kajian model pengelolaan daerah aliran sungai (das) terpadu

19
 - - 1 - - KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU Oleh : Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air E-mail : [email protected] atau [email protected]  ABSTRAK Kajian ini bermaksud menganalisis sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan sektor yang ada di dalam DAS. Ada tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor yang ada terhadap kinerja DAS. Studi ini juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS. Terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jratunseluna di Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut mewakili 3 kondisi pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja mereka hamper sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup. Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan- kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut, kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor- sektor tergantung pada kinerja DAS. 1. PENDAHULUAN Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di

Upload: adi-prasetyo

Post on 08-Apr-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 1/19

  - - 1 - -

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

Oleh :

Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air 

E-mail : [email protected] atau [email protected] 

ABSTRAK 

Kajian ini bermaksud menganalisis sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan

sektor yang ada di dalam DAS. Ada tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor 

kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalahanalisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor 

yang ada terhadap kinerja DAS. Studi ini juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti

permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS.Terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jratunseluna di

Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut mewakili 3 kondisi

pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerjamereka hamper sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yangmenunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup.

Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi

oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisismemberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana

pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh

yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Disisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan-

kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut,kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan

satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DASseharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, makakinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-

sektor tergantung pada kinerja DAS.

1. PENDAHULUAN

Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada

lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lainseperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah

Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan

tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan denganDAS.

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen

terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatanterpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS,

mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.

Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor 

fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai denganpendekatan holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di

Page 2: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 2/19

  - - 2 - -

12 DAS prioritas (Brantas, Solo, Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum,

Ciliwung, Asahan, Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang). Namun urutan prioritas tersebutdikaji ulang, dengan pertimbangan seperti : (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan

pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat

ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansiterkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS; dan (3) perubahan

arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi

logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurangtepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk 

seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS

secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan danberwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya

dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.

2. TUJUAN

Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan alternatif model kebijakan pengelolaan

DAS terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka waktu

tertentu, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun yang bersifat khusus atas dasar kelompok kriteria kekritisannya.

Adapun sasaran kajian ini adalah untuk: (1) menganalisa DAS yang dalam kondisi kritis

agar dapat dijadikan model pengelolaannya secara terpadu; (2) melakukan kaji ulang terhadapkebijakan pengelolaan DAS antara lain dalam pengendalian bencana banjir dan kekeringan;

dan (3) menyusun kerangka kerja (frame work ) untuk perumusan model kebijakan.

3. METODOLOGIKajian ini dilakukan melalui pengumpulan, pengolahan dan analisis data secara primer 

dan sekunder, kaji literatur pada universitas, lembaga penelitian, lembaga pemerintah/non

pemerintah yang terkait, untuk mendapatkan referensi dan data maupun survei. Pada kajian ini,

data dan informasi bersumber dari data dan kajian primer dan sekunder yang selanjutnya

dianalisa dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan DAS terpadu berdasarkansumber daya pada masing-masing wilayah yang dilalui oleh DAS bersangkutan.

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Definisi DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan

wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak 

sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS

sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of 

connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through asingle outlet ”. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic

Page 3: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 3/19

  - - 3 - -

area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to

conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for cropproduction, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and 

farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimanaunsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di

dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itupengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang

menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secaraumum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum

dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar 

distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan

terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui

beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskanbahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air 

larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.

Gambar 1. Daur Hidrologi DAS 

Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 2002).

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah

dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakandaerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan

fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak 

di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta materialterlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulumempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari

segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus

perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Page 4: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 4/19

  - - 4 - -

3.1.2 Definisi DAS Berdasarkan FungsiDalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan

DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama  DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisilingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupanvegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS

bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapatmemberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikandari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, sertaterkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS bagianhilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaatbagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air,kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, airbersih, serta pengelolaan air limbah.

Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjagakeberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapatmempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan

maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaanDAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerahsecara baik. 3.2 Kerangka Analisis

3.2.1 Konsepsi Pengelolaan DAS Terpadu 

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang

menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang

akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang

saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.

Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu DAS dapat dimanfaatkan bagiberbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan,

permukiman, pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua

kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnyapeningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah berbagai

kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan

baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor 

maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik denganmensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan

bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga

untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor,kekeringan dan lain-lain.

Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam menganalisa kinerja suatu DAS, kita

tidak hanya melihat kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada didalam DAS, misalnya mengukur produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksi

hasil hutan kayu saja. Kita harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yangbersifat positif (produksi) maupun dampak negatif. Karena itu dalam kajian pengelolaan DAS

Terpadu ini selain dilakukan analisis yang bersifat kuantitatif, juga dilakukan analisis yang

Page 5: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 5/19

  - - 5 - -

bersifat kualitatif. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya didasarkan kepada adanya

keterkaitan antara suatu sektor/kegiatan pembangunan dengan kegiatan pembangunan lain,sehingga apa yang dilakukan pada satu sektor/komponen akan mempengaruhi kinerja sektor 

lain.

Untuk menggambarkan hubungan keterkaitan antara berbagai aktifitas/komponenpembangunan yang ada di dalam DAS digunakan model seperti dalam gambar  2. Dalam

diagram tersebut digambarkan keterkaitan antara berbagai komponen yang dalam analisiskuantitatif akan digunakan sebagai variabel untuk mengukur kinerja DAS secara keseluruhan.

Gambar 2 : Model Keterkaitan Berbagai Aktifitas dalam DAS

3.2.2 Analisa Kuantitatif 

3.2.2.1 Pemilihan Metode RegresiAnalisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi. Analisis regresi

membedakan dua jenis varibel yaitu variabel bebas atau variabel prediktor dan variabel tak 

bebas atau variabel respon. Variabel yang keberadaannya tidak tergantung kepada variabel-variabel lain di dalam sistem yang dinilai sering dapat digolongkan ke dalam variabel bebas,

sedangkan variabel yang terjadi karena variabel bebas merupakan variabel tak bebas. Variabel

bebas dinyatakan dengan X1, X2, X3, …, Xk (k >= 1) dan varibel tak bebas dinyatakan dengan

Y. Melalui regresi akan ditentukan hubungan fungsional yang diharapkan berlaku untuk populasi berdasarkan data sampel yang diambil dari populasi yang bersangkutan, yang

selanjutnya hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan regresi. Selanjutnya digunakan

analisis regresi dengan variabel bebas bersifat multivariabel, sehingga digunakan analisis

regresi ganda dengan metode kuadrat terkecil. Metode ini berpangkal pada kenyataan bahwajumlah pangkat dua (kuadrat) daripada jarak antara titik-titik dengan garis regresi yang sedang

dicari harus sekecil mungkin.

3.2.2.2 Pemilihan Populasi Data

Mengingat terbatasnya data yang ada untuk digunakan dalam analisis ini, maka datatime series yang digunakan hanya terbatas 10 tahun yaitu 1989-1998. Lingkup wilayah datayang digunakan dalam analisis adalah wilayah propinsi di mana wilayah kajian berada. Adapun

Dana

Reboisasi

APBN

Kehutanan

Dana

Sumber Daya Air 

Rebois as i Kons ervasi

Kondisi Hutan (TN, Hutan Alam,

HTI, Lahan Kritis, Konservasi

Sumber Daya Air)

PenebanganHutan

Industri

Perkayuan/

MasyarakatProduksi Kayu

Tata Ruang

Permukiman

Pengelolaan

Sumber Daya

Air 

Sarana

Sumber Day a

Air 

Tingkat Fluktuasi

Air Permukaan

• Banjir 

• Kekeringan

SaranaPengairan/

Irigasi

APBN

Pertanian

Pengelolaan

Pertanian

Produksi

Pertanian

Peningkatan

Pendapatan

Dana

Reboisasi

APBN

Kehutanan

Dana

Sumber Daya Air 

Rebois as i Kons ervasi

Kondisi Hutan (TN, Hutan Alam,

HTI, Lahan Kritis, Konservasi

Sumber Daya Air)

PenebanganHutan

Industri

Perkayuan/

MasyarakatProduksi Kayu

Tata Ruang

Permukiman

Pengelolaan

Sumber Daya

Air 

Sarana

Sumber Day a

Air 

Tingkat Fluktuasi

Air Permukaan

• Banjir 

• Kekeringan

SaranaPengairan/

Irigasi

APBN

Pertanian

Pengelolaan

Pertanian

Produksi

Pertanian

Peningkatan

Pendapatan

Page 6: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 6/19

  - - 6 - -

wilayah kajian terpilih adalah Jawa Barat, mengingat data yang tersedia dalam kurun waktu

tersebut hanya Jawa Barat.Data yang tersedia dan dipilih sebagai variabel tak bebas dalam analisis adalah data

nisbah. Nilai nisbah menggambarkan kondisi sungai sekaligus mengisyaratkan kemampuan

lahan untuk menyimpan air. Semakin tinggi nilai nisbah, kondisi sungai semakin buruk. Nilainisbah yang tinggi menunjukkan bahwa nilai debit maksimum besar dan debit minimum kecil.

Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air padamusim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan ini sangat bergantung pada

kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain. Kondisi DAS dikatakanbaik jika memenuhi beberapa kriteria :

a.  Debit sungai konstan dari tahun ke tahun

b.  Kualitas air baik dari tahun ke tahunc.  Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan

nisbah.

d.  Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahunNilai nisbah yang digunakan adalah nilai nisbah Sungai Ciliwung berdasarkan debit

bulanan terukur setiap tahunnya di Bendung Katulampa.

Sebagai variabel bebas dipilih data APBN. Pemilihan data APBN dilakukan untuk menilai sejauh apa pengaruh kebijakan alokasi APBN sektor terkait yang bersifat makro dapatmempengaruhi nilai nisbah Sungai Ciliwung yang sifatnya mikro atau spesifik.

Berdasarkan pengertian mengenai DAS, dimana DAS dapat dibagi menjadi sub-DAS

Hulu, sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir. Sektor kehutanan dipilih mewakili sub-DAS Hulu.Alokasi APBN pada sektor ini berkaitan dengan seluruh alokasi dana sektor/program/proyek 

yang ada pada Departemen Kehutanan. Selanjutnya dana reboisasi (DR) sebagai variable

tambahan karena dana DR merupakan sumber pembiayaan pembangunan kehutanan yangjumlahnya cukup dominan. Dana DR ini berasal dari setoran perusahaan HPH untuk reboisasi.

Variabel ini diharapkan mampu mendukung variabel dana APBN pada sektor kehutanan.Mewakili sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir adalah sektor pertanian dan sumberdaya

Air. APBN sektor pertanian mencakup sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura, litbangpertanian, diklat pertanian dan bimas, dimana alokasi APBN untuk sub-sektor ini diarahkanuntuk peningkatan produksi tanaman pangan. Sedangkan APBN di bidang sumberdaya Air 

meliputi sektor/program/proyek berkaitan dengan pengairan dan irigasi, dan penyelamatan

hutan, tanah dan air. Variabel bebas lainnya adalah produksi kayu dan jumlah penduduk.

Produksi kayu dipakai sebagai proxy dari kondisi tutupan lahan.

3.2.2.3 Hipotesa

Berdasarkan pemilihan variabel tak bebas (nisbah) dengan variabel bebas (APBNKehutanan, DR, APBN Pertanian, APBN Sumberdaya Air, Produksi Kayu dan Jumlah

Penduduk), dilakukan hipotesa awal terhadap hubungan variabel bebas dan variabel tak bebas.

Berdasarkan metode regresi yang dipilih, maka hubungan fungsional variabel tak bebasterhadap variabel bebas dirumuskan sebagai berikut :

Nisbah = A1.Hutan(-1) + A2.DR(-1) + A3.SP(-1) + A4.SDAIR(-1) + A5.Prodkayu

+ A6.Pnddk + C 

dimana,Hutan (-1) = APBN di bidang kehutanan (juta rupiah) dengan A1 sebagai koefisien

Page 7: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 7/19

  - - 7 - -

DR (-1) = Dana Reboisasi (juta rupiah) dengan A2 sebagai koefisien

SP (-1) = APBN di bidang pertanian (juta rupiah) dengan A3 sebagai koefisienSDAIR (-1) = APBN di bidang sumber daya air (juta rupiah) dengan A4 sebagai

koefisien

Prodkayu = Produksi kayu tebangan (m3) dengan A5 sebagai koefisien

Pnddk = Jumlah penduduk (jiwa) dengan A6 sebagai koefisien

C = Konstan(-1) = Lag time

Alokasi APBN di bidang kehutanan diharapkan dapat menurunkan nilai nisbah, denganasumsi bahwa jika investasi di bidang ini dialokasikan secara tepat, kondisi tutupan hutan akan

menjadi lebih baik. Jika hutan dalam kondisi yang baik, kemampuannya untuk menyerap air 

hujan akan besar. Hutan memberikan kemungkinan terbaik bagi pemulihan dan perbaikan sifatlahan. Hutan tropis mempunyai koefisien limpasan 0.03, artinya air hujan yang mampu diserap

oleh hutan adalah sebesar 97%. Penyerapan air hujan akan mengurangi limpasan langsung di

permukaan yang akhirnya mengurangi nilai nisbah.Adanya dana reboisasi (DR) diharapkan dapat menjadi tambahan sumber pembiayaan

pembangunan di bidang kehutanan, khususnya untuk program reboisasi karena nilainya yang

dominan. Program reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telahgundul sebagai akibat penebangan yang dilakukan oleh perusahaan HPH. Pemanfaatan danaDR untuk reboisasi diharapkan berkorelasi negatif terhadap nisbah mengingat reboisasi akan

memperbaiki kondisi tutupan lahan.

Alokasi APBN di bidang pertanian berkaitan dengan peningkatan produksi tanamanpangan, diperkirakan berkorelasi positif terhadap nisbah. Upaya peningkatan produksi

pertanian akan meningkatkan aktifitas pertanian baik dalam bentuk perluasan lahan pertanian,

maupun intensitas pengelolaan lahan yang akan mempengaruhi kebutuhan akan debit air irigasipada satu sisi, pada sisi lain pemilihan tipe irigasi, pola tanam dan jenis tanaman juga

mempengaruhi nisbah karena berkaitan dengan tutupan lahan.Alokasi APBN di bidang sumberdaya Air sektor pengairan dan irigasi melalui sub

sektor/program/proyek berkaitan pengairan dan irigasi, penyelamatan hutan, tanah dan air diharapkan dapat memperbaiki kondisi sungai yang ada, sehingga kondisi aliran baik padadebit maksimum maupun minimum dapat terkendali. Pada kondisi debit maksimum diharapkan

tidak menimbulkan bencana banjir maupun longsor melalui pembangunan waduk, normalisasi

sungai, perencanaan sistim irigasi dan drainasi yang baik. Pada kondisi debit minimum

diharapkan tidak terjadi bencana kekeringan karena adanya cadangan air melalui pembangunanwaduk, bendung maupun bendungan beserta struktur pendukungnya.

Jumlah produksi kayu diperkirakan berkorelasi positif terhadap peningkatan nilai nisbah

karena terjadi pengurangan tutupan hutan. Jika luasan hutan berkurang karena penebanganmaka limpasan langsung air hujan di permukaan akan menjadi lebih besar dibanding air hujan

yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Jumlah limpasan langsung akan meningkatkan nilai nisbah

karena meningkatnya nilai debit maksimum. Demikian pula dengan jumlah penduduk.Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan nilai nisbah, hal ini berkaitan dengan berbagai

aktifitas kependudukan seperti permukiman, pembuangan sampah, industri, budidaya pertanian

dan penanaman tanaman bukan tegakan.

Page 8: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 8/19

  - - 8 - -

 

4. HASIL KAJIAN

4.1 Hasil Studi Literatur Model Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari

sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal danberkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai

suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasisumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan

jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini

termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antaradaerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir

Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 2002).

Dalam menjabarkan model pengelolaan DAS maka setiap unit DAS, secara substansi

dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perludilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari

proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan

DAS merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinyakonflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS.

DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air 

untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalamikonflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata,pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan

kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya.

Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan

ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur 

hidrologi.

Page 9: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 9/19

  - - 9 - -

Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-

komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehinggatindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan

sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan,

serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayahadalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati

beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi

tanggung jawab bersama.Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu

adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut :

(1)  Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkunganbiofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas

pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan

biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanyadesentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu

kesatuan perencanaan dan pengelolaan.

(2)  Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakanyang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan

bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan

DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakatyang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal 

externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi

kegiatan (sectoral externalities).(3)  Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat

dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanyakegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor 

(organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakankegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkankeuntungan dari adanya kegiatan tersebut.

Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian)

karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar 

proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanianatau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya

kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya

dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari.Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang

dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk 

ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan danmengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta

penyediaan pendanaan, yang dapat dijabarkan oleh Gambar 4 berikut.

Page 10: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 10/19

  - - 10 - -

Gambar 4. Model Pengelolaan DAS

Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan aspek-

aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya antarakepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukunglingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman,

pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan

menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DASuntuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas

air pada musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung

mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan sebaliknya padamusim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak 

terdapat aliran air.Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi

logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurangtepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahanmenjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya

proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai

menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi

berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinyapercepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas

air.

Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadumerupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan

sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya

merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademismaupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan

ekonomi dan sosial sebagai sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan

beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harusdiperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa

perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka

kerja (framework ).

Pengelolaan

Ekosistem DAS

Ekonomi, Sosial,Budaya

Hulu – Hilir DAS

Batas Ekologi/Administrasi

Teknologi PendanaanKelembagaan

Lahan/Air 

Pengelolaan

Ekosistem DAS

Ekonomi, Sosial,Budaya

Hulu – Hilir DAS

Batas Ekologi/Administrasi

Teknologi PendanaanKelembagaan

Lahan/Air 

Page 11: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 11/19

  - - 11 - -

4.2 Gambaran Umum DAS di Indonesia

Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33

Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi

sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehinggamerupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut

dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya,penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam

sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri,

eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan

penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS). Gejala penurunan fungsihidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau

Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun

1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsisebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai

“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim

penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadangmenyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecilbahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan

tidak mendapat suplai air tawar.

Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatudaerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundang-

undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan

parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang palingrelevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila

dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS. Berdasarkan pertimbangan hal tersebut makapembahasan kondisi DAS dalam makalah ini memakai hidrograf aliran dan angkutan sedimen

sebagai ukuran tingkat kinerja DAS.Peran strategis DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya semakin

nyata pada saat DAS tidak dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan

penjamin kualitas air yang dicerminkan dengan terjadinya banjir, kekeringan dan sedimentasi

yang tinggi. Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang

timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologiyang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan

yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Dari

hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat + 14,4 juta hektar di luar kawasanhutan dan + 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999).

Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang melanda

Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi olehkerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan ekologi yang melanda Indonesia di tahun

2002 diawali oleh banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada

awal Februari 2002. Dalam peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasanhutan di daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian

harta dan benda, melainkan juga nyawa.

Page 12: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 12/19

  - - 12 - -

4.3 Hasil Analisis Regresi Linier

Berdasarkan hasil regresi linier ganda multivariabel, diperoleh hubungan fungsionalantara variabel takbebas dan variabel bebas terpilih sebagai berikut :

Nisbah = 0.007802 Hutan(-1) -0.003075 DR(-1) + 0.001013 SP(-1) -5.5x10-5 SDAIR(-1)

+ 2.33x10-5 Prodkayu + 2.2x10-5 Pnddk – 104.2966  

a.  Uji regresi linier gandaHasil uji koefisien determinasi ganda (R-squared) menghasilkan nilai sebesar 0.991342

yang berarti ada korelasi langsung antara variabel bebas terhadap variabel takbebas. Nilai F-

statistik sebesar 38.1666 > 4.76 (berdasarkan daftar distribusi F dengan α = 0.1) menunjukkanbahwa regresi linier variabel nisbah terhadap variabel APBN Kehutanan, DR, APBN Pertanian

(produksi tanaman pangan), APBN Sumberdaya Air, produksi kayu dan jumlah penduduk bersifat nyata. Persamaan regresi dapat diterima.

b.  Uji koefisien

Dari persamaan tersebut di atas diperoleh koefisien untuk A1,A2,A3,A4,A5,A6 masing-

masing adalah 0.007802; -0.003075; 0.001013; -5.5x10-5; 2.33x10-5; 2.2x10-5. Uji koefisien

dengan tingkat α = 0,1 menunjukkan bahwa koefisien A1,A2,A3,A4 signifikan terhadapvariabel tak bebas. Koefiesien A5 dan A6 tidak signifikan meskipun menunjukkan korelasi

positif sesuai dengan hipotesa awal.

Berdasarkan hubungan fungsional regresi linier di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

a.  Setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah) meningkatkan nilainisbah sebesar 0.007802. Beberapa faktor penyebab korelasi positif ini diantaranya adalah

belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan, belum tepatnya perencanaan

program/proyek sehingga alokasi dana yang ada belum tepat sasaran dalam pembangunan

kehutanan. Analisa trend  menunjukkan bahwa pada kurun waktu 5 tahun terakhir (1994-1998) alokasi APBN menurun jika dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun

sebelumnya (1989-1993). Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk 

rehabilitasi hutan dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperolehdalam jangka pendek sebagaimana bidang lainnya. Paradigma lama pembangunan yang

mengedepankan indikator ekonomi menempatkan hutan sebagai tempat eksploitasi kayu

dalam rangka mengejar target produksi yang menjadi tuntutan industri kayu dalam negeridan luar negeri. Pada sisi lain kegiatan konversi lahan bervegetasi hutan juga meningkat

yang akan mengurangi kemampuannya dalam menyerap air hujan. Padahal hutan

memberikan kemungkinan terbaik bagi pemulihan dan perbaikan sifat lahan.

b.  Kenaikan Dana Reboisasi Propinsi Jawa Barat sebesar 1 unit (juta rupiah) akan

menurunkan nisbah sebesar 0.003075. Sesuai dengan hipotesa awal, keberadaan dana DR diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan khususnya untuk 

kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupanhutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis sebagai akibat penebangan kayu hutan.

Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan akan mengurangi limpasan langsung

dipermukaan yang akhirnya akan mengurangi nilai nisbah.c.  Kenaikan alokasi APBN sektor pertanian Propinsi Jawa Barat setiap 1 unit (juta rupiah)

akan menaikkan nilai nisbah sebesar 0.001013. Hal ini dapat dipahami karena investasi

Page 13: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 13/19

  - - 13 - -

untuk kegiatan peningkatan produksi tanaman pangan akan meningkatkan kebutuhan akan

debit air irigasi sebagai pendukung. Analisa trend menunjukkan alokasi APBN untuk sektor pertanian untuk peningkatan produksi mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989

hingga 1998, meskipun alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun

nilainya masih dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air. Padahal hutanmempunyai peranan yang penting sebagai penyangga sistim DAS karena keberadaannya

sebagai pengatur tata guna air, sementara sektor sumberdaya air berperan dalampendistribusian air melalui pembuatan sistim irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian

berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan seharusnya diiringi denganpemilihan tipe irigasi dan drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik 

aliran langsung di permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi

dengan baik dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambatterbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan pendangkalan

sungai. Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi keadaan

tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di permukaan. Budidayadi lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang untuk konservasi air. Selain

daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan persepsi tentang perlunya reorientasi

sistem produksi pertanian nasional dari paddy field oriented  menjadi upland agriculturedevelopment oriented melalui penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikandalam menopang produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan

lahan kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer  dapat

dikembangkan.d.  Kenaikan alokasi APBN bidang sumberdaya air sektor pengairan dan irigasi, penyelamatan

hutan, tanah dan air setiap 1 unit (juta rupiah) akan menurunkan nilai nisbah sebesar  -

5.5x10-5

. Hasil uji koefisien dengan tingkat α = 0,1 menunjukkan bahwa alokasi APBNpada bidang sumberdaya air sesuai sektor tersebut di atas mempunyai nilai yang signifikan

terhadap penurunan nisbah. Ketepatan pengalokasian dana, perencanaan program/proyek secara tepat merupakan faktor yang akan berpengaruh pada nilai korelasi ini.

e.  Setiap tebangan kayu di Jawa Barat sebesar 1 m3 akan meningkatkan nilai nisbah di SungaiCiliwung sebesar  2.33x10

-5, namun kenaikan ini tidak signifikan. Sedangkan kenaikan

setiap 1000 jiwa penduduk di Jawa Barat akan menaikkan nisbah Sungai Ciliwung sebesar 2.2x10

-2, kenaikan ini juga tidak signifikan. Koefisien A5 berkorelasi positif, hal ini

menujukkan bahwa kegiatan penebangan hutan dapat menyebabkan menurunnya luasan

tutupan hutan yang berakibat pada meningkatnya nisbah. Demikian pula dengan berbagai

aktifitas yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk seperti kegiatan permukiman,

penanaman tanaman bukan tegakan, industri, perkantoran, pembuangan sampah, aktifitas dibantaran sungai dan pembangunan sarana dan prasarana fisik dapat menyebabkan

peningkatan nilai nisbah.

Persamaan regresi diatas menunjukkan bahwa alokasi APBN setiap 1 unit (juta rupiah)

untuk masing-masing sektor di atas masih memungkinkan kenaikan nilai nisbah sebesar 0.005.Analisa trend juga menunjukkan bahwa nilai nisbah mempunyai kecenderungan meningkat.

Berdasarkan analisa di atas dapat pula disimpulkan bahwa perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, keterkaitan antar sektor yang mewakili

masing-masing sub-DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir perlu menjadi fokus perhatian

dengan berpegang pada prinsip ‘one river one management’ . Keterkaitan antar sektor meliputiperencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua

instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS

Page 14: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 14/19

  - - 14 - -

merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu

akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akanditerima di hilirnya. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam

pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang

ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-

output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output.Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada

menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir.Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa ke

depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi

sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu denganpenerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’.

4.4 Hasil Analisis Trend  

Analisa trend alokasi dana Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa alokasi dana untuk 

sektor kehutanan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertanian dan sumberdaya

Air dengan rata-rata per tahunnya 8.726 juta rupiah, dimana dana ini terdiri dari dana APBNdan Dana Reboisasi (DR). Hasil analisa trend  alokasi dana Propinsi Jawa Tengah dan Jambijuga menunjukkan hal serupa sebagaimana di Propinsi Jawa Barat. Di Propinsi Jawa Tengah

alokasi dana APBN untuk sektor sumberdaya Air meningkat tajam dari tahun ke tahun seiring

meningkatnya alokasi dana di sektor pertanian dalam rangka peningkatan produksi tanamanpangan. Demikian pula di Propinsi Jambi. Namun trend hasil produksi tanaman pangan (padi)

baik di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Propinsi Jambi mengalami fluktuasi setiap

tahunnya, hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan produksi tanaman pangan (padi)belum berhasil sepenuhnya, sementara jumlah penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sedangkan untuk sektor kehutanan meskipun alokasi dana setiap tahunnya mengalami kenaikannamun nilainya masih jauh dibawah sektor pertanian dan sumberdaya Air, meskipun telah

mendapat kontribusi dari dana reboisasi. Secara lebih lengkap hasil analisa trend  tersebutdisajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 4.1 : Alokasi Dana Sektor Kehutanan, Pertanian dan Sumberdaya Air, 1989-1998 (Rp.

Juta)

Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Tengah Propinsi Jambi

NilaiKehutanan Pertanian

Sumber 

Daya Air Kehutanan Pertanian

Sumber 

Daya Air Kehutanan Pertanian

SumbeDaya Air 

Rata2 8.726 14.450 70.342 3.309 10.221 90.632 2.966 6.598 10.639

Maks 13.865 25.007 145.400 6.816 19.487 121.429 5.955 9.980 21.500

Min 2.356 3.051 17.113 870 2.750 16.363 85 1.011 1.001

Catatan : Dana sektor kehutanan terdiri dari APBN dan Dana Reboisasi (DR)

Page 15: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 15/19

  - - 15 - -

Grafik 4.1 Alokasi Dana Jawa Barat Grafik 4.2 Alokasi Dana Jawa Tengah Grafik 4.3 Alokasi Dana Jambi

Grafik 4.4 Produksi Padi Jawa Barat Grafik 4.5 Produksi Padi Jawa Tengah Grafik 4.6 Produksi Padi Jambi

Hal ini menunjukkan bahwa sektor permukiman dan prasarana wilayah masih menjadi

prioritas dalam pembangunan dibandingkan dengan sektor kehutanan. Indikator pembangunan

barangkali lebih mudah dilihat dengan berhasil dibangunnya berbagai sarana fisik, sementara

pembangunan di bidang kehutanan masih dipandang sebagai investasi yang beresiko danhasilnya diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Pada satu sisi sarana irigasi dibangun

sebagai penunjang upaya peningkatan produksi tanaman pangan di sektor pertanian, namunpada sisi lain kemampuan hutan sebagai penyangga sistem DAS semakin menurun dengan

meningkatnya nilai nisbah sungai. Penebangan hutan terus berlanjut sebagai upaya memenuhi

produksi kayu hutan. Akibatnya pada musim hujan air berlimpah sehingga menjadi bencana

banjir, dan pada musim kemarau air surut sehingga timbul bencana kekeringan. Pada musimkering banyak sarana irigasi yang kering sehingga produksi tanaman pangan terganggu. Trend  

produksi padi di ketiga propinsi menunjukkan bahwa produksi padi berfluktuasi dari tahun ke

tahun, artinya upaya peningkatan produksi belum berhasil. Sementara itu pendekatan yangdipakai dalam penyelesaiaan masalah bencana banjir dan kekeringan selama ini tampaknya

lebih banyak berorientasi pada penyelesaian yang bersifat “fisik” yaitu dengan membangunprasarana pengendali banjir yang sekaligus dapat berfungsi sebagai penampung air bagipenyediaan air irigasi di musim kemarau. Padahal hal ini seringkali bersifat symtomatik hanya

sekedar menangani gejala yang timbul tetapi kurang memperhatikan akar permasalahannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, tampaknya alokasi dana APBN yang ada untuk sektor kehutanan ditambah dengan dana reboisasi (DR) belum mampu memperbaiki kondisi hutan.

Hutan terus terdegradasi sehingga kemampuannya sebagai penyangga sistem DAS terus

menurun, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh sub-sistem DAS dari hulu hingga ke hilir 

9200000

9400000

9600000

9800000

10000000

10200000

10400000

10600000

10800000

11000000

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

Tahun

Produksi (To

n)

7000000

7200000

7400000

7600000

7800000

8000000

8200000

8400000

8600000

8800000

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

Tahun

Produksi (To

n)

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

Tahun

Produksi (To

n)

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

160000

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

Tahun

Alokasi Dana (Juta Rupiah

Kehutanan

Pertanian

Kimprasw il

0

10000

20000

30000

40000

5000060000

70000

80000

90000

100000

110000

120000

130000

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

Tahun

Alokasi Dana (Juta Rupiah)

Kehutanan

Pertanian

Kimpraswil

0

5000

10000

15000

20000

25000

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

Tahun

Alokasi Dana (Juta Rupiah)

Kehutanan

Pertanian

Kimpraswil

Page 16: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 16/19

  - - 16 - -

khususnya sektor permukiman wilayah dan sektor pertanian dalam bentuk bencana banjir dan

kekeringan.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1.  Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah

yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu danhilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan

penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di

dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi

biofisik (seperti, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis,dan pengelolaan pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang

lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan modelpengembangan DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan

DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.

2.  Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalampembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah danair, sedangkan organisasi masih bersifat ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang

pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal,

maka perlu dilibatkan seluruh pemangku kepentingan dan direncanakan secara terpadu,menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit

pengelolaan.

3.  Berdasarkan hasil analisa data diatas, perencanaan DAS tidak dapat dilakukan melaluipendekatan sektoral saja, melainkan perlu adanya keterkaitan antar sektor yang mewakili

masing-masing sub DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir yang menjadi fokusperhatian dengan berpegang pada prinsip ‘one river one management’ . Keterkaitan antar 

sektor meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga padatingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungaisebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing 

resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya.

Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan

hal tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS denganmelibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup

wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.

4.  Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut

menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan

melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadiinput bagi sub-DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output

terakhir dari DAS. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output

dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujudmelalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun

‘polluter pays principle’.

Page 17: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 17/19

  - - 17 - -

Dalam rangka memulihkan dan mendayagunakan sungai dan pemeliharaan kelestarian

DAS, maka rekomendasi ke depan perlu disusun kebijakan (peraturan) pemerintah yangmengatur tentang pengelolaan DAS terpadu, yang antara lain dapat memuat :

1.  Pengelolaan DAS terpadu yang meliputi :

a.  Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalampenyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.

b.  Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunanprogram-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu

pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.c.  Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan

dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.

d.  Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi prosesevaluasi dan monitoring.

e.  Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.

2.  Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk mengelola sumber daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan

memelihara kelestarian daerah aliran sungai.

3.  Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi denganpemerintah pusat dalam mengelola DAS secara terpadu.

4.  Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha atau

badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik pusat

maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang berlaku.5.  Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam

pengelolaan DAS terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak 

mengindahkan peraturan pemerintah dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DASlokal, regional maupun nasional.

Page 18: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 18/19

  - - 18 - -

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator Sentral”,

Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21

Desember 1999. Jakarta.Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia 2002. Jakarta.

Bappeda Kabupaten Batanghari dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2003. Batanghari dalamAngka 2002. Batanghari.

Bappeda Kabupaten Batanghari dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Batanghari. 2003. Produk Domestik 

Regional Bruto Kabupaten Batanghari menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2002. Batanghari.

Bappeda Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2001. Kabupaten Bogor dalamAngka 2000. Bogor.

Bappeda Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2003. Kabupaten Bogor dalam

Angka 2002. Bogor.

Bappeda Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2001. Kota Bogor dalam Angka 2000. Bogor.Bappeda Kota Bogor dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2002. Kota Bogor dalam Angka 2002. Bogor.

Bappeda Kota Depok dan Badan Pusat Kota Depok 2000. Depok dalam Angka 1999. Jakarta.

Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2000. Jakarta dalam Angka1999. Jakarta.

Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2003. Jakarta dalam Angka2002. Jakarta.

Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2002. Jakarta dalam

Angka2001. Jakarta.

Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 1999.Jambi dalam Angka 1998. Jambi.

Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2001.Jambi dalam Angka 2001. Jambi.Bappeda Provinsi Jambi dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2000.Jambi dalam Angka 1999. Jambi.

Bappeda Provinsi Jambi. 2004. Data Pokok Provinsi Jambi Tahun 2003. Jambi.Bappeda Provinsi Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2003. Jawa Tengah dalam

Angka 2002. Semarang.BP-DAS Batanghari. 2002. Data Base dan Informasi Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial di

Wilayah Balai Pengelolaan DAS Batanghari. Jambi.

BP-DAS Pemali Jratun. 2002. Data Inalkatif Lahan Kritis Kabupaten/Kota dalam DAS se-Wilayah BalaiPengelolaan DAS Batanghari. Jambi.

Departemen Kehutanan. 1985.Prosiding Lokakarya Pengelaolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. JakartaDepartemen Kehutanan. 1993.Rencana Pengelolaan DAS Terpadu Batanghari. Jakarta.

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2000. Studi Pendahuluan Penanganan Konservasi dan

Pengembangan Sumberdaya Air di Wilayah Sungai Ciliwung –Cisadane. Jakarta.Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah. 2000. Laporan Akhir Rencana Pengembangan

Sumber Daya Air Wilayah Sungai Jratunseluna. Semarang.

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah. 2001. Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Tengah. Semarang.

Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah. 2003. Potensi Ketersediaan Air dalam RangkaMendukung Antisipasi Kekeringan Provinsi Jawa Tengah. Semarang.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Departemen Kimpraswil. 2002. Basin

Water Resources Management Unit Component of Java Irigation Improvement and Water ResourcesManagement Project, Basin Water Resources Management- Final Report (Central Java and DIY). Jakarta.

Haridjaja, O. 1990. Pengembangan Pola Usaha Tani Campuran pada Lahan Kering yang Berwawasan

Lingkungan di Kabupaten Sukabumi. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, IPB.

Page 19: KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

8/7/2019 KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

http://slidepdf.com/reader/full/kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu 19/19

  - - 19 - -

IPB Press. 1989. Konservasi Tanah dan Air . Bogor.

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu. et.all . 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan

Konservasi Tanah.Bogor: K3SB.

Kodoatie, R.J. et.all . 2001. Pengelolan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Andi.

Linsley, Ray K.et.all . 1980.Applied Hydrology. New Delhi: Tata McGraw Hill Publication. Co.Notohadiprawiro. 1989. “Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan

Pengembangannya”, Makalah Lokakarya Evaluasi Pengembangan Palawija SFCDP-USAID, Bogor 19Desember 1999.

Pasaribu, H.S. 1999. “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan PengembanganWilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air,” Seminar Sehari PERSAKI

DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.

Perusahaan Umum Jasa Tirta I. 2002. Review Studi Kelayakan Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di

Wilayah Sungai (SW) Jratunseluna. Malang.

Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai. 2002. Informasi Data Pengembangan Sumber DayaAir Provinsi Jambi. Jambi.

Sarjadi, Soegeng. 2001. Otonomi-Potensi Masa Depan Republik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Society of American Forester. 1958. Forest Terminology, a Glossary of Terms used on Forestry.Washington DC.

Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Ciliwung-Ciujung. 1986. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Ciliwung Hulu. Pemda TK. II. Bogor, Bogor.

Suripin. 2001.Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air . Yogyakarta: Penerbit ANDI.Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. US Dept.

Agriculture Handbook. No. 537.