kajian literatur ujian nasional

Upload: jarot-syamsurizal

Post on 11-Jul-2015

175 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KAJIAN LITERATUR (KONSEPTUAL) UJIAN NASIONALOleh: Tim Ujian Nasional Universitas Negeri Malang 1. Perdebatan atau polemik tentang Ujian Nasional (UN) baik menyangkut kebijakan, bentuk atau desain, mekanisme maupun pelaksanaan UN selalu berlangsung setiap tahun di Indonesia, bahkan sepanjang tahun sehingga menjadi perdebatan laten penilaian pendidikan nasional. Partisipan perdebatan yang menolak, tidak setuju atau kontra UN mengemukakan berbagai landasan pemikiran, nalar, argumen dan bukti-bukti empiris yang bermuara pada penolakan UN. Bagi pihak penolak atau kontra UN, Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang dilaksanakan oleh pendidik merupakan bentuk penilaian akhir yang paling benar menurut UU Sisdiknas dan pedagogi, cocok dan layak untuk dipakai di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah dan pihak masyarakat yang mendukung, setuju, dan pro UN juga mengemukakan berbagai dasar pemikiran, nalar, argumen dan bukti-bukti empiris yang juga berujung pada pentingnya keberadaan dan pelaksanaan UN. Bagi pihak pemerintah dan pihak-pihak pro UN, selain UAS, penilaian akhir pendidikan berbentuk UN juga benar, cocok dan tepat dipakai di Indonesia. Baik UAS dan UN sama-sama bisa, cocok dan tepat dipakai sebagai alat pengukur pencapaian kompetensi atau Standar Isi. Perdebatan atau polemik UN tersebut berujung pada gugatan hukum oleh pihak kontra UN kepada pemerintah. Keputusan Mahkamah Agung tentang UN dapat dikatakan terang dan pasti. Akan tetapi, oleh pihak pihak penolak atau kontra UN, keputusan Mahkamah Agung disimpulkan bahwa Mahkamah Agung membatalkan dan melarang UN, sedangkan oleh pemerintah keputusan Mahkamah Agung disimpulkan tidak membatalkan dan melarang UN. Pentingnya Kajian Komprehensif Landasan Ujian Nasional 2. Perdebatan atau polemik laten UN beserta implikasi hukum Keputusan Mahkamah Agung tentang UN tersebut telah menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar sebagai berikut: (i) apakah UN tidak memiliki atau melanggar dasar pemikiran literatur konseptual-teoretis sehingga dianggap salah atau tidak1

tepat sebagai bentuk alat pengukuran pencapaian standar kompetensi nasional dan bentuk akhir penilaian pendidikan suatu negara?; (ii) apakah UN tidak memiliki atau melanggar dasar-dasar dan kaidah-kaidah pedagogis sehingga tidak perlu diterapkan dan dilaksanakan karena akan merusak pembelajaran?; (iii) apakah UN tidak memiliki atau melanggar peraturan perundang-undangan atau yurisdikasi pendidikan sehingga harus dibatalkan atau ditiadakan?; dan (iv) apakah UN tidak memiliki atau tidak didukung oleh kelayakan empiris sehingga tidak perlu diterapkan dan dilaksanakan secara nasional sebagai bentuk penilaian akhir pendidikan. Bagi pihak yang menolak atau kontra UN sudah barang tentu UN tidak memiliki landasan konseptual-teoretisakademis (kependidikan), melanggar dasar dan kaidah pedagogis, dan tidak memiliki kelayakan empiris untuk diterapkan dan dilaksanakan di Indonesia. Bahkan landasan yuridis UN dipandang silang sengkarut, dalam arti dipandang ada ketidakselarasan antara hal penilaian pendidikan yang termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan PP 19 Tahun 2005 tentang SNP. Akan tetapi, bagi pemerintah dan pihak yang setuju dan pro UN, sudah barang tentu UN memiliki landasan hukum atau yuridis yang kuat dan jelas, memiliki dasar-dasar dan kaidahkaidah pedagogis yang mantap, memiliki dasar dan kaidah konseptual-teoretis-akademis yang jelas-kokoh dan memiliki kelayakan empiris untuk diterapkan dan dilaksanakan secara nasional sebagai alat pengukuran pencapaian standar kompetensi nasional dan bentuk penilaian akhir pendidikan nasional Indonesia. 3. Secara objektif dan akademis, lembaga pendidikan tinggi bidang keguruan dan ilmu kependidikan memiliki otoritas, kapasitas dan kapabilitas untuk mengkaji dasar-dasar dan kaidahkaidah konseptual-teoretis-akademis, padagogis, dan bahkan kelayakan empiris UN untuk dijadikan kebijakan dan diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan tinggi bidang keguruan dan ilmu pendidikan berwenang dan dapat dipercaya untuk melaksanakan kajian konseptual-teoretis, pedagogis, dan kelayakan empiris UN secara objektif dan akademis. Berdasarkan hal tersebut Tim Ujian Nasional Universitas Negeri Malang sebagai salah satu perguruan tinggi yang berpengalaman menyelenggarakan pendidikan keguruan dan ilmu pendidikan yang mendapat perluasan mandat untuk menyelenggarakan pendidikan non-kependidikan melaksanakan kajian dasar-dasar dan kaidah-kaidah konseptual-teoretis (literatur) tentang UN

meliputi keberadaan, kedudukan, fungsi dan manfaat serta pelaksanaan UN sehingga jelas duduk perkara tentang UN dan UAS di Indonesia. Hasil kajian konseptual-teoretis (literatur) yang dimaksud dipaparkan berikut ini. Urutan pemaparan sebagai berikut: (i) paradigma pendidikan berbasis standar (standard based education) sebagai kecenderungan (trend) atau arah mutakhir paradigma pendidikan secara global, (ii) pengukuran pencapaian standar nasional pendidikan khususnya pencapaian standar kompetensi (SK) dan standar kompetensi lulusan (KD), (iii) UN sebagai alat pengukuran pencapaian standar kompetensi, dalam hal ini Standar Isi (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 entang Standar Isi) dan (iv) model penyelenggaraan UN yang mendukung kesahihan dan kepercayaan UN. Paradigma Pendidikan Berbasis Standar 4. Berbagai kecenderungan (trend) atau arah mutakhir pemikiran tentang paradigma pendidikan menunjukkan bahwa paradigma pendidikan berbasis standar semakin banyak dibicarakan, diakui dan diapresiasi oleh berbagai kalangan yang menggeluti dunia pendidikan baik kalangan akademisi pendidikan maupun kalangan pengelola dan penyelenggara pendidikan. Dalam konteks globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat sekarang, bahkan paradigma pendidikan berbasis standar banyak dipakai atau diterapkan oleh berbagai negara, misalnya Amerika Serikat (Ravay Snow-Renner and Patricia A. Lauer, Standards-Based Education: Putting Reseacrh into Practice, McREL, 2005). Berbagai pihak baik pakar maupun pemerintah kemudian mengembangkan standar dan rujuk-mutu (benchmark) pendidikan, misalnya Kendall dan Marzano (1997) mengembangkan standar dan rujuk-mutu pendidikan dasar dan menengah sebagaimana tertuang dalam buku Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarks for K12 Education; Gordon dkk (2009) mengembangkan standard kompetensi dalam buku Key Competences in Europe: Opening Doors for Lifelong Leaners Across the School Curriculum and Teacher ducation; dan National Council of Teachers of Mathematics (2000) mengembangkan standard kompetensi matematika sebagaimana tertuang dalam Principles and Standards for School Mathematics. Temuan berbagai kajian menunjukkan bahwa jika dilaksanakan secara benar dan konsisten, standardisasi berbagai komponen utama pendidikan berdampak positif bagi kemajuan pendidikan

atau peningkatan mutu pendidikan secara nasional (Snow-Renner dan Lauer, 2005:5-6). Dengan kata lain, adanya standar pendidikan mendorong peningkatan mutu pendidikan. Sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara yuridis Indonesia juga telah menerapkan atau memakai paradigma pendidikan berbasis standar dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Secara konkret PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan bukti nyata penerapan atau penggunaan paradigma pendidikan berbasis standar dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. 5. Dalam paradigma pendidikan berbasis standar, beberapa komponen utama pendidikan yang pada umumnya distandarisasi secara nasional adalah standar kompetensi mata pelajaran (standar isi pendidikan) dan standar kompetensi lulusan, standar proses pembelajaran dan standar penilaian pendidikan (Apthorp dkk, 2001; Greaney dan Khellaghan, 2008; Snow-Renner dan Lauer, 2005:5-6;). Ketiga komponen pendidikan tersebut distandarisasi karena pencapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi pendidikan) memerlukan standar proses pembelajaran dan juga standar penilaian pembelajaran atau penilaian prestasi belajar. Di Indonesia, sebagaimana tercantum UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, selain ada standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi), standar proses, dan standar penilaian, ada pula standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan pendidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar pembiayaan. Hal ini berarti bahwa ada delapan standar nasional pendidikan di Indonesia (selanjutnya disingkat SNP) dengan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) sebagai sumbu bagi tujuh standar pendidikannya. Pengukuran Ketercapaian Standar Nasional Pendidikan 6. Ketercapaian SNP terutama ketercapaian standar kompetensi kelulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) perlu diukur sehingga diperlukan pengukuran Ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi). Yang dimaksud dengan pengukuran

ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) di sini adalah proses atau kegiatan menentukan dan menetapkan derajat tercapainya standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (tandar isi) dengan mekanisme, prosedur dan alat pengukuran tertentu. Pengukuran standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) ini dapat berfungsi sebagai (i) sarana penjaminan mutu pendidikan secara nasional, (ii) bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas) publik proses pendidikan secara nasional, (iii) gambaran kinerja pendidikan secara nasional, dan (iv) balikan bagi penyempurnaan kebijakan nasional pendidikan khususnya kebijakan tentang standar nasional pendidikan dan kebijakan nasional lain untuk memenuhi standar nasional pendidikan. Dengan demikian, pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) merupakan sebuah aktivitas yang harus diselenggarakan secara kontinyu dan berkelanjutan. 7. Secara konseptual-teoretis, pengukuran standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) perlu dilakukan secara komprehensif dan holistis agar keseluruhan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) terukur. Untuk itu, secara konseptualteoretis, dapat digunakan dua macam bentuk penilaian secara serempak dan saling melengkapi (komplementer), yaitu ujian (examination/assessment/testing) dan non-ujian (misalnya survei atau pemantauan dan evaluasi) yang terstandardisasi. Meskipun penggunaan penilaian non-ujian (survei atau pemantauan dan evaluasi) dimungkinkan secara konseptual-teoretis, lazimnya pengunaan ujian menjadi pilihan utama karena pertimbangan faktor validitas, reliabilitas, praktikalitas dan fairness penilaian. Dibandingkan dengan penilaian non-ujian (survei atau pemantauan dan evaluasi) terbukti ujian bisa memiliki validitas, reliabilitas, praktikalitas dan fairness yang jauh lebih tinggi untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi). Oleh karena itu, lazimnya ujian menjadi pilihan utama dan pertama sebagai alat pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran secara nasional (Greaney dan Khellaghan, National Assessments of Educational Achievement: Assessing National Achievement Levels in Education, World Bank, 2008; Hill, Examination System: Asia-Pasific Secondary Education System

Review, 2010). Inilah arti penting ujian dalam pengukuran standar nasional pendidikan, dalam hal ini pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi). 8. Secara konseptual-teoretis, pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) secara nasional dapat menggunakan (i) ujian pada level sekolah (yang disebut Ujian Akhir Sekolah, UAS), (ii) ujian pada level nasional (yang disebut Ujian Nasional, UN) atau (iii) kombinasi ujian pada level sekolah dan ujian pada level nasional (UAS dengan UN). Sebagai bentuk penilaian, memang UAS dan UN serta kombinasi UAS dan UN tersebut berkedudukan setara dan dapat berfungsi relatif sama. Akan tetapi, tidak dapat dikatakan bahwa UAS merupakan alternatif satu-satunya bagi UN atau sebaliknya UN merupakan alternatif satu-satunya bagi UAS karena penggunaan UAS, UN atau kombinasi UAS dan UN selalu membawa konsekuensi dan permasalahan tertentu. Maksudnya, jika penerapan UAS mengandung berbagai permasalahan, maka tidak secara otomatis semua permasalahan UAS dapat diatasi dengan menerapkan UN; sebaliknya, jika penerapan UN mengandung berbagai permasalahan, maka tidak secara otomatis UAS dapat menggantikannya tanpa menimbulkan permasalahan baru. Bahkan kombinasi UAS dan UN pun tidak serta-merta dapat menggantikan UAS atau UN bila penerapan UAS atau UN menimbulkan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan. Klaimklaim kebenaran tunggal tentang ketiga bentuk ujian tersebut tidak dapat diterima secara teoretis-akademis karena baik UAS dan UN maupun kombinasi UAS dan UN sama-sama benar secara teoretis akademis dan sama-sama bisa menimbulkan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan. 9. Kebenaran asas konseptual-teoretis tersebut didukung oleh bukti empiris yang berkenaan dengan pengalaman Indonesia melaksanakan pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar isi khususnya penilaian prestasi belajar secara nasional. Pengalaman sejarah pendidikan nasional Indonesia menunjukkan bahwa baik UAS, UN maupun kombinasi UAS dan UN sama-sama pernah dijadikan kebijakan nasional penilaian pendidikan: pada tahun 19451964 Indonesia menerapkan UN yang pada waktu itu disebut Ujian Negara; pada tahun 1965 1981 Indonesia menerapkan UAS semata, meniadakan UN; dan pada tahun 19822002 Indonesia menerapkan kombinasi UAS

dan UN yang disebut EBTANAS; serta pada tahun 2002 sekarang Indonesia menerapkan UN. Oleh berbagai pihak yang berbedabeda, baik kebijakan dan pelaksanaan UAS, UN maupun kombinasi UAS dan UN (EBTANAS) dipandang sama-sama tidak memuaskan, memunculkan berbagai masalah ketidakadilan antar-daerah dan manipulasi, dan tidak dapat menjadi instrumen peningkatan mutu. Oleh karena itu, bentuk penilaian prestasi belajar atau pencapaian standar kompetensi (standar isi) di Indonesia selalu silih berganti selama Indonesia merdeka. Fakta empiris ini mengimplikasikan bahwa UAS bukan alternatif satu-satunya penilaian prestasi belajar atau pencapaian standar kompetensi (standar isi) secara nasional untuk menggantikan UN; sebaliknya, UN bukanlah bentuk penilaian prestasi belajar atau pencapaian standar kompetensi (standar isi) secara nasional yang harus dipandang salah dan perlu dihindari dalam penilaian pendidikan. Keberadaan UN dan UAS serta kombinasi UAS dan UN sama-sama absah untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) khususnya menilai prestasi belajar secara nasional sehingga baik UAS, UN maupun kombinasi UAS dan UN sama-sama dapat dipakai sebagai alat pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) khususnya penilaian prestasi belajar pada tataran nasional. 10. Sehubungan dengan itu, pemilihan dan penetapan bentuk ujian untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) pada tataran nasional harus berdasarkan pertimbangan keuntungan, kerugian dan permasalahan yang timbul bila satu bentuk ujian tertentu dipilih dan digunakan. Dalam hubungan ini pemilihan dan penggunaan satu bentuk ujian harus dapat menjawab tiga pertanyaan berikut: (a) manakah salah satu bentuk ujian di antara UAS, UN atau kombinasi UAS dan UN yang dapat memberikan keuntungan dan kemudahan besar bagi pendidikan nasional Indonesia khususnya kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan nasional?; (b) manakah salah satu bentuk ujian di antara UAS, UN atau kombinasi UAS dan UN yang mengakibatkan kerugian dan kemudharatan paling kecil bagi pendidikan nasional khususnya kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan nasional?; dan (c) manakah salah satu bentuk ujian di antara UAS, UN atau kombinasi UAS dan UN yang menimbulkan permasalahan dan resiko paling kecil bagi pendidikan nasioal khususnya kemajuan

pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan nasional? Dalam konteks pengukuran ketercapaian standar nasional pendidikan khususnya standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) atau prestasi belajar nasional, pemilihan dan penggunaan UN secara benar dan tepat lebih memberikan keuntungan lebih besar, memberikan kerugian lebih kecil dan menimbulkan permasalahan lebih kecil bagi kemajuan pendidikan nasional dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Walaupun UAS dapat dipakai untuk mengukur standar kompetensi lulusan dan standar isi yang tidak mungkin diukur dengan UN, generalisasi pemilihan dan penggunaan UAS untuk mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan khususnya standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) atau prestasi belajar nasional justru akan mendatangkan kerugian dan kemudharatan besar selain menimbulkan permasalahan dan resiko tertentu yang merawankan kemajuan pendidikan nasional dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Sebab itu, secara konseptual-teoretis dapat dikatakan bahwa UN cocok dan baik untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) dengan catatan bahwa UAS dapat dipakai untuk mengukur standar-standar kompetensi tertentu yang tidak bisa diukur dengan UN. Tidak mengherankan, sekarang berbagai negara di dunia banyak yang memilih dan menyelenggarakan UN untuk mengukur prestasi belajar nasional (national achievement) atau pencapaian standar kompetensi mata pelajaran dengan fungsi berbeda-beda sebagaimana tampak dalam laporan oleh Vincent Greaney dan Thomas Khellaghan dalam National Assessments of Educational Achievement: Assessing National Achievement Levels in Education (World Bank, 2008) dan Peter Hill dalam Examination Systems: Asia-Pasific Secondary Education System Review (UNESCO Bangkok, 2010). Ujian Nasional sebagai Alat Pengukuran Ketercapaian SKLSI 11. Sebagaimana dikemukakan di atas, sekarang ada kecenderungan berbagai negara memilih dan menggunakan UN sebagai alat pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan (SKL) dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi, SI). UN sebagai alat pengukuran ketercapaian SKL-SI itu pada umumnya didefinisikan sebagai satu bentuk ujian yang dirancang

(direncanakan), dilaksanakan, dikelola dan dikendalikan secara nasional oleh sebuah tim nasional mulai penetapan kisi-kisi kompetensi, penyusunan soal ujian, penggandaan soal ujian, pengamanan soal ujian, penyebaran soal ujian, pembagian soal ujian, pengawasan pelaksanaan ujian sampai dengan koreksi soal ujian. Di sini pihak sekolah tidak terlibat atau dilibatkan dalam keseluruhan rangkaian proses penyelenggaraan UN. 12. Secara konseptual-teoretis, UN sebagai alat pengukuran ketercapaian SKL-SI tersebut dapat berfungsi sebagai (a) pemetaan capaian SKL-SI secara nasional, (b) pemetaan mutu pendidikan secara nasional, (c) pemotretan kinerja pendidikan nasional, (d) salah satu penentu kelulusan siswa, (e) penjaminan mutu atau pengendalian mutu pendidikan secara nasional, (f) pertanggungjawaban (akuntabilitas) publik atas proses pendidikan atau pembelajaran dan (g) bentuk pemaduan proses pendidikan pada masa otonomi daerah ke dalam keindonesiaan. Di samping itu, hasil-hasil UN sebagai alat pengukuran SKL-SI secara nasional dapat dimanfaatkan sebagai (h) pemicu kinerja pembelajaran oleh guru dan motivasi belajar siswa, (i) perluasan diagnostik pembelajaran, (j) pembanding mutu pendidikan atau prestasi belajar antar-daerah, antar-sekolah dan antar-siswa, (k) balikan bagi kebijakan pendidikan dan perbaikan pembelajaran di sekolah, (l) dasar penentuan dan pengembangan intervensi atau perlakuan tertentu oleh pemerintah kepada daerah untuk memeratakan dan meningkatkan mutu pembelajaran, dan (m) salah satu pengendali keindonesiaan sistem pendidikan nasional (bandingkan Kellaghan, Greaney dan Murray, 2009, Using the Results of a National Assessment of Educational Achievement, World Bank). Ini semua menunjukkan bahwa UN memiliki banyak keuntungan bagi negara-bangsa Indonesia khususnya pendidikan nasional Indonesia. 13. Supaya UN dapat berfungsi dan bermanfat sebagaimana dikemukakan di atas, perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan UN harus dilakukan secara baik dan terstandarisasi. Hal ini mengimplikasikan bahwa UN yang baik dan terstandarisasi memerlukan prasyarat tertentu. Secara teoretis-akademis, prasyarat yang dimaksud adalah bahwa (a) UN harus memiliki validitas yang kuat, (b) UN harus memiliki reliabilitas yang tinggi, (c) UN harus memiliki tingkat praktikalitas yang tinggi, dan (d) UN harus memiliki tingkat fairness yang tinggi (simak AERA, APA dan NCME, 1999, Standards for Educational and Psychological Testing;

Andeson dan Morgan, 2009, Developing Tests and Questionnaries for a National Assessment of Educational Achievement). Pertama, supaya validitas UN kuat, dalam arti UN dapat mengukur keseluruhan atau sebagian besar SKL-SI, maka perlu dipilih alat UN yang tepat dan dikembangkan karakter tes yang baik. Dalam hubungan ini tes pilihan ganda dapat memberikan validitas yang lebih kuat dibandingkan dengan tes esai atau lainnya. Di samping itu, perlu dipilih mata pelajaran apa yang tepat dimasukkan UN dan mata pelajaran apa yang tidak perlu dimasukkan ke dalam UN, cukup dimasukkan ke dalam UAS. Mata pelajaran yang mengandung kadar universitas tinggi dan nasionalitas kuat perlu dipilih sebagai mata pelajaran yang di-UN-kan. Kedua, agar UN memiliki reliabilitas tinggi, dalam arti dapat dipercaya hasilhasilnya, maka pelaksanaan UN harus benar dan baik. Di sinilah tata-laksana dan tata-kelola UN harus diperbaiki karena selama ini UN. Ketiga, agar UN memiliki praktikalitas tinggi diperlukan mekanisme, prosedur dan instrumen yang mungkin dipakai di seluruh Indonesia dan mengandung sedir permasalahan. Keempat, supaya UN memiliki tingkat fairness yang tinggi, maka perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan UN harus menghindari bias atau mengandung sedikit bias, bisa memberikan kesetaraan atau keadilan bagi semua pemangku kepentingan, dan bisa memberikan kesempatan belajar yang sama bagi semua siswa. Harus diakui dengan jujur, selama ini reliabilitas dan fairness UN masih rendah selain validitas dan praktikalitas yang masih perlu ditingkatkan terus sehingga menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap UN sekaligus citra negatif UN di mata masyarakat. 14. Persepsi negatif masyarakat terhadap UN dan citra negative UN akibat rendahnya reliabilitas dan fairness UN kemudian menimbulkan penolakan masyarakat terhadap UN. Oleh sebab itu, pencegahan penolakan masyarakat terhadap UN perlu difoskukan pada peningkatan reliabilitas dan fairness UN. Untuk itu, pertama, perlu dikembangkan citra positif bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan karena masyarakat berpersepsi UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Kedua, secara teoretis-akademis, UN memang tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan tanpa dikombinasikan dengan UAS. Dalam hubungan inilah diusulkan agar kelulusan ditentukan berdasarkan kombinasi UN dengan UAS dengan batas toleransi tertentu. Dalam kaitan ini validitas dan reliabilitas UAS juga harus ditingkatkan dengan cara

pengendalian perencanaan dan pelaksanaan yang lebih ketat, misalnya dengan cara pemerintah pusat menentukan kisi-kisi SKL mata pelajaran yang di-UAS-kan dan menentukan tata-laksana UAS secara tegas. Ketiga, pelaksanaan UN harus diperbaiki dan dilakukan secara ketat agar segala kebocoran, kecurangan, dan manipulasi dalam UN dapat dieliminasi atau diminimalisasi. Dalam kaitan ini perlu pelaksana UN yang independen dan dapat dipercaya, mulai penyusun soal UN, pengganda soal UN, pendistribusi soal UN, pengaman soal UN, pengawas pelaksanaan UN dan pengelola UN. Di sini relawan-relawan yang peduli UN perlu dilibatkan ke dalam penyelenggaraan UN. Terakhir, kelima, pemerintah perlu terus mendorong pemerintah daerah dan sekolah untuk menegakkan implementasi Standar Nasional Pendidikan karena segenap permasalahan UN sesungguhnya bersumber dari tidak diimplementasikannya Standar Nasional Pendidikan. Implementasi Standar Nasional Pendidikan secara benar dan konsisten akan menjadikan proses pembelajaran maksimal pada satu sisi dan pada sisi lain akan membuat distorsidistorsi atau pelanggaran-pelanggaran pembelajaran dapat diatasi sehingga SKL-SI benar-benar dapat tercapai. Tercapainya SKL-SI oleh sekolah akan membuat guru menyiapkan siswanya mengikuti UN dapat mendistorsi pembelajaran pada satu pihak dan pada pihak lain siswa-siswa siap mengikuti UN seacara alamiah, tanpa tekanan. Kelima langkah peningkatan reliabilitas dan fairness UN tersebut masih perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan dan program teknis yang memerlukan waktu tertentu. SIMPULAN 15. Berdasarkan paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara konseptual-teoretis keberadaan dan penggunaan UN sebagai alat pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) dapat dikatakan absah dan dapat diterima, tidak salah dan harus dihindari. Sebab itu, secara konseptual-teoretis, keberadaan dan penggunaan UN oleh pemerintah selama ini dapat diterima dan benar. Akan tetapi, persoalannya, selama ini UN masih memiliki reliabilitas dan fairness yang rendah di samping memiliki validitas dan praktikalitas yang belum kuat sehingga menimbulkan persepsi negatif masyarakat dan penolakan masyarakat terhadap UN. Untuk itu, pada satu sisi, diperlukan perbaikan fungsi UN, konstruksi alat UN, dan pelaksanaan UN; pada sisi lain diperlukan

penguatan implementasi Standar Nasional Pendidikan agar sekolah siap mengikuti UN dan perbaikan UAS secara signifikan. Dengan demikian, UN akan dapat menjadi salah satu alat pengukuran standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran (standar isi) yang dapat diterima oleh berbagai pihak, tidak menimbulkan perdebatan laten tahunan yang menguras energi kita. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Prue dan Morgan, George. 2009. Developing Tests and Questionnaries for a National Assessment of Educational Achievement. Washington, DC: The World Bank. American Educational Research Association, American Psychological Association dan National Council on Measurement in Education. 1999. Standard for Educational and Psychological Testing. Washington, DC: American Educational Research Associattion. Eko, dkk. 2005. UAN: Mengapa Perlu?. Bekasi: Al-Kautsar Prima. Greany, Vincent dan Kellaghan, Thomas. 2008. Assessing National Achievement Levels in Education. Washington, DC: The World Bank. Hayat, Bahrul dan Yusuf, Suhendra. 2010. Bencmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hill, Peter. 2010. Examination Systems: Asia-Pasific Secondary Education System Review, Series No. 1. Bangkok: UNESCO. Kellaghan, Thomas, Vincent Greaney dan T. Schott Murray. 2009. Using the Result of a National Assessment of Educational Achievement. Washington, DC: The World Bank. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.