kajian konsep resilient city di indonesia-pendahuluan
DESCRIPTION
Latar BelakangTRANSCRIPT
KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY DI INDONESIA
BAB A PENDAHULUAN
A.1 LATAR BELAKANG
Salah satu masalah sosial dasar yang dihadapi oleh masyarakat kota adalah masalah
pemenuhan kebutuhan akan keamanan lingkungan yang memadai. Hal tersebut
dikarenakan kota tidak pernah terlepas dari berbagai jenis ancaman berupa bencana
alam yang tidak dapat terelakan seperti gunung meletus, tsunami dbs; maupun bencana
akibat perilaku manusia di dalamnya seperti dampak perubahan iklim, kebakaran,
tanah longsor, hingga kemacetan dan permasalahan lainnya di dalam kota. Meskipun
ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang, kota senantiasa dibayangi oleh
berbagai ancaman bencana dimana dampak dari bencanapun datang dari segala sisi,
baik dari sisi kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Menyadari hal itu, pada satu dekade terakhir ini timbul kesadaran dari para pemangku
kebijakan, dalam hal ini pemerintah negara-negara yang tergabung dalam PBB, untuk
mencari suatu paradigma dan perspektif berpikir baru mengenai aspek kebencanaan
serta memikirkan solusi bagaimana seharusnya kota dirancang dalam menghadapi
berbagai jenis bencana secara mandiri. Diantara hasil pemikiran tersebut adalah
lahirnya konsep Resilient City.
Resilience secara bahasa dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang
terpuruk. Konsep resilience pertama kali digunakan pada ilmu ekologi pada tahun
1973. Semenjak itu, konsep resilience mulai ditransfer ke berbagai bidang dan dispilin
ilmu seperti ilmu ekonomi, kesehatan/psikologi, keruangan, komunitas, dll. Konsep
resilience itu pun ditransfer ke dalam konsep pengembangan dan pengelolaan kota,
yaitu dengan apa yang telah disebut sebagai Resilient City,
Konsep Resilient City sejalan dengan Undang – Undang No.26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan
untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan, berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pecegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Hal ini dikarenakan konsep Resilient City
bertumpu pada membangun sistem dan kapasitas kota untuk beradaptasi
terhadap datangnya bencana. Menurut Wildavsky, resilience adalah konsep agar
suatu sistem lebih tahan terhadap bencana, bukan hanya dengan kebal terhadap
perubahan, tetapi juga bagaimana sistem bisa bangkit kembali, memitigasi, dan pulih
dari bencana. Lebih lanjut, UU 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang
adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana
tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Dalam kaitannya dengan Resilient City, perumusan pola ruang dalam RTRW maupun
RDTR perlu memperhatikan bagaimana penempatan suatu zona baik lindung maupun
budi daya tertentu yang rawan terhadap bencana tidak hanya dimasukkan sebagai
salah satu zona rawan bencana, tetapi perlu juga untuk dieksplorasi terkait potensi –
potensi yang ada di dalamnya, terutama sebagai solusi bagi kota itu sendiri.
Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 juga menyebutkan pengendalian pemanfaatan
ruang sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang dimana dalam hal ini
termasuk pengendalian terhadap adanya kemungkinan bencana untuk
meminimalkan resiko bencana dan dampak negatifnya. Pesatnya pertumbuhan
penduduk di sebagian besar wilayah perkotaan di Indonesia yang menekan
eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan terus menimbulkan berbagai
persoalan sebagai impact dari pemenuhan kebutuhan penduduk yang membutuhkan
ruang. Hal ini kerap berpeluang melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan yang mengarah pada munculnya bencana –bencana akibat ulah manusia
yang menempati suatu kota. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengendalian
pemanfaatan ruang yang merupakan suatu upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang
serta menjamin tercapainya tujuan dan sasaran rencana tata ruang wilayah perkotaan
melalui melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif serta pengenaan sanksi. Hal ini sesuai dengan konsep Resilient City yang
menggunakan berbagai alat pengendalian untuk mencangkup tiga aspek utama
ketangguhan kota yaitu mitigasi, adaptasi, dan inovasi untuk terwujudnya
pembangunan kota yang berkelanjutan.
Meskipun Konsep resilience merupakan konsep yang telah menjadi trend pada kota-
kota di dunia saat ini, misalnya King County, New York City, Tokyo, Singapura, Venesia,
London, Resilient city sendiri hingga kini masih memiliki definisi dan penjelasan yang
sangat luas dan sebagian besar berada pada tataran konsep. Namun belakangan mulai
muncul definisi-definisi yang lebih terukur dan mulai banyak pembahasan yang lebih
praktis.
Berdasarkan hal-hal di atas, pada Tahun Anggaran 2015 Direktorat Jenderal
TataRuang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang akan melakukan kajian mengenai
pengembangan konsep Resilient City di Indonesia. Melalui kegiatan ini diharapkan
adanya konsep yang jelas dari Resilient City di Indonesia, apa saja indikatornya
sehingga kota itu dikatakan resilience, serta bagaimana strategi untuk mewujudkan
Resilient City di Indonesia mengingat kota –kota di Indonesia memiliki identitas dan
karakteristik yang beragam; baik melalui kajian teoritik dari berbagai buku dan jurnal
terkait, maupun studi kasus terhadap kota-kota lainnya di dunia yang telah menerapkan
konsep resilient city.
Selain mengkaji konsep, indikator dan strategi dalam mewujudkan resilient city,
diharapkan pula melalui kegiatan ini muncul cara –cara terkait manajemen suatu kota
yang baik dalam menghadapi bencana yang mampu memperkuat kapasitas
masyarakatnya untuk tangguh bencana dan sadar serta siaga terhadap di dalam
menghadapi berbagai kemungkinan bencana yang dapat terjadi di kotanya. Salah satu
cara yang dapat dilakukan yaitu melalui melalui konsolidasi multisektor terkait Resilient
City di Indonesia berupa beragam Forum Group Discussion, konsinyasi maupun
seminar.
A.2 MAKSUD DAN TUJUAN
Kegiatan Kajian Pengembangan Konsep Resilient City di Indonesia dimaksudkan dalam
rangka mengkaji konsep dasar dari Resilient City, apa indikatornya sehingga kota itu
dikatakan resilient, serta bagaimana strategi untuk mewujudkan Resilient City tersebut,
termasuk untuk memperkuat kapasitas masyarakatnya yang tangguh, sadar dan
siaga terhadap bencana yang dapat terjadi di kotanya.
Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan konsep Resilient City sesuai dengan
karakter dan identitas kota di Indonesia yang tangguh terhadap beragam tantangan
serta permasalahan fisik, sosial dan ekonomi; untuk memungkinkan implementasinya di
kemudian hari.
A.3 SASARAN
Sasaran terkait dengan pengkajian pengembangan konsep Resilient City di Indonesia
adalah:
1. Tersusunnya hasil kajian dan analisis terkait konsep dasar Resilient City di Indonesia
2. Teridentifikasinya kendala dan permasalahan dalam implementasi Resilient City di
kota-kota dunia yang telah menerapkan konsep dimaksud
3. Teridentifikasinya kota-kota yang rawan terhadap ragam bencana di Indonesia
4. Tersusunnya indikator kota yang termasuk ke dalam Resilient City
5. Teridentifikasinya kendala dan permasalahan pengembangan konsep Resilient City
pada tingkat Nasional dan daerah
6. Tersusunnya strategi terkait Resilient Cityyang sesuai bagi kota di Indonesia untuk
diimplementasikan di kemudian hari
7. Perumusan bentuk rekomendasi/usulan pengembangan dari konsep Resilient City
yang sesuai dengan identitas kota di Indonesia serta mampu menjawab berbagai
tantangan serta permasalahan di dalamnya;
8. Tersedianya dokumen hasil kegiatan kajian Resilient City di Indonesia.
A.4 KELUARAN DAN MANFAAT
Keluaran dari kegiatan ini adalah sebagai berikut :
1. Dokumen konsep dan panduan pengembangan Resilient City di Indonesia;
2. Dokumen Grand Design dan rancangan program (platform) pengembangan
Resilient City di Indonesia;
3. Masukan bagi pengintegrasian konsep Resilient City dalam penataan rung kota di
Indonesia.
Manfaat dari kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya acuan bagi semua pihak dalam upaya meningkatkan ketahanan
(resilience) kota-kota di Indonesia dalam menghadapi bencana;
2. Mengurangi kerentanan masyarakat kota terhadap bencana
3. Meningkatkan kapasitas pemerintah kota dalam tanggap darurat bencana; dan
4. Mengurangi potensi korban jiwa dan kerugian harta benda ketika terjadi
bencana.
A.5 LOKASI PEKERJAAN
Kegiatan Kajian Pengembangan Konsep Resilient City di Indonesia akan dilakukan di
beberapa kota yang rawan terhadap bencana antara lain Kota Padang, Banda Aceh,
Yogyakarta, Denpasar, dan Manado.
A.6 RUANG LINGKUP PEKERJAAN
Secara substansi kegiatan Kajian Pengembangan Konsep Resilient City di Indonesia
dijabarkan kedalam penelitian meliputi:
1. Kajian literatur terhadap berbagai konsep Resilient City yang telah dikembangkan
di luar negeri maupun di Indonesia
2. Pengumpulan data dan informasi, baik ke instansi Pemerintah di pusat maupun
pemerintah daerah disertai kunjungan ke pemerintah daerah dilakukan untuk survei
dan konsultansi
3. Penetapan indikator dan metodologi yang akan dijadikan sebagai acuan dalam
menentukan bentuk pengembangan konsep Resilient City di Indonesia serta
penetapan kriteria kota-kota yang menjadi bagian di dalamnya
4. Identifikasi dan perumusan kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan konsep Resilient City di Indonesia
5. Identifikasi terhadap berbagai program multisektor yang dapat mendukung
konsep Resilient City di Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut
6. Identifikasi tipologi kota-kota yang merupakan Resilient City serta identifikasi isu,
potensi, permasalahan dan kendala pengembangan kebijakan di dalamnya
7. Perumusan rekomendasi bentuk pengembangan dan implementasi Resilient City
di Indonesia.
Sedangkan lingkup kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan awal kegiatan dan mobilisasi tim.
2. Koordinasi dan konsultasi dengan tim supervisi dari Direktorat Penataan
Kawasan untuk mendapatkan penjelasan Kerangka Acuan Kerja (KAK); masukan
pada setiap kemajuan (progres) kegiatan dan rencana pelaksanaan kegiatan
lainnya.
3. Pengumpulan data primer dan sekunder baik di tingkat pusat
(kementerian/lembaga atau instansi pusat) maupun daerah
(provinsi/kabupaten/kota) serta instansi terkait lainnya, baik melalui kunjungan
lapangan maupun rapat pembahasan/koordinasi.
4. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan pemerintah daerah baik pemerintah
provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota melalui pelaksanaan konsinyasi.
5. Pelaksanaan pembahasan intensif di Jakarta melalui pembahasan internal, FGD,
dan konsinyasi dengan dengan melibatkan pakar, unsur pemerintah pusat dan unsur
pemerintah daerah untuk menghimpun pendapat, gagasan, dan usulan dalam
rangka penyempurnaan penyusunan kajian.
6. Pelaksanaan konsinyasi di Yogyakarta dan Banda Aceh untuk menghimpun
pendapat, gagasan, dan usulan dalam rangka penyempurnaan penyusunan kajian
7. Pelaksanaan seminar di Jakarta untuk kajian Pengembangan Resilient City di
Indonesia
8. Pelaksanaan Rapat Pembahasan Laporan Pendahuluan, Laporan Antara dan
Laporan Akhir.
9. Penyusunan laporan hasil kegiatan.
A.7 REFERENSI HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
2. Peraturan Pemerintah No15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.