kajian kerentanan, risiko, dan adaptasi...

25
KAJIAN KERENTANAN, RISIKO, DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANDUNG Oleh : Ruminta Fakultas Pertanian UNPAD 1. PENDAHULUAN Pemanasan global selama abad terakhir telah mengakibatkan kenaikan suhu tahunan rata-rata global, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan frekwensi dan intensitas cuaca ekstrim. Hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC (2007) menunjukkan bahwa sudah terjadi perubahan iklim dengan indikasi adanya kenaikan rata-rata temperatur global (periode 1899 hingga 2005 sebesar 0,76 0 C); kenaikan muka air laut rata-rata global (1,8 mm per tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003); meningkatnya ketidakpastian dan intensitas hujan; meningkatnya banjir, kekeringan dan erosi; dan meningkatnya fenomena cuaca ekstrim seperti El Nino, La Nina, siklon, puting beliung, dan hailstone. Perubahan iklim global ini sangat peka terhadap beberapa hal dalam sistem kehidupan manusia, yaitu (1) tata air dan sumberdaya air; (2) pertanian dan ketahanan pangan; (3) ekosistem darat dan air tawar; (4) wilayah pesisir dan lautan; (5) kesehatan manusia; (6) pemukiman, energi dan industri, dan pelayanan keuangan. Perubahan iklim mengancam sistem produksi tanaman dan oleh karena itu juga mengancam mata pencaharian dan ketahanan pangan untuk miliaran orang yang bergantung pada pertanian. Bukti menunjukkan bahwa populasi yang terpinggirkan akan menderita luar biasa akibat dampak perubahan iklim dibandingkan dengan populasi kaya, seperti negara-negara industri (IPCC 2007). Tidak hanya negara-negara relatif miskin akan mengalami dampak lebih parah, tetapi juga mereka yang sering kekurangan sumber daya untuk menyiapkan dan mengatasi risiko lingkungan. Pertanian adalah sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim karena ketergantungan tinggi pada iklim dan cuaca dan juga karena orang yang terlibat di sektor pertanian cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kota. Pengaruh perubahan iklim global khususnya terhadap sektor pertanian di Indonesia sudah terasa dan menjadi kenyataan. Perubahan ini diindikasikan antara lain oleh adanya bencana banjir, kekeringan (musim kemarau yang panjang) dan bergesernya musim hujan. Dalam beberapa tahun terakhir ini pergeseran musim hujan menyebabkan bergesernya musim tanam dan panen komoditi pangan (padi, palawija dan sayuran). Sedangkan banjir dan kekeringan menyebabkan gagal tanam, gagal panen, dan bahkan menyebabkan puso.

Upload: ngonguyet

Post on 14-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAJIAN KERENTANAN, RISIKO, DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANDUNG

Oleh : Ruminta

Fakultas Pertanian UNPAD

1. PENDAHULUAN

Pemanasan global selama abad terakhir telah mengakibatkan kenaikan suhu

tahunan rata-rata global, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan

peningkatan frekwensi dan intensitas cuaca ekstrim. Hasil kajian Intergovernmental Panel

on Climate Change-IPCC (2007) menunjukkan bahwa sudah terjadi perubahan iklim dengan

indikasi adanya kenaikan rata-rata temperatur global (periode 1899 hingga 2005 sebesar

0,760C); kenaikan muka air laut rata-rata global (1,8 mm per tahun dalam rentang waktu

antara tahun 1961 sampai 2003); meningkatnya ketidakpastian dan intensitas hujan;

meningkatnya banjir, kekeringan dan erosi; dan meningkatnya fenomena cuaca ekstrim

seperti El Nino, La Nina, siklon, puting beliung, dan hailstone. Perubahan iklim global ini

sangat peka terhadap beberapa hal dalam sistem kehidupan manusia, yaitu (1) tata air dan

sumberdaya air; (2) pertanian dan ketahanan pangan; (3) ekosistem darat dan air tawar; (4)

wilayah pesisir dan lautan; (5) kesehatan manusia; (6) pemukiman, energi dan industri, dan

pelayanan keuangan.

Perubahan iklim mengancam sistem produksi tanaman dan oleh karena itu juga

mengancam mata pencaharian dan ketahanan pangan untuk miliaran orang yang

bergantung pada pertanian. Bukti menunjukkan bahwa populasi yang terpinggirkan akan

menderita luar biasa akibat dampak perubahan iklim dibandingkan dengan populasi kaya,

seperti negara-negara industri (IPCC 2007). Tidak hanya negara-negara relatif miskin akan

mengalami dampak lebih parah, tetapi juga mereka yang sering kekurangan sumber daya

untuk menyiapkan dan mengatasi risiko lingkungan. Pertanian adalah sektor yang paling

rentan terhadap perubahan iklim karena ketergantungan tinggi pada iklim dan cuaca dan

juga karena orang yang terlibat di sektor pertanian cenderung lebih miskin dibandingkan

dengan rekan-rekan mereka di kota.

Pengaruh perubahan iklim global khususnya terhadap sektor pertanian di Indonesia

sudah terasa dan menjadi kenyataan. Perubahan ini diindikasikan antara lain oleh adanya

bencana banjir, kekeringan (musim kemarau yang panjang) dan bergesernya musim hujan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini pergeseran musim hujan menyebabkan bergesernya

musim tanam dan panen komoditi pangan (padi, palawija dan sayuran). Sedangkan banjir

dan kekeringan menyebabkan gagal tanam, gagal panen, dan bahkan menyebabkan puso.

Di Indonesia, perubahan pola hujan mungkin adalah ancaman terbesar, karena

begitu banyak petani mengandalkan langsung pada hujan untuk kegiatan pertanian dan

mata pencahariannya, setiap perubahan curah hujan menyebabkan resiko besar. Pertanian

tadah hujan sangat rentan terhadap perubahan iklim, jika praktek bertani tetap tidak

berubah. Suhu yang lebih tinggi akan menantang sistem pertanian. Tanaman sangat

sensitif terhadap suhu tinggi selama tahap kritis seperti berbunga dan perkembangan benih.

Seringkali dikombinasikan dengan kekeringan, suhu tinggi dapat menyebabkan bencana

untuk lahan pertanian. Perubahan suhu dan kelembaban udara juga dapat memicu

perkembangan dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Banjir dan kekeringan juga

mempengaruhi produksi pertanian. Banjir dan kekeringan yang berkepanjangan akibat dari

pengelolaan air yang tidak baik dan kapasitas yang rendah mengakibatkan penurunan

produksi yang signifikan.

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian RI

selama 10 tahun terakhir (2000-2009) kekeringan dan banjir cendeung naik dengan angka

rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan seluas 303.641 hektar dengan lahan

puso mencapai 58.489 hektar atau setara dengan 767.589 ton gabah kering giling (GKG).

Sedangkan yang terlanda banjir seluas 271.381 hektar dengan puso 79.846 hektar (setara

dengan 774.106 ton GKG). Kemudian, antara tahun 2000 hingga 2009, tercatat rata-rata

ada 332 kejadian banjir besar per tahun di Indonesia yang menyebabkan rata-rata 271.381

hektar sawah dan lahan pertanian lainnya tergenang (Gambar 1.1).

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Terkena Puso

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Terkena Puso

Gambar 1.1. Luas lahan pertanian yang terkena banjir dan kekeringan dari tahun 2000 -

2009

Berdasarkan pada fakta tersebut, para ahli iklim berpendapat bahwa variasi

iklim yang tidak beraturan itu sangat berkaitan dengan kejadian iklim ekstrim yakni ENSO (El

Nino Southern Oscillation). Misalnya, Boer dan Meinke (2002) mengemukakan bahwa di

daerah monsoon seperti Jawa, Indonesia Timur dan Sumatera bagian Selatan, bahwa pada

musim-musim tertentu Osilasi Selatan berpengaruh kuat terhadap faktor-faktor iklim seperti

hujan, perubahan penutupan awan yang mempengaruhi radiasi, suhu, penguapan dan

kelembaban udara yang kesemuanya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kejadian

Kekeringan Banjir

Luas

(h

a)

Luas

(h

a)

iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina di Indonesia berpengaruh terhadap perkembangan

produksi tanaman pangan. Kuatnya pengaruh ENSO itu dapat dibuktikan dengan melihat

kejadian kemarau panjang dan kekeringan di berbagai wilayah di Indonesia yang bertepatan

dengan kejadian El Nino (Yasin et al, 2002).

Hubungan antara fenomena El Nino dengan produksi tiga tanaman pangan utama di

Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1.2. Fenomena El Nino pada kurun waktu 20 tahun

terakhir terjadi pada tahun 1994, 1997, 2001, 2003, 2004, dan 2006. Pada tahun El Nino

tersebut berdampak kuat terhadap produktivitas dan produksi tanaman padi dan jagung di

Indonesia. Dari Gambar 1.2 terlihat dengan jelas bahwa produktivitas dan produksi

tanaman padi dan jagung mengalami penurunan yang sangat signifikan.

-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009

Luas Panen Produktivitas Produksi

-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009

Luas Panen Produktivitas Produksi

Gambar 1.2. Luas panen dan produksi tanaman pangan utama di Indonesia (1993-2009)

(Garis kuning menunjukkan tahun kejadian El Nino)

Tingkat dimana peristiwa perubahan iklim mempengaruhi sistem pertanian

tergantung pada berbagai faktor, termasuk (antara lain) jenis tanaman yang diusahakan,

skala operasi, orientasi pertanian terhadap tujuan komersial atau subsistensi, kualitas basis

sumber daya alam, dan variabel manusia atau manajer pertanian (misalnya, pendidikan,

toleransi resiko, usia, dll). Adanya keragaman pola iklim, sistem pertanian, kondisi sosial,

ekonomi, politik dan lingkungan maka bahaya, kerentanan, dan risiko perubahan iklim akan

berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, hal ini tentu menjadi tantangan untuk mengkaji

bahaya, kerentanan, dan risiko di suatu wilayah termasuk Kabupaten Bandung. Oleh karena

itu perlu mengidentifikasi bidang pertanian, sistem produksi, dan populasi yang paling

bahaya, rentan, dab berisiko terhadap perubahan iklim. Kajian tersebut pada tingkat lokal

(misalnya Kabupaten Bandung) lebih terfokus pada upaya mengamankan tujuan

pembangunan lokal melalui kajian bahaya, kerentanan, dan risiko perubahan iklim dalam

upaya mendukung peningkatan ketahanan pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian

kerentanan secara lokal seperti di Kabupaten Bandung untuk melihat tingkat bahaya,

Jagung Padi

kerentanan, dan risiko untuk menentukan kebijakan dan strategi adaptasi berdasarkan

kebutuhan dan kondisi daerah tersebut.

Tujuan penelitian adalah mengkaji bahaya, kerentanan, risiko, dan adaptasi

perubahan iklim pada sektor pertanian di Kabupaten Bandung. Tujuan lainnya dari kajian ini

adalah untuk menyediakan kerangka kerja untuk mendekati tantangan perubahan iklim

dengan membentuk basis pengetahuan tentang dampak iklim dan konsep dasar tentang

bagaimana membangun kapasitas adaptif dan ketahanan jangka panjang; memberikan

sintesis kritis dari bukti dan skenario masa depan perubahan iklim dengan menganalisis dan

menguji kerentanan sektor pertanian di Kabupaten Bandung terhadap variabilitas dan

perubahan iklim; dan mengembangkan tingkat kerentanan untuk mengidentifikasi daerah-

daerah pertanian yang paling rentan di daerah tersebut. Selain itu, kajian ini menawarkan

penilaian terhadap pilihan kebijakan dan investasi untuk para praktisi pembangunan dan

pembuat kebijakan, menguraikan strategi untuk mengatasi ancaman perubahan iklim dan

memberikan pemahaman tentang peluang yang tersedia bagi petani miskin menghadapi

perubahan iklim serta menyususn kerangka kerja konseptual untuk membangun ketahanan

perubahan iklim di sektor pertanian di Kabupaten Bandung.

2. DESKRIPSI UMUM SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANDUNG

2.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa pada 107o22’

Bujur Timur sampai 108 o50’ Bujur Timur dan antara 6o41’ Lintang Selatan dan 7o19’ Lintang

Selatan. Kabupaten Bandung meliputi areal seluas 1.665,83 km2 (166.583 Ha) atau 4,7%

dari luas Jawa Barat (37.173,97 km2). Kabupaten Bandung dialiri oleh beberapa sungai.

Sungai yang terbesar adalah Sungai Citarum. Keberadaan sungai ini menguntungkan untuk

sektor pertanian, industri, dan bahan baku air, namun bila curah hujan cukup tinggi dari

daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air.

Topografi Kabupaten Bandung adalah datar, berombak, sampai berbukit, lahan

sawah sebagian besar terletak pada dataran medium dengan ketinggian 500 – 750 m dpl,

seperti tersebar di kecamatan Paseh, Cikancung, Cicalengka, Rancaekek, Majalaya,

Solokan Jeruk, Ciparay, Baleendah, Cangkuang, Banjaran, Pameungpeuk, Katapang,

Soreang, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang. Sumber air yang utama

di Kabupaten Bandung adalah berupa sungai, mata air, danau, embung dan bendungan

(Dam).

Kabupaten Bandung merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat terdiri dari 31

Kecamatan. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2009 adalah sebesar

3.142.193 jiwa, terdiri dari 1.601.223 jiwa penduduk laki-laki dan 1.540.970 jiwa penduduk

perempuan, dengan tingkat pertumbuhan penduduk per tahun 7%. Kepadatan penduduk

Kabupaten Bandung 1.754 jiwa/km2. Sesuai dengan kondisi geografis dan potensi

sumberdaya alamnya, lebih dari 18 % penduduk usia kerja di Kabupaten Bandung bermata

pencaharian pada sektor pertanian.

Berdasarkan tataguna lahan pertanian di Kabupaten Bandung, luas lahan untuk

kegiatan pertanian tanaman pangan meliputi 54.261,67 ha atau 24.38 % dari luas total

wilayah Kabupaten Bandung. Lahan pertanian tersebut terdiri dari lahan basah (sawah)

seluas 37.033,59 ha dan lahan kering (ladang) seluas 12.577,74 ha. Tipe lahan sawah di

Kabupaten Bandung terdiri dari sawah irigasi teknis, sawah irigasi non teknis, dan sawah

tidak berpengairan. Namun demikian, sawah irigasi non teknis merupakan tipe lahan

sawah yang paling dominan diusahan oleh petani di Kabupaten Bandung.

Wilayah Kabupaten Bandung beriklim tropis dan basah. Sepanjang tahun kabupaten

ini hanya dipengaruhi oleh dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Suhu

udaranya bervariasi antara 24,7 sampai 32,9 oC dengan tingkat kelembaban udara berkisar

antara 82 sampai 88 %. Musim hujan antara bulan Oktober sampai bulan April. Variasi

curah hujan berkisar antara 2.100 mm sampai 3.264 mm. Biasanya bulan Desember

merupakan bulan dengan curah hujan paling tinggi. Musim kemarau biasanya antara bulan

Juni sampai bulan September. Tipe iklim di kawasan Kabupaten Bandung adalah D2, C2,

dan B1 dengan 6-8 bulan basah dan 1-3 bulan kering per tahun (Oldeman, 1975).

Produktivitas lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Bandung berkorelasi dengan

pola curah hujan karena sumber airnya bergantung sepenuhnya pada air hujan. Rata-rata

curah hujan tahunan bervariasi menurut musim dan wilayah. Sekitar 80% curah hujan

tahunan terjadi antara bulan September dan Februari. Periode April - Agustus benar-benar

kering dan menghasilkan kurang dari 10% curah hujan tahunan (Abawi et al., 2002).

Implikasi dari awal musim hujan dan musim kemarau di Kabupaten Bandung sangat

menentukan saat memulai musim tanam dan musim panen. Pada lahan irigasi dan tadah

hujan di Kabupaten Bandung ada dua musim tanam dalam setahun, yakni (1) Musim Tanam

I disebut Musim Hujan (MH) dari bulan September sampai dengan Februari, pada musim ini

pada umumnya petani menanam padi; (2) Musim Tanam II disebut Musim Kering 1 (MK)

dari bulan April sampai dengan Agustus, pada musim ini umumnya petani menanam padi

pada daerah yang sawahnya beririgasi teknis dan palawija pada daerah yang non irigasi.

Secara rinci pola tanam di Kabupaten Bandung dapat dituangkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Alternatif pola tanam tahunan di Kabupaten Bandung.

Jenis Lahan Pola Tanam di Kabupaten Bandung

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12

Irigasi Teknis Padi

Irigasi Non Teknis Padi Palawija Padi

Tadah Hujan Padi Palawija Bera Palawija

2.2 Potensi Produksi Padi Sawah di Kabupaten Bandung

Di Kabupaten Bandung, padi ditanam pada lahan basah dan ladang. Lahan basah

meliputi padi sawah tadah hujan dan padi sawah irigasi (Tabel 2.2). Hampir seluruh

kecamatan di Kabupaten Bandung memproduksi padi sawah maupun ladang. Kecamatan

Ciparay menjadi produsen terbesar padi dengan luas panen seluas 5.757 hektar. Pada

tahun 2008, Kabupaten Bandung mempunyai luas panen 718.797 ha dengan produksi

2.971.286 ton. Rata-rata produksi per hektar padi sawah adalah 62,4 kuintal, sementara

padi ladang hanya mencapai 32,5 kuintal per hektar pada tahun 2009 (BPS Kabupaten

Bandung, 2010). Secara umum, produktivitas padi sawah dan ladang pada tahun 2009

dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Padi di sawah irigasi dapat ditanam dua kali dalam setahun, sedangkan padi di

sawah tadah hujan hanya dapat ditanam dalam satu kali dalam setahun. Padi pada lahan

tadah hujan seluas 7.016,75 ha, dapat dikembangkan menjadi sawah irigasi dengan

dukungan kegiatan rehabilitasi sarana irigasi/drainase, tata air mikro, pengembangan

alsintan (traktor tangan dan pompa air), penggunaan benih unggul (varietas genjah),

pemupukan, penyuluhan dan pendampingan (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2010).

Tabel 2.2. Luas Lahan Sawah, Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009

Kecamatan Luas Lahan Sawah (ha) Padi Sawah

Irigasi Teknis

Irigasi Non Teknis

Tada Hujan Luas Panen

(ha) Produktivitas

(kw/ha) Produksi

(ton)

Ciwidey 535 817 305 1.284 62,39 8.011

Rancabali 0 31 0 31 62,39 193

Pasirjambu 951 617 537 1.951 62,39 12.172

Cimaung 208 931 583 1.648 62,39 10.282

Pangalengan 82 436 614 1.094 62,41 6.828

Kertasari 0 15 0 15 62,40 94

Pacet 0 1.418 366 1.577 62,39 9.839

Ibun 10 1.061 376 1.065 62,39 6.645

Paseh 341 1.140 408 1.479 62,39 9.228

Cikancung 86 357 463 1.331 62,39 8.304

Cicalengka 505 438 292 998 62,39 6.227

Nagreg 50 63 570 416 62,39 2.595

Rancaekek 75 3.035 0 2.752 62,39 17.170

Majalaya 1.181 119 5 1.285 62,39 8.017

Solokanjeruk 330 992 405 947 62,39 5.908

Ciparay 2.425 601 54 5.585 62,39 34.845

Baleendah 613 465 153 1.200 62,39 7.487

Arjasari 0 974 397 1.326 62,39 8.273

Banjaran 259 786 228 2.609 62,39 16.278

Cangkuang 691 273 49 1.051 62,39 6.557

Pameungpeuk 760 0 25 2.128 62,39 13.277

Katapang 429 501 7 2.190 62,39 13.663

Soreang 607 162 80 1.366 62,39 8.523

Kutawaringin 1.112 255 219 3.311 62,39 20.657

Margaasih 298 261 0 565 62,39 3.525

Margahayu 0 45 0 0 0,00 0

Dayeuhkolot 0 39 0 46 62,39 287

Bojongsoang 754 672 289 1.549 62,39 9.664

Cileunyi 30 824 475 1.443 62,39 9.003

Cilengkrang 3 199 26 391 62,39 2.439

Cimenyan 87 72 91 151 62,39 942 Jumlah 12.423 17.594 7.017 42.784 62,39 266.932

Sumber : BPPS Kabupaten Bandung

Pola tanam yang berkembang di masyarakat tani Kabupaten Bandung saat ini

mengacu pada pola tanam yang berlaku secara nasional dengan pola mengikuti sebaran

curah hujan. Sebagian besar wilayah lahan sawah irigasi telah dilakukan pertanaman

dengan indeks pertanaman (IP) 200, yaitu di awal musim hujan satu kali (Januari – April)

dan akhir musim hujan satu kali ( Mei – Agustus). Sistem pertanaman dilakukan secara

serentak, baik saat tanam maupun panen. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam

pengaturan tata air, pendampingan oleh petugas lapangan dan memudahkan dalam

mengendalikan hama-penyakit yang mungkin timbul. Pada bulan September, dilakukan

penanaman palawija (seperti jagung) dan setelah itu diberakan untuk persiapan penanaman

padi selanjutnya.

3. METODOLOGI KAJIAN KERENTANAN, RISIKO, DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANDUNG

3.1. Kerangka Konseptual Kajian Bahaya, Kerentanan, Risiko, dan Adaptasi

Kajian bahaya, kerentanan, risiko, dan adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian

di Kabupaten Bandung merupakan penelitian skala meso (Meso Level Study). Kajian

difokuskan pada analisis dampak perubahan iklim dan variabilitas iklim seperti temperatur

dan pola perubahan curah hujan bulanan, serta peningkatan frekuensi dan intensitas

kejadian ekstrim (extreme event) seperti Nina dan El Nino. Dalam kajian ini tiga aspek

sebagai dampak dari perubahan iklim dianalisis, yaitu analisis kejadian bahaya (hazard),

kerentanan (vulnerability) dan tingkat risiko (risk). Kerentanan adalah tingkat kemampuan

suatu individu atau kelompok masyarakat, komunitas dalam mengantisipasi,

menanggulangi, mempertahankan kelangsungan hidup dan menyelamatkan diri dari

dampak yang ditimbulkan oleh bahaya (hazard) secara alamiah. Kerentanan tersebut selalu

berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi dan kondisi lingkungan hidup di

sekitarnya. Alur kajian bahaya, kerentanan, risiko, dan adaptasi perubahan iklim pada

sektor pertanian di Kabupaten Bandung disajikan pada Gambar 3.1.

Dalam menilai dan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian

maka perubahan iklim didukung oleh hasil kajian lain mengenai (1) kajian tentang

perubahan iklim dan (2) hasil kajian tata air (water balance) sebagai dampak perubahan

iklim.

RISK

Exposure

Sensitivity

Adaptive

Capacity

Vulnerability

Hazard

AdapatationRISK

Exposure

Sensitivity

Adaptive

Capacity

Vulnerability

Hazard

Adapatation

Gambar 3.1. Diagram Alir Framework Kajian Bahaya (Hazard), Kerentanan (Vulnerability), Risiko (Risk), dan

Adaptasi (Adaptation) Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian

Dalam kajian bahaya, kerentanan ini, risiko dan adaptasi perubahan iklim pada sektor

pertanian menggunakan asumsi telah dan terus sedang terjadi perubahan iklim di wilayah

Kabupaten Bandung yang merupakan pemicu (stimuli) kejadian bencana (hazard) yaitu : (1)

Peningkatan suhu udara rata-rata; (2) Perubahan pola hujan, baik curah hujan maupun

periode kejadiannya; dan (3)Kejadian cuaca ekstrim berupa El-Nino dan La-Nina Stimuli

klimatis tersebut akan berdampak terhadap proses fisiologis tanaman pangan yang pada

akhirnya berdampak pula terhadap produksi tanaman pangan baik langsung maupun tidak

langsung (Gambar 3.2).

3.2. Basis Data

Data yang diperlukan dalam analisis ini adalah data curah hujan dan suhu udara,

pola tanam, sumber daya air (irigasi), tata guna lahan pertanian, ketinggian tempat, data

kependudukan (demografi), dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Risiko penurunan

produksi akibat produktivitas rendah, gagal tanam, gagal panen, serta penurunan luas lahan

pertanian yang rentan terhadap ancaman bahaya perubahan iklim memerlukan pendekatan

kuantitatif agar dapat dilakukan prediksi. Dengan demikian, hasil analisis diharapkan akan

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan pedoman untuk melakukan adaptasi

secara lokal.

3.3. Analisis Hazard

Kabupaten Bandung adalah salah satu kawasan pertanian sebagai penyumbang

stok beras nasional, tetapi daerah ini tidak luput dari ancaman bencana kekeringan dan

banjir sebagai akibat musim hujan yang tidak menentu serta cuaca ekstrim, sehingga

berpotensi terjadi bahaya (hazard) berupa penurunan produktifitas (hasil tanaman), gagal

tanam, gagal panen, dan penurunan luas lahan (Gambar 3.2).

T : Temperature, P : Precipitation,

SPI : Standarized Pricipitation Index, EE : Extreem Event,

SLR : Sea Level Rise, PET : Potential Evapotranspiration

T

P

SLR

EE

Harvests

Losses

Reduced

Productivity

Reduced Crop

Land

Reduced

Crop

Yields

CLIMATIC

STIMULUSHazard

Drought (El Nino)

and Flood (La

Nina) (SPI)

Respiration,

Crop Life Span,

and PET

T : Temperature, P : Precipitation,

SPI : Standarized Pricipitation Index, EE : Extreem Event,

SLR : Sea Level Rise, PET : Potential Evapotranspiration

T

P

SLR

EE

Harvests

Losses

Reduced

Productivity

Reduced Crop

Land

Reduced

Crop

Yields

CLIMATIC

STIMULUSHazard

Drought (El Nino)

and Flood (La

Nina) (SPI)

Respiration,

Crop Life Span,

and PET

Gambar 3.2. Diagram alir analisis stimuli klimatis dan potensi hazard perubahan iklim

pada sektor pertanian

4.5. Analisis Kerentanan

Kerentanan perubahan iklim pada sektor pertanian dapat dikaji dari tiga komponen

kerentanan yaitu eksposur (E), sensitivitas (S), dan kapasitas adaptasi (AC). Besarnya

kerentanan perubahan iklim di Kabupaten Bandung sangat tergantung pada besarnya bobot

dari ketiga komponen tersebut. Tingkat kerentanan (V, vulnerability) berbanding lurus

dengan eksposur dan sensitivitas serta terbalik dengan kapasitas adaptasi, yang dapat

dinyatakan dalam bentuk formulasi berikut ini. Diagram alur kajian kerentanan perubahan

iklim pada sektor peranian disajikan pada Gambar 3.3.

V = (E × S) / AC ............................................................ (1)

V = Vulnerability (kerentanan) E = Eksposur, S = Sensitivitas, AC = Kapasitas Adaptasi

RISKReduced Crop Production

Exposure- Luas Lahan

- Jumlah Petani

Sensitivity-Tipe Lahan Pertanian

- Perdapatan Petani

- Komposisi Tenaga Kerja

Adaptive

Capacity-Jaringan Irigasi

- Tingkat Pendidikan

- Pendapatan PendudukVulnerability

Hazard

RISKReduced Crop Production

Exposure- Luas Lahan

- Jumlah Petani

Sensitivity-Tipe Lahan Pertanian

- Perdapatan Petani

- Komposisi Tenaga Kerja

Adaptive

Capacity-Jaringan Irigasi

- Tingkat Pendidikan

- Pendapatan PendudukVulnerability

Hazard

Gambar 3.3. Diagram alir analisis potensi hazard, kerentanan, dan risiko perubahan iklim pada

sektor pertanian

Besarnya bobot eksposur, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi perubahan iklim di

Kabupaten Bandung dapat dikaji dari setiap indikator-indikatornya. Indikator eksposur (E)

adalah komponen sektor pertanian yang terkena dampak perubahan iklim seperti luas lahan

dan jumlah petani. Sensitivitas (S) menggambarkan respon sektor pertanian terhadap

perubahan iklim tersebut seperti luas lahan non irigasi, ketinggian tempat, dan pendapatan

petani. Sementara itu kapasitas adaptasi (AC) menggambarkan kemampuan sektor

pertanian untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, seperti ketersediaan

infrastruktur jaringan irigasi, tingkat pendidikan petani, dan akses petani terhadap modal.

3.6. Analisis Risiko

Risiko perubahan iklim adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat perubahan

iklim pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,

sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, pengungsian, kerusakan, atau kehilangan harta

dan gangguan kegiatan masyarakat. Pada sektor pertanian konsep risiko dapat diartikan

sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian yang diwakili oleh

penurunan produksi tanaman pangan sebagai bahaya (hazard). Selanjutnya, bahaya

penurunan produksi ini dapat mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung

terhadap penurunan kesejahteraan petani serta penurunan pasokan pangan yang

merupakan bagian dari ketahanan pangan di Kabupaten Bandung. Namun demikian,

turunan dari penurunan produksi ini (hazard) tersebut tidak dihitung lagi sebagai bahaya

(hazard) dari resiko perubahan iklim dalam analisis ini. . Diagram alur kajian risiko

perubahan iklim pada sektor peranian disajikan pada Gambar 3.4.

Hazard Vurnerability

RISK

R = H . V

Risk Map(GIS)

Hazard Vurnerability

RISK

R = H . V

Risk Map(GIS)

Gambar 3.4. Diagram alir analisis risiko perubahan iklim pada sektor pertanian

Perhitungan resiko (risk) dari perubahan iklim di Kabupaten Bandung dihitung

menggunakan persamaan sebagai berikut :

R = H . V ............................................................ (2)

R = Risk (Risiko), H = Hazard (Bahaya) yang dihitung pada penurunan produksi pertanian , V = Vulnerability (Kerentanan) yang dihitung pada persamaan 1.

3.7. Formulasi Adaptasi

Adaptasi merupakan tindakan nyata penyesuaian sistem lingkungan fisik dan sosial

dengan beberapa prinsip pendekatan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya dampak

negatif dari perubahan iklim. Perubahan iklim yang diindikasikan antara lain oleh pergeseran

musim tanam dan musim panen padi harus diantisipasi untuk meminimalkan dampak

berupa bahaya (hazard) dan risiko yang merugikan bagi daerah-daerah yang rentan. Dalam

kajian ini untuk mensiasati perubahan iklim tersebut ada upaya utama sebagai respon, yaitu

adaptasi (Gambar 3.5).

Dampak

Perubahan Iklim

Bahaya (Hazard)

Adaptasi

Respon

Kerentanan Risiko

Dampak

Perubahan Iklim

Bahaya (Hazard)

Adaptasi

Respon

Kerentanan Risiko

Gambar 3.5. Skema pendekatan adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor

pertanian di Kabupaten Bandung

Upaya-upaya adaptasi perlu dilakukan untuk mempersiapkan dan mengantisipasi

dampak yang mungkin terjadi. Upaya adaptasi berbagai dampak perubahan iklim

memerlukan strategi yang berbeda, seperti adaptasi terhadap bencana kekeringan,

pergeseran musim hujan, perubahan frekuensi dan kuantitas curah hujan serta kejadian

ekstrim lainnya.

4. BAHAYA PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN

4.1. Bahaya Penurunan Produksi Padi Sawah

Potensi bahaya penurunan produksi tanaman diperoleh dari kajian empirik dengan

asumsi bahwa penurunan produksi tanaman pangan mempunyai hubungan yang kuat

dengan perubahan suhu udara dan curah hujan. Dampak perubahan iklim terhadap produksi

padi dari sawah beririgasi disebabkan oleh kenaikan suhu dan curah hujan dihitung

berdasarkan penurunan hasil dan luas panen setelah terjadi perubahan iklim. Luas panen

dihitung dari luas lahan sawah irigasi yang dipengaruhi suhu yang menyebabkan

peningkatan kebutuhan air tanaman dan tidak dipengaruhi oleh curah hujan secara

langsung. Penurunan produksi padi sawah irigasi akibat peningkatan suhu dan perubahan

curah hujan dihitung sebagai berikut. Perhitungan penurunan produksi padi sawah tadah

hujan seperti pada padi sawah irigasi, kecuali luas panen dipengaruhi oleh curah hujan dan

tidak ada pengaruh irigasi. Hasil analisis bahaya penurunan produksi tanaman pangan

utama yaitu padi dan jagung di Kabupaten Bandung ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan

Gambar 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Analisis Bahaya Penurunan Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten

Bandung pada tahun 2030.

Kecamatan Penurunan

Produksi Padi Sawah (Ton)

Indeks Bahaya Penurunan Produksi

Padi Sawah

Keterangan

CIWIDEY -5170 0.190 Sangat Rendah

RANCABALI -212 0.008 Sangat Rendah

PASIRJAMBU -15138 0.556 Sedang

CIMAUNG -11847 0.435 Sedang

PANGALENGAN -2002 0.074 Sangat Rendah

KERTASARI -81 0.003 Sangat Rendah

PACET -5911 0.217 Rendah

IBUN -4630 0.170 Sangat Rendah

PASEH -4274 0.157 Sangat Rendah

CIKANCUNG -479 0.018 Sangat Rendah

CICALENGKA -5504 0.202 Rendah

NAGREG -1012 0.037 Sangat Rendah

RANCAEKEK -17447 0.641 Tinggi

MAJALAYA -218 0.008 Sangat Rendah

SOLOKANJERUK -24177 0.888 Sangat Tinggi

CIPARAY -27228 1.000 Sangat Tinggi

BALEENDAH -7317 0.269 Rendah

ARJASARI -4605 0.169 Sangat Rendah

BANJARAN -9564 0.351 Rendah

CANGKUANG -6161 0.226 Rendah

PAMENGPEUK -8846 0.325 Rendah

KATAPANG -9594 0.352 Rendah

SOREANG -9200 0.338 Rendah

KUTAWARINGIN -11959 0.439 Sedang

MARGAASIH -2591 0.095 Sangat Rendah

MARGAHAYU 0 0.000 Sangat Rendah

DAYEUHKOLOT 283 0.000 Sangat Rendah

BOJONGSOANG -6675 0.245 Rendah

CILEUNYI -5293 0.194 Sangat Rendah

CILENGKRANG -925 0.034 Sangat Rendah

CIMENYAN -119 0.004 Sangat Rendah

Gambar 4.2 Peta Spasial Bahaya Penurunan Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten

Bandung pada tahun 2030.

Potensi bahaya penurunan produksi padi sawah di wilayah Kabupaten Bandung

rara-rata sebesar 6706 ton pada tahun 2030. Pada proyeksi skenario penurunan produksi,

sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung mempunyai potensi bahaya penurunan

produksi padi sawah tingkat sangat rendah sampai sangat tinggi. Beberapa kecamatan

dengan bahaya penurunan produksi tingkat sangat rendah adalah Ciwidey, Rancabali,

Pangalengan, Kertasari, Ibun, Paseh, Cikancung, Nagreg, Majalaya, Arjasari, Margaasih,

Margahayu, Dayeuhkolot, Cileunyi, Cilengkrang, dan Cimenyan. Kecamatan dengan bahaya

penurunan produksi tingkat rendah adalah Pacet, Cicalengka, Baleendah, Banjaran,

Cangkuang, Pameungpeuk, Katapang, Soreang, dan Bojongsoang. Bahaya penurunan

produksi tingkat sedang dapat terjadi di Kecamatan Pasirjambu, Cimaung, dan

Kutawaringin. Bahaya penurunan produksi tingkat tinggi dan sangat tinggi dapat terjadi di

Rancaekek, Solokanjeruk, dan Ciparay.

Jika bahaya (hazard) tersebut benar-benar terjadi maka akan muncul risiko (risks)

berupa penurunan pasokan bahan makanan padi yang akan mengancam terganggunya

ketahanan pangan dan neraca pangan, sehingga Kabupaten Bandung tidak dapat

berkontribusi terhadap penyediaan stok beras nasional. Oleh karena itu berdasarkan

prediksi ini, untuk menekan bahaya (hazard) penurunan produksi tanaman pangan utama di

Kabupaten Bandung pada daerah-daerah yang rentan terhadap perubahan iklim maka perlu

dilakukan antisipasi melalui pelaksanaan strategi adaptasi dengan penuh perhitungan dan

pertimbangan agar tidak terjadi mal adaptation.

5. KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN

5.1. Asesmen Kerentanan pada Sektor Pertanian

Kajian kerentanan (V) perubahan iklim pada sektor pertanian di Kabupaten Bandung

adalah gabungan dari tiga komponen kerentanan yaitu eksposur (E), sensitivitas (S), dan

kapasitas adaptif (AC). Kerentanan merupakan rasio antara eksposur dikalikan sensitivitas

terhadap kapasitas adaptif. Hasil analisis kerentanan dapat ditunjukkan pada Tabel 5.1 dan

Gambar 5.1.

Tabel 5.1. Hasil analisis kerentanan perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Kabupaten Bandung

Kecamatan Total Total Total Indek V Tingkat

E S AC 0_1 Kerentanan

CIWIDEY 0.072 0.141 0.141 0.529 Sedang

RANCABALI 0.069 0.264 0.023 0.662 Tinggi

PASIRJAMBU 0.246 0.438 0.052 1.000 Sangat Tinggi

CIMAUNG 0.098 0.566 0.068 0.869 Sangat Tinggi

PANGALENGAN 0.274 0.353 0.039 0.981 Sangat Tinggi

KERTASARI 0.183 0.297 0.024 0.873 Sangat Tinggi

PACET 0.092 0.522 0.107 0.834 Sangat Tinggi

IBUN 0.054 0.561 0.098 0.747 Tinggi

PASEH 0.047 0.556 0.136 0.711 Tinggi

CIKANCUNG 0.031 0.614 0.079 0.663 Tinggi

CICALENGKA 0.034 0.581 0.127 0.656 Tinggi

NAGREG 0.027 0.624 0.041 0.645 Tinggi

RANCAEKEK 0.047 0.442 0.282 0.643 Tinggi

MAJALAYA 0.024 0.461 0.229 0.533 Sedang

SOLOKANJERUK 0.027 0.483 0.213 0.564 Sedang

CIPARAY 0.051 0.493 0.246 0.687 Tinggi

BALEENDAH 0.023 0.516 0.206 0.549 Sedang

ARJASARI 0.060 0.571 0.089 0.770 Tinggi

BANJARAN 0.026 0.530 0.187 0.582 Sedang

CANGKUANG 0.027 0.521 0.171 0.584 Sedang

PAMENGPEUK 0.012 0.517 0.254 0.422 Sedang

KATAPANG 0.014 0.476 0.269 0.429 Sedang

SOREANG 0.026 0.561 0.141 0.595 Sedang

KUTAWARINGIN 0.052 0.608 0.116 0.751 Tinggi

MARGAASIH 0.010 0.519 0.229 0.391 Rendah

MARGAHAYU 0.001 0.506 0.189 0.000 Sangat Rendah

DAYEUHKOLOT 0.001 0.549 0.190 0.029 Sangat Rendah

BOJONGSOANG 0.027 0.527 0.218 0.578 Sedang

CILEUNYI 0.026 0.596 0.150 0.607 Tinggi

CILENGKRANG 0.038 0.568 0.054 0.687 Tinggi

CIMENYAN 0.034 0.509 0.057 0.644 Tinggi Ket. E : Eksposur S: Sensitivitas AC: Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) V: Vulnerability (Kerentanan)

Gambar 5.1. Peta spasial indeks kerentanan (V) perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Kabupaten Bandung

Hasil analisis kerentanan seperti pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa tingkat

kerentanan perubahan iklim pada sektor pertanian di Kabupaten Bandung didominasi oleh

tingkat kerentanan tinggi seperti di Kecamatan Rancabali, Ibun, Paseh, Cikancung,

Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Ciparay, Arjasari, Kutawaringin, Cileunyi, Cilengkrang, dan

Cimenyan. Tingkat kerentanan sangat tinggi terdapat di Pasirjambu, Cimaung,

Pangalengan, Kertasari, dan Pacet. Sementara itu, kecamatan Margahayu dan Dayeuhkolot

mempunyai tingkat kerentanan sangat rendah. Kecamatan Margaasih mempunyai tingkat

kerentanan rendah. Tingkat kerentanan sedang terdapat di kecamatan Ciwidey, Majalaya,

Solokanjeruk, Baleendah, Banjaran, Cangkuang, Pameungpeuk, Katapang, Soreang, dan

Bojongsoang. Kecamatan yang mempunyai tingkat kerentanan yang sangat tinggi karena di

kedua wilayah tersebut mempunyai tingkat eksposur dan sensitivitas sangat tinggi

sementara itu tingkat kapasitas adaptifnya sangat rendah. Oleh karena itu, perlu upaya-

upaya adaptasi strategis agar kerentanan tersebut tidak mengganggu produksi pertanian

dan ketersediaan pangan serta swasembada pangan di wilayah Kabupaten Bandung.

6. RISIKO PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN

6.1. Risiko Penurunan Produksi Padi Sawah

Hasil analisis risiko menggambarkan bahwa berdasarkan faktor-faktor tersebut

secara spasial menunjukkan tingkat bahaya dan kerentanan yang berbeda antar

Kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung. Hal ini dapat difahami karena risiko

merupakan perkalian antara kerentanan (vulnerability) dan bahaya (hazard) . Hasil

analisis risiko penurunan produksi tanaman pangan utama yaitu padi dan jagung di

Kabupaten Bandung pada tahun 2030 dapat diperoleh dari hasil skenario yang

ditunjukkan pada Tabel 6.1 dan Gambar 6.1.

Tabel 6.1 Hasil Analisis Risiko Penurunan Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten

Bandung pada Tahun 2030

Kecamatan Indeks Risiko Penurunan Produksi

Padi Sawah Keterangan

CIWIDEY 0.475 Sedang

RANCABALI 0.101 Sangat Rendah

PASIRJAMBU 1.000 Sangat Tinggi

CIMAUNG 0.862 Sangat Tinggi

PANGALENGAN 0.683 Tinggi

KERTASARI 0.119 Sangat Rendah

PACET 0.731 Tinggi

IBUN 0.627 Tinggi

PASEH 0.588 Sedang

CIKANCUNG 0.223 Rendah

CICALENGKA 0.583 Sedang

NAGREG 0.321 Rendah

RANCAEKEK 0.745 Tinggi

MAJALAYA 0.005 Sangat Rendah

SOLOKANJERUK 0.732 Tinggi

CIPARAY 0.846 Sangat Tinggi

BALEENDAH 0.542 Sedang

ARJASARI 0.644 Tinggi

BANJARAN 0.608 Tinggi

CANGKUANG 0.544 Sedang

PAMENGPEUK 0.473 Sedang

KATAPANG 0.490 Sedang

SOREANG 0.613 Tinggi

KUTAWARINGIN 0.772 Tinggi

MARGAASIH 0.265 Rendah

MARGAHAYU 0.000 Sangat Rendah

DAYEUHKOLOT 0.000 Sangat Rendah

BOJONGSOANG 0.551 Sedang

CILEUNYI 0.539 Sedang

CILENGKRANG 0.340 Rendah

CIMENYAN 0.001 Sangat Rendah

Gambar 6.1 Peta Spasial Risiko Penurunan Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten

Bandung pada Tahun 2030

Berdasarkan hasil analisis proyeksi risiko penurunan produksi tanaman pangan

utama di Kabupaten Bandung pada tahun 2030 dapat disimpulkan bahwa:

1) Ada tiga kecamatan yang mempunyai risiko penurunan produksi padi sawah yaitu

Kecamatan Pasirjambu, Cimaung, dan Ciparay.

2) Ada lima kecamatan di Kabupaten Bandung yang mempunyai risiko penurunan

produksi padi ladang yaitu Kecamatan Ciwidey, Pasirjambu, Cimaung, Pacet, dan

Arjasari.

3) Kecamatan Ciwidey, Pangalengan, Cicalengka, dan Baleendah mempunyai risiko

penurunan produksi jagung akibat perubahan iklim di wilayah Kabupaten Bandung.

Hasil analisis menunjukkan bahwa Kecamatan Pasirjambu, Cimaung, dan Ciwidey

mempunyai risiko penurunan produksi tanaman padi dan jagung yang cukup serius pada

tahun 2030. Oleh karena itu, di ketiga Kecamatan tersebut perlu upaya adaptasi strategis

terhadap perubahan iklim agar tingkat produksi ketiga tanaman tersebut dapat

dipertahankan paling tidak seperti pada kondisi sekarang. Jika tidak maka ancaman

penurunan produksi tanaman pangan utama di wilayah tersebut akan mengalami penurunan

dan akan mengganggu pasokan dan capaian swasembada pangan utama di wilayah

Kabupaten Bandung.

7. STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR PERTANIAN

7.1. Strategi Adaptasi Terhadap Penurunan Produksi Padi Sawah

Hasil analisis risiko penurunan produksi tanaman pangan utama akibat perubahan

iklim menunjukkan bahwa terdapat empat kabupaten yang berisiko tinggi dan sangat tinggi

yaitu Kecamatan Pasirjambu, Cimaung, dan Ciparay untuk tanaman padi sawah;

Kecamatan Ciwidey, Pasirjambu, Cimaung, Pacet, dan Arjasari untuk tanaman padi ladang;

dan Kecamatan Ciwidey, Pangalengan, Cicalengka, dan Baleendah untuk tanaman jagung.

Wilayah-wilayah tersebut umumnya didominasi oleh lahan tadah hujan dan lahan kering dan

juga mengalami peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan. Di sisi lain wilayah

tersebut tidak mempunyai jaringan irigasi yang memadai sehingga potensi kekeringan

sangat tinggi sehingga produksi tanaman mengalami penurunan.

Wilayah-wilayah yang berisiko tinggi dari penurunan produksi disebabkan oleh

bahaya (hazard) yang tinggi akibat adanya peningkatan suhu udara dan penurunan curah

hujan dan faktor-faktor kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim dimana tingkat

eksposur dan sensitivitas yang tinggi sedangkan tingkat kapasitas adaptifnya rendah.

Risiko penurunan produksi disebabkan oleh tiga alternatif bahaya, yakni bahaya

peningkatan suhu udara, curah hujan yang sangat kurang pada masa tanam, atau curah

hujan yang sangat besar disertai banjir pada masa tanam dapat menyebabkan

berkurangnya produksi pertanian. Alternatif strategi adaptasi untuk daerah yang memiliki

risiko penurunan luas lahan tanaman pangan utama. Strategi adaptasi ini merupakan

integrasi dari seluruh strategi adaptasi terhadap risiko penurunan produktivitas tanaman,

luas panen, dan luas lahan :

1. Penggunaan varitas padi dan jagung unggul bermutu yang berumur genjah.

Strategi: Pencegahan penurunan produksi akibat kurangnya curah hujan dan

singkatnya musim hujan di daerah tadah hujan.

a) Program 1 : Menjamin kepastian panen tanaman pangan utama melalui peningkatan

pemahaman petani tentang manfaat penggunaan varitas tanaman berumur genjah

sebagai upaya adaptasi perubahan iklim di daerah tadah hujan

Kegiatan 1 : Memotivasi para penangkar benih untuk memproduksi benih padi

unggul dan bermutu yang berumur genjah.

Kegiatan 2 : Memberi bantuan kepada petani dengan mensubsidi benih tanaman

yang berumur genjah.

b) Program 2 : Sosialisasi dan kampanye penggunaan berbagai varitas padi, jagung,

dan kedelai unggul dan bermutu yang berumur genjah untuk adaptasi perubahan

iklim.

Kegiatan 1 : Memberikan informasi dan meyakinkan petani tentang manfaat

menanam varitas padi, jagung, dan kedelai unggul bermutu yang berumur genjah

terkait dengan risiko penurunan luas panen akibat perubahan iklim.

Kegiatan 2 : Pengembangan teknologi benih untuk menemukan varitas padi,

jagung, dan kedelai yang tahan terhadap kekeringan dan berumur pendek.

Kegiatan ini dilaksanakan dengan berkoordinasi dan berkolaborasi antara

perguruan tinggi, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan

Dinas Pertanian.

2. Pengembangan usahatani sistem bedeng untuk tujuan konservasi tanah dan air di

lahan tadah hujan.

Strategi: Pencegahan kerugian petani karena gagal panen padi dengan melakukan

alih teknologi produksi dengan usahatani sistem bedeng.

a) Program 1 : Peningkatan produktivitas lahan tadah hujan dan pendapatan petani

dengan melakukan usaha tani sistem bedeng sebagai upaya manajemen lahan

dan tanaman pada sawah tadah hujan.

Kegiatan 1 : Memfasilitasi petani untuk melakukan manajemen lahan dan

tanaman dengan menerapkan usaha tani sistem bedeng (Raised Bed

Farming System).

Kegiatan 2 : Mengintroduksi ACM dan memfasilitasi petani untuk mencoba

menerapkan ACM pada sawah tadah hujan.

ACM adalah sistem usaha tani pada lahan tadah hujan dengan membagi

lahan garapan dengan proporsi 1/3 dari luas lahan garapan untuk ditanami

tanaman non padi yang bernilai ekonomi tinggi (berbagai jenis sayur-sayuran,

palawija atau buah semusim) dengan menerapkan usaha tani sistem bedeng

permanen (Permanent Raised Bed Farming System). Sedangkan selebihnya

yang 2/3 dari luas lahan garapan untuk ditanami padi sistem GORA pada

musim hujan dengan olah tanah minimum atau sistem rancah (padi sawah)

tanpa bedeng (flat), kemudian pada Musim Kering 1 dan Musim Kering 2

ditanami tanaman non padi (palawija, sayuran, dan atau buah semusim).

3. Optimalisasi pemanfaatan lahan tadah hujan dengan revitalisasi jaringan irigasi dan

penghijauan.

Strategi: Meningkatkan pemanfaatan kapasitas lahan tadah hujan dengan

revitalisasi jaringan irigasi di Kabupaten Bandung.

a) Program 1 : Mengoptimalkan pemanfaatan areal sawah tadah hujan dengan

revitalisasi jaringan irigasi.

Kegiatan 1 : Memfasilitasi petani untuk membuat tampungan air di lahan

sawahnya untuk menampung air yang dipompa dari saluran irigasi

b) Program 2 : Menggalakkan secara luas penanaman tanaman albasia (turi) di

pematang sawah dan tanaman lain yang kaya dengan kandungan Nitrogen,

tanaman buah seperti mangga untuk daerah tadah hujan untuk konservasi

lahan. Tanaman albasia selain bermanfaat untuk makanan ternak, dapat juga

bermanfaat untuk pupuk hijau.

Kegiatan 1 : Penyediaan bibit albasia oleh Dinas Pertanian untuk dibagikan

kepada petani di lahan tadah hujan

Kegiatan 2 : Kampanye penanaman albasia di kawasan sawah tadah hujan

4. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidur dan pembukaan lahan baru Strategi:

Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan lahan tidur dan pembukaan lahan baru.

a) Program 1 : Mengoptimalkan pemanfaatan lahan tidur atau lahan tidak

dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan utama :

Beberapa daerah terdapat hamparan lahan tidur atau lahan tidak termanfaatkan

untuk pertanian padi, jagung, dan kedelai.

Kegiatan 1 : Memfasilitasi petani untuk dapat menggunakan lahan tidur atau

lahan tidak termanfaatkan untuk ditanami tanaman padi dan jagung.

Kegiatan 2 : Memfasilitasi bekerjasama antara petani dengan pada pemilik

lahan tidur untuk menggunakan lahan tersebut untuk pertanian padi, jagung,

atau kedelai.

b) Program 2 : Membuka lahan pertanian baru dengan memperhatikan konservasi

lahan dan tidak mengganggu fungsi-fungsi lingkungan dan hutan lindung.

Kegiatan 1 : Membantu identifikasi lahan-lahan yang berpotensi untuk

digunakan lahan pertanian baru berdasarkan kajian iklimnya

Kegiatan 2 : Membantu kerjasama antara Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan,

Dinas PU, dan PEMDA dalam perencanaan pembukaan lahan pertanian baru

Tabel 6.1 Ringkasan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada lahan sawah di Kabupaten Bandung

Bahaya Penurunan

Produksi Padi (H)

Kerentanan (V)

Risiko Penurunan

Produksi Padi (R)

Strategi Adaptasi

Berbahaya Rentan Tinggi 1. Penggunaan varitas padi, jagung, dan kedelai unggul bermutu yang berumur genjah.

2. Meningkatkan teknik budidaya pertanian misalnya melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan intensifikasi budidaya misalnya SRI dan sistem Legowo

3. Pengembangan usahatani sistem bedeng untuk tujuan konservasi tanah dan air di lahan tadah hujan.

4. Optimalisasi pemanfaatan lahan tadah hujan dengan pompanisasi air irigasi dan penghijauan.

5. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidur dan pembukaan lahan baru

8. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis bahaya, kerentanan, dan risiko perubahan iklim

pada sektor pertanian di Kabupaten Bandung maka dapat dikemukakan simpulan

dan rekomendasi berikut ini.

8.1. Kesimpulan

a. Berdasarkan hasil analisis curah hujan dan suhu udara di Kabupaten Bandung telah

terjadi perubahan iklim. Dampak perubahan iklim di Kabupaten Bandung sudah

dirasakan oleh masyarakat yang diindikasikan oleh bergesernya musim tanam dan

panen padi; adanya bahaya penurunan produktivitas, luas panen. luas lahan, dan

produksi padi, jagung, dan kedelai di beberapa lahan sawah tadah hujan dan lahan

sawah ½ irigasi di beberapa kabupaten di Kabupaten Bandung

b. Sektor pertanian di Kabupaten Bandung rentan terhadap dampak perubahan iklim global

yang diindikasikan oleh adanya bahaya (hazard) penurunan produktivitas, luas panen.

luas lahan, dan produksi padi, jagung, dan kedelai akibat peningkatan suhu udara dan

perubahan variabilitas, frekuensi, dan kuantitas curah hujan pada saat masa tanam.

c. Berdasarkan hasil analisis bahaya (hazard) perubahan iklim pada sektor pertanian di

Kabupaten Bandung maka daerah-daerah yang bahaya terhadap tanaman pangan

utama adalah Kecamatan Cicalengka, Pangalengan, Ciwidey, Solokanjeruk, dan

Ciparay.

d. Berdasarkan hasil analisis kerentanan (vulnerability) terhadap perubahan iklim di

Kabupaten Bandung maka daerah-daerah yang sangat rentan adalah Kecamatan

Pasirjambu, Cimaung, Pangalengan, Kertasari, dan Pacet (tingkat kerentanan sangat

tinggi).

e. Wilayah-wilayah yang mempunyai risiko penurunan produksi tanaman pangan utama di

Kabupaten Bandung adalah Kabupaten Pasirjambu, Cimaung, dan Ciparay (padi

sawah); Kecamatan Ciwidey, Pasirjambu, Cimaung, Pacet, dan Arjasari (padi ladang);

dan Kecamatan Ciwidey, Pangalengan, Cicalengka, dan Baleendah (jagung). Wilayah-

wilayah ini sama dengan wilayah-wilayah yang mengalami risiko penurunan luas lahan.

8.2. Rekomendasi Kebijakan

a) Melakukan peningkatan teknologi budidaya tanaman padi, jagung, dan kedelai misalnya

melalui program pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan SRI untuk mengatasi risiko

penurunan produktivitas tanaman pangan utama akibat perubahan iklim.

b) Meningkatkan penggunaan varietas berproduktivitas tinggi dan varietas tanaman yang

tahan kekeringan atau kebanjiran dan berumur pendek untuk meningkatkan

produktivitas tanaman pangan utama.

c) Meningkatkan intensifikasi dan optimalisasi pengguaan lahan pertanian, atau

pembukaan baru (lahan tidur) untuk mempertahankan atau meningkatkan luas panen

dan luas lahan pertanian di Kabupaten Bandung.

d) Perlu program peningkatan produktivitas tanaman, luas panen, dan luas lahan yang

simultan dan terintegrasi agar produksi tanaman padi dapat dipertahankan atau

ditingkatkan sehingga program swasembada pangan di Kabupaten Bandung dapat

tercapai.

e) Memperkuat kemampuan masyarakat petani dengan melakukan pemberdayaan,

memfasilitasi pembuatan jaringan irigasi, embung untuk panen air pada musim hujan di

daerah tadah hujan, memfasilitasi dalam renovasi jaringan irigasi dan embung yang

mengalami pendangkalan (sedimentasi).

f) Untuk memperkaya informasi iklim yang sangat bermanfaat untuk prediksi dan

peramalan cuaca setiap mulai musim tanam maka diharapkan agar BMKG berkolaborasi

dengan Dinas Pertanian untuk mengkoordinir petugas pengamat dan pencatatan curah

hujan dan unsur-unsur iklim lainnya di setiap stasiun secara rutin.

g) Perlu mengembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Bandung dengan

mengadopsi keberhasilan Sekolah lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)

dengan tetap memadukannya dengan pelestarian kearifan lokal.

h) Kajian terpadu dan multi lokasi tentang perubahan jadwal tanam dan pola tanam di

setiap daerah irigasi atau non irigasi dengan berkolaborasi dan melibatkan lembaga

penelitian dan perguruan tinggi. Kajian ini dilakukan berdasarkan durasi dan rentang

waktu curah hujan dalam setahun. Berdasarkan hasil kajian ini digunakan sebagai dasar

melakukan komando jadwal mulai musim tanam tiap awal musim tanam, mengatur pola

tanam yang lebih adaptif dengan perubahan iklim untuk mencegah bahaya penurunan

kualitas dan kuantitas produksi.

i) Perlu memfasilitasi dan mendorong petani di daerah lahan sawah yang rentan terhadap

dampak perubahan iklim seperti daerah lahan tadah hujan Kabupaten Bandung untuk

melakukan diversifikasi tanaman pangan pada musim hujan, yakni dengan membagi

lahan sawah secara proporsional untuk tanaman padi dan tanaman sayuran dan/atau

palawija yang bernilai ekonomi tinggi.

j) Perlu secara rutin informasi kapasitas dan debit air sungai sebagai sumber air irigasi

kepada Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Perlu juga informasi potensi curah hujan

setiap tahun dari BMKG dengan lebih mengaktifkan fungsi stasiun pengukuran curah

hujan.

k) Perlu memperhatikan skala prioritas dalam mengimplementasikan aksi adaptasi karena

tujuan adaptasi selalu terkait dengan sasaran pembangunan yang telah dituangkan

dalam RPJM Daerah dan RPJPN karena perubahan iklim tidak hanya sering berdampak

pada sektor pertanian, tetapi sering juga berdampak pada banyak sektor lainnya.

l) Selain melakukan pembangunan saluran irigasi untuk memperluas areal tanam dengan

menambah jangkauan distribusi air irigasi, perlu juga pembangunan saluran drainase

untuk mengatasi bahaya banjir pada daerah-daerah yang potensial terkena bahaya

(hazard) pada saat menjelang panen padi akibat frekuensi dan intensitas curah hujan

yang sangat berlebihan.

m) Perlu mendorong petani untuk membuat embung-embung kecil (water-pond) pada areal

sawah milik petani untuk panen air hujan (Water harvesting) mengingat lama musim

hujan yang relatif singkat.

n) Perlu membantu masyarakat petani miskin dalam meningkatkan kapasitas beradaptasi

melalui penguatan ekonomi pedesaan.

o) Perlu mengkampanyekan penanaman padi dengan sistem penanaman padi hemat air

yang dikenal dengan nama sistem Padi SRI (System Rice Intensification) yang telah diuji

coba di daerah yang rentan terhadap defisit air irigasi. Pengembangan penanaman padi

dengan sistem ini perlu disertai dengan uji coba penemuan varitas yang tahan lama

kekeringan dan berumur genjah.

DAFTAR PUSTAKA

Abawi, Y. I Yasin, S. Dutta, T. Harris, M. Ma’shum, D. McClymont, I. Amien dan R. Sayuti.

2002. Capturing the benefit of seasonal climate forecast in agricultural management:

Subproject 2- Water and Crop Management inIndonesia. Final Report to ACIAR.

QCCA-DNRM. Toowoomba Australia.

Boer, R and Meinke, H. 2002. Plant Growth and the SOI, in Will It Rain? The effect of the

Southern Oscillatioon and El Nino in Indonesia. Department of Primary Industries

Qweensland, Brisbane Australia.

Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2008. Laporan Tahunan 2007. Pemerintah Kabupaten

Bandung.

Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2009. Laporan Tahunan 2008. Pemerintah Kabupaten

Bandung.

Kabupaten Bandung Dalam Angka. 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung Dalam Angka. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung.

Malczewski, J. 1999. GIS and Multicriteria Decision Analysis. New York, USA.

Martyn. D. 1992. Climate of the world. Development in Atmospheric Science. Elsevier

Amsterdam London, N.Y. 435 p.

Saaty, T.L. 1980. The Analytic Hierarchy Process. McGraw Hill, New York, USA.