kajian pustaka dan hipotesis penelitian · pdf filekepuasan kerja adalah suatu perasaan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kepuasan Kerja
2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang
yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. (Robbins dan Judge,
2008 : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) pada pikiran yang paling mendasar,
kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman
kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan ini tidak
terpenuhi. Sebagai contoh, jika seorang tenaga kerja mengharapkan kondisi kerja
yang aman dan bersih, maka tenaga kerja mungkin bisa menjadi tidak puas jika
tempat kerja tidak aman dan kotor.
“Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan
seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pegawai dan
banyaknya yang mereka yakini apa yang seharusnya mereka terima, “(Stephen P.
Robbins, 2006 : 26). Kepuasan kerja merupakan: “Suatu pernyataan rasa senang
dan positif yang merupakan hasil penilaian terhadap suatu pekerjaan atau
pengalaman kerja “(Wan et al., 2013).
Menindak lanjuti definisi para ahli tersebut, dapat dikatakan kepuasan
kerja adalah keadaan emosi yang positif dari pengalaman kerja seseorang terhadap
pekerjaannya dengan ganjaran yang seharusnya mereka terima.
2) Kepuasan kerja dan komitmen organisasi
Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi. Secara umum tahap
yang diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan,
hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju.
Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan
pekerjaan itu sendiri, namun pekerjaan juga mempunyai definisi yang
berbeda (Mathis dan Jackson, 2006 : 100).
Tidak ada rumusan sederhana untuk memperkirakan kepuasan
tenaga kerja. Lagipula, hubungan antara produktivitas dan kepuasan kerja
tidak jelas seluruhnya. Faktor kritisnya adalah apa yang diharapkan tenaga
kerja dari pekerjaannya dan apa yang mereka terima sebagai penghargaan
dari pekerjaan mereka. Meskipun kepuasan kerja itu sendiri menarik dan
penting, hal yang paling mendasar adalah pengaruh kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasi yang mempengaruhi tujuan produktivitas, kualitas, dan
pelayanan.
Jika tenaga kerja berkomitmen pada organisasi, mereka mungkin
lebih produktif. Komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan
penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai
keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut. Rizwan (2010) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi
cenderung pengaruhi satu sama lain. Apa yang disarankan dari penemuan ini
adalah orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih
berkomitmen pada organisasi dan orang-orang yang berkomitmen terhadap
organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar.
Komitmen organisasional memberi titik berat secara khusus pada
kekontinuan faktor komitmen yang menyarankan keputusan tersebut untuk
tetap atau meninggalkan organisasi yang pada akhirnya tergambar dalam
statisik ketidakhadiran dan masuk-keluar tenaga kerja. Seorang yang tidak
puas akan pekerjaannya atau yang kurang berkomitmen pada organisasi akan
terlihat menarik diri dari organisasi baik melalui ketidakhadiran atau masuk-
keluar.
2.1.1.2 Variabel dan Indikator Kepuasan Kerja
Variabel yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja adalah ganjaran
yang pantas (imbalan finansial dan promosi), kondisi kerja yang mendukung
(lingkungan kerja fisik, fasilitas dan peralatan), rekan sekerja yang
mendukung dan kesesuaian pribadi pada pekerjaan (Robbins, 2007 : 181).
Manajemen menggunakan pengaruhnya terhadap perilaku kelompok melalui
kepemimpinan dan pada akhirnya menghasilkan kepuasan kerja karyawan
(Robbins, 2007 : 46).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan secara ringkas faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebagai berikut.
1) Ganjaran yang pantas (imbalan finansial dan promosi)
Para karyawan menginginkan imbalan finansial dan kebijakan
promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, dan segaris dengan
harapan mereka. Bila imbalan finansial dilihat sebagai adil yang
didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan
standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan menghasilkan
kepuasan. Demikian pula dengan promosi, karyawan berusaha
mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi
memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab
yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Individu-individu
yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat secara adil
kemungkinan besar akan mengalami kepuasan.
(1) Imbalan Finansial
Imbalan finansial, sesuatu yang diterima oleh karyawan
dalam bentuk seperti gaji atau upah, bonus, premi, pengobatan,
asuransi, dan lain-lain yang sejenis yan dibayar oleh organisasi
(Umar, 2007 : 16). Imbalan finansial adalah penghargaan/ganjaran
dalam bentuk uang yang mencakup upah (wage) dan gaji (salary)
ditambah tunjangan-tunjangan (benefit) (Boone dan Kurtz,
2007:327). Imbalan finansial bagi organisasi atau perusahaan berarti
penghargaan atau ganjaran berupa uang pada para pekerja yang telah
memberikan kontribusi dalam mewujudkan tujuan perusahaan
(Nawawi, 2008:315).
Dari pendapat para ahli tersebut maka dapat dikatakan
imbalan finansial adalah balas jasa yang diterima karyawan dari
perusahaan atas hasil kerjanya berupa uang mencakup upah (wage)
dan gaji (salary) ditambah tunjangan-tunjangan (benefit).
(2) Promosi
Promosi terjadi apabila seorang karyawan dipindahkan dari
satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang lebih tinggi dalam
pembayaran, tanggung jawab dan atau level (Rivai, 2007:211).
Promosi adalah perpindahan seorang karyawan dari satu jabatan ke
jabatan lain yang lebih tinggi baik dari segi penghasilan, fungsi dan
tugas, tanggung jawab, persyaratan jabatan ataupun level organisasi.
Promosi bisa dilakukan pada arah vertikal ataupun diagonal (Wungu
dan Brotoharsojo, 2007:120). Promosi adalah perpindahan dari suatu
jabatan ke jabatan yang lain yang mempunyai status dan tanggung
jawab yang lebih tinggi (Martoyo, 2008:63). Berdasarkan pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa promosi adalah suatu kegiatan yang
dilakukan perusahaan dalam kaitannya dengan pemindahan
karyawan dari satu jabatan ke jabatan yang lain yang mempunyai
status dan tanggung jawab yang lebih tinggi.
2) Kondisi kerja yang mendukung (lingkungan kerja fisik, fasilitas dan
peralatan)
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik.
Karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya
atau merepotkan. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkungan lain
seharusnya tidak terlalu ekstrem (terlalu banyak atau terlalu sedikit).
Disamping itu, karyawan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah,
dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dan dengan alat-alat dan
peralatan yang memadai (Robbins, 2007:181).
3) Rekan sekerja yang mendukung
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan
akan interaksi sosial. Mempunyai rekan sekerja yang ramah dan
mendukung akan menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat.
Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
Umumnya kepuasan dapat ditingkatkan, bila atasan bersifat ramah dan
memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan
pendapat karyawan, dan menunjukkkan suatu minat pribadi pada mereka
(Robbins, 2007:181).
4) Kesesuaian pribadi pada pekerjaan
Karyawan yang tipe kepribadiannya sama dan sebangun
dengan pekerjaannya seharusnya mendapatkan bahwa mereka
mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan
dari pekerjaan mereka, dengan demikian lebih besar kemungkinan untuk
berhasil pada pekerjaan yang berakibat adanya pencapaian kepuasan
yang tinggi dari dalam kerja mereka (Robbins, 2007:181).
5) Manajemen
Manajemen adalah seperangkat kegiatan yang mencakup
pengkoordinasian, pengintegrasian dan penggunaan sumber daya guna
mencapai tujuan organisasi melalui manusia-manusia, teknik-teknik,
berbagai informasi dalam suatu struktur organisasi (Sirait, 2006:2).
Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan
terutama human resources untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan terlebih dahulu. (Manullang, 2004:2).
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Hasibuan, 2007:2).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan
manajemen adalah ilmu dan seni perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, pengarahan dan pengawasan melalui pengembangan
sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan organisasi.
2.1.2 Kepemimpinan Transformasional
2.1.2.1 Gaya Kepemimpinan Transformasional
Wahjosumidjo (2003:172) kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat
dengan motivasi karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan
orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada
kewibawaan, selain itu bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap
karyawan, kolega maupun pimpinan itu sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kepemimpinan adalah aktivitas untuk
mempengaruhi pengikutnya guna mencapai tujuan organisasi, oleh sebab itu
setiap pemimpin memiliki gaya (style) yang berbeda-beda dalam memimpin
perusahaan (Demet, 2012). Salah satu gaya kepemimpinan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah gaya kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan
transformasional yaitu pemimpin yang mencurahkan perhatiannya kepada
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para pengikutnya dan kebutuhan
pengembangan dari masing-masing pengikutnya dengan cara memberikan
semangat dan dorongan untuk mencapai tujuannya (Robbin,2007:473).
2.1.2.2 Komponen dan Dimensi Kepemimpinan Transformasional
Thomas et al. (2007) menyatakan komponen-komponen kepemimpinan
transformasional dapat dinilai dari :
a) Tingkat kepercayaan bawahan terhadap pemimpin
b) Keyakinan bawahan terhadap pemimpin.
c) Rasa hormat bawahan terhadap pemimpin.
d) Pimpinan mampu mendelegasikan wewenang.
e) Pimpinan jelas dalam penyampaian tugas dengan job base.
Burns (1978) dalam Bass dan Avolio (2003) menyatakan komponen dari
kepemimpinan transformasional terdiri atas empat dimensi kepemimpinan yaitu :
1) Kharisma
Mengarah pada perilaku kepemimpinan transformasional yang mana
pengikut berusaha bekerja keras melebihi apa yang dibayangkan. Para
pengikut khususnya mengagumi, menghormati dan percaya sebagaimana
pemimpinnya. Mereka mengidentifikasi pemimpin sebagai seseorang,
sebagaimana visi dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
2) Motivasi inspiratif
Dimana pemimpin menggunakan berbagai simbol untuk memfokuskan
usaha atau tindakan dan mengekspresikan tujuan dengan cara-cara
sederhana. Ia juga membangkitkan semangat kerja sama tim, antuasiasme
dan optimisme di antara rekan kerja dan bawahannya.
3) Stimulasi intelektual
Upaya memberikan dukungan kepada pengikut untuk lebih inovatif dan
kreatif dimana pemimpin mendorong pengikut untuk menanyakan asumsi,
memunculkan ide-ide dan metode-metode baru, dan mengemukakan
pendekatan lama dengan cara perspektif baru.
4) Konsiderasi yang bersifat individual
Pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus pada kebutuhan
setiap individu untuk berprestasi dan berkembang, dengan jalan sebagai
pelatih, penasehat, guru, fasilitator, orang terpercaya, dan konselor.
Bass dan Avolio (2003) menambahkan satu komponen pada
kepemimpinan transformasional yakni :
5) Tingkah laku
Mendapatkan penghargaan dan kehormatan dari pengikut mereka dengan
baik – baik mempertimbangkan kebutuhan pengikutnya di atas kebutuhan
mereka sendiri, membicarakan tentang nilai dan kepercayaan mereka yang
paling utama dan menekankan pentingnya konsekuensi moral dan etika
dari keputusan kunci.
2.1.2.3 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Bass dan Avolio (2003) menegaskan bahwa kepemimpinan
transformasional merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja, dimana
kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang
pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara
pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran
tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja,
penugasan kerja, dan penghargaan. Agusthina et al. (2012), mengungkapkan
bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap
kondisi kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan
kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan,
pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini
didukung oleh Rifki (2012) yang mengemukakan bahwa alasan utama karyawan
meninggalkan perusahaan disebabkan karena pemimpin gagal memahami
karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Yulinda (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kendala yang
menghambat perkembangan perusahaan adalah keterbatasan tenaga kerja yang
terampil dan tingginya turnover yang disebabkan karena kepemimpinan yang
tidak baik sehingga berdampak terhadap kepuasan kerja karyawan.
2.1.3 Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict)
2.1.3.1 Pengertian Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict)
Marquise dan Huston (dalam Madziatul, 2011) mendefinisikan konflik
sebagai masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan
pendapat, nilai –nilai, keyakinan dari dua orangatau lebih. Menurut Littlefield
(dalam Dwi, 2012) bahwa konflik dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian atau
proses. Sebagai kejadian, konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua atau
orang atau oragnisasi, dimana orang tersebut menerima sesuatu yang akan
mengancam kepentingannya. Sebagai suatu proses, konflik dimanifestasikan
sebagai suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih kelompok
berusaha menghalangi atau mencegah kepuasan dari seseorang.
Peran adalah pola perilaku yang diharapkan dari individu dalam suatu
posisi tertentu. Peran bisa terdiri dari sikap, nilai, serta perilaku tertentu (Rana and
Ajmal, 2012). Peran ganda muncul ketika individu menjalankan posisi yang
berbeda dari organisasi atau kelompok (missal rumah, tempat kerja, perkumpulan
dan sebagainya). Menurut Davis dan Newstrom (dalam Triana, 2010) bahwa
peran diwujudkan dalam perilaku. Individu yang terlibat dalam peran ganda bisa
menghadapi pilihan perilaku yang rumit. Hal ini terjadi karena mereka harus
menjalani berbagai peran yang berbeda, sementara dalam masing-masing peran
itu sendiri bisa terjadi dari serangkaian peran yang kompleks. Oleh karena itu
peran ganda seringkali menimbulkan konflik peran yang bersangkutan (Jennifer et
al., 2015).
Penelitian dari Aminah (2008) menemukan bahwa wanita cenderung
menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga wanita
dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan keluarga khususnya family
interference with work. Sebaliknya pria cenderung untuk menghabiskan lebih
banyak waktu untuk menangani urasan pekerjaan daripada wanita sehingga pria
dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan keluarga khususnya work
interference with family daripada wanita.
2.1.3.2 Dimensi dan Indikator Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict)
Work Family Conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole
conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan
dengan peran didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang
panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya
konflik pekerjaan-keluarga (WFC), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan
dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa
digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Greenhaus & Beutell,
1985).
Menurut (Greenhaus dan Beutell, 1985) (dalam Dwi, 2012) ada tiga
macam konflik peran ganda yaitu :
1) Time based conflict
Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga –
pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan .
2) Strain based conflict
Terjadi tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya
3) Behavior based conflict
Berhubungan dengan ketidak sesuaian antara pola perilaku dengan yang
diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan – keluarga).
Work family conflict dapat didefiniskian sebagai bentuk konflik peran
dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutlak tidak dapat
disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang
berusahan memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut
dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi
tuntutankeluarganya atau sebaliknya dimana pemenuhan tuntutan peran dalam
keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan
pekerjaannya (Triana, 2010). Konflik dalam suatu organisasi dapat disebabkan
oleh :
1) Terbatasnya sumber daya yang harus dibagi.
Hal ini disebabkan karena suatu organisasi memiliki sumber daya yang
terbatas yang harus dialokasikan. Konflik akan timbulbila anggota-anggota
dalam organisasi tersebut bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang
ada.
2) Adanya perbedaan tujuan.
Timbul karena setiap anggota dalam organisasi mengembangkan berbagai
tujuan, tugas, dan personalia yang tidak sama sehingga tujuan yang akan
dicapainya juga akan berbeda.
3) Adanya saling ketergantungan antar kegiatan kerja.
Saling ketergantungan kerja ada bila dua atau lebih anggota/kelompok
saling tergantung satu dengan yang lain untuk menyelesaikan tugas
mereka. Konflik akan meningkat jika suatu bagian tidak dapat memulai
pekerjaan karena harus menunggu penyelesaian pekerjaan dari bagian lain.
4) Adanya perbedaan nilai-nilai atau persepsi diantara dua individu.
Konflik akan timbul bila pekerjaan didistribusikan secara sama tapi
penghargaan diberikan secara berbeda.
5) Tanggung jawab kerja dan tujuan yang ingin dicapai tidak dirumuskan
dengan jelas.
6) Gaya-gaya individual maksudnya ada orang yang menyukai konflik, debat
dan adu argumentasi, dan bila hal ini bisa dikendalikan akan dapat
menstimulasi anggota dalam suatu organisasi untuk meningka tkan atau
memperbaiki prestasi.
2.1.3.4 Pengaruh Work Family Conflict terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Frone, Rusell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga
sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus
melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga
secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga
dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya
sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan
sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga
mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan
untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik
pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang.
Jadi WFC merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara
umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran.
Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi
tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu
dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.
Ketika seseorang mengalami konflik pekerjaan-keluarga, pemenuhan
peran yang satu akan mengganggu pemenuhan peran yang lainnya sehingga akan
berdampak terhadap kepuasan kerja (Triana, 2010). Sebuah konflik biasanya
terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan
dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk
memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, di mana pemenuhan tuntutan
peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam
memenuhi tuntutan pekerjaannya (Jennifer et al., 2005). Work family conflict ini
termasuk dalam bentuk konflik inter role di mana tekanan peran dari pekerjaan
dan keluarga saling bertentangan, sehingga partisipasi dalam satu peran
membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi yang berdampak terhadap kepuasan
kerja. Konflik peran terjadi ketika terdapat kebijakan atau tuntutan berbeda dan ini
dapat menyebabkan ketidakpuasan individu bahkan berdampak pada penurunan
kinerja karyawan. Work family conflict ini dapat menurunkan kepuasan kerja
karyawan, sementara menurunnya kepuasan kerja dapat memberi dampak pada
meningkatnya keinginan untuk keluar, meningkatnya absensi, dan menurunya rasa
ingin bekerja (dalam penelitiannya yang dilakukan oleh Rana and Ajmal, 2012).
2.1.4 Komitmen Organisasional
2.1.4.1 Pengertian Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional menurut Rivai (2006:67) dapat diartikan sebagai
“identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan oleh
organisasi atau unit dari organisasi”. Komitmen organisasional merupakan”
respon afektif pada organisasi secara menyeluruh, yang kemudian menunjukkan
suatu respon afektif pada aspek khusus pekerjaan sedangkan kepuasan kerja
merupakan respon afektif individu didalam organisasi terhadap evaluasi masa lalu
dan masa sekarang, serta penilaian yang bersifat individual bukan kelompok atau
organisasi Siagian (2007:52). komitmen organisasional sebagai “derajat seberapa
jauh karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya
dalam organisasi tertentu” (Windy dan Gunasti, 2012).
2.1.4.2 Dimensi Komitmen Organisasional
Hal menarik dalam pengertian komitmen organisasional adalah apa yang
dikemukakan oleh Durkin (1999:127), bahwa komitmen organisasional
merupakan perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai
suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya
pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut. Kemudian dinyatakan bahwa gambaran
yang lebih jelas mengenai definisi komitmen organisasional adalah yang
dikemukakan oleh Allen and Meyer (1993), yang mengemukakan: "commitment
organizational is identified three types of commitment; affective commitment,
continuance commitment, and normative commitment as a psychological state
“that either characterizes the employee’s relationship with the organization or
has the implications to affect whether the employee will continue with the
organization".
Lebih lanjut Cut (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pendapat
Allen and Meyer (1993) ini sering digunakan oleh para peneliti di bidang Ilmu
Perilaku Organisasi dan Ilmu Psikologi. bahwa komitmen organisasional sebagai
sebuah keadaan psikologi yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan
organisasi atau implikasinya yang mempengaruhi apakah karyawan akan tetap
bertahan dalam organisasi atau tidak, yang teridentifikasi dalam tiga komponen
yaitu:
1) Komitmen afektif (affective commitment), yaitu: keterlibatan emosional
seseorang pada organisasinya berupa perasan cinta pada organisasi.
2) Komitmen kontinyu (continuance commitment), yaitu: persepsi seseorang
atas biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi saat ini. Artinya,
terdapat dua aspek pada komitmen kontinyu, yaitu: melibatkan
pengorbanan pribadi apabila meninggalkan organisasi dan ketiadaan
alternatif yang tersedia bagi orang tersebut.
3) Komitmen normatif (normative commitment), yaitu: sebuah dimensi moral
yang didasarkan pada perasaan wajib dan tanggung jawab pada organisasi
yang mempekerjakannya.
2.1.4.3 Pengukuran Komitmen Organisasional
Tiga komponen utama mengenai komitmen organisasional (Handoko,
2007:55) yaitu: Affective commitmen (komitmen afektif), terjadi apabila karyawan
ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional atau
psikologis terhadap organisasi. Continuance commitmen (komitmen
berkelanjutan) muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi
karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karyawan
tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut
tinggal di organisasi tersebut karena dia membutuhkan organisasi tersebut.
Normative commitmen (komitmen normatif) timbul dari nilai-nilai diri karyawan.
Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran
bahwa komitmen terhadap organisasi tersebut merupakan hal memang harus
dilakukan. Jadi, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena ia merasa
berkewajiban untuk itu.
2.1.4.4 Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Teman (2005) dalam penelitiannya menyatakan secara teoritis komitmen
organisasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi individu dalam
bekerja untuk meningkatkan kepuasan kerja. Karyawan yang puas akan lebih
dapat berbicara positif tentang organisasi, membantu orang lain, dan jauh
melebihi harapan normal dari pekerjaan mereka. Seseorang dengan tingkat
komitmen organisasi tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap
pekerjaannya. Bukti empiris yang dilakukan oleh Durrotun (2006) menyatakan
bahwa tingkat komitmen berhubungan dengan kepuasan kerja, berimplikasi pada
dugaan bahwa rendahnya kepuasan kerja saat ini tidak hanya disebabkan karena
belum diikutsertakannya karyawan dalam pengambilan keputusan ataupun
penerapan gaya kepemimpinan, namun juga dipicu oleh rendahnya komitmen
karyawan. Apabila hal ini terjadi maka sulit bagi perusahaan untuk mewujudkan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, karena perusahaan tidak hanya membutuhkan
seorang karyawan yang pintar dan cerdas tetapi juga bagaimana ia mempunyai
sikap komitmen terhadap organisasi, karena tanpa itu semua akan sulit bagi
perusahaan untuk dapat mencapai tujuannya.
Menurut Sopiah (2008) dalam penelitiannya komitmen organisasional
merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap
perusahaan. Karyawan yang memiliki komitmen kuat terhadap organisasinya
merupakan suatu modal dalam mencapai tujuan perusahaan. Komitmen yang kuat
memungkinkan setiap karyawan untuk berusaha menghadapi tantangan dan
tekanan yang ada. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan tersebut akan
menumbuhkan rasa kepuasan tersendiri terhadap perusahaan.
2.1.5 Teori Pendukung
Adapun teori pendukung yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori
tentang kepuasan kerja yang disebut dengan Two factor theory (teori dua faktor)
dari Herzberg’s. Teori ini mengemukakan bahwa kepuasan kerja dan
ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda dan bukan variabel yang
kontinu. Menurut Rivai (2006:857) teori ini terdiri dari dua kelompok yaitu:
1) Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber
kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh
tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh
penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan
menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu
mengakibatkan ketidakpuasan.
2) Dissatisfies (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang menjadi sumber
ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan pimpinan,
hubungan antarpribadi, komitmen kerja dan status.
Berdasarkan kedua kelompok teori diatas yang akan digunakan dalam
penelitian ini ialah Dissatisfies (hygiene factors) dimana terdapat hubungan antar
pribadi dalam hal ini keluarga dan pekerjaan, pengawasan pimpinan dan
komitmen kerja yang akan mempengaruhi kepuasan kerja.
2.2 Model Konseptual Penelitian
Leliyana (2008) dalam penelitiannya menyatakan model konseptual
penelitian dinyatakan dalam bentuk skema sederhana tetapi utuh memuat pokok-
pokok unsur penelitian dan tata hubungan antara pokok-pokok unsur penelitian,
seperti pada gambar 2.1 sebagai berikut.
Ket :
H1 : Agusthina et al. (2012), Rezvan et al. (2013), Furkan et al. (2012)
H2 : Triana (2010), Rana and Ajmal (2012), Jennifer et al (2005)
H3 : Ehsan et al. (2012), Muhammad Rafiq et al. (2012), Farid, (2008)
Gambar 2.1 Model Konseptual Penelitian
2.3 Hipotesis Penelitian
2.3.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Penelitian Agusthina et al. (2012) menyimpulkan bahwa kepemimpinan
partisipatif secara parsial merupakan variabel yang mampu meningkatkan
kepuasan kerja karyawan. Rezvan et al. (2013) menyimpulkan kepemimpinan
partisipatif berpengaruh secara parsial dengan kepuasan kerja karyawan. Furkan et
al. (2012) menyimpulkan kepemimpinan partisipatif berpengaruh secara parsial
dengan kepuasan kerja karyawan. Pernyataan ini didukung oleh Rifki (2012)
menyatakan kepemimpinan partisipatif berpengaruh secara parsial dengan
kepuasan kerja karyawan. Yulinda (2013) menemukan dalam penelitiannya
Kepemimpinan Transformasional (X1)
Work family conflict (X2)
Komitmen organisasional (X3)
Kepuasan kerja (Y)
kepemimpinan partisipatif berpengaruh secara parsial dengan kepuasan kerja
karyawan. Dari pemahaman diatas ditarik hipotesis sebagai berikut.
H1 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan
kerja karyawan.
2.3.3 Pengaruh Work Family Conflict terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kepuasan kerja dapat
dipengaruhi work family conflict (Triana, 2010). Work family conflict merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karaywan (Rana and
Ajmal, 2012) work family conflict memiliki pengaruh dengan kepuasan kerja. Hal
ini didukung oleh Jennifer et al., (2005) work family conflict memberikan dampak
negatif pada kepuasan kerja karyawan. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat
dirumuskan hipotesis ke dua sebagai berikut.
H2 : Work family conflict berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan.
2.3.3 Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
Penelitian Teman (2005) mengatakan bahwa komitmen organisasional
melalui uji parsial berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Susilo dan
Durrotun (2006) menyimpulkan komitmen organisasional berpengaruh secara
parsial terhadap kepuasan kerja seseorang untuk bekerja. Robbins (2006)
menemukan dalam penelitiannya bahwa komitmen organisasional secara parsial
berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Rizwan et al, (2010) menyatakan
dalam penelitiannya secara parsial kepuasan kerja dipengaruhi oleh komitmen
organisasional. Dipertegas oleh Nadia (2011) dalam penelitiannya komitmen