kantorbahasagorontalo.kemdikbud.go.id€¦ · ii setelah ayah pergi setelah ayah pergi ©eti...
TRANSCRIPT
Setelah
Ayah Pergi
Eti Ndulia, dkk
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kantor Bahasa Gorontalo
2019
ii
Setelah Ayah Pergi
Setelah Ayah Pergi ©Eti Ndulia, dkk Cetakan pertama, November 2019
Penyunting Sukardi Gau Darmawati M.R. ISBN: 978-623-234-033-6 Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hal. i-xi, 449 hal; 21x15 cm Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini Tanpa izin tertulis dari Penerbit Perancang sampul Moh. Hasan Penata letak Hasmawati Yusuf Penerbit: Kantor Bahasa Gorontalo Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Dokter Zainal Umar Sidiki Tunggulo, Tilongkabila Bone Bolango, Provinsi Gorontalo
iii
Eti Ndulia, dkk
Daftar Isi
Daftar Isi ......................................................................... iii Kata Pengantar ............................................................. ix Setelah Ayah Menikah Lagi Eti Ndulia ........................................................................................1 Don Carlos Indrawan Modanggu .............................................................. 15 Kelas Jauh Ajeng Mawaddah Puyo ......................................................... 21 Belis Warisan Sitti Rahmawati Talango ..................................................... 33 Cerita-Cerita Religius Arinda Nafsiah Muthmainnah Gawa ............................. 43
Tante Cili Kurnia ........................................................................................... 53 Modutu Larasati Jafar ............................................................................. 63 Berontak Salman Alade ............................................................................ 73
iv
Setelah Ayah Pergi
Literasi Cinta Ande Rahman ......................................................................... 83 Nyanyian Pagi Alifah Aulia Magfirah ............................................................ 93 Molonthalo Noldi .......................................................................................... 103 Sebuah Rahasia Nana Riana ............................................................................... 113 Lego Jangkar Fitrianita Febrina Ali .......................................................... 125 Ti MaSatu Husain Rahim ......................................................................... 139 Kampung Baru Fitri Kharisma Putri ............................................................ 149 Kehidupan Merah Rahmawati Eka Putri Ali ................................................... 159 Aco A. Luthfiah ............................................................................... 175 Jangan Jadi Penulis Ryota Bitna .............................................................................. 187 Putri dan Sepatu Kaca Yulinda Elfryanti ................................................................... 195
v
Eti Ndulia, dkk
Perpustakaan Itu Nazla Mahira M. N. Falah .................................................. 205 Long Distance Marriage Yulan M. Puluhulawa ......................................................... 215 Senyum Ayah Asiah Nur'ain Khusnaini ................................................... 225 Perjalanan Panjang Ananda S. Mutmainah ........................................................ 231
Allea Musdalifah Putri Amaliyah Rumallang ...................... 241 Broken Home Vidya Yolanda Hanis ........................................................... 253 Bukan Boneka Barbie Yuliatin ..................................................................................... 261 Sajak dalam Samsara Sartina ....................................................................................... 279 Pilihan Hidup Djefri Bantahari .................................................................... 289 Tahuli Li Mama Sri Ayu Rahayu P. Utiya .................................................... 301 Warna Kehidupan Wandayana N. Suharmin ................................................. 311
vi
Setelah Ayah Pergi
Tukang Jamu Keliling Ananda Martya ...................................................................... 321 Tak Ada Kata Usai Laila Mutiara .......................................................................... 331 Aku Tak Merdeka Lagi Mariana ..................................................................................... 343 Datang, Pergi, dan Tak Kembali Safruddin Marwan .............................................................. 347 Sahabat Sampai Janah Rania Bahmid ........................................................................ 353 Lelaki Pilihan Ibu Firdaus Habie ........................................................................ 361 If You Know What Makes Me Happy Wafiq Nur K ............................................................................. 371 Awan Kelabu Pernikahan Aliza Syarif ............................................................................... 379 Aku Bisa Chairunnisa Biahimo .......................................................... 385 Merakit Bahtera Rahmah Jamil ......................................................................... 393 Ada Apa dengan Persahabatan Khairunissa Tayeb ............................................................... 407
vii
Eti Ndulia, dkk
Mimpi Naziefatussiri Kau ............................................................... 411 Bayangan Fatmah Abdullah .................................................................. 417 Cinta Pertama D. Marshal ............................................................................... 421
viii
Setelah Ayah Pergi
ix
Eti Ndulia, dkk
Kata Pengantar Kepala Kantor Bahasa Gorontalo
Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa
kononnya berkait rapat dengan keliterasiannya.
Dalam diskursus peradaban tersebut, literasi
biasanya juga bersentuhan dengan kegiatan
kepenulisan, produksi tulisan, dan para penulis yang
bergiat di dalamnya. Sememangnya hal itu bukanlah
harga mati sebab keliterasian hanyalah salah satu
serpihan dalam kebudayaan. Walaupun demikian, di
sanalah kebudayaan bermula dan peradaban manusia
dapat dibangun. Penggiatan literasi dan peningkatan
minat baca jelas merupakan saluran untuk
mewujudkan peradaban yang berbudaya. Dari titik
inilah, gerakan literasi perlu dilakukan secara
memadai dan melibatkan masyarakat luas.
Atas dasar itulah, sebagai UPT Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan dan
koordinator gerakan literasi di daerah, Kantor Bahasa
Gorontalo senantiasa berupaya melakukan kegiatan
kebahasaan yang bersinergi dengan kegiatan yang
mendukung program Gerakan Literasi Nasional
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Salah
satu kegiatan itu adalah penyediaan bahan bacaan
x
Setelah Ayah Pergi
masyarakat melalui kelas menulis. Selama tiga tahun
berturut-turut, Kantor Bahasa Gorontalo telah
mengadakan kelas menulis puisi bagi mahasiswa
(tahun 2017), kelas menulis cerita pendek bagi
pelajar SMK (tahun 2018), dan kelas menulis cerpen
bagi masyarakat umum (tahun 2019).
Buku yang ada di tangan pembaca ini
merupakan hasil kelas menulis tingkat umum yang
dibimbing langsung oleh Okky Madasari, penulis dan
sastrawan Indonesia yang telah menerbitkan tujuh
buku dan meraih beberapa penghargaan sastra.
Kehadiran Okky pada kegiatan kelas menulis
beberapa bulan lalu rupanya telah memotivasi
peserta untuk terus menulis dan berkomitmen dalam
menghasilkan karya tulis yang bermutu. Selain Okky,
ada sosok lain yang juga berperan penting dalam
penerbitan antologi ini yaitu Darmawati Majid. Dialah
yang berperan menyeleksi, memeriksa, dan
menyunting naskah serta mengawal hingga terbitnya
buku ini. Dari 120 peserta, terseleksi 44 naskah yang
lolos untuk dimasukkan ke dalam antologi ini dengan
cerita yang beragam.
Jika pembaca mencermati, cerpen-cerpen yang
ada di dalam antologi ini hampir sembilan puluh
persen mengangkat kisah keluarga, terutama tokoh
ayah. Entah kebetulan atau tidak, jelas ini menarik.
Ada yang menulis mengenai sosok ayah yang menikah
lagi, sosok ayah yang menyumbangkan mata untuk
xi
Eti Ndulia, dkk
anak perempuan yang (tampaknya) ia benci, sosok
ayah yang tak menyetujui cita-cita anaknya, sosok
ayah yang pendiam tetapi menunjukkan cinta dengan
cara berbeda, dan masih banyak lagi. Kami ingin
melihatnya sebagai bukti bahwa, menulis hal-hal
terdekat kita dapat menjadi salah satu sumber ide
yang tak pernah kering untuk digali. Keluarga dapat
menjadi pengamatan dan pengalaman pertama ketika
mulai belajar menulis. Dengan situasi seperti ini, kami
pun tiba pada kesimpulan bahwa semua orang bisa
menulis selama ia memiliki kemauan karena sumber
ide ada di sekitar kita.
Semoga buku ini bermanfaat betapapun
sederhananya. Kami berharap buku ini dapat
memperkaya khazanah bahan bacaan mengenai
Gorontalo sekaligus mampu menjaga fungsi Kantor
Bahasa Gorontalo di bidang pengembangan dan
pembinaan bahasa dan sastra Indonesia di wilayah
Gorontalo.
Gorontalo, November 2019
Sukardi Gau
Kepala Kantor Bahasa Gorontalo
xii
Setelah Ayah Pergi
1
Eti Ndulia, dkk
SETELAH AYAH MENIKAH LAGI
Eti Ndulia
Dua hal yang paling aku benci dalam hidup ini,
senja dan dermaga. Kelak suatu hari akan kuceritakan
mengapa aku membenci keduanya. Namun, sebelum
itu, izinkan aku bercerita padamu tentang seorang
perempuan. Perempuan tegar, kuat dan mandiri.
Perempuan paling hebat di dunia. Perempuan
istimewa yang dianugerahi surga di bawah telapak
kakinya. Perempuan yang sepakat kita panggil ibu.
Jauh sebelum bencana itu tiba, Ibu-tepatnya
ibuku, adalah perempuan paling ceria di kampung ini.
Semua mengenalinya sebagai perempuan paling
ramah dan pekerja keras. Jika kau jalan-jalan ke
kampungku, cobalah tanyakan nama Ibu pada
penduduk setempat. Pasti jawaban mereka, “Oh, Bu
Sinar! Penjual ikan garam itu, kan? Yang ramah, yang
paling murah senyum?” Begitu pernyataan orang-
orang tentang ibuku.
2
Setelah Ayah Pergi
Ya, ibuku seorang penjual ikan. Lebih jelasnya
ikan asin, tetapi orang di kampungku menyebutnya
ikan garam. Kampung kami terletak di pinggiran
pantai dengan rumah-rumah panggung berjejer rapi.
Hampir seluruh penduduk kampungku
menggantungkan hidupnya di laut. Jika kau
berkunjung ke kampungku, aku berjanji akan
mengajakmu mencari koah1, babadoh2, dan bolle3.
Setelah itu, ibuku akan memasakannya untukmu.
Pagi-pagi buta aku selalu menemani Ibu ke
pelelangan, tempat para nelayan membongkar
muatan selepas melaut. Ibu membeli ikan seember
penuh dengan harga murah. Setelah tiba di rumah,
Ibu akan membersihkan satu persatu ikan tersebut,
membelah dadanya, mengiris dagingnya,
melumurinya dengan garam kasar, kemudian
menangkupkan kembali dan mendiamkannya
beberapa saat agar garam meresap. Setelah dirasa
1 kerang hitam yang terdapat di dalam lumpur. 2 kerang berjari lima, biasa ditemukan di sela-sela batu karang. 3 kerang dengan bintik-bintik hitam putih di seluruh permukaan kulitnya.
3
Eti Ndulia, dkk
cukup, Ibu membilas ikan-ikan tersebut kemudian
menjemurnya di bawah panas matahari. Butuh waktu
dua sampai tiga hari agar ikan kering sempurna.
Setelah ikan kering sempurna, Ibu akan menjualnya
ke pasar di pusat kecamatan, tentunya dengan harga
yang lumayan per kilonya.
Ikan garam dari kampung kami terkenal juara,
begitu kata orang-orang. Apalagi buatan Ibu, rasa
asinnya pas dan teksturnya kering merata. Banyak
orang-orang dari kota sudah menjadi langganan Ibu.
Kadang mereka membeli untuk oleh-oleh keluarga
jauh, untuk dikirimkan kepada anak-anak mereka
yang berkuliah, dan ada juga yang membeli untuk
konsumsi pribadi.
Ibu tetap cantik meski setiap hari kulitnya
terbakar matahari. Ibu tetap cantik meski telah
memiliki empat putri. Yang paling aku sukai dari Ibu
adalah matanya. Mata Ibu seolah penuh sihir, jernih,
teduh dan menenangkan. Sempurna. Dari kami
berempat, kata orang-orang hanya akulah yang
mewarisi mata indah Ibu, dan aku sangat bangga.
4
Setelah Ayah Pergi
Aku bungsu, yang selalu mengikuti Ibu
kemana pun ia pergi. Ibu yang ceria, punya banyak
sekali cerita, paling jago membuatku berhenti
menangis dan paling juara rasa masakannya. Jika aku
bertengkar dengan kakak-kakak, Ibu selalu menjadi
penengah yang baik. Tak ada yang dibela, Ibu selalu
berlaku adil kepada kami semua.
“Ibu, jika aku dewasa nanti, aku ingin seperti
Ibu.”
“Memangnya Kilau melihat Ibu seperti apa?” Ia
bertanya tanpa menoleh, sibuk membolak-balik ikan
garam yang ia jemur.
“Ibu matangkas4, baik, dan rajin bekerja.”
“Ibu rajin itu karena hidup kita pas-pasan,
Nak.”
“Tapi aku tetap ingin seperti Ibu, titik!”
“Baiklah, ingat pesan Ibu, sesulit apa pun
keadaan, hidup tetap harus berlanjut. Kau harus tetap
berkilau seperti namamu.” Ia tersenyum menatapku.
4 Cantik dalam bahasa Bajo.
5
Eti Ndulia, dkk
“Aku akan tetap berkilau dan Ibu akan tetap
bersinar.” Kami tertawa bersama menyambut senja
yang baru saja tiba.
***
Dua hal yang paling aku benci dalam hidup ini,
senja dan dermaga. Kelak suatu hari akan kuceritakan
mengapa aku membenci keduanya. Namun, sebelum
itu, izinkan aku bercerita padamu tentang seorang
perempuan. Perempuan yang tegar, kuat dan mandiri.
Perempuan paling hebat di dunia. Perempuan
istimewa yang dianugerahi surga di bawah telapak
kakinya. Perempuan yang sepakat kita panggil Ibu.
Beberapa malam terakhir, aku sering
mendengar Ibu menarik ingusnya. Seperti ada isak
tertahan, mungkin karena takut aku terbangun. Aku
tahu Ibu sedang menangis, bahunya sesekali
berguncang. Ibu membelakangiku, mungkin saja Ibu
membekap mulutnya dengan bantal agar tak
mengeluarkan suara.
Setelah memastikan aku tertidur, Ibu akan
berbalik membelakangiku. Aku memutuskan tidak
6
Setelah Ayah Pergi
tidur lagi dan menemaninya menangis, meski Ibu
tidak tahu bahwa aku selalu menjadi saksi air
matanya. Ingin sekali kuusap punggungnya dan
berkata, “Tenanglah, berhentilah menangis, apa pun
yang terjadi semua akan baik-baik saja, Bu.”
Ibu berubah, benar-benar berubah. Ibu
semakin pendiam dan lebih banyak menyendiri. Ia
jarang sekali memelukku. Ia lebih banyak
menghabiskan waktu dengan merenung, tak lagi
seceria dulu. Ibu tidak pernah lagi menceritakan
dongeng sebelum tidur kepada kami. Masakannya tak
lagi seenak dulu, pun tak pandai lagi meredakan
tangisku. Pernah aku berpura-pura merengek, tapi
Ibu bergeming. Tatapannya kosong menatap ke arah
pintu. Pernah juga aku bertengkar dengan Kakak,
karena berebut gelas minum dan gelasnya pecah.
Kami diam mematung, mengira Ibu akan memarahi
kami. Namun, ternyata Ibu hanya menunduk
mengumpulkan pecahan beling tanpa satu kata pun
keluar dari mulutnya.
7
Eti Ndulia, dkk
Ibu tak pernah lagi mengajakku pergi
bersamanya. Menjelang sore, Ibu akan pergi entah ke
mana dan melarangku mengikutinya. Para tetangga
pun merasa heran dengan sikap Ibu yang berubah
seketika. Ibu tidak sakit, ia tetap bekerja seperti biasa,
hanya sikapnyalah yang berubah. Ibu memang pandai
menyembunyikan kesedihannya, tapi aku bisa
merasakan itu. Aku bisa melihat itu di mata Ibu,
matanya menyimpan sebuah rahasia yang tak boleh
kami ketahui.
Dari kabar yang tak sengaja kudengar, Ayah
telah menikah lagi di kota. Tentu saja tanpa
sepengetahuan apalagi persetujuan Ibu. Ayah memilih
wanita yang mungkin lebih menarik dari Ibu, yang
telah melahirkan empat putri dari rahimnya. Ah, Ibu!
Bagaimana mungkin kau menyembunyikan hal
sebesar ini dari kami?
Ayah telah bahagia dengan keluarga barunya
sampai lupa arah pulang. Ayah terlalu bahagia sampai
lupa bahwa Ibu setiap hari menatap ke arah pintu,
dengan penuh harapan dia akan datang. Ayah
8
Setelah Ayah Pergi
mungkin melalui hari-hari yang bahagia dengan istri
barunya, tapi Ibu? Ia selalu gelisah dalam tidurnya,
berharap akan ada kabar bahagia. Ibu melalui hari-
hari yang sulit. Apalagi setelah kehilangan Kak Binar.
Ibu seperti kehilangan separuh hatinya.
Aku ingat betul malam itu, Kak Binar demam
tinggi dan kejang-kejang. Di luar hujan sangat deras,
yang bisa kami lakukan hanya mengompres dahi
Kakak dengan air hangat. Ibu panik dan tak henti-
hentinya menangis. Andai Ayah ada bersama kami,
mungkin Ayah bisa menerobos hujan dan membawa
Kakak berobat, agar Kakak tidak akan pergi untuk
selamanya.
Secara fisik, Ibu tampak baik-baik saja, tapi aku
tahu di dalam hatinya hancur. Ia berusaha tetap tegar
demi ketiga putrinya. Tak ada yang tahu persis
kesedihan di hati Ibu. Ia memendamnya sendiri, dan
kesedihan itu membunuhnya perlahan.
***
Dua hal yang aku benci dalam hidup ini, senja
dan dermaga. Mungkin inilah saatnya, aku
9
Eti Ndulia, dkk
menceritakan kepadamu kenapa aku membenci
keduanya. Senja dan dermaga telah mencuri Ibu
dariku. Menjelang senja, Ibu akan pergi dari rumah.
Setiap hari. Pulang saat malam telah benar-benar
pekat.
Suatu hari, aku pernah mengikuti Ibu diam-
diam. Benar saja, Ibu pergi ke dermaga kayu, duduk
sambil mencelupkan kakinya ke dalam air laut. Ia
memandang matahari yang perlahan tenggelam.
Andai saja bisa, ingin kuhapus senja dan kurobohkan
dermaga ini. Agar Ibu tak lagi pergi ke tempat
terkutuk ini. Meratapi Ayah yang telah
mengkhianatinya.
Semenjak mengetahui ke mana Ibu pergi,
setiap hari aku mengikutinya diam-diam. Aku sudah
bertekad selalu menemani Ibu dalam setiap
tangisnya, dalam setiap kesendiriannya. Aku harus
siaga di belakang Ibu. Aku takut Ibu akan melukai
dirinya. Aku takut Ibu akan menenggelamkan dirinya
di dermaga, tenggelam bersama senja.
10
Setelah Ayah Pergi
Langit tak sepenuhnya jingga. Ibu membuang
tatapan hampa. Aku menatapnya iba, tapi tak mampu
menangis. Entah kenapa, semenjak melihat Ibu setiap
hari menangis, air mataku tak bisa keluar. Bahkan
saat Kak Binar pergi untuk selamanya, hanya aku saja
yang tidak menangis. Mungkinkah aku memang
diciptakan tanpa memiliki air mata? Aku sudah tidak
tahan lagi melihat Ibu seperti ini, aku harus bicara.
Harus! Aku mencoba memberanikan diri mendekati
Ibu.
“Ibu, sedang apa di sini?” Aku duduk perlahan
di sampingnya, ikut mencelupkan kaki ke dalam air.
Ibu menoleh sekilas, tersenyum tipis. Senyum yang
sangat aku rindukan. Ibu kemudian membuang
pandangannya jauh, sangat jauh.
“Ibu, aku ingat dulu saat aku kecil, belum
lancar berjalan, hanya bisa merangkak saja, Ibu sering
bercerita padaku tentang banyak hal selain dongeng
pengantar tidur. Meski Ibu menganggap aku tidak
mengerti, tapi saat itu aku merekam setiap perkataan
11
Eti Ndulia, dkk
Ibu.” Ia sedikit terkejut, menoleh padaku kemudian
melempar kembali pandangannya.
“Ada satu nasihat yang sampai saat ini aku
ingat. Dulu, Ibu sering mengucapkannya sambil
mengusap kepalaku. Nak, jika kelak kau sudah besar
nanti, jika kelak kau telah mencintai seseorang,
cintailah ia karena agamanya, karena ketaatannya,
karena kecintaannya kepada Sang Pencipta, karena
lelaki yang taat tidak akan tega menyakiti hatimu.
Dulu, Ibu juga sering bilang kalimat itu berulang-
ulang ke Kak Cahya, saat tahu ada lelaki yang
mengirim surat kepadanya. He-he-he.” Aku sengaja
tertawa untuk mencairkan suasana.
Kali ini aku melihat Ibu menunduk,
memandangi kaki kami yang sempurna terendam air,
satu titik air mata jatuh perlahan. Ia masih tetap diam.
“Ibu, kami sudah tahu kalau Ayah telah
menikah lagi, meski Ibu tak berani mengatakannya.
Aku, Kak Cahya, dan Kak Mentari menangis di kamar
ketika mendengar kabar itu. Kami bertiga telah
berjanji, meski Ayah tak bersama kami lagi, kami
12
Setelah Ayah Pergi
wajib menjaga Ibu. Kami wajib membahagiakan Ibu.
Kami wajib mempertahankan senyuman Ibu.” Ia
mengusap pipinya yang telah basah.
“Ibu, ada hal di dunia ini, yang memang
ditakdirkan untuk tidak kita miliki. Ada juga yang
ditakdirkan untuk kita miliki sementara, semata
untuk memberikan pelajaran berharga. Semua sudah
menjadi ketetapan-Nya. Besar kecilnya masalah yang
menimpa kita, Tuhan pasti punya rencana terbaik di
balik itu. Bukankah kata Ibu, Tuhan Mahabaik?”
Ia menoleh, menatap mataku dalam, perlahan
mengusap pipiku. Aku memejamkan mata, meresapi
sentuhan tangannya yang benar-benar aku rindukan.
“Nak, apakah Ibu terlalu lama meninggalkan
kalian? Hingga Ibu tidak sadar kau telah tumbuh
sedewasa ini, pemikiranmu tumbuh sebijak ini?” Ia
kembali menunduk.
“Ibu, menangislah di depanku. Tak mengapa,
sesakit apa pun penderitaan yang Ibu rasakan, bagilah
denganku. Ceritakanlah padaku.” Ia menatapku nanar,
air mata itu semakin deras tak terbendung.
13
Eti Ndulia, dkk
“Menangislah Ibu, menangislah dengan suara
pilu sekali pun, keluarkanlah segala sesak di hati Ibu.
Aku berjanji akan menjadi tempat terbaik untuk
menampung sebanyak apa pun air matamu, Bu.”
Kemudian tangisnya pecah, ia menangis sejadi-
jadinya. Aku memeluknya sangat erat. Menikmati
irama tangisnya yang terdengar pilu. Sampai malam
bertamu, bulan bundar sempurna bergantung di
langit, Ibu belum juga menyelesaikan tangisnya.
Ibu yang selalu berpura-pura kuat di depan
kami, menyimpan segala kepedihannya sendiri,
akhirnya memuntahkan segala sesak di dadanya. Hari
ini aku bangga pada diriku, aku telah berhasil
membuat Ibu menangis di depanku. Aku telah
berhasil meyakinkan Ibu bahwa perempuan tak
sepenuhnya mesti tegar. Ada saat perempuan bisa
menumpahkan segala kekecewaannya lewat air mata.
Perempuan menangis bukan karena ia lemah, tapi
menandakan betapa tegarnya dia.
14
Setelah Ayah Pergi
Perlahan isaknya semakin mereda, kecil
kemudian tak terdengar. Di bawah rembulan yang
sempurna, ia memegang tanganku erat.
“Nak, berjanjilah untuk tetap kuat, tak peduli
sesulit apa pun kehidupan, tetaplah menjadi kuat. Kau
tetap harus berkilau seperti namamu.”
“Dan Ibu harus tetap bersinar seperti nama
Ibu.” Aku membalasnya.
***
15
Eti Ndulia, dkk
DON CARLOS
Indrawan Modanggu
Pagi itu, Don Carlos berbaring di ranjang Baldacchino hasil
ukiran tangan Stuart Hughes yang tepiannya dilapisi emas
murni. Ranjang itu dibeli seharga 62.5 milyar rupiah. Di
samping dekat kepalanya sebelah kanan, ada sebuah meja
unik model elips karya Eames. Meja itu ia beli dari uang
jajannya sehari dengan harga 45 milyar di luar ongkos
kirim. Meja elips persis model meja Resolute milik presiden
Amerika Serikat yang ada di Ruang Oval, White House. Di
atas meja, ada cangkir peninggalan Dinasti Ming berusia
500 tahun, ia beli dengan harga 368 milyar. Cangkir itu,
selalu berisi kopi Pinogu asli. Ia impor dari kota
leluhurnya.
Setiap pagi sebelum ia memulai harinya, ia pasti
menyeruput kopi Pinogunya bersama sebatang cerutu
merk Cohiba yang ia impor langsung dari Kuba, tepatnya
cerutu peninggalan Fidel Castro. Ia memang berteman baik
dengan orang itu.
Pagi kali ini, Don Carlos hanya berbaring saja.
Kakinya tak mampu melangkah menuju kursi sofa Savello
buatan Jerman, peninggalan Hitler pada masa Perang
16
Setelah Ayah Pergi
Dunia II. Kursi itu semula berada di camp bawah tanah,
tempat terakhir Hitler sebelum bunuh diri. Hanya Don
Carlos seorang yang punya kursi itu. Konon, Don Carlos
memiliki hubungan istimewa dengan Sang Fuhrer itu.
Don Carlos tidak memiliki istri. Ia tidak begitu
percaya kepada perempuan. Baginya, perempuan tidak
lebih seperti Cleopatra yang melegenda itu. Gincunya
beracun. Parasnya menipu. Dan Don Carlos tidak suka
penipu. Sepanjang hidupnya, ia ditemani selir-selirnya.
Setiap jam, selir-selir itu bergantian menemaninya. Selir-
selir itu didatangkan dari setiap negara. Sampai pagi ini
tercatat sudah ada 7654 selir yang pernah menjadi teman
hidupnya. Namun, entah kenapa pagi ini, selir dari Maroko
tak berada di sampingnya.
Punggung kakinya sebelah kanan bengkak. Ia tak
tahu kenapa. Sudah tiga minggu ia tergeletak, tak bisa
bergerak. Don Carlos hanya sendiri terbaring. Ia tak
berkata-kata. Mulutnya seperti bergumam. Entah berdoa
atau membaca mantra. Matanya telanjang tanpa kacamata
pemberian aktor terkenal Arnold Schwarzenneger kala
bermain di film Terminator 1, menatap langit kamarnya.
Langit kamar yang dipenuhi ornamen Romawi kuno
bercorak Barok-Rococo dengan tiang Trajanus
17
Eti Ndulia, dkk
peninggalan Kaisar Konstantinopel pada zaman
pertengahan sebelum runtuhnya masa kejayaan Romawi
itu. Matanya basah tapi tidak menangis. Ia hanya heran
saja, mengapa orang yang sederhana seperti dirinya bisa
dihinggapi penyakit aneh. Seorang tabib dari Mongolia
yang pernah mengobatinya mengatakan bahwa ini karena
ia terserang panu. Namun, ia tidak percaya. Bukan Don
Carlos namanya kalau mudah percaya. Maka, diusirlah
tabib dari Mongolia itu.
Pada waktu berikutnya, ia mengundang dokter ahli
penyakit kulit dari Universitas Teheran, Iran. Dokter
spesialis yang paling top itu ia bayar 245 milyar rupiah
setiap kunjungan. Namun, tidak ada tanda-tanda ia
membaik.
Semula hanya titik biasa di bawah pinggang
kirinya. Kira-kira dua sentimeter dari tulang belakangnya.
Selirnya yang dari Kazakhstan yang memberitahunya. Kala
itu, ia memandikan Don Carlos. Don Carlos hanya tertawa
kecil.
“Ini titik rahasia keperkasaanku selama ini,”
katanya tempo itu. Don Carlos meyakini, semenjak adanya
titik itu, keperkasaan tubuh dan hasratnya semakin
bergelora. Darah muda dan semangat hidupnya semakin
18
Setelah Ayah Pergi
hari semakin bertambah sempurna. Ini dapat dilihat dari
bagaimana Don Carlos menghadapi selir-selirnya setiap
waktu, pun dengan orang-orang yang dengki kepadanya. Ia
lumat tanpa bekas. Don Carlos kemudian merasa titik itu
adalah titik kekuatan dirinya.
Pada hari-hari berikutnya, titik itu berkembang
biak menjadi tiga titik yang masing-masing terpisah dan
jika disambungkan antara titik satu dan lainnya persis
membentuk segitiga Bermuda yang misterius itu. Seperti
misteriusnya titik yang makin hari makin menjelma di area
punggungnya. Ia tidak curiga sama sekali kalau titik itu
adalah panu. Ia bahkan semakin yakin bahwa semakin
bertambah titik itu, semakin abadilah ia. Semakin
sempurnalah hayatnya. Tiba pada suatu waktu, tepat
sehari setelah kejadian Tragedi 11 September,
penyerangan gedung tertinggi di dunia, World Trade
Center di Amerika Serikat, titik-titik itu lama-kelamaan
selain bertambah juga semakin gatal. Ia berusaha menahan
gatal yang dia rasakan itu. Titik-titik itu adalah area
berbentuk cincin di permukaan kulit dengan tepian
berwarna kemerahan yang timbul bersamaan dengan kulit
terkelupas dan rasa gatal yang mahadahsyat. Don Carlos
terkapar.
19
Eti Ndulia, dkk
2.
Pagi ini, sesajian dari dupa purwarupa dan
kembang tujuh warna menjadi asap-asap dalam seribu
doa. Dihirupnya aroma kemenyan lalu dia tabur dalam
nyala api bercampur mantra-mantra paling sakral agar
terbang menembus langit ke tujuh menyelamatkannya dari
maut. Dia tidak ingin mati.
Diundangnya dukun tua dari tanah leluhurnya,
Suwawa, yang paling ia percayai. Ia tak ingin menyerahkan
kepasrahannya kepada seribu dukun yang silih berganti
datang mengobati dari seluruh penjuru dunia. Ia mulai
cemas. Titik itu terus membiak.
Dukun tua itu berkelililing mengitari setiap inci
istananya agar segala mimpi dan jampi bisa lekas hilang
dari tidur sang Tuan. Setelah itu, tangan tua dan suara
basah sang dukun terpatah-patah seperti batuk atau masih
kantuk karena Subuh sudah berjalan dalam doa-doa.
Tangan tua itu pelan-pelan meraba titik demi titik panu
lalu air penuh mantra menyemburat keluar dari rongga
mulut sang dukun, membasahi sekujur area punggung Don
Carlos.
Seketika Don Carlos berontak dan menjerit.
“Aduuuhh...panas...punggungku terbakar!” Suaranya
20
Setelah Ayah Pergi
menggelegar menggema memenuhi seisi alam istananya,
persis seperti suara azan magrib dari toa masjid kampung.
Seluruh mahluk peliharaannya diam seribu bahasa.
Sepasang burung beo di depan pintu kamarnya, yang
selalu menemaninya, tiba-tiba tertunduk membisu. Bahkan
sembilan singa Afrika yang menjaga pelataran depan
rumahnya, segera lari sembunyi di kamar paling ujung
rumahnya.
“Punggungku terbakar. Sakit...sungguh sakit. “Aku
tak tahan lagi. Arrgghhhhhhhh!” Don Carlos meronta-
ronta. Sakit akibat semburan air dari rongga mulut sang
dukun membuatnya mendekati kematian.
“Aku tidak ingin mati,” jeritnya makin meninggi
dan menjadi-jadi. Benar-benar ia seperti orang yang
menghadapi kematian. Don Carlos sekarat. Napasnya
terengah-engah. Makin berat dan menusuk jantungnya.
Dalam kekalutan dan kepanikan yang mahadahsyat itu,
sang dukun mengambil kemenyan lalu melemparkan ke
segala penjuru punggung Don Carlos.
Tiba-tiba hening. Don Carlos tidak bergerak lagi.
21
Eti Ndulia, dkk
KELAS JAUH
Ajeng Mawaddah Puyo
“Cita-cita saya jadi dukun, Pak Guru.”
Di kelas jauh, saya tahu semua hal seperti itu
masih ada. Enam bulan lalu, seminggu setelah istri
saya berpulang, saya dipindahkan di tempat itu. Ah...
Tuhan memang suka sekali bermain-main dengan
kehidupan saya sejak dulu. Bapak Tua yang
rematiknya sering sekali kambuh ini. Suatu hari
dalam sebuah rapat sekolah, lelaki tua ini diputuskan
menjadi perwalian kelas jauh. Sial! Tidak pindah
sekolah memang, hanya kelas. Namun, saat saya
mengatakan saya adalah perwalian Kelas Jauh, maka
itu berarti kelas tersebut memang benar-benar jauh.
Warga di desa ini, membagi dua bagian desa
dengan keterangan desa bawah dan desa atas. Desa
bawah adalah setengah bagian desa yang berada di
bawah gunung. Desa atas adalah setengah bagian
desa lagi yang terletak di atas gunung terjal, di situlah
22
Setelah Ayah Pergi
Kelas Jauh saya berada, benar-benar jauh di atas
pegunungan.
Saya tahu semua hal itu masih ada. Bayangkan,
pemukiman terpencil tanpa listrik, lalu orang tua
murid yang marah-marah karena anaknya lebih suka
belajar di kelas saya daripada menjaga sapi atau
ladang jagungnya dari serangan monyet. Tempat itu
dihuni oleh 64 orang manusia tanpa bangunan toilet
satu pun. Para siswa sekolah dasarnya mempunyai
cita-cita menjadi dukun.
Tepat di tengah tempat seperti itulah kelas
jauh saya berada. Sebuah kelas berdinding papan
beratap rumbia, isinya 3 orang murid kelas satu, 3
murid kelas empat, 2 murid kelas lima dan 5 murid
kelas enam yang semuanya harus saya ajar
bersamaan dalam satu tempat dan waktu yang sama.
Saya telah menyaksikan sendiri, bahwa semua hal
seperti itu benar-benar masih ada saat ini. Di zaman
modern ini.
5 tahun telah berlalu. Kini ada Yadi yang akan
menggantikanku.
23
Eti Ndulia, dkk
“Tenanglah, saya yakin kau akan betah dengan
murid-murid itu. Mungkin di awal kau butuh sedikit
menyesuaikan dengan pola pikir mereka.” Aku
berusaha meyakinkan anak muda itu yang baru
terangkat menjadi guru. Sejak tadi, dia hanya
mengaduk-aduk cangkir kopi tanpa meminumnya
sama sekali.
“Aku gugup, Pak, ini pengalaman pertamaku
mengajar setelah lulus sarjana.” Dia sekarang
membolak-balik daftar hadir murid kelas jauh yang
baru saja saya berikan.
“Di hari pertama saya mengajar, saya pernah
bertanya pada mereka, apa cita-cita mereka.”
Yadi menutup daftar hadir itu, mulai antusias
dengan cerita saya.
“Seorang siswa kelas enam spontan menjawab,
saya ingin jadi dukun, Pak Guru!” Yadi tertawa kecil,
tidak sampai bersuara tapi giginya hampir terlihat
semuanya. “Awalnya saya pikir dia bercanda, tapi
beberapa detik setelah anak itu bicara, anak lain
dengan antusias berebutan mengucap hal yang sama,
24
Setelah Ayah Pergi
dengan sorot mata berbinar yang sama. Saya pun
mengerti, mereka sedang tidak bercanda. Sejak saat
itu saya juga tahu, tidak akan mudah memahami isi
kepala mereka.”
“Mereka sungguh-sungguh ingin menjadi
dukun?”
“Menjadi Ta Motota, dukun yang paling sakti,
Iya tentu saja. Mereka tidak sedang bercanda.” Yadi
langsung meneguk kopinya sampai tandas.
***
Siapa pun yang belum pernah ke kelas jauh
pasti akan sulit percaya dengan cerita ini. Namun, jika
seseorang pernah berkunjung ke tempat itu walau
sekali saja, mereka akan menganggap tidak ada yang
salah dengan cita-cita mereka. Menjadi dukun adalah
profesi paling menjanjikan di lingkungan masyarakat
Kelas Jauh. Tidak perlu ijazah, hanya cukup bermodal
mantra, air, dan ilmu sihir yang manjur tentunya. Saat
ini, satu-satunya Ta Motota di tempat itu hidup
berkecukupan. Dia pemilik semua ladang jagung di
sana bahkan punya lima orang istri. Dalam pikiran
25
Eti Ndulia, dkk
anak didik saya, menjadi dukun berarti menjadi orang
paling kaya di kampung. Siapa yang tidak ingin
menjadi kaya?
Tapi saya ingat, ada seorang gadis pendiam
yang tidak menjawab pertanyaan saya saat itu, Pedi
namannya. Dalam bahasa kami berarti teluh. Nama
yang aneh. Entah dia tidak ingin menjadi dukun atau
dia terlalu pemalu untuk sekadar mengungkapkan
cita-citanya. Namun, setelah lima bulan mengenalnya,
dia tetap saja anak yang sangat pendiam. Jika saja dia
memiliki cita-cita yang berbeda dari semua teman-
temannya, itu akan sangat mengejutkan saya, karena
dia adalah anak tunggal dukun paling sakti kampung
ini, sosok yang diimpikan semua murid.
“Kau harus sabar jika diminta menjelaskan hal
yang sama sampai tiga atau empat kali. Rata-rata
mereka butuh waktu lebih lama untuk mengerti.”
“Tapi kemarin aku lihat hasil rapor mereka
bagus, Pak.”
Saya malu menjelaskan ini, tapi ah... biarlah.
“Saya mengarang semua nilai rapor mereka, karena
26
Setelah Ayah Pergi
permintaan pihak sekolah. Sekolah ingin mereka naik
kelas agar tidak merepotkan. Padahal di sisi lain,
pihak sekolah tahu, saya tidak memberikan hak
mereka seperti seharusnya. Saya tidak datang jika
hujan, pun saat rematik saya kambuh. Dalam
seminggu, saya hanya bisa datang tiga atau empat
kali. Tapi, yah begitulah, sekolah memaksa agar
mereka naik kelas dan lulus.”
Dia mengangguk, mungkin saja dalam hatinya
sedang mencaci, hanya saja tidak tega karena kasihan
melihat si pria tua ini.
“Tapi kau bisa mengandalkan Pedi, dia murid
paling pintar. Dia ketua kelas yang akan
membantumu, walau tidak akan menjawab apa pun
pertanyaanmu karena sangat pendiam.”
“Aku akan mencoba berkomunikasi dengan
baik, Pak.”
“Jangan terlalu dekat, dia anak tunggal Ta
Motota. Jika bapaknya marah bisa gawat kau.” Ha-ha-
ha, aku bisa membaca raut ketakutan dari wajahnya.
Belum, aku menambahkan lagi. “Iya, bapaknya orang
27
Eti Ndulia, dkk
paling sakti di tempat itu. Mudah baginya membuat
seseorang yang tidak suka bahkan benci menjadi
jatuh cinta setengah mati, dia juga bisa membuat
orang lumpuh tiba-tiba, muntah darah, atau mati
mendadak.”
“Aku akan berhati-hati, Pak,” ucapnya spontan.
Ia menyembunyikan dengan baik ketakutannya.
“Saya mau minta tolong tentang hal yang
berhubungan dengan Pedi padamu,” saya menggeser
posisi mendekat padanya. “Kau tahu? Putri Ta Motota
yang tak pernah berbicara itu, dia memberikan
sebuah surat kepada saya.”
“Surat?”
“Iya, surat minta tolong.”
***
Pak Guru, Papa ingin saya menjadi Ta Motota. Ilmu
dan mahluk halus pendampingnya akan diberikan
kepada saya dalam waktu dekat. Tapi, saya ingin
bersekolah tinggi, Pak, TOLONG.
28
Setelah Ayah Pergi
Saya membiarkan Yadi menatap surat itu
beberapa menit. Raut wajahnya bingung. Seperti
dugaan saya, anak kota memang tidak mengerti hal
seperti ini. Saya jelaskan pelan-pelan tentang
pentingnya keberadaan Ta Motota di Kelas Jauh. Dia
tak boleh meninggalkan desa, karena masyarakat di
sana akan selalu meminta petuah Ta Motota dalam
memutuskan hal-hal penting, bahkan ada yang
meminta diberkati dengan air doa dari Ta Motota
setiap harinya. Oleh karena itulah Ta Motota wajib
tinggal di tengah-tengah penduduk selamanya, selama
dia memiliki ilmu. Pedi akan segera menjadi penerus
dan mungkin dalam waktu dekat. Ini berarti dia tidak
bisa meninggalkan tempat tinggalnya. Walaupun dia
bisa melakukan itu, orang tuanya pasti akan
menghalanginya. Pedi ingin bersekolah tinggi, sesuatu
yang tak akan pernah dia dapatkan selama dia masih
tinggal di tempat terpencil itu.
Pedi, calon Ta Motota selanjutnya, diam-diam
menyelipkan sebuah surat di buku daftar hadir saya.
Surat yang diakhiri kata tolong dengan huruf kapital.
29
Eti Ndulia, dkk
Sejak beberapa bulan lalu saya yakin, setiap kali
memutarkan film di laptop yang menggambarkan
kemajuan perkotaan, pelan-pelan akan memengaruhi
cara pandang mereka, walaupun hanya sedikit. Saya
ingat Pedi selalu saja menjadi yang paling antusias.
Ah... Pedi memang yang terbaik dibandingkan murid
lain di Kelas Jauh, tidak akan sulit bagi saya
mencarikan SMP di perkotaan untuk Pedi. Gaji saya
juga cukup jika hanya membiayai kehidupan seorang
anak. Pedi harus bebas! Pergi jauh dari pelosok itu
dan menjadi apapun yang dia sukai, bahkan jika itu
berarti dia harus meninggalkan orang tua yang
mengungkungnya.
“Bapak ingin membantu Pedi lari dari rumah?”
“Tidak, bukan seperti itu. Saya tidak akan
melakukan hal langsung yang berisiko.”
Dia diam, menunggu penjelasan saya.
“Biarkan Pedi menyelesaikan sekolahnya di
Kelas Jauh. Saya akan menitipkan buku-buku bagus
untuk dia belajar, beberapa buku motivasi, dan
beberapa surat untuk menguatkan tekadnya.”
30
Setelah Ayah Pergi
“Menitipkan lewat saya?”
“Iya. Itu tugasmu.”
“Lalu?”
“Tidak ada, kita hanya perlu menunggu. Saya
berani bertaruh, dia akan datang sendiri ke rumah ini
setelah Ujian Nasional dan itu tidak lama lagi.”
“Iya, Pak.”
“Oh iya...sebelum ke sana besok pagi, jika kau
ingin berak, keluarkan semuanya di sini. Kau tidak
akan menemukan tempat yang layak membuang
kotoranmu di sana. Kecuali jika kau ingin berak di
samping pohon besar, lalu membungkus kotoranmu
dan melemparnya ke bawah bukit.”
“Wah... serius, Pak?”
Aku mengangguk dan beranjak ke kamar.
***
Oh Tuhan. Perempuan itu kembali lagi. Tiba-
tiba mengetuk jendela kamar dan memohon
menemuinya di kebun gelap belakang rumah ini.
“Kau mengingat saya?” Saya hampir tersedak.
Ini ajaib! Kenapa dia mengingat saya setelah
31
Eti Ndulia, dkk
berpuluh-puluh tahun berpura-pura lupa? Dia
bergeming, tapi saya terlalu mengenalnya, dia sedang
menangis! Saya biarkan dia. Tak ada yang lebih
menyakitkan dari tangis yang tak bersuara
“Saya tidak lupa! Saya disantet!” Akhirnya dia
menjawab.
“Sialan kau! Kau jelas-jelas meninggalkan saya!
Kau bahkan berpura-berpura tidak mengenal saya
dan memilih untuk menjadi istri kelima Ta Motota.
Murahan!
“Dukun itu telah mati. Doti-doti, mantra jahat
yang dia tanam pada saya telah hilang. Saya sekarang
ingat perasaan saya padamu, ingat semuanya.
Kekasihmu sudah kembali, Pak.”
“Berhentilah berbohong, lagi pula saya tidak
mencintaimu lagi.”
“Tapi saya masih, tetap dan tak ada yang
berubah. Kau duda sekarang dan dukun itu telah mati.
Bukankah ini rencana Tuhan untuk kita?”
32
Setelah Ayah Pergi
“Pulanglah. Jauh sebelum menikahi istri
tercinta saya, saya telah membunuh tentangmu
terlebih dahulu. Sebelum dia, kaulah yang telah mati.”
Saya berjalan menjauh. Masuk ke pintu dapur
lalu mengunci pintu itu dengan mantap. Perempuan
pengkhianat itu pasti menangis sendiri, ha-ha-ha.
Pasti dia sakit, semoga itu sakit sekali! Sama seperti
saya. Dia pasti akan mendaki lagi ke desa atas, pulang
ke rumah mayat Ta Motota yang dia nikahi itu. Dia
pasti akan berebut warisan dengan empat orang istri
tua Ta Motota sialan itu—semoga saja bagiannya
sedikit. Lalu sebentar lagi, sebentar lagi setelah Ujian
Nasional, anak tunggalnya akan memohon pada saya
untuk disekolahkan jauh dari sini. Dengan senang hati
saya akan mengirimnya jauh sekali darinya.
Padahal saya hanya bermaksud membuatnya
merasakan kehilangan satu orang, Pedi anak
tunggalnya. Hanya itu. Namun, sepertinya Tuhan ingin
membayar lunas dendam pria tua ini.
Semoga kau terluka sehebat saya!
33
Eti Ndulia, dkk
BELIS WARISAN
Sitti Rahmawati Talango
Lagi-lagi keluarga mendesak Yohan pulang ke
Bajuntaa. Desa kecil di kaki gunung dan pesisir pantai
Pulau Adonara. Sebenarnya Yohan sudah pernah
kembali dan ingin menyelesaikan masalah pelik itu,
tapi jiwa Yohan yang bebas seolah ingin
memberontak saat terkungkung dalam tradisi
keluarganya, tradisi daerah itu. Hingga akhirnya
Yohan memilih kembali ke tanah rantau, yang
memberikannya banyak kepastian.
Masih dalam sambungan telepon, bibi Yohan
memaksa. “Yohan, kalo kou tidak pulang ke sini,
gading itu mo jatuh ke tangan orang lain.”
Yohan masih terdiam, memikirkan alasan
apalagi yang harus disampaikan untuk menolak
sejarah ini. “Itu tidak mungkin Mama Ina, saya tidak
mungkin terlalu lama meninggalkan pekerjaan saya di
sini.” Alasan ini adalah senjata paling jitu yang sering
digunakan oleh Yohan, ketika pembicaraan terkait
34
Setelah Ayah Pergi
Belis1 diangkat. Yohan pemuda yang berpostur tegap
dan memiliki wajah tampan, sebenarnya tidak
memiliki pekerjaan tetap. Pekerjaan Yohan yang
sebenarnya adalah keluar masuk hutan, memenuhi
permintaan kayu dari usaha-usaha somel5.
Yohan merasa lelah dengan desakan
keluarganya. Yohan sering mempertanyakan
mengapa dia harus terlahir sebagai cucu laki-laki
keluarga Nade. Namun, bukan itulah alasan
sebenarnya mengapa Yohan didesak, melainkan
karena Yohan adalah satu-satunya anak lelaki yang
membujang dalam keluarga Nade. Keadaan ini
menuntutnya harus menerima gading warisan. Benda
yang menunjukkan eksistensi posisi dan status sosial
keluarga Nade di Bajuntaa.
Belis adalah gading gajah dalam budaya
masyarakat Lamalohot, Kabupaten Flores Timur,
khususnya Desa Bajuntaa, merupakan salah satu
mahar bernilai ratusan juta. Belis ini menjadi syarat
5 Tempat pengolahan kayu jadi pintu, jendela dan perabotan
rumah lainnya
35
Eti Ndulia, dkk
pernikahan dari calon mempelai putri untuk calon
mempelai pria, sebagai bentuk penghargaan pada
calon mempelai putri. Jika Yohan menerima gading
tersebut, berarti ia harus menjalankan tradisi belis.
Ini berarti bahwa dia harus memilih pasangan hidup
di tanah Flores. Keluarga memang sudah memiliki
calon istri yang akan dijodohkan dengan Yohan. Yenti,
nama gadis itu. Gadis manis berkulit cokelat dari
pulau Adonara, Flores Timur, yang masih termasuk
dalam garis keturunan Gawi Nuho, salah satu
bangsawan pendiri kampung Bajuntaa.
“Kenapa saya harus menikah dengan orang
sana? Saya tidak mengenal siapa pun di tempat itu.
Ah... sudah Mama Ina, saya sedang sibuk dan harus
segera masuk hutan sebelum sore.”
Yohan tahu Ia belum siap berkomitmen dalam
ikatan pernikahan. Namun, alasannya itu sebenarnya
masih bisa terbantahkan. Bibinya memilih menyudahi
sambungan telepon dan tidak ingin mengganggu
Yohan lagi. Bibinya itu bingung. Entah apa yang
dipikirkan Yohan. Saat semua pemuda Bajuntaa
36
Setelah Ayah Pergi
berharap memiliki gading agar bisa mempersunting
calon mempelai putri di tanahnya, Yohan justru
menolak mentah-mentah.
Sejarah kepemilikan gading dalam keluarga
Yohan, berawal dari kakeknya yang merupakan satu-
satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara dalam
keluarga Nade. Satu hal yang perlu digarisbawahi,
bahwa gading hanya akan diwarisi pada anak laki-
laki. Walaupun, gading diserahkan kepada calon istri
saat akan menikah nanti, tapi sang istri hanya berhak
menjadi perantara. Jika mendapatkan anak laki-laki,
gading akan dijadikan sebagai warisan untuk
mempersunting calon menantu mereka nantinya,
begitu seterusnya. Namun, jika hanya mendapat anak
perempuan, gading akan berpindah tangan pada
keluarga laki-laki lainnya.
Pada tahun 1960-an, terjadi konflik
antarkampung di tanah kelahiran kakek Yohan.
Konflik berasal dari perilaku hasut-menghasut dan
fitnah yang dilatarbelakangi rasa iri terhadap hasil
kebun yang melimpah di Bajuntaa. Kelompok
37
Eti Ndulia, dkk
Kampung Waya menuduh kampung Bajuntaa
memakai sihir agar tanah di kampung lain menjadi
tandus. Situasi semakin panas, menyebabkan
pertumpahan darah tak terelakkan. Kakek Yohan
yang merupakan salah seorang bangsawan pendiri
kampung, tidak ingin melihat kehancuran kampung
yang dibangunnya. Ia pun memutuskan pergi
meninggalkan kampung, menghindari hasutan dan
pertumpahan darah yang semakin menjadi. Karena
keputusan itulah, ia disebut sebagai pengecut. Sang
ahli waris gading satu-satunya dari keluarga Nade
merantau ke tanah Jawa dan menemukan penguasa
hati, yang kemudian menjadi pasangan hidupnya.
Tahun 1980-an, terjadi transmigrasi besar-
besaran dari tanah Jawa ke Sulawesi, memaksa kakek
Yohan membawa seluruh keluarganya ke Tanah
Hulondhalo (Gorontalo). Kakek Yohan membuka dan
menggarap lahan yang dibagikan pemerintah untuk
menghidupi anak cucunya. Gading yang akan menjadi
belis ditinggalkan tak bertuan. Dua saudara
perempuannya, tidak berhak atas gading itu. Cerita
38
Setelah Ayah Pergi
tentang gading kakeknya mendorong Yohan
menerima kesepakatan keluarganya, bahwa dialah
yang harus menjadi ahli waris gading. Namun,
masalah pelik mengenai keadaan gading terus
bergulir, membuatnya lelah menunggu dalam
ketidakpastian. Menimbulkan sebuah interpretasi
dalam pikiran Yohan, seolah ia sangat berambisi
menginginkan gading itu.
Yohan memang selalu hadir dengan
penafsirannya sendiri. Ia mencoba keluar dari
pikirannya itu, dan memutuskan memecahkan
masalah warisan gading kakeknya, warisan belis. Dia
telah benar-benar menghabiskan waktu perjalanan
selama 5 jam masuk ke dalam hutan, hanya untuk
memikirkan tawaran keluarga di Gorontalo dan
bibinya di Bajuntaa. Terjadi pertikaian antara hasrat
dan akal. Hasrat membawanya ingin lari dari
kenyataan, tetapi akal mengajaknya kembali
merenungi keberadaannya sebagai keturunan Nade.
Ia harus membawa kembali gading keluarga Nade.
39
Eti Ndulia, dkk
Senja mulai tiba, saat Yohan sampai di
gubuknya yang terletak di tengah hutan. Ia
memutuskan beristirahat di gubuknya yang terbuat
dari rumbia, menunggu pagi datang. Ada rebahan
bambu yang sengaja dibuat untuk beristirahat di
dalam gubuknya itu. Setelah mengistirahatkan
tubuhnya sejenak, ia bangkit dari rebahan, berjalan
kemudian bersandar pada pilar gubuknya. Perlahan ia
merogoh saku jin sebelah kanan, mengambil telepon
genggamnya. Yohan ingin mengikuti akalnya, ia
kemudian mencari panggilan terakhir bibinya, dan
menelepon. Telepon kemudian tersambung dengan
suara Bibi Yohan di seberang. Yohan ingin
menyampaikan niatnya, ia bermaksud mengambil
kembali hak gading itu.
“Halo, malam ada apa Ama?” Apa kou sudah
berubah pikiran?” Tanya Bibi Yohan dengan aksen
Adonara, selayaknya logat Indonesia Timur yang
khas, cepat dan naik turun. Ama adalah panggilan
khas anak lelaki kecil di daerah Adonara. Mungkin
40
Setelah Ayah Pergi
karena Yohan belum menikah sehingga masih
dianggap sebagai anak laki-laki kecil oleh bibinya.
“Mama Ina, ada yang mau saya sampaikan.”
Yohan yang sedang berdiri dan bersandar pada pilar,
mengubah posisinya. Namun, tanpa disadari bahu
Yohan menyenggol lampu teplok yang menyala.
Lampu teplok jatuh, apinya langsung menyambar
jerami kering dan jeriken bensin yang memenuhi
gubuk itu. Celana jin yang digunakan Yohan ikut
dilahap si Jago merah dengan sangat cepat. Badan
Yohan terbakar, telepon genggamnya terlempar dan
percakapan yang baru dimulai pun terhenti. Yohan
terjebak dalam kobaran api di tubuhnya. Dia berlari
keluar mencari pertolongan pada warga di luar hutan.
Sementara di seberang telepon, Bibi Yohan hanya
mendengar teriakan dan gemuruh. Bibi Yohan panik
saat sambungan tiba-tiba telepon mati.
“Halo? halo? Ama? Ama!”
Rupanya, kobaran api melahap habis seluruh
gubuk Yohan. Langit di atas hutan yang tadinya
kelam, berubah merah. Gemuruh kobaran api
41
Eti Ndulia, dkk
semakin menjadi, banyak letusan kecil berasal dari
api yang menyambar jeriken bensin. Jumlah jeriken
bensin yang banyak dan keringnya jerami, membuat
kobaran api semakin membesar. Bensin-bensin itu
adalah bahan bakar gergaji mesin, yang sering
digunakan Yohan untuk menebang pohon di hutan.
Kebakaran gubuk Yohan hampir menghanguskan
hutan di kawasan tempat tinggal Yohan, Desa
Wonosari, Paguyaman Gorontalo.
Yohan diselamatkan oleh warga yang tinggal di
pinggiran hutan. Dalam keadaan setengah sadar,
Yohan merasakan perih yang sangat dahsyat di
kulitnya. “Ah…Tolong Kita” Pidis sekali!” teriakan
Yohan dengan aksen Gorontalonya.
Bibi Yohan di Adonara, mendapat kabar
musibah yang menimpa Yohan. Mereka berharap
kesembuhan menyertainya. Yohan telah menyerah
pada keadaan fisik dirinya yang sebagian besar telah
rusak akibat terbakar api. Kepercayaan diri Yohan
hilang seketika. Dalam benaknya, tidak ada lagi
42
Setelah Ayah Pergi
keinginan menikah. Perempuan mana yang akan
menerima keadaannya?
Warisan belis dari kakek Yohan yang harus
direbut kembali, kini tak jelas keberadaannya. Gading
belis terus bergulir pada keluarga laki-laki lainnya,
yang bukan garis keturunan langsung dari keluarga
Nade. Namun, Yohan seakan menemukan alasan lain
menolak takdirnya sebagai ahli waris belis keluarga
Nade. Banyak keluarga yang menyesalkan keputusan
Yohan, keluarga masih terus mendesak dan berharap
agar gading belis kembali ke garis keturunan Nade.
Yohan tidak mengerti apakah musibah kebakaran
yang terjadi padanya, merupakan kemenangan Yohan
melawan tradisi Lamalohot dan Bajuntaa ataukah
musibah kedurhakaannya atas tradisi itu?
Ada hal lain yang menyebabkan kegundahan
pada Yohan selama ia dirawat di rumah sakit. Apakah
bumi Hulontahalo tak rela melepaskan jejak sang ahli
waris belis Bajuntaa, kembali ke tanah leluhur?
43
Eti Ndulia, dkk
CERITA-CERITA RELIGIUS
Arinda Nafsiah Muthmainnah Gawa
/1/
"Kesalahan terbesar Tuhan adalah menciptakan
manusia." Perempuan itu berujar sebelum meneguk
habis wiski yang telah mereka pesan.
Lelaki di depannya tertawa. Mencari-cari korek
di kantong celananya, tetapi tidak menemukan benda
yang dicari. Dia menggerutu. Perempuan di depannya
menyodorkan korek miliknya.
"Ah. Kau hanya sedang kecewa saja pada Tuhan."
Lelaki itu kemudian mengembalikan korek yang
dipinjamnya. Namun, buru-buru dicegah perempuan
itu.
"Simpan saja." Katanya. "Anggap itu sebagai
salam perkenalan."
"Memang, apa salahnya Tuhan menciptakan
manusia?"
44
Setelah Ayah Pergi
"Kau lihat sekelilingmu." jawabnya. "Mereka
datang ke sini, untuk melepas beban. Mereka
kesepian."
"Lalu, di mana letak salahnya?"
Perempuan itu memperbaiki duduknya,
kemudian mematikan rokok yang belum sepenuhnya
habis.
"Sebab, Tuhan kesepian. Lalu dia menciptakan
manusia." Dia berujar pelan dengan suara serak.
"Tuhan tidak sadar, rasa kesepiannya itu terbawa
dengan roh yang ditiupkan kepada manusia. Oleh
sebab itu, manusia merasa kesepian."
Dia mengambil rokok, dan menyelipkan di
antara bibirnya. Menyalakannya dengan korek yang
entah sejak kapan telah dipegang. Dia sedikit
terbatuk. Lelaki di depannya masih menunggunya
melanjutkan cerita.
"Mereka benar-benar merasa kesepian. Bahkan
tidak bisa hidup tanpa orang lain."
"Seperti kau?"
45
Eti Ndulia, dkk
Mendengar pertanyaan lawan bicaranya, dia lalu
menyeringai. "Sialnya, Iya!"
"Aku berencana mabuk malam ini. Dan juga,
topik pembicaraan kita tidak cocok jika dibicarakan di
tempat seperti ini. Membicarakan soal Tuhan di bar?
Yang benar saja."
"Memangnya kenapa?"
"Kesopanan sosial."
"Ah, Alasan. Bilang saja Tuhanmu pemarah."
/2/
Sewaktu kecil, aku punya teman yang sedikit
unik. Daden namanya. Dia yang paling gendut di
antara kami semua. Daden kurang disukai teman-
temanku karena dia suka berbohong. Namun, aku
sangat suka Daden, lebih tepatnya aku memang suka
melihat orang gendut.
Pernah suatu siang ketika kami telah lelah
bermain di pantai. Seperti biasa, Daden akan mulai
bercerita meski tanpa diminta.
"Kalian tahu, dari mana manusia berasal?"
46
Setelah Ayah Pergi
Kami semua diam. Meskipun begitu aku yakin
mereka-tak terkecuali aku-juga ikut memikirkan
jawaban atas pertanyaan itu. Yang aku tahu, Tuhan
menciptakan Adam dan Hawa. Mereka diusir dari
surga, menuding setan sebagai penyebabnya. Padahal
Tuhan sudah mewanti-wanti mereka agar tidak
memakan buah terlarang itu. Namun, itu memang
sifat manusia, suka melanggar aturan sekalipun dari
Tuhan.
"Jika kalian berpikir bahwa manusia berasal dari
Adam dan Hawa, kalian salah besar." Jawabnya
seakan tahu apa yang kami pikirkan.
"Memangnya dari mana lagi kalau bukan dari
Adam dan Hawa?" protes Kipli yang juga dibenarkan
teman-teman lain.
"Kalian tahu tidak kenapa manusia bisa jadi jahat
dan bisa jadi baik?"
Tak ada jawaban dari kami. Daden lalu
tersenyum menang dan menatap kami satu persatu.
Tatapan itu seakan ingin mengatakan bahwa dia
sudah menduga kami tidak tahu jawabannya.
47
Eti Ndulia, dkk
"Itu karena setan dan malaikat kawin, lalu
lahirlah manusia." Daden kemudian tertawa di ujung
kalimatnya.
Aku menatap kawan-kawan. Mereka juga masih
mencerna jawaban Daden yang sepertinya tak masuk
akal.
"Ah, itu kan cuma akal-akalanmu saja, Daden."
Kipli menyanggah. "Pak Agus yang bilang, kalau
manusia itu berasal dari Adam dan Hawa."
"Iya betul itu. Aku juga punya bukunya kok."
Timpal yang lainnya.
Mendengar itu, Daden hanya tertawa. Perut
buncitnya bergerak-gerak ke atas ke bawah.
Tingkahnya itu membuat teman-teman semakin kesal,
mereka tidak terima jawabannya. Dan itu membuatku
bahagia.
"Kalian ditipu sama pak Agus. Dia cerita seperti
itu supaya kalian beli bukunya, dan dia dapat untung.
Kalian ini terlalu mudah ditipu."
Daden lalu tertawa lagi. Ucapannya terus
berputar-putar di kepalaku. Apa benar Pak Agus, guru
48
Setelah Ayah Pergi
mengaji kami yang terkenal di kampung itu
berbohong tentang Adam dan Hawa agar buku yang
dijualnya laku?
Setelah kejadian itu, aku mendengar dari salah
seorang teman bahwa Pak Agus mendatangi rumah
Daden. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,
tapi yang pasti setelah bertemu Daden, Pak Agus tidak
kelihatan lagi batang hidungnya. Tugasnya sebagai
guru mengaji digantikan Ibu Hayati yang sekaligus
sebagai guru agama yang baru di sekolahku. Daden
juga sudah tidak bersekolah sejak kepergian Pak
Agus. Tidak ada yang tahu alasannya. Rumahnya juga
lebih sering tertutup. Sebagai teman, aku merasa
kehilangan. Setelah kejadian itu, aku sudah tidak
pernah lagi bertemu dengan Daden. Tidak ada yang
tahu apa yang terjadi dengan keluarga Daden.
Rumahnya dibiarkan terbengkalai. Mereka seakan
hilang begitu saja.
/3/
"Kau percaya doa?"
49
Eti Ndulia, dkk
Karina menatapku dengan tatapan menyelidik.
"Pertanyaan macam apa itu?"
"Jawab saja. Percaya doa tidak?"
"Aku ini lahir dari doa, dibesarkan oleh doa.
Mana mungkin tidak percaya doa." Jawabnya sedikit
ketus.
"Kepada siapa kau berdoa?"
Karina mengerutkan keningnya. Menghentikan
aktivitasnya melipat kertas, lalu mengambil tempat di
sebelahku. "Tentu saja Tuhan. Aku bukan pemyembah
berhala."
Aku tertawa. Karina bingung melihatku. Dia
menatapku dan menuntut penjelasan.
"Tuhan itu tidak ada."
"Maksudmu?" Karina menatapku tidak percaya.
"Tuhan, surga dan neraka, pahala dan dosa, itu
semua hanya omong kosong para pemuka agama.
Semua itu tidak benar-benar ada. Tidak ada yang bisa
membuktikan."
"Aku punya buktinya." Jawabnya tegas. "Hari ini
aku lulus ujian. Itu semua karena aku berdoa siang
50
Setelah Ayah Pergi
dan malam kepada Tuhan. Dan Tuhan
mengabulkannya."
"Jangan bodoh Karina. Kau lulus ujian, ya itu
karena usahamu. Bukan karena Tuhan." tukasku
memotong kalimatnya. "Jadi, untuk apa berdoa?"
"Berdoa itu adalah aktivitas berdialog dengan
Tuhan. Kebutuhan rohani."
"Kebutuhan rohani apanya? Kau cuma sedang
mendikte Tuhan."
Karina lalu berdiri, memunguti semua kertas-
kertas yang tadi dilipatnya. "Kamu sudah gila."
Sekali lagi aku tertawa. Karina semakin kesal.
"Jadi Karina, Tuhan itu tidak menciptakan
manusia. Tapi, manusialah yang menciptakan Tuhan."
Karina bergeming sesaat. Lalu langsung berdiri
dan segera keluar kamar. Dia menutup pintu dengan
kencang. Aku hanya tertawa. Ponselku kemudian
berbunyi. Ada pesan masuk. Dengan malas-malasan,
aku membukanya. Pesan itu ternyata dari Karina.
Jangan berisik!
Tuhan sedang tidur.
51
Eti Ndulia, dkk
/4/
“Bagaimana cara memberi makan Tuhan?” ujar
perempuan bergincu tebal kepada temannya.
“Kau harus tahu dulu, kira-kira apa makanan
kesukaan Tuhan?”
Perempuan bergincu tebal itu kelihatan
berpikir keras. Lalu dia mengambil ponsel dari saku
bajunya.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya temannya.
“Mengetik pesan untuk Tuhan, apalagi?”
“Jangan bodoh!”
Perempuan bergincu tebal itu tidak terima
dikatai bodoh oleh temannya. Dia mendengus sebal.
“Kenapa memangnya?”
“Kau harus mengantre dengan makhluk lain.”
Jelas temannya itu. “Sebab Tuhan tidak selalu online
dua puluh empat jam.”
Perempuan bergincu tebal itu hanya diam. Lalu,
tiba-tiba saja dia tersenyum menang.
“Tenang saja, aku punya kenalan malaikat.”
52
Setelah Ayah Pergi
53
Eti Ndulia, dkk
TANTE CILI
Kurnia
Setelah Kak Ulan—pembantu rumah
tanggaku—berhenti bekerja pekan lalu, aku tidak
buru-buru mencari penggantinya meskipun pekerjaan
rumah tangga mulai membuatku kewalahan. Aku
punya prisip bahwa seorang pembantu rumah tangga
adalah bagian dari keluarga kami. Ibarat orang tua
yang menginginkan bayi, kami tidak akan berkeliling
mencari tetapi menunggu diberi Tuhan karena
memiliki pembantu yang baik adalah rezeki. Terlebih
bagiku dan suami yang merantau ke Gorontalo. Kami
tidak mau asal-asalan menerima orang yang tak
dikenal.
Hingga suatu saat di pertengahan hari yang
menyilaukan—Gorontalo memang memiliki cuaca
panas karena dekat dengan khatulistiwa—seorang
wanita berusia menjelang lima puluh tahun turun dari
bentor tepat di depan rumah kami. Dia jelaskan
maksud kedatangannya secara pelan dan banyak-
54
Setelah Ayah Pergi
banyakmenunduk dibanding menatap wajahku.
Dandanannya sederhana, kaus panjang berwarna
kuning bertuliskan merk obat sakit kepala dan celana
kain hitam serta jilbab kaus sewarna celananya. Kulit
wajahnya cukup bersih meski tampak mulai
mengendur dengan warna coklat khas penduduk di
sini.
Dia menyebut namanya Cili dan tinggal di
kampung sebelah. Dia ternyata masih ada hubungan
saudara dengan Kak Ulan. Dari Kak Ulanlah dia tahu
kalau kami sedang tidak ada pembantu. Beberapa
hari kemudian aku dengar tetangga sebelah
menyebut namanya Cora.
Sudah kebiasaan orang Gorontalo memiliki
panggilan di luar nama aslinya. Seorang guru Biologi
di tempatku mengajar panggilannya Tomy meski
nama aslinya Yusuf. Aku pikir orang sini memang
suka memanggil dengan sebutan-sebutan daripada
nama aslinya. Ada yang disebut Ka Panja singkatan
dari kakak panjang, kalau pendek disebut Kape
55
Eti Ndulia, dkk
singkatan dari kakak pendek dan banyak sekali istilah
unik yang baru kuketahui.
Kembali ke pertemuan pertama dengan Tante
Cili, tidak ada negosiasi panjang baik tentang gaji
maupun jam kerja dengan wanita yang kupanggil
tante, sebagaimana orang Jawa memanggil “Mbak”
untuk pembantu rumah tangga. Dia mengiyakan apa
pun yang saya ajukan sebagai syarat diterima sebagai
pembantu kami.
Kuamati selama beberapa bulan berlalu, tak
ada masalah berarti dari pekerjaan Tante Cili kecuali
pelitnya dia dalam berkata-kata. Sebagai pekerja
paruh waktu, setiap pagi dia datang tepat sebelum
pukul tujuh sesuai permintaanku, membersihkan
seluruh rumah: menyapu, mengepel, cuci piring,
menjemur baju, menyetrika, dan yang utama
mengasuh Dzul yang masih berusia dua tahun.
Hingga di suatu sore sepulang mengajar,
terjadi dialog panjang yang mengungkapkan sisi lain
Tante Cili. Dari perbincangan itu pula akhirnya Tante
56
Setelah Ayah Pergi
Cili lebih terbuka dan sering kali bercerita tentang
warna-warni hidupnya.
Sebuah undangan berwarna biru langit dengan
latar foto seorang gadis manis yang mengenakan biliu,
salah satu baju adat Gorontalo untuk perempuan,
disodorkan Tante Cili. Undangan untuk acara Beat
putrinya, Aini Mokodompit yang masih SD. Bukan
undangan itu yang membuatku terkejut karena sudah
menjadi adat di Gorontalo mengadakan upacara
baiat/sumpah untuk gadis yang memasuki masa balig.
Yang membuatku heran adalah nama belakang dari
Ain yaitu Mokodompit. Mokodompit merupakan
nama marga warga daerah Kotamobagu, Sulawesi
Utara, bukan Gorontalo. Padahal, yang aku tahu suami
Tante Cili adalah orang asli Gorontalo. Hal itu yang
membuatku tergelitik bertanya kepadanya tentang
asal-usul nama anaknya.
“Ain pe papa orang Kotamobagu dan so
maninggal saat Ain umur dua tahun,” jelasnya ketika
kutanya tentang nama putrinya.
57
Eti Ndulia, dkk
Selanjutnya, dalam keheningan rumah—
karena Dzul terlelap setelah ditidurkan sementara
ayahnya belum pulang dari kerja—Tante Cili
menuturkan kisah panjang hidupnya. Di usia yang
masih tergolong remaja, dia telah menikah dan
memiliki dua orang anak lelaki. Suaminya yang
tinggal di Paguyaman memboyongnya dari Suwawa.
Ketika anak sulungnya berumur tiga tahun dan
adiknya masih bayi, dia memutuskan pulang ke lagi
Suwawa. Dia tak tahan dengan pukulan-pukulan yang
datang malam hari selepas suaminya mabuk saguer,
arak lokal di sini. Dia membawa serta kedua anaknya
pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa kali pula
suaminya berhasil membujuk dan mengajaknya
kembali ke Paguyaman. Akan tetapi, tindak kasarnya
diulang lagi dan lagi hingga Tante Cili mengambil
keputusan sepihak. Dia mengurus segala hal hingga
pengadilan mengetok palu status jandanya.
Setelah itu, Tante Cili menikah dengan pria lain
dari Kotamobagu, hidup bahagia dengan lelaki yang
diimpikannya, dan memiliki seorang putri yang
58
Setelah Ayah Pergi
manis. Hingga di hari yang tak akan pernah
dilupakannya itu, dia harus menerima dengan lapang
kala Tuhan memanggil suaminya karena sebuah
kecelakaan kerja. Suaminya terjatuh saat
mengerjakan proyek bangunan sebuah kantor. Tak
ada yang tersisa selain nama keluarga untuk
diturunkan ke putrinya.
Entah kenapa kepalaku terasa berat malam itu.
Cerita Tante Cili masih terngiang dan membuat
dadaku sesak seperti diempas badai. Beginilah
kehidupan wanita Gorontalo sesungguhnya, bahkan
mayoritas wanita di sini mengalaminya. Jika
sebelumnya aku tidak yakin mendengar banyak kasus
perceraian di sini bahkan sering kali menjadi bahan
karlota teman-teman di sekolah, lewat Tante Cili aku
merasa seolah menonton sebuah berita di televisi,
nyata dan cukup mengerikan.
Kurebahkan badan di kasur sambil membuka
ponsel pintarku. Lamat-lamat kucium aroma parfum
Tante Cili dari bantal kepala yang kupakai, pertanda
tadi siang dia berbaring di sini untuk menidurkan
59
Eti Ndulia, dkk
Dzul. Tante Cili memang selalu harum dan aku tak
heran jikalau majikan di sini tidak lebih wangi dari
pembantunya. Orang Gorontalo cukup mengutamakan
penampilan baik diri sendiri maupun rumahnya.
Mereka rela kredit demi membeli busana model
terbaru. Memang cukup mengejutkan bagiku awalnya
ketika setiap menjelang lebaran, jika mampu—
bahkan sering kali memaksakan diri—mereka akan
membeli furnitur baru, setiap tahun!
Kupandangi Dzul dan ayahnya yang tengah
terlelap tidur dan ketika bola mataku kembali
menyusuri layar Samsung-ku, ada yang menarik dari
sebuah status Facebook milik Asna, teman kuliahku:
Memiliki pembantu atau yang sekarang lebih sopan
disebut asisten rumah tangga (ART) baiknya mikir dua
kali ya. Jikalau istri disebut dengan ratu dalam
rumahnya, hadirnya ART akan mengalihkan hampir
seluruh kekuasaannya. Mulai dari dapur yang
merupakan tempat pribadi berkreasi, tetiba ada yang
mengalihkan peran Si Ratu yang tinggal menyerah
60
Setelah Ayah Pergi
dengan hasil masakan pembantunya. Begitu pula
kasur yang menjadi singgasananya akan dijamah
bahkan si pembantu tentu akan sesekali tiduran di
sana. Dan yang terpenting ketika majikan diberi
amanah seorang anak—yang tidak semua orang bisa
memilikinya—beralih pula kewenangannya dalam
merawat dan menjaga anak dari seorang IBU kepada
PEMBANTU.
Aku tak tergerak berkomentar karena kuakui
beberapa hal yang diungkapkannya benar. Akan
tetapi, mestinya Asna berpikir dua kali jika ingin
mengomentari para ibu yang memutuskan
menggunakan jasa ART sampai dia sendiri memiliki
pengalaman memiliki pembantu. Well, status cukup
pedas itu terkesan kurang berbobot karena dia
sendiri bahkan belum pernah mempekerjakan
seorang pembantu pun di rumahnya. Tidak seperti
aku yang sudah tiga kali ganti ART atau bahkan
beberapa teman kantor yang rekor ganti
pembantunya jauh di atasku.
61
Eti Ndulia, dkk
Asna mungkin belum pernah bertemu para
wanita yang terpuruk impitan ekonomi keluarganya
atau mereka yang terjepit pandangan sinis
masyarakat karena status perkawinan. Seperti
pembantu pertamaku, Kak Mira yang masih belia
tetapi sudah memiliki seorang putri di luar
pernikahan. Kak Ulan, istri seorang penggali tambang
liar, atau Tante Gode yang berumah pitate6 dengan
suami seorang pembuat batu-bata. Mereka semua
berhenti bekerja bukan karena kelakuan mereka
buruk. Bukan pula karena cek-cok dengan keluarga
kami. Semuanya pamit baik-baik dengan alasan
masing-masing yang bisa kuterima.
Aku yakin seorang Asna yang kukenal lembut
hatinya pun akan tergulung perasaannya jika ia
mendengar gelapnya masa lalu seorang Tante Cili
yang saat ini harus banting tulang membiayai
kehidupan keluarganya karena suami ketiganya kini
hanyalah pekerja serabutan. Tante Cili tidak hanya
6 rumah berdinding anyaman bambu
62
Setelah Ayah Pergi
menjadi pembantu di rumahku melainkan juga buruh
cuci baju milik siswa di pesantren dekat rumahnya.
Ditambah lagi satu pekerjaan yang rutin dilakukannya
dalam sebulan ini, sebuah rutinitas di sela-sela
kesibukannya yang bisa jadi akan membawanya ke
surga, yaitu merawat kakak perempuannya yang
menderita perlamen7.
7 penyakit strok
63
Eti Ndulia, dkk
MODUTU
Larasati Jafar
Gorontalo, 2017
Apa harus menjual ginjal dulu baru bisa
menikah? Sebaris kalimat tanya yang lumayan
menggelitik itu menari begitu saja di dalam benakku
ketika aku tak sengaja melewati sebuah kantor
bernuansa hijau yang bertuliskan Balai Nikah Kota
Gorontalo itu. Aku tersenyum getir, sementara sistem
memori di otakku memunculkan bayangan wajah
Nunu, gadis yang sudah dua tahun ini kupacari.
Tabunganku masih sangat sedikit. Untuk membeli
cincin yang cocok di jari manis Nunu saja masih
sangat jauh dari kata cukup, apalagi untuk membiayai
acara pernikahan yang sangat banyak tahap adatnya,
mulai dari tolobalango, dutu, mopotilandahu, akaji,
resepsi, hingga ngunduh mantu yang biasa kami sebut
modelo.
Aku menghela napas panjang,
membayangkannya saja rasanya leherku seperti
64
Setelah Ayah Pergi
tercekik. Padahal sebenarnya menikah itu sangat
mudah dan murah, hanya saja gengsinya yang besar.
Tidak, bagiku bukan hanya gengsi, tetapi aku harus
menjaga nama baik orang tuaku. Walaupun ibuku
hanya seorang penjual kue dan ayahku seorang kuli
bangunan, aku tidak ingin orang-orang memandang
rendah keluargaku. Terlebih jika aku hanya menikah
di balai nikah dan tidak mengadakan pesta secara
adat. Bisa-bisa orang akan mengira aku menikah
buru-buru karena sudah terlanjur ‘mencelakai’ Nunu.
Hidup di zaman sekarang kan memang serba salah.
Belum menikah dicibir, menikah dengan modal kecil
digosipkan hamil duluan.
***
“Baik, Pak, Saya mengerti.”
Aku baru saja mengakhiri telepon ketika di
depanku, Nunu memandang dengan mata berbinar-
binar. “Bagaimana?” tanyanya.
Aku tersenyum lebar, sementara Nunu masih
menunggu jawabanku. “Sama saja.” Jawabku singkat.
65
Eti Ndulia, dkk
“Belum rezeki.” Gadis berambut sebahu itu
menepuk lembut punggung tanganku. Senyum
teduhnya yang khas kini memenuhi pelupuk mata,
selalu saja menenangkan. Seketika, patah hati karena
kegagalan kelimaku dalam mendapatkan pekerjaan
berganti dengan semangat baru. Asal ada Nunu yang
setia dan sabar menunggu, berapa ratus kalipun aku
gagal, aku akan selalu bangkit. Tunggu aku, Nu….
***
Telepon genggam di saku celanaku bergetar,
membuyarkan lamunan tentang impian masa depan
yang ingin aku raih bersama Nunu. Dengan agak
malas aku merogoh benda mungil berwarna hitam
metalik itu dan menatap layarnya. Sebuah surat
elektronik masuk. Satu per satu kata yang tertulis di
situ kutelusuri. Seketika, dadaku berdetak tak karuan
ketika kedua mata sipitku baru saja sampai pada
nama pengirim surat itu: pihak pemberi beasiswa
yang aku temui sebulan lalu untuk tahap wawancara.
Aku menyiapkan hatiku, jika kali ini gagal lagi, maka
ini kegagalan kedua bagiku melamar beasiswa. Kuhela
66
Setelah Ayah Pergi
napas panjang dan membaca basmalah, sebelum
akhirnya aku menemukan kata selamat pada bagian
pembukaan surat itu. Aku berhasil! Aku berhasil!
Segera kuteggelamkan kepalaku dalam sujud syukur.
Seketika, ukiran senyum di wajah renta mama dan
papa melayang di atas kepala. Lalu, sesaat kemudian
bayanganku dengan Nunu yang tangannya kugandeng
menuju pu’ade langsung memenuhi ruang
khayalanku. Aku ingin membawanya ke pelaminan
itu.
Dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa
Strata 2 di universitas bergengsi di luar negeri,
seketika membuat aku merasa semakin dekat dengan
impian indahku yang lain: menabung sebagian uang
beasiswa untuk melamarnya.
“Jadi, sudah harus pergi minggu depan?
Secepat itu?” Air muka Nunu berubah. Aku melihat
kedua bola mata coklatnya mulai berkaca-kaca,
sebelum akhirnya ia memalingkan muka ke arah
bentor yang lalu lalang di seberang jalan. Gadis
67
Eti Ndulia, dkk
berkulit kuning langsat itu menghela napas panjang,
berulang-ulang.
“Jangan sedih, ini juga untuk kepentingan kita,
bukan untuk yang lain.” Aku berusaha
menenangkannya. Walaupun aku tahu kata-kata saja
tidak akan cukup untuk menepis rasa sedihnya.
“Insyaallah jika pulang nanti, ketika tabunganku
sudah cukup, orang tua kita pasti akan bertemu.”
Nunu merespons kata-kataku dengan senyum
yang agak dipaksakan.
“Tapi…,” kalimat berikutnya tercekat di
tenggorokan, ragu-ragu aku ungkapkan.
“Tapi apa?”
“Jika selama masa studiku sudah ada yang
ingin meminangmu dan kau pun menyukainya, aku
tidak akan menahanmu.” Kata-kata dariku sukses
menggerakkan jari-jari Nunu melayangkan cubitan
kecil di lengan kiriku.
“Apaan sih?” Wajah sedihnya kini berubah
cemberut, ekspresi Nunu yang paling aku sukai di
antara semua ekspresinya.
68
Setelah Ayah Pergi
“Aku serius. Aku tidak ingin membuatmu
menunggu dan tersakiti karena rindu, sementara bisa
saja di waktu yang bersamaan kau mendapat
kebahagiaan bersama orang lain.” Kali ini, bukan lagi
cubitan kecil di lengan yang aku dapatkan, melainkan
pemandangan paling aku benci: air mata Nunu yang
tiba-tiba mengalir deras di kedua sudut matanya.
***
Gorontalo, 2018
Lampu-lampu penerang jalan satu persatu
dimatikan, saat taksi bandara yang aku tumpangi
melaju melewatinya. Suasana Subuh di kota ini masih
saja sangat syahdu. Dari kejauhan, terlihat beberapa
perempuan yang mengenakan mukena dan beberapa
lelaki dewasa dengan sarung dan upiya karanji8
berjalan dari arah masjid. Salat Subuh baru saja usai.
Pemandangan seperti ini tidak pernah aku temui
selama satu tahun tinggal di luar negeri. Kuturunkan
kaca jendela di sampingku agar bisa menghirup udara
segar. Detak jantungku berpacu lebih cepat dari 8 kopiah tradisional khas Gorontalo
69
Eti Ndulia, dkk
biasanya. Bayangan wajah orang-orang yang aku
rindukan bermunculan satu persatu dalam otakku.
Wajah mama, wajah papa, dan tentu saja wajah Nunu.
Nunu, gadisku. Aku tersenyum mengingat uang
beasiswa dan hasil kerja paruh waktu yang aku
kumpulkan sudah cukup untuk meminangnya, bahkan
lebih. Nunu, Nouku. Sebentar lagi aku akan
meminangnya.
Bayangan wajah Nunu dan kedua orang tuaku
buyar begitu saja, ketika taksi ini berhenti tepat di
depan rumah yang sudah setahun aku tinggalkan.
Rumah tua yang dinding-dindingnya dulu tampak
terkelupas dan kurang terawat, kini terlihat baru.
Rupanya uang bulanan yang aku kirimkan kepada
Mama dan Papa mereka gunakan untuk merenovasi
tempat tinggal yang penuh kenangan ini. Di depan
pintu, terlihat wajah sumringah kedua orang tuaku.
Dengan rasa rindu yang membuncah-buncah, aku
segera berlari ke arah mereka, disambut pelukan dari
tubuh renta yang semakin keriput.
***
70
Setelah Ayah Pergi
Kumandang azan Zuhur dari masjid di
kompleks rumah membangunkanku yang tak sengaja
tertidur setelah merebahkan tubuh. Perjalanan jauh
rupanya tetap saja membuat tubuh yang terbiasa
berolahraga ini kelelahan. Aku segera bangun dan
menuju ke dapur, tempat favorit Mama menghabiskan
waktunya.
“Ma…”mendengarku memanggilnya, mama
langsung berhenti membersihkan ikan.
“Iya, Nak. Sudah lapar ya?” tanyanya,
memperhatikan wajah bangun tidurku.
“Bukan, Ma. Ada yang ingin saya bicarakan.”
Mama menaruh ikan, melap tangannya dan
duduk bersamaku di meja makan. Ada apa?”
“Tabungan saya sudah cukup untuk menikahi
Nunu, Ma. Kira-kira kapan Mama dan Papa ada waktu
untuk bertamu ke rumah Nunu?”
Mama tersenyum. Ia mengusap kepalaku
dengan lembut. “Hari ini pun boleh. Niat baik kan
tidak bisa ditunda lama-lama.”
71
Eti Ndulia, dkk
“Alhamdulillah. Saya juga sudah membeli
cincin untuk Nunu.” Kataku, sambil memperlihatkan
cincin yang aku beli di toko perhiasan yang cukup
terkenal di Sydney.
“Eh, tapi tumben Nunu tidak datang
menyambut kamu, sibuk dia?”
“Saya memang tidak memberitahu Nunu saya
pulang hari ini. Sudah lebih dari dua minggu saya
sengaja tidak menghubunginya, niatnya sih
kedatangan saya sekaligus lamaran ini kejutan buat
dia.” Aku nyengir. “Kalau begitu saya salat dulu, Ma.
Nanti sore kita ke sana ya.” Kataku sambil mencium
pipi kanan Mama lalu beranjak meninggalkan dapur.
Matahari mulai meneduhkan sinarnya ketika
sekelompok orang setengah baya berarak membawa
kotak berisi mahar, keranjang berisi tapahula,
pomana, dan ayuwa menuju sebuah rumah sederhana
bernuansa kuning. Di halaman rumah yang dituju,
beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak paruh baya telah
menunggu, Sementara itu, dengan pakaian adat
hamsei berwarna hijau, Nunu yang telah selesai
72
Setelah Ayah Pergi
didandani. Hari itu acara Modutu Nunu. Ia duduk di
ranjang adat yang dihias sedemikian rupa: menunggu
keluarga mempelai pria datang. Sorot matanya
terlihat sendu.
***
Aku mengendarai motor merah kesayanganku
dengan semangat. Di belakangku, Mama dan Papa
mengikuti dengan berboncengan di motor tua papa.
Kami semakin dekat dengan tujuan kami: rumah
Nunu. Dari kejauhan, beberapa kendaraan terlihat
terparkir pada lapangan kosong di seberang rumah
Nunu. Aku kemudian meraba saku celanaku,
memastikan kotak cincin yang akan aku perlihatkan
pada Nunu dan orang tuanya masih tersimpan di situ.
“A… ada acara apa?” tanyaku kepada pagar ayu
yang aku kenal sebagai adik sepupu Nunu, setelah
tiba di depan rumah Nunu.
“Itu, ini, em… acara lamaran Nunu.”
Persendianku serasa dicopot begitu
mendengar jawaban Andin yang gelagapan. Nunu...
tabunganku sudah cukup.
73
Eti Ndulia, dkk
BERONTAK
Salman Alade
“Rahmi, kamu di mana?” Suara penelpon telah
menyapa di ujung sana.
“Aku di rumah, hari ini ultah Papa,” ucapku
singkat sembari membalas suara di telepon itu.
Lagi-lagi ini hanyalah alasan. Aku bosan, aku
jenuh berlama-lama di tempat kerja. Mangkir selalu
jadi alternatif yang tepat.
***
Pagi itu terik matahari sangat tajam, memaksa
masuk. Kuperhatikan guru-guru berlalu-lalang,
terlihat sibuk. Lamunanku buyar ketika ada seorang
wanita menepuk pundakku, menyebalkan. “Hari ini,
ada sidak dari kepala dinas, ibu-ibu wajib memakai
jilbab karawo9 kuning.” Yuyun membuyarkan
lamunanku pagi itu.
9 kain tradisional khas Gorontalo yang pembuatannya merupakan hasil kerajinan tangan. Karawo merupakan bahasa Gorontalo yang artinya sulaman dengan tangan.
74
Setelah Ayah Pergi
“Aduh, Gawat! Segera ganti jilbabmu dengan
warna kuning. Cepatlah, sebelum Ibu Kadis datang!”
Ungkap Misna, teman yang duduk di sampingku.
“Untung saya sempat membawa jilbab
cadangan di tas,” jawab Yuyun sedikit panik dan
wajah cemberut. Masih pagi, tetapi isi kepala orang-
orang di ruangan ini sudah disedot hal-hal yang tidak
masuk akal.
Lagi-lagi kekuasaan adalah segala-galanya. Aku
mendongkol dalam hati, tak terima dengan apa yang
terjadi pagi ini. Aku tidak memakai jilbab karawo
kuning hari ini. Punyaku masih tergantung di jemuran
pagi tadi, kucuci setelah beberapa hari berturut-turut
kupakai.
“Nasib, nasib, baru sekali tidak memakai jilbab
karawo kuning, eh langsung ketiban sial.” Aku terus
menggerutu, pasti sebentar lagi aku kena marah.
Tiba-tiba aku langsung berpikir bolos dari tempat
kerja. Aku memutuskan diam-diam pulang rumah
daripada kena sidak dan kena marah pula. Tanpa
pikir panjang kulancarkan saja niat burukku itu.
75
Eti Ndulia, dkk
Sudah enam kali sidak diadakan, ini kali keenam pula
aku bolos dari tempat kerja.
***
Sepanjang perjalanan pikiranku mengambang
ke rumah. Aku harus cepat-cepat tiba di rumah,
melepas semua gundah gulana yang menyesakkan isi
kepalaku di kamar tidur. Sejak pagi tadi, sebuah
kenangan lama menyerbu isi kepalaku. Hari ini
Papaku berulang tahun.
Lima belas menit kutelusuri jalan, akhirnya
tiba di rumah. Aku langsung melangkah ke kamar
tidur. Mengempaskan tubuhku di atas kasur.
Kubuka satu persatu album foto di galeri
ponselku. Foto setahun silam, perayaan ulang tahun
Papa yang masih saja tersimpan. Mataku mulai
berkaca-kaca.
“Selamat ulang tahun, Pa.” Ucapan itu lirih dari
bibirku, nyaris hanya bisa kudengar sendiri. Saat
ingatanku asyik berkelana, tiba-tiba aroma masakan
menyusup ke kamar dan sangat cepat menusuk indra
76
Setelah Ayah Pergi
penciumanku. Aroma bilendango10 sangat jelas
tercium. Itu masakan Mama. Hari ini mama akan
menggelar doa aruwa11 . Bermacam-macam masakan
sudah siap untuk dimasak, salah satunya bilendango,
kesukaan Papa.
Lamunanku tentang Papa buyar, karena aroma
masakkan mama terlalu menusuk hidung. Aku
putuskan segera bergabung ke dapur untuk
membantu mama.
“Tumben ti Ami cepat pulang? Biasa kan nanti
siang.” Mama langsung menyapaku yang baru
beberapa langkah memasuki dapur. Ami, begitulah
nama rumahku yang sering disapa mama.
“Ti Ami bolos, Mama!”
“Kenapa?”
10 Makanan khas Gorontalo. Makanan ini menggunakan ikan sebagai bahan utama. Cita rasa dari makanan ini cenderung pedas karena menggunakan cabe rawit di dalamnya. 11 Tradisi yang dilakukan orang Gorontalo bagi keluarga yang
ingin mengirim doa kepada orang yang telah meninggal
77
Eti Ndulia, dkk
“Biasa, Ma. Hari ini ada sidak di tempat kerja
dari Ibu Kadis, tapi ti Ami tidak pakai jilbab karawo
kuning.”
“Kenapa tidak pakai jilbab karawo kuning?
Bukannya kamu punya? Mama terus
memberondongku dengan beberapa pertanyaan.
“Ti mama macam tidak tahu saja, tahun ini
tahun politik. Jadi bagi pegawai di lingkungan kerja
saya sudah terbiasa dengan semboyan, apapun
pakaiannya jilbabnya tetap kuning.”
“O, begitu?” Mama hanya merespons dengan
singkat, mencoba menerka apa yang aku sampaikan.
“Mangarti saja ti mama, apa ti Ami pe maksud
dengan semboyan itu,” tukasku dengan senyum kecut.
“Tidak usah berurusan dengan politik, Nou. Ti
Papamu, dinonaktifkan kerja dulu gara-gara beda
pilihan, padahal Papamu salah satu pegawai teladan.
Jangan sampai itu terulang lagi pa ti Ami.” Ibu
menasihatiku dengan sedikit was-was, tetapi
wajahnya didominasi raut sedih.
78
Setelah Ayah Pergi
Kami sempat menukar diam satu sama lain,
ucapan Mama seakan memuat kembali memori
tentang almarhum Papa. Mama mengadakan doa
aruwa untuk mengirim doa sekaligus memperingati
ulang tahun Papa. Hari ini adalah ulang tahun Papa,
hari ini pula tepat enam bulan kepergiannya. Aku
meyakini doa selalu menjadi jembatan antara orang
yang telah meninggal dan yang ditinggalkan untuk
menukar rindu.
“Kamu tahu, Papamu sangat kecewa sejak
diberhentikan saat itu. Dia kecewa dengan birokrasi
di negeri ini. Apalagi jika sudah disandingkan dengan
politik, siapa yang berbeda pilihan dan
membangkang, tidak ada tempat untuk dia.” Mama
mulai membuka kembali percakapan.
“Sejak Papamu dirumahkan, fisiknya yang
terbiasa beraktivitas akhirnya jatuh sakit. Dia sering
mengaku nyeri di dada kirinya, sakit itulah yang
membuat Papa cepat meninggalkan kita.” Aku melihat
mata Mama mulai berkaca-kaca, tapi Mama terus
melanjutkan kalimatnya.
79
Eti Ndulia, dkk
“Mama tahu sakit jantung papamu tidak
seberapa menyakitkan ketimbang sakit batinnya yang
berbulan-bulan dipendam. Mama tahu itu, sangat
tahu. Tapi, papamu adalah tipe lelaki penyabar. Dia
menelan semua rasa sakitnya sendirian, hingga
membawanya ke pangkuan Tuhan. Mama tahu beban
pikirannya sangat berat, hanya Tuhanlah yang
mampu mengangkat beban itu.” Akhirnya mama
menangis juga.
“Sudah, sudah, yang lalu sudah berlalu. Sana ti
Ami ba bersih-bersih saja ruangan di depan yang mo
pake untuk doa aruwa sebentar!”
Aku hanya mengiyakan perintah Mama tanpa
berkomentar apa-apa, tak kusangka air mataku jebol
juga. Padahal sedari tadi aku berusaha menahan
mataku yang memanas sejak Mama bercerita perihal
papa.
***
Tepat matahari tumbang di kaki barat langit,
setiap sudut ruangan sudah selesai kubersihkan dari
debu dan kutata dengan rapi. Lantai di ruang tengah
80
Setelah Ayah Pergi
telah beralaskan karpet. Mama telah selesai memasak
di dapur, tapi aroma makanan khas doa aruwa masih
mendominasi ruangan.
Makanan-makanan doa aruwa telah tertata
rapi di atas kain putih yang terhampar di bagian
tengah ruangan. Orang-orang yang datang ke doa
aruwa akan duduk bersila mengelilingi bagian pinggir
kain putih. Kata mama, kain putih itu adalah sisa dari
kain kafan dari orang yang meninggal.
Nasi kuning, pisang, mangkuk berisi garam dan
rica, mangkuk air cucian tangan, dan tiliaya12 mulai
berderet di sisi tengah kain putih. Oci13 bakar, ayam
goreng, serta bilendango, dan kua santan poki-poki14
juga ikut disajikan. Sementara di pinggiran kain putih
itu, diletakan beberapa piring berisi nasi putih.
Makanan itu akan disantap setelah ustaz selesai
12 manisan khas Gorontalo yang terbuat dari telur, santan dari
separuh kelapa utuh, dan gula aren atau gula merah yang sudah
dilelehkan.
13 semacam ikan kembung yang berukuran besar.
14 terung
81
Eti Ndulia, dkk
membaca tahlilan. Setelah tamu yang diundang telah
duduk mengelilingi kain putih itu, ustaz yang
memimpin doa aruwa akan menaburkan dupa di atas
bara yang ada di dalam polutube15.
Aroma khas dupa terus menguar mengiringi
doa tahlilan yang dibacakan ustaz.
Malam berlalu dengan cepat, setelah tamu-
tamu pulang aku dan Mama merapikan rumah
kembali. Peluh mengucur dari dahi kami berdua.
Meski malam hari, udara terasa pengap. Aku langsung
meneguk air es yang dibawakan Mama dari dapur.
Mama yang duduk di sebelahku membuka
percakapan “Ami, ada yang mama mau berikan ke
kau. Mama telah menyimpannya sejak kematian
papamu. Tapi, Mama baru yakin memberikan
kepadamu hari ini.”
“Amplop ini Mama dapatkan di antara amplop-
amplop yang diberikan pelayat saat kematian
15 tempat untuk bara dan kemenyan
82
Setelah Ayah Pergi
Papamu, tapi Mama tidak ingat pelayat mana yang
memberikan amplop ini.”
“Amplop apa ini?” tanyaku penasaran.
“Silakan, kamu buka sendiri. Mama telah
membacanya berkali-kali sejak kematian Papa, tapi
kalimat itu pula berkali-kali membuat Mama tak
sanggup menahan tangis.”
Amplop itu berpindah ke tanganku. Benar kata
Mama, di dalamnya hanya berisi secarik kertas.
Dengan tak sabar, aku mulai membaca kalimat yang
tertulis di kertas itu.
“Seorang pemberontak harusnya kembali,”
Singkat. Kalimat itu sungguh singkat, terlalu
ambigu, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku sangat
mudah menerjemahkannya. Tulisan singkat itu
membuat mataku memanas, kini aku yang mulai
meneteskan air mata.
83
Eti Ndulia, dkk
LITERASI CINTA
Ande Rahman
Kisah cintaku tak seindah novel Dilan yang
terakhir kubaca. Putus nyambung tanpa kepastian,
auh dari unsur romantisme. Bahkan setiap kali
pacarku mengajak jalan-jalan. Aku selalu menolaknya
dengan alasan sibuk mengajar dan tak ingin
meninggalkan ibu sendirian. mungkin itu alasannya
kenapa Kifli memutuskanku.
Di kamar, kuhabiskan waktu yang panjang,
usai lelah dari tugas mengajar. Memandangi dinding
kamar yang berisi deretan komik, novel, cerpen, puisi
dan drama. Aku sering membacanya satu demi satu
hingga tertidur dan lupa waktu.
Pagi itu, suasana begitu sejuk, kurang
terdengar bunyi kendaraan yang melintas. Hanya
sedikit suara gesekan daun jati yang dilambaikan
angin hingga beberapa daun jatuh ke tanah. Aku
masih membungkus diri dalam selimut. Tak ada
aktivitas mengajar hari ini.
84
Setelah Ayah Pergi
“Nur, bangun. Sebentar lagi ada tamu. Malu
jam segini masih tidur.”
“Ocehan Ibu memaksaku bangun. Dengan
malas, aku bangkit mencuci muka, lalu kuambil sapu
untuk mulai membersihkan ruang tamu hingga teras
rumah. Setelah selesai, aku bergegas menuju halaman
rumah. Membersihkan halaman dari daun-daun
gugur. Seketika suara bentor melaju dan berhenti di
depan rumahku. Tiga orang turun dengan pakaian
rapi memberi salam. Aku mengenal salah satu di
antaranya. Dia adalah Yayan, seniorku di Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ketua
Lembaga Dakwah Al Faruq Fakultas Sastra Budaya
sekaligus Ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan
Sanggar Kerohanian Islam (SKI). Dia datang bersama
orang tuanya. Aku segera mempersilahkan masuk ke
dalam rumah. Ada apa?
Ibu seolah sudah tahu kedatangan mereka. Ada
sesuatu yang direncanakan. Sebelumnya aku sudah
diberitahu bahwa akan ada tamu yang datang, tapi
Ibu tidak memberitahukan apa tujuannya datang ke
85
Eti Ndulia, dkk
mari. Aku pikir tujuannya hanya merukiyah saja
karena akhir-akhir ini aku sering dudupolo16.
Mereka membicarakan sesuatu panjang lebar
yang ternyata adalah tentang pernikahanku dan
Yayan. Aku tak menduga bahwa seniorku itulah yang
dibicarakan Ibu sebelumya. Dia sedikit berbicara.
Hanya untuk mengiyakan beberapa hal. Aku tak bisa
berkata apa-apa, hanya anggukan kepala sebagai
isyarat setuju untuk setiap pertanyaan yang diberikan
kepadaku. Aku telah berjanji kepada Ibu untuk
menerima laki-laki yang datang melamarku jika dia
seorang ustaz. Hanya Ibu satu-satunya orang tua yang
kupunya setelah Ayah meninggal beberapa tahun lalu.
Tiga hari kemudian, sampailah kami pada
acara pernikahan yang dilaksanakan dengan
sederhana. Tak ada resepsi dan perayaan meriah.
Hanya beberapa undangan penting saja yang datang
dari kedua keluarga. Bahkan aku tak sempat
mengundang teman-teman semasa sekolah dan
16 kerasukan
86
Setelah Ayah Pergi
kuliah. Pernikahan kami dilaksanakan setelah salat
Asar di sebuah masjid di Suwawa.
Setiap hari, Yayan menghabiskan waktunya di
masjid setelah pulang dari pesantren. Aku pun
demikian, menghabiskan waktu dengan mengajar.
Aku mulai jenuh dengan keadaan rumah. Yayan selalu
mencukupi kebutuhanku setiap saat. Bahkan ia selalu
memberikan uang lebih. Tapi, bukan ini yang aku
mau. Apa yang ahrus aku lakukan?
Semenjak pernikahan kami, hanya sekali
Yayan tidur sekamar denganku. Ia tidur di ruang
tengah, tempat ia salat Tahajud setiap malam. Kami
bahkan tak sempat melakukan apa-apa. Ia seperti
enggan berdekatan denganku. Saat tak sengaja
menyentuhku, ia buru-buru minta maaf. Dalam
hatiku kian bertanya-tanya. Apa tujuannya
menikahiku? Apa seperti ini perlakuan seorang suami
kepada istrinya?
“Astaga, Nisa! Kau cuma bulum tau, kalo
seandainya na tau depe orang bagimana, ta jamin
pasti na jatuh cinta sama dia.” Wiwin, sahabatku
87
Eti Ndulia, dkk
berkata begitu saat kuhubungi via telepon, setelah
panjang lebar aku menjelaskan apa yang terjadi. Ya,
aku memang tidak tahu apa-apa.
Wiwin akhirnya mengajakku untuk ikut kajian
Muslim yang dilaksanakan di Masjid Al-Faruq,
Wahdah Islamiyah Gorontalo. Sebelum masuk, ia
memintaku melihat beberapa buku tentang keluarga
sakinah yang dipajang di atas meja di sudut masjid.
Ada satu buku tulisan Ar-Rayan Salim, suamiku. Aku
terkejut setelah membaca buku itu. Setiap lembar
adalah ungkapan cinta yang begitu romantis, hingga
beberapa kisah cinta hanya karena Allah. Selain itu,
ada satu novel Islami karyanya. Lebih terkejutnya lagi
setelah aku tahu ternyata yang memberikan kajian
hari ini adalah suamiku. Aku memang tak sempat
melihat wajah penceramah di tengah banyaknya
jemaah yang hadir, yang dibatasi mihrab. Namun, aku
mengenal suaranya.
Hingga akhirnya, ia menceritakan kisah
seorang perempuan pada zaman nabi yang pertama
kali masuk surga. Mutiah, namanya. Kisah Mutiah
88
Setelah Ayah Pergi
cukup mengajarkanku, bahwa perlakuanku terhadap
suami sungguh jauh dari yang seharusnya. Sepanjang
ia menceritakan kisah itu, air mataku terus mengalir,
mengingat segala perlakuanku terhadapnya. Bahkan
karena perasaan kesal, beberapa kali aku tidak
memasak untuknya. Namun, suamiku begitu sabar
dan tak pernah marah sedikitpun.
***
Hari itu adalah ulang tahunku. Aku mulai
mengkhawatirkannya dan perlahan melupakan Kifli.
Hujan deras. Yayan belum pulang. Hari ini, aku benar-
benar dibuat khawatir olehnya. Hingga tiba-tiba pintu
rumahku diketuk. Saat kubuka, ia yang datang. Ia
basah kuyup sambil memegang paket yang kemudian
diberikan kepadaku.
Aku terkejut setelah membuka paket itu. Di
dalamnya ada tulisan “Barakallah Fii Ummurik17”
serta hadiah pakaian hijab syar’i dengan warna hijau
favoritku. Bagaimana ia tahu?
17 selamat atas keberkahan umurmu
89
Eti Ndulia, dkk
Ternyata suamiku ingat hari ulang tahunku.
Meski terkadang ia cuek. Aku mulai merasa nyaman
dengannya.
Dengan ikhlas, aku memakai pakaian yang
diberikan Yayan suamiku. Kuluruskan niat menjadi
istri salehah seperti yang diharapkannya meski tak
seperti Mutiah.
Namun, ia tetap saja enggan menyentuhku.
Suatu ketika, Yayan tidak berangkat kerja.
Sudah dua hari dia berbaring di kamar tamu. Keluar
kamar hanya untuk makan dan pergi salat ke masjid.
Aku memberanikan diri masuk mendekatinya. Aku
meraba kepala dan tangannya. Suhunya panas. Tapi,
saat ia kaget dan tahu kalau aku ada di dekatnya, ia
beranjak bangun dan menghindar.
“Afwan De. Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Kamu sakit? Apa sebagai seorang istri aku
tidak boleh merawatmu?”
“Saya tidak apa-apa. Cuma sakit ringan saja.”
“Apa artinya aku selama ini setelah kamu
nikahi. Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Selama
90
Setelah Ayah Pergi
ini aku selalu sabar dengan perlakuanmu. Sudah tujuh
bulan kita menikah tapi kau seolah enggan
menyentuhku. Kalau memang seperti ini
perlakuanmu kenapa perempuan itu harus aku?”
Amarahku memuncak.
Dia terdiam lama lalu berkata “Hari itu datang
seorang ibu kepadaku menghibahkan anak
perempuan satu-satunya. Sebelumnya, aku meminta
waktu tiga hari untuk istikharah dan memutuskan
perkara ini. Setelah itu aku menemukan jawabannya.
Dengan ikhlas, aku menerima anaknya. Kusampaikan
perkara ini kepada orang tuaku. Hingga akhirnya aku
menikahimu”.
“Hanya itu?”
“Aku menunggu De. Aku menunggumu.” Dia
menatapku begitu dalam.
“Bukankah aku di sini untukmu, lalu apa yang
kau tunggu?”
Dia menarik napas panjang sebelum menjawab
pertanyaanku. “Aku menunggu cinta darimu. Hari itu
sebelum pernikahan kita, aku sempat melihatmu
91
Eti Ndulia, dkk
bertemu dengan Kifli, bahkan tak bisa dibohongi
pandangan matamu masih mengisyaratkan cinta
untuknya. Bahkan saat pernikahan kita, kau menangis
seolah terpaksa dengan pernikahan ini. Setiap kali
kau menatapku seolah tak ada cinta untukku. Afwan
De, kamu tahu pelacur? Berapa kali ia melayani lelaki
tanpa ada rasa cinta, hanya untuk memberikan
kepuasan terhadap mereka. Apa ia bahagia? Kamu
istriku, De. Bukan pelacur. Aku tidak ingin
menyentuhmu sebelum ada perasaan cinta darimu.
Aku ingin kamu bahagia dengan pernikahan ini.
Bukan karena terpaksa tapi karena kau memang
mencintaiku.”
Aku terdiam dibuatnya. Hingga tak sadar aku
meneteskan air mata untuknya.
“Apa kamu mencintaiku?” Aku menatap dalam
matanya.
“Cinta tak selamanya dengan ungkapan
kalimat indah. Jujur, aku sudah suka padamu saat
pertama kali aku mendengar namamu disebut. Annisa
Nurjannah artinya ‘perempuan cahaya surga’. Nama
92
Setelah Ayah Pergi
adalah doa. Aku terus bersabar dalam ikhtiar, doa dan
istikharah hingga akhirnya kamulah jawaban itu.
Terkadang dengan bahasa saja tak cukup menjelaskan
seluruh perasaan. Akhirnya aku memilih menulisnya
menjadi sebuah karya. Sebab orang boleh mati, tapi
tidak cintanya. Tulisan sama halnya dengan cinta. ia
akan terus hidup di hati pembacanya. Aku menuliskan
dalamnya perasaan itu, tentangmu, tentang kita yang
akhirnya diikat oleh pernikahan yang suci.
Aku memeluknya dengan erat. Bersyukur
betapa Allah Mahabaik, mengirimkan seorang laki-
laki terbaik dalam hidupku. Kali ini aku benar-benar
ingin menghabiskan seluruh hidupku untuknya.
93
Eti Ndulia, dkk
NYANYIAN PAGI
Alifah Aulia Magfirah
“Apa maksud dari novel yang Anda tulis ini?”
Lagi-lagi pertanyaan ini muncul. Orang ke-10
di ruangan berpendingin ini yang bertanya hal yang
sama. Pertanyaan yang meranjau ruang hippocampus-
ku. Ruang pertemuan berwarna putih itu penuh
dengan wartawan, pegiat literasi, komunitas baca,
serta anak muda Gorontalo. Mereka hadir
menyaksikan launching buku Nyanyian Pagi karyaku.
Setelah memperkenalkan diri dan mengulas
sedikit isi buku, napasku memberat ketika tiba pada
pertanyaan soal latar belakang dan motivasiku
membuat buku yang isinya sastra lisan Gorontalo, tapi
dikemas dalam novel. Menurut pendapat orang yang
hadir, novel ini membuat anak-anak muda Gorontalo
ingin menyeriusi kembali tradisi yang telah lama
lenyap dari keseharian.
“Baik, saya akan menceritakan secara singkat
latar belakang buku ini.” Aku menarik napas pelan
94
Setelah Ayah Pergi
sambil mengoyak habis memori lama dan berkisah
sampai ruangan ini senyap.
***
Dahulu, seperti biasa setelah Subuh, mamaku
memulai aktivitasnya sambil bersenandung sebuah
lagu yang penuh syair terdahulu. Hal ini terus
berulang dan menjadi kebiasaan Mama setiap pagi.
Setelah melakukan tugas di dapur—menanak nasi di
atas tungku dengan penuh kesabaran, ia akan
mengurusku untuk bersiap ke sekolah, selanjutnya ia
melanjutkan pekerjaan utamanya menyulam karawo.
Aktivitas Ibu menyulam kain khas Gorontalo itu
dilakukan penuh ikhlas di matanya. Ya, aku bisa
melihat itu. Ibu terlihat sangat mencintai tiap syair
yang dituturkannya. Begitu seterusnya hal yang
mengiringiku setiap pagi sebelum akhirnya berangkat
sekolah sampai remaja. Aku menyebut itu sebagai
nyanyian sejak indra pendengaranku peka dan paham
kalimat. Tiada yang berubah sedikitpun, sampai aku
betul-betul menghapal syair sendu itu.
Bismilah momulai…
95
Eti Ndulia, dkk
Delo po’ela pomai…
Taunu yilau mai…
Botiya madelo mayi…
Aku menjadi suka, pun ikut mencintai hal itu.
Aku jadi mengikuti kebiasaan Mama bersyair. Setiap
pagi.
Hidup kami memang terbilang serba pas-
pasan. Bapakku tukang bentor, dan ibuku penyulam
karawo. Bagaimana kisah bapak dan ibuku bertemu,
aku tidak tahu hal itu. Seperti apa figur keluarga
bapak dan mama, akupun tidak tahu itu. Karena bagi
Ibu, aku tidak perlu mencari tahu seluk beluk
keluarga susah ini. Yang harus kulakukan adalah
belajar agar menjadi Pegawai Negeri Sipil. Figur PNS
sangat berharga di mata Ibu yang pernah bercita-cita
menjadi pegawai tapi tidak kesampaian.
Aktivitasku juga sederhana. Dikonstruksi oleh
mama yang lebih tegas dan keras daripada Bapak.
Sampai kadang, aku lebih suka bicara soal dunia
kepada Bapak daripada ke Mama. Aku tunggal, tapi
bukan berarti aku bebas dan dimanjakan dalam
96
Setelah Ayah Pergi
segala hal. Aku harus rela mengorbankan waktu
bermainku untuk belajar. Kembali ke rumah
membaca buku, mengerjakan tugas, atau kuhabiskan
waktu untuk bermain dan bicara dengan Bapak kalau
ia cepat pulang.
Di suatu pagi, aku mulai merasakan ada yang
aneh dari ibu. Ibu tidak lagi menuturkan nyanyian
pagi itu. Aku merindukan nyanyian itu. Tapi mulutku
masih bungkam dengan pertanyaan Ibu berhenti
bersyair. Rasanya kikukku kepadanya memang
mendarah daging. Keberanianku hanya kepada Bapak.
Aku pun bertanyanya. Kebetulan malam itu, ia cepat
pulang karena merasa lelah.
“Papa, kenapa Ti Mama tidak lagi basyair tiap
pagi?”
“Mungkin mamamu lelah. Nde sudalo
potuluhulo saja te uti. Mosikola lombu.” Aku
mengiyakan dan bergegas istirahat.
Dalam hitungan sebulan lamanya, aku ingat-
ingat kala itu, Ibu masih bungkam bersyair. Ibu tetap
sibuk menyulam, tapi tanpa syair-syairnya. Aku sudah
97
Eti Ndulia, dkk
jatuh cinta pada nyanyian Mama. Aku pun
melanjutkan kebiasaannya yang lalu menjadi
kebiasaanku, mencoba menyanyikan hal yang sama
setiap pagi. Memulai aktivitasku setelah subuh
dengan mandi dan bersiap ke sekolah sembari
bersyair. Aku sudah hapal. Fasih. Begitu seterusnya
tambahan aktivitasku setiap pagi. Sepekan lamanya
dan lantunanku membuat Mama tanpa kata,
bungkam.
Konflik pertama kalinya dalam keluarga kami
terjadi saat Mama mengetuk pintu kamarku keras.
Setelah berganti pakaian, aku membuka pintu. Belum
bicara apapun, tangan kanan Mama sudah sempurna
landas di pipi kananku. Mama menamparku.
“Ti mama so bilang, tidak usah lagi basyair!”
Aku sangat terpukul dengan sikap Ibu. Aku
patuh selama ini. Sangat patuh. Hanya karena
bersyair, menggantikan suara Mama yang sudah
rindu kudengar, Mama marah besar.
“Tapi kenapa, Mama? Mansur hanya bersyair.”
98
Setelah Ayah Pergi
“Mansur!” Mama mengangkat tangan
kanannya lagi ingin menamparku kedua kali, tapi kali
ini tangan itu tertahan di udara. Mama lalu masuk ke
kamarnya. Aku kecewa dan marah pada Mama. Makan
malam berkawan sepi di meja makan kami, hanya aku
dan Bapak yang terdiam. Ibu tetap di kamar.
Itu bukan akhir, karena aku tidak berhenti
bersyair. Kucari tahu baik-baik ternyata nama syair
itu adalah Tanggomo. Puisi naratif yang berisi
peristiwa nyata, ataupun tidak nyata berupa dongeng
dan legenda di Gorontalo.
Aku pun berusaha membuktikan pada Mama
waktu itu kalau aku bisa lulus dengan baik, menjadi
sarjana dari beasiswa karena nilai terbaik. Sampai
aku turut ikuti perintah Mama mendaftar CPNS.
Suatu hari aku memberanikan diri bertanya
kepada mamaku. “Kenapa ti mama salalu marah kalau
Mansur bersyair?”
“Mama belajar itu dari ti bapu. Kakekmu. Dulu,
Mama masih kecil, kakekmu juga selalu melantunkan
Tanggomo. Kakekmu itu seorang penyair Tanggomo
99
Eti Ndulia, dkk
yang sangat terkenal di kampung ini,” Mama mulai
bercerita, menarik napas dan melanjutkan kembali.
“Setiap ada kegiatan kampung, atau acara
tertentu, kakekmu selalu diundang untuk
bertanggomo. Kami hidup dari penghasilan kakekmu
bertanggomo itu. Meskipun hanya seorang penyair,
kakekmu punya cita-cita yang besar terhadapku, Nak.
Kakekmu ingin Mama jadi pegawai. Membuktikan
pada orang-orang itu bahwa kakekmu bisa punya
anak yang berhasil. Membungkam mulut orang-orang
yang suka melecehkan pekerjaan kakekmu. Tapi
zaman berkembang, sastra lisan semakin dilupakan.
Tanggomo tidak lagi menjadi hal yang dinantikan
warga kampung. Semua terganti dengan musik
modern dan para penyanyi dangdut keliling itu.
Kakekmu tidak lagi bisa menafkahi keluarga kecil
kami. Mama berhenti sekolah saat SMP. Kakekmu
marah pada orang-orang yang tidak peduli sastra
lisan. Kakekmu kecewa besar, gambusi yang selalu
jadi kawannya sudah teronggok usang tidak terpakai.
Setiap hari, kakek hanya berdiam di rumah, menatap
100
Setelah Ayah Pergi
luar rumah dari teras di sore hari. Hatinya hancur
melihat Mama berhenti sekolah dan harus membantu
nenekmu menyulam karawo. Kakekmu berhenti
bertanggomo sampai ia sakit dan meninggal.
Meninggalkan Mama dan nenekmu. Meninggalkan
syair Tanggomo dalam pikiran Mama. Kakekmu
meninggal dengan membawa beban di dadanya yang
penuh kecewa pada dunia. Itulah kakekmu dengan
kesederhanaannya. Lalu mama, mulai mempelajari
Tanggomo sendiri. Mama selalu melantunkan itu di
setiap pagi berharap te uti juga bisa kenal syair ini,
dan bisa ikut melestarikannya.”
Penjelasan ibu begitu menggema di telingaku.
Berdiam di pikiran, dan dasar hatiku. Aku sangat bisa
merasakan kecewa kakekku pada waktu itu. Betapa
niatnya tulus pada daerah, namun tidak selaras
dengan dukungan orang sekitar yang menurutnya
berperan penting dalam melestarikan sastra lisan
Gorontalo. Banyak pejabat yang harusnya mampu
mendukung tanggomo tapi tidak melakukan apa-apa,
101
Eti Ndulia, dkk
gemar berkupiah karanji hanya untuk pencitraan.
Mereka sama sekali tidak peduli pada tradisi.
“Tapi, kenapa ti mama marah te Mansur
kemarin? Padahal Mansur hanya bersyair.”
“Awalnya, Mama bersyair biar kamu tahu juga
tentang Tanggomo, dan kamu jadi mau belajar. Tapi,
Mama lalu cemas kamu akan jatuh cinta pada
tanggomo dan lupa targetmu untuk jadi PNS. Mama
khawatir kamu akan seperti kakekmu. Mama ingin
kamu jadi bukti keluarga kami bahwa Tanggomo bisa
membuat orang sukses dan memiliki cita-cita besar.
Patahkan pandangan orang-orang terhadap keluarga
kita yang miskin. Mama mau te Mansur jadi orang,
Uti.” Tanpa sadar aku sudah menitikkan air mata.
Begitu tulus keluargaku ini, pikirku. Tulus
melestarikan tradisi tanpa pamrih, tulus berkorban
untukku agar sukses.
Mama membuatku menjadi paham bahwa
kesuksesan akan kita bentuk sendiri bersama pola
pikir dan pola hidup kita. Bukan pola pikir orang lain
terhadap kita. Aku bersyukur lahir di tengah keluarga
102
Setelah Ayah Pergi
yang sangat mencintai warisan dan tradisi melebihi
dirinya sendiri. Aku belajar keras. Akhirnya aku
terangkat jadi PNS. Tapi, aku tidak lupa pada nilai
leluhurku.
***
Seisi ruangan penuh dengan orang-orang yang
sudah terharu. Ada yang menangis sejak pertengahan
ceritaku, ada yang sedari tadi sangat kuat menahan
air mata, ada yang senyum bangga dan akhirnya
semua bertepuk tangan. Aku tersenyum lebar, terharu
mereka bisa mengerti. Aku meneteskan air mata dan
berbisik dalam hati. Mama, te uti sudah sukses
sekarang, kemudian merapalkan Al-Fatihah untuk
Mama yang sudah meninggal setahun yang lalu.
Kemudian, menatap Bapak yang duduk dan
tersenyum di sampingku.
“Inilah saya, seorang PNS. Seorang penulis.
Nyanyian Pagi adalah Tanggomo itu. Saya mencintai
daerah saya, Gorontalo. Saya mencintai Tanggomo,”
pernyataan terakhirku menutup kegiatan peluncuran
buku Nyanyian Pagi itu.
103
Eti Ndulia, dkk
MOLONTHALO
Noldi
Malam semakin larut. Suara jangkrik yang
sebelumnya ramai terdengar mulai menghilang.
Mungkin mahluk-mahluk itu juga ingin beristirahat.
Atau letih bernyanyi karena tak ada yang
mempedulikan. Yudi masih sibuk memencet-mencet
smartphone-nya, berusaha menghilangkan gundah
yang sedang mendera. Betapa tidak, pertengkaran
dengan ibu mertuanya siang tadi bukanlah peristiwa
yang ia inginkan.
Semua berawal dari kehamilan Yusra istrinya,
kini menginjak usia 7 bulan. Sesuai dengan adat
Gorontalo, bahwa seorang ibu yang sedang hamil
anak pertama harus mengikuti prosesi adat
molonthalo. Acara itu seminggu lagi, tetapi orang tua
Yusra sudah mempersiapkan acara tujuh bulanan
yang akan digelar secara meriah mengingat ini adalah
cucu pertama mereka. Sementara Yudi sendiri
menginginkan agar acara itu digelar secara
104
Setelah Ayah Pergi
sederhana. Menurut Yudi, acara itu juga bertentangan
dengan ajaran Islam.
“Jadi, Nak, kami sudah mempersiapkan acara
Molonthalo untuk cucu pertama kami. Kalian berdua
tahu beres saja. Serahkan sama Papi dan Mami
semuanya,” ujar Nurdiana, ibu mertuanya saat
mereka berbincang di teras rumah.
“Mami, kami menghargai keinginan Mami dan
Papi. Tapi bagi Yudi tak perlu berlebihan. Bahkan
kalau bisa, yang diundang itu anak-anak dari panti
asuhan agar kita bisa membagi kebahagiaan dengan
mereka,” usul Yudi.
“Kalau urusan undangan dan segala macam
lainnya, itu tanggung jawab kami. Kalian kan tahu ini
cucu pertama kami. Jadi biarkan kegembiraan
keluarga besar kita juga dirasakan oleh orang banyak,
” kata Nurdiana lagi.
“Terserah Mami dan Papi saja kalau begitu.
Tapi Yudi punya permintaan Mi. Semoga bisa
diterima.”
105
Eti Ndulia, dkk
“Apa itu, Nak? kalau soal biaya, kalian tak perlu
khawatir. Pokoknya semuanya Mami dan Papi yang
tanggung,” Nurdiana menenangkan menantunya.
“Bukan soal itu yang Yudi maksud Mi. Yudi
sudah bertanya pada Yusra tentang bagaimana
prosesi adat Molonthalo tersebut. Bagi Yudi tidak ada
masalah. Namun, ada dua hal yang Yudi minta sedikit
diubah. Pertama, prosesi adatnya dilakukan di kamar.
Jangan di ruangan terbuka, dan yang masuk hanya
kaum wanita atau yang termasuk muhrim Yusra. Yang
kedua, saat prosesi raba-raba perut dimulai, tidak
perlu ada dokumentasi. Artinya tak perlu ada foto di
prosesi tersebut,” pinta Yudi.
“Wah, kenapa begitu, Nak? Yusra memang
harus mengikuti prosesi adatnya di ruangan terbuka.
Karena Mami ingin semua tamu yang hadir, bisa
melihat secara langsung bagaimana Yusra menjalani
adat Molonthalo ini. Kalau di kamar, nanti para
undangan khususnya para pembesar-pembesar di
daerah ini takkan menyaksikannya,” jawab Nurdiana.
106
Setelah Ayah Pergi
“Mamimu benar, Yudi. Papi ingin semua
undangan bisa menyaksikan prosesi adatnya secara
langsung. Bahkan Papi sudah menghubungi wartawan
tv lokal dan nasional untuk meliput acara nanti.
Sekalian promosi mengenai adat istiadat masyarakat
Gorontalo pada masyarakat luas,”tambah Yusuf
mendukung istrinya.
“Yudi bisa paham niat baik Papi dan Mami.
Seandainya prosesi raba-raba perutnya bisa
dilakukan tanpa harus mengangkat pakaian, Yudi
setuju. Tapi ini kan perutnya harus terlihat.
Sementara kita tahu, bahwa perut itu termasuk aurat
wanita yang tidak boleh diperlihatkan kepada yang
bukan muhrimnya. Yudi tidak mau aurat Yusra
dipamerkan seperti itu,” tegas Yudi.
“Siapa yang mau pamer perut istrimu?
Memang sudah seperti itu. Toh hanya beberapa saat
saja selama prosesi adat berlangsung, Nak. Setelah itu,
bisa ditutup kembali. Jangan terlalu fanatiklah!”
Nurdiana mulai emosi.
107
Eti Ndulia, dkk
“Yudi bukan bermaksud fanatik, Mi. Tapi Yudi
tidak ingin prosesi adat bertentangan dengan syariat
Islam. Bukankah semboyan masyarakat Gorontalo itu,
adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah? yang
Yudi pahami, antara adat dan syariat tidak boleh
bertentangan. Dan tetap saja syariat memegang posisi
yang lebih tinggi dari adat. Sepanjang adatnya tidak
bertentangan dengan syariat, maka bisa saja
dilaksanakan. Jika sudah bertentangan, kita harus
mendahulukan apa yang diajarkan oleh syariat,” Yudi
berusaha menjelaskan alasannya.
“Tidak bisa begitu Nak. Pokoknya Mami mau
prosesi adat Molonthalo Yusra harus dilaksanakan di
tempat terbuka, yaitu ruang tengah rumah ini! Agar
semua yang hadir bisa menyaksikannya.” Nurdiana
tetap berusaha memaksakan keinginannya.
“Mohon maaf sebelumnya, Mi. Yudi sebagai
suami Yusra tidak akan mengizinkan hal itu. Yudi
tidak bermaksud menentang Mami dan Papi, tapi Yudi
adalah kepala keluarga. Dan keputusannya tetap
harus seperti yang Yudi inginkan.”
108
Setelah Ayah Pergi
“Ah…dasar kamu berani menentang orang tua.
Mami kecewa sama kamu.” Nurdiana yang langsung
pergi meninggalkan Yudi.
Yusra terjaga dari tidurnya. Dilihatnya Yudi tak
ada disisinya. Dia keluar lalu mendapati Yudi sedang
duduk sendiri di taman mereka.
“ Mas kok belum tidur?” ujar Yusra memeluk
suaminya dari belakang.
“Mas lagi pusing, Sayang. Tadi siang, Mas
berdebat sama Mami. Itu loh yang pernah kita bahas
kemarin-kemarin, soal acara 7 bulananmu nanti.
Mami tetap minta acaranya digelar di ruangan
terbuka. Sementara kamu kan tahu, Mas nggak setuju
kalau kamu harus memperlihatkan perut di hadapan
orang-orang yang bukan muhrim,” terang Yudi
sembari menghela napas panjang.
“Oh jadi kalian sudah membahasnya. Nanti
Yusra akan ngomong sama Mami. Kalau Yusra sih
tidak bersedia jika harus melakukannya di ruangan
terbuka begitu. Tadi Yusra sudah tanya ke Hulango,
109
Eti Ndulia, dkk
tetua adat di sini. Bisa kok di kamar saja prosesinya.
Asalkan kelengkapan adatnya tersedia.” Yusra
“Ya sudah. Kamu masuk lagi. Lanjut tidur. Mas
masih mau sendiri di sini,” ucap Yudi sambil
mengecup kening istrinya.
Yudi mengingat saat ia hendak menikahi Yusra.
Mereka bertemu di musyawarah nasional Forum
Lingkar Pena. Sejak pandangan pertama, ia sudah
jatuh hati. Meski ia mendengar, bahwa daerah asal
istrinya adalah daerah yang masih kental nuansa
adatnya. Namun baginya, itu sebuah tantangan.
Setelah proses pendekatan yang tak makan waktu
lama, akhirnya ia berhasil mempersunting gadis
idamannya tersebut. Meski dengan syarat ia harus
meninggalkan ibu kota. Yusra adalah putri tunggal
dari pengusaha kaya. Orang tuanya tak ingin jauh
darinya. Yudi pun mengalah dan pindah mengikuti
istrinya. Untung perusahaan tempatnya bekerja
punya cabang di Gorontalo. Sehingga ia bisa tetap
bekerja tanpa harus menggantungkan diri pada
mertuanya.
110
Setelah Ayah Pergi
Waktu tersisa tiga hari lagi. Yudi dan Yusra
belum mampu meluluhkan hati Nurdiana. Dia tetap
bersikeras acara Molonthalo Yusra harus sesuai
konsepnya. Sementara Yusuf, ayah mertua Yudi,
sudah melunak. Dia tak lagi memaksakan
kemauannya. Yusuf jualah yang menemukan ide
bagaimana agar istrinya luluh. Ia mengajak Ustazah
Andhara yang merupakan sahabat Nurdiana untuk
ikut menasehati.
“Nur, memang kau ibu kandung Yusra. Namun,
begitu seorang gadis telah menikah, ia menjadi
tanggung jawab dan hak dari suaminya. Kau harus
menghargai bahwa mereka telah mempunyai rumah
tangga sendiri. Sehingga apapun keputusan yang
mereka ambil, itu adalah hak mereka,” nasihat
Andhara.
“Tapi, Ustazah...niatku kan baik. Aku ingin agar
adat kita tidak punah. Dan ini adalah acara bagi calon
cucu pertamaku. Aku ingin yang terbaik bagi mereka,”
Nurdiana coba membela diri.
111
Eti Ndulia, dkk
“Iya aku paham, Nur. Namun, tetap saja
keputusan akhir ada pada mereka berdua. Ingat Nur,
kedudukan suami itu sangat tinggi. Bahkan Nabi
Muhammad saw. pernah bersabda, seandainya aku
bisa menyuruh manusia untuk sujud pada manusia
lainnya, niscaya aku akan menyuruh istri sujud pada
suaminya. Dari hadis itu saja sudah terlihat
bagaimana posisi seorang suami. Apalagi Yusra juga
tidak mau membuka auratnya di hadapan orang
banyak. Harusnya kau bangga pada putrimu itu.”
Nurdiana terdiam. “Baiklah kalau begitu. Aku
takkan memaksa mereka.”
“Nah, begitu dong. Kalau perlu aku juga akan
bantu persiapannya. Nanti aku yang hubungi tetua
adat dan imam kampung. Sementara bahan lainnya
akan kuminta temanku yang pemuka adat untuk
menyiapkan,” kata Andhara meyakinkan sahabatnya.
Setelah mendengar penjelasan Ustazah
Andahara, Nurdiana bersedia mengikuti kemauan
anak dan menantunya. Yusra langsung memeluk
maminya.
112
Setelah Ayah Pergi
“Mami minta maaf ya. Mami sempat marah
pada kalian, tapi kini Mami paham alasan kalian.
Mami serahkan pada kalian berdua bagaimana
baiknya. Tapi Mami minta, Molonthalo harus tetap
digelar,” kata Nurdiana sambil membelai perut
anaknya.
“Iya, Mi. Yusra dan Mas Yudi juga minta maaf
kalau sempat mengeluarkan kalimat yang tidak
berkenan. Tenang saja, upacara tetap akan digelar.
Mas Yudi tak ingin dibilang menantu durhaka. Kami
berterima kasih karena Mami sudah bersedia
menerima saran dari kami,” kata Yusra tersenyum.
“Iya, tak ada yang salah. Semua ingin yang
terbaik. Pokoknya kita gelar acaranya tetap besar-
besaran. Namun, acara inti dilakukan di dalam kamar,
dan adegan tertentu, tak perlu diabadikan. Mami kan
udah janji sama Ustazah Andhara,” Nurdiana melirik
ke arah suaminya. “Alhamdulillah.” serempak Yudi
dan Yusra menyambut ucapan Nurdiana.
113
Eti Ndulia, dkk
SEBUAH RAHASIA
Nana Riana
"Dila, kalian berdua itu dekat, sangat dekat.
Mustahil bila salah satu di antara kalian tak menyimpan
rasa. Kamu bisa jamin hatimu akan baik-baik saja saat
melihat dia dekat dengan perempuan lain?"
Barisan kalimat itu sudah lebih dari seratus kali
berulang di kepala. Antara bingung dan kesal, ia berpikir
bahwa ucapan Fany juga benarnya. Beberapa kali ia harus
meredam cemburu, jika lelaki yang sudah bersahabat
dengannya selama enam tahun itu dekat dengan
perempuan lain. Walau hanya sekadar mengobrol.
Mungkinkah dia sudah menyukai sahabatnya itu?
Ah tidak! Buru-buru ia menghapus satu kata yang
berani melintas nakal. Suka? Yang benar saja! Ada begitu
banyak perbedaan antara mereka. Itu pasti menjadi bahan
pertimbangan utama bagi rasa. Kalaupun berani tumbuh,
dengan segera ia harus membuat benih itu terbunuh.
Sebelum terlanjur mekar, lalu akhirnya menyisakan sesal.
114
Setelah Ayah Pergi
Dengan susah payah ia kembali ke alam sadar.
Cukup lama dia melamun. Tapi, lagi-lagi ia kembali diam
saat melihat layar ponselnya. Disitu, tergambar nyata
senyum dua jiwa yang terlihat sangat bahagia. Bahkan ia
tak menyadari ada seseorang yang saat itu datang
menghampirinya.
"Hei, Nona, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya
lelaki tampan itu. Ia diberi nama 'Pangeran' oleh gadis
yang saat ini duduk termenung di depannya.
"Something."
Kening sang pangeran mengerut, menyisakan garis
keriput halus.
"Ih dasar, sok Inggris eh! Apa itu?"
Gadis manis berwajah sadis itu menatap pangerannya
dengan sinis.
"Ngana (Kamu )tahu cara bisa sampai ke Paris saat
torang (kita) salah naik pesawat dengan tujuan ke
Jepang?"
115
Eti Ndulia, dkk
Hening. Kedua pasang mata itu saling tatap selama
beberapa saat. Sebelum akhirnya, Fadila memalingkan
wajahnya.
"Ada apa Dila?"
"Tugasku banyak, aku harus menyelesaikannya
sekarang."
Gadis bernama lengkap Sitti Fadila Rahman itupun
beranjak dan buru-buru pergi meninggalkan lelaki yang
tampak kebingungan dengan tingkahnya barusan.
"Dila, tunggu!"
Fadila berhenti sejenak lalu menoleh, ia seperti teringat
sesuatu.
"Evan, tadi Pak Idris nyari kamu. Ke ruangannya
dulu sana."
"Hah?"
"Pak Idris nyari kamu."
"Oh oke, tunggu di kelas yah."
116
Setelah Ayah Pergi
Fadila mengangguk sebelum akhirnya kembali
merangkai langkahnya menuju kelas. Kali ini ayunan kaki
sengaja diperlambat, ada yang sedang ia pikirkan. Sesekali,
matanya mencuri pandang ke layar hp yang ada dalam
genggaman tangan mungilnya itu.
"Aku benar kan? Kamu menyukainya!"
Suara itu milik Fany. Fadila tak menyadari, Fany sudah
mengikutinya sejak tadi.
"Ini bukan urusanmu!"
***
Siang yang panas dan hati yang cemburu. Kalimat
itu sangat tepat menggambarkan suasana hari seorang
gadis manis yang sedang menunggu jemputannya di depan
halte. Tak ada senyum seperti biasanya, tetapi juga tak
murung. Hanya sebuah ekpresi datar, yang membuat
siapapun ragu menghampiri. Gadis itu adalah Fadila. Sudah
hampir setengah jam ia menunggu papanya.
Tiba-tiba, sebuah motor matik hitam berhenti tepat
di depannya. Pengemudinya menggunakan helm hitam
117
Eti Ndulia, dkk
besar dan tertutup. Fadila menghela napas berat, sebab ia
tahu siapa di balik helm itu. Evan.
"Pulang sama-sama, yuk?"
Dengan cepat Fadila menggeleng. "Tidak usah."
Melihat tingkah Fadila yang semakin aneh, lelaki
itu harus melepas helm dan bergerak menghampirinya.
Evan, sahabat Fadila sejak SMP hingga sekarang.
"Kamu ini kenapa? Sejak pagi cemberut terus."
Evan mencoba memulai pembicaraan dengan maksud
meluluhkan api yang sepertinya tengah berkobar di kepala
sahabatnya itu.
Fadila mencoba menyibukkan diri dengan membaca novel
yang tadi dipinjam dari perpustakaan.
"Aku lagi PMS."
Matanya mulai melaju menyusuri lembaran novel.
Namun, sebenarnya, ia tak benar-benar membaca. Hanya
ingin menghindari kontak mata dengan Evan. Sekaligus
menutupi kekesalannya.
118
Setelah Ayah Pergi
"PMS? Biasanya tidak begini. Dila, tidak usahlah
banyak-banyak ngambek. Tinggal dua bulan kita sudah
mau ujian. Setelah ini, aku akan kembali ke Manado dan
kuliah di sana."
Fadila melirik Evan selama beberapa detik, lalu
menutup novel yang sedang dibacanya. "Ya baguslah."
Ucapnya dengan tenang.
Tak jauh di seberang jalan, matanya menemukan
seseorang sedang menatap tajam ke arah mereka.
"Apanya yang bagus?" tanya Evan bingung.
Kali ini, ia menatap Fadila tajam. Walau gadis itu
memilih fokus pada sesuatu selain dirinya, di depan sana.
"Supaya orang itu bisa bebas menyukai kamu,
tanpa ada alasan kehadiranku yang menurut dia
menghalangi perasaanya." Sebuah senyum misterius ikut
hadir mengikuti kalimatnya barusan.
"Maksudnya? Dia siapa ini? Coba diperjelas!" Evan
mulai kesal.
"Nanti, kamu akan menemukannya saat sudah
mulai kuliah di Manado."
119
Eti Ndulia, dkk
Fadila menatap sejenak wajah sahabatnya dengan
perasaan tak karuan. Dan lagi-lagi, dengan mudahnya ia
menyembunyikan itu dengan senyum yang menenangkan.
Tepat di waktu bersamaan, sebuah bentor berwarna hijau
berhenti di dekat motor matik milik Evan.
"Fadila, mari, No'u." panggil pria paruh baya
pemilik bentor sekaligus papanya Fadila.
"Aku pulang dulu. Belajar yang giat yah."
Tak sampai sepuluh detik, tubuh mungil Fadila
sudah rapi di tempat duduk penumpang.
"Hati-hati, Pm." Ucap Evan pelan ditemani senyum
yang sedikit terpaksa.
"Iya-iya, nanti jangan laju bawa motor."
Anggukan serta senyum Evan menjadi penutup
amarah Fadila siang ini. Meski kekhawatiran itu masih ada,
tapi kesadaran akan banyaknya perbedaan membuatnya
harus membuang jauh keinginan itu.
Bersama putaran roda bentor dan suara mesin
yang berisik, Fadila berbisik kecil pada Tuhan. Tentang
120
Setelah Ayah Pergi
rasa dan cita-citanya. Semoga saja Dia mengabulkan.
Walau tak semua bisa didapatkan.
***
Dua tahun kemudian.
Setelah lulus dengan nilai terbaik di sekolahnya,
Fadila akhirnya memperoleh beasiswa sehingga bisa
melanjutkan pendidikan dan kuliah di Universitas Negeri
Gorontalo.
Banyak hal baru yang ia temui selama menjalani
hari sebagai salah satu mahasiswa cerdas. Namun, ada satu
yang belum juga merapat dalam dirinya. Ya, sampai saat ini
Fadila masih tetap sama. Ia masih membawa serta rasa
untuk seseorang yang dulu menghiasi masa remajanya. Ia
masih menutup rapat ruang rindunya. Belum menerima
siapapun yang mengetuk dan ingin menempati hatinya.
"Dila, ada titipan surat lagi." Seorang gadis
bertubuh lebar dan berisi menghampiri Fadila. Gadis itu l
menyodorkan sebuah kertas kecil berwarna abu-abu.
Sejenak, Fadila menatap kertas di tangannya. Ini
sudah kali ke tujuh. Surat misterius itu datang lagi. Dengan
121
Eti Ndulia, dkk
pelan, jemari mungilnya mulai membuka lipatan kertas
dan membaca isi surat itu.
Melangkah saja. Sekarang, kita sudah berbeda.
Masih sama, isinya tidak berubah sedikitpun. Ini
dari siapa? Sudah hampir sebulan ini, pikiran Fadila
dihantui oleh kedatangan surat-surat itu. Setiap kali
mencari pengirimnya, selalu sia-sia. Tak ada satu pun yang
tahu perihal kertas abu-abu itu.
"Ini gila!" Fadila berteriak sambil melempar buku
yang tadi dibacanya.
Seisi kelas dibuat kaget, bagaimana mungkin
seorang mahasiswi yang terkenal pendiam bisa
mengeluarkan suara senyaring itu? Ah, ini biasa saja untuk
tingkatan kondisinya. Malah ada yang lebih dari ini. Fadila
memijat kepalanya perlahan. Seorang lelaki datang
mendekatinya.
"Ada apa, Dila?" Tanya lelaki bernama Andi. Ketua
tingkat yang memiliki tubuh atletis. Sejak awal semester,
Andi sudah menyukai Fadila. Namun sayang, rasa itu
belum berbalas.
122
Setelah Ayah Pergi
"Kepalaku rasanya mau pecah."
Setelah menuturkan jawaban itu, Fadila memilih
keluar dari dalam kelas. Ia tak menghiraukan Andi yang
sudah siap mendengar segala ceritanya. Lagi-lagi, Andi
hanya bisa menelan ludah serta mengambil buku milik
Fadila yang terbang bersama teriakannya tadi.
"Gadis itu selalu saja menarik dengan rahasianya." Andi
tersenyum pasrah. Ia lalu menyimpan buku itu di dalam
tasnya.
***
Gundukan tanah di hadapannya masih sedikit
basah. Baru sebulan, dan kepergiannya benar-benar tak
pernah dibayangkan. Di depan pusara Evan, Fadila
terdiam. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin dia
tanyakan. Namun itu tak berguna lagi, semuanya harus
dipendam kembali dalam hati.
Tatapannya sungguh menyisakan tanya. Tak ada
yang tahu, dalam tenangnya diam-diam Fadila rela
mencabik hati dan kembali ke masa lalu. Mencoba mencari
kesimpulan dari rahasia yang selama ini tak terungkap.
123
Eti Ndulia, dkk
Serta alasan kuat, mengapa ia bisa jatuh hati padahal ia
menyadari bahwa ini adalah sebuah kesalahan.
Sungguh, tragedi patah yang dilalui hatinya
beberapa bulan lalu justru membuat Fadila berubah. Ia
mengubah cara pandangnya tentang hidup setelah
mengalami hal berat itu. Melepaskan rasa dan rahasia yang
tersimpan cukup lama, kemudian melangkah dan
merangkai cita-citanya.
***
"Kamu baik-baik saja kan?"
Fadila mengangguk pelan. Ia tampak cantik dan
anggun dibalut gaun putih yang penuh oleh hiasan
berkilau. "Terima kasih sudah memilihku."
Senyum bahagia mengembang dari bibir duakl
manusia itu. Hari itu, Fadila dan Andi resmi menikah.
* **
Satu demi satu rahasia akhirnya terbuka. Bahkan
untuk hal yang paling rahasia sekalipun, berhasil luluh dan
membuka ruang karena ketulusan yang nyata. Sejatinya,
cinta, adalah bagian paling rahasia dalam kehidupan
124
Setelah Ayah Pergi
manusia. Meski akhirnya Fadila tak berakhir dengan
harapnya dulu, setidaknya kini ia mendapatkan cinta yang
juga awalnya adalah rahasia Tuhannya. Dan setelah
peristiwa sakral itu, masih ada banyak rahasia yang
menunggunya sampai di akhir waktu.
125
Eti Ndulia, dkk
LEGO JANGKAR
Fitrianita Febrina Ali
“Para penumpang yang terhormat, kami mohon
perhatian Anda sejenak! Sesuai dengan peraturan
keselamatan….” Suara pramugari terdengar dari balik
pengeras suara. Suasana di dalam pesawat kini padat
oleh penumpang.
“Sabuk pengamannya, Ras.” Renza
mengingkatkan Rasyi yang duduk di sebelahnya agar
memasang sabuk pengamannya.
“Oke.” Rasyi mengikutinya. Setelah selesai
mengenakan sabuk pengaman, ia memandang ke arah
kanannya. Tyo sedang sibuk berkutat dengan dasinya.
“Duh…bagaimana pasang dasi ini? Ras bisa
bantu pasang?”
“Tidak tahu, Kak.”
“Za… kamu bisa pasang?” “Pasang sandiri noh.
Tantu apa yang orang-orang somo bilang kamari.
126
Setelah Ayah Pergi
Nanti dorang sangka torang hombreng.18” Kata Renza
cuek.
Rasyi hanya bisa tertawa geli mendengar
perdebatan mereka. Membayangkan Renza
memasang dasi Tyo tiba-tiba membuat perut
perempuan berwajah manis itu geli.
“Alah…bilang saja kalau tidak tahu.” Setelah
mengejek Renza, Tyo beranjak dari tempat duduknya.
Renza cuek saja mendengarnya dan kembali melihat
ke arah jendela.
Hari ini mereka kompak berpenampilan rapi
untuk memperlihatkan sosok duta bangsa. Setidaknya
itulah yang dikatakan Renza. Hari ini, mereka akan
bertolak menuju Jakarta untuk mengikuti
Pradeparture Training sebelum mengikuti Program
Pelayaran selama satu bulan menuju Kalimantan
Barat. Mereka bertiga terpilih mewakili Provinsi
Gorontalo.
18 Pasang sendirilah? Orang-orang yang lihat akan bilang apa?
Nanti mereka ini saya ini homo (bahasa Melayu Dialek Manado
127
Eti Ndulia, dkk
Satu hari sebelum keberangkatan, Rasyi dan
Renza sempat berdebat tentang pakaian apa yang
akan mereka kenakan. Rasyi ingin mereka
mengenakan baju kaos, celana jin, dan sepatu kets
saja, tetapi Renza tidak setuju. Ia ingin mereka seperti
delegasi daerah lain, rapi dengan pakaian formal. Tyo
netral saja, ia ikut mana yang terbaik menurut Rasyi
dan Renza. Itu membuat kedua temannya melotot
kesal ke arahnya. Renza lalu memperlihatkan salah
satu postingan instagram salah satu teman mereka,
delegasi dari Jakarta.
“Lihat, Syi. Mereka bertiga pakai setelan jas.
Masa kita pake kaus dan celana jins ? Apa nanti
delegasi lain bilang?”
Rasyi hanya bisa menghela napas. Ia tahu tidak
akan menang melawan Renza. Lagipula, Rasyi
berpikir pendapat Renza ada benarnya.
Sepuluh menit kemudian, Tyo belum juga
kembali padahal pesawat mereka sudah akan lepas
landas.
“Loh, si Tyo belum balik ?” Tanya Renza
128
Setelah Ayah Pergi
“Belum, mungkin ke toilet.”
“Memang dia ini salalu ba blunder, tadi torang
hampir ketinggalan pesawat gara-gara dia. Sekarang
so di pesawat tida tau so pigi dimana.” Renza
mendengus.
“Ahh itu dia.” Rasyi menangkap sosok Tyo yang
muncul dari belakang. Rasyi melihat Tyo sudah lebih
rapi dari sebelum ia meninggalkan tempatnya.
“Itu ngana pe dasi so tapasang?” Renza
mengerutkan dahinya. Siapa yang memasang dasinya?
Renza dan Rasyi bertanya-tanya dalam hati.
“Oh ngana dapa lia pramugari di belakang
yang cantik? Dia yang bapasang kita pe dasi.” Jawab
Tyo dengan bangga. Renza dan Rasyi terpana
mendengar teman mereka yang ajaib itu.
***
Rasyi, Renza, dan Tyo sampai di Jakarta pada
pukul tujuh malam. Pesawat mereka tertunda di
Makassar selama dua jam. Hal ini menjadikan mereka
adalah provinsi yang paling terakhir datang. Setelah
mengambil bagasi, mereka bertiga bergegas menuju
129
Eti Ndulia, dkk
PPON Cibubur, lokasi Pra Departure Training. Dari
informasi di WhatsApp, peserta lain sudah selesai
registrasi ulang dan makan malam. Mereka sudah
sangat terlambat. Belum lagi, dari Bandara Soekarno
Hatta menuju PPON Cibubur membutuhkan waktu
selama dua jam ditambah macetnya Jakarta.
Sesampainya di PPON, mereka disambut
panitia. Mereka lalu mengisi daftar hadir delegasi dan
mendapatkan kunci kamar. Setelah selesai makan
malam, Rasyi, Renza dan Tyo segera menuju ruang
pembekalan. Semua delegasi dari seluruh Indonesia
sudah mengenakan kain khas dari daerah masing-
masing. Sedangkan Rasyi, Renza, dan Tyo masih
terlihat kucel dengan kemeja putih, celana hitam dan
dasi.
“Arasyi Gorontalo?” Seorang pria yang
mengenakan kartu tanda peserta bertuliskan Bagas
Jawa Barat menyapanya.
“Iya. Bagas?” Rasyi sudah mengenal Bagas
melalui grup WhatsApp mereka.
130
Setelah Ayah Pergi
“Iya. Wah kamu yang kita tunggu-tunggu dari
tadi. Kelompok kita tadinya tidak lengkap karena
kurang satu orang lagi. Ternyata kamu toh orangnya.”
“Iya nih, pesawatnya delay, belum lagi jalanan
macet sampe ke sini”
“Oh pantesan. Ya sudah kita ke kelompok yuk.”
Rasyi mengikuti Bagas menuju kelompoknya
yang bernama Enggano. Konon itu adalah nama salah
satu pulau terluar Provinsi Bengkulu. Renza dan Tyo
juga sudah menuju kelompoknya masing-masing.
Selama satu bulan mereka akan terpisah dan bersama
kelompok masing-masing walaupun mereka masih
bisa tetap mengunjungi teman sedelegasinya.
“Nah… ini dia yang anggota kelompok kita
yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi.” Kata Bagas
kepada teman sekelompok mereka. Semua anggota
kelompok Enggano langsung berdiri menyalami Rasyi.
“Akhirnya! Kami kira kalian tidak jadi datang
loh. Anyway namaku Maryam dari Bengkulu.” Maryam
menjabat tangan Rasyi. Kelompok Rasyi berjumlah
lima orang dan dari daerah yang berbeda. Bagas dari
131
Eti Ndulia, dkk
Jawa Barat, Nadya dari Sulawesi Tenggara, Maryam
dari Bengkulu, Nanda dari Kepulauan Riau, dan Arasyi
dari Gorontalo.
Rasyi sangat menikmati kebersamaan dengan
teman-teman barunya itu. Teman-teman yang akan
dekat dengannya selama satu bulan kedepan. Setelah
berhari-hari bersama, Rasyi mengetahui bahwa
mereka semua adalah orang-orang yang sangat peduli
kepada orang lain. Selalu mengingatkan untuk jangan
sampai terlambat, memberi perhatian jika ada yang
sakit, dan memberikan semangat satu sama lain
jikalau ada teman yang mulai patah semangat atas
semua rangkaian kegiatan yang sangat padat selama
program.
Rasyi sendiri pernah mual saat hari pertama
berada di kapal dan terpaksa harus dirawat oleh tim
kesehatan dan diinfus. Hal itu tentu saja membuat
kedua teman Renza dan Tyo khawatir. Namun, karena
teman-teman sekelompok Rasyi bergantian
menungguinya, Renza dan Tyo bisa kembali
132
Setelah Ayah Pergi
mengikuti kegiatan di kelompok mereka masing-
masing.
Selama pelayaran, Bagaslah yang sangat
perhatian pada Rasyi. Ia selalu menjadi orang yang
paling lama menjaga Rasyi selama di balai kesehatan,
membawakan Rasyi makanan, dan memberikan
catatan materi selama Rasyi tidak bisa mengikuti
kegiatan. Rasyi sungguh terharu atas semua
perlakuan Bagas. Pria itu sangat ramah dan sekaligus
menjadi yang paling ribut di kelompoknya. Ia juga
terpilih menjadi ketua kelompok Enggano karena
ialah yang paling dewasa dan memiliki wibawa di
antara teman-teman satu kelompoknya yang lain.
Rasyi dan Bagas juga selalu bertukar cerita
tentang daerah mereka masing-masing. Rasyi yang
belum pernah ke Bandung sangat penasaran akan
kota kembang itu, ia ingin ke Lembang, Tangkuban
Perahu, Braga, dan banyak lagi. Tentunya ke tempat-
tempat menarik yang sudah dipromosikan oleh Bagas.
Sedangkan Rasyi juga tak mau kalah. Ia
mempromosikan tempat-tempat menarik yang ada di
133
Eti Ndulia, dkk
Gorontalo. Salah satunya adanya Hiu Paus yang baru-
baru ini marak di Gorontalo. Dan juga Pulo Cinta yang
merupakan tempat wisata ter-hits dan sangat terkenal
di Gorontalo. Bagas sungguh tertarik datang ke
Gorontalo untuk mengunjungi tempat-tempat itu.
“Jadi nanti kalau ke Gorontalo ya tinggal
hubungi aja. Nanti aku jadi tour guidenya”
“Gratis tidak nih ? nge-guidenya ?”
“Bayar dong.” Rasyi tersenyum jahil.
“Ih kok gitu sih ? Sudah seharusnya dong
pendatang itu dijamu dengan baik oleh tuan rumah.
Nanti kalau kamu ke Bandung aku juga bakalan jadi
tour guide-mu.”
“Gratis tidak?” Rasyi memancing Bagas.
“Gratis, yang penting akomodasi sama uang
masuk tempat wisatanya kamu yang tanggung.”
“Yah….”
“Ha-ha-ha. Sudah tenang! Pokoknya ke
Bandung saja dulu. Hubungi aku kalau kamu ke
Bandung ya.”
134
Setelah Ayah Pergi
Rasyi sangat menikmati setiap
pembicaraannya dengan Bagas. Selalu santai dan
menyenangkan. Sayangnya setelah selesai program,
mereka harus kembali ke daerah masing-masing dan
Rasyi tidak tahu kapan lagi nantinya bisa bertemu
kembali.
***
Hari terakhir program mereka akhirnya tiba
juga. Ada kelegaan setelah selesai menunaikan
kewajiban: meninggalkan keluarga selama sebulan
lamanya untuk membawa nama Provinsi Gorontalo di
forum nasional, mempresentasikan profil daerah,
mengenakan baju adat saat acara puncak Sail Selat
Karimata, bertukar informasi tentang masing-masing
daerah, dan mendapatkan teman-teman baru.
Berat pula rasanya berpisah dengan teman-
teman terbaik dari seluruh Indonesia terutama
teman-teman kelompoknya. Mereka saling berjabat
tangan dan berpelukan, mengambil foto sebanyak-
banyaknya dan bertukar kenang-kenangan.
135
Eti Ndulia, dkk
“Ras, foto yuk” Bagas mendekati Rasyi yang
sedang menangis mengingat besok mereka semua
akan berpisah dan pulang ke daerah masing-masing.
“Nangis? Jangan nangislah, nanti tidak bagus di
foto.” Goda Bagas. Mereka pun selfie dengan kamera
HP Bagas. Bagaspun mengirimkannya semua foto-
foto mereka ke WhatsApp Rasyi.
“Nih aku punya sesuatu buat kamu, Ras.” Bagas
mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan
memberikannya kenang-kenangan berupa miniatur
gamelan pada Rasyi.”
“Bagus banget. Duh sayangnya aku sudah tidak
punya apa-apa nih buat aku kasih ke kamu.”
“Tidak apa-apa nanti aku ambil sendiri ke
kamu kalau aku ke Gorontalo.” Bagas tersenyum.
“Oke, beneran ya ? Kamu harus ke Gorontalo
buat ambil kenang-kenangan kamu.”
Keesokan paginya pada pukul tujuh pagi,
Renza, Rasyi, dan Tyo sudah berada di Bandara
Soekarno-Hatta untuk kembali ke Gorontalo. Rasyi
menunggu di gate tiga penerbangan dalam negeri,
136
Setelah Ayah Pergi
sementara Renza melakukan lapor masuk untuk
mereka bertiga. Ia melihat kembali miniatur gamelan
pemberian Bagas dari dalam saku jaketnya. Sedih
rasanya harus berpisah. Ah kenapa satu rasanya
singkat sekali ya ? Batin Rasyi.
“Hei. Babadiam terus dari tadi? Ba lia apa so?”
Tyo tiba-tiba datang dan mengagetkan Rasyi.
“Duh…dasar kepo!” Rasyi menaruh kembali
miniatur gamelannya ke dalam saku jaketnya.
“He-he-he. Eh so dapa Lego Jangkar ?” Tanya
Tyo penasaran. Lego jangkar adalah sebutan anak-
anak program untuk yang cinlok selama pelayaran.
“Tidaklah..” Rasyi tidak mau mengakui bahwa
ia cinlok dengan teman satu kelompoknya sendiri.
“Payah. Kita saja sampe tukaran jaket sama
Sinta yang dari Bali.” Tyo dengan bangga
memamerkan nama SINTA di bagian dalam jaketnya.
Tiba-tiba Renza setengah berlari mendekati
Rasyi dan Tyo.
137
Eti Ndulia, dkk
“Yo, mana ngana pe tiket, capat ambe kamari
torang so harus chek in.” Renza menjulurkan
tangannya pada Tyo.
“Oh. Tenang. Dari tadi malam kita so kase siap
memang, sebelum mo dapa lupa.” Tyo meraba
kantong jaketnya tapi tidak menemukan apa pun di
dalamnya. Ia merogoh kantong celananya namun
tiketnya juga tidak ada di sana. Rasyi ikut membantu
mencari tiketnya di tas ransel Tyo tapi tetap tidak
ada.
“Aduh Bro!” Tyo menepuk dahinya. “Tiketnya
ada di kantong jaket yang ku kasih ke Sinta. Kita so
dapa lupa ambe waktu tukaran jaket tadi.”
Renza dan Rasyi saling pandang.
138
Setelah Ayah Pergi
139
Eti Ndulia, dkk
TI MASATU
Husain Rahim
Siang yang panas membakar emosi. Suara
bentor meraung-raung di sudut Kota Gorontalo. Asap
putih pekat berhamburan dari mulut knalpot.
Dipermainkan angin, meliuk-liuk laksana bura yang
menari, memenuhi halaman rumah papan bercat biru,
seolah ingin mengajak duel penghuni rumah dengan
pintu yang masih tertutup rapat itu. Sesaat berlalu,
terlihat wanita berambut tomboi memakai jaket ojek
online muncul seraya membuka pintu, ia berteriak ke
arah tukang bentor
“Woi! Apa ini? Tengah hari bagini, kinapa
baribut di muka ruma lo orang19”.
Sambil mengusap peluh di keningnya, lelaki
berkumis itu cuek saja, tak hirau akan teriakan wanita
yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Ia berulang
kali menarik gas, suara bentor terus menggema.
19Kenapa siang hari seperti ini malah ribut di depan rumah
orang?
140
Setelah Ayah Pergi
Sekejap berlalu, tiba-tiba suara bentor
berhenti diikuti umpatan meluncur dari mulutnya.
Lelaki itu berperawakan pendek dengan tubuh
gempal. Dengan bersungut-sungut, diinjaknya starter
mesin bentornya sekali lagi, tapi masih tak berhasil.
Bentornya tetap membisu. Injakan ketiga, keempat
dan pada hentakan kelima mesin itu pun hidup
bersamaan dengan tongkat penyanggah sebelah
kirinya terpeleset, Ia langsung terjerembab. Ia cepat-
cepat bangun. Walau dengan kaki sebelah kanan, ia
memaksakan menghidupkan bentor, sementara kaki
kirinya digantikan tongkat kayu sebagai alat bantu
jalan. Bentornya unik, untuk memindahkan gir, cukup
menggeser dengan tangan. Perseneling bentornya
memakai perseneling mobil.
“Astaga...kinapa ti Palimbo?20” Seru anak
perempuan berseragam putih abu-abu berlari
menghampiri, berusaha meraih punggung laki-laki
itu, tapi tangannya ditahan oleh perempuan tadi yang
tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.
20 Apa yang terjadi sama Pak Limbo?
141
Eti Ndulia, dkk
“Savira, masuk! Cepat!” Mendengar bentakan
itu, Savira bungkam. Ia berdiri dan segera berlalu dari
hadapan ibunya. Palimbo segera berusaha bangkit
dengan mata melotot ke arah wanita itu.
“Eyyi, Palimbo tau kasana, ti Ama dengan ti
Abah lagi ada sakit, so tabangun gara-gara suara
bentor,” bentak Masatu setelah amarahnya terpicu
melihat anaknya berusaha menolong orang yang
membuat keributan di depan rumahnya.
“So berapa kali saya bilang, kalau sudah di
Gojek, ba pindah saja pangkalan, jangan di sini!
Penumpang so jaga lari sama ngoni21,” Palimbo
membalas tak kalah kerasnya. Reaksi raut masatu
merah padam.
“Siapa suruh? Harusnya Bapak gabung saja di
Gojek. Saya ini perempuan, Palimbo suka preman-
preman rampok saya di jalan?”
“Mau masuk bagaimana di Gojek, sedangkan
saya tidak ada hape yang babagitu, baru tidak tau
21 Sudah berapa kali saya bilang, kalau sudah di Gojek, jangan
mangkal di sini. Langganan saya semua lari ke kamu.
142
Setelah Ayah Pergi
bapake, ngana mo kase uang saya mo bekeng akan
SIM, padahal baurus SIM skarang pe mahal.”
“Saya biar so janda masih bisa ba urus samua
itu.”
“Itukan pakai uang beasiswa Masatu pe anak!”
“Bukan kamu pe urusan! Telunjuk Masatu
hampir saja masuk ke lubang hidung Palimbo, segera
ia melepas jaket Gojek lalu membantingya ke tanah
sambil memasang jurus silat.
“...Emang lagi syantik...syantik!” Tiba-tiba
terdengar suara lagu dangdut dari kantong celana Li
Masatu. Ia segera merogoh kantong seraya melihat
notifikasi. Tak lama ia mencoba menelpon seseorang.
“Bu, ada pesan Gojek? Sedikit lagi saya sampai.
Ditunggu ya, Bu?”
Sambil memungut jaketnya, Masatu berbalik
arah menghidupkan bentornya yang diparkir sebelah
kanan pagar rumah. Sambil mempermainkan gas, ia
pun berlalu dari hadapan Palimbo yang tengah berdiri
dengan tongkatnya. Menatap dengan amarah
bercampur nelangsa. Dari balik jendela,
143
Eti Ndulia, dkk
pemandangan itu tengah disaksikan oleh sosok
perempuan tua yang tak lain adalah istri Palimbo.
***
Sehari berlalu. Di ruang makan, Ti Masatu
tengah mencurahkan nelangsa pada anak semata
wayangnya.
“Mama kan jago karate, kenapa masih takut
dengan perampok jalanan?”
“Biar begitu di Gorontalo ini, tidak mempan itu
beladiri, kalau bertemu dengan doti-doti dan peedi22.
Oh iya, Ti Palimbo kenapa tidak gabung saja di Gojek?
Supaya tidak rugi.”
“Mak, masuk di Gojek kan harus ada SIM, kalau
orang cacat tidak bisa bikin SIM.” Savira menjawab
sambil melahap tempe goreng di mulutnya.
“Masalahnya dia selalu cari gara-gara. Tengah
hari ada gas-gas bentor di depan rumah,” jawab
Masatu pada anaknya dengan nada jengkel.
22 guna-guna dan sihir
144
Setelah Ayah Pergi
“Mak yang sabar yah, ti nou yakin di balik
semua ini, insyaallah ada hikmah yang bisa kita
ambil.” Savira sambil berlalu dari meja makan dan
segera melangkah ke sudut dapur mengambil air
sembahyang. Masatu diam saja. Tangannya meraih
ponsel yang sejak tadi terhubung dengan headset. Ia
menambah volume sekaligus menggantinya ke mode
speaker. Mengalunlah sebuah lagu dari program
Minggu sore dari stasiun RRI Gorontalo.
“Ma wolo to talaa’u? Ti mongoli ma bolo
odiye…. Ito botiye manusia bo odelo tauweo....23”
Sambil menikmati alunan musik daerah itu, Masatu
tak sengaja melempar pandangannya ke arah jendela.
Terlihat beberapa laki-laki berjenggot dan berjubah,
lengkap dengan sorban berjalan melewati gang yang
searah dengan rumah li Palimbo. Ia pun bergegas
meraih daun jendela lalu mengucinya. Melihat
anaknya bersiap salat Asar, segera ia matikan musik.
23 Apa salah saya? Kalian tega perlakukan seperti ini. Sesama manusia selayaknya saling menghargai.
145
Eti Ndulia, dkk
* * *
Pukul 20.15. Savira baru saja keluar dari
kamar kecil. Tiba-tiba terdengar suara Masatu
memanggil dari kamar depan.
Ia mendapati Ibunya tengah berbaring sambil
membolak balik majalah bekas. Di sampulnya
terdapat foto seorang wanita berhijab lengkap dengan
jaket Gojek tengah mengemudikan bentor.
“Sudah selesai saya baca tadi ini,” ujar Savira
sambil mengempaskan tubuhnya di samping ibunya.
“Majalah ini bagus.” Meskipun Masatu hanya
tamat SMP, ia masih mengikuti perkembangan
peristiwa.
“Iya, Mak. Itu ada di halaman lima belas. Ti
mama so baca itu? Sejarah perempuan yang jadi
penjaga pasar di masa pemerintahan Umar Bin
Khattab.”
Setelah menutup majalah itu, Masatu menghela
napas panjang lalu mengembuskanya seperti ingin
meredakan gejolak batin yang tengah membuncah.
Teriring senyum Savira bercampur lega. Ia
146
Setelah Ayah Pergi
menyimpan harapan pada peristiwa malam itu.
Semoga, munajatnya tak lama lagi dikabulkan.
***
“Palimbo ke mana ya?”
“Tidak tahu! Hampir dua bulan ini Mama tidak
melihatnya.” Masatu merespons pertanyaan Savira
seraya merapikan kerudungnya di depan cermin.
Sebuah foto li Masatu bersama empat orang emak-
emak berhijab lengkap dengan jaket gojek online
terpampang di sebelah kanan cermin.
“Sebenarnya kasihan juga dia, padahal sama-
sama bawa bentor.” Savira seraya memasukan sebuah
buku dengan sampul bertuliskan aksara Arab ke
dalam ransel.
Tok…tok…tok. Terdengar suara ketukan pintu
bersamaan dengan suara perempuan mengucapkan
salam.
“Wa’alaikumsalaam” Kompak ibu dan anak
secara bersamaan menjawab salam, Savira bergegas
membuka pintu. Seorang perempuan berhijab berusia
147
Eti Ndulia, dkk
paruh baya dengan kerudung lebar, muncul di depan
pintu.
“Eh, Ti Malimbo, silakan masuk.”
“Sepertinya mau keluar ya?”
“Lagi siap-siap, mau ikut Savira kajian.”
“Oh, di mana itu?”
“Di Islamic Center, soalnya tiap malam Jumat
ada belajar baca Alquran.”
“Oh. Saya kira mau ke pesta.”
“Saya kira ti Malimbo marah dengan saya,
sudah lama saya tidak lihat. “
“Ah, kami tidak marah sama ti Masatu, justru
kami yang harus minta maaf.
“Alhamdulillah, saya sedang belajar agama,
Malimbo, jadi tidak bagus marah sama orang. Oh iya,
Ti Malimbo ada bawa ini?”
“Mau antar kuah asam ikan tuna dengan kuah
bugis.24 Soalnya saya dengan ti Palimbo-mu baru
24 Makanan khas Gorontalo
148
Setelah Ayah Pergi
pulang dari khuruj masturoh25 empat puluh hari di
Olele sana, baru ada bawa ikan tuna.”
“Oh, makasih banyak ini, Malimbo, baru Wololo
habari26 li Palimbo?”
“Itu lagi ada kurang sehat.”
“Is gaga ini, so mo ba sahur akan sabantar.27”
“So mo ba sahur ini, padahal puasa lagi tiga
hari Masatu.”
Gelak tawa pun memecah sore hari menjelang
Magrib dari rumah li Masatu. Azan berkumandang
dari menara masjid di tak jauh dari situ.
25 Khuruj Masturoh, istilah Jam’ah Tabligh artinya keluar di jalan Allah bersama istri. 26 Apa kabar 27 Wah, bagus buat sahut sebentar
149
Eti Ndulia, dkk
KAMPUNG BARU
Fitri Kharisma Putri
22 September 1999
"Mawoluwo tiyo!"28 teriak salah seorang warga
desa. Semua orang mulai bergegas masuk, mengunci
rapat jendela, pintu bahkan kamar masing-masing.
Membuat malam rasanya semakin mencekam.
Semakin gelap, dan sunyi. Hanya suara-suara jangkrik
serta hewan-hewan malam yang ikut membuat
suasana semakin mencekam di desaku kala itu.
Aku Ijal. Seminggu kemarin, 23 tahun sudah
umurku. Kejadian-kejadian mengerikan itu sudah
belasan tahun lamanya berlalu. Namun, bagiku
semua itu masih selalu saja terasa nyata hingga kini.
Aku ingat betul apa yang dulu pernah
disampaikan para orang tua kepada kami, anak-anak
yang tidak mengerti apapun mengenai hal-hal
mencekam itu.
28 Dia sudah datang (Bahasa Gorontalo)
150
Setelah Ayah Pergi
"Jangan berada di luar, apalagi kalau sudah
malam. Dia akan datang, “kata salah seorang
tetanggaku.
Setiap kali kalimat mengerikan itu terdengar,
sebagai anak-anak, kami hanya bisa berimajinasi.
Kemudian imajinasi kami mulai membayangkan
sosok-sosok mengerikan yang bisa kami bayangkan.
Jika kami bertemu dengannya, dia akan memakan
kami. Kami pun berlarian ke rumah masing-masing..
Mata melotot, rambut panjang berantakan,
wajah rusak, bahkan ada yang mebayangkan sosok itu
tak berkepala. Sosok itu pasti akan datang untuk
menakut-nakuti seluruh isi desa dengan suara-suara
anehnya.
***
Menurut sejarah, kampung ini dulunya
merupakan salah satu masyarakat Gorontalo
melakukan eksekusi kepada mereka, para koloni
Belanda yang pernah menjajah dan menetap di
Gorontalo. Menurut kisah para orang tua, kala itu
ketika Gorontalo merdeka tepat tiga tahun sebelum
151
Eti Ndulia, dkk
Indonesia, beberapa tentara Belanda yang tidak
sempat meninggalkan Gorontalo, digiring para
pemuda Gorontalo ke sebuah tanah lapang. Di sanalah
mereka dieksekusi hingga mati.
Kampungku di beri nama Kampung Baru.
Namun, menurut silita29 orang-orang tua dahulu,
tentara-tentara Belanda itu tidak tenang arwahnya.
Hingga pada akhirnya, menyebarlah cerita-cerita
horor yang kemudian disusul oleh kejadian nyata
yang tidak akan pernah dilupakan oleh kami,
masyarakat Kampung Baru pada September, 1999.
"Mawoluwo tiyo!"
Pada malam hari, ketika salah seorang warga
sudah memberikan peringatan dengan kalimat
tersebut, desaku mulai dirundung ketakutan.
Rasanya, malam menjadi begitu panjang. Orang-orang
akan bergegas mengunci rumah masing-masing. Kisah
ini dimulai saat salah seorang warga Kampung Baru
ya hendak pulang ke rumahnya, selepas salat Isya
29 cerita
152
Setelah Ayah Pergi
berjamaah di Masjid yang ada di depan rumahku.
Saat hendak pulang, ia melewati kuburan para tentara
Belanda. Pada saat itulah, dia melihat sosok lelaki
paruh baya menggunakan seragam kompeni terlihat
setengah berdiri dan terisak seakan memohon ampun
dalam keadaan berlumuran darah, serta tanpa lengan
kiri dan kanannya.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh
warga kami itu hanyalah mundur perlahan, kemudian
berlari secepat yang ia bisa, kembali menuju masjid
yang saat itu masih terdapat beberapa jamaah sedang
duduk bercengkrama.
“Anda kenapa?”tanya salah seorang jamaah.
Suasana menjadi hening seketika. Kami yang
sedang asyik bermain wayang malah jadi ikut-ikutan
penasaran.
Ti paade30, sebutan laki-laki itu mulai bercerita
mengenai sosok horor yang ia saksikan sedang terisak
di kuburan koloni Belanda yang membuat ia harus
30 paman
153
Eti Ndulia, dkk
berlari kencang, dan merusak salah satu sandal
miliknya. Seminggu setelah kisah horor itu
tersebar, kami mendengar hentakan kaki orang-
orang, seperti sedang baris-berbaris di jallanan desa.
Malam itu tepat setelah salat Isya. Namun, apa yang
mata kami lihat tidak sejalan dengan apayang kami
dengar. Jalan sunyi senyap.
Malam-malam semakin mencekam. Suara
hentakan-hentakan kaki setiap malam itu mulai
mengubah kebiasaan penduduk desa. Para orang tua
mulai melarang kami, anak-anak untuk pergi bermain
saat malam hari.
Jalanan menjadi begitu sepi. Penduduk mulai
mengunci diri di rumah masing-masing. Semua itu
selalu saja terjadi selepas salat Isya. Kampung Baru
yang kala itu masih gelap gulita tanpa aliran listrik,
menjadi semakin gelap dan sunyi. Sesekali, ronda
dilakukan, beberapa warga desa bergantian berjaga-
jaga jika terjadi hal darurat.
Pada suatu malam yang lain, selepas salat Isya,
sebelum orang tua memamnggil kami, kami masih
154
Setelah Ayah Pergi
asyik bermain di pelataran masjid, bercanda sampai
salah satu temanku terjatuh. Para jemaah lain hanya
geleng-geleng kepala. Kemudian terdengarlah suara
derap tapak kuda di jalan. Sebuah bendi lewat. Sesaat,
tidak ada yang aneh. Barulah setelah bendi itu lewat,
salah seorang warga berteriak.
“Kepala kusirnya tidak ada!”
Teriakan itu membuat penduduk desa yang
bersiap-siap memanggil anak-anak dan mengunci
rumah mereka berlari berhamburan melihat kusir
bendi tersebut.
Jelas sekali suaranya. Aku mengucek mataku
perlahan. Kemudian bergegas. Berlari kecil-kecil
menuju pada sekumpulan warga yang berusaha saling
meyakinkan satu sama lain tentang apa yang baru
saja mereka saksikan. Iya. Kusir bendi itu memang
tidak memiliki kepala. Seperti hantu, dia lewat begitu
saja, menumpuk sejuta penasaran kepada penduduk
desa.
“Kalau hantu, kenapa kita semua bisa
melihatnya?” Celetuk salah seorang warga yang lain.
155
Eti Ndulia, dkk
“Iya, benar. Jangan- jangan itu bukan hantu.”
Sahut yang lain.
Ibu-ibu segera memamnggil anak-anak
mereka. Mengunci pintu dan jendela rumah, dan
menyalakan lampu botol di dalam rumah hanya pada
ruang-ruang tertentu.
***
Satu minggu lamanya keadaan di Kampung
Baru terasa begitu mencekam karena kehadiran kusir
tanpa kepala itu. Setiap malam, hanya suara orang
yang sedang melakukan tugas jaga malam-ah yang
terdengar dari luar rumah. Seluruh rumah terkunci
rapat. Segala kegiatan dihentikan. Apalagi saat kusir
tanpa kepala itu datang. Selain itu, hanya ada suara
jangkrik dan suara bendi milik hantu tanpa kepala
yang berderap di jalan. Suara-suara tapak kaki kuda,
lalu muncullah sosok berjubah hitam tanpa kepala itu,
mengendarai bendi milikknya.
Lama-lama, beberapa pemuda desa menjadi
begitu penasaran. Salah seorang pemuda desa, Kak
Julu namanya, mengajak beberapa pemuda dan
156
Setelah Ayah Pergi
penduduk desa lainnya untuk mengawasi jalanan saat
malam hari. Mereka ingin tahu bagaimana cara kusir
bendi itu melewati selokan yang saat itu sedang
dikerjakan. Selokan itu berada tepat di perempatan
jalan Kampung Baru. Karena pembangunannya yang
lambat, selokan itu menjadi penghalang bagi
beberapa sepeda dan becak untuk lewat. Namun,
anehnya kusir bendi itu malah bisa melewatinya.
Sehingga, Kak Julu merasa bahwa ia hanyalah
seseorang yang ingin menakut-nakuti penduduk desa
dengan bepura-pura sebagai hantu kusir bendi tanpa
kepala.
***
Benar. Malam itu, Kak Julu dan beberapa
pemuda, dengan izin kepala desa dan aparat desa
lainnya, akan mencari tahu siapa dalang di balik
semua kejadian mencekam di desa kami. Tepat di
perempatan jalan tempat pengerjaan selokan
menghalangi, mereka berkumpul dan berdiskusi.
Berbekal beberapa helai nilon, mereka
kemudian mengikatkannya pada satu pohon yang ada
157
Eti Ndulia, dkk
di pinggiran jalan, agar saat bendi itu melewati
persimpangan jalan, kuda akan jatuh tersungkur
akibat nilon itu. Benar saja. Ketika bendi itu lewat,
kudanya jatuh ke dalam selokan karena terlilit nilon.
Bendinya ambruk, tetapi kuda itu berusaha bangkit
kembali hingga membuat kusir bendi itu jatuh dan
akhirnya tertimpa oleh kudanya sendiri. Ia ternyata
adalah seorang pria paruh baya.
Belakangan, terdengar desus-desus dari para
penduduk desa bahwa kusir bendi tanpa kepala itu
bukanlah penduduk Kampung Baru. Ia berasal dari
desa di seberang gunung. Karena ulah jahilnya,
akhirnya ia mendapatkan balasan atas apa yang
sudah ia lakukan. Tertimpa kuda miliknya sendiri.
Entah untuk tujuan apa, tetap saja apa yang sudah
dilakukan kusir paruh baya itu tidak bisa dibenarkan,
meski akhirnya ialah korban dalam kejadian ini.
Kini, kuburan tempat para kompeni Belanda
itu dimakamkan dipindahkan pemerintah setempat
agar Kampung Baru bisa kembali tentram seperti
hari-hari sebelumnya. Meski kejadian mengerikan itu
158
Setelah Ayah Pergi
tetap saja bisa kami ingat dengan jelas sampai
sekarang, di luar kepala.
159
Eti Ndulia, dkk
KEHIDUPAN MERAH
Rahmawati Eka Putri Ali
Napasku memburu saat Ibu mempertanyakan
apa yang aku lakukan di Jakarta hingga tidak kembali
pulang selama dua tahun. Aku tidak menemukan
definisi yang cukup bagus untuk menjawab
pertanyaannya. Namun, bukankah ia lebih
mengetahui jawabannya? Bukankah waktu selama itu
cukup menjadi jawaban atas apa yang terjadi?
"Ibu mengerti bahwa kamu mungkin masih
dendam, tapi kamu tidak melakukan itu bukan?"Ibu
sambil menekankan akhir kalimatnya, seolah olah
sengaja mengingatkanku pada peristiwa dua tahun
lalu. Aku ada di tempat ini bukan tanpa alasan. Aku
ingin melepas diriku dari keterikatan sebuah cerita
hidup yang rumit. Mengapa aku tidak dibiarkan
menghirup udara sedikit saja? Selama ini aku
terdesak dalam ruang yang sulit untuk dilepaskan.
Malam itu, ia memaksaku menikah dengan pria
sebayanya. Aku terguncang akan keputusan ibu yang
160
Setelah Ayah Pergi
tanpa basa basi mengiyakan lamaran pria tua itu,
tanpa mengindahkan pendapatku. Aku menolak
keras, aku bukanlah wanita yang sebegitu mudahnya
menikah hanya karena ingin kaya. Secara tidak
langsung aku dijual demi memperkaya keluarga, demi
memuaskan hasrat Ibu untuk tinggal di rumah yang
lebih megah.
"Leta…."
Aku menangis tersedu sedu di kamar.
Panggilan Ibu aku abaikan. Ia lalu mendekatiku yang
menyembunyikan diri dalam selimut. Aku masih kecil,
Bu. Ingin rasanya aku teriakkan itu di depan
wajahnya, untuk apa aku sekolah jika masa depanku
saja ditentukan oleh ibuku sendiri? Bukankah dia
sendiri yang menumbuhkan harapan agar aku bisa
menjadi orang yang sukses dan berguna? Lalu, apakah
ini termasuk dalam cara untuk menjadikan harapan
itu nyata? Menjadi kaya dengan cara memeras pria
paruh baya itu?
"Nak kita ini orang miskin…."
161
Eti Ndulia, dkk
Aku menghela napas kasar. Apa yang salah
dengan nasib menjadi miskin? Apakah miskin sebuah
keadaan yang begitu memalukan sehingga perlu
diubah dengan menikahi pria kaya? Aku benci ketika
miskin selalu dikaitkan dengan tidak punya hak untuk
memilih pasangan hidup sendiri dan harus rela
diperlakukan secara tidak adil oleh orang orang yang
memiliki banyak uang. Apa aku harus menjadi kaya
agar bisa menentukan pilihanku sendiri?
"Kamu akan lebih bahagia bersamanya."
"Bahagia? Bagaimana bisa ibu terlampaui
yakin pria itu bisa membahagiakanku sedangkan ibu
saja tidak mengerti hal apa yang dapat
membahagiakanku?” Balasku cukup keras. Aku begitu
kesal ketika ibu membawa kata bahagia sedangkan ia
membuatku menderita. Dua bulan lalu aku baru
merasakan nikmat dari kelulusan di tingkat SMA.
Lalu, tiba-tiba aku harus menikah? Pernikahan itu
seminggu lagi, apa yang harus aku lakukan untuk
menghentikannya? Bukankah menghentikan
pernikahan dengan waktu yang begitu singkat ini
162
Setelah Ayah Pergi
akan menghasilkan realita yang indah jika dalam
sebuah ftv? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ini
malah berakhir buruk?
"Leta. Ikuti saja dan jangan membantah!"
"Bu, aku tidak mau. Jangan paksa aku!"
"Kamu pernah dengar tidak peribahasa yang
terkenal di desa kita? Bagi wanita miskin seperti kita,
pilihan hidup kita hanya dua. Menikah atau hidup
menjadi pelacur."
Air mataku jatuh. Betapa sakitnya ketika Ibu
mengatakan itu dengan sengaja untuk tidak
membuatku memilih. Apakah ibu berpikir bahwa jika
aku menolak aku akan bekerja menjadi pelacur?
Tidak Ibu, aku akan menolak menikah dan hidup
bahagia dengan caraku sendiri.
Setelah hari itu, tepat sehari sebelum
pernikahanku,aku melarikan diri. Masa bodoh
terhadap uang panai’ puluhan juta. Aku lari ke Jakarta,
ada temanku Dendra yang akan membantuku hidup.
"Leta…"
163
Eti Ndulia, dkk
Ibu menyadarkan aku dari lamunan akan masa
lalu. Aku menatapnya, tatapannya terlihat sendu
seolah sedang mengasihaniku karena pergi setelah
sekian lama.
"Kamu benar benar tidak melakukannya
bukan?"
Jadi, apakah sambutan yang baik adalah
mempertanyakan masalah itu? Aku tersenyum lalu
menggeleng. Ibu kemudian membalas senyumku dan
memelukku lembut. Ya, aku sudah terbiasa
berbohong, bukan hal yang sulit jika aku harus
berbohong untuk menjaga harga diriku di depan
orang tuaku sekarang. Benar, aku telah jadi pelacur.
Mari kujelaskan bagaimana bisa aku menjadi
wanita bodoh seperti itu. Dua tahun aku tidak kembali
karena aku malu jika kembali. Aku menjadi wanita
malam untuk menukar uang panai’ dari pria tua itu,
yang merasa aku rugikan. Dia mendatangiku dan
mendapatiku yang tinggal di kontrakan kecil tepat
dua hari setelah hari pernikahan kami. Ia hampir saja
menyiksaku karena aku meninggalkannya. Ia berkata
164
Setelah Ayah Pergi
jika aku tidak berusaha mengganti uang panai’ itu,
aku akan dijadikannya budak. Dia juga akan
menjembloskan orang tuaku ke penjara. Bukankah
lebih baik aku mengakhiri hidup? Sungguh bagaimana
bisa aku peroleh uang untuk menukar uang panai’ itu?
Sangat memalukan jika aku menolak menikah
dengannya dan aku berakhir sebagai budak. Baru
seminggu aku menjalani hidup di tempat ini dengan
bekal ijazah SMA, dan itu tidak cukup untuk
memperoleh pekerjaan yang layak dan bisa mendapat
uang dalam jumlah yang banyak.
"Leta aku punya pekerjaan untukmu." Ucap
Dendra selepas aku mengangkat panggilannya. Aku
menanyakan mengenai pekerjaan yang menghasilkan
uang banyak dalam waktu yang singkat dan dengan
sigap ia langsung mengabariku mengenai lowongan
pekerjaan.
"Iya apa? Ayo katakana!" Ekspetasiku tinggi.
Aku mungkin akan dipekerjakan sebagai wanita
kantoran. Ah aku wanita desa bisa menjadi wanita
165
Eti Ndulia, dkk
kantoran seperti itu? Aku tersenyum bahagia. Ini pasti
akan menyenangkan.
"Kamu mau?"
"Pasti aku mau!"
"Kamu mau jadi pelacur?"
Hatiku hancur ketika mendengar ucapan
Dendra. Seketika ucapan Ibu terngiang ngiang di
pikiranku. Kenapa Dendra begitu yakin bahwa
pekerjaan ini cukup wajar?
"Kamu gila!"
"Itu cara satu satunya. Kamu ingin menukar
uang panai’ bukan? Kamu pikir uang puluhan juta itu
bisa kamu tukar dengan mengumpulkan gajimu
menjaga toko swalayan?"
Aku terpaku. Apa yang ia katakan benar. Aku
memang tidak mungkin bisa mengumpulkan uang itu
dalam jangka waktu yang singkat, tapi tidak dengan
menjadi wanita malam. Masih banyak pekerjaan halal
yang mungkin sedikit demi sedikit mampu menukar
uang panai’.
"Aku tidak mau Dendra"
166
Setelah Ayah Pergi
"Aku tunggu jawabanmu besok. Kamu tidak
akan menyesal menerima tawaranku."
***
Aku mencari pekerjaan tanpa iming-iming
kotor seperti yang Dendra lakukan, dan hasilnya nihil.
Sudah hampir sebulan aku di Jakarta, dan semuanya
tak ada yang gratis. Biaya hidup, kos, listrik, air, dan
masih banyak lagi. Aku harus mengonsumsi mi instan
yang harus kubagi dua untuk dimakan pada esok
harinya. Aku ke Jakarta tanpa uang. Untung saja
Dendra mau membayar kontrakanku untuk bulan
pertama dan segala hal yang kubutuhkan. Itu sudah
cukup memalukan hidup dengan dibiayai orang.
Pria tua itu datang lagi. Ia kembali
mengancamku. Katanya, aku bahkan belum mengirim
sepeserpun untuk menukar uang panainya, ah dasar
pria tua itu! Jika memang tidak mau rugi pada
awalnya mengapa melamarku? Toh uangnya menjadi
sia-sia. Jika saja ini bukan karena orang tuaku,
mungkin aku sudah bersembunyi di belahan bumi
lain agar tidak ditemukan laki-laki sialan itu.
167
Eti Ndulia, dkk
"Ganti uangku atau orang tuamu tidak sekadar
kupenjarakan tapi kucelakai!"
Bibirku terkatup tak bisa bicara saat pria tua
itu mengancamku sebelum pergi. Aku bingung dan
tidak tahu harus melakukan apa. Aku juga tidak akan
mau menerima pekerjaan itu bagaimanapun susahnya
diriku. Aku masih berakal sehat, dan aku tidak
mungkin akan melakukan hal terkutuk itu. Namun, di
sisi lain, aku tidak bisa mengganti uang itu dalam
waktu singkat. Tolong aku Tuhan, aku harus
bagaimana? Sejujurnya aku punya sedikit rasa
menyesal karena meninggalkan pernikahan itu.
Malamnya Dendra menelpon. Setelah beberapa
hari aku menghindari panggilannya, hari ini aku
mencoba mengangkatnya walaupun aku tahu ini
mungkin bisa terakhir kalinya aku bernapas lega.
"Leta, bagaimana? "
Aku terdiam. Entah apa yang harus aku jawab.
Jika aku berterus terang mengenai pria tua itu datang
lagi mungkin Dendra akan merecoki aku dengan
pekerjaan haram itu. Namun di sisi lain, aku juga
168
Setelah Ayah Pergi
butuh uang dalam waktu yang singkat demi menjaga
keluargaku. Seketika terbesit bahwa mereka lebih
berharga dari diriku sendiri.
"Pria itu datang lagi bukan? Lalu mau kamu
ganti dengan apa uangnya? Daun berceceran di depan
kontrakanmu?"
"Jelaskan bagaimana aku menjalani pekerjaan
itu, Ndra, " kataku pada akhirnya.
Aku melihat Deandra tersenyum puas.
Bibirku bergetar. Mataku memerah. Tanganku
berkeringat. Pikiranku buntu. Aku tidak punya cara
lain. Aku tidak punya cara lain. Jika ini diniatkan
untuk hal baik maka tentu akhirnya tentu jadi baik.
"Kamu hanya melayani pria-pria yang aku
tawarkan. Tenanglah, kamu akan mendapat bayaran
besar. Kamu cantik dan masih muda. Kamu akan
melayani pria pria kaya. Aku jamin kamu akan meraih
uang banyak dalam sehari."
Seketika hatiku hancur berkeping-keping. Aku
benar benar menjadi pelacur demi menghindari
169
Eti Ndulia, dkk
pernikahan. Kata-kata Ibu seolah terngiang ngiang di
kepalaku.
Aku akhirnya menjalani pekerjaan itu pada
esok harinya sambil berusaha ikhlas bahwa ini
memang sudah seharusnya. Seperti kata Ibu, untuk
wanita miskin seperti kami, jika tidak menikah, kami
akan menjalani hidup sebagai pelacur.
* * *
3 Juni 2016. Hari yang seharusnya menjadi
hari bahagia karena umurku menginjak 19 tahun.
Namun, itu malah menjadi hari yang kusesalkan
seumur hidup karena memilih pekerjaan kotor untuk
melindungi kedua orang tuaku.
Kalian ingin tahu bagaimana rasanya ketika
aku bekerja sebagai pelacur pertama kali? Seperti
kalian sedang dicabik-cabik sesuatu yang membuat
kalian rapuh dari dalam dan tak bisa berbuat apa-apa.
"Kamu pasti akan menikmatinya!" Ucap
Dendra saat aku menangis. Bullshit! Bahkan selama
aku dua tahun menjalin pekerjaan ini aku tidak
170
Setelah Ayah Pergi
sedikitpun merasa nyaman, yang aku rasakan cemas
dan khawatir.
Namun, dari pekerjaan itu, aku menghasilkan
banyak uang. Betul kata Dendra. Aku melayani pria-
pria kaya raya. Di sisi lain aku merasa ini karma
karena menolak pria tua itu. Namun, balasan karma
ini membuat aku kaya mendadak. Bagaimana tidak?
Setiap pria aku melayani mereka aku mendapat uang
10 juta. Tidak seperti pelacur kelas rendahan yang
biasanya hanya mendapat ratusan rupiah perjamnya.
***
Waktu berlalu, hatiku semakin gelisah. Setelah
mengganti uang panai si pria tua itu, aku tetap
menjalani pekerjaan itu. Bukan karena aku ingin, tapi
karena kebutuhan hidupku yang semakin lama
semakin memuncak. Aku ingin lepas, aku ingin
kembali pulang ke rumah Ibu, bersama ayah dan
keluargaku di desa. Uang sebanyak itu bahkan hanya
dapat aku habiskan sebulan untuk membeli makanan
dan jalan –jalan. Aku benar benar tidak tahu
mengatur uang. Yang aku inginkan hanyalah pulang.
171
Eti Ndulia, dkk
Tidak ada yang menginginkan berlama lama dalam
pekerjaan ini jika ada sebuah tempat yang ingin dia
tuju.
"Carry, ini jatahmu!" Laki-laki itu melempar
uangnya setelah memakaiku sebagai pemuas
hasratnya. Ini sudah ke-5 kalinya aku menggunakan
nama samaran agar tidak diketahui oleh orang lain
bahwa aku sebenarnya Leta yang berprofesi sebagai
pelacur. Di sisi lain nomor ponselkuku jadi ladang
untuk mendapat uang, aku dengan apa adanya
memberikan nomorku yang sebenarnya namun
jarang aku aktifkan. Hal yang aku takutkan, aku akan
mendapat klien yang merupakan teman atau
keluargaku sendiri.
Terkadang, aku merasa benar benar tersiksa
dengan pekerjaan ini. Tidak ada hal yang membuatku
nyaman dan hidup tenang. Uang tidak selamanya
dapat membuatmu bahagia apalagi dengan cara
seperti ini. Jika saja waktu itu aku bisa berpikir lebih
jernih saat mengambil keputusan, mungkin aku bisa
memilih pasangan yang baik untuk kujadikan
172
Setelah Ayah Pergi
suamiku. Namun, apakah ada orang yang masih mau
menerimaku menjadi istri jika tahu bagaimana masa
laluku? Di dalam diriku, aku tetap wanita yang
memiliki naluri yang sama dengan wanita lain:
menginginkan hidup normal. Jatuh cinta dan menikah.
Alasanku kembali ke rumah orang tuaku
setelah sekian lama pergi adalah karena Dendra
mengajakku ke Belanda. Ia ingin aku menjadi pelacur
di sana melayani om om bule yang lebih kaya. Dia
sudah gila! Di pikiran dia hanya bagaimana
menghasilkan uang lebih banyak dari hari ke hari.
"Aku tidak mau. Kamu sudah gila ya?”
"Kamu yang gila. Kita akan mendapat lebih
banyak uang dan kamu akan lebih aman"
"Lebih aman?"
"Di sana pelacuran itu dilegalkan. Kita akan
lebih leluasa."
Aku ternganga akan ucapannya. Jadi, dia mau
kami pergi karena di sana pelacuran itu dilegalkan?
"Aku mau berhenti, kamu tahu itu!”
173
Eti Ndulia, dkk
"Jangan bersikap bodoh. Kamu pikir darimana
kamu bisa sesejahtera ini jika bukan karena uang
yang kamu anggap haram itu."
“Sejahtera dengan cara yang tidak aku
inginkan. Ndra aku ingin berhenti."
"Tidak akan aku izinkan. Aku sudah punya
koneksi di Belanda yang akan membantu kita."
Aku meneteskan air mata. Apakah aku selama
ini terlihat begitu menginginkan pekerjaan ini
sehingga ia mau aku sejauh itu? Belanda, apa yang dia
inginkan aku di sana? Apakah legal menjadi satu
satunya alasan ataukah ia mau meraup lebih banyak
keuntungan dariku?
"Kamu memaksaku?"
Tanyaku tegas. Dia tidak bisa memaksaku jika
aku tidak menginginkan itu. Masih banyak wanita
yang bersedia, mengapa harus aku yang menjadi
tumbal dari hasratnya untuk memiliki banyak uang?
"Tidak. Kamu sudah menyetujuinya dari awal.
Kamu harus mengikuti ini sampai akhir."
174
Setelah Ayah Pergi
Aku menatapnya sinis, yang dimaksud sampai
akhir itu sampai kapan? Apa sampai aku mati dan
berbelatung di kubur? Tidakkah itu seperti kisah
sinetron azab yang menyedihkan?
“Ndra. Sudah berulang kali aku katakan aku
tidak ingin melanjutkan ini. Kamu mau aku mati
dengan menjadi pelacur?”
Dendra menarik rambutku secara kasar.
“Argggghh”. Aku bisa melihat langit langit
kamar saking kerasnya tarikan itu.
"Ingat, aku tidak mau mendengar omong
kosongmu! Ikut aku ke Belanda atau kubunuh kau di
sini!"
Aku terbelalak kaget atas apa yang ia ucapkan.
Tidak! Aku sudah tidak ingin melanjutkan ini, hatiku
semakin mantap setelah ucapan Dendra. Malam itu,
tanpa mengemasi barang barangku, aku pergi
meninggalkan Jakarta. Walau sulit untuk pergi tanpa
Dendra tahu, akhirnya obat tidur jadi solusi ampuh
untuk membuatnya terpejam saat aku pergi.
175
Eti Ndulia, dkk
ACO
A.Luthfiah
Malam ini, dari balik panggung, dapat kulihat
hiruk pikuk penonton yang membanjiri area tribun
khusus penonton. Ya, ini yang aku inginkan semua
bersorak-sorai menyebut namaku, menginginkanku
untuk terus memainkan semenandung lagu-lagu
indah, untuk terus menghibur mereka. Empasan
angin malam di pantai Losari semakin terasa ketika
aku menaiki panggung, gemerlap lampu semakin
menambah hasratku untuk tetap terus berada di
tempat ini. Sekali lagi, aku meyakinkan diriku,
memang ini yang aku inginkan. Aku tak peduli dengan
pertanyaan yang menghujam ketika aku menduduki
bangku akhir SMA, “Akan merantau ke mana setelah
lulus SMA?” Konyol, memang konyol cara pandang
orang-orang di kota ini, terlebih lagi orangtuaku ikut
menanyakan hal itu.
“Co, siap? Semua, siap? 1… 2… 3!” Ucap Baso,
vokalis band-ku.
176
Setelah Ayah Pergi
Kami mulai beraksi. Suara drum, gitar, bass,
keyboard, serta suara Baso yang serak-serak basah
melantun dengan selaras membius penonton. Para
penonton ikut bernyanyi, tertawa, bertepuk tangan
ria. Untuk apa aku pergi jauh jika apa yang
membuatku bahagia ada di sini? Hidupku di sini, di
tempat ini.
“Mainmu bagus malem ini, Co.” Ikrar,
drummer-ku, berkata sambil mengelap peluh di
dahinya.
“Bagus tonji31 mainmu, Krar.”
“Jadikan besok kita manggung di Trans?”
Frenki bertanya membereskan peralatan.
“Kayak biasa, Frenk. Balik duluan ka’ nah.” Aku
harus bergegas. Otakku telah penuh dengan pikiran
akan-diapai-lagi-saya-malam-ini. Aku membawa
motor kembali ke rumah dengan kecepatan penuh.
Setiap malam, aku memang pergi dari satu
panggung ke panggung lainnya, tapi setiap malam
31 Juga, bahasa Melayu Makassar
177
Eti Ndulia, dkk
pula Bapak menghukumku dari satu hukuman ke
hukuman lainnya. Motorku telah memasuki
pekarangan rumah, kuparkirkan dan kumatikan
mesinnya. Tanpa pikir panjang langsung saja kubuka
pintu rumah dan seperti biasa. Bapak sedang duduk
di ruang tamu dengan melipat tangannya.
“Jadi belum puas juga sama hukuman Bapak?
Mau jadi apa?”
“Masih sama seperti jawaban sebelumnya, Pak.
Saya mau jadi musisi di kota ini.”
“Musisi? Di kota ini? Ha-ha-ha.... Tidak akan
ada celah untuk kau sukses, Nak.” Tawa sinis Bapak
menggema di ruang tamu. Bapak selalu menentangku,
tak pernah mengerti diriku, membanding-
bandingkanku dengan kakak yang telah sukses di kota
perantauannya menjadi seorang dokter. Bapak selalu
berucap lulus SMA kamu harus merantau, kuliah di
pulau Jawa dan menjadi seorang arsitek. Apa yang
salah menjadi seorang musisi di kota ini?
“Siapa yang bilang, Pak? Selalu saja
mengatakan kota ini tidak menjanjikan sebuah
178
Setelah Ayah Pergi
kesuksesan. Kesuksesan itu dapat ditemukan dimana
saja, Pak!”
“Tidak usah kau sok tahu! Bapak ini sudah
makan asam garam kehidupan, sudah banyak yang
Bapak hadapi!”
“Terus Bapak mau saya memilih hidup yang
tak pernah akan saya nikmati?”
“Jangan jadi anak kurang ajar!” Kemarahan
sangat tergambar di wajahnya.
“Ya sudah terserah Bapak maunya bagaimana.
Tapi, ini hidup saya, Pak.”
Saat memasuki kamar, rasa bersalah
menghinggapi diriku. Sungguh tak ada maksudku
untuk membantah Bapak dan marah kepadanya.
Andai saja Bapak tidak menghalangi dan membatasi
apa yang aku inginkan, aku tidak akan berang seperti
ini.
***
“Tidak ada celah untuk kau sukses, Nak.”
Apa sebenarnya yang salah? Toh, kota ini juga
dapat menjanjikan suatu hal yang indah. Apa
179
Eti Ndulia, dkk
sebenarnya yang ada di benak Bapak? Setelah
pertengkaran tadi malam, pertanyaan tersebut terus
menghantui pikiranku. Saat sarapan tadi pagi pun
Bapak tetap kekeh dengan semua ucapannya. Entah
harapan apa yang Bapak gantungkan padaku. Arsitek?
Ha-ha-ha. Ya, aku memang senang menggambar. Akan
tetapi, hidupku dan jiwaku ada di gitar dan nada-nada
yang terlantunkan.
Ya. Lagi-lagi, Bapak tak menghargai hal itu.
Bapak hanya memikirkan semua hal yang realistis,
mengambil simpulan dari semua hal yang pernah
terjadi. Terus membanding-bandingkan aku dan
kakak yang sebenarnya berbeda seratus delapan
puluh derajat. Perjalanan hidup seseorang berbeda-
beda, bukan? Aku memilih menjalankan kehidupanku
di sini, di kota kelahiranku. Untuk apa aku jauh-jauh
pergi merantau ke tempat yang aku saja tak tahu
seluk-beluknya, bagaimana kebiasaan orang-orang di
sana?
“Co, kenapako melamun?” Jalal membuyarkan
lamunanku.
180
Setelah Ayah Pergi
“Ndapapaji, Jal.”
“Jatuh cintako toh sama itu cewek yang
menyapa kita kemarin sehabis main?” “Halah,
sembarangan. Ndalah, Jal. Saya lagi pikirkan
masa depan.”
“Masa depan sama dia kan. Hi-hi-hi.”
“Eh, siniko, tutup mulutmu.” Aku pun berdiri
dan mencoba membekap mulut Jalal.
“Ampun pace, Jadi kenapako melamun?”
“Biasa, Bapakku....”
Jujur, Bapak merupakan orang yang sangat aku
hormati. Menurutku, ia sosok yang luar biasa
hebatnya. Lelaki yang menjadi panutanku, bagaimana
aku harus bertindak tegas dan kuat, serta tak patah
semangat sebagai seorang lelaki. Laki-lai yang begitu
tabah sepeninggal Ibu. Aku yakin putusan yang Bapak
buat juga demi kebaikanku, tapi aku juga berhak
memilih jalan hidupku, bukan?
“Ada ideku, Co.” Ucap Jalal tiba-tiba berdiri
mengacungkan jari telunjuknya.
“Santai saja, bro. Ide apa?”
181
Eti Ndulia, dkk
“Coba kau kasihkan Bapakmu tiket konser kita,
belum pernahpi bapakmu nonton ko main, toh?”
Bapak, nonton konser? Di antara kerumunan
penonton? Mungkinkah? Bukannya Bapak sangat
tidak menyukai aku bermain gitar?
“Halah. Mana mungkin bisa?”
“Tidak ada yang tidak mungkin, Co. Coba saja
dulu.” Jalal menepuk bahuku.
Apa yang diucapkan Jalal tadi membuatku
berpikir lagi. Bisakah? Kuakui ide Jalal bagus juga,
mencoba untuk meyakinkan Bapak bahwa aku benar
memilih jalan hidup ini.
Saat mengendarai motorku untuk kembali
pulang, aku pun membulatkan tekad. Bapak harus
mengetahui sendiri apa yang aku inginkan, Bapak
harus merasakannya, Bapak harus melihatnya. Jika
aku tak melakukannya, Bapak akan tetap bertahan
dengan pendapatnya karena menurutnya itulah hal
terbaik.
“Pak, ada waktu sebentar malam?” Tanyaku
padanya saat sampai di rumah.
182
Setelah Ayah Pergi
“Kenapa? Sudah berubah pikiranmu?”
“Datang ya, Pak.” Aku menyodorkan tiket
konser.
“Apa ini?”
“Terserah Bapak mau datang atau tidak, saya
cuma mau kasih liat ke Bapak apa yang selama ini
saya lakukan.”
Bapak hanya menatap tiket itu dengan tatapan
acuh tak acuh. Sudahlah, aku telah putus asa. Bapak
mungkin tak dapat mengubah pandangannya. Bapak
pasti akan tetap pada pendiriannya. Percuma saja aku
melakukan hal ini. Mencoba mencari-cari celah untuk
meluluhkan hatinya, memberi tahunya bahwa
hidupku, aku sendiri yang menetapkannya. Bapak
tidak akan pernah dibantah, keputusan Bapak pasti
sudah mutlak.
***
Kembali lagi teriakan itu menggema memasuki
ruang-ruang telingaku, rasa ini semakin menggebu-
gebu untuk kembali ke atas panggung dan kembali
menghibur mereka. Kini, kami tengah bersiap untuk
183
Eti Ndulia, dkk
permainan kesekian kalinya. Sebelum menaiki
panggung, kami sempat memanjatkan doa, berharap
permainan malam ini sukses seperti sebelum-
sebelumnya. Saat menaiki panggung, tebersit harapan
Bapak akan hadir di antara sekian penonton yang kini
membanjiri area tribun.
“Semua siap? 1...2...3!”
Seperti biasa, Jalal menanyakan kesiapan kami
sebelum kami memulai bermain. Setelah sepuluh
menit kami berada di panggung , tak kunjung juga
kulihat Bapak muncul di antara kerumunan penonton.
Sia-sia, memang sia-sia saja usahaku membujuk
Bapak. Malam ini, aku sudah siap dengan putusan
Bapak.
Ketika motorku memasuki pekarangan rumah,
ada hal yang membuatku terheran. Bapak
menungguku di depan pintu, bukan di ruang tamu
seperti biasanya.
Harapan Bapak menonton konserku pun
kembali datang. Akan tetapi, segera saja kutepis.
Tidak mungkin, tidak mungkin Bapak menonton.
184
Setelah Ayah Pergi
Selama di panggung aku tak melihat bapak Berada di
kerumunan orang-orang.
“Jadi, apa maumu sebenarnya? Kau tidak mau
ikut merantau seperti kakakmu?”
“Ya, Pak. Kota ini juga menjanjikan kesuksesan
untuk saya.”
“Tapi kau akan mendapatkan kehidupan yang
lebih layak jika merantau.”
“Nda, Pak. Mungkin saja kakak yang seperti itu,
tapi saya tidak.”
Amarah sekaligus kecewa perlahan meluap
membanjiri dadaku. Aku sudah yakin Bapak akan
tetap dengan pendiriannya. Aku....Aku ingin
memperjuangkan hakku dan aku layak untuk
memillih hidupku sendiri.
“Bapak tadi datang di konsermu.”
“Bapak datang?” Bapak datang, itulah hal yang
paling mengherankan. Bahkan aku saja tak melihat
sama sekali bapak berada di mana. Bapak datang?
Tidak mungkin.
185
Eti Ndulia, dkk
“Bapak melihat bagaimana kau di panggung,
juga antusiasme penonton. Ini duniamu, Nak. Jika
kamu yakin, teruskanlah. Maafkan Bapak yang terus
memaksakan kehendak Bapak.”
Aku terheran dengan apa yang diucapkan
Bapak setelah itu, semua hal yang tak pernah
terbayangkan keluar dari mulut Bapak. Hal itu
membuat semua hal dalam hidupku berubah. Tak
terbayangkan andai Bapak tak pernah mengucapkan
hal itu semua, tak mungkin di hari ini namaku
terkenal di seantero kota Makassar. Perkenalkan
namaku, Aco.
186
Setelah Ayah Pergi
187
Eti Ndulia, dkk
JANGAN JADI PENULIS
Ryota Bitna
Jika kau butuh uang, jadilah pengusaha.
Jangan jadi penulis.
***
“Kalau saya, sih, tidak akan terima. Masa karya
saya hanya dihargai dengan barang lima belas ribuan
begini,” ketus Yuel, lalu melempar buku milikku ke
lantai.
Aku menarik sudut bibir kanan, tersenyum.
Memungut buku yang dihadiahkan oleh panitia
kegiatan Hari Ibu siang tadi. Aku akan ingat kata-
katamu, Yuel. Aku berdiri dan pergi tanpa mengucap
salam.
“Maraju32 eh,” goda Yuel, tetapi tidak
kuindahkan.
Tidak apa-apa, Pit. Syukuri apa yang kau punya,
Allah tidak tidur dan waktu juga tidak akan berhenti
32 Marah
188
Setelah Ayah Pergi
sampai di hari ini. Tetapi … aku menggigit bibir
bawah. Jika ingin jadi seorang penulis, aku harus
punya wawasan luas dan pengalaman. Apalagi
menulis bukan hanya sekadar menuangkan ide dan
bercerita sesuka hati, pasti ada materi-materi khusus
yang perlu dikuasai oleh seorang penulis.
Aku menghela napas panjang, lalu
menghembuskannya dengan cepat. Di mana aku akan
mendapatkan semua itu, jika kuliah saja masih
mengandalkan Beasiswa Bidikmisi.
Momen penyerahan hadiah siang tadi kembali
terbayang. Ketika panitia penyelenggara kegiatan
menyebut namaku dan mempersilakanku ke atas
panggung. Sejuta rasa seketika menyatu sampai
membuat kaki gemetaran, senyum bahagia penuh
syukur pun tidak bisa kusembunyikan.
“Hadiahnya buku ya, Pit?” Ayu yang hari itu
menemaniku ke auditorium ikut bahagia. “Masyaallah,
cantik sekali. Selamat, ya, insyaallah ke berhasil
kuaminkan berkali-kali.
***
189
Eti Ndulia, dkk
“Pit, kata-kata Yuel tadi jangan diambil hati,
ya?” Ayu menasihatiku. Aku menatapnya sebentar,
kemudian melengkungkan senyum dan mengangguk
pelan. “Aku tahu kamu mudah sekali terluka. ”
Ayu benar. Aku begitu mudah terluka dengan
ucapan orang lain, entah itu serius atau hanya senda
gurau belaka.
“Anggap saja Yuel bilang begitu supaya kamu
bisa termotivasi dan ikut menerbitkan buku seperti
dia.”
“Insyaallah, Yu. Allah tidak buta, kok.”
Sejak kejadian itu, aku berhenti mengikut
lomba menulis yang ada di dalam kampus. Aku lebih
senang mencari lomba di luar yang hadiahnya jauh
lebih besar dari pada buku harian seharga lima belas
ribu. Ayu membantuku mencari informasi tentang
lomba-lomba tersebut, mulai dari yang berhadiahkan
pulsa ratusan ribu sampai ke voucher penerbitan.
“Pit, puisi kamu lolos seleksi dan akan
diterbitkan.” Ayu mengirim pesan teks ketika
190
Setelah Ayah Pergi
menerima pos elektronik dari penerbit B yang sedang
menyelenggarakan lomba cipta puisi.
Hari itu seperti ada sedikit titik terang
untukku. Ternyata karyaku layak diterbitkan, ini
menyenangkan! Ah, beginikah rasanya menerima pos-
el dari penerbit? Walau tidak menerima secara
langsung, namun aku bersyukur dan semakin yakin
kalau Allah itu tidak tidur. Buktinya Dia mengirimkan
teman yang baik pada orang yang tidak punya ponsel
android dan laptop sepertiku.
Namun, hidup tidak semudah membolak-
balikkan telapak tangan. Aku menerima pesan
susulan dari Ayu, “Kamu wajib beli satu eksemplar
buku yang terbit, Pit. Harganya Rp119.000.”
“Oke, terus kapan batas transfer uangnya, Yu?”
“Besok, Pit.”
“Kalau lewat dari hari itu bagaimana?”
“Wajib kirim pulsa seharga 25.000, Pit. Mirip
pembayaran awal begitu.”
Aku bungkam beberapa menit. Bagaimana ini?
Apa yang harus aku lakukan?
191
Eti Ndulia, dkk
“Ayu, yakin ini bukan penipuan?”
“Maaf, Pit. Aku juga tidak bisa membedakan,
soalnya aku sudah cari tahu di Instagram. Mereka
udah terbitkan banyak buku, sih.”
“Sudah lah, Yu. Aku mundur saja. Aku tidak
uang sebanyak itu.”
***
Dunia kepenulisan itu aneh.
Seharusnya karyaku dihargai dengan sesuatu,
bukan susah payah menulis dan membeli buku
sendiri. Entah ini pemikiran yang keliru atau tidak,
setidaknya aku tidak ingin buang-buang ide dan uang
sekadar untuk membeli tulisan sendiri.
“Pita, aku sudah dapat penerbit yang
menerbitkan bukunya Yuel.” Kali ini Ayu kembali
membawa berita baru. Sepertinya dia punya niat
besar untuk membantuku menerbitkan karya,
sampai-sampai mencari tahu tentang penerbit yang
selalu dibangga-banggakan Yuel.
“Alhamdulillah. Lalu, bagaimana syarat untuk
menerbitkan naskah di situ, Yu?”
192
Setelah Ayah Pergi
“Ternyata tidak ada seleksi, kamu cukup bayar
uang pendaftaran seharga Rp60.000 dan sudah bisa
dapat satu buku gratis, tapi kalau kamu mau dapat
penghasilan lebih, kamu harus ikutan jual bukunya,
Pit. Soalnya mereka penerbit indie bukan mayor, ah,
aku tidak mengerti soal mayor dan indie itu.”
“Jadi aku bisa dapat duit dari situ?”
“Iya, Pit. Jadi kalo kamu jual bukunya, semua
keuntungan penjualan buku itu milik kamu. Bayangin
aja kalo bisa laku sampai 200 buku, ya kan?”
Aku tergiur.
Bahagia ketika tahu berapa banyak
keuntungan yang akan aku dapatkan jika aku menjual
banyak buku. Namun, sekali lagi hidup tidak semudah
membolak-balikkan telapak tangan. Setelah naskah
pertamaku berhasil dibukukan, tidak ada satu pun
orang yang mau membelinya, dan itu menyakitkan.
Aku langsung menyadari satu hal. Jika kau
butuh uang, jadilah pengusaha. Bukan jadi penulis.
Sebab menulis itu melahirkan pikiran dan perasaan,
bukan sebuah mata pencarian.
193
Eti Ndulia, dkk
Aku juga ingin berhenti mengharapkan
pengakuan dari orang lain. Perlahan niatku pun mulai
berubah, yaitu sekadar membuat koleksi. Ya, ini lebih
menyenangkan dari pada memikirkan uang dan
penghargaan.
Senang rasanya bisa menulis. Selain
meringankan beban, sering menulis membuat diri ini
sadar kalau bahasa Indonesiaku ternyata masih
berantakan. Beberapa kali aku harus melakukan
revisi dan diberi materi khusus seputar kepenulisan.
Beberapa editor juga sering memberi kritikan
menyakitkan untuk tulisanku.
Namun, aku tetap bersyukur. Setidaknya,
berkat mereka aku mendapat pengetahuan baru yang
jika dicari di luar sana butuh biaya ratusan ribu.
Berkat mereka juga aku menjadi senang menulis dan
bertemu dengan seorang ibu yang sampai saat ini
terus menggandengku ke berbagai macam kelas
menulis. Ini membuatku semakin percaya, “Jangan
jadi penulis kalau yang kaubutuhkan itu adalah uang,
penghargaan, dan pujian dari orang lain.”
194
Setelah Ayah Pergi
195
Eti Ndulia, dkk
PUTRI DAN SEPATU KACA
Yulinda Elfryanti
Aneh. Sangat aneh. Ini kejadian paling aneh di
antara yang teraneh. Seorang gadis tanggung berkali-
kali mengucak matanya, melihat sekitar dengan
perasaan bingung, sesekali mencubit tangannya,
bahkan sampai menampar pipinya sendiri, berharap
ini semua mimpi. Namun, semua ini benar-benar
terjadi.
Gadis itu terbangun dengan keadaan yang
berbeda seratus delapan puluh derajat dari kemarin.
Pakaiannya berubah, bukan piyama tidur yang
dibelikan ibunya di pasar pekan lalu, tapi malah gaun
tidur berenda dengan ukiran angsa di bagian depan
melekat indah di tubuhnya. Pun ketika dia bercermin,
tampak sosok perempuan cantik bermata biru terang
dengan rambut pirang menggerai tepat di depannya.
Ya, dia berubah.
Bukan hanya pada dirinya, perubahan pun
terjadi pada kamarnya. Kamar yang dia lihat sekarang
196
Setelah Ayah Pergi
tampak luas dengan dekorasi ala kerajaan di abad
pertengahan. Ranjangnya dikelilingi kelambu
berwarna abu terang. Di pojok ruangan terdapat
pahatan patung yang sama seperti perempuan di
cermin tadi, ada juga bunga sejenis Honeysuckle
menjalar di atap kamar, serta lampu yang
menggantung dengan anggunnya, membuat kamar ini
mirip dengan kamar seorang putri di film-film Disney
yang sering dia tonton. Ini jelas bukan kamarnya. Apa
yang terjadi?
Gadis itu terduduk di ranjang. Dia menunduk
dan bahunya bergetar. Gadis itu menangis. Dia
berusaha memutar ulang memorinya, mengingat
kembali kejadian kemarin saat semuanya masih
dalam keadaan baik-baik saja.
24 Jam Sebelumnya
“Punyaku!”
Seorang gadis berseru setengah berteriak pada
gadis lainnya yang berada di ruangan itu sambil
memeluk barang itu erat. Ia seakan ingin menegaskan
197
Eti Ndulia, dkk
bahwa barang itu adalah miliknya dan tidak ingin
seorang pun menyentuh apalagi memilikinya.
“Putri, Nana cuma mau lihat sepatu Putri.”
Gadis bernama Nana tampak berusaha memberi
penjelasan. Ia hanya terpukau dengan sepatu milik
Putri. Ia hanya ingin melihat dan menyentuh sepatu
itu, tapi sepertinya Putri tidak suka jika ia
melakukannya.
“Mau lihat atau apa pun itu, tidak boleh.
Ngerti?”
“Ini sepatu kaca, mahal. Kalo rusak kamu tidak
akan bisa menggantinya.” Putri kekeh tidak ingin
sepatunya dilihat Nana. Sepatu kaca itu adalah
pemberian tantenya yang baru pulang dari Belanda.
Menurut tantenya, sepatu itu milik Putri Belanda
kuno. Putri sebenarnya tidak percaya, dia tidak peduli
dengan hal itu. Ia hanya peduli bagaimana ia akan
memamerkan sepatu kaca itu ke teman-temannya.
Sepatu kaca milik Putri sangat cantik dan
mengilap. Kalau dilihat lebih dekat, ada ukiran Estelle
198
Setelah Ayah Pergi
di tiap sisinya. Sepatunya persis seperti sepatu kaca
milik Cinderella yang sering ditontonnya di televisi.
Putri sangat menyukai sepatunya itu. Bahkan
saking senangnya, malam ini saat dia tidur pun dia
memakai sepatu kaca itu di kakinya. Tanpa dia sadari
saat keesokan hari, dimulailah petualangannya di
dunia antah-berantah.
***
25 hari kemudian
Putri ingat. Dia ingat semua kejadian yang
menimpanya hampir sebulan lalu. Kejadian yang
membuatnya harus tinggal di tempat yang tidak
dikenalnya. Bukan hanya itu, dia pun harus menjadi
orang lain saat di dunia ini. Di dunia ini, dia menjadi
sosok orang lain, orang-orang biasa memanggilnya
Putri Estelle. Dalam sekejap dia menjadi sosok Putri
dari sebuah kerajaan bernama Caral. Sudah sering dia
mencari cara agar bisa pulang, tapi nihil, semua
usahanya tidak berbuah hasil.
“Tuan Putri, sudah saatnya Anda mandi.
Izinkan Hamba membantu Anda.” Seorang pelayan
199
Eti Ndulia, dkk
datang menghadap. Putri tersadar, pelayan yang
bernama Anna ini sering meliriknya diam-diam.
Bukan lirikan biasa, tapi lirikan takut-takut. Putri
sudah sangat curiga. Pasalnya, hanya Anna yang
seperti ini padanya. Padahal menurut pelayan lainnya,
Anna adalah pelayan Putri Estelle semenjak kecil.
Setelah mandi, Putri semakin yakin bahwa ada
sesuatu dengan Anna. Selama membantunya mandi,
Anna tampak menghindari kontak mata dengannya.
Seperti ada hal yang dia tutupi.
Tanpa berpikir lagi, Putri segera berlari ke
arah kamar Anna. Dia harus mendapatkan jawaban
secepatnya.
“Anna? Anna?” Putri memanggil Anna sambil
mengetuk-ngetuk pintu dengan cukup keras. Tak
lama kemudian Anna keluar dengan wajah
kebingungan.
“Ada apa tuan Putri?”
Putri menarik Anna untuk duduk di ranjang.
Anna hanya menurut.
200
Setelah Ayah Pergi
“Bisakah kau ceritakan padaku tentang
kebiasaanku sebelum hari ini? Aku merasa ada yang
aku lupakan,” Putri bertanya ragu-ragu.
Setelah pertanyaan Putri keluar, Anna tampak
terdiam dan berpikir. Sepertinya dia memang tahu
sesuatu.
“Katakanlah, Anna!”
“Ampun Putri. Sebenarnya saya pun merasa
Putri sangat aneh belakangan ini.” Anna menunduk
takut.
“Teruskan! Aku ingin mendengar semuanya.”
“Sudah beberapa hari ini saya sering melihat
Putri pergi ke ruang perpustakaan bawah tanah
sendirian pada tengah malam. Karena penasaran, saya
mengikuti Putri. Namun, setelah sampai di
perpustakaan, saya tidak menemukan apa pun. Putri
kembali ke kamar seperti tidak ada yang terjadi.
Anna makin menundukkan kepalanya.
Kemudian melanjutkan dengan ragu-ragu.
“Hari-hari itu berulang dan selalu mempunyai
akhir yang sama. Tetapi saat kemarin malam, hal
201
Eti Ndulia, dkk
berbeda terjadi. Putri menghilang di perpustakaan
dan baru ditemukan keesokan paginya di kamar.”
“Oh iya, saya menemukan sesuatu di
perpustakaan.” Anna beranjak menuju laci di samping
ranjangnya dan mengambil secarik kertas.
Diberikannya kertas itu pada Putri.
Pada tengah malam saat rembulan dipeluk awan
Pada bawah yang gelap
Pada kelam yang terang
Berdirilah dalam kebenaran
Maka aku akan datang
Menjemputmu ke dunia penuh bintang
-Amalus-
Putri membaca berulang-ulang surat tadi, dan
dia menemukan jawabannya. Amalus adalah nama
sebuah negeri di selatan Caral yang menghilang.
Ratunya bernama Wilhelmina. Dia adalah seseorang
yang congkak dan sangat serakah. Konon, karena sifat
itulah negeri Amalus dikutuk dan akhirnya
202
Setelah Ayah Pergi
menghilang. Sampai sekarang tidak ada yang tahu
keberadaan negeri itu maupun ratunya. Putri tahu hal
ini karena di kamar Estelle ada banyak buku tentang
Amalus.
Sekarang sudah mendekati tengah malam,
Putri berjalan keluar dengan mengendap-endap,
menyusuri lorong menuju tangga di sisi kamarnya,
tangga itulah yang akan membawanya menuju
perpustakaan.
Dibukanya pintu perpustakaan dan dia
mendapati kegelapan setelahnya. Rak-rak usang yang
dipenuhi buku tersaji di depannya. Saat melihat ke
arah jendela tampak bulan yang tertutupi awan. Putri
memberanikan diri untuk masuk lebih dalam. Tepat
di rak paling belakang dia melihat sepasang sepatu
kaca yang mirip dengan yang ia miliki sebelumnya
dan sepasang lagi sepatu usang. Tiba-tiba Putri
mendengar suara yang entah dari mana asalnya.
“Datang dan ambillah! Milikmu akan
selamanya menjadi milikmu.”
203
Eti Ndulia, dkk
Putri memberanikan diri mendekat. Dia
tampaknya paham dengan yang terjadi sekarang. Dia
hanya perlu membuktikan semua teorinya yang telah
ia pelajari selama beberapa hari ia terkurung di dunia
ini.
“Anna, ketika aku tidak ada. Berhentilah untuk
ketakutan seperti yang sering kau lakukan. Kau
mengerti?” Putri mengatakannya sambil berbalik
memberikan senyum pada Anna yang tampak
bersembunyi di balik sebuah rak buku.
Dengan takut-takut, Anna keluar.
“Semoga Anda menemukan jalan pulang anda,
Tuan Putri. Saya mengharapkan kebahagian Anda.”
Seakan sudah paham, Anna memberikan ucapan
selamat tinggal pada Putri.
Dengan senyum menghiasi wajahnya, Putri
kemudian berjalan mendekat ke arah dua sepatu yang
dilihatnya tadi. Tanpa ragu, dia mengambil sepatu
usang yang ada di sisi kanannya.
“Apa yang menjadi milikku akan selalu
menjadi milikku.”
204
Setelah Ayah Pergi
Seperti sebuah sihir, cahaya putih lantas
menerangi seluruh ruang perpustakaan. Seperti
dugaan, Putri Estelle pun menghilang bersama
cahaya terang tadi. Menuju jalan pulangnya, kembali
ke tempat yang seharusnya.
Kisah si Putri pun selesai.
205
Eti Ndulia, dkk
PERPUSTAKAAN ITU
Nazla Mahira M.N Falah
“Berapa?” Tanya Bapak tua yang berkumis
tebal itu.
“Satu setengah kilo, Pak”, jawab temanku, anak
perempuan yang berdiri di barisan paling depan.
“Kenapa Cuma sedikit ? Nih, ambil uangmu !”
Kata Bapak Kumis sambil memberikan dua lembar
uang Rp2.000,00. Wajah anak perempuan jangkung
itu tampak girang, ia pun berterima kasih kepada
bapak tersebut lalu pergi. Anak kedua di barisan pun
maju satu langkah.
“Berapa ?”Tanya Bapak Kumis lagi.
“Dua kilo Pak” jawab anak laki-laki berbadan
kecil dan berkulit hitam. Bapak kumis itu
memperhatikan anak laki-laki yang berkulit hitam
legam itu.
“Ini uangmu, besok-besok cari lebih banyak!”
Bapak Kumis menyerahkan dua lembar uang
206
Setelah Ayah Pergi
Rp6.000,00 kepada anak laki-laki berbadan kecil
dengan kulit hitamitu.
Dan begitu terus hingga tibalah giliranku, anak
terakhir yang berbaris paling belakang.
“Berapa ?” tanya Bapak Kumis itu kepadaku.
“Tiga setengah kilo pak” jawabku dengan
bangga. “Tiga setengah kilo ?” tanya Bapak Kumis
kaget, kumis tebalnya pun bergerak-gerak kecil,
“Dapat dari mana kertas sebanyak itu ?”
“Saya mengambilnya dari tempat sampah
depan perpustakaan daerah sana Pak,” Aku
tersenyum kegirangan ketika si Bapak tua memuji
hasil kerjaku.
Oh… baguslah kalau begitu, nanti-nanti carilah
lagi yang banyak. Siapa namamu?”
“Arya, Pak.”
“Baiklah Arya, bagus sekali kerjamu hari ini.
Nih, ambil uangmu!” ucap Bapak Kumis sambil
memberikan selembar uang Rp10.000,00.
207
Eti Ndulia, dkk
Setelah mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Kumis yang memberiku uang, aku pun berlari
pulang dengan hati gembira.
Desa tempat tinggalku adalah sebuah desa
kecil di pelosok Sulawesi yang memang jauh dari
hiruk pikuk perkotaan. Karenanya, untuk sampai ke
desa ini orang-orang hanya bisa berjalan kaki
melewati jalan setapak kecil yang ada dan tak bisa
menggunakan kendaran beroda empat. Jangankan
alat besar berat seperti crane, eskavator, dan mobil
molen untuk mengaspal jalan, mobil dengan bak
terbuka yang mengangkut bahan bangunan atau
bentor saja tidak pernah terlihat masuk ke desa ini.
Kerja sama dan tolong-menolonglah yang selalu
diandalkan para warga jika diantara mereka ada yang
ingin membangun rumah ataupun bangunan lainnya.
Hal inilah yang membuat desaku ini tertinggal
dalam berbagai hal, seperti misalnya pembangunan
sarana prasarana kesehatan, dan bahkan pendidikan.
Sekolah dari SD, SMP, sampai SMA swasta di desa ini
memang ada. Namun, yang menjadi masalah adalah
208
Setelah Ayah Pergi
fasilitas yang sekolah tersebut sediakan sangatlah
terbatas. Fasilitas seperti perpustakaan dan lab
sangatlah diidam-idamkan oleh anak-anak sepertiku
dan kawan-kawanku.
Aku lagi-lagi melangkahkan kaki ke bangunan
yang sudah tidak terawat itu.
Ya… belum dibuka juga. batinku kecewa. Aku pun
berpindah dari pintu depan menuju jendela di
sampingnya, aku berjinjit untuk melihat apa yang ada
di dalam bangunan tersebut.Tak ada yang berubah
dari apa yang dilihatku kemarin satu minggu yang
lalu. Rak-rak itu masih berisi buku-buku kusam yang
penuh debu. Tak ada yang berniat membereskan
buku-buku yang tertumpuk berantakan itu, apalagi
sampai mengelap debu-debu yang menempel di sana.
Aku sangat geram, rasanya sangat ingin aku dobrak
pintu perpustakaan yang selalu terkunci itu, aku
kembali ke pintu depan dan sekali lagi kutekan
pegangan pintu itu berharap keajaiban datang dan
seketika pintu itu dapat terbuka. Nihil, pintu itu masih
tetap terkunci.
209
Eti Ndulia, dkk
Dengan lemas aku menyeret kakiku ke tempat
sampah besar yang berada di seberang jalan tepat di
depan perpustakaan itu, kertas-kertas itu masih saja
banyak di sana. Ada koran bekas, majalah, dan buku-
buku lain yang sampulnya saja bahkan sudah hilang.
Aku pun mengambil salah satu buku bersampul
bergambar salah satu pemain sepak bola terkenal
yang sudah hampir robek, membuka halaman
pertama dan membacanya. Aku pun merasa asik dan
memutuskan untuk membaca buku itu sebelum aku
harus mengumpulkan kertas-kertas lain dan
memberikannya kepada Bapak Kumis yang nanti sore
pasti menungguku dan teman-teman lain pengumpul
barang bekas.
Suatu hari, Pak Hendro, guru Bahasa Indonesia
di tempatku bersekolah mengumumkan bahwa
pemerintah kabupaten mengadakan lomba menulis
cerita pendek antarsekolahdengan tema “Desaku”.
Batas pengumpulan naskah cerita pendek itu dua
minggu depan. Sepuluh cerita terbaik akan diberi
penghargaan dan tiga di antaranya akan
210
Setelah Ayah Pergi
mendapatkan piala yang disediakan Bupati. Tak
semua temanku berniat mengikuti lomba menulis
cerita pendek itu.
“Aku tak pandai mengarang,” keluh salah satu
temanku.
“Aku lebih suka membuat dan membaca puisi,”
kata Dian sambil menopang dagu di tempat
duduknya.
“Bagaimana bisa aku menulis cerpen
sedangkan menulis pengalaman liburan saja aku
sangat malas?” Ucap temanku yang lain. Begitu pun
aku yang memang tak pernah tertarik untuk
mengarang. Bayangkan saja, seumur hidupku hanya
kuhabiskan untuk pergi sekolah, membantu orang
tuaku dengan mengumpulkan barang bekas dan
menukarnya ke Bapak Kumis Tua setiap hari Sabtu
dan Minggu, juga belajar mengaji di musala kecil
dekat rumah. Aku tak pernah mengikuti lomba-lomba
seperti ini, apalagi menulis cerpen. Lomba yang
pernah aku ikuti paling-paling hanya lomba bermain
211
Eti Ndulia, dkk
makan kerupuk setiap tujuh belasan yang
diselenggarakan pemerintah desa.
Tapi, tak ada salahnya jika aku mencoba.
Hari demi hari pun berlalu, tidak terasa tinggal
dua hari batas pengumpulan cerita pendek. Aku
sudah menyelesaikan ceritaku. Aku berangkat ke
sekolah dengan membawa amplop besar warna coklat
yang aku beli dari toko buku di seberang jalan
sekolahku kemarin. Sesampainya di sekolah aku akan
memberikan amplop ini ke Pak Hendro yang akan
mengirimkannya untuk perlombaan itu. Ya, aku
akhirnya mengikuti juga lomba itu. Bukan hadiah
piala yang membuatku tertarik mengikutinya, aku
sama sekali tak berharap akan mendapatkannya.
Tetapi, aku mempunyai alasan lain untuk ini.
Dua minggu kemudian, pengumuman
kejuaraan menulis cerpen itu berhasil mengagetkan
warga sekolah terutama diriku sendiri. Ya, aku
mendapat juara ketiga di lomba menulis itu. Naskah
cerpenku ditempel di papan pengumuman sekolah.
Banyak pujian yang kuterima pada hari itu. Komentar
212
Setelah Ayah Pergi
banyak dilontarkan oleh teman dan guru-guruku.
Siang harinya, Pak Hendro memanggilku dan
mengatakan bahwa aku diundang ke Kantor Bupati
untuk menerima hadiah.
Hari yang dinanti pun tiba. Dengan memakai
seragam sekolah terbaikku aku pergi ke Kantor
Bupati untuk menerima hadiah dengan diantar oleh
Pak Hendro .
Acara digelar dengan sangat meriah. Aku
sangat menikmati acara ini, tapi satu hal yang
menggangguku adalah tidak adanya kehadiran teman-
teman sekolahku. Andai saja mereka ada pasti aku tak
kan merasa kesepian di acara semeriah ini.
Tibalah di acara yang kutunggu-tunggu sedari
tadi. Acara pengumuman ini cukup membuat hatiku
berdebar. Dan, ketika nama dan sekolahku disebut
sebagai juara ketiga lomba menulis cerpen. Dengan
wajah tegang dan kaki yang gemetar akupun
melangkah dan naik ke atas panggung.
“Selamat ya, Nak Arya, cerpenmu bagus,
sering-sering berlatih lagi ya,” ucap pak Desa sembari
213
Eti Ndulia, dkk
memberikan piala dan piagam lomba sebagai hadiah
kepadaku. Akupun mengangguk sambil tersenyum
kepadanya.
“Ada yang ingin disampaikan, Nak?”
Aku pun terkejut. Aku merasa ada yang ingin
aku katakan ketika aku berada di sini. Ya, sangat
ingin. Tapi aku masih ragu. Tapi, aku yakin harus
mengatakannya.
“Hhmm.. saya dan teman-teman di kampung
saya hanya menginginkan perpustakaan daerah yang
rapi dan terurus seperti yang saya gambarkan pada
cerpen saya,” dengan ragu aku mengatakannya. Hal
yang selama ini aku pendam sendiri, akhirnya aku
katakan juga. Bahkan di depan Pak Bupati secara
langsung. Sejenak aku merasa malu. Aku merasa
sangat tidak pantas mengatakan itu pada Pak Bupati.
Samar aku melihat Bapak Bupati yang masih
terkejut menghampiriku perlahan. “Ada apa dengan
perpustakaan daerah di desamu, nak?” Tanya Bapak
Bupati ketika ia tiba di hadapanku.
214
Setelah Ayah Pergi
“Perpustakaan di sana selalu terkunci, Pak”
ucapku. Tak sadar, aku merasa mataku panas.
Akhirnya alasan yang membuatku mau menulis
cerpen ini terkabul juga. Aku pun berlari turun dari
panggung karena tak ingin terlihat menangis oleh Pak
Hendro. Aku berlari kencang masih dengan
memegang piala dan piagam lomba menulis cerpen
itu. Terus berlari, tanpa peduli apa yang masih terjadi
di panggung dan acara tadi.
215
Eti Ndulia, dkk
LONG DISTANCE MARRIAGE
Yulan M. Puluhulawa
Rindu ini sungguh menusuk, bahkan lebih
dahsyat dari rasa dingin yang mendera karena hujan
yang mengguyur tanpa jeda. Seandainya tidak punya
mimpi, untuk apa menyiksa diri? Ah, sudahlah. Aku
dan suamiku telah berikrar untuk saling menopang
demi menggampai mimpi bersama.
Pagi ini tampak biasa. Suamiku menelpon dan
menanyakan kabarku dan anak-anak. Namun,
beberapa hari terakhir ini ada hal yang selalu dia
tanyakan setiap kali menghubungiku.
“Nou, bagaimana dengan tawaran saya
kemarin?”
“Nanti kita bicarakan lagi kalo Papa sudah
kembali ke Gorontalo. Udah dulu ya, Pa. Mama buru-
buru banget nih. Asalamualaikum.”
Aku tidak mendengar lagi suara suamiku
menjawab salamku karena aku tergesa-gesa dan
langsung menutup teleponnya. Ada rasa bersalah
216
Setelah Ayah Pergi
dalam hati karena hal itu. Namun semuanya hilang
ketika aku teringat begitu padatnya jadwal di kampus
hari ini.
***
Suamiku tinggal di luar kota Gorontalo. Ia
bekerja di salah satu perusahaan konstruksi ternama
di wilayah Indonesia Timur dan sering berpindah
kota sesuai dengan lokasi penempatannya.
Penghasilan suamiku lumayan besar dan semuanya
diserahkan kepadaku untuk aku kelola. Sejauh ini tak
ada masalah dengan keuangan keluarga kami. Apalagi
aku juga bekerja.
Berjauhan dengannya sungguh membuat
nelangsa. Namun, aku selalu menguatkan hatiku saat
berada jauh dari dia. Sesungguhnya aku sangat
membutuhkan kehadirannya untuk mendukungku
karena beratnya tugas yang aku emban sebagai
seorang ibu yang merangkap wanita karir. Namun,
kami masih harus melawan keinginan untuk tinggal
bersama karena tuntutan pekerjaan, dan yang lebih
penting lagi adalah kami berdua punya impian besar
217
Eti Ndulia, dkk
untuk masa depan keluarga kecil kami. Komunikasi
kami bisa dibilang sangat lancar karena setiap hari
kami saling bertegur sapa sekadar untuk menanyakan
keadaaan masing-masing. Bahkan tak jarang suamiku
melakukan panggilan video ketika sedang kangen-
kangennya pada buah hati kami.
***
Bosan. Akhir-akhir ini aku selalu didera rasa
bosan. Bergelut dengan aktifvtas yang sama setiap
hari. Mengajar, menyelesaikan penelitian,
merampungkan laporan pengabdian kepada
masyarakat, membuat karya tulis ilmiah lainnya
untuk dimasukkan ke jurnal nasional dan
internasional, kewajibanku yang lain sebagai seorang
dosen. Belum lagi aku harus disibukkan mengurus
kedua anakku yang sedang lucu-lucunya. Meskipun
aku dibantu oleh keluarga ibuku dalam mengurus
anak-anak, aku selalu berusaha mengurus mereka
sendiri ketika sedang berada di rumah. Namun, akhir-
akhir ini aku merasa waktuku sangat kurang dengan
mereka. Setiap hari aku semakin sibuk, bahkan libur
218
Setelah Ayah Pergi
akhir pekan yang seharusnya aku habiskan untuk
anak-anakku malah aku lewatkan dengan mengurusi
pekerjaan yang seperti tak ada habisnya. Aku bahkan
tak lagi punya “Me Time”, merawat tubuhku yang aku
rasa tak lagi seseksi dulu ketika belum punya anak,
belanja dan makan-makan bersama teman-teman,
apalagi punya waktu tidur yang berkualitas tanpa
gangguan apapun. Semua itu sudah jarang bahkan tak
pernah lagi aku lakukan. Aku selalu disibukkan
dengan rutinitas sebagai seorang dosen yang punya
tanggung jawab besar dengan profesiku. Suamiku
kadang mengeluh karena kurangnya waktu untuk
menghubunginya, bahkan tak jarang ia protes karena
aku lebih sering meninggalkan anak-anak hanya
untuk memenuhi kewajibanku.
Sejak awal pernikahan, aku sudah meminta
izin kepada suamiku untuk tetap bekerja dan
membantunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Suamiku sangat mendukung sepenuhnya dengan
syarat aku tidak melalaikan tugasku sebagai seorang
219
Eti Ndulia, dkk
istri dan ibu ketika memiliki anak nanti. Aku pun
menyanggupi persyaratan itu.
Kurang lebih satu tahun menjalani biduk
rumah tangga, akhirnya kami dikaruniai seorang anak
perempuan yang sangat cantik yang kami beri nama
Fatimah Asyrani. Dua tahun berselang, kami kembali
dikaruniai anak perempuan lagi yang kami beri nama
Fauziyah Ghania. Betapa bahagianya kami dengan
kedua anak perempuan kami yang sangat lucu dan
rupawan. Suamiku makin menyayangi aku dan kedua
anakku dan hal itu membuatnya semakin semangat
dan gigih dalam bekerja karena ia ingin semua
kebutuhan kami tercukupi dengan baik.
***
Libur akhir pekan ini akhirnya bisa aku
nikmati bersama kedua anakku. Kami bermain di
taman belakang kami yang tidak begitu luas dan aku
telah menyiapkan kudapan kesukaan Fatimah dan
Fauziyah. Tiba-tiba….
“Asalamualaikum.”
220
Setelah Ayah Pergi
Suara itu tak asing lagi bagiku. Setelah pamit
pada anak-anak, aku membuka pintu.
“Papa? Waalaikumsalam. Kok Papa tidak
bilang-bilang sih kalo mau pulang?” kataku dengan
mata berbinar-binar. Dengan sigap aku langsung
mengambil tas suamiku .
“Mau kasih kejutan aja he-he-he. Anak-anak di
mana, Ma?”
“Itu mereka lagi main di taman.”
“Ma, ada yang mau aku bicarakan dengan
Mama. Penting, Ma.”
“Soal apa? Segitu pentingnya sampai tidak mau
istirahat dulu? Tidak capek, Pa?”
“Tidak, Sayang. Papa hanya mau
membicarakan soal tawaran yang Papa sampaikan
dulu. Apakah Mama sudah memikirkannya? Lalu apa
keputusan Mama?” Suamiku langsung menyambar
aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan aku
belum bisa menemukan jawabannya.
Aku sudah tahu pasti apa alasan suamiku
pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Ia ingin
221
Eti Ndulia, dkk
tahu, apakah aku menerima tawarannya untuk
berhenti bekerja dan ikut dia ke Makassar.
“Maafkan aku, Ma. Aku hanya ingin kita tinggal
bersama. Aku, kamu dan anak-anak. Mau sampai
kapan kita tinggal terpisah seperti ini? Saat rindu, aku
tersiksa, Ma. Aku merasa sudah berbuat zalim sama
Mama dan anak-anak karena aku tidak bisa menjaga
kalian dengan maksimal. Padahal itu adalah tugasku
sebagai kepala keluarga. Tolong pertimbangkan lagi,
Ma. Biarkan Papa yang bekerja dan Mama cukup
mendampingi Papa dan menjaga anak-anak kita.”
“Pa, lalu bagaimana dengan karier yang selama
ini sudah aku rintis jauh sebelum aku menikah
dengan Papa? Apa gunanya aku sekolah tinggi-tinggi
kalau akhirnya aku harus tinggal di rumah? Banyak
orang di luar sana yang butuh ilmuku, Pa. Ini adalah
hal yang aku inginkan ketika masih kuliah dulu. Punya
penghasilan sendiri, bisa membahagiakan keluarga
dan orang tuaku sendiri, mendapatkan apa pun yang
aku mau dengan mudah. Kalau masalah anak-anak,
kan ada yang jagain, Pa. Apa sih yang Papa
222
Setelah Ayah Pergi
khawatirkan?” Aku mencoba memberikan pengertian
kepada suamiku.
“Jadi orientasinya uang dan harta, Ma? Untuk
apa, Ma? Nou sayang, Allah Swt. sudah menjamin
rezeki masing-masing orang. Mama tidak perlu
khawatir dengan itu. Papa masih mampu memenuhi
semua kebutuhan Mama dan anak-anak. Mama sudah
lupa dengan nasihat pernikahan kita dulu?
Mopotuwawu lo kalibi, kauli, waw pi’ili. Menyatukan
perkataan, hati dan perbuatan. Lagipula, akhir-akhir
ini Mama sering curhat kan, katanya bosan dengan
pekerjaan, pengen refreshing, pengen leha-leha dulu
di rumah, jarang main sama Fatimah dan Fauziyah.
Ma, Mama sekolah tinggi-tinggi tidak ada ruginya
sama sekali, kok. Mama adalah sekolah pertama bagi
anak-anak. Mama yang menjadi role model bagi
mereka. Semua ilmu yang Mama punya akan sangat
berpengaruh dalam menciptakan anak-anak yang
cerdas, sukses di dunia maupun di akhirat.”
Aku hanya bisa tertunduk, mencoba mencerna
apa yang dia disampaikan. Namun, aku belum
223
Eti Ndulia, dkk
sepenuhnya bisa menerima apalagi membuat
keputusan.
“Sayang, salah satu yang membuat seorang
istri masuk surga adalah ketika ia taat dan patuh
kepada suaminya.”
“Memangnya aku ini bukan istri yang taat dan
patuh?” Nada suaraku melemah dan aku tidak lagi
mampu menahan air mata yang sedari tadi kutahan.
“Pasti papa sudah banyak terpengaruh oleh
ustaz…ustaz siapa lagi namanya? Yang sering papa
datengin tuh majelisnya taklimnya. Akhirnya mama
yang jadi korban....”
“Ustaz Ahmad maksud Mama? He-he-he, kalau
memang dia mengajak kepada kebaikan, kenapa
tidak? Sayang, Allah Swt. secara nyata mengatakan
dalam surat Al-Ahzab Ayat 33 ‘Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang Jahiliyah yang dahulu
dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya.’ Aku hanay berharap kita tidak
hanya jadi pasangan di dunia, Ma, tetapi juga menjadi
224
Setelah Ayah Pergi
pasangan di akhirat.” suamiku menyeka air mataku.
Memelukku erat dan mencium keningku. Ia lalu
menggandeng tanganku menuju taman dan menemui
kedua anak perempuan kami yang tengah asyik
bermain.
***
Subuh yang syahdu. Dalam sujud, aku terisak
meminta kepada Allah agar diberikan kekuatan dan
ketetapan hati dalam menjalani keputusanku. Setelah
salat, aku mendekati suamiku dan berbisik “Jadi,
kapan nih aku dan anak-anak diajak ke Makassar?
Biar aku persiapkan semuanya.” Kataku sambil
tersenyum. Mendengar hal itu suamiku langsung
memelukku dan mengucapkan terima kasih padaku,
bahkan ia tidak mampu menahan bulir kristal yang
jatuh di pipinya.
225
Eti Ndulia, dkk
SENYUM AYAH
Asiah Nur'ain Khusnaini
Namaku Kira. Aku hidup dan tinggal bersama
Ayah. Ayah merupakan seorang atlet pencak silat.
Saat aku bertanya tentang Ibu, Ayah mengatakan
bahwa Ibu telah wafat. Beliau wafat tepat setelah
melahirkanku. Aku tidak pernah merasakan kasih
sayang seorang Ibu. Akan tetapi aku mendapatkan
cukup banyak kasih sayang dari Ayah. Beliau adalah
seorang Ayah sekaligus pengganti Ibu yang baik
bagiku. Aku tak pernah merasa kekurangan kasih
sayang dari ayah.
Sejak aku kecil, Ayah sudah mengenalkanku pada
bela diri pencak silat. Setiap Ayah bertanding aku
memperhatikan Ayah dan aku merasa bahwa ayah
adalah orang terkuat di dunia. Saat itu aku berpikir
ingin menjadi seperti Ayah.
Suatu ketika, kudapati Ayah sedang duduk di
kegelapan sambil merenung. Ia baru kalah dari
226
Setelah Ayah Pergi
pertandingan besar . Lututnya cidera. Ia tidak akan
pernah bisa bertanding lagi.
"Ayah... Ayah jangan khawatir! Aku berjanji, aku
akan berusaha keras dan menggantikan Ayah.”
“Jangan pernah kecewakan Ayah.” Ayah
menatapku dalam-dalam.
***
Selama sepuluh tahun tahun, aku berlatih dan
berlatih tanpa kenal lelah untuk menepati janji itu
dan melihat Ayah tersenyum puas. Hal itu akan terjadi
apabila aku menjadi juara. Akan tetapi aku sadar
bahwa menjadi juara tidaklah mudah. Aku berlatih
sekeras apa pun Ayah belum pernah tersenyum.
Senyumnya kian memudar seiring berjalannya waktu
karena ia tidak dapat kembali ke arena. Aku pun tidak
dapat menikmati pencak silat seperti dahulu. Tetapi,
aku masih ingin membuat Ayah tersenyum kembali.
Seminggu lagi, akan ada pertandingan
antardaerah yang akan diawasi langsung oleh Ayah.
Hal itu membuatku semakin merasa bahwa aku harus
bisa membuat Ayah tersenyum kembali.
227
Eti Ndulia, dkk
Setiap hari, aku berusaha dan berlatih keras
supaya aku bisa mendapatkan medali emas dan
menemukan senyum ayah yang hilang. Pelatihku
mengatakan bahwa aku harus istirahat penuh selama
seminggu agar aku kembali rileks walau sesaat. Dan
setelahnya pelatih akan mengajariku secara intensif.
Namun Ayah berkata lain. Ia terus menyuruhku
berlatih dan berlatih. Dan akupun menurutinya.
Batinku berkata, tak apalah asalkan aku dapat melihat
ayah tersenyum.
Sehari sebelum pertandingan dimulai, aku jatuh
sakit. Hari itu untuk yang ke sekian kalinya aku
melihat rasa kecewa di wajah ayah. Ayah sangat
kecewa sekaligus cemas karena kemungkinan besar
aku tidak bisa bertanding. Di saat itu pula aku
berusaha menghibur ayah
“Ayah… aku akan tetap mengikuti pertandingan
besok, apapun yang terjadi.”
"Tapi, apa kau akan baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja ayah aku akan istirahat
penuh malam ini.”
228
Setelah Ayah Pergi
“Baiklah, Nak! Istirahatlah yang cukup!”
***
Hari ini aku akan bertanding. Aku berhadapan
dengan seorang atlet yang sudah enam kali berturut-
turut memenangkan perlombaan ini. Di saat itu aku
berpikir, kalau aku kalah, apa yang akan aku katakan
pada Ayah nanti. Ayah pasti akan kecewa padaku. Saat
aku memasuki arena, kulihat wajah Ayah. Akupun
merasakan bahwa Ayah percaya dengan sepenuh hati
padaku bahwa aku akan mendapatkan mendali emas.
Saat pertandingan antara aku dan lawanku,
jantungku berdebar kencang. Aku kewalahan karena
lawanku terus menyerang di bagian kepalaku yang
sakit.. Akupun terjatuh. Di pertandingan, aku kalah
telak. Aku pulang bersama ayah dengan rasa kecewa
yang besar. Akupun bergegas keluar gelanggang
dengan terisak menuju mobil sedan milik Ayah yang
terparkir di tempat parkir. Ayah pun segera
menyusulku dan memasuki sedannya dan
mengendarainya dengan lambat. Di dalam mobil aku
229
Eti Ndulia, dkk
sudah tak peduli dengan keadaan sekitar aku hanya
tertunduk lemas.
Sesampai di rumah, aku langsung berlari ke
kamarku. Di saat yang sama, Ayah memarkirkan
kendaraannya di garasi lalu mengikutiku.
“Tenanglah, Nak!” ucap Ayah sambil
menenangkanku.
“Ayah….Maaf…maafkan aku. Aku tak bisa menepati
janjiku. Padahal aku sudah berlatih keras.
“Tak apa, Nak! Asalkan kau baik-baik saja.”
“Tapi…,” ucapku memotong perkataan ayah.
“Sstt…sudah. Lupakan saja kejadian tadi.
Sebaiknya kau istirahat. Besok kita akan berekreasi ke
manapun kau mau.”
Spontan aku kaget, “Loh, Yah, bukankan aku
harus berlatih? Supaya aku bisa mengikuti
pertandingan berikutnya?”
Seraya tersenyum Ayah berkata “Tak apa, Nak,
sekali-kali kita meluangkan waktu berdua."
230
Setelah Ayah Pergi
Wah Ayah tersenyum. Akhirnya setelah sekian
lama aku bisa melihat kembali senyum Ayah yang
hilang.
“Baiklah, Ayah. Besok, aku ingin mengunjungi
makam ibu. Lalu ke kebun binatang, ke museum, ke
pantai dan masih banyak lagi.”
“Baiklah, Nak, apapun yang kau inginkan. Nah,
sekarang istirahatlah! Kau pasti sangat lelah selepas
bertanding tadi.”
“Baiklah Ayah, selamat malam!”
Ayah pun menjawab seraya mencium keningku
“Selamat malam putriku, mimpi indah sayang.”Ayah
pun mematikan lampu dan menutup pintu.
231
Eti Ndulia, dkk
PERJALANAN PANJANG
Ananda S. Mutmainah
Kalamalea, Poso, 1997
Sudah berbulan-bulan aku lulus. Namun, aku
belum juga mendapatkan kerja yang layak. Nasib
seorang lulusan SMA sepertiku. Berbulan-bulan hanya
diisi dengan bekerja serabutan. Dari bekerja di
proyek-proyek, menjadi kuli bangunan, sampai
mengebom ikan, juga mencuri perangkap-perangkap
milik warga lainnya. Ayah dan ibuku pasrah melihat
kelakuanku yang seperti ini. Mereka mulai pesimistis
dengan apa yang telah kulakukan sejak lulus SMA.
* * *
Poso, 1998
Harusnya bulan Ramadan menjadi bulan yang
suci. Bukan bulan seperti saat ini, dipenuhi dengan
konflik SARA, banyak bunyi senjata, teriakan-
teriakan dari segala penjuru, banyaknya kepala-
kepala yang dipenggal, dan pembakaran rumah dan
mobil terjadi di mana-mana. Hal itu terjadi, saat aku
232
Setelah Ayah Pergi
sedang menjalani proyek MCK di Ampana–salah satu
kecamatan di Kabupaten Poso. Dini hari, saat aku
ingin membangunkan teman-teman sahur, aku
mendengar bunyi tembakan yang cukup keras.
Akhirnya karena suara tembakan itu, kami pun
bergantian berjaga hingga pagi hari. Dua hari
setelahnya, proyek MCCK tersebut dihentikan dan
seluruh pekerja dipulangkan ke Poso.
Setibanya di Poso, aku tidak bisa diam di
rumah. Aku bersama kakak-kakakku membantu para
warga dalam kerusuhan beberapa hari kemudian.
Kami membantu mengangkat batu, merakit senjata
dan membantu melakukan penjagaan di mana-mana.
Mungkin itulah pengalaman pertamaku dalam
merakit senjata. Akan tetapi, kerusuhan ini
berlangsung tidak lama. Pemerintah bekerja sama
dengan TNI dan Polri dapat mengamankan kota Poso
sebelum tahun baru.
* * *
233
Eti Ndulia, dkk
Ambon, 1999
Keadaan di Poso semakin kondusif, walaupun
masih ada sisa-sisa kerusuhan. Akhirnya aku
memutuskan pergi berlayar ke Ambon untuk mencari
pekerjaan. Satu orang kakakku juga bekerja di sana
sebagai polisi. Sebenarnya, dialah yang mengajakku
datang ke Ambon untuk mendaftarkan diri menjadi
polisi. Hari ini merupakan Hari Raya Idulfitri. Ini kali
pertama aku melaksanakan salat Id di atas kapal. Hari
ini pula, aku merasakan kerinduan yang luar biasa
menyerang relung hatiku. Di sinilah aku sekarang, di
dalam bilik kamar mandi yang kecil, menumpahkan
semua kerinduan. Aku hanya sebatang kara, tidak ada
ayah dan ibu, tidak ada sanak saudara, dan bahkan
tidak ada teman sama sekali. Sedang di luar sana para
penumpang sedang bercengkrama dengan
keluarganya, menikmati hari yang suci ini.
Untunglah, suara dari pengumuman
menyampaikan bahwa kapal kami akan segera
berlabuh di pelabuhan Ambon. Aku segera membasuh
muka dan bersiap-siap turun dari kapal.
234
Setelah Ayah Pergi
“Oi Adi, saya disini,” teriak kakakku dari tepi
pelabuhan sambil melambaikan tangannya kepadaku.
Kami berpelukan. Tak lama, ia segera
mengambil tasku. Kami berdua menuju tempat
tinggalnya di Asrama Polisi Polda Maluku.
Baru empat jam aku berada di sini, terjadi pula
kerusuhan. Kata Kakak, gara-gara agama dan suku
lagi. Aku langsung diungsikan ke Polda Maluku.
Sesampainya di sana, aku melihat banyak orang yang
terduduk di lantai, ada yang menangis ketakutan, ada
yang berpelukan saling menenangkan, sama seperti
pemandangan yang pernah kulihat di Poso tahun lalu.
Empat hari berlalu kakakku pun dipindahkan ke
Ternate dengan diantar oleh brimob sampai ke
pelabuhan.
Kerusuhan yang terjadi di Ambon semakin
parah, meluas hingga ke Pulau Halmahera. Tujuanku
ke Ambon untuk mendaftar polisi pun dibatalkan.
Kakakku mendaftarkanku di Ternate. Akan tetapi,
ternyata takdir sedang tak bersahabat denganku. Aku
tidak lolos pada sesi psikotes. Setelah pengumuman
235
Eti Ndulia, dkk
itu keluar, aku hanya ke sana-ke mari membantu
karena diriku memang penganggur.
Ternate, 2000
Terjadi dua kerusuhan yang berbeda di
Ternate. Kerusuhan pertama diakibatkan oleh konflik
antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore.
Kerusuhan kedua merupakan konflik yang terjadi di
Ambon, imbas dari konflik yang pernah terjadi di
Poso. Pada saat konflik itulah aku mendaftarkan diri
untuk menjadi polisi. Aku beruntung bisa lulus.
Selama tes berjalan, kami selalu dikawal. Kami
diantisipasi untuk tidak ikut terlibat dalam
kerusuhan. Pemda mengeluarkan imbauan melalui
masid-masjid untuk melarang anak-anak yang masih
usia sekolah dan para mahasiswa untuk menjauhi.
Memasuki bulan Mei, kabar buruk kudengar
dari Kakak. Terjadi kerusuhan kedua di Poso.
Kerusuhan ini lebih besar dari kerusuhan yang terjadi
sebelumya. Bahkan kabar kerusuhan ini telah
menyebar ke luar negeri. Mendengar hal tersebut
diriku dihantam rasa khawatir yang sangat besar. Aku
236
Setelah Ayah Pergi
langsung menelepon Ibu. Aku hanya bisa menelepon
paling lama dua menit. Keadaan di luar sangat kacau.
Setelah lulus tes masuk, aku pun melanjutkan
pendidikan sebagai polisi. Awalnya kami akan
melaksanakan pendidikan kami di SPN Ambon. Akan
tetapi, karena tempat tersebut dipakai pengungsi
kerusuhan Ambon, kami dikirim ke SPN Batua,
Makassar oleh Kepolisian Ternate. Beberapa hari
sebelum berangkat, Mabes Kepolisian RI
mengeluarkan keputusan bahwa kami yang beragama
Kristen—kebanyakan calon polisi yang mendaftar di
Ambon—harus dikirim ke SPN Manado, sementara
yang beragama Islam dikirim ke Batua. Akhir bulan
Mei, aku dan yang lainnya berangkat ke Manado dan
menjalani pendidikan di sana selama enam bulan.
Pada tanggal 2 Desember, akhirnya aku
dilantik menjadi polisi. Aku merasa sangat puas
karena dengan ini, aku bisa membuktikan pada ayah
dan ibuku bahwa aku dapat menjadi anak yang
membanggakan mereka. Sehabis pelantikan, tiba-tiba
rasa rindu datang menghampiriku. Selama enam
237
Eti Ndulia, dkk
bulan, aku tidak pernah berhubungan dengan kedua
orang tuaku walaupun hanya menelepon atau
mengirim surat. Terakhir kali, pada saat kerusuhan di
Poso terjadi lagi, dan itu hanya selama dua menit.
Kabar terakhir yang kudengar bahwa semua
keluargaku yang ada di Poso telah mengungsi di Pasar
Wajo, Kendari. Aku belum mengabarkan bahwa aku
telah dilantik kepada ayah dan ibuku.
***
Manado, 2001
“Adi, Papa...,” kata kakak perempuanku yang
tinggal di Kendari bersama ayah dan ibuku, setelah
aku berlari dari asrama ke kantor untuk menerima
teleponnya. Kesedihan dapat kurasakan dari nada
bicaranya.
“Papa kenapa?”
“Cepat ke Pasar Wajo, uang tiket telah Kakak
transfer ke rekeningmu.” Kata-kata kakakku yang
sontak membuatku lebih kebingungan.
“Kenapakah? Papa tepapa toh?”
238
Setelah Ayah Pergi
“Papa so teada lagi, cepat ke sini,” katanya lirih,
yang membuatku langsung terduduk tak berdaya.
Energiku hilang seketika. Pandanganku kosong
mengarah ke depan, gagang telepon yang kugenggam
tadi sudah terlepas. Aku tersadar ketika temanku
menepuk pundakku dan membawaku kembali ke
asrama.
“Nanti ngana pe cuti biar kita yang urus jo, Di,”
kata Ismet, teman yang membantu mengepak barang-
barangku.
“Makasih, Met.”
Aku pun pergi ke bandara dengan diantar
Ismet menggunakan motornya. Setelah berjam-jam
lamanya di atas pesawat, akhirnya aku sampai di
Kendari. Aku dijemput kakak perempuanku dengan
mobilnya. Selama perjalanan, aku hanya diam
membisu, menatap lurus ke depan dengan pandangan
yang kosong.
Seperti ditusuk beribu-ribu pisau, hatiku
sangat sakit menyadari bahwa aku datang ke sini
untuk menghadiri pemakaman ayahku. Ayah yang
239
Eti Ndulia, dkk
seumur hidupnya hanya kubuat kecewa dengan
semua kenakalanku saat SMA. Begitu perih hati ini
ketika mengetahui bahwa sampai ia menutup mata,
aku belum bisa membuat ia bangga. Aku belum
memberitahu Ayah bahwa aku sudah menjadi polisi,
anak yang selama ini hanya bisa mengecewakannya.
Mendekati rumah kakak perempuanku dapat
kudengar suara orang yang sedang membaca surat
Yasiin, badanku semakin lesu, hatiku semakin perih,
mataku tak dapat mengeluarkan air mata.Tak ada lagi
energi yang menempel di tubuhku, yang kurasa
hanyalah penyesalan dan rasa bersalah. Semakin
dekat ke rumah kakakku, rasa bersalah itu semakin
besar. Sesampainya di sana, kulihat ibu di dekat jasad
Ayah, pandanganku mendadak mengabur, kepalaku
sangat pusing, dan semuanya pun gelap.
***
Aku mencium aroma minyak kayu putih yang
sangat menyengat. Kurasakan kepalaku masih sangat
pusing. Setelah semua kesadaranku kembali, aku
langsung keluar dan memeluk jenazah Ayah. Air mata
240
Setelah Ayah Pergi
yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah di atas kain
yang menutupi jenazahnya. Penyesalan yang
menyerangku tanpa ampun membuatku lemah tak
berdaya. Penyesalan bahwa selama ini aku belum
bertemu secara langsung maupun berbicara lewat via
telepon dengan ayahku. Saat aku sudah menjadi polisi
dan ingin meminta maaf padanya, ia malah pergi
meninggalkan kami semua.
***
Manado, 2019
Di sinilah aku sekarang, tempat yang menjadi
saksiku dalam pendidikan menjadi polisi. Dengan
meninggalnya ayahku beberapa tahun yang lalu, aku
belajar banyak dari kejadian itu. Aku belajar tentang
penyesalan, tentang jangan menyia-nyiakan waktu.
Aku belajar menjadi ayah yang yang baik seperti
ayahku.
241
Eti Ndulia, dkk
Allea
Musdalifah Putri Amaliyah Rumallang
“Sialan! Jika tidak bisa bekerja, kau diam saja!
Dasar buta!”
Allea terdiam, bentakan dari sang Ayah
membuat hatinya sakit. Kenapa lagi dan lagi ia harus
mendapatkan kalimat hinaan itu? Mengapa ayahnya
begitu membenci dirinya? Apa karena dia buta
sehingga ayahnya jijik untuk mengakuinya sebagai
anak?
“Allea hanya ingin membuatkan kopi untuk
Ayah,” Allea berucap lirih dengan kepala menunduk
dalam. Gadis 11 tahun itu selalu merasa takut jika
sang ayah sudah memarahinya.
“Membuat kopi untukku? Yang benar saja.
Melihat saja kau tidak bisa, apalagi untuk membuat
kopi.”
Setetes air mata kembali meluncur dari gadis
itu. Kenapa penglihatannya lagi yang membuatnya
harus mendapatkan hinaan dari ayahnya?
242
Setelah Ayah Pergi
“Pergilah dari hadapanku! Kau membuatku
ingin muntah” Hardik ayahnya lagi.
Dengan sangat terpaksa dan perasaan yang
sakit, Allea berlalu dari hadapan ayahnya. Dengan
bantuan tongkat pemberian ibunya saat ia berusia 10
tahun, Allea berjalan dengan penuh hati-hati ke arah
kamarnya.
Rasa kesepian kembali melanda gadis kecil itu.
Kepergian Ibu untuk menginap di rumah neneknya
beberapa hari membuat Allea tidak tahu harus
berbuat apa. Hanya ibu yang selalu menjadi
penyanggah hidupnya. Beruntung sejak kecil Allea
sudah diajarkan mandiri oleh ibunya. Walaupun
penglihatannya terbatas, Allea tidak menjadi anak
manja. Gadis itu bisa melakukan apa saja yang ia bisa
walaupun kadang pekerjaannya akan dibumbui oleh
amarah dari ayahnya.
“Ibu kapan pulang? Allea sendiri, Ayah tadi
marah pada Allea” ucap Allea lirih yang kini sudah
berbaring di atas tempat tidurnya. “Allea tadi tidak
sengaja memberikan kopi asin pada ayah. Padahal
243
Eti Ndulia, dkk
Allea ingin membuat ayah senang, tapi nyatanya Ayah
tidak pernah menyukai Allea,” ucapnya lagi.
***
Senyum terus terukir di bibir mungil Allea
bahkan suara tawa tak henti-hetinya hadir dari gadis
kecil itu. Kedatangan teman seusianya dan bermain
bersama adalah momen yang paling ditunggu Allea.
Namanya Yuna, gadis berusia 11 tahun yang
merupakan sahabat Allea. Tidak setiap hari Yuna bisa
bermain dengan Allea, hanya waktu-waktu tertentu,
seperti saat Yuna pulang sekolah atau saat hari libur.
“Yuna, apakah sekolah itu menyenangkan?”
Allea bertanya saat mereka sedang beristirahat
karena lelah bermain di bawah pohon mangga di
halaman rumah Allea.
“Tentu, sekolah itu sangat menyenangkan. Bisa
belajar bersama dan mempunyai banyak teman,”
jawab Yuna. “Allea ingin bersekolah?”
Secepat kilat Allea menganggukkan kepalanya,
tapi sedetik kemudian Allea kembali menggelengkan
kepalanya.
244
Setelah Ayah Pergi
“Kenapa Allea tidak ingin bersekolah?” Yuna
bertannya lagi.
“Dengan mata seperti ini, bagaimana bisa Allea
dapat bersekolah?” Ucapan yang terdengar lirih itu
membuat Yuna iba.
“Jika Allea mau, Yuna bisa mengajarkan semua
pelajaran yang diberikan ibu guru pada Allea.
Senyum tercipta dari bibir Allea. Yuna
merengkuh tubuh sahabat itu.
Setelah bermain bersama Yuna, Allea langsung
masuk ke rumah, sesaat setelah Yuna pamit pulang.
Allea merasa Yuna adalah orang sangat beruntung,
memiliki orang tua yang begitu menyayanginya. Allea
terkadang iri dengan sahabatnya itu.
“Yuna mana, Allea?” tanya ibu Allea saat
melihat putri semata mayangnya itu masuk ke rumah
seorang diri.
“Yuna sudah pulang, Bu. Tadi ibunya
menjemput.”
Ibu Allea hanya mengangguk dan menuntun
Allea pelan berjalan ke arah sofa.
245
Eti Ndulia, dkk
“Bu?” Allea memanggil ibunya dengan kepala
menunduk dan kedua tangannya saling bertautan.
“Mata Allea kapan bisa sembuh? Allea ingin
bersekolah seperti Yuna,” ucap Allea pelan.
“Allea pasti bisa melihat tapi tidak untuk
sekarang. Ibu lagi berusaha mencari pendonor ntuk
Allea,” Hati perempuan itu terasa tertohok saat
mendengarkan permintaan anaknya. Dari sekian
banyaknya permintaan Allea, hanya permintaan ini
yang membuatnya sulit berkata-kata.
“Tapi kapan? Allea nakal ya, Bu? Makanya
Tuhan tidak ingin mengembalikan mata Allea lagi.”
Ucapan Allea bagai tamparan untuk ibunya.
Bahkan kini sang ibu langsung memeluk Allea dan
menahan tangis agar supaya Allea tidak mendengar.
***
Seperti asupan energi ucapan Yuna kemarin
membuat Allea semangat belajar. Dengan ilmu
membaca huruf Braile dari ibunya, Allea semakin
gemar membaca.
246
Setelah Ayah Pergi
“Ternyata membaca buku semenarik ini,” Allea
tersenyum dan kembali melanjutkan membaca buku.
Mengurung diri di kamar seharian membuat Allea
mampu menghabiskan dua buku.
Brak! Bunyi gebrakan meja yang cukup kuat
membuat Allea yang tengah membaca buku berjengit
kaget. Segera saja gadis itu memperbaiki posisinya
yang semula tengkurap kini berubah menjadi duduk.
“Ibu membuat Allea kaget saja,” ucap Allea.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Allea
meneguk ludahnya susah payah. Itu bukan ibunya
tapi ayahnya.
“Se-sedang membaca buku, Ayah.”
Suara tawa mengejek terdengar di telinga Allea
yang membuatnya menundukkan kepala.
“Membaca? Si buta sedang membaca? Lelucon
apalagi yang sedang kau ciptakan?” Ayahny yang
masih dengan tawa mengejeknya. “Kau itu buta,
terima takdirmu saja. Kemarikan buku itu, sangat
tidak berguna!”
247
Eti Ndulia, dkk
Allea menggeleng kuat dan berusaha
menghalau tangan laki-laki itu, tapi sayang, tenaganya
tidak cukup kuat untuk melawan ayahnya. Buku
pemberian ibunya kini berpindah tangan.
“Ayah, kembalikan buku Allea!” Usahanya
gagal saat ayahnya menepis tangannya dengan sangat
kasar, membuatnya terempas ke atas tempat tidur.
Laki-laki itu ke luar kamar.
Dengan perasaan campur aduk, Allea
menyusul ayahnya, berjalan tertatih dengan bantuan
tongkat dan berpegang pada dinding. “Ayah
kembalikan buku Allea!” Teriak Allea yang diabaikan
begitu saja oleh ayahnya.
“Ayah!” Allea berteriak saat tangan kecilnya
berhasil menangkap tangan besar ayahnya. Allea
mencoba merebut kembali bukunya, tetapi gagal
karena dirinya didorong begitu kuat oleh ayahnya
sampai ke jalan depan rumah. Ia jatuh tersungkur di
atas aspal.
“Allea, awas!” teriak Ibu Allea saat sebuah
mobil nyaris menabrak tubuh mungil Allea. Ayah
248
Setelah Ayah Pergi
Allea yang kaget mendengar teriakan itu segera
berlari ke arah Allea. Terlambat. Mobil itu menabrak
mereka berdua. Allea meringis memegang kepalanya
dan terakhir yang ia dengar adalah suara ibunya yang
memanggil namanya dan juga ayahnya.
***
Sudah memasuki hari ke-3 sejak Allea dirawat
di rumah sakit setelah insiden kecelakaan tersebut.
Pening di kepalanya semakin menjadi saat Allea
berusaha bangkit dari tempat tidur. Allea memijit
pelan pelipisnya saat rasa sakit itu tidak kunjung
reda. Tangannya terhenti saat tidak sengaja
memegang sesuatu membungkus kedua matanya.
“Ibu!” Allea berteriak memanggil ibunya.
Pikirannya ke mana-mana, Allea takut sesuatu akan
terjadi padanya lagi. Cukup Allea tidak bisa melihat
asalkan ia masih mempunyai kedua bola mata.
“Syukurlah Allea sudah sadar,” ucap ibu Allea.
“Mata Allea kenapa ditutup, Bu? Allea tidak
kehilangan bola mata Allea kan?”
249
Eti Ndulia, dkk
Allea mendengar ibunya terkekeh. “Bukankah
waktu itu Allea pernah berkata kalau Allea ingin
melihat dan bisa bersekolah seperti Yuna?”
Allea mengangguk. “Apa Allea bisa melihat,
Bu?” Allea bertanya seolah memastikan ucapan
ibunya tadi.
“Iya, sayang.”
Tak lama kemudain, dokter datang. Perban
yang menutupi mata Allea dibuka perlahan.
“Jangan dibuka dulu sebelum saya bilang buka
ya.”
Allea mengangguk. Perasaannya campur aduk,
antara khawatir dan senang.
“Bukalah sekarang, Allea!”
Allea membuka matanya secara perlahan.
Semuanya masih sama terlihat gelap dan hal itu
membuat Allea kembali sedih. “Ini mungkin sudah
takdir Allea, Bu. Allea tidak mungkin bisa melihat.”
Ucap Allea pasrah.
250
Setelah Ayah Pergi
“Allea yang sabar, Sayang. Allea tidak boleh
berputus asa. Allea pasti bisa melihat. Benar kan,
Dokter?” Ucap Ibu Allea.
“Iya benar. Allea coba kedipkan mata Allea
secara perlahan.”
Perlahan Allea bisa melihat cahaya masuk
pada penglihatannya. Senyumnya melebar dan ia
menangis saat melihat sosok ibunya dengan jelas. “Bu,
Mata Allea. Allea bisa melihat,” Allea berucap dan
langsung memeluk tubuh Ibunya. Dulu Allea pernah
mempunyai impian untuk bisa melihat wajah ibunya,
dan kini impian Allea itu terwujud.
***
Setelah seminggu dirawat, Allea diperbolehkan
pulang. Dalam perjalanan pulang terlintas dalam
pikirannya siapa gerangan yang berbaik hati
memberikan matanya. Bukan hanya itu saja, sejak
kecelakan itu, ayah Allea tidak pernah muncul.
Apakah Ayah begitu benci padanya?
“Bu, bukankah Ibu janji setelah Allea keluar
dari rumah sakit, kita akan bertemu Ayah?”
251
Eti Ndulia, dkk
“Iya sayang. Kita akan bertemu Ayah hari ini.”
Mobil mereka memasuki pelataran
pemakaman di kota mereka. Sontak Allea
mengerutkan keningnya, bingung. Mengapa mereka
ke makam? Apakah ayahnya…?
“Kenapa kita kesini, Bu? Allea ingin bertemu
Ayah.”
“Iya, kita ketemu Ayah ke sini.” Ucapan Ibu
membuat Allea semakin bingung. Ibu lalu berhenti di
sebuah gundukan tanah basah dengan taburan bunga
yang masih segar di atasnya. “Ini ayah, Allea.” Ucap
ibu.
Allea menggeleng kuat. Ini tidak mungkin dan
ini pasti hanya mimpi. Ayahnya tidak mungkin
meninggalkannya. “Ibu jangan bercanda. Ibu pasti
bohong!” Allea kembali menggeleng kuat, dan tidak
percaya ayahnya sudah tiada.
“Mata yang ada pada Allea adalah mata ayah.
Kata Ayah, Allea harus bisa melihat. Ayah berpesan
untuk memberikan matanya untuk Allea.”
252
Setelah Ayah Pergi
Tangis Allea kembali pecah. Gadis 11 tahun itu
seolah tidak percaya bahwa ayahnya yang sering
berlaku kasar padanya, ayahnya yang begitu
membencinya telah pergi saat dirinya sudah bisa
melihat dan Allea semakin dibuat tidak percaya
bahwa ayahnya mau berbaik hati padanya dengan
memberikan matanya.
Pantas saja sejak tersadar di rumah sakit, Allea
merasakan seperti ada ayah dalam dirinya.
“Allea janji akan jaga mata Ayah.”
253
Eti Ndulia, dkk
BROKEN HOME
Vidya Yolanda Hanis
“Bayi lugu ini tidak bersalah. Aku harus
merawatnya meskipun tanpa seorang ayah,” ucap
Karisa pelan sambil menggendong bayinya.
Kabut dingin masih menyelimuti pagi. Hari
Senin sekitar pukul 4, Karisa melahirkan seorang bayi
cantik. Dengan uang tabungan seadanya, Karisa
memberanikan diri pergi ke klinik bersalin tanpa
seorang pendamping. Karisa baru saja tamat SMA.
Saat ini, seharusnya Karisa sudah kuliah seperti
teman-temannya. Namun, peristiwa itu memaksa
Karisa harus menyimpan keinginannya rapat-rapat.
Karisa tidak dapat menghindari peristiwa mencekam
itu. Kekasihnya yang juga teman sekolahnya
memaksanya. Ia mengancam akan meninggalkan
Karisa jika ia tidak menuruti keinginannya. Tapi,
ternyata, setelah ia berikan semuanya, laki-laki itu
tetap meninggalkannya. Setelah tahu Karisa hamil,
254
Setelah Ayah Pergi
pria itu melarikan diri tanpa rasa bersalah sama
sekali.
Karisa tinggal seorang diri di sebuah kota yang
jauh dari penjagaan orangtuanya. Sejak pertengkaran
hebat yang terjadi di tengah keluarganya, Karisa
memilih pergi. Karisa tinggal di sebuah perkotaan
yang padat dan ramai. Karisa menempati indekos
yang terpencil.
***
Bayi mungil itu tumbuh menjadi seorang gadis
kecil yang lucu. Kimora Cahaya Mentari. Usia Karisa
yang baru menginjak 22 tahun tidak membuatnya
patah semangat untuk menjalani takdir menjadi
seorang ibu muda. Banyak kesulitan yang dia alami.
Untungnya, ada seorang teman yang juga kakak
kelasnya dulu waktu di sekolah sukarela
membantunya. Kesulitan lain pun dilaluinya dengan
sabar. Dari mulai kehabisan uang membeli popok,
bubur bayi, perlengkapan mandi, pakaian, hingga
untuk makan sehari-hari. Karisa harus bekerja paruh
waktu demi kebutuhan sehari-hari anaknya.
255
Eti Ndulia, dkk
“Mama, kenapa kaki kanan Kimora rasanya
nyeri dan ukurannya beda, ya?”
“Coba Mama lihat. Hmm, iya ya, selama ini
Mama tidak perhatikan pertumbuhan kaki kamu,
Sayang. Besok kita ke dokter saja. Dokter akan periksa
kaki kamu.”
Setiap hari ada saja masalah yang
menghampiri Karisa. Kaki Kimora yang pendek
sebelah menambah beban pikiran Karisa. Karisa tidak
tahu harus meminta kepada siapa lagi untuk
membiayai kebutuhan sehari-harinya. Uang hasil
bekerja belum tentu cukup untuk membawa Kimora
ke dokter. Ia pasti membutuhkan dana yang tidak
sedikit untuk pengobatan kaki Kimora.
Mencari pekerjaan lain adalah jalan satu-
satunya untuk bisa menambah penghasilan. Di kota
yang sebesar ini, pasti ada tempat yang menerima
seorang pekerja lulusan SMA. Karisa selalu membawa
Kimora ke mana pun dia melangkah. Karisa belum
berani menitipkan Kimora ke rumah tetangganya atau
256
Setelah Ayah Pergi
meninggalkan Kimora sendirian di dalam
kontrakannya.
***
Karisa akhirnya mendapat pekerjaan baru di
sebuah toko buku yang ada di seberang jalan dekat
minimarket yang biasa Karisa kunjungi. Karisa kini
punya dua tempat kerja sekaligus—apotek dan toko
buku. Pekerjaan di toko buku ini sangat mudah bagi
Karisa. Membersihkan debu yang ada di rak buku dan
menyapu bagian khusus tempat orang-orang yang
mau membaca. Karisa diizinkan membawa Kimora ke
tempat kerjanya itu. Karisa harus bisa menjaga
konsistensi dalam bekerja. Pekerjaan pertama Karisa
tidak boleh ditinggalkan karena sudah melakukan
kesepakatan kerja. Hal ini dijaga penuh Karisa agar
tidak ketahuan. Jika itu terjadi, Karisa akan
kehilangan kesempatan mencari uang tambahan
untuk pengobatan Kimora.
Ini hari pertama Karisa bekerja di toko buku.
Dengan menggenggam tangan mungil Kimora, itu
sudah cukup menambah energi semangat Karisa
257
Eti Ndulia, dkk
dalam bekerja. Karisa harus berjalan kaki sekitar 100
meter dari indekos menuju toko buku. Karisa harus
ekstra hati-hati agar tidak ketahuan kepala apotek
yang berada tidak jauh dari kosnya.
***
Karisa sangat menikmati pekerjaan di toko
buku. Bertemu karyawan-karyawan baru sangat
menyenangkan. Mereka sangat ramah terhadap
Karisa, meskipun Karisa karyawan baru.
“Karisa, boleh saya tanya sesuatu?” tanya
Ratih, seorang karyawan wanita yang duduk di
sebelah Karisa.
“Boleh. Mau tanya apa, Mbak Ratih?”
“Apa ada yang salah dengan kaki anakmu?”
“Beberapa hari ini anak saya sering mengeluh
nyeri di bagian kaki kanannya. Saya masih belum
tahu, kalau Kimora sakit apa.”
“Sudah periksa ke dokter?”
“Belum, saya masih usaha cari uang sekarang.
Saya belum mampu pergi ke dokter, Mbak.”
258
Setelah Ayah Pergi
“Ada kok klinik anak yang biayanya tidak
mahal.”
“Di mana itu, Mbak?”
“Nanti, setelah pulang kerja saya ajak ke sana
saja, ya?”
“Baiklah, Mbak, terima kasih.”
Setelah jam kerja selesai tepat pukul 15.00
sore, Karisa diajak oleh Ratih ke sebuah tempat yang
sudah dijanjikannya. Butuh beberapa menit untuk
bisa sampai ke tempat itu dengan menaiki angkutan
umum.
“Di sini, kamu hanya perlu membayar Rp50
ribu untuk pengobatan.”
Mereka berjalan ke ruang dokter. Karisa
menggendong Kimora. Di sana banyak sekali anak-
anak. Karisa berharap agar Kimora baik-baik saja.
Terlihat sebuah papan yang bertuliskan nama dr.
Amir Setiawan (Spesialis Anak). Ia mendaftarkan
nama anaknya. Setelah menunggu beberapa lama,
nama Kimora dipanggil.
“Permisi, selamat sore, Dokter”
259
Eti Ndulia, dkk
“Mari silahkan duduk. Cantik sekali. Keluhan
sakitnya apa?”
“Beberapa hari ini anak saya sering
mengeluhkan rasa sakit di bagian kaki kanannya.”
Dokter menyarankan Karisa untuk segera
membawa Kimora ke rumah sakit untuk dioperasi.
Karisa tidak menerima saran itu. Banyak hal yang
mengharuskan Karisa untuk menunda membawa
Kimora untuk operasi. Tebersit rasa rindu Karisa
kepada ayah dan ibunya. Namun, Karisa mengubur
rasa rindu itu dalam-dalam. Menjadi korban dari
orangtua yang bercerai bukanlah keinginan semua
anak. Karisa sendiri sangat terpukul dengan
keputusan orang tuanya. Keegoisan di antara mereka
yang begitu kuat memicu retaknya rumah tangga ayah
dan ibunya. Kini, Karisa hanya bisa pasrah dan
berharap semoga bisa hidup damai dan bahagia.
260
Setelah Ayah Pergi
261
Eti Ndulia, dkk
BUKAN BONEKA BARBIE
Yuliatin
Kita tidak bisa memilih orangtua yang seperti
apa yang akan kita miliki, dan didikan seperti apa
yang seharusnya kita terima, karena semua itu telah
diatur takdir Tuhan. Begitulah yang dirasakan oleh
seorang anak yang bernama Rini Anggraini yang
kerap disapa dengan nama pendeknya “Rin”.
“Deeeerttt” suara getaran ponsel di bawah laci
itu terus bergetar. Rin yang sedang mengikuti
pembelajaran di dalam kelas tidak mengetahuinya.
Beberapa detik setelah gurunya mengakhiri kegiatan
belajar, Rin segera membuka ponselnya itu. Rin
melihat banyak panggilan tak terjawab dari sanak
saudaranya dan satu pesan belum terbaca. “Ada apa
ini?” pikir Rin dengan benak yang tidak enak.
Rin membuka pesan itu, seketika ia diam
mematung setelah itu. Ia tiba-tiba berteriak histeris
menangis, teman-temannya langsung memeluk dan
mengerumuninya bertanya ada apa. Pesan yang ia
262
Setelah Ayah Pergi
buka merupakan pesan singkat dari ibundanya yang
mengabarkan kalau ayahnya meninggal. Seketika,
perasaan Rin begitu sesak, pikiranya menjadi kacau.
Air matanya tak henti mengalir membasahi pipinya.
Di ruang guru, sudah ada tante yang menjemputnya
untuk segera pulang kampung melalui pelabuhan.
Sepanjang perjalanan ke pelabuhan, hati Rin belum
bisa menerima kenyataan yang terjadi dan ia selalu
bertanya dalam hati “Mengapa ya Allah, mengapa
ayah harus secepat ini pulang kepada Mu?”
Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan, Rin
teringat kembali kenangan mengenai ayahnya.
Semasa hidup, ayah Rin selalu memperlakukannya
dengan keras. Ayah Rin adalah tipe seorang ayah yang
tidak pandai dalam berkata-kata, tidak pandai pula
dalam mengekspresikan rasa. Hal tersebut terkadang
membuat Rin sering salah paham dalam mengartikan
tindakannya. Sosok ayahnya yang kaku dan tegas
membuat Rin segan dan takut kepada beliau.
Kehidupan seperti seorang putri bak Boneka
Barbie tidak pernah Rin dapatkan dari ayahnya,
263
Eti Ndulia, dkk
meskipun ia adalah anak perempuan satu-satunya di
keluarga kecilnya. Rin yang terlahir di desa terpencil
dan dibesarkan di sebuah keluarga yang sederhana,
sejak usia belia sudah di didik untuk menjadi anak
yang mandiri dan bisa mencari uang sendiri untuk
uang jajannya. Sejak berusia 7 tahun, Rin sudah sering
diajak oleh ayahnya berkebun dan bertani. Rin juga
diberi contoh cara memanen dan menjual hasil panen
kebunnya keliling kampung. Semasa SD, Rin senang
belajar di sekolah sambil berjualan es maupun kue-
kue buatan ibundanya ketika jam istirahat tiba. Uang
hasil berjualan sebagian besarnya Rin tabung untuk
membeli barang keinginan Rin seperti boneka baru
atau buku bacaan. Seiring berjalannya waktu,
kegiatan menabung uang dan berjualan menjadi
kebiasaan Rin. Ia tidak pernah dipaksa atau merasa
terpaksa melakukan kegiatan tersebut.
Selain keperluan sekolah, ayahnya tidak pernah
memberikan Rin uang jajan cuma-cuma. Jika ingin
sesuatu, Rin harus bersabar dan berusaha sendiri
mendapatkannya. Ayahnya adalah sosok yang tegas.
264
Setelah Ayah Pergi
Sekali ia katakan tidak, walapun air mata darah yang
mengalir dari mata Rin, tetap saja tidak. Pernah sekali
Rin merengek minta dibelikan sesuatu pada ibunya,
tetapi ibunya tidak membelikan, Rin pun menangis
sejadi-jadinya. Waktu itu, ia langsung disiram air satu
ember oleh ayahnya. Rin tersentak dan langsung
terdiam, sedih dan takut berkecamuk dalam
benaknya.
“Apakah Ayah akan memukulku?” pikir Rin kala
itu. Setelah Ayah menyiram Rin dengan air, ia berkata
“Jangan cengeng mudah buang-buang air mata
berharga untuk hal kecil, mulai sekarang kamu harus
berusaha jika ingin sesuatu. Hilangkan kebiasan tidak
bagus itu sekarang atau nanti akan terbawa hingga
kamu dewasa!"
Rin yang masih belum mengerti apa yang
ayahnya katakan. Usai berkata seperti itu, ayah Rin
masuk ke kamarnya dan membiarkan Rin tenang
dengan sendirinya. Ketika menangis, Rin tidak pernah
dibujuk dengan permen atau boneka. Jika Rin
265
Eti Ndulia, dkk
menangis, perlakuan seperti itulah yang ia dapatkan,
atau sebuah pukulan akan melayang.
Ketika Rin berumur 8 tahun, ibu Rin harus
dirawat di rumah sakit sehingga Rin dijaga ayahnya di
rumah. Selama di rumah, mereka berdua jarang sekali
bercerita. Rumah terasa sepi tanpa Ibu. Dalam
kesepian itu, Rin sering sekali mengkhayal dan
membanding-bandingkan seandainya ayahnya sebaik
dan seramah sosok ayah temannya. Rin ingin sekali
bermain bersama ayahnya dan bercerita tentang
berbagai macam hal, seperti apa yang biasanya
dilakukan oleh teman-teman Rin dengan ayah
mereka. Entah dinding pemisah apa yang tercipta
antara mereka. Terkadang Rin merasa ayahnya begitu
jauh padahal begitu dekat. Akhirnya, Rin menganggap
hal itu biasa karena sudah terbiasa.
Rin datang ke rumah sakit menjenguk ibunya
bersama ayahnya, ibunya berkata “Pak, ajak Rin
makan siang dulu!”
Ayah yang sebenarnya mau pergi ke rumah
temannya pun terpaksa mengajak Rin juga
266
Setelah Ayah Pergi
bersamanya. Rin pergi berjalan kaki dengan ayahnya
setelah makan di warung, waktu itu matahari
bersinar terik. Rin ingin sekali naik becak karena lelah
berjalan kaki.
“Ayah, apa masih jauh?” tanya Rin perlahan dan
hati-hati.
“Sabar, sebentar lagi sampai.”
Sepulangnya dari rumah teman, ayahnya masih
mengajak Rin untuk kembali ke RS dengan berjalan
kaki.
“Ayah, Rin mau naik becak, Rin sudah capek
jalan kaki.” Ucap Rin yang seperti orang bergumam.
Ayah Rin hanya diam saja dan terus berjalan kaki
hingga sampai rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Rin langsung ke
pelukan ibunya sembari mengadu. Mendengar
penuturan Rin, ibunya langsung marah pada ayah Rin
sembari berkata “Teganya, Pak, anak kecil begini
disuruh jalan kaki jauh-jauh. Mana cuacanya panas
sekali.”
267
Eti Ndulia, dkk
“Biar saja dia dibiasakan sejak sekarang untuk
menghargai alat transportasi yang luar biasa ciptaan
Tuhan, yaitu kedua kakinya, Bu.” Ayahnya hanya
tersenyum saat itu.
Mendengar penuturan singkat dari ayahnya kala
itu, Rin spontan langsung menatap kedua kakinya. Ia
jadi teringat bahwa beberapa jam yang lalu ketika
datang ke rumah sakit ini ia berpas-pasan dengan
anak yang duduk di kursi roda karena kakinya cacat.
Rin langsung sadar. Seharusnya ia bersyukur dan
tidak banyak mengeluh. Ia sangat beruntung masih
memiliki kedua kaki yang sempurna untuk berjalan,
dan untuk mensyukuri itu semua ia harus rajin
menggunakan apa yang Tuhan titipkan padanya
dengan baik. Itu adalah awal mula Rin mulai bisa
memahami apa yang ayah ingin sampaikan padanya.
***
Suara kendaraan beradu, Rin yang dibonceng
tantenya menuju pelabuhan masih hanyut dalam
duka yang dalam. Rin memukul-mukul dadanya yang
terus menerus sesak, sesekali menghapus air matanya
268
Setelah Ayah Pergi
dengan jilbabnya yang semakin deras ketika ia
menginggat kembali bagaimana manfaat petuah-
petuah yang diberikan ayah dalam kehidupannya.
Semasa sekolah SMP, Rin selalu menjadi juara
umum. Ayah Rin biasanya hanya diam dengan
prestasi yang anaknya raih. Oleh sebab itu, Rin sering
menganggap bahwa ayahnya mungkin tidak sungguh
sayang padanya kala itu. Rin memutuskan untuk
melanjutkan sekolah di SMK yang hanya terdapat di
kota. Rin mau tidak mau harus hidup sendiri dan
mandiri dan meninggalkan kampung halamannya.
Pada mulanya, ibu Rin berat melepaskan kepergian
Rin. Ibunya takut ia terjebak dalam kenakalan remaja
tanpa pengawasan orangtuanya. Rin bekerja keras
untuk menyakinkan ibundanya. Sampai-sampai Rin
berjanji bahwa ia tidak akan pernah pacaran selama
masa sekolah dan akan giat belajar serta
mempertahankan prestasinya di sekolah nanti.
Dengan perjanjian itu, ibunya menyetujui dan dengan
berat hati melepaskan Rin untuk melanjutkan sekolah
di luar kampung halamanya.
269
Eti Ndulia, dkk
Selama di perantauan, Rin tidak pernah
mengeluh. Ia juga menjadi pribadi yang tangguh dan
tidak mudah putus asa dalam menjalani hidup. Rin
juga sangat pintar mengatur waktu dan keuangannya.
Hal inilah yang membuat Rin sadar dan sering
teringat ayahnya. Berkat perlakuan, contoh dan
didikan ayahnya yang tegas dulu, Rin menjadi pribadi
yang kuat. Rin juga selalu ingat untuk berkerja keras
dalam mendapatkan sesuatu. Semua orang senang
bergaul dengan Rin yang ramah dan jujur. Rin juga
selalu cekatan. Setiap Rin merasa sedih, kata-kata
ayahnyalah yang terus tergiang di kepalanya.
“Janganlah mudah menangis untuk hal-hal
sepele, kalau pun harus menangis, ambillah segala
hikmah dari apa yang sudah terjadi.” Terkadang Rin
merindukan dan ingin sekali memeluk erat ayahnya,
orang yang selama ini banyak diam, sekali berkata
tepat dan tegas serta menjunjung tinggi kejujuran dan
kesederhanaan hidup.
Perlahan-lahan, Rin mulai banyak memahami
pelajaran kehidupan yang ingin ayahnya sampaikan
270
Setelah Ayah Pergi
pada Rin. Namun, Rin masih belum menemukan
jawaban kenapa ayah Rin tidak menunjukan rasa
sayangnya pada Rin. Padahal Rin bukanlah anak
pembangkang melainkan anak yang berprestasi.
Untuk mendapatkan perhatian ayahnya, ia mulai
memberontak. Pernah suatu ketika, Rin memaksa
ingin dibelikan ponsel dan juga motor karena ia malu
naik sepeda ke sekolah. Ibu Rin dan ayahnya hanya
memberikan Rin pilihan beli sepeda motor dan hp
saat itu tapi tidak kuliah, atau belinya nanti pas sudah
kuliah. Memikirkan pilihan itu membuat Rin murka, ia
bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah segera
mendapatkan apa yang ia inginkan seperti teman-
temannya yang lain.
***
Rin sampai di pelabuhan, ia masih saja duduk
termenung dan menangis di kelotok Tantenya
berusaha menenangkan, tapi semakin ditenangkan,
tangisan Rin semakin menjadi-jadi. Rin terisak
kembali ketika ia mengingat keegoisan dan
kesalahpahamannya pada ayahnya dulu.
271
Eti Ndulia, dkk
“Apa sih yang dipikirkan Ayah, pekerja keras
dan punya uang, tapi uangnya tidak pernah terlihat?”
Sering Rin bertanya-tanya dalam benaknya. Ayah
hanya pernah membelikan Rin dua kali baju kaus dan
itu pun ketika Rin masih kecil. Baju yang dibelikan
pun luar biasa besarnya, sehingga ketika tubuh
mungil Rin yang mengenakannya menjadi seperti
dimuat di dalam karung. Ibu Rin sering meledek baju
yang dibelikan ayah untuk Rin karena ayah tidak bisa
memilih pakaian untuk anaknya. Jika mendapatkan
protes, ayah Rin hanya bilang “Biar nanti kalau Rin
besar, ngak perlu beli baju lagi.”
Mengingat kata ayahnya itu, Rin tidak habis
pikir kalau ayahnya begitu hemat. Rin jadi semakin
bertanya-tanya ke manakah uang hasil kerja keras
ayah dihabiskan? Padahal ayahnya tidak pernah
membeli barang-barang mewah. Namun, sayangnya
pertanyaan itu belum juga menemukan jawaban.
Memasuki masa-masa Try Out di sekolah, Rin
mendapat kabar bahwa ayahnya sedang sakit. Waktu
itu akan menjelang liburan hari raya Iduladha. Rin
272
Setelah Ayah Pergi
pun pulang kampung. Sebenarnya Rin kesal kepada
kedua orangtuanya yang terlihat tidak peduli dengan
nilainya yang jelek di sekolah. Namun, ia berusaha
menyembunyikan perasaannya. Di waktu makan
bersama, biasanya ayah Rin tidak pernah sedikitpun
membuka suara untuk bercerita, karena makan itu
harus dinikmati dengan tenang. Namun, tiba-tiba
Ayah Rin bertutur “Rin, lulus sekolah kamu tidak usah
kuliah, berkebun saja di kampung atau langsung
menikah saja.”
Rin terkejut dan menjadi emosional. Tanpa
sadar, Rin membanting sendok di tangannya.
"Pokoknya saya mau lanjut sekolah, mau tidak
dibiayai juga terserah, saya bakalan kerja buat biaya
pendidikan saya sendiri! Setelah berkata begitu Rin
masuk ke kamarnya. Rin benar-benar kesal sekali,
tidak habis pikir bagaimana bisa ayahnya berkata
begitu. Padahal beliau adalah orang yg paling tahu
bahwa Rin ingin lanjut sekolah setinggi-tingginya.
Bahkan Rin termaksud anak yang rajin belajar serta
273
Eti Ndulia, dkk
tertarik sekali untuk bersekolah sejak usianya yang
masih belia.
***
Ketika sampai di kampung kelahirannya, Rin
langsung berlari masuk ke rumahnya. Rin melihat
kain putih itu. Perlahan ia membuka kain yang
menutupi jasad ayahnya. Air mata Rin mengalir deras,
ia perhatikan wajah pucat ayahnya, tubuh yang kurus
dan kaku. Dipegangnya kaki ayah yang sudah dingin
dan pucat. Rin kembali menangis. Seandainya waktu
dapat terulang kembali, Ayah. Ia membatin.
Sesak dalam dadanya semakin menghujam.
Sesal dan kecewa dari lubuk hatinya mulai muncul.
Namun, semua itu sudah terlambat. Rin menangis
sejadi-jadinya ketika tumpukan tanah mulai menutupi
jasad orang yang ia sayangi.
“Ayah, kembalilah, marahilah Rin lagi, marahilah
Rin yang nakal, Ayah, jangan pergi seperti ini Ayah,
tolong marahilah Rin lagi, Ayah,” begitulah kata hati
Rin yang terus berulang bersamaan dengan air
matanya yang terus bercucuran.
274
Setelah Ayah Pergi
***
Satu bulan kemudian, Rin sudah menyelesaikan
Ujian Nasionalnya dan dinyatakan lulus. Rin kembali
ke kampung halamannya untuk bertemu ibu dan
adiknya di sana. Setelah ziarah ke pemakaman
ayahnya, ibu Rin memberikan sebuah buku tabungan
padanya.
“Ini dari Ayah.”
Rin membuka perlahan buku tersebut, ada uang
kisaran 100 juta lebih di dalamnya, Rin masih
bingung. “Apa ini, Bu?”
Ibu mulai terisak. “Iya Rin, uang itu dari ayah. Ia
bekerja keras dan berhemat dalam hidupnya untuk
kehidupan dan cita-citamu nanti.”
Mata Rin mulai basah.
“Ayah tahu kamu anak yang pintar dan punya
cita-cita yang besar. Ayah ingin kamu menjadi anak
yang tangguh dan hidup sederhana. Ayah terkadang
minder sama kamu yang begitu cerdas.” Rin menangis
dan memeluk ibunya.
275
Eti Ndulia, dkk
“Kenapa ayah minder sama Rin, Bu. Rin pikir
Ayah nggak sayang sama Rin,” Rin berkata sambil
terisak pilu.
Ibunya lalu bercerita, ayah Rin adalah pemuda
yang dididik keras oleh orangtuanya semasa muda. Ia
pandai berkebun dan bertani. Namun, satu hal yang
Rin tidak tahu, bahwa ayah Rin buta huruf. Selama ini
Ayah Rin membatasi kedekatannya dengan Rin
karena ia tidak mau anaknya yang cerdas itu malu
mempunyai seorang bapak yang tidak bisa membaca.
Ayah Rin sering dididik untuk mencari uang di ladang
sebagai prioritas utama, sehingga ia tidak sempat
menduduki bangku sekolah. Melihat Rin yang selalu
semangat dan berprestasi dalam dunia akademik
membuat ayah Rin bangga dan tidak ingin anaknya
bernasib sama sepertinya. Ayah Rin juga mendidik
Rin dengan tegas agar Rin siap mengahadapi
kehidupan di dunia yang keras dan kadang tak adil.
Selain mengumpulkan uang hasil kerja kerasnya
untuk Rin, ia juga mengajarkan Rin cara untuk
276
Setelah Ayah Pergi
bertahan hidup melalui kesederhanaan, rasa syukur,
dan cara mencari uang sendiri.
***
Luruh sudah perasaan Rin ketika mendengar
penuturan dari ibunya. Dalam hati Rin yang terdalam,
ia bangga dan bersyukur menjadi sorang putri dari
sosok seperti ayahnya. Terjawablah sudah semua
pertanyaan-pertanyaan Rin selama ini tentang alasan
sikap ayah terhadapnya. Rin menyadari mungkin dulu
Rin tidak mengerti akan cara, didikan dan tindakan
yang ditunjukan ayahnya, juga kata-kata petuah
ayahnya.
“Perasaan sayang dan bangga yang mengebu-
gebu membuat ayahmu sulit mengekspresikannya.
Hal tersebut yang berujung pada diamnya, Nak, tapi
dalam hatinya yang terdalam ia adalah ayah yang
selalu dan sangat mencintai putri semata wayangnya.”
Ujar ibu Rin merangkul tubuh Rin yang bersujud di
lantai dengan isak tangis.
277
Eti Ndulia, dkk
Di mana pun Rin berada, apa yang ayahnya
pernah ajarkan, selalu ia pegang teguh Meski
mempunyai uang yang banyak dari tabungan
ayahnya, Rin tidak pernah berfoya-foya. Bahkan ia
tetap kuliah dengan beasiswa dan hidup sederhana.
Rin juga senang pergi ke tempat-tempat yang masih
bisa ia jangkau dengan berjalan kaki dan ia tidak malu
dengan itu. Rin selalu ingat kata ayahnya “Salah satu
cara bersyukur itu adalah dengan menggunakan apa
yang diberikan Tuhan kepada kita dengan sebaik-
baiknya.” Kata-kata petuah dari ayahnya itulah yang
menjadi pedoman dan prinsip.
“Iya, aku bukan boneka Barbie yang hidupnya
dimanja dan memiliki banyak pakaian dan
barangbarang bermerek.” Aku adalah seorang putri
yang tangguh dari sosok ayah yang tegas dan
sederhana. Jika kakek mendidik ayahku dengan keras
di zamannya, maka ayah mendidikku dengan tegas
sesuai zamanku.” Ucap Rin keras di hadapan kaca
setiap memulai aktivitasnya.
278
Setelah Ayah Pergi
279
Eti Ndulia, dkk
SAJAK DALAM SAMSARA
Sartina
Samsara adala waktu yang menghujam
pada godam-godam persoalan
Tiada berkesudahan.
Tiada awal, tiada akhir.
Takdir, hidup, mati dan jodoh
adalah samsara.
Begitulah puisi yang biasa Ayah lantunkan
ketika malam mulai beranjak menua, setelah seharian
bergelut dengan ombak untuk mengisi pukat. Ayah
mencintai puisi sama halnya cintanya kepadaku, putri
semata wayangnya. Berbeda denganku, aku hanya
sekadar tahu jika puisi itu hanyalah aksara ayah
untuk menenangkan lukanya yang menganga tentang
Ibu. Ya, Ibu meninggalkan kami tujuh tahun yang lalu,
sewaktu mengantarkanku mengikuti lomba cipta baca
puisi di kantor desa. Ibu tertabrak truk pengangkut
kayu, sewaktu menyebrang jalan. Sebelum kejadian
280
Setelah Ayah Pergi
yang begitu cepat itu, buru-buru Ibu
mengempaskanku ke pinggir jalan agar aku tidak ikut
tertabrak.
Sejak saat itu, aku sering mempertanyakan
takdir. Apakah karena lomba waktu itu Ibu
meninggal? Apakah karena puisi Ibu
meninggalkanku? Selebihnya, aku tak mau tahu. Yang
kutahu sejak itu aku membenci sajak, menguncinya
rapat-rapat dan memangku ingatan bahwa Ibu telah
mati diregut olehnya.
Badan Ayah kelihatan semakin kurus. Pasti ia
juga kehilangan Ibu.
“Ayah, apakah benar samsara itu benar
adanya?”
“Sri, hidup itu terbagi menjadi 3 bagian apakah
kau tahu?” Ayah balik bertanya.
Aku hanya menggeleng.
“Hidup itu sesungguhnya terbagi menjadi tiga
bagian. Awal, ketika manusia diahirkan. Kedua,
proses, adalah hidup yang kita jalani, dan akhir,
281
Eti Ndulia, dkk
adalah kematian raga kita. Hanya sukma kita yang
tidak akan mati.”
***
Aku ini sampan berdaki yang dikayuh oleh
bapak lusuh berbau matahari. Entah alasan apa Ayah
melantunkannya. Hanya sepotong kalimat saja,
pernah aku menanyainya ”Kenapa hanya sepotong
kalimat puisinya, Ayah” Ayah hanya menjawab
dengan senyuman khasnya. Tak pernah ia menjawab
sebagaimana mestinya. Setelahnya aku tidak bertanya
lagi.
Ayah selalu berusaha meyakinkanku bahwa
kepergian Ibu bukan salah takdir. Lewat puisi-
puisinya, Ayah selalu menyelipkan suatu makna yang
tersirat tentang kerinduan pada sajak dan Tuhan.
Rasanya puitis sekali. Benarkah perasaan itu yang
sedang melandaku saat ini? Rindu menulis puisi lagi?
Entah kenapa aku terlempar ke masa lalu, masa
pengajian, masa beribadah, lalu ingatanku melebar
lagi ke masa Ibu yang sabar mengajariku memilih kata
dalam menciptakan puisi, melebar lagi pada
282
Setelah Ayah Pergi
perjuanganku yang ingin menjadi sastrawan
Indonesia yang melahirkan sajak-sajak khas diriku,
lalu berhenti pada saat kepergian Ibu. Sejak itu aku
memutuskan melupakan impianku dan menyalahkan
atas takdir dan puisi yang berkomplot mengerjaiku.
Kadang kureka-reka. Apa benar aku harus
percaya Tuhan? Takdir? Sehingga semua bisa kembali
berjalan seperti dahulu? Puisi? Dan Ibu? Semua harus
kupastikan terlebih dahulu. Salah-salah semakin
terpuruk, semakin buruk. Semakin hari makin
bingung bukannya makin tenang. Waktu seolah tak
mau menunggu lagi, aku seperti dipaksa membuat
keputusan.
Langit biru cemerlang di atasku. Awan putih
menari lemah gemulai.. Awan putih bergerak makin
lama makin cepat, menutup sang surya sehingga yang
terlihat kini hanya bias-biasnya. Tak kusadari
ternyata hari telah sore, cepat-cepat kuangkat ikan-
ikan yang dari tadi pagi kujemur sebab lembayung
cakrawala telah telihat jelas. Tiba-tiba saja bau
283
Eti Ndulia, dkk
gosong kulit terpanggang matahari menguar dari arah
lautan, aromanya khas dan selalu bisa kukenali.
“Ayah, bagaimana melautnya, Yah?”
“Laut sedang pasang akhir-akhir ini, Nak jadi
perolehan Ayah hanya sedikit, tidak ada yang bisa
dijual. Hanya cukup untuk kita makan beberapa hari
saja,” jawabnya sambil menggantungkan pukat
dipinggir rumah.
Kutatap Ayah, kerutan wajahnya sudah
semakin jelas.
Malamnya, kami duduk di balai depan rumah,
sebab katanya ada yang Ayah akan beritahukan
kepadaku. Aku tak terlalu menanggapinya toh hampir
setiap malam Ayah selalu tiba-tiba ingin
membicarakan sesuatu yang ujung-ujungnya hanya
ingin memberikan pencerahan kepadaku tentang
kematian Ibu.
“Sri anakku, tahukah kau dalam hidup hanya
ada tiga waktu”
Aku menarik napas dengan perkataan Ayah. Sudah
bisa kutebak pasti berurusan dengan sajak dan takdir.
284
Setelah Ayah Pergi
“Sri sudah tahu Ayah” jawabku memotong
pembicaraannya. Tidak sopan memang, tapi aku
bosan.
“Kemarin, sudah berlalu, lenyap bersama
segala sesuatu yang pernah terjadi. Hari esok, kita
tidak pernah tahu apakah kita bisa menikmatinya
atau ajal akan menjemput kita sebelum esok datang,
dan hari ini, hanya hari inilah yang kita miliki
sekarang. Maka berkaryalah, beramallah sebanyak-
banyaknya. Jangan pikirkan lagi kemarin dan
mengkhawatirkan hari esok. Karena sesederhana apa
pun semua urusan, berandai-andailah yang
menyulitkannya.”
Aku tidak pernah berpikir jauh tentang
penjelasan ayah malam itu, tentang kehidupan sebab
aku sudah tahu bahwa Ayah semata-mata hanya ingin
merangkulku kembali menjadi seperti dahulu, penulis
puisi.
Esoknya Ayah kembali berlayar. Pagi-pagi
buta, aku sudah mempersiapkan bekalnya. Aku
mengantarkannya sampai ke pinggir laut. Tidak ada
285
Eti Ndulia, dkk
yang janggal hari itu, hanya saja mendung sedikit
bergelayut menutupi sebagian matahari. Hawa dingin
pun mulai menyelimuti alam. Namun, itu hal yang
lumrah sebab, bulan-bulan ini bukan termasuk musim
penghujan. Terkadang cuaca susah diterka. Beberapa
nelayan juga terlihat bersiap-siap melaut seperti
Ayah.
Ditariknya sampan sederhana itu sambil
melantunkan puisi yang biasa diucapkannya. Aku
membantu ayah mendorong sampannya hingga agak
jauh ke laut. Ayah melambaikan tangan diiringi seyum
khasnya.
Gerimis mengundang derai hujan yang
ternyata membebat merupa petaka. Selepas hujan
pagi tadi, ombak tak bisa dibilang riak lagi. Pesisir
bukan teman sejawat ayah lagi. Kukira ini pertanda.
Sebab hingga malam menggantung, sampan Ayah
belum juga kelihatan merapat di pinggir pantai.
Hatiku dari tadi tidak tenang. Sayup-sayup kudengar
suara lelaki memanggil namaku dari arah laut. Kukira
itu Ayah, ternyata pak Karno, tetanggaku.
286
Setelah Ayah Pergi
“Sri, Asri,” panggilnya seraya tergopoh-gopoh.
Langit mendung mengiringi perjalanan Pak
Karno yang setengah berlari. Bias wajahnya pucat
seputih buih pantai yang memburam.
“Ayahmu….Ayahmu tenggelam. Kami tidak
berhasil menyelamatkannya, “ujarnya dengan napas
yang memburu.
Bagai tersambar petir, aku seperti kehilangn
tenaga. Ya Allah begitu cepat semua ini terjadi. Baru
saja Ibu pergi, kini kau ambil pula ayahku.
Siapa yang sanggup ditinggal oleh orangtua
lagi? Aku hanya ingin bersama Ayah, sekali lagi
menghabiskan waktu bercengkrama, membantu
membersihkan sampan tuanya, hingga memungut
kerang di sekitar pantai untuk menjadi lauk makan
malam. Seketika ingatanku terlempar lagi pada Ibu.
***
Berpuluh-puluh purnama telah berlalu
semenjak hari itu. Waktu berlalu tanpa kusadari,
kadangkala kenangan masa kecil itu masih
membekas. Mula-mula aku mengira bahwa bahwa
287
Eti Ndulia, dkk
seluruh kesempatan telah hilang. Ketika Allah mulai
menyentuhku lewat kepergian Ayah, aku mulai sadar.
Semua berubah, aku berbalik memutuskan untuk
memperbaiki hubungan-hubungan antara pikiranku
yang mengamuk dengan realitas yang tak bisa
kutolak. Memulai hidup kembali. Aku kembali
berteman dengan sajak yang kata ibu dapat
membawaku kepada semesta, serta tak lagi
mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi,
mengapa Ayah pergi.
“Pemenang lomba cipta baca pusi se-Provinsi
Gorontalo adalah…Asrita Abdullah dengan judul puisi
Samsara dalam Sajak.”
Alhamdulillah…alhamdulillah Ya Allah
Mahakuasa memang tiada duanya, ucapku dalam hati,
sambil berlinangan air mata. Kurapalkan doa-doa
yang bisa kuucapkan. Bergetar bibirku merapalkan
puji syukur atas rezeki dan nikmatnya. Seorang anak
kampung dari bagian pulau paling selatan kini
membuktikan eksistensinya. Tak berhasil
mengenyam pendidikan sekolah sebagaimana
288
Setelah Ayah Pergi
biasanya membuatku bangkit dengan berusaha
mengejar cita-citaku. Berawal dari mengirim beratus
ratus puisi pada setiap lomba yang sering kulihat di
koran yang hanya dilemparkan di tong sampah.
Awalnya aku hampir putus asa. Namun, aku terus
memperbaiki diri.
***
Waktu berjalan tanpa henti mengajarkanku
bermetafosa menjadi seorang wanita yang kuat, lebih
kuat dari biasanya. Satu hal terakhir yang harus
senantiasa kulakukan adalah mengenang. Di sinilah
aku sekarang, tersenyum memandangi makan Ayah
dan Ibu, mencabuti rumput liar yang tumbuh. Lalu
menaburkan bunga ke makam mereka.
Catatan: Puisi di awal cerpen ini terinspirasi dari Novel
“Samsara” karya Zara Zettira
289
Eti Ndulia, dkk
PILIHAN DALAM HIDUP
Djefri Bantahari
Fort Rotterdam
Semuanya menjadi lebih kelam. Bukan karena tirai
telah diturunkan dan lampu panggung dimatikan.
Bukan pula karena perhelatan kali ini dilaksanakan
pada bulan mati, akhir Jumadil Tsani 1437 H. Namun,
karena apa yang terjadi di belakang panggung.
Sekilas mengenai panggung. Panggung festival
MIWF di 2016 dulu diputuskan panitia dihelat di
ruangan terbuka. Berada di depan Ruang La Galigo
dan didesain menggunakan konsep sederhana dengan
layar putih berukuran 6 x 4 meter yang persis di
tengah panggung, bertuliskan Makassar International
Writer Festival (MIWF). Di bawahnya ada gambar
cover buku para Emerging Writers MIWF. Sound
system terletak di bagian depan panggung, tepat di
sudut kiri dan kanan. Sementara di samping kanan
panggung ada pohon yang tanpa daun yang
digunakan untuk menggantung buku-buku sastra. Di
290
Setelah Ayah Pergi
belakangnya disediakan tempat duduk bagi para
penulis MIWF yang akan tampil.
Aku baru saja membacakan beberapa puisiku
yang lolos dalam festival ini. Puisi yang berjudul
“Judul Puisi Ini adalah Namamu tapi Aku Malu
Menyebutnya”, “Isi Kepala Ayah”, dan “Penipu di
Benteng Tua. Tiga dari lima puisi yang mendapatkan
sambutan luar biasa dari penonton.
Sesaat setelah membacakan puisi, aku
bergegas turun dan pergi ke belakang panggung.
Dengan kebahagiaan yang sempurna, aku menyadari
bahwa inilah duniaku. Ya, penyair. Cita-cita setelah
membaca buku puisi “Melihat Api Bekerja” karya Aan
Mansyur. Riuh tepuk tangan dari penonton yang
duduk menyaksikan festival masih menggema jauh di
lubuk hatiku. Namun tiba-tiba, sebelum mencapai
tempat duduk yang memang disediakan oleh panitia,
ada yang memegang pergelangan tangan lantas
menarikku menjauhi panggung.
Kak Ayu? Mengapa dia menyusulku ke sini?
tanyaku dalam hati.
291
Eti Ndulia, dkk
Setelah agak jauh dari panggung utama dan tak
terdengar lagi puisi-puisi yang dibacakan peserta
lainnya, Kakak berhenti tepat di dekat dinding
benteng yang berdekatan dengan jalan raya.
“Ajeng, mengapa kau begitu keras kepala?
Bukankah sudah Kakak katakan bahwa bersyair itu
dilarang agama? Mengapa kau tak mau
mendengarkan Kakak? Menjadi guru ngaji itu
merupakan perbuatan mulia. Sebaik-baik amal
perbuatan.” Kak Ayu bertanya dengan sangat marah.
Itu terlihat dari wajahnya yang merah padam.
“Apanya yang dilarang, Kak? Syair itu
bahasanya sangat indah. Bukankah Allah Swt. itu
menyukai hal yang indah? Dia Sang Pencipta
Keindahan.”
“Ajeng. Kau sudah tahu, bukan? Alquran itu
tidak ada sedikitpun kebatilan di dalamnya. Membaca
Alquran adalah sebaik-baik amal perbuatan.
Rasulullah saw. bersabda bahwa sebaik-baik kalian
adalah orang yang belajar dan mengajarkan Alquran.
292
Setelah Ayah Pergi
Alquran juga akan menjadi penolong di hari kiamat.
Tidakkah kauingat, sabda Rasulullah Saw. ‘bacalah Al
Quran sesungguhnya ia akan menjadi penolong
pembacanya di hari. Sementara kalau syair, sangat
diragukan tidak ada kebatilan di dalamnya. Juga syair
tidak akan menjadi penolong di hari kiamat kelak.
Hanya Alquran, Jeng,” dengan panjang lebar Kak Ayu
mengemukakan dalilnya.
“Tapi, Kak. Dalam hadis riwayat Muslim juz II
halaman 485 tertulis begini, dari Abu Hurairah r.a.,
sesungguhnya Umar r.a. melewati sahabat Hasan
sementara ia sedang melantunkan sya’ir di masjid.
Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu
Hasan berkata aku pernah bersyair di masjid dan di
sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu
Rasulullah saw.).’ Hadis ini sangat jelas juga
menjelaskan bahwa Rasulullah saw. tidak marah atas
perbuatan Hasan.” Aku pun tak mau mengalah.
“Pokoknya Kakak tidak setuju kau menjadi
seorang penyair. Titik. Dari Gorontalo Kakak datang
hanya untuk memberitahu hal ini. Jika kau sudah
293
Eti Ndulia, dkk
tidak mau mendengarkan Kakak, mulai sekarang
anggap saja kita tidak ada hubungan lagi. Dengan
menangis, Kak Ayu pergi meninggalkanku.
“Jangan pergi dulu, Kak.” Kalimat itu hanya
sampai di tenggorokan. Air mata telah lebih dulu
menyalibnya dan turun sebagai penyesalan. Aku,
Ajeng yang dua minggu lalu begitu gembira karena
dinyatakan lolos seleksi dan menjadi penulis
undangan pada perhelatan MIWF.
Seharusnya aku mengejar Kak Ayu. Bagaimana
bisa membiarkannya pergi seorang diri di kota yang
sangat asing baginya? Tapi, kupaham betul betapa
keras dan murkanya dia. Apalagi sewaktu bertengkar
tadi, emosinya sudah pada tingkat dewa.
Sambil berjalan perlahan ke belakang
panggung festival, kuberdoa semoga Kak Ayu baik-
baik saja. Terus terang aku sangat khawatir. Aku tahu,
ia nekat menyusul dan marah itu karena sangat
sayang dan peduli –masih menganggapku sebagai
adik. Sementara aku telah mantap dengan keputusan
ini. Apapun risiko yang akan terjadi. Teringat dulu
294
Setelah Ayah Pergi
semasa SPM, kala Papa hendak memarahiku yang
selalu saja lupa waktu bermain dengan teman, Kakak
senantiasa maju dan menghindarkanku dari amarah
Papa. “Pa, jangan. Biar Ayu yang menasihati Ajeng.”
Kak Ayu yang tak pernah bosan. Tak pernah
menyerah untukku. Namun mengapa tadi kak Ayu
telah demikian murka dan berkata seperti itu?
Apakah penyair itu sebuah dosa?
Mengingat semua itu, air mataku semakin
menderas. Tak tertahankan lagi. Hampir saja kaki tak
mampu menopang beban yang tengah kurasa saat ini.
Tambah lagi, aku jadi rindu papa. Semangatnya.
Tanggung-jawabnya terhadap keluarga. Dan yang
paling penting, demokratisnya. Papa selalu
mendukung apa yang menjadi pilihan anak-anaknya.
Asal itu untuk kebaikan.
Bagiku, menjadi penyair itu adalah bekerja
terhadap kebaikan. Semisal Rumi, Iqbal, Abdul Hadi,
Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, K.H. Mustofa Bisri
atau Gus Mus, dan juga seperti Jamil Massa di
Gorontalo. Dari tangan merekalah lahir kesadaran
295
Eti Ndulia, dkk
baru bagaimana memaknai hidup yang
dianugerahkan Sang Pemilik segala. Namun, Kak Ayu,
tak pernah mau tahu tentang semuanya. Baginya hal
ini hanya suatu yang sia-sia, bahkan dilarang oleh
agama. Aku harus kuat. Harus tegar.
***
Warung Up Normal, Gorontalo.
Seminggu setelah MIWF 2016
Sambil mengaduk-aduk Ice Tea dengan
sedotan putih di meja nomor delapan, benakku entah
sudah sampai di mana. Semenjak festival MIWF, tak
dapat lagi kuperhatikan dengan baik ke mana
pengembaraannya menuju. Sesekali ia kubiarkan
berseliweran mengikuti arus lalu lintas di kota ini.
Juga adakalanya mendatangi gemintang hanya untuk
meminta terangnya. Ya, benar. Aku tak tahu lagi arah
langkah ke depan. Apakah ini akibat pembangkangan
terhadap kakakku.
Tidak! Aku bukan membangkang, tetapi
meyakini bahwa pilihan hidup–apapun itu- kita
sendiri yang menentukan secara merdeka. Tanpa
296
Setelah Ayah Pergi
paksaan dari siapa saja. Bukankah kemerdekaan
haruslah sejak dari pikiran? Kakak tidak salah dalam
hal ini, tetapi informasi yang didapatkan mengenai
dunia kepenyairan masih begitu kurang. Hanya
karena ada ayat Alquran atau hadis yang
memerintahkan agar menjauhi syair, lantas kemudian
tidak boleh bersyair. Aku pernah membaca juga –
entah di buku mana, bahwa dulu di zaman Rasulullah
saw., ada seseorang yang begitu ahli dalam bersyair.
Sayang, syairnya tersebut dipergunakan untuk
menyerang Islam. Namun, sewaktu orang tersebut
masuk Islam, dialah yang lantas membalas syair-syair
yang dilontarkan untuk menjatuhkan Rasulullah saw
dan Islam. Dalam hal ini, Rasulullah saw. tidak
melarangnya. Pun, apakah para penyair sufi seperti
Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Omar Khayyam, Hamzah
Fansuri, Nurrudin Ar-Raniri, dan Raja Ali Haji, adalah
termasuk orang-orang yang tidak menaati perintah
Rasulullah saw.? Pikiranku semakin berkecamuk
mengingat itu semua.
297
Eti Ndulia, dkk
Sekali lagi, tidak! Bagiku, mereka semua adalah
orang-orang hebat yang dimiliki umat ini. Simaklah
Gurindam Dua Belas-nya Raja Ali Haji. Apakah di
dalamnya berisi tentang ajakan terhadap kebatilan?
Juga lihatlah ungkapan cinta mendalam Acep Zam-
Zam Noor dalam penggalan sebuah puisinya “Apabila
kerinduan tiba-tiba menyerbuku, mengapa harus sajak,
Tuhanku, mengapa harus ia yang mampu
kupersembahkan kepada-Mu”. Apakah pernyataan
demikian dilarang oleh agama? Dan, apakah, hanya
dengan menjadi guru mengaji –sebagaimana
diinginkan oleh Kak Ayu, merupakan satu-satunya
jalan menuju kebaikan. Jalan menuju surga-Nya.?
***
UWRF 2017
Akhirnya, segala apa yang kurasakan,
kutuangkan dalam puisi-puisi. Tentang perjuangan
hidup. Tentang keputusan besarku. Tentang
kemanusiaan. Tentang apa saja. Aku juga bergabung
dengan komunitas sastra yang ada di Gorontalo. Ikut
berbagai pelatihan sastra. Bersama sahabatku,
298
Setelah Ayah Pergi
Salman Alade dan Iman, kami membuat sebuah akun
youtube berisi video-video pendek tentang puisi, dan
diberi nama Elipsis Channel. Aku Ikut pementasan
musikalisasi puisi. Pokoknya semua yang
berhubungan dengan sastra. Aku juga mulai
menambah referensi tentang sastra, terutama puisi.
Mengirim puisi ke berbagai media massa dan media
daring yang memuat ruang khusus untuk sastra.
Mengirim puisi ke beragam festival sastra. Pada Ubud
Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, aku
terpilih lagi sebagai salah satu Emerging Writer. Di
sana aku banyak bertemu penyair-penyair kenamaan
semisal Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dan
Avianti Armand.
***
2018, Meraih Penghargaan
Begitu banyak puisi yang telah kubuat. Yang
telah kubaca dari panggung ke panggung. Yang
dimuat oleh surat kabar-surat kabar dalam negeri.
Lolos UWRF membawaku menuju dunia penerbitan.
Jadilah antologi puisi pertamaku dengan judul “Jalan
299
Eti Ndulia, dkk
Penyair”. Buku itu menjadi best seller. Cetakannya
hingga mencapai cetakan kelima hanya dalam lima
bulan. Pada September 2018, “Jalan Penyair” terpilih
menjadi buku terbaik pertama untuk kategori puisi
versi Kusala Sastra Khatulistiwa.
***
Taman Madurodam, Den Haag.
Januari 2019
“Ternyata, bukan hanya Tulip yang dikenal dari
Belanda. Bukan pula hanya kincir angin. Taman
Madurodam juga patut untuk dikunjungi, jika Anda
sedang berada di Den Haag. Ada juga Pantai
Scheveningen. Tapi, aku lebih merekomendasikan
taman ini. Selain terawat, suasana di taman
Madurodam ini ramai oleh senyum khas noni Belanda.
Sudah tahu kan, bagaimana pesona noni Belanda?”
Kalimat lima puluh enam karakter tersebut
ada di halaman FB-ku. Itu kutulis sewaktu mendapat
kesempatan diundang mewakili Indonesia –bersama
dua puluh penyair lainnya pada Festival Penyair
Dunia yang dilaksanakan dua minggu di Den Haag,
300
Setelah Ayah Pergi
Belanda. K Jamil Massa, Aan Mansyur, Irma Agryanti,
Mario F. Lawi, Arther Panther Olii, dan Rien Al
Anshari, adalah sebagian yang ikut festival tersebut.
Aku bangga, bisa bersama orang-orang itu. Bahkan,
dari mereka semua, kubelajar lagi tentang kehidupan
ini. Pergulatan yang mereka alami pun, tidak kalah
dari pilihan hidup yang kujalani. Dan kini, dengan
lantang kukatakan: “Aku bangga menjadi penyair. Aku
bangga menjadi diriku sendiri.”
***
19 Februari 2019, saat Supermoon.
Salman Alade –sahabatku Aman, di samping sebagai
penyair juga, telah menjadi dosen sastra salah satu
perguruan tinggi yang ada di Gorontalo. Kota yang
dengan sangat jelas merekam semua jejak
perjuanganku menjadi seorang penyair.
Kak Ayu, telah memutuskan hidup tinggal di
Tarakan, bersama keluarga dari pihak ibu. Aku tahu,
Kak Ayu masih belum bisa menerima keputusanku
menjadi seorang penyair. Semoga, Kak Ayu beserta
keluarga kecilnya, suatu saat bisa memaklumiku.
301
Eti Ndulia, dkk
TAHULI LI MAMA
Sri Ayu Rahayu P. Utiya
Gorontalo, 2003
Pagi-pagi sekali, Afifah sudah membersihkan
rumahnya. Gadis berambut panjang dan ikal itu
sesekali menghapus butir peluh yang menempel di
dahinya.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari pintu
depan.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Bu Hawa, ibunya
Afifah. Senyum sumringah terlukis di wajah yang
mulai senja itu, ketika melihat siapa yang datang. “Oh,
Makuni33 Sai, mari silakan masuk. Ada yang bisa saya
bantu?” ucap Bu Hawa dengan ramah. Dia
menyodorkan kursi kepada tamunya.
33 Makuni adalah sapaan sehari-hari masyarakat Gorontalo
untuk wanita yang warna kulitnya kuning langsat.
302
Setelah Ayah Pergi
“Saya mau pinjam linggis, mau panen ubi di
kebun, Mahaya34.” Makuni Sai tersipu saat
mengatakan itu.
“Saya ambilkan dulu ya, Makuni.”
“Mau apa lagi dia, Mama?” tanya Afifah ketus.
“Jangan begitu, No’u35. Belajarlah untuk
menghormati orang yang lebih tua,” jawab Bu Hawa.
“Pacul yang kemarin dia pinjam belum
dikembalikan. Sekarang mau pinjam linggis lagi,”
timpal gadis berumur 17 tahun itu ketika melihat
ibunya sedang memegang linggis.
“Jaga bicaramu. Berbaik sangkalah kepada
orang lain. Orang yang sudah meminjam barang milik
orang lain, berarti dia sudah membuang malu dan
rasa takutnya. Kasihan, suaminya juga sudah
meninggal.”
Afifah hanya bisa mendongkol kesal. Ia tahu
Makuni Sa’i adalah janda tanpa anak, tetangga
34 Mahaya adalah sapaan sehari-hari masyarakat Gorontalo untuk wanita yang berpostur tubuh tinggi. 35 Sapaan untuk perempuan Gorontalo yang masih muda. Kalau sapaan untuk laki-laki adalah Uti.
303
Eti Ndulia, dkk
mereka. Impitan hidup sering membuatnya selalu
meminjam atau meminta apa saja kepada Bu Hawa.
Itu dia lakukan karena mereka masih punya
hubungan kekerabatan. Akan tetapi, kebiasaan
Makuni Sa’i meminjam barang mereka membuat
Afifah tidak menyukai perempuan tua itu.
***
Tok… tok… tok....
Suara ketukan pintu tersebut mengganggu
Afifah yang sedang tidur siang.
Dengan mendengus kesal, Afifah menutup
telinganya dengan bantal. Berharap nyanyian pintu
itu segera berakhir.
“Asalamualaikum.”
Wanita itu lagi. Akan tetapi, Afifah teringat
nasihat gurunya untuk memuliakan tetangga. Hampir
setiap hari, perempuan itu selalu saja datang
mengusik. Apalagi saat istirahat siang seperti ini. Apa
tidak sungkan menggangu orang lain?Ingin sekali
Afifah menghardiknya agar tidak pernah lagi
menunjukkan batang hidungnya.
304
Setelah Ayah Pergi
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan
tetangganya.” Kata-kata itu mengiang kembali di
telinganya. Afifah pun menjawab salam dan bangkit
menuju pintu.
“Ibumu ada?”
“Ibu lagi di kebun, Makuni.” Afifah berusaha
menahan kejengkelannya
“Saya mau minta garam sedikit, No’u”, Makuni
berkata tanpa malu-malu.
“Silakan masuk dulu, saya ambilkan.”
Setelah memberikan apa yang Makuni
inginkan, Afifah kembali merebahkan tubuhnya di
tempat tidur. Namun, baru saja ia memejamkan mata,
terdengar lagi salam dan suara ketukan pintu. Suara
yang sama.
“Huh! Mau apa lagi wanita tua itu? Apa dia
tidak tahu, ini waktunya istirahat siang?” sungut
Afifah sambil meremas bantalnya.
305
Eti Ndulia, dkk
“Ada apa lagi Makuni?” Afifah membuka pintu
kedua kalinya dengan wajah cemberut tidak bisa lagi
dia sembunyikan. Dia benar-benar kesal.
“Mau minta kunyit, No’u. Kunyit Makuni juga
sudah habis.” jawab Makuni Sa’i tanpa merasa
bersalah sama sekali.
Dengan mengelus dada, Afifah ke dapur untuk
mengambil kunyit yang diminta oleh perempuan itu.
Ia menahan diri untuk tidak mengumpat.
“Lain kali, jangan kemari saat tengah hari
begini, Makuni. Ini waktunya orang tidur siang. “
Afifah memberikan kunyit yang diminta Makuni Sa’i.
Entah mendengar atau tidak, Makuni Sa’i
langsung pergi. Sekali lagi Afifah dibuat kesal. Pintu
pun jadi sasaran empuk kemarahannya.
Braaakkk!
***
“Ma, aku kesal sama Makuni Sa’i. Dia selalu
saja mengganggu. Pertama dia minta garam,
kemudian minta kunyit lagi,” Afifah mengadu kepada
mamanya. Sore itu, dia membantu mamanya di dapur.
306
Setelah Ayah Pergi
“Berikan saja apa yang dia mau, No’u. Jangan
cari masalah dengan tetangga.”
“Tapi, jangan selalu minta, Ma. Apa dia tidak
punya rasa malu minta-minta ke tetangga terus?”
Afifah mulai kesal.
“Memang sudah begitu wataknya. Semua orang
di sini tahu, biarkan saja. Sabar,” kata ibunya lagi.
“Ma, sesekali tegur saja. Apalagi, dia datang
saat istirahat siang. Bukan cuma sekali, tapi berkali-
kali. Saya sudah tidak suka sama dia.”
“Jangan begitu. Kita ini hidup membutuhkan
bantuan orang lain. Ketika susah nanti, kita pasti
membutuhkan bantuan orang lain juga. Mungkin saat
ini kita belum perlu. Tapi, suatu saat nanti pasti
perlu.”
“Mama selalu saja membela orang itu. Lain kali
jika dia datang, saya akan mengusirnya. Biar tahu
rasa!”
“Jangan lakukan sesuatu yang mencemarkan
nama baik keluarga.”
307
Eti Ndulia, dkk
“Jika mama tidak mau menegurnya, biar saya,”
ucap Afifah sambil berlalu dari hadapan mamanya.
Mahaya Hawa pun hanya bisa menarik napas panjang.
***
Siang itu, Afifah pulang dari sekolah seperti
biasanya. Keringat bercucuran di wajahnya. Maklum,
di desa Afifah sekolahnya jauh dan kendaraan masih
terbatas. Bukan hanya itu saja, di desa terpencil itu
listrik belum ada.
“Wah, mama buat Ilabulo?” seru Afifah kepada
mamanya yang sedang menyulam karawo di teras
rumah. Ia sudah mencium aroma khas masakan itu
sejak ia tiba di depan rumahnya.
“Beri salam dulu, Nak,” jawab Mahaya Hawa
menggoda anaknya.
Setelah makan, Afifah mendekati mamanya
dan ikut menyulam karawo. Dari karawo yang dia
sulam, dia akan diberi tambahan uang jajan oleh
mamanya. Tapi, bukan karena itu ia senang
membantu mamanya. Ia senang melihat motif-motif
yang disulam mamanya ke atas kain warna-warni itu.
308
Setelah Ayah Pergi
“Enak Ilabulonya?”
“Enak sekali, Ma.” Afifah tersenyum senang.
“Ilabulo itu Makuni Sa’i yang beri. Katanya
untuk Afifah. Dia tahu kalau Afifah sangat suka
dengan Ilabulo.”
“Masa Mama?” Afifah hampir tersedak
mendengar apa yang dikatakan mamanya, dia tidak
percaya. Afifah sangat tidak menyukai wanita itu. Ia
juga sering memperlihatkan ketidaksukaannya
terang-terangan.
“Itulah makanya kita tidak boleh membenci
orang, No’u.” Bu Hawa menatap anakknya. Kalau kau
tidak suka seseorang, sebaiknya jangan
memperlihatkannya. Simpan wajah cemberutmu.
Nanti orang-orang mengira kami tidak mendidikmu
dengan baik. Lebih baik kita mengetahui aib atau
keburukan orang lain, daripada keburukan kita
sendiri yang diketahui orang lain. Maksud mama, jika
Makuni atau orang lain datang untuk meminta
sesuatu, jangan perlihatkan wajah yang tidak suka.
Bersikaplah seramah mungkin. Jangan perlihatkan
309
Eti Ndulia, dkk
wajah yang cemberut, nanti dia akan dapat kesan
yang tidak baik dari kita.” Afifah mengangguk
mengerti.
***
Gorontalo, 2019
“Ayo pulang, Ma. Sudah sore,” tegur seorang
anak kecil. Afifah menoleh sambil tersenyum kepada
putri cantiknya itu.
Sekali lagi Afifah menatap batu nisan yang
berdiri kokoh di hadapannya. Sebutir air mata jatuh di
pipinya.
“Saya tidak akan pernah melupakan pesan
Mama.“ Afifah tersenyum pilu.
310
Setelah Ayah Pergi
311
Eti Ndulia, dkk
WARNA KEHIDUPAN
Wandayana N. Suharmin
Namaku Dira Kayla. Di sinilah aku. Di sebuah
tempat beralaskan rumput hijau dengan bunga-bunga
matahari yang tumbuh subur. Bangku panjang
berwarna putih dengan goresan-goresan berwarna
biru.. Aku sering menghabiskan waktuku di tempat
ini. Sejak orang tuaku meninggal. Untungnya ada
Nenek yang sangat menyayangiku.
Setelah kejadian itu, aku hidup bersama Nenek
di rumah sederhana yang dihiasi banyak bunga
matahari. Pekerjaan Nenek sehari-hari adalah
menanam bunga matahari kemudian menjualnya.
Itulah mengapa banyak bunga matahari di rumahnya.
Nenek mengajariku bagaimana cara menanam
bunga yang baik. Kalau aku tidak kuliah, kadang aku
menanam bunga bersama nenek. Menanam bunga
ternyata tidak semudah yang kupikirkan. Merawat
bunga untuk bisa tumbuh subur membutuhkan
kesabaran dan usaha yang lebih agar menghasilkan
312
Setelah Ayah Pergi
bunga yang indah. Nenek mengajariku tentang makna
kesabaran dan kerja keras melalui itu.
***
Di taman belakang rumah, aku dan nenek
duduk bersama menikmati indahnya sore ditemani
dengan embusan angin. Nenek bercerita banyak
tentang kehidupannya saat masih muda dulu.
“Nek, apakah dulu nenek pernah punya impian
yang besar?”
“Ya, pernah. Impian terbesar nenek dulu
adalah membangun sebuah panti asuhan,” jawab
nenekku.
“Kenapa nenek ingin membangun sebuah
panti?”
“Nenek ingin mengembalikan kehidupan yang
berwarna kepada anak-anak di luar sana.”
“Lantas kenapa sekarang impian nenek tidak
terwujud?”
“Uang yang nenek kumpulkan selama
bertahun-tahun untuk membangun panti, ternyata
lebih dibutuhkan oleh seorang anak kecil buta, yang
313
Eti Ndulia, dkk
ingin melihat kembali indahnya dunia. Namanya Dika.
Ia kahirnya bisa melihat lagi, tetapi sangat
disayangkan, takdir berkata lain. Dia ditabrak oleh
sebuah truk oleng yang melintas ketika dia sedang
asyik melihat suasana alam di luar rumah sakit.
Kejadian itu membuat nenek sangat terpukul. Baru
saja warna dalam hidupnya kembali, tapi dengan
seketika warna itu musnah, bahkan musnah untuk
selamanya. Sampai sekarang, Nenek menyesali
perbuatan Nenek. Seandainya nenek tidak melakukan
mengupayakan operasi itu, mungkin dia masih ada di
dunia ini.”
“Setidaknya, dia pergi setelah merasakan
indahnya warna dunia,” kataku sambil tersenyum ke
arah nenek.
Aku dan nenek kembali tersenyum bersama.
Cerita kami berakhir dengan perkataan nenek yang
memintaku untuk selalu sehat dan bahagia. Aku
menjawabnya dengan anggukan kepala disertai
dengan senyum yang lebar.
***
314
Setelah Ayah Pergi
Bagaikan sebuah monokrom. Hitam dan putih.
Itulah yang menggambarkan kehidupanku saat ini.
Seakan kemarin adalah sebuah pembicaraan
terakhirku dengannya. Aku masih belum bisa
menerima kejadian ini. Aku menemukan nenek yang
terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya begitu
tenang dengan senyuman yang indah. Saat dirinya
tidak menjawab panggilanku, seakan seluruh jiwa dan
ragaku hancur. Isak tangisku tak kunjung henti. Aku
tidak percaya nenek pergi meninggalkanku.
Hari demi hari aku habiskan di taman belakang
rumah untuk memikirkan bagaimana kisah hidupku
selanjutnya tanpa seseorang yang selalu menemaniku.
Tanpa seorang Nenek yang sangat kusayangi.
Sekarang, aku hanya bisa duduk termenung meratapi
kesendirianku. Hidupku menjadi hambar dan tak ada
tujuan. Kepergiannya membuatku menjadi lebih
sering menghabiskan waktu sendiri.
***
Aku memandang keluar jendela dengan wajah
sendu, sembari memperhatikan aktivitas awan
315
Eti Ndulia, dkk
berarak tenang di atas sana. Burung-burung kecil
berterbangan menghiasi indahnya langit. Aku
menghela napas panjang bersamaan dengan air mata
yang kembali bergulir. Mata bengkak, air mata
membasahi bantal, dan tangis yang tak kunjung henti.
Menghabiskan waktu seharian menangis, membuatku
terlelap dengan sendirinya. Aku tertidur dengan
pulasnya. Tak disangka, Nenek datang ke mimpiku
dengan ucapan yang begitu singkat.
“Ciptakan kehidupan yang lebih berwarna.”
Satu kalimat singkat yang membuatku
terbangun dari tidurku. Mimpi singkat yang bagiku
adalah sebuah pesan dari Nenek. Nenek seakan
mengetahui apa yang sedang aku rasakan.
Sepanjang malam memikirkan mimpi itu,
membuatku sadar bahwa hidup adalah tentang
kehilangan dan keikhlasan. Semuanya sudah menjadi
rencana Tuhan. Berlarut-larut dalam kesedihan tidak
ada gunanya. Semua yang telah terjadi harus diterima
dengan ikhlas. Aku yakin nenek tidak akan bahagia
melihat diriku yang rapuh seperti ini. Aku harus
316
Setelah Ayah Pergi
mengembalikan warna-warni dalam hidupku. Semoga
setiap jalan yang aku ambil adalah jalan yang terbaik.
***
Pagi ini aku bangun lebih awal. Sinar matahari
menyelinap masuk dan menerangi kamarku. Aku
mulai memikirkan semua hal yang akan kulakukan
selanjutnya. Aku ingin memulai mewujudkan mimpi
Nenek yang sempat tertunda. Mimpi yang selama ini
aku impikan pula. Mimpi untuk membangun sebuah
panti asuhan. Tempat itu adalah tempat orang yang
tidak mengenal dipersatukan dan akhirnya menjadi
sebuah keluarga yang bahagia.
Untuk mewujudkan impianku, aku
memutuskan untuk jeda sebentar dalam kuliahku.
Aku ingin lebih memfokuskan diriku pada bunga-
bunga yang lalu Nenek tanam. Bunga-bunga yang
tersisa setelah kepergiannya. Bunga-bunga yang
sudah mekar, aku jual di pasar dekat pinggiran kota.
Sebagian uangnya aku simpan, dan sebagiannya lagi
aku gunakan untuk membeli bibit baru. Hari demi
hari aku habiskan di taman belakang rumahku untuk
317
Eti Ndulia, dkk
menanam bunga. Tiada hari yang kuhabiskan tanpa
tangan yang kotor dan baju yang basah.
***
Waktu berlalu begitu cepat, tetapi aku belum
merasakan sesuatu yang lebih dari hasil penjualan
bunga matahari yang kurawat selama ini. Aku rasa
aku harus memulai sebuah bisnis bunga matahari
yang akan dikenal banyak orang. Aku memutuskan
untuk memanfaatkan teknologi dengan membuat
forum jual beli online. Di forum tersebut, aku
mempromosikan bunga-bunga matahari dengan foto-
foto yang telah aku potret sebelumnya.
Tidak kusangka, bunga matahari yang
kupromosikan memiliki banyak peminat. Aku selalu
menyisipkan uang hasil penjualan bunga tersebut.
Uangnya aku simpan di sebuah lemari kecil berwarna
coklat dengan sedikit bercak putih di depannya. Aku
berharap lemari itu bisa segera terisi penuh agar
impianku dan nenek bisa segera terwujud.
***
318
Setelah Ayah Pergi
Tiga tahun kemudian
Awal Januari 2017 bisnisku semakin lancar.
Sedikit demi sedikit uangku mulai terkumpul. Banyak
sekali perjuangan yang kulakukan untuk sampai ke
titik ini. Sekarang aku sudah mempunyai kebun yang
cukup luas untuk membudidayakan bunga matahari.
Lemari yang biasa kugunakan untuk menyimpan uang
sudah hampir terisi penuh. Aku rasa uangnya sudah
cukup untuk mewujudkan impianku.
***
Disinilah aku. Di sebuah tempat yang nantinya
akan berdiri sebuah bangunan yang selama ini aku
dan nenek impikan. Sebuah panti asuhan sederhana
yang bisa memberikan warna dalam hidup banyak
anak. Di sekitar panti, aku ingin banyak ditumbuhi
dengan bunga matahari, agar aku bisa selalu
mengingat nenek. Semoga saja pembangunan panti ini
bisa berjalan dengan lancar.
***
Bulan demi bulan berganti dan pembangunan
panti sudah hampir selesai. Diperkirakan,
319
Eti Ndulia, dkk
pembangunannya akan selesai sekitar tiga hari lagi.
Aku mulai melakukan perjalanan untuk melihat
kehidupan banyak anak di luar sana.
Tubuh yang tidak terawat, rambut acak-acakan
dengan kaus lusuh yang sedikit bolong adalah
pemandangan yang kulihat pagi ini. Aku sedang
berada di tempat anak-anak yang menurutku hidup
mereka kurang beruntung. Hidup yang entah
berwarna atau tidak. Umur mereka yang seharusnya
digunakan untuk bersenang-senang, mereka
korbankan demi melanjutkan kehidupan. Aku ingin
membuat sedikit perubahan dalam hidup mereka.
Hidup yang lebih berwarna dan menyenangkan.
Tak butuh waktu lama aku mulai berinteraksi
dengan mereka. Aku mencoba mengajak mereka ke
sebuah panti yang sudah aku bangun. Awalnya
mereka enggan untuk ikut, tapi setelah lama kami
saling mengenal, mereka akhirnya mau ikut
bersamaku. Akupun mengajak mereka ke tempat
tujuan, yaitu panti asuhan.
320
Setelah Ayah Pergi
Betapa bahagianya aku melihat ekspresi
mereka yang begitu bahagia. Aku tahu, tugasku bukan
hanya sekadar mengembalikan senyum bahagia
mereka, tetapi membuat hidup mereka lebih
berwarna setiap harinya.
***
“Nenek, apakah Nenek mendengarku? Aku
sangat senang, Nek. Kini impian kita telah terwujud.
Sekarang aku bisa selalu melihat tawa banyak anak.
Aku bersyukur memiliki mereka. Hidupku jadi lebih
berwarna karena mereka. Mereka mengisi hari-hariku
dengan kebahagiaan. Mereka selalu menghiburku,
bermain bersamaku dan menjadi penyemangatku.
Sekarang aku mengerti tentang makna kehidupan.
Hidup akan jadi lebih bermakna ketika kita
mewarnainya dengan kebahagiaan dan rasa syukur.
Warna-warni kehidupanku telah kembali. Aku tidak
akan pernah melupakanmu nenek. Semoga nenek
selalu bahagia di sana,” ucapku sembari meletakkan
satu karangan bunga di atas makam nenek.
321
Eti Ndulia, dkk
TUKANG JAMU KELILING
Ananda Martya
Adelina namaku. Aku hidup hanya dengan Ibu.
Ibuku adalah penjual jamu keliling di desaku.
Meskipun zaman sudah modern, Ibu tak pernah
berpikir berjualan jamu menggunakan sepeda,
ataupun motor. Aku sudah pernah bertanya
kepadanya mengapa tidak berjualan dengan sepeda
atau motor. Katanya biaya untuk membeli sepeda,
atau pun motor itu sangatlah mahal. Belum lagi
dengan biaya pajak yang nantinya akan disetor setiap
bulan. Itu malah akan membebani biaya finansial
keluargaku. Belum lagi dengan biaya SPP sekolahku.
Setiap hari, ibuku bangun di kala matahari
belum menampakkan cahaya, burung-burung belum
bernyanyi, ayam belum berkokok, dan suhu udara
masih sangat dingin. Dia sudah bangun dan sibuk
meracik jamunya.
Suatu ketika, aku pernah terbangun lebih awal
dan mendapati Ibu sedang membuat jamu. Saat itu,
322
Setelah Ayah Pergi
aku mengira ibuku adalah seorang penyihir. Wajah
ibu saat membuat jamu begitu berseri –seri.
Tangannya memperlakukan ramuan jamu itu dengan
sangat lembut. Tangannya juga berkilauan.
Aku diam mengamati. Ia mengupas dan
mencuci bersih temulawak, jahe, dan kunyit,
memotong-motong, merebus lalu menyaring air
rebusan itu. Sungguh, wajah ibu tampak begitu
menikmati pekerjaannya. Apa ibu sedang membuat
brotowali?’
Tak selang berapa menit aku melihat ibu
meracik jamu, langit sudah semakin cerah. Aku pun
dengan cepat berlari untuk mandi. Selesai mandi, aku
pun berpakaian dan siap berangkat kesekolah.
Keluarlah aku dari rumah, kulihat jamu dagangan ibu
masih terletak di kursi, dan ibu masih di dalam kamar.
Bagus, ibu masih di kamar, aman.
Aku segera mencari botol jamu berisi air yang
berwarna gelap, tentunya dengan hati-hati agar
botolnya tidak bunyi, dan tidak jatuh dari tanganku
323
Eti Ndulia, dkk
dan pecah. Kusimpan botol berisi brotowali itu dan
kubawa ke sekolah.
Brotowali, melihat warna airnya saja sudah
membuat aku merasa pahit di tenggorokan, tapi jamu
itu mengingatkan pada masa kecilku dulu. Kuingat
kala itu aku sedang bermain di tanah lapang bersama
teman-temanku. Adi, anak Bu Surti, orang paling kaya
di desaku sengaja menendang bola ke arah wajah
sahabatku Alisa. Aku yang tak terima dengan cepat
mengejar dan menghajarnya saat itu juga. Ternyata
Adi melaporkan itu pada ibunya dan bu Surti datang
mengamuk di rumahku. Aku hanya di dalam kamar,
dan mendengar ibuku dimarahi Bu Surti.
“Adek,” panggil ibu dengan suara khasnya.
Tanpa menjawab panggilan ibu, aku segera
keluar kamar. Aku tahu ibu akan memarahiku.
“Ini diminum.” Ibu memberikan segelas
minuman berwarna gelap.
Aku menatap ibu dengan penuh tanya.
“Brotowali.” Ibu sepertinya peka terhadap tatapanku.
324
Setelah Ayah Pergi
“Aku nggak…“ baru saja ingin menolak, namun
ibu malah memotongku.
“Lain kali, kalau kamu nakal lagi, Ibu akan
menyuruhmu meminum lebih banyak.” Ibu berkata
datar.
Aku hanya bisa pasrah meminum brotowali
pahit itu. Saking pahitnya, aku yakin anak-anak lain
akan mengeluarkan air mata. Rasa pahit itu bertahan
20-30 menit di tenggorokan. Hueeek! Aku benci
rasanya!
“Eh ada anaknya tukang jamu....” seru Adi
sambil tertawa.
Setiap harinya aku diperlakukan buruk oleh
teman-teman sekolahku. Hanya karena ibuku adalah
seorang tukang jamu, mereka merendahkan profesi
Ibu. Mereka semua tak tahu, betapa susahnya ibu
membesarkan aku seorang diri, tanpa ayah.
Teng-teng-teng
“Wah, sudah istirahat.”
“Istirahat, Yuk.”
“Ayuk, ayuk.”
325
Eti Ndulia, dkk
Bagus, teman teman sudah keluar, saatnya aku
beraksi. Walaupun tahu ini adalah perbuatan yang
tidak baik, aku akan membalas semua perbuatan
mereka padaku.
Aku segera mencari tempat duduk Adi. Aku
segera membuang isi botol minumnya dan
menggantinya dengan brotowali yang kubawa. Aku
mau Adi merasakan apa yang kurasakan.
Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Anak
anak segera memasuki kelas untuk pelajaran yang
selanjutnya.
“Aduh rasanya istirahat cuma sebentar, kata
Adi yang tampak berkeringat.
“Iya nih, eh katanya ada ulangan ya?” Firman,
sahabat Adi terdengar panik.
“Oh ya?” Adi ikut panik.
Kulihat adi, duduk dan mengambil botol
minumnya. Sepertinya dia sangat haus. Ini akan jadi
puncak kemenanganku karena berhasil membalas
semua perbuatannya. Adi segera meneguk air dan, tak
326
Setelah Ayah Pergi
lama memuntahkan kembali isi dari dalam mulutnya
itu.
“Brotowali? Ini pasti ulahnya dia!” teriak adi
menunjukku.
Adi segera menghajarku, teman-teman pun
ikut menghajarku. Ada yang menarik rambutku. Ada
yang menamparku, menendangku, bahkan ada yang
menarik-narik tanganku sampai seragamku sobek di
bagian lengan.
Meskipun aku babak belur, aku sangat puas.
Tentunya masalah ini dilaporkan kepada guru. alhasil
aku dan teman-teman dihukum. Aku menggantikan
piket kelas.
Langit sudah semakin oranye. Jika aku pulang
dengan pakaian yang sudah robek begini apa Ibu akan
memarahiku? Tapi, aku tak punya pilihan lain.
Sesampai di rumah, kulihat Ibu sudah menungguku di
depan pintu.
“Adek, baru pulang? Sesore ini?”
Ibu tak bisa dibohongi, Mau kukubur sedalam
apa pun, Ibu tetap bisa mengetahuinya.
327
Eti Ndulia, dkk
“Ya, itu bu tadi disekolah ada....”
“Ada yang ingin ibu tanyakan padamu. Ibu tadi
pagi membuat jamu brotowali, tapi ketika ada yang
membeli, Ibu lihat isinya sudah setengah. Di rumah ini
hanya kita berdua yang tinggal jadi tak ada pelaku
lain selain kau.
“Kau gunakan untuk apa, Dek?”Tidak mungkin
kau minum sendiri kan?” Ibu menatapku dingin.
“Untuk yang pantas meminumnya, Bu.” Aku
menundukkan kepala.
Ibu bahkan tak menanyakan keadaanku sama
sekali, luka-lukaku, bajuku yang sobek, atau apa pun
mengenai kondisiku.
“Siapa yang kamu maksud?” tanya Ibu lagi.
“Itu....”
Ibu itu hanya peduli dengan jamunya saja, tidak
dengan anaknya!
“Jangan-jangan kamu?” Ibu menatapku tak
percaya. “Sudahlah. Lain kali, jangan seperti itu lagi!
Masuklah, Ibu akan obati luka-lukamu, dan menjahit
328
Setelah Ayah Pergi
seragammu. Setelah itu, ceritakan pada Ibu apa yang
terjadi!
Ibu masuk tanpa menatap wajahku lagi. Ibu
benar- benar mirip seperti brotowali, bicaranya pahit
dan menyebalkan!
Setelah menceritakan semua kejadiannya, aku
dan Ibu makan malam bersama dan menikmati
malam dengan damai. Besok hari minggu, aku bisa
tidur lebih larut.
Keesokan harinya, aku bangun agak siang. Aku
sebenarnya ingin bermain bersama teman-teman, tapi
sepertinya tak ada yang ingin berteman dengan anak
tukang jamu. Aku pun memutuskan di rumah saja.
Sambil berbaring santai, aku menghitung genteng
bocor.
“Satu, dua, tiga, empat….“
“Sedang apa kamu?” Ibu tiba-tiba
menghampiriku.
“Bu, apa genteng bocor itu tidak bisa
diperbaiki?”
“Nanti saja, kalau sudah ada uang.”
329
Eti Ndulia, dkk
Oh iya, ketika libur ibuku berjualan agak siang.
Ibu segera kembali ke kamar dan kembali lagi dengan
pakaian khasnya, pakaian khas menjual jamu.
“Aku ikut, ya Bu.”
“Tidak usah. Kamu di rumah saja. Memangnya
tidak ada hal lain yang bisa kamu lakukan? PR?”
“Sudah selesai semuanya,” jawabku datar.
“Bersih-bersih rumah kek, menggambar kek.”
“Gambarku jelek, terus juga aku malas
membersihkan rumah, he-he-he.” Aku tertawa garing.
“Ya sudah, daripada kamu juga tidak ada
pekerjaan. Ikut saja.”
Ini adalah hal langka, tentu saja aku ikut Ibu
dengan senang hati. Aku segera mengganti pakaian ,
membantu Ibu membawa barang-barangnya. Aku
senang sekali, kami jarang melakukan ini.
“Adek, cepetan dikit jalannya!”
“Iya, Bu.”
Aku segera mengejar Ibu. Aku bertanya-tanya
dalam hati apakah Ibu tidak capek berjualan seperti
330
Setelah Ayah Pergi
ini. Rutenya juga lumayan panjang. Dia bahkan tidak
menunjukkan wajah lelah.
Sejauh ini, aku melihat pembeli jamu Ibu
bermacam-macam. Paling banyak ibu-ibu rumah
tangga. Mereka sudah lama berlangganan. Ibu bahkan
sudah hapal jamu apa yang menjadi favorit ibu-ibu
itu. Ada juga remaja yang membeli jamu untuk
menghilangkan kram perut haid, bapak-bapak yang
bertemu di jalan, nenek-nenek yang masuk angin. Ada
juga ibu-ibu yang membelikan jamu untuk nafsu
makan anaknya.
Banyak orang yang menaruh harapan pada
jamu ibu. Mungkin karena itu juga, Ibu selalu
bersungguh-sungguh ketika meracik jamunya.
Melihat wajah-wajah pelanggan Ibu, aku sangat yakin
khasiat dari jamu itu dirasakan oleh mereka. Ibuku
ternyata sangat keren ya? Ini profesi yang sering di
rendahkan oleh orang-orang? Padahal profesi ini
begitu menyenangkan, melihat orang berbahagia
karena khasiat dari jamu-jamu buatan tangan sendiri.
Ah, aku jadi ingin seperti ibu. Menjadi penjual jamu!
331
Eti Ndulia, dkk
TAK ADA KATA USAI
Laila Mutiara
Terkadang, seseorang masih telalu lugu dalam
hal memahami hidup. Terjerat dalam jeruji tak kasat
mata, tanpa peduli celah menuju jalan keluar.
Kebanyakan dari mereka hanya bisa menyalahkan
takdir, menunggu dalam diam, bahkan meratapi tanpa
usaha. Ya, itu prinsip kebanyakan orang. Tapi bagi dia,
tak ada kata menyerah dalam hidupnya.
Tangerang, Februari1993.
Malam kali ini masih seperti malam-malam
sebelumnya. Gitar lusuh hasil menabung selama
bertahun-tahun kembali ia andalkan. Petikan demi
petikan lagu ia lambaikan demi mendapatkan uang
receh. Tangannya sudah terlalu lelah, namun
tekadnya tetap memaksanya untuk mendapatkan
lebih banyak belas kasihan orang-orang disekeliling
toko.
332
Setelah Ayah Pergi
Tak sedikit yang menatapnya bagaikan
sampah masyarakat, bahkan tega mengusir. Namun
semangatnya untuk melanjutkan sekolah perguruan
tingginya membuatnya tak pernah kenal lelah. Age
namanya. Ia tak bisa berharap penuh pada
orangtuanya. Untuk makan saja susah, apalagi untuk
membiayai sekolahnya. Mimpinya tak mungkin pupus
begitu saja. Ia masih memiliki beribu jalan lain untuk
mengubah nasibnya.
“Mas coba nyanyiin salah satu lagu Ahmad
Dhani.” ujar seorang Bapak yang sedang bersama
keluarganya.
“Siap, Pak!”
Ia memainkan Selimut Hati. Bapak itut puas
dengan permainanku.
“Makasih, Pak! Semoga rezekinya nambah!”
Katanya saat menerima uang lima puluh ribu dari
bapak tadi.
Ia berlalu ke kerumunan lain. Namun fokusnya
teralihkan kala ia melihat seorang gadis bersama sang
ibu yang tengah makan di antara kerumunan orang.
333
Eti Ndulia, dkk
Ingin mendekat, tapi enggan karena malu melihat
kondisi dirinya yang amat bertolak belakang dengan
kondisi mereka. Baju kumuh dengan satu titik bolong
di pundak, sendal jepit lusuh yang sudah berwarna
kecoklatan. Diam-diam ia mendendam pribadi dan
tekadnya semakin kuat untuk mengubah nasibnya.
Ia kembali berjalan menuju pelataran toko
yang terlihat ramai. Penasaran, ia mengintip apa yang
menjadi pusat perhatian disana.
“Ada apaan sih, Pak?”Ia berusaha menyelip di antara
kerumunan orang. Namun gagal karena terlalu ramai
orang berkumpul. Belum sempat ia melihat apa yang
terjadi, tiba-tiba suara gerumuh terdengar amat
memekikkan telinga.
“BUGGGGGG.” Suara dentuman keras tiba-tiba
terdengar.. Belum sempat melihat kondisi di seberang
sana, langkahnya terlanjur goyah. Ia merasakan
tubuhnya terpelanting entah kemana.
“AAAAAAAAAHHHHHHH!” Teriakan demi
teriakan terdengar mengiang-ngiang di telinganya.
334
Setelah Ayah Pergi
Gitarnya terlepas dan terlempar jauh, tubuhnya
terasa melayang.
Kelam. Suasana berubah mencekam. Tidak.
Tidak mungkin. Apa ini? Darah di mana-mana. kota
berubah menjadi raungan dan tangisan yang saling
bersahut-sahutan.
“AAAAHHHH!!” Berulang-ulang suara rintihan
mengalihkan fokusnya.
Terdengar seseorang meraung-raung tak jauh
dari posisinya. Dengan sekuat tenaga ia menoleh, dan
hampir mati terkesiap melihat kondisi di sekitarnya.
Hancur. Hanya kata itu yang terlintas dipikirannya.
“SAKITTTT! TOLOOONG!”
Astaga. Gadis itu. Gadis yang tadi ia lihat
bersama ibunya. Bajunya tak lagi berwarna putih.
Kakinya terjepit puing-puing. Semua orang terlihat
kesakitan. Apa yang sebenarnya terjadi? Benaknya
menjerit, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lampu dan suara mobil ambulans mulai terdengar. Ia
merasakan tubuhnya mulai dibopong orang-orang.
335
Eti Ndulia, dkk
Pikirannya melayang. Gelap. Semua berubah menjadi
gelap.
“detikNews - Sebuah pesawat kecil milik pribadi jatuh
di pemukiman warga Tangerang, sebelum 5 menit
waktu mendarat, pada Senin (1/12).”
Kecelakaan yang sempat membuat gempar
masyarakat, terlebih masyarakat sekitar Tangerang.
Kecelakaan yang mampu merenggut sekian jiwa tak
bersalah, membuat luka membekas di jiwa maupun di
hati para korban.
Mei, 1997
Sudah 3 bulan hari sejak kejadian itu. Kakinya
masih tersisa luka memar, matanya masih sayu.
Untungnya, ia tak terkena langsung puing-puing
pesawat yang secara mendadak jatuh oleng di dekat
tempat keberadaannya malam itu. Namun, ia
kehilangan harta paling berharga dalam hidupnya.
Satu-satunya sumber kehidupannya. Gitarnya hancur
tak tersisa. Harapannya untuk kuliah sampai
336
Setelah Ayah Pergi
mendapat gelar sarjana mulai pudar. Ia tak lagi punya
jalan lain untuk mencari tambahan biaya kuliahnya.
Terlihat sepele memang. Tapi tidak baginya. Gitar
tersebut mungkin masih bisa iarelakan. Namun,
kejadian tersebut tak pernah bisa hilang dari
memorinya. Membekas, dan selalumenghantuinya.
Namun, ia masih bersyukur. Keberuntungan
masih berpihak kepadanya. Selamat dari kecelakaan
adalah hal yang tak pernah berhenti ia syukuri.
Barang bisa didapatkan kembali, tapi nyawa,
selamanya tak mungkin kembali. Untung keluarganya
semua selamat.
“Ge, kuliah dulu, sudah jam 8.” Ujar Bapak
menyadarkan lamunannya.
“Iya, Pak.” Ia menurut, dan langsung bergerak
menuju kamar mandi yang sebenarnya tak layak
disebut kamar mandi. Tak ada pintu, hanya sepetak
tempat dengan ember besar untuk menampung air.
“Singkong rebusnya di depan, Ge, sisain tiga
buat Bapak.” Terdengar teriakan Ibu.
“Iya, Bu, makasih. Age berangkat ya, Bu, Pak?”
337
Eti Ndulia, dkk
Dengan sigap, ia mengambil singkong dari
piring dan melahapnya.
Sesampainya di tempat kuliah, ia tak
merasakan hal yang berbeda. Semua terlihat sibuk
dengan urusannya masing-masing.Tak ada yang
berubah selain dirinya, selain rasa hancur yang
merenggut semangatnya. Ia langsung duduk di tempat
favoritnya, di sisi kanan paling belakang. Alasan ia
selalu mengambil posisi tempat paling belakang
takseperti kebanyakan orang yang malas
mendengarkan ocehan dosen. Ia justru merasa lebih
fokus jika duduk di kursi belakang.
“Ge, dipanggil Pak Tono ke ruangannya.” Banu,
teman kuliahnya tiba-tiba menghampiriselepas kelas.
“Untuk?”
“Mana saya tahu. Penting katanya. Disuruh
sekarang.”
Tanpa ba bi bu lagi, Ia pergi menuju ruangan
pak Tono di sudut kampus.
“Asalamualaikum, Pak.” Ia membuka ruangan
Pak Tono dengan perlahan.
338
Setelah Ayah Pergi
“Wa’alaikumsalam, masuk, Age.”
“Ada apa, Pak?”
“Duduk dulu, Ge. Bapak mau ngomong
sesuatu.”
“Bapak mau ngingetin lagi Ge, Senin udah ujian
semester. Pembayaran SPP sudah harus segera
dilunasi. Terakhir lusa, Ge. Kalau lusa belum dibayar ,
berati kamu belum bisa ikut ujian kenaikan
semester.”Dengan lembut Pak Tono mengatakan
maksudnya.
Ia terdiam. Entah respon apa yang harus ia
keluarkan sekarang. Jangankan biaya untuk ujian.
Menabung untuk membantu kehidupan keluarganya
saja, ia tak mampu. Ia tahu, cepat atau lambat masalah
seperti ini akan menghantuinya. Bagaimana lagi? Mau
berharap pada malaikat yang secara tiba-tiba berbaik
hati membiayai seluruh biaya kuliahnya? Tidak ada
kehidupan nyata yang semudah sinetron yang terus
berkutat pada “harapan”.
“Oh, iya Pak. Saya usahakan. Terimakasih
banyak, Pak.” Ucapnya sopan.
339
Eti Ndulia, dkk
Pak Tono membalas dengan anggukan senyum.
Dari senyumnya terpancar tatapan iba, tapi ia juga tak
bisa berbuat apa-apa.
Age melangkah keluar ruangan dengan
linglung. Langkahnya tak setegap biasanya. Kembali ia
dirajam rasa sakit. Kecewa akan kondisi yang
memaksanya harus terjebak menjadi seperti ini.
Sementara berjalan pulang, selintas ada
pikiran bahwa hidup tak pernah memihak padanya.
Sukses tak harus memiliki gelar. Jabatan tak
selamanya direnggut oleh orang berpendidikan.
Kalimat itulah yang kini terngiang-ngiang di
pikirannya. Jiwanya kosong. Tak ada lagi kobaran
semangat dalam dirinya.
Sesampainya di rumah, ia tak kuat melihat
kedua orang tuanya. Namun, tak ada pilihan lain, ia
harus jujur dengan kondisi yang ia hadapi sekarang.
“Pak, Age mau berhenti kuliah. Age mau cari
kerja saja.”
340
Setelah Ayah Pergi
“Bapak hanya menatapnya. Mata itu penuh
rasa bersalah. Kelumpuhannya telah membuat
anaknya susah. Maafkan Bapak, Nak.
Kini, bau lem yang amat menyengat adalah
konsumsi sehari-harinya. Suara palu yang beradu
dengan kayu, adalah ritme yang terus terngiang-
ngiang di telinganya. Tak ada lagi duduk diam dikelas.
Tak ada lagi tumpukan kertas ujian, hanya ada
tumpukan kulit sofa tercecer di lantai. Pilihan hidup
memaksanya untuk berada ditempat ini. Tempat yang
penuh dengan sofa rusak yang disulap kembali
menjadi kursi indah.
Ya, kisah perjuangannya kembali dimulai
ditempat ini. Tempat servis sofa belakang rumahnya
adalah tempat di mana ia bekerja sekarang. Kisah
hidupnya belum berakhir tentunya. Ini masih
permulaan menuju sesuatu yang lebih tinggi lagi.
Sebuah perjalanan hidup tak pernah punya
akhir yang benar-benar berakhir. Ada yang
mengatakan, segala sesuatu pasti akan berakhir
bahagia. Jika belum bahagia, artinya segalanya belum
341
Eti Ndulia, dkk
berakhir, kan? Sedangkan, ukuran bahagia setiap
orang berbeda-beda. Kita tidak menunggu
keberuntungan. Tapi kitalah yang menjemputnya.
342
Setelah Ayah Pergi
343
Eti Ndulia, dkk
AKU TAK MERDEKA LAGI
Mariana
Malam itu agak mendebarkan. Perasaan
gelisah campur bahagia menyelimuti hatiku. Azan
berkumandang persis mendukung situasi yang
kualami. Untuk menutupi kegelisahan itu, kumatikan
hp lalu pergi menunaikan salat.
Aku tak mendengar apapun tentang dia. Tak
juga kucari tahu sebelumnya. Tentang jiwa yang
menurutku cerdas, dan (maaf) dengan lancang aku
harus ungkapkan bahwa memandangnya aku tenang.
Setiap kali mendengar sebuah nama, seakan mata dan
hatiku tertuju tanpa disuruh. Nama itu telah
merenggut sebagian dari kemerdekaanku untuk
memilih. Aku dibuatnya tak bisa berpaling dan aku
pun bebas mengarungi hatinya lewat imajinasi yang
membawa kepada duka dan nestapa.
September 2017, sekali lagi aku dibuatnya tak
merdeka lagi oleh jiwa yang kuanggap gagah namun
meninggalkan luka yang dengan sadisnya menikam
344
Setelah Ayah Pergi
hati dengan perlakuan yang tak berperikemanusiaan.
Mirisnya, aku mengiyakan tikaman itu sampai sekujur
tubuhku bermandikan peluh dan malu atas perbuatan
yang wajib kutanggung tanpa mengeluh.
Sosok dia kugambarkan tanpa ada rekaan. Di
waktu Zuhur aku dibuatnya gemetar. Di hadapan
Papa sosok dia tersipu malu dan akan teguh pada
janji. Ah, tapi aku benci selama 11 bulan. Selama itu
aku menanggung malu. Malu karena harus
memintanya berulang kali kepada Tuhan untuk
kembali menghadap menepati janji.
“Papa beri waktu dua bulan lagi. Jika dia tidak
datang, silakan memilih yang lain. Tidak perlu
menunggu. Mengenai persoalan nikah, kamu harus
menikah dengan menggunakan adat Gorontalo. Mulai
dari Tolobalango sampai dengan akad nikah
semuanya harus menggunakan adat. Kemarin sudah
disetujui untuk menikah dengan pernikahan yang
menurutmu syar’i. Sekarang tidak lagi seperti itu.
Papa kecewa dengan calonmu itu.”
345
Eti Ndulia, dkk
Aku tertunduk malu di hadapan Papa. Namun,
yang paling mengena adalah dihapusnya komitmen
untuk menjalankan pernikahan syar’i yang sudah
disetujui bersama. Aku tidak sedang menghapus
perihal adat Gorontalo, aku hanya meminta di
pernikahan itu tamu laki-laki dan perempuan dipisah.
Seperti halnya dalam adat Gorontalo, tempat duduk
laki-laki dan perempuan dipisah dengan jaramba.
Tidak ada yang salah dengan adat bagiku. Masalahnya
adalah tentang sosok yang menghilang setelah
mengadakan perjanjian dengan orangtuaku.
Aku menegarkan diri. Luka mengajarkan
tentang teguh dan pura-pura. Sakit yang mencabik
namun mengajarkan senyum meski teriris.
Akhirnya, tepat 26 Agustus 2018, dia muncul.
Kami menikah. Aku bertanya tentang jeda yang hadir.
Aku harus menunggu saat setelah beredar rumor
tentang hari bahagia kami. Namun, ia menunda
bercerita tanpa alasan yang jelas.
Dia akhirnya membuka suara. “Kemarin, saat
aku di pengujung studi S-1 dan setelah kembali dari
346
Setelah Ayah Pergi
rumahmu untuk berjanji akan datang beberapa bulan
lagi, aku mendapat musibah. Kedua orang tua yang
kuharapkan bisa bersama sampai tuaku memutuskan
bercerai. Aku merasa bahwa Tuhan tak adil lagi. Ini
berat bagiku. Kamu bisa bayangkan bagaimana sakit
dan kecewanya, ibuku menikah dengan laki-laki yang
anaknya adalah teman dekatku. Aku benci. Sangat
benci. Hati siapa yang tak terpukul? Sementara waktu
itu, aku memiliki beban moral pada orang tuamu. Aku
berpikir bahwa ini tak adil untuk diriku. Aku masih
membutuhkan mereka berdua. Saat pulang dari luar
daerah, kudapati rumah sepi. Lalu ada adik berusia
13 tahun merengek mencari Ibu.
Begitulah ceritanya. Kulihat wajahnya serius
dan di akhir ceritanya, kudengar suaranya bernada
sedih. Mendengarnya, aku tidak lagi mengutuknya
dalam tulisan-tulisanku yang berserakan di laptop
dan telepon genggamku. Aku tak lagi mengutuknya
setelah kutahu penyebab keterlambatannya menemui
papaku. Aku telah salah menafsirkan situasi.
347
Eti Ndulia, dkk
DATANG, PERGI DAN TAK KEMBALI
Safruddin Marwan
“Ini semua gara-gara kamu yang tidak pernah
mendidik anakmu dengan benar!” Dengan suara yang
lantang yang terdengar sampai ke luar rumah lelaki
ini membentak istrinya.
“Apa kamu pernah sekali saja mendidik Rani?
Kamu selalu berangkat pagi pulang malam,” sahut
istrinya tak kalah sengit.
“Kamu yang selalu sibuk dengan rumah
makanmu itu tanpa mementingkan anak kita!”
Kira-kira seperti itulah suasana rumah yang
sering kali kudengar dari dalam kamarku dulu. Oh, iya
perkenalkan namaku Rani. Umur21 tahun. Aku akan
menceritakan kisah hidupku pada kalian semua. Jadi,
ini adalah kisah kehidupanku tiga tahun yang lalu.
Aku mempunyai keluarga yang bisa dibilang
sangat-sangat jauh dari kata harmonis. Kedua
orangtuaku tidak pernah mementingkan diriku.
Mereka tidak pernah menanyakan kabarku seperti
348
Setelah Ayah Pergi
“kamu sudah makan, Sayang?” atau “bagaimana hari-
harimu di kampus?” Hal yang mereka pentingkan
hanyalah uang untuk menghidupiku. Lantas, untuk
apa aku dilahirkan? Jujur, aku merasa sangat iri
dengan teman-temanku yang memiliki ikatan
keluarga yang harmonis. Kebalikan dari keluargaku.
Aku hanyalah seorang anak yang entah masih
dianggap ada atau tidak oleh kedua orang tuaku.
Tinggal di rumah yang terasa suram bagai penjara
bawah tanah, suara jeritan dan tangisan yang tiada
henti kudengar setiap hari kala kedua orang tuaku
bertengkar. Seperti malam itu. Jam dinding baru
saja berbunyi menunjukkan pukul 23.00. Aku
termenung di sudut ruang membayangkan keadaan
hidupku yang sungguh berantakan. Aku benci diriku
yang lemah. Yang hanya bisa diam membisu dan
menangis. Itulah kenyataanya. Mendengar
perdebatan kedua orang tuaku, lidahku kaku seolah
tak bisa berbicara. Namun, aku berusaha
mengumpulkan tekad untuk bisa menghentikan
semuanya. Aku berlari keluar dan berteriak “tolong
349
Eti Ndulia, dkk
hentikan semua ini!”. Mereka berdua langsung
terdiam. Kulihat ayahku segera berjalan ke pintu
tanpa sepatah kata. Meninggalkan Ibu yang terisak.
Sejak pertengkaran hari itu, ayahku tak pernah
kembali ke rumah. Ibu pergi mengikuti suami
barunya dan membawa serta adikku. Aku tak ingin
mengikutinya dan memilih tinggal bersama nenek.
Lama-kelamaan, aku merindukan mereka.
Ingin rasanya aku pergi mencari kedua orang tuaku.
Namun, niat itu aku urungkan untuk saat ini. Aku
harus bekerja keras untuk menghidupi diriku sendiri.
Sekarang aku duduk di bangku kuliah. Jatuh
bangun kerasnya kehidupan aku lewati dengan penuh
kesabaran. Sebab, aku yakin Tuhan pasti selalu punya
rencana yang baik untuk setiap ciptaan-Nya.
Ya, aku bisa hidup tanpa orang tuaku selama
Tuhan masih bersamaku. Aku bertekad mendapatkan
kebahagian tanpa campur tangan mereka. Hari demi
hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun telah
kulalui. Hari wisudaku tiba. Dengan dandanan
seadanya aku datang ke aula kampus.
350
Setelah Ayah Pergi
Setelah beberapa jam duduk mendengar
rektor berbicara, seketika suara bergemuruh dari
banyaknya orang yang berada di dalam aula dengan
toga yang melayang-layang di atas kepala. Aku lega.
Tanda bahwa wisuda telah selesai, dengan cepatnya
kilatan cahaya dari banyaknya kamera membuat
penglihatanku silau. Aku bergegas keluar dari dalam
aula. Perutku minta diisi.
Selang 10 menit kemudian, datang sebuah
mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan
tempatku makan. Pintu mobil terbuka. Seorang pria
yang tak asing bagiku turun. Dengan kacamata
berwarna hitam, sepatu mengilap dan pakaian ala
pejabat, aku semakin penasaran.
“Mbak, nasi goreng ada?” tanya pria
berkacamata hitam itu.
“Ada, Pak, mau pesan berapa?” jawab si
penjual dengan wajah ramah.
“Tiga ya, Mbak, dibungkus. Yang satu pedas
lalu sisanya original!” jawabnya dengan detail.
“Baik, Pak. Silakan duduk dulu, Pak.”
351
Eti Ndulia, dkk
Pandanganku tak lepas dari pria berkacamata
hitam itu. Selang tiga puluh detik kemudian akhirnya
yang aku tunggu-tunggu terjadi. Pria itu melepas
kacamatanya. Jantungku berdegup kencang. Dia
ayahku. Air mataku tak dapat kutahan. Semua
kejadian pahit yang kualami terulas kembali. Ingin
rasanya aku berdiri lalu melampiaskan semua sakit
hati dan penderitaanku padanya saat ini juga. Namun,
akal sehatku mengatakan itu bukan perbuatan anak
terpuji.
“Ayah.” Aku bangkit memberanikan diri
menyapanya.
“Rani, anakku? Kamu Rani kan?” dengan
mimik wajah terkejut. Hatiku serasa terbelah dua
ketika seorang ayah hampir tak mengenal anaknya
sendiri. Setelah membayar dengan terburu-buru
makanan yang kupesan tadi, aku segera pergi berlari
jauh meninggalkan tempat makan itu dengan hati
yang terluka.
352
Setelah Ayah Pergi
353
Eti Ndulia, dkk
SAHABAT SAMPAI JANAH
Rania Bahmid
Bel istirahat berbunyi dengan nyaring membuat
seluruh siswa di kelas bisa bernapas lega karena telah
terbebas dari pelajaran Kimia. Mereka berhamburan
keluar dari kelas. Zahra berjalan menghampiri maria,
sahabatnya yang sedang asik dengan ponselnya.
“Maria, ke perpustakaan yuk?”
“Oke, yuk”
Mereka berdua sudah terbiasa saat bel istirahat
pertama dihabiskan dengan buku-buku yang menurut
mereka lebih mengasikkan dibandingkan berdesak-
desakkan di kantin bersama penghuni sekolah yang
kelaparan.
Sebelum meninggalkan kelas, Zahra dan Maria
mengambil sarapan mereka yang telah mereka bawa
dari rumah. Seperti inilah keseharian dua gadis ini.
Meskipun mereka berbeda dalam hal kepercayaan
dan keyakinan tidak membuat mereka menjelek
354
Setelah Ayah Pergi
jelekkan satu sama lain dan malah hal itu lah yang
membuat mereka terlihat seperti saudara.
Zahra dan Maria berjalan beriringan keluar
kelas untuk menuju perpustakaan. Seperti pada hari-
hari biasanya, setelah melepas sepatu mereka masuk
ke dalam perpustakaan yang sepi karena siswa siswi
yang lain lebih memilih menghabiskan waktu di
kantin sekolah. Setelah mengambil buku yang ingin
mereka baca kali ini, kedua gadis itu mengambil
tempat duduk di pojok seperti biasanya.
“Cita-citamu nanti apa, Maria?” Zahra
bertanyasetelah lama mereka terdiam karena larut
dalam bacaan masing-masing. Maria menoleh ke arah
Zahrah yang ada di depannya.
“Mungkin aku akan menjadi pendeta di gereja
menggantikan ayahku,” Ucap Maria sambil tersenyum
tipis. Zahra hanya bisa tersenyum kecut menatap
Maria.
“Kalau kamu ingin menjadi apa nantinya?”
Tanya Maria setelah beberapa detik terdiam.
355
Eti Ndulia, dkk
“Aku ingin menjadi guru agama di sebuah
Madrasah di kota ini,” kata Zahra kembali tersenyum
cerah.
“Semoga kita bisa mewujudkan cita-cita kita
suatu saat nanti,” Llnjut Zahrah dengan senang.
“Amin.” Hanya satu kata itulah yang dapat Maria
katakan pada Zahrah saat ini.
***
Kini suara ribut terdengar dari kelas Zahra dan
Maria karena kabar bahwa seluruh staf dewan guru
sedang melakukan rapat mendadak. Kelas mereka
tiba-tiba seramai pasar. Seperti biasanya Zahra hanya
duduk membaca Al-Qur’an di samping Maria yang
sedang menulis cacatan pelajaran Biologi. Zahrah
melantunkan surah Ar-Rahman yang menjadikan
surah kesukaannya selama ini.
“Wah bagus sekali suaramu,” Maria menatap
kagum kepada Zahrah yang telah menutup Al-Qur’an
dan meletaknya di atas meja.
“Terima kasih,” Zahrah tersenyum sangat manis
kepada Maria.
356
Setelah Ayah Pergi
“Ke perpustakaan yuk, bosan nih,” ajak Maria
kepada Zahrah. Zahrah mengangkuk dan berdiri
diikuti Maria.
“Aku mau cari buku dulu,” Zahrah berjalan
menuju rak buku yang kebanyakan berisi tentang
keagamaan dan mengambil buku yang berjudul ‘Hari
Akhir’.
Setelah menemukan buku yang ingin dibacanya,
Zahrah berjalan menuju pojok seperti biasanya.
Zahrah duduk di depan Maria yang sudah duduk
bersama buku yang telah ia pilih. Setelah membaca
beberapa lembar, Zahrah meletakan buku yang ia
baca di atas meja. Melihat itu Maria mengambil buku
itu dan mulai membacanya.
“Ini maksudnya apa?” Tanya Maria yang
menunjuk pada bagian paragraf yang berisi
pertarungan antara Nabi Isa a.s. dan Dajjal. Zahrah
hanya membaca sekilas paragraf yang ditunjuk oleh
Maria.
“Jadi Nabi Isa a.s. itu masih hidup, namun
diangkat oleh Allah SWT ke langit dan akan
357
Eti Ndulia, dkk
diturunkan ke bumi untuk membinasakan Dajjal saat
kiamat nanti,” Jelas Zahrah dan meletakan kembali
buku itu di atas meja.
“Sebenarnya aku punya alasan kenapa aku
berteman denganmu selama ini,” ucap Maria pelan
dan menatap Zahrah tepat di matanya dengan
seksama.
“Apa itu?”
“ Aku tahu kamu begitu taat kepada agamamu.
Jadi, karena itulah aku memilihmu menjadi
sahabatku. Dari kecil, aku sering mendengarkan azan
secara diam-diam di kamarku saat aku sedih. Entah
kenapa aku selalu merasa tenang saat mendengarkan
suara azan yang begitu sangat merdu di telingaku.”
“Aku ingin belajar Islam.” Maria kembali
menatap Zahrah lekat-lekat.
“ Tapi untuk apa? Bukannya cita-citamu menjadi
pendeta lalu untuk apa kau ingin belajar tentang
Islam,” Zahrah merasa sangat bingung dengan Maria
saat ini.
358
Setelah Ayah Pergi
“Sebenarnya aku tidak ingin mejadi seorang
pendeta. Tetapi, ayah menyuruhku. Soal mengapa aku
ingin belajar Islam karena aku ingin lebih dekat
dengan Tuhanmu. Aku selalu merasa nyaman saat
mendengarkan azan dan saat mendengar kamu
membaca kitabmu,” Jelas Maria yang tersenyum cerah
kepada Zahrah.
“ Besok aku akan pergi ke kajian di kompleks
rumahku, kamu juga bisa pergi ke sana bersamaku
besok sore.”
“Benarkah?”
“Iya.”Zahrah berdiri saat mengengar suara azan
Zuhur yang berkumandang di masjid sekolahnya.
“Aku salat dulu ya. Nanti aku akan kembali ke sini.”
***
Sorenya Maria datang ke rumah. Zahrah
menuruni tangga dengan pakainan turusan berwarna
hijau polos dengan kerudung yang menutupi sampai
dada. Zahrah duduk di samping Maria yang tengah
meminum tehnya yang tadi diberikan oleh mama
Zahrah.
359
Eti Ndulia, dkk
“Maaf membuatmu menunggu.”
“Santai saja, aku juga baru sampai kok,” Maria
meletakkan kembali cangkir teh yang ia minum
kembali ke atas meja.
“Ya udah, yuk?” Zahrah berdiri dari kursi yang ia
duduki dan berjalan menuju pintu, diikuti Maria di
belakangnya.
Mereka berjalan beriringan menuju masjid yang
terletak tidak jauh dari rumah Zahrah. Setelah sampai,
Zahrah melepaskan sepatunya.
“Apa aku bisa masuk?” Maria bertanya sambil
menaruh sepatunya di rak sepatu.
“Masuk saja,” Zahrah mengandeng tangan Maria.
Terdengar suara penceramah di dalam masjid saat
mereka sudah duduk menandakan kajian telah
dimulai. Zahrah duduk di barisan belakang bersama
Maria di sebelahnya.
“Hidayah itu bisa datang kapan saja dan di mana
saja. Bisa juga dari orang yang kita cintai dan orang
yang kita benci sekali pun. Allah akan mengampuni
hambanya yang mau bertobat dan kembali ke jalan-
360
Setelah Ayah Pergi
Nya, jadi jangan takut jika Allah tidak akan menerima
tobat,” Ucap sang penceramah.
“Aku berharap kita bisa segera menjadi saudara
dalam satu naungan yang sama,” Zahrah menatap
penuh harap kepada Maria di sebelahnya, yang hanya
dibalas Maria dengan mengangguk mantap.
***
“Asalamualaikum, Bi Inah.” Maria mengucapkan
salam kepada Bi Inah asisten yang bekerja di
rumahnya yang beragama Islam.
“Wa..wa..waalaikumsalam, Non,” Ucap Bi Imah
gagap.
Maria memutuskan ke ruang keluarga karena ia
yakin papanya ada di sana. Benar. Papanya sedang
membaca berkas-berkas seperti biasa.
“Maafkan Ria, Yah. Ini pilihan Maria,” Maria
membuka suara setelah beberapa lama terdiam.
“Apa maksudmu?” Ayah Maria sambil
meletakkan berkasnya.
“Aku mau pindah agama, Yah.”
***
361
Eti Ndulia, dkk
Lelaki Pilihan Ibu
Firdaus Habie
Secercah harapan terbayang. Lagu kehangatan
menyelimuti peraduan pagi. Rasa lara tak
tertahankan, melipat tirai hati yang tengah kusut.
Kicauan burung tak terdengar, padahal ratusan
bahkan ribuan sayap mengepak di antara dahan-
dahan pohon. Musik pagi melantunkan kesenyapan.
“Tak ada pilihan lagi.” Ibu masih dengan bijak
berharap.
Melawannya antara tega dan tidak, suasana
bergumul antara sayang dan cinta. Situasi berperang
kadang memanas terkadang reda. Aku tak kenal dia,
pria yang dipilihkan Ibu. Aku ingin memberontak, tapi
tak berani melawan Ibu. Aku ingin damai. Sedamai
langit biru mengiringi sinar mentari pagi.
Pikiran ibu aneh bagiku, tapi tidak dalam
pikirannya. Langkah ini terbaik untukku, katanya.
Jika aku bisa, ingin kuurai lembar demi lembar alasan,
362
Setelah Ayah Pergi
kupatahkan dengan jutaan argumen. Namun,
argumen itu selalu patah dengan godam kata ‘tidak’.
“Ibu telah mengenal keluarga mereka sejak
dulu.” Kata Ibu lagi. “Bijak dan ikhlas mereka
membantu, jika keluarga kita diterpa duka. Kedukaan
dan kekhawatiran akan sirna manakala kata bijak,
ikhlas menari-nari menghibur kedukaan itu.
Mengapa kita tak dapat berlaku bijak dan ikhlas
menerima uluran tangannya?”
Aku terdiam.
“Memilih yang terbaik untukmu, sudah ibu
pikirkan. Kesantunan karena pendidikannya, karena
keturunannya, bahkan kebaikannya, tak pernah luput
dari pengamatan Ibu.”
Kelihatan benar Ibu mulai lelah mengoyak
hatiku. Helaan napasnya yang panjang, mewakili
ketidakmampuannya membongkar keangkuhan
bangunan yang telah kubangun dengan susah payah.
Bagiku bangunan itu sudah cukup untuk
mempertahankan benteng kebahagiaan yang telah
kulalui bersama Rifal.
363
Eti Ndulia, dkk
***
Aku mulai pasrah. Hari-hariku semakin sulit.
Pertemuanku dengan Rifal hari ini menyisakan
kebahagian semu. Setelah perpisahan pagi tadi, belum
beberapa menit, keinginan ibuku, menari-nari di
kelopak ketidakpastian, apakah aku bertahan atau
mengalah.
Jauh di lubuk hatiku, keinginan
membahagiakan Ibu tak pernah pudar. Kesabarannya
meluluhlantakkan keinginanku bertahan. Kepasrahan
mulai menerpaku. Kepedihan mulai merasuki pori-
pori hatiku.
Bayangan Rifal perlahan terdesak keinginan
ibuku. Aku kejam, aku durhaka. Tetes mataku tak
dapat kubendung. Air yang keluar dari kelopok mata
telah memorak-porandakan bangunan cinta yang
telah kubangun selama dua tahun.
Aku melangkah gontai, dengan kepala
tertunduk, menahan kepedihan. Rifal atau Ibu. Pilihan
itu telah ada di hadapanku . Aku tak buta. Aku melihat
364
Setelah Ayah Pergi
kerutan di wajah ibuku. Aku juga tak ingin hatiku buta
hanya karena cinta.
Kecemasan mulai melanda pikiranku.
Bagaimana kujelaskan kepada Rifal nanti, posisinya
dalam hatiku? Apakah dia menerima penjelasanku?
Kekhawatiran melanda sisi –sisi gelap
ketidaktahuan. Keputusan dan penjelasan apa yang
harus kuberikan kepadanya? Pertanyaan hatiku
semakin tak tentu. Tepisan keangkuhan tak mampu
meredam geramnya kecemasan pilihan, antara ya dan
tidak.
Mungkinkah aku telah terpola dengan sosok
laki-laki yang bernama Rifal. Pola seperti itu hanya
ada satu, tak dapat seorangpun yang pas memakainya
dalam hatiku.
Sebesar itukah napas ketidakberdayaanku?
Atau selemah itukah hatiku hingga menjadi rapuh?
Mempolakan pikiran dan keinginanku? Jujur, aku
ingin lelaki pilihan ibu berpola sama dengan Rifal.
Setidaknya, jangan sampai aku terjajah penyesalan
365
Eti Ndulia, dkk
seumur hidup memilih pilihan ibu daripada pilihan
hatiku.
Pasrah akhirnya aku. Lamaran dari laki-laki
pilihan Ibu menutup rapat mimpiku hidup bersama
Rifal suatu hari nanti. Lelaki ini tidak jelek malah
lebih gagah dari Rifal. Santun seperti kata ibu. Punya
gelar dan pekerjaan yang mapan.
Tapi dia bukan Rifal.
Aku mencoba mengubur mimpi buruk di hari
lamaran dan menjelang akadku. Mimpi buruk ini
semoga menjadi mimpi buruk terakhirku. Kuingin
mimpi buruk ini terkikis dengan titik air mata
kepasrahan, saat pertama kubuka kesempatan
menerima uluran cintanya. Aku berusaha membuang
perasaanku, juga perasaan Rifal ke dalam kubangan
lumpur hidup, setiap saat siap menelan diriku dengan
lahapnya, walau dengan satu tarikan napasku.
***
Berarakan mobil mulai memasuki pekarangan
rumah. Mobil paling depan berwarna perak tampak
indah dihiasi bunga warna warni. Di belakang mobil
366
Setelah Ayah Pergi
itu, tampak pula mobil bak terbuka yang diisi
rombongan pengantar. Keindahan hiasan bunga di
atas mobil perak itu, tidak seperti hiasan hatiku yang
telah diporak-porandakan ketidakmampuanku
bertahan. Bahkan senyum yang dilemparkan para
pengantar bagiku bagai meledekku.
Beberapa detik kemudian, barulah aku
tersadar. Hari ini adalah hari terakhir bagiku untuk
berharap. Vonis kematian hatiku siap dijatuhkan di
hadapan undangan, dengan kepura-puraan sempurna.
Ya... aku tersenyum di hadapan ibu tercinta,
yang telah membesarkan aku dengan telaten, sabar,
dengan segala kelemahanku. Di hadapan para
undangan, senyumku semakin merekah,
menyempurnakan kegetiran hati yang kulukis dengan
cat minyak tak berwarna.
Senyum Farhan, lelaki pilihan Ibu, hari itu
bagiku seperti sayatan luka yang amat tipis. Dengan
lekukan-lekukan tajam, dan garis luka yang
berlawanan. Semakin tersayat hatiku ketika kulihat
Rifal datang juga di hari perkawinanku.
367
Eti Ndulia, dkk
***
Aku melangkah ke dapur, sekadar mencari
kesibukan. Di sisi kiri kulihat lemari es masih terletak
di tempatnya. Tak ada yang berubah. Meja bulat yang
diapit dengan kursi makan tampak teratur rapi. Dapur
ini telah bersih kembali. Seperti tak ada acara yang
besar yang telah dilaksanakan. Para tamu undangan
telah pulang. Aku telah siap dengan penderitaan yang
besar.
Hari pertama kulalui dengan kekakuan di
antara kami. Kuakui tak mampu aku berucap walau
sekata pun terhadap Farhan. Farhan pun demikian.
Ibu sengaja menghindar, memberi kesempatan
kepada kami untuk saling memahami. Cuti yang
diberikan perusahaan kepada Farhan hanya akan sia-
sia.. Sentuhan lembutnya semalam, kutepis dengan
agak kasar. Bersuara pun dia tidak, apalagi marah.
Mungkin Farhan mencoba memahami
Aku terjaga pukul empat pagi. Di sampingku
tak kulihat Farhan. Kudengar percikan-percikan air di
368
Setelah Ayah Pergi
kamar mandi. Kupikir Farhan sedang mengambil air
wudu. Aku membalikkan badanku. Aku tak peduli.
Tak kuduga aku tertidur, sampai sinar
matahari membasuh tubuhku. Di sekeliling tak kulihat
Farhan. Aku yakin dia sudah berangkat kerja. Hari ini
dia sudah berkantor. Setidaknya itu yang
disampaikannya kemarin. Apakah dia marah terhadap
sikapku? Entahlah, aku tak peduli. Kulangkahkan
kakiku ke kamar mandi. Berharap kegerahan hatiku
yang sudah berlangsung sebulan ini mereda.
Tak ada tanda-tanda Farhan akan mengambil
tindakan atas sikapku. Aku salut. Dia laki-laki
penyabar. Gerakan hati yang tak kuduga ini mulai
memancing tanyaku, apakah aku akan luluh?
Farhan tiba pukul setengah delapan malam.
Aku biarkan dia masuk, salamnya kujawab
sekadarnya saja. Dia langsung masuk kamar.
Beberapa menit kemudian dia keluar menghampiriku.
“Tri...,” tegurnya dengan lembut. “Perusahaan
tempatku bekerja memintaku pindah tugas”
lanjutnya.
369
Eti Ndulia, dkk
Aku terdiam. Hatiku bergemuruh. Harapanku
datang tanpa kuduga. Kuakui aku tersiksa dengan
sandiwara ini. Sebulan bersama Farhan serasa
sepuluh tahun.
“Mau tidak mau harus kuterima, dan kita harus
pindah.” Jelasnya.
Kaget aku, karena mendengar kata kita yang
dilontarkannya. Belum cukupkah sikap yang
kutunjukkan padanya, sikap yang jelas-jelas tidak
bisa menerima kehadirannya? Mengapa dia masih
berharap? Bukankah dia memiliki beribu alasan
untuk berpisah?
Mencari rumah kontrakkan, itu langkah
pertama yang dilakukan Farhan. Sekali lagi aku tak
peduli. Bagiku apa pun yang dilakukannya hanyalah
membuka lembaran baru kedukaanku. Sekiranya jika
bukan karena Ibu, aku takkan mau pindah ke kota ini.
Meski kota ini sangatlah ramai, tapi hatiku merana.
Penghasilan Farhan lebih dari cukup untuk sebulan,
bisa dikatakan berlebih. Ia juga memperlakukanku
370
Setelah Ayah Pergi
dengan baik. Namun, Rifal masih ada dalam
genggaman hatiku. Entah sampai kapan.
371
Eti Ndulia, dkk
IF YOU KNOW WHAT MAKES ME HAPPY
Wafiq Nur K.
Surabaya, 30 April 2018
Namaku Ayu Dila Agustin, akubiasa dipanggil
Dila. Aku bersekolah di salah satu sekolah asrama di
Surabaya. Saat ini, akubaru lulus SMP. Besok adalah
jadwal liburan pasca UNBK untuk siswa kelas 3.
From : Mama
Dila, besok mama yang jemput kamu. Kira-kira
mama sampai di asrama kamu jam 8 pagi.
To : Dila
From :Dila
Iya ma, nanti Dila siap-siap.
To : Mama
From : Mama
Besok kita pulang ke rumah Pasuruan.
To : Dila
372
Setelah Ayah Pergi
From : Dila
Kenapa pulang di rumah Pasuruan Ma?
To : Mama
From : Mama
Pokoknya kamu siap-siap saja. Jangan lupa bawa
antimo!
To : Dila
Entah kenapa perasaanku sedikit tidak baik.
Tidak biasanya Mama mengajakku pulang ke rumah
di Pasuruan. Aku segera menepis semua perasaan itu
dan tidak mengambil pusing soal itu. Aku
memutuskan segera berkemas untuk kepulanganku
besok. Sebenarnya aku senang, setelah berkali-kali
ulangan akhirnya terbebas dan aku lulus dengan nilai
memuaskan. Namun, entah mengapa saat aku
mengetahui dari Mama bahwa aku akan pulang ke
rumah Pasuruan aku merasa sedikit kecewa,
bukannya tidak ingin pulang tapi aku ingin menetap
di Surabaya.
373
Eti Ndulia, dkk
***
Pasuruan, 1 Mei 2018
Aku tiba di rumah Pasuruan. Namun anehnya,
mama malah membawaku ke sebuah apartemen. Ini
terasa janggal, setahuku mama tidak pernah
mempunyai apartemen.
“Ma, ini apartemen siapa?”
“Apartemen Mama.”
“Sejak kapan Mama punya apartemen?”
“Dila, kamu ini tanya hal yang tidak penting!
Mama itu capek setelah perjalanan Surabaya
Pasuruan. Mama butuh istirahat, kamarmu di sana!”
lanjutnya sambil berlalu menuju kamarnya.
Aku pun menuju kamar yang ia tunjukkan dan
segera merapikan bajuku ke dalam lemari. Tidak lama
kemudian mama masuk ke kamarku.
“Oh iya, Mama ada janji sama teman Mama,
kamu di sini sendiri tidak apa-apakan?”
“No problem, I’m fine,” kataku sambil merapikan
baju “Ma, Papa kemana?” tanyaku setelah beberapa
detik.
374
Setelah Ayah Pergi
“E... itu... anu...Papa kerja di luar kota,” Mama
tiba-tiba gugup. Ia burur-buru pergi. Entah kenapa
aku merasa ada yang disembunyikan Mama.
Aku menyelinap masuk dan mendapati ponsel
mama tergeletak di atas kasur. Bukannya aku tidak
sopan namun aku penasaran dengan semuanya, Aku
mengambil ponsel mama dan melihat chat mama. Aku
mencari-cari nama papa dalam chat mama, setelah
aku scroll semua chat mama aku menemukan nama
papa di bagian paling bawah. Tertanggal 3 Februari
2018.
From : Dion
Irma, apa tidak dipikirkan lagi soal anak-anak?
To : Irma
Aku masih bingung dengan pesan papa, dan aku
memilih melanjutkan membaca chat dari Papa
tersebut.
From : Irma
Aku sudah memikirkannya, lebih baik kita pisah
dulu. Aku yang akan mengurus Dila.
375
Eti Ndulia, dkk
To :Dion
Kata-kata itu sontak membuatku terkejut. Aku
langsung mengembalikan ponsel Mama dan segera
menuju kamar.
Mama dan Papa pisah? Sudah selama itukah
mereka berpisah dan aku tidak mengetahui sedikit pun
tentang itu?
Air mata yang sedari tadi ku tahan kini sudah
tidak bisa dibendung. Aku hanya bisa diam
menghadapi semua ini. Seingatku, selama aku berada
di asrama, aku selalu mendengar suara kedua orang
tuaku saat sedang menelpon.
Tiga puluh menit kemudian Mama pulang, aku
berusaha bersikap semuanya baik-baik saja dan
segera menetralkan pikiranku. Aku berusaha bersikap
biasa di depan mama.
“Ma, memangnya papa kerja di mana?”
“Kerja di e... kerja di Bandung, e... iya di
Bandung.” Mama yang masih gugup.
“Jadi karena papa di Bandung mama mengajak
Dila ke Pasuruan?”
376
Setelah Ayah Pergi
“I... iya.”
“Mama nggak papa?”
“Nggak papa. Mama ke kamar dulu ya.”
***
Surabaya, Mei 2018
Selama satu bulan penuh, aku masih menutup
rapat-rapat rahasia yang aku ketahui tanpa
menanyakan apapun kepada Mama ataupun Papa.
Namun anehnya, kali ini Mama mengajakku ke
Surabaya. Aku hanya bisa mengiyakan ajakan Mama
dan aku tidak berkomentar apa-apa
Sesampainya di Surabaya kami berada di rumah
kami yang dulu. Aku melihat hubungan antara Mama
dan Papa baik-baik saja seperti tidak terjadi apa-apa.
Setelah beberapa hari tinggal di Surabaya, Mama
dan Papa mengajakku berwisata di sekitar Surabaya
mulai dari House of Sampoerna, Surabaya Carnaval
Park dan tempat seru lainnya. Seharian ini suasana
masih berjalan baik, baik Mama maupun Papa tidak
terlihat seperti orang yang punya masalah.
377
Eti Ndulia, dkk
Senja ini, kami berada di Pantai Klayar. Suasana
langit jingga sangatlah indah. Aku mencoba
menikmati suasana, tanpa memikirkan masalah
Mama dan Papa, tapi, kemudian Papa dan Mama
menghampiriku dan memintaku duduk di antara
mereka.
“Dila,” panggil Papa “Maafkan Papa dan Mama,
Nak. Kami sudah tidak bisa bersama lagi,” lanjut papa.
“Maksud Papa?” Meski aku sudah sedikit tahu,
ternyata aku masih belum siap.
Tidak ada yang menjawab pertanyaanku.
Keduanya diam. Pikiranku semakin runyam dan aku
semakin bingung dengan semua ini. Dalam benakku
aku tetap bertanya-tanya, apakah yang aku lihat satu
bulan yang lalu itu nyata? Setelah beberapa menit,
Mama mulai membuka suara.
“Dila, Mama dan Papa sudah cerai.”
Aku hanya bisa diam.
“Dila, kami….”
“Sudah, Ma, jangan cerita sekarang dulu, aku
mau istirahat, lebih baik kita pulang,” ujarku
378
Setelah Ayah Pergi
memotong ucapan mama, aku sudah pasrah dengan
semua kejadian ini.
“Dila, suatu saat nanti kamu akan mengerti
dengan keputusan kami,” ujar Papa.
Aku memilih diam tanpa sepatah kata yang
terucap. Mungkin senjalah yang mengajarkanku apa
arti kata ‘rela’.
379
Eti Ndulia, dkk
AWAN KELABU PERNIKAHAN
Aliza Syarif
Depok, 1997
“Kalau memang mau menikah dengan anak
saya, kamu tidak bisa menikahi dia. Nikahi kakaknya!”
Ucap lantang dan penuh tekanan yang dilontarkan
Mamakku. Suasana malam perjodohan ini berubah
seketika ketika si Keparat yang duduk di depanku ini
berkata bahwa ia ingin menikahiku. Suasana ruang
tengah kami berubah seketika menjadi lengan tak
bersuara. Kami hanya membisu dan menundukkan
kepala. Perjodohan ini memang telah direncanakan
dari bulan-bulan sebelumnya. Mereka meminta agar
marga Nasution yang dimilikinya tidak terputus
sampai anak lelakinya. Keluarga kami masih memiliki
hubungan darah dengan mereka.
Mamak dan ayahku memang telah
menerimanya, mengatakan bahwa keluarga kami siap
menerima lamaran dengan syarat menikahi kakak
keduaku yang sudah berkepala tiga. Calon besan pun
380
Setelah Ayah Pergi
menyetujuinya. Namun, entah mengapa malam ini si
Keparat melontarkan kalimat bodohnya di hadapan
keluarga kami semua. Lagi pula, aku sudah memiliki
pacar, walaupun mamakku tidak menyukainya karena
dia bukan orang berada. Dia hanya orang Jakarta
pinggiran.
Resmi sudah kakak keduaku menikah sebentar
lagi. Tidak lama kemudian calon besan pamit pulang.
Mereka sempat mengucapkan permintaan maaf
sebelumnya karena kejadian tadi. Rasa canggung dan
tidak enak hati menyelimutiku. Kejadian tadi
membuat jarak antara aku dengan kakak keduaku
semakin jauh. Saudara-saudara kami juga tidak ada
yang ikut campur, semuanya juga membisu. Tidak ada
lagi percakapan antara kami malam itu.
Kakak keduaku memang sudah cukup berumur
untuk masih berpacaran sana-sini. Belum lagi, kakak
ketigaku yang sudah beberapa kali ditinggal oleh
pacarnya.
Pada hari-hari berikutnya, aku berusaha tetap
menjalani rutinitas kehidupanku seperti biasanya.
381
Eti Ndulia, dkk
Bangun pagi dan berangkat kerja. Tempat kerjaku
yang terbilang cukup jauh dari rumah membuatku
memilih kereta sebagai transportasi cepat sampai di
kantor. Rutinitas di kantoku juga berjalan seperti
biasanya. Namun, terkadang ada pesan masuk di
ponselku dari seseorang bernama Irsan. Dia si
Keparat yang telah dijodohkan dengan kakakku.
Beberapa kali ia berusaha mengajakku jalan. Aku
selalu menolaknya.
Aku pernah mengatakan kepada pacarku
bahwa aku risi dengan sikap Irsan yang terus
berusaha mendekatiku. Dia hanya menanggapi biasa
saja. Tidak usah dipedulikan, nanti juga capek sendiri,
katanya.
Hari pernikahan kakakku telah tiba. Rumah
kami penuh dengan hiasan-hiasan pernikahan.
Tembok putih yang membatasi ruang tengah dengan
ruang keluarga menjadi pelaminan bagi mempelai.
Semoga Irsan tidak menggangguku lagi.
Depok, 2001
382
Setelah Ayah Pergi
Pacarku akhirnya menemui kedua orang tuaku
dan mengatakan ia ingin menikahiku. Kami sudah
lama berpacaran. Mamakku tidak dapat menerima
permintaannya untuk menikahiku sebab masih ada
kakakku ketigaku yang belum menikah. Mendapat
respon tidak baik dari mamakku, tidak membuat ia
menyerah begitu saja, ia tetap mencoba menunggu.
Ia tetap bejuang untuk menikahiku. Ia
mencoba lagi untuk bicara pada mamakku. Mamak
akhirnya luluh melihat kegigihannya dan
mengeluarkan syarat: pernikahan tidak boleh terjadi
di rumah kami, harus di rumah pihak laki-laki.
Keluarganya pun setuju. Namun, ketika
ayahku mendengar kabar itu, ia berkata, “anakku
akan tetap menikah di rumah ini” katanya kepada
mamakku malam itu.
Tidak berhenti sampai di situ, setelah ayahku
membiarkanku menikah di rumah, mamakku kembali
memberi syarat aku harus segera angkat kaki
sebelum fajar timbul di waktunya. Kami menerima
383
Eti Ndulia, dkk
syarat itu. Segera pada siang itu juga kami mencari
kontrakan untuk kami tinggali
Permasalahan tempat tinggal selesai,
selanjutnya mamakku meminta emas seberat 5 gram
sebagai penghormatan karena melangkahi kakakku.
Persyaratan itu juga kami terima. Sampai pada titik
ini, aku merasa mamakku mempersulit pernikahanku.
Bukan mama, tapi tradisi.
Hari pernikahanku tiba. Mamaku bilang ia
malu menghadiri pernikahanku. Ia malu karena aku
melangkahi kakak ketigaku. Begitu juga kakak
ketigaku ia marah karena aku mendahuluinya. Aku
mengerti bahwa aku tidak sopan mendahuluinya, tapi
sampai kapan aku menunggunya menikah lebih dulu.
Ia tidak kunjung memiliki lelaki yang siap ia jadikan
calon suaminya.
Hari pernikahanku bukan hari paling bahagia
dalam hidupku.
384
Setelah Ayah Pergi
385
Eti Ndulia, dkk
AKU BISA
Chairunnisa Biahimo
“Dasar anak tak berguna! Mau jadi apa kamu
nanti hah?” Suara Ayah meninggi. Dibuangnya hasil
ujianku dengan tanda merah di lembaran depan
hingga berhamburan di lantai ruang kerjanya.
“Maaf, Yah,” kataku memelas. Segera
kukumpulkan lembaran-lembaran ujianku dan
kurapikan kembali.
“Tidak ada gunanya kamu Ayah sekolahkan.
Cuma bikin malu!” Ayah tampak begitu kecewa atas
hasil ujianku. Aku pun merasa sangat bersalah.
Namun, mau bagaimana lagi? Otakku begitu sulit
diajak berkompromi dengan materi pelajaran di
sekolah.
Tepat saat itu, Bibi Idah datang dan kemudian
menenangkanku. Ia mengajakku pergi dari ruang
kerja Ayah. Bibi Idah adalah pengasuhku sejak Ibu
meninggal. Ia sangat baik hati, mengasuhku seperti
anak sendiri.
386
Setelah Ayah Pergi
***
Tiga hari berselang, kami akan mengikuti ujian
akhir semester penentuan kenaikan kelas. Aku sedang
berusaha keras belajar ketika Bi Idah mengetuk pintu
memberi tahu jika makan malam sudah siap.
“Iya, Bi, nanti aku nyusul ke bawah.” Aku
membereskan buku yang masih berserakan. Begitu
aku turun, Ayah dan Kak Dino sudah ada di meja
makan.
“Bagaimana dengan hasil ujianmu, Dino? ”
Tanya Ayah sambil menyendokkan nasi ke piring Kak
Dino.
“Seratus dong, Yah. Aku kan bukan Rifa yang
cuma bisa bawa pulang telur.” Ia memandangku
dengan wajah sombong.
“Nah begitu baru anak Ayah, yang bisa buat
bangga Ayah.”
Kak Dino tersenyum puas.
Kak Dino dari dulu anak yang selalu menjadi
kebanggaan Ayah karena ia selalu mendapat nilai
terbaik di sekolahnya, sedangkan nilaiku selalu
387
Eti Ndulia, dkk
merah. Ayah selalu memberikan hadiah kepada Kak
Dino karena prestasinya itu. Aku? Tidak pernah!
Aku sering merasa seperti bukan anak
kandung Ayah. Hanya pada saat Ibu masih hidup saja
aku disayang. Sekarang, aku seperti tidak ada artinya
di rumah ini, hanya menyusahkan Ayah saja. Aku
selalu dibandingkan dengan Kak Dino. Ayah juga
memaksaku masuk sekolah kejuruan dan memilih
Akuntansi, jurusan yang sama sekali tidak aku
senangi. Mungkin karena itulah nilaiku selalu jelek.
Aku sudah kehilangan selera makan melihat
Ayah dan Kak Dino. Aku pun segera kembali ke
kamar. Bi Idah hanya terdiam, tampak iba melihatku,
tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Tiba saatnya penerimaan rapor. Sepulang di
rumah, Ayah langsung memanggilku ke ruang
kerjanya. Ia langsung melemparkan raporku tepat ke
mukaku ketika aku masuk.
“Bodoh!” Ayah segera berlalu pergi. Aku
memungut raporku. Tak ada yang merah. Mengapa
388
Setelah Ayah Pergi
Ayah masih marah? Ini kan sudah kemajuan? Aku
membela diri dalam hati.
***
Keesokan paginya di sekolah, Sarah langsung
menarikku ke depan ruang guru.
“Lihat ini!”
Aku mengikuti arah telunjuknya. Kursus
Matematika? Aku menatapnya heran.
“Tiga bulan ke depan akan ada Olimpiade
Matematika Tingkat Provinsi Gorontalo, mungkin
dengan mengikuti kursus ini kamu bisa membuktikan
pada ayahmu kalau kamu juga bisa. Ya meskipun
tidak harus mendapat juara pertama, setidaknya
kamu punya kesempatan mengubah pandangan
ayahmu.” Sarah berkata dengan penuh keyakinan.
“Mana mungkin? Aku kan tidak terlalu bagus
dalam pelajaran Matematika. Kau lihat sendiri kan
nilaiku?”
“Man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-
sungguh pasti akan berhasil. Coba aja dulu!”
389
Eti Ndulia, dkk
“Baiklah, aku coba.” Meski agak ragu, aku tetap
mencatat semua data dan persyaratan masuk kursus
itu.
Sepulang ke rumah aku coba meminta izin
Ayah untuk mengikuti kursus yang disarankan Sarah.
“Dasar anak tidak tahu diri! Kamu mau tbikin
Ayah tambah susah? Cari duit sendiri sana!”
Mendengar perkataannya itu, dadaku sesak.
Aku langsung berlari ke kamar, menangis sejadi-
jadinya. Apakah Ayah memang tidak sayang
kepadaku? Ia tak mau membiayai kursusku, tapi bisa
membelikan hadiah macam-macam untuk Kak Dino.
Mengapa Ayah tidak memperlakukan anak-anaknya
dengan adil? Pertanyaaan demi pertanyaan
mendekam di benakku. Tangisku mengucur tak
terbendung.
“Nak, ada apa? Kenapa menangis?” Bibi Idah
telah berada di depanku.
“Bi Idah dari mana?”
“Bibi dari pasar, beli bahan buat masak makan
malam nanti.”
390
Setelah Ayah Pergi
Sekilas terlintas di benakku keinginan mencari
penghasilan sendiri.
“Bi, ajari saya bikin nasi goreng.”
“Buat apa?”
Saya ingin punya uang agar bisa kursus
Matematika. Ada Olimpiade tiga bulan ke depan. Saya
ingin membuktikan pada Ayah kalau saya juga bisa
berprestasi.”
Bi Idah hanya terdiam, lalu mengusap
kepalaku. Tak lama ia mengangguk.
Setiap pagi akhirnya aku berjualan nasi goreng
di sekolah. Aku tak malu. Ini demi pembuktianku.
Uang hasil keuntungan berjualan, kutabung dan
kupakai membayar uang kursus. Aku tak pernah alpa
dan selalu belajar memahami semua materi dengan
baik.
***
“Dino? Sini kamu!” Ayah memanggil Kak Dino
dengan nada tinggi, tidak biasanya dia seperti itu.
“Iya, Ayah, kenapa lagi sih?” Kak Dino keluar
dari kamarnya dengan malas.
391
Eti Ndulia, dkk
“Ini surat panggilan dari sekolah. Kamu buat
masalah apa, Dino?”
Kak Dino hanya tertunduk.
“Kamu sudah mulai sama kayak adikmu itu.
Kamu juga mau bikin malu Ayah?” Kak Dino berusaha
menjelaskan tetapi Ayah sama sekali tak
menggubrisnya.
Ternyata nilai Kak Dino menurun nilainya
turun dan sering bolos sekolah akibat gadget yang
diberikan Ayah. Ia jadi malas belajar.
***
“Semangat ya jualannya,“ kata Sarah sembari
menepuk pundakku. Saat itu nasi gorengku sudah
hampir habis dibeli.
“Bagaimana kabar kursusmu?”
“Baik, aku akan persiapkan diri sebaik
mungkin untuk olimpiade besok.”
“Aku tunggu kabar baiknya.” Ia mengedipkan
mata dan kemudian berlalu menuju kelas.
Saat ini aku sudah berada di aula besar tempat
olimpiade ini berlangsung. Soal demi soal kujawab
392
Setelah Ayah Pergi
dengan percaya diri dan tak lupa kuselipkan doa di
setiap helaan napas. Ada kalanya rasa putus asa
menghampiriku. Namun, dengan melihat dua sosok
wajah yang selalu menyemangatiku di bangku
penonton—Sarah dan Bi Idah, aku berusaha agar
tidak mengecewakan mereka. Tentu saja Ayah tak
ikut hadir. Hingga berakhir momen menegangkan itu.
Aku hampir tak percaya saat panitia mengumumkan
namaku sebagai peraih nilai tertinggi dan berhasil
meraih piala emas dan sejumlah uang jutaan rupiah.
Aku sujud syukur saat mendengarnya. Bi Idah
langsung memelukku dengan erat sambil menangis.
Saat tiba di rumah, Ayah hanya terdiam saat
melihatku. Mungkin dia sudah mendengar kabar
kemenanganku. Tiba tiba, ia melangkah mendekati
dan memelukku. Dia mengucap maaf berkali-kali
padaku. Saat itu juga ia memberi tahu kalau Kak Dino
baru saja kabur dari rumah. Mungkin karena merasa
terlalu dipaksa Ayah untuk mengikuti kemauannya.
393
Eti Ndulia, dkk
MERAKIT BAHTERA
Rahmah Jamil
Pagi ini, aku berangkat meninggalkan sanak
saudara dan tanah kelahiran tercinta. Menanggung
asa tak ada ragu. Mencoba berenang ke lautan lepas
yang luas nun dalam. Menerjang jalan walau curam
dan bahaya. Bersikeras mengubah hidup.
Saat hari itu tiba, hari ketika aku berusaha
menggerakkan lidahku yang kaku untuk meminta izin
dan restu dari kedua orang tuaku. Berusaha membuat
seribu alasan dan keyakinan demi mendapatkan satu
kata penuh arti dan tanggung jawab. Satu kata ‘ya’
dari kedua orangtuaku itulah yang akan menentukan
bagaimana kelanjutan dari hidupku yang penuh
mimpi dan bermodalkan nekat ini.
Namaku Salman ‘Abdul Khair Nasution.
Pemuda Batak yang masih ingusan dan nekat ingin
mencoba tanah rantau di seberang selat sana. Tahun
ini aku lulus dari sekolah favorit di tanah jajaran
pegunungan Bukit Barisan. Lulus dengan nilai cukup
394
Setelah Ayah Pergi
memuaskan dan menjadi yang terbaik, membuatku
sedikit bangga dan percaya diri melangkah ke jenjang
selanjutnya di luar zona nyamanku. Berharap
mendapatkan pengalaman baru di tanah baru.
Memikirkan itu, keinginan merantau bergejolak hebat
di dalam benakku.
“Umak, Apak, Salman ingin meminta izin dan
doa restu. Salman ingin merantau dan melanjutkan
sekolah ke Pulau Jawa. Insyaallah Salman lulus di
seleksi bersama untuk kuliah di salah satu pergururan
tinggi di Bogor. Itupun kalau Umak dan Apak izinkan.”
“Harus di Jawa, Nak? Tidak terlalu jauh?? Kau
ini baru lulus aliyah. Merantau bukanlah hal mudah,
Salman. Terlebih lagi kerasnya hidup di Pulau Jawa
belum tentu dapat kau tangani dengan umurmu yang
masih tergolong muda. Kau mau tinggal di mana?
Ayah menatapku dalam-dalam.
“Aduh, Umak khawatir, Man. Coba kau
bicarakan saja dengan Apakmu.” Umak beranjak ke
kamarnya, meninggalkanku dengan Apak di ruang
tamu.
395
Eti Ndulia, dkk
Dari nada Umak bicara, sudah tampak jelas
bahwa ia berat menyetujui keinginannku. Aku tahu,
umurku memang belum bulat di kepala dua untuk
membuat Umak sedikit lebih tenang melepasku. Tapi,
apa boleh buat? Aku merasa sedikit semangat saat
Apak menjawab dengan jawaban yang membuat
hatiku lebih tegar dan bersemangat.
“Nak, benar kata Umakmu. Merantau bukanlah
hal gampang. Ini serius. Semua yang akan kau lakukan
di sana sangat berpengaruh untuk kehidupanmu
seterusnya. Apak tak melarang kau untuk merantau.
Merantaulah sejauh yang kau inginkan, bahkan
sekalipun harus berpindah negara. Kau ingat Apak
pernah mengajarimu tentang perintah Rasulullah
saw. kepada umatnya? Kejarlah mimpi walau harus ke
negeri Cina.”
“Iya, Apak. Salman selalu ingat apa yang Apak
katakan.”
“Kapan mau berangkat?”
“Dua hari lagi, Apak. Berangkat dengan
rombongan buruh teman-teman Bang Togar.”
396
Setelah Ayah Pergi
“Baiklah. Umakmu biar Apak saja yang bujuk.
Umakmu hanya khawatir padamu. Anak sulungnya
yang kemarin masih ingusan sekarang sudah
meminta izin untuk merantau,” kata Apak sambil
tertawa.
Aku hanya bisa ikut tersenyum. Melihat Umak
yang langsung masuk ke kamar setelah berbicara
dengan nada sangat panik beberapa menit lalu.
***
“Umak, Apak, Salman pamit.” Kataku sambil
menyalami kedua tangan orang tuaku.
“Hati-hati, Nak. Jangan pantang menyerah.
Selalu kembalikan masalahmu untuk terus bersandar
dan dekat dengan Allah Swt. Ingat, sesusah atau
sesenang apa pun dirimu jangan pernah kau berani
jauh dari Allah.” Umak berkata sambil terisak.
“Jangan malu meminta tolong kepada sesama,
tapi berusahalah untuk tidak bergantung pada orang
lain apalagi sampai merepotkan mereka. Jangan
pernah berhenti untuk menolong sesama, karena
akan ada masanya kita membutuhkan pertolongan
397
Eti Ndulia, dkk
orang lain. Bersedekah jangan lupa. Salat dan
puasamu dijaga, Man.” Kali ini, Apak yang berbicara.
“Iya, Apak. Salman akan selalu mengingatnya.
Doakan Salman selalu ya Mak, Pak”.
“Pasti. Insyaallah,” jawab keduanya hampir
bersamaan. Kupeluk kedua adikku, Shobron dan
Shofy.
“Hati-hati, Bang, kalau sudah sukses jangan
lupa pulang kampung.” Kata Shobron.
“Insyaallah, Bron,” Jawabku. Shofy tak berkata
apa-apa. Dia hanya menangis di balik Shobron.
“Abang berangkat ya, Bron, Fi. Doakan Abang.”
Keduanya mengangguk.
Tiga hari perjalanan kutempuh untuk sampai
di Bogor. Aku menginap di tempat Bang Togar.
“Kau boleh tinggal di sini sampai kau dapat
kerja paruh waktu dan dapat mengontrak sendiri,”
katanya.
Besok adalah hari pengumuman seleksi
bersama, aku takut dan khawatir. Aku takut harus
kembali memutar bahteraku yang sudah berlabuh di
398
Setelah Ayah Pergi
pelabuhan besar. Aku juga takut bahteraku akan
terbalik karena derasnya ombak kehidupan yang tak
bisa kutangani dengan baik dan akan
menenggelamkanku di ombak besar. Aku takut.
Hari pengumuman tiba. Aku pergi ke
perguruan tinggi tempat aku mendaftar. Tak jauh dari
rumah Bang Togar, hanya sekali naik angkutan
umum. Papan pengumuman sudah dipadati calon
mahasiswa baru yang juga ingin melihat hasil
pengumuman. Mungkin banyak mahasiswa yang
sudah memililki ponsel Android dan dapat melihat
pengumuman melalui internet. Tapi, aku tak punya
ponsel secanggih mereka. Hanya bermodal hp apa’
yang memiliki tiga fungsi utama saja yaitu, telepon,
sms dan senter. Aku berusaha mencari namaku di
kertas panjang dengan tabel berkolom empat ini.
Tertempel kuat empat kertas berisikan ratusan nama
calon mahasiswa yang lolos seleksi. Namun, beribu
kali aku mencoba mencari namaku, hasilnya tetap
nihil. Aku panik, sedih dan takut. Aku belum siap
menerima kenyataan, seburuk apa pun itu.
399
Eti Ndulia, dkk
Satu harapan kecil aku temukan di ujung
papan pengumuman. Satu kertas HVS bertuliskan
mahasiswa cadangan. Aku melihat namaku di urutan
kedua. Dengan penuh harap aku berdoa. Tertulis di
sana hasil pertimbangan mahasiswa cadangan akan
diumumkan besok hari.
Keesokan harinya aku kembali ke perguruan
tinggi tersebut. Setelah aku membaca kertas terakhir,
aku menemukan tertulis dua nama baru di ujung
tabel, tapi dua nama itu bukan namaku. Jikalau ada
dua tambahan mahasiswa pasti namaku ditulis lebih
dahulu. Karena aku cadangan kedua. Aku bingung dan
frustrasi.
Setelah membaca kertas itu, aku bersegera
menuju ke ruang tata usaha kampus. Semua seakan
tak adil di hidupku. Di sana ada Pak Joni,
memberitahuku semuanya. Kursi itu dibeli. Dibeli
seorang anggota dewan untuk menyelamatkan
namanya di hadapan masyarakat. Entahlah, katanya
kursi itu untuk anak sulungnya yang senasib
400
Setelah Ayah Pergi
denganku sebagai maba gagal. Mungkin lebih parah.
Anaknya tidak masuk ke kategori maba cadangan.
Aku kecewa. Entah di mana aku harus
mengadu. Setelah semua itu sudah jelas dan mutlak
kupaksakan kakiku menjauh dari kawasan kampus.
Aku tak kuat untuk menyaksikan senyuman indah
bahagia dari maba yang diterima. Tujuan pertamaku
adalah masjid di pinggir kota.
“Ya Rabb, bagaimana ini. Apa yang harus
kulakukan. Semua yang ku lakukan seakan sia-sia ya,
Rabb. Maafkanlah diriku yang tak memohon dengan
sepenuh jiwa kepada-Mu, ya Rabb. Lapangkanlah hati
dan pikiranku. Tegarkanlah diriku, ya Allah. Cobaan
ini berat, ya Allah. Aku tak sanggup memberi tahu
orangtuaku. Aku tak sanggup pulang. Apa yang harus
kulakukan?” Aku berdoa sambil bercucuran air mata.
Selepas mendirikan salat Zuhur, aku berniat untuk
kembali ke kontrakan Bang Togar. Ada sedikit lega
yang menyelinap setelah menumpahkan semua.
Namun, pikiran kalut itu semakin hari semakin
bertambah. Aku belum menghubungi orang tuaku
401
Eti Ndulia, dkk
selama seminggu ini. Uang perbekalanku mulai
menipis. Pilihan terakhir adalah mencari pekerjaan.
Bukan paruh waktu lagi yang kucari. Kerja sepanjang
hari pun akan aku terima. Menyusuri ibu kota dengan
berbagai macam angkutan umum. Turun di sana
berhenti di lain tempat. Pekerjaan di negara ini
seakan sudah habis ditelan bumi. Tak ada satu pun
yang tersisa.
Seminggu ini aku hanya sibuk berkeliling
mencari pekerjaan. Membeli koran mencari iklan
lowongan. Sampai aku harus meminjam uang Bang
Togar untuk ongkos dan makan. Ini hari ke-12 ku di
Bogor. Namun, tak kunjung aku memberi kabar ke
rumah. Mungkin ini adalah penyebab aku belum
mendapatkan kerja walaupun sudah menyusuri kota
ini. Sesampai di rumah Bang Togar aku
memberanikan diri meminjam ponselnya untuk
mengabari Upak dan Umak di kampung. Mereka harus
tahu.
Nada sambung terdengar. Aku kaku.
“Assalamualaikum. Siapa ini?”
402
Setelah Ayah Pergi
“Wa’alaikumussalam, Mak. Ini Salman”
“Salman anakku. Bagaimana kabarmu, Nak?
Seminggu kami menunggu kabar darimu. Bagaimana
kau di sana, Nak? Ibu dengar bulan depan sudah
mulai tahun ajaran baru. Kau sudah mempersiapkan
semuanya kan, Man?”
“Umak, sebenarnya Salman ingin memberitahu
Umak jauh-jauh hari. Tapi Salman takut Umak
bersedih. Salman tidak lolos, Mak. Sempat jadi
cadangan. Tapi dibeli orang kursinya, Mak. Tidak ada
kesempatan. Salman belum kuliah, Mak.”
“Tidak apa-apa, Nak.” Umak menjawab setelah
terdiam agak lama. Aku tahu akan seperti ini.
Walaupun Umak tidak memperdengarkan
kesedihannya, Umak memberikanku jawaban dengan
lantang melalui diamnya. Ia kecewa. Tak mungkin
tidak.
Keesokan harinya, aku memulai dengan
keseharian baruku, mencari kerja. Mungkin hari ini
keberuntungan ada padaku. Di depan rumah makan
Padang tertulis dibutuhkan seorang pelayan. Tak
403
Eti Ndulia, dkk
sulit. Dan halal. Gaji? Sekarang belum terpikirkan.
Pasti digaji. Kutanamkan pikiranku itu dalam-dalam.
Aku melangkah memasuki rumah makan itu.
Syukurlah mereka mau menerimaku. Aku pun
meninggalkan kontrakan Bang Togar setelah berkerja
selama tiga bulan. aku pamit dengan Bang Togar dan
menempati kontrakanku sendiri. Uang Bang Togar
yang kupinjam sudah kucicil dan kulunasi sebelum
aku pindah.
Sepanjang bekerja, aku selalu sempatkan
untuk datang ke panti asuhan untuk berbagi makanan
atau hanya sekadar berbagi cerita dengan adik-adik
panti. Tahun ini umurku genap 20 tahun. Ibu Dessy,
pemilik rumah makan seperti sudah menganggapku
sebagai kaki tangan andalannya, pelayan tetap yang
baru bekerja beberapa bulan. Beliau mempercayakan
segala urusan keuangan rumah makannya padaku.
Entahlah, aku hanya menjalankan amanah. Aku
merasa, pelayan lain merasa iri padaku. Tak sering Bu
Dessy memercayakan hal besar dipegang orang lain.
404
Setelah Ayah Pergi
Biarlah, mungkin memang beliau memercayaiku.
Insyaallah aku akan menjaga kepercayaannya.
Sampai hari itu datang.
Kericuhan mahasiswa. Mereka membakar
semua warung. Mobil dan segala hal yang mereka
lihat. Di pagi buta seperti ini? Kenapa? Posisiku
sedang di rumah makan. Sendiri. Kemarin aku
menginap di sini karena terlalu larut untuk kembali
ke kontrakan.
Aku panik. Aku gemetar. Aku takut. Aku
mengingat kericuhan di kampung dulu. Ricuh antara
warga Islam dan Kristen seringkali terjadi di
kampungku. Aku tak suka itu. Seram. Semua seperti
saling membenci dan matanya berkobar penuh
kemarahan. Aku tak berani menghadapi ribuan
massa. Katanya rumah makan ini bersejajar dengan
rumah para anggota dewan. Aku tak tahu jelas. Jelas
di mataku mereka menyerang rumah makan dengan
melempar batu ke jendela. Aku berdoa semoga
mereka tak membakar rumah makan ini. Ya Rabb,
tolonglah aku. Aku segera mencari telepon genggam
405
Eti Ndulia, dkk
kecil yang dipinjamkan Bu Dessy. Aku meneleponnya
dengan napas tersenggal karena panik.
“Halo, asalamualaikum, Bu. Ibu…Ibu … warung
diserang massa, Bu. Kaca pecah. Saya takut, Bu.”
“Wa’alaikumussalam, Man. Jangan panik.
Keluarlah lewat pintu belakang pergi ke rumah Didi,
supir saya nanti saya jemput di sana.”
“Baik, Bu.”
Tanpa pikir panjang aku melaksanakan
instruksi Bu Dessy. Aku pernah kesana mengantar
pesanan. Beliau mulai dekat denganku karena Bang
Togar juga salah satu pekerja andalan di tempat
suaminya memimpin. Bu Dessy dan Pak Mario sudah
menganggap diriku anak mereka. Mereka memang tak
memiliki anak. Bu Dessy pernah bilang, aku pekerja
muda favoritnya. Aku tersipu saat mendengar itu.
Aku mengetuk rumah Pak Didi, ia sendiri yang
membuka pintu. Pak Didi menyuruhku masuk. Aku
menjelaskan singkat kejadiannya. Habis sudah. Toko
itu betul dibakar. Aku tak tahu alasannya. Di mana
406
Setelah Ayah Pergi
aku akan berkerja? Atau aku coba mendaftar kuliah
lagi? Biaya dari mana?
Dua hari aku tak punya arah dan tujuan. Hari
ini aku dipanggil ke rumah Bu Dessy. Beliau
menyambutku dengan ramah. Kami banyak bercerita.
Lebih tepatnya aku banyak menjawab pertanyaannya.
Semua. Cerita lama itu pun terungkap lagi. Di ujung
perbincangan kami Bu Dessy memberikanku saran.
“Kuliah aja, Man. Pakai gajimu buat daftar.
Kalau kurang, bilang ke saya. Kenalan saya pengurus
penerimaan maba di Kampus Adijaya. Mau coba?
Nilaimu bagus. Kau pandai. Ikut tes bersama saja ya,
Man. Untuk uang bulanan biar saya bayarkan. Kau
cari kerja paruh waktu saja untuk bekal makanmu
setiap harinya. Bagaimana?”
Masyaallah. Itu tawaran sangat besar.
Sepulang dari rumah Bu Dessy, aku bersyukur.
Tuhan punya cara untuk menguji hamba-Nya, sejauh
mana ia bisa bertahan. Berliku, tapi selalu indah pada
akhirnya.
407
Eti Ndulia, dkk
ADA APA DENGAN PERSAHABATAN?
Khairunissa Tayeb
Sejak hari itu, aku tidak ingin lagi berteman
lagi dengannya. Hari itu ketika aku mengetahui satu
ha: ternyata temanku sendiri tidak menyukai aku
dekat dengan kekasihnya yang tak lain adalah
sahabatku sendiri. Aku kira aku sudah mengenal
sahabatku, tetapi aku salah. Banyak yang ia
sembunyikan. Dan aku tidak tahu apa pun tentang hal
itu. Lebih parahnya lagi, seseorang yang tidak sedekat
aku lebih mengetahuinya.
***
Davi Nazar Alfanshy dan Alisa adalah
sahabatku. Davi tinggal bersama ibu dan adik
perempuannya, jadi bisa kalian bayangkan
bagaimana ia menjaga sosok perempuan. Ayahnya
sudah meninggal sejak ia kelas 2 SMP. Kebaikannya
kepada Alisa melebihi kebaikannya kepadaku, tapi itu
bukan masalah bagiku. Aku sekelas dengan Davi.
Ketika aku bosan, Davilah yang selalu menghiburku.
408
Setelah Ayah Pergi
Davi sudah aku anggap sebagai kakakku, dia tahu
semua rahasiaku, juga siapa pacarku. Aku ceritakan
padanya kalau hubunganku tidak begitu asyik seperti
kebanyakan orang pacaran. Pacarku terlalu sibuk
dengan persiapan UN-nya sehingga tidak bisa lagi
meluangkan waktu untukku. Aku tidak ambil pusing.
Selama ada Davi dan Alisa, dunia akan baik-baik saja.
Aku pernah mengatakan kepada salah seorang
teman kelasku yang menanyakan hubungan kedua
sahabatku ini, kalau kami bertiga sudah berteman
lama, tidak mungkin mereka saling menyukai.
Dan benar, mereka mengkhianatiku. Namun,
aku mencoba untuk tidak peduli. Aku sudah terbiasa
melihat mereka bersenda gurau. Seharusnya aku
sadar ketika pertama kali Davi nonton berdua saja
dengan Alisa. Persahabatan yang sudah terbiasa
bertiga kini terasa hanya milik mereka berdua saja.
Aku mencoba memahami.
Suatu hari Alisa tidak ke sekolah. Aku tidak
tahu kenapa, begitu juga Davi. Sampai tiga hari
kemudian, Alisa tidak muncul-muncul juga. Aku dan
409
Eti Ndulia, dkk
Davi mulai khawatir. Aku berencana menjenguknya
bersama Davi sepulang sekolah.
Nti, aku mau beri tahu sesuatu.” Rasta, seorang
teman kelasku yang juga kenal Alisa saat SD.
“Ada apa, Ta?’
“Alisa sebenarnya tidak suka kamu dekat-
dekat Davi.”
“Alisa cerita ke kamu, Ta?”
“Iya, tadi malam Alisa chat. Katanya kamu
sekarang dekat banget sama Davi, apa pun masalah
Davi selalu kamu yang diajak cerita, bukan dia.
Padahal, pacarnya kan dia, bukan kamu.”
“Ta, Davi itu sahabatku. Dia sebenarnya tidak
pernah bercerita, aku saja yang menebaknya. Davi itu
tipe orang yang tidak mau menyusahkan orang lain,
Ta. Apalagi orang yang dia sayangi. Jadi, tidak
mungkin kan dia cerita pada Alisa?”
“Iya, Nti aku mengerti. Jangan beri tahu ini ke
Alisa ya Nti, pura-pura aja kamu tidak tahu ya?”
Kupikir Alisa sudah mempercayaiku.
***
410
Setelah Ayah Pergi
Sejak mengetahui hal itu, hari-hariku terasa
membosankan. Aku tidak mau lagi dekat dengan Davi.
Alisa pagi ini terlihat seperti biasanya. Alisa
bersikap biasa saja, dan aku pun bertingkah seolah-
olah tidak mengetahui apa-apa. Aku menjadi bukan
diriku di hadapan Alisa dan Davi. Ternyata
menyembunyikan sesuatu adalah hal sulit, apalagi
menyembunyikan perasaan pedih, itu jauh lebiih sulit.
“Jangan pernah meninggalkan sahabatmu
meskipun ia menyakitimu berulang kali.” Itu adalah
perkataan temanku semasa kecil. Aku sebenarnya
tidak ingin meninggalkan Alisa, tapi hubungan kami
bertiga sudah tidak asyik lagi. Aku seperti
pengganggu di antara mereka. Aku menjauh pelan-
pelan.
411
Eti Ndulia, dkk
MIMPI
Naziefatussiri Kau
Gorontalo 1950
Kuseka lagi peluh yang meleleh di pelipis.
Entah sudah berapa kali kulakukan hal sama. Mentari
hari ini begitu terik, tapi tidak menyurutkan
langkahku dan tiga temanku menyusuri jalan menuju
kampung kami. Kami selalu ramai-ramai jika ingin
pulang kampung.
Kampung halamanku berjarak sekitar 25
kilometer dari Kota Gorontalo, tempatku menuntut
ilmu. Setiap pekan aku harus menempuh jarak sejauh
kurang lebih 50 kilometer untuk melepas rindu
dengan kakak-kakakku dan seorang adikku, serta
mengambil perbekalan untuk sepekan di asrama.
Di sepanjang jalan yang kulewati, tampak
kebun yang ditanami pisang, singkong, pepaya, dan
paling utama jagung. Jagung di daerahku merupakan
makanan pokok selain beras. Masuk wilayah
kecamatan Telaga, di kiri kanan jalan terdapat
412
Setelah Ayah Pergi
berhektar-hektar sawah. Saat ini, padi para petani
sudah mulai menguning, menandakan sebentar lagi
panen tiba. Dalam hati pun aku berdoa, semoga hasil
panen keluargaku kali ini melimpah, agar aku bisa
mewujudkan mimpi-mimpiku.
Perjalanan pergi atau pulang ke kampung
halaman bisa ditempuh dalam waktu 5-6 jam dengan
jalan kaki. Sesekali kami dapat tumpangan roda yang
ditarik sapi atau gerobak yang ditarik kuda. Hal ini
sangat menyenangkan bagiku dan teman-teman,
karena tenaga kami manjadi sedikit irit, meski
tumpangan ini tidak selalu sampai ke tujuan akhir.
Terkadang hanya satu atau dua kilometer. Setelah itu,
aku dan teman-teman kembali melanjutkan
perjalanan lagi dengan jalan kaki. Ketika tenggorokan
mulai terasa kering, kami singgah di rumah penduduk
yang dilewati, meminta izin minum air di sumur
mereka. Bertemu tuan rumah yang baik yang
membekali buah-buahan yang tumbuh di sekitar
rumah mereka adalah hal yang kami tunggu-tunggu.
Pepaya, mangga, nenas, jambu, menjadi makanan
413
Eti Ndulia, dkk
selingan perjalan kami selain bekal makanan apa
adanya yang kami bawa.
Jalan kaki sejauh 25 kilometer bukan hal yang
berat lagi buatku dan teman-teman. Kami sudah
terbiasa. Baik panas maupun hujan. Ketika panas
matahari begitu garang, kami cepatkan langkah agar
secepatnya tiba di bawah pohon rindang. Ketika hujan
turun, kami akan mencari tempat berteduh agar tidak
basah kuyup. Hujan deras akan menyulitkan
perjalanan karena jalanan menjadi sangat becek.
Jalanan becek membuat langkah kami agak berat. Jika
begitu, kami mencari jalanan yang ditumbuhi rumput
hijau.
Kepulanganku kali ini dalam rangka meminta
persetujuan kakakku, untuk melanjutkan pendidikan
di Jawa. Memasuki wilayah Limboto, di bawah
rindangnya pohon di sepanjang jalan, angin bertiup
sesekali menerbangkan debu. Aku mulai terombang-
ambing dengan anganku sendiri. Aku takut, Kakak
tidak akan setuju. Kami tak punya apa-apa. Aku takut
menghadapi kenyataan pahit, mimpiku akan kandas
414
Setelah Ayah Pergi
di tengah jalan. Aku berusaha sebisa mungkin
melupakan mimpiku. Namun, begitu aku berusaha
melupakan, keinginan itu makin kuat.
Beduk tanda masuk salat Isya terdengar dari
surau kampung sesaat setelah aku tiba di rumah.
Kami berpisah menuju rumah masing-masing. Riuh
beberapa anak usia antara 6-12 tahun berlarian di
depan surau menunggu waktu salat. Aku bersiap
menuju surau setelah mereguk segelas air. Kakak laki-
lakiku sudah berada terlebih dahulu di masjid, karena
sejak salat Magrib tidak kembali lagi ke rumah.
Biasanya kakakku mengajar anak-anak kampung
mengaji, atau berdiskusi dengan penduduk lainnya
tentang berbagai hal Adik perempuanku juga sudah
siap-siap ke surau. Selepas salat, kami bertiga makan
malam dan langsung tidur karena mengantuk dan
capek.
Pagi menjelang subuh, Kakak
membangunkanku untuk bersiap ke surau. Kusiapkan
diri untuk salat subuh. Niatku sudah bulat. Aku harus
menyampaikan keinginanku kepada Kakak setelah
415
Eti Ndulia, dkk
salat nanti, karena aku tak punya banyak waktu. Aku
harus segera kembali ke kota Gorontalo dan
menyiapkan lagi perbekalan di asrama selama satu
pekan ke depan.
Äpa kau sudah pikirkan matang-matang?”
Kakakku bertanya tak yakin.
Aku mengangguk kuat-kuat.
“Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah
menggadaikan atau menjual sawah yang kita miliki,”
kakakku menambahkan.
Aku tertunduk menelan ludah. Aku tahu,
bahwa sawah itu satu-satunya sumber penghidupan
keluargaku setelah ayah ibuku meninggal.
Aku anak keempat dari lima bersaudara. Dua
kakak perempuanku sudah menikah dan mengikuti
suaminya ke kota lain. Aku sudah yatim piatu sejak
usia lima tahun. Sejak ayah ibuku meninggal, aku dan
adikku diasuh kakak laki-lakiku yang usianya terpaut
10-15 tahun denganku. Walaupun yatim piatu, aku
memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu.
Dalam benakku tertanam kuat bahwa ilmu
416
Setelah Ayah Pergi
merupakan bekal di dunia dan akhirat. Itulah
mengapa aku tetap semangat menempuh jalan
berkilo-kilo setiap pekan demi mewujudkan cita-cita.
Aku menengadahkan wajah, mencari kekuatan
dari tatapan mata kakakku. Aku berharap ada jalan
lain selain menggadaikan atau menjual sawah
peninggalan kedua orang tua kami.
Aku ingin mengatakan bahwa melanjutkan
pendidikan ke pulau Jawa adalah mimpiku sejak Ayah
dan Ibu meninggal. Aku ingin kehidupan lebih baik
bagi keluarga ini. Pulau Jawa punya segala hal untuk
mewujudkan itu: akses informasi luas, perpustakaan
besar dan lengkap, hal yang belum ada di Gorontalo.
Aku harus memiliki keberanian dan kekuatan untuk
mewujudkannya. Sekali lagi membangun mimpi.
417
Eti Ndulia, dkk
BAYANGAN
Fatmah Abdullah
Malam-malam, tiba-tiba aku lapar. Kulirik jam
dinding di kamarku. Pukul 10 kurang 15 menit. Aku
melangkahkan kaki ke sebuah toko dekat rumah
untuk membeli camilan. Udara begitu dingin. Tiba-
tiba, sebelum aku masuk ke dalam toko, ada
seseorang yang menyapaku dengan suara lantang,
kedua mataku tertuju pada sebuah bayangan. Tidak,
itu bukan orang, lebih menyerupai bayangan. Setelah
kuperhatikan, bayangan itu mirip denganku. Namun,
aku tidak mengenalnya. Rambutnya panjang, kulitnya
putih pucat terlihat begitu menyeramkan. Aku
melihat sekeliling, sepi. Tatapanya yang tajam
membuat bulu kudukku berdiri. Aku bergegas masuk
tanpa mempedulikannya.
Aku segera mengambil camilan favoritku dan
membayarnya. Tadinya aku ingin ke taman yang juga
tak jauh dari rumah. Aku suka menghabiskan waktu
418
Setelah Ayah Pergi
di sana. Tapi, penampakan tadi membuatku berubah
pikiran. Aku buru-buru kembali ke rumah.
Namun, sebelum sampai di halaman, hawa
dingin kembali menyerangku, seperti ada yang
mengikutiku dari belakang. Aku menoleh dan segera
mendapati bayangan itu menatapku lagi. Aku ingin
segera beranjak tapi aku tak bisa melangkahkan kaki.
Aku berkeringat dingin.
“Aku tak akan mengganggumu jika kau
menuruti permintaanku.”
“Permintaan apa?” Kuberanikan bertanya
walau sebenarnya takut setengah mati.
“Ikut denganku.” Jawaban singkat tapi
mengancam.
“Tidak! Aku tidak ingin ikut denganmu!”
“Kamu harus ikut, Kirana. Asal kamu tahu, aku
Kirani. Saudara kembarmu yang dibunuh Ayah
sewaktu kita masih kecil dulu. Kamu adalah anak
kesayangannya, bukan? Aku ingin mendapatkan
keadilan karena bagaimana pun aku juga adalah anak
kandungnya. Sama sepertimu. Kamu harus ikut
419
Eti Ndulia, dkk
denganku dan jadi sepertiku.” Ucapannya begitu
keras sehingga aku merasa sangat ketakutan dan
menutup kupingku.
“Aku tidak mau! Aku tidak ingin sepertimu.
Jika kamu saudaraku, kenapa kamu menginginkan
aku mati?”
“Maafkan aku.” Bayangan itu tertunduk. Nada
sedih terdengar dari suaranya.
“Aku hanya ingin Ayah merasakan apa yang
aku rasakan. Aku menyayangimu, Kirana. Aku tidak
ingin kamu tersakiti. Aku hanya ingin menolongmu
dan akan membuat hidupmu lebih tenang. Ikutlah
denganku.”
Aku menarik napas yang panjang sambil
menahan air mata. Rasa takutku hilang berganti
dengan rasa sayang. Ingin aku memeluknya.
“Kamu menyayangiku?”
“Tentu saja. Ikutlah denganku!”
“Kamu tidak menyayangiku!”
“Kenapa? Aku sangat menyayangimu, Kirana,
tapi kamu tidak menyadarinya.”
420
Setelah Ayah Pergi
“Bohong! Kalau kamu menyayangiku, kenapa
kamu menginginkan aku mati? Bukan begini cara
menyayangi saudara. Kamu adalah saudara yang
jahat.” Bentakku dengan kesal.
“Berhenti membentakku!” Aku terkejut. Tiba-
tiba wajahnya kembali berubah menyeramkan.
Terdapat darah yang mengalir di sudut bibirnya dan
luka di sana sini pada tubuhnya.
Aku berlari menjauhinya. Menjauhi rumah. Dia
melayang mengejarku.
Praaaaaak….
Tubuhku terasa membeku dan sakit, darah
mengalir dari luka di kepalaku. Sebelum mataku
tertutup, kulihat bayangan itu tersenyum sinis lalu
mendekatiku.
“Selamat datang di duniaku, Kirana.” Lalu, ia
kembali memperlihatkan senyumannya yang
menakutkan. Semuanya gelap.
421
Eti Ndulia, dkk
CINTA PERTAMA
D. Marshal
Setelah mengenakan seragam putih abu-abu
dan jaket hitamku, aku segera melaju menuju sekolah
dengan mengendarai motor sport pemberian ayah
pada saat ulang tahunku.
Pagi cerah untuk mengawali hari di sekolah
yang baru. Iya, aku baru dua minggu di Gorontalo,
tepatnya di Jalan Thayeb M. Gobel, Kecamatan
Sipatana, Kota Gorontalo. Sebelumnya aku tinggal di
area Blok M, Jakarta, tetapi karena ayah dipindahkan
ke Gorontalo, kami sekeluarga juga harus ikut pindah.
Aku diterima di salah satu sekolah ternama di
kota Gorontalo, SMKN 1 Gorontalo. Aku sudah sering
pindah sekolah karena pekerjaan ayahku. Jadi, aku
sudah terbiasa memperkenalkan diri. Aku adalah
siswa kelas 11 Jurusan Akuntansi dan Keuangan
Lembaga. Aku harap di sini akan mendapat sambutan
baik, karena anak akuntansi biasanya baik dan normal
semua.
422
Setelah Ayah Pergi
Selamat pagi, Anak-anak! Hari ini kita
kedatangan siswa baru." Ibu Sriharti memulai
pembicaraan di dalam kelas.
"Siap, Bu," serentak jawab siswa yang ada di
kelas.
"Asnan, silakan kamu memperkenalkan diri di
depan teman-teman!"
"Perkenalkan, nama saya Asnan Fahreza,
kelahiran Pekanbaru 14 Maret 2001, semoga kita bisa
kenal lebih dekat!"
"Ngana pe status apa cowo?" sambut salah
satu siswa perempuan yang duduk di sudut kiri
belakang kelas.
Aku mengernyit mendengar logat yang agak
asing, tapi untunglah aku punya sepupu yang sering
berbicara seperti itu. "Kalau sekarang masih free,
belum tahu nanti." Aku terkekeh. Pelajar di sini agak
terus terang juga rupanya.
Siswa perempuan di kelas bersorak
kegirangan. Hal ini sudah biasa, alasannya
menggelikan menurutku karena sebenarnya wajahku
423
Eti Ndulia, dkk
tidak terlalu tampan, mungkin ini karena aku
blasteran Melayu-Turki, jadi sedikit kearab-araban.
Tinggiku 185 cm dengan berat badan 84 kg, mungkin
ini adalah tipe idaman para gadis. Namun, aku tidak
begitu menyukai hal yang berhubungan dengan gadis
apalagi cinta, karena itu hanya buang-buang waktu.
Aku masih merasa terlalu muda untuk hal-hal seperti
itu.
Namun, semua itu berubah 180°. Takdir
mempertemukanku dengan seorang gadis manis, saat
itu sedang aku makan di kantin sekolah. Dia terlihat
lincah saat memainkan bola basket di lapangan yang
kebetulan berada di seberang kantin tempatku
makan. Ini pertama kalinya aku merasakan hal yang
sulit diungkapkan. Awalnya aku berpikir ini hanya
perasaan takjub karena permainan basketnya saja—
aku adalah kapten basket di sekolah lamaku, tapi,
sesampainya aku di rumah, aku tak bisa berhenti
memikirkannya.
Akhirnya, aku terus memperhatikan gadis itu.
Setiap waktu istirahat kugunakan untuk mencari tahu
424
Setelah Ayah Pergi
kegiatannya, mulai dari tempat di mana ia biasa
makan, sampai kelas dan jurusan apa dia. Aku pun
berusaha mencari tahu namanya.
Tanpa sadar, ternyata Alwin, teman sekelas
yang langsung kuakrabi di hari pertama bersekolah di
sini melihat gerak gerik penasaranku terhadap gadis
itu. Mungkin karena dia juga ketua kelas.
"Lagi apa? Cewek yang sedang kamu
perhatikan itu namanya Vista Lani, Kelas 11 OTKP,
banyak yang suka sama dia. Tapi semuanya dia tolak,"
ucapnya saat menepuk pundakku. Aku kaget dan
langsung pergi dengan wajah memerah sangat jelas.
Dalam hati aku senang, aku akhirnya tahu nama gadis
itu.
Malam harinya, aku mencoba mencari profil
media sosial Vista. Aku bersyukur sekali hidup di
zaman sekarang. Akhirnya aku mendapat apa yang
aku mau, mulai dari akun instagram, FB, bahkan
nomor ponselnya yang kebetulan ada di bio
instagramnya. Semua aku catat di dalam note
smartphone-ku.
425
Eti Ndulia, dkk
Ternyata dia adalah salah satu atlet basket
putri di sekolah. Aku semakin bersemangat, karena
kami memiliki hobi yang sama. Terbayang di
pikiranku saat ini, pasti seru kalau kami main basket
sama-sama. Aku buru-buru menggeleng dengan apa
yang ada di kepalaku. Kenalan saja belum.
Senin pagi, di bawah terik matahari pagi,
pembina upacara menyampaikan bahwa akan ada
perekrutan atlet basket setelah jam pelajaran
terakhir. Hatiku senang bukan kepalang. Ini
kesempatan kenal lebih dekat dengan satu-satunya
gadis yang menarik hatiku.
Ketika jam pembelajaran selesai, aku segera ke
lapangan. Walaupun tidak menggunakan seragam
olahraga, aku tetap melangkah mantap karena aku
melihat siswa lain tetap ikut. Aku melepas seragam
sehingga aku hanya mengenakan kaus putih
bergambar marsmallow.
Seleksi pun dimulai. Aku berinisiatif tidak
memperlihatkan kelihaianku mengolah si kulit
bundar berwarna oranye itu. Di akhir latihan, saat aku
426
Setelah Ayah Pergi
tengah beranjak mengambil tas dan bajuku, aku
dipanggil oleh salah satu peserta seleksi, dia
menunjuk ke arah gadis itu.
"Kak, dipanggil tuh."
What! Serius? Aku dipanggil sama gadis yang
sudah buat aku salah tingkah? Perasaan gugup
bercampur penasaran mengaduk hatiku saat
melangkah ke arahnya. Tapi, aku berusaha tetap cool.
"Hai! Kamu anak pindahan itu? Kenalan
boleh?"
Ucapan itu membuat sekujur tubuhku
mendadak meriang, sistem di otakku eror. Biasanya
pria yang mengajak kenalan, tapi kali ini gadis yang
menawarkan duluan. Aku mencoba menahan
kekakuanku.
"Iya, boleh. Kenalkan Asnan Fahreza." Aku
mengulurkan tangan.
"Vista Lani, salam kenal."
Sontak teman-teman di sampingnya bersorak
‘cie’.
427
Eti Ndulia, dkk
"Tumben kenalan dengan cowok, Vista,
biasanya juga kamu tolak? Tapi, dia memang
ganteng," ucap seorang gadis, mungkin teman
dekatnya. Muka vista pun memerah, dia langsung
mengambil bola dan menarik tanganku ke arah
lapangan sambil berkata kepada teman-temannya.
"Tidak usah dengar kata-kata mereka ya?”
Aku hanya mengangguk sambil mengikuti
langkahnya yang membawa kami sampai ke tengah
lapangan.
"Kamu baru pertama main basket?"
"Iya, baru belajar," tentu saja aku berbohong.
"Oh, ok. Nanti akan aku ajari. Coba sekarang
rebut bola ini.”
Aku pun langsung mengikuti ritme
permainannya sambil menahan diri dan berpura-pura
kesulitan.
Tiba-tiba Vista tersandung kakinya sendiri dan
terjatuh.
Sial atau keberuntungan, tapi ia jatuh tepat di
pelukanku. Kami kemudian bertatapan, jantung dan
428
Setelah Ayah Pergi
waktuku terasa berhenti selama beberapa saat. Ia
menatapku, rasa takut dan malu terlihat sangat jelas
di matanya.
Sorak teman-teman basketnya pun
membuyarkan adegan indah tak terskenario kami. Ia
kemudian berdiri sambil berkata marah.
"Kenapa kamu peluk-peluk? Kita kan baru
kenal!” Ia kemudian mengambil bola dari tanganku
dan langsung berlari ke tempat teman-temannya. Ia
berubah drastis, yang tadinya sangat ramah, menjadi
marah. Kenapa laki-laki selalu salah? Padahal
kejadian tadi tak disengaja.
Sesampainya di rumah aku baru teringat. Aku
belum sempat meminta nomor ponselnya. Kalau aku
langsung chat dia, pasti ketahuan kalau aku
memantaunya selama ini.
Tepat pukul 21:45, ponselku berdering, nomor
baru. Aku pikir dari teman kelas sehingga aku
mengabaikannya. Aku pun melangkahkan kaki
menuju dapur untuk mengambil minuman botol,
ketika aku kembali ke kamar, aku melihat ada pesan
429
Eti Ndulia, dkk
pemberitahuan dari nomor tak dikenal tadi. Ternyata
yang menelpon adalah Vista. Hatiku langsung gugup,
karena kejadian di lapangan tadi. Baru saja aku ingin
membalas, ponselku berdering lagi.
“Hallo, Asnan? Maaf sekali soal yang tadi ya,
aku malu sekali tadi,” ucapnya langsung dengan nada
memelas. Seketika perasaan gugupku hilang, hatiku
kembali campur aduk dengan perasaan aneh yang
menyenangkan.
"Santai sajalah, tidak apa-apa.”
“Begini saja, besok kita makan di kantin ya,
sebagai permintaan maafku. Tidak boleh ditolak!”
Sebelum aku mengiyakan, ia sudah menutup
sambungan telepon. Nggak bakalan nolak kok, Vis,
gumamku dalam hati.
"Rapi banget, Bang? Mau ke sekolah atau ke
mana?”
"Ke sekolah, Ma, udah ganteng belum?"
gurauku bertanya.
"Udah ganteng kok," jawab mama sambil
merapikan jaketku.
430
Setelah Ayah Pergi
Aku pun lekas pergi ke sekolah. Tak sabar
bertemu Vista.
Bel istirahat berbunyi, aku langsung bergegas
melangkah ke tempat biasa Vista makan. Belum
sampai ke depan pintu kelasnya, dia sudah berdiri
tepat sana. "Kita sama-sama ke kantin,” ia langsung
menarik tanganku.
Sepanjang jalan orang-orang terus
memperhatikan kami. Hal ini membuatku tidak
nyaman. "Kok orang-orang ngeliatin kita terus ya?
Salah ya kalau kita gandengan di sekolah?" "Hahaha,
mungkin mereka penasaran dengamu,” jawabnya
sambil tertawa.
"Mau pesan apa?” Ujarnya saat kami tiba di
kantin.
“Nasi goreng aja, minumnya Pocari Sweat.”
"Oke." Ia menulis pesanan lalu
menyerahkannya ke pelayan kantin.
Kami makan tanpa berbicara sama sekali,
keadaan ini sungguh berbeda dibanding saat kami
431
Eti Ndulia, dkk
menuju ke kantin tadi. Aku mulai berpikiran macam-
macam.
Setelah selesai makan, Vista berkata dengan
wajah memerah.
"Asnan, maaf sebelumnya, aku tahu yang aku
lakukan ini salah, tapi aku terpaksa.”
“Terpaksa kenapa? Aku bingung.
"Begini, aku bilang ke teman-teman, kamu
nembak aku tadi malam,” ucapnya sambil menggigit
jari telunjuknya. Sejenak dunia berhenti untuk kedua
kalinya, jantungku tak berdetak sama sekali, aliran
darahku tidak normal. Ini aneh. Tapi, ini pertama
kalinya aku merasa seperti mendapat berita bahwa
surga sudah resmi menjadi milikku.
"Aku nggak salah dengar kan?"
"Maaf ya. Gara-gara saya, image kamu jelek."
"Nggak kok, aku nggak marah, malahan aku
senang banget!" Aku memegang tangannya dengan
tatapan berbinar. Tanpa sengaja aku keceplosan
mengucapkan kata itu. Wajah Vista kembali memerah
432
Setelah Ayah Pergi
saat aku mengucapkan kata-kata tadi. Sesegera
mungkin aku melepaskan genggamanku.
Keaadaan seketika hening, Beberapa saat
kemudian bel pelajaran berikutnya berbunyi. " Emm,
udah bel. Kamu nggak masuk, Vis?" tanyaku untuk
membuyarkan keheningan.
"Iya, aku pergi dulu ya?” Ia segera berdiri dan
melangkah cepat.
"Vista! kita ketemuan di kelasmu pas pulang
ya?"
“Oke. Bye,” ucap Vista sambil melambaikan
tangan.
Bel pulang pun berbunyi. Aku segera menuju
kelas Vista. Saat sampai di depan kelasnya, aku
kembali terpana pada sosok yang telah membuat
waktuku berhenti dua kali. Rambutnya yang terurai,
matanya coklat, wajahnya yang mulus putih.
Sempurna adalah kata tepat untuk menggambarkan
gadis ini.
Aku pun mengantarnya pulang,
"Vista?"
433
Eti Ndulia, dkk
"Iya?"
"Begini, kenapa kita tidak buat sandiwara kita
jadi betulan?" Meski jantungku hampir copot saat
mengucapkan itu, aku berusaha setenang mungkin.
"Hah? Serius? Kamu kan belum kenal aku.
Belum tahu sifat-sifatku.”
"Iya sih, kenapa tidak kenalnya pas pacaran
saja?"
"Begaimana ya?”
Hatiku seperti menjadi abu saat kudengar
jawaban ragu dari Vista.
"Aku sih tidak memaksa. Jadi teman pun
jadilah" ucapku lesu.
"Baiklah, kita coba saja dulu.”
"Jadi kamu mau?”
"Iya."