kajian abnormalitas primer spermatozoa pada … · tujuan penelitian adalah untuk mempelajari...
TRANSCRIPT
KAJIAN ABNORMALITAS PRIMER SPERMATOZOA PADA
BEBERAPA BANGSA SAPI DENGAN UMUR BERBEDA
MENGGUNAKAN PEWARNAAN CARBOLFUCHSIN
(WILLIAMS)
NURUL HAFSARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Abnormalitas
Primer Spermatozoa pada Beberapa Bangsa Sapi dengan Umur Berbeda
Menggunakan Pewarnaan Carbolfuchsin (Williams) adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Nurul Hafsari
B04100104
ABSTRAK
NURUL HAFSARI. Kajian Abnormalitas Primer Spermatozoa pada Beberapa
Bangsa Sapi dengan Umur Berbeda Menggunakan Pewarnaan Carbolfuchsin
(Williams). Dibimbing oleh R IIS ARIFIANTINI dan MUCHIDIN NOORDIN.
Morfologi spermatozoa yang abnormal telah lama diketahui berhubungan
erat dengan peningkatan umur dan sterilitas. Tujuan penelitian adalah untuk
mempelajari morfologi spermatozoa di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang
dari berbagai bangsa dan umur yang berbeda menggunakan pewarnaan
carbolfuchsin (Williams). Sebanyak 24 ekor sapi milik BIB Lembang digunakan
dalam penelitian ini. Sapi dikelompokkan menjadi dua kelompok, sapi berumur 3-
5 tahun dan 7-11 tahun ayng terdiri dari sapi Ongole, Frisien Holstein (FH),
Simental, dan Limosin. Semen dikoleksi menggunakan vagina buatan dan
dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Untuk pengujian morfologi
semen dibuat preparat ulas dari semen segar dan dikeringudarakan kemudian
diwarnai dengan pewarnaan carbolfuchsin. Pengujian abnormalitas spermatozoa
dilakukan dari total 500 sel spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan
abnormalitas spermatozoa sapi Limosin lebih tinggi (2.8%), dibandingkan sapi
Simmental (1.83%), FH (1.77%), dan Ongole (1.5%). Jumlah abnormalitas tidak
dipengaruhi oleh umur. Jumlah abnormalitas pada sapi berumur 3-5 tahun dan
sapi berumur 7-11 tahun adalah (0.35%) dan (0.34%). Kesimpulan dari penelitian
ini adalah bahwa semen sapi yang digunakan dalam penelitian memiliki kualitas
yang baik berdasarkan hasil evaluasi karena jumlah abnormalitas pada semua
breed menunjukkan hasil <20%.
Kata kunci: abnormalitas spermatozoa, balai inseminasi buatan, pewarnaan
Williams
ABSTRACT
NURUL HAFSARI. Study of Bulls Sperm Morphology of Different Breed and
Age Using Carbolfuchsin Stain (Williams). Supervised by R IIS ARIFINTINI and
MUCHIDIN NOORDIN.
Morphologically abnormal sperm in semen have been associated with age
and sterility for many years. The objective of this research was to study the
characteristic of sperm morphology of different breed and age using Williams
staining technique. A total of 24 bulls belong to Artificial Insemination (AI)
centers Lembang, Bandung used in this research. The bulls divided into two
group of age which were 3-5 years old and 7-11 years old, each group concist of 4
different breed namely Ongole, Frisien Holstein (FH), Simmental, and Limousin.
The semen was collected by artificial vagina and then evaluated macro and
microscopically. A drop of semen was placed on each glass slide, smeared, and
air-dried. The smeared samples were stained with carbolfuchsin stain.
Morphological abnormality types were recorded from total of 500 spermatozoa.
Results demonstrated that Limousin had the higher sperm abnormality (2.8%),
compare to Simmental (1.83%), FH (1.77%) and Ongole (1.5%) bulls. The level
of primary sperm abnormalities did not affect by age. The sperm abnormalities in
bulls of 3-5 and 7-11 years old were 0.35% and 0.34% respectively. This finding
conclude all bulls semen in this research have a good spermatozoa presented from
the result because the number of abnormalities in all breeds lower than 20%.
Keywords: sperm abnormality, artificial insemination center, Williams stain
KAJIAN ABNORMALITAS PRIMER SPERMATOZOA PADA
BEBERAPA BANGSA SAPI DENGAN UMUR BERBEDA
MENGGUNAKAN PEWARNAAN CARBOLFUCHSIN
(WILLIAMS)
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
NURUL HAFSARI
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya serta ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Ucapan terima kasih kepada Ibu Prof Dr Dra R Iis Arifiantini, MSi dan
Bapak Drh Muchidin Noordin atas kesediaan dan kesabarannya membimbing
penulis pada saat penelitian, penyusunan dan selama penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih untuk Bapak Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM, selalu pembimbing
akademik atas bimbingan dan arahannya selama penulis berada di FKH. Selain itu,
penulis juga berterima kasih pada Ibu Ros dan Pak Langgeng serta seluruh staf
Balai Inseminasi Buatan Lembang yang telah membantu pada saat penulis
melakukan pengambilan data. Terima kasih pula kepada Anis STK yang telah
membantu penulis dalam menganalisis data sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Kepada Mamah Helga dan Ayah Hilman, terima kasih atas doa, dukungan,
dan kasih sayangnya selama ini. Untuk Aa Fahmi dan Akang Hafiz, terima kasih
atas bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.
Kepada teman perjuangan penulis sejak awal penelitian, Donny dan Yani,
terima kasih atas kerjasamanya selama ini. Untuk sahabat-sahabat, Deka, Ghina,
Gamma, Erlan, Koko, Tiwa, Faisal, Mba Choti dan teman-teman Acromion
lainnya, terima kasih sudah menjadi teman yang baik. Bagi teman-teman semasa
SMA, Barisan Heboh, terima kasih atas dukungan dan motivasinya.
Menyadari banyaknya kekurangan dalam penelitian ini, maka penulis
mengharapkan saran dan kritik guna penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata
penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan, semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Juli 2014
Nurul Hafsari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Jenis Sapi di Balai Inseminasi Buatan 3
Sapi Peranakan Ongol 3
Sapi Friesian Holstein 3
Sapi Simental 4
Sapi Limosin 4
Morfologi Spermatozoa 4
Teknik Pengujian dan Pewarnaan Morfologi 5
METODE 6
Waktu dan Tempat 6
Bahan 6
Alat 6
Metode Penelitian 6
Koleksi Semen 6
Evaluasi Makroskopis dan Mikroskopis 7
Koleksi Sampel Preparat Ulas 7
Pewarnaan Carbolfuchsin 7
Pengamatan Morfologi Spermatozoa 7
Prosedur Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Kualitas Semen Segar 9
Abnormalitas Primer Spermatozoa 10
Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Umur Sapi 11
Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa Sapi 12
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 18
RIWAYAT HIDUP 24
DAFTAR TABEL
1 Karakteristik semen segar sapi 9 2 Persentase abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bangsa sapi 11
3 Abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan umur 12 4 Abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bangsa sapi 13
DAFTAR GAMBAR
1 Abnormalitas primer spermatozoa 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data deskriptif persentase abnormalitas spermatozoa berdasarkan
bangsa sapi 18 2 Data deskriptif abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan umur 18
3 Data deskriptif abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bangsa
sapi 19
4 Hasil uji lanjut Duncan persentase abnormalitas spermatozoa
berdasarkan bangsa sapi 20
5 Hasil uji lanjut Duncan abnormalitas spermatozoa berdasarkan bangsa
sapi 20
6 Hasil uji lanjut Duncan abnormalitas spermatozoa berdasarkan umur 22
7 Data deskriptif volume, motilitas, dan konsentrasi spermatozoa 22
8 Hasil uji lanjut Duncan volume spermatozoa 23
9 Hasil uji lanjut Duncan motilitas spermatozoa 23
10 Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi spermatozoa 23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Balai Inseminasi Buatan (BIB) adalah suatu balai yang bertugas untuk
melaksanakan produksi dan pemasaran semen beku ternak unggul (Kementan
2013). Saat ini yang resmi tercatat ada 2 BIB berskala nasional dan 15 Balai
Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) berskala lokal (Ditjennak 2008). Kegiatan
produksi semen meliputi penampungan dan pengolahan semen seperti
pengenceran, pengemasan, ekuilibrasi, pembekuan, dan penyimpanan (Arifiantini
et al. 2005).
Semen adalah cairan ejakulat yang terdiri dari plasma protein dan
spermatozoa. Spermatozoa merupakan sel kecil yang kompak dan sangat khas
serta tidak tumbuh dan membelah diri. Secara garis besar, spermatozoa terbagi
atas bagian kepala dan ekor (Hafez dan Hafez 2000). Kepala spermatozoa dibagi
menjadi dua daerah yaitu daerah akrosom anterior yang dibungkus oleh tudung
akrosom dan daerah post akrosom posterior yang berbatasan dengan ekor. Tudung
akrosom berasal dari apparatus golgi selama tahap awal spermiogenesis, yang
mengandung akrosin, hyaluronidase, dan enzim-enzim hidrolitik lainnya yang
terlibat pada proses fertilisasi (Arthur 2001). Ekor spermatozoa berasal dari
sentriol spermatid selama proses spermiogenesis yang berfungsi untuk
memberikan gerakan maju atau lokomosi kepada spermatozoa, ekor ini terbagi
atas tiga bagian, yaitu bagian tengah (mid piece), bagian utama (principal piece)
dan bagian ujung atau end piece (Barth dan Oko 1989).
Pengujian kualitas semen yang dilakukan di BIB meliputi makroskopis dan
mikroskopis. Pengujian secara makroskopis meliputi volume, konsistensi dan
warna semen, sedangkan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, motilitas,
skor individu dan konsentrasi (Arifiantini 2012), sedangkan pengujian morfologi
jarang dilakukan. Menurut Morrel dan Rodriguez-Martinez (2009) untuk dapat
melakukan fertilisasi, spermatozoa harus memiliki viabilitas, motilitas dan
kromatin yang intact, serta mempunyai morfologi yang normal. Al-Makhzoomi et
al. (2008) melaporkan adanya korelasi antara morfologi dengan fertilitas.
Sapi jantan mengalami perkembangan organ reproduksi selaras dengan
tambahan umur dan perkembangan kondisi tubuh ternak itu sendiri yang terjadi
dalam perjalanan masa pubertas sampai mencapai dewasa tubuh. Peningkatan
kapasitas reproduksi terlihat dari volume ejakulat, jumlah spermatozoa motil dan
konsentrasi spermatozoa. Hal ini baru terjadi 6 sampai 9 bulan sesudah awal
pubertas (Lestari et al. 2013a). Awal pubertas merupakan salah satu tolak ukur
bahwa sapi sudah mulai memasuki usia produktif yang akan diikuti dengan
peningkatan kapasitas reproduksi. Brito et al. (2002) menyatakan umur dan
kelompok genetik memengaruhi karakteristik skrotum, testes, dan Testicular
Vascular Cones (TVC). Selain itu, karakteristik skrotum, testes dan TVC
berhubungan dengan produksi sperma dan kualitas spermatozoa pada sapi jantan.
BIB Lembang memiliki berbagai bangsa sapi dengan umur yang berbeda
yang akan memengaruhi kualitas semen yang dihasilkan, maka penelitian ini
bertujuan menguji perbedaan morfologi spermatozoa.
2
Perumusan Masalah
Balai Inseminasi Buatan yang menyediakan fasilitas semen beku harus
selalu memperhatikan kualitas semen beku yang diproduksinya. Spermatozoa
abnormal merupakan salah satu penyebab infertilitas akibat kegagalan
spermatozoa untuk mencapai tempat terjadinya fertilisasi. Untuk mengetahui
abnormalitas morfologi spermatozoa dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
pewarnaan Williams.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan morfologi spermatozoa
dengan beberapa indikator abnormalitas berdasarkan umur pada beberapa jenis
sapi berbeda.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai persentase
abnormalitas spermatozoa antara beberapa bangsa sapi dengan umur yang berbeda,
serta untuk memberikan rekomendasi parameter kualitas spermatozoa sapi yang
baik untuk inseminasi buatan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Jenis Sapi di Balai Inseminasi Buatan
Aplikasi teknologi Inseminasi Buatan (IB) menggunakan semen beku telah
dilakukan di Indonesia sejak tahun 1972 menggunakan semen beku hasil impor.
Produksi semen beku di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1976 di BIB
Lembang (Jawa Barat) dan dilanjutkan di Singosari (Jawa Timur) pada tahun
1982 (Feradis 2010). Pejantan yang dipelihara BIB Lembang adalah sapi
penghasil susu dan daging, sedangkan menurut pembuktian kualitas pemuliaan
ternaknya terbagi atas pejantan proven (terbukti dari produksi turunannya tinggi),
pejantan register (tercatat tiga generasi tertuanya), dan pejantan performance
(yang tercatat dari penampakan luarnya saja).
Menurut Prajogo et al. (2002), ternak sapi perah yang potensial di Indonesia
adalah sapi FH, sedangkan ternak sapi potong yang potensial adalah sapi Limosin
dan Simental. Program peningkatan populasi sapi potong dapat dilakukan melalui
pengendalian pemotongan ternak sapi produktif, pengendalian penyakit
reproduksi dan penyediaan bibit ternak sapi bermutu (Sodiq dan Nurwakhidiati
2006). Faktor yang menentukan efisiensi maksimum produksi susu sapi perah
adalah berapa banyak liter susu yang diproduksi per hari sepanjang hidupnya,
sedangkan untuk sapi tipe pedaging faktor yang menentukan adalah kecepatan
tumbuh setiap hari dan dari bagian karkas yang dapat dimakan (Philips 2001).
Sapi Peranakan Ongol
Bangsa sapi Peranakan Ongol (PO) tersebar luas dan populasi terbesar
terdapat di pulau Jawa terutama di Jawa Timur. Bangsa sapi ini baru terbentuk
sekitar tahun 1930 melalui sistem persilangan dengan grading up sapi Jawa
dengan sapi Sumba Ongol (SO). Persilangan tersebut bertujuan untuk
memperoleh ternak sapi yang dapat digunakan bagi keperluan tenaga tarik
membantu petani mengolah tanah pertanian dan transportasi.
Sapi PO berwarna putih, mempunyai perawakan besar, bergumba pada
pundak, dan mempunyai gelambir yang menjulur sepanjang garis bawah leher,
dada, sampai ke pusar. Sapi PO termasuk tipe sapi pekerja yang baik, bertenaga
kuat, tahan lapar dan haus, sabar serta dapat menyesuaikan dengan pakan yang
sederhana. Sapi PO juga menunjukkan keunggulan sapi tropis yaitu daya adaptasi
iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit
seperti gigitan nyamuk dan caplak, disamping itu juga menunjukkan toleransi
yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Soeprapto 2006).
Sapi Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan sapi tipe perah yang banyak
terdapat di Indonesia. Sapi perah ini berasal dari daerah subtropis provinsi
Belanda Utara dan daerah Friesland Barat (Philips 2001). Sapi FH mempunyai
ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar dengan hidung terbuka lebar,
rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan warna tubuh belang hitam putih. Hasil
penelitian di Thailand, yang juga negara tropis menunjukan bahwa sapi-sapi perah
subtropis dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu dibawah 18 ºC dan
kelembaban di atas 55% (Siregar 2003).
4
Sifat sapi FH yang tenang dan jinak memudahkan pengendalian dan
penanganannya saat diberi perlakuan. Sapi FH memiliki kuantitas produksi susu
yang paling tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Di Amerika
Serikat produksi susunya dapat mencapai 5755 liter dalam satu masa laktasi (± 10
bulan), sedangkan di Indonesia rata-rata produksi sapi FH adalah 10 liter per ekor
per hari (Syarif dan Harianto 2011).
Sapi Simental
Sapi Simental merupakan sapi bangsa Bos taurus yang berasal dari Swiss.
Sapi Simental memiliki warna coklat muda kemerahan dengan bagian wajah,
tubuh bagian bawah, lutut, hingga ujung ekor berwarna putih. Sapi ini memiliki
tubuh besar, kekar, dan berotot. Pertumbuhannya sangat baik dengan persentase
karkas tinggi dan sedikit lemak. Bobot badan Simental dewasa dapat mencapai
1200 kg/ekor (Fikar dan Ruhyadi 2010). Sapi ini bukan hanya sapi dwiguna,
tetapi triguna karena dapat berfungsi sebagai sapi pekerja, meskipun Simental
digolongkan dalam tipe triguna, tetapi pemanfaatan sapi ini umumnya sebagai
ternak pedaging karena memiliki pertumbuhan otot yang sangat baik,
menghasilkan karkas yang tinggi dan sedikit lemak (Ditjennak 2006).
Sapi Limosin
Sapi Limosin berasal dari Perancis keturunan dari Bos taurus. Sapi Limosin
memiliki rambut warna mulai dari kuning sampai merah keemasan dan tanduknya
berwarna cerah dengan tanduk jantan tumbuh keluar dan melengkung. Kepala
Limosin adalah kecil dan pendek dengan dahi yang lebar dan leher yang pendek.
Sapi jantan dewasa berbobot badan 907-998 kg dan bobot badan sapi betina
dewasa 544-635 kg. Sapi Limosin dikenal untuk efektivitas mereka dalam
efisiensi pakan ternak, karkas yang tinggi dan besarnya daerah loin (Gillespie dan
Flanders 2009).
Sapi ini sangat cocok dipelihara di daerah beriklim sedang. Sapi Limosin
merupakan sapi pedaging bertipe besar dan mempunyai volume rumen yang besar.
Karena itu, sapi ini mampu menambah konsumsi pakan lebih banyak di luar
kebutuhan yang sebenarnya. Namun, sapi ini memiliki metabolisme yang cepat
sehingga menuntut teknik pemeliharaan yang lebih teratur (Fikar dan Ruhyadi
2010).
Morfologi Spermatozoa
Morfologi spermatozoa adalah salah satu bentuk evaluasi semen secara
mikroskopis yang dilakukan dengan menghitung jumlah spermatozoa yang
normal dan abnormal secara primer dan sekunder (Arifiantini dan Ferdian 2006).
Morfologi spermatozoa juga indikator refleksi normalitas dari tubulus seminiferus
dan beberapa bagian dari epididymis (Holroyd et al. 2002).
Secara garis besar, spermatozoa terbagi atas bagian kepala dan ekor. Kepala
spermatozoa dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah akrosom anterior yang
dibungkus oleh tudung akrosom dan daerah post akrosom posterior yang
berbatasan dengan ekor. Tudung akrosom berasal dari apparatus golgi selama
tahap awal spermiogenesis, yang mengandung akrosin, hyaluronidase, dan enzim-
enzim hidrolitik lainnya yang terlibat pada proses fertilisasi (Arthur 2001). Bagian
kepala spermatozoa berbentuk oval memanjang, lebar dan datar yang terisi
5
sepenuhnya dengan materi yang homogen sebagai informasi genetik dari pejantan
yaitu kromosom. Ekor spermatozoa berasal dari sentriol spermatid selama proses
spermiogenesis yang berfungsi untuk memberikan gerakan maju atau lokomosi
kepada spermatozoa dengan gelombang-gelombang yang dimulai dari daerah
implantasi ekor-kepala dan berjalan ke arah belakang (Barth dan Oko 1989).
Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti
maupun laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa
terbagi dalam dua katagori, yakni berdasarkan sekuen proses pembentukan
spermatozoa (primer dan sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas.
Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat
spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi.
Pengelompokkan kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap
fertilitas jantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas,
sebaliknya kelainan yang bersifat minor dampaknya kecil pada fertilitas.
Telah dikembangkan suatu metode yang disebut breeding soundness
evaluation (BSE) untuk mengukur potensi seekor sapi jantan. Menurut Alexander
(2008), BSE atau disebut juga bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah
dilakukan dan relatif tidak mahal serta sangat berguna untuk peternakan. Saat ini
Society for Theriogenology (SFT) menggunakan standar BBSE yang diadopsi
pada tahun 1993, dimana seekor pejantan harus memenuhi minimum standar 4
katagori yaitu organ reproduksi umum, indeks lingkar skrotum (scrotal
circumference indexed) sesuai umurnya, motilitas spermatozoa dan morfologi
spermatozoa. Hal ini disebabkan pejantan dengan umur yang semakin tua akan
mengalami degenerasi pada sel-sel tubuh, termasuk pada organ reproduksinya.
Penelitian sebelumnya oleh Söderquist et al. (1996) dalam Arifiantini dan Ferdian
(2006) menyatakan bahwa terdapat pengaruh umur yang sangat signifikan
terhadap abnormalitas spermatozoa.
Teknik Pengujian dan Pewarnaan Morfologi
Zat warna yang umum dipakai untuk pengamatan spermatozoa adalah eosin,
tinta India dan eosin-negrosin. Menurut Barth dan Oko (1989) teknik fiksasi dan
pewarnaan spermatozoa dibedakan atas dua metode yaitu metode kering dan
metode basah.
Pengamatan morfologi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara
komvensional atau manual maupun menggunakan teknologi mutakhir. Cara
manual dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pewarnaan dan pengamatan
dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras.
Sedangkan metode mutakhir yang dapat digunakan antara lain adalah Timed-
Exposure Photomicrography (TEP), Multiple Exposure Photomycrography
(MEP), Microcinematography (Cine), Videomicrography dan Computerized
Digital Image Analysis.
6
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Koleksi sampel dilakukan di Balai Inseminasi Buatan Lembang, Bandung
pada bulan Agustus sampai September 2013 sedangkan pewarnaan dan pengujian
morfologi spermatozoa dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor bulan Oktober 2013 sampai
dengan Februari 2014.
Bahan
Sumber semen berasal dari 24 ekor pejantan, 12 ekor berumur kurang dari
7 tahun (3-5 tahun) dan 12 ekor berumur lebih dari 7 tahun (7-11 tahun), serta
masing-masing 3 ekor dari bangsa FH, Ongol, Limosin, dan Simental. Bahan
yang digunakan adalah seperangkat pewarnaan carbolfuchsin diantaranya basic
fuchsin, bluish eosin, chloramine 0.5%, destilled water, dan alkohol 95%.
Alat
Peralatan yang digunakan untuk mengamati morfologi menggunakan
mikroskop cahaya Olympus CH20 dan dokumentasi menggunakan mikroskop
dengan kamera Canon IXUS 220 HS.
Metode Penelitian
Koleksi semen
Koleksi semen dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan vagina
buatan. Pemakaian alat vagina buatan merupakan simulasi yang sempurna
terhadap perkawinan secara alami, sehingga semen tertampung dengan kualitas
yang jauh lebih baik daripada metoda lainnya (Mardiyah et al. 2001). Vagina
buatan adalah alat koleksi semen yang umum dilakukan, kualitas dan kuantitasnya
optimal, dan prosesnya berlangsung secara fisiologis (Arifiantini dan Ferdian
2006).
Sebelum penampungan semen dimulai, praeputium dan daerah sekitarnya
dicuci dengan air hangat. Penampungan semen dilakukan di tempat penampungan
yang dibuat khusus dengan hewan pemancing seekor pejantan. Pejantan yang
akan ditampung semennya diberikan rangsangan dengan cara membawa pejantan
itu mendekati hewan pemancing lalu membawanya pergi lagi. Membiarkan
pejantan menaiki hewan pemancing tetapi tidak ditampung semennya disebut
false mount. Satu false mount akan meninggikan konsentrasi sperma 50% dan dua
false mount menyebabkan peninggian konsentrasi dua kali lipat konsentrasi
sperma yang diperoleh tanpa pengekangan (Mardiyah et al. 2001). Pada
penunggangan berikutnya baru ditampung semennya. Pada saat penampungan,
penampung berdiri di samping kanan pemancing, memegang vagina buatan pada
tangan kanan dan mengarahkannya kira-kira 45° ke atas pada garis horizontal
pemancing. Penampungan dilakukan saat pejantan berereksi secara sempurna dan
7
menaiki pemancing. Dengan telapak tangan kiri yang mengarah ke atas,
preputium digenggam dan penis yang ereksi ditarik ke samping ke arah vagina
buatan. Ujung penis dikenakan ke mulut vagina buatan. Ejakulasi ditandai dengan
adanya suatu dorongan tiba-tiba ke depan dan kedua kaki belakang pejantan
terangkat seolah-olah hendak melompati pemancing. Sesudah ejakulasi, pejantan
bergerak turun dan vagina buatan ditarik perlahan-lahan ke depan. Setelah penis
terlepas keluar, vagina buatan segera dibalikkan vertikal dengan tabung
penampung berada dibawah, lalu lubang ventilasi udara dibuka sedikit, atau bisa
juga vagina buatan diputar perlahan-lahan membentuk angka 8 agar semen yang
tertampung dapat turun dan masuk ke dalam tabung penampung. Setelah kira-kira
semua semen turun ke dalam tabung penampung, maka tabung penampung
dilepas dari ekor corong karet dan ditutup. Lalu disimpan dalam termos berisi air
hangat 37 oC lalu dibawa ke laboratorium untuk dilakukan evaluasi.
Evaluasi makroskopis dan mikroskopis
Evaluasi semen dilakukan secara makroskopis maupun mikroskopis.
Evaluasi makroskopis meliputi volume, konsistensi dan warna semen sedangkan
evaluasi mikroskopis meliputi persentase hidup mati, persentase abnormalitas,
persentase motilitas dan konsentrasi (Freshman 2002).
Koleksi sempel preparat ulas
Semen segar yang dikoleksi di BIB Lembang dilarutkan dengan NaCl
fisiologis dengan perbandingan 1:4 lalu dibuat preparat ulas pada gelas objek,
diberi identitas dan dikeringudarakan kemudian disimpan pada slide boks sampai
waktu pewarnaan.
Pewarnaan carbolfuchsin
Pewarnaan dilakukan dengan cara fiksasi preparat ulas di atas api bunsen
dan selanjutnya dicuci dalam alkohol absolut selama 4 menit lalu
dikeringudarakan. Preparat dimasukkan ke dalam larutan chloramin 0.5% selama
1-2 menit, sambil diangkat dan dimasukkan kembali berkali-kali dengan tujuan
menghilangkan mukus dan ulasan terlihat jernih. Kemudian dicuci dengan
destilled water, selanjutnya dalam alkohol 95% dan diwarnai dengan larutan
carbolfuchsin selama 8-10 menit. Terakhir, dicuci dengan air mengalir dan
dikeringkan (Arifiantini et al. 2006).
Pengamatan Morfologi Spermatozoa
Morfologi spermatozoa diamati dengan cara melihat kelainan bentuk kepala
spermatozoa dan menghitung jumlah spermatozoa sebanyak 500 sel dengan
pembesaran 400x. Selanjutnya semua jenis abnormalitas spermatozoa yang
ditemukan dicatat, diklasifikasikan, dan didokumentasikan menggunakan kamera.
Klasifikasi jenis abnormalitas spermatozoa primer dilakukan berdasarkan temuan
yang didapat pada waktu pengamatan (Riyadhi et al. 2012).
Prosedur Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan IBM SPSS Statistic 18 dan Microsoft
Excel 2013. Perbedaan jumlah total abnormalitas berdasarkan umur dan bangsa
8
sapi dianalisis menggunakan analisis sidik ragam One-Way ANOVA, kemudian
dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan selang kepercayaan 95%. Data
disajikan dalam rataan dan SD.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas semen segar
Kualitas semen segar dari keempat bangsa sapi yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki kualitas yang cukup baik. Warna semen yang diperoleh
adalah putih susu. Warna semen sapi yang normal adalah seperti putih susu atau
krem keputih-putihan (Feradis 2010).
Volume semen sapi FH adalah 8.110.46 mL paling tinggi dibanding
dengan volume sapi Limosin (6.690.39 mL) berbeda nyata pada taraf nyata
(alpha) sebesar 5%, dan tidak terdapat perbedaan volume semen antara sapi FH,
Ongol dan Simental, demikian juga antara volume semen sapi Ongol, Simental
dan Limosin. Secara umum volume semen tersebut masih termasuk normal
karena menurut Garner dan Hafez (2000), volume semen sapi berkisar antara 5-8
mL.
Tabel 1 Karakteristik semen segar sapi
Karakteristik FH Ongol Limosin Simental
Warna Putih susu Putih susu Putih susu Putih Susu
Volume (mL) 8.11 0.46a 7.27 0.59
ab 6.69 0.39
b 6.98 0.39
ab
Konsistensi Sedang Sedang Sedang Sedang
Gerak ++ ++ ++ ++
Motilitas (%) 70.50 3.12a 70.31 1.27
a 70.20 0.86
a 70.00 2.68
a
Konsentrasi (juta/mL) 1098.26 62.49a 1193.33 85.25
a 1190.40 42.80
a 1073.33 62.21
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang berganda Duncan).
Konsistensi semen pada keempat bangsa sapi ini termasuk sedang. Semakin
kental semen dapat diartikan bahwa semakin tinggi konsentrasi spermatozoa yang
terkandung di dalamnya (Feradis 2010). Semen yang baik memiliki kekentalan
hampir sama dengan susu (Lestari et al. 2013b). Taurin et al. (2000) melaporkan
bahwa konsistensi semen mempunyai korelasi dengan warna, semen yang
berwarna krem biasanya memiliki konsistensi yang pekat atau kental, sedangkan
semen dengan warna yang jernih atau terang memiliki konsistensi yang encer.
Secara mikroskopis semen segar memiliki gerakan massa spermatozoa ++,
ditandai dengan awan hitam yang tidak begitu gelap dengan gerakan yang cepat
berpindah. Persentase spermatozoa motil yang diperoleh adalah antara
70.002.68% hingga 70.503.12%, nilai ini masih berada dalam kisaran normal.
Menurut Garner dan Hafez (2000), kisaran normal gerakan massa spermatozoa
yaitu antara 40-75%. Campbell et al. (2003), menyatakan bahwa spermatozoa
dengan motilitas yang sangat baik berkisar antara 70-80%. Motilitas merupakan
uji kualitas yang penting karena fertilitas erat kaitannya dengan spermatozoa motil
yang diinseminasikan.
Konsentrasi spermatozoa yang diperoleh adalah 1073.3362.21 sampai
dengan 1193.3385.25 juta per mL. Nilai ini
juga masih berada dalam kisaran
nilai yang dikemukakan oleh Campbell et al. (2003), yang menyatakan bahwa
10
konsentrasi spermatozoa pada sapi jantan dewasa berkisar antara 800-1200
juta/mL semen.
Abnormalitas Primer Spermatozoa
Parameter yang dianggap penting bagi spermatozoa yang akan menentukan
fertilitasnya antara lain adalah: kapasitas produksi, daya tahan dan morfologi
spermatozoa termasuk jumlah spermatozoa yang abnormal (Arifiantini et al.
2006). Pada penelitian ini, ditemukan 12 jenis kelainan primer spermatozoa yaitu
pearshape, narrow at the base, narrow, abnormal contour, undeveloped, round
head, macrocephalus, microcephalus, double head, abaxial, knobbed acrosome
defect, detached head (Gambar 1).
Gambar 1 Bentuk abnormalitas primer spermatozoa. a) Pearshape, b)
Narrow at the base, c) Narrow, d) Abnormal contour, e)
Undeveloped, f) Round head, g) Macrocephalus, h)
Microcephalus, i) Double head, j) Abaxial, k) Knobbed
acrosome defect, l) Detached head
11
Abnormalitas spermatozoa merupakan kelainan struktur spermatozoa dari
struktur normal yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan,
genetik, atau kombinasi dari keduanya (Chenoweth 2005). Morfologi spermatozoa
yang abnormal ini memiliki korelasi positif dengan fertilitas sehingga
berpengaruh terhadap kemampuan spermatozoa untuk membuahi ovum (Barth
dan Oko 1989). Abnormalitas spermatozoa berdasarkan kejadiannya dibedakan
menjadi abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder (Chenoweth 2005).
Abnormalitas sekunder umumnya terjadi pada bagian ekor dan akan mudah
terseleksi pada saat pengujian motilitas, sedangkan abnormalitas primer terjadi
pada bagian kepala dan sebagian bersifat genetik dan berdampak pada fertilitas
(Riyadhi et al. 2012).
Hasil penelitian menunjukkan jumlah abnormalitas spermatozoa pada
keempat bangsa yang diuji sangat rendah. Jumlah abnormalitas spermatozoa
Limosin berbeda nyata pada taraf nyata (alpha) sebesar 5% dibandingkan bangsa
sapi lain yaitu sebesar 2.80.44%, disusul dengan Simental yaitu 1.830.36%.
Jumlah abnormalitas ini masih termasuk sedikit, karena menurut Barth dan Oko
(1989), abnormalitas akan dianggap serius apabila abnormalitas primer mencapai
18-20% karena dapat menyebabkan penurunan fertilitas.
Tabel 2 Persentase abnormalitas spermatozoa berdasarkan bangsa sapi
Jenis sapi Normal (%) Abnormal (%)
Friesian Holstein 98.23 0.21 1.77 0.21b
Ongol 98.50 0.18 1.50 0.18b
Limosin 97.20 0.44 2.80 0.44a
Simental 98.17 0.36 1.83 0.36b
Rataan 98.02 0.40 1.98 0.18
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Sedikitnya jumlah abnormalitas primer spermatozoa disebabkan sapi yang
digunakan merupakan sapi hasil seleksi secara genetik unggul dan dipelihara
dengan manajemen yang baik dan telah terlatih untuk dikoleksi semennya. Teknik
koleksi semen akan memengaruhi kualitas semen yang dihasilkan. Hewan yang
belum terbiasa atau pertama kali dikoleksi semennya akan memperlihatkan
abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi. Abnormalitas spermatozoa juga
akan dipengaruhi oleh teknik koleksi semen yang dilakukan.
Abnormalitas spermatozoa dengan teknik masase pada kerbau lumpur dapat
mencapai 31.86% (Arifiantini dan Ferdian 2006), pada anoa menggunakan
teknik koleksi elektroejakulator menunjukkan persentase 33.64% (Yudi et al.
2010) bahkan O’brien dan Roth (2000) melaporkan abnormalitas spermatozoa
yang tinggi hingga mencapai 60% pada badak sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis) yang dikoleksi menggunakan teknik recovery postcoital dari vagina.
Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Umur Sapi
Hasil pengujian abnormalitas primer berdasarkan umur, didapatkan bahwa
umur memengaruhi beberapa jenis abnormalitas. Pada sapi-sapi yang muda (<7
tahun) bentuk undeveloped lebih banyak ditemukan dibandingkan jenis lainnya.
Bentuk undeveloped merupakan spermatozoa yang tidak mengalami
12
perkembangan sempurna sehigga dapat berbentuk kecil, ekor pendek, dan dengan
pemeriksaan lanjut diperoleh bahwa sel tersebut tidak disusun oleh materi yang
lengkap (Barth dan Oko 1989). Liu et al (2005) menyatakan bahwa persentase
spermatozoa undeveloped dalam jumlah besar akan menyebabkan kemandulan
(sterilitas) dan penyebab utama kelainan ini adalah pengaruh genetik.
Berdasarkan hasil penelitian, total abnormalitas primer spermatozoa pada
sapi berumur <7 tahun adalah 4.251.38% dan pada sapi berumur >7 tahun adalah
4.081.72%. Hasil penelitian ini hampir sama dengan yang dilaporkan oleh
Riyadhi et al. (2012) bahwa umur tidak memengaruhi abnormalitas primer yang
ditemukan pada sapi pejantan berumur 3-5 tahun milik BIB.
Tabel 3 Abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan umur
Parameter Umur
<7 tahun >7 tahun
Pearshape 0.67 0.12bcd
0.70 0.18bcd
Narrow at the base 0.04 0.04a 0.14 0.11
ab
Narrow/Tapered head 0.32 0.14abc
0.25 0.08ab
Abnormal contour 0.04 0.04a 0.25 0.18
ab
Undeveloped 1.51 0.45e 0.32
0.12
abc
Round head 0.28 0.18abc
0.21 0.08ab
Macrocephalus 0.07 0.05a 0.21 0.10
ab
Microcephalus 0.49 0.16abcd
0.74 0.37bcd
Double head 0.00 0.00a 0.07 0.05
a
Abaxial 0.04 0.04a 0.25 0.14
ab
Knobbed acrosome defect 0.00 0.00a 0.07 0.05
a
Detached head 0.81 0.18cd
0.88 0.26d
Total abnormalitas 4.25 1.38A 4.08 1.72
A
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Menon et al. (2011) melaporkan bahwa abnormalitas pada sapi berumur 13-
18 bulan memiliki jumlah abnormalitas tinggi (22.7718.57%) dibandingkan sapi
berumur >26 bulan (18.2712.79%). Adanya pengaruh genetik, lingkungan, dan
manajemen pemeliharaan, memungkinkan abnormalitas spermatozoa dapat
ditemukan pada umur yang lebih muda. Oleh karena itu sangat tepat jika batasan
umur penggunaan pejantan untuk produksi semen beku di Indonesia telah
ditetapkan antara 6-7 tahun (Ditjennak 2007).
Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa Sapi
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan pada jumlah
abnormalitas primer spermatozoa pada empat bangsa sapi yang diuji. Jumlah
abnormalitas pada sapi FH, Ongol, Limosin, dan Simental masing-masing adalah
3.731.88%, 3.161.39%, 5.912.96%, dan 3.872.04% (Tabel 4).
Pada bangsa sapi Ongol dan Simental, abnormalitas terbanyak adalah
detached head yaitu 0.770.23% dan 0.980.43%, sedangkan pada bangsa sapi
Limousin undeveloped merupakan abnormalitas terbanyak dengan persentase
13
1.480.82%, dan pada sapi FH, kelainan pearshape adalah abnormalitas tertinggi
yaitu 0.980.36%. Menurut Barth dan Oko (1989) kelainan pearshape ini
bersifat genetik, hal ini terbukti sapi jantan keturunan dari tetua dengan tingkat
abnormalitas pearshape yang tinggi memperlihatkan gambaran semen yang sama
dengan tetuanya. Spermatozoa yang berbentuk pearshape tidak mampu untuk
melakukan fertilisasi. Ketidakmampuan spermatozoa melakukan kontak dengan
sel telur (ovum) akibat tudung akrosom yang tidak sempurna untuk menembus
zona pelusida.
Tabel 4 Abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bangsa sapi
Parameter Bangsa
Frisien Holstein Ongol Limosin Simental
Pearshape 0.98 0.36bcde
0.70 0.09abcde
0.70 0.14abcde
0.35 0.13abc
Narrow at the base 0.07 0.07a 0.00 0.00
a 0.21 0.21
ab 0.07 0.07
a
Narrow/Tapered head 0.42 0.27abc
0.14 0.09ab
0.21 0.09ab
0.45 0.13abc
Abnormal contour 0.00 0.00a 0.35 0.35
abc 0.21 0.14
ab 0.00 0.00
a
Undeveloped 0.84 0.45abcde
0.56 0.28abcd
1.48 0.82e 0.77 0.41
abcde
Round head 0.20 0.09ab
0.28 0.14ab
0.14 0.14ab
0.35 0.35abc
Macrocephalus 0.35 0.17abc
0.07 0.07a 0.07 0.07
a 0.07 0.07
a
Microcephalus 0.21 0.09ab
0.28 0.14ab
1.27 0.70de
0.70 0.28abcde
Double head 0.00 0.00a 0.00 0.00
a 0.00 0.00
a 0.14 0.09
ab
Abaxial 0.14 0.09ab
0.00 0.00a 0.35 0.28
abc 0.07 0.07
a
Knobbed acrosome 0.07 0.07a 0.00 0.00
a 0.07 0.07
a 0.00 0.00
a
Detached head 0.42 0.22abc
0.77 0.23abcde
1.20 0.30cde
0.98 0.43bcde
Total abnormalitas 3.73 1.88A 3.16 1.39
A 5.91 2.96
A 3.87 2.04
A
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Chenoweth (2005) menyatakan ada dua kemungkinan yang terjadi terhadap
kemampuan fertilitas seekor pejantan dengan persentase abnormalitas yang tinggi,
pertama spermatozoa tidak dapat mencapai tempat fertilisasi dan kedua
spermatozoa tidak dapat membuahi sel telur atau mempertahankan perkembangan
tahap awal embrio. Menurut Kondracki et al. (2006) di dalam organ reproduksi
betina terdapat sistem uterotubal junction yang bertugas menyeleksi spermatozoa
abnormal.
14
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Umur tidak memengaruhi jumlah abnormalitas primer spermatozoa. Bangsa
sapi Limosin memiliki abnormalitas yang lebih tinggi dibandingkan sapi Ongol,
FH dan Simental.
Saran
Saran yang diajukan berdasarkan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian dengan jumlah bangsa sapi yang lebih banyak. Penelitian lanjutan
disarankan dengan menggunakan sapi dengan memperhatikan sebaran umur yang
seragam.
15
DAFTAR PUSTAKA
Alexander JH. 2008. Bull breeding soundness evaluation: A practitioner’s
perspective. Theriogenology. 70:469–472
Al-Makhzoomi A, Lundeheim N, Haard M, Rodriguez-Martinez H. 2008. Sperm
morphology and fertility of progeny-tested AI dairy bull in Sweden.
Theriogenology. 70:682-691.
Arifiantini RI, Yusuf TL, Graha N. 2005. Longivitas dan recoveryrate pasca
thawing semen beku sapi Frisien Holstein menggunakan bahan pengencer
yang berbeda. Bul Peternakan. 29(2): 53-61.
Arifi antini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Pengujian morfologi spermatozoa
Sapi Bali (Bos sondaicus) menggunakan pewarnaan Williams. J Indon Trop
Anim Agric. 31:105-110.
Arifiantini RI, Ferdian F. 2006. Tinjauan aspek morfologi dan morfometri
spermatozoa Kerbau Rawa (Bubalus Bubalis) yang dikoleksi dengan teknik
masase. J Vet. 17(2): 83-91.
Arifiantini RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. Bogor
(ID): IPB Pr.
Arthur GH. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetries 8th ed. London (GB):
WB Saunders.
Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Iowa
(US): Iowa State University Pr.
Brito LFC, Silva AEDF, Rodrigues LH, Vieira FV, Deragon LAG, Kastelic JP.
2002. Effect of age and genetic group on characteristics of the scrotum,
testes and Testicular Vascular Cones, and on sperm production and semen
quality in AI bulls in Brazil. J Can Vet. 43(4): 274-84.
Campbell JR, Campbell KL, Kenealy MD. 2003. Artificial Insemination. In: Anim.
Sci. 41th Ed. New York (US): McGraw-Hill.
Chenoweth PJ. 2005. Genetic Sperm Defect. Theriogenology. 64: 457-468.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2006.
Peraturan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 121/Kpts/OT.210/F/11.06
tentang Petunjuk Teknis Pengawasan Mutu Semen Beku Sapi dan Kerbau.
Jakarta (ID): Ditjennak.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2007.
Petunjuk Teknis Produksi dan Distribusi Semen Beku. Jakarta (ID):
Ditjennak.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2008. Road
Map Perbibitan Ternak. Jakarta (ID): Ditjennak.
Feradis MP. 2010. Bioteknologi Reproduksi Ternak. Bandung (ID): Alphabeta.
Fikar S, Ruhyadi D. 2010. Beternak & Bisnis Sapi Potong. Jakarta (ID):
AgroMedia Pustaka.
Freshman JL. 2002. Semen collection and evaluation. Clin Tech Small Anim Pract.
17(3): 104-107.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In:
Reproduction in Farm Animals 7th Ed. Philadelphia (US): Williams &
Wilkins.
16
Gillespie R, Flanders FB. 2009. Breeds of Beef Cattle. In: Modern Livestock and
Poultry Production 8th ed. New York (US): Delmar Cengage Learning.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animal 7th
ed. Philadelphia
(US): Williams & Wilkins.
Holroyd RG, Doogan VJ, De Faveri J, Fordyce G, Mcgowan MR, Bertram JD,
Vankam DM, Fitzpatrick LA, Jayawardhana GA, Miller RG. 2002. Bull
selection and use in Northern Australia 4. Calfoutput and predictors of
fertility of bulls in multiple-sire herds. J Anim Reprod Sci. 71: 67-79.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2013. Peraturan Menteri No 58/Permentan/
OT.140/5/2013 Tentang Tugas Pokok Balai Inseminasi Buatan. Jakarta
(ID): Kementan.
Kondracki S, Banaszewska D, Wysokinska, and Chomicz J. 2006. Sperm
morphology of cattle and domestic pig. J Reprod Bio. 2(6): 99-104.
Lestari S, Saleh DM, Maidaswar. 2013a. Profil kualitas semen segar sapi pejantan
Limousin dengan umur berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa
Barat. J Ilmiah Peternakan. 1(3): 1165-1172.
Lestari SD, Tagama TR, Saleh DM. 2013b. Profil produksi semen segar sapi
Simmental pada tingkat umur yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan
Lembang Jawa Barat. J Ilmiah Peternakan. 1(3): 897-906.
Liu S, Sun Y, Zhou G, Zhang, Feng H, He X, Fang H, Luo C, Zhu G, Yang H,
and Liu Y. 2005. The fertility of tetraploid hybrids and the sterility of their
triploid offspring. J Taiwan Vet. 1-3.
Mardiyah E, Suarida I, Pustaka IK, Hernawati R. 2001. Penampungan dan
evaluasi mutu semen sapi dengan vagina buatan. J Litbang Pertanian. 21:
138-146.
Menon AG, Barkema HW, Wilde R, Katelic JP, Thundathil JC. 2011.
Associations between sperm abnormalities, breed, age, and scrotal
circumference in beef bulls. J Can Vet. 75:241–247.
Morrell JW, Rodriguez-Martinez H. 2009. Biomimetic Techniques for improving
sperm quality in animal breeding: a review. J Andrology. 1: 1-9.
O’brien JK, Roth TL. 2000. Postcoital sperm recovery and cryopreservation in
Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) and aplication to gamete
rescue in the African Black Rhinoceros (Diceros bicornis). J Reprod Fertil.
118(2): 263-271.
Phillips CJC. 2001. Principles of Cattle Production. Wallingford (GB): CABI
Publishing.
Prajogo U, Hadi, Ilham N. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha
pembibitan sapi potong di Indonesia. J Litbang Pertanian. 21: 148-157.
Riyadhi M, Arifiantini RI, Purwantara B. 2012. Korelasi morfologi abnormalitas
primer spermatozoa terhadap umur pada beberapa bangsa sapi potong. J Vet.
19(2): 79-85.
Siregar AR. 2003. Pengembangan sapi perah rumpun unggul pada dataran rendah.
Di dalam: Supriyadi, Syahgian S. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN
tahun anggaran 2002. Buku 1 Ternak Ruminansia. Bogor (ID): Balai
Penelitian Ternak Ciawi.
Sodiq A, Nurwakhidiati Y. 2006. Perkembangan populasi sapi potong nasional
kaitannya dengan populasi di wilayah sentra dan non sentra beserta
kebijakan program pengembangannnya. J Anim Prod. 8: 182-189.
17
Soeprapto H. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi Potong. Jakarta (ID):
AgroMedia Pustaka.
Syarif EK, Harianto B. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.
Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.
Taurin B, Santi D, Putri KH. 2000. Inseminasi Buatan. Jakarta (ID): Universitas
Terbuka.
Yudi, Yusuf TL, Purwantara B, Agil M, Wresdiyati T, Sajuthi D, Aditya,
Manansang J, Sudarwati R, Hastuti YT. 2010. Morfologi dan biometri
spermatozoa Anoa (Bubalus sp) yang diwarnai dengan pewarna Williams
dan eosin-negrosin. Bul Peternakan. 33(2): 88-94.
18
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data deskriptif persentase abnormalitas spermatozoa berdasarkan
bangsa sapi
Mean Std. Error
FH_Normal ,98233333 ,002092314 Ongol_Normal ,98500000 ,001770122 Lim_Normal ,97200000 ,004412105 Sim_Normal ,98166667 ,003555903 FH_Abnormal ,01766667 ,002092314 Ongol_Abnormal ,01500000 ,001770122 Lim_Abnormal ,02800000 ,004412105 Sim_Abnormal ,01833333 ,003555903
Total ,50000000 ,070062864
Lampiran 2 Data deskriptif abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan
umur
Mean Std. Error
PearShape <7 ,00668167 ,001213586 PearShape >7 ,00703333 ,001824235 NarrowAtTheBase <7 ,00035167 ,000351667 NarrowAtTheBase>7 ,00140667 ,001081313 NarrowTapered <7 ,00316500 ,001386542 NarrowTapered >7 ,00246167 ,000814443 AbnormCon <7 ,00035167 ,000351667 AbnormCon >7 ,00246167 ,001833456 Undev <7 ,01512083 ,004451384 Undev >7 ,00316500 ,001175946 RoundHead <7 ,00281333 ,001824235 RoundHead >7 ,00211000 ,000821316 Macro <7 ,00070333 ,000474187 Macro >7 ,00211000 ,000971795 Micro <7 ,00492333 ,001628887 Micro >7 ,00738417 ,003713334 DoubleHead <7 0E-8 0E-9 DoubleHead >7 ,00070333 ,000474187 Abaxial <7 ,00035167 ,000351667 Abaxial >7 ,00246167 ,001418605 KnobAcro <7 0E-8 0E-9 KnobAcro >7 ,00070333 ,000474187 DetHead <7 ,00808833 ,001758333 DetHead >7 ,00879167 ,002620930 Total ,00347264 ,000391628
19
Lampiran 3 Data deskriptif abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan
bangsa sapi
Mean Std. Error
PeasrShape_Ongol ,00703333 ,000889654 PearShape_FH ,00984667 ,003558616 PearShape_Sim ,00351667 ,001296883 PearShape_Lim ,00703333 ,001406667 NarrowAtTheBase_Ongol 0E-8 0E-9 NarrowAtTheBase_FH ,00070333 ,000703333 NarrowAtTheBase_Sim ,00070333 ,000703333 NarrowAtTheBase_Lim ,00211000 ,002110000 NarrowTapered_Ongol ,00140667 ,000889654 NarrowTapered_FH ,00422000 ,002668962 NarrowTapered_Sim ,00351667 ,001296883 NarrowTapered_Lim ,00211000 ,000943621 AbnormCon_Ongol ,00351667 ,003516667 AbnormCon_FH 0E-8 0E-9 AbnormCon_Sim 0E-8 0E-9 AbnormCon_Lim ,00211000 ,001441404 Undev_Ongol ,00562667 ,002813333 Undev_FH ,00844000 ,004492533 Undev_Sim ,00773667 ,004137131 Undev_Lim ,01476833 ,008206606 RoundHead_Ongol ,00281333 ,001406667 RoundHead_FH ,00211000 ,000943621 RoundHead_Sim ,00351667 ,003516667 RoundHead_Lim ,00140667 ,001406667 Macro_Ongol ,00070333 ,000703333 Macro_FH ,00351667 ,001693851 Macro_Sim ,00070333 ,000703333 Macro_Lim ,00070333 ,000703333 Micro_Ongol ,00281333 ,001406667 Micro_FH ,00211000 ,000943621 Micro_Sim ,00703333 ,002813333 Micro_Lim ,01265833 ,006975227 DoubleHead_Ongol 0E-8 0E-9 DoubleHead_FH 0E-8 0E-9 DoubleHead_Sim ,00140667 ,000889654 DoubleHead_Lim 0E-8 0E-9 Abaxial_Ongol 0E-8 0E-9 Abaxial_FH ,00140667 ,000889654 Abaxial_Sim ,00070333 ,000703333 Abaxial_Lim ,00351667 ,002760079 KnobAcro_Ongol 0E-8 0E-9 KnobAcro_FH ,00070333 ,000703333 KnobAcro_Sim 0E-8 0E-9 KnobAcro_Lim ,00070333 ,000703333 DetHead_Ongol ,00773667 ,002289887 DetHead_FH ,00422000 ,002179199 DetHead_Sim ,00984667 ,004312758 DetHead_Lim ,01195667 ,002967367 Total ,00347264 ,000391628
20
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan persentase abnormalitas spermatozoa
berdasarkan bangsa sapi
Jenis N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Ongol_Abnormal 6 7,5000
FH_Abnormal 6 8,8333
Sim_Abnormal 6 9,1667
Lim_Abnormal 6 14,0000
Lim_Normal 6 486,0000
Sim_Normal 6 490,8333 FH_Normal 6 491,1667 Ongol_Normal 6 492,5000
Sig. ,486 1,000 1,000 ,486
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
Lampiran 5 Hasil uji lanjut Duncan abnormalitas primer spermatozoa
berdasarkan bangsa sapi
nilai_jenis
Duncan
Parameter N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
double head 24 ,0833
knobbed acrosome 24 ,0833
narrow at the base 24 ,2083
abnormal contour 24 ,3333
Macro 24 ,3333
Abaxial 24 ,3333
round head 24 ,5833
narrow tapered 24 ,6667 ,6667
Micro 24 1,4583 1,4583 pear shape 24 1,6250 detached head 24 2,0000 Undeveloped 24 2,1667 Sig. ,234 ,054 ,117
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24,000.
nilai_jenis
Duncan
Jenis N Subset for alpha = 0.05
1
Ongol 72 ,6250 FH 72 ,7361 Limousin 72 ,7639 Simmental 72 1,1667
Sig. ,058
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size =
72,000.
21
jenis N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 5
NarrowAtTheBase_Ongol 6 ,0000
AbnormCon_FH 6 ,0000
AbnormCon_Sim 6 ,0000
DoubleHead_Ongol 6 ,0000
DoubleHead_FH 6 ,0000
DoubleHead_Lim 6 ,0000
Abaxial_Ongol 6 ,0000
KnobAcro_Ongol 6 ,0000
KnobAcro_Sim 6 ,0000
NarrowAtTheBase_FH 6 ,1667
NarrowAtTheBase_Sim 6 ,1667
Macro_Ongol 6 ,1667
Macro_Sim 6 ,1667
Macro_Lim 6 ,1667
Abaxial_Sim 6 ,1667
KnobAcro_FH 6 ,1667
KnobAcro_Lim 6 ,1667
NarrowTapered_Ongol 6 ,3333 ,3333
RoundHead_Lim 6 ,3333 ,3333
DoubleHead_Sim 6 ,3333 ,3333
Abaxial_FH 6 ,3333 ,3333
NarrowAtTheBase_Lim 6 ,5000 ,5000
NarrowTapered_Lim 6 ,5000 ,5000
AbnormCon_Lim 6 ,5000 ,5000
RoundHead_FH 6 ,5000 ,5000
Micro_FH 6 ,5000 ,5000
RoundHead_Ongol 6 ,6667 ,6667
Micro_Ongol 6 ,6667 ,6667
PearShape_Sim 6 ,8333 ,8333 ,8333
NarrowTapered_Sim 6 ,8333 ,8333 ,8333
AbnormCon_Ongol 6 ,8333 ,8333 ,8333
RoundHead_Sim 6 ,8333 ,8333 ,8333
Macro_FH 6 ,8333 ,8333 ,8333
Abaxial_Lim 6 ,8333 ,8333 ,8333
NarrowTapered_FH 6 1,0000 1,0000 1,0000
DetHead_FH 6 1,0000 1,0000 1,0000
Undev_Ongol 6 1,3333 1,3333 1,3333 1,3333
PeasrShape_Ongol 6 1,6667 1,6667 1,6667 1,6667 1,6667 PearShape_Lim 6 1,6667 1,6667 1,6667 1,6667 1,6667 Micro_Sim 6 1,6667 1,6667 1,6667 1,6667 1,6667 Undev_Sim 6 1,8333 1,8333 1,8333 1,8333 1,8333 DetHead_Ongol 6 1,8333 1,8333 1,8333 1,8333 1,8333 Undev_FH 6 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 2,0000 PearShape_FH 6 2,3333 2,3333 2,3333 2,3333 DetHead_Sim 6 2,3333 2,3333 2,3333 2,3333 DetHead_Lim 6 2,8333 2,8333 2,8333 Micro_Lim 6 3,0000 3,0000 Undev_Lim 6 3,5000 Sig. ,061 ,057 ,050 ,095 ,065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.
22
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan abnormalitas primer spermatozoa
berdasarkan umur
Respon
Duncan
jenis N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 5 6
DoubleHead <7 12 ,0000
KnobAcro <7 12 ,0000
NarrowAtTheBase <7 12 ,0833
AbnormCon <7 12 ,0833
Abaxial <7 12 ,0833
Macro <7 12 ,1667
DoubleHead >7 12 ,1667
KnobAcro >7 12 ,1667
NarrowAtTheBase>7 12 ,3333 ,3333
RoundHead >7 12 ,5000 ,5000 ,5000
Macro >7 12 ,5000 ,5000 ,5000
NarrowTapered >7 12 ,5833 ,5833 ,5833
AbnormCon >7 12 ,5833 ,5833 ,5833
Abaxial >7 12 ,5833 ,5833 ,5833
RoundHead <7 12 ,6667 ,6667 ,6667 ,6667
NarrowTapered <7 12 ,7500 ,7500 ,7500 ,7500
Undev >7 12 ,7500 ,7500 ,7500 ,7500
Micro <7 12 1,1667 1,1667 1,1667 1,1667 1,1667
PearShape <7 12 1,5833 1,5833 1,5833 1,5833
PearShape >7 12 1,6667 1,6667 1,6667
Micro >7 12 1,7500 1,7500 1,7500
DetHead <7 12 1,9167 1,9167
DetHead >7 12 2,0833
Undev <7 12 3,5833 Sig. ,098 ,065 ,067 ,058 ,159 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
Lampiran 7 Data deskriptif volume, motilitas, dan konsertrasi spermatozoa
Descriptives
N Mean Std. Error
volume
ongol 18 7,2722 ,59501
simmental 27 6,9889 ,38768
limousin 25 6,6920 ,43688
FH 23 8,1174 ,45747
Total 93 7,2430 ,23217
motilitas
ongol 18 ,6861 ,01266 simmental 27 ,6574 ,02678 limousin 25 ,6960 ,00862 FH 23 ,6522 ,03119 Total 93 ,6720 ,01145
consent
ongol 18 1193,3333 85,25241
simmental 27 1073,3333 62,21001
limousin 25 1190,4000 42,80374
FH 23 1098,2609 62,49001
Total 93 1134,1935 31,12295
23
Lampiran 8 Hasil uji lanjut Duncan volume spermatozoa
volume
Duncan
jenis N Subset for alpha = 0.05
1 2
limousin 25 6,6920 simmental 27 6,9889 6,9889 ongol 18 7,2722 7,2722
FH 23 8,1174
Sig. ,409 ,107
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan motilitas spermatozoa
Motilitas
Duncan
jenis N Subset for alpha = 0.05
1
FH 23 ,7050 simmental 27 ,7000 ongol 18 ,7031 limousin 25 ,7020
Sig. ,230
Lampiran 10 Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi spermatozoa
Consent
Duncan
jenis N Subset for alpha = 0.05
1
simmental 27 1073,3333 FH 23 1098,2609 limousin 25 1190,4000 ongol 18 1193,3333
Sig. ,225
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 Januari 1992. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Raden Hilman dan Ibu
Helga Parmadiah. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN)
Cibuluh 1 Bogor dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMPN 1
Bogor dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1
dan lulus pada tahun 2010 di Bogor. Pada tahun 2010 penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Masuk IPB (USMI) di Fakultas
Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan,
penulis aktif di salah satu Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Satwaliar serta
menjadi panitia pada beberapa kegiatan di lingkungan kampus.