karakterisasi site effect dengan hvsr mikrotremor …digilib.unila.ac.id/26940/3/skripsi tanpa bab...

109
KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH (Skripsi) Oleh SIGIT PRATAMA KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA 2017

Upload: others

Post on 09-Feb-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR

MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN

DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH

(Skripsi)

Oleh

SIGIT PRATAMA

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

2017

i

ABSTRACT

SITE EFFECT CHARACTERIZATION USING HVSR

MICROTREMOR AND SEISMIC HAZARDS ANALYSIS

USING DSHA METHOD IN BANDA ACEH CITY

By

SIGIT PRATAMA

Banda Aceh has many earthquake disaster due to close of quake sources and

standing above the alluvium which vulnerable against earthquakes. To determine

the level of vulnerability against earthquakes, the research applied site effect

characterization and making scenario of site seismic hazards with DSHA method.

Site effect characterization using microtremor data as form of predominant

frequency, amplification and VS30. These three parameters are used to describes

conditions and local soil response against earthquakes. Meanwhile, the analysis of

seismic hazards with DSHA method will generate value of Peak Ground

Acceleration (PGA) in the bedrock and ground surface based on Aceh-Andaman

Subduction, Aceh Fault and Seulimeum Fault.

From this research, have been known that Banda Aceh city is dominated by

Class 3 Soil (f0 value 0-1,333 Hz) according to Kanai Classification (1983),

dominated by the amplification of 4,4-8,4 times and dominated by Class E Soil

(VS30 value 0-183 m/s) According to NEHRP Classification (2000). It shows that

Banda Aceh was dominant compiled by Soft Soil which has high hazard

vulnerability against earthquake disaster. Based on the PGA values which had been

calculated from DSHA method, known that the city has a bedrock PGA at 0,226-

0,415 g and ground surface PGA at 0,387-0,733 g with seismic source controllers

are Fault Form of Aceh. From the site effect characterization and PGA estimation

can concluded that Banda Aceh city has a high earthquake disaster vulnerability,

with most vulnerable areas are in southwest part which composed by thick and soft

soil, also located adjacent to Aceh Fault.

Keywords: Banda Aceh City, site effect, predominant frequency, amplification,

VS30, DSHA, PGA

ii

ABSTRAK

KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR

MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN

DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH

Oleh

SIGIT PRATAMA

Kota Banda Aceh telah banyak mengalami bencana gempabumi akibat

letaknya yang dekat dengan sumber-sumber gempa dan berdiri di atas endapan

aluvium yang rentan terhadap gempabumi. Untuk mengetahui tingkat kerentanan

kota ini terhadap gempabumi maka dilakukan karakterisasi site effect dan

pembuatan skenario bahaya kegempaan dengan metode DSHA. Karakterisasi site

effect menggunakan data mikrotremor berupa frekuensi dominan, amplifikasi dan

VS30. Ketiga parameter tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi dan

respon tanah setempat terhadap gempabumi. Sedangkan, analisis bahaya

kegempaan dengan metode DSHA akan menghasilkan nilai percepatan tanah

maksimum (PGA) di batuan dasar dan permukaan tanah berdasarkan Subduksi

Aceh-Andaman, Sesar Aceh dan Sesar Seulimeum.

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa Kota Banda

Aceh didominasi tanah Kelas 3 (f0 bernilai 0-1,333 Hz) menurut Klasifikasi Kanai

(1983), didominasi amplifikasi sebesar 4,4-8,4 kali dan didominasi tanah dengan

jenis Kelas E (VS30 bernilai 0-183 m/s) menurut Klasifikasi NEHRP (2000). Hal ini

menandakan Kota Banda Aceh dominan disusun oleh tanah lunak yang memiliki

kerentanan bencana yang tinggi terhadap gempabumi. Berdasarkan nilai PGA hasil

dari metode DSHA dapat diketahui bahwa kota ini memiliki PGA batuan dasar

sebesar 0,226-0,415 g dan PGA permukaan tanah sebesar 0,387-0,733 g dengan

sumber gempa pengontrol berupa Sesar Aceh. Dari karakterisasi site effect dan

estimasi PGA tersebut dapat disimpulkan bahwa Kota Banda Aceh memiliki tingkat

kerentanan bencana gempabumi yang tinggi, dengan daerah yang paling rentan

berada di bagian barat daya yang diduga tersusun oleh tanah lunak dan tebal serta

berdekatan dengan Sesar Aceh.

Kata Kunci: Kota Banda Aceh, site effect, frekuensi dominan, amplifikasi, VS30,

DSHA, PGA

iii

KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR

MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN

DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH

Oleh

SIGIT PRATAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika

Fakultas Teknik Universitas Lampung

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA

2017

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wates pada tanggal 23 Maret 1995.

Merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Rusdi Mulyono

dan Ibu Alimah. Rekam jejak akademis penulis dimulai dari TK

PKK Wates pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001.

Kemudian dilanjutkan ke tingkat sekolah dasar di SD Negeri 1

Wates, Kecamatan Bumi Ratu Nuban pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007.

Lalu penulis melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1

Trimurjo pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Kemudian dilanjutkan ke

tingkat sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar mulai tahun 2010

sampai dengan tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan ke

jenjang perguruan tinggi di Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung.

Selama menjalankan masa studi di Universitas Lampung, penulis juga aktif di

berbagai organisasi kemahasiswaan kampus. Penulis memulai berorganisasi

sebagai Anggota Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika (HIMA

TG Bhuwana) Universitas Lampung pada masa bakti 2013 – 2015. Pada periode

2013/2014 penulis tercatat sebagai Anggota Divisi Fieldtrip Society of Exploration

Geophysics (SEG) Student Chapter Universitas Lampung. Lalu, pada periode

2014/2015 menjabat sebagai Kepala Divisi Fieldtrip Society of Exploration

Geophysics (SEG) Student Chapter Universitas Lampung dan Sekretaris Divisi

viii

Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia (HMGI) Regional 1

serta Anggota Dinas Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Teknik (BEM FT) Universitas Lampung. Selanjutnya, pada periode 2015/2016

penulis diamanahkan sebagai Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Badan

Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM FT) Universitas Lampung dan sebagai

Kepala Divisi Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia (HMGI)

Regional 1.

Pada tahun 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Tiyuh

Daya Asri, Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat. Lalu pada

Februari 2016 melaksanakan Kerja Praktek selama satu bulan di Pusat Vulkanologi

dan Mitigasi Bencana Gempabumi (PVMBG) Bandung dengan judul laporan

“Analisis VS30 Berdasarkan NEHRP Site Class di Kabupaten Sumba Barat Daya

dengan Data Pengukuran Mikrotremor”. Selanjutnya pada September 2016 penulis

melaksanakan Tugas Akhir di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

(PVMBG) Bandung sebagai bahan untuk mendukung penulisan Skripsi. Sehingga

penulis dapat menyelesaikan jenjang perguruan tinggi dengan menamatkan

program sarjana melalui Skripsi dengan judul “Karakterisasi Site Effect dengan

HVSR Mikrotremor dan Analisis Bahaya Kegempaan dengan Metode DSHA di

Kota Banda Aceh”.

ix

Tak perlu menunggu seribu bencana

untuk menyadari berharganya sebuah nyawa.

Tak perlu mengorbankan seribu nyawa

untuk menyadari berbahayanya sebuah bencana.

Sigit Pratama

x

SANWACANA

Puji syukur dan terimakasih tertinggi penulis tujukan kepada Allah SWT atas

segala rahmat, nikmat, karunia, dan hidayah-Nya yang tidak dapat dihitung dalam

memberikan kesempatan dan kekuatan kepada hamba-Nya untuk belajar dan

menyelesaikan masa studi pendidikan tinggi dengan melancarkan dan menguatkan

selama proses studi serta dalam penyusunan dan penyelesaian Skripsi dengan judul

“Karakterisasi Site Effect dengan HVSR Mikrotremor dan Analisis Bahaya

Kegempaan dengan Metode DSHA di Kota Banda Aceh”.

Tentu dalam perjalanan memulai, menyusun dan menyelesaikan skripsi ini

penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada banyak pihak yang telah

membantu dalam segala hal secara luar biasa, baik bantuan materiel maupun

imateriel. Terimakasih saya sampaikan kepada:

1. Orangtua yang telah banyak mendidik, mengajari, mendoakan, mencintai dan

menyayangi dengan sepenuh hati. Bapak (Rusdi Mulyono) dan Mamak

(Alimah). Terimakasih atas segalanya.

2. Adik (Boby Handoko) yang telah dan akan menjadi sahabat dalam berbagi,

berpikir dan mengabdi sedari kecil hingga tutup usia nanti. Let’s do it, Brother!

3. Keluarga Besar Mbah Prapto & Mbah Samiran yang selalu memberikan

kepercayaan dan semangat untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.

xi

4. Bapak Prof. Dr. Suharno, M.Sc., Ph.D. selaku Pembimbing I yang telah banyak

membimbing, mengarahkan serta mengingatkan dalam penyusunan skripsi ini.

Terimakasih banyak atas pembelajaran selama ini, Pak.

5. Bapak Dr. Nandi Haerudin, S.Si., M.Si. selaku Pembimbing II yang telah

memberikan banyak motivasi dan bimbingan yang sangat baik dalam

penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Rustadi, S.Si., M.T. selaku Penguji yang telah memberikan banyak

masukan dan koreksi dengan sangat luar biasa dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Ahmad Zaenudin, S.Si., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik

Geofisika Universitas Lampung dan Pembimbing Akademik yang senantiasa

membimbing dan mengarahkan selama proses studi berlangsung.

8. Bapak Drs. Cecep Sulaeman, M.Si. selaku Pembimbing Lapangan Tugas Akhir

di PVMBG Bandung yang telah menerima, membimbing dan mengajarkan

banyak hal dari masa Kerja Praktek hingga Tugas Akhir. Terimakasih Banyak,

Bapak.

9. Bapak Amalfi Omang, S.Si., M.Phil. yang telah banyak membantu dalam

memahamkan mengenai pendekatan pemikiran, filosofi dan konsep

kegempaan selama Tugas Akhir. Terimakasih banyak, Pak.

10. Kepada Semua Bapak Dosen dan Staf Teknik Geofisika yang telah

memberikan banyak pembelajaran dan bantuan selama menempuh studi di

Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung. Terimakasih Sangat Banyak!

11. Angkatan TG12 (Bagas, Made, Beni, Rival, Gata dan Zulhijri, Dimas ‘Suen’,

Carta, Virgian, Dedi A., Dedi Yul, Ferry, Bari, Agus, Ryan ‘Ucok’, Anta

‘Agan’, Hanif, Soulthan ’Sule’, Kukuh, Legowo, Andre, Kevin, Gifari, Jordi,

xii

Hilman, Esha, Dimas ’Onoy’, Dimas ‘Kopet’, Edo, Aldo, Irwan ‘Komti’, Ari,

Andina, Azis, Elen, Gita, Niar, Nana, Vivi, Lita, Resti, Medi, Beta, Bella,

Dilla, Vee, Zahidah) yang telah bersama-sama memulai perjalanan ini.

Bagaimanapun yang terjadi, saya sangat bersyukur diberikan kesempatan

untuk mengenal, berbagi tawa maupun resah bersama kalian tanpa terkecuali.

Terimakasih banyak, Sahabat!

12. Keluarga “KENDUR” (entah darimana datangnya entitas ini) yang telah

menjadi simbol persahabatan erat dalam berbagi semua hal yang sangat berarti.

Terimakasih untuk semua yang telah kalian goreskan di hidup ini meski hanya

di sebagian usia tapi tetap berarti lebih. Meng-KENDUR bukan berarti

Menjauh! Terimakasih Banyak!

13. Keluarga Rempong Bandung yang menemani selama Tugas Akhir (Andina,

Elen, Gita, Niar, Jordi, Azhari “Ujep” dan Prista). Keluarga yang saling

memahami, mengerti dan mentertawai semua hal yang membuat lebih berarti.

Terimakasih Bandung dan segala kenangannya!

14. Pimpinan BEM FT Universitas Lampung Periode 2015/2016 (Salam, Yolanda,

Lidya, Surya, Bayu, Amel, Soultan “Sule”, Aji, Winda, Faqqih, Wahyu, Wira,

Didi, Rafi, Mustika, Agung, Kiki, Carta, Fahmi, Chandra, Dedi, Liherdi.

Terimakasih atas kepercayaan serta pengalaman hidup dan organisasi yang

sangat luar biasa dan tak akan pernah terlupakan meski hanya satu periode

kepengurusan tapi sangat membekas dalam ingatan. Ingetin ya, “Demisioner

hanya menghentikan kerja bersama kita, bukan kebersamaan kita”.

Terimakasih para pimpinan tercinta!

xiii

15. Keluarga Dinas Komunikasi dan Informasi BEM FT Unila Periode 2015/2016

“KOMINFO Warbyasah” (Amel, Bayu, Veranika, Aga, Ridholi, Ginanjar,

Ragil, Budi, Agung, Belarizka, Indra dan Ester) yang telah menjadi keluarga

tercinta yang sangat bermakna dalam menjalankan kerja bersama untuk

memenuhi amanah di BEM FT Unila dan sebagai tempat mengalirnya rasa

dalam organisasi. Terimakasih Keluarga Kominfo! #ResponsifRebranding

16. Keluarga Besar BEM FT Universitas Lampung Periode 2015/2016 yang telah

banyak memberikan kisah cerita, kepercayaan, semangat dan harapan serta

pelajaran hidup dan organisasi. Saya sangat bersyukur sempat mengenal,

memahami dan menjalani sebagian hidup bersama kalian yang sangat luar

biasa. Terimakasih banyak teman-teman dan adik-adik Staf dan Eksmud

tercinta! A Period Full of Stars! #BEM_FT_SOLID

17. ANONIM (Bagas, Gata, Made dan Agus). Terimakasih telah membalutkan

rasa dalam nada dan irama. Oasis-Stand by Me!

18. Kakak-kakak tingkat (TG09, TG10, TG11) serta adik-adik tingkat (TG13,

TG14, TG15, TG16) yang telah banyak menemani dan membantu selama ini.

Terimakasih Banyak!

19. Khusus untuk orang-orang yang sangat luar biasa yang selalu memberikan

semangat dan harapan untuk terus hidup dan berkarya. Sebuah Nama, Sebuah

Cerita. Terimakasih banyak.

20. Serta berbagai pihak yang dalam kesadaran hingga ketidaksadaran penulis

telah membantu setitik atau banyak atas segala hal yang berkaitan dengan

skripsi ini. Terimakasih Banyak. I Love You to The Neptune and Back!

xiv

21. Semua lagu dan simfoni yang menderu dan bersenandung menemani selama

hidup. Terimakasih banyak!

Penulis mengharapkan semoga dengan adanya karya yang berupa skripsi ini

dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta berguna bagi

masyarakat dan membantu perkembangan mitigasi bencana di Indonesia.

Tentu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun

untuk digunakan sebagai sumber motivasi dan evaluasi serta perkembangan ilmu

pengetahuan yang lebih baik. Terimakasih.

Bandarlampung, Mei 2017

Penulis

Sigit Pratama

xv

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ............................................................................................................. i

ABSTRAK .............................................................................................................. ii

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. iii

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. v

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... vi

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii

MOTTO ................................................................................................................. ix

SANWACANA ........................................................................................................ x

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xix

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3

C. Batasan Masalah ........................................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6

A. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 6

xvi

B. Trench Sunda dan Sistem Trench Sumatera Bagian Utara – Kepulauan

Andaman ..................................................................................................... 6

C. Sistem Sesar Sumatera ................................................................................ 9

D. Kondisi Seismo-Tektonik Kota Banda Aceh ............................................ 10

E. Kondisi Topografi dan Fisiografi Kota Banda Aceh................................. 13

F. Geomorfologi Kota Banda Aceh ............................................................... 14

G. Tatanan Geologi Kota Banda Aceh ........................................................... 15

H. Sejarah Gempabumi Merusak di Provinsi Aceh ....................................... 19

II. TEORI DASAR ................................................................................................ 23

A. Gelombang Seismik ................................................................................... 23

1. Gelombang Badan (Body Wave) ......................................................... 27

a. Gelombang P atau Gelombang Longitudinal ............................... 27

b. Gelombang S atau Gelombang Transversal ................................. 28

2. Gelombang Permukaan (Surface Wave) ............................................. 30

a. Gelombang Rayleigh .................................................................... 30

b. Gelombang Love .......................................................................... 31

B. Mikrotremor ............................................................................................... 32

C. Transformasi Fourier .................................................................................. 34

D. Horizontal to Vertical Spectrum Ratio (HVSR) ........................................ 36

E. Frekuensi Dominan .................................................................................... 40

F. Amplifikasi ................................................................................................. 42

G. VS30 ............................................................................................................. 45

H. Pengaruh Efek Lokal Terhadap Gempabumi ............................................. 46

I. Seismic Hazard Analysis ............................................................................ 48

J. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ....................................... 50

K. Sumber Gempabumi ................................................................................... 52

L. Hubungan antara Jenis-Jenis Magnitudo Gempa ....................................... 53

xvii

M. Magnitudo Maksimum ............................................................................... 54

N. Percepatan Tanah Maksimum (PGA) ........................................................ 55

O. Logic Tree .................................................................................................. 56

P. Fungsi Atenuasi .......................................................................................... 59

1. Youngs dkk. (1997) ............................................................................. 59

2. Atkinson – Boore (2003) ..................................................................... 60

3. Zhao dkk. (2006) ................................................................................. 62

4. Boore – Atkinson (2008) ..................................................................... 64

5. Campbell – Bozorgnia (2008) ............................................................. 67

6. Chiou – Youngs (2008) ....................................................................... 69

IV. METODE PENELITIAN ................................................................................ 72

A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 72

B. Data Penelitian ........................................................................................... 72

C. Diagram Alir Penelitian ............................................................................. 73

D. Tahapan Pengolahan Data .......................................................................... 74

1. HVSR Mikrotremor............................................................................. 74

2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ................................ 79

3. Pembuatan Peta ................................................................................... 80

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 81

A. Hasil ........................................................................................................... 81

1. HVSR Mikrotremor............................................................................. 81

2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ................................ 84

3. Tingkat Rawan Bencana Gempabumi ................................................. 88

B. Pembahasan ................................................................................................ 88

1. HVSR Mikrotremor............................................................................. 88

a. Frekuensi Dominan (f0) ................................................................ 89

b. Amplifikasi ................................................................................... 94

c. VS30 ............................................................................................... 98

2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) .............................. 101

a. Subduksi Aceh – Andaman ........................................................ 102

b. Sesar Aceh .................................................................................. 107

c. Sesar Seulimeum ........................................................................ 111

d. PGA Maksimum di Kota Banda Aceh ....................................... 115

xviii

3. Tingkat Rawan Bencana Gempabumi ............................................... 120

4. Rekomendasi Aplikatif ...................................................................... 124

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 130

A. Kesimpulan ............................................................................................... 130

B. Saran ......................................................................................................... 131

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 133

LAMPIRAN ......................................................................................................... 137

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar ........................................................................................................ Halaman

1. Peta penelitian mikrotremor di Kota Banda Aceh .......................................... 7

2. Sumber gempabumi patahan/sesar (fault) .................................................... 11

3. Sumber gempabumi subduksi (megathrust) ................................................. 12

4. Tatanan geologi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ................................ 16

5. Peta geologi Kota Banda Aceh ..................................................................... 17

6. Skematik potongan melintang aluvium di Banda Aceh ............................... 19

7. Deformasi akibat gelombang badan ............................................................. 29

8. Deformasi akibat gelombang permukaan ..................................................... 32

9. Jenis struktur geologi dan cekungan sedimen .............................................. 38

10. Ilustrasi amplifikasi .................................................................................... 43

11. Rekaman percepatan gempa di tanah padat/batuan .................................... 43

12. Rekaman percepatan gempa di tanah lunak endapan lakebed ................... 43

13. Empat langkah dalam DSHA ..................................................................... 51

14. Ilustrasi sumber gempa ............................................................................... 53

15. Diagram alir penelitian ............................................................................... 73

16. Kotak dialog HV Tools ............................................................................... 75

17. Kurva HVSR hasil pengolahan .................................................................. 76

18. Tampilan profil data format .pick ............................................................... 77

xx

19. Tampilan hasil import data pada HV Explorer ........................................... 77

20. Pemilihan puncak kurva HVSR pada HV Explorer ................................... 78

21. Peta persebaran frekuensi dominan (f0) di Kota Banda Aceh .................... 81

22. Peta persebaran frekuensi dominan (f0) di Kota Banda Aceh

berdasarkan Klasifikasi Kanai (1983) ........................................................ 82

23. Peta persebaran amplifikasi di Kota Banda Aceh ...................................... 82

24. Peta persebaran VS30 di Kota Banda Aceh ................................................. 83

25. Peta persebaran VS30 di Kota Banda Aceh berdasarkan Klasifikasi

NEHRP (2000)............................................................................................ 83

26. Peta PGA Bedrock Kota Banda Aceh akibat Subduksi Aceh – Andaman . 84

27. Peta PGA Surface Kota Banda Aceh akibat Subduksi Aceh – Andaman .. 84

28. Peta PGA Bedrock Kota Banda Aceh akibat Sesar Aceh ........................... 85

29. Peta PGA Surface Kota Banda Aceh akibat Sesar Aceh ............................ 85

30. Peta PGA Bedrock Kota Banda Aceh akibat Sesar Seulimeum ................. 86

31. Peta PGA Surface Kota Banda Aceh akibat Sesar Seulimeum .................. 86

32. Peta PGA Bedrock Maksimum di Kota Banda Aceh ................................. 87

33. Peta PGA Surface Maksimum di Kota Banda Aceh .................................. 87

34. Peta Rawan Bencana Gempabumi di Kota Banda Aceh ............................ 88

xxi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Data Segmen Aceh dan Seulimeum ............................................................... 10

2. Katalog gempabumi merusak di Provinsi Aceh ............................................. 20

3. Klasifikasi tanah oleh Kanai berdasarkan nilai frekuensi dominan

mikrotremor ................................................................................................... 41

4. Klasifikasi Site Class berdasarkan VS30 .......................................................... 46

5. Hubungan antar magnitudo gempa ................................................................. 54

6. Regresi dari panjang rupture di permukaan dengan magnitudo

maksimum ...................................................................................................... 54

7. Model logic tree untuk sumber gempa sesar (fault) ....................................... 57

8. Model logic tree untuk sumber gempa subduksi (megathrust) ...................... 58

9. Model logic tree untuk sumber gempa background ....................................... 58

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota besar di Indonesia yang menjadi

Ibukota dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan terletak di ujung barat

laut dari Pulau Sumatera. Peran Kota Banda Aceh sangatlah penting yaitu

sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat yang berhadapan langsung

dengan negara-negara di selatan Benua Asia sehingga dapat membawa

keuntungan yang dapat meningkatkan perekonomian di Provinsi Aceh secara

khusus dan Indonesia secara umum. Sebagai pusat politik, perekonomian dan

kebudayaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh pernah

mengalami gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakan kota ini, yaitu

gempa bumi sebesar 9,1 Mw (moment magnitude) pada 2004 yang

menimbulkan tsunami yang sangat dahsyat sehingga merusak Kota Banda

Aceh dan memakan ratusan ribu korban jiwa.

Ditinjau dari segi seismotektonik, Banda Aceh diapit oleh dua segmentasi

Sistem Sesar Sumatera, yaitu Segmen Sesar Seulimeum yang membentang

sepanjang timur laut dan Segmen Sesar Aceh yang membentang sepanjang

barat daya dari Kota Banda Aceh. Selain itu Banda Aceh juga dipengaruhi oleh

aktivitas tektonik yang berasal dari pergerakan lempeng pada zona subduksi

2

yang terletak sekitar 250 km di sebelah barat daya Pulau Sumatera. Jika dilihat

dari sejarah seismisitas di Kota Banda Aceh, pernah terjadi gempa bumi akibat

aktivitas Segmen Sesar Seulimeum pada tahun 1964 dengan magnitudo 6,5 Ms

(surface wave magnitude) (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Sedangkan

pergerakan lempeng pada zona subduksi di barat Sumatera seringkali

menghasilkan gempabumi dengan magnitudo 4,5 atau lebih, yang umumnya

berpusat di laut sebelah barat dari Kota Banda Aceh dengan kedalaman 0 – 69

km. Bahkan pada 2004, terjadi gempabumi dengan magnitudo sebesar 9,1 Mw

akibat pergeseran lempeng di zona subduksi yang menyebabkan tsunami dan

menghancurkan Kota Banda Aceh dan total merenggut korban jiwa lebih dari

310.000 orang. Ini menandakan tingginya tingkat seismisitas di Kota Banda

Aceh.

Ditinjau dari sisi geologi, Kota Banda Aceh terletak pada endapan aluvium

yang terdiri dari kerikil, pasir, lumpur dsb. Bahkan Kota Banda Aceh dialasi

oleh aluvium yang sangat tebal (Siemon dkk., 2006 dalam Setiawan dkk.,

2012). Hal ini menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh sangat rawan terhadap

bencana gempabumi karena terletak pada endapan aluvial yang notabene

merupakan endapan yang terkenal lunak dan dapat memperbesar (amplifikasi)

gelombang seismik dari gempa bumi sehingga dapat memperkuat efek dari

gempa bumi yang datang pada kota ini.

Melihat tingginya tingkat seismisitas dan kerentanan bencana gempabumi

di Kota Banda Aceh, maka diperlukan upaya mitigasi untuk menyelamatkan

dan mempersiapkan Kota Banda Aceh dari bencana akibat gempabumi yang

dapat terjadi kapanpun. Salah satu upaya tersebut yaitu dengan melakukan

3

penelitian mengenai karakterisasi site effect dengan metode HVSR

mikrotremor untuk mengetahui bagaimana karakteristik situs dan

persebarannya di Kota Banda Aceh. Site effect (efek situs) yang akan diteliti

yaitu Frekuensi Dominan, VS30 dan Amplifikasi. Tiap karakteristik site effect

tersebut dapat menggambarkan bagaimana respon situs terhadap gelombang

seismik gempabumi yang datang. Dari masing-masing karakteristik site effect

tersebut akan didapatkan peta mikrozonasi bencana gempabumi untuk Kota

Banda Aceh. Adapun upaya mitigasi selanjutnya yaitu dengan melakukan

analisis bahaya kegempaan dengan metode Deterministic Seismic Hazard

Analysis (DSHA) yang berfungsi untuk menggambarkan skenario gempa

terburuk yang mungkin terjadi dengan mempertimbangkan besar sumber

gempa, jarak sumber gempa dan karakteristik situs di Kota Banda Aceh.

Metode DSHA ini akan menghasilkan peta Peak Ground Acceleration (PGA)

untuk Kota Banda Aceh.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkarakterisasi site effect (efek situs) di Kota Banda Aceh dengan

metode HVSR Mikrotremor.

2. Menganalisis bahaya kegempaan dengan mengestimasi nilai Peak Ground

Acceleration (PGA) di Kota Banda Aceh dengan metode Deterministic

Seismic Hazard Analysis (DSHA).

4

3. Menganalisis daerah rawan bencana gempabumi di Kota Banda Aceh

berdasarkan karakteristik site effect hasil pengolahan data mikrotremor

dan estimasi nilai Peak Ground Acceleration hasil dari metode DSHA.

C. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini hanya membahas karakterisasi site effect yang berupa

frekuensi dominan, VS30 dan amplifikasi di Kota Banda Aceh berdasar pada

data mikrotremor.

2. Estimasi nilai PGA dalam analisis bahaya kegempaan di Kota Banda Aceh

dilakukan dengan metode DSHA menggunakan pendekatan logic tree yang

juga digunakan oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010.

3. Pada penelitian ini, sumber gempa yang digunakan dalam metode DSHA

berjumlah tiga buah sumber gempa yang ada di sekitar Kota Banda Aceh,

yaitu Segmen Sesar Seulimeum, Segmen Sesar Aceh dan Subduksi Aceh-

Andaman.

4. Magnitudo maksimum yang digunakan dalam metode DSHA pada sumber

gempa yang berupa sesar dihitung berdasarkan persamaan Wells dan

Coppersmith (1994). Sedangkan magnitudo maksimum untuk sumber

gempa yang berupa subduksi menggunakan catatan sejarah gempabumi

dari USGS mulai dari 5 Maret 1921 - 26 September 2016 di sekitar

Subduksi Aceh-Andaman.

5

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Daerah-daerah yang rentan terhadap bahaya gempabumi di Kota Banda

Aceh dapat diketahui dan dipetakan persebarannya sehingga

memungkinkan untuk dilakukan perencanaan pembangunan yang lebih

tepat dan lebih baik.

2. Penelitian ini dapat menggambarkan seberapa besar nilai Percepatan Tanah

Puncak (Peak Ground Acceleration/PGA) di Kota Banda Aceh jika terjadi

gempabumi dengan magnitudo terbesar yang diperkirakan dapat terjadi di

tiap sumber gempabumi di sekitar Kota Banda Aceh (Segmen Sesar

Seulimeum, Segmen Sesar Aceh dan Subduksi Aceh-Andaman).

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Penelitian ini menggunakan data hasil akuisisi dari metode

mikrotremor untuk mengkarakterisasi site effect di Kota Banda Aceh. Terdapat

90 titik akuisisi mikrotremor di sekitar Kota Banda Aceh, persebaran titik-titik

tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

B. Trench Sunda dan Sistem Trench Sumatera Bagian Utara – Kepulauan

Andaman

Aktivitas gempa hiposenter dangkal sangat intens terjadi sepanjang

permukaan Trench Sunda, mulai dari selatan Pulau Sumba, ke arah barat di

selatan Jawa, arah barat laut sepanjang pantai barat Sumatera dan arah utara

sepanjang kepulauan Andaman dan Nicobar. Secara detail, karakter sistem

subduksi Trench Sunda berubah dari Bali ke arah barat dan ke arah utara ke

Kepualauan Andaman, dan karakter seismisitas historik juga berbeda

sepanjang segmen yang berbeda dari sistem subduksi tersebut. Didefinisikan

adanya beberapa zona sumber gempa dengan fokus dangkal dalam sistem

7

Gambar 1. Peta penelitian mikrotremor di Kota Banda Aceh.

7

8

subduksi Trench Sunda untuk menggambarkan perubahan karakter secara

geografik dari sistem subduksi ini (Dewey dkk., 2006 dalam Makrup, 2013).

Digunakan terminologi umum “Trench Sunda” untuk mengindikasikan

posisi singkapan interface antara plate subduksi dan plate yang menumpang

(overriding) sepanjang sistem keseluruhan zona subduksi antara Jawa dan

Birma. Beberapa penulis menggunakan nama yang berbeda untuk segmen yang

berbeda dari zona subduksi ini, seperti Trench Jawa, Trench Sumatera, Trench

Nicobar, Trench Andaman, Trench Burma/Trench Arakan (Hamilton, 1979;

Socquet dkk., 2006 dalam Makrup, 2013). Dalam banyak segmen pada sistem

subduksi Trench Sunda, seismisitas yang terjadi nampaknya berkaitan dengan

zona subduksi yang terperluas kearah pantai menjauhi aksis trench. Seismisitas

ini merefleksikan tegangan yang terjadi dalam arah bawah plate India dan

Australia oleh konvergensi yang terjadi dalam plate tersebut dan subduksi yang

terjadi di bawah plate Sunda dan Birma yang menumpang (Dewey dkk., 2006

dalam Makrup, 2013).

Sistem Trench “Sumatera Bagian utara-Kepulauan Andaman” berkaitan

dengan zona rupture gempa besar kepulauan Andaman yang terjadi pada

Desember 2004 (Chlieh dkk., 2006 dalam Makrup, 2013). Regangan yang

terjadi dalam wilayah ini mencerminkan fakta bahwa plate India bersubduksi

dibawah plate Burma dilepas pantai Bagian utara Sumatera. Gempa besar Aceh

Desember 2004 melepaskan regangan elastis pada sepanjang keseluruhan zona

subduksi. Model seismik/geodetik Chlieh dkk. (2006) seperti dikutip Makrup

(2013), sesungguhnya memperlihatkan beberapa potongan kecil zona subduksi

interface antara 2°N dan 4°N rupanya tidak mengalami rupture selama

9

kejadian mainshock Desember 2004 atau selama bulan yang mengikuti

mainshock ini. Beberapa dari potongan kecil ini cukup besar untuk

menghasilkan gempa yang dapat diukur, jika potongan kecil ini

mengumpulkan dan melepaskan energi regangan dimasa depan (Dewey dkk.,

2006 dalam Makrup, 2013).

C. Sistem Sesar Sumatera

Selain zona subduksi, gempa juga kemungkinan berasal dari pergerakan

sesar pada Sesar Sumatera. Sesar Sumatera merupakan sesar jurus-selip

terbesar dan hampir seluruhnya terletak pada struktur tanah di puncak barisan

perbukitan sepanjang pulau Sumatera. Sieh dan Natawidjaja (2000) seperti

dikutip Rosyidi dkk. (2011) telah membuat satu peta zona sesar Sumatera

secara rinci untuk mengidentifikasi kemungkinan segmen sesar yang dapat

digunakan untuk satu penilaian bencana seismik. Berbasis geomorfologi dan

topografi daerah sesar, penelitian mereka telah membagi sistem sesar pada 19

segmen dengan panjang segmen terpendek dari 35 km sampai yang segmen

terpanjang yang mencapai 220 km. Mereka juga telah membagi sistem sesar

Sumatera pada 19 sesar yaitu: Seulimeum, Aceh, Tripa, Renun, Toru, Angkola,

Barumun, Sumpur, Sianok, Sumani, Suliti, Siulak, Dikit, Ketaun, Musi,

Manna, Kumering, Semangko dan Sunda. Sesar Sumatera ditunjukkan

membentang ke seluruh bagian selatan pulau Sumatera yang secara

topografinya merupakan daerah pegunungan (Rosyidi dkk., 2011). Kota Banda

Aceh diapit oleh dua segmen Sesar Sumatera, yaitu Segmen Seulimeum yang

10

membentang sepanjang timur laut dan Segmen Aceh yang membentang

sepanjang barat Daya di sebelah Kota Banda Aceh. Segmentasi Sistem Sesar

Sumatera dan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2. Berikut ini beberapa data

mengenai Segmen Sesar Aceh dan Seulimeum:

Tabel 1. Data Segmen Aceh dan Seulimeum (Sieh dan Natawidjaja, 2000).

No. Segmen Latitude Panjang (km) Sejarah Gempa

1 Aceh 4,4°N-5,4°N 200 Tidak Ada

2 Seulimeum 5,0°N-5,9°N 120 1964 (Ms=6,5)

D. Kondisi Seismo-Tektonik Kota Banda Aceh

Pola tektonik wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dipengaruhi

oleh pergerakan lempeng pada zona subduksi yang terletak +250 km di sebelah

barat pulau Sumatera. Berdasarkan peta seismisitas tahun 1900-2012 (Hayes

dkk., 2010 seperti dikutip Tohari dkk., 2015), pergerakan lempeng ini

seringkali menghasilkan gempabumi dengan magnitudo 4,5 atau lebih, yang

umumnya berpusat di laut sebelah barat dari Kota Banda Aceh dengan

kedalaman 0 – 69 km.

Ancaman gempabumi juga dapat berasal dari segmen Aceh dan segmen

Seulimeum dari Zona Sesar Sumatera yang berada dekat dengan wilayah Kota

Banda Aceh. Menurut Sieh dan Natawidjaja (2000) seperti dikutip oleh

Tohari dkk. (2015), gempabumi pernah terjadi pada segmen Seulimeum pada

tahun 1964 dengan magnitudo Ms 6,5.

11

Gambar 2. Sumber gempabumi patahan/sesar (fault) (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010).

11

12

Gambar 3. Sumber gempabumi subduksi (megathrust) (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010). 12

13

Kondisi seismo-tektonik ini menyebabkan wilayah Kota Banda Aceh

termasuk dalam zona bahaya seismik tinggi. Irsyam dkk. (2010) (Tim Revisi

Peta Gempa Indonesia) seperti dikutip Tohari dkk. (2015) memperlihatkan

bahwa wilayah Kota Banda Aceh mempunyai nilai percepatan puncak di

batuan dasar sebesar 0,3 – 0,4 g untuk periode ulang 475 tahun, dan sebesar

0,5 – 0,6 g untuk periode ulang 2475 tahun. Hasil perhitungan dengan

menggunakan persamaan Youngs dkk. (1997) seperti dikutip Tohari dkk.

(2015), untuk gempabumi pada jarak 100 km dengan kedalaman 30-60 km dan

magnitudo gempa Mw sebesar 9,0 hingga 9,3 memberikan nilai PGA sebesar

antara 0,3 g hingga 0,4 g. Mempertimbangkan kondisi lapisan tanah lunak yang

tebal, maka nilai percepatan maksimum di permukaan tanah di wilayah Kota

Banda Aceh dapat 1,5 hingga 2,0 kali lebih besar.

E. Kondisi Topografi dan Fisiografi Kota Banda Aceh

Kondisi topografi (ketinggian) Kota Banda Aceh berkisar antara -0,45 m

sampai dengan +1,00 m di atas permukaan laut (dpl), dengan rata- rata

ketinggian 0,80 m dpl.

Bentuk permukaan lahannya (fisiografi) relatif datar dengan kemiringan

(lereng) antara 2 - 8%. Bentuk permukaan ini menandakan bahwa tingkat erosi

relatif rendah, namun sangat rentan terhadap genangan khususnya pada saat

terjadinya pasang dan gelombang air laut terutama pada wilayah bagian utara

atau pesisir pantai.

14

Dalam lingkup makro, Kota Banda Aceh dan sekitarnya secara topografi

merupakan dataran banjir Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada

ketinggian kurang dari 5 meter dpl.

Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan ketinggian

hingga 50 meter dpl. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah barat

dan timur dan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan

mulut menghadap ke laut (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2012).

F. Geomorfologi Kota Banda Aceh

Secara umum geomorfologi wilayah Kota Banda Aceh terletak di atas

formasi batuan vulkanis tertier (sekitar Gunung Seulawah dan Pulau Breueh),

formasi batuan sedimen, formasi endapan batu (di sepanjang Kr. Aceh),

formasi batuan kapur (di bagian timur), formasi batuan vulkanis tua terlipat

(dibagian selatan), formasi batuan sedimen terlipat dan formasi batuan dalam.

Geomorfologi daerah pesisir Kota Banda Aceh secara garis besar dibagi

menjadi pedataran yang terdapat di pesisir pantai utara dari Kecamatan Kuta

Alam hingga sebagian Kecamatan Kuta Raja, dan pesisir pantai yang terletak

di wilayah barat atau sebagian Kecamatan Meuraxa.

Daerah pedataran di pesisir Kota Banda Aceh secara umum terbentuk dari

endapan sistim marin yang merupakan satuan unit yang berasal dari bahan

endapan (aluvial) marin yang terdiri dari pasir, lumpur dan kerikil. Kelompok

ini dijumpai di dataran pantai yang memanjang sejajar dengan garis pantai

dan berupa jalur-jalur beting pasir resen dan subresen. Beting pasir resen

15

berada paling dekat dengan laut dan selalu mendapat tambahan baru yang

berupa endapan pasir, sedangkan beting pasir subresen dibentuk oleh bahan-

bahan yang berupa endapan pasir tua, endapan sungai, dan bahan-bahan

aluvial/koluvial dari daerah sekitarnya (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2012).

G. Tatanan Geologi Kota Banda Aceh

Berdasarkan peta geologi lembar Banda Aceh, Sumatera (Bennet dkk., 1981

dalam Tohari dkk., 2015) seperti yang terlihat pada Gambar 4, wilayah Kota

Banda Aceh umumnya tersusun oleh endapan kuarter yang terdiri dari endapan

pematang pantai, endapan rawa, dan endapan aluvial berumur Pleistosen dan

Holosen. Berdasarkan data pemboran, lapisan endapan aluvial dekat dengan

pantai dapat mencapai ketebalan 206 m di bawah permukaan tanah di daerah

Cot Paya di sebelah timur Sungai Krueng Aceh. Sementara itu, beberapa puluh

kilometer ke arah hulu di daerah Lambaro, endapan aluvium mempunyai

ketebalan minimum 70 m dengan proporsi 20% pasir dan 80% lempung pasiran

hingga pasir lempungan (Ploethner dan Siemon, 2006 dalam Tohari dkk.,

2015).

Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan (sebelah timur – utara dan

sebelah barat – selatan kota). Berada pada pertemuan plate Euroasia dan

Australia berjarak ± 130 km dari garis pantai barat sehingga daerah ini

rawan terhadap Tsunami. Litologi Kota Banda Aceh merupakan susunan

batuan yang kompleks, terdiri dari batuan sedimen, meta sedimen, batu

gamping, batuan hasil letusan gunung api, endapan aluvium, dan intrusi

16

batuan beku, berumur holosen hingga Pra-Tersier, dan secara umum dibagi

atas 4 (empat) kelompok, yaitu :

1. Aluvium

2. Batuan Kuarter (sedimen dan volkanik)

3. Batuan Tersier (sedimen dan volkanik)

4. Batuan metasedimen, malihan, dan terobosan Pra-Tersier

(Pemerintah Kota Banda Aceh, 2012).

Kota Banda Aceh terletak pada sebuah cekungan yang dikontrol secara

struktural, dimana cekungan ini dibatasi di kedua sisinya oleh patahan-patahan

aktif yakni, Patahan Aceh di barat daya dan Patahan Seulimeum di timur laut

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Kondisi ini mengakibatkan batuan

sedimen Banda Aceh akan bergetar cukup kuat bila gempa terjadi di sekitarnya.

Gambar 4. Tatanan geologi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Barber dan

Crow, 2005 dalam Setiawan dkk., 2012).

17

Gambar 5. Peta geologi Kota Banda Aceh (dimodifikasi dari Bennett dkk., 1981). 17

18

Litologi penyusun yang ada di Banda Aceh dan sekitarnya menunjukkan

bahwa dari bagian barat hingga ke selatan Patahan Aceh disekitar kawasan

pesisir dibentuk terutama oleh Endapan Pra-Tersier tipis berlapis-lapis hingga

sangat tebal berupa batu kapur Formasi Batugamping Raba. Di sebelah timur

Banda Aceh tersusun oleh batuan andesit hingga dasit dari endapan vulkanik

Lam Teuba. Endapan vulkanik ini mencakup sebagian besar kawasan di pesisir

utara dan kaki bukit di kedua sisi Patahan Seulimeum. Vulkanik Lam Teuba

diendapkan dari Plistosen Holosen.

Banda Aceh dialasi oleh aluvium yang sangat tebal (Siemon dkk., 2006

dalam Setiawan dkk., 2012). Ketebalan aluvium di dekat pantai Banda Aceh

mencapai kedalaman 206 m di bawah muka tanah eksisting. Aluvium ini di

sepanjang pesisir Kota Banda Aceh terdiri dari lapisan pasir dengan ketebalan

20 m di bagian atas dan tanah liat tebal yang diselang-selingi oleh tiga buah

lapisan pasir-kerikil dengan ketebalan yang bervariasi dari 3 hingga 9 m. Bukti

lainnya dari ketebalan aluvium dibawah Kota Banda Aceh adalah sumur-sumur

lama peninggalan Belanda di Ulee Lheue (158 m), Peukan Krueng Cot (125

m), dan P. Perak (179 m). Sekitar sepuluh kilometer ke arah hulu Krueng Aceh,

tepatnya di Lambaro, aluvium memiliki ketebalan minimal 70 m. Diagram

skematik potongan melintang yang menunjukkan aluvium di Banda Aceh

(Kuarter pasir dan tanah liat) disajikan pada Gambar 6 berikut:

19

Gambar 6. Skematik potongan melintang aluvium di Banda Aceh (Farr dan

Djaeni 1975 dalam Setiawan dkk., 2012).

H. Sejarah Gempabumi Merusak di Provinsi Aceh

Pada tahun 2008, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

(PVMBG) menerbitkan Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun

1629-2007 melalui publikasi yang disusun oleh Supartoyo dan Surono.

Terdapat 11 kejadian gempabumi yang dikategorikan merusak di Provinsi

Aceh, termasuk gempabumi pada Desember 2004 yang menyebabkan tsunami

dan korban jiwa serta kerugian yang sangat besar dengan magnitudo sekitar 9

Mw akibat aktivitas dari Subduksi Aceh – Andaman di sebelah barat daya dari

Pulau Sumatera. Catatan sejarah gempabumi merusak yang pernah terjadi di

Provinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.

20

Tabel 2. Katalog gempabumi merusak di Provinsi Aceh (Supartoyo dan Surono, 2008).

No Nama Gempa Tanggal Pusat

Gempa

Kedalaman

(km) M (SR)

Skala

MMI Kerusakan

1

Pulau Simeulue

(Tsunami)

1907

-

-

-

-

Terjadi tsunami di Pulau Simeulue. Kerusakan

melanda Pulau Simeulue.

2

Banda Aceh

23/8/1936

6,1°LU-

97,7°BT

-

-

VII-VIII

9 orang meninggal, 20 orang luka parah.

Kerusakan sejumlah bangunan di Banda Aceh,

Lhok Sukon dan Lhok Seumawe

3

Banda Aceh

2/4/1964

5,9°LU-

95,7°BT

33

6,5

VII

Kerusakan bangunan terparah di Krueng Raya.

Di Banda Aceh ± 30%-40% bangunan tembok

rusak

4

Lhok Seumawe-

Sigli (Tsunami)

12/4/1967

5,3°LU-

97,3°BT

55

6,1

VIII

Kerusakan bangunan di Jenieub, Pendada,

Jeumpa dan Bireun. Intensitas gempa terbesar di

Lhok Seumawe dan Sigli. Terjadi Tsunami,

Likuifaksi & longsorang di Sigli. Sebanyak 5

masjid, 11 sekolah, 59 madrasah dan 2.000 rumah

rusak.

5

Banda Aceh

4/4/ 1983

5,8°LU-

93,27°BT

51

6,6 VI Kerusakan bangunan terparah di Banda Aceh,

gedung Keuangan Negara di Banda Aceh rusak.

6

Biangkejeren

15/11/1990

3,908° LU-

97,457°BT

33

6,8

VII-VIII 1 orang meninggal, 32 orang luka-luka. Terjadi

tanah longsor, retakan tanah dan likuifaksi.

Kerusakan di Biangke-jeren, Kuta Panjang, Rikit

Gaib, Agusen, Geumpang, Kutacane.

20

21

No Nama Gempa Tanggal Pusat

Gempa

Kedalaman

(km) M (SR)

Skala

MMI Kerusakan

7

Simeuleu

02/11/2002

08:25’00’’

WIB

5,7°LU-

97,1°BT

36 km utara

Singkil

43,2

(33 USGS)

6,5 SR

VII

2 orang meninggal di Sinabang, 127 orang luka-

luka di Kec. Sukajaya, Simeulue timur dan

Lasikin. Sejumlah gedung perkantoran, sekolah,

rumah dan took rusak di Sinabung. Di Lasikin

kantor Pelayanan PLN ambruk, 36 kantor dan

bangunan rusak. Di Pulau Simeulue: 1.875 rumah

rusak, 401 diantaranya rusak berat termasuk: 43

ruko, 42 gedung sekolah & 50 buah masjid.

Getaran gempa terasa di Kab. Aceh barat, Aceh

selatan, Aceh barat Daya, Nagan Raya, Singkil

dan Kepulauan Banyak. Di Medan getaran gempa

tercatat II MMI, Tapaktuan-Meulaboh IV-VI

MMI, Banda Aceh-Lhok Seumawe II-III MMI.

8

Peureulak (Aceh

timur)

22/01/2003

02.58.51,2

UTC

4,577° LU-

97,54° BT

33

5,7 SR V

31 bangunan rusak berat, 26 bangunan rusak

ringan meliputi: rumah penduduk, sarana

pendidikan, balai pengajian, puskesmas, sarana

perhubungan rusak di Beurandang, Rantau

Peureulak, Aceh timur. Sebanyak ± 150 jiwa

mengungsi. Getaran gempa terasa di Pangkalan

Brandan skala III MMI, Medan, Malaysia &

Thailand.

9

Nanggroe Aceh

Darussalam

(NAD) (Tsunami)

26/12/2004

07:58’53”

WIB

3,307°LU-

95,947°BT

(250 km

barat daya

Kota Banda

Aceh)

30

(USGS)

9 Mw

VIII

Gempabumi terbesar IV di dunia sejak tahun

1900 (USGS). Terjadi tsunami merusakkan ±

85% Kota Banda Aceh. Total korban lebih dari

310.000 orang meninggal. Lebih 265.000 orang

meninggal di NAD dan pantai barat Sumatera

utara, 30.800 org di Srilanka, 10.300 org di India,

21

22

No Nama Gempa Tanggal Pusat

Gempa

Kedalaman

(km) M (SR)

Skala

MMI Kerusakan

5.300 org di Thailand, 150 org di Somalia,

82 org di Maladewa, 68 org di Malaysia,

59 org di Myanmar,

10 org di Tanzania, 3 org di Seychelles,

2 org di Bangladesh,

1 org di Kenya.

Pantai barat NAD (Lhok Nga, Calang, Meulaboh)

hancur. Runup di pantai Banda Aceh ± 9 m,

pantai Lhok Nga ± 16 m.

10

Cot Glie, Aceh

Besar

5/10/ 2005

15:46:44

WIB

5,2°LU-

95,6°BT

10

5,7 Mw

V

73 rumah penduduk, 2 masjid, 1 SD Lamkin dan

1 puskesmas rusak ringan di Kec. Cot Glie.

Beberapa rumah penduduk di Kec. Seulimeum

dan SMA Fajar Harapan di Banda Aceh rusak

ringan.

11 Simeulue 1/2/ 2006 2,744°LU-

96,059°BT

10 5,9 Mw V Beberapa bangunan mengalami kerusakan di

Pulau Simeulue. Pusat gempa di darat.

22

23

III. TEORI DASAR

A. Gelombang Seismik

Gelombang gempa disebut juga gelombang seismik, terjadi karena beberapa

proses atau aktivitas geologi. Gelombang seismik merupakan gelombang yang

menjalar di dalam bumi disebabkan adanya deformasi struktur di bawah bumi

akibat adanya tekanan ataupun tarikan karena sifat keelastisitasan kerak bumi.

Gelombang ini membawa energi kemudian menjalar ke segala arah di seluruh

bagian bumi dan mampu dicatat oleh seismograf. Kecepatan perambatan

gelombang seismik ditentukan oleh karakteristik lapisan dimana gelombang

tersebut merambat. Kecepatan gelombang seismik dipengaruhi oleh rigiditas

(kekakuan) dan kerapatan lapisan sebagai medium bagi perambatan

gelombang, hal ini ditinjau dari segi lapisan yang dilaluinya.

Dasar teori yang digunakan dalam pengamatan gempa adalah persamaan

gelombang elastik untuk media yang homogen isotropik. Benda yang dilalui

digambarkan sebuah kubus sehingga memiliki nilai regangan dan tegangan.

Dalam bentuk tiga dimensi, komponen perpindahan titik P (x, y, dan z) ditulis

dengan (u, v dan w), sehingga regangan normal tunjukkan oleh persamaan (1),

regangan geser persamaan (2), sedangkan komponen regangan pada benda

yang mengalami perpindahan secara rotasional ditunjukkan persamaan (3).

24

Ԑxx = 𝜕𝑢

𝜕𝑥; Ԑyy =

𝜕𝑣

𝜕𝑦; Ԑzz =

𝜕𝑤

𝜕𝑧 (1)

Ԑxy = 𝜕𝑣

𝜕𝑥 + 𝜕𝑣

𝜕𝑦; Ԑyz =

𝜕𝑤

𝜕𝑦 +𝜕𝑣

𝜕𝑧; Ԑzx =

𝜕𝑢

𝜕𝑧 + 𝜕𝑤

𝜕𝑥 (2)

𝜃x = 1

2 (𝜕𝑤

𝜕𝑦 - 𝜕𝑣

𝜕𝑦); 𝜃x =

1

2 (𝜕𝑢

𝜕𝑧 - 𝜕𝑤

𝜕𝑥); 𝜃z =

1

2 (𝜕𝑣

𝜕𝑥 - 𝜕𝑣

𝜕𝑦) (3)

Perubahan dimensi yang disebabkan oleh strain normal akan

mengakibatkan perubahan volume. Perubahan volume per satuan volume

disebut dilatasi , misal ∆= 𝜃

𝜃 = Ԑxx + Ԑyy + Ԑzz = 𝜕𝑢

𝜕𝑥 + 𝜕𝑣

𝜕𝑥 + 𝜕𝑤

𝜕𝑥 (4)

Hubungan antara tegangan dan regangan yang menimbulkan pergeseran

sederhana disebut Modulus Rigiditas dinyatakan dalam persamaan (5).

Hubungan antara konstanta elastik pada medium homogen isotropik saling

terkait membentuk persamaan (6).

𝜇 = 𝑡𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟

𝑟𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟 = σxy

Ԑxy (5)

σ = 𝜆

2(𝜆 + μ) (6)

dengan λ disebut konstanta Lame, dan 𝜇 menyatakan hambatan regangan geser.

Persamaan rambat gelombang P dan S dapat diturunkan dari Hukum Hooke

yang menyatakan hubungan tegangan (gaya per satuan luas) dan regangan

(perubahan dimensi) sebagai:

σii = λ𝜃 + 2𝜇 Ԑii ;i = x, y, z (7)

σij = 𝜇Ԑij ;j = x, y, z dan i ≠ j (8)

25

Dalam hukum II Newton, gaya (F) adalah perkalian antara massa (m) dan

percepatannya (a). Misal terdapat pergeseran (μ) sebagai akibat dari tekanan

sepanjang sumbu-x, maka hukum Newton dapat dinyatakan dalam persamaan

(9).

ρ 𝜕2 u

𝜕𝑡2 = (λ + 𝜇)

𝜕θ

𝜕𝑥 + 𝜇∇2u (9)

F = mɑ = 𝜌dxdydzɑ = 𝜌dxdydz 𝜕2 u

𝜕𝑡2 (10)

dengan ρ adalah massa jenis bahan. Persamaan (11) merupakan tekanan

sepanjang sumbu-y dengan pergeseran v dan persamaan (12) merupakan

tekanan dalam arah sumbu-z dengan pergeseran w.

ρ 𝜕2 v

𝜕𝑡2 = (λ+ 𝜇)

𝜕θ

𝜕𝑦+ 𝜇∇2v (11)

ρ 𝜕2 w

𝜕𝑡2 = (λ+ 𝜇)

𝜕θ

𝜕𝑧+ 𝜇∇2w (12)

Gelombang yang merambat pada suatu media ke segala arah, secara tiga

dimensi arah perambatan gelombang dinyatakan dengan sumbu x, y, dan z.

Untuk menentukan persamaan gelombang ini, persamaan (9), (11), dan (12)

masing-masing dideferensialkan terhadap x, y, dan z, sehingga diperoleh

persamaan (14), (16), dan (18):

𝜕

𝜕𝑥 (ρ

𝜕2 μ

𝜕𝑡2) =

𝜕

𝜕𝑥 {(λ+ 𝜇)

𝜕θ

𝜕𝑥 + 𝜇∇2u} (13)

ρ 𝜕2

𝜕𝑡2 (𝜕𝑢

𝜕𝑥) = (λ + 𝜇)

𝜕

𝜕𝑥(𝜕θ

𝜕𝑥) + 𝜇∇2(

𝜕𝑢

𝜕𝑥) (14)

𝜕

𝜕𝑦 (ρ

𝜕2 v

𝜕𝑡2) =

𝜕

𝜕𝑦 {( λ+ 𝜇)

𝜕θ

𝜕𝑥 + 𝜇∇2v} (15)

ρ 𝜕2

𝜕𝑡2 (𝜕𝑣

𝜕𝑦) = (λ + 𝜇)

𝜕

𝜕𝑦(𝜕θ

𝜕𝑦) + 𝜇∇2(

𝜕𝑢

𝜕𝑦) (16)

26

𝜕

𝜕𝑧 (ρ

𝜕2 w

𝜕𝑡2)=

𝜕

𝜕𝑧 {( λ + 𝜇 )

𝜕θ

𝜕𝑥 + 𝜇∇2w} (17)

ρ 𝜕2

𝜕𝑡2 (𝜕𝑤

𝜕𝑧) = (λ + 𝜇)

𝜕

𝜕𝑧(𝜕θ

𝜕𝑧) + 𝜇∇2(

𝜕𝑤

𝜕𝑧) (18)

Dengan menjumlahkan persamaan (14), (16), dan (18), maka:

ρ 𝜕2

𝜕𝑡2 (𝜕𝑢

𝜕𝑥 +

𝜕𝑣

𝜕𝑦 +𝜕𝑤

𝜕𝑧) = (λ + 𝜇) (

𝜕2 θ

𝜕𝑥2 +

𝜕2 θ

𝜕𝑦2 + 𝜕2 θ

𝜕𝑧2)+ 𝜇∇2(

𝜕𝑢

𝜕𝑥 +

𝜕𝑣

𝜕𝑦 +

𝜕𝑤

𝜕𝑧)(19)

𝜕2 θ

𝜕𝑡2 =

(λ+ 2μ)

ρ ∇2𝜃 (20)

persamaan (20) merupakan persamaan gelombang P dengan kecepatan rambat

ɑ yang ditunjukkan pada persamaan (21):

ɑ = √( λ + 2μ )

𝜌 (21)

Untuk mendapatkan persamaan gelombang S pada sumbu x, persamaan (11)

diturunkan terhadap z, sehingga menghasilkan persamaan (22):

ρ 𝜕2

𝜕𝑡2 ( 𝜕𝑣

𝜕𝑧 ) = (λ + 𝜇)

𝜕2 θ

𝜕𝑦𝜕𝑧 + 𝜇∇2(

𝜕𝑣

𝜕𝑧) (22)

dan persamaan (12) diturunkan terhadap y,

ρ 𝜕2

𝜕𝑡2 ( 𝜕𝑤

𝜕𝑦 ) = (λ + 𝜇)

𝜕2 θ

𝜕𝑧𝜕𝑦 + 𝜇∇2 (

𝜕𝑤

𝜕𝑦) (23)

dengan mengurangkan persamaan (22) dan persamaan (23) maka:

𝜕2 (

𝜕𝑤

𝜕𝑦 −

𝜕𝑣

𝜕𝑧)

𝜕𝑡2 = 𝜇

𝜌∇2 (

𝜕𝑤

𝜕𝑦−𝜕𝑣

𝜕𝑧)

𝜕2 𝜃𝑥

𝜕𝑡2 = 𝜇

𝜌∇2𝜃𝑥 (24)

Persamaan (24) merupakan persamaan gelombang S dengan kecepatan rambat

𝛽 (Telford, 1992) yang ditunjukkan pada persamaan (25):

𝛽 = √𝜇

𝜌 (25)

27

Gelombang seismik dibagi menjadi dua yaitu gelombang badan (body wave)

dan gelombang permukaan (surface wave).

1. Gelombang Badan (Body Wave)

Gelombang badan menjalar melalui interior bumi dan efek kerusakannya

cukup kecil. Gelombang badan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Gelombang P atau Gelombang Longitudinal

Gelombang primer (P-wave) adalah gelombang badan atau

gelombang yang menjalar di dalam badan bumi yang mempunyai

kecepatan yang paling tinggi. Gelombang ini kadang-kadang dinamai

sebagai longitudinal wave (gelombang longitudinal). Gelombang ini

mempunyai tiga sifat pokok yaitu:

- Gerakan partikel searah dengan rambatan gelombang, sehingga

elemen batuan kadang-kadang mampat (compression) dan meregang

(dilatation).

- Gelombang primer dapat merambat pada media solid, cair (air,

magma) dan gas/udara.

- Gelombang primer mempunyai kecepatan tertinggi dibanding

dengan gelombang-gelombang seismik yang lain.

Bolt (1975) mengatakan bahwa gelombang primer (P-wave) merambat

dari fokus ke segala arah sampai di permukaan tanah dan bahkan dapat

merambat ke udara dalam bentuk suara yang dapat didengar oleh

binatang (Pawirodikromo, 2012). Kecepatan penjalaran gelombang P

dapat dikemukakan dengan persamaan:

VP = √(𝜆+2𝜇)

𝜌 (26)

28

dengan VP adalah kecepatan gelombang P (m/s), λ adalah konstanta Lame

(N/m2), 𝜇 adalah modulus geser (N/m2), ρ adalah densitas material yang

dilalui gelombang (kg/m3). Ilustrasi pergerakan gelombang P

ditunjukkan pada Gambar 7 (a).

b. Gelombang S atau Gelombang Transversal

Gelombang badan yang lebih lambat adalah gelombang geser atau S-

wave. Gelombang ini kadang-kadang juga disebut sebagai transverse

wave. Hal ini terjadi karena arah gerakan partikel (particle motions) akan

tegak lurus terhadap arah rambatan gelombang (wave propagation).

Gelombang ini seperti tampat pada Gambar 7 (b) mempunyai bentuk

sebagaimana gelombang air. Apabila diperhatikan, salah satu unit luasan

kecil dalam gambar tersebut akan berganti-ganti pada posisi miring

kekiri, normal kemudian miring ke kanan. Dengan kata lain setiap unit

luasan tersebut akan mengalami tegangan-geser. Dengan demikian

gelombang sekunder ini mempunyai efek geser. Sifat-sifat selengkapnya

gelombang sekunder (S-wave) adalah:

- Mempunyai/memimbulkan efek geser.

- Gerakan partikel tegak lurus terhadap rambatan gelombang.

- Gelombang geser tidak dapat merambat pada zat cair.

Dengan memperhatikan sifat-sifat tersebut diatas, maka gelombang

geser ini tidak dapat merambat dari dasar hingga muka air laut.

Gelombang geser selanjutnya akan mengakibatkan bangunan menjadi

bergetar dan bergoyang. Kecepatan gelombang geser akan bervariasi,

29

yang merupakan fungsi dari densitas material (ρ) dan modulus geser (𝜇)

seperti pada persamaan berikut:

VS = √𝜇

𝜌 (27)

dengan VS adalah kecepatan gelombang S (m/s), 𝜇 (N/m2), ρ (kg/m3).

Gelombang sekunder (S-wave) sebenarnya masih terbagi menjadi dua

jenis yaitu S-V wave dan S-H wave. S-V wave adalah gelombang sekunder

yang arah rambatannya vertikal (dengan gerakan partikel arah horizontal)

dan S-H wave adalah gelombang sekunder yang arah rambatannya

horizontal, dengan gerakan partikel juga berarah horizontal

(Pawirodikromo, 2012).

Gambar 7. Deformasi akibat gelombang badan: (a) Gelombang primer

(P-wave); (b) Gelombang sekunder (S-wave) (Bolt, 1993 dalam Kramer

1996).

30

2. Gelombang Permukaan (Surface Wave)

Gelombang permukaan bisa diandaikan seperti gelombang air yang

menjalar di atas permukaan bumi. Gelombang permukaan memiliki waktu

penjalaran yang lebih lambat daripada gelombang badan. Karena

frekuensinya yang rendah, gelombang permukaan lebih berpotensi

menimbulkan kerusakan pada bangunan daripada gelombang badan.

Amplitudo gelombang permukaan akan mengecil dengan cepat terhadap

kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh adanya dispersi pada gelombang

permukaan, yaitu penguraian gelombang berdasarkan panjang

gelombangnya sepanjang perambatan gelombang. Ada dua tipe gelombang

permukaan yaitu:

a. Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh diperkenalkan oleh Lord Rayleigh pada tahun

1885. Gelombang Rayleigh merambat pada permukaan bebas medium

berlapis maupun homogen. Gerakan dari gelombang Rayleigh adalah

eliptic retrograde atau ground roll yaitu tanah memutar ke belakang

tetapi secara umum gelombang memutar ke depan. Pada saat terjadi

gempa bumi besar, Gelombang Rayleigh terlihat pada permukaan tanah

yang bergerak ke atas dan ke bawah. Waktu perambatan gelombang

Rayleigh lebih lambat daripada gelombang Love.

Terbentuknya gelombang Rayleigh adalah karena adanya interaksi

antara bidang gelombang SV dan P pada permukaan bebas yang

kemudian merambat secara paralel terhadap permukaan. Gerakan

partikel Gelombang Rayleigh adalah vertikal, sehingga gelombang

31

Rayleigh hanya ditemukan pada komponen vertikal seismogram.

Gelombang Rayleigh adalah gelombang permukaan, maka sumber yang

lebih dekat ke permukaan akan menimbulkan gelombang Rayleigh yang

lebih kuat dibandingkan sumber yang terletak di dalam bumi. Gelombang

Rayleigh adalah gelombang yang dispersif dengan periode yang lebih

panjang akan lebih cepat mencapai material yang lebih dalam

dibandingkan dengan gelombang yang memiliki periode pendek. Hal ini

menjadikan Gelombang Rayleigh sebagai alat yang sesuai untuk

menentukan struktur bawah tanah di suatu area. Ilustrasi pergerakan

Gelombang Rayleigh ditunjukkan pada Gambar 8 (a).

b. Gelombang Love

Gelombang ini adalah termasuk gelombang yang bergerak di

permukaan tanah. Gelombang ini dinamakan Love Wave karena

gelombang ini ditemukan oleh ahli matematika kebangsaan Inggris

A.E.H Love melalui pemodelan matematik pada tahun 1911. Gelombang

ini adalah gelombang tercepat untuk jenis gelombang permukaan (lebih

cepat dari Rayleigh Wave). Efek gelombang ini semakin kecil pada titik

yang semakin dalam dari permukaan tanah. Gelombang ini seperti

tampak pada Gambar 8 (b) mempunyai efek geser ke arah horizontal

tegak lurus pada rambatan gelombang di permukaan tanah, dan tidak ada

gerakan yang sifatnya vertikal. Gelombang ini akan menyebabkan

bangunan seperti digoyang/digoncang secara mendatar pada dasarnya

sehingga gelombang ini sangat potensial membuat kerusakan. Efek

gelombang ini mencapai maksimum pada permukaan tanah dan semakin

32

dalam dari permukaan efeknya akan semakin kecil. Sebagaimana sifat

gelombang geser, gelombang ini juga tidak dapat menjalar/merambat

pada zat cair (Pawirodikromo, 2012). Ilustrasi pergerakan gelombang

Love ditunjukkan pada Gambar 8 (b).

Gambar 8. Deformasi akibat gelombang permukaan: (a) Gelombang

Rayleigh; (b) Gelombang Love (Bolt, 1993 dalam Kramer, 1996).

B. Mikrotremor

Kerusakan-kerusakan akibat gempa di masa kini berhubungan langsung

dengan kondisi geologi lokal yang dapat mempengaruhi aktivitas gerakan

tanah. Pendekatan terbaik untuk memahami kondisi tanah yaitu melalui

pengamatan langsung terhadap seismic ground motion, namun banyak

penelitian-penelitian tersebut terbatas hanya untuk daerah dengan tingkat

seismisitas yang relatif tinggi. Karena keterbatasan-keterbatasan ini, seperti

hanya dapat diaplikasikan pada daerah dengan tingkat seismisitas yang tinggi

33

serta mempertimbangkan ketersediaan referensi tentang kondisi situs yang

memadai, metode yang tidak bergantung pada referensi tentang kondisi situs

pun diterapkan untuk penelitian mengenai respon situs. Mikrotremor adalah

metode yang sangat mudah untuk memperkirakan seberapa besar efek dari

geologi di permukaan terhadap gerakan akibat gelombang seismik tanpa

memerlukan informasi geologi lainnya (Nakamura, 2008).

Mikroseismik dan Mikrotremor adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan getaran tanah yang disebabkan oleh alam atau gangguan

akibat lingkungan seperti angin, gelombang laut, lalu lintas, mesin industri, dan

sebagainya. Dalam prakteknya, digunakan seismometer dengan sensitivitas

yang tinggi untuk merekamnya. Semenjak penelitian awal yang dilakukan oleh

Kanai (1983) seperti dikutip Atakan dkk (2004), telah berulang kali ditemukan

bahwa kenampakan spektrum pada mikrotremor menunjukkan beberapa

hubungan dengan kondisi geologi di suatu situs.

Dalam beberapa tahun terakhir telah ada beberapa penelitian yang khusus

meneliti mengenai asal usul noise dan sifat noise secara mendalam serta

komposisi dari gelombang noise. Pengamatan noise jangka panjang di situs

yang tetap baru-baru ini dilakukan di beberapa kota yang dekat dengan pesisir

pantai di Jepang, (di Teluk Tokyo, Kamura (1997); di daerah Kobe, Seo dkk.

(1996), Seo (1997); di daerah Fukui, Seo (1998) dalam Bard (1999)), yang

memungkinkan untuk menyelidiki kestabilan dari sumber dan karakteristik

dari mikrotremor periode panjang dan periode pendek. Kesimpulan dari

pengamatan di beberapa situs ini sesuai dan dapat diringkas sebagai berikut:

34

1. Pada periode panjang (dibawah 0,3 hingga 0,5 Hz), mikrotremor

disebabkan oleh gelombang laut dengan jarak yang jauh (misalnya di

Samudera Pasifik, timur laut Semenanjung Boso ke daerah Teluk Tokyo).

Oleh karena itu amplitudo spektral yang sesuai umumnya stabil selama

beberapa jam, dan memiliki korelasi yang baik dengan kondisi

meteorologi skala besar di lautan.

2. Pada periode menengah (antara 0,3-0,5 Hz dan 1 Hz, perkiraan kasar),

disebabkan oleh gelombang laut di dekat pesisir pantai (misalnya di Teluk

Tokyo, atau di Teluk Osaka), dan dapat juga disebabkan oleh angin;

stabilitasnya pun signifikan lebih kecil.

3. Diatas 1 Hz, terkait dengan aktivitas manusia, dan menggambarkan

kegiatan manusia.

Perbedaan antara periode panjang (T > 1 s) dan periode pendek (T < 1 s) noise

sesuai terhadap perbedaan tradisional antara “mikroseismik” dengan

sumbernya yang alami, dan “mikrotremor” dengan sumbernya yang buatan

(Bard, 1999).

C. Transformasi Fourier

Transformasi Fourier merupakan metode untuk analisis spektral dengan

tujuan agar sinyal yang diperoleh dalam domain waktu diubah menjadi domain

frekuensi. Hal ini dilakukan karena perhitungan lebih mudah dalam domain

frekuensi dibandingkan dengan domain waktu. Selain itu, fenomena geofisika

berkaitan erat dengan frekuensi, sehingga frekuensi menjadi parameter penting

35

dalam menjelaskan fenomena-fenomena tersebut. Transformasi Fourier adalah

dari sebuah fungsi f(t) didefinisikan sebagai berikut:

𝐹 𝜔 = ∫ f(t)∞

−∞𝑒−𝑖𝜔𝑡 𝑑𝑡 (28)

dimana ω = 2𝜋𝑓 (variabel frekuensi sudut dengan satuan radian per detik).

Invers dari transformasi Fourier dinyatakan sebagai:

𝑓(𝑡) = ∫ F(ω)∞−∞ 𝑒−𝑖𝜔𝑡 𝑑𝜔 (29)

Kedua fungsi tersebut, f(t) dan F(ω), merupakan pasangan transformasi Fourier

yang dinyatakan dengan:

𝑓(𝑡) ⟺ 𝐹(𝜔) (30)

Secara umum spektral merupakan fungsi komplek, dapat dinyatakan dalam dua

bentuk berikut:

Penjumlahan bagian riil dan imajiner

𝑒−𝑖𝜔𝑡 = cos 𝜔𝑡 + 𝑖 sin 𝜔𝑡 (31)

dimana 𝜔 = 2𝜋𝑓, maka

ei2πft = cos2𝜋𝑓𝑡 + i sin2𝜋𝑓𝑡 (32)

Sehingga,

𝐹(𝜔) = ∫ F(t)∞

−∞𝑒−𝑖𝜔𝑡 𝑑𝑡 (33)

𝐹(𝜔) = ∫ F(t)∞

−∞ cos(2𝜋𝑓𝑡) dt – i ∫ F(t)

−∞ sin(2𝜋𝑓𝑡) dt (34)

𝜔 pada komplek spektrum atau kompleks densitas dari F(𝑡)adalah:

𝐹(𝜔) = 𝑅𝑒[ 𝐹(𝜔)] + 𝑖 𝐼𝑚 [𝐹(𝜔)] (35)

atau

36

𝐹(𝜔) = 𝐴(𝜔)eiϕ(ω) (36)

dimana:

𝐴(𝜔) = |𝐹(𝜔)| = √Re[F(ω)]2 + Im[ F(ω)]2 (37)

𝜙 (𝜔) = 𝑡𝑎𝑛−1 Im[F(ω)]

Re[F(ω)] (38)

Kemudian dilakukan transformasi phi-omega untuk memperoleh kecepatan

sebagai fungsi dari frekuensi.

𝐹(∅,𝜔) = ∫ e−1ϕx∞

−∞ F(ω)

|F(ω)| 𝑑𝑥 (39)

dengan 𝐹(𝜔) adalah spektral, 𝑅𝑒(𝜔) adalah variabel riil, 𝐼𝑚(𝜔) adalah

variabel imajiner, 𝐴(𝜔) adalah spektrum amplitudo, ∅(𝜔) adalah spektrum

fase, 𝜔 adalah frekuensi sudut (rad/s), f adalah frekuensi (Hz).

Maka akan menghasilkan spektrum kurva dispersi yang menunjukkan

berbagai frekuensi dengan kecepatan fasa yang berbeda (Nasution, 2016).

D. Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR)

Teknik H/V (HVSR) atau disebut juga QTS (Quasi-Transfer Spectra) telah

mendapat perhatian besar dari seluruh dunia dengan kesederhanaan metodenya

dan cepat dalam menyediakan informasi mengenai karakteristik dinamik tanah

dan bangunan. Metode ini menarik karena memberikan kemudahan dalam

pengumpulan data dan metode ini dapat diaplikasikan pada daerah dengan

tingkat seismistas yang rendah bahkan tanpa tingkat seismisitas sekalipun.

Teknik H/V dikembangkan oleh penulis (Nakamura) dengan menghubungkan

37

penyelidikan lubang bor terhadap analisa dari catatan-catatan gerakan tanah

yang kuat, di berbagai kondisi geologi. Teknik ini sangat efektif untuk

mengidentifikasi frekuensi resonansi dasar pada lapisan sedimen, dengan

menyertakan faktor amplifikasi yang lebih realistis dibandingkan yang didapat

dari rasio sedimen terhadap batuan keras. Telah ditunjukkan oleh banyak

peneliti (seperti Ohmachi et. Al., 1991; Lermo et. Al., 1992; Field and Jacob,

1993, 1995 dalam Nakamura, 2008) bahwa rasio H/V yang didapat dari noise

dapat digunakan untuk mengidentifikasi frekuensi resonansi dasar dan faktor

amplifikasi di lapisan sedimen.

Meninjau contoh dalam penelitian Nogoshi dan Igarashi (1971) seperti

dikutip Nakamura (2008) yang membandingkan H/V dari gelombang Rayleigh

dengan mikrotremor, diperoleh kesimpulan bahwa mikrotremor sebagian besar

terdiri dari gelombang Rayleigh, beberapa kajian teoritis (Lachet dan Bard,

1994; Konno dan Ohmachi, 1998; Bard, 1998 dalam Nakamura, 2008)

berpendapat bahwa puncak dari H/V dapat dijelaskan dengan cara mendasar

melalui gelombang Rayleigh. Jika kita pikir bahwa pendekatan ini benar,

seharusnya mikrotremor dianggap terdiri dari gelombang Rayleigh saja. Di lain

pihak, jika kita memeriksa contoh dari Nogoshi dan Igarashi (1971) seperti

dikutip Nakamura (2008) dengan teliti, kita dapat melihat dengan jelas bahwa

pada frekuensi puncak di H/V dari gelombang Rayleigh, energi dari gelombang

Rayleigh sangatlah kecil bahkan mendekati nol. Gelombang Rayleigh

memiliki energi maksimum di dekat frekuensi palung dari H/V. Oleh karena

itu, puncak dari H/V pada mikrotremor tidak dapat digambarkan oleh energi

dari gelombang Rayleigh. Seperti yang telah dijelaskan oleh Nakamura (1989)

38

seperti dikutip Nakamura (2008), H/V dari mikrotremor pada rentang frekuensi

puncak dapat dijelaskan dengan peristiwa gelombang SH vertikal.

Gambar 9 menunjukkan jenis struktur geologi dari cekungan sedimen.

Pengertian dari gerakan tanah dan spektranya pada tempat yang berbeda-beda

akan di dijelaskan seperti dibawah ini. Mikrotremor terbagi menjadi dua

bagian, yaitu yang terdiri dari gelombang Rayleigh dan yang terdiri dari

berbagai gelombang lainnya.

Gambar 9. Jenis struktur geologi dari cekungan sedimen.

Lalu, spektrum horizontal dan vertikal di permukaan tanah dari cekungan

sedimen (Hf, Vf) dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝐻𝑓 = 𝐴ℎ ∗ 𝐻𝑏 + 𝐻𝑠 𝑉𝑓 = 𝐴𝑣 ∗ 𝑉𝑏 + 𝑉𝑠 (40)

𝑇ℎ = 𝐻𝑓

𝐻𝑏 𝑇𝑣 =

𝑉𝑓

𝑉𝑏 (41)

Dimana Ah dan Av merupakan faktor amplifikasi dari gerak horizontal dan

vertikal yang berasal dari gelombang badan vertikal. Hb dan Vb adalah

spektrum dari gerak horizontal dan vertikal di batuan basement dibawah

cekungan (singkapan cekungan). Hs dan Vs adalah spektrum dari arah

39

horizontal dan vertikal gelombang Rayleigh. Th dan Tv adalah faktor

amplifikasi dari gerak horizontal dan vertikal di permukaan tanah sedimen

berdasarkan gerakan seismik di tanah keras yang muncul di dekat cekungan.

Secara umum, kecepatan gelombang P lebih besar tiga sampai empat kali dari

kecepatan gelombang S. Di lapisan sedimen tersebut, komponen vertikal tidak

teramplifikasi (Av = 1), di sekitar rentang frekuensi dimana komponen

horizontal menerima amplifikasi yang besar. Jika tidak ada efek dari

gelombang Rayleigh, Vf≈Vb. Di sisi lain, jika Vf lebih besar daripada Vb,

maka dapat dianggap sebagai efek dari gelombang permukaan. Kemudian

mengestimasi efek dari gelombang Rayleigh dengan Vf/Vb(=Tv), amplifikasi

horizontal dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑇ℎ∗ = 𝑇ℎ

𝑇𝑣=

𝐻𝑓

𝑉𝑓

𝐻𝑏

𝑉𝑏

=𝑄𝑇𝑆𝐻𝑏

𝑉𝑏

=[𝐴ℎ+

𝐻𝑠

𝐻𝑏]

[𝐴𝑣+𝑉𝑠

𝑉𝑏] (42)

dimana,

𝑄𝑇𝑆 =𝐻𝑓

𝑉𝑓=𝐴ℎ∗𝐻𝑏+𝐻𝑠

𝐴𝑣∗𝑉𝑏+𝑉𝑠=𝐻𝑏

𝑉𝑏∗[𝐴ℎ+

𝐻𝑠

𝐻𝑏]

[𝐴𝑣+𝑉𝑠

𝑉𝑏] (43)

Pada persamaan (43), Hb/Vb ≈ 1. Hs/Hb dan Vs/Vb berhubungan dengan

perambatan energi gelombang Rayleigh. Jika tidak terpengaruh oleh

gelombang Rayleigh, QTS = Ah/Av. Jika jumlah gelombang Rayleigh tinggi,

maka ketentuan kedua pada rumus diatas menjadi dominan dan QTS = Hs/Vs

dan frekuensi dengan puncak paling rendah dari Hs/Vs mendekati sama

terhadap frekuensi terendah yang sebenarnya f0 dari Ah. Dalam range f0, Av =

1. QTS menampilkan puncak tertinggi pada frekuensi f0. Bahkan saat pengaruh

dari gelombang Rayleigh sangat besar, Vs menjadi kecil (yang menghasilkan

40

puncak Hs/Vs), di sekitar urutan pertama frekuensi sebenarnya karena pantulan

dari beberapa gerakan horizontal. Dan QTS = Ah, jika mikrotremor di

basement Vb relatif besar dibanding gelombang Rayleigh. Secara singkat, QTS

menggambarkan urutan pertama frekuensi sebenarnya karena refleksi yang

berulang kali dari gelombang SH pada lapisan permukaan tanah dan

menghasilkan faktor amplifikasi, tanpa menghiraukan tingkat pengaruh dari

gelombang Rayleigh (Nakamura, 2000).

E. Frekuensi Dominan

Frekuensi dominan merepresentasikan banyaknya gelombang yang terjadi

dalam satuan waktu. Frekuensi dominan dipengaruhi oleh besarnya kecepatan

rata-rata dan ketebalan sedimen bawah permukaan.

𝑓 =𝑉𝑠

4ℎ (44)

dengan f adalah frekuensi dominan (f0) (Hz), Vs adalah kecepatan gelombang

shear (v/s), dan h adalah ketebalan sedimen (m).

Berdasarkan persamaan (44), frekuensi dominan berbanding terbalik

dengan ketebalan sedimen (ketebalan bedrock) dan berbanding lurus dengan

kecepatan rata-rata. Selanjutnya, dengan menghubungkan kerusakan bangunan

akibat getaran gempabumi dengan kedua parameter tersebut, dapat diketahui

bahwa daerah yang rawan kerusakan bangunan akibat getaran gempa terjadi

pada dearah dengan geologi lapisan sedimen tebal dan atau lapisan permukaan

berupa soft sedimen, contohnya: pasir, pasir lanauan, gambut. Hal ini sesuai

41

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daryono dkk. (2009) seperti

dikutip Sungkono dan Santosa (2011) yang menunjukkan bahwa, bangunan

yang dibangun di dearah sedimentasi yang berasal dari lahar merapi dan

sungai, tingkat kerusakannya lebih besar dari pada bangunan yang dibangun

diperbukitan (Sungkono dan Santosa, 2011).

Menurut Tuladhar, untuk keperluan mitigasi bencana alam gempabumi,

nilai f0 suatu tempat memberi informasi untuk perencanaan bangunan tahan

gempabumi (Tuladhar dkk., 2004 dalam Ngadmanto dkk., 2013). Struktur

bangunan yang memiliki nilai f0 sama dengan nilai f0 tanah akan mengalami

resonansi jika terjadi gempabumi. Efek resonansi akan memperkuat getaran

gempabumi sehingga menyebabkan bangunan roboh saat terjadi getaran

gempabumi kuat. Selain bahaya resonansi getaran gempabumi, karekteristik

dinamik tanah dengan f0 sangat rendah sangat rentan terhadap bahaya vibrasi

periode panjang yang dapat mengancam gedung-gedung bertingkat tinggi

(Tuladhar, 2002 dalam Ngadmanto dkk., 2013).

Tabel 3. Klasifikasi tanah oleh Kanai berdasarkan nilai frekuensi dominan

mikrotremor (dimodifikasi dari Kanai, 1983).

1981 (Revised) 1950

Kondisi Tanah Klasifikasi

Frekuensi

Dominan (Hz) Klasifikasi

Jenis 1 > 5 Jenis 1

Batuan tersier atau lebih tua.

Terdiri dari batuan hard

sandy, gravel.

Jenis 2 1,33 – 5 Jenis 2

Sebagian besar lapisan

diluvium atau lapisan

aluvium dengan

perbandingan ketebalan

lapisan gravel pada area yang

luas. Terdiri dari gravel,

sandy hard clay dan loam.

42

Jenis 3

Sebagian besar sangat

didominasi oleh lapisan

aluvium. Terdiri dari sand,

sandy clay dan clay.

Jenis 3 < 1,33 Jenis 4

Tanah yang sangat lunak

yang terbentuk pada rawa dan

lumpur. Terutama lapisan

aluvium.

F. Amplifikasi

Amplifikasi merupakan perbesaran gelombang seismik yang terjadi akibat

adanya perbedaan yang signifikan antar lapisan, dengan kata lain gelombang

seismik akan mengalami perbesaran, jika merambat pada suatu medium ke

medium lain yang lebih lunak dibandingkan dengan medium awal yang

dilaluinya. Semakin besar perbedaan itu, maka perbesaran yang dialami

gelombang tersebut akan semakin besar (Arifin dkk., 2014). Faktor amplifikasi

memberikan gambaran tentang perubahan (pembesaran) percepatan gerakan

tanah dari batuan dasar ke permukaan. Pembesaran percepatan tanah dari

batuan dasar ke permukaan disebabkan karena perbedaan kecepatan gerakan

gelombang geser (Vs) di batuan dasar dan pada lapisan tanah (sedimen)

(Partono dkk., 2013). Ilustrasi amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 10.

Gempa di Meksiko City tahun 1985 adalah bukti ekstrim efek amplikasi

tanah lunak tebal, dimana nilai. PGA yang terukur pada tanah keras pada saat

gempa Michoacan itu yakni kurang dari 0,04 g telah diperkuat sekitar lima kali

pada tanah lunak yang ada di Mexico City (Finn dan Wightman, 2003 dalam

Setiawan dkk., 2012). Ditambah lagi, gempa itu menyebabkan kerusakan parah

pada struktur yang berlokasi di atas 30 m endapan dasar danau tua (old

43

lakebed). Ketiga komponen catatan pada accelogram yang ada di atas batuan

dasar dan di atas endapan danau tua itu ditunjukkan pada Gambar 11 dan 12.

Rekaman accelerogram itu menunjukkan bahwa percepatan gempa arah utara-

selatan (NS) dan timur-barat (EW) yang ada pada tanah di lokasi endapan

danau tua sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rekaman pada

accelerogram di lokasi batuan/tanah dasar.

Gambar 10. Ilustrasi amplifikasi (dimodikasi dari Pawirodikromo, 2012).

Gambar 11. Rekaman percepatan

gempa di tanah padat/batuan (Booth

dkk., 1986 dalam Setiawan dkk., 2012).

Gambar 12. Rekaman percepatan

gempa di tanah lunak endapan

lakebed (Booth dkk., 1986 dalam

Setiawan dkk., 2012).

Amplifikasi berbanding lurus dengan nilai perbandingan spektral horizontal

dan vertikalnya (H/V). Nilai amplifikasi bisa bertambah, jika batuan telah

44

mengalami deformasi (pelapukan, pelipatan atau pesesaran) yang mengubah

sifat fisik batuan. Pada batuan yang sama, nilai amplifikasi dapat bervariasi

sesuai dengan tingkat deformasi dan pelapukan pada tubuh batuan tersebut

(Marjiyono, 2010 dalam Arifin dkk., 2014).

Maka amplifikasi dapat dituliskan pada persamaan (45) sebagai suatu fungsi

perbandingan nilai kontras impedansi:

Ao = {(ρb.vb)/(ρs.vs)} (45)

dengan ρb adalah densitas batuan dasar (gr/ml), vb adalah kecepatan rambat

gelombang di batuan dasar (m/s), vs adalah kecepatan rambat gelombang di

batuan lunak (m/s), dan ρs adalah rapat massa dari batuan lunak (gr/ml).

Persamaan amplifikasi diatas dapat dihubungkan dengan persamaan

gelombang Vs sebagai berikut:

𝐴𝑜 = (𝜌𝑏. 𝑣𝑏

𝜌𝑠. 𝑣𝑠)

𝐴𝑜 =

(

𝜌𝑏 (√

𝜇𝑏𝜌𝑏)

𝜌𝑠 (√𝜇𝑠𝜌𝑠))

𝐴𝑜2 =

(

𝜌𝑏2 (√

𝜇𝑏𝜌𝑏)

2

𝜌𝑠2 (√𝜇𝑠𝜌𝑠)2

)

𝐴𝑜2 = (𝜌𝑏2 (

𝜇𝑏𝜌𝑏)

𝜌𝑠2 (𝜇𝑠𝜌𝑠))

𝐴𝑜2 = (𝜌𝑏 (𝜇𝑏)

𝜌𝑠 (𝜇𝑠))

𝐴𝑜 = √𝜌𝑏

𝜌𝑠.𝜇𝑏

𝜇𝑠 (46)

45

Persamaan tersebut membuktikan bahwa Amplifikasi juga dipengaruhi oleh

koefisien geser batuan dasar (𝜇𝑏) dan koefisien geser batuan sedimen (𝜇𝑠).

Fujimoto dan Midorikawa (2006) dalam Morikawa dkk (2008)

menyarankan hubungan antara VS30 dan faktor amplifikasi (ampv) dengan

persamaan sebagai berikut:

log (ampv) = 2,367 – 0,852・log (VS30).............................................. qq(47)

dengan VS30 adalah kecepatan gelombang sekunder pada 30m (m/s) dan ampv

adalah faktor amplifikasi.

G. VS30

VS30 merupakan kecepatan gelombang geser hingga kedalaman 30 m dari

permukaan. Menurut Roser dan Gosar (2010) dalam Nurrahmi dkk. (2015)

nilai VS30 ini dapat dipergunakan dalam penentuan standar bangunan tahan

gempa. Nilai VS30 digunakan untuk menentukan klasifikasi batuan

berdasarkan kekuatan getaran gempabumi akibat efek lokal serta digunakan

untuk keperluan dalam perancangan bangunan tahan gempa. VS30 merupakan

data yang penting dan paling banyak digunakan dalam geofisika untuk

menentukan karakteristik struktur bawah permukaan hingga kedalaman 30

meter. Menurut Wangsadinata (2006) dalam Nurrahmi dkk. (2015) hanya

lapisan-lapisan batuan sampai kedalaman 30 m saja yang menentukan

pembesaran gelombang gempa.

Zhao dan Xu (2012) merumuskan hubungan antara periode dominan dengan

VS30 yakni (Zhao dan Xu, 2012):

46

TVS30 = 120m/VS30 (48)

dengan TVS30 adalah periode (s) dan VS30 adalah kecepatan gelombang

sekunder pada 30m (m/s).

Pada tahun 2000, National Earthquake Hazards Reduction Program

(NEHRP) mempublikasikan Tabel Penentuan Site Class berdasar pada

kecepatan gelombang geser di kedalaman 100 kaki (±30 meter) atau disebut

dengan VS30. Penentuan Site Class ini selanjutnya dikenal dengan NEHRP Site

Class. Berikut adalah tabel NEHRP Site Class:

Tabel 4. Klasifikasi Site Class berdasarkan VS30 (dimodifikasi dari NEHRP,

2000).

Site

Class Nama Profil Tanah

Vs30 (Kecepatan Gelombang Shear di

Tanah dengan Kedalaman 30 Meter)

Kaki/Detik (ft/s) Meter/Detik (m/s)

A Batuan Keras Vs > 5000 Vs > 1524

B Batuan 2500 < Vs ≤5000 762 < Vs ≤ 1524

C Tanah sangat padat

dan batuan lunak 1200 < Vs ≤ 2500 366 < Vs ≤ 762

D Tanah kaku 600 < Vs ≤ 1200 183 < Vs ≤ 366

E Tanah lunak Vs < 600 Vs < 183

H. Pengaruh Efek Lokal Terhadap Gempa Bumi

Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Nakamura, 2000; Herak dkk.,

2009; Daryono dkk., 2009; Hasancebi dan Ulusay, 2006 dalam Sungkono dan

Santosa, 2011), bahwa kerusakan bangunan akibat gempa dipengaruhi oleh

efek lokal, yakni geologi setempat. Efek lokal yang dapat menyebabkan

47

kerusakan akibat gempabumi berkorelasi dengan parameter HVSR

mikrotremor, yang dicirikan oleh frekuensi natural rendah (periode tinggi) dan

amplifikasi tinggi.

Tingkat kerusakan akibat gempabumi umumnya dipengaruhi oleh

magnitudo dan jarak pusat gempabumi. Namun pada beberapa kasus

gempabumi yang telah terjadi, ternyata tingkat kerusakan akibat gempabumi

tidak regular seperti yang diperkirakan. Pada beberapa kasus ada daerah-daerah

tertentu yang tingkat kerusakannya diatas kewajaran. Beberapa kasus

gempabumi yang telah terjadi menunjukkan bahwa kerusakan lebih parah

terjadi pada dataran aluvial dibandingkan dengan daerah perbukitan

(Nakamura, 2000 dalam Sunardi dkk., 2012). Banyak daerah dengan populasi

yang besar berada pada soft sediment (seperti di daerah lembah dan muara)

yang struktur tanahnya cenderung memperkuat gelombang seismik (Bard,

1998 dalam Sunardi dkk., 2012). Litologi yang lebih lunak cenderung akan

memberikan respon periode getaran yang panjang (frekuensi rendah) dan

mempunyai resiko yang lebih tinggi bila digoncang gelombang gempabumi

karena akan mengalami penguatan yang lebih besar dibandingkan dengan

batuan yang lebih kompak. Fenomena ini biasanya disebut site effect atau site

amplification (Novianita, 2009 dalam Sunardi dkk., 2012).

Tingkat kerusakan dan bahaya gempabumi ternyata juga sangat dipengaruhi

oleh kondisi geologi lokal atau efek tapak lokal. Contoh kasus fenomena efek

tapak lokal adalah gempabumi Bantul 27 Mei 2006 dan gempabumi

Michoacan, Mexico 19 September 1985. Gempabumi Bantul, 2006

magnitudonya relatif kecil namun mengakibatkan lebih dari 6.000 orang

48

meninggal dunia dan 1.000.000 orang kehilangan tempat tinggal (Walter dkk.,

2008 dalam Sunardi dkk., 2012). Gempabumi Michoacan juga menimbulkan

kerusakan parah, meskipun jarak antara pusat gempabumi dengan kota

Michoacan lebih dari 100 kilometer. Gempabumi Bantul dan Michoacan

menjadi sangat merusak disebabkan oleh kondisi geologi lokal. Graben Bantul

merupakan cekungan yang berisi material lepas produk erupsi Gunungapi

Merapi (Daryono, 2011 dalam Sunardi dkk., 2012), sementara Kota Michoacan

dibangun di atas bekas rawa. Ketebalan lapisan sedimen kedua kota ini memicu

terjadinya resonansi gelombang gempabumi, sehingga menimbulkan

amplifikasi getaran gempabumi (Tuladhar dkk., 2004 dalam Sunardi dkk.,

2012).

I. Seismic Hazard Analysis

Ada dua metode yang biasa digunakan dalam SHA, yaitu: deterministik

(Deterministic Seismic Hazard Analysis/DSHA) dan probabilistik

(Probabilistic Seismic Hazard Analysis/PSHA).

Metode DSHA umumnya diaplikasikan untuk mengestimasi percepatan

gempa untuk konstruksi yang sangat membahayakan jika terjadi kerusakan,

seperti bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) (Irsyam dkk.,

1999 dalam Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010), bendungan besar,

konstruksi yang dekat dengan sesar aktif, dan untuk keperluan emergency

response. Kelebihan metode ini adalah mudah digunakan untuk memprediksi

gerakan gempa pada skenario terburuk. Sedangkan kelemahannya adalah

49

metode ini tidak mempertimbangkan probabilitas terjadinya gempa dan

pengaruh berbagai ketidakpastian yang terkait dalam analisis (Kramer, 1996

dalam Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010).

Analisis probabilistik PSHA pada prinsipnya adalah analisis deterministik

dengan berbagai macam skenario dan didasarkan tidak hanya pada parameter

gempa yang menghasilkan pergerakan tanah terbesar. Perbedaan utama antara

pendekatan DSHA dan PSHA adalah pada pendekatan probabilistik (PSHA),

frekuensi untuk setiap skenario pergerakan tanah yang akan terjadi juga

diperhitungkan. Dengan demikian, pendekatan PSHA juga bisa digunakan

untuk memprediksi seberapa besar probabilitas kondisi terburuk akan terjadi di

lokasi studi. Metode ini memungkinkan untuk memperhitungkan pengaruh

faktor-faktor ketidakpastian dalam analisis seperti ukuran, lokasi dan frekuensi

kejadian gempa. Metode ini memberikan kerangka kerja yang terarah sehingga

faktor-faktor ketidakpastian dapat diidentifikasi, diperkirakan, dan kemudian

digabungkan dengan metode pendekatan yang rasional untuk mendapatkan

gambaran yang lebih lengkap tentang kejadian gempa.

Analisis DSHA dan PSHA pada kenyataannya saling melengkapi. Hasil

DSHA dapat diverifikasi dengan PSHA untuk memastikan bahwa kejadian

tersebut masih realistik atau mungkin terjadi. Sebaliknya, hasil analisis PSHA

dapat diverifikasi oleh hasil analisis DSHA untuk memastikan bahwa hasil

analisis tersebut rasional. Lebih jauh, McGuire (2001) seperti dikutip oleh Tim

Revisi Peta Gempa Indonesia (2010) menyampaikan bahwa DSHA dan PSHA

akan saling melengkapi tetapi dengan tetap memberikan penekanan pada salah

satu hasil. Untuk keperluan desain infrastruktur tahan gempa, umumnya

50

digunakan PSHA dengan tingkatan gempa atau probabilitas terlampaui

mengikuti SEAOC (1997) (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010).

J. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)

Di tahun-tahun awal rekayasa gempa geoteknik, Deterministic Seismic

Hazard Analysis (DSHA) umum digunakan. DSHA melibatkan pengembangan

skenario seismik tertentu yang didasarkan pada evaluasi bahaya dari gerakan

tanah. Skenario ini terdiri dari terjadinya gempa dari ukuran tertentu yang

terjadi di lokasi telah yang ditentukan. DSHA dapat digambarkan sebagai

proses empat langkah (Reiter, 1990 dalam Kramer, 1996) yang terdiri dari:

1. Identifikasi dan karakterisasi dari semua sumber gempa yang mampu

menghasilkan gerakan tanah yang signifikan terhadap situs. Karakterisasi

sumber meliputi penentuan geometri pada masing-masing sumber (zona

sumber) dan potensi gempa.

2. Pemilihan parameter jarak dari sumber-ke-situs untuk setiap zona sumber.

Dalam kebanyakan DSHA, dipilih jarak terpendek antara zona sumber

dengan situs. Jarak dapat dinyatakan sebagai jarak episentrum atau jarak

hiposentrum, tergantung pada ukuran jarak dari hubungan prediktif yang

digunakan pada langkah berikutnya.

3. Pemilihan gempa pengendali (contoh: gempa yang dianggap dapat

menghasilkan tingkat getaran terkuat), umumnya dinyatakan dalam

beberapa parameter gerakan tanah, di situs. Pemilihan ini dilakukan dengan

membandingkan tingkat getaran yang dihasilkan oleh gempa bumi

51

(diidentifikasi dalam langkah 1) diasumsikan terjadi pada jarak yang

diidentifikasi dalam langkah 2. Gempa bumi pengendali dijelaskan dalam

hal ukurannya (biasanya dinyatakan sebagai besarnya) dan jarak dari situs.

4. Bahaya di situs tersebut secara resmi ditetapkan, biasanya dalam hal

gerakan tanah yang dihasilkan di lokasi gempa pengendali.

Karakteristiknya biasa digambarkan oleh satu atau lebih parameter gerakan

tanah yang diperoleh dari hubungan prediktif dari jenis yang disajikan

dalam Bab 3. Puncak percepatan, puncak kecepatan, dan respon koordinat

spektrum biasanya digunakan untuk mencirikan bahaya seismik.

Prosedur DSHA secara skematis diperlihatkan pada Gambar 13. Disajikan

dalam empat langkah berikut ini, DSHA tampaknya menjadi prosedur yang

sangat sederhana (Kramer, 1996).

Gambar 13. Empat langkah dalam DSHA (Kramer, 1996).

52

K. Sumber Gempabumi

Sumber-sumber gempa dari USGS diklasifikasikan dalam tiga jenis zona

sumber gempa, yaitu:

1. Zona subduksi, yaitu zona kejadian gempa yang terjadi didekat batas

pertemuan antara lempeng samudera yang menunjam masuk ke bawah

lempeng benua. Kejadian gempa akibat thrust fault, normal fault, reverse

slip dan strike slip yang terjadi sepanjang pertemuan lempeng dapat

diklasifikasikan sebagai zona subduksi. Dalam penelitian ini, zona

subduksi yang dimaksud adalah zona megathrust, yakni sumber gempa

subduksi dari permukaan hingga kedalaman 50 km. Untuk sumber

subduksi dengan kedalaman lebih dari 50 km (zona benioff) akan

dimodelkan sebagai sumber deep background.

2. Zona fault, yaitu zona kejadian gempa patahan dangkal (Shallow Crustal

Fault) dengan mekanisme strike-slip, reverse, atau normal yang terjadi

pada patahan-patahan yang sudah terdefinisi dengan jelas, termasuk soal

mekanisme, slip rate, dip, panjang patahan dan lokasinya. Sumber gempa

patahan dangkal dimodelkan hingga kedalaman 15 km.

3. Zona background, yaitu sumber gempa yang belum diketahui secara jelas,

tetapi pada tempat tersebut didapati adanya beberapa kejadian gempa

(kejadian gempa yang belum diketahui sesarnya). Dalam program PSHA

dari USGS, jika lokasi/posisi strike sumber background diyakini/diketahui

keberadaannya maka sumber dapat dimodelkan sebagai fixed-strike.

Sebaliknya jika sumber tersebut tidak diketahui dengan jelas, maka

sumber background dimodelkan sebagai sumber titik untuk magnitudo

53

kurang dari 6, dan sebagai random strike untuk gempa dengan magnitudo

lebih dari atau sama dengan 6. Panjang sumber gempa ditentukan dari

besarnya magnitudo (Wells dan Coppersmith, 1994 dalam Hutapea dan

Mangape, 2009).

Masing-masing sumber gempa diatas dapat diilustrasikan seperti pada Gambar

14 dibawah ini:

Gambar 14. Ilustrasi sumber gempa.

L. Hubungan antara Jenis-Jenis Magnitudo Gempa

Katalog yang berasal dari beberapa sumber umumnya memiliki skala

magnitudo yang bervariasi. Magnitudo yang bervariasi ini harus dikonversi

kedalam satu skala yang sama sebelum digunakan dalam Seismic Hazard

Analysis. Skala magnitudo seperti surface wave magnitude (MS), local Richter

magnitude (ML), energy magnitude (ME), duration magnitude (MD) dan body

wave magnitude (mb) harus dikonversi kedalam moment magnitude (Mw) (Tim

54

Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010). Asrurifak (2010) seperti dikutip oleh

Pawirodikromo (2012) menghimpun banyak data gempa Indonesia yang

berhubungan dengan jenis-jenis magnitudo gempa. Setelah dilakukan regresi,

maka hubungan antara magnitudo-magnitudo gempa kemudian disajikan

dalam dalam tabel dibawah ini:

Tabel 5. Hubungan antar magnitudo gempa (Asrurifak, 2010 dalam

Pawirodikromo, 2012).

Korelasi Konversi

Jumlah Data

(Events)

Range Data Kesesuaian (R2)

Mw = 0,143Ms2 - 1,051Ms + 7,285 3,173 4,5 ≤ Ms ≤ 8,6 93,9%

Mw = 0,114mb

2 - 0,556mb + 5,560 978 4,9 ≤ mb ≤ 8,2 72,0%

Mw = 0,787ME + 1,537 154 5,2 ≤ ME ≤ 7,3 71,2%

mb = 0,125ML2 - 0,389ML + 3,513 722 3,0 < ML < 6,2 56,1%

ML = 0,717MD + 1,003 384 3,0 ≤ MD ≤ 5,8 29,1%

M. Magnitudo Maksimum

Wells dan Coppersmith (1994) mengusulkan hubungan empiris melalui

pendekatan regresi antara magnitudo momen (M) terhadap panjang rupture di

permukaan (SRL) seperti terlihat dalam Tabel 6 berikut:

Tabel 6. Regresi dari panjang rupture di permukaan dengan magnitudo

maksimum (dimodifikasi dari Wells dan Coppersmith, 1994).

Persamaan Jenis

Slip

Banyak

Kejadian

Koefisien dan Standar Eror Rentang

Magnitudo

Rentang

Panjang/Lebar (km)

a (sa) b (sb)

M = a + b * log (SRL)

Log (SRL) = a + b * M

SS

R N

All

SS R

N

All

43

19 15

77

43 19

15

77

5,16 (0,13)

5,00 (0,22) 4,86 (0,34)

5,08 (0,10)

-3,55 (0,37) -2,86 (0,55)

-2,01 (0,65)

-3,22 (0,27)

1,12 (0,08)

1,22 (0,16) 1,32 (0,26)

1,16 (0,07)

0,74 (0,05) 0,63 (0,08)

0,50 (0,10)

0,69 (0,04)

5,6–8,1

5,4–7,4 5,2–7,3

5,2–8,1

5,6–8,1 5,4–7,4

5,2–7,3

5,2–8,1

1,3–432

3,3–85 2,5–41

1,3–432

1,3–432 3,3–85

2,5–41

1,3–432

55

N. Percepatan Tanah Maksimum (PGA)

Percepatan getaran tanah maksimum adalah suatu nilai yang dihitung di titik

pengamatan/titik penelitian pada permukaan bumi dari riwayat gempa bumi

dengan nilai perhitungan dipilih yang paling besar. Nilai percepatan getaran

tanah yang akan diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam perencanaan

bangunan tahan gempa adalah nilai percepatan tanah maksimum (Subardjo,

2001 dalam Hadi dkk., 2012). Percepatan getaran tanah maksimum atau peak

ground acceleration (PGA) adalah nilai terbesar percepatan tanah pada suatu

tempat yang diakibatkan oleh getaran gempa bumi dalam periode waktu

tertentu. Kondisi geologis tanah yang sangat menentukan besarnya kecilnya

nilai PGA adalah tingkat kepadatan tanah di daerah tersebut. Semakin padat

tanah maka nilai PGA di daerah tersebut semakin kecil. Hal ini sesuai dengan

kenyataan di lapangan bahwa bangunan yang dibangun di atas struktur tanah

yang padat pada saat gempa bumi di Bengkulu yang terjadi pada tahun 2000

(7,3 SR) mengalami kerusakan lebih ringan daripada bangunan yang dibangun

di atas struktur tanah yang kurang padat (Lubis dan Hadi, 2005 dalam Hadi

dkk., 2012).

Percepatan tanah adalah percepatan gelombang yang sampai ke permukaan

bumi dengan satuan cm/detik2 (gal) dan diukur dengan alat yang disebut

accelerograph. Percepatan tanah efektif yang bekerja pada massa bangunan

bergantung kepada berbagai faktor antara lain kekuatan gempa bumi

(magnitudo), kedalaman sumber gempa bumi, jarak sumber gempa ke

lokasi, kualitas bangunan dan sebagainya. Makin besar magnitudo makin

besar energi yang dikeluarkan sumber gempa. Hal ini akan mengakibatkan

56

semakin besar pula bencana yang ditimbulkannya. Kondisi setempat juga

berpengaruh pada tingkat kerusakan bangunan. Faktor yang merupakan sumber

kerusakan dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data

percepatan tanah maksimum akibat getaran gempa bumi pada suatu lokasi

menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko gempa bumi pada

suatu lokasi tertentu. Semakin besar percepatan tanah maksimum disuatu

tempat, semakin besar resiko gempa bumi yang terjadi. Perumusan ini tidak

selalu benar, bahkan dari suatu metode lainnya tidak selalu sama. Namun

cukup memberikan gambaran tentang resiko tinggi terhadap kerusakan

gempa bumi pada suatu daerah (Edwiza, 2008).

O. Logic Tree

Pendekatan dengan menggunakan logic tree memungkinkan untuk

penggunaan beberapa alternatif metode atau model dengan menentukan

faktor bobot yang menggambarkan persentase kemungkinan keakuratan

relatif suatu model terhadap model lainnya. Model ini terdiri dari rangkaian

nodal (node) yang direpresentasikan sebagai titik dimana model dispesifikkan

dan cabang yang merepresentasikan model yang berbeda yang dispesifikasikan

pada tiap nodal. Penjumlahan probabilitas dari semua cabang yang

dihubungkan dengan satu nodal tertentu nilainya harus sama dengan 1.

Dalam menggunakan logic tree, satu analisis resiko gempa diselesaikan

untuk kombinasi model dan/atau parameter yang berkaitan dengan tiap

ujung cabang. Hasil tiap analisis diberikan oleh nilai bobot kemungkinan

57

relatif dari kombinasi cabang, dengan hasil akhir diambil sebagai

penjumlahan dari nilai bobot masing-masing.

Model logic tree yang dipakai disesuaikan dengan model sumber gempa

yang digunakan. Model untuk sumber gempa sesar, subduksi dan

background seperti yang terlihat pada Tabel 7, 8 dan 9 (Tim Revisi Peta

Gempa Indonesia, 2010).

Tabel 7. Model logic tree untuk sumber gempa sesar (fault).

58

Tabel 8. Model logic tree untuk sumber gempa subduksi (megathrust).

Tabel 9. Model logic tree untuk sumber gempa background.

59

P. Fungsi Atenuasi

Dengan tidak tersedianya data untuk menurunkan suatu fungsi atenuasi di

wilayah Indonesia, pemakaian fungsi atenuasi yang diturunkan dari wilayah

lain tidak dapat dihindari. Pemilihan fungsi atenuasi ini didasarkan pada

kesamaan kondisi geologi dan tektonik dari wilayah dimana fungsi atenuasi itu

dibuat. Fungsi atenuasi yang digunakan sebagian besar sudah menggunakan

Next Generation Attenuation (NGA), dimana atenuasi ini dalam pembuatannya

sudah menggunakan data gempa global (worldwide data). Dalam analisis studi

ini, rumus atenuasi yang digunakan untuk masing-masing model sumber

gempa adalah:

Beberapa fungsi atenuasi yang digunakan untuk analisis sumber gempa

subduksi diantaranya adalah:

1. Youngs dkk. (1997)

Hubungan atenuasi Youngs (1997) merupakan fungsi atenuasi empirik

yang dapat digunakan untuk memprediksi percepatan tanah puncak dan

percepatan respon spektra pada kejadian gempa zona subduksi interface

dan intraslab dengan nilai magnitudo momen lebih besar sama dengan 5,0

serta jarak dari site ke sumber gempa dalam bentuk jarak rupture 10-500

km. Hubungan atenuasi ini dikembangkan menggunakan analisis regresi.

Dari persamaan atenuasi ini diperoleh bahwa laju atenuasi gerakan tanah

puncak pada gempa zona subduksi lebih rendah bila dibandingkan dengan

yang ada pada gempa-gempa shallow crustal pada wilayah tektonik aktif.

Perbedaan ini terlihat terutama pada gempa-gempa sangat besar. Gerakan

60

tanah puncak akan bertambah dengan bertambahnya kedalaman gempa dan

gempa-gempa intraslab menghasilkan gerakan tanah puncak yang kira-kira

50% lebih besar dari gerakan tanah puncak pada gempa-gempa interface

(Makrup, 2013). Bentuk dari fungsi atenuasi Youngs dkk. (1997) adalah

sebagai berikut:

- Untuk batuan (rock) :

ln (y) = 0,2418 + 1,414 Mw + C1 + C2 (10-Mw)3 + C3 ln (rrup + 1,7818

e0,554MW) + 0,00607 H + 0,3846 Zt (49)

- Untuk tanah (soil) :

ln (y) = 0,6687 + 1,438 Mw + C1 + C2 (10-Mw)3 + C3 ln [R + 1,097

e0,617MW] + 0,00648 H + 0,3643 Zt (50)

dimana y adalah spectra acceleration (g); Mw adalah moment magnitude;

rrup adalah jarak terdekat ke rupture (km); R adalah jarak terdekat ke

permukaan bidang sumber (km); H adalah kedalaman (km); Zt adalah tipe

sumber gempa (0 untuk interface, dan 1 untuk intraslab); C1 = 0 (batuan

dan tanah); C2 = 0 (batuan dan tanah); C3 = -2,552 (batuan); C3 = -2,329

(tanah) (Youngs dkk., 1997).

2. Atkinson – Boore (2003)

Fungsi atenuasi Atkinson-Boore (2003) merupakan hubungan atenuasi

gerakan tanah untuk gempa-gempa yang terjadi pada zona subduksi yang

merupakan input penting untuk analisis seismic hazard di berbagai belahan

61

dunia. Sebagai contoh, dalam wilayah Cascadia (Washington, Oregon,

Northern California dan British Columbia), terkandung bahaya gempa

megathrust yang signifikan sepanjang pertemuan plate subduksi dan juga

bahaya gempa Benioff di dalam slab subduksi. Bahaya ini ditambah pula

dengan kemungkinan bahaya dari gempa dangkal dalam krak diatasnya.

Hubungan atenuasi ini diturunkan atas dasar hasil kompilasi database

respon spektra dari beratus-ratus catatan gerakan kuat kejadian gempa

dengan momen magnitudo M = 5 sampai dengan M = 8,3 yang terjadi pada

zona subduksi seluruh dunia, termasuk didalamnya kejadian interface dan

intraslab. Gempa Nisqually 2001 dengan M = 6,8 dan Gempa Satsop 1999

dengan M = 5,9 termasuk juga dalam database. Disamping itu juga data

rekaman dari zona subduksi di Jepang (Kyoshin-Net data), Mexico

(Guerrero data) dan Amerika Tengah. Ukuran database yang digunakan

empat kali lebih besar dari yang pernah disediakan untuk regresi empirik

sebelumnya dalam menentukan hubungan gerakan tanah untuk gempa-

gempa zona subduksi. Data dengan jumlah yang besar dapat memperbaiki

hasil penurunan parameter atenuasi dan penskalaan magnitudo, untuk

kedua-duanya kejadian gempa interface dan intraslab. Parameter respon

tanah juga ditentukan secara lebih baik dengan data tersebut. Karena itu

penggunaan atenuasi ini adalah khusus untuk zona subduksi (Makrup,

2013). Bentuk fungsi atenuasi Atkinson-Boore (2003) adalah:

log y = fn(M) + c3 h + c4 R – g log R + c5 sl SC + c6 sl SD + c7 sl SE (51)

fn(Mw) = c1 - c2 Mw (52)

62

R = √𝐷𝑓𝑎𝑢𝑙𝑡2 − (53)

= 0,00724100,507M (54)

dimana y adalah PGA (cm/s2), Mw adalah Momen Magnitudo dengan M =

8,5 untuk interface dengan M > 8,5 dan M = 8,0 untuk intraslab dengan M

> 8,0; h adalah kedalaman sumber gempa, jika h > 100 maka h = 100 km;

Dfault adalah jarak terdekat dengan titik sumber yang diproyeksi ke

permukaan (km); PGA rx adalah prediksi PGA di bedrock (NEHRP type

soil B) (cm/s2); SC = 1 untuk NEHRP type soil B (360 < Vs < 760 m/s) dan

SC = 0 untuk tipe tanah lain; SD = 1 untuk NEHRP type soil C (180 < Vs <

360 m/s) dan SD = 0 untuk tipe tanah lain; SE = 1 untuk NEHRP type soil D

(Vs < 180 m/s) dan SE = 0 untuk tipe tanah lain; g = 10(1,2 – 0,13M) untuk

interface dan g = 10(0,301 – 0,01M) untuk intraslab; sl = 1 untuk PGA rx ≤ 100

cm/s2 atau frekuensi < 1 Hz; sl adalah 1 ( f -1) (PGArx -100)/400 untuk 100

≤ PGA rx ≤ 500 cm/s2 atau frekuensi 1 < f < 2 Hz; sl = 1 - ( f - 1) untuk PGA

rx ≥ 500 cm/s2 (1 <f <2 Hz); sl = 1 - (PGArx -100)/400 untuk 100 < PGA rx

<500 cm/s2 atau frekuensi f ≥2 Hz; sl = 0 untuk PGA ≥ 500 cm/s2 atau

frekuensi f ≥ 2 Hz; c1 = 2,991 (untuk perhitungan PGA dengan sumber

interface); c2 = 0,03525; c3 = 0,00759; c4 = -0,00206; c5 = 0,19; c6 = 0,24;

c7 = 0,29 (Atkinson dan Boore, 2003).

3. Zhao dkk. (2006)

Model atenuasi percepatan spektra untuk Jepang diberikan dalam studi

ini. Dataset yang dimasukkan dalam studi ini adalah sejumlah besar

63

rekaman gerakan tanah kuat yang tercatat sampai dengan mainshock dan

aftershock dari gempa OFF Tokach tahun 2003. Suku kelas site, sebagai

pengganti suku koreksi site individual juga digunakan. Beberapa kelas site

dari stasiun perekam didapat dari studi baru-baru ini. Klasifikasi site untuk

stasiun perekam gerakan kuat di Jepang diperoleh dari skema klasifikasi

yang telah digunakan dalam Japanese Engineering Design. Penggunaan

suku kelas site memungkinkan efek tipe sumber tektonik diidentifikasi dan

digunakan dalam model. Efek mekanisme fault untuk gempa crustal juga

digunakan. Untuk gempa crustal dan interface, bentuk model atenuasi dapat

menjadi sederhana berkenaan dengan jarak. Model atenuasi ini dapat

dikembangkan menggunakan karakteristik gerakan kuat saja dan

penggunaan karakteristik ini dapat memberi estimasi yang tidak bias. Untuk

kejadian dalam slab subduksi, faktor modifikasi jarak yang sederhana

digunakan untuk memperoleh hasil prediksi yang tidak bias dan dapat

dipercaya. Kedalaman sumber, tipe dan mekanisme fault gempa crustal

memiliki efek yang cukup signifikan dalam estimasi gerakan tanah dengna

model atenuasi ini. Penilaian akan kebutuhan suku magnitudo-kuadrat

dilakukan, dan terlihat bahwa penggunaan suku ini mengurangi kesalahan

antar kejadian gempa (Makrup, 2013). Bentuk persamaan dari fungsi

atenuasi Zhao dkk. (2006) adalah:

Loge(yi,j) = aMwi + bxi,j - loge(r i,j) + e( h-hc ) δh + FR + SI + SS + SSL loge(Xi,j)

+ Ck + ξi,j + ηi (55)

ri,j = Xi,j + c exp(dMwi) (56)

64

dimana y adalah PGA (cm/s2); Mw adalah moment magnitude; X adalah

jarak dari sumber ke lokasi (km); h adalah focal depth (km); FR adalah

parameter reverse-fault hanya digunakan untuk shallow crustal event

(reverse-faulting) selain itu 0; SI adalah parameter tectonic type source

digunakan hanya untuk interface event selain itu 0; SS adalah hanya

digunakan untuk intraslab event selain itu 0; SSL adalah magnitude-

independent pada intraslab; Ck adalah konstanta site class; hc adalah

konstanta kedalaman; a adalah 1,101 (untuk perhitungan PGA); b =

-0,00564; c = 0,0055; d = 1,08; e = 0,01412 (Zhao dkk., 2006).

Sedangkan untuk sumber gempa yang berupa patahan, berikut ini fungsi

atenuasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

4. Boore – Atkinson (2008)

Model atenuasi Boore dan Atkinson (2008) NGA mengandung

persamaan untuk memprediksi gerakan tanah ukuran tertentu dalam bentuk

komponen horizontal gerakan tanah sebagai fungsi dari mekanisme gempa,

jarak dari site ke sumber gempa, kecepatan gelombang geser rata-rata local

dan tipe fault. Persamaan ini untuk menentukan percepatan tanah puncak

(PGA), kecepatan tanah puncak (PGV) dan spektra percepatan pseudo-

absolut dengan 5% redaman untuk perioda dari 0,01 detik sampai dengan

10 detik. Persamaan Boore dan Atkinson (2008) NGA diturunkan dengan

menggunakan regresi empirik berdasarkan database gerakan tanah kuat dari

PEER NGA. Untuk periode kurang dari 1 detik, analisis menggunakan 1574

data rekaman dari 58 mainshock yang memiliki jarak dari 0 km sampai

65

dengan 400 km. Jumlah data yang digunakan berkurang dengan

bertambahnya perioda (Makrup, 2013). Bentuk dari model atenuasi NGA

Boore-Atkinson (2008) adalah:

ln (Y) = FM (Mw) + FD (RJB, Mw) + FS (VS30, RJB, Mw) + T (57)

Untuk Mw ≤ Mh:

FM (Mw)= e1 U + e2 SS + e3 NS + e4 Rs + e5 (Mw-Mh) + e6 (Mw-Mh)² (58a)

Untuk Mw > Mh:

FM (Mw)= e1 U + e2 SS + e3 NS + e4 Rs + e7 (Mw-Mh) (58b)

FD (Rjb.Mw) = [c1 + c2 (Mw-Mref)] ( 𝑅

𝑅𝑟𝑒𝑓) + c3 (R-R ref) (59)

dimana:

R = √𝑅𝑗𝑏² + ℎ² (60)

dimana U, SS, NS dan RS adalah fault type untuk unspecified, strike-slip,

normal dan reverse-slip.

Persamaan amplifikasi

FS= FL + FNL (61)

dimana masing-masing FL untuk linear FNL untuk nonlinear.

Untuk linear:

FL = blin ln(VS30/Vref) (62)

66

Untuk nonlinear:

a. PGA4nl ≤ a1:

FNL = bnl ln( PGA_low/0,1) (63a)

b. a1< PGA4nl ≤ a2:

FNL = bnl ln( PGA_low/0,1) + c [ ln(PGA4nl/a1) ] 2 +

d [ ln(PGA4nl/a1)]3 (63b)

c. PGA4nl > a2:

FNL = bnl ln( PGA4nl/0,1) (63c)

Untuk bnl:

a. VS30 ≤ V1:

bnl = b1 (64a)

b. V1 < VS30 ≤ V2:

bnl = ( b1-b2 ) ln( VS30/ V2 ) ln(V1/ V2) + b2 (64b)

c. V2 < VS30 < Vref:

bnl = b2 ln( VS30/ Vref ) / ln( V2/ Vref ) (64c)

d. VS30 ≥ Vref:

bnl = 0

c = ( 3∆y - bnl∆x) / ∆x2 (65)

d = -(2∆y - bnl∆x) / ∆x3 (66)

∆x = ln(a2/ a1) (67)

∆y = bnl ln (a2/PGA_low) (68)

67

dimana PGA4nl adalah estimasi awal PGA (g) untuk Vref = 760 m/s dengan

FS = 0; Vref adalah reference velocity (760 m/s) sesuai dengan NEHRP

untuk B/C site conditions; Mw adalah magnitudo momen; V1 = 180 m/s;

V2 = 300 m/s; a1 = 0,03 g; a2 = 0,09 g; PGA_low = 0,06 g; Mh = 6,75; blin

= -0,36; b1 = -0,64; b2 = -0,14; Mref = 4,5; Rref = 1; c1 = -0,6605; c2 =

0,1197; c3 = -0,01151; h = 1,35; e1 = -0,53804; e2 = -0,5035; e3 =

-0,75472; e4 = -0,5097; e5 = 0,28805; e6 = -0,10164; e7 = 0; σ = 0,052; ϮU

= 0,265; ϮM = 0,26; σTU = 0,566; σTM = 0,56 (Boore dan Atkinson, 2007).

5. Campbell – Bozorgnia (2008)

Model gerakan tanah empirik ini dikembangkan dibawah kendali

proyek the PEER-Lifelines Next Generation Attenuation of Ground Motion.

Model ini dikembangkan dari database gerakan tanah kuat terekam seluruh

dunia. Dari kumpulan database ini kemudian dipilih subset data gerakan

tanah yang selanjutnya digunakan untuk menurunkan variabel predictor dan

bentuk fungsi dari model NGA yang dikembangkan (Makrup, 2013).

Bentuk model atenuasi NGA Campbell dan Bozorgnia (2008) adalah:

lnY = ƒmag +ƒdis+ ƒflt + ƒhng +ƒ site+ ƒsed (69)

dimana fmag adalah fungsi berdasarkan magnitudo

fmag = C0 + C1 M untuk M < 5,5 (70a)

C0 + C1 M + C2 (M-5,5) untuk 5,5 ≤ M ≤ 6,5 (70b)

C0 + C1 M + C2 (M-5,5) + C3 (M-6,5) untuk M > 6,5 (70c)

68

fdis merupakan fungsi berdasarkan pada jarak dari titik ukur ke sumber

gempa

fdis = (C4 + C3M) ln (√𝑅𝑟𝑢𝑝² + 𝐶6²) (71)

fflt merupakan fungsi berdasarkan tipe patahan

fflt = C7 fRv. fflt,z + C8 fNM (72)

fflt,z = ZTor untuk ZTor < 1

= 1 untuk ZTor > 1

fhng merupakan fungsi berdasarkan efek hanging wall

fhng = C9 fhng,R + fhng,M + fhng,Z + fhng,𝛿 (73)

fhng,R = 1 untuk Rjb = 0 (74a)

= [𝑚𝑎𝑥( 𝑅𝑅𝑢𝑝+√𝑅𝑗𝑏²+1)−𝑅𝑗𝑏

𝑚𝑎𝑥( 𝑅𝑅𝑢𝑝 ( √𝑅𝑗𝑏²+1] untuk Rjb > 0, ZTor < 1 (74b)

= (𝑅𝑅𝑢𝑝−𝑅𝑗𝑏)

𝑅𝑅𝑢𝑝 untuk Rjb > 0, ZTor ≥ 1 (74c)

Fhng, M = 0 untuk M ≤ 6,0

= 2 – ( M-6,0 ) untuk 6,0 < M < 6,5 (75)

= 1 untuk M ≥ 6,5

fhng, Z = 0 untuk ZTor ≥ 20

= 20−𝑍𝑇𝑜𝑟

20 untuk 0 < ZTor < 20 (76)

fhng, 𝛿 = 1 untuk 𝛿 ≤ 70

= 90− 𝛿

20 untuk 𝛿 > 70 (77)

69

fsite adalah fungsi berdasarkan shallow site

fsite = C10 ln (𝑉𝑠30

𝐾1) + K2 {ln [A1100 + C (

𝑉𝑠30

𝐾1)n ] – ln[A1110+c]}

untuk VS30 < K1 (78a)

= (C10 + K2n) ln (𝑉𝑠30

𝐾1) untuk K1<VS30<1100 (78b)

= (C10 + K2n) ln (1100

𝐾1) untuk VS30 > 1100 (78c)

fsed adalah fungsi berdasarkan deep site

fsed = C11 (Z 2,5 – 1) untuk Z 2,5 < 1 (79a)

= 0 untuk 1 ≤ Z 2,5 ≤ 3

= C12 K3e-0,75 [1- e-0,25 (Z 2,5 – 3)] untuk Z 2,5 > 3 (79b)

dimana M adalah magnitudo moment (Mw); y adalah PGA (g); c0 = -1,715;

c1 = 0,5; c2 = -0,53; c3 = -0,262; c4 = -2,118; c5 = 0,17; c6 = 5,6; c7 = 0,28;

c8 = -0,12; c9 = 0,49; c10 = 1,058; c11 = 0,04; c12 = 0,61; k1 = 865; k2 = -

1,186; k3 = 1,839; TLnY(intraslab)= 0,478; TLnY(interface)= 0,219; Tc =

0,166; TT = 0,526; Tarb = 0,551; P = 1; Ztor = 3; δ = 90; VS30 = 1500 m/s;

Z2.5 = 1; Frv = 0; Fnm = 0; h = 3; η = 1,18; C = 1,88 (Campbell dan

Bozorgnia, 2007).

6. Chiou – Youngs (2008)

Persamaan atenuasi Chiou-Youngs (2008) memberikan model empirik

gerakan tanah untuk menentukan komponen horizontal gerakan tanah yang

dikembangkan sebagai bagian dari studi PEER-NGA. Model ini diturunkan

untuk percepatan tanah puncak (PGA) dan pseudo-percepatan spektra

70

dengan redaman 5% dengan rentang perioda dari 0,01 sampai 10 detik

(Makrup, 2013). Bentuk dari model atenuasi NGA Chiou-Youngs (2008)

adalah sebagai berikut:

ln (Yref ij)= C1 + C1a FRV1 + C1b FNMi + C7 (ZTORi – 4) + C2 (Mi – 6) + 𝐶2−𝐶3

𝐶𝑛

ln (1 + ecn (cM – Mi)) + C4 ln(RRUPij + C5 cosh(C6 (Mi – CHM,0) max)) + (C4a –

C4) ln( √𝑅² 𝑅𝑈𝑃 𝑖𝑗 + 𝐶² 𝑅𝐵) + { Cᵧ1 + 𝐶ᵧ2

𝑐𝑜𝑠ℎ[𝑚𝑎𝑥( 𝑀𝑖−𝐶ᵧ3,0)]}.RRUPij +

C9.Fhwij.tanh(𝑅𝑥𝑖𝑗.𝑐𝑜𝑠 ²𝛿𝑖

𝑐9𝑎). {1-

√𝑅𝑗𝑏² +𝑍𝑡𝑜𝑟²

𝑅𝑅𝑈𝑃𝑖𝑗+0,001} (80)

ln (Yij)= ln(Yref ij ) + ϕ1 . min( ln( 𝑉𝑆 30𝑖𝑗

1130 ), 0) + ϕ2 . {eϕ² (min( V

S30 ij , 1130 ) -360) –

eϕ3 ( 1130-360 )} . ln ( 𝑌𝑟𝑒𝑓𝑖𝑗𝑒^𝜂+ 𝜙4

𝜙4 ) + ϕ5( 1-

1

𝑐𝑜𝑠ℎ[𝜙6.𝑚𝑎𝑥 (0, 𝑍1.0−𝜙7)]) +

𝜙8

𝑐𝑜𝑠ℎ[0,15 .𝑚𝑎𝑥 (0, 𝑍1.0−15)] + ηi +ij (81)

dimana M adalah Moment magnitude (Mw); RRUP adalah Jarak terdekat ke

bidang rupture (km); RJB adalah jarak Joyner-Boore ke bidang rupture

(km); RX adalah koordinat lokasi (km) diukur tegak lurus terhadap patahan

dari proyeksi di permukaan; FHW (Hanging wall) = 1 untuk RX ≥ 0 dan 0 for

RX < 0; Δ adalah Fault dip angle; ZTOR adalah Depth to top of rupture (km);

Λ adalah the rake angle; AS (Aftershock) = 1 untuk aftershock, selain itu 0;

VS30 adalah Rata-rata kecepatan gelombang S pada kedalaman 30 m (m/s);

Z 1,0 adalah kedalaman saat VS30=1,0 km/s (m); FRV adalah Reverse-faulting:

71

1 untuk 30º ≤ λ ≤ 150º (kombinasi reverse dan reverse-oblique), selain itu

0; FNM adalah Normal faulting: 1 untuk -120º ≤ λ ≤ -60º (tidak termasuk

normal-oblique), selain itu 0; c1 = -1,2687; c1a = 0,1; c1b = -0,255; cn = 2,996;

cm = 4,184; c2 = 1,06; c3 = 3,45; c4 = -2,1; c4a = -0,5; crb = 50; chm = 3; c5 =

6,16; c6 = 0,4893; c7 = 0,0512; c7a = 0,086; c9 = 0,79; c9a = 1,5005; c10 =

-0,3218; cγ1 = -0,00804; cγ2 = -0,00785; cγ3 = 4; φ1 = -0,4417; φ2 = -0,1417;

φ3 = -0,00701; φ4 = 0,102151; φ5 = 0,2289; φ6 = 0,014996; φ7 = 580; φ8 =

0,07; T1 = 0,3437; T2 = 0,2637; To1 = 0,4458; To2 = 0,3459; To3 = 0,8; h = 0

(Chiou dan Youngs, 2008).

2008)

72

IV. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19 September - 4 November 2016.

Sedangkan, tempat penelitian ini yaitu di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi

Bencana Geologi, Badan Geologi, Bandung.

B. Data Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data pengukuran mikrotremor

di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam yang berjumlah 90 titik. Data

ini diperoleh dari akuisisi yang dilakukan oleh Tim Pusat Vulkanologi dan

Mitigasi Bencana Geologi pada tanggal 11 – 21 Mei 2016. Sedangkan pada

metode DSHA, parameter gempa bumi yang berupa jarak terdekat didapat dari

hasil perhitungan sedangkan parameter yang berupa magnitudo maksimum

(MMax) didapatkan dari perhitungan (untuk sumber gempa yang berupa

patahan) dan sejarah gempa di sekitar daerah penelitian yang berasal dari

katalog gempa USGS (untuk sumber gempa yang berupa subduksi). Untuk

parameter DSHA lainnya yang berupa VS30 didapat dari pengolahan data

mikrotremor.

73

C. Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 15, sebagai berikut:

Mulai

Vs30

Data

Amplifikasi

M Max R Min

Mikrotremor DSHA

HVSR

Identifikasi

Faktor Site

Identifikasi

Sumber Gempa

Fungsi Atenuasi

Patahan Subduksi

Boore-

Atkinson

(2008)

Campbell-

Bozorgnia

(2008)

Chiou-

Youngs

(2008)

Youngs

dkk.

(1997)

Atkinson-

Boore

(2003)

Zhao dkk.

(2006)

PGA

Pembuatan Peta

Peta Vs30Peta f0Peta

PGA

Peta

Amplifikasi

Interpretasi

Selesai

Informasi Geologi

f0

Data

Mikrotremor

Persamaan

Zhao (2011)

Persamaan

Fujimoto dan

Midorikawa (2006)

Peta Rawan

Bencana Gempabumi

Gambar 15. Diagram alir penelitian.

74

D. Tahapan Pengolahan Data

Pada penelitian ini terdapat beberapa tahap pengolahan data, yaitu sebagai

berikut:

1. HVSR Mikrotremor

Dari akuisisi mikrotremor akan didapatkan data yang berupa data

getaran tanah yang masih dalam domain waktu. Data getaran tanah itu

merekam getaran dalam tiga komponen, yaitu satu komponen vertical dan

dua komponen horizontal (utara-selatan dan barat-timur). Data hasil

akuisisi yang didapat pada penelitian ini memiliki format berupa .SAF.

Data tersebut kemudian diolah dengan metode HVSR (Horizontal Vertical

Spectral Ratio) menggunakan perangkat lunak berupa Geopsy dan HV

Explorer mengacu pada SESAME H/V Users Guidelines. Geopsy akan

menghasilkan keluaran berupa kurva spektrum HVSR. Sedangkan HV

Explorer digunakan untuk memilih puncak dari kurva spektrum HVSR

yang akan menampilkan seberapa besar nilai Frekuensi Dominan (f0) di

suatu daerah atau titik pengukuran. Adapun tahap pengolahan data

mikrotremor adalah sebagai berikut:

a. Membuka perangkat lunak Geopsy dengan icon seperti berikut .

b. Selanjutnya yaitu melakukan import data .SAF kedalam Geopsy.

Langkahnya yaitu dengan Pilih Menu File - Import Signals – File, lalu

pilih file .SAF yang akan di-import.

c. Tahap selanjutnya adalah mengolah data dengan HV Tools. Tahap ini

adalah tahap inti pada pengolahan data mikrotremor dengan

menggunakan Metode HVSR. Pada tahap ini akan dilakukan olah data

75

dengan H/V Tools yang tersedia di Geopsy. Langkahnya yaitu dengan

memilih Menu Tools – H/V. Maka muncul kotak dialog seperti gambar

dibawah ini:

Gambar 16. Kotak dialog HV Tools.

Pada kotak dialog H/V Tools seperti diatas, pada bagian Time – Time

Windows dapat diatur panjang Time Window yang digunakan. Pada

bagian Processing dapat dipilih jenis smoothing pada grafik. Yang

umum digunakan yaitu metode smoothing Konno & Ohmachi. Pada

bagian Output dapat dipilih Frequency Sampling yang digunakan

untuk menampilkan grafik HVSR, pada penelitian ini digunakan

frequency sampling sebesar 0,2 Hz – 20 Hz. Setelah itu kembali ke

jendela Time pilih Select* lalu pilih Auto. Setelah itu pilih Start, maka

muncul kurva HVSR seperti pada gambar berikut:

76

Gambar 17. Kurva HVSR hasil pengolahan.

d. Langkah selanjutnya yaitu dengan menyimpan hasil pengolahan yang

berupa kurva HVSR. Dengan memilih Menu Tools yang ada pada

jendela HV Results, lalu pilih Save Results, simpan dalam format .HV.

e. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan perangkat lunak HV

Explorer. HV Explorer digunakan untuk memilih puncak dari kurva

hasil pengolahan HVSR yang bersumber dari Geopsy. Sebelum

melakukan pengolaan data dengan HV Explorer, terlebih dahulu harus

membuat data dengan format .pick yang berisi profil data mikrotremor

yang akan diproses. Seperti Zona UTM yang digunakan, lokasi

penyimpanan file kurva hasil Geopsy (.HV), nama stasiun pengukuran

mikrotremor dan koordinat UTM di tiap stasiun. File .pick ini

berfungsi untuk memanggil semua kurva HVSR hasil pengolahan di

Geopsy ke dalam tampilan HV Explorer. Profil data .pick dapat dilihat

pada gambar berikut:

77

Gambar 18. Tampilan Profil Data format .pick.

f. Langkah selanjutnya yaitu dengan membuka HV Explorer dengan

icon seperti berikut .

g. Lalu melakukan import data .pick yang telah dibuat dengan cara

memilih Open lalu pilih file .pick.

h. Setelah melakukan import data .pick maka akan muncul tampilan HV

Explorer yang akan memuat titik-titik pengukuran beserta

persebarannya dan kurva HVSR pada tiap titik. Seperti yang

ditampilkan pada gambar berikut:

Gambar 19. Tampilan hasil import data pada HV Explorer.

78

i. Langkah selanjutnya yaitu memilih puncak pada kurva HVSR di tiap

titik pengukuran. Caranya dengan memilih salah satu titik

pengukuran, lalu klik bagian kurva yang memiliki puncak yang paling

tinggi, selanjutnya tekan tombol Enter. Maka puncak kurva HVSR

akan terpilih dan akan menampilkan nilai Frekuensi Dominan seperti

yang ditampilkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 20. Pemilihan puncak kurva HVSR pada HV Explorer.

j. Jika semua kurva HVSR sudah diolah, maka pilih Save untuk

menyimpan hasil pemilihan puncak kurva HVSR. HV Explorer juga

akan mencatat secara otomatis hasil Frekuensi Dominan pada tiap titik

pengukuran kedalam file .pick yang telah kita miliki.

k. Untuk mengambil nilai Frekuensi Dominan dalam file .pick maka

harus digunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Setelah nilai

Frekuensi Dominan didapatkan, maka langkah selanjutnya yaitu

dengan menghitung nilai VS30 dan Amplifikasi dengan persamaan

yang telah ada.

79

2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)

Adapun tahap analisis seismic hazard dengan metode DSHA adalah

sebagai berikut:

a. Melakukan identifikasi dan karakterisasi sumber-sumber gempa yang

dimungkinkan akan berpengaruh pada lokasi penelitian. Sumber-

sumber gempa yang diperkirakan berpengaruh pada Kota Banda Aceh

berupa dua sumber sesar yaitu Segmen Sesar Seulimeum dan Segmen

Sesar Aceh. Terdapat pula satu sumber yang berpengaruh besar pada

Kota Banda Aceh, yaitu sumber gempa yang berupa subduksi pada

Segmen Subduksi Aceh-Andaman.

b. Menentukan parameter jarak terdekat dari sumber gempa terhadap

lokasi penelitian.

c. Mengestimasi dan menentukan magnitudo terbesar (MMax) dari

masing-masing sumber gempa yang telah diidentifikasi sebelumnya.

Untuk sumber gempa yang berupa subduksi, digunakan data sejarah

gempa yang berasal dari katalog gempabumi USGS. Sedangkan untuk

sumber gempa yang berupa patahan, digunakan persamaan Wells dan

Coppersmith (1994).

d. Menentukan parameter gerakan tanah pada lokasi pengamatan dengan

menggunakan fungsi atenuasi. Dengan tidak tersedianya data untuk

menurunkan suatu fungsi atenuasi di wilayah Indonesia, maka

digunakan fungsi atenuasi yang diturunkan dari wilayah lain. Dalam

Seismic Hazard Analysis (SHA) penggunaan logic tree sangat

diperlukan akibat adanya faktor ketidakpastian dalam pengelolaan

80

data untuk analisis seismic hazard. Dengan adanya model treatment

ini, data, parameter sumber gempa dan model atenuasi yang

digunakan bisa diakomodir dengan bobot sesuai dengan

ketidakpastiannya. Berdasarkan model logic tree yang digunakan oleh

Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, fungsi atenuasi yang

digunakan untuk sumber gempa sesar/patahan adalah Boore-Atkinson

(2008) NGA, Campbell-Bozornia (2008) NGA, dan Chiou-Youngs

(2008) NGA dengan bobot 1/3 untuk masing-masing persamaan.

Sementara untuk sumber gempa subduksi adalah persamaan atenuasi

Youngs, dkk. (1997), Boore-Atkinson (2003), dan Zhao (2006)

dengan masing-masing bobot 1/4 untuk persamaan atenuasi Youngs

dkk (1997) dan Boore-Atkinson (2003) sedangkan bobot untuk

persamaan Zhao (2006) adalah 1/2.

e. Menentukan controlling earthquake berdasarkan hasil perhitungan

terbesar yang diperoleh guna mendapatkan nilai PGA di lokasi

penelitian

3. Pembuatan Peta

Setelah pengolahan data dengan metode mikrotremor dan DSHA telah

selesai dilakukan maka tahap selanjutnya adalah pembuatan peta untuk

tiap-tiap hasil pengolahan data. Tahap pembuatan peta ini akan

menghasilkan beberapa peta, antara lain adalah peta persebaran f0, VS30,

amplifikasi, PGA dan peta rawan bencana gempabumi di lokasi penelitian.

130

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Berdasarkan frekuensi dominan, amplifikasi dan VS30 dapat diketahui

bahwa Kota Banda Aceh memiliki karakteristik site effect yang didominasi

oleh endapan lunak berupa aluvium, karakteristik site effect ini rentan

terhadap bencana gempabumi.

2. Berdasarkan klasifikasi Kanai (1983) mengenai frekuensi dominan, hampir

seluruh Kota Banda Aceh memiliki tanah dengan Kelas 3 (f0 = 0 – 1,333

Hz) yang disusun oleh tanah yang sangat lunak terutama lapisan aluvium.

3. Amplifikasi di Kota Banda Aceh sebesar 2,4 – 14,5 kali, yang didominasi

oleh amplifikasi dengan nilai 4,4 – 8,4 kali. Daerah dengan amplifikasi

tertinggi berada di barat daya Kecamatan Baiturrahman dengan amplifikasi

diatas 12,5 kali.

4. Berdasarkan klasifikasi NEHRP (2000) mengenai VS30, hampir seluruh

Kota Banda Aceh memiliki tanah dengan Kelas E (VS30 = 0 – 183 m/s) yang

diidentifikasi sebagai tanah yang lunak yang rentan terhadap bencana

gempabumi.

131

5. Berdasarkan DSHA, nilai PGA batuan dasar di Kota Banda Aceh berkisar

pada 0,226 – 0,415 g. Daerah dengan nilai PGA batuan dasar terbesar

berada di barat daya dari Kota Banda Aceh dengan nilai 0,352 – 0,415 g.

6. Berdasarkan DSHA, nilai PGA permukaan tanah di Kota Banda Aceh

berkisar pada 0,387 – 0,733 g. Kota Banda Aceh sendiri didominasi nilai

PGA permukaan tanah berkisar pada 0,502 – 0,618 g. Daerah dengan

kerentanan bencana gempabumi tinggi berada di bagian barat daya Kota

Banda Aceh dengan PGA permukaan tanah 0,618 – 0,733 g.

7. Berdasarkan site effect (frekuensi dominan, amplifikasi dan VS30) dan

estimasi PGA dari metode DSHA, daerah yang paling rentan terhadap

bencana gempabumi berada dominan di bagian barat daya dari Kota Banda

Aceh. Tepatnya di barat daya Kecamatan Baiturrahman, tenggara

Kecamatan Meuraxa dan timur laut Kecamatan Banda Raya. Dengan

frekuensi dominan 0,202 – 0,807 Hz, amplifikasi 10,5 – 14,5 kali dan VS30

dibawah 100 m/s yang diidentifikasi tersusun oleh tanah lunak yang tebal.

Dan memiliki nilai PGA tertinggi di permukaan tanah, yaitu sebesar 0,618

– 0,733 g.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mempertimbangkan site effect (kondisi tanah lokal) yang berupa frekuensi

dominan, amplifikasi dan Vs30 hasil dari penelitian ini untuk penyusunan

132

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kota Banda Aceh, khususnya

dalam hal persebaran pembangunan bangunan sipil.

2. Memperhatikan frekuensi dominan dalam pendirian bangunan sipil,

direkomendasikan untuk tidak mendirikan bangunan sipil yang memiliki

frekuensi dasar yang sama dengan frekuensi dominan tanah.

3. Memperhatikan besar nilai PGA (Percepatan Tanah Puncak) dalam

pendirian bangunan sipil yang bersifat vital dan memiliki populasi tinggi.

Direkomendasikan bangunan-bangunan vital tidak dibangun diatas tanah

dengan nilai PGA yang tinggi.

4. Direkomendasikan untuk menggunakan rekayasa geoteknik dalam

pendirian bangunan sipil yang dibangun di daerah dengan kondisi tanah

(site effect) yang rentan terhadap gempabumi atau dengan nilai PGA yang

tinggi, sehingga dapat meminimalisir resiko bahaya.

5. Dilakukan survei lanjutan dengan metode yang lebih baik untuk

karakterisasi site effect di Kota Banda Aceh, seperti MASW atau Seismik

Refraksi.

6. Dilakukan sosialisasi oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam rangka

edukasi dan penyadaran kepada masyarakat mengenai potensi bencana

gempabumi dan cara meminimalisirnya.

7. Mengawasi dan menerapkan secara tegas SNI untuk pendirian bangunan

sipil tahan gempa di Kota Banda Aceh dalam rangka meminimalisir

kerentanan terhadap gempabumi.

133

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S.S., B.S. Mulyatno, Marjiyono, dan R. Setianegara. 2014. Penentuan Zona

Rawan Guncangan Bencana Gempa Bumi Berdasarkan Analisis Nilai

Amplifikasi HVSR Mikrotremor dan Analisis Periode Dominan Daerah Liwa

dan Sekitarnya. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Atakan, K., A.M. Duval, N. Theodulidis, B. Guillier, J.L. Chatelain, P.Y. Bard, dan

SESAME-Team. 2004. The H/V Spectral Ratio Technique: Experimental

Conditions, Data Processing and Empirical Reliability Assessment.

Proceedings of the 13th World Conference on Earthquake Engineering 2268:

1-6.

Atkinson, G.M. dan D.M. Boore. 2003. Empirical Ground-Motion Relations for

Subduction-Zone Earthquakes and Their Application to Cascadia and Other

Regions. Bulletin of the Seismological Society of America 93(4): 1703-1729.

Bard, P. Y. 1999. Microtremor Measurements: A Tool for Site Effect Estimation.

The effects of surface geology on seismic motion 3: 1251-1279.

Bennet, J.D., D.McC. Bridge, N.R. Cameron, A. Djunuddin, S.A. Ghazali, D.H.

Jeffrey, W. Kartawa, W. Keats, N.M.S. Rock, S.J. Thomson dan R.

Whandoyo. 1981. Peta Geologi Lembar Banda Aceh, Sumatera. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.

Boore, D. M. dan G.M. Atkinson. 2007. Boore-Atkinson NGA Ground Motion

Relations for The Geometric Mean Horizontal Component of Peak and

Spectral Ground Motion Parameters. Pacific Earthquake Engineering

Research Center. University of California, Berkeley.

134

Campbell, K.W. dan Y. Bozorgnia. 2007. Campbell-Bozorgnia NGA Ground

Motion Relations for The Geometric Mean Horizontal Component Of Peak

and Spectral Ground Motion Parameters. Pacific Earthquake Engineering

Research Center. University of California, Berkeley.

Chiou, B. J. dan R.R. Youngs. 2008. An NGA Model for The Average Horizontal

Component of Peak Ground Motion and Response Spectra. Earthquake

Spectra 24(1): 173-215.

Edwiza, D. 2008. Analisis Terhadap Intensitas dan Percepatan Tanah Maksimum

Gempa Sumbar. Teknik A 1 (29): 73-79.

Hadi, A.I., M. Farid, dan Y. Fauzi. 2012. Pemetaan Percepatan Getaran Tanah

Maksimum dan Kerentanan Seismik Akibat Gempa Bumi untuk Mendukung

Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bengkulu. Jurnal Ilmu

Fisika Indonesia 1 (2): 81-86.

Hutapea, B.M. dan I. Mangape. 2009. Analisis Hazard Gempa dan Usulan Ground

Motion pada Batuan Dasar untuk Kota Jakarta. Jurnal Teknik Sipil 16 (3):

121-131.

Kanai, K. 1983. Engineering Seismology. University of Tokyo Press. Tokyo.

Kramer, S.L. 1996. Geotechnical Earthquake Engineering. Prentice Hall. Upper

Saddle River, New Jersey.

Makrup, L. 2013. Seismic Hazard untuk Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Morikawa, N., S. Senna, Y. Hayakawa, dan H. Fujiwara. 2008. Application and

Verification of The ‘Recipe’to Strong-Motion Evaluation for The 2005 West

Off Fukuoka Earthquake (Mw= 6.6). Proceedings 14th World Conference

Earthquake Engineering (02-0039).

Nakamura, Y. 2000. Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura’s

Technique and Its Applications. Proceedings of the 12th world conference on

earthquake engineering 2656. New Zealand: Auckland.

135

Nakamura, Y. 2008. On The H/V Spectrum. The 14th World Conference on

Earthquake Engineering. Beijing, China.

Nasution, A.H. 2016. Pemetaan Kecepatan Gelombang Geser (VS30) Menggunakan

Metode MASW (Multichannel Analysis of Surface Wave) Kota Kalabahi

Kab. Alor Nusa tenggara timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

National Earthquake Hazards Reduction Program. 2000. International Building

Code. International Code Council. United States of America.

Ngadmanto, D., P. Susilanto, B. Nurdiyanto, S. Pakpahan, dan Masturyono. 2013.

Efek Tapak Lokal pada Daerah Kerusakan Akibat Gempabumi Bogor 9

September 2012. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 14 (3): 109-116.

Nurrahmi, R. Efendi, dan Sandra. 2015. Analisis Kecepatan Gelombang Geser VS30

Menggunakan Metode Refraksi Mikrotremor (ReMi) di Kelurahan Talise.

Gravitasi 14 (1).

Partono, W., M. Irsyam, S.P.R. Wardani, dan S. Maarif. 2013. Aplikasi Metode

HVSR pada Perhitungan Faktor Amplifikasi Tanah di Kota Semarang. Media

Komunikasi Teknik Sipil 19 (2): 125-134.

Pawirodikromo, W. 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta.

Pemerintah Kota Banda Aceh. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2012-2017. Pemerintah Kota Banda Aceh.

Banda Aceh.

Rosyidi, S.A.P., T.A. Jamaluddin, L.C. Sian, dan M.D. Taha. 2011. Kesan Gempa

7,6 Mw Padang Indonesia, 30 September 2009. Sains Malaysiana 40 (12):

1393-1405.

Setiawan, B., Sugiarto, dan G.S. Nugraha. 2012. Kajian Awal Respon Dinamik

Tanah Lunak Kota Banda Aceh Terhadap Gelombang Seismik. Laporan

Hasil Penelitian Dosen Muda. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

136

Sieh, K. dan D. Natawidjaja. 2000. Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia.

Journal of Geophysical Research 105: 28295-28326.

Sunardi, B., Daryono, J. Arifin, P. Susilanto, D. Ngadmanto, B. Nurdiyanto, dan

Sulastri. 2012. Kajian Potensi Bahaya Gempabumi Daerah Sumbawa

Berdasarkan Efek Tapak Lokal. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13 (2):

131-137.

Sungkono dan B.J. Santosa. 2011. Karakterisasi Kurva Horizontal-to-Vertical

Spectral Ratio: Kajian Literatur dan Permodelan. Jurnal Neutrino 4 (1).

Supartoyo dan Surono. 2008. Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun

1629 – 2007. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.

Tim Revisi Peta Gempa Indonesia. 2010. Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta

Gempa Indonesia 2010. Bandung.

Tohari, A., K. Sugianti, A.J. Syahbana dan E. Soebowo. 2015. Kerentanan

Likuifaksi Wilayah Kota Banda Aceh Berdasarkan Metode Uji Penetrasi

Konus. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan 25 (2): 99-110.

Wells, D.L., dan K.J. Coppersmith. 1994. New Empirical Relationships Among

Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface

Displacement. Bulletin of The Seismological Society of America 84 (4): 974-

1002.

Youngs, R.R., S.-J. Chiou, W. J. Silva, dan J. R. Humphrey. 1997. Strong Ground

Motion Attenuation Relationships for Subduction Zone Earthquakes.

Seismological Research Letters 68(1): 58-73.

Zhao, J. X., J. Zhang, A. Asano, Y. Ohno, T. Oouchi, T. Takahashi, H. Ogawa, K.

Iriruka, H.K. Thio, P.G. Somerville, Y. Fukushima dan Y. Fukushima. 2006.

Attenuation Relations of Strong Ground Motion in Japan Using Site

Classification Based on Predominant Period. Bulletin of the Seismological

Society of America 96(3): 898-913.

Zhao, J.X. dan H. Xu. 2012. Calibration of a Combined Site Parameter of VS30 and

Bedrock Depth for Ground-Motion Prediction Equations Using Strong-

Motion Records from Japan. 15th World Conference Earthquake Engineering.