jurnal saponin

26
BAB I PENDAHULUAN Prinsip Percobaan Pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.) secara kromatografi lapis tipis dimana sampel yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal) pada plat KLT. Kemudian setelah plat KLT dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak kloroform-metanol 95:5), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985). Tujuan Percobaan a. Untuk mengetahui prinsip skrining fitokimia dan kromatografi lapis tipis b. Untuk mengetahui hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.) 1

Upload: lyahotang

Post on 19-Jan-2016

245 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

saponifikasi adalah

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal saponin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Prinsip Percobaan

Pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak buah ceremai

(Phyllanthus acidus L.) secara kromatografi lapis tipis dimana sampel yang akan

dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal) pada plat

KLT. Kemudian setelah plat KLT dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat yang

berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak kloroform-metanol 95:5),

pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya,

senyawa yang berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

1.2 Tujuan Percobaan

a. Untuk mengetahui prinsip skrining fitokimia dan kromatografi lapis tipis

b. Untuk mengetahui hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai

(Phyllanthus acidus L.)

c. Untuk mengetahui hasil kromatografi lapis tipis ekstrak buah ceremai

(Phyllanthus acidus L.)

1.3 Manfaat Percobaan

a. Dapat mengetahui hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai

(Phyllanthus acidus L.)

b. Dapat mengetahui hasil kromatografi lapis tipis ekstrak buah ceremai

(Phyllanthus acidus L.)

1

Page 2: jurnal saponin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Pohon ini berasal dari India, dapat tumbuh pada tanah ringan sampai tanah

berat dan tahan akan kekurangan sampai kelebihan air. Ceremai banyak ditanam

orang di halaman, di ladang dan di tempat lain sampai ketinggian 1.000 m dpl

(Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Menurut Johnny Ria Hutapea (1994) sistematika tumbuhan ceremai adalah

sebagai berikut:

Divisi : Spematophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Phyllanthus

Jenis : Phyllanthus acidus (L.) Skeels

2

Page 3: jurnal saponin

2.1.2 Nama Daerah

Di beberapa daerah Indonesia, namanya berbeda-beda. Di Aceh disebut

ceremoi, cerme (Gayo), ceramai (Melayu), camin-camin (Minangkabau), careme,

cerme (Sunda), cerme (Jawa). Di Bali disebut carmen, cermen, careme (Madura),

sarume (Bima) (Dalimartha and Agriwidya, 1999).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Ciri pohon kecil, tinggi sampai 10 m kadang lebih, percabangan banyak,

dan kulit kayu tebal. Daun tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai

membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun bundar telur sampai

jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata, pertulangan

menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2 cm hingga 7 cm, lebar 1,5

cm hingga 4 cm. Warna hijau muda (Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

Bila tangkai gugur akan meninggalkan bekas yang nyata pada cabang.

Perbungaan berupa tandan yang panjang 1,5 cm hingga 12 cm, keluar di

sepanjang cabang, kelopak bentuk bintang, mahkota merah muda. Terdapat bunga

betina dan jantan dalam satu tandan. Buahnya buah batu, bentuknya bulat pipih,

berlekuk 6 cm hingga 8 cm, panjang 1,25 cm hingga 1,5 cm, lebar 1,75 cm hingga

2,5 cm, warnanya kuning muda, berbiji 4 hingga 6, rasanya asam. Biji bulat pipih

berwarna coklat muda (Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

2.1.4 Kandungan Kimia dan Manfaat Tumbuhan

Kandungan kimia ceremai adalah saponin, flavonoida, tanin, dan polifenol

(Hutapea, J.R., 1994).

Daun Ceremai berkhasiat untuk mengobati kanker, selain itu juga berkhasiat

mengobati batuk berdahak, menguruskan badan, mual, dan sariawan. Sedangkan

3

Page 4: jurnal saponin

kulit berkhasiat mengatasi penyakit asma dan sakit kulit. Biji berkhasiat untuk

mengobati sembelit serta mual akibat perut kotor (Dalimartha dan Agriwidya,

1999).

2.2 Uraian Kimia

2.2.1 Saponin Glikosida

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida

steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun

serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit,

banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang

umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1996).

Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.

Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadan saponin sangat mudah

ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok

menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit

menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah

dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan

Mulyani, 2004). Senyawa saponin dapat pula diidentifikasi dari warna yang

dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau

menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda, atau ungu

menunjukkan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966).

Saponin memiliki berat molekul tinggi, dan berdasarkan struktur

aglikonnya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe steroida dan

tipe triterpenoida. Kedua senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom C-

4

Page 5: jurnal saponin

3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan

satuan-satuan isoprenoid (Gunawan dan Mulyani, 2004).

a. Saponin Steroida

Saponin steroida terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil,

contohnya diosgenin yang terdapat pada Dioscorea hispida, dan hecogenin yang

terdapat pada Agave americana (Gunawan dan Mulyani, 2004).

b. Saponin Triterpenoida

Saponin triterpenoida banyak terdapat pada tumbuhan dikotil seperti:

gipsogenin terdapat pada Gypsophylla sp., dan asam glisiretat terdapat pada

Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan Mulyani, 2004).

5

Page 6: jurnal saponin

2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut

tertentu (Depkes, 2000).

Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak, merupakan sediaan kental yang

diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan

pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan

(Depkes, 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu (Depkes, 2000):

A. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi

yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik,

sedangkan maserasi yang dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya

disebut remaserasi.

2. Perkolasi

6

Page 7: jurnal saponin

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi

penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses

perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara,

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus

sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

B. Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu

tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan terus-menerus pada temperatur

lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada temperatur

40-50oC.

7

Page 8: jurnal saponin

3. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan

menggunakan alat Soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah

pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90o C

selama waktu 15 menit.

5. Dekoktasi Dekoktasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

sampai titik didih air selama 30 menit atau lebih.

2.4 Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh ahli botani Rusia pada tahun

1903 yang bernama Michael Tswett untuk memisahkan pigmen warna dalam

tanaman. Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum

dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan

untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, analisis kuantif, atau preparatif

8

Page 9: jurnal saponin

dalam bidang farmasi, industry dan lain sebagainya. Kromatografi merupakan

suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase

gerak (mobile phase) (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) pada umumnya disebut sebagai kromatografi

planar. Pada kromatografi lapis tipis (KLT), fase diamnya berupa lapisan yang

seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng

kaca, pelat aluminium, atau plat plastik. Kromatografi lapis tipis dalam

pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah. Demikian juga peralatan yang

digunakan (Rohman, 2007).

Pada KLT yang penting diperhatikan dari penyerapnya adalah ukuran

partikel dan homogenitasnya. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25

mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang

memuaskan dan salah satu alasan untuk menaikkan hasil pemisahan adalah

menggunakan penyerap yang butirannya halus.Beberapa contoh penyerap yang

biasa digunakan untuk pemisahan dalam KLT adalah silika gel, alumina, selulosa,

dan pati (Sastrohamidjojo, 1990).

9

Page 10: jurnal saponin

Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi serapan dimana fase diam

berupa zat padat yang disebut adsorben (penjerap) dan fase gerak berupa zat cair

yang disebut larutan pengembang (Gritter, et al., 1991). Empat macam adsorben

yang umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde),

kieselguhr (diatomeous earth), dan selulosa (Adnan, 1997).

Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut,

yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya

kapiler (Stahl, 1985). Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas

prinsip like dissolves like, artinya untuk memisahkan sampel yang bersifat

nonpolar digunakan sistem pelarut yang bersifat nonpolar juga. Proses

pengembangan akan lebih baik bila ruangan pengembangan tersebut telah jenuh

dengan uap sistem pelarut (Adnan, 1997). Pelarut dalam ruangan pengembang

dihindarkan dari atmosfer luar untuk menghindari penguapan komponen-

komponen (Sastrohamidjojo, 1985) dan campuran pelarut dianjurkan hanya

dipakai untuk sekali pengembangan saja karena susunannya mudah berubah

akibat salah satu komponennya menguap (Gritter, et al., 1991). Harga Rf dihitung

dengan menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan sebagai berikut:

10

Page 11: jurnal saponin

Rf = Jarak yang ditempuh senyawa

Jarak yang ditempuh fase gerak

Harga Rf maksimum adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama

dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel

tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Rohman, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf pada KLT (Sastrohamidjojo,

1985), antara lain:

1. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan

2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya

3. Tebal dan kerataan lapisan penyerap

4. Derajat kemurnian fase gerak

5. Derajat kejenuhan uap pengembang pada bejana

6. Jumlah cuplikan

7. Suhu

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran

senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang

menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan

bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT juga dapat

digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik

seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi

kertas (Anggraeni, 2009).

Lazimnya untuk identifikasi menggunakan atau dinyatakan dengan angka

Rf atau hRf. Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan

dua decimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilakan nilai

11

Page 12: jurnal saponin

berjangka 0 sampai 100. Jika dipilih 10 cm sebagai jarak pengembangan, maka

jarak rambat suatu senyawa (titik awal-pusat bercak dalam cm) x 10 menghasilkan

angka hRf. Tetapi, karena angka Rf merupakan fungsi sejumlah factor, angka ini

harus dianggap sebagai penunjuk. Inilah yang menjadi alasan mengapa angka

hRf-lah, misalnya hRf 60-70 yang dicantumkan untuk menunjukan letak suatu

senyawa pada kromatogram (Stahl, 1985).

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam percobaan adalah alat refluks, chamber,

Erlenmeyer, kertas saring, plat pra silika GF 254, tabung reaksi, vial.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan adalah aquadest, buah cermai,

(Phyllanthus acidus L), etanol 70 %, HCL 2N, kloroform , Liebermann,

methanol.

3.3 Prosedur

3.3.1 Skrining Fitokimia

1. Buah cermai dihaluskan secukupnya.

2. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan air

secukupnya, dipanaskan di penangas air hingga mendidih.

3. Tunggu hingga dingin.

12

Page 13: jurnal saponin

4. Kemudian kocok kuat selama 10 detik.

5. Diukur tinggi buih.

6. Tambahkan HCl 2N sebanyak 2 tetes.

7. Diukur tinggi buih.

3.3.2 Penentuan Golongan Senyawa Kimia Saponin secara Kromatografi

Lapis Tipis

1. Buah cermai dihaluskan secukupnya.

2. Kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambahkan etanol 70%.

Direfluks selama 2 jam.

3. Kemudian disaring, residu dibuang, filtrat diambil.

4. Filtrat ditotolkan pada plat.

5. Dimasukkan kedalam chamber yang telah dijenuhkan (kloroform :

methanol (95:5) dalam 10 ml).

6. Dikeluarkan plat dari chamber apabila telah merambat samapi batas

pengembangan

7. Diamati noda yang terjadi secara visualisasi, UV, dan larutan penampak

bercak (Liebermann).

8. Dihitung harga Rf.

13

Page 14: jurnal saponin

3.4 Flowsheet

3.4.1 Skrining Fitokimia

Dimasukkan kedalam tabung reaksi Ditambahkan 10 ml air panas Didinginkan Dikocok kuat selama 10 detik

Ditambah 1 tetes HCl 2N

3.4.2 Penentuan Golongan Senyawa Kimia Saponin secara Kromatografi

Lapis Tipis

Dihaluskan Ditambahkan 25 ml etanol 70% Direfluks selama 1 jam

Didinginkan Disaring

Diuapkan sampai 1/3 bagian Dimasukkan kedalam vial Ditotolkan pada plat KLT GF254

Dimasukkan kedalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak

14

Filtrat

Sampel

Sampel

Buih setinggi 1-10 cm selama 10 menit

Buih tidak hilang

Page 15: jurnal saponin

Dikeluarkan plat dari chamber Dilihat noda secara visual, UV, dan setelah disemprotkan penampak bercak Dihitung harga Rf

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1. Hasil Skrining Saponin Glikosida pada Ekstrak Buah Ceremai

(Phyllanthus acidus L.)

No

.

Golongan

Senyawa Kimia

Pereaksi Hasil Kesimpulan

1. Saponin Air panas

Ditambah 1 tetes

HCl 2N

Buih setinggi 4

cm

Buih tidak hilang

(+)

Saponin

Glikosida

Tabel 2. Hasil Penentuan Golongan Senyawa Kimia Saponin Glikosida secara Kromatografi Lapis Tipis

Fase GerakKloroform-metanol (95:5)

Harga Rf Warna Noda pada Kromatogram

Sebelum Visualisasi

Hasil UV

Sesudah Visualisasi (Penyemprotan

penampak bercak Carr-Price)

15

Hasil

Page 16: jurnal saponin

4.2 Pembahasan

Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui jenis metabolit sekunder apa

yang terkandung dalam sampel. Sampel yang digunakan pada percobaan kali ini

adalah buah ceremai (Phyllanthus acidus L.). Berdasarkan hasil skrining

fitokimia, diketahui bahwa ekstrak buah cermai mengandung senyawa saponin

glikosida. Hal ini terlihat dari busa stabil yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan

teori, dimana setelah sampel yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam tabung

reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, lalu didinginkan dan kemudian dikocok

kuat-kuat selama 10 detik; terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari

10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada penambahan 1 tetes HCl 2N, buih

tidak hilang, menunjukkan adanya saponin glikosida (Robinson, 1995). Menurut

Robinson (1995) senyawa yang memiliki gugus polar dan non polar bersifat aktif

permukaan sehingga saat dikocok dengan air, saponin dapat membentuk misel.

Pada struktur misel, gugus polar menghadap ke luar sedangkan gugus

nonpolarnya menghadap ke dalam. Keadaan inilah yang tampak seperti busa.

Prosedur uji dengan KLT dilakukan untuk lebih menegaskan hasil yang

didapat dari skrining fitokimia. Identifikasi terhadap sampel (buah ceremai)

menggunakan fase gerak kloroform-metanol (95:5), memberikan hasil negatif. Ini

terlihat dari tidak terdapatnya noda pada kromatogram. Hal ini mungkin

16

Page 17: jurnal saponin

dikarenakan dalam menotolkan sampel pada plat KLT, praktikan tidak

melakukannya dengan benar. Sehingga tidak terdapat noda/bercak pada plat KLT

tersebut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Prinsip skrining pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak

buah ceremai (Phyllanthus acidus L.) secara kromatografi lapis tipis

dimana sampel yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa

bercak atau pita (awal) pada plat KLT. Kemudian setelah plat KLT

dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang

yang cocok (fase gerak kloroform-metanol 95:5), pemisahan terjadi

selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang

berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

b. Hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.)

menunjukkan hasil positif mengandung senyawa kimia saponin glikosida

c. Hasil kromatografi lapis tipis ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus

L.) memberikan hasil negatif yang dikarenakan tidak terdapatnya

noda/bercak pada kromatogram.

5.2 Saran

17

Page 18: jurnal saponin

Sebaiknya menggunakan fase diam dan fase gerak yang lainnya agar

diketahui fase diam dan fase gerak mana yang memberikan hasil yang

maksimal

Sebaiknya dalam menotolkan sampel ke plat KLT, praktikan harus lebih

teliti dan berhati-hati agar hasil yang didapat sesuai dengan yang

diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agriwidya, Jakarta. Hal. 43-47

Depkes RI.(2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. DirektoratJenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan ObatTradisional. Jakarta.

Gritter et al., (1991). Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 107.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata danIwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 69-76.

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan: K. Padmawinata.Bandung: Penerbit ITB. Hal. 191-216.

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Cetak pertama.Yogyakarta:Liberty. Hal.29-32, 126-136.

Stahl, E., (1985), Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, penerbit ITB, Bandung. Hal. 3-17

Wagner, H., Bladt, S., and Zyainski, E. M. (1984). Plant Drug Analysis A Thin Layer Chromatography Atlas. Translated by Th. A. Scott. New York :

Springer Verlay. Page 301.

18