kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan …€¦ · ikan kerapu. keseuaian lingkungan perairan...

112
ABSTRAK Alfiani Eliata Sallata. KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA UNTUK PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN IKAN KERAPU DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI MOUTONG, SULAWESI TENGAH. Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MS. dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. Penelitian yang di lakukan di Kecamatan Ampibabo ini mempunyai dua tujuan: (1) mengetahui potensi sumberdaya lingkungan berdasarkan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan yang diperuntukkan bagi budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Keseuaian lingkungan perairan untuk kemudian dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan (2) Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya laut. Wilayah pesisir yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha dan sesuai dengan beberapa faktor pembatas sebesar 1.608,86 Ha. Untuk budidaya rumput laut sistem longline, luasan perairan yang sangat sesuai sebesar 925,88 Ha, dan sesuai sebesar 8.633,19 Ha. Lebih lanjut, diketahui bahwa di pesisir Kecamatan Ampibabo mempunyai luas potensi kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) sebesar 2531,72 Ha, masing-masing sebesar 1.605,84 Ha untuk budidaya ikan kerapu dan 925,88 Ha untuk budidaya rumput laut. Hasil perhitungan kawasan yang efektif untuk budidaya laut dengan memperhatikan peruntukan lain dan utilitas budidaya di wilayah ini di peroleh sebesar 508.207 Ha Melalui Sustainable Livelihood Approach (SLA) diperoleh suatu rencana pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem longline dan ikan kerapu sistem KJA). Rencana pengelolaan antara lain penataan ruang kawasan budidaya laut, menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir, memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan penguatan modal melalui pemberian kredit. Kesemuanya itu bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir serta mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat.

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ABSTRAK Alfiani Eliata Sallata. KAJIAN POTENSI SUMBERDAYA UNTUK PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN IKAN KERAPU DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI MOUTONG, SULAWESI TENGAH. Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MS. dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.

    Penelitian yang di lakukan di Kecamatan Ampibabo ini mempunyai dua tujuan: (1) mengetahui potensi sumberdaya lingkungan berdasarkan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan yang diperuntukkan bagi budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Keseuaian lingkungan perairan untuk kemudian dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan (2) Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya laut. Wilayah pesisir yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA sebesar 1.605,84 Ha dan sesuai dengan beberapa faktor pembatas sebesar 1.608,86 Ha. Untuk budidaya rumput laut sistem longline, luasan perairan yang sangat sesuai sebesar 925,88 Ha, dan sesuai sebesar 8.633,19 Ha. Lebih lanjut, diketahui bahwa di pesisir Kecamatan Ampibabo mempunyai luas potensi kawasan budidaya laut (rumput laut dan ikan kerapu) sebesar 2531,72 Ha, masing-masing sebesar 1.605,84 Ha untuk budidaya ikan kerapu dan 925,88 Ha untuk budidaya rumput laut. Hasil perhitungan kawasan yang efektif untuk budidaya laut dengan memperhatikan peruntukan lain dan utilitas budidaya di wilayah ini di peroleh sebesar 508.207 Ha

    Melalui Sustainable Livelihood Approach (SLA) diperoleh suatu rencana pengelolaan kawasan budidaya laut (rumput laut sistem longline dan ikan kerapu sistem KJA). Rencana pengelolaan antara lain penataan ruang kawasan budidaya laut, menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir, memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan penguatan modal melalui pemberian kredit. Kesemuanya itu bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir serta mempertahankan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat.

  • ABSTRACT

    Alfiani Eliata Sallata. STUDY OF RESOURCE POTENCY FOR MANAGEMENT OF SEAWEEDS CULTURE AND GROUPER CULTURE IN OF AMPIBABO, PARIGI MOUTONG REGENCY COASTAL AREA, NORT SULAWESI. Under the supervision of Fredinan Yulianda, Phd. and Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.

    The research in Ampibabo Sub District are divided into two purposes: (1) to know the potencies of environmental resources base on aquatic physic, chemical and biology water used by seaweeds and grouper culture. Based on suitability of water quality analysis by using Geographic Information System (GIS) and (2) to make the management plan of marine culture area. Coastel that is suitable area for grouper culture in floating cage system is 1.605,84 Ha and suitable with border factor is about 1.608,86 Ha. The other area that is very suitable for seaweed culture is 925,88 Ha and suitable is 8.633,19 Ha. Ampibabo Sub District has potential area for marine culture is about 2531,72 Ha, where 1.605,84 Ha for grouper culture and 925,88 Ha for seaweed culture. Consist of the effective area for marine culture with limited another focus and utilization marine culture in this area is about 508,207 Ha.

    Through the implementation of Sustainable Livelihood Approach (SLA) concept is found the Management Plan of marine culture area (seaweed culture and grouper cage culture by floating cage system). This Management Plan are consist of: Spatial Plan of Marine Culture, to keep coastal area sustainability, empowerment social economic organizations, to develop infrastructure, Transfer of Know-how and Transfer of Technology, Capital empowerment (Credit for farmers). In this case, resource sustainability utilization of Livelihood Sustainability of community.

  • Parigi Moutong Regency is the part of Tomini bay water that had rich of coastal and marine resources. It have cost lines is about 447 Km and the area is about 16.000 km2, the most of the regencies region location in coastal are. Ampibabo Sub District is the ones from ten sub district in Parigi Moutong Regencies. The purposes of research in Ampibabo Sub District are to know potencies of environmental resources base on physical, chemical and biological of water. Based on suitability of water analysis using by Geographic Information System (GIS), the results are: for seaweed culture very suitable of area for develop is 56.28 Ha and suitable with border factor is about 115.25 Ha. For grouper culture in floating cage system, the area that very suitable is about 32.47 Ha, and suitable is 1038.08 Ha. Based on feasibility Business analysis of seaweed culture using by Benefit Cost analysis, financially known that seaweeds culture and grouper culture by floating cage system area suitable for develop. Value of Benefit-Cost ratio for seaweed culture is 1.57, and grouper in Floating cage system is 2.26. Seaweed culture area and culture and grouper culture by floating cage management in Ampibabo Sub District aim to know-how increasing and increase of ability of farmers, economic organization powers, to manage of land use activities, and keep coastal resources sustainability.

  • I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Budidaya laut merupakan bagian dari budidaya perikanan (akuakultur)

    yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia

    dalam proses produksi organisme akuatik seperti ikan (finfish), udang (krustasea),

    moluska, ekinodermata, dan alga (Effendi 2004). Terdapat beberapa komoditas

    perikanan yang potensial untuk dikembangkan dalam usaha perikanan budidaya

    laut antara lain teripang, kakap, tiram, kerang darah, ikan kerapu, abalone, tiram

    mutiara, rumput laut, dan kuda laut. Adapun komoditas tersebut selain berpotensi

    sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal akan protein bersumber dari laut,

    juga merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.

    Ikan kerapu misalnya, saat ini menjadi salah satu komoditi unggulan

    budidaya laut karena memiliki peluang eksport yang menjanjikan terutama untuk

    tujuan pasar Hongkong dan Singapura. Volume produksi komoditas ikan kerapu

    untuk eksport mencapai 35.000 ton per tahun. Jenis ikan kerapu yang telah banyak

    dikembangkan antara lain kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan

    (Epinephelus fuscoguttatus). Di pasar dunia, harga ikan kerapu bebek rata-rata Rp.

    300.000,00 per kilogram (Kompas 2005), sedangkan untuk kerapu macan di

    tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00 sampai Rp

    100.000,00 dan berkisar antara US$ 12-17 di Pasar Asia, tergantung ukuran ikan

    (DKP 2006). Keunggulan lain yang dimiliki dalam budidaya ikan kerapu yaitu

    penguasaan teknologi. Teknologi pembenihan dan pembesaran telah banyak

    berkembang dan sebagian besar sudah dikuasai dengan baik. Di Indonesia sendiri,

    pembesaran ikan kerapu terutama dengan sistem keramba jaring apung (KJA)

    telah banyak dikembangkan di beberapa propinsi di Indonesia untuk skala besar,

    menengah maupun kecil.

    Komoditi unggulan perikanan budidaya lainnya yang tidak kalah populer

    di pasaran adalah rumput laut. Rumput laut terutama untuk jenis Eucheuma

    cottonii yang juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii merupakan jenis

    telah banyak dikembangkan di hampir setiap propinsi di Indonesia. Selain karena

    relatif mudah dan modalnya relatif murah, rumput laut juga mempunyai nilai

  • 2

    ekonomi yang relatif tinggi. Di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten

    Takalar, Jeneponto, Bulukumba dan Sinjai misalnya, harga rumput laut kering di

    tingkat petani berkisar antara Rp. 3.800,00 – Rp. 4.000,00 per kilogram,

    sedangkan di tingkat pabrik harga rumput laut sebesar Rp. 4.700,00 – Rp. 5000,00

    per kilogram (Kompas 2004). Keberadaan usaha budidaya rumput laut sangat

    membantu masyarakat nelayan dan pembudidaya di wilayah pesisir sebagai salah

    satu sumber pendapatan tambahan keluarga. Menurut DKP (2006), di Indonesia

    rumput laut di eksport umumnya dalam bentuk kering dengan jenis Gracillarta

    spp. Euchema cotonii dan E. spinosum dengan tujuan China, Hong Kong,

    Spanyol, Jepang dan Philippina. Lebih lanjut diketahui bahwa, nilai ekspor

    rumput laut baru berkontribusi sekitar 1 % dari total ekspor hasil perikanan.

    Sebagaimana diketahui Indonesia memililiki potensi sumberdaya alam

    yang mendukung untuk dikembangkannya budidaya laut. Menurut DKP (2006),

    potensi perairan untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut di Indonesia

    masing-masing sekitar 1.1 juta ha. Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10

    Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan ini mempunyai

    panjang garis pantai mencapai 56,25 km dan luas wilayah secara keseluruhan ±

    589,99 Km2. Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa yang

    sebagian besar berada di wilayah pesisir atau sebanyak 14 desa pesisir.

    Kondisi wilayah terutama pesisir dan laut yang ada di Kecamatan

    Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong dinilai dari luas wilayah perairan

    pesisirnya, cukup mendukung untuk dikembangkannnya perikanan budidaya

    khususnya budidaya laut. Kondisi tersebut juga didukung dengan kebijakan

    Pemerintah Daerah Kabupaten Parigi Moutong untuk mulai membangun potensi

    sumberdaya alam yang dimiliki untuk dapat meningkatkan nilai produksi

    perikanan daerah. Bagi sektor perikanan budidaya laut hal tersebut diatas menjadi

    suatu langkah maju untuk mulai mengembangkan sektor ini. Karena diharapkan,

    dengan berkembangnya sektor perikanan budidaya laut, dimasa akan datang akan

    dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kesejahteraan

    masyarakat, terutama masyarakat pesisir melalui lapangan kerja baru.

    Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut

    Kecamatan Ampibabo melalui kegiatan budidaya yang dikembangkan khususnya

  • 3

    untuk komoditi rumput laut dan ikan kerapu, haruslah didasarkan pada elemen-

    elemen pendukung. Faktor lingkungan merupakan salah satu elemen utama yang

    mendukung keberlangsungan kegiatan usaha budidaya. Adapun beberapa faktor

    pendukung lainnya yang juga penting meliputi teknologi, aset sosial budaya dan

    ekonomi masyarakat, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Dengan adanya

    interaksi dari faktor-faktor tersebut di harapkan dapat diperoleh pemanfaatan

    kawasan yang optimal.

    Pemanfaatan kawasan perairan pesisir haruslah di lakukan pada suatu

    lokasi yang sesuai untuk setiap komoditinya. Oleh karena itu untuk

    mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir Kecamatan Ampibabo,

    penelitian mengenai kajian potensi sumberdaya terutama untuk budidaya rumput

    laut dan ikan kerapu sangatlah diperlukan. Lebih lanjut, untuk mendapatkan suatu

    kegiatan budidaya yang berkelanjutan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi,

    diperlukan juga suatu pengelolaan kawasan. Dari hasil kajian ini, diharapkan

    dapat menjadi petunjuk dalam pengembangannya, sehingga dapat dijadikan bahan

    acuan bagi berbagai pihak terkait seperti pemerintah, dunia usaha, dan

    masyarakat.

    1.2. Perumusan Masalah

    Wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan

    Teluk Tomini yang dikenal kaya akan sumberdaya alam pesisir dan lautnya.

    Pemanfaatan kawasan pesisir Kecamatan Ampibabo untuk kegiatan budidaya

    rumput laut dan ikan kerapu diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti

    dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Akan tetapi kondisi yang

    dirasakan saat ini adalah belum optimalnya pemanfaatan kawasan untuk budidaya

    laut baik dari segi produksi maupun keberlanjutan usaha budidaya.

    Rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang menjadi

    arahan pengembangan pemerintah Kabupaten Parigi Moutong. Untuk

    memberikan dukungan terhadap kegiatan usaha khususnya rumput laut, pada awal

    tahun 2005 pemerintah melalui Dinas perikanan Kabupaten Parigi Moutong

    memberikan bantuan berupa modal awal untuk budidaya rumput laut dengan

    sistem tali panjang atau longline. Akan tetapi kondisi yang ditemui adalah tidak

  • 4

    adanya keberlanjutan usaha. Untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba

    jaring apung (KJA), investasi terutama dari pihak swasta sangat dibutuhkan

    karena besarnya modal yang dalam menjalankan kegiatan ini. Beberapa faktor

    penyebabnya masih belum banyaknya investasi untuk kegiatan ini adalah masih

    belum adanya informasi yang jelas akan potensi wilayah perairan yang dapat

    dijadikan dasar untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA.

    Lingkungan perairan merupakan faktor utama dalam mendukung

    keberlanjutan usaha budidaya. Kualitas lingkungan perairan yang baik akan

    berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan. Pemilihan lokasi yang tepat

    untuk menjadi tempat di lakukan kegiatan budidaya dalam hal ini budidaya

    rumput laut dan ikan kerapu penting untuk diketahui, sehingga menghasilkan

    suatu arahan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha. Selain itu

    dapat juga memberikan informasi mengenai seberapa besar potensi yang ada

    sehingga optimalisasi dalam pemanfaatan wilayah dapat di realisasikan.

    Beberapa faktor lain yang menjadi pendukung keberlanjutan pemanfaatan

    sumberdaya lingkungan perairan bagi usaha budidaya rumput laut dan ikan kerapu

    antara lain teknologi produksi budidaya, kondisi sosial dan budaya masyarakat,

    ketersediaan infrastruktur dan permodalan. Beberapa faktor pendukung tersebut

    merupakan bagian yang tak terpisahkan, akan tetapi belum mendapat kajian yang

    lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari perencanaan terutama oleh

    pemerintah daerah setempat yang telah dilaksanakan, akan tetapi hasil yang

    diinginkan dalam pemanfaatan untuk mendapat hasil produksi yang berkelanjutan

    tidak diperoleh.

    1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

    Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

    1. Mengkaji potensi sumberdaya lingkungan yang diperuntukkan bagi

    pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu

    2. Menyusun rencana pengelolaan kawasan budidaya rumput laut dan ikan

    kerapu terutama didasarkan pada potensi sumberdaya lingkungan beserta

    dengan aspek pendukungnya yaitu aspek sosial ekonomi dan aspek teknis

  • 5

    Adapun manfaat penelitian adalah :

    1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan

    kawasan budidaya laut yang juga terkait dengan rencana tata ruang wilayah

    (RTRW) di pesisir Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong.

    2. Memberikan informasi kepada masyarakat dan swasta mengenai potensi

    pengembangan kegiatan budidaya laut di pesisir Kecamatan Ampibabo,

    Kabupaten Parigi Moutong.

    1.4. Kerangka Pemikiran

    Salah satu pemanfaatan wilayah pesisir yang dirasakan dapat memberikan

    kontribusi yang berarti terhadap produksi perikanan yaitu perikanan budidaya

    laut. Budidaya rumput laut dan ikan kerapu merupakan dua komoditi yang banyak

    dikembangkan karena permintaan pasar yang cukup besar. Untuk

    mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir khususnya bagi kegiatan budidaya

    rumput laut dan ikan kerapu maka haruslah bertumpu pada keberadaan

    sumberdaya lingkungan khususnya lingkungan perairan pesisir. Sumberdaya

    lingkungan perairan pesisir erat kaitannya dengan kualitas fisik, kimia, dan

    biologi yang menjadi parameter utama untuk kesesuaian lokasi budidaya.

    Sistem budidaya yang menjadi pilihan juga menjadi bagian penting dalam

    penetapan suatu lokasi budidaya laut. Budidaya dengan metode tali panjang atau

    longline dan keramba jaring apung (KJA) menjadi pilihan dalam sistem yang akan

    dikembangkan, sehingga kriteria yang di tetapkan di sesuaikan dengan jenis

    komoditi dan sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu konsep

    pengelolaan kawasan budidaya laut yang berkelanjutan, maka dilakukan suatu

    kajian yang meliputi potensi sumberdaya lingkungan bagi pengembangan

    budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Potensi sumberdaya lingkungan juga

    didukung dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, ketersediaan

    prasarana dan sarana pendukung, serta kebijakan pemerintah daerah (Gambar 1).

    Sistem Informasi geografis (SIG) merupakan salah satu analisis spasial

    yang digunakan untuk menganalisis potensi sumberdaya lingkungan terutama

    kesesuaiannya perairan bagi kegiatan budidaya rumput laut dan kerapu sistem

    keramba jaring apung. Sistem Informasi Geografi telah banyak digunakan dalam

  • 6

    melakukan berbagai analisis keruangan seperti halnya perencanaan wilayah dan

    pengelolaan sumberdaya alam. Untuk mencapai tujuan penelitian ini terlebih

    dahulu harus diketahui kondisi spesifik wilayah ini yang diperlukan untuk studi

    SIG, seperti model data, struktur, dan teknik pengelolaan basis data. Begitu juga

    perlunya data mengenai eksisting perairan, kualitas fisik dan kimia perairan,

    batimetri, kecepatan arus, sebaran terumbu karang, lamun, rumput laut dan

    sebagainya, dimana informasi ini sangatlah penting untuk menghasilkan suatu

    perencanaan yang optimal, khususnya bagi penataan kawasan untuk pengelolaan

    kawasan budidaya perikanan budidaya.

  • 7

    Gambar 1. Kerangka pikir kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan kawasan

    budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong

    Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah

    (RTRW wilayah Kabupaten Parigi Moutong)

    SUMBERDAYA DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN

    AMPIBABO, KAB. PARIGI MOUTONG

    Aspek Sosial Ekonomi daBudaya Masyarakat

    Sarana dan Prasarana Pendukung Kegiatan Budidaya Laut

    Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA

    Kesesuaian Lingkungan Perairan Untuk Kegiatan

    Budidaya Laut

    Kelayakan Usaha Budidaya Laut

    Rencana Pengelolaan Kawasan BudidayaRumput

    Laut dan Ikan Kerapu

    Budidaya Rumput Laut Sistem Longline

    Kondisi fisik, kimia dan biologi perairan

    Potensi Sumberdaya Lingkungan Bagi Pengembangan Budidaya Laut

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut

    Perikanan budidaya atau akuakultur merupakan bagian dari perikanan dan

    kelautan mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusinya, walaupun

    diakui perikanan tangkap masih memberikan kontribusi yang lebih pada sektor

    perikanan. Akan tetapi, berdasar data dari FAO (2002), produksi perikanan

    tangkap dunia cenderung mengalami penurunan akibat eksploitasi dan

    menurunnya sumberdaya ikan di laut, sedangkan akuakultur mempunyai

    kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Ditambahkan bahwa,

    aquakultur juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja.

    Hal ini dapat dilihat bahwa akuakultur dapat dilakukan di setiap lapisan

    masyarakat mulai dari pedesaan sampai dengan perkotaan; mempunyai

    karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin

    keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga

    dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir (seperti pabrik pakan,

    hatchery/pembenihan, industri jaring, industri pengolahan, cold storage, pabrik es

    dsb.); dapat mengatasi kemiskinan penduduk; sudah tersedia teknologi terapan.

    Lebih lanjut, Muir dan Roberts (1985) menambahkan bahwa budidaya perikanan

    diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan

    menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan

    cepat

    Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan

    organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka

    mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan

    budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang

    terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik

    (Shell dan Lowell 1993), untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial

    (Shang 1990). Selain memproduksi makanan, budidaya laut juga bertujuan untuk

    meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement).

    Kebijakan pemanfaatan potensi akuakultur bagi pengembangan ekonomi

    nasional yang akan ditempuh adalah melalui pengembangan kawasan budidaya

  • 9

    dan komoditas unggulan. Berdasarkan hasil kajian Ditjen Perikanan Budidaya

    tahun 2004, diperkirakan terdapat 8,36 juta ha perairan laut yang secara indikatif

    dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan budidaya laut. Dari luasan

    tersebut, untuk budidaya ikan bersirip (fin fish) 20%, kekerangan 10%, rumput

    laut 60% dan lainnya 10%. Tingkat pemanfaatan sebagian besar provinsi baru

    mencapai kurang dari 1%, namun sebagian lainnya telah mencapai di atas 1%

    sampai 25%, yaitu DKI Jakarta sekitar 24%, Bali sekitar 8%, Sulawesi Tenggara

    sekitar 6%, dan NTT sekitar 2%.

    Di kabupaten Situbondo misalnya, telah mengembangkan usaha budidaya

    laut seperti budidaya ikan kerapu, lobster dan rumput laut. Jenis ikan yang

    dipelihara di KJA antara lain; ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu

    sunu (Plectropomus leopardus; P. maculatus ), kerapu macan (Epinephelus

    fuscoguttatus), dan udang lobster. Hasil produksi dari KJA pada umumnya

    diperdagangkan dalam keadaan hidup. Sedangkan untuk pengembangan budidaya

    rumput laut jenis yang sudah dikembangkan adalah Eucheuma cottoni. Produksi

    rumput laut di Kabupaten Situbondo di perkirakan sekitar 2.534 ton pertahun

    dengan nilai penjualan 1.7 milyar rupiah. Aktivitas ini pada tahun 2005

    diusahakan oleh 385 pembudidaya (pengusaha) dengan ancak pertahun sekitar

    770 buah (Pemda Situbondo 2005).

    Pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia berjalan sangat

    lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi. Jika

    disarikan, permasalahan tersebut dapat digolongkan kedalam 4 bagian yaitu

    masalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan, masalah sosial-ekonomi,

    masalah kelembagaan dan masalah teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa

    untuk pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh

    lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Clark dan Beveridge

    (1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak pada

    kurangnya teknologi. Belum berkembangnya berkembang dengan baik di

    Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah.

    Sebagai gambaran, meskipun teknologi budidaya laut yang telah dikuasai meliputi

    teknologi kakap putih, beronang dan kerapu, namun diantara komoditas-

  • 10

    komoditas tersebut, yang teknologinya betul-betul telah mantap dikuasai barulah

    teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.

    2.2. Komoditas Budidaya Laut

    2.2.1. Rumput Laut

    Rumput Laut dengan jenis-jenisnya yang beragam merupakan salah satu

    sumberdaya perikanan yang cukup potensial karena mempunyai nilai ekonomis

    penting. Beberapa jenis rumput laut merupakan komoditas yang menjadi komoditi

    ekspor Indonesia. Jenis-jenis tersebut mengandung senyawa polisakarida, seperti

    keraginan yang berasal dari Eucheuma spp., agar-agar yang berasal dari

    Gracilaria spp., Gelidium spp., dan alginat dari Sargassum spp., Turbinaria spp.,

    dan Laminaria spp. Karaginan berperan sebagai pengatur keseimbangan dan

    pengemulsi yang banyak digunakan pada industi instant, makanan, farmasi dan

    kosmetik (Mubarak dkk 1990; DKP 2004).

    Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas

    kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Selain itu, hidup sebagai

    fitobentos dengan menancap atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir,

    karang, fragmen karang mati, batu, kayu, dan benda keras lainnya, serta ada pula

    yang menempel pada tumbuhan lain. Jenis seperti Eucheuma sp. dan Gracilaria

    sp. merupakan jenis-jenis yang telah banyak di budidayakan. Secara taksonomi

    jenis tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    Phylum : Rhodophyta

    Class : Rhodophyceae (Rumput laut merah)

    Ordo : Gigartinales

    Family : Solieriaceae; Gracilariaceae

    Genus : Eucheuma

    Spesies : Eucheuma cottonii

    Eucheuma cottonii sebagai penghasil Karaginan

    Eucheuma cottonii adalah salah satu kelompok algae Rhodophyceae

    penghasil karagian. Ciri fisik jenis ini adalah mempunyai thallus silindris,

  • 11

    permukaan licin, cartilogeneus, warna tidak terlalu tetap kadang-kadang hijau,

    hijau kuning, abu-abu dan merah tergantung pada kualitas pencahayaan. Oleh

    Aslan (1998), mengatakan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai habitat khas

    berupa daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu yang kecil

    dan substrat batu karang mati.

    Karaginan merupakan ekstrak rumput laut yang tidak lain adalah senyawa

    kompleks polisakarida yang dibangun dari sejumlah unit galaktosa dan 3,6-

    anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan alfa-1,3-

    D-Galaktosa dan beta-1,4-3,6-ahnydro-galaktosa secara bergantian. Eucheuma

    cottonii terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa-carrageenan. Hellebust and

    Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan

    bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan

    komponen lain. Lebih lanjut oleh Glicksman (1983), bahwa karaginan merupakan

    getah rumput laut dari hasil ekstraksi rumput laut merah menggunakan air panas.

    Oleh Wilkinson and Moore (1982), bahwa dalam industri pangan karaginan

    dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, beer, sosis, salad, ice

    cream, susu kental manis, coklat, coklat, jeli, dll. Untuk industri farmasi

    digunakan dalam pembuatan obat berupa syrup, tablet, dsb, sedangkan dalam

    industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan

    tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan

    shampo, pelembab, dsb.

    Yunizal dkk (2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan,

    rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. E. Cottonii dipanen setelah

    berumur 1,5 bulan atau lebih. Sedangkan oleh Mukti (1987) menyatakan bahwa

    pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap

    cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Lebih lanjut oleh

    Departemen Pertanian (1995), bahwa tingkat pertumbuhan rumput laut mencapai

    puncak pada saat beratnya mencapai ± 600 g/rumpun. Kandungan karaginannya

    mencapai puncak tertinggi pada umur 6 – 8 minggu dan dipanen dengan cara

    memotong bagian ujung tanaman yang sedang tumbuh. Berdasarkan hasil

    penelitian Iksan (2005), bahwa semakin tinggi pertumbuhan bobot basah maka

  • 12

    semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu atau minggu keempat,

    kemudian menurun seiiring dengan kenaikan bobot basah.

    2.2.2. Ikan Kerapu

    Ikan kerapu yang merupakan salah satu jenis ikan yang habitat hidupnya di

    terumbu karang (ikan karang) banyak terdapat di perairan Indonesia. Ikan jenis ini

    potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya relatif cepat, mudah dipelihara,

    mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan tahan

    terhadap ruang terbatas atau dapat dikembangkan pada keramba jaring apung

    (Aditya dkk. 2001). Dalam SEAFDEC (2001), bahwa di dunia Internasional ikan

    kerapu dikenal dengan nama grouper dan merupakan jenis ikan yang

    diperdagangkan dalam keadaan hidup serta paling populer di daerah Asia-Pacifik.

    Ikan ini telah dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara. Harga kerapu macan

    hidup di tingkat pengumpul di Indonesia berkisar antara Rp. 80.000,00-Rp.

    100.000,00/kg dan sekitar US$ 12-17 di Hong Kong tergantung ukuran ikan.

    Pengetahuan tentang biologi ikan kerapu sangat mendukung keberhasilan

    usaha budidaya ikan kerapu, terutama morfologi, penyebaran atau distribusi,

    habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Secara umum kerapu mempunyai bentuk

    badan yang gemuk pipih dengan kulit bersisik, hidup di perairan karang yang

    bersih, dan beruaya atau migrasi terbatas pada kisaran lingkungan perairan dengan

    kadar garam 31-34 ppt, pH 7,0 - 8,5, oksigen terlarut > 5 ppm, Nitrite nitrogen 0 –

    0,05 ppm dan amonia (NH3-N ) < 0,02 ppm (DKP, 2006)

    Ikan kerapu adalah termasuk jenis ikan carnivora atau pemakan daging.

    Pada fase larva, dibutuhkan pakan berupa zooplankton seperti Brachionus sp. dan

    mikro organisme lainnya. Untuk fase benih dibutuhkan artemia (brine shrim)

    kemudian udang-udang kecil (jambret) dan ikan kecil, lalu pada tingkat dewasa

    adalah ikan, cumi dan lainnya (Anonim, 2006).

    Terdapat sekitar 91 jenis ikan kerapu di Indonesia yang berasal dari 7

    (tujuh) genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes,

    Epinephelus, Plecuropomus, dan Variola (DKP 2005 dan Sunyoto 1993).

    Menurut Subiyanto (2003), bahwa oleh pemerintah telah berhasil

    mengembangkan dan mensosialisasikan ikan kerapu terutama untuk jenis macan

  • 13

    (Epinephelus fuscoguttatus), tikus (Chromileptes altivelis), dan lumpur

    (Epinephelus suillus), serta diperkuat oleh tinggi dan stabilnya harga jual kerapu

    hidup tersebut terutama permintaan ekspor. Adapun dalam Randall (1987),

    klasifikasi ikan kerapu adalah sebagai berikut :

    Phylum : Chordata

    Class : Osteichtyes

    Sub-Class : Actinopterygii

    Ordo : Percomorphii

    Sub-Ordo : Percoide

    Family : Serramidae

    Genus : Epinephelus; Cromileptes; Plectropomus; Piectropus

    Spesies : Epinephelus fuscoguttatus (kerapu macan), Chromileptes altivelis

    (kerapu tikus), Epinephelus bleckeri (kerapu lumpur),

    Epinephelus coloides (kerapu lumpur), Cromileptes

    polyphekadion (kerapu batik), Plectropomus leopanchus (kerapu

    sunu), Piectropus maculatus (kerapu sunu)

    2.3. Sistem Budidaya

    2.3.1. Budidaya Kerapu Sistem Keramba Jaring Apung

    Jaring apung (cage culture) atau keramba jaring apung (KJA) adalah

    sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net

    cage) dengan bantuan pelampung yang ditempatkan di perairan. Sistem ini

    ditempatkan di perairan pada kedalaman 7 – 40 m, dengan kecepatan arus

    optimal sekitar 0,15 sampai 0,35 m/detik (Efendi 2004). Selain kedalaman dan

    kecepatan arus, faktor keterlindungan juga penting untuk diperhatikan yang

    erat kaitannya dengan keberadaan konstruksi keramba di laut. Perairan yang

    berupa teluk dan selat sangat cocok untuk menjadi lokasi KJA.

    Sistem KJA umumnya menggunakan padat penebaran ikan yang relatif

    tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan

    tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu

    mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan

  • 14

    pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh Sumber

    Daya manusia (SDM) dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi.

    Sistem ini digunakan untuk budidaya kelompok ikan, udang lobster dan ikan

    hias (PKSPL 2005).

    2.3.2. Sistem Budidaya Rumput Laut

    Metode budidaya yang akan dilakukan sangat berpengaruh terhadap

    pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Sampai saat ini telah dikembangkan 5

    metode budidaya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar

    perairan. Metoda-metoda tersebut meliputi : metoda lepas dasar, metoda rakit

    apung, metode long line dan metode jalur serta metode keranjang (kantung).

    Adapun metoda budidaya rumput laut yang telah direkomendasikan oleh

    Direktorat Jenderal Perikanan, meliputi: metoda lepas dasar, metoda apung (rakit),

    metode long line dan metode jalur. Namun dalam penerapannya, keempat macam

    metoda tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan di mana lokasi

    budidaya rumput laut akan dilaksanakan (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2006).

    A. Metode lepas dasar

    Metode ini sangat tepat diterapkan pada areal perairan antara intertidal dan

    subtidal dimana pada saat air surut terendah dasar perairan masih terendam air

    serta lebih banyak memanfaatkan perairan yang relatif dangkal (Sudjatmiko dan

    Angkasa 2006). Metode ini dilakukan pada dasar perairan yang berpasir atau

    berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pacang, Namun hal ini

    akan sulit dilakukan bila dasar perairan terdiri dari batu karang. Penanaman

    dengan metode ini dilakukan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi

    ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30

    cm di atas dasar perairan (perkirakan pada saat surut terendah masih tetap

    terendam air). Patok terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 5 cm sepanjang 1

    m dan runcing pada salah satu ujungnya. Jarak antara patok untuk merentangkan

    tali ris sekitar 2,5 m. Setiap patok yang berjajar dihubungkan dengan tali ris

    polyethylen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 20 - 25 cm.

  • 15

    B. Metode rakit apung

    Metode rakit apung adalah cara membudidayakan rumput laut dengan

    menggunakan rakit yang terbuat dari bambu/kayu. Metode ini cocok diterapkan

    pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak.

    Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap

    rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat

    disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang

    dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang

    ditanam.

    Untuk menahan agar rakit tidak hanyut terbawa oleh arus, digunakan

    jangkar (patok) dengan tali PE yang berukuran 10 mm sebagai penahannya. Untuk

    menghemat areal dan memudahkan pemeliharaan, beberapa rakit dapat digabung

    menjadi satu dan setiap rakit diberi jarak sekitar 1 meter. Bibit 50 -100 gr

    diikatkan di tali plastik berjarak 20-25 cm pada setiap titiknya. Pertumbuhan

    tanaman yang menggunakan metode apung ini, umumnya lebih baik daripada

    metode lepas dasar, karena pergerakan air dan intensitas cahaya cukup memadai

    bagi pertumbuhan rumput laut. Metode apung memiliki keuntungan lain yaitu

    pemeliharaannya mudah dilakukan, terbebas tanaman dari gangguan bulu babi

    dan binatang laut lain, berkurangnya tanaman yang hilang karena lepasnya

    cabang-cabang, serta pengendapan pada tanaman lebih sedikit. Kerugian dari

    metode ini adalah biaya lebih mahal dan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan

    sarana budidayanya relatif lebih lama. Sedangkan bagi tanaman itu sendiri adalah

    tanaman terlalu dekat dengan permukaan air, sehingga tanaman sering muncul

    kepermukaan air, terutama pada saat laut kurang berombak. Munculnya tanaman

    kepermukaan air dalam waktu lama, dapat menyebabkan cabang-cabang tanaman

    menjadi pucat karena kehilangan pigmen dan akhimya akan mati.

    C. Metode tali panjang

    Metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat dan

    bahan yang digunakan lebih tahan lama, dan mudah untuk didapat. Teknik

    budidaya rumput laut dengan metode ini adalah menggunakan tali sepanjang 50-

    100 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap

  • 16

    25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam.

    Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet

    sandal atau botol aqua bekas 500 ml.

    Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi

    sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu

    dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 - 100 gram diikatkan pada

    sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 Cm. Jarak antara tali satu

    dalam satu blok 0,5 m dan jarak antar blok 1 m dengan mempertimbangkan

    kondisi arus dan gelombang setempat. Dalam satu blok terdapat 4 tali yang

    berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan (jika dibutuhkan). Dengan demikian

    untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, di mana setiap tali dapat di

    tanaman 500 titik atau diperoleh 64.000 titik per ha. Apabila berat bibit awal yang

    di tanaman antara 50 - 100 gram, maka jumlah bibit yang dibutuhkan sebesar

    antara 3.200 kg - 6.400 kg per ha areal budidaya. Menurut Sudjatmiko dan

    Angkasa (2006), bahwa keuntungan metode ini antara lain: tanaman cukup

    menerima sinar matahari; tanaman lebih tahan terhadap perubahan kualitas air;

    terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar perairan;

    pertumbuhannya lebih cepat; cara kerjanya lebih mudah; biayanya lebih murah;

    dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.

    D. Metode jalur

    Metode jalur merupakan salah satu metode yang baru berkembang di

    masyarakat menyesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi perairannya. Metode ini

    merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode

    ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu

    dihubungkan dengan tali PE diameter 0,6 mm sehingga membentuk persegi

    panjang dengan ukuran 5 m x 7 m per petak. Satu unit terdiri dari 7 - 10 petak.

    Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. Penanaman dimulai

    dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE 0,2

    cm sebagai pengikat bibit rumput laut. Setelah bibit diikat kemudian tali jalur

    tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang

    digunakan minimal 25 cm x 30 cm

  • 17

    2.4. Lokasi Budidaya Laut dan Kualitas Perairan

    2.4.1. Lokasi Budidaya

    Perairan laut yang digunakan untuk kegiatan budidaya umumnya

    merupakan perairan yang relatif terlindungi seperti teluk, selat, dan shallaow sea

    (laut dangkal). Keterlindungan lokasi budidaya terutama dari gempuran ombak

    besar, badai, dan angin kencang. Lebih lanjut dalam Efendi (2004) terdapat tiga

    jenis lokasi di perairan laut yang memiliki sifat keterlindungan adalah sebagai

    berikut :

    1. Teluk

    Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke dalam daratan.

    Oleh karena itu, perairan teluk relatif terlindungi dari ombak besar, badai, dan

    angin. Sirkulasi air yang masuk banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasang surut

    air laut. Arus laut relatif lambat pada perairan dengan kisaran pasut yang kecil

    (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan akan relatif keci.

    2. Selat

    Merupakan perairan laut di antara dua pulau atau beberapa pulau.

    Keberadaan pulau yang berada mengapit dan mengelilingi perairan laut tersebut

    menyebabkan selat realif terlindungi dari angin dan ombak badai. Keberadaan

    pulau di yang mengapit perairan laut tersebut dapat memecah dan membelokkan

    air dan arah massa air laut sehingga tidak merusak. Lebih lanjut, selat yang relatif

    sempit dan memiliki kisaran pasit yang sangat lebar (3 – 5 m) ada kalanya

    perairan memiliki arus laut yang sangat kuat hingga mencapai >0.5 m/detik.

    3. Shallow water

    Shallow water atau perairan laut dangkal umumnya di temukan di dekat

    pantai. Perairan ini memiliki lebar beberapa meter hingga bebeberapa kilometer

    dari pantai. Di dalam kawasan perairan laut dangkal terdapat beberapa bagian

    seperti reef flat dan mud flat (0 – 5 m) dan yang dikenal dengan laguna atau goba

    (7 – 15 m), serta karang pelindung atau barrier reef yang melindungi dari

    gempuran ombak laut terbuka. Ombak dan arus laut yang besifat turbulen

    (mangaduk) ketika mencapai dan menghantam karang pelindung berubah menjadi

    ombak dan arus laut yang bersifat lamininer (mengendapkan) sehingga baik untuk

    lokasi budidaya laut.

  • 18

    2.4.2. Kualitas Perairan

    Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

    kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan laut dapat dijadikan sebagai salah

    satu indikator kelayakan suatu perairan untuk kegiatan budidaya laut. Salah satu

    acuan yang digunakan untuk analisis data parameter kualitas perairan yaitu

    Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 Tahun

    2004, tentang Baku Mutu Air Laut, terutama baku mutu untuk Biota Laut.

    Adapaun kriteria kualitas air sesuai dengan KEPMEN LH No. 15 tahun 2004

    dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Baku Mutu Kualitas Air Laut terutama untuk biota laut menurut

    KEPMEN LH No. 5 Tahun 2004

    No Parameter Satuan Baku Mutu No. Parameter Satuan Baku mutu

    FISIKA 6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015 1 Kecerahan m karang : > 5 7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0.0008 mangrove : - 8 Sianida (CN-) mg/l 0.5 lamun : > 3 9 Sulfida (H2S) mg/l 0.01

    2 Kebauan - alami 10 Senyawa fenol total mg/l 0.003

    3 Kekeruhan NTU < 5 11 PCB total µg/l 0.01

    4 Padatan tersuspensi mg/l karang : 20 12 Surfaktan (Deterjen)

    mg/l MBAS 1

    Total mangrove : 80 13 Minyak & lemak mg/l 1 lamun : 20 14 Pestisida µg/l 0.01 5 Sampah - nihil 15 TBT (Tribulintin) µg/l 0.01 6 Suhu oC coral : 28 -30

    mangrove :

    28-32 LOGAM BERAT mg/l lamun : 28-30 1 Raksa (Hg) mg/l 0.001 7 Lapisan Minyak - nihil 2 Arsen (As) mg/l 0.005 3 Kadmium (Cd) mg/l 0.012 KIMIA 4 Tembaga (Cu) mg/l 0.001 1 pH - 7 - 8.5 5 Tombal (Pb) mg/l 0.008 2 Salinitas o/oo alami 6 Seng (Zn) mg/l 0.005 coral : 33-34 7 Nikel (Ni) mg/l 0.005

    mangrove : s/d

    34 lamun : 33-34 BIOLOGI

    3 Oksigen Terlarut mg/l > 5 1 Coliform (total) MPN/100 ml 1000

    4 BOD5 mg/l 20 2 Patogen Sel/100 ml nihil

    5 Amonia Total (NH3-N) mg/l 0.3 3 Plankton

    Sel/100 ml

    tidak bloom

  • 19

    2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)

    Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu media yang baik

    untuk menyampaikan hasil analisis bagi para pengambil keputusan, pengelola, dan

    pemerintahan. O’Callaghan dan Garner (1991), mengatakan bahwa teknologi SIG

    banyak digunakan terutama untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti

    perencanaan industri pertanian, konservasi sumberdaya alam, eksploitasi

    sumberdaya mineral, pengelolaan taman nasional dan pengelolaan wilayah pesisir.

    Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan

    pengelolaan sumber daya alam adalah:

    • Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital

    dan analog) dari berbagai sumber dan memiliki kemampuan yang baik dalam

    pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait

    • Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada

    pekerjaan manual dan memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien.

    • Mampu melakukan permodelan, pengujian dan pembandingan beberapa

    alternatif kegiatan.

    SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang

    bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan,

    mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai

    tujuan. Dalam Prahasta (2001), di jelaskan bahwa dalam SIG menggabungkan

    dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. Dari pengertian

    ketiga unsur pokok ini, dapat dipahami bahwa SIG merupakan salah satu sistem

    informasi yang menekankan pada informasi geografis, yang merupakan bagian

    dari keruangan (spatial). Penggunaan kata “geografis” mengandung pengertian

    suatu persoalan mengenai bumi secara tiga dimensi. Termaksud didalamnya

    tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi

    dimana suatu obyek terletak, dan informasi mengenai keterangan-keterangan

    (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diketahui

    SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan

    potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu

    mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai

    pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian

  • 20

    rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai

    kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG

    data disimpan dalam dua bentuk, yaitu : data spasial dan data atribut. Untuk

    keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah ini, kemudian

    diintegrasikan (Macgure dan Goodchild 1991). Dengan menggunakan data yang

    diperoleh dari fasilitas citra satelit, dan foto udara yang dapat dihubungkan secara

    langsung, maka data diperoleh dari periode tertentu pada area yang sama, dipakai

    untuk mengetahui perubahan yang terjadi di rona muka bumi.

    2.6. Analisis Biaya Manfaat

    Budidaya laut merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi

    (prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga

    pemanenan) dan output produksi (penananganan pascapanen dan pemasaran).

    Orientasi budidaya laut adalah medapatkan keuntungan, sehingga merupakan

    kegiatan bisnis (aquacultural business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis

    dalam bidang pertanian). Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem

    (sebagaimana berlaku di agribisnis), yakni 1) subsitem pengadaan sarana dan

    prasarana produksi, 2) subsistem proses produksi, 3) subsistem penanganan

    pascapanen dan pemasaran dan 4) subsistem pendukung.

    Analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA) dikembangkan untuk

    memberi sebuah cara sistematik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian

    ekonomi dari berbagai alternatif kegiatan. Dalam bentuk yang paling sederhana,

    analisis biaya manfaat meliputi identifikasi semua manfaat dan biaya selama

    jangka waktu kegiatan/proyek, menjabarkan nilai-nilai manfaat dan biaya pada

    periode-periode tertentu dalam satu rentang waktu, serta menghitung

    perbandingan antara manfaat dan biaya (Mitchell 1997). Menurut Field (1994),

    terdapat empat langkah dasar dalam melakukan BCA yakni:

    1. Spesifikasikan secara jelas proyek atau kegiatan yang akan

    dilakukan;

    2. Berikan gambaran secara kuantitatif input dan output kegiatan;

    3. Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output tersebut;

    4. Bandingkan manfaat dan biaya tersebut.

  • 21

    Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah di atas, kemudian

    disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya

    para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio

    yang lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah

    alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya

    yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu

    (B/C > 1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih.

  • III. METODE PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir kecamatan Ampibabo,

    Kabupaten Parigi Moutong yang secara administrasi terdiri dari 11 Desa pesisir

    (Gambar 2). Adapun batas laut disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan

    serta aksebilitas yang terkait dengan kegiatan budidaya laut. Pengambilan data

    lapang dilakukan pagi hingga siang hari pada musim peralihan yakni pada bulan

    Mei 2006. Lebih lanjut, kegiatan pengumpulan data sekunder, pengolahan, analisa

    dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni 2006 sampai November 2006.

    3.2. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian maka dilakukan pengumpulan

    data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer

    mengenai potensi sumberdaya lingkungan melalui pendugaan kualitas fisik,

    kimia, dan biologi perairan. Data mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya

    masyarakat dikumpulkan melalui studi dokumen, kuisioner, dan wawancara

    mendalam. Sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber

    yang memberikan informasi yang relevan terhadap penelitian seperti

    BAKOSURTANAL, BPS, BAPPEDA Kabupaten Parigi Moutong, Dinas

    Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong, Kecamatan, dan Desa.

    3.2.1. Potensi Sumberdaya Lingkungan di Wilayah Pesisir Kecamatan

    Ampibabo

    Kualitas Perairan

    Data yang diambil untuk mengetahui potensi sumberdaya lingkungan

    meliputi pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi perairan. Dalam hal ini,

    pengamatan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan dilakukan pada beberapa

    lokasi pengamatan. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan pengambilan

    contoh air laut pada beberapa stasiun. Penentuan titik pengamatan menggunakan

    teknik Sistem random sampling, dengan jarak antara stasiun pengamatan

    menyesuaikan lokasi (Clark dan Hosking 1986; Morain 1999). Setip lokasi

  • 23

    pengamatan di pilih berdasarkan keterwakilannya dari segi ekosistem maupun

    pemanfaatan lingkungan perairan tersebut. Alat yang digunakan sebagai penanda

    di lapangan adalah Global Positioning System (Tabel 2 dan Gambar 2).

    Tabel 2. Stasiun pengamatan di perairan pesisir Kecamatan Ampibabo

    Stasiun Pengamatan

    Koordinat (UTM)

    Keterangan

    St1 0173929 9949250

    Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Ampibabo

    St2 0174093 9950442

    Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Lemo

    St3 0173165 9953503

    Muara sungai buranga di Desa Buranga

    St4 0173216 9947708

    Perairan pesisir dekat pelabuhan perikanan di Desa Paranggi

    St5 0171616 9944614

    Perairan pesisir dekat kawasan pemukiman penduduk di Desa Lemo

    St6 0171490 9941585

    Muara sungai Towera di Desa Towera

    St7 0171582 9940751

    Perairan pesisir di tempat bekas budidaya rumput laut di Desa Towera

    St8 0172951 9930171

    Perairan pesisir di lokasi budidaya ikan kerapu sistem KJA, Desa Marantale

    St9 0170026 9960730

    Perairan pesisir Desa Tomoli

    Pengambilan contoh air pada pengukuran parameter fisika, kimia dan

    biologi di perairan diambil menggunakan alat vandorn water sampler yang

    dilakukan mulai pukul 10.00 sampai 15.00 WITA. Kedalaman perairan yang

    diambil sebagai sampel yaitu pada lapisan permukaan (0.2 D), lapisan tengah (0.6

    D) dan lapisan dasar (0.8 D). Dimana D adalah kedalaman perairan. Lebih lanjut,

    sampel air dianalisis di Laboratorium Limnologi, Manajemen Sumberdaya

    Perikanan, FPIK, IPB. Adapun beberapa parameter fisik, kimia dan biologi

    lingkungan perairan yang diamati disajikan pada Tabel 3.

  • Gambar 2. Lokasi pengamatan kualitas perairan di perairan pantai Kecamatan Ampibabo

  • A. Parameter fisik perairan

    a. Suhu

    Temperatur air pada beberapa contoh air diukur dengan menggunakan

    thermometer digital dengan satuan oC. Pengukuran di lakukan pada permukaan,

    tengah dan dasar perairan.

    Tabel 3. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati No Parameter Parameter

    Lingkungan

    Alat yang digunakan

    Keterangan

    II Fisik Suhu (oC)

    Kecerahan (%)

    Kekeruhan (NTU)

    Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) Kedalaman

    Pasang Surut

    Arus Laut (m/dtk)

    Gelombang

    Substrat Dasar

    Thermometer

    Secchi disk

    Tubiditymeter

    Software ER

    Mapper

    Tali Penduga

    Peta Batimetri

    -

    -

    -

    Pengukuran insitu

    Pengukuran insitu

    Laboratorium

    Landsat-TM

    Pengukuran insitu

    Data sekunder

    Data sekunder

    Data sekunder

    Data sekunder

    Pengambilan insitu

    dan data sekunder

    III Kimia PH

    Salinitas (o/oo)

    DO (mg/l)

    BOD5

    Fosfat (mg/l)

    Nitrit (mg/l)

    Nitrat (mg/l)

    Amonia (mg/l)

    pH meter

    Refraktometer

    DO meter

    Alat titrasi

    Spektrofotometer

    Spektrofotometer

    Spektrofotometer

    Spektrofotometer

    Pengukuran Insitu

    Pengukuran Insitu

    Pengukuran Insitu

    Insitu&Laboratorium

    Laboratorium

    Laboratorium

    Laboratorium

    Laboratorium

    I Biologi Plankton Mikroskop Laboratorium

    b. Kecerahan

    Kecerahan perairan pada beberapa lokasi pengamatan diukur dengan

    menggunakan secchi disk dalam satuan persen (%).

  • 23

    c. Kekeruhan

    Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu

    perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan

    dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air. Terutama dipengaruhi

    bahan-bahan tersuspensi seperi lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik,

    plankton, serta organisme mokroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan

    mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang

    ikan, selain itu juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Pada

    penelitian ini kekeruhan diukur dengan alat turbiditymeter. Satuan yang di

    gunakan adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).

    d. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)

    Untuk menduga konsentrasi muatan padatan tersuspensi di gunakana

    aplikasi penginderaan jauh dengan Landsat-TM. Oleh Hasyim dan Bidawi (1997),

    bahwa keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi

    mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang

    nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi

    gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh muatan

    padatan tersuspensi (MPT) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat

    spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih

    tinggi daripada air jernih. Puncak reflektansi pada air keruh memiliki kisaran nilai

    panjang gelombang yang lebih besar daripada air jernih.

    Algoritma yang digunakan adalah algoritma hasil penelitian Hasyim dan

    Bidawi (1997) :

    MPT (mg/l)= (100.6678)+(5.5085*TM3)+0.4563*(TM32)+0.9775*(TM2*TM3)

    Keterangan : MPT = Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l)

    TM2 = Band 2 Satelit LANDSAT ETM

    TM3 = Band 3 Satelit LANDSAT ETM

  • 24

    e. Substrat Dasar

    Substrat dasar laut dapat menjadi indikator kualitas air diatasnya. Substrat

    dasar laut biasanya dibedakan atas karang, pasir, lumpur dan terdapat kombinasi

    antara ketiganya. Substrat dasar karang dan pasir atau karang berpasir atau pasir

    karang mengindikasikan perairan tersebut cocok untuk budidya rumput laut dan

    kerapu.

    b. Parameter kimia perairan

    a. pH

    Pada setiap stasiun pengamatan diukur pH perairan diukur dengan

    menggunakan pH meter.

    b. Salinitas

    Informasi mengenai salinitas sangat diperlukan untuk kegiatan budidaya

    laut, karena perubahan salinitas yang drastis akan berakibat fatal terhadap

    organisme yang dipelihara. Di samping itu, informasi tentang salinitas diperlukan

    pula untuk pengelolaan perairan, terutama yang berkaitan dengan distribusi dan

    luas sebaran dampak yang mungkin terjadi. Pengukuran salinitas perairan

    dilakukan dengan mengambil sampel air pada setiap stasiun pengamatan, untuk

    kemudian diukur dengan menggunakan alat refraktometer.

    b. Oksigen Terlarut (DO)

    Oksigen terlarut adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air.

    Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton

    atau tanaman air lainnya, dan difusi dari udara. Pada penelitian ini untuk

    mengetahui kadar oksigen dalam air dilakukan dengan menggunakan alat ukur

    yang disebut DO-meter.

    c. BOD5

    Kebutuhan Oksigen Biologis atau yang lebih dikenal BOD5 (biochemical

    oxygen demand) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh

    mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik selama 5 hari penyimpanan.

  • 25

    BOD yang dimaksudkan dalam hal ini adalah banyaknya oksigen terlarut yang

    dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang mudah

    terurai, sebagai contoh bahan organik limbah domestik.

    d. Fosfat

    Contoh sebanyak 25 ml disaring dengan kertas saring Whatman no 42

    kemudian ditambahkan dengan larutan 2,5 ml antara molybdate dan potassium

    antimonyltartrate. Larutan tersebut di baca dengan spectrofotometer dengan

    panjang gelombang 543 nm.

    e. Nitrit (NO2-)

    Contoh yang telah disaring dengan kertas saring whatman no. 42 diambil

    sebanyak 25 ml. Contoh tersebut ditambahkan dengan larutan sulfamida 0.3 ml

    dan larutan NED 0.3 ml, kemudian diamkan selama 10 menit. Larutan tersebut

    dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm.

    f. Amoniak (NH3)

    Senyawa amoniak yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi

    senyawa nitrat (NO3-) atau senyawa nitrit (NO2) oleh mikroorganisme

    Peningkatan kadar amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya air laut yang

    mudah di urai. Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan

    menghasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi amoniak. Metode

    yang paling umum dipake untuk mengukur kadar amoniak dalam air laut adalah

    metode spektrofotometer.

    Contoh air yang di peroleh dari setiap stasiun pengamatan tidak dapat

    dianalisis secepatnya, oleh karena itu contoh air di usahakan pada keadaan

    dinginkan pada suhu 4oC. Setelah tiba di laboratorium dibekukan pada suhu -20oc

    atau diberi larutan fenol atau H2SO4.

  • 26

    b. Parameter biologi perairan

    Fitoplankton

    Pengambilan sampel untuk mengoleksi plankton di lakukan dengan

    menggunakan alat berbentuk jaring atau disebut juga dengan jaring plankton.

    Adapun jaring yang digunakan berukuran 30 – 50 µm. Selanjutnya identifikasi

    jenis dilakukan dengan bantuan mikroskop dan buku identifikasi plankton seperti

    Sachlan (1972), Davis (1955), dan Yamaji (1979). Penghitungan plankton

    menggunakan Sedgewig Rafter Counting Cell di bawah mikroskop (APHA,

    1989).

    Analisis data fitoplankton dilakukan dengan menghitung kelimpahan,

    keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, yang adalah sebagai berikut :

    1. Kelimpahan fitopalankton

    Kelimpahan plankton adalah jumlah sel plankton jenis ke-i pada volume

    air tertentu. Rumus yang digunakan adalah :

    N = n xE1x

    DCx

    BA

    Keterangan:

    N = Kelimpahan plankton (sel/liter)

    n = Rataan jumlah total sel per lapangan pandang

    A = luas permukaan Sedgewig-Rafter Counting Cell (mm2)

    B = luas satu lapangan pandang (mm2)

    C = volume air sampel hasil saringan (ml)

    D = volume air sampel yang disaring (l)

    E = volume air di Sedgewig -Rafter Counting Cell (ml)

    2. Indeks keanekaragaman fitoplankton

    Indeks ini merupakan perhitungan berdasarkan informasi mengenai keteracakan

    dalam sebuah sistem. Indeks yang digunakan adalah indeks keanekaragaman

    Shannon-Wiener dengan rumus :

    ∑=

    ⎥⎦⎤

    ⎢⎣⎡=

    s

    i

    ii

    Nn

    NnH

    1log'

  • 27

    Keterangan :

    H’ = Indeks Keanekaragaman

    S = Jumlah jenis yang ditemukan

    ni = jumlah individu jenis ke-i

    N = jumlah total individu

    Nilai indeks keanekaragaman ini kemudian dikelompokkan menjadi :

    H < 1 : keanekaragaman rendah, komunitas tidak stabil

    1 < H < 3 : keanekaragaman sedang

    H > 3 : keanekaragaman tinggi, komunitas stabil

    3. Indeks keseragaman

    Keseragaman yang diwujudkan dalam indeks regularitas (equitability

    index) adalah suatu penggambaran mengenai sebaran individu setiap spesies

    dalam komunitas. Indeks Keseragaman (E) plankton dihitung berdasarkan

    persamaan berikut:

    atauMaksHHE

    ''

    = LogsHE '=

    Keterangan :

    E = Keseragaman

    H’ = indeks keanekaragaman

    s = jumlah genera (plankton)

    Dari perbandingan ini didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1, artinya :

    Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi,

    artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut.

    • Semakin besar nilai E, maka populasi menunjukkan keseragaman, bahwa

    jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda

    (Odum, 1971)

  • 28

    4. Indeks Dominansi

    Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung

    dengan menggunakan persamaan berikut :

    s D = ∑ [Pi]2 i=1

    Keterangan :

    D = Indeks Dominansi

    Pi = ni/N

    ni = jumlah individu spesies ke-i

    N = jumlah total individu semua spesies

    i = 1,2,3,…,

    S = jumlah genera

    Nilai D berkisar antara 0 sampai 1, artinya :

    Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi

    Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi

    (Odum, 1971).

    3.2.2. Pendekatan Sosial Ekonomi dan BudayaMasyarakat

    Penelitian ini memerlukan kajian yang mencakup aspek sosial budaya dan

    ekonomi masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengelolaan kawasan budidaya

    rumput laut dan ikan kerapu yang dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten

    Parigi moutong tidak semata mata mengejar tingkat produktivitas, namun juga

    didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang lebih luas yaitu terjaganya

    keselarasan kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data-data dan

    informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut:

    A. Data sosial dan budaya

    (1) Data kependudukan

    (2) Pola pemanfaatan sumberdaya

    (3) Identifikasi adanya konflik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir

    (4) Kelembagaan sosial yang ada

    (5) Kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir

  • 29

    B. Data ekonomi

    (1) Investasi Bisnis perikanan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong

    (2) Produksi hasil perikanan

    (3) Sistem dan rantai pemasaran produk perikanan

    (4) Kelembagaan ekonomi yang mendukung pengembangan perikanan

    Data-data tersebut berasal dari data primer yang diperoleh melalui

    investigasi langsung yaitu wawancara dengan masyarakat, maupun data sekunder

    yang berasal dari BPS, Bappeda, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas Koperasi,

    LSM setempat dan dari berbagai sumber yang terkait.

    3.3. Analisis Data

    3.3.1. Analisis secara spasial dengan SIG

    Bertujuan untuk menentukan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut

    sistem tali panjang dan ikan kerapu dengan sistem keramba jaring apung (KJA)

    Menurut Ismail, dkk (2002), bahwa usaha kegiatan budidaya laut tidak dapat

    dilakukan disemua daerah pesisir karena membutuhkan beberapa persyaratan

    seperti persyaratan teknis, biologis, non teknis (sosial budaya dan ekonomi). Data

    yang berhubungan dengan persyaratan tersebut harus dapat dikelola dengan baik,

    sehingga dapat memberikan hasil analisis yang maksimal. Sejak banyaknya data

    dan informasi ini dalam bentuk spasial, Sistem Informasi Geografis (SIG)

    merupakan salah satu aplikasi yang sangat relevan dalam melakukan analisis ini.

    Data-data yang diperoleh untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan tahapan

    analisis yaitu analisis spasial dengan SIG menggunakan perangkat Arcview 3.3.

    A. Penyusunan basis data spasial

    Proses analisis awal dari pembuatan peta dasar digital di Kecamatan

    Ampibabo, dimulai dari scan atau proyeksi peta rupa bumi ke dalam peta dasar.

    Peta dasar yang diperoleh bersumber dari hasil digitasi citra satelit. Adapun

    Informasi yang diambil dari peta rupa bumi dan peta batimetri meliputi garis

    pantai, sungai, garis batas wilayah, sungai, jaringan transportasi (jalan),

    mangrove, penggunaan lahan, sebaran penduduk (pemukiman), letak dan nama

  • 30

    lokasi, garis kontur, ketinggian daratan, dan kedalaman laut. Kemudian dilakukan

    registrasi memindahkan titik koordinat peta rupa bumi ke dalam peta dasar.

    Untuk mendapatkan kondisi tata guna lahan terkini dilakukan pemindahan

    peta citra ke dalam peta dasar dengan program er-mapper. Setelah itu, dilakukan

    digitasi dan topologi yaitu mendigitasi dan mengidentifikasi peta dasar dengan

    informasi yang telah diambil dari peta rupa bumi dan citra. Selanjutnya diperoleh

    hasil peta dasar digital kawasan pesisir kecamatan Ampibabo yang menjadi objek

    proses analisis spasial selanjutnya.

    Data kualitas perairan yang dikumpulkan berasal dari titik-titik

    pengamatan yang penyebarannya mewakili lokasi penelitian. Untuk menganalisis

    secara spasial, terlebih dahulu dilakukan interpolasi, yang merupakan suatu

    metode pengolahan data titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi titik

    menjadi area menggunakan metode Nearest Neighbor (Burrough & McDonnell,

    1998; Morain, 1999). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas

    perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang

    layak bagi kegiatan budidaya laut dihasilkan setelah seluruh data parameter utama

    pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpangsusunkan).

    B. Pembobotan dan skoring

    Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kelayakan perairan dilakukan

    melalui pembobotan dan skoring. Pembobotan pada setiap faktor pembatas di

    tentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan

    budidaya kerapu sistem KJA dan rumput laut. Untuk menentukan nilai akhir

    (skor) dari setiap faktor-faktor tersebut, maka dihitung perkalian bobot dengan

    skala penilaian, kemudian dihitung skor total semua faktor pembatas dari setiap

    kolom skala penilaian mulai dari sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan tidak sesuai

    (S3). Adapun pengertian skala penilaian pada setiap kolom adalah sebagai

    berikut :

    S1 (sesuai) : lahan/perairan tidak mempunyai pembatas yang berat

    untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.

    S2 (sesuai) : perairan mempunyai pembatas agak berat untuk

    suatu

  • 31

    penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut

    akan mengurangi produktivitas dan keuntungan yang

    diperoleh.

    N (tidak sesuai) : perairan mempunyai pembatas sangat berat / permanen,

    sehingga tidak mungkin untuk digunakan terhadap

    penggunaan yang lestari.

    Untuk mendapatkan selang nilai pada setiap kategori ditentukan dari nilai

    persentase dari hasil perhitungan yang telah dilakukan. Kisaran persentase skala

    penilaian pada setiap kolom yaitu :

    Kategori sangat sesuai (S1) : Y ≥ 85%

    Kategori sesuai (S2) : Y ≤ 50 – 84%

    Kategori tidak sesuai (S3) : Y ≤ 50%

    Hasil akhir dari analisis SIG melalui pendekatan index overlay akan

    diperoleh dari ranking kelas kesesuaian lahan budidaya, dengan rumus :

    ∑= n

    i

    n

    i

    Wi

    SijWiS

    Dimana :

    S = Indeks terbobot area/polygon

    Sij = Skor/nilai kelas ke-j dari coverage atau peta ke-i

    Wi = Bobot untuk input peta (coverage ke-i)

    N = Jumlah peta

    3.3.2. Analisis Sosial Ekonomi

    Analisis yang dilakukan dalam kajian sosial ekonomi dan budaya

    masyarakat dalam studi pengelolaan kawasan budidaya kerapu sistem KJA dan

    budidaya Rumput Laut di Kecamatan Ampibabo adalah analisis deskriptif.

    Analisis deskriptif yang dibutuhkan terutama informasi mengenai kependudukan,

    sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang ada di

    masyarakat.

  • 32

    3.3.3. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya

    Metode ini digunakan untuk menganalisis kawasan dengan memasukkan

    unsur biaya dan manfaat yang disesuaikan dengan kawasan daerah penelitian.

    Analisis biaya dan manfaat telah banyak digunakan untuk menilai kelayakan suatu

    kegiatan usaha, dimaksudkan agar para investor, nelayan pembudidaya dan

    masyarakat mendapatkan gambaran mengenai kelayakan suatu rencana usaha

    yang akan dilakukan dari segi sosial maupun ekonomi.

    A. Net Present Value (NPV)

    Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang

    diperoleh selama umur ekonomis kegiatan. NPV merupakan selisih antara nilai

    sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran, yang

    dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

    NPV = ∑= +

    −n

    tti

    CtBt1 )1(

    Keterangan :

    Bt = manfaat proyek pada tahun ke t

    Ct = biaya proyek pada tahun ke t

    n = Umur ekonomis proyek

    i = Tingkat bunga

    t = 1, 2, 3,..., n

    Kriteria :

    NPV > 0, berarti budidaya laut layak diusahakan

    NPV = 0, berarti budidaya laut mengembalikan sebesar biaya yang

    dikeluarkan

    NPV < 0, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi

    B. Benefit Cost Ratio (BCR)

    Analisa ini bertujuan untuk mengetahui ratio jumlah nilai sekarang dari

    manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 dan meletakkan

    alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara

    Matematik, BCR dapat disajikan sebagai berikut :

  • 33

    BCR = ( )⎭⎬⎫

    ⎩⎨⎧

    ⎟⎠⎞⎜

    ⎝⎛ +

    ⎭⎬⎫

    ⎩⎨⎧

    +=

    =∑

    t

    t

    tn

    trCtrBt

    001//1/)(

    Kriteria :

    B/C > 1, berarti budidaya laut layak diusahakan

    B/C = 1, berarti budidaya laut berada pada titik tidak untung dan rugi

    B/C < 1, berarti budidaya laut tidak layak diusahakan/rugi

    3.3.4. Pendekatan Keberlanjutan Mata Pencaharian (Sustainable Livelihood

    Approach-SLA)

    Dalam Campbell (1999), bahwa SLA merupakan salah satu cara penilaian

    yang objektifitas dalam menentukan prioritas pembangunan. Adapun kerangka

    kerja yang digunakan dalam pendekatan Sustainable Livelihood untuk

    implementasi perencanaan adalah sebagai berikut :

    Aset livelihood

    Gambar 3. Kerangka kerja dalam Sustainable Livelihood Approach (SLA)

    Konteks Kerentanan:

    - Kecenderungan - Goncangan - Musim

    Strategi Livelihood

    Hasil Livelihood (Rencana Pengelolaan)

    Struktur dan Proses

    - Sumberdaya Manusia

    - Sumberdaya Alam - Ekonomi - Sosial - Fisik (infrastruktur)

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Gambaran Umum Kecamatan Ampibabo

    4.1.1. Letak Geografis dan Administrasi

    Kecamatan Ampibabo adalah salah satu dari 10 Kecamatan yang berada di

    Kabupaten Parigi Moutong. Secara Geografis Kecamatan Ampibabo terletak pada

    Posisi Koordinat 119o53’11” – 120o04’12” BT dan 0o02’48” – 0o37’55” LS. Luas

    wilayah Kecamatan Ampibabo secara keseluruhan ± 589,99 Km2, Letak Geografis

    Kecamatan Ampibabo berbatasan Langsung dengan :

    Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kasimbar

    Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Tomini

    Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Parigi

    Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala

    Secara Topografi Kecamatan Ampibabo terbagi atas 15 Desa dengan Luas desa

    seperti yang termuat dalam Tabel 3 di bawah ini :

    Tabel 4. Jumlah dan luas desa di Kecamatan Ampibabo

    Desa Luas (km2) 1 Marantale 45,35 2 Silanga 42,55 3 Siniu 31,62 4 Towera 27,00 5 Tolole 23,54 6 Toga 5,54 7 Sidole 45,01 8 Paranggi 6,92 9 Ampibabo 45,71 10 Lemo 51,93 11 Buranga 41,55 12 Tomoli 89,39 13 Toribulu 55,40 14 Sienjo 39,47 15 Pinotu 36,01 Ampibabo 589,99

    Sumber: Ampibabo dalam Angka (2005)

  • 38

    4.1.2. Musim

    Secara umum, cuaca di Indonesia mengalami dua musim yakni musim

    basah (hujan) dan kering (kemarau), yang dipisahkan oleh periode-periode

    peralihan. Musim kering terjadi mulai Juni hingga September yang dipengaruhi

    oleh massa udara di benua Australia saat berlangsungnya muson tenggara. Musim

    hujan, yang dimulai dari bulan Desember sampai Maret di pengaruhi oleh massa

    udara di samudera pasifik dan benua asia ketika berlangsung musim muson timur

    laut. Pada musim-musim itu angin bertiup mantap dengan kecepatan rendah

    hingga sedang. Periode peralihan terjadi April hingga Mei dan Oktober hingga

    November, ditandai dengan kondisi angin melemah dan tidak stabil. Lebih lanjut,

    di jelaskan bahwa musim hujan dan musim kemarau tidak benar-benar terjadi

    pada saat yang sama di seluruh pelosok kepulauan. Secara umum, musim hujan

    mempunyai sedikit lebih banyak air dan lebih sedikit sinar matahari dibandingkan

    musim kemarau (Tomaschik et al 1997).

    Di kawasan Teluk Tomini sendiri, Bulan basah berlangsung selama 7

    sampai 9 bulan dan bulan kering 1 sampai 3 bulan. Curah hujan berlangsung

    secara merata yaitu tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Januari dan

    bulan Juni sampai Juli. Suhu udara berkisar antara 29,4oC hingga 30oC (BRKP,

    2003).

    4.1.3. Morfologi

    Kondisi Morfologi Pesisir Kecamatan Ampibabo di lihat dari system lahan

    yang terbentuk Dataran, Kipas dan Lahar, Pantai, Perbukitan dan Rawa Pasut.

    Morfologi Dataran di kelompokan kedalam Dataran Karstik berbukit kecil;

    meliputi 6 Desa Pesisir (Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga dan Tolole).

    Morfologi Kipas dan Lahar, dikelompokkan kedalam; Kipas Aluvial non

    vulkanik yang melereng landai. Dari 15 desa yang berada di pesisir Kecamatan

    Ampibabo, terdapat 82% desa yang masuk dalam kelompok morfologi ini, kecuali

    desa Toga. Morfologi Perbukitan, dikelompokan kedalam; Punggung bukit

    sedimen asimetrik tak terorientasi, meliputi 6 desa di wilayah pesisir Kecamatan

    Ampibabo (Toribulu, Buranga, Paranggi dan Toga). Morfologi Rawa Pasut

    dikelompokan kedalam Dataran Lumpur antar Pasang surut dibawah Holofit,

  • 39

    meliputi 4 Desa di wilayah pesisir Kecamatan Ampibabo (Toribulu, Buranga,

    Lemo dan Ampibabo).

    4.1.4. Litologi

    Topologi wilayah daratan, terdiri dari batu gamping tersebar di Desa

    Tomoli, Buranga, Lemo, Ampibabo, Toga, dan Tolole. Wilayah Kipas dan Lahar,

    terdiri Aluvium endapan kipas aluvial dan kolovium, terdapat pada 82% dari

    jumlah 14 Desa yang berada di pesisir Kecamatan Ampibabo. Wilayah

    Perbukitan, terdiri dari batu pasir, konglomerat, batu lumpur, dan serpih, tersebar

    di Desa Toribulu, Buranga, Lemo, dan Ampibabo.

    4.2. Potensi Sumberdaya Lingkungan

    4.2.1. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi

    Perairan pantai Kecamatan Ampibabo merupakan bagian dari perairan

    Teluk Tomini, Pulau Sulawesi. Salah satu teluk terbesar di Indonesia ini

    mempunyai luas 59.500 km2, pada bagian timur berbatasan dengan Laut Maluku

    dan bagian timur laut berbatasan dengan Laut Sulawesi. Teluk Tomini merupakan

    perairan yang dikenal relatif subur dan memiliki sumberdaya perikanan yang

    potensial untuk dikembangkan.

    Pemanfaatan lingkungan perairan pantai Kecamatan Ampibabo,

    Kabupaten Parigi Moutong untuk kegiatan budidaya laut merupakan salah satu

    bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk

    pengelolaan kawasan yang didukung dengan data-data terutama kondisi perairan

    baik fisik, kimia, dan biologi. Budidaya laut khususnya rumput laut dan ikan

    kerapu, merupakan komoditi-komoditi unggulan untuk dikembangkan.

    Diharapkan dengan dukungan data kondisi perairan yang cukup lengkap dalam

    pemanfaatannya kelak dapat berlangsung dengan baik.

    A. Parameter fisik perairan

    a. Kedalaman

    Kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo dapat dilihat pada

    Gambar 4. Kedalaman tersebut merupakan hasil pengukuran lapang yang

  • 40

    dilakukan oleh kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and

    Coastal Resources Management Project) dalam rangka penyediaan data dasar

    spasial wilayah pesisir Sulawesi Tengah Tahun 2004. Pada kegiatan survey

    tersebut memperlihatkan bahwa kedalaman laut di perairan pantai Kecamatan

    Ampibabo berkisar antara 0 – 60 meter. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran

    lapang yang dilakukan pada Bulan Mei 2005, di peroleh beberapa variasi

    kedalaman sebagaimana tercantum dalam Tabel 5 berikut ini :

    Tabel 5. Variasi kedalaman di perairan pantai Kecamatan Ampibabo

    Stasiun Kedalaman St1 3 St2 10 St3 2 St4 6 St5 5 St6 0 St7 10 St8 15 St9 20

    Kedalaman perairan sangat berpengaruh bagi kegiatan budidaya laut.

    Untuk budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung idealnya pada

    kedalaman antar 7 - 40 m (Effendi 2004). Selain pengaruhnya terhadap intensitas

    cahaya matahari yang masuk, kondisi dimana perairan dengan kedalaman < 7

    meter dapat mempengaruhi kualitas perairan terutama dari sisa kotoran ikan

    yang membusuk didasar perairan, sedangkan pada kedalaman > 40 meter

    berdampak kepada perubahan faktor lingkungan dan juga pengaruhnya terhadap

    besarnya biaya terutama untuk memperkokoh konstruksi keramba.

    Berbeda dengan kedalaman perairan pada budidaya kerapu sistem KJA,

    kegiatan budidaya rumput laut, membutuhkan perairan yang relatif dangkal.

    Perairan dengan kedalaman kedalaman antara 2 – 15 m merupakan kedalaman

    yang baik terutama untuk metode budidaya sistem rakit apung, rawai (long-line)

    dan sistem jalur (Dit. Perikanan Budidaya-DKP 2005). Akan tetapi perlu juga di

    perhatikan pola pasang surut yang ada terutama pada saat surut terendah.

  • Gambar 4. Peta kedalaman di perairan Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong

  • b. Pasang surut

    Berdasarkan data yang di peroleh dari hasil kegiatan survei dan pemetaan

    Lokasi MCRMP (2004), pada stasiun pengamatan Marantale-Ampibabo,

    diketahui tipe pasut yang ada adalah tipe campuran cenderung ke semi diurnal.

    Pasang surut tipe ini umum terjadi di perairan Indonesia Timur yaitu dalam satu

    hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya

    berbeda. Tipe pasut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang dan

    surut per hari. Tipe pasut dapat ditentukan secara kuantitatif, yaitu dengan

    membandingkan amplitudo (tinggi gelombang) dari komponen-komponen pasut

    tunggal utama dengan amplitudo komponen pasut ganda utama, menggunakan

    persamaan Formzahl (Gambar 5).

    PASANG SURUT STASION MARANGTALE-AMPIBABO

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    6/29/04 7/4/04 7/9/04 7/14/04 7/19/04 7/24/04 7/29/04 8/3/04

    Tanggal

    Ting

    gi A

    ir (c

    m)

    Sumber : MCRMP, 2004 Gambar 5. Tipe pasang surut di Kecamatan Ampibabo

    Hasil data yang dipelajari menunjukkan muka air tertinggi yang dicapai

    pada saat pasang dalam satu siklus pasut mencapai 285.80 cm dengan muka air

    rerata (MSL) sebesar 0.00. Sedangkan, kedudukan air terendah yang dicapai pada

    saat surut mencapai - 152.96 cm. Lebih lanjut dalam Wyrtki (1961) dalam BRKP

    (2003), menyatakan bahwa di perairan Teluk Tomini tipe pasutnya adalah

    campuran cenderung ke semi diurnal. Pada daerah sekitar mulut teluk mempunyai

    pasang tertinggi sekitar +2,50 meter dan air surut terendah -2.64 m meter.

    c. Arus

    Berdasarkan data riset daya dukung sumberdaya di perairan Teluk Tomini

    (BRKP, 2003), di ketahui bahwa arus di perairan Teluk Tomini di pengaruhi oleh

  • 39

    pola arus yang terjadi di perairan laut maluku. Arus permukaan bergerak dari arah

    laut seram menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini dan Teluk Tolo,

    juga ada yang menuju Laut maluku. Kecepatan arus yang bergerak dari Laut

    Maluku berkisar antara lebih dari 0.05 m/detik hingga lebih dari 0.20 m/detik, dan

    ketika masuk perairan Teluk Tomini kecepatan berkurang hingga berkisar antara

    0.05 m/detik hingga 0.01 m/detik.

    Lebih lanjut, kondisi arus di perairan Kecamatan Ampibabo hasilnya di

    pelajari dari data kegiatan Survei dan pemetaan Lokasi MCRMP (Marine and

    Coastal Resources Management Project) di Kabupaten Parigi Moutong (Tabel 6).

    Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, kecepatan arus yang masuk ke

    perairan pantai kecamatan Ampibabo umumnya relatif kecil. Pada kondisi arus

    menuju surut purnama, kecepatan arus maksimum terjadi hingga 0.1904 m/dtk,

    sedangkan kecepatan arus maksimum yang terukur pada kondisi arus menuju

    pasang tertinggi purnama sebesar 0.0770 m/dtk.

    Tabel 6. Kecepatan arus di perairan kecamatan Ampibabo

    Arus Kecepatan Arus Maksimum (m/dtk)

    i arus menuju surut purnama 0.1904

    i arus pasang tertinggi purnama 0.0770

    Dalam kegiatan budidaya laut pengetahuan mengenai arus di perairan

    merupakan bagian yang penting. Untuk kegiatan budidaya ikan sistem keramba

    jaring apung, arus di butuhkan sebagai sumber oksigen dan dapat menghilangkan

    limbah yang berada di keramba, akan tetapi di sisi lain arus yang kuat akan

    berdampak pada konstruksi keramba, lambatnya pertumbuhan ikan karena energi

    akan banyak terpakai untuk bergerak pada arus yang kuat, serta kehilangan

    makanan. Sedangkan dalam kegiatan budidaya rumput laut, selain untuk sumber

    oksigen, pergerakan air yang cukup di butuhkan sebagai pembawa nutrients,

    mencuci kotoran yang menempel pada thallus, serta mencegah terjadinya

    perubahan suhu yang besar. Dalam FAO (1989), bahwa idealnya kecepatan arus

    untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba lebih dari 0.05 m/dtk dan

    kurang dari 1 m/dtk, sedangkan kecepatan arus optimumnya sebesar 0.1 m/dtk.

    Bagi kegiatan budidaya rumput laut, oleh Ditjenperbud-DKP (2006), bahwa

  • 40

    kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut yaitu antara 0.2 –

    0.4 m/dtk.

    d. Gelombang

    Berdasarkan hasil analisis data ketinggian gelombang laut yang dilakukan

    oleh BRKP (2002), gelombang di perairan Teluk Tomini secara umum tingginya

    1 - 2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan Barat ke

    Timur (Maret-Mei), dan Musim Peralihan Timur ke Barat (September-

    November), tinggi gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi

    gelombang pada musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter. Perairan

    pantai kecamatan Ampibabo terletak di wilayah barat Teluk Tomini yang

    merupakan bagian dalam teluk, sehingga gelombang yang masuk ke dalam akan

    mengalami penurunan dan akan di jumpai yang jauh lebih kecil dari pada yang di

    dekat mulut teluk. Lebih lanjut, berdasarkan hasil Survei dan pemetaan Lokasi

    MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) tahun 2004 di

    perairan Kecamatan Ampibabo (Tabel 6), di peroleh tinggi gelombang maksimum

    pada musim timur sebesar 0.5 m dan pada musim barat setinggi 0.2700.

    Untuk kegiatan budidaya laut khususnya budidaya dengan sistem keramba

    jaring apung pengetahuan mengenai kondisi gelombang di calon lokasi budidaya

    penting untuk diketahui. Hal tersebut terutama untuk menjaga agar konstruksi

    keramba tetap kokoh atau kuat. Oleh karena itu di sarankan perairan dengan tinggi

    gelombang < 1 meter sesuai untuk kegiatan budidaya sistem keramba apung

    (FAO, 1986). Lebih lanjut oleh Moller (1997) dalam Beverage (1987), bahwa

    sebaiknya keramba dirancang dan dibangun untuk tahan terhadap kisaran

    perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan tinggi gelombang permukaan air

    laut. Oleh karena itu, sebaiknya keramba apung dirancang untuk tahan terhadap

    perubahan tinggi gelombang yang mencapai 1-1.5 m.

    Tabel 6. Tinggi gelombang di perairan pantai Kecamatan Ampibabo

    Gelombang Tinggi Gelombang Maksimum

    Tinggi Gelombang Minimum

    Gelombang musim timur 0.5000 m 0.3100 m

    Gelombang musim barat 0.2700 m 0.2000 m

  • 41

    e. Suhu

    Berdasarkan hasil pengamatan lapang yang dilakukan pada bulan Mei

    2006 di stasiun 1 sampai 9, suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo berkisar

    antara 30.5 – 32oC. Suhu permukaan perairan pada setiap stasiun berkisar antara

    31 – 32oC dengan rerata 31.7oC, untuk suhu bagian tengah perairan berkisar

    antara 31 – 31.8oC dengan rerata 31.2oC, sedangkan suhu di dekat dasar perairan

    berkisar antara 30.5 – 32oC. Kisaran suhu pada setiap stasiun jelasnya dapat

    dilihat pada Gambar 6.

    29.5

    30.0

    30.5

    31.0

    31.5

    32.0

    32.5

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    Stasiun

    Suh

    u o C

    PermukaanTengahDekat dasar

    Gambar 6. Suhu di perairan pantai kecamatan Ampibabo pada musim peralihan

    Kisaran suhu berdasarkan strata vertikal kolom air diketahui tidak terdapat

    perbedaan yang signifikan antar kedalaman. Hal ini disebabkan karena variasi

    kedalaman pengambilan sampel air y