kajian ilmu hadis masih minim
DESCRIPTION
Kajian hadis di Indonesia masih sangat minim. Akibatnya, hadis-hadis lemah dan palsu dengan begitu mudah tersebar luas di Indonesia. Kondisi seperti ini disinyalir karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan hadis-hadis lemah dan palsu. Selain itu, kondisi tersebut juga diperparah dengan rendahnya kajian hadis di Indonesia. Bahkan, karya ulama nusantara dalam kajian hadis juga sangat sedikit. Kalau ada yang bagus, karya tersebut merupakan karangan ulama yang lama bermukim di Arab Saudi, seperti At-Termasi yang menulis Syarah Manhaj Dzawi An-Nadhar.Di samping itu, merebaknya hadis lemah dan palsu juga turut disebarkan oleh para mubalig (penceramah). Bahkan, di kalangan dai, keberadaan hadis lemah sangat dominan, bahkan tak jarang mereka menggunakan hadis-hadis palsu. “Kajian dan pengajaran metode hadis selama ini sifatnya juga masih normatif, sebatas pada pengertian berikut klasifikasinya saja. Pengajaran hadis di Tanah Air jarang menyentuh level penelitian,” tutur Dr Ahmad Lutfi Fathullah MA, direktur eksekutif PusatKajian Hadis Jakarta.Menurutnya, saat ini yang paling mendesak adalah mengubah metode pengajaran hadis, dari pengertian makna pada penelitian kualitas hadis. “Tradisi sanad dalam sebuah hadis tidak hanya melalui kitab-kitab fadhail (keutamaan), tetapi juga kitab-kitab utama sekaligus,” ujarnyaTRANSCRIPT
B8REPUBLIKA ● AHAD, 18 JULI 2010
Apa urgensi hadis dalam hukum Islam?Alquran lengkap dari sisi konsep. Sedangkan,
penjelasannya secara detail, baik tentang hukummaupun lainnya, dapat ditelusuri dari hadisRasulullah SAW. Hadis merupakan sumber hukumyang sangat penting bagi umat Islam. Ia menempatiperingkat kedua setelah Alquran. Karena itu,keberadaan hadis sangat penting, terutama dalamtataran amaliah (perbuatan). Sebab, sebagian besartuntunan agama bersifat amaliah.
Apakah perbedaan riwayat bisa berpengaruh padakesimpulan hukum?
Keempat mazhab (Syafiiyah, Malikiyah,Hanafiyah, dan Hanabilah—Red), banyak memper-gunakan hadis sebagai rujukan. Karena itu, adaperbedaan pandangan di antara mereka dalam mene-tapkan sebuah kasus hukum karena nash yang digu-nakan juga berbeda. Misalnya, dalam hal tata carashalat Rasulullah terdapat beberapa riwayat yangberbeda. Bisa jadi, sahabat yang satu meriwayatkanbahwa dia melihat Rasulullah shalat dengan menge-nakan baju putih dan membaca Surah Al-Kautsar.Sedangkan, sahabat lainnya, mengisahkan bahwaRasulullah shalat dengan memakai baju merah danmembaca Surah Al-A’la.
Sejauh manakah ulama mazhab fikih menyikapiperbedaan riwayat tersebut?
Imam Malik memiliki konsep amalan orangMadinah adalah hujjah (dalil) yang kuat. SedangkanImam Syafii dalam Kitab Ar-Risalah mempunyaikonsep lebih jelas dan teliti. Konsepnya, siapa sajasahabat yang shalat di shaf paling depan dan siapayang tidak pernah ketinggalan jamaahnya, makayang demikian lebih kuat karena rutinitasnya lebihtinggi. Imam Syafii, misalnya, melakukan kritiksejarah modern dengan kajian antropologi. Karenaitu, Imam Syafii tersohor sebagai perintis kajianilmu nasikh mansukh dan konep syadz.
Bukankah Imam Malik sendiri juga terkadangmenggunakan hadis dhaif?
Ada jarak yang sangat jauh antara kita dan
keempat imam mazhab itu. Bahkan, cara yangmembedakannya hanya melalui riwayat dari murid-murid mereka.
Imam Malik, selain melalui jalur riwayat, jugamempertimbangkan penglihatan tabiin yang beradadi Madinah. Imam Malik sering meriwayatkan hadissecara mursal sehingga terkenal dengan balaghat.Sedangkan balaghat sendiri dalam ilmu hadisdihukumi dhaif karena tidak menyambung.
Kendati demikian, Imam Malik tetapmengamalkan hadis-hadis dhaif tersebut. Sebab,menurut Syafii dan Malik, banyak hadis yang silsilahrawinya tidak disampaikan secara lengkap kepadaRasulullah.
Lantas dari sekian pendapattentang ragam riwayatmanakah yang benar?
Masing-masing tidaksalah, selama disandarkankepada Rasulullah. Olehsebab itu, tak perlu salingmenyalahkan, apalagi maumenarjih pendapat masing-masing
Apa yang melatarbelakangiperbedaan metode ahli fikih danahli hadis?
Karakter berpikir orang,turut dipengaruhi oleh kitabyang dibaca. Pada ahli hadis,terlalu berkecimpung dengan kesahihan riwayat(mada shihat al-hadis). Sedangkan orang fikih lebihmelihat dampak yang diakibatkan atas suatu teksuntuk pengambilan sebuah hukum (istinbath al-ahkam).
Namun, meski sekalipun hadis tersebut dhaif, ahlifikih akan mencoba mencari illat-nya sehingga tidakterjadi perbedaan pandangan karena merekamemang berbeda dalam penguasaan bidang tertentu.Misalnya, ketika kita berdebat dengan Wahbah Al-Zuhaili tentang ilmu hadis, tentu saja hal itu tidaktepat. Karena, corak berpikir Zuhaili didominasiilmu fikih.
Benarkah dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim adahadis dhaif?
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari danMuslim, mau dibilang sahih semua, itu benar.Namun, bila ada orang yang menyatakan dhaif didalamnya, hal itu juga benar. Hanya saja, orang yangtidak mengerti tentang masalah ini akan salahpersepsi. Karena berdasarkan konsep ilmu hadis,dalam kitab Bukhari dan Muslim, ada hadis yangdhaif.
Imam Bukhari mengatakan bahwasanya hadisyang dia pertanggungjawabkan adalah hadis dengansanad menyambung sampai ke Rasulullah. Sedang -kan yang tidak disebutkan sanadnya secara leng -kap—dalam ilmu hadis dianggap mu’allaq ataupunmauquf— maka Bukhari tidak menjamin kesahihan -nya. Cukup dengan menyatakan bahwa hadis ter -sebut diriwayatkan oleh sahabat.
Hadis mu’allaq dan mauquf, dalam kajian ilmuhadis dikategorikan sebagai hadis dhaif. Dan, keduakategori hadis itu banyak terdapat di ShahihBukhari. Tetapi, jika menggunakan perspektif ImamBukhari, dalam kitabnya itu tidak terdapat hadisdhaif.
Bukankah Bukhari menegaskan sendiri hanyamengumpukan hadis-hadis sahih dalam kitab Sahihnya?
Benar. Tetapi, yang dimaksudkan di situ adalahhadis yang menyambung sanadnya ke Rasulullah.Sedangkan mu’allaq, sengaja dilakukan karena bisajadi nilai kesahihan hadis tersebut lebih rendahdibanding hadis yang tersambung. Tetapi, kriteriayang diletakkan Bukhari, sangat ketat. Dan, ituberbeda dengan imam lainnya.
Apakah dengan demikian akan mengurangi kredibilitasBukhari?
Tentu saja tidak. Di mata para pengkaji hadis,adanya fakta tersebut tidak akan mengurangikredibilitas Bukhari sebagai seorang periwayathadis. Namun, menurut kacamata orang awam, bisajadi hal itu akan menjadi celah untuk menyerangBukhari. Saya bisa menegaskan bahwa ShahihBukhari sudah teruji selama ratusan tahun.Sedangkan, pendapat mereka yang mencercanyasama sekali belum terbukti
Mengapa hadis tentang Isra Mi’raj dipermasalahkan olehsebagian kalangan?
Peristiwa Isra Mi’raj paling berpotensi disisipkanhadis-hadis lemah, bahkan palsu, karena dalamperistiwa ini, tidak banyak orang yang menyaksikanperjalanan tersebut. Dan, dasar yang meyakininyaadalah keimanan.
Tatkala Syekh Muhammad Al-Ghazali meragukanhadis tentang Isra Mi’raj yang terdapat dalamShahih Bukhari, argumen yang dikeluarkanbertentangan dengan pendapat mayoritas seperti An-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Bahkan, olehsebagian kalangan, Syekh Muhammad Al-Ghazalidituding sebagai orang yang tak tahu tentang kajianhadis.
Apakah hadis dhaif bisa dijadikan landasan dalamakidah?
Hadis dhaif digunakan sebagai penjelasan (bayan)akidah dan tidak digunakan sebagai dasar.Sedangkan untuk konteks dasar, hadis-hadis tentangsurga dan neraka harus menggunakan hadismutawatir sekalipun mutawatir maknawi.
Namun, jika terkait dengan detail seperti apakah
wujud surga dan neraka, mayoritas hadis yangmengupas itu rata-rata statusnya hadis ahad, bahkanada yang lemah (dhaif). Maka, ulama hadisberpandangan, selama tidak sampai ke derajat palsu,boleh dipergunakan untuk konteks penjelasan.Seperti Kitab Al-Azhar Al-Mutanatsirah Fi Al-Akhbar Al –Mutawatirah karangan As-Suyuthi yangbanyak memuat hadis-hadis lemah tentangkehidupan setelah kematian
Keabsahan hadis dalil sebagai hujjah banyakdipertanyakan. Menurut Anda?
Abu Al-Fattah Abu Ghaddah mengatakan,keempat imam mazhab fikih memakai hadis dhaif
sebagai hujah. Karena jikamemakai dalil pendapat,ada kemungkinan salah danbenar. Sedangkanprobabilitas yang dimilikisuatu hadis, bisa jadimemang bersumber darinabi dan bisa juga tidak.Dengan demikian,kebanyakan ulama lebihmemilih berhati-hatimendahulukan hadis dhaifselama ada syawahid(penguat) daripada harusmengandalkan pendapat.
Mungkinkah menyatukanpersepsi tentang hadis antara
Sunni dan Syiah?Sulit. Karena beberapa konsep dasar antara
Sunni-Syiah saling bertentangan. Seperti pengertianhadis, sumber, dan nilai-nilai hadis. Hadis dikalangan Syiah adalah riwayat yang menyambungke salah satu imam dua belas dalam mazhab mereka.Setiap riwayat yang memiliki sanad ke imamtersebut, dihukumi sahih atas dasar konsep ushmah(terjaga dari kesalahan).
Lantas bagaimana memosisikan kaum Syiah dalamkajian hadis?
Berdasarkan kajian ilmu jarh wa tl-ta’dil,kalangan Syiah terbagi menjadi dua: yaitu kelompokekstrem (ghulw) dan moderat (mutawassith) .Golongan esktrem tidak hanya memuliakan Ali,tetapi juga mencela para sahabat seperti Abu BakarSiddiq dan Umar bin Khattab.
Dalam jarh wa al-ta’dil ada dua unsur penting,yaitu dlabith (kuat hafalan) dan ‘adalah (perawi yangadil). ‘Adalah (adil) terdiri atas dua unsur, yakniakidah dan muruah . Dari sisi akidah dijabarkan lagimenjadi dua, yaitu akidah yang benar (salimah) atauyang melenceng (mubtadi’ah). Demikian halnyadengan mubtadiah dibagi ke dalam dua bagian, yaituekstrem (ghulw) dan moderat mutawassith . Makaselama masih moderat, Sunni akan menerimariwayat kaum Syiah.
Bagaimana Anda mengamati kajian hadis di Indonesia?Kajian hadis di Indonesia masih sangat minim dan
bersifat normatif sebatas pada pengertian berikutklasifikasi hadis. Jarang menyentuh level penelitian.Bahkan, dulu, desertasi penelitian di bidang hadispernah meloloskan kajian hadis dengan total belasanhadis saja. Oleh karena itu, yang paling mendesakadalah mengubah metode pengajaran hadis. Karenaselama masih normatif, tidak akan efektif. Misalnya,penting untuk mengajarkan tentang tradisi sanaddalam sebuah hadis tidak hanya melalui kitab-kitabfadhail, tetapi juga kitab-kitab utama sekaligus.
Hadis dhaif (lemah) marak tersebar pada MuslimIndonesia, mengapa demikian?
Orang Indonesia secara umum bukan ahli hadis,tapi hanya penyampai hadis yang hanya membacahadis dari buku-buku yang ada lalumenyampaikannya. Mereka tidak menguasai ilmuhadis sehingga tidak bisa memilah dan memilihmana hadis yang sahih dan tidak. Akibatnya, diIndonesia banyak menyebar hadis-hadis lemah danpalsu tanpa ada seleksi ketat.
Indikasi lemahnya kajian hadis di Indonesiadiperkuat dengan minimnya karya tentang ilmuhadis. Sebagai bukti, belum ada karya tentang ilmuhadis hasil karya ulama nusantara yang bagus.Kalaupun ada, merupakan karangan seorang ulamayang sudah lama berdomisili di Arab Saudi sepertiAl-Termasi yang mengarang Kitab Syarah ManhajDzawi An-Nadhar.
Seberapa jauhkah pengaruh para muballig turutmenyebarkan hadis lemah?
Di kalangan dai, hadis lemah (dhaif) lebih dominanketimbang hadis sahih dan tak jarang hadis palsu.Buktinya, tatkala hendak berceramah, kebanyakanlebih memilih membuka kitab-kitab fadlaildibandingkan dengan merujuk langsung ke ShahihBukhari. Lagi-lagi, penguasaan ilmu hadis minim.
Bagaimana karakter ulama yang ideal? Idealnya, ulama itu harus menguasai berbagai
disiplin ilmu, tak terkecuali hadis, fikih, dan ushulfikih. Seperti yang dicontohkan oleh Imam Malik,Syafii, Al-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Dan, ulama yang memiliki satu penguasaandisiplin ilmu sajalah yang bermasalah. Seperti SyekhAl-Albani, harusnya dia mendalami juga ilmu fikihdan ushul fikih. Kalau pemahaman hadis dari sanadsaja, dia bukan ahli hadis namanya. Kebanyakanulama Indonesia kuat dalam bidang ilmu fikih,namun lemah dalam kajian ushul fikih. Akibatnya,sering kali menukil pendapat dari seorang imamtanpa berani berfatwa dengan alasan belum sampailevel memberikan fatwa. ■ cr1 ed: syahruddin e
Idealnya, seorangulama itu harus
menguasai berbagaidisiplin ilmu.
D R A H M A D L U T F I FAT H U L L A H M A
Kajian hadis di Indonesia masih sangat minim. Akibatnya, hadis-hadis lemah dan palsudengan begitu mudah tersebar luas di Indonesia. Kondisi seperti ini disinyalir karena masihrendahnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan hadis-hadis lemah dan palsu.Selain itu, kondisi tersebut juga diperparah dengan rendahnya kajian hadis di Indonesia.
Bahkan, karya ulama nusantara dalam kajian hadis juga sangat sedikit. Kalau ada yang bagus,karya tersebut merupakan karangan ulama yang lama bermukim di Arab Saudi, seperti At-Termasiyang menulis Syarah Manhaj Dzawi An-Nadhar.
Di samping itu, merebaknya hadis lemah dan palsu juga turut disebarkan oleh para mubalig(penceramah). Bahkan, di kalangan dai, keberadaan hadis lemah sangat dominan, bahkan tak jarangmereka menggunakan hadis-hadis palsu. “Kajian dan pengajaran metode hadis selama ini sifatnyajuga masih normatif, sebatas pada pengertian berikut klasifikasinya saja. Pengajaran hadis di TanahAir jarang menyentuh level penelitian,” tutur Dr Ahmad Lutfi Fathullah MA, direktur eksekutif PusatKajian Hadis Jakarta.
Menurutnya, saat ini yang paling mendesak adalah mengubah metode pengajaran hadis, daripengertian makna pada penelitian kualitas hadis. “Tradisi sanad dalam sebuah hadis tidak hanyamelalui kitab-kitab fadhail (keutamaan), tetapi juga kitab-kitab utama sekaligus,” ujar Lutfi.
Seberapa urgensi kajian hadis itu, bagaimana kualitas hadis yang berkembang di Indonesia, danbagaimana pengkajiannya? Berikut petikan lengkap wawancara Republika dengan dosen hadis dibeberapa perguruan tinggi Islam ini.
Kajian Ilmu Hadis Masih Minim
DAMANHURI ZUHRI/REPUBLIKA