jurnal santi, vol. 2 no. 1 oktober 2018

94

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018
Page 2: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

i

PENGANTAR REDAKSI

Om Swastyastu.

Pujastuti dipanjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa karena atas berkat rahmat-Nyalah Santi: Journal of Balinese Literature Volume 02 No 1 tahun 2018, Program Studi Sastra Bali Universitas Udayana bisa diterbitkan. Edisi atau terbitan kali ini menyajikan tulisan lebih variatif (bidang sastra, linguistik, dan juga hasil pengabdian kepada masyarakat) dengan berbagai topik yang menarik yang didasarkan atas hasil penelitian memalui fakta atau data yang telah diuji. Ada delapan tulisan yang patut dibaca dengan sajian sangat menarik. Pertama, Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum. dengan tulisannya berjudul “Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali “. Tulisan ini menjadi penting untuk memberikan pemahaman sastra Bali modern yang masih berhubungan dengan nilai budaya Bali tradisional. Kedua, Drs. I Ketut Ngurah Sulibra dan Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si. menyajikan hasil penelitiannya yang berjudul “Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai”. Dalam tulisan ini disajikan perspektif baru kajian folklor dari sudut sastra antropologis. Ketiga, Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. dan Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. menulis tentang Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita. Disimpulkan dalam tulisan ini bahwa peran lembaga ini belum optimal dalamrangka pembinaan pasantian di Bali. Keempat, Ida Ayu Nita Piayanti, dan kawan-kawan menyajikan tulisan yang berjudul “Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis”. Tulisan ini sarat dengan indikasi adanya akulturasi Hindu-Islam dalam teks lontar Bali, dalam konteks filologis untuk mengurangi distorsi teks. Kelima, Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. menyajikan tulisan dengan judul “Keutamaan dan Kemuliaan Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu”. Dalam tulisan ini ditekankan bahwa seekor anjing tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah (camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Keenam, Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. dan Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. dengan judul “Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: Kajian Sosolinguistik” merupakan hasil penelitian bidang linguistik bahwa masih banyak buku teks pelajaran bahasa Bali yang tidak sesuai dengan tingkat kegramatikalan bahasa Bali.

Ketujuh, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum dengan judul Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali. Tulisan ini melacak perkembangan makna budaya leksikon tentang arah mata angin sebagai orientasi ekologi Bali yang mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat Bali. Kedelapan, Ida Wayan Eka Werdi Putra, dan kawan-kawan dengan judul “Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga”. Sajian kamus bahasa Bali-Indonesia khususnya bidang wariga bisa mempermudah masyarakat dalam memahami baik buruk hari dalam berkehidupan budaya dan agama yang frekuensinya relatif sering dilaksanakan. Terakhir yang kesembilan, adalah hasil pengabdian masyarakat yang berjudul “Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung”. Pengabdian ini dilakukan secara kolektif oleh tim dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud.

Atas sumbangsih pemikiran Bapak/Ibu/Saudara/Saudari kami ucapkan banyak terima kasih.

Redaksi

Page 3: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

i

PENGANTAR REDAKSI

Om Swastyastu.

Pujastuti dipanjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa karena atas berkat rahmat-Nyalah Santi: Journal of Balinese Literature Volume 02 No 1 tahun 2018, Program Studi Sastra Bali Universitas Udayana bisa diterbitkan. Edisi atau terbitan kali ini menyajikan tulisan lebih variatif (bidang sastra, linguistik, dan juga hasil pengabdian kepada masyarakat) dengan berbagai topik yang menarik yang didasarkan atas hasil penelitian memalui fakta atau data yang telah diuji. Ada delapan tulisan yang patut dibaca dengan sajian sangat menarik. Pertama, Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum. dengan tulisannya berjudul “Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali “. Tulisan ini menjadi penting untuk memberikan pemahaman sastra Bali modern yang masih berhubungan dengan nilai budaya Bali tradisional. Kedua, Drs. I Ketut Ngurah Sulibra dan Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si. menyajikan hasil penelitiannya yang berjudul “Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai”. Dalam tulisan ini disajikan perspektif baru kajian folklor dari sudut sastra antropologis. Ketiga, Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. dan Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. menulis tentang Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita. Disimpulkan dalam tulisan ini bahwa peran lembaga ini belum optimal dalamrangka pembinaan pasantian di Bali. Keempat, Ida Ayu Nita Piayanti, dan kawan-kawan menyajikan tulisan yang berjudul “Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis”. Tulisan ini sarat dengan indikasi adanya akulturasi Hindu-Islam dalam teks lontar Bali, dalam konteks filologis untuk mengurangi distorsi teks. Kelima, Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. menyajikan tulisan dengan judul “Keutamaan dan Kemuliaan Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu”. Dalam tulisan ini ditekankan bahwa seekor anjing tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah (camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Keenam, Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. dan Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. dengan judul “Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: Kajian Sosolinguistik” merupakan hasil penelitian bidang linguistik bahwa masih banyak buku teks pelajaran bahasa Bali yang tidak sesuai dengan tingkat kegramatikalan bahasa Bali.

Ketujuh, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum dengan judul Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali. Tulisan ini melacak perkembangan makna budaya leksikon tentang arah mata angin sebagai orientasi ekologi Bali yang mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat Bali. Kedelapan, Ida Wayan Eka Werdi Putra, dan kawan-kawan dengan judul “Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga”. Sajian kamus bahasa Bali-Indonesia khususnya bidang wariga bisa mempermudah masyarakat dalam memahami baik buruk hari dalam berkehidupan budaya dan agama yang frekuensinya relatif sering dilaksanakan. Terakhir yang kesembilan, adalah hasil pengabdian masyarakat yang berjudul “Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung”. Pengabdian ini dilakukan secara kolektif oleh tim dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud.

Atas sumbangsih pemikiran Bapak/Ibu/Saudara/Saudari kami ucapkan banyak terima kasih.

Redaksi

Page 4: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

ii

DAFTAR ISI

Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali (1) I Wayan Suardiana Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai (11) I Ketut Ngurah Sulibra dan I Nyoman Duana Sutika Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita (21) I Ketut Jirnaya dan I Wayan Sukersa Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis (26) Ida Ayu Putu Nita Piayanti, I Wayan Suardiana, I Ketut Ngurah Sulibra

Keutamaan dan Kemuliaan “Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu (43) I Nyoman Duana Sutika Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: (48) Kajian Sosolinguistik I Nyoman Darsana dan I Wayan Suteja Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali (58) Putu Eka Guna Yasa Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga (69) Ida Wayan Eka Werdi Putra, I Nyoman Duana Sutika, I Gde Nala Antara Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara (81) sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Suryati, Ni Ketut Ratna Erawati, Luh Putu Puspawati, I Gde Nala Antara, M.Hum.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

1

PERANAN KESUSASTRAAN BALI MODERN

DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER MASYARAKAT BALI

Oleh I Wayan Suardiana

Email: [email protected]

I. Pendahuluan Keberadaan kesusastraan Bali sampai pada apa yang kita warisi pada saat ini merupakan lintasan sejarah yang cukup panjang. Bila kita cermati dan ikuti pembagian dari beberapa pemerhati kesusastraan Bali –sebagaimana pula halnya kesusastraan lainnya di Nusantara (tradisional pun modern)- ada beberapa sudut pandang yang digunakan untuk melihat pembagian kesusastraan Bali. I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978: 4) misalnya, membagi kesusastraan Bali itu menjadi dua, yaitu: (1) Kesusastraan Bali Purwa dan (2) Kesusastraan Bali Anyar. Selanjutnya Kesusastraan Bali Purwa dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni: (a) Kasusastran Gantian (satua, folklor atau cerita rakyat) dan (b) Kasusastran Sesuratan (tulis). Pada bidang kesusastraan Bali purwa yang tergolong ke dalam Kasusastran Gantian ini dimasukkan unsur saa (ucapan-ucapan magis); mantra-mantra; gegendingan (nyanyian anak-anak), wewangsalan (tamsil), cecimpedan (teka-teki) serta cerita rakyat (satua).

Pembagian di atas tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang pembagian kesusastraan dalam bentuk sesuratan (tulisnya) di satu sisi dan kesusastraan Bali anyar (modern) di sisi yang lain. Di pihak lain, Agastia –yang pada dasarnya mempertegas- pembagian yang disampaikan Bagus di atas, memberikan pembagian kepada kesusastraan Bali lisan klasik menjadi dua bentuk, yaitu (1) bentuk bebas, dan (2) bentuk terikat. Bagian pertama populer dengan nama satua (cerita rakyat), sedangkan yang kedua merupakan bentuk terikat (1980: 13). Bentuk kedua ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Bagus di atas.

Pembagian kesusastraan Bali juga disampaikan oleh Agastia dalam dua cara, pertama, tinjauan dari sudut fungsional dan kedua dari sudut struktural (Ibid: 8). Pembagian dari sudut pandang fungsional, dimaksudkan semua hasil kesusastraan yang tersurat dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna juga dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa hasil kesusastraan Jawa Kuna yang memakai bahasa yang sama (Jawa Kuna/Kawi) masih difungsikan oleh masyarakat Bali, terutama dalam upacara keagamaan, seperti kakawin, kidung, dan parwa. Sedangkan, apabila ditinjau dari sudut struktural maka hanya hasil kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali saja dimasukkan sebagai hasil karya sastra Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa secara struktur bahasa, hanya karya-karya yang menggunakan bahasa Bali saja yang dapat dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali.

Selanjutnya, dalam tataran modern, kesusastraan Bali dapat dikelompokkan ke dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam pembahasan lebih lanjut, fokus tulisan ini hanya memaparkan keberadaan Kesusantraan Bali Modern dalam segala aspeknya khususnya berkaitan dengan "Peran Kesusastraan Bali dalam Membangun Karakter Bangsa". II. Apa itu Kesusastraan? Memberikan definisi tentang kesusastraan sama sulitnya sebagaimana dengan memberikan definisi terhadap sastra. Meskipun demikian, secara sederhana dapat dirumuskan pengertian kesusastraan itu dari merunut istilah sastra itu sendiri. Sastra (literature I, littérature P) didefinikan sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya

Page 5: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

ii

DAFTAR ISI

Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali (1) I Wayan Suardiana Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai (11) I Ketut Ngurah Sulibra dan I Nyoman Duana Sutika Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita (21) I Ketut Jirnaya dan I Wayan Sukersa Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis (26) Ida Ayu Putu Nita Piayanti, I Wayan Suardiana, I Ketut Ngurah Sulibra

Keutamaan dan Kemuliaan “Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu (43) I Nyoman Duana Sutika Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: (48) Kajian Sosolinguistik I Nyoman Darsana dan I Wayan Suteja Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali (58) Putu Eka Guna Yasa Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga (69) Ida Wayan Eka Werdi Putra, I Nyoman Duana Sutika, I Gde Nala Antara Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara (81) sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Suryati, Ni Ketut Ratna Erawati, Luh Putu Puspawati, I Gde Nala Antara, M.Hum.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

1

PERANAN KESUSASTRAAN BALI MODERN

DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER MASYARAKAT BALI

Oleh I Wayan Suardiana

Email: [email protected]

I. Pendahuluan Keberadaan kesusastraan Bali sampai pada apa yang kita warisi pada saat ini merupakan lintasan sejarah yang cukup panjang. Bila kita cermati dan ikuti pembagian dari beberapa pemerhati kesusastraan Bali –sebagaimana pula halnya kesusastraan lainnya di Nusantara (tradisional pun modern)- ada beberapa sudut pandang yang digunakan untuk melihat pembagian kesusastraan Bali. I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978: 4) misalnya, membagi kesusastraan Bali itu menjadi dua, yaitu: (1) Kesusastraan Bali Purwa dan (2) Kesusastraan Bali Anyar. Selanjutnya Kesusastraan Bali Purwa dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni: (a) Kasusastran Gantian (satua, folklor atau cerita rakyat) dan (b) Kasusastran Sesuratan (tulis). Pada bidang kesusastraan Bali purwa yang tergolong ke dalam Kasusastran Gantian ini dimasukkan unsur saa (ucapan-ucapan magis); mantra-mantra; gegendingan (nyanyian anak-anak), wewangsalan (tamsil), cecimpedan (teka-teki) serta cerita rakyat (satua).

Pembagian di atas tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang pembagian kesusastraan dalam bentuk sesuratan (tulisnya) di satu sisi dan kesusastraan Bali anyar (modern) di sisi yang lain. Di pihak lain, Agastia –yang pada dasarnya mempertegas- pembagian yang disampaikan Bagus di atas, memberikan pembagian kepada kesusastraan Bali lisan klasik menjadi dua bentuk, yaitu (1) bentuk bebas, dan (2) bentuk terikat. Bagian pertama populer dengan nama satua (cerita rakyat), sedangkan yang kedua merupakan bentuk terikat (1980: 13). Bentuk kedua ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Bagus di atas.

Pembagian kesusastraan Bali juga disampaikan oleh Agastia dalam dua cara, pertama, tinjauan dari sudut fungsional dan kedua dari sudut struktural (Ibid: 8). Pembagian dari sudut pandang fungsional, dimaksudkan semua hasil kesusastraan yang tersurat dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna juga dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa hasil kesusastraan Jawa Kuna yang memakai bahasa yang sama (Jawa Kuna/Kawi) masih difungsikan oleh masyarakat Bali, terutama dalam upacara keagamaan, seperti kakawin, kidung, dan parwa. Sedangkan, apabila ditinjau dari sudut struktural maka hanya hasil kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali saja dimasukkan sebagai hasil karya sastra Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa secara struktur bahasa, hanya karya-karya yang menggunakan bahasa Bali saja yang dapat dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali.

Selanjutnya, dalam tataran modern, kesusastraan Bali dapat dikelompokkan ke dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam pembahasan lebih lanjut, fokus tulisan ini hanya memaparkan keberadaan Kesusantraan Bali Modern dalam segala aspeknya khususnya berkaitan dengan "Peran Kesusastraan Bali dalam Membangun Karakter Bangsa". II. Apa itu Kesusastraan? Memberikan definisi tentang kesusastraan sama sulitnya sebagaimana dengan memberikan definisi terhadap sastra. Meskipun demikian, secara sederhana dapat dirumuskan pengertian kesusastraan itu dari merunut istilah sastra itu sendiri. Sastra (literature I, littérature P) didefinikan sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya

Page 6: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

2

(Sudjiman, ed., 1986: 68). Sementara itu, Zaidan, dkk. (2000: 181) mendefinisikan sastra sebagai tulisan dalam arti yang luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa. Luxemburg, dkk. (1989: 21 --22) memberikan batasan tentang sastra ke dalam enam bagian, yaitu:

(1) Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, seperti dengan paralelisme, kiasan, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, dan khusus dalam teks kisahan ada bentuk dan sudut pandang yang bermacam-macam;

(2) Teks sastra ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan. (3) Dalam sastra ada wawasan yang lebih umum tentang masalah manusiawi, sosial, ataupun

intelektual; (4) Teks sastra dapat diinterpretasikan secara terbuka oleh pembaca dalam berbagai tataran pula; (5) Dalam sastra selalu ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi; (6) Teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis.

Sastra didefinisikan pula sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Pengertian sastra disamakan dengan Kesusastraan, yaitu karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa (seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah) (Poerwadarminta, 1987: 875).

III Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) 3.1 Tonggak Sejarah Kesusastraan Bali Anyar (Modern)

Tonggak keberadaan kesusastraan Bali Anyar oleh para sujana Bali awalnya diakui sejak terbitnya novel/roman Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah tahun 1931. Pendapat-pendapat bahwa sastra Bali modern (Kasusastran Bali Anyar) bermula tahun 1931 terus didaur-ulang sejak 1969 sampai tahun 2000. Dalam situasi tidak tersedia bukti-bukti lain, tentu saja mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa sejarah sastra Bali modern bermula tahun 1931 karena tahun itulah untuk pertama kalinya terbit karya sastra berbahasa Bali dalam bentuk roman. Lebih-lebih, karya ini juga memiliki keistimewaan karena diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit penting pada zaman kolonial (bahkan sampai sekarang).

Pendapat di atas gugur setelah terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya I Nyoman Darma Putra tahun 2000 silam. Menurut Putra (2000: 7) tahun 1913, I Madé Pasek menerbitkan buku berjudul Tjatoer Perenidanâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah maoeroek mâmaos aksarâ Belanda yang diterbitkan di Semarang oleh percetakan Brukkerij en Boekhandel H.A. Benjamnis. Dalam buku ini termuat 46 judul tulisan, ada teks eksposisi, deskripsi, dan narasi. Salah satu teks yang berbentuk narasi (cerita) berjudul Balian, yang mengisahkan keadaan manusia biasa sehari-hari, bukan kisah dewa atau binatang seperti pada sastra lisan, menunjukkan bahwa telah ada bentuk baru dalam sastra Bali saat itu. Karya I Madé Pasek lainnya berjudul Pemadat. Selanjutnya Mas Nitisastro, seorang guru di Singaraja, menerbitkan buku Warna Sari, Batjaan Bali Hoeroef Belanda (1925). Dalam buku ini termuat cerpen berjudul Loba dan Anak Ririh.

Berdasarkan kedua penulis di atas, tonggak keberadaan sastra Bali modern bergeser dari tahun 1931 ke tahun 1913. Lama vakum, baru tahun 1959 lahir puisi Bali modern dengan judul “Basa Bali” karya Suntari Pr. dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali No.1 Th. I, Maret 1959, hlm 30. Sesungguhnya, antara tahun 1931 sampai tahun 1959 hanya ada tiga karya sastra Bali Modern; Nemoe Karma (roman), Basa Bali (puisi), dan satunya lagi belum diterbitkan berupa novel/roman, karya I Gde Srawana berjudul Mlantjaran ka Sasak (dimuat dalam majalah Djatajoe antara tahun 1935 s.d.1939).

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

3

3.2 Perkembangan Puisi Bali Anyar (Modern) Perkembangan kesusastraan Bali modern, khususnya dalam bentuk puisi, setelah puisi Basa

Bali selanjutnya baru tahun 1968 ada puisi berjudul “Angin” yang merupakan terjemahan dari puisi karya Boris Pasternak “Wind”. Puisi ini diterjemahkan oleh I Ketut Suwidja dan dimuat pada harian Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara tanggal 16 Juni 1968 (Sumarta, 1988: 43). Pada tahun yang sama (1968), Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja –kini Balai Penelitian Bahasa- mengadakan sayembara penulisan karya sastra Bali Modern yang meliputi puisi, cerita pendek, dan drama. Sayembara ini merupakan sayembara pertama untuk penulisan puisi Bali modern. Terpilih empat puisi sebagai pemenang pertama sampai harapan, yaitu : “Bali” karya Ngurah Yupa (I Gusti Ngurah Yudha Panik); “Gaguritan Pianak Bendéga” karya Arthanegara (I Gusti Bagus Arthanegara); “Pura Agung Jagatnatha” karya I Wayan Rugeg Nataran; dan “Galang Bulan” karya Ketut Putra. Selanjutnya tahun 1969, untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja mengadakan sayembara yang sama. Selain itu, sayembara yang kedua ini juga menyertakan sayembara penerjemahan puisi. Pemenangnya adalah: “Mati Nguda” karya Putu Sedana; “Pinunas” karya Ngurah Agung; “Suara saking Kawahé” karya I Wayan Rugeg Nataran. Puisi terjemahan yang mendapat juara kedua –pemenang pertama dan ketiga tidak ada- yakni puisi “Di Sisin Cariké” terjemahan oleh I Wayan Rugeg Nataran dari puisi “Di Tepi Sawah” karya Toto Sudarto Bachtiar.

Tahun 1972 Listibya Provinsi Bali menerbitkan buku Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional. Untuk puisi Bali Modern pemenangnya, berturut-turut: “Suara saking Sétra” karya Madé Sanggra; “Taman Tirta Gangga” karya I Gusti Ayu Ngurah Murtini; “Pura Besakih” karya Anak Agung Gede Jelantik; “Wit Cemara” karya Nyoman Tusthi Eddy; dan “Pabesen I Tua” karya I Gusti Ketut Waca Warsana.

Tahun 1973, Yayasan Dharma Budhaya, Gianyar menerbitkan buku yang memuat 34 puisi karya Madé Sanggra dan Nyoman Manda dengan judul Ganda Sari. Yayasan ini juga menerbitkan buku kumpulan puisi Joged Bumbung karya I Nyoman Manda sebanyak 20 buah pada tahun 1975.

Yayasan Sabha Sastra Bali pada tahun 1976 menerbitkan kumpulan puisi yang memuat 25 puisi dari tujuh orang penyair, berjudul Galang Kangin. Ketujuh penyair itu, yaitu: Agastia; Aryottama; Raka Téja; Utara Wungsu; Madé Taro; Wayan Jéndra; dan Madé Sanggra. Selanjutnya, tahun 1978 terbit sebuah bunga rampai yang disunting oleh I Gusti Ngurah Bagus bersama I Ketut Ginarsa. Bunga rampai ini berjudul Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa, Singaraja. Buku ini terdiri atas dua jilid. Jilid pertama memuat puisi-puisi Bali modern sejumlah 150 judul karya 41 orang penulis puisi Bali modern. Pada intinya puisi-puisi ini pernah diterbitkan pada harian Suluh Marhaén, Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara antara tahun 1968 s.d. 1975 (Ibid: 53).

Selanjutnya tahun 1980 terbit kumpulan puisi berjudul Klangen ring Batur. Kumpulan puisi karya Nyoman Manda ini memuat 14 judul puisi Bali modern. Tahun 1981, Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan pula sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Puyung. Kumpulan ini berisi 13 puisi karya tujuh orang penulis, yakni Ki Nirdon (nama samaran Ida Bagus Gede Agastia), I Ketut Suwidja, I Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, Wayan Suteja, Aturu, dan Deratha.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra kembali menerbitkan sebuah kumpulan puisi dengan judul Ngayah. Kumpulan ini berisi 17 puisi karya enam penulis, yakni Ki Nirdon, Made Suarsa, Made Sanggra, Putu Suarthama, I Dewa Gde Windhu Sancaya, dan Nyoman Tusthi Eddy. Masih dalam tahun yang sama (1982) terbit pula kumpulan puisi berjudul Rah. Kumpulan ini berisi 10 puisi karya I Gusti Putu Antara yang diterbitkan sendiri oleh penulisnya.

Tahun 1983 terbit dua buku kumpulan puisi, yaitu (1) Ai dan (2) Bunga Gadung Ulung Akatih. Yang pertama diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali dan berisi 31 puisi, di antaranya 19 puisi terjemahan yang dikerjakan oleh Nyoman Tusthi Éddy (18 puisi) serta I Dewa Gde Windhu Sancaya (1 puisi). Puisi-puisi Bali modern yang asli dalam kumpulan puisi Ai ini ditulis oleh Ki Nirdon, I

Page 7: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

2

(Sudjiman, ed., 1986: 68). Sementara itu, Zaidan, dkk. (2000: 181) mendefinisikan sastra sebagai tulisan dalam arti yang luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa. Luxemburg, dkk. (1989: 21 --22) memberikan batasan tentang sastra ke dalam enam bagian, yaitu:

(1) Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, seperti dengan paralelisme, kiasan, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, dan khusus dalam teks kisahan ada bentuk dan sudut pandang yang bermacam-macam;

(2) Teks sastra ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan. (3) Dalam sastra ada wawasan yang lebih umum tentang masalah manusiawi, sosial, ataupun

intelektual; (4) Teks sastra dapat diinterpretasikan secara terbuka oleh pembaca dalam berbagai tataran pula; (5) Dalam sastra selalu ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi; (6) Teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis.

Sastra didefinisikan pula sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Pengertian sastra disamakan dengan Kesusastraan, yaitu karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa (seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah) (Poerwadarminta, 1987: 875).

III Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) 3.1 Tonggak Sejarah Kesusastraan Bali Anyar (Modern)

Tonggak keberadaan kesusastraan Bali Anyar oleh para sujana Bali awalnya diakui sejak terbitnya novel/roman Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah tahun 1931. Pendapat-pendapat bahwa sastra Bali modern (Kasusastran Bali Anyar) bermula tahun 1931 terus didaur-ulang sejak 1969 sampai tahun 2000. Dalam situasi tidak tersedia bukti-bukti lain, tentu saja mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa sejarah sastra Bali modern bermula tahun 1931 karena tahun itulah untuk pertama kalinya terbit karya sastra berbahasa Bali dalam bentuk roman. Lebih-lebih, karya ini juga memiliki keistimewaan karena diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit penting pada zaman kolonial (bahkan sampai sekarang).

Pendapat di atas gugur setelah terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya I Nyoman Darma Putra tahun 2000 silam. Menurut Putra (2000: 7) tahun 1913, I Madé Pasek menerbitkan buku berjudul Tjatoer Perenidanâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah maoeroek mâmaos aksarâ Belanda yang diterbitkan di Semarang oleh percetakan Brukkerij en Boekhandel H.A. Benjamnis. Dalam buku ini termuat 46 judul tulisan, ada teks eksposisi, deskripsi, dan narasi. Salah satu teks yang berbentuk narasi (cerita) berjudul Balian, yang mengisahkan keadaan manusia biasa sehari-hari, bukan kisah dewa atau binatang seperti pada sastra lisan, menunjukkan bahwa telah ada bentuk baru dalam sastra Bali saat itu. Karya I Madé Pasek lainnya berjudul Pemadat. Selanjutnya Mas Nitisastro, seorang guru di Singaraja, menerbitkan buku Warna Sari, Batjaan Bali Hoeroef Belanda (1925). Dalam buku ini termuat cerpen berjudul Loba dan Anak Ririh.

Berdasarkan kedua penulis di atas, tonggak keberadaan sastra Bali modern bergeser dari tahun 1931 ke tahun 1913. Lama vakum, baru tahun 1959 lahir puisi Bali modern dengan judul “Basa Bali” karya Suntari Pr. dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali No.1 Th. I, Maret 1959, hlm 30. Sesungguhnya, antara tahun 1931 sampai tahun 1959 hanya ada tiga karya sastra Bali Modern; Nemoe Karma (roman), Basa Bali (puisi), dan satunya lagi belum diterbitkan berupa novel/roman, karya I Gde Srawana berjudul Mlantjaran ka Sasak (dimuat dalam majalah Djatajoe antara tahun 1935 s.d.1939).

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

3

3.2 Perkembangan Puisi Bali Anyar (Modern) Perkembangan kesusastraan Bali modern, khususnya dalam bentuk puisi, setelah puisi Basa

Bali selanjutnya baru tahun 1968 ada puisi berjudul “Angin” yang merupakan terjemahan dari puisi karya Boris Pasternak “Wind”. Puisi ini diterjemahkan oleh I Ketut Suwidja dan dimuat pada harian Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara tanggal 16 Juni 1968 (Sumarta, 1988: 43). Pada tahun yang sama (1968), Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja –kini Balai Penelitian Bahasa- mengadakan sayembara penulisan karya sastra Bali Modern yang meliputi puisi, cerita pendek, dan drama. Sayembara ini merupakan sayembara pertama untuk penulisan puisi Bali modern. Terpilih empat puisi sebagai pemenang pertama sampai harapan, yaitu : “Bali” karya Ngurah Yupa (I Gusti Ngurah Yudha Panik); “Gaguritan Pianak Bendéga” karya Arthanegara (I Gusti Bagus Arthanegara); “Pura Agung Jagatnatha” karya I Wayan Rugeg Nataran; dan “Galang Bulan” karya Ketut Putra. Selanjutnya tahun 1969, untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja mengadakan sayembara yang sama. Selain itu, sayembara yang kedua ini juga menyertakan sayembara penerjemahan puisi. Pemenangnya adalah: “Mati Nguda” karya Putu Sedana; “Pinunas” karya Ngurah Agung; “Suara saking Kawahé” karya I Wayan Rugeg Nataran. Puisi terjemahan yang mendapat juara kedua –pemenang pertama dan ketiga tidak ada- yakni puisi “Di Sisin Cariké” terjemahan oleh I Wayan Rugeg Nataran dari puisi “Di Tepi Sawah” karya Toto Sudarto Bachtiar.

Tahun 1972 Listibya Provinsi Bali menerbitkan buku Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional. Untuk puisi Bali Modern pemenangnya, berturut-turut: “Suara saking Sétra” karya Madé Sanggra; “Taman Tirta Gangga” karya I Gusti Ayu Ngurah Murtini; “Pura Besakih” karya Anak Agung Gede Jelantik; “Wit Cemara” karya Nyoman Tusthi Eddy; dan “Pabesen I Tua” karya I Gusti Ketut Waca Warsana.

Tahun 1973, Yayasan Dharma Budhaya, Gianyar menerbitkan buku yang memuat 34 puisi karya Madé Sanggra dan Nyoman Manda dengan judul Ganda Sari. Yayasan ini juga menerbitkan buku kumpulan puisi Joged Bumbung karya I Nyoman Manda sebanyak 20 buah pada tahun 1975.

Yayasan Sabha Sastra Bali pada tahun 1976 menerbitkan kumpulan puisi yang memuat 25 puisi dari tujuh orang penyair, berjudul Galang Kangin. Ketujuh penyair itu, yaitu: Agastia; Aryottama; Raka Téja; Utara Wungsu; Madé Taro; Wayan Jéndra; dan Madé Sanggra. Selanjutnya, tahun 1978 terbit sebuah bunga rampai yang disunting oleh I Gusti Ngurah Bagus bersama I Ketut Ginarsa. Bunga rampai ini berjudul Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa, Singaraja. Buku ini terdiri atas dua jilid. Jilid pertama memuat puisi-puisi Bali modern sejumlah 150 judul karya 41 orang penulis puisi Bali modern. Pada intinya puisi-puisi ini pernah diterbitkan pada harian Suluh Marhaén, Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara antara tahun 1968 s.d. 1975 (Ibid: 53).

Selanjutnya tahun 1980 terbit kumpulan puisi berjudul Klangen ring Batur. Kumpulan puisi karya Nyoman Manda ini memuat 14 judul puisi Bali modern. Tahun 1981, Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan pula sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Puyung. Kumpulan ini berisi 13 puisi karya tujuh orang penulis, yakni Ki Nirdon (nama samaran Ida Bagus Gede Agastia), I Ketut Suwidja, I Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, Wayan Suteja, Aturu, dan Deratha.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra kembali menerbitkan sebuah kumpulan puisi dengan judul Ngayah. Kumpulan ini berisi 17 puisi karya enam penulis, yakni Ki Nirdon, Made Suarsa, Made Sanggra, Putu Suarthama, I Dewa Gde Windhu Sancaya, dan Nyoman Tusthi Eddy. Masih dalam tahun yang sama (1982) terbit pula kumpulan puisi berjudul Rah. Kumpulan ini berisi 10 puisi karya I Gusti Putu Antara yang diterbitkan sendiri oleh penulisnya.

Tahun 1983 terbit dua buku kumpulan puisi, yaitu (1) Ai dan (2) Bunga Gadung Ulung Akatih. Yang pertama diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali dan berisi 31 puisi, di antaranya 19 puisi terjemahan yang dikerjakan oleh Nyoman Tusthi Éddy (18 puisi) serta I Dewa Gde Windhu Sancaya (1 puisi). Puisi-puisi Bali modern yang asli dalam kumpulan puisi Ai ini ditulis oleh Ki Nirdon, I

Page 8: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

4

Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, dan Wayan Selat Wirata. Adapun kumpulan puisi Bunga Gadung Ulung Akatih berisi 12 puisi karya Nyoman Manda sendiri dan diterbitkannya sendiri dengan lebel Pondok Tebawatu, Gianyar. Terbitan terakhir, puisi Bali modern pada periode 1980-an ini berjudul Gending Pangapti yang diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali. Kumpulan ini terbit tahun 1984 dan berisi 29 puisi karya Made Sanggra, I Ketut Sumarta, Ida Bagus Rai Putra, dan I Dewa Gde Windhu Sancaya. Tahun 1988 Yayasan Kawi Sastra Mandala menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Satria Kuladewa karya IGP. Antara (Putra, Op. Cit: 65). Selanjutnya, keberadaan puisi Bali modern dipasilitasi oleh harian lokal seperti Bali Post, Karya Bakti, dan Nusa Tenggara. Selain itu, juga ada majalah yang diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Unud, secara berkala memuat puisi Bali modern. Majalah itu bernama Kanaka.

Setelah periode di atas, selanjutnya penulisan dan penerbitan puisi Bali modern mengalami pasang surut. Lama menghilang, akhirnya tahun 1995 Yayasan Dharma Sastra, Denpasar menerbitkan kumpulan 67 judul puisi Bali modern dengan judul Lawat-lawat Suwung karya Tatukung (nama samaran IB. Madé Dharma Palguna). Tahun 1997 Made Sanggra menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Kidung Republik. Bulan Juni 1999, di Gianyar terbit majalah bernama Canang Sari yang dinahkodai oleh Nyoman Manda dan Made Sanggra. Sementara itu di Karangasem, juga muncul majalah berbahasa Bali Buratwangi yang dinahkodai oleh IDK. Raka Kusuma, dkk. Kedua majalah di atas memuat puisi-puisi Bali modern secara berkelanjutan sampai sekarang. Koran Bali Orti yang merupakan suplemen pada harian Bali Post Minggu mulai Agustus 2006 sampai sekarang juga memuat puisi Bali modern dalam rubrik Saking Langit Bali (hal.11).

Kumpulan puisi Bali modern yang terbit diawal abad ke-21 di antaranya dapat dilacak karya-karya: (1) Ki Dusun (nama samaran dari I Putu Gedé Suata). Dalam buku ini Suata menulis 19 judul puisi dan juga memuat cerpen berjudul Penyiunan Kunang-kunangé di Manhattan (terjemahan dari cerpen karya Umar Kayam Seribu Kunang-kunang di Manhattan). Kumpulan puisi ini diberinya judul Majugjag dan diterbitkan oleh Sabha Sastra Bali (2001); (2) Nyoman Manda menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Béh (2001) diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Gianyar. Buku ini berisi 59 judul yang berisi puisi pendek-pendek. (3) I Madé Molog menulis 31 judul puisi dengan judul “Togog Yéh” yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi tahun 2002; (4) I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menulis buku kumpulan puisi Sagung Wah yang terdiri dari 31 judul dan diterbitkan oleh Majalah Canang Sari, Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar tahun 2002; (5) Nyoman Manda kembali menulis 46 judul puisi Bali modern dengan judul Suung Luung yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama tahun 2003; (6) I Dewa Gde Windhu Sancaya menulis kumpulan puisi dan cerpen dengan judul Coffee Shop tahun 2003 yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Purana Hita; dan (7) I Made Suarsa menerbitkan tiga buah kumpulan puisi berturut-turut tahun 2004, 2005, dan 2007. Adapun judul puisi Bali modern yang diterbitkan Suarsa merupakan karyanya sendiri dengan judul Ang Ah lan Ah Ang (2004); Gunung Menyan Segara Madu (2005); dan Kunang-Kunang Anarung Sasi (2007).

3.3 Perkembangan Cerpen Bali Anyar (Modern)

Perkembangan cerita pendek (Cerpen) berbahasa Bali sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan cikal bakal keberadaan sastra Bali modern itu sendiri yang dimulai tahun 1913. Lewat tulisan I Made Pasek itulah muncul tema-tema tulisan yang lain dari tradisi sebelumnya (dalam hal ini tradisi lisan), dengan tema-tema yang aktual dengan lingkungan masyarakat sekitar pada saat itu. Selanjutnya, setelah periode 1910-an itu, keberadaan cerpen berbahasa Bali mengalami stagnasi yang cukup panjang dan baru muncul ke hadapan publik tahun 1960-an.

Cerpen berbahasa Bali pada periode ini (1960-an), diawali dengan kelahiran kisah yang berjudul “Mémé Kualon” karya I Gusti Putu Rai. Cerpen ini merupakan pemenang pertama hasil sayembara yang diselenggarakan oleh Kantor Dinas Kebudayaan Propinsi Bali pada tahun 1967

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

5

(Naryana, 1978: 80 dalam Bagus (ed.), 1978). Tahun 1968, Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja (kini Balai Penelitian Bahasa, Denpasar) mengadakan lomba penulisan karya sastra Bali modern yang meliputi puisi, cerpen, dan drama. Dalam bidang cerpen terpilih pemenang harapan dengan judul cerpen “Ni Luh Sari” karya Ida Bagus Mayun. Pemenang pertama, kedua, dan ketiga ditiadakan, karena cerpen-cerpen yang ikut lomba tidak memenuhi syarat untuk itu.

Selanjutnya, tahun 1969 untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja menyelenggarakan lomba yang sama. Sebagai pemenang sayembara penulisan cerpen tahun itu dipilih tiga cerpen. Juara pertama sampai ketiga secara berurutan adalah: Mirah karya Putu Sedana; Iwang Titiang Néwék karya Anak Agung Gde Jelantik; dan Kapatutan Ngulati Kamajuan, karangan I Gusti Putu Rai. Karya-karya ini selanjutnya diterbitkan oleh lembaga yang sama tahun 1974.

Tahun 1970 terbit buku “Pakéling Petang Dasa Warsa Sastra Bali Anyar” oleh Yayasan Sabha Sastra Bali bekerjasama dengan Listibya Propinsi Bali. Dari buku ini diketahui pemenang cerpen Bali modern karya Rugeg Nataran dengan judul “Talin Sampi”. Cerpen ini meraih pemenang kedua saat itu. Berikutnya, tahun 1972 Listibya Propinsi Bali kembali mengadakan lomba cerpen. Terpilih sebagai pemenang 1 s.d 4 berturut-turut: cerpen Katemu ring Tampak Siring karya I Madé Sanggra; Luh Puri ciptaan Ida Bagus Mayun; Ulam Emas karya I Wayan Rugeg Nataran; Dagang Canang ciptaan Anak Agung Gde Jelantik; dan pemenang harapan adalah cerpen Radén Jagat Jaya karangan Ida Bagus Putu Kadra. Hasil sayembara ini dibukukan dengan judul Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional 1972 (tanpa tahun) oleh Listibya Propinsi Bali.

Berikutnya, tahun 1974 Yayasan Dharma Budhaya, Banjar Teges Gianyar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Togog. Buku ini memuat empat kumpulan cerpen karya Nyoman Manda sendiri, berjudul: Mangku Nodé, Buung, Togog, dan Madé Néri. Tahun 1975 Yayasan ini kembali menerbitkan kumpulan cerpen Bali modern dengan judul Katemu ring Tampaksiring. Kumpulan cerpen ini merupakan karangan I Madé Sanggra dan berisi 5 judul cerpen, yaitu: Tukang Gambar; Kucit (terjemahan); Sekar Emas; dan Katemu ring Tampak Siring.

Selebihnya, tahun 1977 Balai Penelitian Bahasa Singaraja (dulunya bernama Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja) menerbitkan kumpulan cerpen hasil sayembara penulisan cerpen Bali modern tahun 1975. Juara-juara dalam sayembara itu berturut-turut: Mategul tan Patali karya I Gusti Ketut Waca Warsana; Togog, karangan Nyoman Manda; dan Matemu ring Rumah Sakit buah karya I Nyoman Tri Satya Paramartha.

Harian Bali Post antara tahun 1976 – 1980-an menerbitkan beberapa judul cerpen Bali modern dan yang terpenting di antaranya adalah karangan I Gusti Gde Jelantik Santha dengan judul Kulkul Bulus Tengahing Wengi. Cerpen ini dimuat hari Minggu, 27 Maret 1977. Selanjutnya pada edisi Sabtu, 9 September 1978 Bali Post kembali menerbitkan cerpen berjudul Kadapetan karya Brénténg Kakah (nama samaran dari I Gusti Ngurah Pindha); edisi Minggu 10 Maret 1979 terbit cerpen Tresna Asih karangan Krida (Ketut Rida); 15 Juli tahun yang sama terbit cerpen berjudul Matemu ring Kutampi karya penulis yang sama; tanggal 23 September 1979 dimuat cerpen Bungkung Pendok karya Paśa Wiguna; dan tanggal 14 Oktober tahun yang sama terbit cerpen Tusing Nyidaang Nekepin Andus karya Brénténg Kakah. Sepanjang tahun 1980 ada empat cerpen yang dipublikasikan harian Bali Post. (1) Titah karya Ketut Rida terbit tanggal 2 Maret 1980; (2) Kampih di Kakisik karangan Jelantik Santha terbit 23 Maret 1980; Magulungan Ombaké di Pasisi Mascéti ciptaan Wyat S. Ardhi terbit 8 Juni 1980; dan terakhir Eda Maselselan karya Ketut Rida diterbitkan tanggal 5 Oktober 1980. (Gélgél, 1989: 81). Selanjutnya, pada edisi Minggu, 15 Maret 1981 terbit cerpen berjudul Putih-putih Taluh karya I Gde Pitak Pitana.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan buku kumpulan puisi dan satua bawak (cerpen) Bali modern dengan judul Ngayah. Cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, yaitu: Nyantosang Ulung I Bungan Waru karya Made Sanggra; Pura karya Windhu Sancaya; dan Ngabén I karya penulis yang sama. Selanjutnya, setelah lama vakum (kurang lebih 5 tahun), tahun 1988 Bali

Page 9: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

4

Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, dan Wayan Selat Wirata. Adapun kumpulan puisi Bunga Gadung Ulung Akatih berisi 12 puisi karya Nyoman Manda sendiri dan diterbitkannya sendiri dengan lebel Pondok Tebawatu, Gianyar. Terbitan terakhir, puisi Bali modern pada periode 1980-an ini berjudul Gending Pangapti yang diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali. Kumpulan ini terbit tahun 1984 dan berisi 29 puisi karya Made Sanggra, I Ketut Sumarta, Ida Bagus Rai Putra, dan I Dewa Gde Windhu Sancaya. Tahun 1988 Yayasan Kawi Sastra Mandala menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Satria Kuladewa karya IGP. Antara (Putra, Op. Cit: 65). Selanjutnya, keberadaan puisi Bali modern dipasilitasi oleh harian lokal seperti Bali Post, Karya Bakti, dan Nusa Tenggara. Selain itu, juga ada majalah yang diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Unud, secara berkala memuat puisi Bali modern. Majalah itu bernama Kanaka.

Setelah periode di atas, selanjutnya penulisan dan penerbitan puisi Bali modern mengalami pasang surut. Lama menghilang, akhirnya tahun 1995 Yayasan Dharma Sastra, Denpasar menerbitkan kumpulan 67 judul puisi Bali modern dengan judul Lawat-lawat Suwung karya Tatukung (nama samaran IB. Madé Dharma Palguna). Tahun 1997 Made Sanggra menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Kidung Republik. Bulan Juni 1999, di Gianyar terbit majalah bernama Canang Sari yang dinahkodai oleh Nyoman Manda dan Made Sanggra. Sementara itu di Karangasem, juga muncul majalah berbahasa Bali Buratwangi yang dinahkodai oleh IDK. Raka Kusuma, dkk. Kedua majalah di atas memuat puisi-puisi Bali modern secara berkelanjutan sampai sekarang. Koran Bali Orti yang merupakan suplemen pada harian Bali Post Minggu mulai Agustus 2006 sampai sekarang juga memuat puisi Bali modern dalam rubrik Saking Langit Bali (hal.11).

Kumpulan puisi Bali modern yang terbit diawal abad ke-21 di antaranya dapat dilacak karya-karya: (1) Ki Dusun (nama samaran dari I Putu Gedé Suata). Dalam buku ini Suata menulis 19 judul puisi dan juga memuat cerpen berjudul Penyiunan Kunang-kunangé di Manhattan (terjemahan dari cerpen karya Umar Kayam Seribu Kunang-kunang di Manhattan). Kumpulan puisi ini diberinya judul Majugjag dan diterbitkan oleh Sabha Sastra Bali (2001); (2) Nyoman Manda menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Béh (2001) diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Gianyar. Buku ini berisi 59 judul yang berisi puisi pendek-pendek. (3) I Madé Molog menulis 31 judul puisi dengan judul “Togog Yéh” yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi tahun 2002; (4) I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menulis buku kumpulan puisi Sagung Wah yang terdiri dari 31 judul dan diterbitkan oleh Majalah Canang Sari, Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar tahun 2002; (5) Nyoman Manda kembali menulis 46 judul puisi Bali modern dengan judul Suung Luung yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama tahun 2003; (6) I Dewa Gde Windhu Sancaya menulis kumpulan puisi dan cerpen dengan judul Coffee Shop tahun 2003 yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Purana Hita; dan (7) I Made Suarsa menerbitkan tiga buah kumpulan puisi berturut-turut tahun 2004, 2005, dan 2007. Adapun judul puisi Bali modern yang diterbitkan Suarsa merupakan karyanya sendiri dengan judul Ang Ah lan Ah Ang (2004); Gunung Menyan Segara Madu (2005); dan Kunang-Kunang Anarung Sasi (2007).

3.3 Perkembangan Cerpen Bali Anyar (Modern)

Perkembangan cerita pendek (Cerpen) berbahasa Bali sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan cikal bakal keberadaan sastra Bali modern itu sendiri yang dimulai tahun 1913. Lewat tulisan I Made Pasek itulah muncul tema-tema tulisan yang lain dari tradisi sebelumnya (dalam hal ini tradisi lisan), dengan tema-tema yang aktual dengan lingkungan masyarakat sekitar pada saat itu. Selanjutnya, setelah periode 1910-an itu, keberadaan cerpen berbahasa Bali mengalami stagnasi yang cukup panjang dan baru muncul ke hadapan publik tahun 1960-an.

Cerpen berbahasa Bali pada periode ini (1960-an), diawali dengan kelahiran kisah yang berjudul “Mémé Kualon” karya I Gusti Putu Rai. Cerpen ini merupakan pemenang pertama hasil sayembara yang diselenggarakan oleh Kantor Dinas Kebudayaan Propinsi Bali pada tahun 1967

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

5

(Naryana, 1978: 80 dalam Bagus (ed.), 1978). Tahun 1968, Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja (kini Balai Penelitian Bahasa, Denpasar) mengadakan lomba penulisan karya sastra Bali modern yang meliputi puisi, cerpen, dan drama. Dalam bidang cerpen terpilih pemenang harapan dengan judul cerpen “Ni Luh Sari” karya Ida Bagus Mayun. Pemenang pertama, kedua, dan ketiga ditiadakan, karena cerpen-cerpen yang ikut lomba tidak memenuhi syarat untuk itu.

Selanjutnya, tahun 1969 untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja menyelenggarakan lomba yang sama. Sebagai pemenang sayembara penulisan cerpen tahun itu dipilih tiga cerpen. Juara pertama sampai ketiga secara berurutan adalah: Mirah karya Putu Sedana; Iwang Titiang Néwék karya Anak Agung Gde Jelantik; dan Kapatutan Ngulati Kamajuan, karangan I Gusti Putu Rai. Karya-karya ini selanjutnya diterbitkan oleh lembaga yang sama tahun 1974.

Tahun 1970 terbit buku “Pakéling Petang Dasa Warsa Sastra Bali Anyar” oleh Yayasan Sabha Sastra Bali bekerjasama dengan Listibya Propinsi Bali. Dari buku ini diketahui pemenang cerpen Bali modern karya Rugeg Nataran dengan judul “Talin Sampi”. Cerpen ini meraih pemenang kedua saat itu. Berikutnya, tahun 1972 Listibya Propinsi Bali kembali mengadakan lomba cerpen. Terpilih sebagai pemenang 1 s.d 4 berturut-turut: cerpen Katemu ring Tampak Siring karya I Madé Sanggra; Luh Puri ciptaan Ida Bagus Mayun; Ulam Emas karya I Wayan Rugeg Nataran; Dagang Canang ciptaan Anak Agung Gde Jelantik; dan pemenang harapan adalah cerpen Radén Jagat Jaya karangan Ida Bagus Putu Kadra. Hasil sayembara ini dibukukan dengan judul Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional 1972 (tanpa tahun) oleh Listibya Propinsi Bali.

Berikutnya, tahun 1974 Yayasan Dharma Budhaya, Banjar Teges Gianyar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Togog. Buku ini memuat empat kumpulan cerpen karya Nyoman Manda sendiri, berjudul: Mangku Nodé, Buung, Togog, dan Madé Néri. Tahun 1975 Yayasan ini kembali menerbitkan kumpulan cerpen Bali modern dengan judul Katemu ring Tampaksiring. Kumpulan cerpen ini merupakan karangan I Madé Sanggra dan berisi 5 judul cerpen, yaitu: Tukang Gambar; Kucit (terjemahan); Sekar Emas; dan Katemu ring Tampak Siring.

Selebihnya, tahun 1977 Balai Penelitian Bahasa Singaraja (dulunya bernama Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja) menerbitkan kumpulan cerpen hasil sayembara penulisan cerpen Bali modern tahun 1975. Juara-juara dalam sayembara itu berturut-turut: Mategul tan Patali karya I Gusti Ketut Waca Warsana; Togog, karangan Nyoman Manda; dan Matemu ring Rumah Sakit buah karya I Nyoman Tri Satya Paramartha.

Harian Bali Post antara tahun 1976 – 1980-an menerbitkan beberapa judul cerpen Bali modern dan yang terpenting di antaranya adalah karangan I Gusti Gde Jelantik Santha dengan judul Kulkul Bulus Tengahing Wengi. Cerpen ini dimuat hari Minggu, 27 Maret 1977. Selanjutnya pada edisi Sabtu, 9 September 1978 Bali Post kembali menerbitkan cerpen berjudul Kadapetan karya Brénténg Kakah (nama samaran dari I Gusti Ngurah Pindha); edisi Minggu 10 Maret 1979 terbit cerpen Tresna Asih karangan Krida (Ketut Rida); 15 Juli tahun yang sama terbit cerpen berjudul Matemu ring Kutampi karya penulis yang sama; tanggal 23 September 1979 dimuat cerpen Bungkung Pendok karya Paśa Wiguna; dan tanggal 14 Oktober tahun yang sama terbit cerpen Tusing Nyidaang Nekepin Andus karya Brénténg Kakah. Sepanjang tahun 1980 ada empat cerpen yang dipublikasikan harian Bali Post. (1) Titah karya Ketut Rida terbit tanggal 2 Maret 1980; (2) Kampih di Kakisik karangan Jelantik Santha terbit 23 Maret 1980; Magulungan Ombaké di Pasisi Mascéti ciptaan Wyat S. Ardhi terbit 8 Juni 1980; dan terakhir Eda Maselselan karya Ketut Rida diterbitkan tanggal 5 Oktober 1980. (Gélgél, 1989: 81). Selanjutnya, pada edisi Minggu, 15 Maret 1981 terbit cerpen berjudul Putih-putih Taluh karya I Gde Pitak Pitana.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan buku kumpulan puisi dan satua bawak (cerpen) Bali modern dengan judul Ngayah. Cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, yaitu: Nyantosang Ulung I Bungan Waru karya Made Sanggra; Pura karya Windhu Sancaya; dan Ngabén I karya penulis yang sama. Selanjutnya, setelah lama vakum (kurang lebih 5 tahun), tahun 1988 Bali

Page 10: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

6

Post menerbitkan karya cerpen terjemahan dari I Made Sanggra dengan judul Bramacorah. Cerpen ini merupakan karya Mochtar Lubis dalam bahasa Indonesia.

Tahun 1989, Yayasan Sabha Sastra Bali kembali menerbitkan sebuah kumpulan cerpen (satua bawak) dan puisi Bali modern dengan judul Kampih (Papupulan Satua Bawak miwah Puisi Bali Anyar). Cerpen-cerpen yang tercantum dalam buku tersebut ada tiga buah, yaitu: Tan Katutugan karya Madé Merta; Gending Bebotoh karya Ida Bagus Rai Putra; dan Jelantik Santha menulis cerpen berjudul Kampih di Kakisik. Pada tahun yang sama, Bali Post menerbitkan cerpen dengan judul Pilih-pilih Bekul, termuat dalam edisi Pedesaan di bulan Oktober.

Tahun 1997, muncul jurnal berbahasa Bali dengan judul Kulkul yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Anyar. Sebagaimana namanya Kulkul (kentongan), majalah ini hanya terbit dua kali (Februari dan September), persis seperti suaranya : “tung, tung” lantas menghilang. Pada kedua terbitannya, majalah ini memuat tentang puisi dan cerpen Bali modern selain artikel lainnya.

Selanjutnya, terbitan yang dapat kita warisi dari para penulis cerpen Bali modern pada akhir abad kedua puluh dan akhir abad ke-21 ini dapat dicatat di antaranya (1) I Gdé Dharna menulis buku dengan judul Tusing Ada Apa Dé (Pupulan satua Bawak Basa Bali) tahun 2003 dan dihimpun oleh Listibiya Kabupaten Buleleng. (2) Windhu Sancaya menulis buku berjudul Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar) tahun 2003 dan memuat 6 judul cerpen, masing-masing: Ngabén I; Ngabén II; Chi Kwang Bok; Luh Métri; Warung; dan Segara Madu. (3) I Made Suarsa menulis buku dengan judul Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali) tahun 2006. Selanjutnya ada puluhan cerpen Bali modern yang dimuat dalam koran Bali Orti dari sejak terbit (Agustus 2006) lalu sampai saat ini pada rubrik Sastra halaman 11. Begitu pula halnya dalam majalah Buratwangi dan Canang Sari dapat kita baca cerpen-cerpen yang bermutu untuk mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan Bali.

3.4 Perkembangan Novel Bali Anyar (Modern)

Selanjutnya, perkembangan Kesusastraan Bali Modern dalam bentuk novel akan diuraikan beberapa novel yang pernah terbit dan populer di kalangan pembacanya. Sebagaimana telah terurai di atas, bahwa salah kaprah tentang tonggak awal perkembangan Kesusastraan Bali Modern yang pada dasarnya menggunakan roman/novel Nemoe Karma (1931) karya Wayan Gobiah sebagai titik awal tidaklah keliru benar. Sebab, dalam khasanah tulis sastra Bali modern, novel inilah yang paling mudah untuk didapatkan pada zamannya, sehingga oleh sujana Bali dianggap sebagai tonggak awal keberadaan novel Bali modern.

Setelah novel Nemoe Karma selanjutnya terbit novel dengan judul Mlancaran ka Sasak karya Gdé Srawana yang dimuat dalam majalah Djatayoe antara tahun 1935 s.d. 1939 (Tim, 1977/1978: 102). Selanjutnya naskah roman ini diterbitkan kembali oleh Yayasan Sabha Sastra Bali tahun 1978. Lama menghilang, akhirnya baru tahun 1980 Balai Penelitian Bahasa Singaraja menggelar sayembara novel. Berdasarkan seleksi dewan juri diputuskan ada enam novel terbaik (tiga juara pertama dan tiga juara harapan) berturut-turut: (1) “Sunari” karya I Ketut Rida; (2) “Lan Jani” karya Nyoman Manda; “Buah Sumagané Kuning-kuning” karya Tri Jayéndra (I Wayan Jéndra); (4) “Ni Kembang Wangi” karya I Dewa Ketut Tjakra; (5) “Gulung-gulungan Ombak” karya I Dewa Ayu Cintiawati; dan (6) “Nemu Karma” karya Anak Agung Jelantik (Putra, Op. Cit: 84).

Novel Sunari di atas pada tahun 1999 diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia. Selanjutnya terbit novel karya Jelantik Santha tahun 1981 diberi judul Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang. Novel Jelantik Santha yang lain berjudul Sembalun Rinjani (terbit tahun 2006) Tahun 1999, Nyoman Manda menerbitkan novel dengan judul Sayong. Selanjutnya Manda juga menerbitkan novel dengan judul Bunga Gadung Ulung Abancang (September 2001). A. Wiyat S. Ardhi menulis novel dengan judul Bukit Buung Bukit Mentik pada tahun 2004 dan diterbitkan oleh Sanggar Bhadrika Ashrama Keramas, Gianyar.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

7

3.5 Perkembangan Drama Bali Anyar (Modern) Sedangkan perkembangan drama Bali modern khususnya dalam bentuk naskah sangat sedikit

ditemui karya-karya yang sampai ke tangan kita. Beberapa kumpulan drama itu dapat dicatat sebagai berikut.

Tahun 1978 Listibiya Bali mengadakan lomba menulis naskah drama Bali modern. Dari hasil lomba itu terpilih enam naskah drama Bali modern, yaitu: (1) Semun Langité Kantun Sendu karya Nengah Segatri; (2) Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga dan (4) Kuuk karya Nyoman Manda; (5) Puspitawati karya Wayan Pamit; dan (6) Sari karya I Nyoman Nada Sariadha. Berdasarkan hasil keputusan dewan juri terpilih drama dengan judul Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga karya Nyoman Manda sebagai naskah pemenang pertama.

Tahun 1999, Gdé Dharna menulis buku dengan judul Kobarang Apiné (Pupulan Drama lan Puisi) yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi, Amlapura. Dalam buku ini memuat enam naskah drama diantaranya dua naskah baru, empat yang lainnya dibuat tahun 1970-an. Keempatnya sudah pernah dimuat dalam buku Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar suntingan I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978). Masing-masing naskah drama itu berturut-turut: “Kobarang Apiné”; “Ki Bayan Suling”; “Aduh Déwa Ratu”; “Perjuangan”; “Pengadilan” (1989); dan “Kibaru Semang” (1992).

Tahun yang sama (1999) A. Wiyat S. Ardhi menulis naskah Drama Gong dengan judul Gusti Ayu Klatir. Naskah ini ditetapkan sebagai penulisan naskah terbaik oleh dewan juri. Naskah ini diterbitkan dalam buku Gending Girang Sisi Pakerisan (1999) terbitan Pemda Gianyar.

Tahun 2005, Nyoman Manda menulis naskah drama dengan judul Kirana (drama anak-anak) dan diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar.

Pada zaman milenium ini perkembangan Sastra Bali Modern juga telah memasuki dunia maya. Hal ini dapat dilihat di Blog yang bertajuk, "SUARA SAKING BALI", yang dipelopori oleh generasi muda kreatif seperti IDK Raka Kusuma (Penanggungjawab), IB Widiasa Keniten sebagai Ketua dan dilengkapi Redaksi dari Tabanan (I Madé Sugianto dan Putra Ariawan), Karangasem (I Wayan Paing, Agus Sudipta, dan Sandi Yasa), Klungkung (Madé Suar-Timuhun dan Aryawan Kenceng), Gianyar (Tudékamatra), Bangli (Alit Juliartha), Denpasar (Gita Purnama), Buléléng (Wahya Santosa), dan I Ketut Supartika sebagai pembantu umum. Blog mabasa Bali ini lahir Januari 2016 silam dan sampai saat ini masih eksis. Konten yang disajikan dalam blog ini berupa satua cutet (cerita pendek), satua masambung (cerita bersambung), puisi Bali, prosa liris, esai, dan naskah drama dalam bahasa Bali tentunya (https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html).

Sebelumnya, tanggal 13 Maret 2015, di Bangli telah dibentuk perkumpulan penulis-penulis muda di bidang sastra Bali diberi nama Bangli Sastra Komala (BASKOM). Aktivitasnya diisi dengan menulis karya sastra berbahasa Bali. Aktivitas ini juga telah ditayangkan di dunia maya.

IV Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali Bila dicermati perkembangan Sastra Bali Modern khususnya dalam jumlah dan jenis karya dan tahun berkembangnya maka dapat diasumsikan masyarakat Bali baru tumbuh jiwanya dalam mempertahankan sastra khususnya sastra Bali Modern dengan media bahasa Bali sekitar tahun 1990-an. Sebagai sebuah karya seni, karya sastra sebagaimana definisi di atas (II), yakni sebagai ekspresi jiwa, tentu mampu ditangkap oleh pembaca dengan menggunakan ekspresi jiwa pula. Dalam konteks ini, ekspresi jiwa penulis karya tersebut mewakili jiwa-jiwa sekalian pembaca. Dalam pengungkapan ekspresi jiwa dimaksud, karya sastra menyajikan beragam tema, sebagaimana beragamnya karaktek pembaca, beragamnya fenomena yang tumbuh kembang di masyarakat. Sebagai sebuah ekspresi, tentu tidak dapat dijadikan sebagai potret nyata dari situasi

Page 11: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

6

Post menerbitkan karya cerpen terjemahan dari I Made Sanggra dengan judul Bramacorah. Cerpen ini merupakan karya Mochtar Lubis dalam bahasa Indonesia.

Tahun 1989, Yayasan Sabha Sastra Bali kembali menerbitkan sebuah kumpulan cerpen (satua bawak) dan puisi Bali modern dengan judul Kampih (Papupulan Satua Bawak miwah Puisi Bali Anyar). Cerpen-cerpen yang tercantum dalam buku tersebut ada tiga buah, yaitu: Tan Katutugan karya Madé Merta; Gending Bebotoh karya Ida Bagus Rai Putra; dan Jelantik Santha menulis cerpen berjudul Kampih di Kakisik. Pada tahun yang sama, Bali Post menerbitkan cerpen dengan judul Pilih-pilih Bekul, termuat dalam edisi Pedesaan di bulan Oktober.

Tahun 1997, muncul jurnal berbahasa Bali dengan judul Kulkul yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Anyar. Sebagaimana namanya Kulkul (kentongan), majalah ini hanya terbit dua kali (Februari dan September), persis seperti suaranya : “tung, tung” lantas menghilang. Pada kedua terbitannya, majalah ini memuat tentang puisi dan cerpen Bali modern selain artikel lainnya.

Selanjutnya, terbitan yang dapat kita warisi dari para penulis cerpen Bali modern pada akhir abad kedua puluh dan akhir abad ke-21 ini dapat dicatat di antaranya (1) I Gdé Dharna menulis buku dengan judul Tusing Ada Apa Dé (Pupulan satua Bawak Basa Bali) tahun 2003 dan dihimpun oleh Listibiya Kabupaten Buleleng. (2) Windhu Sancaya menulis buku berjudul Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar) tahun 2003 dan memuat 6 judul cerpen, masing-masing: Ngabén I; Ngabén II; Chi Kwang Bok; Luh Métri; Warung; dan Segara Madu. (3) I Made Suarsa menulis buku dengan judul Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali) tahun 2006. Selanjutnya ada puluhan cerpen Bali modern yang dimuat dalam koran Bali Orti dari sejak terbit (Agustus 2006) lalu sampai saat ini pada rubrik Sastra halaman 11. Begitu pula halnya dalam majalah Buratwangi dan Canang Sari dapat kita baca cerpen-cerpen yang bermutu untuk mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan Bali.

3.4 Perkembangan Novel Bali Anyar (Modern)

Selanjutnya, perkembangan Kesusastraan Bali Modern dalam bentuk novel akan diuraikan beberapa novel yang pernah terbit dan populer di kalangan pembacanya. Sebagaimana telah terurai di atas, bahwa salah kaprah tentang tonggak awal perkembangan Kesusastraan Bali Modern yang pada dasarnya menggunakan roman/novel Nemoe Karma (1931) karya Wayan Gobiah sebagai titik awal tidaklah keliru benar. Sebab, dalam khasanah tulis sastra Bali modern, novel inilah yang paling mudah untuk didapatkan pada zamannya, sehingga oleh sujana Bali dianggap sebagai tonggak awal keberadaan novel Bali modern.

Setelah novel Nemoe Karma selanjutnya terbit novel dengan judul Mlancaran ka Sasak karya Gdé Srawana yang dimuat dalam majalah Djatayoe antara tahun 1935 s.d. 1939 (Tim, 1977/1978: 102). Selanjutnya naskah roman ini diterbitkan kembali oleh Yayasan Sabha Sastra Bali tahun 1978. Lama menghilang, akhirnya baru tahun 1980 Balai Penelitian Bahasa Singaraja menggelar sayembara novel. Berdasarkan seleksi dewan juri diputuskan ada enam novel terbaik (tiga juara pertama dan tiga juara harapan) berturut-turut: (1) “Sunari” karya I Ketut Rida; (2) “Lan Jani” karya Nyoman Manda; “Buah Sumagané Kuning-kuning” karya Tri Jayéndra (I Wayan Jéndra); (4) “Ni Kembang Wangi” karya I Dewa Ketut Tjakra; (5) “Gulung-gulungan Ombak” karya I Dewa Ayu Cintiawati; dan (6) “Nemu Karma” karya Anak Agung Jelantik (Putra, Op. Cit: 84).

Novel Sunari di atas pada tahun 1999 diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia. Selanjutnya terbit novel karya Jelantik Santha tahun 1981 diberi judul Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang. Novel Jelantik Santha yang lain berjudul Sembalun Rinjani (terbit tahun 2006) Tahun 1999, Nyoman Manda menerbitkan novel dengan judul Sayong. Selanjutnya Manda juga menerbitkan novel dengan judul Bunga Gadung Ulung Abancang (September 2001). A. Wiyat S. Ardhi menulis novel dengan judul Bukit Buung Bukit Mentik pada tahun 2004 dan diterbitkan oleh Sanggar Bhadrika Ashrama Keramas, Gianyar.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

7

3.5 Perkembangan Drama Bali Anyar (Modern) Sedangkan perkembangan drama Bali modern khususnya dalam bentuk naskah sangat sedikit

ditemui karya-karya yang sampai ke tangan kita. Beberapa kumpulan drama itu dapat dicatat sebagai berikut.

Tahun 1978 Listibiya Bali mengadakan lomba menulis naskah drama Bali modern. Dari hasil lomba itu terpilih enam naskah drama Bali modern, yaitu: (1) Semun Langité Kantun Sendu karya Nengah Segatri; (2) Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga dan (4) Kuuk karya Nyoman Manda; (5) Puspitawati karya Wayan Pamit; dan (6) Sari karya I Nyoman Nada Sariadha. Berdasarkan hasil keputusan dewan juri terpilih drama dengan judul Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga karya Nyoman Manda sebagai naskah pemenang pertama.

Tahun 1999, Gdé Dharna menulis buku dengan judul Kobarang Apiné (Pupulan Drama lan Puisi) yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi, Amlapura. Dalam buku ini memuat enam naskah drama diantaranya dua naskah baru, empat yang lainnya dibuat tahun 1970-an. Keempatnya sudah pernah dimuat dalam buku Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar suntingan I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978). Masing-masing naskah drama itu berturut-turut: “Kobarang Apiné”; “Ki Bayan Suling”; “Aduh Déwa Ratu”; “Perjuangan”; “Pengadilan” (1989); dan “Kibaru Semang” (1992).

Tahun yang sama (1999) A. Wiyat S. Ardhi menulis naskah Drama Gong dengan judul Gusti Ayu Klatir. Naskah ini ditetapkan sebagai penulisan naskah terbaik oleh dewan juri. Naskah ini diterbitkan dalam buku Gending Girang Sisi Pakerisan (1999) terbitan Pemda Gianyar.

Tahun 2005, Nyoman Manda menulis naskah drama dengan judul Kirana (drama anak-anak) dan diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar.

Pada zaman milenium ini perkembangan Sastra Bali Modern juga telah memasuki dunia maya. Hal ini dapat dilihat di Blog yang bertajuk, "SUARA SAKING BALI", yang dipelopori oleh generasi muda kreatif seperti IDK Raka Kusuma (Penanggungjawab), IB Widiasa Keniten sebagai Ketua dan dilengkapi Redaksi dari Tabanan (I Madé Sugianto dan Putra Ariawan), Karangasem (I Wayan Paing, Agus Sudipta, dan Sandi Yasa), Klungkung (Madé Suar-Timuhun dan Aryawan Kenceng), Gianyar (Tudékamatra), Bangli (Alit Juliartha), Denpasar (Gita Purnama), Buléléng (Wahya Santosa), dan I Ketut Supartika sebagai pembantu umum. Blog mabasa Bali ini lahir Januari 2016 silam dan sampai saat ini masih eksis. Konten yang disajikan dalam blog ini berupa satua cutet (cerita pendek), satua masambung (cerita bersambung), puisi Bali, prosa liris, esai, dan naskah drama dalam bahasa Bali tentunya (https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html).

Sebelumnya, tanggal 13 Maret 2015, di Bangli telah dibentuk perkumpulan penulis-penulis muda di bidang sastra Bali diberi nama Bangli Sastra Komala (BASKOM). Aktivitasnya diisi dengan menulis karya sastra berbahasa Bali. Aktivitas ini juga telah ditayangkan di dunia maya.

IV Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali Bila dicermati perkembangan Sastra Bali Modern khususnya dalam jumlah dan jenis karya dan tahun berkembangnya maka dapat diasumsikan masyarakat Bali baru tumbuh jiwanya dalam mempertahankan sastra khususnya sastra Bali Modern dengan media bahasa Bali sekitar tahun 1990-an. Sebagai sebuah karya seni, karya sastra sebagaimana definisi di atas (II), yakni sebagai ekspresi jiwa, tentu mampu ditangkap oleh pembaca dengan menggunakan ekspresi jiwa pula. Dalam konteks ini, ekspresi jiwa penulis karya tersebut mewakili jiwa-jiwa sekalian pembaca. Dalam pengungkapan ekspresi jiwa dimaksud, karya sastra menyajikan beragam tema, sebagaimana beragamnya karaktek pembaca, beragamnya fenomena yang tumbuh kembang di masyarakat. Sebagai sebuah ekspresi, tentu tidak dapat dijadikan sebagai potret nyata dari situasi

Page 12: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

8

kehidupan itu sendiri, mengingat sifat karya sastra itu adalah rekaan belles letter, bercampur-aduk antara fakta dan fiksi.

Cakupan karakter bangsa dalam dunia pendidikan di Indonesia dipilah-pilah ke dalam delapan belas bagian, yakni: (1) yakni religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggungjawab. Bila dicermati dari kemunculan teks-teks yang mengawali munculnya istilah modern dalam kesusastraan Bali dapat diamati karya-karya pendek I Made Pasek dan Mas Niti Sastro (1913) tampak tema-tema yang diungkap mencerminkan nilai-nilai karakter. Tampak seperti dalam cerpen I Kliud dan I Tragia (karya I Made Pasek) jelas menampilkan nilai kejujuran dari tokoh I Kliud atas perbuatannya mau menilep uang tujuh ringgit yang dititipkan kepadanya oleh I Tragia. Uang itu, atas suruhan I Tragia agar diserahkan oleh I Kliud kepada manteri polisi. Ternyata, saat menyerahkan surat, I Kliud tidak serta merta menyerahkan uang sebagaimana yang ditulis oleh I Tragia di dalam suratnya kepada mantri polisi. Oleh karena itu, I Kliud disarankan agar jujur oleh mantri polisi mengakui bahwa dirinya mau menilep uang itu. I Kliud mengakui perbuatannya dan akhirnya ia dibui tiga bulan. Bila dicermati seluruh teks-teks sastra Bali modern dari awal kemunculannya sampai saat ini, keseluruhan bagian-bagian dari karakter bangsa itu tercermin di dalamnya. Tentu, hal-hal yang dominan dalam penyampaian tema-tema tersebut berkaitan dengan situasi zamannya, seperti zaman reformasi banyak muncul tema-tema karya tentang demokrasi, dan belakangan muncul karya-karya tentang semangat kebangsaan dan lain-lain. V Simpulan Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan masyarakat Bali itu sendiri. Secara modern –bila dilihat dari tema-tema yang diungkapkan- tonggak kesusastraan Bali modern telah dimulai sejak tahun 1913 dalam bentuk cerpen. Selanjutnya dalam wujud novel/roman, baru muncul tahun 1931 sejak terbitnya Roman “Nemoe Karma” karya Wayan Gobiah.

Tonggak Puisi Bali Modern diawali dengan munculnya puisi Basa Bali karya Suntari Pr. di tahun 1958. Pertumbuhan kesusastraan Bali modern lebih banyak dirangsang oleh adanya sayembara (terutama kurun 1970-an). Lebih lanjut dalam kurun 1980-an perkembangan kesusastraan Bali anyar mengalami penurunan penciptaan. Namun, setelah dekade 1990-an minat menulis sastra dalam bahasa Bali mulai bertumbuh. Lebih-lebih adanya rangsangan berupa hadiah sastra Rancage. Pertumbuhan penulisan sastra Bali modern di awal abad millenium ini boleh dikatakan sangat menggairahkan, lebih-lebih adanya media untuk menyalurkan bakat menulis para seniman. Buratwangi, Canang Sari, Bali Orti, adalah media yang sangat membantu tumbuh suburnya karya-karya sastra Bali modern.

Pertumbuhan Drama Bali Modern memang kurang menggairahkan, mengingat penulisan naskah drama di Bali tidak lazim dilakukan oleh seniman-seniman tradisional, selain memang media untuk berkreatifitas untuk itu di Bali masih kurang. Peran publik pun sangat menentukan kehadiran drama-drama yang modern ini, mengingat masih kuatnya ‘taksu’ kesenian tradisional di Bali.

Pada umumnya, sebagaimana definisi sastra bahwa Kesusastraan Bali Anyar (Puisi; Prosa: cerpen, novel, novelet; dan drama) sarat dengan muatan pembangunan karakter yang jumlahnya delapan belas, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

9

Daftar Pustaka Ardhi, S. A. Wiyat. 2004. Bukit Buung Bukit Mentik (Novellat mabhasa Bali). Gianyar: Sanggar

Bhadrika Ashrama. Agastia, IBG. 1980. “Geguritan: Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”. Denpasar: Paper untuk

Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2, 9 Juli 1980. ___________. 1985. “Jenis-jenis Naskah Bali” dalam Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra,

Etika, Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

___________. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 1994. Ida Pedanda Madé Sidemen Pengarang Besar Bali Abad ke-20. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2006. Cokorda Mantuk ring Rana Pemimpin yang Nyastra. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2006. Dokter Ida Bagus Rai dan Karya Sastranya. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Purwa. Buku

I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

___________. 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar. Wewidangan 1 & 2 Buku II. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

___________. dan Ida Bagus Agastia. 1977. Sekilas tentang Kesusastraan Bali. Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjehaman S. Gunawan. Jakarta: Bharata. Dharna, I Gdé. 2003. Tusing Ada Apa Dé (Pupulan Satua Bawak Basa Bali): Singaraja: Listibiya

Kabupaten Buleleng. Galang Kangin. 1976. Denpasar: Saba Sastra Bali Gélgél, I Déwa Gede. 1989. “Struktur Cerpen Bali Modern 1967 – 1989 Sebuah Analisis”. Denpasar:

Skripsi Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana. https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html. diunduh tgl.

21 Mei 2018. Luxemburg, jan van, dkk. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. Manda, Nyoman. 2001. Béh (Pupulan Puisi Bali Anyar). Gianyar: Pondok Tebawutu. Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: The Hague. Purwadarminta, W.J.S. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Putra, Darma, I Nyoman. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press. Rakhmawati, Dewi. 2007. “Kakawin Candrabhanu: Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik”.

Denpasar: Skripsi Sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Unud. Rida, I Ketut. 1999. Sunari (Novél Basa Bali). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sancaya, Windhu, IDG. 1997. “Mencari Jejak Kesusastraan Bali Zaman Bali Kuna” Dimuat dalam

Widya Pustaka (Journal Ilmu-ilmu Budaya Tahun XIV Nomor 1&2 Agustus 1997. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

____________. 2003. Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar). Denpasar: Yayasan Bali Purana Hita.

Santha, Jelantik. 1981. Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang. Denpasar: tanpa penerbit

Page 13: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

8

kehidupan itu sendiri, mengingat sifat karya sastra itu adalah rekaan belles letter, bercampur-aduk antara fakta dan fiksi.

Cakupan karakter bangsa dalam dunia pendidikan di Indonesia dipilah-pilah ke dalam delapan belas bagian, yakni: (1) yakni religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggungjawab. Bila dicermati dari kemunculan teks-teks yang mengawali munculnya istilah modern dalam kesusastraan Bali dapat diamati karya-karya pendek I Made Pasek dan Mas Niti Sastro (1913) tampak tema-tema yang diungkap mencerminkan nilai-nilai karakter. Tampak seperti dalam cerpen I Kliud dan I Tragia (karya I Made Pasek) jelas menampilkan nilai kejujuran dari tokoh I Kliud atas perbuatannya mau menilep uang tujuh ringgit yang dititipkan kepadanya oleh I Tragia. Uang itu, atas suruhan I Tragia agar diserahkan oleh I Kliud kepada manteri polisi. Ternyata, saat menyerahkan surat, I Kliud tidak serta merta menyerahkan uang sebagaimana yang ditulis oleh I Tragia di dalam suratnya kepada mantri polisi. Oleh karena itu, I Kliud disarankan agar jujur oleh mantri polisi mengakui bahwa dirinya mau menilep uang itu. I Kliud mengakui perbuatannya dan akhirnya ia dibui tiga bulan. Bila dicermati seluruh teks-teks sastra Bali modern dari awal kemunculannya sampai saat ini, keseluruhan bagian-bagian dari karakter bangsa itu tercermin di dalamnya. Tentu, hal-hal yang dominan dalam penyampaian tema-tema tersebut berkaitan dengan situasi zamannya, seperti zaman reformasi banyak muncul tema-tema karya tentang demokrasi, dan belakangan muncul karya-karya tentang semangat kebangsaan dan lain-lain. V Simpulan Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan masyarakat Bali itu sendiri. Secara modern –bila dilihat dari tema-tema yang diungkapkan- tonggak kesusastraan Bali modern telah dimulai sejak tahun 1913 dalam bentuk cerpen. Selanjutnya dalam wujud novel/roman, baru muncul tahun 1931 sejak terbitnya Roman “Nemoe Karma” karya Wayan Gobiah.

Tonggak Puisi Bali Modern diawali dengan munculnya puisi Basa Bali karya Suntari Pr. di tahun 1958. Pertumbuhan kesusastraan Bali modern lebih banyak dirangsang oleh adanya sayembara (terutama kurun 1970-an). Lebih lanjut dalam kurun 1980-an perkembangan kesusastraan Bali anyar mengalami penurunan penciptaan. Namun, setelah dekade 1990-an minat menulis sastra dalam bahasa Bali mulai bertumbuh. Lebih-lebih adanya rangsangan berupa hadiah sastra Rancage. Pertumbuhan penulisan sastra Bali modern di awal abad millenium ini boleh dikatakan sangat menggairahkan, lebih-lebih adanya media untuk menyalurkan bakat menulis para seniman. Buratwangi, Canang Sari, Bali Orti, adalah media yang sangat membantu tumbuh suburnya karya-karya sastra Bali modern.

Pertumbuhan Drama Bali Modern memang kurang menggairahkan, mengingat penulisan naskah drama di Bali tidak lazim dilakukan oleh seniman-seniman tradisional, selain memang media untuk berkreatifitas untuk itu di Bali masih kurang. Peran publik pun sangat menentukan kehadiran drama-drama yang modern ini, mengingat masih kuatnya ‘taksu’ kesenian tradisional di Bali.

Pada umumnya, sebagaimana definisi sastra bahwa Kesusastraan Bali Anyar (Puisi; Prosa: cerpen, novel, novelet; dan drama) sarat dengan muatan pembangunan karakter yang jumlahnya delapan belas, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

9

Daftar Pustaka Ardhi, S. A. Wiyat. 2004. Bukit Buung Bukit Mentik (Novellat mabhasa Bali). Gianyar: Sanggar

Bhadrika Ashrama. Agastia, IBG. 1980. “Geguritan: Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”. Denpasar: Paper untuk

Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2, 9 Juli 1980. ___________. 1985. “Jenis-jenis Naskah Bali” dalam Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra,

Etika, Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

___________. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 1994. Ida Pedanda Madé Sidemen Pengarang Besar Bali Abad ke-20. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2006. Cokorda Mantuk ring Rana Pemimpin yang Nyastra. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2006. Dokter Ida Bagus Rai dan Karya Sastranya. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Purwa. Buku

I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

___________. 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar. Wewidangan 1 & 2 Buku II. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

___________. dan Ida Bagus Agastia. 1977. Sekilas tentang Kesusastraan Bali. Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjehaman S. Gunawan. Jakarta: Bharata. Dharna, I Gdé. 2003. Tusing Ada Apa Dé (Pupulan Satua Bawak Basa Bali): Singaraja: Listibiya

Kabupaten Buleleng. Galang Kangin. 1976. Denpasar: Saba Sastra Bali Gélgél, I Déwa Gede. 1989. “Struktur Cerpen Bali Modern 1967 – 1989 Sebuah Analisis”. Denpasar:

Skripsi Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana. https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html. diunduh tgl.

21 Mei 2018. Luxemburg, jan van, dkk. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. Manda, Nyoman. 2001. Béh (Pupulan Puisi Bali Anyar). Gianyar: Pondok Tebawutu. Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: The Hague. Purwadarminta, W.J.S. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Putra, Darma, I Nyoman. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press. Rakhmawati, Dewi. 2007. “Kakawin Candrabhanu: Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik”.

Denpasar: Skripsi Sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Unud. Rida, I Ketut. 1999. Sunari (Novél Basa Bali). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sancaya, Windhu, IDG. 1997. “Mencari Jejak Kesusastraan Bali Zaman Bali Kuna” Dimuat dalam

Widya Pustaka (Journal Ilmu-ilmu Budaya Tahun XIV Nomor 1&2 Agustus 1997. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

____________. 2003. Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar). Denpasar: Yayasan Bali Purana Hita.

Santha, Jelantik. 1981. Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang. Denpasar: tanpa penerbit

Page 14: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

10

Suarsa, Made. 2004. Ang Ah lan Ah Ang (Pupulan Puisi Bali Anyar). Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

____________. 2005. Gunung Menyan Segara Madu. Denpasar: Arti Faundation. ____________. 2006. Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali).

Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana. ____________. 2007. Kunang-kunang Anarung Sasi (Pupulan 118 Puisi Bali Anyar). Penerbit

Universitas Udayana. Simpen AB, Wayan. t.t. Pengawi-pengawi Bali. Diktat milik Balai Penelitian Bahasa Singaraja. Srawana, Gdé. 1978. Mlancaran ka Sasak. Yayasan Saba Sastra Bali. Suardiana, I Wayan 1990. “Geguritan I Wayan Umbaran Karya I Nyoman Pasek Maruta Kajian

Sosiologi Sastra”. Denpasar: Skripsi Sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Unud.

___________. 2007. “Kidung Prémbon Karya Ki Dalang Tangsub: Kajian Resepsi”. Denpasar: Proposal Doktor (S3) Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Sudjiman, Panuti. Ed. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Sumarta, I Ketut. 1988. “Struktur Puisi Bali Modern 1959 – 1987 Sebuah Analisis”. Denpasar: Skripsi

Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Suwidja, I Ketut. t.t. Gedong Kirtya. Singaraja: Gedong Kirtya. Tatukung. 1995. Lawat-lawat Suwung: papupulan puisi bali anyar. Denpasar: Yayasan Dharma

Sastra. Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1977/1978. “Perkembangan Kesusastraan Bali

Modern”. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

11

STRUKTUR TEMATIK SATUA-SATUA I BELOG: ANALISIS FUNGSI DAN NILAI

Oleh

I Ketut Ngurah Sulibra I Nyoman Duana Sutika

Prodi Sastra Bali FIB Unud Email: [email protected]

Abstrak

Satua merupakan salah satu jenis kesastraan lisan Bali. Berbagai hal dapat ditanamkan melalui

tradisi masatua seperti nilai pendidikan, moral, budi perkerti. Dulu aktivitas masatua digunakan sebagai sarana menidurkan anak dari orang tua kepada anaknya sekaligus sebagai media transformasi nilai-nilai tersebut kearifan lokal Bali. Seiring perkembangan teknologi informasi, tradisi masatua mulai luntur dan digantikan dengan media video game dan sejenisnya termasuk cerita-cerita luar lainnya. Dalam berbagai judul dan jenisnya, satua-satua Bali tidak terbatas jumlahnya dan belum bisa dipastikan jumlahnya. Dalam kesempatan ini, akan dibahas satu tipologi satua Bali I Belog yang sangat dikenal masyarakaya luas. Beberapa judul sudah ditulis kembali dalam bentuk lontar yang disimpan di berbagai tempat penyimpanan formal maupun informal. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analitik. Teori yang digunakan adalah teori sastra antropologis, yakni sinergitas teori sastra dengan antropologi. Selain itu juga digunakan teori fungsi sosial dan nilai. Selanjutnya, penyajian hasil dilakukan dengan teknik deduktif-induktif atau sebaliknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa satua I Belog memiliki dua tipologi, yakni tipe si pandir yang memang benar-benar bodoh dan bodoh-bodoh pintar demi keuntungan diri sendiri. Kata kunci: lisan, nilai, fungsi, pendidikan. I Pendahuluan

Satua merupakan salah satu cerita prosa lisan masyarakat Bali. Menurut Bagus (1979: 13) mengatakan bahwa satua dikategorikan sebagai sastra gantian. Sastra gantian atau pagantian adalah istilah untuk menyebutkan ragam sastra lisan bali. Kata ganti atau pagantian menunjukkan bahwa sastra lisan ini selalu berubah-ubah (maganti-ganti) sesuai keinginan pencerita. Hal ini disebabkan satua sifatnya yang lisan. Oleh karena lisan, maka penuturan satua dilakukan melalui proses penceritaan (masatua) dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi berikutnya. Umumnya satua Bali bersifat anonim dan telah berkembang sejak dahulu sebelum adanya tulisan

Gaya penceritaan satua menurut Bagus adalah pertama, pencerita memastikan bahwa yang mendengarkan siap untuk mendengarkan. Adapun kata-kata permulaan yang lazim digunakan adalah: ‘ada kone tutur-tuturan satua atau ada kone orah-orahan satua’. Selanjutnya diucapkan judul satuanya, missal I Siap Badeng. Setelah itu, biasanya setiap kalimat akan dijawab oleh si anak dengan kata ‘maan’ yang artinya ‘selanjutnya’, demikian seterusnya sampai cerita selesai. Biasanya penutup satua menggunakan ungkapan “guak maling kuud, satua bawak suba suud” ayau dengan ungkapan lain “guak maling taluh, satua bawak buin aluh”. Biasanya pencerita tahu si anak sudah tidur sebelum waktunya (cerita selesai), yakni ketika si anak tidak lagi mengatakan “maan” di sela-sela cerita itu.

Selanjutnya Bagus (1990: 4) mengklasifikasi satua Bali ke dalam dongeng-dongeng jenaka (satua banyol), dongeng panji (satua panji) dan dongeng biasa (kisah hidup seseorang), dan lainnya. Selain itu, ada juga satua Tantri yang sangat populer di masyarakat Bali. Cerita Tantri merupakan cerita berbingkai yang menampilkan binatang sebagai tokoh utama dan cerita ini sambung-menyambung dari satu cerita ke cerita berikutnya.

Page 15: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

10

Suarsa, Made. 2004. Ang Ah lan Ah Ang (Pupulan Puisi Bali Anyar). Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

____________. 2005. Gunung Menyan Segara Madu. Denpasar: Arti Faundation. ____________. 2006. Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali).

Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana. ____________. 2007. Kunang-kunang Anarung Sasi (Pupulan 118 Puisi Bali Anyar). Penerbit

Universitas Udayana. Simpen AB, Wayan. t.t. Pengawi-pengawi Bali. Diktat milik Balai Penelitian Bahasa Singaraja. Srawana, Gdé. 1978. Mlancaran ka Sasak. Yayasan Saba Sastra Bali. Suardiana, I Wayan 1990. “Geguritan I Wayan Umbaran Karya I Nyoman Pasek Maruta Kajian

Sosiologi Sastra”. Denpasar: Skripsi Sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Unud.

___________. 2007. “Kidung Prémbon Karya Ki Dalang Tangsub: Kajian Resepsi”. Denpasar: Proposal Doktor (S3) Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Sudjiman, Panuti. Ed. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Sumarta, I Ketut. 1988. “Struktur Puisi Bali Modern 1959 – 1987 Sebuah Analisis”. Denpasar: Skripsi

Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Suwidja, I Ketut. t.t. Gedong Kirtya. Singaraja: Gedong Kirtya. Tatukung. 1995. Lawat-lawat Suwung: papupulan puisi bali anyar. Denpasar: Yayasan Dharma

Sastra. Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1977/1978. “Perkembangan Kesusastraan Bali

Modern”. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

11

STRUKTUR TEMATIK SATUA-SATUA I BELOG: ANALISIS FUNGSI DAN NILAI

Oleh

I Ketut Ngurah Sulibra I Nyoman Duana Sutika

Prodi Sastra Bali FIB Unud Email: [email protected]

Abstrak

Satua merupakan salah satu jenis kesastraan lisan Bali. Berbagai hal dapat ditanamkan melalui

tradisi masatua seperti nilai pendidikan, moral, budi perkerti. Dulu aktivitas masatua digunakan sebagai sarana menidurkan anak dari orang tua kepada anaknya sekaligus sebagai media transformasi nilai-nilai tersebut kearifan lokal Bali. Seiring perkembangan teknologi informasi, tradisi masatua mulai luntur dan digantikan dengan media video game dan sejenisnya termasuk cerita-cerita luar lainnya. Dalam berbagai judul dan jenisnya, satua-satua Bali tidak terbatas jumlahnya dan belum bisa dipastikan jumlahnya. Dalam kesempatan ini, akan dibahas satu tipologi satua Bali I Belog yang sangat dikenal masyarakaya luas. Beberapa judul sudah ditulis kembali dalam bentuk lontar yang disimpan di berbagai tempat penyimpanan formal maupun informal. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analitik. Teori yang digunakan adalah teori sastra antropologis, yakni sinergitas teori sastra dengan antropologi. Selain itu juga digunakan teori fungsi sosial dan nilai. Selanjutnya, penyajian hasil dilakukan dengan teknik deduktif-induktif atau sebaliknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa satua I Belog memiliki dua tipologi, yakni tipe si pandir yang memang benar-benar bodoh dan bodoh-bodoh pintar demi keuntungan diri sendiri. Kata kunci: lisan, nilai, fungsi, pendidikan. I Pendahuluan

Satua merupakan salah satu cerita prosa lisan masyarakat Bali. Menurut Bagus (1979: 13) mengatakan bahwa satua dikategorikan sebagai sastra gantian. Sastra gantian atau pagantian adalah istilah untuk menyebutkan ragam sastra lisan bali. Kata ganti atau pagantian menunjukkan bahwa sastra lisan ini selalu berubah-ubah (maganti-ganti) sesuai keinginan pencerita. Hal ini disebabkan satua sifatnya yang lisan. Oleh karena lisan, maka penuturan satua dilakukan melalui proses penceritaan (masatua) dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi berikutnya. Umumnya satua Bali bersifat anonim dan telah berkembang sejak dahulu sebelum adanya tulisan

Gaya penceritaan satua menurut Bagus adalah pertama, pencerita memastikan bahwa yang mendengarkan siap untuk mendengarkan. Adapun kata-kata permulaan yang lazim digunakan adalah: ‘ada kone tutur-tuturan satua atau ada kone orah-orahan satua’. Selanjutnya diucapkan judul satuanya, missal I Siap Badeng. Setelah itu, biasanya setiap kalimat akan dijawab oleh si anak dengan kata ‘maan’ yang artinya ‘selanjutnya’, demikian seterusnya sampai cerita selesai. Biasanya penutup satua menggunakan ungkapan “guak maling kuud, satua bawak suba suud” ayau dengan ungkapan lain “guak maling taluh, satua bawak buin aluh”. Biasanya pencerita tahu si anak sudah tidur sebelum waktunya (cerita selesai), yakni ketika si anak tidak lagi mengatakan “maan” di sela-sela cerita itu.

Selanjutnya Bagus (1990: 4) mengklasifikasi satua Bali ke dalam dongeng-dongeng jenaka (satua banyol), dongeng panji (satua panji) dan dongeng biasa (kisah hidup seseorang), dan lainnya. Selain itu, ada juga satua Tantri yang sangat populer di masyarakat Bali. Cerita Tantri merupakan cerita berbingkai yang menampilkan binatang sebagai tokoh utama dan cerita ini sambung-menyambung dari satu cerita ke cerita berikutnya.

Page 16: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

12

Tradisi masatua merupakan salah satu usaha dalam pendidikan budi pekerti, agama, etika, kesetiaan, kemanusiaan, dan lain-lain. Dahulu masatua dilakukan oleh orang tua, nenek, kakek untuk menidurkan anakpada waktu malam. Selain untuk mengisi waktu luang, satua juga memberikan hiburan di tengah kehidupan yang masih tradisional. Lewat tokoh dan dialog-dialognya, diselipkan berbagai hal kehidupan dan ini sangat penting bagi anak sebagai langkah awal pendidikan karakter (Suastika, 2011: 1). Belakangan ini tradisi lisan masatua dikembangkan melalui radio, televisi, lomba-lomba antarsekolah, tingkat kabupaten/kota atau pun provinsi. Ada beberapa judul satua yang populer dimasyarakat, di antaranya I Tuwung Kuning, I Bawang teken I Kesuna, I Nyoman Jater, Dempu Awang, Pan Balang Tamak, I Ubuh, IBelog, dan lain-lainnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kesempatan ini akan dibahas struktur tematik satua-satua I Belog dalam perspektif kajian nilai dan fungsi sosial satua Bali. II Teori dan Metodologi

Dalam penelitian ini digunakan teori struktural dan teori antropologi sastra. Prinsip dasar analisis struktural adalah whollenes, keseluruhan karena karya sastra hanya dapat diungkap melalui bagian-bagian dari keseluruhan. Atau dapat dikatakan bahwa urutan cerita atau sekuen memiliki hubungan satu dengan yang lainnya atau hubungan antarsistem yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Setiap bagian harus diberi titik perhatian yang sama sesuai konteks cerita dan ditempatkan secara keseluruhan dalam sistem kode dan konvensi sastra budaya masyarakat bersangkutan. Damono (1979: 39) memandang bahwa pendekatan strukturalisme mencakup segala bidang yang menyangkut fenomena sosial kemanusiaan yang berkaitan dengan ilmu sosial murni (antropologi, politik, ekonomi, psikologi) serta dengan ilmu-ilmu humaniora (sastra, sejarah, linguistik).

Teori sastra antropologis merupakan kajian relatif baru dalam karya sastra. Pada awl kemunculannya dipelopori oleh oleh Claude Levi-Strauss tahun 1963. Walaupun demikian, teori ini sangat mungkin diterapkan dalam berbagai ranah karya sastra (Sudewa, 2012: 65).Teori ini berasumsi bahwa karya sastra bukan sekadar refleksisemata, bukan semata-mata memantulkan kenyataan, melainkan merefraksikan, membelokannya sehingga berhasil mengevokasi keberagaman budaya secara lebih bermakna. Dalam hubungan ini akan terjadi proses timbal balik, keseimbangan yang dinamis antara kekuatan aspek sastra dengan antroplogi. Bahkan, dalam analisis yang baik seolah-olah tidak bisa dikenali lagi apakah yang dibicarakan termasuk sastra atau antropologi. Oleh karena itu, ada lima hal yangperlu diperhatikan sebagaiberikut. (1) Antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik; (2) antropologi sastra berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecendurungan baru hasil-hasil karya sastra, di dalamnya banyak dikemukakan kearifan-kearifan lokal; (3) antropologi sastra sangat dibutuhkan dengan keberadaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam adat kebiasaan yang sebagian besar dikemukakan secara estetis dalam bentuk karya sastra; (4) antropologi sastra sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan; (5) antropologi sastra dengan sendirinya megantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan multidisiplin

Filosofi penelitian ini didasari oleh fenomenologis, yakni observasi fenomena-fenomena sosial masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Oleh karena itu, akan digunakan pendekatan kualitatif yang diartikan sebagai bukan penghitungan “angka” (Moleong, 1986: 2). Secara metodologis, ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini. Tahapan pertama pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan mencari naskah-naskah cerpen berbahasa Bali di berbagai pusat toko buku, perpustakaan, atau pun milik pribadi. Selain itu juga digunakan metode simak karena berkaitan dengan penggunaan bahasa teks. Penyadapan penggunaan bahasa terjadi karena teks cerpen berbahasa Bali yang bersifat naratif (Mahsun, 2005: 90-93). Metode ini juga dilengkapi dengan teknik klasifikasi, catat, dan terjemahan. Setelah diklasifikasi, sampel akan diukur

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

13

dari kualitas cerpen berdasarkan seperti seringnya dibicarakan dalam seminar/pertemuan ilmiah/penelitian, juara dalam sayembara, frekuensi penerbitan, serta wawancara acak terhadap cerpen yang disukai

Metode analisis data dilakukan dengan metode hermeneutik dan kualitatif. Metode hermeneutik dilakukan untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks cerpen yang telah disimak. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kearifan-kearifan lokal teks cerpen sedangkan metode kualitatif digunakan karena bukan angka-angka atau perhitungan matematis. Metode-metode ini dibantu dengan tekni deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci dan jelas (Ratna, 2011: 49).

Hasil analisis data dilakkan dengan metode formal dan informal. Metode formal dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan menggunakan rangkaian kata-kata biasa. Metode ini dibantu dengan teknik berpikir deduktif dan induktif atau sebaliknya (Mahsun, 2005: 116). III Pembahasan 3.1 Struktur

Satua (dongeng) Bali merupakan cerita pendek kolektif masyarakat Bali yang bersifat lisan. Peristiwa yang ada dalam cerita dianggap tidak benar-benar terjadi. Dananjaya (1994: 83) yang mengutip pendapat Stith Thompson membagi dongeng ke dalam empat klasifikasi mayor, yakni (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) lelucon dan anekdot, dan (4) dongeng berumus. Dongeng juga merupakan salah satu jenis folklor. Tiga jenis dongeng yang pertama (kecuali yang nomor empat) umum ada di Bali. Namun demikian, yang paling populer dan paling sering didongengkan adalah yang isinya dibungkus lelucon sebagai sarana hiburan, walaupun banyak juga yang berisikan atau melukiskan kebenaran, ajaran moral, atau bahkan sindiran.

Berdasarakan hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa satua-satua Bali jumlahnya tidak dapat ditentukan dengan pasti. Tidak hanya variannya yang sangat banyak, jenis atau judulnya pun yang sangat banyak. Salah satu contoh dapat dibandingkan antara satua Pan Bangsing teken I Belog. Dalam naskah no IVb/4071 dimulai dengan kalimat “Ada orah-orahan satua. Madan Pan Bangsing ajak I Belog. Anak mula ia makekantenan makekasihan Bapa Bangsing ajak I Belog. Nah sakewala I Belog anak tiwas matektekan. Ah ngandon ngelah apa-apa. Pan Bangsing ia anak sugih pesan, liu ngelah…..dst”. Berikut disajikan kutipan teks dari naskah no 1946 (naskah yang juga dikutip oleh Bagus, 1968). “Ada tuturan satua anak makekasihan ajaka dadua, madan Nang Bangsing teken I Belog. Kacrita I belog anak ia sajaan buka adanne belog pesan tur tutut. Sedek dina anu lantas ajakina I belog masang bubu teken Nang Bangsing. Nyak kone I Belog. Glising satua matakon I Belog teken Nang Bangsing. “Beli, beli, apa anggon baren bubu?.....dst.

Dari perbandingan kutipan teks satua masing-masing enam kalimat di atas dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan teks, yakni dalam teks 4071 sudah digambarkan adanya perbedaan sosial ekonomi bahwa I Belog sosok miskin sedangkan Pan Bangsing orang kaya. Tidak demikian halnya dalam naskah 1946 tidak ada deskripsi sosial ekonomi miskin-kaya di antara keduanya (Pan Bangsing dengan I Belog). Walaupun demikian, setelah ditelusuri lebih jauh, isi teks kedua naskah itu tidak tidak jauh berbeda. I Belog dalam kedua naskah akhirnya yang berhasil mendapatkan kebahagiaan.

Demikian juga halnya dengan satua I Bawang teken I Kesuna. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Buleleng (2011) berbeda dengan yang diterbitkan oleh Bagus (1968). Dalam naskah Pemkab Buleleng (2011) sebagai berikut. “Ada tuuturan satua anak makurenan, ngelah kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni Kesuna. Akuren ngoyong kone di desa. Sawai-wai geginane tuah maburuh ka uma….dst”. Dalam naskah Bagus (1968) sebagai berikut. “Ada tuturan satua, Men Bawang ngelah

Page 17: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

12

Tradisi masatua merupakan salah satu usaha dalam pendidikan budi pekerti, agama, etika, kesetiaan, kemanusiaan, dan lain-lain. Dahulu masatua dilakukan oleh orang tua, nenek, kakek untuk menidurkan anakpada waktu malam. Selain untuk mengisi waktu luang, satua juga memberikan hiburan di tengah kehidupan yang masih tradisional. Lewat tokoh dan dialog-dialognya, diselipkan berbagai hal kehidupan dan ini sangat penting bagi anak sebagai langkah awal pendidikan karakter (Suastika, 2011: 1). Belakangan ini tradisi lisan masatua dikembangkan melalui radio, televisi, lomba-lomba antarsekolah, tingkat kabupaten/kota atau pun provinsi. Ada beberapa judul satua yang populer dimasyarakat, di antaranya I Tuwung Kuning, I Bawang teken I Kesuna, I Nyoman Jater, Dempu Awang, Pan Balang Tamak, I Ubuh, IBelog, dan lain-lainnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kesempatan ini akan dibahas struktur tematik satua-satua I Belog dalam perspektif kajian nilai dan fungsi sosial satua Bali. II Teori dan Metodologi

Dalam penelitian ini digunakan teori struktural dan teori antropologi sastra. Prinsip dasar analisis struktural adalah whollenes, keseluruhan karena karya sastra hanya dapat diungkap melalui bagian-bagian dari keseluruhan. Atau dapat dikatakan bahwa urutan cerita atau sekuen memiliki hubungan satu dengan yang lainnya atau hubungan antarsistem yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Setiap bagian harus diberi titik perhatian yang sama sesuai konteks cerita dan ditempatkan secara keseluruhan dalam sistem kode dan konvensi sastra budaya masyarakat bersangkutan. Damono (1979: 39) memandang bahwa pendekatan strukturalisme mencakup segala bidang yang menyangkut fenomena sosial kemanusiaan yang berkaitan dengan ilmu sosial murni (antropologi, politik, ekonomi, psikologi) serta dengan ilmu-ilmu humaniora (sastra, sejarah, linguistik).

Teori sastra antropologis merupakan kajian relatif baru dalam karya sastra. Pada awl kemunculannya dipelopori oleh oleh Claude Levi-Strauss tahun 1963. Walaupun demikian, teori ini sangat mungkin diterapkan dalam berbagai ranah karya sastra (Sudewa, 2012: 65).Teori ini berasumsi bahwa karya sastra bukan sekadar refleksisemata, bukan semata-mata memantulkan kenyataan, melainkan merefraksikan, membelokannya sehingga berhasil mengevokasi keberagaman budaya secara lebih bermakna. Dalam hubungan ini akan terjadi proses timbal balik, keseimbangan yang dinamis antara kekuatan aspek sastra dengan antroplogi. Bahkan, dalam analisis yang baik seolah-olah tidak bisa dikenali lagi apakah yang dibicarakan termasuk sastra atau antropologi. Oleh karena itu, ada lima hal yangperlu diperhatikan sebagaiberikut. (1) Antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik; (2) antropologi sastra berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecendurungan baru hasil-hasil karya sastra, di dalamnya banyak dikemukakan kearifan-kearifan lokal; (3) antropologi sastra sangat dibutuhkan dengan keberadaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam adat kebiasaan yang sebagian besar dikemukakan secara estetis dalam bentuk karya sastra; (4) antropologi sastra sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan; (5) antropologi sastra dengan sendirinya megantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan multidisiplin

Filosofi penelitian ini didasari oleh fenomenologis, yakni observasi fenomena-fenomena sosial masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Oleh karena itu, akan digunakan pendekatan kualitatif yang diartikan sebagai bukan penghitungan “angka” (Moleong, 1986: 2). Secara metodologis, ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini. Tahapan pertama pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan mencari naskah-naskah cerpen berbahasa Bali di berbagai pusat toko buku, perpustakaan, atau pun milik pribadi. Selain itu juga digunakan metode simak karena berkaitan dengan penggunaan bahasa teks. Penyadapan penggunaan bahasa terjadi karena teks cerpen berbahasa Bali yang bersifat naratif (Mahsun, 2005: 90-93). Metode ini juga dilengkapi dengan teknik klasifikasi, catat, dan terjemahan. Setelah diklasifikasi, sampel akan diukur

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

13

dari kualitas cerpen berdasarkan seperti seringnya dibicarakan dalam seminar/pertemuan ilmiah/penelitian, juara dalam sayembara, frekuensi penerbitan, serta wawancara acak terhadap cerpen yang disukai

Metode analisis data dilakukan dengan metode hermeneutik dan kualitatif. Metode hermeneutik dilakukan untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks cerpen yang telah disimak. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kearifan-kearifan lokal teks cerpen sedangkan metode kualitatif digunakan karena bukan angka-angka atau perhitungan matematis. Metode-metode ini dibantu dengan tekni deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci dan jelas (Ratna, 2011: 49).

Hasil analisis data dilakkan dengan metode formal dan informal. Metode formal dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan menggunakan rangkaian kata-kata biasa. Metode ini dibantu dengan teknik berpikir deduktif dan induktif atau sebaliknya (Mahsun, 2005: 116). III Pembahasan 3.1 Struktur

Satua (dongeng) Bali merupakan cerita pendek kolektif masyarakat Bali yang bersifat lisan. Peristiwa yang ada dalam cerita dianggap tidak benar-benar terjadi. Dananjaya (1994: 83) yang mengutip pendapat Stith Thompson membagi dongeng ke dalam empat klasifikasi mayor, yakni (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) lelucon dan anekdot, dan (4) dongeng berumus. Dongeng juga merupakan salah satu jenis folklor. Tiga jenis dongeng yang pertama (kecuali yang nomor empat) umum ada di Bali. Namun demikian, yang paling populer dan paling sering didongengkan adalah yang isinya dibungkus lelucon sebagai sarana hiburan, walaupun banyak juga yang berisikan atau melukiskan kebenaran, ajaran moral, atau bahkan sindiran.

Berdasarakan hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa satua-satua Bali jumlahnya tidak dapat ditentukan dengan pasti. Tidak hanya variannya yang sangat banyak, jenis atau judulnya pun yang sangat banyak. Salah satu contoh dapat dibandingkan antara satua Pan Bangsing teken I Belog. Dalam naskah no IVb/4071 dimulai dengan kalimat “Ada orah-orahan satua. Madan Pan Bangsing ajak I Belog. Anak mula ia makekantenan makekasihan Bapa Bangsing ajak I Belog. Nah sakewala I Belog anak tiwas matektekan. Ah ngandon ngelah apa-apa. Pan Bangsing ia anak sugih pesan, liu ngelah…..dst”. Berikut disajikan kutipan teks dari naskah no 1946 (naskah yang juga dikutip oleh Bagus, 1968). “Ada tuturan satua anak makekasihan ajaka dadua, madan Nang Bangsing teken I Belog. Kacrita I belog anak ia sajaan buka adanne belog pesan tur tutut. Sedek dina anu lantas ajakina I belog masang bubu teken Nang Bangsing. Nyak kone I Belog. Glising satua matakon I Belog teken Nang Bangsing. “Beli, beli, apa anggon baren bubu?.....dst.

Dari perbandingan kutipan teks satua masing-masing enam kalimat di atas dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan teks, yakni dalam teks 4071 sudah digambarkan adanya perbedaan sosial ekonomi bahwa I Belog sosok miskin sedangkan Pan Bangsing orang kaya. Tidak demikian halnya dalam naskah 1946 tidak ada deskripsi sosial ekonomi miskin-kaya di antara keduanya (Pan Bangsing dengan I Belog). Walaupun demikian, setelah ditelusuri lebih jauh, isi teks kedua naskah itu tidak tidak jauh berbeda. I Belog dalam kedua naskah akhirnya yang berhasil mendapatkan kebahagiaan.

Demikian juga halnya dengan satua I Bawang teken I Kesuna. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Buleleng (2011) berbeda dengan yang diterbitkan oleh Bagus (1968). Dalam naskah Pemkab Buleleng (2011) sebagai berikut. “Ada tuuturan satua anak makurenan, ngelah kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni Kesuna. Akuren ngoyong kone di desa. Sawai-wai geginane tuah maburuh ka uma….dst”. Dalam naskah Bagus (1968) sebagai berikut. “Ada tuturan satua, Men Bawang ngelah

Page 18: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

14

kone pianak tetelu pada luh-luh. Ane paling keliha madan I Bawang, ne Nengahan madan I Kesuna, ne paling cerika madan I cekuh….dst”. Kalau diperhatikan jelas sekali perbedaannya, teks yang Pemkab Buleleng (2011) I Bawang dan I Kesuna adalah dua bersaudara perempuan sedangkan dalam teks Bagus (1968) I Bawang dan Kesuna adalah tiga bersaudara perempuan. Walaupun demikian, kedua naskah/teks itu pada akhir cerita menunjukkan isi yang mirip.

Berdasarkan perbandingan dua judul satua di atas menunjukkan bahwa teks satua (lisan) tidaklah sama persis, di sana-sini menunjukkan perbedaan sebagai varian satua. Namun demikian esensinya tetap sama, ending atau akhir cerita tidaklah berbeda. Hal yang demikian ini tidaklah aneh dalam tradisi lisan justru hal seperti inilah yang sesungguhnya menunjukkan salah satu ciri lisan, yakni adanya pola-pola stereotipe. Teks lisan selalu berubah-ubah antara yang satu dengan lainnya. Hal sejenis juga terjadi dalam satua-satua fabel Bali yang tokoh-tokohnya binatang. Beberapa judul satua fabel dapat disebutkan seperti Satua I Kancil,I Lutung teken I Kekua, Katuturan I Empas, dan lain sebagainya. Kolaborasi tokoh manusia dengan binatang juga terdapat dalam satua-satua Bali seperti satua I Ketimun Mas, Men Tiwas teken Men Sugih, dan lain-lain. Salah satu satua Bali yang paling menonjol di masyarakat adalah tipe satua I Belog (Si Pandir). Bagus (1971) membagi satua I Belog ke dalam dua tipologis, yakni (1) satua I Belog yang memang betul-betul karena bodoh, dan (2) satua I belog karena cerdik (pura-pura bodoh) dengan tipu muslihatnya. Berikut disajikan contoh teks (1) satua I Belog (Si Pandir) dan (2).

I BELOG (1)

“Ada tuturan satua madan I Blog. I Belog ngalih anak luh, majinjin tekén méménné. “Mémé, kénkén abet ngalih anak luh? Masaut méménné: “Kema anggurin abaang base buah!” keto méménné. Ba kénto ngalih I Blog puhun basé, puhun buah abaña ñadang anaké luh. Ba kénto tepukiña anake luh di kayehan, pantegnga aji puhu base puhun buah kanti mati. Disubane abaña mulih kumahñené janga di dulun pedemané, dampingiña jantra tekén mincid ditu. Gradag-grudug bikule nempuh jantra ngalih mincid. Ba kénto morahan ia tekén méméñené, “ Mémé, somahkuné bisa ñait ba”. Delokiña tekén méméñené somahñené, tekejut mémén I belogé ngajinang somah I beloge ba mati. “Blog, somah cai mati ba né, brak ba, kema ba kutang na! Ambul asing brek ya mati. Ba kénto, kutanga somahñené tekén I Belog. Kadénña asing brek mati, binjepanenñené méménñené ngentut masih brek pesan. “Jani meme brek, meme jani mati”. Kutanga méménñene tekén I Blog. Bin jepanenñené ia lautné ngentut masih brek kahing, kutanga ibaña I Blog di batan pohe, medem ia ditu. Ulungan pohe makecit ka bungutñené. “E, poh, yen aku idup amah ku ko!” kénto I Blog ngomong. Teka reraman I Bloge. “ Cai nguda medem dini Blog? “Aku mati man”. “Ngawag-ngawag cai mati kéngkén sih, kema mulih!”. Mulih lautné I Blog. Ba kénto, ba men satuané.

(Sumber: Alih aksara Satua I Blog, Tigawasa 1 koleksi Gedong Kirtya, naskah asli IIIb/4071). Terjemahan (Bahasa Indonesia)

I BELOG (SI PANDIR) (1) ‘Ada sebuah cerita namanya I Belog (Si Pandir). I Belog akan mencari seorang istri, bertanya kepada ibunya: “Bu, bagaimana caranya mencari istri?” Lalu ibunya menjawab: “Ke sana dekati, bawakan sirih dan pinang!, demkian ibunya menjawanya. Setelah itu, berangkatlah I Belog mencari pohon pinang dan pohon sirih, pohon pinang itu dibawanya untuk mencegat perempuan yang dimaksud. Setelah itu dia melihat seorang perempuan di pemandian, lalu dipukullah perempuan itu dengan pohon pinang dan sirih itu sampai mati. Setelah perempuan itu meninggal, mayatnya lalu segera dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, mayat perempuan itu lalu ditaruh di hulu tempat tidurnya,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

15

di sampingya diisi jantra dan beras. (Oleh karena itu) segera dicari oleh tikus sehingga suaranya bising tikus itu mengelilingi jantra tersebut. Selanjutnya I Belog berkata kepada ibunya: “Bu, istriku sudah bisa menjarit”. Lalu dilihatlah istrinya oleg ibunya I Belog, terkejut ibunya setelah melihat istrinya I Belog sudah meninggal. “Hai, Belog, istrimu sudah mati, sudah membusuk, sana buang (kubur) segera, ya!. Segala sesuatu yang sudah busuk pasti sudah mati”. Setelah itu lalu istrinya dibuang oleh I Belog. Menurut pikirannya, segala sesuatu yang busuk pastilah mati, tidak lama kemudian ibunya kentut dan baunya sangat busuk. “Bu, sekarang ibu baunya busuk, sekarang ibu mati”. Segera ibunya dikubur oleh I Belog. Tidak lama setelah itu, I Belog kentut baunya juga sangat busuk, segera dia membuang dirinya di bawah pohon mangga, tidurlah dia di sana. Ketika buah mangga itu jatuh menimpa mulutnya dia berkata: “Hai kamu mangga, kalau aku mati sudah pasti aku akan makan kamu”, demikian dia berkata. Setelah itu, datanglah ayahnya dan berkata: “Belog, kenapa kamu tidur di sini? Lalu jawabnya: “Ayah, saya sudah mati” “Sembarangan kamu bicara, mati bagaimana (maksudmu), sana pulang! Lalu pulanglah I Belog. Demikianlah cerita ini berakhir.

Satua I Belog (l) di atas jika disimak dengan baik adalah tipe satua i belog yang memang benar-benar bodoh. Karena kebodohanya itu menyebabkan sesuatu dapat terjadi secara fatal. Apa yang diucapkan orang ditelan mentah-mentah tanpa melalui proses berpikir. Hanya karena perkataan ibunya bahwa bila menghirup bau busuk adalah mati maka semua yang berbau busuk dianggap sudah mati. Demikianlah peristiwanya, ketika ibunya kentut yang sangat bau maka dengan segera ibunya dibuang atau mati. Demikian pula dengan peristiwa dirinya ketika kentutnya bau segera menganggap dirinya telah mati. Dalam satua ini tokoh utama i belog tidaklah sampai mati, sedikit berbeda dengan satua i belog (2) berikut ini.

I BELOG (2) “Ada tuturan satua madan I Belog, éménña bapaña lacur pesan-pesané, tara payu ñakan ya.

Gagaéñané nanggap upah nebuk. Bapaña nanggap upah nampad. Kénto dangan baña ngalih amah, I Belog malali dang ya.

Jani sedek dina anu, I Belog omongina kénang bapané, kéné ubaca nuturin, :”Belog, kénkén si ko tara pesan inget kénang gaé, apa bakal amah cai, bapa kéné lacur pesan, cai melah dangan. Da anaké kéto, awak lacur bikas lacur agén, da beña malali dang!”. Kénto bapané ngurahin I Belog. I Belog mendep dang ya. Nah kacrita jani I Belog, uba tuturiña kénang bapané, keneh-kenah ya. Papineh anah belog tara amul apa. Uba ya makeneh, kéné urahanga keneh I Belogé. “Jani bakal ngalih gaé ba,bakal ngalih udang apa ka lebahé. Uba kénto, was lahuca I Belog ngalih udang tara ngaba apa, ngaba ibaña dang. Kacrita teked ya di lebahé, ngalih udang aji ngogoin dang ya. Kacrita maan ya udang, ngomong udangé ané bakatanga totoña, kéné omongané: “Belog, da ja ko ngamatiang aku, yén ko tara ngamatiang aku,pidanan aku ingetanga olasmuné!”. Kénto orahanga udangé ngomong kénang I Belog. Uba kénto lébanga udangé kénang I Belog. Mulih man ya. Teked ya dumah murahan ya kénang bapané. “Bapa, nira was ngalih udang ba tuni, liu ba nira maan udang, kuwala bin ba lébin nira”. Kénto omong I Belogé murahan kénang bapané. Uba ya murahan kénto kénang bapanné, galak urahanga bapa, : To kénkén té cai Belog, tara nawang apa, ba ko, ko was ngalih udang, uba maan udang lébangmu, aduh,uba mara yak o belog pesan, melah mati dang ko”. Kéntoanga I Belog kénang bapané. Mendep dang I Belog. Kacrita bin maniné, bin I Belog was ngalih udang. Neked ya di lebahé, ngalih-ngalihin man udang. Maan lantas bé julit gedé pesané, uba bakatanga bé julité kénang I Belog, ngomong lahuta bé julite kénang I Belog, : “Belog, da ja ko ngamatiang aku. Yén ko ñak ngalébang aku, pidanan aku ingetanga olasmuné”. Kénto omong bé julité kén IBelog. Uba kénto lébiña bé julité kénang I Belog.

Page 19: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

14

kone pianak tetelu pada luh-luh. Ane paling keliha madan I Bawang, ne Nengahan madan I Kesuna, ne paling cerika madan I cekuh….dst”. Kalau diperhatikan jelas sekali perbedaannya, teks yang Pemkab Buleleng (2011) I Bawang dan I Kesuna adalah dua bersaudara perempuan sedangkan dalam teks Bagus (1968) I Bawang dan Kesuna adalah tiga bersaudara perempuan. Walaupun demikian, kedua naskah/teks itu pada akhir cerita menunjukkan isi yang mirip.

Berdasarkan perbandingan dua judul satua di atas menunjukkan bahwa teks satua (lisan) tidaklah sama persis, di sana-sini menunjukkan perbedaan sebagai varian satua. Namun demikian esensinya tetap sama, ending atau akhir cerita tidaklah berbeda. Hal yang demikian ini tidaklah aneh dalam tradisi lisan justru hal seperti inilah yang sesungguhnya menunjukkan salah satu ciri lisan, yakni adanya pola-pola stereotipe. Teks lisan selalu berubah-ubah antara yang satu dengan lainnya. Hal sejenis juga terjadi dalam satua-satua fabel Bali yang tokoh-tokohnya binatang. Beberapa judul satua fabel dapat disebutkan seperti Satua I Kancil,I Lutung teken I Kekua, Katuturan I Empas, dan lain sebagainya. Kolaborasi tokoh manusia dengan binatang juga terdapat dalam satua-satua Bali seperti satua I Ketimun Mas, Men Tiwas teken Men Sugih, dan lain-lain. Salah satu satua Bali yang paling menonjol di masyarakat adalah tipe satua I Belog (Si Pandir). Bagus (1971) membagi satua I Belog ke dalam dua tipologis, yakni (1) satua I Belog yang memang betul-betul karena bodoh, dan (2) satua I belog karena cerdik (pura-pura bodoh) dengan tipu muslihatnya. Berikut disajikan contoh teks (1) satua I Belog (Si Pandir) dan (2).

I BELOG (1)

“Ada tuturan satua madan I Blog. I Belog ngalih anak luh, majinjin tekén méménné. “Mémé, kénkén abet ngalih anak luh? Masaut méménné: “Kema anggurin abaang base buah!” keto méménné. Ba kénto ngalih I Blog puhun basé, puhun buah abaña ñadang anaké luh. Ba kénto tepukiña anake luh di kayehan, pantegnga aji puhu base puhun buah kanti mati. Disubane abaña mulih kumahñené janga di dulun pedemané, dampingiña jantra tekén mincid ditu. Gradag-grudug bikule nempuh jantra ngalih mincid. Ba kénto morahan ia tekén méméñené, “ Mémé, somahkuné bisa ñait ba”. Delokiña tekén méméñené somahñené, tekejut mémén I belogé ngajinang somah I beloge ba mati. “Blog, somah cai mati ba né, brak ba, kema ba kutang na! Ambul asing brek ya mati. Ba kénto, kutanga somahñené tekén I Belog. Kadénña asing brek mati, binjepanenñené méménñené ngentut masih brek pesan. “Jani meme brek, meme jani mati”. Kutanga méménñene tekén I Blog. Bin jepanenñené ia lautné ngentut masih brek kahing, kutanga ibaña I Blog di batan pohe, medem ia ditu. Ulungan pohe makecit ka bungutñené. “E, poh, yen aku idup amah ku ko!” kénto I Blog ngomong. Teka reraman I Bloge. “ Cai nguda medem dini Blog? “Aku mati man”. “Ngawag-ngawag cai mati kéngkén sih, kema mulih!”. Mulih lautné I Blog. Ba kénto, ba men satuané.

(Sumber: Alih aksara Satua I Blog, Tigawasa 1 koleksi Gedong Kirtya, naskah asli IIIb/4071). Terjemahan (Bahasa Indonesia)

I BELOG (SI PANDIR) (1) ‘Ada sebuah cerita namanya I Belog (Si Pandir). I Belog akan mencari seorang istri, bertanya kepada ibunya: “Bu, bagaimana caranya mencari istri?” Lalu ibunya menjawab: “Ke sana dekati, bawakan sirih dan pinang!, demkian ibunya menjawanya. Setelah itu, berangkatlah I Belog mencari pohon pinang dan pohon sirih, pohon pinang itu dibawanya untuk mencegat perempuan yang dimaksud. Setelah itu dia melihat seorang perempuan di pemandian, lalu dipukullah perempuan itu dengan pohon pinang dan sirih itu sampai mati. Setelah perempuan itu meninggal, mayatnya lalu segera dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, mayat perempuan itu lalu ditaruh di hulu tempat tidurnya,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

15

di sampingya diisi jantra dan beras. (Oleh karena itu) segera dicari oleh tikus sehingga suaranya bising tikus itu mengelilingi jantra tersebut. Selanjutnya I Belog berkata kepada ibunya: “Bu, istriku sudah bisa menjarit”. Lalu dilihatlah istrinya oleg ibunya I Belog, terkejut ibunya setelah melihat istrinya I Belog sudah meninggal. “Hai, Belog, istrimu sudah mati, sudah membusuk, sana buang (kubur) segera, ya!. Segala sesuatu yang sudah busuk pasti sudah mati”. Setelah itu lalu istrinya dibuang oleh I Belog. Menurut pikirannya, segala sesuatu yang busuk pastilah mati, tidak lama kemudian ibunya kentut dan baunya sangat busuk. “Bu, sekarang ibu baunya busuk, sekarang ibu mati”. Segera ibunya dikubur oleh I Belog. Tidak lama setelah itu, I Belog kentut baunya juga sangat busuk, segera dia membuang dirinya di bawah pohon mangga, tidurlah dia di sana. Ketika buah mangga itu jatuh menimpa mulutnya dia berkata: “Hai kamu mangga, kalau aku mati sudah pasti aku akan makan kamu”, demikian dia berkata. Setelah itu, datanglah ayahnya dan berkata: “Belog, kenapa kamu tidur di sini? Lalu jawabnya: “Ayah, saya sudah mati” “Sembarangan kamu bicara, mati bagaimana (maksudmu), sana pulang! Lalu pulanglah I Belog. Demikianlah cerita ini berakhir.

Satua I Belog (l) di atas jika disimak dengan baik adalah tipe satua i belog yang memang benar-benar bodoh. Karena kebodohanya itu menyebabkan sesuatu dapat terjadi secara fatal. Apa yang diucapkan orang ditelan mentah-mentah tanpa melalui proses berpikir. Hanya karena perkataan ibunya bahwa bila menghirup bau busuk adalah mati maka semua yang berbau busuk dianggap sudah mati. Demikianlah peristiwanya, ketika ibunya kentut yang sangat bau maka dengan segera ibunya dibuang atau mati. Demikian pula dengan peristiwa dirinya ketika kentutnya bau segera menganggap dirinya telah mati. Dalam satua ini tokoh utama i belog tidaklah sampai mati, sedikit berbeda dengan satua i belog (2) berikut ini.

I BELOG (2) “Ada tuturan satua madan I Belog, éménña bapaña lacur pesan-pesané, tara payu ñakan ya.

Gagaéñané nanggap upah nebuk. Bapaña nanggap upah nampad. Kénto dangan baña ngalih amah, I Belog malali dang ya.

Jani sedek dina anu, I Belog omongina kénang bapané, kéné ubaca nuturin, :”Belog, kénkén si ko tara pesan inget kénang gaé, apa bakal amah cai, bapa kéné lacur pesan, cai melah dangan. Da anaké kéto, awak lacur bikas lacur agén, da beña malali dang!”. Kénto bapané ngurahin I Belog. I Belog mendep dang ya. Nah kacrita jani I Belog, uba tuturiña kénang bapané, keneh-kenah ya. Papineh anah belog tara amul apa. Uba ya makeneh, kéné urahanga keneh I Belogé. “Jani bakal ngalih gaé ba,bakal ngalih udang apa ka lebahé. Uba kénto, was lahuca I Belog ngalih udang tara ngaba apa, ngaba ibaña dang. Kacrita teked ya di lebahé, ngalih udang aji ngogoin dang ya. Kacrita maan ya udang, ngomong udangé ané bakatanga totoña, kéné omongané: “Belog, da ja ko ngamatiang aku, yén ko tara ngamatiang aku,pidanan aku ingetanga olasmuné!”. Kénto orahanga udangé ngomong kénang I Belog. Uba kénto lébanga udangé kénang I Belog. Mulih man ya. Teked ya dumah murahan ya kénang bapané. “Bapa, nira was ngalih udang ba tuni, liu ba nira maan udang, kuwala bin ba lébin nira”. Kénto omong I Belogé murahan kénang bapané. Uba ya murahan kénto kénang bapanné, galak urahanga bapa, : To kénkén té cai Belog, tara nawang apa, ba ko, ko was ngalih udang, uba maan udang lébangmu, aduh,uba mara yak o belog pesan, melah mati dang ko”. Kéntoanga I Belog kénang bapané. Mendep dang I Belog. Kacrita bin maniné, bin I Belog was ngalih udang. Neked ya di lebahé, ngalih-ngalihin man udang. Maan lantas bé julit gedé pesané, uba bakatanga bé julité kénang I Belog, ngomong lahuta bé julite kénang I Belog, : “Belog, da ja ko ngamatiang aku. Yén ko ñak ngalébang aku, pidanan aku ingetanga olasmuné”. Kénto omong bé julité kén IBelog. Uba kénto lébiña bé julité kénang I Belog.

Page 20: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

16

Uba I Belog ngalébang bé julite, mulih man ya. Neked ya dumah, bin ya murahan kénang bapané, ngorahang ibaña maan bé julit, kuwala bin lébiña.Uba kénto bin ba I Belog galakiña kénang bapaña, ngendepang dang ba I Belog galakiña kénang bapaña. Kacrita bin maniné, bin man ya was ngalih udang. Kacrita neked ya di lebahé ngenot-ngenotang ya udang di tibuané. Ada nipi ditu di sampan tibuané gedé pesané, kadéna bé julit nipiné to kénang I belog. Maan udang lébanga, maan bé julit lébanga masih, ada nipi gedé jemaka, sampe mati ya ngemasin belogné. Jani kacrita bapan I Belogé, uba sanja tara teka I belog, aliha I belog ka tukadé ara tepukinña, bin aliha ngatebaang tepukina ada laad dangan, getih ada tepukinña, berurusan pada tepukiña totoña, tutuga berurusané, tepukiña ada nipi gedé pesané, bin gedé pesan basangné. Dadi keneh-keneh ba bapan I beloge. Nipiné ténéña musti ngamah panakkuné. Kénto keneh bapan I Belogé. Uba kénto, ngalih man ya bangsing agéña negul nipiné totoña, uba mategul lipiné totoña, sanja gati ba mulih man ya. Kacrita bin mani semenganné, ngalih man ya timpal ajakina ngamatiang lipiné totoña. Maku man bapan I Belogé ajaka patpat, ngaba tumbak ya maku. Uba neked ya ditu,tumbakiña lantas nipiné totoña, mati lahuca lipiné totoña. Uba mati lipiné, tudaga basang nipiné, bakatanga I Belog di basing nipiné, ba mati ba bakatanga, tekaning maan ya soca di basang nipiné totoña. Uba kénto, abaña man mulih bangkén I Belogé. Uba neked dumah,liu peda pisaga-pisagaña nelokin maku. Uba kénto, kutanga man I belog. Uba makutang I belog, keneh-keneh bapan I belogé, mapan ya man soca di basang nipiné, melah agén apa socané totoña tara ba tawanga, balih-balihina socané totoña. Tedun lantas mémén I Belogé. Dadi katedunané totoña,tara baanga meme bapané sedih, socané totoña silurné, dadi éméña bapaña ara baanga sedih,socane totoña tundéna ngidepang ya. Socané totoña manic totoña, melah agén nulungin anak ngalih anak luh. Kénto orahanga kénang priyatan I Belogé. Yén ada anak ngalih totoña suha ñepuh maniké. Yén né to suha nginem kenéng anaké ngalih mesuh nulung anak sakit, yéhé to suha maang. Yén anak ngalih mesuh nulungin makarep, suha ngemem aji lengis totoña, suha maang anaké. Kénto urahina kinang periyatan I Belogé, urahanga bapané bakal payu ba jani. Uba kénto man ya tedun. Kacrita jani uba urahiña kénto kinang periyatan I Belogé, ada jenenga solas dina nakeloné, ulih ento tara pegat-pegatan anak ngalih ubad maku, ada ngalih ubad anak sakit, ada mesuh nulungin ngalih karepan. Apa ulih totoña ngancan payu ba bapan I belogé. Ba kénto, makelo-kelo sugih lahuca meme bapan I Belogé. Jani bin kacrita I belog, uba makelo ya mati inget bapaña, mampan ya ba sugih ulihan I Belog ngranayang, makiré man yak al ngabénang I Belog. Abéña lahuca I belog, ngupah gong, ngupah angklung ya, upahanga periyatan I Beloge. Nah uba ngabén, ñugih-ñugihang dang bapan I Belogé. Uba kénto, ba man satuan I Belogé.(sumber: koleksi Gedong Kirtya IIIb/3958)

Satua I Belog (2) di atas sedikit berbeda dengan (l). Dalam satua I Belog (2) juga karena kebodohannya akhirnya menemui kegagalan. I Belog sangat percaya dengan omongan orang lain yang akhirnya merugikan dirinya sendiri, bahkan pada akhir cerita menemui ajalnya karena dimangsa ular besar. Bagi orang tuanya, sebodoh apa pun anaknya dia tetaplah anaknya yang harus disayangi. Oleh karena itu, kehilangannya I Belog terus ditelusuri sampai akhirnya ditemukan dalam perut ular. Kematian I Belog dan kecintaan ayahnya pada anaknya itu tidaklah sia-sia, bahkan sebaliknya yakni membawa kebahagiaan. Kematian I Belog diupacarai secara baik, diberikan penghormatan terkahir sebagaimana layaknya. Beberapa judul satua tipe ini seringkali dengan judul I Belog, namun ada juga yang tidak memakai I Belog seperti satua Nang Bangsing teken I Belog, satua Pan Belog, Nyoman Jater, Men Muntig.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

17

I CELEMPUNG (3)

Wénten tuturan satua, mawasta I Celempung. Jadma kalintang lacur punika, maroban ipun sareng kakalih, kurenan ipuné. Sapunika mangkin, kacrita mangkin i kliang banjar nuduk patus, ipun jagi ngabén. Réh asapunika, dados karauhan arahan punika I Celempung. Arah-arahan punika “nah beli Celempung, beli apanga tedun dinané buin mani di banjar, réh banjaré ngantiang nuduk patus”. Dinané bénjangné raris tedun banjaré sami rauhing I Celempung. Deriki raris matakén i kliang banjar. “nah cai Celempung, réh beli jani makiré ngabén, cai apanga pesu patus duang tali pis bolong, apanga cai ngaba buin telun pipisé ento. Yen tuara cai ngaba pipis dinané ento, cai bakal matundung uli désane dini, tur kasuudang mabanjar”. Inggih sasampuné asapunika baosané, éling I Celempung ring déwekné lacur. Kobet raris ipun, raris mamana-manah. Antuk kalacurané I Celempung, dados mabaos-baosan mangkin sareng kurenané. “nah Men Bongkéngé, kénkén abéte jani makenehan, wiréh banjaré nuduk patus néné buin telun. Yén banya mabudi nyilih, tusing kagugu. Budi mamaling tuara bani.”. méweh sampun manahne, nénten ja wénten sané nyidayang ngamedalang jinah, medal raris ipun akal “béh ngudiang ja kéto”. Sapunika mabaos ring kurenanné. “ngelah sé kuluk aukud, ento bakal gadéang tekén i kliang banjar”. Raris rauh sampun dinané jagi ipun naur djinah ring banjar. Pinah tengai durung ipun rauh, pinah sué ipun sampun i kliang banjar ngantos. Kacrita I Celempung polih mangkuhan wantah satus bidang jinah bolong. Punika raris kaakalang jinahé sané satus, kakemkem dados ring bungutné, tur nganté asu raris, kadandan ka bakta ka banjar. Sarauhe ring banjar, raris katakénin antuk i kliang banjar “nah cai Celempung, to kénkén dadi cai mara tedun, pinah suba makelo nyama-nyamané nganti, cai dogén paling sidori teka”. Raris masaut I Celempung “béh, napi beli, tiang maangkuhan mawinan sué, santukan bas lacur tiangé. Nyelang jinah ten ja polih”. Wawu asapunika masaut raris i kliang “o, to cai jani dadi kosing ngaba pipis tedun caine”. “inggih, nénten tiang makta pipis”. Sapunika i celempung. “cendetne beli malu ngugunin awak tiangé”. “ento beli tundén cai mesuang pipis, apa gegaén caoné?”. Sapunika i kliang. “niki té kuluk tiangé anak midep ngamedalang pipis. Sangkal bani tiang maang beli ngisi kuluk tiangé, wiréh beli anak sugih, mabe-bean sai-sai, dadi begeh pesu pipisé uli di bungutné, yéning beli sai-sai ngmaang ja nasi misi bé”. Masaur raris i kliang “nah tegarang cai nundén ia apanga mesuanag pipis uli bungutné”. “kéné beli”. Sapunika i celempung, “reh kuluk tiangé uli bau tedun sing ja nyadég, mangkin abedik ipun midep ngamedalang jinah. Ten ja lebihan tekén satus bolong pesu”. “nah, api kéto, yén suba macihna dogén, beli nyak ngugonin cai duang tali pipis”. Asapunika i kliang banjar. Sampun asapunika, mangkin raris ikliang banjar ngaukin, ping kalih ngaturin gusti-gustiné apanga nampekin I Celempung. Sasampuné sami paek, raris sedota jit asuné antuk i celempung, bek raris bungutné I Celempung madaging jinah, raris kautahang antuk I Celempung. Sasampuné kapanggih antuk i kliang banjar, raris kendel ipun, tur nyak ipun ngugu punika aji kalih tali jinah. Sampun sapunika kabecik-becikang asuné I Celempung ngubuhin, sarahina wéhin nasi madaging ulam makéh-makéh. Kacrita mangkin sampun malih kalih rahina jagi ngabén i kliang banjar, raris mapajar ipun ring I Celempung “nah Celempung, buin mani inetang cai ngaba timpas ka banjar réh lakar ngébat”. Bénjang semengan semengan wusan maolah-olahan raris kategakang sami. Bénjangné malih tedun jagi nyuryakang wadah. Kacrita gelising puput sampun karyané i kliang banjar ngabén. Réh ipun madué utang makéh, mamanah ipun jagi naur utang. Éling ipun ring kulukné I Celempung sane ngamedalag jinah. “ngudiang ja kéweh, jakanang malu kuluké, apang liunan mesuang pipis.”. asapunika manah ipune. Raris kajakanang tur kawéhin daar asuné punika. Mangkin tedunanga panyamaané sami, réh ipun polih ngadé kuluk midep ngamedalang jinah, mangda sami uning. “nah cai nyama braya makejang, jani pabalih apang cai nawang kuluk ané mautama, ané nyidaang mesuang pipis”. Dados akéh rauh

Page 21: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

16

Uba I Belog ngalébang bé julite, mulih man ya. Neked ya dumah, bin ya murahan kénang bapané, ngorahang ibaña maan bé julit, kuwala bin lébiña.Uba kénto bin ba I Belog galakiña kénang bapaña, ngendepang dang ba I Belog galakiña kénang bapaña. Kacrita bin maniné, bin man ya was ngalih udang. Kacrita neked ya di lebahé ngenot-ngenotang ya udang di tibuané. Ada nipi ditu di sampan tibuané gedé pesané, kadéna bé julit nipiné to kénang I belog. Maan udang lébanga, maan bé julit lébanga masih, ada nipi gedé jemaka, sampe mati ya ngemasin belogné. Jani kacrita bapan I Belogé, uba sanja tara teka I belog, aliha I belog ka tukadé ara tepukinña, bin aliha ngatebaang tepukina ada laad dangan, getih ada tepukinña, berurusan pada tepukiña totoña, tutuga berurusané, tepukiña ada nipi gedé pesané, bin gedé pesan basangné. Dadi keneh-keneh ba bapan I beloge. Nipiné ténéña musti ngamah panakkuné. Kénto keneh bapan I Belogé. Uba kénto, ngalih man ya bangsing agéña negul nipiné totoña, uba mategul lipiné totoña, sanja gati ba mulih man ya. Kacrita bin mani semenganné, ngalih man ya timpal ajakina ngamatiang lipiné totoña. Maku man bapan I Belogé ajaka patpat, ngaba tumbak ya maku. Uba neked ya ditu,tumbakiña lantas nipiné totoña, mati lahuca lipiné totoña. Uba mati lipiné, tudaga basang nipiné, bakatanga I Belog di basing nipiné, ba mati ba bakatanga, tekaning maan ya soca di basang nipiné totoña. Uba kénto, abaña man mulih bangkén I Belogé. Uba neked dumah,liu peda pisaga-pisagaña nelokin maku. Uba kénto, kutanga man I belog. Uba makutang I belog, keneh-keneh bapan I belogé, mapan ya man soca di basang nipiné, melah agén apa socané totoña tara ba tawanga, balih-balihina socané totoña. Tedun lantas mémén I Belogé. Dadi katedunané totoña,tara baanga meme bapané sedih, socané totoña silurné, dadi éméña bapaña ara baanga sedih,socane totoña tundéna ngidepang ya. Socané totoña manic totoña, melah agén nulungin anak ngalih anak luh. Kénto orahanga kénang priyatan I Belogé. Yén ada anak ngalih totoña suha ñepuh maniké. Yén né to suha nginem kenéng anaké ngalih mesuh nulung anak sakit, yéhé to suha maang. Yén anak ngalih mesuh nulungin makarep, suha ngemem aji lengis totoña, suha maang anaké. Kénto urahina kinang periyatan I Belogé, urahanga bapané bakal payu ba jani. Uba kénto man ya tedun. Kacrita jani uba urahiña kénto kinang periyatan I Belogé, ada jenenga solas dina nakeloné, ulih ento tara pegat-pegatan anak ngalih ubad maku, ada ngalih ubad anak sakit, ada mesuh nulungin ngalih karepan. Apa ulih totoña ngancan payu ba bapan I belogé. Ba kénto, makelo-kelo sugih lahuca meme bapan I Belogé. Jani bin kacrita I belog, uba makelo ya mati inget bapaña, mampan ya ba sugih ulihan I Belog ngranayang, makiré man yak al ngabénang I Belog. Abéña lahuca I belog, ngupah gong, ngupah angklung ya, upahanga periyatan I Beloge. Nah uba ngabén, ñugih-ñugihang dang bapan I Belogé. Uba kénto, ba man satuan I Belogé.(sumber: koleksi Gedong Kirtya IIIb/3958)

Satua I Belog (2) di atas sedikit berbeda dengan (l). Dalam satua I Belog (2) juga karena kebodohannya akhirnya menemui kegagalan. I Belog sangat percaya dengan omongan orang lain yang akhirnya merugikan dirinya sendiri, bahkan pada akhir cerita menemui ajalnya karena dimangsa ular besar. Bagi orang tuanya, sebodoh apa pun anaknya dia tetaplah anaknya yang harus disayangi. Oleh karena itu, kehilangannya I Belog terus ditelusuri sampai akhirnya ditemukan dalam perut ular. Kematian I Belog dan kecintaan ayahnya pada anaknya itu tidaklah sia-sia, bahkan sebaliknya yakni membawa kebahagiaan. Kematian I Belog diupacarai secara baik, diberikan penghormatan terkahir sebagaimana layaknya. Beberapa judul satua tipe ini seringkali dengan judul I Belog, namun ada juga yang tidak memakai I Belog seperti satua Nang Bangsing teken I Belog, satua Pan Belog, Nyoman Jater, Men Muntig.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

17

I CELEMPUNG (3)

Wénten tuturan satua, mawasta I Celempung. Jadma kalintang lacur punika, maroban ipun sareng kakalih, kurenan ipuné. Sapunika mangkin, kacrita mangkin i kliang banjar nuduk patus, ipun jagi ngabén. Réh asapunika, dados karauhan arahan punika I Celempung. Arah-arahan punika “nah beli Celempung, beli apanga tedun dinané buin mani di banjar, réh banjaré ngantiang nuduk patus”. Dinané bénjangné raris tedun banjaré sami rauhing I Celempung. Deriki raris matakén i kliang banjar. “nah cai Celempung, réh beli jani makiré ngabén, cai apanga pesu patus duang tali pis bolong, apanga cai ngaba buin telun pipisé ento. Yen tuara cai ngaba pipis dinané ento, cai bakal matundung uli désane dini, tur kasuudang mabanjar”. Inggih sasampuné asapunika baosané, éling I Celempung ring déwekné lacur. Kobet raris ipun, raris mamana-manah. Antuk kalacurané I Celempung, dados mabaos-baosan mangkin sareng kurenané. “nah Men Bongkéngé, kénkén abéte jani makenehan, wiréh banjaré nuduk patus néné buin telun. Yén banya mabudi nyilih, tusing kagugu. Budi mamaling tuara bani.”. méweh sampun manahne, nénten ja wénten sané nyidayang ngamedalang jinah, medal raris ipun akal “béh ngudiang ja kéto”. Sapunika mabaos ring kurenanné. “ngelah sé kuluk aukud, ento bakal gadéang tekén i kliang banjar”. Raris rauh sampun dinané jagi ipun naur djinah ring banjar. Pinah tengai durung ipun rauh, pinah sué ipun sampun i kliang banjar ngantos. Kacrita I Celempung polih mangkuhan wantah satus bidang jinah bolong. Punika raris kaakalang jinahé sané satus, kakemkem dados ring bungutné, tur nganté asu raris, kadandan ka bakta ka banjar. Sarauhe ring banjar, raris katakénin antuk i kliang banjar “nah cai Celempung, to kénkén dadi cai mara tedun, pinah suba makelo nyama-nyamané nganti, cai dogén paling sidori teka”. Raris masaut I Celempung “béh, napi beli, tiang maangkuhan mawinan sué, santukan bas lacur tiangé. Nyelang jinah ten ja polih”. Wawu asapunika masaut raris i kliang “o, to cai jani dadi kosing ngaba pipis tedun caine”. “inggih, nénten tiang makta pipis”. Sapunika i celempung. “cendetne beli malu ngugunin awak tiangé”. “ento beli tundén cai mesuang pipis, apa gegaén caoné?”. Sapunika i kliang. “niki té kuluk tiangé anak midep ngamedalang pipis. Sangkal bani tiang maang beli ngisi kuluk tiangé, wiréh beli anak sugih, mabe-bean sai-sai, dadi begeh pesu pipisé uli di bungutné, yéning beli sai-sai ngmaang ja nasi misi bé”. Masaur raris i kliang “nah tegarang cai nundén ia apanga mesuanag pipis uli bungutné”. “kéné beli”. Sapunika i celempung, “reh kuluk tiangé uli bau tedun sing ja nyadég, mangkin abedik ipun midep ngamedalang jinah. Ten ja lebihan tekén satus bolong pesu”. “nah, api kéto, yén suba macihna dogén, beli nyak ngugonin cai duang tali pipis”. Asapunika i kliang banjar. Sampun asapunika, mangkin raris ikliang banjar ngaukin, ping kalih ngaturin gusti-gustiné apanga nampekin I Celempung. Sasampuné sami paek, raris sedota jit asuné antuk i celempung, bek raris bungutné I Celempung madaging jinah, raris kautahang antuk I Celempung. Sasampuné kapanggih antuk i kliang banjar, raris kendel ipun, tur nyak ipun ngugu punika aji kalih tali jinah. Sampun sapunika kabecik-becikang asuné I Celempung ngubuhin, sarahina wéhin nasi madaging ulam makéh-makéh. Kacrita mangkin sampun malih kalih rahina jagi ngabén i kliang banjar, raris mapajar ipun ring I Celempung “nah Celempung, buin mani inetang cai ngaba timpas ka banjar réh lakar ngébat”. Bénjang semengan semengan wusan maolah-olahan raris kategakang sami. Bénjangné malih tedun jagi nyuryakang wadah. Kacrita gelising puput sampun karyané i kliang banjar ngabén. Réh ipun madué utang makéh, mamanah ipun jagi naur utang. Éling ipun ring kulukné I Celempung sane ngamedalag jinah. “ngudiang ja kéweh, jakanang malu kuluké, apang liunan mesuang pipis.”. asapunika manah ipune. Raris kajakanang tur kawéhin daar asuné punika. Mangkin tedunanga panyamaané sami, réh ipun polih ngadé kuluk midep ngamedalang jinah, mangda sami uning. “nah cai nyama braya makejang, jani pabalih apang cai nawang kuluk ané mautama, ané nyidaang mesuang pipis”. Dados akéh rauh

Page 22: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

18

panyamaané jagi nonton punika. Sasampuné sami tragia jagi mabalih, raris sahasa punika i kliang banjar nyanggem jit kulukné I Celempung, tur kakerasang raris nyedot jit kulukné, jantos lengkék basang kuluké kuing-kuing, malih kabangetang antuk i kliang banjar nyedot, raris bek bungut ipuné madaging bacin asuné. Raris kasuak antuk antuk timpal ipuné, irika raris jengah, réh kasuak antuk timpal ipuné, sahasa raris antuk renget manah ipuné, kapantigang raris asuné punika jantos mati. Sasampuné padem asu punika, mangkin ka jumahné I Celempung raris ipun i kliang banjar malungguhang. “nah, cai celempung, ulihang pipis beliné, réh cai nguluk-nguluk, ngorahang kuluk cainé pesu pipis. Mara sedot beli bek bungut beliné misi tai”. Reh I Celempung uning ring asuné padem, raris ipun masaur “nah yén asapunika, nunas mangkin kuluk tiangé, tiang jagi nyedot mangda medal jinah, tiang ngulihang jinah beliné”. “Bah kadung suba matiang beli kuluk cainé”. Sapunika kelihané. “reh beli ngamatiang kuluk tiangé, pipis beliné ten ulihang tiang, sira mangkin tagihin tiang pipis, raris matiang beli”. “nah, réh cai tusing nyak ngulihang pipis beliné, anggon pang melah-melah”. Sapunika i kliang. “nah, api beli apang melah-melah masih ngamatiang kuluk tiangé”. (sumber Satua-Satua saneBbanjol ring Kasusastran Bali, l97l).

Satua i celempung (3) di atas juga bertemakan belog atau bodoh/pandir. Namun, tidak demikian bodohnya dengan satua (l) dan (2). Dalam belog (3) karakter bodoh i celempung bukanlah bodoh sebanarnya. I celempung sebanarnya adalah tokoh cerdik namun pura-pura bodoh, atau membodohi orang lain. Beberapa contoh satua mirip ini seperti pan balang tamak, i belog mantu, pan angklung gadang, balu kawanan dan balu kanginan. Model kecerdikan seperti satua (3) ini dilakukan dengan tipu muslihat bahkan menjurus licik demi keuntungan diri-sendiri. Alasan yang diajukan bermacam-macam, mulai dari ketidakmampuan ekonomi, kekurangan fisik, atau yang lainnya. Khusus untuk satua (3) di atas alasannya karena kekurangmampuan ekonomi. 3.2 Fungsi dan Nilai Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa sastra haruslah mengandung sesuatu yang bernilai dan berguna untuk masyarakat sehingga hasil sastra dapat dijadikan panutan atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter anak perlu dan penting ditanamkan sejak usia dini guna mengantisipasi perubahan global yang arusnya semakin kuat. Memahami nilai dan fungsi satua bisa melalui masatua ataupun dengan membaca teks satua. Nilai dan fungsi harus dipandang sebagai satu kesatuan seperti mata dua sisi mata uang. Beberapa nilai dan fungsi satua sebagaimana yang telah disajikan di atas akan dibahas sebagai berikut ini. Dalam satua i belog baik i belog (l) dan (2) di atas menunjukkan keluguan dari kesederhaan potret masyarakat. Di dalam masyarakat kondisi sosial masyarakatnya tentulah tidak sama. Berbagai karakter ada di dalamnya, termasuk sebagian dari mereka ada yang memiliki intelektualitas kurang. Terhadap orang yang seperti ini, memperlakukannya jangan pula semena-mena karena mereka juga manusia ciptaan Tuhan, dan mereka lahir atas kehendak-Nya. Oleh karena itu, hendaknya diperlakukan sebagaimana seharusnya, bagaimana cara mengajarinya supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan bahkan fatal. Memperlakukan orang seperti itu tentu dengan cara khusus, misalnya dengan memberi pengertian yang benar atau dengan menjelaskan akibat dari sebuah perkataan, tidak asal mempercainya. Tersirat juga dalam teks itu bahwa orang seperti i belog itu juga membawa berkah walaupun dia harus kehilangan nyawanya seperti dalam teks i belog (2) di atas. Kecintaan dan ketulusan hati orang tuanya i belog terlihat ketika harus mencari anaknya yang hilang atau mati dimangsa ular kemudian dibuatkan upacara selayaknya sesuai kemampuannya. Berkat ketulusannya itulah akhirnya mereka mendapatkan kebahagiaan. Dalam teks satua i celempung (3) di atas juga termasuk belog (bodoh) yang cenderung memelog ‘berpura-pura bodoh’. Jadi, teks itu menunjukkan bahwa tokoh utamanya tidaklah bodoh, melainkan pura-pura bodoh untuk membodohi orang lain dengan tujuan tertentu. I celempung

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

19

bukanlah orang bodoh, akan tetapi karena ketidakberdayaanya karena orang miskin membuatnya melakukan hal yang tidak semestinya. Hal semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan apapun alasannya karena selain tidak konsekuen terhadap kewajibannya tetapi juga merugikan orang lain. Di pihak lain, i kliang banjar juga tokoh serakah, yang ingin selalu menimbun kekayaan walaupun terhadap orang miskin. Begitu ada peluang sedikit saja segera dimanfaatkan oleh i celempung. Akhirnya dengan seekor anjing i celempung membayar semua kewajibannya terhadap i kling banjar. IV Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini.

1) Struktur tema dalam satua I Belog ada dua macam, yakni belog yang memang benar-benar bodoh dan belog yang pura-pura bodoh.

2) Selain itu, ditemukan juga satua Bali yang bertemakan lelucon bercampur dengan kekonyolan serta satua yang bertemakan panji.

3) Nilai dan fungsi satua Bali beberapa di antaranya adalah kepercayaan terhadap takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Fungsi yang terdapat dalam satua Bali antara lain fungsi pendidikan, yakni menanamkan karakter jujur, tidak semena-mena terhadap orang yang lemah.

4.2 Saran Penelitian terhadap sastra tradisional Bali khususnya satua-satua Bali perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih komprehensif terutama untuk mendapatkan data-data dokumentasi seperti di daerah Nusa Penida ataupun di daerah-daerah lainnya. Selain untuk penyelamatan, penelitian atau pendokumentasi satua dilakukan dengan maksud menggali kembali kearifan lokal Bali lebih-lebih satua merupakan media pendidikan anak yang disajikan dengan menarik. Sebagai salah satu kekayaan khazanah sastra tradisional Bali, kiranya penelitian ini perlu dikembangkan lagi sehingga pemahaman kearifan lokal Bali melalui media satua menjadi lomprehensif. Daftar Pustaka Atmaja, Made Jiwa. 1988. Masyarakat sastra Indonesia. Denpasar: Yayasan Himsa Denpasar. Atmaja, Made Jiwa. 2016. “Asas-Asas Estetika Novel: Rekonstruksi Teoretik” dalam Pustaka:

Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol XVI No 2 (halaman 155-166). Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Penerjemahan karya sastra tradisional ke Dalam Bahasa Indonesia

(dalam Bahasa dan sastra No 5 Tahun V). Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, depdikbud.\

Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Pengantar kesusastraan Bali. (Makalah tidak terbit, Denpasar, Fakultas Sastra Unud).

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Koentjaraningrat. 1978. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Angkasa Baru. Kuntowijoyo. 2000. “Sakit Itu Menyembuhkan Kuntowijoyo” dalam Republika, Sabtu 12 Februari,

hal 16. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy Y. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses

Kreatif.

Page 23: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

18

panyamaané jagi nonton punika. Sasampuné sami tragia jagi mabalih, raris sahasa punika i kliang banjar nyanggem jit kulukné I Celempung, tur kakerasang raris nyedot jit kulukné, jantos lengkék basang kuluké kuing-kuing, malih kabangetang antuk i kliang banjar nyedot, raris bek bungut ipuné madaging bacin asuné. Raris kasuak antuk antuk timpal ipuné, irika raris jengah, réh kasuak antuk timpal ipuné, sahasa raris antuk renget manah ipuné, kapantigang raris asuné punika jantos mati. Sasampuné padem asu punika, mangkin ka jumahné I Celempung raris ipun i kliang banjar malungguhang. “nah, cai celempung, ulihang pipis beliné, réh cai nguluk-nguluk, ngorahang kuluk cainé pesu pipis. Mara sedot beli bek bungut beliné misi tai”. Reh I Celempung uning ring asuné padem, raris ipun masaur “nah yén asapunika, nunas mangkin kuluk tiangé, tiang jagi nyedot mangda medal jinah, tiang ngulihang jinah beliné”. “Bah kadung suba matiang beli kuluk cainé”. Sapunika kelihané. “reh beli ngamatiang kuluk tiangé, pipis beliné ten ulihang tiang, sira mangkin tagihin tiang pipis, raris matiang beli”. “nah, réh cai tusing nyak ngulihang pipis beliné, anggon pang melah-melah”. Sapunika i kliang. “nah, api beli apang melah-melah masih ngamatiang kuluk tiangé”. (sumber Satua-Satua saneBbanjol ring Kasusastran Bali, l97l).

Satua i celempung (3) di atas juga bertemakan belog atau bodoh/pandir. Namun, tidak demikian bodohnya dengan satua (l) dan (2). Dalam belog (3) karakter bodoh i celempung bukanlah bodoh sebanarnya. I celempung sebanarnya adalah tokoh cerdik namun pura-pura bodoh, atau membodohi orang lain. Beberapa contoh satua mirip ini seperti pan balang tamak, i belog mantu, pan angklung gadang, balu kawanan dan balu kanginan. Model kecerdikan seperti satua (3) ini dilakukan dengan tipu muslihat bahkan menjurus licik demi keuntungan diri-sendiri. Alasan yang diajukan bermacam-macam, mulai dari ketidakmampuan ekonomi, kekurangan fisik, atau yang lainnya. Khusus untuk satua (3) di atas alasannya karena kekurangmampuan ekonomi. 3.2 Fungsi dan Nilai Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa sastra haruslah mengandung sesuatu yang bernilai dan berguna untuk masyarakat sehingga hasil sastra dapat dijadikan panutan atau pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter anak perlu dan penting ditanamkan sejak usia dini guna mengantisipasi perubahan global yang arusnya semakin kuat. Memahami nilai dan fungsi satua bisa melalui masatua ataupun dengan membaca teks satua. Nilai dan fungsi harus dipandang sebagai satu kesatuan seperti mata dua sisi mata uang. Beberapa nilai dan fungsi satua sebagaimana yang telah disajikan di atas akan dibahas sebagai berikut ini. Dalam satua i belog baik i belog (l) dan (2) di atas menunjukkan keluguan dari kesederhaan potret masyarakat. Di dalam masyarakat kondisi sosial masyarakatnya tentulah tidak sama. Berbagai karakter ada di dalamnya, termasuk sebagian dari mereka ada yang memiliki intelektualitas kurang. Terhadap orang yang seperti ini, memperlakukannya jangan pula semena-mena karena mereka juga manusia ciptaan Tuhan, dan mereka lahir atas kehendak-Nya. Oleh karena itu, hendaknya diperlakukan sebagaimana seharusnya, bagaimana cara mengajarinya supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan bahkan fatal. Memperlakukan orang seperti itu tentu dengan cara khusus, misalnya dengan memberi pengertian yang benar atau dengan menjelaskan akibat dari sebuah perkataan, tidak asal mempercainya. Tersirat juga dalam teks itu bahwa orang seperti i belog itu juga membawa berkah walaupun dia harus kehilangan nyawanya seperti dalam teks i belog (2) di atas. Kecintaan dan ketulusan hati orang tuanya i belog terlihat ketika harus mencari anaknya yang hilang atau mati dimangsa ular kemudian dibuatkan upacara selayaknya sesuai kemampuannya. Berkat ketulusannya itulah akhirnya mereka mendapatkan kebahagiaan. Dalam teks satua i celempung (3) di atas juga termasuk belog (bodoh) yang cenderung memelog ‘berpura-pura bodoh’. Jadi, teks itu menunjukkan bahwa tokoh utamanya tidaklah bodoh, melainkan pura-pura bodoh untuk membodohi orang lain dengan tujuan tertentu. I celempung

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

19

bukanlah orang bodoh, akan tetapi karena ketidakberdayaanya karena orang miskin membuatnya melakukan hal yang tidak semestinya. Hal semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan apapun alasannya karena selain tidak konsekuen terhadap kewajibannya tetapi juga merugikan orang lain. Di pihak lain, i kliang banjar juga tokoh serakah, yang ingin selalu menimbun kekayaan walaupun terhadap orang miskin. Begitu ada peluang sedikit saja segera dimanfaatkan oleh i celempung. Akhirnya dengan seekor anjing i celempung membayar semua kewajibannya terhadap i kling banjar. IV Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini.

1) Struktur tema dalam satua I Belog ada dua macam, yakni belog yang memang benar-benar bodoh dan belog yang pura-pura bodoh.

2) Selain itu, ditemukan juga satua Bali yang bertemakan lelucon bercampur dengan kekonyolan serta satua yang bertemakan panji.

3) Nilai dan fungsi satua Bali beberapa di antaranya adalah kepercayaan terhadap takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Fungsi yang terdapat dalam satua Bali antara lain fungsi pendidikan, yakni menanamkan karakter jujur, tidak semena-mena terhadap orang yang lemah.

4.2 Saran Penelitian terhadap sastra tradisional Bali khususnya satua-satua Bali perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih komprehensif terutama untuk mendapatkan data-data dokumentasi seperti di daerah Nusa Penida ataupun di daerah-daerah lainnya. Selain untuk penyelamatan, penelitian atau pendokumentasi satua dilakukan dengan maksud menggali kembali kearifan lokal Bali lebih-lebih satua merupakan media pendidikan anak yang disajikan dengan menarik. Sebagai salah satu kekayaan khazanah sastra tradisional Bali, kiranya penelitian ini perlu dikembangkan lagi sehingga pemahaman kearifan lokal Bali melalui media satua menjadi lomprehensif. Daftar Pustaka Atmaja, Made Jiwa. 1988. Masyarakat sastra Indonesia. Denpasar: Yayasan Himsa Denpasar. Atmaja, Made Jiwa. 2016. “Asas-Asas Estetika Novel: Rekonstruksi Teoretik” dalam Pustaka:

Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol XVI No 2 (halaman 155-166). Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Penerjemahan karya sastra tradisional ke Dalam Bahasa Indonesia

(dalam Bahasa dan sastra No 5 Tahun V). Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, depdikbud.\

Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Pengantar kesusastraan Bali. (Makalah tidak terbit, Denpasar, Fakultas Sastra Unud).

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Koentjaraningrat. 1978. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Angkasa Baru. Kuntowijoyo. 2000. “Sakit Itu Menyembuhkan Kuntowijoyo” dalam Republika, Sabtu 12 Februari,

hal 16. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy Y. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses

Kreatif.

Page 24: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

20

Septiyarti, Yemi. (2015) dalam “Kearifan Lokal Sastra Lisan Papua: Relevansinya terhadap Pendidikan Karakter” dalam Ragam Wacana: Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan lokal, Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.

Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Sudiana, I Made dan I Gede Sudirgayasa (2015) dalam “Intergrasi Kearifan Lokal Bali dalam Buku

Ajar Sekolah Dasar” dalam Jurnal Kajian Bali Vol 05, Nomor 01, April 2015 (hal 181-200). Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek tentang Sastra. Denpasar: Kayumas-Yayasan Ilmu dan Seni

Lesiba. Sulibra, I Ketut Ngurah dan Ni Ketut Ratna Erawati. 2014. “Satu Masalah, Tiga Dimensi: Kisah

Persaudaraan Tiga Ekor Ikan Gabus dalam Satua Ni Diah Tantri” dalamCahaya Bahasa. Denpasar: Swasta Nulus.

Sulibra, I Ketut Ngurah, I Wayan Suteja, I Nyoman Duana Sutika. 2017. Revitalization of Local Wisdom in Balinese Short Story: an Anthropological Study dalamUdayana Journal of Social Science and Humanities Vol 2 No 1 (hal 15-19).

Teeuw, A. 1988.Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

21

PERANAN WIDYASABHA DALAM MEMBINA PASANTIAN: ANTARA HARAPAN DAN REALITA

Oleh

I Ketut Jirnaya dan I Wayan Sukersa Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

I Pendahuluan Sastra Jawa Kuno hidup dan mencapai puncaknya pada abad ke-15 ketika zaman kerajaan

Majapahit. Pada abad ke-9 merupakan titik awal berkembangnya sastra Jawa Kuno ditandai dengan hadirnya kakawin Ramayana yang tersohor tersebut. Kerajaan Majapahit runtuh dan masuk kepercayaan lain. Kondisi ini membawa dampak pada keberadaan sastra Jawa kuno yang bernuansa sastra Hindu menjadi kehilangan pembaca, pengguna, dan penggemar. Akhirnya karya sastra Jawa kuno tersebut diselamatkan di Bali karena kebetulan masyarakat Bali masih kuat menganut kepercayaan Hindu.

Di Bali karya sastra Jawa Kuno (kakawin dan parwa) direspon oleh para pujangga Bali. Karya sastra Jawa Kuno tersebut disalin ke dalam naskah lontar dengan menggunakan aksara Bali yang awalnya memakai aksara Jawa Kuno. Dalamm hal ini Zoetmulder (1983: 47) mengakui bahwa kepada Bali-lah kita berhutang budi karena di sana sastra Jawa Kuno diselamatkan.

Vitalitas sastra Jawa kuno di Bali terkait dengan sosiobudaya dan agama Hindu. Hal ini semakin dirasakan oleh pemerintah Bali sehingga didirikan lah Widyasabha yang bertugas membina para penikmat sastra tradisional atau pesantian. Secara etimologis pesantian berasal dari kata santi yang berarti damai. Konfiks pe-an membentuk kata benda yang mengacu pada keterangan tempat. Jadi pesantian adalah wadah atau tempat sekelompok orang yang gemar menembangkan kakawin atau mempelajari bahasa dan sastra Jawa kuno secara tradisional. Mereka berkumpul mendalami sastra Jawa Kuno dengan jalan menembangkan dan diselingi dengan diskusi. Mereka membaca karya sastra Jawa Kuno baik parwa, maupun kakawin dengan wirama.

Mawirama (membaca teks kakawin) mempunyai persyaratan ketat (Sugriwa, 1977; Medera, 1997; Suarka, 2009). Secara tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Pesantian atau masyarakat Bali yang senang menembangkan wirama kakawin menjadi wilayah binaan Widyasabha. Seandainya hal itu berjalan, maka dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pelestarian bahasa Jawa Kuno melalui pesantian.

Sering sekali antara harapan dan kenyataan belum sesuai dengan target. Pengamatan awal di lapangan menunjukkan kondisi masyarakat Bali yang senang menembangkan wirama kakawin masih berhadapan dengan banyak masalah. Hal ini mengindikasikan harapan masyarakat akan mendabat bimbingan dan binaan dari Widyasabha belum sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pada kesempatan ini Tim peneliti dari Program Studi Sastra Jawa Kuno mengkaji untuk menemukan akar permasalahan dan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Fenomena ini sangat urgen untuk diteliti mengingat kenyataan masih lebih banyak penikmat sastra tradisional baik yang menghimpun diri berupa pesantian maupun yang berupa individual. Mereka menembangkan kakawin sekedarnya tanpa mengetahui aturan dasar menembangkan sastra kakawin.

Beberapa pesantian dipakai objek penelitian meliputi pesantian yang ada di desa adat Yeh Embang, kabupaten Jembrana, pesantian yang ada di desa adat Les, kabupaten Buleleng, dan pesantian yang ada di desa adat Batugunung, kabupaten Karangasem.

Page 25: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

20

Septiyarti, Yemi. (2015) dalam “Kearifan Lokal Sastra Lisan Papua: Relevansinya terhadap Pendidikan Karakter” dalam Ragam Wacana: Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan lokal, Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.

Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Sudiana, I Made dan I Gede Sudirgayasa (2015) dalam “Intergrasi Kearifan Lokal Bali dalam Buku

Ajar Sekolah Dasar” dalam Jurnal Kajian Bali Vol 05, Nomor 01, April 2015 (hal 181-200). Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek tentang Sastra. Denpasar: Kayumas-Yayasan Ilmu dan Seni

Lesiba. Sulibra, I Ketut Ngurah dan Ni Ketut Ratna Erawati. 2014. “Satu Masalah, Tiga Dimensi: Kisah

Persaudaraan Tiga Ekor Ikan Gabus dalam Satua Ni Diah Tantri” dalamCahaya Bahasa. Denpasar: Swasta Nulus.

Sulibra, I Ketut Ngurah, I Wayan Suteja, I Nyoman Duana Sutika. 2017. Revitalization of Local Wisdom in Balinese Short Story: an Anthropological Study dalamUdayana Journal of Social Science and Humanities Vol 2 No 1 (hal 15-19).

Teeuw, A. 1988.Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

21

PERANAN WIDYASABHA DALAM MEMBINA PASANTIAN: ANTARA HARAPAN DAN REALITA

Oleh

I Ketut Jirnaya dan I Wayan Sukersa Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

I Pendahuluan Sastra Jawa Kuno hidup dan mencapai puncaknya pada abad ke-15 ketika zaman kerajaan

Majapahit. Pada abad ke-9 merupakan titik awal berkembangnya sastra Jawa Kuno ditandai dengan hadirnya kakawin Ramayana yang tersohor tersebut. Kerajaan Majapahit runtuh dan masuk kepercayaan lain. Kondisi ini membawa dampak pada keberadaan sastra Jawa kuno yang bernuansa sastra Hindu menjadi kehilangan pembaca, pengguna, dan penggemar. Akhirnya karya sastra Jawa kuno tersebut diselamatkan di Bali karena kebetulan masyarakat Bali masih kuat menganut kepercayaan Hindu.

Di Bali karya sastra Jawa Kuno (kakawin dan parwa) direspon oleh para pujangga Bali. Karya sastra Jawa Kuno tersebut disalin ke dalam naskah lontar dengan menggunakan aksara Bali yang awalnya memakai aksara Jawa Kuno. Dalamm hal ini Zoetmulder (1983: 47) mengakui bahwa kepada Bali-lah kita berhutang budi karena di sana sastra Jawa Kuno diselamatkan.

Vitalitas sastra Jawa kuno di Bali terkait dengan sosiobudaya dan agama Hindu. Hal ini semakin dirasakan oleh pemerintah Bali sehingga didirikan lah Widyasabha yang bertugas membina para penikmat sastra tradisional atau pesantian. Secara etimologis pesantian berasal dari kata santi yang berarti damai. Konfiks pe-an membentuk kata benda yang mengacu pada keterangan tempat. Jadi pesantian adalah wadah atau tempat sekelompok orang yang gemar menembangkan kakawin atau mempelajari bahasa dan sastra Jawa kuno secara tradisional. Mereka berkumpul mendalami sastra Jawa Kuno dengan jalan menembangkan dan diselingi dengan diskusi. Mereka membaca karya sastra Jawa Kuno baik parwa, maupun kakawin dengan wirama.

Mawirama (membaca teks kakawin) mempunyai persyaratan ketat (Sugriwa, 1977; Medera, 1997; Suarka, 2009). Secara tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Pesantian atau masyarakat Bali yang senang menembangkan wirama kakawin menjadi wilayah binaan Widyasabha. Seandainya hal itu berjalan, maka dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pelestarian bahasa Jawa Kuno melalui pesantian.

Sering sekali antara harapan dan kenyataan belum sesuai dengan target. Pengamatan awal di lapangan menunjukkan kondisi masyarakat Bali yang senang menembangkan wirama kakawin masih berhadapan dengan banyak masalah. Hal ini mengindikasikan harapan masyarakat akan mendabat bimbingan dan binaan dari Widyasabha belum sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pada kesempatan ini Tim peneliti dari Program Studi Sastra Jawa Kuno mengkaji untuk menemukan akar permasalahan dan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Fenomena ini sangat urgen untuk diteliti mengingat kenyataan masih lebih banyak penikmat sastra tradisional baik yang menghimpun diri berupa pesantian maupun yang berupa individual. Mereka menembangkan kakawin sekedarnya tanpa mengetahui aturan dasar menembangkan sastra kakawin.

Beberapa pesantian dipakai objek penelitian meliputi pesantian yang ada di desa adat Yeh Embang, kabupaten Jembrana, pesantian yang ada di desa adat Les, kabupaten Buleleng, dan pesantian yang ada di desa adat Batugunung, kabupaten Karangasem.

Page 26: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

22

II Pembahasan Pesantian di desa adat Yeh Embang, kabupaten Jembrana menguasai beberapa wirama

kakawin, diantaranya, wirama Mandamalon atau Rajani, wirama Raitiga, wirama Merdukomala, wirama Wirat Jagaditha. Untuk mengetahui kualitas wirama yang mereka kuasai, maka wirama-wirama itu dicoba ditembangkan Wirama Raitiga (Sumber: Kakawin Ramayana)

Nda ta ti ta sang pra bhu gu man ti tu ja ra ta si rang ma rūt su ta, sa da ra si ra mang la wa da, pa ra teng ta man ka tĕ mu de wi ja na ki.

Wirama Mandamalon/Rajani (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Stu ti ni ra tan tu lus si na hu ran pa ra mar ta si wa, a na ku hu wus ka ton a bi ma tan ta tĕ mun ta ka beh, ha na pa nga nu gra hang ku ca du sak ti wi nim ba sa ra. pa su pa ti śās tra kas tu pa nga ran nya ni han wu la ti. Wirama Merdukomala (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha) Ong sĕm bah ni nga na tha ting ha la na de tri lo ka sa ra na, Wah ya dyat mi ka sĕm bah ing hu lun i jőng ta tan ha na wa neh, Sang lwir a gni sa keng ta hĕn ka di mi ñak sa keng da di ki ta, Sang sak sat mĕ tu yan ha na wang a mu tĕr tu tur pi na ha yu. Wirama Wirat Jagadita (Sumber: Kakawin Bharatayudha)

Sang su ra mrih a yaj ña ring sa ma ra mah yu ni hi la nga ni kang pa rang mu ka,

li la kam ba ngu ra sĕ kar ta ji ni ke sa ni nga ri pe ja hing ra nang ga na, Ur na ning ra tu ma ti wi ja ni ra kun da ni ra na ga ra ning mu suh gĕ sĕng, sa hi tya hu ti tĕn da sing ri pu ka pő ka ni ra ta ni ka su sra meng la ga.

Setelah data tersebut dianalisis, diketahui masih banyak terjadi kesalahan jika dikaitkan dengan persyaratan menembangkan karya sastra kakawin. Ada beberapa persyaratan menembangkan kakawin. 1) Ketepatan menjalankan guru-lagu (tentang suara pendek dan panjang atau cengkok). 2) Vokal harus ngangkus prana (suara dalam perut bervibrasi ketika dikeluarkan), atau suara ring

bungkahing jihwa (suara pada pangkal lidah) 3) Kejelasan bacaan teks (ngonek) karena salah baca bisa berarti salah menempatkan guru-lagu dan

bisa pula mengubah arti. Kesalahan yang paling banyak terjadi pada wirama yang ditembangkan di atas adalah pada

guru-lagu. Guru artinya suara berat, panjang, berkelok-kelok (cengkok). Lagu artinya suara ringan dan datar. Suara lagu harus mengikuti tinggi-rendah suara guru di depannya. Apabila suara lagu tidak

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

23

sejajar nadanya dengan suara guru di depannya, maka lagu itu akan menjadi guru. Kesalahan ini yang banyak terjadi di pesantian desa adat Yeh Embang, Jembrana.

Pada wirama Rajani di atas, baris kedua terjadi kesalahan suara ka pada kata katon seharusnya nadanya sejajar atau senada dengan suara wus di depannya karena posisi wus tersebut sebagai guru. Kesalahan kedua, suara te pada kata temunta tidak senada dengan suara ta pada kata abimatanta, padahal ta tersebut posisinya sebagai lagu. Jadi sesame lagu seharusnya nadanya sama. Demikian pula pada wirama yang lainnya.

Masalah vokal penembangnya sudah rata-rata bagus sesuai dengan persyaratan vocal menembangkan kakawin. Berdasarkan pengamatan karena daerah kabupaten Jembrana tembang kidung terutama sekar alit atau geguritan berkembang sangat bagus. Bahkan beberapa sudah memiliki kaset atau Cpmpact Disk (CD) rekaman. Hal ini menginspirasi dan memotivasi masyarakat Jembrana senang belajar menembangkan geguritan.

Data yang merupakan hasil wawancara dengan beberapa anggota pesantian menunjukkan, mereka kurang dibina. Dalam hal ini yang sangat diharapkan dan berkompeten untuk membina adalah Widyasabha. Indikasinya, mereka belum menguasai teknik dasar mewirama dan baru tahu kesalahan setelah diskusi dengan peneliti.

Pesantian di desa adat Les, Buleleng ada yang bentuknya formal dengan nama Pesantian Wayabya Prabha Gita dan ada yang berbentuk informal. Pesantian formal tersebut dilatih oleh pelatih akademisi yang menguasai teknik dasar mawirama, tetapi bukan dari Widyasabha. Indikasinya mereka berkualitas. Untuk pesantian formal ini tidak akan dikaji.

Anggota masyarakat desa adat Les termasuk cukup banyak yang senang menembangkan kidung, baik geguritan maupun kakawin. Wirama kakawin yang dikuasai diantaranya: wirama Basantatilaka, wirama Rajani, wirama Swandewi, wirama Indrawangsa,

Masyarakat yang gemar masanti atau menembangkan gita kakawin di desa Les kebanyakan tanpa guru. Mereka belajar sendiri-sendiri melalui proses pendengaran. Artinya, mereka bisa karena setiap hari wirama itu didengarkan di pura Baleagung ketika pagi saat mau Tri Sandya. Pada saat menjelang sembahyang Tri Sandya, umat yang akan ikut sembahyang biasanya bagi yang tahu menembangkan gita kakawin, mereka akan bernyanyi untuk mengisi waktu. Di samping itu, berfungsi untuk mengingatkan umat agar siap-siap sembahyang Tri Sandya.

Momentum ini dipakai kesempatan bagi yang tertarik pada gita kakawin untuk belajar melalui proses mendengarkan. Konsekuensi dari situasi ini, banyak anggota masyarakat di desa Les bisa menembangkan kakawin sekedarnya. Sangat jauh dari aturan dasar-dasar mawirama. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka belajar tidak melalui pembinaan dari pembina atau pelatih yang berkompeten, seperti Widyasabha. Berikut salah satu wirama yang dinyanyikan oleh I Nengah Suweca. Wirama Mandamalon/Rajani (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Stu ti ni ra tan tu lus si na hu ran pa ra mar ta si wa, a na ku hu wus ka ton a bi ma tan ta tĕ mun ta ka beh, ha na pa nga nu gra hang ku ca du sak ti wi nim ba sa ra. pa su pa ti śās tra kas tu pa nga ran nya ni han wu la ti.

Berdasarkan anakisis data bait kakawin di atas, ada beberapa kesalahan membaca guru-lagu. Secara aturan, suara lagu yang datar dan ringan tidak boleh dibaca atau dinyanyikan dengan mengubah nada. Ketika terjadi perubahan nada, maka status lagu berubah menjadi guru. Ini yang

Page 27: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

22

II Pembahasan Pesantian di desa adat Yeh Embang, kabupaten Jembrana menguasai beberapa wirama

kakawin, diantaranya, wirama Mandamalon atau Rajani, wirama Raitiga, wirama Merdukomala, wirama Wirat Jagaditha. Untuk mengetahui kualitas wirama yang mereka kuasai, maka wirama-wirama itu dicoba ditembangkan Wirama Raitiga (Sumber: Kakawin Ramayana)

Nda ta ti ta sang pra bhu gu man ti tu ja ra ta si rang ma rūt su ta, sa da ra si ra mang la wa da, pa ra teng ta man ka tĕ mu de wi ja na ki.

Wirama Mandamalon/Rajani (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Stu ti ni ra tan tu lus si na hu ran pa ra mar ta si wa, a na ku hu wus ka ton a bi ma tan ta tĕ mun ta ka beh, ha na pa nga nu gra hang ku ca du sak ti wi nim ba sa ra. pa su pa ti śās tra kas tu pa nga ran nya ni han wu la ti. Wirama Merdukomala (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha) Ong sĕm bah ni nga na tha ting ha la na de tri lo ka sa ra na, Wah ya dyat mi ka sĕm bah ing hu lun i jőng ta tan ha na wa neh, Sang lwir a gni sa keng ta hĕn ka di mi ñak sa keng da di ki ta, Sang sak sat mĕ tu yan ha na wang a mu tĕr tu tur pi na ha yu. Wirama Wirat Jagadita (Sumber: Kakawin Bharatayudha)

Sang su ra mrih a yaj ña ring sa ma ra mah yu ni hi la nga ni kang pa rang mu ka,

li la kam ba ngu ra sĕ kar ta ji ni ke sa ni nga ri pe ja hing ra nang ga na, Ur na ning ra tu ma ti wi ja ni ra kun da ni ra na ga ra ning mu suh gĕ sĕng, sa hi tya hu ti tĕn da sing ri pu ka pő ka ni ra ta ni ka su sra meng la ga.

Setelah data tersebut dianalisis, diketahui masih banyak terjadi kesalahan jika dikaitkan dengan persyaratan menembangkan karya sastra kakawin. Ada beberapa persyaratan menembangkan kakawin. 1) Ketepatan menjalankan guru-lagu (tentang suara pendek dan panjang atau cengkok). 2) Vokal harus ngangkus prana (suara dalam perut bervibrasi ketika dikeluarkan), atau suara ring

bungkahing jihwa (suara pada pangkal lidah) 3) Kejelasan bacaan teks (ngonek) karena salah baca bisa berarti salah menempatkan guru-lagu dan

bisa pula mengubah arti. Kesalahan yang paling banyak terjadi pada wirama yang ditembangkan di atas adalah pada

guru-lagu. Guru artinya suara berat, panjang, berkelok-kelok (cengkok). Lagu artinya suara ringan dan datar. Suara lagu harus mengikuti tinggi-rendah suara guru di depannya. Apabila suara lagu tidak

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

23

sejajar nadanya dengan suara guru di depannya, maka lagu itu akan menjadi guru. Kesalahan ini yang banyak terjadi di pesantian desa adat Yeh Embang, Jembrana.

Pada wirama Rajani di atas, baris kedua terjadi kesalahan suara ka pada kata katon seharusnya nadanya sejajar atau senada dengan suara wus di depannya karena posisi wus tersebut sebagai guru. Kesalahan kedua, suara te pada kata temunta tidak senada dengan suara ta pada kata abimatanta, padahal ta tersebut posisinya sebagai lagu. Jadi sesame lagu seharusnya nadanya sama. Demikian pula pada wirama yang lainnya.

Masalah vokal penembangnya sudah rata-rata bagus sesuai dengan persyaratan vocal menembangkan kakawin. Berdasarkan pengamatan karena daerah kabupaten Jembrana tembang kidung terutama sekar alit atau geguritan berkembang sangat bagus. Bahkan beberapa sudah memiliki kaset atau Cpmpact Disk (CD) rekaman. Hal ini menginspirasi dan memotivasi masyarakat Jembrana senang belajar menembangkan geguritan.

Data yang merupakan hasil wawancara dengan beberapa anggota pesantian menunjukkan, mereka kurang dibina. Dalam hal ini yang sangat diharapkan dan berkompeten untuk membina adalah Widyasabha. Indikasinya, mereka belum menguasai teknik dasar mewirama dan baru tahu kesalahan setelah diskusi dengan peneliti.

Pesantian di desa adat Les, Buleleng ada yang bentuknya formal dengan nama Pesantian Wayabya Prabha Gita dan ada yang berbentuk informal. Pesantian formal tersebut dilatih oleh pelatih akademisi yang menguasai teknik dasar mawirama, tetapi bukan dari Widyasabha. Indikasinya mereka berkualitas. Untuk pesantian formal ini tidak akan dikaji.

Anggota masyarakat desa adat Les termasuk cukup banyak yang senang menembangkan kidung, baik geguritan maupun kakawin. Wirama kakawin yang dikuasai diantaranya: wirama Basantatilaka, wirama Rajani, wirama Swandewi, wirama Indrawangsa,

Masyarakat yang gemar masanti atau menembangkan gita kakawin di desa Les kebanyakan tanpa guru. Mereka belajar sendiri-sendiri melalui proses pendengaran. Artinya, mereka bisa karena setiap hari wirama itu didengarkan di pura Baleagung ketika pagi saat mau Tri Sandya. Pada saat menjelang sembahyang Tri Sandya, umat yang akan ikut sembahyang biasanya bagi yang tahu menembangkan gita kakawin, mereka akan bernyanyi untuk mengisi waktu. Di samping itu, berfungsi untuk mengingatkan umat agar siap-siap sembahyang Tri Sandya.

Momentum ini dipakai kesempatan bagi yang tertarik pada gita kakawin untuk belajar melalui proses mendengarkan. Konsekuensi dari situasi ini, banyak anggota masyarakat di desa Les bisa menembangkan kakawin sekedarnya. Sangat jauh dari aturan dasar-dasar mawirama. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka belajar tidak melalui pembinaan dari pembina atau pelatih yang berkompeten, seperti Widyasabha. Berikut salah satu wirama yang dinyanyikan oleh I Nengah Suweca. Wirama Mandamalon/Rajani (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Stu ti ni ra tan tu lus si na hu ran pa ra mar ta si wa, a na ku hu wus ka ton a bi ma tan ta tĕ mun ta ka beh, ha na pa nga nu gra hang ku ca du sak ti wi nim ba sa ra. pa su pa ti śās tra kas tu pa nga ran nya ni han wu la ti.

Berdasarkan anakisis data bait kakawin di atas, ada beberapa kesalahan membaca guru-lagu. Secara aturan, suara lagu yang datar dan ringan tidak boleh dibaca atau dinyanyikan dengan mengubah nada. Ketika terjadi perubahan nada, maka status lagu berubah menjadi guru. Ini yang

Page 28: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

24

disebut melanggar atau ngelambuk. Di samping itu, penembang di atas tidak mengetahui teknik dasar vokal yang dibutuhkan ketika menembangkan teks kakawin. Indikasinya, vokalnya seperti menembangkan geguritan, belum ke dalam atau ngangkus prana.

Peneliti sempat memberikan gambaran aturan-aturan yang harus diikuti ketika menembangkan kakawin. Tampak penembang di atas sedikit kaget karena baru hari itu mendengar istilah-istilah dan aturan ketika menembangkan kakawin. Hal ini merupakan indikasi ia dan teman-temannya belum pernah tersentuh pembinaan. Narasumber mengatakan tertarik belajar mawirama untuk dipakai sarana menghaturkan bakti ketika ada upacara Dewayadnya atau odalan di pura.

Ada satu hal yang menarik terkait dengan eksistensi pesantian di kabupaten Buleleng, yaitu istilah lelayungan. Lelayungan bermakna teks kakawin ditembangkan secara bebas dan lebih dekat ke sekar madya seperti kidung Wargasari. Lelayungan ini cukup berkembang di kabupaten Buleleng. Biasanya teks kakawin yang dinyanyikan dengan lelayungan adalah kakawin wirama Merdukomala (Ong sembah ningatha .... dst., sumber kakawin Arjunawiwaha).

Setelah diadakan pendalaman kenapa tidak dinyanyikan dengan wirama Merdukomala, alasannya susah dan tidak bisa. Dari sini pula terlihat bahwa mereka tidak ada yang membina dan melatih, padahal animo masyarakat ada. Kembali ke persoalan pembinaan dan pelatihan yang memiliki kopetensi untuk itu adalah Widyasabha. Namun masyarakat tetap hanya berharap agar mendapat binaan dan pelatihan entah kapan akan menjadi kenyataan.

Data terakhir diambil di kabupaten Karangasem tepatnya di desa adat Batugunung kecamatan Karangasem. Di desa adat Batugunung pernah diadakan pelatihan bersama untuk belajar mawirama. Pelatihnya seorang pensiunan guru agama asal desa setempat bernama I Nyoman Sunarta. Sesungguhnya berdasarkan informasi dari beberapa warga yang pernah dilatih mengatakan, bahwa beliau bukan pelatih yang menguasai teknik dasar mawirama. Tujuannya semata-mata mengajak warga latihan bersama semampunya dan agar ada sebagai pengiring pada saat upacara yadnya. Hasilnya memang warga hanya sekedar bisa menembangkan kakawin tanpa dasar yang baik. Mereka tidak tahu ada persyaratan yang harus dijalankan ketika menembangkan kakawin.

Salah seorang dari mereka adalah Ni Wayan Sekar. Beberapa wirama telah bisa ditembangkan, diantaranya wirama Mandamalon/Rajani, wirama Wirat Kalengengan, dan wirama Indrawangsa. Berikut wirama versi Ni Wayan Sekar.

Wirama Mandamalon/Rajani (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Stu ti ni ra tan tu lus si na hu ran pa ra mar ta si wa, a na ku hu wus ka ton a bi ma tan ta tĕ mun ta ka beh, ha na pa nga nu gra hang ku ca du sak ti wi nim ba sa ra. pa su pa ti śās tra kas tu pa nga ran nya ni han wu la ti. Wirama Basantatilaka

(sumber: Kakawin Ramayana)

Ka wit sa rat sa ma ya ka la ni rar pa rang ka, Nton tang pra de śa ri ha wa ni ra ka pwa ra mya, Kweh lwah ma gőng ka tĕ mu de ni ra tir ta di bya, U dya na len ta la ga nir jha ra ka pwa ma hning.

Wirama Wirat Kalengengan (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

25

I kang wu kir a pak şa pa ja ra na li mut a da lu wang ku kap ma gőng, Pĕ tung nya tu ma kul ma reng wah a na wuk ba ñu pa rĕ nga tĕ kĕs ma ca ma na, Ka yu nya pa da ka yi kang pa sa ji sar wa pha la ti nĕ mu ning ma cang kra ma, A tang ki la da wa mu re ti tir a ngan ja lu su lu ri ka ring ha ñar da tĕng.

Untuk kakawin wirama Mandamalon di atas setelah dikaji, masih banyak guru-lagu yang salah tentu tanpa disadari akibat ketidaktahuannya. Suara sudah bagus, tinggal melatih dan menarik ke dalam (ngangkusprana) menuju suara yang benar. Pada baris pertama di atas terjadi beberapa kesalahan.

- Stu ti ni ra, empat suku kata yang berposisi lagu seharusnya dinyanyikan datar tanpa ada perubahan nada atau cengkok. Namun suku kata stu dinyanyikan dengan nada rendah kemudian ditarik ke atas atau meninggi. Jika demikian, maka posisi stu berubah menjadi lagu. Inilah sebuah kesalahan.

- Suku kata ra yang seharusnya sejajar dengan ni di depannya, dinyanyikan dengan menempatkan pada nada rendah. Jika demikian maka ra itu berubah posisi menjadi guru. Ini sebuah pelanggaran, dan banyak sekali kesalahan sejenis pada suku kata yang lainnya.

- Pada baris kedua ada kata a bi ma tan ta ‘tujuanmu’, suku kata ma dibaca me menjadi metanta. Ini yang dinamakan kesalahan membaca atau ngonek. Ketika salah membaca maka kata tersebut tidak ada artinya atau berarti lain dari yang dimaksud. Demikian kesalahan demi kesalahan terjadi pada bait wirama yang telah dinyanyikannya.

Seperti telah disinggung di atas, vikal Ni Wayan Sekar sudah bagus jernih dan bervibrasi. Menurut masyarakat sekitar dikatakan cocok menyanyikan kodung tradisional Bali seperti Wargasari, Geguritan, dan Kakawin. Tetapi bagi pendengar yang mengetahui teknik dasar mawirama, vocal tersebut belum masuk. Artinya masih harus dibina dan dilatih. III Simpulan

Dari analisis di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. 1. Animo masyarakat Bali untuk belajar menembangkan wirama kakawin cukup besar. Tanpa

pelatih atau pembina mereka belajar sendiri. 2. Ada pembina yang melatih dengan tanpa menguasai teknik mawirama. Hasilnya tentu jauh

dari kesan baik dan benar. Namun di sisi yang lain harus diapresiasi karena tujuannya agar dapat dipakai mengiringi upacara yadnya.

3. Sampel yang diambil semuanya belum pernah dibina dan di latih oleh Widyasabha, baik Widyasabha provinsi, kabupaten, maupun kecamatan. Artinya Widyasabha belum berperan banyak dalam membina pesantian agar bahasa dan sastra Jawa Kuno tetap lestari.

Daftar Pustaka Medera, I Nengah. 1989. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 2010. Ramayana Djawa Kuna. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Pustaka Larasan. Suatjana, I Made. dkk. 2012. Kakawin Bharatayudha. Diterjemahkan I Gusti Bagus Sugriwa. Denpasar: Pusat Kajian Bali dan Udayana University Press. Sugriwa. IBG. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar: CV Kayu Mas. Sukartha, I Nyoman. 2015. “Kelisanan dalam Tradisi Mabebasan di Bali”. Disertasi. Denpasar:

Program Doktor (S3) Pascasarjana Universitas Udayana. Warna, I Wayan. dkk. 1988. Arjunawiwaha Kakawin Miwah Tegesipun. Denpasar: Dinas Pendidikan

Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Zoetmulder. P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

Page 29: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

24

disebut melanggar atau ngelambuk. Di samping itu, penembang di atas tidak mengetahui teknik dasar vokal yang dibutuhkan ketika menembangkan teks kakawin. Indikasinya, vokalnya seperti menembangkan geguritan, belum ke dalam atau ngangkus prana.

Peneliti sempat memberikan gambaran aturan-aturan yang harus diikuti ketika menembangkan kakawin. Tampak penembang di atas sedikit kaget karena baru hari itu mendengar istilah-istilah dan aturan ketika menembangkan kakawin. Hal ini merupakan indikasi ia dan teman-temannya belum pernah tersentuh pembinaan. Narasumber mengatakan tertarik belajar mawirama untuk dipakai sarana menghaturkan bakti ketika ada upacara Dewayadnya atau odalan di pura.

Ada satu hal yang menarik terkait dengan eksistensi pesantian di kabupaten Buleleng, yaitu istilah lelayungan. Lelayungan bermakna teks kakawin ditembangkan secara bebas dan lebih dekat ke sekar madya seperti kidung Wargasari. Lelayungan ini cukup berkembang di kabupaten Buleleng. Biasanya teks kakawin yang dinyanyikan dengan lelayungan adalah kakawin wirama Merdukomala (Ong sembah ningatha .... dst., sumber kakawin Arjunawiwaha).

Setelah diadakan pendalaman kenapa tidak dinyanyikan dengan wirama Merdukomala, alasannya susah dan tidak bisa. Dari sini pula terlihat bahwa mereka tidak ada yang membina dan melatih, padahal animo masyarakat ada. Kembali ke persoalan pembinaan dan pelatihan yang memiliki kopetensi untuk itu adalah Widyasabha. Namun masyarakat tetap hanya berharap agar mendapat binaan dan pelatihan entah kapan akan menjadi kenyataan.

Data terakhir diambil di kabupaten Karangasem tepatnya di desa adat Batugunung kecamatan Karangasem. Di desa adat Batugunung pernah diadakan pelatihan bersama untuk belajar mawirama. Pelatihnya seorang pensiunan guru agama asal desa setempat bernama I Nyoman Sunarta. Sesungguhnya berdasarkan informasi dari beberapa warga yang pernah dilatih mengatakan, bahwa beliau bukan pelatih yang menguasai teknik dasar mawirama. Tujuannya semata-mata mengajak warga latihan bersama semampunya dan agar ada sebagai pengiring pada saat upacara yadnya. Hasilnya memang warga hanya sekedar bisa menembangkan kakawin tanpa dasar yang baik. Mereka tidak tahu ada persyaratan yang harus dijalankan ketika menembangkan kakawin.

Salah seorang dari mereka adalah Ni Wayan Sekar. Beberapa wirama telah bisa ditembangkan, diantaranya wirama Mandamalon/Rajani, wirama Wirat Kalengengan, dan wirama Indrawangsa. Berikut wirama versi Ni Wayan Sekar.

Wirama Mandamalon/Rajani (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Stu ti ni ra tan tu lus si na hu ran pa ra mar ta si wa, a na ku hu wus ka ton a bi ma tan ta tĕ mun ta ka beh, ha na pa nga nu gra hang ku ca du sak ti wi nim ba sa ra. pa su pa ti śās tra kas tu pa nga ran nya ni han wu la ti. Wirama Basantatilaka

(sumber: Kakawin Ramayana)

Ka wit sa rat sa ma ya ka la ni rar pa rang ka, Nton tang pra de śa ri ha wa ni ra ka pwa ra mya, Kweh lwah ma gőng ka tĕ mu de ni ra tir ta di bya, U dya na len ta la ga nir jha ra ka pwa ma hning.

Wirama Wirat Kalengengan (Sumber: Kakawin Arjunawiwaha)

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

25

I kang wu kir a pak şa pa ja ra na li mut a da lu wang ku kap ma gőng, Pĕ tung nya tu ma kul ma reng wah a na wuk ba ñu pa rĕ nga tĕ kĕs ma ca ma na, Ka yu nya pa da ka yi kang pa sa ji sar wa pha la ti nĕ mu ning ma cang kra ma, A tang ki la da wa mu re ti tir a ngan ja lu su lu ri ka ring ha ñar da tĕng.

Untuk kakawin wirama Mandamalon di atas setelah dikaji, masih banyak guru-lagu yang salah tentu tanpa disadari akibat ketidaktahuannya. Suara sudah bagus, tinggal melatih dan menarik ke dalam (ngangkusprana) menuju suara yang benar. Pada baris pertama di atas terjadi beberapa kesalahan.

- Stu ti ni ra, empat suku kata yang berposisi lagu seharusnya dinyanyikan datar tanpa ada perubahan nada atau cengkok. Namun suku kata stu dinyanyikan dengan nada rendah kemudian ditarik ke atas atau meninggi. Jika demikian, maka posisi stu berubah menjadi lagu. Inilah sebuah kesalahan.

- Suku kata ra yang seharusnya sejajar dengan ni di depannya, dinyanyikan dengan menempatkan pada nada rendah. Jika demikian maka ra itu berubah posisi menjadi guru. Ini sebuah pelanggaran, dan banyak sekali kesalahan sejenis pada suku kata yang lainnya.

- Pada baris kedua ada kata a bi ma tan ta ‘tujuanmu’, suku kata ma dibaca me menjadi metanta. Ini yang dinamakan kesalahan membaca atau ngonek. Ketika salah membaca maka kata tersebut tidak ada artinya atau berarti lain dari yang dimaksud. Demikian kesalahan demi kesalahan terjadi pada bait wirama yang telah dinyanyikannya.

Seperti telah disinggung di atas, vikal Ni Wayan Sekar sudah bagus jernih dan bervibrasi. Menurut masyarakat sekitar dikatakan cocok menyanyikan kodung tradisional Bali seperti Wargasari, Geguritan, dan Kakawin. Tetapi bagi pendengar yang mengetahui teknik dasar mawirama, vocal tersebut belum masuk. Artinya masih harus dibina dan dilatih. III Simpulan

Dari analisis di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. 1. Animo masyarakat Bali untuk belajar menembangkan wirama kakawin cukup besar. Tanpa

pelatih atau pembina mereka belajar sendiri. 2. Ada pembina yang melatih dengan tanpa menguasai teknik mawirama. Hasilnya tentu jauh

dari kesan baik dan benar. Namun di sisi yang lain harus diapresiasi karena tujuannya agar dapat dipakai mengiringi upacara yadnya.

3. Sampel yang diambil semuanya belum pernah dibina dan di latih oleh Widyasabha, baik Widyasabha provinsi, kabupaten, maupun kecamatan. Artinya Widyasabha belum berperan banyak dalam membina pesantian agar bahasa dan sastra Jawa Kuno tetap lestari.

Daftar Pustaka Medera, I Nengah. 1989. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 2010. Ramayana Djawa Kuna. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Pustaka Larasan. Suatjana, I Made. dkk. 2012. Kakawin Bharatayudha. Diterjemahkan I Gusti Bagus Sugriwa. Denpasar: Pusat Kajian Bali dan Udayana University Press. Sugriwa. IBG. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar: CV Kayu Mas. Sukartha, I Nyoman. 2015. “Kelisanan dalam Tradisi Mabebasan di Bali”. Disertasi. Denpasar:

Program Doktor (S3) Pascasarjana Universitas Udayana. Warna, I Wayan. dkk. 1988. Arjunawiwaha Kakawin Miwah Tegesipun. Denpasar: Dinas Pendidikan

Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Zoetmulder. P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

Page 30: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

26

GEGURITAN BAGEṆḌĀLI: KAJIAN FILOLOGIS

Ida Ayu Putu Nita Piayanti*1, I Wayan Suardiana2, I Ketut Ngurah Sulibra3

[123]Prodi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Geguritan Bageṇḍāli: Kajian Filologis”. Pengkajian terhadap

Geguritan Bageṇḍāli ini menggunakan teori filologi, Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teks Geguritan Bageṇḍāliyang mendekati aslinya dan juga dapat menyajikan teks Geguritan Bageṇḍālidengan baik dan benar berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di dalam naskah-naskah yang dikaji.Tahap penyediaan data menggunakan metode studi pustaka dan metode observasi dibantu dengan teknik catat. Dalam tahap analisis data menggunakan metode deskriptif dibantu dengan teknik deduktif-induktif, transliterasi menggunakan metode transliterasi standar, dilanjutkan dengan perbandingan teks yang terdapat di dalam naskah melalui kritik teks, edisi teks menggunakan metode landasan (legger), terjemahan menggunakan metode terjemahan harafiah dengan tidak mengesampingkan terjemahan secara idiomatis, ditunjang dengan teknik terjemahan secara terpisah. Dalam tahap penyajian hasil analisis data, menggunakan metode formal, yang ditunjang dengan teknik paparan, tabel dan stema. Edisi teks dilengkapi dengan aparat kritik yang disajikan terpisah, dan terjemahan juga disajikan secara terpisah dengan teks sumbernya yang sudah diedisikan terlebih dahulu. Hasil dari penelitian ini yaitu, dari keempat naskah GBA yang telah dibandingkan melalui kritik teks, dapat didefinisikan beberapa kesalahan salin/tulis dari masing-masing teks yang berupa substitusi, adisi, omisi, lakuna, interpolasi, ditografi, haplografi, transposisi, korup, transposisi substitusi dan transposisi adisi. Dengan membetulkan kesalahan salin atau tulis itu tersajilah teks Geguritan Bageṇḍāli yang diasumsikan benar berdasarkan bukti yang terdapat dalam naskah itu. Geguritan Bageṇḍāli menggunakan bahasa Bali Kawi bercampur dengan bahasa Melayu (Indonesia). Dalam edisi teks, alih aksara dan ejaan yang digunakan berpedoman pada Pedoman Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali Kata-kata Bahasa Bali mengikuti ejaan Bahasa Bali dan Kamus Bali-Indonesia. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia juga disertakan agar isi teks Geguritan Bageṇḍālidapat dipahami oleh masyarakat luas. Kata kunci : geguritan, kritik teks, edisi teks,terjemahan. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Geguritan berasal dari kata gurit, yang berarti gubah, karang, sadur; ngurit berarti menggubah; guritan berarti gubahan, saduran, karangan. Jadi, geguritan berarti saduran cerita yang berbentuk tembang (pupuh) (Kamus Bali-Indonesia, 2014: 251). Geguritan terikat oleh syarat-syarat tertentu yang disebut dengan padalingsa, seperti banyak sedikitnya wanda, yaitu jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris (guru wilangan), jumlah baris dalam tiap-tiap baitnya (guru gatra), serta suara akhir tiap-tiap baris (guru suara). Dengan adanya syarat-syarat itulah yang menimbulkan adanya bermacam-macam pupuh yang dipakai untuk menggubah karangan. Pupuh yang dipakai dalam GBA yaitu Pupuh Dangdang, Pupuh Sinom dan Pupuh Dangdang. Kekhasan tersendiri yang terkandung dalam GBA, yaitu selain menggunakan bahasa Bali-Kawi, dalam penulisan geguritan ini juga terselip beberapa bahasa Melayu (Indonesia). Geguritanini juga merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali yang mengandung nuansa Islam yang mencerminkan adanya akulturasi antara kebudayaan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

27

Hindu-Islam di Bali. Hal itu tidak terlepas dari keterbukaan masyarakat Bali terhadap masyarakat Muslim sejak awal abad ke-16, dan terjadinya penaklukan Belanda atas Bali (1846-1908). Keterbukaan masyarakat Bali terhadap masyarakat Islam dibuktikan dengan adanya ekspedisi Islam dengan maksud menyiarkan agama Islam ke Bali untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel pada tahun 1460-1550 (Mulyono dkk., 1980: 33).

GBA dipilih sebagai objek penelitian ini, karena sangat menarik untuk dibaca dan diteliti. Disamping itu pula, sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada teks dan terjemahan GBA yang berlandaskan edisi secara kritik.Adapun kajian yang dipakai untuk mengkaji GBA yaitu kajian filologis. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan bahwa penelitian terhadap GBA dapat dilakukan secara lebih mendalam serta selanjutnya dapat dikaji dari berbagai aspek. 1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesalahan yang akan dikaji yaitu: a. Sejauh manakah perbedaan naskah-naskah GBA dalam perspektif kritik teks? b. Seperti apakah edisi teks dan terjemahan dalam naskah GBA?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Uraian mengenai latar belakang penelitian yang dirumuskan dalam dua permasalahan mendasar pada kajian ini, diimplikasikan pada tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini. adapun tujuan dan manfaat tersebut yakni sebagai berikut. (1) Untuk mendapatkan teks GBA yang benar dan mendekati aslinya berdasarkan bukti-bukti yang

terdapat di dalam naskah-naskah yang dikaji. (2) Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan teks yang terdapat dalam masing-masing naskah

GBA melalui kritik teks. (3) Untuk mengetahui bagaimana edisi teks dan terjemahan dalam naskah GBA. (4) Diharapkan dapat menyediakan bahan kajian yang layak.

1.4 Metode dan Teknik Penelitian

Metode berasal dari kata methodos (Latin), yang berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2015: 34). Teknik berasal dari kata teknikos (Yunani) yang berasti alat atau seni menggunakan alat (Ratna, 2015: 37).

Dalam penyediaan data menggunakan metode studi pustaka dan metode observasi yang dibantu dengan teknik pencatatan.

Dalam tahap analisis datamenggunakan metode deskriptif yang ditunjang dengan teknik deduktif-induktif. Melakukan transliterasi terhadap teks GBA menggunakan metode transliterasi standar. Melakukan kritik teks terhadap keempat naskah GBA. Edisi teks GBA menggunakan metode landasan (legger), disertai dengan aparat kritik Dalam terjemahan teks menggunakan metode terjemahan harafiah namun tidak mengesampingkan terjemahan secara idiomatis,dibantu dengan teknik terjemahan secara terpisah.

Dalam penyajian hasil analisis datamenggunakan metode formal, ditunjang dengan teknik paparan, tabel dan stema. Kritik teks disajikan dalam bentuk paparan, tabel dan stema. Edisi teks disajikan dalam bentuk paparan dimana teksnya dibagi menjadi beberapa bait yang disertai dengan catatan kaki (footnote) yang merupakan penanda dari aparat kritik. Aparat kritik disajikan secara terpisah dengan edisi teks. Selanjutnya, terjemahan GBA disajikan secara terpisah dengan tekssumbernya yang sudah diedisikan terlebih dahulu.

Page 31: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

26

GEGURITAN BAGEṆḌĀLI: KAJIAN FILOLOGIS

Ida Ayu Putu Nita Piayanti*1, I Wayan Suardiana2, I Ketut Ngurah Sulibra3

[123]Prodi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]]

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Geguritan Bageṇḍāli: Kajian Filologis”. Pengkajian terhadap

Geguritan Bageṇḍāli ini menggunakan teori filologi, Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teks Geguritan Bageṇḍāliyang mendekati aslinya dan juga dapat menyajikan teks Geguritan Bageṇḍālidengan baik dan benar berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di dalam naskah-naskah yang dikaji.Tahap penyediaan data menggunakan metode studi pustaka dan metode observasi dibantu dengan teknik catat. Dalam tahap analisis data menggunakan metode deskriptif dibantu dengan teknik deduktif-induktif, transliterasi menggunakan metode transliterasi standar, dilanjutkan dengan perbandingan teks yang terdapat di dalam naskah melalui kritik teks, edisi teks menggunakan metode landasan (legger), terjemahan menggunakan metode terjemahan harafiah dengan tidak mengesampingkan terjemahan secara idiomatis, ditunjang dengan teknik terjemahan secara terpisah. Dalam tahap penyajian hasil analisis data, menggunakan metode formal, yang ditunjang dengan teknik paparan, tabel dan stema. Edisi teks dilengkapi dengan aparat kritik yang disajikan terpisah, dan terjemahan juga disajikan secara terpisah dengan teks sumbernya yang sudah diedisikan terlebih dahulu. Hasil dari penelitian ini yaitu, dari keempat naskah GBA yang telah dibandingkan melalui kritik teks, dapat didefinisikan beberapa kesalahan salin/tulis dari masing-masing teks yang berupa substitusi, adisi, omisi, lakuna, interpolasi, ditografi, haplografi, transposisi, korup, transposisi substitusi dan transposisi adisi. Dengan membetulkan kesalahan salin atau tulis itu tersajilah teks Geguritan Bageṇḍāli yang diasumsikan benar berdasarkan bukti yang terdapat dalam naskah itu. Geguritan Bageṇḍāli menggunakan bahasa Bali Kawi bercampur dengan bahasa Melayu (Indonesia). Dalam edisi teks, alih aksara dan ejaan yang digunakan berpedoman pada Pedoman Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali Kata-kata Bahasa Bali mengikuti ejaan Bahasa Bali dan Kamus Bali-Indonesia. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia juga disertakan agar isi teks Geguritan Bageṇḍālidapat dipahami oleh masyarakat luas. Kata kunci : geguritan, kritik teks, edisi teks,terjemahan. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Geguritan berasal dari kata gurit, yang berarti gubah, karang, sadur; ngurit berarti menggubah; guritan berarti gubahan, saduran, karangan. Jadi, geguritan berarti saduran cerita yang berbentuk tembang (pupuh) (Kamus Bali-Indonesia, 2014: 251). Geguritan terikat oleh syarat-syarat tertentu yang disebut dengan padalingsa, seperti banyak sedikitnya wanda, yaitu jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris (guru wilangan), jumlah baris dalam tiap-tiap baitnya (guru gatra), serta suara akhir tiap-tiap baris (guru suara). Dengan adanya syarat-syarat itulah yang menimbulkan adanya bermacam-macam pupuh yang dipakai untuk menggubah karangan. Pupuh yang dipakai dalam GBA yaitu Pupuh Dangdang, Pupuh Sinom dan Pupuh Dangdang. Kekhasan tersendiri yang terkandung dalam GBA, yaitu selain menggunakan bahasa Bali-Kawi, dalam penulisan geguritan ini juga terselip beberapa bahasa Melayu (Indonesia). Geguritanini juga merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali yang mengandung nuansa Islam yang mencerminkan adanya akulturasi antara kebudayaan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

27

Hindu-Islam di Bali. Hal itu tidak terlepas dari keterbukaan masyarakat Bali terhadap masyarakat Muslim sejak awal abad ke-16, dan terjadinya penaklukan Belanda atas Bali (1846-1908). Keterbukaan masyarakat Bali terhadap masyarakat Islam dibuktikan dengan adanya ekspedisi Islam dengan maksud menyiarkan agama Islam ke Bali untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel pada tahun 1460-1550 (Mulyono dkk., 1980: 33).

GBA dipilih sebagai objek penelitian ini, karena sangat menarik untuk dibaca dan diteliti. Disamping itu pula, sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada teks dan terjemahan GBA yang berlandaskan edisi secara kritik.Adapun kajian yang dipakai untuk mengkaji GBA yaitu kajian filologis. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan bahwa penelitian terhadap GBA dapat dilakukan secara lebih mendalam serta selanjutnya dapat dikaji dari berbagai aspek. 1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesalahan yang akan dikaji yaitu: a. Sejauh manakah perbedaan naskah-naskah GBA dalam perspektif kritik teks? b. Seperti apakah edisi teks dan terjemahan dalam naskah GBA?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Uraian mengenai latar belakang penelitian yang dirumuskan dalam dua permasalahan mendasar pada kajian ini, diimplikasikan pada tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini. adapun tujuan dan manfaat tersebut yakni sebagai berikut. (1) Untuk mendapatkan teks GBA yang benar dan mendekati aslinya berdasarkan bukti-bukti yang

terdapat di dalam naskah-naskah yang dikaji. (2) Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan teks yang terdapat dalam masing-masing naskah

GBA melalui kritik teks. (3) Untuk mengetahui bagaimana edisi teks dan terjemahan dalam naskah GBA. (4) Diharapkan dapat menyediakan bahan kajian yang layak.

1.4 Metode dan Teknik Penelitian

Metode berasal dari kata methodos (Latin), yang berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2015: 34). Teknik berasal dari kata teknikos (Yunani) yang berasti alat atau seni menggunakan alat (Ratna, 2015: 37).

Dalam penyediaan data menggunakan metode studi pustaka dan metode observasi yang dibantu dengan teknik pencatatan.

Dalam tahap analisis datamenggunakan metode deskriptif yang ditunjang dengan teknik deduktif-induktif. Melakukan transliterasi terhadap teks GBA menggunakan metode transliterasi standar. Melakukan kritik teks terhadap keempat naskah GBA. Edisi teks GBA menggunakan metode landasan (legger), disertai dengan aparat kritik Dalam terjemahan teks menggunakan metode terjemahan harafiah namun tidak mengesampingkan terjemahan secara idiomatis,dibantu dengan teknik terjemahan secara terpisah.

Dalam penyajian hasil analisis datamenggunakan metode formal, ditunjang dengan teknik paparan, tabel dan stema. Kritik teks disajikan dalam bentuk paparan, tabel dan stema. Edisi teks disajikan dalam bentuk paparan dimana teksnya dibagi menjadi beberapa bait yang disertai dengan catatan kaki (footnote) yang merupakan penanda dari aparat kritik. Aparat kritik disajikan secara terpisah dengan edisi teks. Selanjutnya, terjemahan GBA disajikan secara terpisah dengan tekssumbernya yang sudah diedisikan terlebih dahulu.

Page 32: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

28

II Hasil dan Pembahasan 2.1 Naskah-naskah Geguritan Bageṇḍāli

Objek dalam penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan juga perasaan sebagai hasil budaya masa lampau. Semua tulisan tangan itu disebut dengan naskah handschrift (Baried, dkk., 1985: 54). Naskah-naskah yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak empat buah naskah lontar yang ditemukan di beberapa tempat formal dan nonformal, seperti di UPTD Gedong Kirtya Singaraja, Kantor Dokumentasi Budaya Bali Denpasar, Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana Denpasar dan Griya Anyar Sibangkaja, Abiansemal, Badung.

2.2 Kritik Teks Geguritan Bageṇḍāli a. Kritik Teks

Setelah dilakukan kritik teks terhadap keempat naskah GBA, maka dapat diketahui bahwa kesalahan salin/ tulis atau varian yang dimiliki oleh keempat naskah GBA tersebut tidak sama. Naskah A memiliki kesalahan salin/ tulis sebanyak (24) yaitu, Substitusi (7), Adisi (5), Omisi (4) dan Lakuna (8). Naskah B sebanyak (35) yaitu, Substitusi (10, Adisi (5), Omisi (8), Lakuna (9), Transposisi (1), Korup (1), dan Transposisi Adisi (1). Naskah C sebanyak (63) yaitu, Substitusi (21), Adisi (8), Omisi (12), Lakuna (17), Haplografi (1) dan Korup (4). Naskah D sebanyak (458) yaitu, Substitusi (216), Adisi (140), Omisi (40), Lakuna (32), Interpolasi (22), Ditografi (2), Haplografi (1), Transposisi (1), Korup (1), dan Transposisi Substitusi (3). b. Pertalian Antarnaskah

Berdasarkan perbandingan teks melalui kritik teks dan berdasarkan informasi yang dapat pada naskah, maka keempat naskah (A, B, C dan D) dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah naskah A, B dan C, sedangkan kelompok kedua hanya dianggotai oleh naskah D. Dengan melihat beberapa persamaan yang terdapat di dalam naskah A, B dan C, ada kemungkinan bahwa ketiga naskah tersebut tidak disalin dari naskah D, begitu juga sebaliknya. Pertalian antarnaskah GBA digambarkan seperti berikut ini.

Keterangan: Autograf = Naskah yang ditulis oleh pengarangnya sendiri. Arkhetif = Tipe mula yang membawahi naskah-naskah setradisi. Hiparkhetif (x, y) = Naskah yang diperkirakan ada. = Penyebaran naskah. = Salinan langsung (A, B, C, D) = Naskah yang ada.

autograf

arkhetif

x y

A

B

C

D

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

29

c. Pemilihan Materi untuk Edisi Teks Berdasarkan kritik teks yang menunjukkan bahwa naskah A memiliki kualitas yang lebih

unggul seperti kesalahan salin/tulis atau varian-varian dalam naskah A secara umum menunjukkan jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan naskah yang lainnya (B, C, D). Sehingga yang dijadikan sebagai landasan dalam edisi teks adalah naskah A. Materi yang diangkat untuk edisi teks adalah semua materi yang sama yang terdapat pada keempat naskah (A, B, C dan D). Materi yang berbeda-beda (varian) dipilih berdasarkan atas penyaksi terbanyak dengan asumsi bahwa materi yang memiliki penyaksi yang lebih banyak itu memiliki tingkat kebenaran yang lebih tinggi. Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa materi yang mempunyai penyaksi terkecil juga dapat diangkat untuk edisi teks.

2.3Edisi Teks dan Terjemahan Geguritan Bageṇḍāli a. Edisi Teks Om AwighnamāstuNāma Siddhyam. Pupuh Dangdang. 1. (1-Ada kidung1) kacarita mangkin, katuturang2 Ida Sang Hyang Sūkṣmā, sarěng dewatane kabeh,

(3-muah watěk3) Rěṣi putus, gandharwa lawan gandharwi, manusia4 jim kocapan5, yakṣa6 lěṇḍa-lěṇḍi iku, malih saisining suargan, makalihan sami-sami mamigurit7, lalampahan Sang8 Hyang Sūkṣmā.

2. Sabumi-bumi1 ikang kawarṇa2 malih3, (4-sang prātata4) ratu5 maring6 jagat, sami kacarita rěke7, anging8 Ida Sang Hyang Tuduh, ne9 makarya10 pati urip, Ida ngwangun11 lalampahan, (12-

nurunang ngawe12) tutur, (13-nekaanggen13) lalampahan, ring Hyang14 Widhi pakayun dewane15 sami, (16-kaanggentuturan satua16).

3. (1-Malih rěke kawarnahamangkin1), wentěn2 Rěsi (3-Dewa Nawa Sanga3), (4-pañca dewatane4) kabeh, catur Rěsi sami iku, (5-sami kumpul5) maring6 suargi7, kayun8 makarya manusa, (9-

ngraněmang rawěs9) sampun, raris10 Ida mangaryanang, sarěng sami11(12-tanah ikakawastonin12), (13-makaryamarupa jadma13)..

4. Wus waluya janmane1 pramangkin2, nanging3 rěke nora (4-bisa masabda4), togog5(6-tan bisa ujare6), tan pasabda tan pabayu, cutět7 dewatane sami, mangwastonin saha weda, Sang Hyang Siwa mamastu8, talěr tan madue9 sabda, (10-togog ika10) kasewambarayang11 mangkin, antuk Ida Sang Hyang Siwa.

5. (1-Sing wěruh sapangaryanang munyi1), togog tanah wěnang ya siněmbah, sarěng watěk2 dewatane, Iṡwara3 BrāhmaWiṣṇu, Hyang4 Madewa Sangkara iki5, Ṡambu luih6 Sang Hyang Ṡiwa, (7-pangraose anūt7), muah8 Pañca Rěsi ring9 swargan, (10-catūr Rěsi10) wentěn Ida Sang Hyang Licin, miragi pasewambara11.

6. Raris1 Ida dados rare alit, nulya rauh Ida maring2 suargan3, marupa (4-wong raremangke4), watěk dewatane ngrungu, iki sapasira prapti, ring ěndi ikang něgara, (5-sapa rāma ibu5), (6-muah apa6) raja karya, (7-měriki prapti7) kang rare umatur 8 raris, pukulun tabe Bětara.

7. Singgih (1-pukulun kaula1) Hyang2 singgih, yen karsane3 pukulun Bětara, nonton4 pasewambarane5, Sang Hyang Ṡiwa6 Brāhma Wiṣṇu, Mādewa7 Ludra ne mangkin, Iṡwara Mahesora8, miwah Ida9 Sang Hyang Ṡambu, tan mitahěn10 Ida samian, ring Hyang Wikan11 sami12 Ida13 mañampahin, (14-kalingsira rare boñcah14.

8. Mangde sida denira1 mamuñi, (2-mětu ṡabda bayu lawan manah2), aku mañiwita kabeh, (3-muah němbah3) sira tuhu, sira4 muda akehan5 kaapti, masa sira hana6 bagia, (7-sakti dibia tuhu7), (8-Hyang rare alit angucap8), (9-singgih ratu titiang wantah maněgarin9), (10-singnya kaget Sang HyangSweca10).

9. Sang Hyang Licin (1-mangke amaranin1), (2-wus cinandak ika togog tanah2), togoge mabayu mangke, maněmbah raris3 matur4, ujare5 arum amanis, Pukulun (6-Sang Hyang Sūkṣmā6), murtin7

Page 33: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

28

II Hasil dan Pembahasan 2.1 Naskah-naskah Geguritan Bageṇḍāli

Objek dalam penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan juga perasaan sebagai hasil budaya masa lampau. Semua tulisan tangan itu disebut dengan naskah handschrift (Baried, dkk., 1985: 54). Naskah-naskah yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak empat buah naskah lontar yang ditemukan di beberapa tempat formal dan nonformal, seperti di UPTD Gedong Kirtya Singaraja, Kantor Dokumentasi Budaya Bali Denpasar, Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana Denpasar dan Griya Anyar Sibangkaja, Abiansemal, Badung.

2.2 Kritik Teks Geguritan Bageṇḍāli a. Kritik Teks

Setelah dilakukan kritik teks terhadap keempat naskah GBA, maka dapat diketahui bahwa kesalahan salin/ tulis atau varian yang dimiliki oleh keempat naskah GBA tersebut tidak sama. Naskah A memiliki kesalahan salin/ tulis sebanyak (24) yaitu, Substitusi (7), Adisi (5), Omisi (4) dan Lakuna (8). Naskah B sebanyak (35) yaitu, Substitusi (10, Adisi (5), Omisi (8), Lakuna (9), Transposisi (1), Korup (1), dan Transposisi Adisi (1). Naskah C sebanyak (63) yaitu, Substitusi (21), Adisi (8), Omisi (12), Lakuna (17), Haplografi (1) dan Korup (4). Naskah D sebanyak (458) yaitu, Substitusi (216), Adisi (140), Omisi (40), Lakuna (32), Interpolasi (22), Ditografi (2), Haplografi (1), Transposisi (1), Korup (1), dan Transposisi Substitusi (3). b. Pertalian Antarnaskah

Berdasarkan perbandingan teks melalui kritik teks dan berdasarkan informasi yang dapat pada naskah, maka keempat naskah (A, B, C dan D) dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah naskah A, B dan C, sedangkan kelompok kedua hanya dianggotai oleh naskah D. Dengan melihat beberapa persamaan yang terdapat di dalam naskah A, B dan C, ada kemungkinan bahwa ketiga naskah tersebut tidak disalin dari naskah D, begitu juga sebaliknya. Pertalian antarnaskah GBA digambarkan seperti berikut ini.

Keterangan: Autograf = Naskah yang ditulis oleh pengarangnya sendiri. Arkhetif = Tipe mula yang membawahi naskah-naskah setradisi. Hiparkhetif (x, y) = Naskah yang diperkirakan ada. = Penyebaran naskah. = Salinan langsung (A, B, C, D) = Naskah yang ada.

autograf

arkhetif

x y

A

B

C

D

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

29

c. Pemilihan Materi untuk Edisi Teks Berdasarkan kritik teks yang menunjukkan bahwa naskah A memiliki kualitas yang lebih

unggul seperti kesalahan salin/tulis atau varian-varian dalam naskah A secara umum menunjukkan jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan naskah yang lainnya (B, C, D). Sehingga yang dijadikan sebagai landasan dalam edisi teks adalah naskah A. Materi yang diangkat untuk edisi teks adalah semua materi yang sama yang terdapat pada keempat naskah (A, B, C dan D). Materi yang berbeda-beda (varian) dipilih berdasarkan atas penyaksi terbanyak dengan asumsi bahwa materi yang memiliki penyaksi yang lebih banyak itu memiliki tingkat kebenaran yang lebih tinggi. Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa materi yang mempunyai penyaksi terkecil juga dapat diangkat untuk edisi teks.

2.3Edisi Teks dan Terjemahan Geguritan Bageṇḍāli a. Edisi Teks Om AwighnamāstuNāma Siddhyam. Pupuh Dangdang. 1. (1-Ada kidung1) kacarita mangkin, katuturang2 Ida Sang Hyang Sūkṣmā, sarěng dewatane kabeh,

(3-muah watěk3) Rěṣi putus, gandharwa lawan gandharwi, manusia4 jim kocapan5, yakṣa6 lěṇḍa-lěṇḍi iku, malih saisining suargan, makalihan sami-sami mamigurit7, lalampahan Sang8 Hyang Sūkṣmā.

2. Sabumi-bumi1 ikang kawarṇa2 malih3, (4-sang prātata4) ratu5 maring6 jagat, sami kacarita rěke7, anging8 Ida Sang Hyang Tuduh, ne9 makarya10 pati urip, Ida ngwangun11 lalampahan, (12-

nurunang ngawe12) tutur, (13-nekaanggen13) lalampahan, ring Hyang14 Widhi pakayun dewane15 sami, (16-kaanggentuturan satua16).

3. (1-Malih rěke kawarnahamangkin1), wentěn2 Rěsi (3-Dewa Nawa Sanga3), (4-pañca dewatane4) kabeh, catur Rěsi sami iku, (5-sami kumpul5) maring6 suargi7, kayun8 makarya manusa, (9-

ngraněmang rawěs9) sampun, raris10 Ida mangaryanang, sarěng sami11(12-tanah ikakawastonin12), (13-makaryamarupa jadma13)..

4. Wus waluya janmane1 pramangkin2, nanging3 rěke nora (4-bisa masabda4), togog5(6-tan bisa ujare6), tan pasabda tan pabayu, cutět7 dewatane sami, mangwastonin saha weda, Sang Hyang Siwa mamastu8, talěr tan madue9 sabda, (10-togog ika10) kasewambarayang11 mangkin, antuk Ida Sang Hyang Siwa.

5. (1-Sing wěruh sapangaryanang munyi1), togog tanah wěnang ya siněmbah, sarěng watěk2 dewatane, Iṡwara3 BrāhmaWiṣṇu, Hyang4 Madewa Sangkara iki5, Ṡambu luih6 Sang Hyang Ṡiwa, (7-pangraose anūt7), muah8 Pañca Rěsi ring9 swargan, (10-catūr Rěsi10) wentěn Ida Sang Hyang Licin, miragi pasewambara11.

6. Raris1 Ida dados rare alit, nulya rauh Ida maring2 suargan3, marupa (4-wong raremangke4), watěk dewatane ngrungu, iki sapasira prapti, ring ěndi ikang něgara, (5-sapa rāma ibu5), (6-muah apa6) raja karya, (7-měriki prapti7) kang rare umatur 8 raris, pukulun tabe Bětara.

7. Singgih (1-pukulun kaula1) Hyang2 singgih, yen karsane3 pukulun Bětara, nonton4 pasewambarane5, Sang Hyang Ṡiwa6 Brāhma Wiṣṇu, Mādewa7 Ludra ne mangkin, Iṡwara Mahesora8, miwah Ida9 Sang Hyang Ṡambu, tan mitahěn10 Ida samian, ring Hyang Wikan11 sami12 Ida13 mañampahin, (14-kalingsira rare boñcah14.

8. Mangde sida denira1 mamuñi, (2-mětu ṡabda bayu lawan manah2), aku mañiwita kabeh, (3-muah němbah3) sira tuhu, sira4 muda akehan5 kaapti, masa sira hana6 bagia, (7-sakti dibia tuhu7), (8-Hyang rare alit angucap8), (9-singgih ratu titiang wantah maněgarin9), (10-singnya kaget Sang HyangSweca10).

9. Sang Hyang Licin (1-mangke amaranin1), (2-wus cinandak ika togog tanah2), togoge mabayu mangke, maněmbah raris3 matur4, ujare5 arum amanis, Pukulun (6-Sang Hyang Sūkṣmā6), murtin7

Page 34: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

30

Ida Sang Hyang Bayu, Pukulun amasang8 sěmbah9, (10-Sang Hyang Widhi Bayu puja mangastuti10), (11-wedane amasangsěmbah11).

10. Hyang Iṡwara1 Brāhma Wiṣṇu mangkin, sakwehe2 hana3 ring suargan, kaherang-erang kayune, (4-kasoran kadibian sampun4), ring wong alit (5-antuk kinardi5), sami (6-nora satyeng ujar6), (7-

sawatěkdewanekumpul7), gandharwa-gandharwi sira, (8-maka miwah8) Brahma Wisnu Ida sami9, kayun magut baan yuda.

11. Sang Hyang rare mangandika aris1, (2-mangkesira2) sakatahing dewa3, miwah watěk4 rěṣi5 kabeh, (6-kadyangapa sira iku6), eling-eling maring jañji, pasewambarane kuna, (7-dadi nora pituhu7), arěp8 mamagutang guna, dibia sakti9 mangde sira tuhu meling10, age11 (12-maněmbah keningwang12).

12. Sang Hyang Ṡiwa miwah watěk Rěsi, sarěng rěke sawatěking1 dewa2, sami sakroda3 kayune, mangagěm4 sañjata5 sampun6, kayun7 Ida mangěmbarin, tur (8-pangucap Ida8) bangras, maṣa iba9 ěnu10 idup, ada manigtig maniñjak11, manyuligi mamanah ñakra12 ñěmparin, ada manigtig13 baan gada14.

13. Sami rěke1 nora manatunin2, panah cakra trisula3 gandhewa4, (6-rauhing ingkus5 iku6) kabeh, miwah palu6 pada pupuh, gandhewa gada magatik7, (8-trisula angkus lan konta8), cakra9 lawan10 limpung, (11-sami rěke11) pada punah, (12-tong natonin12) Sang Hyang rare13 tuara gingsir, (14-masih nu14) nyěrahang raga.

14. Hyang Iṡwara Maheswara mangkin, Brāhma Ludra lan2 Hyang Mahadewa3, Hyang Wiṣṇu Sangkara rěke, Sang Hyang (4-Ṡambu Ṡiwa Wiṣṇu4), (5-Mādewa sami ngwastonin5), mangaryanang kaněrakan6, Sang7 Hyang Licin tong8 kengguh, raja panulahe9 alah10, kakasorang11 ring12 saktine Sang Hyang Licin, Sang Hyang Ṡiwa Ida merang.

15. Sabawa-bawa (1-kang sakti lěwih1), sami punah nora (2-sami kirang2), Hyang Brāhma merang3 kayune, měntang4 astra5 gěni murub, Bětara Wiṣṇu mañarěngin6, měntang7 cakra8 sudarsana, sarěng mamanah9 mangěduk10, Sang Hyang Licin tuara ginggang, kapanahin11 api cakrane12(13-

tan mari13), sami rěke14 pupug15 punah16. 16. Sang Hyang Licin1 mangandika2 mangkin, (3-sahasa mawurah tur mabema rupa3), waluya (4-

rupane makeh4), (5-Sang Hyang Cintya Ida5) tuhu, catur6 bhuja Ida mangkin7, makětu kurung mas ratna, saṡocānne8 ěndih murub, kadi bintang ring akasa, kumarañah9 luir10 gunung api ngěndih, (12-malinggih ring12) padmānglayang.

17. Tur macandra Ungkara1 ngrawit2, tur manunggang3 I Detya wikrama, (4-macandra erawa4) rěke, pitung yuta tangan ipun5, sami ngagěm (6-gada lan gaṇḍi6), cakra (7-gaṇdhewa lan pědang7), nāgapaṣa8 angkus, trisula (9-hělar lan padma9), (10-candra gěni10) sañjata Ongkara lěwih11, duluran12 raja pinulah13.

18. Sang Hyang Cintya1 Ida2 mangwastonin3, manibakang raja pinulah, sakañcan watěk Rěsine, sami kaněrakan sampun, sawatěk4 dewane5 sami, kěneng pastu Sang6 Hyang Sūkṣmā7, Ida8 Hyang Brāhma Wiṣṇu, kasasar manados yākṣa, makakalih9 (10-mandadiSang Rajapati10), muah11 Banaspati Raja.

19. Hyang Iṡwara dados Anggapati, (1-Hyang Mādewa Banaspati ika1), sapunika2 kasasare, ngendah pelag (3-dadi sampun3), Sang Hyang Ṡiwa Ida mangkin4, kaněrakan Ida kocap, dados Ida5 pakṣi brumbun6, makěbur7 manglayang8 deṣa, maring jagat9 Bhagawan Narada mangkin, dados Ida pakṣi goak.

20. Kacarita Rěsi Garga mangkin, turun Ida maring1 mandiapada, marupa pandita rěke, ring něgara Ěsam rauh2, Rěsi Brěgu Ida malih3, turun ring něgara4 Běsah, Rěsi Kanwa Ida5 turun6, ring něgara Wěsi7 kocap8, Ida turun Bhagawan tatiga tui9, mangarok maring manusa.

21. Hyang Lumanglang dados gagak1 putih, sinarěngan rěke rain Ida, Hyang Gaṇḍiweṇī2 parabe3, (4-

dangdang pětak dados puniku4), makěbur5 manglanglang bhūmi6, Bhagawan Wrěspati7 kocap, maring pulo tumurun8, (9-Sāgara Mañjěti9) kocap, (10-sampun napak sarěng Ida ring Bhaṭārī10), mangaran11 Dewī Sūkṣmā12.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

31

22. Tur mambakta1 Ida Phala Wani2, kaajěngang3 ring pulo punika, watune4 kataněm rěke, raris kakaonin mantuk5, watun6 Phala Wanine7 měntik, (8-ěnto madan8) kayu kastuban, (9-lintang saktinipun9),nging10 nora11 wentěn uninga12, (13-sayuaktine kamulane13) sakeng suargi, Bhagawan Wraspati makta.

23. Rěsi Garga kacarita1 malih2, molih3 Ida manurunang putra, Bageṇḍāli kang arane, nging4 nora kantěn lungguh, Ida tan jěněk5 malinggih, (6-malih saktine6) kalintang, (7-tur ya kawia anulus7), (8-

Ida manglanglang něgara8), maring dunia sarěng tatiga9 tumuli10, sinarěngan11 nyahjah12 desa. 24. Wentěn rěke saměton kakalih, mapěsengan Bageṇḍa Suleman, (1-Bageṇḍa Alah1) kalihe, sami2

kasaktin3 ipun4, wěnang-wěnang5 Ida malinggih, nyakra bhuana maring6 dunia, saget7 dini saget ditu, ne mangkin wentěn carita, maring8 Ěsam wentěn Nabhi9 lintang miskin, madrue10 putra satunggal11.

25. Istrī lěwih1(2-ngaran Sukasenī2), ayu nira3 warṇane gumiwang, (4-mangayang-ngayang4) jěgege, nanging5 dane lintang lacur, sai lunga ngadol lěngis, rauh panangkaning beda, nuli6 dane7 labuh, gucin dane raris bělah, (8-děkděk rěmuk8)(9-Sukasenī nyalempoh sědih9), mangame-ame Bětara.

26. Nyumbah-nyumbah sarwi (1-sědih kingking1), Duh Bětara Sang Hyang Ngawi těnah2, (3-puputang titiang ne mangkin3), napi puarane nu idup, tan urung (4-bakal matigtig4), suka yan titiang pějah, (5-kalud titiang tuyuh5), (6-dados titiang tatigtigan6), suka pějah cingak7 titiang Sang Hyang Kawi8, pěnah ngantiang9 surup surya.

27. Sukasenī (1-masambatan anangis1), kocap2 Ida3 Bageṇḍāli prapta, mangandikan4 alus rěke5, (6-ne kenken6) nyai ayu, dadi dini nyai mangěling7, (8-pětěng sampun8) tonden9 budal, nguda dini ñai10 sungsut, Sukasenī matur11 sěmbah, singgih tuan (12-mangde mangkin titiang mulih12), tan urungan13 manggih jěngah14.

28. Antuk lěngis1 titiange2 tan3 kari, guci bělah4 akeh5 anggen salah6, boya lāna titiang mangke, Bageṇḍāli7 olas8 ring kayun, mirěng suarane sang alit, kayun9 gumuyu10 ngandika11, (12-ne ñyai alit ayu12), lamun nyak těken bapa, bapa nuduk13 Sukaseni matur raris, titiang ngiring kayun14 Tuan15.

29. Bageṇḍāli raris1 ngambil2 guci3, kaatěpang wahas4 kadi kuna, (5-raris kapěsěng tanahe5), (6-saget lěngise mědal sampun6), (7-mawadah gucine mangkin7), Hyang Prětiwi Ida8 měnggah9, baane10 cangkah tingkahmu11, wěkasan yen12 sira pějah13, (14-sun tan tampi14) aduhe15 madrue16 budi, tan pakrěti putus sadia17.

30. Eling-eling Bageṇḍa1 pang eling, (2-ri wěkasan2) ěda3 mañalit4 karṣa5, Bageṇḍa6 alon7 ature, Tuan8 ampura pukulun, (9-kapiolas titiang ningalin9), wong lare kalara-lara, nora sayang antuk ibu, manangis10 masasambatan, (11-sapa suka nudukang minyak wong miskin11), tan urung manados utang.

31. Tui jañjin Ida Sang Hyang Kawi, mangawenang pacang lalampahan, Bageṇḍāli1 (2-něraka mangke2), raris mangandika alus, baan lěngise sampun kěni, ñai ingět ring subaya3, Sukasenī raris4 matur, boya titiang mangěngsapang, (5-kaling nu idup luih mati titiang eling5), (7-ring pasubayan I6 Tuan7).

32. Sukasenī (1-mapamit ne mangkin1), Inggih Tuan titiang (2-mangkin lunga2), mangadol lěngis3 puniki4, Bageṇḍa5 ngandika alus, (6-singgih ñai Sukasenī6), wastu sira němu7 bagia, sědanane mangke8 rauh, tumuli raris9 mamarga10, Sukasenī11 akeh anak mamělinin, (12-lěngis dane12) sampun tělas13.

33. Kacarita biang dane mangkin, sayan osah kayune ring umah, dělak-dělok busan-busane, okane dereng rauh, patitakon patijiñjin, akeh dagang katakonin1, sami tuara mangguh, biange nangis ring umah, lan gurune kabělatgělisan wěngi, beñjang alih pasěměngan.

34. Sukasenī mangke nulia prapti, sarauhe rěke maring wesma, nědunang sasuhunane, gurun dane raris bangun, tumuli1 ya katakonin, kenken unduk ñai luas, dadi pětěng rauh, meme paling manakonang, uling tuni okane raris ñaurin, titiang polih siněngkala.

Page 35: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

30

Ida Sang Hyang Bayu, Pukulun amasang8 sěmbah9, (10-Sang Hyang Widhi Bayu puja mangastuti10), (11-wedane amasangsěmbah11).

10. Hyang Iṡwara1 Brāhma Wiṣṇu mangkin, sakwehe2 hana3 ring suargan, kaherang-erang kayune, (4-kasoran kadibian sampun4), ring wong alit (5-antuk kinardi5), sami (6-nora satyeng ujar6), (7-

sawatěkdewanekumpul7), gandharwa-gandharwi sira, (8-maka miwah8) Brahma Wisnu Ida sami9, kayun magut baan yuda.

11. Sang Hyang rare mangandika aris1, (2-mangkesira2) sakatahing dewa3, miwah watěk4 rěṣi5 kabeh, (6-kadyangapa sira iku6), eling-eling maring jañji, pasewambarane kuna, (7-dadi nora pituhu7), arěp8 mamagutang guna, dibia sakti9 mangde sira tuhu meling10, age11 (12-maněmbah keningwang12).

12. Sang Hyang Ṡiwa miwah watěk Rěsi, sarěng rěke sawatěking1 dewa2, sami sakroda3 kayune, mangagěm4 sañjata5 sampun6, kayun7 Ida mangěmbarin, tur (8-pangucap Ida8) bangras, maṣa iba9 ěnu10 idup, ada manigtig maniñjak11, manyuligi mamanah ñakra12 ñěmparin, ada manigtig13 baan gada14.

13. Sami rěke1 nora manatunin2, panah cakra trisula3 gandhewa4, (6-rauhing ingkus5 iku6) kabeh, miwah palu6 pada pupuh, gandhewa gada magatik7, (8-trisula angkus lan konta8), cakra9 lawan10 limpung, (11-sami rěke11) pada punah, (12-tong natonin12) Sang Hyang rare13 tuara gingsir, (14-masih nu14) nyěrahang raga.

14. Hyang Iṡwara Maheswara mangkin, Brāhma Ludra lan2 Hyang Mahadewa3, Hyang Wiṣṇu Sangkara rěke, Sang Hyang (4-Ṡambu Ṡiwa Wiṣṇu4), (5-Mādewa sami ngwastonin5), mangaryanang kaněrakan6, Sang7 Hyang Licin tong8 kengguh, raja panulahe9 alah10, kakasorang11 ring12 saktine Sang Hyang Licin, Sang Hyang Ṡiwa Ida merang.

15. Sabawa-bawa (1-kang sakti lěwih1), sami punah nora (2-sami kirang2), Hyang Brāhma merang3 kayune, měntang4 astra5 gěni murub, Bětara Wiṣṇu mañarěngin6, měntang7 cakra8 sudarsana, sarěng mamanah9 mangěduk10, Sang Hyang Licin tuara ginggang, kapanahin11 api cakrane12(13-

tan mari13), sami rěke14 pupug15 punah16. 16. Sang Hyang Licin1 mangandika2 mangkin, (3-sahasa mawurah tur mabema rupa3), waluya (4-

rupane makeh4), (5-Sang Hyang Cintya Ida5) tuhu, catur6 bhuja Ida mangkin7, makětu kurung mas ratna, saṡocānne8 ěndih murub, kadi bintang ring akasa, kumarañah9 luir10 gunung api ngěndih, (12-malinggih ring12) padmānglayang.

17. Tur macandra Ungkara1 ngrawit2, tur manunggang3 I Detya wikrama, (4-macandra erawa4) rěke, pitung yuta tangan ipun5, sami ngagěm (6-gada lan gaṇḍi6), cakra (7-gaṇdhewa lan pědang7), nāgapaṣa8 angkus, trisula (9-hělar lan padma9), (10-candra gěni10) sañjata Ongkara lěwih11, duluran12 raja pinulah13.

18. Sang Hyang Cintya1 Ida2 mangwastonin3, manibakang raja pinulah, sakañcan watěk Rěsine, sami kaněrakan sampun, sawatěk4 dewane5 sami, kěneng pastu Sang6 Hyang Sūkṣmā7, Ida8 Hyang Brāhma Wiṣṇu, kasasar manados yākṣa, makakalih9 (10-mandadiSang Rajapati10), muah11 Banaspati Raja.

19. Hyang Iṡwara dados Anggapati, (1-Hyang Mādewa Banaspati ika1), sapunika2 kasasare, ngendah pelag (3-dadi sampun3), Sang Hyang Ṡiwa Ida mangkin4, kaněrakan Ida kocap, dados Ida5 pakṣi brumbun6, makěbur7 manglayang8 deṣa, maring jagat9 Bhagawan Narada mangkin, dados Ida pakṣi goak.

20. Kacarita Rěsi Garga mangkin, turun Ida maring1 mandiapada, marupa pandita rěke, ring něgara Ěsam rauh2, Rěsi Brěgu Ida malih3, turun ring něgara4 Běsah, Rěsi Kanwa Ida5 turun6, ring něgara Wěsi7 kocap8, Ida turun Bhagawan tatiga tui9, mangarok maring manusa.

21. Hyang Lumanglang dados gagak1 putih, sinarěngan rěke rain Ida, Hyang Gaṇḍiweṇī2 parabe3, (4-

dangdang pětak dados puniku4), makěbur5 manglanglang bhūmi6, Bhagawan Wrěspati7 kocap, maring pulo tumurun8, (9-Sāgara Mañjěti9) kocap, (10-sampun napak sarěng Ida ring Bhaṭārī10), mangaran11 Dewī Sūkṣmā12.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

31

22. Tur mambakta1 Ida Phala Wani2, kaajěngang3 ring pulo punika, watune4 kataněm rěke, raris kakaonin mantuk5, watun6 Phala Wanine7 měntik, (8-ěnto madan8) kayu kastuban, (9-lintang saktinipun9),nging10 nora11 wentěn uninga12, (13-sayuaktine kamulane13) sakeng suargi, Bhagawan Wraspati makta.

23. Rěsi Garga kacarita1 malih2, molih3 Ida manurunang putra, Bageṇḍāli kang arane, nging4 nora kantěn lungguh, Ida tan jěněk5 malinggih, (6-malih saktine6) kalintang, (7-tur ya kawia anulus7), (8-

Ida manglanglang něgara8), maring dunia sarěng tatiga9 tumuli10, sinarěngan11 nyahjah12 desa. 24. Wentěn rěke saměton kakalih, mapěsengan Bageṇḍa Suleman, (1-Bageṇḍa Alah1) kalihe, sami2

kasaktin3 ipun4, wěnang-wěnang5 Ida malinggih, nyakra bhuana maring6 dunia, saget7 dini saget ditu, ne mangkin wentěn carita, maring8 Ěsam wentěn Nabhi9 lintang miskin, madrue10 putra satunggal11.

25. Istrī lěwih1(2-ngaran Sukasenī2), ayu nira3 warṇane gumiwang, (4-mangayang-ngayang4) jěgege, nanging5 dane lintang lacur, sai lunga ngadol lěngis, rauh panangkaning beda, nuli6 dane7 labuh, gucin dane raris bělah, (8-děkděk rěmuk8)(9-Sukasenī nyalempoh sědih9), mangame-ame Bětara.

26. Nyumbah-nyumbah sarwi (1-sědih kingking1), Duh Bětara Sang Hyang Ngawi těnah2, (3-puputang titiang ne mangkin3), napi puarane nu idup, tan urung (4-bakal matigtig4), suka yan titiang pějah, (5-kalud titiang tuyuh5), (6-dados titiang tatigtigan6), suka pějah cingak7 titiang Sang Hyang Kawi8, pěnah ngantiang9 surup surya.

27. Sukasenī (1-masambatan anangis1), kocap2 Ida3 Bageṇḍāli prapta, mangandikan4 alus rěke5, (6-ne kenken6) nyai ayu, dadi dini nyai mangěling7, (8-pětěng sampun8) tonden9 budal, nguda dini ñai10 sungsut, Sukasenī matur11 sěmbah, singgih tuan (12-mangde mangkin titiang mulih12), tan urungan13 manggih jěngah14.

28. Antuk lěngis1 titiange2 tan3 kari, guci bělah4 akeh5 anggen salah6, boya lāna titiang mangke, Bageṇḍāli7 olas8 ring kayun, mirěng suarane sang alit, kayun9 gumuyu10 ngandika11, (12-ne ñyai alit ayu12), lamun nyak těken bapa, bapa nuduk13 Sukaseni matur raris, titiang ngiring kayun14 Tuan15.

29. Bageṇḍāli raris1 ngambil2 guci3, kaatěpang wahas4 kadi kuna, (5-raris kapěsěng tanahe5), (6-saget lěngise mědal sampun6), (7-mawadah gucine mangkin7), Hyang Prětiwi Ida8 měnggah9, baane10 cangkah tingkahmu11, wěkasan yen12 sira pějah13, (14-sun tan tampi14) aduhe15 madrue16 budi, tan pakrěti putus sadia17.

30. Eling-eling Bageṇḍa1 pang eling, (2-ri wěkasan2) ěda3 mañalit4 karṣa5, Bageṇḍa6 alon7 ature, Tuan8 ampura pukulun, (9-kapiolas titiang ningalin9), wong lare kalara-lara, nora sayang antuk ibu, manangis10 masasambatan, (11-sapa suka nudukang minyak wong miskin11), tan urung manados utang.

31. Tui jañjin Ida Sang Hyang Kawi, mangawenang pacang lalampahan, Bageṇḍāli1 (2-něraka mangke2), raris mangandika alus, baan lěngise sampun kěni, ñai ingět ring subaya3, Sukasenī raris4 matur, boya titiang mangěngsapang, (5-kaling nu idup luih mati titiang eling5), (7-ring pasubayan I6 Tuan7).

32. Sukasenī (1-mapamit ne mangkin1), Inggih Tuan titiang (2-mangkin lunga2), mangadol lěngis3 puniki4, Bageṇḍa5 ngandika alus, (6-singgih ñai Sukasenī6), wastu sira němu7 bagia, sědanane mangke8 rauh, tumuli raris9 mamarga10, Sukasenī11 akeh anak mamělinin, (12-lěngis dane12) sampun tělas13.

33. Kacarita biang dane mangkin, sayan osah kayune ring umah, dělak-dělok busan-busane, okane dereng rauh, patitakon patijiñjin, akeh dagang katakonin1, sami tuara mangguh, biange nangis ring umah, lan gurune kabělatgělisan wěngi, beñjang alih pasěměngan.

34. Sukasenī mangke nulia prapti, sarauhe rěke maring wesma, nědunang sasuhunane, gurun dane raris bangun, tumuli1 ya katakonin, kenken unduk ñai luas, dadi pětěng rauh, meme paling manakonang, uling tuni okane raris ñaurin, titiang polih siněngkala.

Page 36: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

32

35. Miñak titiang ulung tuara kari, guci bělah samběh maring tanah, tongosin titiang lěngise, takut titiang pacang mantuk, jantěn titiang maněmu sakit, Biange raris marekṣa, gucine kari luung, jinah wentěn sapanumbasnya, duang leyar biange mangucap raris, nguda ñai ngae bobab.

36. Gurun dane mamaliin guci, mangawasang ñuluhin baan damar, lampu ganterang anggen dane, nora wentěn cirinipun, tuara ada rusak agigis, Sukasenī iba bobab, guru biange běndu, Sukasenī iba corah, ngae jěngah sarěng kalih raris nigtig, putrane ñěrahang raga.

37. Guru biange mangucap mangkin, nora patut ñai ngaba awak, tui pracura tingkahe, Sukasenī matur alus, titiang mangaturang tui, yen titiang makarya-karya1, kěni Ida Sang Hyang Tuduh, ne nuduhang dados jadma, mañaksiang yening titiang2 nora tui, mangda gělis manggih něraka.

38. Sukasenī matur sarwi nangis, guru biang pirěng atur titiang, ne ne mangkin sayuaktine, titiang maněrangang, atur sakadi-kadining jati, guru biang sauninga, titiang pati jělamut, ngame-ame Sang Hyang Kawia, nulia rauh Bageṇḍa1 kalintang sakti, Ida sweca ring titiang.

39. Tur kapěsěng tanahe pramangkin, mětu miñak wiakti nora iwang, sapunika sajatine, ne mangkin ko titiang puput, mangaturang pari indik, sapunapi kayun bapa, yen kadurus běndu, ne mangkin titiang puputang, kěni gělis gurune měněng tan pangling, mangkin meling těken raga.

40. Guru biang sami ngucap aris, aduh nyai Sukasenī sira, yan tuhu muñin ñaine, meme bapa ñadia wěruh, mangden pada prasida manggih, jalan barěng mañiwita, ring Ida Sang Putus, nyai pacang manggih bagia, besuk wěkas tiněmunta maring bumi, tan urung mamanggih suargan.

41. Ne ne beñjang yen cěning mamanggih, Sang Pandita Ida měriki ajak, guru kayun uning rěke, Sukasenī raris matur, sandikan I Guru Aji, wěngi sampun kalintangan, kocapan rahina sampun, ngadol minyak kadi kuna, nuli sadia buka pituduhing Widhi, Bageṇḍāli Ida prapta.

42. Sukasenī němbah matur raris, Sri Paduka Bageṇḍāli dewa, yen tulus ratu icane, margi ratu simpang dumun, ring wismane kaula miskin, titiang wantah kaboyanan, ring I Biang I1 Guru, kěni dane sauninga, ring Ida Tuan Bageṇḍāli sumaur raris, sandikanni ñai mirah.

43. Sukasenī kacarita mangkin, matumbasan sarwa endah pelag, piring lumur gědah rěke, gipang roti korma sampun, gula batu lan gula pasir, gandewěr brandi lan arak, sětrup lan air jěruk, wusan mabělanja budal, Sukasenī di sampune rauh mulih1, raris nědunang bablañjan.

44. Sampun dane1 matatangkid2 mangkin, nulia prapta Bageṇḍāli hyang, ring wisman Tuan Nabhine, Tuan Nabhi istrī kakung, sami gupuh nyapa aris, pukulun Sri Paduka, ratu wau rauh, Bageṇḍāli mangandika Inggih Tuan titiang wantah wau prapti, mětabe masaslamětan.

45. Bageṇḍāli kaaturin malinggih, Duh Bageṇḍa malinggih durusang, Bageṇḍāli mělinggih mangke, Sukasenī repot gupuh mañawisang, rayunaneki sagi sampun, puput samian, teh1 kopi2 sampun puput, Sukasenī pacang makta, ring Bageṇḍa Biange manuuk raris, ulung bělah mabrarakan.

46. Sukasenī matimpuh mangěling, kangěn wirang jěngah těken awak, gurune ñagjagin age, Tuan Nabhi raris muwus, aduh nyai Sukasenī, dening punapa sira, Sukasenī matur, I Biang maněmpuh titiang, Guru Aji ulung tělah bělah sami, piring gědah mabrarakan.

47. Tuan Nabhi mangaturang gělis, ring Bageṇḍa Ida mangandika, duduk bakta měriki age, piring lumur sami duduk, sampun kaaturang sami, Bageṇḍa raris maweda, piring cawan lan lumur, sampun atěp sami wahas, kadi kuna roti gipang sami běcik, nora kalětehan tanah.

48. Tuan Nabhi němbah matur raris, Duh paduka mangkin uning titiang, dibia sakti Padukane, saksat Sang Hyang Cintya nurun, nglugrahin mangatěp bumi, sumendeh1 gaganantara, krěta kang dunia ngungkul, praptane sakeng sūkṣmā, suka prapta nodia wong kaula miskin, geng ampura titiang dewa.

49. Sarwi ngacěp dabdabane mangkin, Duh kalintang Nabhi ngěsor ajñana, kami hana kang dosane, wong wadon anom puniku1, polih kami anulungin2, trěsṇa suka wong tumingal, baan putrane sungsut, kami tuhu mangaryanang, suka hati Nabhi durung wěruh mangkin, mangke kami matur těrang.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

33

50. Tuan Nabhi mangkin matur aris, yan karsane ri kaula nira, kaula ngaturang1 mangke, mangda kayun saking patut, iriki ratu malinggih, titiang ngaturang pangayah, sakayun I Ratu, wong jron gusti punika, Sukasenī titiang mangaturang ugi, ipun anggen titiang liat.

51. Suka sira Bageṇḍa ñaurin, yen mangkana ñawang sukur bagia, narima sukan Nabhine, sami sampun saking kayun, Bageṇḍāli lan Tuan Nabhi, sampun raněm samian, Sukasenī anūt, kagarwa antuk Bageṇḍa, awor lulut tuture Bageṇḍāli, Sinom mangkin tiněmbang.

52. Wentěn malih kocapan, sawatěk dewane sami, miwah watěk rěsine rěko, gandharwa lawan gandharwi, sami-sami pada sědih, meling Ida maring kayun, kěni pamastuning Hyang, raja pinulah Hyang Widhi, sami sungsut, ngastawa (1-Sang Hyang1) Sūkṣmā.

53. Sami mamangun prayoga, myasa yoga makerti, manunggalang dasendria, panca wisayane sami, bayu sabda iděp nunggil, maraga pralina1 sampun, pada bayu miwah atma, punika kaiñcěp sami, hěning kayun, sami Ida ñukla raṣa.

54. Tui sandi mangun brata, ica lugraha Hyang Widhi, mangkin kayun Ida ñupat, patakan dewane sami, gandharwa lan gandharwi, kawinugra manggih hayu, tinibakan puja weda, makardi kadine nguni, amung1 kari, Hyang Siwa lan Lumanglang.

55. Bhagawan Lumanglang kocapan, kantun dados dangdang putih, manglayang ngumbara desa1, ngidul ngilen lor wetan, mangkin Sang Hyang Siwa, Ida kari dados titiran brumbun, makěběr manglanglang desa, dasa deṣa kailěhin, měnek tuun, kasuargan ka mrěcapada.

56. Bhagawan malih kacrita, ne turun manglanglang bumi, makaron maring manusa, sami-sami trěsneng asih, pada saling pakolihin, Bhagawan suka ring kayun, magěgěnten ring manusa, suka Ida silih1 ulih, saling sundul, kayun Idane Bhagawan.

57. Mangkin Ida manurunang, kaṇdan agamane sami, purwadigama kamoksan, wariga tutur sayukti, duman sastrane sami, Usada miwah pamastu, bhodha kěcapi lan babratan, parigama kalimosadhi, sami sampun, kalugrahang ring manusa.

58. Miwah suara wacana, dasakṣara ika sami, pañcakṣara kocap rěko, triakṣara makasami, miwah kidung kakawin, pratiti sundari těrus, sami krětaning něgara, sampun kalugrayang1 sami, kenak kayun, Bhagawan ica lugraha.

59. Patuh pakrětaning jagat, di lěmah miwah di wěngi, tui tuara ceda rěko, sami patuh maka gumi, pamūrtin1 jagate sami, luih sing tinandur sarwa mupu, jagate nora kamraṇan, antuk Ida ica luih, tur kaanggen, di jagate di madiapada.

60. Antuk sami katrěsṇayang, Bhagawan suka ring ati, makaron sarěng manusa, pada saling pakolihin, Bhagawan Ida kari, kayune suka satuhu1, masisia pada masisian, těduh landuh maka gumi, watěk ratu, satria lan brahmana.

61. Sami pada dahat suka, luir pamurtian gumi, jadma Bali miwah Arab, Cina Inggris lan Olandi, sadaging jagate sami, pada suka ya ring kayun, karaga pakrětaning jagat, patuh jadma maka gumi, sami pupuk, kayun Sang Hyang Widhi Wasa.

62. Ne mangkin malih winarṇa, tingkahe Sang Bageṇḍāli, mungpung1 kasmaraning manah, sang diah sami lanang istrī, kadi kumbang ngisěp sarī, ulangun sada salulut2, mantra muah rajasmara, magrěgěp ajñana sidi, sakti těrus, mangrěgěp Rěsi Bageṇḍa.

63. Kasuen Ida marabian, mětu putrane ne mangkin, akeh prěciri luih pendah, Bageṇḍa suka ring hati, tur bagus warṇaneki, kadi Hyang Smara anurun, sami utun maputra, okane Tuan Bageṇḍāli, tuhu bagus, maparab Raden Muhamad.

64. Kasuen Ida maputra, sami-sami uling1 istrī, sami pada manyayangang, rarene ngěñudang hati, anak odah samangkin, mirěng Bageṇḍa puniku, anak odah2 lintang suka, maring Ida Bageṇḍāli, kahaturin, Ida malinggih ring Ěsam.

65. Kaurug baan raja braṇa, anak odah mangadianin, miwah puri lan pamrěman, sampun Ida kaaturin, maka patitahan gumi, ring Ěsam Ida malungguh, sue sampun maring1 Ěsam, rabin dane malih bunting, raris mětu, kaparabin2 Raden Amad.

Page 37: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

32

35. Miñak titiang ulung tuara kari, guci bělah samběh maring tanah, tongosin titiang lěngise, takut titiang pacang mantuk, jantěn titiang maněmu sakit, Biange raris marekṣa, gucine kari luung, jinah wentěn sapanumbasnya, duang leyar biange mangucap raris, nguda ñai ngae bobab.

36. Gurun dane mamaliin guci, mangawasang ñuluhin baan damar, lampu ganterang anggen dane, nora wentěn cirinipun, tuara ada rusak agigis, Sukasenī iba bobab, guru biange běndu, Sukasenī iba corah, ngae jěngah sarěng kalih raris nigtig, putrane ñěrahang raga.

37. Guru biange mangucap mangkin, nora patut ñai ngaba awak, tui pracura tingkahe, Sukasenī matur alus, titiang mangaturang tui, yen titiang makarya-karya1, kěni Ida Sang Hyang Tuduh, ne nuduhang dados jadma, mañaksiang yening titiang2 nora tui, mangda gělis manggih něraka.

38. Sukasenī matur sarwi nangis, guru biang pirěng atur titiang, ne ne mangkin sayuaktine, titiang maněrangang, atur sakadi-kadining jati, guru biang sauninga, titiang pati jělamut, ngame-ame Sang Hyang Kawia, nulia rauh Bageṇḍa1 kalintang sakti, Ida sweca ring titiang.

39. Tur kapěsěng tanahe pramangkin, mětu miñak wiakti nora iwang, sapunika sajatine, ne mangkin ko titiang puput, mangaturang pari indik, sapunapi kayun bapa, yen kadurus běndu, ne mangkin titiang puputang, kěni gělis gurune měněng tan pangling, mangkin meling těken raga.

40. Guru biang sami ngucap aris, aduh nyai Sukasenī sira, yan tuhu muñin ñaine, meme bapa ñadia wěruh, mangden pada prasida manggih, jalan barěng mañiwita, ring Ida Sang Putus, nyai pacang manggih bagia, besuk wěkas tiněmunta maring bumi, tan urung mamanggih suargan.

41. Ne ne beñjang yen cěning mamanggih, Sang Pandita Ida měriki ajak, guru kayun uning rěke, Sukasenī raris matur, sandikan I Guru Aji, wěngi sampun kalintangan, kocapan rahina sampun, ngadol minyak kadi kuna, nuli sadia buka pituduhing Widhi, Bageṇḍāli Ida prapta.

42. Sukasenī němbah matur raris, Sri Paduka Bageṇḍāli dewa, yen tulus ratu icane, margi ratu simpang dumun, ring wismane kaula miskin, titiang wantah kaboyanan, ring I Biang I1 Guru, kěni dane sauninga, ring Ida Tuan Bageṇḍāli sumaur raris, sandikanni ñai mirah.

43. Sukasenī kacarita mangkin, matumbasan sarwa endah pelag, piring lumur gědah rěke, gipang roti korma sampun, gula batu lan gula pasir, gandewěr brandi lan arak, sětrup lan air jěruk, wusan mabělanja budal, Sukasenī di sampune rauh mulih1, raris nědunang bablañjan.

44. Sampun dane1 matatangkid2 mangkin, nulia prapta Bageṇḍāli hyang, ring wisman Tuan Nabhine, Tuan Nabhi istrī kakung, sami gupuh nyapa aris, pukulun Sri Paduka, ratu wau rauh, Bageṇḍāli mangandika Inggih Tuan titiang wantah wau prapti, mětabe masaslamětan.

45. Bageṇḍāli kaaturin malinggih, Duh Bageṇḍa malinggih durusang, Bageṇḍāli mělinggih mangke, Sukasenī repot gupuh mañawisang, rayunaneki sagi sampun, puput samian, teh1 kopi2 sampun puput, Sukasenī pacang makta, ring Bageṇḍa Biange manuuk raris, ulung bělah mabrarakan.

46. Sukasenī matimpuh mangěling, kangěn wirang jěngah těken awak, gurune ñagjagin age, Tuan Nabhi raris muwus, aduh nyai Sukasenī, dening punapa sira, Sukasenī matur, I Biang maněmpuh titiang, Guru Aji ulung tělah bělah sami, piring gědah mabrarakan.

47. Tuan Nabhi mangaturang gělis, ring Bageṇḍa Ida mangandika, duduk bakta měriki age, piring lumur sami duduk, sampun kaaturang sami, Bageṇḍa raris maweda, piring cawan lan lumur, sampun atěp sami wahas, kadi kuna roti gipang sami běcik, nora kalětehan tanah.

48. Tuan Nabhi němbah matur raris, Duh paduka mangkin uning titiang, dibia sakti Padukane, saksat Sang Hyang Cintya nurun, nglugrahin mangatěp bumi, sumendeh1 gaganantara, krěta kang dunia ngungkul, praptane sakeng sūkṣmā, suka prapta nodia wong kaula miskin, geng ampura titiang dewa.

49. Sarwi ngacěp dabdabane mangkin, Duh kalintang Nabhi ngěsor ajñana, kami hana kang dosane, wong wadon anom puniku1, polih kami anulungin2, trěsṇa suka wong tumingal, baan putrane sungsut, kami tuhu mangaryanang, suka hati Nabhi durung wěruh mangkin, mangke kami matur těrang.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

33

50. Tuan Nabhi mangkin matur aris, yan karsane ri kaula nira, kaula ngaturang1 mangke, mangda kayun saking patut, iriki ratu malinggih, titiang ngaturang pangayah, sakayun I Ratu, wong jron gusti punika, Sukasenī titiang mangaturang ugi, ipun anggen titiang liat.

51. Suka sira Bageṇḍa ñaurin, yen mangkana ñawang sukur bagia, narima sukan Nabhine, sami sampun saking kayun, Bageṇḍāli lan Tuan Nabhi, sampun raněm samian, Sukasenī anūt, kagarwa antuk Bageṇḍa, awor lulut tuture Bageṇḍāli, Sinom mangkin tiněmbang.

52. Wentěn malih kocapan, sawatěk dewane sami, miwah watěk rěsine rěko, gandharwa lawan gandharwi, sami-sami pada sědih, meling Ida maring kayun, kěni pamastuning Hyang, raja pinulah Hyang Widhi, sami sungsut, ngastawa (1-Sang Hyang1) Sūkṣmā.

53. Sami mamangun prayoga, myasa yoga makerti, manunggalang dasendria, panca wisayane sami, bayu sabda iděp nunggil, maraga pralina1 sampun, pada bayu miwah atma, punika kaiñcěp sami, hěning kayun, sami Ida ñukla raṣa.

54. Tui sandi mangun brata, ica lugraha Hyang Widhi, mangkin kayun Ida ñupat, patakan dewane sami, gandharwa lan gandharwi, kawinugra manggih hayu, tinibakan puja weda, makardi kadine nguni, amung1 kari, Hyang Siwa lan Lumanglang.

55. Bhagawan Lumanglang kocapan, kantun dados dangdang putih, manglayang ngumbara desa1, ngidul ngilen lor wetan, mangkin Sang Hyang Siwa, Ida kari dados titiran brumbun, makěběr manglanglang desa, dasa deṣa kailěhin, měnek tuun, kasuargan ka mrěcapada.

56. Bhagawan malih kacrita, ne turun manglanglang bumi, makaron maring manusa, sami-sami trěsneng asih, pada saling pakolihin, Bhagawan suka ring kayun, magěgěnten ring manusa, suka Ida silih1 ulih, saling sundul, kayun Idane Bhagawan.

57. Mangkin Ida manurunang, kaṇdan agamane sami, purwadigama kamoksan, wariga tutur sayukti, duman sastrane sami, Usada miwah pamastu, bhodha kěcapi lan babratan, parigama kalimosadhi, sami sampun, kalugrahang ring manusa.

58. Miwah suara wacana, dasakṣara ika sami, pañcakṣara kocap rěko, triakṣara makasami, miwah kidung kakawin, pratiti sundari těrus, sami krětaning něgara, sampun kalugrayang1 sami, kenak kayun, Bhagawan ica lugraha.

59. Patuh pakrětaning jagat, di lěmah miwah di wěngi, tui tuara ceda rěko, sami patuh maka gumi, pamūrtin1 jagate sami, luih sing tinandur sarwa mupu, jagate nora kamraṇan, antuk Ida ica luih, tur kaanggen, di jagate di madiapada.

60. Antuk sami katrěsṇayang, Bhagawan suka ring ati, makaron sarěng manusa, pada saling pakolihin, Bhagawan Ida kari, kayune suka satuhu1, masisia pada masisian, těduh landuh maka gumi, watěk ratu, satria lan brahmana.

61. Sami pada dahat suka, luir pamurtian gumi, jadma Bali miwah Arab, Cina Inggris lan Olandi, sadaging jagate sami, pada suka ya ring kayun, karaga pakrětaning jagat, patuh jadma maka gumi, sami pupuk, kayun Sang Hyang Widhi Wasa.

62. Ne mangkin malih winarṇa, tingkahe Sang Bageṇḍāli, mungpung1 kasmaraning manah, sang diah sami lanang istrī, kadi kumbang ngisěp sarī, ulangun sada salulut2, mantra muah rajasmara, magrěgěp ajñana sidi, sakti těrus, mangrěgěp Rěsi Bageṇḍa.

63. Kasuen Ida marabian, mětu putrane ne mangkin, akeh prěciri luih pendah, Bageṇḍa suka ring hati, tur bagus warṇaneki, kadi Hyang Smara anurun, sami utun maputra, okane Tuan Bageṇḍāli, tuhu bagus, maparab Raden Muhamad.

64. Kasuen Ida maputra, sami-sami uling1 istrī, sami pada manyayangang, rarene ngěñudang hati, anak odah samangkin, mirěng Bageṇḍa puniku, anak odah2 lintang suka, maring Ida Bageṇḍāli, kahaturin, Ida malinggih ring Ěsam.

65. Kaurug baan raja braṇa, anak odah mangadianin, miwah puri lan pamrěman, sampun Ida kaaturin, maka patitahan gumi, ring Ěsam Ida malungguh, sue sampun maring1 Ěsam, rabin dane malih bunting, raris mětu, kaparabin2 Raden Amad.

Page 38: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

34

66. Bageṇḍāli suka ring manah, lawan Dewi Sukasenī, pada ya mungpung kasmaran, tan carita sampun lami, malih Ida Sang Hyang Kawi, ngawe lalampahan liu, mangda těrang ring jagat, anggen tutur satua gurit, saling sundul, lalampahan Hyang Sūkṣmā.

67. Sang Hyang Kawi mangaryanang, lalampahan ikang bumi, Sang Praratu maring jagat, Satria Brahmana sami, rauh maring ratu Jim, sami ya pada kawuwus, dados sami lalampahan, ica Ida Sang Hyang Kawi, mangawitang, Bageṇḍāli kacarita.

68. Jañjin Ida masusupan, malih Ida moktah mangkin, sedane malih abulan, sampun mapitutur mangkin, pangandikan Ida manis, Duh adi sang diah ayu, Sukasenī atma jiwa, Bli sampun napak jañji, pacang mantuk, ninggalin I dewa pějah.

69. Maka margan Běline seda, manuju Sukran Měrakih, sasih Jyestane kocap, tanggal ping tělulas nampi, seda yan tan prětiti, maka margan Běli mantuk, mulih1 maring sida moktah, adi kari apang běcik, nanging sampun, adi hělas těken putra.

70. Rabine matur aněmbah, Duh Dewan titiange gusti, nguda gělis manggih suargan, durung waněh titiang mañjakin, malih putra kari alit, sampunang kuda1 I Ratu, hělas pacang ninggal seda, mañumbah sarwi2 manangis, měkul suku, Bageṇḍa raris ngandika.

71. Putrane ambil tur aras, mas mirah1 gurune gusti, moga cěning manggih bagia, kasěmpolih baan Hyang Widhi, manggih makardi luih, kawinugra ring Hyang Tuduh, manggih kawiryaning jagat, kinasihan ring Hyang Lěwih, wastu-wastu, cěning mamanggih utama.

72. Mangkin tampěk pasubaya, malih tigang dina mangkin, Bageṇḍa ngandika těrang, maring anak odah1 mangkin, anak odah2 titiang pamit, gělis titiang pacang mantuk, amun nika yan jañjin titiang, di mrěcapada maurip, titiang mantuk, nungkap suargan Hyang Sūkṣmā.

73. Anak odah1 saur sěmbah, nguda lalis san I Gusti, maninggalin putra seda, putra kari alit-alit, malih diah Sukasenī, manangis mangrangkul suku, yeh tingale děrěs mědal, salara-lara manangis, tui něrus, bhaktine maring Bageṇḍa.

74. Saměton danene kocap, maka kalih sampun prapti, ne pangajěng kocap rěko, Bageṇḍa Tuan araneki, manglukar brata sěmadi, patapan danene nglangkung, maring Gunung Arga Sěkar, sinarěngan ring sang ari, tuhu wibuh, tur madue putra satunggal.

75. Ayune mangayang-ngayang, tui tuhu widiadari, maswita ring suargan, widiadari manurunin, gununge kalintang asri, patambunan Hyange ditu, luih tapa raja wasa, sami suka mangun kerti, luih tuhu, di Gunung Arga Sěkar kocap.

76. Malih Bageṇḍa Suleman, sampun Ida sami prapti, rauh ring něgara Ěsam, manyingak Tuan Bageṇḍāli, kadang mitra rauh, sami (1-uling lanang1) uling wadhu, mangkin sampun pangubaya, sinarěngan Ida prapti, sakadange, Bageṇḍāli sampun prapta.

77. Prěstekan pamargine lina, sampunnya pěpěk cumawis, caru saprěteka rěko, dakṣina lan bantěn suci, dupa měñan lan astanggi, kukuse sampun malěpug, Bageṇḍa wus masang yajña, mangrěnasika mamusti, nunggal kayun, matitis marga praline.

78. Sāmpun amiṇḍa niṣkala, Bageṇḍāli seda mangkin, linuruban sutra pṭak, miwah skar sami miyik, madulur kidung kakawin, saprětingkah sampun puput, mangkin kabakta ka setra, tumuli raris mamargi, paměṇḍěme puput, těmbang gula drawa.

79. Kawarṇanan Ibu Siti murti, wus miarsa ri pějah Bageṇḍa, ne mangkin malěs kayune, manganti ida di kubur, masusupan ring Prětiwi, kayun Ida mangwalěsang, merang Idane sampun, ne mangkin anuli prapta, ikang layon wau manědunang mangkin, bangbange anuli waras.

80. Sami kagiat Bhagawan ñingakin, Rěṣi Anwa Bageṇḍa Suleman, maweda ñaruti mangke, mangrědana Sang Hyang Ibu, rauh Ida Ibu Prětiwi, raris Ida mangandika, ujar Idane alus, Aduh yayi Rěṣi Anwa, lan Suleman kami tuhu nora tampi, Bageṇḍāli ṡawa nira.

81. Makawinan nora ingsun nampi, saking kuna Bageṇḍāli sira, lintang angkara kayune, gěměsira měrěs ingsun, tan pasamodana tui, ika margan ingsun merang, nora tampi ingsun, tumuli ajahan sira, Bageṇḍāli waduane mělas atma mangkin, ring Surya Ida magěnah.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

35

82. Sang Hyang Surya mangandika aris, Bageṇdhāli sira wawu prāpta, dadi sira hanengkene, Bageṇḍāli matur alus, Singgih Ratu Sang Hyang Rawi, titiang mangaturang kanda, Ida Sang Hyang Ibu, nora tampi maring titiang, sayuaktine Sang Hyang Surya mañaurin, mangapa nora katanggap.

83. Bageṇḍāli ature amanis, duke kuna titiang manggih jadma, manangis těngah margine, kapiwělas titiang nulung, ipun rěke ngadol lěngis, labuh gucine bělah, lěngise tělah ulung, irika titiang nudukang, lěngis ipun tanahe pěsěng titiang mangkin, gucin ipun nulia wahas.

84. Raris mědal miñak saking Siti, tur mawadah gucine punika, sapunika kawitane, titiang ngaturang těrang ipun, Sang Hyang Surya ngandika aris, lamun sajati keto, mangkin Bapa tuhu ngaskara, ring Hyang Prětiwia, Bageṇḍāli sampun Ida muktah mangkin, gumanti kang winūrṣita.

b. Terjemahan GBA Semoga tidak ada aral melintang Pupuh Dangdang

1. Ada tembang sekarang diceritakan, kisah tentang Ida Sang Hyang Suksma, bersama para dewa, dan juga Sang Pendeta yang telah terlepas dari ikatan duniawi, gandarwa dan gandarwi, konon ada juga manusia dan jin, raksasa dan lenda-lendi, serta semuanya yang ada di surga, semuanya dijadikan sebuah kisah, kisah tentang Sang Hyang Suksma.

2. Diceitakan seluruh isi dunia, semua makhluk di jagat raya, semua diceritakan sekarang, namun Ida Sang Hyang Tuduh, yang membuat hidup dan mati, beliau membuat cerita, melahirkan karya sastra berupa nasihat, ini yang kemudian dijadikan sebuah cerita, oleh Hyang Widhi, keinginan para dewa, dijadikan sebagai cerita.

3. Konon diceritakan sekarang, ada Resi Dewa Nawa Sanga, lima dewa, empat orang Resi, semua berunding di surga, mereka berniat menciptakan manusia, setelah semuanya sepakat, kemudian mereka membuatnya, bersama-sama tanah itu dirubah sekarang, agar berupa manusia.

4. Setelah menjadi manusia sekarang, namun konon tidak bisa berkata, patung itu tidak bisa berujar, tidak berkata tidak bertenaga, singkat cerita para dewa, mengutuk dengan mantra, Sang Hyang Siwa beliau mengutuk, juga tidak berkata, sekarang patung tersebut disayembarakan, oleh Ida Sang Hyang Siwa.

5. Siapa yang bisa membuatkan suara, patung tanah itu maka ia patut dipuja, oleh para dewa, Iswara Brahma Wisnu, Mahadewa Sangkara, Sambu dan juga Sang Hyang Siwa, pembicaraan mereka sudah sepakat, dan lima Resi di surga, empat Resi kemudian ada Ida Sang Hyang Licin, mendengar sayembara tersebut.

6. Kemudian beliau menjadi seorang anak kecil, lalu beliau datang dari surga, menyerupai seorang anak kecil, para dewa memperhatikan, “siapakah yang datang ini, dari manakah asalnya, siapa ayah dan ibunya, dan apa tujuannya, datang ke sini?” kemudin anak kecil itu berbicara,“Hamba mengaturkan sembah kepada Batara”.

7. Wahai Tuanku yang hamba terhormat, jika Paduka Batara berkenan, menonton sayembara, Sang Hyang Siwa Brahma Wisnu, Madewa Ludra sekarang, Iswara Mahisora, dan juga Sang Hyang Sambu, mereka semua tidak menghiraukan, kepada Hyang Maha Tahu, mereka semua menghina, apalagi ia hanya seorang seorang anak kecil.

8. “Agar ia bisa bersuara, bisa berkata bertenaga dan berpikir, kami semua memberkati, dan juga menyembahnya, kami semua berharap banyak, agar ada kebahagiaan, dan juga kesaktian”, anak kecil itu menjawab, “Wahai Paduka hamba hanya mencoba”, terkejutlah Sang Hyang Sweca.

9. Sekarang Sang Hyang Licin menjalankan, setelah mendekati patung tanah itu, patung itu sekarang sudah memiliki tenaga, menyembah dan juga berujar, kata-katanya manis dan énak di dengar, “Paduka Sang Hyang Suksma, perwujudan Ida Sang Hyang Bayu, hamba akan berbakti

Page 39: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

34

66. Bageṇḍāli suka ring manah, lawan Dewi Sukasenī, pada ya mungpung kasmaran, tan carita sampun lami, malih Ida Sang Hyang Kawi, ngawe lalampahan liu, mangda těrang ring jagat, anggen tutur satua gurit, saling sundul, lalampahan Hyang Sūkṣmā.

67. Sang Hyang Kawi mangaryanang, lalampahan ikang bumi, Sang Praratu maring jagat, Satria Brahmana sami, rauh maring ratu Jim, sami ya pada kawuwus, dados sami lalampahan, ica Ida Sang Hyang Kawi, mangawitang, Bageṇḍāli kacarita.

68. Jañjin Ida masusupan, malih Ida moktah mangkin, sedane malih abulan, sampun mapitutur mangkin, pangandikan Ida manis, Duh adi sang diah ayu, Sukasenī atma jiwa, Bli sampun napak jañji, pacang mantuk, ninggalin I dewa pějah.

69. Maka margan Běline seda, manuju Sukran Měrakih, sasih Jyestane kocap, tanggal ping tělulas nampi, seda yan tan prětiti, maka margan Běli mantuk, mulih1 maring sida moktah, adi kari apang běcik, nanging sampun, adi hělas těken putra.

70. Rabine matur aněmbah, Duh Dewan titiange gusti, nguda gělis manggih suargan, durung waněh titiang mañjakin, malih putra kari alit, sampunang kuda1 I Ratu, hělas pacang ninggal seda, mañumbah sarwi2 manangis, měkul suku, Bageṇḍa raris ngandika.

71. Putrane ambil tur aras, mas mirah1 gurune gusti, moga cěning manggih bagia, kasěmpolih baan Hyang Widhi, manggih makardi luih, kawinugra ring Hyang Tuduh, manggih kawiryaning jagat, kinasihan ring Hyang Lěwih, wastu-wastu, cěning mamanggih utama.

72. Mangkin tampěk pasubaya, malih tigang dina mangkin, Bageṇḍa ngandika těrang, maring anak odah1 mangkin, anak odah2 titiang pamit, gělis titiang pacang mantuk, amun nika yan jañjin titiang, di mrěcapada maurip, titiang mantuk, nungkap suargan Hyang Sūkṣmā.

73. Anak odah1 saur sěmbah, nguda lalis san I Gusti, maninggalin putra seda, putra kari alit-alit, malih diah Sukasenī, manangis mangrangkul suku, yeh tingale děrěs mědal, salara-lara manangis, tui něrus, bhaktine maring Bageṇḍa.

74. Saměton danene kocap, maka kalih sampun prapti, ne pangajěng kocap rěko, Bageṇḍa Tuan araneki, manglukar brata sěmadi, patapan danene nglangkung, maring Gunung Arga Sěkar, sinarěngan ring sang ari, tuhu wibuh, tur madue putra satunggal.

75. Ayune mangayang-ngayang, tui tuhu widiadari, maswita ring suargan, widiadari manurunin, gununge kalintang asri, patambunan Hyange ditu, luih tapa raja wasa, sami suka mangun kerti, luih tuhu, di Gunung Arga Sěkar kocap.

76. Malih Bageṇḍa Suleman, sampun Ida sami prapti, rauh ring něgara Ěsam, manyingak Tuan Bageṇḍāli, kadang mitra rauh, sami (1-uling lanang1) uling wadhu, mangkin sampun pangubaya, sinarěngan Ida prapti, sakadange, Bageṇḍāli sampun prapta.

77. Prěstekan pamargine lina, sampunnya pěpěk cumawis, caru saprěteka rěko, dakṣina lan bantěn suci, dupa měñan lan astanggi, kukuse sampun malěpug, Bageṇḍa wus masang yajña, mangrěnasika mamusti, nunggal kayun, matitis marga praline.

78. Sāmpun amiṇḍa niṣkala, Bageṇḍāli seda mangkin, linuruban sutra pṭak, miwah skar sami miyik, madulur kidung kakawin, saprětingkah sampun puput, mangkin kabakta ka setra, tumuli raris mamargi, paměṇḍěme puput, těmbang gula drawa.

79. Kawarṇanan Ibu Siti murti, wus miarsa ri pějah Bageṇḍa, ne mangkin malěs kayune, manganti ida di kubur, masusupan ring Prětiwi, kayun Ida mangwalěsang, merang Idane sampun, ne mangkin anuli prapta, ikang layon wau manědunang mangkin, bangbange anuli waras.

80. Sami kagiat Bhagawan ñingakin, Rěṣi Anwa Bageṇḍa Suleman, maweda ñaruti mangke, mangrědana Sang Hyang Ibu, rauh Ida Ibu Prětiwi, raris Ida mangandika, ujar Idane alus, Aduh yayi Rěṣi Anwa, lan Suleman kami tuhu nora tampi, Bageṇḍāli ṡawa nira.

81. Makawinan nora ingsun nampi, saking kuna Bageṇḍāli sira, lintang angkara kayune, gěměsira měrěs ingsun, tan pasamodana tui, ika margan ingsun merang, nora tampi ingsun, tumuli ajahan sira, Bageṇḍāli waduane mělas atma mangkin, ring Surya Ida magěnah.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

35

82. Sang Hyang Surya mangandika aris, Bageṇdhāli sira wawu prāpta, dadi sira hanengkene, Bageṇḍāli matur alus, Singgih Ratu Sang Hyang Rawi, titiang mangaturang kanda, Ida Sang Hyang Ibu, nora tampi maring titiang, sayuaktine Sang Hyang Surya mañaurin, mangapa nora katanggap.

83. Bageṇḍāli ature amanis, duke kuna titiang manggih jadma, manangis těngah margine, kapiwělas titiang nulung, ipun rěke ngadol lěngis, labuh gucine bělah, lěngise tělah ulung, irika titiang nudukang, lěngis ipun tanahe pěsěng titiang mangkin, gucin ipun nulia wahas.

84. Raris mědal miñak saking Siti, tur mawadah gucine punika, sapunika kawitane, titiang ngaturang těrang ipun, Sang Hyang Surya ngandika aris, lamun sajati keto, mangkin Bapa tuhu ngaskara, ring Hyang Prětiwia, Bageṇḍāli sampun Ida muktah mangkin, gumanti kang winūrṣita.

b. Terjemahan GBA Semoga tidak ada aral melintang Pupuh Dangdang

1. Ada tembang sekarang diceritakan, kisah tentang Ida Sang Hyang Suksma, bersama para dewa, dan juga Sang Pendeta yang telah terlepas dari ikatan duniawi, gandarwa dan gandarwi, konon ada juga manusia dan jin, raksasa dan lenda-lendi, serta semuanya yang ada di surga, semuanya dijadikan sebuah kisah, kisah tentang Sang Hyang Suksma.

2. Diceitakan seluruh isi dunia, semua makhluk di jagat raya, semua diceritakan sekarang, namun Ida Sang Hyang Tuduh, yang membuat hidup dan mati, beliau membuat cerita, melahirkan karya sastra berupa nasihat, ini yang kemudian dijadikan sebuah cerita, oleh Hyang Widhi, keinginan para dewa, dijadikan sebagai cerita.

3. Konon diceritakan sekarang, ada Resi Dewa Nawa Sanga, lima dewa, empat orang Resi, semua berunding di surga, mereka berniat menciptakan manusia, setelah semuanya sepakat, kemudian mereka membuatnya, bersama-sama tanah itu dirubah sekarang, agar berupa manusia.

4. Setelah menjadi manusia sekarang, namun konon tidak bisa berkata, patung itu tidak bisa berujar, tidak berkata tidak bertenaga, singkat cerita para dewa, mengutuk dengan mantra, Sang Hyang Siwa beliau mengutuk, juga tidak berkata, sekarang patung tersebut disayembarakan, oleh Ida Sang Hyang Siwa.

5. Siapa yang bisa membuatkan suara, patung tanah itu maka ia patut dipuja, oleh para dewa, Iswara Brahma Wisnu, Mahadewa Sangkara, Sambu dan juga Sang Hyang Siwa, pembicaraan mereka sudah sepakat, dan lima Resi di surga, empat Resi kemudian ada Ida Sang Hyang Licin, mendengar sayembara tersebut.

6. Kemudian beliau menjadi seorang anak kecil, lalu beliau datang dari surga, menyerupai seorang anak kecil, para dewa memperhatikan, “siapakah yang datang ini, dari manakah asalnya, siapa ayah dan ibunya, dan apa tujuannya, datang ke sini?” kemudin anak kecil itu berbicara,“Hamba mengaturkan sembah kepada Batara”.

7. Wahai Tuanku yang hamba terhormat, jika Paduka Batara berkenan, menonton sayembara, Sang Hyang Siwa Brahma Wisnu, Madewa Ludra sekarang, Iswara Mahisora, dan juga Sang Hyang Sambu, mereka semua tidak menghiraukan, kepada Hyang Maha Tahu, mereka semua menghina, apalagi ia hanya seorang seorang anak kecil.

8. “Agar ia bisa bersuara, bisa berkata bertenaga dan berpikir, kami semua memberkati, dan juga menyembahnya, kami semua berharap banyak, agar ada kebahagiaan, dan juga kesaktian”, anak kecil itu menjawab, “Wahai Paduka hamba hanya mencoba”, terkejutlah Sang Hyang Sweca.

9. Sekarang Sang Hyang Licin menjalankan, setelah mendekati patung tanah itu, patung itu sekarang sudah memiliki tenaga, menyembah dan juga berujar, kata-katanya manis dan énak di dengar, “Paduka Sang Hyang Suksma, perwujudan Ida Sang Hyang Bayu, hamba akan berbakti

Page 40: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

36

kepada paduka, memuja Bayu dengan mantram untuk menghormati Sang Hyang Widhi, menyembah dengan doa”.

10. Sekarang diceritakan Hyang Brahma dan Wisnu, semua yang ada di Surga, terheran-heran hatinya, karena sudah dikalahkan, oleh seorang anak kecil dengan kemampuannya, semua tidak setia terhadap perkataannya, para dewa berkumpul, gandarwa gandarwi, serta Brahma Wisnu mereka semua, berkeinginan bertarung di medan perang.

11. Anak kecil itu sekarang berbicara, “Wahai para dewa sekalian, beserta para Rsi, seperti apa perbuatan kalian itu, ingat-ingalah dengan janji, sayembara terdahulu, mengapa tidak bersungguh-sungguh, berharap mengadu kepintaran, kesaktian yang teramat sangat, agar kalian kembali mengingat, segeralah menyembah diriku”.

12. Sang Hyang Siwa dan para Rsi, begitu juga para dewa, semuanya merasa sangat marah, sudah menggenggam senjata, beliau berkeinginan untuk bertarung, dan perkataan mereka sangat kasar, “mumpung kamu masih hidup”, ada yang memukul dan menendang, mencongkel memanah melempar cakra, ada yang memukuli dengan gada.

13. Semua konon tidak melukai, panah cakra trisula gandewa, hingga ingkus itu semua, serta memukuli dengan palu , gandewa ganda bersentuhan, trisula angkus dan konta, cakra dengan tombak pendek, konon semunya musnah, tidak melukai anak kecil itu tidak berpindah tempat, namun masih menyerahkan dirinya.

14. Sang Hyang Iswara Maheswara sekarang, Brahma Ludra dan Hyang Madewa, Hyang Wisnu Sangkara konon, Sang Hyang Sambu Siwa Wisnu, Madewa semua mengutuk, membuatkkan penderitaan, Sang Hyang Licin tidak peduli, kutukan tertinggi kalah, dikalahkan oleh kesaktian Sang Hyang Licin, Sang Hyang Siwa menjadi marah.

15. Kekuatan-kekuatan yang lebih sakti, semuanya musnah tida ada kurang satupun, Hyang Brahma merasa sangat marah, mengeluarkan senjata yang diselimuti api, Bhatara Wisnu mengikuti, mengeluarkan Cakra Sudarsana, juga berkeinginan ikut menyerang, Sang Hyang Licin tidak berpindah tempat, tidak henti-hentinya dipanahkan api cakra, konon semuanya hancur dan musnah.

16. Sang Hyang Licin sekarang berkata, tiba-tiba berubah dan berbeda wujud, sangat banyak wujudnya, sesungguhnya beliau adalah Sang Hyang Cintya, beliau bertangan empat, menggunakan penutup kepala yang dipenuhi intan berlian, permatanya bersinar, bagaikan bintang di angkasa, gemerlapan bagaikan gunung api menyala, duduk di atas teratai yang melayang di udara.

17. Dan bersimbol Ungkara yang sangat indah, dan manaiki Si Detya Wikrama, beliau Sang Candra Bairawa konon, tujuh juta tangannya, semuanya menggenggam gada dan gandi, cakra gandewa dan pedang, nagapasah angkus trisula, helar dan teratai, api candra sanjata Ongkara yang sangat indah, beserta kutukan terbesar.

18. Sang Hyang Cintya beliau mengutuk, menjatuhkan kutukan terbesar, semua golongan para Resi, semua sudah mendapat penderitaan, semua dewa, terkena kutukan Sang Hyang Suksma, Ida Hyang Brahma Wisnu, tersesat menjadi raksasa, keduanya menjadi Sang Rajapati, dan Banaspati Raja.

19. Hyang Iswara menjadi Anggapati, Hyang Madewa Banaspati itu, demikianlah tersesatnya, semua berubah menjadi aneh, Sang Hyang Siwa beliau sekarang, konon beliau menderita, berubah wujud menjadi seekor burung berwarna brumbun, terbang mengelilingi désa, sekarang Bhagawan Narada berada di bumi, beliau menjadi seekor burung gagak.

20. Sekarang dikisahkan tentang Resi Garga, beliau turun ke dunia, menjadi seorang pendeta, hingga sampai di Negara Esam, kemudian Resi Bregu, turun di negara Besah, Resi Kanwa juga turun, di Negara Mesir konon, beliau turun ketiga Bhagawan tersebut, berbaur dengan manusia.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

37

21. Hyang Lumanglang menjadi gagak putih, konon adik beliau ikut serta, bernama Hyang Gandiweni, semuaya berwujud putih, terbang mengelilingi bumi, Bhagawan Wrespati konon, beliau turun di sebuah pulau, konon bernama Pulau Manjeti, sudah sampai bersamaan dengan beliau Betari, bernama Dewi Suksma.

22. Dan beliau membawa buah wani, dimakan di pulau itu, konon batunya ditanam, kemudian ditinggal pergi, batu buah waninya tumbuh, itu bernama Kayu Kastuban, teramat sangat saktinya, namun tidak ada yang mengetahui, sesungguhnya memang berasal dari surga, di bawa oleh Bhagawan Wrespati.

23. Rsi Garga diceritakan lagi, beliau memiliki seorang putra, bernama Bagenda Ali, namun tidak tidak lagi menetap, beliau tidak pernah menetap di satu tempat, terlebih lagi beliau sangat sakti, dan beliau pengarang yang sempurna, beliau berkeliling negara, di dunia kemudian mereka bertiga, bersama-sama berkeliling desa.

24. Diceritakan konon ada dua orang bersaudara, bernama Bagenda Suleman, yang kedua bernama Baginda Allah, keduanya sama-sama sakti, sesuka hatinya tinggal dimana saja, berkuasa di dunia, tiba-tiba disini tiba-tiba disitu, sekarang ada sebuah kisah, di Negeri Esam, ada seseorang Nabhi yang sangat miskin, memiliki satu orang anak.

25. (Seorang) perempuan utama bernama Sukaseni, parasnya cantik (dan) mempesona, teramat sangat cantiknya, namun ia sangat miskin, ia sering pergi menjual minyak, tiba-tiba celaka menghampirinya, lantas ia terjatuh, gucinya pecah, hancur lebur Sukaseni terduduk dan menangis, menyebut-nyebut nama Tuhan.

26. Menyembah-nyembah sembari sangat sedih, “Ya Tuhan Yang Menciptakan bumi ini, ambillah nyawa hamba sekarang, apa gunanya tetap hidup, tak urung jua sering dipukuli, lebih baik hamba mati, lagi pula hamba sudah terlalu lelah, sering sekali dipukuli, lebih baik mati lihatlah hambamu Maha Pencipta, menunggu hingga matahari terbenam..

27. Sukaseni masih saja menangis, kemudian Bagenda Ali datang, konon halus ujarnya, “Kamu kenapa cantik, mengapa menangis disini, sudah malam belum pulang, mengapa kamu bersedih di sini?”, Sukaseni menjawab dengan hormat, “Ya Tuan, jika sekarang saya pulang, pasti akan mendapat siksaan”.

28. Minyak saya sudah tidak ada lagi, gucinya rusak itu adalah kesalahan saya, tentu saya tidak akan selamat sekarang, Bagenda Ali merasa kasihan, mendengar suara anak itu, niat bercanda beliau berujar, “Hai kamu anak cantik, kalau kamu mau dengan Bapak, Bapak akan mempersuntingmu Sukaseni lalu menjawab, “Saya bersedia mengikuti keinginan Tuan”.

29. Bagenda Ali lalu mengambil guci, disatukan dan kembali merekat seperti semula, kemudian tanah itu di peras, tiba-tiba keluar minyak, sekarang di masukkan ke dalam guci, Hyang Pretiwi merasa sangat marah, “Karena perlakuanmu yang congkak itu, maka kelak jika kamu mati, saya tidak akan menerimau meskipun mempunyai pikiran baik, namun tidak sesuai dengan perbuatanmu”.

30. Ingat-ingatlah Bagenda agar ingat, di masa yang akan datang jangan kamu salah sangka, Bagenda dengan halus menyampaikan, “Tuan maafkanlah hamba, saya merasa kasihan melihatnya, seorang anak kecil sedang dalam kesusahan, tidakkah Ibu mengasihinya, menangis menyebut-nyebut, senang rasanya bisa membantu memungutkan minyak dari seorang yang tidak mampu, maka itu akan menjadi hutang”.

31. Memang janji Sang Hyang Kawi, akan membuat kisah, Bagenda sangat ragu-ragu, kemudian berujar dengan halus, “Karena minyaknya sudah kembali, kamu harus ingat dengan janji”, Sukaseni berkata “Saya tidak akan melupakannya, jangankan semasih hidup, matipun saya akan ingat, pada perjanjian Tuan”.

32. Kemudian Sukaseni berpamitan, “Baiklah Tuan saya sekarang akan pergi, menjual minyak ini, Bagenda Ali menjawab dengan halus, “Ya Sukaseni, semoga kamu menemukan kebahagiaan”,

Page 41: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

36

kepada paduka, memuja Bayu dengan mantram untuk menghormati Sang Hyang Widhi, menyembah dengan doa”.

10. Sekarang diceritakan Hyang Brahma dan Wisnu, semua yang ada di Surga, terheran-heran hatinya, karena sudah dikalahkan, oleh seorang anak kecil dengan kemampuannya, semua tidak setia terhadap perkataannya, para dewa berkumpul, gandarwa gandarwi, serta Brahma Wisnu mereka semua, berkeinginan bertarung di medan perang.

11. Anak kecil itu sekarang berbicara, “Wahai para dewa sekalian, beserta para Rsi, seperti apa perbuatan kalian itu, ingat-ingalah dengan janji, sayembara terdahulu, mengapa tidak bersungguh-sungguh, berharap mengadu kepintaran, kesaktian yang teramat sangat, agar kalian kembali mengingat, segeralah menyembah diriku”.

12. Sang Hyang Siwa dan para Rsi, begitu juga para dewa, semuanya merasa sangat marah, sudah menggenggam senjata, beliau berkeinginan untuk bertarung, dan perkataan mereka sangat kasar, “mumpung kamu masih hidup”, ada yang memukul dan menendang, mencongkel memanah melempar cakra, ada yang memukuli dengan gada.

13. Semua konon tidak melukai, panah cakra trisula gandewa, hingga ingkus itu semua, serta memukuli dengan palu , gandewa ganda bersentuhan, trisula angkus dan konta, cakra dengan tombak pendek, konon semunya musnah, tidak melukai anak kecil itu tidak berpindah tempat, namun masih menyerahkan dirinya.

14. Sang Hyang Iswara Maheswara sekarang, Brahma Ludra dan Hyang Madewa, Hyang Wisnu Sangkara konon, Sang Hyang Sambu Siwa Wisnu, Madewa semua mengutuk, membuatkkan penderitaan, Sang Hyang Licin tidak peduli, kutukan tertinggi kalah, dikalahkan oleh kesaktian Sang Hyang Licin, Sang Hyang Siwa menjadi marah.

15. Kekuatan-kekuatan yang lebih sakti, semuanya musnah tida ada kurang satupun, Hyang Brahma merasa sangat marah, mengeluarkan senjata yang diselimuti api, Bhatara Wisnu mengikuti, mengeluarkan Cakra Sudarsana, juga berkeinginan ikut menyerang, Sang Hyang Licin tidak berpindah tempat, tidak henti-hentinya dipanahkan api cakra, konon semuanya hancur dan musnah.

16. Sang Hyang Licin sekarang berkata, tiba-tiba berubah dan berbeda wujud, sangat banyak wujudnya, sesungguhnya beliau adalah Sang Hyang Cintya, beliau bertangan empat, menggunakan penutup kepala yang dipenuhi intan berlian, permatanya bersinar, bagaikan bintang di angkasa, gemerlapan bagaikan gunung api menyala, duduk di atas teratai yang melayang di udara.

17. Dan bersimbol Ungkara yang sangat indah, dan manaiki Si Detya Wikrama, beliau Sang Candra Bairawa konon, tujuh juta tangannya, semuanya menggenggam gada dan gandi, cakra gandewa dan pedang, nagapasah angkus trisula, helar dan teratai, api candra sanjata Ongkara yang sangat indah, beserta kutukan terbesar.

18. Sang Hyang Cintya beliau mengutuk, menjatuhkan kutukan terbesar, semua golongan para Resi, semua sudah mendapat penderitaan, semua dewa, terkena kutukan Sang Hyang Suksma, Ida Hyang Brahma Wisnu, tersesat menjadi raksasa, keduanya menjadi Sang Rajapati, dan Banaspati Raja.

19. Hyang Iswara menjadi Anggapati, Hyang Madewa Banaspati itu, demikianlah tersesatnya, semua berubah menjadi aneh, Sang Hyang Siwa beliau sekarang, konon beliau menderita, berubah wujud menjadi seekor burung berwarna brumbun, terbang mengelilingi désa, sekarang Bhagawan Narada berada di bumi, beliau menjadi seekor burung gagak.

20. Sekarang dikisahkan tentang Resi Garga, beliau turun ke dunia, menjadi seorang pendeta, hingga sampai di Negara Esam, kemudian Resi Bregu, turun di negara Besah, Resi Kanwa juga turun, di Negara Mesir konon, beliau turun ketiga Bhagawan tersebut, berbaur dengan manusia.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

37

21. Hyang Lumanglang menjadi gagak putih, konon adik beliau ikut serta, bernama Hyang Gandiweni, semuaya berwujud putih, terbang mengelilingi bumi, Bhagawan Wrespati konon, beliau turun di sebuah pulau, konon bernama Pulau Manjeti, sudah sampai bersamaan dengan beliau Betari, bernama Dewi Suksma.

22. Dan beliau membawa buah wani, dimakan di pulau itu, konon batunya ditanam, kemudian ditinggal pergi, batu buah waninya tumbuh, itu bernama Kayu Kastuban, teramat sangat saktinya, namun tidak ada yang mengetahui, sesungguhnya memang berasal dari surga, di bawa oleh Bhagawan Wrespati.

23. Rsi Garga diceritakan lagi, beliau memiliki seorang putra, bernama Bagenda Ali, namun tidak tidak lagi menetap, beliau tidak pernah menetap di satu tempat, terlebih lagi beliau sangat sakti, dan beliau pengarang yang sempurna, beliau berkeliling negara, di dunia kemudian mereka bertiga, bersama-sama berkeliling desa.

24. Diceritakan konon ada dua orang bersaudara, bernama Bagenda Suleman, yang kedua bernama Baginda Allah, keduanya sama-sama sakti, sesuka hatinya tinggal dimana saja, berkuasa di dunia, tiba-tiba disini tiba-tiba disitu, sekarang ada sebuah kisah, di Negeri Esam, ada seseorang Nabhi yang sangat miskin, memiliki satu orang anak.

25. (Seorang) perempuan utama bernama Sukaseni, parasnya cantik (dan) mempesona, teramat sangat cantiknya, namun ia sangat miskin, ia sering pergi menjual minyak, tiba-tiba celaka menghampirinya, lantas ia terjatuh, gucinya pecah, hancur lebur Sukaseni terduduk dan menangis, menyebut-nyebut nama Tuhan.

26. Menyembah-nyembah sembari sangat sedih, “Ya Tuhan Yang Menciptakan bumi ini, ambillah nyawa hamba sekarang, apa gunanya tetap hidup, tak urung jua sering dipukuli, lebih baik hamba mati, lagi pula hamba sudah terlalu lelah, sering sekali dipukuli, lebih baik mati lihatlah hambamu Maha Pencipta, menunggu hingga matahari terbenam..

27. Sukaseni masih saja menangis, kemudian Bagenda Ali datang, konon halus ujarnya, “Kamu kenapa cantik, mengapa menangis disini, sudah malam belum pulang, mengapa kamu bersedih di sini?”, Sukaseni menjawab dengan hormat, “Ya Tuan, jika sekarang saya pulang, pasti akan mendapat siksaan”.

28. Minyak saya sudah tidak ada lagi, gucinya rusak itu adalah kesalahan saya, tentu saya tidak akan selamat sekarang, Bagenda Ali merasa kasihan, mendengar suara anak itu, niat bercanda beliau berujar, “Hai kamu anak cantik, kalau kamu mau dengan Bapak, Bapak akan mempersuntingmu Sukaseni lalu menjawab, “Saya bersedia mengikuti keinginan Tuan”.

29. Bagenda Ali lalu mengambil guci, disatukan dan kembali merekat seperti semula, kemudian tanah itu di peras, tiba-tiba keluar minyak, sekarang di masukkan ke dalam guci, Hyang Pretiwi merasa sangat marah, “Karena perlakuanmu yang congkak itu, maka kelak jika kamu mati, saya tidak akan menerimau meskipun mempunyai pikiran baik, namun tidak sesuai dengan perbuatanmu”.

30. Ingat-ingatlah Bagenda agar ingat, di masa yang akan datang jangan kamu salah sangka, Bagenda dengan halus menyampaikan, “Tuan maafkanlah hamba, saya merasa kasihan melihatnya, seorang anak kecil sedang dalam kesusahan, tidakkah Ibu mengasihinya, menangis menyebut-nyebut, senang rasanya bisa membantu memungutkan minyak dari seorang yang tidak mampu, maka itu akan menjadi hutang”.

31. Memang janji Sang Hyang Kawi, akan membuat kisah, Bagenda sangat ragu-ragu, kemudian berujar dengan halus, “Karena minyaknya sudah kembali, kamu harus ingat dengan janji”, Sukaseni berkata “Saya tidak akan melupakannya, jangankan semasih hidup, matipun saya akan ingat, pada perjanjian Tuan”.

32. Kemudian Sukaseni berpamitan, “Baiklah Tuan saya sekarang akan pergi, menjual minyak ini, Bagenda Ali menjawab dengan halus, “Ya Sukaseni, semoga kamu menemukan kebahagiaan”,

Page 42: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

38

sekarang rejeki itu datang, ia pun melanjutkan berjualan, Sukaseni banyak orang yang membeli minyaknya, minyaknya pun sudah habis.

33. Diceritakan sekarang mengenai ibunya, semakin resah perasaannya di rumah, melihat-lihat kesana kemari, anak belum pulang, berlarian menanyakan kesana kemari, banyak pedagang ada di pasar di tanyakan, semua tidak ada yang melihat, ibunya pun menangis di rumah, demikian juga ayahnya karena sudah larut malam, besok pagi-pagi cari lagi.

34. Kemudian Sukseni datang, sesampainya di rumah, menurunkan barang bawaannya, ayahnya pun bangun, kemudian menanyakannya, “Bagaimana perihalnya kamu pergi, kenapa malam sekali baru datang, ibu sangat bingung menanyakan, dari tadi anaknya pun menjawab, “Saya mendapat musibah”.

35. Minyak saya jatuh dan tidak tersisa, guci pecah dan berserakan di tanah, saya menunggui minyak itu, saya takut pulang, sudah pasti saya akan merasakan sakit, ibunya kemudian memeriksa, gucinya masih bagus, uang hasil penjualannya pun ada, sebanyak dua lembar, kemudian ibunya berkata, “kenapa kamu berbohong?”.

36. Ayahnya memeriksa guci itu, diperiksa dengan menggunakan lampu, beliau menggunakan lampu lentera, tidak ada tanda-tandanya, tidak ada rusak sedikit pun, “Sukaseni kamu berbohong”, ayah dan ibunya sangat marah, “ Sukaseni perilakumu sangat tidak baik, membuat malu saja”, mereka berdua lantas memukulnya, anaknya hanya bisa pasrah.

37. Ibu dan Ayahnya sekarang berkata, “tidak benar kamu membawa diri, sikapmu juga sangat berani”, Sukaseni menjawab dengan halus, “saya bicara dahulu, jika saya hanya membuat-buat, tentu saya akan kena kutuk dari Sang Hyang Tuduh, yang sudah menitahkan saya menjadi manusia, menyaksikan apabila itu tidak benar, agar segera menemui ajal” .

38. Sukaseni berkata sembari menangis, “ayah ibu dengar dahulu perkataan saya, sekarang ini adaah kebenarannya, saya akan menyampaikannya, seperti apa yang sebenarnya terjadi, agar ayah dan ibu mengetahuinya, saya merasa sangat bingung, menyebut-nyebut nama Tuhan, kemudian datang Bagenda Ali yang sangat sakti, beliau memberkati saya”.

39. “Kemudian seketika tanah itu diperas, keluarlah minyak tidak ada yang hilang setetes pun, seperti itulah kebenarannya, sekarang saya sudah selesai, menjelaskan perihal itu, bagaimana dengan keinginan ayah, jika ayah tetap akan marah, silahkan habiskan saya, sekarang juga” ayahnya pun terdiam tanpa kata, sekarang sudah tersadar.

40. Ayah dan ibunya pun berujar, “Wahai anakku Sukaseni, jika memang benar perkataanmu, ibu dan ayah berharap mengetahui, agar bisa bersama-sama menemukannya, marilah kita bersama-sama menghamba, kepada Sang Pendeta yang sudah mumpuni, kamu akan menemukan kebahagiaan, kelak di masa yang akan datang, apa yang kamu rasakan di bumi ini, takkan luput dari kebahagiaan”.

41. “Apabila besok kamu berjumpa dengannya, ajaklah beliau mampir kesini, ayah ingin mengetahuinya, Sukaseni lalu mengakhiri, “Seperti yang ayah titahkan”, sudah larut malam, hari sudah berganti, menjual minyak seperti dahulu, seperti memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan, Bagenda Ali pun datang.

42. Sukaseni lalu berkata, Sri Paduka Ratu Bagenda, begitu tulus kebaikan anda, marilah Tuan mampir dahulu, ke rumah saya sekarang, saya hanya diragukan oleh Ibu dan ayah, agar mereka mengetahui, anda Tuan, Bagendali lalu menjawab, perkataanmu akan saya penuhi dengan senang hati.

43. Sekarang dikisahkan tentang Sukaseni, berbelanja bermacam-macam, konon membeli piring gelas barang pecah belah, gipang, roti, korma, gula batu dan gula pasir, gandewerbrandi dan arak, sirup dan air jeruk, selesai berbelanja ia pun pulang, setibanya Sukaseni di rumah, langsung menurunkan barang belanjaannya.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

39

44. Sekarang ia sudah bersiap-siap, kemudian datanglah Bagenda Ali seorang diri,ke rumahnya Tuan Nabi, Tuan nabi perempuan dan laki-laki, lalu semuanya menyapa, “Tuan hamba Sri Paduka, Paduka baru datang?”, kemudian Bagenda Ali menjawab, “Ya Tuan saya baru saja datang”, saling menghormati dan bersalaman.

45. Bagenda Ali dipersilahkan duduk, “Wahai Bagenda, silahkan duduk”, sekarang Bagenda Ali

duduk, Sukaseni sangat sibuk menyajikan, makanan yang akan dihidangkan, setelah semuanya selesai, teh dan kopi sudah siap, Sukaseni akan membawakan, untuk Bagendali kemudian ibunya menyenggol sedikit, catuh pecah berserakan.

46. Sukaseni bersimpuh dan menangis, merasa sedih dan juga malu dengan dirinya, lalu ayahnya menghampiri, Tuan Nabi pun berkata, “Duh kamu Sukaseni, kamu ini kenapa?”, Sukaseni menjawab, “Ibu yang menyenggol saya, ayah semuanya jatuh dan pecah, piring gedah berserakan”.

47. Tuan Nabi segera menyerahkan, kepada Bagenda Ali beliau pun berkata, “Pungutlah dan bawa kemari sekarang, piring gelaspungut semua”, semuanya sudah diserahkan, Bagendali lalu merapalkan mantra, piring cawan dan gelas sudah disatukan semua , seperti semula roti gipang semuanya bagus, tidak ada yang kotor.

48. Tuan Nabi lantas berkata dengan sopan, “Wahai Paduka sekarang saya menjadi tahu, sungguh benar kesaktiannmu, seakan-akan Tuhan yang kini hadir, mampu menyatukan dunia, dari keanekaragaman yang ada, tentram dunia ini, berasal dari alam gaib, bersedia datang kemari mengunjungi orang miskin, mohon maafkan saya dewa”.

49. Sambil memusatkan pikiran dengan pelan sekarang berkata, “ Wahai Nabi teramat sangat engkau meredahkan diri, aku juga melakukan kesalahan, remaja putri itu, aku pernah membantuna, rasa sayangku mulai tumbuh, ketika melihat anakmu sedang bersedih, aku sungguh membuatnya, merasa bahagia namun Nabi belum mengetahui, sekarang akan aku jelaskan”.

50. Kemudian Tuan Nabi berkata, “besar harapan hamba, hamba akan memberitahukan, supaya benar berkenan, disini ratu tinggal, saya sudah menyerahkan, sesuai keinginan Paduka, hamba Paduka itu, saya sungguh-sungguh memberikan Sukaseni, ia hamba jadikan sebagai gantinya”.

51. Dengan senang hati Bagenda menjawab, “Jika demikian rasa syukur dan bahagia, menerima kebahagiaan Nabi”, semua sudah berasal dari hati, Bagendali dan Tuan Nabi, sudah saling sepaham, Sukaseni menuruti, dipersunting oleh Bagenda, menatu dengan cintakasih kisah Bagenda Ali, sekarang berganti dengan Pupuh Sinom.

52. Konon katanya ada lagi, para dewa, dan konon juga para Resi, Gandarwa dan Gandarwi, semuanya sedang bersedih, mereka ingat dalam hati, terkena kutuk dari Dewa, kutukan Hyang Widhi, semuanya bersedih, memohon kepada Tuhan.

53. Semua melakukan yoga, para Rsi semua bersemedi, menyatukan sepuluh indra, pada lima indra semua, kekuatan serta pikiran menjadi satu, sudah siap melebur, menyatukan kekuatan dan jiwa, itu semua dilaksanakan, pikiran hening, beliau semua menyucikan pikirannya.

54. Barata pun disambut baik, berkenanlah Ida Hyang Widhi, sekarang beliau berkenan memberkati, mala petaka yang dialami para dewa, gandarwa dan gandarwi, dianugrahkan menemukan kebaikan, didahului dengan puja, kembalilah seperti dahulu, namun masih, Hyang Siwa dan Lumanglang.

55. Konon Bhagawan Lumanglang, konon katanya masih masih menjadi dangdang putih, melayang mengembara ke desa-desa, selatan utara barat timur, sekarang Sang Hyang Siwa, beliau masih menjadi burung titiran brumbun, terbang mengembara desa, semua desa dikelilingi, naik turun, ke surga dan ke bumi.

56. Kembali diceritakan, dewa turun melayang di bumi, menjadi satu dengan manusia, semua saling menyayangi, saling memberi, Bagawan merasa sangat senang dalam hatinya, memeberitahukan

Page 43: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

38

sekarang rejeki itu datang, ia pun melanjutkan berjualan, Sukaseni banyak orang yang membeli minyaknya, minyaknya pun sudah habis.

33. Diceritakan sekarang mengenai ibunya, semakin resah perasaannya di rumah, melihat-lihat kesana kemari, anak belum pulang, berlarian menanyakan kesana kemari, banyak pedagang ada di pasar di tanyakan, semua tidak ada yang melihat, ibunya pun menangis di rumah, demikian juga ayahnya karena sudah larut malam, besok pagi-pagi cari lagi.

34. Kemudian Sukseni datang, sesampainya di rumah, menurunkan barang bawaannya, ayahnya pun bangun, kemudian menanyakannya, “Bagaimana perihalnya kamu pergi, kenapa malam sekali baru datang, ibu sangat bingung menanyakan, dari tadi anaknya pun menjawab, “Saya mendapat musibah”.

35. Minyak saya jatuh dan tidak tersisa, guci pecah dan berserakan di tanah, saya menunggui minyak itu, saya takut pulang, sudah pasti saya akan merasakan sakit, ibunya kemudian memeriksa, gucinya masih bagus, uang hasil penjualannya pun ada, sebanyak dua lembar, kemudian ibunya berkata, “kenapa kamu berbohong?”.

36. Ayahnya memeriksa guci itu, diperiksa dengan menggunakan lampu, beliau menggunakan lampu lentera, tidak ada tanda-tandanya, tidak ada rusak sedikit pun, “Sukaseni kamu berbohong”, ayah dan ibunya sangat marah, “ Sukaseni perilakumu sangat tidak baik, membuat malu saja”, mereka berdua lantas memukulnya, anaknya hanya bisa pasrah.

37. Ibu dan Ayahnya sekarang berkata, “tidak benar kamu membawa diri, sikapmu juga sangat berani”, Sukaseni menjawab dengan halus, “saya bicara dahulu, jika saya hanya membuat-buat, tentu saya akan kena kutuk dari Sang Hyang Tuduh, yang sudah menitahkan saya menjadi manusia, menyaksikan apabila itu tidak benar, agar segera menemui ajal” .

38. Sukaseni berkata sembari menangis, “ayah ibu dengar dahulu perkataan saya, sekarang ini adaah kebenarannya, saya akan menyampaikannya, seperti apa yang sebenarnya terjadi, agar ayah dan ibu mengetahuinya, saya merasa sangat bingung, menyebut-nyebut nama Tuhan, kemudian datang Bagenda Ali yang sangat sakti, beliau memberkati saya”.

39. “Kemudian seketika tanah itu diperas, keluarlah minyak tidak ada yang hilang setetes pun, seperti itulah kebenarannya, sekarang saya sudah selesai, menjelaskan perihal itu, bagaimana dengan keinginan ayah, jika ayah tetap akan marah, silahkan habiskan saya, sekarang juga” ayahnya pun terdiam tanpa kata, sekarang sudah tersadar.

40. Ayah dan ibunya pun berujar, “Wahai anakku Sukaseni, jika memang benar perkataanmu, ibu dan ayah berharap mengetahui, agar bisa bersama-sama menemukannya, marilah kita bersama-sama menghamba, kepada Sang Pendeta yang sudah mumpuni, kamu akan menemukan kebahagiaan, kelak di masa yang akan datang, apa yang kamu rasakan di bumi ini, takkan luput dari kebahagiaan”.

41. “Apabila besok kamu berjumpa dengannya, ajaklah beliau mampir kesini, ayah ingin mengetahuinya, Sukaseni lalu mengakhiri, “Seperti yang ayah titahkan”, sudah larut malam, hari sudah berganti, menjual minyak seperti dahulu, seperti memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan, Bagenda Ali pun datang.

42. Sukaseni lalu berkata, Sri Paduka Ratu Bagenda, begitu tulus kebaikan anda, marilah Tuan mampir dahulu, ke rumah saya sekarang, saya hanya diragukan oleh Ibu dan ayah, agar mereka mengetahui, anda Tuan, Bagendali lalu menjawab, perkataanmu akan saya penuhi dengan senang hati.

43. Sekarang dikisahkan tentang Sukaseni, berbelanja bermacam-macam, konon membeli piring gelas barang pecah belah, gipang, roti, korma, gula batu dan gula pasir, gandewerbrandi dan arak, sirup dan air jeruk, selesai berbelanja ia pun pulang, setibanya Sukaseni di rumah, langsung menurunkan barang belanjaannya.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

39

44. Sekarang ia sudah bersiap-siap, kemudian datanglah Bagenda Ali seorang diri,ke rumahnya Tuan Nabi, Tuan nabi perempuan dan laki-laki, lalu semuanya menyapa, “Tuan hamba Sri Paduka, Paduka baru datang?”, kemudian Bagenda Ali menjawab, “Ya Tuan saya baru saja datang”, saling menghormati dan bersalaman.

45. Bagenda Ali dipersilahkan duduk, “Wahai Bagenda, silahkan duduk”, sekarang Bagenda Ali

duduk, Sukaseni sangat sibuk menyajikan, makanan yang akan dihidangkan, setelah semuanya selesai, teh dan kopi sudah siap, Sukaseni akan membawakan, untuk Bagendali kemudian ibunya menyenggol sedikit, catuh pecah berserakan.

46. Sukaseni bersimpuh dan menangis, merasa sedih dan juga malu dengan dirinya, lalu ayahnya menghampiri, Tuan Nabi pun berkata, “Duh kamu Sukaseni, kamu ini kenapa?”, Sukaseni menjawab, “Ibu yang menyenggol saya, ayah semuanya jatuh dan pecah, piring gedah berserakan”.

47. Tuan Nabi segera menyerahkan, kepada Bagenda Ali beliau pun berkata, “Pungutlah dan bawa kemari sekarang, piring gelaspungut semua”, semuanya sudah diserahkan, Bagendali lalu merapalkan mantra, piring cawan dan gelas sudah disatukan semua , seperti semula roti gipang semuanya bagus, tidak ada yang kotor.

48. Tuan Nabi lantas berkata dengan sopan, “Wahai Paduka sekarang saya menjadi tahu, sungguh benar kesaktiannmu, seakan-akan Tuhan yang kini hadir, mampu menyatukan dunia, dari keanekaragaman yang ada, tentram dunia ini, berasal dari alam gaib, bersedia datang kemari mengunjungi orang miskin, mohon maafkan saya dewa”.

49. Sambil memusatkan pikiran dengan pelan sekarang berkata, “ Wahai Nabi teramat sangat engkau meredahkan diri, aku juga melakukan kesalahan, remaja putri itu, aku pernah membantuna, rasa sayangku mulai tumbuh, ketika melihat anakmu sedang bersedih, aku sungguh membuatnya, merasa bahagia namun Nabi belum mengetahui, sekarang akan aku jelaskan”.

50. Kemudian Tuan Nabi berkata, “besar harapan hamba, hamba akan memberitahukan, supaya benar berkenan, disini ratu tinggal, saya sudah menyerahkan, sesuai keinginan Paduka, hamba Paduka itu, saya sungguh-sungguh memberikan Sukaseni, ia hamba jadikan sebagai gantinya”.

51. Dengan senang hati Bagenda menjawab, “Jika demikian rasa syukur dan bahagia, menerima kebahagiaan Nabi”, semua sudah berasal dari hati, Bagendali dan Tuan Nabi, sudah saling sepaham, Sukaseni menuruti, dipersunting oleh Bagenda, menatu dengan cintakasih kisah Bagenda Ali, sekarang berganti dengan Pupuh Sinom.

52. Konon katanya ada lagi, para dewa, dan konon juga para Resi, Gandarwa dan Gandarwi, semuanya sedang bersedih, mereka ingat dalam hati, terkena kutuk dari Dewa, kutukan Hyang Widhi, semuanya bersedih, memohon kepada Tuhan.

53. Semua melakukan yoga, para Rsi semua bersemedi, menyatukan sepuluh indra, pada lima indra semua, kekuatan serta pikiran menjadi satu, sudah siap melebur, menyatukan kekuatan dan jiwa, itu semua dilaksanakan, pikiran hening, beliau semua menyucikan pikirannya.

54. Barata pun disambut baik, berkenanlah Ida Hyang Widhi, sekarang beliau berkenan memberkati, mala petaka yang dialami para dewa, gandarwa dan gandarwi, dianugrahkan menemukan kebaikan, didahului dengan puja, kembalilah seperti dahulu, namun masih, Hyang Siwa dan Lumanglang.

55. Konon Bhagawan Lumanglang, konon katanya masih masih menjadi dangdang putih, melayang mengembara ke desa-desa, selatan utara barat timur, sekarang Sang Hyang Siwa, beliau masih menjadi burung titiran brumbun, terbang mengembara desa, semua desa dikelilingi, naik turun, ke surga dan ke bumi.

56. Kembali diceritakan, dewa turun melayang di bumi, menjadi satu dengan manusia, semua saling menyayangi, saling memberi, Bagawan merasa sangat senang dalam hatinya, memeberitahukan

Page 44: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

40

kepada manusia, beliau merasa sangat bahagia, saling melengkapi satu sama lain, keinginan Bagawan tersebut.

57. Sekarang beliau mewariskan, semua ajaran agama, purwadigama kamoksan, wariga tutur sayukti, pembagian sastranya semua, usada dan pamastu, buda kecapi dan babratan, parigama kalimosada, semua sudah dianugerahkan kepada manusia.

58. Dan suara wacana, dasa aksara itu semua, konon panca aksara juga, tri aksara semuanya, serta kidung kakawin, pratitisundari terus, negara hidup sejahtera, semua sudah dianugerahkan, senan hati, Bhagawan memberikan anugerah.

59. Sama kesejahteraan di dunia, di siang hari maupun malam, memang tidak ada cacat, sama kesejahteraan di bumi, penciptaam seluruh jagat raya, semua yang ditanam, serta buminya menghasilkan, semua tidak ada yang kesakitan, karena sangat besar karuniaNya, dan dipergunakan di bumi ini, di bumi.

60. Karena semua saling mengasihi, Bhagawan sangat senang hatinya, hidup berdampingan, semua saling memberi, Bhagawan beliau masih, hatinya sungguh bahagia, semua saling menerima ajaran gurunya dengan patuh, aman dan makmur bumi ini, para Ratu, Satria Wesia dan Brahmana.

61. Semuanya merasa sangat bahagia, terlebih lagi seluruh isidunia, orang Bali dan Arab, Cina Inggris dan Belanda, seluruh isi bumi ini, semuanya merasa sangat senang hatinya, merasakan ketentraman di bumi, semua manusia di bumi ini sama, semuanya mematuhi, kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

62. Sekarang kembali dikisahkan, tingkah laku Sang Bagenda Ali, merasakan jatuh cinta, sang diah semuanya perempuan dan laki-laki, bagaikan seekor kumbang yang menghisap sari, sangat indah dan penuh kasih sayang, mantra dan ilmu pengasihan,memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi, kesaktian yang tak terbatas, menggenggam Resi Bagenda.

63. Sekian lama beliau berkeluarga, sekarang anaknya pun lahir, banyak sekali tanda-tandanya, Bagenda merasa sangat bahagia, dan parasnya tampan, bagaikan Dewa Asmara yang lahir ke dunia ini, mereka sangat menyayangi anaknya, anak Tuan Bagenda Ali, sungguh tampan, (ia) bernama Raden Muhamad.

64. Selama beliau memiliki anak, semua sanak keluarga dari yang laki-laki hingga perempuan, semua mengasihi, anaknya itu menawan hati, orang tua sekarang, mendengar Bagenda seperti itu, orang tua merasa sangat bahagia, kepada beliau Bgaendali, beliau diberikan tinggal di Esam.

65. Diberikan harta benda yang berlimpah, sekarang orang tua menyediakan, rumah untuk tempat tinggal, beliau sudah diberikan, seperti kehendak alam, beliau bertempat tinggal di Esam, lama sudah beliau di Esam, istri beliau hamil lagi, kemudian lahir anaknya, diberi nama Raden Amad.

66. Bagenda Ali merasa sangat bahagia, begitu juga dengan Sukaseni, keduanya meras a kasmaran, tidak diceritakan sudah lama, kembali Ida Sang Hyang Kawi, membuat banyak kisah, agar tercerahkan di bumi ini, dijadikan sebagai karangan cerita yang ditembangkan, saling mengasihi, kisah Hyang Suksma.

67. Sang Hyang Kawi menciptakan, kisah di bumi ini, para raji di dunia, satria brahmana semuanya, hingga ratu jin, semuanya diceritakan, semuanya menjadi suatu karangan, anugrah Yang Maha Pencipta, mengawali dikisahkan tentang Bagenda Ali.

68. Janji beliau berkelana, sekarang beliau akan moksa, meninggalnya lagi sebulan, sekarang sudah menuturkan, perkataan beliau manis, “Wahai adinda cantik yang aku sayangi, Sukaseni jiwa dan raga, kakanda sudah menepati janji, akan meninggalkan kamu untuk selamanya”.

69. “Sebagaimana jalan kakanda meninggalkan dunia ini, pada saat hari Jumat wuku Merakih, pada bulan November, pada tanggal tiga belas, meninggalkan dunia ini jika tidak diupacarai dengan baik dan benar, sebagaimana jalan kakanda mati, kembali ke alam keabadian, jaga diri adinda baik-baik, namun jangan sampai adinda meninggalkan anak-anak”.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

41

70. Istrinya berkata dengan hormat, “Wahai dewaku, mengapa cepat sekali menemukan ajal, belum puas saya mengabdikan diri, apalagi anak-anak masih kecil, janganlah paduka, tega akan meninggalkan mati”, menyungkemi sembari menangis, memeluk kakinya, kemudian Bagenda berkata.

71. Anaknya diambil dan dicium, “Emas permata ayahanda, semoga ananda mendapatkan kebahagiaan, diberkati oleh Hyang Widhi, menjadi ciptaan yang baik, mendapatkan anugrah dari Hyang Tuduh, memiliki keberanian di bumi, kasih sayang kepada Hyang Lewih, semoga, ananda mendapatkan kebahagiaan.

72. Sekarang sudah tidak di dunia nyata, lagi tiga hari dari sekarang, Bagenda pun mengatakan yang sebenarnya, kepada Anak Oda, “Anak Oda saa pamit, saya akan segera meninggalkan dunia ini, itulah janji saya, (semasih) hidup di dunia ini, saya pulang, menuju surganya Hyang Suksma”.

73. Anak Oda menjawab dengan halus, “ mengapa Tuan tega, meninggalkan anak untuk selamanya, anak masih kecil-kecil”, diah Sukaseni kembali menangis (sambil) merangkul kakinya, air matanya mengalir deras, menangis sejadi-jadinya, dan terus-menerus, baktinya kepada Bagenda.

74. Diceritakan saudara beliau, keduanya sudah datang, konon katanya yang tertua, bernama Bagenda Tuan, meninggalkan pertapaannya, pertapaan yang sangat lama, di Gunung Arga Sekar, bersama dengan seorang adiknya, yang sangat bijaksana, dan hanya mempunyai seorang anak.

75. Parasnya sangat cantik, bagaikan bidadari,yang berasal dari surga, bidadari yang turun, ke gunung yang sangat indah, tempat perkumpulan para dewa disana, bagaikan pertapaan Yang Maha Kuasa, semuanya senang bertapa, benar-benar menakjubkan, konon di Gunung Arga Sekar.

76. Kemudian Bagenda Suleman, beliau semua sudah datang, sampai di Kota Esam, melihat Tuan Bagenda Ali, semua temannya juga datang, dari yang laki-laki hingga yang perempuan, sekarang sudah tiba saatnya, beliau semuanya datang bersamaan, Bagenda Ali sudah datang.

77. Kelengkapan upakara untuk kematian, semuanya sudah siap sedia, konon caru dan kelangkapannya, daksina dan banten suci, dupa menyan dan astanggi, asapnya sudah mengepul, Bagenda sudah melaksanakan yadnya, berkonsentrasi, menyatukan pikiran, mencari jalan menuju kematian.

78. (Sekarang) sudah tidak di dunia nyata, Bagenda Ali meninggal dunia, ditutupi dengan kain sutra berwarna putih, dan bunga-bunga yang harum, diiringi dengan kidung kakawin, semuanya sudah selesai, sekarang dibawa ke kuburan, kemudian berjalan menuju ke kuburan, prosesi penguburan sudah selesai, Pupuh Dangdang Gula.

79. Diceritakan Ibu Pertiwi, setelah mendengar kematiannya Bagenda, sekarang berkeinginan untuk membalaskan, menantikan beliau dikubur, masuk ke dalam tanah, ingin beliau membalaskan, kemarahan beliau, sekarang sudah tiba, jasad itu baru diturunkan sekarang, lalu kuburannya tertutup.

80. Bagawan semua merasa terkejut melihatnya, Rsi Anwa Bagenda Suleman, merapalkan mantra, memuja Sang Hyang Ibu, datanglah Ibu Pertiwi, kemudian beliau berucap, perkataan beliau halus, “Wahai adikku Rsi Anwa, dan Suleman, saya sungguh tidak menerima, jasadnya Bagenda Ali” .

81. Yang menyebabkan aku tidak menerimanya, dahulu kala Bagenda Ali, sangat jahat hatinya, kamu berani memerasku, juga tidak berperasaan, itulah yang menyebabkan aku marah, aku tidak terima, terhadap dirimu,Bagenda Ali rakyatnya sekarang meninggalkan jasadnya, sampailah ia di matahari.

82. Sang Hyang Surya lalu berujar, “Bagenda kamu baru datang, kenapa kamu ada di sini?, Bagendali menjawab dengan halus, “Ya Ratu Sang Hyang Rawi, sekarang saya akan memberitahukan, beliauSang Hyang Ibu, sesungguhnya tidak menerima hamba, Sang Hyang Surya menjawab, “mengapa tidak diterima?”.

83. Bagenda Ali berucap dengan manis, “Dahulu kala hamba melihat seseorang, menangis di tengah jalan, hamba merasa kasihan dan membantunya, ia katanya menjual minak, gucinya terjatuh dan

Page 45: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

40

kepada manusia, beliau merasa sangat bahagia, saling melengkapi satu sama lain, keinginan Bagawan tersebut.

57. Sekarang beliau mewariskan, semua ajaran agama, purwadigama kamoksan, wariga tutur sayukti, pembagian sastranya semua, usada dan pamastu, buda kecapi dan babratan, parigama kalimosada, semua sudah dianugerahkan kepada manusia.

58. Dan suara wacana, dasa aksara itu semua, konon panca aksara juga, tri aksara semuanya, serta kidung kakawin, pratitisundari terus, negara hidup sejahtera, semua sudah dianugerahkan, senan hati, Bhagawan memberikan anugerah.

59. Sama kesejahteraan di dunia, di siang hari maupun malam, memang tidak ada cacat, sama kesejahteraan di bumi, penciptaam seluruh jagat raya, semua yang ditanam, serta buminya menghasilkan, semua tidak ada yang kesakitan, karena sangat besar karuniaNya, dan dipergunakan di bumi ini, di bumi.

60. Karena semua saling mengasihi, Bhagawan sangat senang hatinya, hidup berdampingan, semua saling memberi, Bhagawan beliau masih, hatinya sungguh bahagia, semua saling menerima ajaran gurunya dengan patuh, aman dan makmur bumi ini, para Ratu, Satria Wesia dan Brahmana.

61. Semuanya merasa sangat bahagia, terlebih lagi seluruh isidunia, orang Bali dan Arab, Cina Inggris dan Belanda, seluruh isi bumi ini, semuanya merasa sangat senang hatinya, merasakan ketentraman di bumi, semua manusia di bumi ini sama, semuanya mematuhi, kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

62. Sekarang kembali dikisahkan, tingkah laku Sang Bagenda Ali, merasakan jatuh cinta, sang diah semuanya perempuan dan laki-laki, bagaikan seekor kumbang yang menghisap sari, sangat indah dan penuh kasih sayang, mantra dan ilmu pengasihan,memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi, kesaktian yang tak terbatas, menggenggam Resi Bagenda.

63. Sekian lama beliau berkeluarga, sekarang anaknya pun lahir, banyak sekali tanda-tandanya, Bagenda merasa sangat bahagia, dan parasnya tampan, bagaikan Dewa Asmara yang lahir ke dunia ini, mereka sangat menyayangi anaknya, anak Tuan Bagenda Ali, sungguh tampan, (ia) bernama Raden Muhamad.

64. Selama beliau memiliki anak, semua sanak keluarga dari yang laki-laki hingga perempuan, semua mengasihi, anaknya itu menawan hati, orang tua sekarang, mendengar Bagenda seperti itu, orang tua merasa sangat bahagia, kepada beliau Bgaendali, beliau diberikan tinggal di Esam.

65. Diberikan harta benda yang berlimpah, sekarang orang tua menyediakan, rumah untuk tempat tinggal, beliau sudah diberikan, seperti kehendak alam, beliau bertempat tinggal di Esam, lama sudah beliau di Esam, istri beliau hamil lagi, kemudian lahir anaknya, diberi nama Raden Amad.

66. Bagenda Ali merasa sangat bahagia, begitu juga dengan Sukaseni, keduanya meras a kasmaran, tidak diceritakan sudah lama, kembali Ida Sang Hyang Kawi, membuat banyak kisah, agar tercerahkan di bumi ini, dijadikan sebagai karangan cerita yang ditembangkan, saling mengasihi, kisah Hyang Suksma.

67. Sang Hyang Kawi menciptakan, kisah di bumi ini, para raji di dunia, satria brahmana semuanya, hingga ratu jin, semuanya diceritakan, semuanya menjadi suatu karangan, anugrah Yang Maha Pencipta, mengawali dikisahkan tentang Bagenda Ali.

68. Janji beliau berkelana, sekarang beliau akan moksa, meninggalnya lagi sebulan, sekarang sudah menuturkan, perkataan beliau manis, “Wahai adinda cantik yang aku sayangi, Sukaseni jiwa dan raga, kakanda sudah menepati janji, akan meninggalkan kamu untuk selamanya”.

69. “Sebagaimana jalan kakanda meninggalkan dunia ini, pada saat hari Jumat wuku Merakih, pada bulan November, pada tanggal tiga belas, meninggalkan dunia ini jika tidak diupacarai dengan baik dan benar, sebagaimana jalan kakanda mati, kembali ke alam keabadian, jaga diri adinda baik-baik, namun jangan sampai adinda meninggalkan anak-anak”.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

41

70. Istrinya berkata dengan hormat, “Wahai dewaku, mengapa cepat sekali menemukan ajal, belum puas saya mengabdikan diri, apalagi anak-anak masih kecil, janganlah paduka, tega akan meninggalkan mati”, menyungkemi sembari menangis, memeluk kakinya, kemudian Bagenda berkata.

71. Anaknya diambil dan dicium, “Emas permata ayahanda, semoga ananda mendapatkan kebahagiaan, diberkati oleh Hyang Widhi, menjadi ciptaan yang baik, mendapatkan anugrah dari Hyang Tuduh, memiliki keberanian di bumi, kasih sayang kepada Hyang Lewih, semoga, ananda mendapatkan kebahagiaan.

72. Sekarang sudah tidak di dunia nyata, lagi tiga hari dari sekarang, Bagenda pun mengatakan yang sebenarnya, kepada Anak Oda, “Anak Oda saa pamit, saya akan segera meninggalkan dunia ini, itulah janji saya, (semasih) hidup di dunia ini, saya pulang, menuju surganya Hyang Suksma”.

73. Anak Oda menjawab dengan halus, “ mengapa Tuan tega, meninggalkan anak untuk selamanya, anak masih kecil-kecil”, diah Sukaseni kembali menangis (sambil) merangkul kakinya, air matanya mengalir deras, menangis sejadi-jadinya, dan terus-menerus, baktinya kepada Bagenda.

74. Diceritakan saudara beliau, keduanya sudah datang, konon katanya yang tertua, bernama Bagenda Tuan, meninggalkan pertapaannya, pertapaan yang sangat lama, di Gunung Arga Sekar, bersama dengan seorang adiknya, yang sangat bijaksana, dan hanya mempunyai seorang anak.

75. Parasnya sangat cantik, bagaikan bidadari,yang berasal dari surga, bidadari yang turun, ke gunung yang sangat indah, tempat perkumpulan para dewa disana, bagaikan pertapaan Yang Maha Kuasa, semuanya senang bertapa, benar-benar menakjubkan, konon di Gunung Arga Sekar.

76. Kemudian Bagenda Suleman, beliau semua sudah datang, sampai di Kota Esam, melihat Tuan Bagenda Ali, semua temannya juga datang, dari yang laki-laki hingga yang perempuan, sekarang sudah tiba saatnya, beliau semuanya datang bersamaan, Bagenda Ali sudah datang.

77. Kelengkapan upakara untuk kematian, semuanya sudah siap sedia, konon caru dan kelangkapannya, daksina dan banten suci, dupa menyan dan astanggi, asapnya sudah mengepul, Bagenda sudah melaksanakan yadnya, berkonsentrasi, menyatukan pikiran, mencari jalan menuju kematian.

78. (Sekarang) sudah tidak di dunia nyata, Bagenda Ali meninggal dunia, ditutupi dengan kain sutra berwarna putih, dan bunga-bunga yang harum, diiringi dengan kidung kakawin, semuanya sudah selesai, sekarang dibawa ke kuburan, kemudian berjalan menuju ke kuburan, prosesi penguburan sudah selesai, Pupuh Dangdang Gula.

79. Diceritakan Ibu Pertiwi, setelah mendengar kematiannya Bagenda, sekarang berkeinginan untuk membalaskan, menantikan beliau dikubur, masuk ke dalam tanah, ingin beliau membalaskan, kemarahan beliau, sekarang sudah tiba, jasad itu baru diturunkan sekarang, lalu kuburannya tertutup.

80. Bagawan semua merasa terkejut melihatnya, Rsi Anwa Bagenda Suleman, merapalkan mantra, memuja Sang Hyang Ibu, datanglah Ibu Pertiwi, kemudian beliau berucap, perkataan beliau halus, “Wahai adikku Rsi Anwa, dan Suleman, saya sungguh tidak menerima, jasadnya Bagenda Ali” .

81. Yang menyebabkan aku tidak menerimanya, dahulu kala Bagenda Ali, sangat jahat hatinya, kamu berani memerasku, juga tidak berperasaan, itulah yang menyebabkan aku marah, aku tidak terima, terhadap dirimu,Bagenda Ali rakyatnya sekarang meninggalkan jasadnya, sampailah ia di matahari.

82. Sang Hyang Surya lalu berujar, “Bagenda kamu baru datang, kenapa kamu ada di sini?, Bagendali menjawab dengan halus, “Ya Ratu Sang Hyang Rawi, sekarang saya akan memberitahukan, beliauSang Hyang Ibu, sesungguhnya tidak menerima hamba, Sang Hyang Surya menjawab, “mengapa tidak diterima?”.

83. Bagenda Ali berucap dengan manis, “Dahulu kala hamba melihat seseorang, menangis di tengah jalan, hamba merasa kasihan dan membantunya, ia katanya menjual minak, gucinya terjatuh dan

Page 46: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

42

pecah, semua minyaknya tumpah, disanalah hamba mengambilkannya, minyaknya dan kemudian tanah itu hamba peras, gucinya pun kembali seperti sedia kala”.

84. “kemudian muncullah minyak dari dalam tanah, dan diwadahi dengan guci itu, seperti itulah awal mulanya, hamba memberitahukan yang sebenar-benarnya”, kemudian Sang Hyang Surya berkata, “Jika memang benar seperti itu, sekarang aku yang akan mengupacaraimu, kepada Hyang Pretiwi”, Bagenda Ali sekarang sudah moksa, sekarang sudah berganti cerita.

III Simpulan dan Saran 3.1 Simpulan

GBA merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali yang mencerminkan adanya akulturasi antara kebudayaan Hindu-Islam di Bali, namunkisah dalam teks GBA ini mengambil pemahaman dalam agama Hindu. Tidak terdapat penjelasan lebih mendalam lagi mengenai masuknya agama Islam ke dalam kebudayaan Hindu Bali, sehingga dapat disimpulkan bahwa GBA ini merupakan sebuah cerita rekaan yang tidak ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam, sebab dalam teks GBA dikisahkan bahwa seorang Bhagawan yang turun ke bumi, hidup menjadi satu dengan manusia, saling mengasihi satu sama lain. Beliau mewariskan ajaran agama Hindu.

Setelah diadakan kritik teks terhadap naskah GBA, seperti yang telah dipaparkan di atas, ternyata kesalahan salin/ tulis yang dimiliki oleh keempat naskah tersebut tidak sama. Naskah A memiliki kesalahan salin/ tulis, seperti: Substitusi (7), Adisi (5), Omisi (4) dan Lakuna (8). Jumlah keseluruhan kesalahan salin/tulis yang terdapat dalam naskah A yakni sebanyak 24. Kesalahan salin/tulis dalam naskah B, seperti: Substitusi (10), Adisi (5), Omisi (8), Lakuna (9), Transposisi (1), Transposisi Adisi (1) dan Korup (1). Jumlah keseluruhan sebanyak 35, Kesalahan salin/tulis dalam naskah C, yakni Substitusi (21), Adisi (8), Omisi (12), Lakuna (17), Haplografi (1), dan Korup (4). Jumlah keseluruhan sebanyak 63. Naskah D memiliki kesalahan salin/tulis sebanyak 458 yang terdiri atas, Substitusi (216), Adisi (140), Omisi (40), Lakuna (32), Interpolasi (22), Ditografi (2), Haplografi (1), Transposisi (1), Transposisi Substitusi (3) dan Korup (1). 3.2 Saran

Naskah GBA dapat dikatakan telah tersedia dengan baik dan setidak-tidaknya mendekati teks aslinya. GBA perlu ditelaah lebih mendalam lagi dari berbagai aspek, khususnya dari segi sastra, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah GBA ini dapat terungkap. Disamping itu pula, penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan penelitian ini.

Daftar Pustaka Tim Penyusun. 2014. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina

bahasa, Aksara dan Sastra Bali Provinsi Bali. Mulyono, dkk. 1980. “Sejarah Masuknya Islam di Bali”, Denpasar: Proyek Penelitian Pemda Tingkat

I Provinsi Bali. Ratna, I Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Strukturalisme hingga

Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baroroh Baried, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

43

KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN “ASU” DALAM PERSPEKTIF MITOLOG HINDU

Oleh

I Nyoman Duana Sutika Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

ABSTRAK

Asu dalam perspektif masyarakat Bali tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah (camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Dengan mengambil wujud asu sebagai binatang yang sangat setia pada tuannya, Batara Darma mengantar perjalanan Yudistira bersama istri dan saudara-saudaranya pergi menuju sorga. Begitu juga asu Sarameya dengat sifat kedewataan yang dimilikinya, ia lahir dari ibu bernama Sarama dan ayahnya bernama bagawan Pulaha. Selain itu asu menjadi sarana utama bagi umat Hindu di dalam melaksanakan upacara buta yadnya atau pacaruan. Sejak berabad-abad asu juga menjadi binatang peliharaan bagi masyarakat Bali, menjadi pengaman rumah dari gangguan binatang lainnya. Kata kunci: Asu, mitologi, kemuliaan I PENDAHULUAN

Keberadaan asu dalam mitologi Hindu tidak hanya dianggap sebagai anjing biasa, tetapi dalam perwujudannya mempunyai sifat-sifat mulia seperti manusia. Dalam keseharian hidup masyarakat (Bali khususnya), anjing menjadi binatang peliharaan kesayangan. Walaupun pada sisi lain ia juga menjadi musuh yang justru menjadi momok bagi masyarakat karena binatang yang satu ini sangat rentan menyebarkan virus rabies.

Keberadaannya selain menjadi teman, anjing umumnya sangat setia kepada tuannya, sebagai penjaga rumah, pengaman terhadap binatang liar yang masuk ke areal rumah tuannya. Sampai saat ini, anjing menjadi ikon bagi kebanyakan masyarakat Bali mengalahkan isu anjing sebagai momok pembawa virus rabies. Kebanyakan masyarakat tidak takut memelihara anjing, bahkan dalam jumlah lebih dari satu ekor. Keberadaan anjing (asu) dalam masyarakat Bali bukanlah hal baru, tetapi telah sejak lama menjadi sumber inspirasi di dalam kehidupan baik secara imanen dan transendental. Dalam mitologi Hindu seringkali binatang (asu) dijadikan ancangan (pelayan/abdi) yang dibedakan dengan anjing dalam kontek binatang peliharaan masyarakat Bali umumnya.

Ada konotasi/pemaknaan simbol yang berbeda ketika anjing disebut cicing (bahasa Bali kasar) karena lebih berkonotasi negatif, seperti anjing gila, anjing penyebar rabies, anjing pemakan kotoran manusia dan sebutan lainnya. Begitu juga sebutan cicing lebih banyak berkonotasi negatif, karena banyak kata /cicing/ dipakai untuk mengumpat atau menyampaikan kondisi dan situasi yang tidak kondusif, seperti cicing ci (anjing kamu), cicing berung (anjing yang terluka parah sehingga menjijikkan), nyicing singal (dikasi hati minta jantung), makuma cicing (anak yang kecilnya ganteng/cantik setelah besar berwajah bodo), dan lain-lain.

Walaupun asu (bahasa Bali alus) mempunyai imanensi yang sama dalam wujud anjing atau cicing (bahasa Bali kasar), tetapi sebutan asu mempunyai kedudukan atau konotasi berbeda sebagai binatang yang dimuliakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Perbedaan ragam bahasa sekaligus membedakan makna dan nilai rasa pada imanensi anjing sebagai cicing dan asu. Keberadaan asu dalam konteks ke-Hindu-an banyak ditampilkan baik dalam cerita, seperti Adiparwa (Mahabharata) dan cerita lainnya. Dalam kitab Adiparwa misalnya, asu hadir dalam cerita Sarameya, yaitu asu yang

Page 47: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

42

pecah, semua minyaknya tumpah, disanalah hamba mengambilkannya, minyaknya dan kemudian tanah itu hamba peras, gucinya pun kembali seperti sedia kala”.

84. “kemudian muncullah minyak dari dalam tanah, dan diwadahi dengan guci itu, seperti itulah awal mulanya, hamba memberitahukan yang sebenar-benarnya”, kemudian Sang Hyang Surya berkata, “Jika memang benar seperti itu, sekarang aku yang akan mengupacaraimu, kepada Hyang Pretiwi”, Bagenda Ali sekarang sudah moksa, sekarang sudah berganti cerita.

III Simpulan dan Saran 3.1 Simpulan

GBA merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali yang mencerminkan adanya akulturasi antara kebudayaan Hindu-Islam di Bali, namunkisah dalam teks GBA ini mengambil pemahaman dalam agama Hindu. Tidak terdapat penjelasan lebih mendalam lagi mengenai masuknya agama Islam ke dalam kebudayaan Hindu Bali, sehingga dapat disimpulkan bahwa GBA ini merupakan sebuah cerita rekaan yang tidak ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam, sebab dalam teks GBA dikisahkan bahwa seorang Bhagawan yang turun ke bumi, hidup menjadi satu dengan manusia, saling mengasihi satu sama lain. Beliau mewariskan ajaran agama Hindu.

Setelah diadakan kritik teks terhadap naskah GBA, seperti yang telah dipaparkan di atas, ternyata kesalahan salin/ tulis yang dimiliki oleh keempat naskah tersebut tidak sama. Naskah A memiliki kesalahan salin/ tulis, seperti: Substitusi (7), Adisi (5), Omisi (4) dan Lakuna (8). Jumlah keseluruhan kesalahan salin/tulis yang terdapat dalam naskah A yakni sebanyak 24. Kesalahan salin/tulis dalam naskah B, seperti: Substitusi (10), Adisi (5), Omisi (8), Lakuna (9), Transposisi (1), Transposisi Adisi (1) dan Korup (1). Jumlah keseluruhan sebanyak 35, Kesalahan salin/tulis dalam naskah C, yakni Substitusi (21), Adisi (8), Omisi (12), Lakuna (17), Haplografi (1), dan Korup (4). Jumlah keseluruhan sebanyak 63. Naskah D memiliki kesalahan salin/tulis sebanyak 458 yang terdiri atas, Substitusi (216), Adisi (140), Omisi (40), Lakuna (32), Interpolasi (22), Ditografi (2), Haplografi (1), Transposisi (1), Transposisi Substitusi (3) dan Korup (1). 3.2 Saran

Naskah GBA dapat dikatakan telah tersedia dengan baik dan setidak-tidaknya mendekati teks aslinya. GBA perlu ditelaah lebih mendalam lagi dari berbagai aspek, khususnya dari segi sastra, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah GBA ini dapat terungkap. Disamping itu pula, penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan penelitian ini.

Daftar Pustaka Tim Penyusun. 2014. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina

bahasa, Aksara dan Sastra Bali Provinsi Bali. Mulyono, dkk. 1980. “Sejarah Masuknya Islam di Bali”, Denpasar: Proyek Penelitian Pemda Tingkat

I Provinsi Bali. Ratna, I Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Strukturalisme hingga

Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baroroh Baried, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

43

KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN “ASU” DALAM PERSPEKTIF MITOLOG HINDU

Oleh

I Nyoman Duana Sutika Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

ABSTRAK

Asu dalam perspektif masyarakat Bali tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah (camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Dengan mengambil wujud asu sebagai binatang yang sangat setia pada tuannya, Batara Darma mengantar perjalanan Yudistira bersama istri dan saudara-saudaranya pergi menuju sorga. Begitu juga asu Sarameya dengat sifat kedewataan yang dimilikinya, ia lahir dari ibu bernama Sarama dan ayahnya bernama bagawan Pulaha. Selain itu asu menjadi sarana utama bagi umat Hindu di dalam melaksanakan upacara buta yadnya atau pacaruan. Sejak berabad-abad asu juga menjadi binatang peliharaan bagi masyarakat Bali, menjadi pengaman rumah dari gangguan binatang lainnya. Kata kunci: Asu, mitologi, kemuliaan I PENDAHULUAN

Keberadaan asu dalam mitologi Hindu tidak hanya dianggap sebagai anjing biasa, tetapi dalam perwujudannya mempunyai sifat-sifat mulia seperti manusia. Dalam keseharian hidup masyarakat (Bali khususnya), anjing menjadi binatang peliharaan kesayangan. Walaupun pada sisi lain ia juga menjadi musuh yang justru menjadi momok bagi masyarakat karena binatang yang satu ini sangat rentan menyebarkan virus rabies.

Keberadaannya selain menjadi teman, anjing umumnya sangat setia kepada tuannya, sebagai penjaga rumah, pengaman terhadap binatang liar yang masuk ke areal rumah tuannya. Sampai saat ini, anjing menjadi ikon bagi kebanyakan masyarakat Bali mengalahkan isu anjing sebagai momok pembawa virus rabies. Kebanyakan masyarakat tidak takut memelihara anjing, bahkan dalam jumlah lebih dari satu ekor. Keberadaan anjing (asu) dalam masyarakat Bali bukanlah hal baru, tetapi telah sejak lama menjadi sumber inspirasi di dalam kehidupan baik secara imanen dan transendental. Dalam mitologi Hindu seringkali binatang (asu) dijadikan ancangan (pelayan/abdi) yang dibedakan dengan anjing dalam kontek binatang peliharaan masyarakat Bali umumnya.

Ada konotasi/pemaknaan simbol yang berbeda ketika anjing disebut cicing (bahasa Bali kasar) karena lebih berkonotasi negatif, seperti anjing gila, anjing penyebar rabies, anjing pemakan kotoran manusia dan sebutan lainnya. Begitu juga sebutan cicing lebih banyak berkonotasi negatif, karena banyak kata /cicing/ dipakai untuk mengumpat atau menyampaikan kondisi dan situasi yang tidak kondusif, seperti cicing ci (anjing kamu), cicing berung (anjing yang terluka parah sehingga menjijikkan), nyicing singal (dikasi hati minta jantung), makuma cicing (anak yang kecilnya ganteng/cantik setelah besar berwajah bodo), dan lain-lain.

Walaupun asu (bahasa Bali alus) mempunyai imanensi yang sama dalam wujud anjing atau cicing (bahasa Bali kasar), tetapi sebutan asu mempunyai kedudukan atau konotasi berbeda sebagai binatang yang dimuliakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Perbedaan ragam bahasa sekaligus membedakan makna dan nilai rasa pada imanensi anjing sebagai cicing dan asu. Keberadaan asu dalam konteks ke-Hindu-an banyak ditampilkan baik dalam cerita, seperti Adiparwa (Mahabharata) dan cerita lainnya. Dalam kitab Adiparwa misalnya, asu hadir dalam cerita Sarameya, yaitu asu yang

Page 48: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

44

lahir dari ibu bernama Sarama dan ayah Bagawan Pulaha. Betapapun ia berwujud asu (anjing), tetapi dalam dirinya tercermin sifat-sifat mulia sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Begitu juga wujud asu dalam Suargarohana Parwa, asu sebagai perwujudan Batara Dharma yang setia mengantar Yudistira dan saudara-saudaranya menuju sorgaloka.

Dalam konteks yang berbeda, asu juga terdapat dalam Cerita Angling Dharma bersama kekuatan mistisnya, sebagai perwujudan Angling Dharma sendiri. Selebihnya asu adalah binatang yang amat penting fungsinya di dalam pelaksanaan upacara yadnya terutama untuk sarana upacara Buta yadnya (pacaruan). Perwujudan asu dalam berbagai perspektif inilah yang akan dirangkum dalam tulisan ini. II PEMBAHASAN 2.1 Asu Sarameya Dalam Cerita Adiparwa

Mitologi Sarameya ini diambil dari cerita Adiparwa ketika Maharaja Janamejaya melaksanakan atau melangsungkan korban suci di Kuruksetra. Saat itu ikut hadir Sang Srutasena untuk menyaksikan jalannya upacara korban suci tersebut. Pada saat upacara sedang berlangsung datanglah Sarameya, seekor anjing turut menyaksikan korban suci tersebut dari jarak yang cukup jauh. Oleh Sang Srutasena anjing tersebut dianggap sangat menggangu jalannya upacara sehingga ia memukul anjing tersebut. Anjing Sarameya lalu berlari meringis kesakitan meninggalkan tempat upacara dan mengadu pada ibunya Sarama, istri bagawan Pulaha akan keadaan dirinya yang dipukul oleh Srutasena, seperti teks berikut:

…,sedeng ning yadna ginawe, hana ta Sarameya, cwana milu manonton yadna nira, Katon pwa ya de sang Crutasena, pinalu nira ta ya ikang asu si Sarameya.

Terjemahan: …, ketika upacara korban suci sedang dilaksanakan, datanglah asu Sarameya, seekor anjing (asu) yang ikut menonton jalannya upacara. Dilihatlah oleh Sang Crutasena, lalu dipukulnya asu Saramera tersebut Ketika anaknya datang sambil meringis kesakitan, Sarama (ibunya) sangat marah dan tidak

terima anaknya dipukul oleh Srutasena hanya karena ikut menyaksikan jalannya upacara tersebut. Sarameya juga sama sekali tidak mengganggu jalannya upacara pesajian tersebut, apalagi sampai menjilati yang dapat mengotori persembahan tersebut, hanya melihat dari jarak yang cukup jauh. Untuk membalaskan sakit hatinya kepada Srutasena, Sarama lalu mengutuk agar korban suci yang dilakukan oleh Maharaja Janamejaya tidak bisa mengubah kutuk terhadap dirinya. Kekawatiran akan kutuk Sarama tersebut, Maharaja Janamejaya lalu minta bantuan dan perlindungan kepada Bagawan Srutasrawa yang dipercaya mampu menghindarkan dirinya dari kutuk Sarama.

Ada pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Bali bahwa betapapun anjing berkeliaran di tempat upacara, sebaiknya jangan pernah mengusir anjing tersebut secara kasar apalagi sampai memukulnya, karena diyakini akan menimbulkan kericuhan (biuta) bagi jalannya upacara yang dilakukan. Kenyataannya dalam setiap berlangsungnya upacara yadnya di Bali (pancayadnya: dewa yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, dan buta yadnya) tidak bisa dipungkiri akan datangnya anjing-anjing yang berkeliaran mencari makan. Hal ini tercermin pada keberadaan masyarakat pedesaan yang hampir setiap rumah memelihara anjing, sehingga ketika ada upacara yadnya beberapa anjing berebut datang ke tempat upacara tersebut.

Mitologi cerita Sarameya ini seakan menjadi pelajaran dan penghalang bagi seseorang bagi seseorang untuk secara kasar melakukan pemukulan atau kekerasan terhadap binatang terutama anjing karena dapat berakibat fatal. Pesan moralnya adalah bahwa siapapun tidak boleh merendahkan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

45

binatang atau wujud apapun apabila ia tidak mengganggu kenyamanan kita. Apalagi sampai menyakitinya yang kemudian tentu akan menimbulkan ketidakharmonisan karena ada yang tersakiti, walaupun ia dalam wujud anjing. Binatang dan segala jenis kehidupan lainnya diciptakan saling melengkapi antara satu dengan lainnya sehingga mempunyai hak hidup yang sama di hadapan Hyang Pencipta. Asu bukanlah perwujudan binatang buruk sehingga manusia bisa sewenang-wenang menganiaya, apalagi wujud asu dalam mitos ini hadir sebagai anak seorang bagawan Pulaha dan istrinya Sarama, tentu menginspirasi sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. 2.2 Asu dalam Suargarohana Parwa

Setelah menobatkan Pariksit sebagai raja Hastinapura, saatnya Panca Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, serta istrinya Dewi Draupadi meninggalkan kerajaan Hastinapura menuju Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra di puncak gunung Mahameru. Seekor anjing (asu) menyertai mereka dalam pengembaraan menuju ke gunung Mahameru. Siang malam mereka berjalan tak mengenal lelah.

Dalam cerita Suargarohana Parwa, tokoh asu sangat inten karena ia memegang peranan penting dalam mengantarkan langkah Yudistira beserta istri dan saudara-saudaranya menuju ke sorga. Asu dalam konteks cerita ini lebih bermakna filosofis bahwa kematian manusia atau seseorang akan senantiasa diikuti oleh buah pahala (pala karma) yang dilakukan sebelumnya (suba dan asuba karma). Apabila seseorang berbuat baik pada kehidupan di dunia ini maka niscaya ia menerima kebaikan menuju dunia keabadian. Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang banyak berbuat kejahatan maka akan menerima keburukan (neraka).

Dalam pandangan tradisi Hindu Nengah Medera menegaskan (hasil wawancara tanggal 26 Apri 2016) bahwa asu secara simbolisme adalah buah perbuatan kita diambil dari istilah suba dan asuba karma yang mengantarkan setiap orang menuju sorga. Asu (suba adan asuba karma) merupakan simbol buah perbuatan di dunia yang melekat atau terbawa dalam diri seseorang dan menjadi bekal menuju sorga. Hal inilah yang tergambar dalam perjalanan Yudistira/Dharmawangsa beserta istri dan saudara-saudaranya (panca pandawa). Ketika mulai mendaki gunung Mahameru, istri dan saudara-saudaranya satu persatu jatuh ke dalam jurang dan lenyap di telan bumi, karena tidak bertenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan. Diawali oleh jatuhnya Draupadi, menyusul Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima. Tinggal Yudistira dan anjing hitam (cicing selem) yang tetap setia mengiringi dalam perjalanan. Menurut Nengah Medera (hasil wawancara tanggal 26 April 2018) ini menjadi simbol bahwa kematian manusia terjadi lima kali dimulai Draupadi yang menandakan kematian nafsu dalam diri seseorang. Pada kenyataannya walaupun bersuami lima (panca pandawa), sesungguhnya Draupadi hanya menyintai Arjuna semata. Menyusul kematian Nakula dan Sahadewa sebagai simbol ketampanan dan kepercayaan diri dalam diri manusia. Kemudian disusul oleh kematian Arjuna sebagai simbol keberanian untuk mengalahkan musuh dan disusul oleh Bima sebagai simbol kekuatan (tenaga) fisik dalam diri seseorang. Ini berarti apabila unsur-unsur, seperti nafsu, ketampanan, ketidakpercayaan diri, keberanian dan tenaga sudah tidak ada lagi dalam diri manusia, niscaya ia telah mengalami kematian. Hanya Yudistira (Dharmawangsa) mampu melanjutkan perjalanan karena ia tidak terikat oleh kemelekatan duniawi.

Walaupun terasa sangat berat, Yudistira tidak urung meninggalkan saudara-saudara dan istrinya untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Mahameru. Tidak lama kemudian Yudistira sampai di puncak gunung Mahameru, sekaligus menjadi pintu menuju sorga. Kedatangan Yudistira disambut oleh Batara Indra dengan kereta kudanya. Yudistira dipersilahkan naik ke dalam keretanya, tetapi ia menolak sebelum mendapat keterangan tentang keberadaan Draupadi dan saudara-saudaranya. Batara Indra meyakinkan bahwa Draupadi dan saudara-saudaranya telah mendahului ke sorga.

Page 49: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

44

lahir dari ibu bernama Sarama dan ayah Bagawan Pulaha. Betapapun ia berwujud asu (anjing), tetapi dalam dirinya tercermin sifat-sifat mulia sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Begitu juga wujud asu dalam Suargarohana Parwa, asu sebagai perwujudan Batara Dharma yang setia mengantar Yudistira dan saudara-saudaranya menuju sorgaloka.

Dalam konteks yang berbeda, asu juga terdapat dalam Cerita Angling Dharma bersama kekuatan mistisnya, sebagai perwujudan Angling Dharma sendiri. Selebihnya asu adalah binatang yang amat penting fungsinya di dalam pelaksanaan upacara yadnya terutama untuk sarana upacara Buta yadnya (pacaruan). Perwujudan asu dalam berbagai perspektif inilah yang akan dirangkum dalam tulisan ini. II PEMBAHASAN 2.1 Asu Sarameya Dalam Cerita Adiparwa

Mitologi Sarameya ini diambil dari cerita Adiparwa ketika Maharaja Janamejaya melaksanakan atau melangsungkan korban suci di Kuruksetra. Saat itu ikut hadir Sang Srutasena untuk menyaksikan jalannya upacara korban suci tersebut. Pada saat upacara sedang berlangsung datanglah Sarameya, seekor anjing turut menyaksikan korban suci tersebut dari jarak yang cukup jauh. Oleh Sang Srutasena anjing tersebut dianggap sangat menggangu jalannya upacara sehingga ia memukul anjing tersebut. Anjing Sarameya lalu berlari meringis kesakitan meninggalkan tempat upacara dan mengadu pada ibunya Sarama, istri bagawan Pulaha akan keadaan dirinya yang dipukul oleh Srutasena, seperti teks berikut:

…,sedeng ning yadna ginawe, hana ta Sarameya, cwana milu manonton yadna nira, Katon pwa ya de sang Crutasena, pinalu nira ta ya ikang asu si Sarameya.

Terjemahan: …, ketika upacara korban suci sedang dilaksanakan, datanglah asu Sarameya, seekor anjing (asu) yang ikut menonton jalannya upacara. Dilihatlah oleh Sang Crutasena, lalu dipukulnya asu Saramera tersebut Ketika anaknya datang sambil meringis kesakitan, Sarama (ibunya) sangat marah dan tidak

terima anaknya dipukul oleh Srutasena hanya karena ikut menyaksikan jalannya upacara tersebut. Sarameya juga sama sekali tidak mengganggu jalannya upacara pesajian tersebut, apalagi sampai menjilati yang dapat mengotori persembahan tersebut, hanya melihat dari jarak yang cukup jauh. Untuk membalaskan sakit hatinya kepada Srutasena, Sarama lalu mengutuk agar korban suci yang dilakukan oleh Maharaja Janamejaya tidak bisa mengubah kutuk terhadap dirinya. Kekawatiran akan kutuk Sarama tersebut, Maharaja Janamejaya lalu minta bantuan dan perlindungan kepada Bagawan Srutasrawa yang dipercaya mampu menghindarkan dirinya dari kutuk Sarama.

Ada pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Bali bahwa betapapun anjing berkeliaran di tempat upacara, sebaiknya jangan pernah mengusir anjing tersebut secara kasar apalagi sampai memukulnya, karena diyakini akan menimbulkan kericuhan (biuta) bagi jalannya upacara yang dilakukan. Kenyataannya dalam setiap berlangsungnya upacara yadnya di Bali (pancayadnya: dewa yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, dan buta yadnya) tidak bisa dipungkiri akan datangnya anjing-anjing yang berkeliaran mencari makan. Hal ini tercermin pada keberadaan masyarakat pedesaan yang hampir setiap rumah memelihara anjing, sehingga ketika ada upacara yadnya beberapa anjing berebut datang ke tempat upacara tersebut.

Mitologi cerita Sarameya ini seakan menjadi pelajaran dan penghalang bagi seseorang bagi seseorang untuk secara kasar melakukan pemukulan atau kekerasan terhadap binatang terutama anjing karena dapat berakibat fatal. Pesan moralnya adalah bahwa siapapun tidak boleh merendahkan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

45

binatang atau wujud apapun apabila ia tidak mengganggu kenyamanan kita. Apalagi sampai menyakitinya yang kemudian tentu akan menimbulkan ketidakharmonisan karena ada yang tersakiti, walaupun ia dalam wujud anjing. Binatang dan segala jenis kehidupan lainnya diciptakan saling melengkapi antara satu dengan lainnya sehingga mempunyai hak hidup yang sama di hadapan Hyang Pencipta. Asu bukanlah perwujudan binatang buruk sehingga manusia bisa sewenang-wenang menganiaya, apalagi wujud asu dalam mitos ini hadir sebagai anak seorang bagawan Pulaha dan istrinya Sarama, tentu menginspirasi sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. 2.2 Asu dalam Suargarohana Parwa

Setelah menobatkan Pariksit sebagai raja Hastinapura, saatnya Panca Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, serta istrinya Dewi Draupadi meninggalkan kerajaan Hastinapura menuju Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra di puncak gunung Mahameru. Seekor anjing (asu) menyertai mereka dalam pengembaraan menuju ke gunung Mahameru. Siang malam mereka berjalan tak mengenal lelah.

Dalam cerita Suargarohana Parwa, tokoh asu sangat inten karena ia memegang peranan penting dalam mengantarkan langkah Yudistira beserta istri dan saudara-saudaranya menuju ke sorga. Asu dalam konteks cerita ini lebih bermakna filosofis bahwa kematian manusia atau seseorang akan senantiasa diikuti oleh buah pahala (pala karma) yang dilakukan sebelumnya (suba dan asuba karma). Apabila seseorang berbuat baik pada kehidupan di dunia ini maka niscaya ia menerima kebaikan menuju dunia keabadian. Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang banyak berbuat kejahatan maka akan menerima keburukan (neraka).

Dalam pandangan tradisi Hindu Nengah Medera menegaskan (hasil wawancara tanggal 26 Apri 2016) bahwa asu secara simbolisme adalah buah perbuatan kita diambil dari istilah suba dan asuba karma yang mengantarkan setiap orang menuju sorga. Asu (suba adan asuba karma) merupakan simbol buah perbuatan di dunia yang melekat atau terbawa dalam diri seseorang dan menjadi bekal menuju sorga. Hal inilah yang tergambar dalam perjalanan Yudistira/Dharmawangsa beserta istri dan saudara-saudaranya (panca pandawa). Ketika mulai mendaki gunung Mahameru, istri dan saudara-saudaranya satu persatu jatuh ke dalam jurang dan lenyap di telan bumi, karena tidak bertenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan. Diawali oleh jatuhnya Draupadi, menyusul Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima. Tinggal Yudistira dan anjing hitam (cicing selem) yang tetap setia mengiringi dalam perjalanan. Menurut Nengah Medera (hasil wawancara tanggal 26 April 2018) ini menjadi simbol bahwa kematian manusia terjadi lima kali dimulai Draupadi yang menandakan kematian nafsu dalam diri seseorang. Pada kenyataannya walaupun bersuami lima (panca pandawa), sesungguhnya Draupadi hanya menyintai Arjuna semata. Menyusul kematian Nakula dan Sahadewa sebagai simbol ketampanan dan kepercayaan diri dalam diri manusia. Kemudian disusul oleh kematian Arjuna sebagai simbol keberanian untuk mengalahkan musuh dan disusul oleh Bima sebagai simbol kekuatan (tenaga) fisik dalam diri seseorang. Ini berarti apabila unsur-unsur, seperti nafsu, ketampanan, ketidakpercayaan diri, keberanian dan tenaga sudah tidak ada lagi dalam diri manusia, niscaya ia telah mengalami kematian. Hanya Yudistira (Dharmawangsa) mampu melanjutkan perjalanan karena ia tidak terikat oleh kemelekatan duniawi.

Walaupun terasa sangat berat, Yudistira tidak urung meninggalkan saudara-saudara dan istrinya untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Mahameru. Tidak lama kemudian Yudistira sampai di puncak gunung Mahameru, sekaligus menjadi pintu menuju sorga. Kedatangan Yudistira disambut oleh Batara Indra dengan kereta kudanya. Yudistira dipersilahkan naik ke dalam keretanya, tetapi ia menolak sebelum mendapat keterangan tentang keberadaan Draupadi dan saudara-saudaranya. Batara Indra meyakinkan bahwa Draupadi dan saudara-saudaranya telah mendahului ke sorga.

Page 50: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

46

Setelah yakin bahwa Draupadi dan saudara-saudaranya telah mendahului berada di sorga barulah Yudistira merasa tenang. Ia kemudian naik bersama asu selem (anjing hitam) yang selalu menemaninya dalam perjalanan. Tetapi Batara Indra tidak mengijinkan anjing yang turut Yudistira pergi ke sorga. Yudistira kemudian turun dari kereta kuda Batara Indra karena tidak berniat untuk pergi ke sorga tanpa asu selem (anjing hitam), yang dari sejak awal telah menemani perjalanannya. Batara Indra merasa senang akan ketegasan Yudistira, sebab ia telah menunjukkan kasih sayang, kesetiaan dan loyalitas terhadap teman walau dalam wujud anjing (asu) sekalipun. Batara Indra kemudian mempersilakan Yudistira sekali lagi dan mengijinkan anjing hitam menyertai pergi ke sorga. Tetapi beberapa saat kemudian anjing itu lenyap, karena anjing tersebut ternyata perwujudan Batara Darma yang ditugaskan mengantar Yudistira ke sorga. Selanjutnya cerita berakhir setelah bersatunya kembali Yudistira dengan Draupadi dan saudara-saudaranya di sorga.

2.3 Penggunaan Asu dalam Caru dan Aspek Mistis Asu dalam Masyarakat Bali

Asu adalah salah satu dari sarana utama dalam pelaksanaan upacara macaru. Caru secara harfiah berarti cantik, harmonis, yang kemudian macaru secara singkat dapat diterjemahkan sebagai proses mempercantik atau menjadikan harmonis. Dengan demikian tujuan caru atau macaru adalah untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam berserta isinya sebagai akibat dari interaksi antara penghuni jagat raya ini. Dalam keyakinan Hindu Bali khususnya keadaan chaos atau ketidakseimbangan sering disebabkan oleh kemurkaan Bhutakala karena tidak mendapatkan persembahan sebagaimana mestinya.

Ada beberapa jenis binatang atau hewan yang dibenarkan untuk dipakai sarana caru, sebagaimana disebutkan dalam lontar Sudamala (dalam Swastika, 2009: 9-10) adalah hewan berkaki dua (dwi pada), seperti ayam, itik, dan angsa. Sedangkan yang tergolong hewan berkaki empat (suku pat/catur pada), seperti babi, kambing, sapi dan anjing (asu bang bungkem). Jenis hewan ini dalam keyakinan Hindu Bali dianggap sebagai satwa sudamala, yakni hewan yang dapat dijadikan sarana utama di dalam proses harmonisasi alam semesta. Caru manca sanak madurga atau caru manca walikrama misalnya, memang ditentukan harus dilengkapi dengan Asu Bang Bungkem.

Dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40-41 (Sudharta, 2004: 234) menyebutkan bahwa digunakannya hewan sebagai sarana upacara yadnya (caru/macaru) diyakini akan menguntungkan bagi hewan tersebut karena dalam kelahiran berikutnya akan mengalami kenaikan tingkat. Hanya pada kesempatan inilah binatang atau hewan tersebut mempunyai kesempatan untuk meningkatkan status dirinya menjadi mahluk yang lebih baik pada kelahiran yang akan datang. Dengan begitu, kitab Dharma Sastra ini membenarkan hewan untuk disembelih hanya pada saat ia dipakai sebagai sarana upacara yadnya (caru). Dalam keyakinan mistis masyarakat Bali, anjing (asu) adalah salah satu binatang yang sering menjadi polemik masyarakatnya. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa binatang atau hewan sering dianggap sebagai perwujudan manusia bagi penekun ilmu kawisesan/ilmu magik (ngleak). Selain anjing (asu), binatang seperti monyet (bojog), kambing, dan babi (celeng/bangkal) dianggap perwujudan mistis tingkat awal bagi penekun ilmu magik. Dengan demikian tidak jarang orang Bali menyebut leak dalam wujudnya sebagai monyet, kambing, dan babi, konon secara kasat mata muncul di kegelapan malam. Umumnya leak dalam wujud ini, disebut leak pamoroan yang perlakuannya sangat suka mengganggu, menjahili, dan bahkan menyakiti orang sekitar. Tetapi ilmu magik (leak) yang telah mencapai tingkat tinggi (tertinggi) disebut leak sari (ngisep sari) konon justru dapat menolong orang yang terkena penyakit. Leak pamoroan dalam wujudnya sebagai anjing (cicing gudig) secara hirarki didudukkan pada tingkat atau level yang sangat tinggi yakni tingkat sebelas, sebagaimana Subagia (2011: 202) menyebutnya cambra berag, yaitu leak dalam perwujudan anjing gudig (cicing gudig). Tetapi anjing dalam wujud seperti ini sering hanya merupakan bahasa “kone”(konon), sebatas wacana (proyeksi)

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

47

yang realitasnya hampir tidak pernah ditemui. Dengan demikian masyarakat Bali telah terkooptasi oleh wujud anjing trasendental pada level yang lebih tinggi dari binatang/hewan lainnya. Menandakan bahwa orang Bali tidak menganggap anjing hanya sebagai binatang peliharaan (imanen), tetapi ia mampu memberikan inspirasi mistis (transcendental) yang ditakuti dan menjadi momok bagi manusia. Selain menjadi binatang peliharaan, anjing juga diproyeksi dalam level mistis yang tinggi walaupun dalam wujud yang sangat kontradiktif, yakni anjing gudig (cicing gudig).

Berbeda dengan perwujudan anjing dalam Cerita Angling Dharma yang kental berbau mistis, bahwa dalam wujudnya sebagai asu (anjing), Angling Dharma mampu menembus kegelapan malam untuk mencari tahu kepergian kedua istrinya Widata dan Widati. Angling Dharma menduga istrinya memiliki ilmu magik sehingga bisa dipastikan kepergiannya menuju kuburan (setra). Kuburan (setra/sema) secara awam dianggap sebagai pusat sumbernya ilmu magik yang konon anugrah itu diberikan oleh Bhatara Durga. Padahal secara filosofis kuburan senyatanya dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu, bukan tempat kotor sebagaimana analog masyarakat awam.

Dengan mengambil wujud asu, Angling Dharma mengikuti jejak kedua istrinya (dalam wujud menyeramkan) yang kemudian dilihatnya sedang berpesta pora menikmati lezatnya mayat bayi yang baru diangkat dari kuburnya. Angling Dharma berwujud anjing mendekati kedua istrinya berpura-pura minta jatah makanan. Benar saja, ia diberikan bagian, karena sedikitpun istrinya tidak curiga bahwa asu tersebut adalah perwujudan Angling Dharma. III Simpulan

Dalam wujud yang sama sebutan cicing dan asu dipersepsi berbeda oleh masyarakat Bali. Cicing lebih berkonotasi destruktif (negatif) dan asu dianggap sebagai binatang mulia. Tidak semata-mata oleh pemaknaan dalam ragam bahasa, tetapi lebih pada nilai-nilai filosofi dan fungsi asu bagi kehidupan masyarakat (Bali) umumnya. Asu tidak hanya sebagai binatang, tetapi menyatu dalam manifestasi Tuhan (sebagai batara Darma), dan juga mewujud sebagai anak manusia (Sarama dan bagawan Pulaha). Selain itu asu juga menjadi sarana penting dalam pelaksanaan ritual Hindu di Bali khususnya.

Daftar Pustaka Manuaba, I Gede Sugata Yadnya. 2017.Caru Pemali Sajeroning Pekarangan Panes. Denpasar:

Pustaka Bali Post Pendit, Nyoman S.. 1980. Mahabharata Sebuah Perang Dasyat di Medan Kurukshetra. Jakarta:

Bhratara Karya Aksara. Subagia, Jro Mangku Made. 2011. Menyingkap Tabir Leak. Denpasar: PT. Pustaka Manik Geni Swastika, I Ketut Pasek. 2009. Caru. Denpasar: CV. Kayu Mas Agung

Page 51: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

46

Setelah yakin bahwa Draupadi dan saudara-saudaranya telah mendahului berada di sorga barulah Yudistira merasa tenang. Ia kemudian naik bersama asu selem (anjing hitam) yang selalu menemaninya dalam perjalanan. Tetapi Batara Indra tidak mengijinkan anjing yang turut Yudistira pergi ke sorga. Yudistira kemudian turun dari kereta kuda Batara Indra karena tidak berniat untuk pergi ke sorga tanpa asu selem (anjing hitam), yang dari sejak awal telah menemani perjalanannya. Batara Indra merasa senang akan ketegasan Yudistira, sebab ia telah menunjukkan kasih sayang, kesetiaan dan loyalitas terhadap teman walau dalam wujud anjing (asu) sekalipun. Batara Indra kemudian mempersilakan Yudistira sekali lagi dan mengijinkan anjing hitam menyertai pergi ke sorga. Tetapi beberapa saat kemudian anjing itu lenyap, karena anjing tersebut ternyata perwujudan Batara Darma yang ditugaskan mengantar Yudistira ke sorga. Selanjutnya cerita berakhir setelah bersatunya kembali Yudistira dengan Draupadi dan saudara-saudaranya di sorga.

2.3 Penggunaan Asu dalam Caru dan Aspek Mistis Asu dalam Masyarakat Bali

Asu adalah salah satu dari sarana utama dalam pelaksanaan upacara macaru. Caru secara harfiah berarti cantik, harmonis, yang kemudian macaru secara singkat dapat diterjemahkan sebagai proses mempercantik atau menjadikan harmonis. Dengan demikian tujuan caru atau macaru adalah untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam berserta isinya sebagai akibat dari interaksi antara penghuni jagat raya ini. Dalam keyakinan Hindu Bali khususnya keadaan chaos atau ketidakseimbangan sering disebabkan oleh kemurkaan Bhutakala karena tidak mendapatkan persembahan sebagaimana mestinya.

Ada beberapa jenis binatang atau hewan yang dibenarkan untuk dipakai sarana caru, sebagaimana disebutkan dalam lontar Sudamala (dalam Swastika, 2009: 9-10) adalah hewan berkaki dua (dwi pada), seperti ayam, itik, dan angsa. Sedangkan yang tergolong hewan berkaki empat (suku pat/catur pada), seperti babi, kambing, sapi dan anjing (asu bang bungkem). Jenis hewan ini dalam keyakinan Hindu Bali dianggap sebagai satwa sudamala, yakni hewan yang dapat dijadikan sarana utama di dalam proses harmonisasi alam semesta. Caru manca sanak madurga atau caru manca walikrama misalnya, memang ditentukan harus dilengkapi dengan Asu Bang Bungkem.

Dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40-41 (Sudharta, 2004: 234) menyebutkan bahwa digunakannya hewan sebagai sarana upacara yadnya (caru/macaru) diyakini akan menguntungkan bagi hewan tersebut karena dalam kelahiran berikutnya akan mengalami kenaikan tingkat. Hanya pada kesempatan inilah binatang atau hewan tersebut mempunyai kesempatan untuk meningkatkan status dirinya menjadi mahluk yang lebih baik pada kelahiran yang akan datang. Dengan begitu, kitab Dharma Sastra ini membenarkan hewan untuk disembelih hanya pada saat ia dipakai sebagai sarana upacara yadnya (caru). Dalam keyakinan mistis masyarakat Bali, anjing (asu) adalah salah satu binatang yang sering menjadi polemik masyarakatnya. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa binatang atau hewan sering dianggap sebagai perwujudan manusia bagi penekun ilmu kawisesan/ilmu magik (ngleak). Selain anjing (asu), binatang seperti monyet (bojog), kambing, dan babi (celeng/bangkal) dianggap perwujudan mistis tingkat awal bagi penekun ilmu magik. Dengan demikian tidak jarang orang Bali menyebut leak dalam wujudnya sebagai monyet, kambing, dan babi, konon secara kasat mata muncul di kegelapan malam. Umumnya leak dalam wujud ini, disebut leak pamoroan yang perlakuannya sangat suka mengganggu, menjahili, dan bahkan menyakiti orang sekitar. Tetapi ilmu magik (leak) yang telah mencapai tingkat tinggi (tertinggi) disebut leak sari (ngisep sari) konon justru dapat menolong orang yang terkena penyakit. Leak pamoroan dalam wujudnya sebagai anjing (cicing gudig) secara hirarki didudukkan pada tingkat atau level yang sangat tinggi yakni tingkat sebelas, sebagaimana Subagia (2011: 202) menyebutnya cambra berag, yaitu leak dalam perwujudan anjing gudig (cicing gudig). Tetapi anjing dalam wujud seperti ini sering hanya merupakan bahasa “kone”(konon), sebatas wacana (proyeksi)

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

47

yang realitasnya hampir tidak pernah ditemui. Dengan demikian masyarakat Bali telah terkooptasi oleh wujud anjing trasendental pada level yang lebih tinggi dari binatang/hewan lainnya. Menandakan bahwa orang Bali tidak menganggap anjing hanya sebagai binatang peliharaan (imanen), tetapi ia mampu memberikan inspirasi mistis (transcendental) yang ditakuti dan menjadi momok bagi manusia. Selain menjadi binatang peliharaan, anjing juga diproyeksi dalam level mistis yang tinggi walaupun dalam wujud yang sangat kontradiktif, yakni anjing gudig (cicing gudig).

Berbeda dengan perwujudan anjing dalam Cerita Angling Dharma yang kental berbau mistis, bahwa dalam wujudnya sebagai asu (anjing), Angling Dharma mampu menembus kegelapan malam untuk mencari tahu kepergian kedua istrinya Widata dan Widati. Angling Dharma menduga istrinya memiliki ilmu magik sehingga bisa dipastikan kepergiannya menuju kuburan (setra). Kuburan (setra/sema) secara awam dianggap sebagai pusat sumbernya ilmu magik yang konon anugrah itu diberikan oleh Bhatara Durga. Padahal secara filosofis kuburan senyatanya dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu, bukan tempat kotor sebagaimana analog masyarakat awam.

Dengan mengambil wujud asu, Angling Dharma mengikuti jejak kedua istrinya (dalam wujud menyeramkan) yang kemudian dilihatnya sedang berpesta pora menikmati lezatnya mayat bayi yang baru diangkat dari kuburnya. Angling Dharma berwujud anjing mendekati kedua istrinya berpura-pura minta jatah makanan. Benar saja, ia diberikan bagian, karena sedikitpun istrinya tidak curiga bahwa asu tersebut adalah perwujudan Angling Dharma. III Simpulan

Dalam wujud yang sama sebutan cicing dan asu dipersepsi berbeda oleh masyarakat Bali. Cicing lebih berkonotasi destruktif (negatif) dan asu dianggap sebagai binatang mulia. Tidak semata-mata oleh pemaknaan dalam ragam bahasa, tetapi lebih pada nilai-nilai filosofi dan fungsi asu bagi kehidupan masyarakat (Bali) umumnya. Asu tidak hanya sebagai binatang, tetapi menyatu dalam manifestasi Tuhan (sebagai batara Darma), dan juga mewujud sebagai anak manusia (Sarama dan bagawan Pulaha). Selain itu asu juga menjadi sarana penting dalam pelaksanaan ritual Hindu di Bali khususnya.

Daftar Pustaka Manuaba, I Gede Sugata Yadnya. 2017.Caru Pemali Sajeroning Pekarangan Panes. Denpasar:

Pustaka Bali Post Pendit, Nyoman S.. 1980. Mahabharata Sebuah Perang Dasyat di Medan Kurukshetra. Jakarta:

Bhratara Karya Aksara. Subagia, Jro Mangku Made. 2011. Menyingkap Tabir Leak. Denpasar: PT. Pustaka Manik Geni Swastika, I Ketut Pasek. 2009. Caru. Denpasar: CV. Kayu Mas Agung

Page 52: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

48

PEMAKAIAN BAHASA BALI PADA BUKU AJAR BAHASA BALI SMTP DI BALI: KAJIAN SOSOLINGUISTIK

Oleh

I Nyoman Darsana dan I Wayan Suteja Program Studi Sastra Bali, Fakultas ilmu Budaya, Universtas Udayana

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Luaran Penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada Buku Ajar bahasa Bali di SMP. Hasil penelitian ini ke depannya diharapkan dapat melakukan perbaikan terhadap Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP sehingga Buku Ajar yang diajarkan menjadi lebih sempurna. Mengingat luasnya penelityian ini maka luarannya hanya akan membahas tujuan ke tiga dan keempat

Penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data adalah data tulis untuk mengamati bahasa Bali yang digunakan pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMP di Bali.Data lisan diperoleh dariguru-guru pengajar bahasa Bali di SMP di Bali. Untuk mengumpulkan data digunakan metode simak dan cakap, dibantu teknik catat dan rekam; data dianalisis dengan metode agih dan distribusional dibantu teknik substitusi, permutasi, perubahan bentuk, dan delisi. Analisis data disajikan dengan metode formal dan informal, dibantu teknik induktif dan deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwapenyimpangan-penyimpangan dapat terjadi pada (1) tata cara penulisan (tidak sesuai dengan aturan Ejaan Penulisan Bahasa Bali yang Disempurnakan. (2) Penyimpangan gramatika dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. (3) Penyimpangan pada penggunaan Anggah-Ungguhing Basa Bali. Kata kunci: pemakaian, bahasa Bali, buku ajar, dan sosiolinguistik

I PENDAHULUAN

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang masih hidup dan berkembang.Dengan kemajuan jaman dikhawatirkan bahasa Bali lebih berkurang pemakainya.Oleh karena itu perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan bahasa Bali sampai pada aspek yang sekecil-kecilnya agar terinventarisasi segala keaspekan bahasa Bali.Sampai saat ini banyak penelitian yang dilakukan terhadap bahasa Bali.Penelitian itu meliputi mikrolinguistik, makrolinguistik, dan linguistik terapan.Walaupun demikian bukan berarti masalah bahasa Bali tidak ada yang perlu diteliti lagi, tetapi sesungguhnya banyak masalah bahasa Bali yang perlu diteliti lagi karena bahasa Bali sangat kaya dengan khasanah kelinguistikan. Di samping itu, khusus mengenai pengajaran bahasa Bali merupakan hal yang sangat penting untuk diteliti karena hasilnya dapat digunakan untuk melakukan pembenahan terhadap Buku Ajar di kemudian hari.

Buku ajar merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang dicanangkan pemerintah. Salah satunya adalah Buku Ajar Bahasa Bali dari tingkat SD–SLTA.Namunkenyataannya, pada saat dilakukan pengabdian kepada masyarakat khususnya terhadap Guru-Guru bahasa Bali, di beberapa tempat sering guru-guru mengeluhkan karena isi bukunya tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, akan diteliti Buku Ajar Bahasa Bali di SMP. Penelitian dilakukan terhadap Buku Ajar SMP karena peta jalan penelitian program Studi Satra Bali tahun 2018 merencanakan pengajaran bahasa Bali SMP dan SMTA. Jadi Buku Ajar SD tidak tercakup. Di samping itu, penelitian akan dilakukan bertahap. Tahun 2019 jika ada dana akan dilanjutkan menelitian Buku Ajar bahasa Bali di SMTA.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

49

Sehubungan dengan Buku Ajar di SMTP di seluruh Bali tidak sama maka penelitian ini di samping peneliti mencari sendiri data dalam buku ajar juga akan ditanyakan kepada pengajar sekiranya ada hal-hal yang tidak sesuai dengan sistematika dan kaidah bahasa Bali. Di samping itu, ditanyakan sikap guru terhadap penyimpangan-penyimpangan jika ditemukan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka banyak masalah yang timbul. Akan tetapi dalam luaran ini hanya diangkat satu permasalahan, yaitu penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah-kaidah gramatika dan Anggah-Ungguhing Basa pada Buku Ajar bahasa Bali di SMTP di Bali? Luaran Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada Buku Ajar bahasa Bali di SMP Hasil penelitian ini ke depannya diharapkan dapat melakukan perbaikan terhadap Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP sehingga Buku Ajar yang diajarkan menjadi lebih sempurna.

II TEORI, SIFAT PENELITIAN, SUMBER DATA, SERTA METODE DAN

TEKNIK PENELITIAN Untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang dicapai dalam penelitian ini

digunakan teori sosiolinguitik. Secara sosiolinguistik, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor sosial ragam pemakainnya. Halliday dan Ruqaiya Hassan (1994: 56) menyebut dengan istilah register, dimana dijelaskan bahwa register adalah variasi bahasa berdasarkan ragam pemakaainnya, misalnya pemakaian bahasa dalam ranah tertentu, seperti dalam ranah resmi, ranah tidak resmi, ranah adat-istiadat, dan sebagainya. Nababan (1991: 2) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khusunya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan.

Pendapat-pendapat tentang sosiolinguistik di atas pada prinsipnya adalah sama, perbedaannya hanya terletak pada redaksinya saja. Karena dalam penelitian ini akan melihat pemakaian bahasaBali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP yang dikaitkan dengan ragam pemakaian bahasa Bali berdasarkan anggah-ungguhing basa, maka digunakan teori sosiolinguistik. Populasi yang merupakan sumber data adalah Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali dan Guru-guru pengajar bahasa Bali di SMTP di Bali; sedangkan Buku Ajar bahasa Bali dan guu pengajar bahasa Bali di luar Bali tidak menjadi populasi dalam penelitian ini.

Sumber data dalam penelitian ini semuanya berupa sumber data primer karena semua data harus didapatkan sendiri baik dari sumber data tertulis maupun lisan dari guru-guru. Sumber data tulis digunakan Buku Ajar yang berjudul Bahasa Bali Pangkaja Sastra untuk kelas tujuh, delapan, dan sembilan; sedangkan untuk informan lisan diperoleh dari guru-guru bahasa Bali di SMTP di seluruh Bali. Masing-masing kabupaten diambil dua orang sebagai sampel. Sampel diambil secara acak. Dengan demikian sumber data lisan diambil dari 18 orang Guru.

Penelitian ini bersifat kualitatif yang berdasarkan fenomenologi . Fenomenologi dipakai karena karena pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali dilihat sebagai sebuah kenyataan. Itu berarti bahwa pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali dikaji berdasarkan kenyataan yang ada dan dikaji juga berdasarkan kenyataan yang ada (Muhajir, 1998: 83—85) .

Penelitian ini menggunakan metode pustaka dan metode lapangan. Itu berarti peneliti selain menyimak Buku Ajar SMTP di Bali juga langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data pada guru-guru bahasa Bali di SMTP di Bali. Metode ini lebih lanjut dapat dijabarkan menjadi metode simak dan metode cakap (khususnya cakap semuka) (Sudaryanto, 1988: 2—9; Mahsun: 2007: 92--96). Bungin (2008: 1008—115) menyebut dengan istilah observasi untuk metode simak dan wawancara untuk istilah metode cakap (cakap semuka).

Metode simak dilakukan dengan cara menyimak Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali secara langsung. Karena menyimak naskah maka teknik yang dibutuhkan hanya teknik catat.

Page 53: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

48

PEMAKAIAN BAHASA BALI PADA BUKU AJAR BAHASA BALI SMTP DI BALI: KAJIAN SOSOLINGUISTIK

Oleh

I Nyoman Darsana dan I Wayan Suteja Program Studi Sastra Bali, Fakultas ilmu Budaya, Universtas Udayana

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Luaran Penelitian ini bertujuan: 1) untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada Buku Ajar bahasa Bali di SMP. Hasil penelitian ini ke depannya diharapkan dapat melakukan perbaikan terhadap Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP sehingga Buku Ajar yang diajarkan menjadi lebih sempurna. Mengingat luasnya penelityian ini maka luarannya hanya akan membahas tujuan ke tiga dan keempat

Penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data adalah data tulis untuk mengamati bahasa Bali yang digunakan pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMP di Bali.Data lisan diperoleh dariguru-guru pengajar bahasa Bali di SMP di Bali. Untuk mengumpulkan data digunakan metode simak dan cakap, dibantu teknik catat dan rekam; data dianalisis dengan metode agih dan distribusional dibantu teknik substitusi, permutasi, perubahan bentuk, dan delisi. Analisis data disajikan dengan metode formal dan informal, dibantu teknik induktif dan deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwapenyimpangan-penyimpangan dapat terjadi pada (1) tata cara penulisan (tidak sesuai dengan aturan Ejaan Penulisan Bahasa Bali yang Disempurnakan. (2) Penyimpangan gramatika dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. (3) Penyimpangan pada penggunaan Anggah-Ungguhing Basa Bali. Kata kunci: pemakaian, bahasa Bali, buku ajar, dan sosiolinguistik

I PENDAHULUAN

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang masih hidup dan berkembang.Dengan kemajuan jaman dikhawatirkan bahasa Bali lebih berkurang pemakainya.Oleh karena itu perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan bahasa Bali sampai pada aspek yang sekecil-kecilnya agar terinventarisasi segala keaspekan bahasa Bali.Sampai saat ini banyak penelitian yang dilakukan terhadap bahasa Bali.Penelitian itu meliputi mikrolinguistik, makrolinguistik, dan linguistik terapan.Walaupun demikian bukan berarti masalah bahasa Bali tidak ada yang perlu diteliti lagi, tetapi sesungguhnya banyak masalah bahasa Bali yang perlu diteliti lagi karena bahasa Bali sangat kaya dengan khasanah kelinguistikan. Di samping itu, khusus mengenai pengajaran bahasa Bali merupakan hal yang sangat penting untuk diteliti karena hasilnya dapat digunakan untuk melakukan pembenahan terhadap Buku Ajar di kemudian hari.

Buku ajar merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang dicanangkan pemerintah. Salah satunya adalah Buku Ajar Bahasa Bali dari tingkat SD–SLTA.Namunkenyataannya, pada saat dilakukan pengabdian kepada masyarakat khususnya terhadap Guru-Guru bahasa Bali, di beberapa tempat sering guru-guru mengeluhkan karena isi bukunya tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, akan diteliti Buku Ajar Bahasa Bali di SMP. Penelitian dilakukan terhadap Buku Ajar SMP karena peta jalan penelitian program Studi Satra Bali tahun 2018 merencanakan pengajaran bahasa Bali SMP dan SMTA. Jadi Buku Ajar SD tidak tercakup. Di samping itu, penelitian akan dilakukan bertahap. Tahun 2019 jika ada dana akan dilanjutkan menelitian Buku Ajar bahasa Bali di SMTA.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

49

Sehubungan dengan Buku Ajar di SMTP di seluruh Bali tidak sama maka penelitian ini di samping peneliti mencari sendiri data dalam buku ajar juga akan ditanyakan kepada pengajar sekiranya ada hal-hal yang tidak sesuai dengan sistematika dan kaidah bahasa Bali. Di samping itu, ditanyakan sikap guru terhadap penyimpangan-penyimpangan jika ditemukan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka banyak masalah yang timbul. Akan tetapi dalam luaran ini hanya diangkat satu permasalahan, yaitu penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah-kaidah gramatika dan Anggah-Ungguhing Basa pada Buku Ajar bahasa Bali di SMTP di Bali? Luaran Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada Buku Ajar bahasa Bali di SMP Hasil penelitian ini ke depannya diharapkan dapat melakukan perbaikan terhadap Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP sehingga Buku Ajar yang diajarkan menjadi lebih sempurna.

II TEORI, SIFAT PENELITIAN, SUMBER DATA, SERTA METODE DAN

TEKNIK PENELITIAN Untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang dicapai dalam penelitian ini

digunakan teori sosiolinguitik. Secara sosiolinguistik, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor sosial ragam pemakainnya. Halliday dan Ruqaiya Hassan (1994: 56) menyebut dengan istilah register, dimana dijelaskan bahwa register adalah variasi bahasa berdasarkan ragam pemakaainnya, misalnya pemakaian bahasa dalam ranah tertentu, seperti dalam ranah resmi, ranah tidak resmi, ranah adat-istiadat, dan sebagainya. Nababan (1991: 2) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khusunya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan.

Pendapat-pendapat tentang sosiolinguistik di atas pada prinsipnya adalah sama, perbedaannya hanya terletak pada redaksinya saja. Karena dalam penelitian ini akan melihat pemakaian bahasaBali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP yang dikaitkan dengan ragam pemakaian bahasa Bali berdasarkan anggah-ungguhing basa, maka digunakan teori sosiolinguistik. Populasi yang merupakan sumber data adalah Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali dan Guru-guru pengajar bahasa Bali di SMTP di Bali; sedangkan Buku Ajar bahasa Bali dan guu pengajar bahasa Bali di luar Bali tidak menjadi populasi dalam penelitian ini.

Sumber data dalam penelitian ini semuanya berupa sumber data primer karena semua data harus didapatkan sendiri baik dari sumber data tertulis maupun lisan dari guru-guru. Sumber data tulis digunakan Buku Ajar yang berjudul Bahasa Bali Pangkaja Sastra untuk kelas tujuh, delapan, dan sembilan; sedangkan untuk informan lisan diperoleh dari guru-guru bahasa Bali di SMTP di seluruh Bali. Masing-masing kabupaten diambil dua orang sebagai sampel. Sampel diambil secara acak. Dengan demikian sumber data lisan diambil dari 18 orang Guru.

Penelitian ini bersifat kualitatif yang berdasarkan fenomenologi . Fenomenologi dipakai karena karena pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali dilihat sebagai sebuah kenyataan. Itu berarti bahwa pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali dikaji berdasarkan kenyataan yang ada dan dikaji juga berdasarkan kenyataan yang ada (Muhajir, 1998: 83—85) .

Penelitian ini menggunakan metode pustaka dan metode lapangan. Itu berarti peneliti selain menyimak Buku Ajar SMTP di Bali juga langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data pada guru-guru bahasa Bali di SMTP di Bali. Metode ini lebih lanjut dapat dijabarkan menjadi metode simak dan metode cakap (khususnya cakap semuka) (Sudaryanto, 1988: 2—9; Mahsun: 2007: 92--96). Bungin (2008: 1008—115) menyebut dengan istilah observasi untuk metode simak dan wawancara untuk istilah metode cakap (cakap semuka).

Metode simak dilakukan dengan cara menyimak Buku Ajar Bahasa Bali di SMTP di Bali secara langsung. Karena menyimak naskah maka teknik yang dibutuhkan hanya teknik catat.

Page 54: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

50

Metode cakap dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan guru-guru bahasa Bali di SMTP di Bali. Metode cakap ini memakai teknik pancing sebagai teknik dasar. Teknik pancing dilakukan dengan cara peneliti memancing informan agar mau berbicara. Teknik lanjutan metode cakap adalah teknik cakap semuka dilakukan dengan percakapan langsung/tatap muka.

Dalam tahapan penganalisisan data, penelitian ini menggunakan metode distribusional (Sudaryanto, 1993: 13—30; bandingkan dengan Djajasudarma, 1993b: 58; dan Mahsun, 2005: 120—122). Penerapan metode distribusional karena masalah yang dikaji berhubungan dengan bahasa yang bersangkutan.Penerapan metode distribuional diuraikan berikut ini. Metode distribusional yang sering juga disebut metode agih menurut Sudaryanto (1993: 15) dan Djajasudarma (2006: 69) adalah metode yang menggunakan alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang dikaji.Dalam analisis data, metode agih dibantu oleh dua tingkatan teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan yang diaplikasikan pada data yang diteliti (Sudaryanto (1993: 31—100).

Metode yang dipakai dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode formal dan informa. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.Hal ini dipakai demi keefisienan dan kesistematisan.Metode informal adalah penyajian hasil analisis dengan untaian kata-kata biasa agar penjelasannya terurai dan terinci (Sudaryanto, 1993: 45). Metode ini diterapkan demi kejelasan dan kemudahan pemahaman. Metode penyajian ini dibantu dengan teknik penyajian (pola pikir) induktif dan deduktif yang dipakai secara berkombinasi.

III PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA BUKU

AJAR BAHASA BALI DI SMTP Penyimpangan-penyimpangan pemakaian bahasa Bali pada Teks Buku Ajar bahasa Bali dikelompokkan menjadi: (1) penyimpangan tata cara penulisan; (2) penyimpangan gramatikal terdiri atas penyimpangan fonologis, morfologis, dan sintaksis; (3) penyimpangan pemakaian kosa kata, dan (4) dan penyimpangan pemakaian anggah-ungguhing basa Bali. Masing-masing uraiannya disajikan berikut ini. Penyimpangan Tata Cara Penulisan

Penyimpangan pada tata cara penulisan dapat dilihat pada beberapa data yang disajikan berikut ini. Data (1): (1a) “sampunkauningin antuk ida dane sareng sami, wantah basa,aksara miwah sastra Bali

punika,….”, “…basa Bali nénten dados ngreredang, utawiajrihring….” (PS 8,hal: 67 ) 'Sudah diketahui oleh semua orang, hanya bahasa, aksara, dan sastra Bali itu .....'. ....bahasa

Bali tidak boleh melemah, atau kalah di ........ (1b) ......antuk pamiteges saking tanda – tanda diakritiksane magenah ..... (PS8, hal. 28, al.2 '.......tentang arti dari tanda-tanda diakritik yang berada ........ (1c) Gelisang satua, sekadi sane sampun – sampundi Badung .... (PS 8, Hal 33, al2) 'Singkat ceritra, seperti yang sudah-sudah di Badung .........' Kalau diperhatikan data di atas terdapat penyimpangan tata cara penulisan pada buku Ajar Bahasa Bali yang berjudul Pangkaja Sastra. Penyimpangan-penyimpangan terset adalah sebagai berikut. Pada data (1a) tampak adanya penyimpangan penggunaan spasi dimana dua kata dijadikan satu kata yaitu sampunkauningan, seharusnya ditulis sampun kauningin 'sudah diketahui' dan utawiajrih' seharusnya ditulis utawi ajrih 'atau kalah'. Dikatakan penyimpangan karena dalam Ejaan sudah dengan jelas dikatakan bahwa setiap kata ditulis terpisah (diberi jarak spasi). Begitu juga data (1b dan 1c) ) terjadi penyimpangan pemakaian spasi, yaitu untuk penulisan kata ulang setiap bagian kata dengan tanda pengulangannya (-) diberi spasi (tanda – tanda (data 1b), dan sampun – sampun (data 1c). Seharusnya ditulis tanda-tanda dan sampun-sampun.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

51

Data (2):“Tungkalikan krunainggih punika kruna-kruna sane madue arti malawanan . (PS 8 Hal 74).

'Lawan kata/oposisi makna adalah kata-kata yang memiliki arti melawan'. Data (2) meninjukkan adanya penyimpangan penulisan tidak memperhatikan penggunaan abjad

fonetis é dalam kata sane yang seharusnya ditulis sané' yang' dan medue yang seharusnya ditulis madué'memiliki'. Dalam Ejaan bahasa Bali juga sudah dijelaskan perbedaan penulisan e dan é karena kedua bunyi tersebut secara fonologis merupakan dua fonem yang berbeda. Data (3):“Saha yéning selehin saking basa Inggris, punika kabaos “Write” sané mateges…”(PS8, hal 2)

'serta kalau ditinjau dari bahasa Inggris, itu dikatakan tulisan yang berarti......' Data (3) yang menunjukkan adanya penyimpangan tata cara penulisan, dimana dalam Ejaan

Bahasa Bali dinyatakan bahwa kosakata asing (bukan bahasa Bali) ditulis dengan cetak miring. Pernyimpangan pada data (3) tampak pada penggunaan katawrite seharusnya ditulis write 'tulisan'. Sebaliknya ada kata yang semestinya tidak dicetak miring tetapi dicetak miring halam 74 Data (4): (4a) “Sampik Ingtai” ring silih sinunggil apada pupuhnyane madaging Cencangkriman duk crita

sana kangkat daweg I Babah Sampik jagi mamadik NI Nyonyah Ingtai ring Waciu Negari, sakadi ring sor puniki.” (buku PS 8, hal 58).

'Sampik Ingtai di salah satu pada pupuhnya berisi cecangkriman sejak ceritra yang diangkat ketika I Babah Sampik akan melamar Ni Nyonya Ingtai di Negara, Waciu, seperti di bawah ini'

(4b) “Ngrereh aksara la lenga, ra repa lan nyurat kruna nganggen aksara Bali (PS 8, ., hal 60) 'Mencari Aksara la lenga, ra repa,, dan menulis kata memakai Aksara Bali' (4c) Napi wastan kapal sane kampih ring pasisi sanur? PS 8,ha. 17, al1)

Pada data (4a) tampak penyimpangan penggunaan huruf kapital, yaitu kata Cecangkriman seharusnya ditulis cecangkriman . Dalam Ejaan Bahasa Bali juga sudah diatur mengenai penulisan huruf kapital yaitu untuk menuliskan nama. Jadi kata cecangkriman c di awal katayang seharusnya ditulis dengan tanpa huruf kapital tetapi ditulis dengan huruf kapital. Begitu pula penulisan beberapa kata pada data (4b) peristiwanya terbalik, dimana huruf yang seharusnya kapital ditulis dengan hurup kecil. Kalimat pada data (4b) seharusnya ditulis: Ngerereh Aksara La Lenga, Ra Repa, lan Nyurat Kruna Nganggen Aksara Bali. Begitu pula data (4c) tampak huruf yang pada kata seharusnya ditulis besar tetapi ditulis hurup kacil, yaitu huruf s pada kata sanur seharusnya ditulis Sanur.

Penyimpangan Gramatikal Penyimpangan gramatikal seharusnya hanya melihat pada tataran morfologis dan sintaksis. Akan tetapi setelah diperhatikan karena ditemukan juga penyimpangan pada tataran fonologis, maka penyimpangan fonologisnyapun akan dibahas karenabagaimanapun juga bahwa fonologi merupakan dasar dari terbentuknya gramatika morfologi dan sintaksis. Walaupun objek kajian kebahasaan sepenuhnya mengambil bahasa tulis, tetapi bahasa tulis juga ada bagian-bagian yang bisa dilihat dari sisi fonologisnya. Untuk itu berikut disajikan uraiannya. Penyimpangan Fonologis Data (5): Sampun huwus makin caritane (PS 8, hal. 31, al2) 'Sudah selesai sekarang ceritranya'. Kalau diperhatikan data (5a) pada kata makin, kata itu tidak punya makna, namun kalau dihubungkan dengan kata yang lainnya ,aka yang dimaksud dengan kata itu adalah mangkin 'sekarang'. Itu berarti, secara proses fonologis di sana terjadi kaidah pelesapan bunyi ng. karena itu merupakan satu buah fonem maka dimasukkan ke dalam penyimpangan fonologis.

Page 55: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

50

Metode cakap dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan guru-guru bahasa Bali di SMTP di Bali. Metode cakap ini memakai teknik pancing sebagai teknik dasar. Teknik pancing dilakukan dengan cara peneliti memancing informan agar mau berbicara. Teknik lanjutan metode cakap adalah teknik cakap semuka dilakukan dengan percakapan langsung/tatap muka.

Dalam tahapan penganalisisan data, penelitian ini menggunakan metode distribusional (Sudaryanto, 1993: 13—30; bandingkan dengan Djajasudarma, 1993b: 58; dan Mahsun, 2005: 120—122). Penerapan metode distribusional karena masalah yang dikaji berhubungan dengan bahasa yang bersangkutan.Penerapan metode distribuional diuraikan berikut ini. Metode distribusional yang sering juga disebut metode agih menurut Sudaryanto (1993: 15) dan Djajasudarma (2006: 69) adalah metode yang menggunakan alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang dikaji.Dalam analisis data, metode agih dibantu oleh dua tingkatan teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan yang diaplikasikan pada data yang diteliti (Sudaryanto (1993: 31—100).

Metode yang dipakai dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode formal dan informa. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.Hal ini dipakai demi keefisienan dan kesistematisan.Metode informal adalah penyajian hasil analisis dengan untaian kata-kata biasa agar penjelasannya terurai dan terinci (Sudaryanto, 1993: 45). Metode ini diterapkan demi kejelasan dan kemudahan pemahaman. Metode penyajian ini dibantu dengan teknik penyajian (pola pikir) induktif dan deduktif yang dipakai secara berkombinasi.

III PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA BUKU

AJAR BAHASA BALI DI SMTP Penyimpangan-penyimpangan pemakaian bahasa Bali pada Teks Buku Ajar bahasa Bali dikelompokkan menjadi: (1) penyimpangan tata cara penulisan; (2) penyimpangan gramatikal terdiri atas penyimpangan fonologis, morfologis, dan sintaksis; (3) penyimpangan pemakaian kosa kata, dan (4) dan penyimpangan pemakaian anggah-ungguhing basa Bali. Masing-masing uraiannya disajikan berikut ini. Penyimpangan Tata Cara Penulisan

Penyimpangan pada tata cara penulisan dapat dilihat pada beberapa data yang disajikan berikut ini. Data (1): (1a) “sampunkauningin antuk ida dane sareng sami, wantah basa,aksara miwah sastra Bali

punika,….”, “…basa Bali nénten dados ngreredang, utawiajrihring….” (PS 8,hal: 67 ) 'Sudah diketahui oleh semua orang, hanya bahasa, aksara, dan sastra Bali itu .....'. ....bahasa

Bali tidak boleh melemah, atau kalah di ........ (1b) ......antuk pamiteges saking tanda – tanda diakritiksane magenah ..... (PS8, hal. 28, al.2 '.......tentang arti dari tanda-tanda diakritik yang berada ........ (1c) Gelisang satua, sekadi sane sampun – sampundi Badung .... (PS 8, Hal 33, al2) 'Singkat ceritra, seperti yang sudah-sudah di Badung .........' Kalau diperhatikan data di atas terdapat penyimpangan tata cara penulisan pada buku Ajar Bahasa Bali yang berjudul Pangkaja Sastra. Penyimpangan-penyimpangan terset adalah sebagai berikut. Pada data (1a) tampak adanya penyimpangan penggunaan spasi dimana dua kata dijadikan satu kata yaitu sampunkauningan, seharusnya ditulis sampun kauningin 'sudah diketahui' dan utawiajrih' seharusnya ditulis utawi ajrih 'atau kalah'. Dikatakan penyimpangan karena dalam Ejaan sudah dengan jelas dikatakan bahwa setiap kata ditulis terpisah (diberi jarak spasi). Begitu juga data (1b dan 1c) ) terjadi penyimpangan pemakaian spasi, yaitu untuk penulisan kata ulang setiap bagian kata dengan tanda pengulangannya (-) diberi spasi (tanda – tanda (data 1b), dan sampun – sampun (data 1c). Seharusnya ditulis tanda-tanda dan sampun-sampun.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

51

Data (2):“Tungkalikan krunainggih punika kruna-kruna sane madue arti malawanan . (PS 8 Hal 74).

'Lawan kata/oposisi makna adalah kata-kata yang memiliki arti melawan'. Data (2) meninjukkan adanya penyimpangan penulisan tidak memperhatikan penggunaan abjad

fonetis é dalam kata sane yang seharusnya ditulis sané' yang' dan medue yang seharusnya ditulis madué'memiliki'. Dalam Ejaan bahasa Bali juga sudah dijelaskan perbedaan penulisan e dan é karena kedua bunyi tersebut secara fonologis merupakan dua fonem yang berbeda. Data (3):“Saha yéning selehin saking basa Inggris, punika kabaos “Write” sané mateges…”(PS8, hal 2)

'serta kalau ditinjau dari bahasa Inggris, itu dikatakan tulisan yang berarti......' Data (3) yang menunjukkan adanya penyimpangan tata cara penulisan, dimana dalam Ejaan

Bahasa Bali dinyatakan bahwa kosakata asing (bukan bahasa Bali) ditulis dengan cetak miring. Pernyimpangan pada data (3) tampak pada penggunaan katawrite seharusnya ditulis write 'tulisan'. Sebaliknya ada kata yang semestinya tidak dicetak miring tetapi dicetak miring halam 74 Data (4): (4a) “Sampik Ingtai” ring silih sinunggil apada pupuhnyane madaging Cencangkriman duk crita

sana kangkat daweg I Babah Sampik jagi mamadik NI Nyonyah Ingtai ring Waciu Negari, sakadi ring sor puniki.” (buku PS 8, hal 58).

'Sampik Ingtai di salah satu pada pupuhnya berisi cecangkriman sejak ceritra yang diangkat ketika I Babah Sampik akan melamar Ni Nyonya Ingtai di Negara, Waciu, seperti di bawah ini'

(4b) “Ngrereh aksara la lenga, ra repa lan nyurat kruna nganggen aksara Bali (PS 8, ., hal 60) 'Mencari Aksara la lenga, ra repa,, dan menulis kata memakai Aksara Bali' (4c) Napi wastan kapal sane kampih ring pasisi sanur? PS 8,ha. 17, al1)

Pada data (4a) tampak penyimpangan penggunaan huruf kapital, yaitu kata Cecangkriman seharusnya ditulis cecangkriman . Dalam Ejaan Bahasa Bali juga sudah diatur mengenai penulisan huruf kapital yaitu untuk menuliskan nama. Jadi kata cecangkriman c di awal katayang seharusnya ditulis dengan tanpa huruf kapital tetapi ditulis dengan huruf kapital. Begitu pula penulisan beberapa kata pada data (4b) peristiwanya terbalik, dimana huruf yang seharusnya kapital ditulis dengan hurup kecil. Kalimat pada data (4b) seharusnya ditulis: Ngerereh Aksara La Lenga, Ra Repa, lan Nyurat Kruna Nganggen Aksara Bali. Begitu pula data (4c) tampak huruf yang pada kata seharusnya ditulis besar tetapi ditulis hurup kacil, yaitu huruf s pada kata sanur seharusnya ditulis Sanur.

Penyimpangan Gramatikal Penyimpangan gramatikal seharusnya hanya melihat pada tataran morfologis dan sintaksis. Akan tetapi setelah diperhatikan karena ditemukan juga penyimpangan pada tataran fonologis, maka penyimpangan fonologisnyapun akan dibahas karenabagaimanapun juga bahwa fonologi merupakan dasar dari terbentuknya gramatika morfologi dan sintaksis. Walaupun objek kajian kebahasaan sepenuhnya mengambil bahasa tulis, tetapi bahasa tulis juga ada bagian-bagian yang bisa dilihat dari sisi fonologisnya. Untuk itu berikut disajikan uraiannya. Penyimpangan Fonologis Data (5): Sampun huwus makin caritane (PS 8, hal. 31, al2) 'Sudah selesai sekarang ceritranya'. Kalau diperhatikan data (5a) pada kata makin, kata itu tidak punya makna, namun kalau dihubungkan dengan kata yang lainnya ,aka yang dimaksud dengan kata itu adalah mangkin 'sekarang'. Itu berarti, secara proses fonologis di sana terjadi kaidah pelesapan bunyi ng. karena itu merupakan satu buah fonem maka dimasukkan ke dalam penyimpangan fonologis.

Page 56: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

52

Penyimpangan secara Morfologis Penyimpangan secara morfologis tentu akan dilihat dari proses afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan karena ketiga hal itu dimiliki oleh bahasa Bali dalam pembentukan kata. ketiganya dicoba dicermati apakah ada penyimpangan atau tidak. Berikut disajikan uraiannya berdasarkan data yang ditemukan. Data (6): (6a) Sering ipun ngandap sasorang ragane teken nyamane miwah timpalne (Widya Sastra, Hal. 8,

al.4). 'Sering dia merendah merendahkan dirinya terhadap saudaranya dan teman-temannya' (6b) I Made Bayu madasar antuk kabagusan miwah jiwa seni mangigel dados pragina ......(Widya

Sastra, hal. 9, al.4) 'I Made Bayu bermodal dengan ketampanan dan jiwa seni menari menjadi seniman' (6c) bagya pisan para sisyane manonton arja muani (PS 8, hal. 24, al. 2) 'Bahagia sekali para siswa menonton Arja Muani (Tari Arja yang ditarikan oleh para lelaki'

Kalau diperhatikan data (6) semuanya termasuk penyimpangan morfologis, tetapi beberapa ada yang termasuk penyimpangan diantara feonologis dan morfologis yang disebut morfofonologis. Pada tulisan ini karena berada di tingkat morfem dianggap penyimpangan morfologis. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan uraiannya. Pada data (6a) tampak ada penggunaan kata sasorang. Secara bahasa Bali baku, kata itu berasal dari kata sor 'rendah'. Jika kata itu dibentuk supaya maknanya seperti yang terjemahan data (6a), seharusnya kata itu mengalami proses morfologis berupa afiksasi dengan mendapat imbuhan gabung berupa awalan N- dan akhiran –ang, sehingga menjadi ngasorang. Mengapa prefiks N- menjadi nga- karena dalam tata bahasa Bali, jika prefiks N- bergabung dengan bentuk dasar yang terdiri atas satu suku kata maka digunakan alomorf nga-. Penyimpangan pada data (6a)sudah nampak yaitu .terletak pada penggunaan prefiks sa-. Dalam bahasa Bali Baku, prefiks sa- ' se' sehingga kalau diterjemahkan menjadi *serendahkan. Tentunya ini tidak gramatikal. Begitu pula penyimpangan yang terdapat pada data (6b) tampak pada kata mangigel dengan makna sesuai dengan terjemahan di atas menari. Kata itu berasal dari kata dasar igel'tari'. Kalau dilihat dari bentuk jadiannya, kata dasar itu mendapat prefiks meN-, padahal dalam bahasa Bali Baku tidak dikenal adanya prefiks meN-. Prefiks dalam bahasa Bali yang bermakna aktif adalah N-.Seharusnya, kata jadiannya cukup dengan bentuk ngigel'menari'. Kenapa menjadi ng-, karena bentuk dasarnya berawal dengan vokal. Dengan demikian sudah dapat diketahui penyimpangan data (6b). Penyimpangan yang tejadi pada data (6c)juga merupakan penyimpangan morfologisiksasi, khususnya afiksasi. Hal itu bisa dilihat pada kata manonton. Makna yang dimaksud kata itu adalah menonton. Kasus data (6a) sama dengan sata (6b), yaitu pemakaian prefiksnya. Kata manonton berasal dari bentuk dasas tonton 'tonton'. Dilihat dari bentuk jadioannya mendapat prefiks meN- yang tidak dimiliki oleh bahasa Bali Baku. Kata itu seharusnya untuk makna aktif mendapat prefiks N- Karena bentuk dasarnya diawali fonem /t/, maka kata jadiannya menjadi nonton'menonton'. Jadi fonem /t/ sedaerah artikulasi dengan nasal /n/.

Penyimpangan secara afiksasi lainnya dapat terjadi pada infiksasi. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan datanya. Data (7): ((7a) Silih sinungil kawagedan sane kaplajahin ring widang pendidikan formal (PS, 8, hal3, al.1) 'Salah satu keahlian yang dipelajari di bidang pendidikan formal'. Pada data (7a) tampak ada kata sinungil , kalau dilihat maknanya yang dimaksud adalah satu. Umumnya dalam bahasa Bali Baku yang ada adalah kata silih tunggil, sinalih tunggil. bagaimana

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

53

proses kata ini sulit dijelaskan. yang jelas, kata sinungil berasal dari kata tungil 'tunggal/satu'. Kalau mendapat sisipan –in- akan menjadi tinungil. Kemungkinan kata ini merupakan dialek setempat pengarangnya dan tidak umum. Kalau dsilihat dari proses pembentukannya, bisa saja ini variasi dari tinungil umumnya tinunggil karena perlu disadari bahwa fonem /s/ dan /t/ masih satu daerah artikulasi. Data (8): .(8a) ..selanturnya indayang saurin pitakenne ring sor puniki! (PS 8, hal. 4, al 1) hal 12, 4) 'Selanjutnya coba jawab pertanyaannya di bawah ini!' (8b) Indayang sorohan sane encen marupa aksara suara? (PS 8, hal. 19, al.4) *'Coba nama kelompok yang mana berupa Aksara Suara(fonem vokal)? (8c) Ri sampunne alit-alit mirenang pidarta ring ajeng sawetara dasa menit ......(PS 8, hal. 9, al2). 'Sesudah anak-anak mendengarkan pidato di depan selama 10 menit ........' Untuk data (8) tampaknya contoh yang merupakan penyimpangan afiksasi berupa sufiksasi. Hal itu bisa dilihat dari salah satu kata yang mendukung kalimat (8a) yaitu kata pitakenne 'pertanyaannya'. Kalau diperhatikan terjemahnya menjadi janggal. Sesungguhnya kata pitakenne berasal dari bentk dasar pitaken. pertanyaan' . Kata tersebut bisa ditambah sufiks –e yang menyatakan definit menjadi pitakene 'pertanyaan (ini)' dan ditambah sufiks –ne yang menyatakan posesif menjadi pitakenne 'pertanyaannya'. Kata yang cocok dalam kalimat (8a) adalah pitakene sehingga terjemahan kalimat itu menjadi:'Selanjutnya coba jawab pertanyaan di bawah ini!. Dengan demikian , penyimpangan tersebut boleh dikatakan penyimpangan penggunaan sufiks. Makna kalimat yang tepat adalah Data (8b) juga menunjukkan penyimpangan penggunaan sufiks. Hal itu dapat dilihat pada salah satu kata yang digunakan dalam kalimat data (8b), yaitu kata sorohan. Kata sorohan berasal dari bentuk dasar soroh 'jenis/kelompok' mendapa t sufiks –an menjadi sorohan yang artinya nama jenis/kelompok/nama sejenis sesajen. Namun yang dimaksud pada kalimat di atas adalah memberi perintah yang dalam bahasa Bali Baku digunakan sufiks –ang. Dengan demikian, supaya makna kata itu cocok dengan lingkungannya maka kata yang cocok adalah menggunaklan sufiks –ang, sehingga menjadi sorohang.'Coba kelompokkan yang mana berupa Aksara Suara(fonem vokal)? Penyimpangan ini disebabkan karena sifat dialektal pengarangnya dengan tidak memperhatikan bahasa Bali secara umum. Di samping penyimpangan secara afiksasi, pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar juga terdapat penyimpangan kata ulang. Hal itu dapat dilihat pada sajian daya berikut ini. Data (9):

(9a)“Widya Tula, inggih punika mlibagang saindik-indikan daging kaweruhan (ilmu pengetahuan) sane kawicarayang (PS ..., hal. 27)

'Widta Tula adalahmendiskusikan tentang isi ilmu pengetahuan'. Pada data (9a) tampak pemakaian kata ulang, yaitu kata saindik-indikan dalam kalimat itu tidak bisa diterima dan cukup diganti dengan kata indik. Dengan demikian penyimpangan di sini adalah pemakaian kata yang kurang efektif. Penyimpangan secara Sintaksis Penyimpangan sintaksisyang dimaksud adalah penyimpangan yang terdapat pada tataran frase, klausa, dan kalimat. Kenapa ketiga tataran itu? Karena ketiga tataran itu merupakan bagian atau ruang lingkup sintaksis. Untuk mengetahui apakah ketiga tataran itu terdapat penyimpangan, berikut disajikan datanya. Data (10): (10a) Napi murda pidarta ring ajeng? (PS 8, hal. 6, al. 4) 'Apa judul pidato di depan? (10b) Taksu titiang dados pragina (PS 8, hal24, al.2)

Page 57: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

52

Penyimpangan secara Morfologis Penyimpangan secara morfologis tentu akan dilihat dari proses afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan karena ketiga hal itu dimiliki oleh bahasa Bali dalam pembentukan kata. ketiganya dicoba dicermati apakah ada penyimpangan atau tidak. Berikut disajikan uraiannya berdasarkan data yang ditemukan. Data (6): (6a) Sering ipun ngandap sasorang ragane teken nyamane miwah timpalne (Widya Sastra, Hal. 8,

al.4). 'Sering dia merendah merendahkan dirinya terhadap saudaranya dan teman-temannya' (6b) I Made Bayu madasar antuk kabagusan miwah jiwa seni mangigel dados pragina ......(Widya

Sastra, hal. 9, al.4) 'I Made Bayu bermodal dengan ketampanan dan jiwa seni menari menjadi seniman' (6c) bagya pisan para sisyane manonton arja muani (PS 8, hal. 24, al. 2) 'Bahagia sekali para siswa menonton Arja Muani (Tari Arja yang ditarikan oleh para lelaki'

Kalau diperhatikan data (6) semuanya termasuk penyimpangan morfologis, tetapi beberapa ada yang termasuk penyimpangan diantara feonologis dan morfologis yang disebut morfofonologis. Pada tulisan ini karena berada di tingkat morfem dianggap penyimpangan morfologis. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan uraiannya. Pada data (6a) tampak ada penggunaan kata sasorang. Secara bahasa Bali baku, kata itu berasal dari kata sor 'rendah'. Jika kata itu dibentuk supaya maknanya seperti yang terjemahan data (6a), seharusnya kata itu mengalami proses morfologis berupa afiksasi dengan mendapat imbuhan gabung berupa awalan N- dan akhiran –ang, sehingga menjadi ngasorang. Mengapa prefiks N- menjadi nga- karena dalam tata bahasa Bali, jika prefiks N- bergabung dengan bentuk dasar yang terdiri atas satu suku kata maka digunakan alomorf nga-. Penyimpangan pada data (6a)sudah nampak yaitu .terletak pada penggunaan prefiks sa-. Dalam bahasa Bali Baku, prefiks sa- ' se' sehingga kalau diterjemahkan menjadi *serendahkan. Tentunya ini tidak gramatikal. Begitu pula penyimpangan yang terdapat pada data (6b) tampak pada kata mangigel dengan makna sesuai dengan terjemahan di atas menari. Kata itu berasal dari kata dasar igel'tari'. Kalau dilihat dari bentuk jadiannya, kata dasar itu mendapat prefiks meN-, padahal dalam bahasa Bali Baku tidak dikenal adanya prefiks meN-. Prefiks dalam bahasa Bali yang bermakna aktif adalah N-.Seharusnya, kata jadiannya cukup dengan bentuk ngigel'menari'. Kenapa menjadi ng-, karena bentuk dasarnya berawal dengan vokal. Dengan demikian sudah dapat diketahui penyimpangan data (6b). Penyimpangan yang tejadi pada data (6c)juga merupakan penyimpangan morfologisiksasi, khususnya afiksasi. Hal itu bisa dilihat pada kata manonton. Makna yang dimaksud kata itu adalah menonton. Kasus data (6a) sama dengan sata (6b), yaitu pemakaian prefiksnya. Kata manonton berasal dari bentuk dasas tonton 'tonton'. Dilihat dari bentuk jadioannya mendapat prefiks meN- yang tidak dimiliki oleh bahasa Bali Baku. Kata itu seharusnya untuk makna aktif mendapat prefiks N- Karena bentuk dasarnya diawali fonem /t/, maka kata jadiannya menjadi nonton'menonton'. Jadi fonem /t/ sedaerah artikulasi dengan nasal /n/.

Penyimpangan secara afiksasi lainnya dapat terjadi pada infiksasi. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan datanya. Data (7): ((7a) Silih sinungil kawagedan sane kaplajahin ring widang pendidikan formal (PS, 8, hal3, al.1) 'Salah satu keahlian yang dipelajari di bidang pendidikan formal'. Pada data (7a) tampak ada kata sinungil , kalau dilihat maknanya yang dimaksud adalah satu. Umumnya dalam bahasa Bali Baku yang ada adalah kata silih tunggil, sinalih tunggil. bagaimana

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

53

proses kata ini sulit dijelaskan. yang jelas, kata sinungil berasal dari kata tungil 'tunggal/satu'. Kalau mendapat sisipan –in- akan menjadi tinungil. Kemungkinan kata ini merupakan dialek setempat pengarangnya dan tidak umum. Kalau dsilihat dari proses pembentukannya, bisa saja ini variasi dari tinungil umumnya tinunggil karena perlu disadari bahwa fonem /s/ dan /t/ masih satu daerah artikulasi. Data (8): .(8a) ..selanturnya indayang saurin pitakenne ring sor puniki! (PS 8, hal. 4, al 1) hal 12, 4) 'Selanjutnya coba jawab pertanyaannya di bawah ini!' (8b) Indayang sorohan sane encen marupa aksara suara? (PS 8, hal. 19, al.4) *'Coba nama kelompok yang mana berupa Aksara Suara(fonem vokal)? (8c) Ri sampunne alit-alit mirenang pidarta ring ajeng sawetara dasa menit ......(PS 8, hal. 9, al2). 'Sesudah anak-anak mendengarkan pidato di depan selama 10 menit ........' Untuk data (8) tampaknya contoh yang merupakan penyimpangan afiksasi berupa sufiksasi. Hal itu bisa dilihat dari salah satu kata yang mendukung kalimat (8a) yaitu kata pitakenne 'pertanyaannya'. Kalau diperhatikan terjemahnya menjadi janggal. Sesungguhnya kata pitakenne berasal dari bentk dasar pitaken. pertanyaan' . Kata tersebut bisa ditambah sufiks –e yang menyatakan definit menjadi pitakene 'pertanyaan (ini)' dan ditambah sufiks –ne yang menyatakan posesif menjadi pitakenne 'pertanyaannya'. Kata yang cocok dalam kalimat (8a) adalah pitakene sehingga terjemahan kalimat itu menjadi:'Selanjutnya coba jawab pertanyaan di bawah ini!. Dengan demikian , penyimpangan tersebut boleh dikatakan penyimpangan penggunaan sufiks. Makna kalimat yang tepat adalah Data (8b) juga menunjukkan penyimpangan penggunaan sufiks. Hal itu dapat dilihat pada salah satu kata yang digunakan dalam kalimat data (8b), yaitu kata sorohan. Kata sorohan berasal dari bentuk dasar soroh 'jenis/kelompok' mendapa t sufiks –an menjadi sorohan yang artinya nama jenis/kelompok/nama sejenis sesajen. Namun yang dimaksud pada kalimat di atas adalah memberi perintah yang dalam bahasa Bali Baku digunakan sufiks –ang. Dengan demikian, supaya makna kata itu cocok dengan lingkungannya maka kata yang cocok adalah menggunaklan sufiks –ang, sehingga menjadi sorohang.'Coba kelompokkan yang mana berupa Aksara Suara(fonem vokal)? Penyimpangan ini disebabkan karena sifat dialektal pengarangnya dengan tidak memperhatikan bahasa Bali secara umum. Di samping penyimpangan secara afiksasi, pemakaian bahasa Bali pada Buku Ajar juga terdapat penyimpangan kata ulang. Hal itu dapat dilihat pada sajian daya berikut ini. Data (9):

(9a)“Widya Tula, inggih punika mlibagang saindik-indikan daging kaweruhan (ilmu pengetahuan) sane kawicarayang (PS ..., hal. 27)

'Widta Tula adalahmendiskusikan tentang isi ilmu pengetahuan'. Pada data (9a) tampak pemakaian kata ulang, yaitu kata saindik-indikan dalam kalimat itu tidak bisa diterima dan cukup diganti dengan kata indik. Dengan demikian penyimpangan di sini adalah pemakaian kata yang kurang efektif. Penyimpangan secara Sintaksis Penyimpangan sintaksisyang dimaksud adalah penyimpangan yang terdapat pada tataran frase, klausa, dan kalimat. Kenapa ketiga tataran itu? Karena ketiga tataran itu merupakan bagian atau ruang lingkup sintaksis. Untuk mengetahui apakah ketiga tataran itu terdapat penyimpangan, berikut disajikan datanya. Data (10): (10a) Napi murda pidarta ring ajeng? (PS 8, hal. 6, al. 4) 'Apa judul pidato di depan? (10b) Taksu titiang dados pragina (PS 8, hal24, al.2)

Page 58: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

54

'Keberuntungan saya menjadi seniman' (10c) Napi wastan kapal sane kampih ring pasisi sanur? PS 8,ha. 17, al1) 'Apa nama kapal yang terdampar di pantai Sanur? Kalau diperhatikan data (10a—10c) tampak kalimat itu pada struktur frasenya mengikuti

struktur bahasa Indonesia. Pada bagian ini akan dicoba melihat data (10) satu persatu bagian yang mengandung penyimpangan. Pada data (10a) tampak adanya frase murda pidarta 'judul pidato'. Tampak struktur bahasa Bali dan Bahasa Indonesia sama. Akan tetapi sesungguhya frase dalam bahasa Bali kedengarannya janggal karena dalam bahasa Bali struktur frase sangat dipengaruhi oleh suku kata akhirnya.Konstruksi frase yang berakhir dengan suku kata terbuka umumnya ada fonem pelancar ucapan/penanda definit. Unsur frase yang pertama umumnya jika merupakan suku terbuka pasti mincul bunyi /n/, unsur kedua muncul unsur –ne, sehingga frase itu seharusnya murdan pidartan dan kalimat lengkapnya menjadi : Napi murdan pidartane ring ajeng? 'Apa judul pidato di depan?

Kasus data (10a) juga terjadi pada dta (10b dan 10c), yaitu Taksu titiang dados pragina. Seharusnya : Taksun titiange dados praginaí 'Keberuntungan saya menjadi seniman. Perbedaannya dengan data (10a) terletak pada unsur frase yang kedua, dimana unsur yang kedua pada data (10b) hanya ditambah /e/ karena unsur kediuanya berakhir konsonan.

Pada data (10c) Napi wastan kapalsane kampih ring pasisi sanur? frase wastan kapal pada unsur pertama sudah betul, tetapi unsur keduanya masih kurang unsur /e/ karena berakhir dengan konsonan. Kalimat yang benar seharusnya: Napi wastan kapale sane kampih ring pasisi Sanur? .Jadi data (10a—10c) merupakan penyimpangan pada konstruksi frase Data (11):

(11a) Tan pabasa, budaya nénten prasida kukuh lan ajeg, mapaiketan pariindikanné punika, basa Bali dados pamikukuh sajeroning budaya Bali”(PS .., hal. 7)

'Tanpa bahasa, budaya tidak bisa kuat , berkaidan tentang hal itu, bahasa Bali menjadi penguat kebudayaan Bali'

(11b) “Ring sor puniki alit-alité kapicen punggelan geguritan sane mamurda “Sampik Ingtai” ring silih sinunggil apada pupuhnyane madaging Cencangkriman duk crita sana kangkat daweg I Babah Sampik jagi mamadik NI Nyonyah Ingtai ring Waciu Negari, sakadi ring sor puniki.”(PS..., hal 68)

'Di bawah ini anak-anak diberikan petikan geguritan yang berjudul Sampik Ingtai di salah satu padanya pupuhnya berisi cecangkrimansejak ceritra yang diangkat waktu I Babah Sampik akan melamar Ni Nyonyah Ingtai di Negeri Waciu, seperti di bawah ini'.

(11c) “Napi tetuek kamedalang orti ring ajeng?(PS..., hal. 5) 'Apa tujuannya dikeluarkan berita di depan?'

Pada data (11) ditemukan bentuk kalimat yang panjang dan mengandung dua gagasan pokok. Hal ini dapat dilihat pada data (11a). Kalimat tersebut mengandung dua gagasan pokok dan harus dipenggal menjadi 1)Tan pabasa, budayané nénten prasida kukuh lan ajeg; dan 2)Mapaiketan parindikanné punika, basa Bali dados pamikukuh sajeroning budaya Bali. Begitu juga pada data (11b) juga ditemukan kalimat yang mengandung dua gagasan pokok yang seharusnya dipenggal menjadi dua kalimat yakni 1) Ring sor puniki alit-alité kaicen punggelan geguritan sane mamurda “Sampik Ingtai”; dan 2)Ring silih sinunngil apada pupuhnyané madaging cacangkriman duk I Babah Sampik jagi mamadik Ni Nyonyah Ingtai ring Waciu Negari, sekadi ring sorpuniki. Selain itu, kalimat pada data (11b) juga mengandung sebuah frasa yang tidak efektif di dalam kalimat tersebut, yakni crita sane kangkat daweg, sehingga frasa tersebut layak dihilangkan. Kemudian data (11c) menunjukkan struktur kalimat yang kurang tepat, yaitu “Napi tetuek kamedalang orti ring ajeng. Susunan kalimatnya terdiri atas: napi merupakan bentuk tanya, tetuek subjek, kemudian kamedalang juga merupakan predikat klausa kedua orti merupakan subjek, dan ring ajeng adalah keterangan. Memang

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

55

kalimat itu tidak salah sekali tetapi alangkah baiknya kalau susunan kalimat bisa subjek mendahului predikat pada klausa kedua sehingga menjadi: “Napi tetuek orti ring ajeng kamedalang?'Apa intinya berita di depan dikeluarkan?Kekurangtepatan susunan gramatikal kalimat juga ditemukan pada data berikut. (11d) “Pidarta ring ajeng unteng bebaosanné ngenénin indik?” (PS 8, hal.30) 'Pidato di depan inti pembicaraannya mengenai apa? (11e) Tiosan paribasa Bali kabuatang ring geguritan, ring dija malih kabuatang?”(PS 8, hal. 77) 'Selain peribahasa Bali dibicarakan dalam geguritan, dimana lagi dibicarakan? Susunan kedua kalimat tanya pada data (11d dan 11e) tersebut sebaiknya ditulis “Ngenénin indik napi unteng babaosan pidartané ring ajeng?”(data 11d). Kata pembuka bentuk pertanyaan haruslah bentuk tanya yang sesuai dengan inti yang ditanyakan. Karena data (11d) bertanya tentang sesuatu maka yang cocok adalah kata ngenenin 'tentang' . Demikian pula dada (11e)juga terdapat sebuah bentuk kalimat tanya yang susunan gramatikannya kurang tepat, yakni: “. Susunan kalimat tanya tersebut sebaiknya ditulis “Tiosan ring geguritan, ring dija malih paribasa Baline kabuatang?” Penyimpangan Penggunaan Kosakata Yang dimaksud dengan penyimpangan penggunanaan kosakata adalah pemakaian kata bahasa lain pada bahan ajar yang sesungguhnya dalam bahasa Bali ada. Kenapa dikatakan sebagai penyimpangan? karena dengan penggunaan bahasa lain akan mengurangi pemakaian bahasa Bali yang diganti dengan bahasa lainsehingga lambat laun bisa berakibat punahnya suatu kata tertentu. Ini mengganggu pelestarian bahasa. Berikut disajikan beberapa penyimpangan penggunaan kosakata berdasarkan data yang ditemukan. Data (13): (13a) Sane mangkin kacaritayang sampun duur maka lalima pianakne Pan Urip, maka sami saling

asah, asih lan asuh rukun masemetonan .........(Widya Sastra, hal. 8, al 5) 'Sekarang diceritrakan sudah besar kelima putra Pak Urip, maka semua saling asah, asih, asuh

rukun masemetonan..... (13b )“Saha yéning selehin saking basa Inggris, punika kabaos “Write” sané mateges…”(PS 2, hal

2). 'Serta kalau dibandingkan dari bahasa Inggris, itu dinamakan penulisan yang berarti....... (13c) “Tungkalikan kruna inggih punika kruna-kruna sane madue arti malawanan (antonim)….”

(PS...., hal Data (13) menunjukkan adanya penyimpangan penggunaan kosa kata yang sesungguhnya ada dalam bahasa Bali. Pada data (13a) ada kata rukun, ini padanannya dalam bahasa Bali adalah sagiliksehingga kalimatnya menjadi: Sane mangkin kacaritayang sampun duur maka lalima pianakne Pan Urip, maka sami saling asah, asih lan asuh sagilik masemetotanan ........ Maknanya sama dengan kalimat di atas. Begitu pula data (13b) seharusnya tidak dibutuhkan penggunaan perbandingan ke dalam bahasa Inggris. Pada data (13c) ada digunakan kosakata malawanan dalam kalimat tersebut sebaiknnya diganti dengan kata “nungkalik”. Selain itu, terdapat sebuah kata bahasa Indonesia ‘antonim’ dalam kalimat tersebut yang tidak dicetak miring. Kalimat yang benar adalah “Tungkalikan kruna inggih punika kruna-kruna sane madue arti nungkalik (antonim)….” . Maknanya sama dengan kalimat di atas.

Page 59: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

54

'Keberuntungan saya menjadi seniman' (10c) Napi wastan kapal sane kampih ring pasisi sanur? PS 8,ha. 17, al1) 'Apa nama kapal yang terdampar di pantai Sanur? Kalau diperhatikan data (10a—10c) tampak kalimat itu pada struktur frasenya mengikuti

struktur bahasa Indonesia. Pada bagian ini akan dicoba melihat data (10) satu persatu bagian yang mengandung penyimpangan. Pada data (10a) tampak adanya frase murda pidarta 'judul pidato'. Tampak struktur bahasa Bali dan Bahasa Indonesia sama. Akan tetapi sesungguhya frase dalam bahasa Bali kedengarannya janggal karena dalam bahasa Bali struktur frase sangat dipengaruhi oleh suku kata akhirnya.Konstruksi frase yang berakhir dengan suku kata terbuka umumnya ada fonem pelancar ucapan/penanda definit. Unsur frase yang pertama umumnya jika merupakan suku terbuka pasti mincul bunyi /n/, unsur kedua muncul unsur –ne, sehingga frase itu seharusnya murdan pidartan dan kalimat lengkapnya menjadi : Napi murdan pidartane ring ajeng? 'Apa judul pidato di depan?

Kasus data (10a) juga terjadi pada dta (10b dan 10c), yaitu Taksu titiang dados pragina. Seharusnya : Taksun titiange dados praginaí 'Keberuntungan saya menjadi seniman. Perbedaannya dengan data (10a) terletak pada unsur frase yang kedua, dimana unsur yang kedua pada data (10b) hanya ditambah /e/ karena unsur kediuanya berakhir konsonan.

Pada data (10c) Napi wastan kapalsane kampih ring pasisi sanur? frase wastan kapal pada unsur pertama sudah betul, tetapi unsur keduanya masih kurang unsur /e/ karena berakhir dengan konsonan. Kalimat yang benar seharusnya: Napi wastan kapale sane kampih ring pasisi Sanur? .Jadi data (10a—10c) merupakan penyimpangan pada konstruksi frase Data (11):

(11a) Tan pabasa, budaya nénten prasida kukuh lan ajeg, mapaiketan pariindikanné punika, basa Bali dados pamikukuh sajeroning budaya Bali”(PS .., hal. 7)

'Tanpa bahasa, budaya tidak bisa kuat , berkaidan tentang hal itu, bahasa Bali menjadi penguat kebudayaan Bali'

(11b) “Ring sor puniki alit-alité kapicen punggelan geguritan sane mamurda “Sampik Ingtai” ring silih sinunggil apada pupuhnyane madaging Cencangkriman duk crita sana kangkat daweg I Babah Sampik jagi mamadik NI Nyonyah Ingtai ring Waciu Negari, sakadi ring sor puniki.”(PS..., hal 68)

'Di bawah ini anak-anak diberikan petikan geguritan yang berjudul Sampik Ingtai di salah satu padanya pupuhnya berisi cecangkrimansejak ceritra yang diangkat waktu I Babah Sampik akan melamar Ni Nyonyah Ingtai di Negeri Waciu, seperti di bawah ini'.

(11c) “Napi tetuek kamedalang orti ring ajeng?(PS..., hal. 5) 'Apa tujuannya dikeluarkan berita di depan?'

Pada data (11) ditemukan bentuk kalimat yang panjang dan mengandung dua gagasan pokok. Hal ini dapat dilihat pada data (11a). Kalimat tersebut mengandung dua gagasan pokok dan harus dipenggal menjadi 1)Tan pabasa, budayané nénten prasida kukuh lan ajeg; dan 2)Mapaiketan parindikanné punika, basa Bali dados pamikukuh sajeroning budaya Bali. Begitu juga pada data (11b) juga ditemukan kalimat yang mengandung dua gagasan pokok yang seharusnya dipenggal menjadi dua kalimat yakni 1) Ring sor puniki alit-alité kaicen punggelan geguritan sane mamurda “Sampik Ingtai”; dan 2)Ring silih sinunngil apada pupuhnyané madaging cacangkriman duk I Babah Sampik jagi mamadik Ni Nyonyah Ingtai ring Waciu Negari, sekadi ring sorpuniki. Selain itu, kalimat pada data (11b) juga mengandung sebuah frasa yang tidak efektif di dalam kalimat tersebut, yakni crita sane kangkat daweg, sehingga frasa tersebut layak dihilangkan. Kemudian data (11c) menunjukkan struktur kalimat yang kurang tepat, yaitu “Napi tetuek kamedalang orti ring ajeng. Susunan kalimatnya terdiri atas: napi merupakan bentuk tanya, tetuek subjek, kemudian kamedalang juga merupakan predikat klausa kedua orti merupakan subjek, dan ring ajeng adalah keterangan. Memang

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

55

kalimat itu tidak salah sekali tetapi alangkah baiknya kalau susunan kalimat bisa subjek mendahului predikat pada klausa kedua sehingga menjadi: “Napi tetuek orti ring ajeng kamedalang?'Apa intinya berita di depan dikeluarkan?Kekurangtepatan susunan gramatikal kalimat juga ditemukan pada data berikut. (11d) “Pidarta ring ajeng unteng bebaosanné ngenénin indik?” (PS 8, hal.30) 'Pidato di depan inti pembicaraannya mengenai apa? (11e) Tiosan paribasa Bali kabuatang ring geguritan, ring dija malih kabuatang?”(PS 8, hal. 77) 'Selain peribahasa Bali dibicarakan dalam geguritan, dimana lagi dibicarakan? Susunan kedua kalimat tanya pada data (11d dan 11e) tersebut sebaiknya ditulis “Ngenénin indik napi unteng babaosan pidartané ring ajeng?”(data 11d). Kata pembuka bentuk pertanyaan haruslah bentuk tanya yang sesuai dengan inti yang ditanyakan. Karena data (11d) bertanya tentang sesuatu maka yang cocok adalah kata ngenenin 'tentang' . Demikian pula dada (11e)juga terdapat sebuah bentuk kalimat tanya yang susunan gramatikannya kurang tepat, yakni: “. Susunan kalimat tanya tersebut sebaiknya ditulis “Tiosan ring geguritan, ring dija malih paribasa Baline kabuatang?” Penyimpangan Penggunaan Kosakata Yang dimaksud dengan penyimpangan penggunanaan kosakata adalah pemakaian kata bahasa lain pada bahan ajar yang sesungguhnya dalam bahasa Bali ada. Kenapa dikatakan sebagai penyimpangan? karena dengan penggunaan bahasa lain akan mengurangi pemakaian bahasa Bali yang diganti dengan bahasa lainsehingga lambat laun bisa berakibat punahnya suatu kata tertentu. Ini mengganggu pelestarian bahasa. Berikut disajikan beberapa penyimpangan penggunaan kosakata berdasarkan data yang ditemukan. Data (13): (13a) Sane mangkin kacaritayang sampun duur maka lalima pianakne Pan Urip, maka sami saling

asah, asih lan asuh rukun masemetonan .........(Widya Sastra, hal. 8, al 5) 'Sekarang diceritrakan sudah besar kelima putra Pak Urip, maka semua saling asah, asih, asuh

rukun masemetonan..... (13b )“Saha yéning selehin saking basa Inggris, punika kabaos “Write” sané mateges…”(PS 2, hal

2). 'Serta kalau dibandingkan dari bahasa Inggris, itu dinamakan penulisan yang berarti....... (13c) “Tungkalikan kruna inggih punika kruna-kruna sane madue arti malawanan (antonim)….”

(PS...., hal Data (13) menunjukkan adanya penyimpangan penggunaan kosa kata yang sesungguhnya ada dalam bahasa Bali. Pada data (13a) ada kata rukun, ini padanannya dalam bahasa Bali adalah sagiliksehingga kalimatnya menjadi: Sane mangkin kacaritayang sampun duur maka lalima pianakne Pan Urip, maka sami saling asah, asih lan asuh sagilik masemetotanan ........ Maknanya sama dengan kalimat di atas. Begitu pula data (13b) seharusnya tidak dibutuhkan penggunaan perbandingan ke dalam bahasa Inggris. Pada data (13c) ada digunakan kosakata malawanan dalam kalimat tersebut sebaiknnya diganti dengan kata “nungkalik”. Selain itu, terdapat sebuah kata bahasa Indonesia ‘antonim’ dalam kalimat tersebut yang tidak dicetak miring. Kalimat yang benar adalah “Tungkalikan kruna inggih punika kruna-kruna sane madue arti nungkalik (antonim)….” . Maknanya sama dengan kalimat di atas.

Page 60: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

56

Penyimpangan Penggunaan Bahasa Bali Berdasarkan Anggah-Ungguhing Basa Bali Penyimpangan anggah-ungguhing basa adalah pemalaian kosakata tertentu yang tidak sesuai

dengan anggah-ungguhing basa yang sudah disamlaikan pada bab 2. Pengantar Buku Ajar bahasa Bali untuk SMTP hampir semuanya menggunakan bahasa Alus. Oleh karena itu penyimpangan di sini pasti munculnya kata yang masih memikliki bentuk alus. Hal itu bisa dilihat pada data (14)berikut ini Data (14 ): (14a) ... aksara punika madue tongoslan fungsi sosial religius. '......Aksara itu memiliki tempat dan fungsi fungsi religius. (14b) Pangangge aksara ingih punika lambang aksarane sane nadiang aksara/konsonan.... (PS 8,

hal.21, al.2) '......pangangge Aksara adalah lambang aksaranya yang ,menjadikan aksara/konsonan...... (14c) Kurenan dedarine sane saking Cabe punika kalintang sebet karena kakalinteken kurenan miwah

pianakne makakalih padem (Widya Sastra, hal 13, al5).

'Suami bidadari yang dari Cabe itu terlalu sedih karena ditinggal oleh istri dan kedua anaknya meninggal.

Penyimpangan pemakaian kata berdasarkan anggah-ungguhing basa pada data (14) khususnya

data (14a—14c) dapat dijelaskan sebagai berikut. Penyimpangan pada data (14a) dapatilihat pemakaian kata tongos dan kata lan. Kata tongos 'genah' masih memiliki bentuk alus yaitu genah, begitu juga kata lan 'dan' masih memiliki bentuk alus wiadin/tut. Oleh karena itu, kalimat pada data (14a) seharusnya dibuat menjadi ... aksara punika madue genah wiadin fungsi sosial religius. Maknanya sama dengan di atas.

Begitu pula dengan contoh pada data (14b), juga terdapat penyimpangan terhadap anggah-ungguhing basa, yaitu pada penggunaan kata nadiang. Kata nadiang masih memiliki bentuk alus yaitu nadosang. Kalau dibentuk kalimatnya yang ideal seharusnya menjadi: Pangangge aksara ingih punika lambang aksarane sane nadosang aksara/konsonan....Makna kalimatnya sama dengan di atas.

Penyimpangan pada data (14c) terjadi pada kata karena dan kakalin. Penggunaan kata yang tepat adalah kerana 'karena', begitu juga kekalin dari kosa katanya sudah bahasa Bali dan pembentukan katanya juga sudah benar, tetapi yang salah tidak tepat pemakaiannya. kata kakalin berasal dari kata kata kalah’...' merupakan bentuk prakategorial, mendapat prefiks ka- dan akhiran –in. Mestinya menjadi kakalahin/kakalain 'ditinggal', tetapi memang pada penutur daerah tertentu ada yang suka memotong magian suku katanya, seperti kata ini terhadi pemotongan/penyingkatan bagian suku kata ah/a. Kata kakalinseharusnya diganti dengan katakatinggal. Idealnya kalimat itu seharusnya menjadi: Kurenan dedarine sane saking Cabe punika kalintang sebet kerana katinggal teken kurenan miwah pianakne makakalih padem . Dengan makna yang sama dengan di atas. IV SIMPULAN Berdasarkan uraian di asa maka dapat ditarik memerapa kesimpulan tentang penyimangan-penyuimpangan penggunaan bahasa bali pada Buu Ajar bahasa Bali sebagai berikut.

1) Penyimpangan pada tata cara penulusan terjadi penggunaan spasi yang tidak tepat; penulian e seharusnya ditulis é; penulisan bunyi /E/ pada prefiks dan akhir kata ditulie e, seharusnta ditulis a; kata-kata asing/bukan bahasa pengantar yang seharusnyaa ditulis miring tetapi tidak dimiringkan; dan penulisan huruf yang seharusnya capital ditulis huruf kecil.

2) Pengimpangan secara fonologis terjadi kata yang seharusnya mangkin ‘sekarang’ ditulis makin.

3) Secara morfologis penyimpangan terjadi pada penggunaan afiks, yaitu seharusnya dalam bahasa Bali Baku digunakan prefiks {N-} tetapi ada digunakan prefiks {sa}. Alopor /meN-/

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

57

dan /meN-/; salah penempatan infiks pada gabungan kata yang seharusnya ditaruh pada unsur pertama tetapi ditaruh pada unsur ke dua; penggunaan sufiks yang seharusnya /-ne/ ditulis /-e/; dan sufiks yang seharusnya {-aN} ditulis {-an}.

4) Secara sintaksis terjadi penyimpangan pada pembentukan frase yang unsur-unsurnya berakgir dengan vokal, pada unsur yang pertama seharusnya muncul bunyi /n/, sedangkan pada unsur yang kedua harusnya muncul /-ne/ pada kata yang berakhir vokal dan /-e/ pada kata yang berakhir konsonan tidak ditambah apa=apa seperti konstruksi bahasa Indonesia.

5) Terjadi juga penyimpangan penggunaan kosa kata yang seharusnya ada dalam bahasa Bali, yetapi dipakai bahasa Indonesia.

6) Pada penyimpangan anggah-ungguhing basa Baliterdapat penggunaan kosa kata yang tidak sesuai.

DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar A. 2003. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan

Penelitian Kualitatif.Jakarta: Pustaka Jaya. Bagus, I Gusti Ngurah (ed). 1975. Masalah Pembakuan Bahasa Bali. Singaraja: Balai Penelitian

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ---------- 1975/1976. “Tingkat-Tingkat Bicara dalam Bahasa Bali”. Denpasar: Proyek Penelitian

Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

---------- 1978/1079 “Unda-Usuk Bahasa Bali”. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen

Bungin, Butrhan.2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Renika Cipta Djajasudarma, T. Fatimah. 1999a. Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama. Djajasudarma, T. Fatimah. 1999b. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.

Bandung: Eresco. Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan.(terj. Barori Tou). 1994. Bahasa, Konteks, dan

Teks.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hockett, Charles F. 1958. A Course in modern Linguistics.New York: The Macmillan Company. Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguitik Umum. Jakarta: Fakultas sastra, Universita Indonesia Kersten, J. 1957. “Garis Besar Tata bahasa Bali. Singaraja: Widyataya. Mahsun, 2007. Metode Penelitian Bahasa : Tahapan Strategis, Metode dan Tekniknya. Jakarta: PT.

Grapindo Persada. Muhajir, Noeng H. 1996. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nababan, P. W. J.. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Narayana, Ida Bagus Udara. 1984. “Tingkatan Anggah-Ungguhing Basa bali” dalam Jurnal Widya

Pustaka Th. I, Nomor 1. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Pariyati, Ni Made. 2009. “Anggah-Ungguhing Basa dalam Novel Sembalun Rinjani Karya Djelantik

Santha”.Skripsi untuk Fakultas Sastra. Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Suasta, Ida Bagus Made. 2001. “Rasa Basa Basa Bali”. Prosiding. Kumpulan Makalah Kongres

Bahasa Bali V. Denpasar: Fakultas sastra Unud, Program S2, S3 Linguistik dan Kajian Kebudayaan Unud dan IKIP Ngeri Singaraja, 13—16 November 2001.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Page 61: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

56

Penyimpangan Penggunaan Bahasa Bali Berdasarkan Anggah-Ungguhing Basa Bali Penyimpangan anggah-ungguhing basa adalah pemalaian kosakata tertentu yang tidak sesuai

dengan anggah-ungguhing basa yang sudah disamlaikan pada bab 2. Pengantar Buku Ajar bahasa Bali untuk SMTP hampir semuanya menggunakan bahasa Alus. Oleh karena itu penyimpangan di sini pasti munculnya kata yang masih memikliki bentuk alus. Hal itu bisa dilihat pada data (14)berikut ini Data (14 ): (14a) ... aksara punika madue tongoslan fungsi sosial religius. '......Aksara itu memiliki tempat dan fungsi fungsi religius. (14b) Pangangge aksara ingih punika lambang aksarane sane nadiang aksara/konsonan.... (PS 8,

hal.21, al.2) '......pangangge Aksara adalah lambang aksaranya yang ,menjadikan aksara/konsonan...... (14c) Kurenan dedarine sane saking Cabe punika kalintang sebet karena kakalinteken kurenan miwah

pianakne makakalih padem (Widya Sastra, hal 13, al5).

'Suami bidadari yang dari Cabe itu terlalu sedih karena ditinggal oleh istri dan kedua anaknya meninggal.

Penyimpangan pemakaian kata berdasarkan anggah-ungguhing basa pada data (14) khususnya

data (14a—14c) dapat dijelaskan sebagai berikut. Penyimpangan pada data (14a) dapatilihat pemakaian kata tongos dan kata lan. Kata tongos 'genah' masih memiliki bentuk alus yaitu genah, begitu juga kata lan 'dan' masih memiliki bentuk alus wiadin/tut. Oleh karena itu, kalimat pada data (14a) seharusnya dibuat menjadi ... aksara punika madue genah wiadin fungsi sosial religius. Maknanya sama dengan di atas.

Begitu pula dengan contoh pada data (14b), juga terdapat penyimpangan terhadap anggah-ungguhing basa, yaitu pada penggunaan kata nadiang. Kata nadiang masih memiliki bentuk alus yaitu nadosang. Kalau dibentuk kalimatnya yang ideal seharusnya menjadi: Pangangge aksara ingih punika lambang aksarane sane nadosang aksara/konsonan....Makna kalimatnya sama dengan di atas.

Penyimpangan pada data (14c) terjadi pada kata karena dan kakalin. Penggunaan kata yang tepat adalah kerana 'karena', begitu juga kekalin dari kosa katanya sudah bahasa Bali dan pembentukan katanya juga sudah benar, tetapi yang salah tidak tepat pemakaiannya. kata kakalin berasal dari kata kata kalah’...' merupakan bentuk prakategorial, mendapat prefiks ka- dan akhiran –in. Mestinya menjadi kakalahin/kakalain 'ditinggal', tetapi memang pada penutur daerah tertentu ada yang suka memotong magian suku katanya, seperti kata ini terhadi pemotongan/penyingkatan bagian suku kata ah/a. Kata kakalinseharusnya diganti dengan katakatinggal. Idealnya kalimat itu seharusnya menjadi: Kurenan dedarine sane saking Cabe punika kalintang sebet kerana katinggal teken kurenan miwah pianakne makakalih padem . Dengan makna yang sama dengan di atas. IV SIMPULAN Berdasarkan uraian di asa maka dapat ditarik memerapa kesimpulan tentang penyimangan-penyuimpangan penggunaan bahasa bali pada Buu Ajar bahasa Bali sebagai berikut.

1) Penyimpangan pada tata cara penulusan terjadi penggunaan spasi yang tidak tepat; penulian e seharusnya ditulis é; penulisan bunyi /E/ pada prefiks dan akhir kata ditulie e, seharusnta ditulis a; kata-kata asing/bukan bahasa pengantar yang seharusnyaa ditulis miring tetapi tidak dimiringkan; dan penulisan huruf yang seharusnya capital ditulis huruf kecil.

2) Pengimpangan secara fonologis terjadi kata yang seharusnya mangkin ‘sekarang’ ditulis makin.

3) Secara morfologis penyimpangan terjadi pada penggunaan afiks, yaitu seharusnya dalam bahasa Bali Baku digunakan prefiks {N-} tetapi ada digunakan prefiks {sa}. Alopor /meN-/

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

57

dan /meN-/; salah penempatan infiks pada gabungan kata yang seharusnya ditaruh pada unsur pertama tetapi ditaruh pada unsur ke dua; penggunaan sufiks yang seharusnya /-ne/ ditulis /-e/; dan sufiks yang seharusnya {-aN} ditulis {-an}.

4) Secara sintaksis terjadi penyimpangan pada pembentukan frase yang unsur-unsurnya berakgir dengan vokal, pada unsur yang pertama seharusnya muncul bunyi /n/, sedangkan pada unsur yang kedua harusnya muncul /-ne/ pada kata yang berakhir vokal dan /-e/ pada kata yang berakhir konsonan tidak ditambah apa=apa seperti konstruksi bahasa Indonesia.

5) Terjadi juga penyimpangan penggunaan kosa kata yang seharusnya ada dalam bahasa Bali, yetapi dipakai bahasa Indonesia.

6) Pada penyimpangan anggah-ungguhing basa Baliterdapat penggunaan kosa kata yang tidak sesuai.

DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar A. 2003. Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan

Penelitian Kualitatif.Jakarta: Pustaka Jaya. Bagus, I Gusti Ngurah (ed). 1975. Masalah Pembakuan Bahasa Bali. Singaraja: Balai Penelitian

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ---------- 1975/1976. “Tingkat-Tingkat Bicara dalam Bahasa Bali”. Denpasar: Proyek Penelitian

Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

---------- 1978/1079 “Unda-Usuk Bahasa Bali”. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembngan Bahasa, Departemen

Bungin, Butrhan.2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Renika Cipta Djajasudarma, T. Fatimah. 1999a. Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama. Djajasudarma, T. Fatimah. 1999b. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.

Bandung: Eresco. Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan.(terj. Barori Tou). 1994. Bahasa, Konteks, dan

Teks.Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hockett, Charles F. 1958. A Course in modern Linguistics.New York: The Macmillan Company. Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguitik Umum. Jakarta: Fakultas sastra, Universita Indonesia Kersten, J. 1957. “Garis Besar Tata bahasa Bali. Singaraja: Widyataya. Mahsun, 2007. Metode Penelitian Bahasa : Tahapan Strategis, Metode dan Tekniknya. Jakarta: PT.

Grapindo Persada. Muhajir, Noeng H. 1996. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nababan, P. W. J.. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Narayana, Ida Bagus Udara. 1984. “Tingkatan Anggah-Ungguhing Basa bali” dalam Jurnal Widya

Pustaka Th. I, Nomor 1. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Pariyati, Ni Made. 2009. “Anggah-Ungguhing Basa dalam Novel Sembalun Rinjani Karya Djelantik

Santha”.Skripsi untuk Fakultas Sastra. Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Suasta, Ida Bagus Made. 2001. “Rasa Basa Basa Bali”. Prosiding. Kumpulan Makalah Kongres

Bahasa Bali V. Denpasar: Fakultas sastra Unud, Program S2, S3 Linguistik dan Kajian Kebudayaan Unud dan IKIP Ngeri Singaraja, 13—16 November 2001.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Page 62: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

58

PERKEMBANGAN MAKNA BUDAYA SUMBU UTAMA ARAH SEBAGAI ORIENTASI EKOLOGI BALI

Oleh:

Putu Eka Guna Yasa Program Studi Sastra Bali [email protected]

PENDAHULUAN Penataan ekologi Bali sangat dipengaruhi oleharah mata angin. Hal itu dapat dilihat secara holistik mulai dari tingkat pekarangan keluarga, banjar, desa pakraman, sampai pada pura-pura yang tersebar di seluruh Bali.Astiti (2005: 29) mengatakan bahwa seluruh tata lingkungan tersebut berbasiskan orientasi terbit dan tenggelamnya matahari (kangin-kauh) dan gunung serta laut (kaja-kelod). Arah gunung dan terbitnya matahari dipandang sebagai luanan dan arah laut serta tenggelamnya matahari sebagai arah tebenan. Pola orientasi ruang tersebut, pada akhirnya memengaruhi laku hidup masyarakat Bali dalam menata lingkungan di segala tingkatan. Laku hidup sebagai hasil interaksi intensif manusia dengan ruang itu pada gilirannya tercermin dalam penataan arsitektur. Bangunan-bangunan suci ditempatkan di arah luanan (timur/utara), di bagian tengah dibangun pemukiman, dan dibagian tebenan dibangun tempat untuk pembuangan limbah/kotoran, kandang dan ternak, termasuk pula kuburan (setra). Landasan konsepsional tentang arah inilah yang menghasilkan pandangan tentang tri angga. Tri angga merupakan landasan etik dan estetik penempatan bangunan Bali yang terdiri atas konsep utama mandala ‘bagian utama atau atas’, madya mandala‘bagian tengah’, dan nista mandala ‘bagian bawah’. (Arwata, 2010: 11). Vitalnya makna budaya yang melekat pada arah di Bali, dapat dijejaki melalui perkembangan kosakata atau leksikon bahasa Bali dari perspektif diakronis. Kata secara filosofis merupakan wahana untuk mengekspresikan berbagai gagasan manusia. Dengan demikian, melalui kata pula seseorang dapat melacak konsep-konsep penting yang diwariskan oleh para pendahulunya kepada generasi sekarang. Kata yang diyakini menjadi ‘sarang pengetahuan’ sekaligus tumpuan harapan untuk mendalami makna budaya itu sendiri tidak statis, tetapi cenderung mengalami perubahan-perubahan baik dari perspektif bentuk maupun maknanya. Perbandingan bentuk dan makna kata dari dokumen-dokumen masa lampau dengan kata yang diwarisi saat ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dengan lebih jelas evolusi konsep yang ada di dalamnya. Untuk melihat renik-renik dan kompleksitas evolusi pada bentuk dan makna kata tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali digunakan teori linguistik historis komparatif (selanjutnya disingkat LHK). Dalam kerangka teori LHK, perubahanuntuk setiap satuan kebahasaan pada tataran fonologi terjadi secara teratur, terkondisi, dan juga secara tidak teratur (Jeffers dan Lehiste, 1979: 12). Konstruksi dan fitur-fitur gramatikal, baik morfologi maupun sintaksis membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk bisa berubah. Sementara itu, perubahan pada tataran leksikon lebih cepat terjadi jika dibandingkan dengan satuan kebahasaan lainnya (Mbete, 2002: 105). Itulah sebabnya, perubahan dalam satuan gramatikal sering tidak disadari adanya, kecuali melalui pengamatan saksama dengan membandingkan data bahasa dalam dua masa yang relatif lebih panjang (Jufrizal, 2015: 66). Evolusi pada tataran wujud leksikon meliputi berbagai jenis perubahan fonologis. Pola perubahan bunyi tersebut menurut Crowley (1992: 3) diklasifikasikan menjadi sembilan pola perubahan bunyi yakni (1) pelemahan dan penguatan (lenition and fortition), (2) penambahan bunyi (sound addition), (3) metatesis (methatesis), (4) peleburan (fusion), (5) perengkahan (unpacking), (6) pemecahan vokal (vowel breaking), (7) asimilasi (assimilation), (8) disimilasi (disimilation), dan (9) perubahan bunyi abnormal (abnormal sound change) (Crowley, 1992: 38-65). Sementara itu,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

59

perubahan pada tataran makna menurut Schendl (2001) dikelompokkan menjadi (1) perluasan, (2) penyempitan, (3) ameliorasi, (4) peyorasi, (5) metafora, (6) mitonimi, dan (7) pemutihan makna (semantics bleaching). Bersandar pada kerangka teori tersebut perkembangan makna budaya tentang arah mata angin dianalisis. Untuk mendapatkan data penggunaan bahasa Bali Kuna dan bahasa Bali Tengahan, penelitian ini menggunakan prasasti-prasasti yang diterbitkan pada masa Bali Kuna dan karya-karya sastra Bali Tengahan. Sementara itu, data bahasa Bali Modern diambil dari kamus bahasa Bali yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. II PEMBAHASAN Di tengah-tengah wacana kerusakan lingkungan yang semakin menggejala di berbagai belahan dunia, penggalian terhadap konsep-konsep kearifan lokal yang berdimensi universal tentang lingkungan terasa semakin mendesak dilakukan. Masyarakat Bali yang beragama Hindu memang memiliki sejumlah filosofi penting yang dapat dijadikan tumpuan harapan untuk menggedor pintu-pintu kesadaran manusia yang kian berjarak dengan alam. Filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (kita semua bersaudara) yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di bumi ini tampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Oleh sebab itulah dalam bait-bait puja Tri Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia. Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam khususnya tumbuhan disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Panguduh. Pada hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti pepohonan (Tim Penyusun, Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, 2007: 25). Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengan tumbuhan karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‘jiwa’ dari tumbuhan. Bagian-bagian tumbuhan itulah yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya. Di samping memuliakan binatang, pada hari Tumpek Uyemasyarakat Bali juga melakukan upacara untuk menghormati binatang dengan sebutan Tumpek Kandang. Senada dengan upacara terhadap tumbuhan, Tumpek Kandang juga bermakna pemuliaan terhadap binatang yang telah membantu manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dengan jiwa binatang yang dikorbankanlah manusia bisa menikmati lauk pauk untuk kesehatan dan kekuatan jiwa dan raganya. Untuk bertahan hidup, manusia mengorbankan ‘saudara binatang dan tumbuhan’. Usaha untuk memuliakan alam semesta sebagai rumah bersamadalam cakrawala pandang masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari arah mata angin sebagai orientasi ekologi. Arah angin itulah yang menentukan tata ruang Bali sebagai interaksi intensif antara manusia dengan lingkungan. Untuk mendapatkan makna tentang orientasi ekologi masyarakat Bali, penting memahami dinamika leksikon tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali. Melalui dinamika itulah akan dilihat pemahaman sekaligus penghayatan manusia Bali terhadap ekologinya. Menariknya, dari perspektif bahasa khususnya dinamika leksikon, terjadi perubahan orientasi penyebutan arah sepanjang sejarah perkembangan bahasa Bali. Dinamika leksikon dalam sejarah perkembangan bahasa Bali tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 63: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

58

PERKEMBANGAN MAKNA BUDAYA SUMBU UTAMA ARAH SEBAGAI ORIENTASI EKOLOGI BALI

Oleh:

Putu Eka Guna Yasa Program Studi Sastra Bali [email protected]

PENDAHULUAN Penataan ekologi Bali sangat dipengaruhi oleharah mata angin. Hal itu dapat dilihat secara holistik mulai dari tingkat pekarangan keluarga, banjar, desa pakraman, sampai pada pura-pura yang tersebar di seluruh Bali.Astiti (2005: 29) mengatakan bahwa seluruh tata lingkungan tersebut berbasiskan orientasi terbit dan tenggelamnya matahari (kangin-kauh) dan gunung serta laut (kaja-kelod). Arah gunung dan terbitnya matahari dipandang sebagai luanan dan arah laut serta tenggelamnya matahari sebagai arah tebenan. Pola orientasi ruang tersebut, pada akhirnya memengaruhi laku hidup masyarakat Bali dalam menata lingkungan di segala tingkatan. Laku hidup sebagai hasil interaksi intensif manusia dengan ruang itu pada gilirannya tercermin dalam penataan arsitektur. Bangunan-bangunan suci ditempatkan di arah luanan (timur/utara), di bagian tengah dibangun pemukiman, dan dibagian tebenan dibangun tempat untuk pembuangan limbah/kotoran, kandang dan ternak, termasuk pula kuburan (setra). Landasan konsepsional tentang arah inilah yang menghasilkan pandangan tentang tri angga. Tri angga merupakan landasan etik dan estetik penempatan bangunan Bali yang terdiri atas konsep utama mandala ‘bagian utama atau atas’, madya mandala‘bagian tengah’, dan nista mandala ‘bagian bawah’. (Arwata, 2010: 11). Vitalnya makna budaya yang melekat pada arah di Bali, dapat dijejaki melalui perkembangan kosakata atau leksikon bahasa Bali dari perspektif diakronis. Kata secara filosofis merupakan wahana untuk mengekspresikan berbagai gagasan manusia. Dengan demikian, melalui kata pula seseorang dapat melacak konsep-konsep penting yang diwariskan oleh para pendahulunya kepada generasi sekarang. Kata yang diyakini menjadi ‘sarang pengetahuan’ sekaligus tumpuan harapan untuk mendalami makna budaya itu sendiri tidak statis, tetapi cenderung mengalami perubahan-perubahan baik dari perspektif bentuk maupun maknanya. Perbandingan bentuk dan makna kata dari dokumen-dokumen masa lampau dengan kata yang diwarisi saat ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dengan lebih jelas evolusi konsep yang ada di dalamnya. Untuk melihat renik-renik dan kompleksitas evolusi pada bentuk dan makna kata tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali digunakan teori linguistik historis komparatif (selanjutnya disingkat LHK). Dalam kerangka teori LHK, perubahanuntuk setiap satuan kebahasaan pada tataran fonologi terjadi secara teratur, terkondisi, dan juga secara tidak teratur (Jeffers dan Lehiste, 1979: 12). Konstruksi dan fitur-fitur gramatikal, baik morfologi maupun sintaksis membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk bisa berubah. Sementara itu, perubahan pada tataran leksikon lebih cepat terjadi jika dibandingkan dengan satuan kebahasaan lainnya (Mbete, 2002: 105). Itulah sebabnya, perubahan dalam satuan gramatikal sering tidak disadari adanya, kecuali melalui pengamatan saksama dengan membandingkan data bahasa dalam dua masa yang relatif lebih panjang (Jufrizal, 2015: 66). Evolusi pada tataran wujud leksikon meliputi berbagai jenis perubahan fonologis. Pola perubahan bunyi tersebut menurut Crowley (1992: 3) diklasifikasikan menjadi sembilan pola perubahan bunyi yakni (1) pelemahan dan penguatan (lenition and fortition), (2) penambahan bunyi (sound addition), (3) metatesis (methatesis), (4) peleburan (fusion), (5) perengkahan (unpacking), (6) pemecahan vokal (vowel breaking), (7) asimilasi (assimilation), (8) disimilasi (disimilation), dan (9) perubahan bunyi abnormal (abnormal sound change) (Crowley, 1992: 38-65). Sementara itu,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

59

perubahan pada tataran makna menurut Schendl (2001) dikelompokkan menjadi (1) perluasan, (2) penyempitan, (3) ameliorasi, (4) peyorasi, (5) metafora, (6) mitonimi, dan (7) pemutihan makna (semantics bleaching). Bersandar pada kerangka teori tersebut perkembangan makna budaya tentang arah mata angin dianalisis. Untuk mendapatkan data penggunaan bahasa Bali Kuna dan bahasa Bali Tengahan, penelitian ini menggunakan prasasti-prasasti yang diterbitkan pada masa Bali Kuna dan karya-karya sastra Bali Tengahan. Sementara itu, data bahasa Bali Modern diambil dari kamus bahasa Bali yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. II PEMBAHASAN Di tengah-tengah wacana kerusakan lingkungan yang semakin menggejala di berbagai belahan dunia, penggalian terhadap konsep-konsep kearifan lokal yang berdimensi universal tentang lingkungan terasa semakin mendesak dilakukan. Masyarakat Bali yang beragama Hindu memang memiliki sejumlah filosofi penting yang dapat dijadikan tumpuan harapan untuk menggedor pintu-pintu kesadaran manusia yang kian berjarak dengan alam. Filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (kita semua bersaudara) yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di bumi ini tampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Oleh sebab itulah dalam bait-bait puja Tri Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia. Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam khususnya tumbuhan disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Panguduh. Pada hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti pepohonan (Tim Penyusun, Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, 2007: 25). Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengan tumbuhan karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‘jiwa’ dari tumbuhan. Bagian-bagian tumbuhan itulah yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya. Di samping memuliakan binatang, pada hari Tumpek Uyemasyarakat Bali juga melakukan upacara untuk menghormati binatang dengan sebutan Tumpek Kandang. Senada dengan upacara terhadap tumbuhan, Tumpek Kandang juga bermakna pemuliaan terhadap binatang yang telah membantu manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dengan jiwa binatang yang dikorbankanlah manusia bisa menikmati lauk pauk untuk kesehatan dan kekuatan jiwa dan raganya. Untuk bertahan hidup, manusia mengorbankan ‘saudara binatang dan tumbuhan’. Usaha untuk memuliakan alam semesta sebagai rumah bersamadalam cakrawala pandang masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari arah mata angin sebagai orientasi ekologi. Arah angin itulah yang menentukan tata ruang Bali sebagai interaksi intensif antara manusia dengan lingkungan. Untuk mendapatkan makna tentang orientasi ekologi masyarakat Bali, penting memahami dinamika leksikon tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali. Melalui dinamika itulah akan dilihat pemahaman sekaligus penghayatan manusia Bali terhadap ekologinya. Menariknya, dari perspektif bahasa khususnya dinamika leksikon, terjadi perubahan orientasi penyebutan arah sepanjang sejarah perkembangan bahasa Bali. Dinamika leksikon dalam sejarah perkembangan bahasa Bali tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 64: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

60

Tabel Leksikon Tentang Sumbu Utama Arah

Pada Bahasa Bali Kuna, Bahasa Bali Tengahan, dan bahasa Bali Modern

Bahasa Bali Kuna Bahasa Bali Tengahan

Bahasa Bali Modern

Padan Makna

/kadya/ /den/

/lor/ /uttara/

/kaja/ ‘utara’

/kaŋin/ /daŋin/ /witan/ /purwa/

/wetan/ /purwa/

/kaŋin/ ‘timur’

/kǝlod/ /lod/

/kidul/ /daksina/

/kǝlod/ ‘selatan’

/karuh/ /daruh/

/kulon/ /pascima/

/kauh/ ‘barat’

Mengacu pada tabel di atas, leksikon untuk ‘utara’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kadya/ dan /den/1. Leksikon /kadya/ ‘utara’ dan /den/ ‘utara’ pada bahasa Bali Tengahan tampak digantikan oleh leksikon /utara/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /lor/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dalam perkembangannya pada bahasa Bali Modern leksikon /kadya/ dan /den/ terwaris dengan evolusi fonologis. Leksikon untuk ‘selatan’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kəlod/ dan /lod/. Pada bahasa Bali Tengahan leksikon tersebut tampak diganti oleh leksikon /daksina/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /kidul/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Leksikon untuk ‘timur’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kaŋin/, /daŋin/, /witan/ (pengaruh bahasa Jawa Kuna), /purwa/ (pengaruh bahasa Sanskerta). Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon bahasa Sanskerta yaitu /purwa/ dan bahasa Jawa Kuna /witan/ yang sebelumnya memengaruhi bahasa Bali Kuna tampak terwaris. Sementara itu, pada bahasa Bali Modern leksikon /kaŋin/ dan /daŋin/ tampak terwaris. Leksikon untuk ‘barat’ dalam bahasa Bali Kuna terwaris dalam bentuk /karuh/ dan /daruh/. Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon tersebut tampak digantikan oleh leksikon bahasa Sanskerta /pascima/ dan bahasa Jawa Kuna /ulon/. Pada bahasa Bali Modern leksikon itu terwaris dalam bentuk /kauh/ dan /dauh/. Leksikon /kadya/ berdasarkan perkembangan bentuk di atas secara leksikal bermakna ‘utara’. Leksikon ini, mengalami perkembangan makna budaya karena tidak hanya digunakan untuk menunjukkan arah utara, tetapi secara kultural diidentikkan dengan arah ke gunung. Bahkan, dalam kamus bahasa Bali Kuna leksikon /kadya/ diberikan makna ‘utara’, ‘ke arah utara’, atau ‘ke arah gunung’ (Granoka, 1985: 52). Namun demikian, leksikon /kadya/ ‘utara’ yang berioentasi ke gunung seperti yang tersurat dalam prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna juga mengalami dinamika. Pada sejumlah teks prasasti Bali Kuna terutama prasasti Bebetin dan Sembiran, arah /kadya/ ‘utara’ semula tidak berorientasi ke gunung, tetapi laut. Dengan demikian, prasasti tersebut memberikan informasi

1 Leksikon /kadya/ berdistribusi lebih banyak dalam keseluruhan data prasasti berbahasa Bali Kuna. Prasasti-prasasti yang memuat leksikon tersebut yaitu Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila A I, Prasasti Dausa Bukit Indrakila B I, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, dan Prasasti Sading A II. Sementara itu, leksikon /den/ hanya digunakan dalam sejumlah prasasti yaitu Prasasti Sembiran A II, Prasasti Serai A II, dan Prasasti Sading A II. Dengan melihat perbandingan distribusi kedua leksikon itu, dapat diidentifikasi bahwa leksikon /kadya/ ‘utara’ sebagai bentuk dasar, sedangkan leksikon /den/ ‘utara’ sebagai bentuk varian.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

61

penting mengenai perubahan penyebutan arah utara yang kemudian berkembang dan merujuk gunung pada bahasa Bali Tengahan maupun Bali Modern. Prasasti Bebetin yang memuat leksikon /kadya/ ‘utara’ dengan orientasi laut, tidak menyebutkan nama raja sebagai penerbitnya (dikeluarkan pada tahun 818 Saka). Prasasti tersebut mendeskripsikan perhatian raja terhadap benteng di Banwa Baru yang semua penduduknya telah dikalahkan musuh. Oleh sebab itu, penguasa memerintahkan Nayakan Pradana dan Kumpi Widyaruwana untuk membangun suatu bangunan suci yang berhubungan dengan Hyang Api di tempat itu. Bangunan tersebut kemudian ditetapkan batas-batasnya sesuai dengan konsep arah mata angin. Selengkapnya, prasasti Bebetin menyebutkan batas-batas bangunan Hyang Api seperti di bawah ini.

Simayangnya hangga minanga kangin, hangga bukit manghandang kalod, hangga tukad batang karuh, hangga tasik kadya (Prasasti Bebetin, 818 Saka). Terjemahan. Batas sebelah timur Minanga, di sebelah selatan Bukit Manghandang, di sebelah Barat sungai Batang, dan di sebelah utara laut (Ardika dan Beratha, 1996 : 47).

Fenomena penyebutan arah /kadya/ yang berorientasi ke laut juga ditunjukkan oleh prasasti Sembiran. Prasasti Sembiran yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena 2 pada tahun 844 Saka, mendeskripsikan mengenai permohonan penduduk Desa Julah kepada raja agar diadakan perbaikan terhadap benteng (kuta) tempat tinggalnya. Raja selanjutnya memerintahkan penduduk untuk kembali bertempat tinggal di daerah perbentengan beserta seluruh keluarganya (tua hetu syuruhku ya, lipetangen anak parumahan di kutanya, marang sentanan). Rajapun menetapkan batas-batas wilayah perdikan untuk kawasan tersebut. Dalam konteks penetapan batas wilayah perdikan itulah penyebutan arah mata angin terutama /kadya/ ‘utara’ yang merujuk pada laut digunakan. simayangnya hangga air lutung karuh, hangga duri (lwa) rlwar kalod, hangga air hyang

kangin, hangga ampuhan kadya. (Prasasti Sembiran AI, 884 Saka). Terjemahan. Batas wilayah perdikannya adalah Air Lutung di barat, di sebelah selatan Duri Lwar-Lwar,

di sebelah timur Air Hyang, dan di sebelah utara batasnya adalah laut (Ardika dan Beratha, 1996: 78).

Pada kutipan prasasti di atas, jelas disebutkan bahwa penanda arah utara adalah /kadya/. Arah /kadya/ ‘utara’ tersebut tidak merujuk pada gunung, tetapi laut (ampuhan). Ardika (2003: 93) mengatakan bahwa perubahan penyebutan arah ke laut menjadi selatan dengan leksikon kidul/kalod dan arah ke gunung dengan leksikon lor/kadya di Bali Utara, baru tersurat dalam prasasti Sembiran C yang berangka tahun 1103 Saka. Prasasti yang diterbitkan pada masa pemerintahan raja Jaya Pangus itu menyatakan secara eksplisit bahwa batas-batas desa Julah sebagai berikut :

pinarimandala hingan i taninya, hinganya wetan tukad mamurpur, air lesung, air tabar, rengreng, hinganya kidul, sagara hinganya kulwan, cadin, bakah, renek, air cacaras, hinganya lor, baligbig (Ardika, 1991: 268). Artinya. ditetapkan batas keliling dari desa Julah, batasnya di sebelah timur adalah sungai Mamurpur, Air Lesung, Air Tabar, Rengreng, batas di sebelah selatannya adalah laut.

Ardika, (2003: 97) menjelaskan bahwa landasan konsepsional perubahan penyebutan arah utara yang merujuk pada laut menjadi berorientasi pada gunung tersebut, berkaitan erat dengan landasan

2 Raja Ugrasena merupakan raja ke dua yang memerintah kerajaan Bali setelah pemerintahan Sri Kesari Warnadewa. Raja

Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942 Masehi) (Ardika, 2013: 111).

Page 65: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

60

Tabel Leksikon Tentang Sumbu Utama Arah

Pada Bahasa Bali Kuna, Bahasa Bali Tengahan, dan bahasa Bali Modern

Bahasa Bali Kuna Bahasa Bali Tengahan

Bahasa Bali Modern

Padan Makna

/kadya/ /den/

/lor/ /uttara/

/kaja/ ‘utara’

/kaŋin/ /daŋin/ /witan/ /purwa/

/wetan/ /purwa/

/kaŋin/ ‘timur’

/kǝlod/ /lod/

/kidul/ /daksina/

/kǝlod/ ‘selatan’

/karuh/ /daruh/

/kulon/ /pascima/

/kauh/ ‘barat’

Mengacu pada tabel di atas, leksikon untuk ‘utara’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kadya/ dan /den/1. Leksikon /kadya/ ‘utara’ dan /den/ ‘utara’ pada bahasa Bali Tengahan tampak digantikan oleh leksikon /utara/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /lor/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dalam perkembangannya pada bahasa Bali Modern leksikon /kadya/ dan /den/ terwaris dengan evolusi fonologis. Leksikon untuk ‘selatan’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kəlod/ dan /lod/. Pada bahasa Bali Tengahan leksikon tersebut tampak diganti oleh leksikon /daksina/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /kidul/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Leksikon untuk ‘timur’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kaŋin/, /daŋin/, /witan/ (pengaruh bahasa Jawa Kuna), /purwa/ (pengaruh bahasa Sanskerta). Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon bahasa Sanskerta yaitu /purwa/ dan bahasa Jawa Kuna /witan/ yang sebelumnya memengaruhi bahasa Bali Kuna tampak terwaris. Sementara itu, pada bahasa Bali Modern leksikon /kaŋin/ dan /daŋin/ tampak terwaris. Leksikon untuk ‘barat’ dalam bahasa Bali Kuna terwaris dalam bentuk /karuh/ dan /daruh/. Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon tersebut tampak digantikan oleh leksikon bahasa Sanskerta /pascima/ dan bahasa Jawa Kuna /ulon/. Pada bahasa Bali Modern leksikon itu terwaris dalam bentuk /kauh/ dan /dauh/. Leksikon /kadya/ berdasarkan perkembangan bentuk di atas secara leksikal bermakna ‘utara’. Leksikon ini, mengalami perkembangan makna budaya karena tidak hanya digunakan untuk menunjukkan arah utara, tetapi secara kultural diidentikkan dengan arah ke gunung. Bahkan, dalam kamus bahasa Bali Kuna leksikon /kadya/ diberikan makna ‘utara’, ‘ke arah utara’, atau ‘ke arah gunung’ (Granoka, 1985: 52). Namun demikian, leksikon /kadya/ ‘utara’ yang berioentasi ke gunung seperti yang tersurat dalam prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna juga mengalami dinamika. Pada sejumlah teks prasasti Bali Kuna terutama prasasti Bebetin dan Sembiran, arah /kadya/ ‘utara’ semula tidak berorientasi ke gunung, tetapi laut. Dengan demikian, prasasti tersebut memberikan informasi

1 Leksikon /kadya/ berdistribusi lebih banyak dalam keseluruhan data prasasti berbahasa Bali Kuna. Prasasti-prasasti yang memuat leksikon tersebut yaitu Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila A I, Prasasti Dausa Bukit Indrakila B I, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, dan Prasasti Sading A II. Sementara itu, leksikon /den/ hanya digunakan dalam sejumlah prasasti yaitu Prasasti Sembiran A II, Prasasti Serai A II, dan Prasasti Sading A II. Dengan melihat perbandingan distribusi kedua leksikon itu, dapat diidentifikasi bahwa leksikon /kadya/ ‘utara’ sebagai bentuk dasar, sedangkan leksikon /den/ ‘utara’ sebagai bentuk varian.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

61

penting mengenai perubahan penyebutan arah utara yang kemudian berkembang dan merujuk gunung pada bahasa Bali Tengahan maupun Bali Modern. Prasasti Bebetin yang memuat leksikon /kadya/ ‘utara’ dengan orientasi laut, tidak menyebutkan nama raja sebagai penerbitnya (dikeluarkan pada tahun 818 Saka). Prasasti tersebut mendeskripsikan perhatian raja terhadap benteng di Banwa Baru yang semua penduduknya telah dikalahkan musuh. Oleh sebab itu, penguasa memerintahkan Nayakan Pradana dan Kumpi Widyaruwana untuk membangun suatu bangunan suci yang berhubungan dengan Hyang Api di tempat itu. Bangunan tersebut kemudian ditetapkan batas-batasnya sesuai dengan konsep arah mata angin. Selengkapnya, prasasti Bebetin menyebutkan batas-batas bangunan Hyang Api seperti di bawah ini.

Simayangnya hangga minanga kangin, hangga bukit manghandang kalod, hangga tukad batang karuh, hangga tasik kadya (Prasasti Bebetin, 818 Saka). Terjemahan. Batas sebelah timur Minanga, di sebelah selatan Bukit Manghandang, di sebelah Barat sungai Batang, dan di sebelah utara laut (Ardika dan Beratha, 1996 : 47).

Fenomena penyebutan arah /kadya/ yang berorientasi ke laut juga ditunjukkan oleh prasasti Sembiran. Prasasti Sembiran yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena 2 pada tahun 844 Saka, mendeskripsikan mengenai permohonan penduduk Desa Julah kepada raja agar diadakan perbaikan terhadap benteng (kuta) tempat tinggalnya. Raja selanjutnya memerintahkan penduduk untuk kembali bertempat tinggal di daerah perbentengan beserta seluruh keluarganya (tua hetu syuruhku ya, lipetangen anak parumahan di kutanya, marang sentanan). Rajapun menetapkan batas-batas wilayah perdikan untuk kawasan tersebut. Dalam konteks penetapan batas wilayah perdikan itulah penyebutan arah mata angin terutama /kadya/ ‘utara’ yang merujuk pada laut digunakan. simayangnya hangga air lutung karuh, hangga duri (lwa) rlwar kalod, hangga air hyang

kangin, hangga ampuhan kadya. (Prasasti Sembiran AI, 884 Saka). Terjemahan. Batas wilayah perdikannya adalah Air Lutung di barat, di sebelah selatan Duri Lwar-Lwar,

di sebelah timur Air Hyang, dan di sebelah utara batasnya adalah laut (Ardika dan Beratha, 1996: 78).

Pada kutipan prasasti di atas, jelas disebutkan bahwa penanda arah utara adalah /kadya/. Arah /kadya/ ‘utara’ tersebut tidak merujuk pada gunung, tetapi laut (ampuhan). Ardika (2003: 93) mengatakan bahwa perubahan penyebutan arah ke laut menjadi selatan dengan leksikon kidul/kalod dan arah ke gunung dengan leksikon lor/kadya di Bali Utara, baru tersurat dalam prasasti Sembiran C yang berangka tahun 1103 Saka. Prasasti yang diterbitkan pada masa pemerintahan raja Jaya Pangus itu menyatakan secara eksplisit bahwa batas-batas desa Julah sebagai berikut :

pinarimandala hingan i taninya, hinganya wetan tukad mamurpur, air lesung, air tabar, rengreng, hinganya kidul, sagara hinganya kulwan, cadin, bakah, renek, air cacaras, hinganya lor, baligbig (Ardika, 1991: 268). Artinya. ditetapkan batas keliling dari desa Julah, batasnya di sebelah timur adalah sungai Mamurpur, Air Lesung, Air Tabar, Rengreng, batas di sebelah selatannya adalah laut.

Ardika, (2003: 97) menjelaskan bahwa landasan konsepsional perubahan penyebutan arah utara yang merujuk pada laut menjadi berorientasi pada gunung tersebut, berkaitan erat dengan landasan

2 Raja Ugrasena merupakan raja ke dua yang memerintah kerajaan Bali setelah pemerintahan Sri Kesari Warnadewa. Raja

Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942 Masehi) (Ardika, 2013: 111).

Page 66: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

62

konsepsional mengenai mandala3yang relevan dengan konsep kosmogoni4masyarakat Bali. Lebih lanjut Ardika (2003: 98) berargumentasi bahwa perubahan penyebutan itu pada dasarnya bertalian dengan anggapan masyarakat Bali bahwa gunung secara kultural merupakan tempat suci/stana para dewa. Walaupun telah menyatakan bahwa perubahan arah tersebut didasarkan atas konsep mandala dan gunung sebagai tempat suci stana para dewa, Ardika (2003) tidak menjelaskan secara lebih rinci mengenai tatanan Bali dalam konsep mandala dan dewa yang berstana pada gunung sehingga dijadikan orientasi oleh masyarakat Bali. Padahal, secara faktual ekologi Bali ditata dengan konsep tersebut yakni konsep padma mandala, dan dewa yang berstana di gunung bergayut erat dengan sistem kepercayaan masyarakat Bali yang secara umum berfalsafah Siwa Siddhanta. Dalam konsep padma mandalaatau padma bhuwana (bunga teratai dengan delapan mahligai), Gunung Agung dinyatakan berada di pusat padma dunia maka gunung-gunung lain menempati posisi dik (segi empat/tapak dara) dan widik(arah sudut) (Agastia, 2014: 4). Menurut konsepsi tersebut, Gunung Agung (Giri Raja) sebagai gunung tertinggi menempati posisi mistis kosmis tengah, sumbu atau poros pusat, sekaligus titik temu timur-laut (orientasi simpul hulu gunung/utara/kadya dan matahari terbit di timur) (Sumarta, 2015: 60). Posisi dik ditempati oleh empat gunung yaitu Gunung Lempuyang (di timur), Gunung Andakasa (di selatan), Gunung Batukaru (di barat), dan Gunung Batur (di utara). Sementara itu, yang menempati posisi widik adalah Gowa Lawah (di timur laut), Bukit Uluwatu (di barat daya), Bukit Pucak Mangu (di barat daya), dan Gunung Agung (di timur laut) (Agastia, 2014: 4). Bertalian dengan penataan inilah, masyarakat di daerah Singaraja sampai saat ini merujuk pada gunung sebagai arah utara dengan satuan leksikon /kadya/. Perubahan penyebutan orientasi gunung yang ditandai dengan leksikon /kadya/ sebagai stana para dewa memiliki relasi yang erat dengan sistem keyakinan umat Hindhu di Bali, yang secara umum adalah Shiwa Siddhanta 5 . Dewa Shiwa diyakini sebagai dewanya gunung juga dikenal dengan sebutan Hyang Girinatha (Raja gunung) dan Hyang Parwata (dengan sakti Dewa Parwati/dewi gunung)6. Istilah lainnya untuk gunung adalah lingga acala (lingga yang tidak bergerak). Istilah lingga acala juga merujuk pada dewa Shiwa sebagai Tuhan yang berstana di gunung. Dalam konteks inilah, sangat kuat dugaan pembalikan konsepsi tentang arah utara /kadya/ yang semula berorientasi ke laut menjadi ke gunung. Pembalikan arah ini menunjukkan semakin kuatnya pengaruh Siwaisme di Bali pada masa pemerintahan raja Jaya Pangus. Berkaitan dengan perubahan orientasi ini, Dharma Palguna dalam Bali Post (14 Juni 2009) mengatakan bahwa:

bukan lagi masalah kesepakatan di mana utara, di mana selatan, di mana gunung, di mana matahari, tapi bab (penyebutan arah kadya: utara di Singaraja) itu memberi inspirasi tentang sebuah keberanian untuk membalikkan pikiran. Bukan membalikkan pikiran sendiri secara diam-diam di dalam ruang meditasi pada malam hari, tapi membalikkan pikiran orang banyak di alam terbuka pada siang hari. Di mana ada gunung di sana ada utara. Entah gunung itu di timur, di selatan, di barat, pokoknya itulah utara. Dibutuhkan sejumlah argumentasi yang sangat kuat oleh para pemberani yang pertama kalinya menggulirkan cara pandang berbeda ini. Argumentasi akan menjadi kuat kalau di dalamnya

3Mandala mempunyai pelbagai makna, di antaranya adalah lingkaran diagram yang memiliki kekuatan magis, yang merupakan fokus dalam upacara tantris. Dalam sistem politik India, mandala mengacu pada hubungan raja dengan teritorial atau wilayah kekuasaannya yang diwujudkan dalam bentuk lingkaran. Raja yang berada di luar lingkaran dianggap sebagai musuh dan yang di luar lingkaran sebagai sekutu (Highman, 189: 240, dalam Ardika, 2003 : 5). 4 Kosmogoni adalah adanya makrokosmos atau bhuwana agung (jagat raya) dan mikrokosmos atau bhuwana alit (dunia kecil). 5 Dalam tulisannya yang berjudul Sekte-Sekte di Bali (1986: 4), sekte Siwa Siddhanta dikatakan sebagai sekte yang ‘menang’ dari semua kelompok sekte lainnya. Sekte-sekte lainnya ditelan atau didesaknya. Semua pedanda yang ada di Bali (kecuali pedanda Buddha) adalah Siddhanta. Sekte-sekte lainnya yang dimaksud Gorris (1986) tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora, dan pemuja Ganesa. 6 Dharma Palguna, (Bali Post, 9 Januari 2011).

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

63

ada kebenaran-kebenaran yang selain bisa menghapus kenangan buruk dan perasaan bersalah pada masa lalu, juga bisa menunjukkan kebenaran baru yang menjanjikan kemenangan-kemenangan di masa depan. Kalau argumentasi itu tidak kuat dan benar, pembalikkan pikiran itu tidak akan diikuti oleh orang banyak, tidak akan bertahan menghadapi perubahan zaman.

Pandangan Dharma Palguna (2009) di atas semakin menegaskan vitalnya posisi arah dalam masyarakat Bali sehingga dalam prasasti Sembiran C seperti yang diuraikan Ardika (2003) arah gunung mulai menjadi orientasi untuk utara. Gunung yang semula diwujudkan dalam punden berundak, gundukan menyerupai gunung, batu tegak/menhir, lalu phallus sebagai bentuk simbolik lingga, hingga belakangan berkembang menjadi meru, bahkan tepasana dan padmasana, sanggah cucuk, sanggar surya, sampai sanggar tawang dalam ritus-ritus yadnya di Bali tetap merupakan alir visi konsisten transformasi gunung sebagai lingga acalayang merupakan titik pusat mistis berkesucian (Sumarta, 2015: 61). Paparan di atas tentang leksikon /kadya/ yang secara kultural berarti berorientasi pada gunung menyebabkan gunung menempati makna yang istimewa, karena gunung dianggap hulu (kepala). Gunung yang disebut juga parwata, giri, ukir, acala, dan yang lainnya menjadi orientasi kesucian bagi masyarakat Bali (Agastia, 2014: 3). Dijadikannya /kadya/ ‘utara’ yang berkembang maknanya menjadi orientasi spiritual, karena gunung yang merupakan stana dewa Siwa diyakini dapat menganugrahkan kesucian. Dalam teks Kidung Rasmi Sancaya karya Pendeta Dang Hyang Nirarta yang berbahasa Bali Tengahan disebutkan sebagai berikut.

nahan rasmin ing nusanya ngluni harsa ning amarang kalangun amrih suddha ning sagara mwang ukir ‘demikianlah pulau-pulau yang menawan hati dia yang mendamba keindahan, dia yang senantiasa mencari kesucian laut dan gunung’

Gunung dan laut dalam kutipan di atas dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan penyucian. Konsep gunung dan laut inilah yang menjadikan wawasan kesemestaan masyarakat Bali bersikulus hulu-hilir sagara-giriatau pasir ukir. Dengan demikian, orientasi ke gunung mengatur ekospiritual tatanan kehidupan masyarakat Bali. Di samping gunung sebagai pusat kesucian, gunung juga merupakan sumber kesejahteraan seperti yang diungkapkan dalam teks Adi Parwa (pemutaran samudra mantana) dan Kekawin Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa manganjali ri agraning indra parwata, tan wis smerti sangkan ikang ayun teka ‘dari gununglah segala bentuk kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan datang’. Oleh sebab itu, relasi umat manusia dengan gunung sebaiknya seperti yang diamanatkan oleh pendeta Ida Pedanda Ngurah dalam geguritan Yadnyeng Ukir (Nyanyian Upacara di Gunung) susila sira ring sala ‘berpenghormatan dan memperhatikan kelestarian gunung. Seperti yang dipaparkan di atas, konsep penataan ekologi Bali mengacu pada arah utara ‘giri’ dan selatan ‘sagara’. Oleh sebab itu, perkembangan makna budaya ekoleksikon yang dibahas berikutnya yang dibahas adalah arah ‘selatan’. Apabila mengacu pada keseluruhan prasasti berbahasa Bali Kuna, leksikon yang merujuk pada selatan adalah /kalod/ dan /lod/7.Terdapat asumsi bahwa leksikon /kalod/ ‘selatan’ merupakan bentuk turunan dari bentuk dasar /lod/ ‘selatan’. Asumsi ini diperkuat oleh keterangan Kamus Bahasa Bali Kuna yang tidak memasukkan bentuk leksikon /kalod/ sebagai bentuk dasar dalam khazanah bahasa Bali Kuna, melainkan turunan dari bentuk dasar /lod/

7Distribusi leksikon /kalod/ dalam prasasti-prasasti bahasa Bali Kuna adalah Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, Prasasti Sembiran A II. Sementara itu, leksikon /lod/ hanya berdistribusi pada Prasasti Sembiran B I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Sembiran A II, dan Prasasti Sading A II.

Page 67: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

62

konsepsional mengenai mandala3yang relevan dengan konsep kosmogoni4masyarakat Bali. Lebih lanjut Ardika (2003: 98) berargumentasi bahwa perubahan penyebutan itu pada dasarnya bertalian dengan anggapan masyarakat Bali bahwa gunung secara kultural merupakan tempat suci/stana para dewa. Walaupun telah menyatakan bahwa perubahan arah tersebut didasarkan atas konsep mandala dan gunung sebagai tempat suci stana para dewa, Ardika (2003) tidak menjelaskan secara lebih rinci mengenai tatanan Bali dalam konsep mandala dan dewa yang berstana pada gunung sehingga dijadikan orientasi oleh masyarakat Bali. Padahal, secara faktual ekologi Bali ditata dengan konsep tersebut yakni konsep padma mandala, dan dewa yang berstana di gunung bergayut erat dengan sistem kepercayaan masyarakat Bali yang secara umum berfalsafah Siwa Siddhanta. Dalam konsep padma mandalaatau padma bhuwana (bunga teratai dengan delapan mahligai), Gunung Agung dinyatakan berada di pusat padma dunia maka gunung-gunung lain menempati posisi dik (segi empat/tapak dara) dan widik(arah sudut) (Agastia, 2014: 4). Menurut konsepsi tersebut, Gunung Agung (Giri Raja) sebagai gunung tertinggi menempati posisi mistis kosmis tengah, sumbu atau poros pusat, sekaligus titik temu timur-laut (orientasi simpul hulu gunung/utara/kadya dan matahari terbit di timur) (Sumarta, 2015: 60). Posisi dik ditempati oleh empat gunung yaitu Gunung Lempuyang (di timur), Gunung Andakasa (di selatan), Gunung Batukaru (di barat), dan Gunung Batur (di utara). Sementara itu, yang menempati posisi widik adalah Gowa Lawah (di timur laut), Bukit Uluwatu (di barat daya), Bukit Pucak Mangu (di barat daya), dan Gunung Agung (di timur laut) (Agastia, 2014: 4). Bertalian dengan penataan inilah, masyarakat di daerah Singaraja sampai saat ini merujuk pada gunung sebagai arah utara dengan satuan leksikon /kadya/. Perubahan penyebutan orientasi gunung yang ditandai dengan leksikon /kadya/ sebagai stana para dewa memiliki relasi yang erat dengan sistem keyakinan umat Hindhu di Bali, yang secara umum adalah Shiwa Siddhanta 5 . Dewa Shiwa diyakini sebagai dewanya gunung juga dikenal dengan sebutan Hyang Girinatha (Raja gunung) dan Hyang Parwata (dengan sakti Dewa Parwati/dewi gunung)6. Istilah lainnya untuk gunung adalah lingga acala (lingga yang tidak bergerak). Istilah lingga acala juga merujuk pada dewa Shiwa sebagai Tuhan yang berstana di gunung. Dalam konteks inilah, sangat kuat dugaan pembalikan konsepsi tentang arah utara /kadya/ yang semula berorientasi ke laut menjadi ke gunung. Pembalikan arah ini menunjukkan semakin kuatnya pengaruh Siwaisme di Bali pada masa pemerintahan raja Jaya Pangus. Berkaitan dengan perubahan orientasi ini, Dharma Palguna dalam Bali Post (14 Juni 2009) mengatakan bahwa:

bukan lagi masalah kesepakatan di mana utara, di mana selatan, di mana gunung, di mana matahari, tapi bab (penyebutan arah kadya: utara di Singaraja) itu memberi inspirasi tentang sebuah keberanian untuk membalikkan pikiran. Bukan membalikkan pikiran sendiri secara diam-diam di dalam ruang meditasi pada malam hari, tapi membalikkan pikiran orang banyak di alam terbuka pada siang hari. Di mana ada gunung di sana ada utara. Entah gunung itu di timur, di selatan, di barat, pokoknya itulah utara. Dibutuhkan sejumlah argumentasi yang sangat kuat oleh para pemberani yang pertama kalinya menggulirkan cara pandang berbeda ini. Argumentasi akan menjadi kuat kalau di dalamnya

3Mandala mempunyai pelbagai makna, di antaranya adalah lingkaran diagram yang memiliki kekuatan magis, yang merupakan fokus dalam upacara tantris. Dalam sistem politik India, mandala mengacu pada hubungan raja dengan teritorial atau wilayah kekuasaannya yang diwujudkan dalam bentuk lingkaran. Raja yang berada di luar lingkaran dianggap sebagai musuh dan yang di luar lingkaran sebagai sekutu (Highman, 189: 240, dalam Ardika, 2003 : 5). 4 Kosmogoni adalah adanya makrokosmos atau bhuwana agung (jagat raya) dan mikrokosmos atau bhuwana alit (dunia kecil). 5 Dalam tulisannya yang berjudul Sekte-Sekte di Bali (1986: 4), sekte Siwa Siddhanta dikatakan sebagai sekte yang ‘menang’ dari semua kelompok sekte lainnya. Sekte-sekte lainnya ditelan atau didesaknya. Semua pedanda yang ada di Bali (kecuali pedanda Buddha) adalah Siddhanta. Sekte-sekte lainnya yang dimaksud Gorris (1986) tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Soghata, Brahmana, Rsi, Sora, dan pemuja Ganesa. 6 Dharma Palguna, (Bali Post, 9 Januari 2011).

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

63

ada kebenaran-kebenaran yang selain bisa menghapus kenangan buruk dan perasaan bersalah pada masa lalu, juga bisa menunjukkan kebenaran baru yang menjanjikan kemenangan-kemenangan di masa depan. Kalau argumentasi itu tidak kuat dan benar, pembalikkan pikiran itu tidak akan diikuti oleh orang banyak, tidak akan bertahan menghadapi perubahan zaman.

Pandangan Dharma Palguna (2009) di atas semakin menegaskan vitalnya posisi arah dalam masyarakat Bali sehingga dalam prasasti Sembiran C seperti yang diuraikan Ardika (2003) arah gunung mulai menjadi orientasi untuk utara. Gunung yang semula diwujudkan dalam punden berundak, gundukan menyerupai gunung, batu tegak/menhir, lalu phallus sebagai bentuk simbolik lingga, hingga belakangan berkembang menjadi meru, bahkan tepasana dan padmasana, sanggah cucuk, sanggar surya, sampai sanggar tawang dalam ritus-ritus yadnya di Bali tetap merupakan alir visi konsisten transformasi gunung sebagai lingga acalayang merupakan titik pusat mistis berkesucian (Sumarta, 2015: 61). Paparan di atas tentang leksikon /kadya/ yang secara kultural berarti berorientasi pada gunung menyebabkan gunung menempati makna yang istimewa, karena gunung dianggap hulu (kepala). Gunung yang disebut juga parwata, giri, ukir, acala, dan yang lainnya menjadi orientasi kesucian bagi masyarakat Bali (Agastia, 2014: 3). Dijadikannya /kadya/ ‘utara’ yang berkembang maknanya menjadi orientasi spiritual, karena gunung yang merupakan stana dewa Siwa diyakini dapat menganugrahkan kesucian. Dalam teks Kidung Rasmi Sancaya karya Pendeta Dang Hyang Nirarta yang berbahasa Bali Tengahan disebutkan sebagai berikut.

nahan rasmin ing nusanya ngluni harsa ning amarang kalangun amrih suddha ning sagara mwang ukir ‘demikianlah pulau-pulau yang menawan hati dia yang mendamba keindahan, dia yang senantiasa mencari kesucian laut dan gunung’

Gunung dan laut dalam kutipan di atas dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan penyucian. Konsep gunung dan laut inilah yang menjadikan wawasan kesemestaan masyarakat Bali bersikulus hulu-hilir sagara-giriatau pasir ukir. Dengan demikian, orientasi ke gunung mengatur ekospiritual tatanan kehidupan masyarakat Bali. Di samping gunung sebagai pusat kesucian, gunung juga merupakan sumber kesejahteraan seperti yang diungkapkan dalam teks Adi Parwa (pemutaran samudra mantana) dan Kekawin Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa manganjali ri agraning indra parwata, tan wis smerti sangkan ikang ayun teka ‘dari gununglah segala bentuk kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan datang’. Oleh sebab itu, relasi umat manusia dengan gunung sebaiknya seperti yang diamanatkan oleh pendeta Ida Pedanda Ngurah dalam geguritan Yadnyeng Ukir (Nyanyian Upacara di Gunung) susila sira ring sala ‘berpenghormatan dan memperhatikan kelestarian gunung. Seperti yang dipaparkan di atas, konsep penataan ekologi Bali mengacu pada arah utara ‘giri’ dan selatan ‘sagara’. Oleh sebab itu, perkembangan makna budaya ekoleksikon yang dibahas berikutnya yang dibahas adalah arah ‘selatan’. Apabila mengacu pada keseluruhan prasasti berbahasa Bali Kuna, leksikon yang merujuk pada selatan adalah /kalod/ dan /lod/7.Terdapat asumsi bahwa leksikon /kalod/ ‘selatan’ merupakan bentuk turunan dari bentuk dasar /lod/ ‘selatan’. Asumsi ini diperkuat oleh keterangan Kamus Bahasa Bali Kuna yang tidak memasukkan bentuk leksikon /kalod/ sebagai bentuk dasar dalam khazanah bahasa Bali Kuna, melainkan turunan dari bentuk dasar /lod/

7Distribusi leksikon /kalod/ dalam prasasti-prasasti bahasa Bali Kuna adalah Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, Prasasti Sembiran A II. Sementara itu, leksikon /lod/ hanya berdistribusi pada Prasasti Sembiran B I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Sembiran A II, dan Prasasti Sading A II.

Page 68: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

64

yang makna leksikalnya adalah ke arah laut (Granoka, 1985 : 65). Jika leksikon /lod/ merupakan bentuk dasar dari /kalod/ yang maknanya ‘ke arah selatan’, maka dapat dipastikan bentuk /ka/ yang melekat di depan leksikon /lod/ adalah preposisi. Preposisi {ka} dalam bahasa bahasa Bali Kuna berfungsi untuk menunjukkan tempat. Fakta empiris di atas menunjukkan bahwa dalam sejarah perkembangan suatu bahasa, terdapat kemungkinan preposisi atau kata depan suatu bahasa berpotensi melekat menjadi bentuk dasar. Ditinjau dari sisi bentuk, leksikon /kalod/ ‘selatan’ dalam bahasa Bali Kuna tampak retensif pada bahasa Bali Modern. Dalam artian, tidak terjadi perubahan fonologis dalam leksikon tersebut, sejak prasasti berbahasa Bali Kuna pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 811 Saka (prasasti Sukawana). Leksikon /kalod/ dalam bahasa Bali Kuna tidak hanya bermakna ‘selatan’, tetapi maknanya berkembang menjadi merujuk pada laut. Leksikon /kalod/ ‘laut’ tersebut dijadikan orientasi oleh masyarakat Bali terutama dalam kaitannya dengan konsep ekologi teben ‘hilir’. Konsep teben ini diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat duniawi, kotor, alam bawah dan mengerikan, sedangkan gunung dikaitkan dengan kesucian, dunia atas, dan tempat kediaman dewa. Namun demikian, kedua hal itu merupakan satu kesatuan yan tidak dapat dipisahkan (Wertheim, 1960: 38-39). Tidak cukup memahami laut dengan konsep dualitas seperti yang pandangan Wertheim di atas, karena laut yang dilambangkan dengan leksikon /kalod/ mengandung makna kultural yang tidak berbeda dengan gunung, yakni kesucian. Di bagian permukaan, laut tampak demikian ganas, liar, buas, yang justru di dasarnya tenang, bersih, dan hening. Berbeda dengan gunung, yang tampak dari luar dalam keadaan tenang, indah, dan menjanjikan langit apabila didaki, tetapi panas, mendidih, bergolak, dan setiap waktu dapat meledak di dalam. Itulah sebabnya, laut memang menunjukkan kekontrasan dalam dirinya (Palguna, 1999: 221). Hal itu juga disinggung oleh Wiryamartana (1992) yang menyatakan bahwa laut sebagai lambang kejernihan sekaligus lambang keganasan dan kebrutalan. Laut dalam sastra Sanskerta menurutnya menunjukkan keambiguitasan karena di satu sisi sebagai sumber pemujaan dan di sisi yang lain sebagai monster yang menakutkan. Terlepas dari karakter laut seperti yang dipaparkan di atas, air juga menentukan pemaknaan tentang laut (samudra). Bukan hanya karena air memang isi samudra, tetapi karena air telah disepakati sebagai yang membersihkan. Air dalam konteks membersihkan, dapat ditemukan dalam fragmen Adi Parwa. Pada parwa pertama yang membangun epos Mahabharata itu dikisahkan Rama Parasu, membalas dendam atas kematian ayahnya, yaitu Bhagawan Jamadaghni. Pembalasan dendam dilakukan dengan cara membunuh para raja di Bharatawarsamandala. Dua puluh satu satria dihabisinya. Darah para satria menjadi lautan merah, yang kemudian berubah menjadi lima buah telaga darah. Rama Parasu mempersembahkan darah musuh. Namun, para leluhurnya tidak berkenan dengan pemujaan darah tersebut. Maka leluhur itu pun turun dan berkata:

anak sang Rama Parasu, tan yogya kita brahmana magawe rudhiratarpana, kuneng tarpanaknan, ikang tirta pawitra juga. Hana pwa mangke sadhananta muja ri kami kabeh, ikang tirtha, wastuw anemahana tirtha limang talaga kwehnya, wenanga panghilanga klesa rah ring samantanrpa sang mating rana denta. […]matangnyan yan samantapancakatirtha ngaranya, kunang asing mati rikang tirtha nguni, muliheng swarga nguniweh ikang sredha maradyusa, byakta ya muktya klesa muliheng swarga loka (Palguna, 1999: 222) Terjemahan. Sang Rama Parasu putraku. Tidak patut brahmana seperti kamu membuat kurban darah, adapun yang patut engkau persembahkan adalah air penyucian. Kemudian, ada saranamu memuja kami semua yaitu air. Semoga ada air lima telaga banyaknya, sebagai sarana penghilang ketidaksucian darah para pengikut raja yang mati dalam perang olehmu. Lima telaga ini bernama Samantapancakatirtha, karena setiap orang yang mati di dalam telaga

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

65

tersebut akan kembali ke sorga, begitu pula orang yang melakukan upacara membersihkan ketidaksuciannya pasti akan hilang, sorgalah tempatnya suatu saat.

Pesan leluhur kepada Sang Brahmana muda itu menegaskan bahwa airlah sarana penyucian. Pernyataan itu dapat dipahami bahwa air bukan hanya sarana kesucian, tapi kesucian itu sendiri. Karena hanya kesucian yang dapat menyucikan. Jika air merupakan kesucian, maka laut adalah kumpulan kesucian (Palguna, 1999: 223). Sesuai dengan pandangan Palguna (1999) di atas, maka arah selatan yang ditandai dengan leksikon /kalod/ tidak hanya cukup apabila dimaknai dengan arah /kalod/ sebagai hilir, tempat meletakkan kekotoran. Akan tetapi, justru sesuatu yang berenergi kotor itulah yang ditempatkan di arah tersebut (/kalod/ ‘selatan’) agar mendapatkan penyucian. Dengan demikian, baik menuju arah ke gunung /kadya/ maupun ke laut /kalod/ keduanya berusaha mendapatkan kesucian. Leksikon /kalod/ yang bermakna ke arah laut sebagai pelebur kekotoran dikuatkan oleh uraian teks Rg. Weda. Dalam kitab Rg. Weda (Sloka, 1434) disebutkan bahwa di dalam laut terdapat dewa Rudra yang bersemayam dengan sebutan Jalasya Bhesaja. Gelar Jalasya Bhesaja artinya samudra memiliki kekuatan untuk melebur segala kekotoran. Secara khusus dalam uraian teks tersebut dinyatakan bahwa samudra berhubungan dengan dewa Agni. Dewa Agni ini dipuja dengan berbagai upacara persembahan, dan berbagai puja dipersembahkan kepadanya. Dewa Agni digambarkan dapat membakar semua papa yang menyelimuti manusia. Setelah meninjau perkembangan makna budaya ekoleksikon tentang utara dan selatan, leksikon berikutnya yang dibahas dalam tulisan ini adalah khazanah leksikon yang mengacu pada arah timur.Dalam bahasa Bali Kuna terdapat empat leksikon yang merujuk pada timur yaitu /kaŋin/, /daŋin/, /witan/, dan /purwa/8.Leksikon /kaŋin/ dalam sejarah perkembangan bahasa Bali tampak retensif. Dalam artian bentuknya tidak mengalami perubahan secara fonologis. Leksikon /kaŋin/ secara leksikal bermakna ‘arah timur’. Leksikon ini mengalami perkembangan makna karena dikaitkan dengan arah matahari terbit. Seperti yang dikemukakan Astiti (2005: 29) bahwa seluruh tata lingkungan Bali berbasiskan orientasi terbit (kangin) dan tenggelamnya matahari (kauh) dan gunung (kaja) serta laut (kelod). Secara implisit Astiti menyatakan bahwa arah /kaŋin/ adalah arah terbitnya matahari, sedangkan arah /kauh/ adalah arah tenggelamnya matahari. Senada dengan Astiti (2005 : 29), setelah menjelaskan relasi arsitektur Bali dengan keadaan geografi Bali, Gelebet (1982: 11) menyatakan bahwa :

terdapat tiga sumbu perancangan arsitektur tradisional Bali yaitu (1) sumbu kosmos bhur, bhuwah, swah (hidrosfer, litosfer, dan atmosfer); (2) sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan tenggelamnya matahari); serta (3) sumbunatural kaja-kelod (gunung dan laut).

8 Leksikon /kaŋin/ atau timur berdistribusi dalam beberapa prasasti berbahasa Bali Kuna yaitu prasasti Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, dan Prasasti Sembiran A II. Leksikon /daŋin/ ‘timur’ berdistribusi pada sejumlah prasasti yaitu Prasasti Turunyan A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, dan Prasasti Manukaya. Leksikon /witan/ ‘timur’ yang ditemukan termuat dalam teks Prasasti Dausa Bukit Indrakila B. Sementara itu, leksikon /purwa/ ‘timur’ juga hanya ditemukan dalam satu prasasti yaitu Prasasti Kintamani C 25. Ditinjau dari distribusi leksikon-leksikon di atas, maka leksikon /kaŋin/ ‘timur’ berdistribusi paling banyak dalam keseluruhan prasasti berbahasa Bali Kuna. Leksikon /daŋin/ ‘timur’ hanya berdistribusi pada tiga prasasti. Leksikon /witan/ dan /purwa/ yang ditemukan hanya berdistribusi pada satu prasasti. Dengan demikian, leksikon /kaŋin/ diidentifikasi sebagai bentuk dasar, sedangkan leksikon /daŋin/ sebagai varian. Leksikon /witan/ ‘timur’ kemungkinan besar merupakan serapan dari bahasa Jawa Kuna yaitu /wetan/ ‘timur’. Karena leksikon ini hanya ditemukan dalam satu prasasti, maka cukup meragukan apabila diasumsikan leksikon /witan/ dalam proses adopsi mengalami perubahan fonologis dalam proses sejarah perkembangan bahasa Bali. Di samping itu, sampai saat ini masih ditemukan leksikon /wetan/ yang terwaris dalam bahasa Bali Modern. Sementara itu, leksikon /purwa/ merupakan serapan dari bahasa Sanskerta yang artinya juga timur.

Page 69: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

64

yang makna leksikalnya adalah ke arah laut (Granoka, 1985 : 65). Jika leksikon /lod/ merupakan bentuk dasar dari /kalod/ yang maknanya ‘ke arah selatan’, maka dapat dipastikan bentuk /ka/ yang melekat di depan leksikon /lod/ adalah preposisi. Preposisi {ka} dalam bahasa bahasa Bali Kuna berfungsi untuk menunjukkan tempat. Fakta empiris di atas menunjukkan bahwa dalam sejarah perkembangan suatu bahasa, terdapat kemungkinan preposisi atau kata depan suatu bahasa berpotensi melekat menjadi bentuk dasar. Ditinjau dari sisi bentuk, leksikon /kalod/ ‘selatan’ dalam bahasa Bali Kuna tampak retensif pada bahasa Bali Modern. Dalam artian, tidak terjadi perubahan fonologis dalam leksikon tersebut, sejak prasasti berbahasa Bali Kuna pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 811 Saka (prasasti Sukawana). Leksikon /kalod/ dalam bahasa Bali Kuna tidak hanya bermakna ‘selatan’, tetapi maknanya berkembang menjadi merujuk pada laut. Leksikon /kalod/ ‘laut’ tersebut dijadikan orientasi oleh masyarakat Bali terutama dalam kaitannya dengan konsep ekologi teben ‘hilir’. Konsep teben ini diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat duniawi, kotor, alam bawah dan mengerikan, sedangkan gunung dikaitkan dengan kesucian, dunia atas, dan tempat kediaman dewa. Namun demikian, kedua hal itu merupakan satu kesatuan yan tidak dapat dipisahkan (Wertheim, 1960: 38-39). Tidak cukup memahami laut dengan konsep dualitas seperti yang pandangan Wertheim di atas, karena laut yang dilambangkan dengan leksikon /kalod/ mengandung makna kultural yang tidak berbeda dengan gunung, yakni kesucian. Di bagian permukaan, laut tampak demikian ganas, liar, buas, yang justru di dasarnya tenang, bersih, dan hening. Berbeda dengan gunung, yang tampak dari luar dalam keadaan tenang, indah, dan menjanjikan langit apabila didaki, tetapi panas, mendidih, bergolak, dan setiap waktu dapat meledak di dalam. Itulah sebabnya, laut memang menunjukkan kekontrasan dalam dirinya (Palguna, 1999: 221). Hal itu juga disinggung oleh Wiryamartana (1992) yang menyatakan bahwa laut sebagai lambang kejernihan sekaligus lambang keganasan dan kebrutalan. Laut dalam sastra Sanskerta menurutnya menunjukkan keambiguitasan karena di satu sisi sebagai sumber pemujaan dan di sisi yang lain sebagai monster yang menakutkan. Terlepas dari karakter laut seperti yang dipaparkan di atas, air juga menentukan pemaknaan tentang laut (samudra). Bukan hanya karena air memang isi samudra, tetapi karena air telah disepakati sebagai yang membersihkan. Air dalam konteks membersihkan, dapat ditemukan dalam fragmen Adi Parwa. Pada parwa pertama yang membangun epos Mahabharata itu dikisahkan Rama Parasu, membalas dendam atas kematian ayahnya, yaitu Bhagawan Jamadaghni. Pembalasan dendam dilakukan dengan cara membunuh para raja di Bharatawarsamandala. Dua puluh satu satria dihabisinya. Darah para satria menjadi lautan merah, yang kemudian berubah menjadi lima buah telaga darah. Rama Parasu mempersembahkan darah musuh. Namun, para leluhurnya tidak berkenan dengan pemujaan darah tersebut. Maka leluhur itu pun turun dan berkata:

anak sang Rama Parasu, tan yogya kita brahmana magawe rudhiratarpana, kuneng tarpanaknan, ikang tirta pawitra juga. Hana pwa mangke sadhananta muja ri kami kabeh, ikang tirtha, wastuw anemahana tirtha limang talaga kwehnya, wenanga panghilanga klesa rah ring samantanrpa sang mating rana denta. […]matangnyan yan samantapancakatirtha ngaranya, kunang asing mati rikang tirtha nguni, muliheng swarga nguniweh ikang sredha maradyusa, byakta ya muktya klesa muliheng swarga loka (Palguna, 1999: 222) Terjemahan. Sang Rama Parasu putraku. Tidak patut brahmana seperti kamu membuat kurban darah, adapun yang patut engkau persembahkan adalah air penyucian. Kemudian, ada saranamu memuja kami semua yaitu air. Semoga ada air lima telaga banyaknya, sebagai sarana penghilang ketidaksucian darah para pengikut raja yang mati dalam perang olehmu. Lima telaga ini bernama Samantapancakatirtha, karena setiap orang yang mati di dalam telaga

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

65

tersebut akan kembali ke sorga, begitu pula orang yang melakukan upacara membersihkan ketidaksuciannya pasti akan hilang, sorgalah tempatnya suatu saat.

Pesan leluhur kepada Sang Brahmana muda itu menegaskan bahwa airlah sarana penyucian. Pernyataan itu dapat dipahami bahwa air bukan hanya sarana kesucian, tapi kesucian itu sendiri. Karena hanya kesucian yang dapat menyucikan. Jika air merupakan kesucian, maka laut adalah kumpulan kesucian (Palguna, 1999: 223). Sesuai dengan pandangan Palguna (1999) di atas, maka arah selatan yang ditandai dengan leksikon /kalod/ tidak hanya cukup apabila dimaknai dengan arah /kalod/ sebagai hilir, tempat meletakkan kekotoran. Akan tetapi, justru sesuatu yang berenergi kotor itulah yang ditempatkan di arah tersebut (/kalod/ ‘selatan’) agar mendapatkan penyucian. Dengan demikian, baik menuju arah ke gunung /kadya/ maupun ke laut /kalod/ keduanya berusaha mendapatkan kesucian. Leksikon /kalod/ yang bermakna ke arah laut sebagai pelebur kekotoran dikuatkan oleh uraian teks Rg. Weda. Dalam kitab Rg. Weda (Sloka, 1434) disebutkan bahwa di dalam laut terdapat dewa Rudra yang bersemayam dengan sebutan Jalasya Bhesaja. Gelar Jalasya Bhesaja artinya samudra memiliki kekuatan untuk melebur segala kekotoran. Secara khusus dalam uraian teks tersebut dinyatakan bahwa samudra berhubungan dengan dewa Agni. Dewa Agni ini dipuja dengan berbagai upacara persembahan, dan berbagai puja dipersembahkan kepadanya. Dewa Agni digambarkan dapat membakar semua papa yang menyelimuti manusia. Setelah meninjau perkembangan makna budaya ekoleksikon tentang utara dan selatan, leksikon berikutnya yang dibahas dalam tulisan ini adalah khazanah leksikon yang mengacu pada arah timur.Dalam bahasa Bali Kuna terdapat empat leksikon yang merujuk pada timur yaitu /kaŋin/, /daŋin/, /witan/, dan /purwa/8.Leksikon /kaŋin/ dalam sejarah perkembangan bahasa Bali tampak retensif. Dalam artian bentuknya tidak mengalami perubahan secara fonologis. Leksikon /kaŋin/ secara leksikal bermakna ‘arah timur’. Leksikon ini mengalami perkembangan makna karena dikaitkan dengan arah matahari terbit. Seperti yang dikemukakan Astiti (2005: 29) bahwa seluruh tata lingkungan Bali berbasiskan orientasi terbit (kangin) dan tenggelamnya matahari (kauh) dan gunung (kaja) serta laut (kelod). Secara implisit Astiti menyatakan bahwa arah /kaŋin/ adalah arah terbitnya matahari, sedangkan arah /kauh/ adalah arah tenggelamnya matahari. Senada dengan Astiti (2005 : 29), setelah menjelaskan relasi arsitektur Bali dengan keadaan geografi Bali, Gelebet (1982: 11) menyatakan bahwa :

terdapat tiga sumbu perancangan arsitektur tradisional Bali yaitu (1) sumbu kosmos bhur, bhuwah, swah (hidrosfer, litosfer, dan atmosfer); (2) sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan tenggelamnya matahari); serta (3) sumbunatural kaja-kelod (gunung dan laut).

8 Leksikon /kaŋin/ atau timur berdistribusi dalam beberapa prasasti berbahasa Bali Kuna yaitu prasasti Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, dan Prasasti Sembiran A II. Leksikon /daŋin/ ‘timur’ berdistribusi pada sejumlah prasasti yaitu Prasasti Turunyan A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, dan Prasasti Manukaya. Leksikon /witan/ ‘timur’ yang ditemukan termuat dalam teks Prasasti Dausa Bukit Indrakila B. Sementara itu, leksikon /purwa/ ‘timur’ juga hanya ditemukan dalam satu prasasti yaitu Prasasti Kintamani C 25. Ditinjau dari distribusi leksikon-leksikon di atas, maka leksikon /kaŋin/ ‘timur’ berdistribusi paling banyak dalam keseluruhan prasasti berbahasa Bali Kuna. Leksikon /daŋin/ ‘timur’ hanya berdistribusi pada tiga prasasti. Leksikon /witan/ dan /purwa/ yang ditemukan hanya berdistribusi pada satu prasasti. Dengan demikian, leksikon /kaŋin/ diidentifikasi sebagai bentuk dasar, sedangkan leksikon /daŋin/ sebagai varian. Leksikon /witan/ ‘timur’ kemungkinan besar merupakan serapan dari bahasa Jawa Kuna yaitu /wetan/ ‘timur’. Karena leksikon ini hanya ditemukan dalam satu prasasti, maka cukup meragukan apabila diasumsikan leksikon /witan/ dalam proses adopsi mengalami perubahan fonologis dalam proses sejarah perkembangan bahasa Bali. Di samping itu, sampai saat ini masih ditemukan leksikon /wetan/ yang terwaris dalam bahasa Bali Modern. Sementara itu, leksikon /purwa/ merupakan serapan dari bahasa Sanskerta yang artinya juga timur.

Page 70: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

66

Pada kutipan di atas, terlihat bahwa Gelebet (1982: 11) juga memandang arah terbit dan tenggelamnya matahari sebagai arah orientasi untuk /kaŋin/ dan /kauh/. Bahkan arah /kaŋin/ dan /kauh/ disebut sebagai sumbu ritual. Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih rinci alasan mengenai penyebutan kedua arah tersebut sebagai sumbu ritual. Untuk sampai pada pemaknaan terhadap /kaŋin/ sebagai orientasi masyarakat Bali yang berkaitan dengan arah terbitnya matahari, Agastia (2005 : 5) menyatakan bahwa masyarakat Bali (yang sebagian besar beragama Hindhu) sangat memperhatikan benda-benda yang bersinar di langit. Secara material, memang dapat diketahui bahwa benda-benda dalam tata surya tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan yang tengah berlangsung di bumi, khususnya pada perubahan musim. Lebih lanjut Agastia (2004: 5) mengatakan bahwa secara spiritual orientasi terhadap matahari terbit menunjukkan bahwa masyarakat Bali mempunyai orientasi terhadap sinar (divine). Oleh sebab itulah, muncul kata div yang kemudian mengalami perubahan bunyi menjadi dewa. Masyarakat Bali pada hakikatnya ingin membangun dirinya menjadi divine man selanjutnya membangun divine society, manusia dan masyarakat yang memancarkan sinar Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara etis, manusia Bali ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan dalam dirinya (asuri sampat) dan memupuk terus sifat kedewaan (daiwi sampat). Pemaknaan mengenai fungsi matahari sebagai penghilang kegelapan pikiran juga dapat ditemukan Teks Kidung Kediri

saŋ sākṣāt ṡiwa sūrya cāndra sumĕna apwa tumatasi pĕtĕŋ nikaŋ ati, wrāniŋ réṇwa ri jĕŋ mahāyati paṡucyana satata sinĕmbah iŋhulun (Manggala Kidung Kadiri) Terjemahan. beliau yang bagaikan Siwa matahari-bulan yang bersinar melenyapkan kegelapan hati. Pertama-tama kepada Hyang Mahayati yang suci sembah selalu hamba tujukan.

Pada kutipan teks kidung di atas, matahari (Siwa) sebagai sumber cahaya tidak hanya dihadirkan sebagai penghilang kegelapan secara fisikal. Akan tetapi, matahari juga menjadi penghilang kegelapan hati. Dengan demikian, puja surya sewana yang dipanjatkan oleh para pendeta di Bali setiap pagi salah satunya bertujuan untuk memuliakan arah terbitnya matahari yang ditandai dengan leksikon /kaŋin/ ‘timur’, sebagai sumber energi kehidupan sekaligus pelenyap kegelapan hati. Berkaitan dengan konteks matahari sebagai sumber awal kehidupan inilah leksikon untuk arah /kaŋin/ juga ditandai dengan leksikon /witan/ dan /purwa/. Leksikon /witan/ atau /wetan/ yang diserap dari bahasa Jawa Kuna, secara leksikal bermakna ‘timur’ (Zoetmulder, 1994: 1423). Sementara itu, leksikon /purwa/ yang berasal dari bahasa Sanskerta, di samping bermakna arah timur juga berarti ‘permulaan, depan, bagian depan; terkemuka, pertama-tama, yang lebih dahulu, pada masa lalu’ (Zoetmulder, 1994: 887). Dalam kaitannya dengan makna permulaan inilah arah timur sebagai orientasi terhadap matahari sekaligus digunakan sebagai penanda waktu. Tidak ada ruang dan waktu tanpa ada sinar (Duija Nurjaya, diwawancarai pada 29 Agustus 2015). Hal tersebut sangat relevan dengan konsep waktu dalam tradisi masyarakat Bali yang disimbolkan dengan leksikon /kala/ ‘waktu’. Dalam teks Kala Purana disebutkan bahwa Kala merupakan putra Shiwa. Matahari dalam bahasa Bali juga disebut Shiwa Raditya, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa matahari (Shiwa) sebagai sumber penanda waktu. Apabila arah terbitnya matahari ditandai dengan leksikon /kaŋin/ ‘timur’, arah yang diidentikkan dengan terbenamnya matahari dalam bahasa Bali Kuna ditandai dengan leksikon /karuh/ ‘barat’ dan /daruh/ ‘barat9’. Arah tenggelamnya matahari /karuh/ dan arah laut /kalod/ dikatakan sebagai arah penempatan kuburan dengan zone yang bernilai rendah (Gelebet, 1982 : 13). Tidak ditemukan

9 Leksikon /karuh/ berdistribusi pada sebagian besar prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Sukawana, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila, Dausa Bukit Indrakila B I, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 2, Prasasti Sembiran A II. Sementara itu, leksikon /daruh/ berdistribusi pada sejumlah prasasti yaitu Prasasti Sembiran B I, Serai A II, dan Prasasti Sading A II. Mengacu pada distribusi leksikon /karuh/ ‘barat’ yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan leksikon /daruh/, maka leksikon /karuh/ diidentifikasi sebagai bentuk dasar sedangkan leksikon /karuh/ sebagai bentuk varian.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

67

penjelasan yang lebih mendalam dari Glebet mengenai arah barat yang dikatakannya bernilai rendah. Barangkali tidak cukup mengungkapkan nilai arah barat yang rendah tanpa mempertimbangkan landasan konsepsional dan makna kultural yang dikandung dalam leksikon tersebut. Apabila dikaitkan dengan konteks makna budaya yang terkandung dalam laksikon /kaŋin/ ‘timur’ sebagai oposisi dari leksikon /karuh/ ‘barat’. Maka, makna budaya yang terkandung dalam leksikon tersebut dapat dipastikan berkaitan erat dengan hilangnya sumber cahaya. Lenyapnya sinar yang dipancarkan matahari menyebabkan arah /karuh/ dikaitkan dengan zone yang bernilai rendah. Hilangnya cahaya matahari dan munculnya kegelapan secara umum dipandang bernilai lebih rendah daripada kemunculan fajar di sisi timur. Leksikon /kauh/ atau /dauh/ yang berarti ‘barat’, secara kultural dalam penelitian ini diasumsikan bermakna penanda waktu dalam kehidupan masyarakat Bali. Hilangnya cahaya yang secara visual diganti dengan kegelapan justru menjadi legitimasi adanya perubahan waktu. Sebelum dikenal sistem perhitungan waktu seperti sekarang, masyarakat Bali menghitung waktu dalam konteks harian dengan sistem yang disebut dedauhan. Karena dadauhan tersebut terdiri atas lima bagian, maka sistem perhitungannya disebut panca dauh. Bagian-bagian panca dauh itu adalah dauh pisan, dauh kalih, dauh telu, dauh pat, dan dauh lima (Palguna, 2008: 77). Satu dauh terdiri atas 2 jam 12 menit. Dauh pisan adalah waktu di antara pukul 06.00-08.30. Dauh kalih adalah waktu di antara jam 08.30-11.00. Dauh tiga adalah waktu di antara pukul 11.00-13.00. Dauh pat adalah waktu di antara pukul 13.30-16.00. Dauh lima adalah waktu di antara pukul 1.00-18.00. Dengan sistem panca dauh tersebut, jelaslah bahwa arah timur yang ditandai dengan leksikon /kaŋin/‘timur’ dan /karuh/ ‘barat’ merupakan zona waktu. Berdasarkan analisis terhadap bentuk dan makna kultural yang terkandung dalam ekoleksikon tentang arah. Maka, dapat dirumuskan bahwa masyarakat Bali memiliki penentuan orientasi arah yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Apabila pada masyarakat dunia mendasarkan arah pada hembusan arah angin sehingga disebut arah mata angin, maka masyarakat Bali memiliki orientasi arah yang ditentukan oleh ruang dan waktu. Orientasi ruang (bhuta) ditandai dengan leksikon /kadya/‘utara’ atau ‘arah gunung’ dan /kalod/‘selatan’ atau ‘arah laut’ Sedangkan orientasi waktu ditandai dengan leksikon /kaŋin/‘timur’ atau ‘asal cahaya’ dan /kauh/‘barat’ atau ‘waktu’. III SIMPULAN Perkembangan makna budaya leksikon tentang arah dalam bahasa Bali berdasarkan analisis di atas menunjukkan dua simpulan berikut ini. Pertama, leksikon tentang arah khususnya kata yang mengacu pada arah utara dan barat terbukti mengalami evolusi fonologis dalam sejarah perkembangan bahasa Bali. Kata yang mengacu pada arah timur dan selatan mengalami retensi atau tidak adanya perubahan bentuk. Kedua, sumbu utama arah mata angin menunjukkan perkembangan makna budaya. Dalam konteks kebudayaan Bali, arah mata angin juga bermakna orientasi ekologi yang mengacu pada ruang (arah utara dan selatan), dan waktu (arah timur dan barat). DAFTAR PUSTAKA Agastia, IBG .1980. “Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali” (Makalah disampaikan dalam

Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2). . . . 2014.Padmasana dan Padma Bhuwana. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra. .2014. Pasir-Wukir dan Perjalanan Seorang Kawi Membaca Karya-Karya Sastra

Dang Hyang Nirartha. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra. Ardika, I Wayan dan Sutjiati Beratha N.L. 1996. “Perajin pada Masa Bali Kua Abad IX-XI Masehi”.

Laporan Penelitian Dibiayai oleh Toyota Foundation. Denpasar : Fakutas Sastra Unud. Ardika, I Wayan. 2003. Laut dan Orientasi dalam Kebudayaan Bali : Tinjauan Arkeologis. (dalam

Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural Katur ri Kalaning Purna Bakti Prof. Dr. I

Page 71: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

66

Pada kutipan di atas, terlihat bahwa Gelebet (1982: 11) juga memandang arah terbit dan tenggelamnya matahari sebagai arah orientasi untuk /kaŋin/ dan /kauh/. Bahkan arah /kaŋin/ dan /kauh/ disebut sebagai sumbu ritual. Namun demikian, tidak ada penjelasan lebih rinci alasan mengenai penyebutan kedua arah tersebut sebagai sumbu ritual. Untuk sampai pada pemaknaan terhadap /kaŋin/ sebagai orientasi masyarakat Bali yang berkaitan dengan arah terbitnya matahari, Agastia (2005 : 5) menyatakan bahwa masyarakat Bali (yang sebagian besar beragama Hindhu) sangat memperhatikan benda-benda yang bersinar di langit. Secara material, memang dapat diketahui bahwa benda-benda dalam tata surya tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan yang tengah berlangsung di bumi, khususnya pada perubahan musim. Lebih lanjut Agastia (2004: 5) mengatakan bahwa secara spiritual orientasi terhadap matahari terbit menunjukkan bahwa masyarakat Bali mempunyai orientasi terhadap sinar (divine). Oleh sebab itulah, muncul kata div yang kemudian mengalami perubahan bunyi menjadi dewa. Masyarakat Bali pada hakikatnya ingin membangun dirinya menjadi divine man selanjutnya membangun divine society, manusia dan masyarakat yang memancarkan sinar Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara etis, manusia Bali ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan dalam dirinya (asuri sampat) dan memupuk terus sifat kedewaan (daiwi sampat). Pemaknaan mengenai fungsi matahari sebagai penghilang kegelapan pikiran juga dapat ditemukan Teks Kidung Kediri

saŋ sākṣāt ṡiwa sūrya cāndra sumĕna apwa tumatasi pĕtĕŋ nikaŋ ati, wrāniŋ réṇwa ri jĕŋ mahāyati paṡucyana satata sinĕmbah iŋhulun (Manggala Kidung Kadiri) Terjemahan. beliau yang bagaikan Siwa matahari-bulan yang bersinar melenyapkan kegelapan hati. Pertama-tama kepada Hyang Mahayati yang suci sembah selalu hamba tujukan.

Pada kutipan teks kidung di atas, matahari (Siwa) sebagai sumber cahaya tidak hanya dihadirkan sebagai penghilang kegelapan secara fisikal. Akan tetapi, matahari juga menjadi penghilang kegelapan hati. Dengan demikian, puja surya sewana yang dipanjatkan oleh para pendeta di Bali setiap pagi salah satunya bertujuan untuk memuliakan arah terbitnya matahari yang ditandai dengan leksikon /kaŋin/ ‘timur’, sebagai sumber energi kehidupan sekaligus pelenyap kegelapan hati. Berkaitan dengan konteks matahari sebagai sumber awal kehidupan inilah leksikon untuk arah /kaŋin/ juga ditandai dengan leksikon /witan/ dan /purwa/. Leksikon /witan/ atau /wetan/ yang diserap dari bahasa Jawa Kuna, secara leksikal bermakna ‘timur’ (Zoetmulder, 1994: 1423). Sementara itu, leksikon /purwa/ yang berasal dari bahasa Sanskerta, di samping bermakna arah timur juga berarti ‘permulaan, depan, bagian depan; terkemuka, pertama-tama, yang lebih dahulu, pada masa lalu’ (Zoetmulder, 1994: 887). Dalam kaitannya dengan makna permulaan inilah arah timur sebagai orientasi terhadap matahari sekaligus digunakan sebagai penanda waktu. Tidak ada ruang dan waktu tanpa ada sinar (Duija Nurjaya, diwawancarai pada 29 Agustus 2015). Hal tersebut sangat relevan dengan konsep waktu dalam tradisi masyarakat Bali yang disimbolkan dengan leksikon /kala/ ‘waktu’. Dalam teks Kala Purana disebutkan bahwa Kala merupakan putra Shiwa. Matahari dalam bahasa Bali juga disebut Shiwa Raditya, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa matahari (Shiwa) sebagai sumber penanda waktu. Apabila arah terbitnya matahari ditandai dengan leksikon /kaŋin/ ‘timur’, arah yang diidentikkan dengan terbenamnya matahari dalam bahasa Bali Kuna ditandai dengan leksikon /karuh/ ‘barat’ dan /daruh/ ‘barat9’. Arah tenggelamnya matahari /karuh/ dan arah laut /kalod/ dikatakan sebagai arah penempatan kuburan dengan zone yang bernilai rendah (Gelebet, 1982 : 13). Tidak ditemukan

9 Leksikon /karuh/ berdistribusi pada sebagian besar prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Sukawana, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila, Dausa Bukit Indrakila B I, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 2, Prasasti Sembiran A II. Sementara itu, leksikon /daruh/ berdistribusi pada sejumlah prasasti yaitu Prasasti Sembiran B I, Serai A II, dan Prasasti Sading A II. Mengacu pada distribusi leksikon /karuh/ ‘barat’ yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan leksikon /daruh/, maka leksikon /karuh/ diidentifikasi sebagai bentuk dasar sedangkan leksikon /karuh/ sebagai bentuk varian.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

67

penjelasan yang lebih mendalam dari Glebet mengenai arah barat yang dikatakannya bernilai rendah. Barangkali tidak cukup mengungkapkan nilai arah barat yang rendah tanpa mempertimbangkan landasan konsepsional dan makna kultural yang dikandung dalam leksikon tersebut. Apabila dikaitkan dengan konteks makna budaya yang terkandung dalam laksikon /kaŋin/ ‘timur’ sebagai oposisi dari leksikon /karuh/ ‘barat’. Maka, makna budaya yang terkandung dalam leksikon tersebut dapat dipastikan berkaitan erat dengan hilangnya sumber cahaya. Lenyapnya sinar yang dipancarkan matahari menyebabkan arah /karuh/ dikaitkan dengan zone yang bernilai rendah. Hilangnya cahaya matahari dan munculnya kegelapan secara umum dipandang bernilai lebih rendah daripada kemunculan fajar di sisi timur. Leksikon /kauh/ atau /dauh/ yang berarti ‘barat’, secara kultural dalam penelitian ini diasumsikan bermakna penanda waktu dalam kehidupan masyarakat Bali. Hilangnya cahaya yang secara visual diganti dengan kegelapan justru menjadi legitimasi adanya perubahan waktu. Sebelum dikenal sistem perhitungan waktu seperti sekarang, masyarakat Bali menghitung waktu dalam konteks harian dengan sistem yang disebut dedauhan. Karena dadauhan tersebut terdiri atas lima bagian, maka sistem perhitungannya disebut panca dauh. Bagian-bagian panca dauh itu adalah dauh pisan, dauh kalih, dauh telu, dauh pat, dan dauh lima (Palguna, 2008: 77). Satu dauh terdiri atas 2 jam 12 menit. Dauh pisan adalah waktu di antara pukul 06.00-08.30. Dauh kalih adalah waktu di antara jam 08.30-11.00. Dauh tiga adalah waktu di antara pukul 11.00-13.00. Dauh pat adalah waktu di antara pukul 13.30-16.00. Dauh lima adalah waktu di antara pukul 1.00-18.00. Dengan sistem panca dauh tersebut, jelaslah bahwa arah timur yang ditandai dengan leksikon /kaŋin/‘timur’ dan /karuh/ ‘barat’ merupakan zona waktu. Berdasarkan analisis terhadap bentuk dan makna kultural yang terkandung dalam ekoleksikon tentang arah. Maka, dapat dirumuskan bahwa masyarakat Bali memiliki penentuan orientasi arah yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Apabila pada masyarakat dunia mendasarkan arah pada hembusan arah angin sehingga disebut arah mata angin, maka masyarakat Bali memiliki orientasi arah yang ditentukan oleh ruang dan waktu. Orientasi ruang (bhuta) ditandai dengan leksikon /kadya/‘utara’ atau ‘arah gunung’ dan /kalod/‘selatan’ atau ‘arah laut’ Sedangkan orientasi waktu ditandai dengan leksikon /kaŋin/‘timur’ atau ‘asal cahaya’ dan /kauh/‘barat’ atau ‘waktu’. III SIMPULAN Perkembangan makna budaya leksikon tentang arah dalam bahasa Bali berdasarkan analisis di atas menunjukkan dua simpulan berikut ini. Pertama, leksikon tentang arah khususnya kata yang mengacu pada arah utara dan barat terbukti mengalami evolusi fonologis dalam sejarah perkembangan bahasa Bali. Kata yang mengacu pada arah timur dan selatan mengalami retensi atau tidak adanya perubahan bentuk. Kedua, sumbu utama arah mata angin menunjukkan perkembangan makna budaya. Dalam konteks kebudayaan Bali, arah mata angin juga bermakna orientasi ekologi yang mengacu pada ruang (arah utara dan selatan), dan waktu (arah timur dan barat). DAFTAR PUSTAKA Agastia, IBG .1980. “Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali” (Makalah disampaikan dalam

Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2). . . . 2014.Padmasana dan Padma Bhuwana. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra. .2014. Pasir-Wukir dan Perjalanan Seorang Kawi Membaca Karya-Karya Sastra

Dang Hyang Nirartha. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra. Ardika, I Wayan dan Sutjiati Beratha N.L. 1996. “Perajin pada Masa Bali Kua Abad IX-XI Masehi”.

Laporan Penelitian Dibiayai oleh Toyota Foundation. Denpasar : Fakutas Sastra Unud. Ardika, I Wayan. 2003. Laut dan Orientasi dalam Kebudayaan Bali : Tinjauan Arkeologis. (dalam

Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural Katur ri Kalaning Purna Bakti Prof. Dr. I

Page 72: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

68

Gusti Ngurah Bagus; Penyunting I Gde Semadi Astra, dkk.) Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Astiti, Cok Putra. 2005. Awig-Awig dalam Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Bawa, I Wayan dkk. 1985. StudiSejarah Bahasa Bali. Denpasar : Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Proyek Studi Sejarah Bahasa Bali.

Bellwod, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Blust, Robert A. 1981. “Variation and Retention Rate Among Austronesian Language”. Makalah

Seminar Linguistik Austronesia III. Bali. Chreseese Helen, Darma Putra, dan Henk Scholt Niirdholt. 2006. Seabad Puputan Badung :

Perspektif Belanda dan Bali. Denpasar : Pustaka Larasan. Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistics. New York : Oxford University Press. Gorris, Roeloef. 1954. Prasasti Bali I dan II. Bandung : NV. Masa Baru. . 1984. Sedjarah Bali Kuna. Denpasar : Fakutas Sastra Universitas Udayana.

. 1971. Karya Pungutan. Singaraja : Lembaga Bahasa Nasional Tjabang Singaradja. Granoka, Ida Wayan dkk. Kamus Bahasa Bali Kuna-Indonesia. Denpasar : Proyek Penelitian Bahasa

dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hock, Hans Henrich. 1988. Principle of Historical Linguistic. Berlin : Mouton de Grayler. Jeffers, Robert J. and Lehiste. 1979. Principle and Method for Historical Linguistic. Cambridge,

Massachuserts and London, England : The MIT Press. Juprizal. 2015. Pergeseran Tipologi Gramatikal dan Nilai Kesantunan Berbahasa dalam Klausa

Bahasa Minangkabau : Bagaimana Harus Disikapi(dimuat dalam jurnal Tutur Cakrwala Kajian Bahasa-Bahasa Nusantara). Denpasar : Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal (APBL).

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi).

Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Mbete, Aron Meko. 2002. Metode Linguistik Diakronis. Denpasar : Universitas Udayana. Mbete, Aron Meko. 2002. Beberapa Perubahan Makna dalam Bahasa Lio, Flores. (dimuat dalam

Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Budaya Austronesia II). Denpasar : CV. Bali Media. Palguna, IBM. 1998. Ida Pedanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad ke-19. Denpasar : Yayasan

Dharma Sastra. Pastika, I Wayan. 2003. Perluasan Makna Kata dalam Bahasa Bahasa Indonesia(dalam Poestaka

Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, redaksi : Jiwa Atmaja). Denpasar : Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Schendl, Herbert. 2001. Historical Linguistics. Oxfords : Oxford University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press. Sumarta, I Ketut. 2015. Batur Jantung Peradaban Air Bali. Denpasar : Wisnu Press. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang(diterjemahkan oleh Dick

Hartoko). Jakarta : Jambatan. Zoetmulder, P.J. dan Robson, S.O. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

69

Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga

Oleh: Ida Wayan Eka Werdi Putra*1, I Nyoman Duana Sutika2, I Gde Nala Antara3

[123]Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[[email protected]] 2

Abstrak

Penelitian “Kamus Bali – Indonesia Bidang Istilah Wariga” ini bertujuan untuk menginventarisasi istilah-istilah dalam bidang wariga (sistem tarikh Bali). Analisis bentuk Kamus Bali – Indonesia Bidang Istilah Wariga ini menggunakan teori struktural. Teori struktural digunakan untuk menjelaskan bagian – bagian pembentuk suatu leksem hingga proses pembentukan leksem menjadi kumpulan istilah yang bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan sarana mendokumentasikan istilah – istilah bahasa Bali khususnya bidang istilah wariga ke dalam bentuk kamus Bali – Indonesia. Tahap penyediaan data menggunakan metode wawancara dan metode simak yang dibantu dengan teknik penunjangnya yaitu teknik rekam dan teknik catat. Pada tahap analisis data, menggunakan metode translasional yang diikuti dengan teknik dasar pilah unsur penentu dengan teknik lanjutannya, yaitu teknik hubung banding menyamakan hal pokok. Penelitian ini juga menggunakan metode agih dengan teknik dasar, yaitu bagi unsur langsung dan teknik sisip. Penyajian hasil analisis data penelitian ini menggunakan metode formal dan informal beserta tekniknya, yaitu teknik berpikir induktif dan deduktif. Hasil dari penelitian ini yaitu istilah – istilah yang berbentuk kata dasar yang terdiri atas : kata dasar bersuku dua, kata dasar bersuku tiga, kata dasar bersuku empat, kata dasar bersuku lima, dan kata dasar bersuku enam. Terdapat juga kata turunan yang terdiri dari : kata berafiks, yaitu, berprefiks {pǝN-}, berprefiks {mǝ-} bersufiks {-an}berkonfiks{pǝ-/-an}, dan berklofiks{pǝ-/-an}, kata ulang, dan kata majemuk. Adapun istilah yang berbentuk frasa yaitu : frasa endosentrik berinduk satu. Penelitian ini berhasil mengumpulkan istilah sebanyak 436 istilah. Kata kunci : kamus, istilah, bentuk, wariga I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Keutamaan fungsi dan manfaat dari pemahaman isi dari naskah lontar khususnya naskah wariga sangat penting khususnya bagi kelangsungan hidup masyarakat Bali. Oleh karena itu keberlangsungan pembacaan dan pemahaman isi dari naskah wariga tersebut perlu diteruskan kepada setiap generasi. Tidak dapat dipungkiri, proses pelestarian nilai-nilai budaya dalam hal pemahaman mengenai wariga ini memiliki banyak kendala. Kendala membaca aksara dan sulitnya memahami bahasa pada lontar merupakan salah satu hambatan yang ditemui pada masa sekarang. Lontar wariga umumnya berisikan bahasa maupun istilah tertentu yang sulit dipahami apabila tidak memiliki kompetensi mendalam dalam bidang lontar tersebut. Pembaca yang ingin membaca dan memahami isi dari lontar wariga menjadi dipersulit dengan tidak adanya referensi mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam lontar. Oleh karena itu, penyusunan istilah-istilah dalam lontar wariga, khususnya mengenai penentuan dewasa atau hari-hari baik perlu dilakukan untuk memudahkan para peminat lontar wariga memahami isi dari lontar tersebut. Penelitian berupa dokumentasi istilah-istilah dalam bidang wariga belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa pustaka atau buku-buku wariga memang menyajikan istilah-istilah tertentu mengenai wariga khususnya tentang ala ayuning dewasa (baik buruknya hari), namun konten yang disajikan belum lengkap untuk mewadahi istilah-istilah dalam bidang wariga. Inventarisasi istilah-

Page 73: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

68

Gusti Ngurah Bagus; Penyunting I Gde Semadi Astra, dkk.) Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Astiti, Cok Putra. 2005. Awig-Awig dalam Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Bawa, I Wayan dkk. 1985. StudiSejarah Bahasa Bali. Denpasar : Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Proyek Studi Sejarah Bahasa Bali.

Bellwod, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Blust, Robert A. 1981. “Variation and Retention Rate Among Austronesian Language”. Makalah

Seminar Linguistik Austronesia III. Bali. Chreseese Helen, Darma Putra, dan Henk Scholt Niirdholt. 2006. Seabad Puputan Badung :

Perspektif Belanda dan Bali. Denpasar : Pustaka Larasan. Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistics. New York : Oxford University Press. Gorris, Roeloef. 1954. Prasasti Bali I dan II. Bandung : NV. Masa Baru. . 1984. Sedjarah Bali Kuna. Denpasar : Fakutas Sastra Universitas Udayana.

. 1971. Karya Pungutan. Singaraja : Lembaga Bahasa Nasional Tjabang Singaradja. Granoka, Ida Wayan dkk. Kamus Bahasa Bali Kuna-Indonesia. Denpasar : Proyek Penelitian Bahasa

dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hock, Hans Henrich. 1988. Principle of Historical Linguistic. Berlin : Mouton de Grayler. Jeffers, Robert J. and Lehiste. 1979. Principle and Method for Historical Linguistic. Cambridge,

Massachuserts and London, England : The MIT Press. Juprizal. 2015. Pergeseran Tipologi Gramatikal dan Nilai Kesantunan Berbahasa dalam Klausa

Bahasa Minangkabau : Bagaimana Harus Disikapi(dimuat dalam jurnal Tutur Cakrwala Kajian Bahasa-Bahasa Nusantara). Denpasar : Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal (APBL).

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi).

Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Mbete, Aron Meko. 2002. Metode Linguistik Diakronis. Denpasar : Universitas Udayana. Mbete, Aron Meko. 2002. Beberapa Perubahan Makna dalam Bahasa Lio, Flores. (dimuat dalam

Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Budaya Austronesia II). Denpasar : CV. Bali Media. Palguna, IBM. 1998. Ida Pedanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad ke-19. Denpasar : Yayasan

Dharma Sastra. Pastika, I Wayan. 2003. Perluasan Makna Kata dalam Bahasa Bahasa Indonesia(dalam Poestaka

Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, redaksi : Jiwa Atmaja). Denpasar : Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Schendl, Herbert. 2001. Historical Linguistics. Oxfords : Oxford University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press. Sumarta, I Ketut. 2015. Batur Jantung Peradaban Air Bali. Denpasar : Wisnu Press. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang(diterjemahkan oleh Dick

Hartoko). Jakarta : Jambatan. Zoetmulder, P.J. dan Robson, S.O. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

69

Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga

Oleh: Ida Wayan Eka Werdi Putra*1, I Nyoman Duana Sutika2, I Gde Nala Antara3

[123]Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[[email protected]] 2

Abstrak

Penelitian “Kamus Bali – Indonesia Bidang Istilah Wariga” ini bertujuan untuk menginventarisasi istilah-istilah dalam bidang wariga (sistem tarikh Bali). Analisis bentuk Kamus Bali – Indonesia Bidang Istilah Wariga ini menggunakan teori struktural. Teori struktural digunakan untuk menjelaskan bagian – bagian pembentuk suatu leksem hingga proses pembentukan leksem menjadi kumpulan istilah yang bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan sarana mendokumentasikan istilah – istilah bahasa Bali khususnya bidang istilah wariga ke dalam bentuk kamus Bali – Indonesia. Tahap penyediaan data menggunakan metode wawancara dan metode simak yang dibantu dengan teknik penunjangnya yaitu teknik rekam dan teknik catat. Pada tahap analisis data, menggunakan metode translasional yang diikuti dengan teknik dasar pilah unsur penentu dengan teknik lanjutannya, yaitu teknik hubung banding menyamakan hal pokok. Penelitian ini juga menggunakan metode agih dengan teknik dasar, yaitu bagi unsur langsung dan teknik sisip. Penyajian hasil analisis data penelitian ini menggunakan metode formal dan informal beserta tekniknya, yaitu teknik berpikir induktif dan deduktif. Hasil dari penelitian ini yaitu istilah – istilah yang berbentuk kata dasar yang terdiri atas : kata dasar bersuku dua, kata dasar bersuku tiga, kata dasar bersuku empat, kata dasar bersuku lima, dan kata dasar bersuku enam. Terdapat juga kata turunan yang terdiri dari : kata berafiks, yaitu, berprefiks {pǝN-}, berprefiks {mǝ-} bersufiks {-an}berkonfiks{pǝ-/-an}, dan berklofiks{pǝ-/-an}, kata ulang, dan kata majemuk. Adapun istilah yang berbentuk frasa yaitu : frasa endosentrik berinduk satu. Penelitian ini berhasil mengumpulkan istilah sebanyak 436 istilah. Kata kunci : kamus, istilah, bentuk, wariga I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Keutamaan fungsi dan manfaat dari pemahaman isi dari naskah lontar khususnya naskah wariga sangat penting khususnya bagi kelangsungan hidup masyarakat Bali. Oleh karena itu keberlangsungan pembacaan dan pemahaman isi dari naskah wariga tersebut perlu diteruskan kepada setiap generasi. Tidak dapat dipungkiri, proses pelestarian nilai-nilai budaya dalam hal pemahaman mengenai wariga ini memiliki banyak kendala. Kendala membaca aksara dan sulitnya memahami bahasa pada lontar merupakan salah satu hambatan yang ditemui pada masa sekarang. Lontar wariga umumnya berisikan bahasa maupun istilah tertentu yang sulit dipahami apabila tidak memiliki kompetensi mendalam dalam bidang lontar tersebut. Pembaca yang ingin membaca dan memahami isi dari lontar wariga menjadi dipersulit dengan tidak adanya referensi mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam lontar. Oleh karena itu, penyusunan istilah-istilah dalam lontar wariga, khususnya mengenai penentuan dewasa atau hari-hari baik perlu dilakukan untuk memudahkan para peminat lontar wariga memahami isi dari lontar tersebut. Penelitian berupa dokumentasi istilah-istilah dalam bidang wariga belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa pustaka atau buku-buku wariga memang menyajikan istilah-istilah tertentu mengenai wariga khususnya tentang ala ayuning dewasa (baik buruknya hari), namun konten yang disajikan belum lengkap untuk mewadahi istilah-istilah dalam bidang wariga. Inventarisasi istilah-

Page 74: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

70

istilah dalam bidang wariga ini nantinya dapat dijadikan acuan maupun referensi bagi pembaca lontar wariga dalam bentuk Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga. 1.2 Pokok Permasalahan a.Bentuk-bentuk (struktur) apa sajakah yang terdapat dalam istilah di bidang wariga ? b. Seberapa besarkah jumlah istilah (entri) yang terdapat dalam bidang wariga ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini, yaitu untuk turut serta dalam usaha membina dan mengembangkan bahasa daerah Bali, serta memberikan referensi mengenai istilah-istilah yang terdapat pada naskah lontar wariga dalam bentuk kamus istilah. Kamus ini diharapkan dapat mempermudah generasi penerus untuk memahami warisan leluhurnya dalam bentuk pemahaman lontar wariga sekaligus melestarikan budaya Bali. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mendeskripsikan istilah-istilah dalam naskah lontar wariga dengan jangkauan yaitu istilah–istilah padewasan atau penentuan hari-hari baik dan buruk dalam wariga. Istilah yang akan dideskripsikan yaitu istilah dengan pola kata dasar, kata turunan (kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk) dan frasa.

1.4 Metode dan Teknik 1.4.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data

Penelitian ini menggunakan metode simak dan metode cakap untuk mengumpulkan data. Metode simak digunakan karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan (Mahsun, 2005: 90). Teknik sadap ini kemudian diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, teknik catat dan teknik rekam. Penggunaan teknik simak bebas libat cakap difokuskan dalam penelitian ini, karena penelitian ini diharapkan mendapatkan data langsung dari para tokoh yang dianggap memiliki kompetensi di bidang wariga seperti pamangku, sulinggih dan lain-lain. Teknik catat dan rekam difungsikan untuk meminimalisir data yang terlewatkan. Setelah melakukan wawancara, data yang telah didapat kemudian dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu (1) input data, (2) pengabjadan dan (3) pemberian definisi. 1.4.2 Metode dan Teknik Ananlisis Data

Metode dan teknik yang dianggap sesuai untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah metode padan dengan sub jenis metode yaitu : metode translasional yang memiliki teknik dasar yang disebut teknik pilah unsur penentu (PUP) dengan teknik lanjutannya yang disebut teknik hubung banding menyamakan (atau teknik HBS) dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (atau teknik HBSP). Selain metode padan, penelitian ini juga menggunakan metode agih dengan teknik dasar yaitu : teknik bagi unsur langsung (BUL) jenis turun dengan dua teknik lanjutan yaitu : teknik perluas dan teknik sisip. 1.4.3 Metode dan Teknik Hasil Penyajian Analisis Data Penyajian hasil analisis penelitian ini menggunakan metode formal dan metode informal. Metode formal adalah pemerian dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Metode informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa (Mahsun, 2005: 116). Mengenai bentuk kongkret

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

71

dari kamus ini tidak seperti kamus pada umumnya yang telah diterbitkan dan diperjualbelikan karena dalam penyajiannya tidak menggunakan kolom-kolom. Teknik yang digunakan adalah teknik pola pikir induktif dan deduktif. II Pembahasan 2.1 Analisis Bentuk Istilah dalam Bidang Wariga 2.1.1 Pengertian Wariga

Menurut kamus Bahasa Bali Lumrah J. Kersten S.V.D (1984; 638) dikenal kata wara yang berarti hari, dan wariga yang berarti ajaran tentang diwasa/dewasa, yaitu baik buruk hari untuk melakukan sesuatu. Pembahasan singkat mengenai deskripsi dan etimologi wariga diperlukan sebelum melanjutkan proses penelitian kepada analisis bentuk dan istilah. Wariga adalah ilmu pengetahuan yang sangat tua dan umurnya milyard lebih tua dari ilmu agama yang baru kurang lebih berumur 3500 tahun. Ilmu yang paling tua yaitu filsafat atau tattwa. Wariga dianggap sebagai ilmu pokok atau dasar dari pada semua ilmu yang ada di dunia pada saat ini.

Adapun beberapa lontar wariga yang ditemukan di Bali antara lain : wariga Dewasa, wariga Krimping, wariga Gmet,wariga Panampih Sasih, wariga Smara Reka, wariga Bang dan lain sebagainya. 2.1.2 Bentuk Istilah Istilah dapat berupa kata dasar, kata berafiks, kata ulang, kata majemuk, frasa ataupun klausa. Bentuk kata istilah itu dianalisis dengan menggunakan kajian morfologi dan sintaksis. Kajian morfologi berkaitan dengan adanya istilah yang mengalami proses morfologis seperti : berimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Sedangkan kaitannya dengan kajian sintaksis, karena terdapat istilah berbentuk frasa dan klausa yang tentunya termasuk dalam satuan dalam cabang ilmu sintaksis. Istilah-istilah dalam bidang bahasa dan sastra Bali memiliki beberapa bentuk. Dalam penelitian ini ditemukan istilah berbentuk kata dasar, istilah berbentuk kata berafiks, istilah berbentuk kata ulang, istilah berbentuk kata majemuk, istilah berbentuk frasa dan istilah berbentuk klausa. 2.1.3Istilah Berbentuk Kata Dasar Kata dasar adalah satuan terkecil yang menjadi asal atau permulaan sesuatu kata kompleks (Tarigan, 1985: 20). Kata dasar merupakan satuan terkecil yang dapat berdiri sendiri dan belum mengalami proses perimbuhan, perulangan, pemajemukan, pembentukan frasa, atau pembentukan klausa sehingga menjadi suatu kata yang lebih luas. Ciri-ciri kata dasar adalah memiliki kategori yang jelas (nomina, verba, adjektiva, adverbial, numeralia, preposisi, konjungsi, dan pronomina), memiliki arti leksikal, dan dapat muncul sendiri sebagai unsur kalimat (Badudu, 1982:67). Berdasarkan definisi di atas, terdapat 43 istilah dalam bidang wariga yang berbentuk kata dasar dam dan seluruhnya merupakan kelas kata nomina.

Kata sebagai satuan fonologik terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem (Ramlan, 1985:29). Berdasarkan banyaknya suku kata yang membangun kata dasar dalam istilah bidang wariga ditemukan kata dasar yang terdiri atas (1) dua suku kata (2) tiga suku kata (3) empat suku kata (4) lima suku kata (5) enam suku kata.

1. Kata dasar bersuku 2 : dauh, ehep, ingkel, ketu, pembang, sani, sasih, sunya, tilem, tumpek, wuku,

2. Kata dasar bersuku 3 : dewasa, ernadi, prangewa, pratithi, purnama, purwani, srigati, wisesa 3. Kata dasar bersuku 4 : asuasa, anggarkasih, cintamanik, dirgahayu, dirgayusa, opayoga,

pegatwakan, purnasuka, saraswati, sandyakala, siwaratri, sriasuka, taliwangke, wiswayana, 4. Kata dasar bersuku 5 : daksinayana, pagerwesi, pawukon, uttarayana,

Page 75: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

70

istilah dalam bidang wariga ini nantinya dapat dijadikan acuan maupun referensi bagi pembaca lontar wariga dalam bentuk Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga. 1.2 Pokok Permasalahan a.Bentuk-bentuk (struktur) apa sajakah yang terdapat dalam istilah di bidang wariga ? b. Seberapa besarkah jumlah istilah (entri) yang terdapat dalam bidang wariga ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini, yaitu untuk turut serta dalam usaha membina dan mengembangkan bahasa daerah Bali, serta memberikan referensi mengenai istilah-istilah yang terdapat pada naskah lontar wariga dalam bentuk kamus istilah. Kamus ini diharapkan dapat mempermudah generasi penerus untuk memahami warisan leluhurnya dalam bentuk pemahaman lontar wariga sekaligus melestarikan budaya Bali. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mendeskripsikan istilah-istilah dalam naskah lontar wariga dengan jangkauan yaitu istilah–istilah padewasan atau penentuan hari-hari baik dan buruk dalam wariga. Istilah yang akan dideskripsikan yaitu istilah dengan pola kata dasar, kata turunan (kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk) dan frasa.

1.4 Metode dan Teknik 1.4.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data

Penelitian ini menggunakan metode simak dan metode cakap untuk mengumpulkan data. Metode simak digunakan karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan (Mahsun, 2005: 90). Teknik sadap ini kemudian diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, teknik catat dan teknik rekam. Penggunaan teknik simak bebas libat cakap difokuskan dalam penelitian ini, karena penelitian ini diharapkan mendapatkan data langsung dari para tokoh yang dianggap memiliki kompetensi di bidang wariga seperti pamangku, sulinggih dan lain-lain. Teknik catat dan rekam difungsikan untuk meminimalisir data yang terlewatkan. Setelah melakukan wawancara, data yang telah didapat kemudian dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu (1) input data, (2) pengabjadan dan (3) pemberian definisi. 1.4.2 Metode dan Teknik Ananlisis Data

Metode dan teknik yang dianggap sesuai untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah metode padan dengan sub jenis metode yaitu : metode translasional yang memiliki teknik dasar yang disebut teknik pilah unsur penentu (PUP) dengan teknik lanjutannya yang disebut teknik hubung banding menyamakan (atau teknik HBS) dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (atau teknik HBSP). Selain metode padan, penelitian ini juga menggunakan metode agih dengan teknik dasar yaitu : teknik bagi unsur langsung (BUL) jenis turun dengan dua teknik lanjutan yaitu : teknik perluas dan teknik sisip. 1.4.3 Metode dan Teknik Hasil Penyajian Analisis Data Penyajian hasil analisis penelitian ini menggunakan metode formal dan metode informal. Metode formal adalah pemerian dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Metode informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa (Mahsun, 2005: 116). Mengenai bentuk kongkret

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

71

dari kamus ini tidak seperti kamus pada umumnya yang telah diterbitkan dan diperjualbelikan karena dalam penyajiannya tidak menggunakan kolom-kolom. Teknik yang digunakan adalah teknik pola pikir induktif dan deduktif. II Pembahasan 2.1 Analisis Bentuk Istilah dalam Bidang Wariga 2.1.1 Pengertian Wariga

Menurut kamus Bahasa Bali Lumrah J. Kersten S.V.D (1984; 638) dikenal kata wara yang berarti hari, dan wariga yang berarti ajaran tentang diwasa/dewasa, yaitu baik buruk hari untuk melakukan sesuatu. Pembahasan singkat mengenai deskripsi dan etimologi wariga diperlukan sebelum melanjutkan proses penelitian kepada analisis bentuk dan istilah. Wariga adalah ilmu pengetahuan yang sangat tua dan umurnya milyard lebih tua dari ilmu agama yang baru kurang lebih berumur 3500 tahun. Ilmu yang paling tua yaitu filsafat atau tattwa. Wariga dianggap sebagai ilmu pokok atau dasar dari pada semua ilmu yang ada di dunia pada saat ini.

Adapun beberapa lontar wariga yang ditemukan di Bali antara lain : wariga Dewasa, wariga Krimping, wariga Gmet,wariga Panampih Sasih, wariga Smara Reka, wariga Bang dan lain sebagainya. 2.1.2 Bentuk Istilah Istilah dapat berupa kata dasar, kata berafiks, kata ulang, kata majemuk, frasa ataupun klausa. Bentuk kata istilah itu dianalisis dengan menggunakan kajian morfologi dan sintaksis. Kajian morfologi berkaitan dengan adanya istilah yang mengalami proses morfologis seperti : berimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Sedangkan kaitannya dengan kajian sintaksis, karena terdapat istilah berbentuk frasa dan klausa yang tentunya termasuk dalam satuan dalam cabang ilmu sintaksis. Istilah-istilah dalam bidang bahasa dan sastra Bali memiliki beberapa bentuk. Dalam penelitian ini ditemukan istilah berbentuk kata dasar, istilah berbentuk kata berafiks, istilah berbentuk kata ulang, istilah berbentuk kata majemuk, istilah berbentuk frasa dan istilah berbentuk klausa. 2.1.3Istilah Berbentuk Kata Dasar Kata dasar adalah satuan terkecil yang menjadi asal atau permulaan sesuatu kata kompleks (Tarigan, 1985: 20). Kata dasar merupakan satuan terkecil yang dapat berdiri sendiri dan belum mengalami proses perimbuhan, perulangan, pemajemukan, pembentukan frasa, atau pembentukan klausa sehingga menjadi suatu kata yang lebih luas. Ciri-ciri kata dasar adalah memiliki kategori yang jelas (nomina, verba, adjektiva, adverbial, numeralia, preposisi, konjungsi, dan pronomina), memiliki arti leksikal, dan dapat muncul sendiri sebagai unsur kalimat (Badudu, 1982:67). Berdasarkan definisi di atas, terdapat 43 istilah dalam bidang wariga yang berbentuk kata dasar dam dan seluruhnya merupakan kelas kata nomina.

Kata sebagai satuan fonologik terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem (Ramlan, 1985:29). Berdasarkan banyaknya suku kata yang membangun kata dasar dalam istilah bidang wariga ditemukan kata dasar yang terdiri atas (1) dua suku kata (2) tiga suku kata (3) empat suku kata (4) lima suku kata (5) enam suku kata.

1. Kata dasar bersuku 2 : dauh, ehep, ingkel, ketu, pembang, sani, sasih, sunya, tilem, tumpek, wuku,

2. Kata dasar bersuku 3 : dewasa, ernadi, prangewa, pratithi, purnama, purwani, srigati, wisesa 3. Kata dasar bersuku 4 : asuasa, anggarkasih, cintamanik, dirgahayu, dirgayusa, opayoga,

pegatwakan, purnasuka, saraswati, sandyakala, siwaratri, sriasuka, taliwangke, wiswayana, 4. Kata dasar bersuku 5 : daksinayana, pagerwesi, pawukon, uttarayana,

Page 76: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

72

2.1.4 Istilah Berbentuk Kata Turunan 2.1.4.1 Istilah Berbentuk Kata Berafiks Istilah yang berbentuk kata berafiks adalah istilah yang berasal dari kata dasar yang mengalami proses morfologis berupa pembubuhan suatu satuan, baik satuan itu berupa tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Kata dasar merupakan bentuk dasar yang menjadi satuan yang dilekati afiks atau menjadi dasar pembentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985: 49). Ramlan (1985: 55) juga menyatakan bahwa berdasarkan produktivitasnya, afiks dibagi menjadi dua yaitu: afiks produktif dan afiks improduktif. Afiks yang produktif adalah afiks yang hidup, yang memiliki kesanggupan yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem . Sedangkan afiks yang improduktif adalah afiks yang sudah usang, yang distribusinya terbatas pada beberapa kata, dan tidak lagi membentuk kata-kata baru. Seperti golongan afiks yang terdapat dalam bahasa pada umumnya, dalam bahasa Bali juga terdapat golongan afiks yang umum yaitu: prefiks, infiks, sufiks, konfiks, serta imbuhan gabung. (a) Istilah Berprefiks

Prefiks yaitu afiks yang dibubuhkan di kiri atau di awal bentuk kata dasar (Chaer, 2008:23). Prefiks bahasa Bali terdiri atas: /a-/, /kǝ-/, /sǝ-/. /pǝ-/, /mǝ-/, /pi-/, dan prefiks {N-} dengan alomorfnya yaitu: /m-/, /n-/, /ñ-/, /ŋ-/, dan /ŋǝ-/ (Bawa, 1981: 26-28). Pada kamus Bali – Indonesia bidang istilah wariga ditemukan kosa kata yang berprefiks {pǝN-}, {N-}, dan {mǝ-} sebanyak lima (5) istilah sebagai berikut : 1. Berprefiks {pǝN-} : pananggal, pangelong, pangalantaka 2. Berprefiks {mǝ-} : mamulih 3. Berprefiks {N-} : nyepi Berikut proses bagi unsur langsungnya : {pǝngǝlong} {mamulih}

{pǝN-} {long} {mǝ-} {bulih}

(b) Istilah Bersufiks Sufiks adalah afiks yang dibubuhkan di kanan bentuk dasar (Chaer, 2008: 23). Bahasa Bali memiliki empat buah sufiks yaitu: /-an/, /-a/, /-in/, dan /-aŋ/ (Bawa, 1981: 30) Pada kamus bidang istilah warigaditemukan dua (2)istilah yang berakhiran atau bersufiks. Kedua istilah tersebut adalah istilah yang berakhiran {-an}. Istilah tersebut adalah : pepedan dan pacekan Berikut proses bagi unsur langsungnya :

{pepedan} {pacekan}

{peped} {-an} {pacek} {-an}

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

73

(c) Istilah Berinfiks Infiks adalah afiks yang dibubuhkan di tengah kata, biasanya pada suku awal kata (Chaer, 2008: 23). Dalam bahasa Bali, sisipan (infiks) tersebut sama sekali tidak produktif. Oleh karena itu, lebih cenderung mengatakan bahwa dalam bahasa Bali tidak ada, misalnya: {-in-}, {-um-}, {-el-}, dan {-er-} (Bawa, 1981: 29-30). Pada kamus Bali - Indonesia bidang istilah wariga, tidak ditemukan istilah kata turunan berinfiks.

(d) Istilah Berkonfiks Konfiks adalah afiks yang dibubuhkan di kiri dan di kanan bentuk dasar secara bersamaan karena konfiks ini merupakan satu kesatuan afiks (Chaer, 2008: 23). Bahasa Bali memiliki beberapa jenis konfiks, yaitu: {pǝ-/-an}, {mǝ-/-an}, {ka-/-an}, dan {ma-/-in}. Pada kamus Bali-Indonesia bidang istilah wariga, hanya terdapat konfiks {pǝ-/-an}sebanyak sembilan (8) istilah yaitu : padewasan, pakakalan, pamacekan, pangunyalatrian, panyekeban, pararasan, pategtegan, penapean. Berikut beberapa proses bagi unsur langsungnya :

{padewasaan} {dadauhan}

{pa – an {dewasa} {pa – an} {dauh} (e) Istilah Berklofiks atau Berimbuhan Gabung

Imbuhan gabung yang dimaksud adalah imbuhan yang menambahkan bentuk dasar dengan lebih dari satu afiks. Berkaitan dengan penelitian ini, afiks yang dimaksud adalah prefiks dan sufiks. Prefiks dan sufiks tersebut, tidak merupakan unsur yang sekaligus dibubuhkan kepada bentuk dasar seperti layaknya konfiks, tetapi terjadi proses yang bertahap.

Tahap pembentukan konfiks, prefiks, dan sufiks harus sekaligus dibubuhi dan saling terkait satu sama lain sehingga jika dipilah-pilah berdasarkan bentuknya, prefiks + bentuk dasar, tidak akan bermakna dan juga jika bentuk dasar + sufiks, juga tidak akan bermakna. Namun dalam penelitian ini, imbuhan gabung biasanya diawali dengan pembubuhan sufiks terlebih dahulu kepada bentuk dasar, setelah itu dilanjutkan dengan membubuhkan prefiks pada bentuk dasar + sufiks tersebut.

Pada kamus Bali-Indonesia bidang istilah warigaditemukan hanya (1) istilah yang berimbuhan ganda (klofiks) yaitu istilah parerahinan.

Berikut proses bagi unsur langsungnya : {parerahinan}

{pa-} {rerahinan}

Page 77: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

72

2.1.4 Istilah Berbentuk Kata Turunan 2.1.4.1 Istilah Berbentuk Kata Berafiks Istilah yang berbentuk kata berafiks adalah istilah yang berasal dari kata dasar yang mengalami proses morfologis berupa pembubuhan suatu satuan, baik satuan itu berupa tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Kata dasar merupakan bentuk dasar yang menjadi satuan yang dilekati afiks atau menjadi dasar pembentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985: 49). Ramlan (1985: 55) juga menyatakan bahwa berdasarkan produktivitasnya, afiks dibagi menjadi dua yaitu: afiks produktif dan afiks improduktif. Afiks yang produktif adalah afiks yang hidup, yang memiliki kesanggupan yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem . Sedangkan afiks yang improduktif adalah afiks yang sudah usang, yang distribusinya terbatas pada beberapa kata, dan tidak lagi membentuk kata-kata baru. Seperti golongan afiks yang terdapat dalam bahasa pada umumnya, dalam bahasa Bali juga terdapat golongan afiks yang umum yaitu: prefiks, infiks, sufiks, konfiks, serta imbuhan gabung. (a) Istilah Berprefiks

Prefiks yaitu afiks yang dibubuhkan di kiri atau di awal bentuk kata dasar (Chaer, 2008:23). Prefiks bahasa Bali terdiri atas: /a-/, /kǝ-/, /sǝ-/. /pǝ-/, /mǝ-/, /pi-/, dan prefiks {N-} dengan alomorfnya yaitu: /m-/, /n-/, /ñ-/, /ŋ-/, dan /ŋǝ-/ (Bawa, 1981: 26-28). Pada kamus Bali – Indonesia bidang istilah wariga ditemukan kosa kata yang berprefiks {pǝN-}, {N-}, dan {mǝ-} sebanyak lima (5) istilah sebagai berikut : 1. Berprefiks {pǝN-} : pananggal, pangelong, pangalantaka 2. Berprefiks {mǝ-} : mamulih 3. Berprefiks {N-} : nyepi Berikut proses bagi unsur langsungnya : {pǝngǝlong} {mamulih}

{pǝN-} {long} {mǝ-} {bulih}

(b) Istilah Bersufiks Sufiks adalah afiks yang dibubuhkan di kanan bentuk dasar (Chaer, 2008: 23). Bahasa Bali memiliki empat buah sufiks yaitu: /-an/, /-a/, /-in/, dan /-aŋ/ (Bawa, 1981: 30) Pada kamus bidang istilah warigaditemukan dua (2)istilah yang berakhiran atau bersufiks. Kedua istilah tersebut adalah istilah yang berakhiran {-an}. Istilah tersebut adalah : pepedan dan pacekan Berikut proses bagi unsur langsungnya :

{pepedan} {pacekan}

{peped} {-an} {pacek} {-an}

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

73

(c) Istilah Berinfiks Infiks adalah afiks yang dibubuhkan di tengah kata, biasanya pada suku awal kata (Chaer, 2008: 23). Dalam bahasa Bali, sisipan (infiks) tersebut sama sekali tidak produktif. Oleh karena itu, lebih cenderung mengatakan bahwa dalam bahasa Bali tidak ada, misalnya: {-in-}, {-um-}, {-el-}, dan {-er-} (Bawa, 1981: 29-30). Pada kamus Bali - Indonesia bidang istilah wariga, tidak ditemukan istilah kata turunan berinfiks.

(d) Istilah Berkonfiks Konfiks adalah afiks yang dibubuhkan di kiri dan di kanan bentuk dasar secara bersamaan karena konfiks ini merupakan satu kesatuan afiks (Chaer, 2008: 23). Bahasa Bali memiliki beberapa jenis konfiks, yaitu: {pǝ-/-an}, {mǝ-/-an}, {ka-/-an}, dan {ma-/-in}. Pada kamus Bali-Indonesia bidang istilah wariga, hanya terdapat konfiks {pǝ-/-an}sebanyak sembilan (8) istilah yaitu : padewasan, pakakalan, pamacekan, pangunyalatrian, panyekeban, pararasan, pategtegan, penapean. Berikut beberapa proses bagi unsur langsungnya :

{padewasaan} {dadauhan}

{pa – an {dewasa} {pa – an} {dauh} (e) Istilah Berklofiks atau Berimbuhan Gabung

Imbuhan gabung yang dimaksud adalah imbuhan yang menambahkan bentuk dasar dengan lebih dari satu afiks. Berkaitan dengan penelitian ini, afiks yang dimaksud adalah prefiks dan sufiks. Prefiks dan sufiks tersebut, tidak merupakan unsur yang sekaligus dibubuhkan kepada bentuk dasar seperti layaknya konfiks, tetapi terjadi proses yang bertahap.

Tahap pembentukan konfiks, prefiks, dan sufiks harus sekaligus dibubuhi dan saling terkait satu sama lain sehingga jika dipilah-pilah berdasarkan bentuknya, prefiks + bentuk dasar, tidak akan bermakna dan juga jika bentuk dasar + sufiks, juga tidak akan bermakna. Namun dalam penelitian ini, imbuhan gabung biasanya diawali dengan pembubuhan sufiks terlebih dahulu kepada bentuk dasar, setelah itu dilanjutkan dengan membubuhkan prefiks pada bentuk dasar + sufiks tersebut.

Pada kamus Bali-Indonesia bidang istilah warigaditemukan hanya (1) istilah yang berimbuhan ganda (klofiks) yaitu istilah parerahinan.

Berikut proses bagi unsur langsungnya : {parerahinan}

{pa-} {rerahinan}

Page 78: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

74

{rahina} {R + -an}

4.3.2.2 Istilah Berbentuk Kata Ulang

Reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagaiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 1985: 75). Bahasa Bali memiliki tiga tipe reduplikasi, yaitu : (1) Reduplikasi utuh, (2) Reduplikasi utuh dengan variasi vokal dan (3) Reduplikasi parsial. Selain beberapa tipe reduplikasi di atas, terdapat juga kombinasi reduplikasi dengan afiks: reduplikasi dengan prefiks, reduplikasi dengan konfiks, reduplikasi dengan sufiks. Penelitian ini menemukan dua (2) tipe reduplikasi, yaitu :

1. Reduplikasi utuh dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}) :paid-paidan. Berikut proses bagi unsur langsungnya : {paid-paidan}

{R + -an} {paid}

2. Reduplikasi parsial dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}): wewaran, dadawuhan.

2.1.4.3 Istilah Berbentuk Kata Majemuk Kata majemuk merupakan gabungan dua unsur yang masing-masing memiliki makna, tetapi hasil dari gabungannya memiliki makna tersendiri (Djajasudarma, 1993:47). Dengan kata lain, kata majemuk terdiri dari dua kata sebagai unsurnya. Disamping itu, ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan satu pokok kata sebagai unsurnya. Dua kata yang dimaksud jika digabungkan akan menimbulkan kata baru. Pada penelitian ini terdapat empat ratus enam(406) istilah wariga yang berbentuk kata majemuk yang dapat diidentifikasi berdasarkan jenis katanya. Kata majemuk dalam Bahasa Bali dilihat dari bentuknya, dapat dibedakan menjadi : (a) kata majemuk tanpa afiks, (b) kata majemuk berafiks, dan (c) kata majemuk dengan unsur atau morfem unik.

a) Kata majemuk tanpa afiks yaitu : Begitu kedua unsurnya saat digabungkan, sudah menimbulkan makna baru tanpa proses lain.

b) Kata majemuk berafiks yaitu : Ketika kedua unsurnya digabungkan, perlu mendapat tambahan berupa afiks atau imbuhan.

c) Kata majemuk dengan unsur atau morfem unik yaitu : Proses penggabungannya sedemikian rupa tanpa memerlukan afiks. Unsur yang pertama biasanya berupa kata golongan adjektiva, sedangkan unsur yang berikut (kedua) berupa

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

75

unsur unik. Unsur unik yang dimaksud adalah morfem yang hanya mampu dikombinasikan dengan satu satuan tertentu (Antara, 1993: 15).

Terdapat empat ratus enam(406) istilah wariga yang berbentuk kata majemuk dapat diidentifikasi berdasarkan jenis katanya sebagai berikut : 1. Seratus enam puluh lima (165) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina

agni rawana, air asih, amerta akasa, amerta bumi, amerta buwana, amerta dadi, amertadanta, amerta dewa, amerta ditha, amerta gati, amerta kunda, amerta kundalini, amerta masa, amerta murti, amerta pageh, amerta papageran, amerta sari, amerta wija, amerta yoga, asing sanggih, banyu pinaruh, banyu putra, bawa guna, beteng was, buda gajah, buda kaliwon, bulan anglawean, candra graha, candra praleka, candra pralingga, candra pramana, catur laba, corok kondong, dagdig krana, dawuh sekaranti, dewasa tanian, dina carik, galungan nadi, gameda smara, geni rawana, guntur graha, guntur umah, guruning ulan, ingkel gulu, ingkel harimau, ingkel jejepan, ingkel macan, ingkel pandakan, istri payasan, kajeng kaliwon, kajeng kipkipan, kajeng lulunan, kajeng pamadi, kajeng rendetan, kajeng susunan, kajeng uwudan, kala angin, kala bancaran, kala bangkung, kala brahma, kala bregala, kala cakra, kala capika, kala caplokan, kala cepitan, kala dangastra, kala dangu, kala gacokan, kala garuda, kala gotongan, kala graha, kala guru, kala ijal, kala isinan, kala jengkang, kala katututan, kala keciran, kala luang, kala macan, kala mereng, kala mina, kala mretyu, kala pacekan, kala pager, kala panyeneng, kala pati, kala pegatan, kala prawani, kala rahu, kala raja, kala rebutan, kala sahit, kala sarang, kala siyung, kala sudangastra, kala sudukan, kala susulan, kala temah, kala tukaran, kala tumapel, kala was, kala wisesa, kala wong, kyasa tithi, macekan lanang, macekan wadon, mreta punja, mretasula, naksatra pralingga,pager wesi, pageran resi, pamaridan guru, pangunyan dina, panyekeban galungan, pasah paniron, pati pata, pati paten, pemacekan agung, penampahan galungan, penyajan galungan, planit anggara, planit sukra, planit whraspati, prabhu pendah, purnama danta, purwanin dina, purwanin panglong, purwanin tanggal, rah windhu, rarung pagelangan, rasmin budi, rekatadakala ayudana, sabuh mas, sasih anglawean, sedhana yoga, sri salem, sri tumekan, sugihan bali, sugihan jawa, sukra pangredanaan, surya graha, surya pralingga, surya pramana, surya sewana, tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek klurut, tumpek pengatag, tumpek uduh, tumpek uye, tumpek wariga, tunut masih, tutut masih, umanis galungan, upadana amerta,watek bhuta, watek gajah, watek lembu, watek lintah, watek madya,watek suku, watek uler, watek watu, watek wong, windhu turas.

2. Seratus satu (101) istilah yang berkonstruksi adjektiva + nomina

asuajag munggah, asuajag turun, babi munggah, babi turun, banyu milir, banyu urug, banyu urung, banyu wangsul, bintang kukus, bojog munggah, bojog turun, carik walanghati, dewa mentas, dewa ngelayang, dewasa mentas, dewasa ngelayang, geheng manyinget, jiwa manganti,kadang lanang, kala alap, kala atat, kala aus, kala awus,kala beseh, kala beser, kala enjer, kala geger, kala jangkut, kala kilang - kilung, kala kingkingan, kala magelut, kala malalanan, kala manguned, kala matampak, kala mangap, kala miled,kala muas, kala muncar, kala muncrat, kala nanggung, kala ngadeg, kala ngamut, kala ngarabin, kala ngeruda, kala ngunya, kala olih, kala pegat, kala rumpuh, kala klingkung, kala sungsang, kala tampak, kala tanggung, kala upa, kala wikalpa, kala kalingkung, karna sula, lutung megandong, naga laut, pasah liah, patra limutan, ratu atukar, ratu kabranang, ratu magamparan, ratu magelung, ratu makekasihan, ratu makire, ratu makrambean, ratu mangasih, ratu mangampin, ratu mangemban, ratu mangigel, ratu mangrejang, ratu mangrenteng, ratu mangure, ratu manyingal, ratu mapadik, ratu mapayas, ratu megambahan, ratu angrapuh, ratu makakasihan, ratu sumengkem, sri mabasta, sri manaruh, sri mangebek, sri mangundang, sri murti, srigati jenek,

Page 79: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

74

{rahina} {R + -an}

4.3.2.2 Istilah Berbentuk Kata Ulang

Reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagaiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 1985: 75). Bahasa Bali memiliki tiga tipe reduplikasi, yaitu : (1) Reduplikasi utuh, (2) Reduplikasi utuh dengan variasi vokal dan (3) Reduplikasi parsial. Selain beberapa tipe reduplikasi di atas, terdapat juga kombinasi reduplikasi dengan afiks: reduplikasi dengan prefiks, reduplikasi dengan konfiks, reduplikasi dengan sufiks. Penelitian ini menemukan dua (2) tipe reduplikasi, yaitu :

1. Reduplikasi utuh dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}) :paid-paidan. Berikut proses bagi unsur langsungnya : {paid-paidan}

{R + -an} {paid}

2. Reduplikasi parsial dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}): wewaran, dadawuhan.

2.1.4.3 Istilah Berbentuk Kata Majemuk Kata majemuk merupakan gabungan dua unsur yang masing-masing memiliki makna, tetapi hasil dari gabungannya memiliki makna tersendiri (Djajasudarma, 1993:47). Dengan kata lain, kata majemuk terdiri dari dua kata sebagai unsurnya. Disamping itu, ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan satu pokok kata sebagai unsurnya. Dua kata yang dimaksud jika digabungkan akan menimbulkan kata baru. Pada penelitian ini terdapat empat ratus enam(406) istilah wariga yang berbentuk kata majemuk yang dapat diidentifikasi berdasarkan jenis katanya. Kata majemuk dalam Bahasa Bali dilihat dari bentuknya, dapat dibedakan menjadi : (a) kata majemuk tanpa afiks, (b) kata majemuk berafiks, dan (c) kata majemuk dengan unsur atau morfem unik.

a) Kata majemuk tanpa afiks yaitu : Begitu kedua unsurnya saat digabungkan, sudah menimbulkan makna baru tanpa proses lain.

b) Kata majemuk berafiks yaitu : Ketika kedua unsurnya digabungkan, perlu mendapat tambahan berupa afiks atau imbuhan.

c) Kata majemuk dengan unsur atau morfem unik yaitu : Proses penggabungannya sedemikian rupa tanpa memerlukan afiks. Unsur yang pertama biasanya berupa kata golongan adjektiva, sedangkan unsur yang berikut (kedua) berupa

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

75

unsur unik. Unsur unik yang dimaksud adalah morfem yang hanya mampu dikombinasikan dengan satu satuan tertentu (Antara, 1993: 15).

Terdapat empat ratus enam(406) istilah wariga yang berbentuk kata majemuk dapat diidentifikasi berdasarkan jenis katanya sebagai berikut : 1. Seratus enam puluh lima (165) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina

agni rawana, air asih, amerta akasa, amerta bumi, amerta buwana, amerta dadi, amertadanta, amerta dewa, amerta ditha, amerta gati, amerta kunda, amerta kundalini, amerta masa, amerta murti, amerta pageh, amerta papageran, amerta sari, amerta wija, amerta yoga, asing sanggih, banyu pinaruh, banyu putra, bawa guna, beteng was, buda gajah, buda kaliwon, bulan anglawean, candra graha, candra praleka, candra pralingga, candra pramana, catur laba, corok kondong, dagdig krana, dawuh sekaranti, dewasa tanian, dina carik, galungan nadi, gameda smara, geni rawana, guntur graha, guntur umah, guruning ulan, ingkel gulu, ingkel harimau, ingkel jejepan, ingkel macan, ingkel pandakan, istri payasan, kajeng kaliwon, kajeng kipkipan, kajeng lulunan, kajeng pamadi, kajeng rendetan, kajeng susunan, kajeng uwudan, kala angin, kala bancaran, kala bangkung, kala brahma, kala bregala, kala cakra, kala capika, kala caplokan, kala cepitan, kala dangastra, kala dangu, kala gacokan, kala garuda, kala gotongan, kala graha, kala guru, kala ijal, kala isinan, kala jengkang, kala katututan, kala keciran, kala luang, kala macan, kala mereng, kala mina, kala mretyu, kala pacekan, kala pager, kala panyeneng, kala pati, kala pegatan, kala prawani, kala rahu, kala raja, kala rebutan, kala sahit, kala sarang, kala siyung, kala sudangastra, kala sudukan, kala susulan, kala temah, kala tukaran, kala tumapel, kala was, kala wisesa, kala wong, kyasa tithi, macekan lanang, macekan wadon, mreta punja, mretasula, naksatra pralingga,pager wesi, pageran resi, pamaridan guru, pangunyan dina, panyekeban galungan, pasah paniron, pati pata, pati paten, pemacekan agung, penampahan galungan, penyajan galungan, planit anggara, planit sukra, planit whraspati, prabhu pendah, purnama danta, purwanin dina, purwanin panglong, purwanin tanggal, rah windhu, rarung pagelangan, rasmin budi, rekatadakala ayudana, sabuh mas, sasih anglawean, sedhana yoga, sri salem, sri tumekan, sugihan bali, sugihan jawa, sukra pangredanaan, surya graha, surya pralingga, surya pramana, surya sewana, tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek klurut, tumpek pengatag, tumpek uduh, tumpek uye, tumpek wariga, tunut masih, tutut masih, umanis galungan, upadana amerta,watek bhuta, watek gajah, watek lembu, watek lintah, watek madya,watek suku, watek uler, watek watu, watek wong, windhu turas.

2. Seratus satu (101) istilah yang berkonstruksi adjektiva + nomina

asuajag munggah, asuajag turun, babi munggah, babi turun, banyu milir, banyu urug, banyu urung, banyu wangsul, bintang kukus, bojog munggah, bojog turun, carik walanghati, dewa mentas, dewa ngelayang, dewasa mentas, dewasa ngelayang, geheng manyinget, jiwa manganti,kadang lanang, kala alap, kala atat, kala aus, kala awus,kala beseh, kala beser, kala enjer, kala geger, kala jangkut, kala kilang - kilung, kala kingkingan, kala magelut, kala malalanan, kala manguned, kala matampak, kala mangap, kala miled,kala muas, kala muncar, kala muncrat, kala nanggung, kala ngadeg, kala ngamut, kala ngarabin, kala ngeruda, kala ngunya, kala olih, kala pegat, kala rumpuh, kala klingkung, kala sungsang, kala tampak, kala tanggung, kala upa, kala wikalpa, kala kalingkung, karna sula, lutung megandong, naga laut, pasah liah, patra limutan, ratu atukar, ratu kabranang, ratu magamparan, ratu magelung, ratu makekasihan, ratu makire, ratu makrambean, ratu mangasih, ratu mangampin, ratu mangemban, ratu mangigel, ratu mangrejang, ratu mangrenteng, ratu mangure, ratu manyingal, ratu mapadik, ratu mapayas, ratu megambahan, ratu angrapuh, ratu makakasihan, ratu sumengkem, sri mabasta, sri manaruh, sri mangebek, sri mangundang, sri murti, srigati jenek,

Page 80: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

76

srigati munggah, srigati turun, sedana tiba, segara muncar, semut sedulur, shri murti, sih korasih, sih mangidep, sih manungguh, sri korasih, swarga manga, watugunung runtuh, was penganten, whraspati panegtegan.

3. Dua puluh delapan (28) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva

basah cenik, basah gede, buda cemeng, buda ireng, buda suka, carik agung, coma ribek, dauh ayu, dewa werdi, dina jaya, dina mandi, geni agung, geni murub, kala demit, kala suwung, kala timpang, kala tumpar, kama jaya, macekan agung, purnama suka, sri bagia, sarik agung, sarik ketah, siwa sampurna, titi buwuk, tutur mandi, tumpek landep, watek alit.

4. Lima belas (15) yang berkonstruksi verba + nomina alahing sasih, derman bagia, memendem wesi, mendem rare, ngunya latri, kalebu rau, larung pagelangan, lebur awu, nampih sasih, nemu gelang, nyekung dewasa, pangrepetaning sasih, sampar wangke, sungsang pati, uncal balung.

5. Empat (4) istilah yang berkonstruksi nomina + adverbia dewa setata, kala ingsor, kala sor, kali sor.

6. Enam (6) istilah yang berkonstruksi nomina + numeralia dangu pat, purnama kapat, purnama sadha, rangda tiga, watek catur, watek panca.

7. Dua (2) istilah yang berkonstruksi adjektiva + adjektiva ayu nulus, werdi suka.

8. Satu (1) istilah yang berkonstruksi adjektiva + numeralia jaya tiga.

9. Sembilan (9) istilah yang berkonstruksi adjektiva + nomina mala masa, pageh gumi, putek ati, ayu badra, ayu dana, salah paksa, salah wadi, subha cara , wredhi guna.

10. Delapan (8) istilah yang berkonstruksi numeralia + nomina asta dauh, dasa amerta, dasa guna, panca amerta, panca dauh, panca prawani, panca werdi, sapta rsi.

11. Dua puluh tiga (23) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + nomina amerta dewa sari, amerta dewa seluang, amerta dewa yadnya, amerta masaning bulan, agni rawana jejepan, buda kaliwon matal, buda kaliwon pegatuwakan, buda wage langkir, buda wage merakih, buda kaliwon pahang, candra naksatra pralingga, eka jala reshi, galungan nara mangsa, gni rawana jejepan, gni rawana rangkep, kajeng kaliwon pamelastali, kajeng kaliwon enyitan, kajeng kaliwon uwudan, kala kutila manik, kajeng kaliwon pamelastali, rah tenggek windhu, redite umanis ukir, sasih surya wariga.

12. Tiga (3) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + adjektiva amerta dewa jaya, kala pati jengkang, ratu istri luwih.

13. Enam belas (16) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + verba ingkel buku sadina, ingkel manuk sadina, ingkel sato sadina, ingkel taru sadina, ingkel wong sadina, kala asuajag munggah, kala asuajag turun, kala empas munggah, kala empas turun, kala gumarang munggah, kala gumarang turun, kala kutila munggah, kala kutila turun, kala lutung magelut, kala lutung magandong, ratu istri sumengkem.

14. Lima belas (15) istilah yang berkonstruksi nomina + verba + nomina gagak anungsung pati, kala sapuh au, pratiti sambut pada, ratu amendak brana, ratu amuja angkara, ratu angrebut payas, ratu anyapuh lara, ratu mangrebut putri, ratu mangrebut nagara, ratu nabdabang liang, ratu nabdab payas, ratu ngrebut istri, ratu ngawa brana, ratu ngemban putra, soma candung watang.

15. Dua (2) istilah yang berkonstruksi nomina + numeralia + nomina kala tiga dungulan, kala tiga pasah

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

77

16. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + partikel + nomina kalebu ing rau

17. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + nomina + adjektiva katibanan carik agung, 18. Dua (2) istilah berkonstruksi nomina + verba + verba sampi gumarang munggah, sampi gumarang turun, 19. Satu (1) istilah berkonstruksi nomina + adjektiva + verba + verba agni agung doyan basmi, 20. Satu (1) istilah berkonstruksi nomina + adjektiva + nomina + nomina agni agung patra limutan, 21. Dua (2) istilah berkonstruksi nomina + adverbia + nomina wuku tan paguru, wulan tan pasirah

2.1.4.4 Istilah Berbentuk Frasa

Menurut Rusyana, dkk (dalam Arifin, dkk 2008:18) frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata atau satu ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih. Selain itu, menurut Ramlan (2001: 139) frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Selain dengan definisi mengenai frasa, alangkah mudahnya jika mengenali ciri-ciri frasa itu sendiri. Mengenali ciri-ciri frasa akan mempermudah menentukan apakah suatu bentuk itu merupakan frasa atau bukan frasa terutama dalam membedakan frasa dari kata majemuk. Berdasarkan definisi di atas, istilah-istilah dalam bidang wariga yang berbentuk frasa endosentrik adalah sebanyak tujuh (7) istilah dan klasifikasi berdasarkan kelas kata pada induknya. 2.1.4.5 Istilah Berbentuk Klausa Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat (Arifin dkk, 2008: 34). Selain itu, Bawa dkk (1938: 28) berpendapat bahwa klausa adalah suatu kesatuan bentuk bahasa yang terdiri dari subjek dan predikat dan diakhiri oleh intonasi nonfinal dan merupakan bagian kalimat. Terdapat tiga penggolongan klausa yaitu : (1) berdasarkan kelas kata pembentuk predikat, (2) berdasarkan melakukan atau dikenainya suatu tindakan pada suatu pelaku, dan (3) sekelas atau tidaknya 77nsure-unsur pembentuk klausa (Bawa, dkk. 1983: 31). Berdasarkan ketiga penggolongan tersebut, hanya dua penggolongan yang dibahas yaitu klausa aktif dan klausa pasif. Pada penelitian ini ditemukan 3 istilah berbentuk klausadalam bidang wariga, antara lain sang anguliaken dewasa, sang wruhing dewasa, uger – uger anaking tahun. III Simpulan Berdasarkan bentuk istilah-istilah yang terdapat dalam bidang wariga, berikut adalah bentuk istilah yang ditemukan dalam penelitian ini :

1. Istilah yang berbentuk kata dasar yang terdiri dari : a. Kata dasar bersuku dua : dauh, ehep, ingkel, ketu, pembang, sani, sasih, sunya, tilem,

tumpek, wuku. b. Kata dasar bersuku tiga : dewasa, ernadi, prangewa, pratithi, purnama, purwani, srigati,

wisesa. c. Kata dasar bersuku empat : asuasa, anggarkasih, cintamanik, dirgahayu, dirgayusa,

opayoga, pegatwakan, purnasuka, saraswati, sandyakala, siwaratri, sriasuka, taliwangke, wiswayana.

d. Kata dasar bersuku lima : daksinayana, pagerwesi, pawukon, uttarayana.

Page 81: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

76

srigati munggah, srigati turun, sedana tiba, segara muncar, semut sedulur, shri murti, sih korasih, sih mangidep, sih manungguh, sri korasih, swarga manga, watugunung runtuh, was penganten, whraspati panegtegan.

3. Dua puluh delapan (28) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva

basah cenik, basah gede, buda cemeng, buda ireng, buda suka, carik agung, coma ribek, dauh ayu, dewa werdi, dina jaya, dina mandi, geni agung, geni murub, kala demit, kala suwung, kala timpang, kala tumpar, kama jaya, macekan agung, purnama suka, sri bagia, sarik agung, sarik ketah, siwa sampurna, titi buwuk, tutur mandi, tumpek landep, watek alit.

4. Lima belas (15) yang berkonstruksi verba + nomina alahing sasih, derman bagia, memendem wesi, mendem rare, ngunya latri, kalebu rau, larung pagelangan, lebur awu, nampih sasih, nemu gelang, nyekung dewasa, pangrepetaning sasih, sampar wangke, sungsang pati, uncal balung.

5. Empat (4) istilah yang berkonstruksi nomina + adverbia dewa setata, kala ingsor, kala sor, kali sor.

6. Enam (6) istilah yang berkonstruksi nomina + numeralia dangu pat, purnama kapat, purnama sadha, rangda tiga, watek catur, watek panca.

7. Dua (2) istilah yang berkonstruksi adjektiva + adjektiva ayu nulus, werdi suka.

8. Satu (1) istilah yang berkonstruksi adjektiva + numeralia jaya tiga.

9. Sembilan (9) istilah yang berkonstruksi adjektiva + nomina mala masa, pageh gumi, putek ati, ayu badra, ayu dana, salah paksa, salah wadi, subha cara , wredhi guna.

10. Delapan (8) istilah yang berkonstruksi numeralia + nomina asta dauh, dasa amerta, dasa guna, panca amerta, panca dauh, panca prawani, panca werdi, sapta rsi.

11. Dua puluh tiga (23) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + nomina amerta dewa sari, amerta dewa seluang, amerta dewa yadnya, amerta masaning bulan, agni rawana jejepan, buda kaliwon matal, buda kaliwon pegatuwakan, buda wage langkir, buda wage merakih, buda kaliwon pahang, candra naksatra pralingga, eka jala reshi, galungan nara mangsa, gni rawana jejepan, gni rawana rangkep, kajeng kaliwon pamelastali, kajeng kaliwon enyitan, kajeng kaliwon uwudan, kala kutila manik, kajeng kaliwon pamelastali, rah tenggek windhu, redite umanis ukir, sasih surya wariga.

12. Tiga (3) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + adjektiva amerta dewa jaya, kala pati jengkang, ratu istri luwih.

13. Enam belas (16) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + verba ingkel buku sadina, ingkel manuk sadina, ingkel sato sadina, ingkel taru sadina, ingkel wong sadina, kala asuajag munggah, kala asuajag turun, kala empas munggah, kala empas turun, kala gumarang munggah, kala gumarang turun, kala kutila munggah, kala kutila turun, kala lutung magelut, kala lutung magandong, ratu istri sumengkem.

14. Lima belas (15) istilah yang berkonstruksi nomina + verba + nomina gagak anungsung pati, kala sapuh au, pratiti sambut pada, ratu amendak brana, ratu amuja angkara, ratu angrebut payas, ratu anyapuh lara, ratu mangrebut putri, ratu mangrebut nagara, ratu nabdabang liang, ratu nabdab payas, ratu ngrebut istri, ratu ngawa brana, ratu ngemban putra, soma candung watang.

15. Dua (2) istilah yang berkonstruksi nomina + numeralia + nomina kala tiga dungulan, kala tiga pasah

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

77

16. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + partikel + nomina kalebu ing rau

17. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + nomina + adjektiva katibanan carik agung, 18. Dua (2) istilah berkonstruksi nomina + verba + verba sampi gumarang munggah, sampi gumarang turun, 19. Satu (1) istilah berkonstruksi nomina + adjektiva + verba + verba agni agung doyan basmi, 20. Satu (1) istilah berkonstruksi nomina + adjektiva + nomina + nomina agni agung patra limutan, 21. Dua (2) istilah berkonstruksi nomina + adverbia + nomina wuku tan paguru, wulan tan pasirah

2.1.4.4 Istilah Berbentuk Frasa

Menurut Rusyana, dkk (dalam Arifin, dkk 2008:18) frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata atau satu ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih. Selain itu, menurut Ramlan (2001: 139) frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Selain dengan definisi mengenai frasa, alangkah mudahnya jika mengenali ciri-ciri frasa itu sendiri. Mengenali ciri-ciri frasa akan mempermudah menentukan apakah suatu bentuk itu merupakan frasa atau bukan frasa terutama dalam membedakan frasa dari kata majemuk. Berdasarkan definisi di atas, istilah-istilah dalam bidang wariga yang berbentuk frasa endosentrik adalah sebanyak tujuh (7) istilah dan klasifikasi berdasarkan kelas kata pada induknya. 2.1.4.5 Istilah Berbentuk Klausa Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat (Arifin dkk, 2008: 34). Selain itu, Bawa dkk (1938: 28) berpendapat bahwa klausa adalah suatu kesatuan bentuk bahasa yang terdiri dari subjek dan predikat dan diakhiri oleh intonasi nonfinal dan merupakan bagian kalimat. Terdapat tiga penggolongan klausa yaitu : (1) berdasarkan kelas kata pembentuk predikat, (2) berdasarkan melakukan atau dikenainya suatu tindakan pada suatu pelaku, dan (3) sekelas atau tidaknya 77nsure-unsur pembentuk klausa (Bawa, dkk. 1983: 31). Berdasarkan ketiga penggolongan tersebut, hanya dua penggolongan yang dibahas yaitu klausa aktif dan klausa pasif. Pada penelitian ini ditemukan 3 istilah berbentuk klausadalam bidang wariga, antara lain sang anguliaken dewasa, sang wruhing dewasa, uger – uger anaking tahun. III Simpulan Berdasarkan bentuk istilah-istilah yang terdapat dalam bidang wariga, berikut adalah bentuk istilah yang ditemukan dalam penelitian ini :

1. Istilah yang berbentuk kata dasar yang terdiri dari : a. Kata dasar bersuku dua : dauh, ehep, ingkel, ketu, pembang, sani, sasih, sunya, tilem,

tumpek, wuku. b. Kata dasar bersuku tiga : dewasa, ernadi, prangewa, pratithi, purnama, purwani, srigati,

wisesa. c. Kata dasar bersuku empat : asuasa, anggarkasih, cintamanik, dirgahayu, dirgayusa,

opayoga, pegatwakan, purnasuka, saraswati, sandyakala, siwaratri, sriasuka, taliwangke, wiswayana.

d. Kata dasar bersuku lima : daksinayana, pagerwesi, pawukon, uttarayana.

Page 82: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

78

2. Istilah berbentuk kata turunan yang terdiri dari kata berafiks, kata ulang (reduplikasi), kata majemuk, dan frasa. a. Istilah berbentuk kata berafiks :

1. Berprefiks {pǝN-} : pananggal, pangelong, pangalantaka. 2. Berprefiks {mǝ-} : mamulih. 3. Berprefiks {N-} : nyepi. 4. Bersufiks {-an} : pepedan, pacekan. 5. Berkonfiks {pǝ-/-an} : padewasan, pakakalan, pamacekan, pangunyalatrian,

panyekeban, pararasan, pategtegan, penapean. 6. Berklofiks {pǝ-/-an} : parerahinan/

b. Istilah berbentuk kata ulang (reduplikasi) : 1. Reduplikasi utuh dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}) : paid - paidan. 2. Reduplikasi parsial dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}) : dadawuhan.

c. Istilah berbentuk kata majemuk 1. Dua ratus lima puluh satu (165) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina : agni

rawana, air asih, amerta akasa, amerta bumi, amerta buwana. 2. Empat (101) istilah yang berkonstruksi nomina + verba : asuajag munggah, asuajag

turun, babi munggah, babi turun. 3. Dua puluh delapan (28) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva : basah cenik,

basah gede, buda cemeng, buda ireng, buda suka. 4. Lima belas (15) istilah yang berkonstruksi verba + nomina : alahing sasih, derman

bagia, memendem wesi, mendem rare. 5. Empat (4) istilah yang berkonstruksi nomina + adverbia : dewa setata, kala ingsor,

kala sor, kali sor. 6. Enam istilah (6) yang berkonstruksi nomina + numeralia : dangu pat, purnama kapat,

purnama sadha, rangda tiga. 7. Dua (2) istilah yang berkonstruksi adjektiv + adjektiva : ayu nulus, werdi suka. 8. Satu (1) istilah yang berkonstruksi adjektiv + numeralia : jaya tiga. 9. Tiga (9) istilah yang berkonstruksi adjektiva + nomina : mala masa, pageh gumi,

putek ati, ayu badra, ayu dana. 10. Delapan (8) istilah yang berkonstruksi numeralia + nomina : asta dauh, dasa amerta,

dasa guna, panca amerta, 11. Dua puluh tiga (23) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + nomina : amerta

dewa sari, amerta dewa seluang, amerta dewa yadnya. 12. Tiga (3) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + adjektiva : amerta dewa jaya,

kala pati jengkang, ratu istri luwih. 13. Enam belas (16) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + verba : ingkel buku

sadina, ingkel manuk sadina, ingkel sato sadina. 14. Dua (15) istilah yang berkonstruksi nomina nomina + verba + nomina : gagak

anungsung pati, kala sapuh au, pratiti sambut pada. 15. Dua (2) istilah yang berkonstruksi nomina + numeralia + nomina : kala tiga

dungulan, kala tiga pasah . 16. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + partikel + nomina : kalebu ing rau . 17. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + nomina + adjektiva : katibanan carik

agung. 18. Dua (2) istilah yang berkonstruksi nomina + verba + verba : sampi gumarang

munggah, sampi gumarang turun.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

79

19. Satu (1) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva + verba + verba : agni agung doyan basmi.

20. Satu (1) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva + nomina + nomina : agni agung patra limutan.

21. Satu (2) istilah yang berkonstruksi nomina + adverbial + nomina : wuku tan paguru, wulan tan pasirah.

d. Istilah berbentuk frasa

1. Frasa Nominal : ala- ayuning dauh, ala- ayuning sasih, dewasa dedauhan, penanggal ping pisan, tatenger palalintangan, tatenger sasih, tenung wariga.

2. Frasa eksosentrik nondirektif : sang anguliaken dewasa dan sang wruhing dewasa.

e. Istilah berbentuk klausa : sang anguliaken dewasa, sang wruhing dewasa,dan uger-uger anaking tahung.

f. Penelitian ini menemukan empat ratus delapan puluh dua (482) istilah dalam bidang wariga

Daftar Pustaka Agastia, IBG. 1985. Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali. Yogyakarta: Javanologi. Ardhana, Suparta. 2006. Pokok - Pokok Wariga. Surabaya : Paramita Arifin, Zaenal, dkk. 2008. SINTAKSIS “Untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa dan

Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK”. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Aryana, Manik. 2006. Dasar-Dasar Wariga : Kearifan Alam dalam Sistem Tarikh Bali. Denpasar :

BaliAga Badudu, J.S. 1982. Morfologi Bahasa Gorontalo. Jakarta : Djambatan Bawa, I Wayan dkk. 1983. Sintaksis Bahasa Bali. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Djajasudarma, Dr. T. Fatimah. Metode Linguistik (Rancangan Metode Penelitian dan Kajian).

Bandung : PT. ERESCO Gautama, Budha. 2014. Wariga Krimping. Surabaya : Paramita Gina, I Wayan. 1997. Aneka Tarikh. Denpasar : Upada Sastra Guweng, I Ketut. Sarining Wariga. Denpasar Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research, Jilid 1. Yogyakarta : YP. Fakultas Psikologi, UGM. Kadjeng, I Njoman. 1929. ‘Voorloopig overzicht der op Bali aanwezige literatuurchat’,

Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck-van der Tuuk. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik (Edisi Ketiga). Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Kusuma, Ananda. 1998. Prembon Bali Agung. Denpasar : Kayumas Agung Laksana, Darma. 2014. Manual Leksikografi Metode dan Teknik Penyusunan Kamus. Denpasar

: Udayana University Press. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa (Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya). Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada. Nasib, Ni Made. 1998. KamusBali-Indonesia Bidang Istilah Pewayangan Bali. Denpasar : Fakultas

Sastra Universitas Udayana.

Page 83: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

78

2. Istilah berbentuk kata turunan yang terdiri dari kata berafiks, kata ulang (reduplikasi), kata majemuk, dan frasa. a. Istilah berbentuk kata berafiks :

1. Berprefiks {pǝN-} : pananggal, pangelong, pangalantaka. 2. Berprefiks {mǝ-} : mamulih. 3. Berprefiks {N-} : nyepi. 4. Bersufiks {-an} : pepedan, pacekan. 5. Berkonfiks {pǝ-/-an} : padewasan, pakakalan, pamacekan, pangunyalatrian,

panyekeban, pararasan, pategtegan, penapean. 6. Berklofiks {pǝ-/-an} : parerahinan/

b. Istilah berbentuk kata ulang (reduplikasi) : 1. Reduplikasi utuh dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}) : paid - paidan. 2. Reduplikasi parsial dan dikombinasikan dengan afiks (sufiks {-an}) : dadawuhan.

c. Istilah berbentuk kata majemuk 1. Dua ratus lima puluh satu (165) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina : agni

rawana, air asih, amerta akasa, amerta bumi, amerta buwana. 2. Empat (101) istilah yang berkonstruksi nomina + verba : asuajag munggah, asuajag

turun, babi munggah, babi turun. 3. Dua puluh delapan (28) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva : basah cenik,

basah gede, buda cemeng, buda ireng, buda suka. 4. Lima belas (15) istilah yang berkonstruksi verba + nomina : alahing sasih, derman

bagia, memendem wesi, mendem rare. 5. Empat (4) istilah yang berkonstruksi nomina + adverbia : dewa setata, kala ingsor,

kala sor, kali sor. 6. Enam istilah (6) yang berkonstruksi nomina + numeralia : dangu pat, purnama kapat,

purnama sadha, rangda tiga. 7. Dua (2) istilah yang berkonstruksi adjektiv + adjektiva : ayu nulus, werdi suka. 8. Satu (1) istilah yang berkonstruksi adjektiv + numeralia : jaya tiga. 9. Tiga (9) istilah yang berkonstruksi adjektiva + nomina : mala masa, pageh gumi,

putek ati, ayu badra, ayu dana. 10. Delapan (8) istilah yang berkonstruksi numeralia + nomina : asta dauh, dasa amerta,

dasa guna, panca amerta, 11. Dua puluh tiga (23) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + nomina : amerta

dewa sari, amerta dewa seluang, amerta dewa yadnya. 12. Tiga (3) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + adjektiva : amerta dewa jaya,

kala pati jengkang, ratu istri luwih. 13. Enam belas (16) istilah yang berkonstruksi nomina + nomina + verba : ingkel buku

sadina, ingkel manuk sadina, ingkel sato sadina. 14. Dua (15) istilah yang berkonstruksi nomina nomina + verba + nomina : gagak

anungsung pati, kala sapuh au, pratiti sambut pada. 15. Dua (2) istilah yang berkonstruksi nomina + numeralia + nomina : kala tiga

dungulan, kala tiga pasah . 16. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + partikel + nomina : kalebu ing rau . 17. Satu (1) istilah yang berkonstruksi verba + nomina + adjektiva : katibanan carik

agung. 18. Dua (2) istilah yang berkonstruksi nomina + verba + verba : sampi gumarang

munggah, sampi gumarang turun.

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

79

19. Satu (1) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva + verba + verba : agni agung doyan basmi.

20. Satu (1) istilah yang berkonstruksi nomina + adjektiva + nomina + nomina : agni agung patra limutan.

21. Satu (2) istilah yang berkonstruksi nomina + adverbial + nomina : wuku tan paguru, wulan tan pasirah.

d. Istilah berbentuk frasa

1. Frasa Nominal : ala- ayuning dauh, ala- ayuning sasih, dewasa dedauhan, penanggal ping pisan, tatenger palalintangan, tatenger sasih, tenung wariga.

2. Frasa eksosentrik nondirektif : sang anguliaken dewasa dan sang wruhing dewasa.

e. Istilah berbentuk klausa : sang anguliaken dewasa, sang wruhing dewasa,dan uger-uger anaking tahung.

f. Penelitian ini menemukan empat ratus delapan puluh dua (482) istilah dalam bidang wariga

Daftar Pustaka Agastia, IBG. 1985. Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali. Yogyakarta: Javanologi. Ardhana, Suparta. 2006. Pokok - Pokok Wariga. Surabaya : Paramita Arifin, Zaenal, dkk. 2008. SINTAKSIS “Untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa dan

Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK”. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Aryana, Manik. 2006. Dasar-Dasar Wariga : Kearifan Alam dalam Sistem Tarikh Bali. Denpasar :

BaliAga Badudu, J.S. 1982. Morfologi Bahasa Gorontalo. Jakarta : Djambatan Bawa, I Wayan dkk. 1983. Sintaksis Bahasa Bali. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Djajasudarma, Dr. T. Fatimah. Metode Linguistik (Rancangan Metode Penelitian dan Kajian).

Bandung : PT. ERESCO Gautama, Budha. 2014. Wariga Krimping. Surabaya : Paramita Gina, I Wayan. 1997. Aneka Tarikh. Denpasar : Upada Sastra Guweng, I Ketut. Sarining Wariga. Denpasar Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research, Jilid 1. Yogyakarta : YP. Fakultas Psikologi, UGM. Kadjeng, I Njoman. 1929. ‘Voorloopig overzicht der op Bali aanwezige literatuurchat’,

Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck-van der Tuuk. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik (Edisi Ketiga). Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Kusuma, Ananda. 1998. Prembon Bali Agung. Denpasar : Kayumas Agung Laksana, Darma. 2014. Manual Leksikografi Metode dan Teknik Penyusunan Kamus. Denpasar

: Udayana University Press. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa (Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya). Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada. Nasib, Ni Made. 1998. KamusBali-Indonesia Bidang Istilah Pewayangan Bali. Denpasar : Fakultas

Sastra Universitas Udayana.

Page 84: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

80

Puspithasari, Made Emy Ayu. 1993. Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Upacara Rsi Gana dengan Suplemen Istilah Tawur. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Putra, Ida Bagus Rai. 2015. Lontar Bali :Manuskrip Penampang Peradaban Berkarakter. Denpasar : UPT Perpustakaan Lontar Universitas Udayana.

Ramlan, Prof. Dr. M. 1985. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV. KARYONO Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press. Sekarningsih, Ni Putu. 1993. Kamus Bali-Indonesia : Bidang Istilah Pertanian Tradisional di

Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana. Singarimbun, Masri dkk. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Indonesia, Anggota

IKAPI. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa “Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan secara Linguistis”. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiono, Prof. Dr. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA. Swastika, Pasek. Wariga Padewasan. Denpasar : CV. Kayumas Agung Tama, I Wayan. 1985. Kamus Istilah Pengolahan Lahan Persawahan Secara Tradisional di

Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Morfologi. Bandung : Angkasa Verhaar, J.W.M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Wisnubroto, Sukardi. 1998. Pengenalan Waktu Tradisional Wariga Menurut Jabaran Meteorologi

dan Pemanfaatannya. J. Agromet 13 (1) : 15-24, 1998. Diambil dari http:/journal.ipb.ac.id/index.php/agromet/article/view/3611/2468

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

81

PEMBINAAN DAN PELATIHAN PENULISAN PAPAN NAMA DWIAKSARA SESUAI PASANG AKSARA DI KECAMATAN BANJARANGKAN

KABUPATEN KLUNGKUNG

Oleh: I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Suryati, Ni Ketut Ratna Erawati,

Luh Putu Puspawati, I Gde Nala Antara

Program Studi Sastra Bali dan Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Univ. Udayana

[email protected]

Abstrak

Keberadaan bahasa (termasuk bahasa Bali dengan sistem anggah-ungguh / sor-singgihnya serta sistem aksaranya) memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kelestarian budaya Bali. Bahasa Bali dengan akasara Balinya seringkali dipandang sebelah mata dan bahkah terpinggirkan sehingga tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Hal nyata terlihat adalah bahasa Bali kini tidak menjadi bidang studi yang mandiri tetapi dimasukkan ke dalam pendidikan keterampilan dan seni. Hal ini tentu membawa dampak yang besar bagi kelangsungan hidup bahasa dengan aksaranya. Dapat diperbandingkan di negara-negara yang maju seperti Jepang, Cina, Korea, aksaranya begitu ditinggikan seperti yang terpampang di toko-toko, tempat-tempat umum dan sebagainya tidak menggunakan huruf Latin. Demikian juga negeri tetangga seperti Vietnam, Thailan, Myanmar meniru Jepang dan Cina.

Sebenarnya pemerintah Bali sebelum tahun 2000 cukup perhatian dengan keberadaan bahasa, aksara, dan sastra Balinya dengan membuat peraturan daerah yang mengatur tentang penggunaan aksara Bali di papan-papan nama, tempat suci, nama kantor, dan sebagainya. Dalam perda itu diatur tata cata penulisan aksara Bali dalam ranah tradisional dan modern, bilingual dan multilingual. Namun, dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Bisa dilihat dan diamati penggunaan aksara Bali di papan nama sedikit sekali bahkan nyaris tidak ada. Walaupun ada yang menggunakannya, namun sebagian besar lebih salah dalam menuliskannya. Hal ini tentu tidak baik bagi kelangsungan hidup aksara Bali. Kata Kunci: aksara, pelestarian budaya, kebijakan, I PENDAHULUAN

Keberadaan budaya Bali khususnya aksara Bali sampai saat ini masih digunakan baik dalam kesusastraan klasik maupun ranah-ranah agama. Sebenarnya Bali sangat beruntung karena memiliki tradisi tulis dengan aksara Balinya yang begitu kuat. Sebagai kekuatan kebudayaan Bali sekaligus pendukung kebudayaan nasional, aksara Bali sampai saat ini diajarkan mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas/kejuruan. Namun demikian, seiring arus globalisasi dan arus teknologi yang demikian kencang, kemampuan untuk menggunakan/menuliskan aksara Bali sangat kurang. Sebuah penelitian (Sulibra, 2013 sudah dipublikasikan dalam Seminar Internasional Austronesia VI tanggal 6-7 di Denpasar dan dimuat dalam jurnal Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol.XIV No1 Februari2014) tentang penulisan aksara Bali pada papan nama di lingkungan Kota Denpasar khususnya di Jalan Gajah Mada (sebagai kawasan heritage) menunjukkan adanya berbagai macam kesalahan menuliskan aksara Bali baik dari segi aksaranya (dengan berbagai varian aksaranya) maupun tata cara penulisan dwiaksaranya (Bali-Latin dan Latin-Bali). Kota Denpasar adalah pusat segalanya untuk Bali. Kondisi ini dapat diasumsikan bahwa semakin jauh dari pusat kota maka tingkat kesalahan akan semakin banyak.

Page 85: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

80

Puspithasari, Made Emy Ayu. 1993. Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Upacara Rsi Gana dengan Suplemen Istilah Tawur. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Putra, Ida Bagus Rai. 2015. Lontar Bali :Manuskrip Penampang Peradaban Berkarakter. Denpasar : UPT Perpustakaan Lontar Universitas Udayana.

Ramlan, Prof. Dr. M. 1985. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV. KARYONO Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press. Sekarningsih, Ni Putu. 1993. Kamus Bali-Indonesia : Bidang Istilah Pertanian Tradisional di

Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana. Singarimbun, Masri dkk. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Indonesia, Anggota

IKAPI. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa “Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan secara Linguistis”. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiono, Prof. Dr. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA. Swastika, Pasek. Wariga Padewasan. Denpasar : CV. Kayumas Agung Tama, I Wayan. 1985. Kamus Istilah Pengolahan Lahan Persawahan Secara Tradisional di

Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Morfologi. Bandung : Angkasa Verhaar, J.W.M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Wisnubroto, Sukardi. 1998. Pengenalan Waktu Tradisional Wariga Menurut Jabaran Meteorologi

dan Pemanfaatannya. J. Agromet 13 (1) : 15-24, 1998. Diambil dari http:/journal.ipb.ac.id/index.php/agromet/article/view/3611/2468

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

81

PEMBINAAN DAN PELATIHAN PENULISAN PAPAN NAMA DWIAKSARA SESUAI PASANG AKSARA DI KECAMATAN BANJARANGKAN

KABUPATEN KLUNGKUNG

Oleh: I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Suryati, Ni Ketut Ratna Erawati,

Luh Putu Puspawati, I Gde Nala Antara

Program Studi Sastra Bali dan Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Univ. Udayana

[email protected]

Abstrak

Keberadaan bahasa (termasuk bahasa Bali dengan sistem anggah-ungguh / sor-singgihnya serta sistem aksaranya) memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kelestarian budaya Bali. Bahasa Bali dengan akasara Balinya seringkali dipandang sebelah mata dan bahkah terpinggirkan sehingga tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Hal nyata terlihat adalah bahasa Bali kini tidak menjadi bidang studi yang mandiri tetapi dimasukkan ke dalam pendidikan keterampilan dan seni. Hal ini tentu membawa dampak yang besar bagi kelangsungan hidup bahasa dengan aksaranya. Dapat diperbandingkan di negara-negara yang maju seperti Jepang, Cina, Korea, aksaranya begitu ditinggikan seperti yang terpampang di toko-toko, tempat-tempat umum dan sebagainya tidak menggunakan huruf Latin. Demikian juga negeri tetangga seperti Vietnam, Thailan, Myanmar meniru Jepang dan Cina.

Sebenarnya pemerintah Bali sebelum tahun 2000 cukup perhatian dengan keberadaan bahasa, aksara, dan sastra Balinya dengan membuat peraturan daerah yang mengatur tentang penggunaan aksara Bali di papan-papan nama, tempat suci, nama kantor, dan sebagainya. Dalam perda itu diatur tata cata penulisan aksara Bali dalam ranah tradisional dan modern, bilingual dan multilingual. Namun, dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Bisa dilihat dan diamati penggunaan aksara Bali di papan nama sedikit sekali bahkan nyaris tidak ada. Walaupun ada yang menggunakannya, namun sebagian besar lebih salah dalam menuliskannya. Hal ini tentu tidak baik bagi kelangsungan hidup aksara Bali. Kata Kunci: aksara, pelestarian budaya, kebijakan, I PENDAHULUAN

Keberadaan budaya Bali khususnya aksara Bali sampai saat ini masih digunakan baik dalam kesusastraan klasik maupun ranah-ranah agama. Sebenarnya Bali sangat beruntung karena memiliki tradisi tulis dengan aksara Balinya yang begitu kuat. Sebagai kekuatan kebudayaan Bali sekaligus pendukung kebudayaan nasional, aksara Bali sampai saat ini diajarkan mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas/kejuruan. Namun demikian, seiring arus globalisasi dan arus teknologi yang demikian kencang, kemampuan untuk menggunakan/menuliskan aksara Bali sangat kurang. Sebuah penelitian (Sulibra, 2013 sudah dipublikasikan dalam Seminar Internasional Austronesia VI tanggal 6-7 di Denpasar dan dimuat dalam jurnal Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol.XIV No1 Februari2014) tentang penulisan aksara Bali pada papan nama di lingkungan Kota Denpasar khususnya di Jalan Gajah Mada (sebagai kawasan heritage) menunjukkan adanya berbagai macam kesalahan menuliskan aksara Bali baik dari segi aksaranya (dengan berbagai varian aksaranya) maupun tata cara penulisan dwiaksaranya (Bali-Latin dan Latin-Bali). Kota Denpasar adalah pusat segalanya untuk Bali. Kondisi ini dapat diasumsikan bahwa semakin jauh dari pusat kota maka tingkat kesalahan akan semakin banyak.

Page 86: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

82

Kesenjangan antara das sein dengan das sollen ini lebih-lebih terhadap generasi muda maupun para pemuka/pemuka desa sebagai pewaris langsung kebudayaan Bali haruslah segera diatasi. Salah satu contoh ketika ditanya kepada salah seorang bendesa adat di Desa Tusan ternyata mereka tidak tahu bagaimana cara menuliskan aksara Bali dengan benar pada papan nama balai banjar, di pura-pura, nama gang, nama sekolah, kantor kepala desa, dan lain sebagainya. Dapat diamati secara langsung tidak ada penulisan dwiaksara (Bali-Latin dan Latin-Bali) di berbagai pengenal papan nama. Mereka tidak tahu bahwa sudah ada Surat Edaran Gubernur Bali No 01/1995 yang mengatur tata cara penulisan aksara Bali pada papan nama. Hal ini disebabkan oleh karena lokasi Kecamatan Banjarangkan jauh dari pusat kota kabupaten Klungkung (sekitar 20 km dari pusat kota) dan 50 km dari pusat ibu kota povinsi Denpasar. Selain itu secara sosioekonomi, sebagian besar masyarakatnya masih bertani dan berdagang. Bahkan belakangan ini banyak di kalangan usia produktif (25-55 tahun) pergi ke Denpasar untuk mencari nafkah. Tingkat pendidikan mereka juga rendah terutama usia 60 ke atas rata-rata tidak tamat SD. Perlu dikemukakan di sini bahwa Klungkung kota dan sekitarnya sekitar abad14-15 adalah pusat kerajaan dan kebudayaan Bali, puncaknya ketika pemerintahan Dalem Waturenggong, sedangkan Kecamatan Banjarangkan berada di sebelah barat kota Klungkung yang berbatasan dengan kota Gianyar. Oleh karena itu, Banjarangkan adalah wilayah penyangga yang penting untuk diberdayakan.

Berdasarkan analisis situasi tersebut di atas, maka sesungguhnya sudah tergambar permasalah yang muncul seperti berikut ini. (i) Bagaimanakah cara menuliskan aksara Bali pada papan nama dalam ranah tradisional dan ranah modern sesuai dengan pasang aksara Bali? (ii) Bagaimanakah cara menuliskan dwiaksara (Bali-Latin dan Latin-Bali) dalam yang bilingual/trilingual?

Kegiatan pengabdian ini bertujuan untuk memberikan pelayanan berupa pembinaan dan pelatihan cara menuliskan aksara Bali dan Latin (dwiaksara) pada papan nama baik pada ranah tradisional (nama banjar, pura, dll) maupun pada ranah modern (sekolah, kantor, dll) serta menuliskan aksara Bali pada papan nama yang trilingual sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Bali No 01/1995. Pelatihan ini ditujukan kepada golongan (pengurus sekaa truna), pemuka desa, pemuka banjar, bendesa adat, guru-guru agama, perangkat dinas.

Kegiatan ini bermanfaat bagi pemangku kepentingan/stakeholders desa baik dinas maupun adat. (i) Bagi kalangan muda sangat bermanfaat dalam rangka pelestarian budaya Bali sebagai generasi penerus; (ii) Bagi kalangan pemuka desa/kelihan/bendesa adat, guru-guru agama, lembaga-lembaga formal sangat bermanfaat dalam proses belajar-mengajar; (iii) Bagi lembaga/Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra Unud sangat bermanfaat dalam rangka sosialisasi serta pembinaan dan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali sebagai salah satu tugas utama dari tidarma perguruan tinggi.

Memperhatikan masalah yang yang dihadapi oleh kalangan muda, pemuka desa (adat dan dinas), guru-guru agama, para penyuluh bahasa Bali, bendesa/pemuka adat yang ada di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung maka harus segera dicarikan pemecahannya dengan cara melaksanakan ceramah dan pelatihan langsung di lapangan. Untuk itu, narasumber/tutor haruslah benar-benar menguasai keberadaan aksara Bali yang demikian banyak klasifikasikanya serta sedemikian rumit kaidah penggunaannya (pasang aksaranya). Oleh karena itu, sebuah tim adalah kebutuhan mutlak dan setiap anggota harus sinergis. Tim akan diisi oleh ahli aksara dari Prodi Sastra Bali dan Prodi Jawa Kuno. Selain dalam bentuk pelatihan dan diskusi, para peserta juga diberikan buku pedoman pasang aksara dan buku panduan penulisan aksara Bali pada papan nama.

Peserta pelatihan berasal dari kalangan kalangan generasi muda, yakni para ketua sekaa truna sekecamatan Banjarangkan yang meliputi 8 sekaa truna, para bendesa adat beserta perangkatnya (tiga desa adat), kelihan banjar, para guru agama dan guru bahasa Bali (SD, SMP, SMA), penyuluh bahasa Bali, perangkat desa dinas (kepala desa dan perangkat desa ditambah para kepala dusun), dan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

83

beberapa tokoh desa. Berdasarkan undangan sebanyak 75 orang tetapi yang hadir cukup menggembirakan sebanyak 65 orang. II METODE

Kegiatan ini akan memakai tiga metode. (1) Metode ceramah, dipakai dalam menyampaikan materi yaitu, klasifikasi aksara Bali dan pasang aksaranya. (2) Metode diskusi, dipakai untuk pendalaman pemahaman diberikan kesempatan tanya jawab dan menyampaikan masalah-masalah yang sering mereka hadapi ketika menuliskan aksara Bali. (3) Metode praktik, dipakai untuk mencoba mengaplikasikan apa yang telah mereka peroleh dengan latihan. Dalam sesi latihan, peserta akan diberikan selembar teks berbahasa Bali yang isinya kerancuan pemakaian aksara Bali pada papan nama. Peserta diberikan kesempatan mengoreksinya.

III Hasil dan Pembahasan Sesuai dengan jadwal yang direncanakan, tim sudah melakukan penjajagan dan sudah bertemu dengan beberapa kepala desa dan juga pihak kecamatan (Bapak Camat Banjarangkan) untuk menentukan tempat serta tanggal kegiatan. Berdasarkan negosiasi maka telah disepakati kegiatan akan dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 2016 di Kantor Camat Banjarangkan Klungkung. Kegiatan dilaksanakan mulai pukul 08.00 Wita – 12.00 Wita. Acara didahului dengan laporan ketua pelatihan kemudian dilajutkan dengan pembukaan oleh Camat Banjarangkan. Setelah pembukaan dilajutkan dengan penjelasan materi, kemudian tanya jawab sekaligus contoh penulisan papan nama dwiaksara ranah modern dan ranah tradisional. Tanggapan peserta pelatihan selain berkaitan dengan materi utama (teknis penulisan pasang aksara Bali pada papan nama) juga berkaitan dengan keluhan tidak adanya buku-buku yang berkaitan dengan aksara Bali untuk perpustakaan desa/sekolah. Peserta juga minta difasilitasi untuk pengadaan Kamus Bali. Untuk buku-buku yang berkaitan dengan materi penulisan pasang aksara Bali, kami dari Tim Pelatihan sudah memfotokopikan dan bisa diambil di Kantor Camat Banjarangkan sedangkan untuk Kamus Bali kami akan berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan Prov. Bali. Berikut disajikan bahan presentasi/pelatihan tata cara penulisan aksara Bali dalam ranah moderen. Nyurat Kruna Bali Modern Aksara Bali nganutin kawigunannyané kapalih dados tigang soroh luire, (a) aksara wresastra / anacaraka, (b) aksara sualalita, miwah (c) aksara modre. Nganutin pakadangan wargan aksarannyané aksara Bali kapalih dados aksara: (a) kantia, (b) talawia, (c) murdania, (d) dantia, (e) ostia, (f) anusuara, (g) ardasuara, (h) usma, miwah (i) wisarga. Sampun kaunggahang sajeroning Pedoman Pasang Aksara Baliné nyurat kruna-kruna basa Bali antuk aksara Bali patut nganutin uger utama inggih punika:

(1) Kruna-kruna basa Bali sané mula jati Bali kasurat antuk aksara anacaraka (akéhnyané 18 aksara lagna miwah panganggé aksara suara ulu, suku, taléng, taléng-tedong, miwah pepet).

(2) Kruna-kruna basa Bali sané mawit saking basa Kawi miwah Sanskerta kasurat antuk aksara swalalita, luiré 18 aksara anacaraka, aksara mahaprana, aksara murdania, aksara hresua/dirga, miwah aksara usma.

(3) Kruna-kruna basa Bali sané mawit saking basa tiosan (basa daérah tiosan, basa Indonésia, basa asing) sajabaning basa Kawi miwah Sanskerta kasurat manut ucapan ring basa Baliné. Wianjanané nganggén Anacaraka, aksara suarannyané nganggén a kara, i kara, u kara, é kara, miwah o kara.

Saking uger utama sané kaunggahang punika, sesuratan kruna-kruna miwah parinama modern sajeroning basa Bali pastika mangda anut ring uger kaping tiga inucap. Kawéntenan sesuratan modern ring pasang aksara Bali sadurungnyané nentén naenin kasuratang. Wantah I Wayan Simpen AB (1979)

Page 87: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

82

Kesenjangan antara das sein dengan das sollen ini lebih-lebih terhadap generasi muda maupun para pemuka/pemuka desa sebagai pewaris langsung kebudayaan Bali haruslah segera diatasi. Salah satu contoh ketika ditanya kepada salah seorang bendesa adat di Desa Tusan ternyata mereka tidak tahu bagaimana cara menuliskan aksara Bali dengan benar pada papan nama balai banjar, di pura-pura, nama gang, nama sekolah, kantor kepala desa, dan lain sebagainya. Dapat diamati secara langsung tidak ada penulisan dwiaksara (Bali-Latin dan Latin-Bali) di berbagai pengenal papan nama. Mereka tidak tahu bahwa sudah ada Surat Edaran Gubernur Bali No 01/1995 yang mengatur tata cara penulisan aksara Bali pada papan nama. Hal ini disebabkan oleh karena lokasi Kecamatan Banjarangkan jauh dari pusat kota kabupaten Klungkung (sekitar 20 km dari pusat kota) dan 50 km dari pusat ibu kota povinsi Denpasar. Selain itu secara sosioekonomi, sebagian besar masyarakatnya masih bertani dan berdagang. Bahkan belakangan ini banyak di kalangan usia produktif (25-55 tahun) pergi ke Denpasar untuk mencari nafkah. Tingkat pendidikan mereka juga rendah terutama usia 60 ke atas rata-rata tidak tamat SD. Perlu dikemukakan di sini bahwa Klungkung kota dan sekitarnya sekitar abad14-15 adalah pusat kerajaan dan kebudayaan Bali, puncaknya ketika pemerintahan Dalem Waturenggong, sedangkan Kecamatan Banjarangkan berada di sebelah barat kota Klungkung yang berbatasan dengan kota Gianyar. Oleh karena itu, Banjarangkan adalah wilayah penyangga yang penting untuk diberdayakan.

Berdasarkan analisis situasi tersebut di atas, maka sesungguhnya sudah tergambar permasalah yang muncul seperti berikut ini. (i) Bagaimanakah cara menuliskan aksara Bali pada papan nama dalam ranah tradisional dan ranah modern sesuai dengan pasang aksara Bali? (ii) Bagaimanakah cara menuliskan dwiaksara (Bali-Latin dan Latin-Bali) dalam yang bilingual/trilingual?

Kegiatan pengabdian ini bertujuan untuk memberikan pelayanan berupa pembinaan dan pelatihan cara menuliskan aksara Bali dan Latin (dwiaksara) pada papan nama baik pada ranah tradisional (nama banjar, pura, dll) maupun pada ranah modern (sekolah, kantor, dll) serta menuliskan aksara Bali pada papan nama yang trilingual sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Bali No 01/1995. Pelatihan ini ditujukan kepada golongan (pengurus sekaa truna), pemuka desa, pemuka banjar, bendesa adat, guru-guru agama, perangkat dinas.

Kegiatan ini bermanfaat bagi pemangku kepentingan/stakeholders desa baik dinas maupun adat. (i) Bagi kalangan muda sangat bermanfaat dalam rangka pelestarian budaya Bali sebagai generasi penerus; (ii) Bagi kalangan pemuka desa/kelihan/bendesa adat, guru-guru agama, lembaga-lembaga formal sangat bermanfaat dalam proses belajar-mengajar; (iii) Bagi lembaga/Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra Unud sangat bermanfaat dalam rangka sosialisasi serta pembinaan dan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali sebagai salah satu tugas utama dari tidarma perguruan tinggi.

Memperhatikan masalah yang yang dihadapi oleh kalangan muda, pemuka desa (adat dan dinas), guru-guru agama, para penyuluh bahasa Bali, bendesa/pemuka adat yang ada di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung maka harus segera dicarikan pemecahannya dengan cara melaksanakan ceramah dan pelatihan langsung di lapangan. Untuk itu, narasumber/tutor haruslah benar-benar menguasai keberadaan aksara Bali yang demikian banyak klasifikasikanya serta sedemikian rumit kaidah penggunaannya (pasang aksaranya). Oleh karena itu, sebuah tim adalah kebutuhan mutlak dan setiap anggota harus sinergis. Tim akan diisi oleh ahli aksara dari Prodi Sastra Bali dan Prodi Jawa Kuno. Selain dalam bentuk pelatihan dan diskusi, para peserta juga diberikan buku pedoman pasang aksara dan buku panduan penulisan aksara Bali pada papan nama.

Peserta pelatihan berasal dari kalangan kalangan generasi muda, yakni para ketua sekaa truna sekecamatan Banjarangkan yang meliputi 8 sekaa truna, para bendesa adat beserta perangkatnya (tiga desa adat), kelihan banjar, para guru agama dan guru bahasa Bali (SD, SMP, SMA), penyuluh bahasa Bali, perangkat desa dinas (kepala desa dan perangkat desa ditambah para kepala dusun), dan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

83

beberapa tokoh desa. Berdasarkan undangan sebanyak 75 orang tetapi yang hadir cukup menggembirakan sebanyak 65 orang. II METODE

Kegiatan ini akan memakai tiga metode. (1) Metode ceramah, dipakai dalam menyampaikan materi yaitu, klasifikasi aksara Bali dan pasang aksaranya. (2) Metode diskusi, dipakai untuk pendalaman pemahaman diberikan kesempatan tanya jawab dan menyampaikan masalah-masalah yang sering mereka hadapi ketika menuliskan aksara Bali. (3) Metode praktik, dipakai untuk mencoba mengaplikasikan apa yang telah mereka peroleh dengan latihan. Dalam sesi latihan, peserta akan diberikan selembar teks berbahasa Bali yang isinya kerancuan pemakaian aksara Bali pada papan nama. Peserta diberikan kesempatan mengoreksinya.

III Hasil dan Pembahasan Sesuai dengan jadwal yang direncanakan, tim sudah melakukan penjajagan dan sudah bertemu dengan beberapa kepala desa dan juga pihak kecamatan (Bapak Camat Banjarangkan) untuk menentukan tempat serta tanggal kegiatan. Berdasarkan negosiasi maka telah disepakati kegiatan akan dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 2016 di Kantor Camat Banjarangkan Klungkung. Kegiatan dilaksanakan mulai pukul 08.00 Wita – 12.00 Wita. Acara didahului dengan laporan ketua pelatihan kemudian dilajutkan dengan pembukaan oleh Camat Banjarangkan. Setelah pembukaan dilajutkan dengan penjelasan materi, kemudian tanya jawab sekaligus contoh penulisan papan nama dwiaksara ranah modern dan ranah tradisional. Tanggapan peserta pelatihan selain berkaitan dengan materi utama (teknis penulisan pasang aksara Bali pada papan nama) juga berkaitan dengan keluhan tidak adanya buku-buku yang berkaitan dengan aksara Bali untuk perpustakaan desa/sekolah. Peserta juga minta difasilitasi untuk pengadaan Kamus Bali. Untuk buku-buku yang berkaitan dengan materi penulisan pasang aksara Bali, kami dari Tim Pelatihan sudah memfotokopikan dan bisa diambil di Kantor Camat Banjarangkan sedangkan untuk Kamus Bali kami akan berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan Prov. Bali. Berikut disajikan bahan presentasi/pelatihan tata cara penulisan aksara Bali dalam ranah moderen. Nyurat Kruna Bali Modern Aksara Bali nganutin kawigunannyané kapalih dados tigang soroh luire, (a) aksara wresastra / anacaraka, (b) aksara sualalita, miwah (c) aksara modre. Nganutin pakadangan wargan aksarannyané aksara Bali kapalih dados aksara: (a) kantia, (b) talawia, (c) murdania, (d) dantia, (e) ostia, (f) anusuara, (g) ardasuara, (h) usma, miwah (i) wisarga. Sampun kaunggahang sajeroning Pedoman Pasang Aksara Baliné nyurat kruna-kruna basa Bali antuk aksara Bali patut nganutin uger utama inggih punika:

(1) Kruna-kruna basa Bali sané mula jati Bali kasurat antuk aksara anacaraka (akéhnyané 18 aksara lagna miwah panganggé aksara suara ulu, suku, taléng, taléng-tedong, miwah pepet).

(2) Kruna-kruna basa Bali sané mawit saking basa Kawi miwah Sanskerta kasurat antuk aksara swalalita, luiré 18 aksara anacaraka, aksara mahaprana, aksara murdania, aksara hresua/dirga, miwah aksara usma.

(3) Kruna-kruna basa Bali sané mawit saking basa tiosan (basa daérah tiosan, basa Indonésia, basa asing) sajabaning basa Kawi miwah Sanskerta kasurat manut ucapan ring basa Baliné. Wianjanané nganggén Anacaraka, aksara suarannyané nganggén a kara, i kara, u kara, é kara, miwah o kara.

Saking uger utama sané kaunggahang punika, sesuratan kruna-kruna miwah parinama modern sajeroning basa Bali pastika mangda anut ring uger kaping tiga inucap. Kawéntenan sesuratan modern ring pasang aksara Bali sadurungnyané nentén naenin kasuratang. Wantah I Wayan Simpen AB (1979)

Page 88: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

84

nyurat akidik indiké punika ri kala nyurat kruna Balineesche Schrijftaal, Schwartz, Directeuer Onderwijs, Eeredienst, miwah reringkesan modern sané sampun kaubah sajeroning pasang aksara Bali kadi mangkin.

Yéning selehin sesuratan kruna/parinama Bali modérn jagi metu sajeroning nyurat: (1) Kruna Lingga Tigang Kecap Kruna lingga tigang kecap sané kecap pangawitnyana masuara e /ə/ sané mawit saking basa Indonésia, basa daérah tiosan, miwah basa asing patut kasurat mapepet / ò, , ra repa / Ï,)

sekolah s) eKÿ l ;¾, bendera b) enÑ r, sepatu s) p tu, lemari ò m ri , lembaga ò mã g , remaja Ï m j, rempeyek Ï emæ ey k/, (2) Kruna Tiron Pangater masuara e /ə/ ring kruna tiron sané mawit saking basa Indonesia kasurat mapepet: kecamatan k) c m t n/ , kelurahan k) lu r h n/ , pemerintah p) m) ri nÓ ;¾, pendidikan p) nÑi di k n/ , (3) Kruna Dwipurwa Kecap pangawit parinama / kruna dwipurwa masuara e /ə/ sane mawit saking basa Indonesia kasurat mapepet (ôôô)ô): jejaring sosial j) j r&¾ eSÿ sê l/ , rerata Ï r t, (4) Ringkesan miwah Akronim Ringkesan modérn kasurat apit carik (siki) tur kasurat manut ucapannyané (pantaraning aksara kadagingin pangembang): MUDP ,6 m/ ú ed ep, BRI , eb 6(¾ ÷, SCTV ,6 s/ ec et ep , SMA ,6 s/ 6 m/ Á,

Ringkesan modérn sané madaging angka kasurat manut ucapannyané: P3K ,ep, tø g, k, D2 , ed , du w, S3 , 6 s/, tø g,

Wangun ringkesan modérn lianan kasurat nganutin éffésiénsi tata aksara miwah komunikasi: gg > gang g*¾, jl > jalan j l n/ ,

telp > telpun et læu n/ ,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

85

Akronim kasurat sakadi pidabdab nyurat kruna: Balita b lø t, Kodam eKÿ d m/ , Disbud di s®¡ d/, Sembako s) mã eKÿ, Sarbagita s( b gø t, (5) Angka Sajeroning lengkara, angka patut kasurat apit carik. Manut Pedoman Pasang Aksara Bali, wilangan pahan (bilangan pecahan) kasurat nganutin ucapan, nganggé aksara:

……2 ½ meter ,2, em t$¾ t) \ ;¾. Paweweh:

Yéning wilangan pahan punika nganggén cecirén pepaosan koma ( , ), sesuratan kadi puniki lebih effektif: 3, 25 ,3, eKÿ m , 25, 8, 14 , 8, eKÿ m , 14, (6) Sesuratan Papan Nama Sesuratan papan nama kantor madasar antuk Surat Edaran Gubernur Bali No.1 warsa 1995 indik sesuratan dwiaksara (Latin-Bali) ring papan nama instansi pemerintah/swasta, hotél miwah restoran, wastan margi, balé banjar, pura, genah/objék wisata, miwah genah tiosan ring Bali.

Sesuratan papan nama ring ranah adat , aksara Bali kasurat ring duur aksara Latin:

Sesuratan ranah modern, aksara Latin kasurat ring duur aksara Baliné:

b el su b k/ h bê n¾ã tu(¾ s rI , BALE SUBAK ABIAN BATUR SARI

ed ] g du \ n/ , DESA GADUNGAN

s) Kÿ eG*ÿ¾ Œ( m k nÓi ,

SEKAA GONG DHARMA KANTI ed ] tø mæ g/ , DESA TIMPAG

pu r j g t/ Nÿ q, PURA JAGAT NATA

JALAN NANGKA j l n/ n \Ð , ¦j l n¾Â \Ð ,§

SMA NEGERI 8 DENPASAR ,6 s/ 6 m/ Á, n) g) ri , 8, ed næ s(¾,

Page 89: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

84

nyurat akidik indiké punika ri kala nyurat kruna Balineesche Schrijftaal, Schwartz, Directeuer Onderwijs, Eeredienst, miwah reringkesan modern sané sampun kaubah sajeroning pasang aksara Bali kadi mangkin.

Yéning selehin sesuratan kruna/parinama Bali modérn jagi metu sajeroning nyurat: (1) Kruna Lingga Tigang Kecap Kruna lingga tigang kecap sané kecap pangawitnyana masuara e /ə/ sané mawit saking basa Indonésia, basa daérah tiosan, miwah basa asing patut kasurat mapepet / ò, , ra repa / Ï,)

sekolah s) eKÿ l ;¾, bendera b) enÑ r, sepatu s) p tu, lemari ò m ri , lembaga ò mã g , remaja Ï m j, rempeyek Ï emæ ey k/, (2) Kruna Tiron Pangater masuara e /ə/ ring kruna tiron sané mawit saking basa Indonesia kasurat mapepet: kecamatan k) c m t n/ , kelurahan k) lu r h n/ , pemerintah p) m) ri nÓ ;¾, pendidikan p) nÑi di k n/ , (3) Kruna Dwipurwa Kecap pangawit parinama / kruna dwipurwa masuara e /ə/ sane mawit saking basa Indonesia kasurat mapepet (ôôô)ô): jejaring sosial j) j r&¾ eSÿ sê l/ , rerata Ï r t, (4) Ringkesan miwah Akronim Ringkesan modérn kasurat apit carik (siki) tur kasurat manut ucapannyané (pantaraning aksara kadagingin pangembang): MUDP ,6 m/ ú ed ep, BRI , eb 6(¾ ÷, SCTV ,6 s/ ec et ep , SMA ,6 s/ 6 m/ Á,

Ringkesan modérn sané madaging angka kasurat manut ucapannyané: P3K ,ep, tø g, k, D2 , ed , du w, S3 , 6 s/, tø g,

Wangun ringkesan modérn lianan kasurat nganutin éffésiénsi tata aksara miwah komunikasi: gg > gang g*¾, jl > jalan j l n/ ,

telp > telpun et læu n/ ,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

85

Akronim kasurat sakadi pidabdab nyurat kruna: Balita b lø t, Kodam eKÿ d m/ , Disbud di s®¡ d/, Sembako s) mã eKÿ, Sarbagita s( b gø t, (5) Angka Sajeroning lengkara, angka patut kasurat apit carik. Manut Pedoman Pasang Aksara Bali, wilangan pahan (bilangan pecahan) kasurat nganutin ucapan, nganggé aksara:

……2 ½ meter ,2, em t$¾ t) \ ;¾. Paweweh:

Yéning wilangan pahan punika nganggén cecirén pepaosan koma ( , ), sesuratan kadi puniki lebih effektif: 3, 25 ,3, eKÿ m , 25, 8, 14 , 8, eKÿ m , 14, (6) Sesuratan Papan Nama Sesuratan papan nama kantor madasar antuk Surat Edaran Gubernur Bali No.1 warsa 1995 indik sesuratan dwiaksara (Latin-Bali) ring papan nama instansi pemerintah/swasta, hotél miwah restoran, wastan margi, balé banjar, pura, genah/objék wisata, miwah genah tiosan ring Bali.

Sesuratan papan nama ring ranah adat , aksara Bali kasurat ring duur aksara Latin:

Sesuratan ranah modern, aksara Latin kasurat ring duur aksara Baliné:

b el su b k/ h bê n¾ã tu(¾ s rI , BALE SUBAK ABIAN BATUR SARI

ed ] g du \ n/ , DESA GADUNGAN

s) Kÿ eG*ÿ¾ Œ( m k nÓi ,

SEKAA GONG DHARMA KANTI ed ] tø mæ g/ , DESA TIMPAG

pu r j g t/ Nÿ q, PURA JAGAT NATA

JALAN NANGKA j l n/ n \Ð , ¦j l n¾Â \Ð ,§

SMA NEGERI 8 DENPASAR ,6 s/ 6 m/ Á, n) g) ri , 8, ed næ s(¾,

Page 90: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

86

Sesuratan ranah modérn sané nganggén dwibasa miwah langkungan kasurat sakadi puniki:

IV SIMPULAN DAN SARAN

1.1 Simpulan Antusiasme yang tinggi ditunjukkan oleh para peserta lokakarya dengan banyaknya peserta yang hadir. Hasil tutorial yang dilakukan kemudian dilanjutkan dengan diskusi terbuka menunjukkan keseriusan peserta untuk mendalami dan memahami tata cara penggunaan aksara lebih mendalam. Selain itu, para peserta juga menginginkan adanya penyebaran buku-buku yang berkaitan dengan bahasa dan aksara Bali.

1.2 Saran Pembinaan dan Pelatihan ini terkait dengan pembangunan mental, masalah sosial yang harus didorong oleh kesadaran terhadap pelestarian dan pembinaan budaya Bali khususnya tentang aksara Bali sebagai akar budaya Bali. Peranan pemerintah menjadi garda terdepan dan harus memberi ruang dan finansial yang cukup sehingga keberaksaraan Bali tidak hilang ditelan globalisasi. Oleh karena itu, kegiatan semacam ini harus dilakukan secara berkesinambungan sehingga ciri Bali sebagai pulau budaya ajeg dan lestari.

DAFTAR PUSTAKA Bagus, I Gst. Ngurah (ed). Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar:

Program Studi S2 Kajian Budaya Unud.Bawa, I Wayan. 2002. Sejarah Perkembangan Bahasa Bali. Denpasar: Universitas Udayana.

Setia, I Putu. 1987. Menggugat Bali. Jakarta: Pustaka Utama.Suastika, I Made dan Kutha Ratna I Nyoman. Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Denpasar: Prodi S2 dan S3 Kajian Budaya Unud.

Sulibra, I Kt. Ngurah. 2006. “Aksara Bali pada Papan Nama di Lingkungan Kota Denpasar” dalam Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, Vol XIV No 1, Februari 2014, ISSN No 0215-9198 hal 79-93. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Sutjaja, IGM. 2005. “Linguistik Bahasa Bali, dan Dunia Virtual” (Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar TetapFakultas Sastra Unud).

Tim Penyusun. 1996. Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali: Pedoman Penulisan Papan Nama dengan Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Prov. Dati I Bali.

h tu(¾ pën&¾, PENGUMUMAN

ATTENTION

Mÿ tu (¾ sUk×ß , TERIMA KASIH

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi k) m) nÓËøy n/ ri s) t/ ,etekÂo eLÿ g ø, d n/ p) nÑi di k n/

tø \ái , Universitas Udayana

ú ni p$ si t s/ ú d y n,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

87

Tim Penyusun. 1998. Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemda Tk. I Bali. Tinggen, I Nengah. 2004. “Sejarah Perkembangan Pasang Aksara Bali” Tinggen, I Nengah. 1986. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Rhineka Cipta. Ucapan Terima Kasih Keberhasilan pengabdian kepada masyarakat ini tidak terlepas dari peranan institusi mulai dari tingkat prodi, fakultas, LPPM, Unud yang telah memfasilitasi baik sarana maupun prasarana lainnya. Untuk itu, ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya ditujukan kepada Koprodi Sastra Bali, Dekan FIB, Ketua LPPM, dan Rektor Unud yang telah mendanai melalui Hibah Udayana Mengabdi.

Page 91: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

86

Sesuratan ranah modérn sané nganggén dwibasa miwah langkungan kasurat sakadi puniki:

IV SIMPULAN DAN SARAN

1.1 Simpulan Antusiasme yang tinggi ditunjukkan oleh para peserta lokakarya dengan banyaknya peserta yang hadir. Hasil tutorial yang dilakukan kemudian dilanjutkan dengan diskusi terbuka menunjukkan keseriusan peserta untuk mendalami dan memahami tata cara penggunaan aksara lebih mendalam. Selain itu, para peserta juga menginginkan adanya penyebaran buku-buku yang berkaitan dengan bahasa dan aksara Bali.

1.2 Saran Pembinaan dan Pelatihan ini terkait dengan pembangunan mental, masalah sosial yang harus didorong oleh kesadaran terhadap pelestarian dan pembinaan budaya Bali khususnya tentang aksara Bali sebagai akar budaya Bali. Peranan pemerintah menjadi garda terdepan dan harus memberi ruang dan finansial yang cukup sehingga keberaksaraan Bali tidak hilang ditelan globalisasi. Oleh karena itu, kegiatan semacam ini harus dilakukan secara berkesinambungan sehingga ciri Bali sebagai pulau budaya ajeg dan lestari.

DAFTAR PUSTAKA Bagus, I Gst. Ngurah (ed). Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar:

Program Studi S2 Kajian Budaya Unud.Bawa, I Wayan. 2002. Sejarah Perkembangan Bahasa Bali. Denpasar: Universitas Udayana.

Setia, I Putu. 1987. Menggugat Bali. Jakarta: Pustaka Utama.Suastika, I Made dan Kutha Ratna I Nyoman. Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Denpasar: Prodi S2 dan S3 Kajian Budaya Unud.

Sulibra, I Kt. Ngurah. 2006. “Aksara Bali pada Papan Nama di Lingkungan Kota Denpasar” dalam Pustaka: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, Vol XIV No 1, Februari 2014, ISSN No 0215-9198 hal 79-93. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Sutjaja, IGM. 2005. “Linguistik Bahasa Bali, dan Dunia Virtual” (Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar TetapFakultas Sastra Unud).

Tim Penyusun. 1996. Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali: Pedoman Penulisan Papan Nama dengan Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Prov. Dati I Bali.

h tu(¾ pën&¾, PENGUMUMAN

ATTENTION

Mÿ tu (¾ sUk×ß , TERIMA KASIH

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi k) m) nÓËøy n/ ri s) t/ ,etekÂo eLÿ g ø, d n/ p) nÑi di k n/

tø \ái , Universitas Udayana

ú ni p$ si t s/ ú d y n,

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

87

Tim Penyusun. 1998. Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemda Tk. I Bali. Tinggen, I Nengah. 2004. “Sejarah Perkembangan Pasang Aksara Bali” Tinggen, I Nengah. 1986. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Rhineka Cipta. Ucapan Terima Kasih Keberhasilan pengabdian kepada masyarakat ini tidak terlepas dari peranan institusi mulai dari tingkat prodi, fakultas, LPPM, Unud yang telah memfasilitasi baik sarana maupun prasarana lainnya. Untuk itu, ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya ditujukan kepada Koprodi Sastra Bali, Dekan FIB, Ketua LPPM, dan Rektor Unud yang telah mendanai melalui Hibah Udayana Mengabdi.

Page 92: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

88

Lampiran Foto Kegiatan

Pembukaan Pelatihan: Ketua Tim dan Camat Banjarangkan

Sambutan Pembukaan oleh Camat Banjarangkan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

89

Tutorial oleh Narasumber

Sesi Diskusi/Tanya Jawab

Page 93: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

88

Lampiran Foto Kegiatan

Pembukaan Pelatihan: Ketua Tim dan Camat Banjarangkan

Sambutan Pembukaan oleh Camat Banjarangkan

Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018 ISSN 2528-3529 JOURNAL OF BALINESE LITERATURE

89

Tutorial oleh Narasumber

Sesi Diskusi/Tanya Jawab

Page 94: Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018