kalaidoskop bbksda ntt

Upload: konservasiwiratno

Post on 02-Mar-2016

284 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur

TRANSCRIPT

  • 1

    Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013

    Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur

    Sepanjang tahun 2013, Balai Besar KSDA NTT telah melakukan berbagai upaya konservasi

    alam. Upaya-upaya yang dinilai penting untuk diketahui oleh publik, antara lain terkait

    dengan kawasan, penyelesaian konflik satwa liar-manusia, kebakaran di kawasan savana,

    inisiatif baru di TWA Ruteng membangun kerjasama Tiga Pilar, menemukan komodo di

    sepanjang Pantai Utara Flores dengan camera trap bersama Komodo Survival Program dan

    Yayasan Burung Indonesia, penetapan Ekosistem Esensial di HL Pota, riset sponge untuk anti

    cancer bersama Jurusan Ilmu Kelautan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP

    Semarang, peningkatan kapasitas staf untuk keberlanjutan RBM, penyelesaian penggunaan

    lahan di CA Watu Ata melalui evaluasi fungsi, penyelesaian eks warga Timtim yang

    menggrarap di SM Kateri dan inisiatif dukungan JICS untuk rehabilitasi SM Kateri, serta

    dukungan bagi Marine Diving Clubs dalam pemantauan kesehatan karang di TWA 17 Pulau.

    Terdapat 11 kegiatan dan/ atau peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun 2013 dan dinilai

    perlu untuk diketahui oleh publik. Kesebelas kegiatan atau peristiwa tersebut adalah

    sebagai berikut :

    1. Konflik Buaya

    Dari 29 kawasan konservasi yang dikelola oleh BBKSDA NTT, terdapat beberapa

    kawasan perairan yang merupakan habitat buaya, di antaranya adalah TWAL Teluk Kupang,

    TWA Menipo dan Taman Buru Bena (Kab Amarasi Selatan), serta CA Maubesi di Kabupaten

    Malaka. Laporan masyarakat ada adanya gangguan buaya, mulai darii yang hanya sekedar

    penampakan pada daerah wisata Pantai Lasiana, Pantai Manikin, Pantai Tablolong

    (ketiganya di Kabupaten Kupang), Teluk Kupang, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ngada

    serta di Teluk Kalabahi (Kabupaten Alor), hingga peristiwa diterkamnya warga masyarakat

    yang mengakibatkan luka sebagian atau bahkan hingga meninggal dunia. Pada Tahun 2013,

    peristiwa konflik buaya antara lain terjadi pada :

  • 2

    1. Tanggal 6 Januari 2013, masyarakat menangkap buaya muara yang selama ini

    meresahkan masyarakat pada lokasi wisata Pantai Manikin Kabupaten Kupang, ditangkap

    oleh masyarakat dan selanjutnya diserahkan kepada BBKSDA NTT. Selanjutnya buaya

    sepanjang sekitar 3,5 meter tersebut dilepasliarkan di selat pada TWA Manipo,

    Kabupaten Kupang.

    2. Tanggal 30 Mei 2013; seorang warga masyarakat Kelurahan Merdeka Kecamatan Kupang

    Timur Kabupaten Kupang bernama Sam Sem Ledo berusia 53 tahun tewas dimakan

    buaya. Ayah 11 anak ini tidak kembali ke rumahnya setelah izin pergi memancing.

    Keluarga melapor polisi dan melakukan pencarian ke sungai. Polisi mengatakan mereka

    awalnya menemukan keranjang kepiting milik Sam dan alat-alat pancing serta sandalnya.

    Dalam penyusuran selanjutnya, polisi dan keluarga terkejut saat melihat kepala Sam

    mengapung di air. Organ tubuhnya, termasuk usus, ditemukan berceceran di dekat lokasi

    kepala tersebut. Pada kasus ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak untuk

    menemukan, menangkap dan merelokasi buaya ini.

    3. Tanggal 14 September 2013, setelah meresahkan masyarakat di sekitar Pasar Oeba Kota

    Kupang selama beberapa hari, seekor buaya akhirnya berhasil dijerat oleh masyarakat

    nelayan setempat. Buaya sepanjang 362 cm selanjutnya diserahkan kepada BBKSDA NTT.

    Pelepasliaran dilakukan pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena, Kabupaten

    Timor Tengah Selatan

    4. Tanggal 29 September 2013, sekor buaya muara sepanjang 392 cm masuk pada areal

    pesawahan di sekitar kawasan CA Maubesi di Kabupaten Malaka. Dalam proses

    pelepasliaran pada awal Oktober 2013 terjadi kecelakaan yang mengakibatkan putusnya

    jari tengah tangan kiri petugas lapangan An. Joni Karya, Polhut pada Resort Konservasi

    Wilayah CA Hutan Bakau Maubesi akibat tergigit satwa.

    5. Tanggal 17 Oktober 2013, seekor buaya muara sepanjang 425 cm masuk pada tambak

    masyarakat di sekitar TWA Bipolo di Kabupaten Kupang. Petugas BBKSDA NTT

    menangkap dan merelokasi buaya tersebut pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru

    Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan

    6. Tanggal 16 November 2013; Amarsing (39), warga Kelurahan Solor, Kecamatan Kota

    Lama, Kota Kupang, diduga tewas dimangsa buaya di Pantai Namosain, Kupang. Tim dari

    Badan SAR Nasional (Basarnas) Kupang yang mencari jenazah Amarsing tidak berhasil

  • 3

    menemukannya. Terhadap peristiwa ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak

    mengingat penanganan buaya di perairan memerlukan prasarana dan sarana berupa

    kapal serta perlengkapan yang lebih lengkap.

    2. Fenomena Hotspot di Provinsi NTT

    Berdasarkan data dari mailinglist Sistem Informasi Kebakaran Hutan Direktorat

    Pengendalian Kebakaran Hutan, Situs InfoFire dan NASA Firms, para periode Januari-

    November 2013, di Provinsi NTT terdapat 2.287 hotspot. Hotspot atau titik panas adalah

    parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran

    hutan dan lahan. Dari 2.287 hotspot di seluruh NTT, hanya 16 hotspot yang berada di

    kawasan konservasi yang dikelola oleh BBKSDA NTT, yaitu di CA Wae Wuul (1 titik), CA Wolo

    Tado (4 titik), CA Riung (2 titik), SM Kateri (3 titik), TWA Ruteng (1 titik), TWA Pulau Besar (1

    titik), dan di TWA Tuti Adagae (4 titik). Kebakaran di kawasan konservasi, umumnya terjadi

    di savana. Adalah bagian dari proses baik alami maupun yang disengaja, tetapi sangat

    penting bila dikaitkan dengan ketersediaan pakan khususnya bagi rusa, seperti di TWA

    Menipo. Sedangkan rusa menjadi sumber pakan utama biawak komodo, di CA Wae Wuul.

    Kebakaran yang terjadi di TWA Menipo pada 17 September 2012 seluas 30 Ha, telah

    kembali pulih dalam waktu kurang dari satu bulan dan menjadi sumber pakan rusa. Namun

    demikian, kebakaran di savana juga tidak dapat dibiarkan begitu saja sehingga meluas dan

    dapat berakibat membakar berbagai jenis pohon yang penting untuk sarang berbagai jenis

    burung.

    Pada tahun 2013, telah terjadi dua kali kebakaran hutan di CA Mutis. Kebakaran

    pertama terjadi pada pada tanggal 03 Oktober 2013 di dalam kawasan CA Mutis, lokasi

    Uknonin - Desa Bonleu Kec. Tobu Kab. TTS. Pada pukul 13.00 WITA, Tim pemadam dari

    BBKSDA NTT melakukan kordinasi dengan Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Bonleu.

    Dengan mempertimbangkan masukan-masukan, kondisi medan serta ketersediaan tenaga

    masyarakat untuk membantu memadamkan, maka pemadaman baru bisa dilakukan

    keesokan harinya pada hari Jumat tanggal 04 Oktober 2013. Pukul 06:00 WITA, tim

    pemadam bersama masyarakat bergerak ke lokasi yang terbakar pada. Lokasi kebakaran

    terletak pada titik koordinat (S 090 3426.0 E 12401439.0).

  • 4

    Kebakaran masih termasuk dalam tipe kebakaran permukaan, karena kebakaran

    sebagian besar hanya membakar semak dan tumbuhan bawah. Dengan dibantu hujan

    gerimis yang turun pada malam sebelumnya kebakaran akhirnya dapat dipadamkan oleh tim

    pada sore hari. Luas area yang terbakar 5 Hektar. Penyebab kebakaran diduga akibat

    aktifitas masyarakat yang berburu kus-kus. Masyarakat membakar hutan untuk

    memudahkan menggiring kus-kus sehingga kebakaran ini mengakibatkan terbakarnya

    seresah (bawah) dan pohon ampupu.

    Kebakaran kedua terjadi di bulan November 2013. Kejadian berlangsung selama tiga

    hari, yaitu mulai terjadi pada hari Selasa tanggal 12 Nopember dan berhasil dipadamkan

    pada hari Kamis tanggal 14 Nopember 2013. Informasi terjadinya kebakaran diterima oleh

    petugas RKW CA Mutis dari masyarakat Desa Tutem pada tanggal 12 Nopember 2013 di

    malam hari. Keesokan harinya petugas melakukan koordinasi dengan Kepala Desa, Tokoh

    masyarakat dan Tokoh Agama Desa Tutem dan Desa Pusabu (Desa pemekaran dari Desa

    Tutem) untuk melakukan aksi pemadaman.

    Kebakaran terjadi di dua lokasi yang berbeda. Pemadaman pertama dilakukan di

    lokasi Telli Desa Tutem (S 090 38 40,24 E 12401623,77) dengan ketinggian 1.099 mdpl.

    Sedangkan pemadaman kedua dlakukan pada hari berikutnya di lokasi Oepah Desa Tutem

    (S 090 38 31,25 E 12401537,55) dengan ketinggian 1.295 m dpl. Jarak antara kedua

    lokasi 3 Km, tapi dengan kondisi medan yang berbukit-bukit membuat jangkauan ke lokasi

    semakin sulit. Kebakaran di kedua lokasi berhasil dipadamkan pada hari Kamis tanggal 14

    November 2013 pukul 15:00 WITA. Aksi pemadaman sangat tertolong dengan turunnya

    hujan lebat di lokasi-lokasi kebakaran sehingga api dapat cepat padam. Luas yang terbakar

    di lokasi Telli seluas 8 Ha dan di lokasi Oepah seluas 12 Ha. Kebakaran termasuk kategori

    kebakaran permukaan karena tidak sampai membakar pohon-pohon yang ada di lokasi, dan

    hanya membakar tumbuhan bawah serta semak belukar.

    Penyebab kebakaran hutan di CA Mutis diduga akibat aktivitas masyarakat sekitar

    yang membakar lahan pertanian mereka untuk persiapan lahan tanam, yang kemudian

    merambat ke dalam kawasan. Untuk usaha ke depannya perlu dilakukan sosialisasi

    pencegahan kebakaran hutan di Desa tersebut, sehingga tidak lagi terjadi kebakaran di

    kawasan CA Mutis akibat persiapan lahan masyarakat sekitar kawasan dan juga perlu

    dilakukan patroli intensif pada area-area rawan kebakaran.

  • 5

    Kebakaran terjadi pula di kawasan CA Wae Wuul, yaitu di daerah Gunung Warloka

    (1,5 Ha) dan Gunung Menjerite (50 Ha), pada tanggal 20 Agustus 2013. Kebakaran di

    Gunung Menjerite sulit dipadamkan karena lokasinya sangat jauh dan tidak ada akses.

    Petugas belum mengetahui penyebab terjadinya kebakaran di kedua tempat ini.

    3. Tiga Pilar untuk Kelola TWA Ruteng

    Ketidaksepahaman terhadap batas TWA Ruteng menurut masyarakat Adat di Colol

    dengan batas versi Balai KSDA NTT II pada awal tahun 2000-an menimbulkan berbagai

    konflik dan upaya penegakan hukum pada tahun 2004 berujung jatuhnya korban di pihak

    petani dimana 7 orang meninggal dan puluhan cacat permanen. Sejak saat itu hingga akhir

    2011, tidak pernah terjadi komunikasi antara Balai KSDA di Ruteng dengan masyarakat di

    Colol.

    Tiga Pilar adalah inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi, melalui duduk bersama atau

    lonto leok, dan dicapai kesepahaman pada 12-12-2012 di Rumah Gendang Induk di Colol.

    Musyawarah Besar di Kisol, Manggarai Timur pada 29 - 30 Mei 2013 dan di Manggarai pada

    18 - 19 Juni 2013 telah mengkristalkan kesepahaman para pihak (gereja, masyarakat adat,

    pemerintah kabupaten, kecamatan, desa) untuk menyelamatkan dan melindungi TWA

    Ruteng demi kepentingan bersama, dengan simpul ikatan air untuk kehidupan. Semua

    masalah harus diselesaikan bersama Tiga Pihak tersebut.

    Pada prinsipnya Tiga Pilar adalah suatu lembaga dialog, dimana berbagai konflik

    dan persoalan diselesaikan bersama-sama secara damai. Demikian pula potensi kawasan

    harus bisa dimanfaatkan dengan pola musyawarah tiga pihak. Dengan terbangunnya

    mekanisme komunikasi dan dialog untuk memecahkan masalah dan mengembangkan

    potensi ini diharapkan menjadi suatu kesadaran bersama. Pada akhir Desember 2013

    dilaksanakan cek batas secara bersama (adat, gereja, pemerintah desa) untuk mengetahui

    batas yang sebenarnya dan batas yang disepakati. Era baru pengelolaan kolaboratif Tiga

    Pihak dimulai di TWA Ruteng dan akan terus dikawal di 2014 dan seterusnya.

  • 6

    4. Komodo ada Dimana-mana

    a. Pulau Ontoloe - TWA Tujuh Belas Pulau

    Pemantauan populasi satwa liar merupakan salah satu komponen yang sangat

    penting dalam upaya konservasi, terutama untuk satwa yang terancam punah. Kegiatan

    pemantauan yang efektif haruslah dapat menentukan dan menggunakan metode-metode

    yang menghasilkan data yang akurat dengan biaya yang rendah dan efisien secara logistik.

    Pada tanggal 26 September hingga 6 Oktober 2012, Tim BBKSDA NTT dibantu oleh

    Komodo Survival Program (KSP) berusaha untuk melakukan survey awal sebaran populasi

    Komodo di Pulau Ontoloe. Metode yang digunakan adalah dengan bantuan camera trap

    untuk mengamati kehadiran satwa biawak komodo. Berdasarkan data dari foto-foto yang

    dihasilkan oleh camera trap, diperkirakan individu biawak komodo di Pulau Ontoloe adalah

    sekitar 6 - 8 ekor, sedangkan berdasarkan hasil perhitungan site occupancy menunjukkan

    nilai indeks populasinya adalah 0,80 0.14. Biawak komodo di Pulau Ontoloe tergolong

    sehat, hal ini ditunjukkan melalui foto-foto yang didapatkan bahwa pada umumnya bagian

    pangkal ekor masing biawak Komodo tersebut terlihat gemuk (cembung) tidak cekung.

    Kegiatan survai populasi biawak komodo dan mangsanya di Pulau Ontoloe TWAL

    Tujuh Belas Pulau kembali dilakukan pada tanggal 26 Oktober - 5 Nopember 2013.

    Berdasarkan perhitungan menggunakan metode Mark-Recapture, populasi biawak komodo

    di dalam area kajian Pulau Ontoloe diperkirakan sebanyak 16 ekor atau memiliki nilai

    kepadatan 7,5 individu per kilometer persegi. Ukuran tubuh biawak komodo bervariasi dari

    Komodo yang terkecil sepanjang 109,1 cm (SVL=44,6) dengan berat 1 kg, hingga yang

    terbesar berukuran 219,5 cm (SVL=100,7) dengan berat mencapai 18,4 kg. Selain itu telah

    ditemukan dua sarang biawak komodo di pulau Ontoloe, sehingga perlu diadakannya

    monitoring yang lebih intensif pada waktu musim reproduksi, untuk memastikan apakah

    sarang tersebut aktif atau digunakan komodo betina untuk meletakkan telurnya.

    b. Tanjung Watu Pajung

    Dengan menerapkan pola Tiga Pilar, pada tanggal 7 November 2013 dilakukan

    lonto leok (duduk bersama) dengan metode diskusi terbatas yang dipimpin langsung oleh

    Kepala Bidang KSDA Wilayah II (Ora Yohanes) dengan narasumber dari KSP (Achmad

    Ariefiandy Husen, M.Phil.) di Tanjung Watu Pajung, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten

    Manggarai Timur. Lonto leok dihadiri oleh para tokoh masyarakat dari lima Desa, kepala

  • 7

    desa dari lima desa (Kel. Pota, Kel. Baras, Ds. Nampar Sepang, Ds. Nanga Mbaur, Ds. Nanga

    Mbaling), Camat Sambi Rampas beserta staf, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab.

    Manggarai Timur beserta staf, Kepala Bidang PHKA Dinas Kehutanan Kab. Manggarai Timur

    beserta staf RPH Sambi Rampas, dan Kepala Bidang KSDA Wilayah II beserta jajarannya.

    Lonto Leok tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang ditanda-tangani oleh semua

    pihak, diantaranya adalah :

    - Lokasi sebaran utama komodo adalah Nanga Baras dan Watu Pajung (Ds. Nanga Mbaur

    dan Ds. Nampar Sempang), Perisai (Kelurahan Pota), Golo Lijun/ Nanga Lok sehingga

    untuk kepastian tempat diperlukan survai lokasi sebaran komodo oleh BBKSDA NTT, KSP

    dan masyarakat setempat.

    - Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Timur mengupayakan pembangunan Pos

    Pengamanan Hutan di Watu Pajung.

    - Komodo yang selama ini dipelihara di Tompong akan dilepaskan kembali ke habitatnya

    di Watu Pajung, oleh Kepala Desa Nampar Sepang bersama masyarakat disaksikan oleh

    petugas lapangan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur.

    Balai Besar KSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan survai awal sebaran

    populasi komodo di Pota dan sekitarnya pada Tahun 2014. Selain survai lanjutan di tahun

    2014, BBKSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan tes DNA komodo yang ada di

    CA Wae Wuul dan Pulau Ontoloe, TWA Tujuh Belas Pulau. Tes DNA tersebut dimaksudkan

    untuk memastikan apakah ada perbedaan spesies/jenis antara komodo yang berada di

    Pulau Flores (CA Wae Wuul dan P. Ontoloe) dengan Komodo yang berada di Pulau Komodo

    dan Rinca (TN. Komodo). Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jawaban atas

    keingintahuan, mulai dari kelompok scientist, masyarakat dan khususnya Pemerintah

    Kabupaten Manggarai Timur.

    Tes DNA komodo menggunakan sampel darah yang diambil pada saat kegiatan survai

    komodo di tahun 2013, di mana sampel darah tersebut telah diberikan perlakuan dan

    disimpan di Kantor Balai Besar KSDA NTT. Berkaitan dengan hal tersebut maka Balai Besar

    KSDA NTT akan meminta bantuan Puslibang Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

    (LIPI) untuk melakukan tes DNA di Laboratorium LIPI. Kegiatan tes DNA ini akan

    direalisasikan di tahun 2014 atas kerjasama antara BBKSDA NTT dengan KSP.

  • 8

    c. Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese

    Komodo di Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese, disurvai oleh KSP, Yayasan Burung

    Indonesia, dan BBKSDA NTT. Survai di Golo Mori dilakukan pada tanggal 30 Juni 3 Juli

    2013, sedangkan survei di Tanjung Kerita Mese dilakukan pada tanggal 24 27 September

    2013. Berdasarkan pengamatan terhadap morfologi (ukuran tubuh dan pola warna) serta

    berdasarkan waktu tertangkap camera dan pertimbangan jarak dan waktu pergerakan

    biawak komodo, diperkirakan sekurangnya ada lima (5) ekor biawak komodo di hutan

    pesisir Desa Golo Mori dan tujuh (7) ekor biawak komodo di Tanjung Kerita Mese, yang

    terekam oleh kamera. Angka tersebut merupakan perkiraan minimal berdasarkan rekaman

    camera trap, sedangkan untuk perkiraan jumlah Biawak Komodo di lokasi-lokasi tersebut

    perlu penelitian lebih lanjut.

    Dari hasil pengamatan terhadap rekaman gambar menunjukan bahwa pada kedua

    lokasi kajian terdapat biawak komodo dari semua ukuran kelas umur, yaitu: anak, remaja

    maupun dewasa. Biawak komodo terbesar ditemukan di lembah Lajar, Desa Golo Mori

    (Lampiran 3 dan 4). Untuk memastikan ukuran dan kelas umur biawak komodo diperlukan

    penelitian yang lebih mendalam, termasuk pengukuran secara langsung morfologi satwa

    tersebut.

    Hal lain yang menjadi catatan penting dari hasil survei adalah bahwa kondisi tubuh

    biawak komodo yang dapat terekam oleh camera trap, baik di pesisir Golo Mori maupun di

    Tanjung Kerita Mese hampir seluruhnya dalam kondisi yang ideal. Kondisi tersebut dinilai

    dari bentuk dan lingkar pangkal ekor dari masing-masing individu. Biawak komodo yang

    sehat umumnya pangkal ekor mereka relatif bundar dan padat berisi. Pangkal ekor

    merupakan tempat penyimpanan cadangan lemak, sehingga bagian tubuh ini merupakan

    indikator kesehatan biawak komodo.

    5. Hutan Lindung Pota sebagai Ekosistem Esensial

    Upaya pengelolaan ekosistem esensial menjadi salah satu perhatian dalam isu

    pembangunan yang berkeadilan. Intruksi Presiden RI No 3 Tahun 2010 tentang Program

    Pembangunan yang berkeadilan mengamanatkan untuk meningkatkan pengelolaan dan

    pendayagunaan ekosistem esensial sebagai sistem penyangga kehidupan melalui program

    konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan.

  • 9

    Untuk mencapai target indikator tersebut, langkah-langkah pencapaian pelaksanaan

    Inpres 3/2010 yang telah dilaksanakan sebagai berikut: (a) Identifikasi, inventarisasi dan

    validasi data ekosistem, (b) Sosialisasi dan koordinasi pengelolaan ekosistem esensial, (c)

    Penyusunan kesepakatan pengelolaan ekosistem esensial, (d) pembentukan forum

    kerjasama/kolaborasi pengelolaan, (e) penyusunan rencana strategis/ aksi akan

    dilaksanakan oleh forum kolaborasi pada tahun 2013, dan (f) Monitoring dan evaluasi

    implementasi oleh Ditjen PHKA cq. Direktorat KKBHL pada Tahun 2013 dan 2014.

    Kawasan ekosistem esensial (EE) di Kabupaten Manggarai Timur yang dipilih adalah

    Hutan Lindung Pota di Kecamatan Sambirampas. Mengapa hutan lindung ini penting dan

    dipilih menjadi kawasan EE? Tidak lain karena ditemukannya biawak komodo dan bahkan

    ditemukan banyak jejaknya sampai ke Pantai Watu Panjung. Luas Hutan Lindung Pota ini

    adalah 10.641 ha (RTK.101). Bupati Manggarai Timur telah menetapkan Forum Kolaborasi

    Pengelolaan Ekosistem Esensial HL Pota, yaitu keputusan Nomor : HK/83.A/2013 tanggal 4

    September 2013. Salah satu tugasnya adalah menyusun Rencana Aksi Pengelolaan HL Pota

    sebagai Ekosistem Esensial. BBKSDA NTT akan mendukung dimulainya survai awak komodo

    pada tahun 2014, bekerjasama dengan Komodo Survival Porgram (KSP). Keberadaan biawak

    komodo juga dilaporkan oleh masyarakat berada di HL Sawe Sange, di sebelah timur HL

    Pota. Hutan lindung ini memiliki luas 7.259 Ha, dan sebaiknya perlu dikelola sebagai

    perluasan kawasan EE pada Hutan Lindung Pota.

    6. Sponge sebagai Materi Anti Cancer

    Pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya mengelola masalah. Kelola kawasan

    konservasi harus mampu mengungkap rahasia dibalik keindahan kawasan-kawasan

    konservasi tersebut. Hanya dengan penguasan IPTEK, ilmu dan teknologi atau science, dan

    membangun jejaring kerja kepakaran, maka rahasia yang terpendam di dalam kawasan

    konservasi itu dapat diungkap secara bertahap. Riset Sponge sebagai bahan anti kanker

    dimulai pada tahun 2009-2010 dimana tim peneliti dari Universitas Diponegoro (Ir. Agus

    Trianto, M.Sc., Ph.D), Universitas Lampung (Prof. Andi Setiawan, Ph.D dan Idam Setiawan,

    ST.,M.Sc.) dan Universitas Ryusyhu, Jepang (Prof. Kobayashi Dekan Kimia Bahan Hayati

    Laut, Prof. Junichi Tanaka dan DR. Arai) bekerjasama dengan BBKSDA NTT.

  • 10

    Tujuan kerjasama adalah mengeksplorasi jenis-jenis sponge di TWL Teluk Kupang. Telah

    berhasil dikumpulkan 80 sampel sponge dengan satu jenis di antaranya belum dapat

    diidentifikasi, yang kemungkinan adalah species baru. Tahun 2011, menggunakan sampel

    sponge dengan tagging K09-02 yang diidentifikasi sebagai Candidaspongia sp yang

    merupakan endemik perairan Teluk Kupang hasil koleksi tahun 2009 yang dibekukan,

    mendapatkan ekstrak kasar senyawa yang mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker

    kandung kemih tikus putih) dengan lC50 sebesar 0,1/mL. Pemurnian ekstrak tersebut

    menghasilkan senyawa candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat

    menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar 37,0; 4,7 dan 19,0 ng/mL (nanogram/mililiter).

    Keunikan dan potensi candidaspongiolide tersebut membuat group NCl (National Cancer

    Institusi, US) terus menerus mengembangkan senyawa tersebut.

    Tahun 2012, dilakukan marine culture, baik in-situ maupun ex-situ. Tujuannya adalah

    untuk memperbanyak sampel stok dari senyawa Candidaspongiolide. Diperoleh kesimpulan

    bahwa hasil budidaya di Teluk Kupang (in-situ) lebih banyak daripada yang non budidaya

    (langsung diambil dari alam). Secara ex-situ, di perairan Pulau Panjang Jepara, budidaya

    tidak berhasil. Hal ini menunjukkan Candidaspongia sp adalah endemik di TWL Teluk

    Kupang.

    Tahun 2013, dilakukan tiga kegiatan, yaitu : (1) koleksi sampel mikroba simbion di TWA

    17 Pulau (11-15 Oktober 2013), dan telah diperoleh 19 sampel sponge yang berbeda jenis

    pada kedalaman 10-20 meter. Koleksi sampel tersebut digunakan untuk bahan inokulasi

    mikroba simbion yang bertujuan untuk mendapatkan isolat murni mikroba yang

    bersimbiose pada sponge. Isolat murni tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai bibit

    kultur massal mikrosimbion dan akan digunakan untuk bahan analisis kandungan senyawa

    antikanker, (2) penyerahan bahan dan peralatan laboratorium dari BBKSDA NTT kepada

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP dalam rangka kerjasama eksplorasi sponge di

    TWL Teluk Kupang sebagai bahan antikanker, yaitu Malt Extract Agar (MEA), Malt Extract

    Broth (MEB), Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Bacto Agar (BA), Peptone, Yeast

    Extract, Aceton Hexane, Methanol, Ethylacetate, Asam sulfat, adlah bahan laboratorium

    untuk kultur simbion sponge; peralatan berupa petri disk, magneting stiring rod, pasteur

    pipet, filter paper watham, vanilin, rak kultur, yang mendukung ekstraksi sponge hasil

    eksplorasi di TWL Teluk Kupang, dan 3) kegiatan lapangan eksplorasi sponge di TWL Teluk

  • 11

    Kupang berupa monitoring kultur sponge Candidaspongia sp yang telah dilakukan tahun

    2012 di sekitar Dermaga Polair NTT di dalam TWL Teluk Kupang, dengan didukung

    monitoring parameter perairan berupa suhu, pH, salinitas, nitrat, fosfat, silikat, densitas,

    dan kenaekaragaman bakteri dan plankton.

    7. Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat

    Riset S2 dengan tema tumbuhan yang memiliki potensi obat yang dimanfaatkan oleh

    masyarakat, telah dilakukan oleh Elisa Iswandono pada tahun 2007. Terdapat minimal 60

    jenis tumbuhan yang berkasiat untuk berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2013, BBKSDA

    telah mengirimkan sampel sebanyak 40 jenis tumbuhan dari TWA Ruteng dan 26 jenis

    tumbuhan dari TWA Camplong ke Laboratorium Farmaka IPB untuk dilakukan uji fitokimia.

    Fitokimia merupakan studi mengenai tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa

    kimia aktif farmakologis. Penelitian dasar ini penting untuk mengetahui khasiat dan

    kegunaan tumbuhan yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia. Tujuannya untuk

    mengetahui senyawa kelompok obatnya.

    Hasil uji fitokimia tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan

    lebih lanjut, penangkaran di tingkat masyarakat, sebagai bagian dari pengembangan daerah

    penyangga dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TWA Ruteng. Upaya-

    upaya pengembangan daerah penyangga ini akan ditempuh melalui pendekatan Tiga Pilar,

    sehingga peran gerej, dan pemerintah kabupaten dengan SKPD-nya akan semakin jelas dan

    dapat dipadukan dengan program-program yang dikerjakan oleh BBKSDA NTT.

    Secara kimia tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia aktif yang berkhasiat

    obat. Komponen-komponen tersebut berupa senyawa-senyawa golongan alkaloid, steroid

    dan triterpenoid, flavonoid dan saponin. Hasil kajian dari Laboratorium Biofarmaka IPB

    terhadap tumbuhan obat di TWA Ruteng adalah sebagai berikut :

    Alkaloid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan dalam: (1) Kulit kayu dan

    akar boto (Tabernaemontana sphaerocarpa) yang dalam pengobatan tradisional

    Manggarai digunakan dalam pengobatan malaria dan juga demam, (2) Kulit kayu wuhar

    (Cryptocarya densiflora) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan

    dalam pengobatan TBC, disentri dan sakit pinggang. Suatu kebetulan yang menakjubkan

  • 12

    bahwa orang Manggarai seakan mengerti ada kesamaan manfaat untuk

    pengobatannya.

    Steroid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan pada 36 sampel atau 90%

    dari sampel tumbuhan obat kecuali pada kulit kayu redong (Trema orientalis), rebak

    (Macaranga tanarius), ajang (Toona sureni), garit (Canarium sp). Banyaknya sampel

    yang mengandung steroid ini mungkin dalam pengobatan tradisional berdampak pada

    pereda nyeri atau sakit sehingga memberikan efek perasaan cepat sembuh.

    Flavonoid merupakan senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan

    mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid pada manusia berfungsi sebagai

    antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid adalah

    melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah

    keropos tulang dan sebagai antibiotik. Sebanyak 23 dari 40 sampel atau lebih dari 50%

    sampel mengandung flavonoid. Beberapa sampel yang mengandung flavomoid adalah

    kulit kayu puser, waek, kenda lagkok, redong, ndingar, ara, garit, sita; daun cawat, wua,

    menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, mulu, nangker, renggong, ngelong, sandal

    urat, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit; akar

    boto.

    Kegunaan tanin dalam pengobatan modern adalah sebagai anti septik pada jaringan

    luka, misalnya luka bakar yaitu dengan cara mengendapkan protein, campuran obat

    cacing dan anti kanker. Sebanyak 31 dari 40 sampel biofarmaka TWA Ruteng

    mengandung tanin, yaitu: kulit kayu puser, waek, kenda langkok, redong, ndingar, ara,

    mulu, garit; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker,

    renggong, ngelong, sandal urat, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak,

    rukus, garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi.

    Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi:

    immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh

    kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai

    sifat bermacam-macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih,

    dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya

    saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya dipakai untuk membuat

    minuman beralkohol, dalam industri pakaian, kosmetik, membuat obat-obatan, dan

  • 13

    dipakai sebagai obat tradisional1. Dalam kegiatan biofarmaka di Ruteng, sebanyak 36

    dari 40 sampel atau sebanyak 90% mengandung tanin yang ditemukan dalam kulit kayu

    puser, lui, waek, redong, ndingar, boto, teno, rebak, wuhar, ara, mulu, ajang, garit, sita;

    daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, cangkar,

    randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular,

    tai ntala, legi, dan akar boto.

    8. Spirit Kembali ke Lapangan

    Resort Based Management (RBM) adalah upaya membangun sistem kerja yang lebih

    berorientasi di lapangan yang didukung dengan sistem informasi yang akurat sehingga data

    diolah dan dijadikan informasi sebagia bahan perencanaan yang lebih rasional, dan secara

    bertahap berbagai persoalan dapat diselesaikan dan potensi dapat dikembangkan. RBM di

    BBKSDA NTT dimulai pada awal Maret 2012 dengan workshop RBM, yang melibatkan

    seluruh resort. Pada tahun 2013, telah dilaksanakan pelatihan GIS, GPS, dan sistem

    informasi bagi 40 staf muda dari seluruh resort/ seksi/ bidang wilayah. Dengan demikian,

    pada tahun 2014 seluruh staf telah mampu melakukan update data dan informasi dair

    lapangan ke dalam peta, SIM RBM, dan update Situation Room yang telah diserahkan dari

    Balai Besar kepada Bidang Wilayah di Soe dan di Ruteng. Bahkan setiap kepala seksi

    sebaiknya dapat melakukan update data dan informasi dalam Situation Room, sehingga

    perkembangan di lapangan dapat didokumentasi dengan rapi dan mudah untuk dipakai

    sebagai bahan untuk laporan dan pengambilan keputusan-keputusan yang cepat dan akurat.

    RBM dengan fokus pendataan kondisi pal-pal batas di lapangan telah terbukti

    membantu ketika data tersebut diperlukan , misalnya untuk cek pal batas secara partisipatif

    di wilayah Colol TWA Ruteng, cek kondisi batas di CA Watu Ata dalam evaluasi fungsi

    kawasan tersebut. Manfaat lainnya adalah untuk bahan negosiasi dengan BPKH dalam

    rangka membuat skala prioritas rekonstruksi batas kawasan-kawasan konservasi yang

    menjadi prioritas. Secara umum, spirit kerja di lapangan meningkat, kinerja staf dapat

    dipantau dengan lebih cermat dan tepat. Dengan demikian, berbagai persoalan lapangan

    dapat dipotret dengan lebih cermat dan berdasarkan kondisi faktual yang ada.

  • 14

    9. Evaluasi Fungsi CA Watu Ata

    Cagar alam ini terletak di Kabupaten Ngada dengan luas 4.800 Ha, semula berstatus

    sebagai hutan lindung RTK 142. Sejak penetapannya pada tahun 1992, telah menimbulkan

    berbagai pertentangan, karena masyarakat merasakan lahannya diklaim dan masuk ke

    dalam wilayah cagar alam. BBKSDA NTT melakukan evaluasi fungsis ecara reguler untuk

    mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi selama hampir 20 tahun terakhir.

    Fakta menunjukkan bahwa seluas 1.977 hektar atau 40% dari kawasan CA Watu Ata sudah

    tidak layak lagi sebagai cagar alam, karena kondisi tutupan vegetasinya bukan lagi asli,

    tetapi berupa kopi, dengan berbagai bentuk tanaman peneduhnya, seperti jarak, dan

    sengon; tanaman subsisten seperti jagung dan juga berkembang sayur-sayuran. Berdasarkan

    data 2012, jumlah petani yang bekerja penggarap sebanyak 1.824 KK. Hasil kerja Tim

    Evaluasi Fungsi ini akan disampaikan kepada Tim Revisi tata Ruang Provinsi NTT, yang akan

    bekerja mulai Januari 2014. Pihak Pemkab menghendaki kawasan tetap sebagai hutan

    negara, namun masyarakat masih diperkenankan menggarap di dalamnya.

    Kondisi ini tentu tidak bisa dipenuhi apabila sebagian kawasan yang telah berubah

    tersebut berfungsi sebagai cagar alam. Kemungkinannya adalah diturunkan kembali sebagai

    hutan lindung, dan selanjutnya dapat dikelola melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKM).

    Tanpa penyelesaian yang saling menguntungkan, maka persoalan CA Watu Ata akan terus

    menggantung dan tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Hasil evaluasi fungsi yang

    dilakukan oleh BBKSDA NTT akan dilaporkan kepada Dirjen PHKA dan disampaikan kepada

    Ketua Tim Revisi tata Ruang Provinsi NTT, agar dapat dijadikan salah satu pertimbangan

    dalam menyusun rekomendasi.

    10 Restorasi Suaka Margasatwa Kateri

    Setelah terjadinya jajak pendapat Timor Timur pada tahun 1999, telah terjadi

    eksodus pengungsi Timor Timur ke provinsi NTT. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten

    Belu tahun 2008, jumlah pengungsi yang bermukim di Kabupaten Belu sebanyak 12.792 KK

    (60.049 jiwa). Sebanyak 504 KK (3,6 %) bermukim di sekitar SM Kateri. Bahkan sampai

    dengan tahun 2012, berdasarkan analisis, lebih dari 60% kawasan SM Kateri mengalami

    kerusakan. Hal ini disebabkan adanya penggarapan yang dilakukan oleh sebagian

    masyarakat eks pengungsi dari Timor-Timur sejak tahun 1999 sampai dengan saat ini.

  • 15

    Mereka terpaksa menggarap lahan tersebut untuk penanaman tanaman pangan terutama

    jagung. Pemerintah sudah membantu penyediaan rumah bagi eks pengungsi termasuk

    pengungsi sebanyak 504 KK. Mereka terkonsentrasi pada 7 (tujuh) titik lokasi pemukiman

    yang berbatasan langsung dengan SM Kateri, yaitu di Wematek 40 KK, Waebua 90 KK,

    Kakaeknuan 130 KK, Benain 112 KK, Wehali 48 KK, Wemalae 45 KK dan Kamanas 39 KK.

    Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2003 tanggal 5 Mei 2003 tentang

    Pendataan Bekas Penduduk Provinsi Timor Timur, disebutkan bahwa penduduk bekas

    provinsi Timor Timur yang tetap setia pada NKRI diproses status kependuduannya sesuai

    peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar Keppres tersebut, seluruh

    pengungsi telah mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), dengan demikian maka status

    mereka adalah Warga Negara Indonesia.

    Dampak dari kerusakan kawasan tersebut, yang dirasakan saat ini adalah banjir di

    lokasi Desa Kamanasa dan Desa Lakekun Barat, tanah longsor yang mengakibatkan putusnya

    ruas jalan Atambua-Betun (lokasi Wemer), menurunnya debit air dari beberapa sumber

    mata air yang berasal dari dalam kawasan (antara lain mata air Lamela, Tubaki, Weserasa,

    Wemaama, Wekalae).

    Pada tahun 2013 dilakukan sensus terhadap warga eks pengungsi Timor-Timur yang

    kehidupannya tergantung pada penggarapan di SM Kateri. Telah diperoleh data sebanyak

    1.311 KK (6.283 jiwa, tersebar pada 16 lokasi pemukiman) sebagai penggarap aktif di SM

    Kateri. Rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Pusdalbanghut Regional II pad tanggal 25-26

    November 2013, menghasilkan kesimpulan perlu segera dilakukan rapat kooridnasi yang

    melibatkan Menko Kesra dan Menpera. Sedangkan Kemenhut perlu fokus pada pencarian

    solusi lahan untuk eks warga Timtim tersebut, di kawasan hutan produksi, yang

    dimungkinkan melalui skema hutan tanaman rakyat. Japan International Corporation

    System (JICS) telah mengirimkan Tim Kajian untuk melakukan cek lapangan, kemungkinan

    dilakukannya rehabilitasi SM Kateri, pada areal seluas 1.500 Ha. Salah satu syarat utama dari

    bantuan ini adalah selesainya persoalan eks warga Timtim yang saat ini menggarap di dalam

    SM Kateri.

    Japan International Corporation System (JICS) telah mengirimkan Tim Kajian untuk

    melakukan cek lapangan, kemungkinan dilakukannya rehabilitasi SM Kateri, pada areal

  • 16

    seluas 1.500 Ha. Salah satu syarat utama dari bantuan ini adalah selesainya persoalan eks

    warga Timtim yang saat ini menggarap di dalam SM Kateri.

    11. Potret Kesehatan TWA Tujuh Belas Pulau

    Marine Diving Clubs (MDC) dari Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan Universitas Diponegoro - Semarang telah bekerjasama dengan BBKSDA NTT untuk

    melakukan monitoring pada 12 titik penyelaman pada tanggal 11-15 April 2013. Keragaman

    hayati laut dinilai masih baik. Banyak ditemukan ikan butana (Surgeonfish) dan kambing-

    kambing (Angelfish). Ditemukan pula ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), yang panjangnya

    mencapai satu meter dan Kerondong (belut laut) raksasa yang panjangnya sekitar dua

    meter dengan diameter kepala sepuluh sentimeter.

    Hasil kajian tersebut menunjukkan kondisi tutupan karang yang mengkhawatirkan,

    yaitu di bawah 50%. Masih ditemukan penggunaan bom, potasium, dan pukat. Walaupun

    demikian telah ditemukan lokasi yang mulai pulih kembali, seperti di North Bakau Island,

    yang didominasi oleh soft coral. Tutupan hard coral life yang rendah membawa akibat

    sedikitnya kelimpahan ikan karang bernilai ekonomis. Kondisi hard coral life berperan aktif

    terhadap density dan biomass ikan, seperti dibuktikan di South Tiga Island, dengan biomass

    tertinggi sebesar 719 biomass/ha (kg) dengan density kedua terbanyak, yaitu 3.406

    density/ha (individu).

    Penutupan lamun meningkat untuk spesies Enhaus acorides namun terjadi

    penurunan pada spesies Cymodocea rotundata. Sementara itu kondisi mangrove dengan

    kerapatan cukup tinggi. MDC menyarankan dilakukannya peningkatan upaya pengamanan

    kawasan dari pemboman dan penggunaan potas serta pukat.

    Penutup

    Semoga dengan dipublikasikannya Kalaidoskop 2013 BBKSDA NTT ini, pimpinan di

    tingkat Jakarta, baik pada level Direktur, Dirjen, dan Menteri Kehutanan dapat mengetahui

    secara cepat, tetapi jelas dan fokus tentang peristiwa-peristiwa dan upaya-upaya konservasi

    yang telah dikerjakan dan menjadi prioritas di wilayah kerja BBKSDA NTT. Bagi masyarakat

    luas, khususnya yang berada di Provinsi NTT, diharapkan dapat membantu mendapatkan

  • 17

    informasi yang tepat dari sumber pertama, karena masyarakat berhak mendapatkan

    informasi tentang berbagai persoalan maupun potensi sumberdaya alam di wilayahnya.

    Dengan demikian, diharapkan dukungan masyarakat untuk meningkatkan upaya

    konservasi tersebut dalam arti luas, menjadi suatu kesadaran kolektif sebagai syarat untuk

    membangun suatu gerakan kolektif. From collective awareness to collective action. Dengan

    membangun jaringan kerja kepakaran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,

    kita ungkap rahasia alam bumi Nusa Tenggara Timur, baik yang gunung maupun di bawah

    lautnya. Dengan bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai

    tingkatannya, kawasan konservasi dapat lebih dijaga dan dikelola secara bersama, lebih

    bertanggungjawab, dalam semangat perdamaian yang didukung oleh nilai-nilai budaya dan

    kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di NTT.

    Disusun oleh Tim BBKSDA NTT

    Kantor : Jl.SK Lerik, Kelapa Lima, Kode Pos 85228, Kupang

    Tlp/Fax: 0380-832211/0380-825318

    Email : [email protected]; [email protected]