastra secara langsung.72
Mengutip pendapat Henry Guntur Tarigan, dalam kurikulum di sekolah
keterampilan berbahasa (atau language arts, language skills) biasanya mencakup
empat aspek, yaitu: “(1) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (2)
keterampilan berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading
skills) dan keterampilan menulis (writing skills).”73
Dalam pembelajaran sastra
menurut Wahyudi Siswanto keempat keterampilan tersebut meliputi: (1)
keterampilan mendengar meliputi: mendengar, memahami, mengapresiasi ragam
karya sastra baik asli, saduran atau terjemahan sesuai kemampuan siswa. (2)
keterampilan berbicara meliputi: membahas dan mendiskusikan ragam karya
sastra sesuai dengan isi konteks lingkungan dan budaya. (3) keterampilan
membaca meliputi: membaca dan memahami ragam karya sastra, serta mampu
melakukan apresiasi secara tepat. (4) keterampilan menulis meliputi:
mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang
kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang
telah dibaca.74
Keempat aspek tersebut terdapat dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
71Basennang Saliwangi, Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia, (Malang:
IKIP, 1989), hlm. 23.
72Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 168.
73
Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 2008), hlm. 1.
74Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 171.
36
Dalam kurikulum KTSP, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki
silabus yang di dalamnya terdapat Standar Kompetensi (SK) yang harus penuhi
oleh siswa. Hal yang terkait dengan sastra dalam SK pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP) kelas VIII semester genap salah satunya adalah memahami buku
novel remaja (asli atau terjemahan), terdapat Kompetensi Dasar (KD) yang harus
dimiliki oleh siswa yakni menjelaskan alur cerita, pelaku dan latar novel (asli atau
terjemahan). Selain itu terdapat indikator yang harus dicapai siswa yakni (1)
mampu menentukan alur cerita, karakter tokoh dan latar novel dengan bukti yang
meyakinkan; dan (2) menganalisis keterkaitan antar unsur intrinsik dalam novel.
Guru bahasa dan sastra Indonesia dituntut untuk kreatif menggunakan berbagai
strategi, metode, dan bahan ajar dalam menyampaikan materi pelajaran.
Strategi menurut Abdul Majid ialah suatu rencana tindakan yang termasuk
metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam pembelajaran.75
Semua ini
harus diupayakan dengan baik agar siswa menguasai materi tersebut dan tujuan
pembelajaran dapat tercapai. Jenis-jenis strategi pembelajaran: 1) strategi
pembelajaran langsung; 2) strategi pembelajaran tidak langsung; 3) strategi
pembelajaran interaktif; 4) strategi pembelajaran melalui pengalaman; dan 5)
strategi pembelajaran mandiri.76
Masih dari sumber yang sama, metode pembelajaran adalah cara yang
digunakan untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun
dalam kegiatan nyata agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara optimal.
Metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi
pembelajaran menurut Depdiknas (PMPTK, 2008): 1) metode ceramah; 2) metode
demonstrasi; 3) metode diskusi; 4) metode simulasi; 5) metode tugas dan resitasi;
6) metode tanya jawab; 7) metode kerja kelompok; 8) metode problem solving; 9)
metode sistem regu; 10) metode latihan; 11) metode karyawisata; 12) ekspositori;
13) inkuiri; dan 14) pembelajaran kontekstual (CTL).77
M. Atar Semi berpendapat bahwa pengajaran sastra di sekolah menengah
pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra
75Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 8.
76
Ibid., hlm. 11-12.
77 Ibid., hlm. 193-230.
37
sehingga dapat terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan demikian,
diharapkan siswa memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan
sebagai suatu respon sastra, mengenal nilai-nilai dan mendapat ide-ide baru. 78
Karya sastra lahir dari penggabungan antara fakta dan imajinasi dengan bahasa
sebagai medianya, sehingga diharapkan siswa mempunyai bekal untuk merespon
kehidupan ini dengan imajinatif.
Manfaat membaca dan mempelajari sastra yakni untuk menunjang
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan sosial budaya,
mengembangkan rasa karsa dan pembentukan watak.79
Dengan manfaat ini,
kemampuan siswa dapat lebih diasah melalui pembelajaran sastra.
Studi sastra dalam hubungannya dengan pengajaran sastra telah melahirkan
berbagai macam pendekatan, yakni:
1. Pendekatan kesejarahan
Pendekatan kesejarahan adalah pendekatan pengajaran yang memusatkan
perhatian kepada aspek sejarah kehadiran sastra. Periodisasi sastra, dan ciri-
ciri khas yang menandai perkembangan sastra dari zaman ke zaman.
Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengetahuan mengenai: (1)
proses kejadian suatu karya sastra; (2) latar belakang yang mewarnai karya
sastra tersebut; (3) perkembangan sastra dari masa ke masa; dan (4) latar
belakang yang mendorong perkembangan sastra atau yang menjadi
fenomena yang menonjol pada suatu periode tertentu.
2. Pendekatan sosiopsikologis
Pendekatan yang memusatkan perhatian kepada masalah kejiwaan dan
kemasyarakatan yang ada di dalam karya sastra. Dengan pendekatan ini
diharapkan siswa memahami sastra dalam konteks kemasyarakatan tempat
sastra tersebut dilahirkan.
3. Pendekatan emotif
Pendekatan ini dalam pengajaran sastra berupa upaya guru memanipulasi
emosi siswa tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk menentukan
78M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1990), hlm. 152-153.
79Ibid., hlm. 154.
38
sendiri atau menikmati sendiri karya tersebut. Setelah itu guru memberikan
tugas kepada siswanya untuk membaca karya sastra. Dengan begitu siswa
membaca dengan menggunakan sikap emosi tertentu.
4. Pendekatan analisis
Pendekatan ini memusatkan perhatian kepada aspek pendidikan dan moral
yang terdapat dalam suatu karya sastra.
5. Pendekatan didaktis
Pendekatan analisis yaitu pendekatan yang memusatkan perhatian kepada
analisis segi-segi intrinsik karya sastra. Dengan pendekatan ini guru
cenderung untuk menunjukan komponen-komponen yang terdapat dalam
suatu karya sastra.
Pendekatan yang disebutkan di atas memiliki kelemahan-kelemahan di
samping adanya kekuatan, sehingga guru dapat mengambil unsur-unsur yang
positifnya. Di dalam pemilihan pendekatan perlu mempertimbangkan beberapa
masalah, yaitu: a) tujuan pengajaran; b) kebutuhan siswa menurut perkembangan
jiwa dan lingkungan ekologis; c) hakikat sastra sebagai karya seni; d)
memperhatikan perbedaan individual siswa seperti watak dan minat; e)
pendekatan yang dipilih hendaknya memungkinkan siswa mendapat peluang
seluas-luasnya mengapresiasi karya sastra; dan f) pendekatan yang dipilih
hendaknya menjamin pengertian yang benar tentang sastra secara utuh dan
memperhatikan fungsi sastra dalam kehidupan.80
F. Penelitian yang Relevan
Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti atau
penulis. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan referensi sebagai acuan suatu
penelitian yang sedang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari
makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Sepanjang penelitian yang
80Ibid., hlm. 196-197.
39
penulis lakukan, ada beberapa tulisan yang berkaitan dengan skripsi yang penulis
tulis di antaranya:
1. Siti Marfiah (2003) Universitas Muhamadiyah Surakarta dengan judul
“Aspek Kepercayaan Diri Tokoh Utama dalam Novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A Navis: Tinjauan Psikologi Sastra“. Penelitian ini
berusaha menjelaskan aspek kepercayaan diri tokoh utama dengan
menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepercayaan
diri tokoh utama yang meliputi faktor-faktor keberanian tokoh utama, faktor
pengharapan, faktor religius, dan faktor ketidakadilan.
2. Vivi Nova Rina (2007) dengan judul “Analisis Persoalan dan Perjuangan
Sosial pada Saraswati dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya
A. A Navis”. Penelitian ini berusaha menjelaskan persoalan sosial yang ada
dalam karya sastra yaitu diskriminasi, kebodohan, pesimis, kemiskinan, dan
harga diri dan bagaimana perjuangan Saraswati mengatasi persoalan sosial
tersebut.
3. Retno Wijayanti (2004) Universitas Muhamadiyah Surakarta dengan judul
"Citra Wanita dalam Novel Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi karya A. A
Navis: Tinjauan Sastra Feminis". Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dapat disimpulkan bahwa wanita cacat yang keberadaannya tidak
diperhatikan, diremehkan, tidak dihargai dan dianggap sebagai manusia
kelas rendah. Padahal ia mempunyai kemauan dan keinginan seperti
layaknya orang normal. Gadis bisu dan tuli itu juga ingin belajar,
mendapatkan cinta dan kasih sayang serta pekerjaan yang layak.
Walaupun penelitian di atas sama-sama meneliti sebuah novel karya A. A
Navis yang berjudul Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, tetapi setiap penulis
mengkaji novel dari sudut pandang materi dan metode yang berbeda-beda. Dalam
analisis ini penulis menggunakan pendekatan psikologi sastra. Penulis ingin
menjelaskan motivasi tokoh difabel yang terdapat dalam novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A Navis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan
Sastra. Analisis ini dimaksudkan sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian
yang terdahulu.
40
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi A. A Navis
Bersumber dari profil sastrawan Indonesia, Giri Prastowo mengungkapkan
bahwa Haji Ali Akbar Navis atau lebih akrab dengan nama A. A Navis
merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara. Ia adalah salah seorang
sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Putera dari St. Marajo
Sawiyah ini lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924.
Ia meninggal pada tanggal 22 Maret 2003 di Rumah Sakit Pelni, Jakarta pada usia
78 tahun karena komplikasi jantung, asma dan diabetes.
A. A Navis mempunyai seorang isteri bernama Aksari Yasin yang dinikahi
pada tahun 1957. Mereka dikaruniai tujuh orang anak yakni: Dini Akbari, Lusi
Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika
Anggraini, serta tiga belas cucu.1
Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia yang ditulis oleh Hasanudin W. S,
A. A Navis menamatkan pendidikannya di Perguruan INS Kayutaman pada tahun
1945. Ia pernah menjadi pegawai pabrik porselin di Padang Panjang pada tahun
1944 hingga 1947. Pada tahun 1955 hingga 1957 ia juga pernah menjabat sebagai
Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukit
Tinggi. Kemudian, pada tahun 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS
Kayutaman. Selain itu, Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat pada tahun
1971 hingga 1972 dan anggota DPRD Sumatera Barat pada tahun 1971 hingga
1982.2
Sesuai yang ditulis oleh Giri Prastowo dalam bukunya, sepanjang hidup A.
A Navis telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan
dan kesenian. Bahkan ia menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang
sastrawan intelektual yang menulis berbagai hal untuk menyampaikan pemikiran-
1Giri Prastowo, Profil Sastrawan Indonesia, (Jawa Barat: PT. Sukses Anugrah Kreasi,
2011), hlm. 1.
2Hasanudin W. S, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hlm. 2.
41
pemikirannya di pentas nasional dan internasional. Sudah ratusan karya yang ia
buat mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai
mengenai masalah sosial budaya hingga penulisan otobiografi dan biografi.3
Sementara itu, menurut Hasanudin sebagai sastrawan A. A Navis telah
meraih sejumlah penghargaan, seperti dari Majalah Kisah untuk cerpen terbaik
tahun 1955 yakni Robohnya Surau Kami. Novel Remaja Terbaik dari
Unesco/Ikapi yakni Saraswati, si Gadis dalam Sunyi dan Cerita Rakyat dari
Sumatera Barat 2 tahun 1998. Ia juga memperoleh penghargaan dari Radio
Nederland tahun 1970 atas cerpen terbaik pada sayembara menulis cerpen Kincir
Emas, dengan judul Jodoh. Kemudian, dari majalah Femina ia memenangkan
sayembara atas cerpen Kawin pada tahun 1971. Tahun 1988 ia meraih Hadiah
Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan empat tahun kemudian
ia kembali memenangkan penghargaan Hadiah Sastra dari Mendikbud RI dan
South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand. Selain itu, pada tahun 2000,
Navis memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.4
B. Pandangan Hidup A. A. Navis
Merujuk dari blog Ahmad Ali, kehadiran A. A Navis di dunia sastra
Indonesia menurut A. Teeuw sebenarnya bukan sebagai pengarang besar, tetapi
seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa
(pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan
Terbaru”.5 Lebih lanjut Giri Prastowo bercerita bahwa kesenangan A. A Navis
terhadap sastra dimulai dari rumah. Orang tuanya pada saat itu berlangganan
majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Ia selalu membaca cerita-cerita
itu dan lama kelamaan menggemarinya. Ayahnya mengetahui dan mengerti akan
kegemaran Navis itu. Oleh karena itu, ayahnya memberikan uang untuk membeli
3Giri Prastowo, op. cit., hlm. 3.
4Hasanudin W. S, op. cit., hlm. 2-3.
5Ahmad Ali, “Sang Kepala Pencemooh dalam Sebuah Kisah Proses Kreatif A. A Navis”,
2015, (http://ahmadali-laskar.blogspot.co.id), diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul
14.05 WIB.
42
buku-buku bacaan kegemarannya. Dari situlah modal awal Navis untuk
menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.6
Minat pokok A. A Navis dalam menulis menurut Hasanudin W. S tertuju
pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaannya seperti, penderitaan,
kegetiran, kebahagiaan dan harapan. Minat demikian lebih didorong oleh
semacam latar belakang kesadaran intelektual, bukan primodial atau kepentingan
tertentu.7 Seperti yang dikatakan Abrar Yusra dalam bukunya bahwa masalah-
masalah kedaerahan yang ditampilkan dalam karya-karya A. A Navis terasa
sangat menonjol, menggambarkan sosok umum dari kemanusiaan yang sering
dilihat dalam pengalaman semua suku bangsa di negeri kita. Hal tersebut yang
menjadi salah satu kekuatan A. A Navis dalam membuat karya-karyanya. Unsur
setting sosial yang kuat ini memberikan warna aktualitas yang hidup dalam karya-
karyanya, dan membuatnya berbeda dari penulis-penulis kontemporer lain yang
berasal dari tanah Minang.8
“Jadikan aktivitas menulis sebagai suatu kebiasaan dan kebutuhan dalam
kehidupan.” Seperti itu jawaban A. A Navis saat ditanya alasan dirinya terus
menulis sepanjang hidup yang dikutip dari Kompas 7 Desember 1997 dalam blog
Ahmad Ali, “Soalnya senjata saya hanya menulis. Menulis itu alat, bukan pula
alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel,
menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen, katanya.”9
Hikmat Ishak dalam harian kompas mengatakan, keinginan A. A. Navis
untuk menyatakan pendapat tentang kehidupan masyarakat lewat karya-karyanya
timbul ketika jemu melihat sikap pemuka masyarakat dan pemerintah sipil dan
militer yang munafik pada tahun 1847-1948. Pada tahun 1950 setelah pemulihan
kekuasaan republik dari tangan Belanda menjadi puncak kejemuannya. Dia
melihat parasit-parasit menikmati kemerdekaan, berebut fasilitas karena matinya
penjajah.
6Giri Prastowo, op. cit., hlm. 1.
7Hasanudin W. S, op.cit., hlm. 3.
8Abrar Yusra, Otobiografi A. A Navis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm.
259.
9Ahmad Ali, loc.cit.
43
Kelompok tertentu sempat mencurigai A. A. Navis sebagai komunis akibat
sikapnya yang sempat tidak percaya pada ajaran pada ulama yang mengatakan
bahwa “Tuhan akan memperlihatkan balasanNya di dunia”. Menurutnya orang
baik-baik bisa mati konyol karena kesulitan hidup dan penjahat-penjahat
mendapatkan kesenangan.10
Hal tersebut tergambar pada salah satu karya A. A.
Navis yang berisi sebuah oto kritik seorang Islam terhadap faham agamanya yakni
kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1963).
Kecenderungan mengkritik diri sendiri adalah salah satu cirikhas budaya
Minang. Masyarakat Minang memang tidak pernah habis daya tariknya sebagai
ajang kajian sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan, bahkan sebagai sumber
inspirasi bagi pengarang dalam menciptakan sebuah karya. Hal tersebut tergambar
pada novel kemarau yang berisi kritik tentang berbagai nilai kehidupan yang
sudah mulai pudar terutama tentang nilai sosial. Nilai sosial yang dihadirkan A.
A. Navis merupakan sebuah kegelisahan terhadap masyarakat minang yang
menjadikan agama sebagai pembentuk nilai-nilai sosial namun implementasinya
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
A. A Navis adalah sosok yang ceplas-ceplos apa adanya sehingga dijuluki
“Sang Pencemooh”. Seperti yang dikatakan A. A Navis dalam Kompas, Jum’at 9
Oktober 1992 “Saya memang kurang tahu bagaimana caranya menulis dengan
segenap perasaan marah yang saya punya apabila saya tengah menyoroti sebuah
situasi. Makanya saya melakukannya dengan dengan nada mengejek,” ujarnya.11
Selanjutnya Hasanudin menambahkan, cemooh terhadap tradisi, takhayul,
penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam ikhtiar memperbaiki nasib dan
meningkatkan taraf kehidupan, rendahnya kedudukan wanita, kesenangan
hedonis, menghamburkan uang untuk perhelatan dan kenduri sebagai suatu
keharusan sosial. Semua itu merupakan sisi-sisi kehidupan yang dikembangkan
10Hikmat Ishak, “A. A. Navis: “Saya Tak Mungkin Menjadi Pelipur Lara”, Harian Kompas,
Jakarta, 20 November 1978, hlm. 5.
11
Arya Gunawan, “Ali Akbar Navis: Saya tidak Suka Bertaruh dalam Hidup”, Harian
Kompas, Jakarta, 9 Oktober 1992, hlm. 1.
44
oleh Navis dalam karyanya untuk mendorong masyarakatnya agar memahami
kehidupan secara lebih baik.12
C. Karya-karya A. A Navis
Beberapa karya A. A Navis menurut Giri Prastowo dalam bukunya Profil
Sastrawan Indonesia, yakni: 1) Robohnya Surau Kami (1955). 2) Hudjan Panas
(1963). 3) Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963). 4) Kemarau (1967). 5)
Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: Novel (1970). 6) Dermaga dengan Empat
Sekoci: Kumpulan Puisi (1975). 7) Dialektika Minangkabau (editor) (1983). 8) Di
Lintasan Mendung (1983). 9) Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (1984). 10) Pasang Surut Pengusaha Pejuang:
Otobiografi Hasjim Ning (1986). 11) Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan
Cerita Pendek (1990). 12) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994). 13) Surat
dan Kenangan Haji (1994). 14) Otobiografi A. A Navis: Satiris dan Suara Kritis
dari Daerah (1994). 15) Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang
Pendidik INS Kayutaman (1996). 16) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998).
17) Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999). 18) Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999).
19) Dermaga Lima Sekoci (2000). 20) Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen
(2001). 21) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001). 22) Bertanya Kerbau
pada Pedati: Kumpulan Cerpen (2002). 23) Gerhana: Novel (2004). 24) Antologi
Lengkap Cerpen A. A Navis tahun 200513
12Hasanudin W. S, loc.cit.
13
Giri Prastowo, op. cit., hlm. 4-5.
45
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A.
Navis
Unsur pembangun sebuah novel secara umum dapat dikatakan bersifat lebih
terperinci dan kompleks daripada sebuah cerpen. Hal tersebut disebabkan novel
menceritakan masalah yang begitu kompleks, sehingga tokoh utama tidak hanya
mengalami sekali proses pemunculan konflik, melainkan berulang kali tokoh
utama menjadi sentris dalam pemunculan suatu konflik dalam sebuah cerita.
Bahkan dalam sebuah novel disuguhkan rentetan konflik yang mampu
mengguncang perasaan pembaca, dimulai dari tokoh utama lahir hingga tokoh
tersebut meninggal dunia. Keresahan yang dialami pembaca setelah
menyelesaikan keseluruhan cerita dalam sebuah novel dapat dijadikan sebagai
bahan dalam penelitian sastra.
Peneliti sastra menggunakan kajian unsur intrinsik sebagai bahan penelitian
mereka karena unsur intrinsik berperan sebagai salah satu unsur pembangun
sebuah novel. Unsur intrinsik dapat dijadikan sebagai jembatan atau fondasi awal
dalam proses analisis kesusasteraan. Sehingga unsur intrinsik sangat penting
diketahui agar sebuah cerita dapat dinikmati serta lebih dipahami oleh pembaca.
Di bawah ini akan dijelaskan unsur intrinsik dalam novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis antara lain sebagai berikut:
1. Tema
Tema merupakan salah satu unsur pembangun dalam sebuah cerita yang
tidak hanya dituliskan secara tersurat atau terpampang jelas dalam kutipan, tetapi
penampakan tema dapat tersirat dalam berbagai kutipan dialog antar tokoh
ataupun alur kejadian dalam suatu peristiwa yang tengah dialami tokoh. Tema
dalam novel tidak dapat ditentukan hanya dengan membaca sepotong cerita, tetapi
harus membaca keseluruhan cerita secara utuh. Hal tersebut dikarenakan sifat
tema yang bersifat luas, artinya tema dalam sebuah novel harus mampu menjadi
46
ide dasar atau gagasan besar dalam sebuah novel, sehingga kemunculan tema pada
sebuah novel tidak hanya dimunculkan dengan satu-dua kutipan atau dalam
penanda cerita saja, namun penyajiannya kompleks sehingga intensitasnya hampir
selalu muncul begitu dominan di setiap kejadian.
Tema-tema yang kerap diangkat A. A. Navis selalu menunjukkan sikapnya
yang berani dan jujur menyuarakan kebobrokan mental bangsa Indonesia yang
semakin digerogoti oleh para pemimpinnya. Hal tersebut bukanlah sebagai omong
kosong belaka sebab banyak karya A. A. Navis yang menyuarakan hal senada,
seperti novel Roboh Surau Kami, Kemarau, Bertanya Kerbau pada Pedati, cerpen
Sang Guru Juki, Kuda, Jodoh dan lain sebagainya. Hal tersebut disurakan A. A.
Navis begitu menukik namun dengan lembut, sehingga tidak kentara sebagai
kritik moral yang sebernarnya disuarakan.
Tema dalam novel SSGdS, yakni perjuangan tokoh difabel untuk
mengaktualisasikan dirinya. Tema besar dalam novel tersebut memiliki
keterkaitan pada pandangan Maslow yang dikutip dalam Albertine Minderop,
“semua manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir
untuk mengaktualisasikan diri”.1 Penulis menganggap kemunculan tema tersebut
sebagai upaya eksistensi tokoh utama, yaitu Saraswati, dalam menghadapi
berbagai kompleksitas masalah yang ia hadapi. Pada dasarnya setiap manusia
memiliki kehendak atas eksistensi dirinya pada lingkungan atau bahkan sesama
manusia.
Pengarang dengan cerdik memunculkan tema tersebut sebagai ide besar
yang membungkus serangkaian peristiwa atau konflik dalam keberadaan cerita
yaitu dengan cara membenturkan ide dasar bahwasanya tokoh utama digambarkan
sebagai gadis bisu-tuli (difabel), namun dituntut untuk memenuhi berbagai
kebutuhan layaknya manusia normal pada umumnya. Dengan mengusung tema
tersebut, A. A. Navis memberikan suguhan lika-liku problematika kehidupan yang
harus dihadapi tokoh difabel. Hal tersebut bukan hanya berdampak pada
eksistensi diri si tokoh difabel, tetapi juga pada lingkungan di mana ia berada. Hal
1Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus),
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 279.
47
tersebut menjadikan cerita pada novel SSGdS menjadi cukup sulit dipahami oleh
kategori pembaca yang memiliki kecenderungan terlalu dini untuk menyimpulkan
isi cerita.
Berangkat dari pernyataan pakar yang sama bahwa seseorang akan
mencapai aktualisasi diri apabila ia mampu melewati masa-masa sulit yang
berasal dari diri sendiri maupun dari luar.2 Begitupun Saraswati yang akhirnya
dapat melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Rentetan penderitaan yang
dialami tokoh utama sebagai gadis bisu-tuli tidaklah mudah. Dengan motivasi
yang tinggi, tekad yang kuat dan tidak mudah putus asa telah membawa
keberadaan tokoh utama pada titik eksistensi terbesarnya. Tema tersebut
tergambar jelas dari berbagai usaha yang dilakukan Saraswati sebagai tokoh
utama. Untuk itu, pengambilan tema besar dalam novel SSGdS dirasakan tepat
untuk melukiskan semua ketangguhan yang telah dilakukan oleh tokoh utama
dalam perjalanan hidupnya sebagai gadis difabel. Berikut ini berbagai kutipan
penting yang menandakan keberadaan tema pada cerita yang begitu dominan di
antaranya:
Belajar menjahit sebetulnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Lebih-
lebih, aku harus memegang pensil untuk membuat garis-garis di atas kertas.
Terasa sekali kesulitanku, karena aku tidak mengenal huruf-huruf yang
harus aku tulis.3
…. Lama-lama aku dapat menuliskan beberapa kata, menyebutkan dan
mengenal maksud gerak-gerak mulutnya. Tentu saja semua itu tidak mudah
bagiku, meski di rumah aku selalu mengulang-ulangnya, menuliskan apa
yang aku ucapkan dan menggunakan kaca untuk memahami gerak-gerik
mulutku. Memang tidak mudah, Saudaraku.4
Kutipan di atas menunjukkan bentuk usaha yang dilakukan oleh Saraswati untuk
mengembangkan potensinya sebagai wujud eksistensi diri dalam kehidupannya. Ia
terlihat mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari semua yang terkait tulis-
menulis. Hal tersebut tidaklah mudah bagi seorang gadis bisu-tuli yang tidak
pernah mendapatkan pendidikan formal selayaknya di sekolah. Namun, pada
2Ibid., hlm. 307.
3A. A. Navis, Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum,
2002), hlm. 46.
4Ibid., hlm. 61.
48
akhir cerita Saraswati dikisahkan memulai hidup baru untuk belajar menulis dan
membaca pada Pusat Rehabilitasi yang dirintis oleh Dr. Soeharso di Solo.
Menurut YPAC, Pusat Rehabilitasi bagi penyandang disabilitas di Indonesia
didirikan pada tahun 1952.5 Upaya yang dilakukan oleh Dr. Soeharso tersebut
muncul sebagai pengharapan baru untuk kaum penyandang disabilitas seperti
Saraswati, mengingat pada masa itu memang belum ada sekolah bagi penyandang
disabilitas.
Dengan motivasi yang terbentuk karena kesadaran diri atas pemahaman
betapa pentingnya belajar untuk mengembangkan diri dan bekal menjalani
kehidupan membuat Saraswati memperoleh aktualisasi diri dan akhirnya
mengangkat derajatnya dalam masyarakat. Aktualisasi diri tokoh utama
diungkapkan dengan nada optimis seperti dalam kutipan berikut:
…, kini aku telah mempunyai kehidupan sebagaimana yang aku rindukan.
Hidup seperti gadis-gadis lain, karena kekurangan yang ada padaku hampir
tidak berarti lagi. Apalagi bila suatu waktu aku mendapat kesempatan untuk
belajar lebih banyak.6
Kutipan di atas menggambarkan keberhasilan Saraswati meraih kehidupan yang
dinginkannya. Hidup seperti manusia normal tanpa orang lain memandang
keterbatasannya. Keberhasilan itu menimbulkan keyakinan dan rasa percaya diri
Saraswati sebagai difabel. Ia percaya bahwa setiap manusia memiliki potensi yang
luar biasa. Jika ia diberi kesempatan lebih banyak untuk belajar pasti ia akan
menjadi difabel yang lebih hebat. Lewat perjuangan tokoh Saraswati sebagai
gadis difabel dalam mengaktualisasikan diri, A. A. Navis sebagai pengarang ingin
membuktikan kepada pembaca bahwa penyandang disabilitas berhak mendapat
kesempatan yang sama dengan orang normal dalam kehidupan untuk
membuktikan potensi yang ia miliki.
Selain itu, penulis juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada A. A.
Navis karena mampu memberikan tamparan keras kepada keadaan yang
menghimpit pada masa itu. Pemerintah pada masa itu kurang memperhatikan hal-
5Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Sejarah YPAC, 2016, (http://ypac-nasional-org),
diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 14.15 WIB.
6A. A. Navis, op.cit., hlm. 66.
49
hal yang bersifat minor seperti kaum disabilitas, karena pada masa itu mereka
hanya terfokus pada birokrasi dan politik saja, sehingga tema yang serupa dengan
novel SSGdS tidak banyak dijumpai. Dapat dikatakan hanya pengarang yang peka
dan memiliki keresahan mendalam yang mampu meramu tema tersebut menjadi
suguhan cerita yang menarik, dengan tidak menyinggung namun tetap
mengutamakan esensi atas kualitas yang tinggi dari suatu karya, yakni dulce dan
utile.
Dapat disimpulkan bahwa berbagai usaha yang dilakukan tokoh utama
(difabel) menjadi bentuk perjuangan untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini
menjadi tema besar yang diangkat A. A. Navis dalam novel SSGdS yang berlatar
kejadian sekitar tahun 1958. Oleh karena itu, kecerdikan pengarang dalam
memandang suatu realitas penyandang disabilitas dan mengangkat permasalahan
tersebut dalam karyanya patut diapresiasi.
2. Alur atau plot
Peristiwa dalam novel SSGdS menceritakan perjuangan tokoh utama bisu-
tuli (difabel) dengan berbagai macam konflik yang harus dihadapi untuk mencapai
aktualisasi diri. Hal tersebut menjadi tema besar dalam novel SSGdS yang
tersusun dalam alur cerita secara progresif. Alur dapat diartikan sebagai rangkaian
peristiwa dalam sebuah karya sastra. Rangkaian cerita tersebut saling
berhubungan membentuk hubungan sebab akibat. Jika dilihat dari tataran cerita,
alur novel SSGdS terjadi secara kronologis sesuai dengan logika cerita dan waktu
terjadinya peristiwa. Artinya, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel
diceritakan berurutan mulai dari peristiwa paling awal hingga peristiwa paling
akhir. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai peristiwa tersebut
dengan menggunakan tahapan alur menurut Tasrif, mulai dari tahap penyituasian,
pemunculan konflik, tahap klimaks dan tahap penyelesaian.
Peristiwa yang terjadi dalam novel akan diceritakan oleh tokoh “Aku”
sebagai narator sekaligus tokoh utama yang mengalaminya, tokoh tersebut adalah
Saraswati. Dilihat dari judul Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel ini sudah
dapat menggambarkan kondisi tokoh utama (Saraswati) yang hidup dalam
kesunyian. Namun pembaca dibuat penasaran, kesunyian seperti apa dan
50
bagaimana yang dialami Saraswati sebagai tokoh utama. Pada bagian awal
penceritaan A. A. Navis sebagai pengarang menggunakan diksi yang amat puitis
untuk mengenalkan tokoh utama, dibuktikan dengan kutipan berikut:
Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi,
tanpa suara. Segala-galanya sunyi.7
Kutipan di atas dijadikan pengantar untuk memahami novel ini. Pengarang
menggunakan kata “sunyi” berkali-kali. Penggunaan gaya bahasa ini berfungsi
memberi penekanan lebih dan mengkongkretkan gambaran perasaan tokoh utama.
Dengan kemahirannya tersebut pembaca seolah-olah dapat merasakan bagaimana
kesunyian yang dialami oleh tokoh utama. Jika merujuk pada KBBI makna kata
“sunyi” adalah tidak ada bunyi atau suara apapun, kosong, tidak ada orang, bebas
dan lain sebagainya.8 Jadi, pada bagian awal ini pembaca sudah menangkap
informasi awal mengenai kenyataan yang harus dijalani oleh tokoh utama dengan
keadaan yang serba sunyi.
Pada bagian kedua, pembaca kembali diyakinkan dengan informasi yang
lebih detail bahwa Saraswati tidak hanya hidup dengan keterbatasan bisu-tuli,
tetapi Saraswati juga harus menjalani kesunyian lain yakni kehilangan seluruh
anggota keluarga. Betapapun sebuah kehilangan membuat hari-hari yang dilalui
tokoh utama menjadi kosong. Peristiwa tersebut diceritakan oleh tokoh utama
dengan nada kesedihan pada kutipan berikut:
.... Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan
pemberontakan dalam perjalanan kembali dari Bandung. Mobilnya jatuh ke
jurang dan terbakar. Dan aku tidak pernah lagi bertemu mereka semenjak
itu.9
Kutipan di atas menggambarkan takdir yang harus dijalani Saraswati. Peristiwa
dalam kutipan menggunakan latar waktu sekitar tahun 1958 yang memang pada
saat itu masih banyak pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini
digunakan A. A. Navis untuk memunculkan situasi ketegangan sekaligus rasa
7Ibid., hlm. 1.
8___, KBBI Online, 2016, (http://kbbi.web.id), diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pada
pukul 16. 34 WIB.
9A. A. Navis, op.cit., hlm. 2.
51
penasaran pembaca untuk mengetahui perjuangan tokoh utama untuk memperoleh
aktualisasi diri dengan kondisi dan situasi yang membelenggunya.
Pada bagian tiga, A. A. Navis menggunakan pengisahan peristiwa secara
retrospeksi yang pada umumnya dilakukan dengan teknik kenangan atau ingatan
masa lalu. Setelah mengetahui seluruh anggota keluarganya meninggal, Saraswati
sebagai narator sering menghabiskan waktu untuk membayangkan perlakuan
kedua orang tua serta saudara-saudaranya semasa hidup. Hal ini dilakukan saat
kesendirian menghampirinya. Menurutnya sosok ayah paling banyak memberi
kenangan. Perlakuan ayah yang tidak pernah menganggapnya sebagai anak bisu-
tuli membuat Saraswati mengagumi sosok sang ayah. Hanya pendidikan yang
tidak pernah diberikan sang ayah padanya, dibuktikan oleh kutipan berikut:
…. Satu-satunya yang tidak bisa diberikan Ayah dibandingkan dengan
saudaraku yang lain, yaitu pendidikan di sekolah. Itu aku tahu, karena
memang belum ada sekolah untuk anak bisu-tuli di Jakarta, tempat kami
tinggal.10
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa sekolah untuk tunarungu memang
belum merata di Indonesia. Pengarang menjadikan kutipan di atas sebagai kritik
bagi pemerintah yang terkesan belum sepenuhnya peduli pada masalah
pendidikan untuk difabel seperti Saraswati. Sebagai gadis bisu-tuli yang tidak
mendapatkan pendidikan, perkembangan intelijensinya secara fungsional
terhambat. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya berbagai konflik seperti
pelecehan, penindasan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Kebingungan dan
ketakutan juga akan muncul karena pada tahap selanjutnya Saraswati akan
bertemu dengan beberapa tokoh dalam kondisi lingkungan yang bermacam-
macam.
Kemudian cerita berjalan terus, pengarang mulai menceritakan pertemuan
Saraswati dengan tokoh-tokoh lain yang berpengaruh terhadap munculnya
konflik. Konflik pertama muncul pada bagian empat, bermula saat Angah
membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Di atas kapal menjadi
tempat konflik pertama yang terjadi akibat pertemuan Saraswati dengan laki-laki
10Ibid., hlm. 8.
52
tua bisu yang menjadi bahan tertawaan seluruh penumpang kapal. Keberadaan
Saraswati tidak luput dari bahan leluconnya, terlihat pada kutipan berikut:
…. Dia mengajakku berbicara dengan gerakan tangannya. Semua orang
menjadi gembira melihat tingkahnya yang membadut. Sekali dia
menyatakan perasaan cintanya terang-terangan dan mengajak aku menjadi
istrinya dengan gerak-gerik di hadapan Angah. Semua orang tertawa dan
bahkan ada yang bertepuk tangan melihat permainannya. Bahkan Angah
pun ikut tertawa.11
Kutipan di atas menjadi bentuk penindasan terhadap kaum disabilitas yang kerap
dijadikan bahan lelucon akibat keterbatasannya. Peristiwa tersebut menjadi
konflik batin yang membuat perasaan Saraswati sedih, terlebih melihat respon
Angah yang seolah tidak peduli atas apa yang ia rasakan.
Konflik-konflik lain dialami oleh Saraswati terjadi ketika ia tinggal di
Padang Panjang. Kota ini menjadi latar tempat kedua sekaligus pusat penceritaan
Saraswati memulai hidup barunya dengan status yatim piatu. Banyak tokoh-tokoh
lain yang dimunculkan pengarang di tempat ini sebagai pemicu terjadinya konflik
sampai akhirnya berpengaruh membantu Saraswati memperoleh aktualisasi diri.
Selama di Padang Panjang Saraswati ditugaskan untuk membantu Angah
mengerjakan pekerjaan rumah dan menggembala ternak. Kondisinya yang bisu-
tuli membuat Saraswati mengalami masalah dalam berkomunikasi. Hal tersebut
seringkali membuatnya dilecehkan dan statusnya dianggap rendah. Seperti yang
terjadi ketika bertemu dengan anak-anak kecil saat menggembala ternak.
Peristiwa pada bagian enam ini menjadi konflik kedua dalam novel, seperti pada
kutipan berikut:
Pengalaman pahit yang senantiasa aku terima dari anak-anak itu,
menyebabkan aku menjadi takut kepada mereka. Senantiasa aku berusaha
menghindar dari gerombolan anak-anak itu. Tambah banyak mereka
bergerombol tambah nakallah mereka. Malah kenakalan itu mereka lakukan
juga sendiri-sendiri bila berahadapan denganku. Umpamanya ketika
berpapasan di jalan, lalu setelah aku agak jauh sedikit, aku dilempari dengan
apa saja yang ada di tangannya. Kadang-kadang juga aku dipukul dengan
tangannya yang kecil, lalu dia lari jauh-jauh.12
11Ibid, hlm. 13.
12
Ibid., hlm. 25-26.
53
Dari kutipan di atas, pembaca bisa menyaksikan bagaimana kesulitan yang harus
dijalani Saraswati di tengah keterbatasan yang dimiliki. Peristiwa tersebut bukan
pertama kalinya dialami oleh Saraswati dan lebih parah dari yang sebelumnya.
Hal tersebut berakibat pada perkembangan kepribadian Saraswati yakni timbul
perasaan takut, merasa diperlakukan tidak adil dan kurang dihargai. Dari kutipan
ini pengarang ingin memperlihatkan kepada pembaca bagaimana realita
penyandang disabilitas yang kerap dijadikan sebagai media hiburan dan selalu
menjadi objek penindasan serta dianggap sebagai makhluk rendah dalam status
sosial.
Masih pada bagian yang sama, sebagai seorang yang menumpang tinggal
pada keluarga Angah, kebutuhan fisiologis Saraswati tidak terpenuhi dengan baik.
Hal tersebut menjadi konflik ketiga yang harus dihadapi Saraswati. Konflik ini
timbul ketika Pak Angah pulang setelah lama meninggalkan rumah untuk
memberi pengajian. Saraswati yang selama ini tidur di kamar Angah, kini harus
pindah ke kamar sepen jorok dan berdebu yang letaknya terpisah di belakang
rumah. Namun keterbatasan memaksanya untuk menerima ketidakadilan tersebut
tanpa bisa menentang seperti yang tergambar pada kutipan berikut:
Dengan perasaan pahit, aku kerjakan apa yang disuruh Angah. Aku
pindahkan barang-barang tua yang berat-berat itu seorang diri ke kolong
rumah. Sungguh aku tidak menangis, Saudaraku, meski aku ingin sekali.
Cuma perasaanku sangatlah getir dan hatiku menjerit-jerit.13
Kutipan di atas menjadi gambaran nasib kelam penyandang disabilitas yang
diperlakukan seperti seorang pembantu di rumah saudaranya sendiri. Peristiwa
tersebut digunakan A. A. Navis untuk mengkritisi adanya perbedaan hak
penyandang disabilitas dalam keluarga. Perbedaan tersebut melahirkan
ketidakadilan seperti yang dialami tokoh utama. Namun, pengarang
menggambarkan tokoh utama sebagai gadis yang tegar, yang dibuktikan dari
sikap Saraswati yang tidak menangis dan tetap mengerjakan apa yang disuruh
Angah walaupun sesungguhnya hatinya ingin sekali berontak. Sifat tegar yang
13Ibid., hlm. 30.
54
dimiliki Saraswati menjadi ciri bahwa ia memiliki motivasi untuk mengaktualisasi
diri.
Bertubi-tubi Saraswati mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari
orang-orang sekitar secara fisik maupun psikis yang berdampak pada
perkembangan fungsi sosialnya. Seiring berjalannya alur cerita dan banyaknya
konflik yang dialami Saraswati dalam memperoleh aktualisasi diri, akhirnya
mengantarkannya pada puncak cerita. Klimaks pada novel terjadi pada bagian
tujuh ketika Saraswati benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan tidak adil
orang-orang padanya. Selama ini ia sudah sabar dan membiarkan hatinya tersiksa
oleh perlakuan mereka. Namun, seringnya mengalami kekecewaan karena
kesulitan dalam menyampaikan pikiran perasaan kepada orang lain membuat
Saraswati mengekspresikan semuanya dengan kemarahan, terlihat pada kutipan di
bawah ini:
Aku kira Busra mulai memahami maksudku, karena dia mengangguk-
angguk setiap aku menunjukkan perbandingan yang mencolok itu padanya.
Namun aku belum puas. Aku jajarkan tangannya ke kandang kambing. Lalu
aku menjerit-jerit lagi, sehingga terasa getaran suara itu di seluruh tubuhku.
Aku gerak-gerakkan tanganku dengan kacau agar ia tahu betapa segalanya
telah menjadi kacau oleh mereka semua.14
Kutipan di atas menjadi bentuk protes Saraswati atas perlakuan orang-orang yang
selama ini tidak adil padanya. Hal tersebut dilakukan untuk menuntut hak-haknya
yang tidak didapatkan dari Angah. Peristiwa tersebut digambarkan pengarang
dengan penuh ketegangan, kekacauan dan kemarahan. Cara seperti itulah yang
menurut A. A. Navis paling tepat untuk meluapkan keresahan hati Saraswati.
Kemahiran pengarang dalam bercerita membuat pembaca seolah ikut merasakan
secara langsung apa yang dialami oleh utama. Pada tahap ini pengarang
memunculkan tokoh Busra untuk membantu memahami keinginan Saraswati.
Munculnya Busra pada tahap ini memiliki pengaruh besar pada tahap alur
selanjutnya.
Selanjutnya alur mulai berjalan menuju tahap penyelesaian. Pada tahap
akhir ini mulai terjadi kekenduran dari klimaks dan konflik-konflik yang ada
14Ibid.
55
dalam cerita. Hal ini terjadi pada bagian delapan yakni saat tuntutan Saraswati
terhadap ketidakadilan yang dialami mulai mendapat penyelesaian. Aksi protes
yang dilakukan Saraswati dalam menuntut haknya terhadap keluarga Angah
akhirnya berhasil. Angah menyadari bahwa Saraswati juga merupakan bagian dari
keluarga mereka dan sepantasnya diperlakukan dengan baik. Akhirnya
kesempatan untuk memperoleh keterampilan belajar menyulam dan menjahit
dirasakan Saraswati dengan bimbingan Uni Ros. Ternyata di tempat kursus itu
kemampuan Saraswati lebih baik dari yang lain, seperti yang ia ceritakan pada
kutipan berikut:
Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam.
Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya.
Mereka banyak memujiku, malah ada yang menanyakan warna apa yang
sebaiknya disusun atas bermacam-macam warna dasar dari kain yang sudah
tersedia.15
Kutipan di atas menjadi bentuk keberhasilan Saraswati dalam memulihkan harga
diri yang selama ini dipandang rendah. Dari penghargaan orang lain, pengarang
ingin memunculkan motivasi dan rasa percaya diri tokoh utama agar lebih
meningkatkan potensinya. Keberhasilan Saraswati dibantu oleh tokoh baru yang
dimunculkan pengarang untuk merangsang keterampilan serta memberi
kesempatan bagi Saraswati untuk mengembangkan potensinya. Kemunculan Uni
Ros juga tidak lepas dari perubahan sikap Angah yang mendukung potensi
Saraswati. Di sini, pengarang ingin menyampaikan pada pembaca bahwa
kesadaran dan pemahaman anggota keluarga yang baik terhadap anak bisu-tuli
seperti Saraswati akan sangat membantu dalam mengembangkan sikap sosial,
potensi dan kepribadian anak ke arah yang positif.
Selain belajar menjahit dan menyulam, Saraswati sebenarnya ingin sekali
dapat berkomunikasi dengan orang lain. Salah satu cara untuk berkomunikasi
yakni dengan belajar menulis, membaca, dan berbicara. Dengan bantuan tokoh
Busra akhirnya kesempatan itu datang. Setiap hari Busra selalu mengajari
Saraswati yang terkadang dibantu oleh Bisri. Hingga suatu hari Busra membawa
Saraswati ke sebuah rumah yang tidak begitu jauh dari rumahnya untuk bertemu
15Ibid., hlm. 46.
56
dengan seorang laki-laki tua bernama guru Andika. Tokoh guru ini dimunculkan
pengarang untuk mengajari Saraswati berbicara. Di bawah ini akan dijelaskan
kutipan proses Saraswati belajar memperoleh keterampilan berbahasa:
…. Dua kali seminggu aku ke rumah orang tua itu untuk belajar. Lama-lama
aku dapat menuliskan beberapa kata, menyebutnya dan mengenal maksud
gerak-gerak mulutnya. Tentu saja semua itu tidak mudah bagiku, meski di
rumah aku selalu mengulang-ulangnya, menuliskan apa yang aku ucapkan
dan menggunakan kaca untuk memahami gerak-gerik mulutku. Memang
tidak mudah, Saudaraku.”16
A. A. Navis tidak hanya menampilkan potret penyandang disabilitas dari sisi yang
lemah, tetapi juga dari sisi tekad penyandang disabilitas untuk memperjuangkan
nasibnya. Terlihat dari bentuk kesabaran dan usaha yang dilakukan Saraswati
untuk mengatasi masalah ketertinggalan di hidupnya. Meski harus melalui proses
yang panjang perlahan-lahan akhirnya Saraswati mampu memperoleh
kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini nantinya membuat Saraswati
dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Saraswati yang sejak awal diceritakan tersia-sia karena penghinaan,
penindasan dan ketidakadilan menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk terus
berusaha. Kini sampailah pada tahap dimana ia benar-benar bersyukur dengan
hidupnya yang baru. Kerja keras yang disertai dengan perjuangan tentu
membuahkan hasil yang menyenangkan. Saraswati ingin membuktikan kepada
keluarga Angah dan masyarakat bahkan kepada laki-laki tua bisu yang
mengejeknya pada waktu di kapal bahwa meskipun dirinya cacat tetapi dia juga
bisa lebih hebat dari manusia normal. Hal tersebut diungkapkan Saraswati pada
kutipan:
Saudaraku, kini aku mulai sungguh-sungguh merasakan bahwa hidup
ini berarti. Sebagai gadis bisu-tuli yang selama ini tersia-sia, yang hidup atas
belas kasihan dan yang hanya dapat disuruh menjadi gembala, kini aku telah
mempunyai kehidupan sebagaimana yang aku rindukan. Hidup seperti
gadis-gadis lain, karena kekurangan yang ada padaku hampir tidak berarti
lagi. Apalagi bila suatu waktu aku mendapat kesempatan untuk belajar lebih
banyak lagi.17
16Ibid., hm. 61.
17
Ibid., hlm. 66.
57
Dari awal kemunculannya, pembaca sudah dapat memprediksi bahwa akan
banyak konflik yang dialami oleh tokoh utama dengan keterbatasannya. Namun,
A. A. Navis sebagai pengarang berhasil memunculkan sisi lain penyandang
disabilitas yang menginspirasi. Kutipan di atas menggambarkan keberhasilan
Saraswati memperoleh aktualisasi diri. Keberhasilan ini menumbuhkan keyakinan
Saraswati dalam menerima kondisinya, dengan kata lain kepercayaan diri semakin
tinggi, sehingga kematangan dalam berperilaku pun muncul. Hal tersebut tidak
terlepas dari motivasi yang tergambar dari sikap tokoh utama dalam menghadapi
setiap masalah di hidupnya. Pengarang menggunakan seperenam bagian dalam
novel untuk menggambarkan usaha Saraswati setelah rendahnya konflik, sebelum
akhirnya sampai pada keberhasilan memperoleh aktualisasi diri. Dengan begitu
terlihat betapa sulit dan panjang usaha Saraswati sebagai gadis bisu-tuli. Terselip
pesan dari pengarang untuk pembaca dari kutipan di atas bahwa penyandang
disabilitas yang selama ini dipandang negatif oleh masyarakat nyatanya mampu
melakukan banyak hal untuk memperoleh aktualisasi diri.
Hasil analisis di atas memperlihatkan bagaimana tema perjuangan tokoh
difabel untuk mengaktualisasikan dirinya dikisahkan sesuai urutan waktu
peristiwa demi peristiwa secara kronologis. Dimulai dari memperkenalkan
kesunyian yang dialami tokoh utama dengan berbagai konflik yang harus dijalani
hingga akhirnya mampu mengaktualisasikan diri. Setelah adanya aktualisasi diri
yang dicapai tokoh utama, muncul konflik-konflik lain pada cerita selanjutnya.
Konflik-konflik tersebut berfungsi menguatkan perubahan sikap mental tokoh
utama seperti dewasa, kemandirian, kepercayaan diri dan optimis terhadap
berbagai masalah kehidupan.
3. Tokoh dan penokohan
Sama halnya dengan alur, tokoh dan penokohan merupakan unsur penting
dalam cerita fiksi. Hadirnya sebuah peristiwa dan konflik dalam cerita fiksi
dijalani oleh tokoh-tokoh dengan segala perwatakannya. A. A Navis dalam Novel
SSGdS melukiskan tokohnya secara jelas, hal ini terlihat melalui kualitas mental
para tokoh, tindakan para tokoh dan juga dideskripsikan berdasarkan sudut
58
pandang tokoh utama. Hal ini dikarenakan novel ini menggunakan sudut pandang
orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Ada banyak tokoh yang terdapat dalam
novel, namun dalam analisis ini akan diuraikan beberapa tokoh yang dianggap
penting dan menguasai isi cerita seperti Saraswati sebagai tokoh utama sekaligus
narator, sedangkan Busra, Angah, Bisri, laki-laki tua bisu, Uni Ros (guru menjahit
dan menyulam), dan Guru Andika sebagai tokoh tambahan. Berikut akan
diuraikan karakter dari masing-masing tokoh:
a. Saraswati
Dilihat dari penggunaan nama Saraswati dalam judulnya, Saraswati adalah
tokoh utama dalam novel ini karena sebagian besar cerita dalam novel ini
mengisahkan perjuangan tokoh Saraswati sebagai difabel dalam memperoleh
aktualisasi diri yang banyak berhubungan dengan tokoh lain dan mempengaruhi
perkembangan alur. Saraswati juga berperan sebagai pencerita sehingga dari awal
hingga akhir cerita selalu muncul. Pada bagian pertama dan kedua pembaca sudah
dapat menangkap kondisi Saraswati yang digambarkan oleh pengarang pada
kutipan di bawah ini:
.... Maka terkembanglah duniaku sendiri yang tak dapat kau kenal, dunia
tanpa bunyi dan suara. Karena aku tuli dan karenanya pula aku bisu.18
Aku seorang gadis. Dari kecil telah begini dan aku tidak tahu kapan nasib
begini bermula. Aku punya dua orang kakak laki-laki. Dua orang adik, juga
laki-laki. Aku punya ayah dan ibu. Tapi mereka semua telah tiada lagi kini,
Saudaraku. Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan
pemberontak dalam perjalanan kembali dari Bandung. Mobilnya jatuh ke
jurang dan terbakar.19
Melalui penggambaran di atas pengarang membuat tokoh utama sebagai gadis
difabel terlihat pada kutipan pertama yang menceritakan kondisi Saraswati bisu-
tuli. Sedangkan pada kutipan kedua diceritakan bahwa anggota keluarga Saraswati
meninggal karena suatu penghadangan pasukan pemberontakan. Hal tersebut
memberikan informasi terhadap pembaca bahwa Saraswati seorang yatim piatu.
18Ibid., hlm. 1.
19
Ibid., hlm. 2.
59
Kehilangan seluruh anggota keluarga membuat Saraswati menjadi sosok
yang pesimis. Terlebih dengan kondisi bisu-tuli, Saraswati banyak dihinggapi
kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam. Hal tersebut
kerap membuatnya merasa rendah diri, selalu menganggap dirinya tidak memiliki
kelebihan apapun dan tidak percaya diri hidup di tengah orang-orang normal. Hal
tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Di mana pun juga orang cacat seperti aku, tidak pernah dipandang
seperti manusia sebagaimana wajarnya manusia. Seolah-olah hak kami
hanyalah untuk menjadi manusia kelas terbawah.20
…. Sampai dimanakah kemampuanku? Apakah aku akan menjadi manusia
yang berharga di tengah-tengah manusia yang tidak cacat? Kalau seandainya
aku bisa mencapainya, bagaimanakah caranya?21
Sebagai yatim piatu, kondisi itu mengharuskan Saraswati tinggal bersama
Angah di Padang Panjang. Di perjalanan menuju padang Panjang terjadi
pertemuan antara Saraswati dengan seorang laki-laki tua bisu. Saat itu terjadi
penghinaan yang dilakukan oleh laki-laki tua bisu terhadap Saraswati. Peristiwa
tersebut menjadi konflik pertama yang dialami oleh tokoh utama sekaligus awal
munculnya motivasi, ambisi dan tekad kuat Saraswati untuk mengaktualisasikan
diri. Sikap tersebut terlihat pada kutipan berikut:
…. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi
orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan lebih hebat dari manusia lainnya, agar
orang-orang jangan selamanya memandang manusia cacat seperti kami
sebagai manusia yang gunanya hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai
orang suruhan semata.22
Dilihat dari penggambaran fisik, Saraswati termasuk gadis yang cantik. Hal
ini digambarkan pengarang melalui reaksi tokoh Bisri saat pertama kali bertemu
Saraswati seperti pada kutipan berikut:
Dengan kedua belah tangannya dirabanya kepalaku. Terus menurun ke
pipiku. Ke bahuku. Lalu ke lenganku dan terus ke pinggangku. Dia terus
20Ibid., hlm. 12.
21
Ibid., hlm. 15.
22Ibid., hlm. 19.
60
tertawa. Akhirnya diacungkannya empu jarinya seolah hendak mengatakan
bahwa aku adalah adiknya yang cantik.23
Saraswati memiliki sifat pekerja keras yang tergambar dari kesehariannya
selama di Padang Panjang salah satunya dengan beternak. Ia melakukan kegiatan
itu dengan sungguh-sungguh dan tekun. Sifat tersebut akan berpengaruh pada
perjuangan tokoh utama untuk memperoleh aktualisasi diri. Melalui sosok
Saraswati, pengarang ingin memperlihatkan bahwa keterbatasan bukan digunakan
untuk berpangku tangan dan menjadi halangan dalam melakukan hal-hal positif.
Sifat tersebut diperlihatkan pengarang melalui gambaran perilaku tokoh utama
pada kutipan di bawah ini:
…. Kini akulah yang menyiapkan makanan itik sebelum kandang-kandang
dibuka. Sementara itik-itik menyudu makanannya di dalam pasu yang
disediakan, aku mengutip telur-telurnya di bawah kolom. Pagi-pagi sekitar
pukul sepuluh, aku melepaskan itik-itik itu lalu menghalaunya ke kolam
yang tidak di gunakan lagi.24
Akibat kondisinya yang bisu-tuli, Saraswati kerap mendapat perlakuan tidak
baik dari anak-anak kecil di kampung saat menggembalakan ternak. Peristiwa ini
menjadi konflik lain yang harus dijalani Saraswati. Walaupun begitu, Saraswati
tetap bersikap ramah dan pemaaf. Hal tersebut diperlihatkan oleh pengarang dari
sikap Saraswati saat menanggapi permintaan maaf anak kecil tersebut pada
kutipan di bawah ini:
… seorang anak laki-laki diiringi oleh ibunya datang mengulurkan tangan
padaku untuk meminta maaf. Anak laki-laki itulah yang kemarin melempari
aku dengan batu sehingga kepalaku berdarah. Anak itu datang dengan
pandangan mata yang sukar dipahami. Matanya ngeri demi melihat perban
di kepalaku. Uluran tangan itu aku sambut dengan ramah dan dengan
tanganku yang lain aku usap kepalanya.25
Pengarang menggambarkan Saraswati sebagai sosok perempuan yang tegar,
tabah dan sabar dalam menghadapi segala ujian hidup yang bertubi-tubi
menimpanya. Dibuktikan dengan sikap Saraswati yang tidak lagi menangisi
kehidupannya walaupun penuh penderitaan, seperti pada kutipan di bawah ini:
23Ibid., hlm. 21.
24
Ibid., hlm. 24.
25Ibid., hlm. 27.
61
Pukulan demi pukulan telah menimpa perasaanku. Sekali lagi aku
katakan kepadamu, Saudaraku, aku tidak pernah menangis lagi meski hatiku
telah demikian luluh.26
Terjadi perubahan karakter pada tokoh Saraswati yang semula selalu tegar,
tabah dan sabar saat mendapat perlakuan tidak adil dari orang-orang di sekitarnya,
kemudian mulai geram. Motivasi yang mendorong Saraswati untuk protes dan
menentang orang-orang sebagai bentuk perjuangan untuk mendapat kesempatan
dalam mengaktualisasikan dirinya. Perubahan sikap ini digambarkan pengarang
sebagai akibat tekanan batin yang diterima Saraswati atas perlakuan orang-orang
sekitar seperti pada kutipan berikut:
Tak aku pedulikan lagi itik-itik yang harus diberi makan. Tak aku
pedulikan lagi kambing-kambing yang kelaparan. Aku tidak mau menjadi
gadis penggembala kambing terus hanya karena aku bisu-tuli. Anak laki-
laki yang buta itu telah memperoleh kesempatan untuk menjadi sesuatu
yang lebih berarti, hingga dia dapat ikut menikmati pergaulan yang merata
antara sesama manusia.27
Seiring berjalannya alur, kehidupan Saraswati mulai mengalami perubahan
setelah pemberontakan yang dilakukannya. Kesempatan untuk memperoleh
keterampilan menjahit pun akhirnya terbuka dengan bantuan dari Angah. Melalui
kutipan di bawah ini pengarang ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa
Saraswati mempunyai potensi lebih dari pada orang normal:
Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam.
Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya.28
Saraswati dalam bahasa Sansekerta memiliki arti pendidikan, seni, dan ilmu
pengetahuan.29
Walaupun dalam novel SSGDS pengarang menggambarkan
Saraswati sebagai gadis bisu-tuli yang tidak mengenal pendidikan sehingga
membuatnya buta huruf dan kesulitan dalam berkomunikasi. Tetapi pada kutipan
di bawah ini pengarang memunculkan penokohan Saraswati sebagai sosok yang
26Ibid., hlm. 30.
27
Ibid., hlm. 43.
28Ibid.
29
_______ , “Arti Nama Saraswati Jawa Perempuan”, http://www.kamuskbbi.id, 2016,
diakses pada tanggal 18 Juli 2016 pada pukul 07.15 WIB.
62
kritis, ini terbukti dengan rasa ingin tahu dan semangat yang tinggi untuk belajar.
Sifat ini membuktikan bahwa Saraswati memiliki motivasi untuk
mengaktualisasikan diri:
Buku yang aku bawa itu, entah kepunyaan siapa, kutemukan di atas
rak. Banyak gambar di dalamnya. Betapa pun asyiknya aku memperhatikan
huruf demi huruf, sekumpulan demi sekumpulan huruf, tak satu pun yang
aku pahami maksudnya.30
Besok harinya oleh Busra aku dibawa lagi ke rumah orang tua itu.
Lagi-lagi aku disuruh menyebut α dan u dan menuliskannya. Kemudian aku
disuruh menulis huruf o dengan menyuarakannya dengan memonyongkan
mulutku sama seperti menyuarakan huruf u, tapi dengan mulut lebih
terbuka. Alangkah sulitnya bagiku. Setelah seminggu barulah aku dapat
menyuarakan kelima huruf itu, Saudaraku.31
Pengarang tidak menyebutkan dengan pasti usia Saraswati. Dapat dikatakan
bahwa Saraswati termasuk remaja akhir yakni berusia 18-21 tahun. Hal ini
tergambar pada karakteristik perkembangan sosialnya yang telah mandiri dan
tidak bergantung pada orang lain untuk mendapatkan uang demi memenuhi
kebutuhan hidupnya. Seperti yang tergambar pada kutipan berikut ini:
… para tetangga sudah mulai banyak minta aku membuatkan pakaian
mereka. Seperti kebaya atau baju anak-anak mereka yang laki-laki atau
perempuan. Mereka memberi aku uang menurut sukanya saja. Uang jahitan
itu aku berikan pada Angah untuk membantu biaya rumah tangga kami.
Akan tetapi hasil dari peternakan ayam disuruh Busra agar aku simpan
sendiri.32
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Saraswati termasuk tokoh
protagonis karena mengalami konflik, baik konflik dengan diri sendiri maupun
dengan tokoh-tokoh lain yang terdapat dalam cerita. Selain itu termasuk dalam
tokoh berkembang karena mengalami perubahan karakter sejalan dengan
perkembangan peristiwa yang dikisahkan. Pada awalnya digambarkan sebagai
tokoh yang pesimis, rendah diri, tidak percaya diri atas kondisinya sebagai gadis
difabel. Namun sejak pertemuannya dengan laki-laki tua bisu di kapal, Saraswati
optimis untuk mengaktualisasikan dirinya. Ketegaran, ketabahan, kesabaran,
30Ibid., hlm. 51.
31
Ibid., hlm. 60-61.
32Ibid., hlm. 66.
63
motivasi dan rasa ingin tahu yang tinggi serta sifat mau berusaha yang ia miliki
membuat tekadnya untuk menjadi gadis bisu-tuli yang hebat tercapai. Dari
penokohan Saraswati, pengarang ingin membuktikan kepada pembaca bahwa
keterbatasan fisik tidak membatasi manusia untuk sukses dan hidup mandiri tanpa
belas kasih dari orang lain.
b. Busra
Busra merupakan anak pertama Angah. Di awal kemunculannya, Busra
digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sederhana dan ramah. Ini terbukti dari
sikapnya saat menyambut kedatangan Saraswati di rumah Angah, seperti pada
kutipan berikut:
Busra muncul dari samping rumah. Tak beralas kaki dia. Dia
mengenakan celana pendek dengan kaos oblong saja. Rambut di
kepalanya seperti tidak disisir. Demi melihat kami dia bergegas
menyongsong. Dia tersenyum lebar memperlihatkan giginya. Tidak
bersalaman seperti yang biasa dilakukan kakak-kakakku kepada Ayah dan
Ibu sepulang dari perjalanan jauh. Lalu perhatiannya beralih kepadaku.
Diacungkan tangannya padaku untuk bersalaman. Dia memperlihatkan
giginya ketika ketawa sambil meletakkan tangan kirinya pada bahuku.33
Tidak hanya itu, sebagai seorang laki-laki Busra juga termasuk pekerja
keras. Hal ini terlihat saat Busra sedang bekerja di halaman rumah membuat
kandang kambing. Kambing-kambing tersebut nantinya akan digembalakan oleh
Saraswati:
Busra hanya mengaso ketika waktu makan siang tiba. Kemudian ia
bekerja lagi. Menjelang magrib siaplah kandang itu. Hanya pintunya yang
belum ada.34
Pengarang juga menggambarkan Busra sebagai sosok kakak yang penuh
perhatian dan menjadi pelindung bagi tokoh utama. Ini terbukti dari sikap Busra
yang selalu ada untuk menolong, menghibur dan menguatkan Saraswati terhadap
berbagai masalah yang dialami. Hal ini dijelaskan lewat sudut pandang tokoh
utama dalam kutipan berikut:
…. Hanya Busra yang menunjukkan perhatiannya. Seperti biasa yang
dilakukannya, diletakkannya tangannya yang besar itu ke bahuku dan
33Ibid., hlm. 18.
34
Ibid., hlm. 28.
64
ditatapnya aku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Itulah caranya
menghiburku.35
Pengarang menggambarkan tokoh Busra melalui sudut pandang tokoh
utama sebagai laki-laki yang tidak suka mengekspresikan sesuatu secara
berlebihan. Ini mencerminkan bahwa Busra adalah sosok yang dewasa.
Kedewasaan terlihat pada kemampuan Busra dalam mengendalikan sikap saat
menanggapi pemberian sapu tangan buatan Saraswati seperti pada kutipan
berikut:
…. Tampak kegembiraanya tidak kurang dari Bisri, meski tidak sampai
bersorak-sorak. Seperti yang telah aku katakan dulu padamu, Saudaraku,
sikap Busra lebih tenang dari Bisri.36
Busra juga termasuk tokoh yang berpengaruh memotivasi tokoh utama agar
mampu bergaul dengan orang lain dan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hal
ini diperlihatkan melalui sudut pandang tokoh utama pada bagian tujuh novel
SSGdS. Saat itu Busra memaksa Saraswati untuk ikut dalam pesta untuk
memperlihatkan seorang pemuda yang pandai memainkan akordion seperti dalam
kutipan di bawah ini:
…. Aku memahami maksud Busra, bahwa ia ingin mengatakan padaku,
banyak orang cacat lainnya, tapi dapat bergaul dengan semua orang dan
mampu memainkan alat musik untuk membuat suasana jadi gembira.
Tahulah aku maksud Busra, bahwa ia ingin mendorong aku untuk
memulihkan harga diriku.37
Selain itu, Busra juga termasuk orang yang penuh kasih sayang, peduli dan
memiliki empati. Terlihat dari penjelasan Saraswati mengenai maksud Busra
menyuruhnya menjadi penggembala kambing selama ini seperti pada kutipan di
bawah ini:
…. Kini aku merasakan betapa sayangnya dia padaku sebagai adiknya.
Sekarang terpaham olehku, kalau pun dia menyuruhku menjadi
penggembala kambing selama ini, hal itu mungkin karena dia tidak tahu apa
35Ibid., hlm. 32.
36
Ibid., hlm. 49.
37Ibid., hlm. 42.
65
yang harus diberikannya padaku sebagai pengisi waktu. Dia bukan hendak
menghinaku dengan cara itu.38
Busra termasuk orang yang berjasa dalam perubahan hidup Saraswati sejak
berada di Padang Panjang. Pengarang menjadikan tokoh Busra sebagai orang
pertama yang mengajari Saraswati untuk mengenal huruf-huruf. Selain itu Busra
juga yang mempertemukan Saraswati dengan guru Andika untuk belajar
berbicara. Dari hasil belajar tersebut, Saraswati dapat memperoleh kemampuan
berbahasa sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dapat disimpulkan
bahwa Busra memiliki sifat baik hati, hal ini diungkapkan oleh tokoh Saraswati
dalam kutipan di bawah ini:
…. Hari ini aku telah mengenal beberapa kumpulan huruf yang
menerangkan rumput, kaki, hidung, telinga, mata, tangan, dan pipi. Oh,
alangkah bahagianya aku. Oh, Busra yang baik, kakakku yang aku sayang,
bukakanlah isi dunia ini untukku.39
Besok harinya oleh Busra aku dibawa lagi ke rumah orang tua itu.
Lagi-lagi aku disuruh menyebut a dan u dan menuliskannya. Kemudian aku
disuruh menulis huruf o dan menyuarakannya dengan memonyongkan
mulutku sama seperti menyuarakan huruf u, ….40
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Busra termasuk tokoh statis
karena memiliki sikap dan watak yang tetap, cenderung tidak berkembang sejak
awal hingga akhir cerita. Sejak awal hingga akhir kemunculannya Busra
digambarkan sebagai tokoh baik. Hal ini terlihat dari unsur-unsur kebaikan dalam
dirinya yakni ramah, pekerja keras, dewasa dalam bersikap, peduli dan memiliki
empati, penuh kasih sayang dan menjadi pelindung bagi Saraswati. Busra tidak
mempengaruhi alur secara keseluruhan, namun berpengaruh terhadap motivasi
dan perubahan hidup tokoh utama dalam mengaktualisasikan dirinya. Dominasi
tokoh ini ada di bawah tokoh utama sehingga dapat dipandang sebagai tokoh
tambahan yang utama.
38Ibid., hlm. 44.
39
Ibid., hlm. 55.
40Ibid., hlm. 60-61.
66
c. Angah
Tidak digambarkan dengan pasti nama dan usia tokoh Angah. Hanya saja
jika kita teliti dalam bahasa Minangkabau, Angah merupakan panggilan khas
untuk kakak dari ayah Saraswati yang tengah. Secara tidak langsung panggilan
khas tersebut berpengaruh pada latar tempat dalam novel SSGdS sekaligus
mencerminkan ciri khas A. A. Navis sebagai pengarang yang berasal dari Sumatra
Barat. Pada bagian empat menjadi awal kemunculan Angah sebagai tokoh
tambahan. Lewat sudut pandang tokoh utama, pengarang menceritakan bahwa
Angahlah yang membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Namun,
Angah termasuk orang yang kurang memahami perasaan Saraswati. Hal ini
terlihat dari respon Angah saat menanggapi perlakuan laki-laki tua bisu terhadap
Saraswati di kapal menuju Padang Panjang seperti pada kutipan di bawah ini. Hal
ini sedikit janggal karena sebagai keluarga seharusnya Angah membela dan
melindungi Saraswati dari orang-orang yang mengganggunya bukan malah ikut
menertawai.
…. Dan tak seorang pun yang membelaku. Oh, tak seorang pun. Angah
malah ikut tertawa, karena Angah pun mengharapkan bantuan laki-laki bisu
itu untuk mengambilkan ransum kapal. Dan untuk mengharapkan bantuan
kecil itu, dibiarkannya aku diolok-olok terus.41
Karakter seorang tokoh dapat dibentuk oleh tempat di mana ia dibesarkan.
Begitu pun pengarang menggambarkan tokoh Angah yang tinggal di kampung.
Hal itu yang melandasi ketidaktahuan Angah dalam memperlakukan gadis difabel
seperti Saraswati, sehingga timbul protes dan anggapan bahwa Angah telah
memperlakukan Saraswati dengan tidak adil. Hal tersebut diungkapkan melalui
sudut pandang tokoh utama pada kutipan di bawah ini:
…. Aku ingin menanyakan kenapa aku dijadikan penggembala ternak di
rumah itu. Aku ingin memperotes perlakuannya yang tidak adil. Aku ingin
menanyakan ke mana saja harta warisan orang tuaku.42
Angah termasuk tokoh tambahan yang tidak banyak mempengaruhi
perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap perubahan hidup tokoh utama.
41Ibid., hlm. 14.
42
Ibid., hlm. 36.
67
Ini terlihat pada perubahan sikap Angah yang akhirnya memberi kesempatan pada
Saraswati untuk mengembangkan potensi dengan membekalinya keterampilan.
Perubahan sikap tersebut terjadi setelah pemberontakan yang dilakukan Saraswati.
Hal ini memperlihatkan bahwa sebenarnya Angah termasuk orang yang baik
seperti pada kutipan berikut:
…. Lalu aku dibawa Angah ke rumah yang tidak begitu jauh dari rumah
kami. Banyak gadis-gadis di sana sedang menjahit dan menyulam.43
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Angah termasuk tokoh
berkembang karena seiring berjalannya cerita mengalami perkembangan karakter
dari awal hingga akhir cerita. Pada awalnya digambarkan sebagai tokoh yang
kurang memahami perasaan Saraswati dan kerap memperlakukan Saraswati
dengan tidak adil. Namun, akhirnya sadar dan memberikan kesempatan kepada
Saraswati untuk mengaktualisasikan dirinya. Pengaruhnya terhadap tokoh utama
menggambarkan bahwa ia termasuk tokoh tambahan.
d. Bisri
Bisri adalah anak laki-laki Angah dan merupakan adik dari Busra.
Pengarang memunculkan tokoh ini pada bagian lima dalam novel SSGdS. Pada
awal kemunculannya itu, pengarang menggambarkan Bisri sebagai laki-laki yang
suka berolahraga. Ini terlihat dari penampilan Bisri saat bertemu dengan Saraswati
di rumah:
Ketika senja, Bisri muncul. Rambutnya kusut masai. Di bahunya
tersandang sepasang bola. Baju kaosnya yang kuning warnanya basah oleh
keringat. Ketika melihatku, mula-mula dia tercengang.44
Selain itu pengarang juga menggambarkan Bisri sebagai orang yang lebih
agresif dari kakaknya (Busra). Terlihat dari sikap Bisri yang sering
memperhatikan bahkan berani memuji kecantikan Saraswati. Hal ini diceritakan
melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut:
…. Sambil mengunyah-ngunyah dia terus juga memandangku. Aku menjadi
kikuk. Setelah aku selesai mengeluarkan pakaianku yang kotor, aku
menoleh kepadanya. Diacungkannya lagi empu jarinya ke arahku. Senang
43Ibid., hlm. 45.
44
Ibid., hlm. 20-21.
68
hatiku dengan pujian itu. Tapi aku bertambah malu oleh perhatiannya yang
begitu besar.45
Tidak hanya itu, Bisri juga senang sekali mengacau. Hal ini terlihat saat
Bisri membantu Busra mengajari Saraswati mengenal kumpulan huruf-huruf. Di
sela-sela pembelajaran, ia selalu melakukan keusilan yang membuat Saraswati
merasa kesal karena dipermainkan. Pengarang memperlihatkan sikap Bisri
tersebut melalui pemaparan tokoh utama pada kutipan di bawah ini:
.... Bukan sekali dua dia mempermainkan aku demikian. Kalau aku
memukulnya, dia malah bertambah senang. Kalau aku memburunya, dia lari
sejauh tanganku hampir menggapainya dan itu membuatku jadi lebih ingin
memburunya. Itulah yang dia suka lakukan tanpa memperdulikan
kedongkolanku.46
Pada bagian kesembilan, Bisri diceritakan pergi meninggalkan rumah.
Kepergian Bisri memberikan pengaruh terhadap Saraswati, sehingga dalam novel
ini Bisri disebut sebagai tokoh tambahan. Hal ini terlihat dari tuturan tokoh utama
pada kutipan di bawah ini:
…. Entahalah. Aku tidak tahu. Namun aku selalu terkenang padanya bila
melihat dua ring besi yang tergantung pada sepotong besi yang disangga dua
tiang bambu.47
Terjadi perubahan pada penampilan Bisri setelah kepergiannya yang
dipaparkan melalui sudut pandang tokoh utama pada kutipan pertama. Pada
kutipan kedua pengarang menegaskan bahwa kepergian Bisri selama ini untuk
belajar menjadi tentara. Merujuk pada Perpem RI No. 52 Tahun 1958, syarat
untuk dapat diterima dalam pendidikan pertama untuk prajurit adalah berusia
tidak lebih dari 22 tahun.48
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
usia Bisri sekitar 22 tahun dan termasuk usia dewasa awal.
…, Bisri yang telah sebulan meninggalkan rumah, tiba-tiba muncul. Dia
memakai seragam hijau. Warna kulitnya lebih hitam dari tembaga.
45Ibid., hlm. 21.
46
Ibid., hlm. 61.
47Ibid., hlm. 69.
48
Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 52 Tahun 1958 Pasal 3, Tentang Ikatan
Dinas dan Kedudukan Hukum Militer Sukarela, (Presiden Republik Indonesia, 1958), hlm. 4.
69
Rambutnya dipotong pendek. Hampir botak. Tubuhnya agak kurus dari
biasanya.49
.... Lama kemudian aku baru tahu bahwa Bisri pergi belajar jadi tentara
dengan baju seragam hijaunya itu.
Masih pada bagian sembilan, Bisri diceritakan sempat melakukan pelecehan
seksual terhadap Saraswati saat kembali dari kepergiannya. Peristiwa ini menjadi
sebuah kritik yang dilakukan pengarang terhadap nilai kehidupan yang sudah
mulai pudar terutama tentang nilai sosial dan agama. Bagaimana seorang tentara
yang berlatarbelakang anak dari seorang ulama digambarkan melakukan
perbuatan tidak terpuji. Dari peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa Bisri
termasuk tokoh antagonis karena menjadi penyebab terjadinya konflik pada diri
Saraswati. Berikut kutipan dari perlakuan Bisri terhadap Saraswati:
Ada sesuatu yang memukul-mukul dalam dadaku. Aku menghindar
dengan pura-pura hendak mengambil teko di rak piring. Tak dibiarkannya
aku pergi dengan mengetatkan rangkulan. Lalu kedua tangannya
memelukku dengan erat, sehingga seluruh tubuhku merapat ke tubuhnya.
Kepalanya merunduk. Dia mencium pipiku, mataku, leherku dan bibirku.
Dan…seluruh tubuhku bergetar. Ketika otakku berkata bahwa perbuatan
Bisri itu tidak pantas dilakukannya kepadaku, aku tolak dia dengan seluruh
kekuatanku.50
Selama pergi menjadi tentara, Bisri diceritakan memiliki kekasih bernama
Tati. Hal ini yang menjadi pemicu perubahan sikap Bisri terhadap Saraswati
setelah sebulan kepergiannya yang kedua. Hal ini berpengaruh menciptakan
perasaan tentram pada Saraswati yang dijelaskan pada kutipan di bawah ini:
…. Wajahnya gembira dan ketawanya seperti yang biasa aku kenal.
Pandangan matanya ketika aku menatapnya dengan mencuri, tidak terlihat
jahil seperti setelah peristiwa di dapur dulu. Mata Bisri telah seperti mata
seorang kakak. Aku merasa tentram di hati.51
Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa Bisri termasuk tokoh
berkembang karena mengalami perubahan karakter sejalan dengan perkembangan
dari awal hingga akhir peristiwa. Pada awalnya digambarkan sebagai tokoh yang
49Ibid., hlm. 70.
50
Ibid., hlm. 70-71.
51Ibid., hlm. 73.
70
suka berolahraga, lebih agresif dari Busra, suka menggoda, menjahili Saraswati
hingga merasa kesal karena dipermainkan. Namun sejak kepergiannya menjadi
tentara, dan tiba-tiba kembali ke rumah sikapnya berubah menjadi lebih berani
hingga melakukan pelecehan seksual pada Saraswati. Pelecehan seksual tersebut
menggambarkan bahwa Bisri termasuk tokoh antagonis karena menjadi penyebab
terjadinya konflik pada tokoh utama. Tetapi selama pergi menjadi tentara dan
memiliki kekasih lalu kembali ke rumah, Bisri berubah lagi menjadi sosok kakak
yang menentramkan hati.
e. Laki-laki Tua Bisu
Bagian empat menjadi awal kemunculan tokoh laki-laki tua bisu ini.
Pengarang tidak memberikan banyak informasi mengenai laki-laki tua bisu ini.
Bahkan pengarang tidak memberikan nama pada tokoh ini. Pengarang
menggambarkan laki-laki tua bisu ini sebagai orang yang kocak, dan suka
menolong orang lain walaupun dengan merendahkan harga dirinya seperti yang
dijelaskan melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut:
…. Semua orang tertawa-tawa melihat tingkah dan gerak-geriknya. Tak
penat-penatnya dia berbicara dengan gerak tangannya. Dia rajin sekali
menolong orang. Mengambilkan air minum, mengambilkan makanan,
bahkan apa saja yang disuruhkan orang.52
Pada bagian empat, diceritakan laki-laki tua bisu ini menjadikan Saraswati
sebagai bahan olok-oloknya demi menggembirakan semua penumpang. Dari
kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa laki-laki bisu ini merupakan tokoh
antagonis karena menyebabkan timbulnya konflik pada tokoh utama seperti yang
diceritakan oleh Saraswati pada kutipan berikut:
…. Sekali dia menyatakan perasaan cintanya terang-terangan dan mengajak
aku menjadi istrinya dengan gerak-gerik di hadapan Angah. Semua orang
tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan melihat permainannya.53
Laki-laki tua bisu ini juga termasuk tokoh tambahan karena tidak banyak
mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap motivasi tokoh
52Ibid., hlm. 13.
53
Ibid.
71
utama untuk mengaktualisasikan diri. Hal ini diperlihatkan pengarang melalui
sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut:
…. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi
orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan lebih hebat dari manusia lainnya, agar
orang-orang jangan selamanya memandang manusia cacat seperti kami
sebagai manusia yang gunanya hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai
orang suruhan semata.54
f. Uni Ros
Guru menjahit dan menyulam ini bernama Uni Ros dan usianya tidak
disebutkan dengan pasti oleh pengarang, hanya saja dijelaskan bahwa ia lebih tua
dari perempuan-perempuan yang ada di tempat kursus itu, sehingga sebutan “uni”
yang digunakan A. A. Navis dalam novel SSGdS berfungsi sebagai panggilan
untuk kakak perempuan. Tokoh Uni Ros dihadirkan pengarang pada bagian
delapan sebagai perempuan yang ramah, namun sempat putus asa karena kesulitan
untuk mengajari Saraswati akibat keterbatasannya dalam berkomunikasi. Hal itu
dipaparkan melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan di bawah ini:
…, karena aku bisu dan tuli. Itulah pangkal kesulitan dari segala macam
kesulitan yang menimpa diriku. Guruku sampai tampak putus asa
memberikan pelajaran kepadaku.55
Keterampilan bagi penyandang disabilitas sangat penting dalam
mengembangkan kemampuan yang mereka miliki, selain itu bakat dan minat
mereka juga dapat tersalurkan dengan baik. Dengan keterampilan menjahit,
menyulam dan merenda yang Saraswati dapatkan dari tokoh ini, akhirnya dapat
memotivasi Saraswati menjadi lebih kreatif dan mandiri menghasilkan uang untuk
memenuhi keperluannya tanpa harus bergantung pada orang lain. Selain itu, ia
juga mampu membantu tetangganya yang miskin. Oleh karena itu, tokoh ini
termasuk dalam tokoh tambahan karena berpengaruh pada aktualisasi tokoh
utama. Hal ini dapat terlihat dari pemaparan tokoh utama dalam kutipan berikut:
…. Yang menyenangkan dari segala-galanya ialah karena aku telah dapat
membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sendiri. Aku telah
54Ibid., hlm. 19.
55
Ibid., hlm. 46.
72
dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak tetangga kami yang
miskin.56
Tetangga lain ada yang mampu memberi imbalan lumayan bila
meminta aku menjahitkan pakaiannya. Lebih dari itu, semua orang di
kampung tempat kami tinggal sangat bersahabat dengan aku.57
g. Guru Andika
Pengarang menghadirkan tokoh ini pada bagian delapan dengan tidak
diketahui pasti usianya. Namun jika dilihat dari penggambaran fisik seluruh
rambut laki-laki ini telah memutih, sehingga dapat dikatakan termasuk usia
dewasa tengah. Laki-laki ini bernama Guru Andika, penyebutan “guru” dalam
nama guru Andika dapat ditafsirkan bahwa tokoh ini adalah tokoh tipikal. Ia
termasuk orang yang sangat ramah. Selain itu ia juga baik hati, ia mengajari
Saraswati dengan penuh kesabaran tanpa mengenal lelah dan putus asa.
Penggambaran tersebut dapat dilihat dari sudut pandang tokoh utama pada kutipan
berikut:
…. Kemudian ditunjuknya huruf-huruf yang serupa pada ketiga kata itu.
Lalu dingangakannya mulutnya lebar-lebar. Aku pun disuruhnya menganga.
Dia melakukannya berulang-ulang. Aku pun meniru. Tapi selalu dia
menggeleng setiap kali aku menganga.58
Selain itu Guru Andika termasuk tokoh tambahan karena tidak banyak
mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap motivasi tokoh
utama untuk mengaktualisasikan diri. Hal ini yang dirasakan Saraswati lewat
kutipan berikut:
…. Tapi itu bukan berarti aku tidak menghormati dan berterima kasih
kepada Busra dan guru Andika. Tanpa mereka, aku tidak mempunyai
hasrat apa pun dalam hidup ini. Merekalah yang membukakan tabir
cakrawala kehidupan yang amat luas itu untukku.59
Untuk memperkuat tema dan alur cerita, A. A. Navis dalam novel SSGdS
menghadirkan beberapa tokoh cerita. Relevansi tokoh dan penokohan harus
dilihat dalam keterkaitannya dengan unsur lain dan perannya dalam cerita secara
56Ibid., hlm. 68.
57
Ibid., hlm.
58Ibid., hlm. 59.
59
Ibid., hlm. 67.
73
keseluruhan. Seperti yang telah dipaparkan di atas tokoh cerita dalam novel
SSGdS menempati posisinya sebagai pembawa dan penyampai pesan atau sesuatu
yang ingin disampaikan kepada pembaca. Selain tokoh utama yakni Saraswati,
terdapat beberapa tokoh tambahan yang berpengaruh pada perjuangan tokoh
utama untuk memperoleh aktualisasi diri. Tokoh-tokoh tersebut memiliki porsinya
masing-masing untuk mengantarkan tokoh utama dalam menghadapi berbagai
kompleksitas masalah yang dihadapi hingga akhirnya mencapai aktualisasi diri.
4. Latar
Pada hakikatnya sebuah cerita fiksi seperti novel SSGdS dilengkapi oleh
tokoh-tokoh lengkap dengan berbagai permasalahan hidupnya. Berbagai
permasalahan tersebut memerlukan tempat berpijak, dimana, kapan dan pada
kondisi sosial-budaya yang seperti apa mereka dikisahkan. Penggambaran latar
secara kongkret dan jelas dapat menciptakan kesan realistis pada pembaca. Di
bawah ini latar pada novel SSGdS akan dianalisis sesuai dengan teori Burhan
Nurgiantoro.
a. Latar waktu
Latar waktu dalam novel SSGDS tidak digambarkan secara gamblang dalam
cerita. Hal ini mengesankan bahwa setiap kejadian yang ada dalam novel dapat
terjadi kapan pun dari waktru ke waktu. Meskipun demikian, terdapat petunjuk
yang menjadi pertimbangan dalam menganalisis latar waktu dalam novel SSGdS.
Terdapat penggambaran latar waktu secara eksplisit yang tertera di bagian sebelas.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
Saudaraku, lama kemudian aku baru tahu, bahwa yang berperang di
masa itu ialah tentara PRRI dengan tentara pemerintah. Kata Busra, kalau
tentara pemerintah tidak beringas, pastilah tentara PRRI akan cepat
menyerah, karena perang itu tidak ada gunanya. Akan tetapi karena pada
diri tentara itu telah ditumbuhkan perasaan membenci, mereka didorong
menjadi beringas, meski kepada bangsa sendiri.60
Diketahui bahwa dalam novel terjadi peristiwa pemberontakan yang melibatkan
dua pihak secara garis besar yaitu daerah dan pusat. “Pusat” yang dimaksud
adalah Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat kekuasaan, dan “daerah”
60Ibid., hlm. 94.
74
yang dimaksudkan adalah Sumatra Barat. Menurut salah satu artikel yang ditulis
oleh D. Kusahistoryan, salah satu pemicu terjadinya pemberontakan adalah
munculnya ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah. Pihak yang tidak puas
terhadap kondisi tersebut menamakan gerakan mereka sebagai Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 10 Februari 1958 di
Padang.61
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengarang menggunakan
latar waktu cerita sekitar tahun 1958. Pemilihan latar waktu ini digunakan
pengarang bukan tanpa alasan sebab saat itu pemerintah kurang memperhatikan
hal-hal yang bersifat minoritas seperti kaum disabilitas. Kegelisahan tersebut yang
melandasi pengarang untuk menyampaikan kritik melalui tokoh utama terhadap
keadaan masyarakat pada masa itu.
Kemudian latar lainnya yang terdapat dalam novel SSGdS ialah waktu pagi,
dan malam hari. Berikut kutipan-kutipan yang mengacu pada latar waktu tersebut:
1) Pagi hari
…. Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh, aku melepaskan itik-itik itu lalu
menghalaunya ke kolam yang telah tak digunakan lagi.62
.... Setelah pagi-pagi aku memberi makan itik, barulah kemudian aku giring
kambing-kambing itu ke pemakaman menyusuri rel kereta api.63
2) Malam hari
.... Dan ketika mula-mula tidur di kamar itu. Saudaraku, air mataku
tergenang-genang tanpa aku sadari. Padahal aku telah berjanji takkan
menangis lagi.64
... pada suatu malam timbullah perasaan duka melanda sanubariku. Waktu
itu mataku sukar terlelap, Saudaraku. Banyak pikiran timbul berebutan di
benakku. Aku yang telah mulai serasi dengan lingkungan, aku yang telah
mulai pasrah pada kekuatan-kekuatan yang tak dapat aku lawan, tiba-tiba
saja menjadi kalap.65
61D. Kusahistoryan, “Kabupaten Solok Pada Masa PRRI”, 2009, (http:// Peristiwa
PPRI/PRRI Dahulu, Kini dan Nanti KABUPATEN SOLOK PADA MASA PRRI.htm), diakses
pada tanggal 13 Oktober 2015 pada pukul 13.34 WIB.
62A. A Navis, op. cit., hlm. 24.
63
Ibid., hlm. 33.
64Ibid., hlm. 32.
65
Ibid., hlm. 35.
75
Sampai tengah malam, ketika aku berbaring di ranjang dalam kamar
sepen itu, pikiran untuk belajar mengenal huruf dan kumpulan huruf itu
terus mengusik benakku.66
A. A. Navis memilih penggambaran latar waktu ini berfungsi untuk memberi
kesan dan memperkuat isi cerita. Pagi hari menggambarkan keadaan untuk
memulai segala aktivitas dengan semangat. Begitupun Saraswati yang setiap pagi
sudah menggembalakan ternak. Sosok Saraswati dalam novel SSGdS
mencerminkan sosok perempuan yang bekerja keras meskipun ada dalam
penderitaan. Latar selanjutnya malam hari, pada kutipan pertama terlihat
kesedihan dan kemeranaan yang dialami Saraswati akibat ketidakadilan yang
diterima dari keluarga Angah. Selanjutnya pada kutipan kedua menggambarkan
perasaan tidak karuan yang harus dirasakan Saraswati sebelum akhirnya ia melakukan
protes akibat ketidakadilan tersebut. Pada kutipan terakhir, tengah malam menjadi
latar waktu yang digunakan pengarang pada kutipan ketiga untuk menciptakan
suasana sunyi karena biasanya saat itu semua orang telah tertidur. Namun saat itu
keinginan Saraswati untuk belajar mengetahui huruf-huruf terus muncul
mengganggu pikirannya. Dengan latar malam hari pembaca lebih merasakan
penderitaan dan kesusahan yang dialami tokoh utama.
b. Latar tempat
Latar tempat mengacu pada penggambaran keadaan bangunan, tempat atau
letak geografis yang terdapat dalam cerita dan sebagainya. Latar tempat dalam
novel ini berperan kuat dalam jalannya cerita.
Latar tempat yang pertama muncul dalam cerita adalah Jakarta.
Penggambaran latar ini memberi arahan kepada pembaca bahwa tokoh utama
yang hidup bahagia menjadi berubah dengan kesedihan akibat kehilangan seluruh
anggota keluarganya dan harus meninggalkan Jakarta untuk tinggal bersama
Angah. Latar tempat ini dapat dilihat pada kutipan:
Dalam perasaan gamang itulah aku meninggalkan kota Jakarta. Kota
yang telah memberi tempat cinta kasih ayah bundaku. Kota yang memberi
66Ibid., hlm. 50.
76
naungan hidup bersama semua saudara-saudaraku. Aku meninggalkan
Jakarta, meninggalkan segala yang aku cintai.67
Selanjutnya, latar tempat yang kedua yakni di atas kapal menuju Padang
Panjang. Tempat ini digunakan pengarang untuk memunculkan konflik Saraswati
dengan seorang laki-laki tua bisu. Dari konflik tersebut pengarang memunculkan
motivasi Saraswati untuk mengaktualisasikan dirinya. Latar tempat ini dapat
dilihat pada kutipan berikut:
…. Sungguh hatiku tak tahan menderita penghinaan demikian. Maulah aku lari
dan terjun ke laut karenanya. Dan tak seorang pun yang membelaku. Oh, tak
seorang pun. Angah malah ikut tertawa, karena angah pun mengharapkan
bantuan laki-laki bisu itu untuk mengambil ransum kapal. Dan untuk
mengharapkan bantuan kecil itu, dibiarkan aku diolok-olok terus.68
…. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi
orang bisu-tuli yang hebat.69
Kemudian, latar tempat ketiga yaitu Padang Panjang. Padang Panjang
dipilih pengarang sebagai latar cerita perjuangan Saraswati dalam memperoleh
aktualisasi diri. Di tempat ini akan muncul berbagai tokoh lain dan konflik yang
harus dihadapi tokoh utama hingga akhirnya memperoleh aktualisasi diri. Latar
tempat ketiga ini akan dibagi lagi menjadi beberapa tempat sesuai peristiwa yang
dialami oleh tokoh utama, yakni:
Pengarang menyuguhkan pembaca berupa pelukisan rumah Angah yang
akan menjadi tempat tinggal Saraswati untuk memulai kehidupan barunya di
Padang Panjang. Di tempat ini menjadi awal perjumpaan Saraswati dengan tokoh-
tokoh lain yang berpengaruh pada hidupnya yakni Busra dan Bisri. Berikut ini
kutipannya:
…. Aku masih ingat rumah itu, karena dulu aku sering bertandang ke sana
sebelum Ayah pindah ke Jakarta. Rumah itu rumah kayu yang dicat hijau.
Kecil saja ukurannya. Hanya dua kamarnya. Kamar depan lebih kecil dari
kamar belakang. Di bagian belakang ada kamar sepen. Letaknya di serambi
67Ibid., hlm. 12.
68
Ibid., hlm. 14.
69Ibid., hlm. 19.
77
terbuka yang terpisah dari ruang dalam oleh pintu. Rumah Angah berkolong
tinggi. Ada tangga kayu untuk naik-turun.70
Busra mengangkat semua barang bawaan kami ke rumah. Tak
dibiarkannya aku ikut mengangkat. Dalam pengamatanku, hampir hampir
tidak ada perubahan isi dalam rumah itu. Sama seperti sepuluh tahun yang
lalu. Hanya beberapa gambar dinding yang berubah. Sekarang banyak
digantungkan gambar bintang film india.71
Aku lihat Bisri membongkar keranjang buah-buahan. Dipilihnya buah
salak yang besar. Lalu duduk di tepi ranjang Angah. Sambil mengunyah-
ngunyah dia terus juga memandangku.72
Selain itu, rumah Angah digunakan pengarang untuk menggambarkan
perlakuan tidak adil yang dialami tokoh utama. Hal tersebut terjadi saat
kepulangan Pak Angah dan Saraswati diberikan kamar yang letaknya terpisah
dengan rumah, sehingga latar tempat ini menjadi salah satu gambaran konflik
hidup tokoh utama seperti pada kutipan di bawah ini:
…. Karena serambi belakang dan kamar sepen terpisah dari ruang dalam
oleh pintu yang harus dikunci bila malam, maka selanjutnya aku tidur
terpisah dari seluruh penghuni rumah itu.73
Rumah Angah juga menjadi tempat Saraswati melakukan aksi protes dari
ketidakadilan yang diterimanya dari keluarga Angah. Dari peristiwa tersebut,
pengarang menjadikan latar tempat ini sebagai puncak dari konflik-konflik yang
dialami oleh tokoh utama terlihat pada kutipan di bawah ini:
Aku gedor-gedor pintu belakang sekuat tenagaku. Pintu terbuka. Yang
membukanya Busra. Aku langsung menerobos masuk tanpa menghiraukan
dia yang tercengang memandangku. Aku terus masuk ke kamar Angah. Aku
ingin menanyakan kenapa aku dijadikan penggembala ternak di rumah itu.74
Di pendam perkuburan, yang jaraknya lima ratus meter dari rumah menjadi
tempat Saraswati memberi makan kambing-kambing. Pengarang menggunakan
tempat ini untuk menggambarkan peristiwa penindasan yang dilakukan anak-anak
70Ibid., hlm. 16.
71
Ibid., hlm. 18.
72Ibid., hlm. 21.
73
Ibid., hlm. 31.
74Ibid., hlm. 36.
78
kecil terhadap Saraswati. Hal tersebut menjadi gambaran konflik lain yang terjadi
dalam hidup Saraswati seperti pada kutipan berikut:
…. Mereka suka mengganggu bila bertemu denganku seorang diri
menggembalakan ternak. Malah kadang-kadang mereka melempariku
dengan ranting atau batu-batu kecil, atau dengan tanah atau pasir. Lalu
mereka lari menjauh dengan gembira.75
Latar tempat selanjutnya yakni, tempat kursus menyulam dan menjahit yang
tidak begitu jauh dari rumah. Di tempat ini Angah mempertemukan dengan Uni
Ros untuk mengembangkan potensi dan keterampilannya. Tempat ini dipilih
pengarang sebagai awal terbukanya kesempatan Saraswati sebagai gadis difabel
untuk mengaktualisasikan diri seperti pada kutipan berikut:
…. Kini aku tahu, bahwa aku dititipkan di sana untuk belajar menyulam dan
menjahit.76
Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam.
Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya.77
Latar tempat selanjutnya yakni rumah guru Andika. Rumah itu tidak begitu
jauh dari rumah Angah. Rumah guru Andika menjadi tempat Saraswati belajar
memperoleh keterampilan berbahasa agar dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Latar tempat ini digunakan pengarang untuk memperlihatkan proses Saraswati
dalam memperoleh aktualisasi diri seperti pada kutipan di bawah ini:
Besok harinya oleh Busra aku dibawa lagi ke rumah orang tua itu.
Lagi-lagi aku disuruh menyebut α dan u dan menuliskannya. Kemudian aku
disuruh menulis huruf o dengan menyuarakannya dengan memonyongkan
mulutku sama seperti menyuarakan huruf u, tapi dengan mulut lebih
terbuka. Alangkah sulitnya bagiku. Setelah seminggu barulah aku dapat
menyuarakan kelima huruf itu, Saudaraku.78
Akhirnya di Padang Panjang Saraswati memperoleh aktualisasi dirinya.
Secara otomatis tempat ini menjadi penyelesaian dari konflik-konflik hidup
Saraswati. Di tempat ini juga pengarang menyampaikan pesan pada pembaca
75Ibid., hlm. 25.
76
Ibid., hlm. 46.
77Ibid.
78
Ibid., hlm. 60-61.
79
lewat pencapaian tokoh utama dalam membuktikan potensi yang ia miliki seperti
pada kutipan:
…. Yang menyenangkan dari segala-galanya ialah karena aku telah dapat
membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sendiri. Aku telah
dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak-anak tetangga kami yang
miskin. Bukan kepalang gembiranya mereka ketika menerima hasil
kerjaku.79
Tetangga lain ada yang mampu memberi imbalan lumayan bila
meminta aku menjahitkan pakaiannya. Lebih dari itu, semua orang di
kampung tempat kami tinggal sangat bersahabat dengan aku. Mereka selalu
menyapaku bila aku berpapasan atau lewat di depan rumah mereka dengan
melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Senakal apa pun anak-anak,
mereka tidak lagi menggodaku.80
Dalam seluruh latar tempat pada novel SSGdS pengarang menggambarkan
tempat-tempat penting bagi Saraswati sebagai tokoh utama untuk mencapai
aktualisasi dirinya. Demikian latar tempat di sini memiliki keterkaitan yang erat
dengan tema yang telah dipaparkan sebelumnya. Meskipun harus bergulat dengan
berbagai kesunyian, namun dengan motivasi yang tinggi dan penuh perjuangan
akhirnya Saraswati berhasil melalui berbagai cobaan hidup yang menimpanya.
Dengan demikian latar tempat pun terkait erat dengan alur yang menjadi jalan
cerita tokoh utama.
c. Latar sosial-budaya
Latar sosial sangat erat hubungannya dengan latar tempat dan waktu. Dalam
novel SSGdS, pengarang menampilkan latar sosial masyarakat Padang Panjang.
Latar sosial yang menjadi sorotan adalah kebiasaan hidup, tradisi, serta cara
berpikir dan bersikap. Mata pencaharian penduduk yang memiliki corak
sederhana biasanya sangat berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber
daya alam contohnya pertanian, perkebunan, dan peternakan. Sama seperti
penduduk asli kota Padang Panjang yang melakukan kegiatan pertanian,
perkebunan dan peternakan sebagai sumber kehidupan. Dalam novel SSGdS
79Ibid., hlm. 68.
80
Ibid.
80
pemanfaatan lahan untuk perkebunan diperlihatkan pengarang dari kondisi
halaman rumah Angah yang luas seperti pada kutipan di bawah ini:
…. Halaman rumah Angah luas juga. Barangkali akan dapat dibangun
empat rumah lagi. Tidak akan sampai berdempet-dempet seperti rumah-
rumah di Jakarta. Halaman samping-menyamping rumah ditanami sayuran
ubi-ubian.81
Selain itu, pengarang memperlihatkan bahwa mata pencaharian masyarakat
Padang Panjang yakni dengan beternak. Seperti yang dialami oleh Saraswati
setelah berada di Padang Panjang, ia belajar bagaimana memelihara dan
menggembalakan itik, kambing serta ayam agar uang hasil penjualan hewan-
hewan itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Latar sosial
tersebut terdapat pada kutipan berikut:
…. Setelah pagi-pagi aku memberi makan itik, barulah kemudian aku giring
kambing-kambing itu ke pemakaman menyusuri sisi rel kereta api.
Sepanjang jalan aku biarkan kambing itu mencari makan pada tebing di sisi
rel, sambil aku memegang ujung talinya.82
…. Rupanya dia ingin aku membuka usaha peternakan ayam dengan modal
dari uangku sendiri, agar aku mandiri dan tidak tergantung pada belas
kasihan orang lain.83
Secara fisik, penggambaran sebuah desa diwarnai dengan kehijauan
alamnya, dikelilingi gunung-gunung, lembah-lembah atau hutan, dan umumnya
belum sepenuhnya digarap manusia. Penggambaran desa yang indah dengan
hamparan hijaunya persawahan yang membentang sampai ke kaki gunung dan
perkampungan yang dikelilingi pohon-pohon rindang terdapat pada novel SSGdS
yang diperlihatkan pengarang pada kutipan berikut:
Alam di bawah indah sekali. Sesayup mata memandang aku lihat
persawahan membentang sampai ke kaki gunung yang puncaknya diliputi
awan. Kaki gunung itu bersalaman dengan kaki gunung di sebelahnya yang
puncaknya tidak berawan. Di tengah-tengah persawahan yang luas itu,
banyak kampung-kampung berserakan. Atap seng rumah kelihatan di sela-
sela pohon-pohon yang rindang dan pohon yang nyiur.84
81Ibid., hlm. 16.
82
Ibid., hlm. 33.
83Ibid., hlm. 65.
84
Ibid., hlm. 115.
81
Di samping indahnya pemandangan yang masih hijau dan asli, cara bersikap
masyarakat desa cenderung ramah. Hal ini mencerminkan nilai budaya dan
karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi persaudaraan,
saling menghormati dan menghargai orang lain. Dalam kehidupan kita
memerlukan interaksi yang baik dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Salah
satu caranya dengan tegur sapa. Dalam novel diperlihatkan pengarang lewat
sambutan orang-orang kampung terhadap kedatangan Saraswati di Padang
Panjang. Sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat di lingkungan tersebut
membuat Saraswati merasa dihargai seperti pada kutipan berikut:
…. Mereka menegurku dengan lambaian tangan atau dengan tawa ramah.
Aku hanya membalas dengan senyum, karena aku tidak suka menggunakan
tangan untuk berbicara.85
Pada dasarnya manusia adalah makluk sosial yang membutuhkan manusia
lainnya. Pola hubungan sosial pada masyarakat desa sangat terasa sekali
dibandingkan masyarakat perkotaan karena masyarakat desa senantiasa bergotong
royong dalam segala hal. Gotong-royong merupakan budaya yang diwarisi oleh
nenek moyang kita. Dengan sikap ini akan terjalin kerjasama baik antar warga.
Terlihat dalam novel SSGdS bahwa masyarakat di Padang Panjang yang masih
mempertahankan perilaku-perilaku baik ini. Dari kutipan di bawah ini terlihat
bahwa mereka masih bergotong-royong membersihkan pasar, bendar atau jalan
akibat dari kerusuhan yang terjadi di daerah itu:
…. Busra tidak lagi ke sekolah. Namun hampir setiap pagi ia keluar rumah
seperti laki-laki lainnya. Pergi membawa pacul dan sapu lidi. Lama baru aku
tahu, Busra pergi bergotong-royong membersihkan pasar, bendar atau jalan
karena tidak ada lagi petugas yang mesti melakukannya.
Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang
tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik.
Namun, kehidupan yang tadinya tentram dan damai berubah menjadi kacau.
Terjadi perang di Padang Panjang digunakan pengarang sebagai salah satu pemicu
85Ibid., hlm. 24.
82
terjadinya pemberontakan dan munculnya ketidakpuasan daerah terhadap
pemerintah. Banyak tentara berseragam hijau yang hilir mudik dengan senjatanya.
Terjadi pemukulan yang dilakukan oleh tentara-tentara itu kepada orang-orang
kampung hingga babak belur dan mengganggu perempuan yang lewat di jalan.
Rumah Angah tidak luput dari kepungan para tentara itu. Mereka menggeledah isi
rumah dan melakukan penganiayaan terhadap Busra, Angah dan Saraswati seperti
pada kutipan di bawah ini:
…. Wajah mereka pitam ketika berbicara dengan Angah dan Busra.
Mereka menggeledah isi rumah, sehingga semua terbusai-busai dari
tempatnya, tak karuan. Salah seorang memandangku dengan sinar mata
yang mengecutkan hati. Gemetar aku karenanya. Lalu dia mendekat.
Tangannya diulurkan ke dadaku. Ketika aku mengelak dan hendak
menyingkir, aku didesaknya ke dinding. Sehingga aku tergencet dan
menjerit-jerit.86
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa latar dengan
penokohan memiliki hubungan yang erat. Hal ini tercermin dari peristiwa dalam
novel SSGdS yang terjadi sekitar tahun 1958. Pada masa itu sedang terjadi
pemberontakan PRRI yang disebabkan adanya ketidakharmonisan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terutama di Padang Panjang. Dengan
membungkus tema besar dengan berlatar waktu, tempat dan sosial budaya
tersebut, A. Navis memberikan suguhan lika-liku problematika kehidupan yang
harus dihadapi tokoh difabel meskipun harus bergulat dengan berbagai kesunyian,
kesedihan, pelecehan, ketidakadilan, penindasan dan ketegangan. Dengan
motivasi yang tinggi dan penuh perjuangan akhirnya tokoh difabel dalam novel
SSGdS berhasil mengaktualisasikan diri.
5. Sudut pandang
Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang membawakan cerita atau
narator. Hal ini berkaitan pada pendapat Wahyudi Siswanto tentang pengertian
sudut pandang yakni “tempat sastrawan memandang ceritanya.”87
Dari tempat ini
pengarang menceritakan peristiwa sesuai dengan latar yang dialami tokoh dengan
gayanya sendiri. Pemilihan sudut pandang yang tepat akan membuat cerita
86Ibid., hlm. 89.
87
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm. 151.
83
menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan keterikatan, sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Dalam novel SSGdS pengarang menggunakan sudut
pandang orang pertama sebagai pelaku utama dari awal sampai akhir cerita. Pada
bagian awal cerita pengarang menggambarkan tokoh “aku” seolah-olah sedang
menulis catatan harian dari pengalaman hidupnya dan mengajak pembaca untuk
ikut serta memberikan pendapat terhadap keseharian tokoh, dibuktikan dengan
penggunaan diksi “Saudaraku”. Hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri bagi
pembaca novel SSGdS karya A. A. Navis seperti pada kutipan berikut:
Engkau tidak akan tahu kenapa duniaku mesti sunyi, Saudaraku. Aku
juga tidak tahu. Semua orang mengatakan, itulah suratan nasib. Kenapa
hidup seperti ini dipilihkan nasib bagiku. Aku tidak tahu. Hanya Tuhanlah
yang tahu. Maka berkembanglah duniaku sendiri yang tak dapat kau kenal,
dunia tanpa bunyi dan suara. Karena aku tuli dan karenanya pula aku bisu.88
Jika dilihat pada kutipan di atas, “Aku” memulai cerita dengan kebingungan akan
nasib yang harus diterimanya. Hidup dengan kesunyian karena kondisinya yang
(difabel) bisu-tuli menjadi informasi awal yang disampaikan oleh pengarang lewat
tokoh “aku” sebagai pengantar munculnya cerita, sehingga dapat dikatakan bahwa
“aku” terlibat dalam cerita yang diceritakannya sendiri sekaligus menjadi tokoh
dalam ceritanya.
Dengan menggunakan sudut pandang “aku” sebagai pelaku utama, tokoh
“aku” lebih bebas menggambarkan tokoh-tokoh dan menceritakan segala bentuk
peristiwa yang ada dalam cerita berdasarkan sudut pandangnya seperti pada salah
satu kutipan di bawah ini:
… Aku tidak tahu bahasa yang ada di dalam bacaan itu. Aku pun kecewa
lagi. Hatiku menjadi sedih. Jalan untuk maju sudah tampak pada mulanya.
Tapi rupanya jalan itu bukan jalan untuk aku yang bisu-tuli. Kalau sebagai
orang bisu aku dapat membaca tentulah ayah yang menyayangiku telah
lebih dahulu memberi pelajaran. Namun aku terus juga berpikir-pikir. Suatu
jalan bagiku untuk mengenal dunia yang lebih luas dan lebih indah tentu ada
ambang pintunya untuk aku masuki.89
88A. A Navis, op.cit., hlm. 1.
89
Ibid., hlm. 40.
84
Pada kutipan di atas terlihat bahwa tokoh “aku” menjadi pencerita dalam novel
SSGdS. Penggunaan sudut pandang ini menunjukkan bahwa pengarang tidak ikut
terlibat dalam cerita. Posisi pencerita pada sudut pandang ini terdapat pada tokoh
utamanya yakni Saraswati. A. A. Navis berusaha untuk memunculkan seorang
tokoh utama yang sama sekali berbeda dengan karya-karya sebelumnya yakni
gadis tuli dan bisu. Pengarang menggunakan sudut pandang ini dengan tujuan
membuat pembaca seolah-olah masuk ke dalam cerita dan ikut merasakan
kehidupan seorang difabel, bagaimana harus bertahan dengan lingkungan yang
kadang mengkhianatinya, dan bagaimana perjuangannya dalam memperoleh
aktualisasi diri. Dengan demikian sudut pandang “aku” sebagai tokoh utama
memiliki kelebihan dibanding penggunaan sudut pandang lain dalam hal
keterikatan terhadap pembaca.
6. Gaya bahasa
Gaya bahasa menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk
menghadapi situasi tertentu. Dalam mengisahkan ceritanya, A. A. Navis
membuka cerita dengan menggunakan diksi yang amat puitis untuk mengenalkan
tokoh utama, dibuktikan dengan kutipan berikut:
Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi,
tanpa suara. Segala-galanya sunyi.90
Kutipan di atas dijadikan pengantar untuk memahami novel ini. Bila kita cermati
kutipan tersebut dapat terlihat bahwa pengarang menggunakan kata “sunyi”
berkali-kali. Penggunaan gaya bahasa ini berfungsi memberi penekanan lebih dan
mengkongkretkan gambaran perasaan tokoh utama. Dengan kemahirannya
tersebut pembaca seolah-olah dapat merasakan bagaimana kesunyian yang
dialami oleh tokoh utama.
Selain itu, dalam novel A. A Navis juga menyelipkan kosa kata dalam
bahasa Minangkabau untuk lebih menonjolkan latar cerita. Salah satunya pada
kutipan berikut:
90Ibid., hlm. 1.
85
Saudaraku, ketika mula-mula tiba di kota kecil Padang Panjang, aku
punya tiga pasang sandal. Sekarang tiga-tiganya telah hancur oleh kakiku
yang senantiasa menginjak lunau dan lumpur ketika aku menggembalakan
ternak.91
Kutipan di atas menggambarkan bahwa kebutuhan fisiologis Saraswati tidak
tercukupi selama di Padang Panjang. Terlihat dari rusaknya seluruh sandal yang
dimiliki Saraswati akibat menginjak lunau saat menggembalakan ternak. Kata
Lunau berasal dari bahasa Minangkabau nomina (kata benda) artinya lumpur yang
dihanyutkan banjir.92
Penggunaan bahasa Minangkabau dalam novel tidak hanya
dilihat dari latar cerita saja, tetapi juga penamaan tokoh seperti Angah dan Uni
Ros. Munculnya kosa kata bahasa daerah tersebut menandakan bahwa novel ini
menggunakan campur kode. Selain menggunakan kosa kata bahasa daerah,
terdapat beberapa macam gaya bahasa dalam novel SSGdS di antaranya:
a. Sinisme
Menurut Burhan, sinisme digunakan untuk menyindir atau mengkritik
sesuatu secara terus terang atau tajam.93
Penggunaan majas ini dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
.... Tak seorang pun diantara mereka yang menjadi manusia sama layaknya
dengan manusia lainnya. Di mana pun orang-orang bisu seperti aku
hanyalah jadi bahan olok-olok anak-anak belaka. Hanya jadi orang suruhan
belaka. Aku kenal sebuah keluarga yang menaruh seorang perempuan bisu
di rumahnya. Kerjanya hanya mencuci baju orang.94
A. A. Navis menggunakan gaya bahasa ini sebagai sindiran terus terang terhadap
potret penyandang disabilitas dalam masyarakat melalui tokoh Saraswati.
Keterbatasan membuat Saraswati dipandang sebelah mata dan tersisih dari
masyarakat sehingga kerap dilecehkan ataupun diperlakukan tidak adil. Tidak
terpenuhinya HAM bagi kaum difabel juga menjadi masalah yang dikritisi oleh A.
A. Navis dalam novel SSGdS.
91Ibid., hlm. 29.
92
___, “Arti Kata Indonesia Inggris Kamus Lengkap”, 2015, (www.artikata.web.id),
diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.29 WIB.
93Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2013), hlm. 404.
94A. A Navis, op. cit., hlm. 11.
86
b. Ironi
Menurut Burhan, ironi digunakan untuk menyindir atau mengkritik sesuatu
secara halus atau intensitasnya rendah.95
Ironi akan berhasil jika pembaca sadar
akan maksud yang tersembunyi di balik rangkaian kata-kata seperti kutipan
berikut:
.... Aku menangis karena nasibku telah dimalangkan oleh lingkungan tempat
aku menumpang hidup. Dimalangkan oleh bangsaku. Dimalangkan oleh
orang bisu lainnya.96
Secara tidak langsung A. A. Navis menggunakan tokoh Saraswati dengan segala
peristiwa yang dialaminya menjadi sindiran kepada masyarakat Indonesia pada
masa itu. Pada masa itu (1958) fokus masyarakat Indonesia hanya pada birokrasi
dan politik sehingga kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat minor seperti
kaum disabilitas.
c. Repetisi
Repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat
yang dianggap penting berfungsi untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks.97
Penggunaan repetisi dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Engkau, Saudaraku, barangkali pernah mencoba hidup tanpa
pengharapan pada suatu masa. Engkau barangkali pernah mencoba hidup
diolok-olok sepanjang hari. Engkau barangkali pernah merasakan hidup
berputus asa. Engkau barangkali pernah hidup dalam kesakitan hati karena
dilecehkan.98
Sebagai gadis bisu-tuli, Saraswati merasa tertekanan dan sering merenungi nasib.
Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan
timbul perasaan takut, merasa diperlakukan tidak adil, dilecehkan dan kurang
dihargai. A. A. Navis menggunakan gaya bahasa ini sebagai penegas terhadap
kegelisahan hati Saraswati sehingga pembaca ikut merasakan hal tersebut.
95Burhan Nurgiantoro, loc. cit.
96
A. A Navis, op. cit., hlm. 13.
97Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.
127.
98A. A Navis, op. cit., hlm. 14.
87
d. Elipsis
Elipsis berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah
dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca, sehingga struktur kalimatnya memenuhi
pola yang berlaku.99
Penggunaan elipsis dapat dilihat dalam kutipan:
Dan … pada suatu malam timbullah perasaan duka melanda
sanubariku. Waktu itu mataku sukar terlelap, Saudaraku. Banyak pikiran
timbul berebutan di benakku.100
Secara tidak langsung pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk
memperlihatkan kesedihan yang dialami Saraswati akibat perlakuan tidak adil
yang diterima dari keluarga Angah. Ketidakailan yang diterima Saraswati pada
kutipan di atas terjadi saat Saraswati disuruh menempati kamar yang jorok,
berdebu dan terpisah dari rumah.
e. Eufemismus
Eufemismus semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan halus untuk
menggantikan sesuatu yang dirasa tidak menyenangkan.101
Penggunaan
eufemismus dapat dilihat dalam kutipan:
Dan sekarang, segalanya telah tiada. Mereka hilang secara serentak
dari duniaku.102
Kutipan di atas menggambarkan kesedihan Saraswati setelah mengetahui
kematian seluruh anggota keluarga yang ia sayangi. Pengarang menggunakan
“Mereka hilang serentak dari duniaku” sebagai media penyampai makna “mati”
yang disampaikan dengan bahasa yang lebih halus.
f. Antitesis
Antitesis merupakan sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang
bertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan.103
Penggunaan
antitesis dapat dilihat dalam kutipan:
99Gorys Keraf, op. cit., hlm. 132.
100
A. A Navis, op. cit., hlm. 35.
101Gorys Keraf, loc. cit.
102
A. A Navis, op. cit., hlm. 10.
103Gorys Keraf, op. cit., hlm. 126.
88
…. Aku senang menonton film, tapi yang sekali ini tidaklah menyenangkan
hatiku, Saudaraku.104
Pengarang menggunakan majas ini untuk menggambarkan bentuk pertentangan
yang terjadi dalam diri Saraswati. Adanya perubahan sikap yang terlihat pada
kutipan yakni kesenangan Saraswati menonton film berubah akibat kejadian di
film itu mengingatkannya pada pelecehan seksual yang dilakukan Bisri.
g. Retoris
Retoris merupakan semacam pertanyaan yang digunakan dalam tulisan
dengan tujuan mendapat efek penekanan yang lebih mendalam dan sama sekali
tidak memerlukan jawaban.105
Penggunaan retoris dapat dilihat dalam kutipan:
…. Apakah arti hidup di tengah-tengah manusia banyak kelak? Kenapa
Tuhan menyediakan orang-orang cacat di tengah-tengah manusia lain yang
tidak cacat? Apakah maksudNya? Apakah maksud Tuhan agar kami, orang-
orang cacat dijadikan sebagai contoh betapa dahsyat azabNya di akhirat
kelak? Dan kenapa itu dilakukan Tuhan, padahal kami tidak pernah
melakukan kejahatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
cacat?106
Dengan majas ini pengarang menggambarkan kegelisahan hati seorang difabel
atas nasib yang diberikan Tuhan kepadanya. Dari gaya bahasa ini terlihat sikap
Saraswati yang seringkali tersiksa dengan kerendahdirian akibat keterbatasannya.
h. Hiperbola
Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan dan terkesan membesar-besarkan.107
Penggunaan
hipebola dapat dilihat dalam kutipan:
Biasanya aku baru pulang menjelang matahari tepat di ubun-ubun.108
Kutipan di atas menggambarkan kebiasaan yang dilakukan Saraswati setelah
menaruh kambing-kambing di pemakaman. Kata “matahari tepat di ubun-ubun”
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada siang hari yang
104A. A Navis, op. cit., hlm. 82.
105
Gorys Keraf, op. cit., hlm. 134.
106A. A Navis, op. cit., hlm. 12.
107
Gorys Keraf, op. cit., hlm. 135.
108A. A Navis, op. cit., hlm. 35.
89
sangat terik. Gaya bahasa ini digunakan A. A. Navis untuk menekankan latar
waktu suatu peristiwa yang di alami oleh Saraswati secara berlebihan.
i. Simile
Simile merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu sama dengan hal
yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya secara eksplisit menunjukkan
kesamaan yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan
sebagainya.109
Penggunaan simile dapat dilihat dalam kutipan:
…. Kadang-kadang ada ulat yang menjalar sambil membungkuk seperti
gelombang laut.110
Pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk menggambarkan kekaguman
Saraswati terhadap keadaan alam yang dirasakan dan dilihatnya saat
menggembala ternak di pemakaman. Gaya bahasa ini sebagai perumpamaan di
mana dalam bayangan Saraswati ulat yang menggeliat di atas daun mirip dengan
gelombang laut. Hal ini diciptakan pengarang sebagai penggambaran sikap
Saraswati yang mencintai alam sekaligus media hiburan akan masalah-masalah
hidupnya.
j. Personifikasi
Personifikasi merupakan semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.111
Penggunaan personifikasi dapat dilihat dalam kutipan:
Aku tidak berduka lagi, Saudaraku. Dunia sekitarku menari-nari.
Awan di langit, burung di ranting, rama-rama di rumput bunga, saling
berdansa seolah ikut memeriahkan hatiku yang riang dan senang.112
Pada kutipan di atas terdapat perumpamaan “dunia sekitarku menari-nari. Awan
di langit, burung di ranting, rama-rama di rumput bunga, saling berdansa ikut
memeriahkan hatiku yang riang dan senang”. Pengarang menggunakan majas ini
sebagai penegasan perasaan Saraswati yang saat itu sedang jatuh cinta pada Bisri.
Terlihat sekali betapa bahagianya Saraswati mendapat surat dari Bisri.
109Gorys Keraf, op. cit., hlm. 138.
110
A. A Navis, op. cit., hlm. 34.
111Gorys Keraf, op. cit., hlm. 140.
112
A. A Navis, op. cit., hlm. 85.
90
Penggunaan gaya bahasa yang menarik tidak akan menimbulkan kesan
monoton atau membosankan bagi pembaca. Hal ini yang dilakukan A. A. Navis
dalam novel SSGdS dengan banyak menggunakan gaya bahasa untuk
mempertegas perjuangan tokoh difabel dalam memperoleh aktualisasi diri.
7. Amanat
Pada novel SSGdS pengarang menggambarkan tema besar yakni perjuangan
tokoh difabel untuk memperoleh aktualisasi diri dengan gaya bahasa yang
menarik. Dari tema besar yang diungkapkan dalam cerita melalui sikap dan
tingkah laku tokoh-tokoh terdapat makna kehidupan yang menjadi pesan atau
amanat penting bagi pembaca agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
seperti yang terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini:
Di mana pun juga orang cacat seperti aku, tidak pernah dipandang
seperti manusia sebagaimana wajarnya manusia. Seolah-olah hak kami
hanyalah untuk menjadi manusia kelas terbawah.113
…. Bukan saja pernah aku alami di Jakarta, juga pernah aku lihat seorang
bisu dijadikan bahan olok-olok semata.114
…. Satu-satunya yang tidak bisa diberikan Ayah dibandingkan dengan
saudaraku yang lain, yaitu pendidikan di sekolah. Itu aku tahu, karena
memang belum ada sekolah untuk anak bisu-tuli di Jakarta, tempat kami
tinggal.115
…. Tidak bolehkah seorang gadis bisu-tuli mempunyai pekerjaan yang lain
sampai akhir hayatnya?116
Dari kutipan-kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa kisah dalam novel ini
memberi kita banyak pelajaran bagaimana arti kehidupan kaum difabel di tengah
masyarakat. Melalui novel SSGdS, A. A. Navis ingin memberikan gambaran
realita penyandang disabilitas yang selama ini terlupakan. Bagaimana penyandang
disabilitas dipandang “berbeda” dengan manusia lain. Bagaimana penyandang
disabilitas mendapat perlakuan yang tidak baik di tengah-tengah masyarakat.
113Ibid., hlm. 12.
114
Ibid., hlm. 25.
115Ibid., hlm. 8.
116
Ibid., hlm. 29.
91
Kemudian, bagaimana penyandang disabilitas tidak mendapat hak yang sama
dalam hal pendidikan dan pekerjaan.
Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) merupakan novel yang bercerita
mengenai tokoh Saraswati yang terlahir sebagai gadis difabel dengan segala
kesunyian, penderitaan dan cobaan yang dialami. Namun akhirnya terjadi
perubahan motivasi tokoh Saraswati ke arah yang lebih berani, berkemauan kuat,
serta memiliki tekad untuk mengaktualisasikan diri.
…. Saudaraku, tidak pernah aku bayangkan bahwa gadis bisu-tuli masih
bisa belajar. Aku merasa pilu, bahkan iri bila melihat anak-anak seusiaku ke
sekolah, sedangkan aku hanya dapat tinggal di rumah saja. Tapi ternyata di
dunia ini banyak keajaiban-keajaiban yang dapat dicapai kalau kita mau,
Saudaraku.117
Kutipan di atas menggambarkan keberhasilan tokoh utama mencapai aktualisasi
diri. Hal ini yang ingin disampaikan oleh A. A Navis kepada pembaca lewat tokoh
Saraswati yakni jangan sampai keterbatasan membuat potensi yang kita miliki pun
terbatas sehingga menjadi penghalang dalam mengapai cita-cita.
B. Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi Karya A. A. Navis
Analisis berikutnya digunakan penulis untuk menemukan motivasi tokoh
difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis.
Penulis menggunakan pendekatan psikologi sastra sebagai upaya untuk
memperoleh gambaran mengenai motivasi dan kepribadian yang dimunculkan
oleh tokoh utama (bisu-tuli) dalam mencapai aktualisasi dirinya. Motivasi tersebut
berkaitan dengan lingkungan, keadaan, maupun kepribadian Saraswati sebagai
tokoh utama. Motivasi tersebut dianalisis berdasarkan teori kebutuhan bertingkat
Abraham H. Maslow karena susunan kebutuhan dasar yang bertingkat itu
mendasari motivasi manusia.
117Ibid., hlm. 66.
92
1. Motivasi Kebutuhan Fisiologis
Tokoh utama dalam novel SSGdS digambarkan oleh pengarang memiliki
keterbatasan alat indera yakni bisu-tuli dan tidak pernah memperoleh pendidikan
formal. Ketidakmampuan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan rendahnya
kualitas sumber daya anak bisu-tuli menimbulkan pandangan bahwa kaum difabel
tidak dapat berbuat apa-apa dan cenderung bergantung kepada orang lain.
Pandangan tersebut sangat merugikan kaum difabel termasuk tokoh utama dalam
novel SSGdS untuk bersaing memperoleh lapangan pekerjaan.
Secara perundang-undangan, Indonesia memiliki Undang-Undang tentang
ketenagakerjaan yakni No. 13 Tahun 2003 dan dua Undang-Undang terkait
penyandang disabilitas yakni No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, serta
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat. Ketiga hal tersebut secara jelas
menyatakan bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama untuk
memperoleh pekerjaan, penghidupan yang layak dan perlakuan tanpa
diskriminasi.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia sampai saat ini masih banyak
perusahaan yang belum memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas
untuk bekerja. Fajar Nursahid (Project Manager Indonesia Democracy Index)
mengungkapkan selama ini pemerintah belum membuat peraturan secara tegas
untuk penyandang disabilitas terutama dalam mencari pekerjaan. Padahal mereka
tentu sangat ingin mendapat kesempatan bekerja.118
Hal ini diperkuat dengan
pendapat gadis tunanetra bernama Tyas pada portal KBR dalam acara JIExpo
Kemayoran di Jakarta, “belum ada perusahaan yang mau memberikan kerja.
Padahal seharusnya di forum ini ada lowongan untuk disabilitas. Mungkin mereka
takut mempekerjakan disabilitas.”119
Kondisi tersebut menjadi potret penyandang
disabilitas Ibukota yang masih mengalami diskriminasi di bidang pekerjaan.
118
Salsabila Qurrataa’yun, Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan, Pemerintah Diminta
Buatkan Regulasi, 2016, (http://news.okezone.com), diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada
pukul 17.56 WIB. 119
Yudi Rachman, Sulitnya Disabilitas Mencari Pekerjaan, 2014, (http://m.portalkbr.com),
diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.38 WIB.
93
Faktor regulasi ini mengakibatkan sulitnya penyandang disabilitas termasuk tokoh
utama pada novel SSGdS, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang paling
mendesak yakni kebutuhan fisiologis.
Kebutuhan fisiologis menurut E. Kuswara terdiri dari kebutuhan makan, air,
oksigen, aktif, istirahat, keseimbangan temperatur, seks dan kebutuhan stimulasi
sensoris (menstimulasi pancaindra).120
Albertine Minderop berpendapat bahwa
kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan paling mendesak pemuasannya karena
terkait dengan kebutuhan biologis manusia.121
Di awal cerita pengarang menggambarkan tokoh utama hidup serba
kecukupan dipengaruhi dengan pengambilan latar tempat pertama yakni Jakarta
sebagai tempat tinggal Saraswati. Sebagai Ibukota negara, Jakarta merupakan kota
dengan berbagai aktivitas mulai dari aktivitas politik, ekonomi hingga aktivitas
lainnya. Tetapi penghadangan pasukan pemberontak membuat Saraswati
kehilangan seluruh anggota keluarga, sehingga mengharuskan dirinya untuk
melanjutkan hidup di Padang Panjang.
Padang panjang menjadi latar ketiga dalam novel SSGdS. Banyak konflik
yang terjadi di tempat ini, salah satunya mengenai perbedaan kehidupan yang
dirasakan tokoh utama. Perbedaan tersebut diceritakan melalui sudut pandang
tokoh utama pada kutipan berikut:
.... Aku bongkar pakaianku yang bagus-bagus, serta pakaian Ibu dan
perhiasan emasnya. Lalu kutunjukkan ke bawah hidung Busra sambil
menjerit-jerit. Aku tunjukkan satu demi satu kepadanya agar dia
memahami bahwa aku dulu adalah anak seorang yang berkedudukan baik.
Lalu aku ambil album besar berisi foto keluargaku. Aku tunjukkan
padanya foto-fotoku semasa di Jakarta, agar dia tahu betapa terpeliharanya
hidupku dulu. Aku tunjukkan padanya foto aku di dalam kamar tidurku,
foto rumah kami di Jakarta, mobil Ayah yang bagus. Maksudku agar dia
membandingkan perlakuan ibunya padaku sekarang. Busra tercengang-
cengang memandang tingkah lakuku. Aku tidak tahu apakah dia mengerti
apa yang aku mau. Aku tidak peduli. Lalu aku jajarkan dia ke kamarku.
Aku tunjukkan kepadanya betapa joroknya kamarku sekarang
dibandingkan dengan kamarku di Jakarta seperti yang tertera di dalam
foto-foto itu.122
120
E. Koeswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: PT. Eresco, 1991), Cet. 2, hlm. 119. 121
Albertine Minderop, op. cit., hlm. 286.
122A. A. Navis, op. cit., hlm. 36-37.
94
Kutipan di atas menjadi bentuk protes tokoh utama atas perlakuan tidak adil yang
diterima dari keluarga Angah. Sikap yang ditunjukkan oleh Saraswati
menunjukkan bahwa ia memiliki keinginan untuk diperlakukan secara adil
meskipun ia seorang difabel. Ketidakadilan tersebut digunakan pengarang untuk
menggambarkan tidak terpenuhinya kebutuhan fisiologis tokoh utama selama di
Padang Panjang. Hal ini terlihat dari cara Saraswati menunjukkan pada Busra
mengenai perbedaan kehidupannya saat masih tinggal bersama orang tua di
Jakarta dengan saat tinggal di Padang Panjang bersama keluarga Angah.
Sebagai difabel, Saraswati kesulitan menjalankan segala aktivitas
keseharian termasuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Namun Key, Brozek,
Henschel, Mickelsen dan Taylor dalam Jess Feist menegaskan, ketika seseorang
tidak dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya maka mereka akan terus berusaha
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.123
Begitupun Saraswati yang tidak pernah
putus asa dan selalu bekerja keras walaupun sempat mengalami berbagai
kesulitan. Dorongan semangat dari dalam diri dan keluarga agar mampu
berkembang memperoleh keterampilan ditunjukkan pengarang sebagai bentuk
motivasi tokoh utama dalam memenuhi kebutuhan fisiologisnya.
Kebutuhan fisioligis memiliki prioritas tertinggi karena menyangkut
kebutuhan untuk bertahan hidup, sehingga pemberian bekal keterampilan dan
pengetahuan sangat penting guna menunjang kemampuan penyandang disabilitas
dalam memenuhi kebutuhan fisiologis secara mandiri. Seperti yang diungkapkan
oleh Ketua Umum Penyandang Cacat Indonesia, Gufroni Sakaril di sela-sela
peringatan Hari Disabilitas Internasional 2013 “seharusnya bisa dilakukan
pelatihan bagi penyandang disabilitas.”124
Oleh sebab itu, diperlukan bimbingan
dan kesempatan yang seluas-luasnya agar potensi yang dimiliki dapat berkembang
secara optimal. Seperti kesempatan yang diberikan oleh tokoh Angah pada
123Handriatno, Teori Kepribadian Edisi Tujuh, Terj. dari Theories of Personality 7
th Edition
oleh Jess Feist dan Gregory. J. Feist, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika, 2013), hlm. 333.
124___, Penyandang Disabilitas Masih Alami Diskriminasi, 2013, (http://sp.beritasatu.com),
diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 14.30 WIB.
95
Saraswati untuk belajar menyulam dan menjahit melalui tokoh Uni Ros.125
Kesempatan dan bekal keterampilan yang didapatkan Saraswati dari tokoh-tokoh
tersebut digunakan A. A. Navis sebagai salah satu usaha pemberdayaan kaum
difabel agar nantinya memperoleh pekerjaan sehingga tidak bergantung pada
orang lain.
Lewat tokoh Saraswati, pengarang ingin memberi gambaran kaum difabel
yang mandiri, dibuktikan dengan keberhasilannya memenuhi kebutuhan hidup.
Kemandirian seseorang dilihat dari sejauh mana mereka mampu untuk berdiri
sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain seperti pada kutipan di bawah
ini:
Dari famili kami di Jakarta, aku menerima kiriman uang banyak hasil
penjualan barang-barang peninggalan ayah dan ibuku. Dari uang itulah
kamarku diperbaiki. Serambi yang terpisah dari ruang tengah tidak lagi
terpisah. Karena bagian luar serambi itu sudah diberi dinding dan jendela
serta pintu ke bagian dapur di belakang, sehingga serambi itu menjadi
seperti ruang belakang rumah. Sebuah tempat tidur, meja, dan lemari
pakaian dibelikan. Sebuah mesin jahit bekas yang masih cukup baru pun
dibeli. Aku taruh di ruang depan kamarku. Dengan uang itu pula Busra
membuat tiga kandang ayam.126
.... para tetangga sudah mulai banyak minta aku membuatkan pakaian
mereka. Seperti kebaya atau baju anak-anak mereka yang laki-laki atau
perempuan. Mereka memberi aku uang menurut sukanya saja. Uang jahitan
itu aku berikan pada Angah untuk membantu biaya rumah tangga kami.
Akan tetapi hasil dari peternakan ayam di suruh Busra agar aku simpan
sendiri.127
Kutipan di atas digunakan pengarang sebagai gambaran tercapainya kebutuhan
fisiologis yang diperoleh Saraswati. Terlihat pada kutipan pertama bahwa dari
uang hasil penjualan harta warisan orang tuanya, Saraswati mampu memperbaiki
kamar yang selama ini tidak layak ditempati. Selain itu ia juga mampu membeli
sebuah mesin jahit. Mesin jahit itu digunakan untuk membuat pesanan pakaian
para tetangga seperti yang terlihat pada kutipan kedua, sehingga uang hasil jahitan
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keberhasilan ini
125Lihat catatan kaki nomor 43.
126
A. A. Navis,op.cit., hlm. 64-65.
127Ibid., hlm. 66.
96
menumbuhkan kepercayaan diri Saraswati untuk memenuhi kebutuhan
selanjutnya.
A. A. Navis sebagai pengarang berhasil membuktikan bahwa
ketidaksempurnaan bukanlah alasan untuk berdiam diri atau meratapi keadaan.
Sikap tidak mudah menyerah, tekun dan sabar menjadi modal Saraswati untuk
memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Perjuangan Saraswati dalam memenuhi
kebutuhan fisiologis memberi motivasi dan keyakinan pada pembaca bahwa
difabel bukan menjadi alasan seseorang untuk tidak berkarya dan berguna bagi
orang lain, sehingga harus mampu mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri.
2. Motivasi Kebutuhan Akan Perasaan Aman
Penyandang disabilitas kerap dijauhi dari kehidupan sosial masyarakat dan
mendapat kekerasan mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, kekerasan, dan
dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan, menganggap tidak mampu,
penciptaan ketergantungan hingga kekerasan seksual. Menurut Tribun
Internasional, kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Jepang cukup sering
terjadi dan mencapai 1.261 kasus atau mengalami kenaikan 46 persen
dibandingkan tahun 2014. Misalnya di Unzen sekitar bulan Februari 2015 seorang
pria difabel dipukuli oleh staf fasilitas difabel. Selain itu ada pula yang mendapat
pelecehan seksual.128
Padahal penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama
atas perlakuan dari siapapun seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 19
Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Right of Person with
Disabilities/ CRPD mengenai hak penyandang disabilitas.
Dalam novel SSGdS disinggung mengenai kasus kekerasan pada
penyandang disabilitas. Terlihat dari tokoh utama yang merupakan gadis bisu-tuli
banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka
ragam komunikasinya. Oleh karena itu ia sering mengalami berbagai konflik,
kebingungan, dan ketakutan karena hidup dalam lingkungan yang bermacam-
macam sehingga menuntut adanya kebutuhan rasa aman.
128Richard Susilo, Ribuan Penyandang Disabilitas di Jepang Mengalami Kekerasan dan
Pelecehan, 2015, (http://tribunnews.com), diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 17.30
WIB.
97
Kebutuhan rasa aman menurut Albertine Minderop adalah suatu kebutuhan
ketika seseorang dapat merasakan keamanan, ketentraman, kepastian dan
kesesuaian dengan lingkungannya.129
Pengekspresian lain dari kebutuhan akan
rasa aman menurut Ngalim Purwanto bisa muncul apabila individu dihadapkan
pada bahaya, ancaman penyakit, perang, kemiskinan, perlakuan tidak adil dan lain
sebagainya.130
Seseorang dapat hidup lebih baik apabila merasa aman baik secara fisik
maupun psikis. Sebaliknya Saraswati selalu merasa tidak aman karena ketika
menggembala ternak banyak pengalaman pahit yang diterima dari anak-anak kecil
di kampung itu. Peristiwa yang terjadi di bagian enam ini menjadi konflik kedua
dalam novel seperti pada kutipan di bawah ini:
.... Malah kadang-kadang mereka melempariku dengan ranting atau batu-
batu kecil, atau dengan tanah atau pasir. Lalu mereka lari menjauh dengan
gembira. Apakah yang harus aku perbuat terhadap kenakalan anak-anak itu?
Aku pernah berusaha untuk beramah-ramah dengan mereka, menyapanya
dengan senyum persahabatan. Tapi itu malah menjadikan mereka tambah
terangsang mengganggu aku.131
Dari kutipan di atas, secara fisik kekerasan ditunjukkan ketika anak-anak kecil
melempari ranting, batu-batu kecil, tanah atau pasir ke arahnya. Sedangkan secara
psikis terjadi ketika mereka lari menjauh dengan gembira setelah mengganggu
Saraswati. Pengarang menggunakan peristiwa tersebut sebagai gambaran realitas
kehidupan sosial yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana penyandang
disabilitas seakan kehilangan hak-haknya karena diperlakukan secara semena-
mena.
Selain itu, jika melihat beberapa kasus kekerasan yang ditemukan dalam
validasi data kekerasan terhadap perempuan difabel dan anak difabel di
Kabupaten Wonogiri dan Klaten yang dilakukan oleh PPRBM (Pusat
Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat), Prof. Dr.
Soeharso menunjukkan fakta tidak adanya keadilan bagi perempuan difabel yang
129Albertine Minderop, op. cit., hlm. 294.
130
M. Ngalim Purwanto, op.cit., hlm. 78.
131 A. A. Navis, op. cit., hlm. 25.
98
menjadi korban.132
Hal ini juga disinggung pengarang dalam novel SSGdS melalui
tokoh Saraswati. Selain kekerasan secara fisik dan psikis, Saraswati juga
mendapat kekerasan seksual dari anak kedua Angah yakni Bisri.133
Dari kutipan
tersebut, A. A. Navis ingin memperlihatkan pada pembaca mengenai realita kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan difabel yang terjadi begitu saja tanpa
mempertimbangkan keadilan korbannya. Dengan demikian tokoh Saraswati
membutuhkan rasa aman baik secara fisik, psikis maupun seksual agar merasa
terlindungi dan tidak merasakan cemas atau takut yang berlebihan.
Untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman, seseorang cenderung akan
bergerak ke arah menghindari hal-hal yang dirasa membahayakan dirinya. Dalam
novel pengarang menggambarkan timbulnya motivasi pada diri Saraswati yang
terlihat dari cara tokoh memenuhi rasa aman akibat gangguan anak-anak kecil. Ia
memilih menghindar dan menahan diri untuk tidak melawan serta berusaha untuk
bersikap ramah pada anak-anak kecil. Saat Bisri melakukan pelecehan seksual,
Saraswati pun berusaha menolak dengan berlari menuju kamar dan mengunci
pintu. Hasil dari motivasi intrinsik ini134
dan kutipan berikut:
... tidak seorang pun dari anak-anak itu menggodaku lagi. Aku tidak tahu
kenapa terjadi perubahan sikap itu. Siapa yang memberi pelajaran kepada
mereka, aku tidak tahu. Tapi yang terang, sesalan demi sesalan terhadap
nasibku yang malang sungguh terasa tak berfaedah sama sekali. Orang-
orang itu tidaklah seburuk yang kita sangka apabila mereka diberi
pengertian yang patut, Saudaraku135
Kedua kutipan di atas digunakan pengarang sebagai gambaran tercapainya
kebutuhan rasa aman Saraswati karena telah terjadi perubahan perilaku dari anak-
anak kecil di kampung itu dan Bisri. Hal ini memberi dampak motivasi besar bagi
tokoh utama untuk menjalani kehidupan dengan tentram, aman dan lebih percaya
diri atas kondisinya sebagai gadis difabel. Selain itu, usaha Saraswati dalam
memenuhi kebutuhan rasa aman yang digambarkan pengarang pada novel
memberi motivasi dan keyakinan pada pembaca, bahwa kebutuhan akan rasa
132Dyah Ningrum. R, Mengurai Benang Kusut Keadilan Bagi Perempuan Difabel, 2013,
(http://solider.or.id), diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pada pukul 13.21 WIB.
133Lihat catatan kaki nomor 50.
134
Lihat catatan kaki nomor 51.
135A. A. Navis, op. cit., hlm. 27.
99
aman yang biasanya terpuaskan pada orang-orang sehat dan normal ternyata
mampu dicapai oleh Saraswati, seorang gadis difabel.
3. Motivasi Kebutuhan Akan Cinta
Manusia pada umumnya membutuhkan perasaan bahwa mereka dicintai
oleh keluarga dan diterima oleh teman maupun masyarakat. Menurut Sardiman,
kebutuhan ini meliputi kasih, rasa diterima dalam masyarakat (keluarga, sekolah
atau kelompok).136
Begitupun pada anak difabel yang membutuhkan dukungan
dan kasih sayang dari keluarga atau orang-orang sekitar. Memiliki anak difabel
merupakan tantangan cukup berat bagi orang tua. Padahal suatu keterbatasan tidak
menjadi penghalang bagi keberhasilan mereka menjalani aktivitas tanpa selalu
bergantung pada orang lain. Namun hal ini perlu disikapi dengan positif agar
orang tua mampu membantu mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak tersebut.
Pada kehidupan anak difabel, keluarga menjadi lingkungan terdekat dan
utama sehingga keluarga lebih memahami kondisi mereka dibanding orang lain.
Dalam hal ini, peran dan kasih sayang keluarga sangat besar dalam mendukung
munculnya semangat hidup anak difabel. Selain itu, hubungan antara orang tua
dengan anaknya dapat mempengaruhi tingginya motivasi. Dalam novel SSGdS
pengarang memperlihatkan bagaimana peran keluarga bagi anak difabel melalui
sosok ayah yang tidak pernah menunjukkan perhatian yang berlebihan dan
memandang Saraswati sama dengan anak-anaknya yang lain. Hal tersebut terlihat
melalui pengisahan peristiwa secara retrospeksi melalui sudut pandang Saraswati
seperti pada kutipan berikut:
Bila melakukan perjalanan dinas ke daerah, Ayah selalu membawa
oleh-oleh buat kami. Ayah membaginya dengan urutan yang tetap. Mulanya
kepada kakakku tertua dan berakhir kepada adikku terkecil. Atau
sebaliknya. Dimulai dari adikku terkecil dan berakhir pada kakakku tertua.
Tidak pernah aku diberi lebih dulu. Jika kami keluar kota atau ke rumah
kerabat, Ayah selalu bertndak seolah-olah aku bukan gadis bisu-tuli. Ada-
ada saja cara Ayah bertindak sehingga orang tidak tahu bahwa aku gadis
bisu-tuli.137
136Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 80.
137A. A. Navis, op.cit., hlm. 8.
100
Perlakuan adil dan memperhatikan hak sang anak seperti yang dilakukan ayah
menginterpretasikan bahwa Saraswati adalah orang yang berharga dan layak
mendapat perhatian dan kasih sayang. Hal ini menjadi penilaian positif bagi
Saraswati sebagai bentuk dukungan sosial yang berpengaruh pada
perkembangannya baik secara fisik maupun psikologis. Lewat tokoh ayah,
pengarang ingin memberi gambaran tentang pentingnya peran keluarga dalam
menumbuhkan motivasi dan semangat hidup anak difabel. Hal ini senada dengan
pendapat Coopersmith dalam Aliya Tusyani, dkk yakni keseluruhan faktor
penting dalam keluarga mempengaruhi persepsi anak terhadap orang tua dan
motivasi mereka.138
Panut dan Ida menganggap bahwa dari waktu ke waktu seorang remaja
ingin orang lain menyayanginya dan lingkungan sekitar menerima dirinya dengan
apa adanya.139
Oleh karena itu, Saraswati merasa sedih ketika kehilangan keluarga
yang dicintai dan merasa dikucilkan atau tidak disenangi oleh masyarakat. Maka
dengan segala cara ia akan mencari kasih sayang orang lain sesuai dengan
kebutuhannya, sehingga timbul motivasi pada diri Saraswati untuk memenuhi
kebutuhan tersebut salah satunya melalui tokoh Busra140
dan kutipan berikut:
.... Kini aku merasakan betapa sayangnya dia padaku sebagai adiknya.
Sekarang terpaham olehku, kalau pun dia menyuruhku menjadi
penggembala kambing selama ini, hal itu mungkin karena tidak tahu apa
yang harus diberikannya padaku sebagai pengisi waktu. Dia bukan hendak
menghinaku dengan cara itu. Aku pun menangis di bahunya dan tanganku
memeluknya erat-erat. Ingin aku takkan melepaskannya, karena sekarang,
aku ingin teruslah dia menjadi pelindungku dan hidupku senantiasa akan
tergantung pada kasih sayangnya.141
Terlihat pada kutipan kedua bahwa tokoh utama cenderung memiliki pandangan
negatif terhadap lingkungan. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya kasih sayang
yang ia terima dari keluarga Angah setelah kehilangan ayah dan ibu. Namun
138Aliyana Tusyani, dkk. Kepribadian: Teori dan Penelitian Edisi Sepuluh, Terj. dari
Personality: Theory and Research 10th
Edition oleh Daniel Cervove dan Lawrence A. Pervin,
(Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hlm. 230. 139
Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999),
hlm. 32.
140Lihat catatan kaki nomor 35
141
A. A. Navis, op.cit., hlm. 44.
101
pengarang menampilkan sosok Busra sebagai tokoh yang berpengaruh mengubah
pandangan negatif tersebut. Dari awal kemunculannya Busra digambarkan sebagai
tokoh yang peduli, memiliki empati, dan penuh kasih sayang serta sebagai
pelindung bagi tokoh utama. Sikap tersebut membuat Saraswati menjadi semakin
yakin bahwa ia tidak hidup sendiri karena masih ada orang yang menyayangi dan
memperdulikannya. Hal tersebut berdampak besar bagi motivasi tokoh utama
untuk lebih optimis menjalani hidup. Pencapaian Saraswati dalam memenuhi
kebutuhan akan rasa cinta dapat memberi motivasi dan keyakinan pada pembaca,
bahwa dukungan dari orang-orang yang mencintai atau kita cintai sangat berperan
penting untuk memotivasi kita dalam menjalani kehidupan.
4. Motivasi Kebutuhan Akan Penghargaan Diri
Dalam menjalani kehidupan setiap orang pasti memiliki harga diri yang
menuntut untuk dihargai. Menurut Maslow dalam Albertine Minderop, kebutuhan
harga diri dibagi menjadi dua: pertama, adanya penghargaan dari diri sendiri yang
mencakup keinginan untuk memperoleh kompetensi, percaya diri, kebebasan,
kemandirian dan kepribadian yang kuat. Kedua, adanya penghargaan dari orang
lain yang mencakup keinginan untuk mencapai prestasi dalam kehidupan
sehingga memperoleh penghargaan dari pihak lain.142
Sebagai makhluk sosial, Saraswati memerlukan interaksi dengan orang lain.
Akan tetapi karena memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi menyebabkan
dirinya sulit menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Pandangan negatif dari
lingkungan juga membuat Saraswati merasa kurang berharga. Bermula saat
Angah membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Di atas kapal
menjadi tempat pertemuan Saraswati dengan laki-laki tua bisu yang
mengakibatkan munculnya kebutuhan akan penghargaan diri seperti pada kutipan
berikut:
.... Dia senang berolok-olok. Dia puas memperolok-olok aku. Kenapa dia
tidak solider kepadaku, gadis yang sama cacatnya dengan dia? Aku
sungguh-sungguh ingin melemparinya dengan apa saja.143
142Albertine Minderop, op.cit., hlm. 303.
143
A. A. Navis, op.cit., hlm. 13.
102
Kutipan di atas menjadi bentuk penghinaan terhadap Saraswati sekaligus
gambaran tidak adanya penghargaan dari orang lain terhadap kaum difabel. Nasib
kaum difabel seperti Saraswati memang sering menjadi objek penindasan dan
dijadikan media hiburan karena dianggap sebagai makhluk yang rendah dalam
status sosial. Seperti penilaian Asep Cuwantoro (Anggota KPID Jawa Tengah)
dalam website tempo mengenai masih banyak terdapat lelucon di acara televisi
yang mendiskriminasikan kaum difabel.144
Peristiwa di atas menjadi konflik batin bagi Saraswati yang hanya bisa
menangisi nasib sebagai gadis bisu-tuli. Namun hal tersebut tidak membuat
Saraswati larut dalam kesedihan. Justru persitiwa itu membangkitkan tekad untuk
memenuhi kebutuhan harga dirinya.145
Selain menggambarkan sebuah motivasi,
kutipan tersebut juga digunakan pengarang untuk menggambarkan potret kaum
difabel yang kerap menjadi korban penindasan akibat keterbatasannya. Mengutip
pendapat Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) bahwa
“penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas
integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain”.146
Hal
ini yang coba dikritisi oleh A. A. Navis lewat karyanya bahwa setiap manusia
memiliki hak yang sama dalam masyarakat, sehingga keterbatasan bukan suatu
penghalang untuk berharga di mata orang lain.
Bagi difabel seperti Saraswati, penghargaan dari orang lain sanggat
diperlukan. Namun jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan ada upaya
untuk menuntut kebutuhan ini dengan berbagai cara. Salah satu cara yang
dilakukan Saraswati untuk memulihkan harga dirinya, terlihat pada kutipan
berikut:
Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam.
Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya.
Mereka banyak memujiku, malah ada yang menanyakan warna apa yang
sebaiknya disusun atas bermacam-macam warna dasar dari kain yang sudah
144Rafael Marchante, Komisi Penyiaran Minta Televisi Ramah Kaum Difabel, 2015,
(http://tempo.com), diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 13.38 WIB.
145Lihat catatan kaki nomor 22.
146
Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap
Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
(CRPD)", Jurnal Inovatif, Vol. VIII, 2015, hlm. 17.
103
tersedia. Kepandaian menyusun warna itu tidak aku peroleh dari guru kami,
melainkan dari cita rasaku sendiri.147
Tetangga lain ada yang mampu memberi imbalan lumayan bila
meminta aku menjahitkan pakaiannya. Lebih dari itu, semua orang di
kampung tempat kami tinggal sangat bersahabat dengan aku. Mereka selalu
menyapaku bila bila aku berpapasan atau lewat di depan rumah mereka
dengan melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Senakal apapun anak-
anak, mereka tidak lagi menggoda.148
Kutipan di atas digunakan pengarang sebagai bentuk penghargaan yang Saraswati
terima atas pencapaian dan proses kerja kerasnya. Usahanya untuk belajar
menjahit dan menyulam berhasil membuat orang di sekitar menghargai
kemampuan yang ia miliki, sekaligus mengubah sikap mereka yang tadinya
kurang bersahabat menjadi sangat bersahabat. Hal ini memberikan kepuasan dan
semangat untuk lebih kreatif, mandiri, percaya diri dan lebih produktif menggali
kemampuannya di kemudian hari.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa motivasi berperan penting dalam
pencapaian harga diri seseorang. Oleh karena itu, keberhasilan Saraswati
memenuhi kebutuhan akan penghargaan diri dapat mempengaruhi pembaca
bahwa dengan memberikan penghargaan terhadap diri sendiri atau orang lain akan
menimbulkan dampak positif serta menumbuhkan motivasi untuk mencapai
tujuan.
5. Motivasi Kebutuhan untuk Mengetahui dan Mengerti
Kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti terdiri dari rasa ingin tahu untuk
mengerti sesuatu, mendapatkan pengetahuan dan informasi. Untuk memenuhi
kebutuhan ini dapat diupayakan melalui belajar. Belajar adalah suatu proses yang
terjadi karena adanya usaha untuk mengadakan perubahan terhadap diri baik
berupa pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap. Bila mengacu pada Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal
5 Ayat 1 dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999, khususnya Pasal 12 tentang
HAM, seharusnya penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama
147A. A. Navis, op.cit., hlm. 46.
148
Ibid., hlm. 68.
104
untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi. Kenyataannya hingga kini
penyandang disabilitas masih sulit mendapat pendidikan yang layak. Berbagai
sarana seperti sekolah untuk penyandang disabilitas juga masih sangat minim.
Dalam novel SSGdS A. A. Navis menyinggung masalah minimnya
kesempatan difabel (bisu-tuli) untuk memperoleh pendidikan karena pada masa
itu (1958) sekolah untuk bisu-tuli di Jakarta belum tersedia. Di Indonesia sekolah
pertama untuk tunarungu menurut Fajri Wulandari sudah ada sejak tahun 1930
dan didirikan di Bandung.149
Kemudian menambahkan dari buku Psikologi
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, pada tahun 1938 berdiri sekolah kedua di
Wonosobo yang diasuh oleh Broeder-Broder Charitas. Setelah kemerdekaan
dengan adanya jaminan pelayanan pendidikan dan adanya urusan Pendidikan Luar
Biasa pada Jawatan Pendidikan Umum Kementrian Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan maka jumlah sekolah untuk anak bisu-tuli sedikit demi sedikit
bertambah.150
Perkembangan kognitif dan bahasa pada Saraswati sebagai gadis bisu-tuli
sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Kurangnya pendidikan yang dialami
Saraswati akan menghambat perkembangan intelijensinya. Selain itu, kemiskinan
berbahasa membuatnya tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosial.
Sebaliknya, orang lain pun sulit memahami perasaan dan pikirannya. Hal ini yang
memicu dirinya untuk menemukan cara agar kebutuhan untuk mengerti dan
mengetahui terpenuhi seperti pada kutipan berikut:
Ya, membaca! Membaca! Membaca! Demikianlah gagasan yang
timbul dalam benakku. Alangkah baiknya kalau aku pandai membaca.
Dengan pandai membaca tentu aku akan tahu lebih banyak lagi tentang
dunia dan kehidupan ini. Kenapa aku tidak belajar membaca? Kenapa tidak,
Saudaraku? Bukankah akan baik sekali kalau aku pandai membaca? Oh, itu
pikiran yang manis sekali, Saudaraku. Ya, aku harus belajar membaca.151
149Fajri Wulandari, “Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia dan di Indonesia,” Makalah
dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Inklusif, PGSD Universitas Pendidikan
Indonesia, Kampus Serang, 2014. 150
Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet 1, hlm. 47.
151A. A. Navis, op.cit., hlm. 40.
105
Pada bagian ketujuh dalam novel SSGdS pengarang memperlihatkan timbulnya
motivasi yang kuat dalam diri Saraswati untuk mengetahui dan mengerti yakni
dengan belajar membaca. Dapat dilihat pada kutipan di atas terdapat pengulangan
beberapa kali pada kata “membaca”. Hal ini berfungsi sebagai penegas terhadap
semangat Saraswati untuk memenuhi kebutuhan mengetahui dan mengerti
kehidupan yang selama ini tidak ia ketahui.
Segala sesuatu yang berasal dari dalam diri merupakan hal penting untuk
menuju sebuah keberhasilan, begitu pula dengan motivasi. Seberapa kuat motivasi
yang timbul dalam diri menentukan usaha yang dilakukan. Di bawah ini akan
terlihat bagaimana usaha Saraswati dalam memenuhi kebutuhan untuk
mengetahui dan mengerti:
Sampai tengah malam, ketika aku berbaring di ranjang dalam kamar
sepen itu, pikiran untuk belajar mengenal huruf dan kumpulan huruf itu
terus mengusik benakku. Kertas koran yang melapisi dinding kamarku
menjadi perhatianku sepenuh malam itu. Aku lihat macam-macam ukuran
huruf itu satu demi satu. Aku coba meneliti jenisnya.152
Saudaraku, pusing juga aku jadinya harus mengingat semua nama
benda itu, di samping aku harus pandai membaca. Pandai membaca saja
sudah begitu susahnya. Apalagi mengenali bermacam-macam nama benda.
Bayangkan betapa sulitnya membedakan nama masing-masing benda,
gunanya, sifatnya.153
Pada kutipan pertama, pengarang memunculkan rasa ingin tahu Saraswati untuk
mengenal huruf-huruf. Hal tersebut memberi dampak positif pada diri Saraswati
untuk berusaha mewujudkannya. Meskipun mengalami kesulitan dan
membuatnya mengeluh seperti pada kutipan kedua, tetapi motivasi yang tinggi
memacu dirinya untuk lebih semangat mewujudkan keinginannya.
Dalam meraih sebuah impian bukan hanya motivasi dari dalam diri saja
yang diperlukan, tetapi adanya motivasi dari orang lain juga diperlukan.
Begitupun Saraswati yang membutuhkan motivasi ekstrinsik untuk memenuhi
kebutuhan mengetahui dan mengerti seperti pada kutipan di bawah ini:
152Ibid., hlm. 50.
153
Ibid., hlm. 56.
106
.... Beberapa hari berikutnya Busra mengenalkan aku kepada lebih banyak
susunan huruf, sampai aku tahu susunan huruf untuk untuk seluruh anggota
tubuhku.154
Kemudian orang tua itu menunjukkan huruf α untuk aku baca dengan
bersuara. Disuruhnya aku melakukannya berulang-ulang. Setelah dia puas
atas kemampuanku, ditulisnya huruf u. Dia membaca dengan meruncingkan
mulutnya. Aku menirukannya. Berulang-ulang aku disuruh melakukannya
sampai dia puas. Kemudian aku disuruhnya menulis huruf-huruf menurut
gerakan mulutnya. Kedua huruf itu dapat aku tulis.155
Pengarang memunculkan tokoh tambahan seperti Busra dan Guru Andika untuk
membantu tokoh utama memenuhi kebutuhan mengerti dan mengetahui.
Saraswati menjadikan kedua sosok ini sebagai motivator dirinya untuk belajar.
Terlihat betapa sulitnya Saraswati sebagai gadis bisu-tuli dalam belajar
keterampilan berbahasa. Walaupun awalnya terkesan mustahil, tetapi ia terus
berusaha tekun dan bersabar dalam menjalani proses mengatasi ketertinggalan
hidupnya. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan
berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelijensi dan sosialnya.
Akhirnya dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik mampu membuat
Saraswati memenuhi kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti. Pencapaian ini
menumbuhkan keyakinan dalam menerima dirinya, dengan kata lain kepercayaan
diri semakin tinggi sehingga akan menunjukkan kematanganya dalam berperilaku.
Semua yang dilakukan Saraswati dapat menjadi pelajaran bagi pembaca bahwa
selain tekad kuat untuk melakukan suatu hal perlu adanya sosok yang dijadikan
sebagai motivasi diri.
6. Motivasi Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri
Menurut Sardiman, kebutuhan untuk aktualisasi diri yakni pencapaian atas
hasil usaha dalam bidang pengetahuan, sosial, dan pembentukan kepribadian
dengan cara mengembangkan bakat.156
Kebutuhan ini menjadi kebutuhan tertinggi
setelah kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi. Jadi dapat dikatakan, seseorang
yang telah memenuhi seluruh kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah dari
154Ibid., hlm. 55.
155
Ibid., hlm. 60.
156Sardiman A. M, op.cit., hlm. 81.
107
aktualisasi diri berarti mereka sudah mencapai potensi mereka yang paling
maksimal.
Dalam perjalanan atau proses kehidupan, keterbatasan membuat Saraswati
sulit beradaptasi, mengembangkan sikap dan perilaku, mudah menyerah, merasa
rendah diri dan tidak mampu melakukan aktivitas keseharian serta merasa dirinya
tidak berguna. Kondisi seperti itu akan berdampak pada rendahnya kemampuan
untuk dapat mengembangkan diri dalam mewujudkan kemandiriannya serta selalu
bergantung kepada keluarga atau orang lain. Namun, pertemuan Saraswati dengan
laki-laki buta yang pandai bermain alat musik menjadi motivasi ekstrinsik yang
timbul dalam diri Saraswati seperti pada kutipan di bawah ini:
.... Anak laki-laki yang buta itu telah memperoleh kesempatan untuk
menjadi sesuatu yang lebih berarti lagi, hingga dia dapat ikut menikmati
pergaulan yang merata antara sesama manusia. Kenapa dia bisa, tapi aku
tidak diberikan kesempatan sama sekali. Dia toh tidak dengan sendirinya
pandai memainkan alat musik itu. Dia toh mendapat pendidikan juga.157
Munculnya tokoh difabel lain pada bagian tujuh digunakan pengarang sebagai
pemicu timbulnya motivasi Saraswati untuk memperoleh kesempatan
mengembangkan potensinya. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda
termasuk tokoh utama. Potensi yang besar pada anak bisu-tuli (difabel) seperti
Saraswati harus dilatih dan dikembangkan secara optimal supaya kemampuannya
meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan pendidikan dan
keterampilan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
Keterampilan menyulam dan menjahit yang didapat dari Uni Ros menjadi
salah satu usaha pemberdayaan kaum difabel seperti Saraswati untuk
mengembangkan potensi dalam mencapai kemandirian. Keterampilan yang
diperoleh dari Uni Ros akhirnya mampu membuktikan bahwa keterbatasan bukan
menjadi penghalang dalam mencapai kebutuhan aktualisasi diri.158
Pencapaian
Saraswati dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak terlepas dari dorongan
keluarga yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Hal
tersebut senada dengan pendapat Panut dan Ida, adanya dukungan juga perhatian
157A. A. Navis, op.cit., hlm. 43.
158
Lihat catatan kaki nomor 17.
108
dari orang tua dan keluarga menjadi motivasi yang sangat baik untuk keberhasilan
seseorang.159
Maslow dalam Kuswara mengakui bahwa untuk memenuhi kebutuhan
aktualisasi diri tidak mudah. Banyak hambatan baik dalam diri sendiri maupun
dari masyarakat atas upaya mewujudkan kebutuhan tersebut.160
Kondisi Saraswati
yang bisu-tuli (difabel) dan tidak mengenal pendidikan membuatnya kesulitan
dalam berkomunikasi dan mencapai kematangan sosial, sehingga tidak jarang
mendapat penghinaan, penindasan dan ketidakadilan baik dari keluarga maupun
lingkungan sekitar. Namun, pengarang memunculkan tokoh utama sebagai
seorang gadis difabel yang memiliki motivasi tinggi untuk belajar keterampilan
berbahasa agar dapat berkomunikasi dengan orang lain.161
Dengan bantuan tokoh
Busra dan Guru Andika akhirnya Saraswati mempunyai kesempatan untuk
memperoleh keterampilan berbahasa yang nantinya dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Pencapaian Saraswati akan kebutuhan aktualisasi diri dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni adanya keyakinan diri, kerja keras dan semangat. Semangat
hidup merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan agar hidup lebih berguna.
Keyakinan dan kerja keras menjadi motivasi untuk memberikan sesuatu yang
berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Pencapaian akan kebutuhan aktualisasi
diri dapat berpengaruh terhadap perilaku lingkungan sekitar seperti yang terlihat
pada kutipan berikut:
.... Yang menyenangkan dari segala-galanya ialah karena aku telah dapat
membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sediri. Aku telah
dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak tetangga kami yang
miskin. Bukan kepalang gembiranya mereka ketika menerima hasil kerjaku.
Namun akulah yang lebih gembira dari mereka karena di samping telah
memberikan jasaku, aku juga memberi kegembiraan kepada mereka.162
Kutipan di atas menggambarkan kepuasan yang timbul dari usaha Saraswati untuk
melakukan yang terbaik dari yang ia bisa. Terlihat bahwa Saraswati memiliki
159Panut Panuju dan Ida Umami, op.cit., hlm. 40.
160
E. Koeswara, op.cit., hlm. 126.
161Lihat catatan kaki nomor 40.
162
A. A. Navis, op.cit., hlm. 68.
109
kepercayaan diri terhadap potensi yang dimilikinya karena dengan usahanya ia
mampu berguna dan memberi kebahagiaan kepada orang lain. Pencapaian
Saraswati akan kebutuhan aktualisasi diri menjadi ajang pembuktian bahwa
keterbatasan bukanlah halangan untuk hidup mandiri tanpa harus bergantung
dengan orang lain, sehingga pembaca akan memiliki jiwa optimis dan
kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal.
Sesuai dengan pendapat Daniel mengenai konsep aktualisasi yang merujuk pada
kecenderungan manusia untuk tumbuh dari makhluk sederhana menjadi sesuatu
yang komplek, lalu berubah dari ketergantungan menuju kemandirian serta dari
sesuatu yang tetap dan kaku menuju proses perubahan dan kebebasan
berekspresi.163
C. Implikasi Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Dalam proses belajar setiap peserta didik harus mempunyai suatu tujuan
yang harus dicapai sehingga terjadi perubahan dalam diri mereka setelah mereka
mengikuti sebuah proses pendidikan yang diberikan oleh guru. Motivasi
memegang peranan yang penting dalam proses belajar. Dengan adanya motivasi,
peserta didik dapat tekun dalam mengerjakan tugas, mandiri dalam memecahkan
berbagai masalah, dan menunjukkan minatnya dalam belajar sehingga proses
belajar mengajar akan berhasil dengan baik.
Motivasi ekstrinsik dari seorang guru sangat penting untuk meningkatkan
prestasi belajar peserta didik. Seperti yang dikatakan Sardiman bahwa “hasil
belajar akan optimal kalau ada motivasi yang tepat”.164
Oleh karena itu guru
bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga berfungsi sebagai fasilitator, sehingga
harus selektif dalam memilih media pembelajaran. Media yang diberikan harus
bermanfaat bagi peserta didik dan menambah motivasi peserta didik untuk lebih
bersemangat dalam belajar.
163Aliya Tusyani, op.cit., hlm. 217.
164
Sardiman A.M, op.cit., hlm. 75.
110
Menurut M. Atar Semi pelajaran sastra di sekolah bertujuan agar siswa
memiliki kepekaan terhadap karya sastra sehingga merasa termotivasi dan tertarik
untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan peserta didik
memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal
nilai-nilai dan mendapatkan ide-ide baru.165
Wahyudi Siswanto menambahkan
dengan pendidikan sastra peserta didik diajak secara langsung untuk membaca,
memahami, menganalisis dan menikmati karya sastra. Pendidikan semacam ini
akan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap dan keterampilan peserta
didik.166
Guru hendaknya memperkenalkan peserta didik dengan karya sastra
Indonesia salah satunya novel sebagai media pembelajaran yang menginspirasi
dan relevan terhadap kehidupan sekarang. Pengalaman dan permasalahan yang
terdapat dalam novel dapat memberikan pengalaman berharga kepada peserta
didik untuk dijadikan pelajaran dalam memahami hakikat kehidupan.
Seorang guru perlu cermat memilih novel bermutu untuk dihadirkan kepada
pesera didik dalam pembelajaran apresiasi sastra. Salah satu karya yang cocok dan
dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah novel Saraswati Si
Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis. Penggunaan novel SSGdS sebagai
media pembelajaran menarik peserta didik untuk mengetahui motivasi gadis
difabel bernama Saraswati dengan berbagai persoalan hidup yang menimpanya
dan akhirnya mampu mengaktualisasikan diri. Syarat untuk mencapai aktualisasi
diri ialah memenuhi lima kebutuhan yang berada pada tingkat lebih rendah yakni,
(1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan akan cinta,
(4) kebutuhan untuk dihargai, dan (5) kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti.
Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum
KTSP, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki silabus yang di dalamnya
terdapat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus
dicapai dan dikuasai oleh siswa. Dalam analisis ini terdapat analisis unsur-unsur
165M. Atar Semi, Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1990), hlm. 152-153.
166Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 168-169.
111
intrinsik yang dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester
genap.
Dalam silabus terdapat SK yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni
memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan). Kemudian KD yang harus
dicapai ialah menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli atau
terjemahan), sehingga guru bahasa dan sastra Indonesia dituntut untuk kreatif
menggunakan berbagai strategi dan metode dalam menyampaikan materi
pelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran novel, strategi yang digunakan yakni
pembelajaran interaktif dengan merujuk pada bentuk diskusi dan saling berbagi
kesempatan di antara peserta didik untuk memberi suatu tanggapan. Untuk
merealisasikan strategi tersebut, digunakan beberapa metode pembelajaran yakni
tanya jawab, ceramah, diskusi, CTL, dan penugasan dan resitasi. Semua ini harus
diupayakan dengan baik agar siswa menguasai materi tersebut dan tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Dalam mencapai tujuan pembelajaran mengenai novel, peserta didik akan
mempraktikkan empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Dua minggu sebelum materi pembelajaran, peserta didik
sudah diberi tugas membaca novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A.
Navis. Saat kegiatan belajar mengajar, peserta didik menyimak penjelasan dari
guru terkait cara dan langkah-langkah menganalisis unsur intrinsik novel
khususnya alur cerita, karakter tokoh dan latar cerita yang akan menjadi fokus
pembahasan. Setelah peserta didik selesai menyimak penjelasan guru, peserta
didik membentuk kelompok diskusi. Kemudian, secara berkelompok peserta didik
diminta untuk mengidentifikasi dan menganalisis keterkaitan unsur intrinsik
(karakter tokoh, alur cerita dan latar) pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
karya A. A. Tiap kelompok mengerjakan tugas di Lembar Kerja Siswa (LKS)
yang telah disiapkan oleh guru. Setelah tugas selesai, tiap kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya dengan bergantian sesuai nomor yang
dipanggil. Kelompok lain diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas
hasil presentasi kelompok temannya. Untuk menguji pemahaman mengenai
112
konsep-konsep yang telah dipelajari, di akhir pembelajaran peserta didik
menjawab “Kuis Uji Kecocokan” yang telah disiapkan oleh guru.
Melalui tahapan-tahapan pembelajaran di atas peserta didik dituntut untuk
lebih berwawasan dan berpikir kritis lewat motivasi tokoh difabel yang tertuang
dalam novel, sehingga diharapkan mampu lebih menghargai dan peduli terhadap
penyandang disabilitas yang selama ini kerap tersisih dalam pergaulan dan
kehidupan sehari-hari. Selain itu, peserta didik dapat mengambil contoh yang baik
dari berbagai peristiwa dan motivasi yang tergambar dalam perilaku dan pikiran
tokoh utama (difabel) untuk dijadikan bekal dalam berperilaku sehari-hari serta
menjadi inspirasi dan semangat mereka dalam mencapai cita-citanya.
113
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis mengenai “Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel
Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, dapat diambil beberapa kesimpulan
yakni:
1. Tema dalam novel SSGdS yakni perjuangan tokoh difabel untuk memperoleh
aktualisasi diri. Alur cerita tersusun secara kronologis. Ada banyak tokoh dalam
novel SSGdS, namun tokoh penting dan menguasai isi cerita yakni Saraswati
sebagai tokoh utama sekaligus narator, sedangkan Busra, Angah, Bisri, laki-laki
tua bisu, Uni Ros (guru menjahit dan menyulam), dan Guru Andika sebagai tokoh
tambahan. Pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1958, ditandai
dengan peristiwa PRRI. Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama
sebagai pelaku utama dan banyak menggunakan gaya bahasa. Amanat yang dapat
diambil yakni, keterbatasan fisik jangan sampai membuat potensi yang kita miliki
pun terbatas sehingga menjadi penghalang dalam mengapai cita-cita.
2. Motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A.
Navis dianalisis berdasarkan teori kebutuhan bertingkat Abraham H. Maslow
karena susunan kebutuhan dasar yang bertingkat itu mendasari motivasi manusia:
1) motivasi kebutuhan fisiologis yang terlihat dari keberhasilan Saraswati
memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri; 2) motivasi kebutuhan akan rasa
aman terlihat saat Saraswati merasa terlindungi dan tidak merasakan cemas atau
takut yang berlebihan terhadap lingkungan sekitar; 3) motivasi kebutuhan akan
cinta terlihat dari keyakinan Saraswati bahwa ada orang yang menyayangi dan
memperdulikannya; 4) motivasi kebutuhan akan penghargaan diri terlihat dari
penghargaan yang diterima Saraswati dari orang-orang sekitar atas pencapaian
dari proses kerja kerasnya; 5) motivasi kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti
terlihat dari keberhasilan Saraswati mengatasi ketertinggalan hidupnya; dan 6)
114
motivasi kebutuhan untuk aktualisasi diri terlihat dari timbulnya kepercayaan diri
Saraswati terhadap potensi yang dimiliki.
3. Analisis motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
karya A. A. Navis dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester genap.
Dalam silabus KTSP terdapat SK yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni
memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan). Kemudian KD yang harus
dicapai ialah menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli atau
terjemahan). Melalui novel ini peserta didik dapat mengambil contoh yang baik
dari berbagai peristiwa dan motivasi yang tergambar dalam perilaku dan pikiran
tokoh utama (difabel) untuk dijadikan bekal dalam berperilaku sehari-hari serta
menjadi inspirasi dan semangat peserta didik dalam mencapai cita-citanya.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa
saran yang diajukan penulis, yakni:
1. Diharapkan guru cermat memilih novel bermutu untuk dihadirkan kepada peserta
didik dalam pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pembelajaran yang
menginspirasi dan relevan terhadap kehidupan sekarang. Salah satu karya yang
cocok dan dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah novel
Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis.
2. Dari pengalaman dan permasalahan yang terjadi pada kaum difabel seperti tokoh
utama dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis,
diharapkan peserta didik dapat lebih menghargai dan peduli terhadap penyandang
disabilitas yang selama ini kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan sehari-
hari.
3. Lewat motivasi tokoh difabel yang tertuang dalam novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis diharapkan dapat memberikan
pengalaman berharga kepada peserta didik untuk dijadikan pelajaran dalam
memahami hakikat kehidupan.
115
DAFTAR PUSTAKA
A. M, Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2011.
A. Navis, A. Saraswati Si Gadis dalam Sunyi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Umum, 2002.
Agustyawati dan Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Atar Semi, M. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung:
Angkasa, 1990.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar).
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 4,
2009.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013.
G. Goble, Frank. Mazhab Tiga (Psikologi Humanistik Abraham Maslow).
Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Guntur Tarigan, Henry. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa, 2008.
, . Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011.
Handriatno. Teori Kepribadian Edisi Tujuh. Terj. dari Theories of Personality 7th
Edition oleh Jess Feist dan Gregory. J. Feist. Jakarta Selatan: Salemba
Humanika, 2013.
Hayati dan Winarno Adiwardoyo. Latihan Apresiasi Sastra Penunjang
Pengajaran Bahasa Sastra Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh,
1990.
Heru Santosa, Wijaya dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Pustaka, 2010.
Imam, Nurul. Motivasi dan Kepribadian. Terj. dari Motivation and Personality
oleh Abraham H. Maslow. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, Cet. 4,
1993.
116
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Koeswara, E. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT. Eresco, Cet. 2, 1991.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013.
Minderop, Albertine. Psikologi Sastra (Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh
Kasus). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Muhibbinsyah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2008.
Napsiyah, Siti., dkk., Disabilitas (Sebuah Pengantar). Terj. dari Disability oleh
Colin Barnes dan Geof Mercer. Jakarta: PIC UIN Jakarta, Cet.1, 2007.
Ngalim Purwanto, M. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007.
. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Cet. 5, 1992.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2013.
Panuju, Panut dan Ida Umami. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999.
Prastowo, Giri. Profil Sastrawan Indonesia. Jawa Barat: PT. Sukses Anugrah
Kreasi, 2011.
Saliwangi, Basennang. Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia.
Malang: IKIP, 1989.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Supratiknya, A. Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis). Terj. dari Theories Of Personality oleh Calvin S Hall &
Gardner Lindzey. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Suroto. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA. Jakarta:
Erlangga, 1989.
117
Tusyani, Aliya., dkk., Kepribadian: Teori dan Penelitian. Terj. dari Personality:
Theory and Reserch 10th
Edition oleh Daniel Cervone dan Lawrence A.
Pervin. Jakarta: Salemba Humanika, 2011.
W. S, Hasanudin. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu, 2004.
Wibowo B. S, Tri. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Terj. dari Educational
Psychology 2nd
Edition oleh John W. Santrock. Jakarta: Prenada Media
Grup, 2008.
Yusra, Abrar. Otobiografi A. A Navis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1994.
Mukminina, Amirah. “Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Melalui Program
Keterampilan Menjahit di Yayasan Wisma Cheshire Jakarta Selatan”,
Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta:
2013. Tidak dipublikasikan.
Wulandari, Fajri. “Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia dan di Indonesia,”
Makalah dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Inklusif.
Kampus Serang: PGSD Universitas Pendidikan Indonesia, 2014.
Organisasi Perburuhan Internasional. “Fakta Tentang Penyandang Disabilitas dan
Pekerja Anak”. Jurnal Sosial, 2011.
Repindowaty Harahap, Rahayu dan Bustanuddin. “Perlindungan Hukum
Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (CRPD)". Jurnal Inovatif. Vol. VIII, 2015.
Gunawan, Arya. “Ali Akbar Navis: Saya tidak Suka Bertaruh dalam Hidup”,
Harian Kompas. Jakarta, 9 Oktober 1992.
Ishak, Hikmat. “A. A. Navis: Saya Tak Mungkin Menjadi Pelipur Lara”, Harian
Kompas. Jakarta, 20 November 1978.
118
.“Arti Kata Indonesia Inggris Kamus Lengkap”.
www.artikata.web.id, 2015. Diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada
pukul 13.29 WIB.
. “Arti Nama Saraswati Jawa Perempuan”.
www.kamuskbbi.id, 2016. Diakses pada tanggal 18 Juli 2016 pada pukul
07.15 WIB.
. . KBBI Online. http://kbbi.web.id, 2016. Diakses pada
tanggal 5 Maret 2016 pada pukul 16. 34 WIB.
. . Penyandang Disabilitas Masih Alami Diskriminasi.
http://sp.beritasatu.com, 2013. Diakses pada tanggal 16 Desember 2015
pada pukul 14.30 WIB.
Administrator. Lima Warga Difabel Indonesia yang Berprestasi dan
Menginspirasi Banyak Orang. http://www.indonesiabangga.com., 2015.
Diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.10 WIB.
Ali, Ahmad. “Sang Kepala Pencemooh dalam Sebuah Kisah Proses Kreatif A. A
Navis”. http://ahmadali-laskar.blogspot.co.id, 2015. Diakses pada tanggal
16 Desember 2015 pada pukul 14.05 WIB.
Kusahistoryan, D. “Kabupaten Solok Pada Masa PRRI”. http:// Peristiwa
PPRI/PRRI Dahulu, Kini dan Nanti KABUPATEN SOLOK PADA
MASA PRRI.htm, 2009. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2015 pada pukul
13.34 WIB.
Marchante, Rafael. Komisi Penyiaran Minta Televisi Ramah Kaum Difabel.
http://tempo.co, 2015. Diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul
13.38 WIB.
Ningrum R, Dyah. Mengurai Benang Kusut Keadilan Bagi Perempuan Difabel.
http://solider.or.id, 2013. Diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pada
pukul 13.21 WIB.
Qurrataa’yun, Salsabila. Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan, Pemerintah
Diminta Buatkan Regulasi. http://news.okezone.com, 2016. Diakses pada
tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.56 WIB.
119
Rachman, Yudi. Sulitnya Disabilitas Mencari Pekerjaan. http://m.portalkbr.com,
2014. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.38 WIB.
Saputra, Endang. Gerindra Konsisten Perjuangkan Kaum Difabel.
www.satuharapan.com, 2015. Diakses pada tanggal 11 Februari 2016 pada
pukul 16.15 WIB.
Supriyanto, Ondo. Irma Suryati, Kartini dari Karangsari.
http://carakubudidaya.blogspot.co.id, 2011. Diakses pada tanggal 18
Desember 2015 pada pukul 20.00 WIB.
Susilo, Richard. Ribuan Penyandang Disabilitas di Jepang Mengalami Kekerasan
dan Pelecehan. http://tribunnews.com, 2015. Diakses pada tanggal 23 Maret
2016 pada pukul 17.30 WIB.
Thohirin. Buka Sejak Dulu, UIN Tak Fasilitasi Mahasiswa Difabel.
http://www.lpminstitut.com, 2014. Diakses pada tanggal 18 Desember 2015
pada pukul 19.00 WIB.
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC). Sejarah YPAC. http://ypac-nasional-
org, 2016. Diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 14.15 WIB.
Yulianto, Joni. Pernyataan Sikap: Cabut Persyaratan Diskriminatif SNMPTN
2014!. http://solider.or.id, 2014. Diakses pada tanggal 18 Desember 2015
pada pukul 19.45 WIB.
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011.
Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Biro
Hukum Departemen Sosial RI, 2011.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1958 Pasal 3. Tentang
Ikatan Dinas dan Kedudukan Hukum Militer Sukarela. Presiden Republik
Indonesia, 1958.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1. Tentang
Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 12. Tentang
Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
120
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 13, Tentang
Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6. Tentang
Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 7. Tentang
Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
Lampiran 1
Tokoh Penyandang Disabilitas yang Menginspirasi dan Memotivasi di Indonesia
Sebagai manusia dengan fisik dan mental sempurna, terkadang kita masih saja
tidak mau berusaha dan bekerja lebih keras lagi. Terlebih jika ingin menjadi seorang yang
sukses. Penyandang disabilitas telah memberikan banyak contoh, dengan semangat tinggi
dan kerja keras, bahwa mencapai kesuksesan bukanlah suatu hal yang mustahil. Terlahir
dengan ketidaksempurnaan bukan suatu alasan tidak menjadi sukses. Namun dengan doa,
usaha dan kerja keras dapat memberikan sebuah hasil maksimal di tengah cobaan dalam
menjalani kehidupan ini. Berikut akan diberikan contoh penyandang disabilitas yang
menginspirasi dan memotivasi di Indonesia yang diambil dari salah satu artikel:
a. M. Ade Irawan
Penyandang tunanetra yang lahir pada 15 Januari 1994 di Colchester, Inggris sejak
kecil memiliki bakat di bidang musik dan didukung oleh ibunya. Saat berusia 12
tahun permainan pianonya semakin luar biasa, ia juga sudah mulai tampil di
Chicago Winter Jazz Festival. Ade juga mengikuti audisi khusus dengan musisi
jazz Amerika Serikat, seperti Coco Elysses hevia, Peter Saxe, Ramsey Lewis, John
Faddis, Dick Hyman, Ryan Cohen dan Ernie Adams. Ia bercita-cita menjadi pianis
terkenal di dunia.
b. Angkie Yudistia
Penyandang tunarungu sejak usia 10 tahun namun hal itu tidak membuatnya pasrah
dalam menjalani hidup. Ia mampu menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar
(SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Tidak jarang ia menerima cacian dan
hinaan dari teman-temannya di sekolah. Rasa malu sempat membuat Angkie
menutup jati diri sebagai penyandang tunarungu. Kemudian, Angkie
menyelesaikan studinya di jurusan periklanan di London School of Public
Relations (LSPR) dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,5. Bahkan Angkie telah
meraih gelas master setelah lulus di bidang komunikasi pemasaran lewat program
akselerasi. Ia merupakan finalis Abang None mewakili wilayah Jakarta Barat pada
2008. Selain itu ia berhasil terpilih sebagai The Most Fearless Female
Cosmopolitan (2008), serta Miss Congeniality dari Natur-e dan berbagai prestasi
lainnya. Angkie mulai terlibat dengan kegiatan sosial pada tahun 2009 saat
bergabung dengan Yayasan Tunarungu Sehijara. Sejak saat itu hingga kini, ia
kerap menjadi pembicara dan delegasi Indonesia di berbagai kegiatan internasional
di mancanegara yang berkaitan dengan kaum difabel.
c. Gola Gong
Pria bernama asli Heri Hendrayana Harris ini kehilangan tangannya sejak usia 11
tahun. Novelnya yang populer di kalangan remaja saat ia duduk di bangku SMA
adalah “Balada Si Roy” awalnya dimuat berseri di majalah “Hai” dari tahun 1989-
1994. Selain menulis novel, Gola Gong juga seorang traveller. Ia gemar menulis
cerita-cerita perjalanan yang dialami. Sejak 2001 ia mendirikan komunitas
kesenian Rumah Dunia di kawasan komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, banten.
Dalam komunitas itu ia menyebarkan virus “Gempa Literasi” yaitu, gerakan
kebudayaan menghancurkan kebodohan lewat kata (sastra dan jurnalistik), suara
(musik), rupa (teater dan film), dan warna (melukis).1
d. Irma Suryati
Pernah mengalami penolakan oleh perusahaan saat melamar kerja dengan alasan
kekurangan fisik yang ia alami. Pengalaman itulah yang membuat Irma berniat
untuk membuka usaha sendiri yakni kerajinan dari limbah garmen. Dipandang
sebelah mata, remehan, dan cibiran kerap ia terima dari orang-orang di
1Administrator, Lima Warga Difabel Indonesia yang Berprestasi dan Menginspirasi
Banyak Orang, 2015, (http://www.indonesiabangga.com), diakses pada tanggal 16 Desember 2015
pada pukul 13.10 WIB.
Lampiran 1
sekelilingnya. Kini Irma memiliki sedikitnya 600 binaan perajin keset. Selain di
Kebumen, mereka tersebar di Kabupaten Banyumas, Banjarnegara dan Purworejo.
Sebanyak 150 orang di antaranya merupakan penyandang disabilitas. Dengan
keterbatasan fisiknya Irma telah membuktikan bahwa penyandang disabilitas bisa
mandiri. Semangat, kemandirian, dan dedikasinya memberdayakan para
penyandang disabilitas itu mengantarkan Irma memperoleh banyak penghargaan,
salah satunya menjadi “Wirausaha Muda Teladan Tingkat Nasional” tahun 2007
yang diberikan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga.2
Tokoh-tokoh di atas telah membuktikan bahwa penyandang disabilitas mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh aktualisasi diri. Novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A. Navis menceritakan tentang kehidupan tokoh difabel yang kerap
mendapat penghinaan, penindasan dan ketidakadilan dari orang-orang sekitar. Dengan
kesempatan dan dukungan dari keluarga, akhirnya Saraswati berhasil memperoleh
aktualisasi diri.
2Ondo Supriyanto, Irma Suryati, Kartini dari Karangsari, 2011,
(http://carakubudidaya.blogspot.co.id), diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 20.00
WIB.
Lampiran 2
Sinopsis Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A Navis
Novel ini seperti menjadi catatan harian dari seorang gadis bisu-tuli bernama
Saraswati. Gadis difabel ini tinggal bersama orang tua dan keempat saudara laki-lakinya
di Jakarta. Mereka termasuk keluarga yang cukup berada pada waktu itu. Ayahnya
bekerja di pemerintahan dengan kedudukan tinggi, selalu membawa mobil dinas dan
berpenghasilan tinggi. Kini seluruh keluarganya telah meninggal akibat penghadangan
pasukan pemberontak dalam perjalanan kembali dari Bandung setelah menghadiri pesta
perkawinan kerabat karib. Mobil yang mereka tumpangi jatuh ke jurang dan terbakar.
Kini Saraswati menjadi yatim piatu.
Saraswati selalu menghabiskan hari-harinya yang sunyi dengan mengenang
perlakuan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Ayah menjadi satu-satunya orang yang
tidak pernah menganggap Saraswati sebagai gadis bisu-tuli. Hal ini membuat Saraswati
merasa begitu dihargai dan dianggap keberadaannya. Ayahnya juga selalu memberikan
contoh hal-hal baik. Hanya satu hal yang tidak diberikan ayahnya. Saraswati tidak
disekolahkan oleh ayahnya seperti saudara-saudaranya karena waktu itu belum ada
sekolah untuk orang bisu tuli. Lain hal dengan ibu yang mencurahkan kasih sayang dan
perhatian melebihi kepada saudara-saudaranya. Tidak tanggung-tanggung ibunya akan
memukul jika saudaranya menggoda dan mengejek Saraswati. Saudara-saudaranya
memang terkenal nakal dan kadang terkesan cuek terhadap Saraswati namun sebenarnya
mereka sangat melindungi dan menyayanginya.
Atas kesepakatan keluarga besar, Saraswati harus meninggalkan Jakarta dan
tinggal di rumah Angah yakni kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Saat keberangkatan
menuju Padang Panjang, di atas kapal timbul konflik yang terjadi akibat pertemuan
Saraswati dengan penumpang laki-laki tua bisu yang menjadikannya bahan cemoohan
penumpang lain karena melihat tingkah dan gerak-gerik laki-laki tua bisu. Hal itu
membuat Saraswati sedih dan merasa tidak dihargai. Pengalaman tersebut telah
membangkitkan keinginan Saraswati untuk menjadi orang hebat dan tidak dipandang
sebelah mata akibat keterbatasannya.
Kedatangan Saraswati di Padang Panjang disambut baik dan ramah oleh kedua
anak Angah dan para tetangga. Ia mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tapi,
konflik-konflik lain mulai muncul di tempat ini. Selama di Padang Panjang Saraswati
ditugaskan untuk membantu Angah mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari mencuci,
membersihkan rumah dan memasak serta menjaga ternak yang kadang membuatnya
kewalahan. Semua dilakukannya, walau kadang dia harus menerima perlakuan anak-anak
kecil yang senantiasa menjadikan Saraswati sebagai media hiburan dan objek penindasan
akibat kekurangannya. Mereka kadang-kadang melempari Saraswati sampai kepalanya
berdarah dan jatuh pingsan. Sebagai seorang yang menumpang tinggal pada keluarga
Angah, Saraswati harus rela pindah ke kamar sepen jorok dan berdebu yang letaknya
terpisah di belakang rumah saat Pak Angah pulang dari kepergiannya memberikan
pengajian. Hatinya serasa dilukai berkali-kali, tetapi keterbatasan dalam berbahasa
membuatnya tidak dapat mengadu kepada siapa.
Bertubi-tubi Saraswati mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang
sekitar yang membuatnya tidak tahan karena merasa diperlakukan tidak adil sehingga ia
memutuskan untuk berontak mengurung diri dalam kamar, berteriak-teriak sambil
menggedor-gedor pintu kamar. Keesokan harinya Saraswati membiarkan itik-itik dan
kambing-kambingnya kelaparan. Namun kejadian itu diketahui oleh Busra yang tidak
tega melihat penderitaan Saraswati dengan cara memberikan pengertian bahwa tujuan
mereka memberikan semua tugas itu agar Saraswati bisa mengisi waktu.
Mulai terjadi perubahan dalam hidup Saraswati setelah terjadi peristiwa
pemberontakan yang ia lakukan. Angah memberi kesempatan pada Saraswati untuk
memperoleh keterampilan menjahit, menyulam, dan merenda pada Uni Ros. Ternyata di
tempat kursus itu, kemampuan Saraswati dalam menyusun warna lebih baik dari peserta
Lampiran 2
kursus lainnya. Hal ini memunculkan rasa percaya dirinya untuk lebih mengembangkan
potensi.
Saraswati sebenarnya mempunyai keinginan untuk belajar membaca, tetapi ia tidak
tahu siapa yang bisa mengajarinya. Ketika ia ingin sekali memahami bacaan dari sebuah
buku, datanglah Busra. Dengan susah payah Busra mengenalkan huruf-huruf yang ada
dalam buku tersebut. Begitu juga Bisri yang ikut membantu mengenalkan huruf serta
menuliskan sebuah nama yaitu “Saraswati”. Keesokan harinya Saraswati dibawa kepada
seorang guru untuk belajar membaca, berbicara, dengan mengeluarkan bunyi dari mulut.
Saraswati berusaha mempelajari semuanya dengan tekun. Akhirnya ia mampu
mengucapkan beberapa kata yang dapat dipahami orang lain.
Saraswati mendapat kiriman uang dari hasil penjualan barang-barang peninggalan
orang tuanya di Jakarta. Dari uang itu ia dapat membeli mesin jahit serta memperbaiki
kamarnya. Ia dapat menjahit, mempermak pakaian, bahkan dapat membantu kesukaran
orang lain dengan hasil usahanya sendiri. Ia sudah bisa membuatkan pakaian anak
tetangga yang miskin serta dapat menambah penghasilan sehari-hari dari hasil jahitannya.
Bisri pergi meninggalkan rumah untuk menjadi tentara. Sebelum berangkat untuk
mengikuti latihan militer, ia sempat mengucapkan cinta yang tulus pada Saraswati. Setiap
bulan Bisri menyempatkan pulang untuk menemui keluarga dan Saraswati. Pada suatu
ketika Saraswati dikejutkan dengan kedatangan Bisri yang kemudian memeluk serta
mencium mata, hidung, mulut, dan leher Saraswati.Tak pelak tubuh Saraswati merasa
aneh, sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin karena tak pernah sekalipun Saraswati
diperlakukan seperti ini oleh seorang lelaki. Bulan berikutnya ketika Saraswati sudah
berdandan secara khusus untuk menyambut kedatangan Bisri, Bisri tidak pulang.
Peristiwa itu membuat Saraswati kecewa dan menangis lalu jatuh sakit.
Tak lama kemudian terjadi kekacauan di kota Padang Panjang antara tentara PRRI
dengan tentara pemerintahan. Banyak orang-orang kampung dipukuli sampai babak belur.
Begitu juga yang dialami oleh Angah dan Busra. Mereka sempat dipukuli tentara.
Berbagai pertanyaan muncul dalam diri Saraswati berkenaan dengan kekejaman yang
dilakukan oleh tentara yang memasuki kampung halamannya. Suatu hari datanglah
seorang perempuan menemui Angah. Namun tidak diketahui maksud dan tujuan
perempuan itu. Keesokan harinya saat pagi masih gelap Angah mengajak Saraswati
berjalan kaki menelusuri satu desa ke desa yang lain untuk bertemu dengan Bisri. Setelah
menuruni dan mendaki beberapa bukit, tiba-tiba terdengar letusan senapan. Angah
meninggal saat kejadian tersebut akibat salah satu peluru menembus dadanya. Saraswati
amat terpukul dan sedih, untuk kesekian kali ia harus kehilangan orang yang disayangi.
Saraswati tetap mengikuti rombongan pengungsi untuk mencari Bisri dengan
berbagai penderitaan yang dialaminya. Suatu hari Saraswati berkenalan dengan Tati yang
juga pengungsi. Pada saat itu, ia dikenalkan dengan ayah Tati. Mulai saat itu untuk
mengisi waktu luang Saraswati kembali belajar membaca dan menulis oleh ayah Tati.
Dengan menyibukkan diri, kekesalan menanti sebuah pertemuan mulai terobati. Suatu
hari Saraswati melihat Tati sedang lari ke halaman dengan wajah yang riang serta
berpegangan tangan dengan seorang pemuda yang ternyata adalah Bisri. Mengetahui hal
itu hati Saraswati hancur karena merasa dikhianati oleh Bisri. Ia juga benci pada Tati
yang telah merebut kekasihnya. Saat Tati dan Bisri mendekatinya, ia lari sejauh mungkin
dengan membawa luka dan duka. Kini Saraswati benar-benar merasa sendiri, terpencil
entah di mana dan tidak tahu mau ke mana. Ia putus asa dan rela mati di hutan belantara
asal tidak berjumpa dengan Bisri dan Tati. Ketika menelusuri tebing dan bukit ia
tergelincir, terkapar tak berdaya, haus, lapar dan merasakan nyeri pada seluruh tubuhnya
sampai tak sadarkan diri. Namun jiwa Saraswati masih dapat tertolong berkat bantuan
penduduk sekitar hutan yang menemukannya.
Selama hidup dalam perang, Saraswati sering melihat kesengsaraan banyak korban
yang luka dan mati, banyak rumah yang hangus dan hancur. Pada suatu pagi kembali
terjadi kekacauan, ketika itu Saraswati sedang berada di dapur bersama perempuan yang
Lampiran 2
menolongnya. Tetapi belum sempat keduanya berlari, perempuan itu tertembak dan mati.
Kepala Saraswati dihantam oleh tentara yang menyerang kampung itu hingga jatuh.
Saraswati segera bangun dan berlari mencari pertolongan. Saat itu Saraswati bertemu
dengan Busra.
Saat Saraswati dan Busra ditahan kembali ke pedalaman, mereka bertemu dengan
Kapten Hendro. Atas usaha dari Kapten Hendro, Saraswati dibawa ke Pusat Rehabilitasi
Dr. Suharso di Solo untuk belajar membaca tulisan dan membaca gerak bibir orang yang
berbicara. Sementara Busra tetap di Padang Panjang. Di Solo, kemahiran menulisnya
diperlancar oleh asiknya berkirim surat kepada Busra. Di samping belajar membaca dan
menulis, ia juga belajar berbagai mode pakaian perempuan.
Suatu ketika Busra mengirimkan surat yang membuat mata Saraswati terpusat pada
kalimat yang ditulis bergaris, “Sekarang usahaku dapat menghidupi lima sampai delapan
orang”. Ia tersentak dan memahami maksudnya bahwa Busra telah siap hidup
bersamanya. Kemudian Saraswati menelegram Busra dengan kalimat “Busra, aku mau
pulang”. Enam hari kemudian tiba telegram balasan yang isinya “Tunggu, aku kan jemput
kau”.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
NAMA SEKOLAH SMP.......................
MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER VIII (delapan) / 2 (genap)
ASPEK PEMBELAJARAN Membaca
STANDAR KOMPETENSI 15. Memahami novel (asli atau terjemahan)
KOMPETENSI DASAR 15.1 Menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli
atau terjemahan)
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
Mampu menentukan karakter tokoh
dengan bukti yang meyakinkan.
Mampu menentukan alur cerita
dengan bukti yang meyakinkan.
Mampu menentukan latar novel
dengan bukti yang meyakinkan.
Menganalisis keterkaitan antar unsur
intrinsik dalam novel.
Kreatif
Bersahabat/
komunikatif
Gemar membaca
Tekun
Tanggung jawab
Rasa hormat dan
perhatian
Keorisinilan
Kepemimpinan
ALOKASI WAKTU 2 x 40 menit (1 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN Peserta didik mampu menentukan karakter tokoh dengan bukti yang
meyakinkan.
Peserta didik mampu menentukan alur cerita dengan bukti yang
meyakinkan.
Peserta didik mampu menentukan latar novel dengan bukti yang
meyakinkan.
Peserta didik mampu menganalisis keterkaitan antar unsur intrinsik
dalam novel.
MATERI POKOK
PEMBELAJARAN Pengertian novel
Unsur-unsur intrinsik dalam novel
Cara menentukan karakter tokoh, alur cerita dan latar novel serta
implementasinya
METODE PEMBELAJARAN
Tanya jawab
Ceramah
Diskusi kelompok
Penugasan dan resitasi
SUMBER BELAJAR
Pustaka rujukan Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP kelas
VIII Jilid 2 karya Nurhadi, dkk., terbitan Erlangga 2007 halaman
147.
Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, terbitan
Grasindo tahun 2008.
Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar) karya Furqonul Aziez dan
Abdul Hasim, terbitan Ghalia Indonesia tahun 2010.
Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan
Gajah Mada University Press tahun 2013.
Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA
karya Suroto, terbitan Erlangga tahun 1989.
Metode Karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop,
terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 2005.
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA ALOKASI
WAKTU
Pertemuan ke 1
PEMBUKA
Guru mengucapkan salam
dan menanyakan kabar
peserta didik.
Guru dan peserta didik
berdoa bersama sebelum
pembelajaran.
Guru melakukan absensi
kelas.
Guru mengingatkan peserta
didik tentang tugas
sebelumnya yakni
membaca novel Saraswati
Si Gadis dalam Sunyi
karya A. A. Navis.
Guru memberikan
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab
salam dan kabar dari
guru.
Peserta didik dipimpin
oleh ketua kelas berdoa
bersama guru.
Peserta didik
menyebutkan teman
sekelas yang tidak hadir.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru terkait
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah
pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
10 menit
INTI Eksplorasi
Guru menstimulus peserta
didik untuk memanggil
pengetahuan awal mereka
tentang konsep novel
dengan memberi
pertanyaan:
“Masih ingatkah kalian
dengan materi novel?”
“Apa yang kalian
ketahui tentang novel?
Guru memberikan umpan
balik terhadap jawaban
peserta didik.
Guru menjelaskan secara
lebih mendetail beberapa
unsur intrinsik yaitu
karakter tokoh, alur cerita
dan latar cerita yang akan
Peserta didik diharapkan
menjawab dengan
antusias.
Peserta didik menyimak
penjelasan dari guru.
Peserta didik mencatat
hal-hal penting dari
penjelasan guru mengenai
beberapa unsur intrinsik
yaitu karakter tokoh, alur
cerita dan latar cerita
yang akan menjadi fokus
pembahasan.
Peserta didik membentuk
kelompok diskusi dengan
mengambil potongan
kertas berwarna dan
bernomor.
15 menit
menjadi fokus
pembahasan.
Guru memfasilitasi peserta
didik untuk membentuk
kelompok diskusi dengan
memilih potongan kertas
berwarna dan bernomor.
Elaborasi
Guru membantu peserta
didik untuk mengelaborasi
informasi yang didapat
dengan memberi tugas
secara berkelompok:
untuk menjelaskan
unsur intrinsik (karakter
tokoh, alur cerita dan
latar) pada novel
Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A.
A. Navis yang telah
dibaca dengan bukti
kutipan yang
meyakinkan.
untuk mengidentifikasi
keterkaitan antar unsur
intrinsik (karakter
tokoh, alur cerita dan
latar) dalam novel
Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A.
A. Navis yang telah
dibaca.
Guru memberitahu waktu
pengerjaan tugas kelompok
dan mengingatkan agar
tepat waktu dalam
menyelesaikannya.
Konfirmasi
Guru menanyakan kepada
tiap kelompok kendala apa
saja yang didapat saat
proses penyelesaian tugas.
Tiap kelompok
diharapkan fokus dalam
berdiskusi dan
memastikan anggota
kelompok dapat
mengerjakan tugas yang
diberikan:
menjelaskan unsur
intrinsik (karakter
tokoh, alur cerita dan
latar) pada novel
Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A.
A. Navis yang telah
dibaca dengan bukti
kutipan yang
meyakinkan.
mengidentifikasi
keterkaitan antar unsur
intrinsik (karakter
tokoh, alur cerita dan
latar) dalam novel
Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A.
A. Navis yang telah
dibaca.
Tiap kelompok dapat
mengatur proses
penyelesaian tugas
dengan tepat waktu.
Tiap kelompok
mengemukakan kendala
yang didapat saat proses
penyelesaian tugas.
35 menit
10 menit
PENUTUP
Guru menyimpulkan hasil
pembelajaran dan
mengingatkan tugas untuk
pertemuan selanjutnya
yakni mempresentasikan
hasil diskusi.
Guru meminta ketua kelas
memimpin doa.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru terkait
simpulan hasil
pembelajaran dan
informasi tugas untuk
pertemuan selanjutnya.
Peserta didik berdoa.
10 menit
PENILAIAN
TEKNIK
DAN
BENTUK
Tugas:
Peserta didik diminta membaca novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi
karya A. A. Navis dua minggu sebelum materi pembelajaran.
Peserta didik diminta berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik
(karakter tokoh, alur cerita dan latar) dalam novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A. Navis.
Secara kelompok peserta didik diminta untuk mengidentifikasi dan
menganalisis keterkaitan unsur intrinsik (karakter tokoh, alur cerita dan
latar) novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
Tangerang, 2 Maret 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
........................... ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
NAMA SEKOLAH SMP.......................
MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER VIII (delapan) / 2 (genap)
ASPEK PEMBELAJARAN Membaca
STANDAR KOMPETENSI 15. Memahami novel (asli atau terjemahan)
KOMPETENSI DASAR 15.1 Menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli
atau terjemahan)
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
Mampu menentukan karakter tokoh
dengan bukti yang meyakinkan.
Mampu menentukan alur cerita
dengan bukti yang meyakinkan.
Mampu menentukan latar novel
dengan bukti yang meyakinkan.
Menganalisis keterkaitan antar unsur
intrinsik dalam novel.
Kreatif
Bersahabat/
komunikatif
Gemar membaca
Tekun
Tanggung jawab
Rasa hormat dan
perhatian
Keorisinilan
Kepemimpinan
ALOKASI WAKTU 2 x 40 menit (1 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN Peserta didik mampu menentukan karakter tokoh dengan bukti yang
meyakinkan.
Peserta didik mampu menentukan alur cerita dengan bukti yang
meyakinkan.
Peserta didik mampu menentukan latar novel dengan bukti yang
meyakinkan.
Peserta didik mampu menganalisis keterkaitan antar unsur intrinsik
dalam novel.
MATERI POKOK
PEMBELAJARAN Pengertian novel
Unsur-unsur intrinsik dalam novel
Cara menentukan karakter tokoh, alur cerita dan latar novel serta
implementasinya
METODE PEMBELAJARAN
Tanya jawab
Presentasi Kelompok
CTL (Contextual Teaching and Learning)
Penugasan dan resitasi
SUMBER BELAJAR
Pustaka rujukan Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP kelas
VIII Jilid 2 karya Nurhadi, dkk., terbitan Erlangga 2007 halaman
147.
Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, terbitan
Grasindo tahun 2008.
Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar) karya Furqonul Aziez dan
Abdul Hasim, terbitan Ghalia Indonesia tahun 2010.
Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan
Gajah Mada University Press tahun 2013.
Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA
karya Suroto, terbitan Erlangga tahun 1989.
Metode Karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop,
terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 2005.
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA ALOKASI
WAKTU
Pertemuan ke 2
PEMBUKA Guru mengucapkan salam
dan menanyakan kabar
peserta didik.
Guru dan peserta didik
berdoa bersama sebelum
pembelajaran.
Guru melakukan absensi
kelas.
Guru memberikan
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab
salam dan kabar dari
guru.
Peserta didik dipimpin
oleh ketua kelas berdoa
bersama guru.
Peserta didik
menyebutkan teman
sekelas yang tidak hadir.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru terkait
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah
pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
10 menit
INTI
Eksplorasi
Guru menstimulus peserta
didik untuk memanggil
pengetahuan mereka
tentang pelajaran
sebelumnya dengan
memberi pertanyaan:
“Masih ingatkah kalian
dengan materi
sebelumnya?”
“Apa saja yang telah
kita pelajari tentang
novel?
“Bagaimana cara
menentukan karakter
tokoh?”
“Bagaimana cara
menentukan alur
cerita?”
“Bagaimana cara
menentukan latar dalam
Peserta didik diharapkan
menjawab dengan
antusias.
Peserta didik diharapkan
menyimak penjelasan
dari guru.
10 menit
novel?”
Guru memberikan umpan
balik terhadap jawaban
peserta didik.
Elaborasi
Guru meminta peserta
didik untuk berkumpul
dengan kelompok masing-
masing.
Guru memanggil salah satu
nomor peserta didik di
setiap kelompok.
Guru memberikan nilai,
ulasan dan tanggapan atas
setiap hasil presentasi
kelompok.
Konfirmasi
Guru meminta peseta didik
mengungkapkan manfaat
yang dapat diambil dari
pembelajaran hari ini.
Peserta didik berkumpul
dengan kelompok
masing-masing.
Secara bergantian, nomor
yang dipanggil
melaporkan hasil
diskusinya.
Kelompok lain diberi
kesempatan untuk
memberikan tanggapan.
Peserta didik
mengungkapkan manfaat
yang dapat diambil dari
pembelajaran hari ini
dengan aktif.
40 menit
10 menit
PENUTUP
Guru memberikan “Kuis
Uji Kecocokan” untuk
mengukur pemahaman
mengenai konsep-konsep
yang telah dipelajari.
Guru meminta ketua kelas
memimpin doa.
Peserta didik menjawab
“Kuis Uji Kecocokan”
untuk mengukur
pemahaman mengenai
konsep-konsep yang telah
dipelajari.
Peserta didik berdoa.
10 menit
PENILAIAN
TEKNIK
DAN
BENTUK
Observasi kinerja/Demontrasi:
Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian.
Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap hasil presentasi
kelompok.
Tes tulis:
Peserta didik menjawab “Kuis Uji Kecocokan” untuk mengukur
pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari.
Tangerang, 3 Maret 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
........................... ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK.
Uraian Materi
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Definisi novel menurut Wahyudi Siswanto adalah “bentuk prosa rekaan yang lebih
pendek dari roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa
yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-
unsur intrinsiknya masih lengkap seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan
penokohan.”1 Sementara itu R. J Rees dalam Furqonul Aziez mengatakan bahwa novel
adalah “sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan
perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dan digambarkan dalam suatu plot
yang cukup kompleks.”2
2. Unsur Intrinsik Novel
Mengidentifikasi alur, latar dan penokohan dalam novel yang dibaca:
a. Alur
Mengutip pendapat Abrams dalam Wahyudi Siswanto tentang pengertian alur
yakni “rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahapan peristiwa sehingga menjadi
sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.”3 Dengan demikian
alur merupakan suatu urutan peristiwa yang terangkai menjadi satu kesatuan sehingga
menghasilkan suatu cerita yang utuh.
Tahap plot yang dikemukakan oleh Tasrif dalam Burhan Nurgiantoro dibagi
menjadi lima tahapan yakni:
1) Tahap penyituasian
Berisi pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini menjadi tahap
pembuka pemberian informasi awal yang melandasi cerita berikutnya.
2) Tahap pemunculan konflik
Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang memicu timbulnya konflik mulai
dimunculkan. Konflik tersebut nantinya akan berkembang pada tahap berikutnya.
3) Tahap peningkatan konflik
Konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang.
Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita pun semakin mencekam dan
menegangkan.
4) Tahap klimaks
Konflik atau pertentangan yang terjadi baik yang dilakukan atau dialami para tokoh
cerita mencapai titik puncak. Biasanya klimaks tersebut akan dialami oleh tokoh
utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
5) Tahap penyelesaian
Konflik yang telah mencapai klimaks kemudian diberi jalan keluar hingga cerita
berakhir.4
b. Latar
Suroto menjelaskan bahwa latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan.
Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang
dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal
1Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141.
2Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar), (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), hlm. 1
3 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 159.
4Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2013), hlm. 209-210.
itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung atau melalui bacaan-bacaan serta
informasi dari orang lain.5
Burhan Nurgiantoro yang membagi unsur latar menjadi tiga bagian yakni: 1) latar
tempat, menunjukan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan; 2) latar waktu,
berhubungan dengan “kapan” terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan; dan 3) latar
sosial-budaya, berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan.6
c. Tokoh dan penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang pasti ada. Tokoh sangat penting
dalam cerita, karena tokoh merupakan unsur yang membawakan cerita dari awal hingga
akhir. Menurut Aminudin dalam Wahyudi Siswanto yang disebut sebagai tokoh adalah
pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin suatu cerita, sedangkan cara
pengarang dalam menampilkan tokoh disebut sebagai penokohan.7
Ada beberapa cara menurut Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto untuk
memahami watak tokoh yakni melalui:
“1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya; 2) gambaran yang
diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara
berpakaian; 3) menunjukkan bagaimana perilakunya; 4) melihat bagaimana tokoh itu
berbicara tentang dirinya sendiri; 5) memahami bagaimana jalan pikirannya; 6) melihat
bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya; 7) melihat tokoh lain berbicara dengannya;
8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya; dan 9)
melihat bagaimana tokoh itu dalam reaksi tokoh yang lain.” 8
Menurut Burhan Nurgiantoro, tokoh-tokoh dalam cerita dapat dibedakan dalam
beberapa kategori menurut sudut pandang dan tinjauan tertentu: 1) tokoh utama (tokoh
yang tergolong penting dan mendominasi sebagian besar cerita) dan tokoh tambahan
(tokoh yang hanya sekali atau beberapa kali dimunculkan dan mendapat porsi penceritaan
yang relatif pendek); 2) tokoh protagonis (tokoh yang mengalami konflik) dan antagonis
(tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik); 3) tokoh sederhana (tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi atau watak tertentu) dan tokoh bulat (tokoh yang memiliki
berbagai sisi kehidupan, kepribadian dan jati diri); 4) tokoh statis (tokoh yang tidak
mengalami perubahan watak sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi) dan berkembang
(tokoh yang mengalami perubahan watak sejalan dengan tuntutan peristiwa secara
keseluruhan; dan 5) tokoh tipikal (tokoh yang diciptakan berdasarkan persepsi tokoh di
dunia nyata) dan netral (tokoh imaji yang hanya hidup dalam cerita).9
5Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA, (Jakarta: Erlangga,
1989), hlm. 94.
6Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), hlm. 314-322.
7Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 142.
8Ibid., hlm. 145.
9Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 258-278.
Lembar Kerja Siswa
(LKS)
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Analisislah unsur alur, latar, tokoh dan penokohan dari novel Saraswati Si Gadis
dalam Sunyi karya A. A. Navis:
No. Unsur Intrinsik Jawaban Bukti
1.
2.
3.
Alur
a) Penyituasian
b) Pemunculan
konflik
c) Peningkatan
konflik
d) Klimaks
e) Penyelesaian
Latar
a) Waktu
b) Tempat
c) Sosial-Budaya
Tokoh dan
penokohan
Jawaban Lembar Kerja Siswa (LKS)
No. Unsur Intrinsik Jawaban Bukti
1.
Alur
a) Penyituasian
b) Pemunculan
konflik
c) Peningkatan
konflik
Pada bagian awal
penceritaan A. A. Navis
sebagai pengarang
menggunakan diksi yang
amat puitis untuk
mengenalkan tokoh
utama. Pada bagian ini
pembaca sudah
menangkap informasi
awal mengenai
kenyataan yang harus
dijalani oleh tokoh
utama dengan keadaan
yang serba sunyi.
Konflik pertama muncul
pada bagian empat,
bermula saat Angah
membawa Saraswati
untuk tinggal di Padang
Panjang. Di atas kapal
menjadi tempat konflik
pertama yang terjadi
akibat pertemuan
Saraswati dengan laki-
laki tua bisu yang
menjadikannya bahan
tertawaan seluruh
penumpang, bahkan
Angah. Peristiwa
tersebut menjadi sumber
konflik batin bagi
Saraswati yang hanya
bisa menangisi nasib
sebagai gadis bisu-tuli.
Selama di Padang
Panjang Saraswati
ditugaskan untuk
membantu Angah
mengerjakan pekerjaan
rumah dan
menggembala ternak.
Kondisinya yang bisu-
tuli membuat Saraswati
mengalami masalah
dalam berkomunikasi.
Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah
nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa
suara. Segala-galanya sunyi. (A. A.
Navis, hlm. 1)
.... Dia senang berolok-olok. Dia puas
memperolok-olok aku. Kenapa dia tidak
solider kepadaku, gadis yang sama
cacatnya dengan dia? Aku sungguh-
sungguh ingin melemparinya dengan apa
saja. (A. A. Navis, hlm. 13)
Pengalaman pahit yang senantiasa aku
terima dari anak-anak itu, menyebabkan
aku menjadi takut kepada mereka.
Senantiasa aku berusaha
menghindar dari gerombolan anak-
anak itu. Tambah banyak mereka
bergerombol tambah nakallah
mereka. Malah kenakalan itu mereka
lakukan juga sendiri-sendiri bila
berahadapan denganku. Umpamanya
ketika berpapasan di jalan, lalu setelah
d) Klimaks
Hal tersebut seringkali
membuatnya dilecehkan
dan statusnya dianggap
rendah. Seperti yang
terjadi ketika bertemu
dengan anak-anak kecil
saat menggembala
ternak.
Sebagai seorang yang
menumpang tinggal
pada keluarga Angah
kebutuhan fisiologis
Saraswati tidak
terpenuhi dengan baik.
Hal tersebut menjadi
konflik ketiga yang
harus dihadapi
Saraswati. Konflik ini
timbul ketika Pak Angah
pulang setelah lama
meninggalkan rumah
untuk memberi
pengajian. Saraswati
yang selama ini tidur di
kamar Angah, kini harus
pindah ke kamar sepen
jorok dan berdebu yang
letaknya terpisah di
belakang rumah. Namun
keterbatasan
memaksanya untuk
menerima ketidakadilan
tersebut tanpa bisa
menentang.
Klimaks pada novel
terjadi pada bagian tujuh
ketika Saraswati benar-
benar sudah tidak tahan
dengan perlakuan tidak
adil orang-orang
padanya. Selama ini ia
sudah sabar dan
membiarkan hatinya
tersiksa oleh perlakuan
mereka. Namun,
seringnya mengalami
kekecewaan karena
kesulitan dalam
menyampaikan pikiran
perasaan kepada orang
lain membuat Saraswati
aku agak jauh sedikit, aku dilempari
dengan apa saja yang ada di tangannya.
Kadang-kadang juga aku dipukul dengan
tangannya yang kecil, lalu dia lari jauh-
jauh. (A. A. Navis, hlm. 25-26)
Dengan perasaan pahit, aku kerjakan apa
yang disuruh Angah. Aku pindahkan
barang-barang tua yang berat-berat itu
seorang diri ke kolong rumah. Sungguh
aku tidak menangis, Saudaraku, meski
aku ingin sekali. Cuma perasaanku
sangatlah getir dan hatiku menjerit-jerit.
(A. A. Navis, hlm. 30)
Aku kira Busra mulai memahami
maksudku, karena dia mengangguk-
angguk setiap aku menunjukkan
perbandingan yang mencolok itu padanya.
Namun aku belum puas. Aku jajarkan
tangannya ke kandang kambing. Lalu aku
menjerit-jerit lagi, sehingga terasa getaran
suara itu di seluruh tubuhku. Aku gerak-
gerakkan tanganku dengan kacau agar ia
tahu betapa segalanya telah menjadi
kacau oleh mereka semua. (A. A. Navis,
hlm. 30)
2.
e) Penyelesaian
Latar
a) Waktu
b) Tempat
mengekspresikan
semuanya dengan
kemarahan.
Pada tahap akhir ini
mulai terjadi kekenduran
dari klimaks dan
konflik-konflik yang ada
dalam cerita. Saraswati
yang sejak awal
diceritakan tersia-sia
karena penghinaan,
penindasan dan
ketidakadilan
menjadikan hal itu
sebagai motivasi untuk
terus berusaha. Aksi
protes yang dilakukan
Saraswati dalam
menuntut haknya
terhadap keluarga Angah
akhirnya berhasil. Kini
sampailah pada tahap
dimana ia benar-benar
bersyukur dengan
hidupnya yang baru.
Kerja keras yang disertai
dengan perjuangan tentu
membuahkan hasil yang
menyenangkan.
Dalam novel terjadi
peristiwa
pemberontakan yang
melibatkan dua pihak
secara garis besar yaitu
daerah dan pusat.
“Pusat” yang dimaksud
adalah Jakarta sebagai
ibukota negara sekaligus
pusat kekuasaan, dan
“daerah” yang
dimaksudkan adalah
Sumatra Barat. Dengan
demikian, dapat
disimpulkan bahwa
pengarang menggunakan
latar waktu cerita sekitar
tahun 1958.
Latar tempat yang
pertama muncul dalam
Saudaraku, kini aku mulai sungguh-
sungguh merasakan bahwa hidup ini
berarti. Sebagai gadis bisu-tuli yang
selama ini tersia-sia, yang hidup atas
belas kasihan dan yang hanya dapat
disuruh menjadi gembala, kini aku telah
mempunyai kehidupan sebagaimana yang
aku rindukan. Hidup seperti gadis-gadis
lain, karena kekurangan yang ada padaku
hampir tidak berarti lagi. Apalagi bila
suatu waktu aku mendapat kesempatan
untuk belajar lebih banyak lagi. (A. A.
Navis, hlm. 66)
Saudaraku, lama kemudian aku baru tahu,
bahwa yang berperang di masa itu ialah
tentara PRRI dengan tentara pemerintah.
Kata Busra, kalau tentara pemerintah
tidak beringas, pastilah tentara PRRI akan
cepat menyerah, karena perang itu tidak
ada gunanya. Akan tetapi karena pada diri
tentara itu telah ditumbuhkan perasaan
membenci, mereka didorong menjadi
beringas, meski kepada bangsa sendiri.
(A. A. Navis, hlm. 94)
Dalam perasaan gamang itulah aku
meninggalkan kota Jakarta. Kota yang
c) Sosial-Budaya
cerita adalah Jakarta.
Penggambaran latar ini
memberi arahan kepada
pembaca bahwa tokoh
utama yang hidup
bahagia menjadi berubah
dengan kesedihan akibat
kehilangan seluruh
anggota keluarganya dan
harus meninggalkan
Jakarta untuk tinggal
bersama Angah.
Latar tempat yang kedua
yakni di atas kapal
menuju Padang Panjang.
Tempat ini digunakan
pengarang untuk
memunculkan konflik
Saraswati dengan
seorang laki-laki tua
bisu.
Latar tempat ketiga yaitu
Padang Panjang. Padang
Panjang dipilih
pengarang sebagai latar
cerita perjuangan
Saraswati dalam
memperoleh aktualisasi
diri. Di tempat ini
muncul berbagai tokoh
lain dan konflik yang
harus dihadapi tokoh
utama hingga akhirnya
memperoleh aktualisasi
diri.
Pengarang menampilkan
latar sosial masyarakat
Padang Panjang yakni
dengan beternak. Seperti
yang dialami oleh
Saraswati setelah berada
di Padang Panjang, ia
belajar bagaimana
memelihara dan
menggembalakan itik,
kambing serta ayam agar
uang hasil penjualan
hewan-hewan itu dapat
digunakan untuk
telah memberi tempat cinta kasih ayah
bundaku. Kota yang memberi naungan
hidup bersama semua saudara-saudaraku.
Aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan
segala yang aku cintai. (A. A. Navis, hlm.
12)
…. Sungguh hatiku tak tahan menderita
penghinaan demikian. Maulah aku lari
dan terjun ke laut karenanya. Dan tak
seorang pun yang membelaku. Oh, tak
seorang pun. Angah malah ikut tertawa,
karena angah pun mengharapkan bantuan
laki-laki bisu itu untuk mengambil
ransum kapal. Dan untuk mengharapkan
bantuan kecil itu, dibiarkan aku diolok-
olok terus. (A. A. Navis, hlm. 14)
…. Yang menyenangkan dari segala-
galanya ialah karena aku telah dapat
membantu kesukaran orang lain dengan
hasil usahaku sendiri. Aku telah dapat
membuatkan atau mempermak pakaian
anak-anak tetangga kami yang miskin.
Bukan kepalang gembiranya mereka
ketika menerima hasil kerjaku. (A. A.
Navis, hlm. 68)
…. Setelah pagi-pagi aku memberi makan
itik, barulah kemudian aku giring
kambing-kambing itu ke
pemakaman menyusuri sisi rel kereta api.
Sepanjang jalan aku biarkan
kambing itu mencari makan pada tebing
di sisi rel, sambil aku memegang ujung
talinya. (A. A. Navis, hlm. 33)
3.
Tokoh dan
penokohan
a) Saraswati
memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Penggambaran desa
yang indah dengan
hamparan hijaunya
persawahan yang
membentang sampai ke
kaki gunung dan
perkampungan yang
dikelilingi pohon-pohon
rindang terdapat pada
novel.
Dalam kehidupan kita
memerlukan interaksi
yang baik dengan orang-
orang di lingkungan
sekitar. Salah satu
caranya dengan tegur
sapa. Dalam novel
diperlihatkan pengarang
lewat sambutan orang-
orang kampung terhadap
kedatangan Saraswati di
Padang Panjang.
Pengarang membuat
tokoh utama sebagai
gadis difabel (bisu-tuli)
dan yatim piatu.
Dengan kondisi bisu-
tuli, Saraswati banyak
dihinggapi kecemasan
karena menghadapi
lingkungan yang
beraneka ragam. Hal
tersebut kerap
membuatnya merasa
rendah diri, selalu
menganggap dirinya
Sesayup mata memandang aku lihat
persawahan membentang sampai ke kaki
gunung yang puncaknya diliputi awan.
Kaki gunung itu bersalaman dengan kaki
gunung di sebelahnya yang
puncaknya tidak berawan. Di
tengah-tengah persawahan yang luas itu,
banyak kampung-kampung
berserakan. Atap seng rumah kelihatan di
sela- sela pohon-pohon yang rindang dan
pohon yang nyiur. (A. A. Navis, hlm.
115)
…. Mereka menegurku dengan lambaian
tangan atau dengan tawa ramah.
Aku hanya membalas dengan
senyum, karena aku tidak suka
menggunakan tangan untuk berbicara.
(A. A. Navis, hlm. 24)
Aku seorang gadis. Dari kecil telah begini
dan aku tidak tahu kapan nasib begini
bermula. Aku punya dua orang kakak
laki-laki. Dua orang adik, juga laki-laki.
Aku punya ayah dan ibu. Tapi mereka
semua telah tiada lagi kini, Saudaraku.
Mereka telah meninggal oleh suatu
penghadangan pasukan pemberontak
dalam perjalanan kembali dari Bandung.
Mobilnya jatuh ke jurang dan terbakar.
(A. A. Navis, hlm. 2)
…. Sampai dimanakah kemampuanku?
Apakah aku akan menjadi manusia yang
berharga di tengah-tengah manusia yang
tidak cacat? Kalau seandainya aku bisa
mencapainya, bagaimanakah caranya? (A.
A. Navis, hlm. 15)
b) Busra
C) Angah
tidak memiliki kelebihan
apapun dan tidak
percaya diri hidup di
tengah orang-orang
normal.
Pengarang
menggambarkan
Saraswati sebagai sosok
perempuan yang tegar,
tabah dan sabar dalam
menghadapi segala ujian
hidup yang bertubi-tubi
menimpanya.
Pengarang juga
menggambarkan sosok
Saraswati sebagai
seorang gadis bisu-tuli
yang mandiri dan tidak
bergantung pada orang
lain.
Busra termasuk tokoh
statis karena memiliki
sikap dan watak yang
tetap, cenderung tidak
berkembang sejak awal
hingga akhir cerita.
Sejak awal hingga akhir
kemunculannya Busra
digambarkan sebagai
tokoh baik.
Busra termasuk tokoh
tambahan yang
berpengaruh memotivasi
tokoh utama agar
mampu bergaul dengan
orang lain dan
memaksimalkan potensi
yang dimiliki.
Angah termasuk tokoh
tambahan yang tidak
banyak mempengaruhi
perkembangan alur,
namun berpengaruh
terhadap perubahan
Pukulan demi pukulan telah menimpa
perasaanku. Sekali lagi aku katakan
kepadamu, Saudaraku, aku tidak pernah
menangis lagi meski hatiku telah
demikian luluh. (A. A. Navis, hlm. 30)
… para tetangga sudah mulai banyak
minta aku membuatkan pakaian mereka.
Seperti kebaya atau baju anak-anak
mereka yang laki-laki atau perempuan.
Mereka memberi aku uang menurut
sukanya saja. Uang jahitan itu aku berikan
pada Angah untuk membantu biaya
rumah tangga kami. Akan tetapi hasil dari
peternakan ayam disuruh Busra agar aku
simpan sendiri. (A. A. Navis, hlm. 66)
…. Hanya Busra yang menunjukkan
perhatiannya. Seperti biasa yang
dilakukannya, diletakkannya tangannya
yang besar itu ke bahuku dan ditatapnya
aku sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Itulah caranya menghiburku. (A.
A. Navis, hlm. 32)
…. Aku memahami maksud Busra,
bahwa ia ingin mengatakan padaku,
banyak orang cacat lainnya, tapi dapat
bergaul dengan semua orang dan mampu
memainkan alat musik untuk membuat
suasana jadi gembira. Tahulah aku
maksud Busra, bahwa ia ingin mendorong
aku untuk memulihkan harga diriku. (A.
A. Navis, hlm. 42)
…. Lalu aku dibawa Angah ke rumah
yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Banyak gadis-gadis di sana sedang
menjahit dan menyulam. (A. A. Navis,
hlm. 45)
d) Bisri
e) Laki-laki tua
bisu
hidup tokoh utama.
Terlihat pada perubahan
sikap Angah yang
akhirnya memberi
kesempatan pada
Saraswati untuk
mengembangkan potensi
dengan membekalinya
keterampilan.
Bisri termasuk tokoh
antagonis karena
menjadi penyebab
terjadinya konflik pada
diri Saraswati. Bisri
diceritakan sempat
melakukan pelecehan
seksual terhadap
Saraswati saat kembali
dari kepergiannya. Hal
ini sedikit janggal
karena sebagai seorang
tentara yang
berlatarbelakang anak
dari seorang ulama, Bisri
menunjukkan sikap yang
tidak terpuji.
Laki-laki tua bisu ini
menjadikan Saraswati
sebagai bahan olok-
oloknya demi
menggembirakan semua
penumpang. Dari
kejadian tersebut, dapat
dikatakan bahwa laki-
laki bisu ini merupakan
tokoh antagonis karena
menyebabkan timbulnya
konflik pada tokoh
utama
Termasuk tokoh
tambahan karena tidak
banyak mempengaruhi
perkembangan alur,
namun berpengaruh
terhadap motivasi tokoh
utama untuk
mengaktualisasikan diri.
Ada sesuatu yang memukul-mukul dalam
dadaku. Aku menghindar dengan
pura-pura hendak mengambil teko di rak
piring. Tak dibiarkannya aku pergi
dengan mengetatkan rangkulan. Lalu
kedua tangannya memelukku
dengan erat, sehingga seluruh tubuhku
merapat ke tubuhnya. Kepalanya
merunduk. Dia mencium pipiku, mataku,
leherku dan bibirku. Dan…seluruh
tubuhku bergetar. Ketika otakku berkata
bahwa perbuatan Bisri itu tidak
pantas dilakukannya kepadaku, aku tolak
dia dengan seluruh kekuatanku. (A.
A. Navis, hlm. 70-71)
…. Sekali dia menyatakan perasaan
cintanya terang-terangan dan mengajak
aku menjadi istrinya dengan gerak-gerik
di hadapan Angah. Semua orang tertawa
dan bahkan ada yang bertepuk tangan
melihat permainannya. (A. A. Navis, hlm.
13)
…. Pengalaman di kapal itu telah
membangkitkan keinginan untuk menjadi
orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan
lebih hebat dari manusia lainnya, agar
orang-orang jangan selamanya
memandang manusia cacat seperti kami
sebagai manusia yang gunanya
hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai
orang suruhan semata. (A. A.
Navis, hlm. 19)
f) Uni Ros
g) Guru Andika
Tokoh tambahan ini
dihadirkan pengarang
sebagai perempuan yang
ramah, namun sempat
putus asa karena
kesulitan untuk
mengajari Saraswati
akibat keterbatasannya
dalam berkomunikasi.
Tokoh tambahan ini
termasuk orang yang
sangat ramah. Selain itu
ia juga baik hati, ia
mengajari Saraswati
dengan penuh kesabaran
tanpa mengenal lelah
dan putus asa.
…, karena aku bisu dan tuli. Itulah
pangkal kesulitan dari segala macam
kesulitan yang menimpa diriku. Guruku
sampai tampak putus asa memberikan
pelajaran kepadaku. (A. A. Navis, hlm.
46)
…. Kemudian ditunjuknya huruf-huruf
yang serupa pada ketiga kata itu. Lalu
dingangakannya mulutnya lebar-lebar.
Aku pun disuruhnya menganga. Dia
melakukannya berulang-ulang. Aku pun
meniru. Tapi selalu dia menggeleng setiap
kali aku menganga. (A. A. Navis, hlm.
59)
Penilaian Kelompok
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Kelas :
Tanggal penilaian :
No. Aspek-aspek yang dinilai Nilai
A B C D
1. Antusiasme peserta kelompok dalam
penyusunan tugas.
2. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3. Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4. Keberanian dalam mengemukakan pendapat.
5. Tingkat perhatian pada kelompok lain yang
sedang mempresentasikan hasil diskusi.
Petunjuk:
Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas dan
mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai dengan sikap
sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai
berikut:
Baik sekali (A) : skor 81-90
Baik (B) : skor 71-80
Cukup (C) : skor 61-70
Kurang (D) : skor 51-60
“Kuis Uji Kecocokan”
Tahapan
alur
Pengertian
alur
Unsur
latar
tokoh-tokoh
dalam cerita
Perbedaan
tokoh dan
penokohan
1) tokoh utama dan
tokoh tambahan
2) tokoh protagonis dan
antagonis
3) tokoh sederhana dan
tokoh bulat
4) tokoh statis dan
berkembang
5) tokoh tipikal dan
netral
1) Tempat
2) Waktu
3) Sosial-Budaya
Rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahap-tahapan
peristiwa sehingga menjadi
sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.
1) Penyituasian
2) Pemunculan konflik
3) Peningkatan konflik
4) Klimaks
5) Penyelesaian
Tokoh adalah pembawa
peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga terjalin
suatu cerita, sedangkan
cara pengarang dalam
menampilkan tokoh disebut
sebagai penokohan.
Jawaban “Kuis Uji Kecocokan”
Pedoman penskoran:
Jumlah benar x 20 = 100
Tahapan
alur
Pengertian
alur
Unsur
latar
tokoh-tokoh
dalam cerita
Perbedaan
tokoh dan
penokohan
1) tokoh utama dan
tokoh tambahan
2) tokoh protagonis dan
antagonis
3) tokoh sederhana dan
tokoh bulat
4) tokoh statis dan
berkembang
5) tokoh tipikal dan
netral
1) Tempat
2) Waktu
3) Sosial-Budaya
Rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahap-tahapan
peristiwa sehingga menjadi
sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.
1) Penyituasian
2) Pemunculan konflik
3) Peningkatan konflik
4) Klimaks
5) Penyelesaian
Tokoh adalah pembawa
peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga terjalin
suatu cerita, sedangkan
cara pengarang dalam
menampilkan tokoh disebut
sebagai penokohan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Madhensia Putri Pratiwi lahir di
Tangerang 2 Maret 1993. Anak pertama dari
Bapak Medi Prayitno dan Ibu Budiwiyati ini
memulai pendidikan dasar di SD Negeri
Pondok Makmur, lalu melanjutkan
pendidikannya di SMP Negeri 8 Tangerang.
Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di SMA
Negeri 5 Tangerang sebelum akhirnya memilih
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi yakni di Universitas Islam Negeri
Jakarta. Dari kecil penulis bercita-cita untuk
menjadi seorang guru. Itulah yang menjadi
salah satu alasan penulis memilih Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan
mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Penulis termasuk orang yang menyukai
kesenian, hal ini terlihat dari kecil hingga
sekarang sering mengikuti pementasan seni. Ia tercatat pernah memenangkan lomba tari
tradisional di sebuah mall. Ia juga sempat mengikuti kegiatan POSTAR (Pojok Seni
Tarbiyah) dengan mengambil elemen saman. Selain itu penulis juga sempat mengikuti
beberapa pementasan drama yakni pementasan drama 1001 Malam yang diselenggarakan
oleh POSTAR, drama Cipoa karya Putu Wijaya yang diselenggarakan oleh jurusan PBSI
(Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan drama Cannibalogy karya Benny Johanes
yang diselenggarakan oleh UKM Teater Syahid.