k o n s e n t r a s i p e r a d i l a n a g a m a program...
TRANSCRIPT
PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) TERHADAP
HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN
(Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
WARDHATUL JANNAH
NIM : 1110044100009
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
r,
PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL BESI.AqTERIIADAP
HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN
(Analisis Putusan Nomor 549/Pdt G t2007 tp A.Jp)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah SatuPersyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
Wardhatul JannahNIM : I110044100009
KONSENTRASI PERADILAN AGAMAPROGRAM STIIDI HUKTIM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKTJM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
t435Ht20t4M;
i
t9720224t99803 I 003
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "PERMOHONAN SITA MARITAL (MAilITAL BESLAG)
TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN (Analisis
Putusan Nomor 549lPdt.Gl2007lPA.JP)" telah diujikan dalam sidang munaqasah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 MEI
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
strata Satu (Sl) pada Program Studi Ahwal al Syakhshiyah (peradilan Agama).
Jakarta,12Mei2014
Mengesahkan,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
,Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
Penguji II
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Drs. H.A. Basiq Dialil. SH. MANIP. I 9500306197603 1001
Dra.Hi.Rosdiana. MANrP. 1 9690 6102003 12200r
H.Kamarusdiana. S.Ag. MHNIP. 1 9720224t99803t003
Sri Hidayati. M.AeNIP. 1 97 1 02t 51997 032002
Dr. H.M Nurul Irfan. M.AeNrP. 197308082003 121001
. 196808121999031014
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 01 April 2014
Wardhatul Jannah
iv
1110044100009
ABSTRAK
Wardhatul Jannah. NIM 1110044100009. Permohonan Sita Marital
(Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian
(Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP). Konsentrasi Peradilan Agama
Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. Ix + 75 halaman + 120
halaman lampiran.
Skripsi yang berjudul Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap
Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP) ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan
ketentuan yang berhubungan dengan putusan hakim dalam mengabulkan gugatan
harta bersama di luar gugatan perceraian. Metode pendekatan yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah metode Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis
karena penelitian ini bertitik tolak dengan menggunakan kaedah hukum dan
peraturan yang terkait dengan harta bersama dan sita marital dalam gugatan harta
bersama di luar gugatan perceraian. Empiris karena pendekatan bertujuan
memperoleh data mengenai putusan hakim dalam mengabulkan gugatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang permohonan sita marital
yang diajukan terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian yang dikabulkan
oleh Majelis Hakim melalui Putusan 549/Pdt.G/2007/PA.JP apakah sesuai dengan
hukum yang berlaku serta bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara ini.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa
permohonan Sita Marital dapat diajukan di luar gugatan perceraian . Majelis hakim
berpendapat untuk mengabulkan permohonan Sita Marital itu berdasarkan Pasal 95
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu apabila salah satu pihak dapat melakukan
perbuatan yang merugikan atau membahayakan harta bersama.
Kata Kunci : Permohonan Sita Marital,Di Luar Gugatan Perceraian,
HartaBersama.
Pembimbing : H. Kamarusdiana, S.Ag., MH
Daftar Pustaka : Tahun 1984 s.d Tahun 2010
v
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Nizomudin dan Ibunda
Ernawati yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa
kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. H. J.M Muslimin, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A.,
selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program StudiAhwal al
SyakhshiyahFakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH., selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
studiAhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Ibu Dra. Hj. Rokhanah, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Ibu Dra. Hj. Erni Zurnilah, MH., selaku Hakim yang memutus perkara yang
telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan bimbingan
pada penulis selama penulis melakukan wawancara.
8. Bapak Ruslan, S.H., selaku Panitera Muda Hukum di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan
membimbing penulis.
vii
9. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Ahmad Rizki dan Ahmad
Azi Akbar yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi.
10. Sahabat sahabat seperjuangan penulis : Nisa Oktafiani, Dede Umu Kulsum,
Defi Uswatun Hasanah, Restia Gustiana, Nurul Hikmah.
11. Teman-teman kajian Peradilan Agama : Arini Zidna, Eka Dita Martiana,
Erwin Hikmatiar, Irfan Zidni, Sopriyanto, M. Fauzan, Arif Rahman Hakim,
dan Rusdi Rizki Lubis. Dan Teman-teman Kosan : Rizky Amalia, Intan
Balqis Al Aydrus, Agnis Afryani, Riah Elsa Fitri, dan Trisni Asih.
12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 01 April 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan & Perumusan Masalah ................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10
D. Metode Penelitian.............................................................................. 11
E. Review Studi Terdahulu .................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 16
BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA
A. Pengertian Harta Bersama ................................................................. 18
B. Pengaturan Harta Bersama dalam Perkawinan ................................. 25
C. Ruang Lingkup Harta Bersama ......................................................... 28
D. Terbentuknya Harta Bersama ............................................................ 32
ix
E. Pembagian Harta Bersama ................................................................ 34
BABIII SITA MARITAL (MARITAL BESLAAG) DI PENGADILAN AGAMA
DAN KEDUDUKAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA
BERSAMA
A. Pengertian dan Tujuan Sita Marital .................................................. 38
B. Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital ............................................ 44
C. Permohonan Sita Marital................................................................... 47
D. Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital ............................ 50
E. Akibat Hukum Sita Marital terhadap Harta Bersama ....................... 51
BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 549/Pdt.G/2007/PA.JP TENTANG
PERMOHONAN SITA MARITAL (Marital Beslag) TERHADAP
HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN
A. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar
Gugatan Perceraian ................................................................................. 53
B. Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim .................................... 62
C. Analisis Penulis ....................................................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 70
B. Saran-saran .............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73
x
LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi
2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara
3. Surat Keterangan Telah Mengambil Data/Wawancara
4. Hasil Wawancara Skripsi
5. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam realita
kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat
ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan (suami-istri), mereka
saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.
Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut dengan “
keluarga”.1 Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga
yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga
sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha Allah swt.2
Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam sendiri ialah untuk
memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan
kewajiban anggota keluarga; Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir
dan batin karna terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan batinnya, sehingga
timbulah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.3
1Abdul Manan, Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, (Jakarta: KencanaPrenada
Media Group, 2006), h.1.
2Ibid.
3Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010),h. 22.
2
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang
Perkawinan, Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian
perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3. Di dalam Pasal 2,
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan di dalam Pasal 3 disebutkan bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah.4
Pada saat perkawinan terjadi, maka suami isteripun terikat dalam
sebuah keluarga. Seiring dengan hal tersebut maka munculah apa yang
dinamakan dengan harta kekayaan dalam keluarga (harta bersama).5
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dalam Pasal 35 menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama perkawinan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
4Ibid., h. 10.
5Ibid.
3
lain.Maka pada saat terjadinya perkawinan, berlakulah persatuan harta
kekayaan dalam perkawinan antara suami istri. Tidak menutup kemungkinan
harta kekayaan dalam perkawinan terdapat harta milik pribadi masing-masing
suami istri.
Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 85 disebutkan, adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami dan istri. dan dalam Pasal 86 KHI disebutkan, pada dasarnya
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri. Harta istri tetap
menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri, begitu juga
sebaliknya.6 Dalam Pasal 88 KHI disebutkan apabila terjadi perselisihan
antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama.7
Islam tidak mengenal adanya percampuran harta bersama suami istri
akibat adanya perkawinan, tetapi mengenal adanya perkongsian antara suami
istri dalam bentuk syirkah.8 Karena suami istri bekerjasama dalam
memperoleh dan memanfaatkan harta kekayaan dalam perkawinan. Harta
6Abdul Manan. Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, h. 100.
7Ibid.
8Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2007, Cet.
Kesebelas ), h. 2.
4
yang diperoleh bersama-sama suami istri dikelola dan dimanfaatkan bersama-
sama suami istri.
Harta bersama yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung jika
perkawinan tersebut putus, maka harta bersama dibagi antara suami istri.
Kecuali jika ada ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat.
dengan putusnya perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum yang
menjadi konsekuesi antara suami maupun istri. Akibat hukum yang
ditimbulkan salah satunya adalah pembagian harta bersama (harta gono-gini)
antara suami istri.9
Hukum harta bersama itu sendiri seringkali kurang mendapatkan
perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama praktisi hukum yang
semestinya memperhatikan hal ini secara lebih serius, karena masalah harta
bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan suami istri apabila ia telah bercerai. dan dalam kitab fiqh klasik
dan kontemporerpun tidak ditemukan pembahasannya secara tegas masalah
pembagian harta bersama ini, hal ini mungkin disebabkan karena munculnya
harta bersama ini biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami istri,
atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama,
9Moch. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari
Segi Perkawinan Islam, (Jakarta : IND-HIIILCO, 1985), h. 212-213.
5
sehingga timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam
penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.10
Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika
suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan (bercerai). dan dalam hal ini
apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan
dengan perceraian (salah satunya pembagian harta bersama) sekaligus tuntas.
Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk
menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta
bersama tersebut dalam satu surat gugatan.
Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan
tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan
gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok (gugatan perceraian) dengan
gugatan pembagian harta bersama.
Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian
bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan dengan cara
gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesoir terhadap gugatan
perceraian. Cara assesoir-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan jika gugat
perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun dinyatakan
tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugatan perceraian
dikabulkan sembari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian
10
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 103.
6
harta bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai
harta bersama.11
Adapun kebolehan menggabungkan gugatan perceraian dengan
pembagian harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 yaitu : “Gugatan soal penguasaan anak , nafkah isteri dan
harta bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan
gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tersebut, pada pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin
menggabung gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan
menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan
hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah
barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan
pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua
permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan
biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama
tersebut.
Namun seiring dalam pelaksanaannya, terdapat sebuah perselisihan
mengenai permasalahan harta bersama yakni adanya pengajuan permohonan
11
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2001, Cet. Pertama), h. 267.
7
dalam perkara sita marital yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada
suaminya sebagai Termohon, yang masih dalam status perkawinan yang
terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Permohonan ini diajukan oleh
istri kepada suami yang telah mengajukan permohonan talak terhadap istrinya
akan tetapi masih di proses dalam persidangan yang belum mencapai putusan.
Tindakan pengajuan permohonan sita marital ini dilakukan sebagai upaya
preventif terhadap keselamatan harta bersama karena Pemohon khawatir
Termohon melakukan tindakan yang dapat merugikan harta bersama yakni
pemborosan.
Di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan istilah sita marital
terhadap harta bersama.12
, tetapi dengan tujuan yang sama dengan sita
jaminan disebutkan dalam Pasal 215 ayat (1) KUH Perdata yaitu tidak
mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan
mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam hukum perdata.
Sita marital (marital beslag) ialah sita yang diletakkan atas harta
perkawinan. Sita marital ini diatur dalam Pasal 78 huruf c Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 95
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pada Pasal
215 KUH Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. HIR sendiri tidak
12
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 99.
8
mengenal adanya sita marital, dan di dalam praktek peradilan sekarang ini
sita marital tidak banyak dimanfaatkan.13
Dalam pengajuan permohonan sita marital di Peradilan Agama yakni
berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 186 KUH
Perdata, istri sebagaiPemohon dapat mengajukan permohonan sita marital
kepada Pengadilan Agama terhadap harta bersama, sekalipun di luar adanya
permohonan gugatan cerai. Gunanya adalah untuk melindungi harta bersama
dari perbuatan salah satu pihak yang merugikan, seperti mabuk, judi, boros,
dan sebagainya. Permohonan sita marital ini tetap diajukan tanpa memutus
ikatan perkawinan, tapi harta bersama bisa dijamin pemeliharaannya.
Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis
tertarik untuk membahas masalah permohonan sita marital (sita harta
bersama) ini dan merumuskannya dalam sebuah karya tulis dalam bentuk
skripsi dengan judul “PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL
BESLAG) TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN
PERCERAIAN(Analisis PutusanNomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP)”.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas, di dalam sengketa
mengenai pembagian harta bersama terdapatpermasalahan sita marital
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006), h.
92.
9
(sita harta bersama) yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada
suami sebagai Termohon di luar gugatan perceraian.Terkait dengan
putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat No.
549/Pdt.G/2007/PA.JP menarik untuk diteliti,namun perlu adanya
pembatasanmasalah dalam skripsi ini sehingga nantinya tidak meluas atau
keluar dari pokok bahasan yakni Apakah dalam praktiknya sendiri
permohonan sita marital dapat dilakukan dengan secara mandiri atau
permohonan sita marital ini harus dilakukan secara bersamaan dengan
gugatan cerai.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini menilai tentang
pelaksanaan sita marital apakah sudah berjalan dengan peraturan
perundang-undangan karena di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan
istilah sita marital terhadap harta bersama akan tetapi permohonan sita
marital ini terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo
Pasal 186 KUH Perdata.
Di dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP sendiri menggambarkan tentang
bagaimana proses berjalannya perkara permohonan sita marital yang
diajukan tidak bersamaan dengan gugatan perceraian dan pertimbangan
hakim dalam memutuskan perkara sita marital terhadap harta bersama.
dan untuk lebih jelasnya penulis merumuskannya sebagai berikut;
10
1. Apakah pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama yang diajukan
di luar perkara pokok (gugatan perceraian) sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
2. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dalam memutus perkara sita marital terhadap harta bersama
dalam putusan nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP ?
C. TujuandanManfaatPenelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai
berikut:
a. Mengetahui apakah pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama
dalam praktiknya sendiri sudah berjalan sesuai peraturan perundang-
undangan.
b. Mengetahui pertimbangan hakim di Pengadilan Agama tersebut dalam
memberikan putusan mengenai sita marital terhadap harta bersama.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, antara lain:
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan
pengetahuan dan wawasan baru tentang problematika hukum Islam
khususnya tetang sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan
11
perceraian dan hasil penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi
terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan sita marital terhadap
harta bersama terutama bagi para hakim di Pegadilan Agama dalam
memecahkan masalah yang timbul akibat sita marital terhadap harta
bersama.
b. Secara praktis problematika yang ada saat ini, agar dapat memikirkan
bagaimana proses Pengadilan Agama dalam memutuskan sita marital
terhadap harta bersama. Dan diharapkan skripsi ini dalam manfaat
praktisnya dapat menjadi bahan rujukan bagi para hakim, mahasiswa
dan masyarakat yang ingin mengetahui permasalahan yang terkait
dengan sita marital terhadap harta bersama.
D. MetodePenelitian
1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris
merupakan cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah
penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian
dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di
lapangan menyangkut permohonan perkara sita marital terhadap harta
bersama di luar gugatan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
12
2. Jenis Penelitian
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
deskriptif analisis yakni menggambarkan dan memaparkan secara
sistematika tentang apa yang menjadi obyek penelitian dan kemudian
dilakukan analisis. Metode deskriptif analisis yang dilakukan melalui
pendekatan kualitatif, yakni menggambarkan berupa kata-kata, ungkapan,
norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.14
Cara tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
secara mendalam tentang “Permohonan Sita Marital (Marital Beslaag)
Terhadap Harta Bersama di luar gugatan perceraian (Analisis Putusan
Perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP).”
3. Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Adapun yang menjadi bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah
putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP
tentang sita marital terhadap harta bersama. Sehubungan dengan hal
tersebut maka yang menjadi respondennya adalah Majelis Hakim yang
memutus perkara tersebut.
14
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004),
h. 3.
13
4. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan sebagai referensi untuk menunjang
keberhasilan penelitian yakni meliputi; Data Primer dan Data Sekunder.
Data primer adalah data- data yang
didapatlangsungdarilapanganyaknidengancaramencarifakta- fakta yang
ada di lapangantersebut, melakukanobservasi, mengumpulkan data-
data sertamelihatlangsungobjek yang akandijadikantopicskripsi.
Data sekunderadalah data yang diperolehdarilangsungdaribahan-
bahanpustaka.15
Data- data sekunderdalampenelitianiniberupa UU No. 1
Tahun 1974 tentangperkawinan, Inpres No 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. serta artikel atau majalah-majalah yang ada
kaitannya dengan masalah sita marital terhadap harta bersama dan
bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
b. Studi Lapangan
Adapun studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut;
1. Studi dokumen dengan mempelajari berkas yang berbentuk putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP yang
15
Soerjono Soekanto , Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UIP, 1984), h. 52.
14
telah berkekuatan hukum tetap tentang sita marital terhadap harta
bersama.
2. Wawancara yang dilakukan kepada hakim yang menyelesaikan
perkara tentang sita marital terhadap harta bersamadi Pengadilan
Agama Jakarta Pusat. Wawancara ini dilakukan dengan metode
Wawancara tak terstruktur (open – ended) yaitu wawancara dengan
pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden secara bebas
menjawab pertanyaan tersebut.16
Wawancara ini digunakan untuk
mengungkap perasaan- perasaan, dan pikiran dan alasan-alasan
tingkah lakunya, atau disebut juga “ Informasi emic “17
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun dari
penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normatif kualitatif.
Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai
norma hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu analisis
yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas dan informasi yang bersifat
monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke
dalam suatu struktur klasifikatoris) dari responden. Memahami kebenaran
yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah
16
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya) h. 233.
17Ibid.
15
responden baik secara lisan maupun secara tertulis selama dalam
melakukan penelitian.18
E. Studi Review Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan ini. Penulis
menemukan ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan
tentang harta bersama akan tetapi mempunyai sudut pandang yang berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, adapun penelitian tersebut
dintaranya:
1. Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Timur (Analisis Putusan Nomor
991/Pdt.G/2005/PA.JT), Jam’an Nurchotib Mansur, NIM
204044103495 tahun 2008. Dalam skripsi ini hanya menganalisis
putusan dan bagaimana proses pembagian harta bersama yang
dikumulasi dengan adanya gugatan perceraian. Perbedaannya dengan
skripsi ini adalah tentang permohonan sita marital terhadap harta
bersama di luar gugatan perceraian yang mana tujuannya adalah untuk
melindungi harta bersama tersebut yang tertuang dalam putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
2. Kedudukan Perjanjian Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan
Perkara Nomor 1540/Pdt.G/2010/PA.JT), Abdul Munir NIM
18
Koentjaraningrat, Metode- Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta: 1997), h. 269.
16
109044100051 tahun 2012. Dalam skripsi ini menganalisa kedudukan
perjanjian pembagian harta bersama yang telah dilakukan sebelum
adanya persidangan (di luar persidiangan) yang termuat dalam putusan
di Pengadilan Agama Jakarta Timur sedangkan perbedaannya dalam
skripsi ini adalah adanya pengajuan permohonan mengenai sita marital
terhadap harta bersama di dalam persidangan selanjutnya menganalisa
putusan dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut :
Bab Pertama,Terdiri dari pendahuluan yang meliputi dari Latar Belakang
Masalah; Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat
Penelitian; Metode Penelitian; Review Studi Terdahulu; dan Sistematika
Penulisan.
Bab Kedua, memuat tentang Tinjauan Umum Tentang Harta Bersama yang
terdiri dari Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan,
Ruang Lingkup Harta Bersama, Terbentuknya Harta Bersama dan Ketentuan
tentang Pembagian Harta Bersama.
Bab Ketiga, Pada Bab ini Penulis akan menguraikan tentang Sita Marital
(Marital Beslag) di Pengadilan Agama dan Kedudukan Sita Marital Terhadap
17
Harta Bersama yang terdiri dari Pengertian dan Tujuan Sita Marital,Ruang
Lingkup Penerapan Sita Marital, Permohonan Sita Marital, Tata Cara
Pelaksanaan Penyelesaan Sita Marital, dan Akibat Hukum Sita Marital
terhadap Harta Bersama.
Bab Keempat,Analisis Putusan Perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA. Tentang
Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) terhadap Harta Bersama di Luar
Gugatan Perceraian. Yang terdiri dari Permohonan Sita Marital (Marital
Beslag) terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian, Analisis
Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim, serta Analisis Penulis.
Bab Kelima,Merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab
permasalahan penelitian dan juga berisi saran-saran untuk pengembangan
penelitian berikutnya.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA
A. Pengertian Harta Bersama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat mengenai pengertian
harta bersama yakni ialah harta yang diperoleh secara bersamaan di dalam
Perkawinan.1 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) bahwa harta bersama
adalah harta yang diperoleh selama istri diikat dalam suatu perkawinan.2 yang
mana akibat dari perkawinan tersebut ialah terjadinya penyatuan harta
kekayaan suami dan istri .
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 1 Huruf f
dirumuskan sebagai berikut : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri
dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama,
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”
Menurut KUH Perdata Pasal 119 tentang harta bersama, harta bersama
itu diperoleh sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pusataka, 1988), h. 299.
2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana,
2008, Cet. Kedua ), h. 113.
19
yang terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal
itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dari rumusan di atas, dapat diketahui bahwa harta bersama yang
dimaksud dalam KHI lebih memberikan kesempatan yang luas terhadap
pengertian harta yang menjadi harta bersama dalam perkawinan, karena tidak
harus harta itu dari hasil kerja suami atau hasil usaha bersama tetapi hasil usaha
isteri juga melebur menjadi harta bersama asalkan selama perkawinan
berlangsung.3
Harta bersama suami isteri atau yang biasa disebut dengan harta gono-
gini juga mengandung pengertian ialah harta yang di dapat setelah terjadinya
akad nikah. Dalam hukum Islam sendiri harta bersama suami isteri ini tidak
dikenal karena dalam hukum Islam tidak mengenal percampuran harta
kekayaan antara suami isteri akibat terjadinya perkawinan. Harta kekayaan
isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, demikian
juga dengan harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai
sepenuhnya oleh suami.4
3 Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : Aditya Bakti,1999), h. 156.
4 A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Perpustakaan Fakultas Hukum
UII, 1996 Cet. Kedelapan) h. 29-30.
20
Hal ini sejalan dengan firman Allah di dalam Q.S An Nisa’ (4) : 32
Artinya : ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.(Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Menurut Sayuti Thalib, harta bersama adalah harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan di luar hadiah dan warisan. Dengan kata lain
harta bersama itu ialah harta yang didapat atas usaha mereka (suami dan istri)
selama masa ikatan perkawinan.5
Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang Harta Benda
dalam Perkawinan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang secara lengkap
berbunyi sebagai berikut:
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda
bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain.
5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986 Cet. Kelima),
h.89.
21
Di dalam harta bersama, suami ataupun istri dapat bertindak untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan harta bersama
tersebut, hal itu tentunya atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula
bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus
karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-
masing.
Abdul Kadir Muhammad, di dalam bukunya Hukum Harta Kekayaan
menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan
dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi
tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi
ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi
hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”6
Di dalam al-Qur’an dan hadits tidak diatur tentang harta bersama
dalam perkawinan. harta kekayaan isteri tetap menjadi milik istri atau dikuasai
sepenuhnya olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi milik
suami dan dikuasai sepenuhnya, bahkan dalam kitab-kitab fiqh sekalipun tidak
ada yang membicarakan seolah-olah masalah harta bersama kosong dalam
pembahasan dalam hukum Islam.
6 Abdul kadir, Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( Bandung: PT. Citra Atitya, 1994), h. 9.
22
Hal tersebut juga diakui oleh Bustanul Arifin, di dalam bukunya
bahwa tidak diakui adanya harta bersama dalam pembahasan kitab-kitab fiqh
yang lama hal tersebut sesuai dengan pemahaman syari’at (fiqih) waktu kitab-
kitab fiqih tersebut ditulis dan sesuai dengan keadaan susunan masyarakat di
waktu itu.7 namun di Indonesia sendiri harta bersama dikenal melalui hukum
adatnya yang sampai sekarang ini masih hidup dan diterapkan, maka oleh
karena itu hal ini tidak mungkin untuk disingkirkan dari pengamatan lembaga
harta bersama karena lebih besar maslahatnya dari pada mudaratnya.
Ismuha berpendapat di dalam bukunya bahwa dapat diambil
kesimpulan perkongsian pada umumnya bukan saja sekedar boleh, melainkan
dari itu, disukai asalkan tidak ada unsur tipu daya.8
Pembahasan mengenai syirkah sebenarnya terdapat dalam kitab
dagang bukan dalam kitab nikah. Akan tetapi karena asal dari persoalan
syirkah adalah menangani pengaturan persyarikatan atau perkongsian dalam
perdagangan dan pemberian jasa, atau dengan kata lain cara menyatukan atau
penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain, maka
kemudian diterapkan pula pada masalah harta bersama suami/isteri dalam
membicarakan hukum perkawinan.
7 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan
Prosfeknya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 122.
8 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1986, Cetakan Pertama ), h.
283.
23
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain
sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dengan yang lain.9 Sedangkan
menurut istilah hukum Islam syirkah ialah adanya hak dua orang atau lebih
terhadap sesuatu.
Dalam bab muamalah, dikenal dengan beberapa macam syirkah yang
diambil dari pendapat ulama madzhab, adalah sebagai berikut:
a. Syirkah ‘Inan (Perkongsian terbatas), yaitu bentuk penggabungan harta dan
usaha dengan pembagian keuntungan sesuatu dengan perjanjian. Para ulama
4 madzhab sepakat membolehkannya.
b. Syirkah Mufawadhah (Perkongsian tak terbatas), yaitu bentuk
penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan disesuaikan
banyaknya modal. Bentuk syirkah ini dibolehkan oleh madzhab Hanafi,
Maliki dan Hambali, tetapi tidak dibolehkan oleh mazhab Syafi’i, karena
dalam syirkah ini mengandung ghurur (ketidaktentuan, ketidaktahuan, dan
penipuan).10
c. Syirkah Abdan (Perkongsian tenaga), yaitu syirkah dalam bidang pemberian
jasa atau melakukan pekerjaan dengan keuntungan dibagi sesuai perjanjian.
Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya tetapi Syafi’i
9 Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h. 46.
10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 80.
24
membatalkannya. Karena dalam syirkah ini tidak ada penggabungan harta
dan adanya ghurur.11
d. Syirkah Wujuh (Perkongsian kepercayaan), yaitu syirkah antara dua orang
atau lebih berdasarkan kepercayaan untuk membeli barang dengan cara
kredit dan menjualkannya untuk mendapatkan keuntungan. Hukumnya
boleh menurut para imam madzhab kecuali Syafi’i, alasan tidak boleh
karena tidak ada modal dalam syirkah ini.
e. Syirkah Mudharabah (Perkongsian orang yang memiliki modal dan yang
tidak), yaitu syirkah antara orang yang memiliki modal dengan yang tidak.
Orang yang memiliki modal untuk berdagang. Madzhab Maliki da Hambali
membolehkan syirkah ini, karena terdapat laba (keuntungan), tetapi mazhab
Syafi’i dan Hanafi tidak boleh karena bentuk ini tidak termasuk syirkah.12
Dari beberapa macam syirkah tersebut di atas, terdapat perbedaan
pendapat mengenai bentuk syirkah yang lebih mendekati kepada pengertian
harta bersama. Menurut Ahmad Rofiq, dalam konteks konvensional, beban
ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai
manajer yang mengatur ekonomi rumah tangga. Sehingga lebih tepat disebut
syirkah abdan, karena modal dari suami, isteri mempunyai andil jasa dan
tenaganya. Tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, isteri juga dapat
11
Ibid., h. 81.
12
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, h. 294-295.
25
melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan, sehingga masing-masing
suami isteri mendatangkan modal dan dikelola bersama. Bentuk ini disebut
syirkah ‘inan.13
Menurut Ismail Muhammad Syah, pencaharian bersama suami isteri
lebih dekat kepada pengertian syirkah abdan dan syirkah mufawadhah.
Dikatakan syirkah abdan karena pada umumnya suami isteri dalam masyarakat
Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang untuk mendapatkan nafkah
hidup keluarga. Hanya saja terkadang pekerjaan isteri lebih ringan dari
pekerjaan suami. Adapaun dikatakan syirkah mufawadhah karena memang
perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan
selama perkawinan termasuk harta bersama. Kecuali yang mereka terima
sebagai warisan atau sebagai pemberian khusus untuk salah seorang diantara
mereka berdua.14
B. Pengaturan Harta Bersama
Masalah harta bersama merupakan masalah Ijtihadiyah karena belum
ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi
tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan
penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain berpegang pada
penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang
13 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet.
Ke-4 ), h.201.
14
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, h. 296.
26
ada. Sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI agar umat
Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi
hukum positif yang wajib dipatuhi, dan juga perlu dibahas di dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sehingga terjadi keseragaman dalam
memutuskan perkara di Pengadilan.
Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang
harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an
karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam
menetapkan porsi harta bersama untuk suami isteri digunakan kebiasaan yang
berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta
bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan
perbandingan dua banding satu. Selain itu harta bersama seharusnya dibagi
sesuai dengan fungsi harta itu untuk suami atau untuk isteri.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam
perkawinan antara suami dan istri (harta gono gini). Konsep harta gono-gini
awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia.
Konsep ini kemudian di dukung oleh hukum islam dan hukum positif yang
berlaku di negara kita. Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan telah
terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele
gemenschap van goerderen) dalam perkawinan mereka. Percampuran harta
kekayaan (gono-gini) ini berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal
lain dalam perjanjian perkawinan.
27
Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang harta
kekayaan antara lain dalam pasal:
1. Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa yang di maksud dengan harta gono gini
(harta bersama) adalah “harta benda yang diperoleh selama perkawinan”
artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan
tidak disebut harta gono-gini.
2. Pasal 35 Ayat (2) menyebutkan harta bawaan dari masing-masing suami atau
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
3. Pasal 36 ayat (1) menyebutkan harta bersama suami dan istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
4. Pasal 37 ayat (1) yaitu bilamana perkawinan putus karena perceraian maka
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Pengaturan mengenai harta bersama juga terdapat di dalam KUH
Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “ Sejak saat dilangsungkan perkawinan,
maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,
sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian
perkawinan. harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
28
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat pengaturan tentang
harta bersama ini, antara lain terdapat pada pasal :
1. Pasal 85 yang menyatakan harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
2. Pasal 86 ayat (2), harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh
olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya.
3. Pasal 87 ayat (1), harta bawaan dari masing-masing suami dan istri yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian kawinnya.
4. Pasal 87 ayat (2), suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah
sodakah atau lainnya.
C. Ruang Lingkup Harta Bersama
Menurut hukum Islam, ruang lingkup harta bersama (syirkah) sebatas
pada penghasilan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Demikian
juga dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa harta benda yang
diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama. KHI juga
menegaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
29
dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapapun.
Dapat disimpulkan bahwa secara garis besarnya ruang lingkup harta
bersama terbatas pada penghasilan suami isteri selama masa perkawinan
berlangsung. Ini yang dipahami kebanyakan orang. Akan tetapi menurut Yahya
Harahap, dalam menentukan objek harta bersama dalam perkawinan tidaklah
sesederhana itu. Menurutnya berdasarkan pengembangan yuridiksi harta
bersama, maka harta perkawinan yang termasuk dalam harta bersama adalah
sebagai berikut15
:
1. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
Setiap barang yang dibeli dalam suatu ikatan perkawinan secara
otomatis menurut hukum, harta tersebut menjadi objek harta bersama
suami-isteri, tanpa mempersoalkan siapa yang membeli, atas nama siapa,
terdaftar atas nama siapa dan harta tersebut kelak dimana.16
Hal tersebut
berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tanggal 5 Mei 1971 No. 803
K/Sip/1970. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa harta yang dibeli oleh
15
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Bandung : CV. Mandar Maju, 2008). h. 314.
16
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974,
(Yogyakarta : Liberti, 2004). h. 99.
30
suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat mereka adalah termasuk
harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan.17
Akan tetapi jika uang pembelian barang tersebut berasal dari harta
pribadi suami/istri, maka barang tersebut tidak menjadi objek harta bersama
melainkan menjadi milik pribadi. Hal ini dapat dilihat pada putusan MA
yang tertuang dalam putusan No. 151 K/Sip/1974, tanggal 16 Desember
1975.18
2. Harta yang Dibeli dan Dibangun Pasca Perceraian yang dibiayai dari
Harta Bersama
Dalam menentukan suatu barang termasuk objek harta bersama
dapat ditentukan dengan mengetahui asal usul uang biaya dalam pembelian
atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut
dibeli dan dibangun sesudah terjadi perceraian. Praktek ini sesuai dengan
putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/Sip/1970 yakni
apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama
maka dalam barang tersebut melekat harta bersama meskipun telah merubah
wujudnya.19
17
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undanga No. 7 Tahun 1989), (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. Ke- 3, ) h. 303.
18
Ibid.
19
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama.
h. 316.
31
3. Harta yang Dapat Dibuktikan Diperoleh Selama dalam Ikatan
Perkawinan
Apabila dalam sengketa mengenai harta bersama terdapat suatu
perbedaan pendapat mengenai suatu harta tersebut, apakah termasuk dalam
objek harta bersama ataupun bukan, maka dapat ditentukan oleh
kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta
yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan
uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.
Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam sebuah Putusan
Mahkamah Agung tertanggal 30 Juli 1974 No. 8088 K/Sip/1974
menentukan bahwa masalah atas nama siapa harta itu terdaftar , bukanlah
faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta masuk yuridiksi harta
bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa harta
tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan
pembiayaannya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya harta yang
terdaftar atas nama isteri/suami yang menjadi yuridiksi harta bersama,
melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/isteri pun, tetap
menjadi yuridiksi harta bersama, asalkan hal tersebut dapat dibuktikan
bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.20
20
Ibid.
32
4. Penghasilan Harta Bersama dan Harta Bawaan
Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yuridiksi
harta bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tetapi bukan hanya
barang yang berasal dari harta bersama saja yang menjadi yuridiksi harta
bersama, melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau isteri.
Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah
kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari
kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu
gugat, tetapi hasil dari barang tersebut menjadi yuridiksi harta bersama.
Ketentuan ini berlaku sepanjang suami-isteri tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.21
5. Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri
Segala hal yang menyangkut penghasilan pribadi suami isteri baik
dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun
hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai, menjadi yuridiksi
harta bersama suami isteri. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Agung Tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970. Penggabungan
penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum, sepanjang
suami isteri tidak menentukan hal lainnya dalam perjanjian perkawinan.22
21
Ibid. h. 318.
22 Ibid.
33
D. Terbentuknya Harta Bersama
Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Artinya
terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal
terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan tersebut bubar.23
Dengan
demikian, harta apapun yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad
nikah sampai saat pernikahan bubar, baik karena salah satu pihak meninggal
dunia atau karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya
menurut hukum menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh
berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak termasuk
di dalam harta bersama, tetapi termasuk dalam harta pribadi si penerima.
Menurut Sayuti Thalib, harta bersama terbentuk pada saat terjadinya
syirkah. Adapun syirkah dapat terjadi melalui cara-cara sebagai berikut :
1. Adanya perjanjian syirkah secara tertulis atau lisan yang diucapkan
sebelum atau sesudah terjadinya akad nikah.
2. Adanya peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lain bahwa harta yang dimaksud
adalah harta bersama suami isteri.
3. Syirkah yang diperoleh atas usaha selama masa perkawinan, dimana
syirkah tersebut berjalan dengan sendirinya yang mana suami dan
23
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989), (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. Ke- 3 ), h. 299.
34
isteri bersama-sama memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dalam
mencari dan membiayai kebutuhan hidup mereka.
Berdasarkan hal tersebut, untuk mengantisipasi terjadinya segala
persoalan yang akan menimpa rumah tangga pasangan suami isteri dikemudian
hari, upaya preventif perlu dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah
untuk membuat perjanjian perkawinan secara tertulis mengenai harta bersama
dalam perkawinannya. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan
akad nikah saja tidak cukup menjadi patokan terbentuknya harta bersama,
maka lebih baik harta bersama itu terbentuk pada saat dilakukan perjanjian
(syirkah) dalam perkawinan.
E. Pembagian Harta Bersama
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam
pasal 35 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
baik itu diperoleh dari hadiah atau warisan merupakan harta yang ada di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak mennetukan lain.
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan harta
bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri
sepanjang perkawinan saja artinya harta yang diperoleh selama tenggang
waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus,
baik putusnya karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati),
35
maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah
dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta
bersama.24
Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi
dengan harta bersama, tanpa disertai kewajiban untuk mengadakan pencatatan
pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat
menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau
harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena
perceraian maupun kematian. Adalah sangat menguntungkan , kalau
dikemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang
mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri .
Persoalan mengenai pembagian harta bersama di dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sendiri terkait dengan pembagian harta bersama yang
disebabkan oleh perceraian, poligami dan kematian oleh karena itu dalam
penulisan ini hanya akan memberikan gambaran umum mengenai pembagian
harta bersama dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Adapun ketentuan
yang menyangkut pembagian harta bersama dalam sebagai berikut :
1. Pembagian dalam cerai hidup
Dalam ketentuan KHI pembagian harta bersama yang
disebabkan oleh cerai hidup telah diatur dalam pasal 96 dan 97. Secara
24
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989), h. 188-189.
36
khusus, pasal 97 KHI mengatur tentang pembagian harta bersama dalam
cerai hidup yang rumusnya sebagai berikut, baik itu janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2. Pembagian dalam cerai mati
Dalam pasal 96 KHI dijelaskan apabila terjadi cerai mati,
maka setengah dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama. Hal itu dikarenakan hak untuk mewarisi antara suami isteri tercipta
bukanlah dari hubungan nasab melainkan hubungan yang tercipta karena
akibat dari suatu perkawinan.25
Pertimbangan rumusan pasal ini sama
dengan pembagian harta bersama dalam cerai hidup. Yakni akad nikah
menyerupai perkongsian muamalat, sehingga selama hidup berumah
tangga, antara suami isteri membangun perekonomian keluarga secara
bersama-sama. Oleh karena itu, masing-masing suami maupun isteri
berhak mendapat setengah bagian dalam pembagian harta bersama yang
dihasilkan selama perkawinanannya tersebut.
3. Pembagian dalam perkawinan poligami
Dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) KHI dirumuskan mengenai
bentuk harta bersama dalam perkawinan poligami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang, masing-masing terpisahkan dan berdiri sendiri dua
25
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Isam, Cetakan Ke-2, Jakarta :
Amzah, 2013. h. 18.
37
kepemilikan harta bersama dari perkawinan tersebut sebagaimana ayat (1)
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,ketiga
atau keempat.
Dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam atau Qur’an tidak ada
memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau
dipersatukan. Jadi, dalam hal ini hukum Islam memberikan kesempatan kepada
masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan
berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua
orang bakal suami isteri sebelum diadakan perkawinan. tentu saja isi dan
maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an
dan Hadits.26
Masalah harta bersama ini merupakan masalah ijtihaiyah karena
belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam
menghadapi tantangan ini dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan
penafsiran ulama mujtahid terdahulu , sedang pihak lain berpegang pada
penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang
ada sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas di dalam KHI agar umat
Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi
hukum positif yang wajib dipatuhi, dan di dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara
di Pengadilan.
26
Abdorraoef, Al- Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan
Bintang, 1986), h. 113
38
BAB III
SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) DI PENGADILAN AGAMA DAN
KEDUDUKAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA
A. Pengertian dan Tujuan Sita Marital (Marital Beslag)
1. Pengertian Sita Marital (Marital Beslag)
Sita Marital atau Marital Beslag merupakan salah satu bentuk dari
sita jaminan (conservatoir beslaag) yang bersifat khusus, sita marital hanya
dapat ditetapkan terhadap harta perkawinan, yakni harta bersama apabila
diantara suami dan istri terjadi perceraian. Timbulnya hak mengajukan yaitu
apabila terjadi perkara perceraian berlangsung, maka para pihak berhak
mengajukan permohonan sita atas harta perkawinan dan sita yang demikian
disebut dengan Sita Marital.1
Arti sita marital (marital beslag) ialah sita yang diletakkan atas
harta bersama suami istri baik yang berada ditangan suami maupun yang
berada ditangan istri apabila terjadi sengketa perceraian, sita marital tidak
boleh dijalankan secara partia (sebagian-sebagian). Untuk menjaminnya
keutuhan harta bersama selama perkara perceraian masih dalam pemeriksaan
Pengadilan Agama, maka para pihak yang berperkara tersebut berhak untuk
mengajukan Permohonan Sita atau dalam lingkungan Peradilan Agama.
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslag (Sita Jaminan), (Jakarta : Pustaka, 1987, Cet. Ke- 1 ), h. 145.
39
Adapun tujuan dari Sita Marital adalah untuk menjamin agar harta
perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap.2
Penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat
(suami-istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala
bentuk transaksi.3 Dan dengan adanya penyitaan tersebut, apabila terjadi
tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan atau mengoper
barang-barang yang disita adalah tidak sah, dan merupakan suatu tindakan
pidana.
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu, dalam sita revindikasi
bermaksud menuntut pengembalian barang yang bersangkutan kepada
Penggugat sebagai pemilik, sedangkan sita jaminan (Conservatoir Beslag)
bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan pembayaran
utang Tergugat.
Tujuan sita marital berbeda dengan yang disebutkan diatas bukan
untuk menjamin tagihan pembayaran kepada Penggugat (suami atau istri);
Juga bukan untuk menuntut penyerahan hak milik (revindikasi); Akan tetapi
tujuan utamanya untuk membekukan harta bersama suami istri melalui
penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara
2 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta
: Kencana, 2006, Cet. Ke-4) h. 41.
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1999, Cet.
Ke-2), h. 64.
40
perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. dengan adanya
penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat (suami istri),
dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.4
Adanya pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi
untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta
bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat.
Sehubungan dengan itu titik berat penilaian yang harus dipertimbangkan
pengadilan atas permintaan sita marital adalah pengamanan atau perlindungan
atas keberadaan harta bersama. Penilaian ini jangan terlampau dititikberatkan
pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya upaya Tergugat untuk
menggelapkan barang tersebut, tetapi lebih diarahkan pada masalah
pengamanan dan perlindungan harta bersama.
2. Pengaturan Sita Marital
Sita Marital tidak terdapat di dalam HIR atau RBg melainkan
hanya dijumpai di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dan Rsv (Reglement op
de Burgerlijke Rechtsvordering), akan tetapi Sita Marital ini berlaku di
lingkungan Peradilan Umum sekarang ini.5
Pengaturan sita marital dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, antara lain yang terdapat dalam :
4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, , h. 164.
5 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2003, Cet. Ke 2), h. 208.
41
a. Pasal 190 KUH Perdata yang berbunyi : Sementara perkara berjalan
dengan ijin Hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk
menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.6
Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi golongan Eropa dan
Tionghoa. Tetapi sejak UU No.1 tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan
segala ketentuan KUH Perdata mengenai Perkawinan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Namun demikian ketentuan Pasal 190 KUH Perdata tersebut,
dapat dijadikan bahan orientasi sebagai kedudukan dalam hukum adat tertulis.
b. Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 Menurut pasal ini “Selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul,
pengadilan dapat mengijinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri“.
c. Pasal 78 huruf c UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No 3 Tahun 2006. Bunyi
dalam pasal ini persis sama dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9
Tahun 1975 atau dapat juga dikatakan bahwa isi dan ketentuannya
ditransfer dari pasal PP yang dimaksud.
6 R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya
Paramita, cet. 25), h. 60.
42
Berdasarkan Pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun
telah memiliki aturan positif lembaga sita marital. Bahkan sita marital
tersebut dalam lingkungan peradilan agama, tidak hanya diatur dalam Pasal
78 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 , tetapi juga dalam Pasal
136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang sama bunyinya
dengan Pasal 24 Ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c
UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 . Dengan demikian, landasan
penerapan sita marital dalam lingkungan peradilan agama telah diatur dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
d. Pasal 823 Rv yang berbunyi : Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan
sehubungan dengan Pasal 190 KUH Perdata adalah penyegelan,
pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang, penyitaan
jaminan atas barang-barang bergerak bersama atau jaminan atas barang-
barang tetap bersama.
Pasal ini merupakan salah satu diantara beberapa pasal lainnya
yang mengatur tentang sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830
Rv. Maka dapat dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam Rv sangat luas.
Sebaliknya dalam UU No.1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun1975 hanya terdiri
dalam satu (1) pasal. Sedangkan dalam HIR dan RBG sama sekali tidak
diatur mengenai sita marital.
43
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur hal yang berkaitan
dengan sita marital, yaitu Pasal 95 Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyatakan
bahwa ;
1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Huruf (c),
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 Ayat (2),
suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai,
apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk boros dan sebagainya.
2) Dalam Pasal 136 Ayat (2) Huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga
mengatur mengenai sita marital, bahwa : selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat Pengadilan Agama
dapat “Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-
barang yang menjadi hak istri”.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sita marital adalah
salah satu jenis sita jaminan (conservatoir beslag), oleh karena itu segala
ketentuan yang berlaku pada sita jaminan, berlaku sepenuhnya pada sita
marital. Mulai dari pengajuan permohonan, dan tata cara
pelaksanaannya.7
7 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 288.
44
Ketentuan yang terdapat di dalam HIR (Herziene Inlandsch
Reglement), RBg (Rechtreglement Voor De Buitengwesten), B.Rv
(Reglement Op De Burgerlijke Rechvordering), dan sumber hukum acara
yang berlaku di Pengadilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur
secara khususnya oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat digunakan pada sita marital
yang diajukan kepada Pengadilan Agama, sesuai Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
yang menyatakan bahwa ; “Hukum acara yang berlaku dalam Pengadilan
Agama adalah hukum acara perdata pada Pengadilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
B. Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital
1. Pada Perkara Perceraian
Penerapan sita marital yang paling utama pada perkara perceraian.
Apabila terjadi perkara perceraian antara suami istri, maka hukum akan
memberi perlindungan kepada suami atau istri atas keselamatan keutuhan
harta bersama. Dengan cara meletakkan sita di atas seluruh harta bersama
untuk mencegah perpindahan harta bersama kepada pihak ketiga.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 190 maupun Pasal 125 KUH
Perdata, hak untuk mengajukan sita marital hanya diberikan kepada istri. Hal
itu sesuai dengan latar belakang yang digariskan Pasal 105 KUH Perdata
yang memberi kedudukan matriale macht (kepala persekutuan) kepada suami,
45
dan sekaligus memberi hak dan wewenang kepada suami untuk mengurus
dan menguasai harta kekayaan bersama dan harta istri dalam perkawinan.
Berarti dalam praktiknya, penguasaan harta bersama berada di tangan suami.
Kalau begitu layak dan sejalan memberi hak kepada istri untuk meminta sita
marital agar suami tidak leluasa menghabiskan harta bersama selama proses
perkara masih berjalan.
2. Pada Perkara Pembagian Harta Bersama
Pada dasarnya persoalan sita harta bersama diperlukan apabila
terjadi perkara antara suami dan istri. Secara hukum perkara yang mungkin
timbul diantara suami istri yang erat kaitannya dengan harta bersama bukan
hanya pada perkara perceraian tetapi juga pada perkara pembagian harta
bersama. Seperti seorang suami yang mengajukan gugatan perceraian tanpa
dibarengi tuntutan pembagian harta bersama. Terhadap gugatan itu, istri
(selaku Tergugat) tidak mengajukan gugatan rekonvensi, menuntut
pembagian harta bersama, selanjutnya gugatan perceraian dikabulkan. Dalam
keadaan seperti itu apabila mantan suami atau istri ingin membagi harta
bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan tentang pembagian harta
bersama.
Dalam menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama
proses perkara berlangsung, hanya dengan cara meletakkan proses sita
marital diatasnya. Hal ini jika ditinjau dari segi penjaminan keberadaan harta
bersama dalam pembagian harta bersama, sangat urgen meletakkan sita
46
marital selama proses pemeriksaan berlangsung. Oleh karena itu sangat
relevan menerapkan sita marital dalam perkara pembagian harta bersama.
3. Pada Perbuatan yang Membahayakan Harta Bersama
Sita marital yang dimaksudkan diatas diterapkan dalam perkara
pembagian harta bersama. Jadi penerapannya bertitik tolak dari adanya
perkara antara suami istri. Seolah-olah jika tidak terjadi perkara atau
pembagian harta bersama, sita marital tidak berfungsi dan tidak dapat
diterapkan dalam penegakkan hukum diantara suami istri. Hal ini benar jika
semata-mata merujuk kepada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No.
9 tahun 1975. Akan tetapi, jika berorientasi kepada ketentuan hukum yang
ada maka : sita marital dapat diterapkan penegakkannya diluar proses perkara
perceraian atau pembagian harta bersama; oleh karena itu dimungkinkan
menerapkannya di luar proses perkara, apabila terjadi tindakan yang
membahayakan keberadaan harta bersama.
Penerapan yang demikian dapat berorientasi kepada ketentuan Pasal
186 KUH Perdata. Menurut Pasal 186 KUH Perdata tersebut : selama
perkawinan berlangsung suami atau istri (aslinya hanya disebut istri), dapat
mengajukan permintaan sita marital terhadap Hakim; namun permintaan itu
harus berdasarkan alasan bahwa harta bersama berada dalam keadaan bahaya
karena :
47
a. Adanya tindakan atau perbuatan dari suami atau istri yang nyata-nyata
memboroskan harta bersama serta dapat menimbulkan akibat bahaya
keruntuhan keluarga dan rumah tangga;
b. Tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama
yang dilakukan suami atau istri yang dapat membahayakan eksistensi dan
keutuhan harta bersama sebagaimana mestinya.
C. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag)
1. Alasan Pengajuan Sita Marital
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sita marital itu
merupakan salah satu jenis dari sita jaminan (conservatoir belslag) yang
bersifat khusus, oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada sita
jaminan, berlaku sepenuhnya juga pada sita marital. Mulai dari pengajuan
permohonan dalam surat gugatan maupun yang diajukan secara terpisah dari
pokok perkaranya hingga dalam tata cara pelaksanaannya.8
Adapun yang dapat menjadi alasan untuk mengajukan sita marital
pun adalah sama dengan alasan pengajuan sita jaminan (conservatoir beslag)
yang mana hal tersebut diatur dala Pasal 227 Jo Pasal 197 HIR atau Pasal
261 Jo Pasal 206 Rbg. Alasan-alasan yang dimaksud adalah bahwa adanya
8 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan dan Acara Peradilan Agama, h. 288.
48
persangkaan yang beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan barang-
barang sehingga hal itu akan merugikan Penggugat.9
Kemudian yang berwenang untuk menilai unsur persangkaan adalah
hakim, bukan Penggugat dan batas minimal yang dianggap bernilai untuk
mengesahkan alasan persangkaan adalah apabila ada fakta yang mendukung
persangkaan atau sekurang-kurangnya ada petunjuk-petunjuk yang
membenarkan persangkaan, dan fakta atau petunjuk tersebut dinilai harus
masuk akal.10
2. Tata Cara Pengajuan Sita Marital
a. Permohonan diajukan dalam surat gugatan
Mengenai tata cara pengajuan permohonan sita marital,
Penggugat mengajukan permohonan sita marital secara tertulis dalam surat
gugatan, sekalipun bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok kepada
Pengadilan Agama. Pengajuan permohonan sita marital dalam bentuk ini,
tidak dipisahkan dengan dalil gugatan atau gugatan pokok, keduanya
bersatu dalam surat gugatan sekaligus jika permohonan sita marital
disatukan bersamaan dengan surat gugatan.11
9 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslag (Sita Jaminan), h. 36.
10
Ibid., h. 38.
11
Ibid., h. 24.
49
Dalam perumusan dalil gugatan yang merupakan landasan dari
hal tersebut dapat diketahui layak atau tidaknya pengajuan permohonan
sita marital. Hal itu dikarenakan dari perumusan dalil gugat serta uraian
fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, maka permohonan sita
marital serta alasan kepentingan akan lebih tepat dan lebih mudah
dirumuskan permohonan sita serta alasan kepentingan penyitaan. di
samping perumusan permohonan sita marital di akhir posita gugat,
permohonan itu harus dipertegas lagi dalam petitum gugatan yang berisi
permintaan kepada pengadlan, supaya sita marital yang diletakkan atas
harta bersama dinyatakan sah dan berharga.12
b. Permohonan dapat diajukan secara terpisah dari pokok perkara
Adapun bentuk pengajuan sita marital yang kedua dilakukan
dalam bentuk “Tersendiri”, terpisah dari gugatan pokok perkara. Di
samping gugatan perkara, Penggugat mengajukan permohonan sita marital
dalam bentuk surat yang lain. Bahkan dimungkinkan dan dibolehkan
melakukan pengajuan permohonan sita marital tersendiri secara lisan,
meskipun bentuk permohonan sita marital secara lisan sering terjadi dalam
praktek, namun kelangkaan praktek itu bukan berarti melenyapkan hak
Penggugat untuk mengajukan permohonan sita marital secara lisan.13
12
Ibid., h. 25.
13
Ibid., h. 26.
50
D. Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital
Menurut M. Yahya Harahap mengenai tata cara pelaksanaan
pelaksanaan sita marital sama dengan tata cara pelaksanaan sita eksekusi
(Eksekutorial Beslag) dengan demikian tata cara pelaksanaan Conservatoir
Beslag dengan sita eksekusi diatur dalam Pasal 197 Ayat 2 sampai Ayat 6 HIR
atau Pasal 209 RBg. 14
Yakni adalah sebagai berikut :
1. Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan Conservatoir Beslag ialah
Ketua Majelis atas nama Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan dengan cara permohonan conservatoir beslag diperiksa
dalam persidangan insidentil dan diperiksa dan diputus mendahului
pokok perkara.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan insidentil dikeluarkan perintah kepada
Panitera atau Juru Sita untuk melaksanakannya dan perintah tersebut
dituangkan dalam bentuk “Surat Penetapan”.
3. Pelaksanaan Conservatoir Beslag dilakukan di tempat letak barang yang
dilaksanakan oleh Juru Sita dan dibantu oleh dua orang saksi.
4. Juru Sita membuat “Berita Acara” Conservatoir Beslag yang
mencantumkan secara rinci satu persatu barang yang diconsevatoir
beslag, jenis & ukuran barang, kemudian membuat berita acara
dihadapan tersita, apabila tersita tidak hadir maka berita acara
diberitahukan kepadanya. Berita acara sita ditandatangani oleh juru sita
14
Ibid.
51
dan dua orang saksi. Pembuatan berita acara merupakan syarat formil
keabsahan conservatoir beslag.
5. Penjagaan conservatoir beslag diatur dalam Pasal 197 Ayat (9) HIR atau
Pasal 212 RBg yakni:
Penjagaan conservatoir beslag barang bergerak tetap di tangan tersita
ditinggalkan untuk disimpan pihak tersita atau dibawa ke tempat
penyimpanan yang patut.
Penjagaan barang conservatoir beslag, tidak boleh diserahkan kepada
pemohon sita.
E. Akibat Hukum Sita Marital Terhadap Harta Bersama
Sita marital merupakan salah satu jenis atau pengkhususan dari “Sita
Jaminan” (conservatoir beslag). Oleh karena itu, segala ketentuan yang berlaku
pada sita jaminan (conservatoir beslag) berlaku sepenuhnya pada sita marital.15
Terkait dengan pemeliharaan harta bersama untuk menjaga
keutuhannya dalam kasus sita marital harus diartikan meliputi seluruh harta
bersama. Tidak boleh diartikan hanya untuk sebagian atau harta tertentu saja,
jadi sita marital diletakkan meliputi seluruh harta bersama yang dimiliki oleh
kedua belah pihak yang berperkara. 16
15
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslag (Sita Jaminan), h. 94.
16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan dan Acara Peradilan Agama, h. 284.
52
Tujuan dari sita marital (sita harta bersama) itu sendiri antara lain
untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak
berpindah kepada pihak ketiga selama proses perceraian/pembagian harta
bersama berlangsung. Sedangkan fungsi dari dimohonkannya sita marital
adalah untuk melindungi hak pemohon sita marital dengan menyimpan atau
membekukan barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak
ketiga.17
.
Kemudian apabila sita marital (marital beslag) mempunyai kekuatan
hukum mengikat, diatur dalam Pasal 199 Ayat 1 HIR atau Pasal 214 Ayat 1
RBg., yaitu terhitung dari jam dan hari berita acara sita diumumkan, dan sejak
saat itu dalam sita jaminan telah terkandung unsur akibat hukum. Yang mana
bentuk dari akibat hukumnya ialah berwujud “batal demi hukum”, yaitu
“larangan” berupa:
Memindahkan kepada pihak ketiga dengan kata lain dilarang untuk
menjual, menghibahkan, atau menukar barang yang menjadi sita marital.
Dilarang untuk membebankannya kepada pihak ketiga yakni dalam
bentuk agunan, hipotik, gadai, dan sewa.18
17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ,h. 92.
18
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslag (Sita Jaminan), h. 94.
53
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN NOMOR 549/Pdt.G/2007/PA.JP TENTANG
PERMOHONAN SITA MARITAL (Marital Beslag) TERHADAP HARTA
BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN
A. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di
Luar Gugatan Perceraian
1. Duduk Perkara
Dalam duduk perkara mengenai putusan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat No. 549/Pdt.g/2007/PA.JP merupakan putusan kasus permohonan sita
marital yang diajukan oleh H Binti AK yang memberi kuasa berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 November 2007 kepada Dr. Todung Mulya
Lubis SH,LLM, Lelyana Santosa, SH., Arin Tjahjadi Muljana, SH., Cyndy
Panjaitan, SH., dan kawan-kawan yang mana masing-masing adalah advokat
pada Lubis, Santosa & Maulana Law Office, selanjutnya disebut sebagai
Pemohon/Istri yang mengajukan permohonan sita marital terhadap BT Bin
SH yang memberi Kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 7
Januari 2008 kepada Juan Felix Tempubolon, SH, MH, Devi Selvana, SH,
Wimboyono Seno Adji, SH,MH, Mundyah Titi Respati, SH dan kawan-
kawan, masing-masing advokat dari Kantor Hukum Juan Felix Tampubolon
& Partners dan Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno
Adji, SH dan Rekan yang selanjutnya disebut sebagai Termohon/Suami.
54
Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 2007 yang
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP, telah mengajukan permohonan Sita Marital (Marital
Beslag) terhadapharta bersama yang diajukan kepada Termohon di luar
gugatan perceraian yang didasarkan pada Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) jo. Pasal 186 KUHPerdata.
Pemohon telah melangsungkan pernikahan yang sah menurut
hukum dengan Termohon selama 26 tahun yang dilangsungkan pada tanggal
24 Oktober 1981, dan hingga saat perkara permohonan sita marital ini
diajukan Pemohon dan Termohon masih terikat dalam suatu pernikahan yang
sah, dan telah dikarunia 3 (tiga) orang anak kandung, yakni : GS (Perempuan,
25 Tahun), BP (Laki-laki, 21 Tahun), BA (Laki-laki, 17 Tahun). Meskipun
Pemohon dan Termohon masih dalam terikat dalam perkawinan perlu
dilakukan tindakan prevensi terhadap keselamatan harta bersama karena
Pemohon khawatir Termohon melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama berupa pemborosan karena Termohon
mempunyai hubungan gelap dengan wanita lain yang bernama MY, dan
hubungan gelap tersebut sampai ke taraf nikah sirry dan telah dikarunia anak
bersama SK. Ada persangkaan kuat bahwa Termohon telah memberikan
ataupun melakukan pemborosan terhadap harta bersama dengan wanita lain
tersebut bahkan sampai saat Pemohon mengajukan permohonan ini wanita
lain serta anaknya tersebut diduga telah menempati rumah yang termasuk di
55
dalam harta bersama milik Pemohon dan Termohon, yang mana wanita lain
tersebut telah dibolehkan oleh Termohon untuk menikmati harta milik
Pemohon dan Termohon. dengan demikain Pemohon mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk dapat
menetapkan sita marital atau meletakan sita terhadap harta bersama milik
Pemohon dan Termohon agar Termohon tidak melakukan transaksi jual-beli,
menggadaikan, menjaminkan, atau menerima sebagai jaminan atau transaksi-
transaksi lain yang bersifat mengalihkan kepemilikan terhadap harta-harta
bersama demi menghindari adanya tuntutan hukum berupa pidana maupun
penggelapan.
Berdasarkan alasan-alasan, dalil-dalil serta fakta-fakta hukum di
atas, Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat untuk mengeluarkan penetapan yang isinya sebagai berikut :
1) Mengabulkan permohonan sita marital (maritale beslag) yang diajukan
oleh Pemohon;
2) Menetapkan bahwa harta-harta kekayaan yang telah diuraikan dalam
permohonan sita marital dinyatakan sebagai harta bersama;
3) Menyatakan sah permohonan sita marital (maritale beslag) yang
diajukan oleh Pemohon.
Ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon masih dalam
proses perceraian. Termohon memasukkan permohonan izin thalaq ke
Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 16 Januari 2005,
56
permohonannya tersebut dikabulkan dan Pemohon mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama, dan putusannya membatalkan izin thalak
Termohon. prosesnya masih berjalan dan masih berujung pada Mahkamah
Agung, Termohon masih bersikukuh untuk menceraikan Pemohon secara
legal formal.
Adapun harta bersama yang dimintakan untuk diletakkan sita
marital kepada Pengadilan Agama berupa barang tidak bergerak meliputi
beberapa bidang tanah; rumah, dan juga berupa barang bergerak meliputi
kapal; kendaraan mobil; rekening bank; dan saham-saham. Jumlah harta
bersama yang dimohonkan untuk ditetapkan sebagai harta bersama dan
diletakkan sita marital berjumlah 119 harta.
Dalam eksepsi jawaban kuasa hukum Termohon mengungkapkan
bahwa Pemohon pernah mengajukan sita marital yang sama dan serupa
dengan permohonan yang diajukan Pemohon saat ini, dalam permohona cerai
thalak yang diajukan pihak Termohon dengan nomor perkara
249/Pdt.G/2007/PA/JP. Pemohon mengajukan permohonan sita marital dalam
rekonpensinya pada tahap replik duplik, yang pada akhirnya ditolak oleh
Majelis Hakim untuk permohonan sita maritalnya. Permohonan cerai thalak
Termohon masih belum berkekuatan hukum tetap (in kracht), sehingga jika
Pemohon mengajukan permohonan sita marital yang terpisah sekalipun dapat
mengakibatkan putusan Pengadilan yang saling bertentangan satu sama lain.
57
Kuasa Termohon juga menyatakan bahwa pengalihan atau
pembebanan harta bersama antara Termohon dan Pemohon tidak mungkin
dilakukan menurut hukum, pengalihan atau pembebanan atau segala sesuatu
yang bersangkutan dengan harta bersama harus dengan persetujuan kedua
belah pihak, sejak Termohon belum mengajukan permohonan cerai thalak
pun Termohon sudah mengemukakan kesediaan membagi harta bersama,
namun pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah perkawinan
tersebut putus.
Dalam perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP ini juga dihadirkan
saksi ahli yang mendukung dalil Pemohon yakni diantaranya adalah Yahya
Harahap S.H; KH. Nazri Adlani, MA; dan Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki
SH.,MH. Menurut pendapat Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH. Sita
marital dapat dilakukan dengan permohonan terpisah yang berdiri sendiri
selama perkawinan berlangsung di luar dari perkara pokok atau adanya
gugatan perceraian yang mana tujuan nya adalah untuk menyelamatkan harta
bersama bila ada indikasi adanya perbuatan yang dapat merugikan dan
membahayakan harta bersama. Permohonan sita marital yang diajukan oleh
Pemohon berdasarkan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah tepat
dan benar. Pernyataan beliau pun dipertegas oleh pendapat M Yahya Harahap
Menurutnya pengajuan sita marital yang satu rumpun dengan sita jaminan
secara tersendiri dengan artian terlepas dari perkara cerai berdasarkan pasal
95 Kompilasi Hukum Islam diperbolehkan. Maksud dari Pasal 95 Kompilasi
58
Hukum Islam (KHI) sendiri menurutnya sebagai upaya untuk menyelamatkan
harta bersama suami isteri supaya tidak berpindahtangan kepada pihak lain,
menjamin harta bersama agar tidak mengalami kehancuran guna menjamin
keselamatan obyek harta bersama.
Beliau juga berpendapat mengenai eksepsi jawaban Termohon
yang mengatakan akan ada pertentangan putusan Majelis Hakim terdahulu
dengan putusan Majelis Hakim perkara ini mengenai sita marital. Menurut
Yahya Harahap sendiri tidak akan terjadi pertentangan putusan Majelis
Hakim hal ini dikarenakan jika putusan cerainya dikabulkan tetap saja
putusan sita marital nya sah, begitu pula jika cerainya ditolak maka sita
maritalnya pun tetap sah sehingga antara putusan Majelis Hakim justru saling
menguatkan. Beliau juga mengemukakan bahwa diterima atau tidaknya
permohonan sita marital memang sangat tergantung pada pembuktian dan
bahwa meskipun sita marital jarang digunakan sekarang ini, bukan berarti
upaya hukum tersebut tidak boleh dilakukan.
Menurut pendapat Prof. Zulfa Djoko Basuki juga sita marital
merupakan sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami isteri
yang fungsinya melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa
perceraian di pengadilan berlangsung dengan menyimpan atau membekukan
barang-barang yang disita agar tidak jatuh ke tangan pihak ketiga.
Menurutnya, dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik suami
maupun isteri dilarang memindahkannya kepada pihak ketiga dalam bentuk
59
apapun. Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pendapat K.H Nazri, MA.
Bahwa walaupun tanpa dikaitkan dengan perkara perceraian pada Pasal 95
KHI membolehkan mengajukan sita terhadap harta bersama secara tersendiri
yang sifatnya untuk menyelamatkan harta bersama tersebut.
Lain halnya dengan pernyataan saksi ahli yang diajukan oleh
Termohon Bernadette M. WaluyoMenurutnya jika telah diajukan
permohonan cerai baik dalam bentuk permohonan thalak maupun dalam
bentuk gugatan cerai, sita jaminan atas harta bersama dari pasal 95 Ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam tidak dapat diberlakukan. Selain itu saksi ahli lain
yang diajukan oleh Termohon pun mementahkan Kompilasi Hukum Islam
sebagai dasar hukum yang dapat digunakan oleh sistem hukum Indonesia. Hal
ini disampaikan oleh Abdul Djamali Menurutnya, Kompilasi Hukum Islam
hanya merupakan himpunan atau kumpulan ketentuan-ketentuan hukum
positif tertentu, digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam beracara di
Pengadilan Agama menjadi pelengkap dari dasar hukum positifnya, oleh
karena itu ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dapat
dijadikan dasar hukum yang berdiri sendiri dalam gugatan atau permohonan
yang disampaikan ke Pengadilan Agama.
2. Alasan Pengajuan Permohonan Sita Marital (Marital Beslag)
Alasan pokok pengajuan permohonan sita marital oleh Pemohon
setidaknya ada dua alasan pokok yakni adanya Qorinah (persangkaan kuat
Majelis Hakim) adanya hubungan antara Termohon tersendiri bahkan sudah
60
sampai ke tingkat nikah sirriy antara Termohon dengan MY yang dengan nya
melahirkan seorang anak perempuan. Alasan kedua adanya keinginan
Termohon menceraikan Pemohon secara legal formal. Dari kedua alasan
pokok tersebut, Pemohon khawatir bahwasannya harta bersama antara
Pemohon dan Termohon tidak aman dan tidak bisa diselamatkan karena jatuh
kepada pihak ketiga yang mana akibatnya akan merugikan Pemohon dan
anak-anaknya dikemudian hari.
Bahkan Majelis Hakim sampai kepada tingkat muttawatir (tidak
dapat disangkal lagi) karena Termohon menunjukkan hubungannya dengan
istri sirrinya secara nyata di depan publik dan media massa telah memuat
berita tersebut tanpa ada penyangkalan sebagai klarifikasi dari Termohon.
Dengan demikian Majelis Hakim menetapkan adanya Qarinah berupa
persangkaan kuat atas fakta-fakta tingkah laku antara Termohon dan
Mayangsari.
Pemohon dapat membuktikan alasan untuk diajukan sita marital
atau yang disebut sita jaminan terhadap harta bersama, untuk itu Majelis
Hakim mengabulkan Permohonan Sita Maritalnya. Dalam Pasal 95 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang merupakan modifikasi dari Pasal 186 KUH
Perdata.1Salah satu dasar diajukannya permohonan sita marital adalah
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta kekayaan perkawinan
1Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Ibu Drs. Hj.
ErniZurnilah, MH. Tanggal 14 April 2014.
61
seperti salah satu contohnya adanya pemborosan atau kelalaian lain dalam
menjaga harta kekayaan perkawinan.
Pemohon mengajukan sita marital didasari alasan adanya
kekhawatiran yang beralasan terhadap keamanan harta bersama, walaupun
ada ketentuan yang mengatur bahwa harta bersama tidak dapat
dipindahtangankan ke pihak lain tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak
hal ini tidak memberikan suatu jaminan harta bersama tidak berpindah
tangan. Untuk itu Pemohon ingin mengamankan harta bersamanya dengan
Termohon dijamin secara legal formal yaitu dengan meletakkan sita agar
Pemohon dan anak-anaknya tidak dirugikan.
Majelis Hakim menggunakan alat bukti persangkaan bahwa telah
terjadi perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama yang
mengacu pada Qorinah bahwa Termohon telah memiliki hubungan dengan
wanita lain bahkan sampai ke tingkat nikah sirriy. Tentunya terdapat
persangkaan Termohon dapat melakukan perbuatan yang membahayakan
harta bersama yang akibatnya akan merugikan Pemohon dan anak-anak dari
Pemohon dan Termohon.
Dengan demikian Majelis Hakim atas alat bukti persangkaannya
(qorinah) dapat membuktikan adanya perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama, sehingga Pengadilan Agama sesuai dengan
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat mengabulkan permohonan sita
yang dimohonkan oleh Pemohon.
62
B. Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim
1. Pertimbangan Majelis Hakim
Pemohon megajukan permohonan sita marital dengan dasar hukum
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mengenai sita
jaminan atas harta bersama, bukan sita marital. Ketentuan mengenai sita
marital diatur dalam Pasal 186 KUH Perdata yang suasana hukumnya masih
menganggap kedudukan isteri di bawah kuasa suami atas harta bersamanya,
dimana suasana hukum ini tidak sesuai lagi dengan kedudukan suami isteri
yang sama. Termohon mengemukakan dalam jawabannya sita marital hanya
berlaku bagi wanita yang tunduk pada KUH Perdata. Ada ketidakjelasan
antara permohonan sita marital dengan sita jaminan atas harta bersama.
Menurut pertimbangan Majelis Hakim penyebutan sita marital
dengan sita jaminan dalam harta bersama tidak jadi masalah. Baik sita marital
dalam Pasal 186 KUHPerdata maupun sita jaminan dalam Pasal 95
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mana objeknya adalah harta bersama,
dengan demikian antara sita marital dengan sita jaminan dapat digolongkan
dalam satu jenis.2 Dan hal ini juga dibenarkan oleh pendapat M. Yahya
Harahap yang mana disebutkan bahwa sita jaminan yang langsung dikaitkan
dengan harta bersama suami isteri seperti yang dimaksud dalam Pasal 95
Kompilasi Hukum Islam (KHI) lazim disebut sebagai sita marital.
2Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Ibu Drs. Hj.
ErniZurnilah, MH. Tanggal 14 April 2014.
63
Majelis Hakim menimbang bahwa, Pemohon dalam perkara nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP hanya mendalilkan alasan permohonan Sita Marital
(marital beslag) semata-mata karena ada kekhawatiran yang beralasan
terhadap keamanan harta bersama dengan Termohon, agar harta bersama itu
terjamin secara legal formal, agar Pemohon tidak dirugikan dengan adanya
berita-berita media masa, dan pihak Termohon tidak membantah berita-berita
media massa itu, dan Majelis Hakim membenarkan kekhawatiran Pemohon
dijadikan alasan permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) tersebut,
dan dinilai cukup beralasan.
Menurut pertimbangkan Majelis Hakim bahwa, dasar permohonan
Sita Marital (Marital Beslag) Pemohon kepada Termohon karena adanya
kekhawatiran Pemohon yang beralasan bahwa Termohon telah memiliki
hubungan tersendiri dengan seorang wanita lain yang bernama MY, bahkan
ada “Qorinah” Termohon telah melangsungkan pernikahan sirry dengan
perempuan tersebut, dan telah dikaruniai seorang anak yang bernama SK, dan
sebagai bukti alasan kekhawatiran Pemohon tersebut.
Majelis Hakim juga menimbang bahwa, alasan kedua Pemohon
mengajukan permohonan Sita Marital (marital beslag) ini adalah keinginan
Termohon untuk menceraikan Pemohon secara legal formal, dengan
mengajukan perkara izin thalak ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan
Nomor : 249/Pdt.G/2007/PA.JP dan sudah dikabulkan oleh Pengadilan
64
Agama Jakarta Pusat dan masih dalam proses banding sebagaimana telah
diuraikan di atas.
Dapat disimpulkan bahwa menurut Majelis Hakim setidak-tidaknya
ada dua alasan pokok permohonan sita marital ini, yaitu yang pertama adanya
“Qarinah” (persangkaan kuat Majelis Hakim) adanya hubungan antara
Termohon tersendiri bahkan sudah sampai ke tingkat nikah sirriy antara
Termohon dengan MY yang dengan nya melahirkan seorang anak
perempuan. Alasan kedua adanya keinginan Termohon menceraikan
Pemohon secara legal formal, sehingga kedua alasan tersebut mengakibatkan
Pemohon punya kekhawatiran yg beralasan terhadap keselamatan dan
keamanan harta bersama dengan Termohon, dan sangat khawatir hal itu akan
merugikan dirinya dan anak-anaknya dikemudian hari, dan Majelis Hakim
menerima alasan sita marital seperti itu, sehingga permohonan sita maritalnya
dapat dikabulkan.
2. Putusan Majelis Hakim
Dalam putusan Majelis Hakim dalam perkara Nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP mengenai pengajuan permohonan sita marital terhadap
harta bersama yang mana suami isteri tersebut masih terikat dalam
perkawinan yang sah berdasarkan pasal 95 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
ini tidak berakibat kepada pembagian harta bersama di antara suami isteri itu,
namun berdasarkan pasal 95 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam pada keadaan
tertentu memang diperlukan izin dari Pengadilan Agama untuk melakukan
65
perbuatan hukum terhadap harta bersama yang telah diletakkan sita itu,
karena dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 95 itu ialah untuk
menjamin keamanan harta bersama agar salah satu pihak tidak dapat
melaksanakan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
itu.
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada perkara No
549/Pdt.G/2007/PA.JP dalam pokok perkara nya Majelis Hakim memutuskan
mengabulkan permohonan Pemohon sebagian; menetapkan telah diletakkan
Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) atas harta bersama Pemohon (H Binti
AK) dengan Termohon (BT Bin S) yang mana dari 119 harta yang diajukan
Pemohon untuk diletakkan sita, Majelis Hakim hanya mengabulkan delapan
saja; menyatakan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) tersebut sah dan
berharga; menyatakan permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya
tidak dapat diterima (NO= Niet Onvantkelijke Verklaard) dan membebankan
kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini sebesar
Rp. 12.898.000 (Dua belas juta delapan ratus sembilan puluh delapan ribu
rupiah).
C. Analisis Penulis
Menurut hemat penulis sita marital yang disebut di dalam Kompilasi
Hukum Islam sebagai (sita jaminan atas harta bersama) hanya diatur secara tegas
dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sifat sita yang diatur dalam Pasal
66
95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak selalu bersifat assesoir, sehingga dalam
pengajuan nya dapat berdiri sendiri.
Tujuan dari adanya sita marital itu sendiri antara lain adalah untuk
membekukan harta bersama suami isteri melalui penyitaan, agar tidak berpindah
kepada pihak ketiga selama proses perceraian/pembagian harta bersama
berlangsung.3 Sedangkan fungsi dimohonkannya sita marital adalah untuk
melindungi, hak pemohon sita marital dengan menyimpan atau membekukan
barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.4
Permohonan sita marital terhadap harta bersama yang diajukan ke
Pengadilan sendiri dapat dimintakan bersama-sama dengan gugatan perceraian
dan dapat pula permohonan sita marital terhadap harta bersama diajukan di luar
gugatan perceraian.5 Berdasarkan hukum acara yang berlaku pun, tidak ada
pengaturan khusus bahwa pengajuan sita harus selalu assesoir dengan gugatan
pokok.
Dalam praktik yang berlaku umum, permohonan sita selalu diajukan
dalam bentuk assesoir, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 95
mengatur secara khusus, yang mana pengajuan permohonan sita marital dapat
dilakukan secara berdiri sendiri di luar adanya permohonan gugatan cerai, karena
3 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslag (Sita Jaminan), h. 369.
4Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 92.
5Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Ibu Drs. Hj.
ErniZurnilah, MH. Tanggal 14 April 2014.
67
dalam hal ini tujuan pokok dari sita marital adalah menyelematkan keutuhan harta
bersama tanpa merusak ikatan perkawinan. Permohonan sita marital yang
diajukan berdasatkan Pasal 95 KHI, sifatnya jelas tidak assesoir karena tidak
tergantung apakah terjadi perceraian atau tidak. Sita tetap dapat dilaksanakan
karena tujuannya adalah untuk melindungi harta bersama saat perkawinan masih
berlangsung dan apabila sekalipun terjadi perceraian, harta tersebut tetap dapat
aman terbagi, karena pada saat perkawinan putus, maka baik suami ataupun istri
berhak atas seperdua dari harta bersama, berdasarkan Pasal 97 Kompilasi Hukum
Islam (KHI), kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Terkait dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat
pada perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP dapat dilihat bahwa alasan pengajuan
Sita Marital terhadap harta bersama yang diajukan oleh Pemohon (Istri) kepada
Termohon (suami) cukup dengan adanya indikasi bahwa harta bersama tersebut
dapat hilang dan berpindah kepada pihak lain yang akan merugikan Pemohon dan
anak-anak Pemohon di kemudian hari, dan Majelis Hakim menerima alasan sita
marital (Marital Beslag), sehingga permohonan sita maritalnya (Marital Beslag)
dapat dikabulkan.
Jika ditinjau dari segi hukum Islam, tujuan dari adanya permohonan sita
marital terhadap harta bersama sesuai dengan tujuan maqashid syariah yang
ditegaskan oleh Abdul Wahab al-Khallaf yang mana sebagai alat bantu untuk
memahami redaksi al-Quran dan sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan, dan yang sangat penting adalah untuk menetapkan hukum terhadap
68
kasus yang tidak tertampung dalam al-Quran dan sunnah secara kajian
kebahasaan.6 yakni menjaga dan memelihara harta (hifzul maal). Memelihara
harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat yakni: memelihara harta dalam tingkat
dharuriyah seperti syariat tentang tata cara kepemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang dengan cara yang tidak syah, memelihara harta dalam
tingkat hajiyat yakni syariat tentang jual belitentang jual beli salam, dan
memelihara harta tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari pengecohan
dan penipuan.7
Berkaitan dengan kaidah ushul fiqh yakni metode penetapan hukum
melalui konsep sadd adz dzari’ah, bahwa dikabulkannya permohonan sita marital
terhadap harta bersama yang diajukan oleh istri sebagai pemohon kepada suami
sebagai termohon, dinilai sangat relevan. Hal itu dikarenakan permohonan sita
marital terhadap harta bersama merupakan salah satu cara untuk menghindari
berpindahnya harta bersama kepada pihak lain, dan agar terlindungi kepentingan
istri sebagai pemohondan anak-anak dari pemohon dan termohon dari itikad buruk
suami yakni dengan memindahkan harta bersama kepada pihak lain, sehingga
pada saat putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, gugatan tersebut tidak hampa
(illusoir). Serta sekaligus menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan
kerusakan yakni jika tidak dilakukan sita marital terhadap harta bersama maka
akan menyebabkan harta bersama tersebut berpindah tangan kepada pihak lain.
6 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 237.
7Ibid. h, 131.
69
Rasio dari penerapan sita marital terhadap harta bersama yang telah
dikemukakan di atas, bertujuan untuk melindungi eksistensi keutuhan harta
bersama dalam perkawinan secara keseluruhan. Sebab harta bersama adalah milik
bersama suami istri yang diperuntukkan untuk keperluan dan kesejahteraan
masing-masing dalam menjaga harmonisasi dan keutuhan rumah tangga. Selain
itu, untuk menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama proses
perkara perceraian / adanya tuntutan pembagian harta bersama.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan skripsi penulis yang berjudul permohonan sita
marital (marital beslag) di luar gugatan perceraian dengan menganalisis putusan
perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Permohonan sita marital terkait dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dalam perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP secara tersendiri artian di
luar dari gugatan perceraian telah sesuai dengan hukum yang berlaku di
Indonesia yakni berdasarkanPasal 215 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 95
serta 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) diperbolehkan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 95, permohonan sita
marital dapat diajukan secara terpisah dan berdiri sendiri di luar gugatan
perceraian, sehingga hal ini memungkinkan pengajuan gugatan atau
permohonan sita, baik dengan rekonpensi maupun pengajuan permohonan
sita marital yang berdiri sendiri.
2. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP adalah alasan pengajuan Sita Marital terhadap harta
bersama yang diajukan oleh Pemohon (Istri) kepada Termohon (suami)
adanya indikasi bahwa harta bersama tersebut dapat hilang dan berpindah
71
kepada pihak lain yang akan merugikan Pemohon dan anak-anak Pemohon
dikemudian hari, dan Majelis Hakim menerima alasan Sita Marital (Marital
Beslag), sehingga Permohonan Sita Maritalnya (Marital Beslag) dapat
dikabulkan. Selain itu permohonan sita marital terhadap harta bersama sesuai
dengan tujuan maqashid syariah yakni dalam rangka menjaga dan
memelihara harta (hifzulmaal) dan berkaitan juga dengan kaidah ushul fiqh
yakni penetapan hokum melalui konsep saad adz dzari’ah, maka permohonan
sita marital terhadap harta bersama dinilai sangat relevan karna untuk
melindungi kepentingan istri sebagai pemohon dan anak-anak dari pemohon
dan termohon dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan yakni jika
tidak dilakukan sita marital terhadap harta bersama maka akan menyebabkan
harta bersama tersebut berpindah tangan kepada pihak lain.
B. Saran-Saran
Adapun bagian akhir dari skripsi ini, penulis memberikan saran-saran
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut :
1. Kepada Pemerintah, Perlu adanya Peraturan Perundang-Undangan yang
mengatur secara tegas mengenai sita marital terhadap harta bersama. dan
adanya ketentuan Hukum Acara Perdata yang mengatur secara khusus
tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada Reglemen
Acara Perdata/ RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 187 No.
52 Jo. 1849 No. 63) yang masih dipergunakan di dalam praktek.
72
2. Para hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan sita marital harus
memperhatikan kepastian hukum, apakah dalam putusan sita marital yang
dikabulkan yang dinyatakan sah dan berharga/tidak, sebab apabila dinyatakan
sah dan berharga terhadap sita marital tersebut, maka akan ditingkatkan
menjadi sita eksekutorial, sedangkan sita marital hanya bersifat untuk
menyimpan atau membekukan harta bersama yang disengketakan.
3. Masyarakat, walaupun sita marital jarang dipergunakan dewasa ini bukan
berarti upaya hukum tidak boleh dipergunakan. dan dalam pengajuan
permohonan sita marital diterima atau tidaknya memang sangat tergantung
pada pembuktian yang mana harus diperhatikan oleh semua pihak. Dan
masyarakat hendaklah mengetahui tentang adanya sita marital dan regulasi
sengketa harta bersama.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdorraoef. Al- Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan. Jakarta :
Bulan Bintang, 1986.
Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan
dan Prosfeknya. Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja RosdaKarya.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Kesebelas. Yogyakarta : UII
Press. 2007.
Basyir, Azhar A, Hukum Perkawinan Islam. Cet. Kedelapan. Yogyakarta :
Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Balai Pusataka, 1988.
Effendi M. Zein, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta : Prenada Media, 2004.
Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005.
Gemala, Dewi. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Cet. Kedua.
Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010.
74
Kusuma, Hilman Hadi. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Aditya Bakti,1999.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta
: Sinar Grafika, 2001.
............................. Hukum Acara Perdata : Permasalahan dan Penerapan
Conservatoir Beslag (Sita Jaminan). , Cet. Pertama. Jakarta : Pustaka, 1987.
Ismuha. Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta : Bulan
Bintang, 1986,.
Kadir, Abdul. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Atitya, 1994.
Koentjaraningrat. Metode- Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: 1997.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2006.
Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan
Agama. Bandung : CV. Mandar Maju, 2008.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty,
2006.
Moleong, Lexy J.. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2004.
M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media, 2005.
Nurul Irfan, M. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Cetakan Ke-2. Jakarta :
Amzah, 2013.
75
Ramulyo, Moch Idris.Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dari Segi Perkawinan Islam. Jakarta : IND-HIIILCO, 1985.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek
pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009.
Rasyid, Roihan A.. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. Kedua. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2003.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Keempat. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
R. Subekti, R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan Ke-25.
Bandung: Pradnya Paramita.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UIP, 1984.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun
1974. Yogyakarta : Liberti, 2004.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta : Kencana. 2006.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : UI Press, 1986.
Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP. Erni
Zurnilah.. Tanggal 14 April 2014.