kajian preferensi penggunaan kompor biomassa pelet …
TRANSCRIPT
D.6
KAJIAN PREFERENSI PENGGUNAAN KOMPOR BIOMASSA PELET KAYU
SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TUNGKU TRADISIONAL
(Studi Kasus di Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan)
Giyanto*
Teknik Mesin, Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. H. Soedarto S.H.,Tembalang, Semarang, 50275
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Kajian preferensi penggunaan kompor biomassa pelet kayu sebagai alternatif pengganti tungku
tradisional memiliki tujuan untuk memberikan alternatif solusi terkait pemenuhan kebutuhan
energi yang murah, efisien, bersih, sehat, aman dan ramah lingkungan. Pelet kayu merupakan
salah satu bahan bakar alternatif terbarukan yang murah dan ramah lingkungan. Pelet kayu
umumnya berasal dari limbah kayu yang dipadatkan seperti: limbah industri penggergajian,
limbah tebangan kayu, dan juga limbah industri kayu lainnya. Kompor biomassa pelet kayu
merupakan kompor yang menggunakan pelet kayu sebagai bahan bakar dan umumnya
memiliki efisiensi pembakaran dan penggunaan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tungku tradisional. Penelitian ini dilaksanakan di 3 Desa di Kecamatan Geger, Kabupaten
Bangkalan, Madura dengan total jumlah responden yaitu sebanyak 100 responden. Tahapan
penelitian ini dimulai dari studi literatur, sosialisasi, pembagian kompor, survei, wawancara,
dan analisis preferensi penggunaan kompor biomassa pelet kayu. Berdasarkan survei dan hasil
analisis data diperoleh bahwa lebih dari 70% responden memberikan penilaian positif dan
memilih menggunakan kompor biomassa pelet kayu karena tampilan kompor cukup bagus,
mudah dipakai, mudah dirawat, aman, dan hemat. Selain itu, kajian ini juga membahas
beberapa faktor lain yang menentukan tingkat preferensi penggunaan kompor biomassa pelet
kayu, seperti: kesulitan penyalaan awal dan kontrol nyala api, keberlanjutan penggunaan, dan
kualitas rasa hasil memasak menggunakan kompor biomassa pelet kayu.
Kata Kunci: tungku tradisional; kompor biomassa pelet kayu; pelet kayu; alternatif;
preferensi
PENDAHULUAN
Menurut “Handbook of Energy Economics and Statistics” jumlah rumah-tangga (RT)
di Indonesia pada tahun 2014 tercatat sebanyak 64,766,990 RT. Saat ini, lebih dari 21 juta
RT (32%) masih menggunakan biomassa padat seperti kayu bakar, limbah pertanian,
kotoran sapi atau kerbau, dan juga batubara sebagai sumber bahan bakar utama untuk
memasak sehari-hari (BPS, 2014). Pembakaran biomassa padat biasanya dilakukan melalui
pembakaran terbuka (open fire) dan tungku tradisional (traditional stove) yang dapat
Prosiding Seminar Nasional NCIET Vol.1 (2020) D6-D19
1st National Conference of Industry, Engineering and Technology 2020,
Semarang, Indonesia.
D.7
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
menghasilkan emisi gas karbon monoksida (CO), partikel halus (PM) dan gas-gas polutan
lainnya dalam jumlah besar. Data statistik World Health Organization (WHO)
menyebutkan bahwa tingkat polusi partikulat asap dalam ruangan yang disebabkan oleh
pembakaran biomassa padat dapat mencapai 20-100 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan bahan bakar yang bersih seperti LPG atau gas alam atau sekitar 20 kali lebih tinggi
jika dibandingkan dengan tingkat polusi maksimum yang diperbolehkan sesuai dengan
aturan yang dikeluarkan oleh WHO. Sekitar 4,3 juta orang (7,7%) mengalami kematian
dini (premature deaths) akibat dari penyakit yang disebabkan oleh polusi udara rumah
tangga hasil dari pembakaran bahan bakar biomassa padat. Lebih dari 10% kematian dini
tersebut terjadi akibat penyakit pneumonia pada anak di bawah umur 5 tahun yang
disebabkan oleh partikel halus (jelaga) terhirup dari polusi udara rumah tangga dan
umumnya terjadi pada masyarakat yang perpenghasilan rendah dan menengah (Statistik
WHO, 2014).
Beberapa kajian juga menyebutkan bahwa paparan gas-gas polutan hasil dari
pembakaran biomassa padat tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius
bagi pengguna baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Paparan karbon
monoksida (CO) dalam dosis tinggi akan menimbulkan gejala-gejala seperti pusing,
hilangnya kesadaran hingga kematian mendadak. Kontak berjam-jam pengguna tungku
tradisional dengan tingkat emisi tinggi setiap harinya berpotensi menimbulkan penyakit
infeksi saluran pernafasan (ISPA). Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok paling
beresiko mengalami ISPA (Fullerton dkk., 2008).
Masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya menggunakan tungku tradisional dengan
sanitasi yang buruk (Gambar 1a). Efisiensi pembakaran dan penggunaan panas pada
tungku tradisional umumnya sangat rendah, yaitu pada kisaran 5-15% (ARC, 2015). Faktor
kemiskinan dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya polusi udara di ruangan dapur
membuat mereka masih bersikukuh dengan dapur tradisional. Selain itu, dengan semakin
terbatas dan tidak stabilnya harga bahan bakar fosil, maka masyarakat akan cenderung
kembali ke bahan bakar kayu bakar sebagai pilihan paling rasional dan murah untuk
masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, sulitnya akses mendapatkan bahan bakar
bersih seperti liquified petrolium gas (LPG) serta kekhawatiran terhadap faktor keamanan
dalam penggunaan LPG, menjadikan sebagian masyarakat masih enggan beralih ke LPG
dan tetap bertahan menggunakan kayu bakar untuk memasak.
D.8
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Gambar 1. Perilaku memasak menggunakan tungku tradisional
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka perlu diupayakan bahan bakar alternatif dan
peralatan memasak yang efektif dan efisien yang mampu memberikan solusi terkait
masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Kajian preferensi penggunaan kompor biomassa
pelet kayu memiliki tujuan untuk memberikan alternatif solusi terkait pemenuhan
kebutuhan energi yang murah, bersih, sehat, aman dan ramah lingkungan melalui: (1)
Penyediaan bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan yaitu: pelet kayu sebagai
alternatif pengganti kayu bakar; dan (2) Penyediaan kompor biomassa pelet kayu yang
efisien, bersih, sehat, aman dan ramah lingkungan sebagai pengganti tungku tradisional
yang tidak efisien dan tidak sehat dan/atau kompor gas yang mahal dan rawan meledak.
Pelet kayu (wood pellet) merupakan salah satu bahan bakar alternatif terbarukan yang
ramah lingkungan. Umumnya, bahan baku untuk membuat pelet kayu ini berasal dari
limbah kayu yang dipadatkan seperti: limbah industri penggergajian, limbah tebangan
kayu, dan juga limbah industri kayu lainnya (Gambar 2). Selain ramah lingkungan, pelet
kayu memiliki beberapa kelebihan yaitu: (1) Harga lebih murah dan stabil bila
dibandingkan dengan bahan bakar fosil; (2) Memiliki energi konten yang tinggi (3.400 -
4.880 kkal/kg); (3) Teknologi lebih efisien bila dibandingkan dengan bahan bakar
biomassa yang lain; (4) Mudah dan nyaman dalam penggunaannya; dan (5) Cocok
digunakan sebagai bahan bakar kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri kecil,
menengah dan besar, bahkan untuk industri pembangkit tenaga listrik.
D.9
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Limbah kayu; (b) Pelet Kayu
Kompor biomassa pelet kayu (wood pellet stove) merupakan kompor yang
menggunakan pelet kayu sebagai bahan bakar. Umumnya kompor jenis ini digunakan
untuk memasak atau pemanas ruangan. Kompor biomassa pelet kayu yang digunakan
untuk memasak di dapur biasanya memiliki desain yang sederhana yaitu menggunakan
sistem top-lit up draft (TLUD) yang terdiri dari mekanisme pembakaran secara preheating,
counter-flow, dan co-firing. Di Indonesia sendiri, kompor biomassa ini sudah diproduksi
dan dipatenkan oleh Prime Cookstoves. Terdapat dua jenis kompor biomassa yang telah
diproduksi yakni fuelwood cookstove dan granular cookstove (Gambar 3a dan 3b).
Fuelwood cookstove adalah kompor biomassa yang menggunakan bahan bakar kayu dan
material kayu dengan dimensi ukuran besar. Sedangkan granular cookstove adalah kompor
biomassa yang menggunakan bahan bakar pelet maupun biomassa lain dengan ukuran
kecil.
(a)
(b)
Gambar 3. Kompor biomassa (a) fuelwood cookstove; dan (b) granular cookstove
(Sumber: primestoves)
D.10
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Kompor yang digunakan pada penelitian ini adalah kompor biomassa jenis granular
cookstove, yaitu kompor biomassa UB-03 (Gambar 4). Kompor ini merupakan kompor
gasifikasi biomassa yang memadukan prinsip-prinsip dasar termodinamika untuk
mengoptimalkan proses pembakaran melalui pemanfaatan secara alami aliran udara
pembakaran (primer dan sekunder). Kompor ini memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan tungku tradisional, yaitu: efisien, bersih, bebas asap, dan layak
digunakan untuk memasak di dalam ruangan (indoor cooking).
Gambar 4. Kompor biomassa UB-03
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di 3 Desa di Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan,
Madura yaitu: Desa Kumbangan, Desa Geger, dan Desa Togubang dengan pertimbangan
bahwa pada area tersebut terdapat industri pelet kayu yang didukung oleh kelompok tani
dan lembaga pengelolaan hasil hutan rakyat. Jumlah responden yang terlibat dalam kajian
ini adalah 100 responden pengguna kompor biomassa pelet kayu. Tahapan penelitian ini
dimulai dari studi literatur, sosialisasi dan pembagian kompor biomassa pelet kayu, survei
dan wawancara penggunaan kompor biomassa pelet kayu, dan analisis preferensi
penggunaan kompor biomassa pelet kayu. Metode pengumpulan data pada penelitian ini
dilakukan melalui pengumpulan data sekunder, metode wawancara, survei dan pengamatan
langsung di lapangan dengan obyek penelitian beberapa pihak terkait yaitu masyarakat
pengguna kompor biomassa pelet kayu. Rangkuman detail metode pengumpulan data
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
D.11
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Tabel 1. Metode pengumpulan data
No Metode Sumber Data Jenis Data
1 Data
Sekunder
Badan Pusat Statistik, Kementrian
ESDM, Dinas Kehutanan Provinsi
dan Kabupaten, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan,
Jumlah rumah tangga berdasarkan sumber
energi utama untuk memasak
Perbandingan harga dan kandungan energi
bahan bakar
Data kependudukan dan kesejahteraan
masyarakat
Jumlah lahan, hutan dan pemanfaatannya
Potensi limbah di sektor perhutanan,
pertanian dan perkebunan
Data sebaran industri bahan bakar pelet
kayu
2 Wawancara Dinas Kehutanan Provinsi dan
Kabupaten, Industri Pelet Kayu,
Beberapa Kelompok Tani, dan
Lembaga Pengelolaan Hasil Hutan
Rakyat
Persepsi pemanfaatan hutan
Persepsi potensi industri pelet kayu dan
pemanfaatan bahan bakar pelet kayu
Persepsi perilaku memasak (jenis dan harga
bahan bakar, serta penggunaan peralatan
memasak)
Persepsi penggunaan kompor biomassa
pelet kayu
3 Pengamatan Industri Pelet Kayu dan Masyarakat
Pengguna Kompor Biomassa Pelet
Kayu
Proses pemanfaatan bahan baku dan
pembuatan pelet kayu
Proses penyimpanan dan penjualan bahan
bakar pelet kayu
Jenis penggunaan bahan bakar dan peralatan
memasak
Metode atau proses memasak dan kondisi
lingkungan sekitarnya
Kendala dan kualitas memasak
menggunakan kompor biomassa pelet kayu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa hasil survei pada kajian penggunaan kompor pelet kayu ini dibagi menjadi 2
(dua) bagian yaitu: analisi terkait gambaran umum profil responden dan perilaku memasak
sebelum menggunakan kompor biomassa pelet kayu dan analisa terkait dengan preferensi
memasak reponden sesudah menggunakan kompor biomassa pelet kayu.
1. Profil dan Perilaku Memasak Responden
Profil dari responden yang dianalisis pada kajian ini dikelompokkan menjadi 8
(delapan) kriteria, yaitu: gender, kelompok usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota
keluarga, jumlah pengeluaran rata-rata bulanan, kepemilikan peralatan memasak dan
frekuensi memasak. Gambaran umum profil dan perilaku responden yang diperoleh dari
hasil survei disampaikan pada Gambar 5.
D.12
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Gambar 5. Profil responden penggunaan kompor biomassa pelet kayu
Berdasarkan gambaran umum profil responden di atas dapat dilihat bahwa sebagian
besar responden (64%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan sisanya (36%) berjenis
kelamin laki-laki. Kriteria responden berdasarkan pembagian usia diperoleh informasi
kelompok responden berdasarkan usia terbanyak pada kisaran umur 30 – 35 tahun (23
responden), diikuti oleh responden di bawah 30 tahun dan antara 35 – 40 tahun, berturut-
turut terdapat 20 responden dan 18 responden. Berdasarkan profil ini maka secara
prosentase sekitar 61% responden berada pada umur 40 tahun kebawah dan sisanya sebesar
39% berada di atas umur 40 tahun. Sementara itu, jika ditinjau dari jenjang pendidikan
sebagian besar responden pengguna kompor biomassa pelet kayu berpendidikan rendah
(Tamat SD, Tidak tamat SD, dan Tidak Sekolah). Dilihat dari sisi pekerjaan dapat
D.13
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
diketahui bahwa sebagian besar responden adalah petani yaitu sebanyak 53% responden.
Selain itu, kebutuhan memasak dalam suatu keluarga kemungkinan besar juga ditentukan
oleh banyak sedikitnya anggota rumah tangga dan pengeluaran bulanan (yang
mencerminkan tingkat kesejahteraan rumah tangga). Gambar 5e dan 5f merupakan
gambaran umum mengenai profil responden berdasarkan jumlah anggota per- rumah
tangga dan pengeluaran rutin per-bulan. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa
jumlah anggota rumah tangga masing-masing responden sangat bervariasi dari 1 sampai 10
orang dengan rata-rata penghuni tiap rumah tangga adalah sekitar 5 orang. Pengeluaran
rutin bulanan tiap rumah tangga juga bervariasi dari yang paling minimum di bawah Rp
500.000,- sampai dengan maksimum di atas Rp 5.000.000,-. Besarnya jumlah pengeluaran
rutin rumah tangga ini sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga dan banyaknya
anggota keluarga yang sedang menempuh pendidikan. Sebagian besar pengeluaran rutin
responden berada pada kisaran Rp 1.000.000,- sampai dengan Rp 2.500.000,-.
Perilaku memasak para responden dapat dilihat secara grafis pada Gambar 5g dan 5h.
Sebagian besar masyarakat (57%) memiliki kebiasaan memasak 2 (dua) kali per-hari dan
sisanya memiliki kebiasaan memasak 1 (satu) kali per-hari dan 3 (tiga) kali per-hari
berturut-turut sebanyak 25% dan 18%. Berdasarkan kepemilikan peralatan yang digunakan
untuk memasak, sebagian besar responden (59%) menggunakan tungku tradisional dan
kompor gas; 21% responden menggunakan tungku tradisional,kompor gas, dan rice
cooker; 9% menggunakan kompor gas; 6% menggunakan kompor gas dan rice cooker;
4% hanya menggunakan tungku tradisional, dan 1% tidak memasak dan/atau
menggunakan semua peralatan tersebut di atas.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden, rata-rata lama waktu yang
dibutuhkan untuk memasak adalah sekitar 1-2 jam. Lama waktu yang dibutuhkan untuk
memasak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: jenis dan jumlah bahan makanan
yang dimasak dan peralatan yang digunakan untuk memasak. Sebagai contoh, memasak
nasi menggunakan rice cooker dan/atau kompor gas lebih cepat dibandingkan memasak
nasi menggunakan tungku tradisional. Selain itu, preferensi peralatan memasak yang
digunakan untuk memasak juga sangat dipengaruhi oleh jenis dan/atau bahan makanan
yang dimasak. Sebagai contoh, sebagian besar responden memasak nasi dan merebus air
menggunakan tungku tradisional dengan alasan penghematan. Sedangkan untuk memasak
sayur dan lauk, responden lebih memilih menggunakan kompor gas dengan alasan lebih
cepat, praktis dan efektif. Selain itu, ada beberapa responden yang memiliki rice cooker,
D.14
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
namun peralatan ini jarang digunakan dan/atau hanya digunakan untuk menghangatkan
nasi dengan alasan penghematan energi listrik.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden, secara umum terdapat 2 (dua)
jenis bahan bakar utama yang digunakan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan
memasak sehari-hari, yaitu kayu bakar dan liquified petrolium gas (LPG). Konsumsi kayu
bakar dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: kayu bakar yang diperoleh secara gratis oleh
responden di ladang, kebun, dan/atau hutan; dan kayu bakar yang diperoleh dengan
membeli. Sementara itu, konsumsi bahan bakar LPG juga dibagi menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu: LPG subsidi (3kg) dan LPG non-subsidi (12 kg). Tabel 2 berikut merupakan
rangkuman kebutuhan energi memasak berdasarkan jenis bahan bakar.
Tabel 2. Rangkuman kebutuhan energi memasak berdasarkan jenis bahan bakar
Keterangan Unit
Jenis Bahan Bakar
Kayu Bakar LPG
Gratis Tidak Gratis Subsidi Non Subsidi
Jumlah Responden (RT) orang 83 1 93 2
Jumlah Pemakaian per-Bulan
kg 39,870 1,500 649.65 16
IDR - 400,000 4,090,500 200,000
MMBtu 632.50 23.80 29.00 0.71
MJ 667,332.83 25.110,33 30.596,62 749.09
Rata-rata Pemakaian tiap RT
per-Bulan
kg 480.36 1,500 6.99 8
IDR - 400,000 43,984 100,000
MMBtu 7.62 23.80 0.31 0.36
MJ 8,039.53 25.110,33 327.07 379.82
Catatan: Kalori kayu bakar = 4,000 kcal/kg; Kalori LPG = 11,255 kcal/kg; 1kcal =3.966
Btu; 1Btu = 1055,06 MJ
Berdasarkan pada Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa terdapat 84 responden
pengguna tungku tradisional yang terdiri dari 83 responden mendapatkan kayu bakar
secara gratis dan 1 responden mendapatkan kayu bakar dengan cara membeli. Rata-rata
konsumsi kayu bakar masing-masing jenis responden tersebut adalah 480.36 kg/bulan
untuk kelompok responden yang mendapatkan kayu bakar secara gratis dan 1,500 kg/bulan
untuk kelompok responden yang membeli kayu bakar. Konsumsi kayu bakar untuk
kelompok responden yang membeli kayu bakar jauh lebih besar (hampir 4 kali lipat)
daripada kelompok responden yang mendapatkan kayu bakar secara gratis. Hal ini
dikarenakan faktor frekuensi memasak besar yang sering dilakukan oleh kelompok
responden yang membeli kayu bakar. Selain itu, berdasarkan Tabel 2 juga dapat dilihat
bahwa terdapat 95 responden pengguna kompor gas yang terdiri dari 93 responden
D.15
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
menggunakan LPG subsidi dan 2 responden menggunakan LPN non-subsidi. Rata-rata
konsumsi bahan bakar LPG subsidi dan non-subsidi berturut turut adalah 6.99 kg/bulan
dan 8 kg/bulan. Kesetaraan pemakaian energi masing-masing kelompok pengguna juga
dapat dilihat pada Tabel 2 di atas.
Sementara itu, konsumsi energi berdasarkan preferensi peralatan memasak yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Rangkuman konsumsi energi memasak berdasarkan peralatan memasak
Keterangan Unit
Kelompok Responden
Kompor Gas Kompor Gas & Tungku
Tradisional
Tungku
Tradisional
LPG LPG Kayu Bakar Kayu Bakar
Jumlah Responden (RT) orang 15 80 4
Jumlah Pemakaian per-Bulan
kg 124 547.65 38,760 2,010
IDR 666,000 3,460,500 - -
MMBtu 5.74 25.35 614.89 31.89
MJ 6,056.90 26,750.51 648,741.33 33,642.16
Rata-rata Pemakaian tiap RT
per-Bulan
Kg 8.27 6.85 484.50 502.5
IDR 44,400 43,256.25 - -
MMBtu 0.38 0.32 7.69 8
MJ 403.79 334.38 8,109.27 8,410.54
Catatan: Kalori kayu bakar = 4,000 kcal/kg; Kalori LPG = 11,255 kcal/kg; 1kcal =3.966
Btu; 1Btu = 1055,06 MJ.
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa responden yang memiliki preferensi
memasak menggunakan kompor gas saja dengan bahan bakar LPG subsidi terdapat 15
orang dengan kebutuhan rata-rata per-bulannya sebesar 8.27 kg atau setara dengan 0,38
MMBtu. Sedangkan untuk kelompok masyarakat yang memiliki preferensi memasak
menggunakan tungku tradisional saja berjumlah 4 orang dengan kebutuhan kayu bakar
rata-rata dalam satu bulan sebesar 502,5 kg atau setara dengan 8 MMBtu. Untuk kelompok
masyarakat yang memiliki preferensi memasak menggunakan kompor gas dan tungku
tradisional, kebutuhan bahan bakar LPG dan kayu bakar rata-rata selama sebulan berturut-
turut adalah 6,85 kg atau 0,32 MMBtu dan 484,5 kg atau 7,69 MMBtu.
2. Preferensi Penggunaan Kompor Biomassa Pelet Kayu
Data preferensi masyarakat terhadap penggunaan kompor biomassa pelet kayu
berdasarkan 7 (tujuh) kriteria yang dianalisis pada kajian ini dapat dilihat pada Tabel 4
berikut.
D.16
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Tabel 4. Preferensi responden terhadap kompor biomassa pelet kayu
No. Parameter Nilai (%) Total
(%) 1 2 3 4 5
1 Disain atau Tampilan Kompor 0 2 4 83 11 100
2 Kemudahan Pemakaian Kompor 1 5 11 80 3 100
3 Kemudahan Perawatan 0 1 12 82 5 100
4 Kepuasan Pemakaian Kompor 2 5 9 75 9 100
5 Persepsi Harga Pelet 1 0 17 74 8 100
6 Aspek Penghematan Penggunaan Pelet 1 6 12 74 7 100
7 Persepsi Keamanan Kompor Pelet 0 1 11 75 13 100
Keterangan: 1 = sangat buruk, 5 = sangat baik
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (>
70%) memberikan penilaian yang positif terhadap penggunaan kompor biomassa pelet
kayu, yaitu: tampilan kompor sudah cukup bagus, mudah dipakai, mudah dirawat, cukup
memuaskan, aman, dan hemat. Namun ada juga beberapa responden yang memiliki
preferensi kurang terhadap kompor biomassa pelet kayu, seperti yang terangkum di bawah
ini:
Berturut-turut terdapat 2% dan 4% yang menilai bahwa tampilan kompor kurang
begitu menarik dan biasa-biasa saja. Responden menilai bahwa kompor biomassa
pelet kayu ini memiliki ukuran yang kurang besar dan perlu ada komponen
tambahan untuk mengisi ulang bahan bakar.
Ada 1% dan 5% responden yang menilai bahwa penggunaan kompor ini sangat
sulit dan cukup sulit. Responden mengalami kesulitan dalam hal penyalaan awal
dan pengaturan besar/kecilnya nyala api.
Sekitar 2% dan 5% responden menilai tidak puas dan kurang puas dalam
penggunaan kompor biomassa pelet kayu. Responden berpendapat bahwa memasak
menggunakan kompor biomassa tersebut dapat merusak peralatan memasak (panci
menjadi hitam) dan menghasilkan rasa yang berbeda (kurang enak).
Sebanyak 1% dan 6% responden berpendapat bahwa penggunaan kompor biomassa
pelet kayu masih sangat boros dan cukup boros. Hal ini dikarenakan responden
belum mengerti terkait takaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak tiap
jenis makanan. Selain itu, responden juga berpendapat bahwa pemborosan bahan
bakar ini disebabkan oleh nyala api yang terlalu besar dan sulit dikendalikan.
Ada 1% responden yang menilai bahwa tingkat keamanan penggunaan kompor ini
sedikit kurang aman karena sering timbul asap dan nyala api sulit dikendalikan.
D.17
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Sementara itu, dari sisi antusiasme masyarakat terhadap penggunaan kompor biomassa
pelet kayu dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Antusias responden terhadap penggunaan kompor biomassa pelet kayu
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa sekitar 53% responden memiliki
tingkat antusiasme sedang atau biasa-biasa saja terkait penggunaan kompor biomassa wood
pellet. Sedangkan sisanya berturut-turut yaitu: 25% cukup antusias, 13% kurang antusias,
6% sangat antusias, dan 3% sangat tidak antusias.
Tingkat antusiasme penggunaan kompor biomassa pelet kayu ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, seperti:
1) Jarak, Medan, dan Lokasi
Jarak antara rumah responden dengan lokasi tempat pembelian bahan bakar pelet
kayu (pabrik pelet kayu) sangat jauh sehingga sangat mempengaruhi inisiatif dan
antusiasme responden untuk menggunakan kompor biomassa pelet kayu.
2) Kesibukan
Waktu sosialisasi, pembagian, dan pemakaian kompor biomassa pelet kayu
bersamaan dengan musim panen dan musim tanam sebagian besar responden yang
mayoritas bekerja sebagai petani. Sehingga sebagian besar responden masih lebih
memilih memasak menggunakan tungku tradisional dan/atau kompor gas yang lebih
murah, praktis dan efektif.
3) Cuaca
Hampir setiap hari cuaca di Kabupaten Bangkalan hujan deras, sehingga responden
lebih cenderung lebih sering memasak menggunakan tungku tradisional dan/atau
kompor gas daripada memasak menggunakan kompor biomassa pelet kayu.
4) Lain-lain
Ada beberapa responden yang tidak mau beralih menggunakan kompor pelet kayu
dengan alasan sudah terbiasa memasak menggunakan kompor gas yang lebih cepat,
praktis, dan efektif. Selain itu ada juga responden yang kurang antusias dan enggan
D.18
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
beralih menggunakan kompor biomassa pelet kayu dengan alasan merusak peralatan
memasak mereka (panci menjadi hitam).
KESIMPULAN
Kompor biomassa pelet kayu merupakan salah satu alternatif penganti tungku
tradisional yang tepat karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu: efisiensi pembakaran
tinggi dan bersih atau bebas dari asap. Selain itu kompor biomassa pelet kayu ini juga lebih
hemat dan aman jika dibandingkan dengan kompor gas atau kompor listrik. Namun,
keunggulan tersebut bukan satu satunya faktor yang menentukan tingkat preferensi
responden atau masyarakat terhadap penggunaan kompor biomassa pelet kayu. Beberapa
faktor lain yang menentukan preferensi penggunaan peralatan memasak yaitu: kemudahan
penggunaan dan perawatan serta keberlanjutannya. Kompor biomassa pelet kayu masih
memiliki beberapa kelemahan, diantaranya yaitu: sulit dalam hal penyalaan awal dan
pengendalian nyala api, serta merusak peralatan memasak (panci atau wajan menjadi
hitam). Selain itu, faktor ketersediaan bahan bakar pelet kayu dan kualitas rasa hasil
memasak dengan kompor biomassa pelet kayu juga menjadi salah satu faktor yang
menentukan preferensi memasak responden atau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
ARC. (2015). Test Result of Cook Stove Performance, Partnetship for Clean Indoor Air.
Aprovecho Research Centre, Shell Foundation, United States Enviromental Protection
Agency.
Badan Pusat Statistik. (2014).
Fullerton, D.G., Bruce, N., dan Gordon, S. B. (2008). Indoor Air Pollution from Biomass
Fuel Smoke is a Major Health Concern in the Developing World. Transaction of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 102 (9), 843-851.
Hieu, V.M., Rasovska, I. (2017). Developing Cultural Tourism Upon Stakeholders’
Perceptions Toward Sustainable Tourism Development in Phu Quoc Island, Vietnam.
Research and Science Today, 2(14),71-86.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2014). Handbook of Energy Economics
and Statistics.
Nurhuda,M. (2010). Kompor Biomassa Dengan Mekanise Gasifikasi Terpanaskan dan
Pembakaran Secara Turbulen. Paten No. ID P000034916.
Nurhuda, M. (2011). Kompor Berbahan Bakar Padat Dengan Sistem Pre-Heating, Counter
Flow dan Pembakaran Terdifusi. Paten No. ID P00201100604.
Nurhuda, M. (2015). Kompor Biomassa UB Untuk Mendukung Kemandirian Energi.
M&E. Vol. 13, No. 1, hal. 29-36.
Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bangkalan. (2015).
D.19
Giyanto / NCIET Vol. 1 (2020) D6-D19
Sylviani, S., Suryandari, E.Y. (2013). Potensi Pengembangan Industri Pelet Kayu sebagai
Bahan Bakar Terbarukan Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(4), 235-246.
Sylviani, S., Dwiprabowo, H., Suryandari, E.Y. (2013). Analisis Biaya Penggunaan
Berbagai Energi Biomassa untuk IKM (Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo). Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(1), 48-60.
Wang, W., Ouyang W., Hao, F. (2015). A Supply-Chain Analysis Framework for
Assessing Densified Biomass Solid Fuel Utilization Policies in China. Energies, 8,
7122-7139.
World Health Organization. (2014). World Health Statistics.