karakteristik karkas kelinci peranakan new …repository.ub.ac.id/5480/1/aluysiusmandungajiwicaksono...
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK KARKAS KELINCI PERANAKAN
NEW ZEALAND WHITE JANTAN LEPAS SAPIH PADA
SUHU LINGKUNGAN PEMELIHARAAN YANG
BERBEDA
SKRIPSI
Oleh :
AluysiusMandungAjiWicaksono
NIM. 135050101111106
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KARAKTERISTIK KARKAS KELINCI PERANAKAN
NEW ZEALAND WHITE JANTAN LEPAS SAPIH PADA
SUHU LINGKUNGAN PEMELIHARAAN YANG
BERBEDA
SKRIPSI
Oleh :
Aluysius Mandung Aji Wicaksono
NIM. 135050101111106
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KARAKTERISTIK KARKAS KELINCI PERANAKAN
NEW ZEALAND WHITE JANTAN LEPAS SAPIH PADA
SUHU LINGKUNGAN PEMELIHARAAN YANG
BERBEDA
SKRIPSI
Oleh :
Aluysius Mandung Aji Wicaksono
NIM. 135050101111106
Telah dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana
Pada Hari/Tanggal: Senin/24 Juli 2017
Pembimbing Utama: Tanda tangan Tanggal
Dr. Ir. Ita Wahju Nursita, M.Sc
NIP. 19630508 198802 2 001 ……………… …….......
Pembimbing Pendamping:
Ir. Nur Cholis, M.Si.
NIP. 19590626 198601 1 001 ……………... …….......
Dosen Penguji:
Dr. Ir. Sri Minarti, MP.
NIP. 19610122 198601 2 001 ……………... …….......
Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS.
NIP. 19530514 198002 2 001 ……………..... …….......
Prof. Dr. Ir. Djalal Rosyidi, MS.
NIP. 19590927 198601 1 002 ……………..... …….......
Mengetahui:
Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS
NIP. 19620403 198701 1 001
Tanggal......................................
Identitas Tim Penguji
1. Penguji dari bidang minat Produksi Ternak
2. Penguji dari bidang minat Nutrisi dan Makanan Ternak
3. Penguji dari bidang minat Teknologi Hasil Ternak
NAMA : Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS.
NIP : 19530514 1980022 001
NAMA : Prof. Dr. Ir. Djalal Rosyidi, MS.
NIP : 19590927 1986011002
NAMA : Dr. Ir. Sri Minarti, MP.
NIP : 196101221986012001
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Aluysius Mandung Aji Wicaksono
NIM : 135050101111106
Fakultas : Peternakan
dengan ini menyatakan bahwa judul Skripsi “Karakteristik
Karkas Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Lepas
Sapih Pada Suhu Lingkungan Pemeliharaan Yang Berbeda”
benar bebas dari plagiat, dan apabila pernyataan ini terbukti tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Malang, 15 Agustus 2017
Aluysius Mandung Aji W.
NIM. 135050101111106
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Aluysius Mandung Aji
Wicaksono, dilahirkan di Kediri tanggal 20 Agustus 1995,
sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Agustinus Suparmanto dan Ibu Asri Rina Hardini.
Pada tahun 2007 penulis lulus dari SD Negeri 1 Grogol
Kediri, Tahun 2010 lulus dari SMP Negeri 1 Grogol Kediri,
tahun 2013 lulus dari SMAK St. Augustinus Kediri. Tahun
2013 Penulis diterima masuk sebagai mahasiswa Strata 1 (S-
1) di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang
lewat jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negri
(SNMPTN).
Selama menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang, penulis berkesempatan
menjadi pengurus Unit Aktivitas Kerohanian Katolik
(UAKKat) Universitas Brawijaya pada periode 2014-2015.
Penulis pernah melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di
PT. Cargill Indonesia bagian Feedmill Ruminansia Purwodadi
Jawa Tengah pada tahun 2016 dibawah bimbingan Dr. Ir.
Lilik Eka Radiati, MS.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “KARAKTERISTIK KARKAS
KELINCI PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE JANTAN
LEPAS SAPIH PADA SUHU LINGKUNGAN
PEMELIHARAAN YANG BERBEDA”. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu
(S-1) Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang. Penyusunan laporan skripsi ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Ayah saya Agustinus Suparmanto, ibu saya Asri
Rina Hardini dan adik saya Brigitta Anggit Putri
Melenia atas segala do'a, kasih sayang, semangat
dan dorongan yang senantiasa diberikan selama
ini.
2. Dr. Ir. Ita Wahju Nursita, M.Sc., selaku pembimbing
utama dan Ir. Nur Cholis, MS., selaku pembimbing
pendamping yang sabar dalam memberikan
bimbingan, motivasi dan pengarahan.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr. Ir. Sri Minarti, MP., selaku Ketua Jurusan
Peternakan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya.
5. Dr. Agus Susilo, S.Pt., MP., selaku Ketua Program
Studi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
iii
6. Ir. Nur Cholis, MS., selaku Ketua Bidang Minat
Bagian Produksi Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya.
7. Aprin, Yusuf dan Tamam sebagai tim penelitian yang
selalu membantu, memberikan saran, dan semangat.
8. Teman-teman kelas G dan semua pihak yang telah
membantu, menemani, menghibur dan memotivasi.
Malang, Agustus 2017
Penulis
iv
CARCASS CHARACTERISTICS OF WEANED
CROSSBREED MALE NEW ZEALAND WHITE
RABBIT AT DIFFERENT ENVIRONMENT
TEMPERATURE
Aluysius Mandung Aji Wicaksono1) Ita Wahju Nursita2) Nur
Cholis2)
1) Student at Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya
University 2) Lecturer at Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya
University
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the
carcass characteristics of weaned crosbreed male New
Zealand White rabbit at different temperatures (T1 23-25 oC, T2 27-29 oC and T3 31-33 oC). The results were
expected to provide information to farmers about the
importance of temperature monitoring and temperature
control so that rabbits could adapt to the environment and
they could be produce optimal carcass production. This
research use 18 weaned male New Zealand White rabbit
that was given maintained during 6 weeks. The
concentrate feed was given in the morning while the
forages in the afternoon. The drinking water was
available ad-libitum. Slaughtering was conducted on 12
rabbits that had been fasted for 7 hours before be
slaughtered. The variables were slaughter weight, carcass
weight, non carcass weight and commercial carcass cuts.
The results showed that there were highly significant
different (P<0,01) between the treatmen to the average
v
slaughter weight, carcass weight average, the average
percentage of carcass, the average weight of commercial
pieces of the foreleg, hindlegs and loin. Significant
different (P<0,05) on the non carcass internal weight.
Non carcass external weight, non carcass percentage of
internal and external, average weight of commercial
pieces of the rack, around the average percentage of
commercial pieces and showed not significant difference
(P>0,05). The conclusion of this study was that the
temperature difference in each treatment provides a very
real difference in slaughter weight, carcass weight,
carcass percentage, the weight of the forelegs, hindlegs,
and the loin of New Zealand White rabbits. The higher
the ambient temperature will cause the decrease of cut
weights that impact on the light weight and the
percentage of carcass. The best temperature of treatment
was for generating a high carcass was 23-25 °C which
was closer to the comfort zone (21 oC).
Keywords: Commercial Cut, Environment Temperature,
Rabbit, Slaughter.
vi
KARAKTERISTIK KARKAS KELINCI PERANAKAN
NEW ZEALAND WHITE JANTAN LEPAS SAPIH PADA
SUHU LINGKUNGAN PEMELIHARAAN YANG
BERBEDA
Aluysius Mandung Aji Wicaksono1) Ita Wahju Nursita2) Nur
Cholis2) 1) Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
2) Dosen Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya
RINGKASAN
Kelinci sangat rentan terhadap suhu lingkungan yang
panas sehingga menyebabkan panas tubuh akan bertambah
yang berdampak pada penurunan konsumsi pakan dan
peningkatan konsumsi air. Suhu yang tinggi menyebabkan
kelinci menjadi stres sehingga dapat menurunkan kualitas
produksi dan memperlambat pertumbuhan kelinci.
Pemantauan suhu lingkungan penting dilakukan untuk
meningkatkan produksi kelinci. Hal sederhana yang dapat
dilakukan untuk menurunkan suhu lingkungan adalah
pemilihan tempat yang sesuai dan memberikan tingkat
kerapatan vegetasi yang tinggi.
Penelitian ini dilakukan di Desa Cerme, Kecamatan
Grogol, Kabupaten Kediri Jawa Timur selama 6 minggu.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari
sampai dengan bulan Maret 2017. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik karkas kelinci peranakan New
Zealand White yang dipelihara dalam suhu yang berbeda.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi bagi peternak kelinci tentang pentingnya
pemantauan suhu dan perlakuan suhu yang diberikan agar
vii
kelinci lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga
dapat menghasilkan produksi karkas yang optimal.
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kelinci peranakan New Zealand White jantan lepas sapih
berusia 6-8 minggu sebanyak 18 ekor dengan rata-rata bobot
badan awal 1069-1101 gram. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 6 ulangan dengan suhu
kandang yang berbeda (P1 23-25 oC, P2 27-29 oC dan P3 31-33 oC). Kelinci dipelihara di kandang individu yang telah
disucihamakan dengan antibakteri. Selama 6 minggu kelinci
diberi pakan konsentrat pukul 07.00 dan pakan hijauan segar
pukul 15.00 dengan perbandingan konsentrat dan hijauan
segar adalah 30:70, pemberian air diberikan secara ad-libitum.
Pengambilan sampel kelinci yang akan disembelih dengan
cara mengundi empat ekor kelinci secara acak dari setiap
perlakuan, sebelumnya kelinci telah dipuasakan selama 7 jam.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam,
apabila diperoleh hasil yang berbeda atau signifikan maka
dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s.
Hasil dari penelitian ini adalah rata-rata bobot potong
(g/ekor) P1 2270,25±33,40c; P2 2011,75±27,94b; P3
1933,50±12,50a menunjukkan perbedaan sangat nyata
(P<0,01). Bobot potong semakin menurun karena suhu tinggi
akan mempengaruhi penurunan konsumsi pakan yang
berdampak pada penurunan bobot potong. Bobot rata-rata
karkas kelinci (g/ekor) adalah P1 1199,50±53,64c; P2
1061,50±29,44b; P3 960,00±13,71a dan rata-rata persentase
karkas kelinci adalah (%) P1 52,82±1,60b; P2 52,77±1,27b; P3
49,65±0,50a menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).
Bobot karkas semakin menurun berbanding lurus dengan
penurunan bobot potong sehingga suhu juga mempengaruhi
bobot karkas, sedangkan persentase karkas sangat dipengaruhi
viii
oleh bobot karkas berdasarkan bobot potong kelinci. Bobot
rata-rata non karkas internal (g/ekor) adalah P1 460,50±24,23b;
P2 409,00±25,0a; P3 411,00±22,17a dan eksternal (g/ekor)
adalah P1 489,75±34,97; P2 445,50±16,30; P3 463,00±21,65.
Rata-rata persentase non karkas internal (%) adalah P1
20,28±0,96; P2 20,33±1,27; P3 21,26±1,16 dan eksternal (%)
adalah P1 21,59±1,80; P2 22,14±0,71; P3 23,95±1,22.
Perbedaan suhu hanya memberikan perbedaan yang nyata
(P<0,05) pada bobot non karkas internal, namun tidak
menunjukkan perbedaan pada bobot non karkas eksternal dan
persentase non karkas internal dan eksternal (P>0,05).
Perbedaan pada bobot non karkas internal disebabkan karena
pertambahan bobot organ perncernaan dan metabolism
dipengaruhi oleh status nutrisional kelinci. Rata-rata bobot
potongan komersil (g/ekor) kaki depan adalah P1
195,25±10,31b; P2 175,25±8,77ab; P3 161,25±9,00a, kaki
belakang adalah P1 481,00±14,17c; P2 422,00±2,94b; P3
391,25±12,37a dan pinggang adalah P1 248,75±12,84b; P2
218,25±30,40ab; P3 180,25±18,82a menunjukkan perbedaan
sangat nyata (P<0,01). Rata-rata bobot dada (gram) adalah P1
274,50±30,62; P2 246,00±2,16; P3 227,25±30,61, rata-rata
persentase potongan komersil (%) kaki depan adalah P1
16,29±0,83; P2 16,51±0,82; P3 16,80±0,95, kaki belakang
adalah P1 40,13±0,96; P2 39,78±1,28; P3 40,75±0,94, dada
adalah P1 22,85±1,72; P2 23,19±0,68; P3 23,67±3,10 dan
pinggang adalah P1 20,74±0,63; P2 20,52±2,32; P3 18,78±2,04
tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05). Rata-rata bobot kaki
depan, kaki belakang dan pinggang menunjukkan penurunan
sebanding dengan penurunan suhu, namun pada bobot
potongan dada tidak berbeda pada setiap perlakuan suhu
karena jumlah tulang rusuk lebih dominan sehingga
pertumbuhan otot kurang optimal. Pada persentase potongan
komersil tidak berbeda karena persentase potongan komersil
ix
menunjukkan bobot setiap potongan komersil dari total bobot
karkas.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah karakteristik
karkas kelinci peranakan New Zealand White pada bobot
potong, bobot karkas dan persentase karkas menurun seiring
dengan tingginya suhu pemeliharaan. Bobot dan persentase
non karkas internal (organ pencernaan, organ reproduksi dan
organ kardiovaskular) maupun eksternal (kepala, bulu, kaki
depan dan belakang bagian metatarsus) secara umum sama
pada perlakuan suhu lingkungan. Potongan komersil pada
bobot kaki depan, kaki belakang dan pinggang menurun
seiring dengan tingginya suhu pemeliharaan, namun pada
bobot dada dan persentase seluruh potongan komersil secara
umum sama. Suhu perlakuan yang paling baik untuk
menghasilkan karkas yang tinggi adalah suhu P1 (23-25oC)
yang mendekati comfort zone yaitu 21oC. Saran untuk
penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan studi untuk
perbandingan karakteristik karkas antar bangsa kelinci dengan
suhu lingkungan pemeliharaan yang berbeda.
x
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP ....................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................... ii
ABSTRAK ..................................................................... iv
RINGKASAN ................................................................ vi
DAFTAR ISI .................................................................. x
DAFTAR TABEL .......................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN .............................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................. 3
1.3 Tujuan ................................................................... 4
1.4 Kegunaan ............................................................... 4
1.5 Kerangka Pikir ...................................................... 4
1.6 Hipotesis ................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................... 8
2.1 Kelinci ................................................................... 8
2.1.1 Kelinci New Zealand White ..................... 9
2.1.2 Potensi Kelinci ......................................... 10
2.1.3 Kelinci Lepas Sapih ................................. 11
2.2 Suhu dan Comfort Zone......................................... 12
2.2.1 Pengaruh Suhu Terhadap Pembuangan
Panas ........................................................ 13
2.2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Produksi .......... 14
2.3 Karkas ................................................................... 16
2.4 Non Karkas ............................................................ 17
2.5 Potongan Komersil ................................................ 18
2.6 Pertumbuhan ......................................................... 19
2.7 Pakan ..................................................................... 21
xi
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN .... 23
3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian ................................ 23
3.2 Materi Penelitian ................................................... 23
3.3 Metode Penelitian .................................................. 24
3.4 Variabel Penelitian ................................................ 26
3.5 Analisis Data ......................................................... 27
3.6 Batasan Istilah ....................................................... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................... 29
4.1 Keadaan Lokasi Penelitian .................................... 29
4.2 Bobot Potong ......................................................... 30
4.3 Bobot Dan Persentase Karkas ................................ 33
4.4 Bobot Dan Persentase Non Karkas ........................ 37
4.5 Bobot Dan Persentase Potongan Komersil ............ 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................... 45 5.1 Kesimpulan ............................................................ 45
5.2 Saran ...................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA .................................................... 46
LAMPIRAN ................................................................... 56
xii
Daftar Tabel
Tabel Halaman
1. Kebutuhan Nutrisi Pada Kelinci Masa
Pertumbuhan ..................................................... 22
2. Kandungan Nutrisi Pakan Selama Penelitian
(%) ..................................................................... 24
3. Rata-rata suhu ( oC) dan Kelembaban Udara
(%) Ruang Selama Penelitian ............................ 29
4. Rataan suhu ( oC) Kandang Pada Masing-Masing
Perlakuan ........................................................... 30
5. Rata-rata Bobot Potong Kelinci Peranakan
New Zealand White (g/ekor). ............................ 31
6. Rata-rata Bobot Karkas Kelinci Peranakan
New Zealand White (g/ekor). ............................ 34
7. Rata-rata Persentase Karkas Kelinci Peranakan
New Zealand White (%). ................................... 35
8. Rata-rata Bobot Non Karkas Kelinci Peranakan
New Zealand White (g/ekor) ............................. 38
9. Rata-rata Persentase Non Karkas Kelinci
Peranakan New Zealand White (%) ................... 39
10. Rata-rata Bobot Potongan Komersil Kelinci
Peranakan New Zealand White (g/ekor). ........... 41
11. Rata-rata Persentase Potongan Komersil Kelinci
Peranakan New Zealand White (%). .................. 43
xiii
Daftar Gambar
Gambar Halaman
1. ................................................................. Kerang
ka Pikir Penelitian ............................................ 6
2. ................................................................. Kelinci
Peranakan New Zealand White ....................... 10
3. ................................................................. Potong
an Komersil Karkas Kelinci ............................ 19
4. ................................................................. Kurva
Pertumbuhan .................................................... 21
5. ................................................................. Grafik
Rata-rata Bobot Potong Kelinci Hasil Penelitian ...................................................
6. ................................................................. Grafik
Rata-rata Konsumsi Pakan Kelinci Hasil Penelitian .................................................
7. ................................................................. Karkas
Kelinci Hasil Penelitian ................................... 33
8. ................................................................. Grafik
Rata-rata Bobot Karkas Kelinci Hasil Penelitian ...................................................
9. ................................................................. Grafik
Rata-rata Persentase Karkas Kelinci
Hasil Penelitian ................................................ 36
10. ............................................................... Nonkar
kas Internal dan Eksternal Kelinci Hasil Penelitian ..................................................
11. ............................................................... Diagra
m Rata-rata Bobot Non Karkas Internal
dan Eksternal Kelinci Hasil Penelitian ............ 38
12. ............................................................... Diagra
m Rata-rata Persetase Non Karkas
Internal dan Eksternal Kelinci Hasil Penelitian 39
xiv
13. ............................................................... Foto
Potongan Komersil .......................................... 41
14. ............................................................... Diagra
m Rata-rata Bobot Potongan Komersil ........... 42
15. ............................................................... Diagra
m Rata-rata Persentase Potongan
Komersil .......................................................... 44
xv
Daftar Lampiran
Lampiran Halaman
1. ................................................................. Suhu
dan Kelembaban Ruang ................................... 57
2. ................................................................. Suhu
Setiap Kandang Perlakuan ............................... 59
3. ................................................................. Data
Bobot Badan Kelinci (g/ekor) dalam
Percobaan. ....................................................... 65
4. ................................................................. Data
dan Analisis Ragam ......................................... 67
5. ................................................................. Dokum
entasi ................................................................ 97
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsumsi protein hewani terus meningkat seiring
dengan peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Menurut data Badan Pusat Statistik, konsumsi protein
Indonesia meningkat sejak tahun 2013 hingga tahun 2015.
Harga daging sapi yang semakin tinggi berdampak pada
antusias masyarakat dan menjadi sebuah kendala. Pemerintah
berupaya menyiasati tingginya konsumsi protein hewani
dengan pengembangan potensi ternak kelinci yang dianggap
sebagai alternatif penyedia protein hewani yang tinggi (Sari,
Ismatullah, Titik, Anida dan Dedeh 2012). Potensi kelinci
peranakan New Zealand White sebagai salah satu ternak
penghasil daging sangat tinggi walapun pada saat ini daging
kelinci belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat.
Menurut Lebas, Coudert, Rouvier and Rochambeau
(1997) daging kelinci memiliki nilai protein lebih tinggi dari
daging hewan ternak yang lainnya yaitu 21%, sedangkan sapi
20% dan ayam 19,5%. Daging kelinci rendah lemak dan
memiliki rasa sebanding dengan daging ayam, perbedaan
potensi yang tidak terlalu signifikan ini dapat dikembangkan
lebih lanjut. Kelinci memiliki kemampuan reproduksi tinggi
karena dapat melahirkan anak sekitar 6-10 ekor dengan lama
bunting 30-32 hari dan siap dikawinkan kembali setelah anak
lepas sapih atau 3-7 minggu (Susilorini dan Sawitri, 2008).
Kelinci juga memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat,
efisiensi pakan yang tinggi, masa panen yang cepat dan sedikit
lahan untuk pemeliharaan (Hernandez and Rubio, 2001).
Kelinci New Zealand White adalah bangsa kelinci pedaging
2
yang berasal dari Amerika, kelinci ini merupakan hasil
persilangan antara Flemish Giant dan Belgian Hare. Kelinci
New Zealand White dapat mencapai umur 10 tahun dan bobot
badan maksimal mencapai 5,44 kg bila diberi perawatan yang
baik (Masanto dan Agus, 2010).
Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
kehidupan hewan adalah suhu, suhu akan memberikan
pengaruh yang berbeda pada setiap individu hewan. Kelinci
akan lebih produktif pada suhu lingkungan 21oC (Susilorini
dan Sawitri, 2008). Kelinci sangat rentan terhadap suhu
lingkungan yang panas sehingga menyebabkan panas tubuh
akan bertambah yang berdampak pada penurunan konsumsi
pakan dan peningkatan konsumsi air. Menurut Sari (2015)
Indonesia adalah negara yang beriklim tropis yang memiliki
dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan
suhu udara sekitar 23 oC sampai dengan 28 oC sepanjang
tahunnya. Dampak dari pemanasan global suhu dibumi
mengalami peningkatan rata-rata 0,6 oC bahkan bisa lebih
tinggi hingga 1,4-5,8 oC dari tahun-ke tahun (Susanta dan
Hari, 2007). Kondisi ini akan memberikan pengaruh
lingkungan pemeliharaan kelinci yang menyebabkan kelinci
menjadi stres sehingga dapat menurunkan kualitas produksi
dan memperlambat pertumbuhan kelinci. Pemantauan suhu
lingkungan penting dilakukan untuk meningkatkan produksi
kelinci. Hal sederhana yang dapat dilakukan untuk
menurunkan suhu lingkungan adalah pemilihan tempat yang
sesuai dan memberikan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi
(Martopo, Sugeng dan Chafid, 1995).
Pertumbuhan ternak dapat diukur berdasarkan pada
pertambahan bobot badan, perubahan ukuran dan bentuk tubuh
ternak, hal ini disebabkan oleh perubahan komponen tubuh
3
seperti otot, tulang, lemak dan organ ternak. Gillespie (2004)
menjelaskan bahwa persentasse karkas dapat menjadi sebuah
indikator dari produktivitas daging, persentase karkas kelinci
berkisar antara 50-59% dari bobot potongnya. Persentase
karkas kelinci lebih kecil dari karkas ayam (65-70%) dan
hampir sama dengan persentase karkas sapi (53-56%) (Hapid,
2014; Oluyemi and Roberts, 1979). Karakter produksi karkas
berdasar perbedaan suhu pemeliharaan masih sangat terbatas,
penelitian menggali informasi produktivitas kelinci sebagai
dasar pembangunan sub sektor peternakan di masyarakat
sehingga kelinci dapat dikembangbiakkan untuk membantu
memenuhi kebutuhan protein.
1.2 Rumusan Masalah
Kebutuhan akan protein hewani yang semakin
meningkat menyebabkan perlu dicarinya alternatif sumber
protein hewani yang baru dalam waktu yang relatif singkat
dengan kualitas nutrisi yang tidak jauh berbeda dengan hewan
penyedia sumber protein yang lain. Kelinci adalah salah satu
alternatif yang dapat dibudidayakan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, namun perbedaan dan perubahan suhu
lingkungan akan memberikan dampak terhadap daya adaptasi
kelinci. Suhu lingkungan yang tinggi akan direspon kelinci
dengan lebih banyak mengkonsumsi air daripada pakan
sehingga asupan nutrisi berkurang, hal ini akan mempengaruhi
bobot karkas kelinci. Oleh karena itu perlu diketahui pengaruh
suhu terhadap karakteristik karkas kelinci agar bisa mendapat
hasil karkas yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan
sumber protein hewani alternatif.
4
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakteristik karkas kelinci peranakan New Zealand White
jantan yang dipelihara dalam suhu lingkungan pemeliharaan
yang berbeda.
1.4 Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
bagi peternak kelinci tentang pentingnya pemantauan suhu dan
perlakuan suhu yang diberikan agar kelinci lebih mudah
beradaptasi dengan lingkungan sehingga dapat menghasilkan
produksi karkas yang optimal.
1.5 Kerangka Pikir
Kelinci peranakan New Zealand White adalah kelinci
jenis pedaging yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan
memiliki sifat produksi yang tinggi. Kelinci ini memiliki daya
tahan yang kuat terhadap penyakit, siklus hidup yang pendek
dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru (Smith and
Mangkoewidjojo, 1988).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan kelinci adalah genetik, lingkungan, pakan
maupun manajemen pemeliharaan pada kelinci (Aritonang,
Harahap dan Raharjo, 2004). Suhu lingkungan adalah salah
satu faktor yang mempengaruhi produksi kelinci. Kelinci akan
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik saat
ditunjang dengan pakan dan manajemen yang baik pula dan
pada suhu nyamannya yaitu 21oC (Marai, Habeeb and Gad,
2002). Suhu lingkungan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
akan menyebabkan kelinci mengalami cekaman. Kelinci akan
mengeluarkan energi yang lebih banyak untuk
5
mempertahankan suhu tubuhnya saat kelinci mengalami
cekaman (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Kelinci masih
dapat bertahan hidup pada kisaran suhu 10-30oC, pada suhu
dibawah 10oC kelinci akan sedikit mengkonsumsi air sehingga
mengakibatan kelainan ginjal dan pada suhu ditas 30oC kelinci
akan kesulitan bernapas (Masanto dan Agus, 2010).
Cara adaptasi kelinci untuk mempertahankan suhu
tubuhnya adalah dengan mengalih fungsikan energi untuk
pertumbuhan, mengatur frekwensi pernafasan dan lebih
banyak mengkonsumsi air. Hormone triiodotironin akan
menurun pada kondisi panas karea penningkatan hormone
adrenalin, rendahnya hormone triiodotironin akan
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen dan metabolisme
(Decuypere and Buyse, 2005). Kelinci yang tidak mampu
beradaptasi dengan suhu lingkungan akan mempengaruhi
konsumsi pakan (Aritonang, Roefiah, Pasaribu dan Raharjo,
2003). Pengaruh pada konsumsi pakan akan berdampak pada
pertumbuhan kelinci sehingga mempengaruhi bobot badan dan
karkas yang dihasilkan. Gillespie (2004) menjelaskan bahwa
karkas dapat menjadi sebuah indikator dari produktivitas
ternak. Konsep kerangka pikir penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.
Konsumsi Pakan Naik
Frekuensi Pernafasan Normal
Suhu Tubuh Normal PBB Tinggi
Mampu Beradaptasi Tidak Mampu Beradaptasi
Konsumsi Pakan Turun
Frekuensi Pernafasan Naik
Suhu Tubuh Naik PBB Rendah
Kelembaban Angin Suhu Awan Curah Hujan
Sosial Luar (Cuaca dan Iklim) Manusia
Lingkungan
Suhu Comfort Zone 21 oC
Genetik
Terdapat Perbedaan pada:
Bobot Potong
Bobot dan Persentase Karkas
Bobot dan Persentase Non Karkas
Bobot dan Persentase Potongan Komersil
Daya Adaptasi
Perbedaan Suhu Pemeliharaan
23-25 oC (Pendinginan Uap Es)
27-29 oC (Suhu Ruang)
31-33 oC (Pemanasan Cahaya Lampu)
Produksi Kelinci Peranakan
New Zealand White
Suhu lingkungan
berpengaruh pada nafsu
makan dan jumlah
konsumsi pakan ternak
(Aritonang dkk., 2003).
7
1.6 Hipotesis
Perbedaan suhu pemeliharaan memberikan pengaruh
yang nyata terhadap karakteristik karkas kelinci peranakan
New Zealand White jantan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelinci
Menurut Lebas et al. (1997) kelinci diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Ordo : Logomorph
Family : Lepotidae
Sub family : Leporine
Genus : Orycotolagus
Species : Orycotolagus cuniculus
Kelinci adalah ternak herbivora non ruminansia yang
mempunyai sistem lambung sederhana sehingga tidak dapat
mencerna serat kasar terutama selulosa dari bahan nabati
dengan baik sehingga memerlukan bantuan mikroba dalam
sekum (Widodo, 2005). Menurut Farrel dan Raharjo (1984)
kelinci memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia
maupun ternak yang lain dalam intensifikasi konsumsi pakan.
Kelinci dapat memanfaatkan protein dari hijauan dalam
jumlah besar dengan memanfaatkan ulang pakan yang tercerna
dalam sekum (coprophagy), dengan ini kelinci dapat
memaksimalkan kemampuan kelinci dalam mencerna serat
kasar.
Kelinci sangat cocok dipelihara dan dimanfaatkan
sebagai sumber daging di negara berkembang. Selain itu
kelinci memiliki ukuran tubuh yang tidak terlalu besar
sehingga tidak membutuhkan banyak ruang pemeliharaan,
tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan
9
kandang, umur dewasa yang hanya mencapai 4-5 bulan,
kemampuan berkembang biak yang tinggi dan masa
penggemukan kurang dari dua bulan sejak lepas sapih (El-
Raffa, 2004). Farrel dan Raharjo (1984) menjelaskan bahwa
kelinci dapat menghasilkan 80 kg karkas pertahun dengan
teori seekor induk kelinci dengan bobot 3 hingga 4 kilogram.
Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensi
biologis dan genetis tinggi, menghasilkan produk eksotik dan
memiliki potensi dengan nilai ekonomi yang tinggi. Kelinci
yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat dan
bertujuan untuk produksi daging adalah New Zealand White,
Californian, English Spot dan Flemish Giant. Kelinci Rex dan
Satin dapat menghasilkan daging dan bulu. Berbagai jenis
kelinci lain seperti Tris Mini Rex, Lops, Angora, Dutch, Dwarf
Hotot, Fuzzy, Jersey Wooly dan Lion, dikenal sebagai
penghasil bulu dengan nilai jual yang tinggi (Raharjo dan
Brahmantiyo, 2014).
2.1.1 Kelinci New Zealand White
Kelinci New Zealand White adalah kelinci yang
berasal dari Amerika. Kelinci New Zealand White merupakan
kelinci albino yang mempunyai bulu tidak mengandung
pigmen, memiliki bulu yang halus, berwarna putih, padat,
tebal dan mata berwarna merah (Gambar 2). Kelinci New
Zealand White yang berumur 8 minggu memiliki bobot rata-
rata 3,6 kg dan umur 10-12 minggu bobotnya mencapai 4,5-5
kg (Hustamin, 2006).
Kelinci New Zealand White memiliki konversi pakan
yang sangat baik bila ditunjang dengan kondisi dan tatalaksana
pemeliharaan yang baik seperti perkandangan, pakan,
manajemen yang baik. Kelinci New Zaeland White banyak
10
ditemukan dan berkembang biak dengan baik di negara tropis
dengan lingkungan berbeda sehingga populer pada industri
daging diberbagai negara (Kartadisastra, 1997). New Zealand
White yang diberi pakan secara ad-lbitum akan memiliki bobot
badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi
pakan secara restricted (dibatasi). Selain itu, kelinci New
Zealand White yang diinseminasi buatan pada umur14,5
minggu juga memiliki bobot badan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinseminasi pada umur 17,5
minggu (Rommers, 2001).
Dalam satu tahun kelinci New Zealand White dapat
beranak sampai 5 kali, pertumbuhan yang cepat dengan
dewasa kelamin pada umur 7-8 bulan kelinci New Zealand
White sudah dapat dikawinkan. Masa bunting kelinci ini hanya
29-30 hari dengan anak 5-6 ekor setiap kelahiran (Sarwono,
2001).
Gambar 2. Kelinci Peranakan New Zealand White.
`2.1.2 Potensi Kelinci
Kelinci memiliki potensi besar dalam penghasil
daging, sepasang induk kelinci dapat menghasilkan 80 kg
11
daging dalam satu tahun (Sarwono, 2001). Menurut Masanto
dan Agus (2010) tekstur daging kelinci lebih lembut dan
memiliki rasa lebih gurih. Selain itu, kandungan kolesterol
daging kelinci jauh lebih rendah (164 mg/100 gram daging)
dibandingkan daging ayam, sapi, kambing dan domba
(berkisar 220-250 mg/ 100 gram daging) sehingga lebih sehat
dikonsumsi.
Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa seluruh hasil
ikutan dari ternak kelinci dapat dimanfaatkan dengan baik
seperti :
1. Bulu dan kulit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
kerajinan seperti topi, baju, tas, sepatu dan alat perabot
rumah tangga.
2. Kepala dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan hewan
(anjing dan kucing) dan otaknya dapat digunakan sebagai
bahan pembuat vaksin bagi perusahaan farmasi.
3. Kotoran dan urin dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembutanan gas metan, media pertumbuhan jamur dan
sebagai bahan pembuatan pupuk.
4. Kaki dan ekor dapat digunakan sebagai hiasan dan
gantungan kunci kelinci.
2.1.3 Kelinci Lepas Sapih
Pertumbuhan kelinci dibagi menjadi lima fase sesuai
umurnya. Fase pertama adalah pada saat penyapihan umur 40
hari, fase kedua pada saat disapih, fase ketiga pada masa
remaja umur 100 hari, fase keempat pada umur 140 hari
kelinci mencapai keseimbangan hormonal, dan fase kelima
pada umur 200 hari kelinci mancapai dewasa tubuh
(Brahmantiyo et al., 2008). Penelitian Sulistyaningsih, Minarti
12
dan Sjofjan (2013) menggunakan kelinci New Zealand White
lepas sapih yang berumur 1,5 bulan.
Masa kritis bagi pemeliharaan kelinci adalah selama
menyusui (pra sapih) dan segera setelah sapih (paska sapih).
Raharjo dan Gultom (2000) melaporkan tingkat mortalitas
anak kelinci hingga mencapai umur 4 atau 6 bulan cukup
tinggi sehingga menghambat pencapaian potensi produksinya.
Tingkat adaptasi kelinci pra sapih sangat rendah pada suhu dan
kelembaban yang tinggi, sehingga angka kematian yang tinggi
(Lebas, et al., 1997). Menurut Brahmantiyo (2008), tingginya
mortalitas pada kelinci lepas sapih disebabkan karena
pengaruh lingkungan, aerasi dan kebersihan.
Selain kualitas ransum, bangsa, umur, jenis kelamin
dan lingkungan Templeton (1968) menyatakan bahwa bobot
sapih juga mempengaruhi pertumbuhan kelinci. Laju
pertumbuhan pada anak kelinci akan meningkat cepat pada
satu bulan pertama sejak lahir dan akan terus bertambah
sampai disapih. Bobot kelinci yang dicapai pada umur 8
minggu adalah 1.38 – 2.1 kg, umur 12 minggu adalah 2.12 -
2.85 kg dan umur 16 minggu adalah 3.28 – 3.83 kg (Chen,
Rao, Sunki dan Johnson 1987).
2.2 Suhu dan Comfort Zone
Kelinci akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang baik saat ditunjang dengan pakan dan
manajemen pemeliharaan yang baik pula pada suhu nyaman
(comfort zone) yaitu 21 oC (Marai, Habeeb and Gad, 2002).
Faktor yang perlu diperhatikan dalam perkandangan kelinci
adalah sinar matahari yang masuk harus cukup, lokasi kandang
juga harus memiliki suhu yang sejuk antara 15-20 oC, ventilasi
13
yang sempurna, kelembaban udara antara 60-90% dan
lingkungan yang tenang (Masanto dan Agus, 2010).
Kelinci termasuk hewan homeoterms yang
mempertahankan suhu tubuh relatif tetap sekalipun suhu
lingkungan di sekitarnya sangat berfluktuasi (Sukarsono,
2012). Kelinci masih dapat hidup dengan baik pada kisaran
suhu 10-30 oC. Pada suhu dibawah 10 oC konsumsi pakan
kelinci akan meningkat dan konsumsi air menurun sehingga
akan mengalami kelainan ginjal (nepritis) dan menggigil,
sedangkan pada suhu diatas 30 oC kelinci akan kesulitan
bernapas (panting) (Masanto dan Agus, 2010).
2.2.1 Pengaruh Suhu Terhadap Pembuangan Panas
Kelinci adalah hewan endotherms yang dapat
memelihara temperatur tubuhnya tetap tinggi dengan
metabolisme panas. Regulasi suhu tubuh merupakan
mekanisme adaptif yang melibatkan fungsi sistem saraf dan
endokrin yang mengkoordinasi fungsi organ-organ vital untuk
bekerja secara terintegrasi dan harmonis mempertahankan
suhu tubuh relatif tetap. Dalam udara dingin aktivitas ototnya
akan ditingkatkan dengan mengigil atau bergerak untuk
meningkatkan produksi panas tubuh (Sukarsono, 2012).
Kelinci memiliki suhu tubuh antara 37-39 oC, untuk
mempertahankan suhu tersebut ternak akan melakukan sesuatu
untuk menyeimbangkan produksi panas dengan menerima atau
melepaskan panas tubuhnya (Yani, 2006). Ternak akan
berusaha menyeimbangkan temperatur tubuhnya dengan
lingkungan dengan cara konduksi, konveksi dan radiasi
(Esmay, 1978).
Ternak yang dipelihara pada temperatur kandang yang
sama akan menghasilkan temperatur kulit yang sama pula,
14
perlakuan ransum tidak berpengaruh secara nyata terhadap
temperatur kulit. Semakin tinggi temperatur lingkungan maka
proses perpindahan panas akan semakin tinggi (Kasa dan
Thawaites, 1993).
Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolsme
tergantung dari kondisi lingkungan mikro. Panas yang
dihasilkan kemudian dilepas oleh tubuh ternak. Panas yang
dihasilkan oleh ternak dalam kandang merupakan komponen
kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam
struktur kandang. Perolehan dan penambahan panas tubuh
ternak terjadi secara melalui mekanisme radiasi, konduksi dan
konveksi. Pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme
evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran
panas melalui permukaan kulit (sweating) (Brown-Brandl,
Nienaber, Eigenberg, Mader, Morrow and Dailey, 2006).
Menurut Sukarsono (2012), untuk beradaptasi terhadap
lingkungan yang dingin, maka kulit mengerut dan akan terasa
dingin, ini dilakukan untuk mengurangi hilangnya panas.
2.2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Produksi
Suhu dan kelembaban lingkungan mempengaruhi
konsumsi pakan, produksi dan pelepasan panas. Pada suhu
lingkungan 28 oC dengan kelembaban 40-80% kondisi tubuh
akan merespon secara normal, namun jika melebihi itu tubuh
akan merespon yang berdampak pada produksi (Kurihara dan
Shioya, 2003). Kelinci di daerah tropis pada umumya sering
mendapat cekaman suhu, pengaruh ini dapat dikurangi dengan
cara seleksi kelinci yang cocok dengan jenis lingkungannya
dan perbaikan tatalaksana pemeliharaan (Farrel dan Raharjo,
1984). Menurut Aritonang dkk. (2003) suhu lingkungan,
kesehatan dan cekaman yang juga mempengaruhi konsumsi
15
pakan. Suhu sekeliling mempunyai pengaruh yang
menentukan terhadap nafsu makan ternak dan jumlah pakan
yang dikonsumsi. Hal ini mempunyai pengaruh tidak langsung
terhadap kecernaan suatu bahan pakan (Anggorodi, 1990).
Ternak akan mengurangi pakan dan meningkatkan konsumsi
air minum agar pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat
berkurang. Di sisi lain, kurangnya asupan pakan ini
menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk
pertumbuhan menjadi berkurang sehingga terjadi penurunan
bobot badan (Al-Fataftah dan Abu-Dieyeh, 2007).
Suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan
kandungan hormon tiroid (triiodothyronine) dan beberapa
hormon reproduksi, sementara hormon yang berasal dari
korteks adrenal (kortisol dan kortikosteron) justru meningkat,
akibatnya terjadi penurunan baik pada protein daging maupun
dalam pertumbuhan (Kusnadi, Widjajakusuma, Sutardi,
Hardjosworo dan Habibie, 2006). Rendahnya hormon
triiodotironin pada suhu panas, erat kaitannya dengan
turunnya konsumsi oksigen serta metabolisme secara umum
(Decuypere and Buyse, 2005).
Menurut Cooper dan Washburn (1998) temperatur dan
kelembaban yang lebih rendah akan dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum, karena ternak tidak perlu lagi
mengeluarkan energi untuk mengatasi cekaman panas.
Cekaman panas juga menyebabkan meningkatnya
pembentukan hormon-hormon stres (glukokortokoid). Hormon
ini dapat menyebabkan gangguan pembentukan sel-sel imun
dan gangguan pembentukan berbagai sitokin yang diperlukan
untuk respons imun (Mashaly, Hendricks, Kalama, Gehad,
Abbas and Patterson, 2004).
16
2.3 Karkas
Karkas pada ternak kelinci adalah bagian tubuh yang
sudah dipisahkan dari kepala, jari-jari kaki, kulit, ekor dan
jeroan (Kartadisastra, 1997). Mernurut Lebas et al. (1997)
pengertian karkas kelinci sama dengan pengertian karkas sapi
yang terdiri dari tiga jaringan utama yaitu tulang, daging dan
lemak. Karkas yang ideal memiliki jumlah otot dan kandungan
lemak yang lebih banyak daripada tulang (Lovett, 1986).
Menurut Blasco, Ouhayoun and Masoero (1993)
karkas kelinci terdiri atas karkas panas, karkas komersial dan
karkas acuan. Karkas panas terdiri atas jantung, hati, ginjal,
paru-paru, oesophagus, trachea dan kepala. Bobot karkas
ditimbang 15 sampai 30 menit setelah dipotong. Karkas
komersial merupakan karkas yang telah melalui proses rigor
mortis dan disimpan pada suhu diantara 0 dan 4 oC. Bobot
karkas ditimbang 24 jam setelah pemotongan. Karkas acuan
merupakan karkas yang terdiri atas lemak, daging dan tulang.
Besar tubuh, jenis, sistem pemeliharaan, kualitas bibit,
macam dan kualitas pakan, kesehatan tubuh ternak, perlakuan
sebelum pemotongan kelinci menjadi faktor yang
mempengaruhi bobot karkas (Kartadisastra, 1997). Menurut
Zotte (2002) faktor yang mempengaruhi bobot karkas
dibedakan menjadi 3, yaitu faktor genetik, biologi (umur dan
bobot) dan pakan (lemak dan protein). Nutrisi, pertumbuhan,
umur dan bobot tubuh adalah faktor yang saling berhubungan.
Besarnya persentase dari bagian karkas yang dapat dimakan
(edible portion) dipengaruhi oleh pertumbuhan ternak
(Soeparno, 1994).
Persentase karkas adalah bobot karkas dibagi dengan
bobot hidupnya dan dikalikan 100%. Bobot karkas
mempunyai hubungan komponen karkas yaitu daging, tulang
17
dan lemak. Semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi
persentase bobot karkasnya, ini disebabkan proporsi bagian-
bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah
selaras dengan ukuran bobot tubuh. Hasil penelitian Muryanto
dan Prawirodigdo (1993) juga melaporkan bahwa tidak
terdapat interaksi antara jenis kelamin dengan bobot potong
terhadap persentase karkas dan non karkas Menurut
Kartadisastra (1997) bobot kakas yang baik berkisar antara 40-
52% dari bobot hidupnya. Sedangkan menurut Arrington dan
Kelly (1976) kelinci muda memiliki persentase karkas sebesar
50-59% dengan bagian yang dapat dikonsumsi sebesar 70 %
sedangkan kelinci dewasa memiliki persentase karkas sebesar
55-65% dengan bagian yang dapat dikonsumsi sebesar 87-
90%.
2.4 Non Karkas
Non karkas atau yang biasa disebut offal adalah hasil
pemotongan ternak selain karkas. Non karkas terdiri dari
bagian yang layak (offal edible) dan tidak layak dimakan (offal
non edible). Offal edible meliputi lidah, jantung, hati, paru –
paru, otak, kulit, ekor, saluran pencernaan, ginjal dan limpa.
Tanduk, kuku, darah, tulang, dan kepala adalah termasuk
bagian offal non edible (Soeparno,1994).
Perkiraan bobot karkas kurang tepat bila hanya
berdasarkan bobot hidup tanpa diikuti dengan bobot organ
tubuh non karkas, baik eksternal maupun internal. Bagian non
karkas eksternal antara lain kepala, keempat kaki dan ekor.
Sedangkan untuk bagian internal antara lain darah dan seluruh
organ dalam (Pamungkas, Uum dan Yusran, 1992).
Persentase non karkas merupakan angka banding
antara bobot non karkas (darah, kepala, keempat kaki, ekor
18
dan jeroan) dengan bobot potong kelinci yang bersangkutan
kemudian dikalikan 100 persen. Persentase non karkas
berbanding terbalik dengan persentase karkas. Semakin tinggi
persentase non karkas semakin rendah persentase karkas
(Soeparno 1994).
Menurut Soeparno (1992), bahwa bobot non karkas
dapat mempengaruhi bobot karkas, apabila bobot non karkas
semakin meningkat maka perolehan bobot karkas yang
dihasilkan akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena
jumlah non karkas yang dihasilkan lebih banyak daripada
jumlah karkas dari ternak tersebut. Pola pertumbuhan organ
seperti hati, ginjal dan saluran pencernaan menunjukkan
adanya variasi, sedangkan organ yang berhubungan digesti
dan metabolisme menunjukan perubahan bobot yang besar
sesuai dengan status nutrisionalnya. Perlakuan nutrisional
dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot non
karkas.
2.5 Potongan Komersil
Menurut Blasco et al. (1993) bobot potongan
komersial yang meliputi foreleg atau kaki depan, rack atau
dada, loin atau punggung dan hindleg atau kaki belakang.
Potongan karkas kelinci terdiri dari sepasang kaki belakang
(hindleg), kaki depan (foreleg), bagian pinggang (loin) dan
dada (rack) (Gambar 3). Potongan bagian paha atau kaki
belakang menghasilkan daging paling banyak, sedangkan
potongan kaki depan menghasilkan daging paling paling
sedikit (Sudaryanto, Rahardjo dan Rangkuti, 1984).
Blasco et al. (1993) menyatakan potongan komersial
yang bernilai ekonomis tinggi (first retail cuts) dari kelinci
adalah potongan bagian hind legs, loin dan forelegs sedangkan
19
potongan rack adalah potongan dengan nilai ekonomis yang
lebih rendah (second retail cuts). Menurut Sartika (2005)
persentase karkas New Zealand White adalah 53,9% dengan
persentase kaki depan dan dada 41,3%, persentase kaki
belakang 38,1% dan persentase pinggang 20,4%.
Gambar 3. Potongan Komersil Karkas Kelinci.
Keterangan A1-A2: hindleg (kaki belakang), B1-B2: loin
(dada), C: foreleg (kaki belakang), D: rack (pinggang)
(Sumber : www.cdnpix.com)
2.6 Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah proses biologis karena
merupakan salah satu ciri dasar dari makluk hidup. Contoh
dari pertumbuhan adalah reproduksi, perubahan dimensi,
peningkatan ukuran linier, penambahan bobot badan atau
massa (Amsar, 1982). Pengukuran pertumbuhan pada
umumnya didasarkan pada kenaikan bobot badan persatuan
waktu tertentu (Soeparno, 1992).
20
Pertumbuhan terjadi dalam 2 periode utama yaitu
pertumbuhan sebelum lahir (prenatal) dan pertumbuhan
setelah lahir (postnatal). Pertumbuhan prenatal adalah
pembelahan sel hasil pembuahan ovum oleh sperma menjadi 2
sel, kemudian 4 sel dan seterusnya. Pertumbuhan postnatal
dimulai sejak individu dilahirkan kemudian berlangsung lebih
cepat dan akirnya melambat atau berhenti sama sekali.
Pertumbuhan ini menghasilkan kurva pertumbuhan yang
berbentuk “sigmoid” (berbentuk-S) (Gambar. 4). Indikator
pertumbuhan digambarkan pada sumbu Y (ordinat) dan waktu
atau umur kedewasaan digambarkan pada sumbu X (absis)
(Anggorodi, 1984). Salah satu protein yang berperan dalam
tubuh adalah protein hormon pertumbuhan (GH). Beberapa
protein seperti enzim berperan sebagai biokatalisator untuk
meningkatkan reaksi metabolisme di dalam tubuh, sedangkan
yang lain berbentuk sitoskeleton (Demain dan Vaishnav,
2009). Pertumbuhan sel somatik diatur oleh adanya poros
pertumbuhan, pituitari sebagai tempat penghasil hormon
pertumbuhan (GH) merupakan suatu komponen pengatur yang
penting dalam poros ini (Reinecke, Bjo¨rn, Walton, Stephen,
Isabel, Deborah dan Joaquim, 2005). GH diproduksi dalam
jumlah sedikit, dengan mekanisme autocrine dan paracrine
yang dihantarkan ke target organ melalui peredaran darah
untuk merangsang fisiologi tubuh (Dong, Zeng, Duan, Zhang,
Wang, Li and Lin, 2008). Hormon pertumbuhan mempunyai
peranan yang penting pada proses transfer asam amino
ekstraselluler melewati membran sel, khususnya ke dalam sel-
sel otot dan menahan asam amino tersebut agar tetap berada di
dalam sel. Selain itu hormon ini dapat memacu retensi tubuh
terhadap berbagai mineral dan elemen esensial untuk
pertumbuhan normal (Walsh, 2002). GH dapat meningkatkan
21
nafsu makan, konversi pakan, sintesis protein, menurunkan
ekskresi (loading) nitrogen, merangsang metabolisme dan
oksidasi lemak, serta memacu sintesis dan pelepasan insulin
(Matty, 1985).
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan (Amsar, 1982).
2.7 Pakan
Pakan adalah faktor utama dalam pemeliharaan kelici,
selain itu minum juga perlu diberikan karena air merupakan
zat yang dibutuhkan kelinci (Blakely dan Blade, 1991). Jenis,
jumlah dan mutu pakan yang diberikan akan mempengaruhi
pertumbuhan, kesehatan dan perkembangan ternak kelinci.
Dalam pemeliharaan kelinci intensif juga diberikan pakan
kering seperti konsentrat, hay dan biji-bijian sebagai pakan
tambahan selain hijauan sebagai pakan pokok. Pakan hijauan
di peternakan kelinci intensif diberikan sekitar 60-80 persen
dan sisanya konsentrat, ada juga yang memberikan pakan 40
persen hijauan dan 60 persen konsentrat (Sarwono, 2001).
Konsentrat mempunyai kandungan energi, protein dan lemak
yang relatif lebih tinggi dengan pemberian hijauan untuk
pemenuhan kebutuhan serat (Williamson dan Payne, 1993).
22
Kebutuhan nutrisi pada pakan kelinci dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Pada Kelinci Masa Pertumbuhan
Zat Gizi Jumlah Kebutuhan
Energi Total (kkal) 2500
TDN (%) 45
Serat Kasar (%) 12
Lemak (%) 3-5
Protein Kasar (%) 16
Kalsium (%) 0,4
Phospor (%) 0,3
Sumber: Lebas et al. (1997).
Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan
oleh ternak selama periode tertentu. Konsumsi pakan adalah
salah satu faktor penting bagi kelangsungan hidup kelinci.
Konsumsi pakan pada ternak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan pemeliharaan kelinci (Aritonang dkk., 2003).
Konsumsi pakan kelinci dipengaruhi oleh beberapa faktor
salahsatunya adalah kenaikan temperatur lingkungan.
Konsumsi pakan akan menurun ketika kelinci mengalami
cekaman panas, namun konsumsi air cenderung meningkat
(Marai et al., 2002). Konsumsi pakan akan mempengaruhi
konversi pakan ternak. Konversi pakan adalah perubahan dari
sejumlah pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan 1Kg
bobot badan dalam waktu tertentu. Nilai konversi pakan yang
tinggi akan menandakan bahwa tingkat efisiensi ternak
semakin buruk dan sebaliknya, jika nilai konversi pakan
rendah maka efisiensi penggunaan pakan semakin baik
(Aritonang dkk., 2003).
23
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Cerme, Kecamatan
Grogol, Kabupaten Kediri Jawa Timur selama 6 minggu,
pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai
dengan bulan Maret 2017.
3.2 Materi Penelitian
1. Kelinci
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kelinci peranakan New Zealand White jantan lepas sapih
berusia 6-8 minggu sebanyak 18 ekor dengan rata-rata bobot
badan awal 1084,6±9,93 gram. Uji keragaman dapat dilihat
pada lampiran 1.
2. Kandang dan peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individual
yang terbuat dari bambu. Kandang yang dipakai sebanyak 18
buah dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40
cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air
minum yang terbuat dari plastik.
Peralatan yang digunakan adalah pemanas dengan
sumber panas 10 buah lampu pijar 10 watt, 5 buah lampu pijar
40 watt dan blower yang dimodifikasi dengan dry ice sebagai
pendingin ruangan, termostat untuk mengatur suhu ruangan
dengan memutus arus listrik pada lampu jika suhu lebih tinggi
dari yang ditetapkan, termometer ruangan untuk mengukur
suhu dalam kandang, hygrometer untuk mengukur kelembaban
kandang, timbangan digital dengan kapasitas 10 kg kepekaan
1g untuk menimbang bobot badan kelinci dan karkas, pisau
24
untuk memotong kelinci dan tali untuk menggantung saat
proses pemotongan.
3. Pakan dan Minum
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
hijauan segar dan konsentrat. Hijauan segar yang diberikan
adalah rumput lapang dan konsentrat adalah BR-1 yang
diproduksi oleh PT. Wonokoyo Jaya Corporindo. Kandungan
nutrisi bahan pakan ditunjukkan pada Tabel 2. Air minum
diberikan adalah air yang diperoleh dari sumur dan vitamin
anti stres yang diberikan satu minggu sekali dengan
dicapurkan pada air minum.
Tabel 2. Kandungan nutrisi pakan selama penelitian (%)
Bahan pakan BK PK SK LK Abu
Konsentrat (BR-1) 88,00 22,00 5,00 5,00 7,50
Rumput lapang 26,34 12,99 28,45 2,03 14,39
3.3 Metode Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian eksperimental dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6
ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu pemeliharaan kelinci
dengan pengaturan suhu yang berbeda (23-25 oC, 27-29 oC dan
31-33 oC) sehingga diperoleh tiga perlakuan :
A. P1 : Suhu pemeliharaan 23-25 oC
B. P2 : Suhu pemeliharaan 27-29 oC
C. P3 : Suhu pemeliharaan 31-33 oC
25
2. Prosedur Penelitian
A. Persiapan Kandang
Suhu dalam perlakuan dicapai dengan melaukan
pengaturan suhu kandang dengan pemanas dan pendingin yang
dikontrol oleh termostat. P1 dengan menurunkan suhu
lingkungan menggunakan blower yang dimodifikasi dengan es
batu dan blue ice sebagai pendingin sederhana, P2 dengan
menggunakan 5 buah lampu pijar 10 watt dan P3 dengan
menggunakan 5 buah lampu pijar 10 watt dan 5 buah lampu
pijar 40 watt.
Kandang dan peralatan yang digunakan dalam
penelitian terlebih dahulu dibersihkan. Selanjutnya kandang
dan peralatannya disucihamakan dengan menggunakan
antibakteri Lisorin. Kandang disemprot dengan
menggunakan Lisorin dengan dosis 15 ml dalam 1 liter air.
Tempat pakan dan minum direndam dalam antiseptik Lisorin
dengan dosis 15 ml dalam 10 liter air kemudian dikeringkan
dan dimasukan dalam kandang.
B. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan selama 6 minggu. Pemberian
pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pukul 07.00 pemberian
konsentrat dan pukul 15.00 pemberian hijauan segar. Hijauan
segar dan konsentrat yang diberikan dengan perbandingan 70 :
30 (Prasetyo dan Herawati, 2006). Pemberian air minum
diberikan secara ad-libitum.
C. Pengambilan Sampel dan Koleksi Data
i. Pemuasaan
Empat ekor kelinci dipilih secara acak dari setiap
perlakuan untuk dipotong, sehingga kelinci yang dipotong
26
keseluruhan berjumlah 12 ekor. Sebelum dilakukan
pemotongan, kelinci terlebih dahulu dipuasakan selama 7 jam.
Pemuasaan bertujuan mengosongkan bagian perut (usus)
sehingga kulit dan otot-ototnya menjadi lemas karena
peningkatan kandungan glikogen (Kartadisastra, 1997).
ii. Penyembelihan
Penyembelihan dilakukan dengan memotong leher
tepat pada bagian trachea, vena jugularis, arteri carotis dan
oesophagus. Setelah penyembelihan selesai, kelinci digantung
dengan mengikat kaki belakang bagian tarsal agar
pengeluaran darah lancar.
iii. Pengulitan
Pengulitan dilakukan dengan cara kering atau tanpa
air, dengan memisahkan bagian kepala, kedua kaki depan dan
sendi korpus dan ekor pada bagian pangkal. Kemudian
menyayat kulit pada kedua kaki belakang secara melingkar
dipergelangannya sampai melalui bagian paha dan anus. Kulit
dikupas dan perlahan-lahan ditarik ke bawah hingga seluruh
kulit terlepas dari kelinci.
iv. Pemotongan karkas
Organ dalam kelinci dikeluarkan dengan cara membuat
sayatan pada bagian perut. Karkas kelinci dipotong secara
komersial yang terdiri atas foreleg, rack, loin dan hindleg.
3.4 Variabel Penelitian
1. Bobot potong : Bobot potong kelinci ditimbang sesaat
sebelum kelinci dipotong setelah dipuasakan 7 jam,
dinyatakan gram/ekor.
2. Bobot karkas : Bobot karkas ditimbang setelah kelinci
dipotong, dikuliti lalu dikurangi darah, kepala, kaki bagian
27
bawah, hati, ekor, saluran pencernaan dan isi rongga dada
kecuali ginjal, dinyatakan gram/ekor.
3. Persentase karkas : Dihitung dengan membagi bobot
karkas dengan bobot potong dan dikalikan seratus persen,
dinyatakan %.
4. Bobot non karkas : Bobot non karkas diperoleh dengan cara
menimbang seluruh bagian non karkas internal (organ
pencernaan, organ reproduksi dan organ kardiovaskular),
dan non karkas eksternal (kepala, kulit, keempat kaki
bagian bawah tarsus dan karpus) dari kelinci, dinyatakan
gram/ekor.
5. Persentase non karkas : Dihiting dengan membagi bobot
non karkas dengan bobot karkas dan dikalikan seratus
persen, dinyatakan %.
6. Bobot potongan komersil : bobot potongan karkas kelinci
yang terdiri dari foreleg, rack, loin dan hindleg, dinyatakan
gram/ekor.
7. Persentase potongan komersil : dihitung dengan membagi
bobot potongan komersil dengan bobot karkas dan
dikalikan seratus persen, dinyatakan %.
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis
ragam (Yitnosumartono, 1990). Model matematika yang
digunakan adalah sebagai berikut:
28
Yij = μ+ αi + εij
Keterangan:
Yij : Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i
ulangan ke-j
μ : Nilai tengah perlakuan ke-i
αi : Pengaruh perlakuan ke-i
εij : Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan
ke-i ulangan ke-j.
Apabila diperoleh hasil yang berbeda atau signifikan
maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s (Steel
dan Torrie, 1993).
SE =
Keterangan:
SE : Standard Error
r : Ulangan
KT galat : Kuadrat Tengah Galat
3.6 Batasan Istilah
1. Karkas adalah bagian tubuh setelah kelinci dipotong,
dikuliti lalu dikurangi darah, kepala, kaki bagian bawah,
hati, ekor, saluran pencernaan dan isi rongga dada kecuali
ginjal
2. Non karkas adalah hasil pemotongan ternak selain karkas.
3. Foreleg adalah potongan kaki depan.
4. Rack adalah potongan dada.
5. Loin adalah potongan pinggang.
6. Hindleg adalah potongan kaki belakang.
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di desa Cerme,
Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri Jawa Timur. Suhu di
lokasi penelitian berkisar antara 24-30oC dengan kelembaban
udara mencapai 60-70%. Rata-rata suhu udara dan
kelembaban ruang selama penelitian dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata suhu (oC) dan kelembaban udara
(%) ruang selama penelitian.
Minggu ke- Suhu udara Kelembaban udara
1 27,60 63,33
2 28,19 60,33
3 27,57 62,29
4 27,50 62,05
5 27,33 63,29
6 27,14 63,05
Rata-rata+SD 27,56+0,35 62,39+1,14
Suhu dan kelembaban menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi produksi ternak, hal ini akan menyebabkan
perubahan keseimbangan panas tubuh ternak. Keseimbangan
panas tubuh ini dapat menyebabkan perubahan tingkah laku
ternak yang dipengaruhi oleh keseimbangan air dan energi
dalam tubuh ternak (Esmay, 1982). Rata-rata pengaturan suhu
setiap minggu yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat
pada Tabel 3.
30
Tabel 4. Rataan suhu (oC) kandang pada masing-masing
perlakuan.
Minggu ke- P1 P2 P3
1 24,48 28,05 31,93
2 24,14 28,19 32,00
3 24,26 27,86 31,74
4 24,38 28,14 31,98
5 24,64 27,86 31,88
6 24,67 27,90 31,83
Rata-rata+SD 24,43+0,21 28,00+0,15 31,89+0,10
Rata-rata suhu yang ditunjukkan pada Tabel 4
menunjukkan angka yang sesuai dengan pengaturan suhu yang
diharapkan, namun pada praktiknya pernah terjadi
ketidakstabilan suhu kandang yang disebabkan oleh
pemadaman listrik. Akibat pemadaman listrik ini terjadi
peningkatan dan penurunan suhu pada kandang karena alat
pemanas dan pendingin tidak dapat bekerja.
4.2 Bobot Potong
Bobot potong adalah bobot hidup kelinci
prapemotongan yang telah dipuasakan selama 7 jam, bobot
potong merupakan hasil dari pertambahan bobot badan selama
pemeliharaan. Secara keseluruhan bobot hidup kelinci
dipengaruhi oleh konsumsi pakan, bobot potong akan
berpengaruh langsung terhadap bobot karkas, bobot lemak
tubuh dan kualitas daging kelinci. Rata-rata bobot potong
kelinci peranakan New Zealand White setelah pemeliharaan
selama 6 minggu ditunjukkan dalam Tabel 5.
31
Tabel 5. Rata-rata Bobot Potong Kelinci Peranakan New
Zealand White (g/ekor).
Perlakuan Ulangan
Rata-rata+SD 1 2 3 4
P1 2254 2299 2231 2297 2270,2±33,40c
P2 2041 2027 2001 1978 2011,7±27,94b
P3 1916 1942 1933 1943 1933,5±12,50a
Keterangan : Huruf superskrip menandakan perbedaan sangat
nyata (P<0,01).
Umur potong kelinci antara 12-14 minggu dengan
rata-rata bobot potong yang dihasilkan dari perlakuan suhu
yang berbeda adalah P1 2270,2±33,40c; P2 2011,7±27,94b; P3
1933,5±12,50a g/ekor (Gambar 5). Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa perlakuan memberikan perbedaan sangat
nyata (P<0,01) terhadap bobot potong. Kelinci New Zealand
White berumur kisaran 80 hari memiliki rataan bobot potong
berkisar antara 1900-2000 g dan menghasilkan bobot karkas
yang sama pula berkisar antara 1100-1180g (Hernandez and
Rubio, 2001). Tabel 5 menunjukkan bahwa suhu lingkungan
pemeliharaan yang semakin tinggi sangat berpengaruh
terhadap bobot potong yang cenderung semakin menurun.
Templeton (1986) menyatakan bahwa laju pertambahan bobot
badan ternak dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum
yang dikonsumsi serta temperatur lingkungan. Menurut
Decuypere dan Buyse (2005), Kusnadi et al. (2006) suhu yang
tinggi akan merangsang turunnya hormon tiroid
(triiodothyronine) yang menyebabkan turunnya konsumsi
oksigen sehingga metabolisme terganggu dan pertumbuhan
ternak terhambat.
32
Gambar 5. Grafik Rata-rata Bobot Potong Kelinci Hasil
Penelitian.
Bobot potong pada perlakuan suhu 23-25 oC (P1)
memiliki bobot potong yang paling tinggi dengan nilai rata-
rata 2270,2±33,40 (gram) daripada perlakuan yang lain (P2 dan
P3). Menurut Scott, Nesheim and Young (1982) menyatakan
bahwa konsumsi pakan dan pertumbuhan memiliki hubungan
yang sangat erat. Semakin tinggi konsumsi pakan akan
mengakibatkan kenaikan konsumsi protein sehingga
meningkatkan bobot potong ternak, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian (Gambar 6) bahwa konsumsi pakan semakin
menurun dan berbanding lurus dengan bobot potong. Santoso
(2002) menjelaskan bahwa pemberian pakan ad-libitum akan
membuat hewan mengejar kekurangan bobot, hal ini adalah
adaptasi metabolik karena rendahnya produksi panas
metabolik. Bobot potong akan berbanding lurus dengan bobot
karkas, menurut Brahmantiyo, Raharjo, Martojo and Mansjoer
(2010) menyatakan semakin tinggi bobot potong akan
menyebabkan tingginya bobot karkas, begitu pula sebaliknya.
Bobot potong akan mempengaruhi bobot daging, tulang dan
lemak kelinci.
gram o o o
33
Gambar 6. Grafik Rata-rata Konsumsi Pakan Kelinci Hasil
Penelitian..
4.3 Bobot Dan Persentase Karkas
Bobot karkas segar adalah hasil penimbangan badan
hewan yang telah dipotong, dipisahkan dengan kaki pada sendi
karpal dan tarsial, kepala, kulit, ekor, darah , kotoran dan
jeroan (Gambar 7) (Reksohadiprojo,1995). Persentase karkas
adalah hasil dari bobot karkas dibagi dengan bobot potong
kelinci dan dikalikan dengan 100%. Rata-rata bobot karkas
kelinci peranakan New Zealand White setelah pemeliharaan
selama 6 minggu ditunjukkan dalam Tabel 6.
Gambar 7. Karkas Kelinci Hasil Penelitian.
gram o o o
34
Tabel 6. Rata-rata Bobot Karkas Kelinci Peranakan New
Zealand White (g/ekor).
Perlakuan Ulangan
Rata-rata+SD 1 2 3 4
P1 1171 1254 1139 1234 1199,5±53,64c
P2 1050 1095 1074 1027 1061,5±29,44b
P3 941 959 971 969 960,0±13,71a
Keterangan : Huruf superskrip menandakan perbedaan sangat
nyata (P<0,01).
Rata-rata bobot karkas kelinci peranakan New Zealand
White yang dihasilkan selama pemotongan adalah P1
1199,5±53,64c; P2 1061,5±29,44b; P3 960,0±13,71a g/ekor
(Gambar 8). Hasil dari analisis variansi menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Suhu mempengaruhi
perbedaan pertumbuhan karkas, suhu yang rendah
mennyebabkan meningkatnya efisiensi penggunaan ransum.
Energi akan lebih cepat terkuras apabila ternak mengalami
cekaman panas, selain itu cekaman panas akan menyebabkan
meningkatnya jumlah hormon stres (glukokortokoid) (Cooper
dan Washburn, 1998).
Gambar 8. Grafik Rata-rata Bobot Karkas Kelinci Hasil
Penelitian.
gram
o o o
35
Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan
bahwa semakin tinggi bobot karkas maka akan semakin tinggi
pula persentase karkas. Bobot karkas yang diperoleh dari
perlakuan perbedaan suhu lingkungan pemeliharaan
memberikan hasil berbanding lurus dengan bobot potong
ternak. Hasil uji lanjut Duncan’s memberikan hasil yang
signifikan dari setiap perlakuan, semakin tinggi suhu
lingkungan menyebabkan bobot potong menurun yang juga
diikuti penurunan bobot karkas. Menurut Soeparno (1994)
faktor genetik mempengaruhi komposisi tubuh yang
memberikan perbedaan pada distribusi bobot dan komposisi
kimia karkas, proporsi tulang, otot dan lemak.
Tabel 7. Rata-rata Persentase Karkas Kelinci Peranakan New
Zealand White (%).
Perlakuan Ulangan
Rata-rata+SD 1 2 3 4
P1 51,95 54,55 51,05 53,72 52,8±1,60b
P2 51,45 54,02 53,67 51,92 52,8±1,27 b
P3 49,11 49,38 50,23 49,87 49,6±0,50a
Keterangan : Huruf superskrip menandakan perbedaan sangat
nyata (P<0,01).
Persentase karkas yang dihasilkan oleh kelinci
peranakan New Zealand White seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 7 selama penelitian adalah P1 52,8±1,60b; P2 52,8±1,27
b; P3 49,6±0,50a %/ekor (Gambar 9). Hasil analisis variansi
menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Persentase
karkas sangat dipengaruhi oleh bobot karkas dan bobot hidup,
karena persentase karkas adalah bobot karkas dibagi dengan
bobot hidupnya dan dikalikan 100 persen. Umur, bobot hidup
36
dan laju pertumbuhan juga mempengaruhi komposisi karkas
(Soeparno, 1994). Hasil penelitian ini sama dengan hasil
penelitian dari Oteku and Lgene (2006) yang menunjukkan
rataan persentase karkas 48-59%.
Gambar 9. Grafik Rata-rata Persentase Karkas Kelinci Hasil
Penelitian.
Hasil dari analisis lanjut Duncan’s bahwa persentase
karkas pada P1 dan P2 menunjukkan hasil yang tidak berbeda
signifikan, namun sangat berbeda apabila dibandingkan
dengan P3. Menurut Templeton (1986) Persentase karkas
kelinci muda (fryer) sebesar 50-54%, sedangkan pada kelinci
dewasa (roaster) menghasilkan persentase karkas sebesar 55-
65%, hal ini membuktikan bahwa persentasi karkas yang
diperoleh dari P1 dan P2 sudah memiliki kriteria yang baik dan
persentase karkas dari P3 yang kurang dari 50% menunjukan
kriteria yang kurang baik. Berbeda dengan Templeton (1986),
Kartadisastra (1997) menyatakan persentase karkas ternak
kelinci yang baik berkisar antara 40-52% dari bobot hidupnya.
Hernandez and Rubio (2001) membandingkan bangsa kelinci
New Zealand, Californian, Chinchilla dan Rex serta jenis
kelamin jantan dan betina, menyatakan bahwa bangsa kelinci
tidak berpengaruh terhadap persentase karkas. Brahmantiyo,
%
o o o
37
Raharjo, Martojo, Mansjoer (2010) menjelaskan bahwa jenis
kelamin tidak berpengaruh terhadap persentase karkas pada
jantan dan betina kelinci.
4.4 Bobot Dan Persentase Non Karkas
Non Karkas atau yang biasa disebut offal adalah bobot
potong ternak selain karkas, dari segi bagian non karkas dapat
dibedakan menjadi internal dan eksternal (Gambar 10). Non
karkas internal adalah bagian dalam dari karkas yang terdiri
dari organ pencernaan, organ reproduksi dan organ
kardiovaskular. Sedangkan non karkas internal adalah bagian
yang berada diluar karkas seperti kepala, bulu, kaki depan dan
belakang bagian metatarsus. Rata-rata bobot non karkas
kelinci peranakan New Zealand White yang diperoleh dari
hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 8.
Gambar 10. Non Karkas Internal dan Eksternal Kelinci Hasil
Penelitian.
38
Tabel 8. Rata-rata Bobot Non Karkas Kelinci Peranakan New
Zealand White (g/ekor).
Karakteristik Perlakuan
P1 P2 P3
Internal 460,5±24,23 409,0±25,01 411,0±22,17
Eksternal 489,7±34,97 445,5±16,30 463,0±21,65
Keterangan : Huruf superskrip menandakan perbedaan yang
nyata (P<0,05).
Gambar 11. Diagram Rata-rata Bobot Non Karkas Internal dan
Eksternal Kelinci Hasil Penelitian.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perbedaan
bobot non karkas internal kelinci peranakan New Zealand
White jantan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
dengan nilai P1 460,5±24,23b; P2 409,0±25,0a; P3 411,0±22,17a
g/ekor, sedangkan bobot non karkas eksternal menunjukkan
hasil yang tidak nyata (P>0,05) dengan nilai P1 489,7±34,97;
P2 445,5±16,30; P3 463,0±21,65 g/ekor (Gambar 11).
Pamungkas, dkk. (1992) menyatakan bahwa perkiraan bobot
karkas kurang tepat apabila hanya berdasarkan bobot hidupnya
tanpa diikuti dengan bobot organ tubuh non karkas baik
internal maupun eksternal, jadi bobot non karkas berpengaruh
terhadap bobot karkas dan tidak bisa diperkirakan pasti hanya
gram o o o
39
berdasarkan bobot hidupnya. Pamungkas, dkk. (1992)
menjelaskan bahwa kadar laju pertumbuhan non karkas
hampir sama dengan laju pertumbuhan tubuh. Bobot non
karkas dapat mempengaruhi bobot karkas, sebab bobot non
karkas yang semakin tinggi akan menyebabkan bobot karkas
yang dihasilkan semakin menurun (Soeparno, 1994).
Menurut Soeparno (1994) nutrisi mempengaruhi bobot
non karkas internal terhadap bobot hidup, sehingga organ yang
berhubungan dengan digesti dan metabolisme menunjukkan
perubahan bobot yang sesuai dengan status nutrisional dan
fisiologis ternak. Suhu lingkungan yang berbeda dari setiap
perlakuan memberikan perbedaan pada bobot non karkas
internal namun tidak memberikan perbedaan terhadap bobot
non karkas eksternal.
Tabel 9. Rata-rata Persentase Non Karkas Kelinci Peranakan
New Zealand White (%).
Karakteristik Perlakuan
P1 P2 P3
Internal 20,3±0,96 20,3±1,27 21,3±1,16
Eksternal 21,6±1,80 22,1±0,71 23,9±1,22
Gambar 12. Diagram Rata-rata Persetase Non Karkas Internal
dan Eksternal Kelinci Hasil Penelitian.
% o o o
40
Persentase non karkas dari setiap perlakuan dengan
suhu yang berbeda menunjukkan hasil tidak berbeda (P>0,05)
dari hasil analisis variansi. Rata-rata persentase non karkas
internal kelinci peranakan New Zealand White seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 9 menunjukkan P1 20,3±0,96; P2
20,3±1,27; dan P3 21,3±1,16 %/ekor, sedangkan pada rata-rata
persentase non karkas eksternal adalah P1 21,6±1,80; P2
22,1±0,71; P3 23,9±1,22 %/ekor (Gambar 12). Templeton
(1986) menyatakan bahwa persentase karkas akan meningkat
seiring dengan meningkatnya bobot tubuh, sehingga bagian
tubuh diluar karkas dan saluran pencernaan berkurang dengan
meningkatnya bobot tubuh.
Soeparno (1994) menyatakan bahwa persentase non
karkas berbanding terbalik dengan persentase karkas. Semakin
tinggi persentase non karkas akan menurunkan persentase
karkas dan sebaliknya jika persentase non karkas rendah akan
meningkatkan persentase karkas. Menurut Soeparno (1992)
menyatakan bahwa bangsa dan jenis kelamin mempunyai
pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan relatif non karkas,
kecuali pada kepala dan usus kecil.
4.5 Bobot Dan Persentase Potongan Komersil
Potongan komersial merupakan hal yang menarik
untuk diteliti, karena dapat merepresentasikan bobot karkas
dengan sebaran bobot dan seberapa banyak potongan yang
dihasilkan untuk menentukan keuntungan. Blasco et al. (1993)
menyatakan potongan komersial yang bernilai ekonomis tinggi
(first retail cuts) dari kelinci adalah potongan bagian hind legs,
loin dan forelegs sedangkan potongan rack adalah potongan
dengan nilai ekonomis yang lebih rendah (second retail cuts)
41
(Gambar 13). Rata-rata bobot potongan komersil karkas
kelinci peranakan New Zealand White yang diperoleh dari
hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 10 dan Gambar 14.
Tabel 10. Rata-rata Bobot Potongan Komersil Kelinci
Peranakan New Zealand White (g/ekor).
Karakteristik Perlakuan
P1 P2 P3
Kaki Depan 195,2±10,31b 175,2±8,77ab 161,2±9,00a
Kaki Belakang 481,0±14,17c 422,0±2,94b 391,2±12,37a
Dada 274,5±30,62 246,0±2,16 227,2±30,61
Pinggang 248,7±12,84b 218,2±30,40ab 180,2±18,82a
Keterangan : Huruf superskrip menandakan perbedaan sangat
nyata (P<0,01).
Gambar 13. Potongan Komersil Kelinci Hasil Penelitian.
Keterangan a: hindleg (kaki belakang), b: loin (pinggang, c:
rack (dada) dan d: foreleg (kaki depan).
Menurut Blasco et al. (1993), bobot potongan
komersial yang meliputi foreleg atau kaki depan, rack atau
dada, loin atau punggung dan hindleg atau kaki belakang.
Pengaruh perlakuan suhu pemeliharaan memiliki perbedaan
sangat nyata (P<0,01) pada hasil analisis variansi pada bagian
42
kaki depan (foreleg), kaki belakang (hindleg) dan pinggang
(loin) namun memberikan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada bagian dada (rack). Selama pertumbuhan terjadi
perbedaan laju pertumbuhan relatif organ dan jaringan.
Pertumbuhan yang relatif cepat digolongkan menjadi dewasa
cepat dan sebaliknya digolongkan menjadi dewasa lambat
(Soeparno, 1994). Menurut Mawati, Warastuty dan
Purnomoadi (2004) rack adalah bagian karkas yang termasuk
masak lambat atau dewasa akhir, jadi rack akan tumbuh
setelah bagian lain mulai menunjukkan penurunan, loin
termasuk bagian karkas yang masak lambat, karena diperlukan
untuk menyangga badan dan bergerak, sedangkan foreleg dan
hindleg merupakan bagian karkas yang masak dini dan
mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi pada masa
pertumbuhan.
Gambar 14. Diagram Rata-rata Bobot Potongan Komersil
Kelinci Hasil Penelitian.
Suhu yang tinggi akan meningkatkan hormon
adrenalin yang berasal dari korteks adrenal yaitu kortisol dan
kortikosteron (Kusnadi et al., 2006). Hormon adrenalin ini
akan menyebabkan terhambatnya Growth Hormone (GH).
Menurut Demain and Vaishnav (2009) Growth hormone
disekresikan oleh pituitary dan berfungsi sebagai
gram o
o
o
o
o
o
43
biokatalisator reaksi metabolisme dalam tubuh untuk transfer
asam amino ekstraselluler melewati membran sel, khususnya
ke dalam sel-sel otot dan menahan asam amino tersebut agar
tetap berada di dalam sel. Pada bagian kaki belakang terdapat
perbedaan yang signifikan dari setiap perlakuan dimana
menunjukkan notasi yang berbeda disetiap perlakuannya. Pada
bagian kaki depan dan pinggang hasil analisis Duncan’s
memberikan hasil pada P2 yang tidak terlalu signifikan dengan
P1 dan P3, sedangkan pada bagian dada terdapat tulang rusuk
yang lebih dominan sehingga jumlah pertumbuhan otot kurang
optimal dan menyebabkan tidak adanya perbedaan dari
perlakuan yang diberikan.
Tabel 11. Rata-rata Persentase Potongan Komersil Kelinci
Peranakan New Zealand White (%).
Karakteristik Perlakuan
P1 P2 P3
Kaki Depan 16,3±0,83 16,5±0,82 16,8±0,95
Kaki Belakang 40,1±0,96 39,8±1,28 40,7±0,94
Dada 22,8±1,72 23,2±0,68 23,7±3,10
Pinggang 20,7±0,63 20,5±2,32 18,8±2,04
Rata-rata persentase potongan komersil kelinci seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 11, tidak menunjukkan
perbedaan nyata (P>0,05) dari setiap perlakuan suhu yang
diberikan karena persentase potongan komersil menunjukkan
bobot setiap potongan komersil dari total bobot karkas.
Menurut Sartika (2005) persentase karkas New Zealand White
adalah 53,9% dengan persentase kaki depan dan dada 41,3%,
persentase kaki belakang 38,1% dan persentase pinggang
20,4%, hal ini tidak terlalu berbeda dengan hasil penelitian
44
yang menunjukkan persentasi kaki depan dan dada berturut-
turut pada P1 16,3±0,83; P2 16,5±0,82; P3 16,8±0,95 %/ekor,
P1 22,8±1,72; P2 23,2±0,68; P3 23,7±3,10 %/ekor, persentase
kaki belakang P1 40,1±0,96; P2 39,8±1,28; P3 40,7±0,94
%/ekor dan persentase pinggang P1 20,7±0,63; P2 20,5±2,32;
P3 18,8±2,04 %/ekor (Gambar 15).
Gambar 15. Diagram Rata-rata Persentase Potongan Komersil
Kelinci Hasil Penelitian.
Pada setiap perlakuan menunjukkan pada bagian kaki
depan memiliki persentase yang paling sedikit. Menurut
Metzger, Odermatt, Szendro, Mohaupt, Romvari, Makai, Biro-
Nemeth, Radnai and Sipos (2004) perbedaan pada foreleg
disebabkan karena pada bagian tersebut paling banyak
memiliki tulang dan sedikit otot, selain itu daging pada bagian
kaki depan (foreleg) tumbuh dengan konstan. Potongan
komersial seperti loin dan hindleg memiliki nilai ekonomi
paling tinggi daripada forleg dan rack karena memiliki
persentase karkas yang paling besar.
%
o
o
o
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Karakteristik karkas kelinci peranakan New Zealand
White pada bobot potong, bobot karkas dan persentase karkas
menurun seiring dengan tingginya suhu pemeliharaan. Bobot
dan persentase non karkas internal (organ pencernaan, organ
reproduksi dan organ kardiovaskular) maupun eksternal
(kepala, bulu, kaki depan dan belakang bagian metatarsus)
secara umum sama pada perlakuan suhu lingkungan. Potongan
komersil pada bobot kaki depan, kaki belakang dan pinggang
menurun seiring dengan tingginya suhu pemeliharaan, namun
pada bobot dada dan persentase seluruh potongan komersil
secara umum sama. Suhu perlakuan yang paling baik untuk
menghasilkan karkas yang tinggi adalah suhu P1 (23-25oC)
yang mendekati comfort zone yaitu 21oC.
5.2 Saran
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan
studi untuk perbandingan karakteristik karkas antar bangsa
kelinci dengan suhu lingkungan pemeliharaan yang berbeda.
46
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fataftah, A. R. A. and Z. H. M. Abu-Dieyeh. 2007.
Effect of Chronic Heat Stress on Broiler
Performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci.
6(1): 64-70.
Amsar. 1982. Fisiologi Pertumbuhan. Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian, Bogor.
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum.
Gramedia. Jakarta.
Aritonang, D., N.T. Roefiah, T. Pasaribu dan Y.C.
Raharjo. 2003. Laju pertumbuhan kelinci rex,
satin dan persilangannya yang diberi
lactosym dalam sistem pemeliharaan intensif.
JITV, 8(3), pp.164-169.
Aritonang, D., M. A. Harahap dan Y. C. Raharjo. 2004.
Pengaruh Penambahan Biovet dalam Ransum
dengan Berbagai Kandungan Protein-Energi
terhadap Pertumbuhan Anak Kelinci Rex.
Jurnal Media Peternakan. 27 (2):69-76.
Arrington, L. R. dan K.C. Kelley. 1976. Domestic Rabbit
Biologi and Production. A University of
Florida Book. The University Press of
Florida. Gainesvilke.
Blakely, J. and D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan edisi
IV: Terjemahan: Bambang Srigandono.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
47
Blasco, A., J. Ouhayoun and G. Masoero. 1993.
Harmonization of criteria and terminology in
rabbit meat research. Journal of Applied
Rabbit Research, 15, pp.64-64.
Brahmantiyo, B. 2008. Kajian potensi genetik ternak
kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Bogor dan
di Magelang, Jawa Tengah. Disertasi.
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Brahmantiyo, B., Y.C. Raharjo, H. Martojo and S.
Mansjoer. 2010. Rex, Satin and Their
crossbreed rabbit production. JITV. (2):131-
137.
Brown-Brandl, T. M., J. A. Nienaber, R. A. Eigenberg,
T. L. Mader, J. L. Morrow and J. W. Dailey.
2006. Comparison of heat tolerance of feedlot
heifers of different breeds. Livest Sci105:19–
26.
Chen, C. P., D. R. Rao, G. R. Sunki dan W. M. Johnson.
1987. Effect of weaning and slaughtering
ages upon rabbit meat reproduction, body
weight, feed efficiency and mortality. Journal
Animal Science 46: 573-577.
Cooper, M. A. and K. W. Washburn. 1998. The
Relationships of Body Temperature to
Weight Gain, Feed Consumption, and Feed
Utilizationin Broilers under Heat
Stress.Poult. Sci. 77:237-242
48
Decuypere, E. and J. Buyse. 2005. Endocrine control of
postnatal growth in poultry. J.Poult. Sci. 42: 1
- 13.
Demain, A. L. And P. Vaishnav. 2009. Production Of
Recombinant Proteins By Microbes And
Higher Organisms. Biotechnology Advances
27: 297–306.
Dong, H., L. Zeng, D. Duan, H. Zhang, Y. Wang, W. Li
and H. Lin. 2008. Growth Hormone And
Two Forms Of Insulin-Like Growth Factors I
In The Giant Grouper (Epinephelus
Lanceolatus): Molecular Cloning And
Characterization Of Tissue Distribution. Fish
Physiol Biochem 36: 201-212.
El-Raffa, A.M. 2004. Rabbit production in hot climates.
In Proceedings of the 8th World Rabbit
Congress, September 7-10, 2004, Pueblo,
Mexico (pp. 1172-1180). World Rabbit
Science Association (WRSA).
Esmay, M. L. 1978. Principles of animal environment.
Avi Publishing Company.
Farrel, D.J. and Y.C. Raharjo. 1984. The potential for
meat production from rabbit. Central
Research Institute for Animal Science.
Bogor.
49
Gillespie, R. J. 2004. Modern Livestock and Poultry
Production 7th Delmar Learning. Clifton
Park. New York.
Hapid, H.N. 2014. Persentase karkas sapi Bali pada
berbagai berat badan dan lama pemuasaan
sebelum pemotongan. JITV, 19(3).
Hernandez, O. J. A. and L. M. S. Rubio. 2001. Effect of
breed and sex on rabbit carcass yield and
meat quality. World Rabbit Science, 9(2),
pp.51-56.
Hustamin, R. 2006. Panduan Memelihara Kelinci Hias.
Tangga Pustaka. Jakarta.
Kartadisastra, H.R. 1997. Ternak Kelinci, Teknologi
Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta.
Kasa, I.W. and C.J. Twaithes. 1993. The Effect of
Infrared Radiation on Rectal Skin and Hair
Tip Temperatures of Rabbits. World Rabbit
Science, 1, pp.133-133.
Kurihara, M. and S. Shioya. 2003. Dairy cattle
management in a hot environment. Food and
Fertilizer Technology Center.
Kusnadi, E., R. Widjajakusuma, T. Sutardi, P. S.
Hardjosworo dan A. Habibie. 2006.
Pemberian Antanan (Centella Asiatica)
Danvitamin C Sebagai Upaya Mengatasi
50
Efekcekaman Panas Pada Broiler. Media
Peternakan 29(3): 133 - 140.
Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier and H.D. Rochambeau.
1997. The rabbit: husbandry, health and
production (Vol. 21). Rome.
Lovett, J. 1986. Animal Production 1. The University
New England, Australian.
Marai, I.F.M., A.A.M. Habeeb and A.E. Gad. 2002.
Rabbit’s productive, reproductive and
physiological performance traits as affected
by heat stress: a review. Livest. Prod. Sci.
78: 71-90.
Martopo, Sugeng & Chafid Fandeli. 1995. Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan: Prinsip
Dasar dan Pemaparannya Dalam
Pembangunan. Jakarta: Liberty.
Masanto, R. dan A. Agus. 2010. Beternak Kelinci
Potong. PT Niaga Swadaya. Jakarta.
Mashaly, M. M., G. L. Hendricks, M. A. Kalama, A. E.
Gehad, A. O. Abbas, and P. H. Patterson.
2004. Effect Of Heat Stress On Production
Parameters And Immune Responses Of
Commercial Laying Hens. Poult. Sci. 83:889-
894.
51
Matty, A. J. 1985. Fish endocrinology. Croom Helm
London and Sydney Timber Press. Portland,
Oregon. 267 p.
Mawati, S., F. Warastuty dan A. Purnomoadi. 2004.
Pengaruh Pemberian Ampas Tahu Terhadap
Potongan Komersil Karkas Domba Lokal
Jantan. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 29(3).
Metzger, S., M. Odermatt, Z. Szendro, M. Mohaupt, R.
Romvari, A. Makai, E. Biro-Nemeth, I.
Radnai and L. Sipos. 2004. Examination on
the carcass traits of different rabbit genotypes.
In Proceedings of 8th World Rabbit
Congress (pp. 7-10).
Muryanto dan S. Prawirodigdo. 1993. Pengaruh jenis
kelamin dan bobot potong terhadap
persentase karkas dan non-karkas kelinci
Rex. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1: 33-
38.
Oluyemi, J.A. and F.A. Roberts. 1979. Poultry
Production in warm wet climates. Macmillan
Press Ltd. London & Basingstoke.
Oteku, I. T. dan J. O. Igene. 2006. Effect of Diet Types
and Slaughter Ages on Carcass
Characteristics of The Domestic Rabbits
in Humid Southern Nigeria. Benin (NG):
Faculty of Agriculture/The Indigenous
Food Process Research and Technology
Development Centre Benin University.
52
Pamungkas, D., U. Uum dan M.A. Yusran. 1992.
Analilis Berat dan Persentase Karkas Domba
Ekor Gemuk Berdasarkan Berat Hidup dan
Berat Bagian Tubuh Non Karkas pada Dua
Tingkatan Umur. Jurnal Ilmiah Penelitian
Ternak Grati. Vol. 3. No. 1.
Prasetyo, A. Dan T. Herawati. 2006. Pengaruh
Komposisi Pakan Terhadap Pertamabahan
Bobot Pada Kelinci Bunting (New Zealand)
Di Kecamatan Sumuwono Kabupaten
Semrang. Seminar nasional teknologi
peternakan dan veteriner.
Raharjo, Y. C., dan D. Gultom. 2000. Respons Kelinci
Pra- Dan Pasca Sapih terhadap Creepfeed
Dan Pakan Grower. In Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner, Bogor
(Indonesia), 18-19 Sep 2000. Puslitbangnak.
Raharjo, Y.C. dan B. Brahmantiyo. 2014. Plasma nutfah
kelinci sebagai sumber pangan hewani dan
produk lain bermutu tinggi. JITV, 19(3).
Reinecke, M., T. B. Bjo¨rn, W. D. Walton, D. M.
Stephen, N. Isabel, M. Deborah and G.
Joaquim. 2005. Growth Hormone And
Insulin-Like Growth Factors In Fish: Where
We Are And Where To Go. Gen Comp
Endocrinol 142:20–24.
Reksohadiprodjo, S. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan
Tropik. Edisi 2. BPFE. Jakarta.
53
Rommers, J. 2001. The effect of litter size before
weaning on subsequent body development,
feed intake and reproductive performance of
young rabbits does. J. Anim. Sci. 79: 1973-
1982.
Santoso, U. 2002. Pengaruh Tipe Kandang dan
Pembatasan Pakan di Awal Pertumbuhan
terhadap Performans dan Penimbunan Lemak
pada Ayam Pedaging Unsexed. JITV Vol. 7.
No. 2.
Sari, M. 2015. Pengembangan Musim Di Indonesia –
Iklim. http://www.ilmugeografi.com. Diakses
tanggal 18 januari 2017.
Sari, R., S. Ismatullah, T.W. Titik, B.R. Anida dan K.
Dedeh. 2012. Temu Koordinasi Kehumasan
2012 Ditjen PKH Angkat Potensi
Pengembangan Ternak Kelinci.
http://www.ditjennak.pertanian.go.id.
Diakses tanggal 18 januari 2017.
Sartika, T. 2005. Strategi Pemuliaan Sebagai Alternatif
Peningkatan Produktivitas Kelinci
Pedaging. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Sarwono, B. 2001. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Scott, M. L., M. C. Nesheim and R. J. Young. 1982.
Nutrition of The Chicken, Third Edition.M.
L. Scott & Associates, Ithaca, New York.
54
Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988.
Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Soeparno. 1992. Pilihan Produksi Daging Sapi dan
Teknologi Prosesing Daging. UGM Press.
Yogyakarta.
________. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM
Press. Yogyakarta.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Pinsip dan
Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik).
Terjemahan : B. Sumantri. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Sudaryanto, B., Y.C. Rahardjo dan M. Rangkuti. 1984.
Pengaruh beberapa hijauan terhadap
performan kelinci di pedesaan. Ilmu dan
Peternakan. Puslitbangnak. Bogor.
Sukarsono. 2012. Pengantar Ekologi Hewan. UMM
Press. Malang.
Sulistyaningsih, S. Minarti dan O. Sjofjan. 2013. Tingkat
residu pestisida dalam daging kelinci
peranakan New Zealand White yang diberi
pakan limbah pertanian kubis (Brassica
oleracea). J. Ilmu-Ilmu Peternakan 23 (3):47
– 54.
55
Susanta, dan S. Hari. 2007. Akankah Indonesia Akan
Tenggelam Akibat Pemanasan Global.
Penebar Plus. Jakarta.
Susilorini, T. E. dan M. E. Sawitri. 2008. Budi daya 22
ternak potensial. Penebar Swadaya Grup.
Jakarta.
Templeton, G.S. 1986. Domestic Rabbit Production. 4th
Edition. The Interstate Printersand Publisher,
Inc. Danville. Illionis.
Walsh, G. 2002. Proteins. Biochemistry And
Biotechnology. John Wiley & Sons, LTD.
Widodo, R. 2005. Usaha budidaya ternak kelinci dan
potensinya. Pros. Lokakarya Nasional Potensi
dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci.
Bandung, 30, pp.26-37.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah tropis. Terjemahan :
IGN Djiwa Darmadja. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Yani, A. 2006. Pengaruh Ilmu Mikro Terhadap Respon
Fisiologi Ternak dan Modifikasi Lingkungan
Untuk Meningkatkan Produktifitasnya. Jurnal
Media Peternakan 29 (1 : 35-46).
Yitnosumartono, S., 1990. Dasar-dasar statistika. CV
Rajawali. Jakarta
56
Zotte, A. D. 2002. Perception of rabbit meat quality and
major factors influencing the rabbit carcass and meat
quality. J Elsevier Livestock Product Sci 75:11-32.