kajian sosiologi-cerpen mandiri

Upload: intan-d-puspitasari

Post on 15-Oct-2015

70 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PAGE

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra dan realitas memiliki hubungan yang sangat erat. Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan karya sastra seringkali hadir dari berbagai permasalahan yang ada dalam realitas kehidupan masyarakat. Sastra selalu mencoba merefleksikan, mencatat, dan menafsirkan segala yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra menampilkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna (tata nilai) dari situasi sosial dan historis yang terdapat dalam kehidupan manusia. Hal ini seperti diungkapkan Suharianto (1982:14) yang menyatakan bahwa karya sastra adalah pengungkapan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut.Sebagai bagian dari kehidupan, pengarang (sastrawan) seringkali mengalami pergulatan-pergulatan dengan realitas-realitas kehidupan, baik secara fisik maupun batin. Mengalami konflik dengan manusia lain, berbenturan dengan sistem dan problem sosial, ekonomi, budaya, politik, bahkan agama. Berbagai pergulatan yang dialami pengarang dalam kehidupannya menjadi sumber inspirasi untuk diungkapkan dalam karyanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Goldmann bahwa karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai hasil dari sebuah proses merespons situasi lingkungan dan sosialnya. Oleh karena itu, karya sastra yang besar akan mampu mengidentifikasikan kecenderungan-kecenderungan sosial yang penting pada zamannya sehingga bisa mencapai ekspresi yang padu dengan realita (dalam Teeuw, 1984: 103). Melalui sastra, pengarang mencoba menghadirkan kenyataan dalam bentuk lain. Melalui sastra, seorang pengarang berusaha merefleksikan gejolak dalam jiwanya, baik berupa luapan emosi tentang keputusasaan, kegelisahan, protes diri, sebuah cita-cita, ataupun merekam suatu peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Dengan mempelajari karya sastra, secara tidak langsung mempelajari pula kehidupan masyarakat, lengkap dengan segala tingkah laku manusia yang tercermin pada sikap dan perilaku tokoh-tokohnya. Melalui karya sastra, kita lebih mengenal manusia dengan segala tingkah lakunya. Karena yang diungkapkan sastrawan dalam sastra adalah pertentangan-pertentangan yang terjadi pada diri manusia dengan batinnya, antara manusia dengan manusia yang lain, dan antara manusia dengan Tuhan (Sudikan, 1985:2). Karya sastra merupakan perekam kehidupan manusia dalam masyarakattnya Walaupun sebuah karya hanya merupakan hasil imajinasi, namun dalam imajinasinya itu pengarang (pencipta sastra) senantiasa mengambil bahan dari kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat. Bahkan, kadang-kadang pengarang menulis karya sastra yang berupa kilasan sejarah, sketsa, dan kritik sosial. Oleh karena itu, sastra dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami masyarakat.Hamsad Rangkuti merupakan salah satu sastrawan senior Indonesia yang produktif dalam melahirkan karya, khususnya cerpen. Karya-karyanya banyak dimuat di berbagai media cetak, bahkan juga diterbitkan dalam bentuk buku, dan juga diterjemahkan dalam bahasa asing. Berbagai penghargaan di bidang sastra juga telah diraihnya, di antaranya Penghargaan Insan Seni Indonesia 1999 Mal Taman Anggrek & Musicafe, Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000), Penghargaan Khusus Kompas 2001 atas kesetiaan dalam penulisan cerpen, Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001), Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001). Hamsad Rangkuti juga pernah bekerja sebagai dewan redaksi Majalah Sastra Horison, bahkan sempat menjabat sebagai pemimpin redaksi hingga tahun 2002.Karya-karya Hamsad Rangkuti seringkali bercerita tentang realitas kehidupan yang mencoba mengangkat masalah-masalah kehidupan, yang ditampilkan dan dikemas dengan bahasa sederhana. Meski demikian, karya Hamsad Rangkuti selalu membawa sesuatu yang mampu menunjukkan keterampilan dan kedalaman beliau dalam menggali suatu permasalahan. Salah satu karya Hamsad Rangkuti adalah cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji. Cerpen ini mengangkat tema realitas sosial yang berkenaan dengan perubahan sikap serta pola pikir masyarakat seiring arus gelombang perkembangan dan perubahan zaman. Tentu tidak dapat dimungkiri, perkembangan dan perubahan zaman telah membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, termasuk terhadap sikap dan pola berpikirnya. Hal inilah yang coba dibidik dan direkam Hamsad Rangkuti ke dalam cerpen ini.Mencermati masalah-masalah sosial yang terdapat dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji karya Hamsad Rangkuti ini maka pada kesempatan ini cerpen tersebut akan dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra, yaitu kajian sastra yang berupaya menghubungkan karya sastra dengan realitas kehidupan masyarakatnya. Di samping itu, kajian ini juga mencoba menggali dan mengungkapkan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam cerpen tersebut.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.1. Bagaimana realitas sosial masyarakat yang digambarkan dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji?

2. Nilai-nilai pendidikan apa yang terdapat dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut.

1. Untuk mendeskripsikan realitas sosial masyarakat yang digambarkan dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji.

2. Untuk menemukan, mengungkapkan, serta mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji.

D. Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Demikian pula penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan peranan disiplin ilmu sastra sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengungkapkan kekayaan serta perkembangan dunia sastra di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Dapat mengungkapkan problem kehidupan yang ada dalam masyarakat. Selain itu juga diharapkan dapat membuka wawasan yang luas tentang masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Cerpen

Cerpen, merupakan akronim cerita pendek. Ukuran panjang pendek sebuah memang tidak ada aturannya, tak ada kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra mendefinisikan cerpen sebagai kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika (1990:15-16). Sedangkan Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2005:10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengan sampai dua jam.Menurut Susanto dalam Tarigan (1984:176), cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Sementara itu, Sumardjo dan Saini (1997: 36-37) mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek). Selanjutnya Sumardjo dan Saini juga menguraikan bahwa sebagai sastra prosa cerpen memiliki ciri: bersifat rekaan (fiction); bersifat naratif; dan memiliki kesan tunggal.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat dan dapat selesai dibaca dalam waktu singkat.B. Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra

Karya sastra sebagai salah satu produk kebudayaan manusia tidak bisa dipisahkan dengan persoalan sosial. Ada anggapan bahwa ibu kandung karya sastra adalah masyarakat. Dengan demikian karya sastra milik masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya pendekatan sosiologis. Sebagaimana pendapat Nyoman Kutha Ratna (2004:59), berbeda dengan pendekatan biografis yang semata-mata menganalisis riwayat hidup, dengan proses pemahaman mulai dari individu ke masyarakat, pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan biografis mennganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adannya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan c) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Nyoman Kutha Ratna, 2004: 60). Pendapat senada disampaikan oleh Maman S. Mahayana (2005:335) kritik sastra sesungguhnya mencoba memanfaatkan disiplin ilmu lain (sosiologi) untuk member penjelasan lebih mendalam mengenai salah satu gambaran kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai hubungan kritik sastra dengan sosiologi, muncul lantaran ada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra juga dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai gambaran struktur social, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.Sebagai pendekatan yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan strukuralisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, poltik, dan psikologi yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya.

Bertolak dari hal tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain dapat dipandang sebagai produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali (representasi) realitas dalam masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen dari realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa tertentu. Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai ataupun ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Bahkan, sastra juga sangat mungkin menjadi alat melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan nilai-nilai yang humanis.

Sastra memang bukan kenyataan sosial tetapi sastra hadir berdasarkan kenyataan sosial. Untuk mempelajari sastra yang berkaitan dengan gejala sosial perlu digunakan ilmu lain yaitu sosiologi. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini disebut sosiologi sastra (Damono, 2005:2). Hubungan sastra dan masyarakat dapat dilihat dari tiga klasifikasi menurut Wellek dan Warren (1993), yaitu: (1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang, (2) sosiologi karya yang mempermasalahkan tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan, (3) sosiologi pembaca yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Lebih lanjut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: (1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; (2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; (3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi; (4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat; dan (5) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya.Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan sastra yang mencoba menggali dan menguraikan keterkaitan antara karya sastra, pengarang sebagai pencipta sastra, serta realitas sosial masyarakat tempat karya sastra lahir.C.Sastra dan Nilai-nilai Pendidikan

Karya sastra, sebagai salah satu bagian dari kehidupan memiliki peran penting dalam rangka membina dan mengembangkan peradaban. Sastra berpotensi untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan. Dalam karya sastra sering tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Sebagai salah satu bentuk sastra yang bersifat imajinatif, cerpen bukanlah sesuatu yang kosong tanpa makna. Cerpen berusaha memberikan manfaat kepada pembaca. Hal ini senada dengan pendapat Wellek bahwa sastra (termasuk cerpen) mempunyai fungsi dulce et utile, menyenangkan dan berguna (Wellek, 1993:15). Menyenangkan karena sastra dapat memberikan hiburan melalui alur cerita dan bahasa yang disajikan, sedangkan berguna karena sastra dapat memberikan kekayaan batin, bahan perenungan, serta pembersihan jiwa bagi pembacanya.Sebagai karya kreatif yang bersifat imajinatif, karya sastra tidak hanya diharapkan dapat memberi hiburan, tetapi juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca melalui nilai-nilai yang diusungnya. Dalam hal ini Maman S. Mahayana (2005:58) menjelaskan pendapatnya bahwa unsur hiburan dalam karya sastra menyangkut faktor keindahan estetika. Pembaca dihadapkan pada dunia rekaan yang memesona: tokoh-tokoh yang menakjubkan, peristiwa yang menegangkan, atau kata-kata puitik yang indah dan sarat makna. Karya sastra yang baik akan selalu menggugah emosi pembacanya. Karya sastra yang baik diharapkan memunculkan nilai-nilai positif tentang pengalaman kehidupan sehingga dapat menggugah perasaan, membuka pikiran, dan hati nurani pembacanya.

Berkaitan dengan kemanfaatan sastra, maka dalam sastra sering ditemukan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca, meski seringkali nilai-nilai tersebut disampaikan secara implisit melalui unsur-unsur pembangun cerita. Nilai dalam sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai kebenaran. Moral berkaitan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia yang sifatnya universal. Nilai dalam sastra seringkali juga memberat pada sifat kodrati manusia yang hakiki (Nurgiyantoro, 1995: 332-333)Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya yang baik akan selalu bermanfaat bagi pembacanya. Hal ini disebabkan nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam karya tersebut.

BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pendekatan sosiologi sastra berupaya membedah karya sastra untuk menemukan hubungan karya sastra dengan kenyataan sosial tempat karya tersebut lahir. Pembahasan ini akan diawali dengan mendeskripsikan keadaan masyarakat dalam cerpen, dilanjutkan mengungkapkan masalah-masalah sosial yang terdapat dalam cerpen, serta mengungkapkan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam cerpen. A. Realitas Sosial dalam Cerpen Ayahku Seorang Guru MengajiSebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Dengan imajinasinya, pengarang mengolah fakta sosial tersebut menjadi sebuah karya fiksi. Dengan demikian, karya fiksi yang dihasilkan memiliki hubungan dengan segala kejadian yang terjadi di masyarakat nyata. Kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat terdiri dari berbagai macam permasalahan. Misalnya mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, misalnya kemiskinan, ketidakadilan, lingkungan, kemanusiaan, dan sebagainya.

Cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji karya Hamsad Rangkuti ini pun terlihat memiliki kaitan dengan realitas sosial masyarakat. Latar sosial dalam cerpen ini menggambarkan kehidupan masyarakat di tengah arus gelombang perubahan zaman sehingga berpengaruh pada sikap hidup dan pola pikir masyarakatnya. Gambaran yang benar-benar berangkat dari kenyataan yang ada di sekitar kita. Masyarakat yang diterpa gelombang perubahan zaman dalam cerpen ini diwakili oleh tokoh ayah, seorang guru mengaji di sebuah kampung kecil. Sebagai seorang guru mengaji, tokoh ayah tidak meminta bayaran sebab ia menganggap pekerjaan tersebut sebagai ladang amal baginya.

Cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan ini dibuka dengan deskripsi latar tentang suasana sebuah kampung kecil yang belum dialiri listrik. Di kampung tersebut setiap malam, kecuali malam Jumat terdengar suara anak-anak mengaji dari sebuah rumah seorang guru mengaji. Kegiatan mengaji seusai sembahyang magrib telah menjadi kebiasaan anak-anak di kampung kecil itu meski hanya dengan penerangan lampu petromaks.

Suara orang mengaji itu secara perlahan kurasakan seperti mengukir masa kecilku. Ayah adalah seorang guru mengaji. Murid-murid beliau datang dari sekitar rumah kami, anak-anak para tetangga. Setiap malam, kecuali malam Jumat, setelah salat magrib berdatanganlah dengan suara terompah di atas batu kerikil. Aku sudah terbiasa memindahkan lampu petromak ke beranda, ke tempat murid-murid ayah membaca Al-Quran. Suara mereka yang banyak itu mendengung seperti lebah yang diganggu sarangnya. ... (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 22)Deskripsi pun berlanjut dengan berupaya menggambarkan secara detail kebiasaan tokoh ayah dan aku saat memulai kegiatan mengaji tersebut. Tokoh aku yang sering enggan ikut belajar mengaji bersama anak-anak, tetapi seringkali takut pada tokoh ayah hingga kebiasaan-kebiasaan ayah saat menghadapi murid-muridnya yang belajar mengaji kepadanya.

Permasalahan mulai muncul ketika tokoh ayah berusaha mengajak aku untuk membantunya mengajar mengaji. Namun, ajakan ayah ditolak tokoh aku karena tahu bahwa menjadi guru mengaji seperti ayahnya hanya mendapat imbalan sekadarnya dari orang tua murid-muridnya. Dari sini kemudian terjadilah perdebatan yang menggambarkan perbedaan pandangan dan sikap antara ayah dan aku tentang pekerjaan sebagai guru mengaji. Tokoh ayah berpandangan bahwa seorang guru mengaji tidak boleh meminta imbalan karena semua itu merupakan amal. Sementara tokoh aku berpendangan bahwa zaman telah berubah, maka guru mengaji sama dengan pekerjaan lainnya, jadi boleh meminta bayaran/upah. Konflik tersebut sesungguhnya menunjukkan gejala sosial yang terjadi di masyarakat bahwa perubahan zaman telah membuat orang mengukur segalanya dengan materi atau uang. Setiap pekerjaan harus ada bayarannya. Perubahan zaman dalam cerpen ini ditandai pula dengan mulai masuknya listrik ke kampung tersebut. Dengan masuknya listrik, anak-anak semakin malas mengaji. Mereka lebih suka duduk di depan televisi daripada pergi mengaji. Hal ini membuat murid-murid mengaji ayah semakin habis. Selain itu, perubahan zaman juga ditandai dengan beralihnya kegemaran masyarakat menggunakan kasur berisi kapuk ke kasur busa. Listrik dan kasur busa digunakan pengarang sebagai latar untuk menandai adanya perubahan zaman.Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk di sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah memasang listrik. Semua rumah membeli pesawat televisi. Kulihat ayah hanya mengajar sepuluh murid di bawah cahaya lampu petromak. Murid-murid yang lain itu lebih tertarik menyimak acara di televisi daripada menyimak ayat suci Al-Quran di depan ayah. Murid yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang mengaji, ... (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 23)Perubahan zaman tak selalu membawa masyarakat ke arah kebaikan. Terkadang perubahan zaman yang di satu sisi dianggap mampu mengatasi suatu masalah. Namun, di sisi lain juga melahirkan masalah baru. Dalam cerpen ini terlihat ketika listrik mulai masuk kampung tentu memberi kemudahan penerangan bagi masyarakat. Namun di sisi lain, masuknya listrik membuat orang-orang membeli televisi, akhirnya berdampak pada hilangnya anak-anak yang belajar mengaji.

Selain itu, perubahan zaman juga ditandai dengan adanya kaset rekaman orang mengaji. Hal ini membuat orang semakin malas datang belajar ke rumah guru mengaji karena merasa cukup mendengarkan dari kaset rekaman. Keadaan ini tentu semakin menggusur peran guru mengaji yang berdampak pada hilangnya penghasilan guru mengaji.

Tadi malam di rumah Pak RT orang memutar kaset orang mengaji dalam mikrofon yang keras.

Aku mendengarnya!

Kukira orang yang mengaji di dalam kaset itu menjual suaranya, ya Yah.

Jadi kau suruh aku mengaji di dalam kaset?

Kalau ada penawaran apa salahnya.

Sudah bijak kau, ya!

Zaman sudah berubah Ayah. Kalau magrib orang tidak lagi mengaji di rumah masing-masing, tapi orang mendengarkan mengaji di dalam teve.

(Horison, XXXVI/5/2003, hal. 24)Kutipan-kutipan di atas merupakan potret realitas yang dapat dijumpai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Perubahan zaman membawa pengaruh kepada perubahan sikap masyarakat yang hidup di dalamnya.Realitas sosial yang juga berhasil dipotret dalam cerpen ini adalah adanya ironi tentang kebiasaan mengaji yang dilakukan terhadap orang yang sudah meninggal, di makam-makam. Sementara orang yang masih hidup justru mengabaikannya. Padahal, mempelajari Al-Quran itu lebih penting bagi orang yang masih hidup. Sebab Al-Quran merupakan pedoman yang dapat mengantarkan manusia selamat mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat. ... . Ayat suci bukan untuk orang yang telah mati. Tetapi untuk petunjuk bagi orang yang masih hidup. Ayat itu dibaca dan diamalkan menjadi pedoman bagi kita dan bekal untuk menolong hidup setelah mati. [...] Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai pelengkap waktu berziarah ke makam sanak keluarga. Bukan sebagai kebutuhan untuk penerang pada jalan hidup di dunia dan bekal untuk akhirat. (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 25)Di samping itu, membaca doa di makam hanya sekadar untuk mendapatkan upah bagi tokoh ayah sama saja dengan menjual ayat. Sebab, pembaca doa di makam mendapat upah dari para peziarah. Sehingga, ketika tokoh ayah terpaksa ikut menjadi pembaca doa di makam, tokoh ayah tetap berusaha memberi pelajaran (mengajar agama) kepada para peziarah sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas. Inilah keteguhan prinsip tokoh ayah . Ketika ia kehilangan murid-murid yang datang mengaji ke rumahnya, ia pun tetap berusaha mengajarkan agama dengan cara ikut menjadi pembaca doa di makam. Namun, ia tidak sekadar membaca doa. Ia juga mengajarakan agama pada peziarah tersebut. Ia bukan orang yang diupah, tetapi ia guru agama.

Berbeda dengan tokoh Pak Sanusi teman ayah yang sebelumnya juga seorang guru mengaji. Tokoh Pak Sanusi memilih berganti profesi sebagai pembaca doa di makam hanya untuk sekadar mendapat upah setelah kehilangan murid-muridnya. Tokoh Pak Sanusi mewakili masyarakat yang larut dalam arus gelombang perubahan zaman. Demikian pula tokoh ibu yang selalu membanding-bandingkan suaminya (tokoh ayah) dengan orang lain. Tokoh ibu selalu mengukur segalanya dari materi. Masalah ekonomi seringkali membuat orang mengorbankan prinsipnya hanya untuk mendapatkan materi. Gejala sosial semacam ini sangat mudah ditemukan dalam kehidupan nyata. Gejala sosial ini pula yang barangkali juga mendasari tindak korupsi yang marak terjadi dalam masyarakat. Masyarakat tidak lagi memedulikan mana tindakan yang benar atau mana yang salah, yang penting mereka bisa mendapatkan uang.Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa realitas sosial dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji adalah adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat membawa pengaruh besar terhadap perubahan prinsip, pandangan, serta sikap hidup masyarakatnya. Permasalahan sosial yang ditampilkan cerpen ini adalah pertarungan antara keteguhan dan kegamangan dalam memegang prinsip kebenaran di tengah gelombang arus perubahan zaman yang kian menghimpit. Sebagian masyarakat cenderung larut dan hanyut dalam arus perubahan, meski harus mengorbankan prinsip dan pandangannya. Namun, ada pula masyarakat yang tetap teguh memegang prinsip kebenaran yang diyakininya sehingga berhasil melalui berbagai persoalan yang dialami dalam kehidupannya.

B. Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji

Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.Karya yang baik adalah karya yang dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan. Sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat, membuka wawasan masyarakat, memberikan pencerahan pada masyarakat. Sastra harus berperan sebagai guru, harus menjalankan fungsi didaktik. Membuka mata dan hati pembaca tentang realitas kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat.

Cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji juga mengandung nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembacanya. Di antaranya adalah nilai moral dan nilai religius. Dalam hal ini tergambar dalam sikap tokoh ayah yang tetap teguh pada prinsipnya, tidak mau larut dalam arus perubahan zaman. Sebagai guru mengaji ayah tidak mau menarik bayaran. Ia menerima apa saja yang diberikan oleh orang tua murid-muridnya tanpa pernah meminta. Bagi ayah mengajar mengaji tidak dapat disamakan dengan pekerjaan lain, yang dapat diukur dengan materi. Sebab, mengajar mengaji merupakan ladang amal, jadi tidak boleh mengharap bayaran. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Kau sekarang sudah khatam Al-Quran tiga kali. Kata ayah kepadaku di beranda suatu malam Jumat yang lengang. Kami melihat bulan ada di langit tepat di atas pekarangan rumah kami yang lebar. Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau kau tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan mengajarkan ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang baru tumbuh. Kau harus menjadi guru mengaji. Ajari mereka! Tidak semua anakanak itu berkesempatan masuk sekolah Madrasah. Mereka siang sekolah di sekolah umum, malam harinya mereka mengaji. Maka orang-orang seperti kitalah yang mengajari mereka.

Tetapi, Ayah, kataku. Ayah dibayar berapa oleh orang tua mereka. Semau mereka saja bukan? Untuk membeli minyak tanah sebulan saja tidak cukup.

Jangan kau nilai berapa yang mereka beri. Semua itu amal. Amal jangan kau ukur dengan imbalannya. Sekali kau menakar imbalannya, maka perbuatanmu itu bukan lagi amal namanya. Tetapi, orang yang diupah! Aku bukan orang yang diupah. Aku guru mengaji. (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 22-23)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa setiap pekerjaan hendaknya tidak selalu diukur dengan materi. Terlebih pekerjaan sebagai guru mengaji. Perubahan zaman memang seringkali mendudukan materi di atas segalanya sehingga banyak orang yang berupaya untuk mendapatkannya meski harus dengan cara-cara yang tidak baik. Namun, tokoh ayah dalam kutipan di atas tidak buta materi/ harta. Tokoh ayah tidak meminta bayaran kepada orang tua anak-anak yang diajari mengaji. Pahala dari amal yang akan diterimanya kelak, tidak dapat dihargai dengan uang atau materi.

Nilai pendidikan yang juga terdapat dalam cerpen ini adalah nilai religius, yaitu mengenai niat dan keikhlasan seseoran dalam beramal. Amal merupakan salah satu jalan bagi manusia untuk meraih pahala dari Tuhan. Namun, demikian agar amal yang dikerjakan oleh seseorang itu dapat diterima Tuhan maka amal itu harus dilaksanakan dengan ikhlas. Bila tidak ikhlas maka amal itu akan sia-sia, karena mungkin tidak diterima oleh Tuhan. Sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.

... . Apa salahnya kalau Ayah meminta kesediaan orang tua murid-murid Ayah menyumbang untuk memasukkan listrik ke rumah kita. Aku capek memompa lampu!

Capek katamu? Kalau kau mengeluh karena capek, itu bukan amal lagi namanya! (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 23)Kutipan cerpen di atas mengajak pembaca untuk senantiasa ikhlas dalam beramal. Salah satu ciri ikhlas yang terlihat dalam kutipan cerpen tersebut adalah tidak mengeluh dan tidak mengharapkan imbalan. Bila amal dilakukan dengan ikhlas imbalan dari Allah seringkali justru lebih besar dan datang terduga sebab ini pun sudah merupakan janji Allah kepada umat-Nya.

Nilai religius yang juga ditemukan dalam cerpen ini adalah kebiasaan mengaji yang harus senantiasa ditanamkan sejak masih usia anak-anak. Dengan biasa mengaji, maka seseorang akan lebih dekat dengan Tuhannya. Selain itu, perlu juga dipahamkan bahwa mempelajari agama dan mengamalkannya adalah kewajiban bagi manusia yang masih hidup. Sebab kitab suci Al-Quran, yang merupakan wahyu Tuhan, berisi pedoman dan ajaran bagi orang hidup. Sementara ini, sering terjadi salah kaprah, kepada orang yang sudah mati dibacakan ayat-ayat Al-Quran (sebagaimana terlihat di tempat-tempat pemakaman), sementara yang masih hidup justru enggan mempelajarinya.

... . Ayat suci bukan untuk orang yang telah mati. Tetapi untuk petunjuk bagi orang yang masih hidup. Ayat itu dibaca dan diamalkan menjadi pedoman bagi kita dan bekal untuk menolong hidup setelah mati. [...] Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai pelengkap waktu berziarah ke makam sanak keluarga. Bukan sebagai kebutuhan untuk penerang pada jalan hidup di dunia dan bekal untuk akhirat. (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 25)

Kutipan di atas menyentil sekaligus mencoba meluruskan kesalahkaprahan yang sering terjadi di masyarakat. Selama ini, banyak orang yang giat membacakan ayat suci Al-Quran untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal, tetapi melupakan kewajiban dirinya untuk mempelajari dan mengamalkan isi Al-Quran.

Nilai pendidikan yang menjadi benang merah dalam cerpen ini adalah keteguhan memegang prinsip kebenaran di tengah arus gelombang perubahan zaman. Hal ini terlihat pada tokoh ayah yang setia pada pekerjaannya sebagai guru mengaji. Di saat anak-anak tetangganya semakin enggan belajar mengaji padanya lantaran sudah ada listrik masuk sehingga anak-anak lebih suka menonton televisi daripada mengaji, ia pun berupaya mengajarkan agama dengan cara lain. Hingga akhirnya, tokoh ayah kembali mendapatkan pekerjaannya sebagai guru mengaji karena sering diundang ke rumah-rumah orang kaya yang tidak sempat mengantarkan anak-anaknya ke surau atau ke rumah guru mengaji. Sehingga guru mengaji-lah yang diundang ke rumah mereka.

Aku melihat wajah Ayah yang sebenarnya. Wajah seorang guru mengaji. Ayah memang benar-benar seorang guru mengaji. Seorang guru agama! Dia tidak terpengaruh oleh perubahan zaman. Walaupun pekerjaannya telah dirampas kemajuan zaman. (Horison, XXXVI/5/2003, hal. 26)

Perubahan zaman seringkali membawa pengaruh pada sikap dan pola pikir seseorang. Namun, orang yang tetap berpegang pada prinsip kebenaran akan berhasil melewati segala permasalahan hidupnya tanpa harus merendahkan dirinya. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah ungkapan Jadilah seperti ikan di laut, meskipun setiap hari berkubang dengan air asin, tetapi ia tidak pernah ikut asin. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa manusia hendaknya tidak harus larut dalam gelombang perubahan zaman. Namun, ambillah hal-hal yang positif dan tinggalkan hal-hal negatif yang dapat membawa kerugian bagi manusia itu sendiri. Tetaplah berpegang pada prinsip yang benar.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji karya Hamsad Rangkuti ini mengandung nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembaca. BAB IV

PENUTUP

A, Simpulan1. Hubungan antara sastra dengan realitas bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan. Sastra memang sering terkait dengan realitas kehidupan karena sastra pada hakikatnya merupakan salah satu tafsir atas realitas itu. Setelah dilakukan kajian dapat diketahui bahwa realitas kehidupan yang terdapat dalam cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji adalah bahwa terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat membawa pengaruh terhadap perubahan prinsip, pandangan, serta sikap hidup masyarakatnya. 2. Permasalahan sosial yang ditampilkan cerpen ini adalah pertarungan antara keteguhan dan kegamangan dalam memegang prinsip kebenaran di tengah gelombang arus perubahan zaman yang kian menghimpit. Sebagian masyarakat cenderung larut dan hanyut dalam arus perubahan, meski harus mengorbankan prinsip dan pandangannya. Namun, ada pula masyarakat yang tetap teguh memegang prinsip kebenaran yang diyakininya sehingga berhasil melalui berbagai persoalan yang dialami dalam kehidupannya.

3. Sastra seringkali mengandung nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pembaca. Nilai pendidikan yang terdapat dalam cerpen antara lain adalah nilai moral, nilai religius, dan nilai sosial. Nilai pendidikan yang paling menonjol adalah keteguhan memegang prinsip kebenaran di tengah arus gelombang perubahan zaman. Zaman boleh berubah. Namun, nilai-nilai kebenaran harus tetap menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan.B. SaranDAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka PelajarRatna, I Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________________ . 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudikan, Setya Yuwana. 1995. Apresiasi Sastra untuk Anda. Surabaya: Sinar Wijaya.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia

Suhariyanto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS

Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Wasono, Sunu. 2010. Sehabis Suara Gemuruh. Horison, edisi VIII/8/2010.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. (Terj. Melani Budianta). Jakarta: PT GramediaPermasalahan kehidupan yang ditampilkan cerpen ini adalah pertarungan antara keteguhan dan kegamangan dalam memegang prinsip kebenaran di tengah gelombang arus perubahan zaman. Sebagian masyarakat cenderung ikut arus perubahan, meski harus mengorbankan nilai-nilai kebenaran. Namun, ada pula masyarakat yang tetap teguh memegang nilai-nilai kebenaran sehingga dapat melalui berbagai persoalan kehidupannya. Namun demikian, tidak semua masyarakat larut dan hanyut bersama gelombang perubahan tersebut. Sebab, masih ada sebagian masyarakat yang tetap berpegang pada prinsip kebenaran hidup yang diyakininya. Dan, mereka yang teguh memegang prinsip kebenaran hidup ternyata lebih mendapat kemuliaan di kemudian hari.

Namun demikian, tidak semua masyarakat larut dan hanyut bersama gelombang perubahan tersebut. Sebab, masih ada sebagian masyarakat yang tetap berpegang pada prinsip kebenaran hidup yang diyakininya. Dan, mereka yang teguh memegang prinsip kebenaran hidup ternyata lebih mendapat kemuliaan di kemudian hari.

Kehidupan sosial masyarakat tidak pernah lepas dari permasalahan.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dann Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kondisi ini juga tergambar dalam cerpen ini sebagaimana terlihat dalam kutian berikut.

Hingga keesokan harinya, ketika Jatiman harus berangkat kerja tak tersedia sarapan untuknya, karena memang tak ada lagi yang bisa dimasak. Dan hari itu Jatiman harus bertugas mengamankan demonstrasi mahasiswa. Di bawah terik matahari Jatiman berupaya melaksanakan tugas dengan baik, meskipun beberapa kali Jatiman menerima lemparan batu dari para demonstran. Namun, setelah berjam-jam berdiri di bawah terik matahari yang kian memanggang, perutnya yang kian berteriak lapar, juga tekanan masalah-masalah di rumah, Jatiman tiba-tiba kalap setelah mendapat lemparan batu yang kesekian. Jatiman memukuli mahasiswa. Berbagai stasiun televisi pun memberitakannya. Jatiman akhirnya ditangkap, dimasukkan sel, bahkan dipecat karena dianggap mencemarkan nama baik militer.

Dengan gaya bertutur yang ringan, sederhana, serta dialog-dialog yang lancar, Agus R. Sarjono mampu menyajikan cerpen ini menjadi sesuatu menarik untuk dibaca. Potret sosial yang terjadi di sekitar kita mampu dihadirkan dan dikemas secara apik. Misalnya saja, sikap hidup konsumtif yang melanda sebagian besar masyarakat kita,

Cerpen di atas juga menggambarkan masyarakat kelas bawah yang hidup di

Rakyat miskin pun semakin tidak mendapat tempat. Misalnya saja dalam mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.0

ketidakadilan yang sering kali ditimpakan pada yang lemah. Sastra bukanlah sesuatu yang kosong. Sastra selalu memiliki keberpihakan yang jelas, yakni hati nurani kemanusiaan. Ketidakadilan yang seringkali ditimpakan pada aparat saat terjadi bentrok dalam peristiwa demonstrasi dicoba hadirkan dari sudut pandang lain, yaitu dari sisi aparat, yang dalam cerpen ini adalah Prajurit Jatiman. Cerpen ini seolah ingin mengatakan bahwa aparat juga manusia biasa sehingga harus dipahami sebagai manusia yang memiliki berbagai problem, memiliki cita-cita, bisa marah, bisa gundah, bisa menentang hal yang tidak sesuai dengan nuraninya, dan sebagainya.

Nilai pendidikan lainnya adalah berkaitan dengan penghargaan terhadap seseorang yang hendaknya tidak didasarkan pada materi. Materi adalah sesuatu yang hanya tampak luar bukan substansi. Bisa jadi materi yang dimiliki oleh seseorang diperoleh dengan cara yang tidak halal. Padahal, sesungguhnya cara memperoleh materi itulah yang jauh lebih penting. Jangan sampai menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. Apalagi sampai merendahkan martabat.

Terkait dengan budaya konsumtif, cerpen ini ingin memberi penyadaran bahwa budaya tersebut berakibat merugikan masyarakat sendiri, terutama bila menjangkiti masyarakat yang hidupnya pas-pasan. Sebab, mereka menjadi banyak berhutang untuk memenuhi keinginannya. Akhirnya, alih-alih bisa memperbaiki kondisi ekonominya, yang terjadi justru semakin menjerumuskan mereka semakin ke bawah.

Penyadaran Agus R Sarjono dalam cerpen ini berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan dan tidak hanya mengabdi pada orang perorang yang dalam cerpen ini diwakili oleh Jatiman.

pegawai rendahan, gaji Jatiman sangat kecil, sehingga selalu kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Bahkan tak sampai dua minggu gajinya sudah habis. Melalui Jatiman, cerpen ini mencoba menggambarkan keadaan masyarakat menengah ke bawah yang berhasil di potret oleh pengarangnya dari kehidupan nyata.

, yaitu pertengkaran mulut antara Jatiman dengan istrinya. Istri Jatiman mengomel meminta Jatiman mencari pekerjaan tambahan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang kian hari kian memerlukan biaya banyak. Sebab, gaji Jatiman tak lagi cukup.

Coba Bapak lebih aktif sedikit. Lebih bersemangat, begitu. Bayangkan, ini baru tanggal sebelas, dan kita sudah tidak punya apa-apa. Tukang kredit sudah berkali-kali menagih. Uang cicilan TV belum kita lunasi.

Istrinya marah-marah kurang belanja, mengeluh panjang-pendek soal kenakalan anak-anak yang susah diatur seperti setan. Utang di sana-sini, tukan kredit, koperasi, warung, baju yang sudah lusuh dan bikin malu dan bikin bingung untuk dipakai kondangan perkawinan anak komandan, bingung bajunya dan bingung kadonya.

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan sosial masyarakat kita pada umumnya, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah di kota-kota besar. Masalah ekonomi selalu menjadi masalah utama bagi kaum ini. Penghasilan yang kecil, di tengah kebutuhan yang seolah tak terbendung. Kelompok masyarakat menengah ke bawah yang tinggal di kota besar seperti Jatiman, hidup memang tak akan cukup bila hanya mengandalkan gaji. Sebab, biaya hidup kian hari kian mahal. Kebutuhan rumah tangga, sekolah anak-anak, atau sekedar membeli televisi sebagai sarana hiburan. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, seringkali mereka harus berutang ke sana-sini yang tentu saja hal ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru.

Kebutuhan hidup tentu tak cukup hanya kebutuhan sehari-hari untuk diri sendiri. Namun, juga kebutuhan untuk bersosial dengan kelompok masyarakat lain. Misalnya kebutuhan untuk menghadiri kondangan, terlebih kondangan yang diselenggarakan oleh atasan sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas. Hal demikian tentu banyak dialami juga oleh kelompok masyarakat ini dalam kehidupan nyata. Akhirnya, kelompok masyarakat ini pun dituntut kreatif untuk mencari tambahan penghasilan kalau tidak ingin kian terjepit di tengah ganasnya laju pertumbuhan kota besar.

Mencari penghasilan tambahan tentu bukanlah hal yang mudah. Kalau pun ada yang mudah, kadang harus melalui jalan pintas, jalan yang tidak halal, dan bertentangan dengan nurani. Sebagaimana halnya Jatiman, yang merupakan wakil kelompok masyarakat ini mengalami benturan-benturan ini. Dalam kenyataan sehari-hari di masyarakat kita, profesi sebagai tentara (aparat) dianggap memiliki kemudahan untuk mencari penghasilan tambahan. Misalnya, bukan rahasia lagi kalau di masyarakat tentara seringkali menjadi backing kegiatan-kegiatan tertentu, bahkan untuk hal-hal yang bersifat ilegal. Warga sipil hampir dipastikan akan tidak mau memperpanjang urusan bila sudah berhadapan dengan tentara (aparat). Realitas tersebut juga terekam dalam cerpen ini.

Ingatannya menerawang pada setahun silam. Dia ditugaskan menjadi keamanan stasiun bagian pemeriksaan karcis. Duduk di samping pemeriksa karcis. Hampir setiap sepuluh menit kereta datang menyemburkan orang yang berdesak-desakan. Kadang-kadang ia ikut membantu memeriksa karcis. Ada yang punya karcis, dan dia tahu ada banyak juga yang tidak beli karcis dan menyerbu ke luar stasiun begitu saja. Tukang periksa juga kelihatan agak malas berperkara dengan orang yang berdesak-desakan itu. Kalau tidak terlalu padat, tukang periksa kadang berlagak tegas memaksa orang menunjukkan karcis. Biasanya perbantahan tidak lama, karena orang itu langsung memberikan uang, dan habis perkara. Di sana rokok tidak sulit, tukang periksa karcis selalu mencukupi rokok, juga makan siang lumayan. ...

... Dan kini, istrinya, untuk kesekian kali, membujuk dia untuk kreatif, artiya mencoba mencari kemungkinan menjadi beking juragan dangdut plus judinya, pelindung preman terminal dan sejenisnya. ...

Kutipan-kutipan di atas merupakan potret realitas masyarakat yang coba diungkap pengarang melalui cerpen ini. Meski tentunya tidak semua aparat menyetujui cara-cara bekerja semacam itu, sebagaimana halnya tokoh Jatiman. Jatiman menolak karena pekerjaan tambahan itu tidak sejalan dengan nuraninya. Bagi Jatiman, pekerjaan seperti itu sama saja menghancurkan martabatnya sebagai tentara yang sejak kecil memang dibanggakan dan dicita-citakannya. Pengarang mencoba membuka pikiran pembaca, mengungkap realitas lain yang barangkali tidak pernah terbaca bahwa tidak semua aparat hitam, suka dengan cara-cara kotor, tetapi ada juga aparat yang putih, mempertimbangkan nurani dalam menjalankan pekerjaannya.

Realitas sosial lain yang diungkap pengarang dalam cerpen ini adalah ironi antara kehidupan di sinetron dengan kehidupan nyata yang terasa sangat timpang.

Ya itu, lihat di TV itu, anak-anak masih muda saja sudah pake mobil, bajunya kereeen, sedikit-sedikit kafe, padahal tidak kerja apa-apa. Pemuda-pemuda pada kaya, pake dasi, naik mobil, kerjanya santai, enggak berat-berat, malah kelihatannya enggak kerja. Ini Bapak ... kerja berat, Bu, kerja berat Buuuu. Mana hasilnya? Manaa?

Siapa itu yang enggak kerja tapi uangnya banyak?

Itu di TV! Bapak ini ketinggalan jaman, itu di sinetron itu. Coba lihat di sinetron ...

Membaca kutipan tersebut, tentu kita tidak dapat mengelak bahwa demikianlah yang memang ada dan terjadi dalam masyarakat. Setiap hari televisi kita menyajikan tayangan yang berisi mimpi-mimpi kosong sebagaimana terlihat dalam kutipan tersebut. Kehidupan yang enak, tanpa harus kerja keras. Sementara yang bekerja keras tidak dapat hidup enak. Tayangan semacam ini juga melahirkan budaya instant di kalangan masyarakat. Menghalalkan segala cara agar dapat hidup enak tanpa kerja keras. Budaya konsumtif juga tumbuh subur di kalangan masyarakat. Masyarakat ingin selalu meniru gaya hidup artis yang ada di sinetron. Realitas yang diungkap dalam cerpen ini bisa jadi sekaligus merupakan sentilan pengarang terhadap dunia pertelevisian kita, khususnya tayangan sinetron.

Sastra, termasuk cerpen bukanlah sekadar karya fiksional yang menyulap fakta menjadi fiksi, tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Catatan kesaksian yang terekam dalam cerpen ini adalah peristiwa demontrasi yang seringkali berbuntut bentrok antara aparat dengan para demonstran. Yang menarik dari cerpen ini, peristiwa demonstransi dipotret dari sisi aparat yang selama ini dianggap tidak prorakyat. Padahal, aparat yang bertugas di garis depan saat demonstrasi tentulah aparat berpangkat rendah yang hidupnya juga dipenuhi oleh problem sosial sebagaimana rakyat kebanyakan. Aparat selalu menjadi pihak yang salah saat terjadi bentrok.

Tiba-tiba sebuah batu, entah yang ke berapa, Prajurit Jatiman sudah tak mau menghitung lagi, menghantam pipinya. Berdarah.

Prajurit Jatiman sudah lupa bagaimana mulanya. Ia menjambret mahasiswa di depannya lalu menhajarnya bertubi-tubi diselingi gumam keras mirip raungan hewan menjelang ajal.

Kalian demonstrasi! Demonstrasi! Tapi kalian bukan orang susah! Sebentar lagi kalian jadi sarjana. Jadi ahli hukum pembela konglomerat busuk dan koruptor! Jadi ahli ekonomi yang menguntungkan orang kaya dan bikin miskin rakyat jelata! Jadi politikus, menipu rakyat kecil! Jadi menteri dan presiden!!! Huh!! Dulu juga mahasiswa demonstrasi-demonstrasi begini, hasilnya rakyat tetap miskin!! Demonstrannya yang kaya, jadi pengusaha, jadi macam-macam ahli-ahlian, semuanya bikin sengsara!! Sekarang begini lagi, demonstrasian-demonstrasian lagi, jadi penguasa lagi, jadi politisi lagi, jadi menteri lagi, kaya sendiri, senang sendiri, kami tetap sengsara. Terus sengsara. Sengsara selama-lamanya!! ...Demonstran hampir selalu mengatasnamakan pembela rakyat, tapi di sisi lain kadang justru mencederai hati rakyat. Bagaimana tidak. Bentrok saat demonstrasi tidak jarang menimbulkan kerusakan-kerusakan fasilitas umum yang merugikan rakyat. Selain menjadi tidak berfungsi, perbaikan fasilitas-fasilitas umum tersebut ujung-ujungnya juga memakai uang pajak dari rakyat. Yang lebih parah lagi, setelah demonstrasi keadaan masyarakat bawah juga tidak berubah. Namun, para demonstran yang notabene kebanyakan adalah para mahasiswa dapat hidup enak di kemudian hari.

Realitas yang digambarkan tersebut menunjukkan kepekaan pengarang ketika melihat suatu ketimpangan, ketidakadilan yang seringkali ditimpakan pada aparat. Melalui cerpen ini, tampaknya Agus R. Sarjono berusaha mengajak pembaca melihat sisi lain dari sebuah peristiwa demonstrasi yang selama ini tak pernah terjamah oleh pemberitaan media. Agus R. Sarjono berusaha mengangkat sisi kemanusiaan seorang aparat melalui tokoh Prajurit Jatiman. Selama ini masyarakat barangkali terlena dan terlalu mengelu-elukan mahasiswa yang seringkali menyatakan diri sebagai pembela rakyat dan mengatasnamakan rakyat saat demonstrasi. Para demonstran barangkali lupa, bahwa prajurit adalah juga rakyat. Para prajurit bukanlah lawan mereka. Yang mestinya dilawan para demonstran adalah para pembuat kebijakan, bukan prajurit.

Penciptaan sastra seringkali bertolak dari pengalaman kemanusiaan, termasuk pengalaman hidup keseharian pengarangnya. Pengarang yang cerdas, peka, dan bijak akan mampu menjelajahi realitas hingga sisi-sisi yang paling musykil, termasuk realitas sosial kemanusiaan yang jarang sekali dapat tergapai oleh daya nalar masyarakat umum.

Cerpen Prajurit Jatiman yang bertiti mangsa 23 Maret 2011 ini menjadi potret sosial masyarakat pada zaman itu, yaitu masa awal reformasi yang kita semua tentu belum lupa dengan peristiwa demonstrasi pada masa itu. Keadaan masyarakat pada masa itu digunakan Agus R Sarjono sebagai latar utama cerpen ini.

B. Permasalahan Sosial dalam Cerpen Prajurit Jatiman

Permasalahan sosial yang terdapat dalam cerpen ini berakar dari masalah ekonomi. Pegawai rendahan, gaji yang kecil yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup yang semakin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, akhirnya menjebak mereka dalam lingkaran hutang yang kian memberatkan beban hidup mereka. Permasalahan inilah yang terjadi pada tokoh utama cerpen ini, yaitu Jatiman.

Permasalahan ternyata tidak cukup berhenti pada masalah ekonomi. Kesulitan ekonomi hampir selalu memunculkan masalah baru, misalnya masalah rumah tangga. Konflik rumah tangga terpicu oleh keadaan ekonomi. Hal ini terlihat ketika terjadi adu mulut antara Jatiman dengan istrinya. Istri Jatiman meminta Jatiman untuk mencari penghasilan tambahan dengan bekerja sampingan. Namun, Jatiman menolak karena pekerjaan yang ditawarkan istrinya bertentangan dengan hati nuraninya. Keharmonisan rumah tangga Jatiman pun terganggu. Istrinya sering marah-marah. Belum lagi Jatiman sendiri menjadi gampang memarahi anaknya.

Permasalahan tidak berhenti sampai di sini. Kehidupan Jatiman yang serba susah membuatnya jadi serba salah, hatinya pun semakin gelisah. Barak yang sempit, udara panas, istri yang uring-uringan, latihan berat, kemarahan komandan, serta tugas-tugas atasan, membuat hati dan pikirannya semakin tertekan. Di satu sisi Jatiman berusaha memahami keinginan istrinya, tetapi di sisi lain ia tidak bisa berbuat banyak untuk mencari pekerjaan tambahan.

Ia tahu istrinya juga menderita, mungkin kadang terhina oleh kehidupan di sekitarnya. Mobil-mobil mewah yang terus berseliweran dan jauh dari jangkauan. TV yang setiap hari menekankan bahwa harga satu-satunya bagi manusia adalah jumlah materi.Kutipan di atas merupakan gambaran permasalahan sosial yang banyak dialami oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah, terutama yang tinggal di kota-kota besar. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin seringkali terlihat begitu kentara. Yang kaya terlihat semakin kaya, dan yang miskin terlihat semakin miskin. Sementara itu, harga manusia dilihat dari materi.

... Datanglah ke upacara perkawinan, akan segera terasa perbedaan sikap orang terhadap yang berharta dan yang tidak. Tak seorangpun peduli dari mana datangnya harta itu. Siapa berharta dia terhormat, habis perkara. Dan istrinya ada dalam gelombang itu, dalam suasana itu.

Godaan hidup konsumtif yang ditularkan oleh orang-orang kaya menjadi permasalahan tersendiri bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Hidup mereka yang sudah pas-pasan dibebani lagi oleh keinginan agar dihargai dengan tampil sebagaimana layaknya orang-orang berduit. Akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan berutang, kredit barang, yang akhirnya justru kian memberatkan beban hidup mereka. Kondisi ini akhirnya memunculkan permasalahan sosial baru. Masyarakat pun akhirnya menyalahgunakan pekerjaan/jabatan/wewenang untuk memenuhi nafsu pribadinya, yaitu mendapatkan penghasilan lebih. Inilah salah satu penyebab tindak korupsi yang marak terjadi di kalangan masyarakat.

Permasalahan sosial yang juga terdapat dalam cerpen ini adalah munculnya budaya kekerasan yang kian marak di kalangan masyarakat. Tak dapat kita mungkiri bahwa kekerasan memang dapat dipicu oleh masalah ekonomi. Banyak peristiwa kekerasan yang menunjukkan hal itu dan hampir tiap hari dapat kita saksikan di televisi. Dalam cerpen ini tergambar oleh sikap Jatiman yang tiba-tiba kalap saat bertugas menjaga demonstrasi mahasiswa. Kalapnya Jatiman dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Antara lain kesulitan ekonomi yang mendera kehidupannya, pertengkaran dengan istrinya, berangkat bertugas tanpa sempat sarapan karena memang tidak ada yang dimasak, serta beban-beban pikiran lainnya.

Hampir jam dua. Matahari miring langsung menerpa muka. Rombongan demonstran makin maju ke muka. Beratus-ratus banyaknya. Entahlah, rasanya beribu-ribu. Prajurit Jatiman sudah tak ingin mengira-ngira. Di barisan belakang satu dua mahasiswa menaiki atap mobil dan mulai berorasi dengan pengeras suara. Di bawahnya, beberapa mahasiswa membagikan teh botol dingin. Haus mencekik Prajurit Jatiman. Ada juga yang membagikan Coca cola dingin, langsung diteguk dari botol seperti dalam iklan. Nampaknya betul-betul segar. Suara orasi makin membara. Parjurit jatiman sudah tidak ingin mendengar sama sekali, tidak bisa mendengar lagi. Tadi pagi masih sempat dia perhatikan orasi-orasi itu, juga spanduk, sekedar hiburan. Tapi tidak sekarang. Dibayangkannya kelapa muda dengan es batu. Lalu tek dingin dalam botol. Nasi kapau panas dan pedas. Ransum tentara belum datang juga. Apakah tercegat padatnya demonstran? Terbayang nasi gudeg, telur dan ayam. [...] Batu pertama mengenai tamengnya. Sedang apa istrinya sekarang? Masih marahkah dia? Dan Anton? Bagaimana lebam pipinya? Batu kedua mengenai helmnya. Perutnya seperti diremas. Nasi kapau panas pedas. Dan si cantik Murni, anaknya, sudahkah dia mulai les matematika? Berapa bayarnya? Dari mana uangnya? Batu ketiga mengenai lututnya. ...

Kondisi fisik dan kekalutan Jatiman yang tergambar dalam kutipan tersebut akhirnya membuat Jatiman kalap dan memukuli salah seorang demonstran. Berbagai stasiun televisi pun memberitakannya. Jatiman akhirnya ditangkap, dimasukkan sel, bahkan dipecat karena dianggap mencemarkan nama baik militer. Kalangan bawah tetap menjadi manusia yang kalah dan barangkali memang harus dikalahkan. Inilah permasalahan sosial yang sampai sekarang masih terjadi di masyarakat.

Permasalahan-permasalahan sosial yang menjadi latar cerpen ini tentu tak berhenti sekedar sebagai latar. Namun, juga diharapkan dapat membuka wawasan pembaca yang bukan tidak mungkin bisa turut memberikan pemecahannya.Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan menciptakan terbaru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendens.

Sastrawan pada waktu menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu.Sastra dibentuk oleh pengulangan struktur tekstual lain yang bisa saja tersusun dari norma-norma sosio-kultural. Terdapat hubungan dialektik antara sastra sebagai teks dan masyarakat sebagai konteks. Dengan

Cerpen ini memungkinkan pembaca untuk lebih menghayati, merasakan, dan mungkin menghanyutkan kita dalam peristiwa dan situasi yang digambarkan dalam cerpen. Permasalahan-permasalahan sosial yang diangkat dalam cerpen ini dapat membuka wawasan pembaca mengenai masalah-masalah sosial yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Cerpen Prajurit Jatiman akhirnya bukan sekadar reproduksi realitas, melainkan menjadi teks yang mampu mempertajam dan membuat pembaca lebih intens dalam menghayati realitas. Sumardjo (2001:64) mengungkapkan bahwa sebuah karya cerpen yang baik ibarat pengalaman hidup yang kita alami dan sulit melupakannya. Selanjutnya, Sumarjo mengungkapkan Sastra menyajikan pengalaman kehidupan. Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat (2001:89).

Menurut Soekanto (1982:368) yang dimaksud masalah sosial adalah gejala-gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Selanjutnya, Soekanto (1982:378-395)PAGE 16