jurusan tarjamah fakultas adab dan humaniora universitas...
TRANSCRIPT
i
PENDEKATAN SOSIOKULTURAL ATAS TEKS TERJEMAHAN:
TELAAH DOMESTIKASI DAN FOREIGNISASI TERHADAP BUKU
303 PERCAKAPAN ARAB-INDONESIA-INGGRIS
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh
Nasrullah Nurdin NIM: 1070-2400-2444
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 23 Juni 2011
Nasrullah Nurdin
iii
PENDEKATAN SOSIOKULTURAL ATAS TEKS TERJEMAHAN:
TELAAH DOMESTIKASI DAN FOREIGNISASI TERHADAP BUKU
303 PERCAKAPAN ARAB-INDONESIA-INGGRIS
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh
Nasrullah Nurdin NIM: 1070-2400-2444
Pembimbing
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag NIP: 19690415 1997031 004
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENDEKATAN SOSIOKULTURAL ATAS TEKS TERJEMAHAN: TELAAH DOMESTIKASI DAN FOREIGNISASI TERHADAP BUKU 303 PERCAKAPAN ARAB-INDONESIA-INGGRIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 23 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Penguji, Sekretaris, Dr. Ahmad Saehuddin, M.Ag Moh. Syarif Hidayatullah, M. Hum NIP: 19700505 20003103 NIP: 11979 1229 200501 1004
Anggota, Pembimbing, Penguji,
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag NIP: 19690415 1997031 004 NIP: 19550703 198603 1002
v
ABSTRAK Nasrullah Nurdin. NIM: 1070-2400-2444 "Pendekatan Sosiokultural atas Teks Terjemahan: Telaah Domestication dan Foreignization terhadap Buku 303 Percakapan Arab-Indonesia-Inggris." Di bawah bimbingan Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.
Penerjemahan bukan hanya sekadar mengalihbahasakan bahasa sumber (Bsu) ke dalam nuansa pembaca sasaran (Bsa), melainkan memberikan pesan (message) yang dapat dipahami penikmat buku dengan baik. Sebuah hasil terjemahan yang baik dan benar, akan menghasilkan kenikmatan tersendiri tatkala dibaca. Namun, bila hasil terjemahannya bermasalah, pembaca pun kurang nyaman membacanya, dengan istilah lain tidak easy reading. Meskipun begitu, kerenyahan dalam menikmati hasil dari proses penerjemahan disesuaikan oleh siapa pembaca (audience design) dan untuk tujuan apa sebuah teks dialihbahasakan (need analysis). Dengan kata lain, disesuaikan dengan objek dan budaya pembacanya.
Dalam meneliti kajian ini, Penulis menggunakan jenis atau metode riset kualitatif dengan analisis deskriptif-analitis, yang bersifat humaniora, dan berbasis studi kepustakaan. Dalam menghimpun sumber data, Penulis merujuk sumber primer dan bahan sekunder yang dianggap perlu demi pengayaan penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi teks/document research. Observasi teks dalam hal ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu teks berupa data primer berupa "303 Percakapan Arab-Indonesia-Inggris" karya Djalinus Sjah, dkk, dan data sekunder misalnya buku-buku seperti teori-teori penerjemahan, konsep seputar kebudayaan, wawasan mengenai domestikasi dan foreignisasi, kamus-kamus terkait (klasik-kontemporer), dan sekelumit tentang tata bahasa baik Arab maupun Indonesia, sampai searching engine di internet.. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pelengkap ataupun pembanding.
Dalam penelitian yang Penulis lakukan ini, terdapat beberapa point yang dapat dirumuskan; 1) sang penerjemah melakukan teori domestikasi dan foreignisasi. 2) Pada aplikasi teorinya, lebih mengedepankan hasil terjemahan yang bermuara pada budaya setempat atau melokalisasikan budaya asal pada budaya kita. 3) konsep foreignisasi yang tetap mempertahankan bahasa penulis asli sedikit sekali. 4) penerjemahan yang dilakukan oleh penyusun buku 303 percakapan ini cukup baik, namun begitu banyak memiliki ejaan yang tidak sesuai dengan EYD dan juga dari segi morfo-sintaksis. 5) dalam penelaahan buku ini, Penulis menemukan keganjilan dalam aspek gaya bahasa dan strukturisasi kalimat yang kurang tepat
.
vi
KATA PENGANTAR
Salju telah cair, dan kehidupan telah terjaga dari kantuknya. Jiwa ini telah
siuman dan tersungkur ke haribaan Allah SWT, seraya memanjatkan ribuan puji
dan syukur yang terbungkus dalam kata Alhamdulillah. Dialah dzat yang
mengatur keseimbangan alam beserta isinya melalui shifat, asma’, dan af’al-Nya.
Dengan pelukan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Jurusan Tarjamah Fakultas
Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini
dapat dirampungkan.
Curahan shalawat serta salam senantiasa Penulis panjatkan kepada
manusia sempurna, yang memancarkan sifat-sifat Ilahi dari setiap gerak-gerik dan
petuahnya. Dialah Nabi Muhammad SAW. Tahukah teman, betapa serakahnya
diri penulis terhadap syafa’atnya. Melalui perjuangan beliaulah, kita dapat
menghirup dan menerjemahkan makna kehidupan yang dalam ini. Semoga kita
semua mendapat syafa’at-Nya di yamil ma’ad. Amin.
Salam ta’dzim dan rasa cinta kasih terhaturkan kepada dua inspirator
gemilang Penulis yaitu Ayahanda H. Nurdin Jasan dan Ibunda Hj. Syamsiah
Saman yang benar-benar menyentuh sanubari Penulis agar selalu beribadah,
belajar, dan bekerja atas nama Allah dan Rasul-Nya, doa keduanya mendorong
gerak tubuh ini dalam jalan yang diridhai-Nya. Keduanya dengan sentuhan
keikhlasan dan ketenangan hati mendidik, membesarkan, dan memohonkan doa
untuk Penulis sejak 23 tahun silam. Semoga kedua orangtua Penulis dalam
vii
naungan Allah SWT, diberikan panjang umur, rezeki yang halal, banyak lagi
berkah, amin. Babeh dan nyak, akhirnye anaz wisuda sarjana ke-84, 17 Juli ‘11.
Doa dan sayangku kepada dua adikku yang cantik nan cerdas; adinda Siti
Robiah al-Adawiyah yang saat ini sedang kuliah di STAI Darun Najah, Ulujami,
dan adinda Siti Qatrun Nada, yang selalu memberikan inspirasi dan senyum lepas
kepada Penulis. Jangan pada nakal ya de, doain aa ye, berkat merekalah penulisan
skripsi ini tergerak dengan cepat dan mengalir dengan deras.
Dalam sekapur sirih ini, izinkan Penulis menghaturkan ekspresi terima
kasih kepada:
1) Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Jakarta.
2) Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
3) Ketua dan Sekretaris Jurusan Tarjamah, Dr. H. Ahmad Saehudin, M.Ag.,
dan Moh. Syarif Hidayatullah, M. Hum. Untuk keduanya, Penulis
mengungkapkan rasa terima kasih atas arahan dan pinjaman literaturnya.
4) Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, selaku pembimbing skripsi, yang telah
mengorbankan waktu di tengah kesibukannya. Beliau sangat sabar dalam
membimbing Penulis, penuh kehati-hatian, namun tetap berkualitas
wejangannya. Dibimbing beliau, bukan hanya mengenal low profile-nya,
tapi juga intelektualitasnya memang dahsyat. Penulis memotret beliau
sebagai insan yang never ending struggle.
5) Tak lupa kepada Khadim Ma’had High Institute 4 Hadith Sciences Darus
Sunnah al-mukarram Bapak Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, MA,
beliau selalu menginspirasi Penulis untuk terus menggerakkan daya nalar
viii
dan selalu autokritik dalam sebuah tulisan. Menulis, menerjemah, dan
“mengedit” santri adalah serpihan dari good personality beliau yang masih
terekam selama mondok di Darsun, hingga kini. Beliau memiliki the
power of writing, di samping ketawadhuannya. Mohon doakan santrimu
yang kurang giat ya Murabbi ruhana.
6) Ucapan terima kasih tersampaikan kepada segenap dosen Jurusan
Tarjamah yang telah mendidik dan mengajarkan Penulis beraneka ragam
ilmu pengetahuan bahasa, budaya, sastra, dan terjemah. Di antaranya
adalah Prof. Dr. KH. Ahmad Satori Ismail., Prof. Dr. H. Rofi‘i., Dr.
Zubair, M.Ag., Dr. Muhamad Yusuf., MA., Dr. Abdul Chair, MA., Dr. H.
Ismakun Ilyas, M.A., Drs. Ikhwan Azizi., MA., Irfan Abu Bakar, M.A.,
Ibu Karlina Helmanita, M.A., Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag., Drs.
Ahmad Syatibi, M.Ag., Dra. Faozah, MA., dan Ibu Lili Fakhriyah yang
mensejahterakan masa studiku. Mereka benar-benar “sang pencerah” yang
telah menerangi hati kami akan seluk beluk dunia terjemahan. Exclusively
4 Miss Karlina yang di sela-sela penulisan riset ini men-support Penulis.
7) Kepada teman-temanku yang smart Jurusan Tarjamah angkatan 2007,
Syukron Buluk, Hilman, Rido Kondor, Reza, Kojek, Arif Darmawan,
Khoas, Ani, Ismi, Rahmawati, Syifa, Farida, Aisyah, Sa’dah, dan juga
teman-teman tarjamah yang lain, Penulis berterima kasih atas segala
kejasamanya, keep smile yee. Tak lupa K Tatam, K Rasyid, dan Mas
broww Sani yang telah membantu Penulis dalam sharing kebahasaan,
translating, editing, dan digital printing.
ix
8) Kawan2 di Ponpes Darus Sunnah United’s ’06 yang menjadi jembatan
keilmuwan saat berdiskusi tentang hadis, bahasa, sastra, dan budaya.
Semoga kita semua wahai awak Darsun menjadi Ulama hadis berkaliber
nusantara, bahkan kalau perlu internasional. Amieen.
9) Temen2 kosan di Kampung Utan, Masjid Baiturrahim, Fadlan Mahasiswa
Pascasarjana UMJ, Mas Al sang akuntan, Nandar FITK UIN, Ibing dan
Yuda yang banyak berbagi tanda tawa, ayoo maen futsal lagi, coy..
10) Penulis juga kirimkan rasa terima kasih kepada teman-teman Basecamp sri
makmur, my friends di BSI Adab Yasir, Hendri, serdadu-serdadu BEMF
Adab periode 2010-2011, seluruh angkatan yang tidak bisa disebut satu
per satu, yang selalu menemani Penulis dalam mengarungi hidup dan
kehidupan di UIN Jakarta. Yakusa, mas broww.
11) Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis
dalam perjumpaan di alam ini, termasuk teman-teman KKS di Jombang
’10 dari Fakultas Syari’ah, FDI, Adab, Ushuluddin, dan Saintek, maaf
tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu.
Harapan sepenuh hati kepada pemegang tampuk jiwa ini, Allah SWT,
semoga karya ilmiah yang sangat sederhana ini bisa bermanfaat bagi peminat
penerjemahan khususnya penerjemahan yang berkaitan dengan aspek
sosiokultural. Pepatah Arab menuturkan: (Idza tamma al-amru, baada naqsuhu,
bila suatu perkara telai selesai, pasti ada saja sisi kurangnya). Oleh karena itu,
kritik konstruktif dan saran-saran dari semua khayalak pembaca sangat dinantikan
demi menyempurnakan skripsi ini. Encang-encing, nya’-babeh, saudare-saudare,
x
anaz, anak Betawi tulen wisuda loch.. calon Gubernur DKI Jakarta di masa
mendatang amien.. semoga Penulis dalam pelukan rahmat dan taufik-Nya.
Sebagai kalimat pamungkas, Penulis memanjatkan doa kepada “Sang Pencerah”
sejati, Allahu Rabbuna:
ائلني آمني يا جميب الس... وفقنا اهللا وإياكم إىل طريقه القومي
Jakarta, 20 Juni 2011
Penulis
Nasrullah Nurdin, Lc., S.S
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke
dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
T ط ا
Z ظ b ب
‘ ع t ت
Gh غ ts ث
F ف j ج
Q ق h ح
K ك kh خ
L ل d د
M م dz ذ
N ن r ر
W و z ز
xii
H ة s س
` ء sy ش
Y ي s ص
d ض
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
---- a Fathah
---- i Kasrah
----- u Dammah
B. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي--- ai a dan i
و--- au a dan u
xiii
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
----ا/ي â a dengan topi di atas
ي---- î i dengan topi di atas
و--- û u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan
al- darûrah, demikian seterusnya.
xiv
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang
sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata
sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh
no.3)
No. Kata Arab Alih Aksara
Tarîqah طریقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyah الجامعة اإلسالمیة 2
wihdat al-wujûd وحدة الوجود 3
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat,
dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh
kapital.
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI ................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. ............................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN... .............................................................. iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 4
D. Tinjauan Pustaka ................................................................ 5
E. Metodologi Penelitian ....................................................... 6
1) Metode dan Jenis Penelitian ........................................... 6
2) Teknik Pengumpulan Data ............................................. 6
3) Teknik Penulisan ............................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 9
xvi
BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Konsep Umum Penerjemahan .............................................. 12
1) Definisi Terjemahan .......................................................... 12
2) Metode Penerjemahan ....................................................... 14
3) Perangkat-perangkat Menjadi Penerjemah ....................... 23
B. Gambaran Umum Kebudayaan ......................................... 25
1) Pengertian Kebudayaan .................................................... 21
2) Wujud dan Unsur Kebudayaan ........................................ 28
3) Aspek Sosiokultural terhadap Penerjemahan ................... 31
4) Implikasi Budaya dalam Penerjemahan ........................... 33
5) Makna dan Prosedur Ekuivalensi Budaya......................... 35
BAB III
WAWASAN SEPUTAR DOMESTIKASI DAN FOREIGNISASI
A. Definisi Ideologi dalam Penerjemahan ................................ 42
B. Posisi Ideologi ................................................................... 45
1) Domesticating Translation ............................................ 46
2) Foregnizing Translation .................................................. 49
BAB IV ANALISIS HASIL TEMUAN
A. Telaah Penerjemahan Domestikasi .................................... 53
B. Telaah Penerjemahan Foreignisasi ..................................... 56
xvii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 59
B. Saran-saran/Rekomendasi ................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA
PENDEKATAN SOSIOKULTURAL ATAS TEKS
TERJEMAHAN: TELAAH DOMESTIKASI DAN
FOREIGNISASI TERHADAP BUKU
303 PERCAKAPAN ARAB-INDONESIA-INGGRIS
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh
Nasrullah Nurdin NIM: 1070-2400-2444
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H./2011 M.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara seputar penerjemahan, maka secara tak langsung kita akan
menyentuh persoalan bahasa. Dalam konteks penerjemahan di sini adalah bahasa
Arab. Sebagaimana yang kita maklum, bahasa Arab memiliki peranan yang amat
besar dalam proses peradaban dan kebudayaan. Saat ini, bahasa Arab sudah resmi
menjadi bahasa kedua internasional dan merupakan salah satu dari kurang lebih
3500 bahasa di dunia dan satu di antara enam bahasa resmi internasional selain
Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Cina, dan Arab.1
Pada pertengahan abad ke-19, bahasa ini telah memasuki fase baru dalam
perkembangannya. Ada berbagai hal yang menunjukkan bahwa bahasa Arab telah
memainkan perannya sebagai pembawa ide-ide modern dan teknologi. Bahasa
Arab berada pada pengaruh tetap kebudayaan. Sebagai hasil kontak yang tetap ini,
bahasa ini telah meminjam beberapa kata atau menyerap istilah, ide, dan konsep
dari bahasa lain. Akademi-akademi di Kairo, Damaskus, Baghdad, dan Amman
aktif menstandarisasikan bahasa Arab dan memasukkan istilah-istilah asing dan
konsep baru ke dalam bahasa Arab (arabisasi atau lebih dikenal dengan konsep
ta'rib). Karenanya, proses arabisasi atau memungut bahasa asing dengan
perubahan seperlunya untuk disesuaikan dengan pola morfologi dan fonologi
1 Penjelasan dalam M. H Bakalla, Judul Asli: Arabic Culture Through Its Language, and
Literature, alih bahasa oleh Team Penerbit dengan judul Pengantar Penelitian Studi Bahasa Arab,
(Jakarta: PT. Hardjuna Dwitunggal, 1990), cet ke-1, h. 7-8.
2
bahasa Arab bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, ada sejumlah buku yang ditulis
lebih dari 1000 tahun yang lalu di mana isinya adalah kata pinjaman dari bahasa
Parsi dan bahasa lainnya, misalnya kata pinjaman hatif yang berangsur-angsur
berubah untuk menggantikan kata telephone.2
Menerjemah bukanlah semata-mata kegiatan dalam mentransfer maksud
(meaning) atau masalah pengalihan bahasa (linguistic transfer) dari sebuah
naskah asal ke dalam bahasa penerima, melainkan juga harus memecahkan
persoalan mengenai padanan (equivalence) dan perbedaaan kultural antar dua
bahasa yang melatarinya. Penerjemahan merupakan sebuah kerja yang amat
kompleks, seperti pengalihan lintas budaya (crosscultural transfer) dan konteks
situasi (context of situation).3 Di samping itu, tak kalah urgennya juga
permasalahan untuk siapa dan untuk apa kita menerjemahkan. Sebelum
menerjemahkan sebuah teks, seorang penerjemah harus mengetahui untuk siapa
(audience design) dan untuk tujuan apa (needs analysis) dia menerjemahkan.
Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat diabaikan dalam
menerjemahkan karena merupakan proses awal dalam menetukan metode
penerjemahan yang akan dan harus digunakan.
Hoed mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere bahwa apa pun
tujuannya, setiap reproduksi terjemahan selalu dibayangi oleh ideologi tertentu.
Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang betul-salah
dan baik-buruk dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik
2 Ibid, h. 16. 3 Halliday, M A K dan Raquaiya Hasan, Language, Context, and Text: Aspects of
Language in a Social-Semiotic Perspective. (Victoria: Deakin University Press, 1986), h. 5-6.
3
bagi masyarakat pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai
masyarakat tersebut.
Menurut Venuti (1995), seperti yang dikutip Benny Hoed, terjemahan
yang baik dan benar adalah yang sesuai dengan kebudayaan atau cita rasa
masyarakat pembaca. Pesan (message) tersebut harus dikemas dan disampaikan
penerjemah dengan bahasa yang sesuai dengan norma serta budaya pembaca
bahasa sasaran. Inilah yang dinamakan teori domestication. Adapula penikmat
buku terjemahan di dalam suatu masyarakat yang menginginkan budaya (culture)
yang terkandung dalam Bsu tetap dipertahankan, tidak dialihbahasakan.
Kemudian teori ini lebih dikenal dengan foreignization. 4
Berangkat dari problem inilah, Penulis tertarik sekali mengkaji lebih
dalam tentang sejauh mana posisi dan signifikansi domestikasi dan foreignisasi
dalam warna-warni dunia penerjemahan. Hal ini cukup beralasan, mengingat
tingkat kesulitan dan suasana budaya yang menghiasi teks sumber yang memiliki
style Arab hampir mustahil sama persis hingga dapat dialihkan secara sempurna.
Oleh karena itu, setiap pengalihbahasa harus membangun orientasi kerja
terjemahan yang makna oriented agar enak dikunyah oleh publik.
Adapun judul penelitian yang akan Penulis teliti ini bertemakan, "Analisis
Sosio-Kultural atas Teks Terjemahan: Telaah Domestication dan
Foreignization terhadap Buku 303 Percakapan Arab-Indonesia-Inggris".5
4 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya, 2006), cet ke-1, h. 83. 5 Salah satu alasan primer Penulis mengangkat tema buku ini ialah buku tersebut best
seller dan telah mengalami cetak ulang sampai cetakan ke-15 tahun 2002. Buku yang bercorak
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1) Pembatasan masalah
Penulis bermaksud menelisik lebih dalam tentang penerapan konsep
domestikasi dan foreignisasi dalam buku 303 Percakapan Arab-Indonesia-Inggris
yang disusun oleh Djalinus Sjah, dkk dan dikerucutkan kajiannya dalam satuan
lingual yang berbentuk kata, frasa, klausa atau kalimat.
2) Perumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diurai adalah: apakah teori
domestikasi dan foreignisasi dipakai dalam buku tersebut?
C. Tujuan/Manfaat Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah yang sudah disinggung dan
diidentifikasikan oleh Penulis, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan,
antara lain:
1) Memberikan sumbangan penelaahan atas unsur budaya dan aplikasi
pendekatannya dalam studi penerjemahan.
2) Mengetahui kompetensi penerjemah dalam menyelami lautan teks
Arab yang digenangi konteks budaya.
conversation ini merupakan karya team yang ditulis dan digarap oleh tenaga-tenaga ahli dari IKIP
Jakarta (sekarang UNJ Jakarta) yang sudah berpuluh-puluh tahun menimba ilmu di negara-negara
Timur Tengah. Pendahuluan oleh Penerbit Mutiara Sumber Widya.
Meskipun begitu, dalam pengamatan penulis, ada sejumlah terjemahan dalam buku
tersebut yang kurang akurat dan mengganjal dalam rasa kebahasaan (dzauqul lughah) penulis.
Dan inilah yang kemudian men-support Penulis untuk lebih mengkajinya lebih dalam.
5
3) Mengetahui kenyamanan pembaca (easy reader), berorientasi pada
readability (faktor keterbacaan) dan tingkat keberterimaan
(acceptability) ketika menikmati hasil produk terjemahan.
Adapun manfaat yang bisa direngkuh dari hasil riset ini terbagi pada aspek
teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran umum (general picture) seputar dunia penerjemahan dan
memberikan kontribusi ilmiah terkait analisis teks terjemahan yang digenangi
lautan budaya. Adapun secara praktis, hasil riset ini semoga dapat menambah
informasi dalam spektrum yang sangat memadai mengenai seluk-beluk
penerjemahan bagi para pengkaji, pemerhati, dan praktisi penerjemahan. Dan
dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa Tarjamah, atau peneliti lain sebagai
bahan pertimbangan guna mengembangkan penelitian yang lebih terinci dan
mendalam.
D. Tinjaun Pustaka
Dalam penulisan apa pun seharusnya memang tidak terlepas dari tinjauan
pustaka atau kajian terdahulu agar tidak ada repetisi pengetahuan dan sebagai
penanda bahwa tulisan baru ini bukan merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan
lama. Sebelum memulai penulisan skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan
pustaka. Untuk sejauh ini, Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait
dengan penerjemahan dan bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi
yang terdapat di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, tempat Penulis
menggali ilmu.
6
Dalam pantauan Penulis, penelitian tentang permasalahan menyangkut
studi budaya ini bukanlah yang perdana dikarenakan sudah ada yang
mengulasnya, yaitu Siti Marwiyah dengan judul Skripsi "Wawasan Budaya dalam
Penerjemahan (Analisis Polisemi kata Syaikh dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa
Indonesia)" Tahun 2006 M/1427 H.
Namun, ada point-point yang cukup mencolok yang perlu digarisbawahi
dari penulis sebelumnya, yakni tidak menyentuh konsep-konsep domestikasi dan
foregnisasi dalam aspek kebudayaan. Faktor inilah yang memicu adrenalin
Penulis untuk menguak kedua pendekatan tersebut, dan karenanya pula, inilah
yang membedakan kajian ini dengan penelitian sebelumnya. Dan penulis
berkesimpulan bahwa riset yang dibahas ini sangat baru, sehingga ada dinamisasi
pengetahuan yang lebih mencerahkan dan tentunya dapat dilanjutkan oleh siapa
saja yang datang berikutnya untuk mempertajam pembahasan yang sudah Penulis
angkat dengan pisau analisis yang lebih tajam.
E. Metodologi Penelitian
1) Metode dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, Penulis menggunakan metode deskriptif-
analitis yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang
akan diteliti. Setelah itu, Penulis menyingkap masalah tersebut dengan data yang
ada dalam kerangka teoritikal domestikasi dan foreignisasi sehingga tujuannya
7
dapat tercapai. Adapun jenis riset ini merupakan metodologi penelitian kualitatif6
yang bersifat humaniora, berbasiskan data kepustakaan, dengan kata lain
menempuh teknik studi kepustakaan (library reaserch) atau survey literatur
tentang gambaran umum terjemah dan budaya secara umum. Dengan begitu,
pendekatan ini akan mempermudah proses analisis dalam skripsi ini.
2) Teknik Pengumpulan Data
Dalam menghimpun sumber data, Penulis merujuk sumber primer dan
bahan sekunder yang dianggap perlu demi pengayaan penelitian ini. Pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi teks/document research.
Observasi teks dalam hal ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu teks berupa data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis,
sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer
sekaligus dapat dijadikan bahan pelengkap ataupun pembanding.
a. Data Primer (primary-sources) yaitu, teks terjemahan buku "303
Percakapan Arab-Indonesia-Inggris" karya Djalinus Sjah, dkk.7
6 Bogdon dan Taylor (1975), seperti yang dikutip Rahmat Kriyantono, menyatakan bahwa
metode kualitatif adalah sebagai sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati menyangkut
pokok permasalahan. Maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
penelitian kualitatif adalah sebuah riset yang tidak mengutamakan besar atau banyaknya populasi
atau sampling. Riset ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui
pengumpulan data. Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 58. 7 Mengenai biografi penulis buku ini, Peneliti tidak menemukannya. Karenanya, pada
Bab III tidak dibahas biografi dan sepak terjang keilmuan para penulis buku tersebut. Peneliti
membahas seputar domestikasi dan foreignisasi.
8
b. Data Sekunder (secondary-sources) yaitu, berupa buku-buku dan tulisan
lain berkaitan dengan masalah yang menjadi objek studi ini, misalnya buku-buku
seperti teori-teori penerjemahan, konsep seputar kebudayaan, wawasan mengenai
domestikasi dan foreignisasi, kamus-kamus terkait (klasik-kontemporer), dan
sekelumit tentang tata bahasa baik Arab maupun Indonesia, sampai searching
engine di internet. Data dianalisis dengan merujuk pada content analysis
(menganalisis isi pesan/teks terjemahan) yang ditampilkan penyusun dalam buku
tersebut. Pengolahan data dalam penelitian skripsi ini adalah dengan teori
kontekstual yaitu makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis
pemakai bahasa tertentu. Pengumpulan datanya dengan cara selective coding,
yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai dengan topik pembahasan
terhadap semua data.
3) Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan riset ini, Penulis mengacu kepada “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh
Center for Quality Development and Assurance (CeQDA UIN Jakarta) tahun
2007. Dan teori analisis yang dipakai adalah pendekatan sosio-kultural yang lebih
melihat pada sebuah hasil terjemahan itu dipakai dan sesuai (relevan) dengan
konteks kekinian.
9
F. Sistematika Penulisan
Sistematika ini merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan
penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan pertama
dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab-bab selanjutnya.
Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dan gambaran yang
utuh dan jelas tentang isi penelitian ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan
disusun dalam sebuah sistematika pembahasan yang teratur, di mana skripsi ini
secara keseluruhan terdiri dari lima bab, sebuah bab pendahuluan dan tiga bab isi,
kemudian ditutup dengan sebuah bab penutup yang memuat kesimpulan
penelitian ini.
Agar penelitian ini dapat terarah dan sistematis, berikut ini langkah-
langkah yang akan Penulis lakukan sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis menjelaskan latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan signifikansi
penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Karena penelitian ini bersifat ilmiah, maka perlu diadakan tinjauan pustaka
dengan tujuan untuk memposisikan studi ini di antara studi-studi terkait lainnya
yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini, selanjutnya dijelaskan
juga mengenai kekhususan penelitian ini. Setelah jelas posisi dan kekhususan
penelitian ini, lalu Penulis menguraikan kerangka teori dan metode penelitian
yang akan Penulis gunakan untuk menyelesaikan penelitian ini. Bab ini
merupakan kerangka yang menjadi rujukan penulisan bab berikutnya.
10
Bab II merupakan pembahasan menyangkut teori penerjemahan. Pada bab
ini akan dikupas mengenai konsepsi budaya dan unsur-unsurnya, aspek sosio-
kultural terhadap penerjemahan, dan hubungan antara budaya dan bahasa. Di sini,
Penulis juga menyinggung persoalan terkait makna ekuivalensi budaya dan
implikasinya dalam dunia penerjemahan sehingga penelitian ini memperoleh hasil
yang maksimal dan tujuan dari penelitian ini akan tercapai. Pendekatan atau aspek
sosio-kultural inilah yang Penulis jadikan sebagai alat analisis pada Bab IV.
Bab III akan dikupas secara mendalam seputar domestikasi dan
foreignisasi. Dalam bab ini, Penulis membahas seberapa besar posisi dan
pengaruh keduanya dalam ranah penerjemahan. Kedua teori ini merupakan dua
kutub penerjemahan yang bersifat makro. Teori inilah yang menjadi pisau analisis
dalam penelitian skripsi ini. Dengan demikian, dapat diketahui nantinya pada bab
selanjutnya apakah sang penyusun buku 303 percakapan itu lebih banyak
menggunakan teori domestikasi ataukah foreignisasi.
Bab IV adalah inti dari penelitian ini. Pada bab ini, Penulis berbicara
mengenai ciri-ciri dan mengklasifikasikan mana kategori terjemahan domestikasi
dan foreignisasi. Pengelompokkan itu dalam bentuk frasa, klausa, dan kalimat.
Dalam bab keempat ini, Penulis akan mengeksplorasikan kerumitan-kerumitan
dalam buku itu, sehingga penikmat buku ini akan lebih jelas dalam memahami
kata-kata yang termaktub di dalamnya.
Bab V merupakan penutup atau bab akhir. Penulis memaparkan
kesimpulan yang merupakan jawaban dari perumusan masalah dalam penelitian
11
ini. Dalam bab pamungkas ini berisikan kesimpulan (natijah) atau rekomendasi
dan saran-saran konstruktif (al-naqd al-bina'i).
12
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Konsep Umum Penerjemahan
1) Definisi Penerjemahan
Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah8 diambil dari bahasa Arab,
tarjamah.9 Bahasa Arab sendiri mengadopsi istilah tersebut dari bahasa Armenia,
turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti
orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.10
Penerjemahan bukanlah semata kegiatan menggantikan teks bahasa
sumber (TSu)11 ke dalam teks bahasa sasaran (TSa) melainkan perlu dipandang
8 Ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan dalam kaitan istilah penerjemahan,
terjemahan, penerjemah, dan juru bahasa. Kata dasar terjemah yang berasal dari bahasa Arab
tarjamah di atas memiliki makna ihwal pengalihan dari suatu bahasa ke bahasa lain. Adapun
penerjemahan biasanya merujuk pada aktivitas (proses kerja) pengalihan pesan teks Bsu ke dalam
Bsa, sedangkan terjemahan lebih bersifat makro, dan bermuara pada product atau hasil dari proses
mentransfer pesan yang terkandung dalam nash (teks) asal. Dan sudah pasti orang yang
mentransfer itu dinamakan penerjemah.
Dalam bahasa Inggris misalnya, istilah penerjemahan atau aktivitas yang mengacu pada
proses penerjemahan disebut translating, dan terjemahan atau produk dari prosesnya disebut a
translation, sedangkan orangnya disebut translator. Dan yang terakhir adalah juru bahasa yakni
orang yang melakukan penerjemahan secara lisan (interpreter). Hoed, Penerjemahan dan
Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), cet ke-1, h. 23. 9 Kata tarjamah seperti yang terdapat dalam kamus al-Munjid, sama seperti tafsir, dalam
artian menerjemah itu "menafsirkan kembali gagasan atau ide dalam bahasa asli ke dalam bahasa
target." Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 60. 10 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung:
Humaniora, 2005), h. 7-8. 11 Dalam bahasa Inggris, istilah bahasa sumber (Bsu) adalah terjemahan dari source
language (SL) atau bahasa yang diterjemahkan, sedangkan bahasa sasaran (Bsa) merupakan
13
sebagai suatu tindak komunikasi, bukan sekadar kumpulan kata dan kalimat.
Penerjemah perlu melihat penerjemahan dari dua pendekatan, yaitu proses dan
produk, serta perlu dibekali dengan perangkat intelektual (kemampuan dalam
bahasa sumber dan sasaran, pengetahuan tentang topik terjemahan, penerapan
pengetahuan pribadi, serta keterampilan) dan praktis (penggunaan sumber rujukan
serta pengenalan konteks langsung maupun tak langsung).
Pengertian penerjemahan yang berkaitan dengan kesepadanan kata, atau
sesuai dengan konteks bahasa sasaran (budaya), Nida (1964), seperti yang dikutip
Roswita Silalahi, menerjemahkan berarti menghasilkan pesan (meaning) yang
paling dekat, sepadan dan wajar dari bahasa sumber ke dalam target hasil
terjemahan (target reader) yang ingin dituju baik soal makna maupun gaya
bahasa sang penulis BSu direproduksi dengan baik dalam BSa, dan suatu
penerjemahan dikatakan bagus, jika hasilnya (hasil terjemahan) itu ekuivalen.12
Dengan melihat sejumlah definisi yang telah dipaparkan para ahli di atas,
menurut hemat Penulis definisi-definisi tersebut bisa dirumuskan menjadi lebih
sistematis yakni bahwa penerjemahan merupakan sebuah upaya
mentransformasikan pesan (message) atau maksud yang ada dalam bahasa sumber
terjemahan dari target language (TL) yaitu bahasa terjemahan/hasil dari proses penerjemahannya.
Adapun dalam bahasa Arab, istilah bahasa sumber/teks sumber dinamakan al-lughah al-mutarjam
minha atau lughah al-ashl, sedangkan bahasa sasaran/teks sasaran disebut al-lughah al-mutarjam
ilaiha atau lughah al-naql. Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah; Metode dan Wawasan Menerjemah
Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), cet ke-1, h. 10-12. 12 Roswita Silalahi dalam Dampak Metode, Teknik, dan Ideologi Penerjemahan pada
Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa Indonesia. Disertasi untuk
Memperoleh Gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bidang Ilmu
Lingusitik, 16 Juli 2009, dalam format PDF.
14
secara tertulis ke dalam bahasa sasaran yang sesuai dengan konsep kebudayaan
setempat dan sepadan (equivalent) dengan sidang pembaca terjemahan. Khusus
kesepadanan, ini adalah hal utama yang harus diperhatikan oleh setiap pengalih
bahasa atau penerjemah.
2. Metode Penerjemahan
Istilah metode13 ini diartikan sebagai cara yang teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistematik untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.14 Mengenai metode ini
sebenarnya berasal dari kata method dalam bahasa Inggris. Dalam Macquarie
Dictionary (1982), seperti yang dikutip Rochayah Machali, a method is a way of
doing something, especially in accordance with a definite plan (metode adalah
suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana
tertentu).15
Dari definisi itu, kita bisa mengambil benang merah bahwa metode
penerjemahan ialah pendekatan umum atau prinsip pokok yang sangat
13 Ada sisi dikotomis antara metode dan prosedur dalam penerjemahan. Konsep yang
pertama mengacu pada proses penerjemahan nash (teks) secara keseluruhan, dan konsep kedua
merujuk pada segala tindakan penerjemahan kalimat dan unit-unit terjemah yang lebih kecil
seperti kalimat, klausa, frase, kata, dan seterusnya. 14 Metode penerjemahan (translation method) bisa juga dipahami sebagai sebuah
instrumen penting dalam melakukan penerjemahan oleh seorang penerjemah ketika
mengungkapkan makna nash (teks) sumber secara keseluruhan di dalam bahasa penerima. Adapun
untuk semantikal metode dapat kita temukan dalam W. J . S. Peorwadarmita, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005), edisi ke-3, h. 740. 15 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 48.
15
mempengaruhi hasil terjemahan. Artinya hasil terjemahan teks sangat ditentukan
oleh metode penerjemahan yang dianut oleh penerjemah sendiri dengan rencana
yang jelas.
Bertalian dengan pembahasan metode ini, Newmark (1988: 45) dalam
Machali telah mengelompokkan sejumlah metode tersebut ke dalam dua
kelompok besar. Empat metode pertama16 lebih ditekankan pada Bsu; yaitu kata-
demi-kata (word-for-word translation), harfiah (literal translation), setia (faithful
translation), dan semantis (semantic translation); sedangkan empat metode yang
lain lebih ditekankan pada Bsa; yaitu adaptasi (adaptation), bebas (free
translation), idiomatik (idiomatic translation), dan komunikatif (communicative
translation).
Perbedaan dasar pada kedua metode di atas terletak pada penekanannya
saja, dan di luar perbedaan ini keduanya saling berbagi permasalahan.
Keberbagian itu menyangkut:
a. Maksud atau tujuan dalam sebuah teks Bsu sebagaimana tercermin pada
fungsi teks.
b. Tujuan penerjemah, misalnya, apakah ia ingin mereproduksi beban
emosional dan persuasif dari teks aslinya apakah ia ingin menambahkan
atau mengurangi 'nuansa' tertentu dalam terjemahannya tersebut.
16 Jenis pertama ini, sang penerjemah berupaya mewujudkan kembali setepat-tepatnya
makna kontekstual Tsu (teks sumber), meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada
Tsa (teks sasaran) yaitu hambatan pada tataran bentuk dan makna. Adapun jenis metode yang
kedua, seorang penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang
diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi Bsu. Machali, ibid, h. 49.
16
c. Pembaca atau setting teks, misalnya soal siapa pembacanya, jenis kelamin,
umur, tingkat pendidikan, serta apakah pembaca itu khayalak umum
ataukah para ahli (kalangan akademisi).
Semua pendekatan ini dapat membantu pengalihbahasa memilih cara kerja
yang sesuai dalam proses dan perencanaan penerjemahannya. Ini secara otomatis
dapat memperkaya kajian penerjemahan, karena yang selama ini berkembang
adalah metode harfiah dan penerjemahan bebas saja. Akan tetapi, dalam segi
operasionalnya keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti
bahwa ada kemungkinan kita menerapkan dua atau tiga jenis penerjemahan
sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks, dengan catatan disesuaikan dengan
kepentingan dan praktik penerjemahan yang dilakukan dalam konteks Indonesia.
Untuk selanjutnya, kesemua metode itu dapat kita perjelas satu persatu.
a. Penerjemahan Kata Demi Kata (word-for-word translation)
Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu
susunan kata bahasa sumber (Bsu) dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan
satu persatu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk
memahami mekanisme dalam bahasa sumber (Bsu) maupun untuk menganalisis
teks yang sulit sebagai proses penerjemahan, contohnya kata cultural dipindahkan
apa adanya. Dalam penerapannya, Nababan menjelaskan bahwa metode
penerjemahan ini pada dasarya masih sangat terikat pada tataran kata.17
17 M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 30.
17
Berikut ini adalah beberapa contoh hasil terjemahan yang menggunakan
contoh metode penerjemahan kata-demi-kata menurut beberapa pakar misalnya
Catford (1978:25) dan Newmark (1988:45-46) di atas:
Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
Tsa : *Lihat, kecil anak, kamu semua harus tidak melakukan ini.
Berdasarkan hasil terjemahan tersebut, kalimat Tsu yang dihasilkan
sangatlah rancu dan janggal karena susunan frase “kecil anak” tidak berterima
dalam tatabahasa Indonesia dan makna frase “harus tidak” itu kurang tepat.
Seharusnya kedua frase tersebut menjadi “anak kecil” dan “seharusnya tidak”.
Demikian pula dengan kata “that” yang sebaiknya diterjemahkan menjadi “itu”
bukan “ini”. Sehingga alternatif terjemahan dari kalimat tersebut menjadi: ‘Lihat,
anak kecil, kamu semua seharusnya tidak melakukan itu.’18
b. Penerjemahan Harfiah (literal translation)
Penerjemahan harfiah (literal translation) atau disebut juga penerjemahan
lurus (linear translation) berada di antara penerjemahan kata-demi-kata dan
penerjemahan bebas (free translation). Penerjemahan harfiah ini menggunakan
metode konversi, yaitu konstruksi gramatikal bahasa sumber (Bsu) dikonversikan
ke padanan bahasa sasaran (Bsa) yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih
diterjemahkan kata perkata. Penerjemahan ini memang akan membingungkan
18 Moh Zulkifli Paputungan, dalam blog Pondok Orang Arab, sebuah Persembahan
Pengetahuan untuk Pencinta Dunia Pendidikan Bahasa Arab, diunduh pada Kamis, 10 Maret
2011, pukul 19.54 WIB.
18
pembaca, oleh karena itu, penerjemah harus memberikan keterangan tambahan
berupa catatan kaki (footnote).
Perhatikan beberapa contoh berikut ini:
1.Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
Tsa : Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak berbuat seperti
itu.
2. Tsu : It’s raining cats and dogs.
Tsa : Hujan kucing dan anjing.
3. Tsu : His hearth is in the right place.
Tsa : Hatinya berada di tempat yang benar.
4. Tsu : The Sooner or the later the weather will change.
Tsa : Lebih cepat atau lebih lambat cuaca akan berubah.
Jika dilihat dari hasil terjemahannya, beberapa kalimat-kalimat yang
diterjemahkan secara harfiah masih terasa janggal, misalnya kalimat ke-2
sebaiknya diterjemahkan “Hujan lebat” atau “Hujan deras”. Kalimat ke-3
sebaiknya diterjemahkan menjadi “Hatinya tenteram”. Namun jika demikian hasil
terjemahannya, memang lebih condong pada penerjemahan bebas. Demikian pula
dengan kalimat ke-4 sebaiknya diterjemahkan menjadi “Cepat atau lambat
cuacanya akan berubah”.
c. Penerjemahan Setia (faithful translation)
Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna
kontekstual bahasa sumber (Bsu) yang tepat, dengan mentransfer kata-kata
cultural dan tetap mempertahankan tingkat ketidakwajaran gramatikal dan
19
leksikal dalam proses penerjemahan. Di sini kata-kata yang bermuatan budaya
dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih
tetap dibiarkan, penerjemahan ini masih berpegang teguh pada maksud dan tujuan
Tsu sehingga hasil yang diterjemahkan kadang-kadang terasa kaku dan sering kali
terasa asing.
Perhatikan contoh terjemahan berikut ini:
1. Tsu : Ben is too well aware that he is naughty.
Tsa : Ben menyadari terlalu baik bahwa ia nakal.
2. Tsu : I have quite a few friends.
Tsa : Saya mempunyai sama sekali tidak banyak teman.
d. Penerjemahan Semantik (semantic translation)
Penerjemahan ini sudah lebih luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi
tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan.
Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks Bsu dengan memadukan
makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan penerjemahan lain.19
Penerjemahan semantik lebih fleksibel.
Perhatikan contoh berikut di bawah ini:
Tsu : He is a book-worm.
Tsa : *Dia (laki-laki) adalah seorang yang suka sekali membaca.
Frase book-worm diterjemahkan secara fleksibel sesuai dengan konteks
budaya dan batasan fungsional yang berterima dalam Bsa. Tetapi terjemahan di
atas kurang tepat dan seharusnya diterjemahkan menjadi: ’Dia seorang kutu buku.
19 Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 52.
20
Keempat metode di atas adalah metode yang lebih berorientasi atau sangat
menekankan pada sisi Bsu. Bersamaan dengan itu, di bawah ini akan dipaparkan
metode-metode yang bermuara pada Bsa.
a. Penerjemahan Saduran (adaptasi)
Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan yang paling bebas yang
biasa dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema,
karakter, dan plot masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber
(Bsu) ke dalam budaya bahasa sasaran (Bsa) ditulis kembali serta diadaptasi ke
dalam bahasa sasaran (Bsa).
Jika seorang penyair menyadur atau mengadaptasi sebuah naskah drama
untuk dimainkan, maka ia harus tetap mempertahankan semua karakter dalam
naskah asli dan alur cerita juga tetap dipertahankan, namun dialog Tsu sudah
disadur dan disesuaikan dengan budaya Bsa.
Berikut adalah contoh lirik lagu dari sebuah yang disadur dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia
Tsu : Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart Then you can start to make it better
(Hey Jude-The Beatles, 196).
Tsa : Kasih, dimanakah. Mengapa kau tinggalkan aku, Ingatlah-ingatlah
kau padaku. Janji setiamu tak kan kulupa.20
20 http://anotherfool.wordpress.com, diakses pada Jumat, 11 Maret 2011, jam 10.00 WIB.
21
b. Penerjemahan Bebas (free translation)
Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bahkan
mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (Bsu). Umumnya penerjemahan ini
berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari teks aslinya
dan biasa dipakai di kalangan media massa.
Perhatikan contoh berikut ini:
1. Tsu : The flowers in the garden.
Tsa : Bunga-bunga yang tumbuh di kebun.
2. Tsu : How they live on what he makes?
Tsa : Bagaimana mereka dapat hidup dengan penghasilannya?
Dalam contoh nomor 1 terjadi pergeseran yang disebut dengan shunt up
(langsir ke atas), karena dari frase preposisi in the garden menjadi klausa ’yang
tumbuh di kebun’. Sedangkan pada nomor 2 terjadi pergeseran yang disebut
dengan shunt down (langsir ke bawah), karena klausa on what he makes menjadi
frase ’dengan penghasilannya’.
Ada catatan yang penting untuk diketahui, beberapa ahli cenderung
menggolongkan terjemahan hasil metode ini sebagai bukan karya terjemahan.
Jadi, meskipun Newmark menyebutnya sebagai 'metode' dalam penerjemahan,
namun ia sendiri pun keberatan menyebut hasilnya sebagai hasil terjemahan.
c. Penerjemahan Idiomatik (idiomatic translation)
Penerjemahan ini dipakai dalam menerjemahkan teks idom atau istilah-
istilah idiomatis. Penerjemahan ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks
bahasa sumber (Bsu) dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan
22
idiomatic yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorasi
nuansa makna. Terjemahan yang benar-benar idiomatik tidak tampak seperti hasil
terjemahan. Hasil terjemahannya seolah-olah seperti hasil tulisan langsung dari
penutur asli. Maka seorang penerjemah yang baik akan mencoba menerjemahkan
teks secara idiomatik.
Sebagai kasuistik, perhatikan contoh di bawah ini:
1. Tsu : Salina!, Excuse me, Salina!
Tsa : Salina!, Permisi, Salina!
2. Tsu : I can relate to that.
Tsa : Aku mengerti maksudnya.
d. Penerjemahan Komunikasi (communicative translation)
Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual
bahasa sumber (Bsu) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan
dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip
komunikasi seperti khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks
sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi.
Machali menambahkan bahwa metode ini memperhatikan prinsip-prinsip
komunikasi, yaitu mimbar pembaca dan tujuan penerjemahan. Contoh dari
metode penerjemahan ini adalah penerjemahan kata spine dalam frase thorns
spines in old reef sediments. Jika kata tersebut diterjemahkan oleh seorang ahli
biologi, maka padanannya adalah spina (istilah teknis Latin), tetapi jika
23
diterjemahkan untuk mimbar pembaca yang lebih umum, maka kata itu
diterjemahkan menjadi ’duri’.21
Kemudian, dari keseluruhan metode yang telah diuraikan secara gamblang
dan terperinci itu, manakah yang paling baik? Jawabannya ialah tidak ada yang
terbaik. Hal ini difaktorkan pada setiap metode memiliki keunggulan masing-
masing sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh seorang penerjemah dan selaras
dengan tujuan serta konteksnya.
3. Perangkat-perangkat Menjadi Penerjemah
Hasil terjemahan yang baik (ideal) adalah terjemahan yang benar-benar
mampu memotret target makna dari Bsu ke dalam Bsa. Seluruh satuan makna
dalam Bsu tersebut teralihkan secara sempurna ke dalam Bsa. Dalam arti, rajutan
kata-kata, kalimat serta style (uslub) terjemahan itu benar-benar nyaman dan
mudah dicerna tatkala dibaca.
Untuk menggapai kenikmatan dan kenyamanan dalam membaca hasil
terjemahan, maka diperlukan soft skills dan background knowledge yang harus
dimiliki oleh para penerjemah. Setiap penerjemah harus memiliki kelihaian
transfer yang oleh para ahli diartikan sebagai taktik dan strategi untuk mengubah
teks Bsu ke dalam teks Bsa. Ada dua jenis perangkat yang selayaknya dipegang
teguh oleh penerjemah baik translator maupun interpreter; yaitu perangkat
intelektual dan perangkat praktis.
a) Perangkat atau piranti intelektual mencakup:
21 Op.cit, h. 55.
24
- Kemampuan (competence) dan pengetahuan yang baik dalam
memahami Bsu dan Bsa, ini syarat mutlak. Tidak bisa tidak, karena ini modal
dasar. Pemahaman yang baik dan benar terhadap dua bahasa serta konteks budaya dalam
ranah penerjemahan menjadi sebuah keniscayaan. Jika sebagai penerjemah tidak
mengusai Bsu dan Bsa dengan cakap, maka mustahil terjemahan yang berkualitas
dapat tercapai.22
- mampu menangkap pesan atau isi naskah yang akan diterjemahkan.
Syarat ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan Bsu dan Bsa serta
pengetahuan kosa kata dalam kamus.
- keterampilan atau menguasai teknik penerjemahan.
- berwawasan luas. Seorang penerjemah yang berwawasan pengetahuan
luas dalam kaitannya dengan bidang yang akan diterjemahkannya akan sangat
terbantu dalam menyelesaikan proses kreatif terjemahannya. Berbagai disiplin
ilmu seperti filsafat, sejarah, kimia, geografi, kedokteran dan lain-lain harus
dikuasai juga.23
- memiliki kemampuan berpikir secara logis. Dalam pengertian, sang
penerjemah harus memahami logika bahasa dalam naskah Bsu dan bisa
menuangkannya kembali amanat Bsu ke dalam Bsa.
- memiliki kemampuan (skill) menafsirkan dengan baik dan tepat. Untuk
ini, penerjemah harus bisa membaca konteks gagasan, ide. Pada konteks
22 Silvester Goridus Sukur, Kaya Lewat Terjemahan: Menyingkap Rahasia Sukses Bisnis
Alih Bahasa, (Bandung: Mizan Media Utama, 2009), cet ke-1, h. 9. 23 Nur Mufid dan Kaserun AS Rahman, Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia: Cara
Paling Tepat, Mudah, dan Kreatif (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), cet ke-1, h. 29-30.
25
menafsirkan, ini amat berkaitan erat dengan kata-kata yang tidak bisa ditemukan
artinya dalam kamus.
b) Adapun perangkat praktis meliputi:
- memiliki stok kata yang banyak
- kemampuan menggunakan sumber-sumber rujukan, baik yang
berbentuk aneka kamus, seperti kamus yang berkenaan dengan Bsu dan Bsa dan
kamus yang khusus berisi disiplin ilmu tertentu seperti kamus bilingual, kamus
mono-lingual, kamus hukum, kamus biologi, kamus idiom, kamus peribahasa,
atlas, kamus sinonim-antonim, thesaurus, glosarium, dan ensiklopedia. Kamus-
kamus ini baik yang berupa kamus konvensional (berbentuk buku) maupun kamus
elektronik dalam bentuk CD-ROM.
- keahlian (expertise) dalam mengaplikasikan audio visual dan akses
internet, seperti google translate agar pengetahuan sang pengalihbahasa
senantiasa men-upgrade dan men-update diri.24
B. Gambaran Umum Kebudayaan
1) Pengertian Kebudayaan
Salah satu tugas utama penerjemah adalah mencarikan padanan
(equivalent) antara kedua budaya yang melatari Bsu dan Bsa. Penerjemah,
berkenaan dengan persoalan ini berkududukan sebagai komunikator antara
pengarang dan pembaca. Dia (al-mutarjim) sebagai pembaca yang menyelami
makna dan maksud nas sumber, dan sebagai 'penulis' yang menyampaikan
24 Op.cit, h. 8-20.
26
pemahaman yang diperolehnya dari bahasa sumber tersebut kepada orang lain
melalui sarana bahasa agar orang (pembaca sasaran) dapat memahaminya.
Sebelum melangkah kepada problem cultural tersebut, Penulis akan
memaparkan sedari awal bagaimana sesungguhnya konsep kebudayaan, seluk-
beluk yang melingkupinya seperti wujud-wujudnya dan unsur-unsur kebudayaan.
Kemudian dilanjutkan pada pengaruh konteks sosio-cultural terhadap
penerjemahan dan keterkaitan antara keduanya.
Ada sejumlah definisi yang dikemukakan oleh para pakar. Di antaranya, E.
B. Taylor seorang ahli antropologi berkebangsaan Inggris dalam karyanya,
primitive culture menjelaskan seperti yang dikutip Hilmi, bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.25
Menurut Koentjaraningrat (1980) kebudayaan bersumber dari bahasa
Sansekerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jama' (plural) dari kata
budhi berarti budi atau akal. Kata budaya (culture) merupakan suatu
perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi atau
kekuatan dari akal.26 Sedangkan kata culture itu sendiri merupakan istilah bahasa
asing yang memiliki makna yang sama yakni kebudayaan, berasal dari bahasa
25 Hilmi, Keterkaitan antara Bahasa, Pikiran, dan Kebudayaan, dalam Jurnal Al-Turats;
Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, Volume XV, No. 2, Mei 2009, h. 116. 26 Hajjah Bainar dkk, Ilmu Sosial, Budaya, dan Kealaman Dasar (Jakarta: Jenki Satria,
2006), h. 24.
27
latin yaitu colore yang bermakna mengolah, mengerjakan tanah atau bertani.27
Istilah umum culture berarti warisan sosial umat manusia. Sedangkan istilah
khusus kebudayaan adalah warisan sosial yang bercorak khusus tidak secara
naluriah seperti halnya berjalan atau tidur, melainkan melalui proses pembiasaan
dan pembelajaran dari generasi ke generasi.
Dengan demikian, pendek kata, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-
hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Secara umum, kebudayaan dapat
ditafsirkan seluruh totalitas dari pikiran (gagasan), budi, dan hasil karya manusia
(hasil dari pengolahan akalnya tersebut) yang harus dibiasakannya melalui proses
belajar. Budaya dalam kacamata yang lain juga bisa dimaknai sebagai himpunan
pengalaman yang dipelajari mengacu pada pola-pola perilaku (learned behavior)
yang ditularkan secara sosial yang merupakan kekhususan kelompok sosial
tertentu.28
Lebih jauh lagi, Koentjaraningrat dalam karyanya yang lain mengatakan
bahwa konsep kebudayaan itu amat luas meliputi hampir seluruh aktivitas
manusia dalam kehidupannya. Hal-hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah
beberapa refleks yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang
sebenarnya juga merupakan perbuatan naluri, makan misalnya, oleh manusia
dilakukan dengan peralatan, dan disertai tata cara atau sopan santunnya.29
27 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: UI, 1965), cet. ke-2, h. 25. 28 Widyo Nugroho, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: PT. Gunadarma, 1994), cet ke-2, h. 15. 29 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993), cet ke-13, h. 1-2.
28
Budaya didefinisikan Newmark (1995) sebagai cara hidup dan
manifestasinya yang khas dari masyarakat tertentu yang menggunakan bahasa
tertentu sebagai alat untuk mengekspresikan. Jadi budaya diekspresikan oleh
pendukungnya dengan sebuah media ekspresi yang disebut bahasa. Atau bisa pula
kita simpulkan bahwa bahasa adalah budaya verbal dari suatu masyarakat. Budaya
adalah ide, bahasa adalah ekspresinya. Budaya tidak saja menyangkut apa yang
tampak pada permukaan. Budaya melibatkan nilai-nilai kehidupan dan pergaulan
serta apa yang diyakini dari sebuah masyarakat. Budaya adalah gaya hidup
manusia biasa yang menyangkut nilai-nilai, keyakinan, dan prasangka yang
dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat dalam wadah.30
2) Wujud dan Unsur Kebudayaan
Koentjraningrat mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki oleh
manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia.
Untuk memahaminya, ia menggunakan sesuatu yang disebutnya kerangka
kebudayaan yang memiliki dua aspek tolak yaitu wujud kebudayaan yang terdiri
dari tiga, di antaranya:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
30 Sumardiono, Karya Ilmiah, Penerjemahan dan Budaya (Translation). Web:
http://dion-zydion2i.blogspot.com/2009/10/karya-ilmiah-penerjemahan-dan-budaya.html, diakses
pada 11 Maret 2011, jam 14.40 WIB.
29
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat (perilaku).
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (fisik dan
benda).31
Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat
diraba dan difoto. Letaknya dalam pikiran manusia, wujud kedua adalah yang
disebut sistem sosial (social system) yaitu mengenai tindakan berpola manusia itu
sendiri, sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi
satu dengan yang lainnya dari waktu ke waktu yang selalu menurut pada pola
tertentu.
Sistem sosial ini bersifat konkret sehingga bisa diobservasi dan
didokumentasi. Wujud ketiga adalah yang disebut kebudayaan fisik yaitu seluruh
hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkret berupa
benda-benda yang bisa diraba dan dilihat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut di
atas dalam masyarakat tidak terpisah satu dengan yang lainnya.
Wujud kebudayaan di atas mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi
masyarakat dan anggota-anggota masyarakat, misalnya kekuatan alam, kekuatan
di dalam masyarakat sendiri yang tidak selalu baik bagi masyarakat.
Kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa dan cita manusia dapat
digunakan untuk melindungi manusia dari bencana alam. Di samping itu,
kebudayaan dapat dipergunakan untuk mengatur hubungan sesama manusia.
31 Ibid, h. 5.
30
Kemudian tanpa kebudayaan, manusia tidak bisa membentuk peradaban seperti
apa yang kita punyai sekarang ini.
Adapun unsur-unsur universal kebudayaan merupakan isi dari semua
kebudayaan di dunia. Menurut konsep Malinowski, seperti yang dikutip Ahmadi,
bahwa ada tujuh macam:
a. Sistem religi atau upacara keagamaan
b. Sistem dan organisasi sosial kemasyarakatan, seperti kekerabatan
c. Sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), contohnya bertani
d. Pengetahuan
e. Bahasa sebagai mesin komunikasi baik lisan maupun tulisan
f. Kesenian
g. Teknologi dan peralatan (perlengkapan) hidup manusia sehari-hari,
misalnya pakaian, rumah, kendaraan.32
Masing-masing unsur universal kebudayaan ini pasti menjelma dalam
ketiga wujud kebudayaan yang sudah disinggung di atas. Ketujuh unsur tersebut
masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur-unsurnya. Di samping itu,
sebagai hasil perilaku manusia, perilaku budaya manusia menghasilkan berbagai
bentuk kebudayaan material, termasuk di antaranya gastronomi dan bangunan
semuanya itu dikenal dengan nama artefak.
32 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Bina Aksara, 1988), cet ke-1, h. 53-55.
31
3. Aspek Sosiokultural terhadap Penerjemahan
Dalam ruang lingkup studi penerjemahan, budaya mempunyai pengertian
yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang
dipengaruhi oleh aspek sosial. Terjemah dan budaya adalah satu paket, tidak
boleh dipisahkan dalam kerangka penerjemahan.
Menerjemahkan teks pada dasarnya adalah menerjemahkan budaya karena
bahasa pada hakekatnya adalah produk dari budaya tertentu. Budaya tidak saja
menyangkut apa yang tampak pada permukaan. Budaya melibatkan nilai-nilai
kehidupan dan pergaulan serta apa yang diyakini dari sebuah masyarakat. Budaya
adalah gaya hidup manusia biasa yang menyangkut nilai-nilai, keyakinan, dan
prasangka yang dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat dalam wadah
kebahasaan dan kelompok sosial tertentu yang membedakannya dengan kelompok
yang lain. Nilai-nilai dan keyakinan serta prasangka budaya itu tentu saja akan
terealisasikan dalam bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian,
menerjemahkan, disadari atau tidak, tidak akan bisa lepas dari tindakan
mentransfer budaya.
Newmark (1988) seperti yang dikutip Benny Hoed, menyatakan bahwa
sebuah teks sumber (Tsu) dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain, faktor
penulis, norma yang berlaku dalam bahasa sumber (Bsu), kebudayaan yang
melatari Tsu, budaya tulis dan cetak Tsu, dan hal yang dibicarakan dalam Tsu.
Pada sisi teks sasaran (Tsa), faktor yang mempengaruhi adalah calon pembaca
32
yang diperkirakan, norma yang berlaku dalam Bsa, kebudayaan yang melingkupi
Tsa, budaya tulis dan cetak Tsa, dan penerjemah itu sendiri.33
Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh
perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara
langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis dan
kompleks. Di satu sisi, dia harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain, dalam banyak kasus dia harus
menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran. Sebagai
akibatnya, persoalan ketaktakterjemahan linguistis dan kultural tidak dapat
dihindari.34
Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu ialah untuk membantu
pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh
penulis asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah
pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari
budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.
Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi,
terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan
oleh penulis teks bahasa sumber, penerjemah sebagai mediator, dan klien atau
pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh
33 Menurut Nida, aspek kebudayaan ini dapat menjadi kendala dalam proses
penerjemahan. Benny Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 79. 34 Nababan, PhD, artikel Penerjemahan dan Budaya dalam Web
http://www.proz.com/translation-articles/articles/2074/1/Penerjemahan-dan-Budaya, dan di
Http://Pppsi-Apfi.Org/Datapdf/24-11. versi Pdf, diunduh pada Jumat, 11 Maret 2011, 14. 30 WIB.
33
konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah,
dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran.35
4. Implikasi Budaya dalam Penerjemahan
Penerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa
(linguistic transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning) tetapi juga
pengalihan budaya (cultural transfer). Penerjemahan yang melibatkan dua bahasa,
tidak bisa terhindar dari pengaruh dua budaya dari dua bahasa yang bersangkutan,
yaitu budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran. Sehingga bisa dikatakan
penerjemahan adalah proses komunikasi interkultural.
Karena budaya dan bahasa seperti dua sisi dari koin yang sama,
mentransfer bahasa pada hakekatnya juga mentransfer kebudayaan. Seorang
penerjemah tidak bisa terhindar dari peran ini; peran sebagai komunikator antar
dua budaya yang berbeda. Penerjemah berusaha menjembatani gap kultural antara
dua dunia dan membuat sebuah komunikasi memungkinkan terjadi di antara dua
komunitas bahasa yang berbeda.
Wawasan budaya dalam penerjemahan sangat diperlukan karena ketika
seseorang menerjemahkan, ia akan memasuki ranah yang tidak hanya dua bahasa,
tetapi juga dua kebudayaan yang berbeda. Kalau dicermati dari perspektif
komunikasi global, penerjemahan memiliki peran yang sangat strategis bagi
pembangunan nasional, sebagai bagian dari pengembangan intelektual
35 M. Rudolf Nababan, Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan. Makalah
disajikan dalam Semiloka Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Jogyakarta
pada tanggal 23 Juli 2011.
34
(intellectual development) dan pembentukan citra (image building). Peran
strategis yang dimiliki oleh penerjemahan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa (1)
penerjemahan merupakan akses terhadap inovasi Iptek dan (2) media bagi
pengenalan dan apresiasi lintas budaya.
Globalisasi yang dicirikan oleh keterbukaan, persaingan dan
kesalingtergantungan antar bangsa telah menjadikan terjemahan sebagai medium
komunikasi yang penting dan perlu di masa-masa mendatang. Tuntutan akan
percepatan alih ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bersumber dari acuan-
acuan berbahasa asing dan penerbitan capaian iptek dan pengenalan budaya
daerah dan nasional melalui bahasa asing ke dalam peradaban dunia menjadikan
penerjemahan dan studi tentang terjemahan sebagai masalah nasional dan
tantangan bagi pakar linguistik dan praktisi penerjemah, serta lembaga perguruan
tinggi.36
Terlepas dari sulit dan kompleknya masalah dan proses penerjemahan,
pentingnya penerjemahan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya bagi negara-negara berkembang telah diakui dan dirasakan oleh
berbagai pihak. Jepang, umpamanya, merupakan contoh klasik dari cerita sukses
program penerjemahan bagi pembangunan suatu bangsa.
Usaha penerjemahan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Jepang
telah menghasilkan perkembangan sain dan teknologi yang cepat. Dengan
demikian penerjemahan telah menjadi katalisator bagi kemajuan suatu bangsa dan
36 Ida Bagus Putra Yadnya dalam Implikasi Budaya dalam Penerjemahan, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik/Penerjemahan pada Fakultas
Sastra Universitas Udayana tanggal 29 April 2006, h. 3, versi PDF.
35
berkat usaha-usaha penerjemahan itulah sekarang Jepang bisa mensejajarkan
dirinya dengan negara-negara maju. Selain Jepang, Eropa Barat juga merasakan
manfaat yang serupa. Sebagaimana dikutip oleh Alwasilah (1997), Louis Kelly
mengatakan dalam The True Interpreter (1979) bahwa dalam mengembangkan
peradabannya, Eropa Barat sangat berhutang budi pada para penerjemah yang
telah bertindak sebagai mediator antara penulis dan pembaca dari latar belakang
bahasa yang berbeda.
Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk
berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai ideologi dan pandangan hidup
(way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus
menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu
dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.
Dengan kata lain sangat penting bagi penerjemah untuk
mempertimbangkan tidak saja dampak leksikal pada pembaca bahasa sasaran
tetapi juga cara bagaimana aspek budaya tersebut dipahami sehingga akhirnya
menerjemahkan merupakan suatu keputusan yang harus diambil penerjemah.37
5. Makna dan Prosedur Ekuivalensi Budaya
Padanan (equivalence) dipahami sebagai “accuracy”, “adequacy”,
“correctness”, “correspondence”, “fidelity”, atau “identity”.38 Kesepadanan
merupakan isu sentral dalam penerjemahan karena menyangkut perbandingan teks
37 Ibid, h. 4-10. 38 Venuti, The Translation Studies Reader (New York: Routledge, 2000), h. 5.
36
dalam bahasa yang berbeda. Tujuan terjemahan adalah untuk menyediakan
padanan semantik antara BS (bahasa sumber) dan BT (bahasa target).
Inilah yang membedakan antara terjemahan dengan semua jenis kegiatan
linguistik. Banyak persoalan yang tersembunyi di dalam pernyataan sederhana ini,
semua dilakukan dengan standar padanan apa yang harus diharapkan dan diterima.
Padanan39 yang sebenarnya tentu saja tidak mungkin seorang penerjemah pun
dapat memberikan sebuah terjemahan yang benar-benar sama/padan dengan teks
sumbernya.
Meskipun ada kesamaan dalam penguraian kata-kata dalam satu bahasa,
selalu saja ada beberapa informasi yang hilang. Di sisi lain, ada banyak jenis
padanan nyata, sebagian di antaranya dapat berhasil pada suatu tingkatan fungsi
praktis tertentu. Keberhasilan suatu proses penerjemahan sangat bergantung pada
tujuan terjemahan itu dilakukan, yang hasilnya merefleksikan kebutuhan orang
yang memerlukannya.40
Pengertian pemadanan sebagai “pengalihan makna” mengacu pada
pengungkapan kembali makna (berkonteks budaya) yang terdapat dalam teks
bahasa sumber (unit terjemahan) ke dalam teks bahasa sasaran. Secara leksikal
kata “pengalihan” tersebut di atas mengandung pengertian adanya proses
pemindahan, penggantian, dan pengubahan. Pengertian pemindahan mengacu
39 Menurut Rochayah Machali, persoalan mengenai kesepadanan sebenarnya lebih banyak
diperdepatkan dalam kaitannya dengan penerjemahan karya sastra, terutama puisi. Dalam
perdebatan tersebut, kesepadanan lebih banyak dilihat sebagai tuntutan 'kesamaan'. Machali,
Pedoman bagi Penejemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 106. 40 Eddy Setia dalam Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa Pendekatan, artikel pada
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, versi PDF, h. 125.
37
pada konsep bahwa penerjemahan adalah penyesuaian budaya berbahasa bahasa
sumber ke dalam budaya berbahasa bahasa sasaran. Hasilnya adalah tuntutan agar
terjemahan menjadi wajar dan proporsional.
Meski demikian, upaya pencarian padanan teks Bsu ke dalam Bsa
sesungguhnya tidak berarti adanya keterikatan yang sangat formal dan literer
dalam menerjemah sehingga hasilnya menjadi kaku dan terasa janggal bagi
penutur bahasa sasaran. Dalam konteks inilah perlu kiranya membangun definisi
tentang terjemah yang mencakup baik pertimbangan pesan maupun sekaligus
pertimbangan padanan secara pas, dalam arti penerjemah perlu
mengkombinasikan antara kebebasan menyampaikan pesan dan ketepatan
proporsi terjemahan dengan teks sebelumnya.
Berkenaan dengan padanan, Nida memberikan dua orientasi dasar atau
tipe padanan, yaitu (1) padanan formal, dan (2) padanan dinamis (1964a:159).
Padanan formal memfokuskan perhatiannya pada pesan itu sendiri, baik bentuk
maupun isi bahwa pesan dalam bahasa penerima harus mencocokkan sedekat
mungkin unsur-unsur yang berbeda dalam BS. Padanan formal secara teliti
diorientasikan pada struktur TS, yang menggunakan pengaruh kuat dalam
menentukan akurasi dan kebenaran.
Padanan dinamis berdasarkan pada prinsip pengaruh padanan yang
hubungan antara penerima dan pesan secara substansi sama seperti yang ada
antara penerima aslinya dengan pesan. Pesan harus diciptakan untuk kebutuhan
linguistik penerima dan ekspektasi kultural dan “mengarah pada kewajaran
38
ekspresi yang lengkap”. Tujuan padanan dinamis ini seperti mencari padanan
alami yang paling mendekati pesan BS.41
Dalam kaitannya dengan perpadanan, selain Nida, Catford juga
mengidentifikasi dua jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan formal (formal
equivalence) yang selanjutnya dirubah ke dalam istilah korespondensi formal
(formal correspondence) dan (2) kesepadanan tekstual (textual equivalence) yang
terjadi bila suatu teks atau sebagian dari teks bahasa target dalam situasi tertentu
sepadan dengan teks atau sebagian teks bahasa sumber.42
Berikut ini adalah salah satu contoh pemakaian prosedur ekuivalensi
budaya:
وقام عبد املؤمن ببناء مخسة أحزمة أمنية حول معسكره
Terjemah: Abdul Mu'min membangun lima ikat pinggang pengaman di
sekitar basecamp (tempat) militernya.
Pada contoh di atas, penerjemah berupaya mendeskripsikan ungkapan
kebudayaan ahzimah amniyyah dengan ikat pinggang pengaman. Namun,
prosedur ini menghilangkan nuansa budaya dari kata yang diterjemahkan, karena
deskripsi itu tidak lazim dalam bahasa penerima.
Bila kita menyelaminya lebih dalam lagi, dalam tuturan orang Indonesia
kata terjemahan itu tidak lazim digunakan, yang sering dipakai adalah sabuk
keselamatan untuk menggambarkan sesuatu yang berbentuk tali, jalur, atau
41 Ibid, h. 128. 42 Ida Bagus dan Putra Yadnya, Dinamika dalam Penerjemahan (the Dynamics of
Translation), h. 5-7, versi PDF.
39
benteng yang berfungsi menjaga keamanan. Dengan demikian, kata ahzimah
amniyyah diterjemahkan menjadi sabuk keselamatan/sabuk pengaman.43
43 Syamsuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 78.
40
BAB III
WAWASAN SEPUTAR DOMESTIKASI DAN FOREIGNISASI
Pembahasan pada bab ini mencakup penyerapan serta peminjaman bahasa
asing ke dalam bahasa Arab atau lebih dikenal dengan foreignisasi. Secara praktis,
istilah teknis itu diinterpretasikan menjadi sebuah hasil kerja penerjemahan yang
mempertahankan budaya asal, yang mana bahasa tersebut tidak dikenal dalam
konteks sosiokultural bahasa penerima. Di samping itu, ada yang disebut dengan
domestikasi, yakni sebuah pendekatan dalam studi penerjemahan dan linguistik
Arab yang lebih menyesuaikan diri dengan bahasa lokal/sasaran.
Pengantar Kata Serapan Arab dalam Bahasa Indonesia
Dalam ranah sosiolinguistik ada sebuah ketentuan mutlak yang
menganjurkan prinsip kontak bahasa yaitu setiap kali ada kontak kebudayaan
dalam bentuk apa pun, maka di sana harus ada kontak linguistik sebagai hasilnya.
Setelah itu bahasa akan menjadi sebuah sistem komunikasi manusia dan kata-kata
serta ide-ide dari suatu bahasa dapat tersebar melalui waktu dan tempat dengan
cara tersendiri.
Bahasa adalah sesuatu yang hidup karena selalu berkembang sebagaimana
pikiran manusia. Demikian pula bahasa Indonesia, bahasa ini berasal dari bahasa
Melayu yang terus tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Perkembangan
bahasa Indonesia tampak terutama dalam segi kosakatanya. Kosa kata bahasa
41
Indonesia terus berkembang bukan hanya dengan menyerap kosa kata dari bahasa
lain, seperti Arab, Inggris, Belanda, dan lain-lain.
Penyerapan merupakan salah satu faktor yang sangat aktif dalam
perkembangan bahasa. Penyerapan itu disebabkan antara lain adanya kontak
antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, baik yang sekerabat maupun yang
tidak. Kontak dengan bahasa lain itu menimbulkan saling adanya pengaruh dalam
bahasa mereka dan yang paling sederhana adalah berupa pinjaman kata-kata. Dan
dalam proses penerjemahan, model-model penyerapan bahasa dan peminjaman
dari bahasa asing kerap kali terjadi, tentunya dengan kesepadanan kata
(equivalent) antara Bsu dan Bsa.
Penyerapan dari suatu bahasa ke bahasa lain dapat terjadi secara leksikal.
Contoh leksikal di antaranya penyerapan cultural, yakni bahasa yang diambil dari
bahasa yang tidak ada dalam domain kebahasaan Indonesia, semisal kata fakir,
jahiliyah, kiblat, kurban, kiamat, takdir, dan khusyu', yang kesemuanya itu diserap
dari bahasa Arab. Di samping itu, ada pula penyerapan secara stuktural, di
dalamnya mengandung unsur fonem, morfem, dan kalimat.44 Kata-kata serapan
dari bahasa Arab telah memperkaya khazanah perbendaharaan kosa kata bahasa
Indonesia. Beberapa kata tersebut sering digunakan oleh hampir seluruh
masyarakat di bumi pertiwi ini dalam keseharian mereka, terutama dalam konteks
keagamaan, misalnya lafal Masya Allah, Insya Allah, bi iznillah, ibadah, bakhil,
batil, hikmah, musyawarah, musibah, zalim, barokah, dan lain-lain.
44 Lihat Samsuri, Analisa Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1994), cet ke-9, h. 52-53.
42
Beralih ke persoalan peminjaman bahasa Arab, salah satu faktor penopang
yang membantu cepatnya modernisasi dalam bahasa Arab adalah adanya
pengasimilisasian sejumlah besar kata dari bahasa modern, seperti Inggris,
Perancis, Italia, Spanyol, Turki, dan Portugis. Dipandang dari segi linguistik,
pengenalan kata-kata pinjaman modern ke dalam bahasa Arab akan memperkaya
bahasa Arab itu sendiri. Proses asimilasi ini dari bahasa asing ke dalam Arab ini
disebut ta'rib atau arabisasi.45
A. Definisi Ideologi dalam Penerjemahan
Penerjemahan tidak hanya sekadar memberikan makna yang sepadan,
namun juga pertimbangan nilai bahasa sasaran dan bahasa sumber yang berkenaan
dengan pendekatan budaya.46 Sebagian penerjemah memilih mengolah bahasa
sumber dan membuatnya menjadi lebih berorientasi pada kaidah penerima bahasa
45 Mengenai konsep ta'rib ini, sebenarnya tidak dapat diterima secara mutlak oleh para
linguistic Arab saat itu. Hal ini disebabkan arabisasi akan menghadapi sebuah tantangan besar dari
proses lainnya yang dikenal dengan isytiqoq atau derivasi. Yang mendukung teori adalah
Muhammad Khudori, Abdul Qadir al-Maghribi, Tata Husain, dan Ya'qub Sarruf. Sedangkan yang
menentang adalah Mahmud Sakhri al-Alusi, dan Mustafa Sadiq al-Rafi'i. M.H. Bakalla, Pengantar
Penelitian Studi Bahasa Arab, dengan Judul Asli Arabic Culture, Though Its Language and
Literature, Penerjemah Males Sutiasumarga (Jakarta: Hardjuna Dwitunggal, 1990), cet ke-1, h.
88-90. 46 Pendekatan budaya (cultural approach) ini diusung oleh Snell-Homby (1990), seperti
yang dikutip Sakut bahwa pendekatan ni bisa dipahami dan diterima mengingat penerjemahan
merupakan transaksi budaya. Bahkan para praktisi maupun pakar penerjemahan mengakui bahwa
budaya adalah aspek yang membentuk perilaku penerjemahan itu sendiri. Sakut Anshori, Teknik,
Metode dan Ideologi Penerjemahan Buku Economic Concepts of ibn Taimiyah ke Dalam Bahasa
Indonesia dan Dampaknya pada Kualitas terjemahan. Seri Tesis untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Linguistik, Minat Utama Linguistik Penerjemahan pada Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2010, versi PDF.
43
sasaran yang dikenal dengan istilah domestikasi. Ini dilakukan ketika istilah asing
(tidak lazim) dari teks bahasa sumber akan menjadi hambatan bagi pembaca
bahasa sasaran dalam memahami teks tersebut. Di sisi lain, tidak sedikit
penerjemah yang memilih mempertahankan aspek bahasa sumber dan menuntut
pembaca mengikuti alur pemikiran mereka. Ini di kenal dengan istilah
foreignisasi. Kedua cara pandang atau dua kutub ini sering diistilahkan sebagai
ideologi47 dalam diskursus penerjemahan. 48
Istilah ideologi sering dihubungkan dengan konotasi politik. Terkadang
juga ideologi diidentikkan dengan pandangan hidup (way of life), falsafah, faham,
dan agama. Menurut Marx, sebagaimana yang dirujuk Sakut Anshori
mendefinisikan ideologi sebagai tindakan tanpa pengetahuan atau pemahaman
yang keliru, dan dalam makna lain diorientasikan sebagai pandangan politik yang
negatif dari sebuah sistem yang menyimpang (tahrif).49
Menurut Eagleton dalam Koruobi (2008) ideologi adalah ide dan
keyakinan yang digunakan untuk melegitimasi kepentingan kelompok berkuasa
melalui distorsi dan disimulasi. Pandangan seperti ini merupakan bagian dari
kajian postcolonialism. Sebuah pendekatan kultural terhadap kajian relasi
47 Ideologi ini begitu penting, sebagaimana yang dipaparkan oleh Benny Hoed untuk
memberikan pandangan yang bersifat super makro dalam membahas penerjemahan sebagai bagian
dari kegiatan sosil-budaya dan karya terjemahan sebagai bagian dari kebudayaan suatu
masyarakat. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 19-20. 48 Mazi-Leskovar, Domestication and Foreignization in Translating American Prose for
Slovenian Children, 2003), Meta Vol XLVIII, 1-2, h. 254. 49 Sakut Anshori, Op.cit, versi PDF.
44
kekuasaan antar kelompok, budaya dan orang-orang di mana bahasa,
kesusasatraan dan penerjemahan mengambil peran di dalamnya50
Secara umum, ideologi dapat diartikan sebagai gagasan, sudut pandang
(point of view), mitos dan prinsip yang dipercayai kebenarannya oleh kelompok
masyarakat. Ideologi juga bisa dimaknai sebagai nilai-nilai budaya yang
disepakati dan dimiliki oleh sebuah komunitas dan berfungsi sebagai landasan
dalam berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, ideologi merupakan suatu
konsepsi yang relatif di mana banyak kasus yang dianggap oleh sebagian
masyarakat itu benar bisa dipahami sebagai "sesuatu" yang salah dalam kelompok
lainnya, tergantung kepada "untuk siapa" dan "untuk tujuan apa" suatu terjemahan
dilakukan.
Para pakar di bidang bahasa, budaya dan penerjemahan, mereka lebih
cenderung menjabarkan konsep ideologi di luar zona politik atau di luar konteks
politik. Mereka mendefinisikan ideologi sebagai serangkaian ide-ide yang
mengatur kehidupan manusia dan membantu untuk memahami hubungan dalam
lingkungan kita. Dan bila kita kaitkan ideologi ke dunia penerjemahan, dapat
dikatakan bahwa ideologi menjadi paradigma berpikir seorang penerjemah ketika
melakukan aktivitas penerjemahan. Ideologi tersebut memainkan peran penting
terhadap keputusan yang diambil seorang penerjemah. Bagaimana seorang
penerjemah mengemas pesan bahasa sumber ke bahasa sasaran tentunya
dipengaruhi oleh ideologi yang mereka anut.
50 Hatim & Jeremy Munday, Translataion; An Advance resource Book (Guildfork UK:
University of Surrey, 2004), h. 106.
45
B. Posisi Ideologi
Ideologi dalam penerjemahan selalu muncul pada proses dan produk
penerjemahan yang keduanya saling berhubungan erat. Sebelum menerjemahkan,
seorang penerjemah harus mengetahui untuk siapa (audience design) dan untuk
tujuan apa (needs analysis) dia menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu
proses yang tidak dapat diabaikan dalam menerjemahkan karena merupakan
proses awal dalam menetukan metode penerjemahan yang akan dan harus
digunakan. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang
"benar-salah" (correctness) atau "baik-buruk" (good or bad translation) dalam
sebuah penerjemahan, dalam arti terjemahan seperti apa yang terbaik bagi
masyarakat pembaca Bsa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai
pembaca sasaran.
Sebagian penerjemah menganggap bahwa penerjemahan dikatakan benar
bila teks terjemahan telah menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam teks
bahasa sasaran secara tepat. Keberterimaan kemudian menjadi sesuatu yang tidak
diperhatikan. Sebagian yang lain menganggap teks terjemahan yang benar adalah
teks terjemahan dengan keberterimaan yang tinggi, teks terjemahan yang
memenuhi kaidah-kaidah bahasa sasaran baik kaidah gramatika maupun kaidah
kultural.51
Ada dua ideologi besar di dalam proses penerjemahan yang oleh Venuti
(1995) dikemukakan dengan istilah domesticating translation dan foreignizing
translation. Kedua ideologi tersebut akan Penulis paparkan di bawah ini.
51 Benny Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 83.
46
1) Domesticating Translation
Yang pertama adalah ideologi yang mengatakan bahwa terjemahan yang
baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sasaran. Ideologi ini disebut
lokalisasi atau domestikasi. Jadi, sebuah teks terjemahan dikatakan "baik",
"berterima", dan "benar" apabila bisa dipahami oleh pembaca bahasa target. Teks
terjemahan tersebut haruslah tidak terdengar seperti teks terjemahan, seakan-akan
sebuah karya asli bahasa yang bersangkutan.52
Dalam kaitan dengan kutub domestikasi ini, seorang penerjemah perlu
mengetahui mengapa suatu teks itu diterjemahkan dan apa fungsi dari teks
terjemahan tersebut karena setiap teks yang dihasilkan pasti mempunyai tujuan
tertentu dan teks tersebut harus bisa memenuhi tujuan yang akan dituju.
Penerapan ideologi ini akan tampak pada penggunaan metode penerjemahan
adaptasi, bebas, idiomatis, dan komunikatif.
Menurut Mazi-Leskovar (2003), seperti yang dikutip Sumardiono,
domestikasi atau lokalisasi mengacu pada semua perubahan pada semua tingkat
teks untuk membuat pembaca sasaran yang berasal dari Negara lain atau tinggal di
wilayah geografis yang berbeda dengan pengalaman sosio-kultural dan latar
belakang budaya yang berbeda bisa memahami teks terjemahan dengan baik.
52 Kecenderungan seperti ini sudah dicetuskan sebelumnya oleh para pakar teori
penerjemahan. Nida dan Taber dalam Hoed secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan
yang baik itu berorientasi pada keberterimaan (kebudayaan) dalam bahasa pembacanya. Kedua
pakar ini menganut dua kutub ideologi yaitu "transparansi" dan "domestication". Ibid, h. 84-85.
47
Perubahan pada teks terjemahan dengan demikian merupakan suatu hal yang
dirasa oleh pengarang sebagai upaya untuk meningkatkat keberterimaan teks.53
Pada beberapa teks terjemahan novel atau bentuk karya prosa lain, upaya
lokalisasi dilakukan antara lain dengan melokalisasi nama-nama tokoh cerita
dengan penggunaan nama dengan pengucapan yang lebih mudah diucapkan
pembaca. Pada novel Romeo and Juliet, misalnya, pada versi bahasa Indonesia
diganti dengan Romi dan Yuli. Perubahan ini tentu dimaksudkan tidak saja agar
pembaca Indonesia lebih mudah mengucapkannya, tapi juga agar tokoh-tokoh
tersebut terasa lebih dekat dengan kultur pembaca Indonesia.
Pada contoh kasus lainnya, misalnya yang dilakukan oleh penerjemah
Slovenia, penerjemah mengubah nama tokoh Tom dengan Tomaz, sebuah nama
varian yang terdengar lebih akrab bagi pembaca Slovenian. Penerjemah bahkan
melakukan domestikasi dengan memperpendek judul, dan, selain mengubah nama
tokoh-tokoh hero yang lain, menghilangkan sebagian informasi yang dianggap
terlalu detail bagi rata-rata pembaca dan figure-figur politik yang tidak dikenal
oleh khalayak Slovenia (Mazi-Leskovar, 2003:5).
Pada terjemahan karya sastra tertentu, penerjemah bisa menghubungkan
isu sebuah peristiwa atau fenomena sosial tertentu dalam teks bahasa sumber ke
dalam fenomena yang mirip terjadi di dalam masyarakat pembaca bahasa sasaran.
Misalnya kasus perbudakan masyarakat Amerika abad 19 dihubungkan dengan
53 Sumardiono, Ideologi Penerjemahan dan Penerjemahan Ideologi (teori penerjemahan),
Linguistik Penerjemahan, Sekolah Pasca Sarjana UNS, tahun 2007.
48
isu perlakuan majikan terhadap buruh. Di sini penerjemah menunjukan bahwa
perlakuan buruk para majikan pada buruhnya pada dasarnya adalah sama dengan
perbudakan yang terjadi pada masyarakat lain. Pengandaian ini akan membuat
pembaca lebih bisa memahami bagaimana situasi masyarakat yang diceritakan di
dalam novel dengan membandingkannya dengan situasi riil yang ada dalam
kehidupannya. Ini merupakan alat yang ampuh untuk membawa teks terjemahan
lebih dekat kepada pembaca target dengan menggambarkan dua situasi yang mirip
tapi dengan konteks kultural yang berbeda.
Lokalisasi bisa dilakukan untuk memenuhi kaidah sopan santun yang
berlaku pasa masyarakat bahasa sasaran. Ada ungkapan-ungkapan tertentu yang
kalau diterjemahkan secara harfiah akan menimbulkan ketidakberterimaan secara
kultural pada masyarakat bahasa sasaran. Bila seorang penerjemah menjumpai
kasus seperti ini, dia harus dengan pandai berusaha mencari padanan terdekat
tanpa harus melanggar norma yang dituntut masyarakat bahasa sasaran.
Lokalisasi mungkin juga dilakukan karena alasan politis atau ideologi.
Penerjemah kadang karena alasan tertentu atau pesan dari pihak tertentu
menggunakan penerjemahan sebagai alat untuk mendukung atau menyampaikan
tujuan dari sebuah ideologi yang mereka anut atau yang mereka sukai.
Keberadaan ideologi dalam mempengaruhi teks terjemahan dan memberi warna
ideologi penganutnya sudah berlangsung lama.
49
2) Foreignizing Translation
Ideologi ini bermakna bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan
yang mengacu pada bahasa sumber atau dengan kata lain teks terjemahan yang
baik adalah teks terjemahan yang masih mempertahankan bentuk-bentuk atau
gaya-gaya bahasa sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya. Menurut penganut
ini, mempertahankan teks bahasa sumber merupakan simbol kebenaran. Ideologi
ini disebut foreignisasi.
Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu. Di sini
yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang diungkapkan dalam
bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark, metode yang dipilih
biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu cenderung menggunakan
jenis penerjemahan kata perkata, harfiah, penerjemahan setia, dan penerjemahan
semantik.
Sekait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi eorang penerjemah tidak
menerjemahkan kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya
dalam penerjemahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak
lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini merupakan ciri bahwa penerjemah
tersebut penganut ideologi Foreignizing Translation. Alasan lain yang dapat
dikemukakan adalah agar anak-anak memperoleh pengetahuan kebudayaan lain.
Seorang penerjemah pada saat tertentu akan berhadapan dengan bentuk
atau istilah atau apapun dari teks bahasa sumber yang kemudian memerlukan
pertimbangan khusus apakah ia harus mempertahankan bentuk seperti yang
terdapat dalam bahasa sumber karena pertimbangan-pertimbangan tertentu
50
ataukah harus merubah untuk memudahkan pembaca memahami.dengan cara
membuat sesuatu yang lebih dekat dengan khalayak pembaca.
Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan
apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi
merupaka hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber (Mazi-
Leskovar, 2003:5). Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah
terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa
sumber. Mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber adalah
symbol ‘kebenaran’ menurut penganut ini. Menurut Mazi-Leskovar (2003)
foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang
asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupakan hal
yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber. Dengan paradigma ini ,
terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan
cita rasa kultural bahasa sumber. Kebenaran, menurut paradigma ini, dilakukan
dengan mempertahankan apa adanya yang terdapat pada teks bahasa sumber.
Penerjemahan yang ‘benar’, ‘berterima’, dan ‘baik’ adalah yang sesuai
dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan kehadiran
kebudayaan bahasa sumber (Hoed, 2003:4). Pemakaian kata sapaan system
kekerabatan seperti uncle, aunty atau Sir, misalnya, akan membuat pembaca
memahami kultur bahasa sumber dan secara tidak langsung telah belajar kultur
bahasa sumber ketika membaca karya terjemahan.
Ketika berhadapan dengan teks atau istilah atau konsep yang sulit
ditemukan padanannya dalam bahasa sasaran, seorang penerjemah mempunyai
51
dua pilihan. Apakah ia akan mempertahankan seperti bentuk aslinya dalam bahasa
sumber yang dengan begitu dia mempertahankan keakuratan teks atau ia
berusakha menggunakan sesuatu yang sudah dikenali oleh pembaca meskipun
dengan resiko keakuratan penerjemahan menjadi berkurang.
Ada berbagai alasan kenapa seorang penerjemah melakukan lokalisasi bisa
karena alasan agar teks terjemahan lebih mudah dipahami oleh khalayak pembaca.
Bisa juga seorang penerjemah melakukan strategi lokalisasi karena alasan nilai-
nilai kultural, misalnya karena alasan kesopanan bahasa sasaran yang tidak
memungkinkan penerjemah menerjemahkan teks bahasa sumber secara apa
adanya, tapi harus memperhalusnya dengan ungkapan local yang lebih diterima.
Alasan lain yang melatarbelakangi proses lokalisasi adalah alasan ideologi atau
alasan politik. Ideology dan politik yang diyakini penerjemah akan ikut
mempengaruhi hasil terjemahannya.
Perdebatan mengenai penggunaan domestikasi dan foreignisasi menjadi
perhatian para ahli teori penerjemahan sudah sejak lama. Venuti membahas dua
teknik tersebut dalam bukunya, “The Translator Invisibility”, 1995. Venuti
melakukan penelitian dalam bidang penerjemahan pada budaya Anglo-Amerika.
Dia menemukan banyak penerbit cenderung menggunakan domestikasi dalam
menerjemahkan teks advokasi karena mempermudah pembaca. Kecenderungan
ini dilakukan untuk menjaga eksistensi atau nama si penerjemah di wilayah
tersebut.
Menurut Venuti, hal ini membuat penerjemah mendapat pengakuan
terhadap eksistensinya, namun di sisi lain adanya etnosentris terhadap nilai
52
budaya bahasa target (ibid: 20). Dengan domestikasi cita rasa budaya dalam
bahasa sumber bisa jadi tidak tersampaikan dalam bahasa target. Untuk mencegah
terjadinya masalah budaya, Venuti menyarankan penggunaan foreignisasi sebagai
solusi terhadap perselisihan penerjemahan istilah-istilah budaya. Foreignisasi
diperkenalkan oleh Schleimacher yang mendefinisikan foreignisasi sebagai, “The
translator .....moves the reader to words the writer” (sebagaimana yang
dinyatakan dalam Hatim, 2001: 46).
Jika foreignisasi dilakukan dalam penerjemahan, pembaca bahasa sasaran
akan merasakan keberadaan si penerjemah dan mereka akan mengatakan bahwa
mereka sedang membaca teks terjemahan, (Munday, 2001: 147). Solusi ini akan
menjaga reputasi penerjemah dan memperlihatkan peran penting penerjemah,
Venuti (1995). Dari berbagai alasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
penerapan domestikasi dan foreignisasi sepenuhnya ada di tangan si penerjemah.
Seorang penerjemah dengan berbagai pertimbangan akan memutuskan ideologi
mana yang ia gunakan dalam menerjemahkan teks sumber.
53
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Telaah Penerjemahan Domestikasi
Seperti yang telah kita ketahui bahwa ideologi domestikasi adalah suatu
teks terjemahan yang harus menghadirkan nuansa-nuansa kontekstual dalam
bahasa penerima atau lebih mendekatkan terjemahan pada budaya masyarakat
setempat.54
Berikut ini akan dipaparkan hasil analisis terjemahan domestikasi atau
lokalisasi yang ada pada buku 303 Percakapan Arab-Inggris yang disusun
Djalinus Syah, dkk. Dan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam batasan dan
rumusan masalah pada bab pendahuluan bahwa analisisnya dikerucutkan dalam
bentuk lingual kata, frasa, klausa, dan kalimat.
terjemahnya: Selamat Pagi صباح اخلري (1
Bila ungkapan tersebut kita terjemahankan secara harfiah, hasil
terjemahannya adalah pagi yang baik. Frasa ini agak berbeda bila kita menelisik
54 Penting menjadi catatan di sini, dikarenakan penelitian ini menggunakan pendekatan
sosio-kultural, maka ada beberapa pertimbangan, terutama aspek budaya dalam proses kerja
penerjemahan. Pertimbangan ini dengan tujuan agar dapat mencapai makna yang tepat. Ada 12
aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak menerjemahkan. Berikut ini dua belas budaya
tersebut: 1) Perangkat Mental; 2) Ungkapan Stereotip; 3) Peristiwa Budaya; 4) Bangunan
Tradisional; 5) Kekerabatan (kinship); 6) 'Amiyah-Fushha; 7) Idiom; 8) Ekologi; 9) Budaya
Meterial; 10) Konsep Agama; 11) Isyarat dan Kebiasaan; 12) Kata Ganti (dhomir atau pronoun).
Kampusislam.com, diunduh pada 10 April 2011, pukul 10.00 WIB.
54
ungkapan itu dengan bahasa Indonesia. Selamat pagi bila kita terjemahkan
seharusnya berlafazkan ذا الـصباح أهنئك . Tapi karena memang budaya Arab
lebih pada sambutan/salam yang hangat (greeting) yang mengedepankan
komunikatif, maka terjemahannya selamat pagi. Kasus ini menunjukkan adanya
penggunaan teori domestikasi.55
terjemah: Tuan Tono يا سيد تونو (2
Sang penerjemah menggunakan konsep domestikasi, karena ia
menerjemahkan kata sayyid dengan tuan, dan menurut hemat Penulis, selain
diterjemahkan dengan tuan, kata sayyid itu bisa juga diterjemahkan dengan
Bapak/Pak, dan ini sebagai salah satu bentuk penghormatan saja.56
terjemah: Nyonya Smith يا سيدة سيمت (3
Sang penerjemah menggunakan konsep domestikasi, karena ia
menerjemahkan kata sayyidah dengan kata Nyonya, dan sebenarnya bisa juga
diartikan Ibu.57
terjemah: Selamat Berpisah وإىل اللقاء حىت صباح غد (4
Kasus domestikasi dalam kalimat di atas, sang penyusun
menerjemahkannya dengan selamat berpisah, padahal dalam bahasa Arab itu bisa
55 Djalinus Sjah, 303 Percakapan Arab-Indonesia-Inggris (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 2002), cet ke-15, h. 1 56 Ibid, h. 1. 57 Ibid, h. 12.
55
diterjemahkan cukup dengan إىل اللقـاء. Meskipun begitu, hal ini boleh-boleh
saja.58
terjemah: Terima Kasih Kembali ال شكر على الواجب (5
Ungkapan kalimat ini tidak biasa kita kenal dalam budaya kita. Yang popular
adalah syukron jazilan, yaitu sebuah jawaban rasa terima kasih kepada seseorang.
Dalam hal ini, sang penerjemah melokalisasi atau melakukan teori domestikasi.59
terjemah: Apakah anda sering هل كثريا ما تتفرج على اإلذاعة املرئيـة؟ (6
menonton televisi?
Kalimat ini jelas sekali mengandung unsur domestikasi. Sebab kata
al-idza'ah al-mariyyah itu bila kita terjemahkan secara harfiah sebenarnya siaran
yang dilihat/ditonton, namun tampaknya sang penyusun menggunakan
domestikasi yaitu dengan menonton televise (at-tilfizyun).60
!terjemah: selamat ألف مربوك (10
Pada frasa ini, penerjemah mengalihbahasakannya dengan kata selamat! Bila kita
menelisiknya lebih teliti, sejatinya frasa alfu mabruk itu memiliki semantikal
ribuan keberkahan atau semoga diberkahi selalu. Akan tetapi, penyusun buku
menerjemahkannya dengan ungkapan selamat (congratulations).61
58 Ibid, h. 2. 59 Ibid, h. 26. 60 Ibid, h. 78. 61 Ibid, h. 86
56
11) ,terjemah: kalau begitu إذن، يستحسن لك أن تأخذ معـك الشمـسية
lebih baik Anda membawa payung
Pada kalimat di atas, kata as-syamsiah diartikan dengan payung. Dalam
hal ini, ada kasus domestikasi yang diterapkan oleh penyusun buku. Karena dalam
konteks budaya kita, istilah payung itu biasanya dengan mizhallah. Ada sedikit
kemiripan, sebab bila diartikan secara harfiah, kata as-syamsiah itu diterjemahkan
dengan pelindung dari sinar matahari yang penat. Dan penerjemahan kata payung
adalah sangat tepat sekali dengan minat pembaca.62
?terjemah: maaf, di mana toilet من فضلك، أين بيت املاء (12
Kata bayt al-ma' diartikan dengan toilet atau kamar kecil atau Wc (water
close). Dalam hal ini, nampak sekali konsep domestikasinya. Karena, frasa itu
tidak kita jumpai di kalangan penutur bahasa sumber. Biasanya untuk kata kamar
kecil digunakan hammam atau mirhadh, atau bisa juga baytul khala'. Bila kita
terjemahkan secara harfiah, frasa tersebut bermakna rumah air, dan konsep ini
tidak berlaku di konteks pembaca sasaran.63
B. Telaah Penerjemahan Foreignisasi
Adapun hakikat teori penerjemahan foreignisasi adalah menampilkan
wajah asli bahasa asing, dalam konteks ini bahasa Arab, atau bisa juga ditafsirkan
mempertahankan budaya bahasa sumber yang tidak dikenal oleh kebanyakan
62 Ibid, h. 92. 63 Ibid, h. 119.
57
penutur/pembaca bahasa sasaran. Dengan demikian masyarakat bisa tahu bahwa
itu bahasa asing. Lihat contoh di bawah ini:
رمضان واجب على املسلمني يف كل سنة صوم
Terjemahan: "Setahun sekali, setiap Muslim wajib melaksanakan shaum
Ramadhan." Dalam contoh tersebut, terlihat jelas sekali bahwa sang penerjemah
menggunakan teori foreignisasi, yakni mempertahankan apa yang ada dalam
bahasa sumber. Kata shaum tidak diterjemahkan menjadi puasa.
Berikut ini akan dipaparkan hasil analisis terjemahan foreignisasi yang ada
pada buku 303 Percakapan Arab-Inggris yang disusun Djalinus Syah, dkk.
terjemahannya: Apa anda punya (laqob) atau هل عندك لقب ياوليـام؟ (1
nama panggilan, William?"
Sang penerjemah dalam hal ini menggunakan foreignisasi, karena dalam
konteks budaya kita , istilah laqob itu adalah gelar atau julukan, seperti si tukang
tidur (ya nauman atau ya nawwam).64
terjemah: kalau begitu, ayo kita pergi إذن، سنخرج إىل الرحلـة غـدا (2
rihlah esok hari
Pada contoh kasuistik di atas, kata ar-rihlah diterjemahkan dengan
menggunakan konsep budaya asal, dengan tetap mempertahankan kata rihlah,
64 Ibid, h. 5
58
bukan dengan jalan-jalan (piknik atau tamasya) yang lebih akrab dengan nuansa
bahasa lokal.65
terjemah: berbicara tentang manzil احلديث حول املرتل (3
Bila ditelaah lebih dalam, kalimat tersebut mengandung unsur foreignisasi,
dalam arti si penyusun dan penerjemah buku itu menggunakan budaya pembaca
asal. Kata al-manzil di atas diterjemahkan menjadi manzil, masih
mempertahankan konsep budaya sumber. Padahal, ia memiliki semantikal rumah.
Sebab di budaya kita, kata manzil terdengar asing sekali.66
65 Ibid, h. 15-16 66 Ibid, h. 93.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang Penulis lakukan pada bab sebelumnya, maka
kesimpulannya secara garis besar (natijah kubro) adalah sebagai berikut:
1) Dalam buku yang disusun oleh Djalinus Sjah, dkk ini banyak
mengandung konsep domestikasi dan foreignisasi.
2) Ungkapan budaya atau konteks bahasa semula atau yang biasa dikenal
dengan bahasa sumber (Bsu) dialihkan dengan baik dan berhasil oleh
penerjemah.
3) Dalam mengimplementasikan dua objek studi penelitian ini, sang
pengalihbahasa lebih banyak menggunakan teori domestikasi daripada
foreignisasi. Ia lebih mengedepankan aspek keterpahaman pada budaya
setempat atau melokalisasi budaya Bsu dengan Bsa.
4) Wawasan budaya dalam ranah penerjemahan sangat diperlukan karena
ketika seseorang menerjemahkan, secara tidak sadar ia telah memasuki
budaya atau mentransferkan budaya dari bahasa sumber ke budaya
sasaran.
5) Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah menentukan dulu siapa
calon pembaca terjemahannya (audience design) dan akan digunakan
untuk apa terjemahan itu needs analysis.
6) Penerjemahan yang baik, dalam hal ini konsep atau ideologi
domestikasi dan foreignisasi adalah relatif (nisbi), keduanya tidak ada
60
yang salah. Kedua ideologi yang digunakan benar, karena masing-
masing mewakili aspirasi yang ada di dalam masyarakat setempat.
B. Rekomendasi
Bertolak dari kesimpulan yang telah Penulis uraikan di atas, tampaknya
menjadi tantangan besar bagi para penerjemah dan penikmat buku terjemahan,
paling tidak buku yang semodel dengan ini, agar lebih dalam dan teliti lagi dalam
mengunyah hasil terjemahan yang dihidangkan. Di dalam buku ini, banyak
ditemukan makna bahasa yang kurang sesuai dengan rasa bahasa (dzauqul
lughah) kita dengan baik dan benar. Dan menjadi catatan khusus dalam kajian
skripsi ini adalah bahwa buku ini sangat jauh dari nuansa-nuansa kekinian,
terutama dari aspek bahasa yang digunakan. Semoga ini menjadi pertimbangan
selanjutnya bagi Penerbit yang akan mencetak ulang kembali. Dan menurut hemat
Penulis, terjemahannya harus dikoreksi baik dari sisi pemahaman, struktur kalimat
dan letak susunan kata (sintaksis) yang tidak gramatis, kekeliruan ejaan, diksi
yang digunakan, serta transliterasi yang dipakai.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Akmal, Hilmi. Keterkaitan antara Bahasa, Pikiran, dan Kebudayaan, Jurnal Al-
Turats; Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, Volume XV, No. 2,
Mei 2009.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab – Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesatren Krapyak, 1988.
Bainar, Hajjah, dkk, Ilmu Sosial, Budaya, dan Kealaman Dasar, Jakarta: Jenki
Satria, 2006.
Bagus, Ida dan Putra Yadnya, The Dynamics of Translation, dalam versi PDF.
Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah; Metode dan Wawasan Menerjemah Teks
Arab Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Hoed, Benny. Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
2006.
Kamus Web Arab (versi digital) 2.0
Kriyantono, Rahmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: UI, 1965.
_____________, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Leskovar, Mazi. Domestication and Foreignization in Translating American
Prose for Slovenian Children, 2003), Meta Vol XLVIII
62
Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah, Jakarta: Grasindo, 2000.
Ma'luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Mufid, Nur. Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia: Cara Paling Tepat,
Mudah, dan Kreatif, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 2002.
Nababan, M. Rudolf. Teori Menerjemah Bahasa Inggris, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
_______, Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan. Makalah disajikan
dalam Semiloka Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas
Negeri Jogyakarta pada tanggal 23 Juli 2004.
_______, Penerjemahan dan Budaya, dalam Http://Pppsi-Apfi.Org/Datapdf/24-
11. versi Pdf, diunduh pada Jumat, 11 Maret 2011, 14. 30 WIB.
Nugroho, Widyo. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT. Gunadarma, 1994.
Peorwadarmita, W. J . S. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2005.
Sukur, Silvester. Kaya Lewat Terjemahan: Menyingkap Rahasia Sukses Bisnis
Alih Bahasa, Bandung: Mizan Media Utama, 2009.
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung:
Humaniora, 2005.
Setia, Eddy. Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa Pendekatan, Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara, versi PDF
63
Silalahi, Roswita. Dampak Metode, Teknik, dan Ideologi Penerjemahan pada
Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa
Indonesia. Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bidang Ilmu Lingusitik, 16 Juli
2009, dalam format PDF.
Sumardiono, Ideologi Penerjemahan dan Penerjemahan Ideologi (teori
penerjemahan), Linguistik Penerjemahan, Sekolah Pasca Sarjana UNS,
tahun 2007, dalam versi PDF.
Venuti, The Translation Studies Reader, New York: Routledge, 2000.
________, Implikasi Budaya dalam Penerjemahan, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik/Penerjemahan pada
Fakultas Sastra Universitas Udayana tanggal 29 April 2006, h. 3, versi
PDF.
Zulkifli, Moh.Paputungan. Pondok Orang Arab, sebuah Persembahan
Pengetahuan untuk Pencinta Dunia Pendidikan Bahasa Arab, diunduh
pada Kamis, 10 Maret 2011, pukul 19.54 WIB.
Situs-Web Internet
1) http://anotherfool.wordpress.com,
2) Karya Ilmiah, Penerjemahan dan Budaya (Translation). Web: http://dion-
zydion2i.blogspot.com/2009/10/karya-ilmiah-penerjemahan-dan-
budaya.html
3) http://www.proz.com/translation-articles/articles/2074/1/Penerjemahan-
dan-Budaya,
1
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf
latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
T ط ا
Z ظ b ب
‘ ع t ت
Gh غ ts ث
F ف j ج
Q ق h ح
K ك kh خ
L ل d د
M م dz ذ
N ن r ر
W و z ز
H ة s س
` ء sy ش
2
Y ي s ص
d ض
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
---- a Fathah
---- i Kasrah
----- u Dammah
B. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي--- ai a dan i
و--- au a dan u
C. Vokal Panjang
3
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
----ا/ي â a dengan topi di atas
ي---- î i dengan topi di atas
و--- û u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf , ال
qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta
Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf
4
Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /t/ (contoh no.3)
No. Kata Arab Alih Aksara
Tarîqah طریقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyah الجامعة اإلسالمیة 2
wihdat al-wujûd وحدة الوجود 3
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan
sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital.
اإلسم األعظم
نصراهللا نورالدين الليسانس: الكاتب
د ومل يولد ومل يكن اللهم إين أسألك بأين أشهد أنك أنت اهللا الاله إال أنت األحد الصمد الذي مل يل
إلله إالاهللا العظيم احلليم إلله إالاهللا رب العرش الكرمي إلله إالاهللا رب السماوات ورب .له كفوا احد
إلله إال انت سبحانك إين كنت من الظاملني يا حي يا قريم برمحتـك . األ رض ورب العرش العظيم
نان بديع السماوات واألرض يا ذاجلـالل اللهم إين أسالك بأن لك احلمد إلله إال أنت امل .أستغيث
اللهم إين ظلمت نفسي ظلما كثريا فإنه ال يغفر الذنوب إال أنت فـاغفريل .واإلكرام يا حي يا قيوم
.مغفرة من عندك وارمحين إنك انت الغفور الرحيم
.سبحان اهللا العظيم يا حي ياقيوم برمحتك أستغيث
.فة عيين وأصلحلي شأين كله إلله إال انتاللهم رمحتك ارجو فال تكلين إيل نفسي طر
اللهم إين عبدك ابن عبدك ابن عمتك ناصيت بيدك ماض يف حكمك عدل يف قضاءك أسألك بكل
اسم هو لك مسيت به نفسك أو أنزلته ىف كتابك أوعلمته أحدا من خلقك أو إستئثرت ىف علم الغيب
.عندك أن جتعل القرآ ن ريبء قليب وجالء حزين وذهاب مهي
اللهم إين أسألك من خري ما سألك منه عبدك ونبيك حممد صلى اهللا . أهللا أهللا ريب ألشرك بريب أحدا
. وأعوذبك مما الستعاذك منه عبدك ونبيك حممد صلى اهللا عليه وسلم. عليه وسلم
ونعوذبك من الذنوب اليت متنح غيث الـسماء , نعوذبك من الذنوب اليت توجب النقم , يا كهيعص
من الذنوب اليت تذل األعزاء وتديل األعداءونعوذبك
الرامحني أرحم وأنت الضر مسين أين ريب