kajian ekonomi dan keuangan regional provinsi jawa barat · iii tabel 1.1 struktur pdrb provinsi...
TRANSCRIPT
MEI 2017
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
PROVINSI JAWA BARAT
MEI 2017
MEI 2017
KATA PENGANTAR
FEBRUARI 2017
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
ridha- Mei 2017
diterbitkan. Buku ini merupakan asesmen terhadap perkembangan ekonomi Jawa Barat terkini
yang berisi mengenai pertumbuhan ekonomi, inflasi, perbankan dan sistem pembayaran, keuangan
daerah, ulasan perkembangan kesejahteraan masyarakat serta mencakup pula prospek
perekonomian ke depan.
Dalam penyusunan buku ini, data dan informasi selain dari internal Bank Indonesia, juga
bersumber dari berbagai instansi terkait, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan dinas-dinas
terkait, BPS Jawa Barat, BULOG Divre III, Kementerian Keuangan c.q. DJP Jawa Barat I, Kanwil
Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat, PLN, berbagai perusahaan, asosiasi dan akademisi.
Sehubungan dengan hal tersebut, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan buku ini.
Akhir kata, kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan ridha-Nya dan menerangi setiap langkah kita.
Bandung, 6 Juni 2017
Kepala Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat
Ttd
Wiwiek Sisto Widayat
Direktur Eksekutif
ii
KATA PENGANTAR ............... i
ii
DAFTAR TABEL iii
iv
... vii
TABEL INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAWA BARA ........... x
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL
1.1 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Triwulan I 2017 2
1.1. Sisi Pengeluaran .. . 6
1.1.1. Konsumsi .... ... 8
1.1.2. Investasi 16
1.2 1.1.3. Ekspor Impor . 21
1.2 Sisi Lapangan Usaha 27
1.2.1 Industri Pengolaha 29
1.2.2 Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil- .......... 33
1.2.3 Pertanian, Kehutanan dan 37
1.1.2.4 Konstruksi ... 39
1.1. Tracking Perkembangan Ekonomi Makro Regional Triwulan II 41
BOKS 1. Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat 46
BAB II KEUANGAN PEMERINTAH
2.1 2.1. ..................................................... 55
2.2. 56
57
2.2.2 Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 .......................................................... 58
2.2.3 Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat ............................................................................................ 61
2.2.4 Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 .................................................................. 62
2.2 2.3. ... 64
2.3 2.4. Belanja APBN di .. 66
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI
Kondisi Umum
3.1 3.1. Perkembangan Inflasi Periode Triwulan I 2017 72
3.1.1 Inflasi Bulanan (mtm) ..... 72
iii
3.1.2 Inflasi Triwulanan (qtq) 77
3.1.3 Inflasi Tahunan (yoy) 79
3.2. Perkembangan Inflasi Menurut Kota 81
3.3. Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi ............................. 83
3.4. Perkembangan Inflasi Triwulan I 2017......................................................................................... 87
3.5. Program Pengendalian Inflasi Daerah 89
91
3.5.2 Tantangan Dalam Pelaksanaan Pengendalian Inflasi 94
BOKS 2 Pengendalian Inflasi Menghadapi Bulan Ramadhan 95
BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM
4.1 4.1. Perkembangan Kinerja Bank Umum 100
4.1.1 Aset dan Aktiva Produktif .. 100
4.1.2 Dana Pihak Ketiga
4.1.3 Kredit dan Risiko Kredit
4.1.3.1 Penyaluran Kredit di Sektor Utama Penopang Perekonomian Jawa Barat
4.1.3.2 Penyaluran Kredit Menurut Kota/Kabupaten di Jawa Barat
4.1.4 Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
4.1.4.1 Penyaluran Kredit UMKM di Jawa Barat
4.1.4.2 Penyaluran Kredit UMKM Menurut Kabupaten/Kota
4.2. Asesmen Sektor Korporasi
4.2.1 Sumber-Sumber Kerentanan Sektor Korporasi
4.2.2 Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
4.2.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
4.3. Asesmen Sektor Rumah Tangga
4.3.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
4.3.2. Kinerja Keuangan Rumah Tangga
4.3.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Rumah Tangga
BOKS 3
100
102
104
106
107
107
108
109
109
110
111
112
112
114
115
117
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
5.1 5.1 Sistem Pembayaran Non Tunai .. ... 122
5.2 5.1.1 Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) 122
iv
5.1.2 Upaya Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
5.1.3
5.1.4 Upaya Pengembangan Layanan Keuangan Non Tunai dan Elektronifikasi
5.2 Pengelolaan Uang Rupiah
5.2.1 Penarikan dan Penyetoran Perbankan
5.2.2 Upaya Penyediaan Uang Layak Edar
5.2.3 Temuan Uang yang Tidak Sesuai Dengan Ciri Keaslian Rupiah
5.2.4 Upaya Menekan Peredaran Uang Palsu
BOKS 4
123
126
128
129
129
130
132
133
135
137
BAB VI KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
6.1 6.1 .... 140
6.2 6.2 145
6.3 6.3 147
BAB VII PROSPEK PEREKONOMIAN
7.1. Prospek Perekonomian .......................... 152
152
154
7.2. Prospek Perekonomian Provinsi Jawa Barat ............................................................................................. 155
7.2.1. Prospek Pertumbuhan Ekonomi ............... ............................................ 155
7.2. Prospek Inflasi ............................................................................................................................. 163
164
TIM PENYUSUN ............................................................................................................................................................ 167
iii
Tabel 1.1 Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) 5
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Pengeluaran (% yoy) . 6
Tabel 1.3 Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran (%) . 6
Tabel 1.4 Struktur Konsumsi Rumah Tangga Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) . 8
Tabel 1.5 Struktur Komponen Investasi Provinsi Jawa Barat (% yoy) . 15
Tabel 1.6 Struktur Ekspor-Impor Provinsi Jawa Barat (%) ................................................ 21
Tabel 1.7 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Jawa Barat (HS 2 Digit) ................................. 24
Tabel 1.8 Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) 27
Tabel 1.9 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (% yoy) ... 27
Tabel 1.10 Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (%) . 28
Tabel 1.11 Perkembangan Industri Mikro dan Kecil 32
Tabel 2.1 Ringkasan Realisasi APDB Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017 .. 49
Tabel 2.2 Anggaran Pendapatan Daerah Perubahan Provinsi Jawa Barat 2016 dan 2017 50
Tabel 2.3 Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan I 2017 52
Tabel 2.4 Anggaran Belanja Daerah Provinsi Perubahan Jawa Barat Tahun 2016 dan 2017 54
Tabel 2.5 Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan I 2017 55
Tabel 2.6 Anggaran Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat 59
Tabel 2.7 Realisasi Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan I 2017 60
Tabel 2.8 Realisasi Komponen Belanja APBN Berdasarkan Fungsi di Provinsi Jawa Barat 61
Tabel 3.1 Perkembangan Andil Investasi Tarif Listrik (%, mtm) . 69
Tabel 3.2 Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi (%, mtm) .. 70
Tabel 3.3 Sumbangan Inflasi &Deflasi Komoditas Penyumbang Utama (%, mtm) 70
Tabel 3.4 Perkembangan Inflasi Triwulanan Jawa Barat Serta Andilnya (%, qtq) 71
Tabel 3.5 Inflasi & Andil Inflasi Tahunan Jawa Barat Menurut Kelompok Barang & Jasa (%, yoy) .......... 73
Tabel 3.6 Sumbangan Inflasi & Deflasi Komoditas Penyumbang Utama (%, yoy) .. 75
Tabel 3.7 Perkembangan Inflasi dan Andil Inflasi Kota Terhadap Inflasi IHK Jawa Barat (%, yoy) 77
Tabel 3.8 Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Administered Prices di Jawa Barat Triwulan I 2017
(%, yoy) .
78
Tabel 3.9 Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Volatile Food di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%,yoy) 79
Tabel 3.10 Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Core Inflation di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%,
81
Tabel 4.1 Dana Rumah Tangga Untuk Membayar Cicilan dan Perubahannya Berdasarkan Tingkat Pengeluaran
115
Tabel 4.2 Dana Rumah Tangga Untuk Menabung dan Perubahannya Berdasarkan Tingkat Pengeluaran/Bulan 115
Tabel 5.1 Sebaran KUPVA-BB di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provisi Jawa Barat 125
Tabel 5.2 Rasio Penetrasi Bank Kabupaten/Kota di Jawa Barat 126
Tabel 5.3 Rasio Ketersediaan Layanan Bank Kabupaten/Kota di Jawa Barat 127
Tabel 6.1 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama (Juta Orang) 141
Tabel 6.2 Jenjang Pendidikan TPK ............. 142
Tabel 6.3 Jumlah Penduduk Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan (Juta Orang) 142
Tabel 6.4 Klasifikasi Penduduk Bekerja (Juta Orang) .. . 143
Tabel 6.5 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha (Juta Orang) 143
Tabel 6.6 Perbandingan Kinerja lapangan Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerjanya 144
Tabel 6.7 Penduduk Bekerja Menurut Status Kegiatan Pekerja (Juta Orang) 144
Tabel 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia 153
Tabel 7.2 Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN 154
Tabel 7.3 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Sisi Permintaan .. 156
Tabel 7.4 Daftar Proyek Infrastruktur Strategis di Jawa Barat 159
Tabel 7.5 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat - Sisi Permintaan ... 162
Tabel 7.6 Upward dan Downward Risk Inflasi Jawa Barat Tahun 2017 163
iv
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 3
Grafik 1.2 Share Perekonomian Provinsi di Jawa Terhadap Nasional (Triwulan I 2016 dam Triwulan I
2017)
3
Grafik 1.3 Andil Pertumbuhan Komponen Utama PDRB Sisi Pengeluaran Triwulan I 2017........................ 4
Grafik 1.4 4
Grafik 1.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyaluran Kredit ....... 5
Grafik 1.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Outflow Uang Kartal ............. 5
Grafik 1.7 Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT .......... 8
Grafik 1.8 10
Grafik 1.9 Indek 10
Grafik 1.10 Penggunaan Pendapatan Rumah Tangga 10
Grafik 1.11 10
Grafik 1.12 Perkembanga 12
Grafik 1.13 Pertumbuhan Harga Properti Per Tipe 12
Grafik 1.14 ............................. 12
Grafik 1.15 Perkembangan Permintaan Domestik...................................................................................... 12
Grafik 1.16 Perkembangan Lalu Lintas Tol Purbaleunyi.... ...................................... 12
Grafik 1.17 Pendaftaran .................. ....................... . 13
Grafik 1.18 Perkembangan NIlai Tukar Petani (Rata- 13
Grafik 1.19 Perkembangan Pendaftaran Ken 13
Grafik 1.20 Konsumsi 13
Grafik 1.21 Perkembangan 14
Grafik 1.22 14
Grafik 1.23 Perkembangan KPR Berdasarkan Kategori dan Timeline Penerapan LTV 14
Grafik 1.24 Perkembangan Suku Bunga Kredit Konsumsi dan Rumah Tangga................................ 14
Grafik 1.25 Realisasi Belanja Operasional-APBN Provinsi ................................ 15
Grafik 1.26 Realisasi Belanja Operasional-APBD Provinsi Jawa Barat .......................................................... 15
Grafik 1.27 Simpanan Pemda di Perbankan 16
Grafik 1.28 .......................................................... 17
Grafik 1.29 Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Berdasarkan Laporan Wajib LKPM...... 17
v
Grafik 1.30 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA ke Sektor Utama di Jawa Barat ................................ 18
Grafik 1.31 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMDN ke Sektor Utama di Jawa Barat.............................. 18
Grafik 1.32 Perkem 18
Grafik 1.33 19
Grafik 1.34 19
Grafik 1.35 ............................ 19
Grafik 1.36 20
Grafik 1.37 . 20
Grafik 1.38 Penjualan Semen Jawa Barat ................................................................................................. 20
Grafik 1.39 Perkembangan Investasi Pelaku Usaha Liaison ...................................................... 21
Grafik 1.40 Perkembangan Kredit Investasi Jawa Barat . .......... ............ 21
Grafik 1.41 .... . 21
Grafik 1.42 Perkembangan Neraca Perdagangan Luar Negeri Jawa 23
Grafik 1.43 Perkembangan Neraca Perdagangan Antar Daerah Jawa Barat .............................................. 23
Grafik 1.44 Keyakinan Konsumen Provinsi Mitra Dagang Jawa Barat.... 23
Grafik 1.45 Perkembang 23
Grafik 1.46 Struktur Komoditas Ekspor Jawa Barat ..................... ............ 24
Grafik 1.47 Pertumbuhan Ekspor Manufaktur Jawa Barat 24
Grafik 1.48 Ekspor Jawa Barat ke Negara/Kawasan Tujuan Utama . 25
Grafik 1.49 Perkembangan PMI Negara Mitra Dagang Utama .. ... .. 25
Grafik 1.50 Perkembangan Nilai Volume Impor Jawa Barat. ... 26
Grafik 1.51 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (USD/IDR) 26
Grafik 1.52 .. 27
Grafik 1.53 Perkembangan Impor Jenis Penggunaan ............................. 27
Grafik 1.54 30
Grafik 1.55 PMI Negara Mitra Dagang Utama............................................................................................ 30
Grafik 1.56 Pangsa Ekspor Manufaktur Jawa Barat.................................................................................... 30
Grafik 1.57 Ekspor Manufaktur Jawa Barat........ ....................... 30
Grafik 1.58 Ekspor CKD Set..................................................................... .................... 31
Grafik 1.59 Ekspor Komponen...................... ............................................. . 31
vi
Grafik 1.60 Produksi Mobil - GAIKINDO.............................. 31
Grafik 1.61 Provinsi MItra Dagang Jabar Berdasarkan Lalu Lintas Transaksi SKNBI ... 32
Grafik 1.62 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Mitra Dagang Jawa Barat.................... 32
Grafik 1.63 Likert Scale Penjualan Domestik............................................................................................... 32
Grafik 1.64 Perkembangan Industri Mikro dan Kecil......................... ... 31
Grafik 1.65 Perkembangan Kredit Industri Pengolahan 33
Grafik 1.66 Perkembangan NPL Industri Pengolahan ........................ . 33
Grafik 1.67 ............................ . ..... 34
Grafik 1.68 Indeks Keyakinan Konsumen 34
Grafik 1.69 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini........................ . ..... 35
Grafik 1.70 35
Grafik 1.71 ..................................................................................... 35
Grafik 1.72 Likert Scale Harga Jual dan Margin ......................................................................................... 36
Grafik 1.73 Likert Scal ........................................................................................... 36
Grafik 1.74 Pendaftaran Kendaraan Bermotor................................................................................................. 36
Grafik 1.75 IMpor Barang Konsumsi.............................................................................................................. 36
Grafik 1.76 Perkembangan Kredit Perdagangan............................................................................................... 37
Grafik 1.77 Perkembangan Kredit Rumah Tangga............................................................................................ 37
Grafik 1.78 Kapasitas Produksi Pertanian - SKDU............................................................................................. 37
Grafik 1.79 Perkembangan Kredit Pertanian.................................................................................................... 37
Grafik 1.80 Perkembangan NPL Kredit........................................................................................................... 38
Grafik 1.81 Likert Scale Penjualan Domestik.................................................................................................... 38
Grafik 1.82 Likert Scale Penggunaan Tenaga Kerja........................................................................................... 38
Grafik 1.83 .................................................................................................... 39
Grafik 1.84 Indeks Realisasi Keg Usaha Konstruksi............................................................................................ 39
Grafik 1.85 Perkembangan Kredit LU Konstruksi.............................................................................................. 40
Grafik 1.86 Perkembangan NPL, Kredit LU Konstruksi....................................................................................... 40
Grafik 1.87 Perkembangan KPR.................................................................................................................... 40
Grafik 1.88 Perkembangan NPL, KPR............................................................................................................. 40
Grafik 1.89 Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Jawa Barat................................................................................. 42
vii
Grafik 1.90 Perkiraan Indeks Tendensi Konsumen Jawa Barat............................................................................. 42
Grafik 1.91 Perkiraan Investasi Dunia Usaha.................................................................................................... 43
Grafik 2.1 Perkembangan APBD Provinsi Jawa Barat .............................................................................. 57
Grafik 2.2 Perkembangan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat ............................... 57
Grafik 2.3 Pangsa Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat ........................................... 58
Grafik 2.4 Pangsa Realisasi Pajak Daerah TW I 2017................................................................................. 59
Grafik 2.5 Proporsi Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat........................................................................ 61
Grafik 2.6 Persentase Realisasi Anggaran Belanja Per Triwulan (%).......................................................... 62
Grafik 2.7 Perkembangan Belanja Operasi dan Modal.............................................................................. 63
Grafik 2.8 Pangsa Realisasi Belanja Operasi (%)....................................................................................... 63
Grafik 2.9 Pertumbuhan Komponen Belanja Operasi................................................................................ 63
Grafik 2.10 Pangsa Anggaran Belanja Kab/Kota 2017 (%)......................................................................... 65
Grafik 2.11 Struktur Belanja APBD Kab/Kota 2016 dan 2017..................................................................... 65
Grafik 2.12 Perkembangan Realisasi Belanja 24 Kab/kota di Jawa Barat Triwulan ............................... 66
Grafik 2.13 Pangsa Realisasi Belanja APBN di Jawa Barat ......................................................................... 67
Grafik 2.14 Perkembangan Belanja APBN di Jawa Barat............................................. 67
Grafik 2.15 67
Grafik 3.1 Inflasi Jawa Barat dan Nasional 70
Grafik 3.2 Inflasi Tahunan Provinsi di Kawasan Jawa . 70
Grafik 3.3 Ringkasan Perkembangan Inflasi Jawa Barat (yoy) .. 71
Grafik 3.4 Rata-Rata I ... 72
Grafik 3.5 Inflasi B .. 72
Grafik 3.6 Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Bulanan (mtm). 74
Grafik 3.7 Perkembangan Konsumsi Listrik (Rp Juta) .. 75
Grafik 3.8 Inflasi Triwulanan Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar . 77
Grafik 3.9 Inflasi Triwulanan Subkelompok Bahan Bakar, Penerangan, dan Air . 77
Grafik 3.10 Inflasi Triwulanan Kelompok Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 78
Grafik 3.11 Inflasi Triwulanan Subkelompok Sarana dan Penunjang Transpor 78
Grafik 3.12 Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Triwulanan (qtq) . 79
Grafik 3.13 Inflasi Tahunan Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar . 79
viii
Grafik 3.14 Inflasi Tahunan Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan ... 79
Grafik 3.15 Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Tahunan (yoy) 80
Grafik 3.16 Inflasi Kota di Jawa Barat Triwulan I 2017 (yoy 82
Grafik 3.17 82
Grafik 3.18 Inflasi Tahunan Kota Inflasi ..... 82
Grafik 3.19 82
Grafik 3.20 Disagregasi Inflasi . 83
Grafik 3.21 .. 83
Grafik 3.22 Perkembangan Tarif Listrik Berdasarkan ................................ 84
Grafik 3.23 Inflasi Administered prices Kelompok Energi dan Non Energi (yoy) ........................................ 84
Grafik 3.24 Perkembangan Inflasi Core Traded dan Non Traded (yoy) .................................................... 86
Grafik 3.25 Disagregasi Inflasi Core Traded . 86
Grafik 3.26 Perkembangan Indeks Harga Properti Residensial 86
Grafik 3.27 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 87
Grafik 3.28 87
Grafik 3.29 Perkembangan Disagregasi Inflasi . 88
Grafik 3.30 Indeks Ekspektasi Harga (IEH) 3 Bulan ... 89
Grafik 4.1
Grafik 4.2
Grafik 4.3
Grafik 4.4
Grafik 4.5
Grafik 4.6
Grafik 4.7
Grafik 4.8
Grafik 4.9
Grafik 4.10
Grafik 4.11
Grafik 4.12
Grafik 4.13
Pertumb ...
Pangsa Aset Perbankan Per Kel
Pertumbuhan DPK dan .
Pertumbuhan
Struktur D .. .
DPK Be .. ..
Perkembangan Kredit Per
Proporsi Kredit Menurut Jenis Penggunaan ..
Perkembangan Suku Bunga
Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha ........
Perkembangan Kredit Menurut Lapangan Usaha .
Perkembangan LDR
NPL, Per Jenis Penggunaan .
100
100
101
101
101
101
102
102
103
103
103
104
104
ix
Grafik 4.14
Grafik 4.15
Grafik 4.16
Grafik 4.17
Grafik 4.18
Grafik 4.19
Grafik 4.20
Grafik 4.21
Grafik 4.22
Grafik 4.23
Grafik 4.24
Grafik 4.25
Grafik 4.26
Grafik 4.27
Grafik 4.28
Grafik 4.29
Grafik 4.30
Grafik 4.31
Grafik 4.32
Grafik 4.33
Grafik 4.34
Grafik 4.35
Grafik 4.36
Grafik 4.37
Grafik 4.38
Grafik 4.39
Grafik 4.40
Grafik 4.41
Grafik 4.42
Grafik 4.43
NPL, Per Lapangan Usaha Penyaluran Kredit .
Proporsi Kredit Sektoral . ..
Kredit Industri Pengolahan
Kredit Sektor Perdagangan .
NPL dan Kredit Industri Pengolahan . ..
NPL dan Kredit .
Sebaran Kredit Kota/Kabupaten .
NPL Kredit per Kota/Kab .............
Perkembangan Kredit UMKM .
NPL Kedit UMKM .
Proporsi Kredit UMKM .
Kredit UMKM Kota/Kabupaten ..
NPL Kredi ...
Perkembangan Ekspor Manufaktur ..
PMI Negara MItra Dagang Utama .
Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT .
Inde .
Perkembangan Kegiatan Usaha ..
Likert Ss .
Like .
Perk
Kredit Koporasi Se .........
..
Persepsi Rumah Tangga Jawa Barat Terhadap Pe .
Ekspektasi Rumah Tangga Jawa Barat Terhadap Kondisi Ekonomi 6 Bulan Mendatang .
Perubahan Penghasilan Saat Ini Diba ...
Ekspektasi Perubahan Harga Oleh Rumah ...
Ekspektasi Perubahan Harga 3 Bulan Mentan ..
Perkembangan Kredit RT ..
NPL Kredit RT ..
104
105
105
105
106
106
106
107
107
107
108
108
108
109
109
110
110
110
111
111
112
112
112
113
113
113
114
114
115
115
x
Grafik 4.44
Grafik 4.45
Grafik 5.1
Grafik 5.2
Grafik 5.3
Grafik 5.4
Grafik 5.5
Grafik 5.6
Grafik 5.7
Grafik 5.8
Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor .
Perkembangan Kredit Kepemilikan Rumah ...
Perkembangan SKNBI Nominal ...
Perkembangan SKNBI-Volume
Spasial Kliring
Provinsi Tujuan Kliring Jawa Barat .
Asal Provinsi Kliring ke Jawa Barat ..
Penarikan dan Penyetoran Perbankan
Pemusna
.
115
115
122
122
122
123
123
130
130
132
Grafik 6.1 Indeks Penggunaan Tenaga Kerja . 140
Grafik 6.2 Indeks Penggunaan Tenaga Kerja . 140
Grafik 6.3 Indeks Kondisi Ketenagakerjaan dan Penghasilan Saat Ini ........ 145
Grafik 6.4 Indeks Ekspektasi Ketenagakerjaan, dan Penghasilan Saat Ini .. 145
Grafik 6.5 NTP Jawa Barat dan Komponen Penyusunnya . 146
Grafik 6.6 NTP Berdasarkan Subsektor di Jawa Barat . 146
Grafik 6.7 Indeks yang Diterima Petani Jawa Barat .... 147
Grafik 6.8 Indeks yang Dibayar Petani Jawa Barat .. . . 147
Grafik 6.9 Nilai Tukar Usaha Petani Jawa Barat 147
Grafik 6.10 Perkembangan Indikator Kesejahteraan Jawa Barat 148
Grafik 6.11 Pertumbuhan Sektor Primer, Sekunder dan Tersier 149
Grafik 6.12 Struktur Perekonomian Berdasarkan Penggunaan ........... 149
Grafik 7.1 Fe 154
Grafik 7.2 Indeks Ekspektasi Konsumen Jawa Barat . 156
Grafik 7.3 Indeks Pengeluaran 3 Bulan Mendatang . 156
Grafik 7.4 Perkembangan Impor Barang Konsumsi . 157
Grafik 7.5 Plotting Pertumbuhan Ekspor LN Jawa Barat d 161
RINGKASAN EKSEKUTIF
vii
LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat mencatatkan
pertumbuhan sebesar 5,24%
(yoy) pada triwulan I 2017,
lebih rendah dibanding
triwulan IV 2016 yang
tumbuh sebesar 5,45% (yoy)
Perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh melambat
dibanding triwulan sebelumnya, yakni dari 5,45% (yoy) pada triwulan
IV 2016 menjadi 5,24% (yoy) pada triwulan I 2017. Namun demikian,
realisasi ini lebih tinggi dibanding rata-rata LPE triwulan I pada kurun waktu
2014-2016 yang tercatat sebesar 4,90%. Hal ini menandakan bahwa
perbaikan kinerja perekonomian Jawa Barat yang berlangsung sejak tahun
2016 masih terus berlanjut. LPE Jawa Barat kembali tercatat lebih tinggi
dari nasional (5,01%).
Dari sisi pengeluaran, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat pada triwulan I 2017 disebabkan oleh melambatnya
pertumbuhan konsumsi pemerintah dan pembentukan modal tetap
bruto (PMTB). Perlambatan ini didorong oleh beberapa faktor antara lain:
(1) efek base year, di mana pada triwulan I 2016 belanja Pemerintah
mengalami akselerasi dalam rangka persiapan penyelenggaraan acara PON
Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-19 dan Pekan Paralimpik Nasional
(Peparnas) ke-15; dan (2) wait and see investor terkait perekonomian
regional khususnya di tengah berlangsungnya Pilkada di sejumlah daerah.
Dari sisi lapangan usaha, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat pada triwulan I 2017 didorong oleh melambatnya laju
pertumbuhan mayoritas lapangan usaha di Jawa Barat khususnya
lapangan usaha utama yakni perdagangan, pertanian dan konstruksi.
Namun demikian, industri pengolahan masih tumbuh cukup kuat. Sejalan
dengan pola historisnya, pada triwulan I 2017 bertepatan dengan
berlalunya libur akhir tahun, lapangan usaha perdagangan mengalami
perlambatan. Lapangan usaha pertanian juga mengalami perlambatan
setelah sebelumnya tumbuh cukup tinggi di triwulan IV 2016. Sementara
itu, lapangan usaha industri pengolahan tumbuh cukup signifikan.
Peningkatan pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan terutama
didorong oleh menguatnya permintaan global.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan akan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan pada triwulan II 2017. Dari sisi
pengeluaran, peningkatan konsumsi rumah tangga diperkirakan menjadi
pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2017,
dipengaruhi oleh faktor seasonal yakni pergeseran momen Ramadhan dan
Lebaran menjadi sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana
pada tahun 2016 sebagian momen Ramadhan serta Lebaran berlangsung
pada awal triwulan III 2016. Selain itu, pada triwulan II 2017 juga
berlangsung sejumlah periode libur panjang. Telah diselesaikannya
perbaikan Jembatan Cisomang yang kembali beroperasi normal pada awal
triwulan II 2017 juga diperkirakan dapat mendorong kegiatan ekonomi
yang lebih efisien dan kondusif.
Sementara dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
triwulan II 2017 diperkirakan didorong oleh pertumbuhan ketiga lapangan
usaha Jawa Barat yakni industri pengolahan, perdagangan besar-eceran
dan reparasi kendaraan serta pertanian, kehutanan dan perikanan.
Menguatnya permintaan ekspor diperkirakan masih berlanjut sedangkan
permintaan domestik juga akan meningkat karena momen Ramadhan dan
Lebaran sehingga mendorong kinerja lapangan usaha industri pengolahan
serta perdagangan.
RINGKASAN EKSEKUTIF
viii
Inflasi Jawa Barat pada
triwulan I 2017 terkendali
walau mencatatkan sedikit
peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Berdasarkan disagregasi
kelompok, peningkatan
tekanan inflasi tahunan ini
disebabkan baik oleh faktor
fundamental pada kelompok
core serta faktor non
fundamental dari kelompok
administered prices. Di sisi
lain, menurunnya tekanan
inflasi pada kelompok
volatile food turut menjaga
level inflasi pada kisaran
4%±1%.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi IHK Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 3,37%
(yoy), meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 2,75% (yoy).
Namun realisasi ini masih lebih rendah dibanding rata-rata historis inflasi
triwulan IV sebesar 5,11% (yoy).
Berdasarkan disagregasi kelompok, tekanan inflasi pada triwulan I
2017 disumbang oleh kelompok core dan administered prices dengan
andil masing-masing sebesar 1,66% (yoy) dan 1,04% (yoy). Sementara
itu, kelompok volatile food memberikan andil inflasi yang lebih rendah
yakni 0,67% (yoy). Dibandingkan triwulan sebelumnya, peningkatan
tekanan inflasi tercermin dari andil inflasi kelompok core dan administered
prices yang meningkat. Sementara itu, andil inflasi kelompok volatile food
yang menurun menjadi faktor penahan tekanan inflasi di triwulan I 2017.
Peningkatan inflasi core dari 2,28% (yoy) menjadi 2,67% (yoy) pada
triwulan I 2017 disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1)
pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 0,76% (qtq) akibat adanya kenaikan
Fed Fund Rate pada tanggal 15 Maret 2017; (2) meningkatnya harga emas
di domestik yang tercermin dari kenaikan harga emas Antam; serta (3)
penyelesaian proyek infrastruktur sebelum momen Lebaran antara lain
seperti Jalan Tol Soroja dan perbaikan Jembatan Cisomang menyebabkan
peningkatan harga semen.
Inflasi kelompok administered prices juga tercatat meningkat tajam yakni
dari -0,0 4% (yoy) menjadi 5,20% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan
ini khususnya terjadi pada sub kelompok energi seiring dengan adanya
kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik pelanggan golongan 900VA
secara bertahap pada tahun 2017. Dari sub kelompok non energi, tekanan
inflasi disumbang oleh kenaikan cukai rokok tahunan yang meningkat pada
bulan Februari 2017. Di sisi lain, inflasi volatile food juga tercatat menurun
tajam yakni dari 7,58% (yoy) menjadi 3,72% (yoy) pada triwulan I 2017.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh mulai berlangsungnya masa panen
untuk komoditas padi di sejumlah sentra di Jawa Barat yang tercermin pada
harga beras di pasar tradisional yang terpantau menurun. Selain itu harga
komoditas cabai yang tinggi dari awal tahun 2017, pada akhir triwulan I
2017 mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya pasokan dari
berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten
Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas.
Inflasi IHK tahunan Jawa Barat pada triwulan II 2017 diperkirakan berada
pada rentang 3,9% - 4,3% (yoy), meningkat dibanding realisasi inflasi
triwulan I 2017 sebesar 3,37% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi ini
terutama didorong oleh kebijakan pemerintah menaikkan tarif administered
prices yaitu kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA tahap 3
pada triwulan II 2017, selain itu juga terdapat momen bulan Ramadhan dan
Lebaran yang terjadi penuh di triwulan II 2017.
RINGKASAN EKSEKUTIF
ix
STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES
KEUANGAN DAN UMKM
Tekanan risiko korporasi
terindikasi menurun sebagai
dampak menguatnya
permintaan ekspor. Risiko di
sisi rumah tangga juga
berada di level aman terlihat
dari konsumsi dan
kemampuan membayar yang
masih cukup solid.
Kinerja pembiayaan perbankan tercatat meningkat diiringi dengan non
performing loan yang stabil. Peningkatan terjadi baik di sisi kredit untuk
korporasi maupun rumah tangga. Di sisi lain, menguatnya permintaan
global mendorong peningkatan kinerja korporasi sedangkan dari sisi rumah
tangga, baik pembiayaan perbankan di sektor rumah tangga maupun
kemampuan membayar (DSR) rumah tangga masih stabil.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN
UANG RUPIAH
Terjadi peningkatan
netinflow karena efek
seasonal awal tahun serta
perlambatan kinerja transaksi
kliring baik volume maupun
nilai karena dampak
perubahan kebijakan kliring
Sementara itu, pada sistem pembayaran tunai, perputaran uang di Jawa
Barat pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, net inflow yang dihasilkan lebih
besar dibandingkan periode triwulan IV 2016 karena adanya efek seasonal
awal tahun (dropping anggaran negara, pembayaran pajak, dsb).
Sedangakn di sisi sistem pembayaran non tunai, baik volume maupun nilai
transaksi kliring mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2016.
Hal ini lebih disebabkan base year effect karena perubahan kebijakan
caping kliring.
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
Melambatnyaa kinerja
perekonomian Jawa Barat
pada triwulan I 2017
berdampak pada
bertambahnya jumlah
pengangguran terbuka pada
triwulan laporan
Melambatnya kinerja perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017
berdampak pada penurunan kondisi ketenagakerjaan pada triwulan
laporan. Tingkat pengangguran terbuka tercatat meningkat menjadi
8,89%. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha, kondisi
ketenagakerjaan di Jawa Barat yang tercermin dari indeks perkembangan
penggunaan tenaga kerja menunjukkan pelemahan dengan penurunan
Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari triwulan IV 2016 sebesar 1,73 menjadi -
2,03 pada triwulan I 2017.
PRAKIRAAN PEREKONOMIAN KE DEPAN
Pada triwulan III 2017,
perekonomian Jawa Barat
diperkirakan tumbuh
melambat dibanding
triwulan II 2017. Namun
untuk keseluruhan tahun
2017, LPE Jawa Barat
diperkirakan meningkat
terbatas dibanding tahun
2016.
Pada triwulan III 2017, perekonomian Jawa Barat diperkirakan tumbuh
meningkat dibanding triwulan I 2017 yakni pada kisaran 5,6% - 6,0%
(yoy). Perlambatan terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga
akibat faktor seasonal yakni bergesernya momen Ramadhan dan Lebaran
menjadi sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana pada
tahun 2016 berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, mulai
berlakunya tarif non subsidi untuk pelanggan listrik 900 VA Rumah Tangga
Mampu per 1 Juli 2017 juga berpotensi menahan daya beli masyarakat.
Pertumbuhan konsumsi Pemerintah juga diperkirakan tertahan pada
triwulan III 2017, disebabkan oleh efek penyelenggaraan PON ke-19 pada
akhir triwulan III 2016 (September 2016).
Untuk keseluruhan tahun 2017, akselerasi pertumbuhan diperkirakan
terjadi pada seluruh komponen PDRB. Konsumsi rumah tangga
diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan upah serta stimulus
baik dari sisi fiskal maupun moneter. Investasi untuk keseluruhan tahun
juga diperkirakan meningkat khususnya dari sisi pemerintah seiring dengan
percepatan penyelesaian berbagai proyek infrastruktur strategis. Dari aspek
eksternal, prospek positif pada kinerja ekonomi mitra dagang utama seperti
Amerika Serikat diperkirakan menjadi faktor pendorong, sejalan dengan
prospek positif dari kerjasama dengan negara-negara di kawasan ASEAN.
RINGKASAN EKSEKUTIF
x
Di sisi lain, tekanan inflasi diperkirakan sedikit meningkat pada tahun
2017 dibanding tahun 2016, namun masih berada dalam kisaran
sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4%±1%. Dampak kenaikan tarif yang
diatur pemerintah (administered prices) serta second round effect-nya perlu
diantisipasi agar tidak menimbulkan gejolak khususnya memasuki periode
Ramadhan dan Lebaran pada triwulan II 2017. Selain itu, potensi
peningkatan harga minyak dunia serta dampaknya kepada harga BBM di
dalam negeri juga perlu diwaspadai.
x
I. EKONOMI MAKRO REGIONAL
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat ( r) Angka Revisi)
Ket : Data IHK menggunakan Tahun Dasar 2012.
2017
Ir)
Ir)
IIr) III IV I
Produk Domestik Regional Bruto (%, yoy) 4.93 5.04 5.20 6.06 5.97 5.45 5.67 5.24
Berdasarkan Permintaan/ Penggunaan Konsumsi Rumah Tangga 5.23 5.07 5.78 5.92 5.90 4.81 5.60 5.03
Konsumsi LNPRT -21.60 -8.13 7.90 5.61 6.11 2.48 5.48 2.07
Konsumsi Pemerintah -0.71 8.10 2.81 10.57 -7.82 9.19 3.76 4.95
PMTB 6.49 4.16 0.79 5.33 4.02 7.98 4.59 3.97
Perubahan Inventori -30.27 -16.51 -8.98 -14.00 23.34 26.84 3.99 1.79
Ekspor 10.38 5.46 0.66 0.46 1.98 9.80 3.34 15.19
Impor 4.35 2.20 -4.11 -3.10 -0.95 12.92 1.66 14.66
Berdasarkan Penawaran/ Lapangan Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 4.59 0.16 -1.51 5.21 11.10 9.39 5.80 5.75
Pertambangan dan Penggalian -8.44 0.41 -0.39 -6.84 0.42 3.04 -0.97 0.95
Industri Pengolahan 4.02 4.39 5.14 5.29 4.64 4.03 4.77 4.75
Pengadaan Listrik, Gas -11.54 -6.80 4.86 -1.79 5.38 4.93 3.37 6.33
Pengadaan Air 9.84 5.88 2.46 5.62 9.43 7.65 6.33 7.84
Konstruksi 6.41 6.43 6.27 7.06 2.70 4.35 5.02 4.08
Perdagangan Besar dan Eceran, dan
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 3.62 3.71 2.48 4.18 5.52 5.42 4.44 5.33
Transportasi dan Pergudangan 10.24 8.90 7.74 6.46 13.18 7.79 8.84 6.06
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 8.24 8.10 9.39 6.59 9.66 11.56 9.31 9.42
Informasi dan Komunikasi 17.96 16.31 16.71 14.43 13.66 12.50 14.27 10.37
Jasa Keuangan 8.88 7.36 10.13 18.40 10.25 9.34 11.89 1.41
Real Estate 7.21 5.46 8.15 7.06 6.60 4.29 6.51 4.50
Jasa Perusahaan 6.44 8.15 7.71 6.61 9.67 8.58 8.16 7.80
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib 0.80 5.53 3.57 17.20 -7.68 0.51 2.98 0.84
Jasa Pendidikan 7.94 10.17 10.69 9.12 5.85 5.18 7.61 8.03
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 14.71 14.14 11.86 7.33 9.52 9.25 9.48 7.73
Jasa lainnya 8.03 8.96 10.88 7.81 9.75 6.67 8.73 8.96
Nilai Ekspor Non Migas (USD juta) 6,132 24,791 5,891 6,500 5,992 6,545 24,927 6,866
Volume Ekspor Non Migas (ribu ton) 1,605 6,661 1,622 1,669 1,568 2,028 6,887 1,660
Nilai Impor Non Migas (USD juta) 2,826 10,928 2,735 2,924 2,587 2,823 11,068 2,646
Volume Impor Non Migas (ribu ton) 468 1,961 521 591 499 525 2,136 568
Jawa Barat 117.33 121.03 121.77 122.49 123.13 124.36 124.36 125.87
Kota Bandung 117.33 121.71 122.42 123.23 123.67 125.28 125.28 126.35
Kota Bekasi 116.79 121.20 120.68 121.13 121.86 123.07 123.07 124.55
Kota Depok 117.80 120.15 121.94 122.89 123.64 124.35 124.35 126.19
Kota Bogor 118.09 121.69 122.98 123.58 124.37 126.07 126.07 128.32
Kota Sukabumi 119.09 121.96 122.62 123.03 123.99 125.09 125.09 126.87
Kota Cirebon 116.00 118.94 119.28 120.10 120.61 121.16 121.16 122.55
Kota Tasikmalaya 116.74 121.10 122.01 123.07 123.44 124.43 124.43 125.73
Jawa Barat 5.46 2.73 3.78 3.22 2.54 2.75 2.73 3.37
Kota Bandung 6.26 3.93 4.34 3.54 2.54 2.93 3.93 3.21
Kota Bekasi 5.04 2.22 3.33 2.75 2.09 2.47 2.22 3.21
Kota Depok 5.09 1.87 3.51 3.49 2.90 2.60 1.87 3.49
Kota Bogor 5.03 2.70 4.14 3.02 2.53 3.60 2.70 4.34
Kota Sukabumi 6.09 2.20 2.96 2.70 2.52 2.57 2.20 3.47
Kota Cirebon 4.52 1.56 2.83 2.12 1.95 1.87 1.56 2.74
Kota Tasikmalaya 5.90 3.53 4.51 4.14 3.62 2.75 3.53 3.05
Ekspor
Impor
Indeks Harga Konsumen (IHK)
Laju Inflasi Tahunan (%, yoy)
2015INDIKATOR 2015
20162016
xi
2017
I I II III IV I
Total Aset 435.18 472.30 478.61 496.02 500.71 517.14 517.14 522.21
Dana Pihak Ketiga (DPK) - Lokasi Bank Pelapor* 314.06 343.94 346.71 358.29 360.02 370.65 370.65 373.56
Kredit - Lokasi Bank Pelapor 279.83 306.13 308.24 322.24 325.53 335.19 335.19 335.91
Kredit - Lokasi Proyek 454.75 489.93 486.83 506.80 510.52 521.54 521.54 522.92
Loan to Deposit Ratio (LDR) (%) 89.10 89.01 88.91 89.94 90.42 90.44 90.44 89.92
Total Aset 32.49 36.78 36.90 38.32 39.27 41.84 41.84 42.11
Dana Pihak Ketiga (DPK) - Lokasi Bank Pelapor 22.78 26.40 26.14 27.37 28.32 29.56 29.56 29.86
Pembiayaan - Lokasi Bank Pelapor 26.03 28.40 28.38 28.76 29.53 30.30 30.30 30.76
Pembiayaan - Lokasi Proyek 34.12 36.38 36.17 39.39 40.49 42.09 42.09 44.03
Financing to Deposit Ratio (FDR) 114.27 107.60 108.57 105.08 104.27 102.48 102.48 103.00
Total Aset 467.67 509.07 515.52 534.34 539.98 558.98 558.98 564.32
Dana Pihak Ketiga (DPK) - Lokasi Bank Pelapor 336.83 370.33 372.85 385.66 388.35 400.21 400.21 403.42
Giro 63.86 64.17 74.77 72.83 76.43 71.50 71.50 74.42
Tabungan 132.06 155.41 148.82 162.59 161.42 174.21 174.21 168.12
Deposito 140.91 150.75 149.26 150.24 150.50 154.50 154.50 160.88
Kredit/Pembiayaan - Lokasi Bank Pelapor 305.86 334.54 336.62 351.00 355.06 365.49 365.49 366.67
Kredit/Pembiayaan - Lokasi Proyek** 488.87 526.31 523.01 546.19 551.01 563.63 563.63 566.94
Modal Kerja 200.74 213.97 206.52 215.90 215.91 219.90 219.90 216.61
Investasi 102.34 107.18 106.56 111.69 110.22 110.67 110.67 111.79
Konsumsi 185.78 205.15 209.93 218.59 224.87 233.06 233.06 238.55
Kredit UMKM - Lokasi Proyek 95.23 100.54 100.50 107.86 109.88 113.12 113.12 123.93
Loan to Deposit Ratio (LDR) (%) 90.80 90.33 90.28 91.01 91.43 91.33 91.33 90.89
Rasio Non Performing Loan (NPL) Gross 2.73 2.45 2.81 3.51 3.57 3.24 3.24 3.26
Bank Umum Konvensional
Bank Umum Syariah
Total Bank Umum
INDIKATOR
(dalam Rp Triliun kecuali dinyatakan lain)
20152015 2016
2016
2017
I I II III IV I
Inflow (Rp Triliun) 20.33 81.30 22.30 17.36 29.46 18.92 88.04 21.55
Outflow (Rp Triliun) 6.58 47.06 7.00 21.57 8.47 12.36 49.40 8.34
Netflow (Rp Triliun) 13.75 34.24 15.30 -4.22 20.99 6.56 38.63 13.22
Nominal (Rp Triliun) 43.96 207.01 81.51 89.51 97.22 76.36 341.19 78.11
Volume 1.30 5.77 2.15 2.30 2.01 2.18 8.64 2.02
INDIKATOR
Transaksi Tunai
Transaksi Non Tunai (Kliring)
20152015 2016
2016
II. PERBANKAN
Sumber: Bank Indonesia
* Lokasi bank pelapor : pencatatan berdasarkan transaksi perbankan (baik penghimpunan dana maupun penyaluran kredit) yang dilakukan
oleh bank-bank yang berkantor di Jawa Barat
* Lokasi proyek : pencatatan berdasarkan realisasi kredit yang disalurkan di wilayah Jawa Barat (tidak terbatas kepada penyaluran oleh
bank yang berkantor di Jawa Barat
III. SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
Sumber: Bank Indonesia
BAB I
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
2
MEI 2017
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Triwulan I 2017
Perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh melambat dibanding triwulan IV 2016. Laju
pertumbuhan ekonomi (LPE) Jawa Barat melambat dari 5,45% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 5,24%
(yoy) pada triwulan I 2017. Namun demikian, realisasi ini lebih tinggi dibanding rata-rata LPE triwulan I pada
kurun waktu 2014-2016 yang tercatat sebesar 4,90%. Hal ini menandakan bahwa perbaikan kinerja
perekonomian Jawa Barat yang berlangsung sejak tahun 2016 masih terus berlanjut.
Perkembangan LPE Jawa Barat ini berbeda dengan kawasan Jawa yang pada triwulan I 2017 tumbuh
meningkat menjadi 5,66% (yoy). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi kawasan Jawa terutama ditopang
oleh peningkatan pertumbuhan DKI Jakarta dan Banten (Gambar 1.1). Tingginya realisasi pertumbuhan DKI
Jakarta antara lain didorong oleh berlangsungnya Pemilihan Gubernur yang berlangsung dua putaran
dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, serta meningkatnya laju pertumbuhan investasi.
Sumber : BPS Indonesia dan Provinsi
Gambar 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa (%, yoy)
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 kembali tercatat mengungguli
perekonomian Nasional yang tumbuh sebesar 5,01% (Grafik 1.1). Pada triwulan I 2017, Jawa Barat masih
menjadi salah satu penopang utama perekonomian nasional dengan pangsanya yang mencapai 13,18%,
tertinggi ketiga setelah DKI Jakarta (17,79%) dan Jawa Timur (14,88%). Adapun sumbangan PDRB Jawa
Barat terhadap nasional ini mengalami penurunan dibanding triwulan I 2016 (13,48%), demikian halnya
dengan Jawa Timur. Menurunnya pangsa PDRB Jawa Barat terhadap nasional disebabkan terutama oleh
menurunnya laju pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan I 2017 dibanding triwulan I 2016. Secara
umum, relatif besarnya kontribusi Jawa Barat terhadap perekonomian nasional disebabkan karena Jawa
Barat merupakan kontributor sektor industri pengolahan terbesar terhadap nasional dengan pangsa
mencapai 27,5%.
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
3
MEI 2017
Sumber: BPS, Tahun Dasar 2010 (diolah)
Sumber: BPS, Tahun Dasar 2010 (diolah)
Dari sisi pengeluaran, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017
disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan pembentukan modal tetap
bruto (PMTB). Perlambatan laju pertumbuhan konsumsi pemerintah dibanding triwulan sebelumnya
terutama disebabkan oleh efek base year, di mana pada triwulan I 2016 belanja Pemerintah mengalami
akselerasi dalam rangka persiapan penyelenggaraan acara PON ke-19 dan Peparnas ke-15 di Jawa Barat.
Sebagaimana diketahui, mayoritas dana yang digunakan untuk acara PON dan Peparnas bersumber dari
APBD Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya, perlambatan laju pertumbuhan PMTB/investasi
khususnya terjadi investasi yang bersifat non bangunan yang tercermin melalui melambatnya impor barang
modal setelah sebelumnya terus mengalami ekspansi sepanjang tahun 2016. Mulai beroperasinya pabrik
otomotif baru serta optimalisasi pemanfaatan barang modal yang telah diimpor sebelumnya pada tahun
2016 diperkirakan menjadi faktor yang melatarbelakangi perkembangan ini.
Namun demikian, perlambatan yang lebih dalam ditahan oleh masih meningkatnya laju pertumbuhan
komponen konsumsi rumah tangga serta net ekspor luar negeri. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi
rumah tangga di tengah tantangan berupa kenaikan sejumlah tarif yang diatur Pemerintah di awal tahun
(TTL 900 VA, bensin, biaya STNK, dan cukai rokok) menunjukkan resiliensi daya beli rumah tangga Jawa
Barat serta optimisme konsumen yang masih terjaga. Adapun kenaikan laju pertumbuhan net ekspor luar
negeri didorong oleh ekspor luar negeri yang pada triwulan I 2017 mencapai titik pertumbuhan tertinggi
sejak triwulan IV 2014. Hal ini sejalan dengan membaiknya perekonomian global, khususnya
negara/kawasan mitra dagang utama Jawa Barat yakni Amerika Serikat, ASEAN, dan Eropa. Berdasarkan
jenis barangnya, peningkatan tertinggi terjadi pada pertumbuhan ekspor otomotif khususnya ke Filipina
dan beberapa negara di kawasan ASEAN lainnya.
Dari sisi lapangan usaha (LU), perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I
2017 didorong oleh melambatnya laju pertumbuhan mayoritas lapangan usaha di Jawa Barat
khususnya LU utama yakni Perdagangan, Pertanian dan Konstruksi. Namun demikian, Industri
Pengolahan masih tumbuh cukup kuat. Sejalan dengan pola historisnya, pada triwulan I 2017 bertepatan
dengan berlalunya libur akhir tahun serta adanya tekanan daya beli dari kenaikan harga-harga yang diatur
pemerintah, LU Perdagangan tumbuh 5,33%, melambat dari triwulan IV 2016 sebesar 5,42% (yoy).
Perlambatan LU Perdagangan terkonfirmasi dari melambatnya pertumbuhan indeks penjualan riil di Jawa
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Jabar & Nasional
Grafik 1.2 Share Perekonomian Provinsi di Jawa Terhadap
Nasional (Triwulan I 2016 & Triwulan I 2017)
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
4
MEI 2017
Barat dari 14,77% menjadi 2,59% (yoy). Sementara itu, LU Pertanian tumbuh 5,75%, melambat dari
triwulan sebelumnya sebesar 9,39%. Petani Jawa Barat yang menerapkan panen tidak serentak diindikasi
menyebabkan pertumbuhan pertanian di triwulan ini tidak setinggi perkiraan sebagaimana pola panen raya
dua triwulan sekali. Namun demikian, panen gadu lanjutan pada triwulan II 2017 diharapkan menjaga
kinerja lapangan usaha pertanian sepanjang tahun 2017. Sejalan dengan hal tersebut, dikarenakan belum
masifnya proses pembangunan proyek infrastruktur pemerintah yang sebagian masih menyelesaikan tahap
lelang, LU Konstruksi juga menunjukkan perlambatan dari 4,35% menjadi 4,08% di triwulan I 2017.
Namun demikian, lapangan usaha industri pengolahan tumbuh cukup signifikan dari 4,03% menjadi
4,75% (yoy). Peningkatan pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan terutama didorong oleh
menguatnya permintaan ekspor dan mulai berakhirnya konsolidasi korporasi. Hal ini terkonfirmasi dengan
meningkatnya pertumbuhan ekspor produk manufaktur Jawa Barat dari 5,3% menjadi 16,7%. Kenaikan
ekspor terjadi pada mayoritas produk dengan kenaikan paling tinggi pada ekspor produk otomotif.
Pada triwulan I 2017, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dari sisi pengeluaran masih ditopang oleh
komponen utamanya yakni konsumsi rumah tangga dengan andil mencapai 3,21% (Grafik 1.3).
Selanjutnya, net ekspor luar negeri memberikan andil terbesar kedua yakni mencapai 1,38% seiring dengan
peningkatan laju pertumbuhan ekspor luar negeri yang lebih besar dibanding impor luar negeri. PMTB yang
memberikan pangsa terbesar kedua pada struktur PDRB Jawa Barat memberikan andil terbesar ketiga
(0,94%) akibat adanya perlambatan pada investasi khususnya yang bersifat non bangunan. Tingginya
impor komoditas sebagai bahan baku industri Jawa Barat menyebabkan neraca perdagangan antar daerah
kembali defisit.
Sejalan dengan sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dari sisi lapangan usaha juga
masih ditopang lapangan usaha utama yakni industri pengolahan yang memberikan andil mencapai
2,06% (Grafik 1.4). Selanjutnya, lapangan usaha (LU) perdagangan yang merupakan LU terbesar kedua
di Jawa Barat juga memberikan andil pertumbuhan terbesar kedua (0,81%). Masih tingginya andil LU
perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga yang juga masih mengalami peningkatan. Selanjutnya, LU pertanian memberikan andil terbesar
ketiga (0,45%) dan LU informasi & komunikasi memberikan andil terbesar keempat (0,39%).
Sumber: BPS (diolah)
Sumber: BPS (diolah)
Grafik 1.3 Andil Pertumbuhan Komponen Utama PDRB Sisi
Pengeluaran Triwulan I 2017
Grafik 1.4 Andil Pertumbuhan Komponen Utama PDRB Sisi
Lapangan Usaha Triwulan I 2017
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
5
MEI 2017
Dari aspek intermediasi perbankan, di tengah perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada
triwulan I 2017, pertumbuhan penyaluran kredit kembali mengalami peningkatan, yakni dari 7,09% (yoy)
pada triwulan IV 2016 menjadi 8,40% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.5). Mulai meningkatnya
penyaluran kredit ini setelah sebelumnya perbankan melakukan konsolidasi di tahun 2016 menghadapi
peningkatan risiko kredit dan mengacu kepada tingkat NPL pada triwulan I 2017 yang masih relatif stabil
dibanding triwulan IV 2016. Selain itu, pelonggaran kebijakan moneter oleh Bank Indonesia baik melalui
penetapan suku bunga kebijakan yang akomodatif serta pelonggaran ketentuan LTV turut berperan dalam
mendorong peningkatan intermediasi perbankan. Seiring dengan berlangsungnya sejumlah periode libur
panjang yang lebih banyak dibanding triwulan I 2016, pertumbuhan outflow uang kartal di Jawa Barat
mengalami peningkatan pada triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya (Grafik 1.6).
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan II 2017.
Hal ini ditopang oleh optimisme konsumen Jawa Barat yang masih terjaga dan terus meningkat tercermin
dari Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang meningkat dari 138,53 menjadi 139,90 pada triwulan II 2017.
Berdasarkan komponen penyusunnya, peningkatan ekspektasi tersebut terutama didorong oleh
meningkatnya indeks ekspektasi penghasilan serta indeks kegiatan usaha. Hal ini juga sejalan dengan survei
BPS yang memperkirakan Indeks Tendeksi Konsumen (ITK) Jawa Barat pada triwulan II 2017 sebesar 116,50,
meningkat cukup signifikan dibanding triwulan I 2017 sebesar 104,50. Meningkatnya perkiraan ITK di
triwulan II 2017 ini terutama didorong oleh peningkatan perkiraan pendapatan rumah tangga mendatang
yakni menjadi 123,01 dari realisasi pada triwulan I 2017 sebesar 104,30.
Secara umum, perkiraan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2017 terutama
dipengaruhi oleh faktor seasonal yakni pergeseran momen Ramadhan dan Lebaran menjadi
sepenuhnya berlangsung pada triwulan II 2017, di mana pada tahun 2016 sebagian momen Ramadhan
serta Lebaran berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, meningkatnya perkiraan penghasilan
didorong oleh kembali diberikannya gaji ke-13 bagi PNS serta pemberian THR kepada pegawai secara
umum dengan nilai yang diperkirakan meningkat dibanding tahun 2016. Selain itu, selama triwulan II juga
terdapat serangkaian periode libur panjang dengan rincian 2 kali di bulan April, tiga kali di bulan Mei, dan
dua kali di bulan Juli. Untuk satu kali periode libur panjang dapat berdurasi tiga hingga empat hari.
Mengingat Jawa Barat (khususnya Kota Bandung dan Kota Bogor) merupakan wilayah tujuan wisata utama
masyarakat ibukota pada momen-momen liburan, hal ini juga berpotensi mendorong pertumbuhan
konsumsi serta perdagangan yang lebih tinggi di Jawa Barat pada triwulan II 2017. Berlanjutnya transmisi
Grafik 1.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyaluran Kredit
Grafik 1.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Outflow Uang Kartal
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
6
MEI 2017
suku bunga kebijakan yang akomodatif terhadap suku bunga pinjaman di daerah serta pelonggaran LTV
juga diharapkan dapat menjadi faktor pendorong belanja konsumsi masyarakat, kegiatan usaha serta
investasi pelaku usaha.
Dari sisi investasi, masih berlangsungnya pembangunan proyek infrastruktur strategis pemerintah hingga
triwulan II 2017 diharapkan menjadi faktor pendorong kegiatan investasi bersifat bangunan. Sebagaimana
diketahui, pembangunan infrastruktur strategis di Jawa Barat antara lain meliputi : Tol Soreang Pasir Koja
(Soroja), Tol Cileunyi Sumedang Dawuan (Cisumdawu), Tol Cimanggis Cibitung, Bogor Outer Ring Road,
Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi), Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR), Kereta Cepat Jakarta-Bandung,
LRT Terintegrasi Jabodebek, serta Bandara Internasional Kertajati.
Dari sisi lapangan usaha, momen Ramadhan dan Lebaran diperkirakan juga menjadi pendorong utama
pertumbuhan berbagai lapangan usaha utama di Jawa Barat yakni Industri Pengolahan dan Perdagangan
Besar-Eceran serta Reparasi Kendaraan. Selain itu, menguatnya permintaan global yang tercermin dengan
meningkatnya permintaan ekspor berbagai produk manufaktur Jawa Barat khususnya otomotif
diperkirakan masih menjadi pendorong utama peningkatan kinerja Lapangan Usaha Industri Pengolahan.
Lapangan Usaha Konstruksi juga diperkirakan meningkat sejalan dengan mulai berjalannya proyek
pemerintah yang pada triwulan ini masih dalam tahap lelang. Selain itu beberapa proyek multi years yang
ditargetkan selesai pada tahun 2017 diperkirakan juga menjadi pendorong kinerja lapangan usaha ini.
Namun demikian, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan diperkirakan melambat pada
triwulan II 2016 karena mulai masuknya masa tanam di sebagian besar wilayah Jawa Barat.
1.1. Sisi Pengeluaran
Dari sisi pengeluaran, perlambatan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 dibanding triwulan
sebelumnya disebabkan oleh melambatnya laju pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto
(PMTB)/investasi dan konsumsi pemerintah. Melambatnya laju pertumbuhan investasi khususnya
bersumber dari investasi yang bersifat non bangunan antara lain seperti impor barang modal. Sementara
itu, melambatnya laju pertumbuhan konsumsi pemerintah selain disebabkan oleh kecenderungan belanja
Pemerintah yang semakin besar menjelang akhir tahun, juga disebabkan karena pada triwulan I 2016
belanja Pemerintah didorong oleh adanya belanja hibah dalam rangka persiapan PON.
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
7
MEI 2017
Tabel 1. 1. Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran Atas Dasar
Harga Berlaku (ADHB)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Pada struktur perekonomian Jawa Barat, konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama
perekonomian Jawa Barat, dengan pangsa mencapai 66,76% terhadap PDRB Jawa Barat pada triwulan I
2017 (Tabel 1.1). Secara umum, pangsa konsumsi rumah tangga terus mengalami peningkatan sejak tahun
2015, di mana hal ini menjelaskan resiliensi perekonomian Jawa Barat serta ekspansi pertumbuhan pada
tahun 2016 yang mampu mengungguli mayoritas provinsi lainnya di Pulau Jawa. Pada posisi kedua, PMTB
atau investasi memberikan pangsa sebesar 23,87%, menurun dibandingkan pangsa pada triwulan
sebelumnya, di mana hal ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan investasi pada triwulan I 2017.
Pangsa investasi pada triwulan ini juga tercatat lebih rendah dibanding historis tahun 2014 dan 2015.
Perkembangan yang positif tercermin pada pangsa net ekspor total yang membaik dari -6,38% pada
triwulan IV 2016 menjadi -0,13% pada triwulan I 2017. Hal ini ditopang oleh meningkatnya sumbangan
baik pada net ekspor luar negeri (dari 10,69% menjadi 10,96%) maupun net ekspor antar daerah (dari -
17,07% menjadi -11,10%). Hal ini turut mengindikasikan perbaikan baik pada permintaan domestik
maupun ekspor terhadap output dari Jawa Barat, yang terutama dipengaruhi oleh membaiknya
perekonomian dan harga komoditas global.
Tabel 1. 2. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Pengeluaran (% yoy)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Konsumsi Rumah Tangga 63.58 64.51 66.16 64.66 64.94 66.51 65.56 66.76Konsumsi LNPRT 0.66 0.58 0.59 0.57 0.57 0.58 0.58 0.58Konsumsi Pemerintah 5.86 6.45 4.81 6.21 5.96 8.52 6.40 4.84PMTB 24.97 25.12 24.09 24.77 24.49 26.39 24.95 23.87Perubahan Inventori 5.61 5.02 4.96 4.15 4.06 4.38 4.38 4.07Ekspor 36.39 36.71 35.11 34.54 36.64 41.06 36.88 39.28Impor 37.07 38.39 35.73 34.90 36.66 47.44 38.74 39.41PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Komponen Penggunaan 2014r) 2015* 2016** 2016**
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Konsumsi Rumah Tangga 3.95 5.07 5.78 5.92 5.90 4.81 5.60 5.03Konsumsi LNPRT 3.49 -8.13 7.90 5.61 6.11 2.48 5.48 2.07Konsumsi Pemerintah 3.64 8.10 2.81 10.57 -7.82 9.19 3.76 4.95PMTB 7.11 4.16 0.79 5.33 4.02 7.98 4.59 3.97Perubahan Inventori -2.15 -16.51 -8.98 -14.00 23.34 26.84 3.99 1.79Ekspor 5.64 5.46 0.66 0.46 1.98 9.80 3.34 15.19Impor 3.68 2.20 -4.11 -3.10 -0.95 12.92 1.66 14.66PDRB 5.09 5.04 5.20 6.06 5.97 5.45 5.67 5.24
2014r)Komponen Penggunaan 2016**2015* 2016**
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
8
MEI 2017
Tabel 1. 3. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pengeluaran (%)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Di tengah melambatnya laju pertumbuhan PMTB/investasi dan konsumsi pemerintah, pertumbuhan
komponen pengeluarannya yakni konsumsi rumah tangga dan ekspor tercatat mengalami peningkatan
(Tabel 1.2). Berdasarkan sub komponennya, peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga
terutama terjadi pada konsumsi yang berbasis jasa serta kebutuhan sekunder (kesehatan & pendidikan,
transportasi & komunikasi, perumahan, serta restoran & hotel). Hal ini merupakan sinyal positif bahwa di
tengah tantangan meningkatnya sejumlah tarif di awal tahun yang berpotensi menggerus daya beli
masyarakat, optimisme serta ekspansi konsumsi masyarakat terus meningkat bahkan untuk kebutuhan-
kebutuhan yang tidak lagi bersifat primer semata. Sejalan dengan perkembangan ini, andil pertumbuhan
konsumsi rumah tangga (3,21%) menempati posisi pertama dan meningkat dibanding triwulan
sebelumnya (Tabel 1.3). Pada posisi kedua, andil pertumbuhan terbesar diberikan oleh PMTB yakni sebesar
0,94%, walaupun andil tersebut menurun dibanding triwulan sebelumnya seiring dengan melambatnya
laju pertumbuhan investasi.
Sejalan dengan perubahan struktur yang telah dijelaskan sebelumnya, net ekspor memberikan andil
terbesar ketiga pada triwulan I 2017 yakni mencapai 0,80%. Andil net ekspor meningkat cukup signifikan
jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang bahkan mendorong deselerasi dengan andil sebesar
-1,05%. Meningkatnya kondisi perekonomian serta permintaan baik dari domestik maupun ekspor menjadi
faktor pendorong meningkatnya andil positif dari net ekspor. Perbaikan ekonomi global serta meningkatnya
harga komoditas selain berpengaruh kepada meningkatnya permintaan ekspor luar negeri, juga
berpengaruh kepada meningkatnya permintaan ekspor antar daerah seiring dengan meningkatnya
pendapatan dari daerah-daerah mitra dagang yang perekonomiannya berbasis SDA (Sumatera dan
Kalimantan).
1.1.1. Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 5,03% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,81% (yoy). Berdasarkan
struktur komponen penyusunnya, konsumsi rumah tangga di Jawa Barat didominasi oleh konsumsi
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Konsumsi Rumah Tangga 2.51 3.19 3.66 3.69 3.68 3.07 3.52 3.21Konsumsi LNPRT 0.02 -0.05 0.05 0.03 0.04 0.01 0.03 0.01Konsumsi Pemerintah 0.20 0.43 0.12 0.52 -0.45 0.63 0.21 0.21PMTB 1.74 1.04 0.20 1.31 0.99 2.02 1.14 0.94Perubahan Inventori -0.10 -0.74 -0.35 -0.61 0.73 0.77 0.14 0.06Ekspor 1.95 1.90 0.23 0.16 0.69 3.55 1.17 5.02Dikurangi Impor 1.24 0.73 -1.30 -0.96 -0.30 4.59 0.54 4.21PDRB 5.09 5.04 5.20 6.06 5.97 5.45 5.67 5.24
Komponen Penggunaan 2014r) 2015* 2016** 2016**
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
9
MEI 2017
makanan dan minuman selain restoran dengan pangsa sebesar 41,77% dan diikuti oleh transportasi dan
komunikasi (26,01%) serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga (11,54%) (Tabel 1.4). Khususnya
pangsa konsumsi makanan dan minuman tercatat menurun dibanding triwulan sebelumnya, diimbangi
dengan meningkatnya pangsa konsumsi yang bersifat jasa seperti transportasi dan komunikasi serta
perumahan dan perlengkapan rumah tangga.
Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga terutama disebabkan oleh meningkatnya
pertumbuhan konsumsi kelompok transportasi dan komunikasi (dari 4,82% menjadi 5,29%) serta
kelompok perumahan dan perlengkapan rumah tangga (dari 0,13% menjadi 0,84%) (Grafik 1.7). Pada
kelompok transportasi dan komunikasi, hal ini turut dipengaruhi oleh berlangsungnya beberapa periode
libur panjang selama triwulan I 2017 yang meningkatkan kegiatan wisata serta transportasi pendukungnya
ke daerah-daerah tujuan wisata warga ibukota yang mayoritas tersebar di Jawa Barat. Sementara
peningkatan pada pertumbuhan kelompok perumahan dan perlengkapan rumah tangga diperkirakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain berlanjutnya transmisi pelonggaran LTV serta nilai tukar rupiah
yang stabil di mana beberapa jenis peralatan rumah tangga khususnya elektronik mayoritas diperoleh
melalui impor.
Tabel 1. 4. Struktur Konsumsi Rumah Tangga Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Peningkatan pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercermin dari peningkatan keyakinan konsumen
Jawa Barat pada triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya. Berdasarkan Survei Konsumen (SK) Bank
Indonesia, meningkatnya optimisme konsumen terjadi dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen
(121,18 pada triwulan IV 2016 menjadi 121,66 pada triwulan I 2017) serta Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
(dari 102,45 menjadi 106,29) (Grafik 1.8). Adapun peningkatan keyakinan konsumen terhadap kondisi
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Makanan dan Minuman, Selain Restoran 38.96 39.40 40.51 41.24 41.52 42.01 41.33 41.77Pakaian dan Alas Kaki 4.11 4.19 4.10 4.14 4.11 4.08 4.11 4.04Perumahan dan Perlengkapan Rumah Tangga 11.86 12.11 12.11 11.77 11.61 11.49 11.74 11.54Kesehatan dan Pendidikan 5.95 5.78 5.66 5.56 5.59 5.54 5.59 5.57Transportasi dan Komunikasi 26.82 26.80 26.33 26.19 26.09 25.83 26.11 26.01Restoran dan Hotel 6.49 6.02 5.86 5.73 5.72 5.67 5.74 5.69Lainnya 5.81 5.71 5.43 5.36 5.35 5.38 5.38 5.37Konsumsi Rumah Tangga 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Komponen Konsumsi Rumah Tangga 2015* 2016**2014r) 2016**
Grafik 1.7 Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
10
MEI 2017
ekonomi saat didorong oleh peningkatan indeks dari seluruh komponen penyusunnya, terutama indeks
konsumsi barang kebutuhan tahan lama dan indeks penghasilan saat ini (Grafik 1.9). Meningkatnya indeks
penghasilan saat ini diperkirakan sejalan dengan meningkatnya kegiatan usaha khususnya yang terkait
dengan pemenuhan permintaan ekspor baik luar negeri maupun antar daerah.
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Selain itu, Survei Konsumen juga menunjukkan adanya peningkatan pada pangsa pengeluaran untuk
konsumsi dari total pendapatan masyarakat (Marginal Propensity to Consume) dari 64,6% menjadi 64,7%
(Grafik 1.10). Peningkatan tendensi konsumsi ini diiringi dengan menurunnya pangsa pendapatan yang
dialokasikan untuk tabungan (Marginal Propensity to Saving) yakni dari 22,9% menjadi 16,4%. Sejalan
dengan masih melambatnya konsumsi untuk kelompok makanan dan minuman, Survei Penjualan Eceran
(SPE) Bank Indonesia juga menunjukkan adanya penurunan pada pertumbuhan Indeks Penjualan Riil (IPR)
kelompok makanan & minuman dari 12,99% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -0,07% (yoy) pada
triwulan I 2017 (Grafik 1.11).
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Mulai pulihnya kegiatan konsumsi masyarakat di Jawa Barat juga tercermin dari pertumbuhan Indeks Harga
Properti Residensial (IHPR) yang secara triwulanan mengalami peningkatan dari 0,81% (qtq) pada triwulan
IV 2016 menjadi 1,77% (qtq) pada triwulan I 2017. Walau demikian, secara tahunan IHPR masih tumbuh
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik 1.12). Berdasarkan tipe rumahnya, perlambatan IHPR
secara tahunan terutama terjadi pada rumah tipe kecil dan besar, sementara indeks harga rumah tipe
menengah masih konsisten tumbuh meningkat secara bertahap (Grafik 1.13).
Grafik 1.10 Penggunaan Pendapatan Rumah Tangga Grafik 1.11 Perkembangan Indeks Penjualan Eceran Riil
(IPR)
Grafik 1.8 Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 1.9 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Grafik Error! No text of specified style in document. 1.
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
11
MEI 2017
Sumber: Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia
Sumber: Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, masih meningkatnya laju pertumbuhan konsumsi rumah
tangga antara lain didukung oleh meningkatnya penghasilan saat ini (Survei Konsumen Bank
Indonesia). Dari sisi dunia usaha, hal ini dikonfirmasi oleh Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada indeks kegiatan dunia usaha. Indeks kegiatan
dunia usaha meningkat dari 7,24% SBT menjadi 22,10% SBT pada triwulan I 2017 (Grafik 1.14).
Berdasarkan lapangan usaha, peningkatan ini khususnya terjadi pada lapangan usaha industri pengolahan
(dari 2,83% SBT menjadi 9,63% SBT) dan pertanian (dari -1,90% SBT menjadi 2,12% SBT). Peningkatan
pada kegiatan usaha industri pengolahan sejalan dengan pertumbuhan yang cukup signifikan pada ekspor
luar negeri serta peningkatan permintaan ekspor antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut, wawancara
liaison yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI Provinsi Jawa Barat kepada 45 (empat puluh lima)
perusahaan di Jawa Barat secara umum menyampaikan bahwa penjualan domestik tumbuh terbatas
dibandingkan triwulan sebelumnya, tercermin dari likert scale permintaan domestik yang meningkat dari
0,69 pada triwulan IV 2016 menjadi 0,70 pada triwulan I 2017 (Grafik 1.20). Sejalan dengan hasil survei
SKDU, peningkatan permintaan domestik terjadi pada contact di lapangan usaha industri pengolahan (LS
meningkat dari 0,65 menjadi 0,81) dan lapangan usaha pertanian (LS meningkat dari 0,33 menjadi 0,89).
Pada lapangan usaha industri pengolahan, peningkatan permintaan domestik secara khusus dikonfirmasi
oleh contact liaison pada sub lapangan usaha industri makanan & minuman, industri tekstil & produk tekstil
(TPT), industri kayu dan barang dari kayu, serta industri kertas.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Sumber: Liaison Bank Indonesia
Grafik 1.12 Perkembangan Harga Properti Residensial Grafik 1.13 Pertumbuhan Harga Properti Per Tipe
Grafik 1.14 Indeks Perkembangan Dunia Usaha Grafik 1.15 Perkembangan Permintaan Domestik
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
12
MEI 2017
Meningkatnya kegiatan konsumsi rumah tangga di
Jawa Barat antara lain juga dikonfirmasi oleh
perkembangan arus lalu lintas kendaraan di 11
gerbang tol1 ruas Purbaleunyi yang secara total
tumbuh meningkat dari 2,04% (yoy) pada triwulan
IV 2016 menjadi 4,17% (yoy) pada triwulan I 2017
(Grafik 1.16). Adapun lalu lintas kendaraan
golongan I (jenis sedan, jip, truk kecil, dan bus)
yang mendominasi penggunaan ruas tol
Purbaleunyi dengan pangsa mencapai 88% juga tumbuh meningkat dari 2,60% menjadi 3,75% pada
triwulan I 2017. Hal ini seiring dengan berlangsungnya serangkaian periode libur panjang yang
meningkatkan arus wisata ke kota Bandung dari ibukota. Kenaikan pertumbuhan tertinggi pada triwulan I
2017 khususnya terjadi pada kendaraan golongan V (kendaraan truk dengan 5 gandar) di mana pasca
larangan melintas selama perbaikan Jembatan Cisomang yang sempat menciptakan kemacetan dan
inefisiensi transportasi pada triwulan IV, mulai membaik pada triwulan I 2017.
Di tengah meningkatnya berbagai indikator di atas, terdapat sejumlah aktivitas konsumsi rumah tangga
yang tumbuh melambat dibanding triwulan sebelumnya. Dari aspek eksternal, di tengah keputusan The
Fed kembali terhadap US
Dollar terpantau relatif stabil dan aman dari gejolak, dengan depresiasi dibanding triwulan sebelumnya
hanya sebesar 0,75% (qtq). Namun di tengah stabilnya nilai tukar Rupiah tersebut, impor barang konsumsi
terpantau tumbuh melambat yakni dari 16,4% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -2,7% (yoy) pada
triwulan I 2017 (Grafik 1.17). Secara spesifik, perlambatan yang paling dalam terjadi pada impor barang
konsumsi bersifat non-durable dan impor makanan & minuman yang telah diproses (siap konsumsi oleh
rumah tangga). Hal ini sejalan dengan perkembangan konsumsi rumah tangga kelompok makanan &
minuman di Jawa Barat yang melambat pada triwulan I 2017, diimbangi oleh meningkatnya konsumsi
berbagai kelompok jasa serta kebutuhan sekunder lainnya.
Dari segmen konsumsi masyarakat pedesaan atau petani, terdapat indikasi penurunan konsumsi yang
tercermin dari penurunan indeks Nilai Tukar Petani dari 104,0 pada triwulan IV 2016 menjadi 102,7 pada
triwulan I 2017 (Grafik 1.18). Hal ini disebabkan oleh percepatan masa panen ke triwulan I 2017 serta
masih terjaganya stok beras dari masa panen sebelumnya, sehingga pasokan terjaga dan harganya jual ke
masyarakat relatif stabil. Sementara di sisi lain, peningkatan tarif yang diatur oleh Pemerintah di awal tahun
(listrik, bensin, biaya STNK, dan cukai rokok) berdampak kepada meningkatnya beban pengeluaran
masyarakat di pedesaan yang cenderung lebih sensitif terhadap kenaikan tarif ini dibanding masyarakat di
perkotaan. Sebagai akibatnya, ruang untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga petani menjadi
terbatas.
1 Ruas tol Purbaleunyi mencakup gerbang tol Sadang, Jatiluhur, Cikamuning, Padalarang, Baros, Pasteur, Pasirkoja,
Kopo, Moh. Toha, Buah Batu, Cileunyi
Sumber : PT. Jasa Marga Cabang Purbaleunyi
Grafik 1.16 Perkembangan Lalu Lintas Tol Purbaleunyi
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
13
MEI 2017
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Adapun laju pertumbuhan pendaftaran kendaraan baru (BKKBN 1) yang tercatat di Badan Pendapatan
Daerah Provinsi Jawa Barat terpantau mengalami perlambatan. Pertumbuhan pendaftaran mobil pribadi
baru tumbuh melambat dari 17,51% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -2,72% (yoy) pada triwulan I
2017, sementara pendaftaran sepeda motor baru melambat dari -5,08% (yoy) menjadi -17,72% (yoy)
(Grafik 1.19). Namun demikian, perlambatan ini diperkirakan lebih disebabkan oleh keputusan rumah
tangga untuk menunggu pembelian kendaraan baru menjelang Lebaran, sebab terdapat kecenderungan
masyarakat di Jawa Barat untuk mengganti kendaraannya dengan model yang lebih baru menjelang masa
Lebaran. Selain itu, kenaikan biaya STNK di awal tahun juga diperkirakan berdampak kepada keputusan
masyarakat baik untuk membeli maupun mendaftarkan kendaraan bermotor barunya. Sejalan dengan hal
tersebut, pertumbuhan konsumsi listrik rumah tangga juga terpantau melambat yakni dari 0,33% (yoy)
pada triwulan IV 2016 menjadi -1,13% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.20). Kontraksi pada
pertumbuhan konsumsi listrik rumah tangga ini diperkirakan sebagai dampak dari kebijakan Pemerintah
melakukan penyesuaian bertahap pada tarif listrik rumah tangga golongan 900VA dalam rangka
pencabutan subsidi untuk pelanggan rumah tangga mampu di golongan ini. Rumah tangga diperkirakan
merespon kenaikan sebanyak dua tahap pada triwulan I 2017 ini dengan melakukan efisiensi pada
penggunaan listriknya.
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat, diolah
Sumber: PT. PLN Distribusi Jawa Barat
Dari indikator perbankan, pertumbuhan kredit konsumsi dan rumah tangga terpantau relatif stabil
dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit konsumsi meningkat terbatas dari 13,60% (yoy)
pada triwulan IV 2016 menjadi 13,63% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.21). Dari kelompok kredit rumah
tangga, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih memegang pangsa terbesar yakni mencapai 51,62%, diikuti
kredit multiguna (27,62%) dan kredit kendaraan bermotor (13,99%). Dari segmen kredit rumah tangga,
Grafik 1.17 Perkembangan Impor Barang Konsumsi Grafik 1.18 Perkembangan Nilai Tukar Petani (Rata-rata)
Grafik 1.19 Perkembangan Pendaftaran Kendaraan Baru Grafik 1.20 Konsumsi Listrik Rumah Tangga Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
14
MEI 2017
ketiga kelompok jenis kredit mengalami peningkatan pertumbuhan, dengan peningkatan terbesar pada
pertumbuhan kredit multiguna (dari 4,27% menjadi 6,01%), diikuti Kredit Kendaraan Bermotor (dari
3,08% menjadi 3,73%) dan Kredit Pemilikan Rumah/KPR (dari 14,70% menjadi 14,90%) (Grafik 1.22).
Peningkatan pada ketiga jenis kredit ini terjadi pasca konsolidasi yang telah dilakukan perbankan pada
tahun sebelumnya serta semakin solidnya optimisme masyarakat terhadap kondisi perekonomian yang
diikuti dengan ekspansi pembiayaan baik untuk konsumsi jangka pendek (multiguna) maupun jangka
panjang (KPR).
Jika dianalisa secara lebih spesifik, pemberlakuan pengetatan LTV (LTV I) pada September 2013 telah
berhasil memperlambat pertumbuhan KPR (Grafik 1.23). Adapun pelonggaran KPR yang mulai diterapkan
pada akhir Agustus 2016 telah meningkatkan pertumbuhan penyaluran KPR secara terbatas dari 14,22%
(yoy) pada triwulan III menjadi 14,90% pada akhir triwulan I 2017. Berdasarkan tipe rumahnya, ekspansi
penyaluran KPR khususnya terlihat pada rumah tipe menengah, sementara KPR ke rumah tipe kecil dan
besar masih menurun. Hal ini sejalan dengan perkembangan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang
juga meningkat pada rumah kelas menengah. Secara umum, penurunan suku bunga kebijakan oleh Bank
Indonesia sejak Januari 2016 hingga Maret 2017 sebesar 150 bps juga telah diikuti oleh penurunan suku
bunga kredit perbankan walaupun dalam persentase yang lebih kecil, yakni antara lain suku bunga kredit
konsumsi (40 bps), KPR (61 bps) dan KKB (50 bps) (Grafik 1.24).
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan I 2017 melambat dibanding triwulan sebelumnya,
seiring dengan masih terbatasnya progress belanja Pemerintah di awal tahun. Konsumsi pemerintah
Grafik 1.24 Perkembangan Suku Bunga Kredit Konsumsi
dan Rumah Tangga
Grafik 1.23 Perkembangan KPR Berdasarkan Kategori
dan Timeline Penerapan LTV
Grafik 1.21 Perkembangan Kredit Konsumsi Grafik 1.22 Perkembangan KPR, KKB, dan Multiguna
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
15
MEI 2017
pada triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar 4,95% (yoy), melambat dibanding triwulan sebelumnya yang
tumbuh sebesar 9,19% (yoy). Hal ini sejalan dengan pola historis belanja Pemerintah Daerah yang
umumnya relatif terbatas di awal tahun mengacu kepada masih berlangsungnya lelang proyek-proyek
maupun pengadaan di tahun berjalan. Belanja pemerintah diperkirakan mulai terakselerasi memasuki
triwulan kedua hingga akhir tahun.
Pada triwulan I 2017 realisasi belanja operasional Pemerintah Pusat di Jawa Barat yang terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang, dan belanja bantuan sosial melalui APBN sebesar Rp5,09 Triliun, lebih tinggi
dibanding realisasi pada triwulan I 2016 sebesar Rp4,87 Triliun. Dengan demikian, realisasi belanja
operasional Pemerintah Pusat di Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh 4,46% (yoy), meningkat
dibanding triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 0,17% (yoy) (Grafik 1.25). Peningkatan ini terutama
terjadi pada pertumbuhan belanja barang (dari 11,45% menjadi 27,50%), di mana pangsa belanja barang
terhadap total belanja APBN di Jawa Barat pada triwulan I 2017 mencapai 34%. Di sisi lain, belanja pegawai
yang menyumbang 57% terhadap total realisasi belanja APBN di Jawa Barat tumbuh melambat dari 6,99%
menjadi -5,66% pada triwulan I 2017. Hal ini terkait dengan implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah yang berimplikasi kepada pengalihan sebagian wewenang ke Pemerintah Provinsi,
termasuk di dalamnya beban gaji pegawai dari badan yang mengalami pengalihan wewenang. Secara
umum, persentase realisasi belanja operasional APBN di Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar 15,91%,
sedikit meningkat dibanding triwulan I 2016 sebesar 15,23% terhadap pagu.
Sumber: Kanwil Perbendaharaan Jawa Barat
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jawa Barat
Berbeda halnya dengan realisasi belanja APBN, adapun realisasi belanja operasi pemerintah daerah melalui
APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar Rp2,68 Triliun, menurun dibanding triwulan
I 2016 sebesar Rp3,59 Triliun. Dengan demikian, pertumbuhan belanja operasi APBD Provinsi hingga
triwulan I 2017 sebesar -25,45% (yoy), melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
16,77% (Grafik 1.26). Berdasarkan komponennya, perlambatan laju pertumbuhan disebabkan oleh
melambatnya pertumbuhan belanja hibah & bantuan keuangan dari 20,96% (yoy) pada triwulan IV 2016
menjadi -55,04% (yoy) pada triwulan I 2017. Adapun belanja hibah & bantuan keuangan memberikan
kontribusi terbesar pada realisasi belanja Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 yakni mencapai 52,19%.
Perlambatan belanja hibah & bantuan keuangan ini disebabkan oleh efek base year di mana pada triwulan
I 2016 belanja hibah mengalami akselerasi yang cukup signifikan karena menjadi sumber pendanaan untuk
Grafik 1.25 Realisasi Belanja Operasional APBN di Jawa
Barat
Grafik 1.26 Realisasi Belanja Operasional APBD
Provinsi Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
16
MEI 2017
persiapan penyelenggaraan PON di Jawa Barat. Di sisi lain, peningkatan laju pertumbuhan belanja
dibanding triwulan sebelumnya terjadi pada belanja pegawai (dari 8,60% menjadi 139,42%) dan belanja
barang (dari 5,22% menjadi 202,85%) masih mengalami peningkatan dibanding triwulan sebelumnya. Hal
ini khususnya sebagai implikasi dari pengalihan wewenang dari Pemerintah Kab/Kota ke Provinsi yang
meningkatkan beban belanja Pemerintah Provinsi, baik untuk belanja pegawai maupun belanja barang.
Sebagaimana diketahui, terdapat sekitar 28.000 PNS yang dialihkan dari Pemerintah Kab/Kota ke
Pemerintah Provinsi. Secara umum, persentase realisasi belanja operasi pada APBD Pemerintah Provinsi
terhadap pagunya pada triwulan I 2017 sebesar 11,31%, menurun dibanding triwulan I 2016 sebesar
19,28%.
Realisasi belanja pemerintah yang masih terbatas di awal tahun tercermin dari simpanan pemerintah pada
perbankan di daerah yang terpantau meningkat, yakni dari Rp36,64 Triliun pada triwulan IV 2016 menjadi
Rp49,39 Triliun pada triwulan I 2017 (Grafik 1.27). Selain itu, pertumbuhan deposito juga terpantau
meningkat yakni dari -22,66% (yoy) menjadi 3,03% (yoy) pada triwulan I 2017. Adapun melambatnya
pertumbuhan giro pemerintah pada awal tahun 2017 disebabkan oleh adanya pembayaran belanja-belanja
rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang yang meningkat secara tahunan.
1.1.2. Investasi
Pertumbuhan komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 7,98% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 3,97%
(yoy) pada triwulan I 2017. Perlambatan terdalam khususnya terjadi pada investasi yang bersifat non-
bangunan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perlambatan investasi di Jawa Barat pada
triwulan I 2017, antara lain meliputi : (1) telah dilakukannya investasi melalui impor barang modal yang
ekspansif sepanjang tahun 2016, sehingga memasuki tahun 2017 pelaku usaha fokus kepada optimalisasi
barang modal yang telah diakuisisi; (2) kondisi cuaca dengan curah hujan yang tinggi menghambat proses
pengerjaan proyek infrastruktur di Jawa Barat. Melalui hasil liaison diketahui bahwa kapasitas terpasang di
pabrik saat ini masih berada di bawah kondisi optimalnya sehingga pelaku usaha belum melakukan
ekspansi investasi.
Adapun investasi di Jawa barat didominasi oleh investasi bangunan dengan pangsa sebesar 74,38% (Tabel
1.5). Perlambatan laju pertumbuhan investasi pada triwulan I 2017 disebabkan terutama oleh melambatnya
Grafik 1.27 Simpanan Pemda di Perbankan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
17
MEI 2017
laju pertumbuhan investasi non bangunan (dari 21,26% menjadi 3,61%) maupun perlambatan terbatas
pada investasi bangunan (dari 4,35% menjadi 4,08%) (Grafik 1.28). Mulai melambatnya pertumbuhan
investasi non bangunan ini terjadi setelah sebelumnya konsisten mengalami peningkatan sepanjang tahun
2016.
Tabel 1. 5. Struktur Komponen Investasi Provinsi Jawa Barat (% yoy)
Melambatnya laju pertumbuhan investasi tersebut
juga dikonfirmasi oleh data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) RI yang menunjukkan
bahwa pada triwulan I 2017 terjadi perlambatan
baik pada pertumbuhan realisasi PMA dan PMDN
di Jawa Barat. Nilai realisasi PMA pada triwulan I
2017 sebesar USD1,52 miliar atau tumbuh
sebesar -5,96% (yoy), melambat dibanding
triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
97,39% (yoy) (Grafik 1.29). Secara umum, Jawa
Barat masih menjadi provinsi tujuan PMA utama secara nasional, sejalan dengan banyaknya industri dan
kawasan industri yang berkembang di Jawa Barat. Pada triwulan I 2017, Jawa Barat menempati posisi
pertama sebagai tujuan PMA dengan pangsa terhadap nasional mencapai 20,8%, diikuti DKI Jakarta
dengan pangsa sebesar 12,8%. Dukungan implementasi Paket Kebijakan Ekonomi khususnya dalam
mempermudah kegiatan investasi dan pengurusan perijinan juga menjadi salah satu penarik PMA ke Jawa
Barat. Terkait implementasi salah satu Paket Kebijakan yakni pendirian KLIK (Kemudahan Investasi Langsung
Konstruksi) di kawasan industri, dari semula terdapat 5 KLIK di Jawa Barat, kini telah ditambah menjadi
total berjumlah 11 KLIK yang tersebar di 11 kawasan industri di Jawa Barat. Dengan demikian, Jawa Barat
menjadi provinsi dengan jumlah KLIK terbanyak secara nasional.
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Investasi Bangunan 75.22 75.43 74.98 74.38 74.79 74.37 74.62 74.38Investasi Non Bangunan 24.78 24.57 25.02 25.62 25.21 25.63 25.38 25.62Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Struktur
Komponen Investasi 2014r) 2015* 2016**2016**
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Grafik 1.28 Pertumbuhan Komponen Investasi
Grafik 1.29 Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN di
Jawa Barat Berdasarkan Laporan Wajib LKPM
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
18
MEI 2017
Sementara itu, realisasi PMDN di Jawa Barat pada triwulan I 2017 mencapai Rp9,1 Triliun atau tumbuh
sebesar 49,58% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 261,87% (yoy).
Secara nasional, PMDN ke Jawa Barat juga menempati posisi tertinggi ketiga dengan pangsa sebesar
13,2%, setelah DKI Jakarta (17,2%) dan Jawa Timur (13,7%).
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Secara sektoral, perlambatan PMA ke Jawa Barat disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan PMA ke
seluruh sektor utama. Hal ini tercermin dari penurunan andil pertumbuhan dibandingkan triwulan
sebelumnya, khususnya pada industri otomotif (dari 32,8% menjadi -19,9%), industri elektronik (dari
24,6% menjadi 4,0%), industri makanan (dari 25,7% menjadi -6,7%) dan industri karet & plastik (dari
12,4% menjadi -2,7%) (Grafik 1.30). Melambatnya pertumbuhan PMA ke industri-industri utama Jawa
Barat pada awal tahun diperkirakan karena investor yang pada umumnya merupakan pemodal dari industri-
industri yang ada di Jawa Barat masih mengantisipasi uncertainty pada perekonomian Jawa Barat secara
khususnya serta perekonomian nasional secara umum. Mempertimbangkan investasi besar yang telah
masuk sepanjang tahun 2016, pada awal tahun 2017 diperkirakan pelaku usaha masih fokus kepada
mengoptimalkan investasi yang telah diakuisisi pada tahun sebelumnya.
Di sisi PMDN, perlambatan pada triwulan I 2017 disumbang oleh mayoritas industri utama. Hal ini tercermin
dari penurunan andil pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya, khususnya pada industri elektronik
(dari 153,9% menjadi 7,0%), industri makanan
(dari 42,6% menjadi -9,5%), dan industri kertas
(dari 67,1% menjadi 20,1%) (Grafik 1.31). Namun
demikian, perlambatan yang lebih dalam ditahan
oleh masih meningkatnya laju pertumbuhan PMDN
ke sektor konstruksi dan industri kimia.
Berdasarkan negara asalnya, perlambatan PMA
terjadi dari seluruh negara asal utama. Hal ini
tercermin dari penurunan andil pertumbuhan
dibandingkan triwulan sebelumnya pada PMA dari Jepang (dari 62,2% menjadi -16,9%), Hongkong (dari
18,4% menjadi -7,5%), Belanda (dari 20,2% menjadi 6,5%) dan Singapura (dari 12,2% menjadi 9,7%)
(Grafik 1.32). Pada triwulan I 2017, PMA terbesar ke Jawa Barat bersumber dari Jepang dengan pangsa
mencapai 43,78%. PMA dari Jepang ini mayoritas masuk ke industri otomotif dan industri elektronik.
Grafik 1.32 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA
Dari Negara Asal Utama di Jawa Barat
Grafik 1.30 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA ke
Sektor Utama di Jawa Barat
Grafik 1.31 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMDN
ke Sektor Utama di Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
19
MEI 2017
Secara spasial, pangsa penyaluran terbesar baik untuk PMA maupun PMDN pada triwulan I 2017 ditujukan
ke Kab. Karawang dengan pangsa PMA sebesar 41,0% dan pangsa PMDN sebesar 34,5%. Hal ini sejalan
dengan karakteristik Kab. Karawang yang kini telah berkembang menjadi pusat kawasan industri utama di
Jawa Barat setelah Kab. Bekasi. Adapun jenis industri yang beroperasi di Kab. Bekasi ini sangat beragam,
terutama didominasi industri otomotif dan elektronik. Di posisi kedua, penyaluran PMA terbesar adalah ke
Kab. Bekasi (30,3%), sejalan karakteristiknya sebagai basis wilayah industri dan memberikan sumbangan
terbesar terhadap output sektor industri pengolahan Jawa Barat. Secara historis, umumnya Kab. Bekasi
menjadi wilayah utama penerima PMA di Jawa Barat, namun pada triwulan I 2017 pangsanya menurun
dibandingkan Kab. Karawang seiring dengan penurunan laju pertumbuhan PMA ke Kab. Bekasi yang juga
cukup signifikan.
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Sumber: BKPM RI, diolah Staff BI
Melambatnya pertumbuhan PMA ke Jawa Barat juga tercermin melalui penurunan andil pertumbuhan PMA
ke wilayah-wilayah utama di Jawa Barat, antara lain Bekasi (dari 59,9% menjadi -40,8%), Kab. Purwakarta
(dari 13,9% menjadi 4,2%), dan Kab. Bogor (dari 13,1% menjadi 2,5%) (Grafik 1.33). Sejalan dengan hal
tersebut, perlambatan PMDN ke Jawa Barat pada triwulan I 2017 juga tercermin pada penurunan andil
pertumbuhan PMDN ke wilayah-wilayah utama, yakni Kab. Bekasi (dari 123,7% menjadi -12,9%), Kab.
Karawang (dari -11,5% menjadi -14,7%), dan Kota Bekasi (dari 21,4% menjadi -4,2%) (Grafik 1.34).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
melambatnya laju pertumbuhan investasi di Jawa
Barat pada triwulan I 2017 terutama disebabkan
oleh perlambatan pada investasi non-bangunan.
Hal ini dikonfirmasi oleh pertumbuhan impor
barang modal Jawa Barat yang melambat dari
16,2% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,9%
(yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.35). Secara
spesifik, perlambatan terjadi pada impor barang
modal kecuali untuk transport equipment yakni dari 15,99% (yoy) menjadi 7,75% (yoy) pada triwulan I
2017. Di sisi lain, impor barang modal untuk kebutuhan industri alat angkutan (transport equipment) masih
tumbuh meningkat dari 460,8% (yoy) menjadi 564,4% (yoy). Tingginya impor barang modal pada industri
alat angkutan ini didorong salah satunya oleh akan beroperasinya pabrik otomotif baru di Jawa Barat pada
Grafik 1.33 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMA ke
Kab/Kota Utama di Jawa Barat
Grafik 1.34 Perkembangan Andil Pertumbuhan PMDN
ke Kab/Kota Utama di Jawa Barat
Grafik 1. 35 Impor Barang Modal Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
20
MEI 2017
triwulan I 2017. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurunnya pertumbuhan impor barang
modal di Jawa Barat pada triwulan I 2017 terutama terjadi pada industri non-otomotif. Diperkirakan para
investor asing yang mayoritas memiliki usaha di Jawa Barat tersebut masih menahan investasi ekspansif
barang modal untuk menambah kapasitas pabrik mempertimbangkan ketidakpastian yang masih
mewarnai di awal tahun seiring dengan berlangsungnya Pilkada di sejumlah daerah termasuk di Jawa Barat
(Kab. Bekasi, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya).
Di sisi lain, pertumbuhan investasi bangunan pada
triwulan I 2017 mengalami perlambatan yang
terbatas (dari 4,35% menjadi 4,08%).
Sebagaimana diketahui, belanja modal Pemerintah
umumnya realtif terbatas di awal tahun karena
masih berlangsungnya proses lelang proyek,
khususnya untuk proyek yang tidak bersifat
multiyear. Hal ini dikonfirmasi oleh pertumbuhan
belanja modal APBD Provinsi Jawa Barat yang
melambat dari 17,15% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi -1,38% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik
1.36). Di sisi lain, pertumbuhan belanja modal APBN di Jawa Barat tercatat membaik yakni dari -18,89%
(yoy) menjadi -2,38% (yoy) pada triwulan I 2017. Adapun pangsa belanja modal APBN terhadap total
belanja modal di Jawa Barat (provinsi dan APBN tanpa kab/kota) mencapai 97,7%. Membaiknya
pertumbuhan belanja APBN di Jawa Barat ini sejalan dengan arahan Presiden untuk mempercepat
penyelesaian berbagai proyek infrastruktur strategis. Adapun beberapa proyek infrastruktur strategis yang
sedang berjalan di Jawa Barat antara lain meliputi Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), Tol
Soreang-Pasir Koja (Soroja), Tol Cimanggis Cibitung, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Bandara Internasional
Kertajati, dan LRT Terintegrasi Jabodebek.
Relatif stabilnya perkembangan investasi bangunan ini juga tercermin pada tingkat inflasi kelompok bahan
bangunan, khususnya bahan bangunan barang yang stabil dibandingkan triwulan IV 2016 (Grafik 1.37).
Adapun inflasi bahan bangunan jasa terpantau meningkat yakni dari 1,12% (yoy) menjadi 1,28% (yoy)
pada triwulan I 2017. Masih meningkatnya belanja modal APBN seiring dengan berjalannya pembangunan
Grafik 1. 36 Perkembangan Belanja Modal Pemerintah
di Jawa Barat
Grafik 1. 37 Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan
Bangunan
Grafik 1. 38 Penjualan Semen Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
21
MEI 2017
sejumlah proyek infrastruktur strategis kemudian mendorong penjualan semen di Jawa Barat pada triwulan
I 2017 tumbuh meningkat (dari -16,9% menjadi -0,4%) (Grafik 1.38).
Melambatnya kegiatan investasi pada triwulan I
2017 dibanding triwulan sebelumnya juga
dikonfirmasi oleh hasil wawancara liaison yang
menunjukkan penurunan likert scale investasi
pelaku usaha dari 1,19 pada triwulan IV 2016
menjadi 0,52 pada triwulan I 2017 (Grafik 1.39).
Secara sektoral, perlambatan investasi tersebut
terjadi pada sektor industri pengolahan dan
perdagangan. Berdasarkan hasil liaison, hanya 14%
dari total contact liaison yang merealisasikan investasi bersifat ekspansif pada triwulan I 2017. Sementara
itu, 22% merealisasikan investasi yang bersifat rutin. Sedangkan beberapa investasi ekspansif mencakup
realisasi bertahap pembangunan pabrik baru subsektor mamin; pembelian mesin dengan teknologi yang
baru pada subsektor elektronik; serta perluasan pabrik pada subsektor TPT.
Pada sisi kredit, meskipun investasi tumbuh melambat, penyaluran kredit investasi di Jawa Barat
tumbuh meningkat. Kredit investasi untuk lokasi proyek di Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat
sebesar Rp111,79 Triliun atau tumbuh 4,9% (yoy) (Grafik 1.40). Laju pertumbuhan kredit investasi pada
triwulan ini meningkat dibanding triwulan sebelumnya (3,3%). Dengan demikian, ekspansi kredit investasi
mulai berjalan di Jawa Barat, setelah sebelumnya sejak triwulan II 2016 konsisten melambat. Mulai
meningkatnya laju pertumbuhan kredit investasi ini, selain dilatarbelakangi oleh konsolidasi yang telah
dilakukan perbankan pada tahun sebelumnya, juga didorong oleh terus menurunnya suku bunga kredit
investasi, yakni dari 10,22% pada triwulan IV 2016 menjadi 10,06% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.41).
Hal ini mengindikasikan berjalannya stimulus kebijakan moneter pada sektor riil melalui suku bunga
perbankan.
1.1.3. Ekspor Impor
Neraca perdagangan Jawa Barat pada triwulan I 2017 secara total masih mencatatkan defisit (ADHB),
yakni sebesar Rp556,68 Miliar, menurun dibandingkan defisit pada triwulan IV 2016 sebesar Rp26,84
Grafik 1. 40 Perkembangan Kredit Investasi Jawa Barat Grafik 1. 41 Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi
Grafik 1. 39 Perkembangan Investasi Pelaku Usaha -
Liaison
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
22
MEI 2017
Triliun. Kondisi defisit ini disebabkan oleh karakteristik neraca perdagangan antar daerah yang selalu
mengalami defisit. Namun demikian, defisit neraca perdagangan antar daerah ini sudah menurun dari
Rp71,77 Triliun pada triwulan IV 2016 menjadi Rp47,20 Triliun pada triwulan I 2017, yang menyebabkan
penurunan defisit neraca perdagangan total pada triwulan I 2017. Di sisi lain, neraca perdagangan luar
negeri Jawa Barat sesuai dengan karakteristiknya masih konsisten mencatatkan surplus, di mana surplus
neraca perdagangan luar negeri pada triwulan I 2017 meningkat dari Rp44,93 Triliun menjadi Rp46,64
Triliun. Adapun struktur neraca ekspor Jawa Barat pada triwulan I 2017 didominasi oleh ekspor luar negeri
(56,51%). Di sisi lain, neraca impor Jawa Barat didominasi oleh impor antar provinsi (71,50%) (Tabel 1.6).
Tabel 1. 6. Struktur Ekspor-Impor Provinsi Jawa Barat (%)
Kinerja pertumbuhan net ekspor baik luar negeri maupun antar daerah pada triwulan I 2017 tercatat
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Net ekspor luar negeri Jawa Barat pada triwulan I 2017
tumbuh sebesar 15,49% (yoy), meningkat cukup signifikan dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 0,18% (yoy) (Grafik 1.42). Hal ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan ekspor luar
negeri yang jauh lebih tinggi dibandingkan impor luar negeri. Sejalan dengan hal tersebut, net ekspor antar
daerah pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 12,48% (yoy), juga meningkat dibanding triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 10,70% (yoy) (Grafik 1.43). Kinerja yang sangat baik pada perdagangan
luar negeri terutama didorong oleh membaiknya kinerja seluruh negara/kawasan mitra dagang, baik
Amerika Serikat, ASEAN, maupun Eropa. Perbaikan pada Eropa terutama memberikan dorongan pada
kinerja ekspor, setelah sebelumnya ekspor ke Eropa terus melambat selama semester II 2016 pasca Brexit.
Dari antara seluruh negara/kawasan mitra dagang tersebut, pertumbuhan tertinggi adalah pada ekspor ke
ASEAN, khususnya untuk produk otomotif. Khususnya pada net ekspor antar daerah, peningkatan
didorong oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi sejumlah provinsi mitra dagang utama khususnya yang
perekonomiannya berbasis SDA (Sumatera dan Kalimantan) sebagai implikasi dari meningkatnya harga
komoditas global. Adapun perbaikan wilayah-wilayah berbasiskan SDA tersebut diperkirakan mendorong
ekspor antar daerah untuk produk makanan & minuman (seiring dengan membaiknya pendapatan
masyarakat setempat) serta alat angkutan (sebagai barang modal untuk industri pertambangan/penggalian)
dari Jawa Barat.
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
EksporEkspor Luar Negeri 65.31 62.07 59.91 63.15 52.37 53.32 56.88 56.51Ekspor Antar Provinsi 34.69 37.93 40.09 36.85 47.63 46.68 43.12 43.49ImporImpor Luar Negeri 36.17 31.19 31.98 33.19 28.39 23.62 28.78 28.50Impor Antar Provinsi 63.83 68.81 68.02 66.81 71.61 76.38 71.22 71.50
2016**Komponen 2014r) 2015* 2016**
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
23
MEI 2017
Ekspor-Impor Antar Daerah
Pertumbuhan ekspor antar daerah pada triwulan I
2017 sebesar 27,45% (yoy) meningkat dibanding
triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
27,44%. Peningkatan ini terutama didorong oleh
membaiknya kondisi perekonomian dari wilayah
mitra dagang. Berdasarkan Survei Konsumen Bank
Indonesia, peningkatan keyakinan konsumen
terjadi di sejumlah daerah yang menjadi mitra
dagang utama Jawa Barat, antara lain Sumatera
Selatan (dari 109,67 menjadi 125,23), DKI Jakarta (dari 106,10 menjadi 121,10), Jawa Tengah (dari 128,87
menjadi 134,03), dan Jawa Timur (dari 117,63 menjadi 117,83) (Grafik 1.44).
Ekspor-Impor Luar Negeri
Ekspor Luar Negeri
Pertumbuhan ekspor luar negeri Jawa Barat
kembali mengalami peningkatan yang cukup
signifikan yakni dari -0,76% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 8,04% (yoy) pada
triwulan I 2017. Pertumbuhan pada triwulan ini
merupakan yang tertinggi sejak triwulan IV 2014.
Sejalan dengan hal tersebut, nilai ekspor barang
FOB (freight on board) pada triwulan ini juga
meningkat dari 5,61% (yoy) pada triwulan IV
2016 menjadi 16,56% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.45). Total nilai ekspor FOB Jawa Barat pada
triwulan ini mencapai USD6.866 juta, meningkat dibanding triwulan IV sebesar USD6.545 juta. Berlanjutnya
perbaikan kinerja ekspor luar negeri Jawa Barat selama dua triwulan terakhir dipengaruhi oleh
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia, diolah
Grafik 1. 42 Perkembangan Neraca Perdagangan Luar
Negeri Jawa Barat
Grafik 1. 43 Perkembangan Neraca Perdagangan Antar
Daerah Jawa Barat
Grafik 1. 44 Keyakinan Konsumen Provinsi Mitra Dagang
Jawa Barat
Grafik 1.45 Perkembangan Nilai & Volume Ekspor Jawa
Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
24
MEI 2017
perekonomian global yang juga terus membaik serta harga komoditas yang secara bertahap terus
meningkat sejak akhir tahun lalu.
Berdasarkan pangsanya, komoditas ekspor terbesar dari Jawa Barat pada triwulan I 2017 adalah dari
subkelompok Tekstil dan Produk Tekstil (20,1%), diikuti oleh Kendaraan (17,1%), Elektronik (15,3%), dan
Kimia (7,5%) (Grafik 1.46). Pangsa ekspor kendaraan mengalami kenaikan cukup signifikan bahkan
mencapai dua kali lipat dari pangsanya pada triwulan I 2016 (8,2%). Dengan perkembangan tersebut,
ekspor otomotif telah menggeser posisi ekspor elektronik yang selama ini memegang pangsa terbesar
kedua pada total ekspor Jawa Barat. Terus meningkatnya ekspor otomotif dari Jawa Barat berlangsung
seiring dengan terus penurunan kinerja ekspor elektronik selama beberapa tahun terakhir. Pesatnya
perkembangan ekspor otomotif dari Jawa Barat tercermin dari pertumbuhannya yang mencapai 142,5%
(yoy) pada triwulan I 2017, kembali meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
98,2% (yoy) (Grafik 1.47). Secara spesifik, pertumbuhan yang signifikan ini terjadi pada ekspor otomotif
Jawa Barat ke Filipina yang tumbuh dari 560,13% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 671,09% (yoy) pada
triwulan I 2016, khususnya untuk kelas mobil SUV (Sport Utility Vehicle). Dengan demikian, akselerasi
pertumbuhan ekspor otomotif menjadi faktor utama pendorong akselerasi ekspor luar negeri Jawa Barat
pada triwulan I 2017.
Selain otomotif, pertumbuhan ekspor manufaktur utama lainnya juga tercatat mengalami peningkatan
pada triwulan I 2017 seiring terus membaiknya perekonomian global, yakni pertumbuhan ekspor industri
kimia (dari -4,20% menjadi 16,50%), industri elektronik (dari -5,35% menjadi 10,05%), dan industri tekstil
& produk tekstil/TPT (dari -5,38% menjadi 1,99%). Selain ekspor otomotif, ekspor kimia juga mengalami
peningkatan pertumbuhan yang cukup signifikan sehingga pada triwulan I 2017 pangsa ekspor kimia
menempati posisi keempat terbesar, menggeser posisi ekspor mesin dan ekspor karet & plastik yang pada
triwulan I 2016 memberikan pangsa lebih besar. Peningkatan ekspor kimia Jawa Barat pada triwulan I 2017
terutama bersumber dari ekspor yang ditujukan ke negara-negara di kawasan Asia yakni Turki, Filipina,
China, Thailand, dan Vietnam.
Grafik 1. 46 Struktur Komoditas Ekspor Jawa Barat Grafik 1. 47 Pertumbuhan Ekspor Manufaktur Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
25
MEI 2017
Tabel 1. 7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Jawa Barat (HS 2 Digit)
Sementara itu dari sisi negara tujuan, meningkatnya pertumbuhan ekspor luar negeri terjadi ke semua
negara mitra dagang utama dengan peningkatan tertinggi pada ekspor ke ASEAN. Nilai ekspor barang
FOB dari Jawa Barat ke ASEAN, Amerika Serikat, dan Eropa tercatat masing-masing sebesar USD1.664 juta,
USD1.296 juta dan USD881 juta. Pertumbuhan ekspor ke ASEAN meningkat dari 23,85% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 33,98% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.48). Secara spesifik, peningkatan
pertumbuhan terbesar terjadi pada ekspor ke Vietnam (dari 11,00% menjadi 41,49%), Singapura (dari -
6,52% menjadi 15,95%) dan Thailand (dari 19,09% menjadi 24,83%). Peningkatan pertumbuhan ekspor
Jawa Barat ke ASEAN ini terutama didorong oleh ekspor otomotif (dari 126,31% menjadi 166,69%).
Selanjutnya, pertumbuhan ekspor Jawa Barat ke Amerika Serikat juga membaik dari -0,13% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 11,83% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan pertumbuhan ekspor ke Amerika
Serikat pada triwulan I 2017 terutama terjadi pada ekspor elektronik (dari -3,42% menjadi 33,24%) dan
ekspor garmen (dari 0,01% menjadi 19,49%). Setelah mengalami perlambatan sejak triwulan III 2016,
pada triwulan I 2017 ekspor Jawa Barat ke Eropa mulai membaik dengan tumbuh dari -3,77% (yoy) menjadi
1,83% (yoy). Peningkatan ekspor Jawa Barat ke Eropa terutama terjadi pada ekspor elektronik (dari -
15,31% menjadi -6,05%) dan ekspor makanan & minuman (dari 17,65% menjadi 121,04%).
Meningkatnya permintaan dari mitra dagang utama ini sejalan dengan perkembangan Purchasing Manager
Komoditas (HS 2 Digit) Nilai Ekspor (Juta USD)
Pangsa (%)
Komoditas (HS 2 Digit) Nilai Ekspor (Juta USD)
Pangsa (%)
87 - Vehicles other than railway 808 12.34 87 - Vehicles other than railway 1,066 15.5285 - Elect. machinery, sound rec., tvetc. 1,027 15.70 85 - Elect. machinery, sound rec., tvetc. 973 14.1784 - Nuclear react.,boilers,mech. appli. 695 10.62 84 - Nuclear react.,boilers,mech. appli. 707 10.2961 - Articles of apparel accessories 493 7.53 61 - Articles of apparel accessories 536 7.8162 - Articles of apparel acces. not knit 319 4.88 62 - Articles of apparel acces. not knit 362 5.2764 - Footwear; part of such articles 378 5.77 64 - Footwear; part of such articles 360 5.2440 - Rubber and articles thereof 337 5.15 40 - Rubber and articles thereof 338 4.9255 - Man-made staple fibres 225 3.43 55 - Man-made staple fibres 295 4.2939 - Plastics and articles thereof 194 2.96 39 - Plastics and articles thereof 205 2.9948 - Paper and paperboard 175 2.67 48 - Paper and paperboard 205 2.9854 - Man-made filaments.32 182 2.79 54 - Man-made filaments.32 198 2.89
Lainnya 1,712 26.16 Lainnya 1,622 23.62
Total 6,545 Total 6,866
Tw I 2017Tw IV 2016
Grafik 1. 48 Ekspor Jawa Barat ke Negara/Kawasan Tujuan
Utama
Grafik 1. 49 Perkembangan PMI Negara Mitra Dagang
Utama
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
26
MEI 2017
Index (PMI) yang meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Adapun PMI Amerika Serikat meningkat dari
53,87 pada triwulan IV 2016 menjadi 54,17 pada triwulan I 2017, sementara PMI Eropa meningkat 54,03
menjadi 55,57 (Grafik 1.49). Poin penting yang perlu dicermati adalah bahwa PMI dari mayoritas negara
mitra dagang utama Jawa Barat saat ini sudah berada di atas level 50 yang berarti berada di area optimis.
Impor Luar Negeri
Pertumbuhan impor luar negeri Jawa Barat juga mengalami perbaikan seiring dengan ekspor namun
dalam persentase kenaikan yang lebih rendah dibandingkan ekspor, yakni dari -1,58% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 2,50% (yoy) pada triwulan I 2017. Di sisi lain, pertumbuhan impor barang
CIF (Cost, Insurance, and Freight) juga mengalami perlambatan yakni dari 5,92% (yoy) pada triwulan IV
2016 menjadi -3,23% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.50). Hal ini terjadi di tengah berlangsungnya
depresiasi terbatas Rupiah pada triwulan I 2017 sebesar 0,75% (qtq) seiring dengan kebijakan The Fed
menaikkan suku bunga kebijakannya (FFR) pada bulan Maret 2017 (Grafik 1.51). Walau demikian, dampak
kenaikan FFR terhadap volatilitas nilai tukar pada triwulan I 2017 tergolong sangat terbatas karena minim
gejolak. Hal ini mengindikasikan bahwa perlambatan laju pertumbuhan impor barang pada triwulan I 2017
disebabkan oleh faktor selain pergerakan nilai tukar Rupiah. Mengacu kepada pertumbuhan perubahan
inventori yang melambat dari 26,84% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,79% (yoy) pada triwulan I
2017, diperkirakan perusahaan masih memanfaatkan persediaan bahan baku yang dimiliki untuk
mendukung kegiatan produksinya di awal tahun sehingga kegiatan impor barang masih terbatas.
Berdasarkan jenis penggunaannya, impor ke Jawa Barat didominasi oleh impor bahan baku (79,7%),
sedangkan impor barang modal dan barang konsumsi masing-masing memiliki pangsa 14,2% dan 6,1%
(Grafik 1.52). Secara umum, perlambatan laju pertumbuhan impor luar negeri didorong oleh perlambatan
ketiga jenis barang, baik impor barang konsumsi (dari 16,38% menjadi -2,65%), impor barang modal (dari
16,24% menjadi 7,94%) dan impor bahan baku (dari 3,32% menjadi -5,03%) (Grafik 1.53). Adapun impor
barang modal untuk pertama kalinya mengalami perlambatan setelah sebelumnya konsisten mengalami
peningkatan sepanjang tahun 2016.
Grafik 1. 50 Perkembangan Nilai Volume Impor Jawa Barat Grafik 1. 51 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (USD/IDR)
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
27
MEI 2017
1.2 Sisi Lapangan Usaha
Perlambatan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan IV 2016 disebabkan
oleh melambatnya sebagian lapangan usaha di Jawa Barat, khususnya lapangan usaha dengan
pangsa besar seperti Perdagangan, Pertanian dan Konstruksi. Namun demikian, Industri Pengolahan
yang merupakan sektor ekonomi utama di Jawa Barat meningkat seiring menguatnya permintaan
ekspor.
Sejalan dengan pola historisnya, pada triwulan I 2017 bertepatan dengan berlalunya libur akhir tahun,
Lapangan Usaha Perdagangan mengalami perlambatan mencapai 5,33%, dibandingkan triwulan IV 2016
sebesar 5,42% (yoy). Perlambatan Lapangan Usaha Perdagangan terkonfirmasi dari melambatnya
pertumbuhan indeks perdagangan riil di Jawa Barat dari 14,77% menjadi 2,59% (yoy). Sementara itu,
Lapangan Usaha pertanian mengalami perlambatan di triwulan I 2017 menjadi 5,75% (yoy) setelah triwulan
sebelumnya tumbuh tinggi 9,39%. Pola panen yang tidak serentak khususnya untuk komoditas beras
diindikasi menyebabkan pertumbuhan lapangan usaha pertanian di triwulan ini tidak setinggi perkiraan
sebagaimana pola panen raya dua triwulan sekali.
Sejalan dengan banyaknya proyek pemerintah yang masih dalam tahap lelang menyebabkan Lapangan
Usaha Konstruksi tumbuh melambat dari 4,35% menjadi 4,08% (yoy) pada triwulan I 2017. Hal ini
sebagaimana pola historis belanja pemerintah. Selain lapangan usaha utama, mayoritas lapangan usaha
lainnya yakni Transportasi dan Pergudangan; Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; Informasi dan
Komunikasi; Jasa Keuangan; Jasa Kesehatan dan lainnya juga mengalami perlambatan pada triwulan I
2017.
Sementara itu, Lapangan Usaha Industri Pengolahan masih menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan yakni tumbuh cukup signifikan dari 4,03% menjadi 4,75% (yoy). Peningkatan
pertumbuhan Lapangan Usaha Industri Pengolahan terutama didorong oleh menguatnya permintaan
ekspor dan mulai berakhirnya konsolidasi korporasi. Hal ini terkonfirmasi dengan membaiknya
pertumbuhan ekspor produk manufaktur Jawa Barat dari 5,3% menjadi 16,7% pada triwulan I 2017,
dengan peningkatan pada hampir semua kelompok produk dan kenaikan paling tinggi pada ekspor produk
Grafik 1. 52 Pangsa Komoditas Impor Berdasarkan Jenis
Penggunaan
Grafik 1. 53 Perkembangan Impor Jenis Penggunaan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
28
MEI 2017
otomotif. Selain Lapangan Usaha Industri Pengolahan, Lapangan Usaha Pengadaan Listrik dan Gas;
Pengadaan Air, Jasa Pendidikan serta Jasa lainnya juga mengalami peningkatan laju pertumbuhan di
triwulan I 2017.
Tabel 1.8. Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
Berlaku (ADHB)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat. Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Tabel 1. 9. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (% yoy)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
Berdasarkan sumber pertumbuhan, Lapangan Usaha Industri Pengolahan masih menjadi penyumbang
pertumbuhan terbesar yakni 2,06%, dan meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Hal ini sejalan
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 8.72 8.69 9.26 9.95 9.64 6.78 8.90 9.03Pertambangan dan Penggalian 2.43 1.71 1.43 1.47 1.60 1.62 1.53 1.54Industri Pengolahan 43.64 43.03 43.03 42.39 41.65 42.91 42.49 42.66Pengadaan Listrik, Gas 0.79 0.75 0.71 0.66 0.72 0.79 0.72 0.75Pengadaan Air 0.07 0.08 0.08 0.08 0.08 0.09 0.08 0.09Konstruksi 8.09 8.26 7.87 8.03 7.98 8.56 8.12 7.74Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 15.26 15.24 14.76 14.81 15.30 15.69 15.15 14.91
Transportasi dan Pergudangan 4.79 5.50 5.62 5.40 6.10 5.76 5.72 5.70Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 2.43 2.50 2.58 2.53 2.59 2.70 2.60 2.70Informasi dan Komunikasi 2.46 2.60 2.81 2.70 2.68 2.82 2.75 2.94Jasa Keuangan 2.56 2.61 2.78 2.74 2.77 2.88 2.79 2.75Real Estate 1.04 1.02 1.06 1.01 1.00 1.00 1.02 1.04Jasa Perusahaan 0.39 0.40 0.40 0.39 0.40 0.41 0.40 0.41Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 2.32 2.41 2.17 2.59 2.19 2.40 2.34 2.09
Jasa Pendidikan 2.55 2.66 2.71 2.65 2.65 2.81 2.70 2.81Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0.63 0.70 0.75 0.69 0.72 0.77 0.73 0.77Jasa lainnya 1.82 1.85 1.97 1.89 1.92 2.02 1.95 2.07PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
2016**2016**Lapangan Usaha 2014r) 2015*
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0.58 0.16 -1.51 5.21 11.10 9.39 5.80 5.75Pertambangan dan Penggalian 1.57 0.41 -0.39 -6.84 0.42 3.04 -0.97 0.95Industri Pengolahan 5.11 4.39 5.14 5.29 4.64 4.03 4.77 4.75Pengadaan Listrik, Gas 4.79 -6.80 4.86 -1.79 5.38 4.93 3.37 6.33Pengadaan Air 5.94 5.88 2.46 5.62 9.43 7.65 6.33 7.84Konstruksi 5.45 6.43 6.27 7.06 2.70 4.35 5.02 4.08Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 3.30 3.71 2.48 4.18 5.52 5.42 4.44 5.33
Transportasi dan Pergudangan 7.78 8.90 7.74 6.46 13.18 7.79 8.84 6.06Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.00 8.10 9.39 6.59 9.66 11.56 9.31 9.42Informasi dan Komunikasi 17.47 16.31 16.71 14.43 13.66 12.50 14.27 10.37Jasa Keuangan 4.36 7.36 10.13 18.40 10.25 9.34 11.89 1.41Real Estate 4.46 5.46 8.15 7.06 6.60 4.29 6.51 4.50Jasa Perusahaan 6.92 8.15 7.71 6.61 9.67 8.58 8.16 7.80Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 0.46 5.53 3.57 17.20 -7.68 0.51 2.98 0.84
Jasa Pendidikan 14.42 10.17 10.69 9.12 5.85 5.18 7.61 8.03Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 15.78 14.14 11.86 7.33 9.52 9.25 9.48 7.73Jasa lainnya 8.82 8.96 10.88 7.81 9.75 6.67 8.73 8.96PDRB 5.09 5.04 5.20 6.06 5.97 5.45 5.67 5.24
2016** 2016**Lapangan Usaha 2014r) 2015*
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
29
MEI 2017
dengan pertumbuhan laju pertumbuhan Industri Pengolahan yang meningkat. Di posisi kedua, Lapangan
Usaha Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Kendaraan memberikan andil pertumbuhan terbesar kedua
yang mencapai 0,81%, menurun dibanding triwulan sebelumnya (0,87%). Lapangan usaha penyumbang
pertumbuhan terbesar ketiga adalah Pertanian, Kehutanan dan Perikanan dengan andil sebesar 0,45%.
Pada tahun 2016 khususnya sejak triwulan II 2016, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
konsisten memberikan andil pertumbuhan yang tinggi di kisaran 0,4% 0,9% didorong oleh laju
pertumbuhannya yang meningkat signifikan sejak triwulan II 2016.
Selanjutnya, Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi memberikan andil pertumbuhan sebesar 0,39%
atau terbesar keempat. Meskipun laju pertumbuhannya melambat namun angka pertumbuhan lapangan
usaha ini yang konsisten mencapai double digit di kisaran 10% - 17% sejak tahun 2014 mampu
memberikan andil pertumbuhan yang positif dan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
Lapangan usaha penyumbang pertumbuhan berikutnya (diurutkan berdasarkan penyumbang terbesar)
adalah Konstruksi, Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum serta Jasa
Pendidikan. Secara umum, keseluruhan lapangan usaha memberikan andil pertumbuhan positif pada
triwulan laporan.
Tabel 1. 10. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha (%)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Perhitungan Staff BI
Ket: *Angka Sementara ; **Angka Sangat Sementara; r) Angka Revisi
1.2.1 Industri Pengolahan
Industri Pengolahan sebagai lapangan usaha utama perekonomian Jawa Barat tumbuh cukup
signifikan pada triwulan I 2017, meningkat dari 4,03% menjadi 4,75% (yoy). Peningkatan kinerja
Industri Pengolahan terutama didorong oleh membaiknya permintaan ekspor ke negara mitra dagang
seiring dengan menguatnya perekonomian global. Selain itu, menguatnya perekonomian beberapa provinsi
mitra perdagangan dalam negeri Jawa Barat juga turut mendorong peningkatan permintaan untuk
keluaran produk manufaktur (Industri Pengolahan) Jawa Barat.
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan Bank Indonesia kepada pelaku-pelaku usaha di Jawa
Barat mengindikasikan adanya peningkatan kinerja Lapangan Usaha (LU) Industri Pengolahan di triwulan I
2017Ir) IIr) IIIr) IV I
Industri Pengolahan 2.26 1.92 2.24 2.29 1.99 1.78 2.07 2.06Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 0.54 0.59 0.39 0.65 0.87 0.87 0.70 0.81Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0.02 0.01 -0.13 0.45 0.89 0.54 0.45 0.45Informasi dan Komunikasi 0.49 0.51 0.57 0.49 0.47 0.45 0.50 0.39Konstruksi 0.44 0.52 0.49 0.56 0.22 0.38 0.41 0.32Transportasi dan Pergudangan 0.33 0.40 0.36 0.30 0.62 0.36 0.41 0.29Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 0.14 0.19 0.23 0.16 0.24 0.29 0.23 0.24Jasa Pendidikan 0.34 0.26 0.28 0.24 0.16 0.15 0.20 0.22Jasa lainnya 0.16 0.17 0.22 0.15 0.19 0.14 0.17 0.19Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0.10 0.10 0.09 0.05 0.07 0.07 0.07 0.06Real Estate 0.05 0.06 0.09 0.08 0.07 0.05 0.07 0.05Jasa Keuangan 0.10 0.18 0.25 0.42 0.25 0.24 0.29 0.04Jasa Perusahaan 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.03 0.03Pengadaan Listrik, Gas 0.03 -0.04 0.02 -0.01 0.03 0.03 0.02 0.03Pertambangan dan Penggalian 0.04 0.01 -0.01 -0.16 0.01 0.07 -0.02 0.02Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 0.01 0.11 0.07 0.34 -0.17 0.01 0.06 0.02Pengadaan Air 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01
Lapangan Usaha 2014r) 2015* 2016** 2016**
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
30
MEI 2017
2017, terlihat dari peningkatan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) indeks realisasi usaha Industri Pengolahan
dari 2,83 menjadi 9,63 SBT (Grafik 1.54). Selain peningkatan pada indeks realisasi kegiatan usaha, indeks
investasi dan penggunaan tenaga kerja Industri Pengolahan juga mengalami peningkatan di triwulan I 2017
yakni masing-masing dari 0,73 menjadi 1,49 SBT untuk investasi dan dari -1,84 menjadi 4,41 SBT di indeks
penggunaan tenaga kerja. Peningkatan kinerja Industri Pengolahan ini disebebkan oleh menguatnya
permintaan global sehingga meningkatkan permintaan ekspor produk manufaktur Jawa Barat.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha BI Sumber: Berbagai Sumber, diolah oleh Staf BI
Hingga Maret 2017, Purchasing Manager Index (PMI) dari beberapa negara mitra dagang utama Jawa Barat
terpantau meningkat, khususnya Eropa (Grafik 1.55). Sejalan dengan peningkatan PMI negara mitra
dagang, ekspor manufaktur Jawa Barat mengalami peningkatan dari 5,3% menjadi 16,7% (Grafik 1.57).
Peningkatan terutama didorong meningkatnya ekspor otomotif, namun demikian peningkatan juga terjadi
pada semua subsektor kecuali kulit dan mamin. Peningkatan ekspor otomotif Jawa Barat terkonfirmasi
dengan data peningkatan ekspor otomotif nasional dari GAIKINDO yang menyebutkan bahwa terdapat
kenaikan sangat signifikan untuk ekspor khususnya ekspor tipe CKD Set (Complete Knock Down) (Grafik
1.58) dan ekspor untuk komponen (Grafik 1.59). Namun demikian, data GAIKINDO tidak menunjukkan
peningkatan pada produksi kendaraan yang diindikasi karena adanya perbedaan klasifikasi antara produksi
mobil dengan CKD Set dan komponen (Grafik 1.60). Sebagai provinsi dengan pangsa Industri Pengolahan
Kendaraan terbesar, maka data GAIKINDO menjadi proksi yang dapat menggambarkan kinerja sub-
Lapangan Usaha Kendaraan di Jawa Barat.
Grafik 1.54 SKDU Industri Pengolahan Grafik 1.55 PMI Negara Mitra Dagang Utama
Grafik 1.56 Pangsa ekspor Manufaktur Jawa Barat
Grafik 1.57 Ekspor Manufaktur Jawa Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
31
MEI 2017
Sumber: GAIKINDO, diolah oleh staf BI Sumber: GAIKINDO, diolah oleh staf BI
Sumber: GAIKINDO, diolah oleh staf BI
Selain didorong oleh peningkatan permintaan ekspor, meningkatnya kinerja LU Industri Pengolahan juga
didorong oleh meningkatnya permintaan domestik khususnya yang berasal dari beberapa provinsi mitra
dagang domestik Jawa Barat, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi
dimaksud (grafik 1.62). Peningkatan permintaan domestik ini terindikasi dari informasi contact liaison Bank
Indonesia yang menyebutkan adanya kenaikan penjualan domestik dengan peningkatan likert scale dari
0,65 menjadi 0,76 (Grafik 1.63). Jika dilihat dari lalu lintas transaksi keuangan melalui Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI), maka indikasi konsumen domestik tersebesar dari output Industri
Pengolahan di Jawa barat adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sumatera
Utara (Grafik 1.61). Sebagian besar dari provinsi-provinsi tersebut menggunakan produksi atau keluaran
final dari Industri Pengolahan di Jawa Barat sebagai input konsumsi. Oleh karena itu, peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut akan mendorong produksi Industri Pengolahan di Jawa Barat.
Grafik 1.58 Ekspor CKD Set
Grafik 1.59 Ekspor Komponen
Grafik 1.60 Produksi Mobil - GAIKINDO
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
32
MEI 2017
Sumber: SKNBI Sumber: BPS, diolah oleh staf BI
Sumber: Liaison Bank Indonesia Sumber: BPS, diolah oleh staf BI
Sejalan dengan peningkatan kinerja Industri Pengolahan tersebut, berdasarkan data Produksi Industri
Manufaktur Badan Pusat Statitik (BPS) Provinsi Jawa Barat yang dirilis pada triwulan I 2017, produksi Industri
Manufaktur Mikro dan Kecil tercatat mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan pertumbuhan
triwulan IV 2016, dari -1,54% menjadi 2,38% (yoy) (Grafik 1.64). Peningkatan pada industri manufaktur
mikro dan kecil khususnya terjadi pada sub-Lapangan Usaha Industri Peralatan Listrik, Pengolahan
Tembakau, Farmasi, Produk Kimia dan Obat Tradisional serta Alat Angkut Lainnya (Tabel 1.11). Peningkatan
produksi Industri Mikro dan Kecil Alat Angkut sejalan dengan peningkatan industri otomotif secara umum
dimana hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan kinerja otomotif telah mampu mendorong
peningkatan industri hulu berskala UMK (Usaha Mikro dan Kecil).
Grafik 1.61 Provinsi mitra dagang Jabar berdasarkan
lalu lintas transaksi SKNBI
Grafik 1.62 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Mitra
Dagang Jawa Barat
Grafik 1.63 Likert Scale Penjualan Domestik
Grafik 1.64 Perkembangan Industri Mikro dan Kecil
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
33
MEI 2017
Tabel 1. 11. Perkembangan Industri Mikro dan Kecil
Sumber: BPS Jawa Barat, diolah oleh Staf BI
Namun demikian dari segi pembiayaan, perkembangan kredit atau pembiayaan dari perbankan pada
Lapangan Usaha Industri Pengolahan pada triwulan I 2017 kembali menunjukkan perlambatan. Laju
pertumbuhan kredit Industri Pengolahan pada triwulan I 2017 melambat dari -4,32% di triwulan IV 2016
menjadi -4,78% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.65). Namun demikian repayment capacity Industri
Pengolahan pada triwulan I 2017 menunjukkan perbaikan dengan menurunnya Non Performing Loan (NPL)
dari 4,82% menjadi 4,15% (Grafik 1.66). Industri Makanan Minuman masih menjadi penyumbang NPL
tertinggi namun mulai menujukkan penurunan sedangkan industri alat angkutan masih konsisten
menunjukkan NPL yang rendah.
1.2.2 Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-Motor
Lapangan Usaha Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi dengan pangsa terbesar kedua (14,9%)
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya dari tumbuh sebesar 5,42% menjadi 5,33% (yoy).
Perlambatan Lapangan Usaha Perdagangan sejalan dengan berlalunya momen Hari Besar Keagamaan
Nasional (Natal dan Libur Akhir Tahun). Meski konsumsi rumah tangga meningkat cukup signifikan, namun
tidak kemudian menjadi pendorong permintaan di Lapangan Usaha Perdagangan, karena peningkatan
2017
IV I II II IV I
Industri Peralatan Listrik -5.58 -6.90 -10.88 -8.10 39.30 47.40
Industri Pengolahan Tembakau 31.70 2.88 11.85 15.99 -4.73 9.84 14.57
Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional -23.30 -10.98 -15.49 -16.60 -14.84 -1.24 13.60
Industri Alat Angkutan Lainnya -3.34 -11.71 -15.07 -7.79 -20.23 -10.02 10.21
Industri Pengolahan Lainnya 1.79 -2.97 -5.93 -4.96 0.29 9.15 8.86
Industri Makanan 9.32 0.65 0.28 5.36 5.77 14.32 8.55
Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki -12.11 -16.41 -3.27 -13.10 -0.17 8.36 8.53
Industri Furnitur -6.22 -2.95 1.43 -2.79 7.78 14.55 6.77
Industri Bahan Kimia dan Barang dari Kimia 18.76 1.33 14.62 -16.77 -14.61 -7.96 6.65
Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 17.60 10.98 0.79 1.54 2.00 5.55 3.55
Industri Minuman 5.68 3.47 4.67 6.96 1.92 5.30 3.38
Industri Pakaian Jadi 7.58 4.57 6.72 -6.77 -5.91 -3.07 2.84
Industri Barang Galian Bukan Logam -10.08 -10.44 2.13 -5.32 2.14 4.65 2.51
Industri Tekstil -4.89 -0.65 -1.11 -7.29 -26.86 -26.31 0.55
Industri Kayu, Barang dari Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus
(Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang Anyaman dari Bambu,
Rotan dan Sejenisnya
-3.45 -1.46 -1.37 -3.04 1.82 -0.22 -2.04
Industri Kertas dan Barang dari Kertas -17.01 -23.17 -12.80 -14.40 -18.09 -3.69
Industri Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 41.93 29.47 23.14 63.10 34.36 28.62 -5.74
Industri Logam Dasar 11.23 -0.54 -10.94 -5.79 -23.58 -30.23 -6.65
Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya -12.68 -5.00 -2.79 -2.01 -2.49 -11.79 -9.30
JENIS INDUSTRI KECIL & MENENGAH2015 2016
∆
Grafik 1.65 Perkembangan Kredit Industri Pengolahan
Grafik 1.66 Perkembangan NPL Industri Pengolahan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
34
MEI 2017
konsumsi lebih banyak didorong oleh konsumsi jasa seperti pendidikan. Hal ini sejalan dengan peningkatan
kinerja Lapangan Usaha Jasa Pendidikan dan Jasa Lainnya di Jawa Barat.
Perlambatan pada pertumbuhan Lapangan Usaha Perdagangan tercermin dari perkembangan penjualan
riil yang melambat di tengah optimisme konsumen yang secara keseluruhan masih relatif terjaga.
Berdasarkan Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, Indeks Penjualan Riil Jawa Barat tumbuh
melambat dari 14,77% (yoy) pada triwulan IV menjadi 2,59% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.67).
Perlambatan ini terutama terjadi baik pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, peralatan rumah
tangga, peralatan komunikasi dan rekreasi. Berlalunya momen Natal dan Libur Akhir Tahun serta kenaikan
beberapa administred prices seperti tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak membuat masyarakat
mengurangi konsumsi barang retail.
Meski demikian, secara umum keyakinan konsumen masih terjaga dengan baik. Berdasarkan Survei
Konsumen (SK) Bank Indonesia, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi saat ini
(IKE) masih terus meningkat hingga periode laporan. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) meningkat dari
102,45 pada triwulan IV 2016 menjadi 106,29 pada triwulan I 2017 (Grafik 1.68). Dengan demikian, IKE
Jawa Barat masih terjaga di level optimis (>100) di mana sejak triwulan II 2015 konsisten berada pada level
pesimis hingga triwulan III 2016. Berdasarkan komponen penyusunnya, hal ini didorong oleh peningkatan
indeks konsumsi barang kebutuhan lama (dari 88,96 menjadi 96,51) dan indeks penghasilan saat ini (dari
112,46 menjadi 117,25). Selain itu, dari sisi alokasi pendapatan rumah tangga, perkembangan pangsa
alokasi pendapatan untuk konsumsi tercatat meningkat (dari 64,60% menjadi 64,70%), yang diikuti
dengan penurunan pangsa pada alokasi tabungan (dari 22,9% menjadi 16,44%) (Grafik 1.69). Peningkatan
alokasi pendapatan untuk konsumsi dan penurunan alokasi tabungan mengindikasikan kesediaan untuk
melakukan konsumsi atau dalam hal ini penggunaan output Lapangan Usaha Perdagangan lebih besar.
Sumber: Survei Penjualan Eceran BI Sumber: Survei Konsumen BI
Grafik 1.67 Indeks Penjualan Riil
Grafik 1.68 Indeks Keyakinan Konsumen
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
35
MEI 2017
Sumber: Survei Konsumen BI
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia juga mengkonfirmasi adanya penurunan di
Lapangan Usaha Perdagangan, terlihat dari penurunan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari 1,13 SBT menjadi
-0,61 SBT (Grafik 1.70). Penurunan juga terjadi pada indeks investasi dan penggunaan tenaga kerja yang
masing-masing menurun dari 2,46 SBT menjadi 2,19 SBT untuk komponen investasi dan dari 0,27 SBT
menjadi 0,20 SBT untuk komponen tenaga kerja. Selain SKDU, informasi liaison juga mengindikasikan
bahwa penjualan lapangan usaha perdagangan pada triwulan I 2017 mencatatkan penurunan dibanding
triwulan IV 2016. Hal ini ditunjukkan dengan likert scale penjualan, baik penjualan domestik maupun
ekspor yang mengalami penurunan masing masing dari 1,22 menjadi 0,5 untuk penjualan domestik dan
dari 0,25 menjadi -0,5 untuk penjualan ekspor (Grafik 1.71). Sejalan dengan penurunan penjualan,
informasi liaison mengindikasikan penurunan harga jual dan margin per unit output yang menunjukkan
adanya penurunan output Lapangan Usaha Perdagangan. Likert scale harga jual juga menurun dari 1,44
menjadi 0,43 sementara likert scale margin per unit output menurun dari 1,22 menjadi 0,07 (Grafik 1.72)).
Penurunan penjualan pada contact liaison juga terkonfirmasi dari penurunan penggunaan tenaga kerja dan
upah dengan penurunan likert scale dari 0,56 menjadi 0,14 untuk komponen tenaga kerja dan dari 1,50
menjadi 1,33 untuk komponen upah (Grafik 1.73).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha BI Sumber: Liaison BI
Grafik 1.69 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Grafik 1.70 SKDU Perdagangan Grafik 1.71 Likert Scale Penjualan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
36
MEI 2017
Sumber: Liaison BI Sumber: Liaison BI
Penurunan kinerja Lapangan Usaha Perdagangan terindikasi terjadi pada sub-Lapangan Usaha
Perdagangan Besar seperti penjualan kendaraan bermotor. Pada triwulan I 2017, terjadi perlambatan
penjualan kendaraan di Jawa Barat. Melambatnya penjualan kendaraan tersebut dikonfirmasi oleh data
pendaftaran kendaraan bermotor di Dispenda Jabar serta penjualan kendaraan roda empat di Jabar.
Pertumbuhan pendaftaran kendaraan bermotor yang terlihat dari pendaftaran (Biaya Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBBNKB) 1 melambat baik untuk mobil pribadi maupun sepeda motor baru dengan
perlambatan terdalam pada sepeda motor yakni dari -5,08% menjadi -17,72% (yoy) (Grafik 1.74). Di
tengah kondisi keptidakpastian khususnya kenaikan berbagai tarif yang diatur Pemerintah, masyarakat
diperkirakan menahan ekspansi konsumsinya khususnya untuk barang kebutuhan tidak mendesak/tahan
lama. Selain itu, impor barang konsumsi juga tercatat melambat yang mengindikasikan bahwa masyarakat
menahan konsumsi untuk barang-barang yang sifatnya tersier. Impor barang konsumsi hingga triwulan I
2017 tercatat tumbuh melambat dari 16,4% menjadi -1,6% (yoy) (Grafik 1.75). Penurunan ini terutama
terjadi pada impor barang konsumsi yang bersifat non-durable serta makanan dan minuman yang telah
diproses. Penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga di awal tahun diperkirakan mendorong
melambatnya permintaan impor barang konsumsi.
Sumber: Dispenda Jabar, diolah oleh staf BI
Grafik 1.72 Likert Scale Harga Jual dan Margin Grafik 1.73 Likert ScaleTenaga Kerja
Grafik 1.74 Pendaftaran Kendaran Bermotor Grafik 1.75 Impor Barang Konsumsi
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
37
MEI 2017
Dari segi perbankan, pembiayaan perbankan pada Lapangan Usaha Perdagangan melalui kredit mengalami
peningkatan pada triwulan I 2017 dari 7,94% menjadi 10,25% (yoy) (Grafik 1.76). Selain itu, peningkatan
kredit ini juga disertai dengan membaiknya repayment capacity sektor perdagangan yang terlihat dengan
menurunnya NPL dari 4,34% menjadi 4,19% (Grafik 1.76). NPL ini mulai terlihat menurun dibandingkan
periode sebelumnya yang sejak awal tahun 2016 meningkat bahkan pernah melebihi 5%. Sementara itu,
pertumbuhan pada kredit rumah tangga tercatat stabil cenderung meningkat. Kredit multiguna tercatat
meningkat dari 1,05% menjadi 1,22% (yoy), sedangkan kredit kepemilikan kendaraan bermotor tercatat
stabil dari 1,27% menjadi 1,26% (yoy). Demikian halnya dengan kredit konsumsi yang tercatat meningkat
dari 13,60% menjadi 13,63% (Grafik 1.77).
1.2.3 Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Kinerja Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan pada triwulan laporan tumbuh sebesar
5,75% melambat dibandingkan pertumbuhan di triwulan IV 2016 sebesar 9,35%. Hal ini sejalan
dengan berlalunya musim panen raya di triwulan III dan IV 2016. Panen yang berjalan tidak serentak
mengakibatkan panen raya yang sekiranya terjadi di triwulan ini terbagi di triwulan berikutnya. Perlambatan
kinerja Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan ini terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan
Dunia Usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia yang mengindikasikan terdapat penurunan kapasitas produksi
terpakai Lapangan Usaha Pertanian dari 84,5% menjadi 81,8% (Grafik 1.78).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha BI
Sementara itu, perkembangan kredit atau pembiayaan dari perbankan pada Lapangan Usaha Pertanian
Grafik 1.76 Perkembangan Kredit Perdagangan Grafik 1.77 Perkembangan Kredit Rumah Tangga
Grafik 1.78 Kapasitas Produksi Pertanian - SKDU
Grafik 1.79 Perkembangan Kredit Pertanian
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
38
MEI 2017
juga mengalami perlambatan dibanding triwulan
sebelumnya. Penyaluran kredit perbankan terhadap
Lapangan Usaha Pertanian triwulan I 2017 masih
mengalami penurunan dibandingkan triwulan IV 2016,
dengan pertumbuhan kredit tercatat dari -0,62% menjadi
-1,00% (yoy) (Grafik 1.79). Hal ini mengindikasikan petani
yang menahan pengajuan kredit karena memperkirakan
produksi yang tidak setinggi triwulan sebelumnya. Namun
demikian kredit pertanian mengalami perbaikan kualitas
kredit yang terlihat dari menurunnya NPL kredit pertanian dari 5,52% di triwulan IV 2016 menjadi 4,64%
pada triwulan I 2017 (Grafik 1.80).
Perlambatan lapangan usaha pertanian juga terkonfirmasi dari liaison yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan hasil liaison dengan beberapa Gapoktan diperoleh informasi bahwa panen beras yang bergeser
menjadi bulan Oktober sebenarnya mendorong peningkatan produksi pada triwulan ini. Namun,
peningkatan produksi pangan itu tertahan oleh tingginya curah hujan pada triwulan ini yang menyebabkan
serangan hama penyakit pada aneka tanaman hortikultura. Akibatnya produksi cabai mengalami
penurunan hingga 30% dibandingkan kondisi normalnya yang berdampak pada agregat produksi
pertanian keseluruhan di triwulan I 2017.
Sementara itu, pada komoditas daging ayam, sejumlah peternakan besar pada triwlan I 2017 melakukan
percepatan panennya untuk menghindari gagal panen akibat serangan penyakit di kondisi cuaca dengan
curah hujan tinggi. Walaupun di ujung triwulan mengalami penurunan produksi akibat kerugian yang
dialami beberapa bulan sebelumnya. Informasi liaison mengindikasikan bahwa penjualan produk Lapangan
Usaha Pertanian pada triwulan I 2017 mencatatkan penurunan dibanding triwulan IV 2016. Hal ini
ditunjukkan dengan likert scale penjualan domestik yang mengalami penurunan dari 1,10 menjadi 0,33
SBT. Selain itu, likert scale penggunaan tenaga kerja di lapangan usaha ini juga menurun dari -0,10 menjadi
-0,40 SBT.
Sumber: Liaison BI Sumber: Liaison BI
Grafik 1.81 Likert Scale Penjualan Domestik
Grafik 1.82 Likert Scale Penggunaan Tenaga Kerja
Grafik 1.80 Perkembangan NPL Kredit
Pertanian
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
39
MEI 2017
Sejumlah penyakit tercatat menyerang produksi pertanian di Jawa Barat, diantaranya adalah penyakit busuk
leher yang menyerang produksi gabah di Purwakarta dan menyebabkan menurunnya produksi, penyakit
patek yang melanda produksi cabai di Sukabumi, dan hama wereng di Karawang. Selain itu bencana juga
menyebabkan berkurangnya produksi seperti banjir di Pantura Indramayu akibat jebolnya Bendungan
Sumur Watu yang merendam lahan pertanian dan areal tambak. Pada triwulan I 2017 terdapat penurunan
indeks yang diterima petani dari 104,0 pada triwulan IV 2016 menjadi 102,7 pada triwulan I 2017. Hal ini
mengindikasikan berkurangnya produksi pertanian pada triwulan ini.
Sumber: BPS Jawa Barat, diolah oleh staf BI
1.2.4 Konstruksi
Lapangan Usaha Konstruksi pada triwulan laporan tumbuh sebesar 4,08% melambat dibandingkan
pertumbuhan di triwulan IV 2016 sebesar 4,35%. Lapangan Usaha Konstruksi merupakan lapangan
usaha dengan pangsa ekonomi terbesar keempat di Jawa Barat yaitu sebesar 7,7%. Pada triwulan I 2017,
Lapangan Usaha Konstruksi tercatat mengalami perlambatan dengan tumbuh pada level 4,08% setelah
triwulan sebelumnya tumbuh pada level 4,35% (yoy),
baru dimulainya lelang proyek pemerintah mendorong
perlambatan di lapangan usaha ini. Melambatnya kinerja
Lapangan Usaha Konstruksi terkonfirmasi antara lain dari
hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia
yang menunjukkan adanya penurunan indeks realisasi
kegiatan usaha Lapangan Usaha Konstruksi dari 0,70
menjadi -1,56 SBT (Saldo Bersih Tertimbang) (Grafik 1.84).
Perlambatan perkembangan kegiatan usaha tersebut
didukung oleh melambatnya indeks harga jual dan
penggunaan tenaga kerja yang masing-masing melambat dari 0,88 menjadi 0,52 SBT untuk komponen
harga jual dan dari 0,53 menjadi -0.78 SBT.
Grafik 1.83 Indeks Yang Diterima Petani
Grafik 1.84 Indeks Realisasi Keg Usaha Konstruksi
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha BI
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
40
MEI 2017
Selain faktor lelang proyek pemerintah yang baru berjalan, kondisi cuaca diperkirakan cukup menghambat
penyelesaian proyek-proyek infrastruktur di awal tahun. Sebagai contoh, penyelesaian perbaikan Jembatan
Cisomang yang ditargetkan selesai pada Maret 2017 mengalami kemunduran karena tigginya curah hujan.
Namun demikian, terdapat beberapa proyek pembangunan multi years swasta maupun pemerintah yang
dapat mendorong kinerja Lapangan Usaha Konstruksi di triwulan berikutnya, sebagai contoh adalah
pembangunan pabrik mobil asal China yaitu Wuling di Cikarang, Bekasi. Hingga akhir tahun 2016
pembangunan pabrik sudah mencapai 70% dan diperkirakan akan diresmikan serta beroperasi pada awal
triwulan II 2017.
Indikasi akan meningkatnya kinerja Lapangan Usaha Konstruksi juga terlihat dari meningkatnya kredit atau
pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan kepada LU Konstruksi, yang tumbuh cukup tinggi dari 18,13%
pada triwulan IV 2016 menjadi 24,28% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik 1.85). Namun demikian,
meskipun mengalami peningkatan kredit, risiko repayment capacity Lapangan Usaha Konstruksi juga
meningkat cukup tinggi tercermin dari peningkatan NPL dari 3,98% menjadi 7,05% pada triwulan I 2017
(Grafik 1.86). Sementara dari sisi kredit perumahan, terjadi peningkatan pada kredit kepemilikan rumah
(KPR) dari 2,42% mejadi 2,73% didorong oleh peningkatan kredit kepemilikan rumah pada semua tipe
baik kecil, menengah maupun besar (Grafik 1.87). Namun sama halnya dengan kredit konstruksi secara
umum, NPL KPR juga meningkat dari 2,42% menjadi 2,73% pada triwulan I 2017 (Grafik 1.88). Namun
demikian NPL KPR masih terjaga pada level rendah.
Grafik 1.85 Perkembangan Kredit LU Konstruksi
Grafik 1.86 Perkembangan NPL Kredit LU Konstruksi
Grafik 1.87 Perkembangan KPR
Grafik 1.88 Perkembangan NPL KPR
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
41
MEI 2017
Tracking Perkembangan Ekonomi Makro Regional Triwulan II 2017
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I I 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan
triwulan I 2017, dengan perkiraan pertumbuhan pada rentang 5,7% - 6,1% (yoy). Dari sisi
pengeluaran, peningkatan diperkirakan terjadi pada seluruh komponen dengan akselerasi konsumsi rumah
tangga masih menjadi menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2017. Perkiraan
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan II 2017 didorong oleh beberapa faktor
antara lain :
1. Faktor seasonal yakni terjadi pergeseran momen Ramadhan dan Lebaran menjadi seluruhnya
berlangsungnya pada triwulan II 2017, sementara pada tahun 2016 sebagian momen Ramadhan serta
momen Lebaran berlangsung pada awal triwulan III.
2. Pemberian baik Tunjangan Hari Raya (THR) maupun gaji ke-13 (bagi PNS) pada akhir triwulan II 2016
3. Berlangsungnya serangkaian momen libur panjang pada triwulan II 2016 yang lebih banyak
dibandingkan triwulan II 2016 juga menjadi faktor pendorong utama meningkatnya konsumsi dan
kegiatan perdagangan, mengingat Jawa Barat merupakan wilayah tujuan wisata utama oleh warga
ibukota
4. Telah diselesaikannya perbaikan Jembatan Cisomang yang kembali beroperasi normal pada April 2017
juga diperkirakan turut mendorong perokonomian tumbuh lebih baik dibanding triwulan I 2017 saat
perbaikan masih berlangsung dan lalu lintas kendaraan golongan II-V masih dialihkan ke jalur alternatif
5. Berlanjutnya perbaikan ekonomi global termasuk negara/kawasan mitra dagang Jawa Barat (ASEAN,
Amerika Serikat, dan Eropa) serta kenaikan harga komoditas global yang mendorong permintaan
terhadap ekspor dari Jawa Barat
6. Meningkatnya belanja pegawai Pemerintah Provinsi akibat pengalihan wewenang pengelolaan 28.000
PNS dari Pemerintah Kab/Kota ke Pemerintah Provinsi
Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi menahan peningkatan pertumbuhan ekonomi
Jawa Barat pada triwulan II 2017, yakni :
1. Kenaikan tarif listrik tahap III untuk golongan 900VA berpotensi menahan daya beli rumah tangga
2. Konsumsi Pemerintah Daerah tercatat melambat jika dibandingkan dengan triwulan II 2016 pada saat
persiapan pelaksanaan PON dan Peparnas.
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
42
MEI 2017
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2017 - Sisi Pengeluaran
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber : BPS Jawa Barat, diolah
Perkiraan peningkatan konsumsi rumah tangga pada triwulan berjalan sesuai dengan optimisme
konsumen yang tercermin dari hasil Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia, di mana Indeks
Ekspektasi Konsumen (IEK) pada triwulan II 2017 sebesar 139,90 meningkat dibanding triwulan sebelumnya
sebesar 138,53 (Grafik 1.83). Peningkatan IEK ini terutama didorong oleh peningkatan indeks ekspektasi
kegiatan usaha (dari 143,96 menjadi 147,51) dan indeks ekspektasi penghasilan (dari 149,11 menjadi
151,76). Peningkatan ekspektasi kegiatan usaha ini juga dikonfirmasi oleh Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) yang memperkirakan SBT kegiatan usaha di triwulan II 2017 sebesar 57,44 meningkat dibandingkan
triwulan I 2017 sebesar 22,10. Adapun ekspektasi peningkatan penghasilan selain sebagai imbas dari
meningkatnya kegiatan usaha, juga disebabkan oleh adanya pencairan THR dan gaji ke-13 bagi PNS. Selain
itu, survei yang dilakukan BPS Jawa Barat juga menunjukkan perkiraan yang sejalan. Indeks Tendensi
Konsumen (ITK) pada triwulan II 2017 diperkirakan sebesar 116,50 atau meningkat cukup signifikan jika
dibandingan ITK triwulan I 2017 sebesar 104,50.
Transmisi pelonggaran kebijakan moneter diperkirakan berlanjut dan semakin dirasakan dampaknya pada
triwulan II 2017. Hal ini sejalan dengan perkembangan kredit yang mulai menunjukkan sinyal perbaikan
sejak akhir tahun 2016 hingga triwulan I 2017. Bank Indonesia telah mempertahankan suku bunga 7 Days
Repo Rate (RR) di level 4,75% sejak awal tahun 2017 untuk menjaga momentum perbaikan ekonomi.
Selain itu, relaksasi kebijakan LTV sejak Agustus 2016 diperkirakan terus mendorong permintaan
masyarakat terhadap KPR.
Pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan II 2017,
sejalan dengan pola spending pemerintah mulai meningkat memasuki triwulan II. Pada konsumsi
Pemerintah Provnsi, peningkatan terbesar diperkirakan terjadi pada pertumbuhan belanja pegawai dan
belanja barang. Hal ini sebagai implikasi lanjutan dari diterapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah sejak awal tahun 2017 yang menyebabkan beralihnya beberapa kewenangan kota-
kabupaten ke provinsi, provinsi ke nasional, maupun sebaliknya. Beberapa kewenangan yang beralih dari
sebelumnya di kota/kabupaten ke provinsi adalah pendidikan menengah, ketenagakerjaan, ESDM,
perhubungan dan kehutanan sehingga berdampak pada dialihkannya PNS kota/kabupaten ke provinsi
sebanyak 28 ribu orang, dengan proporsi terbesar adalah tenaga guru termasuk honorer. Dengan
Grafik 1. 89 Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Jawa Barat Grafik 1. 90 Perkiraan Indeks Tendensi Konsumen Jawa
Barat
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
43
MEI 2017
demikian, pemerintah provinsi juga harus mengeluarkan belanja tambahan untuk THR pegawai-pegawai
yang dialihkan tersebut.
Pertumbuhan investasi juga diperkirakan
mengalami peningkatan pada triwulan II 2017
dibandingkan triwulan sebelumnya. Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) menunjukkan
adanya peningkatan perkiraan kegiatan investasi
dunia usaha yakni dari dari 15,40% SBT pada
triwulan I 2017 menjadi 26,41% SBT pada triwulan
II 2017 (Grafik 1.85). Secara sektoral, peningkatan
terjadi pada seluruh sektor utama Jawa Barat.
Berdasarkan jenisnya, peningkatan investasi
bangunan diperkirakan menjadi faktor utama pendorong peningkatan laju investasi pada triwulan II 2017.
Hal ini terutama didorong oleh percepetan penyelesaian pembangunan sejumlah proyek infrastruktur
strategis di Jawa Barat, antara lain meliputi pembangunan jalan Tol Cisumdawu, Tol Soroja, Bandung Intra
Urban Toll Road, Tol Cimanggis-Cibitung, Bogor Ring Road, Tol Cikarang-Tj. Priok, Tol Cileunyi-Nagreg-
Tasikmalaya, LRT Terintegrasi Jabodebek serta Bandara Internasional Kertajati. Selain itu, kembali normalnya
operasionalisasi Jembatan Cisomang juga diperkirakan mendorong pelaku usaha untuk kembali
meningkatkan kegiatan investasinya, didukung proses logistik yang kembali lancar. Investasi non-bangunan
diperkirakan juga berpotensi kembali meningkat, khususnya untuk mendukung peningkatan kapasitas
produksi dalam memenuhi permintaan menjelang Ramadhan & Lebaran. Sebagaimana perkembangan
pada triwulan I 2017, investasi non bangunan di industri otomotif diperkirakan akan kembali meningkat,
khususnya mengingat strategi pelaku industri otomotif dalam mengeluarkan mobil tipe terbaru menjelang
Lebaran sehingga biasanya membutuhkan mesin dengan spesifikasi baru.
Pertumbuhan ekspor luar negeri juga diperkirakan kembali meningkat pada triwulan I 2017 setelah
menunjukkan perbaikan yang sangat positif selama beberapa triwulan terakhir. Pendorong utama
perkiraan peningkatan ekspor Jawa Barat terutama bersumber dari ASEAN dan Eropa. Prospek positif pada
ASEAN sama halnya dengan mayoritas negara berkembang lainnya, terutama didorong oleh kekuatan
konsumsi domestiknya yang masih solid. Kinerja Eropa pada triwulan I 2017 bahkan berada di atas prediksi
di awal tahun, di mana PMI Eropa pada bulan Maret 2017 bahkan mencatatkan level tertingginya sejak
April 2011. Prospek Eropa ke depan juga diperkirakan membaik seiring dengan terpilihnya Presiden baru
Perancis yang dipercaya mampu berpartisipasi mendorong perbaikan kinerja Eropa. Adapun perekonomian
Amerika Serikat yang menunjukkan sinyal terus membaik turut memberikan prospek positif pada kinerja
ekspor Jawa Barat, namun perlu diwaspadai masih adanya tendensi kebijakan proteksionis yang akan
diambil Presiden Amerika Serikat khususnya terhadap negara-negara yang menciptakan defisit neraca
perdagangan yang cukup besar bagi Amerika Serikat. Berlanjutnya prospek kenaikan harga komoditas
global juga memberikan dampak positif baik kepada harga jual produk ekspor Jawa Barat di pasar global
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik 1. 91 Perkiraan Investasi Dunia Usaha
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
44
MEI 2017
maupun peningkatan permintaan ekspor antara daerah dari wilayah-wilayah yang pendapatannya
meningkat karena perekonomiannya berbasis sumber daya alam/SDA (seperti Sumatera dan Kalimantan).
Sejalan dengan pertumbuhan ekspor, pertumbuhan impor juga diperkirakan meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya dengan persentase peningkatan yang lebih rendah dibanding
ekspor, sehingga memberikan ruang bagi peningkatan net ekspor luar negeri Jawa Barat . Impor
barang konsumsi diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan menjelang momen
Ramadhan dan Lebaran, khususnya untuk kelompok makanan & minuman, alat komunikasi, serta furniture.
Impor bahan baku juga diperkirakan meningkat setelah pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan.
Peningkatan impor bahan baku diperkirakan untuk mendukung kegiatan produksi yang juga meningkat
menjelang Ramadhan dan Lebaran. Adapun impor barang modal juga diperkirakan meningkat terbatas,
khususnya untuk barang modal pendukung industri otomotif dalam rangka memproduksi jenis/tipe mobil
terbaru.
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2017 - Sisi Lapangan Usaha
Laju pertumbuhan Lapangan Usaha Industri Pengolahan diperkirakan meningkat dibanding triwulan
sebelumnya. Hal ini terindikasi dari peningkatan indeks prakiraan kegiatan usaha SKDU untuk Lapangan
Usaha Industri Pengolahan yang meningkat dari 9,75 menjadi 17,22 SBT. Selain itu meningkatnya
keyakinan konsumen atas kondisi ekonomi ke depan yang terlihat dari meningkatnya IEK pada triwulan I
2017 juga menjadi demand pull factor bagi kinerja industri pengolahan khususnya menyambut momen
Ramadhan dan Lebaran. Peningkatan ekspor khususnya ekspor otomotif yang sangat signifikan diindikasi
masih akan berlanjut di triwulan II 2017 karena peningkatan ini diindikasi didorong oleh membaiknya
permintaan global yang terlihat dari meningkatnya purchasing index negara-negara mitra dagang Jawa
Barat. Purchasing Manager Index (PMI) Eropa mencatatkan level tertingginya sejak April 2011. Prospek
Eropa ke depan juga diperkirakan membaik seiring dengan terpilihnya Presiden baru Perancis yang
dipercaya mampu berpartisipasi mendorong perbaikan kinerja Eropa. Namun demikian PMI beberapa mitra
dagang lainnya khususnya Amerika justru mengalami penurunan. Sudah beroperasinya Jembatan
Cisomang untuk kendaraan golongan II ke atas juga memperlancar arus barang baik bahan baku maupun
distribusi produk. Namun demikian risiko kemampuan bayar (repayment capacity) industri pengolahan yang
cukup tinggi dibandingkan lapangan usaha utama lainnya perlu diwaspadai.
Laju pertumbuhan Lapangan Usaha Perdagangan Besar-Eceran & Reparasi Kendaraan diperkirakan
meningkat dibanding triwulan sebelumnya sesuai pola historis Ramadhan dan Lebaran. Keyakinan
konsumen Jawa Barat yang tercermin dari indeks keyakinan konsumen mengalami peningkatan pada
triwulan II 2017 dibandingkan triwulan I 2017. Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) pada triwulan I 2017
menunjukkan peningkatan, khususnya untuk komponen penyusunannya yakni durable goods. Peningkatan
indeks ini mengindikasikan peningkatan konsumsi masyarakat atas durable goods yang merupakan salah
satu sub Lapangan Usaha Perdagangan Besar. Indeks Tendeksi Konsumen (ITK) yang dirilis BPS
menunjukkan peningkatan prakiraan pada triwulan II 2017 dari 104,5 menjadi 116,5. Selain itu, Indeks
Penjuaal Riil (IPR) tumbuh meningkat dari 2,59% menjadi 3,67% pada awal triwulan II 2017. Berdasarkan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
45
MEI 2017
kelompok barangnya, peningkatan terutama pada kelompok makanan minuman, tembakau dan bahan
bakar. Dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terindikasi adanya peningkatan indeks prakiraan
kegiatan usaha SKDU untuk Lapangan Usaha Perdagangan yang meningkat dari 8,41 menjadi 11,28 SBT.
Sementara itu dari segi risiko, dampak kenaikan tarif-tarif yang diatur pemerintah di awal tahun telah mulai
dapat disesuaikan oleh masyarakat sehingga dampaknya terhadap pengurangan daya beli masyarakat telah
dapat diminimalisir.
Sementara itu, kinerja lapangan usaha pertanian pada triwulan II 2017 diperkirakan melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya seiring kembali masuknya masa tanam. Hal ini tercermin dari
penurunan indeks prakiraan kegiatan usaha SKDU untuk lapangan usaha pertanian yang menurun dari
6,48 menjadi 5,28 SBT. Pergeseran masa tanam sejak akhir tahun 2015 menyebabkan masa panen raya
telah terjadi pada triwulan I 2017 sehingga pada triwulan II panen raya telah berakhir. Pola seasonal ini
menyebabkan menurunnya produksi pertanian khususnya beras pada triwulan II 2017 dibandingkan
dengan triwulan I 2017. Beberapa produksi pertanian hingga April 2017 mengindikasikan penurunan
contohnya produksi beras di Priangan Timur yang sudah berlangsung secara kontinyu setiap bulan tetapi
pada bulan Mei 2017 ini, produksi beras lebih rendah dibandingkan triwulan I dan April karena telah
berakhirnya puncak panen sehingga secara keseluruhan Lapangan Usaha Pertanian menurun.
Pertumbuhan Lapangan Usaha Konstruksi diperkirakan mengalami peningkatan dibanding triwulan
sebelumnya, sejalan dengan mulai berlangsungnya proyek-proyek pemerintah seiring dengan upaya
percepatan realisasai anggaran. Peningkatan indeks prakiraan kegiatan usaha SKDU untuk Lapangan
Usaha Perdagangan yang meningkat dari 0,88 menjadi 2,34 SBT. Hal ini juga diperkuat dengan data
penjualan semen di Jawa Barat yang hingga awal triwulan II 2017 terus tumbuh meningkat, yakni dari -
0,4% (yoy) pada triwulan I 2017 menjadi 9,2% (yoy) pada April 2017. Beberapa proyek infrastruktur
pemerintah diperkirakan menjadi pendorong kenaikan kinerja Lapangan Usaha Konstruksi antara lain:
Dimulainya konstruksi jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung pada awal tahun 2017 serta dampaknya
berupa pembangunan beberapa pabrik precast beton di sepanjang jalur kereta yang dibangun
Mulai dilakukan pembangunan jalan dan jembatan akses menuju Geopark Cileteuh dengan dana total
sebesar Rp 200 miliar hingga akhir tahun 2017
Pembangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) dan dimulainya proyek Tol Bandung Intra
Urban Tol Road (BIUTR)
Pembangunan jembatan layang yang menghubungkan Tegal Danas dengan Tegal Gede di Cikarang
Selatan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
46
MEI 2017
Melambatnya perekonomian global yang diiringi dengan penurunan harga komoditas khususnya
sepanjang tahun 2014 hingga 2016 turut berdampak kepada penurunan kinerja ekonomi nasional serta
Jawa Barat. Walaupun pada tahun 2016 Jawa Barat sudah mulai menunjukkan recovery dengan tumbuh
sebesar 5,67% (yoy), namun tingkat pertumbuhan tersebut masih di bawah rata-rata pertumbuhan
sebelum terjadinya deselerasi yakni pada tahun 2010-2013 sebesar 6,50% (yoy). Membaiknya
perekonomian Jawa Barat di tahun 2016 antara lain didorong oleh faktor insidentil yakni
diselenggarakannya PON dan Peparnas di Jawa Barat.
Pada tahun 2016, sebesar 66,53% perekonomian Jawa Barat ditopang oleh 3 (tiga) sektor ekonomi
utama, yakni industri pengolahan (pangsa 42,49%), perdagangan besar & eceran (pangsa 15,15%), serta
pertanian, kehutanan & perikanan (pangsa 8,90%). Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa struktur
perekonomian Jawa Barat cukup terkonsentrasi pada ketiga sektor ekonomi tersebut. Namun demikian,
khususnya pertumbuhan sektor industri pengolahan dan perdagangan terpantau relatif melambat dan
stagnan selama beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan industri pengolahan pada tahun 2016 sebesar
4,77% lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan 5 (lima) tahun terakhir sebesar 5,39%. Demikian
juga halnya dengan pertumbuhan perdagangan pada tahun 2016 sebesar 4,44% yang juga lebih rendah
dibanding rata-rata 5 (lima) tahun terakhir sebesar 6,44%. Hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan
ekonomi Jawa Barat pada tahun 2016 turut ditopang oleh sektor-sektor lainnya di luar sektor ekonomi
utama.
Untuk mendorong akselerasi pada pertumbuhan ekonomi, diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi
menjadi salah satu agenda penting untuk dilaksanakan. Di tengah berbagai tantangan baik dari sisi global
maupun domestik, perekonomian Jawa Barat sebaiknya tidak lagi bergantung pada beberapa sektor
ekonomi tertentu saja. Sama halnya
dengan portfolio investasi, diversifikasi
pada sumber-sumber pendapatan dan
pertumbuhan membangun
perekonomian yang semakin resilien
terhadap shock serta meng-cover sektor-
sektor utama yang sudah mulai tumbuh
stagnan. Penghitungan tingkat
kosentrasi ekonomi di Jawa Barat
menggunakan Hirschman-Herfindahl Index (HHI2) menunjukkan bahwa perekonomian Jawa Barat lebih
2 Indeks yang digunakan untuk mengukur konsentrasi pasar berdasarkan pangsa setiap pemain di dalam pasar.
Dalam hal ini, HHI digunakan untuk mengukur konsentrasi sektor ekonomi berdasarkan pangsa masing-masing
sektor terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). HHI di atas 2.500 dikategorikan sangat terkosentrasi.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
IND
ON
ES
IA
JAT
EN
G
DIY
JAT
IM
BA
NT
EN
DK
I
JAW
A
JAB
AR
HHI (Hirschman-Herfindahl Index)
BOKS 1
DIVERSIFIKASI SUMBER PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
47
MEI 2017
terkonsentrasi jika dibandingkan dengan
nasional maupun provinsi lainnya di
Jawa (Grafik 1). Namun index HHI Jawa
Barat
terkons Jika dianalisa lebih mendalam, tingginya konsentrasi ini disebabkan oleh pangsa sektor
industri pengolahan yang cukup tinggi. Namun secara spesifik, konsentrasi di sektor industri pengolahan
cukup rendah dengan nilai index HHI sebesar 1.376 yang mencerminkan sebaran pangsa di subsektor
industri pengolahan lebih merata.
nilai index HHI di atas 2.500 terdiri dari Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bogor, Kab.
Bandung, Kab. Cimahi, dan Kab. Indramayu (Grafik 2). Jika ditelusuri, Kab/Kota tersebut merupakan
wilayah yang perekonomiannya sangat terkonsentrasi pada sektor industri pengolahan dengan rata-rata
pangsa mencapai 58,63% (khususnya Kab. Bekasi dan Kab. Karawang masing-masing mencapai 78,36%
dan 71,39%).
Grafik Perbandingan Konsentrasi Sektor Ekonomi Antar Kab/Kota di Jawa Barat
Secara umum, kab/kota dengan tingkat
konsentrasi ekonomi yang lebih rendah
dan moderat (di bawah 2.500) memiliki
fluktuasi pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah atau stabil sebagaimana
terlihat pada kotak yang diarsir (Grafik
3). Namun demikian, terdapat anomali
pada beberapa daerah di mana tingkat
konsentrasi ekonomi yang relatif
moderat disertai dengan volatilitas
pertumbuhan ekonomi yang juga tinggi, yakni di Kota Depok, Kota Cirebon, dan Kota Sukabumi.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Kab
. B
ekasi
Kab
. K
ara
wan
g
Kab
. P
urw
akart
a
Kab
. B
og
or
Kab
. B
an
du
ng
Ko
ta C
imah
i
Kab
. In
dra
mayu
Kab
. Tasi
km
ala
ya
Kab
. G
aru
t
Kab
. B
an
du
ng
Bara
t
Ko
ta B
ekasi
Ko
ta S
ukab
um
i
Ko
ta D
ep
ok
Kab
. C
ian
jur
Ko
ta C
ireb
on
Kab
. P
an
gan
dara
n
Ko
ta B
an
du
ng
Kab
. M
aja
len
gka
Kab
. Su
ban
g
Kab
. C
iam
is
Kab
. Su
kab
um
i
Ko
ta B
an
jar
Kab
. K
un
ing
an
Kab
. Su
med
an
g
Ko
ta T
asi
km
ala
ya
Kab
. C
ireb
on
Ko
ta B
og
or
HHI (Hirschman-Herfindahl Index)
Grafik Perbandingan Konsentrasi Sektor Ekonomi
Antar Daerah
Grafik Perbandingan Konsentrasi Ekonomi Dengan Fluktuasi
Pertumbuhan Ekonomi
y = -5E-05x + 0.6606R² = 0.0251
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000
Standar Deviasi Pertumbuhan Ekonomi
HHI
Kota Depok
Kota Cirebon
Kota Sukabumi
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
48
MEI 2017
Berbeda dengan struktur PDRB sektoral, sebaran pangsa produk ekspor Jawa Barat lebih merata atau
tidak terlalu terkonsentrasi pada jenis produk tertentu. Hal ini tercermin dari index HHI produk ekspor
Jawa Barat sebesar 661 (lebih rendah dibanding HHI PDRB sektoral sebesar 2.256) dan merupakan yang
terendah jika dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Jawa (Grafik 4). Jika dilakukan perbandingan antar
provinsi, ditemukan bahwa provinsi dengan konsentrasi produk ekspor lebih rendah cenderung memiliki
fluktuasi pertumbuhan ekspor yang juga lebih rendah (Grafik 5). Dengan demikian, berdasarkan plotting
sederhana ini dapat diindikasikan bahwa diversifikasi jenis produk ekspor mendorong terciptanya
pertumbuhan ekspor yang lebih stabil di suatu provinsi.
Grafik Perbandingan Konsentrasi Produk Ekspor
Antar Daerah
Grafik Perbandingan Konsentrasi Ekonomi Dengan
Fluktuasi Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mengetahui tahapan atau stages pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai oleh masing-masing
kabupaten/kota di Jawa Barat, dilakukan pemetaan berdasarkan Tipologi Klassen3. Dengan mengadaptasi
proses pengukuran dari Tipologi Klassen, economic stages dibagi ke dalam empat kategori tahapan, yakni
: (1) factor driven, di mana perekonomian setempat masih relatif underdeveloped dan cenderung
bergantung kepada sumber daya alam; (2) factor to efficiency, di mana perekonomian setempat sudah
mulai berkembang dari basis sumber daya alam ke sektor yang lebih efisien dicerminkan dengan tingkat
pertumbuhan di atas rata-rata, namun pendapatan per kapita rendah; (3) efficiency driven, di mana
perekonomian setempat sudah sepenuhnya bergantung kepada sektor yang efisien atau bernilai tambah
lebih tinggi tercermin dari pendapatan per kapita di atas rata-rata, namun dengan tingkat pertumbuhan
yang sudah mulai stagnan; dan terakhir tahap (4) efficiency to innovation, di mana perekonomian
setempat bahkan sudah beranjak dari sektor yang bersifat teknikal efisien ke berbasis jasa yang
berlandaskan inovasi, sehingga baik pendapatan per kapita maupun tingkat pertumbuhannya berada di
atas rata-rata.
3 Tipologi Klassen merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional yang dapat digunakan untuk mengetahui
klasifikasi stages suatu wilayah. Perhitungan dalam rangka pengelompokan tipologi klassen dapat menggunakan
perbandingan berbagai variabel seperti tingkat pertumbuhan, kontribusi, maupun pendapatan per kapita.
0200400600800
10001200140016001800
IND
ON
ES
IA
JAW
A
DK
I
JAB
AR
JAT
EN
G
DIY
JAT
IM
BA
NT
EN
HHI (Hirschman-Herfindahl Index)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
0 2000 4000 6000 8000 10000
Standar Deviasi Pertumbuhan
Ekspor
HHI
Sulawesi
Utara
Sulawesi
Tenggar
a
AcehJawa
Tengah
Jawa
Bara
t
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
49
MEI 2017
Grafik Pemetaan Economic Stages Kab/Kota di Jawa Barat Berdasarkan Tipologi Klassen
Berdasarkan pemetaan tipologi klassen di Jawa Barat, diketahui bahwa mayoritas kab/kota di Jawa Barat
yakni mencapai 14 kab/kota masih berada di stage 1 yakni perekonomian yang bersifat factor driven
(Grafik 6). Sesuai dengan klasifikasinya, tercermin bahwa kab/kota yang tergolong ke dalam stage ini
perekonomiannya mayoritas masih bergantung kepada sektor primer dengan rata-rata pangsa sektor
pertanian sebesar 22,5% (terbesar di Kab. Garut dan Kab. Tasikmalaya dengan pangsa masing-masing
sebesar 38,92% dan 38,34%). Selanjutnya, 6 (enam) kab/kota termasuk ke dalam klasifikasi stage 2
(factor to efficiency driven) di mana sektor yang mulai mendominasi antara lain adalah perdagangan dan
konstruksi. Terdapat 4 (empat) kab/kota yang tergolong ke dalam stage 3 (efficiency driven) di mana
pangsa yang mulai mendominasi adalah sektor industri pengolahan. Terakhir, hanya terdapat 3 kab/kota
yang tergolong ke dalam stage paling maju atau bersifat efficiency to innovation, di mana karakteristik
perekonomiannya selain ditopang terutama oleh industri pengolahan, juga mengalami peningkatan
pangsa sektor-sektor tersier atau jasa dibandingkan stage sebelumnya. Dari aspek kesejahteraan, terlihat
bahwa semakin tinggi economic stage suatu daerah umumnya diikuti dengan pendapatan per kapita
serta pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi serta tingkat kemiskinan yang semakin rendah (Gambar
1). Adapun yang menjadi tugas Pemerintah Daerah adalah mendorong agar daerah-daerah yang masih
berdalam dalam kategori stage 1 (bergantung kepada sumber daya alam/factor driven) dapat didorong
agar mulai mengalihkan sumber-sumber pertumbuhan ekonominya ke sektor-sektor yang
berkarakteristik efisiensi serta inovasi (seperti industri pengolahan dan jasa-jasa) sehingga dapat beranjak
ke economic stage berikutnya.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 10 20 30 40 50 60 70 80
1 3
Rerata Pendapatan/kapita
Rerata Pertumbuhan (%)42
EFFICIENCY TO
INNOVATION
EFFICIENCY
DRIVEN
FACTOR TO
EFFICIENCY
FACTOR DRIVEN
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
50
MEI 2017
Gambar Pemetaan Economic Stages Kab/Kota di Jawa Barat Berdasarkan Tipologi Klassen
Selanjutnya, pemetaan stages dari sektor-sektor ekonomi di Jawa Barat dilakukan menggunakan alat
analisis Boston Consulting Group (BCG) Matrix4. Melalui matriks ini, dilakukan pemetaan dengan
membandingkan rata-rata pertumbuhan serta rata-rata pangsa masing-masing sektor ekonomi selama 5
tahun terakhir. Adapun klasifikasi sektor dengan mengadaptasi BCG matrix terdiri dari : (1) sektor
pendukung, dengan tingkat pertumbuhan serta pangsa di bawah rata-rata atau cenderung stagnan; (2)
sektor utama, dengan pangsa yang besar di atas rata-rata namun tingkat pertumbuhan relatif stagnan;
(3) sektor potensial, yakni sektor-sektor dengan tingkat pertumbuhan tinggi namun pangsa yang masih
relatif rendah; dan sektor high performer yakni (4) sektor inovasi, dengan tingkat pertumbuhan tinggi
serta pangsa besar di atas rata-rata. Dari ke-17 sektor ekonomi, sektor konstruksi merupakan satu-
satunya top performer yang tergolong ke dalam sektor inovasi, di mana pangsanya terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan yang konsisten cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir.
4 BCG Matrix dibangun oleh Bruce Henderson pada awal tahun 1970 yang bertujuan untuk mengklasifikasikan suatu
bisnis atau produk sebagai low atau high performer dengan membandingkan tingkat pertumbuhannya dan market
share. Dalam analisis ini, BCG Matrix digunakan untuk mengklasifikasikan performance sektor ekonomi Jawa Barat.
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
51
MEI 2017
Sumber : Kalkulasi Staf BI, diadaptasi dari Boston Consulting Group Matrix, Bruce Henderson (1970)
Gambar Pemetaan Stages Sektor Ekonomi Jawa Barat
Adapun sektor-sektor yang perlu didorong dan berpotensi menjadi fokus pengembangan dalam
diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baru di Jawa barat adalah sektor-sektor yang berada dalam
kelompok sektor potensial. Sektor-sektor ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi di atas rata-
rata selama beberapa tahun terakhir, namun pangsanya masih relatif kecil sehingga andilnya terhadap
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat juga masih terbatas. Adapun sektor-sektor potensial ini umumnya
berbasis jasa. Secara spesifik, sektor yang dapat difokuskan pengembangannya oleh Pemerintah adalah
jasa pariwisata yang dalam hal ini terkait dengan sektor penyediaan akomodasi & makanan minuman,
mengingat sektor ini menyerap banyak tenaga kerja serta multiplier dengan sektor-sektor terkait lainnya.
Berdasarkan sebaran spasialnya, mayoritas sektor-sektor potensial ini umumnya tersebar di Kab/Kota
dengan pangsa besar di Jawa Barat (Kota Bandung, Kab. Bogor, Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kota Bogor,
dan Kab. Karawang) (Tabel 1). Adapun daerah-daerah ini mayoritas tersebar di wilayah Jawa Barat bagian
utara. Hal ini juga perlu menjadi perhatian Pemerintah bahwa dalam usahanya mendorong sektor-sektor
potensial ini ke depannya, perlu diwaspadai risiko meningkatnya ketimpangan antara Jawa Barat bagian
utara dan selatan mengingat mayoritas sektor-sektor ini terutama tersebar di bagian utara.
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
52
MEI 2017
Tabel Sebaran Wilayah Penyumbang Terbesar PDRB Sektor-Sektor Potensial
Keterangan : Kab/Kota di atas menyumbang 60% terhadap PDRB masing-masing sektor
Berdasarkan informasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jawa Barat,
arah kebijakan pemerintah masih fokus kepada sektor-sektor utama di Jawa Barat, seperti sektor
Pertanian dan sektor Industri. Untuk sektor pertanian arah kebijakan pemerintah adalah:
1. Produk pangan harus jadi perhatian dan komitmen karena jumlah penduduk besar yang berimplikasi
terhadap ketersediaan pangan yang harus memadai;
2. Berdasarkan hasil kajian Tabel Input Output Jabar, sektor pertanian memiliki nilai backward linkage
yang besar namun relative kecil untuk angka forward linkage. Artinya,potensi pertanian Jabar perlu
didorong untuk industrialisasi (agroindustri);
3. Penekanan pembangunan sektor pertanian seyogianya tidak hanya di aspek produksi, tetapi
pengolahan dan pemasaran. Selain itu juga harus dibangun institusi pasar sebagai option market
yang akan meningkatkan pendapatan petani dan menjamin redistribusi pendapatan antara
pedagang dengan petani yang lebih adil.
Sedangkan untuk sektor industri, pemerintah fokus terhadap peningkatan daya saing industri dengan
memberikan insentif insentif bagi industri yang menggunakan komponen lokal relatif tinggi (diatas 60%).
Dari sisi penanaman modal, pemerintah Provinsi Jawa Barat mengarahkan agar pelaksanaannya lebih
kepada sektor prioritas.
Jika dilihat dari arah kebijakan di atas, pemerintah Provinsi Jawa Barat belum mengarahkan fokusnya
kepada sektor potensial yaitu sektor pariwisata. Seperti penjelasan di atas, sektor pariwisata memiliki
potensi yang cukup besar untuk dapat dikembangkan di Jawa Barat, antara lain:
1. Pasar yang menjanjikan, dimana Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah penduduk dan
jumlah wisatawan domestic terbanyak di Indonesia;
2. Transportasi yang memadai, Jawa Barat memiliki Bandara Internasional, Jalan Tol terpanjang se-
Indonesia dan aksesibilitas pendukung lainnya;
3. Menggabungkan Bisnis dan Wisata, Jawa Barat memiliki 2.687 restoran, 561 objek dan daya Tarik
wisata, 391 jenis kesenian, 1.739 benda cagar budaya;
Informasi dan
KomunikasiReal Estate
Penyediaan
Akomodasi &
Mamin
Transportasi dan
Pergudangan
Jasa Keuangan &
Usaha
Jasa Lainnya
(Kesehatan,
Pendidikan,
Sosial)
Kota Bandung Kota Bandung Kota Bandung Kota Bandung Kota Bandung Kota Bandung
Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kota Bekasi Kota Bogor Kab. Bogor
Kab. Bekasi Kota Bekasi Kota Bekasi Kab. Bogor Kab. Bekasi Kab. Bandung
Kota Bogor Kab. Bekasi Kab. Bandung Kota Bogor Kota Bekasi Kota Bekasi
Kab. Karawang Kab. Bandung Kab. Cianjur Kab. Bandung Kota Depok Kab. Bekasi
Kota Bekasi Kab. Cirebon Kota Depok Kab. Sukabumi Kota Cirebon Kab. Cirebon
Kota Depok Kab. Bdg Barat Kab. Karawang Kab. Karawang Kota Depok
Kota Bogor Kab. Karawang Kab. Ciamis Kota Tasikmalaya Kab. Garut
Kab. Ciamis Kota Bogor Kab. Cianjur Kab. Cirebon Kab. Sukabumi
Kab. Garut Kab. Cirebon Kab. Purwakarta Kab. Karawang
Kab. Bekasi Kab. Garut Kab. Cianjur
Kab. Kuningan
EKONOMI
MAKRO REGIONAL
53
MEI 2017
4. Daerah tujuan investasi di Indonesia, penyerapan tenaga kerja dari realisasi investasi di Jawa Barat
merupakan yang paling banyak di Indonesia;
5. Smart Region Maturity, Jawa Barat merupakan daerah terbaik dalam menghadapi era pemerintahan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia;
6. Beragam tempat kegiatan, Jawa Barat memiliki hotel dan convention centre bertaraf nasional
maupun internasional;
7. Tenaga dan vendor profesional, Jawa Barat memiliki vendor exhibition, event organizer, tour and
travel dan tenaga pendukung yang melimpah;
8. Pelaku sejarah hosting nasional dan internasional, Jawa Barat merupakan daerah yang telah
menjadi penyelenggara Konferensi/Event/Exhibisi tingkat Internasional.
Berdasarkan potensi di atas, diharapkan kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak hanya fokus
kepada sektor-sektor utama namun juga sektor-sektor potensial yang jika dikembangkan akan
meningkatkan perekonomian Jawa Barat.
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
54
BAB II BAB II
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
55
2.1. Gambaran Umum
Total anggaran belanja fiskal Jawa Barat untuk tahun 2017 mencapai Rp171,94 Triliun, meliputi belanja
APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp32,43 Triliun (pangsa 20,96%), belanja APBD kabupaten/kota di Jawa
Barat1 sebesar Rp83,92 Triliun (pangsa 54,25%) dan belanja APBN sebesar Rp38,35 Triliun (pangsa
24,79%). Dibandingkan tahun 2016, terjadi peningkatan belanja fiskal Jawa Barat sebesar 0,73% (yoy), di
mana peningkatan terbesar terjadi pada belanja Provinsi yakni sebesar 9,95% (yoy) dan APBN sebesar
0,43% (yoy). Di sisi lain, total belanja fiskal kabupaten/kota pada tahun 2017 justru mengalami penurunan
dengan tumbuh sebesar -2,31% (yoy). Secara spasial, anggaran belanja APBD kabupaten/kota tertinggi
dimiliki oleh Kota Bandung yang mencapai Rp7,36 Triliun (pangsa 8,1%) dan terendah adalah Kota Banjar
sebesar Rp711,16 Miliar (pangsa 0,85%).
Pada triwulan I 2017, realisasi belanja untuk anggaran belanja Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota yang
tercermin melalui persentase realisasi belanja terhadap pagu mengalami penurunan dibanding triwulan I
2016, sedangkan belanja APBN mengalami peningkatan. Persentase realisasi anggaran belanja APBD
Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar 8,27% (triwulan I 2016 sebesar 12,59%) (Tabel 2.1),
APBD gabungan 24 kab/kota sebesar 7,85% (triwulan I 2016 sebesar 10,15%). Di sisi lain, persentase
realisasi APBN sebesar 14,48% (triwulan I 2016 sebesar 14,13%). Sejalan dengan hal tersebut, realisasi
gabungan belanja fiskal di Jawa Barat pada triwulan I 2017 yang mencapai Rp14,22 Triliun juga mengalami
kontraksi pertumbuhan sebesar -15,81% (yoy).
Kontraksi pertumbuhan belanja ini khususnya terjadi pada APBD Provinsi yang tumbuh -25,38% (yoy) dan
APBD Kab/Kota yang tumbuh -24,71% (yoy). Secara spasial, persentase realisasi belanja terhadap pagu
tertinggi terjadi di Kota Cimahi (19,90% dari pagu) dan terendah di Kab. Bandung Barat (1,54% dari pagu).
Sementara itu, pertumbuhan belanja tertinggi pada triwulan I 2017 dialami oleh Kota Depok (55,87%, yoy)
dan terendah di Kab. Bandung Barat (-83,38%, yoy). Adapun realisasi APBN di Jawa Barat masih mengalami
ekspansi dengan tumbuh sebesar 3,84% (yoy).
Dari sisi pendapatan, realisasi penerimaan APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar Rp7,08
Triliun atau 23,19% dari target. Persentase realisasi ini lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2016 sebesar
15,28% dari target. Tingginya realisasi pendapatan pada APBD Provinsi ini terutama didorong oleh transfer
dana perimbangan yang mencapai 25,57% dari target (triwulan I 2016 sebesar 6,51% dari target).
Tingginya realisasi transfer dana perimbangan ini secara khusus didorong oleh pencairan Dana Alokasi
Khusus (DAK) Fisik periode triwulan I 2017 dari Kementerian Keuangan. Selain itu, melalui DAK juga telah
dilakukan pencairan sebagian dana desa tahap pertama.
1 Data APBD Kab/Kota mencakup 27 kab/kota yang ada di Jawa Barat, di mana data diambil dari situs Tim Evaluasi dan Pengawasan
Realisasi Anggaran (TEPRA) : monev.lkpp.go.id
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
56
Tabel 2.1. Ringkasan Realisasi APDB Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, diolah
2.2. APBD Provinsi Jawa Barat
Dukungan fiskal Provinsi Jawa Barat untuk tahun 2017 (APBD) mencapai Rp30,54 Triliun untuk anggaran
pendapatan dan Rp32,43 Triliun untuk anggaran belanja dan transfer (Grafik 2.1). Anggaran pendapatan
meningkat 15,29% (yoy) dibanding tahun 2016 sebesar Rp26,49 Triliun. Peningkatan target ini seiring
dengan berlanjutnya prospek perbaikan ekonomi di tahun 2017 serta kenaikan sejumlah tarif maupun
pajak yang menjadi sumber pendapatan daerah (contoh : biaya STNK, harga BBM, dll). Di sisi lain, anggaran
belanja tahun 2017 meningkat sebesar 9,95% (yoy) dibanding tahun 2016 sebesar Rp29,49 Triliun.
Peningkatan pada anggaran belanja ini terutama didorong oleh peningkatan yang signifikan pada pos
belanja pegawai (140,1%, yoy) sehubungan dengan mulai diterapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah yang berimplikasi pada beralihnya beberapa kewenangan kota-kabupaten ke provinsi,
provinsi ke nasional, maupun sebaliknya. Beberapa kewenangan yang beralih dari sebelumnya di
kota/kabupaten ke provinsi adalah pendidikan menengah, ketenagakerjaan, ESDM, perhubungan dan
kehutanan yang berdampak kepada dialihkannya PNS kota/kabupaten ke provinsi sebanyak 28 ribu orang,
dengan proporsi terbesar adalah tenaga guru termasuk honorer. Sebaliknya, PNS provinsi yang dialihkan
ke kabupaten/kota maupun nasional hanya sebesar 162 orang. Adapun pengalihan wewenang yang cukup
besar ke Pemerintah Provinsi tersebut tidak dibarengi dengan pengalihan/penambahan DAU/DAK. Hal ini
berdampak pada proporsi anggaran Pemerintah Provinsi di tahun 2017, di mana beberapa dinas/SKPD
mengalami pengurangan anggaran untuk mengkompensasi peningkatan biaya gaji di tahun 2017.
Secara ringkas, persentase realisasi baik pada anggaran belanja maupun pendapatan Pemerintah Provinsi
pada triwulan I 2017 lebih rendah dibanding triwulan I 2016. Persentase realisasi belanja pada triwulan I
tahun 2017 sebesar 8,29% dari pagu, lebih rendah dari triwulan I 2016 sebesar 12,59%. Sebaliknya,
realisasi pendapatan menunjukkan pencapaian yang jauh lebih baik, yakni mencapai 23,19% dari target
pada triwulan I 2017, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 sebesar 15,28%.
Jika ditinjau dari segi pertumbuhan tahunan, terjadi perlambatan khususnya pada sisi belanja Pemerintah
Provinsi (Grafik 2.2). Pertumbuhan belanja pada triwulan I 2017 sebesar -25,38% (yoy) lebih rendah jika
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thd APBD
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thd APBD
I Pendapatan 26.491 4.097 15,3 30.541 7.084 23,2
1 Pendapatan Asli Daerah 16.267 3.402 21,0 16.524 3.497 21,2
2 Dana Perimbangan 10.196 690 6,5 13.987 3.576 25,6
3 Lain-lain Pendapatan 29 5 15,8 30 11 37,0
II Belanja 29.493 3.601 12,6 32.429 2.687 8,3
1 Belanja Operasi 19.566 3.590 19,3 23.668 2.676 11,3
2 Belanja Modal 3.328 11 0,3 2.292 11 0,5
3 Belanja Tidak terduga 27 - - 61 - -
4 Belanja Transfer 6.572 - - 6.409 - -
Surplus/ (Defisit) (3.002) 495 2,7 (1.888) 4.396 14,9
S.d. Triwulan I 2017APBD 2016 P
(Rp Miliar)
S.d. Triwulan I 2016
No. UraianAPBD 2017
(Rp Miliar)
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
57
dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan I 2016 sebesar 86,13% (yoy). Secara spesifik, kontraksi
pada pertumbuhan belanja Pemerintah Provinsi terjadi pada pos belanja hibah yang tumbuh -55,32% (yoy)
dan belanja modal yang tumbuh -1,38% (yoy). Kontraksi pertumbuhan ini salah satunya disebabkan
karena pada tahun 2016 terdapat penyelenggaraan kegiatan PON dan Peparnas yang dalam rangka
persiapannya telah menyerap anggaran sejak triwulan I 2016.
Di sisi lain, pendapatan Pemerintah Provinsi pada triwulan I 2017 mengalami ekspansi dengan tumbuh
sebesar 72,92% (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar -
23,25% (yoy). Secara spesifik, peningkatan ini didorong oleh transfer dana perimbangan yakni pencairan
Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik maupun pencairan sebagian dana desa tahap pertama.
Berdasarkan perkembangan-perkembangan di atas, pada triwulan I 2017 neraca APBD Provinsi Jawa Barat
meraih surplus anggaran sebesar Rp4,40 Triliun, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang mengalami
surplus anggaran sebesar Rp495 Miliar.
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jabar (diolah staf BI)
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jabar (diolah staf BI)
2.2.1. Anggaran Pendapatan Provinsi Jawa Barat
Pada tahun 2017, kenaikan anggaran pendapatan daerah Provinsi Jawa Barat terutama ditopang oleh
kenaikan pada anggaran transfer dana perimbangan yang naik cukup signifikan hingga 37,19% (yoy),
khususnya didorong oleh peningkatan pada pagu Dana Alokasi Umum (DAU) yang meningkat dari Rp1,02
Triliun pada tahun 2016 menjadi Rp2,99 Triliun pada tahun 2017 atau tumbuh 192,98% (yoy) (Tabel 2.2).
Peningkatan transfer DAU ke Pemerintah Provinsi ini antara lain merupakan implikasi dari pengalihan
urusan pendidikan SMA/SMK dan urusan lainnya dari Pemerintah Kab/Kota ke Provinsi. Sejalan dengan hal
tersebut, pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami peningkatan sebesar 19,19% (yoy).
Peningkatan ini khususnya terjadi pada pagu DAK Non Fisik seiring dengan adanya penambahan jenis DAK
Non Fisik yakni : (1) dana pelayanan administrasi kependudukan dan (2) tunjangan khusus guru pegawai
negeri sipil daerah (PNSD) di desa sangat tertinggal. Anggaran pendapatan asli daerah (PAD) yang menjadi
penopang utama pendapatan daerah tumbuh terbatas yakni sebesar 1,58% (yoy) pada tahun 2017,
terutama didorong oleh peningkatan target pendapatan pajak daerah tahun 2017 sebesar 1,50% (yoy).
Grafik 2.1. Perkembangan APBD Provinsi Jawa Barat
Grafik 2.2. Perkembangan Pendapatan dan Belanja
Pemerintah Provinsi Jawa Barat
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
58
Tabel 2.2. Anggaran Pendapatan Daerah Perubahan Provinsi Jawa Barat 2016 dan 2017
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat (angka sementara), perhitungan staf BI
Rasio derajat otonomi fiskal (DOF) Provinsi Jawa Barat masih dalam kategori baik, tercermin dari 54,10%
anggaran pendapatan pada tahun 2017 bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun demikian,
DOF ini mengalami sedikit penurunan dibanding tahun 2016 sebesar 61,40% seiring dengan meningkatnya
pangsa dana perimbangan. Pajak daerah masih menjadi komponen terbesar PAD dengan pangsa mencapai
92,2%, relatif tidak berubah dibanding tahun 2016 (Grafik 2.3). Pertumbuhan target penerimaan pajak
daerah tahun 2017 sebesar 1,50% (yoy) lebih rendah dibanding pertumbuhan target penerimaan pajak
tahun 2016 sebesar 5,16% (yoy). Secara spesifik, penurunan pada tahun 2017 terjadi pada target Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor/PBBKB yang terkontraksi sebesar -2,71% (yoy) serta target Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor/BBNKB yang terkontraksi sebesar -2,79% (yoy). Adanya penurunan pada target
BBNKB diperkirakan salah satunya sebagai dampak dari kenaikan biaya STNK. Sementara itu, penurunan
target PBBKB diperkirakan memperhitungkan kebijakan Pemerintah yang kembali tidak menaikkan harga
BBM subsidi khususnya sepanjang semester I 2017.
2.2.2. Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017
Pada triwulan I 2017, realisasi pendapatan APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp27,74 Triliun atau 104,73%
terhadap target, lebih tinggi dibanding tahun 2015 sebesar Rp24,20 Triliun atau 101,08% terhadap target
(Tabel 2.3). Adapun komponen pendapatan dengan persentase realisasi tertinggi pada tahun 2016 adalah
I PAD 16.267 16.524 1,58
a. Pajak Daerah 15.013 15.238 1,50
b. Retribusi Daerah 70 58 (16,73)
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah 335 323 (3,35)
d. Lain-lain PAD 849 904 6,49
II Dana Perimbangan 10.196 13.987 37,19
a. Bagi Hasil Pajak 1.396 1.724 23,49
b. Dana Alokasi Umum 1.021 2.992 192,98
c. Dana Alokasi Khusus 7.779 9.271 19,19
III Lain-lain Pendapatan 29 30 3,57
a. Bantuan Keuangan (Hibah) 24 22 (6,24)
b. Lain-lain Penerimaan 0 0 0,00
c. Dana Penyesuaian dan Otsus 5 8 50,00
26.491 30.541 15,29Total Pendapatan
No. UraianAPBD 2017 (Rp
Miliar)
APBD 2016 P (Rp
Miliar)
% Perubahan
(yoy)
Grafik 2.3. Pangsa Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Barat
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
59
Pendapatan Asli Daerah (105,08%), diikuti oleh dana perimbangan (104,19%). Ditinjau dari sisi
pertumbuhan tahunan, maka komponen yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah dana
perimbangan yang mencapai 323,74% (yoy). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, peningkatan ini
disebabkan oleh adanya peralihan pos anggaran penerimaan Dana Bos dari semula melalui Dana
Penyesuaian & Otsus menjadi melalui Dana Alokasi Khusus.
Tabel 2.3. Realisasi Pendapatan Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat (angka sementara), diolah
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pada triwulan I 2017, realisasi Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Provinsi Jawa Barat mencapai Rp3,50
Triliun atau tumbuh sebesar 2,78% (yoy), meningkat
dibanding triwulan I 2016 yang tumbuh sebesar
0,69% (yoy). Peningkatan pertumbuhan terjadi
pada seluruh komponen PAD, kecuali retribusi
daerah. Adapun komponen pajak daerah sebagai
komponen dengan pangsa terbesar (92,2%)
tercatat tumbuh sebesar 1,43% (yoy) pada triwulan
I 2017. Penerimaan pajak daerah ini terutama bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor/PKB (48,5%), Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor/BBNKB (21,8%), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor/ PBBKB
(12,0%) (Grafik 2.4). Tingginya pangsa penerimaan dari PKB tidak terlepas dari upaya pemerintah
meningkatkan partisipasi wajib pajak melalui pembebasan BBNKB dan denda BBNKB dari luar provinsi Jawa
Barat yang melakukan mutasi masuk ke Provinsi Jawa Barat pada semester II 2016 lalu.
Dana Perimbangan
Pada triwulan I 2017, realisasi transfer dana perimbangan mencapai Rp3,58 Triliun atau 25,57% terhadap
pagu anggaran, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp690 Miliar atau 6,51%
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thd APBD
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thd APBD
I PAD 16.267 3.402 21,03 16.524 3.497 21,16
a. Pajak Daerah 15.013 3.275 21,93 15.238 3.321 21,80
b. Retribusi Daerah 70 14 20,79 58 11 19,72
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah 335 0 0,00 323 1 0,22
d. Lain-lain PAD 849 113 12,99 904 163 18,03
II Dana Perimbangan 10.196 690 6,51 13.987 3.576 25,57
a. Bagi Hasil Pajak 1.396 378 23,61 1.724 749 43,47
b. Dana Alokasi Umum 1.021 312 25,00 2.992 960 32,08
c. Dana Alokasi Khusus 7.779 0 0,00 9.271 1.867 20,14
III Lain-lain Pendapatan 29 5 15,76 30 11 37,04
a. Bantuan Keuangan (Hibah) 24 0 0,00 22 3 15,76
b. Lain-lain Penerimaan 0 0 0,00 0 0 0,00
c. Dana Penyesuaian dan Otsus 5 5 100,00 8 8 100,00
26.491 4.097 15,28 30.541 7.084 23,19Total Pendapatan
No. UraianAPBD 2017
(Rp Miliar)
S.d Tw I 2016APBD 2016 P
(Rp Miliar)
S.d Tw I 2017
Sumber: Biro Keuangan Pemprov Jabar (diolah staf BI)
Grafik 2.4. Pangsa Realisasi Pajak Daerah Tw I 2017
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
60
terhadap pagu anggaran. Peningkatan ini terjadi pada ketiga komponen dana perimbangan. Dana Alokasi
Khusus (DAK) ke Jawa Barat pada triwulan I 2017 terealisasi sebesar Rp1,87 Triliun atau 20,14% terhadap
pagu anggaran, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang belum terealisasi sama sekali. Peningkatan DAK
ini terutama didorong oleh adanya tambahan dua pos anggaran pada DAK Non Fisik. Berdasarkan data
Dirjen Perimbangan Kementerian Keuangan RI, DAK triwulan I 2017 telah disalurkan pada Februari 2017
sebesar total Rp15,4 Triliun (secara nasional) atau 87,5% dari pagu anggaran triwulan I 2017. Selain itu,
pencairan dana desa tahap pertama yang secara nasional sebesar 36,7% dari pagu anggaran juga telah
disalurkan pada Maret 2017.
Adapun Dana Alokasi Umum (DAU) ke Jawa Barat pada triwulan I 2017 terealisasi sebesar Rp960 Miliar
atau 32,08% terhadap pagu, lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp312 Miliar
atau 25% terhadap pagu. Peningkatan ini salah satunya merupakan kompensasi Pemerintah Pusat
terhadap meningkatnya beban belanja pegawai Pemerintah Provinsi pasca pengalihan sekitar 28.000 PNS
dari wewenang Pemerintah Kab/Kota.
Dilihat dari sumbernya, komponen Dana Alokasi Khusus (DAK) memberikan kontribusi terbesar yakni
mencapai 52,21%, disusul oleh Dana Alokasi Umum (26,84%) dan Dana Bagi Hasil (20,95%). Sebagian
dana dari DAK ini ditujukan bagi alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana Alokasi Umum
(DAU) sangat penting bagi daerah karena dana yang bersumber dari APBN ini merupakan bagian dari
perwujudan desentralisasi dan dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
(horizontal) dalam rangka mendanai kebutuhan daerah. Pengalokasian DAU tersebut didasarkan atas fiscal
gap2 dan alokasi dasar
3. Dana Bagi Hasil (DBH) ditujukan untuk mengatasi ketimpangan fiskal vertical
(antara pemerintah pusat dan daerah), dengan fokus alokasi kepada daerah penghasil. Dana Alokasi Khusus
(DAK) ditujukan untuk mengatasi ketimpangan penyediaan infrastruktur layanan publik (DAK fisik) serta
mendukung operasional penyelenggaraan layanan publik (DAK non fisik).
Lain-lain Pendapatan
Pada komponen lain-lain pendapatan, realisasi pada triwulan I 2017 sebesar Rp11 Miliar atau 37,04%
terhadap pagu anggaran. Realisasi ini meningkat dibanding triwulan I 2016 sebesar Rp5 Miliar atau 15,76%
terhadap pagu anggaran. Berdasarkan komponennya, realisasi ini terdiri dari bantuan keuangan (hibah)
sebesar Rp3 Miliar atau 15,76% terhadap pagu dan Dana Penyesuaian & Otsus sebesar Rp 8 Miliar atau
100% terhadap pagu.
2.2.3. Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat
Anggaran belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdiri dari anggaran belanja dan transfer pada APBD
2017 mencapai Rp32,43 Triliun atau meningkat sebesar 9,95% (yoy) dibanding tahun 2016 (Tabel 2.4).
2 Fiscal gap adalah kebutuhan fiskal (meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB
per kapita, dan indeks pembangunan manusia (IPM)) dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah (terdiri dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
3 Alokasi dasar dihitung berdasarkan atas jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah.
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
61
Peningkatan terbesar terjadi pada anggaran belanja yang meningkat dari Rp22,92 Triliun pada tahun 2016
menjadi Rp26,02 Triliun pada tahun 2017 (13,52%, yoy). Di sisi lain, anggaran transfer menurun dari
Rp6,57 Triliun pada tahun 2016 menjadi Rp6,41 Triliun pada tahun 2017 (-2,49%, yoy). Penurunan
anggaran transfer yakni bagi hasil pajak salah satunya mempertimbangkan kenaikan beban belanja
Pemerintah Provinsi akibat pengalihan wewenang yang cukup besar dari Kab/Kota ke Provinsi.
Secara nominal, komponen belanja yang mengalami peningkatan terbesar adalah belanja operasi yakni
sebesar Rp4,10 Triliun (20,97%, yoy). Secara spesifik, komponen belanja operasi yang meningkat signifikan
adalah belanja pegawai yakni dari Rp2,22 Triliun pada 2016 menjadi Rp5,34 Triliun pada 2017 (140,1%,
yoy). Berdasarkan strukturnya, komponen belanja operasi masih mendominasi alokasi belanja APDB
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan pangsa yang mencapai 91,0% (Grafik 2.5).
Tabel 2.4. Anggaran Belanja Daerah Provinsi Perubahan Jawa Barat Tahun 2016 dan 2017
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, perhitungan staf BI
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, perhitungan staf BI
Peningkatan belanja operasi ini diimbangi dengan penurunan pada anggaran belanja modal sebesar Rp1,04
Triliun (-31,14%, yoy). Sama halnya dengan belanja transfer, penurunan pada anggaran belanja modal
pada tahun 2017 merupakan bentuk kompensasi terhadap meningkatnya komponen belanja pegawai
pada belanja operasi seiring dengan pengalihan 28.000 PNS dari wewenang Kab/Kota ke Provinsi.
1 Belanja Operasi 19.566 23.668 20,97
a. Belanja Pegawai 2.225 5.342 140,10
b. Belanja Barang 3.097 3.641 17,55
c. Belanja Bunga 0 0 0,00
d. Belanja Subsidi 15 15 0,00
e. Belanja Hibah 10.181 10.382 1,98
f. Belanja Bantuan Sosial 18 38 109,35
g. Belanja Bantuan Keuangan 4.029 4.249 5,46
2 Belanja Modal 3.328 2.292 (31,14)
3 Belanja Tidak Terduga 27 61 125,14
4 Belanja Transfer 6.572 6.409 (2,49)
a. Bagi hasil pajak 6.572 6.409 (2,49)
b. Bagi hasil retribusi 0 0 0,00
29.493 32.429 9,95Total Belanja
No. UraianAPBD 2017
(Rp Miliar)
APBD 2016 P
(Rp Miliar)
% Perubahan
(yoy)
Grafik 2.5. Proporsi Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
62
2.2.4. Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017
Realisasi belanja dan transfer APBD Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 mencapai Rp2,69 Triliun atau
8,29% terhadap pagu yang ditetapkan (Tabel 2.5). Secara tahunan, realisasi belanja pada triwulan I 2017
menurun dibandingkan triwulan I 2016 dengan pertumbuhan sebesar -25,38% (yoy). Adapun komponen
belanja yang mengalami penurunan realisasi dibanding periode yang sama tahun 2016 adalah belanja
hibah dan belanja modal.
Tabel 2.5. Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat Hingga Triwulan I 2017
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat, perhitungan staf BI
Jika mengevaluasi pola realisasi anggaran
Pemerintah Provinsi yang memiliki
kecenderungan backloading, setelah
mengalami sedikit perbaikan pola pada tahun
2016, pada triwulan I 2017 pola serapan
anggaran kembali terhambat sebagaimana
yang terjadi pada tahun 2013-2015 (Grafik 2.6).
Pada triwulan I 2017, realisasi belanja sebesar
8,29% menurun dibanding tahun 2016
(12,59%), namun setara dengan rata-rata
serapan triwulan I periode 2013-2015 sebesar 8,28%. Walau demikian, perlu diperhatikan bahwa
perbaikan pola serapan anggaran di awal tahun pada 2016 antara lain didorong oleh persiapan
penyelenggaraan acara PON dan Peparnas di Jawa Barat.
Penurunan persentase serapan belanja operasi pada triwulan I 2017 dibanding triwulan I 2016 terutama
disebabkan oleh belanja operasi yang terealisasi sebesar 11,31% terhadap pagu, menurun dibanding
triwulan I 2016 (19,28%). Satu-satunya komponen belanja operasi yang menjadi penyebab penurunan
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thd APBD
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thd APBD
1 Belanja Operasi 19.566 3.590 19,28 23.668 2.676 11,31
a. Belanja Pegaw ai 2.225 291 12,24 5.342 696 13,03
b. Belanja Barang 3.097 193 6,36 3.641 583 16,02
c. Belanja Bunga 0 0 0,00 0 0 0,00
d. Belanja Subsidi 15 0 0,00 15 0 0,00
e. Belanja Hibah 10.181 3.107 32,17 10.382 1.388 13,37
f. Belanja Bantuan Sosial 18 0 0,00 38 0 0,00
g. Belanja Bantuan 4.029 0 0,00 4.249 9 0,21
2 Belanja Modal 3.328 11 0,31 2.292 11 0,47
3 Belanja Tidak Terduga 27 0 0,00 61 0 0,00
4 Belanja Transfer 6.572 0 0,00 6.409 0 0,00
a. Bagi hasil pajak 6.572 0 0,00 6.409 0 0,00
b. Bagi hasil retribusi 0 0 0,00 0 0 0,00
29.493 3.601 12,59 32.429 2.687 8,29Total Belanja
No. Uraian
s.d Tw I 2017APBD 2017
(Rp Miliar)
APBD 2016 P
(Rp Miliar)
s.d Tw I 2016
Grafik 2.6. Persentase Realisasi Anggaran Belanja Per
Triwulan (%)
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
63
persentase realisasi ini adalah belanja hibah, di mana pada tahun 2016 pos belanja hibah merupakan
sumber anggaran untuk persiapan penyelenggaraan PON.
Sejalan dengan penurunan persentase realisasinya, pertumbuhan realisasi belanja Pemerintah Provinsi Jawa
Barat (-25,38%, yoy) juga tercatat menurun baik dibandingkan dengan triwulan IV 2016 (12,4%, yoy)
maupun triwulan I 2016 (86,1%, yoy) (Grafik 2.7). Penurunan pertumbuhan belanja yang terdalam juga
terjadi pada belanja operasi, yakni komponen belanja hibah.
Belanja Operasi
Realisasi belanja operasi pada triwulan I 2017
mencapai Rp2,68 Triliun atau sebesar 11,31%
terhadap pagu anggaran serta tumbuh sebesar -
25,45% (yoy). Realisasi pertumbuhan belanja yang
mengalami kontraksi ini merupakan yang terendah
selama lima tahun terakhir. Kontributor utama dari
realisasi belanja operasi tersebut masih didominasi
oleh komponen belanja hibah dengan pangsa
mencapai 51,9%, diikuti oleh belanja barang
(21,8%), dan belanja pegawai (26,0%) (Grafik 2.8).
Dari sisi pertumbuhan, komponen dengan pertumbuhan terendah pada triwulan I 2017 adalah belanja
hibah (-55,32%, yoy), sementara belanja barang dan belanja pegawai mengalami ekspansi dengan
pertumbuhan masing-masing sebesar 202,85% (yoy) dan 139,42% (yoy) (Grafik 2.8).
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kontraksi pada pertumbuhan belanja hibah disebabkan karena
pada triwulan I 2016 terjadi realisasi belanja hibah yang cukup besar dalam rangka persiapan PON dan
Peparnas. Sebaliknya, meningkatnya laju pertumbuhan realisasi belanja pegawai disebabkan karena sejak
awal tahun 2017 terdapat pengalihan wewenang dari kab/kota ke provinsi yang menambah beban gaji
atau belanja pegawai pada triwulan I 2017.
Grafik 2.8. Pangsa Realisasi Belanja Operasi (%)
Grafik 2.9. Pertumbuhan Komponen Belanja Operasi
Grafik 2.7. Perkembangan Belanja Operasi dan Modal
Sumber : Biro Keuangan Prov.Jawa Barat, diolah staf BI
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
64
Adapun rincian alokasi belanja hibah APBD Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a. Sebanyak 54,19% dari anggaran belanja hibah adalah untuk penyaluran Dana BOS bagi jenjang SD (di
mana hingga akhir tahun seluruh dana telah tersalurkan)
b. Sebanyak 24,25% merupakan alokasi hibah untuk lembaga berbadan hukum (umumnya koperasi)
c. Sebanyak 20,32% merupakan hibah dalam bentuk penyaluran Dana BOS untuk jenjang SMP
d. Sebesar 1,23% merupakan hibah kepada pemerintah pusat yakni umumnya dalam rangka kegiatan
pengamanan di daerah (contoh : KODAM).
Belanja Modal
Realisasi belanja modal Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 sebesar Rp10,87 Miliar atau
terealisasi 0,47% dari pagunya. Realisasi ini lebih rendah dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar
Rp11,01 Miliar atau dengan kata lain tumbuh sebesar -1,38% (yoy). Pola backloading masih sangat terlihat
pada pos belanja modal, khususnya jika dibandingkan dengan belanja operasi. Terdapat beberapa faktor
yang diperkirakan menyebabkan tertahannya realisasi belanja modal pada triwulan I 2017, antara lain : (1)
berulangnya pola historis di mana proses lelang proyek masih berlangsung pada triwulan I dan baru dapat
mulai bekerja pada triwulan II; dan (2) curah hujan yang tinggi selama triwulan I menghambat proses
penyelesaian pekerjaan dari proyek multiyear.
Terkait proyek pembangunan infrastruktur, penyelesaian Tol Soroja yang dimundurkan dari target awal
pada saat penyelenggaraan PON menjadi ke akhir tahun 2016 dan selanjutnya ke April 2017 ternyata
kembali terlambat dari jadwal. Kendala yang sama yakni faktor cuaca diperkirakan masih menjadi
penghambat utama. Selain Soroja, terdapat beberapa proyek infrastruktur strategis yang sedang
berlangsung di Jawa Barat, yakni antara lain pembangunan Tol Cisumdawu, Tol Soroja, Tol Bogor-Ciawi-
Sukabumi, LRT terintegrasi Jabodebek dan Bandara Internasional Kertajati. Pembebasan lahan masih
menjadi kendala yang kerap muncul dan hal ini juga berpotensi untuk menghambat realisasi penyerapan
belanja modal dari pembangunan fisiknya.
2.3. Belanja APBD Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Anggaran belanja untuk 27 kabupaten/kota4 pada tahun 2017 tercatat sebesar Rp83,92 Trilun atau
menurun sebesar -2,31% (yoy) dibanding gabungan anggaran belanja tahun 2016 sebesar Rp85,90 Triliun.
Penurunan anggaran belanja ini salah satunya merupakan implikasi dari pengalihan sebagian wewenang
dari pemerintah kab/kota ke provinsi. Secara spasial, anggaran belanja untuk 5 kab/kota besar di Jawa Barat
memiliki pangsa mencapai 34,43% terhadap total anggaran belanja kab/kota di Jawa Barat. Adapun
anggaran belanja tertinggi dimiliki oleh Kota Bandung dengan pangsa mencapai 8,2%, diikuti oleh Kab.
Bogor (7,8%), Kota Bekasi (6,3%), Kab. Bekasi (6,2%), dan Kab. Bandung (5,9%) (Grafik 2.10). Di sisi lain,
kab/kota dengan pangsa belanja terendah adalah Kota Cirebon (1,62%), Kab. Pangandaran (1,59%), Kota
Sukabumi (1,37%), dan Kota Banjar (0,85%).
4 Data bersumber dari situs TEPRA, menggunakan Anggaran Perubahan
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
65
Sumber : TEPRA (monev.lkpp.go.id)
Berdasarkan strukturnya, anggaran belanja kab/kota masih didominasi oleh belanja pegawai (45,0%),
kemudian diikuti oleh belanja barang/jasa (22,2%), belanja modal (19,1%), dan belanja hibah & bantuan
(13,7%) (Grafik 2.11).
Sumber : TEPRA (monev.lkpp.go.id)
Pada triwulan I 2017, realisasi belanja APBD dari 24 kab/kota5 yang ada di Jawa Barat mencapai 7,9%
terhadap pagu anggaran, lebih rendah dibanding triwulan I 2016 yang mencapai 10,15% terhadap pagu
anggaran. Dari data 24 kab/kota yang ada, persentase realisasi terendah dialami oleh oleh Kab. Bandung
Barat (1,54%) sementara realisasi tertinggi dialami oleh Kota Cimahi (19,90%). Secara nominal, realisasi
belanja tertinggi pada triwulan I 2017 diraih oleh Kota Bekasi yang mencapai Rp508,2 Miliar sementara
nilai realisasi terendah dialami oleh Kota Sukabumi sebesar Rp34,4 Miliar (Grafik 2.12). Menurunnya kinerja
realisasi belanja belanja APBD Kab/Kota ini terutama disebabkan oleh berkurangnya beban anggaran
khususnya untuk belanja pegawai dari PNS yang kewenangannya dialihkan ke Provinsi (termasuk guru SMA
dan SMK).
5 Hingga periode penyusunan laporan, data yang tersedia di situs TEPRA untuk realisasi hingga Maret 2017 hanya tersedia untuk 24
kabupaten/kota di Jawa Barat
Grafik 2.11. Struktur Belanja APBD Kab/Kota 2016 dan 2017
Grafik 2.10. Pangsa Anggaran Belanja Kab/Kota 2017 (%)
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
66
Sumber : Situs TEPRA (monev.lkpp.go.id)
2.4. Belanja APBN di Jawa Barat
Dalam rangka membiayai belanja serta programnya di daerah, pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah
anggaran APBD untuk direalisasikan di Jawa Barat. Anggaran penerimaan APBN tersebut hanya berasal dari
penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta hibah.
Selain alokasi ini, belanja APBN juga disalurkan dalam bentuk Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke
Daerah melalui Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Belanja pemerintah pusat
melalui APBN tersebut antara lain digunakan untuk membiayai gaji pegawai Kementerian atau instansi
pemerintah pusat yang berada di Jawa Barat, seperti Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara dan Kantor
Wilayah Pajak. Selain itu, anggaran ini juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur
strategis yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Berdasarkan strukturnya, belanja APBN di Jawa Barat
terutama dialokasikan untuk belanja pegawai (45,54%) dan belanja barang (37,28%) (Tabel 2.6).
Tabel 2.6. Anggaran Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Kanwil Jawa Barat (diolah)
Pada triwulan I 2017, realisasi belanja APBN di Jawa Barat adalah sebesar telah mencapai Rp5,55 Triliun
atau 9,99% terhadap total pagu, meningkat dibanding triwulan I 2016 yang terealisasi sebesar Rp5,35
Triliun (Tabel 2.7). Berdasarkan komponennya, komponen belanja barang mengalami peningkatan baik
secara nominal maupun persentase realisasi belanja dibanding triwulan I 2016. Adapun komponen belanja
dengan pangsa realisasi terbesar adalah belanja pegawai (57,5%), diikuti belanja barang (34,0%), dan
belanja modal (8,4%) (Grafik 2.13).
Pagu
(Rp Miliar)
Pangsa
(%)
Pagu
(Rp Miliar)
Pangsa
(%)
1 Belanja Pegawai 16,980 44.47 17,464 45.54 2.85
2 Belanja Barang 14,986 39.25 14,295 37.28 -4.62
3 Belanja Modal 6,000 15.71 6,369 16.61 6.16
4 Belanja Bantuan Sosial 216 0.57 219 0.57 1.35
38,182 100.00 38,347 100.00 0.43
No. Jenis Belanja
Total Belanja
TA 2016 TA 2017% Perubahan
(yoy)
Grafik 2.12. Perkembangan Realisasi Belanja 24 Kab/Kota di Jawa Barat Triwulan 7
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
67
Tabel 2.7. Realisasi Belanja APBN di Provinsi Jawa Barat Triwulan I 2017
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Kanwil Jawa Barat (diolah)
Berdasarkan nilai pertumbuhannya, terjadi peningkatan laju pertumbuhan realisasi total belanja pada
triwulan I 2017 dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2017, belanja APBN tumbuh sebesar 3,84%
(yoy) atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar -3,10% (yoy) (Grafik 2.14), di
mana peningkatan khususnya terjadi pada pertumbuhan belanja barang dan belanja modal.
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat (diolah)
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat (diolah)
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat (diolah)
Berdasarkan fungsinya, alokasi belanja di Jawa Barat terutama ditujukan untuk mendukung fungsi ekonomi
(pangsa 76,30%), diikuti fungsi pendidikan (pangsa 8,88%) dan kesehatan (pangsa 4,23%) (Tabel 2.8).
Pada triwulan I 2017, persentase realisasi tertinggi diraih oleh belanja untuk fungsi perlindungan sosial
(25,87%), diikuti oleh fungsi perumahan dan fasilitas umum (8,80%), dan fungsi lingkungan hidup
(8,16%).
Realisasi
(Rp Miliar)
%
Realisasi
Realisasi
(Rp Miliar)
%
Realisasi
1 Belanja Pegawai 3.384 20,33 3.193 18,28 -5,66
2 Belanja Barang 1.481 9,80 1.888 13,21 27,50
3 Belanja Modal 479 8,17 468 7,34 -2,38
4 Belanja Bantuan Sosial 4 1,84 5 0,03 28,48
5.348 14,13 5.554 9,99 3,84
No. Jenis Belanja
Tw I 2016 Tw I 2017
Total Belanja
%
Pertumbuhan
(yoy)
Grafik 2.13. Pangsa Realisasi Belanja APBN di Jawa Barat Grafik 2.14. Perkembangan Belanja APBN di Jawa Barat
Grafik 2.15. % Realisasi APBN di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Belanja Per Triwulan
MEI 2017
KEUANGAN PEMERINTAH
68
Tabel 2.8. Realisasi Komponen Belanja APBN Berdasarkan Fungsi di Provinsi Jawa Barat
Sumber : Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thdp pagu
Realisasi
(Rp Miliar)
% Realisasi
thdp pagu
1 Pelayanan Umum 158 5 3,15 193 4 2,11
2 Pertahanan 53 0 0,00 73 0 0,62
3 Ketertiban dan Keamanan 276 3 1,07 83 5 5,71
4 Ekonomi 3973 422 10,63 4860 386 7,94
5 Lingkungan Hidup 91 2 1,83 57 5 8,16
6
Perumahan dan Fasilitas
Umum 375 22 5,94 191 17 8,80
7 Kesehatan 510 2 0,39 269 1 0,55
8 Agama 79 1 0,86 71 1 0,80
9 Pendidikan 683 22 3,20 565 48 8,43
10 Perlindungan Sosial 17 0 2,10 5 1 25,87
6216 479 7,70 6369 468 7,34
No
TOTAL BELANJA MODAL
S.D. Tw I 2016Pagu 2016
(Rp Miliar)Fungsi
Pagu 2017
(Rp Miliar)
S.D. Tw I 2017
BAB III BAB III
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
70
KONDISI UMUM
Inflasi Jawa Barat pada triwulan I 2017 terkendali walau mencatatkan peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Inflasi IHK Jawa Barat pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 3,37% (yoy), meningkat
dibandingkan triwulan IV 2016 sebesar 2,75% (yoy). Namun realisasi ini masih lebih rendah dibanding rata-
rata historis inflasi triwulan I (2012-2016) sebesar 5,11% (yoy).
Perkembangan inflasi Jawa Barat pada triwulan ini kembali mencatatkan realisasi yang lebih rendah
dibanding inflasi nasional sebesar 3,49% (yoy), di mana hal ini telah konsisten terjadi sejak tahun 2014
(Grafik 3.1). Secara spasial di Kawasan Jawa, realisasi inflasi pada triwulan I 2017 Jawa Barat menempati
posisi terendah kedua setelah Jawa Tengah (3,30%, YoY). Inflasi di Jawa Barat terutama disebabkan oleh
kebijakan pemerintah menaikkan beberapa tarif pada awal tahun antara lain, tarif listrik golongan 900VA,
biaya administrasi STNK, cukai dan harga eceran terendah rokok dan BBM non subsidi. Realisasi inflasi
triwulan I tahun 2017 dari provinsi-provinsi di Kawasan Jawa tercatat lebih rendah dibanding tahun 2016
(Grafik 3.2).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Secara triwulanan, inflasi IHK Jawa Barat mengalami peningkatan yakni dari 1,00% (qtq) pada triwulan IV
2016 menjadi sebesar 1,22% (qtq) pada triwulan I 2017, serta lebih tinggi dibanding triwulan I 2016 yang
tercatat sebesar 0,61% (qtq). Peningkatan inflasi triwulanan ini khususnya terjadi pada kelompok
perumahan, air, listrik gas dan bahan bakar seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan beberapa
tarif pada triwulan I 2017. Secara historis, realisasi inflasi triwulanan Jawa Barat pada triwulan I 2017 ini
lebih tinggi dibanding rata-rata historis 5 tahun terakhir sebesar 0,95% (qtq).
Grafik 3. 1. Inflasi Jawa Barat dan Nasional Grafik 3. 2. Inflasi Tahunan Provinsi di Kawasan Jawa
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
71
Berdasarkan disagregasi kelompok, peningkatan tekanan inflasi tahunan dibanding triwulan
sebelumnya ini disebabkan baik oleh faktor fundamental pada kelompok core serta faktor non
fundamental dari kelompok administered prices. Namun demikian, penurunan tekanan inflasi pada
kelompok volatile food menjadi faktor penahan. Berdasarkan besar andilnya, tekanan inflasi pada
triwulan I 2017 disumbang oleh kelompok core dan administered prices dengan andil masing-masing
sebesar 1,66% (yoy) dan 1,04% (yoy). Sementara itu, kelompok volatile food memberikan andil inflasi yang
lebih rendah yakni 0,67% (yoy). Dibandingkan triwulan sebelumnya, peningkatan tekanan inflasi tercermin
dari andil inflasi kelompok core dan administered prices yang meningkat. Sementara itu, andil inflasi
kelompok volatile food yang menurun menjadi faktor penahan tekanan inflasi di triwulan I 2017.
Peningkatan inflasi core dari 2,28% (yoy) menjadi 2,67% (yoy) pada triwulan I 2017 disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain : (1) pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 0,76% (qtq) akibat adanya kenaikan
Fed Fund Rate pada tanggal 15 Maret 2017; (2) meningkatnya harga emas di domestik yang tercermin dari
kenaikan harga emas Antam; serta (3) penyelesaian proyek infrastruktur sebelum momen Lebaran antara
lain seperti Jalan Tol Soroja dan perbaikan Jembatan Cisomang menyebabkan peningkatan harga semen
(Grafik 3.3). Dengan demikian, inflasi core tercatat meningkat lebih tinggi dibanding triwulan IV 2016.
Sejalan dengan hal tersebut, inflasi kelompok administered prices juga tercatat meningkat tajam yakni dari
-0,0 4% (yoy) menjadi 5,20% (yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan ini khususnya terjadi pada sub
kelompok energi seiring dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik pelanggan golongan
900VA secara bertahap pada tahun 2017. Dari sub kelompok non energi, tekanan inflasi disumbang oleh
kenaikan cukai rokok tahunan yang meningkat pada bulan Februari 2017. Di sisi lain, inflasi volatile food
juga tercatat menurun tajam yakni dari 7,58% (yoy) menjadi 3,72% (yoy) pada triwulan I 2017. Penurunan
Grafik 3.3. Ringkasan Perkembangan Inflasi Jawa Barat (yoy)
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
72
ini terutama disebabkan oleh mulai berlangsungnya masa panen untuk komoditas padi di sejumlah sentra
di Jawa Barat yang tercermin pada harga beras di pasar tradisional yang terpantau menurun. Selain itu
harga komoditas cabai yang tinggi dari awal tahun 2017, pada akhir triwulan I 2017 mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut,
Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas.
3.1. Perkembangan Inflasi Periode Triwulan I 2017
3.1.1. Inflasi Bulanan (mtm)
Pada triwulan I 2017, rata-rata inflasi bulanan Jawa Barat sebesar 0,40% (mtm), meningkat dibandingkan
rata-rata inflasi bulanan di triwulan IV 2016 sebesar 0,33% (mtm). Realisasi ini juga menunjukkan inflasi
yang lebih tinggi dibanding dengan rata-rata historis inflasi bulanan di triwulan I (periode 2012-2016)
sebesar 0,31%.
Selama triwulan I 2017, tekanan inflasi tertinggi terjadi pada bulan Januari 20117 akibat kebijakan
pemerintah meningkatkan beberapa tarif seperti kenaikan tarif listrik pelanggan golongan 900VA dan
bensin non subsidi , kenaikan tarif pengurusan STNK sebesar 100% untuk kendaraan roda dua dan 167%
untuk kendaraan roda empat, serta kenaikan tarif cukai rokok di tahun 2017 dengan rata-rata sebesar
10,54%. Selain itu, peningkatan inflasi juga bersumber dari meningkatnya fundamental permintaan yang
didorong oleh sejumlah efek seasonal yaitu momen tahun baru, libur sekolah dan tahun baru Imlek. Inflasi
bulanan pada Januari 2017 ini juga tercatat lebih tinggi dibanding rata-rata historis 5 (lima) tahun terakhir
(Grafik 3.4). Inflasi bulan Februari 2017 (0,36%) juga tercatat sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata
historisnya (0,16%), di mana hal ini terutama disebabkan oleh dampak dari kenaikan tarif listrik 900VA
dengan pelanggan pascabayar. Di sisi lain, inflasi bulan Maret 2017 (0,08%) tecatat lebih rendah dibanding
rata-rata historisnya (0,27%), terutama disebabkan oleh mulai berlangsungnya panen sejumlah komoditas
pangan.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di kawasan Jawa, rata-rata inflasi bulanan Jawa Barat pada
triwulan I 2017 merupakan yang tertinggi kedua setelah Banten. Hal ini terutama didorong oleh realisasi
inflasi periode Maret 2017 yang lebih tinggi dibanding Provinsi lainnya. Secara historis, inflasi provinsi di
Grafik 3. 4. Rata-rata Inflasi Bulanan 5 Tahun Terakhir Grafik 3. 5. Inflasi Bulanan Provinsi di Kawasan Jawa
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
73
kawasan Jawa pada triwulan IV 2016 lebih rendah dibanding triwulan I 2016, terutama disebabkan oleh
terkendalinya inflasi pangan pada awal tahun 2017 (Grafik 3.5).
Berdasarkan kelompok barangnya, peningkatan tekanan inflasi rata-rata bulanan dibanding triwulan
sebelumnya terutama disumbang oleh kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan dan
kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar. Rata-rata inflasi bulanan kelompok transportasi,
komunikasi dan jasa keuangan tercatat meningkat dari 0,37% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi 0,79%
(mtm) pada triwulan I 2017. Sejalan dengan hal tersebut, rata-rata andil inflasi bulanannya juga meningkat
dari 0,07% (mtm) menjadi 0,14% (mtm) pada triwulan I 2017. Hal ini mengikuti pola seasonal di mana
meningkatnya fundamental permintaan yang didorong oleh sejumlah efek seasonal yaitu momen tahun
baru, libur sekolah dan tahun baru Imlek. Secara spesifik, inflasi rata-rata bulanan terbesar selama triwulan
I terjadi pada sub kelompok sarana dan penunjang transpor (4,13%); komunikasi dan pengiriman (1,28%);
dan transpor (0,28%). Beberapa komoditas dari kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan
yang memiliki frekuensi tinggi sebagai penyumbang inflasi bulanan utama selama triwulan I 2017 adalah
biaya perpanjangan STNK, tarif pulsa ponsel dan bensin. Komoditas tersebut mengalami kenaikan tarif
akibat dari kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pada bulan Januari 2017. Beberapa faktor yang
melatarbelakangi kenaikan inflasi bulanan dari beberapa komoditas tersebut meliputi:
a. Terhitung 1 Januari 2017, Pemerintah menaikkan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor
(STNK) sebesar 100% untuk kendaraan roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat. Kenaikkan
tarif STNK ini secara rata-rata inflasi bulanan pada triwulan I 2017 sebesar 35,82% (mtm).
b. Tarif pulsa ponsel mengalami peningkatan rata-inflasi bulanan dari triwulan IV 2016 sebesar 1,03%
menjadi 2,42% pada triwulan I 2017. Hal ini didorong oleh peningkataan permintaan akibat momen
tahun baru, lbur sekolah dan tahun baru Imlek.
c. Pada bulan Januari, harga BBM non subsidi mengalami kenaikan kembali yaitu Pertamax dan Pertamax
Plus masing-masing Rp300/liter, yang mana mendorong rata-rata inflasi bulanan pada triwulan I 2017
mencapai 1,16%.
Selanjutnya, peningkatan tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok perumahan, air, listrik dan
bahan bakar yakni dari rata-rata 0,22% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi 0,70% (mtm) pada
triwulan I 2017, diikuti peningkatan rata-rata andil inflasi bulanan dari 0,06% menjadi 0,19%. Hal
ini terutama didorong oleh peningkatan rata-rata inflasi bulanan pada sub kelompok bahan bakar,
penerangan dan air (dari 0,45% menjadi 2,69%). Pada tahun 2017, terdapat kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan tarif listrik secara bertahap pada pelanggan golongan 900VA. Pada triwulan I 2017,
kenaikan tarif listrik ini terjadi pada bulan Januari dan Maret. Kenaikan tarif listrik ini berlaku bagi semua
pelanggan, baik prabayar maupun pascabayar. Pada bulan Januari 2017, tarif listrik memiliki andil terhadap
inflasi sebesar 0,25% (mtm), hal ini didorong oleh kenaikan pada bulan Januari sebesar 30%. Pada bulan
Februari, andil tarif listrik terhadap inflasi bulanan juga masih terbilang tinggi yaitu sebesar 0,12%,
tingginya andil inflasi ini disebabkan oleh pelanggan pascabayar yang melakukan pembayaran pada bulan
Februari atas kenaikan pada bulan Januari 2017. Begitupun pada bulan Maret 2017, andil inflasi masih
terbilang tinggi walaupun lebih rendah dari bulan sebelumnya yaitu sebesar 0,05%, angka ini masih
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
74
terbilang cukup rendah karena ditahan oleh komoditas pangan akibat adanya panen raya. Kenaikan tarif
listrik pada triwulan 1 2017 merupakan penyumbang utama pada inflasi Jawa Barat.
Peningkatan tekanan inflasi bulanan yang lebih tinggi ditahan oleh menurunnya rata-rata inflasi
bulanan pada kelompok bahan makanan (dari 0,65% menjadi -0,10%). Rata-rata inflasi bulanan pada
kelompok bahan makanan dari triwulan I 2017 adalah sebesar -0,02 menurun tajam dari rata-rata inflasi
bulanan triwulan IV 2016 sebesar 0,14%. Komoditas yang paling besaar menyumbang deflasi dari
kelompok bahan makanan adalah cabai dengan rata-rata inflasi bulanan sebesar -8,59%, pada triwulan I
2017. Deflasi komoditas cabai ini dipengaruhi oleh mulai menurunnya harga cabai akibat terus
bertambahnya pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti kabupaten Garut, kabupaten
Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas. Selain cabai, tomat buah dan tomat sayur juga menjadi
penyumbang deflasi pada triwulan 1 2017 dengan rata-rata inflasi bulanan masing-masing sebesar-9,32%
dan -9,32%.
Berdasarkan disagregasi kelompok, penahan tekanan inflasi bulanan ini terutama disebabkan oleh
penurunan inflasi volatile food dari rata-rata 0,69% (mtm) pada triwulan IV 2016 menjadi -0,16%
(mtm) pada triwulan I 2017 (Grafik 3.6). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adanya panen raya
untuk komoditas padi di sejumlah sentra di Jawa Barat dan meningkatnya pasokan cabai dari berbagai
sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas
membuat harga komoditas tersebut menurun.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Inflasi kelompok administered prices mengalami peningkatan dari rata-rata 0,45% (mtm) pada
triwulan IV 2016 menjadi 1,24% (mtm) pada triwulan I 2017. Secara spesifik, peningkatan ini terutama
di dorong oleh subkelompok AP energi yang meningkat dari rata-rata 0,47% (mtm) menjadi 2,17% (mtm)
pada triwulan I 2017. Meningkatnya inflasi subkelompok energi ini terutama didorong oleh kebijakan
pemerintah yang menaiikan beberapa tarif seperti tarif listrik pelanggan golongan 900VA, dan bensin non
subsidi. Dari sub kelompok AP non energi, terdapat peningkatan dari rata-rata 0,44% (mtm) menjadi
0,57% (mtm) yang terutama disebabkan oleh peningkatan tarif administrasi STNK kendaraan bermotor
dan peningkatan cukai rokok tahunan.
Grafik 3. 6. Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Bulanan (mtm)
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
75
Kebijakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) pelanggan golongan 900VA untuk rumah tangga mampu yang
ditetapkan oleh pemerintah berlaku mulai awal tahun 2017. Kenaikan tersebut dilakukan dalam 3 (tiga)
tahap, yaitu 1 Januari 2017, 1 Maret 2017 dan 1 Mei 2017. Tarif kenaikan yang akan berlaku secara
bertahap dimulai dari Rp605/kWH menjadi Rp791/kWH per 1 Januari 2017, Rp1.034/kWH per 1 Maret
2017 dan Rp1.352/kWH per 1 Mei 2017.
Kemudian akan dilakukan tariff adjustment pada
tanggal 1 Juli 2017 yang disesuaikan dengan 12
golongan tarif lainnya yaitu sebesar
Rp1467/kWH. Kenaikan tarif ini bertujuan untuk
memberikan subsidi secara tepat sasaran.
Dampak dari kenaikan tarif listrik ini tercermin
pada kenaikan konsumsi listrik selama bulan
Januari hingga April 2017. Pada Grafik 3.7
terlihat bahwa konsumsi listrik dalam rupiah
pada periode kenaikan TTL cenderung
meningkat. Kenaikan paling signifikan terjadi pada bulan Maret 2017 dengan kenaikan mencapai 27,46%
dibandingkan bulan Februari 2017. Faktor utama yang membuat penignkatan konsumsi listrik pada
golongan 900VA rumah tangga mampu ini meningkat adalah kenaikan tarif listrik pada bulan Maret yang
mencapai 30,72%.
Tabel 3.1. Perkembangan Andil Inflasi Tarif Listrik (%, mtm)
Meskipun kenaikan terjadi pada bulan Januari dan Maret, andil inflasi bulanan untuk tarif listrik juga cukup
besar terjadi pada bulan Februari dan April. Terlihat pada Tabel 3.1 bahwa periode setelah terjadinya
kenaikan tarif listrik juga terdampak dengan andil pada Februari sebesar 0,12% dan Maret 0,19%. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah pelanggan pascabayar pada pelanggan golongan 900VA untuk rumah tangga
mampu cukup besar. Berdasarkan data dari PLN, sampai dengan April 2017 persentase jumlah pelanggan
prabayar adalah sebesar 41,70% sedangkan pascabayar sebesar 58,30%.
Di sisi lain, kelompok core juga tercatat mengalami peningkatan rata-rata inflasi bulanan dari 0,19%
(mtm) pada triwulan III menjadi 0,30% (mtm) pada triwulan I 2017. Secara spesifik, penurunan
terutama terjadi pada sub kelompok core non traded yang didorong oleh pelemahan nilai tukar rupiah dan
meningkatnya harga emas di domestik. Di sisi lain, pada subkelompok core traded terjadi peningkatan rata-
rata inflasi bulanan pada kelompok food related (dari 0,25% menjadi 0,33%). Hal ini diperkirakan didorong
oleh pengingkatan harga bahan makanan pada awal triwulan 2017. Peningkatan rata-rata inflasi di
kelompok core juga didorong oleh penyelesaian proyek infrastruktur sebelum momen Lebaran seperti Jalan
Tol Soroja dan perbaikan Jemabatan Cisomang.
Jan Feb Mar Apr
0.26 0.12 0.05 0.19
Andil Inflasi Tarif Listrik
Sumber : PLN Jawa Barat
Grafik 3. 7. Perkembangan Konsumsi Listrik (Rp Juta)
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
76
Tabel 3.2. Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi (%, mtm)
Secara umum, komoditas yang menjadi penyumbang inflasi bulanan utama selama triwulan I 2017 adalah
tariff listrik (0,14%), biaya perpanjangan STNK (0,06%), tarif pulsa ponsel (0,05%), cabai rawit (0,04%),
dan bensin (0,04%)(Tabel 3.3). Di sisi lain, komoditas yang menjadi penyumbang deflasi bulanan utama
selama triwulan I 2017 meliputi cabai merah (-0,05%), daging ayam ras (-0,03%), dan telur ayam ras (-
0,03). Dapat disimpulkan bahwa kelompok pangan merupakan penaham inflasi pada triwulan I 2017,
akibat masa panen yang mulai berlangsung di awal tahun 2017.
Tabel 3.3. Sumbangan Inflasi & Deflasi Komoditas Penyumbang Utama (%, mtm)
Sumber: BPS, Perhitungan Staf BI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3Headline 0.59 -0.17 0.20 -0.37 0.25 0.72 0.47 -0.17 0.22 0.09 0.55 0.36 0.77 0.36 0.08
Core 0.22 0.23 0.07 0.09 0.19 0.14 0.14 0.30 0.31 0.09 0.22 0.24 0.40 0.42 0.08
Core Traded 0.27 0.23 0.11 0.11 0.29 0.21 0.15 0.19 0.19 0.14 0.20 0.20 0.21 0.42 0.12
Core Non Traded 0.14 0.24 0.01 0.05 0.04 0.04 0.13 0.48 0.51 0.01 0.26 0.31 0.71 0.42 0.03
Administered Prices -0.64 -0.62 -0.17 -1.50 0.12 0.45 1.43 -0.97 0.52 0.47 0.22 0.66 2.57 0.80 0.34
Energi -1.70 -2.02 -0.83 -3.47 -0.20 0.17 0.61 0.64 0.30 0.67 0.25 0.48 4.27 1.56 0.67
Non Energi 0.19 0.44 0.33 -0.05 0.35 0.65 2.01 -2.08 0.67 0.33 0.21 0.79 1.36 0.25 0.10
Volatile Food 3.22 -1.07 1.09 -0.73 0.52 3.08 0.57 -0.94 -0.36 -0.42 2.09 0.39 0.04 -0.33 -0.19
2016 2017Inflasi (mtm)
Komoditas Sumbangan (%) Komoditas Sumbangan (%) Komoditas Sumbangan (%)
Tarif Listrik 0.26 Tarif Listrik 0.12 Tarif Listrik 0.05
Biaya Perpanjangan
STNK0.17 Bayam 0.04 Bayam 0.03
Tarif Pulsa Ponsel 0.13 Bawang Merah 0.04 Bayam 0.03
Cabai Rawit 0.11 Cabai Rawit 0.04 Caging Ayam Ras 0.02
Bensin 0.09 Kontrak rumah 0.04 Bawang Merah 0.02
Kaso 0.02 Tarif Pulsa Ponsel 0.04 Mas 0.02
Rokok kretek filter 0.01 Kentang 0.03 Bensin 0.01
Konrak Rumah 0.01 Tarip Pulsa Ponsel 0.03 Jengkol 0.01
Sewa Rumah 0.01 Rokok Kretek 0.02 Petai 0.01
Tarif air minum
pikulan0.01 Bensin 0.01 Minyak Goreng 0.01
Komoditas Sumbangan (%) Komoditas Sumbangan (%) Komoditas Sumbangan (%)
Bawang Merah -0.07 Daging Ayam Ras -0.08 Cabai Merah -0.06
Cabai Merah -0.04 Telur Ayam Ras -0.05 Cabai Rawit -0.04
Daging ayam ras -0.03 Cabai Merah -0.04 Telur Ayam Ras -0.02
Tomat sayur -0.03 Jeruk -0.02 Tarif Pulsa Ponsel -0.02
Semen -0.03 Mas -0.01 Kentang -0.01
Angkutan Udara -0.02 Daun Bawang -0.01 Tomat Sayur -0.01
Jengkol -0.01 Tomat Buah -0.01 Jagung Manis -0.01
Telur ayam ras -0.01 Asbes -0.01 Semen -0.01
Tomat Buah -0.01 Semen -0.01 Pisang -0.01
Kacang Panjang -0.01 Angkutan Udara -0.01 Semangka -0.01
Komoditas Penyumbang Inflasi Bulanan Utama (%)
Komoditas Penyumbang Deflasi Bulanan Utama (%)
Januari 2017 Februari 2017 Maret 2017
Januari 2017 Februari 2017 Maret 2017
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
77
3.1.2. Inflasi Triwulanan (qtq)
Inflasi triwulan I 2016 sebesar 1,22% (qtq) tercatat lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya sebesar
1,00% (qtq) (Tabel 3.4). Realisasi ini tercatat lebih tinggi jika dibandingkan triwulan I 2016 (0,61%, qtq)
maupun historis 5 tahun terakhir sebesar 0,95% (qtq).
Tabel 3.4. Perkembangan Inflasi Triwulanan Jawa Barat Serta Andilnya (%, qtq)
Peningkatan inflasi triwulanan ini terutama terjadi pada kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar
(dari 0,67% menjadi 2,12%) dan transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan (dari 1,13% menjadi
2,37%). Sejalan dengan hal tersebut, kedua kelompok tersebut juga memberikan andil inflasi triwulanan
terbesar, di mana kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar memberi andil 0,58% (qtq) dan
kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan memberi andil 0,43% (qtq).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Mencermati perkembangan yang terjadi pada triwulan I 2017, berikut analisis lebih lanjut terhadap dua
kelompok yang menyumbang inflasi terbesar. Inflasi subkelompok bahan bakar, penerangan dan air
meningkat dari 1,35% (qtq) menjadi 8,15% (qtq) (Grafik 3.8). Pendorong inflasi pada subkelompok ini
adalah komoditas tarif listrik, bahan bakar rumah tangga dan Lampo TL/Neon/PL/XL (Grafik 3.9). Inflasi
triwulanan terbesar terutama terjadi pada tarif litrik (dari 2,06% menjadi 13,49%) dan tarif air minum (dari
3,93% menjadi 26,49%). Sementara itu, pada triwulan I 2016 inflasi triwulanan tarif listrik dan tarif air
minum masing-masing tercatat hanya sebesar -2,44% %(qtq) dan 0,00% (qtq), bahkan mengalami deflasi.
Kenaikan inflasi pada tarif listrik merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan kenaikan
tarif listrik secara bertahap pada tahun 2017 bagi pelanggan golongan 900VA. Pada triwulan I, kenaikan
2017 2017
Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I
0.59 0.52 1.00 1.21 0.59 0.52 1.00 1.21
1 Bahan Makanan 2.61 -0.58 1.95 -0.29 0.55 -0.12 0.41 -0.06
2Makanan jadi, minuman, rokok &
tembakau1.14 1.13 0.94 1.17 0.19 0.19 0.16 0.20
3 Perumahan, air, listrik, dan bahan bakar 0.01 0.68 0.67 2.12 0.00 0.18 0.18 0.58
4 Sandang 1.26 0.42 -0.54 0.70 0.06 0.02 -0.02 0.03
5 Kesehatan 0.24 1.51 1.59 0.76 0.01 0.06 0.06 0.03
6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga -0.20 1.94 0.05 0.42 -0.02 0.15 0.00 0.03
7Transportasi, komunikasi, dan jasa
keuangan-1.10 0.10 1.13 2.37 -0.20 0.02 0.20 0.43
Inflasi Triwulanan (%) Andil Inflasi Triwulanan (%)
2016 2016
Umum
No Kelompok
Grafik 3. 8. Inflasi Triwulanan Kelompok Perumahan, Air,
Listrik dan Bahan bakar
Grafik 3.9. Inflasi Triwulanan Subkelompok Bahan Bakar,
Penerangan dan Air
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
78
tarif listrik ini terlihat sangat berpengaruh, karena kenaikan terjadi di bulan januari dan Maret 2017.
Kenaikan tarif listrik ini diduga memberikan dampak pada tarif air minum pikulan, dimana proses
produksinya menggunakan listrik, sehingga komoditas ini mengalami inflasi pada triwulan I 2017.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, peningkatan inflasi triwulanan terbesar
adalah pada sub kelompok transpor yakni dari 1,05% (qtq) menjadi 13,65% (qtq) pada triwulan I
2017 (Grafik 3.10). Pendorong inflasi pada subkelompok ini adalah kenaikan inflasi triwulanan pada biaya
perpanjangan STNK (dari 0,00% menjadi 107,45%), pemeliharaan/service (dari 0,00% menjadi 0,72%),
dan helm (dari -0,12% menjadi 0,24%) (Grafik 3.11). Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang
menaikkan tarif administrasi STNK untuk kendaraan bermotor, dimana kenaikan 100% untuk kendaraan
roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat. Sedangkan untuk Untuk helm dan pemeliharaan/service,
diduga pada awal tahun terdapat operasi simpatik 2017 yang menyebabkan para pengendara lebih
memperhatikan keselamatan, selain itu juga menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran dimana terdapat
aktivitas mudik membutuhkan kendaraan dalam kondisi baik.
Berdasarkan disagregasi triwulanan (qtq), meningkatnya tekanan inflasi didorong oleh peningkatan
inflasi core (dari 0,56% menjadi 0,91%) dan inflasi administered prices (dari 1,37% menjadi 3,75%)
(Grafik 3.12). Peningkatan kelompok core dan administered price ini sejalan dengan permintaan
fundamental yang meningkat akibat banyak hari libur pada awal tahun 2017 dan juga kebijakan
pemerintah yang menetapkan kenaikkan oada beberapa tarif.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Grafik 3. 12. Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Triwulanan (qtq)
Grafik 3. 10. Inflasi Triwulanan Kelompok Transportasi,
Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Grafik 3.11. Inflasi Triwulanan Subkelompok Sarana dan
Penunjang Transpor
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
79
3.1.3. Inflasi Tahunan (yoy)
Pada triwulan I 2017, Jawa Barat tercatat mengalami inflasi sebesar 3,37% (yoy) atau berada di bawah
tingkat inflasi nasional (3,49%). Tingkat inflasi tahunan ini meningkat dibanding triwulan IV 2016 sebesar
2,75% (yoy). Perkembangan ini didorong oleh meningkatnya tekanan inflasi tahunan pada kelompok
transportasi, komunikasi, dan jasa serta kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar. Berdasarkan
andilnya, kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar menjadi penyumbang terbesar yakni mencapai
0,95% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya (0,35%). Selanjutnya, andil inflasi yang
meningkat dibanding triwulan sebelumnya adalah kelompok trasnportasi, komunikasi dan jasa (dari -0,24%
menjadi 0,46%)) (Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Inflasi & Andil Inflasi Tahunan Jawa Barat Menurut Kelompok
Barang & Jasa (%, yoy)
Sumber: BPS, Perhitungan Staf BI
Pada kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar, peningkatan tekanan inflasi tahunan khususnya
terjadi pada sub kelompok bahan bakar, penerangan, dan air (Grafik 3.13). Pada sub kelompok bahan
bakar, penerangan, dan air kenaikan inflasi tahunan disumbang oleh tarif listrik (dari 7,53% menjadi
18,58%), komoditas tarif air minum (dari 17,07% menjadi 31,47%) serta beberapa komoditas bahan
bangunan seperti paku dan daun pintu. Hal ini seiring dengan perbaikan usaha properti yang didorong
oleh kebijakan Bank Indonesia pada awal tahun 2017 yaitu pelonggaran Loan to Value (LTV). Selain itu
dampak positif dari tax amnesty juga menjadi pendorong perbaikan usaha properti.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
2017 2017
Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I
3.22 2.54 2.75 3.37 3.22 2.54 2.75 3.37
1 Bahan Makanan 9.88 6.95 6.92 3.70 1.98 1.41 1.42 0.78
2Makanan jadi, minuman, rokok &
tembakau5.46 5.14 4.63 4.45 0.92 0.86 0.78 0.76
3 Perumahan, air, listrik, dan bahan bakar 0.61 0.95 1.29 3.51 0.17 0.26 0.35 0.95
4 Sandang 2.72 1.99 1.74 1.85 0.12 0.09 0.08 0.08
5 Kesehatan 3.25 3.87 4.06 4.15 0.13 0.15 0.16 0.16
6 Pendidikan, rekreasi, dan olahraga 1.11 1.98 1.96 2.22 0.09 0.16 0.16 0.18
7Transportasi, komunikasi, dan jasa
keuangan-1.04 -2.28 -1.26 2.48 -0.20 -0.43 -0.24 0.46
Inflasi Triwulanan (%) Andil Inflasi Triwulanan (%)
2016 2016
Umum
No Kelompok
Grafik 3. 13. Inflasi Tahunan Kelompok Perumahan, Air,
Listrik, Gas dan Bahan Bakar
Grafik 3. 14. Inflasi Tahunan Kelompok Transpor,
Komunikasi, dan Jasa Keuangan
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
80
Pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, peningkatan tekanan inflasi tahunan
khususnya terjadi pada subkelompok komunikasi dan pengiriman serta sarana dan penunjang transpor
(Grafik 3.14). Pada subkelompok transpor, peningkatan andil inflasi tahunan khususnya disumbang oleh
komoditas biaya perpanjangan STNK, tarif kereta api dan angkutan udara. Sebagaimana diketahui,
sepanjang triwulan IV 2016 pemerintah menetapkan kebijakan untuk menaikkan biaya adminitrasi STNK
untuk kendaraan bermotor. Kenaikan yang ditetapkan pemerintah sangat besar yaitu sebesar 100% untuk
kendaraan roda dua dan 167% untuk kendaraan roda empat, sehingga inflasi tahunannya mencapai
107,45%. Komoditas yang mengalami peningkatan inflasi tahunan adalah tarif kereta api dan angkutan
udara, hal ini dikarenakan pada triwulan I 2017 terdapat hari libur yang cukup banyak antara lain, tahun
baru dan Imlek. Hal inilah yang memicu tingginya permintaan kedua komoditas tersebut.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Berdasarkan disagregasinya, peningkatan inflasi tahunan pada triwulan I 2017 didorong oleh
kenaikan inflasi core dan administered prices dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik 3.15).
Administered Price yang memberikan andil terbesar terhadap inflasi Jawa Barat mulai mengalami
peningkatan pada triwulan I 2017 setelah sebelumnya konsisten mengalami deflasi sejak triwulan II 2016
hingga triwulan IV 2016 masih terbilang rendah atau mengalami deflasi. Administered Price mengalami
peningkatan inflasi tahunan dari -0,04% menjadi 3,72%. Kenaikkan beberapa tarif seperti listrik, tarif
STNK, cukai rokok tahunan serta kenaikan tarif angkutan udara yang terjadi selama triwulan I 2017
merupakan beberapa penyebab kenaikan inflasi Administered Price ini.
Sejalan dengan hal tersebut, core inflation juga mengalami peningkatan dari 2,28% pada triwulan IV 2016
menjadi 2,67% padaa triwulan I 2017.Peningkatan ini disebabkan oleh peningktan permintaan
fundamental dari banyak munculnya hari libur selama triwulan I 2017. Selain itu fluktuasi nilai tukar selama
triwulan I 2017 juga mempengaruhi kenaikan inflasi pada kelompok ini, nilai tukar terutama dipengaruhi
oleh pengumuman kenaikan FFD rate pada bulan Januari dan Maret 2017.
Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, inflasi volatile food justru mengalami penurunan signifikan
dari 7,58% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 3,36% (yoy) pada triwulan I 2017. Hal ini terutama
disebabkan oleh penurunan haraga cabai pada akhir triwulan I 2017, dimana harga cabai turun hingga
Rp30.000/kg menjadikan harga cabai turun menjadi Rp100.000/kg. Selain itu, komoditas padi juga menjadi
penyumbang rendahnya inflasi pada kelompok volatile food karena terdapat panen yang cukup baik pada
beberapa sentra padi di Jawa Barat.
Grafik 3. 15. Perkembangan Disagregasi Inflasi Jawa Barat Tahunan (yoy)
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
81
Berdasarkan komoditasnya, tekanan inflasi pada triwulan I 2017 terutama masih disumbang oleh
komoditas tarif listrik, tarif pulsa ponsel, biaya perpanjangan STNK dan cabai rawit (Tabel 3.6).
Tekanan inflasi yang tinggi pada beberapa tarif tersebut merupakan dampak dari kebijakan pemerintah
untuk menaikkan tarif tersebut. Tarif listrik pelanggan golongan 900VA akan meningkat secara bertahap
sebanyak tiga tahap, dimana masig-masing penigkatan adalah sebesar 30%, dan akan dilakukan
adjustment tarif pada bulan Juli 2017, dimana untuk pelanggan golongan 900VA yang termasuk rumah
tangga mampu (RTM) makan akan diterapkan tarif normal. Selain itu, peningkatan tarif STNK juga menjadi
penyumbang inflasi tahunan yang cukup besar yaitu sebesar 0,17%. Cabai rawit pada awal tahun 2017
mwngalami kenaikan harga yang sangat tinggi, dimana harga tertinggi di Jawa Barat mencapai Rp150.000
Rp160.000 per kg pada bulan Februari 2017yang terjadi di kota Bandung. Hal inilah yang menybabkan
cabai rawit menjadi penyumbang inflasi tahunan hingga 0,19%.
Tabel 3.6. Sumbangan Inflasi & Deflasi Komoditas Penyumbang Utama (%, yoy)
3.2. Perkembangan Inflasi Menurut Kota
Pada triwulan I 2017, terdapat 3 (tiga) kota yang mengalami inflasi tahunan di atas tingkat inflasi Jawa
Barat yaitu Bogor (4,34%), Depok (3,49%) dan Sukabumi (3,47%) (Grafik 3.16). Sementara itu, Cirebon
kembali menjadi kota dengan inflasi terendah di Jawa Barat pada triwulan I 2017 dengan realisasi inflasi
sebesar 2,74% (yoy). Secara umum, tingkat inflasi tahunan dari seluruh kota perhitungan pada triwulan I
2017 mengalami peningkatan dibanding triwulan IV 2016 (Grafik 3.17).
Komoditas Sumbangan (%) Komoditas Sumbangan (%)
Cabai Merah 0.23 Tarif Listrik 0.57
Bawang Merah 0.21 Tarif Pulsa Ponsel 0.24
Rokok Kretek Filter 0.19 Cabai Rawit 0.19
Beras 0.13
Biaya Perpanjangan
STNK0.17
Bawang Putih 0.13 Rokok Kretek filter 0.15
Cabai Rawit 0.12 Kentang 0.10
Rokok Kretek 0.09 Rokok Kretek 0.08
Tarip Pulsa Ponsel 0.09 Bayam 0.08
Sewa Rumah 0.09 Minyak Goreng 0.07
Kentang 0.08 Nasi dengan Lauk 0.07
Komoditas Sumbangan (%) Komoditas Sumbangan (%)
Bensin -0.39 Semen -0.09
Solar -0.10 Cabai Merah -0.06
Semen -0.05 Tomat Sayur -0.05
Telur Ayam Ras -0.05 Telur Ayam Ras -0.06
Wortel -0.03 Daging Ayam Ras -0.02
Laptop/Notebook -0.02 Bensin -0.07
Buncis -0.02 Solar -0.03
Angkutan Dalam Kota -0.02 Angkutan Dalam Kota -0.02
Kacang Panjang -0.02 Laptop/Notebook -0.02
Bahan Bakar RT -0.01 Tarif Taksi -0.01
Tw I 2017
Komoditas Penyumbang Inflasi Tahunan Utama (%)
Komoditas Penyumbang Deflasi Tahunan Utama (%)
Tw IV 2016 Tw I 2017
Tw IV 2016
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
82
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI) Sumber : BPS , Perhitungan Staf BI
Terdapat risiko yang perlu diwaspadai khususnya pada kota-kota dengan bobot inflasi yang besar terhadap
Jawa Barat. Jika dilakukan pemetaan dengan menggunakan variabel bobot kota dan tingkat inflasi, dapat
dilihat bahwa kota dengan bobot inflasi tertinggi (Bandung) juga mengalami inflasi yang relatif tinggi
(Grafik 3.18). Meskipun demikian, pada triwulan 1 2017 ini menunjukkan pemetaan dengan menggunakan
data inflasi pangan memperlihatkan bahwa seluruh kota masih dibawah rata-rata inflasinya (Grafik 3.19).
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Sumber : BPS, : Perhitungan Staf BI
Jika dievaluasi berdasarkan capaian inflasi di kota-kota inflasi dibandingkan dengan inflasi Jawa Barat, kota
Bogor dan Depok memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding Jawa barat (Tabel 3.7). Sedangkan
kota Tasikmalaya yang konsisten dari triwulan IV 2015 selalu mengalami inflasi di atas Jawa Barat, pada
triwulan I 2017 inflasinya berada di bawah Jawa Barat. Sementara itu berdasarkan andilnya, Kota Depok
masih menjadi pemberi andil inflasi tahunan terbesar di Jawa Barat (0,66%) dan disusul oleh Kota Bogor
(0,59%).
Grafik 3.16. Inflasi Kota di Jawa Barat Triwulan I 2017
(yoy)
Grafik 3.17. Historis Inflasi Tahunan Kota Perhitungan
Inflasi di Jawa Barat
Grafik 3.18. Inflasi Tahunan Kota Inflasi Grafik 3.19. Inflasi Pangan Tahunan Kota Inflasi
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
83
Tabel 3.7. Perkembangan Inflasi dan Andil Inflasi Kota Terhadap Inflasi IHK
Jawa Barat (%, yoy)
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
3.3. Perkembangan Inflasi Berdasarkan Disagregasi
Berdasarkan disagregasi kelompok, peningkatan inflasi tahunan dibanding triwulan lalu terjadi pada
kelompok core dan administered prices, sementara kelompok volatile food mengalami penurunan
(Grafik 3.20). Jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya, baik realisasi inflasi IHK, core, administered
prices dan volatile food lebih rendah dibanding historis(Grafik 3.21). Tren inflasi yang rendah ini khususnya
untuk kelompok volatile food terutama disebabkan oleh musim panen raya yang mulai pada awal tahun
2017. Namun untuk kelompok AP dan CI, meskipun masih rendah dibanding rata-rata historisnya, tekanan
inflasi pada triwulan 2017 masih cukup besar, akibat kebijakan kenaikan beberapa tarif dari pemerintah.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Administered prices
Perkembangan tekanan inflasi kelompok administered prices pada akhir triwulan I 2017 tercatat mengalami
peningkatan, setelah sebelumnya konsisten mengalami penurunan hingga triwulan IV 2016. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, kenaikan inflasi pada kelompok AP ini terutama didorong oleh kebijakan
pemerintah terkait peningkatan tarif listrik pelanggan golongan 900VA. Sebagai dampaknya, inflasi AP
energi mengalami peningkatan dari -5,07% (yoy) pada triwulan III menjadi 5,95% (yoy) pada triwulan I
2017.
Sepanjang triwulan I 2017, pemerintah menetapkan kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA
tepatnya bulan Januari dan Maret 2017 sebesar 30%. Pertumbuhan tarif listrik rata-rata tahunan
2017 2017
Tw I Tw II Tw III Tw IV TW I Tw I Tw II Tw III TW IV TW I
3.78 3.22 2.54 2.75 3.36 3.78 3.22 2.54 2.75 3.36
1 Kota Bandung 4.34 4.22 2.54 2.93 3.21 0.73 0.60 0.43 0.50 0.55
2 Kota Bekasi 3.33 5.22 2.09 2.47 3.21 0.57 0.47 0.36 0.43 0.55
3 Kota Depok 3.51 6.22 2.90 2.60 3.49 0.67 0.66 0.55 0.50 0.66
4 Kota Bogor 4.14 7.22 2.53 3.60 4.34 0.56 0.41 0.34 0.49 0.59
5 Kota Sukabumi 2.96 8.22 2.52 2.57 3.47 0.35 0.31 0.29 0.30 0.40
6 Kota Cirebon 2.83 9.22 1.95 1.87 2.74 0.30 0.23 0.21 0.20 0.29
7 Kota Tasikmalaya 4.51 10.22 3.62 2.75 3.05 0.49 0.45 0.39 0.30 0.33
2016
Inflasi Tahunan (%) Andil Terhadap Inflasi Tahunan Jabar
Jawa Barat
No Kelompok 2016
Grafik 3.21. Perbandingan Inflasi Dengan Historisnya Grafik 3.20. Disagregrasi Inflasi Jawa Barat
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
84
meningkat dari -1,76% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,88% (yoy) pada triwulan I 2017 (Grafik
3.22). Secara spesifik, kenaikan tertinggi adalah pada golongan pelanggan rumah tangga, karena kenaikan
tarif listrik pada tahun 2017 dikhususkan pada pelanggan rumah tangga mampu golongan 900VA.
Sumber : PT. PLN , Perhitungan Staf BI Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Sejalan dengan AP energi, tingkat inflasi tahunan dari kelompok administered prices non energi juga
meningkat dari 3,87% (yoy) menjadi 4,65% (yoy) pada triwulan I 2017. Kenaikan biaya administrasi STNK
dan berlanjutnya transmisi kenaikan cukai rokok terhadap harga rokok mendorong komoditas ini menjadi
penyumbang inflasi utama pada kelompok administered prices. Hingga akhir triwulan I 2017, biaya
adminitrasi STNK mengalami inflasi sebesar 107,45%, rokok kretek filter mengalami inflasi sebesar 7,97%
(yoy), rokok kretek sebesar 7,11% (yoy), dan rokok putih sebesar 6,83%.
Tabel 3.8. Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Adminstered Prices
di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%, yoy)
Sumber: BPS , Perhitungan Staf BI
Volatile Food
Tekanan inflasi volatile food pada triwulan I 2017 tercatat relatif menurun dari triwulan sebelumnya, yakni
dari 7,58% (yoy) menjadi 3,72%. Namun demikian, realisasi ini masih lebih tinggi dibanding rata-rata
historis 5 (lima) tahun terakhir sebesar 6,97% (yoy). Dengan demikian, untuk triwulan I 2017, menurunnya
inflasi volatile food dibanding triwulan IV 2017 menjadi faktor penahan kenaikan inflasi, di tengah kenaikan
inflasi administered prices dan core pada triwulan ini.
Inflasi Andil Deflasi Andil
Tarip Listrik 18.58 0.57 Bensin -2.10 -0.07
Biaya Perpanjangan
STNK107.45 0.17 Solar -7.38 -0.03
Rokok Kretek Filter 7.97 0.15 Angkutan Dalam Kota -0.38 -0.02
Rokok Kretek 7.11 0.08 Tarif Taksi -4.19 -0.01
Tarip Kereta Api 16.81 0.06
Rokok Putih 6.83 0.03
Tarif Air Minum PAM 6.04 0.03
Tarif Parkir 8.10 0.02
Angkutan Udara 35.01 0.01
Inflasi (%, yoy) Deflasi (%, yoy)Komoditas Komoditas
Grafik 3.22. Perkembangan Tarif Listrik Berdasarkan
Kelompok Pelanggan
Grafik 3.23. Inflasi Administered prices Kelompok Energi
dan Non Energi (yoy)
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
85
Menurunnya tekanan inflasi volatile food pada triwulan I 2016 dibanding triwulan sebelumnya disebabkan
oleh mulai berlangsungnya masa panen untuk tanaman padi di sejumlah sentra di Jawa Barat dan juga
peningkatan pasokan cabai dari berbagai sentra produksi cabai.
Beberapa komoditas pangan utama yang tercatat mengalami penurunan inflasi tahunan dibanding triwulan
sebelumnya adalah cabai merah (dari 60,25% menjadi -12,14%), bawang putih (dari 51,01% menjadi
13,62%), bawang merah (dari 36,22% menjadi -0,82%), daun bawang (dari 14,81% menjadi -17,65%),
dan tomat sayur (dari 9,47% menjadi -22,37%). Pada komoditas cabai merah, penignkatan pasokan cabai
dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara dan
Banyumas menjadikan harga cabai di pasaran turun, sehingga penurunan inflasi pada komoditi ini pun
cukup tinggi. Sementara pada komoditas hortikulutra seperti bawang merah, bawang putih, dan sayur-
sayuran seperti daun bawang dan tomat sayur, kondisi kemarau basah (fenomena la nina) sepanjang tahun
2016 justru menambah produktivitas tanaman serta volume panennya yang berawal di tahun 2017.
Di sisi lain, penurunan yang lebih dalam ditahan oleh perkembangan beberapa komoditas yang mengalami
peningkatan inflasi dibanding triwulan sebelumnya. Komoditas bayam merupakan penyumbang kenaikan
andil inflasi tahunan terbesar dari triwulan IV 2016 ke triwulan I 2017. Inflasi bayam meningkat dari 7,73%
(yoy) menjadi 40,45% (yoy) pada triwulan I 2017, komoditas lain seperti kol putih/kubis juga meningkat
dari -8,42% (yoy) menjadi 22,23% (yoy), petai naik dari 73,20% (yoy) menjadi 101,60% (yoy). Selanjutnya,
kenaikan inflasi juga terjadi pada komoditas cabai rawit (dari 75,23% menjadi 98,91%), hal ini disebabkan
oleh gagal p
tanaman, selain itu juga cuaca curah hujan yang tinggi membuat produktivitas pada tanaman ini berkurang.
Tabel 3.9. Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Volatile food
di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%, yoy)
Sumber: BPS , Perhitungan Staf BI
Inflasi Core
Inflasi core pada triwulan I 2017 meningkat, yakni dari 2,28% (yoy) menjadi 2,67% (yoy). Dengan demikian,
inflasi core sudah mulai meningkat setelah sebelumnya konsisten mengalami penurunan sejak triwulan II
2015. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan permintaan masyarakat pada awal tahun yang disertai
Inflasi Andil Deflasi Andil
Cabai Rawit 98.91 0.19 Cabai Merah -12.14 -0.06
Kentang 31.31 0.10 Telur Ayam Ras -7.16 -0.06
Bayam 40.45 0.08 Tomat Sayur -22.37 -0.05
Minyak Goreng 7.69 0.07 Daging Ayam Ras -1.46 -0.02
Beras 1.46 0.05 Daun Bawang -17.65 -0.01
Petai 101.60 0.04 Anggur -11.02 -0.01
Jagung Manis 33.67 0.04 Tomat Buah -22.92 -0.01
Bawang Putih 13.62 0.04 Bawang Merah -0.82 -0.01
Cumi-Cumi 26.38 0.03 Pepaya -2.39 -0.01
Mie kering Instant 7.28 0.03 Kacang Panjang -6.96 -0.01
KomoditasInflasi (%, yoy)
KomoditasDeflasi (%, yoy)
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
86
dengan banyaknya ghari libur, seperti tahun baru dan Imlek, serta hari besar keagaaman lain selama
triwulan I 2017. Selain itu, peningkatan tarif pulsa ponsel secara konsisten sejak September 2016 yang
dilakukan perusahaan provider untuk mengkompensasi kenaikan biaya investasi pada periode sebelumnya
turut menjadi pendorong.
Jika dianalisis secara lebih dalam, peningkatan ini khususnya didorong oleh meningkatnya tekanan inflasi
pada kelompok core non traded (Grafik 3.24). Kenaikan tarif pulsa ponsel dan sewa rumah menjadi faktor
utama pendorong kenaikan ini. Sejalan dengan hal tersebut, inflasi core traded juga tercatat meningkat
pada triwulan I 2017. Hal ini sejalan dengan pelemahan nilai tukar Rupiah pada triwulan I akibat
pada bulan Januari dan Maret 2017. Adapun kelompok core
traded yang terpantau mengalami sedikit peningkatan secara sepsifik adalah food related (Grafik 3.25).
Banyaknya hari libur membuat penignkatan jumlah wisatawan ke Jawa Barat, hal ini diduga menyebabkan
kenaikan permintaan bahan makan pada kelompok core.
Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI Sumber : BPS, Perhitungan Staf BI
Permintaan terhadap properti baik jual maupun sewa terpantau mengalami penurunan. Hal ini tercermin
dari inflasi tahunan dari jasa sewa properti khususnya sewa rumah yang menurun dari 2,02% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 1,34% (yoy) pada triwulan I 2017. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) juga
terpantau menurun untuk selutuh tipe, namun yang paling besar penurunannya adalah tipe rumah besar
(Grafik 3.26). Hal ini mencerminkan permintaan masyarakat terhadap properti baik jual maupun sewa mulai
menurun.
Sumber : Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia
Grafik 3.25. Disagregasi Inflasi Core Traded (yoy) Grafik 3.24. Perkembangan Inflasi Core Traded dan Non
Traded (yoy)
Grafik 3.26. Perkembangan Indeks Harga Properti
Residensial
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
87
Terkait faktor eksternal, Rupiah mengalami pelemahan pada triwulan I 2017 (Grafik 3.27). Hal ini turut
berkontribusi kepada meningkatnya tekanan inflasi beberapa komoditas pada kelompok core traded. Di
sisi lain, sejalan dengan tren penguatan dollar Amerika Serikat, harga emas global terpantau mengalami
perlambatan pada triwulan I 2017 (Grafik 3.28). Inflasi pada komoditas emas perhiasan domestik juga
tercatat mengalami penurunan yakni dari 1,57% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,42% (yoy) pada
triwulan I 2017.
Sumber : Bloomberg, Perhitungan Staf BI Sumber : Bloomberg, Perhitungan Staf BI
Dari sisi sumbangan inflasi core, komoditas core non traded memberikan sumbangan inflasi terbesar pada
triwulan ini, yaitu tarif pulsa ponsel dan sewa rumah. Di sisi lain, beberapa komoditas core traded terpantau
mengalami deflasi yakni semen, laptop, dan kulkas.
Tabel 3.10. Komoditas Penyumbang Inflasi & Deflasi Kelompok Core Inflation
di Jawa Barat Triwulan I 2017 (%, yoy)
Sumber: BPS , Perhitungan Staf BI
3.4. Perkembangan Inflasi Triwulan II 2017
Inflasi IHK tahunan Jawa Barat pada triwulan II 2017 diperkirakan berada pada rentang 3,9% - 4,3% (yoy),
meningkat dibanding realisasi inflasi triwulan I 2017 sebesar 3,37% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi ini
terutama didorong oleh kebijakan pemerintah menaikkan tarif administered prices yaitu kenaikan tarif listrik
Inflasi Andil Deflasi Andil
Tarip Pulsa Ponsel 12.19 0.24 Semen -7.00 -0.09
Nasi dengan Lauk 2.88 0.07 Laptop/Notebook -7.30 -0.02
Sewa Rumah 1.34 0.06 Kulkas/Lemari Es -4.43 -0.01
Kontrak Rumah 1.26 0.05
Ketupak/Lontong Sayur 13.37 0.05
Kue Kering Berminyak 7.81 0.05
Tukang Bukan mandor 1.94 0.04
Akademi/Perguruan Tinggi 2.59 0.04
Sekolah Dasar 4.28 0.04
Pasir 4.02 0.04
Deflasi (%, yoy)Komoditas
Inflasi (%, yoy)Komoditas
Grafik 3.27. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Grafik 3.28. Harga Komoditas Emas Global
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
88
untuk pelanggan golongan 900VA tahap 3 pada triwulan II 2017, selain itu juga terdapat momen bulan
Ramadhan dan Lebaran yang terjadi penuh di triwulan II 2017.
Pada bulan April 2017, Jawa Barat tercatat
mengalami inflasi sebesar 0,17% (mtm) atau
3,92%(yoy), meningkat dibandingkan Maret 2017.
Secara historis, realisasi inflasi bulanan April 2017 ini
lebih rendah dibanding polanya yaitu rata-rata
periode 2012-2016 sebesar 0,52%. Secara
komponen pembentuknya, tekanan inflasi April
2017 didorong oleh inflasi kelompok administered
prices (AP) sebesar 1,15% (mtm) dan kelompok core
inflation (CI) sebesar 0,17% (mtm) (Grafik 3.29),
kedua kelompok tersebut mengalami inflasi bulanan lebih tinggi dibanding rata-rata historisnya sebesar
0,11% (mtm) dan 0,16% (mtm). Di sisi lain, inflasi kelompok volatile food (VF) mengalami deflasi pada
bulan April 2017 sebesar -1,04% (mtm) tercatat lebih rendah dibanding rata-rata historisnya sebesar -
1,24% (mtm). Rendahnya inflasi kelompok VF ini terutama didorong oleh terjaganya stok pangan sejumlah
komoditas utama seperti bawang merah, cabai rawit dan cabai merah.
Pada kelompok inflasi core, secara bulanan pada April 2017 terjadi peningkatan inflasi dari 0,08% menjadi
0,17% dan secara tahunan dari 2,67% menjadi 2,76%. Tarip pulsa ponsel masih menjadi pendorong
utama inflasi untuk kelompok ini. Komoditas itu telah konsisten mengalami peningkatan sejak September
2016 dan pada Januari 2017 mengalami inflasi sebesar 0,97% (mtm). Hal ini menjadi penyebab utama
peningkatan inflasi core non traded dari 0,03% (mtm) di Maret 2017 menjadi 0,10% (mtm). Selain itu,
penyumbang inflasi lain adalah pada subkelompok core traded dimana terdapat peningkatan harga emas
dunia yang membuat harga emas domestik ikut meningkat. Meski demikian, tekanan pada kelompok ini
tertahan akibat nilai tukar rupiah yang terapresiasi sebesar 0,29% (mtm) sepanjang bulan April 2017 yang
menurunkan tekanan imported inflation (barang impor).
Kelompok bergejolak (volatile food/VF) mengalami deflasi pada bulan April 2017 yakni sebesar -1,04%
(mtm) meningkat dibanding bulan Maret 2017 sebesar -0,19% (mtm). Secara tahunan, inflasi VF pada April
2017 tercatat sebesar 3,39% (yoy) atau menurun dibanding bulan sebelumnya (3,72%) serta lebih rendah
dibanding rata-rata historisnya (7,66%). Penyumbang deflasi kelompok volatile food bersumber dari
komoditas bawang merah, cabai rawit dan cabai merah. Hal ini disebabkan terdapat panen raya sehingga
bulan April mengalami deflasi akibat harga yang sudah terpantau stabil seiring dengan terus bertambahnya
pasokan dari berbagai sentra produksi cabai seperti Kab. Garut, Kab. Wonosobo, Banjarnegara dan
Banyumas. Namun demikian, beberapa komoditas seperti seperti bawang putih, jeruk dan daging ayam ras
mengalami kenaikan harga sehingga menahan deflasi dari bulan sebelumnya.
Kelompok harga diatur pemerintah (administered prices/AP) pada April 2017 tercatat mengalami inflasi
bulanan sebesar 1,15% (mtm), meningkat dibanding Maret 2017 sebesar 0,34% (mtm). Dengan demikian,
kenaikan harga pada kelompok AP menjadi pendorong utama inflasi di bulan ini. Dampak dari kebijakan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.29. Perkembangan Disagregasi Inflasi
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
89
pemerintah menaikkan tarif listrik untuk pelanggan golongan 900VA menjadi pendorong utama kenaikan
di kelompok barang ini. Tarif listrik untuk pelanggan 900VA meningkat dari Rp791/kWh per 1 Januari 2017
menjadi Rp1.034/kwh per 1 Maret 2017, dengan pangsa pemakaian listrik pada golongan ini sebesar
32,08% maka kenaikan tarif sebesar 30,72% tersebut mendorong inflasi pada komoditas ini sebesar
5,36% dan menyumbang kenaikan inflasi bulanan pada Januari 2017 sebesar 0,19%.
Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia memperkirakan tekanan harga akan mengalami
peningkatan pada triwulan II 2017. Hal ini ditunjukkan melalui Indeks Ekspektasi Harga (IEH) rata-rata
triwulan II 2017 sebesar 173,58 atau meningkat dibanding rata-rata triwulan I 2017 sebesar 152,30 (Grafik
3.30). Berdasarkan kelompok barang, peningkatan indeks ekspektasi harga terjadi pada kelompok
perumahan, listrik, gas, BB dan bahan makanan (Grafik 3.34).
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
Secara ringkas, beberapa upward risk yang berpotensi mendorong kenaikan inflasi pada triwulan II 2017
meliputi :
Terdapat momen Ramadhan dan Lebaran yang terjadi sepenuhnya di triwulan II 2017
Kenaikan tarif listrik tahap 3 untuk pelanggan golongan 900VA untuk rumah tangga mampu.
Kenaikan harga komoditas global yang akan berpengaruh terhadap harga komoditas domestik
Kembali diberikannya gaji ke-13 kepada PNS menjelang Lebaran
Berjalannya proyek pembangunan infrastruktur strategis di Jawa Barat (Tol Cisumdawu, Tol Soroja,
Bandung Intra Urban Toll Road, Tol Cimanggis-Cibitung, Bogor Ring Road, Tol Cikarang-Tj. Priok, Tol
Cileunyi-Nagreg-Tasikmalaya, serta Bandara Internasional Kertajati).
3.5. Program Pengendalian Inflasi Daerah
Sepanjang tahun 2009 s.d 2016, FKPI Jawa Barat telah melakukan banyak upaya baik dalam hal penguatan
kelembagaan maupun dalam upaya pengendalian inflasi di Jawa Barat. Secara ringkas identifikasi masalah
dan kebijakan yang diambil oleh FKPI Jawa Barat setiap tahunnya adalah sebagai berikut:
Grafik 3.30. Indeks Ekspektasi Harga (IEH) 3 Bulan
Mendatang
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
90
Pada tahun 2017, komoditas pangan masih merupakan penyumbang utama tingkat inflasi. Kondisi
ketersediaan pangan dan alur distribusinya masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi fluktuasi
harga kelompok volatile foods. Melanjutkan fokus pengendalian inflasi tahun 2016, FKPI Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2017 mencanangkan pendekatan upaya pengendalian inflasi yang dikemas dalam tajuk
1. Peningkatan produksi komoditas penyumbang inflasi;
2. Antisipasi lonjakan permintaan menjelang peak season;
3. Revitalisasi pasar;
4. Penyusunan kajian pendukung pengendalian inflasi dan peningkatan kompetensi sumber daya
pendukung;
5. Peningkatan kualitas infrastruktur pendukung (irigasi, perbaikan jalan, jembatan) serta penguatan
sistem logistik bahan pangan strategis;
6. Peningkatan jaringan konektivitas, koordinasi dan kerjasama; serta
7. Usaha Tani Mandiri, yaitu penguatan/pemberdayaan petani melalui sinergi dengan pihak terkait.
TAHUN IDENTIFIKASI MASALAH KEBIJAKAN
Kurangnya awareness anggota Edukasi peningkatan awareness pentingnya pengendalian inflasi
Kenaikan harga gula pasir
Jangka pendek: Pasar Murah dan Operasi Pasar;
Jangka panjang: Revitalisasi merin dan pabrik gula, Ekspansi lahan
tebu dan pabrik gula
2010 Potensi kenaikan harga beras
High Level Meeting, percepatan launching raskin, mendorong
pemkab/kota agar mempercepat penyaluran raskin dan pelaksanaan
OP, mengarahkan ekspektasi masyarakat yang diantaranya melalui
kunjungan ke gudang BULOG.
2011 Gangguan produksi bahan pangan
10 langkah strategis pengendalian inflasi.
Contoh: meningkatkan produktivitas padi, memberikan bantuan bibit
ikan dan kapal tangkap, mendorong pembentukan TPID Kota Bekasi,
Depok, Sukabumi serta meningkatkan awareness masyarakat terhadap
inflasi melalui media massa.
2012Kebijakan Pemerintah dan gangguan
produksi bahan pangan
5 Plus 1 Paket Kebijakan Inflasi,
diantaranya mengedukasi masyarakat melalui media massa secara
intensif.
2013Kebijakan Pemerintah Pusat terkait
harga/tarif
3 Plus 1,
Memperkuat upaya stabilisasi melalui peningkatan produksi dan stok,
akses informasi dan kelancaran distribusi serta mengoptimalkan
kerjasama perdagangan antar daerah.
2014 Penguatan infrastruktur 5 Plus 1,
Peningkatan kualitas infrastruktur pendukung
2015
Kebijakan pemerintah mengenai energi,
selain gangguan terhadap produksi
bahan pangan yang dilatari pengaruh
iklim atau cuaca
Paket 5 Plus 1,
Upaya peningkatan produksi komoditas penyumbang inflasi, upaya
menjaga kecukupan stok komoditas pangan strategis saat lonjakan
permintaan, revitalisasi pasar dan kajian yang berhubungan dengan
pengendalian tingkat inflasi serta usaha peningkatan infrastruktur dan
mekanisme kerja sama dan koordinasi antar instansi berwenang
2016 Ketersediaan dan distribusi pangan
PROPER KAHIJI UTAMA,
Upaya pengendalian inflasi dengan fokus pada peningkatan produksi,
antisipasi lonjakan permintaan, penyusunan kajian pendukung,
peningkatan kualitas infrastruktur serta peningkatan jaringan
konektivitas, koordinasi dan kerjasama dan mendorong
pemberdayaan petani
2009
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
91
3.5.1. Pelaksanaan Kegiatan FKPI Jawa Barat
Sepanjang triwulan I 2017, berbagai upaya pengendalian inflasi telah dilakukan oleh FKPI Jawa Barat, baik
dari sisi koordinasi, seperti penyelenggaraan pertemuan-pertemuan meliputi Rapat Teknis, High Level
Meeting, Rapat Koordinasi TPID 7 (Tujuh) Kota maupun dari sisi strategis melalui pengembangan
Priangan(Portal Informasi Harga Pangan Strategis) dan sosialisasi e-Priangan. Upaya pengendalian inflasi
tersebut dilakukan melalui Program Kerja FKPI baik Program Rutin dan Program Strategis.
A. Program Rutin FKPI
Program Rutin Tanggal Keterangan
Rapat Teknis 10 Februari 2017
Rapat Teknis FKPI dalam rangka evaluasi program kerja
pengendalian inflasi tahun 2016 dan penajaman roadmap
pengendalian inflasi tahun 2017 serta terkait kelembagaan
sehubungan dengan adanya perubahan nomenklatur
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) beberapa anggota
Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi (FKPI) Provinsi Jawa
Barat.
Rutin
Rapat Teknis
Rapat HLM
Rakor se-Jawa Barat
Rakor Antar Provinsi/Rakornas
Capacity Building
Kunjungan ke TPID Terbaik
Strategis
Revitalisasi Sistem Resi Gudang
Revitalisasi Priangan
Penyusunan Model Kerjasama
Antar Daerah
Gambar 3.1. Upaya Pengendalian Inflasi Jawa Barat Tahun 2017 (PROPER KAHIJI UTAMA JILID II)
Gambar 2.2. Program Kerja Rutin dan Strategis FKPI Provinsi Jawa Barat
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
92
High Level Meeting 14 Maret 2017
High Level Meeting FKPI Provinsi Jawa Barat dibuka dan
dipimpin langsung oleh GUbernur Jawa Barat, Bp. Ahmad
Heryawan. Dalam rapat tersebut dibahas mengenai
pentingnya sinergi seluruh stakeholder agar program kerja
FKPI Provinsi Jawa Barat tahun 2017 yang bertajuk PROPER
KAHIJI UTAMA Jilid II dapat berjalan dengan optimal.
Rakor TPID 7 (Tujuh)
Kota Sampel IHK di
Jawa Barat
19-20 Januari 2017
Rakor TPID 7 (tujuh) Kota Sampel IHK di Jawa Barat dengan
topik bahasan terkait evaluasi pencapaian kinerja inflasi
tahun 2016 serta merumuskan strategi pengendalian inflasi
2017.
Capacity Building FKPI
dan TPID Kab/Kota se-
Jawa Barat
16-17 Maret 2017 Dalam rangka peningkatan kapasitas SDM yang menjadi PIC
TPID di jajaran pemerintah tingkat provinsi maupun
kab/kota, maka telah dilaselenggarakan capacity building di
Kab. Pangandaran.
i materi dipaparkan oleh narasumber
dari internal jabar (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, TPID Kota Depok
maupun BPS Prov.Jabar) maupun eksternal Jawa Barat
(Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian).
Monitoring/Audiensi
TPID Kab/Kota se-
Jawa Barat
14 Februari 2017
9 Maret 2017
Pembahasan antara KPw BI Prov. jabar dengan TPID kab.
Purwakarta mengenai peran TPID Kab.Purwakarta dalam
pengendalian inflasi Kab.Purwakarta pasca terbentuknya
TPID Kab.Purwakarta pada tahun 2014.
Pembahasan antara KPw BI Prov. Jabar dengan TPID kab.
Purwakarta mengenai penajaman program kerja TPID
Kab.Sumedang agar selaras dengan program kerja FKPI
Provinsi Jawa Barat tahun 2017.
B. Program Strategis FKPI
Program Strategis Tanggal Keterangan
Optimalisasi Portal
Infomasi Harga Pangan
(Priangan)
5 Januari 2017
9 Januari 2017
Pembahasan dengan mitra e-Priangan yang terdiri dari Bulog
Divre Jabar dan PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI)
Regional Bandung sebagai merchant serta PT. Bhanda Ghara
Reksa (BGR) sebagai penyedia jasa logistik pengantaran
barang terkait validasi pengembangan sistem e-PRIANGAN.
Selain itu juga dibahas mengenai rencana pengembangan
Priangan tahun 2017.
KPw BI Provinsi Jawa Barat berkoordinasi dengan Bagian
Perekonomian Kota Bandung menyelenggarakan kegiatan
Sosialisasi e-PRIANGAN kepada jajaran TPID Kota Bandung.
e-PRIANGAN diharapkan dapat menjadi salah satu media
untuk mengendalikan harga pangan di kota Bandung dan
sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat di kota
Bandung perlu diimplementasikan segera.
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
93
29 Januari 2017
2 Februari 2017
13 Februari 2017
22 Februari 2017
13 Maret 2017
Sosialisasi langsung disampaikan kepada masyarakat kota
Bandung di area CFD Dago dengan menekankan bahwa e-
PRIANGAN hadir bukan untuk tujuan komersil, namun
memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk
mendapatkan bahan pokok secara mudah, harga murah,
namun demikian kualitas barang tetap terjaga.
Sosialisasi e-Priangan kepada Perkumpulan Pensiunan Bank
Indonesia (PPBI). Sosialisasi ditekankan pada aspek latar
belakang dan tujuan pengembangan e-Priangan, yaitu
untuk menjadi pintu gerbang bagi masyarakat dalam
mengakses kebutuhan pokok secara mudah, harga yang
terjangkau namun kualitasnya tetap terjaga.
Rapat koordinasi dengan konsultan IT pengembang e-
Priangan untuk membahas rencana pengembangan
Priangan di tahun 2017.
Sosialisasi e-Priangan kepada Unsur Kewilayahan dan
Anggota TPID Kota Bandung. e-Priangan diharapkan dapat
menjadi solusi untuk memperpendek / efisiensi rantai
distribusi pangan sehingga dapat meredam gejolak harga
pangan.
Cakupan operasional e-Priangan akan diperluas meliputi
wilayah Bandung Raya (Kab.Bandung, Kab.Bandung Barat,
Kota Cimahi dan Kab.Sumedang) agar pengunaannya lebih
optimal.
Dukungan Kajian
Komprehensif
21 Februari 2017 Pembahasan mengenai mapping isu strategis untuk
diperdalam dalam kajian pangan guna mendukung
pengendalian inflasi.
Optimalisasi Sistem
Resi Gudang (SRG)
24 Januari 2017
25 Januari 2017
31 Januari 2017
14 Februari 2017
9 Maret 2017
10 Maret 2017
Pembahasan mengenai evaluasi kinerja SRG Tasikmalaya
2016 dan Strategi 2017 sebagai tindak lanjut peresmian
integrasi SRG dan Pasar Lelang Komoditas (PLK).
Dilakukan kunjungan ke gudang SRG Kab. Garut dengan
hasil kunjungan didapati bahwa kegiatan SRG di Gudang
SRG Kab. Garut sudah dapat dijalankan secara optimal.
Mitra pembiayaan SRG di Jawa Barat mengungkapkan
optimismenya akan pencapaian target penyaluran kredit
skema SRG di Jawa Barat tahun 2017.
Pembahasan dengan stakeholder terkait mengenai upaya
pengaktifan gudang SRG Kab. Purwakarta.
Pembahasan dengan stakeholder terkait mengenai
optimalisasi SRG Kab. Sumedang.
Pembahasan dengan stakeholder terkait mengenai
optimalisasi SRG Kab. Subang.
Kampung Peduli
Inflasi
7 Februari 2017
Upaya monitoring atas program Kampung Peduli Inflasi yang
diinisiasi oleh KPw BI Prov. Jabar melalui pemantauan
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
94
24 Maret 2017
langsung ke lokasi Kampung Peduli Inflasi di Kelurahan
Pelindung Hewan, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung.
Pemantauan lanjutan ke lokasi Kampung Peduli Inflasi di
Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astanaanyar, Kota
Bandung.
Kerjasama Antar
Daerah
17 Februari 2017
28 Februari 2017
16-17 Maret 2017
Pembahasan untuk mendorong peran strategis Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), terutama dalam kaitan pengendalian
inflasi.
Inisiasi kerjasama antara BUMD DKI Jakarta dengan BUMD
Jawa Barat dalam hal lahan pengembangbiakkan sapi.
Peningkatan kapasitas SDM BUMD Jawa Barat dengan
narasumber BUMD pangan DKI Jakarta sehingga diharapkan
dapat meningkatkan kerja sama antar daerah.
3.5.2. Tantangan Dalam Pelaksanaan Pengendalian Inflasi Daerah
Secara umum, tantangan atau kendala dalam rangka pengendalian inflasi di Jawa Barat masih bersumber
dari faktor cuaca, momen tahunan seperti hari besar keagamaan dan faktor kebijakan pemerintah pusat
terkait harga komponen administered prices. Namun demikian, selain tantangan atau kendala sebagaimana
dijelaskan sebelumnya yang cukup krusial dalam pengendalian inflasi yaitu mengenai distribusi komoditas
pangan strategis yang belum efisien. Selama ini, distribusi komoditas pangan strategis, contohnya saja
cabai merah dan beras, yang sebagian besar dipasok ke luar Jawa Barat. Penguatan kerjasama antar daerah
untuk menjaga kecukupan stok pangan di dalam Jawa Barat itu sendiri menjadi tantangan yang terus
diupayakan melalui sinergi dengan stakeholder.
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
95
Bank Indonesia memiliki peran terkait pengendalian inflasi. Dilihat dari disagregasinya, Bank Indonesia
berperan utama dalam hal menjaga inflasi kelompok core, yaitu pengendalian inflasi melalui stabilitas
nilai tukar. Namun, Bank Indonesia juga ikut berperan serta dalam menjaga inflasi dari kelompok
volatile food dan administered prices. Program pengendalian inflasi yang dilakukan Bank Indonesia
khususnya Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Provinsi Jawa Barat antara lain Pengendalian
Ekspektasi Masyarakat dan Pasar Murah.
Grafik Perbandingan Inflasi Beberapa Negara Islam
Jika dibandingkan di negara Islam lainnya seperti Jordania, Mesir, Turki dan Saudi Arabia, Indonesia
memiliki kecenderungan peningkatan inflasi pada saat bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran,
khususnya pada kelompok volatile food (Grafik 3.1.). Peningkatan inflasi tersebut selalu berulang setiap
tahunnya akibat adanya kenaikan harga kebutuhan pokok. Faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan
harga kebutuhan pokok pada bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran antara lain:
1. Peningkatan permintaan masyarakat terhadap bahan makanan;
2. Spekulasi pedagang yang menimbun bahan makanan;
3. Kenaikan harga dari produsen karena menjelang Ramadhan permintaan meningkat;
4. Tidak semua daerah menjadi penghasil produk kebutuhan pokok.
Gejolak harga (inflasi) periode Ramadhan-Lebaran di Jawa Barat umumnya mulai terjadi pada saat bulan
puasa (minggu ke-1 Ramadhan), kemudian berlanjut pada saat menjelang Lebaran (minggu ke-4
Ramadhan) (Grafik 3.2.). Beberapa komoditas yang sering menjadi penyebab tingginya inflasi pada saat
periode Ramadhan-Lebaran antara lain beras, daging ayam ras, cabai merah dan bawang merah.
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 2013 2014 2015 2016
Perbandingan dengan Beberapa Negara Islam
Saudi Arabia Turkey Jordania Egypt Indonesia (Volatile Foods)
Ramadhan-
Idul FItri
Ramadhan-
Idul FItri
Ramadhan-
Idul FItri
Ramadhan-
Idul FItri
Ramadhan-
Idul FItri
BOKS 2
PENGENDALIAN INFLASI MENGHADAPI BULAN RAMADHAN
MEI 2017
PERKEMBANGAN INFLASI
96
Grafik Pergerakan Inflasi Sebelum, Saat dan Setelah Ramadhan
Selama lima tahun terkahir, rata-rata inflasi pada seluruh 7 kota perhitungan inflasi di Jawa Barat pada
periode Ramadhan-Lebaran lebih dari 0,50% (mtm). Beberapa program pengendalian inflasi yang
diambil oleh KPw BI Provinsi Jawa Barat diharapkan mampu menekan laju inflasi yang diakibatkan oleh
seasonal factor (Ramadhan-Lebaran).
Tabel Rata-rata Inflasi 7 Kota Perhitungan Inflasi di Jawa Barat
*Exclude tahun 2013
Program pengendalian ekspektasi masyarakat salah satunya adalah melalui Forum Silaturahmi Ulama
yang diselenggarakan oleh KPw BI Provinsi Jawa Barat. Forum ini bertujuan untuk mengikutsertakan
para ulama dengan berkontribusi melalui syiar dan dakwahnya dalam menyampaikan pentingnya
pengendalian inflasi melalui pengaturan pola konsumsi masyarakat dan penetapan margin yang wajar
kepada para pedagang/pengusaha. Selain itu ada program Pasar Murah yang dimotori Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat dan BULOG Divre Jawa Barat, yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok di masyarakat dengan harga yang lebih murah. Pasar Murah Pengendalian
Inflasi Jawa Barat juga sinergi dengan perbankan Jawa Barat diharapkan dapat mempengaruhi tingkat
harga yang tinggi di pasar.
4.38 4.90
9.7510.02
6.08
3.71
6.51 6.43
6.57
3.01
3.22
2.89 2.13
7.568.44
17.05 17.36
5.78
1.657.59 7.75
9.50 8.678.19
5.42
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
6 7 8 9 6 7 8 9 5 6 7 8 5 6 7 8 5 6 7 8
2012 2013 2014 2015 2016
Pergerakan Inflasi Sebelum, Saat & Setelah Ramadhan
Umum (yoy) Bahan Makanan
BOGOR SUKABUMI BANDUNG CIREBON BEKASI DEPOK TASIKMALAYA JAWA BARAT
Ramadhan 0.49% 0.55% 0.65% 0.75% 0.66% 0.63% 0.70% 0.57%
Idul Fitri 0.89% 0.53% 0.74% 0.55% 0.79% 0.91% 0.75% 0.63%
IV
STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM
BAB IV
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
100
4.1. Perkembangan Kinerja Bank Umum
4.1.1. Aset dan Aktiva Produktif
Total aset bank umum di Jawa Barat pada triwulan I 2017 adalah sebesar Rp 564,32 triliun, tumbuh 9,5% atau
meningkat dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,05% (Grafik 4.1). Pertumbuhan aset perbankan
di Jawa Barat disinyalir terdorong oleh membaiknya pertumbuhan penyaluran kredit oleh perbankan di Jawa
Barat yang tumbuh 9,25% (yoy)1 setelah pada triwulan sebelumnya sempat tumbuh melambat di angka
8,89%. Sejalan dengan pertumbuhan kredit, kualitas kredit pada triwulan IV 2016 juga tercatat membaik
terlihat dari non performing loan yang menurun dari 3,72% menjadi 3,54%2. Di sisi lain, suku bunga DPK
perbankan terpantau menurun yang mengakibatkan menurunnya cost of fund perbankan Jawa Barat. Dilihat
dari kelompok banknya, Bank Pemerintah masih memiliki aset terbesar di antara bank lainnya. Dibandingkan
dengan triwulan IV 2016, aset BPD dan bank asing mengalami penurunan proporsi dibandingkan dengan aset
bank pemerintah dan bank swasta (Grafik 4.2).
4.1.2. Dana Pihak Ketiga
DPK bank umum pada triwulan I 2017 mencapai Rp403,42 triliun atau secara tahunan tumbuh 8,20%,
meningkat dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar 8,07%. Peningkatan didorong oleh
peningkatan deposito (pangsa 41%) yang meningkat signifikan dari 2,49% menjadi 7,78% (yoy) dan
pertumbuhan tabungan (pangsa 42%) yang meningkat dari 12,09% menjadi 12,97%. Sementara itu, giro
melambat dari 11,41% menjadi -0,47% (yoy). Perlambatan pada giro disebabkan perlambatan giro pemerintah
di awal tahun sedangkan pertumbuhan deposito didorong oleh baik deposito pemerintah yang disebabkan
dropping anggaran di awal tahun, maupun swasta yang mengindikasik an membaiknya keyakinan konsumen
tercermin dari meningkatnya instrumen dana jangka panjang.
1 Kredit berdasarkan lokasi bank
2 NPL kredit berdasarkan lokasi bank
Q4
Q1
Grafik 4.1 Pertumbuhan Aset Perbankan Grafik 4.2 Pangsa Aset Perbankan per Kel Bank
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
101
Berdasarkan kelompok bank, DPK pada semua kelompok bank meningkat. Pada kelompok BPD, terdapat
peningkatan pertumbuhan giro dan deposito yang signifikan di awal tahun yang diperkirakan didorong oleh
dropping anggaran dari Pemerintah Pusat.
DPK bank pemerintah dan bank asing tumbuh meningkat, masing-masing dari 13,44% menjadi 17,07% dan
dari 3,56% menjadi 5,43%, keduanya didorong oleh peningkatan yang terjadi pada komponen deposito dari
8,37% menjadi 16,02% untuk bank pemerintah dan 5,28% menjadi 8,75% untuk bank asing. Peningkatan
deposito dimaksud khususnya terjadi pada kelompok nasabah pemerintah yang meningkat dari 14,81%
menjadi 15,25%. Kondisi ini salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan suku bunga deposito bank
pemerintah dari 6,09% menjadi 6,19% dan peningkatan suku bunga deposito bank asing yang tidak jauh
berbeda yakni dari dari 6,41% menjadi 6,46%. Meski suku bunga tabungan pada bank pemerintah mengalami
penurunan dari 1,33% menjadi 1,25%, namun pertumbuhan komponen tabungan pada bank pemerintah
ternyata masih positif (dari 12,69% menjadi 18,16%).
Sementara itu, DPK bank swasta mengalami peningkatan dari 7,05% menjadi 9,93% terutama dipengaruhi
peningkatan jenis simpanan tabungan dari 12,13% menjadi 20,11%. Sama halnya dengan kondisi di bank
pemerintah, peningkatan tabungan pada bank swasta juga terjadi di tengah penurunan suku bunga tabungan
dari 1,84% menjadi 1,81%. Kondisi ini memang sejalan dengan hasil survei konsumen Bank Indonesia triwulan
IV 2016 yang menunjukkan peningkatan proporsi penghasilan masyarakat untuk ditabung. Meski demikian,
Grafik 4.3 Pertumbuhan DPK dan Komponennya
Grafik 4.4 Pertumbuhan DPK per Kelompok Bank
Grafik 4.5 Struktur DPK berdasarkan jenisnya Grafik 4.6 DPK berdasarkan kelompok Bank
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
102
pengaruh suku bunga yang lebih terlihat pada deposito dibandingkan tabungan mengindikasikan bahwa
masyarakat pada dasarnya masih lebih memilih instrumen jangka pendek meski imbal hasil yang diberikan
tidak meningkat. Hal ini menunjukkan masih adanya keraguan dari sebagian masyarakat terhadap pemulihan
kondisi ekonomi ke depan.
4.1.3. Kredit dan Risiko Kredit
Kredit perbankan Jawa Barat pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 8,40%, meningkat dibandingkan
pertumbuhan pada triwulan IV 2016 sebesar 7,09%. Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan kredit bank
umum terjadi pada semua jenis kredit baik Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi
(KK) dengan peningkatan paling signifikan pada kredit modal kerja. Kredit modal kerja meningkat dari 2,77%
menjadi 4,89% (yoy) pada triwulan I 2017, mengindikasikan peningkatan kinerja pelaku usaha pada triwulan
berjalan. Kredit investasi tumbuh dari 3,26% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 4,90% (yoy) pada triwulan
I 2017, didorong oleh peningkatan optimisme pelaku usaha dan persiapan investasi yang umum dilakukan di
awal tahun. Sedangkan kredit konsumsi stabil cenderung meningkat dari 13,60 menjadi 13,63% (yoy).
Peningkatan pertumbuhan kredit modal kerja mengindikasikan adanya pertumbuhan kinerja lapangan usaha
yang diperkirakan terdorong untuk meningkatkan produksi/output guna menghadapi momen Ramadhan dan
Lebaran.
Secara umum, suku bunga kredit turun dari 11,66% (triwulan IV 2016) menjadi 11,56% pada triwulan I 2017,
sejalan dengan peningkatan pertumbuhan kredit. Penurunan suku bunga terbesar terjadi pada Kredit Investasi
dari 10,22% menjadi 10,06%, Kredit Modal Kerja dari 10,82% menjadi 10,73% dan Kredit Konsumsi yang
turun dari 13,14% menjadi 13,03%. Penurunan suku bunga ini sejalan dengan adanya penurunan suku bunga
acuan Bank Indonesia yang diharapkan akan semakin mendorong penyaluran kredit ke depannya.
Empat lapangan usaha terbesar untuk penyaluran kredit di Jawa Barat adalah Industri Pengolahan (24%),
Perdagangan (16%), Jasa Dunia Usaha (4%) dan Konstruksi (4%). Penyaluran kredit di lapangan usaha
konstruksi, perdagangan dan jasa dunia usaha terpantau meningkat, masing-masing dari 18,13% menjadi
24,28% untuk konstruksi; 7,94% menjadi 10,25% untuk perdagangan; dan dari 4,22% menjadi 11,49%
untuk jasa dunia usaha pada triwulan I 2017. Sedangkan kredit industri pengolahan menurun dari -4,32%
menjadi -4,78% (yoy).
Grafik 4.7 Perkembangan Kredit per Jenis Penggunaan Grafik 4.8 Proporsi Kredit menurut Jenis Penggunaan
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
103
Sejalan dengan hal tersebut, jika dilihat dari skala usaha
debitur, peningkatan kredit terjadi pada kredit rumah
tangga yang tumbuh dari 7,54% menjadi 8,84% dengan
pangsa sebesar 57,48%. Peningkatan kredit rumah
tangga pada triwulan I 2017 terjadi seiring dengan
penurunan suku bunga dari 13,70% menjadi 13,64%
Sementara itu, kredit korporasi dengan pangsa sebesar
38,66% mengalami peningkatan dari 8,35% menjadi
8,13%, meski demikian suku bunga kredit korporasi tidak
tercatat naik. Peningkatan pertumbuhan kredit korporasi
ini terjadi seiring meningkatnya kinerja lapangan usaha utama Jawa Barat seperti industri pengolahan. Sejalan
dengan peningkatan kredit investasi di triwulan I 2017, hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga
menunjukkan peningkatan kinerja investasi di Jawa Barat, yang tercermin dari peningkatan angka Saldo Bersih
Tertimbang (SBT) dari 7,63 pada triwulan IV 2016 menjadi 7,91 di triwulan I 2017.
Likuiditas bank umum yang tercermin dari rasio LDR secara kumulatif masih terjaga dengan rasio LDR rata-rata
bank umum di Jawa Barat mencapai 91,33% pada triwulan I 2017. Rasio ini tercatat meningkat dibandingkan
triwulan IV 2016 yang sebesar 90,93%. Peningkatan LDR ini dipengaruhi oleh peningkatan penyaluran kredit
yang lebih tinggi daripada peningkatan pertumbuhan DPK. Dilihat dari kelompok bank, rasio LDR tertinggi
dimiliki oleh kelompok bank pemerintah, yaitu mencapai 104,8% dan telah melewati batas LDR maksimal
sebesar 93.5% (PBI No. l 8/3/PBV2016). Kondisi ini perlu dicermati untuk memitigasi risiko likuditas di masa
mendatang. Peningkatan risiko likuiditas pada periode ini tercermin pula melalui komponen alat likuid yang
didominasi dana jangka pendek yakni tabungan (39,6%), deposito jangka waktu 1 bulan (18,5%}, giro
(17,6%). serta deposito jangka waktu 3 bulan (14,7%).
Risiko penyaluran kredit di awal tahun 2017 menunjukkan perbaikan. Selain kredit yang tumbuh meningkat,
kualitas kredit dimaksud pun masih terjaga dengan NPL di level aman dan cenderung stabil dari 3,24% menjadi
3,26% di triwulan I 2017.
Grafik 4.10 Proporsi Kredit menurut Lapangan Usaha Grafik 4.11 Perkembangan Kredit menurut Lapangan
Usaha
Grafik 4.9 Perkembangan Suku Bunga
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
104
Berdasarkan jenis penggunaannya, peningkatan NPL terjadi
pada jenis kredit investasi dan kredit konsumsi sementara itu
NPL kredit modal kerja menurun. NPL kredit modal kerja
turun dari 4,43% menjadi 4,16% sedangkan kredit investasi
meningkat dari 4,28% menjadi 4,63% dan kredit konsumsi
meningkat dari 1,61% menjadi 1,79%. Peningkatan NPL
kredit investasi menunjukkan risiko di balik mulai
ekspansifnya penyaluran kredit dimaksud.
Dari sisi lapangan usaha, kenaikan tertinggi terjadi pada NPL
konstruksi yang memiliki pangsa penyaluran keempat
terbesar di Jawa Barat bahkan tidak jauh beda dengan pangsa kredit jasa dunia usaha. Kenaikan cukup besar
juga terjadi pada NPL jasa dunia usaha yang meningkat menjadi 5,73%. NPL konstruksi naik dari 3,98%
menjadi 7,05% pada triwulan I 2017. Di tengah pertumbuhan kredit konstruksi yang meningkat tajam maka
peningkatan NPL ini menjadi risiko yang perlu diwaspadai. NPL Industri pengolahan tercatat menurun dari
4,82% menjadi 4,15%. Penurunan terutama disumbangkan oleh NPL tekstil dan produk tekstil sedangkan NPL
industri plastik dan karet tercatat meningkat cukup signifikan.
4.1.3.1 Penyaluran Kredit di Sektor Utama Penopang Perekonomian Jawa Barat
Sejalan dengan struktur perekonomian Jawa Barat yang ditopang oleh sektor lndustri Pengolahan, sektor
Perdagangan Besar dan Eceran, serta Sektor Pertanian, kredit perbankan juga didominasi oleh sektor-sektor
tersebut, kecuali sektor Pertanian. Pada triwulan I 2017, penyaluran kredit pada sektor lndustri Pengolahan
sebesar Rp135,76 triliun, mendominasi 24,86% dari total portofolio kredit, dikuti Sektor Perdagangan sebesar
Rp84,85 triliun dengan pangsa 15,53%. Sementara itu, kredit untuk Sektor Pertanian masih relatif kecil, yaitu
hanya Rp8,40 triliun atau 1,54% dari total kredit yang disalurkan.
Grafik 4.13 NPL per Jenis Penggunaan Grafik 4.14 NPL per Lapangan Usaha Penyaluran
Kredit
Grafik 4.12 Perkembangan LDR
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
105
Sejalan dengan struktur perekonomian Jawa Barat yang ditopang oleh sektor lndustri Pengolahan, sektor
Perdagangan Besar dan Eceran, serta Sektor Pertanian, kredit perbankan juga didominasi oleh sektor-sektor
tersebut, kecuali sektor Pertanian. Pada triwulan I 2017, penyaluran kredit pada sektor lndustri Pengolahan
sebesar Rp135,76 triliun, mendominasi 24,86% dari total portofolio kredit, dikuti Sektor Perdagangan sebesar
Rp84,85 triliun dengan pangsa 15,53%. Sementara itu, kredit untuk Sektor Pertanian masih relatif kecil, yaitu
hanya Rp8,40 triliun atau 1,54% dari total kredit yang disalurkan.
Kredit sektor lndustri Pengolahan di triwulan I 2017 tumbuh semakin melambat dari triwulan sebelumnya yakni
dari -2,14% pada triwulan IV 2016 menjadi -9,61% di triwulan I 2017, sementara itu kinerja lapangan usaha
industri pengolahan memang menurun namun masih relatif stabil. Hal ini mengindikasikan adanya sumber
pendanaan lain bagi industri pengolahan. Sejalan dengan hal tersebut, informasi liaison menyebutkan bahwa
pembiayaan perusahaan manufaktur lebih banyak berasal dari non-bank (parent company) dengan proporsi
rata-rata pembiayaan investasi sebesar 28,2% (bank) dan 71,70% (non bank) dan pembiayaan modal kerja
28,01% (bank) dan 71,99% (non bank). Dengan demikian, kinerja sektor industri pengolahan dapat tetap
tumbuh meski laju pertumbuhan kredit industri manufaktur melambat, namun hal ini sekaligus
mengimplikasikan adanya eksposure risiko nilai tukar yang lebih besar bagi industri pengolahan Jawa Barat
disebabkan oleh rata-rata parent company yang berasal dari luar negeri.
Sementara itu kredit di sektor perdagangan pada triwulan I 2017 relatif stabil atau hanya sedikit melambat dari
9,45% menjadi 9,22%. Hal ini juga terkonfirmasi dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen hasil Survei
Grafik 4.15 Proporsi Kredit Sektoral
Grafik 4.16 Kredit Industri Pengolahan Grafik 4.17 Kredit Sektor Perdagangan
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
106
Konsumen Bank Indonesia menjadi 118,0 dari 109,4. Demikian halnya dengan kredit yang disalurkan pada
sektor konstruksi yang mengalami perlambatan dari 16,39% menjadi 15,78%, sejalan dengan peningkatan
kinerja lapangan usaha konstruksi yang tumbuh sebagai dampak akselerasi pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah dan invetasi bangunan oleh sektor swasta.
Dari sisi kualitas kredit, hampir seluruh sektor utama mengalami peningkatan rasio NPL, kecuali sektor
Pertanian. Sementara itu, rasio NPL sektor utama Jawa Barat meningkat khususnya pada sektor industri
pengolahan, yakni dari 4,80% menjadi 5,48%. Kenaikan NPL yang cukup signifikan ini terutama disebabkan
oleh kenaikan NPL di subsektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau.
4.1.3.2 Penyaluran Kredit Menurut Kota/Kabupaten di Jawa Barat
Secara spasial penyaluran kredit bank umum masih
terkonsentrasi di 5 (lima) kabupaten/kota di Jawa Barat
yang mencapai pangsa 61,18% dari total kredit yang
disalurkan di Jawa Barat, yaitu meliputi Kabupaten
Bekasi (18,39%), Kota Bandung (17,18%), Kabupaten
Bogor (9,08%), Kabupaten Bandung (9,00%), dan
Kabupaten Karawang (7,53%). Penyaluran kredit di
Jawa Barat masih terkonsentrasi di kota/kabupaten
lokasi kantor atau pabrik industri pengolahan dan
perdagangan. Kelima daerah tersebut juga memiliki
rasio NPL yang terjaga di bawah 5%. Sementara itu, terdapat beberapa dengan NPL di atas ambang batas 5%
yakni Kabupaten Cianjur (5,2%) dan Kabupaten Sumedang (5,9%). NPL Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Sumedang tercatat meningkat daripada triwulan sebelumnya.
Grafik 4.18 NPL dan Kredit Ind Pengolahan Grafik 4.19 NPL dan Kredit Sektor Perdagangan
Grafik 4.20 Sebaran Kredit Kota/Kabupaten
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
107
4.1.4. Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
4.1.4.1. Penyaluran Kredit UMKM di Jawa Barat
Penyaluran kredit UMKM di Jawa Barat mengalami peningkatan pada triwulan I 2017 dibandingkan triwulan
IV 2016, dari 8,64% menjadi 9,36% dengan nominal sebesar Rp 117 triliun. Peningkatan terjadi seiring dengan
suku bunga kredit UMKM yang turun yakni dari 13,88% menjadi 13,84%. Berdasarkan skala usahanya, kredit
UMKM didominasi oleh usaha menengah yang mencapai Rp 50,11 triliun, dengan pangsa 46,83%, diikuti
skala usaha kecil sebesar Rp 29,57 triliun (pangsa 27,63%) dan skala usaha mikro sebesar Rp 27,33 triliun
dengan pangsa 25,54%. Peningkatan pertumbuhan penyaluran kredit terjadi pada kelompok usaha mikro
meningkat dari 10,33% menjadi 11,15%. Sementara penyaluran kredit untuk usaha kecil dan menengah
tercatat melambat. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah debitur usaha mikro. Secara umum, kualitas
kredit UMKM di Jawa Barat mengalami perbaikan dengan penurunan rasio NPL dari 6,33% menjadi 5,49%,
meski demikian rasio tersebut telah melewati ambang batas 5% dan perlu mendapat perhatian lebih lanjut.
Grafik 4.22 Perkembangan Kredit UMKM
Grafik 4.23 NPL Kredit UMKM
Penyaluran kredit UMKM mayoritas ditujukan untuk tiga sektor utama yakni Sektor Perdagangan (56,36%),
lndustri Pengolahan (15,35%), dan Jasa Dunia Usaha (7,52%). Pertumbuhan kredit UMKM ke sektor
Perdagangan Besar dan Eceran melambat dari 17,06% pada triwulan III 2016 menjadi 12,64%, demikian pula
Grafik 4.21 NPL Kredit per Kota/Kab
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
108
sektor lndustri Pengolahan yang turut melambat dari
7,48% menjadi 6,99% dan sektor Jasa Dunia Usaha
yang melambat dari 8,89% menjadi 5,86%.
Bank Indonesia terus mendorong penyaluran kredit
UMKM dengan menetapkan target proporsi kredit
UMKM pada perbankan berdasarkan milestone
tertentu. Pada tahun 2015, target yang ditetapkan
Bank Indonesia adalah 5%, tahun 2016 sebesar 10%,
tahun 2017 sebesar 15% dan minimal 20% di tahun
2018 (Peraturan Bank lndonesia No.14/12/PBl/2012).
Selain itu, Bank Indonesia berupaya mendorong peningkatan kinerja kredit UMKM melalui penerbitan
kebijakan insentif memperlonggar batas LFR (Loan to Funding Ratio) menjadi 94% per 1 Agustus 2015 bagi
bank yang sudah memenuhi pencapaian tertentu kredit UMKM dengan kualitas kredit yang baik sesuai
Peraturan Bank Indonesia No.17/11/PBl/2015.
4.1.4.2. Penyaluran Kredit UMKM Menurut Kabupaten/Kota
Secara spasial 54,42% penyaluran kredi UMKM di Jawa Barat terkonsentrasi di 6 daerah, meliputi Kab Bekasi,
Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bogor, Kab. Karawang dan Kota Bekasi. Peningkatan paling signifikan
terjadi di kab Bekasi di mana share kredit UMKM yang sbelumnya 10.8% naik menjadi 18.6% (relatif terhadap
kredit UMKM total se-Jawa Barat). Dari sisi kualitas kredit, mayoritas daerah utama penyaluran kredit UMKM
tersebut memiliki rasio rasio NPL kredit UMKM di bawah 5%. Sementara itu, beberapa daerah lain yang masih
memiliki NPL di atas ambang batas 5% adalah Kabupaten Sukabumi (5,0%), Kota Bogor (5,1%), Kabupaten
Bandung (5,2%), and Kabupaten Garut (7,7%).
Grafik 4.25 Kredit UMKM Kota/kabupaten
Grafik 4.26 NPL Kedit UMKM per Kota/Kab
Grafik 4.24 Proporsi Kredit UMKM
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
109
4.2. Asesmen Sektor Korporasi
4.2.1 Sumber-Sumber Kerentanan Sektor Korporasi
Salah satu faktor yang dapat memberikan tekanan pada kinerja korporasi Jawa Barat khususnya sektor industri
pengolahan adalah permintaan global atau demand negara mitra dagang. Pada triwulan I 2017, demand
Negara mitra dagang jawa Barat tercatat meningkat. Hal ini mendorong ekspor luar negeri produk manufaktur
yang memegang pangsa sekitar 99,5% terhadap total ekspor luar negeri Jawa Barat mengalami peningkatan
pertumbuhan pada triwulan I 2017. Berdasarkan pangsanya, komoditas ekspor terbesar dari Jawa Barat adalah
dari subkelompok Tekstil dan Produk Tekstil (23%), diikuti oleh Elektronik (15,9%), Mesin (8,9%), serta
Kendaraan (8,5%). Pertumbuhan ekspor luar negeri produk manufaktur Jawa Barat pada triwulan I 2017
tercatat sebesar 16,7%, meningkat dibanding pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 5,3%. Sementara
itu dari sisi negara tujuan, terlihat bahwa pertumbuhan ekspor Jawa Barat ke kawasan utama yakni Amerika
Serikat, Eropa dan ASEAN mengalami secara konsisten terus mengalami peningkatan.
Grafik 4.27 Perkembangan Ekspor Manufaktur
Grafik 4.28 PMI Negara Mitra Dagang Utama
Permintaan domestik juga merupakan sumber tekanan pada kinerja korporasi manufaktur di Jawa Barat
khususnya subsektor industri pengolahan makanan dan minuman yang banyak bertumpu pada konsumsi
domestik. Di triwulan I 2017 ini, konsumsi rumah tangga tercatat meningkat. Perlambatan pertumbuhan
ekonomi yang cukup dalam ditahan oleh masih meningkatnya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan
kinerja ekspor luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari berlangsungnya sejumlah momen libur panjang selama
triwulan I 2017 dan berlangsungnya Pilkada serentak yang dijadikan sebagai hari libur nasional.
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 5,03% (yoy), mmeningkat
dibandingkan laju pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,81%. Adapun laju pertumbuhan 2 (dua)
komponen konsumsi rumah tangga utama yakni makanan dan minuman (7,00%) serta perumahan dan
perlengkapan rumah tangga (5,02%) mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Dari
perkembangan hasil survei konsumen pada triwulan I 2017 dapat disimpulkan bahwa pemulihan keyakinan
masyarakat umum masih berlangsung secara konsisten. Namun demikian, masyarakat masih cenderung
menahan kegiatan konsumsi yang tidak mendesak serta ekspansi konsumsi melalui pengajuan pinjaman
kepada perbankan dalam mengantisipasi ketidakpastian ke depannya.
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
110
Grafik 4.29 Pertumbuhan Komponen Konsumsi RT
Grafik 4.30 Indeks Keyakinan Konsumen
4.2.2 Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia mengindikasikan adanya peningkatan kinerja korporasi di
triwulan I 2017. Peningkatan kinerja korporasi tersebut tercermin dari peningkatan saldo bersih tertimbang
realisasi kegiatan usaha menjadi 4,27 SBT, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar -1,18 SBT.
Peningkatan realisasai kegiatan usaha tersebut terutama didorong meningkatnya kinerja korporasi manufaktur
yang tercermin dari peningkatan indeks realisasi usaha dari -1,84% menjadi 4,41%.
Grafik 4.31 Perkembangan Kegiatan Usaha - SKDU
Walaupun masih dibayangi dengan risiko perekonomian global serta kondisi permintaan domestik yang belum
sepenuhnya pulih, namun konsumsi masyarakat yang masih cukup solid dan meningkatnya permintaan ekspor
memberikan dampak positif pada kinerja keuangan korporasi di Jawa Barat, khususnya korporasi industri
pengolahan yang memiliki share terbesar di Jawa Barat. lndikator kinerja keuangan korporasi yang diukur dari
produktivitas, profitabilitas, solvabilitas, likuiditas dan Debt Equity Ratio (DER) korporasi industri pengolahan
cenderung stabil3.
Rentabilitas perusahaan yang dilihat dari rasio return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) cenderung
stabil dari triwulan III 2016 ke triwulan IV 2016 sedangkan profit margin tercatat meningkat dari 6,94%
menjadi 7,39%. Sementara itu, current ratio dan quick ratio yang menunjukkan likuiditas perusahaan juga
tercatat stabil. Rasio solvabilitas jangka panjang yang ditunjukkan dengan solvability ratio dan debt to equity
3 Data 16 korporasi Manufaktur Tbk di Jawa Barat, data terakhir per triwulan IV 2016
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
111
ratio menunjukkan peningkatan. Solvability ratio meningkat dari 1,97 menjadi 2,03 sedangkan debt to equity
ratio membaik dari semula 1,03 menjadi 0,97. Demikian halnya dengan, repayment capacity yang ditunjukkan
dengan debt to service ratio yang membaik dari 1,62 menjadi 1,49.
Sementara itu, wawancara liaison oleh Bank Indonesia kepada 39 perusahaan di Jawa Barat secara umum
menyampaikan bahwa laju pertumbuhan penjualan domestik pada triwulan I 2017 stabil dibanding triwulan
sebelumnya dengan likert scale dari 0,69 menjadi 0,70 pada triwulan I 2017. Kondisi penjualan domestik ini
ditunjukkan oleh contact pada mayoritas sektor seperti industri pengolahan, perdagangan, pertanian,
pengangkutan dan komunikasi, dan perhotelan. Sementara itu, kinerja penjualan ekspor pada triwulan I 2017
berdasarkan liasioan justru mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Perlambatan permintaan
ekspor ini tercermin dari hasil liaison kepada pelaku usaha di Jawa Barat, di mana pada likert scale permintaan
ekspor menurun dari 0,33 pada triwulan IV 2016 menjadi 0,10 pada triwulan I 2017.
Grafik 4.32 Likert scale Permintaan Domestik
Grafik 4.33 Likert Scale Penjualan Ekspor
4.2.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sejalan dengan peningkatan penyaluran kredit secara umum di Jawa Barat, penyaluran kredit korporasi juga
meningkat cukup menngembirakan dengan tumbuh sebesar 3,47% setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh
2,97%. Dilihat dari jenisnya, peningkatan kredit korporasi terjadi utamanya pada kredit modal kerja yang
meningkat dari 0,44% ke 1,37% (yoy) sementara kredit investasi tumbuh dari 7,30% menjadi 7,80%.
Peningkatan kredit modal kerja dan kredit investasi korporasi menjadi sinyal ekspansi yang akan dilakukan
korporasi di triwulan/tahun berikutnya.
Peningkatan kredit korporasi diiringi dengan penurunan NPL dari 4,93% menjadi 4,59%. Baik NPL KI maupun
KMK mengalami penurunan dimana NPL KMK kembali terjaga di level aman (di bawah 5%). Secara sektoral,
peningkatan kredit korporasi terjadi pada mayoritas kredit sektor utama yakni perdagangan, jasa dunia usaha
dan konstruksi, dengan kenaikan terbesar pada korporasi yang bergerak di bidang jasa dunia usaha. Namun
kredit koporasi industrinpengolahan tercatat menurun dan masih kontraksi dari -3,78% menjadi -4,51% yoy.
NPL kredit koporasi jasa dunia usaha dan konstruksi tercatat meningkat dan berada di atas 5% sedangkan NPL
industri pengolahan menurun dan berada di bawah 5%.
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
112
Grafik 4.34 Perkembangan Kredit Korporasi
Grafik 4.35 Kredit Koporasi Sektor Utama
Grafik 4.36 NPL Kredit Korporasi
4.3. Asesmen Sektor Rumah Tangga
4.3.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
Dalam suatu sistem keuangan, rumah tangga berperan baik sebagai pihak penyedia dana (lender) maupun
penerima pendanaan dari institusi keuangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi keuangan rumah
tangga adalah tingkat pendapatan, tingkat pengangguran, tingkat konsumsi, dan kondisi pembiayaan/kredit
oleh rumah tangga. Secara umum, tingkat pendapatan, tingkat pengangguran dan tingkat konsumsi rumah
tangga dipengaruhi oleh kinerja perekonomian.
Pada triwulan I 2017, kinerja perekonomian Jawa Barat mengalami perlambatan dibanding triwulan
sebelumnya. Dari sisi penggunaan, komponen konsumsi rumah tangga masih menjadi motor pendorong
utama pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan andil terbesar. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga
pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 5,03% (yoy), meningkat dibandingkan laju pertumbuhan triwulan
sebelumnya sebesar 4,81%. Terlepas dari berlalunya efek seasonal, secara umum daya beli masyarakat masih
terjaga didukung oleh beberapa faktor yakni: (1) tingkat inflasi yang terkendali dan relatif rendah (inflasi
periode Lebaran tahun 2016 merupakan yang terendah selama beberapa tahun terakhir); (2) berlanjutnya tren
penguatan nilai tukar rupiah; (3) penurunan suku bunga kredit sebagai bentuk transmisi dari pelonggaran
kebijakan moneter (penurunan suku bunga kebijakan); dan (4) kembali dilonggarkannya kebijakan LTV yang
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
113
berlaku sejak Agustus 2016 dan. Selain itu, tren inflasi yang terkendali di tengah perkembangan harga tarif
dasar listrik serta stimulus moneter berupa pelonggaran suku bunga kebijakan sejak awal tahun turut
berkontribusi dalam menjaga optimisme rumah tangga untuk melakukan kegiatan konsumsi. Di sisi lain, untuk
6 bulan ke depan, membaiknya ekspektasi rumah tangga terhadap kondisi ekonomi terutama didorong oleh
ekspektasi meningkatnya ketersediaan lapangan kerja. Hal ini menjadi faktor yang memperkecil kerentanan
sektor rumah tangga dalam sektor keuangan di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil Survei Konsumen yang dilakukan oleh KPw BI Jawa Barat, peningkatan penghasilan rumah
tangga pada triwulan I 2017 dialami oleh 37,22% responden sementara sebanyak 43,15% responden
mengaku bahwa pendapatan mereka sama dengan 6 bulan yang lalu. Sisanya sebanyak 19,63% responden
mengaku bahwa pendapatan mereka menurun dibanding 6 bulan yang lalu. Berdasarkan sektornya,
persentase yang mengalami peningkatan pendapatan terbesar dialami oleh responden yang bekerja di sektor
jasa keuangan dan asuransi (43%), dIIIkuti oleh sektor restoran & hotel (42%), jasa profesional (39%), jasa
pendidikan (38%), dan perdagangan (36%). Di sisi lain, persentase yang mengalami penurunan pendapatan
terbesar terjadi di sektor jasa kesehatan (29%). Meskipun demikian, persentase yang mengalami penurunan
penghasilan pada sektor tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan persentase responden yang
mengalami peningkatan penghasilan.
Grafik 4.39. Perubahan Penghasilan Saat Ini Dibanding 6 Bulan
yang Lalu
Grafik 4.37. Persepsi Rumah Tangga Jawa Barat Terhadap
Perkembangan Ekonomi Saat Ini
Grafik 4.38. Ekspektasi Rumah Tangga Jawa Barat
Terhadap Kondisi Ekonomi 6 Bulan Mendatang
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
114
Sumber tekanan lainnya adalah potensi tekanan harga yang berdampak kepada penurunan daya beli
masyarakat. Pada awal triwulan I 2017, rumah tangga di Jawa Barat menghadapi tekanan harga yang relatif
tinggi secara triwulanan yang disebabkan oleh kenaikan beberapa administered prices seperti tarif dasar listrik,
cukai rokok dan bahan bakan minyak. Pada triwulan II mendatang, tekanan harga diperkirakan bergerak dalam
meningkat hingga akhir triwulan, di mana peningktan tekanan harga terbesar diperkirakan terjadi pada
kelompok bahan makanan. Stabilisasi permintaan dan pasokan ke pasar pasca momentum Hari Raya serta
berlanjutnya tren penguatan nilai tukar rupiah menjadi faktor utama yang meredam tekanan harga di triwulan
II 2017 dan berpotensi meningkatkan daya beli rumah tangga.
4.3.2. Kinerja Keuangan Rumah Tangga
Secara umum, alokasi penggunaan pendapatan rumah tangga (disposable income) terbesar masih ditujukan
untuk keperluan konsumsi. Pada triwulan I 2016, pengeluaran untuk konsumsi mencapai 64,5% terhadap
total pengeluaran, meningkat dibanding triwulan sebelumnya dengan pangsa sebesar 63,6%. Selain itu,
pangsa cicilan pinjaman juga sedikit meningkat dari 14,2% menjadi 14,3%. Peningkatan pada kedua segmen
pengeluaran ini dIIIringi dengan penurunan pangsa pengeluaran untuk tabungan dari 22,3% menjadi 21,2%.
Sejalan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri dan libur sekolah mendorong masyarakat meningkatkan
pengeluaran konsumsi musimannya di mana pembiayaan untuk konsumsi ini selain berasal dari pendapatan
pribadi juga bersumber dari pinjaman maupun mengambil dana dari tabungan pribadi. Apabila dilihat
berdasarkan golongan pendapatannya, pangsa pengeluaran konsumsi terbesar dimiliki oleh kelompok rumah
tangga golongan menengah ke bawah dengan pengeluaran bulanan >Rp 4 juta. Namun demikian, secara
umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada porsi pengeluaran untuk konsumsi antar golongan.
Diferensiasi pangsa tercermin pada cicilan pinjaman, di mana terlihat bahwa semakin besar pengeluaran
bulanan rumah tangga maka semakin besar pula cicilan pinjamannya. Porsi pembayaran cicilan pinjaman
terbesar adalah pada rumah tangga yang memiliki pengeluaran lebih dari Rp5 juta.
Sementara itu jika dilihat dari perilaku berutang, terdapat penurunan risiko dari sisi kredit karena secara agregat
terjadi penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki debt service ratio lebih dari 30% pendapatannya
(DSR>30%). Pada triwulan I 2017, jumlah rumah tangga dengan DSR>30% turun sebesar 7,32% dibanding
triwulan sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya rasio DSR pada kelompok rumah
Grafik 4.40. Ekspektasi Perubahan Harga Oleh Rumah
Tangga 3 Bulan Mendatang
Grafik 4.41. Ekspektasi Perubahan Harga 3 Bulan
Mentang Berdasarkan Komoditas
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
115
tangga dengan golongan pengeluaran di atas Rp4 juta. Institusi keuangan menilai bahwa rumah tangga
dengan DSR>30% memiliki risiko yang tinggi dan berpotensi menjadi penyebab NPL (non performing loan).
Di sisi lain, terjadi peningkatan risiko pada perilaku menabung. Hal ini tercermin dari bertambahnya persentase
rumah tangga yang tidak menabung hingga 30,65% (qtq). Rumah tangga yang paling besar peningkatannya
dalam hal tidak menabung adalah pada kelompok pendapatan Rp3,1 juta s.d. Rp4 juta. Rumah tangga yang
tidak dapat menabung menimbulkan risiko pada stabilitas keuangan daerah karena berpotensi mengganggu
likuiditas insitusi keuangan dari sisi penghimpunan dana.
4.3.3 Eksposur Perbankan pada Sektor Rumah Tangga
Secara umum, kinerja kredit rumah tangga masih menunjukkan keyakinan konsumen dan repayment capacity
yang terjaga. Kredit Kepemilikan Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan kredit
multiguna mengalami peningkatan yang walau diiringi dengan kenaikan NPL namun masih dalam level terjaga.
Penyaluran kredit untuk kepemilikan kendaraan bermotor terpantau meningkat di triwulan I 2017
dibandingkan dengan triwulan IV 2016 yakni dari 3,06% menjadi 3,74%. Peningkatan terutama terjadi pada
kredit kepemilikan sepeda motor yang membaik dari -17,4% menjadi -12,15% meskipun masih kontraksi.
Sementara kredit kepemilikan mobil melambat dari 12,06% menjadi 11,90% sejalan dengan melambatnya
>0
-10
%
>1
0%
-20
%
>2
0%
-30
%
>3
0%
Rp 1 - 2 jt 3.52% 2.59% 1.30% 1.11% 14.63%
Rp 2,1 - 3 jt 4.26% 6.85% 2.78% 2.04% 15.93%
Rp 3,1 - 4 jt 2.04% 5.93% 3.89% 1.30% 7.96%
Rp 4,1 - 5 jt 0.56% 1.67% 3.52% 0.56% 5.37%
> Rp 5 jt 1.11% 2.78% 3.33% 2.04% 2.96%
Total 11.48% 19.81% 14.81% 7.04% 46.85%
Pe
ng
elu
ara
n/
bu
lan
Triwulan I 2017
Debt Service Ratio (DSR)
TMP
>0
-10
%
>1
0%
-20
%
>2
0%
-30
%
>3
0%
Rp 1 - 2 jt 4.63% 2.59% 1.48% 1.67% 12.78%
Rp 2,1 - 3 jt 10.56% 4.07% 3.70% 3.52% 10.00%
Rp 3,1 - 4 jt 7.96% 4.44% 2.22% 2.78% 3.70%
Rp 4,1 - 5 jt 4.26% 1.67% 1.85% 1.67% 2.22%
> Rp 5 jt 6.85% 1.67% 1.11% 1.30% 1.30%
Total 34.26% 14.44% 10.37% 10.93% 30.00%
Pe
ng
elu
ara
n/
bu
lan
Triwulan I 2017
Tabungan
TMB
>0
-10
%
>1
0%
-20
%
>2
0%
-30
%
>3
0%
TMP
Rp 1 - 2 jt 171.43% -12.50% 40.00% 50.00% -5.95%
Rp 2,1 - 3 jt 0.00% -7.50% -31.82% 37.50% 16.22%
Rp 3,1 - 4 jt 10.00% 14.29% 0.00% 133.33% 48.28%
Rp 4,1 - 5 jt -57.14% -40.00% 18.75% -70.00% 52.63%
> Rp 5 jt -40.00% -40.00% -43.75% -31.25% 0.00%
Total 8.77% -13.71% -16.67% -7.32% 13.96%
Perubahan DSR* (qtq)
Pe
nge
luar
an/
bu
lan
>0
-10
%
>1
0%
-20
%
>2
0%
-30
%
>3
0%
TMB
Rp 1 - 2 jt -3.85% 100.00% -11.11% -43.75% 18.97%
Rp 2,1 - 3 jt 5.56% -29.03% -9.09% 0.00% 31.71%
Rp 3,1 - 4 jt 13.16% 26.32% -7.69% 50.00% 81.82%
Rp 4,1 - 5 jt -25.81% -35.71% 25.00% 80.00% 33.33%
> Rp 5 jt -31.48% -47.06% 0.00% -58.82% 40.00%
Total -8.87% -11.36% -3.45% -11.94% 30.65%
Pe
nge
luar
an/
bu
lan
Perubahan Tabungan* (qtq)
TMP : Tidak memiliki pinjaman
*Perubahan triwulan I 2017 dibanding triwulan IV 2016
Sumber : Survei Konsumen KPw BI Jawa Barat, diolah
Tabel 4.1. Dana Rumah Tangga Untuk Membayar
Cicilan dan Perubahannya Berdasarkan Tingkat
Pengeluaran/Bulan
Tabel 4.2. Dana Rumah Tangga Untuk
Menabung dan Perubahannya Berdasarkan
Tingkat Pengeluaran/Bulan
TMB : Tidak menabung
*Perubahan triwulan I 2017 dibanding triwulan IV 2016
Sumber : Survei Konsumen KPw BI Jawa Barat, diolah
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
116
penjualan mobil di Jawa Barat. Sementara itu, NPL kredit kepemilikan kendaraan masih berada pada level yang
cukup rendah yakni 1,26% dan sedikit menurun dibandingkan triwulan IV 2016.
Grafik 4.42 Perkembangan Kredit RT
Grafik 4.43 NPL Kredit RT
Penyaluran kredit kepemilikan rumah juga meningkat dengan tumbuh di angka 14,91% setelah pada triwulan
IV 2016 tumbuh 14,70%. Peningkatan hanya terjadi pada kredit tipe rumah sedang (tumbuh dari 17,39%
menjadi 18,86%). Sedangkan kredit tipe rumah kecil melambat cukup dalam dari 13,42% menjadi 6,17% dan
kredit rumah besar melambat dari 7.28% menjadi 5,44% yoy. Meningkatnya kredit kepemilikan rumah
dibayangi dengan meningkatnya NPL KPR dari 2,42% menjadi 2,73%. Namun dmikian NPL dimaksud masih
dalam level terkendali. Kredit multiguna terpantau meningkat dari 4,27% menjadi 6,00%. Namun demikian
kenaikan multiguna diiringi dengan kenaikan NPL menjadi 1,22% namun masih dalam level terkendali. Secara
umum, kinerja kredit rumah tangga masih menunjukkan keyakinan konsumen dan kemampuan bayar yang
terjaga.
Grafik 4.44 Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
Grafik 4.45 Perkembangan Kredit Kepemilikan Rumah
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
117
Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2017, KPw BI Provinsi Jabar telah melakukan pembinaan kebeberapa
klaster, sebagai berikut:
Tabel Pengembangan Klaster Bank Indonesia Jawa Barat
No
Komoditas Program
Pengembangan Klaster
Lokasi Tahun Dimulai
1 Paprika Kec. Cisarua. Kab. Bandung Barat 2007
2 Cabai Merah Kab. Garut 2011
3 Alas Kaki Kec. Cibaduyut, Kota Bandung 2012
4 Sapi Potong Kec. Purabaya, Kab. Sukabumi 2014
5 Sayuran Kac. Pangalengan, Kab. Bandung 2014
6 Sapi Potong Kec. Cikelet, Kab.Garut 2015
7 Sayuran Kec. Lembang, Kab. Bandung Barat 2015
Selain melakukan pembinaan kepada klaster terpilih, Bank Indonesia juga melakukan pembinaan terhadap
UMKM Unggulan di Jawa Barat untuk dikembangkan baik dari sisi produksi ataupun akses pasar.
Pengembangan UMKM Unggulan tersebut dipilih berdasarkan tema/kriteria, antara lain:
a. Daerah perbatasan/tertinggal; perbatasan representasi kedaulatan NKRI, meningkatkan penggunaan
Rupiah melalui peningkatan perekonomian daerah
b. Pemberdayaan perempuan; peran wanita dalam menentukan kesejahteraan keluarga dan dominasi TKI
perempuan, meningkatkan partisipasi wanita dalam kegiatan produktif dan mengurangi pengiriman TKW
low skill ke LN
c. Nelayan ; mengoptimalkan potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia
d. Industri kreatif; keragaman budaya dan tingginya kreativitas anak bangsa merupakan potensi utk
tumbuhnya industri kreatif kedepan, meningkatkan kontribusi ekonomi kreatif dalamm perekonomian
e. Komoditi ekspor/subtitusi impor; menekan defisit neraca perdaganan berbasis pada komoditi
ekspor/subtitusi impor, meningkatkan kemandirian ekonomi.
Menindaklanjuti hal tersebut, KPw BI Jawa Barat memilih pengembangan UMKM Unggulan dengan kategori
uran di Lembang, Kab.Bandung Barat.
Pemilihan UMKM dengan kategori sebagaimana dimaksud dengan pertimbangan:
1. Hasil survey KPJU Unggulan tahun 2011, sektor sayuran di Kecamatan Cisarua masuk dalam kategori
komoditas unggulan dengan indeks 3,8 yang merupakan nilai indeks tertinggi persektor;
2. Merupakan komoditi ekspor karena hasil produknya (buncis, tomat) telah masuk akses pasar ke
Singapura;
3.
BOKS 3
UPAYA BANK INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN UMKM
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
118
4. Sudah mempunyai kelompok tani, sehingga memudahkan proses penguatan/peningkatan kelembagaan
(misal:koperasi)
5. Lokasi yang tidak terlalu jauh sehingga memudahkan untuk pelaksanaan monitoring.
Gambar Program dan Roadmap Pengembangan UMKM Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Jawa Barat
Bagan diatas adalah roadmap pengembangan UMKM yang terdiri atas 4 tahapan sesuai dengan arahan dari
Kantor Pusat Bank Indonesia, dimana masing-masing bagian memiliki tahapan-tahapan kembali yang harus
dicapai. Demikian penjelasannya:
Tahap 1, Formulating Activities & Getting Commitment
a. Identifikasi potensi
b. Identifikasi program
c. Koordinasi dengan stakeholders
d. Asesmen, perumusan fokus program dan strategi LED
e. Pembagian peran dan mendapatkan komitmen stakeholders
f. Menetapkan program dan ketentuan pendukung
Tahap 2, Implementing Local Economic Development
a. Pembentukan kelembagaan
b. Pendampingan dan pembinaan
c. Peningkatan kinerja usaha
d. Monev tahapan pelaksanaan LED
e. Asesmen perluasan aktivitas LED
Tahap 3, Expanding the Effort measuring the impact
a. Pelaksanaan perluasan aktivitas LED
Koordinasi kerjasama dan fasilitasi dalam rangka akses pasar dan akses pembiayaan.
b. Monitoring dan evaluasi perluasan aktivitas LED
c. Pengukuran hasil pengembangan
Tahap 4, Phasing out: evaluating & monitoring
a. Pengukuran hasil pengembangan
b. Phasing out ke Pemda
c. Monitoring dan evaluasi oleh BI
Formulating
activities &
getting
commitment
Implementing
Local Economic
Development
Expanding the
effort measuring
the impact
Phasing out :
evaluating &
monitoring
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
119
Terkait dengan peningkatan akses pasar dan akses pembiayaan menjadi salah satu indikator kemandirian bagi
klaster, untuk itu Bank Indonesia terus berupaya melakukan pendampingan dan pemberian bantuan untuk
menunjang peningkatan kedua hal tersebut.
Upaya peningkatan akses pasar, antara lain:
1. Pembuatan kajian yang terkait dengan komoditas tersebut, untuk memberikan pedoman dasar
pelaksanaan pengembangan klaster binaan;
2. Peningkatan produktifitas yang dibarengi dengan peningkatan kualitas produk. Hal ini dilakukan melalui
pemberian bantuan:
- Bantuan teknis peralatan tepat guna, seperti rain shelter, mesin cuci sayuran, cultivator, sumur bor
air tanah; dan
- Bantuan pelatihan, seperti perencanaan keuangan, kelembagaan, pengawetan, dll
3. Pendampingan bagi klaster
Terkait dengan peningkatan akses pembiayaan, beberapa upaya yang dilakukan antara lain:
1. Pembuatan kajian terkait dengan Value Chain Financing;
2. Pendampingan koordinasi antara klaster binaan dengan stakeholder lainnya.
Tantangan Dalam Peningkatan Akses Pembiayaan
Secara umum, tantangan atau kendala dalam rangka akses pembiayaan adalah penilaian dari perbankan atau
lembaga keuangan lainnya terhadap profil dari kelompok tani tersebut. Perbankan atau lembaga keuangan
lainnya sesuai dengan ketentuan, akan menilai secara detail kelengkapan dokumen-dokumen atau operasional
produksi dari petani, hal ini terasa cukup memberatkan petani. Kendala dari sisi pembiayaan berkaitan dengan
(1) kesenjangan skala (scale gap) yaitu besarnya pinjaman kredit yang diharapkan pelaku UMKM dan maksimal
kebutuhan kredit mikro oleh bank yang relatif kecil; (2) kesenjangan perizinan (formalization gap) persyaratan
formal bank seperti perizinan usaha, sertifikasi, pajak, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan usaha; serta (3)
kesenjangan informasi (information gap) seperti informasi mengenai persyaratan dan prosedur bank.
Gambar Gap Antara Perbankan dengan UMKM
MEI 2017
STABILITAS KEUANGAN DAERAH,
PENGEMBANGAN ASKES KEUANGAN DAN UMKM
120
Program Kerja yang mendukung Pengembangan Klaster dan UMKM pada Triwulan IV-2016 di KPw
BI Provinsi Jawa Barat
1. Pekerjaan Penelitian KPJU Unggulan UMKM Tahun 2016 yang bertujuan untuk mengklasifikasikan
UMKM yang dikategorikan sebagai unggulan dan potensial unggulan dimulai dari tingkat kecamatan
sampai dengan tingkat provinsi, telah selesai dilakukan. Kajian ini telah menghasilkan beberapa
komoditas dan/atau potensi dari 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat. Hasil dari KPJU Unggulan UMKM
ini juga telah didiseminasikan kepada stakeholder yaitu seluruh pemerintah kab/kota dan provinsi se-
Jawa Barat, akademisi, perbankan, dan juga pengusaha yang dapat masing-masing pihak gunakan
baik sebagai referensi ataupun masukan untuk pengambilan keputusan (contoh) pembuatan
kebijakan untuk mendukung pengembangan komoditas unggulan di suatu wilayah.
2. Pelaksanaan magang bagi kelompok ternak dari klaster sapi potong binaan KPwBI Jawa Barat, yaitu
Kelompok Ternak Garu Harapan Jaya yang berasal dari Kecamatan Cikelet, Kab. Garut. Magang
dilakukan di PT. Karya Anugerah Rumpin, Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor.
3. Pemberian Bantuan PSBI kepada Kelompok Ternak Garu Harapan Jaya berupa Kandang Komunal
untuk Sapi Potong. Bantuan berupa kendang komunal ini bertujuan untuk selain menampung sapi
dari anggota kelompok ternak, juga untuk melindungi sapi-sapi tersebut dari kondisi cuaca
(panas/hujan). Selain kendang, juga terdapat bak penampungan kotoran sapi yang akan diolah untuk
menghasilkan bio gas dan pupuk sehingga pengoperasian klaster sapi potong bisa dilakukan secara
terintegrasi (integrated farming).
4. Rekrutmen WUBI (Wirausaha Bank Indonesia) 2016, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandiria,
skill dan akses pasar, yang dapat dilakukan melalui kegiatan keikutsertaan WUBI dalam berbagai
pameran atau pemberian pelatihan. Sampai dengan akhit TRIWULAN IV-2016 telah terpilih sebanyak
47 peserta calon WUBI (dari pendaftar awal sekitar 300 peserta) yang kemudian akan dilakukan
proses validasi lapangan kembali sebelum para peserta mengikuti boothcamp yang berencana
dilakukan Maret 2017 mendatang.
5. Menyelenggarakan Pelatihan Edukasi Keuangan bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) dengan
menggunakan modul Pelatihan Edukasi Keuangan untuk Calon TKI di BLKLN (Bank Indonesia, OJK,
Kemnaker, BNP2TKI; 2016). Hal ini penting untuk meningkatkan skala dampak edukasi keuangan
untuk CTKI.
Pelatihan pengawetan produk olahan pangan yang diikuti oleh pelaku usaha UMKM melalui P3UKM Jawa
Barat. Tujuan pelatihan untuk menjadikan produk hasil olahan pangan yang lebih awet dengan tetap
mempertahankan sifat fisik (tekstur, warna) dan zat gizinya serta memperpanjang masa simpan. Selain itu
pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka dalam menghadapi
persaingan di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
BAB V
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
122
5.1. Sistem Pembayaran Non Tunai
5.1.1 Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Pada triwulan I 2017, transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami
perlambatan, baik secara nominal maupun volume. Transaksi SKNBI di Jawa Barat yang secara total
mencapai Rp 78,11 triliun tumbuh melambat menjadi 20,18% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tumbuh 48,95% (yoy) (Grafik 5.1). Faktor utama yang menyebabkan perlambatan
tersebut adalah adanya pemberlakuan ketentuan baru atas caping transaksi kliring menjadi Rp100 juta sejak 1
Juli 2016 di mana pada triwulan IV 2015 sempat berlaku caping sebesar Rp500 juta atau lebih besar. Sehingga
terdapat base year effect yang menyebabkan pertumbuhan triwulan ini rendah. Namun demikian transaksi
harian melalui SKNBI masih meningkat dari Rp0,85 triliun menjadi Rp0,87 triliun per harinya.
Pemberlakuan ketentuan baru terkait caping transaksi kliring melalui SKNBI juga berdampak kepada
melambatnya pertumbuhan volume transaksi. Volume transaksi SKNBI tercatat melambat dari 38,78% (yoy)
menjadi 31,05% (yoy) pada triwulan I 2017 atau dari 2,17 juta transaksi menjadi 2,01 juta transaksi (Grafik
5.2). Perlambatan volume transaksi yang relatif tidak sebesar perlambatan pada nominal transaksi
mengindikasikan perlambatan SKNBI memang lebih didorong oleh adanya base year effect karena perubahan
kebijakan caping.
Grafik 5.1 Perkembangan SKNBI Nominal
Grafik 5.2 Perkembangan SKNBI - Volume
Dilihat dari spasialnya, transaksi kliring terutama terjadi di kota Bandung (48%), Kab. Bekasi (11%), Kota
Bogor (11%), Cirebon (10%) dan Tasikmalaya (6%) (Grafik 5.3). Pola ini sesuai dengan karakteristik daerah-
daerah tersebut relatif memiliki usaha kecil menengah lebih banyak dari
daerah lainnya di Jawa Barat. Adapun dari pola transaksi kliring kredit
dengan provinsi lain, selama triwulan I 2017 Jawa Barat lebih besar dalam
mengirimkan dana daripada menerima dana (net outgoing) dengan
pengiriman terkonsentrasi ke DKI Jakarta (82%) yang mengindikasikan
penggunaan SKNBI untuk transaksi industri (Grafik 5.4). Selanjutnya, 16%
pengiriman dana melalui SKNBI di Jawa Barat ditujukan untuk daerah Jawa
Barat sendiri atau transaksi domestik. Diikuti dengan transaksi-transaksi
menuju Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan seterusnya. Secara Grafik 5.3 Spasial Kliring
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
123
kawasan, pengiriman dana melalui SKNBI di Jawa Barat terkonsentrasi di kawasan Jawa. Dari sisi penerimaan
dana melalui SKNBI, transaksi didominasi oleh transaksi domestik atau yang berasal dari Jawa Barat sendiri
sebesar 54% (Grafik 5.5). Selanjutnya diikuti dengan pengiriman dari provinsi asal DKI Jakarta (33%). Hal ini
semakin memperkuat indikasi hubungan ekonomi yang kuat antara Jawa Barat dengan DKI Jakarta. Sama
halnya dengan pengiriman dana, transaksi penerimaan dana melalui SKNBI juga didominasi dari kawasan Jawa.
Hal ini menunjukkan keterkaitan Jawa Barat yang lebih besar di inter regional Jawa dibandingkan antar
regional.
5.1.2 Upaya Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
a. RTGS & SKNBI
Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan sistem pembayaran di Jawa Barat, Bank Indonesia
telah melakukan serangkaian upaya. Pada aspek infrastruktur, sejak triwulan IV 2016 telah dilakukan
pemasangan dan operasionalisasi mesin pemrosesan warkat debit baru. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan pemahaman perbankan terhadap ketentuan Bank Indonesia, maka telah dilakukan
sosialisasi ketentuan bilyet giro dan sistem pembayaran Bank Indonesia kepada perbankan di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat.
b. Kegiatan Usaha Penukaran Valutas Asing (KUPVA)
Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/20/PBI/2016 tanggal 7 Oktober 2016, KPwBI
Provinsi Jawa Barat telah melakukan kegiatan pendataan/mapping melalui market intelligence dan
edukasi/sosialiasi kepada Pelaku KUPVA-BB tidak berizin di seluruh kota/kabupaten yang ada wilayah kerja
Pengawasan Kantor Perwakilan Jawa Barat (kota Bandung, Kota Sukabumi, Kota Cimahi, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang) namun belum menjangkau seluruh kecataman-kecamatan
yang ada pada kabupaten-kabupaten tersebut karena jarak tempuh dan keterbatasan waktu.
Berdasarkan kegiatan market intelligence, dapat dipetakan bahwa Pelaku KUPVA BB tidak berizin di
wilayah kerja KPwBI Provinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan dalam empat katagori yaitu:
a. Katagori I, memiliki aset/modal dan jumlah transkasi memadai untuk skala bisnis.
Grafik 5.4 Provinsi Tujuan Kliring Jawa Barat Grafik 5.5 Asal Provinsi Kliring ke Jawa Barat
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
124
b. Katagori II, memiliki aset/modal, namun jumlah transaksi belum memadai untuk skala bisnis namun
terdapat prospek yang cukup baik.
c. Katagori III, tidak memiliki aset/modal namun jumlah transaksi cukup memadai untuk skala bisnis
saat ini,
d. Katagori IV, tidak memilik aset/modal dan jumlah transaksi relatif kecil
Untuk kategori I dan ii pada umumnya diakukan oleh toko emas dan travel, untuk kategori III dilakukan
oleh money changer dan kategori IV dilakukan oleh para Pedagang Kali Lima. Pada umumnya pelaku
KUPVA-BB tersebut tidak mengetahui untuk kegiatan usaha tersebut harus memiliki izin dari Bank
Indonesia.
Penanganan KUPVA BB tidak berizizn di wilayah kerja pengawasan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
dilakukan bekerja sama dengan instansi terkait yaitu dinas perindustrian/ perdagangan dan Kepolisian di
kota/kabupaten setempat serta melibatkan Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA). Kegiatan-kegaitan
yang dilakukan dalam penanganan KUPVA-BB tidak berizinan meliputi:
a. Edukasi dan Sosialisasi serta penyampaian Leaflet/Brosur mengenai ketentuan KUPVA-BB
b. Siaran Pers oleh Pimpinan KPwDN dan publikasi media masa pada saat edukasi/sosialisasi di tingkat
kota/kabupaten.
c. Siaran televisi talkshow oleh Pimpinan dan jabar dalam berita melalui TVRI Jawa Barat.
d. Penyampaian Himbauan baik tertulis dan lisan kepada Pelaku KUPVA-BB tidak berizin agar segera
mengajukan permohonan izin
e. Meminta kepada pelaku KUPVA BB tidak berizin untuk menghentikan kegiatan dan mencabut
atribut-atribut sebagai penyelengara KUPVA
f. Memonitor, mendorong dan memberikan layanan konsultansi secara bilateral kepada Pelaku KUPVA-
BB dalam proses perizinan
g. Memberitahukan akan dilaksanakan penertiban lebih lanjut apabila masih terdapat penyelenggara
KUPVA-BB Tidak berizin setelah melewati masa transisi tanggal 7 April 2017. Antara lain
merekomendasi kepada otoritas terkait untuk mencabut izin kegiatan usaha
Setelah dilakukan kegiatan-kegiatan tersebut di atas, Pelaku KUPVA-BB yang memenuhi pesyaratan
administrasi dan kelembagaan mengajukan permohonan perizinan, sedangkan pelaku KUVPA-BB tidak
berizin yang tidak memenuhi pesyaratan diminta untuk menghentikan kegiatannya dan mencabut atribut-
atribut sebagai pelaku KUPVA-BB
Perkembangan keberadaan KUPVA-BB berizin di wilayah kerja pengawasan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Jawa Barat menunjukan perkembangan yang memuaskan. Sebelum terbitnya ketentuan
PBI Nomor 18/20/PBI/2016 tanggal 7 Oktober 2016 jumlah KUPVA BB berizin sebanyak 14 (empat belas)
KUPVA-BB dan setelah dilakukan kegiatan edukasi dan sosialisasi jumlah KUPVA-BB sampai dengan saat ini
(19 Mei 2017) berjumlah 31 (tiga puluh satu) KUPVA-BB atau meningkat 120%. Dan saat ini masih diproses
permohonan perizinan terhadap 6 (enam) KUPVA-BB.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
125
Tabel 5.1 Sebaran KUPVA-BB di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provisi Jawa Barat
No Wilayah KUPVA-BB
Dalam Proses
Peizinan
Jumlah
1 Kota Bandung 9 2 11
2 Kabupaten Bandung 1 1
3 Kabupaten Bandung Barat -
4 Kota Cimahi -
5 Kota Sukabumi 6 6
6 Kabupaten Sukabumi 3 1 4
7 Kabupaten Cianjur 4 2 6
8 Kabupaten Purwakarta 4 4
9 Kabupaten Subang 3 3
10 Kabupaten Garut 1 1
11 Kabupaten Sumedang 1 1
Jumlah 31 6 37
Mulai bulan Mei 2017, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat bekerja sama Direktorat Reserse
Kriminal Khusus Polda Jawa Barat melalukan pemantauan langsung dan penertiban pelaku KUPVA-BB tidak
berizin:
a. Pada tanggal 17 Mei 2017 dilakukan di wilayah Subang. Ditemukan 3 (tgia) pelaku KUPVA-BB tidak
berizin yang masih melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi, kepada ketiga KUPVA tersebut
diberikan surat pernyataan ditempel stiker penertiban.
b. Pada tanggal 18 Mei 2017 dilakukan di wilayah Purwakarta. Tidak ditemukan KUPVA-BB tidak berizin
yang masih menjalankan kegiatan.
Kegiatan market intelligence dan Penanganan serta penertiban KUPVA BB tidak berizin akan terus-
meneruskan dilakukan di seluruh wilayah kerja Kantor Perwakilan Provisn Jawa Barat sampai dengan tingkat
kecamatan yang dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan skala prioritas.
c. Penyelenggara Tranfer Dana (PTD)
Penyelenggara Transfer Dana (PTD) berizin di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa
Barat saat ini berjumlah 5 PTD yaitu
a. PT Pos Indonesia (Bandung)
b. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Bandung)
c. PT Reyhan Putra Mandiri (Subang)
d. PT Golden Remitance (Bandung)
e. PT Bina Putra Sadaya (Subang)
Pengawasan terhadap PTD dilakukan melalui pengawasan tidak langsung yaitu melalui laporan yang
disampaikan dan pengawasan langsung yaitu melalui pemeriksaan langsung terhadap kegiatan dan
dokumen-dokumen di kantor PTD. Pemeriksaan lansung telah dilakukan terhadap PT. Pos Indonesia.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
126
5.1.3 Perkembangan Inklusi Keuangan Jawa Barat
Sebagai otoritas sistem pembayaran di Indonesia, salah satu peran Bank Indonesia adalah sebagai fasilitator
pengembangan sistem pembayaran oleh industri. Pelaksanaan peran ini menjadi sangat strategi dalam rangka
mendukung upaya pemerintah, Bank Indonesia maupun otoritas terkait lainnya dalam rangka peningkatan
inklusi keuangan. Terkait inklusi keuangan, hal tersebut dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika setiap
anggota masyarakat memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat
waktu, lancar, aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sharma (2010) dalam Index of Financial Inclusion, terdapat
terhadap jumlah penduduk dewasa di suatu wilayah. Sementara itu dimensi of
diwakili oleh rasio jumlah kantor bank per 1.000 penduduk dewasa dan atau rasio jumlah ATM per 1.000
o jumlah volume kredit dan simpanan
terhadap total produk domestik bruto (PDB atau PDRB) suatu wilayah.
Tabel 5.2. Rasio Penetrasi Bank Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Sumber: OJK KR 2 dan BPS Jawa Barat, diolah
Kab/Kota
Rasio Jml
Rekening
Simpanan per
Penduduk
Dewasa (Tw
IV '16)
Rasio Jml
Rekening
Simpanan per
Penduduk
Dewasa (Tw I
'17)
Rasio Jml
Rekening
Tabungan per
Penduduk
Dewasa
(Des'16)
Rasio Jml
Rekening
Tabungan per
Penduduk
Dewasa
(Maret '17)
Kab. Bogor 0,46 0,46 0,45 0,45
Kab. Sukabumi 0,55 0,56 0,55 0,55
Kab. Cianjur 0,63 0,62 0,62 0,61
Kab. Bandung 0,70 0,68 0,68 0,67
Kab. Garut 0,64 0,62 0,63 0,61
Kab. Tasikmalaya 0,59 0,57 0,58 0,56
Kab. Ciamis 0,80 0,79 0,79 0,78
Kab. Kuningan 0,97 0,99 0,96 0,98
Kab. Cirebon 0,61 0,59 0,60 0,58
Kab. Majalengka 0,64 0,61 0,63 0,60
Kab. Sumedang 0,75 0,75 0,74 0,74
Kab. Indramayu 0,79 0,78 0,78 0,77
Kab. Subang 0,72 0,72 0,71 0,71
Kab. Purwakarta 0,98 0,98 0,96 0,96
Kab. Karawang 0,83 0,85 0,82 0,84
Kab. Bekasi 1,05 1,08 1,03 1,05
Kab. Bandung Barat 0,16 0,16 0,16 0,16
Kota Bogor 1,93 2,01 1,83 1,91
Kota Sukabumi 3,20 3,32 3,13 3,25
Kota Bandung 2,25 2,32 2,11 2,17
Kota Cirebon 3,44 3,60 3,32 3,48
Kota Bekasi 1,06 1,08 1,01 1,03
Kota Depok 1,00 1,04 0,96 1,00
Kota Cimahi 2,65 2,48 2,59 2,42
Kota Tasikmalaya 1,53 1,57 1,50 1,54
Kota Banjar 1,06 1,16 1,04 1,14
Jawa Barat 0,91 0,91 0,88 0,89
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
127
Dari Tabel 5.1. di atas, terlihat bahwa secara umum penetrasi perbankan di Jawa Barat belum mencapai kondisi
ideal, dimana setidaknya satu orang memiliki satu rekening atau dengan rasio sebesar 1,00. Dari seluruh
kabupaten/kota (Kabupaten Pangandaran masih disatukan dengan Kabupaten Ciamis), hanya terdapat sekitar
10 Kabupaten/kota dengan rasio lebih besar atau sama dengan 1,00. Namun demikian, terlihat banyak daerah
yang mengalami peningkatan rasio tersebut, terutama di kota-kota pilot project bantuan sosial (bansos) non
tunai Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) seperti pada Kota Bandung,
Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kota Cirebon. Selain
daerah tersebut, terdapat kabupaten lain yang mengalami peningkatan yaitu Kabupaten Kuningan, Kabupaten
Karawang dan Kabupaten Bekasi. Secara garis besar, dapat disimpulkan sementara bahwa uji coba program
bansos non tunai membantu meningkatkan inklusi keuangan melalui aspek penetrasi perbankan kepada
masyarakat.
Tabel 5.3. Rasio Ketersediaan Layanan Bank Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Sumber: OJK KR 2 dan BPS Jawa Barat, diolah (Ket: *) mencakup ATM/ADM, Payment Point dan layanan kas keliling
Sementara itu, dari Tabel 5.2, terlihat bahwa ketersediaan layanan bank di masing-masing kabupaten/kota di
Jawa Barat pun relatif masih beragam dan masih relatif terpusat di perkotaan. Dari keseluruhan
kabupaten/kota, rasio ketersediaan layanan di Kota Cirebon menempati peringkat paling tinggi diikuti oleh
Kota Bandung dan Kota Bogor. Di sisi lain, peningkatan aspek ini perlu mendapat perhatian terutama di
Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Dalam rangka
meningkatkan jangkauan bank tersebut, peningkatan program Layanan Keuangan Digital (LKD) dapat menjadi
salah satu alternatif solusi.
Kab/Kota
Rasio Jml Kantor
Bank/100.000
Penduduk
Dewasa
Rasio Jml Kegiatan
Layanan Kas/100.000
Penduduk Dewasa*)
Kab. Bogor 8,62 34,65
Kab. Sukabumi 9,92 17,94
Kab. Cianjur 9,61 21,29
Kab. Bandung 15,13 26,61
Kab. Garut 11,10 16,90
Kab. Tasikmalaya 11,55 16,22
Kab. Ciamis 15,01 14,08
Kab. Kuningan 14,14 21,15
Kab. Cirebon 10,55 19,11
Kab. Majalengka 13,26 20,56
Kab. Sumedang 16,10 25,82
Kab. Indramayu 13,05 22,69
Kab. Subang 13,83 27,58
Kab. Purwakarta 15,38 49,46
Kab. Karawang 15,21 53,26
Kab. Bekasi 14,79 66,10
Kab. Bandung Barat 2,66 5,50
Kota Bogor 35,98 151,87
Kota Sukabumi 36,73 127,69
Kota Bandung 49,54 173,58
Kota Cirebon 59,17 206,23
Kota Bekasi 21,72 135,78
Kota Depok 18,18 94,13
Kota Cimahi 26,99 77,81
Kota Tasikmalaya 20,77 56,69
Kota Banjar 25,00 78,69
Jawa Barat 16,49 52,79
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
128
5.1.4 Upaya Pengembangan Layanan Keuangan Non Tunai dan Elektronifikasi
Upaya peningkatan inklusi keuangan di wilayah Jawa Barat terus dilakukan melalui berbagai bentuk. Salah
satunya yang sedang diupayakan di tahun 2017 adalah mendukung implementasi integrasi penyaluran bansos
secara non tunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
menggunakan 1 (satu) akun pada kartu combo yang merupakan program Kementerian Sosial bekerjasama
dengan berbagai instansi termasuk Bank Indonesia. Salah satu bentuk dukungan yang dilakukan oleh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat adalah melalui pelaksanaan edukasi bekerjasama dengan Dinas
Sosial beberapa kota pilot project dan bank penyelenggara. Kegiatan edukasi tersebut diberikan kepada
Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Pendamping penerima bansos non tunai, serta Tenaga Kerja Sosial
Kecamatan (TKSK). Edukasi bertujuan untuk meningkatan awareness mengenai Gerakan Nasional Non Tunai
(GNNT) dan Keuangan Inklusif, serta pengetahuan terhadap mekanisme penyaluran bansos itu sendiri. Melalui
edukasi tersebut diharapkan masyarakat dapat mulai mengubah sikap bertransaksi yang sebelumnya terbiasa
menggunakan tunai menjadi transaksi secara non tunai. Bentuk edukasi yang diberikan adalah Training of
Beneficiary (ToB) khusus kepada KPM, atau Training of Trainer (ToT) dengan harapan materi yang diterima
dapat disampaikan kembali kepada keluarga, tetangga, atau masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggal
masing-masing peserta.
Selain itu, dalam rangka mendukung kesuksesan uji coba implementasi penyaluran bansos non tunai, KPw BI
Provinsi Jawa Barat juga telah melakukan survei monitoring penyaluran bantuan di Kota Bandung dan Kota
Cimahi. Responden survei meliputi penerima bansos, pendamping, agen LKD, bank penyelenggara, serta Dinas
Sosial setempat. Pergeseran kebudayaan masyarakat dari tunai menjadi non tunai merupakan suatu tantangan
yang besar, namun dengan kerjasama antar pihak, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dapat dilakukan
dengan baik yang tercermin dari perilaku masyarakat saat ini tidak lagi merasa aneh dengan transaksi
menggunakan kartu kombo tersebut. Bahkan sebagian besar responden menyatakan bahwa penyaluran secara
non tunai dirasa lebih menguntungkan bagi KPM karena penggunaan kartu yang mudah, agen bank yang
terjangkau, serta waktu pencairan yang fleksibel dan cepat sehingga tidak menghabiskan sumber daya dari
para KPM tersebut.
Sementara terkait dengan rekomendasi model bisnis bantuan pemerintah secara non tunai pada sektor
pendidikan melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), telah dilakukan edukasi kepada operator dan
kepala sekolah dari beberapa sekolah pilot project pada tanggal 3 Maret 2017 lalu. Rencana model bisnis yang
akan diterapkan pada prorgam BOS tersebut antara lain:
Operator melakukan penginputan data kebutuhan sekolah
Kepala sekolah menyetujui daftar kebutuhan yang telah diinput oleh operator
Melalui aplikasi mobile yang dimiliki oleh kepala sekolah, aplikasi tersebut akan menerbitkan barcode
untuk kemudian akan dikirimkan kepada rekanan sekolah.
Barcode yang diterima oleh rekanan sekolah akan discan melalui aplikasi mobile khusus untuk rekanan.
Setelah proses scan, akan muncul daftar kebutuhan operasional serta biaya yang dapat diakses oleh
rekanan sekolah.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
129
Di sisi lain, terkait pengembangan dan perluasan elektronifikasi di KPwDN khususnya di KpwBI Jawa Barat pada
tahun 2017 antara lain mendorong perluasan elektronifikasi transaksi pemerintah, dalam hal ini transaksi
penerimaan pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung. Elektronifikasi
pada transaksi penerimaan Dishub Kota Bandung yaitu melalui penerimaan pada Terminal Parkir Elektronik
(TPE), bis Trans Metro Bandung (TMB), bike sharig, serta uji kendaraan bermotor (KIR).
Pengembangan Layanan Keuangan Digital melalui Pondok Pesantren juga telah dilakukan sejak tahun
sebelumnya. Salah satunya yaitu pengembangan Layanan Keuangan Digital (LKD) di kawasan Pondok
Pesantren Misbahunnur Cimahi. Elektronfikasi di kawasan pondok pesantren Misbahunnur melalui program
LKD telah dilaksanakan dari akhir tahun 2016 dengan launching pada triwulan I 2017. Model bisnis yang
dilakukan di kawasan ponpes yaitu memberlakukan elektronifikasi pada jajan santri dengan menggunakan
instrumen uang elektronik. Masing-masing santri akan mendapatkan satu kartu uang elektronik chip based
yang telah diberikan data identitas diri pada bagian depan kartu. Pada akhir hari, kartu akan dikumpulkan ke
masing-masing wali kelas untuk kemudian akan dilakukan top-up uang senilai uang yang disetujui oleh orang
tua santri. kartu tersebut berikutnya dapat digunakan untuk bertransaksi di koperasi ponpes dan sepenuhnya
akan menggunakan non tunai. Pada tahun 2017 akan dilakukan pengembangan model bisnis yang tidak hanya
sebatas uang jajan santri. Pihak pengelola ponpes berencana untuk mengembangkan pembayaran seperti
untuk PPOB yang dibuka kepada masyarakat umum. Target masyarakat yang dituju untuk tahap awal adalah
peserta pengajian yang rutin dilaksanakan pada setiap minggu di ponpes tersebut. Berikutnya, tidak menutup
kemungkinan penggunaan transaksi non tunai oleh masyarakat disekitar ponpes secara umum. Saat ini,
sebagian besar transaksi di Pondok Pesantren tersebut telah dilakukan secara non tunai.
Selain berbagai hal di atas, dalam rangka mendorong pengetahuan masyarakat terhadap manfaat penggunaan
transaksi non tunai, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat aktif melakukan berbagai kegiatan
edukasi. Pada triwulan laporan, telah dilaksanakan edukasi non tunai kepada pelajar, mahasiswa dan
komunitas wanita Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Kabupaten Bandung Barat.
5.2. Pengelolaan Uang Rupiah
5.2.1 Penarikan dan Penyetoran Perbankan Pada triwulan I 2017, Jawa Barat kembali mengalami net-inflow sebesar Rp6,56 triliun sebagaimana
karakteristik provinsi Jawa Barat. Namun net-inflow tersebut lebih rendah dibandingkan net-inflow pada
triwulan sebelumnya sebesar Rp20,98 triliun (Grafik 5.10). Hal ini disebabkan oleh perayaan Natal dan Tahun
Baru serta realisasi APBD di akhir tahun yang mendorong lebih banyak outflow karena meningkatnya
penggunaan uang kartal oleh masyarakat maupun pemerintah.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
130
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat senantiasa memastikan ketersediaan uang layak edar
bagi masyarakat di wilayah kerja baik melalui kerjasama dengan perbankan maupun penyelenggaraan layanan
kas keliling. Pada triwulan I tahun 2017, jumlah pemusnahan UTLE mengalami penurunan dari Rp 8,03 triliun,
menjadi Rp 7,69 triliun. Penurunan pemusnahan UTLE sejalan dengan menurunnya net inflow pada triwulan I
2017 serta komitmen Bank Indonesia dalam menjaga kelayakan uang beredar. Hingga triwulan I 2017,
presentase pemusnahan terhadap net penyetoran mengalami penurunan. Perkembangan pemusnahan
dilakukan sejalan dengan perkembangan net penyetoran.
5.2.2 Upaya Penyediaan Uang Layak Edar
Dalam upaya penyediaan uang layak edar terlebih dahulu perlu diketahui kualiatas uang layak edar
yang berada di masyarakat di wilayah kerja KPw BI Provinsi Jawa Barat, sehingga beberapa upaya yang
dilakukan antara lain :
1. Melakukan survei dan analisa terhadap kondisi uang di ATM
2. Melakukan survei dan analisa terhadap kondisi uang di Masyarakat
3. Melakukan analisa terhadap hasil sortasi uang setoran bank
Dari hasil analisa tersebut segera dapat diketahui kondisi uang yang beredar, sehingga beberapa upaya
yang dilakukan oleh KPw BI Provinsi Jawa Barat dalam rangka penyediaan uang layak edar di masyarakat,
adalah sebagai berikut:
1. Efektivitas Distribusi Uang
Melakukan monitoring kecukupan stock uang layak edar secara harian dan bulanan terhadap posisi
kas di masing-masing KPw BI di Depo Kas Bandung dengan mengacu pada posisi Kas Minimum
yang telah ditetapkan DPU.
Melakukan koordinasi dengan Kantor Pusat (DPU) dan KPw BI lainnya di wilayah koordinasi (Depo
Kas Bandung) dan di luar wilayah koordinasi dalam rangka pemenuhan stock uang layak edar.
Merealisasikan Estimasi Kecukupan Uang (EKU) sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh
Departemen Pengelolaan Uang (DPU) termasuk memantau realisasi EKU terhadap KPw BI dibawah
koordinasi.
2. Efektivitas Layanan Kas
Upaya yang telah dilakukan terkait efektivitas kegiatan layanan kas dalam rangka meningkatkan kualitas
uang beredar di masyarakat, antara lain :
Grafik 5.6 Penarikan dan Penyetoran Perbankan Grafik 5.7 Pemusnahan UTLE
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
131
a. Layanan Penarikan
Melakukan pembayaran uang ke perbankan dalam kondisi layak edar dengan cara mengutamakan
pembayaran uang HCS dan ULE eks peredaran hasil sortasi dan meminimalkan pembayaran
menggunakan setoran bank ULE kecuali dalam keadaan mendesak.
Melakukan pembayaran kepada nasabah dengan menggunakan uang layak edar dan termasuk
dalam pengisian uang pada mesin ATM.
b. Layanan Penyetoran
Mengoptimalkan layanan Transaksi Uang Kartal Antar Bank (TUKAB) sebelum melaksanakan
penyetoran uang ke Bank Indonesia untuk Uang Layak Edar (ULE) sedangkan untuk Uang Tidak
layak Edar (UTLE) dihimbau kepada perbankan untuk segera disetorkan ke Bank Indonesia.
Melakukan penerimaan setoran atau penukaran uang baik dari nasabahnya atau bukan, khususnya
pada uang tidak layak edar (UTLE), uang rusak, uang ditarik/dicabut dari peredaran baik uang
logam maupun uang kertas.
Melakukan edukasi ke nasabahnya terkait dengan kualitas uang antara ULE dan UTLE dan
bagaimana memperlakukan uang dengan baik sehingga uang yang didapat tetap terjaga
kualitasnya.
c. Layanan Penukaran
Melakukan kerjasama dengan seluruh Bank Umum dengan 153 kantor cabang bank dan 22 BPR
di wilayah kerja KPw. BI Prov. Jabar Untuk melayani penukaran kepada masyarakat dalam rangka
memudahkan masyarakat memperoleh uang yang layak edar.
Melakukan kerjasama dengan perbankan yang mempunyai mobil layanan kas untuk
mendistribusikan uang HCS kepada masyarakat.
Menghimbau kepada perbankan untuk menerima Uang Kertas (UK) dan Uang Logam (UL) tidak
layak edar dari masyarakat dan menghimbau masyarakat untuk menggunakan transaksi uang
elektronik.
d. Layanan Kas Keliling
Meningkatkan frekuensi dan jangkauan layanan kas keliling ke daerah-daerah yang masih banyak
beredar uang yang lusuh, terutama ke pasar-pasar tradisional baik di dalam kota, luar kota maupun
daerah remote area (daerah terpencil). Efektivitas pelaksanaan kegiatan kas keliling, diantaranya
dilakukan dengan dengan :
Membuat jadwal kegiatan kas keliling dan diinformasikan kepada media dan masyarakat,
Menarik uang tidak layak edar di perbankan dengan kas keliling wholesale,
Bekerjasama dengan PD. Pasar Bandung Bermartabat, Perbankan dan Mitra Kerja SP dalam
melakukan kas keliling di pasar-pasar.
Bekerjasama dengan Aprindo mengenai penukaran kepada minimarket diantaranya Alfamart,
Indomart, Circle K, Yomart dan minimarket lainnya.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
132
e. Layanan Kas Titipan
Dalam rangka mengoptimalkan layanan kas dan clean money policy, maka pada awal bulan November
2016 telah dilakukan pembukaan kas titipan di wilayah Kota Sukabumi, dan ditargetkan selambat-
lambatnya pada bulan Mei 2017 sudah terbentuk lagi Kas Titipan di wilayah Kabupaten Subang.
f. Kegiatan Lainnya
Meningkatkan frekuensi edukasi CIKUR dan Cara Memperlakukan Uang dengan baik kepada
masyarakat, perbankan dan instansi lainnya.
Optimalisasi dalam penyebaran informasi Layanan Bank Indonesia melalui media cetak dan
elektronik serta iklan layanan masyarakat.
3. Efektivitas Pengolahan Uang
a. Meningkatkan kualitas uang dengan tetap memperhatikan soil level yang telah ditetapkan
oleh DPU.
b. Memantau jadwal service mesin secara berkala dan melaporkan segera kepada DPU jika
mengalami kerusakan mesin.
c. Melakukan pembinaan secara berkala kepada perbankan yang kualitas setorannya kurang
baik.
d. Melakukan pemusnahan uang sesuai dengan plafon yang telah ditetapkan DPU dan apabila
melebihi dari plafon maka dilakukan koordinasi dengan DPU.
5.2.3 Temuan Uang yang Tidak Sesuai Dengan Ciri Keaslian Rupiah
Sejalan dengan intensifikasi edukasi CIKUR (Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah) dan koordinasi dengan pihak yang
berwenang, maka penemuan uang yang diragukan keasliannya mengalami kenaikan. Jumlah uang yang
diragukan keasliannya di Jawa Barat yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan I 2017 sebesar
4.571 lembar (per Februari 2017), atau lebih tinggi dari temuan triwulan IV 2016 yang sebesar 2.734 lembar.
Meningkatnya temuan uang yang diragukan keasliannya tidak terlepas dari edukasi kepada masyarakat terkait
ciri-ciri keaslian uang rupiah dan juga didukung oleh penguatan koordinasi dengan perbankan dan pihak
berwajib mengenai penanganan laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya.
Grafik 5.8 Perkembangan Upal
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
133
5.2.4. Upaya Menekan peredaran uang palsu
Dalam rangka menekan dan menanggulangi peredaran uang rupiah Palsu di wilayah kerja KPw BI Provinsi
Jawa Barat telah dilakukan beberapa upaya, antara lain :
1. Upaya Preventif antara lain dilakukan dengan cara :
Meningkatkan frekuensi kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah dengan cara edukasi
kepada Masyarakat Umum, Pedagang, Pegawai Perbankan, Pelajar, Mahasiswa, Pegawai
Instansi Pemerintah/Swasta baik di dalam kota maupun di luar kota termasuk dan di pelosok
daerah (termasuk daerah remote area) guna mempermudah masyarakat mengenali keaslian
uang Rupiah
Edukasi dimaksud dilakukan baik secara langsung yaitu bertatap muka) maupun melalui sarana
media misalnya talkshow di radio, televisi, pembagian brosur, leaflet dan pemasangan baligo
serta iklan layanan masyarakat.
Menyelenggarakan Training for Trainers (workshop) bagi pegawai dari beberapa instansi
penegak hukum seperti pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Melaksanakan pelatihan secara berjenjang & berkelanjutan kepada seluruh petugas kasir
perbankan sampai ke level supervisor dan pimpinan bank serta meningkatkan kompetensi
petugas kasir BI pasca penemuan uang palsu dan berkoordinasi dengan DHk untuk melakukan
pembekalan hukum, sehingga petugas kasir mampu menjelaskan fungsinya sebagai fisrt line
of defence.
2. Upaya Represif, antara lain :
Bekerjasama dengan Kepolisian dalam mempercepat proses klarifikasi uang palsu maupun
penyerahan bukti uang palsu sehingga dapat mempercepat proses sampai ke pengadilan.
Menyediakan Saksi Ahli Uang Rupiah untuk proses di Kepolisian dan Pengadilan.
Meningkatkan kerjasama dengan aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan) untuk mendorong pengenaan sangkaan pasal dengan sanksi yang maksimal
untuk memberikan efek jera bagi pelaku pemalsu uang Rupiah.
3. Upaya lainnya
Melaporkan setiap kasus pemalsuan uang kepada Anggota Dewan Gubernur yang
membidangi
KPw BI Prov. Jabar telah melakukan pemetaan terhadap kasus uang rupiah palsu yang
dilaporkan pihak kepolisian mulai dari bahan uang, tehnik cetak dan nomor seri dan data uang
palsu tersebut telah kami petakan berdasarkan Kota/Kabupaten di Jawa Barat.
Melakukan penginputan data ke dalam aplikasi BI-CAC (Bank Indonesia Counterfeit Analysis
Center) yang dapat membantu KPBI cq. Departemen Pengelolaan Uang (DPU) untuk
melakukan analisis lebih lanjut.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
134
Melakukan rekonsiliasi data dengan aparat penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan terhadap kasus-kasus yang terjadi di Jawa Barat mulai dari pelaku, kronologi
kejadian, persidangan sampai dengan putusan pengadilan.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
135
Dalam menjalankan tugas sebagai bank sentral, salah satu pilar tugas Bank Indonesia adalah menetapkan
kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah yang kredibel dan proaktif. BI bertindak sebagai
regulator serta sekaligus sebagai fasilitator khususnya terkait dengan sistem pembayaran. Sementara itu
perkembangan di era teknologi telah memunculkan inovasi-inovasi di berbagai bidang, termasuk di sektor
keuangan (financial technology). Financial technology (fintech) merupakan fenomena perpaduan antara
teknologi dengan fitur keuangan yang mengubah model bisnis dan melemahnya barrier to entry dimana 56%
dari startup bergerak dalam kategori payment, clearing, dan settlement. Fintech juga akan berdampingan
dengan institusi keuangan konvensional dan tradisional, agar dapat mendorong peningkatan perputaran
produk-produk usaha mikro, kecil, dan menengan (UMKM) dengan tetap memperhatikan upaya mitigasi risiko
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian secara menyeluruh.
Namun inovasi harus berada dalam koridor regulasi agar potensi risiko dapat diatasi dengan baik. Oleh karena
itu Bank Indo
pesatnya terobosan teknologi di bidang keuangan dan perniagaan dengan tetap menjaga besarnya potensi
positif yang seiring dengan risiko tinggi. Melalui edukasi dan sosialisasi ketentuan sistem pembayaran yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, diharapkan dapat mendukung perkembangan industri fintech di Jawa Barat
yang tetap selaras dengan ketentuan serta memperhatikan aspek keamanan sistem pembayaran dan
perlindungan konsumen.
Model bisnis Fintech cenderung mereplikasi model bisnis lembaga keuangan formal namun dengan
memberikan fleksibilitas dalam sisi regulasi yang lebih longgar apabila dibandingkan dengan lembaga
keuangan formal. Hal ini merupakan salah satu daya tarik spesial yang mengakibatkan perkembangan fintech
di masyarakat tumbuh dan berkembang dengan pesat. Disamping itu, terdapat pasar yang besar di Indonesia
yang belum sepenuhnya tergarap oleh sektor keuangan formal. hal ini merupakan peluang besar bagi Fintech
untuk mengembangkan area cakupan transaksi.
Kesulitan yang dihadapi oleh para perusahaan startup saat ini adalah regulasi yang semakin ketat untuk dapat
memulai suatu aplikasi berbasis fintech. Walaupun demikian, Bank Indonesia Fintech Office (BI-FTO) yang telah
diresmikan pada tanggal 14 November 2016 memiliki satu solusi yaitu melalui Regulatory Sandbox. Sandbox
adalah laboratorium uji terhadap produk inovatif dan sekaligus memfasilitasi pengembangan inovasi. Bagi
perusahaan startup yang baru saja memulai startup di bidang Fintech, dapat mengajukan aplikasi dan
mensubmit produknya ke BI-FTO untuk kemudian dilakukan evaluasi kelayakan oleh BI-FTO untuk dapat masuk
kedalam regulatory sandbox.
Setelah aplikasi diterima, perusahaan tersebut dapat menjalankan startup yang telah disusun dengan tetap
memberikan laporan perkembangan secara periodik kepada BI-FTO. Apabila perkembangan startup dinilai baik
dan pesat, BI-FTO kemudian akan menfasilitasi dan memberikan informasi kepada startup tersebut dan
diarahkan untuk dapat mengurus perizinan formal kepada lembaga atau instansi terkait lain. Di sisi lain, startup
BOKS 4
MENGHADAPI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DI BIDANG KEUANGAN
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
136
tersebut akan hilang dengan sendirinya apabila perkembangan startup tidak sesuai dengan yang diharapkan
atau apabila terjadi kemunduran. Kebijakan sandbox ini akan sangat membantu para perusahaan startup
khususnya yang memiliki keterbatasan seperti keterbatasan modal awal namun tetap ingin mengembangkan
aplikasi fintech yang telah dirintis sebelumnya.
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
137
Sebagaimana survei yang pernah dilakukan oleh World Bank melalui survei Global Financial Inclusion Index
pada tahun 2014, diketahui bahwa hanya 36% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga
kuangan formal baik menurut gender maupun wilayah. Jumlah tersebut tergolong sangat rendah
dibandingkan dengan negara lain khususnya di ASEAN. Hal tesebut dapat disebabkan oleh sulitnya akses
masyarakat ke kantor layanan keuangan formal, enggannya masyarakat karena adanya pertimbangan akan
status sosial.
Untuk memperluas jangkauan layanan keuangan khususnya kepada masyarakat unbank dan underbank, Bank
Indonesia melakukan inovasi melalui program Layanan Keuangan Digital (LKD). LKD merupakan produk
dengan prosedur yang sederhana yang mudah diakses oleh masyarakat. Kegiatan layanan jasa sistem
pembayaran dan keuangan dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga (agen) dan menggunakan sarana
teknologi seperti HP atau uang elektronik registered. Dengan adanya program LKD ini, masyarakat dapat
menggunakan layanan keuangan formal tanpa harus datang ke kantor bank, di sisi lain bank pun terbantu
dengan keberadaan agen yang dapat menggantikan fungsi kantor cabang Bank itu sendiri.
Penyelenggara LKD melalui agen individu hanya dapat dilakukan oleh bank, sementara perusahaan penyedia
layanan telekomunikasi dapat menyelenggarakan LKD melalui agen berbadan hukum Indonesia. Pihak
penyelenggara di wilayah Jawa Barat terdiri dari bank (Bank Mandiri dan BRI) dan perusahaan penyedia layanan
telekomunikasi (Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata). Bank Indonesia bersama dengan para
penyelenggara secara berkala melakukan monitoring on-site terhadap implementasi LKD oleh agen LKD dan
masyarkat sekitar agen untuk mengetahui kendala/permasalahan yang dihadapi, mengetahui pengenalan
masyarakat terhadap LKD disekitar lokasi agen, dan menyusun rekomendasi serta langkah tindak lanjut
mendorong peningkatan LKD.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU) hingga triwulan I 2017, posisi
jumlah agen LKD di Jawa Barat bulan Maret 2017 tercatat 20.401 agen dengan jumlah rekening uang
elektronik mencapai 585.747 unit. Walaupun terdapat cukup banyak jumlah agen LKD, namun keberadaan
progarm LKD itu sendiri belum menjadi produk yang digemari oleh masyarakat. Sementara berdasarkan
informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar yang telah menggunakan layanan tersebut, terdapat beberapa
hal yang merupakan potensi program LKD dapat digemari oleh masyarakat. Diantaranya adalah lokasi agen
yang mudah dijangkau, menabung tanpa ada minimal transaksi, dapat digunakan untuk pembayaran PPOB,
setor dan tarik tunai dapat dilakukan di agen, dan bisa dilakukan di sela perjalanan dari/ke tempat kerja
nasabah LKD.
BOKS 5
LAYANAN KEUANGAN DIGITAL (LKD) DI JAWA BARAT
MEI 2017
SISTEM PEMBAYARAN &
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
138
Grafik 5.13 Jumlah Agen LKD dan Jumlah Uang Elektronik di Jawa Barat
Agar program LKD dapat lebih dikenal dan digunakan oleh masyarakat, Bank indonesia menerapkan strategi
perluasan penggunaan non tunai melalui segmen masyarakat tertentu salah satunya melalui pondok
pesantren. Hingga saat ini, pondok pesantren yang telah mengimplementasikan program LKD di wilayah kerja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat antara lain Pondok Pesantren Daarut Tauhid di Bandung
(Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata), Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Kabupaten Ciwidey (BRI), dan Pondok
Pesantren Misbahunnur di Cimahi (BRI).
BAB VI BAB VI
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN
DAN KESEJAHTERAAN
140
Melambatnya kinerja perekonomian Jawa Barat pada triwulan I 2017 berdampak pada kondisi ketenagakerjaan
dan kesejahteraan pada triwulan laporan. Tingkat kemiskinan Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun ke
tahun, namun jumlah penduduk miskin masih relatif besar. Pada September 2016, tingkat kemiskinan
mencapai 8,77% dari total penduduk, atau sebanyak 4,17 juta jiwa. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Februari 2017 mencapai 60,65%, meningkat 0,31% dibandingkan Februari 2016. Namun, Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Barat juga masih relatif tinggi. Selain memberikan konsekuensi pada tingkat
kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran diindikasi berdampak pada meningkatnya ketimpangan
pendapatan. Ketimpangan pendapatan Jawa Barat yang diukur dengan Indeks Gini Ratio tahun 2016 masih
relatif tinggi yakni berada pada kisaran 0,402.
6.1. KETENAGAKERJAAN
Perkembangan ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Barat pada triwulan I 2017 menunjukkan kondisi perbaikan
dibanding triwulan sebelumnya. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha, kondisi ketenagakerjaan di
Jawa Barat yang tercermin dari indeks perkembangan penggunaan tenaga kerja menunjukkan peningkatan
dengan perubahan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) dari triwulan IV 2016 sebesar -1,18 menjadi 4,27 SBT pada
triwulan I 2017 (Grafik 6.1). Indeks perkembangan penggunaan tenaga kerja pada triwulan I 2017
menyebutkan bahwa penggunaan tenaga kerja di lapangan usaha utama yakni industri pengolahan mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya kinerja industri pengolahan karena menguatnya permintaan global,
selain itu tenaga kerja di lapangan usaha konstruksi juga mengalami peningkatan. Sejalan dengan
melambatnya kinerja lapangan usaha perdagangan dan pertanian, SKDU juga menyebutkan bahwa
penggunaan tenaga kerja di lapangan usaha ini juga mengalami penurunan, masing-masing dari 0,21 SBT
menjadi 0,00 SBT untuk pertanian dan 0,27 SBT menjadi 0,20 SBT untuk lapangan usaha perdagangan, hotel
dan restauran. Kondisi peningkatan ketenagakerjaan diperkirakan masih berlanjut bahkan meningkat cukup
signifikan pada triwulan II 2017 sesuai dengan indeks prakiraan perkembangan penggunaan tenaga kerja
SKDU (Grafik 6.2). Hal ini sejalan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat di triwulan II 2017 yang diperkirakan
meningkat terdorong oleh momen Ramadhan dan Lebaran.
Grafik 6. 1. Indeks Penggunaan Tenaga Kerja Grafik 6. 2Indeks Penggunaan Tenaga Kerja (Prakiraan)
FEBRUARI 2017
141
Potensi pasokan tenaga kerja Jawa Barat yang tersedia pada triwulan laporan mengalami peningkatan,
tercermin dari jumlah penduduk usia kerja Jawa Barat pada Februari 2017 yang mengalami peningkatan
dibandingkan Agutsus 2015. Pada Februari 2017 jumlah penduduk usia kerja atau usia produktif Jawa Barat
sebesar 34,75 juta orang, atau meningkat 1,85% dibandingkan dengan Februari 2016 yang berjumlah
33,79 juta orang (Tabel 6.1). Potensi tenaga kerja di Jawa Barat masih sangat banyak jika dilihat dalam hal
kuantitas penduduk usia produktif.
Dengan jumlah penduduk usia produktif yang meningkat, jumlah penduduk yang menjadi angkatan kerja
juga mengalami peningkatan di triwulan laporan. Jumlah angkatan kerja meningkat 2,37% dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari 20,59 juta orang menjadi sebanyak 21,08 juta
orang.
Tabel 6.1 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama (Juta Orang)
Tingkat pengangguran Jawa Barat per Februari 2017 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan
periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2017, dari 21,08 juta angkatan kerja, 1,87 juta diantaranya
masih dalam posisi mencari pekerjaan atau menganggur (belum diserap oleh pasar kerja), angka ini
meningkat 4,40% dari Februari 2016. Dalam setahun terakhir, jumlah angkatan kerja bertambah sekitar
489 ribu orang, jumlah penduduk bekerja bertambah sekitar 410 ribu orang dan jumlah penganggur
bertambah sekitar 78 ribu orang. Presentase kenaikan jumlah penganggur ini lebih besar daripada kenaikan
jumlah angkatan kerja yang bekerja.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Februari 2017 juga mengalami penurunan dibandingkan
dengan periode yang sama tahun lalu. TPAK, yang mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia
kerja yang aktif secara ekonomi, mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya Berdasarkan hasil Sakernas bulan Februari 2017, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di
Provinsi Jawa Barat diperkirakan sebesar 64,43%. Jika dibandingkan dengan Februari 2016 yang sebesar
66,08%, terjadi penurunan TPAK sebesar 1,65 %. Penurunan TPAK menunjukkan adanya peningkatan TPT.
Dalam setahun terakhir, TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) naik sebesar 0,17% dari 8,40% menjadi
8,57%. TPT pada Februari 2017 sebesar 8,57% artinya, dari 100 orang angkatan kerja, sekitar 9 orang
diantaranya tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan usaha. Pada Februari
2017, TPT terendah ada pada penduduk dengan jenjang pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 6,05%,
2015 2016 2017
Februari Februari Februari
Bekerja 19,230,943 18,791,482 19,202,038
Pengangguran 1,775,196 1,794,874 1,873,861
Angkatan Kerja 21,006,139 20,586,356 21,075,899
Sekolah 2,953,193 3,090,504 3,136,149
Mengurus Rumah Tangga 7,828,307 8,555,422 8,725,263
Lainnya 1,677,761 1,885,201 1,810,007
Bukan Angkatan Kerja 12,459,207 13,351,127 13,671,419
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 8.45 8.72 8.89
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 62.77 60.34 60.65
Total Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas 33,465,346 34,117,483 34,747,318
Setengah Penganggur Terpaksa (Setengah Penganggur) 1,560,496 1,562,538 1,187,558
Setengah Penganggur Sukarela (Pekerja Paruh Waktu) 3,245,480 2,791,570 2,575,374
Total Setengah Penganggur (Pekerja Tak Penuh) 4,805,976 4,354,108 3,762,932
Jenis Kegiatan
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN
DAN KESEJAHTERAAN
142
sementara TPT tertinggi pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 14,30%. Dalam
setahun terakhir, TPT pada jenjang pendidikan SMK, Diploma dan Universitas mengalami kenaikan, jenjang
pendidikan lainnya mengalami penurunan (Tabel 6.2).
Tabel 6.2 Jenjang Pendidikan TPK
Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan
TPT (%)
Februari 2016
TPT (%)
Februari 2017
SD Kebawah 6,34 6,05
Sekolah Menengah Pertama 10,77 10,30
Sekolah Menengah Atas 11,54 8,91
Sekolah Menengah Kejuruan 11,67 14,30
Diploma I/II/III 5,50 8,33
Universitas 4,71 8,39
Total 8,72 8,89
Latar belakang pendidikan penduduk yang bekerja di Jawa Barat masih didominasi oleh jenjang pendidikan
rendah (SMP kebawah), namun jenjang pendidikan menengah mengalami kenaikan proporsi dibanding
periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Februari 2017, jumlah penduduk yang bekerja dengan tingkat
pendidikan SMP ke bawah tercatat sebanyak 12,41 juta orang atau menurun dibandingkan Februari 2016 yang
tercatat sebanyak 12,97 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja dengan tingkat pendidikan
menengah (SMA) tercatat sebanyak 5,71 juta orang atau meningkat dibandingkan Februari 2016 yang tercatat
sebanyak 5,28 juta orang. Sementara itu, jumlah penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi (Diploma dan
Universitas) tercatat sebanyak 2,16 juta orang, sedikit menurun dibandingkan periode sebelumnya sebesar 2,21
juta orang (Tabel 6.3). Hal ini menandakan bahwa ketersediaan jumlah tenaga kerja dengan keterampilan yang
lebih tinggi (pendidikan menengah) di Jawa Barat pada tahun 2016 telah mengalami peningkatan.
Tabel 6.3 Jumlah Penduduk Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan (Juta Orang)
Tahun
Pendidikan
Rendah Menengah Tinggi
Feb 6
12,97
(63,41%)
5,28
(25,79%)
2,21
(10,80%)
Feb 7
12,41
(61,18%)
5,71
(28,15%)
2,16
(10,67%)
Secara umum, komposisi jumlah penduduk bekerja menurut jam kerja perminggu tidak mengalami perubahan.
Jumlah pekerja penuh waktu Jawa Barat sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan periode yang
sama tahun lalu. Sejalan dengan kinerja ekonomi Jawa Barat triwulan IV 2016 yang melambat dibandingkan
periode yang sama tahun lalu, jumlah pekerja berwaktu penuh Jawa Barat per Februari 2017 tercatat sebanyak
15,48 juta orang atau menurun dibandingkan dengan Februari 2016 yang tercatat sebanyak 16,04 juta orang.
Penyerapan tenaga kerja Jawa Barat pada periode laporan sebesar 76,32% merupakan pekerja berwaktu
penuh (full time worker), yaitu penduduk yang bekerja pada kelompok 35 jam ke atas per minggu. Sementara
FEBRUARI 2017
143
untuk jumlah pekerja berwaktu tidak penuh mengalami peningkatan, yaitu dari 4,41 juta menjadi 4,80 juta
orang pada periode yang sama (Tabel 6.4).
Tabel 6.4 Klasifikasi Penduduk Bekerja (Juta Orang)
Penduduk yang Bekerja
Feb 2016 Feb 2017
Jumlah % Jumlah %
Pekerja tidak penuh 4,41 21,58 4,80 23,68
Setengah penganggur 1,54 7,55 1,72 8,49
Pekerja paruh waktu 2,87 14,03 3,08 15,19
Pekerja penuh 16,04 78,42 15,48 76,32
Total 20,46 100,00 20,28 100,00
Struktur lapangan pekerjaan tidak mengalami perubahan. Sektor Perdagangan masih menjadi penyumbang
terbesar penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Pada Februari 2017, lapangan usaha tersebut menyerap
tenaga kerja sebesar 5,10 juta orang atau 28,58% dari total penduduk yang bekerja di Jawa Barat. Penyerapan
tenaga kerja di lapangan usaha perdagangan mengalami peningkatan dari periode sebelumnya yang sebesar
25,26% (Tabel 6.5). Namun demikian, jumlah penduduk yang bekerja di lapangan usaha pertanian dan industri
pengolahan mengalami penurunan cukup dalam. Penyerapan pekerja di lapangan usaha pertanian menurun
dari 20,37% menjadi 17,47% pada Februari 2017. Demikian halnya dengan pekerja di lapangan usaha industri
pengolahan yang menurun dari 20,88% menjadi 19,64%.
Tabel 6.5 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha (Juta Orang)
Dari aspek ketenagakerjaan, sebaran penyerapan tenaga kerja tidak sejalan dengan distribusi pada PDRB
berdasarkan lapangan usaha, pangsa PDRB Jawa Barat terpusat di lapangan usaha industri pengolahan
(42,91%), lalu diikuti oleh lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran (18,39%), dan lapangan usaha
transportasi, pergudangan dan informasi (8,58%). Hal ini menjadi indikasi awal dari distribusi pendapatan yang
kurang merata, di mana sektor industri pengolahan dengan pangsa terbesar hanya menyerap 17.47% tenaga
kerja. Sementara sektor perdagangan yang menyerap 28,58% tenaga kerja memiliki pangsa PDRB yang relatif
jauh lebih kecil sebesar 17,32%. Kemudian lapangan usaha konstruksi sebagai lapangan usaha terbesar ketiga
justru hanya menyerap 6,98% tenaga kerja, sebaliknya pertanian dengan serapan tenaga kerja sebanyak
2015 2016 2017
Februari Februari Februari
3.85 4.17 3.54
(19,8%) (20,37%) (17,47%)
4.01 4.27 3.98
(20,61%) (20,88%) (19,64%)
1.57 1.45 1.41
(8,07%) (7,10%) (6,98%)
5.09 5.17 5.79
(26,18%) (25,26%) (28,58%)
19.44 20.46 20.28
100% 100% 100%
Lapangan Pekerjaan Utama
Pertanian, Perkebunan,
Kehutanan dan Perburuan
Industri
Konstruksi
Perdagangan, Rumah Makan
dan Jasa Akomodasi
TOTAL
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN
DAN KESEJAHTERAAN
144
17,47% justru hanya memiliki pangsa PDRB sebesar 6,78% (Tabel 6.6). Jenis pendidikan dalam rangka
mempersiapkan sumber daya angkatan kerja di Jawa Barat perlu memperhatikan struktur lapangan usaha Jawa
Barat yang lebih terkonsentrasi pada lapangan usaha sekunder seperti industri pengolahan dan perdagangan
serta pergeseran yang cukup cepat ke arah lapangan usaha tersier seperti informasi dan komunikasi.
Tabel 6.6 Perbandingan Kinerja lapangan Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerjanya
Jenis pekerjaan yang dominan pada Februari 2017 adalah kelompok orang yang bekerja sebagai
buruh/karyawan sebesar 45,76%. Meski demikian, secara agregat penduduk bekerja di jawa Barat lebih banyak
terjun ke sektor informal. Data pada bulan Februari 2017 mencatat jumlah pekerja sektor formal Jawa Barat
sebanyak 9,92 juta orang atau 48,92% sedangkan pekerja di sektor informal sebesar 10,36 juta atau 51,08%
(Tabel 6.7). Jumlah pekerja di sektor formal mengalami pengingkatan dari periode Februari 2016 sebesar
47,92% sedangkan pekerja di sektor formal mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar 52,08%.
Tabel 6.7 Penduduk Bekerja Menurut Status Kegiatan Pekerja (Juta Orang)
Pada triwulan I 2017, konsumen telah memandang kondisi ketenagakerjaan Jawa Barat triwulan I 2017 lebih
baik dibandingkan dengan triwulan IV 2016. Hal tersebut tercermin dari hasil survei konsumen di Jawa Barat
yang menunjukkan bahwa tingkat keyakinan konsumen Jawa Barat terhadap kondisi ketersediaan lapangan
pekerjaan saat ini meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Indeks keyakinan konsumen
terhadap ketersediaan lapangan kerja pada triwulan I 2017 meningkat dari 93,66 menjadi 94,60. Peningkatan
tersebut sejalan dengan peningkatan tingkat keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan saat ini. Hal
ini merupakan sinyal positif bahwa kondisi ketenagakerjaan di triwulan I 2017 sudah lebih baik.
Tenaga Kerja
Jumlah Pangsa (%) Nominal (T) Pangsa (%)
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 3,542,464 17.47 28.61 6.78
Pertambagan dan Penggalian 132,939 0.66 6.83 1.62
Industri Pengolahan 3,982,044 19.64 180.42 42.91
Penyediaan Listrik, Gas dan Air 105,856 0.52 3.68 0.87
Konstruksi 1,414,388 6.98 35.98 8.56
Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,794,509 28.58 77.34 18.39
Transportasi, Pergudangan dan Informasi 1,011,942 4.99 36.06 8.58
Keuangan, Real Estate, Usaha 792,612 3.91 18.05 7.29
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Lainnya 3,500,344 17.26 33.6 7.99
TOTAL 20,277,112 100 420.48 100
Lapangan Perkerjaan UtamaPDRB ADHB Tw I 2017
Jumlah % Jumlah %
Formal 9.8 47,92 9.92 48,92
Informal 10.65 52,08 10.36 51,08
Februari 2016 Februari 2017Kegiatan Pekerjaan
Utama
FEBRUARI 2017
145
Pada triwulan II 2017, konsumen memandang optimis ketersediaan lapangan pekerjaan, konsumen meyakini
adanya peningkatan kondisi ketenagakerjaan yang akan datang. Berdasarkan hasil survei konsumen di Jawa
Barat, pandangan konsumen melihat kondisi lapangan kerja yang akan datang meningkat. Hal ini terlihat dari
indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja yang meningkat menjadi 125,43 dari sebelumnya 118,41.
Peningkatan ekspektasi ketersediaan lapangan pekerjaan tersebut diindikasi sebagai dampak keyakinan
konsumen atas peningkatan kondisi ekonomi di triwulan II 2017 yang didorong oleh membaiknya permintaan
global dan domestik sebagai dampak Ramadhan dan Lebaran.
6.2 NILAI TUKAR PETANI
Pertumbuhan tahunan Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan dibandingkan
triwulan IV 2016 sejalan dengan perlambatan kinerja pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan
perikanan pada triwulan laporan. Lapangan usaha tersebut pada triwulan laporan tercatat mengalami
pertumbuhan sebesar 5,75% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan lalu yang tercatat sebesar 9,39%
(yoy). Sementara itu NTP pada triwulan I 2017 tercatat sebesar 98,67% atau melambat -2,73% (yoy)
dibandingkan NTP triwulan sebelumnya yang tumbuh -1,70% (yoy) (Grafik 6.5). Perlambatan pertumbuhan
NTP ini merupakan indikasi kesejahteraan petani mengalami penurunan akibat turunnya daya beli petani di
pedesaan. Hal ini tercermin dari indeks yang diterima petani melambat lebih dalam dibandingkan dengan
indeks yang dibayar petani. Perlambatan NTP tersebut juga dapat disebabkan oleh berkurangnya panen dan
pada triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Perlambatan NTP Jawa Barat pada triwulan I 2017 didorong oleh perlambatan NTP pada sub lapangan usaha
tanaman pangan, tanaman perkebunan rakyat dan peternakan. Sedangkan NTP sub lapangan usaha
hortikultura dan perikanan meningkat pada triwulan I 2017. Sub lapangan usaha yang mengalami perlambatan
NTP paling besar adalah sub lapangan usaha tanaman perkebunan rakyat yang melambat dari 4,01% menjadi
-0,47%, perlambatan NTP Tanaman perkebunan rakyat ini diindikasi terjadi pada tanaman teh dan karet yang
mengalami penurunan produksi pada triwulan I 2017 akibat rusaknya areal perkebunan teh di beberapa
wilayah serta berkurangnya produktivitas karet akibat reproduksi karet per pohon yang sudah berkurang atau
bahkan habis (Grafik 6.6). Penurunan selanjutnya terjadi pada sub lapangan usaha tanaman pangan yang
melambat sebesar -10,10% setelah sebelumnya tumbuh -8,07%. Hal ini sejalan dengan berlalunya panen raya
Grafik 6. 3. Indeks Kondisi Ketenagakerjaan dan
Penghasilan Saat ini
Grafik 6. 4. Indeks Ekspektasi Ketenagakerjaan dan
Penghasilan Saat ini
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN
DAN KESEJAHTERAAN
146
padi yang terjadi pada triwulan III dan IV 2016 sehingga menyebabkan berkurangnya produksi padi.
Perlambatan selanjutnya terjadi pada sub lapangan usaha peternakan yang tumbuh 1,45%, melambat
dibandingkan pertumbuhan indeks triwulan sebelumnya pada 1,76% yang terindikasi disebabkan
berkurangnya produksi ayam ras di beberapa peternakan. Sementara itu, NTP sub lapangan usaha hortikultura
meningkat dari 4,33% menjadi 6,37% (yoy). Peningkatan ini terjadi seiring dengan kenaikan harga yang sangat
signifikan pada tanaman cabai rawit. Selanjutnya kenaikan juga terjadi pada pertumbuhan NTP perikanan yang
tumbuh dari 0,64% menjadi 1,52% (yoy). Kondisi La Nina lemah pada triwulan I 2017 disinyalir justru
berdampak positif pada produksi perikanan khususnya di daerah Cirebon.
Indeks yang diterima petani (IT) pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 0,91%, melambat dibandingkan triwulan
IV 2016 yang tumbuh sebesar 2,13% (yoy). Perlambatan tersebut terutama didorong oleh perlambatan
pertumbuhan indeks yang diterima untuk sub lapangan usaha tanaman pangan, tanaman perkebunan rakyat
dan peternakan. Indeks yang diterima untuk sub lapangan usaha tanaman pangan pada triwulan I 2017
tercatat terkontraksi sebesar -6,15%, melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar -3,99%. Kemudian IT sub lapangan usaha tanaman rakyat dan peternakan melambat masing-masing
dari 7,65%menjadi 2,93% (yoy) untuk tanaman perkebunan rakyat dan 4,78% menjadi 4,03% (yoy) untuk
sub lapangan usaha peternakan (Grafik 6.7). Sementara itu, indeks yang diterima petani untuk subsektor
hortikultura dan perikanan mengalami peningkatan pertumbuhan.
Indeks yang dibayar petani (IB) juga tercatat melambat namun tidak sedalam perlambatan pada IT. Indeks yang
dibayar petani pada triwulan I 2017 tumbuh sebesar 3,77%, melambat dibanding triwulan IV 2016 yang
tumbuh sebesar 3,90% (Grafik 6.8). Perlambatan indeks ini terjadi pada seluruh sub lapangan usaha. Namun
demikian, perlambatan pada sub lapangan usaha tanaman pangan dan tanaman perkebunan rakyat tercatat
yang paling kecil. Dengan kondisi indeks yang diterima petani tanaman pangan dan tanaman perkebunan
rakyat melambat paling dalam sedangkan perlambatan pada indeks yang dibayar pada sub lapangan usaha ini
hanya kecil, maka Nilai Tukar Petani (NTP) untuk kedua sub lapangan usaha ini tercatat menurun paling
signifikan dibandingkan sub lapangan usaha yan lain. Hal ini mengindikasikan kesejahteraan petani tanaman
pangan dan tanaman perkebunan rakyat yang paling signifikan menurun pada triwulan I 2017.
Grafik 6. 5. NTP Jawa Barat dan Komponen Penyusunnya Grafik 6. 6. NTP Berdasarkan Subsektor di Jawa Barat
FEBRUARI 2017
147
Kemampuan produksi petani pada periode laporan tercatat mengalami penurunan. Kemampuan produksi
petani yang tercermin dari Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) pada triwulan I 2017 tumbuh
sebesar -1,07%, melambat dibandingkan pertumbuhan di triwulan IV 2016 sebesar -0,13% (yoy) atau dengan
nilai indeks sebesar 113,67% (Grafik 6.9). Perlambatan NTUP pada triwulan laporan terjadi pada sub lapangan
usaha tanaman perkebunan rakyat dan tanaman pangan. Hal ini sejalan dengan berlalunya masa panen raya
untuktanaman pangan yang masih bersifat seasonal serta terjadinya kerusakan lahan pada perkebunan teh
dan menurunnya produksi karet akibat lambatnya reproduksi. Sementaraitu, NTUP sub lapangan usaha
hortikultura, peternakan dan perikanan tumbuh meningkat. Adanya peningkatan signifikan pada indeks yang
diterima petani (IT) sub lapangan usaha holtikultura sementara indeks yang dibayar (IB) mengalami penurunan,
menyebabkan petani di subsektor holtikultura mendapatkan insentif dalam meningkatkan produksinya.
6.3 KESEJAHTERAAN
Angka kemiskinan Jawa Barat pada September 2016 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu. Penurunan tersebut terutama didorong oleh penurunan angka kemiskinan yang ada di
kawasan pedesaan Jawa Barat. Tingkat kemiskinan Jawa Barat per September 2016 tercatat sebanyak 4.170
ribu jiwa atau 8,77% dari jumlah penduduk Jawa Barat, menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu
yang berjumlah 4.562 ribu jiwa atau 9,58% dari jumlah penduduk. Penurunan jumlah penduduk miskin
tersebut terutama didorong oleh penurunan jumlah penduduk miskin yang berada di pedesaan, dari 2.790
ribu jiwa pada September 2015 menjadi 2.716 ribu pada September 2016. Di sisi lain, jumlah penduduk miskin
yang ada di perkotaan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dari
1.772 ribu jiwa pada September 2015 menjadi 1.790 ribu pada September 2016.
Grafik 6. 7. Indeks yang Diterima Petani Jawa Barat Grafik 6. 8. Indeks yang Dibayar Petani Jawa Barat
Grafik 6. 9. Nilai Tukar Usaha Petani Jawa Barat
FEBRUARI 2017
KETENAGAKERJAAN
DAN KESEJAHTERAAN
148
Dibandingkan dengan kondisi di bulan Maret 2016, angka kemiskinan Jawa Barat pada September 2016 juga
mengalami penurunan sebesar 0,18%, yang terutama didorong oleh penurunan jumlah penduduk miskin di
daerah perkotaan. Apabila dibandingkan dengan periode Maret 2016, jumlah penduduk miskin di perkotaan
turun sebesar 2,59% atau setara dengan 48 ribu orang. Sementara di pedesaan, jumlah penduduk miskin
turun sebesar 0,86% atau setara dengan 24 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di pedesaan pada Maret
2016 mencapai 2.716 ribu jiwa sedangkan di perkotaan mencapai 1.790 ribu jiwa atau memiliki porsi sekitar
40% dari total penduduk miskin di Jawa Barat.
Tingkat kemiskinan Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun jumlah penduduk miskin
masih relatif besar. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Februari 2017 mencapai 60,65%, meningkat
0,31 % dibandingkan Februari 2016. Namun, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Barat juga masih
relatif tinggi. TPT Februari 2017 tercatat 8,89%, lebih tinggi 0,17% dibandingkan TPT Februari 2016. Jumlah
setengah penganggur (orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu) masih relatif tinggi, Februari 2017
mencapai 6,18% penduduk bekerja. Selain memberikan konsekuensi pada tingkat kemiskinan, tingginya
tingkat pengangguran akan berdampak pada meningkatnya ketimpangan pendapatan Ketimpangan
pendapatan Jawa Barat, yang diukur dengan indeks gini ratio tahun 2016 masih relatif tinggi yakni berada
pada kisaran 0,402 (Grafik 6.10).
Pada bulan September 2016 gini ratio Jawa Barat mengalami penurunan dibandingkan September 2015
(0,426). Gini ratio pada September 2016 tercatat sebesar 0,402 atau masih terjadi ketimpangan sedang antar
pendapatan penduduk di Jawa Barat. Tingginya kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi
pendapatan di suatu wilayah tidak terlepas dari strategi pembangunan yang diterapkan. Namun demikian,
sebuah provinsi dengan penopang perekonomian utamanya adalah industri pengolahan akan cenderung
memiliki gini ratio tang lebih tinggi daripada wilayah dengan penopang ekonomi di sektor primer seperti
pertanian, terlebih dengan karakteristik geografi yang luas.
Kinerja perekonomian Jawa Barat periode 2010 2015 menunjukkan tren penurunan, namun pada tahun
2016 menunjukkan adanya perbaikan. Pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan dan jasa selalu lebih tinggi
dibandingkan sektor riil, kecuali tahun 2013 (Grafik 6.11), sementara sektor riil masih mendominasi jumlah
penyerapan tenaga kerja sehingga terdapat kecenderungan ketimpangan pendapatan. Komponen
pengeluaran konsumsi rumah tangga juga masih mendorong struktur ekonomi Jawa Barat sedangkan
Grafik 6. 10. Perkembangan Indikator Kesejahteraan Jawa Barat
FEBRUARI 2017
149
komponen investasi (PMTB) memiliki share terhadap PDRB yang masih relatif rendah (Grafik 6.12) sedangkan
investasi dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas dan meningkatan jumlah pastisipasi kerja.
Faktor-faktor struktural seperti ini yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi kualitas kesejahteraan
masyarakat di masa mendatang.
Sementara itu, garis kemiskinan terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh
peningkatan garis kemiskinan pedesaan. Berdasarkan pembagian kelompok kemiskinan antara perkotaan dan
pedesaan, garis kemiskinan di perkotaan dalam periode yang sama tercatat mengalami peningkatan tahunan
sebesar 7,74% dari Rp286.014 per kapita/bulan menjadi Rp308.163 per kapita/bulan. Sementara itu, garis
kemiskinan di daerah pedesaan mengalami kenaikan sebesar 11,69%, dari Rp277.802 per kapita/bulan
menjadi Rp310.295 per kapita/bulan.
Dalam satu tahun terakhir, garis kemiskinan kota dan desa meningkat 9,78% dari Rp281.750 perkapita/bulan
pada Maret 2015 menjadi Rp309.314 per kapita/bulan pada Maret 2016. Apabila rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dilapangan usahakan sebagai penduduk miskin maka kenaikan
garis kemiskinan dapat mempengaruhi angka kemiskinan karena ambang nilai kemiskinan turut mengalami
peningkatan.
Grafik 6. 11. Pertumbuhan Sektor Primer, Sekunder dan
Tersier
Grafik 6. 12. Struktur Perekonomian Berdasarkan
Penggunaan
BAB VII BAB VII
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
151
Mengacu kepada realisasi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2017 yang masih sejalan
dengan path perbaikan ekonomi di tahun 2017, serta mempertimbangkan kondisi terkini perekonomian
global yang terus membaik dan perekonomian domestik yang masih terjaga, pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat pada tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2016. Pada triwulan III 2017,
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan sedikit melambat dibandingkan triwulan II 2017 dengan
tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy). Perlambatan terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga
akibat faktor seasonal yakni bergesernya momen Ramadhan dan Lebaran menjadi sepenuhnya berlangsung
pada triwulan II 2017, di mana pada tahun 2016 berlangsung pada awal triwulan III 2016. Selain itu, mulai
berlakunya tarif non subsidi untuk pelanggan listrik 900 VA Rumah Tangga Mampu per 1 Juli 2017 juga
berpotensi menahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi Pemerintah juga diperkirakan tertahan
pada triwulan III 2017, disebabkan oleh penyelenggaraan PON ke-19 pada akhir triwulan III 2016
(September 2016).
Untuk keseluruhan tahun 2017, akselerasi pertumbuhan diperkirakan terjadi pada seluruh komponen
PDRB. Konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan upah serta stimulus
baik dari sisi fiskal maupun moneter. Pada tahun 2017, UMK seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat
meningkat sebesar 8,25% (yoy) mengacu kepada Peraturan Gubernur. Stimulus baik dari sisi fiskal
(implementasi paket kebijakan secara lebih komprehensif) maupun moneter (pelonggaran suku bunga
kebijakan, penurunan Giro Wajib Minimum, dan pelonggaran ketentuan loan to value ratio) juga
diperkirakan masih menjadi motor pendorong baik bagi kegiatan investasi maupun konsumsi masyarakat.
Investasi untuk keseluruhan tahun juga diperkirakan meningkat khususnya dari sisi pemerintah seiring
dengan percepatan penyelesaian berbagai proyek infrastruktur strategis, seperti Jalan Tol Cisumdawu yang
merupakan bagian dari proyek Tol Trans Jawa, Bandara Internasional Kertajati di Majalengka, LRT
Terintegrasi Jabodebek, Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi), serta pembangunan tol dalam kota di Bandung
(Bandung Intra Urban Toll Road/BIUTR). Dari aspek eksternal, prospek positif pada kinerja ekonomi mitra
dagang utama seperti Amerika Serikat diperkirakan menjadi faktor pendorong, sejalan dengan prospek
positif dari kerjasama dengan negara-negara di kawasan ASEAN.
Di sisi lain, tekanan inflasi diperkirakan meningkat pada tahun 2017 dibanding tahun 2016, namun Bank
Indonesia bersama-sama Pemerintah dalam forum TPI/TPID berkomitmen untuk menjaga inflasi berada
dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4%±1%. Potensi peningkatan inflasi tahun 2017
dipengaruhi oleh beberapa upside risk antara lain : (1) berlanjutnya efek La Nina di awal tahun 2017 yang
berdampak kepada produktivitas hortikultura; (2) implementasi rencana Pemerintah melakukan
penyesuaian tarif listrik melalui pencabutan subsidi untuk pelanggan golongan 900VA Rumah Tangga
Mampu (RTM) secara bertahap sepanjang tahun 2017; (3) kenaikan biaya administrasi STNK di awal tahun;
(4) kembali dinaikkannya cukai rokok di tahun 2017; (5) akselerasi pertumbuhan ekonomi regional yang
berpotensi meningkatkan permintaan dan pada akhirnya harga-harga; (6) kenaikan harga komoditas global
terutama minyak dunia yang berpotensi mendorong kenaikan harga BBM di dalam negeri; serta (7) risiko
tekanan di sisi komoditas pangan. Namun demikian, dengan semakin diperkuatnya sinergi dan kerjasama
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
152
antar daerah dalam rangka pengendalian inflasi, diharapkan risiko-risiko ini dapat diantisipasi termasuk
dampak lanjutannya (second round effect).
7.1. PROSPEK PEREKONOMIAN GLOBAL DAN NASIONAL
7.1.1. Prospek Perekonomian Global
Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2016.
Proyeksi pertumbuhan yang dirilis oleh IMF melalui World Economic Outlook (WEO) dan berdasarkan
consensus forecast juga mengindisikan adanya peningkatan kinerja ekonomi global pada tahun 2017
hingga 2018 (Tabel 7.1). Membaiknya perekonomian global diperkirakan masih ditopang oleh kembali
meningkatnya kinerja ekonomi negara berkembang seiring dengan bobotnya terhadap perekonomian
global yang juga terus meningkat. Secara spesifik, perekonomian yang perlu disorot sebagai salah satu
sumber pertumbuhan utama di kelompok negara berkembang adalah Tiongkok dan India. Adapun
perekonomian Tiongkok di tengah masih berlanjutnya agenda rebalancing economy, penurunan laju
pertumbuhan ekonominya berlangsung lebih perlahan dibandingkan perkiraan semula. Sementara
akselerasi pertumbuhan India konsisten setiap tahunnya dilatarbelakangi oleh kesuksesan reformasi
strukturalnya. Selain itu, pertumbuhan ekonomi negara maju juga diperkirakan membaik di tahun 2017,
khususnya ditopang oleh perbaikan kinerja ekonomi Amerika Serikat. Stimulus yang dikeluarkan oleh
pemerintahan baru Amerika Serikat diprediksikan menjadi salah satu pendorong, namun diiringi dengan
adanya kekhawatiran mengenai rencana pengenaan tarif impor khususnya kepada negara-negara yang
ditengarai menimbulkan defisit neraca perdagangan luar negeri yang tinggi dalam transaksinya dengan
Amerika Serikat. Selain itu, akselerasi perekonomian global di tahun 2017 juga ditandai dengan kenaikan
harga komoditas. Adapun harga minyak mentah di tahun 2017 diperkirakan mencapai USD 55,2/barel,
meningkat dibanding tahun 2016 sebesar USD 42,8/barel. Peningkatan pertumbuhan ekonomi global pada
akhirnya mendorong kenaikan volume perdagangan dunia, di mana negara berkembang (terutama
Tiongkok) sebagai negara dengan volume perdagangan terbesar di dunia menjadi sumber utama
perbaikan. Volume perdagangan dunia pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh 3,8% (yoy), meningkat
dibandingkan tahun 2016 sebesar 2,2% (yoy).
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
153
Tabel 7.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Sumber : WEO IMF, Consesus Forecast, Bank Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang semakin solid didukung oleh konsumsi dan investasi yang
membaik. Konsumsi yang solid didukung oleh kondisi ketenagakerjaan yang membaik, antara lain
tercermin pada menurunnya tingkat pengangguran dan meningkatnya pertumbuhan upah. Selain itu,
investasi AS juga membaik, bersumber dari investasi nonresiden, terutama di sektor energi seiring dengan
kenaikan harga minyak.
Perekonomian Eropa berpotensi membaik ditopang perbaikan konsumsi dan ekspor. Optimisme
pertumbuhan ekonomi Eropa didukung kinerja manufaktur yang meningkat sejalan perbaikan konsumsi
dan ekspor serta risiko geopolitik Eropa yang mulai menurun. Pada April 2017 Purchasing Manager Index
(PMI) Uni Eropa bahkan meningkat ke level tertingginya sejak tahun 2011. Adapun risiko politik di Perancis
terkait pemilu sudah mereda seiring dengan terpilihnya presiden baru yang dipercaya mampu mendorong
proses pemulihan Eropa. Sejalan dengan hal tersebut, risiko pasca Brexit juga sudah mulai mereda sehingga
secara umum meningkatkan keyakinan investor dan minat investasi ke Uni Eropa.
Sejalan dengan berlangsungnya agenda rebalancing economy, pertumbuhan ekonomi Tiongkok
diperkirakan kembali melambat pada tahun 2017. Namun demikian, perlambatan ini berlangsung lebih
gradual dibanding periode-periode sebelumnya (soft landing). Rebalancing yang bersifat gradual ini
tercermin pada investasi yang melambat (terutama Pemerintah), di tengah investasi swasta yang membaik
pada sektor tersier. (MIC)
intangible assets
produktivitas China. Sumber pertumbuhan ekonomi baru di Tiongkok juga muncul seiring rencana
New Area sebagai Special Economic Zone serta pengembangan Greater Bay Area
untuk mendukung konektivitas Mainland Hongkong yang diumumkan pada tanggal 1 dan 11 April 2017.
Secara umum, perekonomian Tiongkok masih tetap solid didukung oleh konsumsi yang kemudian
ditransmisikan kepada peningkatan kinerja manufaktur yang tercermin dari peningkatan Purchasing
Manager Index (PMI) China sejak awal tahun 2017.
Realisasi
2015 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018Dunia 3,1 3,1 3,5 3,6 3,2 3,6 3,8 3,1 3,4 3,6Negara Maju 1,9 1,7 2,0 2,0 1,7 1,9 1,9 1,6 1,9 1,9 Amerika Serikat 2,5 1,6 2,3 2,5 1,6 2,2 2,4 1,6 2,3 2,4 Kawasan Eropa 1,5 1,7 1,7 1,6 1,7 1,6 1,5 1,6 1,5 1,5 Jepang 0,6 1,0 1,2 0,6 1,0 1,2 1,0 0,8 0,8 0,5Negara Berkembang 4,0 4,1 4,5 4,8 4,6 5,1 5,2 4,1 4,5 4,7 Negara Berkembang Asia 6,6 6,4 6,4 6,4 Tiongkok 6,9 6,7 6,6 6,2 6,7 6,5 6,2 6,7 6,5 6,5 India 7,3 6,8 7,2 7,7 7,0 7,3 7,4 7,4 7,4 7,5Volume Perdagangan Dunia (barang & jasa) (%, yoy)2,6 2,2 3,8 3,9Minyak (Minas & ICP, Dolar AS per barel) 50,9 42,8 55,2 55,1
Bank Indonesia (Feb'17)
WEO IMF (Apr'17)
Consesus Forecast (Mar'17)
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
154
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang tahun 2017 pada bulan Mei direvisi ke atas yakni menjadi 1,2%
(yoy), dari prediksi sebelumnya sebesar 0,8% (yoy). Peningkatan proyeksi ini didorong oleh membaiknya
permintaan domestik dan eksternal. Pada jangka pendek, peningkatan kinerja Jepang didorong oleh cyclical
recovery pada perdagangan dan manufaktur global sejak pertengahan 2016. Menguatnya permintaan ini
tercermin dari perkembangan industrial production (IP) Jepang yang terus meningkat sejak awal tahun
2017.
Namun demikian di tengah berbagai
perkembangan positif tersebut, terdapat beberapa
risiko yang perlu diwaspadai. Risiko pertama adalah
kenaikan suku bunga kebijakan Amerika Serikat
diperkirakan
berlangsung tiga kali lagi sepanjang tahun 2017,
setelah kenaikan pertama yang berlangsung pada
Maret 2017. Perkiraan ini didorong oleh
perkembangan inflasi serta kondisi
ketenagakerjaan di Amerika Serikat yang lebih kuat. Kenaikan FFR diperkirakan kembali terjadi pada Juni
dan September, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya pada Juni dan Desember (Grafik 7.1). Risiko lainnya
yang perlu diwaspadai dari perekonomian global adalah wacana penurunan besaran neraca bank sentral
Amerika Serikat serta dampaknya terhadap pasar keuangan global serta perkembangan terkini geopolitik.
7.1.2. Prospek Perekonomian Nasional
Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2017 diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun 2016.
Dalam asumsi dasar makro APBN 2017, digunakan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar
5,1% (yoy) (Tabel 7.2), meningkat dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun
2016 sebesar 5,02% (yoy). Momentum pemulihan ekonomi diperkirakan terus berlanjut, ditopang oleh
konsumsi swasta yang diperkirakan masih tumbuh kuat; peningkatan konsumsi pemerintah serta perbaikan
investasi, baik swasta maupun pemerintah; serta peningkatan ekspor sejalan dengan prospek perbaikan
ekonomi global.
Tabel 7.2. Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN
Sumber : Kementerian Keuangan RI
Asumsi Makro APBN 2016 2017Pertumbuhan ekonomi (%, yoy) 5,30 5,10Inflasi (%, yoy) 4,70 4,00Nilai Tukar (Rp/USD) 13.900 13.300Tingkat Bunga SPN 3 bulan rata-rata (%) 5,50 5,30Harga Minyak Mentah Indonesia (USD/barel) 50 45Lifting Minyak Bumi (ribu/barel/hari) 830 815Lifting Gas Bumi (ribu/barel/hari) 1.155 1.150
Source : Bloomberg
Grafik 7.1
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
155
Perkiraan peningkatan investasi salah satunya didorong oleh belanja modal Pemerintah dalam rangka
percepatan penyelesaian pembangunan proyek infrastruktur. Adapun investasi swasta yang bersifat non
bangunan diperkirakan mulai meningkat pada semester kedua sejalan dengan berakhirnya konsolidasi yang
dilakukan oleh korporasi yang kemudian dilanjutkan ke fase ekspansi.
Pertumbuhan ekspor diperkirakan meningkat khususnya sejalan dengan perbaikan ekonomi global serta
peningkatan harga sejumlah komoditas global. Peningkatan ekspor akan didorong oleh peningkatan harga
komoditas utama seperti CPO, batubara, bijih logam, kimia organik dan otomotif yang telah menujukkan
pergerakan positif sejak akhir tahun 2016. Tujuan ekspor utama diperkirakan masih kepada negara-negara
Asia seperti Tiongkok, India, Thailand, dan Jepang. Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia akan
memberikan dampak positif terhadap penerimaan Negara, namun terdapat efek negative yaitu potensi
kenaikan inflasi administered prices.
Dari aspek intermediasi perbankan, ekspansi pembiayaan diperkirakan terjadi pada tahun 2017 setelah
sebelumnya perbankan melakukan konsolidasi di tahun 2016. Ekspansi pembiayaan ini dapat menjadi
motor pendorong kegiatan investasi di domestik.
Adapun inflasi nasional pada tahun 2017 diperkirakan tetap berada pada kisaran sasaran sebesar 4%±1%.
Hal ini didukung oleh semakin kuatnya koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam
mengatasi sejumlah risiko. Adapun risiko inflasi yang terutama dihadapi pada tahun 2017 adalah terkait
penyesuaian AP sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi oleh Pemerintah.
Di tengah berbagai faktor yang mendorong perbaikan kondisi ekonomi nasional di atas, Bank Indonesia
tetap mewaspadai sejumlah risiko pada tahun 2017, antara lain arah kebijakan perdagangan Amerika
Serikat, risiko pelemahan nilai tukar Rupiah antara lain akibat kenaikan FFR, kenaikan inflasi akibat
administered prices yang dapat berpengaruh kepada daya beli, serta adanya risiko shortfall pajak.
7.2. PROSPEK PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA BARAT
7.2.1. Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Kinerja ekonomi Jawa Barat pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya yakni pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Hal ini terutama dipengaruhi oleh pola
seasonal di mana sebagian periode Ramadhan dan Lebaran bergeser ke triwulan II 2017, setelah
sebelumnya pada tahun 2016 berlangsung di awal triwulan II 2016. Selain itu, faktor lainnya yang
diperkirakan menahan laju ekonomi Jawa Barat di triwulan III 2017 adalah diselenggarakannya PON ke-19
pada akhir triwulan III 2016 (September 2016).
Sementara itu, untuk keseluruhan tahun 2017 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat diperkirakan
membaik dibanding tahun 2016 dengan tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy). Perbaikan ekonomi
Jawa Barat pada tahun 2017 ini sejalan dengan membaiknya perekonomian nasional dan khususnya
didorong oleh perbaikan ekonomi global. Adapun perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat berada di
atas perkiraan nasional, baik untuk tahun 2016 dan 2017, di mana hal ini sejalan dengan tren realisasi
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
156
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang sejak tahun 2010 selalu mencatatkan realisasi pertumbuhan
tahunan di atas nasional.
Tabel 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Sisi Permintaan
a. Konsumsi Rumah Tangga
Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh melambat
dibanding triwulan II 2017, yakni pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Perkiraan melambatnya konsumsi
rumah tangga ini terutama dipengaruhi oleh efek seasonal yakni bergesernya momen Ramadhan dan
Lebaran ke triwulan II 2017. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, di mana Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 6 bulan mendatang di Jawa Barat menurun dari rata-
rata 139,9 pada triwulan II 2017 menjadi 137,0 pada triwulan III 2017. Penurunan terbesar khususnya
terjadi pada komponen indeks ekspektasi kegiatan usaha dan indeks ekspektasi penghasilan (Grafik 7.2).
Selain itu, mulai berlakunya tarif non subsidi untuk pelanggan listrik 900 VA Rumah Tangga Mampu per 1
Juli 2017 juga berpotensi menahan daya beli masyarakat.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Konsumsi rumah tangga pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy)
atau relatif stabil dalam level yang cukup tinggi sebagaimana realisasi pada tahun 2016, sehingga
mampu menjadi pendorong utama laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Berdasarkan Survei Konsumen
yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 6 bulan mendatang tercatat secara
konsisten terus mengalami peningkatan hingga triwulan II 2017 dan walaupun sedikit melambat pada
triwulan III 2017, namun masih berada di area optimis (indeks di atas 100). Berdasarkan komponen
penyusunannya, ekspektasi konsumen yang positif ini didorong oleh kenaikan yang konsisten pada indeks
IIP IIIP Total-pPDRB (%, yoy) 5,04 5,67 5,8 - 6,2 5,5 - 5,9 5,5 - 5,9 Konsumsi Rumah Tangga 5,07 5,60 5,7 - 6,1 5,5 - 5,9 5,4 - 5,8 Konsumsi LNPRT -8,13 5,48 0,7 - 1,1 1,5 - 1,9 1,0 - 1,4 Konsumsi Pemerintah 8,10 3,76 (3,4) - (3,0) 6,5 - 6,9 4,4 - 4,8 Pembentukan Modal Tetap Bruto 4,16 4,59 6,7 - 7,1 7,8 - 8,2 6,8 - 7,2 Ekspor LN 0,53 -3,28 0,4 - 0,8 (0,6) - (0,2) 2,0 - 2,4 Impor LN -3,26 1,42 (1,5) - (1,1) (2,5) - (2,1) (0,8) - (0,4) Net Ekspor Antar Daerah -7,04 -19,69 (7,0) - (6,6) (7,7) - (7,3) 2,9 - 3,3
201620152017
Grafik 7.2. Indeks Ekspektasi Konsumen Jawa Barat Grafik 7.3. Indeks Pengeluaran 3 Bulan Mendatang
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
157
ekspektasi penghasilan, disusul oleh kenaikan pada indeks ekspektasi kegiatan usaha dan terakhir pada
indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja. Kenaikan pada indeks ekspektasi penghasilan salah satunya
didasarkan pada kenaikan tahunan UMK, mengacu kepada formula yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat melalui PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
Percepatan pembangunan infrastruktur yang kembali menjadi fokus pemerintah di tahun 2017 juga
diperkirakan memberikan multiplier effect kepada pendapatan masyarakat. Selain itu, inflasi yang
relatif terkendali juga memberikan dampak positif berupa terjaganya daya beli dan pada akhirnya tingkat
konsumsi masyarakat. Dari sisi moneter, pelonggaran suku bunga kebijakan yang dilakukan sepanjang
tahun 2016 diperkirakan akan terus ditransmisikan kepada penurunan suku bunga kredit di tahun 2017.
Pelonggaran lainnya yakni pada ketentuan LTV (loan to value) berupa penurunan rasio DP (down
payment) untuk pembelian rumah dan kendaraan bermotor yang berlaku sejak Agustus 2016 juga
diperkirakan dapat mendorong konsumsi masyarakat untuk perumahan (KPR) dan kendaraan bermotor di
tahun 2017.
Selain itu, perkiraan penguatan (apresiasi) nilai
tukar rupiah sebagaimana dicantumkan dalam
asumsi dasar ekonomi makro APBN yakni dari
Rp13.500/USD pada APBN-P 2016 menjadi
Rp13.300/USD pada RAPBN 2017 diperkirakan
juga berpotensi mendorong kegiatan konsumsi
masyarakat. Pada Grafik 7.4 di samping, terlihat
bahwa apresiasi nilai tukar rupiah sepanjang
tahun 2016 diikuti oleh peningkatan laju
pertumbuhan impor barang konsumsi di Jawa Barat. Hal ini tidak terlepas dari posisi Jawa Barat sebagai
provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak serta semakin meningkatnya porsi masyarakat kelas
menengah di Jawa Barat dengan kualitas jenis barang yang diminta juga turut meningkat dan umumnya
berbasis impor.
Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi menahan laju pertumbuhan konsumsi rumah
tangga pada tahun 2017, yakni:
1. Kebijakan pemerintah yang kembali tidak menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 2017
2. Kebijakan pemerintah melakukan pencabutan subsidi untuk tarif listrik pelanggan daya 900VA
kelompok Rumah Tangga Mampu (RTM) secara bertahap pada Januari, Maret, dan Mei 2017 dan
pada Juli 2017 sepenuhnya menggunakan tarif non-subsidi.
b. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) / Investasi
Investasi pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh meningkat dibanding triwulan II 2017, yakni
tumbuh pada kisaran 7,8% - 8,2% (yoy). Perkiraan meningkatnya kegiatan investasi tersebut terutama
didorong oleh prospek pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang berlangsung di Jawa Barat, salah
Grafik 7.4 Perkembangan Impor Barang Konsumsi Jawa
Barat dan Nilai Tukar
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
158
satunya Tol Soroja yang diprediksikan dapat mulai dioperasikan pada semester II 2017. Dari sisi swasta,
investasi diperkirakan masih akan terus meningkat khususnya investasi yang bersifat non bangunan atau
barang modal pendukung industri otomotif. Selain untuk memenuhi permintaan dari eksternal (khususnya
negara-negara di kawasan ASEAN), permintaan otomotif diperkirakan juga akan meningkat dari domestik
khususnya dari wilayah-wilayah berbasis SDA seiring dengan meningkatnya pendapatan pasca kenaikan
harga komoditas global.
Sementara itu, untuk keseluruhan tahun 2017 investasi diperkirakan mampu tumbuh pada rentang
6,8% - 7,2% (yoy) atau meningkat dibandingkan realisasi investasi pada tahun 2016. Berdasarkan
komponen penyusunnya, investasi non bangunan yang secara konsisten tumbuh membaik sepanjang
tahun 2016 sejalan dengan terus meningkatnya pertumbuhan impor barang modal, diperkirakan berlanjut
ke tahun 2017 seiring dengan positifnya persepsi pelaku usaha terhadap perekonomian di tahun 2017.
Selain itu, keputusan S&P untuk menaikkan rating Indonesia ke investment grade pada Mei 2017 yang
melengkapi rating sama yang telah diberikan oleh dua lembaga pemeringkat internasional lain sebelumnya
Selain itu, kegiatan pembangunan serta perluasan pabrik yang bersifat multiyears dan diperkirakan
beroperasi pada tahun 2017 juga berpotensi kembali meningkatkan investasi fisik berupa pembelian mesin.
Adapun subsektor industri yang diperkirakan memberikan sumbangan terbesar pada peningkatan investasi
non bangunan ini adalah industri alat angkutan dan industri tekstil & produk tekstil (TPT). Hal ini mengingat
kedua industri ini memiliki kencenderungan untuk menambah varian produknya sebagai bentuk
penyesuaian terhadap perkembangan selera masyarakat. Adapun setiap perubahan model atau varian
produksi membutuhkan mesin dengan spesifikasi yang berbeda.
Di sisi lain, investasi bangunan juga diperkirakan mengalami akselerasi terbatas dengan disertai
dinamika pertumbuhan di setiap triwulannya. Investasi bangunan memberikan pangsa sekitar 70%
terhadap total investasi di Jawa Barat sehingga peningkatannya memberikan daya dorong yang besar
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari sisi pemerintah, penyelesaian berbagai proyek infrastruktur yang
ada di Jawa Barat menjadi pendorong utama pertumbuhan investasi bangunan. Beberapa proyek
infrastruktur strategis ini meliputi Bandara Internasional Kertajati, Tol Cisumdawu sebagai bagian dari Tol
Trans Jawa, Tol Soreang Pasir Koja (Soroja), Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi), kereta cepat Jakarta-
Bandung, LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Tabel 7.3), serta mulai digarapnya proyek pembangunan
Pelabuhan Patimban sebagai pelabuhan internasional pertama di Jawa Barat. Namun demikian, perlu
diwaspadai tantangan pada kapasitas fiskal khususnya Pemerintah Pusat (mengingat mayoritas proyek
strategis ini merupakan wewenang nasional dan menggunakan anggaran K/L).
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
159
Tabel 7.4. Daftar Proyek Infrastruktur Strategis di Jawa Barat
Sumber : Pemerintah Provinsi Jawa Barat & Informasi Anekdotal
Sementara itu, investasi bangunan dari pihak swasta diperkirakan cenderung terbatas selain daripada
proyek pembangunan/perluasan pabrik yang bersifat multiyear mengingat saat ini mayoritas
perusahaan masih berfokus untuk meningkatkan kapasitas utilisasinya yang masih berada di bawah
level optimum. Berdasarkan hasil liaison rata-rata kapasitas utilisasi sektor industri pengolahan di Jawa
Barat sepanjang tahun 2016 berada pada rentang 73% - 78%.
Adapun berdasarkan sumbernya, diperkirakan pertumbuhan investasi di tahun 2017 masih akan ditopang
oleh PMA mengingat mayoritas industri yang ada di Jawa Barat bersifat PMA dan cenderung mengandalkan
pembiayaan dari headquarters dalam kegiatan investasi atau ekspansi usahanya.
c. Ekspor dan Impor Luar Negeri
Ekspor luar negeri pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang (-0,06%) - (-0,2%) (yoy),
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, impor luar negeri juga
diperkirakan tumbuh mealmbat dibandingkan triwulan II 2017, dengan tumbuh pada rentang ( -
2,5%) - (-2,1%) (yoy). Perlambatan permintaan ekspor diperkirakan terutama bersumber dari Amerika
Serikat yang diprediksikan akan mulai mengimplementasikan sejumlah kebijakan pembatasannya terutama
terhadap negara-negara yang disinyalir menciptakan neraca perdagangan negatif dengan Amerika Serikat.
Ekspor luar negeri Jawa Barat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 2,0% - 2,4%
(yoy) sementara impor luar negeri diperkirakan tumbuh pada rentang (-0,8%) - (-0,4)% (yoy), di
No RuasPanjang
(km)Target
Penyelesaian
1 Soreang - Pasir Koja 10.57 20182 Bandung Intra Urban Toll Road 27.30 20103 Cisumdawu 60.10 20194 Bogor - Ciawi - Sukabumi 54.00 20205 Cimanggis - Cibitung 25.90 20196 Cikarang (Cibitung) - Tj. Priok (Cilincing) 34.02 20187 Bogor Ring Road 8.44 20198 Depok - Antasari 19.93 20199 Sukabumi - Ciranjang 28.00 202110 Ciranjang - Padalarang 33.00 202311 Cileunyi - Nagreng - Tasikmalaya 70.00 201912 Tasikmalaya - Ciamis - Banjar 70.00 202213 Banjar - Pangandaran 80.00 2023
1 Bandara Internasional Kertajati - 20182 LRT Terintegrasi Jabodebek 181.00 20193 Kereta Cepat Jakarta - Bandung 142.00 2019
Keterangan : : Sedang Dalam Pengerjaan : Sedang Proses Feasibility Study (FS)
PROYEK JALAN TOL
PROYEK INFRASTRUKTUR LAINNYA
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
160
mana baik perkiraan pertumbuhan ekspor LN ini membaik dibandingkan tahun 2016, sementara
perkiraan impor LN melambat dibandingkan tahun 2016.
Perekonomian global diperkirakan membaik pada tahun 2017, terutama ditopang oleh Amerika Serikat
dan Tiongkok. IMF, Concensus Forecast dan Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global
tahun 2017 pada kisaran 3,4% - 3,6% (yoy) meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2016 yang
diperkirakan pada kisaran 3,1% - 3,2% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun 2017 diproyeksikan pada kisaran 2,2% - 2,4% (yoy)
meningkat dibandingkan tahun 2016 sebesar 1,6% (yoy). Perbaikan ekonomi Amerika Serikat ini didukung
oleh konsumsi dan investasi yang meningkat. Konsumsi Amerika Serikat yang solid tercermin dari
pertumbuhannya yang mencapai 2,5% (yoy) pada triwulan IV 2016. Amerika Serikat merupakan negara
tujuan ekspor utama Jawa Barat dengan pangsa pada tahun 2016 mencapai 20,07%, sedikit meningkat
dibanding tahun 2015 sebesar 19,91%. Adapun jenis barang ekspor utama Jawa Barat ke Amerika Serikat
adalah garmen dengan pangsa mencapai 26,42%, diikuti oleh barang elektronik rumah tangga (12,37%).
Prospek konsumsi Amerika Serikat yang masih solid ini memberikan dorongan positif terhadap prospek
kinerja ekspor luar negeri Jawa Barat, mengingat komoditas ekspor utama Jawa Barat ke AS tergolong
sebagai jenis barang konsumsi tahan lama. Selain itu, risiko geopolitik yang berkembang di Eropa
diperkirakan mulai mereda, tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) Eropa pada April 2017 yang
bahkan mencapai titik tertingginya sejak tahun 2011.
WEO IMF pada April 2017 memperkirakan bahwa pertumbuhan negara berkembang Asia pada tahun 2017
sebesar 6,4% (yoy), relatif stabil dibanding tahun 2016 sebesar 6,4%. Secara gabungan, pangsa ASEAN
sebagai negara tujuan ekspor Jawa Barat pada 2016 mencapai 21,69%. Pangsa ini meningkat dibanding
2015 sebesar 20,59%. Seiring dengan masih lemahnya permintaan dari Eropa, berdasarkan informasi yang
diperoleh melalui wawancara liaison Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, diketahui
bahwa kini sebagian pelaku usaha mulai mengalihkan fokus tujuan ekspornya ke negara-negara
berkembang di kawasan Asia. Sebagai contoh, perusahaan tekstil kini mulai meningkatkan penetrasi
pasarnya ke India, khususnya untuk produk kelas premium. Demikian juga perusahaan-perusahaan
otomotif semakin meningkatkan transaksi perdagangannya dengan negara-negara di kawasan ASEAN
seperti Thailand dan Filipina. Prospek yang positif pada pertumbuhan negara berkembang Asia ini
diperkirakan turut menjadi motor pendorong pertumbuhan Jawa Barat pada tahun 2017.
Harga minyak dunia juga diperkirakan meningkat pada tahun 2017. WEO IMF pada April 2017
memperkirakan bahwa harga minyak (minas & ICP) pada 2017 dapat mencapai 55,2 USD/barel meningkat
dibanding 2016 sebesar 42,8 USD/barel. Berdasarkan regresi sederhana, diketahui bahwa pertumbuhan
harga minyak dunia memiliki korelasi positif yang signifikan dengan pertumbuhan ekspor luar negeri Jawa
Barat (Grafik 7.5). Peningkatan harga minyak dunia menjadi salah satu cerminan dari peningkatan
permintaan dan perdagangan global. Selain itu, harga dari beberapa produk manufaktur Jawa Barat juga
dipengaruhi oleh harga minyak dunia, salah satunya produk tekstil polyester yang bahan bakunya
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
161
menggunakan produk turunan minyak mentah.
Dengan demikian, prospek positif dari harga
minyak dunia diperkirakan juga turut menjadi
salah satu motor pendorong pertumbuhan Jawa
Barat pada tahun 2017.
Dari sisi lapangan usaha, peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi (LPE) Jabar tahun
2017 diperkirakan masih ditopang lapangan
usaha utama Jawa Barat khususnya Industri
Pengolahan serta Perdagangan Besar-Eceran
dan Reparasi Kendaraan. Dalam empat tahun terakhir, industri pengolahan memberikan andil
pertumbuhan rata-rata 2,34% sedangkan Perdagangan memberikan andil rata-rata 0,67%.
Lapangan Usaha Industri Pengolahan pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh pada rentang 4,6%
- 5,0% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan lapangan usaha ini sejalan
dengan pola seasonal Industri Pengolahan yang melambat pada triwulan III 2016 disebabkan berlalunya
momen Ramadhan dan Lebaran yang mendorong permintaan dalam negeri. Namun demikian, menguatnya
permintaan ekspor yang terjadi sejak triwulan I 2017 diperkirakan masih berlangsung seiring dengan
menguatnya perekonomian negara mitra dagang sehingga mampu menahan perlambatan lebih dalam.
Secara keseluruhan tahun, pada tahun 2017, LU Industri Pengolahan diprakirakan tumbuh lebih
tinggi dari tahun 2016 di kisaran 4,7% 5,1%. Prospek pertumbuhan LU Industri Pengolahan didukung
oleh perbaikan permintaan ekspor seiring dengan menguatnya kondisi ekonomi global khususnya ekonomi
negara mitra dagang. Peningkatan ekspor yang signifikan di triwulan I 2017 mempengaruhi optimisme
prospek kinerja LU Industri Pengolahan di keseluruhan tahun 2017. Sejalan dengan kenaikan permintaan
ekspor, permintaan domestik diperkirakan juga meningkat seiring dengan membaiknya harga komoditas
global yang mendorong kenaikan permintaan alat angkutan pendukung industri.
Lapangan Usaha Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Kendaraan pada triwulan III 2017
diperkirakan tumbuh pada rentang 5,5% - 5,9% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Perlambatan lapangan usaha ini sejalan dengan pola seasonal LU Perdagangan yang melambat pada
triwulan III 2016 disebabkan berlalunya momen Ramadhan dan Lebaran yang mendorong permintaan
penjualan retail khususnya makanan minuman dan pakaian. Terlebih lagi, adanya even PON XIX dan
PEPARNAS XV di triwulan III tahun 2016 akan mengakibatkan base year effect untuk pertumbuhan
lapangan usaha ini. Secara keseluruhan tahun, LU Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi
diperkirakan tumbuh lebih tinggi di kisaran 5,7% 6,1% pada tahun 2017. Tingginya kegiatan ekspor-
impor seiring dengan membaiknya kinerja industri pengolahan menjadi motor bagi aktivitas di sub-
Lapangan Usaha Perdagangan. Di sisi ritel, persiapan PILKADA serentak pada tahun 2018 khususnya
kegiatan pemilihan Gubernur dan beberapa kepala daerah di Jabar akan mendorong kenaikan lapangan
usaha ini. Semakin solidnya konsumsi masyarakat yang dipengaruhi menguatnya proyeksi nilai tukar dan
inflasi yang terjaga, serta dampak kenaikan UMK untuk buruh diperkirakan juga menjadi pendorong kinerja
Grafik 7.5. Plotting Pertumbuhan Ekspor LN Jawa Barat
dan Harga Minyak Global
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
162
lapangan usaha ini.Sementara itu, pengaruh tekanan administred prices akan semakin mengecil di akhir
tahun karena penyesuaian yang dilakukan masyarakat.
Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan pada triwulan III 2017 diperkirakan melambat
dibanding triwulan II 2017, yakni tumbuh pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Perkiraan melambatnya
produksi Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan terutama didorong oleh pola seasonal yakni
belum masuknya masa panen raya serta adanya base year effect akibat pertumbuhan yang sangat tinggi
di triwulan III 2016 dimana beberapa kabupaten di Jawa Barat berhasil mencatatkan rekor produksi beras
yang sangat tinggi di lingkup nasional. Namun demikian Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan
Perikanan secara keseluruhan tahun diprakirakan tumbuh stabil. Pertumbuhan lapangan usaha ini
diperkirakan sebesar 5,6% 6,0%, didorong oleh perbaikan sistem irigasi dengan semakin meningkatnya
pengairan dari Waduk Jati Gede, kondisi cuaca yang stabil atau tidak terdapat anomali La Nina maupun El
Nino serta perbaikan harga komoditas karet yang juga dihasilkan oleh perkebunan di Jawa Barat.
Tabel 7.5. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Sisi Pengeluaran
Lapangan Usaha Konstruksi pada triwulan III 2017 diperkirakan meningkat dibanding triwulan II
2017, yakni tumbuh pada kisaran 6,3% - 6,7% (yoy). Peningkatan pertumbuhan konstruksi didorong
oleh penyelesaian proyek infrastruktur pemerintah sejalan dengan realisasi anggaran di tahun 2017 serta
proyek-proyek pembangunan swasta khususnya yang bersifat multiyear. Pada tahun 2017, Lapangan
Usaha Konstruksi diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya yakni sebesar 5,8%
6,02%. Perkembangan lapangan usaha ini terutama didukung oleh berlanjutnya pembangunan
infrastruktur oleh Pemerintah baik proyek satu tahun (tahun 2017) maupun proyek multiyears khususnya
yang ditargetkan selesai pada tahun 2017 seperti BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) serta konstruksi
IIP IIIP Total-pPDRB (%, yoy) 5.67 5,8 - 6,2 5,5 - 5,9 5,5 - 5,9 Pertanian, Peternakan, Kehutanan 5.80 4,6 - 5,0 6,7 - 7,1 5,6 - 6,0 Pertambangan & penggalian -0.97 2,0 - 2,4 0,5 - 0,9 1,5 - 1,9 Industri pengolahan 4.77 4,8 - 5,2 4,6 - 5,0 4,7 - 5,1 Pengadaan Listrik dan Gas 3.37 6,4 - 6,8 4,5 - 4,9 5,4 - 5,8 Pengadaan Air 6.33 6,5 - 6,9 5,5 - 5,9 6,5 - 6,9 Konstruksi 5.02 6,2 - 6,6 6,3 - 6,7 5,8 - 6,2 Perdagangan Besar & Eceran, Rep. Kendaraan 4.44 6,2 - 6,6 5,5 - 5,9 5,7 - 6,1 Transportasi dan Pergudangan 8.84 7,3 - 7,7 6,6 - 7,0 7,2 - 7,6 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 9.31 11,1 - 11,5 8,4 - 8,8 9,6 - 10,0 Informasi dan Komunikasi 14.27 12,4 - 12,8 12,0 - 12,4 11,8 - 12,2 Jasa Keuangan 11.89 4,0 - 4,4 3,8 - 4,2 2,9 - 3,3 Real Estate 6.51 4,6 - 5,0 4,6 - 5,0 4,5 - 4,9 Jasa Perusahaan 8.16 7,8 - 8,2 5,8 - 6,2 6,9 - 7,3 Adm. Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sosial 2.98 1,8 - 2,2 2,2 - 2,6 1,6 - 2,0 Jasa Pendidikan 7.61 8,5 - 8,9 8,5 - 8,9 7,7 - 8,1 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9.48 8,4 - 8,8 6,7 - 7,1 6,6 - 7,0 Jasa lainnya 8.73 9,9 - 10,3 7,3 - 7,7 7,7 - 8,1
20162017
MEI 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
163
swasta seperti pembangunan pabrik otomotif Wuling akan mendorong pertumbuhan di lapangan usaha
ini. Sejalan dengan kondisi fiskal Pemerintah yang membaik dan ekspansi usaha oleh pelaku usaha,
konstruksi diharapkan menyumbang pertumbuhan lebih tinggi di tahun 2017.
Selain beberapa faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, Bank Indonesia tetap mewaspadai beberapa
risiko yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2017, yakni:
1. Kebijakan Pemerintah menaikkan sejumlah tarif pada tahun 2017 berpotensi meningkatkan inflasi dan
menahan daya beli masyarakat
2. Fund Rate) sebanyak 2 hingga 3 kali sepanjang
tahun 2017 berpotensi mendorong arus modal keluar dan melemahkan nilai tukar Rupiah
3. Adanya risiko shortfall penerimaan pajak Pemerintah Pusat yang berpotensi mendorong kembali
dilakukan kebijakan penghematan anggaran pada tahun 2017.
7.2.2. Prospek Inflasi
Di sisi lain, tekanan inflasi diperkirakan sedikit meningkat pada tahun 2017 dibanding tahun 2016 ,
namun masih berada dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2017 sebesar 4%±1%. Secara umum,
perkembangan inflasi Jawa Barat menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2013 dan mencapai titik
terendahnya pada tahun 2015 seiring dengan perlambatan ekonomi dan rendahnya harga komoditas
global.
Untuk keseluruhan tahun, tantangan yang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi terutama bersumber
dari kelompok administered prices antara lain dengan adanya kebijakan reformasi energi yang dilakukan
Pemerintah melalui pencabutan subsidi tarif listrik 900 VA untuk golongan Rumah Tangga Mampu. Propsek
peningkatan harga minyak dunia yang mulai terlihat sejak akhir triwulan I 2016 menjadi risiko yang juga
perlu diwaspadai. Namun demikian, pada akhir tahun inflasi Jawa Barat diperkirakan dapat berada dalam
rentang sasaran inflasi nasional. Secara ringkas, beberapa faktor pendorong dan penahan laju inflasi Jawa
Barat pada tahun 2017 disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 7.6. Upward dan Downward Risk Inflasi Jawa Barat Tahun 2017
Faktor Pendorong (Upside Risk)
Penyesuaian tarif listrik secara bertahap untuk
kelompok pelanggan 900 kVA
Harga minyak dunia yang diperkirakan meningkat
akan mendorong penyesuaian harga BBM
Rencana penerapan skema BBM satu harga
Kenaikan tarif cukai rokok dan biaya administrasi
STNK tahun 2017
Berlanjutnya efek La Nina di awal tahun terhadap
produksi komoditas hortikultura (khususnya aneka
cabai dan bawang merah)
Faktor Penahan (Downside Risk )
Produksi pertanian untuk keseluruhan tahun 2017
diperkirakan lebih baik dibanding tahun 2016 seiring
berlalunya efek La Nina selepas triwulan I 2017
PROSPEK
PEREKONOMIAN
165
Daftar Istilah
ADHB Atas Dasar Harga Berlaku, menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung menggunakan harga pada setiap tahun pada suatu daerah.
ADHK Atas Dasar Harga Konstan, menggambarkan perkembangan produksi riil barang
dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi suatu daerah.
Administered
price
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya
diatur oleh pemerintah.
Andil inflasi Sumbangan perkembangan harga suatu komoditas/kelompok barang/kota
terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan.
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah
dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Bobot inflasi Besaran yang menunjukkan pengaruh suatu komoditas terhadap tingkat inflasi
secara keseluruhan, yang diperhitungkan dengan melihat tingkat konsumsi
masyarakat terhadap komoditas tersebut.
Dana
Perimbangan
Sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung
pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi daerah.
Faktor
Fundamental
Faktor fundamental adalah faktor pendorong inflasi yang dapat dipengaruhi oleh
kebijakan moneter, yakni interaksi permintaan-penawaran atau output gap,
eksternal, serta ekspektasi inflasi masyarakat
Faktor Non
Fundamental
Faktor non fundamental adalah faktor pendorong inflasi yang berada di luar
kewenangan otoritas moneter, yakni produksi maupun distribusi bahan pangan
(volatile foods), serta harga barang/jasa yang ditentukan oleh pemerintah
(administered price)
Imported inflation Salah satu disagregasi inflasi, yaitu inflasi yang berasal dari pengaruh
perkembangan harga di luar negeri (eksternal)
Indeks Ekspektasi
Konsumen
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen
terhadap ekspektasi kondisi ekonomi 6 bulan mendatang, dengan skala 1 100.
Indeks Harga
Konsumen (IHK)
Sebuah indeks yang merupakan ukuran perubahan rata-rata harga barang dan jasa
yang dikonsumsi masyarakat pada suatu periode tertentu. Sejak Januari 2014
menggunakan Tahun Dasar 2012 = 100.
Indeks Kondisi
Ekonomi
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen
terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan skala 1 100.
Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK)
Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi
saat ini dan ekspektasi kondisi ekonomi enam bulan mendatang. Indeks ini
memiliki skala 1 100.
Investasi Kegiatan meningkatkan nilai tambah suatu kegiatan produksi melalui peningkatan
modal.
Inflasi inti Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental
Liaison Kegiatan pengumpulan data/statistik dan informasi yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif yang dilakukan secara periodik melalui wawancara langsung kepada
pelaku ekonomi mengenai perkembangan dan arah kegiatan ekonomi dengan
cara yang sistematis dan didokumentasikan dalam bentuk laporan
PROSPEK
PEREKONOMIAN
166
Migas Minyak dan gas. Merupakan kelompok lapangan usaha industri yang mencakup
industri minyak dan gas.
Mtm Month to month. Perbandingan antara data satu bulan dengan bulan sebelumnya.
Omzet Nilai penjualan bruto yang diperoleh dari satu kali proses produksi.
PDRB Produk Domestik Regional Bruto. Pendapatan suatu daerah yang mencerminkan
hasil kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah tertentu dengan menetapkan
tahun 2010 sebagai Tahun Dasar.
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi suatu daerah seperti hasil pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah.
Perceived risk Persepsi risiko yang dimiliki oleh investor terhadap kondisi perekonomian sebuah
negara
Qtq Quarter to quarter. Perbandingan antara data satu triwulan dengan triwulan
sebelumnya.
Saldo Bersih Selisih antara persentase jumlah respondenyang memberikan jawaban
jumlah responden yang memberikan jawaban
SBT Saldo Bersih Tertimbang. Nilai yang diperoleh dari hasil perkalian saldo bersih
lapangan usaha/subkategori usaha yang bersangkutan dengan bobot lapangan
usaha/subkategori usaha yang bersangkutan sebagai penimbangnya.
Lapangan usaha
ekonomi dominan
Lapangan usaha ekonomi yang mempunyai nilai tambah besar sehingga
mempunyai pengaruh dominan pada pembentukan PDRB secara keseluruhan.
Volatile food Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya
sangat bergejolak karena faktor-faktor tertentu.
West Texas
Intermediate
Jenis minyak bumi yang menjadi acuan untuk transaksi perdagangan minyak
dunia.
Yoy Year on year. Perbandingan antara data satu tahun dengan tahun sebelumnya.
TIM PENYUSUN
PENANGGUNG JAWAB
Wiwiek Sisto Widayat, Ismet Isnono
KOORDINATOR PENYUSUN
Suarpika Bimantoro
EDITOR
Wahyu Ari Wibowo
TIM PENULIS
Rahma Dewi P, Nur Annisa H, Wahyu Putri Pamungkas
KONTRIBUTOR
Fungsi Data Statistik Ekonomi dan Keuangan
Divisi Sistem Pembayaran, Komunikasi dan Layanan Publik
Divisi Pengembangan Ekonomi Daerah
PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
Devy Anggraeni Mulyani
KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI JAWA BARAT
Divisi Advisory Ekonomi dan Keuangan Daerah
Jl. Braga No. 108 Bandung, 40111
No. Telp. (022) 4230223 ext. 8290 No. Fax.(022) 4214326
Email : [email protected]
Softcopy dapat diunduh di http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Ekonomi_Regional/KER/Jabar/