kamis, 4 mei 2017 utama “bahasa bunga” sebagai inovasi...

1
[JAKARTA] Bahasa bunga merupakan cara dan bahasa baru dalam mengekspresikan suatu hal terutama dalam persoalan politik belakangan ini yang juga menyentuh aspek sosial dan agama. Hal ini terlihat pada fenomena ribuan karangan bunga yang dikirim ke Balaikota DKI Jakarta ditujukan kepada Ahok-Djarot sebagai guber- nur dan wagub. Kiriman serupa mengalir ke marka kepolisian sebagai bentuk dukungan Polri menjaga NKRI. Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, feno- mena ini menarik karena berbeda dengan negara-ne- gara lain yang juga menja- lankan demokrasi, di mana ekspresi disampaikan dengan kata-kata dan tindakan, bah- kan perlakuan serta kekeras- an. Inilah inovasi kultural dalam berpolitik. Menurutnya, flower movement ini menja- di bahasa kebudayaan baru dari publik yang mengingin- kan negeri ini damai dan sejahtera. "Kita tidak suka dan muak dengan hal itu. Para elite dan banyak kalangan memperli- hatkan perkelahian fisik. Masyarakat justru memper- lihatkan apa yang mewakili budaya kita dengan ungkap- an lain yakni bahasa bunga," katanya. Radhar menilai bahasa bunga merupakan juga baha- sa politis yang cantik dan mengandung banyak makna. Itu juga menjadi inovasi kultural dalam berpolitik. Di samping itu bunga menjadi bahasa politik yang kuat. Terbukti banyak reaksi yang anti dan keras tiba-tiba memandang itu sesuatu yang negatif dan penuh prasangka. "Mereka seperti terkena imbas dari pesan bunga itu. Hingga mereka pun menyinyi- rnya," ujarnya. Radhar mengungkapkan, bahasa bunga ini merupakan bahasa politik baru yang pertama kali terjadi. Karena sepanjang sejarah manusia belum pernah hal ini terjadi dimanapun. Indonesia seha- rusnya boleh berbangga. Selanjutnya bunga juga menjadi bahasa ekspresi politis baru yang menggam- barkan dunia batin dari publik yang mengalami kecemasan tinggi akibat dari pergolakan politik di pilkada dan pilpres. Kompetisi politik itu memberi dampak destruktif dan negatif dalam kehidupan masyarakat. Bahkan berdampak pula pada aspek emosional, inte- lektual, spiritual dan fisik. “Kemudian keprihatinan itu diungkapkan secara kultural. Makanya tak hanya Ahok Djarot yang dikirimi bunga. Kepolisian bahkan Presiden Joko Widodo juga dikirimi bunga,” katanya. Pesan yang ada di dalam kiriman bunga itu, masyara- kat meminta agar kesatuan, persatuan dan NKRI dijaga, jangan sampai dirusak dengan cara-cara tidak beradab. Karena tujuan ingin meraih jabatan publik maka ada upaya saling berebut padahal jabat- an itu sejatinya menjadi pelayan bagi publik. Masyarakat juga menge- tahui di balik ‘bahasa bunga’ itu ada pihak dari dalam dan luar yang ingin mengoyak- ngoyak kenyamanan, keda- maian negeri ini. Radhar menyatakan pihak intoleran, separatis, dan radi- kal sebelum Indonesia mer- deka pun sudah ada. Namun pada zaman Soeharto, lanjut- nya, mereka seolah dikerang- keng. Saat reformasi dengan alasan kebebasan, kunci kerangkeng tersebut dibuka. Menurut sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, bunga memiliki makna simbolis sebagai refleksi penghargaan dan simpati. Dengan memberikan bunga ini sekaligus mengajak bahwa dukungan tidak harus dalam bentuk pengerahan massa, tapi bisa berupa apre- siasi simbolis. "Pemberian bunga untuk peristiwa sosial seperti ulang tahun atau ada kegiatan ter- tentu sebetulnya hal yang biasa. Namun ketika masuk ke ranah politik hal ini meru- pakan simbol baru," katanya. Menariknya kata-kata dalam kiriman bunga itu sangat ekspresif, berisi kali- mat dan muatan personal. Hal ini mencerminkan orang yang memberikan memiliki kede- katan emosional dari orang yang diberi bunga tersebut. Dalam konteks politik, lanjutnya, hal ini baik karena tidak menciptakan suasana yang mencekam dibanding jika yang dilakukan adalah aksi massa. Kiriman bunga ini relatif lebih bisa diterima orang lain. [R-15] 3 Suara Pembaruan Kamis, 4 Mei 2017 Utama SP/JOANITO DE SAOJOAO Warga melintas di depan deretan karangan bunga yang diletakkan di depan Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/5). Kapolri dalam keterangannya menilai, karangan bunga itu adalah dukungan kepada Polri untuk melakukan tindakan yang tegas kepada kelompok -kelompok yang intoleran, kelompok-kelompok yang kira-kira dapat mengganggu NKRI. [YOGYAKARTA] Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang mengemuka dan sengaja digulirkan pada Pilgub DKI Jakarta tampaknya dipelihara meski proses demokrasi dalam menentukan kepala daerah telah selesai dan hasilnya sudah terlihat. Polaritas dukungan bersim- bol agama tidak hanya terjadi di Jakarta melainkan seluruh Indonesia. Menurut peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Zuly Qodir, isu SARA yang senga- ja dihembuskan untuk menjatuhkan paslon tertentu dalam Pilgub DKI Jakarta masih bergulir meski Pilgub telah usai karena masih banyak kepentingan dan ketidakpuasan kelompok tertentu yang mengguna- kan kekuatan di luar partai politik. Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berujung pada pemidanaan dan aksi-aksi damai dalam skala besar, bahkan akan dilanjutkan meski Ahok telah kalah, tidak lepas dari munculnya kekuat- an politik partikelir. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan di luar partai politik, seperti kelompok-ke- lompok yang didesain untuk mela- kukan kejahatan politik. “Di balik itu semua, munculnya gerakan-gerakan berskala besar tersebut benar-benar mengindikasi- kan bahwa perang ideologi sedang digulirkan di negara ini,” katanya. Mereka berlindung di balik kebebasan berpendapat, dalam demokrasi dan HAM, sehingga gerakan mereka makin masif semen- tara aparat yang akan menindak sepertinya berbenturan dengan UU. Karena itu, katanya, pembentur- an antara kemerdekaan berpendapat dan ideologi negara harus dihadapi juga dengan hukum dan konstitusi negara. Aparat Kepolisian dan TNI memiliki kewajiban dalam mene- gakkan ideologi negara. Untuk memutuskan mata rantai radikalisme, Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhadi Sugiono menyaran- kan agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan deradikalisasi organik, yakni berbasis kelompok dan keku- atan masyarakat. Sebab menurutnya, jika berbasis pada kekuatan militer, justru menim- bulkan kerugian bagi masyarakat. “Perlu disadari bahwa yang diperangi saat ini adalah ideologi. Meskipun masyarakat umum tahu bahwa gerakan massa masif tersebut digerakkan oleh kepentingan, namun masih kasat mata,” ujarnya. Benar bahwa aparat Kepolisian tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi gencarnya rongrongan atas kebinekaan bangsa Indonesia. Perlu didorong keterlibatan organi- sasi kemasyarakatan, termasuk silent majority, untuk sama-sama bergerak. Harus Tampil Wakil Ketua Setara Institute Bonar Togar Naipospos mendukung pernyataan Kapolri Tito Karnavian agar kelompok mayoritas masyara- kat (silent majority) agar berani bersuara melawan kelompok intole- ran. Jika tidak, keutuhan negara ini berserta falsafah yang dianutnya bisa bubar. "Silent majority bukan hanya untuk mem-back up Polri tapi memang sudah seharusnya speak out (bersuara, Red) untuk menyela- matkan falsafah Pancasila yang sedang dirongrong," kata Bonar di Jakarta, Kamis (4/5). Ia menjelaskan memang ironis apa yang terjadi sekarang ini. Polisi sebagai penegak hukum memerlukan dukungan aktif dari masyarakat. Namun, ini merefleksikan negara yang lemah dalam memberikan perlindungan pada warga negaranya. Ini juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa intoleransi dan radikalisme semakin merebak dan negara seakan melakukan pembiar- an. Kondisi semacam ini sudah berlangsung bertahun-tahun. "Realitas ini disadari oleh Tito sebagai Kapolri, dia berkata jujur meski pahit, bahwa polisi membu- tuhkan dukungan konkret agar mampu melawan intoleransi dan radikalisme. Bagi masyarakat sendiri ini adalah momentum utk memberi dukungan Polisi agar kembali kepada jati dirinya sebagai penegak hukum. Dukungan moral dalam bermacam bentuk, termasuk seperti yang kita lihat akhir-akhir dengan pemberian bunga," ujarnya. "Harus diakui pemerintah seka- rang ini, terlalu banyak pertimbang- an politik dan khawatir kehilangan dukungan popular," tuturnya. Dia menambahkan kelompok radikal dan intoleran yang marak dalam dua dekade terakhir di Indonesia beragam dan masing- masing memiliki agenda tersendiri. Ada yang sekadar eksis dan meng- gunakan jubah agama untuk keun- tungan pribadi, ada yang memiliki agenda politik merebut kekuasaan, ada yang bercita-cita mengganti NKRI menjadi negara agama. Bukan rahasia lagi ada kelompok intoleran yang memiliki hubungan dengan aparat keamanan, bahkan pemben- tukannya didanai oleh kekuatan-ke- kuatan politik lama yang memiliki kaitan dengan masa orde baru. Kelompok-kelompok ini aktif menyebarkan gagasan dan merekrut pendukungnya dari segala lapisan masyarakat. Pembiaran yang dila- kukan negara selama bertahun-tahun membuat kelompok ini cukup memiliki basis di masyarakat. Menghadapi kelompok semacam ini jauh lebih sulit dan kompleks tan- tangannya ketimbang melawan kelompok ekstrem yang mengguna- kan kekerasan. Terhadap kelompok yang menggunakan kekerasan, polisi mendapat justifikasi untuk menindaknya, tetapi terhadap kelom- pok radikal dan intoleran, polisi membutuhkan dukungan masyarakat agar mem-back up secara politik. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, diharapkan massa aksi Jumat (5/5) atau Aksi 505, tidak turun ke jalan atau melakukan longmarch karena bisa mengganggu aktivitas masya- rakat lainnya. Sedangkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) membatah, apabila aksi simpati 505 dinilai menekan atau menuntut majelis hakim agar Basuki Tjahaja Purnama divonis bersalah terkait kasus duga- an penodaan agama. Pengacara GNPF MUI, Kapitra Ampera mengatakan, tujuan aksi massa 505 adalah untuk mendukung independensi majelis hakim. [BAM/R-14/152] Isu SARA Sengaja Dipelihara Pasca-Pilgub DKI Jakarta “Bahasa Bunga” sebagai Inovasi Kultural Berpolitik

Upload: tranhanh

Post on 09-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

[JAKARTA] Bahasa bunga merupakan cara dan bahasa baru dalam mengekspresikan suatu hal terutama dalam persoalan politik belakangan ini yang juga menyentuh aspek sosial dan agama. Hal ini terlihat pada fenomena ribuan karangan bunga yang dikirim ke Balaikota DKI Jakarta ditujukan kepada Ahok-Djarot sebagai guber-nur dan wagub. Kiriman serupa mengalir ke marka kepolisian sebagai bentuk dukungan Polri menjaga NKRI.

Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, feno-mena ini menarik karena berbeda dengan negara-ne-gara lain yang juga menja-lankan demokrasi, di mana ekspresi disampaikan dengan kata-kata dan tindakan, bah-kan perlakuan serta kekeras-an. Inilah inovasi kultural dalam berpolitik. Menurutnya, flower movement ini menja-di bahasa kebudayaan baru dari publik yang mengingin-kan negeri ini damai dan sejahtera.

"Kita tidak suka dan muak dengan hal itu. Para elite dan banyak kalangan memperli-hatkan perkelahian fisik. Masyarakat justru memper-lihatkan apa yang mewakili budaya kita dengan ungkap-an lain yakni bahasa bunga," katanya.

Radhar menilai bahasa bunga merupakan juga baha-

sa politis yang cantik dan mengandung banyak makna. Itu juga menjadi inovasi kultural dalam berpolitik.

Di samping itu bunga menjadi bahasa politik yang kuat. Terbukti banyak reaksi yang anti dan keras tiba-tiba memandang itu sesuatu yang negatif dan penuh prasangka.

"Mereka seperti terkena imbas dari pesan bunga itu. Hingga mereka pun menyinyi-rnya," ujarnya.

Radhar mengungkapkan,

bahasa bunga ini merupakan bahasa politik baru yang pertama kali terjadi. Karena sepanjang sejarah manusia belum pernah hal ini terjadi dimanapun. Indonesia seha-rusnya boleh berbangga.

Selanjutnya bunga juga menjadi bahasa ekspresi politis baru yang menggam-barkan dunia batin dari publik yang mengalami kecemasan tinggi akibat dari pergolakan politik di pilkada dan pilpres.

Kompetisi politik itu memberi dampak destruktif dan negatif dalam kehidupan masyarakat.

Bahkan berdampak pula pada aspek emosional, inte-lektual, spiritual dan fisik. “Kemudian keprihatinan itu diungkapkan secara kultural. Makanya tak hanya Ahok Djarot yang dikirimi bunga. Kepolisian bahkan Presiden Joko Widodo juga dikirimi bunga,” katanya.

Pesan yang ada di dalam

kiriman bunga itu, masyara-kat meminta agar kesatuan, persatuan dan NKRI dijaga, jangan sampai dirusak dengan cara-cara tidak beradab. Karena tujuan ingin meraih jabatan publik maka ada upaya saling berebut padahal jabat-an itu sejatinya menjadi pelayan bagi publik.

Masyarakat juga menge-tahui di balik ‘bahasa bunga’ itu ada pihak dari dalam dan luar yang ingin mengoyak-ngoyak kenyamanan, keda-

maian negeri ini. Radhar menyatakan pihak

intoleran, separatis, dan radi-kal sebelum Indonesia mer-deka pun sudah ada. Namun pada zaman Soeharto, lanjut-nya, mereka seolah dikerang-keng. Saat reformasi dengan alasan kebebasan, kunci kerangkeng tersebut dibuka.

M e n u r u t s o s i o l o g Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, bunga memiliki makna simbolis sebagai refleksi penghargaan dan simpati. Dengan memberikan bunga ini sekaligus mengajak bahwa dukungan tidak harus dalam bentuk pengerahan massa, tapi bisa berupa apre-siasi simbolis.

"Pemberian bunga untuk peristiwa sosial seperti ulang tahun atau ada kegiatan ter-tentu sebetulnya hal yang biasa. Namun ketika masuk ke ranah politik hal ini meru-pakan simbol baru," katanya.

Menariknya kata-kata dalam kiriman bunga itu sangat ekspresif, berisi kali-mat dan muatan personal. Hal ini mencerminkan orang yang memberikan memiliki kede-katan emosional dari orang yang diberi bunga tersebut.

Dalam konteks politik, lanjutnya, hal ini baik karena tidak menciptakan suasana yang mencekam dibanding jika yang dilakukan adalah aksi massa. Kiriman bunga ini relatif lebih bisa diterima orang lain. [R-15]

3Sua ra Pem ba ru an Kamis, 4 Mei 2017 Utama

SP/Joanito De SaoJoao

Warga melintas di depan deretan karangan bunga yang diletakkan di depan Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/5). Kapolri dalam keterangannya menilai, karangan bunga itu adalah dukungan kepada Polri untuk melakukan tindakan yang tegas kepada kelompok-kelompok yang intoleran, kelompok-kelompok yang kira-kira dapat mengganggu nKRi.

[YOGYAKARTA] Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang mengemuka dan sengaja digulirkan pada Pilgub DKI Jakarta tampaknya dipelihara meski proses demokrasi dalam menentukan kepala daerah telah selesai dan hasilnya sudah terlihat. Polaritas dukungan bersim-bol agama tidak hanya terjadi di Jakarta melainkan seluruh Indonesia.

Menurut peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Zuly Qodir, isu SARA yang senga-ja dihembuskan untuk menjatuhkan paslon tertentu dalam Pilgub DKI Jakarta masih bergulir meski Pilgub telah usai karena masih banyak kepentingan dan ketidakpuasan kelompok tertentu yang mengguna-kan kekuatan di luar partai politik.

Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berujung pada pemidanaan dan aksi-aksi damai dalam skala besar, bahkan akan dilanjutkan meski Ahok telah kalah, tidak lepas dari munculnya kekuat-an politik partikelir. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan di luar partai politik, seperti kelompok-ke-lompok yang didesain untuk mela-kukan kejahatan politik.

“Di balik itu semua, munculnya gerakan-gerakan berskala besar tersebut benar-benar mengindikasi-

kan bahwa perang ideologi sedang digulirkan di negara ini,” katanya.

Mereka berlindung di balik kebebasan berpendapat, dalam demokrasi dan HAM, sehingga gerakan mereka makin masif semen-tara aparat yang akan menindak sepertinya berbenturan dengan UU.

Karena itu, katanya, pembentur-an antara kemerdekaan berpendapat dan ideologi negara harus dihadapi juga dengan hukum dan konstitusi negara. Aparat Kepolisian dan TNI memiliki kewajiban dalam mene-gakkan ideologi negara.

Untuk memutuskan mata rantai radikalisme, Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhadi Sugiono menyaran-kan agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan deradikalisasi organik, yakni berbasis kelompok dan keku-atan masyarakat.

Sebab menurutnya, jika berbasis pada kekuatan militer, justru menim-bulkan kerugian bagi masyarakat.

“Perlu disadari bahwa yang diperangi saat ini adalah ideologi. Meskipun masyarakat umum tahu bahwa gerakan massa masif tersebut digerakkan oleh kepentingan, namun masih kasat mata,” ujarnya.

Benar bahwa aparat Kepolisian tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi gencarnya rongrongan

atas kebinekaan bangsa Indonesia. Perlu didorong keterlibatan organi-sasi kemasyarakatan, termasuk silent majority, untuk sama-sama bergerak.

Harus Tampil Wakil Ketua Setara Institute

Bonar Togar Naipospos mendukung pernyataan Kapolri Tito Karnavian agar kelompok mayoritas masyara-kat (silent majority) agar berani bersuara melawan kelompok intole-ran. Jika tidak, keutuhan negara ini berserta falsafah yang dianutnya bisa bubar.

"Silent majority bukan hanya untuk mem-back up Polri tapi memang sudah seharusnya speak out (bersuara, Red) untuk menyela-matkan falsafah Pancasila yang sedang dirongrong," kata Bonar di Jakarta, Kamis (4/5).

Ia menjelaskan memang ironis apa yang terjadi sekarang ini. Polisi sebagai penegak hukum memerlukan dukungan aktif dari masyarakat. Namun, ini merefleksikan negara yang lemah dalam memberikan perlindungan pada warga negaranya. Ini juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa intoleransi dan radikalisme semakin merebak dan negara seakan melakukan pembiar-an. Kondisi semacam ini sudah berlangsung bertahun-tahun.

"Realitas ini disadari oleh Tito

sebagai Kapolri, dia berkata jujur meski pahit, bahwa polisi membu-tuhkan dukungan konkret agar mampu melawan intoleransi dan radikalisme. Bagi masyarakat sendiri ini adalah momentum utk memberi dukungan Polisi agar kembali kepada jati dirinya sebagai penegak hukum. Dukungan moral dalam bermacam bentuk, termasuk seperti yang kita lihat akhir-akhir dengan pemberian bunga," ujarnya.

"Harus diakui pemerintah seka-rang ini, terlalu banyak pertimbang-an politik dan khawatir kehilangan dukungan popular," tuturnya.

Dia menambahkan kelompok radikal dan intoleran yang marak dalam dua dekade terakhir di Indonesia beragam dan masing- masing memiliki agenda tersendiri. Ada yang sekadar eksis dan meng-gunakan jubah agama untuk keun-tungan pribadi, ada yang memiliki agenda politik merebut kekuasaan, ada yang bercita-cita mengganti NKRI menjadi negara agama. Bukan rahasia lagi ada kelompok intoleran yang memiliki hubungan dengan aparat keamanan, bahkan pemben-tukannya didanai oleh kekuatan-ke-kuatan politik lama yang memiliki kaitan dengan masa orde baru. Kelompok-kelompok ini aktif menyebarkan gagasan dan merekrut pendukungnya dari segala lapisan

masyarakat. Pembiaran yang dila-kukan negara selama bertahun-tahun membuat kelompok ini cukup memiliki basis di masyarakat. Menghadapi kelompok semacam ini jauh lebih sulit dan kompleks tan-tangannya ketimbang melawan kelompok ekstrem yang mengguna-kan kekerasan. Terhadap kelompok yang menggunakan kekerasan, polisi mendapat justifikasi untuk menindaknya, tetapi terhadap kelom-pok radikal dan intoleran, polisi membutuhkan dukungan masyarakat agar mem-back up secara politik.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, diharapkan massa aksi Jumat (5/5) atau Aksi 505, tidak turun ke jalan atau melakukan longmarch karena bisa mengganggu aktivitas masya-rakat lainnya.

Sedangkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) membatah, apabila aksi simpati 505 dinilai menekan atau menuntut majelis hakim agar Basuki Tjahaja Purnama divonis bersalah terkait kasus duga-an penodaan agama. Pengacara GNPF MUI, Kapitra Ampera mengatakan, tujuan aksi massa 505 adalah untuk mendukung independensi majelis hakim. [BAM/R-14/152]

Isu SARA Sengaja Dipelihara Pasca-Pilgub DKI Jakarta

“Bahasa Bunga” sebagai Inovasi Kultural Berpolitik