kajian partisipasi masyarakat dalam … dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di das cisadane...

102
KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU IDA NURMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Upload: voliem

Post on 09-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DI DAS CISADANE HULU

IDA NURMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Partisipasi

Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

Ida Nurmayanti NRP. A155080051

ABSTRACT

IDA NURMAYANTI. Community Participation Analysis in Forest and Land Rehabilitation in Upstream of Cisadane Watershed. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and KUKUH MURTILAKSONO.

Forest and land degradation is the important factor for critical land, hidrological cycle disturbance, erotion and sedimentation, during the rainy season and droughts during the dry season in the upstream Cisadane watershed area. This study was aimed to identify the level of community participation, to analized factors affecting the level of community participation, and to develop alternatives of policy priority in order to improve community participation. The level of community participation was analized base on Arenstein’s theory, correlation analysis by Spearman Rank, and alternatives of policy priority by Analytical Hierarchy Process. The results show that the level of community participation in planning and evaluation phases were catagorized as low (nonparticipation), while in implementation phase was catagorized as moderate (tokenism). The Spearman Rank correlation test found that the altermining factors in the planning stage were the level of education, farming area, income level, perception, program socialization (e.g.extension), the availability of facilities and the role of local institutions. In the implementation stage the influencing were age, level of education, income level, perception, program socialization (e.g.extension). While in the evaluation stage there was only one factor that could affect the participation level which was program socialization. In order improve the community participation, alternatives of policy priority should include at least community education, community income and availability of facilities. The low level of education and low income were the important for low participation in the decision making process. In addition, the community trust to the facilitators determines the level of community participation.

Keywords : Community participation, forest and land rehabilitation, critical watershed

RINGKASAN

IDA NURMAYANTI. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan KUKUH MURTILAKSONO.

Kerusakan hutan dan lahan yang ada di daerah hulu DAS Cisadane telah menyebabkan lahan menjadi kritis, keseimbangan siklus hidrologi terganggu, erosi dan sedimentasi meningkat sehingga berimplikasi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintah telah melaksanakan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Hasil program tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan, hal ini disebabkan dalam pelaksanaan masih dilakukan secara terpusat (top down) dan tidak melibatkan masyarakat, terutama pada saat tahapan perencanaan. Sekarang pemerintah menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan lembaga sosial setempat. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para penentu kebijakan (policy makers) dan dapat mengembangkan kegiatan program RHL secara partisipatif.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang bertujuan untuk dapat mengungkapkan fakta-fakta tentang partisipasi masyarakat termasuk menganalisa hubungan antara aspek-aspek yang ada di dalamnya serta dapat menyusun suatu alternatif kebijakan sebagai umpan balik untuk bisa memperbaiki dalam pelaksanaan program selanjutnya. Untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat digunakan teori Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) di mana terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu : golongan partisipasi rendah (non participation) di mana masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kegiatan walaupun terlibat tetapi tidak dapat memberikan masukan atau usulan-usulan, golongan sedang (tokenism) di mana masyarakat sudah mulai terlibat tetapi suara masyrakat tidak pernah diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif rendah, dan golongan tinggi (citizen power) di mana masyarakat sudah terlibat secara aktif dan memiliki kewenangan penuh di bidang kebijakan dan aspek pengelolaan pada seluruh tahapan kegitan. Tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi dalam kegiatan RHL tergolong rendah (non participation). Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang (tokenism).

Tahapan perencanaan meliputi kegiatan identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, penentuan bangunan teknis sipil, pembentukan kelompok tani dan juga penenetuan biaya. Tahapan pelaksanaan meliputi kegiatan penyiapan lahan, pemeriksaan bibit tanaman, penanaman pohon, pembuatan bangunan sipil teknis seperti terasering, sumur serapan, penyiangan/pembersihan rumput, pendangiran, penyulaman, pemeliharaan, penyiapan sarana, pertemuan kelompok tani, pengamanan tebing dan penyediaan dana. Sedangkan kegiatan tahapan evaluasi adalah penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah

faktor internal yang terdiri dari unsur umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan dan persepsi masyarakat, serta faktor eksternal yang terdiri dari intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial.

Hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat diuji dengan metode korelasi Spearman Rank, di mana data diambil dari 90 responden di lima kecamatan. Sedangkan untuk menyusun alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara analisis terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, yaitu menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), data diambil dari 12 orang responden yang terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang mengerti permasalahan dan punya kepentingan terhadap program RHL di DAS Cisadane Hulu. Hasil wawancara tersebut, menghitung bobot nilai alternatif kebijakan dengan aspek-aspek partisipasi masyarakat diproses komputer dengan software Expert choice 2000. Hasil uji korelasi Spearman Rank faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Tahapan pelaksanaan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Sedangkan pada tahapan evaluasi hanya ada satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi yaitu intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat tersebut pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan (0,493**), pada tahapan pelaksanaan adalah tingkat pendidikan (0,397**) dan pada tahapan evaluasi intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (-0,254*). Untuk hasil penilaian terhadap alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan model AHP menunjukkan bahwa aktor pemerintah (0,75) lebih penting dibanding dengan aktor masyarakat (0,25). Faktor pendukung yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan sarana (0,20). Sedangkan untk alternatif kebijakan yang lebih mendukung partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat (0,84) dan meningkatkan dukungan dari pemerintah (0,16). Berdasarkan unsur kebijakan tersebut maka yang menjadi alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana.

Tingkat partisipasi masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari keberhasilan program RHL di DAS Cisadane Hulu secara partisipatif. Rendahnya tingkat pendidikan menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada saat tahapan perencanaan, ini merupakan salah satu penyebab masyarakat tidak memiliki keberanian untuk ikut dalam pengambilan keputusan. Rendahnya tingkat pendapatan dan luas lahan menyebabkan keterbatasan masyarakat untuk berpartisipasi, karena lahan yang sempit hanya dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu faktor intensitas sosialisasi program (penyuluhan) dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat belum optimal.

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DI DAS CISADANE HULU

IDA NURMAYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungan (DAS)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Judul Tesis : Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu Nama : Ida Nurmayanti NRP : A155080051 Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Daerah Aliran Sungai (DAS)

Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 30 Juli 2010 Tanggal Lulus : 18 Agustus 2010

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Yayat Hidayat, M.Si.

Tesis ini dipersembahkan untuk mereka yang saya sayangi dan cintai, Bapak H. Hasan Muharam, Mamah Hj.Maryati (Almh),

Suami Burhanuddin,anakku Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan terima kasih atas semua do’a, dorongan dan dukungannya,

semoga Alloh SWT melindungi kita semua. Amin Yaa Robbal Alamin..

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya tesis ini berhasil Penulis selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai Juni 2010 ini adalah “Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta pengarahan ke arah yang lebih baik mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini, Bapak Dr.Ir.Yayat Hidayat, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis dan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang selalu memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB. Disamping itu, penulis juga memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah memberikan banyak kesempatan dan bantuan, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, suami dan putera puteri tercinta yang selalu memberikan dorongan, kesabaran, keikhlasan, do’a restu dan kasih sayangnya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi mereka yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2010

Ida Nurmayanti

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Maret 1968 dari ayah Drs. H. Hasan Muharam dan ibu Hj. Maryati (Almh). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ir. Burhanuddin dan dikarunia tiga orang anak, Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan.

Pada tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri I Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Universitas Nasional Jakarta, Fakultas Biologi dan lulus tahun 1991. Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Sejak Februari 2001 sampai saat ini penulis bekerja di Balai Diklat Kehutanan Bogor, Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai Widyaiswara Madya.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………............. xii

DAFTAR GAMBAR..................................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................. xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………………………...... Perumusan masalah……………………………………………………....................... Kerangka Pemikiran...................................................................................................... Tujuan Penelitian……………………………………………………………............... Manfaat Penelitian……………………………………………………..……...............

1 3 5 6 6

TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai ( DAS)……………………………………………………....... Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).....…………………………………………....... Partisipasi Masyarakat..…………………………………………………….................

Pegertian Partisipasi………………………………………………………............... Derajat Partisipasi...................................................................................................... Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat............................

8

10 14 14 17 20

METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………………................. Metode Penelitian......………………………………………………………................

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data………………………………………................ Pengamatan Variabel………………………………………………………................. Pengumpulan Data........................................................................................................ Tahapan Penelitian…………………………………………………………................ Analisis Data.................................................................................................................

22 22 22 23 26 26 27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Biofisik............................................................................................................

Letak dan Luas Wilayah............................................................................................. Iklim dan Hidrologi.................................................................................................... Penutupan Lahan........................................................................................................

Aspek sosial ekonomi masyarakat................................................................................ Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan..................................... Kelembagaan sosial....................................................................................................

30 30 31 32

32 32 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Kegitaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)............................................................ Karakteristik internal dan eksternal masyarakat...........................................................

Karakteristik internal.................................................................................................. Umur......................................................................................................................

34 35 35 35

Tingkat pendidikan................................................................................................ Luas lahan............................................................................................................. Tingkat pendapatan............................................................................................... Pekerjaan sampingan............................................................................................. Persepsi..................................................................................................................

Karakteristik eksternal................................................................................................. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan)......................................................... Peran pendamping................................................................................................. Ketersediaan sarana............................................................................................... Peran kelembagaan sosial......................................................................................

Tingkat Partisipasi Masyarakat...................................................................................... Tahapan Perencanaan.................................................................................................. Tahapan Pelaksanaan.................................................................................................. Tahapan Evaluasi........................................................................................................

Hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat Hubungan antara umur dengan tingkat partisipasi masyarakat................................... Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat............. Hubungan antara luas lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat.......................... Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat............ Hubungan antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat......... Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat.............................. Hubungan antara intensitas sosialisasi program (penyuluhan) dengan tingkat partisipasi masyarakat................................................................................................. Hubungan antara peran pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat............. Hubungan antara ketersediaan sarana dengan tingkat partisipasi masyarakat............ Hubungan antara peran kelembagaan sosial dengan tingkat partisipasi

masyarakat...................................................................................................................

Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat................................ Kondisi aktual tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu..........................

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.................................................................................................................... Saran..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

LAMPIRAN........................................................................................................................

36 36 37 37 37

38 38 38 38 39 39 40 41 42 42 43 44 44 44 45 45 46 46 46 46

47 50

57 57 58

62

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian.......................................................................... 7

2. Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)…………………………………….........................................

18

DAFTAR TABEL Halaman 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970-2007……….... 13

2. Lokasi penelitian di DAS Cisadane Hulu……………………………………….....

3. Skala Pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif…………......

22

28

4. Matriks pembanding berpasangan (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas......................................................................................................................

5. Luas Wilayah,dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008 ...........................

6. Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007......................................................

7. Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian.....................................

8. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian........

9. Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian.................................................................................

10. Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian....................................

11. Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu...........................................................................................................................

12. Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat..........................

29

31

31

32

33

35

40

43

48

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta administrasi DAS Cisadane Hulu…………………….………………....

2. Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori......................

3. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y1).......................................................................................................

4. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y2).......................................................................................................

5. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y3).......................................................................................................

6. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan.....................

7. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan......................

8. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi............................

9. Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan..............................................................................................

10. Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison)........................................

11. Foto kegiatan di lokasi penelitian....................................................................

63

64

66

69

72

75

77

80

81

82

85

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai

manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi.

Tetapi dari berbagai manfaat tersebut, manfaat ekonomilah yang lebih menjadi

perhatian dari sebagian besar masyarakat. Hutan sebagai sumber keanekaragaman

hayati dan sebagai penyedia kebutuhan hidup dari masyarakat di sekitar hutan. Pendapat

yang menganggap fungsi hutan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi

mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi hutan dari tahun ke tahun.

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa

penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan

kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Undang-

Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu

wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal

dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan

pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih

terpengaruh aktivitas daratan.

Menurut Sinukaban (2008) pengertian DAS adalah daerah yang dibatasi oleh

topografi secara alami sehingga semua air hujan yang jatuh diatas DAS tersebut akan

mengalir melalui titik pembuangan (outlet) yang sama. Berdasarkan pengertian tersebut

maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen

topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya

yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam

mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan

air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan

manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian

ekosistem DAS.

Kompleksitas permasalahan pengelolaan DAS menimbulkan adanya paradigma

baru berupa pemberdayaan masyarakat ditingkat operasional dan pelaksanaan dengan

menggunakan pendekatan bottom up. Ada beberapa hal penting dalam paradigma baru

2

tersebut, diantaranya : 1). pengelolaan dilaksanakan secara terpadu lintas sektoral; 2).

peningkatan peran serta masyarakat (partisipatif); 3). peningkatan penyuluhan baik

kualitas dan kuantitas; 4). penguatan institusi dan 5). pemberian insentif kepada petani

di kawasan DAS (khususnya di bagian hulu) (Priyono dan Cahyono, 2003 dalam

Ahsoni, 2008).

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah DAS bukan hal baru

di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program RHL melalui

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Secara konseptual program

tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat. Pelaksanaan

program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan, misalnya tahun

2003 di Kalimantan Selatan sudah 29.000 hektar lahan kritis ditanami pohon proyek

GN-RHL, namun kurang lebih 11.600 hektar diantaranya (40%) mati (Partono, 2006).

Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, sedikitnya 19 juta pohon atau 59% dari 32

juta pohon yang ditanam melalui GN-RHL sepanjang tahun 2003 mati. Kendala yang

menyebabkan kegagalan proyek GN-RHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain

disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak

memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat yang kurang

(Departemen Kehutanan, 2007).

Kajian terdahulu banyak menjelaskan hubungan antara tingkat partisipai

masyarakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan (Pujo, 1998; Sunartana,

2003; Safei, 2003; Trison, 2005; dan Muis, 2007), tetapi belum ada kajian yang secara

khusus menjelaskan faktor-faktor dominan apa saja, baik internal maupun eksternal

yang dapat menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam pelaksanaan

kegiatan GN-RHL. Partisipasi masyarakat merupakan modal dasar untuk membangun

sebuah kekuatan di masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama

(colection action). Tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahapan kegiatan RHL

sangatlah diperlukan, selain itu peran pemerintah dalam menunjang keberhasilan

pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangatlah diharapkan.

Program RHL di DAS Cisadane Hulu melakukan kegiatan konservasi vegetatif

dan sipil teknis. Konservasi vegetatif yang dilakukan dengan cara penanaman tanaman

keras bernilai ekonomi tinggi seperti rambutan, pete, sengon, mahoni, nangka di lahan

masyarakat (783,4 Ha), sedangkan untuk konservasi teknik sipil berupa pembuatan teras

3

gulud (3.883,9 Ha), sumur resapan, dan dam penahan (BPDAS Citarum Ciliwung,

2007). Program tersebut merupakan program terpadu antar departemen dengan

menggunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan mayarakat dan lembaga sosial

pada setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi.

Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif,

sehingga implementasi program RHL di DAS Cisadane Hulu ini dapat berhasil dengan

baik.

Hasil penelitian Ahsoni (2008) menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya

memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas, hal ini tercermin dari : 1). buruknya

infrastruktur rumah; 2). rendahnya tingkat pendidikan (80% tidak tamat Sekolah Dasar);

3). sempitnya kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,2 Ha; 4). rata-rata pendapatan

keluarga sebesar Rp 11.849.550/tahun dan 5). mata pencaharian sebagai buruh tani

(51%) dan penggarap (31%). Adanya keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut

maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program RHL terbatas, sehingga

dapat mempengaruhi tingkat partisipasi.

Keberhasilan tingkat partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi

masyarakatnya, biasanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah terkena

kebijakan, program atau proyek dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan

dengan lebih efektif; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan

dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan

dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan

penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu dalam konteks

partisipasi masyarakat, maka program RHL di DAS Cisadane Hulu perlu dikaji dan

dikembangkan implementasinya.

Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi pada tahun 2003 luas lahan kritis

di wilayah kerja BPDAS Citarum Ciliwung adalah 498.146,4 ha yaitu di dalam kawasan

hutan 166.338,8 ha dan di luar kawasan hutan 331.807,6 ha. Penanganan lahan kritis

tersebut telah dilakukan memalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan

Lahan (GN-RHL) yang dimulai sejak tahun 2003. Pada tahun 2007, luas lahan kritis

yang sudah ditangani di luar kawasan hutan (terutama di lahan-lahan milik masyarakat

adalah 91.165 ha yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Wilayah BPDAS

4

Citarum-Ciliwung dengan berbagai pola penanganan baik vegetatif maupun sipil teknis

dan masih terdapat sisa lahan kritis di luar kawasan hutan yang belum tertangani seluas

240.642,6 ha (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).

DAS Cisadane sebagai salah satu wilayah hidrologis saat ini kondisi biofisik,

sosial ekonomi dan budayanya sangat bervariasi, sehingga upaya pengembangan dan

pemasyarakatan kegiatan RHL dan konservasi tanah merupakan suatu hal yang sangat

penting serta mendesak untuk segera dilaksanakan. Luas dan kompleksnya

permasalahan dalam suatu DAS, baik yang bersifat ekonomis maupun ekologis, maka

perlu adanya upaya RHL dan konsevasi tanah yang terencana, terpadu dan lintas

sektoral dengan penanganan yang bersifat multi disipliner. Pelaksanaan RHL selalu

terdapat beberapa faktor pembatas dan permasalahan yang harus dicari penanganannya

melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan

kelembagaan seta aspek ekologis wilayah setempat.

Menurut Kartodiharjo (2006), selama ini program pembangunan kehutanan yang

dianggap sebagai jawaban atas kerusakan hutan masih bertumpu pada tindakan-tindakan

fisik dan bukan masyarakat. Dalam rancangan anggaran GN RHL tahun 2005 misalnya,

biaya pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mencapai 82,7%. Keyakinan itu sejak

awal tahun 80an tidak terbukti kebenarannya, yaitu dengan tingginya kegagalan

pelaksanaan reboisasi dan penghijauan, asumsi yang dipakai seolah-olah sudah terdapat

kelembagaan yang mapan dan mendukung pelaksanaan gerakan tersebut. Kelembagaan

bukan hanya keberadaan lembaga atau organisasi pengelola hutan yang mampu,

melainkan juga termasuk kepastian kawasan hutan, sistem insentif, maupun regulasi

yang tidak menyebabkan biaya transaksi tinggi.

Pengetahuan akan tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan RHL sangat

penting. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL akan berbeda dari suatu

lokasi ke lokasi lain, sehingga sulit untuk dapat memperkirakan sampai sejauh mana

tingkat partisipasi masyarakat pada suatu lokasi terkait dengan dilaksanakan kegiatan

RHL. Selain itu, penelitian tentang hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi dari

tingkat partispasi masyarakat pada kegiatan RHL ini belum banyak dilakukan. Dalam

penelitian ini perlu kajian untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang dapat

mempengaruhi tingkat partisipasi suatu masyarakat baik internal maupun eksternal,

sehingga tingkat partisipasi suatu masyarakat dapat diketahui dari faktor-faktor tersebut.

5

Kemampuan memprediksi tingkat partisipasi tersebut juga akan membantu dalam

penyusunan kebijakan yang tepat dan bisa digunakan untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan tersebut.

Kerangka Pemikiran

Proses perencanaan yang begitu panjang dan banyak melibatkan instistusi terkait

serta luasnya sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi baik di dalam maupun di luar

kawasan hutan dalam kurun waktu selama 5 tahun, pola penyelenggaraan GN-RHL

beragam, hampir dapat dipastikan dalam pelaksanaan penyelenggaraan GN-RHL akan

banyak mengalami permasalahan baik teknis maupun administratif, ditambah lagi

sistem pelaksanaan kegiatannya melalui proses tahapan-tahapan yang terputus

(discontinue). Akibat dari proses yang bertahap dan terputus tersebut mengakibatkan

pertanggungjawaban publik (public accountabillity) juga terputus dan tidak jelas

arahnya karena banyaknya pihak-pihak yang terkait, sehingga akhirnya disadari atau

tidak disadari akan berdampak kepada keluaran (out-put) atau hasil akhir dari pekerjaan

GN-RHL yang cenderung mengarah kepada ketidakberhasilan (kegagalan) di lapangan

dengan biaya ekonomi yang tinggi (inefisiensi).

Sasaran RHL adalah lahan maka keluaran (out put) dari GN-RHL tidak lain adalah

terwujudya penutupan lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan oleh

jenis kayu-kayuan tanaman hutan dan atau jenis MPTS, sehingga lahan kritis tersebut

dapat berfungsi kembali sebagai penyangga kehidupan dalam hal pencegahan banjir,

erosi, longsor dan sebagainya sesuai dengan tujuan dari GN-RHL. Lahan yang

digunakan dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah lahan masyarakat.

Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL ini

dilakukan penelitian dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, baik

faktor internal maupun faktor ekternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau karakter

individu dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu dapat berupa sumbangan tenaga,

pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan anggota masyarakat dalam

pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi yang ada di luar

karakteristik individu anggota masyarakat, dapat berupa dukungan pemerintah yang

berupa sosialisasi program dan penyuluhan, penyediaan sarana dan prasaran rehabilitasi

(dana, bibit dan pupuk), fasilitas pembentukan lembaga serta pendampingan. Hal ini

dapat menjadi bentuk kegiatan yang bersifat partisipatif. Melalui hubungan empiris

6

diantara faktor-faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat partisipasi

masyarakat, maka dapat ditetapkan alternatif kebijakan yang tepat untuk peningkatan

partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL.

Kajian faktor internal dan eksternal mengambil sampel dari suatu populasi

melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi ahli. Wawancara ataupun

kuesioner dilakukan ke berbagai tingkatan responden, yaitu dari tingkatan petani atau

masyarakat setempat sampai kepada responden ahli yang mengetahui dan terjun

langsung dalam kegiatan RHL di lokasi tersebut.

Analisis data dari hasil wawancara menggunakan analisis statistik non

parametrik uji korelasi Spearman Rank, untuk mendapatkan ketepatan dalam mengolah

data dibantu dengan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS)

versi 15. Sedangkan untuk menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi

masyarakat menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), di mana

menggunakan bentuk hirarki sesuai tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif

kebijakan, dalam mengolah data dibantu komputer dengan progran Expert Choice 2000.

Uraian tersebut menjadi landasan kerangka pemikiran untuk dapat

mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan

peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Secara

skematis pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi

masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan

kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi

masyarakat, sehingga dapat mengupayakan dalam mengembangkan tingkat partisipasi

masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dalam mengimplementasikan program-program pembangunan yang

bersifat partisipatif.

7

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Tahapan Perencanaan (Y1)

Tahapan Pelaksanaan (Y2)

Tahapan Evaluasi (Y3)

Faktor Internal - Umur (X1.1) - Tingkat Pendidikan

(X1.2) - Luas lahan (X1.3) - Tingkat pendapatan

(X1.4) - Pekerjaan sampingan

(X1.5) - Persepsi (X1.6)

Faktor Eksternal - Intensitas sosialisassi

program (Penyuluhan) (X2.1)

- Peran Pendamping (X2.2)

- Ketersediaan sarana (X2.3)

- Peran kelembagaan sosia (X2.4)

Tingkat Partisipasi

Masyarakat

Alternatif prioritas kebijakan

Metode AHP

Metode AHP

Kerusakan Hutan dan lahan yang menyebabkan DAS kritis

Peningkatan Partisipasi masyarakat

8

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi

dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan

untuk kemudian disalukan ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut

dinamakan daerah tangkapan air (catchment area) merupakan suatu ekosistem dengan

unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (air, tanah dan vegetasi) dan sumberdaya

manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.

DAS terbagi ke dalam tiga bagian yaitu: bagian hulu, tengah dan bagian hilir.

Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air,

ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem

bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut

menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Wilayah DAS bisa meliputi

berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi

bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui

daur hidrologi (Asdak, 2004).

Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di

dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling

berhubungan erat membentuk keseimbangan. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem

dan dapat menopang kehidupan manusia secara terus menerus, maka diperlukan

pengelolaan DAS yang baik, pengelolaan sumberdaya alam yang baik juga (renewable)

seperti tanah, air dan vegetasi dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan

melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk

kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan masyrakat

berupa air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya

(Puspaningsih, 1997).

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal

balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya,

tujuannya membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan

kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen

Kehutanan, 2006). Tujuan utama pengelolaan DAS adalah meresapkan air hujan

sebanyak-banyaknya, memperkecil aliran permukaan dan mengendalikan erosi tanah

9

sehingga tercapai suatu kondisi biofisik DAS yang memungkinkan diperolehnya

keseimbangan dan tata air yang baik. Hasil air yang optimum dipandang dari aspek

kuantitas, kualitas dan regimen. Dasar pengetahuan hidrologi sangat penting untuk

menjelaskan sistem pengelolaan DAS di samping hasil-hasil dari penelitian terapan

yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan DAS, diantaranya dengan mempelajari

proses-proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi, penggunaan air untuk

vegetasi, infiltrasi, perkolasi, air bumi, erosi, sedimentasi dan aliran sungai (Manan,

1997). Prinsip dasar pengelolaan DAS adalah sebagai berikut : 1). pada dasarnya berupa

pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian

sumberdaya dalam DAS; 2). berdasarkan pada asas kelestarian, kemanfaatan, keadilan

dan kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas dan berkeadilan; dan 3).

direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat

tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang,

serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan

lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas

manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami

untuk mempertahankan keseimbangan tanah, sedangkan erosi karena kegiatan manusia

kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok

tanam yang tidak memperdulikan kaidah-kaidah konservasi tanah (Asdak, 2004).

Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran

kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada

keseimbangan siklus hidrologi pada DAS yang berdampak pada kondisi kritis

sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan

hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik

di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai. Banjir yang

menggenangi lahan-lahan kota dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan sering

terjadi akibat tidak tertampungnya aliran permukaan. Sebagai akibat tidak adanya atau

berkurangnya air yang meresap dan masuk ke dalam tanah, maka tidak ada air yang

tersimpan di dalam tanah sebagai air bawah tanah (ground water) yang akan masuk ke

dalam sungai, ke dalam sumur dan ke dalam badan air lainnya pada musim kemarau,

10

yang mengakibatkan keringnya sungai, sumur dan lahan-lahan pertanian (Arsyad,

2006).

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,95 juta ha dan jumlah

penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas

sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang,

pangan, papan dan energi (Departemen Kehutanan, 2007). Berkurangnya areal hutan

untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan

air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan

tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus

bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh

semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek

sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat

memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian

terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan

kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada

berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik

Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi

hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun

kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu

mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang

dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang

semakin meningkat.

Tingkat kekritisan suatu DAS adalah menurunnya penutupan vegetasi permanen

dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan

air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah

longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan

tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada

kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju

deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan,

2008).

11

Luasan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap meluas yaitu sekitar 30.2 juta

ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah

pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi

(15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun

(Departemen Kehutanan, 2007). Tingkat kekritisan lahan sangat berkaitan dengan

tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama

jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali.

Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah

akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan)

bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di

daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di

perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan lahan. Faktor lain yang menyebabkan

pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal

pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan

DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen

Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan

swasta dan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2008).

Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, RHL dimaksudkan

untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan

sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem

penyangga kehidupan tetap terjaga. RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan

hutan dan lahan yang ditempatkan pada kerangka DAS, dengan cara penerapan teknik

konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak

produktif yag berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program

rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut

dilaksanakan, selain itu RHL juga sangat berperan dalam : 1). memulihkan fungsi

hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; 2). memulihkan fungsi perlindungan tanah dan

stabilitas iklim mikro; 3). meningkatkan produksi oksigen dan penyerap gas-gas

pencemar udara; 4). memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; 5).

membuka peluang kesempatan berusaha dan kesejahteraan masyarakat; 6). membuka

12

peluang untuk pengembangan ekowisata dan 7). memulihkan citra negara, bangsa,

pemerintah dan masyarakat di mata dunia (WALHI, 2004).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki

beberapa prinsip, di antaranya adalah : 1). meminimumkan kegagalan kebijakan (policy

failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (goverment failure) dan kegagalan pasar

(market failure); 2). RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; 3). RHL menggunakan

DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; 4). adanya kejelasan

wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; 5). memanfaatkan potensi masyarakat

lokal; 6). tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran

rehabilitasi; 8). perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan

/kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; 9). kontribusi

biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat dan 10). adanya penguatan

kelembagaan (Timpakul, 2004 dalam Muis, 2007). Kegiatan RHL yang telah

dilaksanakan di Indonesia pada Tabel 1.

Kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi

hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ±469.256 ha dan penghijauan, termasuk

hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Pada tahun 2003 pemerintah melalui GN-RHL telah

mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas ± 3 juta ha, dengan

sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Gerakan

tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002 dengan tema ”Gerakan Nasional

Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai komitmen bangsa dalam upaya meningkatkan

kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat” (WALHI, 2004).

Lingkup dari kegiatan GN-RHL yang dilakukan adalah: 1). kegiatan pencegahan

perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan,

pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan 2). kegiatan penanaman hutan

dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan

pengembangan semua produk bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman

turus jalan, pemeliharaan tanaman) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam

pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur serapan

(grass barrier) dll, penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan

kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementrian

Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi

13

hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh,

bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan stakeholders melalui suatu

perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien.

Tabel 1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970 - 2007

No. Tahun Kegiatan 1. 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya

Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP (World Food Program) (hasil kurang memadai)

2. 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development

di Solo bantuan FAO/UNDP, dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)

3.

1981-1989

Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/mode farm)

4. 1996-1997 INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek-proyek di daerah, reboisasi dilaksanakan Pemda Propinsi dan penghijauan oleh Pemda Kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah-sedang)

5. 1990/1991-1997/1998

Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhailan 57% realisasi pengembalian kredit)

6. 2000-2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Departemen Kehutanan (keberhasilan: rendah/bermasalah)

7. 2000-2004 RHL DR (60%) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan: rendah-cukup)

8. 2003-2007 GN-RHL di DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPTnya, penyedia bibit oleh BPDAS, penanaman/konservasi tanah oleh PemKab/Kota dan BKSD/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat

Sumber : Departemen Kehutanan (2006)

Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya

menggunakan prinsi-prinsip : 1). menghilangkan atau membuat faktor-faktor penyebab

terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan; 2). memperluas atau

mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi

14

vegetasi; 3). memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat

sistem drainase pada jalan tersebut dan 4). menutup jalan-jalan hutan yang tidak

direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan

air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk RHL di wilayah DAS yang lebih

sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya

kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi

yang ada.

Menurut Trison (2005) ada tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan

mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery), yaitu: 1). restorasi (restoration)

didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan

aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan

tersebut sebelumnya; 2). melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan

dengan jenis asli dan jenis exotic, dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang

ekosistem asli. Tujuannya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan

produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk

jenis asli dan 3). kegiatan reklamasi adalah penggunaan jenis-jenis exotic untuk

menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan, tidak ada sama sekali

upaya perbaikan biodiversitas asli di areal yang terdegradasi.

Permasalahan RHL dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi.

Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS antara lain sifat dan bentuk

tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin

tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim

pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga

menyulitkan dalam pengelolaannya. Sehingga jenis tanaman yang lebih cocok adalah

jenis tanaman keras (tahunan).

Partisipasi Masyarakat

Pengertian Partisipasi

Partisipasi adalah proses kesinambungan yaitu stakeholders berpengaruh dan

berperan dalam inisiatif pembangunan, keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi

mereka (Winarto, 2003). Cohen dan Uphoff (1980) mengartikan partisipasi adalah

mencakup keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan

program, pembagian keuntungan dalam program pembangunan dan keterlibatan mereka

15

dalam usaha-usaha mengevaluasi program. Menurut Sastroepoetra (1988), partisipasi

dapat didefinisikan keterlibatan mental emosional yang mendorong untuk memberikan

sumbangan kepada tujuan dan cita-cita kelompok dan turut bertanggungjawab

terhadapnya. Partisipasi juga dapat diartikan berbagi (sharing) dalam proses interaksi

secara sadar karena rasa kesetiakawanan dan kecintaan serta tangungjawab seseorang

terhadap kelompok masyarakat tempat masyarakat tersebut menjadi anggota.

Partisipasi merupakan satu terminologi yang semakin banyak diperbincangkan

sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan, dari sentralistik menjadi

desentalistik yang mengutamakan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam

seluruh proses pembangunan. Konsep ini menempatkan masyarakat pada titik yang

sangat sentral dalam spektrum pembangunan. Slamet (2003) mengatakan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan,

ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati

hasil-hasil pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah ikut

ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Khairuddin

(1992) dalam Fauzi (2009) mengemukakan partisipasi adalah keterlibatan mental,

pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk

memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan

bersama dan ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukan, yaitu : 1).

partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi; 2). partisipasi menghendaki

adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok.; dan 3). partisipasi

merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.

Mubyarto (1984) lebih menegaskan partisipasi atau peran serta masyarakat

dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih luas yaitu kesediaan

masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap

orang tanpa harus mengorbankan kepentingan dirinya. Muhadjir (1980) dalam Fauzi

(2009) merinci kembali tingkatan partisipasi tersebut ke dalam empat jenis keterlibatan

masyarakat dalam : 1). proses pembuatan keputusan; 2). pelaksanaan program dan

pengambilan keputusan; 3). menikmati hasil dari kegiatan dan 4). evaluasi suatu hasil

dari program yang sudah terlaksana.

Menurut Daniel (2006) tingkat partisipasi masyarakat tidak sama tergantung

sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, misalnya:

16

1). masyarakat bertanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program

pemerintah; 2). anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan

perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek dalam pengambilan keputusan

semata; 3). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan

tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-

bahan yang dibutuhkan dalam proyek dan 4). anggota masyarakat terlibat secara aktif

dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah

program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring.

Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up

sudah banyak diterapkan, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral

dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah RHL merupakan salah satu kebijakan

konservasi sumberdaya alam yang tidak dapat lepas dari peran dan keberadaan

masyarakat setempat. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan

sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini

dapat dilihat dari produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban dan

peran serta masyarakat, misalnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (Bab III, pasal 7), dan masih banyak lagi produk-produk hukum

yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan

lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan

dikembangkan pendekatan partisipatif yang dapat merealisir hak-hak masyarakat yang

selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down

nya (Pudjianto, 2009).

Mitchell dan Setiawan (2000) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa

melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah akan terkena kebijakan,

program, atau proyek, dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih

efektif ; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3).

merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan

4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga

memudahkan penerapan.

Pendekatan partisipatif memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal

perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi

atau menghindari adanya pertentangan. Pendekatan partisipatif ini akan memberikan

17

keuntungan di mana orang-orang akan lebih energik, lebih sepakat dan lebih

bertanggungjawab apabila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu

dilakukan oleh suatu kewenangan dari luar. Kesepakatan dan tanggungjawab dalam

berpartisipasi adalah : 1). masyarakat lebih punya kesepakatan terhadap anggotanya

daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; 2). masyarakat lebih mengerti masalah-

masalahnya daripada para profesional pelayanan; 3). masyarakat lebih fleksibel dan

kreatif daripada birokrasi besar; 4). masyarakat lebih mudah melakukan daripada

profesional pelayanan; 5). masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap atau

perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; 6). lembaga-lembaga dan

para profesional menawarkan pelayanan, msyarakat menawarkan kepedulian dan 7).

sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas.

Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai

karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan

seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun

pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda.

Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi

adalah merupakan pelimpahan hak-hak kekuasaan kepada masyarakat dalan

pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat

secara positif.

Derajat Partisipasi

Partisipasi masyarakat meliputi tiga tahapan, yaitu keterlibatan dalam: 1). proses

penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan; 2). memikul beban dan

tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan; dan 3). memetik hasil dalam

pembangunan secara berkeadilan. Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan

pemanfaatan sumberdaya alam, partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah

kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan dan sumberdaya lainnya digerakkan dan

dilaksanakan secara totalitas, artinya masyarakat lokal diberdayakan untuk

menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola

sumberdaya, membuat keputusan dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang

mempengaruhi kehidupan mereka (Muis, 2007).

Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa partisipasi

masyarakat adalah : ”A categorical terms for citizen power. It is redistribution of power

18

that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economi

processes, to deliberately include in the future.” Definisi tersebut menunjukkan bahwa

partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan

masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari

kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa

depannya. Sehingga dapat diidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi

delapan tingkatan (Gambar 2).

8

7 Citizen Power

6

5

4 Tokenism

3

2

Nonparticipation

1

Gambar 2 Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)

Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat adalah :

1. Tingkat manipulasi (manipulation), merupakan tingkatan yang paling rendah karena

masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan

penasehat (advising board).

Citizen Control

Delegated Power

Partenership

Placation

Consultation

Information

Therapy

Manipulation

19

2. Tingkat terapi (therapy), tidak melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan.

Perencana atau perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses

penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy.

3. Tingkat pemberian infomasi (informing), pihak pelaksana pembangunan

memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggungjawabnya

dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting

dalam pelaksanaan peran masyarakat.

4. Tingkat konsultasi (consultation), pihak penyelenggara pembangunan menggali

opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat.

5. Tingkat perujukan (placation), masyarakat mulai mempunyai pengaruh meskipun

masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya

beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota

dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-

anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah, sehingga usul-usul

atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan.

6. Tingkat kemitraan (partnership), adanya kesepakatan bersama, kekuasaan dalam

berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan,

disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan,

pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai

masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar

tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara

sepihak oleh pihak manapun.

7. Tingkat pendelegasian kekuaaan (delegeted power), masyarakat diberi limpahan

kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Untuk

memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah

pemerintah harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat

memberikan tekanan-tekanan dari atas.

8. Tingkat masyarakat mengontrol (citizen control), masyarakat memiliki kekuatan

untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan

mereka, mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek

pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak

melakukan perubahan, dapat langsung berhubunngan dengan sumber-sumber dana

20

untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada

tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki

posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melaluinya

apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga.

Delapan tingkat partispasi masyarakat ini masih dikelompokkan lagi menjadi

tiga tingkat menurut pembagian kekuasaan, yaitu :

1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat rendah).

Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah manipulation dan therapy.

2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Yang termasuk kelompok ini

adalah informing, consultation, dan placation.

3. Citizen Power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Yang termasuk ke dalam

kelompok ini adalah : partnership, delegated power dan citizen control.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih utuh tentang

kondisi partisipasi masyarakat adalah memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas

partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang

dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas

partisipasinya. Derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme

partisipasi yang berjalan dengan tangga partisipasi, kemudian digunakan untuk

menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu

memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Pudjianto, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat

Ada dua sumber munculnya partispasi, yaitu partisipasi yang muncul dari dalam

diri manusia itu sendiri dan partisipasi dorongan dari luar. Kedua bentuk partisipasi

tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar

dapat berupa paksaan atau rangsangan berbuat dalam pembangunan, sedangkan

partisipasi yang muncul dalam diri manusia itu tanpa paksaan dan rangsangan dari luar.

Masyarakat dengan kesadarannya akan melaksanakan pembangunan. Dalam

pelaksanaan di lapangan biasanya akan dijumpai bebagai hambatan, di antaranya : 1).

belum dipahami makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan

lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan; 2). di lapangan dijumpai

lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya

21

peraturan atau perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk

berpartisipasi (Soetrisno, 1995).

Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor yang

dapat menghambat dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan

keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat

maupun dari luar masyarakat, dalam konteks konservasi, biasanya hambatan-hambatan

tersebut dapat dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan

kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik seperti dalam hal pemanfaatan

lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuatkan teras terlebih dahulu, untuk itu

diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada

umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan,

sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka

kurang memperhatikan manfaatnya, sedangkan hambatan teknologi adalah penyesuaian

diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan.

Tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu,

persepsi, jumlah tenaga kerja, status petani dan kekosmopolitan. Sementara yang

termasuk ke dalam faktor eksternal adalah ketersediaan saprodi, intensitas penyuluh,

dukungan pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya

tarik kerjasama, kepadatan pendudukan dan jarak lahan garapan (Trison, 2005).

Menurut Sunartana (2003) yang termasuk ke dalam faktor internal meliputi: umur,

tingkat pendidikan, status sosoal, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi,

pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk faktor

eksternalnya meliputi: peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan

kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat.

22

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2010 - Juni 2010 di DAS

Cisadane Hulu, di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tamansari, Kecamatan

Leuwiliang, Kecamatan Tenjolaya, Kecamatan Leuwisadeng, dan Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih atas dasar pertimbangan secara sengaja

(purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan areal percontohan

bagi kegiatan RHL yang telah dilaksanakan. Pertimbangan lainnya adalah lokasi ini

merupakan prioritas utama dalam penanganan banjir (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).

Lokasi penelitian (Tabel 2) dan peta lokasi (Lampiran 1).

Tabel 2 Lokasi Penelitian di DAS Cisadane Hulu

No. Nama Desa Nama Kecamatan 1. Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari 2. Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang 3. Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya 4. Desa Leuwisadeng Kecamatan Leuwisadeng 5. Desa Sibanteng Kecamatan Leuwisadeng 6. Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng 7. Desa Gunung Picung Kecamatan Pamijahan 8. Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan 9. Desa Ciasiman Kecamatan Pamijahan

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode survei, yaitu mengambil sampel dari

suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi pakar. Analisis

data dari penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman Rank dan metode Analytic

Hierarchy Process (AHP).

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data

primer adalah data secara langsung dari responden dengan teknik wawancara atau

mengisi kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data sekunder

dari data yang terkait dengan kajian penelitian yang telah dilaksanakan melalui

penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan dari berbagai instansi yang terkait seperti:

BPDAS Citarum Ciliwung Bogor, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor,

23

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

Data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah

data yang menyatakan dalam bentuk kalimat, atau menunjukkan perbedaan dari tinggi,

rendah, sedang. Data berjenjang ini ditransformasikan ke dalam data kuantitatif dengan

memberikan simbol angka secara berjenjang. Data kuantitatif adalah data yang

menyatakan dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif

maupun data dari asalnya yang bersifat kuantitatif. Teknik pengumpulan data : 1).

teknik observasi langsung yaitu melalui pengamatan dan pencatatan langsung yang

terjadi di tempat penelitian; 2). teknik komunikasi langsung adalah melakukan kontak

langsung secara lisan dengan responden (melakukan wawancara); 3). teknik komunikasi

tak langsung adalah menyampaikan pertanyan tertulis berupa kuesioner kepada

responden untuk dijawab secara tertulis dan 4). teknik dokumenter adalah menghimpun

data-data dari buku-buku/literatur, media, arsip-arsip, peraturan dan Undang-Undang

yang berkaitan dengan permasalahan.

Pengamatan Variabel

Pengamatan variabel-variabel penelitian adalah :

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam keterlibatan program RHL mulai dari tahapan

Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi.

Partisipasi Masyarakat (Y)

a. Tahapan Perencanaan (Y1)

Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah

identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, cara

pelaksanaan, cara bangunan sipil dan penentuan biaya, yang dikatagorikan :

o Rendah ( nilai, < 10)

o Sedang ( nilai, 10 – 15)

o Tinggi ( nilai, > 15)

b. Tahapan Pelaksanaan (Y2)

Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan meliputi

kegiatan keterlibatan responden dalam penyiapan lahan, pemeriksaan bibit

tanaman, penanaman, penyiangan, pemeliharaan tanaman, pembuatan bangunan

24

sipil teknis, penyiapan sarana rehabilitasi dan penyediaan dana yang

dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 10)

o Sedang ( nilai, 10 – 15)

o Tinggi ( nilai, > 15)

c. Tahapan Evaluasi (Y3)

Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi yaitu kegiatan

pemantauan dan penilaian keberhasilan kegiatan, membantu memberikan

informasi kepada tim evaluasi dan tim pendamping yang dikatagorikan :

o Rendah ( nilai, < 10)

o Sedang ( nilai, 10 – 15)

o Tinggi ( nilai, > 15)

2. Faktor internal yang terdiri dari : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat

pendapatan, pekerjaan sampingan, dan persepsi.

Faktor Internal (X1)

a. Umur ( X1.1), umur responden dibagi ke dalam tiga kelompok yang

dikatagorikan :

o Rendah ( umur < 15 tahun)

o Sedang ( umur 15 - 65 tahun)

o Tinggi ( umur > 65 tahun)

b. Tingkat Pendidikan ( X1.2), adalah pendidikan formal terakhir. Dikelompokkan

tidak sekolah dan tidak tamat SD, Tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, tamat

Akademi dan tamat Perguruan Tinggi yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, 1)

o Sedang ( nilai, 2)

o Tinggi ( nilai, 3)

c. Luas Lahan ( X1.3), adalah mengukur luas lahan yang dimiliki atau digarap

oleh responden, yang dinyatakan dalam ha dan dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( luas < 0,3 ha)

o Sedang ( luas 0,3 – 1,0 ha)

o Tinggi ( luas > 1,0 ha)

25

d. Tingkat Pendapatan ( X1.4), adalah jumlah seluruh penghasilan rata-rata per

bulan responden yang dinyatakan dalam rupiah dan dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( pendapatan < Rp 500.000,-)

o Sedang ( pendapatan Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,-)

o Tinggi ( pendapatan > Rp 1.000.000,-)

e. Pekerjaan sampingan ( X1.5), adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan

yang dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir

yang dikatagorikan ke dalam:

o Rendah ( nilai, 1)

o Sedang ( nilai, 2)

o Tinggi ( nilai, 3)

f. Persepsi ( X1.6), adalah pandangan dan penilaian responden terhadap program

kegiatan RHL dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang

dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3)

o Sedang ( nilai, 3 - 4)

o Tinggi ( nilai, > 4)

3. Faktor eksternal yang terdiri dari : intensitas sosialisasi program (penyuluhan),

peran pendamping, ketersediaan sarana dan prasarana rehabilitasi, dan peran

kelembagaan sosial.

Faktor Eksternal (X2)

a. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) ( X2.1), adalah jumlah kegiatan

penyuluhan yang dilakukan oleh pelaksana kegiatan RHL untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan responden baik dalam perencanaaan, pelaksanaan

dan evaluasi kegiatan yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3)

o Sedang ( nilai, 3 - 5)

o Tinggi ( nilai, > 5)

b. Peran pendamping ( X2.2), adalah peranan petugas pendamping menyangkut

frekuensi kunjungan, tingkat keterlibatan dalam kegiatan dan pembinaan yang

dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3)

26

o Sedang ( nilai, 3 - 5)

o Tinggi ( nilai, > 5)

c. Ketersediaan sarana ( X2.3), adalah sarana seperti peralatan kerja, bibit tanaman,

pupuk dan dana yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3)

o Sedang ( nilai, 3 - 5)

o Tinggi ( nilai, > 5)

d. Peran kelembagaan sosial ( X2.4), adalah peran lembaga sosial dalam

mendorong partisipasi masyarakat, ini akan dapat tercermin dalam dukungannya

kepada masyarakat yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3)

o Sedang ( nilai, 3 - 5)

o Tinggi ( nilai, > 5)

Pengumpulan Data

Penetapan responden dilakukan dengan teknik purpose sampling, di mana

responden ditentukan oleh peneliti dengan ketentuan mewakili lokasi kegiatan RHL.

Responden diambil sebanyak 90 orang dari lima kecamatan dan mereka adalah orang-

orang yang terkait dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu, yang berinteraksi

langsung dengan kegiatan tersebut.

Untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi

masyarakat, mengambil sampel yang dianggap ahli atau dapat memberikan masukan

kepada pengambil kebijakan. Jumlah sampel sebanyak 12 responden, terdiri dari 5

orang petani, 2 orang dari BPDAS Citarum Ciliwung, 1 orang Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Bogor, 1 orang Penyuluh Lapangan Gerhan, 1 orang Polhut dan 2 orang

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH).

Tahapan Penelitian

Penelitian dibagi ke dalam tahapan kegiatan, yaitu mempersiapkan penelitian

dan studi pustaka, mengumpulkan data lapangan, mengolah data dan analisis data dan

membahas hasil penelitian. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1).

mengidentifikasi masalah tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di

DAS Cisadane Hulu; 2). melakukan studi pustaka yang berkaitan langsung dengan

permasalahan; 3). mengumpulkan data sekunder dan data primer ; 4). mengolah dan

27

menganalisis data primer dengan uji Korelasi Spearman Rank dan metode AHP dan 5).

membahas hasil penelitian (berupa kondisi aktual dari partisipasi masyarakat dalam

kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu).

Analisis Data

Mengumpulkan data terlebih dahulu sebelum dianalisis, kemudian menghitung

total skor dari tiap-tiap variabel dari data yang bersifat kuantitatif dan mengelompokkan

data sesuai dengan variabel masing-masing. Untuk data kualitatif melalui tiga tahap

yaitu: tahap interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategori data; tahap

mendeskripsikan kategori-kategori data; dan tahap terakhir adalah mengelompokkan

data.

Analisis data penelitian menjawab dari tujuan penelitian. Sehingga metode

analisis untuk menjawab dari tujuan penelitian adalah :

1. Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL. Analisis ini

menghitung jumlah dan prosentase dari data-data yang terkumpul, melalui cara

tabulasi frekuensi yang nantinya menyajikannya dalam bentuk distribusi frekuensi.

2. Mengkaji hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan

tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL, menjelaskan secara deskriptif-

kualitatif menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi Spearman

Rank, dengan rumus: n

6Σbi² i=1

ρ = 1 - n(n²-1) dimana : ρ = koefisien korelasi Spearman Rank bi = selisih peringkat X dan Y n = banyaknya sampel

Untuk memudahkan dan mendapatkan ketepatan dalam pengolahan data dengan

menggunakan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi

15;

3. Menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat

dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode ini menggunakan

bentuk hirarki sesuai dengan tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif

kebijakan. Hirarki disusun untuk memahami masalah yang akan diuraikan ke dalam

elemen-elemen yang bersangkutan, kemudian menyusunnya secara hirarki dan

28

dibantu dengan komputer program Expert Choice 2000. Langkah-langkah dalam

penyusunan metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty dan Vargas, 1994) :

a. Menyusun Hirarki, persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-

unsur yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi status hirarki.

Langkah awal dalam menyusun hirarki adalah menentukan tujuan utama, yaitu

strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS

Cisadane Hulu yang ditempatkan pada tingkat puncak (fokus). Kemudian di

tingkat ke dua adalah faktor pendukung dari tujuan utama yaitu pemerintah dan

masyarakat. Pada tingkat ke tiga menyusun kriteria-kriteria esensial yang

berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Pada tingkat ke empat

menyusun alternatif prioritas kebijakan yang akan dipilih untuk menentukan

strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS

Cisadane Hulu.

b. Menilai kriteria dan alternatif, melalui pembandingan berpasangan. Untuk

membuat pembandingan berpasangan membuat sebuah matriks,

membandingkan pasangan-pasangan elemen dengan kriteria di tingkat lebih

tinggi dengan memasukkan nilai-nilai kebalikannya serta memasukkan bilangan

1 sepanjang diagonal utama matrik (Tabel 3).

Tabel 3 Skala pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif

Nilai Keterangan

1

3

5

7

9

2,4,6,8

Ke dua elemen sama pentingnya

Elemen yang satu lebih penting dibanding yang lainnya

Elemen yang satu sangat penting dibanding elemen yang lainnya

Satu elemen sangat jelas lebih penting dari elemen yang lainnya

Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya

Apabila terjadi ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

Sumber: Saaty dan Vargas (1994)

c. Menentukan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu melakukan

perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Mengolah nilai-nilai

perbandingan relatif untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif

(Tabel 4).

29

Tabel 4 Matriks pembandingan berpasang (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas

C A1 A2 A3 ………. Aj

A1

A2

A3

.

.

Aj

1

1

1

1

1

1 Sumber: Saaty dan Vargas (1994)

d. Memeriksa konsistensi, melakukan dengan cara mengalikan setiap indeks

konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil

kalinya. Melakukan pengukuran dalam dua tahap, dimana tahap pertama adalah

mengukur konsistensi setiap matrik perbandingan dan tahap keduanya mengukur

konsistensi keseluruhan hirarki. Rasio konsistensi hirarki harus dibawah 10%.

30

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Biofisik

Letak da Luas Wilayah

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung

dengan Jakarta, luas wilayah adalah 2.301,95 km². Dengan mempertimbangkan

karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan

eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun

regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang

sesuai dengan daya dukung lingkungan. Wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga

wilayah pembangunan, yaitu: wilayah pembangunan barat, tengah dan timur.

Pembangunan wilayah barat meliputi tiga belas kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga,

Parung Panjang, Tenjolaya, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng,

Tenjolaya, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas

wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh)

kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur,

Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong,

Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan

kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah

timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi,

Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu (BPS

Kabupaten Bogor, 2009).

DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak diantara 106º 28’ 53,61” - 106º 56’

42,32” BT dan 06º 31’ 21,54” - 06º 47’ 16,87” LS dengan luas wilayah 85.954,85 ha.

Sungai-sungai utama pada DAS Cisadane Hulu adalah Cisadane, Ciapus, Cihideung,

Ciampea, Ciaruteun, Cianten dan Cikaniki. DAS Cisadane mengalir dari Gunung Salak

di bagian selatan Kabupaten Bogor. Wilayah DAS ini termasuk dalam kawasan hutan,

di mana paling selatan terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).

31

Tabel 5 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008

No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (orang)

1. Leuwiliang

6.177,12

111.705 2. Leuwisadeng 3.283,12 70.631 3. Pamijahan 8.088,29 134.865 4. Tenjolaya 2.368,00 53.583 5.

Tamansari

2.161,00 84.332

Total 22.077,53 455.116

Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)

Iklim dan Hidrologi

Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk

Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian selatan dan tipe B ( Basah) di bagian

utara. Suhu berkisar rata-rata antara 20ºC sampai 30ºC (BPS Kabupaten Bogor, 2009).

DAS Cisadane tergolong dalam lima zona agroklimat yaitu : A (basah), B (agak

basah), C (sedang), D (agak kering) dan E (kering). Kondisi daerah hilir cenderung

kering (D dan E) dan meningkat semakin basah (A) ke daerah hulu atau dataran tinggi.

Secara umum kondisi di DAS Cisadane relatif basah dan ini menguntungkan bagi sektor

pertanian, tetapi sebaliknya dapat juga merugikan apabila suatu wilayah telah terjadi

kesalahan dalam penggunaan lahannya karena kondisi iklim yang basah memberikan

kontribusi terhadap bahaya banjir dan longsor (Tabel 6).

Tabel 6 Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007

SPAS No. Parameter Cipopokol Cipeucang Lengkong

1. Curah hujan tahunan (mm)

1094

3535

3875

2. Jumlah hari hujan (hari) 107 215 266 3. Debit rata-rata harian maksimum ( m³/detik) 0,09 4,59 0,66 4. Debit rata-rata harian minimun ( m³/detik) 0,02 0,12 0,06 5. Total Direct Run off (mm) 131,54 148,45 674,30 6. Sedimen Tahunan (mm) 1,18 1,10 3,64 7. Erosi Atual (ton/tahun/ha) 17,73 16,45 54,57 8. Koefosien Reqim Sungai 3,86 37,85 11,60 9. Koefosien Variansi 0,59 - -

10. Koefosien Limpasan 0,12 0,04 0,17 11. SDR 0,33 0,18 0,35

Sumber : BPDAS Citarum Ciliwung (2007)

32

Penutupan Lahan

Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan

daerah ladang, sawah dan tegalan. DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten

Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi oleh penggunaan lahan sebagai

berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan kosong. Sedangkan di bagian

tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, ladang dan lahan

kosong.

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya masih

terbatas. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikannya yang rata-rata masih rendah yaitu

hanya lulusan SD dan sebagian besar hidupnya lebih menggantungkan pada bidang

pertanian. Banyaknya Desa per kecamatan lokasi penelitian (Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian

No. Kecamatan Jumlah Desa Nama Desa

1.

Leuwiliang

11

Purasari, Puraseda, Karyasari, Pabangbon, Karacak, Barengkok, Cibeber1, Cibeber2, Leuwimekar, Leuwiliang, Karehkel

2. Leuwisadeng 8 Wangunjaya, Sadengkolot, Leuwisadeng, Sibanteng, Babakan madang, Sadeng, Kalong1, Kalong2

3. Pamijahan 15 Cibunian, Purwabakti, Ciasmara, Ciasihan, Gng.Sari, Gng.Bunder1, Gng.Bunder2, Cibening, Gng.Picung, Cibitung Kulon, Cibitung Wetan, Pamijahan, Pasarem, Gng.Menyan, Cinayang

4. Tenjolaya 6 Tapos1, Tapos2, Gng. Malang, Situ daun, Cibitung Tengah, Cinangneng

5. Tamansari 8 Sukajadi, Sukaluyu, Sukajaya, Sukaresmi, Pasir eurih, Tamansari, Sukamantri, Sirnagalih

Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)

Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dari lima kecamatan adalah 455.116

orang, terdiri dari laki-laki 234.581 orang dan perempuan 220.535 orang (Tabel 8).

Keadaan penduduk menurut klasifikasi umur dimaksudkan untuk mengetahui

jumlah tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja yang produktif adalah usia tenaga

kerja yang berumur antara 15 – 55 tahun, sedangkan anak-anak di bawah umur 15 tahun

(belum produktif) dan golongan umur tua lebih dari 55 tahun (tidak produktif lagi)

33

merupakan tanggungan penduduk yang produktif. Di lokasi penelitian jumlah penduduk

menurut golongan usia kurang dari 15 tahun (anak-anak belum produktif) 18,8%, usia

15-55 tahun (produktif) 71,2% dan usia diatas 55 tahun (tidak produktif lagi) 10% (BPS

Kabupaten Bogor, 2009).

Tabel 8 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian

No. Kecamatan Laki-laki (orang)

Perempuan (orang) Jumlah (orang)

1.

Leuwiliang

57.371

54.334

111.705

2. Leuwisadeng 36.672 33.959 70.631 3. Pamijahan 69.256 65.609 134.865 4. Tenjolaya 27.567 26.016 53.583 5. Tamansari 43.715 40.617 84.332

Total 234.581 220.535 455.116

Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)

Tingkat pendidikan masyarakat berhubungan erat dengan masuknya inovasi

baru. Dengan meningkatnya pendidikan berarti partisipasi masyarakat akan semakin

meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kemudahan dalam penyerapan inovasi tenologi

baru. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian masih tergolong rendah, di

mana sebagian besar penduduknya hanya mampu menamatkan pendidikan SD (81,2%),

walaupun ada juga yang menamatkan sekolahnya pada tingkat SLTP (13,6%), SLTA

(5,1%), dan Akademi atau Perguruan Tinggi (0,1%) (BPS Kabupaten Bogor, 2009).

Kelembagaan Sosial

Lembaga sosial yang ada antara lain kelompok tani, Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat (LPM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi lembaga-lembaga

tersebut kurang aktif, namun ada beberapa lembaga yang masih dirasakan bermanfaat

bagi masyarakat setempat. Lembaga yang masih aktif misalnya LSM yang kegiatannya

menampung program-program GN-RHL dan program konservasi. Fungsinya

mengkoordinir pembelian pupuk dan benih secara bersama, membantu pembangunan

desa, memberikan penyuluhan dan menyediakan pupuk organik. Sementara lembaga-

lembaga sosial yang lain pada umumnya hanya aktif pada saat ada kegiatan yang

bersifat keproyekan. Kondisi ini menyebabkan fungsi dari wahana pemberdayaan

masyarakat menjadi tidak optimal.

34

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah

penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi.

Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan

akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga

frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan

terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang

dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan

memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Penyebab utama tejadinya

bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah kerusakan lingkungan,

terutama di wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air. Untuk menanggulangi hal

tersebut, perlu dilakukan upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi dan

produktivitas hutan dan lahan melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).

Kegiatan RHL harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat

setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, pendapatan dan jumlah tenaga

kerja. Menurut Agus dan Widianto (2004) tindakan konservasi yang mudah diterima

petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk

peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status

penguasaan lahanya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya

dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil

keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan

tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan

berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan

tersebut. Salah satu keberhasilan dalam tingkat partisipasi masyarakat melalui

kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat, hal ini merupakan

salah satu prinsip dari kegiatan RHL.

Pendekatan partisipatif mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan

pembangunan. Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan disebabkan

adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Metode

Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan perkembangan dari metode-metode

terdahulu, di antaranya Rapid Rural Appraisal (RRA). Definisi yang tepat tentang PRA

35

masih sering diperdebatkan, namun perbedaan antara PRA dengan RRA adalah RRA

merupakan bentuk pengumpulan informasi/data oleh “orang luar” yang kemudian

dibawa keluar dan dianalisisnya sendiri. Sedangkan untuk PRA adalah kegiatan yang

bersifat partisipatif. Walaupun teknik yang digunakan bisa sama, tetapi “orang luar”

hanya berperan sebagai pemandu, perantara atau fasilitator. Masyarakat didorong untuk

melakukan kegiatan menggali informasi tentang permasalahn mereka, kemudian

menganalisis dan menentukan cara terbaik dalam mengatasi masalah.

Karakteristik Internal dan Eksternal Masyarakat

Karakteristik internal dan eksternal responden merupakan faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS

Cisadane Hulu, baik faktor yang berada di dalam masyarakat (faktor internal) maupun

faktor yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal) (Tabel 9).

Tabel 9 Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian

Tingkat Partisipasi Masyarakat

No

Faktor Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)

Faktor Internal 1. Umur (X1.1) 0 85,6 14,4

2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 20 51,1 28,9

3. Luas Lahan (X1.3) 16,7 51,1 25,6

4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 35,6 41,1 23,3

5. Pekerjaan sampingan(X1.5) 96,7 3,3 0

6. Persepsi (X1.6) 12,2 41,1 46,7

Faktor Eksternal 1. Intensitas sosialisasi program

(Penyuluhan) (X2.1) 4,4 34,4 61,2

2. Peran pendamping (X2.2) 38,9 52,2 8,9

3. Ketersediaan sarana (X2.3) 10 51,1 38,9

4. Peran kelembagaan sosial (X2.4)

21,1 66,7 12,2

Karakteristik Internal

Umur. Umur merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk menganalisis

berapa besarnya tenaga kerja (manpower), angkatan kerja (labor force) serta proporsi

dari penduduk berusia dewasa yang terlibat dalam kegiatan ekonomis secara aktif di

36

suatu tempat. Penduduk muda berumur di bawah 15 tahun dianggap sebagai penduduk

yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung kepada orang tua atau

orang lain yang menanggungnya. Sedangkan penduduk yang berusia di atas 65 tahun

dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk berusia antara

15 – 65 tahun adalah penduduk usia kerja (lebih dari 10 tahun) yang dianggap produktif

(BPS Kabupaten Bogor, 2009).

Umur responden berkisar antara umur 20 tahun sampai dengan 73 tahun, di mana

sebagian besar tergolong sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

responden yang memiliki umur di bawah 15 tahun, sebagian besar responden berumur

produktif antara 15-65 tahun 85,6%, dengan hasil ini responden sebagian besar

tergolong produktif, maka masyarakat di DAS Cisadane Hulu memiliki potensi besar

untuk ikut terlibat dalam kegiatan RHL.

Tingkat Pendidikan. Kajian-kajian tentang sosial kemasyarakatan di mana tingkat

pendidikan merupakan salah satu dari tiga komponen sosial ekonomi (pekerjaan,

pendidikan, pendapatan) dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada setiap

tahapan kegiatan. Mereka yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak terlibat

dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Sebaliknya, bagi mereka yang

berpendidikan rendah lebih banyak terlibat pada tahap pelaksanaan. Tingkat pendidikan

responden pada umumnya tergolong sedang (51,1%), sehingga rendahnya tingkat

pendidikan tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, khususnya

kegiatan yang memerlukan pemikiran-pemikiran. Berdasarkan data hasil maka tingkat

keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program belum mendapatkan hasil yang

memuaskan, karena masyarakat masih ada rasa keraguan dalam mengemukakan

pendapatnya padahal ini sangat penting dalam menentukan akan ke mana arah dan

tujuan program ini dilaksanakan. Masyarakat lebih banyak ikut terlibat di dalam

pelaksanaan program RHL.

Luas Lahan. Luas lahan garapan yang dimiliki responden dapat mempengaruhi tingkat

partisipasi dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Responden yang memiliki

lahan sempit tidak memiliki alternatif mengalokasikan lahannya untuk ditanami pohon-

pohonan. Biasanya yang memiliki lahan yang sempit akan lebih cenderung

memanfaatkan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada

pohon-pohonan karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil

37

penelitian luas lahan responden tergolong sedang (51,1%), di mana sebagian besar luas

lahan responden digunakan untuk budidaya pangan sebagai sumber kehidupan bagi

anggota keluarganya.

Masyarakat yang memiliki lahan sempit dan sedang pada umumnya hanya

memanfaatkan lahannya untuk tanaman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, sehingga akan mengalami kesulitan jika lahannya ditanami dengan tanaman

keras. Hal ini yang seharusnya dapat di atasi dengan memberikan pengetahuan,

keterampilan dan penyuluhan, sehinga mereka dapat mengetahui, mengerti dan bersedia

lahannya untuk ditanami tanaman keras walaupun hasil dan manfaat yang bisa

dirasakan dalam jangka waktu yang panjang.

Tingkat Pendapatan. Pendapatan responden adalah pendapatan rata-rata per bulan,

baik pendapatan yang berasal dari mata penharian pokok maupun sampingan. Hasil

penelitian diperoleh tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp 100.000 – Rp

1.500.000. Rendahnya tingkat pendapatan sebagai implikasi dari rendahnya tingkat

pendidikan dan sempitnya kepemilikan lahan masyarakat. Di lokasi penelitian tingkat

pendidikan sebagian besar hanya tamatan SMP sehingga mengakibatkan masyarakat

mengalami kesulitan untuk dapat mengakses permodalan. Kondisi tersebut juga akan

berpengaruh pada sempitnya lahan, sehingga masyarakat tidak dapat mengembangkan

pertaniannya dan akan berakibat pendapatan mereka menjadi terbatas.

Pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan merupakan pekerjaan lain atau pekerjaan

tambahan yang dimiliki oleh responden di luar pekerjaan utamanya. Pekerjaan itu

dilakukan untuk menambah pendapatan, guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Hasil data lapangan diperoleh bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh

responden tergolong rendah, hanya berkisar 0–2. Pekerjaan sampingan yang umumnya

digeluti oleh responden adalah berdagang, beternak, ojek dan buruh bangunan.

Sebagian besar pekerjaan sampingan responden tergolong rendah (96,7%), artinya

mereka hanya tergantung kepada pekerjaan utamanya saja untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

Persepsi. Persepsi merupakan pengetahuan, pandangan dan penilaian responden

terhadap tujuan dan manfaat dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada

38

responden mengenai pandangan atau penilaian terhadap tujuan dan manfaat dari

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pengukuran tingkat persepsi ini didasarkan pada

pernyataan responden tidak setuju, kurang setuju dan setuju terhadap program tersebut.

Persepsi responden sebagian besar tergolong tinggi yaitu 46,7%, artinya persepsi

masyarakat terhadap tujuan dan manfaat RHL cukup tinggi. Tingginya persepsi

masyarakat tersebut disebabkan karena pemahaman masyarakat sudah tinggi terhadap

tujuan dan manfaat RHL dan mereka bisa merasakan manfaatnya dalam kehidupan

sehari-hari.

Karakteristik Eksternal

Intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Intensitas sosialisasi program

(penyuluhan) diukur dari jumlah atau frekuensi kegiatan-kegiatan sosialisasi

(penyuluhan) RHL yang diberikan kepada responden, baik pada tahapan perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan tersebut diaktualisasikan pada kegiatan-kegiatan

seperti : pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh pihak pelaksana, kegiatan

penyuluhan dan pelatihan. Data hasil yang diperoleh umumnya tergolong tinggi yaitu

61,2%, ini menggambarkan bahwa intensitas sosialisasi program (penyuluhan) yang

dilakukan sudah optimal, walaupun masih banyak kekurangan-kekurangan yang

dirasakan masyarakat seperti masalah kurangnya Sumber daya manusia yang ada (hanya

ada tiga orang penyuluh) sehingga intensitas kunjungan dan penyuluhan ke lokasi masih

kurang.

Peran pendamping. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas-

petugas pendamping dari lembaga sosial masyarakat yang dianggap mampu

memberikan penjelasan dan bimbingan teknis pada kegiatan RHL di lapangan.

Penilaian peran petugas ini didasarkan pada intensitas kunjungan di lapangan dan

keterlibatan langsung mereka dalam menjalankan tugasnya, melalui informasi yang

digali secara langsung dari peserta kegiatan. Sebagian besar responden menyatakan

peran pendamping tergolong sedang (52,2%). Hal ini dapat diartikan bahwa peran

petugas pendamping dalam menjalankan tugasnya belum optimal sehingga perlu

ditingkatkan.

Ketersediaan sarana. Ketersediaan sarana kegiatan RHL merupakan komponen yang

sangat penting karena sarana dimaksud sangat diperlukan untuk dapat menunjang dalam

39

pelaksanaan kegiatan rehabilitasi tersebut. Sarana rehabilitasi tersebut antara lain berupa

peralatan kerja, bahan (material), bibit tanaman, pupuk dan dana. Data hasil

menunjukkan bahwa ketersediaan sarana tergolong sedang (51,1%), karena sarana

rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah tidak langsung diberikan kepada

masyarakat tetapi melalui kantor dinas terkait. Untuk bibit tanaman dan pupuk

disediakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor. Sedangkan sarana rehabilitasi

sipil teknis disediakan oleh BPDAS Citarum Ciliwung. Data tersebut menunjukkan

bahwa sarana ini belum tersedia sesuai kebutuhan masyarakat. Salah satu penyebab

kurang tersedianya sarana rehabilitasi hutan dan lahan ini karena faktor anggaran

pemerintah yang bertahap.

Peran kelembagaan sosial. Kelembagaan sosial memiliki peran yang sangat penting

dalam mendorong partisipasi masyarakat. Biasanya peran kelembagaan sosial ini berupa

dukungan yang diaktualisasikan melalui kegiatan pertemuan-pertemuan pembahasan

masalah-masalah perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan evaluasi kegiatan RHL.

Peran kelembagaan sosial tergolong sedang yaitu 66,7%, di mana responden

menyatakan bahwa lembaga sosial sangat mendukung kegiatan, salah satu peran

kelembagaan sosial yang bisa terwujud adalah terbentuknya kelompok tani yang

merupakan suatu wadah tempat berkumpulnya petani dalam mendiskusikan masalah-

masalah yang terjadi di lokasinya. Dukungan ini mulai dirasakan oleh masyarakat pada

saat perencanaan dan pelaksanaan karena pada saat evaluasi lembaga sosial ini kurang

terlibat.

Tingkat Partisipasi Masyarakat

Program RHL melibatkan partisipasi masyarakat baik disekitar obyek kegiatan

maupun masyarakat luas mulai proses perencanaan, persiapan bibit, persiapan lapangan

sampai kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Masyarakat secara langsung maupun

tidak langsung ikut terlibat dalam setiap tahapan kegiatan. Dengan pelibatan aktif

masyarakat secara tidak langsung akan menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap, dan

keterampilan masyarakat, sehingga membentuk budaya memiliki dan bertanggung

jawab terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, sehingga akhirnya masyarakat mau

dan mampu secara swadaya melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan

tanaman/hutan yang berada pada lingkungannya.

40

Partisipasi masyarakat yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dalam

kegiatan RHL dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan

pelaksanaan di lapangan dan tahapan evaluasi. Data hasil diperoleh dari wawancara

responden dan kuesioner dengan parameter pengukuran tidak terlibat masuk kategori

rendah, kurang sampai cukup terlibat masuk kategori sedang, dan selalu sampai banyak

terlibat masuk katagori tinggi. Tabel 10 menunjukkan hasil dari tingkat partisipasi

masyarakat, baik pada tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan di lapangan dan

tahapan evaluasi.

Tabel 10 Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian

Partisipasi Masyarakat

Tahapan Perencanaan Tahapan Pelaksanaan

Tahapan Evaluasi

Kategori

Nilai

Jumlah (orang)

% Jumlah (orang)

% Jumlah (orang)

%

Rendah < 10 42 46,7 0 0 33 36,7

Sedang 10 – 15 37 41,1 46 51,1 28 31,1

Tinggi > 15 11 12,2 44 48,9 29 32,2

Total 90 100 90 100 90 100

Tahapan Perencanaan

Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah

sebagai berikut: 1) identifikasi masalah, 2) penentuan lokasi, 3) penentuan luas lahan, 4)

penentuan jenis bibit tanaman, 5) penentuan bangunan sipil teknis, 6) pembentukan

kelompok tani, dan 7) penentuan biaya.

Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL untuk

tahapan perencanaan secara umum masih tergolong rendah (46,7%), artinya peserta

hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana tetapi mereka tidak pernah hadir dalam

rapat atau pertemuan. Tingkatan ini masuk ke dalam kelompok nonparticipation.

Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan ini disebabkan

karena rendahnya tingkat pendidikan, yaitu sebagian besar (51,1%) hanya tamat SMP,

sehingga ini berimplikasi terhadap ketidak tertarikan tingkat partisipasi masyarakat pada

tahapan perencanaan. Hasil penelitian ini sejalan denga hasil penelitian yang telah

41

dilakukan oleh Muis (2007) dan Pujianto (2009) yang menyatakan bahwa partisipasi

dalam tahapan perencanaan pada umumnya masih rendah. Tingkat partisipasi rendah di

mana masyarakat hanya digunakan sebagai alat publikasi saja, walaupun masyarakat

yang terlibat dalam kegiatan, tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak pernah aktif

memberikan masukan atau usulan-usulan dalam proses tahapan perencanaan. Pada

tahap perencanaan ini lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah sehingga sampai

saat ini masih bersifat top down.

Perubahan paradigma arah penentuan kebijakan dari bersifat top down menjadi

bottom up, di mana DAS sebagai satu kesatuan atau unit perencanaan mempunyai

makna bahwa perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung seluruh

kepentingan sektoral dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan, di mana perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna

lahan dan sumber daya alam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan

dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi.

Tahapan Pelaksanaan

Pengukuran untuk tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan

adalah sebagai berikut : 1) penyiapan lahan, 2) pemeriksaan bibit tanaman, 3)

penanaman, 4) pembuatan bangunan sipil teknis, 5) penyiangan/pembersihan rumput, 6)

pendangiran, 7) penyulaman, 8) pemeliharaan, 9) penyiapan sarana, 10) pertemuan

kelompok tani dan 11) penyediaan dana.

Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan secara umum termasuk

pada kategori sedang (51,1%). Tingkatan partisipasi ini masuk ke dalam kelompok

tingkatan partisipasi tokenism. Artinya bahwa masyarakat sudah mulai diajak dalam

konsultasi pelaksanaan kegiatan, dimasukkan ke dalam anggota badan-badan kerja dan

juga berbagi tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan walaupun masih seringkali

suara mereka masih tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif

rendah.

Pada kegiatan pemeriksaan bibit tanaman, penyulaman, penanaman dan

pemeliharaan tanaman tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah, ini

disebabkan karena alasan teknis, di mana wewenang untuk kegiatan pemeriksaan bibit

dikelola sepenuhnya oleh institusi independen bentukan proyek. Bahkan dalam

pemeriksaan yang dilakukan, keterlibatan masyarakat hanya sebatas mendampingi tim

42

pemeriksa, tanpa memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan

bibit yang disediakan. Demikian pula pada kegiatan penyulaman dan pemeliharaan

tanaman, di mana bibit yang disalurkan tidak mencukupi untuk kegiatan penyulaman.

Persediaan bibit untuk kegiatan penanaman pun tidak mencukupi. Jumlah bibit yang

terbatas ini menyebabkan target luasan tanaman tidak terpenuhi.

Tahapan Evaluasi

Pada tahapan evaluasi pengukuran tingkat partispasi masyarakat dilakukan dua

kegiatan, yaitu : penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu

memberikan informasi kepada tim evaluasi. Penilaian tingkat partisipasi masyarakat

pada tahapan evaluasi termasuk pada kategori rendah (36,7%). Tingkatan partisipasi ini

masuk ke dalam kelompok non participation.

Partisipasi masyarakat tergolong rendah, artinya bahwa masyarakat hanya

mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana dan tidak pernah hadir dalam kegiatan rapat

atau pertemuan, dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kepentingan terhadap

kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi hanya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai

laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program. Hasil penelitian ini sama dengan

hasil penelitian Muis (2007) dan Pudjianto (2009) yang menyatakan bahwa dinamika

partisipasi masyarakat di DAS dalam kegiatan evaluasi pada umumnya rendah, karena

sebagian besar respondennya tidak pernah terlibat pada kegiatan evaluasi bahkan tidak

mengetahui bahwa telah dilakukan kegiatan evaluasi.

Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat

Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal responden terhadap tingkat

partisipasi masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan dari masing-

masing faktor, terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan ini pada tahapan

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dilakukan uji korelasi Spearman Rank. Uji

korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak

menunjukkan hubungan fungsional, ini tidak membedakan jenis variabel. Keeratan

hubungan ini dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi.

Koefisien korelasi memiliki nilai antara -1 hingga +1. Sifat nilai koefisien

korelasi adalah plus (+) atau minus (-). Hal ini menunjukkan arah korelasi. Sifat korelasi

akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi dapat dikelompokkan sebagai

43

berikut : 0,00 sampai 0,20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; 0,21 sampai

0,40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah; 0,41 sampai 0,70 berarti korelasi

memiliki keeratan kuat; 0,71 sampai 0,90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat;

0,91 sampai 0,99 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat sekali, dan 1 berarti

sangat sempurna. Hasil uji korelasi pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi

pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu

Partisipasi Masyarakat

No

Faktor Tahapan

Perencanaan (Y1) Tahapan

Pelaksanaan (Y2)

Tahapan Evaluasi (Y3)

Faktor Internal

1. Umur (X1.1) 0,151 0,322** 0,015 2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 0,493** 0,397** - 0,129 3. Luas Lahan (X1.3) 0,371** 0,098 - 0,121 4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 0,402** 0,279** - 0,172 5. Pekerjaan sampingan(X1.5) 0,084 0,186 - 0,072 6. Persepsi (X1.6) 0,279* 0,256* 0,040

Faktor Eksternal

1. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) (X2.1)

0,231* 0,268* - 0,254*

2. Peran pendamping (X2.2) - 0,094 - 0,039 0,017 3. Ketersediaan sarana (X2.3) 0,346** 0,316** 0,760 4. Peran kelembagaan sosial (X2.4) 0,298** 0,379** 0,058

Keterangan: ** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 ; * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

Hubungan antara Umur dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa nilai

koefisien korelasi (keeratan hubungan) antara variabel umur dengan tingkat partisipasi

pada tahapan perencanaan tidak memiliki hubungan nyata (0,151), sedangkan pada

tahapan pelaksanaan memiliki hubungan nyata (0,322**), dan pada tahapan evaluasi

memiliki hubungan lemah (0,015). Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan

bahwa variabel umur pada tahapan pelaksanaan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi

masyarakat. Sedangkan pada tahapan perencanaan dan evaluasi umur tidak berpengaruh

terhadap tingkat partisipasi, karena memiliki korelasi yang tidak nyata dan sangat

lemah. Artinya bahwa umur dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam

kegiatan RHL, karena umur di lokasi penelitian termasuk golongan produktif sehingga

akan memudahkan dalam ikut keterlibatan di program ini, berbeda apabila umur

44

responden didominasi oleh mereka yang berumur di bawah 15 tahun karena tergolong

belum produktif sehingga mereka masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang

menanggungnya.

Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai hasil koefisiem korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat

partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah sebesar 0,493** dan tahapan

pelaksanaan sebesar 0,397** sehingga mempunyai hubungan nyata yang cukup kuat,

sedangkan pada tahapan evaluasi sebesar -0,129 memiliki hubungan yang sangat lemah.

Artinya bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat pendidikan

responden sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat

pendidikan masyarakat, maka akan cenderung semakin tinggi pula untuk tingkat

partisipasinya. Sedangkan pada tahapan evaluasi tingkat pendidikan tidak memiliki

pengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat.

Hubungan antara Luas Lahan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Luas lahan nilai koefisien korelasinya pada tahapan perencanaan 0,371**, pada

tahapan pelaksanaan 0,098, dan pada tahapan evaluasi -0,121. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan luas lahan responden mempunyai

hubungan nyata yang kuat dengan tingkat partisipasi, sedangkan pada tahapan

pelaksanaan dan tahapan evaluasi tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi

masyarakat, bahkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat

lemah. Hal ini berarti pada tahapan perencanaan luas lahan sangat mempengaruhi

tingkat partisipasi masyarakat. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, maka

semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahap pelaksanaan dan

tahapan evaluasi tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat.

Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai koefisien korelasi antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi

masyarakat pada tahapan perencanaan sebesar 0,402**, tahapan pelaksanaan sebesar

0,279**, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,172. Nilai koefisien korelasi tersebut

menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat

pendapatan responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat,

sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah.

45

Hal ini berarti bahwa pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendapatan

dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tingi pendapatan

masyarakat maka akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Masyarakat yang

telah memiliki pendapatan yang tinggi tidak terlalu menggantungkan kelangsungan

hidupnya pada hasil hutan, sehingga mereka akan menjaga kelestarian hutan (tidak

merusak hutan) dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah.

Hubungan antara Pekerjaan Sampingan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan

perencanaan memiliki nilai koefidien korelasi sebesar 0,084, tahapan pelaksanaan

sebesar 0,186, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,072. Nilai ini menunjukkan bahwa

variabel pekerjaan sampingan memiliki korelasi yang lemah terhadap tingkat partisipasi

masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh

responden tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat.

Seperti diketahui bahwa, sebagian besar responden memiliki pekerjaan sampingan yang

sifatnya tidak tetap (musiman), sehingga mereka tetap memiliki waktu luang untuk

dapat terlibat dalam kegiatan RHL.

Hubungan antara Persepsi dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat memiliki nilai

koefisien korelasi pada tahapan perencanaan sebesar 0,279*, tahapan pelaksanaan

sebesar 0,256*, dan pada tahapan evaluasi sebesar 0,040. Nilai koefisien korelasi

tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan

persepsi responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat,

sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Persepsi yang baik

terhadap tahapan perencanaan dan pelaksanaan didukung oleh kegiatan sosialisasi yang

telah dilaksanakan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bogor. Selain itu,

masyarakat telah didampingi pula oleh lembaga sosial yang ditunjuk oleh pihak

pelaksana yang bertugas membantu dalam penyiapan masyarakat. Lewat lembaga sosial

tersebut masyarakat dikenalkan dan diberikan pemahaman tentang tujuan, sasaran dan

manfaat dari rehabilitasi hutan dan lahan.

46

Hubungan antara Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai koefisien korelasi pada tahapan perencanaan sebesar 0,231*, tahapan

pelaksanaan sebesar 0,268*, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,254*, artinya

tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi antara intensitas sosialisasi program

(penyuluhan) mempunyai hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat

walaupun tidak terlalu kuat. Hal ini berarti semakin sering dilakukan sosialisasi

program (penyuluhan) kepada masyarakat maka tingkat partisipasi masyarakat akan

cenderung semakin tinggi.

Hubungan antara Peran Pendamping dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Antara peran pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan

perencanaan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,094 , pada tahapan pelaksanaan

sebesar -0,039, dan pada tahapan evaluasi sebesar 0,017. Nilai koefisien korelasi

tersebut menunjukkan bahwa pada semua tahapan peran pendamping mempunyai

hubungan yang sangat lemah. Hal ini artinya peran pendamping tidak berpengaruh

terhadap tingkat partisipasi masyarakat.

Hubungan antara Ketersediaan Sarana dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai koefisien korelasi antara ketersediaan saranai dengan tingkat partisipasi

masyarakat pada tahapan perencanaan 0,346**, pada tahapan pelaksanaan 0,316**, dan

pada tahapan evaluasi 0,760. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan pada

tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan sarana rehabilitasi memiliki hubungan

nyata meskipun tidak terlalu kuat, sedangkan pada tahapan evaluasi ketersediaan sarana

rehabilitasi memiliki hubungan lemah. Artinya semakin tersedia sarana rehabilitasi pada

saat perencanaan dan pelaksanaan, partisipasi masyarakat akan cenderung semakin

meningkat karena salah satu faktor yang dapat mengajak masyarakat untuk ikut terlibat

dalam kegiatan RHL ini adalah sarana yang dapat mendukung kegiatan tersebut.

Sedangkan pada tahapan evaluasi sarana rehabilitasi tidak mempengaruhi tingkat

partisipasi masyarakat.

Hubungan antara Peran Kelembagaan Sosial dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai koefisien korelasi dari peran kelembagaan sosial pada tahapan perencanaan

0,298**, pada tahapan pelaksanaan 0,379**, dan pada tahapan evaluasi 0,058. Nilai ini

47

menunjukkan pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan peran kelembagaan

sosial memiliki hubungan nyata, sedangkan pada tahapan evaluasi peran kelembagaan

sosial tidak memiliki hubungan. Hal ini berarti semakin besar peran kelembagaan sosial

pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan semakin tinggi pula tingkat

partisipasi masyarakatnya. Hal ini berarti masyarakat mulai merasakan fungsi dan

manfaat dari kelompok tani yang telah mereka bentuk, di mana kelompok tani

merupakan salah satu dari bentuk peran kelembagaan sosial.

Alternatif Prioritas Kebijakan Peningkatan Partisipasi Masyarakat

Hasil identifikasi dan analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih

tergolong rendah. Masih rendahnya partisipasi masyarakat tersebut disebabkan oleh

belum optimalnya faktor-faktor pendukung, baik faktor internal maupun faktor

eksternal. Untuk keberhasilan program RHL, maka partisipasi masyarakat perlu

ditingkatkan dan salah satu upayanya dengan menyusun alternatif prioritas kebijakan

peningkatan partisipasi masyarakat dengan analisis metode AHP.

Aplikasi metode AHP dalam menentukan alternatif prioritas kebijakan

peningkatan partisipasi masyarakat adalah menyusun hirarki, melakukan banding

berpasangan (pairwise comparison) dan menetapkan prioritas. Tujuan utama

penyusunan hirarki adalah untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan

partisipasi masyarakat, dalam hirarki tersebut ada dua faktor yang diangap adanya

keterkaitan penting, yaitu pemerintah dan masyarakat. Pemerintah disini berperan

sebagai pencetus program dan juga sebagai fasilitator dalam kegiatan RHL, sedangkan

masyarakat berperan sebagai pelaksana kegiatan. Untuk faktor pendukung yang

dipertimbangkan adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan,

pekerjaan sampingan, persepsi masyarakat, intensitas sosialisasi program (penyuluhan),

peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Setelah semua

kriteria faktor pendukung ditentukan maka disusunlah alternatif prioritas kebijakan

yaitu meningkatkan dukungan dari pemerintah dan meningkatkan kemampuan anggota

masyarakat.

Hasil focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan 12 responden yang

dianggap ahli maka dilakukan penilaian dan pembobotan terhadap elemen-elemen

48

partisipasi masyarakat yang telah disusun secara hirarki ke dalam matrik pembandingan

berpasangan (pairwise comparison). Kemudian data diproses dengan komputer

menggunakan software Expert choice 2000, dimana menghasilkan bobot nilai alternatif

prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat (Tabel 12).

Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa bobot nilai pemerintah (0,75) lebih

tinggi dibandingkan bobot nilai masyarakat (0,25), sehingga pemerintah merupakan

unsur prioritas dalam penyusunan kebijakan. Faktor-faktor pendukung yang memiliki

keterkaitan tinggi dengan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat

pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan

sarana (0,20). Bobot nilai alternatif kebijakan meningkatkan kemampuan anggota

masyarakat (0,84) lebih tinggi dibanding dengan bobot nilai kebijakan meningkatkan

dukungan dari pemerintah (0,16). Alternatif kebijakan meningkatkan kemampuan

anggota masyarakat menjadi unsur prioritas utama dalam penyusunan kebijakan.

Dengan demikian alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat

adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat

pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana untuk

masyarakat.

Tabel 12 Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat

Peningkatan partisipasi masyarakat Bobot

Aktor : Masyarakat Pemerintah

0,25 0,75

Faktor pendukung :

Umur Tingkat pendidikan Luas lahan Tingkat pendapatan Pekerjaan sampingan Persepsi Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) Peran pendamping Ketersediaan sarana Peran kelembagaan sosial

0,02 0,27 0,02 0,14 0,05 0,07 0,06 0,12 0,20 0,05

Alternatif :

Meningkatkan dukungan dari pemerintah Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

0,16 0,84

49

Hasil analisis dalam prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat di

DAS Cisadane Hulu diperoleh bahwa kemampuan anggota masyarakat masih tergolong

rendah, karena masyarakat masih berfikiran program yang dilakukan di lokasinya

akankah memberikan manfaat dan keuntungan bagi kebutuhan hidupnya, artinya apabila

ada perubahan dalam kehidupannya misalnya tingkat pendapatan, mereka akan ikut

berpartisipasi melakukan program tersebut. Partisipasi masyarakat di sini adalah

keterlibatan mereka dalam suatu program, yaitu keterlibatan mental, pikiran dan

perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan

sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan

ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukannya. Sehingga partisipasi tersebut

merupakan keterlibatan mental dan emosi, menghendaki adanya kontribusi terhadap

kepentingan atau tujuan kelompok dan merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.

Peran pemerintah juga sangat penting karena harus dapat meyakinkan

masyarakat untuk ikut berpartisipasi, diantaranya harus bisa menggali apa kebutuhan

atau keinginan masyarakat dalam program kegiatan RHL ini. Misalnya dalam

pengadaan bibit tanaman, pemerintah mau mendengar kehendak dari masyarakat

sehingga apa yang diberikan dapat bermanfaat bagi mereka, dan diharapkan mereka

mau untuk dapat memelihara dan menjaganya. Peran pihak lain pun sangat besar,

artinya pemerintah harus melakukan suatu kerjasama dengan pihak lain untuk dapat

membantu dalam mensukseskan programnya, diantaranya peran pendamping dan peran

lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini dapat membantu memberikan

penyuluhan kepada masyarakat sehingga kegiatan RHL akan berhasil sesuai dengan

tujuan yang diharapkan. Apabila semua telah berjalan dengan baik, maka kebijakan top

down tidak lagi terjadi dan diharapkan mendapat hasil yang optimal. Kebijakan yang

bersifat top down merupakan kriteria lemahnya perencanaan. Masyarakat mulai

dipandang sebagai integral dari pengelolaan suatu kebijakan.

Masyarakat yang tinggal di wilayah yang terkena kebijakan, program, atau

proyek, bisa untuk merumuskan persoalan dengan lebih efektif, mendapatkan informasi

dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, merumuskan alternatif penyelesaian

masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan membentuk perasaan memiliki

terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Meskipun

pendekatan partisipatif mungkin memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal

50

perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi

atau menghindari adanya pertentangan. Sehingga semua program kegiatan akan berjalan

sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Pelaksanaan program RHL di Indonesia dalam penetapan kebijakan kehutanan

yang menjadi perhatian adalah masalah kelembagaan, termasuk di dalamnya mencakup

analisis aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan, pengertian dan

pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan

kebijakan itu sendiri. Dengan demikian masalah kebijakan mempunyai lingkup lebih

luas dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga

tidak dapat diartikan sebatas peraturan perundang-undangan, melainkan solusi atas

masalah yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai masalah

menjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Kondisi seperti ini biasanya

disebabkan oleh: 1). Pendekatan dalam penyusunan kebijakan kehutanan hampir selalu

berangkat dari sisi fisik kayu, hutan, dan material lainnya, sebaliknya kurang

memperhatikan subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat,

beserta kepentingan dan kemampuannya. 2). Peraturan perundangan menjadi instrumen

yang dominan bahkan tunggal. Padahal banyak hal dapat diselesaikan secara sosial,

ekonomi, maupun politik. Dalam kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa

peraturan secara otomatis dapat tertuju pada penyelesaian masalah, sementara kondisi di

lapangan mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam

mengambil keputusan yang dijalankannya. 3). Kedua hal tersebut terjadi akibat adanya

policy narrative dan discource yang telah menjadi conventional wisdom dan tidak

sejalan dengan masalah yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan, khususnya

dalam pelaksanaan RHL.

Kondisi Aktual Tingkat Partisipasi Masyarakat di DAS Cidane Hulu

Terjadinya lahan-lahan kritis di beberapa daerah adalah akibat dari

ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat atau petani dengan kebijakan yang dibuat

pemerintah. Masyarakat mengacu pada tujuan untuk memperoleh manfaat dan

keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan pemerintah mengacu pada tujuan

jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi masa kini dan yang akan datang.

Kesenjangan antara tujuan masyarakat dan pemerintah ini akan menjadi konflik

51

kepentingan, dan hal ini harus dihindari. Pembuat kebijakan memandang pembangunan

yang berorientasi pada produktivitas jangka panjang, sementara harapan masyarakat

adalah pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam jangka pendek.

Sehingga proses perumusan kebijakan RHL melalui pendekatan top down, sedangkan

harapan masyarakat di DAS Cisadane Hulu adalah pendekatan bottom up yang

melibatkan lapisan masyarakat mulai dari bawah.

Pengelolaan DAS Cisadane Hulu ditandai dengan stakeholders yang

multisektor, multifungsi, multidisiplin, beranekaragam kepentingan terhadap

sumberdaya alam. Karena itu muncul banyak aturan dan kebijakan yang berkaitan

dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, dan kadang-kadang kebijakan

yang dibuat tumpang tindih sehingga menimbulkan masalah baru dalam

pelaksanaannya. Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dirumuskan melalui

formulasi program yang kebanyakan merupakan arahan dari pusat, atas dasar

kepentingan lembaga tertentu tanpa mengembangkan integritas fungsional antar sektor,

sehingga melahirkan egoisme sektoral pada masing-masing lembaga.

Menurut Muhadjir (1980) dalam Fauzi (2009) tingkatan partisipasi terbagi

menjadi empat jenis yaitu : 1). keterlibatan orang dalam proses pembuatan keputusan;

2). keterlibatan orang dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan; 3).

keterlibatan orang di dalam menikmati hasil dari kegiatan; dan 4). keterlibatan di dalam

evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana. Kenyataan di lapangan

tingkatan partisipasi yang ada adalah keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan

program saja, sementara keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan,

keterlibatan dalam evaluasi serta menikmati hasil dari kegiatan belum dilaksanakan

sepenuhnya di lapangan. Seharusnya yang dinamakan partisipasi masyarakat dalam

suatu kegiatan program adalah ikut memberi masukan, menerima imbalan atas

masukan tersebut dan ikut menikmati hasilnya. Walaupun kenyataan di lapangan masih

terjadi keraguan untuk mengemukakan pendapat (memberi masukan) padahal mereka

mengerti dan mengetahui kondisi di lapangan, maka mereka harus mendapatkan suatu

pengetahuan dan keterampilan untuk memiliki suatu keberanian dalam mengemukakan

pendapatnya. Sehingga hasil yang diharapkan akan sesuai dengan apa yang menjadi

tujuan dan mendapatkan manfaat, bagi masyarakat, aparat ataupun lingkungan.

52

Tingkat partisipasi masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari

keberhasilan program RHL di DAS Cisadane Hulu. Rendahnya tingkat partisipasi

menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan

pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada tahapan perencanaan

masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pemilihan dan pengadaan jenis bibit tanaman,

begitu pula saat proses penanaman dan pemeliharaan pasca tanam mereka kurang

diberikan penyuluhan mengenai tata cara menanam yang baik dan benar sehingga

banyak tanaman yang mati. Hasil laporan BPDAS Citarum Ciliwung (2008) dan

wawancara dengan masyarakat mengatakan bahwa dari jumlah bibit yang ditanam

sebanyak 49.300 batang, kurang lebih 14.790 batang atau 30% mati. Kematian dari

tanaman tersebut disebabkan antara lain karena terlambatnya pengiriman bibit,

penanaman bibit yang tidak tepat dan cara pemeliharaan pasca tanam yang salah.

Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS

Cisadane Hulu dapat dikaji sebagai berikut : 1). Masyarakat di sekitar DAS Cisadane

Hulu belum berperan secara aktif dalam kegiatan RHL. Rendahnya tingkat pendidikan

masyarakat merupakan salah satu sebab mereka tidak memiliki keberanian untuk

memberikan saran atau usul kepada pemerintah dalam proses kegiatan tersebut,

misalnya pengadaan bibit yang diharapkan oleh masyarakat setempat sesuai kecocokan

lokasi setempat. 2). Masyarakat yang memiliki lahan sempit tidak ingin untuk ditanami

tanaman keras karena hasilnya terlalu lama untuk dapat dirasakan sedangkan

pendapatan masyarakat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 3).

Peran dari petugas pendamping kurang optimal sehingga tidak dapat meyakinkan

masyarakat dalam memberikan pengertian tentang pentingnya konservasi, sehingga

masyarakat tidak termotivasi untuk dapat berpartisipasi dan 4). Masyarakat belum

dipandang secara penuh sebagai bagian dari integral pengelolaan kebijakan, di mana

mereka hanya diperankan dalam kedudukannya sebagai obyek dalam kerangka

pengambilan keputusan.

Hasil penelitian ini masih memerlukan suatu penelitian lebih lanjut lagi, di mana

meningkatkan pendapatan adalah sala satu faktor utama dari beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Masyarakat akan ikut berpartisipasi

dalam suatu program apabila dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Salah

satu cara yang telah dilakukan dan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat

53

adalah dengan cara kontribusi biaya (cost sharing) yaitu pembayaran jasa lingkungan

atau PES (Payment for Environmental Services) antara hulu dan hilir.

Pembayaran jasa lingkungan atau PES adalah pemberian imbal jasa berupa

pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan

yang dihasilkan. Sistem pembayaran jasa lingkungan adalah mekanisme pembayaran

finansial dan non finansial dituangkan dalam kontrak hukum yang berlaku meliputi

aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen sistem pembayarn jasa

lingkungan adalah: 1) jasa lingkungan yang dapat diukur; 2) penyedia; 3) pemanfaat dan

4) tata cara pembayaran. Tujuan dari pembayaran finansial dan non finansial jasa

lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih

ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai

upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan

ekonomi dan sosial yang lestari.

Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dari timber oriented (orientasi kayu)

menjadi pemanfaatan hutan yang berbasis sumber daya hutan membuka peluang bagi

pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang selama ini masih terabaikan. Nugroho (2007),

menyebutkan dari suatu hasil penelitian, nilai ekonomi hasil hutan kayu hanya 5 % dari

nilai ekonomi total kawasan hutan dan 95 % adalah nilai ekonomi dari hasil hutan non

kayu termasuk nilai ekonomi jasa lingkungan hutan. Jadi jasa lingkungan harus segera

ditangani secara komprehensip, terencana dan terpadu untuk kelestarian lingkungan dan

kesejahteraan masyarakat.

Kondisi hulu umumnya kritis akibat perubahan pola penggunaan lahan,

penggundulan hutan dan pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman. Akibatnya,

fungsi hutan yang sejak awal berfungsi sebagai penyimpan air telah berubah, hutan

tidak dapat lagi sebagai media penyimpan air pada musim hujan, karena air hujan

umumnya berubah menjadi aliran permukaan dan kurang terserap dalam tanah.

Akibatnya jumlah dan kontiniutas air yang diperlukan setiap saat berubah-ubah.

Fenomena yang dapat dilihat saat ini adalah saat musim hujan volume air yang mengalir

lewat sungai-sungai sangat besar, sedangkan pada saat musim kering, sungai-sungai

yang mengalir makin kecil dan pada saat tertentu akan mati atau kekeringan.

Masyarakat di hulu selalu dibatasi oleh berbagai hal yang berkaitan dengan

kuantitas dan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pelestarian tata air

54

untuk tetap terjaga kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air baku untuk

memenuhi kebutuhan air masyarakat di hilir. Pengetahuan masyarakat hulu yang

terbatas tentang pemanfaatan lahan dan penguasaan lahan serta pola budidaya pertanian

yang dikembangkan secara tradisional telah mengakibatkan sebagian besar masyarakat

di hulu terjebak dalam perangkap kemiskinan (poverty trap). Pada akhirnya mendorong

masyarakat untuk melakukan aktivitas yang berdampak pada turunnya kuantitas dan

kualitas lingkungan pada DAS.

Bagian hilir adalah bagian yang paling banyak memanfaatkan jasa dari hulu, jasa

yang paling besar dimanfaatkan adalah jasa air yang digunakan dalam kehidupan sehari-

hari dan yang mengalir melalui sungai-sungai. Sungai dimanfaatkan sebagai sumber air

minum, kehidupan sehari-hari, pertanian, pengairan, trasportasi dan penggerak beberapa

industri-industri baik skala kecil maupun skala besar. Untuk beberapa industri seperti

PLTA dan PDAM serta pabrik air kemasan, keberlangsungan pergerakan industri ini

sangat tergantung pada jumlah air yang tersedia, karena sangat membutuhkan air

sebagai bahan utama dalam proses produksinya. Apabila jumlah air yang mengalir

makin kecil, maka industri-industri ini tidak akan dapat berproduksi.

Secara alamiah air pada semua badan air yang ada di DAS akan mengalir dari

arah hulu menuju ke hilir, sehingga setiap aktivitas yang berinteraksi dengan air dan

tanah di daerah hulu akan memberikan dampak pada daerah hilir. Sebagai contoh,

penebangan hutan secara liar yang tidak terkendali di hulu suatu DAS akan memberikan

dampak pada daerah hilir, antara lain meningkatnya permasalahan banjir dan tanah

longsor pada musim hujan. Cara pengolahan tanah yang tidak menerapkan aspek

konservasi di daerah hulu juga akan memberikan dampak pada daerah hilir.

Pihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah individu, kelompok atau

lembaga yang memiliki kepentingan terhadap DAS. Masing-masing mempunyai

maksud dan tujuan yang berbeda, bahkan kadang-kadang bertentangan satu dengan

yang lainnya. Sehingga tidak mengherankan ada kecenderungan DAS dikelola secara

terfragmentasi untuk mencapai tujuannya masing-masing. Agar DAS dapat memberikan

manfaat kepada banyak pihak diperlukan penguatan pengelolaan DAS secara terpadu.

Hubungan hulu hilir pada suatu DAS tidak dapat dipisahkan. Hulu dan hilir

adalah dua tempat yang saling berhubungan antara pemberi manfaat dan penikmat

pengguna manfaat. Selama ini, hubungan antara hulu dan hilir berjalan sendiri-sendiri

55

sehingga ada suatu batas yang membuat pengelolaan DAS tidak berkembang, yaitu

masyarakat di hulu beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan

sumberdaya yang ada disekitarnya yang menyebabkan fungsi tata air terganggu.

Sebaliknya, masyarakat di hilir akan beraktivitas dengan kegiatannya tanpa menyadari

bahwa kegiatan yang dilakukannya itu berasal dari hulu seperti ketersediaan air. Jika

kondisi ini terjadi, maka sudah seharusnya masyarakat di hilir menyadari bahwa

masyarakat di hulu memiliki peranan penting dalam pengelolaan wilayah di kawasan

hulu DAS untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan air. Untuk itu perlu konsep

pembayaran jasa lingkungan dari hilir ke hulu. Konsep ini didasari dari adanya

kompensasi yang diserahkan pihak hilir ke hulu sebagai penyedia jasa lingkungan, dan

pihak di hulu memanfaatkan jasa ini untuk menjaga kelestarian hutan dan lahan di hulu

sehingga DAS dapat berfungsi sebagai sumber air yang sangat dibutuhkan di hilir.

Menurut Nugroho (2007), kebijakan dan dasar hukum pembiayaan jasa

lingkungan hutan umumnya mengarah kepada suatu mekanisme transaksi pembayaran

untuk upaya konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang

melakukan upaya konservasi, sedangkan kunci pembiayaan jasa lingkungan hutan

adalah adanya proses partisipasi antar pelaku, transparansi pembayaran, kejelasan hak

dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan transaksi dan dilakukan oleh

lembaga pengelola jasa lingkungan yang menghubungkan antara kedua belah pihak.

Mekanisme pembangunan dengan pola pembayaran jasa lingkungan sangat baik untuk

dikembangkan, tetapi yang menjadi kunci utama adalah adanya kesadaran para pihak

yang paling banyak menggunakan jasa lingkungan untuk berperan dalam pembayaran

jasa yang disediakan oleh masyarakat (seller). Contoh kasus hulu hilir dengan metode

pembayaran jasa lingkungan sudah dilaksanakan di Indonesia, contoh kasus DAS

Cidanau di Cilegon dan DAS Way Besay di Lampung.

56

Contoh Kasus 1. Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau di Cilegon Sektor industri merupakan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap DAS.

Salah satunya adalah PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI) yang sangat tergantung pada ekosistem DAS Cidanau karena berkaitan dengan sumberdaya air untuk menghidupi kegiatan industri. PT KTI adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri air bersih khususnya air industri dan air minum. Pergerakan PT KTI ini sangat tergantung dengan jumlah dan kualitas air yang diperoleh dari hulu pada DAS Cidanau. Sebagian besar daerah tangkapan DAS Cidanau merupakan milik warga yang sangat sulit untuk mengawasinya. Pola pemanfaatan lahan inilah yang menyebabkan menurunnya fungsi resapan air dan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Kondisi ini masih jauh di atas proyeksi kebutuhan air kawasan industri Cilegon sampai dengan tahun 2010. Perubahan debit air DAS Cidanau tetap harus diwaspadai apalagi jumlah lahan kritis dibeberapa lokasi di DAS Cidanau setiap tahun cenderung meningkat (Fauzi, 2005).

Proses pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu hilir di DAS Cidanau melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, dimulai sejak sosialisasi tentang pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) oleh berbagai lembaga-lembaga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. Dibangun dan dikembangkannya hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, diharapkan memberikan harapan dan aksesibilitas kepada masyarakat di hulu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Hal tersebut menjadi mungkin untuk dicapai, apabila seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau menyadari arti penting DAS Cidanau dalam mendukung proses pembangunan di hilir dengan pusat kegiatan pembangunan di wilayah Kota Cilegon. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan oleh pembeli (buyer) dari penjual jasa (seller) tidak mengakibatkan peningkatan harga dari produk yang dihasilkan, karena kegiatan ini bersifat kerelaan (voluntary).

Contoh Kasus 2 Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Way Besay di Lampung Sumber Jaya di DAS Way Besay merupakan daerah hulu DAS Tulang Bawang di Kabupaten

Lampung Barat Propinsi Lampung, wilayah ini sekitar 40% merupakan hutan lindung, 14 % taman Nasional dan 56% adalah penggunaan lain dan merupakan daerah yang konflik baik konflik lahan maupun konflik sosial. Hasil penelitian ICRAF menemukan adanya suatu peningkatan jasa lingkungan yang dihasilkan dari hutan lindung yang terdegradasi dan mengalami deforestasi pada praktik-praktik pengelolaan budi daya kopi multistrata. Konflik di antara petani kopi dengan pemerintah mulai mereda ketika beberapa LSM (Watala dan ICRAF) dan mahasiswa menjadi fasilitator terhadap permasalahan tersebut. Tahun 2002 terjadi kesepakatan, masyarakat diperbolehkan mengusahakan kebun kopinya di lahan negara dengan suatu persyaratan di bawah program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program ini memberikan hak kepada petani untuk mengusahakan kebun kopinya di dalam hutan, memanfaatkan dan mengelola lahan tanpa hak memilikinya dengan beberapa persyaratan dengan tujuan untuk mempertemukan dua kepentingan yaitu kepentingan pemerintah sebagai penerima jasa lingkungan (fungsi perlindungan hutan) dan kepentingan petani (menyangkut keberlangsungan kehidupan petani) sebagai penyedia jasa.

Pemberian hak kelola atas lahan diberikan kepada petani dalam wadah kelompok. Prinsip pembayaran adalah kelompok petani yang sudah mengelola lahan di dalam kawasan hutan (dalam kondisi yang open acces) bisa menyediakan jasa-jasa lingkungan sesuai dengan kesepakatan, maka petani tersebut akan mendapatkan hak kelola atas lahan dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan. Pemberian hak kelola atas lahan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Tahun 2006 tercatat 18 kelompok petani mendapat hak kelola seluas 11,633 Ha, yaitu sekitar 70% hak kelola berada di hutan lindung (Huang dan Upadhyaya , 2007). Tahun 2007, 5 kelompok mendapat hak kelola selama 35 tahun (2 dari sumber Jaya) dan 26 kelompok mendapat hak kelola sementara selama 5 tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tergabung dalam kelompok HKm telah berhasil meningkatkan nilai jasa lingkungan dengan mengkonservasi hutan di bawah program HKm.

57

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi

dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu tergolong rendah dan masuk ke dalam

tingkatan non participation. Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat

partisipasi masyarakatnya tergolong sedang (tokenism).

2. Faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi

masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu adalah umur, tingkat

pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program

(penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial.

3. Peran Pemerintah sangat penting dalam penyusunan suatu kebijakan, di mana faktor

yang mendukung adalah tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping

dan ketersediaan sarana. Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi

masyarakat adalah dengan meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui

sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan

sarana.

Saran

1. Untuk pengembangan program RHL di masa yang akan datang, perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau PES

(Payment for Environmental Services) oleh berbagai lembaga seperti LSM,

sehingga permasalahan partisipasi masyarakat yang dapat menghambat keberhasilan

program RHL dapat diantisipasi.

2. Mengingat adanya keterbatasan kemampuan pemerintah, maka sebaiknya ada upaya

pemerintah untuk mengajak sektor swasta (dunia usaha) yang bergerak di bidang

kehutanan untuk ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan RHL serta memberikan

dukungan sarana sebagai rasa tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social

responbility) terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

58

DAFTAR PUSTAKA Adi I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi. Edisi Revisi.

Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Cetakan Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.

Agus F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Diterbitkan oleh World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor.

Ahsoni MA. 2008. Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan di Sub DAS Cisadane Hulu. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ansar M. 2009. Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air ( Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Arsyad S. 2009. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : IPB Press. Arenstein S.R. 1969. A ladder of Citizen Participation. JAIP, 35 [4] : 216 – 224.

Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Cetakan Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

[BPDAS Citarum Ciliwung] Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung. 2003. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cisadane. Bogor: BPDAS Citarum Ciliwung.

[BPDAS Citarum Ciliwung] Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung. 2007. Laporan Akhir. Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR. Bogor: BPDAS Citarum Ciliwung.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008. Bogor Regency in figures 2008. Bogor.

Cohen JM. Uphoff. 1980. Rural Development Participation. New York. Itacha. Daniel M. Darmawati dan Nieldalina. 2006. PRA (Participatory Rural Appraisal)

Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Cetakan Pertama. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta.

[Dephut]. Departemen Kehutanan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL), Jakarta: Dirjen RRL Dephut.

[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 – 2025. Jakarta: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan.

[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2007. Rencana dan Realisasi Kegiatan GN-RHL Tahun 2003 – 2007. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.

59

[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Jakarta.

[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2008. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Amanah Instruksi Presiden No.5 Tahn 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008 – 2009. Jakarta.

Fauzi A. 2009. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Fauzi. Aunul. 2005. Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional Pembayaran dan lmbal Jasa Lingkungan, 14-15 Februari 2005. Penerbit : World Agropforestry Centre (ICRAF). Jakarta.

Gautama I. 2006. Dinamika Partisipasi Masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus DAS Bila Walanae Hulu Danau Tempe. Jurnal Sains & Teknologi 6 (3): 121-134.

Gerung TSL. 2004. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kecamatan Likupang. Kabupaten Minahasa. Propinsi Sulawesi Utara. [Tesis] Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Huang dan Upadhyaya, 2007. Watershed-based Payment for Environmental Services in Asia. Working Paper No 06-07.

Indahwati DR. Evi L. Haryanti N. dan Yuliantono D. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT). Balai Penelitian Kehutanan Solo. Departemen Kehutanan.Jurnal Pengelolaan DAS, IX [1]: 30-44.

Jalal. 2008. Payments for Environmental Services: Apa dan bagaimana? Peran Pemerintah dan Perusahaan. Disampaikan dalam Diskusi mengenai PES di Berastagi SUMUT Tanggal 5 Juni 2008.

Kartodihardjo H. 2006. Bahan Kuliah Kelembagaan Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) (Konsep dan Analisis Kebijakan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2003. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 18 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. http://www.menlh.go.id. html (22 Desember 2009).

Manan S. 1978. Evaluasi Hasil Kegiatan Program PHTA Pelita II dan Proyeksi Pelita III; Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Mardikanto T. 1988. Komunikasi Pembangunan Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Muis. 2007. Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan lahan (GNRHL). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Oedesaan: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

60

Nawawi H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Cetakan kesebelas. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Nawir AA. Muniarti. Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga Dasawarsa ?. http://www.cifor.cgiar.org/publication/pdf_files/book/BNawir0801Ina.pdf [22 Juli 2008]

Nugroho H. 2007. Kebijakan Departemen Kehutanan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Jasa Lingkungan Hutan Di Indonesia. Makalah. Disampaikan dalam Lokakarya dan pelatihan Pengelolaan Jasa Lingkungan. Balikpapan.

Patrono S. 1006. Hektar Lahan Gagal Ditanami Proyek GN-RHL. (Dalam Laporan Wartawan Kompas Syaifullah). KOMPAS. [cyber media]. http://www.kompas.com/ver/Nusantara/061120/16235 . htm [22 Nofember 2006].

Pudjianto K. 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservai Sumberdaya Air di Sub DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Priyono CNS. dan Cahyono. 2003. Status dan Strategi Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Masa Depan di Indonesia. Alami 8: 1-5. Jakarta.

Pujo. 2003. Partisipasi Masyarakat pada Program Kehutanan Sosial di Perum Perhutani Unit III jawa Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : LSI IPB. Bogor

Puspaningsih N. 1997. Studi Perencanaan Pengelolaan Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Saaty T.L and Vargas L.G. 1994. The Analytic Hierarchy Process Series VII. RWS Publication Ellsworth Avenue 4922. Pittsburgh. PA 15213 USA

Safei. 2005. Kajian Partisipasi Masyrakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove: Studi Kasus Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Abulu-bulu Kecamatan Parigi Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Singarimbun M. dan Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survai. Cetakan Kedua. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta.

Sinukaban N. 2008. Bahan Kuliah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Program Studi Pengelolaan DAS. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Slamet M. 1980. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Bogor.

Soemarwoto O. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan kesepuluh. Djambatan. Jakarta.

Suharjito D. Sundawati L. Suyanto dan Utami S.R. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF): 5. Bogor.

Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

61

Sunartana. 2003. Partisipasi Angota Dalam Kelompok Pengelolaan dan Pelestarian Hutan (KPPH). (Kasus di kawasan Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung Lampung). [Tesis]. Program Pascasarjanan IPB. Bogor.

Suyanto. 2007. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan. World Agroforestry Center.Bogor.

Soetrisno. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. PT Kanisius. Yogyakarta. Tjokroamidjojo. 1991. Pengantar Pembangunan dalam Pembangunan Pedesaan. Pustaka

Press. Jakarta. Trison S. 2005. Pengembangan Partisipai Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi

Hutan. [Tesis]. Program Pascasarjanan IPB. Bogor. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidip. Jakarta

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta. [WALHI]. Wahana Lingkungan Hidup. 2004. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan

Lahan (GN-RHL) Butuh Perencanaan yang Matang dan Partisipatif serta Pengawasan Aktif Masyarakat: http://www.walhi.or.id/ . html [12 Desember 2009].

Winarto, H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestry (Kasus kegiatan Agroforestry di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta). [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

62

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta administrasi DAS Cisadane Hulu

Lampiran 2 Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori No. Variabel Sub Variabel Indikator Parameter

pengukuran

Kategori

1. Partisipasi Masyarakat (Y)

Perencanaan kegiatan RHL (Y1)

Identifikasi masalah Penentuan lokasi tanam Penentuan luas lahan Penentuan jenis bibit

tanaman Penentuan bangunan sipil

teknis Pembentukan kelompok

tani Penentuan dana

Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat

Rendah Sedang Tinggi

Pelakanaan kegiatan RHL (Y2)

Identifikasi masalah Pemeriksaan bibit tanaman Pembuatan bangunan sipil

teknis Penanaman, Penyiangan,

Pendangiran, Penyulaman, Pemeliharaan

Penyiapan sarana Pertemuan kelompok tani Penyediaan dana

Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat

Rendah Sedang Tinggi

Evaluasi kegiatan RHL (Y3)

Penilaian dan pemantauan tanaman

Pemantauan perkembangan tanaman

Pemberian informasi kepada petugas

Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat

Rendah Sedang Tinggi

2. Faktor Internal (X1)

Umur (X1.1) Umur responden

< 15 tahun 15 – 65 tahun > 65 tahun

Rendah Sedang Tinggi

Tingkat pendidikan (X1.2)

Tidak sekolah atau tamat SD

Tamat SLTP Tamat SLTA, Akademi

atau Perguruan Tinggi

Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3

Rendah Sedang Tinggi

Luas lahan (X1.3) Tingkat pendapatan (X1.4)

Kepemilikan lahan responden

Penghasilan responden per

bulan

< 0,3 ha 0,3-1 ha > 1 ha < Rp 500.000 Rp 500.000 -

Rp 1.000.000 > Rp 1.000.000

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

65

Lampiran 2 Lanjutan No. Variabel Sub Variabel Indikator Parameter pengukuran Kategori

Pekerjaan

sampingan (X1.5)

Pekerjaan tambahan responden

Tdk ada (Nilai 0) Ada 1 (Nilai 1) Ada 2 (Nilai 2)

Rendah Sedang Tinggi

Persepsi (X1.6)

Mengetahui tujuan program RHL

Mengetahui manfat program RHL

Mengetahui pelaksanaan program RHL

Nilai < 3 Nilai 3-4 Nilai > 4

Rendah Sedang Tinggi

3. Faktor Eksternal (X2)

Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (X2.1)

Frekuensi sosialisasi tahap perencanaan

Frekuensi sosialisasi tahap pelaksanaan

Frekuensi sosialisasi tahap evaluasi

Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5

Rendah Sedang Tinggi

Peran pendamping (X2.2)

Frekuensi kunjungan petugas pendamping

Keterlibatan petugas pendamping

Aktivitas petugas pendamping

Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5

Rendah Sedang Tinggi

Ketersediaan sarana (X2.3)

Bibit tanaman dan pupuk

Alat kerja dan tenaga kerja

Bahan/material Dana

Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5

Rendah Sedang Tinggi

Peran kelembagaan sosial (X2.4)

Koordinasi dan pemberian informasi

Pemeliharaan pasca tanam

Pendistribusian bibit tanaman

Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5

Rendah Sedang Tinggi

66

Lampiran 3 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y1) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1

1 35 SD 2,4 300 1 3 4 0 6 2 6 2 60 SMA 2,1 1.200 1 3 7 5 5 5 16 3 50 SMA 3,0 1.500 1 6 6 3 6 5 15 4 30 SMA 3,0 1.500 1 6 6 2 6 5 14 5 26 SMA 3,3 1.500 1 6 6 3 3 4 20 6 48 SD 0,5 550 1 6 4 6 3 2 6 7 45 SMP 0,6 500 1 4 4 2 5 2 6 8 56 SMA 0,7 1.000 1 5 7 6 5 2 10 9 56 SMP 0,5 560 1 4 7 6 5 2 9

10 63 SMP 0,5 500 2 4 6 5 5 4 14 11 60 SMP 0,5 550 0 6 6 3 6 4 13 12 56 SMP 0,5 375 1 3 7 1 4 5 9 13 50 SMP 0,5 500 1 4 4 3 5 5 8 14 63 SMP 0,8 450 1 3 4 2 5 5 15 15 70 SMA 1,0 1.500 1 6 4 4 5 5 17 16 55 SMP 0,7 450 1 3 7 1 3 5 10 17 40 SD 0,4 400 0 3 7 3 6 2 7 18 67 SMA 0,7 1.200 2 5 8 2 5 6 13 19 58 SMA 0,7 1.000 0 5 6 5 5 6 11 20 70 SMA 0,5 1.400 1 5 6 0 1 5 15 21 28 SD 0,3 300 0 3 0 3 6 2 4 22 70 SMA 1,2 1.500 0 6 8 5 5 6 18 23 63 SMA 1,0 1.200 1 6 6 1 6 5 15 24 56 SMP 2,5 400 0 6 5 0 5 3 16 25 57 SMP 0,4 500 0 4 6 0 4 3 12 26 32 SMP 0,7 500 1 5 3 1 6 2 9 27 71 SMP 0,6 400 0 5 6 3 2 3 16 28 32 SD 0,2 200 0 6 0 3 6 2 4 29 68 SMP 0,2 300 1 3 4 1 6 3 10 30 66 SMA 0,6 1.000 1 3 7 2 6 4 12 31 65 SMP 0,2 100 1 4 7 3 6 4 9 32 54 SMP 0,3 400 1 6 3 4 5 5 9 33 72 SMA 0,5 1.500 1 6 8 1 2 6 15 34 28 SD 0,5 300 1 3 4 3 3 3 6 35 38 SMP 0,5 500 0 4 6 0 5 3 12 36 55 SMA 0,9 1.000 1 5 4 1 4 5 11 37 35 SD 0,5 250 0 2 4 0 5 2 6 38 39 SD 0,4 350 1 4 3 2 5 4 5 39 60 SMP 0,2 400 0 6 8 3 5 5 10

67

Lampiran 3 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 40 32 SMP 0,5 500 0 3 6 1 5 5 12 41 48 SD 0,5 300 1 4 5 3 3 6 6 42 28 SMP 2,5 400 2 2 6 2 6 5 17 43 50 SMA 2,4 1.300 0 6 6 2 6 4 9 44 50 SMP 2,5 500 1 6 5 6 6 5 14 45 20 SMP 2,1 500 0 3 7 3 4 2 15 46 56 SMA 3,0 1.200 1 6 6 3 6 2 20 47 26 SMA 3,5 1.300 1 3 6 3 6 5 20 48 38 SMA 0,4 1.200 1 4 5 3 3 2 6 49 44 SD 3,0 400 0 6 6 4 6 5 10 50 40 SMP 3,2 500 1 0 6 0 6 5 11 51 45 SMP 2,0 500 0 2 7 3 3 2 8 52 42 SMP 3,2 500 0 4 8 4 6 4 18 53 20 SMA 3,5 1.400 0 6 5 3 6 4 20 54 50 SMA 2,5 1.400 1 6 6 5 6 4 15 55 25 SMA 0,3 1.000 1 5 6 2 6 6 10 56 66 SMP 0,1 450 2 5 6 4 5 5 10 57 64 SMP 0,3 500 0 5 7 3 6 5 10 58 35 SMA 0,2 1.500 0 5 6 5 6 5 15 59 72 SMP 0,5 550 1 5 7 3 2 3 8 60 45 SMP 0,5 500 1 6 6 2 6 6 6 61 54 SMA 1,0 1.200 0 6 6 4 5 5 13 62 32 SMP 0,3 500 0 4 3 3 4 2 5 63 40 SMP 0,5 600 0 5 4 2 2 4 6 64 37 SMP 0,4 500 1 3 4 3 2 2 6 65 35 SMA 0,5 1.000 1 5 4 3 4 3 6 66 57 SMP 0,2 400 1 3 6 6 5 6 9 67 29 SD 0,1 700 1 2 6 2 3 6 7 68 42 SD 0,1 200 1 0 5 3 2 3 5 69 39 SMP 0,6 400 1 3 4 3 3 3 6 70 69 SMP 0,2 550 1 3 4 2 6 6 10 71 64 SMP 0,7 500 0 2 5 3 6 6 13 72 70 SMA 0,2 1.500 0 6 2 2 6 5 13 73 27 SMP 0,8 500 1 5 3 3 6 5 16 74 32 SMP 0,1 500 1 0 7 2 5 5 8 75 47 SD 0,4 300 1 3 2 6 4 2 8 76 25 SD 0,4 200 0 2 7 3 5 4 5 77 40 SMP 0,5 500 1 3 6 5 2 2 3 78 62 SMP 0,3 500 0 3 6 1 2 4 7 79 29 SMP 0,3 500 0 4 7 3 6 5 12

68

Lampiran 3 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 80 49 SD 0,8 400 1 3 3 1 6 5 13 81 73 SMP 0,2 500 0 0 6 2 3 4 7 82 56 SMP 0,3 450 1 2 7 2 6 3 13 83 55 SMP 0,7 450 1 6 5 3 5 3 10 84 60 SMA 0,0 1.300 0 6 5 6 6 3 9 85 55 SMP 0,5 550 0 5 8 4 5 3 9 86 46 SD 0,5 1.200 0 5 6 4 6 5 13 87 55 SMP 0,5 300 0 3 6 3 5 4 6 88 47 SMP 0,0 100 0 3 6 5 5 3 9 89 34 SD 1,5 300 0 3 7 6 3 3 8 90 40 SD 0,5 200 0 6 3 2 4 2 5

Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y1 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Perencanaan X1.6 = Persepsi

69

Lampiran 4 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y2) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2

1 35 SD 2,4 300 1 3 4 0 6 2 15 2 60 SMA 2,1 1.200 1 3 7 5 5 5 16 3 50 SMA 3,0 1.500 1 6 6 3 6 5 20 4 30 SMA 3,0 1.500 1 6 6 2 6 5 19 5 26 SMA 3,3 1.500 1 6 6 3 3 4 20 6 48 SD 0,5 550 1 6 4 6 3 2 16 7 45 SMP 0,6 500 1 4 4 2 5 2 16 8 56 SMA 0,7 1.000 1 5 7 6 5 2 15 9 56 SMP 0,5 560 1 4 7 6 5 2 15

10 63 SMP 0,5 500 2 4 6 5 5 4 15 11 60 SMP 0,5 550 0 6 6 3 6 4 16 12 56 SMP 0,5 375 1 3 7 1 4 5 16 13 50 SMP 0,5 500 1 4 4 3 5 5 16 14 63 SMP 0,8 450 1 3 4 2 5 5 15 15 70 SMA 1,0 1.500 1 6 4 4 5 5 15 16 55 SMP 0,7 450 1 3 7 1 3 5 14 17 40 SD 0,4 400 0 3 7 3 6 2 15 18 67 SMA 0,7 1.200 2 5 8 2 5 6 15 19 58 SMA 0,7 1.000 0 5 6 5 5 6 15 20 70 SMA 0,5 1.400 1 5 6 0 1 5 10 21 28 SD 0,3 300 0 3 0 3 6 2 18 22 70 SMA 1,2 1.500 0 6 8 5 5 6 15 23 63 SMA 1,0 1.200 1 6 6 1 6 5 18 24 56 SMP 2,5 400 0 6 5 0 5 3 15 25 57 SMP 0,4 500 0 4 6 0 4 3 11 26 32 SMP 0,7 500 1 5 3 1 6 2 17 27 71 SMP 0,6 400 0 5 6 3 2 3 11 28 32 SD 0,2 200 0 6 0 3 6 2 15 29 68 SMP 0,2 300 1 3 4 1 6 3 18 30 66 SMA 0,6 1.000 1 3 7 2 6 4 18 31 65 SMP 0,2 100 1 4 7 3 6 4 17 32 54 SMP 0,3 400 1 6 3 4 5 5 17 33 72 SMA 0,5 1.500 1 6 8 1 2 6 10 34 28 SD 0,5 300 1 3 4 3 3 3 4 35 38 SMP 0,5 500 0 4 6 0 5 3 17 36 55 SMA 0,9 1.000 1 5 4 1 4 5 12 37 35 SD 0,5 250 0 2 4 0 5 2 14 38 39 SD 0,4 350 1 4 3 2 5 4 17 39 60 SMP 0,2 400 0 6 8 3 5 5 17

70

Lampiran 4 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 40 32 SMP 0,5 500 0 3 6 1 5 5 16 41 48 SD 0,5 300 1 4 5 3 3 6 15 42 28 SMP 2,5 400 2 2 6 2 6 5 16 43 50 SMA 2,4 1.300 0 6 6 2 6 4 17 44 50 SMP 2,5 500 1 6 5 6 6 5 15 45 20 SMP 2,1 500 0 3 7 3 4 2 19 46 56 SMA 3,0 1.200 1 6 6 3 6 2 20 47 26 SMA 3,5 1.300 1 3 6 3 6 5 15 48 38 SMA 0,4 1.200 1 4 5 3 3 2 15 49 44 SD 3,0 400 0 6 6 4 6 5 15 50 40 SMP 3,2 500 1 0 6 0 6 5 15 51 45 SMP 2,0 500 0 2 7 3 3 2 14 52 42 SMP 3,2 500 0 4 8 4 6 4 14 53 20 SMA 3,5 1.400 0 6 5 3 6 4 15 54 50 SMA 2,5 1.400 1 6 6 5 6 4 15 55 25 SMA 0,3 1.000 1 5 6 2 6 6 17 56 66 SMP 0,1 450 2 5 6 4 5 5 17 57 64 SMP 0,3 500 0 5 7 3 6 5 17 58 35 SMA 0,2 1.500 0 5 6 5 6 5 11 59 72 SMP 0,5 550 1 5 7 3 2 3 15 60 45 SMP 0,5 500 1 6 6 2 6 6 17 61 54 SMA 1,0 1.200 0 6 6 4 5 5 11 62 32 SMP 0,3 500 0 4 3 3 4 2 14 63 40 SMP 0,5 600 0 5 4 2 2 4 13 64 37 SMP 0,4 500 1 3 4 3 2 2 12 65 35 SMA 0,5 1.000 1 5 4 3 4 3 17 66 57 SMP 0,2 400 1 3 6 6 5 6 17 67 29 SD 0,1 700 1 2 6 2 3 6 10 68 42 SD 0,1 200 1 0 5 3 2 3 15 69 39 SMP 0,6 400 1 3 4 3 3 3 18 70 69 SMP 0,2 550 1 3 4 2 6 6 18 71 64 SMP 0,7 500 0 2 5 3 6 6 17 72 70 SMA 0,2 1.500 0 6 2 2 6 5 17 73 27 SMP 0,8 500 1 5 3 3 6 5 17 74 32 SMP 0,1 500 1 0 7 2 5 5 11 75 47 SD 0,4 300 1 3 2 6 4 2 15 76 25 SD 0,4 200 0 2 7 3 5 4 10 77 40 SMP 0,5 500 1 3 6 5 2 2 14 78 62 SMP 0,3 500 0 3 6 1 2 4 16 79 29 SMP 0,3 500 0 4 7 3 6 5 16

71

Lampiran 4 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 80 49 SD 0,8 400 1 3 3 1 6 5 15 81 73 SMP 0,2 500 0 0 6 2 3 4 16 82 56 SMP 0,3 450 1 2 7 2 6 3 16 83 55 SMP 0,7 450 1 6 5 3 5 3 16 84 60 SMA 0,0 1.300 0 6 5 6 6 3 16 85 55 SMP 0,5 550 0 5 8 4 5 3 18 86 46 SD 0,5 1.200 0 5 6 4 6 5 15 87 55 SMP 0,5 300 0 3 6 3 5 4 16 88 47 SMP 0,0 100 0 3 6 5 5 3 15 89 34 SD 1,5 300 0 3 7 6 3 3 11 90 40 SD 0,5 200 0 6 3 2 4 2 11

Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y2 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Pelaksanaan X1.6 = Persepsi

72

Lampiran 5 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y3) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3

1 35 SD 2,4 300 1 3 4 0 6 2 0 2 60 SMA 2,1 1.200 1 3 7 5 5 5 0 3 50 SMA 3,0 1.500 1 6 6 3 6 5 0 4 30 SMA 3,0 1.500 1 6 6 2 6 5 10 5 26 SMA 3,3 1.500 1 6 6 3 3 4 0 6 48 SD 0,5 550 1 6 4 6 3 2 10 7 45 SMP 0,6 500 1 4 4 2 5 2 10 8 56 SMA 0,7 1.000 1 5 7 6 5 2 0 9 56 SMP 0,5 560 1 4 7 6 5 2 0

10 63 SMP 0,5 500 2 4 6 5 5 4 12 11 60 SMP 0,5 550 0 6 6 3 6 4 16 12 56 SMP 0,5 375 1 3 7 1 4 5 12 13 50 SMP 0,5 500 1 4 4 3 5 5 12 14 63 SMP 0,8 450 1 3 4 2 5 5 12 15 70 SMA 1,0 1.500 1 6 4 4 5 5 16 16 55 SMP 0,7 450 1 3 7 1 3 5 16 17 40 SD 0,4 400 0 3 7 3 6 2 20 18 67 SMA 0,7 1.200 2 5 8 2 5 6 16 19 58 SMA 0,7 1.000 0 5 6 5 5 6 10 20 70 SMA 0,5 1.400 1 5 6 0 1 5 0 21 28 SD 0,3 300 0 3 0 3 6 2 15 22 70 SMA 1,2 1.500 0 6 8 5 5 6 17 23 63 SMA 1,0 1.200 1 6 6 1 6 5 16 24 56 SMP 2,5 400 0 6 5 0 5 3 16 25 57 SMP 0,4 500 0 4 6 0 4 3 12 26 32 SMP 0,7 500 1 5 3 1 6 2 13 27 71 SMP 0,6 400 0 5 6 3 2 3 0 28 32 SD 0,2 200 0 6 0 3 6 2 12 29 68 SMP 0,2 300 1 3 4 1 6 3 12 30 66 SMA 0,6 1.000 1 3 7 2 6 4 5 31 65 SMP 0,2 100 1 4 7 3 6 4 12 32 54 SMP 0,3 400 1 6 3 4 5 5 10 33 72 SMA 0,5 1.500 1 6 8 1 2 6 0 34 28 SD 0,5 300 1 3 4 3 3 3 12 35 38 SMP 0,5 500 0 4 6 0 5 3 0 36 55 SMA 0,9 1.000 1 5 4 1 4 5 16 37 35 SD 0,5 250 0 2 4 0 5 2 0 38 39 SD 0,4 350 1 4 3 2 5 4 10 39 60 SMP 0,2 400 0 6 8 3 5 5 0

73

Lampiran 5 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 40 32 SMP 0,5 500 0 3 6 1 5 5 0 41 48 SD 0,5 300 1 4 5 3 3 6 10 42 28 SMP 2,5 400 2 2 6 2 6 5 0 43 50 SMA 2,4 1.300 0 6 6 2 6 4 0 44 50 SMP 2,5 500 1 6 5 6 6 5 12 45 20 SMP 2,1 500 0 3 7 3 4 2 16 46 56 SMA 3,0 1.200 1 6 6 3 6 2 11 47 26 SMA 3,5 1.300 1 3 6 3 6 5 7 48 38 SMA 0,4 1.200 1 4 5 3 3 2 16 49 44 SD 3,0 400 0 6 6 4 6 5 16 50 40 SMP 3,2 500 1 0 6 0 6 5 0 51 45 SMP 2,0 500 0 2 7 3 3 2 0 52 42 SMP 3,2 500 0 4 8 4 6 4 10 53 20 SMA 3,5 1.400 0 6 5 3 6 4 0 54 50 SMA 2,5 1.400 1 6 6 5 6 4 0 55 25 SMA 0,3 1.000 1 5 6 2 6 6 15 56 66 SMP 0,1 450 2 5 6 4 5 5 19 57 64 SMP 0,3 500 0 5 7 3 6 5 0 58 35 SMA 0,2 1.500 0 5 6 5 6 5 10 59 72 SMP 0,5 550 1 5 7 3 2 3 0 60 45 SMP 0,5 500 1 6 6 2 6 6 16 61 54 SMA 1,0 1.200 0 6 6 4 5 5 12 62 32 SMP 0,3 500 0 4 3 3 4 2 6 63 40 SMP 0,5 600 0 5 4 2 2 4 8 64 37 SMP 0,4 500 1 3 4 3 2 2 0 65 35 SMA 0,5 1.000 1 5 4 3 4 3 16 66 57 SMP 0,2 400 1 3 6 6 5 6 4 67 29 SD 0,1 700 1 2 6 2 3 6 7 68 42 SD 0,1 200 1 0 5 3 2 3 12 69 39 SMP 0,6 400 1 3 4 3 3 3 12 70 69 SMP 0,2 550 1 3 4 2 6 6 20 71 64 SMP 0,7 500 0 2 5 3 6 6 20 72 70 SMA 0,2 1.500 0 6 2 2 6 5 0 73 27 SMP 0,8 500 1 5 3 3 6 5 0 74 32 SMP 0,1 500 1 0 7 2 5 5 20 75 47 SD 0,4 300 1 3 2 6 4 2 20 76 25 SD 0,4 200 0 2 7 3 5 4 20 77 40 SMP 0,5 500 1 3 6 5 2 2 0 78 62 SMP 0,3 500 0 3 6 1 2 4 0 79 29 SMP 0,3 500 0 4 7 3 6 5 16

74

Lampiran 5 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 80 49 SD 0,8 400 1 3 3 1 6 5 16 81 73 SMP 0,2 500 0 0 6 2 3 4 16 82 56 SMP 0,3 450 1 2 7 2 6 3 0 83 55 SMP 0,7 450 1 6 5 3 5 3 20 84 60 SMA 0,0 1.300 0 6 5 6 6 3 20 85 55 SMP 0,5 550 0 5 8 4 5 3 0 86 46 SD 0,5 1.200 0 5 6 4 6 5 0 87 55 SMP 0,5 300 0 3 6 3 5 4 13 88 47 SMP 0,0 100 0 3 6 5 5 3 12 89 34 SD 1,5 300 0 3 7 6 3 3 16 90 40 SD 0,5 200 0 6 3 2 4 2 16

Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y3 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Evaluasi X1.6 = Persepsi

Lampiran 6 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan

X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 Spearman's rho X1.1 Correlation

Coefficient 1.000 .288(**) -.293(**) .103 .081 .216(*) .155 -.049 -.159 .314(**) .151

Sig. (2-tailed) . .006 .005 .332 .449 .040 .146 .649 .135 .003 .156 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.2 Correlation

Coefficient .288(**) 1.000 .246(*) .742(**) .142 .445(**) .275(**) -.054 .082 .247(*) .493(**)

Sig. (2-tailed) .006 . .019 .000 .183 .000 .009 .612 .441 .019 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.3 Correlation

Coefficient -.293(**) .246(*) 1.000 .296(**) .000 .128 .175 .053 .166 -.124 .371(**)

Sig. (2-tailed) .005 .019 . .005 .999 .230 .099 .619 .119 .245 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.4 Correlation

Coefficient .103 .742(**) .296(**) 1.000 .002 .391(**) .240(*) -.002 .135 .125 .402(**)

Sig. (2-tailed) .332 .000 .005 . .988 .000 .023 .988 .206 .240 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.5 Correlation

Coefficient .081 .142 .000 .002 1.000 -.054 -.074 -.109 -.046 .090 .084

Sig. (2-tailed) .449 .183 .999 .988 . .610 .486 .306 .667 .397 .432 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.6 Correlation

Coefficient .216(*) .445(**) .128 .391(**) -.054 1.000 -.022 .150 .105 .105 .279(**)

Sig. (2-tailed) .040 .000 .230 .000 .610 . .835 .159 .326 .325 .008 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90

76

Lampiran 6 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1

X2.1 Correlation Coefficient .155 .275(**) .175 .240(*) -.074 -.022 1.000 -.023 -.016 .268(*) .231(*)

Sig. (2-tailed) .146 .009 .099 .023 .486 .835 . .829 .882 .011 .029 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.2 Correlation

Coefficient -.049 -.054 .053 -.002 -.109 .150 -.023 1.000 -.049 -.196 -.094

Sig. (2-tailed) .649 .612 .619 .988 .306 .159 .829 . .648 .064 .378 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.3 Correlation

Coefficient -.159 .082 .166 .135 -.046 .105 -.016 -.049 1.000 .045 .346(**)

Sig. (2-tailed) .135 .441 .119 .206 .667 .326 .882 .648 . .676 .001 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.4 Correlation

Coefficient .314(**) .247(*) -.124 .125 .090 .105 .268(*) -.196 .045 1.000 .298(**)

Sig. (2-tailed) .003 .019 .245 .240 .397 .325 .011 .064 .676 . .004 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 Y1 Correlation

Coefficient .151 .493(**) .371(**) .402(**) .084 .279(**) .231(*) -.094 .346(**) .298(**) 1.000

Sig. (2-tailed) .156 .000 .000 .000 .432 .008 .029 .378 .001 .004 . N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

77

Lampiran 7 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan

X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 Spearman's rho X1.1 Correlation

Coefficient 1.000 .288(**) -.293(**) .103 .081 .216(*) .155 -.049 -.159 .314(**) .322(**)

Sig. (2-tailed) . .006 .005 .332 .449 .040 .146 .649 .135 .003 .002 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.2 Correlation

Coefficient .288(**) 1.000 .246(*) .742(**) .142 .445(**) .275(**) -.054 .082 .247(*) .397(**)

Sig. (2-tailed) .006 . .019 .000 .183 .000 .009 .612 .441 .019 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.3 Correlation

Coefficient -.293(**) .246(*) 1.000 .296(**) .000 .128 .175 .053 .166 -.124 .098

Sig. (2-tailed) .005 .019 . .005 .999 .230 .099 .619 .119 .245 .358 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.4 Correlation

Coefficient .103 .742(**) .296(**) 1.000 .002 .391(**) .240(*) -.002 .135 .125 .279(**)

Sig. (2-tailed) .332 .000 .005 . .988 .000 .023 .988 .206 .240 .008 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.5 Correlation

Coefficient .081 .142 .000 .002 1.000 -.054 -.074 -.109 -.046 .090 .186

Sig. (2-tailed) .449 .183 .999 .988 . .610 .486 .306 .667 .397 .079 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.6 Correlation

Coefficient .216(*) .445(**) .128 .391(**) -.054 1.000 -.022 .150 .105 .105 .256(*)

Sig. (2-tailed) .040 .000 .230 .000 .610 . .835 .159 .326 .325 .015 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90

78

Lampiran 7 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 X2.1 Correlation

Coefficient .155 .275(**) .175 .240(*) -.074 -.022 1.000 -.023 -.016 .268(*) .268(*)

Sig. (2-tailed) .146 .009 .099 .023 .486 .835 . .829 .882 .011 .011 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.2 Correlation

Coefficient -.049 -.054 .053 -.002 -.109 .150 -.023 1.000 -.049 -.196 -.039

Sig. (2-tailed) .649 .612 .619 .988 .306 .159 .829 . .648 .064 .715 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.3 Correlation

Coefficient -.159 .082 .166 .135 -.046 .105 -.016 -.049 1.000 .045 .316(**)

Sig. (2-tailed) .135 .441 .119 .206 .667 .326 .882 .648 . .676 .002 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.4 Correlation

Coefficient .314(**) .247(*) -.124 .125 .090 .105 .268(*) -.196 .045 1.000 .379(**)

Sig. (2-tailed) .003 .019 .245 .240 .397 .325 .011 .064 .676 . .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 Y2 Correlation

Coefficient .322(**) .397(**) .098 .279(**) .186 .256(*) .268(*) -.039 .316(**) .379(**) 1.000

Sig. (2-tailed) .002 .000 .358 .008 .079 .015 .011 .715 .002 .000 . N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

79

Lampiran 8 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 Spearman's rho X1.1 Correlation

Coefficient 1.000 .288(**) -.293(**) .103 .081 .216(*) .155 -.049 -.159 .314(**) .015

Sig. (2-tailed) . .006 .005 .332 .449 .040 .146 .649 .135 .003 .888 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.2 Correlation

Coefficient .288(**) 1.000 .246(*) .742(**) .142 .445(**) .275(**) -.054 .082 .247(*) -.129

Sig. (2-tailed) .006 . .019 .000 .183 .000 .009 .612 .441 .019 .227 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.3 Correlation

Coefficient -.293(**) .246(*) 1.000 .296(**) .000 .128 .175 .053 .166 -.124 -.121

Sig. (2-tailed) .005 .019 . .005 .999 .230 .099 .619 .119 .245 .256 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.4 Correlation

Coefficient .103 .742(**) .296(**) 1.000 .002 .391(**) .240(*) -.002 .135 .125 -.172

Sig. (2-tailed) .332 .000 .005 . .988 .000 .023 .988 .206 .240 .104 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.5 Correlation

Coefficient .081 .142 .000 .002 1.000 -.054 -.074 -.109 -.046 .090 -.072

Sig. (2-tailed) .449 .183 .999 .988 . .610 .486 .306 .667 .397 .502 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.6 Correlation

Coefficient .216(*) .445(**) .128 .391(**) -.054 1.000 -.022 .150 .105 .105 .040

Sig. (2-tailed) .040 .000 .230 .000 .610 . .835 .159 .326 .325 .712 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90

80

Lampiran 8 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 X2.1 Correlation

Coefficient .155 .275(**) .175 .240(*) -.074 -.022 1.000 -.023 -.016 .268(*) -.254(*)

Sig. (2-tailed) .146 .009 .099 .023 .486 .835 . .829 .882 .011 .016 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.2 Correlation

Coefficient -.049 -.054 .053 -.002 -.109 .150 -.023 1.000 -.049 -.196 .017

Sig. (2-tailed) .649 .612 .619 .988 .306 .159 .829 . .648 .064 .871 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.3 Correlation

Coefficient -.159 .082 .166 .135 -.046 .105 -.016 -.049 1.000 .045 .033

Sig. (2-tailed) .135 .441 .119 .206 .667 .326 .882 .648 . .676 .760 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.4 Correlation

Coefficient .314(**) .247(*) -.124 .125 .090 .105 .268(*) -.196 .045 1.000 .058

Sig. (2-tailed) .003 .019 .245 .240 .397 .325 .011 .064 .676 . .586 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 Y3 Correlation

Coefficient .015 -.129 -.121 -.172 -.072 .040 -.254(*) .017 .033 .058 1.000

Sig. (2-tailed) .888 .227 .256 .104 .502 .712 .016 .871 .760 .586 . N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

81

Lampiran 9 Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL

Peningkatan Partisipasi Masayarakat

Pemerintah

Tingkat Pendidikan

Masyarakat

Persepsi Tingkat Pendapatan

Pekerjaan Sampingan

Umur Luas Lahan

Peran kelembagaan

sosial

Intensitas sosialisasi program

(penyuluhan)

Peran pendamping

Ketersediaan sarana

Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Meningkatkan dukungan dari pemerintah

82

Lampiran 10 Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison) Level : Aktor

Aktor Pemerintah Masyarakat Pemerintah 1 5 Masyarakat 1/5 1

Level : Kriteria Keterkaitan dengan : Masyarakat

Kriteria 1 2 3 4 5 6 1 1 1/7 1/3 1/6 1/6 1/5 2 7 1 5 3 5 3 3 3 1/5 1 1/3 1/5 1/3 4 6 1/3 3 1 5 3 5 6 1/5 5 1/5 1 3 6 5 1/3 3 3 1/3 1

Keterangan: 1. Umur 2. Tingkat pendidikan 3. Luas lahan 4. Tingkat pendapatan 5. Pekerjaan sampingan 6. Persepsi Level : Kriteria Keterkaitan dengan : Pemerintah

Kriteria 1 2 3 4 1 1 4 1/3 5 2 1/4 1 1/4 3 3 3 4 1 6 4 1/5 1/3 1/6 1

Keterangan: 1. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) 2. Peran pendamping 3. Ketersediaan sarana 4. Peran kelembagaan sosial

83

Lampiran 10 Lanjutan Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Umur

Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendidikan

Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Luas lahan

Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendapatan

Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Pekerjaan sampingan

Alternatif 1 2 1 1 9 2 1/9 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

84

Lampiran 10 Lanjutan Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Persepsi

Alternatif 1 2 1 1 9 2 1/9 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Intensitas sosialisasi program (penyuluhan)

Alternatif 1 2 1 1 9 2 1/9 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Peran pendamping

Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Ketersediaan sarana

Alternatif 1 2 1 1 3 2 1/3 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Peran kelembagaan sosial

Alternatif 1 2 1 1 3 2 1/3 1

1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

85

Lampiran 11 Foto kegiatan di lokasi penelitian