karakteristik ijtihad ahlu ra'yu dan hadist

23
KARAKTERISTIK IJTIHAD AHL AL-HADITS DAN AHL AL-RA’YI MAKALAH Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah : Fiqh Perbandingan Madzhab Oleh: Sukabul Zaenal Abidin Program Studi Syariah Muamalah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi Purworejo

Upload: abidinsuccesman

Post on 26-Jun-2015

1.117 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

KARAKTERISTIK IJTIHAD

AHL AL-HADITS DAN AHL AL-RA’YI

MAKALAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Fiqh Perbandingan Madzhab

Oleh:

Sukabul

Zaenal Abidin

Program Studi Syariah Muamalah

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi

Purworejo

2010

Page 2: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

KARAKTERISTIK IJTIHAD

AHL AL-HADITS DAN AHL AL-RA’YI

A. Al-Tamhid

Terjadinya konflik politik yang dimulai pada masa pemerintahan

Ustman bin Affan dan berlanjut pada masa Ali bin Abi Thalib yang kemudian

tampuk kekuasaan beralih pada Muawiyah bin Abi Sufyan membawa warna

tersendiri dalam perkembangan fiqh Islam dan para fuqaha, baik mereka yang

menetap di Hijaz ataupun mereka yang hijrah ke berbagai daerah terutama

mereka yang Hijrah ke Irak. Ditambah dengan tingkat intelektual dan

penguasaan nash para sahabat semakin menambah khasanah fiqh pada periode

sighar al-sahabah, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in.

Aktifitas ijtihad yang semula jarang ditemukan pada masa Nabi Saw.,

mulai marak digunakan pada kurun-kurun berikutnya. Ketika kita melihat

sejarah perkembangan hukum Islam pada masa sighar al-sahabah dan tabi’in,

kita akan melihat dua kubu ulama’ yang terkesan kontras perbedaannya dalam

berijtihad. Dua golongan tersebut adalah mereka Ahli hadits yang berpusat di

Madinah dan ahli ra’yu yang berpusat di Kufah.

Dari paparan diatas, selain mengulas sekelumit tentang ijtihad, karya

tulis ini dimaksudkan pada pembahasan dua golongan fiqh (ahli hadits dan

ahli ra’yu) untuk mengetahui apa faktor-faktor kemunculan, seperti apa

karakteristik ijtihad, dan dimana titik temu perbedaan antara dua madzhab fiqh

ini? Pada bagian akhir, penulis juga mencantumkan nama dua imam besar

yaitu imam Abu Hanifah dan imam Malik dengan tujuan untuk mengetahui

pola pikir mereka yang disinyalir sebagai kepala dua aliran fiqh pada masa

tabi’ al-tabi’in.

B. Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata al-Juhd yang berarti al-masyaqqah dan al-

thaqah. Dari inilah kemudian dikatakan bahwa ijtihad secara bahasa

digunakan sebagai makna pengerahan daya kemampuan untuk merealisasikan

1

Page 3: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

sesuatu yang menjadi tujuan. Pengertian ijtihad menurut ulama’ ushuliyyin

adalah pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid untuk mengetahui

hukum-hukum syariat dengan jalan istinbath.1

Pasca wafatnya Rasulullah Saw. ijtihad merupakan trend keilmuan yang

terus berkembang mulai dari masa sahabat-sahabat besar sampai pada masa

setelah mereka. Aktifitas ini juga pernah dijumpai pada masa Nabi Saw. hidup

namun tidak sebanyak ijtihad pada masa-masa setelah wafatnya Nabi Saw.

Karena pada masa ini Nabi berperan sebagai syari’ dimana ketika para sahabat

menjumpai suatu kasus bisa langsung ditanyakan kepada beliau tanpa perlu

adanya pertimbangan bahwa apa yang Nabi katakan kebenarannya bernilai

asumtif (zdanniy).

Kebutuhan akan ijtihad semakin dirasakan oleh generasi setelah

Rasulullah. Hal ini disebabkan karena telah wafatnya Rasulullah saw. sebagai

sumber rujukan umat yang darinya dapat kita ketahui adanya wahyu-wahyu

Tuhan baik berupa wahyu al-matluw maupun wahyu ghairu matluw yang

diantaranya mencakup keterangan hukum-hukum amaliyah praktis umat.

Keberadaan ijtihad dalam Islam sangatlah dibutuhkan mengingat pada

kurun-kurun setelah kenabian masalah-masalah yang dihadapi umat semakin

komplek dan menuntut adanya aktifitas tersebut untuk menjawab berbagai

problematika umat. Tujuan dari diadakannya ijtihad tidak lain untuk

merealisasikan konsep Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, Islam

yang shalih li kulli zaman wa makan.2 1 Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam ushul al-Fiqh, (Mesir, al-Raudhah, 1998), hlm. 212 Islam adalah Islam agama yang menghendaki kemudahan bagi umatnya tentunya tidak

akan membiarkan produk-produk hukumnya terkesan kaku dan memberatkan umat. Meskipun terkadang kita jumpai hukum-hukum fiqh yang terkesan kaku dan berat untuk diterapkan, janganlah menyimpulkan bahwa Islam tidaklah relevan. Kita mesti membedakan mana Islam dan mana oknum. Allah swt. Berfirman:

...األيةArtinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-baqarah: 185).Dari ayat diatas terlihat jelas wajah Islam yang sangat toleran dengan umatnya dimana syari’ (Allah swt.) tidaklah menghendaki umatnya mengalami kesukaran. Nabi sendiri ketika dihadapkan pada beliau dua hal maka beliau memilih salah satu yang paling ringan diantara keduanya. Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Islam agar tidak terkesan kaku para fuqaha’ memformulasikan sebuah kaidah:

والنيات والعواعد واالحوال واالمكنة االزمنة بتغير االحكام تغير "Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan niat."

2

Page 4: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

Diantara dalil yang melegitimasi aktifitas ijtihad adalah Sunah Nabi Saw.:

راِن( فل''ه فاصاب فاجتهد� الحاكَم� ح�كَم� اذا �ج''+ فاجته''د� ح�كَم� اذا ا

مسلَم" و البخارى "رواه واحد0 اجر0 فله ف�اْخ+طأ

Artinya: Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan

berijtihad kemudian benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi

dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala. "HR.

Bukhari dan Muslim".

Selain itu terdapat pula kisah sahabat Mu’azd bin Jabal ketika diutus oleh

Nabi sebagai qadhi di Yaman, dimana dari kisah tersebut kemudian dijadikan

landasan argumentasi untuk melakukan ijtihad.3

Menyebarnya para sahabat baik pada masa Nabi atau setelahnya ke

berbagai daerah untuk berdakwa dengan bekal pengetahuan sumber-sumber

hukum baik al-Quran maupun al-Sunah serta kecerdasan intelektual yang

berbeda-beda kualitasnya dan juga dikarenakan pengaruh lingkungan tempat

mereka tinggal, menyebabkan adanya corak-corak yang berbeda diantara

sahabat dalam memutuskan hukum suatu kasus. Hal yang demikian terus

berlangsung pada generasi-generasi setelah sahabat. Bahkan perbedaan

diantara mereka dapat dikatakan sangatlah kontras. Para fuqaha’ yang

berdomisili diwilayah Hijaz cenderung produk-produk hukumnya lebih

diwarnai oleh sumber-sumber hukum naql. Bagi para fuqaha’ diluar Hijaz

terutama mereka yang ada Irak sangatlah kental dengan penggunaan ra’yu

mereka dalam menghukumi suatu kasus. Alasan umum bagi golongan Hijaz

tidak lain karena mereka hidup di kota tempat Nabi tinggal dimana terdapat

banyak warisan hadits dan kehidupan di daerah tersebut masih homogen

sehingga mereka sudah merasa cukup dengan melimpahnya hadits untuk

menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sedangkan di Irak tidaklah

demikian adanya, jumlah sahabat yang meriwayatkan hadits dan hijrah ke Irak

tidak sebanyak mereka yang menetap di Hijaz. Padahal dengan penduduk

yang heterogen dan berbagai aktivitas muamalah di Irak tentunya akan banyak

3 Keterangan lebih jelasnya untuk dua dalil sunah yang kami kutip lihat: Wahbah al-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut, Dar al-fikr, 2005), juz 1 hlm. 402.

3

Page 5: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

timbul berbagai masalah-masalah baru yang tidak dijelaskan secara sharih

oleh nash dan tentunya kasus tersebut harus segera dicarikan solusi

hukumnya. Maka dari itu para fuqaha’ Irak cenderung memberikan porsi lebih

terhadap akal mereka dalam berijtihad. 4

C. Ahl al-Hadits

Para sahabat yang tinggal dikota Madinah, diantaranya Zaid bin Tsabit,

Ummu Mukminah ‘Aisyah, Abdullah bin Umar bin al-Khathab, mereka

adalah orang-orang yang terkenal tidak condong kepada ra’yu dan tetap

berpegang dengan Sunah disamping hafalan yang banyak. Corak dari sebagian

sahabat inilah yang kemudian ditiru oleh para murid-murid mereka dan

menjadi cikal bakal lahirnya madrasah hadits di negeri Hijaz.

Manhaj para sahabat yang cenderung memegangi Hadits dalam istinbath

hukum ini ternyata menarik minat sebagian ulama’ tabi’in yang kemudian

meniru corak fiqh mereka. Diantaranya fuqaha’ kalangan tabi’in yaitu Sa’id

bin al-Musyyab, Kharrijah bin Zaid bin Tsabit, Urwah bin al-Zubair, Sulaiman

bin Yasar, Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud, Al-Qasim bin Muhammad, Abu

Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits. Nama-nama inilah yang terkenal

sebagai pendiri aliran Madinah dan populer dengan sebutan fuqaha’ sab’ah.5

Corak Ke tujuh pakar fiqh ini serta fuqaha’ thabaqah ke dua dan thabaqah ke

tiga Hijaz yang merupakan akar atau rujukan utama mazdhab Maliki yang

didirikan Imam Malik.6

4 Adapun penjelasan lebih detail mengenai faktor-faktor yang melandasi corak pemikiran kedua kubu ulama’ tersebut akan dipaparkan pada pembahasan ahl al-hadits dan ahl al-ray’i dalam makalah ini.

5 Tujuh ahli fiqh ini merupakan thabaqah pertama dalam madrasah Madinah. Umar Sulaiman al-Asyqar sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriyadi menyebutkan nama para fuqaha’ Hijaz thabaqah kedua yaitu: Abdullah bin Abdullah bin Umar, Salim bin Abdullah bin Umar, Aban bin Ustman bin Affan, Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, Nafi’ Maula Ibnu Umar. Disebutkan pula diantara fuqaha’ Hijaz thabaqah ketiga yaitu: Abu Bakr Muhammad ibn Amr bin Hazm, Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Abi Bakar, Abdullah bin Utsman bin Affan, Ja’far bin Muhammad bin Ali al-Husain, Abdullah bin Qasim bin Muhammad, Muhammad bin Muslih bin Syihab al-Zuhri. Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung, Pustaka Setia, 2007) Hlm. 84-85

6 Ibid, hlm. 85

4

Page 6: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

1. Faktor Penyebab Kemunculan Aliran Ahli Hadits

Sebelum menguraikan corak fiqh atau karakteristik mazdhab ahli

hadits, kiranya perlu untuk kita mengetahui faktor apa saja yang

menyebabkan lahirnya aliran ahl al-hadits ini. Menurut analisis penulis

latar belakang yang mempengaruhi corak ijtihad mereka diantaranya

adalah: Pertama, penduduk Hijaz mewarisi kekayaan Hadits dan Atsar

dari para Sahabat yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan  Abu

Bakar, Umar, Usman, dan lain-lain. Kedua, negeri Hijaz yang secara

geografis berada di pedalaman semenanjung Arab, relatif tidak

menemukan banyak dinamika perubahan sosial. Ketiga, banyaknya hadits

dan atsar yang mereka terima serta ditunjang oleh dinamika sosial yang

lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Oleh

karena itu ulama’ Hijaz lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-

literalis nash dalam menghukumi suatu kasus yang muncul ditengah-

tengah mereka. Keempat, pengaruh dari guru mereka yang memang dalam

memberikan porsi terhadap ra’yu sangatlah sedikit yaitu hanya dalam

keadaan yang memang membutuhkan untuk dipergunakan. Diantaranya

adalah Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar

dan sangat hati-hati dalam menggunakan ra’yu.

Berikut adalah faktor-faktor penyebab kemunculan aliran ahli hadits

yang kami kutip dari Rasyad Hanan Khalil:

Komitmen para ulama’ Madinah terhadap sunah dan tidak mengambil logika (ra’yu) yang kemudian melahirkan madrasah ahli hadits disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:a. Banyaknya para sahabat yang menghafal hadits Rasulullah

Saw. di Madinah karena yang menetap dikota ini ternyata lebih banyak daripada yang berhijrah ke negeri lain. Dengan demikian, sangat mudah untuk mendapat hadits Nabi Saw. Di negeri Hijaz, selain disitu juga menetapnya tiga khalifah yang menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan, fatwa dan qhada mereka sangat terkenal, mereka juga bebas dari fitnah Khawarij dan Syiah, serta kelompok radikal. Oleh sebab itu, tidak ada pemalsuan hadits dikota Madinah yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., semua ini memudahkan

5

Page 7: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

mereka untuk menguasai hadits sehingga tidak perlu mengambil pendapat pribadi.

b. Sedikitnya problematika yang muncul, karena syariat turun di negeri ini selama dua puluh tiga tahun sehingga semua bisa diberikan corak Islam yang murni. Munculnya masalah baru yang tidak ada nash-nya sangat sedikit sekali, terutama pada masyarakat yang pada saat itu (zaman tabi’in) mereka hidup dalam suasana perkampungan dan tidak perlu menggunakan pendapat pribadi.

c. Para tabi’in yang ikut dengan gaya guru-gurunya dari kalangan sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan ‘Aisyah. Mereka ini sangat terkenal berkomitmen tinggi dengan sunah dan tidak memakai pendapat pribadi.7

2. Corak Fiqh Pada Madrasah Ahli Hadits

Para ulama’ Hijaz (Mekkah-Madinah) yang dari kalangan tabi’in

dipelopori oleh Said al-Musayyab dalam ijtihadnya lebih banyak bersandar

kepada al-Sunah dan atsar sahabat. Mereka jarang menggunakan ra’yu

dalam metode ijtihadnya.

Diantara pakar sejarah hukum Islam adalah Dr. Rasyid Hanan Khalil

yang menyebutkan corak fiqh bagi madrasah ahli hadits dibangun diatas

prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Ulama’ ahli hadits lebih mengutamakan Sunah daripada logika.

Mereka tidak menggunakan ra’yu kecuali dalam masalah yang tidak

ada nash-nya dalam al-Quran, al-Sunah, Ijma’, ataupun pendapat

sahabat.

b. Para pengikut aliran ini sangat komitmen dalam melaksanakan nash-

nash zhahir dan tidak begitu mempertimbangkan illat dan hikmah

pensyariatan sebuah hukum.

c. Mereka para ahli hadits tidak menggunakan pendapat pribadi, kecuali

jika sangat terpaksa dan membatasinya dalam masalah realitas hidup

yang memang perlu mendapat jawaban. Adapun masalah-masalah

yang bersifat iftiradhi (pengandaian) mereka tidak menggunakannya.8

7 Rasyad Hanan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-islamiy, alih bahasa: Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta, Azmah, 2009), hlm. 93-94

8 Ibid., hlm. 94-95.

6

Page 8: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

D. Ahl al-Ra’yi

Aliran Ra’yu adalah mereka para fuqaha’ Irak yang dalam metode

ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode berfikir sahabat Umar bin Khatab

dan Abdullah bin Mas’ud yang keduanya terkenal sebagai sahabat yang

banyak menggunakan ra’yu sebagai dasar penentuan hukum syariat.9

Dedi Supriyadi menyebutkan diantara para sahabat yang hijrah dari

Madinah ke Kufah adalah Ibnu Masud, Abu Musa al-Asy’ariy, Sa’ad bin Abi

Waqash, Amar bin Yasir, Huzdaifah bin al-Yaman, Anas bin Malik. Jumlah

mereka semakin bertambah banyak terlebih setelah terjadi pembunuhan

terhadap sahabat Utsman bin Affan. Dipaparkan pula berkat jasa dari para

sahabat yang tinggal di Kufah sebagian penduduk negeri itu berhasil dibina

menjadi ulama’ dan meneruskan gagasan aliran ra’yu. Diantara mereka yang

termasuk thabaqah pertama madrasah Kufah adalah: Alqamah bin Qais al-

Nakha’i, al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Abu Maisarah ’Amr bin Syarahil al-

Hamdani, Masyruq bin al-Ajda’ al-Hamdani, Ubaidah al-Salmani, dan

Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Sedangkan ulama’ thabaqah keduanya adalah:

Hammad bin Abi Sulaiman, Mansur bin al-Mu’tamir al-Salmani, al-Mughirah

bin Muqsim al-Dhabbi, dan Sulaiman bin Mahran al-A’masy.10

1. Faktor Penyebab Kemunculan Aliran Ahli Ra’yu

Mengacu pada pembahasan ahli hadits, sebelum menyelami corak

fiqh aliran ini, terlebih dahulu penulis paparkan berbagai faktor

kemunculannya. Diantara faktor yang melatar belakangi munculnya

madrasah ini adalah sebagai berikut:

a. Para Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal

di Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak

sebanyak yang diterima penduduk Hijaz.

9 Muhammad Ma’shum Zein, Arus pemikiran Empat Mazdhab Studi Analisis Istinbath Para Fuqaha, (Jombang, darul Hikmah, 2008), hlm. 50

10 Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 86

7

Page 9: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

b. Di Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok

Syiah Rafidah, sehingga ulama’ Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif

dalam menerima hadits.

c. Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan

dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama Islam,

penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang

maju (rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan

kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika

perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut pemikiran daripada

sekedar mengandalkan teks hadits.

d. Menurut ulama’ Kufah, hukum syariat memiliki makna logis (maqul

al-makna) sehingga mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap

penetapan hukum dan menggali hikmah yang terkandung didalamnya.

e. Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi

Abdullah bin Mas’ud  yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang

banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid

syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan.11

2. Corak Fiqh Aliran Ahli Ra’yu

Letak geografis, peradaban suatu negeri, dan tingkat intelektual

masyarakat memiliki peran penting dalam pembentukan karakteristik

seseorang terkait dengan pola pikir ulama' fiqh.

Pada pembahasan ahli hadits telah penulis paparkan karakteristik

ijtihad mereka yang diantaranya mereka (ahl al-Hijaz) sangatlah berhati-

hati dalam memegangi nash dan terkesan tidak mau berpaling pada ra'yu

kecuali dalam keadaan darurat. Berbeda dengan ahli hadits, mayoritas

fuqaha' di Irak kebanyakan memberikan porsi lebih terhadap ra'yu mereka.

Berikut adalah corak fiqh pada madrasah ahli ra’yu yang kami

kutip dari buku Tarikh Tasyri' Rasyad Hanan Khalil:12

11 http://ahmadfaruq.blogdetik.com/fiqih/12 Rasyad Hanan Khalil, Op., Cit. hlm. 92-99

8

Page 10: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

a. Para ahli ra'yu memberikan perhatian khusus terhadap pencarian 'illat

al-hukm (ilat hukum) dan hikmah al-tasyri' (hikmah pensyariatan). Hal

ini karena mereka menganggap bahwa syariat Islam adalah syariat

yang ma'qul al-makna, ia datang untuk mewujudkan kemaslahatan

hamba sehingga perlu dicari rahasia apa yang tersimpan dalam nash

yaitu berupa illat diterapkannya syariat. 13

b. Mereka sangat selektif dalam menerima hadits Ahad. Karena kelihaian

mereka dalam menalar suatu permasalahan, fuqaha' Irak tidaklah takut

berbicara dengan pendapat pribadi karena mereka memang

menguasainya, apalagi di Irak ditemukan banyak hadits palsu yang

mengharuskan para ulama’ untuk lebih selektif dalam menyaring

Sunah.

c. Penggunaan ra’yu tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang

sudah terjadi, akan tetapi juga terhadap berbagai permasalahan

iftiradhiyah (pengandaian) yang belum terjadi atau justru mustahil

terjadi dan mereka sudah menuangkan logika (ra’yu) di dalamnya.

E. Titik Temu dan Perbedaan Antara Dua Madzhab Fiqh

Masing-masing dari kedua mazdhab fiqh tersebut mempunyai

pandangan yang berbeda dalam metode penggalian hukum. Meskipun

demikian, kedua belah pihak sepakat bahwa sumber hukum utama adalah al-

Kitab dan al-Sunah. Semua hukum yang bertentangan dengan kedua sumber

tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan.14

Tidak ada perbedaan antara dua madzhab fiqh tersebut seputar al-Qur’an

dan al-Sunnah kecuali dalam sebagian masalah di luar kerangka penggunaan

al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai hujjah, seperti dalam cara menafsirkan atau

menta’wilkan al-Qur’an dan mengeluarkan pendapat tentangnya. al-Sunnah

13 Terkait ada dan tidaknya illat dalam menetapkan hukum suatu kasus para fuqaha' kemudian menformulasikan sebuah kaidah:

وعدما وجودا العلة مع يدور الحكَم

"Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan’illatnya."14 Dedi Supriyadi, Op., Cit. hlm 86-87

9

Page 11: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

juga telah disepakati oleh kedua madzhab fiqh sebagai hujjah baik itu berupa

sunah yang mutawattir, masyhur ataupun ahad.

Perbedaan antara keduanya terletak pada penggunaan ra’yu, madzhab

ahli hadits sedikit menggunakannya dan menganggapnya sebagai salah satu

dasar menetapkan hukum Islam, berbeda dengan ahli ra’yu.

F. Dua Imam Mazhab (Hanafi dan Maliki: Pengaruh Dua Kubu Orientasi

Fiqh (Hijaz dan Irak)

1. Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi

bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zauti al-Kufi, lahir di

Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M). Mazhab fiqhnya dinamakan Mazhab

Hanafi. Suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk

berziarah ke kediaman sahabat Ali r.a. yang saat itu sedang menetap di

Kufah akibat pertikaian politik yang mengguncang umat Islam pada saat

itu, Ali r.a. mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang

orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya

Imam Hanafi.15

Pada permulaan abad kedua Abu Hanifah banyak belajar kepada

Atha’ bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula ibnu Umar. Pada zamannya, Abu

Hanifah adalah kepala bagi kelompok ahli ra’yu.

Adapun dasar-dasar imam Hanafi dalam menggali hukum dapat

diketahui dari ungkapan beliau sendiri. Berikut adalah ungkapan beliau

yang meringkas manhaj berfikirnya yang penulis kutip dari buku Islam

Bila Mazdahib karya Dr. Mustofa Muhammad Syak’ah:

Aku memegangi kitab Allah. Jika tidak kutemukan di dalamnya maka dengan sunah rasulullah saw. Jika tidak dalam kitabullah dan sunah rasulullah saw., kuambil pendapat para sahabat rasulullah saw., kuambil pendapat siapa saja dari mereka yang kukehendaki, kutinggalkan pendapat siapa saja dari mereka yang kukehendaki, dan

15 http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html

10

Page 12: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

aku tidak akan menyimpang dari pendapat mereka kependapat orang selain mereka.16

Masih dari sumber yang sama, ditegaskan bahwa bagian terakhir dari

ucapan imam Abu Hanifah adalah langkah pertama penggunaan ra’yu

serta memberikan hak atas ra’yu dalam membandingkan antar pendapat

dan memilih sebagian atas sebagian yang lain. Lebih lanjut Dr.

Muhammad Syak’ah mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam bidang ra’yu

menegaskan ketika datang padanya pendapat tabi’in maka beliau akan

mengajukan pendapat sendiri sebagaimana mereka mengajukan pendapat

masing-masing.17

2. Imam Malik

Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu

Amir. Dia belajar di Madinah diantaranya kepada Rabi’ah al-Ra’yu, Nafi’

Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliau adalah ahli hadits dan

ahli fiqh di zamannya. Sebagian dari para ulama’ berkata “hadits yang

paling shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh malik dari Nafi’ dari

Ibnu Umar, kemudian Malik dari Ibnu Zinad dari A’raj dari Abu

Hurairah”18

Imam negeri Hijaz, guru besar kota Madinah inilah yang kemudian

dikenal sebagai generasi tabi’in al-tabi’in yang corak fiqhnya banyak

didominasi oleh pola pikir ahli hadits. Meskipun dikatakan demikian,

imam Malik dalam ber-istidlal juga menggunakan berbagai metode yang

berafiliasi pada ra’yu.

Metode-metode istidlal yang dipakai imam Malik adalah berpegang

teguh pada al-Kitab, al-Sunah, Ijma’ Ahli Madinah, Fatwa sahabat, Qiyas,

16 Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Bila mazdahib, alih bahasa oleh Abu Zaidan al-Yamani dan Abu Zahrah al-Jawi, Islam tanpa mazdhab, (Solo, Tiga Serangkai), 2008. hlm. 528

17 Ibid.18 Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, alih bahasa oleh Mohammad Zuhri, Terjemah

Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy (Sejarah Pembinaan Hukum Islam), (Darul Ihya, tt.), hlm. 418-419

11

Page 13: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

al-Istihsan, maslahah Mursalah, Sadd al-Dzara’i, Ishtishab, dan Syar’u

man qoblana.19

G. Al-Natijah

Dari ulasan makalah diatas, kiranya dapat ditarik beberapa poin penting

sebagai berikut:

1. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan menggunakan Sunah

dan ra’yu semakin berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua

sumber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua bentuk. Pertama,

adalah fuqaha’ yang dalam menetapkan hukum lebih banyak

menggunakan hadits Nabi dibandingkan dengan menggunakan ra’yu,

Kelompok ini disebut ahl al-hadits, aliran ini lebih banyak tinggal di

wilayah Hijaz, khususnya Madinah. Kedua, adalah ulama’ yang dalam

menetapkan hukum lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad

daripada hadits. Kelompok ini disebut ahl al-ra’yi yang sebagaian besar

berada di wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah.

2. Diantara faktor-faktor munculnya kedua madrasah ini (ahli hadits

dan ahli ra’yu) adalah kuantitas para sahabat yang menetap di Hijaz dan

Irak, keadaan masyarakat, kekayaan atsar-atsar (hadits dan fatwa sahabat),

dan sifat fanatik pada para guru masing-masing. Faktor-faktor tersebut

memberikan pengaruh terhadap corak masing-masing dua aliran fiqh.

3. Kebalikan dari ahli ra’yu, corak fiqh ahli hadits cenderung lebih

mengutamakan Sunah daripada logika. Mereka tidak menggunakan ra’yu

kecuali dalam masalah yang tidak ada nash-nya dalam al-Quran, al-Sunah,

Ijma’, ataupun pendapat sahabat.

4. Antara ahli hadits dan ahli ra’yu sepakat bahwa sumber hukum

utama adalah al-Kitab dan al-Sunah. perbedaan antara dua madzhab fiqh

tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah furu’.

19 Muhammad Ma’shum Zein, Op. Cit., hlm.145-149

12

Page 14: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

MARAJI’

Al-Zuhailiy, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Beirut: Dar al-fikr. 2005

Bik. Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, alih bahasa oleh Mohammad Zuhri, Terjemah Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy (Sejarah Pembinaan Hukum Islam), Darul Ihya, tt.

Hasan. Khalid Ramadhan, Mu’jam ushul al-Fiqh, Mesir: al-Raudhah, 1998

http://ahmadfaruq.blogdetik.com/fiqih/

13

Page 15: Karakteristik Ijtihad Ahlu Ra'Yu Dan Hadist

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html

Khalil. Rasyad Hanan, Tarikh Tasyri’ al-islamiy, alih bahasa oleh Nadirsyah Hawari, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta, Azmah, 2009

Syak’ah. Musthafa Muhammad, Islam Bila mazdahib, alih bahasa oleh Abu Zaidan al-Yamani dan Abu Zahrah al-Jawi, Islam tanpa mazdhab, Solo, Tiga Serangkai, 2008.

Supriyadi. Dedi, Sejarah Hukum Islam Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2007

Zein. Muhammad Ma’shum, Arus pemikiran Empat Mazdhab Studi Analisis Istinbath Para Fuqaha, Jombang, Darul Hikmah, 2008

14