kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan …€¦ · ikan kerapu. keseuaian lingkungan perairan...
TRANSCRIPT
-
ABSTRAK Alfiani Eliata Sallata. KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA UNTUK PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN IKAN KERAPU DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI MOUTONG, SULAWESI TENGAH. Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MS. dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
Penelitian yang di lakukan di Kecamatan Ampibabo ini mempunyai dua tujuan: (1) mengetahui potensi sumberdaya lingkungan berdasarkan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan yang diperuntukkan bagi budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Keseuaian lingkungan perairan untuk kemudian dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan (2) Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya laut. Wilayah pesisir yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha dan sesuai dengan beberapa faktor pembatas sebesar 1.608,86 Ha. Untuk budidaya rumput laut sistem longline, luasan perairan yang sangat sesuai sebesar 925,88 Ha, dan sesuai sebesar 8.633,19 Ha. Lebih lanjut, diketahui bahwa di pesisir Kecamatan Ampibabo mempunyai luas potensi kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) sebesar 2531,72 Ha, masing-masing sebesar 1.605,84 Ha untuk budidaya ikan kerapu dan 925,88 Ha untuk budidaya rumput laut. Hasil perhitungan kawasan yang efektif untuk budidaya laut dengan memperhatikan peruntukan lain dan utilitas budidaya di wilayah ini di peroleh sebesar 508.207 Ha
Melalui Sustainable Livelihood Approach (SLA) diperoleh suatu rencana pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem longline dan ikan kerapu sistem KJA). Rencana pengelolaan antara lain penataan ruang kawasan budidaya laut, menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir, memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan penguatan modal melalui pemberian kredit. Kesemuanya itu bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir serta mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat.
-
ABSTRACT
Alfiani Eliata Sallata. STUDY OF RESOURCE POTENCY FOR MANAGEMENT OF SEAWEEDS CULTURE AND GROUPER CULTURE IN OF AMPIBABO, PARIGI MOUTONG REGENCY COASTAL AREA, NORT SULAWESI. Under the supervision of Fredinan Yulianda, Phd. and Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
The research in Ampibabo Sub District are divided into two purposes: (1) to know the potencies of environmental resources base on aquatic physic, chemical and biology water used by seaweeds and grouper culture. Based on suitability of water quality analysis by using Geographic Information System (GIS) and (2) to make the management plan of marine culture area. Coastel that is suitable area for grouper culture in floating cage system is 1.605,84 Ha and suitable with border factor is about 1.608,86 Ha. The other area that is very suitable for seaweed culture is 925,88 Ha and suitable is 8.633,19 Ha. Ampibabo Sub District has potential area for marine culture is about 2531,72 Ha, where 1.605,84 Ha for grouper culture and 925,88 Ha for seaweed culture. Consist of the effective area for marine culture with limited another focus and utilization marine culture in this area is about 508,207 Ha.
Through the implementation of Sustainable Livelihood Approach (SLA) concept is found the Management Plan of marine culture area (seaweed culture and grouper cage culture by floating cage system). This Management Plan are consist of: Spatial Plan of Marine Culture, to keep coastal area sustainability, empowerment social economic organizations, to develop infrastructure, Transfer of Know-how and Transfer of Technology, Capital empowerment (Credit for farmers). In this case, resource sustainability utilization of Livelihood Sustainability of community.
-
Parigi Moutong Regency is the part of Tomini bay water that had rich of coastal and marine resources. It have cost lines is about 447 Km and the area is about 16.000 km2, the most of the regencies region location in coastal are. Ampibabo Sub District is the ones from ten sub district in Parigi Moutong Regencies. The purposes of research in Ampibabo Sub District are to know potencies of environmental resources base on physical, chemical and biological of water. Based on suitability of water analysis using by Geographic Information System (GIS), the results are: for seaweed culture very suitable of area for develop is 56.28 Ha and suitable with border factor is about 115.25 Ha. For grouper culture in floating cage system, the area that very suitable is about 32.47 Ha, and suitable is 1038.08 Ha. Based on feasibility Business analysis of seaweed culture using by Benefit Cost analysis, financially known that seaweeds culture and grouper culture by floating cage system area suitable for develop. Value of Benefit-Cost ratio for seaweed culture is 1.57, and grouper in Floating cage system is 2.26. Seaweed culture area and culture and grouper culture by floating cage management in Ampibabo Sub District aim to know-how increasing and increase of ability of farmers, economic organization powers, to manage of land use activities, and keep coastal resources sustainability.
-
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budidaya laut merupakan bagian dari budidaya perikanan (akuakultur)
yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia
dalam proses produksi organisme akuatik seperti ikan (finfish), udang (krustasea),
moluska, ekinodermata, dan alga (Effendi 2004). Terdapat beberapa komoditas
perikanan yang potensial untuk dikembangkan dalam usaha perikanan budidaya
laut antara lain teripang, kakap, tiram, kerang darah, ikan kerapu, abalone, tiram
mutiara, rumput laut, dan kuda laut. Adapun komoditas tersebut selain berpotensi
sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal akan protein bersumber dari laut,
juga merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.
Ikan kerapu misalnya, saat ini menjadi salah satu komoditi unggulan
budidaya laut karena memiliki peluang eksport yang menjanjikan terutama untuk
tujuan pasar Hongkong dan Singapura. Volume produksi komoditas ikan kerapu
untuk eksport mencapai 35.000 ton per tahun. Jenis ikan kerapu yang telah banyak
dikembangkan antara lain kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus). Di pasar dunia, harga ikan kerapu bebek rata-rata Rp.
300.000,00 per kilogram (Kompas 2005), sedangkan untuk kerapu macan di
tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00 sampai Rp
100.000,00 dan berkisar antara US$ 12-17 di Pasar Asia, tergantung ukuran ikan
(DKP 2006). Keunggulan lain yang dimiliki dalam budidaya ikan kerapu yaitu
penguasaan teknologi. Teknologi pembenihan dan pembesaran telah banyak
berkembang dan sebagian besar sudah dikuasai dengan baik. Di Indonesia sendiri,
pembesaran ikan kerapu terutama dengan sistem keramba jaring apung (KJA)
telah banyak dikembangkan di beberapa propinsi di Indonesia untuk skala besar,
menengah maupun kecil.
Komoditi unggulan perikanan budidaya lainnya yang tidak kalah populer
di pasaran adalah rumput laut. Rumput laut terutama untuk jenis Eucheuma
cottonii yang juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii merupakan jenis
telah banyak dikembangkan di hampir setiap propinsi di Indonesia. Selain karena
relatif mudah dan modalnya relatif murah, rumput laut juga mempunyai nilai
-
2
ekonomi yang relatif tinggi. Di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten
Takalar, Jeneponto, Bulukumba dan Sinjai misalnya, harga rumput laut kering di
tingkat petani berkisar antara Rp. 3.800,00 – Rp. 4.000,00 per kilogram,
sedangkan di tingkat pabrik harga rumput laut sebesar Rp. 4.700,00 – Rp. 5000,00
per kilogram (Kompas 2004). Keberadaan usaha budidaya rumput laut sangat
membantu masyarakat nelayan dan pembudidaya di wilayah pesisir sebagai salah
satu sumber pendapatan tambahan keluarga. Menurut DKP (2006), di Indonesia
rumput laut di eksport umumnya dalam bentuk kering dengan jenis Gracillarta
spp. Euchema cotonii dan E. spinosum dengan tujuan China, Hong Kong,
Spanyol, Jepang dan Philippina. Lebih lanjut diketahui bahwa, nilai ekspor
rumput laut baru berkontribusi sekitar 1 % dari total ekspor hasil perikanan.
Sebagaimana diketahui Indonesia memililiki potensi sumberdaya alam
yang mendukung untuk dikembangkannya budidaya laut. Menurut DKP (2006),
potensi perairan untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut di Indonesia
masing-masing sekitar 1.1 juta ha. Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10
Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan ini mempunyai
panjang garis pantai mencapai 56,25 km dan luas wilayah secara keseluruhan ±
589,99 Km2. Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa yang
sebagian besar berada di wilayah pesisir atau sebanyak 14 desa pesisir.
Kondisi wilayah terutama pesisir dan laut yang ada di Kecamatan
Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong dinilai dari luas wilayah perairan
pesisirnya, cukup mendukung untuk dikembangkannnya perikanan budidaya
khususnya budidaya laut. Kondisi tersebut juga didukung dengan kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong untuk mulai membangun potensi
sumberdaya alam yang dimiliki untuk dapat meningkatkan nilai produksi
perikanan daerah. Bagi sektor perikanan budidaya laut hal tersebut diatas menjadi
suatu langkah maju untuk mulai mengembangkan sektor ini. Karena diharapkan,
dengan berkembangnya sektor perikanan budidaya laut, dimasa akan datang akan
dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat pesisir melalui lapangan kerja baru.
Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
Kecamatan Ampibabo melalui kegiatan budidaya yang dikembangkan khususnya
-
3
untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu, haruslah didasarkan pada elemen-
elemen pendukung. Faktor lingkungan merupakan salah satu elemen utama yang
mendukung keberlangsungan kegiatan usaha budidaya. Adapun beberapa faktor
pendukung lainnya yang juga penting meliputi teknologi, aset sosial budaya dan
ekonomi masyarakat, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Dengan adanya
interaksi dari faktor-faktor tersebut di harapkan dapat diperoleh pemanfaatan
kawasan yang optimal.
Pemanfaatan kawasan perairan pesisir haruslah di lakukan pada suatu
lokasi yang sesuai untuk setiap komoditinya. Oleh karena itu untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir Kecamatan Ampibabo,
penelitian mengenai kajian potensi sumberdaya terutama untuk budidaya rumput
laut dan ikan kerapu sangatlah diperlukan. Lebih lanjut, untuk mendapatkan suatu
kegiatan budidaya yang berkelanjutan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi,
diperlukan juga suatu pengelolaan kawasan. Dari hasil kajian ini, diharapkan
dapat menjadi petunjuk dalam pengembangannya, sehingga dapat dijadikan bahan
acuan bagi berbagai pihak terkait seperti pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan
Teluk Tomini yang dikenal kaya akan sumberdaya alam pesisir dan lautnya.
Pemanfaatan kawasan pesisir Kecamatan Ampibabo untuk kegiatan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti
dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Akan tetapi kondisi yang
dirasakan saat ini adalah belum optimalnya pemanfaatan kawasan untuk budidaya
laut baik dari segi produksi maupun keberlanjutan usaha budidaya.
Rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang menjadi
arahan pengembangan pemerintah Kabupaten Parigi Moutong. Untuk
memberikan dukungan terhadap kegiatan usaha khususnya rumput laut, pada awal
tahun 2005 pemerintah melalui Dinas perikanan Kabupaten Parigi Moutong
memberikan bantuan berupa modal awal untuk budidaya rumput laut dengan
sistem tali panjang atau longline. Akan tetapi kondisi yang ditemui adalah tidak
-
4
adanya keberlanjutan usaha. Untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba
jaring apung (KJA), investasi terutama dari pihak swasta sangat dibutuhkan
karena besarnya modal yang dalam menjalankan kegiatan ini. Beberapa faktor
penyebabnya masih belum banyaknya investasi untuk kegiatan ini adalah masih
belum adanya informasi yang jelas akan potensi wilayah perairan yang dapat
dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA.
Lingkungan perairan merupakan faktor utama dalam mendukung
keberlanjutan usaha budidaya. Kualitas lingkungan perairan yang baik akan
berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan lokasi yang tepat
untuk menjadi tempat di lakukan kegiatan budidaya dalam hal ini budidaya
rumput laut dan ikan kerapu penting untuk diketahui, sehingga menghasilkan
suatu arahan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha. Selain itu
dapat juga memberikan informasi mengenai seberapa besar potensi yang ada
sehingga optimalisasi dalam pemanfaatan wilayah dapat di realisasikan.
Beberapa faktor lain yang menjadi pendukung keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya lingkungan perairan bagi usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu
antara lain teknologi produksi budidaya, kondisi sosial dan budaya masyarakat,
ketersediaan infrastruktur dan permodalan. Beberapa faktor pendukung tersebut
merupakan bagian yang tak terpisahkan, akan tetapi belum mendapat kajian yang
lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari perencanaan terutama oleh
pemerintah daerah setempat yang telah dilaksanakan, akan tetapi hasil yang
diinginkan dalam pemanfaatan untuk mendapat hasil produksi yang berkelanjutan
tidak diperoleh.
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji potensi sumberdaya lingkungan yang diperuntukkan bagi
pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu
2. Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan
kerapu terutama didasarkan pada potensi sumberdaya lingkungan beserta
dengan aspek pendukungnya yaitu aspek sosial ekonomi dan aspek teknis
-
5
Adapun manfaat penelitian adalah :
1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan
kawasan budidaya laut yang juga terkait dengan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dan swasta mengenai potensi
pengembangan kegiatan budidaya laut di pesisir Kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong.
1.4. Kerangka Pemikiran
Salah satu pemanfaatan wilayah pesisir yang dirasakan dapat memberikan
kontribusi yang berarti terhadap produksi perikanan yaitu perikanan budidaya
laut. Budidaya rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang banyak
dikembangkan karena permintaan pasar yang cukup besar. Untuk
mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir khususnya bagi kegiatan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu maka haruslah bertumpu pada keberadaan
sumberdaya lingkungan khususnya lingkungan perairan pesisir. Sumberdaya
lingkungan perairan pesisir erat kaitannya dengan kualitas fisik, kimia, dan
biologi yang menjadi parameter utama untuk kesesuaian lokasi budidaya.
Sistem budidaya yang menjadi pilihan juga menjadi bagian penting dalam
penetapan suatu lokasi budidaya laut. Budidaya dengan metode tali panjang atau
longline dan keramba jaring apung (KJA) menjadi pilihan dalam sistem yang akan
dikembangkan, sehingga kriteria yang di tetapkan di sesuaikan dengan jenis
komoditi dan sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu konsep
pengelolaan kawasan budidaya laut yang berkelanjutan, maka dilakukan suatu
kajian yang meliputi potensi sumberdaya lingkungan bagi pengembangan
budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Potensi sumberdaya lingkungan juga
didukung dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, ketersediaan
prasarana dan sarana pendukung, serta kebijakan pemerintah daerah (Gambar 1).
Sistem Informasi geografis (SIG) merupakan salah satu analisis spasial
yang digunakan untuk menganalisis potensi sumberdaya lingkungan terutama
kesesuaiannya perairan bagi kegiatan budidaya rumput laut dan kerapu sistem
keramba jaring apung. Sistem Informasi Geografi telah banyak digunakan dalam
-
6
melakukan berbagai analisis keruangan seperti halnya perencanaan wilayah dan
pengelolaan sumberdaya alam. Untuk mencapai tujuan penelitian ini terlebih
dahulu harus diketahui kondisi spesifik wilayah ini yang diperlukan untuk studi
SIG, seperti model data, struktur, dan teknik pengelolaan basis data. Begitu juga
perlunya data mengenai eksisting perairan, kualitas fisik dan kimia perairan,
batimetri, kecepatan arus, sebaran terumbu karang, lamun, rumput laut dan
sebagainya, dimana informasi ini sangatlah penting untuk menghasilkan suatu
perencanaan yang optimal, khususnya bagi penataan kawasan untuk pengelolaan
kawasan budidaya perikanan budidaya.
-
7
Gambar 1. Kerangka pikir kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan kawasan
budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah
(RTRW wilayah Kabupaten Parigi Moutong)
SUMBERDAYA DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN
AMPIBABO, KAB. PARIGI MOUTONG
Aspek Sosial Ekonomi daBudaya Masyarakat
Sarana dan Prasarana Pendukung Kegiatan Budidaya Laut
Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA
Kesesuaian Lingkungan Perairan Untuk Kegiatan
Budidaya Laut
Kelayakan Usaha Budidaya Laut
Rencana Pengelolaan Kawasan BudidayaRumput
Laut dan Ikan Kerapu
Budidaya Rumput Laut Sistem Longline
Kondisi fisik, kimia dan biologi perairan
Potensi Sumberdaya Lingkungan Bagi Pengembangan Budidaya Laut
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut
Perikanan budidaya atau akuakultur merupakan bagian dari perikanan dan
kelautan mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusinya, walaupun
diakui perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang lebih pada sektor
perikanan. Akan tetapi, berdasar data dari FAO (2002), produksi perikanan
tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan
menurunnya sumberdaya ikan di laut, sedangkan akuakultur mempunyai
kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Ditambahkan bahwa,
aquakultur juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja.
Hal ini dapat dilihat bahwa akuakultur dapat dilakukan di setiap lapisan
masyarakat mulai dari pedesaan sampai dengan perkotaan; mempunyai
karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin
keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga
dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir (seperti pabrik pakan,
hatchery/pembenihan, industri jaring, industri pengolahan, cold storage, pabrik es
dsb.); dapat mengatasi kemiskinan penduduk; sudah tersedia teknologi terapan.
Lebih lanjut, Muir dan Roberts (1985) menambahkan bahwa budidaya perikanan
diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan
menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan
cepat
Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan
organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka
mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan
budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang
terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik
(Shell dan Lowell 1993), untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial
(Shang 1990). Selain memproduksi makanan, budidaya laut juga bertujuan untuk
meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement).
Kebijakan pemanfaatan potensi akuakultur bagi pengembangan ekonomi
nasional yang akan ditempuh adalah melalui pengembangan kawasan budidaya
-
9
dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya
tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Dari luasan
tersebut, untuk budidaya ikan bersirip (fin fish) 20%, kekerangan 10%, rumput
laut 60% dan lainnya 10%. Tingkat pemanfaatan sebagian besar provinsi baru
mencapai kurang dari 1%, namun sebagian lainnya telah mencapai di atas 1%
sampai 25%, yaitu DKI Jakarta sekitar 24%, Bali sekitar 8%, Sulawesi Tenggara
sekitar 6%, dan NTT sekitar 2%.
Di kabupaten Situbondo misalnya, telah mengembangkan usaha budidaya
laut seperti budidaya ikan kerapu, lobster dan rumput laut. Jenis ikan yang
dipelihara di KJA antara lain; ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu
sunu (Plectropomus leopardus; P. maculatus ), kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus), dan udang lobster. Hasil produksi dari KJA pada umumnya
diperdagangkan dalam keadaan hidup. Sedangkan untuk pengembangan budidaya
rumput laut jenis yang sudah dikembangkan adalah Eucheuma cottoni. Produksi
rumput laut di Kabupaten Situbondo di perkirakan sekitar 2.534 ton pertahun
dengan nilai penjualan 1.7 milyar rupiah. Aktivitas ini pada tahun 2005
diusahakan oleh 385 pembudidaya (pengusaha) dengan ancak pertahun sekitar
770 buah (Pemda Situbondo 2005).
Pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia berjalan sangat
lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi. Jika
disarikan, permasalahan tersebut dapat digolongkan kedalam 4 bagian yaitu
masalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan, masalah sosial-ekonomi,
masalah kelembagaan dan masalah teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa
untuk pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh
lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Clark dan Beveridge
(1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak pada
kurangnya teknologi. Belum berkembangnya berkembang dengan baik di
Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah.
Sebagai gambaran, meskipun teknologi budidaya laut yang telah dikuasai meliputi
teknologi kakap putih, beronang dan kerapu, namun diantara komoditas-
-
10
komoditas tersebut, yang teknologinya betul-betul telah mantap dikuasai barulah
teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.
2.2. Komoditas Budidaya Laut
2.2.1. Rumput Laut
Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu
sumberdaya perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis
penting. Beberapa jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi
ekspor Indonesia. Jenis-jenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti
keraginan yang berasal dari Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari
Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat dari Sargassum spp., Turbinaria spp.,
dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai pengatur keseimbangan dan
pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant, makanan, farmasi dan
kosmetik (Mubarak dkk 1990; DKP 2004).
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas
kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai
fitobentos dengan menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir,
karang, fragmen karang mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula
yang menempel pada tumbuhan lain. Jenis seperti Eucheuma sp. dan Gracilaria
sp. merupakan jenis-jenis yang telah banyak di budidayakan. Secara taksonomi
jenis tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta
Class : Rhodophyceae (Rumput laut merah)
Ordo : Gigartinales
Family : Solieriaceae; Gracilariaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Eucheuma cottonii sebagai penghasil Karaginan
Eucheuma cottonii adalah salah satu kelompok algae Rhodophyceae
penghasil karagian. Ciri fisik jenis ini adalah mempunyai thallus silindris,
-
11
permukaan licin, cartilogeneus, warna tidak terlalu tetap kadang-kadang hijau,
hijau kuning, abu-abu dan merah tergantung pada kualitas pencahayaan. Oleh
Aslan (1998), mengatakan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai habitat khas
berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil
dan substrat batu karang mati.
Karaginan merupakan ekstrak rumput laut yang tidak lain adalah senyawa
kompleks polisakarida yang dibangun dari sejumlah unit galaktosa dan 3,6-
anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan alfa-1,3-
D-Galaktosa dan beta-1,4-3,6-ahnydro-galaktosa secara bergantian. Eucheuma
cottonii terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-carrageenan. Hellebust and
Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan
bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan
komponen lain. Lebih lanjut oleh Glicksman (1983), bahwa karaginan merupakan
getah rumput laut dari hasil ekstraksi rumput laut merah menggunakan air panas.
Oleh Wilkinson and Moore (1982), bahwa dalam industri pangan karaginan
dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, beer, sosis, salad, ice
cream, susu kental manis, coklat, coklat, jeli, dll. Untuk industri farmasi
digunakan dalam pembuatan obat berupa syrup, tablet, dsb, sedangkan dalam
industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan
tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan
shampo, pelembab, dsb.
Yunizal dkk (2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan,
rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. E. Cottonii dipanen setelah
berumur 1,5 bulan atau lebih. Sedangkan oleh Mukti (1987) menyatakan bahwa
pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap
cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Lebih lanjut oleh
Departemen Pertanian (1995), bahwa tingkat pertumbuhan rumput laut mencapai
puncak pada saat beratnya mencapai ± 600 g/rumpun. Kandungan karaginannya
mencapai puncak tertinggi pada umur 6 – 8 minggu dan dipanen dengan cara
memotong bagian ujung tanaman yang sedang tumbuh. Berdasarkan hasil
penelitian Iksan (2005), bahwa semakin tinggi pertumbuhan bobot basah maka
-
12
semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu atau minggu keempat,
kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah.
2.2.2. Ikan Kerapu
Ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis ikan yang habitat hidupnya di
terumbu karang (ikan karang) banyak terdapat di perairan Indonesia. Ikan jenis ini
potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya relatif cepat, mudah dipelihara,
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan tahan
terhadap ruang terbatas atau dapat dikembangkan pada keramba jaring apung
(Aditya dkk. 2001). Dalam SEAFDEC (2001), bahwa di dunia Internasional ikan
kerapu dikenal dengan nama grouper dan merupakan jenis ikan yang
diperdagangkan dalam keadaan hidup serta paling populer di daerah Asia-Pacifik.
Ikan ini telah dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara. Harga kerapu macan
hidup di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00-Rp.
100.000,00/kg dan sekitar US$ 12-17 di Hong Kong tergantung ukuran ikan.
Pengetahuan tentang biologi ikan kerapu sangat mendukung keberhasilan
usaha budidaya ikan kerapu, terutama morfologi, penyebaran atau distribusi,
habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Secara umum kerapu mempunyai bentuk
badan yang gemuk pipih dengan kulit bersisik, hidup di perairan karang yang
bersih, dan beruaya atau migrasi terbatas pada kisaran lingkungan perairan dengan
kadar garam 31-34 ppt, pH 7,0 - 8,5, oksigen terlarut > 5 ppm, Nitrite nitrogen 0 –
0,05 ppm dan amonia (NH3-N ) < 0,02 ppm (DKP, 2006)
Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan carnivora atau pemakan daging.
Pada fase larva, dibutuhkan pakan berupa zooplankton seperti Brachionus sp. dan
mikro organisme lainnya. Untuk fase benih dibutuhkan artemia (brine shrim)
kemudian udang-udang kecil (jambret) dan ikan kecil, lalu pada tingkat dewasa
adalah ikan, cumi dan lainnya (Anonim, 2006).
Terdapat sekitar 91 jenis ikan kerapu di Indonesia yang berasal dari 7
(tujuh) genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes,
Epinephelus, Plecuropomus, dan Variola (DKP 2005 dan Sunyoto 1993).
Menurut Subiyanto (2003), bahwa oleh pemerintah telah berhasil
mengembangkan dan mensosialisasikan ikan kerapu terutama untuk jenis macan
-
13
(Epinephelus fuscoguttatus), tikus (Chromileptes altivelis), dan lumpur
(Epinephelus suillus), serta diperkuat oleh tinggi dan stabilnya harga jual kerapu
hidup tersebut terutama permintaan ekspor. Adapun dalam Randall (1987),
klasifikasi ikan kerapu adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Class : Osteichtyes
Sub-Class : Actinopterygii
Ordo : Percomorphii
Sub-Ordo : Percoide
Family : Serramidae
Genus : Epinephelus; Cromileptes; Plectropomus; Piectropus
Spesies : Epinephelus fuscoguttatus (kerapu macan), Chromileptes altivelis
(kerapu tikus), Epinephelus bleckeri (kerapu lumpur),
Epinephelus coloides (kerapu lumpur), Cromileptes
polyphekadion (kerapu batik), Plectropomus leopanchus (kerapu
sunu), Piectropus maculatus (kerapu sunu)
2.3. Sistem Budidaya
2.3.1. Budidaya Kerapu Sistem Keramba Jaring Apung
Jaring apung (cage culture) atau keramba jaring apung (KJA) adalah
sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net
cage) dengan bantuan pelampung yang ditempatkan di perairan. Sistem ini
ditempatkan di perairan pada kedalaman 7 – 40 m, dengan kecepatan arus
optimal sekitar 0,15 sampai 0,35 m/detik (Efendi 2004). Selain kedalaman dan
kecepatan arus, faktor keterlindungan juga penting untuk diperhatikan yang
erat kaitannya dengan keberadaan konstruksi keramba di laut. Perairan yang
berupa teluk dan selat sangat cocok untuk menjadi lokasi KJA.
Sistem KJA umumnya menggunakan padat penebaran ikan yang relatif
tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan
tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu
mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan
-
14
pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh Sumber
Daya manusia (SDM) dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi.
Sistem ini digunakan untuk budidaya kelompok ikan, udang lobster dan ikan
hias (PKSPL 2005).
2.3.2. Sistem Budidaya Rumput Laut
Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5
metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar
perairan. Metoda-metoda tersebut meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit
apung, metode long line dan metode jalur serta metode keranjang (kantung).
Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah direkomendasikan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar, metoda apung (rakit),
metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya, keempat macam
metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi
budidaya rumput laut akan dilaksanakan (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2006).
A. Metode lepas dasar
Metode ini sangat tepat diterapkan pada areal perairan antara intertidal dan
subtidal dimana pada saat air surut terendah dasar perairan masih terendam air
serta lebih banyak memanfaatkan perairan yang relatif dangkal (Sudjatmiko dan
Angkasa 2006). Metode ini dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau
berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pacang, Namun hal ini
akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Penanaman
dengan metode ini dilakukan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi
ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30
cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap
terendam air). Patok terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 5 cm sepanjang 1
m dan runcing pada salah satu ujungnya. Jarak antara patok untuk merentangkan
tali ris sekitar 2,5 m. Setiap patok yang berjajar dihubungkan dengan tali ris
polyethylen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 20 - 25 cm.
-
15
B. Metode rakit apung
Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan
menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu. Metode ini cocok diterapkan
pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak.
Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap
rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat
disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang
dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang
ditanam.
Untuk menahan agar rakit tidak hanyut terbawa oleh arus, digunakan
jangkar (patok) dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Untuk
menghemat areal dan memudahkan pemeliharaan, beberapa rakit dapat digabung
menjadi satu dan setiap rakit diberi jarak sekitar 1 meter. Bibit 50 -100 gr
diikatkan di tali plastik berjarak 20-25 cm pada setiap titiknya. Pertumbuhan
tanaman yang menggunakan metode apung ini, umumnya lebih baik daripada
metode lepas dasar, karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai
bagi pertumbuhan rumput laut. Metode apung memiliki keuntungan lain yaitu
pemeliharaannya mudah dilakukan, terbebas tanaman dari gangguan bulu babi
dan binatang laut lain, berkurangnya tanaman yang hilang karena lepasnya
cabang-cabang, serta pengendapan pada tanaman lebih sedikit. Kerugian dari
metode ini adalah biaya lebih mahal dan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan
sarana budidayanya relatif lebih lama. Sedangkan bagi tanaman itu sendiri adalah
tanaman terlalu dekat dengan permukaan air, sehingga tanaman sering muncul
kepermukaan air, terutama pada saat laut kurang berombak. Munculnya tanaman
kepermukaan air dalam waktu lama, dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman
menjadi pucat karena kehilangan pigmen dan akhimya akan mati.
C. Metode tali panjang
Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan
bahan yang digunakan lebih tahan lama, dan mudah untuk didapat. Teknik
budidaya rumput laut dengan metode ini adalah menggunakan tali sepanjang 50-
100 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap
-
16
25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam.
Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet
sandal atau botol aqua bekas 500 ml.
Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi
sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu
dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 - 100 gram diikatkan pada
sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 Cm. Jarak antara tali satu
dalam satu blok 0,5 m dan jarak antar blok 1 m dengan mempertimbangkan
kondisi arus dan gelombang setempat. Dalam satu blok terdapat 4 tali yang
berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan (jika dibutuhkan). Dengan demikian
untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, di mana setiap tali dapat di
tanaman 500 titik atau diperoleh 64.000 titik per ha. Apabila berat bibit awal yang
di tanaman antara 50 - 100 gram, maka jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar
antara 3.200 kg - 6.400 kg per ha areal budidaya. Menurut Sudjatmiko dan
Angkasa (2006), bahwa keuntungan metode ini antara lain: tanaman cukup
menerima sinar matahari; tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air;
terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar perairan;
pertumbuhannya lebih cepat; cara kerjanya lebih mudah; biayanya lebih murah;
dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.
D. Metode jalur
Metode jalur merupakan salah satu metode yang baru berkembang di
masyarakat menyesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi perairannya. Metode ini
merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode
ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu
dihubungkan dengan tali PE diameter 0,6 mm sehingga membentuk persegi
panjang dengan ukuran 5 m x 7 m per petak. Satu unit terdiri dari 7 - 10 petak.
Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. Penanaman dimulai
dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE 0,2
cm sebagai pengikat bibit rumput laut. Setelah bibit diikat kemudian tali jalur
tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang
digunakan minimal 25 cm x 30 cm
-
17
2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan
2.4.1. Lokasi Budidaya
Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya
merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea
(laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak
besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga
jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai
berikut :
1. Teluk
Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan.
Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan
angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut
air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil
(0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci.
2. Selat
Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau.
Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut
menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan
pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan
air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif
sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya
perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik.
3. Shallow water
Shallow water atau perairan laut dangkal umumnya di temukan di dekat
pantai. Perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga bebeberapa kilometer
dari pantai. Di dalam kawasan perairan laut dangkal terdapat beberapa bagian
seperti reef flat dan mud flat (0 – 5 m) dan yang dikenal dengan laguna atau goba
(7 – 15 m), serta karang pelindung atau barrier reef yang melindungi dari
gempuran ombak laut terbuka. Ombak dan arus laut yang besifat turbulen
(mangaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi
ombak dan arus laut yang bersifat lamininer (mengendapkan) sehingga baik untuk
lokasi budidaya laut.
-
18
2.4.2. Kualitas Perairan
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah
satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu
acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun
2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut.
Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut
KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004
No Parameter Satuan Baku Mutu No. Parameter Satuan Baku mutu
FISIKA 6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015 1 Kecerahan m karang : > 5 7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0.0008 mangrove : - 8 Sianida (CN-) mg/l 0.5 lamun : > 3 9 Sulfida (H2S) mg/l 0.01
2 Kebauan - alami 10 Senyawa fenol total mg/l 0.003
3 Kekeruhan NTU < 5 11 PCB total µg/l 0.01
4 Padatan tersuspensi mg/l karang : 20 12 Surfaktan (Deterjen)
mg/l MBAS 1
Total mangrove : 80 13 Minyak & lemak mg/l 1 lamun : 20 14 Pestisida µg/l 0.01 5 Sampah - nihil 15 TBT (Tribulintin) µg/l 0.01 6 Suhu oC coral : 28 -30
mangrove :
28-32 LOGAM BERAT mg/l lamun : 28-30 1 Raksa (Hg) mg/l 0.001 7 Lapisan Minyak - nihil 2 Arsen (As) mg/l 0.005 3 Kadmium (Cd) mg/l 0.012 KIMIA 4 Tembaga (Cu) mg/l 0.001 1 pH - 7 - 8.5 5 Tombal (Pb) mg/l 0.008 2 Salinitas o/oo alami 6 Seng (Zn) mg/l 0.005 coral : 33-34 7 Nikel (Ni) mg/l 0.005
mangrove : s/d
34 lamun : 33-34 BIOLOGI
3 Oksigen Terlarut mg/l > 5 1 Coliform (total) MPN/100 ml 1000
4 BOD5 mg/l 20 2 Patogen Sel/100 ml nihil
5 Amonia Total (NH3-N) mg/l 0.3 3 Plankton
Sel/100 ml
tidak bloom
-
19
2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik
untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan
pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG
banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti
perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi
sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir.
Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan
pengelolaan sumber daya alam adalah:
• Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital
dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam
pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait
• Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada
pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien.
• Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa
alternatif kegiatan.
SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang
bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan,
mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai
tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan
dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian
ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem
informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian
dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian
suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya
tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi
dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan
(atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui
SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan
potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu
mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai
pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian
-
20
rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai
kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG
data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk
keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian
diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang
diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara
langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai
untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi.
2.6. Analisis Biaya Manfaat
Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi
(prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga
pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran).
Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan
kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis
dalam bidang pertanian). Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem
(sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan
prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan
pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung.
Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk
memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian
ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana,
analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama
jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada
periode-periode tertentu dalam satu rentang waktu, serta menghitung
perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994),
terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni:
1. Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan
dilakukan;
2. Berikan gambaran secara kuantitatif input dan output kegiatan;
3. Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output tersebut;
4. Bandingkan manfaat dan biaya tersebut.
-
21
Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah di atas, kemudian
disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya
para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio
yang lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah
alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya
yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu
(B/C > 1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih.
-
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong yang secara administrasi terdiri dari 11 Desa pesisir
(Gambar 2). Adapun batas laut disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan
serta aksebilitas yang terkait dengan kegiatan budidaya laut. Pengambilan data
lapang dilakukan pagi hingga siang hari pada musim peralihan yakni pada bulan
Mei 2006. Lebih lanjut, kegiatan pengumpulan data sekunder, pengolahan, analisa
dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni 2006 sampai November 2006.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian maka dilakukan pengumpulan
data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
mengenai potensi sumberdaya lingkungan melalui pendugaan kualitas fisik,
kimia, dan biologi perairan. Data mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dikumpulkan melalui studi dokumen, kuisioner, dan wawancara
mendalam. Sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber
yang memberikan informasi yang relevan terhadap penelitian seperti
BAKOSURTANAL, BPS, BAPPEDA Kabupaten Parigi Moutong, Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, Kecamatan, dan Desa.
3.2.1. Potensi Sumberdaya Lingkungan di Wilayah Pesisir Kecamatan
Ampibabo
Kualitas Perairan
Data yang diambil untuk mengetahui potensi sumberdaya lingkungan
meliputi pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Dalam hal ini,
pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan dilakukan pada beberapa
lokasi pengamatan. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan pengambilan
contoh air laut pada beberapa stasiun. Penentuan titik pengamatan menggunakan
teknik Sistem random sampling, dengan jarak antara stasiun pengamatan
menyesuaikan lokasi (Clark dan Hosking 1986; Morain 1999). Setip lokasi
-
23
pengamatan di pilih berdasarkan keterwakilannya dari segi ekosistem maupun
pemanfaatan lingkungan perairan tersebut. Alat yang digunakan sebagai penanda
di lapangan adalah Global Positioning System (Tabel 2 dan Gambar 2).
Tabel 2. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Kecamatan Ampibabo
Stasiun Pengamatan
Koordinat (UTM)
Keterangan
St1 0173929 9949250
Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Ampibabo
St2 0174093 9950442
Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Lemo
St3 0173165 9953503
Muara sungai buranga di Desa Buranga
St4 0173216 9947708
Perairan pesisir dekat pelabuhan perikanan di Desa Paranggi
St5 0171616 9944614
Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Lemo
St6 0171490 9941585
Muara sungai Towera di Desa Towera
St7 0171582 9940751
Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Towera
St8 0172951 9930171
Perairan pesisir di lokasi budidaya ikan kerapu sistem KJA, Desa Marantale
St9 0170026 9960730
Perairan pesisir Desa Tomoli
Pengambilan contoh air pada pengukuran parameter fisika, kimia dan
biologi di perairan diambil menggunakan alat vandorn water sampler yang
dilakukan mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WITA. Kedalaman perairan yang
diambil sebagai sampel yaitu pada lapisan permukaan (0.2 D), lapisan tengah (0.6
D) dan lapisan dasar (0.8 D). Dimana D adalah kedalaman perairan. Lebih lanjut,
sampel air dianalisis di Laboratorium Limnologi, Manajemen Sumberdaya
Perikanan, FPIK, IPB. Adapun beberapa parameter fisik, kimia dan biologi
lingkungan perairan yang diamati disajikan pada Tabel 3.
-
Gambar 2. Lokasi pengamatan kualitas perairan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
-
A. Parameter fisik perairan
a. Suhu
Temperatur air pada beberapa contoh air diukur dengan menggunakan
thermometer digital dengan satuan oC. Pengukuran di lakukan pada permukaan,
tengah dan dasar perairan.
Tabel 3. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati No Parameter Parameter
Lingkungan
Alat yang digunakan
Keterangan
II Fisik Suhu (oC)
Kecerahan (%)
Kekeruhan (NTU)
Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) Kedalaman
Pasang Surut
Arus Laut (m/dtk)
Gelombang
Substrat Dasar
Thermometer
Secchi disk
Tubiditymeter
Software ER
Mapper
Tali Penduga
Peta Batimetri
-
-
-
Pengukuran insitu
Pengukuran insitu
Laboratorium
Landsat-TM
Pengukuran insitu
Data sekunder
Data sekunder
Data sekunder
Data sekunder
Pengambilan insitu
dan data sekunder
III Kimia PH
Salinitas (o/oo)
DO (mg/l)
BOD5
Fosfat (mg/l)
Nitrit (mg/l)
Nitrat (mg/l)
Amonia (mg/l)
pH meter
Refraktometer
DO meter
Alat titrasi
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Pengukuran Insitu
Pengukuran Insitu
Pengukuran Insitu
Insitu&Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
I Biologi Plankton Mikroskop Laboratorium
b. Kecerahan
Kecerahan perairan pada beberapa lokasi pengamatan diukur dengan
menggunakan secchi disk dalam satuan persen (%).
-
23
c. Kekeruhan
Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu
perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan
dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air. Terutama dipengaruhi
bahan-bahan tersuspensi seperi lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik,
plankton, serta organisme mokroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan
mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang
ikan, selain itu juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Pada
penelitian ini kekeruhan diukur dengan alat turbiditymeter. Satuan yang di
gunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
d. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Untuk menduga konsentrasi muatan padatan tersuspensi di gunakana
aplikasi penginderaan jauh dengan Landsat-TM. Oleh Hasyim dan Bidawi (1997),
bahwa keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi
mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang
nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi
gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh muatan
padatan tersuspensi (MPT) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat
spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih
tinggi daripada air jernih. Puncak reflektansi pada air keruh memiliki kisaran nilai
panjang gelombang yang lebih besar daripada air jernih.
Algoritma yang digunakan adalah algoritma hasil penelitian Hasyim dan
Bidawi (1997) :
MPT (mg/l)= (100.6678)+(5.5085*TM3)+0.4563*(TM32)+0.9775*(TM2*TM3)
Keterangan : MPT = Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l)
TM2 = Band 2 Satelit LANDSAT ETM
TM3 = Band 3 Satelit LANDSAT ETM
-
24
e. Substrat Dasar
Substrat dasar laut dapat menjadi indikator kualitas air diatasnya. Substrat
dasar laut biasanya dibedakan atas karang, pasir, lumpur dan terdapat kombinasi
antara ketiganya. Substrat dasar karang dan pasir atau karang berpasir atau pasir
karang mengindikasikan perairan tersebut cocok untuk budidya rumput laut dan
kerapu.
b. Parameter kimia perairan
a. pH
Pada setiap stasiun pengamatan diukur pH perairan diukur dengan
menggunakan pH meter.
b. Salinitas
Informasi mengenai salinitas sangat diperlukan untuk kegiatan budidaya
laut, karena perubahan salinitas yang drastis akan berakibat fatal terhadap
organisme yang dipelihara. Di samping itu, informasi tentang salinitas diperlukan
pula untuk pengelolaan perairan, terutama yang berkaitan dengan distribusi dan
luas sebaran dampak yang mungkin terjadi. Pengukuran salinitas perairan
dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun pengamatan, untuk
kemudian diukur dengan menggunakan alat refraktometer.
b. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air.
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton
atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara. Pada penelitian ini untuk
mengetahui kadar oksigen dalam air dilakukan dengan menggunakan alat ukur
yang disebut DO-meter.
c. BOD5
Kebutuhan Oksigen Biologis atau yang lebih dikenal BOD5 (biochemical
oxygen demand) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik selama 5 hari penyimpanan.
-
25
BOD yang dimaksudkan dalam hal ini adalah banyaknya oksigen terlarut yang
dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang mudah
terurai, sebagai contoh bahan organik limbah domestik.
d. Fosfat
Contoh sebanyak 25 ml disaring dengan kertas saring Whatman no 42
kemudian ditambahkan dengan larutan 2,5 ml antara molybdate dan potassium
antimonyltartrate. Larutan tersebut di baca dengan spectrofotometer dengan
panjang gelombang 543 nm.
e. Nitrit (NO2-)
Contoh yang telah disaring dengan kertas saring whatman no. 42 diambil
sebanyak 25 ml. Contoh tersebut ditambahkan dengan larutan sulfamida 0.3 ml
dan larutan NED 0.3 ml, kemudian diamkan selama 10 menit. Larutan tersebut
dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.
f. Amoniak (NH3)
Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi
senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme
Peningkatan kadar amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya air laut yang
mudah di urai. Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan
menghasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi amoniak. Metode
yang paling umum dipake untuk mengukur kadar amoniak dalam air laut adalah
metode spektrofotometer.
Contoh air yang di peroleh dari setiap stasiun pengamatan tidak dapat
dianalisis secepatnya, oleh karena itu contoh air di usahakan pada keadaan
dinginkan pada suhu 4oC. Setelah tiba di laboratorium dibekukan pada suhu -20oc
atau diberi larutan fenol atau H2SO4.
-
26
b. Parameter biologi perairan
Fitoplankton
Pengambilan sampel untuk mengoleksi plankton di lakukan dengan
menggunakan alat berbentuk jaring atau disebut juga dengan jaring plankton.
Adapun jaring yang digunakan berukuran 30 – 50 µm. Selanjutnya identifikasi
jenis dilakukan dengan bantuan mikroskop dan buku identifikasi plankton seperti
Sachlan (1972), Davis (1955), dan Yamaji (1979). Penghitungan plankton
menggunakan Sedgewig Rafter Counting Cell di bawah mikroskop (APHA,
1989).
Analisis data fitoplankton dilakukan dengan menghitung kelimpahan,
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, yang adalah sebagai berikut :
1. Kelimpahan fitopalankton
Kelimpahan plankton adalah jumlah sel plankton jenis ke-i pada volume
air tertentu. Rumus yang digunakan adalah :
N = n xE1x
DCx
BA
Keterangan:
N = Kelimpahan plankton (sel/liter)
n = Rataan jumlah total sel per lapangan pandang
A = luas permukaan Sedgewig-Rafter Counting Cell (mm2)
B = luas satu lapangan pandang (mm2)
C = volume air sampel hasil saringan (ml)
D = volume air sampel yang disaring (l)
E = volume air di Sedgewig -Rafter Counting Cell (ml)
2. Indeks keanekaragaman fitoplankton
Indeks ini merupakan perhitungan berdasarkan informasi mengenai keteracakan
dalam sebuah sistem. Indeks yang digunakan adalah indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener dengan rumus :
∑=
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡=
s
i
ii
Nn
NnH
1log'
-
27
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah jenis yang ditemukan
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu
Nilai indeks keanekaragaman ini kemudian dikelompokkan menjadi :
H < 1 : keanekaragaman rendah, komunitas tidak stabil
1 < H < 3 : keanekaragaman sedang
H > 3 : keanekaragaman tinggi, komunitas stabil
3. Indeks keseragaman
Keseragaman yang diwujudkan dalam indeks regularitas (equitability
index) adalah suatu penggambaran mengenai sebaran individu setiap spesies
dalam komunitas. Indeks Keseragaman (E) plankton dihitung berdasarkan
persamaan berikut:
atauMaksHHE
''
= LogsHE '=
Keterangan :
E = Keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman
s = jumlah genera (plankton)
Dari perbandingan ini didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1, artinya :
Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi,
artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut.
• Semakin besar nilai E, maka populasi menunjukkan keseragaman, bahwa
jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda
(Odum, 1971)
-
28
4. Indeks Dominansi
Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut :
s D = ∑ [Pi]2 i=1
Keterangan :
D = Indeks Dominansi
Pi = ni/N
ni = jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah total individu semua spesies
i = 1,2,3,…,
S = jumlah genera
Nilai D berkisar antara 0 sampai 1, artinya :
Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi
Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi
(Odum, 1971).
3.2.2. Pendekatan Sosial Ekonomi dan BudayaMasyarakat
Penelitian ini memerlukan kajian yang mencakup aspek sosial budaya dan
ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengelolaan kawasan budidaya
rumput laut dan ikan kerapu yang dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten
Parigi moutong tidak semata mata mengejar tingkat produktivitas, namun juga
didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang lebih luas yaitu terjaganya
keselarasan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data-data dan
informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut:
A. Data sosial dan budaya
(1) Data kependudukan
(2) Pola pemanfaatan sumberdaya
(3) Identifikasi adanya konflik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir
(4) Kelembagaan sosial yang ada
(5) Kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir
-
29
B. Data ekonomi
(1) Investasi Bisnis perikanan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong
(2) Produksi hasil perikanan
(3) Sistem dan rantai pemasaran produk perikanan
(4) Kelembagaan ekonomi yang mendukung pengembangan perikanan
Data-data tersebut berasal dari data primer yang diperoleh melalui
investigasi langsung yaitu wawancara dengan masyarakat, maupun data sekunder
yang berasal dari BPS, Bappeda, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas Koperasi,
LSM setempat dan dari berbagai sumber yang terkait.
3.3. Analisis Data
3.3.1. Analisis secara spasial dengan SIG
Bertujuan untuk menentukan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut
sistem tali panjang dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA)
Menurut Ismail, dkk (2002), bahwa usaha kegiatan budidaya laut tidak dapat
dilakukan disemua daerah pesisir karena membutuhkan beberapa persyaratan
seperti persyaratan teknis, biologis, non teknis (sosial budaya dan ekonomi). Data
yang berhubungan dengan persyaratan tersebut harus dapat dikelola dengan baik,
sehingga dapat memberikan hasil analisis yang maksimal. Sejak banyaknya data
dan informasi ini dalam bentuk spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan salah satu aplikasi yang sangat relevan dalam melakukan analisis ini.
Data-data yang diperoleh untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan tahapan
analisis yaitu analisis spasial dengan SIG menggunakan perangkat Arcview 3.3.
A. Penyusunan basis data spasial
Proses analisis awal dari pembuatan peta dasar digital di Kecamatan
Ampibabo, dimulai dari scan atau proyeksi peta rupa bumi ke dalam peta dasar.
Peta dasar yang diperoleh bersumber dari hasil digitasi citra satelit. Adapun
Informasi yang diambil dari peta rupa bumi dan peta batimetri meliputi garis
pantai, sungai, garis batas wilayah, sungai, jaringan transportasi (jalan),
mangrove, penggunaan lahan, sebaran penduduk (pemukiman), letak dan nama
-
30
lokasi, garis kontur, ketinggian daratan, dan kedalaman laut. Kemudian dilakukan
registrasi memindahkan titik koordinat peta rupa bumi ke dalam peta dasar.
Untuk mendapatkan kondisi tata guna lahan terkini dilakukan pemindahan
peta citra ke dalam peta dasar dengan program er-mapper. Setelah itu, dilakukan
digitasi dan topologi yaitu mendigitasi dan mengidentifikasi peta dasar dengan
informasi yang telah diambil dari peta rupa bumi dan citra. Selanjutnya diperoleh
hasil peta dasar digital kawasan pesisir kecamatan Ampibabo yang menjadi objek
proses analisis spasial selanjutnya.
Data kualitas perairan yang dikumpulkan berasal dari titik-titik
pengamatan yang penyebarannya mewakili lokasi penelitian. Untuk menganalisis
secara spasial, terlebih dahulu dilakukan interpolasi, yang merupakan suatu
metode pengolahan data titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi titik
menjadi area menggunakan metode Nearest Neighbor (Burrough & McDonnell,
1998; Morain, 1999). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas
perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang
layak bagi kegiatan budidaya laut dihasilkan setelah seluruh data parameter utama
pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpangsusunkan).
B. Pembobotan dan skoring
Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kelayakan perairan dilakukan
melalui pembobotan dan skoring. Pembobotan pada setiap faktor pembatas di
tentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan
budidaya kerapu sistem KJA dan rumput laut. Untuk menentukan nilai akhir
(skor) dari setiap faktor-faktor tersebut, maka dihitung perkalian bobot dengan
skala penilaian, kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap
kolom skala penilaian mulai dari sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan tidak sesuai
(S3). Adapun pengertian skala penilaian pada setiap kolom adalah sebagai
berikut :
S1 (sesuai) : lahan/perairan tidak mempunyai pembatas yang berat
untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
S2 (sesuai) : perairan mempunyai pembatas agak berat untuk
suatu
-
31
penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut
akan mengurangi produktivitas dan keuntungan yang
diperoleh.
N (tidak sesuai) : perairan mempunyai pembatas sangat berat / permanen,
sehingga tidak mungkin untuk digunakan terhadap
penggunaan yang lestari.
Untuk mendapatkan selang nilai pada setiap kategori ditentukan dari nilai
persentase dari hasil perhitungan yang telah dilakukan. Kisaran persentase skala
penilaian pada setiap kolom yaitu :
Kategori sangat sesuai (S1) : Y ≥ 85%
Kategori sesuai (S2) : Y ≤ 50 – 84%
Kategori tidak sesuai (S3) : Y ≤ 50%
Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan index overlay akan
diperoleh dari ranking kelas kesesuaian lahan budidaya, dengan rumus :
∑
∑= n
i
n
i
Wi
SijWiS
Dimana :
S = Indeks terbobot area/polygon
Sij = Skor/nilai kelas ke-j dari coverage atau peta ke-i
Wi = Bobot untuk input peta (coverage ke-i)
N = Jumlah peta
3.3.2. Analisis Sosial Ekonomi
Analisis yang dilakukan dalam kajian sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dalam studi pengelolaan kawasan budidaya kerapu sistem KJA dan
budidaya Rumput Laut di Kecamatan Ampibabo adalah analisis deskriptif.
Analisis deskriptif yang dibutuhkan terutama informasi mengenai kependudukan,
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang ada di
masyarakat.
-
32
3.3.3. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya
Metode ini digunakan untuk menganalisis kawasan dengan memasukkan
unsur biaya dan manfaat yang disesuaikan dengan kawasan daerah penelitian.
Analisis biaya dan manfaat telah banyak digunakan untuk menilai kelayakan suatu
kegiatan usaha, dimaksudkan agar para investor, nelayan pembudidaya dan
masyarakat mendapatkan gambaran mengenai kelayakan suatu rencana usaha
yang akan dilakukan dari segi sosial maupun ekonomi.
A. Net Present Value (NPV)
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang
diperoleh selama umur ekonomis kegiatan. NPV merupakan selisih antara nilai
sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran, yang
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
NPV = ∑= +
−n
tti
CtBt1 )1(
Keterangan :
Bt = manfaat proyek pada tahun ke t
Ct = biaya proyek pada tahun ke t
n = Umur ekonomis proyek
i = Tingkat bunga
t = 1, 2, 3,..., n
Kriteria :
NPV > 0, berarti budidaya laut layak diusahakan
NPV = 0, berarti budidaya laut mengembalikan sebesar biaya yang
dikeluarkan
NPV < 0, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi
B. Benefit Cost Ratio (BCR)
Analisa ini bertujuan untuk mengetahui ratio jumlah nilai sekarang dari
manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 dan meletakkan
alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara
Matematik, BCR dapat disajikan sebagai berikut :
-
33
BCR = ( )⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
⎟⎠⎞⎜
⎝⎛ +
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
+=
=∑
t
t
tn
trCtrBt
001//1/)(
Kriteria :
B/C > 1, berarti budidaya laut layak diusahakan
B/C = 1, berarti budidaya laut berada pada titik tidak untung dan rugi
B/C < 1, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi
3.3.4. Pendekatan Keberlanjutan Mata Pencaharian (Sustainable Livelihood
Approach-SLA)
Dalam Campbell (1999), bahwa SLA merupakan salah satu cara penilaian
yang objektifitas dalam menentukan prioritas pembangunan. Adapun kerangka
kerja yang digunakan dalam pendekatan Sustainable Livelihood untuk
implementasi perencanaan adalah sebagai berikut :
Aset livelihood
Gambar 3. Kerangka kerja dalam Sustainable Livelihood Approach (SLA)
Konteks Kerentanan:
- Kecenderungan - Goncangan - Musim
Strategi Livelihood
Hasil Livelihood (Rencana Pengelolaan)
Struktur dan Proses
- Sumberdaya Manusia
- Sumberdaya Alam - Ekonomi - Sosial - Fisik (infrastruktur)
-
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Ampibabo
4.1.1. Letak Geografis dan Administrasi
Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di
Kabupaten Parigi Moutong. Secara Geografis Kecamatan Ampibabo terletak pada
Posisi Koordinat 119o53’11” – 120o04’12” BT dan 0o02’48” – 0o37’55” LS. Luas
wilayah Kecamatan Ampibabo secara keseluruhan ± 589,99 Km2, Letak Geografis
Kecamatan Ampibabo berbatasan Langsung dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kasimbar
Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Tomini
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Parigi
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala
Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa dengan Luas desa
seperti yang termuat dalam Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 4. Jumlah dan luas desa di Kecamatan Ampibabo
Desa Luas (km2) 1 Marantale 45,35 2 Silanga 42,55 3 Siniu 31,62 4 Towera 27,00 5 Tolole 23,54 6 Toga 5,54 7 Sidole 45,01 8 Paranggi 6,92 9 Ampibabo 45,71 10 Lemo 51,93 11 Buranga 41,55 12 Tomoli 89,39 13 Toribulu 55,40 14 Sienjo 39,47 15 Pinotu 36,01 Ampibabo 589,99
Sumber: Ampibabo dalam Angka (2005)
-
38
4.1.2. Musim
Secara umum, cuaca di Indonesia mengalami dua musim yakni musim
basah (hujan) dan kering (kemarau), yang dipisahkan oleh periode-periode
peralihan. Musim kering terjadi mulai Juni hingga September yang dipengaruhi
oleh massa udara di benua Australia saat berlangsungnya muson tenggara. Musim
hujan, yang dimulai dari bulan Desember sampai Maret di pengaruhi oleh massa
udara di samudera pasifik dan benua asia ketika berlangsung musim muson timur
laut. Pada musim-musim itu angin bertiup mantap dengan kecepatan rendah
hingga sedang. Periode peralihan terjadi April hingga Mei dan Oktober hingga
November, ditandai dengan kondisi angin melemah dan tidak stabil. Lebih lanjut,
di jelaskan bahwa musim hujan dan musim kemarau tidak benar-benar terjadi
pada saat yang sama di seluruh pelosok kepulauan. Secara umum, musim hujan
mempunyai sedikit lebih banyak air dan lebih sedikit sinar matahari dibandingkan
musim kemarau (Tomaschik et al 1997).
Di kawasan Teluk Tomini sendiri, Bulan basah berlangsung selama 7
sampai 9 bulan dan bulan kering 1 sampai 3 bulan. Curah hujan berlangsung
secara merata yaitu tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Januari dan
bulan Juni sampai Juli. Suhu udara berkisar antara 29,4oC hingga 30oC (BRKP,
2003).
4.1.3. Morfologi
Kondisi Morfologi Pesisir Kecamatan Ampibabo di lihat dari system lahan
yang terbentuk Dataran, Kipas dan Lahar, Pantai, Perbukitan dan Rawa Pasut.
Morfologi Dataran di kelompokan kedalam Dataran Karstik berbukit kecil;
meliputi 6 Desa Pesisir (Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga dan Tolole).
Morfologi Kipas dan Lahar, dikelompokkan kedalam; Kipas Aluvial non
vulkanik yang melereng landai. Dari 15 desa yang berada di pesisir Kecamatan
Ampibabo, terdapat 82% desa yang masuk dalam kelompok morfologi ini, kecuali
desa Toga. Morfologi Perbukitan, dikelompokan kedalam; Punggung bukit
sedimen asimetrik tak terorientasi, meliputi 6 desa di wilayah pesisir Kecamatan
Ampibabo (Toribulu, Buranga, Paranggi dan Toga). Morfologi Rawa Pasut
dikelompokan kedalam Dataran Lumpur antar Pasang surut dibawah Holofit,
-
39
meliputi 4 Desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga,
Lemo dan Ampibabo).
4.1.4. Litologi
Topologi wilayah daratan, terdiri dari batu gamping tersebar di Desa
Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga, dan Tolole. Wilayah Kipas dan Lahar,
terdiri Aluvium endapan kipas aluvial dan kolovium, terdapat pada 82% dari
jumlah 14 Desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo. Wilayah
Perbukitan, terdiri dari batu pasir, konglomerat, batu lumpur, dan serpih, tersebar
di Desa Toribulu, Buranga, Lemo, dan Ampibabo.
4.2. Potensi Sumberdaya Lingkungan
4.2.1. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi
Perairan pantai Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan
Teluk Tomini, Pulau Sulawesi. Salah satu teluk terbesar di Indonesia ini
mempunyai luas 59.500 km2, pada bagian timur berbatasan dengan Laut Maluku
dan bagian timur laut berbatasan dengan Laut Sulawesi. Teluk Tomini merupakan
perairan yang dikenal relatif subur dan memiliki sumberdaya perikanan yang
potensial untuk dikembangkan.
Pemanfaatan lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo,
Kabupaten Parigi Moutong untuk kegiatan budidaya laut merupakan salah satu
bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk
pengelolaan kawasan yang didukung dengan data-data terutama kondisi perairan
baik fisik, kimia, dan biologi. Budidaya laut khususnya rumput laut dan ikan
kerapu, merupakan komoditi-komoditi unggulan untuk dikembangkan.
Diharapkan dengan dukungan data kondisi perairan yang cukup lengkap dalam
pemanfaatannya kelak dapat berlangsung dengan baik.
A. Parameter fisik perairan
a. Kedalaman
Kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo dapat dilihat pada
Gambar 4. Kedalaman tersebut merupakan hasil pengukuran lapang yang
-
40
dilakukan oleh kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and
Coastal Resources Management Project) dalam rangka penyediaan data dasar
spasial wilayah pesisir Sulawesi Tengah Tahun 2004. Pada kegiatan survey
tersebut memperlihatkan bahwa kedalaman laut di perairan pantai Kecamatan
Ampibabo berkisar antara 0 – 60 meter. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran
lapang yang dilakukan pada Bulan Mei 2005, di peroleh beberapa variasi
kedalaman sebagaimana tercantum dalam Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Variasi kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
Stasiun Kedalaman St1 3 St2 10 St3 2 St4 6 St5 5 St6 0 St7 10 St8 15 St9 20
Kedalaman perairan sangat berpengaruh bagi kegiatan budidaya laut.
Untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung idealnya pada
kedalaman antar 7 - 40 m (Effendi 2004). Selain pengaruhnya terhadap intensitas
cahaya matahari yang masuk, kondisi dimana perairan dengan kedalaman < 7
meter dapat mempengaruhi kualitas perairan terutama dari sisa kotoran ikan
yang membusuk didasar perairan, sedangkan pada kedalaman > 40 meter
berdampak kepada perubahan faktor lingkungan dan juga pengaruhnya terhadap
besarnya biaya terutama untuk memperkokoh konstruksi keramba.
Berbeda dengan kedalaman perairan pada budidaya kerapu sistem KJA,
kegiatan budidaya rumput laut, membutuhkan perairan yang relatif dangkal.
Perairan dengan kedalaman kedalaman antara 2 – 15 m merupakan kedalaman
yang baik terutama untuk metode budidaya sistem rakit apung, rawai (long-line)
dan sistem jalur (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2005). Akan tetapi perlu juga di
perhatikan pola pasang surut yang ada terutama pada saat surut terendah.
-
Gambar 4. Peta kedalaman di perairan Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong
-
b. Pasang surut
Berdasarkan data yang di peroleh dari hasil kegiatan survei dan pemetaan
Lokasi MCRMP (2004), pada stasiun pengamatan Marantale-Ampibabo,
diketahui tipe pasut yang ada adalah tipe campuran cenderung ke semi diurnal.
Pasang surut tipe ini umum terjadi di perairan Indonesia Timur yaitu dalam satu
hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya
berbeda. Tipe pasut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang dan
surut per hari. Tipe pasut dapat ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan
membandingkan amplitudo (tinggi gelombang) dari komponen-komponen pasut
tunggal utama dengan amplitudo komponen pasut ganda utama, menggunakan
persamaan Formzahl (Gambar 5).
PASANG SURUT STASION MARANGTALE-AMPIBABO
0
50
100
150
200
250
300
6/29/04 7/4/04 7/9/04 7/14/04 7/19/04 7/24/04 7/29/04 8/3/04
Tanggal
Ting
gi A
ir (c
m)
Sumber : MCRMP, 2004 Gambar 5. Tipe pasang surut di Kecamatan Ampibabo
Hasil data yang dipelajari menunjukkan muka air tertinggi yang dicapai
pada saat pasang dalam satu siklus pasut mencapai 285.80 cm dengan muka air
rerata (MSL) sebesar 0.00. Sedangkan, kedudukan air terendah yang dicapai pada
saat surut mencapai - 152.96 cm. Lebih lanjut dalam Wyrtki (1961) dalam BRKP
(2003), menyatakan bahwa di perairan Teluk Tomini tipe pasutnya adalah
campuran cenderung ke semi diurnal. Pada daerah sekitar mulut teluk mempunyai
pasang tertinggi sekitar +2,50 meter dan air surut terendah -2.64 m meter.
c. Arus
Berdasarkan data riset daya dukung sumberdaya di perairan Teluk Tomini
(BRKP, 2003), di ketahui bahwa arus di perairan Teluk Tomini di pengaruhi oleh
-
39
pola arus yang terjadi di perairan laut maluku. Arus permukaan bergerak dari arah
laut seram menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini dan Teluk Tolo,
juga ada yang menuju Laut maluku. Kecepatan arus yang bergerak dari Laut
Maluku berkisar antara lebih dari 0.05 m/detik hingga lebih dari 0.20 m/detik, dan
ketika masuk perairan Teluk Tomini kecepatan berkurang hingga berkisar antara
0.05 m/detik hingga 0.01 m/detik.
Lebih lanjut, kondisi arus di perairan Kecamatan Ampibabo hasilnya di
pelajari dari data kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and
Coastal Resources Management Project) di Kabupaten Parigi Moutong (Tabel 6).
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, kecepatan arus yang masuk ke
perairan pantai kecamatan Ampibabo umumnya relatif kecil. Pada kondisi arus
menuju surut purnama, kecepatan arus maksimum terjadi hingga 0.1904 m/dtk,
sedangkan kecepatan arus maksimum yang terukur pada kondisi arus menuju
pasang tertinggi purnama sebesar 0.0770 m/dtk.
Tabel 6. Kecepatan arus di perairan kecamatan Ampibabo
Arus Kecepatan Arus Maksimum (m/dtk)
i arus menuju surut purnama 0.1904
i arus pasang tertinggi purnama 0.0770
Dalam kegiatan budidaya laut pengetahuan mengenai arus di perairan
merupakan bagian yang penting. Untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba
jaring apung, arus di butuhkan sebagai sumber oksigen dan dapat menghilangkan
limbah yang berada di keramba, akan tetapi di sisi lain arus yang kuat akan
berdampak pada konstruksi keramba, lambatnya pertumbuhan ikan karena energi
akan banyak terpakai untuk bergerak pada arus yang kuat, serta kehilangan
makanan. Sedangkan dalam kegiatan budidaya rumput laut, selain untuk sumber
oksigen, pergerakan air yang cukup di butuhkan sebagai pembawa nutrients,
mencuci kotoran yang menempel pada thallus, serta mencegah terjadinya
perubahan suhu yang besar. Dalam FAO (1989), bahwa idealnya kecepatan arus
untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba lebih dari 0.05 m/dtk dan
kurang dari 1 m/dtk, sedangkan kecepatan arus optimumnya sebesar 0.1 m/dtk.
Bagi kegiatan budidaya rumput laut, oleh Ditjenperbud-DKP (2006), bahwa
-
40
kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut yaitu antara 0.2 –
0.4 m/dtk.
d. Gelombang
Berdasarkan hasil analisis data ketinggian gelombang laut yang dilakukan
oleh BRKP (2002), gelombang di perairan Teluk Tomini secara umum tingginya
1 - 2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan Barat ke
Timur (Maret-Mei), dan Musim Peralihan Timur ke Barat (September-
November), tinggi gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi
gelombang pada musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter. Perairan
pantai kecamatan Ampibabo terletak di wilayah barat Teluk Tomini yang
merupakan bagian dalam teluk, sehingga gelombang yang masuk ke dalam akan
mengalami penurunan dan akan di jumpai yang jauh lebih kecil dari pada yang di
dekat mulut teluk. Lebih lanjut, berdasarkan hasil Survei dan pemetaan Lokasi
MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004 di
perairan Kecamatan Ampibabo (Tabel 6), di peroleh tinggi gelombang maksimum
pada musim timur sebesar 0.5 m dan pada musim barat setinggi 0.2700.
Untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya dengan sistem keramba
jaring apung pengetahuan mengenai kondisi gelombang di calon lokasi budidaya
penting untuk diketahui. Hal tersebut terutama untuk menjaga agar konstruksi
keramba tetap kokoh atau kuat. Oleh karena itu di sarankan perairan dengan tinggi
gelombang < 1 meter sesuai untuk kegiatan budidaya sistem keramba apung
(FAO, 1986). Lebih lanjut oleh Moller (1997) dalam Beverage (1987), bahwa
sebaiknya keramba dirancang dan dibangun untuk tahan terhadap kisaran
perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan tinggi gelombang permukaan air
laut. Oleh karena itu, sebaiknya keramba apung dirancang untuk tahan terhadap
perubahan tinggi gelombang yang mencapai 1-1.5 m.
Tabel 6. Tinggi gelombang di perairan pantai Kecamatan Ampibabo
Gelombang Tinggi Gelombang Maksimum
Tinggi Gelombang Minimum
Gelombang musim timur 0.5000 m 0.3100 m
Gelombang musim barat 0.2700 m 0.2000 m
-
41
e. Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada bulan Mei
2006 di stasiun 1 sampai 9, suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo berkisar
antara 30.5 – 32oC. Suhu permukaan perairan pada setiap stasiun berkisar antara
31 – 32oC dengan rerata 31.7oC, untuk suhu bagian tengah perairan berkisar
antara 31 – 31.8oC dengan rerata 31.2oC, sedangkan suhu di dekat dasar perairan
berkisar antara 30.5 – 32oC. Kisaran suhu pada setiap stasiun jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 6.
29.5
30.0
30.5
31.0
31.5
32.0
32.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Stasiun
Suh
u o C
PermukaanTengahDekat dasar
Gambar 6. Suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada musim peralihan
Kisaran suhu berdasarkan strata vertikal kolom air diketahui tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kedalaman. Hal ini disebabkan karena variasi
kedalaman pengambilan sampel air y