kajian legislasi di bidang sarana produksi...

Download KAJIAN LEGISLASI DI BIDANG SARANA PRODUKSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_SPY.pdf · pemda yang mengatur pupuk ... dapat dikemukakan beberapa pengaturan, antara

If you can't read please download the document

Upload: dangnhi

Post on 06-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN AKHIRPENELITIAN TA 2012

    KAJIAN LEGISLASI DI BIDANG SARANA PRODUKSIPERTANIAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

    Oleh :Supriyati

    Erizal JamalValeriana Darwis

    PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

    KEMENTERIAN PERTANIAN2012

  • i

    RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang 1. Produksi komoditas pertanian dipengaruhi oleh lahan, air, sarana produksi

    (benih/ bibit, pupuk, obat-obatan, dan lain-lain), teknologi dan manajemen. Lahan, air dan benih/bibit adalah syarat utama, sementara unsur yang lainnya adalah syarat kecukupan. Sarana produksi yang berpengaruh penting terhadap produktivitas tanaman pangan (dibatasi hanya padi, jagung, kedele) adalah benih dan pupuk (cakupan sarana produksi dalam kajian ini). Peran benih dan pupuk dalam peningkatan produktivitas sudah disadari oleh pemerintah sejak lama. Untuk menyediakan benih bermutu dan pupuk sesuai dengan asas 6 tepat (jenis, jumlah, mutu, lokasi, waktu dan harga), pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk pencapaian swasembada pangan serta memberikan fasilitasi dalam bentuk peraturan perundangan.

    2. Posisi peraturan perundangan adalah mendukung, mengawal proses,

    mengamankan hasil pembangunan. Peraturan perundangan yang terkait dengan benih dan pupuk relatif sudah tersedia secara memadai, namun sampai saat ini belum sepenuhnya mampu mengakselerasi peningkatan produktivitas tanaman pangan.

    Tujuan Penelitian 3. Tujuan umum dari kajian ini adalah menghasilkan rumusan reorientasi konsepsi

    dan implementasi peraturan perundangan sarana produksi untuk meningkatkan pencapaian sasaran swasembada pangan. Secara khusus, tujuan dari kajian adalah sebagai berikut: (i) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan sarana produksi pertanian dengan sasaran swasembada pangan; (ii) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan sarana produksi pertanian dengan sasaran swasembada pangan; dan (iii) Mengevaluasi dampak implementasi peraturan per-undangan sarana produksi terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan.

    Metodologi 4. Lokasi kajian adalah di pusat (DKI) dan sentra produksi tanaman pangan dan

    pemda yang mengatur pupuk secara regional, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. Analisis dilakukan secara deskriptif.

  • ii

    HASIL PENELITIAN Konsistensi dan Sinkronisasi Peraturan Perundangan Sarana Produksi Pertanian 5. Inisiasi industri benih di Indonesia dimulai pada tahun 1971, dengan

    diterbitkannya beberapa peraturan dan keputusan yang mencerminkan kebijakan pemerintah dalam perbenihan. Peraturan tentang benih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peraturan varietas dan peraturan perbenihan. Fasilitasi pemerintah dalam peraturan varietas ditujukan untuk penyediaan benih unggul, sementara peraturan benih ditujukan untuk penyediaan benih berkualitas. Peraturan varietas mengatur perlindungan sumber genetik, proses penciptaan sampai dengan pelepasan varietas, penggunaan varietas awal. Peraturan benih mengatur tentang kelembagaan, mekanisme produksi dan pengawasan mutu benih, mekanisme pemasukan dan pengeluaran benih.

    6. Amanat dalam UU dan PP tentang perbenihan secara konsisten ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian, tidak dijumpai peraturan turunan di daerah. Namun demikian, masih diperlukan peraturan turunan benih dan varietas dalam bentuk PP dan atau Peraturan tingkat Menteri yang lebih operasional untuk beberapa peraturan, antara lain: (i) UU 12/1992: tentang ganti rugi kepada petani apabila pemerintah mengubah pola tanam, budidaya, bencana alam serta petunjuk panen dan pasca panen; (ii) UU Nomor 29/2000 dan PP 13/2004: tentang reward/penghargaan terhadap pemulia; (iii) Permentan 38/2006 Pasal 19 dan 32: tentang waktu yang dipergunakan hanya 10 hari dalam permohonan pemasukan dan pengeluaran benih, (iv) Permentan 37/2006 pasal 4 ayat (6) dan PP 44/1995 Pasal 18 dan 19: Indikator selera konsumen; (v) Permentan 39/2006 Pasal 16: permohonan sertifikasi yang bisa berpindah ke pihak lain; (vi) Permentan 39/2006: tentang ruang pengembangan penangkar lokal/informal; (vii) PP 44/1995: mendatangkan bibit dari luar negeri tanpa pemeriksaan, skala usaha penangkaran.

    7. Dalam PP 44/1995 ditemukan inkonsistensi, antara lain: (i) Varietas baru disyaratkan keharusan uji adaptasi, namun dapat ditiadakan untuk varietas yang dipengaruhi selera konsumen; (ii) Produksi benih harus memenuhi standar mutu dengan sertifikasi, namun benih dari luar dikecualikan apabila mutu genetik benih tidak dapat diuji secara laboratoris.

    8. Dari hasil inventarisasi peraturan pupuk yang berlaku sampai saat ini di tingkat pusat, dapat dikemukakan beberapa pengaturan, antara lain: (i) Pupuk untuk tanaman pangan sebagian besar adalah pupuk bersubsidi. Subsidi merupakan kebijakan fiskal, maka sesuai dengan pembagian kewenangan pusat dan daerah, maka urusan subsidi ditangani oleh pusat. Pengaturan pupuk

  • iii

    melibatkan Kementerian Keuangan, Pertanian, Perdagangan Perindustrian, dan BUMN; (ii) PP 08/2001 hanya mengatur pupuk an-organik, sementara pupuk organik diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan); (iii) Pengaturan pupuk an-organik meliputi: pendaftaran, pengawasan formula, pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan; (iv) Pengaturan pupuk organik meliputi: pengadaan, pendaftaran, peredaran, penggunaan, dan pengawasan pupuk organik, pupuk hayati dan/atau pembenah tanah.

    9. Pupuk bersubsidi sarat dengan pengaturan-pengaturan dari pemerintah, antara lain terlihat sebagai berikut: (i) Pupuk bersubsidi merupakan barang dalam pengawasan; (ii) Volume pupuk bersubsidi setiap tahun ditetapkan dengan Permentan, disesuaikan dengan kemampuan anggaran pemerintah; (iii) Harga Eceren Tertinggi (HET) ditetapkan oleh pemerintah; (iv) Pengadaan berdasarkan kontrak antara pemerintah dengan PT PUSRI, pengadaan per produsen ditentukan oleh PT PUSRI; (v) Penyaluran pupuk diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Dalam wilayah provinsi/kabupaten, produsen menunjuk distributor dan distributor menunjuk pengecer; (vi) Pembelian petani mengacu dengan RDKK yang dibuat oleh Kelompok Tani dan didampingi oleh Petugas Penyuluh Pertanian.

    10. Jenis pupuk bersubsidi berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 15 Tahun 2011 adalah Pupuk Urea, Pupuk SP 36, Pupuk ZA, dan Pupuk NPK (Pasal 2 ayat (2)). Perubahan Pasal 2 ayat (2) masih dimungkinkan, ditetapkan oleh Menteri Pertanian berdasarkan hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Namun demikian, tidak ditemui Peraturan/SK (Surat Keputusan) Mentan (Menteri Pertanian) yang menetapkan pupuk organik termasuk pupuk bersubsidi.

    11. Fasilitasi pemerintah melalui peraturan pupuk terutama ditujukan untuk menyediakan pupuk berkualitas dan bersubsidi sampai tingkat kecamatan/ desa (lini IV/kios pengecer). Ruang pengaturan petani menggunakan pupuk sesuai dengan teknologi spesifik lokasi belum ada. RDKK tidak memberikan insentif bagi petani untuk memperoleh pupuk sesuai RDKK, namun hanya merupakan peluang.

    12. PP 8/2001 tidak konsisten dengan UU 12/1992. UU 12/1992 menghendaki pengaturan pupuk dalam arti luas, sementara PP 8/2001 hanya mengatur pupuk an-organik. Dalam pengaturan pupuk an-organik, PP 8/2001 mengamanatkan banyak aspek untuk ditindaklanjuti dengan peraturan turunan yang lebih operasional. Peraturan turunan dari PP 8/2001, sebagian besar konsisten dengan amanat PP tersebut dan konsisten dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan, namun sebagian tidak langsung mempengaruhi peningkatan produktivitas.

  • iv

    13. Konsistensi Permentan 87/2011 dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Kota: (i) Rincian alokasi pupuk tingkat provinsi konsisten dengan Permentan, kasus Jawa Barat belum sesuai, sementara alokasi pupuk tingkat kabupaten masih ada yang tidak konsisten; (ii) Penetapan Peraturan Gubernur konsisten, sementara penetapan Peraturan Bupati sebagian terlambat (April-Juni). Keterlambatan penetapan alokasi pupuk akan mengganggu distribusi pupuk di wilayah tersebut.

    14. Inkonsistensi dalam peraturan pupuk, antara lain: (i) Dalam memasukkan pupuk organik sebagai pupuk bersubsidi dengan program pengembangan pupuk organik in situ; dan (ii) Dalam penentuan petugas pengawas pupuk (pengawas formula pupuk, pengawas pupuk organik, pengawas pupuk bersubsidi, PPNS).

    15. Evaluasi sinkronisasi antara Kepmentan (Keputusan Menteri Pertanian) 237/2003 dengan Permendag 17/2011 tentang pengawasan pupuk dan pupuk bersubsidi adalah sebagai berikut: (i) Tim pengawas pupuk kedua peraturan tersebut tidak sinkron. Tim pengawas pupuk bersubsidi ada dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Tim pengawas pupuk hanya ada di kabupaten/kota. Implementasinya, di tingkat provinsi dan kabupaten, yang ada adalah Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) yang melakukan pengawasan terhadap pupuk bersubsidi; (ii) Ruang lingkup pengawasan sinkron antara kedua peraturan.

    Implementasi Peraturan Perundangan Sarana Produksi Pertanian 16. Pada umumnya pemerintah daerah tidak membuat peraturan perbenihan spesifik

    lokasi. Kasus di Provinsi Jawa Timur, terdapat Keputusan Gubernur Nomor 154 tahun 1989 tentang Forum Pembenihan Provinsi Jawa Timur. Forum ini merupakan wahana koordinatif, konsultatif dan informatif antar instansi yang terlibat dalam sistem perbenihan.

    17. Dijumpai Pemda (Jawa Timur dan Bali) yang membuat peraturan tentang pupuk. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur nomor 3 Tahun 2011 Tentang Tata Kelola tentang Bahan Pupuk Organik Di Provinsi Jawa Timur. Peraturan ini memberi ruang pengembangan pupuk organik selain oleh badan usaha berbadan hukum. Hal ini merupakan respon pemerintah daerah terhadap Permentan 70 Tahun 2011 tentang pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah, yang pengadaannya hanya oleh badan usaha yang berbadan hukum.

    18. Pemerintah Provinsi Bali dengan Keputusan Gubernur Bali sejak tahun 2007 memberikan tambahan subsidi untuk pupuk NPK Ponska dan pupuk organik. Pada tahun 2012, tambahan subsidi hanya diberikan pada pupuk organik, dengan tujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah. Keputusan Gubernur Bali tersebut diikuti dengan Kesepatan Bersama antara Gubernur Bali dengan

  • v

    Direktur Utama PT Petrokimia Gresik. Kesepakatan tersebut mencakup bahan pertimbangan, tujuan, ruang lingkup, hak dan kewajiban, pelaksanaan dan jangka waktu.

    19. Pelaksanaan sertifikasi benih di daerah (provinsi/kabupaten/kota) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Nomor 01/Kpts/HK. 310/C/1/2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Sertifikasi Benih Bina Tanaman Pangan. Tujuan peraturan ini sebagai acuan untuk petugas pengawas benih, produsen benih yang mendapatkan sertifikat sertifikasi sistem manajemen mutu dan produsen benih yang mendapatkan sertifikat sertifikasi produk/benih dalam melaksanakan tugas operasional di lapangan.

    20. Pelaksana sertifikasi di daerah adalah Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH) yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur. Tugas pokok dan fungsi BPSBTPH adalah pelayanan Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Informasi Perbenihan Padi, Palawija dan Hortikultura.

    21. Permasalahan yang terkait dengan lembaga pelaksana sertifikasi, antara lain adalah: (i) SDM yang semakin berkurang; (ii) Dengan adanya otonomi daerah, maka struktur BPSBTPH mengalami perubahan; (iii) Tugas sebagai pengadaan benih menyebabkan bias fungsi BPSBTPH tersebut, hal ini terutama terjadi pada petugas benih tanaman (PBT); (iv) Ketentuan perundangan tentang tarif biaya jasa pemeriksaan lapangan dan pengujian sudah tidak sesuai dengan biaya operasional yang ada; (v) Standarisasi peralatan laboratorium dan sarana prasarana belum ada; (vi) Kurangnya dukungan sarana dan prasarana terutama dalam pengembangan metode maupun pelatihan pelayanan sertifikasi di lapangan dan pengujian benih di laboratorium

    22. Permasalahan yang terkait dengan penangkar antara lain: (i) Implementasi Permentan 39/2006 tentang produksi, sertifikasi dan peredaran benih bina, belum berjalan dengan baik terutama berkaitan dengan ijin produksi benih yang menjadi kewenangan bupati/walikota; (ii) Kebutuhan potensial benih kedele cukup banyak, tetapi ketersediaan benih sumber sangat terbatas; (iii) Belum seluruh areal penangkaran yang telah disertifikasi dapat diopkup menjadi benih; (iv) Modal dan fasilitas yang dimiliki oleh penangkar masih terbatas; (v) Perencanaan kebutuhan benih bermutu dari varietas unggul belum disusun berdasarkan kebutuhan tiap musim tanam; (vi) Alur perbanyakan benih yang telah ditetapkan belum optimal mendukung pengembangan sistem perbenihan; (vii) Penyediaan benih sumber (padi, jagung, kedele) belum berkelanjutan, sesuai kebutuhan (jumlah, varietas dan waktu tanam) penangkar.

    23. Secara umum, perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi provinsi dimulai dari usulan kabupaten/walikota. Usulan tingkat kabupaten berdasarkan: (i)

  • vi

    Sasaran areal tanam; dan (ii) Rencana Kebutuhan Definitif Kelompok (RDKK) dan Rencana Kebutuhan Kelompok (RKK). Namun penyusunan RDKK dan RKK belum dilakukan secara benar dan secara menyeluruh di Kelompok Tani (KT). Usulan kebutuhan provinsi diteruskan ke pusat melalui Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian (Ditjen PSP). Belum ditemui peraturan tentang perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi.

    24. Penetapan alokasi pupuk bersubsidi untuk provinsi ditentukan di tingkat pusat (dengan Permentan), berdasarkan: (i) Ketersediaan anggaran subsidi pemerintah; (ii) Usulan dari daerah; (iii) Penyerapan tahun sebelumnya. Pada umumnya, alokasi pupuk bersubsidi lebih rendah dari usulan dari daerah. Secara berjenjang, provinsi menetapkan alokasi pupuk bersubsidi per kabupaten/kota (Peraturan Gubernur), dan kabupaten/kota menetapkan alokasi per kecamatan (Peraturan Bupati).

    25. Kaidah penetapan alokasi pupuk bersubsidi antara lain: (i) Sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, hal ini terkait dengan pengadaan dan penyaluran; (ii) Diperinci menurut subsektor, jenis pupuk dan bulan sebagai acuan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi.

    26. Dari perkembangan alokasi dan serapan tahun 2008-April 2012: (i) penyerapan pupuk Urea berfluktuasi; (ii) Penyerapn SP 36 cenderung meningkat; (iii) Penyerapan ZA relatif tinggj, kecuali tahun 2010. Ada dugaan, penyerapan pupuk ZA digunakan bahan pupuk lain; (iv) Penyerapan pupuk NPK menurun; (v) Penyerapan pupuk organik cenderung meningkat, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan penyerapan pupuk yang lain.

    27. Secara umum, produsen pupuk organik dapat dibedakan menjadi dua yaitu pabrik dan in situ (petani/kelompok tani/Gapoktan). Penetapan pupuk organik pabrikan sebagai pupuk bersubsidi bertentangan dengan program pengembangan pupuk organik Kementerian Pertanian (Kementan) yang dimulai sejak tahun 2006. Ada pro kontra antara kedua produsen tersebut, untuk itu perlu ditinjau ulang penetapan pupuk organik sebagai pupuk bersubsidi.

    28. Dalam perencanaan, masih ditemui beberapa permasalahan, antara lain: (i) Basis data lahan, luas tanaman, dan kelompok tani belum tersedia dengan baik dan akurat; (ii) Penyusunan RDKK belum dilakukan secara baik dan benar. Di lapangan, RDKK bukan digunakan untuk menyusun kebutuhan pupuk, namun sebagai pembagi alokasi pupuk yang diterima di tingkat kabupaten/kota.

    29. Penyaluran pupuk bersubsidi di daerah merupakan implementasi Permendag 17/2011 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Secara umum, implementasinya adalah sebagai berikut:(i) Penunjukkan distributor oleh produsen, dan penunjukkan pengecer oleh

  • vii

    distributor telah berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan dengan kegiatan merupakan kegiatan usaha perdagangan sehingga ketaatan lebih tinggi; (ii) Laporan penyaluran secara berjenjang dari pengecer dan distributor secara rutin dilakukan setiap bulan. Namun, masih ditemui laporan dari pengecer yang tidak rutin; (iii) Lini IV/pengecer pupuk bersubsidi menjual pupuk ke petani/Kelompok Tani (KT) berdasarkan RDKK. Di beberapa wilayah ditemukan penjualan secara paket sesuai dengan RDKK, namun ada keberatan dari KT/petani. Hal ini disebabkan RDKK yang ada di kios pengecer adalah RDKK berdasarkan alokasi yang diterima kabupaten yang dibagi menurut wilayah dan KT.

    30. Dalam penyaluran pupuk bersubsidi masih ditemui beberapa permasalahan: (i) Di tingkat distributor/kios pengecer, kelancaran penyaluran (penyediaan sesuai dengan asas 6 tepat) dipengaruhi oleh ketersediaan modal, sarana tranportasi dan prasarana pendukung; (ii) Pembelian petani tidak sesuai dengan RDKK, (tergantung daya beli petani), sehingga mengakibatkan adanya stok pada akhir tahun di Lini III/IV dan KT. Belum ada pengaturan pengelolaan stok ini. Kadang-kadang kondisi dimanfaatkan oleh oknum tertentu, untuk dijual ke sektor lain atau diekspor; (iii) Ketersediaan RDKK per musim tanam/tahun masih terbatas.

    31. Pengawasan pupuk bersubsidi dilakukan mulai tingkat pusat (SK Mentan) sampai dengan provinsi dan kabupaten dengan SK Gubernur dan SK Bupati tentang KP3. Untuk mengefektifkan pengawasan, dibuat nota kesepahaman dengan melibatkan kepolisian dan kejaksaan. Di beberapa kabupaten KP3 diketuai oleh Sekretaris Daerah, hal ini untuk memudahkan koordinasi tim KP3 yang berasal lintas dinas. Peran Pemda sangat penting dalam kelancaran pengawasan pupuk bersubsidi. Bahkan UU 22/2011 mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi menggunakan RDKK. Meskipun amanat UU ini belum ditindaklanjuti oleh Pemda. Dalam rangka meningkatkan kapasitas KP3 dalam pengawasan pupuk dan pestisida, pada tahun 2011 dan 2012 didukung dengan dana APBN, juga ada pembiayaan dari APBD. Pengawasan pupuk bersubsidi bervariasi antar wilayah, ada yang aktif dan masih ditemui yang kurang aktif.

    32. Permasalahan yang ditemui dalam pengawasan pupuk bersubsidi antara lain: (i) Penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi; (ii) Peredaran pupuk ilegal, palsu; (iii) Pola tertutup belum sepenuhnya berjalan; (iv) Penjualan pupuk bersubsidi secara paket; (v) Harga di kios dalam bentuk kemasan di atas HET; (v) Munculnya alternatif pupuk non subsidi dengan harga lebih rendah dari pupuk bersubsidi; (vi) Perangkat pengawasan pupuk di setiap lini belum optimal.

    Perkiraan Dampak Implementasi Peraturan Perundangan Sarana Produksi Terhadap Pencapaian Sasaran Swasembada Pangan

  • viii

    33. Peraturan tentang varietas mampu mendorong terciptanya varietas tanaman pangan. Saat ini terdapat 230 varietas padi, 54 varietas jagung, dan 58 varietas kedele. Namun demikian, penggunaan varietas lokal pada komoditas jagung dan kedele masih relatif tinggi (sekitar 40 persen), sementara di komoditas padi penggunaan varietas lokal mencapai 25 persen.

    34. Peraturan tentang benih belum mampu mendorong tumbuhnya industri perbenihan. Hal ini berdampak terhadap penggunaan benih berlabel pada komoditas padi baru sekitar 22 persen, jagung (7 persen) dan kedele sebesar 2 persen.

    35. Peraturan tentang pupuk belum mampu mendorong penggunaan pupuk secara optimal, masih terdapat sekitar 10 persen Rumah Tangga Usaha Tani (RTUT) padi, jagung dan kedele yang belum menggunakan pupuk.

    36. Penggunaan benih unggul, benih bersertifikat, dan pupuk mampu mendorong peningkatan produktivitas. Pada periode tahun 2000-2012 produktivitas padi, jagung dan kedele cenderung meningkat. Kasus di Provinsi Bali, subsidi ganda mampu meningkatkan produktivitas padi sawah. Dengan demikian, peraturan perundangan benih dan pupuk mempunyai peranan dalam pencapaian sasaran swasembada pangan di Indonesia.

    IMPLIKASI KEBIJAKAN 37. Terkait masih ada amanat UU/PP yang belum ditindaklanjuti dan inkonsistensi

    serta belum sinkronnya beberapa peraturan perundangan benih, implikasinya adalah: (i) pemerintah lebih aktif membuat peraturan turunan dalam bentuk PP dan atau peraturan menteri; (ii) pengaturan GMO (Genetically Modified Organism) pada industri perbenihan perusahan multinasional.

    38. Terkait dengan masih rendahnya penggunaan benih unggul dan benih bersertifikat, implikasinya adalah: (i) Sosialisasi dan demplot tentang benih bersertifikat perlu dtingkatkan; (ii) Peranan BPSB dan dukungan sarana prasarananya perlu di tingkatkan; (iii) Perlu pengaturan penangkar benih dari sektor informal (penangkar lokal); (iv) Peninjauan ulang tentang hak paten, karena selama ini hanya perusahaan besar yang mempunyai akses memperoleh hak paten; (v) Sistem Jabalsim terus dilanjutkan.

    39. Dengan adanya ketidaksinkronan antara UU 12/1992 dengan PP 08/2001, implikasinya adalah PP 08/2001 perlu disempurnakan dengan memasukkan pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah, agar terjadi kesepadanan dan sinkronisasi pengaturan pupuk. Peraturan pupuk organik melalui Permentan perlu di tingkatkan menjadi PP, agar amanat-amanatnya dapat ditindaklanjuti dengan peraturan tingkat Menteri.

  • ix

    40. Implikasi dari penyerapan pupuk bersubsidi yang lebih rendah dari alokasi antara

    lain: (i) Diperlukan perencanaan kebutuhan pupuk yang lebih baik; (ii) RDKK sebagai ujung tombak penghitungan kebutuhan pupuk riil petani/kelompok tani perlu dilakukan secara baik dan benar; (iii) Pedum RDKK dan Gerakan Penyusunan RDKK perlu disosialisasikan secara luas; (iv) Perlu peninjauan kembali pupuk organik sebagai pupuk bersubsidi, agar bantuan yang terkait dengan pupuk organik dapat berdaya dan berhasil guna.

    41. Implikasi dari penggunaan pupuk yang belum merata adalah diperlukan pengaturan/kebijakan yang menjamin petani memperoleh sarana produksi (benih dan pupuk) sesuai dengan kebutuhan.

    42. Implikasi dari masih ditemukannya permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi adalah: (i) Fungsi pengawasan pupuk bersubsidi perlu di tingkatkan dalam aspek: ketepatan pengadaan dan penyaluran, sistem penyaluran pola tertutup, peredaran pupuk nonsubsidi, penerapan HET; (ii) Pengawasan terhadap pupuk yang sudah ditebus distributor/kios pengecer/kelompok tani namun tidak tersalurkan ke petani perlu di tingkatkan.