kajian ekonomi dan keuangan regional · grafik 1.17 data pengiriman ternak dari pelabuhan...
TRANSCRIPT
November 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Nusa Tenggara Timur
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Unit Asesmen Ekonomi dan Keuangan
KPW BI Provinsi NTT
Jl. Tom Pello No. 2 Kupang NTT
[0380] 832-047 ; fax : [0380] 822-103
www.bi.go.id
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
ii
Kata Pengantar
Sejalan dengan salah satu tugas pokok Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur di daerah memiliki peran yang sangat penting
dalam memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi kebijakan moneter.
Secara triwulanan KPw BI Provinsi NTT melakukan pengkajian dan penelitian terhadap
perkembangan perekonomian daerah sebagai masukan kepada Kantor Pusat Bank
Indonesia dalam kaitan perumusan kebijakan moneter tersebut. Selain itu kajian/analisis ini
dimaksudkan untuk memberikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
eksternal stakeholder setempat, yaitu Pemda, DPRD, akademisi, masyarakat serta
stakeholder lainnya.
Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Nusa Tenggara Timur ini
mencakup Ekonomi Makro Regional, Perkembangan Inflasi, Perkembangan Perbankan dan
Sistem Pembayaran, Keuangan Pemerintah, Kesejahteraan serta Prospek Perekonomian
Daerah pada periode mendatang. Dalam menyusun kajian ini digunakan data yang berasal
dari internal Bank Indonesia maupun dari eksternal, dalam hal ini dinas/instansi terkait.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ini masih terdapat kekurangan,
oleh karena itu kami mengharapkan masukan dari semua pihak untuk meningkatkan
kualitas isi dan penyajian laporan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, baik dalam bentuk penyampaian data maupun dalam bentuk
saran, kritik, dan masukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Kami mengharapkan
kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama ini, kiranya dapat terus berlanjut di masa
yang akan datang.
Kupang, November 2016
Kepala Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Naek Tigor Sinaga
Deputi Direktur
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
iii
Daftar Isi
Halaman Judul ------------------------------------------------------------------------------------------- i Kata Pengantar ------------------------------------------------------------------------------------------ ii Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------------------- iii Daftar Grafik --------------------------------------------------------------------------------------------- vi Daftar Tabel ---------------------------------------------------------------------------------------------- ix Daftar Gambar ------------------------------------------------------------------------------------------ ix Ringkasan Umum ---------------------------------------------------------------------------------------- x Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur ------------------------------ xiii
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL 1.1 Kondisi Umum ----------------------------------------------------------------------------- 1 1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan ------------------------------------------- 3 1.2.1. Konsumsi --------------------------------------------------------------------------- 4 1.2.2. Pembentukan Modal Tetap Bruto/Investasi --------------------------------- 7 1.2.3. Ekspor dan Impor ----------------------------------------------------------------- 9 1.2.3.1 Ekspor dan Impor Antar Daerah -------------------------------------- 9 1.2.3.2 Ekspor dan Impor Luar Negeri ---------------------------------------- 10 1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral ------------------------------------------------- 11 1.3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan & Perikanan --------------------------------- 12
1.3.2. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial --- 14 1.3.3. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Motor ---- 15 1.3.4. Sektor-Sektor Lainnya ------------------------------------------------------------ 17
BOKS 1. Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT ---------- 21
BAB II KEUANGAN DAERAH 2.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------- 25 2.2 Pendapatan Daerah ---------------------------------------------------------------------- 26 2.3 Belanja Daerah --------------------------------------------------------------------------- 27
2.3.1. Belanja APBN -------------------------------------------------------------------- 30 2.3.2. Belanja Pemerintah provinsi NTT ---------------------------------------------- 30 2.3.3. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota ---------------------------------------- 31
2.4 Dana Pemerintah di Perbankan ------------------------------------------------------ 32
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI 3.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------- 34
3.1.1. Inflasi Bulanan -------------------------------------------------------------------- 35 3.2. Inflasi Berdasarkan Komoditas ------------------------------------------------------- 37
3.2.1. Bahan Makanan ------------------------------------------------------------------ 38 3.2.2. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan ----------------------------- 39 3.2.3. Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau ----------------------------------- 40 3.2.4. Komoditas Lainnya --------------------------------------------------------------- 40
3.3. Disagregasi Inflasi NTT ----------------------------------------------------------------- 41 3.3.1 Volatile foods ---------------------------------------------------------------------- 41 3.3.2 Administered prices --------------------------------------------------------------- 42 3.3.3 Inflasi Inti (Core) ------------------------------------------------------------------- 42
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
iv
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota --------------------------------------------------------- 43 3.4.1 Inflasi Kota Kupang --------------------------------------------------------------- 43 3.4.2 Inflasi Kota Maumere ------------------------------------------------------------ 44
3.5. Perkiraan Inflasi NTT Triwulan IV 2016 dan Sepanjang Tahun 2016 --------- 45 3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID -------------------------------------------- 46 BOKS 2. Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko ------------------------ 48 BOKS 3. Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT ------------------------- 50 BOKS 4. Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K ------------------------------- 53
BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH 4.1. Kondisi Umum ------------------------------------------------------------------------- 57 4.2. Asesmen Kebutuhan Rumah Tangga --------------------------------------------- 58
4.2.1. Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga -------------- 58 4.2.2. Eksposur Rumah Tangga di Perbankan ----------------------------------- 59
4.3. Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM ------------------------------------ 61 4.3.1. Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha ---------------------------------------- 61 4.3.2. Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM -------------------------------- 62 4.3.3. Perkembangan Risiko Kredit UMKM --------------------------------------- 64
4.4. Asesmen Ketahanan Korporasi------------------------------------------------------ 65 4.5. Asesmen Perbankan ------------------------------------------------------------------- 66
4.5.1. Kinerja Bank Umum ----------------------------------------------------------- 66 4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat --------------------------------------------- 68
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH 5.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------- 69 5.2. Transaksi Pembayaran Tunai --------------------------------------------------------- 70
5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) ----- 70 5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) -------------------------- 71 5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL) ----------------------------------------- 72
5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai -------------------------------------------------- 73 5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital --------------------------------------- 73 BOKS 5. LASIANA ---------------------------------------------------------------------------- 74
BAB VI KESEJAHTERAAN DAN KETENAGAKERJAAN 6.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------- 77 6.2. PERKEMBANGAN TENAGA KERJA -------------------------------------------------- 77
6.2.1 Perkembangan Tenaga Kerja Umum --------------------------------------- 77 6.2.2 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Sektor -------------------------- 78 6.2.3 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ---------- 79 6.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan Menurut Status Pekerjaan-------------------- 80 6.2.5 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Besar dan
Sedang --------------------------------------------------------------------------- 81 6.2.6 Perkembangan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT -------------------- 81 6.2.7 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) -------------------------------- 79
6.3. PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN ------------------------------------------------ 82 6.3.1 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP)------------------------------------ 82 6.3.2 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) --------- 83 ---------------------------------------------------------------------------------------------
BAB VI PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH 7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT ------------------------------------------------- 84
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
v
7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I 2017 ----------------------------- 84 7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan ------------------------------------ 84 7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral ----------------------------------------- 86
7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 --------------------------------- 86 7.2 Inflasi ---------------------------------------------------------------------------------------- 88
7.2.1 Inflasi Triwulan-I Tahun 2017 ------------------------------------------------ 88 7.2.2 Inflasi Tahun 2017 -------------------------------------------------------------- 88
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
vi
DAFTAR GRAFIK Grafik 1.1 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibandingkan Nasional------ ------------------------------------------ 2 Grafik 1.2 PDRB & Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT,Bali, NTB & Nasional----- 2 Grafik 1.3 Survei Penjualan Eceran -- -------------------------------------------------- 5 Grafik 1.4 Perkembangan Konsumsi BBM----- --------------------------------------- 5 Grafik 1.5 Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------------------ 5 Grafik 1.6 Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga ---------------------- 5 Grafik 1.7 Indeks Kegiatan Dunia Usaha ---------------------------------------------- 5 Grafik 1.8 Penyaluran Kredit Konsumsi ----------------------------------------------- 5 Grafik 1.9 Perkembangan Survei Konsumen ----------------------------------------- 7 Grafik 1.10 Perkembangan Survei Penjualan Eceran --------------------------------- 7 Grafik 1.11 Proyeksi Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------- 7 Grafik 1.12 Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT --------------------------------- 9 Grafik 1.13 Perkembangan Peti Kemas ------------------------------------------------- 10 Grafik 1.14 Aktivitas Bongkar Muat ---- ------------------------------------------------ 10 Grafik 1.15 Perkembangan Ekspor dan Impor ----------------------------------------- 11 Grafik 1.16 Negara Tujuan Ekspor ------------------------------------------------------- 11 Grafik 1.17 Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau ------------------------ 13 Grafik 1.18 Perkembangan Nilai Tukar Petani ----------------------------------------- 13 Grafik 1.19 Perkembangan Kredit Pertanian ------------------------------------------- 13 Grafik 1.20 Perkembangan SKDU Pertanian ------------------------------------------- 13 Grafik 1.21 Proyeksi SKDU Pertanian ---------------------------------------------------- 14 Grafik 1.22 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah ---------------------------------- 15 Grafik 1.23 Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan ----------------- 15 Grafik 1.24 Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan ---------------------------- 16 Grafik 1.25 Perkembangan Survei Konsumen ---------------------------------------- 16 Grafik 1.26 Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan ---------------------------- 16 Grafik 1.27 Proyeksi SKDU Perdagangan ---------------------------------------------- 16 Grafik 1.28 Perkembangan Tamu Hotel ----------------------------------------------- 17 Grafik 1.29 Perkembangan Penumpang Bandara ----------------------------------- 17 Grafik Boks 1. 1. Perbandingan Rasio Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per
Kapita ------------------------------------------------------------------- 21 Grafik Boks 1.2. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Sektor Listrik dan Gas dengan
PDRB -------------------------------------------------------------------- 21 Grafik 2.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT -------------------------------------- 25 Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN ------------------------------ 26 Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/Kab-Kota ------ 26 Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya
Triwulan-III 2016 -------------------------------------------------------------- 27 Grafik 2.5 Pangsa Belanja Kabupaten/ Kota ------------------------------------------ 28 Grafik 2.6 Perkembangan Realisasi Belanja -------------------------------------------- 29 Grafik 2.7 Perkembangan Realisasi Belanja Modal ----------------------------------- 29 Grafik 2.8 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kab/Kota NTT -------- 29 Grafik 2.9 Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD ---- 31 Grafik 2.10 Realisasi Belanja dan Komponennya Pemerintah Provinsi, dan Kab/Kota di NTT ----------------------------------------------------------- 32 Grafik 2.11 Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT --------------------- 33
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
vii
Grafik 3.1 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional ------------------------------- 35 Grafik 3.2 Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia ----------------------------- 37 Grafik 3.3 Perbandingan Inflasi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara -------------- 37 Grafik 3.4 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ----------------------------------------- 39 Grafik 3.5 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas ---------------------------------------------------------- 39 Grafik 3.6 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ------ 39 Grafik 3.7 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas -------------------- 39 Grafik 3.8 Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi,Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ----------------- 40 Grafik 3.9 Inflasi Kelompok Komoditas Komoditas Makanan Jadi,Minuman Dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas ------------------------- 40 Grafik 3.10 Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur --------------------------------------------- 41 Grafik 3.11 Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 Bulan ke Depan --------------- 43 Grafik 3.12 Inflasi Tahunan Kota Kupang --------------------------------------------- 44 Grafik 3.13 Inflasi Tahunan Kota Maumere ------------------------------------------- 45 Grafik Boks 2.1. Pola Pergerakan Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan
dalam 7 Tahun terakhir --------------------------------------------- 48 Grafik Boks 2.2. Perbandingan Andil Inflasi 14 Komoditas Bahan Makanan
dibandingkan Inflasi Umum di Provinsi NTT -------------------- 48 Grafik Boks 3.1. Inflasi Daging Ayam Bulanan dibandingkan Data Survei
Pemantauan Harga --------------------------------------------------- 50 Grafik Boks 3.2. Harga Daging Ayam Bulanan SPH dibandingkan Estimasi Harga
Inflasi -------------------------------------------------------------------- 50 Grafik Boks 4.1. 31 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di NTT --------------- 54 Grafik 4.1 Kontribusi Konsumsi RT terhadap Agregat ------------------------------- 58 Grafik 4.2 IKK, IKE dan IEK ---------------------------------------------------------------- 58 Grafik 4.3 Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas --------------- 59 Grafik 4.4 Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan ---- 59 Grafik 4.5 Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga ----------------- 60 Grafik 4.6 Pertumbuhan DPK ------------------------------------------------------------- 60 Grafik 4.7 Preferensi DPK Rumah Tangga ---------------------------------------------- 60 Grafik 4.8 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga ----------------------------------------- 60 Grafik 4.9 Kredit Rumah Tangga --------------------------------------------------------- 61 Grafik 4.10 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga --------------------------------------- 61 Grafik 4.11 Perkembangan Dunia Usaha ----------------------------------------------- 62 Grafik 4.12 Kondisi Keuangan ------------------------------------------------------------ 62 Grafik 4.13 Pertumbuhan Kredit UMKM ----------------------------------------------- 63 Grafik 4.14 NPL UMKM -------------------------------------------------------------------- 63 Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha --------------- 63 Grafik 4.16 Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi------------------------ 64 Grafik 4.17 NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ------------------------------------ 65 Grafik 4.18 NPL UMKM 3 Sektor --------------------------------------------------------- 65 Grafik 4.19 Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi -------------------------------- 65 Grafik 4.20 NPL Kredit Sektor Korporasi ------------------------------------------------ 65 Grafik 4.21 NPL Kredit 2 Sektor Korporasi --------------------------------------------- 66 Grafik 4.22 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy) -------------------------------- 67
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
viii
Grafik 4.23 Perkembangan LDR ---------------------------------------------------------- 67 Grafik 4.24 BOPO dan ROA Bank Umum ----------------------------------------------- 68 Grafik 4.25 LDR dan CAR BPR ------------------------------------------------------------ 68 Grafik 4.26 BOPO, ROA, NPL BPR -------------------------------------------------------- 68 Grafik 5.1 Perkembangan Transaksi Tunai --------------------------------------------- 70 Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Kliring -------------------------------------------- 70 Grafik 5.3 Perkembangan Inflow, Outflow dan UTLE -------------------------------- 71 Grafik 5.4 Perkembangan Arus Uang Tunai (Inflow-Outflow) --------------------- 71 Grafik 5.5 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT --------------------------------------- 72 Grafik 5.6 Perkembangan UPAL di Provinsi NTT -------------------------------------- 72 Grafik Boks 5.1. Kegiatan Pemusnahan Uang ---------------------------------------- 76 Grafik Boks 5.2. Frekuensi Kegiatan Kas Keliling dan Dropling ------------------- 76 Grafik Boks 5.3. Selisih Lebih dan Kurang Setoran Bank ---------------------------- 76 Grafik 6.1 Perbandingan Tingkat Pengangguran Provinsi NTT dan Nasional --- 78 Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Prosentase Pengangguran Terendah ------ 78 Grafik 6.3 Perbandingan Jumlah Angkatan Kerja, Pekerja dan Penganggur di
Provinsi NTT --------------------------------------------------------------------- 79 Grafik 6.4 Tren Penyerapan Tenaga Kerja Per-Sektor ------------------------------- 79 Grafik 6.5 Struktur Tenaga Kerja di NTT Bulan Agustus 2016 -------------------- 79 Grafik 6.6 Pertumbuhan Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja ----------------------- 79 Grafik 6.7 Perkembangan Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan --- 80 Grafik 6.8 Perkembangan Angkatan Kerja dan Pekerja Menurut Tingkat
Pendidikan ---------------------------------------------------------------------- 80 Grafik 6.9 Perkembangan Struktur Tenaga Kerja Menurut Status Pekerjaan - 81 Grafik 6.10 Perkembangan Status Pekerjaan Masyarakat -------------------------- 81 Grafik 6.11 Presentase Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur Sedang dan Besar ------------------------------------------------------------ 81 Grafik 6.12 Perkembangan Produktivitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang -------------------------------------------------------------------------- 81 Grafik 6.13 Perkembangan Upah Minimum Provinsi NTT -------------------------- 82 Grafik 6.14 Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU ---------------------------- 82 Grafik 6.15 Perkembangan Nilai Tukar Petani ---------------------------------------- 83 Grafik 6.16 Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor --------------------------- 83 Grafik 6.17 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi
Konsumen-BPS --------------------------------------------------------------- 83 Grafik 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan-I 2017 --------------- 85 Grafik 7.2 Survei Konsumen -------------------------------------------------------------- 85 Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 --------------------- 87
Grafik 7.4 Prediksi Inflasi Tw I 2017 dan 2017 --------------------------------------- 89
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
ix
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Tw-III 2016 ----------- 3 Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan III-
2016 ----------------------------------------------------------------------------- 4 Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan III-
2016 ----------------------------------------------------------------------------- 4 Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT Triwulan III
2016 ------------------------------------------------------------------------------ 6 Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT Triwulan III-2016 --- 8 Tabel 1.5. Realisasi Investasi Modal Asing & Penanaman Modal Dalam Negeri 9 Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan III-2016 - 12 Tabel Boks 1.1. Progres Pembangunan Pembangkit dan Permasalahan yang
Dihadapi ------------------------------------------------------------------ 23 Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten /Kota di Provinsi NTT ------------------------------------------------------------------ 29 Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT ---------------------------------------- 33 Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT ------------------- 33 Tabel 3.1 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT 35 Tabel 3.2 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di Provinsi NTT --------------- 36 Tabel 3.3 Komoditas Penyumbang Deflasi Utama di Provinsi NTT -------------- 37 Tabel 3.5 Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas ---------- 44 Tabel 3.6 Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas -------- 45 Tabel Boks 2.1. Rencana Masa Tanam dan Masa Panen Komoditas Utama
Penyumbang Inflasi di Provinsi NTT tahun 2016 ----------------- 49 Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT --------------------------- 72 Tabel Boks 5.1. Realisasi Kegiatan Perkasan Bank Indonesia di tahun 2016 --- 76
DAFTAR GAMBAR
Gambar Boks 1.1. Peta Penyediaan Listrik dan Rencana Transmisi Kelistrikan di
Provinsi NTT ----------------------------------------------------------- 22 Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara
Timur -------------------------------------------------------------------------- 32 Gambar 3.1 Kegiatan TPID Provinsi NTT Triwulan III 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID ---------------------------------------------------------- 48 Gambar Boks 3.1 Peta Produksi, Distribusi dan Estimasi Kebutuhan Daging Ayam
Ras di NTT -------------------------------------------------------------- 51 Gambar Boks 4.1. Alur Pikir Road Map TPID Provinsi NTT ------------------------- 54 Gambar Boks 4.2. Strategi Pengendalian Inflasi di Provinsi NTT ------------------ 55 Gambar Boks 5.1. Peta Kas Titipan dan Jalur Distribusi Uang di NTT ----------- 74 Gambar Boks 5.2. Bagan Inovasi Perkasan di KPwBI Provinsi NTT ---------------- 75
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
x
Ringkasan Umum
KER Provinsi Nusa Tenggara Timur
November 2016
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan III-2016
mencapai Rp 21,98 triliun dengan pertumbuhan tahunan sebesar 5,14% (yoy),
melambat dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar 5,36% (yoy). Namun angka
tersebut masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang tumbuh sebesar 5,02% (yoy).
Perlambatan terutama berasal dari konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi
sebesar -29,6% (yoy) seiring dengan adanya penghematan anggaran oleh pemerintah
dan adanya penundaan realisasi Dana Alokasi Umum (DAU). Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi triwulan III terutama didukung oleh peningkatan konsumsi
rumah tangga seiring pendapatan masyarakat paska gaji ke-13 dan ke-14 di akhir bulan
Juni, panen komoditas perkebunan dan didukung oleh momen libur keagamaan serta
liburan sekolah. Selain itu didukung pula pertumbuhan investasi yang masih tercatat
tumbuh positif.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-IV diperkirakan
akan cukup stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy) yang didorong oleh percepatan belanja
pemerintah serta konsumsi masyarakat menjelang natal dan liburan sekolah. Secara
keseluruhan, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 akan mengalami sedikit
peningkatan dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,02% (yoy) dan berada pada
rentang 5-5,4% (yoy) terutama berasal dari peningkatan konsumsi masyarakat secara
umum dan pertumbuhan investasi.
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Perkembangan realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan III-
2016 mencapai Rp 18,41 triliun atau telah mencapai 74,39% dari pagu rencana
pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,75 triliun. Di sisi lain, terjadi penyesuaian pagu
belanja pemerintah sebesar Rp 975,45 miliar di triwulan III yang terutama didorong
langkah penghematan anggaran APBN oleh pemerintah pusat. Sementara itu, realisasi
belanja pemerintah tercatat baru mencapai Rp 18,21 triliun atau 53,39% dari pagu
belanja tahun 2016 sebesar Rp 34,11 triliun. Pangsa realisasi belanja masih didominasi
oleh belanja pegawai sebesar 46,11% serta belanja barang dan jasa (19,59%),
sementara belanja modal hanya sebesar 17,31%.
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
xi
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Provinsi NTT pada triwulan III 2016 mengalami penurunan yaitu dari 5,02
(yoy) pada triwulan II 2016 menjadi sebesar 3,07% (yoy) di triwulan III 2016. atau relatif
sama dengan inflasi nasional yang sebesar 3,07% (yoy). Pencapaian tersebut terutama
didorong deflasi yang terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September 2016 seiring
menurunnya inflasi bahan makanan sebagai dampak peningkatan pasokan komoditas
ikan segar, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan. Penurunan juga didukung oleh
turunnya permintaan angkutan udara paska hari raya Idul Fitri dan libur sekolah.
Berdasarkan perkembangan terakhir pada bulan Oktober 2016, Provinsi NTT
kembali mengalami inflasi namun relatif terjaga yaitu hanya sebesar 0,19% (mtm).
Namun demikian, Potensi inflasi tinggi diperkirakan dapat terjadi pada bulan November
dan Desember 2016 seiring dampak cuaca yang berpotensi mengurangi pasokan ikan
segar, sayur-sayuran, dan bumbu-bumbuan serta potensi kenaikan harga daging ayam
ras seiring Hari Raya Natal dan Tahun baru sebagai dampak lanjutan dari kurangnya
suplai day old chick (DOC) di seluruh NTT. Hingga akhir tahun 2016, inflasi diperkirakan
berada pada kisaran 2,4%-2,8% (yoy).
PERKEMBANGAN STABILITAS KEUANGAN
Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Daerah Provinsi NTT pada triwulan
laporan tercatat mengalami penurunan terutama berasal dari beberapa indikator seperti
kredit UMKM yang mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) serta adanya
penurunan pada kredit korporasi. Namun secara umum kondisi SSK masih cukup
terjaga. Hal ini terlihat dari indikator survei konsumen yang menunjukkan peningkatan
optimisme masyarakat pada ekspektasi ekonomi kedepan serta kinerja industri
perbankan secara umum yang masih positif.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Transaksi sistem pembayaran tunai pada triwulan III 2016 mengalami
perlambatan antara lain disebabkan oleh selain perlambatan aktivitas ekonomi paska
pemotongan DAU di 5 pemda, juga disebabkan oleh tingginya pembayaran gaji ke-13
dan 14 serta tunjangan hari raya yang persiapan pembayarannya telah dilakukan pada
triwulan sebelumnya. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai masih tumbuh
cukup tinggi walaupun relatif melambat dibanding triwulan sebelumnya.
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
xii
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi NTT menunjukkan
angka perbaikan yang terlihat dari penurunan TPT dan indikator survei Badan Pusat
Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan peningkatan. Berdasarkan
data BPS, angka pengangguran pada bulan Agustus 2016 tercatat sebesar 76.580
orang menurun dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 87.699 orang yang didukung
oleh cukup tingginya penerapan tenaga kerja pada sektor industri dan jasa
kemasyarakatan.
Sementara itu, Indikator kesejahteraan pada triwulan-III 2016 juga menunjukkan
perbaikan melalui peningkatan Nilai Tukar Petani seiring kenaikan pendapatan pada
sektor Tanaman Padi-Palawija serta Tanaman Perkebunan Rakyat. Kenaikan juga
didukung hasil Survei Konsumen-BI yang menunjukkan peningkatan angka indeks
penghasilan yang didapatkan masyarakat.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Pertumbuhan ekonomi NTT triwulan-I 2017 diperkirakan didorong oleh sektor
perdagangan dan administrasi pemerintahan seiring kegiatan pilkada di daerah di
Provinsi NTT pada bulan Februari 2017. Sementara itu, peningkatan pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2017 didukung oleh pertumbuhan positif pada sektor pertanian,
serta peningkatan pertumbuhan pada sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran
serta administrasi pemerintahan.
Dari sisi inflasi, tren harga yang cukup rendah pada tahun 2016 diperkirakan
berdampak pada peningkatan harga komoditas bahan makanan. Selain itu, kondisi
cuaca yang kurang baik di awal tahun juga dapat berpengaruh pada kondisi pasokan
bahan makanan (sayur-sayuran dan ikan segar) sehingga proyeksi inflasi pada triwulan-I
2017 diperkirakan berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy). Sementara itu, inflasi akhir
tahun 2017 berada pada rentang 4,4-4,8% (yoy) seiring dengan kenaikan harga
komoditas bahan makanan dan adanya potensi tekanan inflasi pada kelompok
administered prices, baik listrik maupun bahan bakar minyak.
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
xiii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur
I. EKONOMI MAKRO REGIONAL
2015 2015
%yoy*) III II III % qtq**) %yoy***)
Berdasarkan Sektor/ Lapangan Usaha (Harga Berlaku)
Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 68,598.5 76,432.5 5.02 20,021.6 20,692.8 21,979.9 5.44 5.14
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 20,447.4 22,665.7 2.93 6,039.3 5,975.6 6,368.2 5.21 1.79
Pertambangan dan Penggalian 1,070.3 1,307.6 6.42 350.6 352.8 394.4 11.63 7.14
Industri Pengolahan 843.7 940.9 5.23 243.5 250.9 265.4 5.01 4.83
Pengadaan Listrik dan Gas 31.8 40.0 10.19 9.2 12.7 13.9 3.79 19.08
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 45.5 47.2 2.07 12.3 12.1 12.8 4.15 -1.04
Konstruksi 7,096.0 7,908.2 5.22 2,051.7 2,207.5 2,405.3 8.85 9.90
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 7,296.7 8,274.0 6.09 2,176.8 2,271.2 2,464.5 8.28 8.48
Transportasi dan Pergudangan 3,566.9 3,976.0 5.49 1,014.8 1,099.2 1,186.0 4.43 8.37
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 422.4 487.1 6.17 127.3 137.7 148.2 7.19 11.57
Informasi dan Komunikasi 5,134.4 5,477.4 7.14 1,416.9 1,414.7 1,511.0 7.30 6.41
Jasa Keuangan dan Asuransi 2,698.9 2,995.5 5.76 781.3 843.5 842.2 -1.77 4.38
Real Estate 1,860.9 2,054.3 3.85 539.7 538.5 567.4 5.33 2.21
Jasa Perusahaan 210.9 235.5 4.61 61.3 61.5 66.4 5.04 1.60
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 8,392.7 9,399.6 7.09 2,461.3 2,639.6 2,721.1 3.42 4.19
Jasa Pendidikan 6,568.2 7,367.7 4.85 1,904.1 1,989.4 2,107.1 4.13 5.09
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,414.6 1,616.4 5.52 413.7 448.6 456.3 1.10 5.52
Jasa lainnya 1,497.0 1,639.5 3.72 417.8 437.4 449.9 2.14 3.47
Berdasarkan Permintaan / Penggunaan (Harga Berlaku)
Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 68,598.5 76,432.5 5.02 20,021.6 20,692.8 21,979.9 5.44 5.14
1. Konsumsi Rumah Tangga 50,952.8 56,027.9 6.33 14,448.8 15,290.1 15,792.4 5.37 7.60
2. Konsumsi Lembaga Non Profit (LNPRT) 2,323.8 2,539.4 4.49 671.5 631.3 677.2 7.83 -2.05
3. Konsumsi Pemerintah 20,592.3 23,705.4 7.97 7,655.1 5,521.4 5,539.7 0.11 -29.46
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 26,693.0 32,505.8 17.19 8,467.2 9,046.6 9,676.6 5.62 3.15
5. Perubahan Inventori 1,024.3 967.6 -15.22 417.2 131.5 136.7 3.14 -69.30
6. Ekspor Luar Negeri 1,382.3 1,608.8 19.99 506.8 354.1 340.4 -3.58 -36.84
7. Impor Luar Negeri 527.2 261.5 -54.99 60.2 74.3 80.3 8.38 40.87
8. Net Ekspor Antar Daerah (Impor) -33,842.9 -40,660.9 18.66 -12,084.8 -10,207.9 -10,102.8 2.81 -16.52
Data Ekspor Impor di Provinsi NTT
Ekspor
Nilai Ekspor Nonmigas (ribu USD) 18,410 24,018 30.46 6,333 6,670 6,977 4.61 10.17
Volume Ekspor Nonmigas (ton) 61,410 83,016 35.18 27,751 24,971 33,102 32.56 19.28
Impor
Nilai Impor Nonmigas (ribu USD) 26,013 5,352 -79.43 93 38 3,388 8835.88 3558.96
Volume Impor Nonmigas (ton) 76,708 3,042 -96.03 511 70 614 770.71 20.23
Ket: Dalam Rp Miliar (ADHB)
*) Total Pertumbuhan 2015 dibandingkan 2014
**) Pertumbuhan Q3 2016 dibandingkan Q2 2016
***) Pertumbuhan Q3 2016 dibandingkan Q3 2015
****) Untuk mengukur pertumbuhan digunakan PDRB Harga Konstan
INDIKATOR 2014 20152016
II. INFLASI
I II III IV I II III IV I II III OKT
Indeks Harga Konsumen
NTT 112.52 113.27 113.15 119.15 118.59 120.07 120.78 125.02 124.56 126.10 124.48 124.72
- Kota Kupang 112.91 113.63 113.50 120.06 119.47 121.09 121.54 126.15 125.64 127.42 125.41 125.63
- Maumere 110.00 110.93 110.85 113.20 112.81 113.42 115.77 117.60 117.50 117.47 118.41 118.72
Laju Inflasi Tahunan (yoy %)
NTT 7.78 8.10 4.13 7.76 5.39 6.01 6.74 4.92 5.04 5.02 3.07 2.93
- Kota Kupang 7.99 8.31 4.27 8.32 5.81 6.57 7.08 5.07 5.16 5.23 3.18 2.98
- Maumere 6.39 6.70 3.19 4.00 2.55 2.24 4.44 3.89 4.16 3.57 2.28 2.59
2016INDIKATOR
2014 2015
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR November 2016|
xiv
II. PERBANKAN
I II III IV I II III IV I II III
A. Bank Umum Konvensional dan Syariah (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain)
1. Total Aset 25,600 28,602 23,316 26,398 27,114 25,600 29,877 32,778 32,750 28,602 30,931 32,321 30,327
2. DPK 18,367 21,478 16,804 18,465 18,895 18,367 19,648 21,581 22,341 21,478 21,945 23,829 22,405
- Giro 3,634 4,372 3,954 5,310 5,015 3,634 5,412 6,290 6,537 4,372 5,604 6,429 5,059
- Tabungan 10,306 11,933 8,515 8,475 8,959 10,306 9,046 9,106 9,644 11,933 10,449 11,150 11,063
- Deposito 4,427 5,173 4,336 4,680 4,922 4,427 5,190 6,186 6,159 5,173 5,893 6,250 6,283
3. Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek 17,698 20,284 15,695 16,587 17,153 17,698 17,843 18,908 19,742 20,284 20,525 21,731 22,383
- Modal Kerja 5,261 6,110 4,385 4,822 5,061 5,261 5,260 5,698 6,072 6,110 6,127 6,693 7,050
- Investasi 1,536 1,650 1,343 1,443 1,443 1,536 1,533 1,641 1,570 1,650 1,567 1,696 1,661
- Konsumsi 10,900 12,524 9,968 10,322 10,649 10,900 11,049 11,569 12,100 12,524 12,830 13,342 13,672
4. Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 17,094 19,492 15,071 15,947 16,532 17,094 17,226 18,198 18,897 19,492 19,556 20,845 21,508
- Modal Kerja 5,252 5,922 4,322 4,742 5,008 5,252 5,218 5,626 5,848 5,922 5,748 6,409 6,764
- Investasi 1,309 1,381 1,115 1,201 1,235 1,309 1,318 1,359 1,338 1,381 1,317 1,442 1,472
- Konsumsi 10,534 12,189 9,634 10,004 10,289 10,534 10,690 11,212 11,710 12,189 12,491 12,995 13,272
LDR (%) 93.1% 90.8% 89.7% 86.4% 87.5% 93.1% 87.7% 84.3% 84.6% 90.8% 89.1% 87.5% 96.0%
Kredit UMKM 5,329 6,301 4,324 4,922 5,176 5,329 5,422 5,814 6,180 6,301 6,395 6,933 7,308
B. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain)
Total Aset 415 510 343 355 374 415 437 454 482 510 535 545 572
Dana Pihak Ketiga 309 381 250 257 275 309 311 331 353 381 403 412 434
Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 319 366 270 294 306 319 330 349 354 366 368 389 421
LDR (%) 79.4% 76.7% 82.6% 85.6% 84.1% 79.4% 80.5% 82.4% 80.5% 76.70% 77.6% 79.8% 77.9%
C. Grand Total (A+B) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain)
1. Total Aset 26,016 29,112 23,660 26,753 27,487 26,016 30,314 33,233 33,232 29,112 31,466 32,866 30,900
2. Dana Pihak Ketiga 18,676 21,859 17,055 18,723 19,170 18,676 19,959 21,912 22,694 21,859 22,348 24,241 22,839
3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 17,413 19,849 15,341 16,241 16,838 17,413 17,556 18,546 19,250 19,858 19,924 21,235 21,929
D. Pangsa BPR Terhadap Grand Total
1. Total Aset (%) 1.6% 1.8% 1.5% 1.3% 1.4% 1.6% 1.4% 1.4% 1.4% 1.8% 1.7% 1.7% 1.9%
2. Dana Pihak Ketiga (%) 1.7% 1.7% 1.5% 1.4% 1.4% 1.7% 1.6% 1.5% 1.6% 1.7% 1.8% 1.7% 1.9%
3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang (%) 1.8% 1.8% 1.8% 1.8% 1.8% 1.8% 1.9% 1.9% 1.8% 1.8% 1.8% 1.8% 1.9%
III. SISTEM PEMBAYARAN
I II III IV I II III IV I II III
Transaksi Tunai
Inflow (Rp. Triliun) 3.4 3.7 1.4 0.7 0.8 0.5 1.8 0.5 0.8 0.5 1.8 0.7 0.9
Outflow (Rp. Triliun) 4.6 5.6 0.3 0.8 1.3 2.1 0.4 0.9 1.7 2.6 0.3 1.7 1.3
Uang Palsu (lembar) 72 1098 14 11 39 8 27 966 52 53 25 89 38
Transaksi Non Tunai
Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp. Triliun) 92.71 136 14.18 13.05 29.84 35.63 34.61 43.75 41.55 15.84 8.69 6.76 0.00
Volume Transaksi BI-RTGS (lembar warkat) 33,747 21,758 7,809 7,868 8,776 9,294 5,984 6,086 5,877 3,811 323 335 0.00
Kliring
Nominal Kliring Penyerahan (Rp. Triliun) 3.79 6.32 0.84 0.85 0.91 1.19 0.99 0.93 1.38 3.01 3.11 3.36 2.81
Volume Perputaran Kliring Penyerahan (lembar warkat) 152,284 201,975 34,677 36,188 37,809 43,610 39,971 40,708 48,453 72,843 67,315 75,723 73,560
Cek/BG Kosong 897 1,203 179 175 276 267 300 254 342 307 229 247 244
BI-RTGS
To NTT
2016INDIKATOR 2014
20152015
2014
INDIKATOR2014
2014 201520162015
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 1
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-III 2016 mengalami
pertumbuhan namun cenderung melambat dibandingkan triwulan II-2016.
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan III-2016 tercatat sebesar 5,14% (yoy)
melambat dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar 5,36% (yoy). Namun angka
tersebut masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang tumbuh sebesar 5,02%
(yoy).
Dari sisi penggunaan, pertumbuhan terutama didorong oleh konsumsi rumah
tangga, sementara dari sisi sektoral didorong oleh Sektor Kontruksi dan sektor
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.
Sementara itu, tracking pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV diperkirakan
mengalami pertumbuhan yang positif. Di sisi lain secara keseluruhan, pertumbuhan
ekonomi Provinsi NTT tahun 2016 diperkirakan berada pada kisaran 5-5,4% (yoy)
dan berada pada titik lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,02%
(yoy).
1.1 Kondisi Umum
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan III-
2016 mencapai Rp 21,98 triliun dan mencatat pertumbuhan sebesar 5,14%
(yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan ekonomi didorong oleh konsumsi rumah
tangga yang tumbuh sebesar 7,6%(yoy). Pertumbuhan ini terutama disumbang oleh
konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang tumbuh sebesar 16,55%
(yoy) dan diperkirakan turut disebabkan oleh masih tingginya belanja masyarakat paska
pemberian gaji 13 dan 14 di akhir bulan Juni, adanya panen komoditas perkebunan
seperti jambu mete dan kakao, serta dorongan kegiatan proyek yang membuka
lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Adanya kegiatan pameran REI Expo 2016 di
kota Kupang juga mendorong belanja di bidang perumahan. Pertumbuhan cukup
tinggi juga terjadi pada komponen restoran dan hotel sebesar 52,05% (yoy) yang
ditunjang beberapa kegiatan bersifat nasional di NTT, seperti Hari Keluarga Nasional
(Harganas), Expo Alor X dan Sunda Kecil Expo. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi
pemerintah yang kontraksi sebesar -29,46% (yoy), secara umum menyebabkan
melambatnya pertumbuhan dibandingkan triwulan-II.
Dari sisi sektoral, sektor kontruksi serta sektor perdagangan besar dan eceran,
reparasi mobil dan sepeda motor menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi
Provinsi NTT pada triwulan-III yang diperkirakan turut didorong peningkatan kegiatan
proyek pemerintah dan swasta serta dorongan belanja masyarakat seiring peningkatan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 2
pendapatan masyarakat serta panen komoditas perkebunan. Sementara itu,
perlambatan pada sisi sektoral terutama berasal dari sektor administrasi pemerintahan,
pertahanan dan jaminan sosial wajib serta jasa keuangan dan asuransi.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-III
yang sebesar 5,14% tercatat masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang
tumbuh sebesar 5,02% (yoy) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang
sebesar 3,47%. Pertumbuhan di tingkat nasional terutama didorong oleh konsumsi
rumah tangga, namun secara umum melambat dibandingkan triwulan-II yang terutama
didorong perlambatan sektor konsumsi pemerintah. Hal yang sama juga terjadi pada
Provinsi NTB yang mengalami perlambatan di sektor pertambangan, namun masih
terdorong oleh sektor perdagangan seiring perayaan keagamaan (Idul Fitri dan Idul
Adha). Sementara itu, provinsi Bali masih dapat tumbuh sebesar 6,17% (yoy) dan
tercatat diatas pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT walaupun mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan-II. Sektor akomodasi dan penyediaan makan minum masih
menjadi penyumbang utama dengan pertumbuhan 7,86% (yoy).
Grafik 1.1. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibanding Nasional
Grafik 1.2. PDRB dan Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT, Bali, NTB dan Nasional
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-IV diperkirakan akan
cenderung stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan IV
diperkirakan didorong oleh percepatan belanja pemerintah yang baru mencapai
53,39% hingga triwulan-III 2016. Meskipun demikian, adanya penundaan realisasi
Dana Alokasi Umum (DAU) oleh Pemerintah Pusat yang diperkirakan baru dapat
ditransfer pada bulan Desember dapat menjadi penghambat optimalisasi realisasi
belanja. Selain itu, pertumbuhan juga diperkirakan dapat didorong oleh konsumsi
rumah tangga seiring libur natal, menjelang tahun baru dan liburan sekolah. Adanya
panen ke-2 komoditas padi dan masih berjalannya proyek-proyek pemerintah dan
swasta diharapkan pula dapat menjaga pertumbuhan ekonomi di triwulan-IV.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 3
Di sisi lain, Pertumbuhan ekonomi NTT pada sepanjang tahun 2016
diperkirakan mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2015 dan
berada pada rentang 5-5,4% (yoy). Pertumbuhan terutama disebabkan oleh
dorongan sektor konstruksi seiring perkembangan kegiatan proyek-proyek pemerintah
seperti bendungan, irigasi, jalan, Pos Lintas Batas Negara, gedung pemerintahan dan
sarana publik lainnya (sekolah dan rumah sakit). Selain itu kegiatan konstruksi juga
dilakukan oleh BUMN dan Swasta seperti pengembangan dermaga dan Bandara, serta
pembangunan sarana perbelanjaan dan hotel. Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 juga
didorong oleh sektor perdagangan besar dan eceran seiring peningkatan pendapatan
masyarakat di tahun 2016 melalui adanya gaji ke-13 dan ke-14, peningkatan
pendapatan sektor pertanian, perikanan dan perkebunan serta dorongan pembukaan
lapangan kerja baru melalui kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta. Sektor
lain yang menjadi pendorong di tahun 2016 adalah sektor Administrasi Pemerintahan
seiring dengan realisasi gaji ke-13 dan ke-14 PNS, peningkatan realisasi belanja serta
realisasi anggaran dana desa dan alokasi dana desa. Di sisi lain, adanya penundaan
DAU dan dampak La Nina diperkirakan menjadi resiko penghambat utama pencapaian
proyeksi pertumbuhan ekonomi NTT di penghujung tahun 2016.
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan
Pada triwulan III 2016 pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga
tercatat menjadi pendorong utama perekonomian NTT dengan pertumbuhan
sebesar 7,60% (yoy). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut terutama
berasal dari konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga serta konsumsi
restoran dan hotel. Namun secara umum, pertumbuhan tersebut terhambat oleh
kontraksi pada sektor konsumsi pemerintah yang cukup dalam sebesar -29,46% (yoy)
seiring penghematan anggaran pemerintah dan penundaan realisasi DAU.
Tabel 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Triwulan III-2016
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
2015
2014 2015 TW III TW II TW III1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 50,952,750 56,027,892 14,448,773 15,290,144 15,792,434 71.8 7.60
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 2,323,762 2,539,408 671,518 631,294 677,222 3.1 -2.05
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 20,592,320 23,705,393 7,655,085 5,521,369 5,539,655 25.2 -29.46
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 26,693,029 32,505,797 8,467,247 9,046,634 9,676,617 44.0 3.15
5. Perubahan Inventori 1,024,332 967,562 417,152 131,462 136,664 0.6 -69.30
6. Ekspor Luar Negeri 1,382,328 1,608,842 506,776 354,132 340,422 1.5 -36.84
7. Impor Luar Negeri 527,152 261,549 60,163 74,286 80,328 0.4 40.87
8. Net Ekspor Antar Daerah (33,842,869) (40,660,869) (12,084,768) (10,207,917) (10,102,772) -46.0 -16.52
P D R B 68,598,500 76,432,477 20,021,620 20,692,833 21,979,913 100.0 5.14
UraianYOY
Bobot2016
yoy
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 4
1.2.1 Konsumsi
Pengeluaran konsumsi secara umum pada triwulan-III 2016 tercatat
mengalami kontraksi sebesar -4,28% (yoy). Kontraksi terutama didorong oleh
penurunan konsumsi pemerintah yang mencapai -29,46% (yoy). Sementara itu,
perkembangan pada setiap komponen pembentuk konsumsi adalah sebagai berikut:
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan-III sebesar 7,60%
(yoy) meningkat dibandingkan triwulan II yang sebesar 5,87% (yoy).
Pertumbuhan terutama didorong oleh konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah
tangga yang tumbuh sebesar 16,55% (yoy) seiring peningkatan pendapatan
masyarakat paska gaji ke-13 dan ke-14 di akhir bulan Juni, panen komoditas
perkebunan dan didukung pameran perumahan yang diselenggarakan oleh Real
Esatate Indonesia (REI) di Kota Kupang. Dorongan konsumsi juga ditopang oleh
tingginya pertumbuhan komponen konsumsi restoran dan hotel yang mencapai
52,05% seiring adanya beberapa kegiatan bersifat nasional di Provinsi NTT, seperti Hari
Keluarga Nasional, Alor Expo X dan Sunda Kecil Expo serta dorongan liburan sekolah.
Pertumbuhan konsumsi juga terjadi pada konsumsi pakaian dan alas kaki serta
kesehatan dan pendidikan yang diperkirakan seiring dengan peningkatan belanja
menjelang masa ajaran baru pada bulan Juli.
Tabel 1.2. PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan III-2016
Sumber: BPS (diolah)
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga dapat terlihat dari hasil Survei
Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia yang menunjukkan peningkatan pada periode
triwulan III tahun 2016 yang terutama didorong oleh usaha bahan bakar kendaraan
bermotor dan suku cadang dan aksesori, bahan bakar kendaraan bermotor, serta
makanan, minuman dan tembakau. Pertumbuhan juga terjadi pada konsumsi BBM
(Premium, Pertamax, Minyak Tanah, Solar dan Bio Solar) yang meningkat sebesar 2,5%
(yoy) setelah dilakukan konversi ke dalam rupiah.
2015
2014 2015 TW III TW II TW IIIKons Makanan dan Minuman 20,652,675 22,787,208 5,703,549 6,279,283 6,304,233 39.9 5.64
Kons Pakaian & Alas Kaki 1,981,604 2,221,724 615,414 611,510 724,907 4.6 10.29
Kons Perumahan & Perl RT 9,354,500 9,643,623 2,550,919 2,452,525 3,039,331 19.2 16.55
Kesehatan & Pendidikan 3,717,431 4,358,224 1,086,004 1,163,667 1,289,750 8.2 14.51
Transportasi & Komunikasi 12,226,260 12,900,929 3,584,013 3,632,993 3,191,676 20.2 -4.40
Restoran & Hotel 1,311,689 2,683,934 484,921 720,896 750,470 4.8 52.05
Konsumsi Lainnya 1,708,591 1,432,250 423,953 429,271 492,066 3.1 10.45
Konsumsi 50,952,750 56,027,892 14,448,773 15,290,144 15,792,434 100.0 7.60
UraianYOY 2016
Bobot yoy
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 5
Grafik 1.3. Survei Penjualan Eceran Grafik 1.4. Perkembangan Konsumsi BBM
Sumber : Bank Indonesia Sumber : PT Pertamina, diolah
Berdasarkan indikator lainnya, yaitu Indeks Tendensi Konsumen (ITK)-
BPS, Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)-BI dan konsumsi listrik juga terjadi
kenaikan yang mendukung pertumbuhan ekonomi pada triwulan-III. Angka ITK
tercatat sebesar 106,14 meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 103,87.
Sementara itu, konsumsi listrik rumah tangga tercatat mengalami peningkatan sebesar
11,11% (yoy). Pertumbuhan juga terlihat dari indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) yang masih mencatatkan pertumbuhan positif walaupun mengalami
perlambatan. Trend pertumbuhan serupa juga terjadi pada penyaluran kredit konsumsi
yang tumbuh sebesar 11,8% (yoy) pada triwulan-III dengan outstanding sebesar Rp
13,52 triliun dan tercatat melambat dibandingkan pertumbuhan kredit di triwulan-II
yang sebesar 15,3% (yoy).
Grafik 1.5. Indeks Tendensi Konsumen Grafik 1.6. Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga
Sumber : BPS, diolah Sumber : PT PLN, diolah
Grafik 1.7. Indeks Kegiatan Dunia Usaha Grafik 1.8. Penyaluran Kredit Konsumsi
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 6
Komponen Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga
(LNPRT) tercatat kontraksi sebesar -2,05% (yoy). Kontraksi tersebut diperkirakan
turut disebabkan oleh tingginya konsumsi LNPRT pada triwulan III-2015 seriring
penyelenggaraan pilkada di 8 kabupaten di Provinsi NTT, yaitu Kab. Manggarai, Kab.
Manggarai Barat, Kab. Ngada, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor
Tengah Utara, Kab. Belu, dan Kab. Malaka.
Kontraksi yang cukup dalam terjadi pada konsumsi pemerintah di
triwulan III-2016. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat -29,46% (yoy) yang
terutama disebabkan oleh penghematan anggaran dan adanya penundaan DAU yang
cukup berpengaruh pada konsumsi individu dan kolektif pemerintah. Konsumsi individu
tercatat tumbuh negatif yang merupakan pengeluaran pemerintah untuk kepentingan
rumah tangga individu tercatat menurun sebesar -46,2% (yoy). Sementara konsumsi
kolektif yang merupakan pengeluaran pemerintah untuk kepentingan masyarakat
secara umum tercatat menurun -16,4% (yoy).
Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT Triwulan III-2016
Sumber: BPS (diolah)
Sementara itu, berdasarkan data realisasi belanja konsumsi Pemerintah (APBN,
APBD Kab/Kota, APBD Provinsi) hingga akhir triwulan III-2016 di NTT tercatat telah
mencapai Rp 15,06 triliun atau 59,59% dari pagu anggaran 2016. Jumlah tersebut
mengalami peningkatan sebesar 23,91% (yoy) dari realisasi belanja konsumsi pada
triwulan-III 2015 yang hanya mencapai Rp 12,15 triliun. Berdasarkan komponen belanja
konsumsi terjadi peningkatan 5,4% (yoy) atau Rp 306,05 miliar dari realisasi triwulan III,
namun terdapat beberapa komponen yang mengalami penurunan diantaranya belanja
pegawai -7,6% (yoy) dan bantuan sosial (-89,8%).
Perkembangan pada triwulan berjalan menunjukkan adanya optimisme
stabilnya tingkat pertumbuhan. Berdasarkan hasil survei konsumen-Bank Indonesia
hingga bulan Oktober, terlihat bahwa angka indikator Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK), Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
masih menunjukkan angka cukup stabil dibandingkan bulan September serta masih
diatas 100 yang mengindikasikan masih positifnya optimism konsumen untuk
menghadapi triwulan III atau IV??. Angka ini juga didukung oleh perkembangan Survei
2015
2014 2015 TW III TW II TW IIIKons Kolektif Pemerintah 11,865,895 13,704,950 4,209,217 3,581,367 3,573,739 64.5 -16.4
Kons Individu Pemerintah 8,726,426 10,000,443 3,445,868 1,940,002 1,965,915 35.5 -46.2
Konsumsi Pemerintah 20,592,320 23,705,393 7,655,085 5,521,369 5,539,655 100.0 -29.5
UraianYOY 2016
Bobot yoy
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 7
Penjualan Eceran yang masih mengalami trend peningkatan. Sementara itu, Indeks
Tendensi Konsumen (ITK) BPS cenderung menunjukkan proyeksi perlambatan di
triwulan-IV namun masih positif diatas 100. Optimisme ini diperkirakan didukung pula
oleh masih berlangsungnya panen komoditas perkebunan di triwulan-IV, rencana
panen komoditas padi dan kegiatan proyek-proyek yang masih berlangsung. Adanya
momen perayaan natal dan libur sekolah juga diperkirakan dapat mendorong
peningkatan konsumsi masyarakat di akhir tahun. Sementara itu, masih cukup
rendahnya persentase realisasi belanja pemerintah hingga triwulan III diperkirakan
mendorong peningkatan konsumsi pemerintah pada triwulan-IV. Adanya rencana
pencairan DAU di bulan Desember juga diharapkan dapat diantisipasi oleh Pemerintah
Daerah untuk rencana optimalisasi realisasi.
Grafik 1.9. Perkembangan Survei Konsumen
Grafik 1.10. Perkembangan Survei Penjualan Eceran
Sumber : SK Bank Indonesia Sumber: SPE Bank Indonesia
Grafik 1.11. Proyeksi Indeks Tendeksi Konsumen
Sumber : BPS Provinsi NTT
1.2.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ Investasi
Pertumbuhan PMTB/ Investasi di NTT pada triwulan III-2016 tercatat
mengalami pertumbuhan sebesar 3,15% (yoy) meningkat apabila dibandingkan
triwulan-II yang hanya sebesar 0,67% (yoy). Peningkatan terutama terjadi pada
komponen PMTB bangunan yang meningkat sebesar 13,9% (yoy) seiring dengan
peningkatan kegiatan proyek-proyek pemerintah seperti keberlanjutan pembangunan
bendungan (Raknamo dan Rotiklot), sarana irigasi, jalan negara dan provinsi, jembatan, Sumber : KBI Kupang
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 8
pengembangan pelabuhan, pembangunan Pos Lintas Batas Negara, sarana publik
(sekolah) dan pembangunan Pasar, diantaranya Lipa di Kab. Alor dan Pasar Larantuka.
Pembangunan investasi BUMN dan swasta seperti sarana belanja, pembangkit listrik
dan hotel juga turut menyumbang pertumbuhan. Sementara itu, PMTB Non Bangunan
mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -31,1% (yoy) yang diperkirakan seiring
penurunan investasi untuk barang-barang investasi seperti mesin-mesin, alat angkutan
dan barang investasi tahan lama lainnya seiring cukup tingginya pertumbuhan PMTB
Non Bangunan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT Triwulan III-2016
Sumber: BPS (diolah)
Data realisasi investasi BKPM dan Penjualan Semen menunjukkan
adanya pertumbuhan investasi yang positif di Provinsi NTT pada triwulan-III
2016. Berdasarkan data BKPMD Provinsi NTT, pada triwulan-III 2016 telah terealisasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar
US$ 8,76 juta dan Rp 269,59 miliar. Angka ini masih positif meskipun menurun
dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat US$ 22,58 juta dan Rp 505,62 miliar. Total
realisasi investasi NTT hingga triwulan III mencapai US$ 40,78 Juta dan Rp 1,14 triliun.
Secara spasial, realisasi investasi terbanyak tercatat di Kab. Sumba Timur dengan 6
perusahaan dan total investasi mencapai US$ 409.238 dan Rp 152,44 miliar.
Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang perkebunan, pertanian dan hotel.
Di sisi lain Kab. Kupang tercatat 2 investasi (industri logam dan kimia) dengan nilai
investasi US$ 618.840 dan Rp 7,98 miliar, Kab. Rote 3 investasi (hotel dan industri
kimia) dengan nilai investasi US$ 6,48 juta dan Rp 83,83 miliar, Kab. Manggarai Barat 4
investasi (wisata tirta, restoran dan hotel) dengan nilai investasi sebesar US$ 1,25 juta
dan Rp 25,33 miliar serta Kab. Timor Tengah Utara (TTU) dengan satu investasi di
bidang jasa pertambangan dan bernilai investasi US$ 1000 serta Rp 12,9 miliar. Dari
indikator penjualan semen, terlihat adanya pertumbuhan realisasi penjualan semen
sebesar 27,2% (yoy) yang mendukung peningkatan investasi di bidang bangunan pada
triwulan III-2016.
2015
2014 2015 TW III TW II TW IIIPMTB Bangunan 20,049,429 24,648,097 6,447,564 6,558,857 7,776,078 80.4 13.9
PMTB Non Bangunan 6,643,600 7,857,700 2,019,682 2,487,776 1,900,539 19.6 -31.1
PMTB 26,693,029 32,505,797 8,467,247 9,046,634 9,676,617 100.0 3.1
UraianYOY 2016
Bobot yoy
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 9
Tabel 1.5. Realisasi Investasi Modal Asing & Penanaman Modal Dalam Negeri
Grafik 1.12. Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT
Sumber : BKPMD NTT, diolah Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Sementara itu, berdasarkan tracking triwulan berjalan, diperkirakan
perkembangan PMTB/Investasi akan tumbuh postif walaupun sedikit melambat
dibandingkan triwulan-III. Pertumbuhan sektor investasi yang melambat diperkirakan
terjadi karena proses kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta yang sudah cukup
masif dimulai pada triwulan-III serta adanya penundaan anggaran DAU dan DAK yang
menyebabkan pembatalan kegiatan proyek yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah.
Namun, pertumbuhan masih dapat didorong oleh keberlanjutan penyelesaian proyek di
triwulan IV dan beberapa kegiatan investasi baru seperti penambahan dua unit Electric
Rubber Tyred Gantry (E-RTG) baterei senilai Rp 36 miliar dan truk trailer pada PT.
Pelindo III cabang Tenau serta kegiatan BTN Expo yang dapat mendorong peningkatan
penjualan perumahan di NTT.
1.2.3 Ekspor Impor
1.2.3.1 Ekspor-Impor Antar Daerah
Net impor antar daerah di Provinsi NTT pada triwulan III-2016 tercatat
mengalami kontraksi sebesar -16,52% (yoy). Sesuai data BPS, perlambatan impor
didorong oleh adanya penurunan nominal pada komponen PDRB impor antar daerah
sebesar Rp 2,79 triliun atau sebesar -17,47% (yoy), kondisi cuaca yang kurang
mendukung diperkirakan turut menghambat pengiriman barang ke dalam Provinsi NTT.
Selain itu, penurunan kebutuhan masyarakat untuk barang investasi non bangunan
juga diperkirakan mendorong penurunan impor. Di sisi lain, ekspor antar daerah dari
provinsi NTT juga mengalami penurunan sebesar Rp 811,45 miliar atau turun sebesar -
24,02%. Penurunan lebih dalam pada ekspor antar daerah dapat tertahan oleh
pengoperasian kapal ternak, peningkatan kebutuhan sapi memasuki masa Idul Adha di
daerah lain, serta ekspor komoditas utama seperti garam dari Sabu Raijua dan jambu
mete. Sementara itu, berdasarkan kegiatan pengiriman peti kemas di Pelabuhan Tenau
Uraian Tw-I Tw-II TW-III
PMA (US$) 9,440,669 22,578,115 8,763,601
PMA (Rp) (781,708,200)
PMDN (Rp) 505,619,508,200
PMA (US$)
40,782,386 Total
PMA+PMDN (Rp)
1,143,808,020,774
369,374,956,150 269,595,264,624
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 10
sebagai pelabuhan utama, sebenarnya tercatat adanya peningkatan sebesar 10,9%
(yoy). Namun disisi lain, kegiatan bongkar muat menunjukkan angka penurunan
bongkar sebesar -31,7% (yoy) dan muat sebesar -91,4% (yoy) walaupun net bongkar
masih mencatat peningkatan sebesar 25.755 ton atau 67,4% (yoy). Penurunan
bongkar dan muat ini menjadi indikasi menurunnya kegiatan ekspor dan impor barang
bersifat curah ke Provinsi NTT.
Grafik 1.13. Perkembangan Peti Kemas Grafik 1.14. Aktivitas Bongkar Muat
Sumber : Pelindo III, diolah Sumber : Pelindo III, diolah
Pada triwulan IV diperkirakan net impor akan mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan net impor diperkirakan terjadi seiring peningkatan kebutuhan masyarakat
terutama untuk bahan pokok dalam rangka menyambut natal, tahun baru dan musim
liburan sekolah. Selain itu, keperluan barang-barang modal dan tersier dari daerah lain
juga diperkirakan mendorong peningkatan impor. Sementara dari sisi ekspor,
pengiriman komoditas perkebunan seperti jambu mete dan kakao serta produksi garam
dari Kab. Sabu Raijua dan Kab. Kupang juga akan menopang kegiatan ekspor antar
daerah di Provinsi NTT walaupun secara umum masih terjadi net impor seiring
terbatasnya produksi komoditas lokal yang bernilai tambah tinggi.
1.2.3.2 Ekspor-Impor Luar Negeri
Sementara itu, ekspor luar negeri Provinsi NTT juga masih mengalami
trend kontraksi seperti triwulan-II. Tercatat konstraksi ekspor sebesar -46,01%
(yoy). Berdasarkan data ekspor-impor Bank Indonesia, pada triwulan-III 2016 Provinsi
NTT mengalami net ekspor sebesar US$ 3,59 juta dengan tujuan ekspor utama negara
Timor Leste dan komoditas utama semen, kendaraan bermotor, ikan tuna/tongkol,
garam dan ikan olahan. Sementara impor utama berasal dari Tiongkok yaitu barang-
barang industri lainnya seperti mesin-mesin/pesawat mekanik.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 11
Grafik 1.15.Perkembangan Ekspor dan Impor
Grafik 1.16. Negara Tujuan Ekspor
Sumber : Cognos BI, diolah Sumber : Cognos BI, diolah
Aktivitas ekspor luar negeri NTT pada triwulan-IV 2016 diperkirakan
tumbuh positif meskipun masih terbatas. Peningkatan ekspor diperkirakan
ditopang oleh ekspor komoditas ikan serta barang tersier lainnya seperti kendaraan dan
semen ke Timor Leste. Selain itu, panen komoditas perkebunan seperti jambu mete dan
kopi diharapkan dapat turut menyumbang pertumbuhan ekspor.
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2016 terutama
didorong oleh Sektor Konstruksi serta Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor. Sektor konstruksi tercatat tumbuh sebesar 9,9% (yoy)
yang diperkirakan turut didorong oleh peningkatan kegiatan proyek-proyek pemerintah
dan swasta di triwulan-III. Sementara itu, sektor perdagangan tumbuh sebesar 8,48%
(yoy) yang diperkirakan ditunjang oleh peningkatan belanja masyarakat paska gaji ke-
13 dan 14 PNS, panen komoditas perkebunan, musim liburan anak sekolah dan adanya
kegiatan-kegiatan berskala nasional.
Namun, pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan
jaminan sosial wajib serta sektor jasa keuangan dan asuransi yang melambat
dibandingkan triwulan II menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi
Provinsi NTT pada triwulan III dibandingkan triwulan II.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 12
Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan III-2016
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah) *Dalam Juta Rp
1.3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Secara tahunan, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-III 2016
sebesar 1,79% (yoy) cenderung meningkat apabila dibandingkan triwulan-II
2016 yang hanya tumbuh 0,36% (yoy). Peningkatan diperkirakan turut didorong
panen komoditas perkebunan seperti kakao dan jambu mete, panen bawang merah di
Kab. Belu dan Kab. Rote Ndao, produksi garam di Kab. Sabu Raijua dan siklus
peningkatan produksi ikan pada periode Agustus sd. Oktober. Selain itu, adanya
dorongan permintaan pengiriman sapi dari daerah seiring perayaan Idul Adha juga
turut mendorong sektor pertanian. Perkembangan pengiriman ternak juga terlihat dari
data Pelindo yang menunjukkan adanya pertumbuhan pengiriman ternak sebesar
23,8% (yoy) dengan jumlah 12.218 ekor pada triwulan III. Di sisi lain, indikasi
pertumbuhan sektor pertanian juga terlihat dari angka Nilai Tukar Petani (NTP) yang
meningkat dari 100,26 (triwulan-II) menjadi 101,2 (triwulan-III). Peningkatan terutama
terjadi pada indeks diterima petani untuk sektor pertanian-holtikultura dan perkebunan
rakyat. Peningkatan NTP tersebut menguatkan asumsi adanya pertumbuhan dalam
sektor pertanian
2015
2014 2015 TW III TW II TW IIIA Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 20,447,428 22,665,673 6,039,273 5,975,575 6,368,179 29.0 1.79
B Pertambangan dan Penggalian 1,070,349 1,307,566 350,556 352,827 394,377 1.8 7.14
C Industri Pengolahan 843,708 940,862 243,493 250,936 265,424 1.2 4.83
D Pengadaan Listrik dan Gas 31,840 40,001 9,187 12,744 13,903 0.1 19.08
EPengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang45,529 47,150 12,347 12,099 12,814 0.1 -1.04
F Konstruksi 7,095,979 7,908,227 2,051,698 2,207,466 2,405,264 10.9 9.90
GPerdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor7,296,703 8,273,959 2,176,788 2,271,165 2,464,499 11.2 8.48
H Transportasi dan Pergudangan 3,566,950 3,975,985 1,014,761 1,099,174 1,185,997 5.4 8.37
I Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum422,443 487,091 127,264 137,718 148,181 0.7 11.57
J Informasi dan Komunikasi 5,134,426 5,477,449 1,416,921 1,414,671 1,511,013 6.9 6.41
K Jasa Keuangan dan Asuransi 2,698,906 2,995,475 781,252 843,526 842,199 3.8 4.38
L Real Estate 1,860,878 2,054,341 539,727 538,473 567,351 2.6 2.21
M,N Jasa Perusahaan 210,879 235,528 61,340 61,466 66,388 0.3 1.60
OAdministrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib8,392,732 9,399,572 2,461,309 2,639,585 2,721,056 12.4 4.19
P Jasa Pendidikan 6,568,193 7,367,666 1,904,125 1,989,418 2,107,084 9.6 5.09
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,414,584 1,616,418 413,749 448,574 456,265 2.1 5.52
R,S,T,U Jasa lainnya 1,496,973 1,639,515 417,829 437,416 449,919 2.0 3.47
PDRB 68,598,500 76,432,477 20,021,620 20,692,833 21,979,913 100 5.14
yoyYOY
UraianKategori Bobot2016
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 13
Grafik 1.17. Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau
Grafik 1.18. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Sumber : Pelindo II, diolah Sumber : BPS, diolah
Di sisi lain, kredit sektor pertanian menunjukkan angka positif. Dari
indikator perbankan, pertumbuhan kredit pertanian pada triwulan-III mencapai Rp
259,48 miliar atau mengalami peningkatan 37,9% (yoy). Sementara itu, indikator
Survei kegiatan Dunia Usaha (SKDU) menunjukkan indikasi perlambatan pada triwulan-
III. Namun, indeks harga jual yang masih positif menunjukkan indikasi optimisme petani
pada triwulan-III 2016.
Grafik 1.19. Perkembangan Kredit Pertanian Grafik 1.20. Perkembangan SKDU Pertanian
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan Survei Kegiatan Dunia Usaha terlihat adanya indikasi
peningkatan pada triwulan IV-2016. Peningkatan terlihat dari indeks perkiraan
untuk tenaga kerja dan kegiatan usaha. Hal ini diperkirakan turut didorong oleh panen
komoditas perkebunan yang masih terjadi pada triwulan-IV serta adanya panen
komoditas bahan makanan seperti padi untuk area persawahan irigasi. Peningkatan
juga diperkirakan turut didorong oleh rencana produksi perdana garam di Bipolo,
Kabupaten Kupang serta pengiriman ternak yang masih dilakukan secara berkelanjutan
terutama ditunjang oleh operasional KM. Camara Nusantara I yang beroperasi setiap 2
minggu sekali. Di sisi lain, potensi hambatan utama pada akhir tahun terutama kondisi
cuaca dan gelombang yang kurang baik yang dapat menghambat produksi komoditas
ikan tangkap.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 14
Grafik 1.21. Proyeksi SKDU Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.2 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
Pertumbuhan sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 4,19% (yoy)
melambat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 9,79% (yoy). Perlambatan
diperkirakan turut didorong oleh upaya penghematan anggaran pemerintah pusat dan
adanya penundaan Dana Alokasi Umum (DAU), terutama untuk 5 Pemda, yaitu Provinsi
NTT, Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur, dan Kab. Manggarai Barat. Selain
itu, keterlambatan pencairan dana desa terutama tahap 2 di berbagai daerah seperti
Kab. Kupang dan Kab. Malaka juga mempengaruhi perlambatan realisasi. Sementara
itu, berdasarkan data APBN dan APBD Kab/Kota, terjadi penurunan realisasi belanja
pegawai sebesar -7,64% (yoy) atau Rp 245,81 miliar pada triwulan III. Hal ini
memperkuat argumentasi adanya penghematan belanja konsumsi yang dilakukan
pemerintah. Selain juga, upaya wait and see yang dilakukan pemda untuk
mengantisipasi defisit anggaran akibat penundaan DAU sehingga perlu adanya
penyesuaian kegiatan belanja, terutama belanja yang bersifat non fisik seperti belanja
pegawai, rapat dan kegiatan perjalanan dinas.
Dari indikator perbankan, secara umum simpanan pemerintah mengalami
penurunan dari sebelumnya Rp 6,93 triliun pada triwulan-II menjadi Rp 5,7 triliun pada
triwulan-III, sementara pertumbuhan secara tahunan tercatat tumbuh negatif sebesar -
25,5% (yoy). Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan penggunaan dana
pemerintah untuk pembayaran kegiatan pada triwulan-III.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 15
Grafik 1.22. Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah
Grafik 1.23. Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan-IV 2016 sektor Administrasi Pemerintahan diperkirakan
mengalami peningkatan. Masih terbatasnya belanja konsumsi pemerintah hingga
triwulan-III yang baru mencapai 59,59% diperkirakan akan mendorong peningkatan
realisasi pada triwulan IV. Peningkatan juga diperkirakan berasal dari penyaluran alokasi
dana desa dan dana desa yang sempat terhambat akibat permasalahan administrasi di
tingkat desa. Selain itu, adanya rencana penyaluran kembali DAU kepada Pemerintah
Daerah pada bulan Desember diharapkan dapat pula mendorong penyerapan belanja
pemerintah walaupun diperkirakan tidak optimal karena interval waktu yang cukup
dekat dengan akhir tahun (tutup buku).
1.3.3 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan
sepeda motor pada triwulan-III 2016 sebesar 8,48% (yoy) cenderung meningkat
dibandingkan triwulan-II yang sebesar 6,63% (yoy). Peningkatan daya beli
masyarakat seiring adanya pendapatan dari gaji ke-13 dan 14 Pegawai Negeri Sipil
pada akhir bulan Juni serta pendapatan dari panen komoditas perkebuhan dan
dorongan kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta yang membuka lapangan
kerja baru diperkirakan menjadi beberapa faktor pendorong. Selain itu, adanya momen
libur keagamaan, libur sekolah dan masa ajaran baru juga menjadi faktor peningkatan
belanja masyarakat.
Peningkatan juga terlihat dari Indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) dan Survei Konsumen (SK). Indikator SKDU berupa indeks kegiatan usaha
dan harga jual menunjukkan peningkatan pada triwulan III yang mengambarkan kondisi
positif di sektor perdagangan. Indikasi yang sama juga terlihat pada Survei Konsumen-
Bank Indonesia yang menunjukkan peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Dari sisi indikator perbankan, kredit perdagangan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 16
hingga akhir triwulan III-2016 mencapai Rp 5,73 triliun atau tumbuh sebesar 18,2%
(yoy).
Grafik 1.24. Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan
Grafik 1.25. Perkembangan Survei Konsumen
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah Sumber : SK-Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.26. Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Prospek sektor perdagangan pada triwulan IV diperkirakan mengalami
pertumbuhan positif. Hal ini terindikasi pada angka perkiraan indeks kegiatan usaha
dan tenaga kerja sektor perdagangan pada Survei Kegiatan Dunia Usaha-Bank
Indonesia yang menunjukkan peningkatan. Adanya momen libur keagamaan (natal)
dan libur sekolah diperkirakan menjadi faktor penyebab utama. Sementara dari sisi
pendapatan, terutama didorong adanya panen komoditas pertanian dan perkebunan
seperti padi, jambu mente dan kakao serta dorongan kegiatan proyek di triwulan IV.
Grafik 1.27. Proyeksi SKDU Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 17
1.3.4 Sektor-sektor Lainnya
Pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-III 2016 tercatat 9,90%
(yoy) meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 7,32% (yoy). Tingginya
pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-III terutama ditunjang oleh kegiatan
proyek pemerintah seperti pembangunan jalan, sarana publik (sekolah, rumah sakit dan
pasar) gedung pemerintahan,pembenahan pelabuhan, bandara, bendungan, sarana
irigasi dan Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Beberapa proyek tersebut diantaranya pasar
tertib ukur di Alor, Jalan Sabuk Perbatasan, pengembangan bandara komodo dan PLBN
menjadi faktor utama pertumbuhan. Di sisi lain, Tracking untuk triwulan IV diperkirakan
masih terjadi pertumbuhan walaupun melambat yang disebabkan oleh tingginya
kegiatan proyek pada triwulan-III. Beberapa kegiatan konstruksi yang masih
berlangsung pada triwulan-IV diantaranya adalah gedung pemerintahan (kantor
Gubernur NTT), proyek jalan seperti di Kab. Ende dan Kota Kupang serta pembangunan
pasar di Alor.
Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada triwulan- III 2016
mengalami pertumbuhan sebesar 11,57% (yoy) meningkat dibandingkan
triwulan-II yang sebesar 10,85% (yoy). Peningkatan terutama didorong oleh
beberapa kegiatan bersifat nasional seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Kota
Kupang, Expo Alor X dan Sunda Kecil Expo yang turut mendorong okupansi kamar
hotel dan kunjungan di Provinsi NTT. Selain itu, masa liburan sekolah dan high season
kunjungan wisatawan yang terjadi setiap tahunnya pada rentang bulan Juni sd.
September juga menjadi faktor lainnya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan tamu hotel
yang mencapai 28,6% (yoy) serta Pertumbuhan penumpang pesawat yang mencapai
29,1% (yoy) atau 924.015 orang pada triwulan-III 2016.
Grafik 1.28. Perkembangan Tamu Hotel Grafik 1.29. Perkembangan Penumpang Bandara
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 18
Pada triwulan-IV 2016, pertumbuhan sektor akomodasi dan makan minum
mengalami perlambatan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kegiatan bersifat
nasional di Provinsi NTT yang tercatat hanya terdapat satu kegiatan, yaitu Hari
Nusantara di Kabupaten Lembata. Selain itu, kondisi cuaca yang cenderung kurang baik
di akhir tahun dapat berdampak pada sektor pariwisata di Provinsi NTT yang cenderung
bersifat wisata alam atau ecotourism. Namun, perlambatan diharapkan dapat tertahan
oleh adanya momen libur natal dan masa liburan sekolah.
Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi tercatat tumbuh melambat sebesar
4,38% (yoy) pada triwulan-III dibandingkan triwulan-II yang sebesar 16,27%
(yoy). Indikasi perlambatan terlihat dari perlambatan beberapa indikator perbankan
diantaranya DPK dari 10,41% (yoy) di triwulan-II menjadi 0,29% (yoy) di triwulan III,
pertumbuhan kredit juga mengalami penurunan dari 14,93% menjadi 13,37% dan
aset tercatat tumbuh negatif sebesar -7,4% (yoy). Penurunan aset diperkirakan
disebabkan oleh adanya penarikan aset bank ke kantor pusat di Jakarta, selain itu
terdapat pula pertumbuhan giro yang negatif sebesar -22,61% (yoy) yang ditengarai
salah satunya disebabkan oleh pengurangan alokasi dana APBN untuk Provinsi NTT.
Perlambatan juga terlihat dari pertumbuhan kliring yang melambat dari 86% (yoy) pada
triwulan-II menjadi 51,8% (yoy) di triwulan-III serta perputaran kas masuk/keluar di
Bank Indonesia yang mencatat penurunan net keluar sebesar -53,4% (yoy) yang
mengindikasikan adanya perlambatan kegiatan perbankan terutama untuk pemenuhan
kebutuhan uang tunai di masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan jasa keuangan dan
asuransi pada triwulan-IV diperkirakan mengalami peningkatan yang terutama
disebabkan oleh kebutuhan layanan perbankan seperti transfer di akhir tahun. Selain
itu, adanya kebutuhan konsumsi untuk perayaan natal di akhir tahun juga diperkirakan
mendorong pertumbuhan kredit dan penggunaan sistem pembayaran tunai dan non
tunai. Berdasarkan data kas, pertumbuhan net outflow pada bulan Oktober tercatat -
19,65% (yoy) dibandingkan Oktober 2016 yang mengindikasikan penurunan
kebutuhan pelayanan terkait pembayaran tunai di awal triwulan-IV.
Sektor transportasi dan pergudangan tercatat mengalami pertumbuhan
sebesar 8,37% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 8,21%
(yoy). Beberapa faktor pendorong pertumbuhan adalah adanya pembukaan rute baru
Garuda dari Denpasar-Maumere (4x/minggu) dan rute langsung Jakarta-Kupang (setiap
hari), pembukaan rute perintis pesawat Airfast dengan rute Labuan Bajo-Ruteng,
pembukaan rute Trans Nusa dari Bandara Turelelo, Ngada El Tari, Kupang, pelayanan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 19
Kapal Motor Tilongkabila milik Pelni pada jalur wisata Rinca dan Komodo dan
pembukaan 18 Rute Baru oleh ASDP di wilayah NTT, yaitu Kupang-Hansisi Pulau Semau
(PP) Hansisi-Rote (PP), Kupang-Adonara, Kupang-Maumere, Larantuka-Adonara dan
sebaliknya serta Adonara-Maumere dan sebaliknya. Kemudian Maumere-Palue dan
sebaliknya, Maumere-Pemana dan sebaliknya, Maumere-Larantuka, Maumere-Kupang
serta Adonara-Kupang. Selain itu, tercatat adanya peningkatan pengguna pesawat
terbang sebanyak 20% dan kapal laut 10% pada masa liburan sekolah di bulan Juli.
Sementara itu, pertumbuhan pada triwulan IV diperkirakan sedikit melambat karena
berkurangnya pembukaan rute baru pesawat maupun kapal laut. Namun, masih
terdapat pembukaan rute wings air baru pada bulan November dengan tujuan Kupang-
Tambolaka-Ende. Selain itu adanya momen liburan akhir tahun diharapkan dapat
mendorong peningkatan penggunaan transportasi baik darat, laut maupun udara.
Sektor real estate tercatat tumbuh 2,21% (yoy) sedikit melambat
dibandingkan triwulan-II yang sebesar 2,94% (yoy). Pertumbuhan sektor real
estate ditengarai turut terbantu oleh kegiatan Real Estate Indonesia (REI) Expo 2016
pada awal Bulan Juli yang dapat membukukan total transaksi Rp 40,2 miliar. Total
rumah yang terjual pada pameran tersebut adalah sebanyak 201 unit dengan rincian
154 unit rumah FLPP dan 47 unit non FLPP walaupun cenderung melambat
dibandingkan pertumbuhan triwulan II. Sementara itu pertumbuhan pada triwulan IV
diperkirakan sedikit meningkat yang juga ditunjang oleh kegiatan BTN Expo di kota
Kupang pada bulan Oktober. Tercatat total transaksi yang dihasilkan mencapai Rp 31,7
miliar dengan total 163 unit rumah terjual.
Sektor industri pengolahan tercatat tumbuh 4,83% (yoy) melambat
dibandingkan triwulan-II yang sebesar 7,07% (yoy). Perlambatan diperkirakan
turut disebabkan oleh penurunan harga komoditas bahan baku industri seperti rumput
laut dan masih terbatasnya penambahan kegiatan industri di Provinsi NTT. Rencana
pengembangan industri seperti kimia dasar, logam dan tebu masih dalam tahap
pembangunan infrastruktur dan penyelesaian masalah lahan. Permasalahan lahan juga
masih menghambat beberapa rencana pembangunan pabrik pengolahan seperti
smelter oleh PT. Gulf Mining dan Pabrik PT. Semen Kupang III. Sementara itu, prospek
pada triwulan IV diperkirakan masih tumbuh stabil karena belum adanya pembangunan
pabrik pengolahan berskala besar. Pertumbuhan diperkirakan terjadi pada industri
makanan (kue dan makanan kecil) serta minuman seiring peningkatan permintaan
menjelang momen akhir tahun.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 20
Sektor pengadaan listrik dan gas tercatat tumbuh 19,08% (yoy)
meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 11,25% (yoy). Peningkatan
turut didukung oleh adanya pengembangan sektor kelistrikan dari PLN Area Flores
Bagian Timur (FBT) yang mendatangkan mesin 7 MW untuk mengatasi krisis listrik di
Kab. Sikka. Sementara itu, pertumbuhan sektor listrik pada triwulan-IV diperkirakan
kembali meningkat seiring adanya penambahan kapasitas melalui Kapal Pembangkit
Listrik Marine Vessel Power Plant (MVPP) berkapasitas 60 MW yang masih dikerjakan di
Turki dan direncanakan tiba di kupang pada November atau Desember 2016 serta
adanya penambahan kapasitas melalui PLTU IPP Bolok (2 x 15 MW).
Sektor informasi dan komunikasi tercatat tumbuh 6,41% (yoy) atau
meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 6,1% (yoy). Peningkatan turut
didukung oleh cukup masifnya kegiatan promosi dan migrasi pengguna layanan
Telkomsel ke 4G pada triwulan III. Sementara itu pada triwulan IV, pertumbuhan
diperkirakan masih positif seiring dengan masih dilakukannya pembangunan fasilitas
BTS 4G, kegiatan promosi serta migrasi yang masih berlangsung dan mulai
meningkatnya penggunaan telepon genggam di masyarakat.
Sektor lainnya seperti jasa pendidikan mengalami perlambatan pada triwulan III
yang ditengarai sebagai dampak penundaan tunjangan sertifikasi guru. Untuk triwulan
IV diperkirakan jasa pendidikan juga masih tumbuh melambat. Sementara itu, sektor
lainnya seperti Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
cenderung mengalami perlambatan, sedangkan sektor Pertambangan, Jasa Perusahaan,
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial serta Jasa Lainnya diperkirakan mengalami
peningkatan.
Secara umum, tracking untuk sektor lainnya pada triwulan-IV diperkirakan turut
meningkat yang didukung oleh adanya peningkatan realisasi belanja pemerintah,
rencana pencairan DAU dan peningkatan aktivitas masyarakat.
Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT 21
Boks 1. Update Perkembangan Penyediaan
Kelistrikan di Provinsi NTT
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini mencapai 5,14% (yoy) di
triwulan III 2016, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,02%
(yoy). Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas nasional, dibutuhkan peningkatan
produksi maupun investasi di NTT. Berdasarkan hasil riset Growth Diagnostik, didapatkan
bahwa permasalahan utama investasi dan pengembangan ekonomi di NTT antara lain
permasalahan sumber daya manusia, kondisi infrastruktur terutama kelistrikan, sumber daya air,
pembebasan lahan dan perijinan (Harmawan, 2016).
Terkait dengan permasalahan kelistrikan dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia, rasio
elektrifikasi di NTT menduduki posisi kedua terbawah setelah Provinsi Papua dengan nilai
58,83%. Berdasarkan konsumsi listrik perkapita, konsumsi listrik di NTT menduduki peringkat
terbawah dalam menggunakan listrik di Indonesia dengan rata-rata penggunaan sebesar 139,4
Kwh/kapita. Untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, PLN melakukan investasi dan menambah
pelanggan yang terlihat dari rata-rata pertumbuhan PDRB pada pengadaan listrik dan gas yang
selalu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi NTT. Pada triwulan III 2016,
pertumbuhan ekonomi sektor pengadaan listrik dan gas mencapai 19,8% (yoy) jauh lebih tinggi
dibanding pertumbuhan ekonomi NTT. Mulai terpenuhinya kebutuhan kelistrikan seiring
dengan lancarnya operasional membuat penggunaan listrik mengalami peningkatan cukup
signifikan.
Grafik Boks 1. 1. Perbandingan Rasio
Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita
Grafik Boks 1.2. Perbandingan Pertumbuhan
PDRB Sektor Listrik dan Gas dengan PDRB
Sumber : PT PLN, Kementrian ESDM, diolah
Sumber : BPS Provinsi NTT, diolah
Dalam melayani masyarakat, PLN Provinsi NTT membagi wilayah pelayanan dalam 4 area yaitu
PLN Area Kupang, Sumba, Flores Bagian Barat dan Flores Bagian Timur. Area Kupang
membawahi seluruh daratan timor, Rote Ndao, Alor dan Sabu Raijua. Area Sumba membawahi
seluruh daratan Sumba. Area Flores Bagian Barat membawahi Kabupaten Ende ke barat hingga
Manggarai Barat dan Area Flores Bagian Timur membawahi Kabupaten Sikka, Flores Timur dan
Lembata. Adapun total daya yang mampu diproduksi mencapai 187,63 MW dengan Area
Kupang sebagai area dengan pembangkit terbesar mencapai 104 MW, diikuti area Flores
Bagian Barat dengan total pembangkit mencapai 43,5 MW, Flores Bagian Timur sebesar 25,28
MW dan Area Sumba dengan total daya mampu mencapai 14,8 MW.
Dengan sistem transmisi yang sebagian besar masih terisolasi/tertutup, maka adanya
kekurangan daya atau gangguan di satu tempat, daerah lain tidak akan mampu membantu
Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT 22
mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini juga berdampak pada mahalnya biaya pokok
penjualan yang hingga tahun 2015 masih sebesar Rp 3.300/kwh jauh lebih tinggi dibanding
harga jual ke masyarakat yang rata-rata hanya sebesar Rp 1.029/kwh. Oleh karena itu, untuk
melakukan efisiensi biaya, PLN melakukan investasi besar berupa pembangunan transmisi trans
Flores, Trans Timor dan Trans Sumba. Dengan adanya integrasi sistem kelistrikan,
pembangunan pembangkit dapat terpusat di beberapa titik saja, sehingga kapasitas
pembangkit yang dibangun dapat lebih besar dan lebih efisien. Selain itu, permasalahan
kekurangan daya yang terjadi dan gangguan ketidakstabilan daya dapat diminimalisir.
Gambar Boks 1.1. Peta Penyediaan Listrik dan Rencana Transmisi Kelistrikan di Provinsi NTT
Sumber : PLN Provinsi NTT, diolah
Berdasarkan progress pembangunan, transmisi Timor saat ini sudah tersambung di wilayah
Kupang hingga Soe, sehingga suplai listrik untuk Kabupaten TTS sudah dipenuhi dari
pembangkit Kupang. Hingga Desember 2016, transmisi kelistrikan diharapkan sudah dapat
tersambung hingga Kabupaten TTU, sehingga kebutuhan listrik dapat langsung dipenuhi dari
Kupang. Hingga akhir 2017, transmisi kelistrikan ditargetkan sudah tersambung hingga
Atambua, sehingga jaringan kelistrikan Pulau Timor dapat terintegrasi dari Kupang hingga
Atambua. Transmisi Flores yang sudah tersambung baru dari pembangkit Ropa ke Ende.
Transmisi kelistrikan lainnya diperkirakan sebagian baru akan selesai di tahun 2017, dan
operasional tahun 2018. Transmisi Sumba kemungkinan baru tersambung dan operasional di
tahun 2018.
Adapun progres pembangunan pembangkit listrik antara lain saat ini dilakukan penyelesaian
pembangunan PLTU IPP 1x15MW dan diperkirakan bisa beroperasi pada awal tahun 2017.
Selain itu, sedang dipersiapkan sistem kelistrikan untuk persiapan kedatangan kapal listrik dari
Turki yang rencananya akan beroperasi di awal tahun 2017 dengan daya mencapai 60MW.
Dengan demikian, sistem Kupang akan mendapat tambahan daya setidaknya sebesar 75MW,
masih lebih besar dibanding perkiraan kebutuhan penambahan jaringan baru yang sebesar
67MW. Potensi penambahan masih terdapat dari penyelesaian pembangunan PLTU IPP
1x15MW dan PLTU Bolok 2 1x13MW yang saat ini masih dalam pengerjaan. Dengan
beroperasinya keempat pembangkit tersebut, dan terintegrasinya sistem kelistrikan di Pulau
Timor, maka PLN dapat melakukan penghematan dengan menghentikan PLTD yang
membutuhkan biaya operasional besar di Soe, Kefamenanu dan Atambua dengan total
Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT 23
kapasitas terpasang sebesar 16MW. PLN juga berharap rencana proyek investasi yang diajukan
dapat segera terealisasi antara lain proyek smelter mangan yang membutuhkan daya hingga
20MW dan proyek pabrik Semen Kupang III dengan total kebutuhan listrik mencapai 30MW.
Selebihnya akan digunakan untuk memenuhi permintaan sambungan baru dan tambah daya
yang saat ini belum dilayani. Adanya surplus produksi listrik ini hendaknya dapat dimanfaatkan
untuk menggiatkan investasi yang saat ini selalu terkendala permasalahan listrik.
Pengembangan kawasan industri Bolok dapat lebih didorong agar lapangan kerja dapat
tersedia.
Kondisi kelistrikan di Pulau Flores saat ini masih mengalami kekurangan daya. Tingginya selisih
beban puncak antara siang dan malam juga masih menjadi kendala utama permasalahan
kelistrik di Pulau Flores. Hingga tahun 2017, permasalahan tersebut diprediksi masih akan
terjadi. Dalam rangka penambahan daya, dalam waktu dekat PLN akan berupaya untuk
membangun PLTMG Maumere dengan kapasitas 40 MW dan PLTMG Flores tahap 1 dengan
kapasitas 20MW yang rencananya akan dibangun di Labuan Bajo dan beroperasi secara
komersial pada tahun 2018. Dengan terselesaikannya dua proyek besar tersebut, maka
kekurangan daya yang terjadi dapat terkurangi dan penghematan anggaran dapat dilakukan.
Terkait besarnya selisih beban puncak antara siang dan malam, hal ini setidaknya dapat
ditangkap oleh pemerintah daerah sebagai peluang untuk mengembangkan industri di Flores
yang di waktu siang masih memiliki cadangan kapasitas listrik hingga 24MW.
Kekurangan daya di Pulau Sumba menurut rencana dapat lebih cepat diatasi seiring dengan
adanya pembangunan pembangkit listrik berenergi terbarukan di Pulau Sumba antara lain
pembangunan 20 PLTM/PLTMH dengan total daya 5,1MW di tahun 2017, PLT Biomasa Sumba
1MW di tahun 2017 IPP PLTS Waingapu dengan kapasitas 1MW. Untuk mengatasi beban
puncak, juga direncanakan dibangun PLTMG Waingapu dengan kapasitas 10MW dan PLTMG
Waingapu 2 dengan daya 30MW yang diperkirakan beroperasi pada tahun 2018 dan 2019. PT
Muria Sumba Manis juga berencana membangun PLT Biomasa sendiri dengan kapasitas
mencapai 25MW. Hasilnya sebesar 20MW akan digunakan untuk operasional pabrik gula dan
5MW akan dijual ke PLN.
Tabel Boks 1.1. Progres Pembangunan Pembangkit dan Permasalahan yang Dihadapi
Sumber : PLN Provinsi NTT, diolah
Nama Project
PLTMG
Kupang
Peaker
PLTMG
RotePLTMG Alor
PLTMG
Waingapu
PLTU Timor
1MPP Flores
PLTMG
Maumere
Kapasitas 50 5 10 10 100 20 40
COD 2017 2017 2017 2017 2019 2017 2017
Feasibility Studies √ √ √ √ √ √ √
Ijin Prinsip Gub NTT √ √ √ √ √ √ √
Ijin RTRW Bupati/Walikota √ √ √ √ √ √ √
UKL-UPL Draft Draft √ √ Draft √ Draft
Tim Pengadaan Tanah Dalam Proses Belum Ada Belum Dalam Proses Dalam Proses Ada
Kendala Lahan Belum bebasBelum
bebasBelum bebas
Belum
bebasBelum bebas Belum bebas -
Tahapan Pembebasan
tanahBentuk Tim
Pelimpahan
wewenang
Proses
Pembebasan
Pelimpahan
wewenangBentuk Tim Bentuk Tim Clear
Tahap Pekerjaan
Pembangkit- - - - - - Lelang
Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT 24
Terkait pembangunan pembangkit listrik tersebut, sebagian besar studi kelayakan sudah
diselesaikan, demikian pula dengan ijin prinsip dari Gubernur NTT dan Ijin rencana tata ruang
wilayah dari Bupati/Walikota. Adapun ijin lingkungan yang sudah diselesaikan baru untuk
pembangunan PLTMG Alor, Waingapu dan PLTMG Flores tahap 1. kendala utama yang masih
dihadapi adalah permasalahan pembebasan lahan yang masih belum selesai, sehingga PLN
belum dapat melanjutkan ke tahap berikutnya. Demikian pula dengan pembangunan transmisi
yang juga mengalami permasalahan yang sama. Peran aktif pemerintah dalam segera
menyukseskan program kelistrikan di NTT sangat diperlukan agar 1.039 desa yang belum teraliri
aliran listrik dapat segera menikmati listrik di rumah mereka.
Bab II |Keuangan Daerah 25
KEUANGAN DAERAH Realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan III-2016 mencapai Rp
18,41 triliun atau telah mencapai 74,39% dari pagu rencana pendapatan tahun
2016 sebesar Rp 24,75 triliun.
Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah tercatat baru mencapai Rp 18,21 triliun atau
53,39% dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 34,11 triliun.Untuk pagu belanja,
terjadi penyesuaian di triwulan III dari sebelumnya sebesar Rp 35,08 Triliun yang
terutama disebabkan oleh penghematan anggaran belanja pemerintah pusat.
2.1 Kondisi Umum
Perkembangan realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan III
2016 telah mencapai Rp 18,41 triliun atau 74,39% dari total rencana pendapatan tahun
2016 yang sebesar Rp 24,75 triliun. Dari sisi persentase, realiasi pendapatan APBN
Pemerintah Pusat di Provinsi NTT menjadi yang tertinggi sebesar 670,62% atau Rp 1,75
triliun yang terutama berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak termasuk rencana
pendapatan, namun merupakan pendapatan tertinggi struktur APBN di daerah NTT.
Sementara itu, realisasi belanja pemerintah di NTT telah mencapai Rp 18,21 triliun atau
53,39% dari total pagu belanja tahun 2016 yang sebesar Rp 34,11 triliun. Pencapaian
tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan pencapaian hingga triwulan-III tahun 2015
yang sebesar Rp 15,02 triliun atau hanya 43,53% dari pagu anggaran 2015. Pencapaian
realisasi belanja tertinggi untuk tahun 2016 terutama Pemerintah Provinsi sebesar
63,13%. Di sisi lain, terdapat penurunan pagu belanja sebesar Rp 975,45 miliar pada
triwulan III dibandingkan rencana sebelumnya yang terutama didorong langkah
penghematan anggaran APBN oleh pemerintah pusat sebesar Rp 1,19 triliun.
Grafik 2.1. Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah 26
2.2 Pendapatan Daerah
Total pendapatan pemerintah di Provinsi NTT hingga triwulan-III 2016 tercatat
telah mencapai Rp 18,41 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari pendapatan APBN yang
mencapai Rp 1,75 triliun atau 670,62% dari target dengan sumber pendapatan
terbesar dari Pajak Penghasilan sebesar Rp 892,13 miliaratau 51,06% dari total
pendapatan, diikuti oleh Pajak Pertambangan Nilai (Rp 466,54 miliar) dan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Rp 354,10 miliar) yang terutama disumbang oleh Pendapatan
Pendidikan sebesar Rp 159,09 miliar. Pencapaian realisasi pendapatan untuk tingkat
provinsi telah mencapai 70,40% atau Rp 2,73 triliun dengan sumber utama
pendapatan berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 1,01 triliun dan diikuti
oleh Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 993,19 miliar serta Pendapatan Asli Daerah
(Rp 624,87 miliar) yang terutama berasal dari Pajak Daerah (Rp 428,09 miliar).
Sementara itu, realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten/Kota telah mencapai Rp
13,94 triliun (67,60%), namun masih didominasi pendapatan DAU sebesar Rp 9,39
triliun (67,4%). Di sisi lain, adanya penundaan DAU untuk 5 (lima) pemerintah daerah,
yaitu Provinsi NTT, Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab. Manggarai
Barat diperkirakan dapat mempengaruhi pencapaian target pendapatan pemerintah di
akhir tahun, walaupun berdasarkan informasi terakhir DAU yang ditunda akan kembali
direalisasikan oleh Pemerintah Pusat pada bulan Desember.
Apabila dilihat berdasarkan data spasial, Kab. Manggarai Timur memiliki
pencapaian realisasi pendapatan tertinggi sebesar 76,5% dari rencana 2016, diikuti
oleh Kab. Rote Ndao (76,4) dan Kab. Lembata (72,1%). Di sisi lain, Kab. Nagekeo
(51,7%) bersama dengan Kab. Sabu Raijua (60,3) serta Kab. Kupang (62,8%) menjadi
daerah dengan realisasi pendapatan terendah hingga triwulan-III 2016. Dominasi
Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan
APBN
Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/ Kab-Kota
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTT
Bab II |Keuangan Daerah 27
realisasi pendapatan yang berasal dari komposisi DAU juga terlihat di masing-masing
daerah dengan rata-rata mencapai 67,7%. Komposisi Pendapatan Asli Daerah tertinggi
dicapai oleh Kota Kupang sebesar 12,1%, sementara komposisi DAK tertinggi ada di
Kab.Nagekeo (21%) yang terutama diperuntukkan bagi pengembangan infrastruktur
dasar. Di sisi lain, pendapatan lain-lain tertinggi diperoleh Kab. Ende (24,34%) yang
terutama disumbangkan oleh pendapatan Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
sebesar Rp 183,7 miliar.
Grafik 2.4. Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan-III 2016
an
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.3 Belanja Daerah
Perkembangan realisasi belanja APBN dan APBD Pemerintah di Provinsi NTT
hingga triwulan-III 2016 mencapai Rp 18,21 triliun atau 53,39% dari pagu belanja
pemerintah tahun 2016 yang sebesar Rp 34,11 triliun. Pagu belanja pemerintah sendiri
mengalami penurunan sebesar 2,78% atau sebesar Rp 975,43 miliar dibandingkan
pagu belanja awal. Penurunan ini merupakan dampak dari upaya penghematan
anggaran pemerintah pusat yang terlihat dari berkurangnya pagu belanja APBN sebesar
Rp 1,19 triliun. Namun, penghematan tersebut lebih diarahkan pada potongan mandiri
dari instansi terkait dan program yang bisa ditunda atau tidak akan dilanjutkan.
Apabila dilihat secara umum, realisasi belanja pemerintah sebesar Rp 18,21
triliun (53,39%) tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan triwulan III-2015 yang
sebesar Rp 15,02 triliun (43,53%). Hal ini turut didorong oleh realisasi gaji ke-13 dan
ke-14 pada triwulan-II serta upaya percepatan kegiatan proyek dan lelang. Namun,
adanya penundaan DAU terhadap 5 (lima) Pemerintah Kabupaten/Kota, penundaan
tunjangan dan sertifikasi, serta pengurangan DAK di beberapa daerah turut
menyebabkan penyerapan yang tidak optimal pada triwulan-III karena adanya proses
Bab II |Keuangan Daerah 28
evaluasi dan revisi anggaran yang dilakukan instansi pemerintah. Walaupun demikian,
berdasarkan informasi terakhir, DAU akan kembali dicairkan oleh pemerintah pusat
pada bulan Desember. Terbatasnya waktu realisasi dengan akhir tahun diperkirakan
menyebabkan penyerapan masih tetap akan kurang optimal.
Di sisi lain, berdasarkan pangsa pagu belanja masing-masing pemerintah daerah,
adanya isu penundaan DAU belum berdampak signifikan terhadap rencana belanja. Hal
ini terlihat dari masih samanya komponen belanja untuk 4 (empat) daerah yang
mengalami penundaan, yaitu Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab.
Manggarai Barat. Komponen belanja pegawai tertinggi, masih berada di Kota Kupang
sebesar 56,2%, diikuti Kab. Belu (47,3%) dan Kab.Timor Tengah Utara (47,2%).
Sementara itu, pangsa belanja modal tertinggi juga masih berada di Kab. Sabu Raijua
sebesar 39,2% diikuti Kab. Sumba Barat (33%) dan Kab. Malaka (32%).
Grafik 2.5. Pangsa Belanja Kabupaten/Kota
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Apabila dibandingkan dengan pencapaian triwulan-III 2015, realisasi belanja
pemerintah, baik belanja secara umum maupun belanja modal cenderung lebih baik.
Belanja modal sendiri pada triwulan III-2016 tercatat 36,21% dari pagu 2016 atau Rp
3,15 triliun dibandingkan pencapaian triwulan-III 2015 yang sebesar 29,74% dari pagu
2015 atau Rp 2,87 triliun. Peningkatan realisasi ini menunjukkan adanya upaya
perbaikan pemerintah untuk melakukan percepatan kegiatan proyek di tahun 2016.
Beberapa kegiatan proyek yang tercatat di tahun 2016, diantaranya proyek multiyears
seperti bendungan serta gedung pemerintah, serta pembangunan berbagai fasilitas
publik, seperti jalan dan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di beberapa tempat seperti
Di sisi lain, meskipun telah terdapat perbaikan dalam
penyerapan belanja modal, namun masih relatif rendahnya realisasi belanja modal yang
sebesar 36,21% menunjukkan masih adanya permasalahan yang dialami pemerintah,
Bab II |Keuangan Daerah 29
baik terkait pembayaran termin maupun proses pengesahan anggaran APBD yang
tertunda. Dalam hal belanja modal, realisasi belanja modal APBN menjadi yang tertinggi
sebesar 51,22% dari pagu atau Rp1,32 triliun dari total pagu sebesar Rp 2,58 triliun.
Sementara itu, berdasarkan komposisi belanja secara umum hingga triwulan-III, realisasi
belanja konsumsi masih menjadi komponen tertinggi di Provinsi NTT dengan total
59,6%. Tingginya realisasi belanja tersebut turut didukung realisasi gaji ke-13 dan ke-
14 pada triwulan-II dan pembayaran gaji pegawai serta kegiatan kedinasan. Hal ini juga
terlihat dari realisasi belanja pegawai yang telah mencapai Rp 12,36 triliun atau
46,11% dari pangsa total realisasi belanja pemerintah hingga triwulan-III 2016. Realisasi
belanja konsumsi tertinggi berada di Pemerintah Provinsi sebesar 68,8% atau Rp 2,2
triliun dari total pagu belanja konsumsi sebesar Rp 3,2 triliun.
Grafik 2.8. Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi
NTT
Nominal %
BELANJA DAERAH 34,109.1 18,210.4 53.39 100
Belanja Modal 8,705.5 3,152.6 36.21 17.31
Belanja Konsumsi 25,269.9 15,057.7 59.59 82.69
Belanja Pegawai 12,360.1 8,395.9 67.93 46.11
Belanja Barang dan Jasa 7,816.8 3,566.6 45.63 19.59
Belanja Hibah 1,608.6 1,226.1 76.22 6.73
Belanja Bantuan Sosial 86.5 33.8 39.09 0.19
Belanja Bagi Hasil 666.9 339.6 50.92 1.87
Bantuan Keuangan 2,654.7 1,484.5 55.92 8.15
Konsumsi Lainnya 76.2 11.2 14.71 0.06
Belanja Lainnya 133.7 - - -
URAIAN RENCANAREALISASI PANGSA
(%)
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah (*Miliar Rp)
Berdasarkan perkembangan realisasi belanja dari masing-masing tingkat
pemerintahan, maka dapat diketahui hal-hal berikut:
Grafik 2.6. Perkembangan Realisasi Belanja Grafik 2.7. Perkembangan Realisasi Belanja Modal
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Bab II |Keuangan Daerah 30
2.3.1 Belanja APBN
Realisasi belanja APBN hingga triwulan-III mencapai Rp 4,75 triliun atau 27,55%
dari total pagu belanja APBN tahun 2016 sebesar Rp 8,26 triliun. Porsi belanja APBN
pada triwulan-III mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar Rp 9,45 triliun yang
terutama terjadi pada belanja modal sebesar Rp 1,12 triliun seiring upaya penghematan
dari pemerintah pusat. Sementara itu, pangsa realisasi belanja tertinggi untuk triwulan-
III terutama dipergunakan bagi belanja pegawai sebesar Rp 1,83 triliun (38,51%) dan
diikuti belanja barang dan jasa sebesar Rp 1,59 triliun (44,54%). Di sisi lain, pangsa
realisasi belanja modal tercatat sebesar Rp 1,32 triliun atau 27,84%yang
dipergunakan bagi pembangunan beberapa infrastruktur utama seperti bendungan,
jalan, Pos Lintas Batas Negara, jembatan, serta pemeliharaan jalan rutin.
2.3.2 Belanja Pemerintah Provinsi NTT
Perkembangan realisasi belanja pemerintah Provinsi NTT hingga triwulan-III 2016
mencapai Rp 2,46 triliun atau 63,13% dari pagu belanja sebesar Rp 3,90 triliun. Dalam
upaya pencapaian realisasi yang optimal, Pemerintah Provinsi NTT turut terkendala
dengan adanya penundaan DAU dari pemerintah pusat. Tercatat DAU Provinsi NTT
pada rentang September hingga Desember yang memiliki kemungkinan ditunda
mencapai Rp 242,1 miliar. Namun, telah terdapat informasi bahwa DAU akan kembali
direalisasikan Pemerintah Pusat pada bulan Desember. Sementara itu, belanja
Pemerintah Provinsi hingga triwulan-III masih didominasi oleh belanja hibah yang
mencapai Rp 1,3 triliun atau 45,98% dari total realisasi belanja yang dipergunakan
untuk penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta kelanjutan program
dana bergulir pemerintah, seperti Desa Mandiri Anggur Merah. Dari komponen belanja
konsumsi, belanja pegawai memiliki pangsa realisasi tertinggi sebesar Rp 455,35 miliar
atau 18,5% diikuti belanja barang dan jasa yang mencapai Rp 416,69 miliar atau
16,93%. Di sisi lain, realisasi belanja modal pemerintah Provinsi baru mencapai Rp
258,79 miliar atau dengan pangsa hanya 10,52%.
Bab II |Keuangan Daerah 31
Grafik 2.9. Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
2.3.3 Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota
Realisasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota hingga triwulan-III 2016 mencapai
Rp 11 triliun atau 50,09% dari pagu belanja 2016 sebesar Rp 21,95 triliun. Realisasi
terbesar terutama belanja pegawai yang mencapai 66,11% dari target belanja atau
sebesar Rp 6,11 triliun, setara dengan 55,56% dari total belanja pemerintah
kabupaten/kota. Dengan pangsa belanja sebesar 13,34% dari total belanja, bantuan
keuangan menjadi pos belanja dengan realisasi cukup besar hingga 55,92% atau setara
1,47 triliun. Realisasi belanja modal baru tercapai 28,25% dari pagu belanja atau hanya
sebesar Rp 1,57 triliun dengan pangsa 14,28% dari total belanja, dan belanja barang
dan jasa yang sebesar Rp 1,56 triliun (pangsa: 14,15%) juga baru terealisasi sebesar
39,39% dari pagu anggaran. Sementara itu, rata-rata belanja di setiap Kabupaten/Kota
mencapai 50,1% dengan rata-rata belanja modal sebesar 14,7%.
Apabila dianalisis secara spasial, adanya penundaan DAU untuk beberapa daerah
mulai dirasakan dampaknya. Hal ini terlihat dari realisasi daerah-daerah yang
mengalami penundaan, seperti Kab. Kupang (realisasi: 48,42%), Kab. Ende (44,27%),
dan Kab. Sumba Timur (48,42%) yang berada dibawah rata-rata pencapaian belanja
Kabupaten/Kota di NTT kecuali Kab. Manggarai Barat yang masih mampu
merealisasikan belanja hingga sebesar 55,64% dari pagu anggaran. Adapun presentase
belanja pemerintah tertinggi ada di Kabupaten Flores Timur sebesar 62,94%, diikuti
oleh Kab. Rote Ndao (60,32%) dan Kab. Manggarai Timur (58,85%). Namun dari sisi
komponen belanja, sebagian besar realisasi belanja masih digunakan untuk belanja
pegawai yang mencapai lebih dari 60% di beberapa Kota/kabupaten, diantaranya Kota
Kupang, Kab. Timor Tengah Utara, Kab. Belu, Kab. Malaka dan Kab. Ende. Sementara
Bab II |Keuangan Daerah 32
itu, belanja terendah berada di Kabupaten Malaka (38,52%) dengan komponen
realisasi terbesar adalah belanja pegawai (64,4%).
Grafik 2.10. Realisasi Belanja dan Komponennya Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Di sisi lain, realisasi belanja modal tertinggi ada di Kab. Rote Ndao (53,5%),
diikuti Kab. Flores Timur (49,7%) dan Kab. Manggarai Timur (44,4%), sementara
belanja modal terendah di Kab. Malaka (9,2%) , Ende dan Sumba Barat Daya (14,6%).
Namun porsi realisasi belanja modal dibandingkan total belanja tertinggi ada di Kab.
Sabu Raijua (30,5%) dan Kab. Rote Ndao (24,6%). Porsi belanja modal yang tinggi
tersebut menggambarkan besarnya belanja produktif yang dilakukan pemda.
Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.4 Dana Pemerintah di Perbankan
Berdasarkan data perbankan hingga Triwulan III-2016, tercatat Dana Pihak
Ketiga (DPK) Pemerintah dalam bentuk simpanan pada lembaga perbankan sebesar Rp
5,70 triliun. DPK tersebut menurun -17,8% (qtq) apabila dibandingkan triwulan II-2016
Bab II |Keuangan Daerah 33
yang sebesar Rp 6,93 triliun. Penurunan DPK tersebut menguatkan hipotesa
peningkatan realisasi anggaran pada triwulan-III yang digunakan bagi kegiatan
pemerintah. Total DPK pemerintah sendiri paling banyak berada pada komponen Giro
sebesar Rp 3,89 triliun.
Grafik 2.11. Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT
Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
PEMERINTAH GIRO TABUNGAN DEPOSITO TOTAL DPK
PUSAT 86.40 1.37 - 87.77
PROVINSI 141.36 2.84 204.60 348.80
KOTA 320.47 17.85 196.30 534.62
KABUPATEN 3,340.36 121.91 1,264.51 4,726.78
TOTAL (*Rp Miliar) 3,888.59 143.97 1,665.41 5,697.97
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Lampiran:
Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Rp jutaan
APBN KAB PROV TOTAL APBN KAB PROV TOTAL
PENDAPATAN DAERAH 260,527 20,617,972 3,876,020 24,754,519 1,747,150 13,938,422 2,728,755 18,414,327
BELANJA DAERAH 8,258,889 21,951,655 3,898,591 34,109,135 4,752,759 10,996,556 2,461,068 18,210,383
Belanja Modal 2,583,085 5,560,241 562,136 8,705,463 1,323,075 1,570,778 258,788 3,152,641
Belanja Konsumsi 5,675,804 16,391,414 3,202,708 25,269,926 3,429,683 9,425,777 2,202,281 15,057,741
Belanja Pegawai 2,443,985 9,242,372 673,780 12,360,137 1,830,505 6,110,070 455,355 8,395,930
Belanja Barang dan Jasa 3,210,303 3,950,686 655,806 7,816,795 1,593,535 1,556,372 416,694 3,566,601
Belanja Hibah - 149,663 1,458,914 1,608,577 - 94,430 1,131,624 1,226,055
Belanja Bantuan Sosial 21,516 43,131 21,830 86,477 5,643 21,872 6,291 33,806
Belanja Bagi Hasil - 309,245 357,699 666,944 - 164,917 174,723 339,641
Bantuan Keuangan - 2,630,066 24,679 2,654,746 - 1,467,058 17,437 1,484,495
Konsumsi Lainnya - 66,250 10,000 76,250 - 11,057 156 11,213
Belanja Lainnya - - 133,746 133,746 - - - -
SURPLUS/DEFISIT (7,998,362) (1,333,684) (22,570) (9,354,616) (3,005,608) 2,941,866 267,686 203,944
PEMBIAYAAN DAERAH
Penerimaan 1,434,969 82,570 1,517,539 2,168,392 162,936 2,331,328
SILPA Tahun Lalu 1,357,552 75,000 1,432,552 2,053,560 158,726 2,212,286
Lainnya 77,417 7,570 84,987 114,832 4,210 119,042
Pengeluaran 102,285 60,000 162,285 63,860 54,459 118,319
Penyertaan Modal 96,200 50,000 146,200 60,500 50,000 110,500
Lainnya 6,085 10,000 16,085 3,360 4,459 7,819
PEMBIAYAAN NETTO 1,332,684 22,570 1,355,254 2,104,532 108,477 2,213,009
SILPA SEKARANG (1,000) - (1,000) 5,046,398 376,164 5,422,562
APBN/APBD REALISASI
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 34
34
Inflasi NTT mengalami penurunan cukup besar di triwulan III 2016 dibanding
inflasi di triwulan II 2016 seiring deflasi yang terjadi di sepanjang triwulan III
2016. Tidak adanya kegiatan besar disertai adanya penurunan permintaan
menjelang tahun ajaran baru sekolah dan universitas, penghematan anggaran
pemerintah dan kondisi cuaca yang relatif baik membuat pasokan komoditas
bahan makanan cukup tersedia, sehingga harga dapat mengalami penurunan.
Kelompok komoditas volatile food menjadi penyumbang deflasi utama, setelah
pada triwulan sebelumnya menjadi penyumbang utama inflasi di NTT. Penurunan
harga ikan segar seiring dengan kondisi cuaca yang membaik ataupun penurunan
harga beras menjadi penyebab utama deflasi kelompok komoditas bahan makanan.
Secara triwulanan, pada triwulan III 2016, Provinsi NTT menjadi provinsi dengan
capaian deflasi terendah di Indonesia.
Sepanjang triwulan IV 2016, inflasi diperkirakan mengalami kenaikan cukup tinggi
seiring dengan adanya libur hari raya Natal dan Tahun Baru, kurangnya pasokan
daging ayam ras dan sayur-sayuran ataupun dikarenakan oleh pembalikan harga
yang saat ini sudah cukup rendah. Adanya peringatan hari nusantara juga
berpotensi meningkatkan inflasi angkutan udara seiring dengan waktu pelaksanaan
yang bertepatan dengan waktu perhitungan inflasi. Adapun capaian inflasi pada
bulan Oktober 2016 sebesar 0,19% (mtm) hanya sedikit lebih besar dibanding
nasional yang sebesar 0,14% (mtm).
Sepanjang tahun 2016, inflasi Provinsi NTT diperkirakan masih akan relatif rendah
pada kisaran 2,4-2,8% (yoy). Potensi inflasi yang cukup tinggi di akhir tahun
diprediksi tidak akan setinggi inflasi di akhir tahun 2015, sehingga nilai inflasi masih
dapat terjaga.
3.1. Kondisi Umum
Inflasi Provinsi NTT pada triwulan III 2016 mengalami penurunan yang
cukup besar mencapai 3,07% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang
sebesar 5,02% (yoy) atau relatif sama dengan inflasi nasional yang juga
sebesar 3,07% (yoy). Deflasi yang terjadi pada bulan Juli, Agustus dan
September 2016 membuat pencapaian inflasi NTT mengalami penurunan yang
cukup besar. Penurunan inflasi yang cukup signifikan ini terutama disebabkan oleh
penurunan inflasi bahan makanan seiring dengan peningkatan pasokan komoditas ikan
segar, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan karena membaiknya kondisi cuaca,
turunnya permintaan angkutan udara paska hari raya Idul Fitri dan libur sekolah, serta
adanya peningkatan kebutuhan pendidikan yang mendorong penurunan permintaan
pada komoditas yang lain. Adanya hari raya Idul Fitri, libur sekolah maupun hari
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 35
35
keluarga nasional di bulan Juli 2016 ternyata tidak berpengaruh terhadap inflasi NTT
dikarenakan oleh terjaganya pasokan komoditas. Tidak adanya even skala nasional di
bulan Agustus dan September 2016 membuat permintaan relatif normal, sehingga
dengan kondisi pasokan yang terjaga, harga dapat stabil bahkan mengalami
penurunan yang cukup besar. Kembali normalnya harga daging ayam ras juga
membantu deflasi yang terjadi, setelah di triwulan sebelumnya mengalami kenaikan
inflasi yang cukup tinggi.
Grafik 3.1. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan
Nasional Tabel 3.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang
Inflasi Tahunan di Provinsi NTT
Pada bulan Oktober 2016, Provinsi NTT kembali mengalami inflasi namun
relatif terjaga yaitu hanya sebesar 0,19% (mtm) membuat inflasi secara tahunan
mengalami penurunan menjadi sebesar 2,93% (yoy). Berdasarkan bulan berjalan,
inflasi NTT hanya sebesar -0,23% (ytd) dan menjadi capaian inflasi terendah
kedua setelah Provinsi Sulawesi Utara. Potensi inflasi tinggi diperkirakan dapat
terjadi pada bulan November dan Desember 2016 seiring majunya musim hujan
yang sudah terjadi yang berpotensi mengurangi pasokan ikan segar, sayur-
sayuran, dan bumbu-bumbuan. Kurangnya suplai DOC di seluruh Provinsi NTT
juga berpotensi meningkatkan harga daging ayam ras seiring tingginya
permintaan selama Hari Raya Natal dan Tahun baru.
3.1.1 Inflasi Bulanan Berbanding terbalik dengan kondisi di triwulan II 2016, Provinsi NTT
sepanjang triwulan III 2016 selalu mengalami deflasi di tiap bulannya. Walaupun
terdapat perayaan Hari Raya Idul Fitri, pembayaran gaji ke-14, libur sekolah dan
perayaan hari keluarga nasional yang berpusat di NTT pada bulan Juli 2016, Inflasi
Provinsi NTT justru dapat mengalami deflasi sebesar -0,32% (mtm) dibanding bulan
sebelumnya. Adanya peningkatan pasokan komoditas sayur-sayuran dan bumbu-
komoditas Inflasi yoysum
yoy
komoditas
Deflasiyoy
sum
yoy
Bawang Merah 102.72 0.40 Bensin (11.77) (0.31)
Rokok Kretek Filter 18.90 0.35 Kembung (19.15) (0.22)
Kangkung 36.95 0.28 Besi Beton (8.99) (0.07)
Pasir 14.04 0.17 Batako (14.00) (0.06)
Rokok Kretek 25.09 0.17 Cabai Rawit (50.73) (0.06)
Pisang 39.10 0.17 Solar (25.36) (0.05)
Nasi Lauk 7.23 0.16 Minyak Goreng (3.88) (0.04)
Gula Pasir 16.71 0.16 Seng (4.55) (0.04)
Semen 5.84 0.14 Daun Singkong (28.83) (0.04)
Tahu Mentah 31.90 0.14 Laptop (9.35) (0.04)
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 36
36
bumbuan seiring dengan membaiknya kondisi cuaca, dan sudah tingginya harga
komoditas di bulan sebelumnya membuat harga berbalik mengalami penurunan.
Pada bulan Agustus, Provinsi NTT kembali mengalami deflasi -0,80% (mtm)
terutama disebabkan oleh kembali menurunnya permintaan paska libur sekolah dan
Hari Raya Idul Fitri. Tingginya kebutuhan biaya sekolah juga membuat permintaan
komoditas mengalami penurunan. Angkutan udara menjadi penyumbang utama
penurunan harga diikuti komoditas ayam, daging dan telur ayam ras yang kembali
mengalami penurunan setelah sempat mengalami kenaikan signifikan pada triwulan II
2016 karena kekurangan pasokan.
Pada bulan September 2016, Provinsi NTT masih mengalami deflasi -0,17%
(mtm) terutama disebabkan oleh turunnya tarif angkutan udara seiring dengan
menurunnya permintaan paska pengumuman penghematan anggaran yang
disampaikan pemerintah. Membaiknya cuaca berdampak pada meningkatnya pasokan
ikan segar, dan sayur-sayuran. Pasokan gula juga kembali meningkat setelah di Jawa
mulai terdapat panen dan giling tebu.
Tabel 3.23. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Inflasi pada bulan Oktober 2016 kembali meningkat sebesar 0,19% (mtm).
Kurangnya pasokan DOC membuat pasokan ayam ras berkurang dan harga ayam ras
mengalami kenaikan cukup tinggi. Kekurangan DOC akibat dari pemusnahan indukan
yang terjadi tahun sebelumnya masih terasa dampaknya di tahun 2016 yang terlihat
dari fluktuasi harga daging ayam ras yang cukup besar. Harga sayur-sayuran dan
bumbu-bumbuan mulai meningkat setelah cenderung mengalami deflasi dalam 3 bulan
terakhir. Ikan segar mampu menjadi penghambat inflasi seiring dengan melimpahnya
pasokan di pasar.
Berdasarkan 10 komoditas utama pembentuk inflasi, hanya komoditas tarif listrik
dan kangkung yang persisten sebagai komoditas penyumbang inflasi utama, sedangkan
dari sisi deflasi, terdapat 9 komoditas yang dua kali menjadi penyumbang deflasi utama
KomoditasInflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Inflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Inflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Inflasi
(%)
Andil
(%)
Angkutan Udara 11.00 0.33 Pisang 13.35 0.05 Kakap Merah 37.91 0.08 Daging Ayam Ras 12.95 0.14
Tongkol 35.58 0.17 Sekolah Dasar 5.07 0.05 Kangkung 6.83 0.05 Sawi Putih 20.16 0.11
Tembang 34.99 0.09 Tarip Listrik 1.61 0.04 Tarip Pulsa Ponsel 2.83 0.05 Beras 0.79 0.05
Pasir 4.72 0.05 Sekolah Menengah Atas 2.41 0.03 Tarip Air Minum Pikulan 9.71 0.04 Buncis 74.74 0.05
Gula Pasir 5.00 0.05 Kentang 8.75 0.02 Perguruan Tinggi 1.58 0.04 Tarip Listrik 1.64 0.05
Tarip Listrik 1.37 0.04 Bunga Pepaya 14.13 0.02 Sawi Putih 6.71 0.03 Bayam 12.96 0.03
Mie 2.41 0.03 Kue Basah 5.46 0.02 Ayam Hidup 5.45 0.03 Ayam Hidup 4.03 0.03
Bayam 8.72 0.03 Ekor Kuning 11.15 0.02 Daging Babi 4.35 0.03 Tembang 9.58 0.02
Kangkung 3.59 0.03 Sepatu 6.25 0.02 Daun Singkong 19.11 0.02 Bawang Putih 7.73 0.02
Rokok Putih 3.46 0.03 Batu Bata 7.33 0.01 Tarip Listrik 0.86 0.02 Kubis 33.81 0.02
Juli Agustus September Oktober
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 37
37
antara lain daging ayam ras, angkutan udara, sawi putih, ikan kembung dan tembang,
tomat sayur, bayam, gula pasir dan ayam hidup. Turunnya harga daging ayam ras dan
ayam hidup lebih disebabkan oleh pembalikan harga setelah mengalami kenaikan
signifikan di triwulan sebelumnya. Membaiknya cuaca mampu meningkatkan pasokan
sayuran dan ikan segar, dan sudah tibanya musim giling tebu meningkatkan pasokan
gula.
Tabel 3.3. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan wilayah, inflasi di wilayah Balinusra mampu menjadi wilayah
dengan inflasi terendah kedua setelah wilayah Jawa secara tahunan dan terendah
kedua setelah Kalimantan secara triwulanan. Di Wilayah Balinusra, Inflasi NTT saat ini
berada di peringkat kedua terendah setelah NTB, dan secara triwulanan, inflasi NTT
mengalami deflasi -1,26% (qtq) dan menjadi inflasi terendah di Indonesia di sepanjang
triwulan III 2016.
Grafik 3.2. Perbandingan Inflasi 5 regional di
Indonesia Grafik 3.3. Perbandingan Inflasi di Wilayah
Balinusra
3.2. Inflasi Berdasarkan Kelompok Komoditas
Setelah menjadi penyebab tingginya inflasi di triwulan II 2016,
komoditas bahan makanan berbalik menjadi komoditas penyumbang deflasi
KomoditasDeflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Deflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Deflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Deflasi
(%)
Andil
(%)
Sawi Putih (38.19) (0.35) Angkutan Udara (8.67) (0.29) Angkutan Udara (7.83) (0.24) Kangkung (11.39) (0.09)
Daging Ayam Ras (14.83) (0.21) Daging Ayam Ras (14.74) (0.18) Kembung (18.02) (0.20) Angkutan Udara (2.92) (0.08)
Tomat Sayur (34.62) (0.15) Sawi Putih (17.45) (0.10) Tongkol (23.16) (0.15) Kembung (5.61) (0.05)
Kubis (53.30) (0.12) Bayam (21.76) (0.08) Tomat Sayur (25.84) (0.08) Kakap Merah (15.62) (0.04)
Kembung (7.76) (0.09) Tembang (17.31) (0.06) Wortel (23.25) (0.04) Tomat Sayur (18.87) (0.04)
Bawang Merah (15.80) (0.07) Tarip Pulsa Ponsel (2.52) (0.05) Gula Pasir (3.72) (0.03) Tarip Pulsa Ponsel (2.01) (0.04)
Sawi Hijau (28.70) (0.05) Ayam Hidup (5.86) (0.04) Tembang (11.49) (0.03) Wortel (22.85) (0.03)
Ayam Hidup (4.56) (0.03) Gula Pasir (3.60) (0.03) Bayam (11.43) (0.03) Ekor Kuning (12.39) (0.02)
Bawang Putih (9.10) (0.03) Telur Ayam Ras (4.21) (0.03) Cabai Rawit (26.41) (0.03) Telur Ayam Ras (2.30) (0.02)
Kentang (10.30) (0.03) Daging Ayam Kampung (13.83) (0.03) Jagung Manis (21.48) (0.02) Gula Pasir (1.92) (0.02)
Juli Agustus September Oktober
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 38
38
utama di triwulan III 2016. Peningkatan pasokan yang diikuti oleh penurunan
permintaan menjadi penyebab utama penurunan inflasi di triwulan III 2016. Secara
tahunan, komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan menjadi satu-satunya
kelompok komoditas yang mengalami penurunan harga dibanding tahun sebelumnya
dengan nilai deflasi sebesar -1,45% (yoy). Walaupun menjadi salah satu penyumbang
inflasi utama di triwulan III 2016, Kenaikan biaya pendidikan relatif rendah yang terlihat
dari nilai inflasi yang hanya 2,36% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan inflasi
perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar juga relatif rendah dengan nilai inflasi
sebesar 2,47% (yoy) meskipun terjadi kenaikan tarif listrik sejak bulan Juli hingga saat
ini. Bahan makanan menjadi komoditas dengan penurunan inflasi terbesar yaitu dari
11,03% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi hanya 3,07% (yoy) di triwulan III 2016.
Komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi komoditas penyumbang
inflasi utama di NTT terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan harga tembakau dan
minuman beralkohol seiring dengan meningkatnya cukai rokok yang terjadi.
Tabel 3.4. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
3.2.1 Bahan Makanan
Komoditas bahan makanan mengalami penurunan inflasi terbesar dalam
3 tahun terakhir hingga 7,19% (qtq) secara triwulanan, sehingga inflasi
tahunan mengalami penurunan signifikan dari 11,03% (yoy) menjadi hanya
3,07% (yoy) di triwulan III 2016. Selain disebabkan posisi harga jual komoditas yang
sudah terlampau tinggi, adanya peningkatan pasokan ikan segar seiring dengan
membaiknya cuaca, meningkatnya produksi sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan serta
adanya penurunan permintaan bahan makanan seperti daging ayam karena tingginya
kebutuhan rumah tangga untuk pendidikan telah membuat harga komoditas
mengalami penurunan yang cukup besar. Dari total 21 komoditas yang menjadi 10
besar penyumbang deflasi terbesar di triwulan III 2016, 18 diantaranya adalah
komoditas bahan makanan dengan 8 komoditas berupa sayur-sayuran, 3 komoditas
Jul Aug Sep Oct Tw III Oct
INFLASI UMUM 125.7 124.7 124.5 124.7 3.07 2.93
Bahan Makanan 120.1 117.1 115.6 116.5 3.07 3.38
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau142.7 142.6 143.3 143.7 10.14 9.97
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar122.3 122.5 122.9 123.2 2.47 2.70
Sandang 123.7 123.3 124.2 124.3 3.89 3.60
Kesehatan 114.1 114.7 115.1 115.3 3.15 3.42
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga123.6 125.0 126.0 126.1 2.36 2.21
Transportasi, Komunikasi dan Jasa132.3 129.9 128.7 127.8 (1.45) (2.60)
KomoditiIHK 2016 YOY
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 39
39
daging dan hasil-hasilnya, 3 komoditas ikan segar, 3 komoditas bumbu-bumbuan dan
telur ayam ras.
Grafik 3. 4. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan
Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan
Bulanan
Grafik 3.5. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan
Makanan per Sub Kelompok Komoditas
3.2.2 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
Setelah menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar di tahun 2015,
komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan di tahun 2016 berbalik menjadi
penyumbang deflasi terbesar di tahun 2016. Kembali turunnya harga bensin dan solar
hingga 11,74% (yoy) dan 23,65% (yoy) menjadi penyebab utama deflasi pada
kelompok komoditas ini. Selain itu, adanya penambahan frekuensi penerbangan dan
perpanjangan runway bandara yang telah dilakukan pemerintah di tahun sebelumnya
membantu menstabilkan tarif angkutan udara yang sebelumnya relatif lebih
berfluktuasi.
Grafik 3. 6. Inflasi Kelompok Komoditas
Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Grafik 3.7. Inflasi Kelompok Komoditas
Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per
Sub Kelompok Komoditas
Setelah hari raya Idul Fitri dan libur sekolah, permintaan angkutan udara relatif
melambat yang berdampak pada penurunan tarif angkutan udara di triwulan III 2016.
Adapun inflasi komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan lainnya relatif
stabil.
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 40
40
3.2.3 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau
Berbanding terbalik dengan pergerakan harga bahan makanan yang cenderung
menurun, inflasi kelompok komoditas Makanan jadi, Minuman dan Tembakau masih
cenderung mengalami kenaikan di triwulan III 2016. Minimnya persaingan usaha dan
terbatasnya sentra kuliner membuat harga makanan jadi bergerak naik, berlawanan
dengan trend harga komponen pembentuknya seperti komoditas bahan makanan yang
relatif turun ataupun bahan bakar yang relatif tetap. Pembangunan sentra kuliner baru
seperti food corner yang baru dibuka diharap dapat terus didorong agar menumbuhkan
persaingan di industri kuliner, sehingga diharapkan harga makanan jadi dapat ditekan.
Grafik 3. 8. Inflasi Kelompok Komoditas
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau secara
Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Grafik 3.9. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan
Jadi, Minuman dan Tembakau per Sub Kelompok
Komoditas
Komoditas minuman tidak beralkohol kembali menunjukkan penurunan, terutama
didorong oleh menurunnya harga gula yang disebabkan oleh mulai meningkatnya pasokan
seiring dengan musim giling yang terjadi di Jawa. Komoditas tembakau dan minuman
beralkohol masih menjadi penyumbang utama inflasi pada kelompok komoditas ini dengan nilai
inflasi hingga 19,32% (yoy) dibanding tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh tingginya
kenaikan cukai rokok dan tembakau.
3.2.4 Komoditas Lainnya
Inflasi pada komoditas lainnya seperti komoditas perumahan, air, listrik,
gas dan bahan bakar, komoditas sandang, kesehatan maupun pendidikan
masih relatif stabil. Kenaikan inflasi di triwulan III 2016 terutama hanya terjadi pada
komoditas pendidikan yang disebabkan oleh adanya kenaikan kelas dan tahun ajaran
baru dan kenaikan tarif dasar listrik pada beberapa kategori pelanggan. Beberapa
komoditas juga menunjukkan kenaikan seperti sandang anak-anak, biaya tempat
tinggal ataupun biaya kesehatan namun masih relatif rendah.
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 41
41
3.3. Disagregasi Inflasi
Seiring dengan turunnya harga komoditas volatile food, maka komoditas
inti beralih menjadi penyumbang utama inflasi berdasarkan disagregasi inflasi.
Inflasi komoditas inti pada triwulan III 2016 mencapai 3,66% (yoy), diikuti oleh
komoditas volatile food sebesar 3,04% (yoy) dan administered price sebesar 2,46%
(yoy). Kondisi cuaca yang membaik, peningkatan pasokan dan subtitusi bahan makanan
menjadi pendorong utama penurunan inflasi sedangkan adanya tahun ajaran baru,
peningkatan kebutuhan pakaian terutama untuk hari raya dan tahun ajaran baru, serta
kenaikan tarif listrik dan cukai menjadi pendorong kenaikan inflasi beberapa komoditas.
Grafik 3. 10. Disagregasi Inflasi dan Sumbangan
Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur
3.3.1 Kelompok Volatile Foods
Inflasi kelompok volatile foods mengalami penurunan signifikan pada
triwulan III 2016 setelah pada triwulan sebelumnya menjadi penyumbang
inflasi utama. Peningkatan pasokan bahan makanan seiring dengan kondisi
cuaca yang membaik dan adanya subtitusi konsumsi daging guna memenuhi
kebutuhan pendidikan selain juga disebabkan oleh kondisi pasokan yang
meningkat menjadi penyebab utama penurunan inflasi kelompok volatile
foods. Nilai inflasi volatile foods turun signifikan menjadi 3,04% (yoy) dibandingkan
kondisi inflasi di triwulan II 2016 yang masih sebesar 11,85% (yoy). Penurunan harga
ikan segar seiring dengan kenaikan pasokan menjadi penyebab utama penurunan
harga. Adanya subtitusi konsumsi daging ayam ras ke lauk pauk yang lebih murah serta
peningkatan pasokan ayam juga mendorong penurunan harga ayam yang cukup
signifikan. Namun demikian, dengan kondisi DOC yang mengalami defisit cukup besar,
diyakini harga akan mampu kembali naik cukup tinggi terutama menjelang akhir tahun
2016. Hujan yang sempat terjadi di tengah tahun akibat anomali cuaca La-Nina cukup
Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 42
42
membantu dalam meningkatkan pasokan sayur-sayuran. Hal ini membuat inflasi sayur-
sayuran mengalami penurunan signifikan, dari 28,34% (yoy) pada triwulan II 2016
menjadi hanya 6,87% (yoy) di triwulan III 2016. Harga bumbu-bumbuan juga
mengalami penurunan walaupun tidak terlalu besar. Hal yang patut diapresiasi adalah
stabilnya harga beras yang disebabkan oleh selain membaiknya cuaca, juga dikarenakan
oleh kembali longgarnya proteksi distribusi beras di daerah penghasil (Makasar dan
Sumbawa), sehingga pasokan beras ke NTT relatif lancar dan harga menjadi stabil.
3.3.2 Kelompok Administered Prices
Inflasi administered price secara tahunan justru menunjukkan sedikit
peningkatan, dari 1,99% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 2,46% (yoy) di
triwulan III 2016. Walaupun terjadi penurunan inflasi angkutan udara dan
bensin di triwulan III 2016, namun kenaikan tarif listrik beberapa golongan
pelanggan dan kenaikan cukai rokok dan tembakau berhasil menahan
penurunan yang terjadi. Inflasi komoditas transportasi pada triwulan III 2016
mengalami deflasi 2,29% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Deflasi tersebut
terutama disebabkan oleh turunnya harga bensin dan solar seiring dengan penurunan
harga minyak dunia di sepanjang tahun 2015 dan 2016. Peningkatan frekuensi
penerbangan juga telah menurunkan fluktuasi tarif angkutan udara yang terjadi,
walaupun belum signifikan.
Tingginya inflasi rokok kemungkinan selain disebabkan oleh rata-rata kenaikan
harga eceran rokok yang mencapai 11,5%, juga diduga disebabkan oleh meningkatnya
profit yang dihasilkan pelaku usaha di Kota Kupang. Hal ini terlihat dari besar kenaikan
inflasi komoditas tembakau dan minuman beralkohol Kota Kupang yang mencapai
21,05% (yoy), jauh lebih tinggi dibanding inflasi kelompok komoditas di Kota Maumere
yang hanya sebesar 8,98% (yoy) ataupun di daerah lainnya di Indonesia. Hanya Kota
Medan dan Palembang yang mengalami inflasi komoditas tembakau dan minuman
beralkohol yang lebih tinggi dibanding Kota Kupang. Adapun kenaikan tarif listrik
terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik non subsidi dengan daya 1.300 KVA
hingga 6.000 KVA ke atas.
3.3.3 Kelompok Inti (core)
Walaupun secara tahunan inflasi kelompok inti relatif mengalami
penurunan dari 4,05% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi 3,66% di triwulan III
2016, namun demikian, secara triwulanan, inflasi inti masih menunjukkan
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 43
43
adanya kenaikan 0,87% (qtq) terutama disumbang oleh kenaikan biaya
pendidikan, makanan jadi, dan minuman tak beralkohol. Walaupun besar
kenaikan tidak terlalu besar, adanya tahun ajaran baru telah meningkatkan biaya
sekolah dari TK hingga perguruan tinggi begitu juga dengan kebutuhan baju sekolah
untuk anak. Makanan jadi dan minuman tak beralkohol juga menjadi salah satu
penyumbang inflasi utama walaupun nilainya tidak terlalu besar. Kenaikan harga
makanan jadi secara bertahap juga telah menyumbang inflasi komoditas inti. Adanya
penurunan harga gula dinilai mampu sedikit memperlambat kenaikan harga komoditas
inti yang terjadi.
Walaupun sedikit berbeda arah, perkiraan inflasi pada triwulan IV 2016
diperkirakan meningkat dan bertahan hingga awal tahun 2017. Adanya hari raya
Natal dan tahun baru diduga mempengaruhi sentimen harga masyarakat yang
terutama disebabkan oleh sentimen peningkatan permintaan dan di saat yang sama
diprediksi terjadi penurunan pasokan hortikultura dan ikan tangkapan seiring dengan
kondisi cuaca yang diperkirakan memburuk.
Grafik 3.11. Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6
bulan ke Depan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota
3.4.1 Inflasi Kota Kupang
Inflasi Kota Kupang mengalami penurunan cukup besar menjadi 3,18%
(yoy) di triwulan III 2016 menurun dibanding posisi inflasi triwulan II 2016 yang
sebesar 5,23% (yoy) terutama disebabkan oleh inflasi komoditas bahan
makanan yang mengalami penurunan signifikan dibanding triwulan
sebelumnya. Saat ini, inflasi bahan makanan hanya sebesar 3,43% (yoy) turun
signifikan bila dibandingkan nilai inflasi di triwulan sebelumnya yang sebesar 12,04%
(yoy). Membaiknya cuaca menyebabkan pasokan ikan segar dan sayur-sayuran
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 44
44
meningkat, dan tingginya kebutuhan rumah tangga untuk pendidikan berpengaruh
terhadap penurunan permintaan komoditas bahan makanan serta subtitusi asupan
makanan ke komoditas yang lebih murah.
Grafik 3.12. Inflasi Tahunan Kota Kupang Tabel 3.5. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan
Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, hanya komoditas transportasi, komunikasi dan jasa
keuangan yang mengalami deflasi -0,90% (yoy) terutama disebabkan oleh
menurunnya harga bensin dan solar. Pada triwulan ini, tarif angkutan udara juga
mengalami penurunan seiring dengan adanya penurunan permintaan paska libur
sekolah dan hari raya Idul Fitri. Makanan jadi masih menjadi penyumbang utama inflasi
terutama disebabkan oleh meningkatnya harga rokok dan relatif tingginya kenaikan
harga makanan jadi dan minuman tak beralkohol. Inflasi komoditas lainnya seperti
perumahan dan kesehatan relatif stabil. Sedikit kenaikan terjadi pada komoditas
pendidikan seiring dengan datangnya tahun ajaran baru yang juga berimbas kepada
kenaikan harga sandang anak-anak terutama seragam sekolah.
3.4.2 Inflasi Kota Maumere
Berbeda dengan pola pergerakan inflasi di Kota Kupang, inflasi di Kota
Maumere cenderung lebih rendah dengan nilai inflasi sebesar 2,28% (yoy) lebih
rendah dari inflasi nasional dan NTT yang sebesar 3,07% (yoy). Inflasi bahan
makanan sedikit mengalami kenaikan di triwulan III 2016 terutama disebabkan oleh
cukup rendahnya inflasi yang hanya sebesar 0,49% (yoy) dibanding tahun sebelumnya.
Relatif lancarnya pasokan komoditas bahan makanan dan ketatnya persaingan antar
pelaku usaha justru berdampak positif terhadap stabilnya harga komoditas. Relatif
tingginya harga komoditas daging dan hasil-hasilnya lebih disebabkan oleh adanya
Jul Aug Sep Oct Tw III Okt
INFLASI UMUM 127.0 125.9 125.4 125.6 3.18 2.98
Bahan Makanan 122.6 119.4 117.2 118.1 3.43 3.80
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau142.5 142.4 143.2 143.4 10.69 10.38
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar123.0 123.1 123.5 123.8 2.00 2.24
Sandang 125.6 125.1 126.1 126.2 4.12 3.73
Kesehatan 114.4 114.9 115.4 115.6 3.15 3.43
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga121.0 122.7 123.4 123.6 2.47 2.30
Transportasi, Komunikasi dan Jasa135.0 132.3 130.9 130.2 (0.90) (2.37)
KomoditiIHK 2016 YOY
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 45
45
kelangkaan DOC yang berdampak pada kenaikan harga daging ayam ras di Provinsi
NTT.
Inflasi komoditas makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau juga relatif lebih
rendah dibanding inflasi di Kota Kupang. Komoditas makanan jadi hanya mengalami
inflasi sebesar 4,93% (yoy), lebih rendah dibanding rata-rata inflasi dalam tiga tahun
terakhir yang mencapai 10,30% (yoy). Adanya pujasera di beberapa titik berhasil
membuat harga makanan jadi relatif terkontrol dikarenakan oleh adanya persaingan
antar pedagang. Begitu pula dengan inflasi tembakau dan minuman beralkohol yang
hanya mengalami kenaikan sebesar 8,98% (yoy), jauh lebih rendah dibanding inflasi
kelompok komoditas yang di Kota Kupang yang mencapai 21,05% (yoy).
Grafik 3.13. Inflasi Tahunan Kota Maumere Grafik 3.6. Inflasi Inflasi di Kota Maumere
berdasarkan Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Kenaikan tarif listrik di Maumere ternyata berdampak lebih besar terhadap inflasi
Kota Maumere yang terlihat dari nilai inflasi Perumahan, air, listrik, gas dan bahan
bakar yang mencapai 6,64% (yoy). Penambahan frekuensi angkutan udara di Kota
Maumere langsung berdampak pada rata-rata tarif pesawat yang mengalami
penurunan. Dengan adanya penurunan bensin, solar dan angkutan laut, inflasi
transportasi, komunikasi dan jasa keuangan berhasil mengalami deflasi hingga 5,40%
(yoy) dibanding tahun sebelumnya.
3.5. Perkiraan Inflasi NTT Triwulan IV 2016 dan Sepanjang Tahun 2016
Inflasi NTT pada triwulan IV 2016 diperkirakan akan mengalami kenaikan
cukup besar. Namun demikian, adanya pelemahan permintaan diperkirakan
dapat menghambat laju inflasi yang terjadi. Tingginya inflasi terutama disebabkan
oleh adanya potensi lonjakan permintaan komoditas pada saat hari raya Natal dan
tahun baru. Selain itu, adanya kekurangan pasokan DOC juga berpotensi membuat
harga daging ayam meningkat cukup signifikan. Ditambah lagi dengan adanya potensi
Jul Aug Sep Oct Tw II Jul
INFLASI UMUM 117.4 117.0 118.4 118.7 2.28 2.59
Bahan Makanan 103.7 102.4 105.4 105.9 0.49 0.40
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau143.9 143.9 144.2 145.4 6.64 7.34
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar117.8 118.0 119.0 119.3 5.78 5.92
Sandang 111.0 111.2 111.4 111.8 2.17 2.64
Kesehatan 112.6 113.2 113.2 113.4 3.22 3.35
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga140.5 140.6 142.6 142.6 1.69 1.70
Transportasi, Komunikasi dan Jasa114.7 114.1 113.8 112.8 (5.40) (4.34)
YOYKomoditi
IHK 2016
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 46
46
penurunan pasokan ikan segar, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan yang disebabkan
oleh kondisi cuaca dan posisi harga pada beberapa komoditas bahan makanan yang
sudah dibawah harga normal berpotensi membuat harga kembali meningkat merespon
peningkatan permintaan yang ada.
Berdasarkan perkembangan inflasi bulan Oktober 2016, inflasi provinsi NTT
meningkat 0,19% (mtm). Kenaikan inflasi di bulan Oktober masih relatif terjaga yang
terlihat dari nilai inflasi tahunan yang sebesar 2,93% (yoy), lebih rendah dibanding
inflasi September yang sebesar 3,07% (yoy). Hal ini menunjukkan kenaikan inflasi di
bulan Oktober 2016 tidak sebesar inflasi di bulan yang sama tahun sebelumnya yang
mencapai 0,32% (mtm). Kenaikan harga daging ayam ras menjadi penyebab utama
inflasi yang terutama disebabkan oleh kembali normalnya permintaan dibarengi dengan
kekurangan pasokan dan sudah cukup rendahnya harga jual di bulan sebelumnya.
Pada bulan November, Provinsi NTT diprediksi akan kembali mengalami inflasi
seiring dengan sudah mulai rutinnya musim hujan yang berpotensi menurunkan
pasokan pangan. Gejala inflasi sudah terlihat pada hasil survei pemantauan harga (SPH)
minggu pertama bulan November yang menunjukkan adanya kenaikan inflasi dengan
penyumbang inflasi terbesar antara lain komoditas daging ayam ras, cabe rawit, cabe
merah besar, tomat sayur, ikan tembang dan bayam. hingga akhir tahun 2016, inflasi
diperkirakan berada pada kisaran 2,4%-2,8% (yoy). Inflasi terutama akan didorong
oleh kenaikan harga bahan makanan di akhir tahun seiring dengan meningkatnya
permintaan untuk memenuhi kebutuhan hari raya dan adanya potensi kenaikan harga
angkutan udara seiring dengan adanya libur akhir tahun dan perayaan hari nusantara
yang dipusatkan di NTT.
3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID
Pada triwulan III 2016, TPID Provinsi NTT telah menyelenggarakan 3 kali
FGD dalam rangka penyusunan Roadmap TPID Provinsi NTT sekaligus finalisasi
pembuatan roadmap TPID. Selain itu, telah diselenggarakan 1 kali rapat
koordinasi pusat dan daerah di Jakarta dan 1 kali rapat koordinasi wilayah di
Ternate. Di tingkat daerah, juga telah dilakukan HLM TPID Kabupaten Rote
Ndao di bulan Oktober 2016. Adapun inti pembahasan dalam rakorpusda di jakarta
meliputi 6 hal antara lain 1). Bagaimana mengatur tata niaga kebutuhan bahan pokok,
2). Bagaimana alokasi anggaran dalam rangka pengendalian inflasi di daerah, 3).
Bagaimana mengalokasikan anggaran dalam rangka membangun infrastruktur pangan
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 47
47
untuk pengendalian inflasi di daerah, 4). Bagaimana mempercepat realisasi anggaran
dan terobosan kebijakan yang dihasilkan dalam rangka pengendalian harga, 5).
Bagaimana kebijakan pengendalian harga yang dilakukan dapat selaras dengan upaya
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi yang stabil, dan 6). Bagaimana
menjaga keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi melalui deregulasi
peraturan pusat dan daerah yang menghambat agar tersedia barang dalm jumlah
cukup dan harga yang terjangkau.
Dalam rakorwil TPID di ternate, dibahas 3 hal utama terkait daerah antara lain
1). Terobosan kebijakan apa yang bisa dihasilkan oleh pemerintah daerah untuk
mendukung pengendalian harga, 2). Upaya apa yang dilakukan untuk percepatan dan
perluasan pembangunan infrastruktur distribusi dan 3). Kesiapan pemda untuk
mengaitkan roadmap pengendalian inflasi ke dalam Roadmap TPID. Menjawab poin
ketiga tersebut, TPID Provinsi NTT telah berhasil menyusun roadmap TPID yang
menyinergikan kegiatan bersama antar instansi dalam TPID dan kegiatan monitoring
dan evaluasi kegiatan SKPD dalam rangka pengendalian inflasi daerah dalam program
JUPE RUN 10K
program JUPE yang sudah di Revise dan di Update untuk pengendalian harga melalui
kegiatan bersama TPID daN melakukan monitoring program SKPD melalui program
10K.
Gambar 3.1. Kegiatan TPID Provinsi NTT Triwulan III 2016 dan
Sebaran Pembentukan TPID
Sumber : Sekretariat TPID, diolah
Boks 2 | Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko 48
Boks 2. Potensi Inflasi Bahan Makanan dan
Mitigasi Resiko
Inflasi bahan makanan di setiap akhir tahun di NTT dari tahun ke tahun senantiasa
menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Data inflasi bahan makanan dalam 9 tahun
terakhir menunjukan bahwa nilai inflasi bahan makanan menjelang hari raya Natal dan tahun
baru tidak pernah di bawah 2% dan selalu cenderung meningkat. Sejak 2011, inflasi bahan
makanan bahkan selalu di atas 3% dengan kenaikan tertinggi pada bulan Desember 2016.
Pergerakan inflasi bahan makanan selalu cenderung mengikuti pola tinggi di awal tahun
kemudian cenderung melambat dan kembali meningkat di akhir tahun. Berdasarkan
penyebabnya, inflasi di awal tahun lebih disebabkan oleh adanya puncak musim penghujan di
NTT, sehingga pasokan bahan makanan cenderung mengalami penurunan yang berdampak
pada kenaikan harga sayur-sayuran, padi-padian, bumbu-bumbuan, ikan segar serta daging
dan telur ayam ras. Selain produksi mengalami penurunan, cuaca buruk juga membuat arus
distribusi terhalang dan nelayan tidak bisa mencari ikan, sehingga pasokan menurun. Harga
akan berangsur-angsur menurun di bulan Februari dan seterusnya lebih dikarenakan selain
harga sudah terlampau tinggi, juga disebabkan oleh adanya peningkatan pasokan bahan
pangan. Libur sekolah dan Hari Raya Idul Fitri tidak terlalu berpengaruh meningkatkan harga
bahan makanan dikarenakan mayoritas penduduk yang non muslim dan banyaknya penduduk
yang justru berlibur ke luar NTT, sehingga konsumsi pangan justru stabil dan sedikit berkurang.
Kondisi permintaan pangan akan cenderung relatif terjaga hingga menjelang hari raya Natal
dan tahun baru. Pada bulan Desember, permintaan pangan mengalami peningkatan signifikan
seiring dengan budaya pesta natal yang dilakukan oleh penduduk NTT. Dengan kondisi hujan
yang sudah mulai sering membuat pasokan pangan juga mengalami penurunan yang berakibat
pada meningkatnya harga bahan makanan secara signifikan.
Grafik Boks 2. 1. Pola Pergerakan Inflasi
Kelompok Komoditas Bahan Makanan dalam 7
Tahun terakhir
Grafik Boks 2.2. Perbandingan Andil Inflasi 14
Komoditas Bahan Makanan dibandingkan Inflasi
Umum di Provinsi NTT
Berdasarkan hasil analisa terhadap 10 komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama
di provinsi NTT selama tahun 2016, didapatkan bahwa terdapat 14 komoditas bahan makanan
yang setidaknya lebih dari tiga kali sebagai penyumbang inflasi atau deflasi utama di NTT antara
lain komoditas beras, cabai rawit, telur ayam ras, wortel, daun singkong, bawang putih, cabai
merah, ayam hidup,tomat sayur, daging ayam ras, kentang, bayam, kangkung dan sawi putih.
Apabila andil inflasi keempat belas komoditas digabungkan, maka hasil inflasi gabungan
tersebut arahnya dapat digunakan untuk menjelaskan arah inflasi NTT terutama di tahun 2016.
Dari komoditas tersebut, hanya terdapat 2 komoditas yang tidak dibudidayakan di NTT yaitu
Boks 2 | Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko 49
telur ayam ras dan bawang putih, dua komoditas yang pemenuhan barangnya cenderung
impor dari luar yaitu beras dan kentang, satu komoditas yang dapat dipanen sepanjang waktu
yaitu daun singkong, dan satu komoditas yang karakter komoditasnya sama yaitu daging ayam
ras dan ayam hidup. Selebihnya, komoditas tersebut dapat dibudidayakan di NTT, sehingga
penyediaan pasokan untuk komoditas-komoditas tersebut dinilai perlu menjadi prioritas utama
pemerintah dalam usaha menjaga inflasi di daerah.
Tabel Boks 2.1. Rencana Masa Tanam dan Masa Panen Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di
Provinsi NTT tahun 2016
Berdasarkan data masa tanam dan masa panen, didapatkan bahwa komoditas wortel
dan cabe rawit setidaknya membutuhkan 3,5 bulan agar bisa dilakukan panen. Demikian pula
komoditas cabe merah yang perlu waktu 3 bulan, bawang merah butuh waktu 2,5 bulan, dan
tomat membutuhkan waktu 2 bulan. Adapun komoditas kangkung, sawi putih dan bayam bisa
ditanam dan panen kurang dari 1 bulan, dan komoditas ayam ras dapat dipanen antara minggu
ke-4 dan ke-5 setelah dibiakkan. Dengan kondisi waktu yang masih di tengah bulan November
2016, masih dimungkinkan untuk membuat sentra sayur-sayuran terutama kangkung, sawi
putih dan bayam. Adapun peningkatan produksi ayam ras saat ini masih sangat tergantung
oleh besarnya pasokan bibit ayam (DOC) dari Surabaya dan Bali. Oleh karena itu, pemerintah
dapat membantu menjaga kecukupan pasokan DOC dengan melakukan komunikasi ke
produsen terutama di Surabaya, pemerintah masih memiliki waktu untuk memfasilitasi
penanaman kangkung, sawi dan bayam, sedangkan komoditas lainnya dapat dipenuhi dengan
menjaga pasokan komoditas di pasar. Dengan menjaga pasokan komoditas utama
penyumbang inflasi di NTT diharapkan inflasi akhir tahun tidak setinggi data historis yang ada,
sehingga tujuan bersama untuk menjaga inflasi di NTT dapat terwujud.
September Oktober November Desember
5 12 19 26 1 10 17 24 31 1 7 14 21 30 1 5 12 19 26 31
Bawang Merah
Cabai Besar
Cabe Rawit
Tomat
Wortel
Ayam Ras
Kangkung
Sawi $ Sawi Putih
Bayam
Komoditas
Boks 3 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 50
Boks 3. Potensi Ancaman Inflasi Daging
Ayam Ras di NTT
Dampak dari pemusnahan 6 juta ekor indukan ayam (Grand Parent Stock - GPS) di
Indonesia hingga saat ini masih terasa dampaknya terutama terlihat dari fluktuasi harga daging
ayam ras yang cukup signifikan. Sebelum dilakukan pemusnahan GPS pada bulan September
2016, fluktuasi harga yang signifikan relatif jarang terjadi. Namun demikian, setelah
pemusnahan indukan dilakukan, pergerakan inflasi menjadi sangat tajam. Inflasi bulanan dapat
mengalami kenaikan hingga lebih dari 40% (mtm) dan kembali turun hingga lebih dari 20%
(mtm).
Grafik Boks 3. 1. Inflasi Daging Ayam Bulanan
dibandingkan Data Survei Pemantauan Harga Grafik Boks 3.2. Harga Daging Ayam Bulanan
SPH dibandingkan Estimasi Harga Inflasi
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Harga jual daging ayam juga menunjukkan kenaikan hingga lebih dari 50 ribu rupiah
per ekornya dan kembali turun dengan drastis. Fluktuasi harga tersebut lebih disebabkan oleh
minimnya pasokan daging ayam di NTT, sehingga setiap kali terjadi lonjakan permintaan daging
ayam ras, harga selalu mengalami kenaikan tinggi karena ketidakmampuan produsen
memenuhi permintaan pasar yang ada. Berdasarkan data surplus defisit kebutuhan daging
ayam ras, dengan asumsi rasio konsumsi daging ayam di NTT hanya sebesar 3kg per kapita per
tahun atau setara dengan 75% dari rata-rata konsumsi daging ayam ras secara nasional, maka
setidaknya dibutuhkan 8,5 juta ekor ayam per tahun untuk dikonsumsi. Dengan produksi per
tahun hanya sebesar 2,4 juta ekor ayam, maka setidaknya NTT kekurangan lebih dari 6 juta
ekor ayam untuk memenuhi kebutuhan daging ayam ras per tahunnya. Hal ini setara dengan
kekurangan 16 ribu ekor ayam per hari, jauh lebih besar dibanding total produksi ayam harian
di NTT yang hanya sebesar 6.600 ekor ayam ras per hari.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan, didapatkan bahwa impor daging
ayam ras dari luar NTT sangat minim dan hampir tidak ditemukan di pasar. Mayoritas pedagang
eceran memperoleh daging ayam ras atau ayam hidup dari petani inti kemitraan. Adapun impor
dari luar NTT hanya berbentuk DOC, pakan dan obat-obatan terutama berasal dari Surabaya
dan beberapa DOC dari Bali. Saat ini, kebutuhan DOC terutama berasal dari breeding farm
yang ada di Kabupaten Kupang dengan kapasitas harian lebih kurang sebanyak 9.000 ekor.
Kekurangan pasokan DOC akan dipenuhi dari breeding farm di Surabaya ataupun Bali.
Berdasarkan data tersebut dapat dihitung bahwa rata-rata konsumsi daging ayam ras di Provinsi
NTT hanya sebanyak 0,7kg/kapita/tahun, jauh lebih rendah dibanding rata-rata konsumsi
daging ayam ras nasional yang mencapai 3,97kg/kapita/tahun. Walaupun masyarakat lebih
Boks 3 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 51
sering mengkonsumsi ikan dalam kesehariannya, nilai konsumsi kurang dari 1kg/kapita/tahun
tetap menunjukkan rendahnya asupan protein hewani penduduk NTT.
Gambar Boks 3.1. Peta Produksi, Distribusi dan Estimasi Kebutuhan Daging Ayam Ras di NTT
Berdasarkan sebaran peternak, didapatkan bahwa peternak ayam ras pedaging di NTT
terkonsentrasi hanya di empat kabupaten di NTT yaitu Kabupaten Kupang sekaligus
memproduksi DOC, Belu, Nagekeo dan Sikka. Breeding farm di Kabupaten Kupang akan
mendistribusikan DOC ke Kabupaten Kupang sendiri, Kabupaten Belu, Sikka dan Nagekeo.
Kekurangan DOC akan dipenuhi melalui breeding farm di Jawa Timur dan Bali menggunakan
transportasi udara. Hasil ternak di Kabupaten Kupang akan didistribusikan ke Kota Kupang,
Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan dan Rote Ndao. Hasil ternak di Kabupaten Belu
digunakan untuk memenuhi kebutuhan di Kabupaten Belu sendiri, TTU dan Kabupaten Malaka.
Hasil ternak di Kabupaten Sikka didistribusikan ke Kabupaten Sikka sendiri, Ende, Flores Timur
dan Lembata. Sedangkan hasil ternak ayam di Kabupaten Nagekeo didistribusikan di Wilayah
Nagekeo, Ngada, Manggarai raya hingga ke Sumba. Beberapa daerah yang tidak dilayani
distribusi ayam ras tersebut akan cenderung memenuhi dengan jalan memelihara sendiri dalam
skala kecil seperti di Alor, Sabu Raijua dan sebagian di Sumba. Pemenuhan daging ayam di
wilayah Manggarai Barat sebagian juga dipenuhi dari Bima Nusa Tenggara Barat.
Berdasarkan kondisi tata niaga, sistem peternakan yang cenderung terkonsentrasi
tersebut dirasa sudah cukup efektif dalam menjaga pasokan dan harga daging ayam ras apabila
berada dalam kondisi normal. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah adanya kekurangan
DOC hingga mencapai 17 ribu ekor per hari membuat harga mengalami fluktuasi yang sangat
signifikan apabila terjadi kelangkaan produk. Apalagi menjelang hari raya Natal yang biasanya
permintaan mengalami kenaikan hingga dua kali lipat dari kebutuhan normal.
Untuk memenuhi kekurangan DOC yang ada, pedagang besar atau koperasi biasanya
langsung mendatangkan dari Jawa. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kurangnya
pasokan DOC di Jawa dan Bali membuat proses mendapatkan DOC juga menjadi relatif sulit.
Pasokan DOC bahkan dibatasi oleh produsen agar semua daerah di Indonesia bisa
mendapatkan pasokan DOC yang ada sehingga berpotensi menimbulkan inflasi tinggi di NTT
terlebih pada akhir tahun 2016. Harga DOC di Kupang dan Maumere juga relatif tinggi hingga
Rp 9.000,- per ekor, jauh lebih tinggi dibanding harga di Jawa saat ini yang sebesar Rp 6.700,-.
Boks 3 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 52
Tingginya harga DOC karena pedagang harus menanggung resiko kematian yang terjadi selama
pengiriman.
Untuk menanggulangi kekurangan pasokan yang ada, pada tahun 2017 sudah
direncanakan untuk dibangun breeding farm di Maumere. Namun demikian hal ini tidak dapat
menyelesaikan permasalahan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan daging ayam ras
pada hari raya Natal yang akan dirayakan. Untuk menanggulangi hal ini, pemerintah seharusnya
dapat bekerjasama dengan pelaku usaha di provinsi produsen untuk meminta penambahan
pasokan DOC, agar kenaikan kebutuhan daging ayam ras yang biasanya meningkat signifikan
pada waktu hari raya dapat dipenuhi. Dengan waktu pembesaran ternak yang masih
mencukupi, permohonan peningkatan pasokan DOC dirasa dapat segera dilakukan agar
potensi inflasi tinggi pada komoditas daging ayam ras dapat diminimalisir.
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K 53
Boks 4. ROADMAP TPID PROVINSI NTT :
JUPE RUN 10K
Perkembangan inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rentang waktu
2010-2015 mencatat angka rata-rata 6,8% (yoy) atau masih diatas nasional yang sebesar
5,85% (yoy). Dalam kurun waktu tersebut, NTT sempat mencatatkan prestasi dengan mencatat
angka inflasi dibawah nasional pada tahun 2014. Pencapaian tersebut mendapatkan apresiasi
dari pemerintah pusat dengan pemberian penghargaan Kepada Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID) Provinsi NTT sebagai TPID Terbaik di Kawasan Timur Indonesia
Sebagai upaya pengendalian inflasi, TPID Provinsi NTT pada tahun 2015 telah menyusun
sebuah roadmap yang berisi upaya-upaya dan rencana kerja pengendalian inflasi untuk periode
2015-2018. Roadmap tersebut akhirnya kembali disempurnakan pada tahun 2016 agar dapat
digunakan sebagai panduan kerja TPID tahun 2016-2018. Alur pikir penyusunan Roadmap TPID
NTT cukup unik dan beda bila dibandingkan Roadmap TPID daerah lain. Selain melakukan
identifikasi permasalahan melalui analisis time series, analisis peristiwa atau data historis,
pemetaan komoditas dan identifikasi masalah, TPID NTT juga berusaha untuk mensinergikan
program kerja yang telah disusun oleh SKPD dalam RPJMD, Rencana Kerja pemerintah daerah
(RKPD) yang disusun secara tahunan, Tujuh Program Pengendalian inflasi (7P) yang sudah ada,
dan Lima Pilar TPID pusat. Proses identifikasi masalah menggunakan 7 pendekatan antara lain
distribusi, produksi, infrastruktur, kelembagaan, konektivitas, regulasi dan SDM, demikian pula
dengan penyusunan alternatif solusi yang menggunakan 10 kategori solusi. Berdasarkan hasil
tersebut maka disusunlah grand desain roadmap TPID Provinsi NTT. Dalam proses perumusan
tersebut didapatkan bahwa untuk mengendalikan inflasi di daerah, diperlukan 2 pendekatan
besar yaitu kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama-sama oleh anggota TPID disinergikan
dengan proses monitoring dan evaluasi program kerja SKPD yang bersinggungan dengan
penangangan permasalahan inflasi, baik penanganan permasalahan yang bersifat jangka
pendek maupun struktural. Adapun tujuan dari pembuatan grand desain strategi tersebut
adalah untuk mendukung target pencapaian inflasi nasional sebesar 4±1% (2015-2017) dan
3,5±1% (2018) dan pencapaian target inflasi di Provinsi NTT sesuai RPJMD yaitu 4,4-4,8% di
tahun 2016, 4,3-4,7% di tahun 2017 dan 4,1-4,5 di tahun 2018.
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K 54
Gambar Boks 4.1. Alur Pikir Road Map TPID Provinsi NTT
Berdasarkan analisis terhadap 430 komoditas perhitungan inflasi di NTT, terdapat 31
komoditas yang memiliki andil cukup besar dalam pembentukan inflasi di rentang 2011-2016.
Dari jumlah tersebut sebanyak 22 komoditas merupakan kewenangan Pemda, 8 komoditas
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan 1 komoditas menjagi gabungan kewenangan
antara Pemda dan Pemerintah Pusat. Sementara itu, berdasarkan rata-rata andil , komoditas
beras dan angkutan udara menjadi pendorong utama. Berdasarkan kesamaan karakteristik
produk, ke-22 komoditas utama penyumbang inflasi tersebut dapat dikerucutkan menjadi 16
komoditas utama untuk dilakukan analisa permasalahan dan solusi penyelesaian.
Grafik Boks 4.1. 31 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di NTT
Sumber : BPS, diolah
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K 55
Secara umum, tantangan yang muncul terutama berasal dari kondisi cuaca, kondisi
demografis kepulauan yang menyebabkan tingginya ketergantungan pada transportasi udara
dan laut, masih kurang baiknya ketersediaan infrastruktur, terbatasnya investasi serta hal-hal
yang bersifat sosio-kultural, seperti faktor kelembagaan dan pengetahuan teknologi yang masih
kurang,
Dari kelompok volatile food terdapat beberapa tantangan yang teridentifikasi
diantaranya: (i) kendala cuaca dan alam yang dapat menghambat produksi dan distribusi, (ii)
Kurangnya sarana dan prasarana irigasi, (iii) Ketersediaan sarana dan prasarana produksi yang
masih kurang, (iv) Defisit pasokan (iv) Sarana dan Prasarana distribusi yang masih kurang dan
terbatas serta (v) Fluktuasi permintaan yang relatif besar.
Tantangan pengendalian inflasi dari kelompok inti antara lain (i) Rendahnya pasokan
dan persaingan antar penyedia jasa komoditas, (ii) Minimnya industri pengolahan di daerah, (ii)
Mahalnya biaya distribusi dari dan ke NTT, (iii) Jam operasional gudang yang terbatas serta (iv)
Kurangnya bersaingnya produk dikarenakan skala usaha yang kecil dan hambatan pasokan
listrik.
Dari kelompok administered prices, beberapa tantangan pengendalian inflasi yaitu: (i)
Geografi yang menyebabkan ketergantungan pada angkutan udara, (ii) Hambatan cuaca, (iii)
Kendala sarana dan prasarana bandara yang masih minim, (iv) Regulasi penyesuaian batas atas
pesawat 40%.
Gambar Boks 4.2. Strategi Pengendalian Inflasi di Provinsi NTT
Berdasarkan hasil analisa permasalahan dan solusi kebijakan tersebut, dihasilkan dua
strategi pengendalian inflasi meliputi kegiatan bersama yang akan dilakukan oleh TPID maupun
monitoring program kerja SKPD terkait dengan pengendalian inflasi di daerah. Kegiatan
bersama TPID masih akan tetap menggunakan pendekatan JUPE yang direvisi dan diperbaharui,
sedangkan kegiatan monitoring program kerja SKPD pendekatan 10K, sehingga kebijakan
.
Adapun terkait program kerja bersama, TPID Provinsi NTT masih berpedoman pada 7-P
(Jupe) yang direvisi dan diperbarui, yaitu: i) Pengendalian inflasi melalui program ketahanan
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K 56
pangan, ii) Penyediaan informasi bagi pelaku ekonomi, iii) Percepatan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur di daerah, iv) Pengelolaan ekspektasi masyarakat, serta v)
Pengendalian harga komoditas strategis melalui kebijakan Pemda. Adapun program kerja yang
direvisi meliputi vi) Peningkatan fungsi dan kelembagaan TPID dan vii) Peningkatan kerjasama
dan koordinasi antara TPID dan lembaga terkait lainnya. Perubahan terbesar dapat dilihat pada
sub program di masing-masing program kerja yang mencapai 57 program, menjadi jauh lebih
kaya dan beragam dibandingkan pendekatan JUPE sebelumnya.
Dalam rangka monitoring program kerja SKPD, TPID merancang program 10K yang
isinya antara lain i) Kuatkan Edukasi, ii) Kembangkan Infrastruktur, iii) Kedewasaan
Kelembagaan, iv) Keterpaduan program dan koordinasi, v) Ketersediaan konektivitas yang
handal, vi) Kecermatan dalam melakukan monitoring dan evaluasi, vii) Kembangkan dan
tingkatkan produksi komoditas strategis, viii) Kuatkan regulasi di daerah, ix) Kelola tata niaga, x)
Keterlibatan teknologi dalam proses produksi. Untuk melaksanakan kesepuluh program
monitoring tersebut, maka telah disusun 102 panduan langkah aksi yang akan dilakukan oleh
masing-masing SKPD yang penjabaran programnya akan dilakukan di setiap tahun mengikuti
RKPD yang disusun oleh masing-masing instansi pengampu program.
Harapan dari penyusunan roadmap TPID adalah yang pertama dan utama kelembagaan
TPID dapat semakin diperkuat dan setiap instansi dapat menjalankan program kerja yang
menjadi tanggung jawabnya, sehingga diharapkan inflasi di Provinsi NTT dapat dijaga,
permasalahan struktural dapat diatasi dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dan
berkualitas yang ditunjukkan oleh indikator kesejahteraan masyarakat yang mengalami
peningkatan.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 57
STABILITAS KEUANGAN DAERAH
Meskipun kinerja kredit sektor rumah tangga dan UMKM mengalami sedikit
perlambatan, Stabilitas Sistem Keuangan Daerah Provinsi NTT di triwulan III
2016 masih relatif kondusif.
Kredit sektor rumah tangga tumbuh sebesar 5,92% (yoy) dan secara agregat
memiliki rasio NPL sebesar 1,35%.
Walau sedikit melambat, kredit UMKM masih dapat tumbuh 2 digit. Pertumbuhan
tercatat sebesar 18,21% (yoy) dengan rasio NPL yang relatif terjaga yakni sebesar
3,27%
Meski sumbangan kredit korporasi relatif kecil dari keseluruhan kredit yang
disalurkan di Provinsi NTT, perbankan masih perlu mencermati peningkatan risiko
gagal bayar yang dialami oleh beberapa sektor korporasi.
Industri perbankan masih menunjukkan kinerja yang positif.
4.1 Kondisi Umum
Meskipun kinerja kredit di sektor konsumsi dan UMKM mengalami sedikit
perlambatan, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Daerah Provinsi NTT pada triwulan
laporan masih terjaga. Relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To
Value (FTV) di Agustus 2016 belum berdampak dalam mendorong berjalannya fungsi
intermediasi perbankan NTT terutama di sektor properti hingga triwulan laporan.
Namun demikian, rumah tangga senantiasa optimis terhadap kondisi ekonomi ke
depan sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja kredit konsumsi selanjutnya.
Sementara itu, perlambatan kinerja kredit UMKM disebabkan oleh melambatnya
pertumbuhan kredit di sektor perdagangan. Beberapa sektor antara lain: pertanian,
perikanan, dan penyediaan akomodasi meningkat cukup signifikan sehingga dapat
menahan perlambatan kredit secara keseluruhan. Perbankan perlu mencermati tekanan
risiko kredit UMKM karena NPL terpantau sedikit meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Di sisi lain, kredit korporasi justru mengalami penurunan pertumbuhan
dengan rasio NPL yang juga terpantau turun.
Kinerja industri perbankan secara umum masih positif. Meskipun terjadi
penurunan posisi aset di triwulan laporan, kinerja penyaluran kredit relatif kondusif
dengan rasio LDR yang senantiasa tetap terjaga. Begitu pula halnya dengan kinerja
intermediasi Bank Perkreditan Rakyat yang senantiasa terjaga dengan ditopang rasio
Capital Adequacy Ratio yang cukup tinggi.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 58
7.60%
5.37%
-8%-6%-4%-2%0%2%4%6%8%10%
02000400060008000
100001200014000160001800020000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
RT LNPRT Pemerintah g RT (yoy) g RT (qtq)
127.0
120.5
133.5
100
110
120
130
140
150
160
170
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
4.2 Asesmen Ketahanan Rumah Tangga
4.2.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
Sektor rumah tangga sebagai kontributor utama dalam PDRB mengalami
pertumbuhan sebesar 7,60% (yoy) di triwulan laporan atau sedikit lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 7,36% (yoy). Selain itu, konsumsi RT
juga tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 5,37% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tercatat sebesar 3,01% (qtq).
Grafik 4.1. Kontribusi Konsumsi RT Terhadap Konsumsi Agregat
Grafik 4.2. IKK, IKE, dan IEK
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Pertumbuhan konsumsi RT tercermin pula dari Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK), yang menggambarkan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian,
mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Meski sedikit menurun
dibandingkan tahun lalu, ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan
cenderung lebih baik. Kondisi ini didukung oleh optimisme konsumen terhadap
ketersediaan lapangan kerja 6 bulan yang akan datang.
Selain itu, berdasarkan hasil Survei Konsumen bulan September 2016 diperoleh
informasi bahwa pertumbuhan konsumsi secara tahunan diantaranya disebabkan oleh
adanya peningkatan indeks pengeluaran rumah tangga untuk makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau yang naik dari 166,3 di September 2015 menjadi 171,6 di
September 2016. Di samping itu, indeks pengeluaran untuk biaya sandang juga
terpantau meningkat dari 139,4 di September 2015 menjadi 149,7 di September 2016.
Peningkatan tersebut salah satunya karena seiring perayaan Hari Raya Idul Fitri dan
tibanya Tahun Ajaran Baru 2016/2017. Di sisi lain, Indeks kepercayaan masyarakat
terhadap jasa perbankan semakin menunjukkan perbaikan yang terlihat dari penurunan
nilai indeks dari sebelumnya 1,66 di triwulan II 2016 menjadi 1,56 di triwulan laporan.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 59
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih percaya untuk menyimpan dananya di
perbankan terlebih karena dana mereka masih dalam nilai penjaminan pemerintah.
Grafik 4.3. Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas
Grafik 4.4. Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Indeks lain yang menggambarkan tingkat ketahanan keuangan sektor rumah
tangga menunjukkan kondisi yang relatif stabil. Indeks keterlambatan rumah tangga
membayar cicilan triwulan laporan masih memperlihatkan kondisi yang cukup baik
yakni sebesar 1,74. Meski lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dan triwulan
sebelumnya yang masing-masing sebesar 1,54 dan 1,45; rumah tangga masih
dikategorikan aman dari keterlambatan pembayaran cicilan untuk konsumsi. Hal
tersebut juga didukung oleh indeks kepemilikan dana cadangan rumah tangga untuk
kebutuhan tak terduga yang menunjukkan bahwa rumah rata-rata memiliki dana
cadangan sampai dengan 1 bulan pendapatan. Dengan demikian, kekhawatiran
terjadinya keterlambatan pembayaran cicilan dapat diminimalisasi.
4.2.2 Eksposur Rumah Tangga di Perbankan
Terjadi perlambatan pertumbuhan DPK RT pada triwulan laporan. DPK tumbuh
sebesar 15,05% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
20,54% (yoy). Sektor RT masih mendominasi porsi DPK perbankan yakni sebesar
62,08% meningkat dibandingkan posisi triwulan sebelumnya yang sebesar 58,34%
atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang sebesar 54,10%.
Peningkatan DPK rumah tangga ini selain dikarenakan masih mampu meningkatnya
simpanan masyarakat di perbankan walaupun melambat, namun juga disebabkan oleh
adanya penurunan DPK non rumah tangga terutama lebih disebabkan oleh
menurunnya giro pemerintah seiring dengan percepatan realisasi anggaran.
1.52
1.79
1.66 1.56
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
139.4 137.3 149.7
166.3
178.5 171.6
132.0
117.5
138.1
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
Sandang Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Kesehatan
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 60
Grafik 4.5. Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Preferensi RT dalam simpanan masih didominasi oleh tabungan dan deposito
masing-masing dengan porsi sebesar 69,90% dan 25,60% pada triwulan laporan.
Pertumbuhan DPK dalam bentuk tabungan mengalami perlambatan dibanding triwulan
sebelumnya dari 21,95% (yoy) menjadi 15,63% tetapi lebih tinggi dari periode yang sama
tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 6,64%. Selain itu, deposito juga mengalami
perlambatan dibanding triwulan sebelumnya yaitu dari 15,54% (yoy) menjadi 14,09%
(yoy).
Sementara itu, berbeda halnya dengan giro pemerintah daerah yang mengalami
penurunan akibat adanya akselerasi realisasi anggaran, giro rumah tangga masih tetap
tumbuh walau melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni
dari 33,70% (yoy) menjadi 11,69% (yoy).
Grafik 4.7. Preferensi DPK Rumah Tangga Grafik 4.8. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Kredit sektor RT pada triwulan laporan secara agregat mengalami perlambatan
yakni sebesar 5,92%. Pertumbuhan hanya terjadi pada Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB) yang meningkat dari sebelumnya turun -1,04% (yoy) menjadi 3,14% (yoy).
Sementara itu, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Multiguna melambat cukup
signifikan menjadi masing-masing sebesar 0,74% dan 6,97% (yoy), dari triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar 2,33% dan 16,24% (yoy).
58.42 53.56 54.1067.95 60.56 58.34 62.08
41.58 46.44 45.9032.05 39.44 41.66 37.92
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
I II III IV I II III
2015 2016
RT/ Perseorangan Non RT
15.05%
-17.17%-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
40%
I II III IV I II III
2015 2016
RT/ Perseorangan Non RT
3.52 4.40 5.18 7.46 4.10 4.69 4.50
69.57 69.08 77.85 97.87 69.50 69.88 69.90
26.91 26.52 28.90 29.85 26.40 25.42 25.60
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
I II III IV I II III
2015 2016
Giro Tabungan Deposito
11.69%
15.63%
14.09%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
I II III IV I II III
2015 2016
Giro Tabungan Deposito
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 61
Grafik 4.9. Kredit Konsumsi Rumah Tangga Grafik 4.10. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV) di
Agustus 2016 tampaknya belum berdampak dalam mendorong berjalannya fungsi
intermediasi perbankan NTT terutama di sektor properti. KPR secara keseluruhan
mengalami tren perlambatan sejak tahun 2014 dan mengalami pertumbuhan paling
kecil pada triwulan laporan yakni sebesar 0,74% lebih rendah dibandingkan tahun lalu
yang tumbuh 13,51%. Adanya pameran perumahan yang cukup gencar dilakukan REI
dalam menyambut adanya relaksasi LTV dan FTV, paket kebijakan ekonomi pemerintah
tentang percepatan pemberian ijin pembangunan perumahan serta insentif pemerintah
untuk pembangunan rumah sederhana sehat dapat kembali meningkatkan kredit
perumahan.
Risiko gagal bayar KKB, KPR, dan kredit multiguna masih relatif sangat terjaga
dengan kisaran rasio NPL sebesar 0,5-1,5%. Selain itu, secara agregat kredit yang
disalurkan pada sektor RT memiliki NPL yang sangat baik yakni hanya sebesar 1,35%.
Namun demikian, NPL harus tetap dicermati mengingat masih rentannya kondisi
perekonomian domestik yang dapat memengaruhi kemampuan membayar sektor RT
atas semua kewajibannya, terutama kepada perbankan.
4.3 Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM
4.3.1 Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha
Dunia usaha memandang bahwa kondisi ekonomi saat ini masih cukup
kondusif. Peningkatan kegiatan usaha diantaranya disebabkan oleh sektor industri
pengolahan dengan SBT sebesar 1,57%, sektor LGA (listrik, gas, dan air bersih) sebesar
0,53%, serta sektor perdagangan sebesar 4,30%. Prospek kegiatan dunia usaha di
triwulan IV 2016 diperkirakan akan meningkat sebagaimana tercermin dari nilai SBT
5.92
-10
0
10
20
30
40
50
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
Rumah Tinggal KKB Multiguna g total
6.97
0.74
3.14
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
g Multiguna g Rumah Tinggal g KKB
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 62
sebesar 19,75%. Perkiraan peningkatan disebabkan oleh naiknya kegiatan usaha di
hampir seluruh sektor.
Grafik 4.11. Perkembangan Dunia Usaha Grafik 4.12. Kondisi Keuangan
Sumber: Bank Indonesia, 2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah Kondisi usaha yang cukup kondusif pada triwulan laporan juga didukung
dengan kondisi keuangan yang relatif baik. SBT kondisi keuangan meningkat menjadi
sebesar 43,06% pada triwulan laporan dari sebelumnya sebesar 38,10%. Pelaku usaha
menganggap bahwa relatif kondusifnya kinerja usaha pada triwulan laporan
berdampak positif pada likuiditas perusahaan sehingga pelaku usaha mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban terutama kepada perbankan. Hal tersebut juga
terkonfimasi dari data NPL untuk kredit sektor usaha yang terjaga di bawah 5%.
Namun demikian, perbankan perlu mencermati potensi risiko gagal bayar karena terjadi
sedikit peningkatan NPL dari sebelumnya 3,00% di triwulan II 2016 menjadi 3,27% di
triwulan laporan.
4.3.2 Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM
Meski mengalami perlambatan dibanding triwulan II 2016, kredit masih tumbuh
2 digit yakni sebesar 18,21%. Perkembangan penyaluran kredit didukung pula oleh
rasio NPL yang senantiasa terjaga di bawah level 5%. Penyaluran kredit Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM) pada triwulan laporan mencapai 7,31 triliun atau
mencapai 32,59% dari total penyaluran kredit perbankan di NTT. Penyaluran kredit
UMKM tersebut tumbuh sebesar 18,21% (yoy), sedikit melambat dibanding triwulan
sebelumnya yang sebesar 19,23% (yoy). Pertumbuhan tersebut juga lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan di periode yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar
19,38% (yoy). Relatif terjaganya pertumbuhan UMKM di kisaran 2 digit
mengindikasikan konsistensi geliat positif pada sektor riil di Provinsi NTT.
15.52
19.75
5.44
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV*
2013 2014 2015 2016
SBT Kegiatan Usaha (skala kiri) % PDRB qtq (skala kanan) %
43.06
3.27
0.00.51.01.52.02.53.03.54.04.5
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
SBT Kondisi Keuangan % (skala kiri) NPL % (skala kanan)
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 63
Grafik 4.13. Pertumbuhan Kredit UMKM Grafik 4.14. NPL UMKM
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Perlambatan kredit yang terjadi, utamanya disumbang oleh perlambatan Kredit
Modal Kerja (KMK) yang memiliki pangsa 82,91% dari total kredit. KMK mencatatkan
pertumbuhan sebesar 17,89% atau melambat dibandingkan triwulan II 2016 yang
sebesar 19,76%. Sementara itu, KI mencatatkan pertumbuhan sebesar 19,77% (yoy)
pada triwulan laporan atau lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar
16,65% (yoy) dan periode yang sama tahun 2015 sebesar 13,30% (yoy). Selain itu
berdasarkan jenis usaha, kredit menengah terpantau mengalami perlambatan
dibandingkan tahun sebelumnya, pertumbuhan kredit secara keseluruhan berhasil
ditopang oleh kenaikan pertumbuhan kredit dari usaha mikro dan kecil yang tumbuh
masing-masing sebesar 31,83% dan 16,47% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar 14,01% dan 12,79% (yoy).
Grafik 4.15. Pertumbhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan sektor ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terjadi di
sektor perdagangan besar dan eceran (pangsa 69,91% dari total kredit UMKM) yang
sedikit melambat dari sebelumnya 22,76% di triwulan II 2016 menjadi 20,08% (yoy) di
triwulan laporan. Beberapa sektor yang mengalami peningkatan cukup signifikan
antara lain sektor pertanian, perikanan, dan penyedia akomodasi. Adapun sektor yang
tercatat mengalami penurunan cukup dalam antara lain sektor jasa kemasyarakatan
18.21%
17.89%
19.77%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
%, yoyRpmiliar
Modal Kerja Investasi Growth Kredit
g Modal Kerja g Investasi
3.27%
3.18%
3.71%
0.0%
1.0%
2.0%
3.0%
4.0%
5.0%
6.0%
7.0%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
Kredit UMKM Modal Kerja Investasi Batas
1,9
12
3,1
27
2,2
70
10.85%
16.47%
31.83%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
%, yoyRpmiliar
MIKRO KECILMENENGAH g Menengahg Kecil g Mikro
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 64
dan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib yang
masing-masing mencatatkan penurunan sebesar -26,23% (yoy) dan -64,22% (yoy).
Grafik 4.16. Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3.3 Perkembangan Risiko Kredit UMKM
Pada triwulan laporan, rasio NPL gross mengalami sedikit peningkatan menjadi
3,27% dari 3,00% pada triwulan sebelumnya. Peningkatan NPL terbesar terjadi pada
kredit menengah yaitu dari 3,88% pada triwulan II 2015 menjadi 5,57% pada triwulan
laporan. Sementara itu, rasio NPL gross kredit usaha mikro terpantau turun dari 1,78%
pada triwulan II 2016 menjadi 1,58% pada triwulan laporan, serta kredit usaha
menengah turun dari 3,09% menjadi 2,64%.
Bila dibandingkan triwulan sebelumnya, sektor yang mengalami peningkatan
NPL antara lain sektor listrik, gas dan air bersih yang mengalami peningkatan NPL
paling tinggi yakni dari sebelumnya sebesar 10,51% di triwulan II 2016 menjadi
23,44% di triwulan laporan. Selain itu, NPL di sektor perdagangan besar dan eceran
juga sedikit mengalami peningkatan dari sebelumnya 2,46% di triwulan II 2016
menjadi 2,57% di triwulan laporan. Tercatat sektor lain yang memiliki NPL tinggi, yakni
sektor konstruksi (9,36%) dan sektor perantara keuangan (7,38%).
Adapun NPL sektor LGA didominasi oleh subsektor ketenagalistrikan lainnya
yang mencatatkan rasio sebesar 31,18% di triwulan laporan. Dari sektor konstruksi,
NPL disumbang oleh subsektor bangunan jalan raya (pangsa 28,01% dari total kredit
konstruksi) dengan NPL sebesar 12,05%. Meski demikian, NPL subsektor tersebut
mengalami penurunan dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 15,82%.
Sementara itu, dari sektor perantara keuangan NPL disumbang oleh subsektor
-26.23%
42.61%
-21.64%
-64.22%
55.00%
57.29%
-100%
-50%
0%
50%
100%
150%
200%
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
Jasa Kemasyarakatan Penyedia Akomodasi perantara keuangan
Administrasi Pemerintahan Pertanian Perikanan
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 65
perantara keuangan lainnya (non bank) selain leasing yang mencatatkan NPL sebesar
7,77% pada triwulan laporan.
Grafik 4.17. NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha Grafik 4.18. NPL UMKM 3 Sektor
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Secara keseluruhan risiko kredit UMKM masih dalam taraf yang terjaga.
Meskipun demikian, perbankan harus lebih selektif dalam memperhitungkan risiko
debitur untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan NPL di masa yang akan datang
terutama untuk sektor yang di triwulan laporan mencatatkan NPL di atas 5%.
4.4 Asesmen Ketahanan Korporasi
4.4.1 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Kredit korporasi menyumbang 6,41% dari keseluruhan penyaluran kredit di
provinsi NTT. Secara tahunan, penyaluran kredit korporasi mengalami penurunan
sebesar -3,24% di triwulan III 2016, namun melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar -4,73%. Penurunan nilai kredit kemungkinan besar lebih
disebabkan oleh upaya bank dalam menjaga rasio kesehatan perbanakn yang terlihat
dari rasio NPL secara industri yang juga mengalami penurunan dari sebelumnya 6,07%
di triwulan II 2016 menjadi 4,28% di triwulan III 2016.
Grafik 4.19. Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi Grafik 4.20. NPL Kredit Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Kredit perbankan kepada sektor korporasi mengalami penurunan pada hampir
seluruh sektor dengan sektor yang mengalami penurunan cukup dalam antara lain
1.58%
2.64%
5.57%
0.0%
1.0%
2.0%
3.0%
4.0%
5.0%
6.0%
7.0%
8.0%
9.0%
10.0%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
MIKRO KECIL MENENGAH Batas
1,0
24
413
39.56%
-3.24%
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
%, yoyRpmiliar
Modal Kerja Investasi Growth Kredit
4.28%
5.48%
1.32%
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
8%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
Kredit Modal Kerja Investasi Batas
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 66
sektor sektor transportasi pergudangan sebesar -71,42% (yoy) dan sektor perantara
keuangan sebesar -65,43% (yoy). Sementara itu, berdasarkan pangsa kredit,
penyaluran kredit perbankan didominasi oleh sektor perdagangan sebesar 45,40%,
diikuti sektor konstruksi sebesar 16,91%, dan sektor penyediaan akomodasi sebesar
14,18%.
Grafik 4.21. NPL Kredit 2 Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlu dicermati potensi risiko gagal bayar yang tercermin dari rasio NPL untuk
sektor korporasi antara lain di sektor konstruksi; pertambangan, serta real estate dan
usaha persewaan. Dari sektor konstruksi, NPL terbesar disumbang oleh perusahaan
swasta/ perseorangan dari subsektor konstruksi bangunan elektrikal dan komunikasi
lainnya yang menyumbang 61,83% dari keseluruhan posisi NPL.
Sementara itu, tingginya NPL di sektor pertambangan dan penggalian sejak
triwulan I 2016 berasal dari Kabupaten Kupang yang ditengarai dipengaruhi oleh
aktivitas pertambangan galian C yang terganggu akibat adanya penolakan warga
terhadap kegiatan eksplorasi. Di samping itu, NPL di sektor real estate, usaha
persewaan, dan jasa perusahaan yang telah melebihi batas 5% di triwulan III 2016,
didominasi oleh perusahaan swasta yang bergerak di subsektor jasa perusahaan.
4.5 Asesmen Perbankan
4.5.1 Kinerja Bank Umum
Total aset industri perbankan pada akhir triwulan laporan tercatat sebesar
Rp.30,33 triliun, mengalami penurunan pertumbuhan dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari -1,39% (yoy) menjadi -7,40% (yoy). Penurunan aset dialami oleh
bank pemerintah maupun bank swasta yang masing-masing mencatatkan penurunan
sebesar -8,15% dan -1,72% (yoy).
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 67
Grafik 4.22. Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy)
Grafik 4.23. Perkembangan LDR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Kredit perbankan masih tumbuh walau melambat dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya. Namun demikian, DPK hampir tidak menunjukkan adanya
pertumbuhan yang berdampak pada rasio LDR yang mengalami peningkatan.
Pertumbuhan DPK (yoy) pada triwulan laporan tercatat sebesar 0,29% (yoy), jauh lebih
rendah dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar 18,23%
(yoy). Sementara itu, pertumbuhan kredit turun tipis dari 14,30% (yoy) pada triwulan
yang sama tahun 2015 menjadi 13,82% (yoy) pada triwulan laporanyang berdampak
pada rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang terpantau naik dari 84,6% di triwulan III
2015 menjadi 96,0% pada triwulan III 2016.
Berdasarkan jenis simpanan, peningkatan pertumbuhan tabungan dari
sebelumnya 7,65% (yoy) di triwulan III 2015 menjadi 14,71% (yoy) di triwulan III 2016
tampaknya belum dapat menahan perlambatan DPK secara agregat. Hal ini karena
deposito terpantau melambat cukup signifikan dari sebelumnya 25,14% (yoy) di
triwulan III 2015 menjadi 2,02% (yoy) di triwulan laporan. Selain itu, giro juga menurun
sebesar -22,61% (yoy) dari tahun sebelumnya. Penurunan giro secara agregat
disebabkan oleh penurunan giro pemerintah sebesar -30,07% (yoy).
Sementara itu dari sisi kredit, terpantau bahwa seluruh jenis kredit baik modal
kerja, investasi, maupun konsumsi mengalami perlambatan dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut juga memengaruhi
efisiensi bank umum secara industri pada triwulan laporan yang sedikit mengalami
tekanan dibandingkan tahun sebelumnya (BOPO meningkat dari 66,8% menjadi
68,04%) karena adanya perlambatan pendapatan bunga yang disertai dengan
peningkatan beban operasional. Dengan demikian, profitabilitas bank yang terpantau
18.23%
0.29%
15.10%
13.37%
-1%
4%
9%
14%
19%
24%
I II III IV I II III
2015 2016
DPK Kredit
88.37%
99.90%
80%
82%
84%
86%
88%
90%
92%
94%
96%
98%
100%
102%
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
I II III IV I II III
2015 2016
DPK Kredit LDR
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 68
melalui ROA juga mengalami penurunan dari sebelumnya 4,2% di triwulan II 2016
menjadi 4,05% di triwulan III 2016.
Grafik 4.24. BOPO dan ROA Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat
Rasio LDR yang mencerminkan kinerja intermediasi mengalami penurunan pada
triwulan laporan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni dari
80,52% menjadi 77,89%. Rasio LDR tersebut dinilai masih baik dengan ditopang rasio
Capital Adequacy Ratio (CAR) yang senantiasa masih terjaga yakni sebesar 29,47%
pada triwulan laporan.
Grafik 4.25. LDR dan CAR BPR Grafik 4.26. BOPO, ROA, NPL BPR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah Namun demikian, BPR perlu memperhatikan risiko kredit yang sedikit meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang ditunjukkan oleh rasio NPL tercatat sebesar
6,56% meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, meski profitabilitas BPR
di triwulan laporan secara industri mengalami penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya (ROA turun dari 2,61% menjadi 2,59%), efisiensi BPR yang tercermin dari
rasio BOPO mengalami sedikit perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya (BOPO turun
dari 82,42% menjadi 82,00%).
68.04
4.05
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
4.0
4.1
4.2
4.3
4.4
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
I II III IV I II III
2015 2016
BOPO (%) ROA (%)
77.89
29.47
24
25
26
27
28
29
30
31
32
72
74
76
78
80
82
84
86
88
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
% LDR (skala kiri) % CAR (skala kanan)
82
2.59
6.56
0
1
2
3
4
5
6
7
72
74
76
78
80
82
84
I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2013 2014 2015 2016
% BOPO (skala kiri) % ROA (skala kanan)
% NPL (skala kanan)
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 69
Transaksi sistem pembayaran pada triwulan III 2016 mengalami perlambatan
antara lain disebabkan oleh selain perlambatan aktivitas ekonomi paska
pemotongan DAU di 5 pemda, juga disebabkan oleh tingginya pembayaran gaji
ke-13 dan 14 serta tunjangan hari raya yang persiapan pembayarannya telah
dilakukan pada triwulan sebelumnya.
Net transaksi pembayaran tunai menunjukkan adanya net outflow yang melambat
yang berarti perekonomian masih tumbuh namun relatif melambat dibanding
triwulan maupun tahun sebelumnya.
Kondisi kelayakan uang beredar di Provinsi NTT cenderung mengalami peningkatan
sejalan dengan tingginya penarikan uang tidak layak edar yang dilakukan
Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai masih tumbuh cukup tinggi walaupun
relatif melambat dibanding triwulan sebelumnya
5.1. KONDISI UMUM
Pada triwulan III 2016, sistem pembayaran tunai menunjukkan adanya net
outlow sebesar 395 miliar melambat dibanding triwulan dan tahun sebelumnya.
Bayaran uang tunai yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
NTT mengalami penurunan seiring dengan adanya perlambatan belanja pemerintah.
Sementara itu dari sisi setoran mengalami peningkatan lebih tinggi dari tahun
sebelumnya pada periode yang sama terutama disebabkan oleh kembalinya uang yang
beredar kedalam sistem perbankan setelah pada triwulan sebelumnya terjadi
peningkatan yang cukup tinggi untuk pembayaran gaji ke-13 dan 14 serta tunjangan
hari raya pelaku ekonomi lainnya. Temuan uang palsu yang dilaporkan pada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pada triwulan ini mengalami penurunan, dari
sebanyak 89 lembar pada triwulan sebelumnya menjadi hanya sebanyak 38 lembar.
Penggunaan sistem pembayaran non tunai fasilitas Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) di wilayah NTT pada triwulan III 2016 masih cukup tinggi namun
melambat dibanding triwulan sebelumnya. Namun demikian, pertumbuhan
penggunaan fasilitas SKNBI NTT masih berada jauh di atas Nasional. Layanan Keuangan
Digital (LKD) pada triwulan III 2016 baik dari sisi jumlah agen maupun tranksaksi LKD
masih menunjukkan adanya peningkatan.
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 70
Grafik 5.1 Perkembangan Transaksi Tunai Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Kliring
5.2. Transaksi Pembayaran Tunai
Transaksi pembayaran tunai di Bank Indonesia tercermin dari beberapa kegiatan,
diantaranya jumlah aliran uang keluar dari Bank Indonesia ke stakeholder (outflow),
jumlah aliran uang masuk dari perbankan ke Bank Indonesia (inflow), dan kegiatan
pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE), serta temuan uang palsu (UPAL).
5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow)
Pada triwulan III 2016, perkembangan aliran uang tunai di Provinsi NTT
mengalami perlambatan baik dibanding triwulan sebelumnya maupun
dibanding tahun sebelumnya. Perlambatan aliran uang ini selain mengkonfirmasi
adanya perlambatan ekonomi di triwulan III 2016 yang salah satunya disebabkan oleh
adanya penghematan anggaran pemerintah, juga disebabkan oleh majunya perayaan
hari raya Idul Fitri yang jatuh di tanggal 6-7 Juli 2016, sehingga pembayaran gaji ke-14
dan tunjangan lainnya sudah dibayarkan di bulan sebelumnya. Hal ini terkonfirmasi
oleh tingginya net outflow di triwulan sebelumnya. Nominal inflow pada triwulan ini
mencapai Rp.944,24 miliar atau tumbuh sebesar 12,29% yoy. Aliran uang masuk ini
menunjukkan kembalinya uang ke sistem perbankan setelah pada triwulan sebelumnya
mengalami outflow yang cukup tinggi. Sementara itu, outflow hanya mencapai
Rp.1.338,80 miliar atau menurun 20,65% yoy, mengkonfirmasi pelambatan
pengeluaran konsumsi pemerintah dan penyaluran kredit oleh perbankan. Namun
demikian, kondisi net outflow yang masih terjadi menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi masih terjadi walau tidak sebesar triwulan sebelumnya.
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 71
Grafik 5.3 Perkembangan Inflow, Outflow dan
UTLE
Grafik 5.4 Perkembangan Arus Uang Tunai
(Inflow-Outflow)
5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE)
UTLE yang dimusnahkan di Provinsi NTT pada triwulan III 2016 tumbuh
155,36% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama.
Tingginya penarikan dan pemusnahan UTLE sejalan dengan komitmen Bank
Indonesia untuk menyediakan uang layak edar bagi masyarakat. Hingga triwulan
III 2016 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah memusnahkan UTLE
sebanyak Rp.1.484,17 miliar, lebih tinggi dibanding tahun lalu. Sementara itu dari
setoran (inflow) yang sebesar Rp.944,24 miliar, sebanyak 48,61% adalah setoran Uang
Tidak Layak Edar.
Setoran UTLE di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT hingga triwulan
III 2016 meningkat 77,14% yoy lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2015
maupun tahun 2014. Tingginya penarikan UTLE lebih disebabkan oleh tingginya
peningkatan aktivitas perkasan yang dilakukan, antara lain melalui gerakan kas keliling,
dropling, gerpultas, gerakan peduli koin maupun melalui kegiatan gerakan cinta rupiah
yang diselenggarakan. Banyaknya kegiatan tersebut sejalan dengan komitmen Bank
Indonesia untuk menyediakan uang yang layak bagi masyarakat. Banyaknya kegiatan
yang dilakukan tersebut sebagai tindak lanjut atas hasil survei ULE yang telah dilakukan
yang menyatakan bahwa uang pecahan kecil yang diedarkan sebagian besar sudah
tidak layak edar.
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 72
Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT
Pada saat ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah mempunyai 3
kas titipan yang tersebar di Kabupaten Sikka, Kabupaten Belu dan Kabupaten Sumba
Timur. Pada triwulan IV 2016, Bank Indonesia telah menambah 2 kas titipan baru di
Kabupaten Ende dan Manggarai pada bulan Oktober 2016 dan akan menambah 1 kas
titipan di Kabupaten lembata pada bulan Desember 2016.
5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL)
Pada triwulan III 2016 temuan uang palsu yang tercatat di Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan triwulan atau tahun sebelumnya. Jumlah lembar uang
palsu yang awalnya ditemukan sebanyak 89 lembar turun menjadi 38 lembar saja yang
di laporkan pada triwulan ini. Pada triwulan III 2016 uang palsu yang dominan
ditemukan adalah pecahan Rp.100.000,- dan Rp.50.000,-.
Grafik 5.5. Perkembangan UTLE di Provinsi NTT Grafik 5.6. Perkembangan UPAL di Povinsi NTT
Untuk menanggulangi peredaran uang palsu yang beredar, secara aktif,
Bank Indonesia telah melakukan sosialisasi tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah
sebanyak 35 kali berupa 6 kali kegiatan CIKUR yang diadakan di pulau flores, timor dan
sumba dan 29 kegiatan CIKUR Modified bersamaan dengan kegiatan kas keliling yang
diadakan.
Periode
Kota/Kab
Indikator *)Sumba Timor Flores Jumlah Sumba Timor Flores Jumlah Sumba Timor Flores Jumlah
Kas Keliling 2 10 7 19 3 23 12 38 1 7 6 14
Kas Titipan 2 1 1 4 4 3 2 9 1 1 1 3
Total 4 11 8 23 7 26 14 47 2 8 7 17
*) Frekuens i
Sumber : KPw BI Provins i NTT diolah
TW3 2016TW1 2016 TW2 2016
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 73
5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai Perkembangan transaksi menggunakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) pada triwulan III 2016 dari sisi volume maupun nominal
mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Walaupun dari sisi
volume mengalami peningkatan sebesar 51,82% (yoy) atau mencapai 73.560 transaksi
dan berdasarkan nominal mengalami peningkatan sebesar 102,94% (yoy) atau sebesar
2,81 triliun, namun peningkatan tersebut tidak sebesar triwulan II 2016 yang secara
volume meningkat 86,02% (yoy) dan secara nominal meningkat 261,82% (yoy).
Walaupun mengalami perlambatan, pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi
dibanding pertumbuhan SKNBI Nasional yang hanya mampu tumbuh secara nominal
sebesar 37% yoy dan volume 16,27% yoy.
5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital
Jumlah agen maupun transaksi Layanan Keuangan Digital (LKD) di
Provinsi NTT pada triwulan III 2016 mengalami peningkatan yang ditunjukkan
oleh meningkatnya jumlah agen dan transaksi yang dilakukan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Pada triwulan III 2016, jumlah agen LKD tumbuh 10,11%
(qtq), lebih tinggi dibanding triwulan II 2016 yang hanya mencapai 6,43% (qtq).
Sementara itu, pertumbuhan jumlah tranksasi menggunakan LKD masih tumbuh
71,22% (qtq) namun melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang
mencapai 142,00% (qtq). Rata-rata transaksi harian agen LKD juga mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 4,19 transaksi per agen per hari
menjadi 4,32 transaksi per agen per hari. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
sudah mulai mengenal dan mau menggunakan fasilitas ini sebagai sistem pembayaran
dalam transaksi.
Boks 5 | LASIANA (Layanan Kas dalam Bingkai Semangat Nasionalisme 74
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi dengan kondisi geografis yang
cukup menantang dibanding provinsi lain di Indonesia. Apabila Provinsi Papua terkenal sebagai
provinsi dengan kondisi daratan tersulit untuk dijangkau, ataupun Provinsi Maluku yang
terkenal dengan kondisi lautan yang tersulit dijangkau di Indonesia, maka Provinsi NTT
menggabungkan kedua kesulitan tersebut, sehingga menjadikan provinsi dengan gabungan
konektivitas daratan dan lautan tersulit di Indonesia. Sebagai provinsi terluar dan
berbatasan langsung dengan 2 Negara yaitu Australia dan Timor Leste, dan memiliki penduduk
terbesar ke-2 di Indonesia Timur sebanyak 5 juta jiwa serta memiliki 1.192 pulau dengan 44
diantaranya dihuni manusia, dengan total luas wilayah lebih dari 5 kali Luas Provinsi Jawa Timur
atau lebih dari 32 kali luas Provinsi DKI, menjadikan provinsi NTT menjadi tempat yang paling
cocok untuk dijadikan laboratorium peredaran uang di Indonesia.
Dengan kondisi tingkat kelayakan jalan Provinsi dan Kabupaten/kota kurang dari 50%, kondisi
cuaca yang sangat ekstrim terutama dikarenakan adanya musim hujan dan musim angin,
berada di titik terluar perbatasan Negara, tingkat pendidikan masuk dalam 5 provinsi
terendah, perilaku penyimpanan uang yang kebanyakan tidak menggunakan dompet, kondisi
uang pecahan kecil (UPK) yang sebagian besar sudah tidak layak edar (UTLE), kondisi temuan
uang palsu yang kebanyakan sudah tidak layak edar serta kondisi SDM perbankan yang relatif
rendah, menjadikan Provinsi NTT sebagai daerah yang paling menantang dalam peredaran
uang rupiah, edukasi pemeliharaan dan pengenalan keaslian rupiah, monitoring peredaran
uang, serta laboratorium yang tepat dalam pengawasan sistem pembayaran pada
perbankan.
Gambar Boks 5.1. Peta Kas Titipan dan Jalur Distribusi Uang di NTT
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, secara generik Bank Indonesia melakukan 5
kegiatan terkait pengedaran uang yaitu kegiatan remise, kas titipan, kas keliling, CIKUR,
dan yang terbaru adalah kegiatan CCNP. Remise adalah kegiatan pengambilan modal ke
kantor kas BI dalam hal ini ke Makasar. Kas titipan adalah pembukaan kasanah titipan di
Boks 5 | LASIANA (Layanan Kas dalam Bingkai Semangat Nasionalisme 75
perbankan yang ditunjuk. Kas Keliling adalah kegiatan melayani penukaran uang di daerah.
CCNP adalah kepanjangan tangan dari kas keliling hanya saja yang melakukan adalah
perbankan yang ditunjuk untuk kerjasama dan CIKUR adalah wahana edukasi dan pengenalan
ciri-ciri keaslian uang rupiah. Dengan banyaknya permasalahan sebagaimana disebut di atas,
dirasakan perlu untuk memperkuat peran dan tugas pengedaran uang agar kehadiran Bank
Indonesia dapat lebih dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sepanjang tahun 2017 telah
dilakukan beberapa inisiatif kegiatan baru antara lain pembukaan 2 kas titipan baru di
Kabupaten Ende dan Manggarai pada bulan Oktober 2016 bersamaan dengan kegiatan
gerakan cinta rupiah yang diadakan. Selain itu, juga akan diinisiasi percepatan pembukaan kas
titipan baru di Kabupaten Lembata untuk mendukung hari nusantara yang menurut rencana
akan dihadiri secara langsung oleh presiden Republik Indonesia.
Gambar Boks 5.2. Bagan Inovasi Perkasan di KPwBI Provinsi NTT
Selain kelima fungsi generik yang ada, Bank Indonesia Provinsi NTT juga menambah 7 kegiatan
inisiatif lainnya dan memodifikasi kegiatan generik yang dilakukan. Kegiatan tersebut meliputi
Dropling dengan dasar kegiatan seperti kas keliling, hanya saja kami menambahkan sasaran
pengedaran tidak hanya masyarakat tetapi juga pelaku usaha dan perbankan, sehingga modal
yang dibawa dapat meningkat. Sidak siram adalah kegiatan monitoring dan evaluasi (monev)
perkasan perbankan. Survei ULE adalah kegiatan monev kelayakan uang di masyarakat.
Gerpultas adalah kegiatan penarikan uang lusuh di perbatasan sebagai respon atas rendahnya
soil level yang ditangkap dalam survei ULE. Peduli koin adalah gerakan menarik uang logam
agar dapat kembali dimanfaatkan oleh masyarakat, GCR adalah gerakan cinta rupiah berupa
edukasi masyarakat untuk mencintai dan menggunakan rupiah sebagai sarana pembayaran
yang sah di Indonesia. Adapun tema GCR tahun ini adalah peduli tepian negeri. Gerabah yaitu
kegiatan monev tingkat kelayakan uang di ATM yang pada pelaksanaannya akan
dikombinasikan dengan sidak siram setelah diketahui pada ATM bank mana yang tingkat
kelusuhan uangnya paling tinggi. Dan terakhir adalah CIKUR Modifikasi yaitu
menggabungkan kegiatan kas keliling dan dropling dengan menambahkan CIKUR, sehingga
edukasi masyarakat dapat diperluas. Dengan adanya kegiatan tersebut di atas, aktivitas sistem
pembayaran mengalami peningkatan signifikan dari 83 kegiatan di tahun 2016 menjadi 272
kegiatan di tahun 2016.
Boks 5 | LASIANA (Layanan Kas dalam Bingkai Semangat Nasionalisme 76
Tabel Boks 5.1. Realisasi Kegiatan Perkasan Bank Indonesia di tahun 2016
Adapun dampak dari kegiatan tersebut di atas antara lain meningkatnya kesadaran masyarakat
akan ciri-ciri keaslian uang rupiah, penarikan dan pemusnahan uang tidak layak edar meningkat
signifikan maupun selisih lebih dan kurang dalam setoran perbankan mengalami penurunan
signifikan. Hasil positif dari inisiatif yang telah dilakukan tersebut akan terus dikawal agar tujuan
Bank Indonesia dalam menyediakan uang layak edar baik secara kuantitas maupun kualitas di
seluruh Provinsi NTT dapat tercapai.
Grafik Boks 5.1. Kegiatan
Pemusnahan Uang
Grafik Boks 5.2. Frekuensi
Kegiatan Kas Keliling dan
Dropling
Grafik Boks 5.3. Selisih
Lebih dan Kurang Setoran
Bank
REALISASI REALISASI
2015 KEGIATAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kas Titipan Action 15 19 1 2 1 2 2 3 2 2 2 2
Remise Action 7 6 1 1 1 1 1 1
CCNP Action 1 2 2
New Kas Keliling Action 9 86 4 5 9 6 9 16 9 12 8 8
CIKUR Modified Edukasi 11 86 4 5 9 6 9 16 9 12 8 8
Gerakan Cinta Rupiah Edukasi 2 5 1 2 1 1
Dropling Action 30 42 4 2 6 6 6 4 5 4 3 2
Gerpultas Action 0 1 1
Peduli Koin Action 0 5 2 2 1
Sidak Siram Monev 4 -
Gerabah Monev 0 1 1
Survei ULE Monev 4 19 7 4 4 2 2
TOTAL AKTIVITAS 83 272 20 15 29 24 27 40 26 35 30 26 - -
2016INOVASI PERKASAN FUNGSI
Kegiatan Pemusnahan Uang Frekuensi Kas Keliling dan Dropling
9
3025
41
Kaskel Dropling
2015
2016
Kegiatan Pemusnahan Uang Frekuensi Kas Keliling dan Dropling
9
3025
41
Kaskel Dropling
2015
2016
Nominal Kas Keliling dan Dropling Selisih Lebih dan Kurang Setoran
Bank
250
300
2015 2016
Kaskel
2015 2016
Dropling
39.70069.500
406
925
273 294
SELISIH LEBIH SELISIH KURANG
2015 2016
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 77
77
KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN
Perkembangan Sektor Ketenagakerjaan dan Indikator Kesejahteraan Provinsi
NTT terindikasi mengalami perkembangan yang positif. Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) pada bulan Agustus tercatat sebesar 3,25%, lebih baik
dibandingkan bulan Maret yang sebesar 3,59%. Peningkatan penyerapan
tenaga kerja terutama berasal dari sektor Industri dan Jasa Kemasyarakatan.
Sementara itu, indikator kesejahteraan masyarakat yang terlihat dari Nilai
Tukar Petani (NTP) dan Survei Konsumen-Bank Indonesia menunjukkan adanya
peningkatan pada Triwulan-III 2016.
66..11.. KKOONNDDIISSII UUMMUUMM
Kondisi tenaga kerja dan kesejahteraan di Provinsi NTT menunjukkan
angka perbaikan yang terlihat dari penurunan TPT dan indikator survei Badan
Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI). Berdasarkan data BPS, angka
pengangguran pada bulan Agustus 2016 tercatat sebesar 76.580 orang menurun
dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 87.699 orang. Penurunan didorong oleh
adanya pergeseran jumlah penduduk usia >15 tahun yang sebelumnya termasuk
angkatan kerja menjadi bukan angkatan kerja yang didorong adanya peningkatan
preferensi masyarakat untuk melanjutkan sekolah dan mengurus rumah tangga.
Sementara itu, sektor industri dan jasa kemasyarakatan menunjukkan peningkatan
penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi.
Disisi lain, indikator kesejahteraan pada triwulan-III juga menunjukkan
perbaikan. Indikator NTP menunjukkan adanya perbaikan dari 100.67 pada bulan Juni
menjadi 102.03 di bulan September 2016. Peningkatan terutama terjadi karena adanya
peningkatan angka indeks pada sektor Tanaman Padi-Palawija serta Tanaman
Perkebunan Rakyat yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat
pada sektor tersebut. Hasil Survei Konsumen-BI juga menunjukkan adanya peningkatan
angka indeks penghasilan yang didapatkan masyarakat.
66..22.. PPEERRKKEEMMBBAANNGGAANN TTEENNAAGGAA KKEERRJJAA
66..22..11 PPeerrkkeemmbbaannggaann TTeennaaggaa KKeerrjjaa UUmmuumm
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi NTT tercatat masih lebih
rendah dibandingkan nasional dan berada di peringkat ke-6 terendah dari 34
Provinsi di Indonesia. Presentase TPT NTT pada bulan Agustus 2016 sebesar
3,25% berada di bawah nasional yang sebesar 5,61%. Selain itu, angka TPT NTT
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 78
78
tersebut juga berada di peringkat ke-6 terendah Provinsi di Indonesia, dibawah Bali
(1,89%), Bangka Belitung (2,60%), Daerah Istimewa Yogyakarta (2,72) , Sulawesi
Tenggara (2,72) dan Gorontalo (2,76). Namun, rendahnya angka TPT tersebut cukup
terkontradiksi dengan persentase penduduk miskin di Provinsi NTT yang berada di
peringkat ke-3 tertinggi nasional di bawah Papua dan Papua Barat. Dari sisi komposisi,
banyaknya presentase pekerja tidak dibayar di Provinsi NTT sebesar 25,06% dapat
menunjukkan masih terbatasnya pilihan lapangan kerja dan kualitas Sumber Daya
Manusia, sehingga masih banyak tenaga kerja yang hanya membantu kegiatan usaha
keluarga terutama di sektor pertanian daripada membuka lapangan usaha sendiri atau
menjadi pekerja di sektor formal. Luas lahan garapan pertanian milik keluarga yang
terbatas (petani gurem) dan rendahnya produktivitas lahan menyebabkan pendapatan
masyarakat cenderung tidak besar dan terkadang hanya cukup untuk kebutuhan
makan sehari-hari.
66..22..22 KKoonnddiissii KKeetteennaaggaakkeerrjjaaaaaann BBeerrddaassaarrkkaann SSeekkttoorr
Dari sisi jumlah angkatan kerja dan pengangguran, terjadi penurunan jumlah
angkatan kerja pada Agustus 2016 yaitu menjadi sebanyak 2,35 juta orang dibanding
bulan Februari yang sebesar 2,45 juta orang. Penurunan tersebut terutama didorong
oleh adanya peningkatan kategori orang bukan angkatan kerja yang telah berusia
diatas 15 tahun sebesar 126.770 jiwa seiring dengan kenaikan jumlah orang sekolah
dan jumlah orang yang masuk kategori mengurus rumah. Hal ini mengindikasikan
adanya perkembangan positif pada antusiasme masyarakat NTT untuk melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Jumlah pengangguran menurun dari 87.669 orang (Februari 2016) menjadi
76.580 orang (Agustus 2016) terutama didorong oleh adanya peningkatan penyerapan
tenaga kerja di sektor industri dan jasa kemasyarakatan. Berdasarkan data historis,
Grafik 6.1 Perbandingan Tingkat Pengangguran Provinsi NTT dan Nasional
Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Prosentase Pengangguran Terendah
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 79
79
penyerapan tenaga kerja sektor jasa kemasyarakatan mengalami kecenderungan trend
peningkatan selain sektor perdagangan. Hal ini menunjukkan adanya indikasi
pergeseran preferensi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor lainnya. Di sisi lain,
apabila dilihat dari sisi siklikal, pola peningkatan tenaga kerja di Provinsi NTT cenderung
terjadi pada bulan Februari seiring adanya panen di awal tahun.
Masih tingginya ketergantungan pada sektor pertanian juga terlihat dari
komposisi tenaga kerja di sektor pertanian yang masih dominan sebesar 53,3% diikuti
oleh sektor jasa kemasyarakatan sebesar 16,4%. Sementara apabila dilakukan analisis
perkembangan angkatan kerja dan tenaga kerja secara tahunan, terlihat bahwa terjadi
perkembangan positif pada bulan Agustus 2016. Hal ini terlihat dari pertumbuhan
penyerapan pekerja secara tahunan yang lebih tinggi dari angkatan kerja.
66..22..33 KKoonnddiissii KKeetteennaaggaakkeerrjjaaaaaann BBeerrddaassaarrkkaann TTiinnggkkaatt PPeennddiiddiikkaann
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, jumlah pengangguran yang
berasal dari tamatan SMA/SMK tercatat menjadi yang tertinggi yaitu 31.155 orang
pada bulan Agustus 2016. Namun, jumlah tersebut tercatat menurun dibandingkan
bulan Februari 2016 yang tercatat sebesar 38.280 orang. Peningkatan jumlah
penganggur justru terjadi pada tingkat universitas yang tercatat sebesar 2.358 orang
Grafik 6.3 Perbandingan Jumlah Angkatan Kerja, Pekerja dan Penganggur di Provinsi NTT
Grafik 6.4 Tren Penyerapan Tenaga Kerja Per-Sektor
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.5 Struktur Tenaga Kerja di NTT Bulan Agustus 2016
Grafik 6.6 Pertumbuhan Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 80
80
pada bulan Agustus dibanding Februari 2016. Secara tahunan (Agustus 2016 dibanding
Agustus 2015), pertumbuhan jumlah pengangguran di tingkat Universitas tercatat
meningkat sebesar 14,4% (yoy) dibandingkan tingkat pendidikan lain yang cenderung
menurun. Hal ini menunjukkan masih kurangnya lapangan kerja, terutama yang bersifat
formal untuk menampung tenaga kerja terdidik dengan tingkat pendidikan universitas
di Provinsi NTT. Perlu adanya langkah-langkah dari pemerintah untuk tetap menjaga
iklim investasi di Provinsi NTT, serta mengantisipasi hambatan-hambatan investasi
seperti masalah lahan, administrasi maupun infrastruktur yang menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan sektor industri ataupun sektor pariwisata yang notabene
dapat menjadi area lapangan kerja baru untuk lulusan terdidik di Provinsi NTT.
Grafik 6.7 Perkembangan Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Grafik 6.8 Perkembangan Angkatan Kerja dan Pekerja Menurut Tingkat Pendidikan
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
66..22..44 KKoonnddiissii KKeetteennaaggaakkeerrjjaaaann MMeennuurruutt SSttaattuuss PPeekkeerrjjaaaann
Struktur tenaga kerja berdasarkan status pekerjaan di Provinsi NTT pada bulan
Agustus 2016 cenderung masih didominasi oleh pekerja informal sebanyak 74,8% atau 1,7
juta penduduk. Namun, terjadi peningkatan cukup signifikan untuk pekerja formal yang
pada Agustus 2015 tercatat sebesar 475.028 orang menjadi 573.875 orang pada bulan
Agustus 2016 atau mengalami kenaikan 20,8% (yoy). Adanya pergeseran jumlah tenaga
kerja dari pekerja informal menjadi pekerja formal dengan jumlah cukup signifikan sebesar
98.847 orang menunjukkan adanya peningkatan kualitas angkatan kerja di Provinsi NTT
pada bulan Agustus, walaupun untuk level pendidikan tertinggi seperti universitas jumlah
lapangan kerja masih belum cukup menampung jumlah lulusan setiap tahun. Dari sisi status
pekerjaan formal, peningkatan cukup signifikan terjadi pada buruh/karyawan yang tumbuh
sebesar 21,9% (yoy).
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 81
81
Grafik 6.9 Perkembangan Struktur Tenaga Kerja
Menurut Status Pekerjaan Grafik 6.10 Perkembangan Status Pekerjaan
Masyarakat
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
66..22..55 KKoonnddiissii TTeennaaggaa KKeerrjjaa SSeekkttoorr IInndduussttrrii MMaannuuffaakkttuurr BBeessaarr ddaann SSeeddaanngg
Berdasarkan survei industri manufaktur Besar dan Sedang (IBS) BPS Provinsi NTT pada
triwulan III-2016 diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja didominasi oleh sektor Barang
Galian Bukan Logam. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pekerjaan
proyek pada triwulan-III sehingga permintaan terhadap komoditas-komoditas bukan logam
seperti pasir dan batu kapur turut mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tingkat
produktivitas sektor barang galian bukan logam yang mencapai Rp 51,84 juta/tenaga kerja
dan merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor lain pada triwulan-III 2016.
Grafik 6.11 Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Sektor
Industri Manufaktur Sedang dan Besar Grafik 6.12 Perkembangan Produktivitas Sektor Industri
Manufaktur Sedang dan Besar
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
66..22..66 PPeerrkkeemmbbaannggaann UUppaahh MMiinniimmuumm PPrroovviinnssii ((UUMMPP)) NNTTTT
Pada tanggal 31 Oktober 2016, Gubernur Provinsi NTT telah menetapkan Upah
Minimum Provinsi (UMP) tahun 2017 sebesar Rp 1.525.00,- atau meningkat 7,02%
dibandingkan UMP tahun 2016 yang sebesar Rp 1.425.000,-. Penetapan tersebut
tercantum dalam Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 347/KEP/HK/2016
tertanggal 31 Oktober 2016 dan akan berlaku pada tahun 2017.
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 82
82
66..22..77 HHaassiill SSuurrvveeii KKeeggiiaattaann DDuunniiaa UUssaahhaa ((SSKKDDUU))
Dari hasil SKDU di wilayah NTT, terlihat bahwa indikator ketenagakerjaan masih
menunjukkan indikasi positif pada triwulan III-2016. Hal ini menunjukkan masih adanya
peningkatan penyerapan tenaga kerja pada triwulan tersebut terutama untuk sektor
bangunan serta pengangkutan dan komunikasi. Peningkatan sektor bangunan seiring
dengan tingginya produktivitas sektor barang galian bukan logam pada survei IBS-BPS. Hal
ini diperkirakan terjadi seiring peningkatan kegiatan proyek pemerintah maupun swasta
pada triwulan-III. Sementara itu, berdasarkan perkiraan, penyerapan tenaga kerja triwulan
IV akan ditopang sektor jasa-jasa dan pertanian.
66..33.. PPEERRKKEEMMBBAANNGGAANN KKEESSEEJJAAHHTTEERRAAAANN
66..33..11 PPeerrkkeemmbbaannggaann NNiillaaii TTuukkaarr PPeettaannii ((NNTTPP))
Tingkat kesejahteraan Pedesaan Provinsi NTT yang digambarkan oleh Nilai Tukar
Petani (NTP) menunjukkan adanya peningkatan dari 100,67 (Triwulan II-2016) menjadi
102,02 (Triwulan III-2016). Peningkatan ini terutama disebabkan oleh adanya kenaikan
indeks yang diterima (IT) dibandingkan indeks yang dibayar (IB). Dari sisi sektoral,
Grafik 6.13 Perkembangan Upah Minimum Provinsi NTT
Sumber : Disnakertrans-NTT, diolah
Grafik 6.14 Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU
Sumber : SKDU-BI, diolah
| Bab VII Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan 83
83
peningkatan terutama terjadi pada Tanaman Padi-Palawija dan Tanaman Perkebunan
Rakyat. Telah adanya panen komoditas perkebunan seperti kakao dan jambu mete
diperkirakan turut meningkatkan pendapatan petani.
Grafik 6.15 Perkembangan Nilai Tukar Petani Grafik 6.16 Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
66..33..22 SSuurrvveeii KKoonnssuummeenn ((SSKK)) ddaann IInnddeekkss TTeennddeennssii KKoonnssuummeenn ((IITTKK))
Sementara itu, berdasarkan hasil Survei Konsumen (SK)-Bank Indonesia dan Indeks
Tendensi Konsumen (ITK)-Badan Pusat Statistik ditemukan pula adanya indikasi kenaikan.
Indeks penghasilan saat ini masyarakat NTT dibandingkan 6 bulan yang lalu pada SK
menunjukkan kenaikan dari 126,5 (triwulan II-2016) menjadi 142 (triwulan III-2016).
Peningkatan juga terjadi pada angka ITK dari 103,87 menjadi 106,14 yang menunjukkan
peningkatan optimisme masyarakat NTT pada triwulan III 2016. Peningkatan ini diperkirakan
turut disebabkan oleh adanya panen komoditas perkebunan dan kegiatan proyek-proyek
pemerintah dan swasta yang mendorong penyerapan tenaga kerja dan berdampak
langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat NTT di triwulan-III.
Grafik 6.17 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi Konsumen-BPS
Sumber : SK-BI dan ITK-BPS, diolah
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 84
PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Berdasarkan perkembangan perekonomian terkini, pertumbuhan ekonomi NTT
triwulan I-2017 diperkirakan pada rentang 5,1-5,5% (yoy) sementara
pertumbuhan sepanjang tahun 2017 diperkirakan pada kisaran 5,2-5,6% (yoy)
atau meningkat dibandingkan prakiraan 2016 yang sebesar 5-5,4% (yoy). Di sisi
lain, inflasi pada triwulan-I 2017 diprediksi berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy)
dan inflasi akhir tahun 2017 akan berada pada kisaran 4,4-4,8% (yoy) atau lebih
tinggi dibanding tahun 2016 yang diperkirakan pada rentang 2,4-2,8% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi NTT triwulan-I 2017 diperkirakan didorong oleh sektor
perdagangan dan administrasi pemerintahan seiring kegiatan pilkada di daerah di
Provinsi NTT pada bulan Februari 2017. Sementara itu, peningkatan pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2017 didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian, konstruksi,
perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan, pertahanan dan
jaminan sosial wajib.
Dari sisi inflasi, tren harga yang cukup rendah pada tahun 2016 diperkirakan
berdampak pada peningkatan harga di tahun 2017 sehingga proyeksi inflasi pada
triwulan-I 2017 diperkirakan berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy) dan inflasi akhir
tahun 2017 berada pada rentang 4,4-4,8% (yoy).
7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT
7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I 2017
Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I-
2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy) yang kemungkinan didorong
oleh sektor perdagangan besar dan eceran seiring adanya kegiatan pilkada di 3
Kabupaten/Kota, yaitu Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur. Selain itu,
adanya pilkada juga diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan sektor administrasi
pemerintahan seiring peningkatan belanja bantuan keuangan untuk kegiatan pemilu.
Dari sektor pertanian, adanya La Nina diperkirakan turut mendorong pergeseran masa
panen padi ke triwulan-I 2017.
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 85
Grafik 7.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I 2017
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan
Dari sisi penggunaan, komponen konsumsi pada triwulan I-2017
diperkirakan mengalami peningkatan. Dorongan konsumsi terutama berasal dari
konsumsi pemerintah dan konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga
(LNPRT) seiring dengan adanya penyelenggaraan pemilu di 3 Kabupaten/Kota.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh melambat paska
peningkatan cukup tinggi seiring adanya perayaan akhir tahun. Indikasi tersebut terlihat
dari indikator indeks Ekspektasi Penghasilan 6 bulan yang akan datang, ketersediaan
lapangan kerja 6 bulan yang akan datang serta kondisi ekonomi Indonesia 6 bulan yang
akan datang pada Survei Konsumen Bank Indonesia yang menunjukkan adanya indikasi
perlambatan walaupun masih positif diatas angka 100. Hal ini menunjukkan bahwa
belanja rumah tangga masyarakat pada awal tahun 2017 masih menunjukkan indikasi
pertumbuhan.
Grafik 7.2. Survei Konsumen
100.0
120.0
140.0
160.0
I II III IV I II III IV I II III
2014 2015 2016
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)Ekspektasi penghasilan 6 bulan y.a.d. Kondisi ekonomi Indonesia 6 bulan y.a.d.Ketersediaan Lapangan Kerja 6 bulan y.a.d
Sumber :Bank Indonesia (diolah)
Kinerja investasi diperkirakan tumbuh melambat pada triwulan-I 2017.
Perlambatan lebih disebabkan oleh siklus perencanaan anggaran pada awal tahun yang
dilakukan swasta dan pemerintah. Di lingkup pemerintah, kegiatan lelang yang masih
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 86
berlangsung menyebabkan secara historis investasi yang dilakukan cenderung terbatas
di triwulan-I. Sementara itu adanya pilkada juga diperkirakan mendorong sikap wait
and see investor untuk berinvestasi di daerah-daerah yang melakukan pemilihan.
Kinerja net impor antar daerah dan ekspor luar negeri NTT pada triwulan
I juga diperkirakan akan melambat. Perlambatan lebih disebabkan oleh siklus
musiman penurunan kebutuhan masyarakat paska peningkatan konsumsi di akhir
tahun dan terbatasnya investasi yang dilakukan sehingga impor kebutuhan dari daerah
lain masih rendah. Di sisi lain, kurang baiknya cuaca di awal tahun juga berpengaruh
pada produksi ikan tangkap untuk ekspor (tuna dan cakalang).
7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral
Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-I 2017
diperkirakan mengalami sedikit peningkatan. Peningkatan diperkirakan disebabkan
oleh adanya pergeseran panen komoditas beras akibat dampak La Nina hingga awal
tahun 2017. Pertumbuhan juga diperkirakan turut ditunjang oleh produksi garam dan
pengiriman ternak yang masih berlangsung. Sementara itu, produksi ikan tangkap
diperkirakan masih cukup terbatas seiring siklus cuaca buruk pada awal tahun.
Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
diperkirakan mengalami pertumbuhan cukup tinggi meskipun melambat.
Perlambatan lebih terjadi karena siklus realisasi anggaran yang selalu meningkat tinggi
pada akhir tahun. Sementara itu, pertumbuhan pada triwulan-I 2017 diperkirakan
disumbang oleh belanja bantuan keuangan yang terutama dipergunakan bagi
penyelenggaraan pilkada di 3 daerah.
Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
diperkirakan mengalami pelambatan pada Triwulan-I 2017. Perlambatan juga
disebabkan oleh siklus tingginya belanja masyarakat pada triwulan IV seiring perayaan
natal dan tahun baru. Namun adanya pilkada diperkirakan dapat mendorong belanja
masyarakat pada triwulan-I untuk tumbuh cukup tinggi.
Sektor konstruksi diperkirakan melambat pada triwulan-I 2017. Proses
pengerjaan proyek-proyek pemerintah yang masih dalam tahap lelang pada triwulan-I
dan investor yang cenderung masih dalam tahap penyusunan rencana bisnis dan
adanya pilkada diperkirakan menjadi beberapa faktor penyebab turunnya kegiatan
konstruksi di triwulan-I 2017.
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 87
7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
Pertumbuhan ekonomi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan berada pada
rentang 5,2-5,6% (yoy) yang terutama disebabkan oleh pertumbuhan di sektor
konstruksi, administrasi pemerintahan serta perdagangan besar dan eceran. Sektor
konstruksi kemungkinan masih didorong oleh tingginya investasi infrastruktur publik,
seperti jalan dan sarana perhubungan (pembenahan dermaga dan bandara), selain itu
beberapa infrastruktur sumber daya air seperti bendungan (Rotiklot dan Raknamo)
telah memasuki fase konstruksi serta investasi swasta dan BUMN di bidang pariwisata
melalui pembangunan hotel dan industri pengolahan seperti groundbreaking pabrik PT.
Semen Kupang III. Tren investasi yang terus tumbuh di NTT diperkirakan masih menjadi
pendorong pergerakan sektor konstruksi di NTT. Sementara dari sektor pertanian,
pertumbuhan terutama didukung oleh dampak positif La Nina yang dapat
meningkatkan kecukupan air untuk mendorong peningkatan produksi tanaman
pangan serta adanya perbaikan embung dan saluran irigasi. Dari sektor perdagangan,
pertumbuhan ditandai dengan adanya pilkada di awal tahun 2017, peningkatan
pendapatan melalui kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 7,2% (yoy) serta
pendapatan dari sektor pertanian dan konstruksi. Dari sektor administrasi
pemerintahan, pertumbuhan terutama terindikasi dari adanya rencana peningkatan
dana desa hingga 100% dari alokasi 2016 sehingga setidaknya akan ada lebih dari 3
triliun dana yang mengalir ke pedesaan di NTT.
Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 88
7.2 Inflasi
7.2.1 Inflasi Triwulan-I Tahun 2017
Pertumbuhan inflasi pada triwulan-I 2017 diperkiran berada pada kisaran
3,5-3,9% (yoy) atau meningkat dibandingkan akhir tahun 2016. Peningkatan
pada awal tahun diperkirakan didorong oleh kelompok volatile food seperti ikan segar
seiring kondisi cuaca yang masih buruk, komoditas bumbu-bumbuan seperti cabai
merah yang telah melewati masa panen, serta sayur-sayuran yang terdorong oleh
penurunan produksi akibat dampak cuaca buruk. Sementara itu, penurunan kegiatan
belanja masyarakat di awal tahun dan ketiadaan even berskala nasional diperkirakan
turut menjaga tingkat inflasi kelompok administered prices dan core.
7.2.2 Inflasi Tahun 2017
Secara tahunan, pertumbuhan inflasi pada akhir tahun 2017 diperkirakan
berada pada kisaran 4,4-4,8% (yoy). Peningkatan inflasi pada tahun 2017 secara
umum diperkirakan berasal dari peningkatan harga bahan makanan yang cenderung
rendah pada tahun 2016 serta potensi kenaikan harga komoditas administered prices
seperti bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Selain itu, perbaikan ekonomi di
Provinsi NTT tentunya akan menambah daya beli masyarakat sehingga turut berdampak
pada kenaikan harga. Adanya tren peningkatan permintaan minyak yang diperkirakan
akan menyamai produksi minyak dunia, serta potensi kenaikan nilai tukar dolar seiring
trump effect juga dapat mendorong harga beli minyak impor meningkat, sehingga
berdampak pada kenaikan harga minyak di dalam negeri. Selain itu terdapat pula
rencana pengurangan subsidi untuk tarif listrik 900 VA di tahun 2017. Berdasarkan
komoditas, inflasi bahan makanan diperkirakan meningkat seiring rendahnya harga
beberapa komoditas seperti beras, bumbu-bumbuan dan sayur-sayuran di tahun 2016.
Selain itu, potensi terjadinya penyakit unggas seiring dengan buruknya cuaca saat
terjadi La Nina juga dapat mendorong kenaikan inflasi. Namun demikian, dengan
adanya kecukupan pasokan air diperkirakan membuat produksi pertanian relatif terjaga
di tahun 2017. Inflasi pada komoditas transportasi diperkirakan juga meningkat seiring
dengan adanya potensi kenaikan harga minyak bersubsidi seiring dengan membaiknya
ekonomi dunia. Adapun inflasi pada komoditas lainnya masih relatif terjaga.
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 89
Grafik 7.4. Prediksi Inflasi TW-I 2017 dan 2017
Sumber: BPS & BI (diolah)