kajiakademikojk ui ugmversi+230810

201
z Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI ALTERNATIF STRUKTUR OJK YANG OPTIMUM: KAJIAN AKADEMIK* Oleh *Kajian akademik ini merupakan hasil dari kerjasama penelitian oleh dosen dan asisten dosen dari FE UI dan FE UGM. Kami ucapkan terimakasih kepada para civitas akademika UGM yang aktif berpartisipasi di dalam eksperimen. Terimakasih juga kami ucapkan kepada tim SIFE FEBUGM yang membantu peneliti dalam mendesain software untuk eksperimen. Penelitian ini merupakan draft kedua dan masih akan dilakukan revisi untuk menyempurnakannya. Terima kasih kepada ISEI Cabang Jakarta yang telah menyelenggarakan diskusi dan kami mendapatkan masukan untuk perbaikan kajian ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan. Kontak: [email protected] dan [email protected] DRAFT III Gambar diunduh dari http://aneska123.deviantart.com/art/TheBuilding163802635?q=boost:popular+building&qo=75 23 Agustus 2010 TimUGM Rimawan Pradiptyo Banoon Sasmitasiwi Gumilang Aryo Sahadewo Tim UI Rofikoh Rokhim Maria Ulpah IAA Faradynawati

Upload: aiu-ghendiz

Post on 23-Oct-2015

133 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

OJK

TRANSCRIPT

Page 1: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

i  

z

Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI

ALTERNATIF STRUKTUR OJK YANG OPTIMUM: 

KAJIAN AKADEMIK*  

 

Oleh  

 

*Kajian akademik ini merupakan hasil dari kerjasama penelitian oleh dosen dan asisten dosen dari FE UI dan FE UGM. Kami ucapkan terimakasih kepada para civitas akademika UGM yang aktif berpartisipasi di dalam eksperimen. Terimakasih  juga kami ucapkan kepada  tim SIFE FEB‐UGM  yang membantu peneliti dalam mendesain  software  untuk  eksperimen.  Penelitian  ini merupakan  draft  kedua  dan masih  akan dilakukan  revisi  untuk  menyempurnakannya.  Terima  kasih  kepada  ISEI  Cabang  Jakarta  yang  telah menyelenggarakan diskusi dan kami mendapatkan masukan untuk perbaikan kajian ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan. Kontak: [email protected] dan [email protected] 

DRAFT III

Gambar diunduh dari http://aneska123.deviantart.com/art/The‐Building‐163802635?q=boost:popular+building&qo=75 

23 Agustus 2010

TimUGM Rimawan Pradiptyo Banoon Sasmitasiwi Gumilang Aryo Sahadewo  

Tim UI Rofikoh Rokhim Maria Ulpah IAA Faradynawati

Page 2: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

ii  

Abstrak

Kajian mengenai alternatif struktur otoritas jasa keuangan (OJK) yang optimum ini disusun

terkait dengan penyusunan RUU OJK sebagai mandat yang diamanatkan pasal 34 UU tentang

Bank Indonesia (BI). Bentuk-bentuk OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan

mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri yang disesuaikan dengan kondisi di

Indonesia.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang maka pembentukan OJK harus dilakukan dengan

mendasarkan pada salah satu dari lima bentuk pendekatan yaitu institutional, functional,

integrated, twin peak dan an exception. Kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan

telah diterima secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama

persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi

berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis

lokal salam suatu negara. Selain itu patut dipertimbangkan dari survei cross country yang

diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata

tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar.

Untuk mencari bentuk optimum dari OJK yang akan diterapkan, maka dilakukan pemodelan

hubungan antar lembaga dalam struktur pengawasan di Indonesia dengan memakai

Modelling Game Theory. Hasil menunjukkan bahwa individu Indonesia cenderung untuk

bersikap rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian

besar lebih memilih untuk tidak mau berkoordinasi. Walaupun strategi ini merupakan Nash

Equilibrium, dampaknya tidak optimal bagi masyarakat secara umum karena setiap pemain

lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Selan itu, hasil eksperimen menunjukkan

bahwa pemain memberikan respon yang berbeda seiring perubahan payoffs. Fakta tersebut

menjelaskan bahwa biaya koordinasi di Indonesia tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa

pemberlakuan framing effects memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemain

secara signifikan.

Pada bagian akhir dari penelitian ini akan diestimasi besarnya biaya pembentukan dan

pengoperasian OJK versi RUU OJK apabila nantinya RUU OJK disetujui oleh DPR sesuai

Page 3: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

iii  

dengan RUU yang diajukan. Nilai estimasi biaya pembentukan dan operasional OJK versi

RUU tentunya didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Estimasi biaya dibuat sekonservatif

mungkin dengan harapan untuk memberikan gambaran berapa kira-kira minimum

irreducable biaya yang diperlukan untuk membentuk dan mengoperasikan OJK versi RUU

OJK sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam RUU. Tentu saja biaya estimasi

ini akan berubah jika nantinya terdapat perubahan dalam pasal-pasal yang mengatur tugas

dan fungsi dari OJKversi RUU OJK.

Dengan melihat best practices reformasi struktur pengawasan di Negara-Negara lain dan

melakukan review prasyarat sebuah struktur pengawasan yang optimum, maka kajian ini

mengusulkan bahwa Bapepam-LK menjadi satu lembaga independen—tidak dibawah

Departemen Keuangan—yang merupakan pengejawantahan OJK.

Selain itu, pengawasan makro dan mikro sektor perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank

Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang dibutuhkan dengan mendirikan

lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah bank sentral. OJK

melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank dan fungsi

pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian tugas

antara BI dan OJK yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya transaksi

yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut.

Page 4: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

iv  

Daftar Isi

Abstrak ................................................................................................................................... ii 

Daftar Isi ............................................................................................................................... iv 

Bab 1: Pendahuluan ................................................................................................................ 1 

1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1 

1.2. Permasalahan .................................................................................................................. 2 

1.3. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................................... 6 

1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 6 

1.5. Metodologi ...................................................................................................................... 7 

1.5.1. Data ........................................................................................................................ 8 

Bab 2:  Struktur Industri dan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ........................... 9 

2.1. Struktur Industri Lembaga Keuangan ............................................................................. 9 

2.1.1. Kinerja Pengawasan Perbankan ......................................................................... 15 

2.1.2. Kinerja Pengawasan di Lembaga Keuangan Non‐Perbankan ......................... 18 

Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ................................................................................. 21 

3.1.Latar Belakang Pembentukan OJK ................................................................................ 21 

3.2.Fungsi dan Tujuan Lembaga Pengawas ......................................................................... 23 

3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia ...................................................................... 29 

Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ...................................... 36 

4.1 Skala Ekonomi dan Sistem Pengawasan Keuangan ...................................................... 36 

4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara ....................................... 38 

4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ................................................ 41 

4.4. Biaya Transaksi Perubahan Sistem Pengawasan .......................................................... 48 

4.5.Peran Bank Sentral ......................................................................................................... 50 

4.6.Pengalaman Negara Lain ............................................................................................... 55 

4.6.1.Pengalaman Negara Prancis ............................................................................... 55 

4.6.2.Pengalaman Negara Inggris ............................................................................... 57 

4.6.3.Pengalaman Negara Korea Selatan ................................................................... 59 

4.6.4.Pengalaman Negara Jepang ............................................................................... 61 

Page 5: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

v  

4.6.5.Pengalaman Negara Jerman .............................................................................. 65 

4.6.6.Pengalaman Negara Finlandia .......................................................................... 66 

4.6.7.Pengalaman Negara Denmark .......................................................................... 69 

4.6.8.Pengalaman Negara Kanada .............................................................................. 71 

4.6.9.Lesson Learned  dari Negara Dengan Sistem Pengawasan tunggal ................ 72 

Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia ....................................................... 74 

5.1.Pendahuluan ................................................................................................................... 74 

5.2.Kompleksitas Sistem Pengawasan di Indonesia ............................................................ 74 

5.2.1  Kompleksitas SDM Sistem Pengawasan ........................................................ 86 

5.3.Usulan Sistem Pengawasan yang Optimum .................................................................. 89 

5.4. Model Pengawasan Pasar Modal .................................................................................. 95 

5.5.Usulan Skema Koordinasi untuk Pencegahan Krisis ..................................................... 96 

Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen Proses Evolusi Prisoners’ Dilemma .................................................................................... 99 

6.1. Pendahuluan .................................................................................................................. 99 

6.2. Desain Eksperimen ..................................................................................................... 125 

6.3. Hasil Eksperimen ........................................................................................................ 131 

6.3.1. Kecenderungan Berkoordinasi .......................................................................... 131 

6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek .............................. 138 

6.4. Implikasi Hasil Ekperimen ......................................................................................... 145 

Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ............... 148 

7.1. Pendahuluan ................................................................................................................ 148 

7.2. Biaya Peralihan Sistem Pengawasan di Inggris .......................................................... 150 

7.3. Biaya Pengalihan ke OJK versi RUU OJK ................................................................. 152 

7.4. Mungkinkah Biaya OJK RUU Ditanggung Lembaga Keuangan? ............................. 168 

7.5. Biaya Pengalihan ke Usulan Skema I dan II OJK ...................................................... 172 

Bab 8: Kesimpulan dan Saran ........................................................................................... 174 

8.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 174 

8.2 Saran ............................................................................................................................ 175 

Referensi .................................................................................................................................v 

Lampiran 1. Kemanfaatan dan Kompleksitas Model Pendanaan ........................................ xii 

Lampiran 2. Panduan Eksperimen ...................................................................................... xiv 

Lampiran 3. Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil .................................. xvi 

Page 6: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

vi  

Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah ................ xxv 

Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar ...................... xxxv 

 

Page 7: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

1  

Bab 1: Pendahuluan  

1.1. Latar Belakang

Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan

berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial kepada pihak

yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi

secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat

menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak

stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat

tinggi untuk upaya penyelamatannya.

Krisis ekonomi selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi

maupun biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998, misalnya,

membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan

pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk

mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum krisis.

Belajar dari krisis ekonomi akhir dekade 1990-an, beberapa perubahan mendasar telah

dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini kemungkinan krisis ekonomi dan

kalaupun krisis terjadi dampak yang ditimbulkan dapat diminimasim, antara lain melalui

pembentukan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) yang berperan sebagai bank insurance.

LPS mulai beroperasi sejak 22 September 2005 yang pendiriannya disahkan melalui UU

24/2004. Peran Bank Indonesia (BI) pasca Orde Baru diatur di dalam UU Nomor 23/1999

yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 3/2004.

Didasarkan pada kedua UU yang mengatur peran BI tersebut, diamanatkan fungsi

pengawasan perbankan akan dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK)

independen atau sering disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan UU

3/2004, OJK harus terbentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. OJK dibentuk

sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun bukan

bank, seperti perusahaan sekuritas, anjak piutang, sewaguna usaha, modal ventura,

perusahaan pembiayaan, reksa dana, asuransi, dan dana pensiun serta lembaga lain yang

berkegiatan mengumpulkan dana masyarakat.

Page 8: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

2  

Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis

ekonomi di tahun 1997/1998. BI dipandang tidak optimal dalam melakukan fungsi

pengawasan. Di sisi lain, di negara maju, terdapat kecenderungan adanya pemisahan fungsi

pengawasan perbankan dari bank sentral untuk kemudian ditangani khusus oleh lembaga

pengawas keuangan yang bersifat independen, misalnya Financial Service Authority (FSA) di

Inggris.

1.2. Permasalahan

Hingga saat ini, BI berperan sebagai pengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di

bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, BI berperan aktif dalam dua hal sekaligus,

yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Macro-prudential

supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga

keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan

atau perekonomian. Di sisi lain, micro-prudential supervision merupakan kewajiban untuk

melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan

untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu.

Bentuk-bentuk sistem pengawasan OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan

mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri. Selain itu patut dipertimbangkan dari

survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan

keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan

lancar. Jikalaupun akan dibentuk maka OJK disarankan mengadop sistem Prancis, Korea

Selatan, Jepang, Jerman atau Inggris yang telah direvisi.

Jika Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK disetujui dan RUU OJK benar-benar dibentuk

sebagai badan independen lepas dari BI, maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan

akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah

bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada RUU OJK, sementara BI hanya

bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah

bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan.

Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika

Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern

Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real

Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas

moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis

Page 9: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

3  

moneter di Asia di tahun 1997/1998 menunjukkan instabilitas moneter berdampak kepada

instabilitas sistem keuangan.

Jika peran pengawasan sistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementara .

regulator moneter diemban oleh BI, maka akan muncul beberapa permasalahan:

1. Meski RUU OJK mungkin bisa segera dibentuk, namun karena lembaga baru ini

terdiri dari berbagai komponen (misalnya BI, Departemen Keuangan, dan lain-lainya),

diperlukan waktu cukup panjang untuk bisa mulai beroperasi dengan sempurna.

Belajar dari lembaga ad-hoc lain, pembentukan KPK dilandasi UU Nomor 30/2002,

namun lembaga tersebut baru terbentuk tahun 2004 dan mulai beroperasi penuh pada

tahun 2005. Contoh lain adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang

didirikan berdasarkan UU Nomor 24/2007. Sesuai amanat konstitusi, Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) didirikan disemua provinsi dan

kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hingga saat ini BPBD Tingkat I telah terbentuk

di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki BPBD Tingkat I,

meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan Papua). Dari

total 399 kabupaten se Indonesia, sampai ini hanya 104 kabupaten saja yang telah

didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di Indonesia didirikan

BPBD.

2. Koordinasi antara RUU OJK dan BI cenderung akan suboptimal, karena masing-

masing lembaga cenderung untuk fokus kepada tugas pokok fungsi masing-masing

sementara seringkali tugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderung

bertentangan. Seperti halnya teori public choice, hubungan antar lembaga pemerintah

bisa dimodelkan sebagai 2x2 prisoners dilemma game. Pada game tersebut, pareto

optimum bukanlah pilihan yang rasional, karena setiap pemain selalu memiliki

insentif untuk beralih dari strategi yang menghasilkan pareto optimum.

3. Lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara RUU OJK dan BI akan

meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang

disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan.

4. Fungsi lender of the last resort dari BI tidak akan optimal selama BI tidak memiliki

informasi yang memadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga

keuangan individual. Kasus ini terjadi di Inggris yaitu ketika Northern Rock, sebuah

lembaga keuangan yang diawasi oleh FSA, akhirnya kolaps dan di-bailout oleh Bank

of England (BOE) dan bank sentral tersebutlah yang selama ini tidak tahu tentang

Page 10: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

4  

sepak terjang pengelola Northern Rock yang terlalu berani melakukan ekspansi

pengucuran kredit, dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut

dilimpahkan oleh FSA untuk di-bailout.

5. Hingga saat ini otoritas yang bertanggung jawab dalam mengambil keputusan penting

di saat krisis adalah KSSK dan KK yang terdiri dari BI, Kementrian Keuangan dan

LPS. Jika OJK dipisahkan dari BI, maka jumlah lembaga di KSSK dan KK menjadi

empat. Hal ini akan meningkatkan masalah koordinasi untuk pengambilan keputusan

penting di saat krisis.

Tidak dipungkiri bahwa rancangan awal RUU OJK yang beredar di masyarakat adalah

mengikuti struktur terintegrasi sebagaimana yang dianut oleh Inggris dengan FSA sebagai

satu satunya lembaga yang mengawasi seluruh industri keuangan. Akan tetapi, jika melihat

penerapan di beberapa negara di dunia, sistem integrasi ini hanya diterapkan oleh negara-

negara yang memiliki universal banking di mana produk-produknya merupakan produk

hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Di negara-negara yang memiliki

universal banking tersebut pengawasan lembaga keuangan menjadi krusial untuk berada

dalam satu atap karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah

sedemikian menyatu, sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan termasuk

produk keluaran perbankan atau non perbankan. Sementara itu di Indonesia, mayoritas bank

adalah bank komersial (commercial banking) dan jikapun terdapat produk hibrida, jumlahnya

masih sedikit dibanding dana di sektor perbankan, sehingga struktur pengawasan yang

terpisah per industri boleh jadi merupakan struktur pengawasan yang lebih tepat bagi

Indonesia dan negara berkembang lainnya (Grenville, 2005).

Tabel 1.1 menunjukkan kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan telah diterima

secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai

dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan

sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokalnya. Maka,

keefektifannya dalam penerapannya untuk setiap negara lebih didasarkan pada keunikan

faktor-faktor lokalnya sehingga tidak ada satu model yang pasti cocok dan optimal untuk

diterapkan di setiap negara. Konsensus yang berlaku menyatakan bahwa pemilihan

pendekatan mana yang sesuai dalam pembentukan struktur model pengawasan sistem

keuangan haruslah berdasarkan pada:

Page 11: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

5  

1. Kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan meringkas sebuah struktur yang kompleks

2. Penekanan pada kejelasan prinsip-prinsip dasar regulasi

3. Kebutuhan untuk menjalankan koordinasi internasional terkait dengan standar dan

regulasi

4. Adanya peraturan yang fleksibel untuk mengadaptasi jenis institusi baru dan

instrumen keuangan baru

5. Adanya independensi antar politik antara pasar dalam otorisasi regulasi nasional

6. Peran bank sentral dalam penciptaaan stabilitas keuangan harus didukung oleh

otoritas dan kapasitas yang cukup

7. Kualitas sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi

Tabel 1.1. Bentuk Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan

Tipe  Definisi Aplikasi Negara

Institutional Yang menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan tersebut (misal : status perusahaan A adalah sebagai bank, broker-dealer, atau perusahaan asuransi), baik dalam hal safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis.

RRC, Hongkong, dan Meksiko

Functional Yang menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari perusahaan tersebut. Masing-masing lini bisnis diawasi oleh regulator masing-masing

Brazil, Perancis, Italia, dan Spanyol

Integrated Terdapat sebuah regulator tunggal yang melaksanakan pengawasan dalam hal safety dan soundness, begitu juga conduct of business, untuk seluruh lembaga yang berada di sektor keuangan

Kanada, Jerman, Jepang, Qatar, Singapura, Swiss, dan Inggris

Twin Peaks Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness, sementara yang lainnya fokus pada conduct of business

Australia dan Belanda

An Exception Struktur yang digunakan di Amerika Serikat merupakan struktur fungsional dengan beberapa aspek institusional, dan lebih kompleks dengan adanya lembaga di tingkat negara bagian. Treasury Blueprint Amerika Serikat terakhir menyadari kelemahan ini dan mengusulkan perubahan ke arah pendekatan modified Twin Peak sebagai sasaran jangka panjang.

Amerika Serikat

Sumber: Goodhart (2000)

Page 12: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

6  

1.3. Pertanyaan Penelitian

Terkait dengan beberapa potensi masalah yang mungkin muncul dengan keberadaan OJK di

atas, beberapa pertanyaan penelitian yang perlu segera mendapat jawaban adalah:

1. Bagaimana kinerja pengawasan dan monitoring yang dilakukan BI dan Bapepam-LK

selama ini? Jika terdapat kekurangan apakah dimungkinkan perbaikan terkait dengan

fungsi pengawasan dan monitoring tersebut?

2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari beragam sistem pengawasan yang ada di

dunia saat ini dan best practice apa yang bisa dipelajari dari pengalaman dari negara

lain terkait dengan OJK versi RUU OJK?

3. Bagaimanakah sistem pengawasan lembaga keuangan yang optimum untuk

Indonesia? Dan bagaimanakah struktur hubungan antara OJK versi RUU OJK dan

lembaga terkait yang dipandang paling tepat untuk Indonesia tanpa meningkatkan

kerentanan terhadap krisis?

4. Apabila RUU OJK diratifikasi, kira-kira berapa biaya yang diperlukan untuk

pembentukan dan operasional OJK versi RUU OJK?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan kinerja supervision dan monitoring perbankan yang selama ini dilakukan

oleh pihak BI dan Bapepam-LK dan mengidentifikasi berbagai kekurangan dan

kelebihan yang ada serta memformulasikan perbaikan kedepan.

2. Menganalisis kelebihan dan kekurangan dari beragam sistem pengawasan dan

mencari lesson learned dari berbagai pengalaman yang terjadi di negara lain.

3. a. Memformulasikan bentuk lembaga OJK versi RUU OJK beserta tugas pokok

fungsinya yang paling tepat bagi perekonomian Indonesia.

b. Memformulasikan hubungan antara OJK versi RUU OJK dengan institusi-institusi

terkait yang berperan dalam macro-prudential surveillance dan micro-prudential

surveillance sehingga kerentanan perekonomian Indonesia terhadap krisis ekonomi

bisa diminimasi.

4. Mengestimasi besarnya biaya yang diperlukan untuk membentuk dan

mengoperasionalkan OJK versi RUU apabila nantinya RUU OJK benar-benar

diratifikasi.

Page 13: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

7  

1.5. Metodologi

Untuk mengetahui berbagai macam tipe pengawasan dan memperoleh lesson learned dari

efektivitas berbagai sistem pengawasan dilakukan studi literatur. Studi literatur akan

dilakukan dengan mengkaji berbagai paper dan buku yang terkait dengan pelaksanaan

berbagai sistem pengawasan lembaga keuangan yang telah dilakukan di berbagai negara.

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan mendasar yaitu bagaimana Ilmu Ekonomi

menganalisis keberaan sistem pengawas lembaga keuangan yang dimanifestasikan ke dalam

RUU OJK yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR. Untuk menjawab pertanyaan

di atas diperlukan analisis dengan berbagai teori yang ada di ilmu Ekonomi secara exhaustive.

Beberapa alat analisis yang dipakai di penelitian ini adalah Public Economics, Behavioural

Game Theory, Experimental Economics, Public Choice Theory, serta Transaction Costs.

Behavioural game theory adalah cabang Ekonomika yang mempelajari pengambilan

keputusan antar individu maupun lembaga dalam situasi interaktif yang didasarkan pada

berbagai hasil eksperimen dalam memainkan berbagai game tersebut. Jika OJK versi RUU

OJK akan berdiri sebagai lembaga independen, maka tentu hubungan antara OJK versi RUU

OJK (dalam hal ini adalah Bapepam-LK) dan BI dapat dimodelkan sebagai 2x2 prisoners’

dilemma game. Game tersebut selama ini digunakan untuk memodelkan hubungan antar

lembaga pemerintah maupun model tentang public choice theory.

Modelling dengan menggunakan behavioural game theory akan sangat berguna untuk

mengevaluasi sistem pengawasan dan monitoring lembaga keuangan yang ada saat ini. Hal

yang sama akan dapat dilakukan untuk mengestimasi efektivitas fungsi pengawasan dan

monitoring serta kaitannya dengan kerentanan terhadap krisis jika fungsi tersebut diemban

oleh OJK versi RUU OJK. Terlepas dari struktur OJK versi RUU OJK yang akan dibentuk,

jelas akan ada dua otoritas di bidang moneter yaitu OJK versi RUU OJK yang berfungsi

melakukan pengawasan dan monitoring, sementara BI hanya fokus kepada pengaturan

moneter. Pemisahan kedua fungsi ini untuk dilaksanakan oleh dua lembaga yang terpisah

berpotensi untuk menimbulkan coordination failure.

Idealnya penelitian ini menggunakan metoda eksperimen untuk mengetahui bagaimana

perilaku masyarakat Indonesia, terutama terhadap framing effect dan aspek apa dalam

bounded rationality yang lebih utama dimiliki oleh masyarkat Indonesia. Informasi tersebut

akan sangat berguna untuk merancang struktur OJK dan hubungannya dengan BI. Jika saja

hal ini ditempuh, maka beberapa design experiment akan disusun untuk mensimulasikan

Page 14: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

8  

struktur hubungan yang mungkin terjadi antara OJK dan lembaga terkait. Eksperimen akan

dilaksanakan terhadap model game theory yang telah dibuat pada tahap sebelumnya, untuk

kemudian diujikan kepada manusia untuk melihat struktur game seperti apa yang paling

kondusif mencegah miscoordination. Didasarkan pada design experiment, akan dilakukan

analisis terhadap prediksi teori ekonomi terhadap design experiment. Hasil ini akan

dibandingkan dengan hasil eksperimen jika eksperimen tersebut langsung dimainkan oleh

pelaku ekonomi riil. Namun demikian, karena keterbatasan sumberdaya yang ada, terutama

keterbatasan waktu, maka penggunaan metoda eksperimen akan digunakan setelah kajian

literature dilakukan dalam penelitian ini.

Idealnya hubungan antar lembaga--seperti tercantum dalam OJK versi RUU OJK--dan BI

adalah pure coordination game, namun hal seperti ini sulit terjadi karena masing-masing

lembaga cenderung tunduk terhadap tugas pokok fungsi. Permasalahan menjadi semakin

kompleks ketika kata ‘koordinasi’ seringkali tidak ada di dalam tugas pokok fungsi. Alhasil,

dua lembaga yang seharusnya aktif berkoordinasi, cenderung untuk tidak berkomunikasi

karena masing-masing hanya berusaha memenuhi tugas pokok dan fungsi mereka tanpa

memikirkan dampaknya terhadap perekonomian.

Modelling game theory dari struktur hubungan antara lembaga yeng tercantum dalam OJK

versi RUU OJK dan lembaga terkait lain akan dilakukan di dalam penelitian ini. Analisis

game theory dan behavioural game theory akan digunakan untuk mencari model game

terbaik yang mampu mengatasi masalah miscoordination antara lembaga terkait.

1.5.1. Data

Data yang diperlukan untuk studi ini diperoleh dari berbagai data sekunder yang relevan serta

data primer. Data sekunder diperoleh dari informasi sistem pengawasan dan monitoring

perbankan yang selama ini dilakukan oleh pihak BI dan Bapepam-LK. Data lain yang

dibutuhkan adalah literatur terkait dengan pelaksanaan berbagai model sistem pengawasan

lembaga keuangan yang ada di dunia. Hal ini bisa diperoleh melalui online journal yang

dapat diakses oleh tim peneliti. Informasi lain yang diperlukan adalah perundang-undangan

terkait dengan pendirian OJK seperti termaktub dalam RUU OJK.

Page 15: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

9  

Bab 2: Struktur Industri dan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan

2.1. Struktur Industri Lembaga Keuangan

Sektor keuangan memiliki peran yang penting dalam sistem perekonomian melalui

pertumbuhan ekonomi, akumulasi kapital, dan inovasi teknologi (Levine, 1997). Fungsi

intermediasi memungkinkan lembaga keuangan menggalang dana dari pihak yang memiliki

kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan dana khususnya sektor riil.

Sektor inilah yang menjaga keseimbangan antar sektor perekonomian dan memastikan roda

perekonomian tetap berputar.

Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak lepas dari perkembangan sistem keuangan yang

semakin canggih (Gambar 2.1). Secara global, pentingnya stabilitas sistem keuangan dalam

perekonomian didorong oleh empat hal, yaitu pertumbuhan sektor keuangan yang lebih besar

dibandingkan dengan sektor riil, integrasi sistem keuangan global dan regional, kompleksitas

sistem keuangan dan perubahan komposisi dalam proses sistem keuangan yang disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat dimana komposisi aset nonmoneter menjadi lebih penting

(Houben, 2004).

Gambar 2.1

Pendekatan Teoritis Dampak Perkembangan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

 

Pergeseran pasar: ‐ Biaya informasi ‐ Biaya transaksi 

Pasar keuangan dan perantara keuangan 

Fungsi keuangan: ‐ mobilisasi tabungan ‐ alokasi sumberdaya ‐ penggunaan pengawasan perusahaan ‐ fasilitasi manajemen risiko ‐ kemudahan perdagangan barang, jasa, dan dan kontrak 

Mekanisme ke pertumbuhan: ‐ akumulasi modal ‐ inovasi teknologi 

 Pertumbuhan 

Sumber: Levine (1997)

Page 16: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

10  

Lembaga keuangan di Indonesia secara umum dibagi dua yaitu lembaga keuangan bank dan

lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank di Indonesia meliputi bank umum,

bank syariah, dan BPR (umum dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi

perasuransian, pasar modal, perusahaan pegadaian, dana pensiun, koperasi, dan lembaga

penjaminan dan pembiayaan. Perusahaan yang dapat dikategorikan menjadi lembaga

pembiayaan antara lain perusahaan sewa guna usaha (leasing), perusahaan pembiayaan

konsumen, dan perusahaan modal ventura. Tabel 2.1 menunjukkan jumlah perusahaan untuk

setiap kategori lembaga keuangan yang sebagian besar merupakan perbankan.

Tabel 2.1. Jumlah Perusahaan Lembaga Keuangan di Indonesia

Lembaga keuangan Jumlah perusahaan/emiten Perbankan Bank Umum1 121 BPR 1.712 Bank Syariah2 169 Sub Total Perbankan (A) 2.003 Asuransi3 144 Pasar modal 499 Pasar obligasi 184 Perusahaan efek 158 Perusahaan pegadaian 1 Dana Pensiun 406 Perusahaan Pembiayaan 212 Perusahaan modal ventura 66 Sub Total Non-Perbankan (B) 1.670 Total (A + B) 3.672

Sumber: BI (2010e), Bapepam-LK (2009), Biro Dana Pensiun (2009), Biro Perasuransian (2008)

1 Jumlah bank umum dan BPR berdasarkan data Mei 2010 2 Bank syariah meliputi bank umum syariah, unit usaha syariah, dan BPR syariah. 3 Asuransi meliputi asuransi non-jiwa, reasuransi, asuransi jiwa, asuransi sosial, dan asuransi PNS, TNI, dan Polri. 3 Jumlah emiten pasar modal dan obligasi berdasarkan data kuartal I/2009

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa jumlah lembaga keuangan perbankan mencakup 56,71% dari

jumlah total lembaga keuangan. Sementara itu lembaga keuangan non-perbankan hanya

mencakup 43,29% saja. Perbankan tidak hanya mendominasi jumlah perusahaan tetapi juga

pangsa aset terhadap aset total sektor keuangan (Gambar 2.2). Pangsa aset perbankan

mencapai 87% sedangkan 13% pangsa aset terdiri dari enam lembaga keuangan lainnya yaitu

perusahaan pembiayaan, dana pensiun, reksa dana, pegadaian, asuransi, dan modal ventura.

Menarik untuk dicatat pangsa lembaga pembiayaan yang relatif besar dibandingkan lembaga

keuangan lain di luar perbankan.

Page 17: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

11  

Gambar 2.2 Pangsa Aset Lembaga Keuangan Terhadap Total Aset Sektor Keuangan

Sumber: Dihitung dari BI (2010b;2009), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010)

Aset total lembaga keuangan di Indonesia mencapai Rp2.671 triliun pada tahun 2008 (Tabel

2.2). Rasio aset total lembaga keuangan terhadap PDB nominal yang mencapai 47,6% pada

tahun 2008 menjelaskan ukuran sektor keuangan yang besar. Jika melihat perkembangan

masing-masing lembaga, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dan perbankan mengalami

kenaikan aset tertinggi selama 2006-2008. Aset pegadaian meningkat sebesar 114,9%

sedangkan aset perusahaan pembiayaan dan perbankan masing-masing meningkat sebesar

54,7% dan 36,7% selama tahun 2006-2008.

Tabel 2.2. Aset dan Nilai Aktivitas Lembaga Keuangan

Lembaga Keuangan Aset

(triliun rupiah) Nilai aktivitas utama

(triliun rupiah)1 2006 2007 2008 2006 2007 2008

Perbankan (A) 1.693,5 1.986,5 2.310,6 832,9 1.045,7 1.353,6LK Nonbank (B) Modal ventura 3,0 2,8 2,1 1,5 4,7 5,0 Asuransi 16,2 19,1 22,7 152,9 202,3 211,2 Perusahaan pembiayaan 93,1 107,7 137,5 93,1 107,7 137,5 Dana pension 77,7 91,2 90,2 75,0 88,0 86,4 Reksa dana 72,1 73,1 74,1 - - - Pegadaian 18,4 22,8 33,8 18,4 22,8 33,8 Total Aset LK Nonbank (B) 280,5 316,7 360,4 340,9 425,5 473,9Aset total sektor keuangan (A+B) 1.974,0 2.303,2 2.671,0 1.173,8 1.471,2 1.827,5PDB nominal (triliun rupiah) (C) 3.949,3 4.954,0 5.613,4 3.949,3 4.954,0 5.613,4Proporsi Aset Perbankan: PDB (A:C) 42,9 40,1 41,2 21,1 21,1 24,1Proporsi Aset LK Nonbank: PDB (B:C) 7,1 6,4 6,4 8,6 8,6 8,4Rasio Aset Sektor Keuangan:PDB (A+B):C 50,0 46,5 47,6 29,7 29,7 32,6

Sumber: dihitung dari BI (2010b;2009), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010) 1 Nilai aktivitas berdasarkan jumlah kredit (perbankan), jumlah pinjaman (pegadaian), jumlah pembiayaan (perusahaan pembiayaan dan modal ventura), dan jumlah investasi (asuransi dan dana pensiun).

Page 18: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

12  

Nilai aktivitas utama sektor keuangan yang meliputi kredit, pembiayaan, pinjaman, dan

investasi tumbuh 24,2% dan mencapai Rp1.827,5 triliun pada tahun 2008. Lembaga yang

mengalami kenaikan nilai aktivitas utama tertinggi selama 2006-2008 adalah modal ventura

(233,3%), pegadaian (83,7%), dan perbankan (62,5%). Kenaikan nilai aktivitas utama sektor

keuangan secara umum menggambarkan perkembangan sektor tersebut dalam perekonomian

Indonesia. Peran intermediasi sektor tersebut meningkat seiring kenaikan kebutuhan

masyarakat terhadap pembiayaan.

Regulasi dan pengawasan sektor keuangan yang kuat sangatlah krusial melihat

perkembangan sektor tersebut. Sektor keuangan merupakan “pusat” dari sistem dalam sebuah

perekonomian: kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam

perekonomian (Stiglitz, 1994). Sebagai contoh, krisis sektor keuangan pada tahun 1997-1998

merupakan yang termahal di dunia. Biaya penyelamatan sektor perbankan mencapai 50% dari

PDB Indonesia pada waktu itu. Hancurnya sektor keuangan juga menyebabkan penurunan

pertumbuhan ekonomi yang tajam (World Bank, 2009). Chowdhury (2010) menjelaskan

bahwa regulasi sektor keuangan harus ditinjau kembali pasca krisis keuangan tahun 1998

untuk mencegah kegagalan sistemik berikutnya.

Regulasi dan pengawasan sektor keuangan juga krusial melihat potensi pelanggaran yang

dapat dilakukan oleh lembaga keuangan. Perkembangan kompetisi di sektor keuangan

mendorong institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk. Namun, inovasi yang

dilakukan terkadang melanggar ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yang ketat.

Pelanggaran potensial lainnya meliputi laporan yang tidak transparan, insider trading, dan

pencucian uang.

Bank Indonesia memiliki tugas mengawasi lembaga keuangan bank. Tugas pengawasan

merupakan salah satu pilar utama dalam mencapai tujuan utama Bank Indonesia yaitu nilai

rupiah yang stabil. Lembaga keuangan nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK yang

merupakan lembaga di bawah Kementrian Keuangan (Tabel 2.3). Menarik untuk dicatat

bahwa Bapepam-LK sedang menyusun RUU Pegadaian yang memungkinkan pemain baru

dalam pasar keuangan khususnya pegadaian.

Page 19: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

13  

Tabel 2.3. Lembaga Pengawas Berdasarkan Lembaga Keuangan

Lembaga Keuangan Lembaga Pengawas Bank Bank Umum Bank Indonesia Bank Syariah BPR

Bank Indonesia Bank Indonesia

Asuransi Bapepam-LK Pasar modal Bapepam-LK Perusahaan pegadaian Bapepam-LK1 Dana Pensiun Bapepam-LK Dana Reksa Bapepam-LK Koperasi Kementrian Negara Koperasi dan UKM, BI, dan Bapepam-

LK2 Lembaga penjaminan Bapepam-LK Lembaga Pembiayaan Perusahaan sewa guna usaha Bapepam-LK Perusahaan pembiayaan konsumen Bapepam-LK

Perusahaan modal ventura Bapepam-LK Sumber: BI (2010d), Kementrian Negara Koperasi dan UKM (2010), Bapepam-LK (2010) 1 Bapepam-LK berencana mengeluarkan RUU pegadaian 2Kegiatan koperasi simpan pinjam diatur dalam PP Nomor 9/1995. Kementrian Negara Kopeasi dan UKM memiliki wacana membentuk lembaga pengawas koperasi di bidang jasa keuangan. Koperasi yang bergerak dalam bidang perbankan diawasi oleh BI sedangkan koperasi yang bergerak dalam bidang pembiayaanakan diawasi oleh Bapepam-LK

Perkembangan industri keuangan Indonesia tidak dapat mengesampingkan peran

lembaga keuangan mikro (LKM). Jumlah LKM di Indonesia sangatlah banyak dengan jumlah

nasabah mencapai lebih dari 35 juta sampai dengan tahun 2009 (Tabel 2.4). LKM, tentunya,

telah jauh berkembang sampai dengan tahun 2010: unit usaha dan nasabah yang terus

bertambah. Selain itu, masih terdapat sarana keuangan lain yang tidak terdata namun

jumlahnya relatif besar, misalnya arisan dan rentenir. Sampai saat ini, belum semua LKM di

Indonesia memiliki pengawasan formal. Hal ini menarik dicatat karena peran LKM akan

semakin besar dalam industri keuangan di Indonesia dan pengawasannya akan menjadi

penting.

Page 20: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

14  

Tabel 2.4. Profil Lembaga Keuangan Mikro Indonesia, sampai dengan 2009

Jenis Lembaga Jumlah (unit)

Posisi Kredit Posisi Simpanan

Nasabah Total

Nasabah Total

(Rp miliar) (Rp miliar)

Formal            

  Bank          

    BRI (BRI, 2009) 4.029 4.918.000 130.266 30.000.000 32.000

    Danamon DSP (Danamon, 2009) 1.200 - 12.300 - -

   Bank Mandiri Micro Business Unit (Mandiri, 2009) 976 430.000 5.400 - -

    BTPN (BTPN, 2010) 105 160.000 250 - -

    Bank Mega Syariah (Bank Mega, 2009) 210 - 1.000 - -

    Bank BNI SKC (Bank BNI, 2009) 169 339.000 3.590 - -     BPR (Maret 2004) 2.296 2.718.000 25.746 5.610.000 9.254     BKD (Profi GTZ, 2005) 5.345 675.000 233 507.000 39

    Total Bank (A) 14.330 9.240.000 178.785 36.117.000 41.293

  Nonbank          

    KSP (Kemeneg KUKM, 2009) 3.200 655.000 531 - 85     USP (Kemeneg KUKM, 2009) 66.352 - 3.629 - 1.157     KJKS (Kemeneg KUKM, 2009) 264 - - - -     UJSK (Kemeneg KUKM, 2009) 524 - - - -    BK3D (Desember 2003) 965 964.000 3236   199

    Swamitra (2003) 177 32.000 127 55.000 56

    LDKP (Profi GTZ, 2005)) 239 1.326.000 1076 - 334

    Pegadaian (Pegadaian, 2009) 3.100 14.300.000 49.000 -  

    UlaMM (PNM, 2009) 184 13.021.000 800 - -

    LKM LSM 1047 286.000 449     Total Nonbank (B) 76.052 30.584.000 58.848 55.000 1.831   Total Formal (X=A+B) 90.382 39.824.000 237.633 36.172.000 43.124

Nonformal          

  BMT (Oktober 2004) 3937 1.175.000

1.980 - 209   Credit union dan NGO (Oktober 2004) 1,146 397.401 506 293.648 188   Total Nonformal (Y) 3.938 1.572.401 2.486 293.648 397

Jumlah (X+Y) 94.320 41.396.401 240.119 36.465.648 43.521 Sumber: diolah dari Ashari (2006), Kemeneg KUKM (2009), GTZ (2005); BTPN= Bank Tabungan Pensiunan Nasional; BKD = Badan Kredit Desa; KSP = Koperasi Simpan Pinjam; USP = Unit Simpan Pinjam; BK3D = Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah; LDKP = Lembaga Dana Kredit Pedesaan; Kukesra = Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat; PNM ULMM= Permodalan Nasional Madani Unit Layanan Modal Mikro; KJKS=Koperasi Jasa Keuangan Syariah; UJSK=Unit Jasa Syariah Koperasi.

Page 21: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

15  

Program pinjaman mikro Indonesia juga hadir di Indonesia, selain LMK formal dan

nonformal. Menurut Ashari (2006), jumlah program mencapai 35.135 yang tersebar di

seluruh Indonesia. Selain jumlah program yang besar, jumlah nasabah mencapai lebih dari 16

juta dengan pinjaman sebesar Rp2,8 triliun (Tabel 2.5).

Tabel 2.5. Profil Program Pinjaman Mikro Indonesia, sampai dengan 2003

Jenis Lembaga Jumlah (unit)

Posisi Kredit

Nasabah Total

(Rp miliar)

Program   Kukesra (Juni 2002) - 10.300.000 754  PPK (Desember 2002) 15.481 300.000 243  P4K (Mei 2002) 15.481 300.000 243  P2KP (September 2003) 2.227 3.200.000 500  PKM (Juni 2003) 1.140 2.300.000 649  PEMP (Desember 2003)1 481.000 - 308  IMS-NTAADP (Desember (2003) 214 58.000 42  IMS SAADP 592 94.000 100  Total Program 35.135 17.033.000 2.839

Sumber: diolah dari Ashari (2006); PPK = Program Pengembangan Kecamatan; P4K = Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petaninelayan Kecil; P2KP = Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan; PKM = Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat; PEMP = Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir; IMS = Inisiatif Masyarakat Setempat.

2.1.1. Kinerja Pengawasan Perbankan

Hasil investigasi pelanggaran perbankan selama tahun 2004-2009 menunjukkan bahwa

jumlah pelanggaran perbankan mencapai 1.139 kasus (Tabel 2.6). Jumlah bank dan BPR

yang diinvestigasi mencapai 589 dari 1.139 kasus. Jumlah kasus yang telah selesai

diinvestigasi mencapai 1.026, walaupun demikian masih terdapat 292 kasus yang tidak

ditindaklanjuti investigasinya karena beberapa sebab. Pada 2009 terdapat sejumlah 141 kasus

atau permasalahan sengketa perdata dari 68 bank yang ada di Indonesia.

Page 22: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

16  

BOKS 2.1: Industri BMT yang Terus Berkembang

Perkembangan BMT sebagai lembaga keuangan mikro di Indonesia sangatlah vital terutama bagi UMKM. Jumlah BMT pada tahun 2004 mencapai 3.038 unit dan menyalurkan kredit kepada 1,2 juta nasabah dengan jumlah total Rp157 miliar. Selain itu, BMT mampu menghimpun dana mencapai Rp209 miliar (Ashari, 2006). Jumlah BMT meningkat sebesar 5,4% menjadi 3.200 unit selama tahun 2004-2006 dan 3,3% menjadi 3.307 unit selama tahun 2006-2008 (SMECDA, 2006; Segara, 2008). Patut dicatat, jumlah aset BMT pada tahun 2008 mencapai Rp1,5 triliun (Segara, 2008).

Perkembangan BMT yang pesat tidak diikuti dengan pembentukan sistem pengawasan yang mapan. Dalam praktiknya, sebagian besar BMT berbadan hukum koperasi oleh karena itu BMT tunduk pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dalam hal ini, pengawasan BMT dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri 39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS).

Lembaga lain yang berkepentingan terhadap BMT seperti Asosiasi BMT Se-Indonesia (Absindo), Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (Pinbuk), BMT Center, dan Induk Koperasi Syariah belum berperan sebagai pengawas (fungsi regulasi dan pengawasan) BMT. Lembaga tersebut cenderung fokus pada pengembangan kompetensi BMT sebagai unit usaha. Sebagai contoh, BMT Center fokus pada:

a. capacity building, yaitu upaya membangun, menyehatkan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan yang dilakukan melalui pelatihan, pendampingan, dan bentuk jasa manajamen lain

b. menyusun dan menerbitkan beberapa pedoman operasional, seperti: Blue Print BMT, SOP (Standard Operating Procedure), Pedoman Akad Syariah BMT, Pedoman Kesehatan BMT, dan beberapa pedoman lain

c. advokasi dan konsultasi d. rating agency; e. monitoring agency dan supervisi f. pusat operasi, yaitu penyedia informasi lain yang diperlukan mengenai BMT dan hal-hal

yang terkait (Suharto, 2008).

Dari pembahasan di atas, BMT menghadapi dua kompleksitas sebagai berikut. Pertama, tidak ada lembaga pengawas BMT yang bertugas menyusun regulasi dan melaksanakan pengawasan. Implikasi dari kompleksitas ini adalah tingginya potensi penyalahgunaan dalam pelaksanaan usaha BMT. Kedua, tidak ada basis data BMT yang komprehensif sehingga menyulitkan pemetaan dan pemantauan usaha BMT.

Page 23: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

17  

Tabel 2.6. Hasil Investigasi Perbankan, 2004-2009

No Keterangan

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Sengketa

Jumlah Bank

Jumlah Sengketa

Jumlah Bank

Jumlah Sengketa

Jumlah Bank

Jumlah Sengketa

Jumlah Bank

Jumlah Sengketa

Jumlah Bank

Jumlah Sengketa

Jumlah Bank

1 Jumlah sengketa perdata yang diterima 437 227 154 82 163 88 117 65 127 59 141 68

2 Jumlah sengketa perdata yang selesai di-mediasi 406 209 134 69 135 73 106 51 115 51 130 59

2.1 Jumlah yang telah dilaporkan kepada penyidik (Kepolisian negara RI)

214 95 84 35 19 9 1 1 17 9 80 35

2.2 Jumlah yang telah direkomendasikan kepada KBI untuk ditindaklanjuti

0 0 0 0 96 44 76 34 78 33 42 17

2.3 Jumlah yang telah dibahas dalam tim kerja pusat dan daerah

0 0 0 0 0 0 0 0 18 7 0 0

2.4 Jumlah yang untuk dilakukan pembinaan 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 7 6

2.5 Jumlah yang tidak ditindaklanjuti 192 114 50 34 20 20 29 16 0 0 1 1

3 Jumlah sengketa perdata yang masih dalam proses 31 18 20 13 28 15 33 18 12 8 11 9

Sumber: BI (2004b; 2005; 2009;2010b)

*) sebab-sebab tidak dapat ditindaklanjuti investigasi: a. Tidak mengandung unsur pidana; atau b. Sudah ditangani oleh penegak hukum; atau c. Merupakan kewenangan instansi lain (seperti perpajakan); atau d. Kadarluwarsa atau hal-hal lain yang memenuhi kriteria batal demi hukum

Tabel 2.7. Jenis Pelanggaran Perbankan

Jenis Pelanggaran % 1. Masalah perkreditan (loan swap, debitur fiktif, kredit topengan, trade finance, rekayasa untuk menghindari BMPK) 30%

2. Masalah pendanaan 17%

3. Masalah rekayasa laporan/pembukuan/pencatatan 17%

4. Masalah tidak melakukan pencatatan 11%

5. Masalah biaya fiktif dan mark-up biaya 7%

6. Masalah penggelapan 5% 7. Masalah lainnya (pengambilan aset, transfer dana, perpajakan, penghimpunan dana tanpa izin, permodalan, transaksi valas, penyalahgunaan wewenang, cyber fraud, praktek bank dalam bank

13%

Sumber: BI (2007)

Kasus-kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan meliputi masalah perkreditan,

pendanaan, rekayasa laporan, biaya fiktif, penggelapan, dan lainnya (Tabel 2.7). Jumlah

pelanggaran terbesar terkait masalah perkreditan seperti loan swap, debitur fiktif, kredit

topengan, dan rekayasa untuk menghindari BMPK. Masalah pendanaan bank dan rekayasan

laporan masuk dalam jenis pelanggaran yang relatif sering dilakukan oleh bank.

Page 24: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

18  

Tabel 2.8 menunjukkan jumlah sengketa antara nasabah dan bank berdasarkan jenis produk

selama tahun 2008 dan 2009. Sejak Januari sampai dengan Desember 2009, Bank Indonesia

telah menerima 231 sengketa yang disampaikan nasabah di 50 bank. Sengketa nasabah

dengan bank ini sebagian besar diajukan oleh nasabah bank umum (224 kasus) sedangkan

sisanya adalah sengketa yang diajukan oleh BPR. Dari 2.231 kasus yang diterima pada tahun

2009 sebanyak 215 sengketa dan 16 sengketa masih dalam proses penyelesaian. Dari data-

data diketahui bahwa sebagian besar sengketa yang disampaikan terkait dengan produk/jasa

di bidang sistem pembayaran.

Tabel 2.8. Jumlah Sengketa Nasabah Berdasarkan Jenis Produk Tahun 2008-2009

Jenis Produk Tahun 2008 Tahun 2009 Total 2008-2009

Perubahan (%)

Penghimpunan Dana 55 23 78 58,2Penyaluran Dana 85 79 164 7,1Sistem Pembayaran 83 88 171 -6,0Produk Kerjasama 1 10 11 -900,0Produk Lainnya 12 20 32 -66,7Diluar permasalah Produk 20 11 31 45,0Perbankan 256 231 487 9,8Sumber: BI (2004b; 2005; 2009;2010b) 

2.1.2. Kinerja Pengawasan di Lembaga Keuangan Non-Perbankan

Sektor keuangan nonbank dan pasar modal diawasi oleh Bapepam LK. Aktivitas pengawasan

yang dilakukan terhadap lembaga-lembaga di bawah pengawasan Bapepam LK cukup

beragam, mulai dari ulasan terhadap kesesuaian proses maupun praktek bisnis dengan aturan

yang berlaku, pelaksanaan uji kepatuhan, pengawasan terhadap aktivitas pasar sekunder

saham, pemeriksaan rutin. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi di dalam

melakukan pengawasan, Bapepam LK telah mengembangkan dan menerapkan sistem

pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision).

Upaya lain terkait dengan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum, khususnya di pasar

modal Indonesia adalah terbentuknya Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan

Hukum di bidang Pengelolaan Investasi (Satgas). Keanggotaan Satgas yang dibentuk pada

tanggal 20 Juni 2007 tidak hanya berasal dari Bapepam LK tetapi juga berasal Bank

Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementrian

Perdagangan, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi (Bappebti), dan

Bareskrim POLRI.

Page 25: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

19  

Tabel 2.9 menunjukkan data penegakan hukum di pasar modal yang dilaksanakan oleh

Bapepam LK pada tahun 2006-2008. Hukuman yang diberikan kepada emiten meliputi sanksi

moneter, pembekuan usaha, dan pencabutan izin usaha. Data menunjukkan bahwa jumlah

perusahaan dan emiten yang didenda mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke tahun 2008.

Jumlah emiten saham mencapai 499 pada tahun 2008 sedangkan jumlah emiten yang didenda

mencapai 212 (42,5%). Jumlah perusahaan efek yang didenda selama tahun 2008 bahkan

mencapai 237 walaupun jumlah perusahaan efek hanya 158. Angka tersebut menunjukkan

bahwa satu perusahaan efek melakukan pelanggaran dengan rerata 1,5 pada tahun 2008.

Tabel 2.9. Penegakan Hukum di Pasar Modal, 2006-2008

Sanksi 2006 2007 2008 Sanksi 2006 2007 2008 Jumlah perusahaan/emiten didenda Izin usaha dibekukan sementara Emiten saham 140 136 212 Perusahaan efek 37 103 237 Perusahaan efek 0 0 2 Wakil perusahaan efek 0 18 0 Wakil perusahaan efek 3 1 2 Biro administrasi efek 177 257 449 Biro administrasi efek 0 9 1 Jumlah 354 514 898 Jumlah 3 10 5 Jumlah denda yang dibebankan Izin usaha dicabut Emiten saham 6.7 6.7 8.4 Perusahaan efek 0.5 6 1.5 Perusahaan efek 2 5 2 Wakil perusahaan efek 0 5.1 0 Wakil perusahaan efek 1 2 0 Biro administrasi efek 0.0 12.1 0.1 Biro administrasi efek 0 13 0 Jumlah 7.2 29.9 10.0 Jumlah 3 20 2

Sumber: dihitung dari Bapepam-LK (2009)

Bapepam-LK juga melakukan penegakan hukum di lembaga keuangan selama tahun 2006-

2008 (Tabel 2.10). Penegakan hukum di lembaga keuangan meliputi sanksi moneter, denda

keterlambatan penyampaian laporan, peringatan, dan pencabutan izin usaha. Jumlah

pelanggaran di lembaga keuangan relatif lebih kecil dibandingkan di pasar modal selama

tahun 2006-2008. Pada rentang waktu yang sama, sanksi moneter yang dikenakan kepada

lembaga keuangan juga relatif lebih kecil. Walaupun demikian, tidak dapat disimpulkan

bahwa tingkat pelanggaran di lembaga keuagan relatif lebih kecil dibandingkan di pasar

modal.

Page 26: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

20  

Tabel 2.10. Penegakan Hukum di Lembaga Keuangan, 2006-2008

Sanksi-Sanksi 2006 2007 2008Sanksi moneter Denda kepada perusahaan asuransi atas keterlambatan penyampaian laporan tahunan (juta rupiah) 0 230 412Sanksi lainnya Jumlah dana pensiun mendapat sanksi atas keterlambatan penyampaian laporan 0 0 42Peringatan pertama kepada perusahaan pembiayaan 0 0 45Peringatan kedua kepada perusahaan pembiayaan 0 0 21Peringatan ketiga kepada perusahaan pembiayaan 0 0 13Pencabutan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan 0 0 6Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan 0 0 7

Sumber: dihitung dari Bapepam-LK (2009)

 

Page 27: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

21  

Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 3.1.Latar Belakang Pembentukan OJK

Pembentukan OJK pada sebuah perekonomian memiliki keunggulan maupun kelemahan

serta hambatan. Abrams dan Taylor (2000) menjabarkan argumen yang mendukung dan tidak

mendukung pembentukan lembaga pengawas yang menjaga sistem keuangan secara

menyeluruh (perbankan, asuransi, dan pembiayaan).

Perkembangan konglomerasi keuangan memungkinkan sebuah induk perusahaan untuk

memiliki beberapa institusi pada lembaga keuangan yang berbeda. Hal tersebut menciptakan

keterkaitan antar lembaga sehingga risiko antar lembaga juga akan terkait. Oleh karena itu,

pengawasan harus menyeluruh (tidak parsial) untuk memungkinkan analisis risiko yang

menyeluruh. Selain perkembangan konglomerasi, praktik arbitrase peraturan (regulatory

arbitrage) dilakukan oleh lembaga keuangan dengan menciptakan produk yang regulasi

pengawasnya lebih longgar. Arbitrase peraturan merupakan praktik yang dilakukan oleh

lembaga keuangan sehingga produk yang dihasilkan diawasi oleh otoritas yang regulasinya

lebih longgar. Arbitrase peraturan adalah salah satu penyalahgunaan yang muncul jika

pengawasan sektor keuangan dilakukan secara parsial. 

Lembaga keuangan cenderung memilih investasi pada instrumen yang diawasi oleh lembaga

pengawas dengan penerapan aturan yang relatif tidak ketat. Hal tersebut mendorong

kompetisi antara lembaga pengawas untuk menarik lembaga keuangan. Pembentukan

lembaga pengawasan ditujukan untuk meningkatkan netralitas persaingan antar lembaga

pengawas.

Pembentukan lembaga pengawas juga bertujuan untuk menciptakan fleksibilitas dan efisiensi

peraturan dan akuntabilitas. Hadirnya beberapa lembaga pengawas berpotensi menciptakan

arogansi sektoral (turf wars) dan pengalihan tanggung jawab (pass the buck) sehingga

penerapan peraturan tidak efektif. Selain itu, duplikasi proses pengambilan dan pengolahan

data menyebabkan penerapan aturan yang tidak efisien antara lembaga pengawas. Blame

disbursement strategy (pengalihan wewenang/pengalihan kesalahan) juga dapat muncul

apabila terdapat beberapa lembaga pengawas keuangan sekaligus (Tabel 3.1).

Page 28: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

22  

Tabel 3.1. Argumen Pembentukan Lembaga Pengawas

Argumen mendukung Argumen tidak mendukung

• Peningkatan pengawasan terhadap Konglomerasi Keuangan

• Netralitas persaingan antar lembaga pengawas • Fleksibilitas peraturan • Efisiensi peraturan • Pengembangan SDM yang lebih baik • Peningkatan akuntabilitas • Arbitrase peraturan

• Tujuan lembaga yang tidak jelas • Diseconomies of scale • Potensi kebijakan antarlembaga keuangan yang

tidak sinkron • Potensi penyalahgunaan • Potensi krisis ekonomi

Sumber: Abrams dan Taylor (2000)

Abrams dan Taylor (2000) juga mengidentifikasi argumen yang tidak mendukung penyatuan

lembaga pengawas. Tujuan lembaga yang tidak jelas karena munculnya beberapa tujuan yang

harus dicapai untuk jenis lembaga keuangan yang berbeda. Diseconomies of scale juga

dikhawatirkan muncul dalam pelaksanaan kegiatan lembaga pengawas karena lembaga

pengawas tunggal cenderung lebih birokratis (hierarki vertikal yang lebih tinggi).

Pembentukan satu lembaga pengawas juga dapat menimbulkan kebijakan antarlembaga yang

tidak sinkron karena setiap lembaga keuangan yang berbeda memiliki implikasi yang

berbeda. Potensi penyalahgunaan juga hadir, misalnya, depositor perbankan dijamin dananya

oleh lembaga pengawas. Lembaga keuangan lain memiliki asa bahwa mereka akan dijamin

oleh lembaga pengawas tersebut sehingga prinsip prudential cenderung diabaikan.

Pembentukan lembaga pengawas akan menemui hambatan seperti yang diidentifikasi oleh

Abrams dan Taylor (2000). Hambatan yang muncul adalah sebagai berikut.

1. Praktik kekuatan politik: politikus yang memiliki kekuatan politik kuat cenderung

menilai pembentukan lembaga pengawas sebagai sebuah kesempatan untuk

meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. Oleh karena itu, politikus tersebut

berusaha untuk mendapatkan jabatan di lembaga pengawas tersebut.

2. Tarik menarik kepentingan: penciptaan lembaga pengawas baru membutuhkan

peraturan baru. Penyusunan peraturan baru cenderung diwarnai kesenjangan waktu

yang relatif lama dan tarik menarik kepentingan politik.

3. Potensi kehilangan kapabilitas: sumberdaya manusia kunci yang menilai proses

pembentukan lembaga pengawas adalah sulit dan memakan waktu dapat memilih

untuk mencari pekerjaan lain.

Page 29: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

23  

4. Proses change management yang rumit: manajemen mendapatkan tantangan berat

dalam proses pembentukan lembaga pengawas tunggal dari beberapa lembaga

Selain itu, pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan membutuhkan pemenuhan

kriteria penting. Pemenuhan kriteria oleh lembaga pengawas sangat dibutuhkan mengingat

pentingnya sektor keuangan terhadap perekonomian. Kriteria lembaga pengawas sektor

keuangan khususnya bank di negara berkembang adalah sebagai berikut (Krivoy, 2000).

a. pengawas bank harus independen dan kuat

b. pengawas memiliki sumberdaya yang cukup untuk melakukan fungsi

c. pengawasan harus proaktif dan memiliki gambaran aksi perbaikan yang tepat

d. pengawasan harus menciptakan pentingnya kegunaan informasi pasar

e. pengawasan harus fokus pada informasi tentang likuiditas sebagai satu sinyal

peringatan dini (early warning signal) permasalahan di sektor keuangan

f. pengawasan harus menjamin bahwa modal bank mencukupi

g. pengawasan harus fokus pada kualitas aset dan batas pinjaman yang saling

berhubungan antarlembaga

h. bank sentral harus diikutsertakan dalam pengawasan bank

i. pengawasan harus fokus dalam pembatasan penyalahgunaan khususnya di sektor

perbankan

j. pengawasan efektif harus melakukan konsolidasi khususnya di sektor perbankan.

3.2.Fungsi dan Tujuan Lembaga Pengawas

Pengawasan sektor keuangan dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan regulasi terkait

sektor tersebut. Secara umum, fungsi pengawasan sektor keuangan dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Macroprudential Supervision; bertujuan membatasi krisis keuangan yang dapat

menghancurkan ekonomi secara riil (berfokus pada konsekuensi atas tindakan

institusi sistematis terhadap pasar keuangan), antara lain dengan cara

menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat

potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian

mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem

keuangan suatu Negara.

2. Microprudential Supervision; bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga

keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada

Page 30: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

24  

prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan yaitu : (i)

analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit)

untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap

peraturan yang berlaku

3. Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai

klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi

Tabel 3.2. Fungsi Pengawasan Sektor Keuangan

Fungsi Pengawasan Keterangan

Makro

Bagaimana dampak tindakan lembaga keuangan dalam perekonomian secara agregat? Pengawasan yang terkait: (1) pencegahan risiko sistemik; (2) pengawasan makroekonomi, perkembangan pasar keuangan, dan infrastruktur pasar yang dapat menghambat stabilitas.1

Mikro

Apakah lembaga keuangan telah mematuhi regulasi sektor keuangan seperti analisis risiko, akuntabilitas laporan, dan kriteria sumberdaya manusia? Pengawasan on- dan off-site kelayakan dan kepatuhan lembaga keuangan terhadap regulasi keuangan dengan tujuan melindungi nasabah dan kreditor.1

Laku bisnis

• perlindungan konsumen • pemantauan transaksi antarlembaga • insider trading • praktik pencucian uang • fair dealing (transparansi, keterbukaan informasi,

kesesuaian, dan perlindungan investor)2 Sumber: House of Lords (2009); 1European Central Bank (2001);2 The Group of Thirty (2008)

Gambar 3.1 menunjukkan gambaran umum keadaan sektor keuangan di Indonesia

saat ini dan fungsi lembaga pengawas dalam menjaga stabilitas sektor tersebut. Lembaga di

sektor keuangan, yang meliputi bank, lembaga pembiayaan, asuransi, pasar modal, dana

pensiun, saling terkait satu dengan lainnya. Lembaga pengawas sektor keuangan memiliki

tiga fungsi utama yang harus dilakukan yaitu pengawasan mikro, makro, dan laku bisnis.

Ketiga fungsi tersebut harus dilakukan secara sinergi agar dapat berjalan dengan optimal.

Sinergi ketiga fungsi tersebut meliputi arus informasi yang sempurna dan koordinasi antara

lembaga pengawas.

Page 31: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

25  

Gambar 3.1. Gambaran Umum Fungsi Lembaga Pengawas

Fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawasan, meliputi: (Llewellyn,

2006)

a. prudential regulation bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan

b. stabilitas dan integritas sistem pembayaran

c. prudential supervision lembaga keuangan

d. pengelolaan regulasi bisnis (seperti: peraturan mengenai bagaimana perusahaan

mengelola bisnis dengan pelanggannya)

e. pengelolaan pengawasan bisnis

f. penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjamin simpanan dan peran lender of

last resort yang dimiliki oleh bank sentral

g. bantuan likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan likuiditas bagi lembaga

tidak solven

h. penanganan lembaga yang tidak solven

i. resolusi krisis

j. isu-isu terkait dengan integritas pasar

Bank 

Bank  Bank 

 

Asu‐ransi   

Bank 

Pembi‐ayaan 

Bank 

Bank 

 

Pasar Modal 

 

Bank 

Perusa‐haan Efek 

Asu‐ransi 

Pembi‐ayaan 

Perusa‐haan Efek 

Lembaga keuangan

Fungsi Pengawasan macro‐prudential (BI): Pengawasan risiko keterkaitan struktur keuangan: aset dan kewajiban (khususnya leverage) satu lembaga 

keuangan dengan lembaga keuangan lain di pasar keuangan untuk mencegah risiko krisis 

Fungsi Pengawasan Laku bisnis (OJK):

• perlindungan konsumen • pemantauan transaksi

antarlembaga • insider trading • praktik pencucian uang

Fungsi Pengawasan micro-prudential (BI & OJK):

Pengawasan on- dan off-site lembaga keuangan meliputi pengawasan:

• Akuntabilitas laporan • Kompetensi sumberdaya manusia

dan kecukupan teknologi • Analisis risiko:

- Risiko pasar - Risiko kredit - Risiko konglomerasi di sektor

keuangan - Rasio kecukupan modal - Tingkat leverage lembaga

Page 32: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

26  

Squam Lake Working Group (2009) atau SLWG menjelaskan bahwa tugas lembaga

pengawas pasar keuangan adalah menjaga stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh.

Secara umum, SLWG menjelaskan peran regulator sistem keuangan adalah sebagai berikut.

1. Mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan informasi terkait interaksi antar

lembaga keuangan dan risiko lembaga keuangan

2. menciptakan dan menerapkan peraturan sistematik lembaga keuangan seperti

penyertaan modal minimum (capital requirement)

3. fungsi laku bisnis dan perlindungan konsumen.

BOKS 3.1: Tujuan Pengawasan Sektor Perbankan

Siapakah yang mengawasi sektor perbankan di Indonesia?

Pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai amanat UU Nomor 6 tahun 2009. Mengawasi dan mengatur sektor perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah. Sektor perbankan diawasi oleh Bank Indonesia karena sektor tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan moneter. Pertama, sistem pembayaran yang optimal penting dalam pengendalian moneter. Kedua, sistem pembayaran yang optimal memerlukan sistem perbankan yang sehat. Ketiga, pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan melalui sistem perbankan yang sehat.

Mengapa sektor perbankan perlu diawasi?

Sektor perbankan perlu diawasi karena beberapa faktor yaitu: (1) bank menghimpun dana dari masyarakat dengan dasar kepercayaan; (2) bank merupakan bagian penting dalam kerangka sistem pembayaran dan efektifitas transmisi kebijakan moneter; (3) sektor perbankan menyumbang peran besar dalam pembangunan ekonomi; (4) bank rentan terhadap berbagai macam risiko. Pengawasan efektif yang meliputi deteksi risiko dan permasalahan bank dan pengambilan tindakan yang tepat diperlukan oleh sektor perbankan. Tujuan dari pengawasan adalah membangun sistem perbankan yang sehat dengan memelihara kepentingan masyarakat, bermanfaat bagi perekonomian khususnya pengendalian moneter, dan mampu mengembangkan usaha bank secara wajar.

Apa saja kewenangan pengawas sektor perbankan?

Bank Indonesia memiliki empat kewenangan untuk mencapai pengawasan bank yang optimal. Pertama, kewenangan terkait perizinan kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank. Kedua, kewenangan untuk mengatur kegiatan usaha. Ketiga, kewenangan untuk mengawasi kegiatan usaha bank. Keempat, kewenangan untuk mengenakan sanksi.

Page 33: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

27  

Tabel 3.3. Struktur Pegawasan Sektor Perbankan

Negara Jumlah

Penduduk Lembaga Pengawas Bank

Struktur

Lingkup Pengawasan2

Pengawas Tunggal

atau Majemuk

Peran Bank

Sentral1

India 1.181.896.000 Reserve Bank of India Tunggal BS B

Amerika Serikat 309.457.000

Office of the Comptroller of the Currency, Federal Reserve System, Federal Deposit Insurance Corporation

Majemuk BS B

Indonesia 231.369.500 Bank Indonesia Tunggal BS B

Jerman 81.757.600 Federal Banking Supervision Office, Deutsche Bundesbank Majemuk BS B&PM

Perancis 65.447.374 Commission Bancaire Tunggal BBS B&PM

Britania Raya 62.041.708 Financial Services Authority Tunggal BBS BAPM

Kanada 34.157.000 Office of the Superintendent of Financial Institutions Tunggal BBS B&A

Malaysia 28.306.700 Central Bank of Malaysia Tunggal BS B&A

Australia 22.376.769 Australian Prudential Regulation Authority, Australian Securities and Investments Commision

Majemuk BBS BAPM

Singapura 4.987.600 Monetary Authority of Singapore Tunggal BS BAPM

Sumber: Barth et al. (2002) Keterangan: 1 Bank sentral berperan sebagai pengawas perbank (BS); bank sentral tidak berperan sebagai pengawas perbank (BBS) 2 Pengawasan sektor keuangan meliputi pengawasan perbankan (B); perbankan dan asuransi (B&A); perbankan dan pasar modal (B&PM); perbankan, asuransi, dan pasar modal (BAPM)

Fungsi utama lembaga keuangan di atas bertujuan untuk mencapai empat tujuan (goals)

secara umum (The Group of Thirty, 2008). Empat tujuan tersebut meliputi: (1) keamanan dan

ketahanan (safety and soundness) lembaga keuangan; (2) pencegahan risiko sistemik; (3)

keadilan dan efisiensi pasar; (4) perlindungan terhadap konsumen dan investor.

Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian

yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan

tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat

diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko

sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih

kepada pendekatan penegakan aturan (enforcements) yang meliputi sanksi, denda,

pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya.

Page 34: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

28  

Otoritas sektor keuangan, baik bank sentral maupun OJK, lebih fokus pada pengawasan

sektor perbankan pada awalnya. Pengawasan sektor perbankan di masing-masing negara

dapat dilaksanakan oleh bank sentral atau OJK (tunggal) atau keduanya (majemuk). Tabel 3.3

juga menjelaskan lingkup pengawasan sektor keuangan selain perbankan yaitu asuransi dan

pasar modal. Lingkup bisnis sektor keuangan yang semakin kompleks mendorong reformasi

pengawasan sektor keuangan. Kriteria utama yang harus dipenuhi untuk menjamin struktur

lembaga pengawasan yang kuat menurut Nier (2009) dijelaskan dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Kriteria Utama Lembaga Pengawas Sektor Keuangan

Kriteria Keterangan

Pembagian fungsi dan tujuan yang jelas

Tanggung jawab pelaksanaan fungsi pengawasan sistemik dan laku bisnis (perlindungan konsumen) harus ditugaskan secara jelas kepada lembaga.

Konsistensi fungsi dan tujuan Setiap lembaga yang bertanggung jawab dalam pengawasan sektor keuangan harus memiliki fungsi yang konsisten untuk menciptakan sinergi dan menghindari konflik antar lembaga.

Resolusi konflik Tersedianya mekanisme formal untuk resolusi konflik antar lembaga

Penyediaan sumberdaya untuk mencapai tujuan

Setiap lembaga memiliki sumberdaya untuk mencapai tujuan sehingga meningkatkan akuntabilitas dan efektifitas kinerja.

Penciptaan sinergi sumberdaya Pencipataan sinergi sumberdaya antarlembaga untuk menghindari konflik fungsi dan tujuan

Minimisasi konflik antarlembaga

Mengurangi jumlah lembaga dan menciptakan mekanisme kerjasama antarlembaga yang kuat. Kriteria ini juga bermanfaat untuk mengurangi duplikasi &overlapping tugas dan biaya (termasuk biaya administrasi dan biaya kepatuhan industri)

Konsistensi dengan fungsi dan tujuan yang telah ada

Fungsi dan tujuan baru harus konsisten dan sejalan dengan fungsi, tujuan, dan sumberdaya yang telah ada.

Sumber: Nier (2009) Sementara itu, Nasution (2003) menyebutkan bahwa lembaga yang berwenang dalam

melakukan fungsi pengawasan dan pengaturan sektor keuangan, moneter, dan fiskal harus

mampu memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang :konsisten, integrated, forward

looking, dan cost effective, dapat mempertahankan kompetisi yang sehat dan dapat

mendukung inovasi sektor keuangan.

Peneliti yang lain yaitu Llewellyn (2006) melihat bahwa lembaga pengawasan harus

memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas

tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan

fungsi serta memiliki persepsi yang baik dimata publik.

Page 35: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

29  

3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia Pemerintah berencana menyatukan pelaksanaan fungsi regulasi dan pengawasan dalam satu

lembaga yaitu OJK dalam rangka memperkuat sektor keuangan. Rencana pembentukan OJK

telah lama dicanangkan melalui pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Namun, OJK belum dibentuk sampai saat ini walaupun telah diamanatkan bahwa OJK

dibentuk sebelum akhir tahun 2002. UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor

3 Tahun 1999 menjelaskan bahwa OJK akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember

2010 (Tabel 3.5). Sementara itu, Pokok dan tugas OJK berdasarkan UU dapat dilihat pada

Tabel 3.6.

Tabel 3.5. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

Ayat Penjelasan

Ayat 1 “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

Ayat 2 Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”

Sumber: BI (2004a)

Berdasarkan Pasal 32 Ayat 1 RUU OJK disebutkan rencana kerja dan anggaran OJK akan

dibiayai dari fee industri jasa keuangan. Sedangkan industri keuangan adalah lembaga dan

kegiatan jasa keuangan. Penetapan fee terhadap industri jasa keuangan dilakukan secara wajar

proporsional antara lain didasarkan atas nilai kekayaan, laba operasional, arus kas dan ekuitas

industri jasa keuangan. Jenis fee yang akan ditetapkan antara lain berupa fee perizinan,

persetujuan, pendaftaran, pengawasan, pemeriksaan, penelitian, perdagangan efek, dan biaya

lainnya. Fee itu bisa ditagih secara bulanan, tahunan atau sewaktu-waktu sesuai dengan

karakteristiknya. Dana pungutan itu sendiri hanya diperbolehkan untuk membiayai

operasional OJK dan pembentukan cadangan. Adapun dari sisi cadangan hanya bisa

ditempatkan ke surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia.

Sementara itu terkait dengan koordinasi antar lembaga pengawas, dalam Pasal 37 RUU OJK

ditekankan OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan dan LPS melalui

forum stabilitas sektor keuangan dalam rangka menunjang tugas dan wewenang masing-

masing lembaga. Koordinasi dengan BI antara lain diperlukan untuk mendukung kebijakan

moneter yang mencakup operasi pasar terbuka, giro wajib minimum, sistem pembayaran, dan

fasilitas likuiditas. Untuk memastikan dan memelihara stabilitas sistem keuangan dimaksud,

Page 36: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

30  

dalam pengawasan bersama BI dapat melakukan on-site atau off-site supervision terhadap

bank.

Tabel 3.6. Pokok-Pokok Tugas OJK Berdasarkan RUU OJK

Pokok-pokok tugas OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

1.Pengaturan dan pengawasan OJK terbagi atas tiga, yakni bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank.

Bidang perbankan

· Menetapkan ketentuan persyaratan dan tata cara pendirian bank, perizinan bank, ketentuan persyaratan dan tata cara pembukaan kantor bank, serta pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan di luar negeri.

· Menetapkan ketentuan mengenai pihak yang dapat membeli saham bank.

· Menetapkan ketentuan mengenai perubahan kepemilikan saham, merger, konsolidasi, dan akuisisi.

· Pengawasan bank.

· Melakukan tindakan yang diperlukan dalam hal bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.

· Mengatur pengangkatan dewan komisaris, direksi dan tenaga asing bank.

· Menetapkan ketentuan kerahasiaan bank.

· Menetapkan ketentuan sanksi pidana dan sanksi administrasi dan atau wewenang lain sebagaimana diatur dalam UU perbankan.

· Tugas OJK tidak mencakup sistem pembayaran, lender of last resort, dan kebijakan moneter.

Bidang pasar modal

· Mengatur sebagaimana dimaksud dalam UU di pasar modal.

Bidang industri keuangan nonbank

· OJK berwenang memeriksa dan menyidik. OJK bisa mempekerjakan penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam jangka waktu tertentu.

· OJK dipimpin dewan komisioner yang beranggotakan tujuh orang, terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu anggota independen, satu orang ex officio dari Dewan Gubernur BI, satu orang ex officio pejabat Kementerian Keuangan setingkat eselon I dan masing-masing satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang pengawasan.

· Menteri Keuangan berwenang mengusulkan anggota komisioner independen dan ex officio Kementerian Keuangan. Komisioner ex officio kepala eksekutif dari internal, yakni deputi kepala eksekutif.

· OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan dan LPS melalui forum stabilitas sektor keuangan Sumber : RUU OJK (Juni, 2010)

Perdebatan yang muncul adalah sejauh mana lingkup fungsi yang diamanatkan kepada OJK.

Saat ini, fungsi regulasi pengawasan sektor keuangan di Indonesia telah dilaksanakan oleh

beberapa lembaga. Regulasi dan pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank

Indonesia sedangkan regulasi dan pengawasan pasar modal, lembaga asuransi, dan lembaga

pembiayaan dilaksanakan oleh Bapepam-LK. Sesuai rencana, OJK akan mengambil alih

fungsi regulasi dan pengawasan seluruh sektor keuangan di Indonesia (Gambar 3.2).

Page 37: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

31  

Gambar 3.2. Pengalihan Fungsi Pengawasan Sektor Keuangan ke OJK

Argumen yang melawan pembentukan OJK melalui mekanisme penyatuan fungsi

pengawasan BI dan Bapepam-LK adalah biaya transaksi yang tinggi. Biaya transaksi tersebut

meliputi biaya legalitas, sumberdaya (manusia dan teknologi), dan faktor eksternal. Sebagai

contoh, penyatuan lembaga memerlukan peraturan perundangan, standard operating

procedure, dan rule of the game yang baru. Peralihan sumberdaya manusia dan teknologi dari

BI dan Bapepam LK ke OJK juga akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal yang perlu

dikhawatirkan dari proses penyatuan lembaga pengawas adalah kejutan eksternal. Pada saat

lembaga baru belum mapan (established) dan terjadi kejutan eksternal, sektor keuangan akan

mendapatkan dampak yang buruk.

Pengawasan Lembaga Keuangan Bank (Bank Indonesia)

Pengawasan Lembaga Keuangan Non-Bank

(Bapepam-LK)

Pasar Modal (Bapepam-LK)

 

OJK

Page 38: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

32  

Gambar 3.3. Biaya Transaksi Pembentukan OJK Tinggi

Sumber: Martinez dan Rose (2003), diolah

Selain biaya transaksi yang tinggi, Martinez dan Rose (2003) menunjukkan biaya waktu yang

dihadapi oleh lembaga pengawas di 14 negara (Gambar 3.4). Biaya tersebut meliputi

penetapan struktur organisasi, kerangka hukum, rencana strategik, penyatuan sistem IT,

alokasi pegawai dan tugasnya, integrasi proses penganggaran, dan penetapan pemimpin di

setiap divisi. Waktu penyesuaian penyatuan lembaga pengawas berada pada kisaran 0,7 tahun

sampai dengan dua tahun. Enrich dan Norman (2010) melaporkan bahwa perkiraan waktu

yang dibutuhkan untuk mengalihkan pengawasan dari FSA ke lembaga adalah dua tahun.

 

Tugas Pengawasan Bank 

 

Bapepam LK 

 

OJK 

Biaya Transaksi Tinggi 

1. Kendala  peraturan/legalitas  yaitu  peraturan  perundangan  dan  intralembaga  terkait  fungsi, tujuan,  kewenangan,  dan  lingkup  kegiatan  yang  belum  mapan.  Martinez  dan  Rose  (2003) melaporkan 10 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. 

• Penyalahgunaan  dari  lembaga  yang  diawasi  karena  peraturan  dan  pelaksanaan pengawasan belum mapan 

2. Transfer sumberdaya tidak efisien: • Pegawai berpengalaman mengundurkan diri. Martinez dan Rose  (2003) melaporkan 9 

dari 14 bank sentral mengalami hal ini.  • Demoralisasi pegawai  yang disebabkan  oleh  ketidakpastian dan  kelambatan  penentuan 

struktur, kepemimpinan, dan ketenagakerjaan lembaga pengawas baru. Martinez dan Rose (2003) melaporkan 7 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. 

• Kelambatan dalam penyatuan sistem IT dan  infrastruktur. Martinez dan Rose  (2003) melaporkan 8 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. 

3. Rentan  terhadap  guncangan  eksternal  (misalnya  krisis  global)  karena  kegiatan  pengawasan, terutama pengawasan risiko, belum established.  

4. Biaya pembentukan OJK kurang lebih dapat mencapai Rp2,5 triliun (Kompas, 14 Juni 2010) 

Legalitas 

Sumberdaya 

Faktor eksternal 

Page 39: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

33  

Gambar 3.4. Biaya Waktu dalam Penyatuan Lembaga Pengawas Keuangan

Sumber: Martinez dan Rose (2003) dan Enrich dan Norman (2010), diolah

Menurut Seelig (2009) pada umumnya ada dua risiko yang terkait erat dengan pembentukan

OJK, yaitu risiko pada masa transisi (Transition Risk) dan risiko penanganan krisis (Crisis

Management Risk). Pelaksanaan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari

Bank Indonesia kepada OJK perlu dilakukan seksama agar tidak menimbulkan gangguan

pada kontinuitas pelaksanaan pengawasan bank. Masalah terkait SDM menjadi kunci penting

dalam masa transisi terutama terkait dengan bentuk organisasi yang baru, kesetaraan jabatan,

remunerasi, jenjang karir dan pengembangan kompetensi. Selain itu, efisiensi dan arus

informasi pelaporan harus menjadi hal yang diperhatikan dalam masa transisi pengalihan

fungsi pengawasan dari BI kepada OJK.

Sementara itu terkait dengan risiko pengelolaan krisis, BI sebagai lender of the last resort

(LOLR) akan membutuhkan informasi mendalam mengenai lembaga keuangan untuk

menunjang perannya sebagai LOLR. Dengan adanya struktur pengawasan yang baru

diharapkan tidak akan menyebabkan komplikasi arus informasi dan proses pengambilan

keputusan pada saat krisis.

Penetapan struktur organisasi 

2 Tahun 

Penetapan kerangka hukum, lingkup kewenangan, fungsi, dan tujuan 

1,5 Tahun 

Penetapan rencana strategik: tujuan, strategi, program aksi 

Alokasi pegawai dan tugasnya 

Integrasi proses penganggaran 

Penetapan pemimpin divisi/departemen di lembaga baru 

1,2 Tahun 

1,1 Tahun 

Penyatuan sistem IT 

0,9 Tahun 

0,8 Tahun 

0,7 Tahun 

Page 40: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

34  

Rencana pembentukan OJK dengan struktur pengawasan terintegrasi sebagaimana

diamanatkan oleh pasal 34 Undang Undang tentang Bank Indonesia patut dibahas ulang

melihat pengalaman Financial Service Authority (FSA) di Britania Raya. FSA gagal

melakukan pengawasan terhadap Northern Rock yang menyebabkan lembaga tersebut

mengalami kegagalan pada saat krisisi keuangan tahun 2008. FSA juga dinilai gagal

melakukan koordinasi dengan Bank of England (BOE) terkait Northern Rock (House of

Lords, 2009; Bernanke, 2010). Kegagalan koordinasi oleh FSA yang dimaksud adalah tidak

adanya diseminasi informasi (data sharing) terkait lembaga keuangan dan koordinasi dengan

BOE terutama pada saat krisis (Gambar 3.5). FSA juga dinilai lebih fokus pada salah satu

fungsinya yaitu pengawasan laku bisnis sedangkan fungsi regulasi sektor keuangan

cenderung diabaikan (House of Lords, 2009). Kegiatan pengawasan laku bisnis bahkan

mencapai 70% dari waktu kerja staf di FSA (European Central Bank, 2001).

Gambar 3.5. Kegagalan Koordinasi FSA saat Krisis

Kegagalan FSA mendorong inisiatif berbagai pemerintah untuk mengevaluasi fungsi dan

struktur lembaga pengawas sektor keuangan (Bernanke, 2010). Guardian (2009) menjelaskan

bahwa Perdana Menteri Inggris terpilih, David Cameron, berencana mengalihkan fungsi

regulasi dan pengawasan sektor keuangan dari FSA ke BOE. BOE akan memiliki divisi

khusus untuk pengawasan sektor keuangan dan FSA akan berperan sebagai Consumer

Protection Agency (CPA). Rencana tersebut telah diimplementasikan dan fungsi pengawasan

bank telah dialihkan kembali ke BOE.

Laporan Enrich dan Norman (2010) menjelaskan bahwa pemerintah Inggris

mengkonsolidasikan pengawasan sektor keuangan di BOE. FSA, yang terbukti gagal dalam

pengawasan sektor keuangan khususnya bank, akan dibubarkan. Fungsi pengawasan mikro

FSA BOE

Periode Krisis

• Tidak ada diseminasi informasi (data sharing) oleh FSA terutama terkait bank bermasalah

• Tidak ada lembaga (baik BOE, FSA, maupun Treasury di Britania Raya) yang diberi

Page 41: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

35  

perbankan dan lembaga keuangan lainnya akan dilakukan oleh lembaga subsidiari dibawah

BOE. Sedangkan fungsi pengawasan makro, yang meliputi stabilitator sistem keuangan dan

kebijakan moneter, dilaksanakan oleh BOE. Pemerintah Inggris berencana membentuk

lembaga baru untuk melaksanakan fungsi laku bisnis dan penegakan hukum di bidang

keuangan.

Page 42: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

36  

Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan

4.1 Skala Ekonomi dan Sistem Pengawasan Keuangan

Reformasi struktur lembaga pengawas sektor keuangan sangat dibutuhkan melihat produk

keuangan yang telah berkembang lintas sektor. Sebagai contoh, produk tabungan bank telah

diintegrasikan dengan produk asuransi dan bahkan pasar modal. Saat ini, struktur lembaga

pengawas keuangan dapat dibedakan menjadi spektrum yang ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Pemisahan lembaga pengawas (fragmented) meliputi pendekatan institusional dan fungsional.

Lembaga pengawas yang menyatukan fungsi pengawasan lembaga keuangan meliputi

pendekatan twin peaks dan terpadu (integrated).

Gambar 4.1. Spektrum Struktur Lembaga Pengawas Keuangan

 

F r a g m e n t e d :  I n s t i t u ti o n a l  d a n  F u n g s io n a l 

P e n y a t u a n  F u n g s i  P e n g a w a s a n  

T w in  P e a k s  

I n te g r a t e d  P e ny a tu a n  p en g a w as an   se m u a   le m b a g a  k e u a n g a n  

Sumber: LLewelyn (2006)

Tabel 4.1 menunjukkan korelasi antara struktur pengawasan dan ukuran perekonomian yang

dilihat melalui jumlah penduduk. Hasil perhitungan mengindikasikan bahwa semakin besar

perekonomian (semakin besar jumlah penduduk), struktur lembaga pengawas cenderung ke

lembaga pengawas berganda. Hasil estimasi probit juga mengindikasikan bahwa

kemungkinan penerapan lembaga pengawas berganda meningkat apabila jumlah

penduduknya meningkat. Semakin besar sebuah perekonomian, semakin diversifikasi

perilaku lembaga keuangan. Oleh karena itu, penugasan beberapa lembaga yang berbeda

akan meningkatkan fokus pengawasan sektor keuangan di perekonomian yang relatif besar.

Page 43: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

37  

Tabel 4.1. Korelasi antara Struktur Pengawasan dan Ukuran Perekonomian

Negara Populasi Struktur1 Negara Populasi Struktur

Cina 1.337.980.000 0 Jepang 127.360.000 1 India 1.181.896.000 0 Jerman 81.757.600 1 Amerika Serikat 309.457.000 0 UK 62.041.708 1 Indonesia 231.369.500 0 Korea Selatan 49.773.145 1 Brasil 193.049.000 0 Australia 22.376.769 1 Rusia 141.927.297 0 Belanda 16.615.950 1 Filipina 92.226.600 0 Hungaria 10.013.628 1 Mesir 78.561.000 0 Swedia 9.354.462 1 Turki 72.561.312 0 Austria 8.372.930 1 Thailand 63.525.062 0 Nikaragua 5.743.000 1 Italia 60.340.328 0 Denmark 5.534.738 1 Spanyol 46.030.109 0 Singapura 4.987.600 1 Argentina 40.134.425 0 Norwegia 4.885.500 1 Polandia 38.163.895 0 UAE 4.599.000 1 Sri Lanka 20.238.000 0 Irlandia 4.459.300 1 Yunani 11.306.183 0 Latvia 2.241.500 1 Portugis 10.636.888 0 Estonia 1.340.021 1 Israel 7.579.500 0 Bahrain 791.000 1 Bulgaria 7.576.751 0 Malta 416.333 1 Hongkong 7.026.400 0 Islandia 317.900 1 Yordania 6.316.000 0 Maladewa 309.000 1 Selandia Baru 4.373.000 0 Bermuda 65.000 1 Lithuania 3.329.227 0 Kepulauan Cayman 56.000 1 Panama 3.322.576 0 Gibraltar 31.000 1 Slovenia 2.059.260 0 Botswana 1.950.000 0 Siprus 801.851 0 Bahama 342.000 0 Barbados 256.000 0 1 0 = lembaga pengawasan berganda 1 = lembaga pengawas tunggal Korelasi Kendalls’ Tau Nilai Korelasi: -0,284 Signifikansi: 0,013*

Hasil perhitungan korelasi Kendall’s Tau mengindikasikan bahwa semakin besar ukuran perekonomian (dilihat dari populasi yang semakin besar), struktur lembaga pengawas cenderung ke lembaga pengawas berganda.

Hasil Estimasi model probit: =3,51−0,23log( )

Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin besar populasi suatu negara, probabilitas negara tersebut menerapkan struktur lembaga pengawas tunggal (1) semakin kecil.

Sumber: Martinez dan Rose (2003), diolah

Page 44: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

38  

4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara

Pengawasan lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal, dikelola oleh lembaga

tunggal dibandingkan lembaga yang terpisah untuk setiap jenis perusahaan keuangan (Tabel

4.2). Lembaga tunggal tidak hanya mengawasi perusahaan keuangan, namun juga meliputi

pengawasan laku bisnis dan perlindungan konsumen. Contoh dari lembaga tunggal adalah

FSA di Inggris. Pendekatan pengawasan tradisional terdiri dari beberapa lembaga terpisah

yang masing-masing mengatur bank, asuransi, dan pasar modal. Pendekatan tradisional

meliputi pendekatan institusi dan fungsional. Semenjak krisis keuangan global pada tahun

2008, banyak negara yang cenderung menerapkan pendekatan twin peaks maupun hibrida.

Tabel 4.2. Struktur Pengawasan di Beberapa Negara

Lembaga Pengawas Tunggal Sektor Keuangan (Tahun Pendirian)

Lembaga Mengawasi 2 Jenis Lembaga Keuangan Lembaga Pengawas Berganda

(satu untuk bank, satu untuk perusahaan sekuritas, dan satu

untuk asuransi)

Bank dan Perusahaan Sekurtias

Bank dan Asuransi

Perusahaan Sekuritas dan

Asuransi

Austria (2002) Jepang (2001) Finlandia Kanada Bolivia Argentina Jordania Australia (1998) Latvia (1998) Luksemburg Kolombia Cile Bahamas Lituania Bahrain* (2002 Maladewa*(1988) Meksiko Ekuador Jamaika Barbados Panama Belanda *(2004) Malta*(2002) Swiss El Salvador Mauritius Botswana Filipina Bermuda*(2002) Nikaragua *(1999) Uruguay Guatemala Slovakia Brasil Polandia Keoulauan Cayman*(1997) Norwegia (1986) Malaysia Ukraina Bulgaria Portugal

Denmark (1988) Singapura*(1984) Peru Bulgaria Cina Rusia

Estonia (1999) Korea Selatan (1997) Venezuela Siprus Selandia Baru

Jerman ( 2002) Swedia (1991) Yunani Sri Lanka Gibraltar (1989) UAE*(2000) Hongkong Spanyol

Guernsey (1988) Britania Raya (1997) India Thailand

Hungaria (2002) Afrika Selatan *(1990) Albania Kroasia

Islandia (1988) Kazakhstan*(1998) Israel Turki Irlandia*(2002) Uruguay (1993) Italia Amerika Serikat Prancis Indonesia Slovenia Tunisia Uganda

28 5 8 7 34 Catatan : (*) mengindikasikan pengawasan dilakukan oleh Bank Sentral Sumber: Kawai dan Pomerleano(2010)

Page 45: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

39  

Tabel 4.3 menunjukkan pembagian pengawasan di beberapa Negara berdasarkan industri

yang menjadi objek pengawasan.

Tabel 4.3 Struktur Pengawasan Sistem Keuangan Berdasarkan Industri

Negara  Populasi  Perbankan  Asuransi  Pasar Modal Keterlibatan Bank Sentral 

Bangladesh  162.221.000 CB  CB  S   Jerman  81.757.600 FSA  FSA  FSA  Ya Perancis  65.447.374 FSA  FSA  FSA  Ya UK  62.041.708 CPMA  CPMA  CPMA  Ya Italia  60.340.328 CB  I  S  Ya Spanyol  46.030.109 CB  I  S  Ya Australia  22.376.769 FSA  FSA  FSA   Belanda  16.615.950 CB  IS  IS  Ya Belgia  10.827.519 BSS  IS  BSS  Ya Portugis  10.636.888 CB  I  S  Ya Swedia  9.354.462 FSA  FSA  FSA  Ya Austria  8.372.930 FSA  FSA  FSA  Ya Denmark  5.540.241 FSA  FSA  FSA  Tidak Finlandia  5.363.200 BSS  IS  BSS  Ya Singapura  4.987.600 FSA  FSA  FSA  Tidak Irlandia  4.459.300 CB  G  CB  Ya Luksemburg  502.207 BS  I  BS  Tidak 

Keterangan  : FSA: Pengawasan Terpadu; CB:Bank Sentral; B, I, S: pengawas khusus untuk perbankan (B), asuransi (I) dan pasar modal (S) bisa kombinasi ketiganya ; G: departemen pemerintah CPMA: Consumer Protection and Market Authority Sumber : Darlap & Grünbichler (2003) disesuaikan  

Sementara itu Tabel 4.4 menjelaskan negara yang menerapkan struktur pengawasan terpadu.

Dalam struktur pengawasan terpadu, lembaga pengawas mengawasi seluruh lembaga

keuangan di negara tersebut yang meliputi bank, asuransi, dana pensiun, lembaga kredit,

perusahaan sekuritas, dan perusahaan investasi. Menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar

lembaga pengawasan sektor keuangan berada pada koordinasi kementrian keuangan masing-

masing negara.

Page 46: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

40  

Tabel 4.4. Struktur Pengawasan Terpadu (Integrated)

Negara Lembaga Pengawas Sektor Keuangan Terintegrasi (Integrated)

Lembaga Keuangan yang Diawasi Catatan

Jerman Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht, 2002

Bank, perusahaan asuransi, dealer sekuritas

Beberapa menteri ditunjuk dalam dewan direktur, kewenangan boleh mengeluarkan denda sampai dengan 500.000 euro

www. bafin.de

Austria Finanzmarktaufsicht, 2002, Bank, perusahaan asuransi

Independen menurut hukum, FMA ditetapkan dengan administrative criminal power

www.fma.gv.at

Kanada Office of the Superintendent of Financial Institutions,

Bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, lembaga kredit

Di bawah kewenangan Menteri Keuangan, yang tunduk kepada Parlemen, berperan secara independen

www.osfi-bsif.gc.ca

Denmark Danish Financial Supervisory Authority, 1988

Bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dealer sekuritas

Tunduk kepada Menteri Ekonomi dalam tingkat administratif, berperan secara independen

www.ftnet.dk

Britania Raya

Financial Services Authority, 1997, Bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dana pensiun

Tidak terikat kepada pemerintah, melaporkan kepada Menteri Keuangan dan secara tidak langsung kepada Parlemen, FSA dapat memberlakukan sanksi keuangan (dari April 2001 sampai April 2002, sanksi mencapai 5 juta pounds), FSA dibiayai oleh honorarium perusahaan yang diawasi

www.fsa.gov.uk

Irlandia Irish Financial Services Regulatory Authority, 2003,

Seluruh lembaga keuangan

Bergantung pada Menteri Keuangan

www.ifsra.ie

Norwegia Kredittilsyinet, 1986 Bank, perusahaan asuransi, financial societies, dealer sekuritas dan saham

Menteri Keuangan memberikan instruksi dan berurusan dengan permohonan (banding) atau komplain terhadap wewenang pengawas

www.kredittilsyinet.no

Swedia Finansinspektionen, 1991, Bank, perusahaan asuransi, dana investasi, dealer sekuritas dan saham

Pemerintah memilih anggota-anggota dewan direktur, berperan secara independent, setelah krisis pasar saham, FI mengelola sendiri perihal penguatan guna pencegahan identifikasi krisis dan mencari metode baru penghitungan risiko tersebut

www.fi.se

Sumber: Gugler (2005)

Page 47: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

41  

4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan

Tercatat empat jenis pendekatan yang telah didirikan oleh negara-negara di dunia antara lain

pendekatan institusi, fungsional, terpadu (integrated), dan twin peaks. Tabel 4.5 menjelaskan

pendekatan lembaga pengawas sektor keuangan. Amerika Serikat memiliki pendekatan

lembaga pengawas yang unik yaitu gabungan pendekatan fungsional dan institusional.

Pengawasan sektor keuangan di Amerika Serikat melibatkan banyak lembaga antara lain

Federal Reserve Board, Office of the Comptroller of the Currency, Federal Deposit Insurance

Corporation, Office of Thrift Supervision, National Credit Union Administration, dan

Security and Exchange Commission. Struktur pengawasan di Amerika Serikat dianggap tidak

efisien karena sistem pengawasan rangkap yang dilaksanakan menimbulkan biaya yang

sangat tinggi (The Group of Thirty, 2008).

Tabel 4.5. Sistem Lembaga Pengawas Sektor Keuangan

Sistem Konsep Pengawasan Negara

Institusional Lembaga pengawas dibentuk berdasarkan bentuk badan hukum lembaga yang diawasi

Cina, Hongkong, dan Meksiko

Fungsional Lembaga pengawas dibentuk berdasarkan jenis transaksi bisnis yang dilaksanakan

Brasil, Italia, dan Spanyol

Dual System1 Lembaga pengawas dengan pendekatan fungsional dan institusional

Amerika Serikat

Terpadu (Integrated) Lembaga pengawas tunggal (regulasi dan laku bisnis) untuk sektor keuangan

Kanada, Jerman, Jepang, Qatar, Britania Raya dan Jerman

"Twin Peaks" Pemisahan lembaga pengawas yang memantau regulasi sektor keuangan dan laku bisnis lembaga keuangan

Australia dan Belanda

Sumber: The Group of Thirty (2008) Keterangan: 1 Pendekatan lembaga pengawas ini adalah kasus unik di Amerika Serikat yang melibatkan pengawasan di tingkat negara dan negara bagian.

Pendekatan di atas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing (Tabel 4.6).

Pendekatan institutional dan fungsional telah mulai ditinggalkan karena sangat berpotensi

menciptakan konflik antar lembaga pengawas. Selain itu, kedua pendekatan tersebut kesulitan

merespon perkembangan produk keuangan yang telah terintegrasi lintas sektoral. Konsistensi

peraturan juga merupakan isu dalam kedua pendekatan tersebut. Sebagai contoh, bank dan

asuransi memiliki produk yang identik namun produk tersebut diatur oleh lembaga yang

berbeda dengan peraturan yang juga berbeda.

Page 48: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

42  

Tabel 4.6. Keunggulan dan Kelemahan Berbagai Sistem Lembaga Pengawas Sektor

Keuangan

Sistem Keunggulan Kelemahan

Institusional • Penyelesaian konflik lembaga yang diawasi lebih mudah dalam satu sektor

• Respon perkembangan produk keuangan (terutama produk paduan lintas sektoral) yang lambat dan dianggap tidak mampu mengakomodir perubahan signifikan dalam inovasi produk keuangan

• Manajemen risiko lembaga yang tidak menyeluruh karena lembaga yang diawasi melakukan transaksi bisnis lintas sektoral

• Inkonsistensi dalam aplikasi regulasi • Peraturan yang tidak konsisten dan

overlapping: beberapa pengawas menerapkan peraturan yang berbeda untuk produk/transaksi yang sama

Fungsional

• Konsistensi peraturan yang diterapkan untuk setiap fungsi sehingga menghindari regulatory arbitrage

• Knowledge- dan information-gathering antar lembaga pengawas

• Kompetisi antar lembaga pengawas menyebabkan inovasi produk keuangan terhambat

• Tidak ada lembaga pengawas untuk melaksanakan manajemen risiko sistemik lembaga keuangan

• Inefisiensi dalam koordinasi dan biaya: jumlah pengawas yang terlalu banyak seiring bertambahnya jumlah lini bisnis

• Penentuan scope pengawasan sulit • Keengganan menyerahkan fungsi

pengawasan bila ada ekspansi produk • Tidak ada regulator yang mendapatkan

informasi penuh mengenai suatu lembaga

Dual System1 • Knowledge- dan information-gathering antar lembaga pengawas

• Struktur pengawasan rangkap yang tidak efisien: biaya yang tinggi

• Potensi kegagalan koordinasi antar pengawas yang tinggi

Terpadu (Integrated)

• Minimalisasi konflik antar sektor • Fokus optimal dan menyeluruh (holistik)

dalam regulasi dan pengawasan • Konsistensi peraturan • Responsif terhadap perkembangan

produk dan jenis transaksi keuangan • Efisiensi biaya dan information-sharing

• Kecenderungan pengawasan yang lebih fokus hanya pada satu fungsi (kasus FSA di Britania Raya yang lebih fokus pada fungsi laku bisnis)1

• Potensi inefisiensi karena lingkup lembaga yang terlalu luas

• Excessive power dan potensi kegagalan koordinasi dengan bank sentral maupun kementrian keuangan terutama saat krisis

• Potensi classic monopolistic bureaucracy

• Risiko single point of failure

Page 49: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

43  

"Twin Peaks"

• Fokus optimal pengawasan: pemisahan fungsi regulasi sistem keuangan dan laku bisnis (perlindungan konsumen) pada lembaga yang berbeda

• Transparansi dan akuntabilitas: mandat didefinisikan dengan jelas

• Minimalisasi konflik antar sektor • Koordinasi dengan pengambil kebijakan

makro dan moneter • Konsentrasi kekuatan pada satu lembaga

lebih kecil • Risiko reputasi lebih kecil • Mencegah prudential supervisor

melakukan kegiatan yang mengganggu perlindungan konsumen

• Karyawan yang diperkerjakan sesuai keahlian masing-masing

• Potensi mis-koordinasi antara lembaga pengawas regulasi dan laku bisnis

Sumber: The Group of Thirty (2008) Keterangan: 1 House of Lords (2009)

Pendekatan terpadu (integrated) meminimalisasi konflik, peraturan yang tidak konsisten,

serta biaya pengawasan. Namun, pendekatan ini terbukti gagal di Britania Raya. FSA lebih

fokus pada fungsi laku bisnis dan cenderung mengabaikan fungsi regulasi sistem keuangan.

Selain itu, pendekatan ini mendorong lembaga pengawas sektor keuangan untuk tidak

melakukan koordinasi dengan bank sentral maupun kementrian keuangan terutama pada saat

krisis.

Pendekatan twin peaks menutupi kelemahan yang terdapat dalam pendekatan terpadu. Dalam

pendekatan twin peaks, fungsi pengawasan regulasi sistem keuangan dan pengawasan laku

bisnis dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda. Pendekatan ini juga memudahkan koordinasi

dengan pengambil kebijakan makro dan moneter terutama dalam mengatasi

ketidakseimbangan sektor keuangan. Namun, fungsi pengawasan bank sentral dalam

pendekatan ini cenderung kabur khususnya pada kasus bank sentral tidak diberikan tugas

pengawasan salah satu sektor keuangan seperti perbankan (Nier, 2009). Gambar 4.2 sampai

dengan Gambar 4.5. memberikan ilustrasi empat pendekatan beserta keunggulan dan

kelemahan masing-masing pendekatan.

Page 50: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

44  

Gambar 4.2. Pendekatan Institusional

Pengawas Bank  Pengawas Asuransi 

Pengawas Lembaga Pembiayaan 

Pengawas Pasar Modal 

Pengawas Dana Pensiun 

 

Bank  

Asuransi 

 Lembaga 

Pembiayaan 

 

Dana Pensiun 

 

Pasar Modal 

Pengawas Sekuritas 

 Perusahaan Sekuritas 

Fung

si pen

gawasan m

ikro 

dan laku bisnis 

Fung

si pen

gawasan m

ikro 

dan laku bisnis 

Fung

si pen

gawasan m

ikro 

dan laku bisnis 

Fung

si pen

gawasan m

ikro 

dan laku bisnis 

Fung

si pen

gawasan m

ikro 

dan laku bisnis 

Fung

si pen

gawasan m

ikro 

dan laku bisnis 

Kompleksitas 

‐ Lembaga pengawasan tidak mencapai economies of scale dan economies of scope 

‐ Tidak dapat mengawasi perkembangan produk lintas sektoral, sehingga rawan terhadap praktik penyalahgunaan 

‐ Biaya koordinasi antar lembaga pengawasan relatif tinggi karena:  

1) terlalu banyak lembaga yang harus dilibatkan dalam koordinasi;  

2) TUPOKSI tiap‐tiap lembaga seringkali berbeda dan tidak menutup kemungkinan saling kontradiktif antara lembaga satu dengan yang lain   

3)manajemen risiko sistem pengawasan  yang tidak menyeluruh karena lembaga yang diawasi sangat dimungkinkan melakukan transaksi bisnis lintas sektoral;  

4) pada saat krisis, kecenderungan setiap lembaga pengawas bertindak “for his own safety” sangat tinggi 

‐ Ancaman dari perkembangan konglomerasi di sektor keuangan 

‐ Muncuk praktik arbitrase peraturan yaitu lembaga menciptakan produk yang regulasi otoritasnya lebih longgar. 

Kemanfaatan 

‐ Penyelesaian konflik lembaga yang diawasi lebih mudah dalam satu sektor 

‐ Peraturan pengawasan setiap lembaga yang lebih “established” dan konsisten 

Page 51: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

45  

Gambar 4.3 Pendekatan Fungsional

Pengawas Deposito 

Pengawas Asuransi 

Pengawas Leasing 

Pengawas emiten surat berharga dan obligasi 

Pengawas Dana Pensiun 

 Bank 

 Asuransi 

 Lembaga 

Pembiayaan  

Dana Pensiun  

Pasar Modal 

Pengawas portofolio 

 Sekuritas 

Pengawas Kredit 

Kompleksitas 

‐ Jumlah lembaga pengawas banyak sehingga  koordinasi cenderung sulit dilakukan 

‐ Biaya pengawasan cenderung tinggi karena jumlah lembaga pengawas cenderung banyak 

‐ Diperlukan legislasi tentang data sharing antar lembaga pengawas dan mekanisme data sharing relatif rumit.  

‐ Lembaga pengawas cenderung terjebak pada kegiatan yang bersifat rutin, misalnya pengawasan laku bisnis. Fungsi lain lembaga untuk mengawasi micro and macro prudential cenderung terabaikan.  

‐ Kompetisi antar lembaga pengawas cenderung tinggi dan berpotensi menyebabkan inovasi produk keuangan cenderung terhambat 

‐ Jumlah pengawas dan kemampuan berkoordinasi sangat sensitif terhadap bertambahnya fungsi bisnis 

 

Kemanfaatan 

‐ Peraturan pengawasan setiap fungsi bisnis yang lebih “established” dan konsisten 

‐ Knowledge‐ dan information‐gathering antar lembaga pengawas 

 

Page 52: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

46  

Gambar 4.4 Pendekatan Terpadu (Integrated)

 

Dana Pensiun 

 

Pasar Modal 

 Perusahaan Sekuritas 

 Otoritas Jasa Keuangan 

Fungsi pengawasan mikro dan     laku bisnis 

 

Asuransi 

 Lembaga 

Pembiayaan 

 

Bank 

 Bank Sentral 

Fungsi pengawasan makro dan lender of the last resort 

Koordinasi 

Kompleksitas 

‐ Besarnya biaya pengawasan sangat sensitive terhadap jumlah, jenis  lembaga keuangan yang diawasi dan dan sebaran geografis  

‐ Kecenderungan pengawasan lebih fokus pada kegiatan rutin (fungsi laku bisnis) sementara fungsi micro dan macro prudential sering terabaikan (kasus FSA di Britania Raya) 

‐ Fungsi Bank Sentral sebagai lender of the last resort menjadi sulit untuk diterapkan 

‐ Kecenderungan excessive power yang dapat menimbulkan arogansi sektoral:meningkatkan potensi kegagalan koordinasi dengan bank sentral maupun kementrian keuangan terutama saat krisis 

 

Kemanfaatan 

‐ Minimalisasi konflik antar sektor dengan sentralisasi pengawasan 

‐ Fokus optimal dan menyeluruh (holistik) dalam regulasi dan pengawasan: pengawasan sistemik dan laku bisnis 

‐ Cenderung lebih responsif terhadap perkembangan produk dan jenis transaksi keuangan 

‐  Information sharing akan lebih mudah dilakukan 

 

Page 53: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

47  

Gambar 4.5 Pendekatan Twin Peaks

 

Dana Pensiun 

 

Pasar Modal  Perusahaan Sekuritas 

 Lembaga pengawas keuangan 

(bank sentral pada beberapa negara) 

 

Asuransi 

 Lembaga 

Pembiayaan 

 

Bank 

 Lembaga perlindungan 

konsumen 

Kompleksitas 

‐ Potensi miskoordinasi antara lembaga pengawas regulasi (sistemik) dengan laku bisnis, meskipun biaya koordinasi di sistem ini lebih rendah dibandingkan pada sistem institusional dan fungsional   

‐ Perlu payung hukum untuk masalah data sharing dan data interfacing antara OJK dan Bank Sentral 

‐ Biaya operasional pengawasan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem terpadu (karena Bank Sentral dan OJK harus memiliki kantor perwakilan di daerah‐daerah untuk melakukan pengawasan) 

 

Kemanfaatan 

‐ Fokus optimal pengawasan: pemisahan fungsi regulasi sistem keuangan dan laku bisnis (perlindungan konsumen) pada lembaga yang berbeda 

‐ Transparansi dan akuntabilitas: mandat didefinisikan dengan jelas 

‐ Minimalisasi konflik antar sektor  

‐ Koordinasi dengan pengambil kebijakan makro dan moneter 

‐ Kecenderungan konsentrasi kekuatan pada satu lembaga lebih kecil 

‐ Kerentanan terhadap krisisk arena masalah koordinasi antara OJK dan Bank Sentral minimum 

 

Fungsi pengawasan makro dan mikro 

Fungsi pengawasan laku bisnis dan perlindungan konsumen 

Koordinasi 

Page 54: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

48  

Penentuan pendekatan lembaga pengawas di setiap perekonomian bergantung pada situasi

sektor keuangan di setiap perekonomian. Nier (2009) menjelaskan tiga faktor utama yang

harus dikaji untuk menentukan pendekatan lembaga pengawasan yang optimal. Ketiga faktor

tersebut antara lain:

1. Tingkat perkembangan sektor keuangan dan ekspektasi perkembangan di masa yang

akan datang

2. Distribusi aset keuangan di berbagai lembaga keuangan (perbankan, asuransi, dan

surat berharga)

3. Tingkat konglomerasi sektor keuangan.

Perekonomian yang memiliki sektor keuangan yang maju, seperti di Amerika Serikat,

disarankan untuk fokus pada pengawasan laku bisnis. Selain itu, perekonomian yang

memiliki bank dalam jumlah besar seperti Amerika Serikat disarankan untuk membentuk

lembaga pengawas khusus. Sebagai contohnya adalah Federal Deposit Insurance Committee

(FDIC) di Amerika Serikat. Bank sentral dalam kasus ini fokus dalam menjalankan tugasnya

sebagai pengawas makro dan mikro sektor keuangan secara menyeluruh (Nier, 2009).

Pendekatan lembaga pengawas sektor keuangan terpadu dan twin peaks disarankan untuk

perekonomian yang memiliki distribusi aset keuangan di berbagai sektor yang tinggi serta

tingkat konglomerasi yang tinggi. Barth et al.(2002) menyarankan bahwa lingkup

pengawasan yang luas dianjurkan pada situasi tersebut.

Walaupun demikian, menarik untuk dicatat bahwa fungsi dan struktur lembaga pengawas

sektor keuangan yang optimal akan berbeda di setiap negara (The Group of Thirty, 2008).

Nier (2009), Cervellati dan Fioriti (2007), Barth et al. (2004), Barth et al. (2002) dan

Crockett (2001) menjelaskan bahwa tidak terdapat best set of practices terkait pengawasan

sektor keuangan yang berlaku secara umum di setiap negara. Selain itu, Barth et al. (2004)

membuktikan bahwa fungsi regulasi dan pengawasan yang lebih banyak dan rinci tidak akan

lebih baik.

4.4. Biaya Transaksi Perubahan Sistem Pengawasan

Terlepas dari segala manfaat dan kompleksitas dari masing-masing sistem pengawasan,

perubahan sistem pengawasan selalu akan membawa biaya transaksi. Tentu saja besarnya

biaya transaksi ditentukan oleh sistem pengawasan mana yang akan digunakan. Besarnya

biaya transaksi juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam konteks sistem pengawasan,

Page 55: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

49  

biaya transaksi bisa berupa peningkatan biaya operasional, mutasi pegawai dari satu lembaga

ke lembaga lain, hingga resiko peningkatan kerentanan perekonomian terhadap krisis.

Sistem pengawasan institusional, fungsional dan terpadu (integrated) cenderung

meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap krisis. Pada sistem institusional dan

fungsional, kerentanan perekonomian terhadap krisis meningkat akibat sistem pengawasan

dilakukan oleh banyak lembaga. Perlu diingat bahwa setiap lembaga memiliki tupoksi

masing-masing yang seringkali berlawanan antar lembaga. Koordinasi, dengan demikian,

seringkali sulit terjadi di lapangan akibat adanya perbedaan tupoksi yang seringkali

bertentangan tersebut. Hal ini merupakan sumber dari egosentris masing-masing lembaga

pengawas, yang berdampak tidak kondusif terhadap koordinasi antar lembaga tersebut.

Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika mekanisme pengawasan mensyaratkan

koordinasi, namun makna koordinasi hanya diartikan sekedar pertemuan rutin. Idealnya

koordinasi dilakukan untuk membagi pekerjaan, kewenangan dan tanggung jawab antar

lembaga pengawas. Information sharing antar lembaga, dengan demikian akan menjadi

bagian yang sangat penting, karena akan memungkinkan lembaga-lembaga pengawas untuk

menentukan kebijakan apa yang harus ditempuh.

Berbeda dengan sistem institusional dan fungsional, sistem terpadu cenderung tidak memiliki

masalah coordination failure ini. Kenyataan bahwa dalam sistem terpadu pengawasan

dilakukan oleh satu lembaga pengawas jelas akan menghilangkan miscoordination tersebut.

Meski demikian, seperti halnya yang terjadi di Inggris, sentralisasi pengawasan menciptakan

beban kerja yang sangat berat bagi lembaga pengawas tersebut. Fungsi macro prudential,

micro prudential dan business conduct harus ditangani oleh satu lembaga. Proporsi kasus-

kasus yang terkait dengan business conduct cenderung mendominasi pekerjaan lembaga

pengawas relatif dibandingkan kedua fungsi lain. Akibatnya, fokus dan alokasi sumberdaya

lembaga pengawas bisa terserap untuk mengawasi business conduct. Implikasinya, fungsi

pengawasan micro and macro prudential seringkali terbengkalai. Tak pelak lagi, hal

semacam ini meningkatkan kerentanan ekonomi terhadap krisis.

Biaya transaksi lain yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan biaya pengawasan.

Apabila pengawasan perbankan dan lembaga nonbank dijadikan satu, maka untuk melakukan

micro prudential maupun business conduct keberadaan kantor cabang di daerah-daerah

mutlak diperlukan. Hal ini terjadi jika sistem pengawasan mensyaratkan pelaksanaan

pengawasan langsung di lokasi lembaga keuangan tersebut. Implikasinya, tidak saja terjadi

Page 56: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

50  

peningkatan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pengawasan, namun juga

diperlukan kantor-kantor baru di daerah-daerah agar memungkinkan pengawasan langsung

dilakukan.

Biaya transaksi lain yang tidak kalah mahal dan secara teknis seringkali menciptakan masalah

yang pelik adalah mengenai mutasi sumberdaya manusia antar lembaga. Jika terjadi transisi

dari sistem pengawasan twin peaks menuju ke sistem pengawasan terpadu, maka mau tidak

mau akan dilakukan relokasi sumberdaya manusia dari satu lembaga ke lembaga yang lain.

Hal ini memerlukan suatu mekanisme yang jelas yang mungkin berdampak pada pembuatan

SOP yang cukup rumit dan banyak di lembaga pengawas yang baru tersebut. Perasaan

karyawan yang cenderung menghadapi ketidakpastian selama proses transisi, perlu untuk

dipertimbangkan pula.

Di atas semua biaya transaksi yang telah disebutkan tadi, masih ada biaya transaksi yang

cukup besar yaitu jika sistem pengawasan sering berubah dalam waktu yang tidak lama. Apa

yang terjadi di Inggris perlu dicermati dan dijadikan bahan pelajaran. Pendirian FSA sebagai

lembaga pengawas, tentu menyerap sumberdaya yang tidak sedikit. Saat ini pemerintahan

partai Konservatif mengembalikan lagi sistem pengawasan kepada Bank of England (BOE).

Hal ini pun membawa implikasi yang sangat besar pada sumberdaya. Bahkan pada kasus

Inggris, tidak saja mereka harus membayar mahal biaya pengubahan sistem pengawasan

sebanyak dua kali, namun juga mereka harus membayar mahal dengan shock yang terjadi

akibat collapse-nya Northern Rock di tahun 2007. Belum selesai di situ, pasca Northern Rock

di-bailout, pemerintah Inggris terpaksa mengucurkan dana untuk penyelamatan empat bank

lain.

4.5.Peran Bank Sentral

Peran bank sentral dalam pengawasan lembaga keuangan sangatlah penting. Walaupun

demikian, sejauh mana bank sentral berperan dalam pengawasan lembaga keuangan

merupakan topik perdebatan. Peran bank sentral yang optimal dalam pengawasan lembaga

keuangan cenderung berbeda. Tabel 4.7 menjelaskan argumen penyatuan pengawasan

lembaga keuangan kepada bank sentral menurut European Central Bank (ECB).

Page 57: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

51  

Tabel 4.7. Argumen Penyatuan Pengawasan Lembaga Keuangan Kepada Bank Sentral

Argumen mendukung penyatuan pengawasan lembaga keuangan kepada

bank sentral

Argumen mendukung pembentukan lembaga pengawasan di luar bank sentral

• Sinergi informasi pengawasan dan fungsi inti bank sentral (implementasi kebijakan moneter yang sesuai)

• Fokus pada risiko sistemik • Independensi dan ketersediaan tenaga ahli

• Konflik tujuan antara pengawasan & kebijakan moneter dan penyalahgunaan

• Kecenderungan konglomerasi dan perkembangan produk keuangan yang cepat

• Mengurangi konsentrasi kekuasaan pada bank sentral

Sumber: European Central Bank (2001)

Ada beberapa argumen yang mengatakan bahwa sebaiknya supervisi terhadap bank dan

lembaga keuangan lainnya sebaiknya berada di bawah bank sentral. Goodhart (2000), Barth

et al (2002), dan Ingves (2007) menyebutkan alasan-alasan agar pengawasan tetap berada di

bawah Bank Sentral sebagai berikut :

- Bank merupakan lembaga yang sangat penting dalam sistem keuangan. Aktivitas

bank yang kompleks menyebabkan peningkatan kebutuhan akan supervisi yang

berkualitas tinggi dan resource-intensive. Bank Sentral dianggap memiliki

keunggulan komparatif dalam merekrut dan mempertahankan staf-staf terbaik, karena

sistem kompensasi dan pengembangan profesional yang baik pula.

- Akses Informasi. Bank Sentral membutuhkan informasi yang akurat dan tepat waktu

mengenai kondisi dan kinerja bank supaya bisa melakukan pelaksanaan kebijakan

moneter yang sesuai. Tanpa adanya wewenang melaksanakan pengawasan, maka

tidak akan mendapatkan informasi yang memadai ketika menetapkan suatu kebijakan

moneter. Selain itu, akses informasi mengenai kondisi solvency dan liquidity dari

bank tersebut juga sangat penting untuk menjalankan fungsi bank sebagai LOLR. Hal

ini dilakukan untuk mencegah terjadinya ancaman penyalahgunaan ketika terjadinya

ketidakstabilan sistemik. Walaupun informasi ini dapat diminta kepada institusi lain

yang berwenang mengawasi bank, namun tetap saja bank sentral akan memiliki posisi

yang lebih baik apabila fungsi pengawasan berada di bawahnya. Alasan informasi ini

juga erat kaitannya dengan sistem pembayaran. Salah satu tanggung jawab bank

sentral adalah memastikan berfungsinya berbagai macam sistem pembayaran dalam

perekonomian. Tidak tertutup kemungkinan akan mengundang keganjilan apabila

Bank Sentral memiliki tanggung jawab terhadap sistem pembayaran namun tidak

Page 58: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

52  

memiliki akses terhadap informasi mikro mengenai lembaga-lembaga keuangan yang

terlibat dalam sistem pembayaran.

Berbagai macam riset yang telah dilakukan mendukung agar peran pengawasan

berada di bawah bank sentral. Sebagai contoh, dalam Barth et al (2000) disebutkan

hasil penelitian dari Peek, Rosengren, dan Tootle (1999) yang mengatakan bahwa

akses yang cepat terhadap informasi rahasia dari bank akan meningkatkan keakuratan

kemampuan forecasting kondisi makroekonomi. Selain itu, Goodhart dan

Schoenmaker (1995) dengan menggunakan data di 24 negara menemukan bahwa

kegagalan bank lebih sedikit terjadi di negara dengan fungsi pengawasan berada di

bawah Bank Sentral

- Independensi. Faktor ini sangat penting bagi otoritas yang melakukan pengawasan

terhadap bank agar dapat mengambil tindakan tepat. Bank Sentral dianggap memiliki

independensi yang sangat kuat sehingga dengan menyerahkan wewenang pengawasan

kepada Bank Sentral diharapkan supervisi terhadap sistem perbankan lebih optimal.

Selain itu, bagi negara-negara berkembang, strategi ini dianggap tepat untuk

mencegah politisasi pengaturan bank (Abrams dan Taylor, 2001)

Ditambahkan pula oleh Kashyap (2010) bahwa dengan mengambil pelajaran dari krisis yang

terjadi di Amerika Serikat dan Eropa mengakibatkan perlunya melakukan evaluasi terhadap

struktur sistem pengawasan yang ada. Bank Sentral masih merupakan salah satu LOLR yang

paling kredibel dan dengan memindahkan pengawasan perbankan ke lembaga lainnya tidak

otomatis akan menurunkan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyelesaian bank dan

institusi keuangan yang bermasalah. Seandainya bahwa bank sentral bukan merupakan

pengawas lembaga perbankan maka perlu dibentuk lembaga lain yang akan menjalankan

fungsi yang telah dijalankan oleh bank sentral. Pengalaman Negara Inggris dengan FSA

sebagai pengawas tunggal mengakibatkan adanya saling lempar tanggung jawab dalam

penyelesaian krisis yang terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya sistem

pengawasan tunggal memerlukan kondisi adanya sharing informasi antar lembaga yang kuat.

Jika bank sentral bukan merupakan pengawas perbankan tapi masih memiliki fungsi sebagai

LOLR dapat dipastikan bank sentral akan memiliki kesulitan dalam mengontrol neraca jika

pengawas yang berwenang membuat keputusan independen dalam masa krisis (Goodhart,

2005). Kashyap (2010) juga menyatakan bahwa dengan adanya bank sentral sebagai

pengawas sektor perbankan dalam sebuah sistem pengawasan keuangan akan meningkatkan

kinerja bank sentral melalui : (1) informasi langsung mengenai kondisi sistem perbankan

Page 59: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

53  

akan meningkatkan pelaksanaan kebijakan moneter dan akan meningkatkan proses

pengawasan, (2) dengan adanya hubungan antara kebijakan moneter dan pengawasan sektor

perbankan akan memudahkan penjaminan stabilitas sistem keuangan, dan (3) pengalaman

bank sentral dan perannya sebagai LOLR akan memudahkan bank sentral dalam menyusun

fasilitas pendanaan khusus dalam masa krisis.

Sementara itu, argumen yang mengatakan bahwa supervisi terhadap bank dan lembaga

keuangan lainnya berada di luar kendali Bank Sentral juga dibahas oleh Goodhart (2000),

Barth et al (2002), dan Ingves (2007). Adapun alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut.

- Adanya konfik kepentingan (conflict of interest). Ketika Bank Sentral memegang

peranan dalam pengawasan, maka muncul potensi terjadinya konflik kepentingan

antara peranan Bank Sentral sebagai pelaksana kebijakan moneter dan pengawasan.

Kebijakan moneter yang diambil dikhawatirkan terlalu longgar demi mencegah

dampak buruk terhadap pendapatan bank dan kualitas kredit. Sebagai contoh, tingkat

suku bunga ditekan serendah mungkin agar bank terhindar dari masalah yang akut.

- Potensi penyalahgunaan jika bank sentral bertindak sebagai pengawas adalah

kemungkinan lembaga yang diawasi untuk memiliki risiko yang berlebihan karena

berharap akan menyelamatkan jika terjadi krisis likuiditas, misalnya melalui

penurunan suku bunga antar bank dan LOLR. Potensi penyalahgunaan lainnya adalah

pengawasan bank sentral yang terlalu longgar karena dapat sewaktu-waktu merubah

kebijakan maupun implementasi LOLR terhadap lembaga yang gagal atau mengalami

krisis

- Adanya risiko reputasi. Persepsi publik terhadap kredibilitas bank dapat terkena imbas

negatif. Kegagalan dalam supervisi dapat menyebabkan reputasi Bank Sentral di mata

masyarakat menjadi buruk.

- Independensi: Briault (1999) dalam Barth et al. (2002) mengatakan bahwa semakin

lebar peranan Bank Sentral, maka semakin rentan mendapat tekanan politik yang

dapat mengancam independensi.

- Perubahan struktur dalam sistem finansial. Batasan-batasan yang membedakan antara

lembaga keuangan yang satu dengan yang lainnya saat ini semakin tidak jelas. Oleh

karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengawasi seluruh lembaga

keuangan tersebut, dan akan sulit bagi Bank Sentral untuk menjalankan peranan ini.

Hal ini dikarenakan secara historis bank sentral tidak memiliki keahlian untuk

menjalankan pengawasan bagi lembaga-lembaga lainnya.

Page 60: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

54  

SLWG menyarankan bank sentral untuk menjalankan fungsi manajemen sistemik (regulasi

sektor keuangan) dan OJK untuk menjalankan fungsi manajemen persaingan usaha dan

perlindungan konsumen (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Pembagian Tugas Bank Sentral dan OJK

Sumber: SLWG (2009)

Pendekatan yang diusulkan dari pembagian tugas di atas adalah twin peaks atau hibrida.

Alasan pembagian tugas tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bank sentral memiliki akses dan pengetahuan yang luas terhadap arus sistem

keuangan

2. Stabilitas sistem keuangan memiliki kaitan erat dengan stabilitas makroekonomi

3. Bank sentral adalah lembaga yang memiliki tingkat independensi tinggi

4. Bank sentral memiliki peran LOLR sehingga dapat menyediakan dana pada saat krisis

sistem keuangan.

Krivoy (2000) mengedepankan pentingnya peran bank sentral dalam menjaga stabilitas

sistem keuangan khususnya sektor perbankan. Sinclair (2000) dan Blanchard et al. (2009)

menyatakan bahwa konflik kepentingan antara bank sentral dan regulator lain dapat timbul

apabila peran stabilitas sistem keuangan diberikan kepada regulator lain. SLWG memberikan

rekomendasi terkait fungsi lembaga pengawas pasar keuangan.

1. Bank sentral diberikan tugas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya

pada periode krisis

Page 61: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

55  

2. Lembaga pengawas pasar keuangan memiliki tugas untuk menjaga stablitas sistem

keuangan secara menyeluruh

3. Bank sentral tidak dilibatkan dalam manajemen persaingan usaha antara lembaga

keuangan serta perlindungan konsumen.

Nier (2009) menjelaskan model pengawasan hibrida (hybrid) yang mengintegrasikan bank

sentral, lembaga pengawas sistemik sektor keuangan, dan pengawas laku bisnis sektor

keuangan. Pada model ini, pembagian tugas dan fungsi yang jelas untuk setiap lembaga

terkait pengawasan sektor keuangan sangatlah penting. Selain itu, mekanisme kerjasama

antara ketiga lembaga di atas perlu dibentuk. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari

konflik kepentingan serta membangun komunikasi antarlembaga.

Kasus Northern Rock di Britania Raya, Hypo Real dan IKB di Jerman, Fortis di Belgia, serta

Lehman Brothers di Amerika Serikat terjadi karena tidak ada mekanisme special resolution

regime (Nier, 2009). Special resolution regime merupakan bagian penting dari kerangka

pengawasan sektor keuangan terutama pada saat krisis. Mekanisme ini memungkinkan

pencegahan kegagalan institusi sektor keuangan individu yang dapat berdampak sistemik.

Bank sentral memegang peran utama dalam mekanisme special resolution regime karena dua

hal: (1) merupakan LOLR; (2) memiliki kemampuan untuk analisis dampak sistemik

kegagalan institusi keuangan individu terhadap sektor keuangan secara menyeluruh, sistem

pembayaran, dan pasar (Nier, 2009). Bank sentral harus mendapatkan dukungan di bawah ini

agar optimal dalam menjalankan peran dalam special resolution regime.

1. Pemberitahuan dini terhadap permasalahan yang dialami institusi keuangan individu

yang dapat berdampak sistemik

2. Akses terhadap semua informasi di setiap lembaga pengawas yang ada

3. Independensi dalam mengambil keputusan yang dianggap terbaik di antara pilihan

keputusan yang ada.

4.6.Pengalaman Negara Lain

4.6.1.Pengalaman Negara Prancis

Pada tanggal 21 Januari 2010 pemerintah Perancis menetapkan Prudential Supervision

Authority (Autorité de contrôle prudentiel – ACP). ACP ini merupakan sebuah otoritas

independen yang bertugas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memberikan

perlindungan pada konsumen, anggota, ahli waris dan orang yang diasuransikan oleh entitas

Page 62: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

56  

yang disupervisi. Otoritas baru ini dibentuk dari merger antara badan perijinan Perancis

dengan otoritas pengawasan sektor perbankan dan asuransi dimana otoritas baru ini akan

berada di bawah Bank Sentral Perancis (Banque de France). Chairman dari ACP adalah

Gubernur Bank Sentral Perancis.

Tujuan dibentuknya ACP ini adalah untuk membentuk koneksi yang erat antara prudential

supervision dengan fungsi-fungsi utama lain pada bank sentral dan juga dengan industri

asuransi yang memegang peranan cukup besar pada sektor keuangan. Hubungan operasional

yang erat ini tentunya sangat diperlukan dalam mengambil keputusan terutama disaat krisis.

Dengan demikian bank sentral memiliki informasi penting dari seluruh lembaga keuangan

yang akan memperkuat baik macro maupun micro prudential supervision.

ACP merupakan penggabungan dari lembaga yang telah ada sebelumnya telah berdiri, yaitu

the insurance firms committee (CEA), the credit institutions and investment firms committee

(CECEI), the authority for insurance and mutual insurance entities (ACAM) dan the banking

commission (CB). ACP di supervisi oleh Bank de France dan diketuai oleh gubernur Bank de

France, sedangkan wakil dari lembaga ini berasal dari industri asuransi.

Untuk menentukan hubungan yang erat antara otoritas baru ini dengan bank, Gubernur

Banque de France menetapkan bahwa ACP tidak memiliki kapasitas hukum untuk membuat

kontrak atau perjanjian sendiri. Kontrak atau perjanjian tersebut harus ditandatangi oleh

Banque de France. Pegawai dari otoritas ini adalah pegawai bank sentral, pegawai yang

dikontrak oleh bank sentral, dan pegawai yang diperbantukan. Semua ketentuan pegawai

mengikuti ketentuan kepegawaian Bank de France. Sementara itu, untuk pembiayaan

otoritas berasal dari kontribusi lembaga yang disupervisi dan jika diperlukan maka pendanaan

bisa juga berasal dari anggaran tambahan bank sentral

Entitas yang disupervisi oleh ACP dibagi menjadi dua sektor yaitu :

1. Sektor perbankan, jasa pembayaran dan investasi, dimana anggotanya adalah lembaga

kredit, perusahaan investasi, lembaga pembayaran, dan bureaux de change.

2. Sektor asuransi, dimana anggotanya adalah perusahaan asuransi dan reasuransi, asuransi

mutual, dan provident institution.

ACP ini nantinya akan dipimpin oleh Gubernur Bank Sentral Perancis atau Deputi Gubernur

yang ditunjuk dan terdiri dari 16 anggota yaitu :

Page 63: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

57  

- Chairman

- Vice Chairman dengan pengalaman pada bidang perasuransian dan dua anggota

lainnya. Ketiganya ditunjuk berdasarkan kompetensinya dalam perlindungan konsumen

atau kompetensinya pada bidang lain yang terkait dengan misi ACP.

- Perwakilan dari tiga pengadilan tinggi

- Chairman dari Accounting Standards Board ; dan

- Delapan anggota yang dipilih berdasarkan keahliannya dalam bidang perbankan dab

asuransi (masing-masing empat dari tiap bidang)

Sekretaris Jenderal ACP akan ditunjuk oleh Menteri Ekonomi berdasarkan nominasi yang

diajukan oleh Chairman. Sekretaris Jenderal ini bertanggung jawab terhadap organisasi dan

pengelolaan departemen-departemen dalam otoritas. Chairman memiliki kekuasaan penuh

untuk menunjuk anggota staf.

Model struktur ACP ini sebenarnya agak mirip dengan struktur pengawasan twin peaks,

namun bedanya pada ACP lembaga pengawas keuangan dan lembaga perlindungan

konsumen dilebur menjadi satu pada satu lembaga otoritas yang berada di bawah Bank

Sentral. Model ini dapat mengatasi kekurangan pada struktur twin peaks yaitu adanya potensi

miskoordinasi antara lembaga pengawas regulasi (sistemik) dengan laku bisnis terutama saat

krisis karena berada dalam satu lembaga sementara dalam twin peaks terdapat dua lembaga

yang berdiri sendiri.

Apabila Indonesia mengadopsi sistem ini maka akan terbentuk suatu otoritas yang berada di

bawah Bank Indonesia dan dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia. Otoritas ini merupakan

gabungan antara lembaga pengawas perbankan dalam hal ini Bank Indonesia dan Bapepam-

LK yang merupakan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Otoritas ini

juga nantinya tidak memiliki kekuatan untuk membuat kontrak atau perjanjian, dimana

pembuatan kontrak atau perjanjian harus melalui Bank Indonesia.

4.6.2.Pengalaman Negara Inggris Pemerintah Koalisi “ Konservatif dan Liberal Demokrat” mengumumkan pelaksanaan

reformasi arsitektur sistem keuangan dengan langkah pertama pembubaran Financial Service

Authority (FSA). Dengan dibubarkannya FSA maka Bank of England (BOE) akan menjadi

pelaksana Macro-prudential supervision dan oversight micro prudential dengan dibentuknya

tiga lembaga baru, satu komite dan komisi, sebagai berikut :

Page 64: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

58  

1. Satu lembaga baru “ Prudential Regulatory Auhority” yang akan menangani

Macro prudential Supervision dan Oversight Micro Prudential Supervision

yang akan menjadi anak perusahaan dari BOE

2. Dua lembaga baru yang terpisah dari BOE, yaitu (1) Economic Crime Agency

yang menangani masalah kriminal di bidang ekonomi dan (2) Consumer

Protection termasuk melakukan penyidikan terhadap indikasi kejahatan.

Consumer Protection and market authority yang bertanggung jawab dalam

melakukan :

a. Perlindungan investor

b. Pengawasan dan regulasi terhadap pasar

c. Melakukan pengawasan terhadap perilaku (business conduct) terhadap

usaha bank dan jasa keuangan

3. Komite “ Financial Policy Committee” (FPC) yang bertanggung jawab untuk

memonitor secara menyeluruh isu keuangan dan makro ekonomi yang

mengancam stabilitas keuangan dan mengidentifikasi risiko yang timbul. FPC

nantinya akan dipimpin oleh Gubernur BOE yang dibantu oleh anggota

independen

4. Banking Commision bertanggung jawab dalam menyusun kajian mengenai

upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko sistematik dalam sistem

perbankan dan menyusun kajian mengenai upaya yang perlu dilakukan untuk

memisahkan ritel dan investment banking.

Secara khusus, Banking Commision diberikan tugas dan tanggung jawab untuk

memformulasikan rekomendasi kebijakan terkait hal-hal sebagai berikut :

a) Mengurangi risiko sistemik dalam sektor perbankan dan

mengidentifikasi risiko yang dimiliki bank dalam besaran, skala dan

fungsi yang berbeda

b) Memitigasi penyalahgunaan dalam sistem perbankan

c) Mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan maupun dampak yang

ditimbulkan dari kegagalan usaha di bidang perbankan

d) Mendorong kompetisi baik dalam kegiatan ritel maupun investasi dan

memastikan kebutuhan nasabah bank dapat dilayani secara efisien serta

Page 65: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

59  

memastikan bahwa pengembangan bank tetap dapat mendapatkan

competitive advantage walaupun tanpa persepsi too big too fail

Rekomendasi yang akan dibuat oleh komisi mencakup :

a) Tindakan struktural untuk mereformasi sistem perbankan dan

mempromosikan stabilitas dan kompetisi termasuk isu kompleks

yang tekait pemisahaan fungsi perbankan dan ritel

b) Langkah non-struktural untuk mendorong stabilitas dan kompetisi

perbankan agar lebih bermanfaat bagi nasabah dan dunia usaha

Komisi juga bertanggung jawab untuk memperhatikan tujuan

pemerintah dengan menciptakan stabilitas sistem keuangan dan sektor

perbankan yang lebih efisien, terbuka dan kuat.

4.6.3.Pengalaman Negara Korea Selatan Struktur pengawasan yang digunakan oleh Korea Selatan sedikit mengalami perubahan pada

tahun 2008 namun tetap pada bentuk pengawasan terintegrasi yang diterapkan sejak tahun

1999 (Gambar 4.7).

Gambar 4.7 Struktur Pengawasan Korea Selatan

Sumber : Group thirty (2009)

Sebelum tahun 2008 sistem pengawasan terintegrasi dibawah Financial Supervisory

Commisions (FSC) dan Ministry of Finance & Economy. FSC bertanggung jawab terhadap

MOFE FSC 

SFC 

FSS 

All Financial Institutions 

Page 66: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

60  

perdana menteri dan independen dari menteri keuangan. FSC membawahi Securities and

Futures Commision (SFC) dan Financial Supervisory Services (FSS) yang kemudian

membawahi seluruh lembaga keuangan. Namun pada Maret 2008 posisi chairman FSC dan

Gubernur FSS dipisahkan untuk meningkatkan efisiensi dan untuk membedakan secara jelas

antara pembuatan kebijakan dengan pengawasan pasar keuangan. FSC juga berubah dari

Financial Supervisory Commision menjadi Financial Services Commision.

FSC dibentuk dengan tujuan untuk melindungi integrasi pasar keuangan Korea dengan

meningkatkan kesehatan sistem kredit dan praktek bisnis yang jujur. FSC bertindak sebagai

badan penghasil kebijakan terkonsolidasi yang terkait permasalahan pengawasan industri

keuangan secara keseluruhan. FSC terdiri dari sembilan komisioner yang terdiri dari

Chairman, Vice Chairman, Vice Minister of Strategy and Finance, Deputy Governor of the

Bank of Korea, President of the Korea Deposit Insurance Corporation, Governor of the

Financial Supervisory Service, dua orang yang direkomendasikan oleh Chairman dari FSC,

dan satu orang dari Chairman of the Korea Chamber of Commerce and Industry. Chairman,

ditunjuk oleh Presiden Korea, melalui rapat FSC. Fungsi-fungsi utama dari FSC adalah :

• Melakukan pembahasan dan resolusi dari isu-isu keuangan yang penting. Isu-isu

mengenai kemajuan dalam industri keuangan, stabilitas pasar keuangan, dan

mempromosikan sistem kredit yang sehat dan praktik bisnis yang jujur.

• Mengarahkan dan mensupervisi Financial Supervisory Services (FSS) terkait dengan

pasal-pasal penyatuan dan persetujuan anggaran dan laporan keuangan.

SFC merupakan sebuah badan dalam FSC yang diketuai oleh Vice Chairman FSC. FSC

terdiri dari lima komisioner, yaitu Vice Chairman, satu standing commissioner dan tiga non-

standing commissioners, ditunjuk berdasarkan rekomendasi dari FSC Chairman. Tugas

pokok SFC adalah sebagai berikut :

• Melakukan investigasi terhadap perdagangan yang curang

• Standar akuntansi dan review audit

• Menyelesaikan permasalahan yang didelegasikan oleh FSC untuk manajemen,

pemantauan, dan supervisi pasar modal dan bursa berjangka.

• Menyelesaikan permasalahan yang didelegasikan pada SFC terkait dengan hukum dan

perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, FSS sendiri dibentuk pada 2 Januari 1999 yang merupakan gabungan dari

Banking Supervisory Authority, Securities Supervisory Board, Insurance Supervisory Board,

Page 67: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

61  

and Non-bank Supervisory Authority. Tugas pokok FSS adalah menguji dan mensupervisi

dari lembaga keuangan namun tidak boleh diluar fungsi yang ditetapkan oleh FSC dan SFC.

FSS dipimpin oleh Gubernur dan memiliki 25 departemen dan 16 kantor yang dibagi menjadi

sembilan divisi utama yaitu : (1) strategic planning, (2) management support and consumer

protection, (3) supervisory service coordination, (4) banking service, (5) nonbanking service,

(6) insurance service, (7) financial investment service, (8) capital market investigation, and

(9) accounting service. Internal Audit Office bertanggung jawab untuk audit internal FSS.

4.6.4.Pengalaman Negara Jepang  

Untuk menjaga stabilitas sistem keuangannya, Pemerintah Jepang membentuk suatu lembaga

yang disebut Financial Services Agency (FSA) pada tahun 1998 (Gambar 4.8). FSA

bertanggung jawab mengawasi dan mengatur perbankan, pasar modal, dan asuransi. FSA

merupakan sebuah lembaga yang independen oleh seorang komisioner dan bertanggung

jawab pada Menteri Keuangan. Berikut adalah struktur organisasi FSA

Page 68: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

62  

Gambar 4.8. Struktur Organisasi FSA di Jepang

Sumber : diolah dari Financial Services Agency Japan (2010)

Minister of Financial 

Senior Vice Minister  Parliamentary Secretary 

Financial Services Agency 

Commissioner 

Securities and Exchange 

Surveillance Commission 

Certified Public Accountants and Auditing Oversight Board 

Administrative Law Judge 

Planning and Coordination Bureau 

Inspection Bureau 

Supervisory Bureau 

Inspection Coordination Division 

Evaluation Division 

Inspection Administrator 

General Coordination Division 

Office of International Affairs 

Policy and Legal Division 

Planning Division 

Financial Markets Division 

Corporate Accounting and Disclosure Division 

Supervisory Coordination Division 

Bank Division I 

Bank Division II 

Insurance Business Division 

Securities Business Division 

Chairperson 

Commissioner  (2) 

Executive Bureau 

General Coordination Division 

Office of International Affairs 

Policy and Legal Division 

Planning Division 

Financial Markets Division 

Corporate Accounting and Disclosure Division 

• Vice Commissioner for Policy Coordination 

• Vice Commissioner for International Affairs 

• Deputy Commissioner for International Affairs 

• Deputy Secretary‐General of The Executive Bureau (2) 

Chairperson 

Commissioner  (9) 

Executive Bureau 

Office of Coordination and Examination 

Office of Monitoring and Inspection 

Page 69: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

63  

Komisioner membawahi administrative law judge dan tiga biro. Biro-biro tersebut adalah

Planning and Coordination Bureau, Inspection Bureau, dan Supervisory Bureau. Planning

and Coordination Bureau bertugas melakukan koordinasi kebijakan, mengatur hubungan

internasional, membuat perencanaan terkait permasalahan legal, pasar keuangan, dan

corporate accounting and dislosure. Sementara Inspection Bureau bertugas melakukan

inspeksi dan evaluasi. Sedangkan Supervisory Bureau membawahi Supervisory Coordination

Division, Bank division I & II, Insurance Business Division, dan Securities Business

Division.

FSA juga membawahi Securities and Exchange Surveillance Commission dan Certified

Public Accountants and Auditing Oversight Board. Securities and Exchange Surveillance

Commission dipimpin oleh seorang chairperson, dua orang komisioner dan biro eksekutif

yang membawahi coordination division, market survellaince division, inspection division,

inspection administrator, civil penalties investigation and disclosure documents inspection

division, dan investigation division. Sementara Certified Public Accountants and Auditing

Oversight Board juga dipimpin oleh seorang chairperson, sembilan orang komisioner dan

sebuah biro eksekutif yang membawahi office of coordination and examination dan office of

monitoring and inspection.

Struktur pengawasan tunggal yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang dengan membentuk

FSA terbukti cukup berhasil dalam melakukan tugasnya untuk menjaga stabilitas sistem

keuangan. Salah satu faktor pendukung yang memegang peranan kunci dalam keberhasilan

FSA ini adalah adanya koordinasi yang kuat, baik antar lembaga di bawah FSA maupun

dengan lembaga lain diluar FSA seperti lembaga penjamin simpanan Jepang atau Deposit

Insurance Corporation Japan (DICJ). Koordinasi ini sangat diperlukan terutama saat

terjadinya krisis keuangan (Gambar 4.9).

Page 70: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

64  

Gambar 4.9. Skema Penanganan Krisis di Jepang

Sumber : diolah dari Deposit Insurance Corporation Jepang (2010)

 

Aset  suitable  to  be  held by  Banks  under  Special Crisis Management 

Banks  FSA 

Reporting in case of liabilities exceeding asets according to Art 74 of Deposit 

Shares A meeting of the Financial System Management 

Deposit Insurance Coorporation Japan (DICJ) acquires all shares on the occasion of the public notice of decision on 

commencement of 

 

 

DICJ 

RCC 

Negotiation consignment 

(Additional Art 10) 

Banks Under Special Crisis Management 

Officials:  Newly  assigned  (executive director, executive officer, auditor) 

Shareholders: Former shareholders                   DICJ 

 

• Reporting the situations about operations and possessions 

• Forming plans for restoring sound 

 Pursuit of the failed liability (criminal or civil) 

Assignment according to designation by the Prime Minister, (Art 114, Clause 1) 

Unsuitable aset to be held by  Banks  under  Special Crisis Management 

Aset Purchase (Art 129) 

 Banks 

Financial Assistance  (Art 59 and Art 118,  “Special  Rules  on  Financial Assistance  to  Banks  under  Special Crisis Management.”) 

End of Special Crisis Management (Art 

Merger Business Transfer Share  Transfer,  

Decision on Commencement of Special Crisis Management (Art. 102, Clause 1‐3, Art 102, Clause 3, and Art 111) 

Page 71: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

65  

4.6.5.Pengalaman Negara Jerman

Jerman awalnya menetapkan Bundesbank sebagai badan pengawas perbankannya. Walaupun

tugas dan fungsi bank sentral tidak spesifik pada pengawasan perbankan, namun tindakan

terkait kebijakan moneter dan prudential supervisory seringkali saling melengkapi satu sama

lain dalam sektor keuangan. Hal ini terutama berlaku sejak pembuatan keputusan dan

kebijakan moneter diserahkan pada Eurosystem sejak 1 Januari 1999.

Gambar 4.10 Struktur Pengawasan Jerman

Sumber : Group of Thirty (2009)

Banking Act of 1961 menugaskan Federal Banking Supervisory Office untuk bertanggung

jawab dalam mensupervisi lembaga pemberi kredit dan lembaga keuangan lainnya. Lembaga

ini merupakan otoritas independen yang bertanggung jawab pada Federal Minister of

Economics (sejak akhir 1972 kepada Federal Minister of Finance) dan memulai kegiatannya

pada 1 January 1962. Dengan adanya peraturan terkait dengan pengawasan terintegrasi pada

1 Mei 2002, Federal Banking Supervisory Office, Federal Supervisory Office for Insurance

Enterprises dan Federal Supervisory Office for Securities Trading digabungkan dan

membentuk German Federal Financial Supervisory Authority (Bundesanstalt für

Finanzdienstleistungsaufsicht atau BaFin).

Federal Level 

State Level 

Ministry of Finance  European Union (EU) 

Federal Financial Supervisory Authority (BaFin) 

Deutsche Bundesbank 

Administrative Council 

Advisory Council 

Bundeslander Supervise Stock Exchanges 

Banking 

Securities 

Insurance 

Cross Sector 

Banking 

Catatan: Garis putus menandakan koordinasi (kerjasama) antara dua lembaga 

Page 72: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

66  

BaFin memiliki beberapa fungsi pokok yaitu solvency supervision, market supervision dan

investor protection. Dalam melakukan tugasnya dalam solvency supervision, BaFin

bertanggung jawab untuk memastikan bahwa lembaga kredit, perusahaan asuransi dan

penyedia jasa keuangan dapat memenuhi kewajiban pembayarannya setiap waktu. Sementara

melalui market supervision BaFin selalu meningkatkan penyelenggaraan praktek

perdagangan yang sehat dan transparan. Selain dua fungsi itu BaFin juga bertanggung jawab

untuk melakukan proteksi terhadap konsumen. Tugas memberikan perlindungan konsumen

ini dilakukan dengan membuka helpline dimana konsumen dapat memberikan pengaduannya.

Khusus untuk pengawasan perbankan, BaFin membagi tugasnya dengan Bank Sentral Jerman

yaitu Deutsche Bundesbank. Kerjasama dua lembaga ini diatur dalam Section 7 of the

Banking Act, yang menetapkan bahwa Bundesbank sebagai bagian dari proses pengawasan,

menganalisis laporan yang disampaikan oleh bank secara reguler untuk menilai apakah bank

tersebut memiliki kecukupan modal dan apakah prosedur manajemen risikonya sudah

memenuhi standar. Laporan evaluasi perbankan ini diserahkan pada BaFin. Bundesbank

jugalah yang menetapkan peraturan-peraturan umum seperti prinsip-prinsip dan peraturan

perbankan terkait. Sementara BaFin nantinya akan mengevaluasi kembali laporan yang

diberikan Bundesbank dan menetapkan apakah suatu bank sudah dikatakan dapat memenuhi

standar ketentuan minimum permodalan dan standar manajemen risikonya. BaFin memiliki

kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait sektor perbankan dan jasa keuangan

yang melangggar ketentuan dan laku bisnis yang dapat membahayakan perekonomian secara

keseluruhan. BaFin jugalah yang memiliki wewenang untuk menentukan prosedur dan skema

proteksi simpanan. Pemisahan tugas antara BaFin dan Bundesbank diatur dalam sebuah

Memorandum of Understanding. BaFin bekerjasama dengan BundesBank mengeluarkan

sebuah panduan pengawasan yaitu "Guideline on the execution and quality assurance of the

ongoing supervision of credit and financial services institutions by the Deutsche

Bundesbank."

4.6.6.Pengalaman Negara Finlandia

Dalam melakukan pengawasan industri keuangan, Finlandia menganut sistem pengawasan

terintegrasi di bawah Finanssivalvonta (Fiva) atau Financial Supervisory Authority (FIN-

FSA). FIN-FSA merupakan otoritas yang mengawasi jasa keuangan dan asuransi yang

dibentuk pada 1 Januari 2009. Lembaga ini mengambil alih tugas supervisi yang sebelumnya

dilakukan oleh Financial Supervision Authority dan Insurance Supervisory Authority.

Page 73: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

67  

Operasional FIN-FSA dibiayai 95% nya oleh lembaga keuangan yang disupervisi dan sisanya

dibiayai oleh Bank of Finland.

Penggabungan antara Financial Supervision Authority dan Insurance Supervisory Authority

dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan utilisasi dari keahlian dan sumber daya dalam

melakukan pengawasan sektor keuangan dan asuransi. Hal ini sangat diperlukan seiring

dengan meningkatnya kompleksitas risiko dan peraturan yang ada. Secara administratif FIN-

FSA beroperasi dengan koneksi dengan Bank of Finland, namun segala keputusan terkait

pengawasan bersifat independen.

Tujuan dari didirikannya FIN-FSA adalah untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dengan

menjaga keseimbangan operasional lembaga pemberi kredit, asuransi, perusahaan dana

pensiun, dan lembaga lain yang disupervisi. FIN-FSA juga didirikan untuk melindungi hak

pemegang polis asuransi dan mengembangkan kepercayaan publik terhadap aktivitas pasar

keuangan. Selain itu, FIN-FSA bertugas untuk mempromosikan aspek kepatuhan pada pasar

keuangan dan menyebarluaskan pengetahuan umum terkait dnegan pasar keuangan.

Kewenangan FIN-FSA diatur dalam Act on the Financial Supervisory Authority.

Kewenangan ini termasuk hak untuk melakukan inspeksi pada lembaga yang diawasi untuk

mengumpulkan dokumen dan catatan lain yang diperlukan dalam melakukan pengawasan.

FIN-FSA juga berhak mengadakan sidang dengan manajemen lembaga yang disupervisi

dengan kewenangan untuk mengambil keputusan dan kewenangan administratif dalam rapat

tersebut.

FIN-FSA dapat menggunakan penasehat ahli dari luar sebagai penasihat dalam melakukan

tugas pengawasannya. Selain itu FIN-FSA juga dapat menunjuk penasehat hukum yang akan

membantu apabila terdapat ketidakcakapan, pengabaian, atau penyalahgunaan manajemen

yang dilakukan oleh lembaga yang disupervisi. Jika lembaga yang disupervisi terlikuidasi

atau menyatakan bangkrut, FIN-FSA dapat menunjuk penasehat hukum untuk mengawasi

likuidasi aset. Wewenang FIN-FSA juga termasuk mengenakan sanksi administratif,

termasuk teguran dan peringatan terhadap publik. Pada keadaan tertentu, FIN-FSA hingga

lima tahun dapat melarang seseorang menjadi anggota deputi board of directors, managing

director, deputy managing director atau anggota manajemen senior dari lembaga yang

disupervisi. FIN-FSA pada kondisi tertentu juga dapat menarik hak yang diberikan pada

Page 74: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

68  

lembaga yang disupervisi atau melarang lembaga yang disupervisi melakukan kegiatan bisnis

tertentu. Berikut adalah struktur organisasi FIN-FSA.

Gambar 4.11 Struktur Pengawasan Finlandia

Sumber : Taylor and Fleming (1999)

Parliamentary Supervisory Council 

FIN‐FSA Board  Internal Audit 

Director General 

Institutional Supervision 

Administration Unit 

General Secretariat 

Communications 

Prudential Supervision 

Market Supervision  Conduct of Business 

Supervision 

Divisions 

 

• Groups • Financial Sector • Insurance Sector • Capital  Adequacy Calculations 

Divisions 

 

• Credit Risks • Market and Operational Risks 

• Underwriting Risks and Research 

• Financial Analysis • IT systems 

 

Divisions 

 

• Markets • Information Disclosure 

• Financial Reporting 

• Savings Instruments  and Services 

 

Divisions 

 

• Consumer Protection 

• Financial Services • Unemployment Insurance 

 

Financial Supervisory Authority Organization Chart 

Page 75: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

69  

Aktivitas FIN-FSA disupervisi oleh Parliamentary Supervisory Council. The Board of the

Financial Supervisory Authority menetapkan tujuan dari pengawas, menetukan prinsip-

prinsip operasional, dan panduan serta mengawasi pencapaian dari, serta kepatuhan terhadap

tujuan serta prinsip-prinsip ini.

Director General bertanggung jawab untuk mengelola aktivitas dari pengawas dan

melakukan pengambilan keputusan selain yang merupakan wewenang Board. Director

General dibentuk sebuah advisory management group, terdiri dari ketua departemen dan

karyawan yang ditunjuk langsung oleh Director General.

Bagan organisasi Financial Supervisory Authority terdiri dari empat departemen yaitu :

Institutional Supervision, Prudential Supervision, Market Supervision dan Conduct of

Business Supervision. Departemen ini dibagi menjadi 3-5 divisi. Seperti halnya departemen,

unit-unit ini juga melapor langsung pada Director General yaitu Administration, General

Secretariat dan Communication.

4.6.7.Pengalaman Negara Denmark

Lembaga pengawas jasa keuangan Denmark juga menganut sistem pengawasan terintegrasi

dibawah Finanstilsynet (otoritas lembaga keuangan di Denmark). Finanstilsynet memiliki

tugas utama untuk melakukan pengawasan terhadap lenbaga keuangan seperti bank, lembaga

kredit perumahan, pensiun, perusahaan asuransi dan lainnya. Aktivitas pengawasan yang

paling utama dilakukan adalah untuk memastikan lembaga yang disupervisi memiliki dana

yang cukup untuk menutupi risikonya (mengawasi kesanggupan pelunasan utang).

Finanstilsynet juga melakukan pengawasan terhadap pasar modal Denmark. Finanstilsynet

mengawasi perusahaan yang tercatat di bursa untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut

memenuhi kewajibannya untuk mempublikasikan pengetahuan internal dan informasi relevan

lainnya. Pengawasan dalam pasar modal termasuk juga pengawasan terhadap kecukupan

materi prospektus saat perusahaan melakukan IPO. Serta melakukan intervensi pada kondisi

tertentu seperti adanya insider dealing dan manipulasi harga.

Selain melakukan tugas pengawasan, Finanstilsynet membantu menyiapkan peraturan terkait

sektor keuangan dan juga mengumpulkan serta menyebarkan statistik sektor keuangan.

Finanstilsynet berfokus pada tiga area utama yaitu pengawasan, pengaturan, dan informasi.

Bagan berikut memperlihatkan struktur organisasi Finanstilsynet.

Page 76: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

70  

Gambar 4.12 Struktur Pengawasan Denmark

Sumber : Taylor and Fleming (1999)

Finanstilsynet berada di bawah Ministry of Economics and Business Affair. Selain

bertanggung jawab langsung kepada menteri ekonomi, manajemen eksekutif juga dibawahi

oleh The Financial Business Council, The Danish Securities Council, dan Money and

Pension Panel. Sesuai dengan fungsi utama Finanstilsynet maka manajemen eksekutif dibagi

The Minister 

Ministry of Economic and Business Affairs 

The Financial Business Council 

The Danish Securities Council 

Money and Pension Panel 

THE EXECUTIVE MANAGEMENT 

Supervision and Analysis  Administration Regulation 

Legal Division Computer 

Service Division 

Finance, Information, and 

Personnel 

Banking Analysis Division  Consumer Affairs and Financial Intermediaries 

Division 

Banking Division 1  Investment Management Companies and UCITS 

Division 

Banking Division 2  Life Insurance and Pension Division 

Bangking Division 3  Mortgage‐Credit Division 

Financial Reporting Division  Operational Risk Division 

General Insurance and Reassurance Division 

Securities Division 

Page 77: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

71  

menjadi tiga bagian. Bagian pertama bertanggung jawab terkait dengan peraturan dan hukum,

bagian kedua merupakan bagian yang menjalankan fungsi pengawasan dan analisis dan yang

ketiga bertanggung jawab terhadap hal-hal administratif.

4.6.8.Pengalaman Negara Kanada

OSFI merupakan lembaga yang memiliki struktur yang terintegrasi yang memiliki peran

utama dalam melaksanakan pengawasan seluruh bank di Kanada, lembaga keuangan nonbank

dan asuransi. Office of the Superintendent of Financial Institution (OSFI) memiliki tugas

untuk melaksanakan penilaian kondisi keuangan dan kinerja operasional lembaga-lembaga

yang diawasi, menelaah informasi yang didapatkan dari lembaga yang disupervisi,

melakukan koordinasi dengan lembaga lain untuk menjamin efektivitas pengawasan dengan

melakukan koordinasi reguler dengan lembaga yang tergabung dalam Financial Institutions

Supervisory Committee (FISC). OSFI memiliki enforcement powers termasuk didalamnya

adalah wewenang untuk melakukan intervensi terhadap lembaga lembaga keuangan yang

bermasalah. Dengan sistem yang saat ini dianut, terdapat kesenjangan dalam kerangka

pengaturan terkait dengan collective investment schemes seperti misalnya reksadana.

Sementara itu, Bank of Canada bertanggung jawab dalam melaksankan kebijakan moneter

dengan menentukan target suku bunga dan penyesuaian penawaran kredit. Bank of Canada

juga berperan dalam sistem pembayaran dengan menyediakan fungsi check-clearing dan

berperan sebagai lender of last resort.  

Pemerintah Kanada membentuk FISC sebagai lembaga yang mengkoordinasikan badan

badan yang bertugas dalam penyusunan peraturan dan pengawasan sektor keuangan. FISC

terdiri dari Department of Finance dari Ministry of Finance dan 4 independen lembaga:

OSFI; Bank of Canada; Canada Deposit Insurance Corporation (CDIC); dan Financial

Consumer Agency of Canada (FCAC).

Page 78: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

72  

Gambar 4.12 Struktur Pengawasan Kanada

 

Sumber : Jackson (2009)

4.6.9.Lesson Learned dari Negara Dengan Sistem Pengawasan tunggal Berdasarkan pengalaman Negara-negara yang sudah mengadopsi sistem pengawasan tunggal,

ada beberapa hal yang menjadi kunci sukses keberhasilan pelaksanaan sistem tersebut, yaitu :

1. Pengalaman negara-negara Skandinavia mengikuti prinsip "small country rationale"

dalam pembentukan struktur pengawasan sektor keuangan. Selain adanya

rasionalisasi akan ukuran dari suatu negara, maka tingkat kompleksitas produk

keuangan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembentukan struktur pengawasan

terintegrasi. Misalnya di Negara Norwegia, perkembangan bancaaassurance yang

cukup pesat mendorong pemerintah untuk mengadopsi struktur pengawasan yang

terintegrasi

Parlieament of Canada 

Minister of Finance 

Department of Finance 

Bank of Canada Office of the Superintendent of 

Financial Institutions 

Canada Deposit Insurance 

Corporation 

Financial Consumer Agency of Canada 

Financial Institutions Supervisory Committee 

Agensi independen 

Koordinasi langsung 

Page 79: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

73  

2. Pengalaman negara-negara di Skandinavia yang menganut sistem pengawasan tunggal

(dimulai oleh Norwegia pada tahun 1988 kemudian diikuti oleh negara-negara

lainnya) memperlihatkan bahwa tidak ada struktur pengawasan yang menghilangkan

pengawasan perbankan dari bank sentral dengan pertimbangan bahwa bank sentral

memiliki keahlian dalam mengawasi sektor perbankan.

3. Dalam proses transisi dari struktur pengawasan yang terspesialisasi ke struktur

pengawasan terintegrasi dipastikan akan adanya kaji ulang peraturan tetapi tidak

dengan perubahan radikal terhadap peraturan yang ada yang akan menimbulkan risiko

transisi yang besar, sebagaimanayang dicontohkan oleh Norwegia.

4. Proses transisi juga terkit dengan dua isu utama, yaitu alokasi sumber daya dan

perubahan budaya. Ketentuan sumber daya manusia yang meliputi status, remunerasi

dan keahlian yang harus dimiliki oleh pegawai dalam lembaga tunggal tersebut.

5. Adanya MoU yang tegas mengatur peranan tiap regulator dalam situasi krisis

sehingga tidak adanya saling menyalahkan peran sebagaimana yang terjadi di Britania

Raya.

Page 80: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

74  

Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia

5.1.Pendahuluan

Perkembangan sektor keuangan di Indonesia, baik lembaga keuangan bank dan nonbank,

sangatlah pesat. Hal ini mengindikasikan meningkatnya keterkaitan dan transaksi satu

lembaga keuangan dengan lainnya. Pengawasan lembaga keuangan yang longgar atau

terpisah dapat menimbulkan penyalahgunaan yang berakibat fatal terhadap kesehatan

lembaga keuangan tersebut. Sebagai contoh, seorang nasabah dapat mengajukan permohonan

kredit ke bank dan pada saat yang sama mengajukan kredit ke koperasi (Gambar 5.1).

Tindakan tersebut dimungkinkan karena bank dan koperasi diawasi oleh lembaga berbeda

yaitu BI dan Bapepam-LK. Dualisme pengawasan tersebut diperburuk dengan tidak adanya

koordinasi data antara BI dan Bapepam-LK.

Pembentukan sistem pengawasan merupakan salah satu solusi dari permasalahan di atas.

Penyatuan lembaga pengawas dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang ada dari

dualisme pengawasan. Lebih dari itu, aliran informasi menjadi terpusat sehingga pemantauan

lembaga keuangan yang menyeluruh dapat tercapai.

5.2.Kompleksitas Sistem Pengawasan di Indonesia Perkembangan lembaga keuangan di Indonesia sangat pesat, namun demikian sistem

pengawasan belumlah efektif untuk semua jenis lembaga keuangan. Lembaga keuangan

perbankan cenderung diawasi secara ketat dan sistem yang terbangun termasuk mapan

(established). Namun demikian pengawasan lembaga keuangan lain seperti koperasi

misalnya, relatif masih longgar.

Perbedaan sistem pengawasan dan kurangnya koordinasi antar lembaga pengawas,

menyebabkan suburnya penyalahgunaan di sektor keuangan. Gambar 5.1 menunjukkan

bagaimana nasabah seringkali melakukan penyalahgunaan untuk mendapatkan jumlah kredit

yang melebihi batas kemampuan mereka untuk membayar.

Page 81: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

75  

Gambar 5.1. Ilustrasi Potensi Penyalahgunaan dari Dualisme Pengawasan Sektor Keuangan

Hingga saat ini tidak ada sistem data sharing maupun data interfacing untuk mendeteksi

nasabah yang meminjam uang di bank dan pada saat yang bersamaan meminjam uang di

koperasi. Jika total pinjaman di kedua lembaga keuangan tersebut masih dalam batas aman

bagi rumah tangga untuk membayar cicilan hutang dan bunganya, maka hal ini tentunya tidak

akan bermasalah. Permasalahan biasanya timbul ketika nasabah cenderung impulsif dan

mengajukan kredit kepada bank dan koperasi dengan jumlah yang melebihi kemampuan

mereka untuk melunasinya. Jika praktik ini terjadi secara meluas, maka dampaknya tidaklah

berbeda dengan sub-prime mortgage dengan ninja lender-nya.

Kasus Antaboga adalah contoh lain munculnya permasalahan akibat tidak adanya data

sharing, data interfacing dan bahkan koordinasi antara Bank Indonesia dan Bapepam-LK.

Jika saja terdapat sistem informasi dan koordinasi antar lembaga pengawas yang efektif,

maka kasus Antaboga sebenarnya tidak perlu terjadi.

Struktur sektor keuangan di Indonesia lebih didominasi oleh sektor perbankan. Sektor

tersebut memiliki lebih dari 1.900 perusahaan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia

(Gambar 5.2). Luasnya lingkup sektor keuangan merupakan catatan khusus dalam

pembentukan sistem pengawasan. Selain biaya pengawasan yang besar, waktu yang

dibutuhkan relatif lama untuk sistem pengawasan dapat mapan dalam mengawasi bank, baik

sumberdaya manusia maupun teknologi.

 Nasabah 

mengajukan kredit 

Bank 

Koperasi 

BI 

Bapepam‐LK 

Tidak ada koordinasi dan aliran informasi antara lembaga pengawas:  fungsi pengawasan 

berkurang 

Pengawasan oleh dua lembaga 

berbeda 

Potensi Penyalahgunaan 

Page 82: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

76  

Gambar 5.2. Jumlah Bank di Indonesia, 2010

Sumber: BI (2010a)

Sektor perbankan harus diawasi setiap saat karena perannya yang sentral dalam sektor

keuangan. Kegagalan yang terjadi pada satu bank dapat berdampak buruk bagi sektor

keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut diminimalisasi dengan pemantauan secara terus

menerus oleh lembaga yang berwenang. Saat ini, pengawasan perbankan dilakukan oleh BI

pusat dan KBI di masing-masing daerah. Pengawasan tersebut meliputi pengawasan on- dan

off-site. Gambar 5.3 menjelaskan skema pengawasan bank oleh BI. Apabila ditinjau lebih

dalam, kompleksitas pengawasan sangat tinggi karena jumlah bank beserta cabangnya yang

besar dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Bank Umum (122) 

Bank Pemerintah (4) 

Bank Swasta (118) 

Bank Pemerintah Unit Usaha Syariah 

(2) 

Bank Pembangunan Daerah (26) 

Bank Umum Swasta (83) 

Bank Umum Swasta Syariah (9) 

BPD Unit Usaha Syariah (14) 

Bank Umum Swasta Unit Usaha Syariah 

(10) 

Bank Pembiayaan Rakyat (1855) 

Bank Pembiayaan Rakyat (1712) 

BPR Syariah  (143) 

Page 83: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

77  

Gambar 5.3 Skema Pengawasan Bank oleh BI

Jumlah bank dan kantor yang ditunjukkan pada Tabel 5.1 diawasi oleh 1.437 staf pengawas:

871 staf di pusat dan 566 staf di KBI daerah (BI, 2010f). Staf pengawas di BI pusat dan KBI

wajib melakukan pengawasan on-site minimal satu kali dalam setahun: (1) bank umum

beserta sampel kantor cabang; (2) BPR. Jika diasumsikan satu bank memiliki minimal satu

cabang, staf pengawas minimal harus mengawasi 244 kantor bank umum (kantor pusat dan

sampel kantor cabang), 68 kantor bank syariah (pusat dan sampel cabang), serta 1.712 kantor

BPR. Jumlah bank yang harus diawasi dalam satu tahun mencapai 2.024 bank, artinya rasio

staf pengawas dan jumlah bank adalah 1:1,4. Patut dicatat bahwa pengawasan bank kategori

besar, aset lebih dari Rp10 triliun, meliputi 7 kantor cabang.

Selain itu, pengawasan terhadap bank minimal dilakukan dalam waktu 4-6 hari, dengan

catatan bank tersebut dalam keadaan normal. Apabila bank yang diawasi bermasalah, lama

pengawasan akan bertambah. Fakta tersebut mengindikasikan kompleksitas dan besarnya

biaya pengawasan perbankan. Oleh karena itu, usulan pembentukan sistem pengawasan perlu

mengkaji kompleksitas tersebut untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh.

 BI PUSAT 

 BI KANTOR CABANG 

DAERAH 

Pengawasan on‐site setiap bank 

konvensional, syariah, dan BPR 

Pengawasan on‐site sampel bank cabang di daerah 

(kewajiban satu kali dalam satu tahun) 

Pengawasan on‐site bank BPR di daerah dan bank yang berkantor 

pusat di daerah tersebut (kewajiban satu kali dalam satu tahun) 

Pengawasan Off‐site: Dilakukan secara berkala 

Page 84: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

78  

Tabel 5.1. Jumlah Bank dan Kantor menurut Jenis Bank

Kelompok Bank 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Des Des Des Des Des Jan Feb Mar Apr

JUMLAH BANK Bank Umum Konvensional Bank Persero 5 5 5 5 4 4 4 4 4 BUSN Devisa 34 35 35 32 34 35 35 35 35 BUSN Non Devisa 37 36 36 36 31 30 30 30 31 BPD 26 26 26 26 26 26 26 26 26 Bank Campuran 18 17 17 15 16 16 16 16 16 Bank Asing 11 11 11 10 10 10 10 10 10 Total Bank Umum (A) 131 130 130 124 121 121 121 121 122 Bank Syariah Total Bank Syariah (B) 22 23 29 32 30 31 32 33 34 Bank Perkreditan Rakyat Total Bank Perkreditan Rakyat (C) 2.009 1.880 1.817 1.772 1.733 1.735 1.718 1.718 1.712 Total Bank (A+B+C) 2.162 2.033 1.976 1.928 1.884 1.887 1.871 1.872 1.868 Kenaikan (%) -6,0 -2,8 -2,4 -2,3 0,2 -0,8 0,1 -0,2 JUMLAH KANTOR Bank Umum Konvensional Bank Persero 2.171 2.548 2.765 3.134 3.854 3.881 3.884 3.884 3.887 BUSN Devisa 4.113 4.395 4.694 5.196 6.181 6.187 6.214 6.234 6.240 BUSN Non Devisa 709 759 778 875 976 969 978 978 979 BPD 1.107 1.217 1.205 1.310 1.358 1.365 1.369 1.369 1.369 Bank Campuran 64 77 96 168 238 238 239 238 239 Bank Asing 72 114 142 185 230 230 230 230 230 Total Kantor Bank Umum (X) 8.236 9.110 9.680 10.868 12.837 12.870 12.914 12.933 12.944 Bank Syariah Total Kantor Bank Syariah (Y) 436 509 568 790 998 1.108 1.146 1.233 1.230 Bank Perkreditan Rakyat Total Kantor Bank Perkreditan Rakyat (Z) 3.110 3.173 3.250 3.367 3.644 3.663 3.671 3.718 3.750 Total Kantor Bank (X+Y+Z) 11.782 12.792 13.498 15.025 17.479 17.641 17.731 17.884 17.924 Kenaikan (%) 8,6 5,5 11,3 16,3 0,9 0,5 0,9 0,2

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2010e)

 

Page 85: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

79  

BOKS 5.1 Sistem Pengawasan Sektor Perbankan

Pengawasan sektor perbankan yang dilakukan Bank Indonesia bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang kompleks, memerlukan waktu dan biaya besar, dan membutuhkan ketelitian. Sistem pengawasan bank memerlukan “know how” yang tidak dapat dibangun dalam waktu 1-2 tahun. Penjelasan berikut memberikan gambaran mengenai sistem pengawasan perbankan di Indonesia.

Sektor perbankan yang diawasi BI meliputi bank umum konvensional, bank syariah, BPR, dan BPR syariah dan jumlahnya mencapai 1.868 pada tahun 2010. Pengawas yang didedikasikan untuk mengawasi sektor tersebut mencapai 1.437 staf. Pengawas secara umum melakukan dua tugas pengawasan yaitu off-site dan on-site. Selain itu, pengawas juga harus mengikuti program pelatihan & seminar dan ikut terlibat dalam pembahasan ketentuan & RUU.

Jika ditelaah lebih rinci, pengawasan off-site dilakukan setiap saat dan meliputi pengawasan laporan harian, mingguan, bulanan, kuartalan, semesteran, dan tahunan, laporan pelaksanaan good corporate governance, dan laporan pelaksanaan manajemen risiko. Pengawasan on-site menggunakan temuan dan rekomendasi pengawasan off-site dan dilakukan di kantor pusat dan sampel kantor cabang. Jumlah kantor cabang yang diawasi disesuaikan dengan size dari bank tersebut, sebagai contoh BI mengawasi tujuh kantor cabang dari bank dalam kategori besar (aset lebih besar dari Rp10 triliun).

Satu bank diawasi oleh satu tim yang jumlahnya bervariasi bergantung pada size dan keadaan bank tersebut. Bank kategori besar diawasi oleh 13 orang pengawas; bank kategori menengah (aset Rp1 triliun s.d. Rp10 triliun) diawasi oleh tujuh-delapan orang; bank kategori kecil (aset kurang dari Rp1 triliun) diawasi oleh lima-enam orang; BPR diawasi oleh dua-tiga orang. Pengawasan kantor pusat memerlukan 35 hari dalam satu tahun sedangkan pengawasan kantor cabang memerlukan waktu empat-enam hari. Jumlah pengawas dan periode pengawasan dapat meningkat apabila sebuah bank mengalami permasalahan khusus. Tim tersebut melakukan pengawasan off-site dan on-site suatu bank secara paralel dan bertanggun jawab penuh terhadapnya (dedicated team).

Pengawas menggunakan pendekatan berbasis kepatuhan dan risiko (dimulai tahun 2003) dalam pengawasan bank. Pengawasan dengan pendekatan berbasis risiko memerlukan waktu yang lebih panjang karena terdiri dari banyak kriteria. Tantangan utama yang dihadapi pengawas adalah sistem inti (core banking system) yang berbeda antara satu bank dengan lainnya. Artinya, BI menghadapi 121 sistem inti bank umum dan profil risiko yang berbeda, belum lagi sistem inti BPR yang jumlahnya ribuan. BI secara konsisten mengembangkan sistem informasi yang dimilikinya, seperti SIM-SPB, SID, dan SIMWAS BPR, untuk menjawab tantangan pengawasan yang kompleks.

BI melakukan investasi besar dalam pengembangan SDM melihat kompleksitas pengawasan perbankan yang terus berkembang. BI menciptakan tujuh jenjang pelatihan khusus pengawasan perbankan. Setiap staf pengawas memerlukan rerata 15 hari untuk menyelesaikan satu jenjang pelatihan. Selain itu, BI mengirimkan 30 orang staf setiap tahunnya untuk pelatihan pengawasan perbankan di luar negeri.

Page 86: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

80  

Sesuai dengan struktur organisasi OJK yang diusulkan dalam RUU OJK terdapat

beberapa hal yang perlu dicermati dan membutuhkan diskusi lebih dalam :

1. Dalam naskah akademik RUU OJK disebutkan bahwa tempat kedudukan OJK berada

di ibukota Negara Republik Indonesia dan mempunyai kantor-kantor di dalam dan di

luar wilayah Negara Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.

Apabila terdapat kantor-kantor untuk setiap provinsi atau kabupaten diperkirakan

akan membutuhkan dana yang sangat besar dan waktu yang lama dalam pendiriannya

Belajar dari pendirian KPK, diperlukan waktu minimal dua tahun untuk membentuk

KPK dan membuatnya berfungsi dengan baik. Perlu dicatat bahwa KPK hanya ada di

Jakarta. Pendirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di setiap provinsi

dan kabupaten adalah contoh lain yang perlu digunakan sebagai pelajaran.

Pembentukan BNPB di Pusat dan BPBD di masing-masing daerah membutuhkan

waktu lama. Sejak diamanatkan di UU Nomor 24/2007, hingga saat ini BPBD Tingkat

I telah terbentuk di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki

BPBD Tingkat I, meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan

Papua). Dari total 399 kabupaten se Indonesia, ternyata hanya 104 kabupaten saja

yang telah didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di

Indonesia didirikan BPBD.

2. Disebutkan dalam RUU OJK Pasal 5 bahwa terdapat tiga anggota Dewan Komisioner

merangkap Kepala Eksekutif memimpin masing-masing otoritas yang ditetapkan oleh

Presiden berdasarkan usulan Dewan Komisioner, melalui Menteri keuangan.

Kemudian disebukan pula dalam salah satu fungsi Dewan Komisioner adalah

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh

Kepala Eksekutif. Hal ini berarti bahwa tiga orang Dewan Komisioner yang juga

merangkap sebagai Kepala Eksekutif juga melakukan pengawasan terhadap dirinya

sendiri sebagai Kepala Eksekutif. Hal ini perlu dijelaskan kriteria independensi dan

pelaksanaan good governance karena adanya rangkap tugas dan fungsi.

3. Sesuai dengan struktur yang diusulkan dalam RUU OJK maka akan ada beberapa

pihak yang terlibat dalam pengawasan Bank (sebagaimana terlihat dalam garis merah

dalam Gambar 5.4), yaitu Bank Indonesia sendiri, anggota Dewan Komisioner yang

merupakan Ex Officio Dewan Gubernur BI, dan Anggota Dewan Komisioner yang

merangkap Kepala Eksekutif Pengawasan Bank. Dengan banyaknya pihak yang

Page 87: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

81  

mengawasi industri perbankan maka dikhawatirkan terjadi lempar tanggung jawab

(blame disbursement strategy dan pass the bucket) pada saat ada bank gagal atau

terjadi fraud yang dikarenakan lemahnya sistem pengawasan. Hal lain yang juga

harus diperhatikan adalah apabila ternyata kedepannya terjadi permasalahan

kegagalan bank maka siapakah pihak yang akan bertanggung jawab atas

permasalahan tersebut, apakah Bank Indonesia, atau OJK yaitu anggota Dewan

Komisioner yang merupakan Ex Officio Dewan Gubernur BI, atau Anggota Dewan

Komisioner yang merangkap Kepala Eksekutif Pengawasan Bank, atau ketiga-

tiganya, atau dapat juga BI dan OJK harus secara bersama-sama bertanggung jawab.

4. Dalam naskah akademik yang menunjang RUU OJK disebutkan juga : ”Untuk

mendukung kinerja dan pelaksanaan tugas dari masing-masing anggota Dewan

Komisioner serta pejabat, dan pegawai OJK, diatur mekanisme penetapan sistem

remunerasi dengan mempertimbangkan sistem penggajian yang berlaku pada

industri jasa keuangan dan regulator jasa keuangan, baik nasional maupun

internasional.” Perlu diperhatikan bahwa remunerasi dalam jasa keuangan sangat

variatif. Dalam skala nasional saja antara satu perusahaan dan perusahaan lain bisa

sangat jauh berbeda, apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan skala internasional

pasti akan lebih banyak lagi variasinya.

5. Dalam RUU OJK Pasal 48 ayat (1) Disebutkan bahwa ” Terhitung sejak tugas dan

wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), beralih pada Otoritas Jasa

Keuangan, status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan tugas

dan wewenang di bidang pengaturan dan pengawasan beralih seluruhnya atau

sebagian menjadi pegawai Otoritas Jasa Keuangan.” Pertanyaaan yang muncul

terkait dengan kata seluruhnya atau sebagian, apakah hal tersebut berarti bahwa

pegawai Bank Indonesia bisa memilih status apakah tetap menjadi pegawai Bank

Indonesia atau OJK. Apabila nantinya ditetapkan siapa saja yang harus berganti status

dari pegawai BI menjadi pegawai OJK, maka kriteria apa yang digunakan dalam

menetapkan tersebut. Selain itu, potensi benturan antara staf BI dan OJK adalah besar

pada saat masa transisi karena masing-masing lembaga memiliki tupoksi yang

berbeda

Page 88: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

82  

Gambar 5.4 Struktur OJK Berdasarkan RUU OJK Tahun 2010

 

             Fit & Proper Test    Menkeu/Presiden    DG/Menkeu                         Menkeu/Presiden  

 

 

BANK INDONESIA 

• Gubernur • Dewan Gubernur 

Senior (DGS) • DG 1 • DG 2 • DG 3 • DG 4 • DG 5 • DG 6 

STRUKTUR ORGANISASI OTORITAS JASA KEUANGAN 

Dewan Komisioner (DK) 

 Anggota 1: Ketua DK 

 Anggota 2 

Anggota 3: Ex‐officio pejabat eselon 1 

Kementrian Keuangan 

 Anggota 4: Ex‐

officio DG BI 

Anggota 5: Kepala Eksekutif Pengawas 

Bank 

Anggota 6: Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal 

Anggota 7: Kepala Eksekutif Pengawas IKNB 

Kepala Eksekutif Pengawas Bank 

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal 

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) 

  

BANK 

  

PASAR MODAL 

 INDUSTRI KEUANGAN NONBANK 

FUNGSI     PENGATURAN 

FUNGSI     PENGAWASAN 

Page 89: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

83  

Gambar 5.5 menjelaskan kompleksitas terhadap struktur OJK yang diusulkan dalam RUU

OJK. Struktur tersebut identik dengan struktur FSA di Britania Raya yang terbukti gagal

dalam melaksanakan fungsinya. Dalam struktur tersebut, masing-masing kepala eksekutif

bertugas untuk menjalankan fungsi pengawasan mikro sekaligus laku bisnis di sektor

perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB). Hal tersebut patut ditinjau

ulang melihat pengalaman FSA: FSA lebih fokus pada pengawasan laku bisnis dan

mengabaikan fungsi pengawasan mikro. Kegagalan pengawasan mikro cenderung berakibat

lebih buruk dibandingkan kegagalan pengawasan laku bisnis, misalnya fungsi pengawasan

mikro FSA gagal mengantisipasi jatuhnya Northern Rock yang menimbulkan goncangan

terhadap sistem keuangan dan kepercayaan nasabah keuangan di Britania Raya.

Struktur yang diusulkan RUU OJK juga sangat lemah karena belum menimbang

pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan waktu lama pembentukan OJK

daerah. Basis data lembaga keuangan di daerah sangat minim, khususnya lembaga keuangan

informal. Lingkup pengawasan yang sangat luas terutama dengan jumlah lembaga keuangan

informal yang cenderung sangat banyak dan seringkali tersebar hingga ke daerah-daerah

terpencil. Penjelasan biaya pengalihan pengawasan dari BI ke OJK dibahas lebih rinci di Bab

6.

Skema RUU OJK mengalihkan fungsi pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK.

Pengalihan ini memerlukan biaya yang sangat besar, mengingat SDM dan teknologi yang

dibutuhkan dalam pengawasan bank di seluruh Indonesia. Selain itu, peralihan memerlukan

waktu lama: penelitian di 14 negara menunjukkan waktu peralihan mencapai 0,7-2 tahun.

Penelitian tersebut dilakukan di negara maju, sedangkan Indonesia merupakan negara

berkembang dengan infrastruktur dan arus informasi minim serta fakta bahwa wilayah

Indonesia sangat luas dan terdiri dari banyak pulau-pulau.

Terkait dengan masalah perpindahan fungsi pengawasan tersebut, terdapat kecenderungan

menyederhanakan masalah dengan argumen bahwa proses perpindahan tersebut bisa

dilakukan dengan metoda ’bedhol desa’. Artinya semua pengawas beserta semua instrumen

yang dimiliki dipindahkan dari BI ke OJK. Proses ini tidaklah semudah yang dibayangkan.

’bedhol desa’ berarti OJK harus menyiapkan kantor beserta prasarana pendukungnya untuk

semua pengawas yang semula berkantor di BI. Jika saja hal ini hanya terbatas di Jakarta,

Page 90: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

84  

mungkin permasalahan relatif ringan, namun ketika hal yang sama terjadi di seluruh wilayah

Indonesia, maka kompleksitas ini perlu mendapat perhatian khusus.

Kompleksitas lain dari konsep ’bedhol desa’ tersebut adalah OJK harus membentuk berbagai

SOP untuk mengatur berbagai masalah keseharian yang mungkin timbul. Tentunya SOP dan

sistem kerja yang ada di BI tidak bisa dibawa seluruhnya ke OJK, karena akan ada interaksi

antara pengawas yang berasal dari BI dan pengawas yang semula dari Bapepam. Setiap

lembaga memiliki tradisi dan sistem kerja yang seringkali berbeda dan tentunya ketika kedua

hal tersebut berinteraksi, tentu diperlukan mekanisme untuk mengakomodasi keduanya.

Perbankan merupakan sektor keuangan terbesar di Indonesia (87%). Hal ini mengindikasikan

bahwa stabilitas keuangan Indonesia erat kaitannya dengan sektor perbankan. Saat ini,

stabilitas (fungsi pengawsasan makro) sektor keuangan dilakukan oleh BI. Apabila fungsi

pengawasan mikro perbankan dialihkan dari BI ke OJK, biaya koordinasi stabilitas akan

menjadi tinggi dan rentan terhadap miskoordinasi. Keadaan sektor keuangan yang didominasi

oleh perbankan membutuhkan fungsi stabilitas dan pengawasan mikro perbankan

dilaksanakan oleh satu lembaga agar optimum.

Struktur RUU OJK menawarkan kemanfaatan yaitu: (1) pencapaian economies of scope

pengawasan sektor keuangan; (2) mengurangi kecenderungan moral hazard dari produk

lintas lembaga; (3) penciptaan basis data (database) sektor keuangan yang terintegrasi.

Walaupun demikian, kompleksitas struktur tersebut memiliki biaya yang lebih besar

dibandingkan kemanfaatan yang diperoleh. Setiap kompleksitas yang timbul dari struktur

tersebut merupakan potensi besar penyebab sektor keuangan rentan terhadap kejutan

eksternal dan krisis apabila lembaga pengawas mengalami kegagalan sekecil apapun.

Page 91: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

85  

Gambar 5.5. Kompleksitas Terhadap Struktur yang Diusulkan RUU OJK

DEWAN KOMISIONER  

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan 

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar 

Modal 

Kepala Eksekutif Pengawas Industri 

Keuangan Nonbank (IKNB) 

Deputi (maks 5 Orang) 

Deputi (maks 5 Orang) 

Deputi (maks 5 Orang) 

Direktur Pelaksana 

Direktur Pelaksana 

Direktur Pelaksana 

Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis perbankan 

Fungsi pengawasan 

mikro dan laku bisnis pasar 

modal 

Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis 

industri keuangan nonbank (IKNB) 

Kompleksitas: 

‐ Setiap lini pengawas (perbankan, pasar modal, dan IKNB) menjalankan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis secara bersamaan. Sistem ini terbukti gagal di FSA Britania Raya karena suatu lini pengawas akan cenderung fokus pada satu fungsi pengawasan saja dan cenderung mengabaikan fungsi lainnya. FSA di Britania Raya cenderung fokus pada fungsi pengawasan laku bisnis dan mengabaikan fungsi pengawasan mikro. 

‐ Belum mencantumkan struktur OJK di daerah:  Biaya besar dan waktu lama dalam 

pembentukan OJK daerah   Lingkup pengawasan yang sangat luas 

untuk lembaga yang belum mapan: jumlah lembaga keuangan informal di daerah jumlahnya cenderung sangat banyak. 

Basis data sektor keuangan yang minim di daerah 

‐ Peralihan SDM pengawas perbankan dari BI berbiaya tinggi dan memerlukan waktu relatif lama 

‐ Biaya koordinasi tinggi apabila fungsi pengawasan makro dan mikro sektor perbankan (sektor keuangan terbesar) dilakukan oleh dua lembaga berbeda. 

Kemanfaatan: 

‐ Integrasi memungkinkan economies of scope pengawasan sektor keuangan. 

‐ Mengurangi kecenderungan penyalahgunaan yang timbul dari pelaku sektor keuangan karena diawasi oleh dua lembaga pengawas berbeda (Gambar 5.1). 

‐ Penciptaan basis data (database) sektor keuangan yang terintegrasi  

Page 92: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

86  

Peraturan di Indonesia seringkali terdiri dari undang-undang yang berlapis dan hal ini juga

terjadi di pengaturan pengawasan sektor keuangan. Gambar 5.6 menunjukkan undang-undang

yang mengatur pengawasan sektor keuangan: (1) UU OJK; (2) UU Perbankan; (3) UU Pasar

Modal; (4) UU Usaha Perasuransian; (5) UU Dana Pensiun; (6) UU terkait lainnya.

Banyaknya jumlah UU yang mengatur berpotensi menimbulkan tumpang-tindih peraturan

dan konflik. UU OJK disarankan menjadi cetak biru pengaturan sektor keuangan yang

memuat peraturan komprehensif mengenai sektor keuangan.

Gambar 5.6. Undang-Undang yang Mengatur Pengawasan Sektor Keuangan

5.2.1 Kompleksitas SDM Sistem Pengawasan

Kompleksitas sistem pengawasan dalam hal sumberdaya manusia tidak hanya terletak pada

kebutuhannya yang besar, namun juga pengembangan tacit knowledge yang dimiliki oleh

setiap pengawas. Konsep “bedhol desa” yang ditawarkan RUU OJK bukanlah proposisi yang

optimum. Menurut konsep tersebut, staf pengawas akan menjalankan tugas pengawasan di

berbagai industri keuangan. Sebagai contoh, staf pengawas perbankan yang sebelumnya di BI

dapat diberi tugas mengawasi perasuransian maupun pasar modal.

Setiap staf pengawas akan menjalani proses pembelajaran yang panjang sejak pertama kali

bertugas. Tidak hanya harus mengerti teknik-teknik tertulis, seorang staf pengawas akan

mengembangkan tacit knowledge yang tidak mudah untuk dipelajari oleh staf lain. Oleh

karena itu, pembelajaran seorang staf pengawas merupakan “investasi” pengetahuan dan

keterampilan yang sangat besar dan memerlukan proses panjang.

UU OJK 

Organisasi dan tata kelola otoritas  pengaturan  dan pengawasan  industri  jasa keuangan 

UU Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun 

Ketentuan  jenis  produk,  lingkup  kegiatan,  syarat  kecukupan  dan kriteria,  tingkat  kesehatan,  prinsip  kehati‐hatian  lembaga keuangan. 

Page 93: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

87  

Gambar 5.7 memberikan gambaran umum tahap penting yang dialami seorang staf pengawas

dalam proses pengembangan pengetahuannya. Pertama, seorang pengawas harus mengerti

misi yang diemban oleh lembaga pengawas tempatnya bernaung (know the mission). Staf

pengawas diikutkan dalam pelatihan dan seminar terkait tugas pokoknya dalam mengawasi

lembaga keuangan. Patut dicatat, misi lembaga pengawas dapat berubah seiring perubahan

industri yang diawasi, sehingga staf pengawas wajib melakukan penyesuaian kembali.

Gambar 5.7. Kualifikasi Pengawasan Lembaga Keuangan

Know your mission

Kualifikasi Pengawas Lembaga Keuangan

Know your

technique and how to do it

Know your entity

Build your character: Integritas,

Profesionalitas, dan

Kepemimpinan

Kedua, seorang pengawas harus mengerti perusahaan yang diawasinya (know the entity). Staf

pengawas tidak cukup mengerti teknik pengawasan untuk satu industri yang spesifik,

misalnya perbankan atau perasuransian. Staf pengawas wajib mengerti seluk beluk

pengawasan sampai ke jenjang perusahaan. Argumennya, setiap perusahaan memiliki sistem

inti (core system) yang unik yaitu berbeda antara satu dengan lainnya. Akan sangat sulit bagi

seorang staf untuk mengawasi dua perusahaan dalam satu industri, apalagi mengawasi dua

jenis industri yang berbeda.

Page 94: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

88  

Sebagai contoh, BPK setiap tahunnya harus melakukan pengawasan terhadap lebih dari 100

objek pembinaan yang memiliki karakteristik unik. Oleh karena itu, setiap staf atau kelompok

pengawas harus fokus pada pengawasan satu objek pembinaan. Hal ini memungkinkan staf

pengawas untuk mendapatkan continous learning process dan mengerti seluk beluk objek

pembinaannya.1

Ketiga, staf pengawas harus mengerti teknik pengawasan dan bagaimana untuk

melakukannya (know supervision technique and how to do it). Staf akan melewati

pembelajaran mengenai teknik pengawasan dan pengetahuan lain terkait pengawasan sebuah

lembaga. Staf dituntut untuk mengimplementasikan teknik dan pengetahuan yang telah

dipelajarinya dalam pengawasan sebuah lembaga secara langsung. Pengalaman staf yang

didapat selama proses pengawasan merupakan core value seorang pengawas yang sulit untuk

ditransfer maupun dipelajari oleh pengawas lain dalam waktu singkat.

Keempat, staf pengawas harus membangun karakter yang kuat (character building). Staf

pengawas dituntut lebih dari melakukan tugas dengan baik, namun melakukan tugas dengan

integritas dan profesionalitas. Staf juga dituntut untuk memiliki sifat kepemimpinan karena

proses pengawasan sering dilakukan dalam satu kelompok. Selain itu, lembaga keuangan

merupakan industri yang dinamis yang memungkinkan perubahan dalam waktu yang cepat.

Oleh karena itu, staf dituntut memiliki kecakapan dalam pengambilan keputusan. Traits

individual di atas bukanlah sesuai yang inheritance dalam diri seorang pengawas, namun

outcome dari proses pembelajaran yang panjang.

Pengawasan lembaga keuangan juga memerlukan penjenjangan kompetensi. Proses ini

berguna untuk pembinaan dan pengalaman staf muda namun dalam lingkup pengendalian staf

yang telah berpengalaman. Setiap jenjang memiliki tugas dan kompetensi yang berbeda,

semakin tinggi jenjang semakin besar beban tugas yang diembang sehingga membutuhkan

kompetensi yang handal. BPK (2007) memberikan gambaran mengenai penjenjangan

kompetensi dalam sistem pengawasannya (Tabel 5.2).

                                                 1 Lihat BPK (2010), http://www.bpk.go.id/web/?page_id=41

Page 95: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

89  

Tabel 5.2. Penjenjangan Kompetensi BPK RI

Jenjang Auditor Kompetensi Auditor Auditor Trampil Auditor yang mempunyai kemampuan dasar untuk melakukan

pemeriksaan

Auditor Ahli Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mendisain program dan perencanaan pemeriksaan

Ketua Tim Yunior (KTY) Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan kegiatan tim dan menyusun laporan hasil pemeriksaan

Ketua Tim Senior (KTS) Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan kegiatan tim, menyusun laporan hasil pemeriksaan, danmemberikan bimbingan kepada anggota tim (coaching)

Pengendali Teknis Yunior (PTY) Auditor yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pengendalian mutu pemeriksaan serta mampu untuk menjadi pemimpin di beberapa tim pemeriksa

Pengendali Teknis Senior (PTS) Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mendisain kerangka pengendalian mutu pemeriksaan dan menyusun rekomendasi pemeriksaan

Sumber: BPK (2007)

Proses pengembangan SDM terutama di sistem pengawasan membutuhkan waktu panjang

dan sumberdaya yang besar. Sistem pengawasan tidak hanya mengawasi perbankan, namun

juga perasuransian, perusahaan pembiayaan, koperasi, lembaga keuangan mikro, dan pasar

modal. SDM harus diatur sedemikian rupa agar setiap pengawas memiliki pengetahuan

spesifik di tingkat industri bahkan perusahaan. Proses pengaturan tersebut merupakan

investasi yang besar dan dijalankan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, pembentukan

sistem pengawasan harus ditinjau ulang karena SDM pengawas yang belum mapan

menyebabkan lembaga keuangan rentan terhadap risiko yang berbiayai jauh lebih besar.

5.3.Usulan Sistem Pengawasan yang Optimum

Melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia, lembaga pengawasan perbankan tetap

dilaksanakan oleh BI (Gambar 5.8). Pengawasan pasar modal dan IKNB dilaksanakan oleh

sistem pengawasan yang dikembangkan dari lembaga Bapepam LK yang telah ada dan

berjalan. BI dipandang telah memiliki tenaga ahli pengawas dan teknologi untuk mengawasi

bank. Apabila fungsi pengawasan perbankan dialihkan ke sistem pengawasan, maka biaya

transaksi akan cukup signifikan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan fungsi

pengawasan bank ke sistem pengawasan juga relatif lama. Selain itu, selama periode

penyatuan, kejutan eksternal dapat terjadi setiap saat. Kejutan tersebut menyebabkan sektor

Page 96: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

90  

keuangan rentan karena lembaga pengawas belum dapat melaksanakan tugas dengan optimal

pada masa peralihan.

Gambar 5.8. Usulan Skema Pembagian Tugas antara BI dan Sistem Pengawasan

Gambar 5.9 menjelaskan usulan struktur sistem pengawasan di Indonesia dan pembagian

tugas dengan BI. BI tetap memegang fungsi pengawasan makro karena memiliki tugas

pengaturan sistem pembayaran serta LOLR. Selain itu, pengawasan mikro sektor perbankan

tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang

dibutuhkan. Penugasan fungsi pengawasan makro dan pengawasan mikro sektor perbankan

kepada BI memberikan keleluasaan untuk memadukan dengan kebijakan moneter yang

dijalankan.

Bank Sentral  BAPEPAM‐LK 

 Perbankan 

Pasar Modal & Lembaga keuangan nonbank 

PASAR MODAL 

1. Penyusunan  dan  penegakan  peraturan  di  bidang  pasar modal 

2. Pembinaan dan pengawasan lembaga yang memperoleh izin usaha,  persetujuan,  dan  pendaftaran  dari  badan  yang bergerak di pasar modal 

3. Penetapan prinsip keterbukaan perusahaan bagi emiten dan perusahaan publik 

4. Penyelesaian  keberatan  yang  diajukan  oleh  pihak  yang terkena  sanksi  oleh  Bursa  Efek,  Kliring,  dan  Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 

5. Penetapan ketentuan akuntansi di bidang pasar modal 

LEMBAGA KEUANGAN 

1. Penyiapan  perumusan  kebijakan  di  bidang  lembaga keuangan 

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang  lembaga keuangan,  sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku 

3. Perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang lembaga keuangan 

4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembaga keuangan 

5. Pelaksanaan tata usaha badan  Sumber: Bapepam‐LK (2009) 

1. Right  to  license: menetapkan  tata cara perizinan perbankan termasuk pembukaan, penutupan, pemindahan kepemilikan, dan izin melakukan kegiatan usaha tertentu 

2. Right  to  regulate: menetapkan  peraturan modal minimum perbankan,  peraturan  komposisi  modal,  peraturan  kredit, standar  akuntansi,  dan  peraturan  perlindungan  konsumen (seperti  kampanye  know  your  customer  dan  anti  money laundering). 

3. Right to control: pengawasan perbankan on‐ dan off‐site 4. Right  to  impose  sanction:  kepada  bank  yang  tidak  sesuai 

dengan  undang‐undang  dan  ketentuan  umum  perbankan yang ditetapkan. 

 

Sumber: BI (2010c) 

Page 97: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

91  

Sistem Pengawasan dibentuk berdasarkan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis. Sistem

Pengawasan melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank

dan fungsi pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian

tugas antara BI dan sistem pengawasan yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya

transaksi yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut. Skema

tersebut memungkinkan Bapepam-LK meningkatkan independensi dengan berada di luar

Departemen Keuangan. Pada praktiknya di seluruh negara, keberadaan lembaga pengawas

adalah di luar kementrian untuk meningkatkan independensinya.

Skema ini memberikan kemanfaatan yang besar terutama dalam meminimalisasi biaya yang

timbul dari transisi fungsi pengawasan dari BI ke sistem pengawasan. Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, transisi pengawasan bank dari BI ke sistem pengawasan memerlukan

biaya dan waktu yang sangat besar. Selain itu, skema di bawah meminimalisasi dampak

negatif lamanya waktu transisi terhadap kerentanan sektor keuangan dalam menghadapi

kejutan eksternal. Misalnya, lembaga pengawas baru belum memiliki SDM dan teknologi

yang mapan, sehingga kinerja pengawasan berkurang. Lembaga pengawas tidak dapat

mengetahui data dan keadaan terbaru industri sehingga tidak dapat merumuskan kebijakan

yang tepat dalam menghadapi kejutan eksternal.

Skema ini menawarkan pengawasan laku bisnis yang terintegrasi yaitu di bawah sistem

pengawasan. Pengawasan yang terintegrasi memudahkan sistem pengawasan mengawasi

produk-produk lintas lembaga. Kasus Antaboga, sebagai contoh, terjadi karena produk

ditawarkan merupakan integrasi dua lembaga yang diawasi oleh dua lembaga pengawas yang

berbeda. Perbedaan pengawasan dalam kasus tersebut merupakan celah yang menimbulkan

penyalahgunaan pelaku perbankan. Skema ini mengurangi kecenderungan tidak adanya

pengawasan terhadap produk lintas lembaga.

Skema tersebut tetap memiliki kompleksitas: (1) ada kecenderungan konsentrasi kekuatan ke

lembaga pengawas yang memiliki SDM dan teknologi yang lebih superior; (2) biaya timbul

dari pengalihan fungsi pengawasan laku bisnis dari BI ke sistem pengawasan. Walaupun

demikian, patut dicatat bahwa potensi krisis yang ditimbulkan dari kompleksitas adalah

sangat kecil.

Page 98: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

92  

Gambar 5.9. Usulan Struktur Sistem Pengawasan dan Pembagian Tugas dengan BI: Skema I

Gambar 5.10 menunjukkan usulan struktur sistem pengawasan skema II. Fungsi pengawasan

mikro dan laku bisnis, dalam skema II, dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Sistem

 Dana Pensiun 

 Pasar Modal 

 Perusahaan Sekuritas 

Bank Sentral 

 Asuransi 

 Lembaga 

Pembiayaan 

 

Bank 

Bapepam‐LK 

Kompleksitas 

‐ Terdapat kemungkinan konsentrasi kekuatan pada suatu lembaga, misalnya pada bank sentral, karena faktor tenaga ahli dan teknologi 

‐ Ada kemungkinan biaya timbul dari pengalihan fungsi pengawasan laku bisnis dari BI ke Bapepam‐LK 

‐ Perlu adanya koordinasi dan arus informasi yang sempurna antara bank sentral dan Bapepam‐LK terkait dengan pengawasan laku bisnis lembaga perbankan dalam rangka mengurangi pelanggaran pidana maupun perdata oleh bank karena lemahnya koordinasi antar lembaga di Indonesia   

Kemanfaatan 

‐ Minimalisasi biaya pengalihan fungsi pengawasan dari BI keBapepam‐LK 

‐ Minimalisasi dampak lamanya waktu transisi terhadap kerentanan sektor keuangan dalam menghadapi kejutan eksternal yang dapat menimbulkan krisis 

‐ Struktur OJK dapat dibentuk secara unik berdasarkan karakteristik sektor keuangan di perekonomian tersebut 

‐ Pembagian fungsi pengawasan lembaga keuangan yang jelas (antara pengawasan sistemik dan laku bisnis) 

‐ Penyatuan lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan makro dan mikro perbankan (sebagai sektor keuangan terbesar) memudahkan terciptanya harmonisasi kebijakan terutama kebijakan moneter. 

‐ Penyalahgunaan penciptaan produk lintas industri (misalnya Antaboga) dapat diminimalisir dengan adanya satu lembaga pengawas laku bisnis yaitu Bapepam‐LK. 

Fungsi pengawasan makro 

Fungsi pengawasan laku bisnis 

Lembaga pengawas perbankan (dibentuk dengan UU dan berada di bawah 

bank sentral) 

Fungsi pengawasan mikro perbankan 

Fungsi pengawasan mikro 

Koordinasi 

Page 99: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

93  

Pengawasan melaksanakan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis lembaga keuangan

nonbank dan pasar modal. Skema ini memberikan kemanfaatan yang sama dengan skema I

yaitu menghindari biaya transaksi tinggi yang timbul karena transisi fungsi pengawasan dari

BI ke sistem pengawasan. Ada beberapa kemanfaatan dan kompleksitas lain yang menarik

untuk dicatat dalam skema II. Pertama, Indonesia tidak akan mengubah struktur pengawasan

yang telah ada: pengawasan bank oleh BI dan pengawasan lembaga keuangan nonbank dan

pasar modal oleh sistem pengawasan. Walaupun demikian, akuntabilitas serta transparansi

pengawasan khususnya bank oleh BI harus ditingkatkan.

Kedua, struktur ini menggabungkan fungsi pengawasan makro sektor keuangan dan

pengawasan mikro perbankan yang merupakan lembaga keuangan terbesar di Indonesia.

Sistem ini memberikan kesempatan besar kepada pengawas untuk menjaga stabilitas sektor

keuangan secara keseluruhan.

Ketiga, struktur ini memungkinkan kelemahan pengawasan laku bisnis antar lembaga

keuangan khususnya produk lintas lembaga. BI fokus pada pengawasan bank sedangkan OJK

fokus pada pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Dalam kenyataan,

antar lembaga keuangan dapat bekerja sama mengembangkan sebuah produk. Kompleksitas

ini dapat diminimalisasi dengan koordinasi rutin antara BI dan Bapepam-LK, salah satunya

adalah pembentukan basis data bersama.

Seperti halnya skema I, skema ini menawarkan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan

kompleksitas. Kemanfaatan yang memiliki proporsi besar dari kedua skema adalah

minimalisasi risiko krisis. Selain itu, kedua skema meminimalisasi biaya transaksi yang

tinggi dari penggabungan fungsi pengawasan dalam sistem pengawasan di Indonesia.

Page 100: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

94  

Gambar 5.10. Usulan Struktur Sistem Pengawasan dan Pembagian Tugas dengan BI: Skema

II

 Dana Pensiun 

 Pasar Modal 

 Perusahaan Sekuritas 

Bank Sentral 

 Asuransi 

 Lembaga 

Pembiayaan 

 

Bank 

Bapepam‐LK 

Kompleksitas 

‐ Terdapat kemungkinan konsentrasi kekuatan pada suatu lembaga, misalnya pada bank sentral, karena faktor tenaga ahli dan teknologi 

‐ Kemungkinan timbul penyalahgunaan dari bank maupun lembaga keuangan apabila koordinasi BI dan Bapepam‐LK minimal atau buruk: penciptaan produk lintas lembaga, misalnya, produk Antaboga oleh Bank Century. 

‐ Perlunya penekanan terhadap transparansi dan konsistensi pelaporan data di masing‐masing lembaga pengawas baik bank sentral maupun Bapepam‐LK 

Kemanfaatan 

‐ Tidak merubah struktur pengawasan yang ada di Indonesia 

‐ Struktur sistem pengawasan dapat dibentuk secara unik berdasarkan karakteristik sektor keuangan di perekonomian tersebut 

‐ Pembagian fungsi pengawasan lembaga keuangan yang jelas (antara pengawasan sistemik dan laku bisnis) 

‐ Penyatuan lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan makro dan mikro perbankan (sebagai sektor keuangan terbesar) memudahkan terciptanya harmonisasi kebijakan terutama kebijakan moneter. 

‐ Menghindari penyatuan lembaga pengawas yang berbiaya tinggi dan menyebabkan sistem keuangan terkekspos risiko krisis yang tinggi.  

Fungsi pengawasan makro 

Fungsi pengawasan laku bisnis 

Lembaga pengawas perbankan (dibentuk dengan UU dan berada di bawah 

bank sentral) 

Fungsi pengawasan mikro perbankan dan laku bisnis 

Fungsi pengawasan mikro 

Koordinasi 

Page 101: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

95  

5.4. Model Pengawasan Pasar Modal

Fungsi pengawasan pasar modal yang dilaksanakan oleh sistem pengawasan dapat mengikuti

tiga model umum yang ada, yaitu government led model, flexibility model dan cooperation

model.

Struktur pengawasan di Negara Prancis yang membentuk lembaga independen sebagai

pengawas perbankan yang masih dibawah kendali bank sentral bisa menjadi benchmark

dalam struktur sistem keuangan yang akan dibentuk. BI bisa membentuk lembaga pengawas

perbankan yang akan dibentuk dengan Undang Undang dan berada di bawah Bank Sentral.

Kontrak atau perjanjian tersebut harus ditandatangi oleh Bank Sentral. pegawai dari lembaga

ini adalah pegawai bank sentral, pegawai yang dikontrak oleh bank sentral, dan pegawai yang

diperbantukan. Semua ketentuan pegawai mengikuti ketentuan kepegawaian bank sentral.

Sementara itu, untuk pembiayaan otoritas berasal dari kontribusi lembaga yang disupervisi

dan jika diperlukan maka pendanaan bisa juga berasal dari anggaran tambahan bank sentral.

Dengan adanya lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah Bank Sentral, hal ini

akan meminimalisir risiko yang terjadi selama masa transisi terutama risiko hilangnya

kontinuitas pengawasan perbankan. Dengan berada tetap di bawah bank sentral, maka akan

mempermudah pengelolaan krisis dengan adanya linkage antara pengawasan

macroprudential dan microprudential.

Adanya komunikasi dan arus informasi serta pembagian tugas yang jelas antar lembaga

dalam struktur pengawasan yang baru diharapkan bisa menjamin struktur optimum struktur

pengawasan yang akan menjaga kestabilan sistem keuangan baik dimasa stabil maupun jika

menghadapi masa krisis. beberapa hal pokok yang harus di pertimbagankan dengan

pembentukan struktur yang baru ini adalah dengan tetap mengedepankan struktur yang fokus

untuk melindungi kepentingan konsumen, meminimalisir miskomunikasi antar lembaga

pengawas dan ketahanan dalam menghadapi kemungkinan situasi krisis.

Dalam prakteknya saat ini, Bapepam-LK sebagai pengawas pasar modal mengikuti

government led model, dimana adanya peran serta pemerintah yang cukup besar dalam

penentuan peraturan pasar modal. Model pengawasan ini juga diterapkan oleh Negara Jepang

dan Jerman, dimana Japan Financial Services (FSA) dan Bundesbank menjadi badan

pengawas primer dalam pengawasan pasar modal dalam aspek pembuatan peraturan,

monitoring dan enforcement.

Page 102: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

96  

Britania Raya dan Hongkong mengaplikasikan flexible model dalam pengawasan pasar

modal, dimana dalam prakteknya memungkinkan partisipan pasar untuk membuat struktur

atas aktivitas yang dilakukan dengan tetap memenuhi kewajiban pengawasan. Sementara itu

US yang mengadopsi cooperation model memberikan keleluasan yang cukup bagi institusi

pasar modal untuk menjalankan aktivitas operasi dipasar dengan diberikan kewenangan

dalam pembentukan regulasi di pasar modal.

Tabel 5.3 Pengawasan Pasar Modal di Beberapa Negara

No Negara Item

Model yang dipakai Lembaga Pengawas Pasar Modal Keberadaan berada di

bawah 1 Jerman Government

led model The Federal Financial Supervisory Authority atau BaFin

Lembaga independen di bawah Federal Ministry of Finance

2 Jepang Government led model

Financial Services Agency Ministry of Finance

3 Hongkong Flexible model

Securities and Futures Commission (SFC)

Badan Independen

4 UK Flexible model

Prudential Regulatory Authority Dibawah Supervisi BOE

5 Australia Flexible model

Australian Securities & Investments Commission dan Australian Prudential Regulation Authority (APRA)

Independen

6 US Cooperation model

Securities and Exchange Commission Independen dan bekerjasama dengan pasar modal dan regulator lainnya

Sumber : Olahan sendiri dari berbagai sumber

5.5.Usulan Skema Koordinasi untuk Pencegahan Krisis

Salah satu yang memicu terjadinya krisis diduga dikarenakan adanya kesalahan dalam

regulasi sistem keuangan. Salah satunya adalah adanya masalah kurangnya pengawasan yang

dilakukan oleh lembaga pengawas, termasuk pengawasan macropudential ( Group of Thirty,

2009; Brunnermeier et al., 2009; de Larosiere Group, 2009; Kawai dan Pomerleano, 2010).

Oleh karena itu struktur sistem pengawasan yang dikembangkan hendaknya merupakan

struktur pengawasan yang juga tahan mengatasi krisis yang mungkin terjadi di masa yang

akan datang dan mampu menjaga kestabilan sistem keuangan. Pada dasarnya, beberapa

Page 103: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

97  

prinsip yang harus dimiliki regulator yang akan menjamin kestabilan sistem keuangan

(Kawai dan Pomerleano, 2010) adalah sebagai berikut :

1. Pengawas harus memiliki tujuan dan wewenang yang jelas, diantaranya dalam

memonitor risiko sistemik dan melakukan pengukuran adanya kemungkinan adanya

risiko sistemik

2. Pengawas memiliki sumber daya yang menunjang utuk mencapi tujuan dan

melaksanakan tugas dan wewenang

3. Memiliki instrumen dan perangkat yang akan menunjang implementasi dalam

pencapain kestabilan sistem keuangan

4. Adanya struktur yang mampu melaksanakan kewajiban melaksanakan fungsi menjaga

kestabilan sistem keuangan dengan efekif dan efisien

Dalam prakteknya, lembaga pengawas sektor keuangan yaitu BI dan sistem pengawasan

harus melakukan koordinasi rutin untuk memantau perkembangan sektor keuangan setiap

saat (Gambar 5.7). Koordinasi tersebut disusun berdasarkan memorandum of understanding

(MOU) mengenai fungsi dan tugas BI dan sistem pengawasan dalam keadaan normal dan

lebih penting lagi pada saat krisis. Koordinasi tersebut juga harus melibatkan Lembaga

Penjaminan Simpanan (LPS) yang berfungsi menangani bank yang gagal berfungsi. Dimana

pada saat ini, LPS tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan dan hanya

diberikan waktu yang cukup singkat dalam menjawab surat dari bank sentral jika ada bank

yang mengalami kegagalan. Koordinasi rutin meliputi pertemuan berkala dan pertukaran

informasi harian.

Proses pengambilan keputusan sebaiknya dilaksanakan secara lebih transparan, baik

keputusan yang dibuat bank sentral maupun keputusan di lembaga lainnya yang terlibat.

Sebagai salah satu contoh pengambilan keputusan yang transaparan adalah proses

pengambilan keputusan di Bundesbank dimana adanya transparansi yang sangat tinggi

sehingga publik mengetahui dengan jelas alasan suatu kebijakan diambil. Dengan adanya

transparansi dalam sebuah pengambilan keputusan, maka akuntabilitas dari sebuah keputusan

akan dapat dipertanggung jawabkan.

Terkait dengan penanganan krisis, maka sebaiknya setelah adanya struktur yang baru,

Pemerintah harus segera mengesahkan RUU Jaring Pengaman Stabilitas Keuangan (JPSK)

yang disesuaikan dengan struktur yang akan dibentuk. Dalam Undang Undang tersebut

dibahas bagaimana mekanisme penanganan krisis dan peran masing masing lembaga

Page 104: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

98  

pengawas dalam penanganan krisis. Gambar 5.10 menunjukkan usulan skema koordinasi

yang harus dilakukan oleh BI, LPS, dan Bapepam-LK untuk mencegah dan meminimalisasi

risiko krisis.

Gambar 5.10. Usulan Skema Koordinasi Rutin dan Terintegrasi BI, Bapepam-LK, dan LPS

Koordinasi Umum 

1. Penetapan MOU mengenai fungsi dan tugas masing‐masing lembaga pada keadaan normal dan krisis. 2. Pertemuan berkala 

• Pembahasan kebijakan sektor keuangan • Pembahasan perkembangan pasar keuangan • Pembahasan isu‐isu yang dapat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan baik dari dalam maupun 

luar negeri • Koordinasi penyelesaian permasalahan maupun kasus yang sedang dihadapi salah satu lembaga 

3. Arus informasi: integrasi basis data dan pembaharuan basis data dalam day‐to‐day basis dari seluruh lembaga keuangan  

BI 

Bapepam-LK 

  LPS 

Koordinasi 

Koordinasi 

Koo

rdin

asi 

BI 

• Pelaporan hasil pengawasan perbankan terutama yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan 

• Pembaharuan basis data perbankan secara berkala  

LPS 

• Melakukan penilaian terhadap bank yang berpotensi gagal dan berdampak sistemik maupun nonsistemik 

Bapepam‐LK 

• Pelaporan hasil pengawasan lembaga keuangan nonbank terutama yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan 

• Pembaharuan basis data lembaga keuangan nonbank secara berkala 

 

Koordinasi Penanganan Bank gagal 

Page 105: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

99  

Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen Proses Evolusi

Prisoners’ Dilemma

6.1. Pendahuluan

Terlepas dari apapun bentuk OJK yang nantinya akan digunakan, satu hal mendasar yang

akan berperan besar dalam hal pengawasan lembaga keuangan adalah adanya koordinasi

antar lembaga terkait. Koordinasi akan semakin penting ketika menyangkut prosedur

antisipasi dan penanggulangan terhadap bahaya krisis ekonomi. Bahkan dalam cakupan yang

lebih luas lagi, yaitu penerapan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, koordinasi dan

kerjasama antara BI dan Kemenkeu sangatlah krusial.

Coleman (1996) menyatakan bahwa di berbagai belahan dunia kemungkinan terjadi rivalitas

antara bank sentral dan kementrian keuangan adalah sangat besar. Hal ini terjadi karena pada

umumnya kedua lembaga tersebut mengelola bidang yang sama, namun diantara keduanya

memiliki perspektif yang berbeda dalam penyusunan kebijakan. Pemerintah harus dapat

menyeimbangkan dua perspektif yang berbeda untuk menghindari penyusunan kebijakan

yang non-optimal. Walaupun demikian, BI dan Kementrian Keuangan memiliki sejarah

ketegangan yang panjang, misalnya kebijakan utang, regulasi lembaga keuangan, dan

pencetakan uang. BI dan Kementrian Keuangan juga mengalami konflik terkait Pakto 1988

dan kebijakan BLBI (Boks 5.2).

Keadaan di atas jelas lebih menggambarkan ketidakhadiran koordinasi antara dua lembaga.

Idealnya hubungan antar lembaga pemerintah, seperti halnya OJK dan BI, maupun antara

Kemenkeu dan BI, dapat dimodelkan seperti halnya 2x2 pure coordination game (game

dimainkan dua pemain yang masing-masing memiliki 2 strategi) sebagai berikut:

Page 106: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

100  

Gambar 6.1.2x2 Pure Coordination Game

    Departemen 2 

    A  B 

Dep

artemen 1  A  (a1, a2)  (0,0) 

B  (0,0)  (b1,b2) 

Dimana: a>b dan a,b>0

Pada game di atas, masing-masing departemen memiliki dua strategi, yaitu A dan B. Kedua

pemain akan sama-sama diuntungkan jika mereka memilih strategi yang sama (A,A) atau

(B,B), yang berarti keduanya harus melakukan koordinasi. Namun demikian, apabila masing-

masing pemain memilih strategi yang berbeda, yaitu (A,B) atau (B,A), maka pilihan

keduanya tidak akan optimum karena terjadi miscoordination dan masing-masing pemain

hanya akan memperoleh hasil 0. Dengan demikian game tersebut memiliki multiple Nash

equilibria, yaitu (A,A) dan (B,B). Nash equilibrium (A,A) cenderung lebih dominan

dibandingkan Nash equilibrium yang lain yaitu (B,B).

Meski idealnya koordinasi dan kerjasama selalu mewarnai hubungan antar lembaga

pemerintah, namun tidak dipungkiri bahwa di dunia nyata terjadi rivalitas antar lembaga

pemerintah tersebut. Rivalitas ini seringkali disebabkan oleh egosentris institusi yang

bersumber pada penentuan tugas pokok fungsi (TUPOKSI) lembaga pemerintah. Tupoksi

sebuah institusi akan menjadi dasar bagi penentuan tugas, tanggung jawab dan wewenang

dari masing-masing aparat yang bekerja di institusi tersebut. Tugas, tanggung jawab dan

wewenang aparat ini pada akhirnya akan membentuk outcome measures yang akan

digunakan untuk mengevaluasi kinerja aparat tersebut. Permasalahan koordinasi semakin

kompleks ketika TUPOKSI seringkali tidak mensyaratkan pelaksanaan koordinasi dengan

lembaga lain atau dengan kata lain bahwa koordinasi dengan lembaga lain tidak dianggap

sebagai kinerja sebuah lembaga maupun aparat yang bekerja di dalamnya. Implikasinya para

Page 107: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

101  

aparat hanya fokus pada tugas mereka pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang

lebih besar yang hanya akan bisa diraih jika terjadi koordinasi antar lembaga pemerintah.

BOKS 6.1 Ketidakharmonisan Departemen Keuangan–Bank Indonesia

Apabila ditelaah menurut ekonomi politik bahwa wacana pembentukan (OJK) di Indonesia akan menjadi puncak gunung es ketegangan antara dua lembaga, yaitu Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Coleman (1996) menengarai bahwa hampir di seluruh dunia terjadi persaingan dan ketegangan antara departemen keuangan dan bank sentral, karena mereka mengelola bidang yang sama.

Studi yang dilakukan oleh Lukman Hakim (2004) menunjukkan bahwa ketegangan antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia kelihatan sangat jelas ketika berurusan dengan kebijakan utang dan regulasi lembaga keuangan. Untuk masalah utang, pihak Departemen Keuangan menganggap telah terjadi ketidakadilan, dimana pihak yang melakukan negoisasi dengan lembaga donor adalah Departemen Keuangan tetapi pihak yang menikmati bunganya adalah Bank Indonesia. Demikian pula dalam kasus kebijakan regulasi perbankan, pengawasan lembaga yang menguntungkan seperti perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia sedangkan pengawasan lembaga keuangan bukan bank dilakukan oleh Departemen Keuangan (Hakim, 2004).

Selain itu, ketegangan antara dua lembaga tersebut juga muncul pada kasus Pakto 1988.Sejatinya Bank Indonesia tidak setuju terhadap pandangan liberalisasi perbankan, karena sesungguhnya infrastruktur pengawasan perbankan belum kuat. Oleh karena itu, Bank Indonesia membatasi jumlah bank hanya sekitar 50 bank sejak tahun 1970. Namun, dengan adanya Pakto 1988 menyebabkan pendirian bank dipermudah hingga hampir 250 bank, yang oleh pengamat dianggap sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi. Melihat kemungkinan penolakan oleh Bank Indonesia, maka Sumarlin merekayasa agar Gubernur Bank Indonesia yang baru adalah “kadernya” sehingga dipilihlah Adrianus Mooy yang sebelumnya adalah wakilnya di Bappenas. Meminjam istilah Cole & Slade (1996), Mooy adalah “protege of technocrat.” Oleh karena itu, ketika Pakto 1988 diberlakukan Bank Indonesia berada dalam kondisi yang terdesak sehingga selama periode ini pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan menjadi sangat lemah, sementara percepatan pendirian bank sangat tinggi (Hakim, 2004).

Konflik berikutnya terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Keputusan untuk mengeluarkan BLBI adalah keputusan Departemen Keuangan sebagai otoritas keuangan dimana Bank Indonesia masih berada di dalamnya.Kemudian muncul ketegangan siapa yang menanggung kerugian (Hakim, 2004).

Page 108: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

121  

Ilustrasi rivalitas antara BI dan Kementrian Keuangan telah dijelaskan di atas. Hal ini sesuai

dengan proposisi dari Public Choice Theory terkait dengan proses pengambilan kebijakan di

negara demokratis. Di negara demokratis, kebijakan pemerintah tidak bisa dilepaskan dari

pemilu sebagai salah satu proses demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, proses pembuatan

dan implementasi kebijakan pemerintah merupakan interaksi antar berbagai kelompok yang

terlibat dalam proses demokrasi antara lain rakyat pemilih (voters), politisi, partai politik,

birokrat dan kelompok-kelompok masyarakat (interest groups). Pemilih yang rasional akan

cenderung memaksimumkan utilitas mereka. Politisi, di sisi lain, memiliki tujuan untuk

terpilih sebagai anggota dewan perwakilan atau senat. Partai politik bertujuan untuk

memenangkan pemilu, baik di tingkat daerah maupun di pusat. Birokrat memiliki tujuan

utama memaksimumkan anggaran, yang nantinya akan dialokasikan untuk pembangunan.

Kelompok-kelompok masyarakat memiliki tujuan memaksimumkan tujuan mereka, ada yang

cenderung bertujuan distribusi pendapatan (misalnya LSM-LSM yang memperjuangkan hak-

hak kaum minoritas, perlindungan anak, lingkungan hidup, dll), namun juga ada pula yang

memperjuangkan anggota kelompoknya, misalnya asosiasi pengusaha (Mueller, 1983).

Proposisi teori Public Choice adalah bahwa kebijakan pemerintah cenderung suboptimum

karena proses pengambilan kebijakan itu sendiri dilakukan oleh berbagai pihak yang

seringkali memiliki tujuan yang saling bertentangan. Didasarkan pada pemikiran di atas,

maka adalah sulit mengharapkan bahwa kebijakan pemerintah akan berdampak optimum

(first best) namun dampak kebijakan yang dihasilkan cenderung suboptimum.

Interaksi antar lembaga yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan di teori Public

Choice, dapat dimodelkan secara sederhana sebagai permainan 2x2 (dua pemain dengan

masing-masing menghadapi dua strategi) prisoners’ dilemma (Pradiptyo, 1998).

Implikasinya adalah bahwa hubungan antara OJK dan BI di masa datang, terkait dengan

pengawasan lembaga keuangan, bisa dimodelkan dalam 2x2 prisoners’ dilemma game

tersebut.

Page 109: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

122  

Gambar 6.2.2x2 Prisoners’ Dilemma Pure Game

    Departemen 2 

    A  B 

Dep

artemen 1  A  (a1, a2)  (b1,b2) 

B (c1,c2)  (d1,d2) 

Dimana: c>a>d>b

Jika permainan dimainkan sekali (one shot game) secara simultan dan masing-masing pemain

tidak diperkenankan berkomunikasi baik sebelum maupun selama permainan (cheap talk atau

non-binding commitment), maka sesuai dengan analisis game theory, B adalah strategi yang

dominan terhadap strategi A. Karena diasumsikan setiap pemain adalah rasional dan

rasionalitas masing-masing pemain berterima umum, maka kedua pemain akan memilih

strategi B, sehingga Nash equilibrium adalah (B,B). Selama permainan dimainkan secara

simultan dalam sistem informasi yang sempurna, maka beliefs masing-masing pemain

terhadap strategi yang dipilih lawan bisa digantikan oleh aksioma rasionalitas dan common

knowledge (Binmore, 1987, Romp, 1997, Samuelson, 1997).

Perlu dicatat bahwa Nash Equilibrium (B:B) dalam permainan ini tidak identik dengan

Pareto Optimal. Hasil Pareto optimal dalam prisoners’ dilemma adalah (A:A). Sejak konsep

equilibrium di game theory dikenalkan oleh John F. Nash di tahun 1951, terjadi revolusi di

teori ekonomi. Konsep Pareto Optimal yang selama ini menjadi acuan di teori ekonomi,

ternyata belum tentu menawarkan equilibrium yang sama apabila permasalahan dianalisis

dengan menggunakan game theory.

Jika permainan dilakukan berulang dengan perulangan yang terbatas (finitely repeated game),

secara teoritis strategi B tetap merupakan strategi yang dominan. Dengan menggunakan

metoda backward induction, setiap pemain akan cenderung memilih strategi B sejak di awal

permainan hingga akhir permainan. Solusi backward induction merupakan implikasi

langsung dari asumsi bahwa setiap pemain adalah rasional dan mereka cenderung

memaksimumkan kepentingan pribadi mereka. Didasarkan analisis game theory, baik pure

Page 110: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

123  

coordination game, maupun prisoners’ dilemma memiliki best response correspondent.

Artinya adalah bahwa dominan strategi pada kedua game tersebut akan selalu dipilih oleh

pemain yang rasional meskipun nilai payoffs berubah meskipun struktur dari game tidak

berubah (Rasmusen, 2004, Romp, 1997, Osborne, 2007).

Meskipun secara teoritis strategi B dalam prisoners’ dilemma adalah strategi yang dominan,

beberapa hasil eksperimen prisoners’ dilemma ternyata berlawanan dengan solusi yang

ditawarkan game theory. Cooper et al (1991) melakukan eksperimen one shot prisoners’

dilemma. Subyek dalam eksperimen-nya memainkan sebuah prisoners’ dilemma game

selama dua puluh kali, dan setiap kali memainkan game tersebut masing-masing pemain

dilawankan dengan pemain lain secara acak. Dengan demikian, tidak ada seorang pemainpun

yang memainkan game dengan pemain yang sama lebih dari sekali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam limagame pertama, koordinasi dimana setiap

pemain sama-sama memilih strategi A, muncul sebanyak 43%. Namun demikian pada game

ke 16-20, koordinasi (A,A) hanya terjadi 20% saja. Hasil eksperimen ini tidak memberikan

dukungan terhadap kesahihan asumsi rasionalitas dan common knowledge yang disyaratkan

dalam analisis game theory.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan Cooper et al (1991), penelitian yang dilakukan oleh

Selten dan Stoecker (1986) kurang memberikan bukti bahwa strategi B selalu dominan dipilih

oleh pemain. Selten and Stoecker (1986) melakukan eksperimen supergame prisoners’

dilemma, dimana setiap tahap dua pemain memainkan sebuah prisoners’ dilemma selama

sepuluh kali dan kemudian pemain berganti pasangan untuk memainkan 25 tahapan.

Selten and Stoecker (1986) melaporkan bahwa hasil penelitian menunjukkan pemain

memiliki kecenderungan memilih strategi A (berkooperasi) hingga salah satu berkhianat

dengan memilih B, dan selanjutnya solusi permainan cenderung (B,B) hingga permainan

berakhir. Metoda pemilihan strategi ini lebih dikenal sebagai trigger strategy. Kecenderungan

koordinasi antar pemain di awal permainan sering disebut dengan tacit coordination, karena

keputusan untuk sama-sama memilih strategi A dilakukan tanpa adanya perundingan

sebelumnya.

Tacit coordination menandakan bahwa pemain tidak seluruhnya mengikuti asumsi

rasionalitas seperti yang diasumsikan disetiap teori ekonomi. Rasionalitas teori ekonomi

mensyaratkan bahwa pelaku ekonomi mengambil keputusan secara konsisten dan hanya

Page 111: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

124  

faktor ekonomi sajalah yang menjadi pertimbangannya. Tacit coordination menunjukkan

gugurnya asumsi bahwa manusia adalah homo economicus semata, namun ternyata faktor-

faktor sosial dan psikologi banyak mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pelaku

ekonomi. Beberapa faktor sosial dan psikologi yang berperan dan dapat menjelaskan

mengapa tacit coordination terjadi adalah adanya altruism (kedermawanan), fairness

(keadilan), dan juga reciprocity (hubungan timbal balik).

Deviasi perilaku pelaku ekonomi dari proposisi game theory, membuat para pakar game

theory melakukan penyempurnaan (refinement) pada konsep Nash

equilibrium.Pengembangan teori ini kemudian menciptakan cabang teori baru yang disebut

dengan behavioural game theory. Analisis dalam behavioural game theory mencoba

memasukkan faktor-faktor psikologis dan sosial ke dalam analisis game theory misalnya

cinta kasih, kedengkian, kedermawanan, keadilan, dan lain sebagainya.

Tak kurang dari peraih Nobel ekonomi Reinhard Selten (1975 dalam Fudenberg and Tirole,

1993) melakukan penyempurnaan konsep Nash equilibrium dengan mengasumsikan bahwa

pemain tidak sepenuhnya rasional namun dimungkinkan untuk membuat kesalahan

(trembling hands effect). Teori ini menyatakan bahwa pada setiap extensive-form game selalu

mengandung asumsi bahwa pemain diperkenankan untuk membuat kesalahan.

Pakar game theory lain yaitu Kreps dan Wilson (1982) mengajukan konsep equilibrium

alternatif di game theory yang dikenal dengan trembling hand Nash equilibrium. Bernheim

(1984) dan Pearce (1984) melakukan penelitian terpisah namun menghasilkan alternatif teori

yang hampir sama tentang penjelasan deviasi perilaku pelaku ekonomi di permainan

prisoners’ dilemma yang disebut dengan rationalisable strategy. Berbeda dengan analisis

standard di game theory, rationalisable strategy mengasumsikan bahwa pelaku memilih

strategi tidak semata-mata didasarkan pada aksioma rasionalitas semata namun juga

memasukkan unsur kepercayaan atau prediksi (beliefs) dari pemain terhadap strategi yang

akan dipilih pemain lain.

Rabin (1993) memasukkan faktor psikologi dan sosial ke dalam analisis game theory dengan

memperkenalkan konsep fairness equilibrium. Rabin (1993) mengkritisi bagaimana para

ekonom mendefinisikan kedermawanan (altruism). Ekonom cenderung mendefinisikan

bahwa seseorang dianggap dermawan jika yang bersangkutan tidak saja mementingkan faktor

materi bagi diri sendiri namun juga mempertimbangkan kepentingan bagi orang lain (social

needs). Para pakar psikologi, di sisi lain, mendefinisikan kedermawanan sebagai kemurahan

Page 112: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

125  

hati perilaku orang lain, yang pada dasarnya mengandung faktor hubungan timbal balik

(reciprocity). Konsep kedermawanan ini berimplikasi bahwa orang cenderung dermawan

kepada mereka yang dermawan kepadanya, namun disisi lain orang cenderung menyakiti

orang yang telah menyakiti mereka (Rabin, 1993).

Implikasi lain dari hasil penelitian Selten and Stoecker (1986) dan Cooper et al (1991)

menunjukkan adanya kecenderungan dari tiap-tiap pemain untuk belajar memainkan game

secara strategis. Temuan ini sekaligus menolak asumsi di game theory bahwa setiap pemain

adalah rasional. Adanya kecenderungan untuk belajar dari pemain menunjukkan bahwa para

pemain tidak sepenuhnya rasional, namun mereka cenderung memiliki bounded rationality.

6.2. Desain Eksperimen

Desain eksperimen menggunakan setting seperti halnya analisis pada evolutionary game

theory. Dalam analisis evolutionary game theory, sebuah permainan dimainkan secara

berulang (repeated games) oleh banyak pemain. Pada setiap permainan, sepasang pemain

hanya bisa bertemu dan memainkan permainan hanya sekali saja. Metoda alokasi pasangan

dilakukan secara acak dan setiap pasang pemain tidak pernah bertemu lebih dari sekali

hingga permainan berhenti dilakukan. Dalam analisis evolutionary game theory, struktur

permainan tetap, namun demikian dimungkinkan adanya perubahan payoffs (payoffs

perturbation) yang tidak mengubah struktur permainan itu sendiri. Equilibrium konsep yang

digunakan di sini terletak pada berapa proporsi strategi yang dipakai oleh para pemain di

setiap tahap permainan.

Eksperimen dilakukan sebanyak tiga kelas dengan total peserta berjumlah 96 orang dan

masing-masing kelas dilakukan selama satu jam. Pada masing-masing kelas, diperlukan 32

orang subyek yang kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok sama besar, yaitu

kelompok Majapahit dan kelompok Sriwijaya. Pada layar monitor setiap pemain diberi kode,

misalnya S2 atau M15, yang berarti bahwa si pemain berada di group Sriwijaya (Majapahit)

dan bernomor anggota 2 (15).

Pada setiap kelas dilakukan dua tahap eksperimen, dan pada setiap tahapan terdiri dari 16

permainan. Setiap pemain akan memainkan 16 permainan yang berbeda dan dalam setiap

permainan tersebut, seorang pemain akan memainkan permainan dengan pemain lain dari

group lawan. Setiap pemain hanya akan memainkan satu jenis permainan dengan seorang

lawan dari kelompok lain dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi hingga sesi permainan

selesai.

Page 113: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

126  

Pada dasarnya permainan pada tahap satu dan tahap dua adalah sama. Namun demikian pada

tahap satu, setiap pemain hanya memiliki strategi A dan B. Pada tahap kedua nama strategi

tersebut diubah dari yang semula A menjadi ‘Berkoordinasi’ sementara strategi B diganti

nama menjadi ‘Tidak Mau Berkoordinasi.’

Karena setiap pemain hanya bertemu dengan seorang pemain lawan dan memainkan salah

satu jenis permainan sekali saja dan tidak pernah berulang selama satu tahapan, maka analisis

dari game tersebut bisa dianalisis sebagai one-shotgame. Di sisi lain, eksperimen yang ada

dapat pula dianalisis dalam konteks sebagai evolutionary game yang memungkinkan analisis

adanya proses pembelajaran (learning process) selama tahapan tersebut.

Analisis game theory menggolongkan prisoners’ dilemma sebagai non-cooperative game.

Namun demikian, analisis behavioural game theory menggolongkan prisoners’ dilemma baik

sebagai non-cooperative game maupun sebagai cooperative game bergantung pada persepsi

pemain. Jika pemain cenderung berorientasi pada pareto outcome, maka prisoners’ dilemma

secara subyektif bisa dianggap sebagai cooperative game (Romp, 1997).

Keenam belas permainan dalam setiap tahapan eksperimen memiliki struktur prisoners’

dilemma, namun demikian untuk setiap sesi permainan terjadi variasi besarnya payoffs atau

secara teknis disebut dengan payoffs perturbation. Payoffs perturbation dilakukan untuk

mengetahui apakah perilaku pemain berubah dengan adanya perubahan distribusi payoffs,

meskipun payoffs perturbation tersebut tidak mempengaruhi struktur permainan.

Analisis game theory menggolongkan prisoners’ dilemma sebagai non-cooperative game.

Namun demikian, analisis behavioural game theory menggolongkan prisoners’ dilemma baik

sebagai non-cooperative game maupun sebagai cooperative game bergantung pada persepsi

pemain. Jika pemain cenderung berorientasi pada pareto outcome, maka prisoners’ dilemma

secara subyektif bisa dianggap sebagai cooperative game.

Page 114: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

127  

Tabel 6.1. Distribusi Payoffs dari Keenambelas Prisoners’ Dilemma

d/a≥ 75% dan b = 0

(Manfaat Berkoordinasi

Rendah)

d/a≤ 25% dan b = 0

(Manfaat Berkoordinasi

Tinggi)

[(c-a)/a] ≥ 75% dan b = 0

(Biaya Koordinasi Tinggi)

Kombinasi R

(Sesi I, V, IX, XIII)

Kombinasi S

(Sesi II, VI, X, XIV)

[(c-a)/a] ≤25% dan b = 0

(Biaya Koordinasi Rendah)

Kombinasi T

(Sesi III, VII, XI, XV)

Kombinasi U

(Sesi IV, VIII, XII, XVI)

Keterangan:

- Nilai a = Rp100,000.-, untuk klasifikasi [(c-a)/a] ≥ 75%, maka nilai maksimum c adalah Rp200,000,-

sementara nilai terendah c adalah Rp175. Untuk klasifikasi [(c-a)/a] ≤25%, maka nilai tertinggi c adalah

Rp125,000 dan nilai terendah c adalah Rp105,000. Untuk klasifikasi d/a≥ 75%, maka nilai tertinggi d adalah

Rp95,000 dan nilai terendah d adalah Rp75,000. Untuk klasifikasi d/a≤ 25%, maka nilai tertinggi d adalah

Rp25,000 dan nilai terendah d adalah Rp5,000.

Variabilitas distribusi payoffs dilakukan dengan menggunakan metoda yang analog dengan

Goldfeld–Quandt testdalam mendeteksi heteroskedastisitas di Econometrics. Hal tersebut

dilakukan dengan menggunakan payoffsa sebagai reference point. Berapapun nilai a, maka

jika nilai a dilipatkan gandakan dua kali, maka kenaikan 100% tersebut dianggap sebagai

total distribusi dari a. Jika distribusi a dibagi menjadi empat sama besar, maka akan

membentuk kuartil. Seperti halnya metoda Goldfeld–Quandt test, quartil kedua dan ketiga

dihapuskan dan peningkatan variabilitas payoffs hanya menggunakan dua distribusi ekstrem,

yaitu kuartil pertama ([c-a]/a dan d/a maksimum adalah 25%) dan keempat (([c-a]/a dan d/a

maksimum adalah 75%). Diharapkan perubahan payoffs dengan menggunakan dua distribusi

payoffs yang ekstrem ini akan memudahkan kita menguji hipotesis apakah keputusan pemain

dipengaruhi oleh variabilitas payoffs meskipun struktur permainan sebenarnya tidak berubah.

Gambar 6.3 dan 6.4 merupakan contoh dari payoffs perturbation yang mengikuti aturan pada

Tabel 6.1. Pada Gambar 6.3. seorang pemain dimungkinkan memperoleh Rp200.000. Di sisi

Page 115: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

128  

lain, jika pemain berorientasi untuk memilih Nash equilibrium strategy, maka ada

kemungkinan yang bersangkutan hanya akan menerima Rp5.000.

Gambar 6.3.Contoh Distribusi Payoffs dari Kombinasi S

    Sriwijaya 

    A  B 

Majap

ahit 

M mendapat Rp100.000

S mendapat Rp100.000 

M mendapat Rp0

S mendapat Rp200.000 

M mendapat Rp200.000

S mendapat Rp0 

M mendapat Rp5000

S mendapat Rp5000 

Didasarkan pada kriteria Tabel 6.1. payoffs pada Gambar 6.3 termasuk pada kombinasi S,

yaitu memiliki biaya koordinasi tinggi dan manfaat koordinasi yang tinggi pula. Biaya

koordinasi diukur berdasarkan pada rasio ([c-a]/a) ≥ 75%, yang pada Tabel 6.2 nilai rasio

tersebut adalah 100%. Di sisi lain, permainan pada Gambar 6.3. memiliki manfaat koordinasi

yang tinggi pula d/a ≤ 25% , yang pada kasus ini nilai rasio d/a = 95%.

Gambar 6.4.Contoh Payoffs dari Kombinasi U

    Sriwijaya 

    A  B 

Majap

ahit  A 

M mendapat Rp100.000

S mendapat Rp100.000 

M mendapat Rp0

S mendapat Rp105.000 

M mendapat Rp105.000

S mendapat Rp0 

M mendapat Rp95.000

S mendapat Rp95.000 

Page 116: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

129  

Permainan pada Gambar 6.4. memiliki distribusi payoffs yang berbeda dibanding permainan

pada Gambar 6.3. distribusi payoffs ini tergolong ke dalam kombinasi U dimana memiliki

biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi rendah. Sisa keempat belas payoffs

perturbations bisa dilihat pada Lampiran.

Tes hipotesis akan menguji apakah distribusi pilihan strategi di permainan-permainan yang

tergabung dalam kombinasi R akan berbeda secara statistik terhadap pilihan strategi di

permainan-permainan yang tergabung di kombinasi U. Uji statistik juga akan dilakukan untuk

mengetahui apakah distribusi strategi di kombinasi R atau U berbeda dengan distribusi

strategi di kombinasi S maupun T. Apabila tidak ditemukan perbedaan yang secara statistik

signifikan antar distribusi strategi di masing-masing kombinasi, maka bisa disimpulkan

bahwa pemain berperilaku sepenuhnya rasional seperti yang diasumsikan di teori ekonomi.

Namun demikian jika terbukti sebaliknya, maka asumsi rasionalitas di teori ekonomi kurang

memiliki landasan pijak pembuktian di level empiris. Dengan kata lain, mungkin saja pelaku

ekonomi sebenarnya berperilaku rasional, namun konsep rasionalitas yang digunakan berbeda

dengan konsep rasionalitas yang di kenal di teori ekonomi (von Neumann-Morgenstern

Expected Utility Function).

Tidak dipungkiri bahwa perilaku pelaku ekonomi di dunia nyata tidak serasional yang

diasumsikan di teori ekonomi. Pelaku ekonomi didefinisikan berperilaku rasional jika pelaku

tersebut memilih strategi mengikuti von Neumann-Morgenstern Expected Utility Function

(EU) (Mas-Collel et al, 1995). Berbagai hasil eksperimen, baik di bidang pengambilan

keputusan individu2 maupun di bidang game theory3 menunjukkan bahwa tidak cukup bukti

yang mendukung hipotesis bahwa pelaku ekonomi memilih strategi sesuai dengan EU.

Dengan kata lain adalah bahwa pelaku ekonomi di dunia nyata berperilaku rasional, hanya

saja definisi rasionalitas yang dipakai pelaku ekonomi bukanlah konsep rasionalitas yang

dikenal di teori ekonomi neo klasik (von Neumman-Morgenstern Expected Utility)

(Pradiptyo, 2006).

Dalam teori ekonomi, rasionalitas didefinisikan sebagai konsistensi dalam pengambilan

keputusan karena pelaku ekonomi memiliki selera yang stabil atau tetap. Namun demikian,

dalam dunia nyata, konsistensi pengambilan keputusan adalah sesuatu yang sulit dilakukan,

                                                 2 Allais (1954), Tversky dan Kahneman (1979), Knetsch (1994), Knetsch dan Sinden (1989) untuk decision making under risk, Elsberg (1961) untuk decision making under uncertainty, dan Holt (1979) untuk preference reversal. 3 Cooper et al (1991), Selten and Stoecker (1986), Pradiptyo (1998)

Page 117: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

130  

apabila tidak bisa dikatakan sebagai mustahil (Pradiptyo, 2006). Pertanyaan yang perlu

diajukan kemudian adalah apakah keputusan pemain dipengaruhi oleh variabilitas distribusi

payoffs? Pembagian distribusi payoffs seperti pada Tabel 6.1 sengaja di desain untuk

mengakomodasi kemungkinan tersebut.

Pada tahap pertama eksperimen, setiap pemain hanya mengetahui bahwa alternatif strategi

yang dihadapi berlabel A dan B. Namun pada tahap kedua, label A dan B pada kedua strategi

ini diganti berturut-turut dengan ‘Berkoordinasi’ dan ‘Tidak Mau Berkoordinasi’. Pilihan

kata-kata ini tidak muncul demikian saja tanpa tujuan. Tujuan penggantian nama strategi

pada tahap ke dua dimaksudkan untuk menguji hipotesis apakah pengambilan keputusan dari

responden dipengaruhi oleh framing effect (Kahneman and Tversky, 1986). Framing effect

adalah fenomena dalam proses pengambilan keputusan, dimana keputusan pengambilan

keputusan akan cenderung berbeda jika permasalahan pengambilan keputusan disajikan

dengan kata-kata yang berbeda, meskipun secara substansi tidak berbeda.

Dalam struktur asli prisoners’ dilemma game, strategi yang ada adalah ‘cooperate’ atau

berkooperasi dan ‘defect’ atau berkhianat. Sengaja kata ‘berkhianat’ diganti dengan kata

‘tidak mau berkooperasi’ dengan alasan sebagai berikut:

1. Istilah ‘tidak mau berkooperasi’ lebih tepat diterapkan untuk menggambarkan

kerjasma antar lembaga pemerintah. Artinya adalah bahwa departemen cenderung

fokus kepada upaya pemenuhan terhadap TUPOKSI lembaga tersebut daripada

berkoordinasi. Masalah ini semakin kompleks ketika di dalam TUPOKSI tersebut

memang kata-kata ‘koordinasi’ langka atau bahkan tidak pernah dicantumkan.

2. Dari sudut makna, perbedaan makna ‘berkoordinasi’ yang cenderung bermakna

positif, tidak berbeda jauh dengan ‘tidak mau berkoordinasi’. Tidak mau

berkoordinasi belum tentu dikonotasikan negatif, tidak seperti halnya kata

‘berkhianat’. Jika test statistik dilakukan pada dua makna yang tidak terlalu kontras

menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik, maka bisa diambil kesimpulan

bahwa test statistik untuk dua makna yang sangat kontras pasti akan signifikan pula.

Namun demikian pengambilan kesimpulan ini belum tentu berlaku sebaliknya.

Subyek pada eksperimen ini terbuka bagi semua civitas akademika di lingkungan Universitas

Gadjah Mada. Maksimum hadiah diberikan sebesar Rp200.000 dan minimum remunerasi

yang diberikan adalah sebesar Rp0. Remunerasi ini akan dibayarkan bergantung pada

keputusan subyek di setiap permainan dan berapa hasil yang diperoleh. Dari 32 sesi

Page 118: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

131  

permainan, subyek akan memilih salah satu sesi secara acak dan berapapun nilai yang

diperoleh di sesi tersebut akan dibayar oleh tim peneliti. Remunerasi maksimal sebesar

Rp200.000 tentu sangat menarik bagi para mahasiswa. Angka ini cukup signifikan di

kalangan mahasiswa. Sebagai perbandingan, harga satu porsi lontong opor di kantin FEB-

UGM hanyalah Rp5.000.

6.3. Hasil Eksperimen

6.3.1. Kecenderungan Berkoordinasi

Tabel 6.2 menunjukkan proporsi hasil permainan pada tahap-tahap tertentu. Pada Tahap 1

rata-rata proporsi munculnya koordinasi atau Pareto Optimum (A:A) adalah sebanyak 5,1%.

Di sisi lain rata-rata proporsi munculnya Nash Equilibrium (B:B) adalah sebesar 83,2%.

Terlihat bahwa tidak ada perbedaan angka yang mencolok antara tahap 1 dan tahap 2. Pada

Tahap 2 dari eksperimen, rata-rata proporsi Pareto Optimum (A:A) dimainkan sebanyak

5,2%, sementara Nash Equilibrium (B:B) dimainkan sebanyak 84,8%.

Tabel 6.2. Proporsi Strategi yang Diambil Pasangan Pemain

Tahap 1 A:A A:B& B:A B:B

Game 1-4 1,05 22,9 76,0 Game 5-8 2,10 16,7 81,3 Game 9-12 1,1 20,4 78,6 Game 13-16 0,5 8,4 91,2 Game 1-16 1,2 17,1 81,8

Tahap 2 A:A A:B& B:A B:B

Game 1-4 3,2 16,2 80,7 Game 5-8 0,0 13,6 86,5 Game 9-12 0,0 16,7 83,3 Game 13-16 0,0 11,5 88,5 Game 1-16 0,8 14,5 84,8

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Proporsi Pareto Optimum (A,A) yang dimainkan di game 1-4 hingga 13-16 pada kedua

tahapan eksperimen adalah cenderung kecildan tidak menunjukkan perbedaan yang kontras.

Pada tahap 1 Pareto Optimum (A,A) dihasilkan hanya sekitar 1% dari total outcome yang

dihasilkan baik di game 1-4 hingga game 13-16. Hasil yang serupa dihasilkan pada tahap ke

2.

Hasil di atas menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan dengan pemahaman pemain

terhadap game. Keberadaan learning process tidak terbukti di hasil eksperimen ini dan

Page 119: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

132  

temuan ini berbeda dibandingkan dengan hasil eksperimen sebelumnya (Cooper et al, 1991,

1996, Selten and Stoecker, 1986, Pradiptyo, 1998). Satu hal yang terjadi pada semua

eksperimen di atas adalah bahwa semua subyek memainkan sesi latihan sebelum permainan

utama dilakukan.

Dominasi outcome permainan oleh Nash Equilibrium strategi (B,B) menunjukkan bahwa

hipotesis pengaruh faktor kedermawanan berpengaruh terhadap perilaku subyek di

eksperimen ini tidak terbukti. Satu argumen yang masih berperan dan mampu menjelaskan

hasil eksperimen di atas adalah bahwa subyek cenderung berperilaku rasional seperti yang

diasumsikan oleh teori ekonomi. Hal ini berarti bahwa perilaku subyek cenderung seperti

homo economicus yang hanya mementingkan besaran-besaran hitungan ekonomis semata

dalam proses pengambilan keputusannya. Artinya adalah bahwa subyek dalam penelitian ini

memiliki kecenderungan yang kuat untuk tidak mempertimbangkan faktor lain dalam

pengambilan keputusan, misalnya faktor-faktor sosial, budaya dan psikologi.

Permasalahan ini menjadi semakin serius ketika peserta eksperimen ini terbuka bagi seluruh

civitas akademika di lingkungan UGM. Peserta tidak saja berasal dari mahasiswa dan

karyawan dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, namun banyak diantara peserta adalah

mahasiswa dari fakultas lain di lingkungan UGM, baik dari sosial maupun non-sosial.

Argumen alternatif yang mungkin bisa menjelaskan hasil di atas mungkin adalah besarnya

proporsi peserta yang pernah mengambil mata kuliah game theory. Argumentasi inipun,

sayangnya, mudah sekali dipatahkan, mengingat di UGM game theory hanya diajarkan di dua

tempat yaitu di Jurusan Matematika dan Jurusan Ilmu Ekonomi. Tidak ada seorang

pesertapun yang berasal dari Jurusan Matematika, dan mahasiswa Ilmu Ekonomi yang

berpartisipasi di eksperimen inipun tidak banyak.

Didasarkan pada pertimbangan pemikiran di atas, maka hanya ada satu argumen yang bisa

menjelaskan hasil eksperimen di atas adalah bahwa subyek cenderung berfikir seperti halnya

homo economicus. Terlepas dari latar belakang pendidikan mereka, hasil penelitian

menunjukkan bahwa mayoritas subyek memilih Nash Equilibrium strategi (D) karena mereka

fokus pada satu hal, yaitu faktor ekonomi semata. Artinya pertimbangan faktor moneter dan

keakuan dari subyek merupakan dua hal yang menjadi fokus dalam pengambilan keputusan

mereka. Hasil ini patut menjadi perhatian kita semua karena temuan ini menunjukkan adanya

kecenderungan bahwa subyek eksperimen cenderung bersifat materialistik dan cenderung

Page 120: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

133  

egois. Pertanyaan yang perlu dijawab kemudian adalah, bagaimana dengan hasil eksperimen

serupa yang dilakukan di negara lain?

Tabel 6.3. Proporsi Hasil Permainan (Cooper, et al, 1991)

Sesi Permainan Proporsi (A:A) Terpilih 1-5 43% 6-10 33%

11-15 25% 16-20 20%

Sumber: Cooper, et al (1991)

Hasil eksperimen di studi ini ternyata sangat berbeda dengan hasil eksperimen yang

dilakukan oleh Cooper et al (1991) seperti terlihat pada Tabel 6.3 berikut. Hasil eksperimen

yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) di USA membuktikan adanya proses belajar untuk

memainkan strategi Nash Equilibrium. Di awal sesi permainan, game 1-5, Nash Equilibrium

dimainkan 43%, dan sejalan dengan makin seringnya permainan dilakukan, terjadi penurunan

proporsi strategi kooperasi dimainkan. Pada permainan ke 16-20, proporsi outcome Pareto

Optimum yang dihasilkan hanya 20%.

Hasil eksperimen Cooper et al (1991) juga menunjukkan bahwa subyek eksperimen mereka

cenderung memiliki rasa altruism yang jauh lebih tinggi dibandingkan subyek eksperimen di

penelitian ini. Artinya, subyek di studi Cooper et al (1991) di USA cenderung

mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan psikologi dalam pengambilan keputusan mereka.

Beberapa faktor sosial dan psikologi yang mungkin bias digunakan untuk menjelaskan hasil

eksperimen Cooper et al (1991) adalah adanya faktor kedermawanan (altruism), keadilan

(fairness) dan juga proses pembelajaran untuk memainkan suatu strategi.

Implikasi dari temuan di penelitian ini cukup mengejutkan, yaitu bahwa subyek di penelitian

ini cenderung lebih berorientasi kepada faktor ekonomi dan lebih egois dibandingkan dengan

subyek penelitian yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) di USA. Hasil ini cukup

mengejutkan karena selama ini bangsa Indonesia seakan percaya bahwa sifat bangsa kita

adalah suka menolong, suka gotong royong dan ramah. Namun demikian, hasil eksperimen

ini tidak memberikan dukungan sedikitpun terhadap jargon-jargon yang selama ini dipercayai

oleh sebagian bangsa Indonesia.

Page 121: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

134  

Tabel 6.4. Proporsi Memainkan Strategi Kooperatif

Perlakuan Proporsi Bermain Kooperatif

PD, 10 perioda terakhir 22%

PD-FR, permainan pertama 52%

PD-FR, permainan kedua 57%

Sumber: Cooper et al, 1996

Tabel 6.4. menunjukkan hasil eksperimen cooper et al (1996) dan hasil ini mendukung hasil

eksperimen oleh Cooper (1991) sebelumnya. Meski pada sepulih periode terakhir prisoners’

dilemma, proporsi strategi kooperatif masih 22%. Angka ini jauh dari hasil eksperimen pada

studi ini dimana strategi kooperatif hanya dimainkan antara 1-2% saja meski di awal

permainan.

Jika permainan dilakukan secara berulang terbatas (finitely repeated atau FR), maka

kecenderungan berkooperasi semakin besar yaitu di atas 50%. Hal ini terjadi karena subyek

pada eksperimen berulang terbatas (FR) cenderung berusaha menjaga reputasi mereka

masing-masing dihadapan lawan. Perlu dicatat, bahwa pada skenario FR, maka dua orang

pemain akan memainkan satu game berulang-ulang dengan perulangan terbatas, sehingga

tidak terelakkan terdapat efek reputasi dalam permainan seperti itu.

Cooper et al (1996) membuat pengelompokkan terhadap jenis pemain di dalam

eksperimennya didasarkan pada strategi yang dipilih. Seorang pemain digolongkan sebagai

seorang altruist (egoist) jika pemain tersebut memainkan strategi kooperatif lebih dari

(kurang dari) 50% dari total frekuensi strategi yang dipilihnya. Seorang pemain digolongkan

sebagai lain-lain jika yang bersangkutan memainkan strategi kooperatif tepat 50% dari total

frekuensi strategi yang dipilihnya.

Tabel 6.5. Proporsi Jenis Pemain Memainkan Prisoners’ Dilemma

Proporsi Jenis Pemain dari Prisoners Dilemma (40 Pemain)

Type 10 permainan pertama 10 permainan terakhir

Altruist 15% 12,5%

Egois 62,5% 85%

Lain-lain 22,5% 2,5%

Sumber: Cooper, et al (1996)

Page 122: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

135  

Tabel 6.5 menunjukkan hasil yang menarik dari penelitian Cooper et al (1996). Pada sepuluh

permainan awal, proporsi pemain yang bersifat altruist adalah 15% saja, sementara proporsi

pemain egois adalah 62,5%. Sejalan dengan semakin banyaknya permainan yang dilakukan,

di 10 permainan terakhir, komposisi jenis pemain tersebut berubah cukup drastic. Pada 10

permainan terakhir, proporsi pemain egois meningkat menjadi 85%, sementara jumlah

pemain altruist turun sedikit dari 15% menjadi 12,5%. Proporsi pemain lain-lain turun drastis

di 10 permainan akhir yang hanya dimainkan oleh 2,5% total pemain (40 orang) dari yang

semula proporsinya mencapai 22,5%.

Berbagai studi eksperimen di prisoners’ dilemma4 selalu menunjukkan bahwa perilaku

subyek cenderung untuk tidak mengikuti solusi yang ditawarkan oleh game theory. Ketika

game theory mendasarkan bahwa semua pemain berperilaku rasional, terbukti bahwa dari

berbagai eksperimen tersebut ternyata pemain tidak sepenuhnya rasional5. Dengan kata lain,

mungkin sebenarnya pemain berperilaku rasional, namun definisi rasionalitas yang digunakan

oleh pemain tidaklah identik dengan defisini rasionalitas yang dipakai di Ilmu Ekonomi yang

didasarkan pada von Neumann-Morgernstern expected utility (EU) function (Pradiptyo,

2006).

Namun temuan pada hasil eksperimen ini ternyata bertentangan dengan studi-studi serupa

yang notabene dilakukan di USA dan Eropa. Apakah kecenderungan subyek di eksperimen

ini cenderung untuk berperilaku materialistik dan egois karena mereka hidup di negara

sedang berkembang yang sistemnya banyak mengandung ketidaktentuan? Ataukah karena

ada unsur-unsur sosial dan budaya yang menyebabkan subyek di eksperimen ini cenderung

berperilaku materialistik dan egois? Spekulasi-spekulasi ini muncul akibat anomali hasil

eksperimen ini relatif terhadap hasil-hasil studi di bidang yang sama. Untuk mampu

menjawab berbagai alternatif hipotesis tersebut, penelitian lebih mendalam perlu dilakukan di

masa mendatang untuk lebih mengetahui pola pikir dan rasionalitas bangsa Indonesia.

Gambar 6.5 sampai dengan Gambar 6.7 menggambarkan persentase strategi yang diambil

oleh pasangan pemain pada setiap game di tahap 1 dan 2. Gambar 6.5 menunjukkan

persentase strategi A:Ayang diambil oleh pasangan pemain. Persentase tertinggi strategi A:A

yang diambil adalah 2,1% sedangkan persentase terendah strategi A:A adalah 0%. Tidak

terlihat pola kecenderungan yang signifikan dari game 1 s.d. 16 pada kedua tahap. Namun,

                                                 4 Lihat Cooper, et al (1991, 1996), Selten and Stoecker (1986) dan Pradiptyo (1999).  5 Simon (1955) menyebut fenomena tersebut sebagai bounded rationality. 

Page 123: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

136  

persentase strategi A:A tertinggi tercapai pada kombinasi S dan U (game ke-2, 4, 6, dan 8)

yang mengindikasikan bahwa pemain cenderung memilih koordinasi saat manfaat koordinasi

tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pasangan pemain lebih banyak tidak memilih strategi

A:A (0%) di tahap kedua, atau setelah framing effect dijalankan.

Gambar 6.5. Persentase Strategi A:A Tahap 1 dan 2

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Gambar 6.6 menunjukkan persentase strategi A:B dan B:A yang diambil oleh pasangan

pemain pada kedua tahap. Pola kecenderungan yang terlihat dari pengambilan strategi A:B

dan B:A adalah: prosentase cenderung tinggi di kombinasi R, kemudian menurun di

kombinasi S dan T.

Page 124: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

137  

Gambar 6.6. Persentase Strategi A:B dan B:A Tahap 1 dan 2

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Gambar 6.7 menunjukkan persentase strategi B:B yang diambil pasangan pemain di kedua

tahap. Pola kecenderungan yang terlihat adalah persentase B:B cenderung meningkat dari

kombinasi R, S, dan T namun menurun di kombinasi U. Persentase cenderung menurun di U

karena biaya berkoordinasi rendah dan manfaat yang diperoleh dari berkoordinasi tinggi.

Perubahan persentase strategi B:B yang diambil pasangan pemain menunjukkan bahwa

pemain merespon perubahan payoffs.

Gambar 6.7. Persentase Strategi B:B Tahap 1 dan 2

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Page 125: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

138  

6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek

Pada bagian sebelumnya analisis hanya dilakukan tanpa melihat pengelompokan variabilitas

payoff (payoff perturbations). Pada bagian ini akan dibahas mengenai kemungkinan payoff

perturbations dan dampaknya terhadap perilaku subyek dalam berkoordinasi. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, diantara keempat kombinasi payoffs (R,S,T dan U), kombinasi R dan

U adalah dua kombinasi yang paling ekstrem. Kombinasi R adalah kombinasi payoffs yang

memiliki biaya berkoordinasi tinggi dan manfaat koordinasi rendah, sebaliknya kombinasi U

memiliki distribusi payoffs yang memiliki biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi

tinggi.

Gambar 6.8 sampai dengan Gambar 6.10 menunjukkan persentase strategi yang diambil

pasangan pemain dalam setiap kombinasi payoffs (R, S, T, & U) pada kedua tahap permainan.

Gambar 6.8 menunjukkan persentase strategi A:A yang diambil dalam setiap kombinasi,

namun tidak terlihat pola kecenderungan dalam setiap kombinasi. Walaupun demikian,

persentase strategi A:A di kombinasi U cenderung lebih tinggi. Kecenderungan ini sesuai

dengan Gambar 6.5, kecenderungan pasangan pemain berkoordinasi meningkat saat biaya

koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi.

Gambar 6.8. Persentase Strategi A:A Pada Setiap Kombinasi Payoffs

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Hasil ini menunjukkan bahwa meski subyek di eksperimen ini cenderung materialistik dan

egois, namun karena orientasi materialism yang tinggi itulah maka perilaku berkoordinasi

mereka sangat dipengaruhi oleh distribusi payoffs. Tacit cooperation mungkin dilakukan

Page 126: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

139  

meskipun dalam non-cooperative game seperti prisoners’ dilemma jika distribusi payoffs

dalam game tersebut cenderung mendukung perilaku kooperatif.

Gambar 6.9 menunjukkan persentase strategi A:B& B:A yang diambil pasangan permainan

dalam setiap kombinasi payoffs. Pola yang terbentuk relatif sama dengan pola pada Gambar

6.6. Pada saat biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi rendah (R), kecenderungan

salah satu pemain untuk tidak berkoordinasi meningkat. Menarik untuk dilihat adalah

kombinasi U: persentase salah satu pemain memilih berkoordinasi lebih tinggi pada tahap 1

dibanding pada tahap 2. Hal ini mengindikasikan dua hal yaitu pemain mengalami learning

process dan pemain cenderung rasional pada tahap akhir permainan.

Gambar 6.9. Persentase Strategi A:B & B:A Pada Setiap Kombinasi Payoffs

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Pola pada Gambar 6.10 identik dengan pola pada Gambar 6.7: persentase pasangan pemain

yang tidak berkoordinasi relatif kecil pada kombinasi U di tahap pertama. Hal ini

mengindikasikan bahwa pilihan tidak berkoordinasi cenderung menurun saat biaya

koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi.Walaupun demikian, persentase pasangan

pemain tidak berkoordinasi pada kombinasi U meningkat di tahap kedua. Perbandingan

persentase kombinasi U pada kedua tahap memberikan indikasi indikasi bahwa pemain

cenderung rasional pada tahap akhir permainan.

Page 127: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

140  

Gambar 6.10. Persentase Strategi B:B Pada Setiap KombinasiPayoffs

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Tabel 6.6 menunjukkan proporsi strategi yang diambil dalam kombinasi payoffs di setiap

tahap. Sebagian besar pemain di tahap 1 memilih strategi B dengan rentang 86,2-95,1% dan

persentase tertinggi terjadi pada kombinasi T. Pada tahap kedua, pemain yang tidak mau

berkoordinasi memiliki proporsi yang lebih besar yaitu 89,1-96,1% pada kombinasi payoffs.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap pemain lebih memilih strategi B atau tidak mau

berkoordinasi.

Tabel 6.6. Proporsi Strategi yang Diambil Dalam Kelompok Payoffs

Strategi Tahap 1 R S T U A 11,7 8,3 4,9 13,8 B 88,3 91,7 95,1 86,2 Strategi Tahap 2 R S T U Berkoordinasi 10,9 7,6 3,9 9,6 Tidak Mau Berkoordinasi 89,1 92,4 96,1 90,4

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Gambar 6.11 menunjukkan pola strategi yang diambil oleh pemain dalam kombinasi payoffs

pada tahap 1. Proporsi strategi A terbesar terjadi dalam kombinasi U sedangkan terendah

terjadi pada kombinasi T. Pola proporsi strategi B adalah kenaikan persentase dari kombinasi

R, S, dan T kemudian menurun pada kombinasi U. Pola yang sama juga muncul di Gambar

6.8.

Page 128: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

141  

Gambar 6.11. Persentase Strategi A & B dalam Kombinasi Payoffs Tahap 1

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Tabel 6.6 menunjukkan uji statistika yang membandingkan satu kombinasi payoffs dengan

kombinasi lainnya di tahap 1. Jika tingkat signifikansi adalah 5%, maka proporsi kombinasi

yang memiliki perbedaan signifikan adalah kombinasi R & T, S & T, S & U, dan T & U.

Perbedaan signifikan antara kombinasi R & T, S & T, dan S & U menunjukkan bahwa biaya

koordinasi yang berbeda dapat mempengaruhi keputusan yang diambil pemain. Kombinasi T

& U yang berbeda secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan manfaat koordinasi

memiliki pengaruh terhadap keputusan yang diambil pemain. Menarik untuk dicatat bahwa

kombinasi R & S tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan

manfaat koordinasi tidak mempengaruhi keputusan pemain.

Gambar 6.12. Persentase Strategi A & B dalam Kelompok Payoffs Tahap 2

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Page 129: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

142  

Tabel 6.7 menunjukkan uji statistika antara kombinasi payoffs di tahap kedua yaitu setelah

framing effect dijalankan. Hasil uji tidak jauh berbeda dengan tahap 1 kecuali kombinasi S

dan U. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan biaya dapat mempengaruhi keputusan

pemain, dengan asumsi manfaat koordinasi yang sama.

Tabel 6.7. Matriks Perbandingan Antar Kombinasi Payoffs Tahap 1& 2

Kelompok Tahap 1

Signifikansi (p-value)

Kelompok Tahap 1

Kelompok Tahap 2

Signifikansi (p-value)

Kelompok Tahap 2

Kombinasi R MWT=0,119 Kombinasi S Kombinasi R MWT=0,106 Kombinasi S

Kombinasi R MWT=0,001 Kombinasi T Kombinasi R MWT=0,000 Kombinasi T

Kombinasi R MWT=0,387 Kombinasi U Kombinasi R MWT=0,553 Kombinasi U

Kombinasi S MWT=0,060 Kombinasi T Kombinasi S MWT=0,030 Kombinasi T

Kombinasi S MWT=0,060 Kombinasi U Kombinasi S MWT=0,303 Kombinasi U

Kombinasi T MWT=0,016 Kombinasi U Kombinasi T MWT=0,002 Kombinasi U Keterangan: MWT=Mann-Whitney Test Sumber: Hasil eksperimen, diolah

Perbandingan antar kombinasi payoffs sebelum dan sesudah framing effect ditunjukkan oleh

Tabel 6.7. Kombinasi R, S, dan T sebelum dan sesudah framing effecttidak berbeda secara

signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa framing effect tidak mempengaruhi pemain dalam

mengambil keputusan.Kombinasi U sebelum dan sesudah framing effect berbeda secara

signifikan.

Tabel 6.8. Perbandingan Antar KombinasiPayoffs Sebelum dan Sesudah Framing Effect

Kelompok Tahap 1 Signifikansi (p-value)1 Kelompok Tahap 2

Kombinasi R WSR=0,691 Kombinasi R

Kombinasi S WSR=0,639 Kombinasi S

Kombinasi T WSR = 0,433 Kombinasi T

Kombinasi U WSR = 0,029 Kombinasi U 1 WSR=Wilcoxon Signed Rank Test

Sumber: Hasil eksperimen, diolah

Proporsi strategi A berbeda secara signifikan dengan proporsi strategi B di tahap pertama,

demikian pula di tahap kedua, proporsi berkoordinasi berbeda secara signifikan dengan

Page 130: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

143  

proporsi tidak mau berkoordinasi. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi strategi B atau

tidak mau berkoordinasi lebih dominan selama kedua tahap.

Tabel 6.9. Perbandingan Proporsi Strategi Diambil dalam Setiap Tahap

Tahap 1

Permainan Strategi A Strategi B Proporsi A Proporsi B Signifikansi1

1 149 1387 0,10 0,90 0,000

Tahap 2

Permainan Berkoordinasi Tidak Mau Berkoordinasi

Proporsi Koordinasi

Proporsi Tidak Mau

Berkoordinasi Signifikansi

1 123 1413 0,09 0,92 0,000

1binomial test

Sumber: Hasil eksperimen, diolah

Tabel 6.9 merinci proporsi strategi diambil di setiap permainan. Hasil uji statistika

menunjukkan bahwa proporsi A dan B berbeda secara signifikan di semua permainan di tahap

1. Proporsi berkoordinasi dan tidak mau berkoordinasi juga berbeda secara signifikan di

semua permainan tahap 2. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi B dan tidak mau

berkoordinasi tidak lebih dominan.

Tabel 6.10. Perbandingan Proporsi Strategi Diambil dalam Setiap Permainan1

Tahap 1 Tahap 2

Frekuensi Strategi

Proporsi Strategi

Signifikansi

Frekuensi Strategi Proporsi Strategi

Game A B A B Game Berkoordinasi

Tidak Mau

Berkoordinasi

Berkoordinasi

Tidak Mau

Berkoordinasi

Signifikansi

1 15 81 0,16 0,84 0,000 1 16 80 0,17 0,83 0,000 2 9 87 0,09 0,91 0,000 2 10 86 0,1 0,9 0,000 3 5 91 0,05 0,95 0,000 3 5 91 0,05 0,95 0,000 4 19 77 0,20 0,80 0,000 4 12 84 0,13 0,88 0,000 5 6 90 0,06 0,94 0,000 5 6 90 0,06 0,94 0,000 6 11 85 0,11 0,89 0,000 6 9 87 0,09 0,91 0,000 7 6 90 0,06 0,94 0,000 7 4 92 0,04 0,96 0,000 8 17 79 0,18 0,82 0,000 8 7 89 0,07 0,93 0,000 9 18 78 0,19 0,81 0,000 9 12 84 0,13 0,88 0,000

Page 131: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

144  

10 7 89 0,07 0,93 0,000 10 5 91 0,05 0,95 0,000 11 5 91 0,05 0,95 0,000 11 3 93 0,03 0,97 0,000 12 13 83 0,14 0,86 0,000 12 12 84 0,13 0,88 0,000 13 6 90 0,06 0,94 0,000 13 8 88 0,08 0,92 0,000 14 5 91 0,05 0,95 0,000 14 5 91 0,05 0,95 0,000 15 3 93 0,03 0,97 0,000 15 3 93 0,03 0,97 0,000 16 4 92 0,04 0,96 0,000 16 6 90 0,06 0,94 0,000

1binomial test

Sumber: Hasil eksperimen, diolah

Perbandingan strategi yang diambil sebelum dan sesudah framing effect ditampilkan pada

Tabel 6.10. Uji statistika mengindikasikan bahwa framing effect signifikan pada tingkat

signifikansi 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan nama strategi menjadi

berkoordinasi dan tidak mau berkoordinasi dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh

pemain, meskipun dampaknya cenderung lemah.

Tabel 6.11. Perbandingan Sebelum dan Setelah Framing Effect

Uji Statistika Signifikansi Paired t-test 0,051 Wilcoxon signed rank test 0,051 Sign test 0,061 McNemar Test 0,061 Marginal Homogeneity Test 0,051

Sumber: Hasil eksperimen, diolah

Hasil ini menarik karena memiliki implikasi yang cukup panjang. Jika subyek cenderung

terpengaruh oleh framing effect, maka koordinasi antar individu yang memiliki tujuan yang

berlawanan seperti halnya di prisoners’ dilemma masih dimungkinkan selama dilakukan

framing effect yang mendukung pemilihan strategi untuk berkoordinasi. Bagi pengambil

kebijakan, maka adalah krusial untuk memahami bagaimana rasionalitas manusia Indonesia

mengambil keputusan dan framing effect seperti apa saja yang bisa digunakan untuk

meningkatkan kemungkinan koordinasi.

Aspek lain yang perlu dianalisis dari kecenderungan berkoordinasi adalah peran gender.

Persentase laki-laki dan perempuan yang memilih strategi B di tahap 1 meningkat di tahap 2.

Persentase laki-laki yang memilih strategi B meningkat 0,02% sedangkan persentase

perempuan meningkat 0,01%. Perbedaan pengambilan keputusan antar gender ini jelas tidak

signifikan.

Page 132: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

145  

Gambar 6.12. Persentase Strategi B di Tahap 1 dan Tidak Mau Berkoordinasi di Tahap 2 Sesuai Gender

Sumber: Hasil eksperimen, diolah

Tabel 6.12. Matriks Perbandingan Keputusan Antar Gender

Tahap Gender Signifikansi (p-value) Gender

Tahap 1 L uji t=0.687 P

Tahap 2 L uji t=0.652 P

Sumber: Hasil eksperimen diolah

Tabel 6.12 menunjukkan uji statistik terhadap kemungkinan perbedaan pengambilan

keputusan antara subyek laki-laki dan perempuan. Gender ternyata bukanlah faktor yang

mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemain baik di tahap 1 maupun tahap 2. Uji

statistika antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan. Hal ini

menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang sama dalam

memilih strategi.

6.4. Implikasi Hasil Ekperimen

Berbagai hasil eksperimen prisoners’ dilemma menunjukkan bahwa proporsi pilihan strategi

Pareto Optimum (A,A) relatif tinggi yaitu di atas 20%. Namun demikian, hasil penelitian ini

justru memberikan hasil yang berbeda secara signifikan dibandingkan hasil eksperimen dari

studi-studi sebelumnya. Subyek pada eksperimen ini cenderung tidak mengindahkan faktor-

faktor budaya dan psikologi, misalnya cinta, kedermawanan (altruism), keadilan (fairness),

kebersamaan maupun gotong royong, dalam proses pengambilan keputusan mereka. Berbeda

Page 133: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

146  

dengan pencitraan dan anggapan terhadap manusia Indonesia pada umumnya, ternyata

subyek cenderung berperilaku materialistik dan egois.

Subyek dikatakan materialistik karena mereka cenderung semata-mata mengikuti pada

distribusi besaran-besaran materi terbesar yang diharapkan akan diperoleh ketika mereka

memilih strategi. Di sisi lain ada unsur egoisme maupun kedengkian (envy) dalam memilih

strategi sehingga hasrat untuk memainkan strategi A atau berkoordinasi cenderung rendah.

Terdapat kecenderungan kuat bahwa subyek tidak ingin melihat orang lain memperoleh hasil

yang tinggi sementara dia sendiri sebenarnya tidak dirugikan apapun (karena mendapat Rp0).

Ternyata bagi sebagian subyek, melihat orang lain mendapatkan hasil yang lebih tinggi

ternyata menyakitkan hati. Tajamnya kedengkian ini peneliti observasi ketika peneliti

berbicara dengan para subyek pasca eksperimen.

Patut dicatat bahwa desain eksperimen yang digunakan adalah menyerupai evolutionary

game theory yang mempelajari tentang bagaimana kemunculan suatu budaya dilihat dari

analisis matematis. Apabila analisis evolutionary game theory digunakan, dan jika subyek

tadi representative, maka implikasinya cukup serius, yaitu bahwa masyarakat Indonesia

mungkin memiliki rasa kepercayaan atau prasangka baik terhadap orang lain yang cenderung

sangat rendah. Kedengkian melihat orang lain memperoleh hasil yang lebih tinggi, meskipun

tidak merugikan kita, ternyata sangat kuat. Hal ini diperparah oleh kecenderungan yang tinggi

untuk mengejar besaran-besaran yang bersifat materialistis semata dalam proses pengambilan

keputusan.

Dalam konteks koordinasi antar lembaga di Indonesia, maka hasil eksperimen ini perlu

mendapat perhatian serius karena terbukti bahwa kecenderungan untuk tidak mempercayai

orang lain relatif tinggi. Jika asumsi bahwa manusia Indonesia adalah cenderung

materialistis, egois dan tidak bisa melihat orang lain bahagia, maka hal ini tentu membuat

sulit koordinasi. Implikasinya adalah bahwa koordinasi antar instansi pemerintah sebenarnya

tak lebih dari sekedar pemanis bibir semata. Permasalahan menjadi semakin pelik, ketika

TUPOKSI (tugas pokok fungsi) dari masing-masing departmen pemerintah sangat jarang

sekali mencantumkan kata ‘koordinasi’. Kalaupun toh di dalam TUPOKSI terdapat kata

‘koordinasi’ namun pada praktiknya di Indonesia kata koordinasi seringkali diartikan hanya

sebatas pertemuan saja.

Apapun bentuk OJK yang nantinya akan dibuat oleh pemerintah, koordinasi antar lembaga-

lembaga yang terlibat dalam pengawasan LKB dan LKNB tentunya berperan sangat krusial.

Page 134: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

147  

Didasarkan pada hasil eksperimen pada studi ini, maka biaya transaksi (transaction costs)

untuk berkoordinasi antar lembaga pemerintah sebenarnya sangat tinggi. Implikasinya adalah

apakah akan dilakukan penggabungan dua atau lebih lembaga pemerintah dalam struktur

OJK, ataukah OJK lebih condong sebagai perbaikan sistem pengawasan yang merevitalisasi

peran-peran lembaga pengawas yang telah ada, maka faktor koordinasi berperan sangat

krusial.

Ketika koordinasi akan diterapkan di masyarakat yang cenderung tidak mempercayai orang

lain dan cenderung egois serta materialistik, maka diperlukan perencanaan hubungan antar

lembaga agar koordinasi tersebut bisa efektif. Pada kondisi seperti ini, seringkali pendekatan

dari bawah ke atas (bottom up) untuk koordinasi akan sulit dilakukan. Konsekuensinya,

koordinasi harus diatur secara formal dari atas ke bawah (top down) secara komprehensif dan

harus ditegakkan bahkan kadang harus dengan melibatkan sanksi hukum.

Page 135: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

148  

Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan

7.1. Pendahuluan

Lebih dari seabad lalu, sekelompok ekonom terkemuka dunia mengemukakan madzab ilmu

ekonomi yang disebut dengan Austrian Economics. Dimotori oleh Hayek, Bohm Bawerk dan

kawan-kawan, di akhir tahun 1800-an hingga awal 1900-an madzab ini mulai dikenal di

khasanah ilmu ekonomi.

Berbeda dengan para ekonom madzab Klasik, Neo-Klasik maupun Keynesian, ketika itu,

para ekonom Austrian Economics tidak mempercayai analisis comparative static. Menurut

mereka, perekonomian tidak semudah pindah dari satu equilibrium ke equilibrium lain dalam

suatu rentang waktu tertentu. Mereka berpendapat, bahwa perekonomian selalu berubah

setiap saat, dan pelaku ekonomi dituntut memiliki kemampuan adaptasi dan antisipasi

terhadap perubahan yang terjadi setiap waktu tersebut.Perubahan di dalam kehidupan dan

kondisi perekonomian adalah hal yang tidak dielakkan.Dalam kondisi ini pelaku ekonomi

yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu mengantisipasi dan beradaptasi dengan

perubahan perekonomian.

Proposisi-proposisi para ekonom Austrian Economics nampaknya sangat tepat diterapkan

untuk kasus OJK ini. Kebutuhan terhadap lembaga pengawas lembaga keuangan tertuang di

pasal 34 UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian di amandemen

melalui UU Nomor 3 tahun 2004. Meski demikian, hingga saat ini peneliti kesulitan

memperoleh kajian akademik latar belakang dan alasan rasional yang bisa

dipertanggungjawabkan secara akademik tentang perlunya lembaga pengawas. Hal lain yang

lebih aneh adalah, dari berbagai struktur alternatif lembaga pengawas yang ada di dunia,

mengapa struktur versi RUU OJK cenderung mendekati FSA yang telah terbukti gagal?

Terkait dengan masalah moral hazard yang timbul di industri keuangan, keberadaan lembaga

pengawas tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi.Namun demikian, apakah formatnya harus

seperti yang terdapat di RUU OJK yang diajukan pemerintah? Jawabannya jelaslah belum

tentu mengingat banyaknya alternatif struktur OJK yang ada dan tidak adanya bukti empiris

bahwa satu bentuk OJK lebih unggul daripada bentuk OJK lain di semua negara. Apa yang

terjadi bukanlah pada OJK bukanlah one fits for all, namun lebih cenderung menggunakan

Page 136: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

149  

pendekatan kasus per kasus. Implikasinya adalah bahwa kuranglah tepat jika struktur OJK

didesain berdasarkan struktur OJK yang ada di negeri lain. Pertanyaan yang paling tepat

dilontarkan adalah, bagaimanakah struktur OJK yang paling optimum untuk INDONESIA??

Gambar 7.1. Konteks Pembentukan OJK yang Efektif dan Efisien

Gambar 7.1. menunjukkan konteks pengambilan keputusan yang saat ini dihadapi oleh

bangsa Indonesia terkait dengan OJK. Rencana pembentukan OJK telah dicanangkan melalui

UU Nomor 23 tahun 1999. Ketika itu perekonomian Indonesia masih terkena dampak krisis

Asia yang dimulai tahun 1997. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu disebabkan

oleh mismanagement bank-bank umum. Pada periode itu pulalah di negara-negara maju

dibentuk lembaga pengawas lembaga keuangan dengan berbagai macam alternatif struktur.Di

Inggris dibentuk FSA seperti yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu.Perlu dicatat bahwa

semua kejadian ini terjadi sebelum krisis 2007 dan 2008.

Krisis ekonomi tahun 2007 dan 2008, akibat sub-prime mortgage, membuktikan kegagalan

peran FSA di Inggris. Biaya kegagalan FSA sangat tinggi. Tidak saja Bank of England (BOE)

terpaksa melakukan bailout terhadap Northern Rock, namun juga harus melakukan paket

penyelamatan terhadap bank-bank umum seperti halnya Lloyd TSB, Royal Bank of

Scotland, dan building society misalnya Hallifax serta Bradford and Bingley. Krisis ekonomi

FSA 

Twin Peaks, Institusional, Fungsional 

RUU OJK OJK 

Efisien dan 

Efektif? 

Pasca Krisis 1997 atau Pra Krisis 2007 

KRISIS Pasca Krisis 2007 

Page 137: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

150  

di Inggris berkepanjangan dan menyebabkan banyak terjadi penutupan cabang-cabang di

sektor retail seperti yang dialami oleh Argos dan toko buku Borders.

Baru-baru ini pemerintahan partai Konservatif di Inggris membubarkan FSA dan

mengembalikan fungsi pengawasan di bawah Bank of England. Struktur sistem pengawasan

lembaga keuangan alternatif, seperti sistem institusional, fungsional dan twin peaks, tetap

berjalan hingga saat ini. Dibalik semua kisah ini, yang mengherankan adalah bahwa RUU

OJK ternyata masih menggunakan struktur integrated seperti yang digunakan oleh FSA dan

telah terbukti gagal di Inggris.

Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah, bagaimana mencari struktur

sistem pengawasan lembaga keuangan yang efektif dan efisien. Apakah strukturnya harus

sama dengan di RUU OJK yang telah terbukti gagal di Inggris tersebut? Tentu saja

jawabannya adalah belum tentu. Banyak alternatif cara untuk menciptakan sistem

pengawasan yang efektif dan efisien dan sesuai dengan situasi di Indonesia, tanpa harus

menggunakan metoda copy and paste sistem pengawasan dari negara lain, terlebih sistem

pengawasan yang telah terbukti gagal. Pada bab ini, pembahasan akan lebih diarahkan pada

efisiensi sistem pengawasan dan biaya yang diperlukan selama proses transisi dari satu sistem

ke sistem yang lain.

7.2. Biaya Peralihan Sistem Pengawasan di Inggris

Kasus peralihan sistem pengawasan di Inggris, memungkinkan kita belajar mengenai

konsenkuensi peralihan sistem pengawasan yang kemudian terbukti gagal. Biaya yang

ditanggung pemerintah Inggris terkait pengalihan sistem pengawasan, dan pada akhirnya

harus dibayar para pembayar pajak, sangatlah besar.

Ketika FSA didirikan pada akhir decade 1990-an, maka bisa dibayangkan bahwa FSA

tentunya harus memiliki kantor sendiri. Ketentuan bahwa FSA melakukan microprudential,

menyebabkan FSA harus melakukan off- and on-site supervision. Itu berarti kantor FSA tidak

saja berdiri di London, tapi juga tersebar minimal ke kota-kota besar di Inggris. Biaya

pembuatan kantor dan juga pengadaan barang-barang kelengkapan pengoperasian kantor

tentunya memerlukan investasi yang tidak sedikit.

Pengalihan fungsi pengawasan dari BOE kepada FSA tentu berimplikasi pada pemindahan

para pengawas dari BOE ke FSA. Di sisi lain, tentu saja diperlukan rekrutmen terhadap

sumberdaya manusia baru untuk memenuhi kebutuhan FSA terhadap tenaga pengawas

Page 138: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

151  

maupun staf pendukung operasionalisasi kantor. Lagi-lagi hal ini pun memerlukan

pembiayaan yang tidak sedikit.

Sebagai lembaga baru di mana FSA harus menampung para pengawas dari BoE, namun juga

tenaga baru yang direkrut, diperlukan pembuatan berbagai juklak (SOP) yang berlaku secara

intern. Tidak dipungkiri biaya pembuatan SOP ini juga besar, karena diperlukan waktu yang

tidak pendek untuk membangun SOP yang baik. Di sisi lain, SOP harus terus direvisi karena

penyempurnaan SOP didasarkan pada kejadian-kejadian yang terjadi di FSA dan perlu

diadakan pengaturan secara formal.

Implikasi dari pengalihan pengawasan kepada FSA adalah bahwa semua sistem informasi

yang terkait dengan pengawasan di BOE harus dipindahkan ke FSA. Biaya yang dikeluarkan

tidak saja pemindahan sistem dari kantor-kantor BOE ke kantor-kantor FSA, namun sangat

mungkin bahwa FSA harus memiliki jaringan, server dan bahkan sistem IT sendiri yang tidak

murah untuk disediakan.

Ketika FSA terbukti gagal menjalankan perannya dalam hal microprudential dan

macroprudential, dampaknya adalah bahwa perekonomian Inggris mengalami krisis. Akibat

kegagalan ini, BOE, sebagai LOLR, harus mengeluarkan biaya besar untuk

melakukanbailouting terhadap Northern Rock. Tidak berhenti di sini, BOE juga terpaksa

mengucurkan dana talangan untuk penyelamatan beberapa bank dan building society yang

terancam kolap dan harus diselamatkan jika tidak ingin resiko sistemik penurunan

kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan merembet lebih lanjut. Akibat krisis

ekonomi ini, pemerintah Inggris juga melakukan ekspansi kebijakan fiskal untuk menjaga

agar perekonomian tetap bergairah dan laju pengangguran dapat diminimasi.

Di bawah pemerintahan Partai Konservatif, fungsi pengawasan perbankan dikembalikan lagi

di bawah BOE. Pengembalian fungsi BoE ini diikuti dengan pembentukan tiga badan baru di

dalam organisasi BOE dan tambahan dua komisi di luar BoE yang terkait dengan masalah

kriminalitas di sektor keuangan. Biaya yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi

pengawasan dari FSA ke BOE tentunya juga besar, karena FSA harus dibubarkan. Satu hal

yang pasti adalah bahwa biaya pembubaran FSA belum tentu lebih murah daripada biaya

pembentukkannya di akhir decade 1990-an lalu. Sangat dimungkinkan sekali bahwa biaya

pembubaran FSA menyerap biaya yang lebih besar daripada biaya pembentukannya dulu.

Ilustrasi di atas memberikan gambaran bagaimana perubahan sistem pengawasan yang

kemudian terbukti gagal, ternyata menciptakan beban yang sangat tidak sedikit bagi

Page 139: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

152  

perekonomian. Belajar dari pengalaman Inggris, diperlukan studi yang komprehensif dan

kearifan serta kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pengubahan

sistem pengawasan lembaga keuangan dan struktur pengawasan yang dipandang terbaik

untuk diterapkan di Indonesia.

7.3. Biaya Pengalihan ke OJK versi RUU OJK

Pengalihan sistem pengawasan dari sistem yang ada sekarang ke OJK versi RUU OJK jelas

akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang perlu di estimasi tidak saja terkait

dengan biaya operasional ketika OJK versi RUU OJK telah berjalan dengan baik, namun juga

biaya transisi ketika terjadi proses pengalihan.

Perlu dicatat bahwa estimasi biaya yang dilakukan di bagian ini didasarkan pada skenario

yang ditetapkan di RUU OJK. Estimasi yang dilakukan di sini semata-mata mengikuti

skenario yang telah diatur di dalam RUU OJK yang telah diatur secara detil dari pasal ke

pasal di dalam RUU OJK tersebut. Beberapa pos biaya yang timbul akibat pendirian OJK

versi RUU OJK dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Biaya tetap pendirian OJK versi RUU OJK. Biaya ini meliputi segala investasi

pendirian OJK, misalnya biaya pendirian perwakilan OJK di berbagai daerah, biaya

rekruitmen pengawas baru untuk LKNB, biaya pembangunan sistem IT di tubuh OJK

dan pengalihan sistem IT pengawasan perbankan dari BI kepada OJK.

2. Biaya operasional OJK versi RUU OJK. Biaya ini meliputi seluruh biaya yang setiap

tahun dikeluarkan oleh OJK untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan semua

lembaga keuangan. Biaya ini antara lain mencakup biaya training pengawas OJK,

biaya operasional pengawasan semua lembaga perbankan dan LKNB, biaya gaji,

biaya perawatan dan penggunaan IT.

Biaya-biaya di atas bersifat tangible dan observable.Meski demikian, bukan berarti nantinya

pengalihan sistem pengawasan perbankan dari BI ke OJK versi RUU OJK tidak memendam

kemungkinan munculnya biaya yang bersifat intangible atau unobservable. Biaya tersebut

adalah hilangnya sebagian atau juga kemungkin keseluruhan dari tacit knowledge dalam hal

pengawasan perbankan.Kemungkinan timbulnya biaya ini berpotensi muncul dari dua

sumber:

1. Asumsi bedhol desa berjalan mulus tentu saja adalah terlalu kuat. Konsep ’bedhol

desa’ pengawas perbankan BI berpindah seluruhnya ke OJK versi RUU OJK,

sepertinya lebih merupakan jargon daripada upaya untuk melihat realitas pengambilan

Page 140: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

153  

keputusan di dunia nyata yang kompleks. Pihak BI tentu tidak bisa memaksa para

pengawasnya untuk pindah ke OJK tanpa resiko BI akan dituntut di PTUN oleh para

pengawasnya yang merasa dirugikan dengan perpindahan tersebut. Hal yang paling

logis yang dilakukan BI adalah memberikan opsi kepada para pengawas untuk pindah

ke OJK, atau kembali melamar ke BI di bidang yang lain, atau bahkan memberikan

opsi para pengawas untuk meniti karir sesuai keinginan mereka namun di luar BI

maupun OJK. Seberapa besar kemungkinan semua pengawas BI akan bersedia pindah

ke OJK tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor pertimbangan. Kenyataan bahwa

rasionalitas manusia tidaklah sesederhana konsep rasionalitas yang dipreskripsikan

oleh Teori Ekonomi, menunjukkan bahwa seringkali keputusan untuk pindah ke

lembaga baru atau tidak, seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologi seperti

uncertainty aversion6, loss aversion7, status-quo bias8, relatif dibandingkan faktor

ekonomis semata. Sebagai contoh, jika sebagian pengawas BI memiliki persepsi

bahwa ’bedhol desa’ ini meningkatkan ketidaktentuan terhadap karir, remunerasi

maupun iklim kerja yang selama ini biasa dialami di BI, maka hal ini akan

menyebabkan sebagian pengawas tersebut enggan untuk bergabung ke OJK.

Permasalahan menjadi semakin pelik ketika persepsi subyektif individu ini seringkali

sulit berubah meskipun telah diadakan sosialisasi maupun persuasi kepada yang

bersangkutan.

2. Sistem training yang telah dikembangkan di BI untuk pengawasan perbankan telah

terbangun dari pengalaman melakukan pengawasan bertahun-tahun. Pengalaman yang

diperoleh selama melakukan pengawasan menjadi materi pembelajaran yang

kemudian diajarkan di training-training bagi pengawas di BI. Jika nantinya konsep

’bedhol desa’ benar-benar diterapkan, hal ini tidak menjamin bahwa untuk

pengawasan perbankan, semua sistem dan materi training yang telah terbangun bagi

pengawas di BI akan langsung tertransformasikan sempurna ke OJK. Perlu diingat,

staf OJK terdiri dari beberapa lembaga yang memiliki budaya organisasi sendiri-

sendiri. Ketika benturan antar budaya organisasi yang dibawa oleh masing-masing

pengawas terjadi, maka akan ada kompromi untuk mengakomodasi semua

kepentinga. Bagaimanapun hasil kompromi, pastilah terjadi distorsi terhadap sistem

training bagi pengawas bank yang selama ini telah dibangun di BI.

                                                 6 Lihat Allais (1961), 7 Tversky and Kahneman (1979), Kahneman and Tversky (1991, 1992) 8 Zackhauser (1988), Knetsch (1989), Knetsch and Synden (1994)

Page 141: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

154  

3. Biaya lain yang bersifat intangible adalah hilangnya waktu yang diperlukan untuk

membuat SOP bagi OJK versi RUU OJK. Pengalaman pembentukan lembaga baru

pasca reformasi seperti KPPU, KPK, PPATK, LPS dan BNPB, memberikan pelajaran

berharga kepada bangsa Indonesia bahwa di awal pendirian lembaga-lembaga tersebut

kegiatan kurang berjalan optimum karena disibukkan untuk membuat SOP.

Permasalahan menjadi semakin kompleks, ketika selama waktu mengkonsolidasi

lembaga baru ini pengawasan kepada lembaga keuangan akan cenderung mengendur

dan hal ini tentu akan meningkatkan kemungkinan praktik moral hazard yang

mungkin meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap potensi krisis ekonomi.

4. Pada RUU OJK tidak disebutkan pembatasan skala usaha LKB dan LKNB yang akan

menjadi tanggung jawab OJK versi RUU OJK untuk diawasi. Konsekuensinya

peneliti berasumsi bahwa semua jenis dan skala usaha LKB dan LKNB akan diawasi,

baik on and off sides supervisions, oleh OJK. Jika asumsi ini yang digunakan, maka

implikasinya adalah bahwa OJK RUU harus memiliki perwakilan di daerah-daerah

karena banyaknya jenis dan jumlah LKB dan LKNB di Indonesia yang tersebar di

seluruh Indonesia. Apabila perwakilan OJK RUU harus dibuka di berbagai daerah,

maka biaya intangible yang akan muncul adalah lamanya waktu pembentukan OJK

RUU perwakilan di daerah-daerah. Pengalaman BNPB menunjukkan bahwa meski

lembaga tersebut diamanatkan sejak pengesahan UU Nomor 24/2007, namun hingga

sekarang dari 399 kabupaten baru 108 kabupaten yang telah memiliki BPBD.

Page 142: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

155  

BOKS 7.1: Studi Kasus Australian Prudential Regulation Authority (APRA)

APRA adalah otoritas pengawas sektor keuangan di Australia yang APRA mengambil alih tugas Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga menjalankan pengawasan terhadap industri dana pensiun (superannuation funds).

APRA menghadapi risiko kegagalan pengawasan pada saat restrukturisasi organisasi. Pada tahun pertama pembentukan, APRA harus menyerap SDM dari RBA dan ISC. Sampai dengan tahun 2002, APRA menyerap SDM dari sembilan dinas pemerintah Australia beserta tupoksi dan sistem informasi dan teknologi. Selain itu, APRA kehilangan ahli pengawas senior selama proses restrukturisasi organisasi. Selama 1999-2002, APRA belum dapat memenuhi target organisasi yang ditetapkan pada tahun 1999 (Carmichael, 2002).

Carmichael (2002) menyatakan bahwa tantangan utama APRA dalam restrukturisasi organisasi adalah pembentukan budaya kerja. APRA belajar dari restrukturisasi organisasi otoritas pengawas di Kanada yang memerlukan waktu delapan tahun. Walaupun APRA memberlakukan change management sedemikian rupa, waktu yang diberlakukan untuk pemenuhan target organisasi mencapai lebih dari 3 tahun.

Kompleksitas lain dari pembentukan APRA adalah biaya yang besar. Dilihat dari lingkup kegiatannya, APRA mengawasi 327 perusahaan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi 291 dana pensiun (APRA, 2009). Pengawasan sektor keuangan dilakukan oleh enam kantor APRA yang berada di ibukota negara bagian terbesar di Australia: Sydney, Canberra, Melbourne, Brisbane, Perth, dan Adelaide.

Pada tahun 2009, anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan sektor keuangan mencapai Rp784,3 miliar (AUS$103,2 juta). Pengeluaran terbesar digunakan untuk pembiayaan SDM yaitu Rp553,3 miliar atau sekitar 71%. Biaya pembentukan APRA juga memakan biaya besar (proksi biaya pembentukan adalah total aset ditambah dengan biaya operasional pengawasan selama satu tahun): AUS$155,9 miliar atau Rp1,2 triliun (APRA, 2009).

Bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membentuk OJK versi RUU OJK di Indonesia? Patut dicatat, jumlah lembaga keuangan di Indonesia mencapai 3.673 perusahaan (Tabel 2.1), selain itu, masih terdapat 94.320 lembaga keuangan mikro (Tabel 2.4). Artinya, OJK di Indonesia harus mengawasi lembaga keuangan sebanyak 158 kali perusahaan yang harus diawasi APRA. Jumlah kantor OJK pun selayaknya menyesuaikan wilayah Indonesia yaitu 33 kantor, dengan asumsi minimal 1 kantor di setiap 33 provinsi (5,5 kali lebih banyak dibanding kantor APRA).

Page 143: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

156  

Didasarkan pada aturan-aturan tentang OJK yang ada di pasal-pasal pada RUU OJK, maka

konsekuensi pembentukan OJK berimplikasi pada biaya peralihan dan biaya jangka panjang

akibat pembentukan OJK.

Tabel 7.1. Biaya Peralihan Pengawasan Lembaga Keuangan ke OJK versi RUU OJK

Jenis Biaya Alasan Pembiayaan

BIAYA TRANSISI

Biaya pengalihan sistem informasi (IT) dan pembangunan sistem IT yang sesuai dengan fungsi OJK

• Sistem IT di BI hanya untuk mengawasi Bank Umum dan BPR (122 bank umum dengan 3.041 kantor cabang dan 1861 BPR)

• Sistem IT OJK harus mengakomodasi data untuk lembaga keuangan non-bank dan pasar modal. Jumlah perusahaan non-bank adalah 1.670 buah ditambah dengan lembaga keuangan mikro non-bank sebanyak 86.504 (data tahun 2009), sehingga jumlah total adalah 86.504 perusahaan

Biaya rekrutmen pengawas lembaga keuangan non-bank dan lembaga keuangan mikro non-bank

• Dengan asumsi tidak ada pengawas BI yang keluar karena adanya penggabungan ke OJK, tetap diperlukan biaya rekrutmen untuk melakukan off and onside supervisions kepada lembaga non-bank sejumlah 86.504 perusahaan.

• Asumsi tidak ada pengawas BI yang tidak keluar akibat penggabungan ke OJK adalah terlalu kuat. Adalah lebih realistis jika diasumsikan antara 10%-20% dari pengawas yang ada akan menolak bergabung ke OJK dengan berbagai alasan.

Biaya training pengawas baru dan biaya training tingkat lanjut bagi pengawas yang sudah ada

• Akibat tambahan 86.504 lembaga keuangan yang perlu disupervisi, OJK memerlukan tambahan tenaga pengawas dan staf administrasi pendukung. Diperlukan biaya untuk melakukan training terhadap pegawai yang baru direkrut, baik sebagai pengawas maupun staf pendukung administrasi. Di sisi lain, berbagai perjenjangan training yang telah dilakukan di BI untuk para pengawas yang telah ada harus dilakukan di OJK..

Biaya pendirian OJK di tingkat daerah (biaya pembebasan tanah dan biaya pembangunan kantor, biaya perabot kantor, dan berbagai pendukung kantor termasuk mobil)

• OJK tidak mungkin hanya beroperasi di Pusat, namun juga di daerah-daerah. Hal ini terkait dengan micro prudential yang mensyaratkan pelaksaan off and on side supervisions. Jika diasumsikan KBI yang ada sekarang tetap berperan melakukan pengawasan kepada bank-bank umum dan BPR, maka OJK harus tetap mendirikan tambahan kantor-kantor OJK ditingkat daerah untuk melakukan off and on side supervision kepada 86.504 lembaga keuangan non-bank berbagai skala.

Page 144: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

157  

Biaya pembentukan juklak dan SOP • Jika struktur OJK adalah penggabungan antara tenaga pengawas BI dan Bappepam-LK, maka diperlukan berbagai juklak dan SOP untuk mendukung kerja karyawan di OJK dan upaya untuk penyelesaian masalah jika ada dispute. Di berbagai lembaga yang baru dibentuk Pemerintah, seperti LPS, KPK, PPATK, BNPB dan lain sebagainya, waktu untuk membentuk SOP bisa berkisar antara satu-dua tahun. Selama waktu transisi tersebut, fungsi dari lembaga yang bersangkutan tentunya belum akan efektif.

Kerentanan perekonomian terhadap krisis ekonomi meningkat

• Konsekuensi OJK bertanggung jawab pada micro dan macro prudentials serta business conduct, menyebabkan segala upaya pencegahan dan pendeteksian dini kemungkinan krisis ekonomi berada pada OJK . Ketika proses transisi, tentunya OJK belum akan berperan efektif, sehingga pada periode tersebut kerentanan perekonomian terhadap krisis akan meningkat tajam

Selain biaya-biaya yang bersifat jangka pendek seperti pada Tabel 7.1 di atas, pendirian OJK

versi RUU OJK berpotensi mengakibatkan munculnya biaya jangka panjang seperti pada

Tabel 7.2 berikut:

Tabel 7.2. Biaya Jangka Panjang Pembentukan OJK versi RUU OJK

Jenis Biaya Alasan Pembiayaan

BIAYA JANGKA PANJANG

Potensi pindahnya para pengawas senior BI ke lembaga lain

• Perubahan status pengawas BI menjadi pengawas OJK seringkali akan mendorong para pengawas senior dan berkualifikasi tinggi untuk keluar dan pindah ke lembaga lain. Jika kecenderungan ini terjadi pada pengawas yang berpengalaman dengan reputasi yang baik, maka hal ini akan berdampak pada kinerja OJK dalam jangka panjang.

Potensi hilangnya tacit knowledge tentang pengawasan

• Keahlian sebagai seorang pengawas yang handal tidak bisa dibangun dalam sekejap. Diperlukan training berjenjang dan praktik di lapangan dalam waktu yang cukup lama untuk membentuk seorang pengawas yang handal.

• Pengetahuan dan pengalaman di bidang pengawasan akan berakumulasi sejalan dengan waktu, dan membentuk tacit knowledge di bidang pengawasan. Pengalihan fungsi pengawasan kepada OJK RUU tidak menjamin bahwa tacit knowledge yang selama ini dibangun akan terjaga maupun tertransfer penuh ke OJK.

Peningkatan biaya operasional akibat peningkatan jumlah lembaga yang harus diawasi

• Biaya operasional pengawasan akan meningkat tajam dengan adanya OJK. Hal ini terjadi karena 86.011 perusahaan yang selama ini tidak perlu mendapat supervisi langsung nantinya harus diawasi secara langsung. Itu artinya diperlukan tambahan kapasitas OJK untuk mampu melakukan pengawasan terhadap tambahan 86.504 lembaga keuangan yang sekarang harus diperiksa diseluruh pelosok tanah air.

Perlu dicatat bahwa biaya pengawasan yang dilakukan BI untuk mengawasi bank-bank

umum dan BPR adalah cukup tinggi. Tingginya biaya pengawasan terjadi karena untuk

Page 145: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

158  

mengawasi suatu bank umum tidak mungkin cukup hanya dengan mengunjungi kantor pusat

dari bank tersebut. Diperlukan kunjungan ke daerah-daerah untuk melakukan pengawasan

langsung ke kantor-kantor cabang di daerah. Permasalahan atau pun potensi pelanggaran

mungkin tidak terjadi di kantor pusat maupun di kantor cabang di tingkat propinsi misalnya,

namun besar kemungkinan pelanggaran justru terjadi di kantor cabang kecil di daerah

terpencil.

Didasarkan pada sistem pengawasan seperti itu, maka pilihan metode sampling untuk

melakukan monitoring langsung ke kantor-kantor cabang adalah sangat penting. Tingginya

detection rate dari pengawas pada kondisi seperti tersebut sangat ditentukan oleh seberapa

representativeness dari metoda sampling yang digunakan.

Didasarkan pada sistem pengawasan perbankan yang dilakukan BI selama ini, maka bisa

diestimasi beban kerja BI untuk mengawasi bank-bank umum dan BPR. Metoda pengawasan

yang dilakukan BI terhadap bank-bank umum menggunakan pendekatan dedicated team.

Bank-bank besar dengan nilai aset lebih dari Rp10 triliun diawasi oleh tim beranggotakan 13

orang. Untuk bank-bank skala besar, visitasi atau pengawasan on-site, dilakukan terhadap

kantor pusat dan tujuh kantor cabang. Didasarkan informasi di atas, diasumsikan bahwa

bank-bank umum skala menengah akan divisitasi kantor pusatnya ditambah empat kantor

cabang. Sementara untuk bank-bank umum skala kecil akan divisitasi kantor pusat ditambah

dua kantor cabang. Untuk BPR, visitasi dilakukan di masing-masing BPR, dan untuk BPR

skala kecil setiap pengawas membawahi lima BPR. Dengan asumsi seperti ini, maka beban

kerja 1.437 orang pengawas di BI yang tersebar di 41 Kantor Bank Indonesia (KBI)

mencakup 2.902 unit visitasi.

Perlu dicatat bahwa dalam OJK RUU nantinya pengawas lembaga keuangan nantinya akan

terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) pengawas BI, 2) pengawas Bapepam dan 3) pengawas

tambahan. Pada tabel 7.3. Bapepam mengawasi 1.670 LKNB yang berskala menengah dan

besar dan beban kerja tersebut ditangani oleh 860 orang pengawas. Tenaga pengawas

tambahan diperlukan dalam hal ini untuk mengawasi LKNB berskala mikro yang berjumlah

86.504 dan tersebar di seluruh Indonesia. Angka LKNB mikro ini pun bersifat konservatif

karena beberapa jenis jumlah LKNB mikro belum diketahui. Misalnya, data jumlah BMT

didasarkan pada data tahun 2006, sementara pada beberapa tahun terakhir kita mungkin

mengamati bahwa BMT bermunculan bahkan di lingkungan tempat kita tinggal. Upaya

memperoleh data jumlah BMT di tahun 2009 maupun di tahun 2010 sulit diperoleh karena

tidak adanya satu lembaga pun yang memiliki catatan jumlah BMT yang solid.

Page 146: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

159  

Tabel 7.3. Estimasi Beban Pengawasan OJK RUU

Jenis LK Klasifikasi Jumlah Kantor yang

disupervisi

Total Kantor yang

disupervisi

LKB

Bank Besar 42 8 336 Bank Menengah 55 5 275 Bank Kecil 24 3 72 Bank Syariah 169 3 507BPR 1.712 1 1.712Sub-Total (A) 2.902

LKNB (Non-Mikro)

Asuransi 144 1 144 Pasar modal 499 1 499 Pasar obligasi 184 1 184 Perusahaan efek 158 1 158 Perusahaan pegadaian 1 1 1 Dana Pensiun 406 1 406 Perusahaan Pembiayaan 212 1 212 Perusahaan modal ventura 66 1 66 Sub-Total (B) 1.670 1.670

LKNB (Mikro) LKNB-Mikro (Sub-Total) (C ) 86.504 1 86.504

Tenaga Pengawas Tambahan: RASIO [C/(10*(A+B))] (Skenario Rendah) 8.650

Tenaga Pengawas Tambahan: RASIO [C/(5*(A+B))] (Skenario Tinggi) 17.301

Sumber: BI (2010a; 2010e), Bapepam-LK (2009), Biro Dana Pensiun (2009), Biro Perasuransian (2008) Catatan: *) Untuk bank besar, visitasi dilakukan di kantor pusat dan tujuh kantor cabang. Diasumsikan untuk bank menengah dan kecil masing-masing lima dan tiga kantor divisitasi. Diasumsikan BPR tidak memiliki cabang dan setiap BPR divisitasi. Untuk LKNB Non-Mikro diasumsikan skalanya setara dengan Bank Kecil dan Bank Menengah dan berturut-turut dilakukan visitasi ke tiga dan lima kantor. Seperti halnya BPR, setiap LKNB Mikro akan divisitasi. **) Untuk skenario rendah diasumsikan setiap LKNB Non-Mikro memiliki skala mirip dengan Bank Kecil, sehingga untuk masing-masing unit usaha akan divisitas tiga kantor. ~) Untuk skenario rendah diasumsikan setiap LKNB Non-Mikro memiliki skala mirip dengan Bank Kecil, sehingga untuk masing-masing unit usaha akan divisitasi lima kantor.

Pada Tabel 7.3 diasumsikan bahwa satu pengawas akan mengawasi lima hingga 10 LKNB

skala mikro. Untuk skenario rendah, diasumsikan setiap pengawas akan membawahi 10

LKNB mikro. Di dasarkan pada skenario tersebut, maka untuk skenario rendah diperlukan

tambahan tenaga pengawas sebanyak 8.650 orang. Di sisi lain, jika diasumsikan bahwa

seorang pengawas membawahi lima LKNB mikro, maka pada skenario tinggi ini jumlah

tambahan tenaga pengawas yang diperlukan adalah 17.301 orang. Perlu dicatat bahwa angka

ini tergolong konservatif karena para pengawas tentu tidak bisa bekerja sendiri tanpa

Page 147: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

160  

didukung staf pendukung, baik staf administratif maupun staf dari divisi lain, misalnya divisi

hukum, SDM maupun IT.

Perlu dicatat bahwa estimasi kebutuhan tenaga pengawas di atas didasarkan pada asumsi

bahwa beban pengawasan LKB identik dengan beban pengawasan LKNB. Tentu saja asumsi

ini terlalu kuat dan mungkin kurang mencerminkan variabilitas beban pengawasan untuk

LKB dan LKNB. Variabilitas jenis usaha di LKNB dan juga skala usaha yang dimiliki

tentunya akan berdampak pada perbedaan beban kerja pengawasan yang harus dilakukan.

Untuk mendapatkan estimasi yang lebih komprehensif mengenai beban kerja pengawas LKB

dan LKNB diperlukan penelitian yang lebih mendalam melibatkan tenaga-tenaga pengawas

senior dari BI, Bapepam maupun BPK.

Biaya lain yang perlu diestimasi adalah besarnya biaya rekruitmen pengawas baru, biaya

pembekalan, dan biaya training bagi para pengawas baru OJK versi RUU OJK beserta staf

pendukung para pengawas baru tersebut, yaitu staf administrasi dan staf divisi lain. Biaya

rekruitmen dan biaya pembekalan tidak bisa dipandang sebelah mata karena minimum

terdapat antara 8.650-17.301 orang pengawas baru yang harus direkrut dan kemudian

diberikan pembekalan. Pasca pembekalan dasar dimulailah proses training bagi para

pengawas baru.

Pendidikan bagi para pengawas tidaklah sederhana dan tidak bisa dilakukan dalam waktu

singkat. Di BPK misalnya, untuk mencetak seorang pengawas yang handal diperlukan waktu

tiga sampai lima tahun dan selama periode tersebut pengawas harus melalui beberapa kali

training dan bergabung ke dalam tim auditing. Meski demikian, waktu selama tiga sampai

lima tahun tersebut belum cukup untuk membuat seorang pengawas bisa menjadi ketua tim

maupun penanggung jawab proses audit. Diperlukan pengalaman dan training lanjutan yang

memakan waktu cukup lama agar seseorang bisa menjadi ketua tim maupun penanggung

jawab auditing.

Sama seperti di BPK, seorang pengawas di BI harus mengikuti tujuh level training. Setiap

tahun, para pengawas BI akan menghabiskan waktu 15 hari kerja untuk mengkuti berbagai

training yang diperuntukkan bagi para pengawas. Tentunya training ini pun tidak cukup

untuk membuat seseorang menjadi pengawas yang handal, jika tidak diikuti oleh praktik

pengawasan di lapangan secara intensif. Seorang pengawas yang handal tidak saja harus

mampu memahami teknik pengawasan, namun lebih dari itu insting pengawasan akan

Page 148: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

161  

terbentuk sejalan dengan semakin banyaknya pengalaman dan pengetahuan tentang

pengawasan.

Perlu dicatat, bahwa seorang pengawas harus memahami dengan benar detail dari bisnis dari

obyek yang diawasi. Di BPK misalnya, terdapat divisi-divisi yang membawahi sektor-sektor

tertentu, misalnya infrastruktur, kehutanan, pertambangan dan lain sebagainya. Pembagian

divisi ini diperlukan karena masing-masing bidang memiliki keahlian yang spesifik yang

terkait dengan bidang yang diawasi tersebut. Hal yang sama akan berlaku di OJK versi RUU

OJK ini. Seorang tenaga pengawas perbankan tidak akan bisa melakukan pengawasan untuk

koperasi ataupun asuransi, demikian pula sebaliknya. Misalnya OJK membawahi tujuh jenis

lembaga keuangan yang memiliki karakter bisnis yang berbeda, maka diperlukan kualifikasi

dari tujuh kelompok pengawas yang berbeda, dan masing-masing kelompok tidak bisa

melakukan pengawasan untuk bidang yang lain tanpa ada training terlebih dahulu.

Potensi biaya lain yang timbul akibat pendirian OJK versi RUU OJK adalah biaya

pengembangan teknologi informasi (TI). Untuk pengawasan perbankan, selama ini, informasi

tersimpan di server BI. Jika nantinya para pengawas BI ’bedhol desa’ ke OJK versi RUU

OJK, maka tidak saja tenaga pengawas BI yang berpindah, namun juga sistem informasi

teknologi-pun juga harus disiapkan di OJK versi RUU OJK. Implikasinya adalah bahwa

semua informasi terkait dengan pengawasan perbankan di server BI harus ditransfer ke server

OJK versi RUU OJK.

Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah, berapa biaya untuk membangun sistem TI

dan juga biaya operasional beserta pemeliharaan sistem TI di OJK versi RUU OJK? Untuk

mengetahui beban kerja sistem TI, maka estimasi terhadap total akun dan rekening, baik yang

ada di LKB maupun LKNB mutlak dilakukan.

Tabel 7.4 menunjukkan bahwa jumlah rekening/akun untuk nasabah LKB mencapai 83 juta.

Sementara jumlah akun total dari LKNB berjumlah 141.887.323 atau tambahan 171%

dibandingkan total akun yang ada di LKB. Perlu dicatat bahwa jumlah akun ini adalah

konservatif, karena informasi mengenai jumlah akun di koperasi belum diketahui. Jumlah

akun BMT juga didasarkan pada data tahun 2006 sementara data termutakhir belum

diperoleh.

Pada tahun 1999-2001 terjadi merger dari beberapa bank BUMN dan membentuk Bank

Mandiri. Selama proses merger tersebut, Bank Mandiri menginvestasikan dana sebesar

US$200juta untuk menggabungkan sistem TI (Bank Mandiri, 2001). Sistem TI ini melayani

Page 149: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

162  

dan menghubungkan 1.108 kantor cabang Bank Mandiri yang tersebar di seluruh Indonesia.

Perlu dicatat bahwa dari tahun 2001 hingga sekarang, teknologi komputer berkembang sangat

pesat. Dengan pertimbangan ini, maka dapat diasumsikan bahwa kebutuhan dana OJK versi

RUU OJK untuk membangun sistem TI diperlukan pula dana sebesar US$200 juta atau

sekitar Rp2 triliun (didasarkan asumsi konservatif kurs dollar adalah Rp10.000).

Tabel 7.4. Jumlah Akun/Rekening Lembaga Keuangan Perbankan dan Non-Bank

TIPE LKM LEMBAGA AKUN/REKENING

Bank dan BPR

Bank Umum 65.785.523 Bank Syariah 5.643.087 BPR& BPRS 11.571.390 Sub Total (A) 83.000.000

Lembaga Keuangan Nonbank

Asuransi1 43.410.774Perusahaan pegadaian 20.978.984Dana pensiun 2.559.222Perusahaan modal ventura 25.942Lembaga keuangan mikro 41.396.401Program Pemerintah 17.033.000Sub Total (B) 125.404.323

Koperasi (mikro)

KSP n.a.KJKS n.a.USP n.aUJKS n.a

Nonbank dan Nonkoperasi (mikro)

BKD 675LPD 362LDKP n.aBK3D 964Pegadaian n.a

PNM (Unit Layanan Modal Mikro / UlaMM) 13.021.000

BMT 1.175.000LKM LSM 286Sub Total (C ) 16.483.000

Total (A+B+C) 224.887.323Rasio (A+B+C)/A 2,71

Sumber: dihitung dari Bank Indonesia (2010e), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010), Perasuransian Indonesia (2008), Ashari (2006), Kemeneg KUKM (2009), GTZ (2005)

Potensi biaya lain yang muncul akibat pembentukan OJK versi RUU OJK adalah pembukaan

perwakilan OJK versi RUU OJK di daerah-daerah. Hal ini tentunya adalah hal yang tidak

Page 150: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

163  

bisa ditawar-tawar lagi mengingat OJK versi RUU OJK harus melakukan off and on side

supervisions. Tabel 7.3 menunjukkan bahwa BI mengawasi 2902 unit visitasi sementara

Bapepam mengawasi 1.670 LKNB. Total tenaga pengawas LKB dan LKNB saat ini adalah

2.297 orang yang terdiri dari 1.437 pengawas BI dan 860 pengawas Bapepam. Apabila

diperlukan tambahan pengawas sebanyak 8.650 hingga 17.301 pengawas tambahan, maka

bisa dimodelkan bahwa diperlukan kantor perwakilan setara KBI sebanyak 8.650/2.297 =

3,77 kali lipat jumlah KBI atau 155 buah (untuk skenario rendah) atau 17.301/2297 = 7,54

kali lipat jumlah KBI atau 310 buah (dengan skenario tinggi). Perhitungan ini didasarkan

pada asumsi bahwa tenaga pengawas di KBI-KBI akan direlokasikan ke kantor-kantor

perwakilan OJK versi RUU OJK tersebut.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah berapa kantor perwakilan OJK versi RUU

OJK yang harus didirikan di daerah-daerah? Dengan mempertimbangkan jumlah dan sebaran

lembaga keuangan yang harus diawasi oleh OJK versi RUU OJK, maka idealnya di setiap

kabupaten/kota di seluruh Indonesia didirikan perwakilan OJK. Dalam hal ini kita bisa

menggunakan skenario rendah dan tinggi terkait dengan pembentukan perwakilan OJK versi

RUU OJK di daerah. Skenario rendah didasarkan pada asumsi bahwa jumlah OJK didirikan

disetiap kabupaten saja. Artinya semua lembaga keuangan yang ada di wilayah kota, menjadi

tanggung jawab pengawasan dari kantor perwakilan OJK di tingkat kabupaten tersebut.

Didasarkan pada skenario rendah ini, diperlukan 399 perwakilan OJK di 399 kabupaten di

seluruh Indonesia. Jika digunakan skenario tinggi, maka diperlukan 502 perwakilan OJK

yang didirikan di 502 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Tabel 7.5. Perkembangan Aset BPK 2004-2009

Nama Aset 2004 2004 (Riil 2009) 2009

Tanah (A) Rp28.515.347.224 Rp39.636.332.641 Rp1.079.848.646.536

Peralatan dan Mesin (B) Rp84.048.243.379 Rp116.827.058.297 Rp381.249.387.731

Gedung dan Bangunan (C ) Rp90.735.991.199 Rp126.123.027.767 Rp783.802.294.834

Jalan Irigasi dan Jaringan (D) Rp119.940.000 Rp166.716.600 Rp7.552.190.797

Aset tetap lain (E) Rp1.090.567.869 Rp1.515.889.338 Rp27.759.651.231

Konstruksi dalam Pengerjaan (F) Rp483.906.252.738

Total (A+B+C+D+E+F) Rp204.510.089.671 Rp284.269.024.643 Rp2.764.118.423.867

Sub-Total (A+B+C+E) Rp204.390.149.671 Rp284.102.308.043 Rp2.272.659.980.332

Sumber: BPK (2009), diolah

Page 151: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

164  

Untuk menilai besarnya biaya pendirian kantor perwakilan di daerah-daerah, informasi dari

BPK akan digunakan untuk membangun estimasi biaya pendirian kantor perwakilan tersebut.

Tabel 7.5. menunjukkan peningkatan aset BPK dari tahun 2004 hingga tahun 2009.

Peningkatan aset BPK yang cukup drastis terjadi karena, sesuai amanat konstitusi, BPK

diwajibkan beroperasi tidak saja tingkat pusat namun juga daerah dan memiliki kantor-kantor

perwakilan di daerah-daerah. Jika di tahun 2004 hanya ada tujuh kantor perwakilan BPK di

seluruh Indonesia, pada tahun 2009 tercatat 33 kantor perwakilan BPK.

Nilai aset BPK di tahun 2004 adalah sekitar Rp204,51 miliar. Didasarkan pada harga 2009,

maka nilai aset riil BPK pada tahun 2004 tersebut adalah Rp284,27 miliar. Pada tahun 2009

nilai aset BPK membengkak menjadi Rp2,764 triliun. Untuk menghitung biaya pendirian

perwakilan di daerah, maka hanya nilai tanah (A), nilai peralatan dan mesin (B), nilai gedung

(C) dan nilai aset tetap lain (E) yang relevan untuk diperhitungkan. Jika nilai subtotal

komponen (A+B+C+E) di tahun 2009 dikurangi dengan komponen aset yang sama di tahun

2004 dengan harga konstan 2009, maka nilai peningkatan aset adalah sebesar Rp

1.888.557.572.289 (atau Rp2.272.659.980.332 - Rp284.102.308.043). Selama periode 2004-

2009 terjadi peningkatan jumlah perwakilan sebanyak 26 kantor perwakilan.

Didasarkan pada estimasi di atas, tidak dapat diasumsikan bahwa semua peningkatan aset

terjadi karena pembukaan perwakilan baru. Hal ini terjadi karena peningkatan aset juga

terjadi akibat perbaikan dan pemutakhiran sarana maupun prasarana di kantor pusat BPK.

Jika digunakan scenario konservatif dimana diasumsikan bahwa dari jumlah peningkatan aset

tersebut 80% diantaranya dialokasikan untuk pembukaan kantor perwakilan baru. Dengan

scenario tersebut maka nilai pembangunan kantor perwakilan baru BPK senilai

Rp1.510.846.057.831. Jika angka ini dibagi dengan 26 kantor perwakilan, maka untuk setiap

pembangunan kantor perwakilan diperlukan dana antara Rp58,11 miliar. Biaya ini

diasumsikan terdiri dari biaya pembebasan tanah, pembangunan gedung, pembelian

kelengkapan kantor dan mobil untuk mendukung operasional.

Page 152: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

165  

Tabel 7.6: Estimasi Biaya Pembentukan dan Biaya Operasional OJK RUU

Jenis Pengeluaran Tetap Biaya Per Unit

Unit Total Biaya Skenario Rendah

Skenario Tinggi Skenario Rendah Skenario Tinggi

Biaya Perwakilan OJK RUU Rp58,11 miliar 155 310 Rp9.007 miliar Rp18.014 miliarBiaya Rekrutmen dan Pendidikan Awal Pengawas BI^ Rp50 juta 0 359 0 Rp17,95 miliar Pengawas Bapepam Rp50 juta 0 0 0 0 Pengawas Tambahan Rp50 juta 8650 17301 Rp432,50 miliar Rp865,05 miliar Biaya set up IT Rp1.800 miliar 1 1 Rp1.800 miliar Rp1.800 miliar Sub Total (A) Rp11,240 triliun Rp 20,697 triliun Jenis Pengeluaran Operasional per Tahun Biaya Training Karyawan di Dalam Negeri** Pengawas BI Rp25 juta 1,437 1,437 Rp35,93 miliar Rp35,93 miliar Pengawas Bapepam Rp25 juta 863 863 Rp21,58 miliar Rp21,58 miliar Pengawas Tambahan Rp25 juta 8650 17301 Rp216,25 miliar Rp432,53 miliar Biaya Training Karyawan ke Luar Negeri** Pengawas BI Rp50juta 30 30 Rp1,50 miliar Rp1,50 miliar Pengawas Bapepam Rp50juta 18 18 Rp0,900 miliar Rp0,900 miliar Pengawas Tambahan^^ Rp50juta 463 926 Rp23,15 miliar Rp46,30 miliar Biaya operasional dan perawatan IT* Rp180 miliar 1 1 Rp180 miliar Rp180 miliar Biaya gaji** Pengawas BI Rp765 juta 1,437 1,437 Rp1.100Triliun Rp1.100Triliun

Pengawas Bapepam Rp765 juta

863 863 Rp660,61 miliar Rp660,61 miliar

Pengawas Tambahan^^ Rp765 juta

8650 17301 Rp6.621,82 miliar Rp13.243,63 miliarBiaya Operasional Pengawasan** Pengawas BI Rp139 juta 1,437 1,437 Rp200 miliar Rp200 miliar

Pengawas Bapepam Rp139 juta

863 863 Rp120 miliar Rp120 miliar

Pengawas Tambahan^^ Rp139 juta

8650 17301 Rp1.203,90 miliar Rp2.407,93 miliar Biaya Perawatan Sarana dan Prasarana* Rp5,81 miliar 155 310 Rp900,55 miliar Rp1.801 miliar Sub Total (B) Rp11,286 triliun Rp20, 252 triliun Keterangan: *) Diasumsikan biaya perawatan adalah 10% per tahun dari total biaya pembangunan kantor perwakilan. **) Biaya gaji rata-rata bagi pengawas Bapepam dan pengawas tambahan di OJK versi RUU OJK disamakan dengan pengeluaran BI untuk memenuhi incentive compatibility dan participation constraint ^) Pada skenario rendah diasumsikan semua pengawas BI bersedia dipindahkan statusnya sebagai pegawai OJK versi RUU OJK. Pada kasus tinggi, diasumsikan 20% pengawas BI tidak bersedia bergabung sebagai pengawas OJK versi RUU OJK ^^) Pengawasan di LKNB Mikro akan disamakan dengan BPR skala kecil. Khusus untuk LKNB mikro diasumsikan satu pengawas menangani antara lima hingga 10 LKNB. Jumlah LKNB Mikro adalah 86.504 (data koperasi tidak diperoleh dan data BMT berdasarkan data tahun 2006)

~) Didasarkan pada pengeluaran Bank Mandiri ketika merger.

Page 153: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

166  

Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam modeling estimasi biaya pembentukan dan

biaya operasional OJK versi RUU OJK di atas adalah sebagai berikut:

1. Beban pengawas LKNB disamakan dengan beban pengawas LKB. Asumsi ini

mungkin terlalu keras dan kurang membumi, namun hingga saat ini belum ada

penelitian yang mengestimasi beban riil pengawas baik untuk LKB maupun LKNB.

Jenis usaha LKNB yang sangat bervariatif tentunya masing-masing memiliki

keunikan sendiri-sendiri sehingga beban kerja pengawasan untuk setiap jenis LKNB

tentu berbeda.

2. Biaya rekrutmen dan pendidikan pengawas tambahan pada scenario tinggi

diasumsikan bahwa 20% dari total pengawas BI tidak akan bergabung ke OJK.

Asumsi ini adalah konservatif, karena keinginan pengawas BI untuk bergabung ke

OJK sangat ditentukan oleh persepsi subyektif dari masing-masing pengawas dalam

melihat proses penyatuan tersebut. Apabila proses penyatuan ini dianggap sebagai hal

sarat dengan ketidaktentuan (uncertainty) atau pengawas BI memiliki status quo bias,

maka kemungkinan untuk bergabung ke RUU akan cenderung kecil.

3. Biaya penyusutan bangunan dan juga IT diasumsikan 10% per tahun. Angka ini

cenderung konservatif karena berdasarkan KepMen Kimpraswil Nomor

332/KPTS/M/2002 untuk perawatan kerusakan ringan biayanya maksimal adalah

30% dari harga satuan tertinggi pembangunan baru.

4. Biaya pembangunan system IT menggunakan biaya yang dikeluarkan oleh Bank

Mandiri ketika melakukan merger sebesar US$200 juta. Jika digunakan asumsi kurs

yang konservatif sebesar Rp9.000 per US$1, maka nilai pembangunan system IT OJK

sebesar Rp1,8 triliun. Ketika proses merger Bank Mandiri, bank-bank umum yang

kemudian membentuk Bank Mandiri sebenarnya telah memiliki perangkat keras dan

lunak. Penggabungan sistem di Bank Mandiri cenderung pada penggabungan system

dan bukan pengadaan perangkat keras IT. Pada sistem IT OJK, tidak saja perangkat

lunak baru yang dibutuhkan namun juga perangkat keras untuk menciptakan network

untuk 155-310 kantor perwakilan.

5. Biaya gaji rata-rata bagi pengawas Bapepam dan pengawas tambahan di OJK

nantinya diasumsikan sama dengan pengeluaran BI rata-rata untuk pengawasan.

Asumsi ini digunakan untuk untuk memenuhi incentive compatibility dan

participation constraint karena terjadi penggabungan pengawas dari berbagai instansi. 

Page 154: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

167  

Apabila biaya gaji di OJK tidak disetarakan dengan pengawas BI, maka akan lebih

sulit mengharapkan bagi pengawas BI untuk bergabung menjadi pengawas OJK.

Tabel 7.6. menunjukkan rekapitulasi biaya pendirian OJK versi RUU OJK. Biaya pengalihan

pengawasan dari BI ke OJK menelan biaya sebesar Rp 11,240 triliun hingga Rp20,697

triliun. Hal ini masih ditambah biaya operasional antara Rp 11,286 triliun hingga Rp20,252

triliun per tahun. Patut dicatat bahwa hasil estimasi ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan

yang diatur dalam RUU OJK. Tentunya hasil estimasi ini akan berbeda jika terjadi perubahan

dalam isi RUU OJK, misalnya bahwa OJK RUU hanya mengawasi seluruh LKB dan LKNB

skala non-mikro, misalnya. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa beban kerja pengawas

LKB diasumsikan sama dengan beban kerja pengawas LKNB. Estimasi biaya pengawasan

tentunya akan berbeda jika digunakan asumsi yang berbeda, yaitu misalnya beban kerja

pengawas LKB lebih besar daripada beban pengawas LKNB.

Pertanyaan yang diajukan selanjutnya adalah darimana sumber biaya pembentukan OJK

berasal? Jika biaya pembentukan dan operasional tahun pertama dibebankan pada APBN

2011, maka beban biaya tambahan ke RAPBN 2011 adalah sebesar Rp22,526 triliun –

Rp40,949 triliun atau proporsinya mencapai 1,87%-3,40% (dengan asumsi RAPBN 2011

Rp1.204 triliun). Proporsi ini relatif besar, sebagai perbandingan: (1) proporsi gaji dan

tunjangan terhadap APBN 2010 mencapai 7,4%; (2) proporsi anggaran departemen kesehatan

terhadap APBN 2010 sebesar 2%; (3) proporsi subsidi pupuk dan benih terhadap APBN 2010

sebesar 1,3%; (4) proporsi subsidi pangan terhadap APBN 2010 sebesar 1,2%; (5) proporsi

subsidi obat generik terhadap APBN 2009 sebesar 0,034% (Departemen Keuangan, 2010).

Alternatif kedua adalah pembiayaan dari utang. Namun, alternatif ini patut ditinjau ulang

karena penambahan utang Indonesia pada tahun 2010 mencapai Rp48 triliun. Rentang

penambahan utang Indonesia dari selama tahun 2006-2009 adalah Rp13,3-Rp46,9 triliun.

Apabila asumsi utang tahun 2011 sama dengan tahun 2010 dan ditambah biaya pembentukan

OJK, utang Indonesia akan meningkat antara 30,03%-54,60% pada tahun 2011 mencapai

sekitar Rp75 triliun. Jumlah tersebut pun jauh dari rentang utang yang pernah diambil oleh

Indonesia.

Page 155: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

168  

Gambar 7.2. Total Utang dan Penambahan Utang (miliar rupiah)

.

Sumber: Debt Management Office Indonesia (2010)

7.4. Mungkinkah Biaya OJK RUU Ditanggung Lembaga Keuangan?

Di dalam RUU OJK disebutkan bahwa selama masa transisi, biaya pembentukan OJK

ditanggung oleh BI dan Bapepam LK melalui APBN. Namun demikian setelah OJK

beroperasi dengan penuh, maka beban pembiayaan tidak lagi akan bersumber dari APBN

namun akan dibayar oleh pihak lembaga keuangan. Argumentasi dari kebijakan ini adalah

bahwa lembaga keuangan tentunya menerima keuntungan dari praktik bisnis dan adanya

pengawasan oleh OJK akan meningkatkan stabilitas di sektor keuangan. Dengan demikian,

karena lembaga keuangan akan menerima manfaat langsung dari sistem pengawasan ini,

maka adalah rasional jika lembaga-lembaga keungan itulah yang membayar biaya

pengawasan ini.

Logika yang digunakan dalam argumen di atas sekilas mirip dengan logika pembayaran

premi penjaminan yang ditarik oleh LPS kepada pihak perbankan. Namun demikian ada

perbedaan yang sangat mencolok antara premi LPS dengan iuran OJK versi RUU OJK.Tidak

dipungkiri bahwa apapun jenis iuran yang dikenakan kepada suatu lembaga keuangan,

pastilah terdapat upaya untuk mengalihkannya kepada nasabah. Hal ini telah terjadi pada

kasus pajak dan analisis beban pajak (tax incidence) selalu menekankan pada siapa yang

Page 156: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

169  

sebenarnya menanggung beban pajak/iuran? Pemerintah atau otoritas bisa saja membebankan

pajak atau iuran kepada perusahaan, namun perusahaan pastilah akan berusaha mentransfer

beban tersebut, seleruhnya maupun sebagaian, kepada konsumen.

Premi LPS dibebankan kepada bank-bank umum dan BPR sejumlah proporsi tertentu dari

nilai uang yang disimpan di lembaga perbankan tersebut. Kalaupun toh premi ini dialihkan

sepenuhnya kepada nasabah misalnya, maka hal inipun tidak akan merugikan pihak nasabah.

Mengapa? Alasannya cukup jelas, yaitu adalah dengan terbebani premi LPS, para nasabah

tidak akan keberatan karena uangnya yang ada di bank ditanggung oleh LPS, baik seluruhnya

(bagi nasabah kecil) maupun sebagian (bagi nasabah besar).

Untuk kasus iuran OJK versi RUU OJK, logika yang berlaku pada pembayaran premi LPS

tidak bisa diterapkan. Iuran ke OJK pasti akan dialihkan dibeban pembayarannya oleh

lembaga-lembaga keunagan, melalui berbagai cara, kepada para nasabah mereka. Jika ini

dilakukan, maka akan terdapat berbagai kompleksitas terkait dengan cara pendanaan ini,

yaitu:

1. Bagi para nasabah, apakah manfaat langsung yang mereka terima dengan adanya

iuran tersebut?

2. Pengalihan iuran ke OJK akan meningkatkan biaya di lembaga keuangan, dengan

demikian menurunkan competitiveness dari lembaga keuangan di Indonesia sendiri.

3. Bagi OJK, apakah penerimaan sumber dana dari lembaga keuangan yang diawasi

tidak justru melemahkan posisi tawar dan independensi OJK terhadap lembaga

keuangan yang mereka awasi sendiri? Apakah mekanisme ini tidak membawa

dampak munculnya hubungan OJK dan lembaga-lembaga keuangan yang akhirnya

bersifat transaksional dan cenderung menjurus ke penyalahgunaan?

Teori yang dapat menjelaskan pemberlakuan iuran oleh OJK adalah theory of clubs. Pada

awal kemunculannya, teori tersebut mempelajari ukuran optimal suatu kelompok yang

mengkonsumsi barang atau jasa secara bersamaan dan penyediaan optimal dari barang dan

jasa tersebut. Konsumsi barang atau jasa secara bersamaan dapat menciptakan economies of

scale bagi penyedia. Di lain pihak, konsumsi tersebut menimbulkan biaya yang ditanggung

bersama oleh kelompok tersebut. Manfaat dan biaya yang muncul dan ditanggung bersama

merupakan sebuah network effects (Lacker, 2006).

Dalam konteks sektor keuangan, lingkup lembaga keuangan saat ini menciptakan economies

of scale bagi OJK dalam menjalankan kegiatan. Biaya yang timbul dari pengawasan sektor

Page 157: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

170  

keuangan akan ditanggung oleh lembaga keuangan. Namun, apa manfaat yang dapat

diperoleh konsumen? Pertanyaan tersebut muncul karena besar kemungkinan konsumen ikut

menanggung beban iuran lembaga keuanga kepada OJK.

Konsumen dapat memperoleh manfaat apabila OJK tidak hanya bertindak sebagai pengawas

namun juga sebagai LOLR. Fungsi LOLR identik dengan fungsi LPS sebagai penjamin

deposito: OJK akan memberikan bantuan kepada lembaga keuangan yang mengalami

permasalahan. Skema ini mengurangi moral hazard dari sisi OJK yaitu OJK akan mengawasi

setiap lembaga dengan effort maksimal tanpa memperhatikan besarnya fee dari masing-

masing lembaga. Manfaat yang diperoleh konsumen adalah meminimisasi risiko kegagalan

lembaga keuangan akibat kesalahan struktural maupun sistemik.

Fakta yang ada saat ini, lembaga pengawas sebagian besar dibiayai oleh industri yang

diawasi. PA Consulting Group atau PACG (2009) melaporkan bahwa sebagian besar lembaga

pengawas sektor keuangan di negara yang tergabung dalam G20 dibiayai oleh industri

keuangannya. APRA (Australia), AMF (Perancis), BRSA (Turki), BaFin (Jerman), SB

(Afrika Selatan), FSC (Korea Selatan) dibiayai oleh industri keuangan. Proporsi pembiayaan

lembaga pengawas yang diambil dari 108 sampel adalah: industri (56%), pemerintah (22%),

campuran (16%), dan tidak disebutkan (6%).

Jika OJK membebankan biaya pengawasan ke industri keuangan, OJK perlu menyusun

mekanisme pendanaan yang sedemikian rupa untuk meminimalisasi penyalahgunaan.

Mekanisme tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di Indonesia.

Usulan tersebut merujuk pada laporan PACG (2009) yang menjelaskan bahwa setiap negara

menganut mekanisme pendanaan yang berbeda. Tabel 6.7 menjelaskan berbagai mekanisme

pendanaan lembaga pengawas sektor keuangan.

Tabel 7.7. Model Mekanisme Pendanaan1

Model Karakteristik

Basis Transaksi Fee pengawasan didasarkan pada jenis transaksi pada industri keuangan tertentu: fixed fee atau % dari nilai transaksi

Basis alokasi biaya Fee pengawasan didasarkan pada biaya yang dikeluarkan OJK untuk mengawasi suatu industri

Basis tetap tahunan Fixed fee dibebankan kepada lembaga di suatu pasar tanpa memerhatikan ukuran lembaga tersebut

Basis volume tahunan Fee berdasarkan volume transaksi suatu lembaga dalam satu tahun

Page 158: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

171  

Basis jasa inti OJK membebankan fee berdasarkan biaya jasa pengawasan inti yang dilaksanakan di suatu lembaga

Basis risiko Fee dibebankan berdasarkan profil risiko suatu lembaga

Pendapatan denda Biaya OJK ditutup oleh pemasukan denda pelanggaran peraturan industri keuangan

Pendapatan dari aktivitas lain Biaya OJK ditutup oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan lain, misalnya pelatihan

Sumber: diolah dari PACG (2009) 1 Lihat Lampiran 1 untuk kemanfaatan dan kompleksitas dari masing-masing model

Model pendanaan yang paling banyak diaplikasikan adalah basis tetap tahunan.Lembaga

keuangan membayar biaya pengawasan berdasarkan volume transaksi yang terjadi dalam satu

tahun. Model pendanaan lain yang banyak dianut adalah basis jasa inti dan pendapatan dari

aktivitas lain (Gambar 7.3).

Gambar 7.3. Model Pendanaan Lembaga Pengawas Keuangan

Sumber: PACG (2009); sampel 108 lembaga pengawas.

Berbagai model di atas memiliki kemanfaatan dan kompleksitas. Kajian mengenai model

pendanaan yang sesuai untuk Indonesia, yaitu model yang meminimalisasi penyalahgunaan,

perlu dilakukan. Kajian tersebut patut menganalisis berbagai hal sebagai berikut. Pertama,

manfaat yang diperoleh konsumen (nasabah) terkait pendanaan OJK oleh industri keuangan.

Kedua, sejauh mana industri akan membebankan biaya OJK ke konsumen (nasabah). Ketiga,

willingness to pay atau ability to pay dari setiap industri keuangan khususnya industri

keuangan skala kecil. Keempat, tahapan skema pendanaan untuk masing-masing industri

Page 159: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

172  

karena setiap industri memiliki lingkup, kegiatan, dan keterkaitan yang berbeda. Kelima,

fungsi OJK sebagai lender of the last resort.

7.5. Biaya Pengalihan ke Usulan Skema I dan II OJK

Beberapa hal yang teridentifikasi di atas adalah kompleksitas yang ada terkait dengan rencana

pembebanan biaya operasional OJK versi RUU OJK kepada pihak lembaga keuangan.

Diperlukan kajian yang mendalam terkait dengan potensi biaya transisi sistem pengawasan ke

OJK dan sistem pendanaan untuk membiayai OJK di masa datang.

Biaya transisi maupun jangka panjang dari usulan Skema I dan II OJK relatif lebih murah

dibandingkan biaya peralihan ke OJK versi RUU OJK. Meski pada Skema I OJK, salah satu

tugas OJK tetap melakukan supervisi terhadap business conducts baik di perbankan maupun

non-perbankan, namun biaya resiko kerentanan perekonomian dari krisis serta biaya jangka

panjang tidak akan terjadi.

Skema II OJK menawarkan biaya peralihan yang paling ekonomis, karena pada dasarnya

pengawasan perbankan sepenuhnya tetap dilakukan oleh BI, sementara Bapepam-LK perlu

ditingkatkan kewenangannya untuk mengawasi semua lembaga non-perbankan. Skema II

OJK tidak akan menyebabkan tacit knowledge yang selama ini telah terbangun di bagian

pengawasan BI akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali (hal yang sama berlaku bagi

biaya jangka panjang lainnya).

Peningkatan kewenangan Bapepam-LK dan peningkatan transparansi sistem pengawasan

perbankan di BI tentu akan menyebabkan peningkatan biaya. Meski demikian hal ini bisa

dilakukan secara bertahap dan yang paling penting selama proses transisi tersebut kerentanan

perekonomian terhadap krisis tidak akan meningkat akibat peralihan sistem pengawasan

tersebut.

Page 160: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

173  

Tabel 7.8. Perbandingan OJK menurut RUU OJK dengan Skema II

OJK Menurut RUU Skema II

• Kendala besarnya biaya pembentukan lembaga baru: biaya transisi, biaya jangka panjang, biaya operasional, dan biaya sumberdaya

• Minimalisasi kendala biaya: peningkatan biaya terjadi karena peningkatan transparansi dan akuntabilitas kinerja

• Bapepam-LK tetap akan mengeluarkan biaya untuk meningkatkan lingkup pengawasan industri keuangan nonbank seperti BMT dan koperasi yang jumlahnya sangat banyak.

• Kendala waktu peralihan lembaga: transisi memerlukan waktu yang lama

• Kendala waktu minimal: BI dan Bapepam-LK menginvestasikan waktu untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerjanya.

• Kendala pembangunan sistem informasi yang baru • BI dan Bapepam-LK hanya memerlukan koordinasi sistem informasi untuk integrasi informasi dan data, tanpa membangun sistem informasi baru

• Kendala pengalihan sumberdaya manusia: biaya adaptasi SOP baru dan berkurangnya (atau hilangnya) tacit knowledge khususnya staf pengawas perbankan Bank Indonesia

• Potensi perpindahan sumberdaya manusia minimal

• Kendala pembiayaan operasional OJK: perlu kajian mendalam mengenai sumber dan mekanisme pendanaan

• Sumber dan mekanisme pendanaan sesuai prosedur yang telah berlaku

• Kendala risiko krisis pada saat masa transisi: posisi pengawasan belum mantap sehingga overview sektor keuangan masih lemah dan rentan terhadap ancaman krisis

• BI dan Bapepam-LK memiliki waktu untuk memperkuat kelembagaan dan sumberdaya untuk menghindari risiko krisis

Satu hal yang pasti akan membebani baik BI maupun Bapepam-LK terkait dengan Skema II

OJK adalah biaya pembangunan sistem IT yang mampu menghubungkan server antara BI

dan Bapepam-LK. Data sharing dan data interfacing tidak saja membutuhkan perangkat

keras maupun perangkat lunak yang memunginkan kedua server terhubung dan beroperasi

bersama. Lebih dari itu data sharing dan data interfacing membutuhkan juklak/SOP dan

bahkan mungkin adanya MOU atau payung hukum yang lebih tinggi misalnya UU. Namun

demikian, apapun bentuk OJK yang nantinya akan dibuat, pengeluaran akibat data sharing

dan data interfacing tidak akan terhindarkan.

Page 161: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

174  

Bab 8: Kesimpulan dan Saran

8.1 Kesimpulan 1. Pengawasan lembaga keuangan bank dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan

bahwa selama tahun 2004-2009, hasil investigasi pelanggaran perbankan

menunjukkan bahwa jumlah pelanggaran perbankan sebanyak 1.139 kasus dengan

jenis pelanggaran meliputi masalah perkreditan, pendanaan, rekayasa laporan, biaya

fiktif, dan penggelapan.

2. Pengawasan lembaga keuangan non-bank dan pasar modal dilakukan oleh Bapepam-

LK dengan menerapkan sistem pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision).

Selama tahun 2006-2008, jumlah perusahaan dan emiten yang didenda mengalami

peningkatan. Misalnya, jumlah emiten saham mencapai 499 pada tahun 2008

sedangkan jumlah emiten yang didenda mencapai 212 (42,5%). Jumlah perusahaan

efek yang didenda selama tahun 2008 bahkan mencapai 237 walaupun jumlah

perusahaan efek hanya 158. Angka tersebut menunjukkan bahwa satu perusahaan efek

melakukan pelanggaran dengan rerata 1,5 pada tahun 2008

3. Penentuan pendekatan lembaga pengawas di setiap perekonomian bergantung pada

situasi sektor keuangan di setiap perekonomian. Terdapat empat jenis pendekatan

yang telah didirikan oleh negara-negara di dunia antara lain pendekatan institusi,

fungsional, terpadu (integrated), dan twin peaks. Sistem pengawasan institusional,

fungsional dan terpadu (integrated) cenderung meningkatkan kerentanan

perekonomian terhadap krisis karena sistem pengawasan dilakukan oleh banyak

lembaga pada sistem pengawasan institusional dan fungsional, sedangkan pada sistem

terpadu (integrated) menunjukkan adanya sentralisasi pengawasan yang menciptakan

beban kerja yang sangat berat bagi lembaga pengawas. Dalam pendekatan twin peaks,

fungsi pengawasan bank sentral dalam pendekatan ini cenderung kabur khususnya

pada kasus bank sentral tidak diberikan tugas pengawasan salah satu sektor keuangan

seperti perbankan

4. Struktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diusulkan oleh RUU OJK identik

dengan struktur FSA di Britania Raya yang terbukti gagal dalam melaksanakan

fungsinya. Selain itu, struktur ini mengalihkan fungsi pengawasan sektor perbankan

dari BI ke OJK sehingga memerlukan biaya yang sangat besar terkait dengan sumber

Page 162: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

175  

daya manusia dan teknologi serta membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, struktur

ini belum menimbang pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan

membutuhkan waktu lama guna pembentukan OJK daerah.

5. Peningkatan kewenangan Bapepam-LK dan peningkatan transparansi sistem

pengawasan perbankan di BI tentu akan menyebabkan peningkatan biaya, yang

meliputi biaya pembangunan sistem IT. Namun sistem tersebut mampu

menghubungkan server antara BI dan Bapepam-LK sehingga kebutuhan akan data

sharing dan data interfacing dapat terpenuhi.

6. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa individu Indonesia cenderung untuk bersikap

rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian

besar lebih memilih strategi B atau tidak mau berkoordinasi. Walaupun strategi ini

merupakan Nash Equilibrium, dampaknya tidak optimal bagi masyarakat secara

umum karena setiap pemain lebih mengutamakan kepentingannya sendiri.

7. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pemain memberikan respon yang berbeda

seiring perubahan payoffs. Fakta tersebut menjelaskan bahwa biaya koordinasi di

Indonesia tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pemberlakuan framing effects

memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemain secara signifikan.

8.2 Saran 1. Dengan melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia, lembaga pengawasan

perbankan sebaiknya tetap dilaksanakan oleh BI sedangkan pengawasan pasar modal

dan IKNB dilaksanakan oleh OJK yang dikembangkan dari lembaga Bapepam-LK

yang telah ada dan berjalan. Argumennya adalah biaya yang besar dan waktu transisi

yang lama. Namun, argumen yang lebih utama adalah pencegahan risiko krisis yang

disebabkan oleh pengawasan yang nonoptimal pada saat masa transisi.

2. Struktur BI dan OJK yang telah ada dipertahankan. BI yang telah memiliki tenaga ahli

pengawasan dan teknologi meningkatkan transparansi dalam hal pengawasan,

terutama transparansi pelanggaran. Di lain pihak, OJK diharapkan terus membangun

sistem pengawasan lembaga keuangan nonbank yang mapan dan komprehensif,

artinya teknik dan sumberdaya pengawasan satu industri berbeda dengan industri

lainnya. OJK juga diharapkan terus meningkatkan lingkup pengawasan terhadap

Page 163: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

176  

lembaga keuangan nonbank, terutama koperasi dan lembaga keuangan mikro yang

belum memiliki sistem pengawasan.

3. BI dan OJK membangun sistem informasi sebagai sarana koordinasi dan penyusunan

kebijakan bersama. Sistem informasi tersebut menjadi prioritas utama menghindari

risiko krisis yang timbul karena kegagalan antisipasi dan miskoordinasi lembaga

pengawas. Selain itu, BI, OJK, Kementrian Keuangan, dan LPS patut menyepakati

fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam kerangka koordinasi untuk

meningkatkan transparansi koordinasi.

4. BI dan OJK, maupun BI dan Kementrian Keuangan memainkan pure coordination

game. Implikasinya, kedua lembaga menyusun kebijakan koordinasi. Pada permainan

tersebut, koordinasi kedua lembaga ditujukan untuk kemanfaatan masyarakat secara

keseluruhan tanpa ada insentif untuk mengutamakan kepentingan masing-masing

lembaga.

Page 164: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

v  

Referensi  

Abrams, R. dan Taylor, M.W., 2000, “Issues in the Unification of Financial Sector

Supervision,” International Monetary Fund Working Paper, 213.

Ashari, 2006, “Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya,” Analisis Kebijakan Pertanian, 4:2, hal. 146-164, diakses Juni 2010 dari pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART4-2c.pdf.

Australian Prudential Regulation Authority (APRA), 2009, “Annual Report 2009,” diakses Juli 2010 dari http://www.apra.gov.au/AboutAPRA/Annual-Report-2009.cfm

_____________, 2004a, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/13447/uu_bi_no0304.pdf

____________, 2004b, Laporan Pengawasan Perbankan 2004, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi

_____________, 2005, Laporan Pengawasan Perbankan 2005, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi

_____________, 2007, Booklet Perbankan Indonesia 2007,Vol. 4.

_____________, 2009, Laporan Pengawasan Perbankan 2008, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+Pengawasan+Perbankan/LPP_2008_17042008.htm

_____________, 2010a, Laporan Keuangan Publikasi Bank, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Keuangan+Publikasi+Bank/Bank/Bank+Umum+Konvensional/

_____________, 2010b, Laporan Pengawasan Perbankan 2009, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+Pengawasan+Perbankan/lpp_2009.htm 

Bank Indonesia, 2010c, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank,” diakses dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Tujuan+dan+Kewenangan.

_____________, 2010d, “Tujuan dan Tugas Bank Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/ 

_____________, 2010e, “Statistika Perbankan Indonesia April 2010,” diakses Juni 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Indonesia/spi_0410.htm

Page 165: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

vi  

_____________, 2010f, Dinamika Transformasi Pengawasan Bank di Indonesia, Humas Bank Indonesia: Jakarta.

Banque de France, 2010, “Presentation of the French Prudential Supervisory Authority.”

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007, “Agenda Strategik: Pusdiklat Pegawai Badan Pemeriksaa Keuangan.”

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2010, “Bidang Tugas Pimpinan BPK RI,” diakses Juli 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?page_id=41 

Bank Mandiri, 2001, “Annual Report 2001,” diakses Juli 2010 dari www.bankmandiri.co.id/english/corporate01/pdf/202826836886.pdf.

Bapepam-LK, 2009, Laporan Tahunan 2008, diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/annual_report/AR-BAPEPAM-LK_2008.pdf

Bapepam-LK, 2010, “Pengawasan Lembaga Keuangan,” diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/p3/index.htm

Barth, J.R., D.E. Nolle, T. Phumiwasana, G. Yago, 2002, “A Cross-Country Analysis of the Bank Supervisory Framework and Bank Performance,” Economic and Policy Analysis Working Paper, 2002.

Barth, J.R., G. Caprio Jr., R. Levine, 2004, “Bank Regulation and Supervision: What Work Best?” Journal of Financial Intermediation, 13, 2005-248.

Barth, R. James, D.E. Nolle, T. Phumiwasana, and G. Yago, 2002, “A Cross Country Analysis of the Bank Supervisory Framework and Bank Performance”. Economic and Policy Analysis Working Paper, 2002-2.

Bernanke, B., 2010, “The Federal Reserve’s Role in Bank Supervision,” diakses April 2010 dari http://www.federalreserve.gov/newsevents/testimony/bernanke20100317a.htm

Binmore, K. G., 1987, “Modeling Rational Players I,” Economics and Philosophy, 3, 179-214

Biro Dana Pensiun, 2009, Laporan Tahunan Dana Pensiun 2008, diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/dana_pensiun/publikasi_dp/annual_report_dp/Laptah2008/laptahdapen2008.pdf

Biro Perasuransian, 2008, Perasuransian Indonesia, diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/Perasuransian_Indonesia_2008_part1.pdf

Blanchard, O., G. Dell’Ariccia, P. Mauro, 2009, “Rethinking Macroeconomic Policy,” International Monetary Fund Staff Position Note, 03.

Borio, C., 2009, Ímplementing the Macroprudential Approach to Financial Regulation and Supervision,” Banque de France: Financial Stability Review No. 13.

Briault, C., 1999, “The Rationale for a Single National Financial Services Regulator, FSA Occasional Paper, 2, diakses dari www.fsa.gov.uk/pubs/occpapers/OP02.pdf

Brunnermeier, M., A. Crockett, C. Goodhart, A. Persaud, and H.S. Shin, 2009, “The Fundamental Principles of Financial Regulation,” Geneva and London: International

Page 166: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

vii  

Center for Monetary and Banking Studies (ICMB), and Centre for Economic Policy Research (CEPR), London.

Carmichael, J., 2002, “APRA-The Way Forward,” diakses Juli 2010 dari http://www.apra.gov.au/speeches/02_12.cfm

Cervellati, E.M., dan E. Fioriti, 2007, “Financial Supervision in EU Countries,” working paper, diakses Mei 2010 dari http://www.efmaefm.org/0EFMAMEETINGS/EFMA%20ANNUAL%20MEETINGS/2007-Vienna/Papers/0522.pdf

Chowdhury, A., 2010, “Financial Sector Regulation in Developing Countries: Reckoning After the Crisis,” diakses Mei 2010 dari http://www.ideaswebsite.org/featart/feb2010/Anis_Chowdhury.pdf

Coleman, W.D., 1996, “Financial Services, Globalization and Domestic Policy Change,” hal. 67, Macmillan Press Ltd, London dalam Lukman Hakim dkk, 2003, “Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,” Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI

Cole, D.C. dan B.S. Slade, 1996, “Building A Modern Financial System: The Indonesian Experience,” Cambridge University Press, New York dalam Lukman Hakim dkk, 2003, “Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,” Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI

Cooper et.al, 1991, “Selection Criteria in Coordination Games: Some Experimental Results,” Games Econ. Behav. 3, 25-59

Cooper et.al, 1996, “Cooperation Without Reputation: Experimental Evidence from Prisoner’s Dilemma Games,” Games Econ. Behav, 12, No. 0013, 187-218

Crockett, A., 2001, “Banking Supervision & Regulation: International Trends,” diakses April 2010 dari www.bis.org/speeches/sp010330.htm 

Debt Management Office, 2010, “Perkembangan Utang Negara,” diunduh Juli 2010 dari http://www.dmo.go.id.

Demaestri, E. dan F. Guerrero, 2002, “The Rationale for Integrating Financial Supervision in Latin America and the Carribean,” diakses Juni 2010 dari http://www.aaep.org.ar/espa/anales/PDF_03/Demaestri_Guerrero.pdf

Departemen Keuangan, 2010, “Data Pokok APBN 2005-2010,” diunduh Agustus 2010 dari www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/datapokok-ind2010.pdf.

Deposit Insurance Corporation Japan, 2010, “Scheme for Special Crisis Management,” diakses Juni 2010 dari http://www.dic.go.jp/ english/e_katsudou/e_katsudou2-4.html

Enrich, D. dan L. Norman (2010), “U.K. Shakes Up Its Bank Regulation: Once-Proud FSA Will Be No More, Folded Into Other Entities; More Power for Central Bank,” diakses Juni 2010 dari http://online.wsj.com/article/SB10001424052748704198004575310451098811086.html

Page 167: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

viii  

European Central Bank, 2001, “The Role of Central Banks in Prudential Supervision,” diakses Mei 2010 dari www.ecb.int/pub/pdf/other/prudentialsupcbrole_en.pdf

Financial Services Agency Japan, 2010, “The Organization of the FSA,” diakses Juni 2010 dari www.fsa.go.jp/en/index.html

Goodhart, C.A.E., 2000, “The Organisational Structure of Banking Supervision”. FSI Occasional Papers No. 1 – November 2000-10-25.

Goodhart, Charles dan Schoenmaker, Dirk, 1995, “Should the Functions of Monetary Policy and Banking Supervision Be Separated?,” Oxford Economic Papers, Oxford University Press, Vol. 47(4) pp. 539-60

Grenville, Stephen, 2005, “Financial Sector Supervision: What We Have Learned So Far,” diakses Agustus 2010 dari www.oecd.org/dataoecd/12/54/35497307.pdf

Group of Thirty, The Structure of Financial Supervision : Approaches and Challenges in Global Market Place, January 2009

G30 Financial Regulatory Systems Working Group, 2008, The Structure of Financial Supervision : Approaches and Challenges in Global Market Place

Grunbichler, A. dan P. Darlap, 2003, “Regulation and Supervision of Financial Markets and Institutions: A European Perspective,” diakses Juni 2010 dari www.fep.up.pt/disciplinas/pgaf924/.../Texto_7_Grunbichler_Darlap.pdf

Guardian, 2009, “David Cameron Unveils Plan to Scrap Financial Watchdog,” diakses Mei 2010 dari http://www.guardian.co.uk/politics/2009/jul/20/david-cameron-financial-regulation

Gugler, P., 2005, “The Integrated Supervision of Financial Markets: The Case of Switzerland,” The Geneva Papers, 30, (128-143)

Herring, R. J., dan J. Carmassi, 2008, “The Structure of Cross-Sector Financial Supervision,” Financial Markets, Institutions, and Instruments, 17, hal. 51-76.

Hoenig, T. M., 2004, “Exploring the Macro-Prudential Aspects of Financial Sector Supervision,” Meeting for Heads of Supervision Bank for International Settlements Basel.

Houben, A., J. Kakes, dan G. Schinasi, 2004, “Toward a Framework for Safeguarding Financial Stability,” IMF Working Paper, 04/101, diakses Juni 2010 dari www.ksri.org/bbs/files/research02/wp04101.pdf

House of Lords, 2009, “Banking Supervision and Regulation,” Select Committee on Economic Affairs: 2nd Report Session 2008-2009.

Ingves, S., 2007, “Housing and Monetary Policy: A View from an Inflation-Targeting Central Bank,” Paper dipresentasikan pada the Federal Reserve Bank of Kansas City Annual Conference on Housing, Housing Finance, and Monetary Policy, Jackson Hole, Wyoming diakses dari www.kansascityfed.org/publicat/sympos/2007/pdf/Ingves_0415.pdf

Page 168: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

ix  

International Organization of Securities Commissions, 2010, “Ordinary Members of IOSCO,” diakses 27 Juni 2010 http://www.iosco.org /lists/display_members. cfm?memID=1&orderBy=none

Ioannidou, V.P., 2003, “Does Monetary Policy Affect the Central Bank’s Role in Bank Supervision?” Journal of Financial Intermediation 14 (2005) 58-85.

Jackson, James K., 2009, “Canada’s Financial System: an Overview,” Congressional Research Service

Kashyap, Anil K, 2010, “ Testimony on “ Examining the Link between Fed Bank Supervision and Monetary Policy”, House Financial Services Committee, diakses Juli 2010 di http://www.house.gov/apps/list/hearing/financialsvcs_dem/kashyap.pdf

Kawai, M. dan M. Pomerleano, 2010, “ Regulating Systemic Risk,” Asian Development Bank Institute, diakses Juni 2010 dari http ://ssrn.com/abstract=1581303

Kementrian Negara Koperasi dan UKM, 2009, “PP Simpan Pinjam Koperasi Segera Disempurnakan,” diakses Mei 2010 dari http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/659-pp-simpan-pinjam-koperasi-segera-disempurnakan.html

Kompas, 2010, “Pembentukan OJK Tidak Tepat,” Kompas cetak 14 Juni 2010, hal. 19.

Kreps, D., P. Milgrom, J. Roberts, and R. Wilson (1982), “Rational Cooperation  in the 

Finitely Repeated Prisoner’s Dilemma,” Journal of Economic Theory, 17: 245‐252 

Krivoy, R., 2000, “Reforming Bank Supervision in Developing Countries,” working paper, diakses Mei 2010 dari www.bos.frb.org/economic/conf/conf44/cf44_10.pdf

de Larosiere Group, 2009, Report on Financial Supervision: High-Level Group on Financial Supervision in the EU (February), diakses Juni 2010 dari http:// www.ec.europa.eu/internal_market/finances/docs/de_larosiere_report_en.pdf.

Lacker, J.M, 2006, “Central Bank Credit in the Theory of Money and Payments,” diakses Juli 2010 dari http://www.richmondfed.org/press_room/speeches/president_jeff_lacker/ 2006/lacker_speech_20060329.cfm.

Levine, R., 1997, “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda,” Journal of Economic Literature, Vol. 35, 688-726.

Llewellyn, D. T, 2006, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Country Needs” tanggal 6 dan 7 Juni 2006, Washington DC

Martinez, J.L. dan T.A. Rose, 2003, “International Survey of Integrated Financial Sector Supervision,” World Bank: Policy Sector Working Paper, 3096, diakses dari http://www.wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2003/08/23/000094946_03080904015686/Rendered/PDF/multi0page.pdf

Mas-Colell, A., M. D. Whinston, J. R. Green, 1995, Microeconomic Theory, Oxford University Press, Oxford, UK

Page 169: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

x  

Mihalca, G., 2007, “The Relation between Financial Development and Economic Growth in Romania”. The 2nd Central European Conference in Regional Science, diakses Juni 2010 dari www.cers.tuke.sk/cers2007/PDF/Mihalca.pdf

Mueller, Dennis C.,1983, The Political Economy of Growth, Yale University Press: New Haven

Nasution, A., 2003, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda kedepan”. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar: 14-18 Juli 2003.

Nier, E.W., 2009, “Financial Stability Frameworks and The Role of Central Banks: Lessons From the Crisis,” International Monetary Fund Working Paper, 09/70, diakses Mei 2010 dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp0970.pdf 

PA Consulting Group, 2009, Financial Services Authority: Researching Regulatory Funding Models, diakses Juli 2010 dari www.fsa.gov.uk/pubs/other/reg_funding.pdf.

Peek, J., E.S. Rosengren, dan G.M.B. Tootell, 1999, “Is Bank Supervision Central to Central Banking?,” The Quarterly Journal of Economics, CXIV(2), pp. 629-653

Pegadaian, 2010, Laporan Tahunan 2009, diakses Mei 2010 dari http://www.pegadaian.co.id/k.annual.php?uid= 

Pemerintah Republik Indonesia, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan: Jakarta.

Pradiptyo, R., 2006, “Does Punishment Matter? A Refinement of the Inspection Game,” German Working Papers in Law and Economics: Vol. 2006: Article 9 diakses dari http://www.bepress.com/gwp/default/vol2006/iss1/art9

Pradiptyo, R., 1998, “Experimental Test of Interlinked-Prisoner’s Dilemma: Incorporating Fairness in Public Choice Theory,” MSc Dissertation, unpublished, Department of Economics and Related Studies, University of York, UK

Rabin, M., 1993, “Incorporating fairness into game theory and economics,” American Economic Review 83, 1281-1302

Romp, G., 1997, Game Theory: Introduction and Applications, Oxford University Press: Oxford, UK

Samuelson, P.A., 1997, “Wherein Do the European and American Models Differ?,” Papers 320, Banca Italia-Servizio di Studi

Seelig, Steven A. dan Alicia Novoa, 2009, “Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory Agencies,” IMF Working Paper No. 09/135

Segara, E., 2006, “Saatnya BMT Berbenah Diri,” diakses Juli 2010 dari http://edosegara.blogspot.com/2008/02/saatnya-bmt-berbenah-diri.html

Page 170: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xi  

Selten, R. dan Stoecker, R., 1986, “End Behavior in Sequences of Finite Prisoner’s Dilemma Supergames,” J. Econ. Behav. Organ. 7, 47-70

Sinclair, P.J.N., 2000, “Central Banks and Financial Stability,” Bank of England Quarterly Bulletin, 2000, hal. 377-91.

SMECDA, 2006, “BMT Sebaiknya Tetap Berbadan Hukum Koperasi,” diakses Juli 2010 dari http://www.smecda.com/deputi7/BERITA%20KUKM%202006/REPUBLIKA_02082006.pdf

Squam Lake Working Group on Financial Regulation, 2009, “A Systemic Regulator for Financial Markets,” Working Paper, Council on Foreign Relations: Center for Geoeconomic Studies.

Stiglitz, J. (1994), “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World BankAnnual Conference on Development Economics Supplement, 1993, 19-61.

Suharto, S., 2008, “Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK (3),” diakses Juli 2010 dari http://www.niriah.com/opini/detail.php?cid=2&id=816&pageNum=3

Taylor, Michael dan Alex Fleming, 1999, “Integrated Financial Supervision: Lessons of Northern European Experience,” Policy Research Working Paper, 2223, The World Bank

Tsay, Chin-Tsair, “Overcoming Crisis and The Role of Deposit Insurance,” Central Deposit Corporation, diakses Juni 2010 dari www.cdic.gov.tw/public/Attachment/4111614353171.pdf

Tversky, A. dan D. Kahneman, 1986, “Rational Choice and the Framing Decision,” Journal of Business, 59: S251-278

World Bank, 2009, “Agenda Perbaikan Sektor Keuangan Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/financialsector.pdf 

Page 171: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xii  

Lampiran

Lampiran 1. Kemanfaatan dan Kompleksitas Model Pendanaan

Model Kemanfaatan Kompleksitas Basis Transaksi Misal: DFSA (Dubai), FSS (Korea Selatan) Contoh: 0,01% untuk setiap transaksi kredit

• Mudah untuk dimengerti dan diaplikasikan

• Biaya yang ditanggung sesuai dengan tingkat aktivitas lembaga

• Tingkat transaksi harus homogen • Variabilitas pemasukan bagi

lembaga pengawas: volume transaksi turun, pendapatan juga turun

Basis alokasi biaya Misal: SFMSA (Swiss), BaFin (Jerman)

• Kesamarataan: industri yang memiliki lingkup kegiatan luas memerlukan pengawasan yang lebih komprehensif sehingga biaya lebih tinggi; industri yang memiliki lingkup kegiatan lebih kecil membayar lebih kecil

• Transparansi untuk pihak yang diawasi berkurang karena tidak memiliki kontrol terhadap variabel biaya

• Model ini aplikatif di tingkat industri dan harus didukung model lain untuk aplikasi di tingkat perusahaan

Basis tetap tahunan Misal: DFSA (Dubai)

• Sederhana dan transparan • Merefleksikan biaya pengawasan

tetap untuk lembaga yang lebih kecil

• Ketimpangan apabila diterapkan pada industri yang lingkup kegiatan dan ukuran sangat heterogen.

Basis volume Misal: APRA (Australia), FSS (Korea Selatan) Contoh: volume aset, jumlah anggaran, jumlah utang, nilai kapitalisasi pasar

• Minimalisasi ketimpangan: lembaga besar membayar biaya lebih besar

• Sederhana dan transparan • Tingkat pemasukan lembaga

pengawas cenderung stabil

• Asumsi risiko dan tingkat pengawasan akan terus meningkat seiring volume yang semakin besar

• Lembaga yang memiliki ukuran identik diasumsikan memiliki tingkat risiko yang sama

Basis jasa inti Misal: AMF (Perancis) Contoh: biaya untuk audit keuangan tahunan

• Biaya hanya dibebankan untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas

• Manajemen pendanaan lembaga pengawas lebih sederhana: biaya inti pengawasan dibiayai oleh sumber berbeda

• Tidak aplikatif untuk pengawasan yang lebih banyak ke metode off-site

• Administrasi pendanaan rumit

Basis risiko Misal: CDIC (Kanada) Contoh: Lembaga yang memiliki tingkat risiko lebih tinggi membayar premi pengawasan lebih tinggi

• Merefleksikan risiko lembaga terhadap lembaga sehingga lembaga pengawas dapat meningkatkan pengawasan terhadap lembaga bermasalah

• Memberikan insentif kepada lembaga untuk melakukan usaha sesuai peraturan yang ditetapkan lembaga pengawas

• Memerlukan pengukuran risiko yang jelas dan disepakati oleh semua perusahaan dalam suatu industri tertentu

• Pengukuran risiko berbeda pada industri keuangan yang berbeda

Page 172: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xiii  

Pendapatan denda • Lembaga yang patuh membayar biaya pengawasan lebih kecil

• Lembaga pengawas terjebak dalam pencarian pelanggaran namun meninggalkan tugas inti pengawasan

Pendapatan dari kegiatan lain Contoh: pelatihan, pengadaan forum diskusi, publikasi, dan lainnya

• Mengurangi beban pendanaan bagi industri keuangan

• Lembaga keuangan berpotensi meninggalkan tugas pengawasan inti untuk mengejar pemasukan dari kegiatan nonpengawasan.

Sumber: diolah dari PACG (2009)

Page 173: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xiv  

Lampiran 2. Panduan Eksperimen Terimakasih atas partisipasi anda di eksperimen ini. Anda akan berpartisipasi di eksperimen pengambilan keputusan secara interaktif. Anda dimohon mengikuti instruksi eksperimen ini dengan seksama dan mengambil keputusan yang terbaik menurut pendapat anda.

Keputusan yang anda buat akan menentukan berapa besarnya uang yang akan anda terima dari memainkan permainan di setiap sesi. Nilai uang yang anda menangkan akan dibayar tunai di akhir eksperimen ini. Jika anda memilih strategi dengan tepat, anda mungkin akan memperoleh uang sebesar Rp200.000. Namun jika pilihan anda kurang tepat, anda mungkin tidak mendapatkan hadiah apa-apa.

Perhatian, Anda dilarang BERKOMUNIKASI dengan sesama peserta eksperimen selama eksperimen ini berlangsung

Ketentuan Umum

Permainan ini terdiri dari dua tahapan, di mana setiap tahapnya terdiri dari 16 (enam belas) sesi permainan. Masing-masing sesi permainan berdiri sendiri, artinya tidak terkait dengan sesi sebelumnya maupun sesudahnya. Sebelum permainan utama dilakukan akan dilaksanakan latihan memainkan permainan sebanyak tiga sesi. Sebelum sesi dimulai, anda akan terbagi ke dalam dua kelompok secara acak yaitu Kelompok Majapahit (M) dan Kelompok Sriwijaya (S). Setiap Kelompok terdiri dari 16 orang anggota, dan masing-masing dari anggota akan mendapat nomor antara 1 sampai 16 seperti yang tertera di sebelah layar komputer anda.

Misalnya, jika Anda mendapat nomor M3, maka anda adalah anggota Kelompok M nomor urut 3. Jika Anda mendapat nomor S5, maka anda adalah anggota Kelompok S nomor urut 5. Masing-masing anggota Kelompok M, hanya akan memainkan satu kali permainan dengan masing-masing anggota Kelompok S, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, setiap pemain di setiap kelompok hanya akan memainkan SEKALI permainan dengan masing-masing anggota kelompok lain tanpa ada peluang untuk bertemu ulang.

Strategi Permainan

Pada setiap permainan, setiap pemain menghadapi dua pilihan, yaitu A dan B. Setiap pemain memilih strategi dengan menekan klik strategi yang dianggapnya paling tepat. Kemudian pemain akan ditanya pertanyaan berikut:

Page 174: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xv  

APAKAH ANDA SUDAH MANTAP DENGAN JAWABAN ANDA?

Jika anda merasa belum mantap dengan jawaban anda dan ingin mengubah jawaban anda, pilihkan ‘TIDAK’ dan anda akan bisa mengganti jawaban anda sebelumnya. Apabila anda sudah mantap dengan jawaban anda, maka pilihlah ‘YA’ dan jawaban anda akan dicatat oleh komputer tanpa anda mampu mengubahnya lagi.

Jika kedua pemain sama-sama telah menjawab, pada Tabel kanan atas akan diumumkan strategi yang diambil masing-masing pemain dan berapa uang yang dihasilkan oleh setiap pemain pada permainan tersebut. Permainan akan dilakukan sebanyak 16 kali. Di setiap kali permainan, masing-masing pemain akan memainkan satu jenis permainan melawan satu orang pemain dari kelompok lain. Baik jenis permainan maupun lawan main hanya akan dihadapi sekali tanpa pernah berulang.

Anda hanya memiliki waktu 30 detik untuk memilih strategi mana yang anda pilih

Eksperimen Tahap II

Eksperimen tahap ke dua hampir sama dengan ekperimen tahap pertama. Perbedaan hanya terdapat pada jenis strateginya. Strategi A akan diganti nama sebagai ‘Berkoordinasi’, sementara strategi B adalah ‘Tidak Mau Berkoordinasi’. Selain penamaan strategi di atas, semua game akan sama dengan eksperiment tahap 1.

Metoda Remunerasi

Dari tiga puluh dua permainan, satu permainan akan dipilih secara acak oleh peserta dan anda akan dibayar sesuai dengan hasil yang anda peroleh pada permainan tersebut. Maksimum pembayaran adalah Rp200.000, dan jika anda kurang beruntung minimum pembayaran adalah Rp0. Tidak ada seorang pemainpun yang akan harus membayar dalam bentuk apapun kepada experimenter.

Tahap latihan

Latihan akan dilaksanakan setelah moderator menyelesaikan instruksi permainan dan dilakukan sebelum eksperimen utama dilakukan. Sesi latihan akan dilaksanakan untuk tiga jenis permainan. Pastikan anda memahami sepenuhnya bagaimana permainan berjalan. Jika anda belum faham, mohon tidak segan-segan meminta pengulangan sesi latihan.

Page 175: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xvi  

Lampiran 3. Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil Tabel A.X: Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil

Tugas Pokok Jadwal Tugas 1 Melakukan penilaian dan analisis tingkat kesehatan bank umum konvensional : 1.1. Meneliti/evaluasi : - LBU Bulanan - BMPK Bulanan - PDN Mingguan - Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Mingguan Maturty profile

1.2 * Tindak lanjut keterlambatan /tidak Semester menyampaikan laporan di atas 1.3 * Tindak lanjut kesalahan laporan di atas Semester 1.4 - Menilai/AnalisisTKS Bulanan 2 Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk Profile) dan trend keuangan - Membuat analisis Triwulan - Pembahasan internal DPwB2 Triwulan - Pembahasan dengan bank Triwulan - Pembuatan notulen rapat Triwulan - Surat pembinaan/termasuk catatan Triwulan - Monitoring komitmen bank Triwulan 3 Tindak lanjut terhadap permasalahan dispute terhadap ketentuan yang berlaku, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta permasalahan yang diajukan bank. - Catatan analisis pengawas Triwulanan - Memo penerusan kepada satker terkait. Triwulanan - Pertemuan/rapat intern atau antar satker Triwulanan - Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Triwulanan - Notulen pertemuan dengan bank Triwulanan - Surat menyurat dengan bank. Triwulanan - Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID, Pelaporan devisa dll) = Catatan/surat pembinaan Bulanan = Memorandum ke IDWB Bulanan

Bersambung…. 

 

 

 

 

Page 176: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xvii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 4 Memberikan rekomendasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum konvensional serta evaluasi pelaksanaannya - Membuat analisis kinerja keuangan bank 3 tahunan sebelum dan setelah MKA - Meneliti kelengkapan persyaratan MKA 3 tahunan - Catatan dan surat menyurat terkait 3 tahunan dengan persyaratan dan kelengkapan MKA - Pertemuan dengan satker terkait 3 tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dengan 3 tahunan bank - Pertemuan dengan bank dan Konsultan 3 tahunan MKA - Membuat risalah pertemuan. 3 tahunan - Memorandum rekomendasi 3 tahunan 5 Menyediakan informasi keuangan bank PwB21 kepada satker terkait dalam rangka : - Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek - (FPJP/FLI) - PKLN/LoG 5 tahunan - Penerbitan Surat berharga - - Kredit Program - - Izin Pedagang Valuta Asing - - Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan - haji) - Pendirian KC Syariah - 6 Melakukan pemantauan khusus terhadap PwB21 bank-bank umum konvensional dalam program rekapitalisasi - Evaluasi realiasasi performa - milestone - Surat pembinaan kepada bank - - Informasi kepada pemegang saham - - Informasi perkembangan pelaksanaan - dan permasalahan yg berkaitan dgn rekap bank.

Bersambung…. 

 

 

 

 

Page 177: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xviii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 7 Evaluasi RKAT dan Business Plan - Stress testing Tahunan - Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju Tahunan - Pertemuan dengan bank Tahunan - Notulen hasil pertemuan Tahunan - Surat menyurat/pembinaan Tahunan 8 Memantau pencapaian target Business Plan Bank Plan - Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Triwulan - Lap. Realisasi Pemberian kredit. Triwulan - Realisasi sesuai data LBU Triwulan - Surat menyurat/pembinaan Triwulan 9 Melakukan Pengawasan Intensif (PI) - terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif - Evaluasi khusus kinerja bank 2 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 2 Tahunan - Notulen hasil pertemuan 2 Tahunan - Penetapan bank dalam PI 2 Tahunan - Monitoring dan laporan perkembangan realisasi 2 Tahunan action plan bank - Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 2 Tahunan pencabutan status PI - Surat menyurat/pembinaan 2 Tahunan

10 Melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Special Surveilance Unit (SSU) - Evaluasi khusus kinerja bank 5 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 5 Tahunan - Notulen hasil pertemuan 5 Tahunan - Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) 5 Tahunan - Monitoring action plan/CDO 5 Tahunan - Laporan perkembangan realisasi action 5 Tahunan plan bank - Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 5 Tahunan pencabutan status SSU/penyerahan kepada BPPN - Surat menyurat/pembinaan 5 Tahunan

Bersambung…. 

 

 

 

Page 178: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xix  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 11 Memberikan rekomendasi : Fit & Proper Test berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan serta menindaklanjuti hasil keputusannya Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik, pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank/pengurus BPR 11.1 Fit & Proper Test - Pembuatan matriks temuan 2 Tahunan - Pembahasan intern DPwB2 2 Tahunan - Pembahasan dgn satker terkait (1) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn bank (1) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan dgn bank atas dasar tanggapan/bukti baru - Pembahasan dgn satker terkait (2) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn KEP (1) 2 Tahunan - Pembahasan dgn bank (2) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan dgn bank - Pembahasan dgn satker terkait (3) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn KEP (2) 2 Tahunan - Pembahasan di RDG u/ mendapat 2 Tahunan keputusan final - Surat pemberitahuan hasil Fit & Proper Test kepada

bank 2 Tahunan

- Penyampaian surat kepada pemegang 2 Tahunan saham pengendali - Penyampaian surat kepada yang 2 Tahunan bersangkutan - Penyampaian surat kepada DPIP u/ 2 Tahunan dicatat dalam daftar pemantauan khusus 11.2 Kaji Ulang (berdasarkan keberatan yang

bersangkutan)

- Memo permintaan pemeriksaan ulang 5 Tahunan kpd DPmB - idem 13.1 5 Tahunan

Bersambung… 

 

Page 179: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xx  

 

Tugas Pokok Jadwal Tugas 11.3 Periode waktu sanksi telah berakhir : (apabila ybs mengajukan pemulihan nama baik) - Menghimpun informasi 2 Tahunan - Catatan dan surat rekomendasi 2 Tahunan cat : pelaksanaan tugas berkaitan dgn ketentuan DOT yang terbaru langkah-langkahnya

12 Memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada satuan kerja terkait : - Pembukaan dan penutupan bank - Pembukaan dan penutupan Kantor. Cabang Tahunan - Pembukaan dan penutupan di bawah Tahunan Kantor Cabang (KK, Unit, Payment Point) - Pembukaan ATM Tahunan - Perubahan alamat bank Tahunan - Perubahan alamat kantor cabang bank Tahunan - Perubahan alamat kantor dibwah kantor Tahunan cabang (KK, Unit, Payment Point) - Perubahan alamat ATM Tahunan - Penggantian Direksi/Dir kepatuhan dan Penggantian Dewan Komisaris Tahunan - Perubahan status bank (devisa) 5 Tahunan - Perubahan nama 5 Tahunan - Memberi/meminta rekomendasi ke/dari Tahunan otoritas keuangan negara lain

13 Memberikan persetujuan/izin : 13.1 Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI dan perubahannnya - Analisis kondisi keuangan dan Tahunan persyaratan berdasarkan ketentuan - Surat persetujuan /penolakan Tahunan 13.2 Perubahan pemegang saham dan atau jumlah modal disetor yg tidak merubah pemegang saham pengendali - Analisis kondisi keuangan dan 3 Tahunan persyaratan berdasarkan ketentuan - Surat persetujuan/penolakan 3 Tahunan

Bersambung…. 

 

 

Page 180: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxi  

 

Tugas Pokok Jadwal Tugas 14 14.1 Mengevaluasi /analisis/tanggapan laporan-laporan sbb: 1 Laporan kredit yang direstruktur Bulanan 2 Laporan Keuangan Publikasi Triwulan (triwulan) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) Semester 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) Semester 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) Semester 6 Lap. Keuangan Tahunan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum Tahunan 8 Lap. Transaksi Derivatif Mingguan 9 Pengangkatan Pejabat Tahunan Eksekutif/SKAI. 10 Lap. Perubahan TSI 3 Tahunan 14.2 Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan pelaporan 1 Laporan kredit yang direstruktur (bln) Tahunan 2 Laporan Keuangan Publikasi (trw) Tahunan 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 2 Tahunan 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 2 Tahunan 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 2 Tahunan 6 Lap. Keuangan Tahunan 4 Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 4 Tahunan 8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg) 2 Bulanan 9 Pengangkatan Pejabat Tahunan Eksekutif/SKAI. 10 Lap. Perubahan TSI 6 Tahunan

15 Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2 15.1 Persiapan pemeriksaan - Pemenuhan permintaan data DPmB2 Tahunan - Penyampaian informasi dlm Tahunan pertemuan dgn tim pemeriksa 15.2 Pelaksanaan pemeriksaan - Pembahasan draft temuan pemeriksa Tahunan - Exit meeting Tahunan

Bersambung….

Page 181: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 15.3 Tindak lanjut LHP umum - Catatan dan Surat Pembinaan serta Tahunan penyampaian LHP - Pertemuan dengan pengurus bank Tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dan Tahunan notulen hasil pertemuan - Monitoring komitmen bank Tahunan - Pelaksanaan pengenaan sanksi / Tahunan tanggapan dr bank - Penyesuaian temuan pemeriksaan Tahunan dengan data TKS

16 Pemeriksaan Tahunan Bank oleh KAP (Eksternal) 16.1 Persiapan/pelaksanaan pemeriksaan - Menyiapkan informasi kpd KAP Tahunan - Pertemuan dgn KAP Tahunan - Klarifikasi cakupan pemeriksaan Tahunan dengan KAP - Catatan apabila cakupan Tahunan pemeriksaan kredit kurang dari 70% dan hal lain 16.2 Tindak lanjut Management letter - Catatan dan Surat Pembinaan Tahunan

17 Pemeriksaan Khusus oleh DPmB 17.1 Persiapan pemeriksaan - Pemenuhan permintaan data ke 3 Tahunan DPmB2 - Penyampaian informasi dlm 3 Tahunan pertemuan dgn tim pemeriksa 17.2 Pelaksanaan pemeriksaan - Pembahasan draft temuan pemeriksa 3 Tahunan - Exit meeting 3 Tahunan 17.3 Tindak lanjut LHP khusus - Catatan dan Surat Pembinaan 3 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 3 Tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dan 3 Tahunan notulen hasil pertemuan - Monitoring komitmen bank 3 Tahunan - Pelaksanaan pengenaan sanksi (jika ada) 3 Tahunan

Bersambung….

Page 182: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxiii  

18 Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank): - Menyiapkan bahan pertemuan Tahunan - Pertemuan Tahunan - Membuat risalah hasil pertemuan dan Tahunan tindak lanjut lainnya yang diperlukan.

19 Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan dari Parent bank/Kantor Pusatnya. - Pertemuan dengan Tim Pemeriksa Tahunan - Evaluasi / Catatan Tahunan - Surat tanggapan/pembinaan. Tahunan

20 Tindak Lanjut Laporan OSP a Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M Mingguan b Mengidentifikasi dan menilai risiko, memantau exposure risiko, manajemen dan pengendalian risiko: - Bulanan Bulanan - Triwulanan Triwulanan - Semesteran Semesteran - Tahunan Tahunan c Mengadministrasikan dan mendoku - Mingguan mentasikan secara baik laporan - laporan tim OSP dan data pendukung d Surat pembinaan kepada bank Bulanan e Pertemuan dengan tim OSP 2 Mingguan

21 Menatausahakan laporan pelaksanaan perizinan operasional bank umum konvensional, & sanksi kelambatan lapor. - Lap. Pelaksanaan Pindah alamat kantor. Tahunan - Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor Tahunan - Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar Tahunan - Lap. Pelaksanaa Penggantian Tahunan Pemegang saham/Pengurus bank

22 Evaluasi kebijakan dan prosedur bank ( KYC) - Monitoring pelaksanaannya Tahunan - Evaluasi/analisis bila terjadi perubahan Tahunan Kebijakan.

Bersambung….

Page 183: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxiv  

Tugas Pokok Jadwal Tugas II TUGAS LAINNYA. 1 Tambahan Beban Tugas - Pembahasan/Tanggapan memenuhi permintaan satker lain (a.l. draft ketentuan baru ) = Persiapan dan tindak lanjut Bulanan = Rapat pembahasan Bulanan - Kursus, Seminar, Sosialisasi Tahunan - Rapat koordinasi ( intern/ekstern Dir) Mingguan - Memenuhi permintaan data Bulanan (intern/ekstern BI) - Memberikan rekomendasi kpd BPPN dlm Tahunan rangka pembagian deviden bank rekap 2 Menatausahakan dan mendistribusikan Harian dokumen masuk dan keluar. 3 Mengelola arsip Bagian Harian 4 Melaksanakan penatausahaan Bulanan kepegawaian Bagian ( absensi & cuti dll.) 5 PKAT (PKS/PKNS) Bagian Pengawasan Bank - Membuat Tahunan - Monitoring pelaksanaan Triwulanan - Mengurus perjalanan dinas pegawai Semesteran 6 Melakukan tugas-tugas kesekretariatan Harian dan pengetikan dokumen 7 Tambahan tugas lainnya (misal: menyusun Triwulanan makalah, bahan seminar a.p. Pimp Dir. dll)

Sumber: Bank Indonesia, 2005

Page 184: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxv  

Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah Tabel A.XX: Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah

Tugas Pokok Jadwal Tugas 1 Melakukan penilaian dan analisis tingkat

kesehatan bank umum konvensional : 1.1. Meneliti/evaluasi : - LBU Bulanan - BMPK Bulanan - PDN Mingguan - Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Mingguan Maturty profile 1.2 * Tindak lanjut keterlambatan /tidak Semester menyampaikan laporan di atas 1.3 * Tindak lanjut kesalahan laporan di atas Semester 1.4 - Menilai/AnalisisTKS Bulanan 2 Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk Profile) dan trend keuangan - Membuat analisis Triwulan - Pembahasan internal DPwB2 Triwulan - Pembahasan dengan bank Triwulan - Pembuatan notulen rapat Triwulan - Surat pembinaan/termasuk catatan Triwulan - Monitoring komitmen bank Triwulan 3 Tindak lanjut terhadap permasalahan dispute terhadap ketentuan yang berlaku, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta permasalahan yang diajukan bank. - Catatan analisis pengawas Triwulanan - Memo penerusan kepada satker terkait. Triwulanan - Pertemuan/rapat intern atau antar satker Triwulanan - Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Triwulanan - Notulen pertemuan dengan bank Triwulanan - Surat menyurat dengan bank. Triwulanan - Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID, Pelaporan devisa dll) = Catatan/surat pembinaan Bulanan = Memorandum ke IDWB Bulanan

Bersambung….

Page 185: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxvi  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 4 Memberikan rekomendasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum konvensional serta evaluasi pelaksanaannya - Membuat analisis kinerja keuangan bank 3 tahunan sebelum dan setelah MKA - Meneliti kelengkapan persyaratan MKA 3 tahunan - Catatan dan surat menyurat terkait 3 tahunan dengan persyaratan dan kelengkapan MKA - Pertemuan dengan satker terkait 3 tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dengan 3 tahunan bank - Pertemuan dengan bank dan Konsultan 3 tahunan MKA - Membuat risalah pertemuan. 3 tahunan - Memorandum rekomendasi 3 tahunan 5 Menyediakan informasi keuangan bank PwB21 kepada satker terkait dalam rangka : - Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek - (FPJP/FLI) - PKLN/LoG 5 tahunan - Penerbitan Surat berharga 5 tahunan - Kredit Program 5 tahunan - Izin Pedagang Valuta Asing 5 tahunan - Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan 5 tahunan haji) - Pendirian KC Syariah 5 tahunan 6 Melakukan pemantauan khusus terhadap PwB21 bank-bank umum konvensional dalam program rekapitalisasi - Evaluasi realiasasi performance - milestone - Surat pembinaan kepada bank - - Informasi kepada pemegang saham - - Informasi perkembangan pelaksanaan - dan permasalahan yg berkaitan dgn rekap bank.

Bersambung….

Page 186: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxvii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 7 Evaluasi RKAT dan Business Plan - Stress testing Tahunan - Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju Tahunan - Pertemuan dengan bank Tahunan - Notulen hasil pertemuan Tahunan - Surat menyurat/pembinaan Tahunan 8 Memantau pencapaian target Business Plan Bank Plan Bank - Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Triwulan - Lap. Realisasi Pemberian kredit. Triwulan - Realisasi sesuai data LBU Triwulan - Surat menyurat/pembinaan Triwulan 9 Melakukan Pengawasan Intensif (PI) - terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif - Evaluasi khusus kinerja bank 2 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 2 Tahunan - Notulen hasil pertemuan 2 Tahunan - Penetapan bank dalam PI 2 Tahunan - Monitoring dan laporan perkembangan realisasi 2 Tahunan actionplan bank - Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 2 Tahunan pencabutan status PI - Surat menyurat/pembinaan 2 Tahunan

10 Melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Special Surveilance Unit (SSU) - Evaluasi khusus kinerja bank 5 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 5 Tahunan - Notulen hasil pertemuan 5 Tahunan - Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) 5 Tahunan - Monitoring action plan/CDO 5 Tahunan - Laporan perkembangan realisasi action 5 Tahunan plan bank - Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 5 Tahunan pencabutan status SSU/penyerahan kpd BPPN

Bersambung….

Page 187: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxviii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas - Surat menyurat/pembinaan 5 Tahunan

11 Memberikan rekomendasi : Fit & Proper Test berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan serta menindaklanjuti hasil keputusannya Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik, pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank/pengurus BPR 11.1 Fit & Proper Test - Pembuatan matriks temuan 2 Tahunan - Pembahasan intern DPwB2 2 Tahunan - Pembahasan dgn satker terkait (1) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn bank (1) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan dgn bank atas dasar tanggapan/bukti baru - Pembahasan dgn satker terkait (2) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn KEP (1) 2 Tahunan - Pembahasan dgn bank (2) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan dgn bank - Pembahasan dgn satker terkait (3) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn KEP (2) 2 Tahunan - Pembahasan di RDG u/ mendapat 2 Tahunan keputusan final - Surat pemberitahuan hasil F & P kpd bank 2 Tahunan - Penyampaian surat kpd pemegang 2 Tahunan saham pengendali - Penyampaian surat kpd yang 2 Tahunan bersangkutan - Penyampaian surat kpd DPIP u/ 2 Tahunan dicatat dlm daf. pemantauan khusus

Bersambung….

Page 188: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxix  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 11.2 Kaji Ulang (berdasarkan keberatan ybs) - Memo permintaan pemeriksaan ulang 5 Tahunan kpd DPmB - idem 13.1 5 Tahunan 11.3 Periode waktu sanksi telah berakhir : (apabila ybs mengajukan pemulihan nama baik) - Menghimpun informasi 2 Tahunan - Catatan dan surat rekomendasi 2 Tahunan cat : pelaksanaan tugas berkaitan dgn ketentuan DOT yang terbaru langkah-langkahnya

12 Memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada satuan kerja terkait : - Pembukaan dan penutupan bank - Pembukaan dan penutupan Ktr. Cabang Tahunan - Pembukaan dan penutupan dibawah Tahunan Kantor Cabang (KK, Unit, Payment Point) - Pembukaan ATM Tahunan - Perubahan alamat bank Tahunan - Perubahan alamat kantor cabang bank Tahunan - Perubahan alamat kantor dibwah kantor Tahunan cabang (KK, Unit, Payment Point) - Perubahan alamat ATM Tahunan - Penggantian Direksi/Dir kepatuhan dan Penggantian Dewan Komisaris Tahunan - Perubahan status bank (devisa) 5 Tahunan - Perubahan nama 5 Tahunan - Memberi/meminta rekomendasi ke/dari Tahunan otoritas keuangan negara lain

13 Memberikan persetujuan/izin : 13.1 Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI dan perubahannnya - Analisis kondisi keuangan dan Tahunan persyaratan berdasarkan ketentuan - Surat persetujuan /penolakan Tahunan

Bersambung….

Page 189: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxx  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 13.2 Perubahan pemegang saham dan atau jumlah modal disetor yg tidak merubah pemegang saham pengendali - Analisis kondisi keuangan dan 3Tahunan persyaratan berdasarkan ketentuan - Surat persetujuan /penolakan 3Tahunan

14 14.1 Mengevaluasi /analisis/tanggapan laporan-laporan sbb: 1 Laporan kredit yang direstruktur Bulanan 2 Laporan Keuangan Publikasi Triwulan (triwulan) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) Semester 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. (

Smt) Semester

5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) Semester 6 Lap. Keuangan Tahunan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum Tahunan 8 Lap. Transaksi Derivatif Mingguan 9 Pengangkatan Pejabat Tahunan Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI 3 Tahunan 14.2 Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan pelaporan 1 Laporan kredit yang direstruktur (bln) Tahunan 2 Laporan Keuangan Publikasi (trw) Tahunan 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 2 Tahunan 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. (

Smt) 2 Tahunan

5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 2 Tahunan 6 Lap. Keuangan Tahunan 4 Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 4 Tahunan 8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg) 2 Bulanan 9 Pengangkatan Pejabat Tahunan Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI 6 Tahunan

Bersambung….

Page 190: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxi  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 15 Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2 15.1 Persiapan pemeriksaan - Pemenuhan permintaan data DPmB2 Tahunan - Penyampaian informasi dlm Tahunan pertemuan dgn tim pemeriksa 15.2 Pelaksanaan pemeriksaan - Pembahasan draft temuan pemeriksa Tahunan - Exit meeting Tahunan 15.3 Tindak lanjut LHP umum - Catatan dan Surat Pembinaan serta Tahunan penyampaian LHP - Pertemuan dengan pengurus bank Tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dan Tahunan notulen hasil pertemuan - Monitoring komitmen bank Tahunan - Pelaksanaan pengenaan sanksi / Tahunan tanggapan dr bank - Penyesuaian temuan pemeriksaan Tahunan dengan data TKS

16 Pemeriksaan Tahunan Bank oleh KAP (Eksternal) 16.1 Persiapan/pelaksanaan pemeriksaan - Menyiapkan informasi kpd KAP Tahunan - Pertemuan dgn KAP Tahunan - Klarifikasi cakupan pemeriksaan Tahunan dengan KAP - Catatan apabila cakupan Tahunan pemeriksaan kredit kurang dari 70% dan hal lain

Bersambung….

Page 191: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 16.2 Tindak lanjut Management letter - Catatan dan Surat Pembinaan Tahunan

17 Pemeriksaan Khusus oleh DPmB 17.1 Persiapan pemeriksaan - Pemenuhan permintaan data ke 3 Tahunan DPmB2 - Penyampaian informasi dlm 3 Tahunan pertemuan dgn tim pemeriksa 17.2 Pelaksanaan pemeriksaan - Pembahasan draft temuan pemeriksa 3 Tahunan - Exit meeting 3 Tahunan 17.3 Tindak lanjut LHP khusus - Catatan dan Surat Pembinaan 3 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 3 Tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dan 3 Tahunan notulen hasil pertemuan - Monitoring komitmen bank 3 Tahunan - Pelaksanaan pengenaan sanksi (jika 3 Tahunan ada)

18 Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank): - Menyiapkan bahan pertemuan Tahunan - Pertemuan Tahunan - Membuat risalah hasil pertemuan dan Tahunan tindak lanjut lainnya yang diperlukan.

19 Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan dari Parent bank/Kantor Pusatnya. - Pertemuan dengan Tim Pemeriksa Tahunan - Evaluasi / Catatan Tahunan - Surat tanggapan/pembinaan. Tahunan

20 Pemenuhan informasi/data kpd satker terkait Bulanan atau pihak lain mengenai asset dan kewajiban (BBO) (BBKU)

Bersambung….

Page 192: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxiii  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 21 Tindak Lanjut Laporan OSP a Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M Mingguan b Mengidentifikasi dan menilai resiko, memantau exposure resiko, manajemen dan pengendalian resiko: - Bulanan Bulanan - Triwulanan Triwulanan - Semesteran Semesteran - Tahunan Tahunan c Mengadministrasikan dan mendoku - Mingguan mentasikan secara baik laporan - laporan tim OSP dan data pendukung d Surat pembinaan kepada bank Bulanan e Pertemuan dengan tim OSP 2 Mingguan

22 Menatausahakan laporan pelaksanaan perizinan operasional bank umum konvensional, & sanksi kelambatan lapor. - Lap. Pelaksanaan Pindah alamat kantor. Tahunan - Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor Tahunan - Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar Tahunan - Lap. Pelaksanaa Penggantian Tahunan Pemegang saham/Pengurus bank

23 Evaluasi kebijakan dan prosedur bank ( KYC) - Monitoring pelaksanaannya Tahunan - Evaluasi/analisis bila terjadi perubahan Tahunan Kebijakan. Sub. total

Bersambung….

Page 193: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxiv  

Tugas Pokok Jadwal Tugas II TUGAS LAINNYA. 1 Tambahan Beban Tugas - Pembahasan/Tanggapan memenuhi permintaan satker lain (a.l. draft ketentuan baru ) = Persiapan dan tindak lanjut Bulanan = Rapat pembahasan Bulanan - Kursus, Seminar, Sosialisasi Tahunan - Rapat koordinasi ( intern/ekstern Dir) Mingguan - Memenuhi permintaan data Bulanan (intern/ekstern BI) - Memberikan rekomendasi kpd BPPN dlm Tahunan rangka pembagian deviden bank rekap 2 Menatausahakan dan mendistribusikan Harian dokumen masuk dan keluar. 3 Mengelola arsip Bagian Harian 4 Melaksanakan penatausahaan Bulanan kepegawaian Bagian ( absensi & cuti dll.) 5 PKAT (PKS/PKNS) Bagian Pengawasan Bank - Membuat Tahunan - Monitoring pelaksanaan Triwulanan - Mengurus perjalanan dinas pegawai Semesteran 6 Melakukan tugas-tugas kesekretariatan Harian dan pengetikan dokumen 7 Tambahan tugas lainnya (misal: menyusun Triwulanan makalah, bahan seminar a.p. Pimp Dir. dll)

Sumber: Bank Indonesia, 2005.

Page 194: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxv  

Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar Tabel A.XX: Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar

Tugas Pokok Jadwal Tugas 1 Melakukan penilaian dan analisis tingkat kesehatan bank umum konvensional : 1.1. Meneliti/evaluasi : - LBU Bulanan - BMPK Bulanan - PDN Mingguan - Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Mingguan Maturty profile 1.2 * Tindak lanjut keterlambatan /tidak Semester menyampaikan laporan di atas 1.3 * Tindak lanjut kesalahan laporan di atas Semester 1.4 - Menilai/AnalisisTKS Bulanan 2 Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk Profile) dan trend keuangan - Membuat analisis Triwulan - Pembahasan internal DPwB2 Triwulan - Pembahasan dengan bank Triwulan - Pembuatan notulen rapat Triwulan - Surat pembinaan/termasuk catatan Triwulan - Monitoring komitmen bank Triwulan 3 Tindak lanjut terhadap permasalahan dispute terhadap ketentuan yang berlaku, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta permasalahan yang diajukan bank. - Catatan analisis pengawas Triwulanan - Memo penerusan kepada satker terkait. Triwulanan - Pertemuan/rapat intern atau antar satker Triwulanan - Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Triwulanan - Notulen pertemuan dengan bank Triwulanan - Surat menyurat dengan bank. Triwulanan - Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID, Pelaporan devisa dll) = Catatan/surat pembinaan Bulanan = Memorandum ke IDWB Bulanan 4 Memberikan rekomendasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum konvensional serta evaluasi pelaksanaannya - Membuat analisis kinerja keuangan bank 3 tahunan sebelum dan setelah MKA - Meneliti kelengkapan persyaratan MKA 3 tahunan - Catatan dan surat menyurat terkait 3 tahunan dengan persyaratan dan kelengkapan MKA

Page 195: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxvi  

- Pertemuan dengan satker terkait 3 tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dengan 3 tahunan bank - Pertemuan dengan bank dan Konsultan 3 tahunan MKA - Membuat risalah pertemuan. 3 tahunan - Memorandum rekomendasi 3 tahunan

.

Tugas Pokok Jadwal Tugas 5 Menyediakan informasi keuangan bank PwB21 kepada satker terkait dalam rangka : - Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek - (FPJP/FLI) - PKLN/LoG 5 tahunan - Penerbitan Surat berharga - - Kredit Program - - Izin Pedagang Valuta Asing - - Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan - haji) - Pendirian KC Syariah - 6 Melakukan pemantauan khusus terhadap PwB21 bank-bank umum konvensional dalam program rekapitalisasi - Evaluasi realiasasi performance - milestone - Surat pembinaan kepada bank - - Informasi kepada pemegang saham - - Informasi perkembangan pelaksanaan - dan permasalahan yg berkaitan dgn rekap bank. 7 Evaluasi RKAT dan Business Plan - Stress testing Tahunan - Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju Tahunan - Pertemuan dengan bank Tahunan - Notulen hasil pertemuan Tahunan - Surat menyurat/pembinaan Tahunan 8 Memantau pencapaian target Business Plan Bank Plan Bank - Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Triwulan - Lap. Realisasi Pemberian kredit. Triwulan - Realisasi sesuai data LBU Triwulan - Surat menyurat/pembinaan Triwulan 9 Melakukan Pengawasan Intensif (PI) - terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif

Page 196: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxvii  

- Evaluasi khusus kinerja bank 2 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 2 Tahunan - Notulen hasil pertemuan 2 Tahunan - Penetapan bank dalam PI 2 Tahunan - Monitoring dan laporan perkembangan realisasi 2 Tahunan actionplan bank - Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 2 Tahunan pencabutan status PI - Surat menyurat/pembinaan 2 Tahunan

10 Melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Special Surveilance Unit (SSU) - Evaluasi khusus kinerja bank 5 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 5 Tahunan - Notulen hasil pertemuan 5 Tahunan - Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) 5 Tahunan - Monitoring action plan/CDO 5 Tahunan - Laporan perkembangan realisasi action 5 Tahunan plan bank - Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 5 Tahunan pencabutan status SSU/penyerahan kpd BPPN - Surat menyurat/pembinaan 5 Tahunan

.

Tugas Pokok Jadwal Tugas 11 Memberikan rekomendasi : Fit & Proper Test berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan serta menindaklanjuti hasil keputusannya Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik, pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank/pengurus BPR 11.1 Fit & Proper Test - Pembuatan matriks temuan 2 Tahunan - Pembahasan intern DPwB2 2 Tahunan - Pembahasan dgn satker terkait (1) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn bank (1) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan dgn bank atas dasar tanggapan/bukti baru - Pembahasan dgn satker terkait (2) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn KEP (1) 2 Tahunan

Page 197: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxviii  

- Pembahasan dgn bank (2) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan dgn bank - Pembahasan dgn satker terkait (3) 2 Tahunan - Notulen rapat 2 Tahunan - Pembahasan dgn KEP (2) 2 Tahunan - Pembahasan di RDG u/ mendapat 2 Tahunan keputusan final - Surat pemberitahuan hasil F & P kpd bank 2 Tahunan - Penyampaian surat kpd pemegang 2 Tahunan saham pengendali - Penyampaian surat kpd yang 2 Tahunan bersangkutan - Penyampaian surat kpd DPIP u/ 2 Tahunan dicatat dlm daf. pemantauan khusus 11.2 Kaji Ulang (berdasarkan keberatan ybs) - Memo permintaan pemeriksaan ulang 5 Tahunan kpd DPmB - idem 13.1 5 Tahunan 11.3 Periode waktu sanksi telah berakhir : (apabila ybs mengajukan pemulihan nama baik) - Menghimpun informasi 2 Tahunan - Catatan dan surat rekomendasi 2 Tahunan Catatatan : pelaksanaan tugas berkaitan dgn ketentuan DOT yang terbaru langkah-langkahnya

12 Memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada satuan kerja terkait : - Pembukaan dan penutupan bank - Pembukaan dan penutupan Ktr. Cabang Tahunan - Pembukaan dan penutupan dibawah Tahunan Kantor Cabang (KK, Unit, Payment Point) - Pembukaan ATM Tahunan - Perubahan alamat bank Tahunan - Perubahan alamat kantor cabang bank Tahunan - Perubahan alamat kantor dibwah kantor Tahunan cabang (KK, Unit, Payment Point) - Perubahan alamat ATM Tahunan - Penggantian Direksi/Dir kepatuhan dan Penggantian Dewan Komisaris Tahunan - Perubahan status bank (devisa) 5 Tahunan - Perubahan nama 5 Tahunan - Memberi/meminta rekomendasi ke/dari Tahunan otoritas keuangan negara lain

Page 198: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xxxix  

.

Tugas Pokok Jadwal Tugas 13 Memberikan persetujuan/izin : 13.1 Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI dan perubahannnya - Analisis kondisi keuangan dan Tahunan persyaratan berdasarkan ketentuan - Surat persetujuan /penolakan Tahunan 13.2 Perubahan pemegang saham dan atau jumlah modal disetor yg tidak merubah pemegang saham pengendali - Analisis kondisi keuangan dan 3Tahunan persyaratan berdasarkan ketentuan - Surat persetujuan /penolakan 3Tahunan

14 14.1 Mengevaluasi /analisis/tanggapan laporan-laporan sbb: 1 Laporan kredit yang direstruktur Bulanan 2 Laporan Keuangan Publikasi Triwulan (triwulan) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) Semester 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. (

Smt) Semester

5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) Semester 6 Lap. Keuangan Tahunan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum Tahunan 8 Lap. Transaksi Derivatif Mingguan 9 Pengangkatan Pejabat Tahunan Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI 3 Tahunan 14.2 Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan pelaporan 1 Laporan kredit yang direstruktur

(bln) Tahunan

2 Laporan Keuangan Publikasi (trw) Tahunan 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 2 Tahunan 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. (

Smt) 2 Tahunan

5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 2 Tahunan 6 Lap. Keuangan Tahunan 4 Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 4 Tahunan 8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg) 2 Bulanan 9 Pengangkatan Pejabat Tahunan Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI 6 Tahunan

.

Page 199: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xl  

Tugas Pokok Jadwal Tugas 15 Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2 15.1 Persiapan pemeriksaan - Pemenuhan permintaan data

DPmB2 Tahunan

- Penyampaian informasi dlm Tahunan pertemuan dgn tim pemeriksa 15.2 Pelaksanaan pemeriksaan - Pembahasan draft temuan

pemeriksa Tahunan

- Exit meeting Tahunan 15.3 Tindak lanjut LHP umum - Catatan dan Surat Pembinaan serta Tahunan penyampaian LHP - Pertemuan dengan pengurus bank Tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dan Tahunan notulen hasil pertemuan - Monitoring komitmen bank Tahunan - Pelaksanaan pengenaan sanksi / Tahunan tanggapan dr bank - Penyesuaian temuan pemeriksaan Tahunan dengan data TKS

16 Pemeriksaan Tahunan Bank oleh KAP (Eksternal) 16.1 Persiapan/pelaksanaan pemeriksaan - Menyiapkan informasi kpd KAP Tahunan - Pertemuan dgn KAP Tahunan - Klarifikasi cakupan pemeriksaan Tahunan dengan KAP - Catatan apabila cakupan Tahunan pemeriksaan kredit kurang dari

70%

dan hal lain 16.2 Tindak lanjut Management letter - Catatan dan Surat Pembinaan Tahunan

17 Pemeriksaan Khusus oleh DPmB 17.1 Persiapan pemeriksaan - Pemenuhan permintaan data ke 3 Tahunan DPmB2 - Penyampaian informasi dlm 3 Tahunan pertemuan dgn tim pemeriksa

Page 200: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xli  

17.2 Pelaksanaan pemeriksaan - Pembahasan draft temuan

pemeriksa 3 Tahunan

- Exit meeting 3 Tahunan 17.3 Tindak lanjut LHP khusus - Catatan dan Surat Pembinaan 3 Tahunan - Pertemuan dengan pengurus bank 3 Tahunan - Menyiapkan bahan pertemuan dan 3 Tahunan notulen hasil pertemuan - Monitoring komitmen bank 3 Tahunan - Pelaksanaan pengenaan sanksi (jika 3 Tahunan ada)

.

Tugas Pokok Jadwal Tugas 18 Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank): - Menyiapkan bahan pertemuan Tahunan - Pertemuan Tahunan - Membuat risalah hasil pertemuan

dan Tahunan

tindak lanjut lainnya yang diperlukan.

19 Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan dari Parent bank/Kantor Pusatnya. - Pertemuan dengan Tim Pemeriksa Tahunan - Evaluasi / Catatan Tahunan - Surat tanggapan/pembinaan. Tahunan

20 Pemenuhan informasi/data kpd satker terkait Bulanan atau pihak lain mengenai asset dan kewajiban (BBO) (BBKU)

21 Tindak Lanjut Laporan OSP a Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M Mingguan b Mengidentifikasi dan menilai resiko, memantau exposure resiko, manajemen dan pengendalian resiko: - Bulanan Bulanan - Triwulanan Triwulanan - Semesteran Semesteran - Tahunan Tahunan c Mengadministrasikan dan mendoku - Mingguan mentasikan secara baik laporan - laporan tim OSP dan data pendukung d Surat pembinaan kepada bank Bulanan e Pertemuan dengan tim OSP 2 Mingguan

22 Menatausahakan laporan pelaksanaan

Page 201: KajiAkademikOJK UI UGMversi+230810

  

xlii  

perizinan operasional bank umum konvensional, & sanksi kelambatan lapor. - Lap. Pelaksanaan Pindah alamat

kantor. Tahunan

- Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor

Tahunan

- Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar

Tahunan

- Lap. Pelaksanaa Penggantian Tahunan Pemegang saham/Pengurus bank

23 Evaluasi kebijakan dan prosedur bank ( KYC) - Monitoring pelaksanaannya Tahunan - Evaluasi/analisis bila terjadi perubahan Tahunan Kebijakan.

.

Tugas Pokok Jadwal Tugas II TUGAS LAINNYA. 1 Tambahan Beban Tugas - Pembahasan/Tanggapan memenuhi permintaan satker lain (a.l. draft ketentuan baru ) = Persiapan dan tindak lanjut Bulanan = Rapat pembahasan Bulanan - Kursus, Seminar, Sosialisasi Tahunan - Rapat koordinasi ( intern/ekstern Dir) Mingguan - Memenuhi permintaan data Bulanan (intern/ekstern BI) - Memberikan rekomendasi kpd BPPN dlm Tahunan rangka pembagian deviden bank rekap 2 Menatausahakan dan mendistribusikan Harian dokumen masuk dan keluar. 3 Mengelola arsip Bagian Harian 4 Melaksanakan penatausahaan Bulanan kepegawaian Bagian ( absensi & cuti dll.) 5 PKAT (PKS/PKNS) Bagian Pengawasan Bank - Membuat Tahunan - Monitoring pelaksanaan Triwulanan - Mengurus perjalanan dinas pegawai Semesteran 6 Melakukan tugas-tugas kesekretariatan Harian dan pengetikan dokumen 7 Tambahan tugas lainnya (misal: menyusun Triwulanan makalah, bahan seminar a.p. Pimp Dir. dll)