jurnal kesmas

63

Upload: aidunkz

Post on 02-Jul-2015

2.245 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal kesmas
Page 2: jurnal kesmas

EditorialApakah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Dapat Terus Dilaksanakan?

Sebuah Analisis Sejarah dan Budaya 113

Makalah KebijakanPolitik Pembangunan dan Kebijakan Privatisasi Pelayanan Kesehatan

Dumilah Ayuningtyas 115

Artikel PenelitianEvaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal antara Puskesmas Cakupan Tinggi

dengan Puskesmas Cakupan Rendah Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

Ernawati, Djaswadi Dasuki, Abdul Wahab 120

Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja Perusahaan Peserta Program Jaminan Kecelakaan Kerja

pada PT Jamsostek Cabang Medan

Gerry Silaban, Soebijanto, Adi Heru Soetomo,

Lientje Setyawati Maurits, Suma’mur, P.K. 130

Hambatan dan Harapan Sistem Kredensial Dokter:

Studi Kualitatif di Empat Rumah Sakit Indonesia

Herkutanto, Astrid Pratidina Susilo 140

Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKI pada Anak Sekolah

di Daerah Gondok Endemik Berat di Kota Surabaya

Oktarina, Dwi Astuti Soekisno Putri 148

Analisis Penetapan Pasar Sasaran

Rumah Sakit Stella Maris Makassar Tahun 2008

Asiah Hamzah, Darmawansyah, Sukri Palutturi, Petrus Romeo 156

Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya Anggaran Obat

Pemerintah Kota Batam setelah Pembebasan

Biaya Retribusi Pasien Puskesmas

Nurliyasman, Rustamaji, Sri Suryawati 162

Resensi BukuStrategic Management of Health Care Organizations 171

KorespondensiDeveloping Framework for Civil Aviation Occupational Health and Safety System In Indonesia 172

JurnalManajemen

Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management

Volume 12/Nomor 03/September/2009

Daftar Isi

Page 3: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 113

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 113 - 114

Editorial

APAKAH UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

DAPAT TERUS DILAKSANAKAN?

SEBUAH ANALISIS SEJARAH DAN BUDAYA

Di penghujung tahun 2009 ini, usia Undang –

Undang (UU) Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas) telah lima tahun (UU No. 40/2004).

Selama lima tahun, praktis UU Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN) tidak berjalan. Salah satu

penyebabnya adalah bahwa UU SJSN ini

membutuhkan UU lain yaitu UU Badan Pengelola

Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak kunjung selesai.

Pernyataan menarik adalah bahwa UU SJSN ini terlihat

tidak efektif untuk merubah masyarakat dan tentunya

pertanyaannya mengapa gagal? Salah satu

penjelasan adalah bahwa UU SJSN tidak

memperhatikan sejarah masyarakat yang akan diatur

oleh UU. Sebuah UU dapat gagal karena tidak berhasil

merubah tata kehidupan masyarakat. Artinya tata

kehidupan yang sudah berlangsung lama sejarahnya

tidak bisa diubah. Masyarakat secara sengaja atau

tidak sengaja menolak pelaksanaan UU.

Diskusi mengenai kebijakan dan history

merupakan hal menarik untuk diperdebatkan. Sebuah

kebijakan (misal UU) dapat bersifat ahistorik jika tidak

mempertimbangkan atau melihat sejarah.  Namun

perlu dicatat bahwa kebijakan memang dapat

bertujuan membalikkan sejarah atau merubah sebuah

tradisi. Lee Kuan Yew dengan kebijakan keras

berpuluh tahun mampu merubah perilaku  kebersihan

penduduk Singapura.  Jadilah sekarang situasi

Singapura yang lebih bersih dibanding London

(sebagai benchmark Lee Kuan Yew). Situasi ini

berbeda dengan kebiasaan hidup tidak bersih  dalam

sejarah masyarakat perantauan Chinese. Kebijakan

Singapura bersih tersebut berhasil membalikkan

peninggalan sejarah.  Kebijakan Singapura memang

sangat keras karena melihat budaya kebersihan

dalam sejarah Singapura yang tidak baik. Jadi kalau

sebuah kebijakan tidak memperhatikan sejarah/tradisi

budaya, maka kebijakan ini mempunyai risiko tidak

berjalan. Hanya di atas kertas.

Undang-Undang (UU) SJSN merupakan hal

sangat berat karena harus mampu merubah berbagai

hal termasuk perubahan budaya masyarakat, dokter,

tenaga kesehatan lainnya, pimpinan dan staf

perusahaan asuransi kesehatan, pejabat dinas

kesehatan, sampai ke pejabat. Undang-Undang (UU)

SJSN bukan hanya merubah prosedur, tapi budaya

yang sudah menjadi tradisi, menjadi bagian dari

sejarah panjang sektor kesehatan Indonesia.  Tradisi

dokter mendapat fee for service tidak hanya 10

tahunan. Sudah lama sekali. 

Sejarah sangat penting untuk menjadi 

pertimbangan kebijakan. Pada tahun 1948,

pemerintah Inggris dari Partai Buruh secara keras

menasionalisasi semua pelayanan kesehatan agar

terjadi pemerataan. Hal ini tidak terjadi di Amerika

Serikat. Dengan menasionalisasi RS swasta,

pemerintah Inggris dapat melakukan intervensi

dengan kuat. Patut dicatat bahwa sekitar tahun 1948

medico industrial compleks belum sekuat sekarang.

Dalam konteks perubahan di Inggris, kebijakan

menasionalisasi menjadi NHS dilakukan oleh PM

Partai Buruh saat itu, dalam suasana rekonstruksi

Inggris pasca Perang Dunia II. Kebijakan ini

menasionalisasi pelayanan kesehatan swasta,

kemanusiaan (termasuk keagamaan), pemerintah

lokal diinisiasi oleh kantor PM Inggris yang cenderung

lebih ke kiri (sosialis) yaitu Partai Buruh.

Kebijakan ini sangat memperhatikan tradisi

dalam sejarah, termasuk tradisi pendapatan tinggi

dokter yang sangat kuat. Para pengambil kebijakan

paham bahwa para dokter pasti menentang. Oleh

karena itu, Aneurin Bevan (Menteri Kesehatan Inggris

saat itu) menyatakan: “I stuffed their mouths with

gold”. Agar tidak ditentang dokter, kebijakan ini

sangat memperhatikan pendapatan para dokter

sehingga mau berubah.

Dari gambaran  ini, kita dapat melihat betapa

rapuhnya UU SJSN. Terbukti selama lima tahun tidak

berjalan. Kerapuhan timbul dari berbagai sudut.

Pertama dari saat disahkannya. Undang-Undang

(UU) SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari

akhir periode kepresidenan. Undang-Undang (UU)

semacam ini sering disebut sebagai “Midnight Laws”.

Dapat dipahami bahwa periode kepresidenen

berikutnya tidak merasa memiliki (ownership) UU

SJSN. Sangat berbeda dengan  NHS di Inggris yang

disiapkan bertahun-tahun sebelumnya sebagai

agenda Partai Buruh. Oleh karena itu, UU SJSN perlu

diamandemen dengan salah satu tujuan adalah

meningkatkan  kepemilikan dan dukungan politis dari

pemerintah yang berkuasa.

Page 4: jurnal kesmas

114 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Laksono Trisnantoro: Apakah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional ...

Kerapuhan kedua, UU SJSN tidak bicara

banyak mengenai tradisi di sektor kesehatan,

termasuk peran para dokter yang sangat powerfull.

Masalah apakah para dokter akan kekurangan

income apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas.

Kenyataan memang sudah terjadi. Model UU SJSN

memberikan insentif rendah dibanding OOP. Undang-

Undang (UU) SJSN tidak bicara banyak mengenai

bagaimana meratakan pelayanan kesehatan ke

berbagai tempat, UU SJSN tidak bicara banyak

mengenai tradisi masyarakat Indonesia yang tidak

kenal risiko dan lain-lain. Banyak sekali hal

operasional tidak dibahas.

Kerapuhan ketiga, UU SJSN mencakup

kesehatan dan berbagai aspek welfare dalam

hubungan pengusaha dengan buruh. Aspek ini sangat

politis. Berbagai kepentingan dan ideologi yang

saling bertentangan dapat terjadi. Hal ini dapat dilihat

dari kecurigaan para industrialis terhadap UU SJSN

ini yang dianggap mengurangi daya kompetisi produk

Indonesia. Undang-Undang (UU) SJSN menjadi

sangat rapuh pada perdebatan ideologis. Akibatnya

masalah teknis yang banyak terdapat disektor

kesehatan menjadi terabaikan. Komponen

kesehatan bisa menjadi tidak terurus secara baik

dalam UU SJSN.

Oleh karena itu, diusulkan agar UU SJSN

diamandemen dan kalau bisa dipisahkan sendiri.

Dari titik ini kemudian disusun UU Asuransi

Kesehatan dan atau UU Jaminan Kesehatan

Nasional. Mengingat beratnya masalah yang sampai

mencakup tata kehidupan dan sejarah yang sudah

panjang, diharapkan jangan diletakkan bersama-

sama dengan  jaminan sosial lainnya (Laksono

Trisnantoro, [email protected]).  

Page 5: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 115

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

POLITIK PEMBANGUNAN

DAN KEBIJAKAN PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN

THE POLITIC OF DEVELOPMENT AND HEALTH PRIVATIZATION IN HEALTH SERVICE

Dumilah Ayuningtyas

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok

ABSTRACTA wave into democratization and liberalization which influenced

the development of government politic had arisen. This wave

also provided space for public’s participation or any other

private sector on development privatization including public

service. Thus health sector is not an exception in this case.

Substantive definition of privatization is action of diminishing

the government’s participation (state control) and increasing

private’s partaking. Although the inclination for escalation of

privatization policy on health service seems promising, yet it

still need endeavor to ensure that the implementation of

privatization in Indonesia does not contradict with government’s

obligation and objective in giving broadened and attainable

health service with good quality.

Keywords: government political development, privatization’s

policy on health service

ABSTRAKTelah terjadi gelombang menuju demokratisasi dan liberalisasi

yang mempengaruhi politik pembangunan pemerintah dan

memberi ruang bagi kesertaan masyarakat atau pihak swasta

lainnya dalam privatisasi pembangunan termasuk pelayanan

publik tak terkecuali di bidang kesehatan. Pengertian subtanstif

privatisasi adalah kegiatan mengurangi peranan pemerintah

(state control) dan meningkatkan peran swasta (”the act of

reducing the role of government and expanding that of the

private sector”). Meski terdapat kecenderungan meningkatnya

kebijakan privatisasi bagi pelayanan kesehatan diperlukan

upaya untuk memastikan bahwa pelaksanaan privatisasi di

Indonesia tidak malah bertentangan dengan kewajiban dan

tujuan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan

yang merata, terjangkau dan berkualitas.

Kata Kunci: politik pembangunan pemerintah, kebijakan

privatisasi pelayanan kesehatan

PENGANTAR

Telah terjadi arus perubahan sistem politik

kepemerintahan sebagai sebuah transisi menuju

demokrasi di negara-negara baru, yang seringkali

juga disebut sebagai gelombang ketiga demokrasi.

Sebuah gelombang biasanya mencakup liberalisasi

atau upaya demokratisasi dari sistem-sistem politik

yang tidak atau belum sepenuhnya demokratis.1

Liberalisasi di bidang politik akan berkorelasi dengan

arah kebijakan pembangunan di suatu pemerintahan

utamanya di sektor ekonomi.2 Salah satu ciri dari

proses liberalisasi dibidang ekonomi adalah

keputusan pemerintah baik pusat dan daerah untuk

melakukan privatisasi aset-aset pelayanan publik,

termasuk di sektor kesehatan, tak terkecualikan,

hal ini terjadi pula di Indonesia.

Politik dan Arah Pembangunan Pemerintah

Era reformasi membawa dinamika politik yang

sangat deras, antara lain terepresentasi dalam

pergantian pengelolaan kekuasaan dengan tak

kurang dari lima kepala negara dimiliki Indonesia di

tahun 1997-2005. Pada rentang waktu itu pula, terjadi

perubahan signifikan dalam bidang kesehatan

termasuk kebijakan pembiayaan kesehatan. Khusus

di sektor perumahsakitan, pemerintah telah

beberapa kali mengganti status rumah sakit berturut-

turut mulai dari pengguna PNBP, Perusahaan

Jawatan (Perjan) bagi 13 Rumah Sakit Umum

Pemerintah (RSUP), berubah dalam pilihan menjadi

Perum atau Persero dengan lahirnya Undang-Undang

(UU) No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

(BUMN). Berikutnya keluar Peraturan Pemerintah

(PP) No. 8/2003 yang paralel dengan BUMN dan

mempengaruhi status Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) menjadi bentuk Badan Layanan Umum

(BLU) berdasarkan UU No. 1/2004 tentang

Perbendaharaan Negara, bahkan di ibukota tiga

RSUD telah ditetapkan sebagai Perseroan Terbatas

(PT) melalui tiga buah Peraturan Daerah (Perda)

yaitu: Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta

No.13,14,15/2004 tentang Perubahan Bentuk Badan

Hukum menjadi PT dan Penyertaan Modal

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada PT. Rumah

Sakit Haji, Pasar Rebo dan Cengkareng bersamaan

dengan disahkannya UU No. 32/2004 tentang

Otonomi Daerah.

Menarik untuk mencermati korelasi antara

kondisi politik dengan perubahan arah pembangunan

pemerintah pada contoh kasus perumahsakitan

tersebut. Alternatif jawaban atas pertanyaan adakah

politik mempengaruhi arah pembangunan

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 115 - 119

Makalah Kebijakan

Page 6: jurnal kesmas

116 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Dumilah Ayuningtyas: Politik Pembangunan dan Kebijakan ...

pemerintah bisa diperoleh bila mengacu pada

pandangan Bjorn Hettne tentang Development

Theories in the Three Worlds yang menyebutkan

setidaknya ada empat model pembangunan yang

pernah diterapkan di seluruh dunia dan kesemuanya

menyandarkan pada konteks dominasi politik yang

berkembang, masing-masing: teori modernisasi,

teori liberal, teori ketergantungan, dan teori alternatif.3

Teori modernisasi melihat masyarakat Eropa

sebagai role model bagi pembangunan negara-

negara berkembang di Asia dan Afrika. Teori kedua,

yaitu teori liberal menggunakan logika liberalisme

yang dirintis Adam Smith sebagai acuan utama untuk

melihat pembangunan. Teori ketergantungan

terutama dilatarbelakangi pemikiran Marxis yang

melihat perekonomian global sebagai eksploitatif

terhadap negara-negara berkembang dan

menyarankan agar negara-negara tersebut berusaha

memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga

mengurangi ketergantungan pada ekonomi global.

Teori terakhir merupakan perkembangan lebih lanjut

dari pemikiran-pemikiran pembangunan yang lain dan

berpandangan bahwa pembangunan seharusnya

lebih melibatkan kelompok-kelompok yang

termarjinalisasi yaitu kelompok minoritas dan

termasuk juga kaum perempuan.

Pembangunan Indonesia berkisar di antara

kedua teori pembangunan pertama dan keduanya

pernah digunakan dalam perjalanan pembangunan

pemerintah. Teori modernisasi digunakan pada masa

orde baru, sementara itu pada masa dan pasca

reformasi pemerintah cenderung menggunakan teori

atau model liberalisasi. Pandangan tersebut dapat

diterima setidaknya jika kita menelaah lebih dalam

pengertian tentang kedua model tersebut. Model

pembangunan pertama sering disebut pula sebagai

“Teori Pembangunan yang Eropasentris”, karena

memandang negara-negara di Eropa adalah

gambaran ideal masyarakat yang ingin maju. Asumsi

teori ini adalah dualitas antara Masyarakat Barat dan

Masyarakat Timur yang terkategori sebagai

masyarakat maju (bagi barat) dan terbelakang yang

semestinya diadabkan (untuk timur). Oleh karenanya,

teori ini memberikan ruang bagi bantuan luar negeri

terutama untuk negara-negara berkembang. Teori ini

memang tidak bisa lepas dari pengaruh pemikiran

Keynes yang menitikberatkan peran pemerintah

dalam menggerakkan perekonomian. Logika liberal

agar pemerintah tidak ikut campur dalam kehidupan

perekonomian warganya harus dilanggar.3 Teori ini

mengizinkan pengeluaran besar-besaran dalam

anggaran pemerintah negara berkembang untuk

pembangunan negara, maka fenomena BUMN adalah

sesuatu yang lazim.

Di lain pihak, model pembangunan liberal relatif

”tidak ramah” terhadap peran pemerintah. Berbeda

dengan logika teori modernisasi yang bersifat

progresif, teori liberal cenderung melihat pentingnya

logika keseimbangan yang melepaskannya pada

keseimbangan neraca antara sektor permintaan dan

penawaran. Teori liberal tidak memiliki role model

dalam tujuan pembangunan yang hendak

dicapainya, namun teori ini melihat bahwa kondisi

perekonomian terbaik hanya dapat tercapai saat

negara membiarkan masyarakat berikut individu-

individu di dalamnya menggunakan sumber daya

(faktor produksi) sebebas mungkin. Pemerintah tidak

boleh ikut campur karena akan merusak mekanisme

pasar yang dikatakan dikendalikan oleh invisible hand.

Privatisasi Pembangunan di Mancanegara dan

di Indonesia

Cita-cita dunia barat sebagian besar adalah cita-

cita liberal yang menyepakati tentang arti liberalisme,

selain kebebasan atau liberte individu yaitu hal-hal

yang akan menyelamatkan dan mempertinggi

kebebasan itu, seperti persamaan hak, pemerintahan

konstitusi, aturan hukum, dan toleransi. Pada batasan

konsep liberalisme seperti inilah ruang privatisasi

pembangunan pemerintah berada.

Adanya arus besar privatisasi sebagai

representasi politik liberalisasi setidaknya dapat

dipahami dengan mengacu pada pandangan J.A. Kay

dan D.J. Thomson yang menganggap bahwa privatisasi

tidak semata-mata soal pengalihan kepemilikan badan

usaha saja melainkan merupakan cara mengubah

hubungan antara pemerintah dan sektor swasta

”...means of changing relationship between the

government and private sector”,4 secara lebih subtanstif

dalam perspektif filsafat-politik, privatisasi berarti

kegiatan mengurangi peranan pemerintah (state control)

dan meningkatkan peran swasta. Privatisasi adalah:

”the act of reducing the role of government and

expanding that of the private sector.”5

Pada praktiknya, terdapat perbedaan dalam

penetapan batasan dan pelaksanaan privatisasi.

Sebagai contoh, Amerika Serikat (selanjutnya

disebut AS) privatisasi diartikan sebagai minimalisasi

peranan pemerintah dan maksimalisasi peran sektor

swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik

maupun kepemilikan aset-asetnya. John D. Donahue

memberikan konsep berikutnya tentang privatisasi

yang lebih menekankan pada peningkatan kinerja

sektor publik dengan pelibatan kekuatan sektor

swasta dalam layanan publik dengan ungkapan: ”the

term more often refers to the private delivery of goods

and services that are still paid collectively’.5

Page 7: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 117

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Sementara di Inggris, konsep privatisasi

mempunyai beberapa pengertian yang berbeda.

Dalam arti sempit privatisasi didefinisikan sebagai

konsep penjualan aset-aset publik, sebagaimana

ungkapan Peter M. Jackson dan Catherine M.Price:

”privatization could be defined in narrow terms

restricting the concept to the sale of public as sets.”.

Berikutnya, privatisasi lebih diartikan sebagai proses

pengalihan bentuk hukum perusahaan negara

berdasarkan perundang-undangan yang ada dan

kemudian diikuti dengan penjualan saham-saham

perusahaan tersebut kepada pihak swasta: “the

formation of a company under the Companies Act

1985 and the sub sequent sale of at least 50% of

the shares to private shareholder”.. Penekanan pada

penjualan aset publik berupa perusahaan negara

kepada pihak lain dengan terlebih dahulu mengalihkan

bentuk hukum perusahaan tersebut menjadi

perusahaan swasta sesuai dengan UU Perusahaan

yang ada dan kemudian menjualnya sebagian atau

seluruhnya saham-sahamnya kepada pihak swasta

dianggap sebuah ciri privatisasi di Inggris.6

Sebagai sebuah kebijakan, privatisasi telah

memunculkan pro dan kontra dengan dasar

argumentasi masing-masing. Antara lain ungkapan

mantan Menteri Ekonomi dan Keuangan Spanyol

Carlos Solchaga mewakili kelompok pro: privatisasi

adalah bagian dari proses demokrasi. Dalam banyak

kasus, privatisasi merupakan solusi terbaik karena

dengan privatisasi perusahaan dapat lebih cepat

berkembang dan maju, sehingga membuka peluang

lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Belum lagi

daya saing, yang berarti dapat meningkatkan profit

dan menurunkan tarif atau harga”.5 Dukungan serupa

juga diberikan oleh seorang ekonom dari Australia

National University Indonesia Project, Ross Mcleod.

Menurutnya ada beberapa alasan yang membuat

privatisasi merupakan jalan yang tepat untuk sebuah

perubahan yaitu pertama, privatisasi mengefektifkan

manajemen lembaga terkait, sehingga jika pemimpin

dianggap tidak mampu lagi memegang kendali

perusahaan atau melakukan kesalahan yang

berakibat fatal pada perusahaan maka ia dapat

dipecat. Tidak seperti sistem yang dipakai saat ini,

jika pemimpin melakukan kesalahan, sanksi yang

diberikan hanya mutasi jabatan. Kedua, proses

rekrutmen, promosi dan remunerasi dalam sistem

kepegawaian yang mengacu pada sistem yang

berlaku pada lembaga pemerintah menghasilkan

banyak pegawai dengan kualitas yang di bawah dari

yang diharapkan, sementara perusahaan

membutuhkan pegawai dengan kualitas sesuai yang

dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja peusahaan.

Ketiga, perusahaan negara yang belum terprivatisasi

akan sangat banyak mendapatkan intervensi politik

dari pemerintah maupun legislatif, sehingga akan

menghambat pertumbuhan dan perkembangan

perusahaan, terutama dalam hal investasi, profit

sharing, dan lain-lain.7

Sementara kelompok yang kontra

mengemukakan bahwa privatisasi berhubungan

langsung dengan fenomena global, karena sistem

ekonomi yang terpusat pada negara (state centered

economic system) ditransformasikan menjadi suatu

sistem ekonomi yang berpusat pada mekanisme

pasar bebas (free market economic system). Hal

ini dianggap sebagai bentuk penjarahan kekayaan

negara model baru dari kolonialisme dan liberalisme

yang telah terbukti memiskinkan masyarakat di

negara dunia ketiga.5

Di Indonesia, terdapat beberapa konsep dan

pemahaman yang menjadi dasar pelaksanaan

privatisasi. Antara lain, konsep privatisasi sebagai

bentuk pengurangan intervensi pemerintah ke BUMN,

dan memberikan lebih banyak kebebasan bagi

BUMN untuk beroperasi sesuai dengan anggaran

dasarnya.8 Konsep ini memang lebih banyak

menekankan kepada pengurangan intervensi

pemerintah ke BUMN yang pada akhirnya bertujuan

membuat BUMN mandiri dalam operasionalnya

sehari-hari. Berdasarkan definisi dan konsep

privatisasi ini, sudah banyak BUMN di Indonesia

yang diprivatisasi oleh pemerintah semenjak tahun

1990-an seperti Indosat, Telkom, tambang timah,

dan lainnya.

Selain itu, privatisasi di Indonesia juga sering

diartikan sebagai kegiatan mengalihkan sebagian

tugas pemerintah ke sektor swasta. Pada definisi

ini, pemerintah mengalihkan sebagian tugasnya

kepada pengusaha swasta, seperti penanganan

sampah, penyediaan air minum dan berbagai

layanan publik lainnya, sehingga banyak prasarana

dan pelayanan publik yang dibangun oleh pihak

swasta, seperti rumah sakit, sekolah, angkutan

umum, jalan tol, angkutan udara, dan perumahan.

Artinya pelaksanaan privatisasi di Indonesia

menganut dua konsep privatisasi, yang

memfokuskan pada pelayanan publik, seperti di AS

dan juga pada penjualan BUMN, seperti di Inggris.9

Dengan peningkatan kinerja, perluasan partisipasi

masyarakat dan tingkat manfaat yang dapat diambil

menjadi beberapa dasar pelaksanaan privatisasi

seperti tertuang dalam UU RI No. 19/2003 tentang

BUMN pasal 1 ayat 12 tetang privatisasi: ” .. adalah

penjualan saham persero, baik sebagian maupun

seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka

Page 8: jurnal kesmas

118 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Dumilah Ayuningtyas: Politik Pembangunan dan Kebijakan ...

meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,

memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,

serta memperluas pemilikan saham oleh

masyarakat”.

Privatisasi Pelayanan Kesehatan

Pengurangan peran pemerintah karena

ketidakmampuan menanggung sendiri beban dan

biaya pengembangan pelayanan kesehatan bahkan

pemeliharaan pelayanan kesehatan dengan alternatif

penyertaan pihak swasta menjadi salah satu dasar

penetapan kebijakan privatisasi. Pemindahan

sebagian tugas pengelolaan pelayanan kesehatan

kepada organisasi sukarelawan, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) atau perusahaan-perusahaan

privat ‘for profit ataupun non profit ‘ mengacu pada

berbagai peraturan pemerintah yang mengikat.

Banyak pemerintahan negara-negara sedang

berkembang yang bahkan telah lama tergantung

kepada sektor swasta atau organisasi pemberi

bantuan dalam penyediaan pelayanan kesehatan.

Meski seolah terkesan pragmatis, namun hal ini

dapat dipandang sebagai fenomena sementara

karena pemerintah akan memulihkan dan

memperkuat perannya kembali dengan mengambil

bila telah tersedia sumber dana yang mencukupi.

Dasar pertimbangan lain adalah cepatnya

pertumbuhan tuntutan pasar di era perdagangan

bebas pada lembaga-lembaga pemerintah, tak

terkecuali di bidang kesehatan yang mengharuskan

dilakukannya upaya-upaya terobosan termasuk

pengubahan bentuk status kepemilikan atau

privatisasi. Korporatisasi atau privatisasi pelayanan

kesehatan diyakini akan mampu menjawab masalah-

masalah inefisiensi pengelolaan keuangan, belum

optimalnya mutu pelayanan kesehatan dan

sebagainya. Kebijakan privatisasi bahkan dipandang

sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh untuk

menyelamatkan keuangan negara dan daerah.

Argumentasi dukungan terhadap kebijakan

privatisasi antara lain: sebagai upaya mengurangi

beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu

sumber pendanaan pemerintah dengan menjual

sahamnya, meningkatkan efisiensi pengelolaan

perusahaan, meningkatkan profesionalisme,

mengurangi campur tangan birokrasi dan pemerintah

terhadap pengelolaan perusahaan, mendukung

pengembangan pasar modal dalam negeri, sebagai

pembawa bendera (flag-carrier) dalam mengarungi

pasar global.

Atas dasar itu, Eid, F, menyayangkan

kenyataan bahwa keuntungan atau manfaat yang

bisa didapat dari privatisasi rumah sakit pemerintah

sering terhalang oleh kendala politis, selain juga

kemampuan kewirausahaan dari pengelola.

Mengingat area penting yang menjadi tanggung

jawab pemerintah di bidang kesehatan adalah

regulasi, keuangan dan penetapan standar

pelayanan, maka sudah seharusnya pemerintah

menaruh perhatian tinggi pada transformasi bentuk

dan status rumah sakit serta penyelesaian masalah-

masalah yang timbul pada prosesnya.10

Pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi

di Indonesia beranggapan bahwa kebijakan

privatisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit

merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal

28H 1 tentang Hak Pelayanan Kesehatan dan Pasal

34 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa negara

bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan

fasilitas umum yang layak. Mengambil pelajaran dari

pengalaman berbagai negara lain, Thabrany

berpendapat bahwa bentuk perseroan terbatas

bukanlah bentuk yang tepat untuk sebuah fasilitas

pelayanan publik seperti rumah sakit. Ada banyak

karakteristik dalam pelayanan di bidang kesehatan

yang tidak bisa disamakan dengan pelayanan publik

yang lainnya.11

Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang,

serta alasan ideologis dan politis yang

melatarbelakangi, faktanya privatisasi pelayanan

kesehatan telah berlangsung. Pada tahun 1993,

World Development Report memberikan data

mengenai estimasi jumlah sektor swasta (private)

dan publik di 79 negara pada tahun 1990. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sektor swasta

(private) pada 24 negara di antaranya telah

berkembang lebih besar daripada sektor publik. Pada

banyak negara, pelayanan kesehatan sudah

beroperasi mendekati situasi pasar bebas sehingga

privatisasi telah menjadi bagian penting dalam

agenda politik di banyak negara.Sebagaimana data

tentang kontribusi sektor swasta (private) dalam

pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang

Asia berikut: India, 57% dari rumah sakit dan 32%

dari tempat tidur adalah swasta; Korea, proporsi

rumah sakit swasta telah meningkat dari 35% ke

95% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; Filipina,

67% dari rumah sakit adalah swasta meliputi 50%

dari tempat tidur, Thailand 30% dari rumah sakit

adalah swasta. Di India dan Thailand, pembelanjaan

kesehatan bersumber swasta adalah sekitar 88%;

di Indonesia 65%; di Korea 60%; di Filipina sekitar

50%.10 Bagaimana memaknai data kontribusi pihak

swasta pada pelayanan kesehatan di sebuah Negara

apakah sebagai suatu hal positif yang menunjukkan

kemajuan di bidang kesehatan atau justru sebaliknya

Page 9: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 119

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

tentu terpulang pada paradigma sang penilai serta

konsideran pelaksanaan privatisasi pelayanan

kesehatan itu sendiri.

PENUTUP

Pada banyak negara, pelayanan kesehatan

sudah beroperasi dalam jarak yang dekat dengan

mekanisme dan situasi pasar bebas. Catatan yang

penting dalam melengkapi bahasan tentang politik

pembangunan pemerintah dan kebijakan privatisasi

pelayanan kesehatan adalah perspektif James A.

Carporaso dan David P. Levine yang memandang

keterkaitan hubungan antara aktivitas politik dan

aktivitas ekonomi sebagai: ”Economics is a way

acting, politics a place to act”, lengkap dengan

empat pilar pendekatannya yaitu: masyarakat

madani (civil society), the self regulating market,

Private interest and public good, state and society.12

Ditambah dengan tuntutan perundangan Pasal 74

dan 75, UU No.19/2003 mengingatkan bahwa setiap

kebijakan privatisasi bertujuan meningkatkan kinerja

dan harus memperhatikan prinsip transparansi,

kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban,

dan kewajaran, selazimnya dilakukan telaah cermat

dan mendalam untuk memastikan bahwa

pelaksanaan privatisasi di Indonesia tidak malah

bertentangan dengan kewajiban dan tujuan

pemerintah untuk memberikan pelayanan

kesehatan yang merata, terjangkau, dan berkualitas.

KEPUSTAKAAN

1. Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi

Ketiga. Grafiti, Jakarta, 2000;Bab. 1,3.

2. Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi

Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS,

1994;XXIII(1):6.

3. Syamsul Hadi, et.all, Strategi Pembangunan

Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta,

2004:8,9,10.

4. J.A Kay & D.J Thompson, Privatization: A policy

in search of rationale in Economic Journal,

1986;96:18-32.

5. Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara:

Pengantar Untuk Memahami Privatisasi

Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002:10, 16-18,

19. 20

6. Revrisond Baswir, Bahaya Globalisasi

Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003

7. Ross Mcleod, Why Privatise In Indonesia? And

How? East Asia Forum. http://www.eastasia

forum.org/2008/08/07/why-privatise-in-

indonesia-and-how/. Diakses pada tanggal 18

April 2008.

8. Florence Eid, “Governance & Incentives in

Corporatized Hospital” (Working Paper, the

American University of Beirut), Maret 2005.

9. Hasbullah T. Risiko Konversi rumah Sakit Publik

Menjadi Perusahaan, 2006. http://www.kompas.

com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817832.

htm, Diakses pada 18 April 2007.

10. Willam Newbrander, Private Health Sector

Growth in Asia, Issues and Implication. John

Willey & sons Press, London, UK, 1997.

11. Carol Baker, The Health Care Policy Process,

Sage Publications Ltd, London, 1996:163

12. James A. Caporaso and David P. Levine,

Theories of Political Economy, Cambridge

University Press, USA, 1992: 31.

Page 10: jurnal kesmas

120 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...

EVALUASI KINERJA PELAYANAN ANTENATAL ANTARA PUSKESMAS

CAKUPAN TINGGI DENGAN PUSKESMAS CAKUPAN RENDAH

MENGGUNAKAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD

EVALUATION ON ANTENATAL CARE PERFORMANCE BETWEEN HIGH AND LOW COVERAGE

COMMUNITY HEALTH CENTERS USING BALANCED SCORECARD

Ernawati¹, Djaswadi Dasuki², Abdul Wahab³1 Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi

2Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta3CHN-RL, FK UGM, Yogyakarta

ABSTRACTBackground: Community Health Center (CHC) is hoped to

give quality antenatal care. However, maternal and child health

coverage in Bekasi District has not achieved the targeted

standard yet. First visit of pregnant mothers in 2006 was 87.5%

and fourth visit coverage was 77.8%. There were 21 cases

of maternal mortality in 2005 and only four out of 34 CHCs

achieved the target of maternal and child coverage. These

show that maternal and child health care performance is not

optimal; therefore, improvement should be made. One of

performance measurements is balanced scorecard which

includes four perspectives, namely finance, costumers’

satisfaction, internal business, and learning and growth.

Objective: To evaluate antenatal care performance between

high coverage CHC and low coverage CHC using balanced

scorecard approach in Bekasi District.

Method: This was an observational study with cross sectional

study design. Qualitative data were used in this study. The

subjects were the head of CHCs, the midwives responsible

for the implementation of antenatal care in maternal and child

health room, and all pregnant mothers receiving forth visit care.

The study was performed in Mekarmukti and Cibarusah CHCs.

Study instruments were questionnaire, checklist, and interview

guide. Univariate analysis and bivariate analysis with chi-square

test and stratification were used.

Results: There was an association between providers’

education/training and antenatal coverage (χ² = 10.015; p =

0.002; PR = 4.026; CI 95% = 1.667-9.724), and patients’

satisfaction (χ2 = 4.607; p = 0.032; PR = 2.516; CI 95% = 1.080-

6.348), while standardized care was not related to antenatal

care coverage. Stratification analysis showed that antenatal

care coverage in Mekarmukti CHC was better than that in

Cibarusah CHC (χ2 = 5.662; p = 0.017; PR = 4.407; CI 95% =

1.082-18.789), patients’ satisfaction in Mekarmukti CHC was

better than that in Cibarusah CHC (χ2 = 6.935; p = 0.008; PR =

8; CI 95% = 1.256-84.624). Based on the qualitative data, there

was no difference in finance performance in both CHCs.

Conclusions: There is a difference between providers’

education/training and the level of patients’ satisfaction in

Mekarmukti and Cibarusah CHCs. There is no difference in

Mekarmukti and Cibarusah CHCs operational fund and standard

antenatal care.

Keywords: balanced scorecard, performance, antenatal

coverage

ABSTRAKLatar Belakang: Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar

diharapkan mampu memberikan pelayanan antenatal

berkualitas. Di Kabupaten Bekasi cakupan Kesehatan Ibu dan

Anak (KIA) pada tahun 2006 adalah K1 (87,5%) dan cakupan

K4 (77,8%). Jumlah kematian ibu tahun 2006 sebanyak 21

orang. Dari 34 Puskesmas yang mencapai target cakupan KIA

hanya 4 Puskesmas (11,76%). Hal ini menggambarkan bahwa

kinerja pelayanan KIA masih belum optimal dan perlu dilakukan

evaluasi guna perbaikan kinerja pelayanan KIA di masa datang.

Pengukuran kinerja yang dilakukan menggunakan balanced

scorecard yang meliputi empat perspektif yaitu keuangan,

kepuasan pelanggan, proses pelayanan dan pengembangan

sumber daya manusia.

Tujuan: Mengevaluasi kinerja pelayanan antenatal antara

Puskesmas cakupan tinggi dengan Puskesmas cakupan rendah

di Kabupaten Bekasi dengan menggunakan pendekatan

balanced scorecard.

Metode: Jenis penelitian observasional dengan rancangan

cross sectional dilengkapi dengan data kualitatif. Subjek

penelitian adalah kepala Puskesmas, bidan penanggung jawab

dan pelaksana pelayanan antenatal di ruang KIA, serta seluruh

ibu hamil yang mendapatkan pelayanan K4. Lokasi penelitian di

Puskesmas Mekarmukti dan Cibarusah. Instrumen

menggunakan kuesioner, check list dan pedoman wawancara.

Analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat dengan

uji chi-square (χ²) dan stratifikasi.

Hasil: Analisis menunjukkan hubungan pendidikan/pelatihan

dengan cakupan antenatal (χ² = 10,015; p = 0,002; OR = 4,026;

95%CI = 1,667-9,724) dan kepuasan pasien (χ² = 4,607; p =

0,032; OR = 2,516; 95%CI = 1,080-6,348) sedangkan

pelayanan sesuai standar tidak berhubungan dengan cakupan

antenatal. Analisis stratifikasi diketahui ada perbedaan

pendidikan/pelatihan terhadap cakupan antenatal yaitu

Puskesmas Mekarmukti lebih baik dibandingkan Cibarusah (χ²

= 5,662; p = 0,017; OR = 4,407; 95%CI = 1,082-18,789),

kepuasan pasien di Puskesmas Mekarmukti lebih baik

dibandingkan Puskesmas Cibarusah (χ² = 6,935; p = 0,008; OR

= 8; 95%CI = 1,256-84,624). Data kualitatif tentang kinerja

keuangan menunjukkan di Puskesmas Mekarmukti lebih baik

daripada Puskesmas Cibarusah.

Kesimpulan: Ada perbedaan pendidikan/pelatihan petugas

dan tingkat kepuasan pasien antara Puskesmas Mekarmukti

dan Cibarusah. Tidak ada perbedaan standar pelayanan

antenatal dan dana operasional antara Puskesmas Mekarmukti

dan Cibarusah.

Kata kunci: balanced scorecard, kinerja, cakupan antenatal

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 120 - 129

Artikel Penelitian

Page 11: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 121

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

PENGANTARAngka kematian ibu (AKI) merupakan barometer

pelayanan kesehatan, semakin rendah angkakematian ibu berarti pelayanan kesehatan pada ibuhamil dan ibu bersalin semakin baik.1 Upaya yangdilakukan pemerintah dengan menempatkanprogram KIA sebagai program prioritas melalui fokusstrategi making pregnancy safer (MPS). Salah satukebijakannya adalah pelayanan antenatal harusdiberikan sesuai standar pada semua fasilitaskesehatan.2 Ibu hamil yang mendapatkan perawatanantenatal yang baik dengan menggunakan model baruatau model standar, maka risiko terjadinya penyakitselama kehamilan dapat terdeteksi secara dini.3

Puskesmas sebagai salah satu fasilitas kesehatandi tingkat dasar, diharapkan memberikan pelayanankesehatan yang bermutu, memuaskan, sesuai standardan etika profesi.4 Cakupan perawatan kehamilan diPurworejo tinggi (86,3%), tetapi manfaat perawatankehamilan terhadap hasil kehamilan tidak bermakna.5

Ibu hamil sebagai pelanggan atau klien yangmemanfaatkan Puskesmas untuk mendapatkanpelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan.Kepuasan pelanggan atau pasien sangat ditentukanoleh ketanggapan (responsiveness) petugas dalammemberikan pelayanan kepada pasien.6

Puskesmas yang mencapai target cakupan K4berdasarkan data 2006 hanya diperoleh duaPuskesmas yaitu Puskesmas Mekarmukti danPuskesmas Setu I, sedangkan Puskesmas yangtidak mencapai target salah satunya adalahPuskesmas Cibarusah. Puskesmas Cibarusah danPuskesmas Mekarmukti adalah dua dari 34Puskesmas yang memiliki tipe yang sama dari segisarana prasarana yang dimiliki, kondisi wilayah danstatus Puskesmas. Menarik untuk dilakukanpenelitian adalah apakah terdapat perbedaan kinerjaantara petugas KIA di Puskesmas Mekarmukti danPuskesmas Cibarusah dari segi keterampilan,kepatuhan menerapkan standar pelayanan, dankepuasan pasien. Kinerja pelayanan KIA dinilai daricakupan K1, K4, pertolongan persalinan oleh tenagakesehatan. Bila kinerja rendah, sedangkan jumlahtenaga dan dana yang digunakan besar, makaefektivitas dan efesiensi pelayanan rendah.7

Faktor-faktor yang mempengaruhi baik-buruknyakinerja adalah harapan dalam pekerjaan, umpan-balik segera, lingkungan dan alat, motivasi daninsentif, pengetahuan dan keterampilan, sertakemampuan untuk melakukan pekerjaan.8

Balanced scorecard secara komprehensif dapatmenelusuri kepuasan pelanggan, memotivasipegawai, mengukur pencapaian kinerja keuangan

dan membuat tujuan strategis untuk melakukan suatuperubahan yang diukur dari perspektif pertumbuhandan pembelajaran, bisnis internal, pelanggan, dankeuangan.9

Di samping itu, balanced scorecard jugamenjadikan seluruh komponen pelayanan kesehatanyang diberikan lebih koheren, sehingga terjadipeningkatan kecepatan respons petugas terhadapperubahan lingkungan pelayanan. Selain itu,meningkatkan pemberdayaan tenaga kesehatandalam implementasi rencana pelayanan danmenghasilkan kinerja keuangan Puskesmas dalamjangka panjang.10

BAHAN DAN CARA PENELITIANJenis peneli t ian observasional dengan

rancangan cross sectional. Metode penelitianmenggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.Variabel adalah pendidikan dan pelatihan petugas,standar pelayanan, kepuasan pasien dan danaoperasional, dengan variabel terikat cakupanantenatal.

Waktu penelitian bulan Mei sampai dengan Juli2007. Sebagai unit analisis adalah Petugas KIA(bidan), Kepala Puskesmas dan Ibu Hamil yangberkunjung ke Puskesmas terpi l ih untukmendapatkan pelayanan antenatal pada saatpenelitian berlangsung.

Instrumen penelitian yang digunakan adalahkuesioner, check-list, dan daftar pertanyaan untukmelakukan indepth interview. Analisis data dilakukandengan analisis univariat, bivariat menggunakan chisquare dan analisis stratifikasi, dilengkapi datakualitatif dari wawancara terhadap sumber.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANSubjek penelitian dibagi dalam tiga kelompok

yaitu Kepala Puskesmas, Bidan Penanggung JawabKIA, dan Ibu Hamil.

1. Kinerja Pelayanan Antenatal Care (ANC)Penilaian kinerja pelayanan antenatal care

(ANC) menggunakan empat perspektif balancedscorecard yaitu perspektif finansial, perspektifcustomer, perspektif bisnis internal dan perspektifpendidikan dan pelatihan.

a. Pendidikan dan PelatihanPendidikan baru terealisasi sebesar (75%),

sedangkan pelatihan terdapat dua pelatihan yangmasih kurang yaitu standar pelayanan kebidanan(66,67%) dan komunikasi interpersonal konseling(53,33%).

Page 12: jurnal kesmas

122 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...

Target Realisasi Perspektif Pendidikan dan Pelatihan Skor % Skor %

Pendidikan (SKS) Diploma I 40 25 40 25 Diploma III 80 50 80 50 Diploma IV 40 25 0 0

Total 160 100 120 75 Pelatihan (Jam)

SPK 36 100 24 66,67 KIP-K 30 100 16 53,33 Quality Assurance (QA) 24 100 24 100 Penggunaan buku KIA 42 100 42 100

Total 132 100 106 80,30

Tabel 1. Target dan Realisasi Perspektif Pendidikan dan PelatihanBerdasarkan Balanced Scorecard

b. Pelayanan Sesuai StandarDistribusi data skor penilaian terhadap

pelayanan antenatal care sesuai standar menurutPuskesmas tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Skor Penilaian PelayananSesuai Standar Terhadap Pelayanan Antenatal

Menurut Puskesmas

Skor penilaian pelayanan sesuai standar Puskesmas

Ibu hamil (orang)

Mean ± SD Min Max Mekarmukti 46 71,85 ± 16,03 33 98 Cibarusah 46 62,65 ± 18,50 38 98

Penilaian standar pelayanan antenatal lebih baikpada Puskesmas Mekarmukti dibandingkan denganPuskesmas Cibarusah.

c. Kepuasan PasienDistribusi data skor penilaian terhadap kepuasan

pasien terhadap pelayanan antenatal menurut strataPuskesmas tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Skor Penilaian Kepuasan PasienTerhadap Pelayanan Antenatal

Menurut Puskesmas

Skor penilaian kepuasan pasien Puskesmas

Ibu hamil (orang)

Mean ± SD Min Max Mekarmukti 46 70,13 ± 1,92 65 75 Cibarusah 46 72,54 ± 2,95 67 85

Tingkat kepuasan pasien (ibu hamil) menurutPuskesmas diketahui bahwa ibu hamil lebih puasmendapat pelayanan antenatal di Puskesmas Cibarusahdibandingkan dengan Puskesmas Mekarmukti.

d. Biaya Operasional

Penetapan skor sebesar Rp334.740.000,00dengan realisasi anggaran sebesar Rp49.804(14,88%), seluruh perspektif finansial memiliki skorterealisasi di bawah 80%. (Tabel 4)

Target RealisasiPerspektif Finansial Skor % Skor %

Pemeriksaan ibu hamil 33.090 100 15.434 46,64Pemberian imunisasi TT 3.840 100 1.280 33,33Pemberian tablet Fe 297.810 100 33.090 11,11

Total 334.740 100 49.804 14,88

Tabel 4. Target dan Realisasi Perspektif FinansialBerdasarkan Balanced Scorecard

Skor : dalam satuan Rupiah (,000)

2. Analisis Kinerja Pelayanan TerhadapCakupan Antenatal Berdasarkan BalancedScorecardDengan demikian, berdasarkan ni lai

kesenjangan balanced scorecard dapat disusunperencanaan kegiatan peningkatan kinerjapelayanan antenatal berdasarkan empat perspektif(Gambar 1) yaitu :

Gambar 1. Spiderweb Kinerja Pelayanan Antenatal

1) Jangka Pendeka) Dukungan finansial tablet Fe

Page 13: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 123

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tabel 5. Analisis Kinerja Pelayanan Antenatal Berdasarkan Balanced Scorecard

Pendidikan (SKS)

1. Diploma I

2. Diploma III

3. Diploma IV

Total

Pelatihan (Jam)

1. SPK2. KIP-K

3. Quality Assurance

4. Penggunaan buku KIA

Total

1. Anamnesa 2. Pemeriksaan umum 3. Pemeriksaan kebidanan luar 4. Pemb. Imunisasi TT 5. Pemb. Fe 6. Konseling

Total

1. Reliability

2. Responsiveness

3. Assurance

4. Empathy

5. Tangiables

Total

Kinerja Pelayanan Balanced Scorecard

Target Realisasi SelisihSkor (%) Skor (%) Skor (%)

40 (25)

40 (25)

-

80 (50)

80 (50)

-

40 (25)

-

40 (25)

160 (100)

120 (75)

40 (25)

36 (100)

24 (66,67)

12 (33,33)

30 (100)

16 (53,33)

14 (46,67)

24 (100)

24 (100)

-

42 (100)

42 (100)

-

132 (100)

106 (80,30)

26 (19,70)

1564 (100) 1095 (70,01) 469 (29,99)276 (100) 240 (86,96) 36 (13,04)1012 (100) 532 (52,57) 480 (47,43)92 (100) 61 (66,30) 31 (33,70)92 (100) 86 (93,48) 6 (6,52)

644 (100) 312 (48,45) 332 (51,55)

3680 (100) 2326(63,21) 1354 (36,79)

736 (100)

495 (67,26)

241 (32,74)

368 (100)

270 (73,37)

98 (26,63)

2576 (100)

1919 (74,50)

657 (25,50)2208 (100)

1603 (72,60)

605 (27,40)1472 (100)

1102 (74,86)

370 (25,14)

7360 (100) 5389(73,22) 1971 (26,78)

33,09 (100) 15,4 (46,64) 17,65 (53,56)3,84 (100) 1,28 (33,33) 2,56 (66,67)

297,81 (100) 33,09(11,11) 264,72 (88,89)

334,74 (100) 49,80(14,80) 284,9 (85,12)

Perspektif Pelayanan Sesuai Standar

Perspektif Kepuasan Pasien

Perspektif Finansial

1. Pemeriksaan ibu hamil2. Imunisasi TT3. Tablet Fe

Total

Prioritas

2

3

4

1

b) Peningkatan pelayanan sesuai standar:pemeriksaan kebidanan luar

c) Pelatihan KIP-Kd) Peningkatan kepuasan: reliability

2) Jangka Menengaha) Dukungan finansial: imunisasib) Peningkatan pelayanan sesuai standar:

pelaksanaan imunisasi TT

c) Pelatihan Standar Pelayanan Kebidanan(SPK)

d) Peningkatan kepuasan: empathy danreponsiveness

3) Jangka Panjanga) Dukungan finansial: pemeriksaan ibu hamil:

pengukuran tinggi badan dan berat badan,tekanan darah dan tinggi fundus uteri.

Page 14: jurnal kesmas

124 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...

Indikator 5 T Puskesmas Biaya program antenatal per tahun TB/BB TD TFU Imunisasi TT Tablet Fe

Mekarmukti Rp. 7.807.536,- 100 100 89,13 78,26 91,30 Cibarusah Rp. 7.625.640,- 100 100 82,61 54,35 95,65

Tabel 6. Anggaran Pembiayaan Kegiatan Antenatal berdasarkan Indikator 5T[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]

b) Peningkatan pelayanan sesuai standar:anamnesa, pemeriksaan umum danpemberian Fe.

c) Pelatihan penggunaan Buku KIA (kohort ibudan bayi) dan tugas belajar jenjang DiplomaIV pada petugas KIA (bidan) Puskesmas.

d) Peningkatan kepuasan: assurance dantangibles

3. Analisis Hubungan Kinerja PelayananTerhadap Cakupan Antenatal

Khusus biaya operasional, analisis dilakukanberdasarkan atas persentase cakupan antenatal,distribusi data operasional dan cakupan antenatal:indikator 5 T, tersaji pada Tabel 6.

KIA tidak mengetahui persis uang tersebut,karena semuanya diserahkan ke bendaharaPuskesmas. Kalau memang ada danatersebut kami dikasih tahu saja ya bu !”

(Koordinator KIA Puskesmas Mekarmukti)

“Anggaran pembiayaan yang kami perolehdari Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi tahun2006 sebenarnya dirasakan sangat kurang,sehingga kadang-kadang kami mengalamikendala untuk mengaktifkan kegiatanmengingat lokasi antar kelurahan sangatjauh, apalagi berkaitan dengan kegiatanantenatal yang harus turun ke lapangan.Untuk mengantisipasi hal tersebutdirencanakan kunjungan pada hari tertentu.”

“... satuan biaya untuk kegiatan antenatalPuskesmas kami sangat kurang memadai

Besaran pembiayaan operasional pada masing-masing Puskesmas hampir mendekati sama karenaalokasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasiberdasarkan pada jumlah sasaran dikalikan [email protected] per ibu hamil. Permasalahan yang ditemuidi lapangan dapat dikemukakan seperti hasilwawancara peneli t i terhadap dua KepalaPuskesmas, hasil wawancara terangkum sebagaiberikut:

“... alokasi biaya untuk kegiatan antenatalPuskesmas kami sangat kecil sekali untuksasaran sebanyak 1.674 ibu hamil, jadi kamimemprioritaskan pada ibu hamil yang risti(risiko tinggi) sebanyak 48 ibu hamil untuktahun 2006 sehingga dana yang didapatkanper ibu hamil/tahun sebesar Rp162.657dengan kegiatan kunjungan rumah danmerujuk pasien ke rumah sakit...” (KepalaPuskesmas Mekarmukti)

“... kegiatan antenatal yang ada sumberbiayanya kami rasakan tidak cukup, sehinggakami banyak menyatukan kegiatan program-program lain seperti imunisasi dan gizi baikdi Posyandu atau Puskesmas, biar sekalijalan dananya cukup memadai daripadakegiatan berjalan sendiri-sendiri...”

“... dana untuk kegiatan khusus sepertipengukuran tinggi badan dan berat badan,tekanan darah, tinggi fundus uteri, imunisasiTT dan tablet Fe di sini ‘Puskesmas’ tidakbegitu nampak nyata uangnya, hanya rutinkami ketahui yaitu uang transport dankunjungan Posyandu. Soalnya kami petugas

apalagi hanya sebesar ± Rp5.000,00 per ibuhamil/tahun padahal kunjungan untuk ibuhamil sampai K4, ...”

“... pada Puskesmas kami biaya yangdianggarkan Dinas kami upayakan padapemanfaatan pada kunjungan ibu hamil yangristi (risiko tinggi) sebesar Rp7.000.000,00sedangkan sisanya diupayakan padapertemuan Posyandu dalam rangkapemberdayaan kader Posyandu dalamrangka deteksi dini ibu hamil dengan risiko.”(Kepala Puskesmas Cibarusah)

“... kalau di dibagi per sasaran ibu hamil diPuskesmas kami, saya rasa sangat kecilsekali, namun kami berusaha untuk tetapmelaksanakan kegiatan KIA dengan baikmeskipun hanya mendapat lelah karena sudahrisiko kami selaku Bidan Puskesmas ...”

“... cakupan antenatal khusus K4 Puskesmaskami masih di bawah rerata yaitu 54,1%,faktor-faktor penghambat yang kami rasakanadalah kesulitan penjangkauan sasaran, baikibu hamil ke Puskesmas atau kunjunganrumah ibu hamil oleh Petugas Puskesmas.Ketersediaan dana adalah tidak sampai kedana transportasi, kalaupun bisa kamigabungkan dengan kegiatan lain yangkebetulan lokasinya berdekatan dengansasaran (Ibu hamil), sehingga keterlambatankunjungan yang seharusnya terjadwalkan.”

“... dana untuk kegiatan antenatal yang sayaketahui adalah kunjungan ibu hamil risti dankunjungan Posyandu, itupun sebagian besaruntuk transport saja, sedangkan untuk yanglain seperti makan kadang-kadang terpakai

Page 15: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 125

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

uang sendiri. Kalau memang ada dana lainkami tidak tahu detailnya, sebab semuanyadiketahui oleh Kepala Puskesmas danBendahara Puskesmas ... !” (Koordinator KIAPuskesmas Cibarusah)

Hasil wawancara alokasi anggaran biayaoperasional dilakukan juga pada pemegangProgram KIA Dinas Kesehatan KabupatenBekasi, adapun kutipan hasil wawancarasebagai berikut:

“... anggaran biaya operasional untuk kegiatanantenatal dimasukkan dalam mata anggaranPelayanan Kesehatan Maternal bersumberdari APBD II, yang direncanakan sesuai denganRASK dan DASK dari usulan Puskesmas.Sedangkan kegiatan KIA lain sebagian besardimasukkan ke dalam pembiayaantransportasi dan pemeliharaan ...““... kalau dana pelaksanaan imunisasi TT danFe merupakan kerja sama lintas programyaitu P2M dan Gizi, sehingga saya hanyaselaku pemantau kegiatan dan laporan hasilcakupan, soalnya biaya diketahui oleh 2pemegang program tersebut ...”

“... perencanaan kami lakukan berdasarkanatas penetapan sasaran oleh Puskesmas,oleh karena kami menyerahkan sepenuhnyapemanfaatannya oleh Puskesmas, hanya sajapertanggungjawabannya harus mengikutiketentuan pelaporan keuangan daerahKabupaten Bekasi . ..” (Kasi KIA DinasKesehatan Kabupaten Bekasi)

Analisis dilakukan pada variabel-variabelpenelitian terhadap cakupan antenatal menuruttingkat pendidikan dan pelatihan, pelayanan sesuaistandar dan kepuasan pasien, hasil analisis dapatdisampaikan pada Tabel 7.

Cakupan antenatal dipengaruhi oleh pendidikan/pelatihan petugas KIA (² = 10,015; p = 0,002; PR= 4,026; 95%CI = 1,667-9,724) dan kepuasan pasien(² = 4,607; p = 0,032; PR = 2,516; 95%CI = 1,080-6,348). Adapun pelayanan sesuai standar tidakberhubungan terhadap cakupan antenatal padakategori cukup (p = 0,777; PR = 1,114; 95%CI =0,451-2,903), baik (p = 0,775; PR = 1,118; 95%CI =0,386-3,589).

4. Analisis StratifikasiAnalisis variabel pendidikan/pelatihan dan

kepuasan pasien terhadap cakupan antenatal dapatdisampaikan sebagai berikut :a. Hubungan antara Pendidikan/Pelatihan

dan Cakupan Antenatal Berdasarkan StrataPuskesmasBerdasarkan stratifikasi diketahui bahwa ada

perbedaan pendidikan dan pelatihan terhadapcakupan antenatal di Puskesmas Mekarmukti(² = 5,662; p = 0,017; PR = 4,407; 95%CI = 1,082-18,789) lebih baik dibandingkan dengan PuskesmasCibarusah.dalam arti dengan adanya tingkatpendidikan dan pelatihan pada petugas KIA diPuskesmas Mekarmukti akan mengakibatkanpeningkatan cakupan antenatal yang sesuai standarsebesar 4,407 kali. (Tabel 8).

b. Hubungan antara Kepuasan Pasien danCakupan Antenatal Berdasarkan StrataPuskesmasAda perbedaan kepuasan pasien di Puskesmas

Mekarmukti (² = 6,935; p = 0,008; PR = 8; 95%CI= 1,256-84,624) dibandingkan dengan PuskesmasCibarusah, dalam arti kepuasan pasien yang datang

Tabel 7. Hubungan Variabel-Variabel Penelitian dengan Cakupan Antenatal[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]

* Signifikansi p < 0,05

Page 16: jurnal kesmas

126 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...

ke pelayanan KIA di Puskesmas Mekarmukti lebihbaik dibandingkan dengan Puskesmas Cibarusah.

Kepuasan pasien terhadap cakupan antenatalyang sesuai standar di Puskesmas Mekarmuktiakan memberikan perbedaan risiko sebesar 8 kalidibandingkan dengan kepuasan pasien diPuskesmas Cibarusah. (Tabel 9).

PEMBAHASAN1. Karakteristik Responden dan Petugas

Ibu hamil yang berkunjung ke Puskesmas padaumumnya berusia rata-rata 20-35 tahun, karena padakelompok ini adalah usia masa subur sehingga amanuntuk hamil. Pendidikan ibu hamil di keduaPuskesmas rata-rata SLTA, hal ini menunjukkanpada umumnya yang berkunjung ke Puskesmasadalah ibu hamil dengan taraf pendidikan SekolahMenengah Atas (SMA). Tingginya tingkat pendidikanmaka makin tinggi tuntutan akan mutu pelayanan.Tingkat pendapatan bagi ibu hamil di keduaPuskesmas terdapat perbedaan yaitu PuskesmasMekarmukti ibu hamil yang berkunjung rata-ratamemiliki pendapatan Rp1 juta- Rp2 juta per bulanyaitu 50%, hal ini menggambarkan bahwa rata-rataibu hamil yang berkunjung ke PuskesmasMekarmukti adalah kriteria ekonomi menengah.

Petugas di Puskesmas Mekarmukti rata-rataberumur 31-40 tahun, sedangkan di PuskesmasCibarusah rata-rata berumur lebih dari 40 tahun.Pendidikan formal bagi petugas di kedua Puskesmashampir sama yaitu rata-rata berpendidikan D1. Lamatugas untuk kedua Puskesmas berbeda,Puskesmas Mekarmukti rata-rata bertugas 0-20tahun, sedangkan di Puskesmas Cibarusah 50%lama tugasnya lebih dari 20 tahun.

2. Perspektif Pendidikan dan PelatihanHasil penelitian ditemukan bahwa pendidikan/

pelatihan petugas (bidan) yang memberikanpelayanan antenatal di Ruang KIA PuskesmasMekarmukti lebih baik daripada PuskesmasCibarusah.

Kepatuhan petugas terhadap standar pelayananditentukan dengan efektivitas pendidikan yangditerimanya.12 Tingginya pengetahuan yang dimilikipetugas ditentukan oleh efektivitas pendidikan danpelatihan yang diselenggarakan oleh organisasi.10

Balanced scorecard tidak hanya menekankan padaoutput organisasi saja tetapi juga infrastrukturorganisasi itu sendiri yang terdiri dari orang, sistemdan prosedur.13

Tabel 9. Analisis Stratifikasi Hubungan Kepuasan Pasien TerhadapCakupan Antenatal Berdasarkan Strata Puskesmas

[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]

Cakupan Antenatal Puskesmas Kepuasan pasien

Tidak standar (%) Standar (%) Total (%)

² p PR (95%CI)

Kurang puas 24

(66,67) 12

(33,33) 36

(100,0) Mekarmukti Puas

2 (20,00)

8 (80,00)

10 (100,0)

6,935 0,008 8

(1,256-84,624

Kurang puas 11

(68,75) 5

(31,25) 16

(100,0) Cibarusah

Puas 16

(53,33) 14

(46,67) 30

(100,0)

1,023 0,312 1,925

(0,462-8,781

Total (%) 53

(57,61) 39

(42,39) 92

(100,0)

Tabel 8. Analisis Stratifikasi Hubungan Pendidikan/Pelatihan TerhadapCakupan Antenatal Berdasarkan Strata Puskesmas

[ (n) Tidak Standar = 53 Ibu Hamil I (n) Standar = 39 Ibu Hamil ]

Cakupan Antenatal Puskesmas Pendidikan dan

pelatihan Tidak standar(%) Standar (%) Total (%)

² p PR (95%CI)

D I 17 (73,91)

6 (26,09)

23 (100,0) Mekarmukti

D III 9

(39,13) 14

(60,87) 23

(100,0)

5,662 0,017 4,407

(1,082-18,789

D I 17

(73,91) 6

(26,09) 23

(100,0) Cibarusah

D III 10

(43,48) 13

(56,52) 23

(100,0)

4,394 0,036 3,683

(0,913-15,589

Total (%) 53 (57,61)

39 (42,39)

92 (100,0)

Page 17: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 127

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tujuan finansial, pelanggan dan proses internaldi balanced scorecard biasanya memperlihatkanadanya kesenjangan antara kapabilitas sumber dayamanusia, sistem dan prosedur untuk menghasilkankinerja yang baik.14 Untuk menutupi kesenjangan iniharus dilakukan pelatihan petugas, peningkatanteknologi dan informasi, serta peningkatan prosedurkegiatan rutin.

Pelatihan merupakan suatu keharusan bilaorganisasi menghendaki kinerja yang baik dari parapegawainya, kendati mengandung untung-rugipelatihan lebih banyak memberikan keuntungan.Pelatihan akan meningkatkan kepuasan customerdan meningkatkan pelatihan petugas.15

3. Perspektif Bisnis Intern Yaitu PelayananSesuai StandarHasil penilaian kepatuhan petugas terhadap

standar pelayanan antenatal di Ruang KIA padaumumnya lebih baik di Puskesmas Mekarmuktidaripada di Puskesmas Cibarusah16 mengungkapkanbahwa kepatuhan petugas terhadap standarpelayanan sangat dipengaruhi oleh kemampuanpetugas dalam melakukan kinerja didukung olehfasilitas dan peralatan, serta prosedur pelaksanaanpelayanan.

Sikap petugas di Ruang KIA lebih baikdibandingkan dengan Puskesmas Cibarusah, sikapyang baik dalam memberikan pelayanan kepadacustomer tidak ada pengaruhnya terhadap jumlahkunjungan pasien. Kepatuhan petugas dalammelakukan anamnesa pada pelayanan antenatalsecara statistik lebih baik di PuskesmasMekarmukti dibandingkan dengan PuskesmasCibarusah, kepatuhan petugas dalam melakukananamnesa akan dapat mengetahui atau tergalipermasalahan yang sedang dihadapi oleh ibu hamil,sehingga risiko atau komplikasi secara dini akandapat diketahui, hal ini didukung dengan hasilpenelitian17, bahwa wanita hamil yang tidakmelakukan perawatan kehamilan mempunyai risikoterjadinya abnormal 1,6 kali jauh lebih tinggi dibandingwanita yang melakukan pemeriksaan kehamilan.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwapelayanan antenatal standar 5T lebih baik diPuskesmas Mekarmukti dibandingkan denganPuskesmas Cibarusah. Standar pelayanan 5Tmerupakan indikator kualitas pelayanan antenatal,kualitas perawatan kehamilan tidak saja mencakupbanyaknya pemeriksaan kehamilan, namun jugakonseling dan pemeriksaan dengan cara pendekatanrisiko adalah penting untuk masyarakat, khususnyapada kehamilan risiko tinggi.17

4. Perspektif Customer (Kepuasan Pasien)Peningkatan kepuasan pasien dipengaruhi oleh

adanya salah satu mutu pelayanan antenatal yangsesuai standar, berdasarkan asumsi tersebut makaapakah Puskesmas yang memiliki cakupan tinggidisebabkan oleh kepuasan terhadap pelayanan yangdiberikan.

Dari hasil analisis terdapat perbedaan kepuasanpasien yang mendapatkan pelayanan di Ruang KIAPuskesmas Mekarmukti lebih baik dibandingkandengan Puskesmas Cibarusah. Perbandingankepuasan pasien terhadap pelayanan antenatalsesuai standar di Puskesmas Mekarmukti 8 kalilebih puas dibandingkan dengan kepuasan pelayananantenatal di Ruang KIA Puskesmas Cibarusah. Halini didukung oleh penelitian Ghufron dkk,18 bahwasebanyak 1,7 ibu hamil tidak mau memeriksakankehamilannya pada bidan yang terdekat karenaalasan bidan kurang memiliki kemampuan dalamadaptasi dengan budaya setempat dan kurangmampu dalam memberikan pelayanan danmendeteksi, merujuk secara medik, sehingga halini menimbulkan ketidakpuasan ibu untukmemanfaatkan bidan dalam perawatan kehamilan.

Kepuasan pasien tidak hanya berdasarkan padapenilaian terhadap keterampilan petugas, tetapiharus mencakup hubungan petugas dengan pasien,kenyamanan pelayanan dan kebebasan melakukanpilihan, kemampuan dan kompetensi teknis danefektivitas pelayanan dan keamanan tindakan.24

Berdasarkan observasi dan wawancara penelititerhadap pasien ditemukan waktu tunggu pasienuntuk mendapatkan pelayanan di Ruang KIA berkisarantara 2 - 15 menit. Hal ini mempengaruhiketidakpuasan pasien terhadap pelayanan.Pelanggan akan merasa puas jika mendapatkanpelayanan yang mereka butuhkan sesuai denganketepatan waktu, biaya, dan berkualitas pelayanan.14

Ibu hamil umumnya menghargai tenggang waktuyang singkat dan tepat waktu, serta jasa yangkonstan.

Salah satu aspek untuk mengukur prosespelayanan adalah responsiveness yaitu kesediaaanuntuk membantu ibu hamil dalam memberikanpelayanan yang cepat terhadap setiap pasien yangdilayani.20

5. Perspektif FinansialBerdasarkan hasil penelitian ini bahwa faktor

finansial atau keuangan tidak berpengaruh terhadapcakupan antenatal dan ditemukan tidak adaperbedaan besar dana yang digunakan dalampelayanan antenatal antara Puskesmas Mekarmuktidan Puskesmas Cibarusah, namun dalam hal

Page 18: jurnal kesmas

128 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Ernawati, dkk.: Evaluasi Kinerja Pelayanan Antenatal ...

pencapaian cakupan pelayanan antenatal terdapatkesenjangan antara kedua Puskesmas tersebut.

Banyak faktor yang mempengaruhi seperti yangdikemukakan oleh Lou, C, dan Solichin, M21 yangmenggunakan balanced scorecard untuk menilaikepuasan kerja, diketahui bahwa faktor financial tidakdapat berdiri sendiri, ia harus didukung dengan faktornon-financial.

Suatu tempat pelayanan kesehatan yang inginmenghasilkan tingkat kepuasan tinggi perlu memilikikekuatan financial dalam mengembangkan,memperbaharui, serta meningkatkan pelayanan.22

Pada peneli t ian ini kedua Puskesmasmemperoleh dana operasional yang sama akantetapi terdapat perbedaan kinerja. Hal ini disebabkankarena jumlah realisasi dana tidak sesuai denganusulan. Hal ini didukung oleh pendapat Azwar23 yangmenyatakan bahwa pembiayaan kesehatan harusmemenuhi persyaratan antara lain tersedia dalamjumlah yang cukup, penyebaran dana sesuaikebutuhan dan pemanfaatan tepat pada sasaran.

Dalam menilai kinerja organisasi, ukuran-ukurankeuangan saja dinilai kurang mewakili. Hal inidisebabkan karena ukuran-ukuran keuanganmemiliki beberapa kelemahan yaitu pendekatanfinansial bersifat historis, sehingga hanya mampumemberikan indikator dari kinerja manajemen dantidak mampu sepenuhnya menuntun organisasikearah yang lebih baik. Pengukuran lebih berorientasikepada manajemen operasional dan kurangmengarah kepada manajemen strategis.12

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat perbedaan pendidikan dan pelatihanantara Puskesmas cakupan tinggi (Mekarmukti)dengan Puskesmas cakupan rendah (Cibarusah),yaitu pendidikan dan pelatihan lebih baik padaPuskesmas Mekarmukti dari pada PuskesmasCibarusah. terdapat perbedaan kepuasan pasienantara Puskesmas cakupan tinggi (Mekarmukti)dengan Puskesmas cakupan rendah (Cibarusah)yaitu tingkat kepuasan pasien di PuskesmasMekarmukti lebih baik dibandingkan denganPuskesmas Cibarusah, serta tidak ada perbedaankepatuhan petugas terhadap standar pelayananantenatal antara Puskesmas Mekarmukti denganPuskesmas Cibarusah.

Anggaran atau dana operasional yangdigunakan untuk pelayanan KIA tidak terdapatperbedaan di kedua Puskesmas. Cakupan antenatalsecara umum dipengaruhi oleh tingkat kepuasanpasien, pendidikan dan pelatihan petugas dananggaran/dana operasional yang digunakan untuk

pelayanan antenatal, sehingga disarankan bagi DinasKesehatan Kabupaten Bekasi dapat melakukanevaluasi secara berkala terhadap kinerja Puskesmasmenggunakan balanced scorecard dan menyusunstandar pedoman penilaian kinerja. Puskesmasdapat melakukan evaluasi kinerjanya secara berkalamenggunakan standar pedoman penilaian kinerjadan balanced scorecard, sehingga dapatmeningkatkan cakupan pelayanan khususnyaantenatal yang berkualitas sesuai standar.

KEPUSTAKAAN1. World Health Organization, NHA Producers

Guide, WHO, Geneva, 2002, Avalaible on: http/www.who.int

2. Departemen Kesehatan R.I, LaporanPerkembangan Pencapaian Tujuan PembangunanMilenium Indonesia, 2003: 58-62. http://depkes.go.id/. Diakses pada 15 Maret 2006.

3. Villar J, Ba’aqeel H, Piaggio G, Lumbiganon,P, Belizan MJ, Farnot U, Almazrou, Carroli G,Pinol A, Donner A, Langer A, Nigenda G, MugfordM, FoxRushby J, Hutton G, Bergsjo P,Bakketeig L, Berendes H, “WHO Antenatal CareRandomised Trial for the Evaluation of A NewModel of Routine Antenatal Care”, The Lancet,2001:1551-64.

4. Departemen Kesehatan R.I, Modul Ajar SafeMotherhood, Jakarta. 1999.

5. Dasuki D, Hakimi M, Wilopo SA, Kurniawati L.Evaluasi Efektivitas Perawatan Kehamilan DiKabupaten Purworejo Jawa Tengah. BeritaKedokteran Masyarakat, 1997;XIII:16-20.

6. Abdurrauf. Evaluasi Kinerja Instalasi GawatDarurat RSU Banjar berdasarkan BalancedScorecard, Tesis, UGM, Yogyakarta.2000.

7. Departemen Kesehatan R.I, Modul Ajar SafeMotherhood, Jakarta. 1998.

8. Fort AL, & Voltero L. Factors Affecting thePerformance Health Care Provider in Armenia,Journal of Bio Med Central. 2004;2(8)June:1-11

9. Wijono Djoko, Manajemen Kepemimpinan danOrganisasi Kesehatan, Airlangga UniversityPress, Surabaya. 1997.

10. Mulyadi.Sistem Terpadu Pengelolaan KinerjaPersonel Berbasis Balanced Scorecard,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2000.

11. Departemen Kesehatan R.I, PedomanPelayanan Antenatal di Tingkat PelayananDasar, Jakarta. 1996.

12. Mulyadi. Balanced Scorecard: Alat ManajemenKontemporer untuk Pelipatgandaan KinerjaKeuangan Perusahaan. Salemba Empat,Jakarta.2001.

Page 19: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 129

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

13. Sasongko N. Balanced Scorecard Perspektifpembelajaran dan Pertumbuhan (Learning andGrowth Perspective). Workshop AkuntansiManajemen. Fakultas Ekonomi UniversitasJenderal Achmad Yani.2000.

14. Kaplan RS, dan Norton David P. TranslatingStrategy Into Action The Balanced Scorecard,Harvard Business School Press, Boston.1996b.

15. Mayer T, A. Cates RJ, Mastorovich, M. J., andRoyalty, D.L. Emergency Departement PasientSatisfaction Cutomer Service Training ImprovesPatient Statisfaction and Ratings of Physicianand Nurce Skill, Journal of Health CareManagement,1998;43(5): 427 – 40.

16. Katz JM, Green E. Managing Quality a Qualitya to System WIDE Performance Managementin Health Care. Mosby Year Book, SecondEdition, St Louis Missouri.1997.

17. Dasuki D, Hakimi M, Wilopo SA, Kurniawati L.Evaluasi Efektifitas Perawatan Kehamilan DiKabupaten Purworejo Jawa Tengah. BeritaKedokteran Masyarakat, 1997;XIII:16-20.

18. Ghufron A, Wahab A, Hakimi M. PemanfaatanPelayanan Bidan Desa Dalam PemeriksaanKehamilan di Kabupaten Purworejo. CHNRLFaculty of Medicine, Gadjah Mada University,Yogyakarta. 1997.

19. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan,Edisi Ketiga. Bina Putra, Jakarta.1996.

20. Parasuraman A . Customer Service In Businessto Business Market; An Agenda For Research,University of Miami, Florida USA, Journal ofBusness dan Industrial Marketing,1998;13 (4/5):309-21.

21. Lau C, Solichin M. Measurement Financial, NonFinansial Perspektif.2005.

22. Nelson EC, Rust Roland T, Zahorik Antoni, RosiRobin L, Batalden Paul, and Siemanski BethAnn. Do Patient Perceptions Of Quality Relateto Hospitel Financial Performance, Journal ofHealth Care Marketing,1992; 12 (4): 6-13.

23. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan,Edisi Ketiga. Bina Putra, Jakarta.1996.

Page 20: jurnal kesmas

130 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...

KINERJA PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN

KESEHATAN KERJA PERUSAHAAN PESERTA PROGRAM JAMINAN

KECELAKAAN KERJA PADA PT JAMSOSTEK CABANG MEDAN

THE IMPLEMENTATION PERFORMANCE OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY

MANAGEMENT SYSTEM IN REGISTERED ENTERPRISES ON THE EMPLOYMENT ACCIDENT

BENEFIT PROGRAMIN PT JAMSOSTEK BRANCH MEDAN

Gerry Silaban1, Soebijanto2, Adi Heru Soetomo2,

Lientje Setyawati Maurits2, Suma’mur, P.K.3

1Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja,

FKM Universitas Sumatera Utara, Sumatera2Fakultas Kedokteran, UGM, Yogyakarta

3Masyarakat Peduli Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja Indonesia

ABSTRACTBackground: The high number of industrial accident is caused

by management dysfunction in term of occupational health

and safety. The implementation of occupational health and

management system (OHSMS) established by the Regulation

of The Minister of Manpower No. 05/1996, is a government

policy that has to be implemented by the enterprises in the

attempt to decrease industrial accident rate. The performance

of OHSMS implementation is assessed by OHSMS audit to

gather objective evidence from strength and weakness in the

implementation of occupational health and safety in work places.

Method: The type of this research is survey research.

Research sample was established based on the manpower

number criteria of at least 100 people in each enterprise. The

performance of OHSMS implementation based on 12 OHSMS

audit elements was known to be correlated with 5 OHSMS

implementation principles. One factor repeated observation

variance analysis was used to test the performance difference

of 12 OHSMS audit items and 5 OHSMS implementation principles.

Result: A number of 53 (96.36%) enterprises fulfilled 0-60%

criteria and 2 enterprises (3.64%) fulfilled 60-84% criteria from

166 OHSMS audit criteria. The mean criteria fulfillment number

(percentage) was highest achieved (scored 4) in 5th element

(purchasing) that is 4 out from 7 criteria (57.14%) in 5th element.

Mean score of 5th element was reached with the highest

percentage (74.87% from 5th element maximum score). F-test

result showed a significant difference (p < 0.01) in 12 OHSMS

audit elements performance and t-test showed variety between

each performance in 12 OHSMS audit elements. Mean criteria

fulfillment number (percentage) was highest achieved (scored

4) in 3rd principle that is 20 out of 67 criteria (29.85%) of 3rd

principle. Principle 3 means score was reached with the highest

percentage (55.40% from 3rd principle maximum score). F-test

result showed a significant difference (p < 0.01) in 5 principles

of OHSMS implementation performance and t-test resulted in

variety between each principle performance in 5 principles of

OHSMS implementation.

Conclusion: Management should have a commitment and

involve all workers in enhancing OHSMS implementation

performance to reduce industrial accident rate which lead to

productivity and work quality improvement.

Keywords: industrial accident, registered enterprises in the

employment accident benefit program, the implementation

performance of occupational health and management system

ABSTRAKLatar belakang: Tingginya angka kecelakaan kerja

disebabkan disfungsi manajemen terhadap keselamatan dan

kesehatan kerja. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan

dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang ditetapkan melalui

Permenaker (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) No. 05/1996

merupakan kebijakan pemerintah wajib dilaksanakan oleh

perusahaan dalam upaya menurunkan angka kecelakaan kerja.

Kinerja penerapan SMK3 dinilai melalui audit SMK3 untuk

memperoleh bukti objektif dari kekuatan atau kelemahan dalam

pelaksanaan K3 di tempat kerja.

Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian survei. Sampel

penelitian ditetapkan berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja

= 100 orang tiap perusahaan. Kinerja penerapan SMK3

diketahui berdasarkan 12 unsur audit SMK3 yang berhubungan

dengan lima prinsip penerapan SMK3. Analisis variansi amatan

ulangan 1-faktor digunakan untuk menguji perbedaan kinerja

12 unsur audit SMK3 dan lima prinsip penerapan SMK3.

Hasil: Sebanyak 53 (96,36%) perusahaan yang memenuhi

kriteria 0% - 60% dan 2 (3,64%) perusahaan yang memenuhi

kriteria 60% - 84% dari 166 kriteria audit SMK3. Ada perbedaan

kinerja 12 unsur audit SMK3, kinerja unsur 5 (pembelian) dicapai

dengan persentase tertinggi. Ada perbedaan kinerja 5 prinsip

penerapan SMK3, kinerja prinsip 3 (menerapkan kebijakan K3)

dicapai dengan persentase tertinggi.

Kesimpulan: Manajemen harus mempunyai komitmen dan

melibatkan seluruh tenaga kerja dalam memperbaiki kinerja

penerapan SMK3 untuk menurunkan angka kecelakaan kerja

yang bermuara pada peningkatan produktivitas kerja.

Kata kunci: kecelakaan kerja, perusahaan peserta program

jaminan kecelakaan kerja,kinerja penerapan sistem manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja

PENGANTAR

Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

sebagai satu dari empat Program dari PT. Jamsostek

yang kepesertaannya terbagi atas kelompok jenis

usaha I, II, III, IV, dan V sesuai dengan tingkat risiko

pekerjaan.

Kepesertaan perusahaan dalam Program JKK

hanya sebatas pengalihan risiko (risk transfer),

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 130 - 139

Artikel Penelitian

Page 21: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 131

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

bukan pengurangan risiko (risk reduction)

kecelakaan kerja. Perlindungan tenaga kerja harus

dibarengi dengan pengurangan risiko kecelakaan

kerja di tempat kerja melalui penerapan SMK3. Pada

Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja

(Permenaker) No. 05/1996 tentang Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(SMK3) dinyatakan bahwa “Setiap perusahaan yang

mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang

atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang

ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan

produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan

kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran,

dan pencemaran wajib menerapkan SMK3”.

Kebijakan ini dipertegas kembali pada Pasal 87 Ayat

1 Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang

Ketenagakerjaan bahwa “Setiap perusahaan wajib

menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem

manajemen perusahaan”.

Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari proses produksi yang bertujuan

meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta

berperan dalam upaya perlindungan investasi.1

Penerapan SMK3 pada tingkat perusahaan

berdampak positif yaitu mengurangi risiko bahaya di

tempat kerja dan meningkatkan produktivitas kerja.

Quinn2 salah seorang pakar dari ILO menyatakan

bahwa meningkatnya penggunaan fasilitas kerja dan

angka kecelakaan kerja merupakan salah satu

alasan pentingnya penerapan SMK3. Penerapan

SMK3 bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab

dan potensi kecelakaan kerja sebagai acuan dalam

melakukan tindakan mengurangi risiko.3 Selain itu,

penerapan SMK3 membantu pimpinan perusahaan

agar mampu melaksanakan standar K3 yang

merupakan tuntutan masyarakat nasional dan

internasional.1

Angka kecelakaan kerja perusahaan peserta

Program JKK pada PT Jamsostek Cabang Medan

masih tinggi walaupun terlihat cenderung menurun

selama kurun waktu 3 tahun, yaitu tahun 2003

sebanyak 3.250 kasus; tahun 2004 sebanyak 2.958

kasus; dan tahun 2005 sebanyak 1.759 kasus. Angka

kecelakaan kerja pada kelompok jenis usaha I, II, III,

IV, dan V pada tahun 2005 masing masing sebanyak

536 kasus, 331 kasus, 564 kasus, 118 kasus, dan

207 kasus.4 Ruang lingkup penelitian difokuskan pada

perusahaan kelompok jenis usaha III dengan jumlah

kecelakaan kerja terbanyak yaitu 564 kasus

(32,06%) dari 1.759 kasus.

Angka kecelakaan kerja yang masih tinggi tidak

terlepas dari masalah pengelolaan K3 melalui

penerapan SMK3 antara lain tidak ada atau

rendahnya komitmen manajemen dan tenaga kerja

terhadap pelaksanaan keselamatan dan kesehatan

kerja (K3), latar belakang pendidikan tenaga kerja

relatif masih rendah yang berkorelasi dengan

kesadaran dan pemahaman terhadap K3, tenaga

kerja belum ditempatkan sebagai mitra usaha,

masalah kecelakaan kerja masih dilihat dari aspek

ekonomi dan belum dilihat dari aspek moral dan hak

azasi manusia, alokasi anggaran K3 perusahaan

relatif kecil, supervisi K3 dan pelaksanaan K3 masih

parsial (tidak komprehensif), jenis standar K3

berbeda, kemampuan pemerintah dalam pembinaan

dan penegakan hukum yang lemah.5,6 Angka

kecelakaan kerja akan terus meningkat bila program

K3 dalam SMK3 tidak berjalan sesuai dengan

rencana.7 Pencegahan kecelakaan kerja merupakan

tanggung jawab utama manajemen.8

Kecelakaan kerja sering terjadi disebabkan

kegagalan dalam penerapan SMK3. Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(SMK3) akan berfungsi lebih baik apabila

perusahaan telah mengembangkan budaya K3 yang

disertai dengan perilaku yang aman dari tenaga kerja

agar tercapai pemenuhan terhadap peraturan dan

prosedur K3.9 Apabila pengusaha dan pekerja terus

membudayakan K3 melalui penerapan SMK3 akan

memberi pengaruh besar terhadap stabilitas usaha.10

Dilaksanakan tidaknya penerapan SMK3

diindikasikan dari kinerja penerapan SMK3

berdasarkan hasil audit terhadap 12 unsur audit

SMK3 yang terkait dengan pelaksanaan 5 prinsip

penerapan SMK3. Selain itu, audit SMK3 menilai

efektivitas penerapan SMK3, membuktikan kekuatan

dan memperbaiki kelemahan sistem yang berjalan,

sehingga tercapai tujuan.10

Berdasarkan masalah tersebut di atas, tujuan

penelitian ini adalah untuk mengkaji perbedaan

kinerja 12 unsur audit SMK3 dan perbedaan kinerja

lima prinsip penerapan SMK3.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Data kecelakaan kerja dikumpulkan melalui

Formulir Jamsostek 3 Bentuk K.K. 3 (Laporan

Kecelakaan Tahap I) dari seluruh perusahaan

kelompok jenis usaha III peserta Program JKK pada

PT Jamsostek Cabang Medan yang tenaga kerjanya

mengalami kecelakaan kerja selama kurun waktu 1

tahun (1 Januari - 31 Desember 2005). Kemudian

dari seluruh perusahaan tersebut ditetapkan sampel

penelitian berdasarkan kriteria jumlah tenaga tenaga

kerja = 100 orang (purposive sample) ada sebanyak

55 perusahaan.

Page 22: jurnal kesmas

132 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...

Dalam penerapan SMK3, perusahaan wajib

melaksanakan 5 prinsip penerapan SMK3 yang

berlandaskan pada prinsip manajemen yaitu Plan,

Do, Check, Improvement (PDCI). Alat ukur kinerja

penerapan SMK3 digunakan daftar periksa (check

list) audit SMK3 yang ditetapkan pada Lampiran II

Permenaker RI No. 05/1996 tentang Pedoman Teknis

Audit SMK3. Daftar periksa audit SMK3 terdiri dari

166 kriteria. Tiap kriteria ditetapkan empat pilihan

yaitu SS (Sangat Sesuai), SE (Sesuai), TS (Tidak

Sesuai), dan ST (Sangat Tidak Sesuai) dengan skor

masing-masing 4, 3, 2, dan 1.

Audit SMK3 meliputi 12 unsur yang ditujukan

untuk menemukan fakta (fact finding) daripada

pelaksanaan 5 prinsip penerapan SMK3. Unsur 1

(28 kriteria) berhubungan dengan prinsip 1. Unsur 2

(10 kriteria) dan unsur 3 (8 kriteria) berhubungan dengan

prinsip 2. Unsur 4 (7 kriteria), unsur 5 (7 kriteria), unsur

6(40 kriteria), dan unsur 9 (13 kriteria) berhubungan

dengan prinsip 3. Unsur 7 (15 kriteria), unsur 10

(7 kriteria) dan unsur 11 (4 kriteria) berhubungan

dengan prinsip 4. Unsur 8 (11 kriteria) dan unsur 12

(16 kriteria) berhubungan dengan prinsip 5.

Pelaksanaan audit SMK3 dilakukan di tiap

perusahaan sampel penelitian yang diawali

mengadakan pertemuan dengan manajemen untuk

memberikan penjelasan tentang tujuan, ruang

lingkup, dan proses audit SMK3. Kemudian

melakukan pemeriksaan dokumen yang diaudit

untuk verifikasi semua informasi yang diperoleh dari

manajemen dan memastikan apakah program K3

diterapkan atau tidak yang meliputi manual SMK3

(mencakup kebijakan K3 perusahaan, struktur

organisasi perusahaan, profil perusahaan, struktur

P2K3, tujuan dan sasaran K3, diskripsi pekerjaan);

prosedur identifikasi bahaya, penilaian dan

pengendalian risiko (mencakup catatan hasil

identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko

yang telah dilakukan); program kerja (termasuk

program kerja yang berkaitan pengendalian risiko

hasil aktivitas penilaian risiko); pengendalian

dokumen; pengendalian catatan; prosedur audit

internal; prosedur identifikasi dan pemenuhan

peraturan perundangan (termasuk daftar pemenuhan

peraturan perundangan bidang K3); prosedur

komunikasi dan konsultasi; prosedur insiden,

kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, investigasi,

dan tindakan pencegahan (mencakup pelaporan

sumber bahaya, hampir celaka, kecelakaan kerja,

dan penyakit akibat kerja); prosedur operasional

(mencakup izin kerja, pembelian, desain, seleksi dan

evaluasi vendor, pelatihan, perawatan, rekrutmen,

penanganan bahan berbahaya dan beracun);

prosedur tanggap darurat; prosedur pemantauan dan

pengukuran (mencakup inspeksi, pemantauan

kesehatan, dan pemantauan lingkungan kerja);

prosedur rapat tinjauan manajemen. Setelah itu,

melakukan verifikasi kondisi di lapangan melalui

observasi dan pada saat yang bersamaan melakukan

wawancara dengan tenaga kerja untuk mendapatkan

masukan apakah program K3 benar-benar ada

secara formal dan konsisten dilaksanakan.

Setelah melakukan verifikasi melalui

pemeriksaan dokumen, inspeksi, observasi, dan

wawancara dengan tenaga kerja, tiap kriteria audit

SMK3 dinilai dengan membuat tanda “√” pada kolom

pilihan tiap kriteria dalam daftar periksa audit SMK3.

Skor kriteria tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3

dan skor kriteria tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan

SMK3 dijumlahkan. Data dianalisis untuk

membuktikan hipotesis menggunakan uji anova

amatan ulangan 1-Faktor dengan bantuan Program

SPS-2005.11

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Sampel Penelitian Perusahaan

Kelompok Jenis Usaha III

Perusahaan kelompok jenis usaha III umumnya

bergerak dalam industri pengolahan untuk bahan

baku, produk setengah jadi, dan produk jadi dengan

jenis dan sifat pekerjaan serta kondisi lingkungan

kerja yang mempunyai risiko kecelakaan kerja yang

tinggi seperti peleburan logam, perusahaan

penggergajian kayu, pabrik keperluan kaki,

penggilingan (remiling) karet, pabrik kimia lainnya

(lilin, obat nyamuk bakar dan cair), pabrik barang-

barang dari logam, dan pabrik plastik.

Jumlah kecelakaan kerja terbanyak (87 kasus)

pada pabrik kimia lainnya (peleburan logam) dan

tersedikit (1 kasus) pada berbagai jenis usaha seperti

percetakan, pabrik minuman, industri-industri lain,

rumah makan dan minuman, industri minyak kelapa

sawit, pabrik barang-barang dari logam, penggilingan

(remilling) karet, perusahaan air, pabrik minuman dari

alkohol, pabrik keperluan kaki, pabrik kimia lainnya,

penggergajian kayu, dan hotel.

Tingkat Pemenuhan Kriteria Audit SMK3

Berdasarkan hasil audit SMK3 diperoleh jumlah

skor 12 unsur audit SMK3 tertinggi pada pabrik

minuman sebesar 602, terendah pada industri

peleburan logam sebesar 193, dengan rerata sebesar

304 atau 45,78% dari 664 (jumlah skor audit SMK3).

Pencapaian rerata ini belum menunjukkan kategori

jumlah skor yang memenuhi persyaratan dalam

pemenuhan penerapan SMK3. Agar kewajiban

penerapan SMK3 minimal dapat dipenuhi, setiap

perusahaan sekurang-kurangnya harus memperoleh

Page 23: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 133

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

jumlah skor sebesar 400 - 560 atau memenuhi 100

- 140 kriteria dari 166 kriteria dengan asumsi tiap

kriteria memperoleh skor 4. Jumlah skor ini dapat

ditingkatkan lagi apabila manajemen melakukan

perbaikan (peningkatan) dalam penerapan SMK3

hingga mencapai jumlah skor sebesar 564 - 664 dan

pada akhirnya dapat dipertahankan serta

berkelanjutan. Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (SMK3) telah terbukti sebagai

faktor yang dapat mengurangi jumlah dan keparahan

kecelakaan kerja yang pada akhirnya mengurangi

jumlah jaminan kecelakaan kerja (biaya kompensasi

kecelakaan kerja).12

Jumlah (persentase) pemenuhan kriteria

(memperoleh skor 4) audit SMK3 tertinggi yaitu

sebanyak 127 kriteria (76,51% dari 166 kriteria) pada

pabrik minuman, terendah sebanyak 6 kriteria (3,61%

dari 166 kriteria) pada pabrik peleburan logam, dan

rerata jumlah (persentase) pemenuhan kriteria

sebanyak 32 kriteria (19,04% dari 166 kriteria).

Terdapat hanya 2 (3,64%) perusahaan yang

mencapai pemenuhan kriteria 60% - 84% dari 166

kriteria audit SMK3, sedangkan 53 (96,36%)

perusahaan mencapai pemenuhan kriteria 0% - 60%

dari 166 kriteria audit SMK3.

Tingkat pencapaian tersebut di atas

menunjukkan bahwa penerapan SMK3 belum

menyeluruh. Hasil penelitian lain juga menunjukkan

hal yang sama yaitu tingkat pencapaian penerapan

SMK3 sebesar 70,24% pada 20 perusahaan

subsektor industri pengolahan13, penerapan SMK3

pada industri garment tidak sepenuhnya berjalan

dengan baik disebabkan oleh faktor ekonomi,

pendidikan, dan perilaku pekerja14, komitmen direktur

rumah sakit terhadap K3 masih rendah, organisasi

dan pelaksanaan K3 belum menyeluruh tiap unit kerja

sehingga perlu penerapan SMK315, tingkat

pelaksanaan penerapan SMK3 dicapai sebesar

70,74% pada industri tekstil.16

Tingkat pencapaian lebih tinggi pada

perusahaan yang telah menerapkan SMK3

sebagaimana hasil audit SMK3 terhadap 100

perusahaan pada tahun 2004 yang dilaporkan oleh

PT Sucofindo (badan audit SMK3 yang ditunjuk oleh

pemerintah) menunjukkan bahwa sebanyak 92

perusahaan (92,00%) dengan tingkat pencapaian

penerapan SMK3 85% - 100% dari 166 kriteria audit

SMK3, dan 8 perusahaan (8,00%) dengan tingkat

pencapaian penerapan SMK3 60% - 84% dari 166

kriteria audit SMK3.17 Perusahaan dengan tingkat

pencapaian penerapan SMK3 yang rendah tidak

menguntungkan dalam waktu jangka panjang, kinerja

penerapan SMK3 rendah, tidak mampu

berkompetisi, dan penerapan SMK3 tidak dapat

berkelanjutan.18 Kualitas pelaksanaan K3 yang

rendah disebabkan kurangnya pemenuhan terhadap

peraturan perundangan K3 dari pimpinan perusahaan

dan kurang menyebarnya personel yang

berkompeten di bidang K3 untuk memberikan

pengetahuan tentang peraturan perundangan K3.19

Perbedaan Kinerja 12 Unsur Audit SMK3

Rerata jumlah (persentase) perusahaan yang

memenuhi kriteria (memperoleh skor 4) untuk tiap

unsur dari 12 unsur audit SMK3 yaitu sebanyak 4

perusahaan (7,27%) untuk unsur 1, 3 perusahaan

(5,46%) untuk unsur 2, 7 perusahaan (12,73%) untuk

unsur 3, 9 perusahaan (16,36%) untuk unsur 4, 31

perusahaan (56,36%) untuk unsur 5, 17 perusahaan

(30,91%) untuk unsur 6, 11 perusahaan (20,00%)

untuk unsur 7, 12 perusahaan (21,82%) untuk unsur

8, 11 perusahaan (20,00%) untuk unsur 9,

1 perusahaan (1,82%) untuk unsur 10, 1 perusahaan

(1,82%) untuk unsur 11, dan 7 perusahaan (12,74%)

untuk unsur 12. Terlihat bahwa tidak ada satu unsur

yang dipenuhi oleh seluruh perusahaan. Kriteria unsur

5 (pembelian) terbanyak dipenuhi perusahaan, sama

halnya dengan hasil audit PT Sucofindo tahun 2001

- 2003 juga diperoleh rerata jumlah (persentase)

perusahaan terbanyak memenuhi unsur 5

(pembelian) yaitu 56 (%) dari 74 perusahaan.5

Manajemen perusahaan lebih memprioritaskan unsur

5 (pembelian) mengingat kaitannya dengan kegiatan

usaha produksi yang meliputi ketelitian terhadap

pembelian sarana produksi (mesin, alat,

perlengkapan, instalasi, dan bahan-bahan baku)

sesuai dengan spesifikasinya, melakukan

pemeriksaan terhadap barang atau jasa yang telah

dibeli, dan kontrol barang atau jasa yang dipasok

pelanggan melalui kegiatan identifikasi potensi

bahaya dan menilai risikonya dalam rangka menjaga

(mempertahankan) kualitas produk/jasa yang

dihasilkan.

Pemenuhan kriteria unsur 5 (pembelian)

termasuk kegiatan pengendalian risiko.

Pengendalian risiko merupakan pendekatan utama

yang digunakan dalam manajemen risiko seperti

substitusi bahan yang berbahaya dengan tidak

berbahaya, pembelian peralatan dan rancangan

teknik dari proses produksi yang tidak menimbulkan

bahaya.20 Manajemen risiko yang efektif merupakan

strategi inti dari SMK3 yang mencakup identifikasi

bahaya, mengukur dan mengendalikan risiko,

mengevaluasi dan melakukan tinjauan ulang

tindakan pengendalian risiko untuk meyakinkan

bahwa SMK3 dilaksanakan dan dipertahankan.

Page 24: jurnal kesmas

134 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...

Manajemen risiko yang efektif membutuhkan

tanggung jawab yang telah ditetapkan, kompetensi,

dan sumber daya untuk menentukan dan

melaksanakan tindakan pencegahan yang

disyaratkan, melibatkan tenaga kerja secara aktif,

prosedur pengendalian risiko didokumetasikan dan

dapat digunakan.21

Pencapaian jumlah skor tiap unsur audit SMK3

menunjukkan kinerja tiap unsur audit SMK3. Kinerja

penerapan SMK3 dikatakan baik apabila jumlah skor

tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3 dicapai dengan

skor maksimum. Pada Tabel 1 tertera rerata jumlah

(persentase) skor unsur 5 dicapai tertinggi yaitu

sebesar 20,96 (74,86% dari skor maksimum unsur

5), kemudian diikuti berurut hingga terendah yaitu

rerata jumlah (persentase) skor unsur 6,unsur 7,

unsur 8, unsur 4, unsur 9, unsur 10, unsur 12, unsur

3, unsur 2, unsur 1, dan unsur 11.

Hasil uji F diperoleh bahwa ada perbedaan

sangat signifikan (p< 0,01) kinerja 12 unsur audit

SMK3 dan uji-t diperoleh perbedaan antar kinerja

tiap unsur dari12 unsur audit SMK3. Perbedaan

antarkinerja tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3

menunjukkan keragaman dalam pemenuhan kriteria

tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3, sehingga secara

keseluruhan ada perbedaan kinerja 12 unsur audit

SMK3.

Perbedaan kinerja 12 unsur audit SMK3

memberikan gambaran yang jelas dan lengkap

tentang status mutu pelaksanaan penerapan SMK3

yang menjadi masukan bagi manajemen agar dapat

dilakukan perbaikan (pemenuhan) terhadap kriteria

tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3 sehingga insiden

atau kecelakaan kerja yang menimbulkan kerugian

dapat dikurangi dan tidak terjadi gangguan

produksi.Pemenuhan kriteria tiap unsur audit SMK3

dapat meningkatkan kinerja K3 melalui manajemen

K3 yang sistematis.21 Komitmen manajemen

terhadap K3 harus disertai dengan kepemimpinan

yang mampu menciptakan iklim yang aman di tempat

kerja.22

Hal yang dapat dilakukan di tempat kerja untuk

meningkatkan kinerja K3 dan bebas dari gangguan

produksi yaitu: pekerja dan supervisor harus

mengetahui dan menyadari akan bahaya dan potensi

bahaya; pekerja berperilaku aman; pekerja mampu

melakukan pekerjaan dengan aman; lingkungan kerja

harus dibuat aman dan sehat melalui pengendalian

teknis atau administratif, substitusi atau mengurangi

bahan atau kondisi yang berbahaya, atau memakai

alat pelindung diri; peralatan, mesin dan bahan-bahan

harus berfungsi dengan aman bila digunakan;

ketentuan tentang tanggap darurat harus dibuat

untuk mencegah timbulnya kecelakaan kerja.23 Di

samping itu, keterlibatan manajer puncak terhadap

K3 sangat penting dalam menyusun finansial, tenaga

profesional, membuat kebijakan dan program K3,

dan keterlibatan tenaga kerja sangat diperlukan

dalam pelaksanaan K3.24 Tenaga kerja yang

berorientasi pada K3 melalui perilaku aman bekerja

merupakan suatu faktor positif terhadap kinerja K3

dalam rangka mengurangi angka kecelakaan kerja

perusahaan.25 Pendidikan K3 dan kemampuan

personal tenaga kerja tidak cukup untuk membuat

aman bekerja, untuk itu manajemen hendaknya terus-

menerus memotivasi perilaku tenaga kerja agar

kecelakaan kerja dapat dihindari.26

Perbedaan Kinerja 5 Prinsip Penerapan SMK3

Rerata jumlah (persentase) pemenuhan kriteria

(memenuhi skor 4) dicapai tertinggi pada prinsip 3

yaitu 20 kriteria (29,85%) dari 67 kriteria prinsip 3,

kemudian diikuti berurut hingga terendah masing-

masing rerata jumlah (persentase) pemenuhan

kriteria prinsip 4 sebanyak 4 (15,38%) dari 26 kriteria

prinsip 4, prinsip 5 sebanyak 4 kriteria (14,81%) dari

27 kriteria prinsip 5, prinsip 1 sebanyak 2 kriteria

(7,14%) dari 28 kriteria prinsip 1, dan prinsip 2

sebanyak 1 kriteria (5,56%) dari 18 kriteria prinsip 2.

Kinerja penerapan SMK3 dikatakan baik

apabila kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan

SMK3 dicapai jumlah skor (persentase) tertinggi dari

12 Unsur Audit SMK3 Rerata Skor Skor Maksimum %

Unsur 1 38,38 112 34,27% Unsur 2 (s an)trategi pendokumentasi 13,86 40 34,65%

Unsur 3 (peninjauan ulang disain dan kontrak) 11,47 32 35,84% Unsur 4 (pengendalian dokumen) 12,51 28 44,68% Unsur 5 (pembelian) 20,96 28 74,86% Unsur 6 (keamanan bekerja berdasarkan SMK3) 92,18 160 57,61% Unsur 7 (standar pemantauan) 28,56 60 47,60% Unsur 8 (pelaporan dan perbaikan kekurangan) 20,27 44 46,07%

Unsur 9 (pengelolaan material dan pemindahannya) 22,82 52 43,88% Unsur 10 (pengumpulan dan penggunaan data) 11,84 28 42,29% Unsur 11 (audit SMK3) 4,22 16 26,38% Unsur 12 (pengembangan keterampilan dan kemampuan) 27,06 64 42,28%

(pembangunan dan pemeliharaan komitmen)

Tabel 1. Rerata Jumlah (Persentase) Skor Tiap Unsur dari 12 Unsur Audit SMK3

Page 25: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 135

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

skor maksimum. Pada Tabel 2 tertera rerata jumlah

(persentase) skor prinsip 3 dicapai tertinggi yaitu

148,47 (55,40% dari skor maksimum), kemudian

diikuti berurut hingga terendah yaitu rerata jumlah

skor (persentase) prinsip 5, prinsip 4, prinsip 2, dan

prinsip 1. Pencapaian jumlah skor tertinggi pada

prinsip 3 juga diperoleh pada penelitian Widiastuti

tentang fungsi manajemen keselamatan dan

kesehatan kerja pada salah satu pabrik gula di Jawa

Timur diperoleh bahwa skor penerapan fungsi

perencanaan (prinsip 1) sebesar 46,62%, skor

penerapan fungsi pengorganisasian (prinsip 2)

sebesar 10%, skor penerapan fungsi penggerakan

(prinsip 3) sebesar 55,17% (tertinggi), skor penerapan

fungsi pengendalian (prinsip 4) sebesar 51,8%, dan

skor penerapan fungsi evaluasi (prinsip 5) sebesar

0%.27

Hasil uji F diperoleh ada perbedaan sangat

signifikan (p < 0,01) kinerja 5 prinsip penerapan

SMK3 dan uji-t diperoleh perbedaan antar kinerja

tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan SMK3.

Perbedaan antar kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip

penerapan SMK3 menunjukkan keragaman dalam

pelaksanaan tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan

SMK3, sehingga secara keseluruhan ada perbedaan

kinerja 5 prinsip penerapan SMK3. Penerapan SMK3

masih bersifat slogan dan belum membudaya di

tengah masyarakat dan masih dipandang dalam

lingkup sempit (terbatas dalam lingkup kerja) belum

menjadi bagian integral dari bisnis.28

Bila pelaksanaan penerapan SMK3 secara

bersiklus, kontinu, dan berkelanjutan, maka diperoleh

jumlah (persentase) skor maksimum untuk tiap

prinsip dari 5 prinsip penerapan SMK3, sehingga

tidak terdapat keragaman dalam pelaksanaan 5

prinsip penerapan SMK3. Kinerja 5 prinsip penerapan

SMK3 ditentukan oleh kemauan dan keterlibatan

seluruh jajaran dalam manajemen dan tenaga kerja

serta keikutsertaan Komite K3 (P2K3) dalam

pelaksanaan K3 yang berdampak terhadap angka

kecelakaan kerja dan klaim kecelakaan kerja.24 Kunci

agar bekerja aman dan lingkungan kerja sehat

adalah dengan penerapan SMK3 secara

komprehensif.29

Penerapan SMK3 diawali dengan adanya

pernyataan kebijakan manajemen untuk

menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman,

serta membuat mekanisme dan struktur organisasi

dengan prinsip penerapan SMK3 yang efektif.

Manajemen harus mempunyai komitmen untuk

menyediakan sumber daya yang diperlukan yaitu

tenaga kerja dan finansial dalam rangka mendukung

mekanisme dan struktur organisasi dari penerapan

SMK3. Selain itu, harus ada perencanaan K3 yang

terperinci dan berisi penjelasan dari tujuan K3 dan

terukur. Kinerja penerapan SMK3 merupakan

indikator yang dapat diukur melalui audit SMK3

untuk meyakinkan keberhasilan penerapan SMK3

dan dapat dibandingkan dengan sebelumnya.30

Risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat

kerja K3 harus dikendalikan. Pengendalian risiko

yang efektif hanya dapat dilakukan melalui

penerapan SMK3. Kekuatan dan keberhasilan setiap

perusahaan terletak pada tata kelola yang efektif

terhadap produktivitas, kualitas produk, keselamatan,

kesehatan dan lingkungan kerja, di samping

pemasaran dan finansial. Komitmen perusahaan

terhadap K3 harus ditunjukkan dengan kinerja K3

yang baik.31

Enam alasan utama pencegahan kecelakaan

kerja dan penyakit akibat kerja melalui pelaksanaan

K3 dalam suatu sistem yaitu:32

1. Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja

dapat menghancurkan masa depan tenaga kerja

yang secara moral tidak dibenarkan.

2. Pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit

akibat kerja merupakan tanggung jawab

pengusaha bersama tenaga kerja.

3. Kecelakaan kerja menurunkan efisiensi usaha

dan produktivitas kerja.

4. Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja

menimbulkan kerawanan sosial.

5. Teknik keselamatan kerja ditujukan untuk

menurunkan angka kecelakaan kerja (accident

rate) dan angka keparahan kecelakaan kerja

(severity rate).

6. Adanya tuntutan dari pemerintah untuk

menyediakan tempat kerja yang sehat dan

aman.

Pengusaha atau manajemen puncak (top

management) harus bertanggung jawab terhadap

rendahnya kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip

5 Prinsip Penerapan SMK3 Rerata Skor Skor Maksimum %

Prinsip 1 (menetapkan kebijakan K3 dan komitmen menerapkan SMK3) 38,38 112 34,27% Prinsip 2 (merencanakan penerapan K3) 25,33 72 35,18% Prinsip 3 (menerapkan kebijakan K3) 148,47 268 55,40% Prinsip 4 (mengukur, memantau, dan mengevaluasi kinerja K3) 44,62 104 42,90% Prinsip 5 (meninjau ulang dan meningkatkan pelaksanaan SMK3) 47,33 108 43,82%

Tabel 2. Rerata (Persentase) Skor Tiap Prinsip dari 5 Prinsip Penerapan SMK3

Page 26: jurnal kesmas

136 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...

penerapan SMK3 dan menyikapinya dengan

paradigma revitalisasi pelaksanaan penerapan

SMK3. Titik awal (starting point) pelaksanaan

penerapan SMK3 sebaiknya dilakukan sosialisasi

SMK3 di tingkat perusahaan bagi seluruh komponen

(pengusaha, manajemen, dan tenaga kerja) yang

terlibat dalam aktivitas di tempat kerja. Bila

komponen tersebut telah memiliki pengetahuan dan

pemahaman (persepsi) yang sama terhadap tahapan

pelaksanaan tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan

SMK3, maka masing-masing akan mengetahui

tugas dan fungsi, serta tanggung jawabnya dalam

pelaksanaan penerapan SMK3. Di samping

manajemen menyiapkan (menyediakan) sumber

daya yang terkait dengan pelaksanaan penerapan

SMK3 yaitu:

1. Dana yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan

SMK3.

2. Pembentukan organisasi K3 di tempat kerja

seperti Bagian Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (Occupational Safety and Health

Department) yang membawahi beberapa sub

bagian (regu penanggulangan kebakaran, tim

tanggap darurat (emergency response

preparedness team), pelayanan kesehatan

kerja), Panitia Pembina Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (P2K3) atau Safety

Committee. Organisasi K3 ini bertugas:

a. Memberikan saran dan rekomendasi

terhadap perbaikan pelaksanaan penerapan

SMK3 kepada manajemen

b. Melakukan indentifikasi sumber-sumber

bahaya, pengawasan terhadap penerapan

syarat-syarat dan standar K3, dan

pencegahan kecelakaan kerja di tempat

kerja

c. Sebagai wadah komunikasi dan kerjasama

dalam meningkatkan kinerja pelaksanaan

penerapan SMK3 di tempat kerja

d. Menyebarluaskan informasi K3 ke seluruh

unit kerja yang meliputi peraturan

perundangan K3, kebijakan K3 perusahaan,

kegiatan K3, dan laporan hasil audit internal

SMK3.

3. Sarana K3: pelayanan kesehatan kerja, pintu

dan tangga darurat, tempat pelatihan K3.

4. Fasilitas K3: alat pelindung diri, P3K, alat

pemadam api, alat dan sistem tanda bahaya,

alat pemantauan kondisi lingkungan kerja,

rambu dan tanda keselamatan kerja, manual

K3 (berisi peraturan perundangan K3; prosedur

pengoperasian dan penanganan mesin, alat,

instalasi dan bahan berbahaya, instruksi kerja;

instruksi tanggap darurat).

5. Personel K3 yang mempunyai tugas, fungsi, dan

kewenangan sesuai dengan kompetensinya

dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja dan

penyakit akibat kerja. Personel K3 meliputi ahli

K3 umum, ahli K3 spesialis (listrik dan

kebakaran, mekanik, uap dan bejana tekan,

konstruksi, kimia), dokter perusahaan,

paramedis (perawat) perusahaan, ahli higiene

industri, petugas P3K, petugas K3 (kimia,

radiasi, kebakaran, konstruksi, confined space),

operator (pesawat uap, crane), teknisi (lift,

listrik), dan juru las.

Setelah manajemen memenuhi sumber daya

yang terkait dengan pelaksanaan penerapan SMK3,

langkah selanjutnya mengidentifikasi kegiatan apa

yang belum berjalan agar dilakukan kajian kendala

pelaksanaannya dan kegiatan apa yang telah

berjalan agar dapat dilakukan perbaikan tiap prinsip

dari 5 prinsip penerapan SMK3 dengan berpedoman

pada Lampiran I Permenaker No. 05/1996.Tahap

akhir dari penerapan K3 adalah meyakinkan

perbaikan (peningkatan) dilakukan secara

menyeluruh, konsisten dan berkesinambungan, serta

dievaluasi melalui audit internal K3 paling tidak

setahun sekali. Kegiatan audit eksternal SMK3

dapat dilakukan apabila pelaksanaan 5 prinsip

penerapan SMK3 telah berjalan dan

berkesinambungan untuk memperoleh pengakuan

dari pemerintah terhadap penerapan SMK3 di

perusahaan. Menakertrans RI pada acara

penyerahan penghargaan SMK3 tahun 2008

menyatakan bahwa pemerintah akan mempercepat

pelaksanaan audit SMK3 di perusahaan-perusahaan

yang selama ini berjalan setahun sekali menjadi tiga

bulan atau enam bulan sekali. Hasil audit SMK3 akan

segera diumumkan perusahaan yang memiliki

kinerja SMK3 buruk agar dapat memperbaiki diri,

termasuk perusahaan yang belum menerapkan

SMK3. Langkah ini diambil untuk menekan tingkat

kecelakaan kerja dan meningkatkan kesiagaan

perusahaan menghadapi potensi kecelakaan kerja

mengingat pentingnya amanah dari Permenaker

No. 05/1996.Dibutuhkan waktu yang panjang untuk

menekan angka kecelakaan kerja dan penyakit

akibat kerja meskipun semua organisasi yang

relevan terlibat dalam upaya penerapan SMK3.33

Kebijakan Permenaker No. 05/1996 sejatinya

untuk mewajibkan perusahaan agar dapat memenuhi

standar K3 yang kemudian dinilai melalui audit

SMK3 untuk memperoleh sertifikat SMK3. Namun

sertifikasi SMK3 diperlakukan oleh sebagian

pengusaha sebagai tujuan akhir, sehingga hasil audit

SMK3 tidak dapat menggambarkan kondisi objektif

Page 27: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 137

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

dari penerapan SMK3 di perusahaan dan sertifikasi

SMK3 tidak menjadi jaminan kualitas dari kinerja

penerapan SMK3 yang dimungkinkan bias karena

faktor subjektif. Oleh karena itu, perlu ada

pengawasan terhadap pihak-pihak yang terlibat

dalam pengajuan audit SMK3 perusahaan dan

auditor yang melakukan audit SMK3. Di samping

itu, kebijakan Permenaker No. 05/1996 perlu

ditopang dengan suatu peraturan pemerintah yang

menetapkan dan mengatur tentang penerapan SMK3

agar lebih jelas dan rinci termasuk sanksi hukumnya.

Dengan demikian, diharapkan dapat memacu

peningkatan jumlah perusahaan dalam penerapan

SMK3 seiring dengan meningkatnya kesadaran

pengusaha akan pentingnya penerapan SMK3.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kinerja penerapan SMK3 masih rendah dilihat

dari jumlah perusahaan dan tingkat pencapaian

dalam pemenuhan kriteria tiap unsur dari 12 unsur

audit SMK3. Ada perbedaan yang sangat signifikan

(p < 0,01) kinerja tiap unsur dari 12 unsur audit SMK3

yang mengakibatkan ada perbedaan yang signifikan

(p < 0,05) kinerja tiap prinsip dari 5 prinsip penerapan

SMK3. Kondisi ini memberi peringatan (warning) bagi

pengusaha atau manajemen perusahaan agar

melakukan upaya perbaikan terhadap pelaksanaan

5 prinsip penerapan SMK3. Pelaksanaan tiap prinsip

dari 5 prinsip penerapan SMK3 harus berurutan dan

mengacu pada prinsip Plan, Do, Check, and

Improvement (PDCI), sehingga konsisten dan

berkelanjutan yang pada akhirnya kriteria tiap unsur

audit SMK3 dapat dipenuhi. Manajemen perusahaan

harus bekerja sama dengan ahli K3 dan

memberdayakan panitia pembina K3 perusahaan

agar pelaksanaan penerapan SMK3 komprehensif

dan melekat dalam aktivitas kerja sehingga tercipta

budaya kerja (corporate culture) berbasis K3.

Perbaikan (peningkatan) kinerja pelaksanaan 5

prinsip penerapan SMK3 harus disertai pembinaan

dan pengawasan penerapan SMK3 yang intens dan

penegakan hukum oleh instansi dinas tenaga kerja

disamping peran serta dari PT Jamsostek,

PT Sucofindo, organisasi profesi K3, Perusahaan

Jasa K3, Balai K3, dan akademisi yang peduli

terhadap masalah K3.

Saran

Temuan hasil audit SMK3 dapat dijadikan

sebagai acuan bagi manajemen perusahaan, dinas

tenaga kerja dan pihak-pihak lain yang terkait dalam

penerapan SMK3 agar dapat melakukan perbaikan

terhadap kelemahan (kekurangan) dari pelaksanaan

5 prinsip penerapan SMK3. Kinerja penerapan SMK3

(tingkat pemenuhan kriteria audit SMK3) perlu

dipertimbangkan oleh Pemerintah (Depnakertrans

RI), PT Jamsostek, dan Asosiasi Pengusaha

Indonesia dalam menetapkan besarnya iuran jaminan

kecelakaan dalam Program JKK yang sampai saat

ini masih berdasarkan pada pengelompokan risiko

dari jenis usaha.Perusahaan dengan kinerja

penerapan SMK3 yang baik berhak mendapat

insentif dalam bentuk pembayaran iuran jaminan

kecelakaan kerja lebih kecil dibanding perusahaan

dengan kinerja penerapan SMK3 yang buruk.

KEPUSTAKAAN

1. Ichsan S. Klasifikasi Ahli Keselamatan Kerja,

Ahli Hygiene Perusahaan dan Dokter

Perusahaan Di Masa Mendatang. Makalah

Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi

Dokter Perusahaan. Diselenggarakan oleh Balai

Keselamatan Kerja dan Hiperkes Medan.2003.

2. Siswati M.Summary of the Workshop on Asean

Occupational Safety and Health Management

System (OSH-MS). Majalah Hiperkes dan

Keselamatan Kerja. Pusat Pengembangan

Keselamatan Kerja dan Hiperkes Balitbanginfo

Depnakertrans RI, Jakarta.2003; XXXVI(2) April-

Juni.

3. Suokas, J. The Role of Safety Analysis in

Accident Prevention. Accident Anal Prev, 1988;

20(1): 67-85.

4. Kanwil I PT Jamsostek. Data Kepesertaan

Program Jamsostek dan Kecelakaan Kerja

Tahun 2003 - 2005.Medan.2006.

5. Rudiyanto. Penerapan SMK3 dan Pelaksanaan

Audit SMK3. Makalah Pelatihan Pengenalan

SMK3. Diselenggarakan oleh PT (Persero)

Sucofindo, Jakarta. 2004.

6. Ichsan S. Urgensi Hiperkes dan Keselamatan

Kerja Di Perusahaan. Makalah Pelatihan

Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi Dokter

dan Paramedis Perusahaan. Diselenggarakan

oleh Balai Keselamatan Kerja dan Hiperkes

Medan Bekerja Sama dengan Asosiasi Hiperkes

dan Keselamatan Kerja Indonesia (AHKKI)

Wilayah Provinsi Sumatera Utara, Medan.2002.

7. Suma’mur PK. Program Prioritas dan

Pemberdayaan Potensi K3 Tahun 2003 dan 2004

Guna Mewujudkan Kemajuan Substansial K3.

Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja.

Pusat Pengembangan Keselamatan Kerja dan

Hiperkes, Balitbanginfo Depnakertrans RI,

Jakarta.2003; XXXVI(2) April-Juni.

Page 28: jurnal kesmas

138 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Gerry Silaban, dkk.: Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan ...

8. Alli BO. Fundamental Principles of Occupational

Health and Safety. First Published, International

Labor Office, Geneva.2001.

9. Hopkins A. Safety Culture, Mindfulness and

Safe Behaviour: Converging Ideas? Working

Paper 7. The Conference Australian OHS

Regulation for the 21st Century, National

Research Centre for Occupational Health and

Safety Regulation and National Occupational

Health and Safety Commission, Canberra.2002.

10. Ramli S. New Paradigm Untuk Meningkatkan

Kinerja K3. Makalah Konvensi Nasional K3 Ke-

VI. Diselenggarakan oleh Dewan Keselamatan

dan Kesehatan Kerja Nasional, Jakarta.2006.

11. Hadi S. Pamardiningsih Y. SPS-2000 (Seri

Program Statistik Versi 2000), Manual SPS

Paket Midi. Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta. 2000.

12. Groeneweg J. The Accident Causation Model.In:

Ch. 57 Audits, Inspections and Investigations.

Encyclopaedia of Occupational Health and

Safety. Vol. II, Fourth Edition, International

Labour Office, Geneva.1998.

13. Sugiyono. Kecelakaan Kerja Sektor Industri

Pengolahan dan Penerapan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di

Kotamadya Yogyakarta Kajian Tahun 2001.

Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Kerja,

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.2002.

14. Yuliani R. Kajian Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada PT

Primisima (Industri Garment) Di Sleman

Yogyakarta. Tesis. Program Studi Magister

Rekayasa Keselamatan Industri, Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.2004.

15. Novianto R. Penerapan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Rumah

Sakit Unisma Malang Jawa Timur. Tesis. Minat

Utama Manajemen Rumah Sakit, Program Studi

Ilmu Kesehatan Masyarakat, Sekolah

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.2005.

16. Subekti A. Audit Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja PT Lotus

Indah Textile Industry Dengan Menggunakan

Sistem Informasi Audit. Tesis. Program Magister

Teknologi Manajemen, ITS, Surabaya.2008.

17. Depnakertrans RI. Evaluasi Penerapan Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(SMK3). Direktorat Pengawasan Kesehatan

Kerja Ditjen Pembinaan Pengawasan

Ketenagakerjaan, Jakarta. 2005.

18. Hamalainen PJ. Takala, and K.L. Saarela.

Global Estimates of Occupational Accidents.

Safety Science, 2006; 44: 137-56.

19. Frick K. Organisational Development and OHS

Management in Large Organisations. Working

Paper 14. The Conference Australian OHS

Regulation for the 21st Century, National

Research Centre for Occupational Health and

Safety Regulation and National Occupational

Health and Safety Commission, Canberra.2003.

20. Taylor G, K. Easter, and R. Hegney.Enhancing

OccupationalSafetyand Health. 2004 (http://

books.google.com/books?id=qs_FgDdalv8C

&pg=PA579&q=occupational+health+and+

safety+journal&hl=id#PPP1,M1)

21. Bluff L. Systematic Management of

Occupational Health and Safety. Working Paper

20. The Conference Australian OHS Regulation

for the 21st Century, National Research Centre

for Occupational Health and Safety Regulation

and National Occupational Health and Safety

Commission, Canberra.2003.

22. Hansen L.Beyond Commitment. Occup

Hazards, 1993; 55(9): 250.

23. Skiba R. Theoritical Principles of Job Safety.

In: Ch. 56 Accident Prevention. Encyclopaedia

of Occupational Health and Safety. Vol. II, Fourth

Edition, International Labour Office, Geneva.

1998.

24. Simard M. Safety Culture and Management. In:

Ch. 59 Safety Policy and Leadership.

Encyclopaedia of Occupational Health and

Safety. Vol. II, Fourth Edition, International

Labour Office, Geneva. 1998.

25. Saari J. On Strategies and Methods in Company

Safety Work: From Informational to Motivational

Strategies. J Occup Acc 12: 107-117.

26. Peters RH. Strategies for Encouraging Self-

Protective Employee Behaviour. J Saf Res,

1991; 22: 53-70.

27. Widiastuti E. Fungsi Manajemen Keselamatan

dan Kesehatan Kerja dan Terjadinya Kecelakaan

Kerja Di PT. Perkebunan Nusantara XI (Persero)

Pabrik Gula Djatiroto Lumajang. Tesis. Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

2005.

28. Hadi S. Internal Audit Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. Majalah Hiperkes dan

Keselamatan Kerja. Pusat Pengembangan

Keselamatan Kerja dan Hiperkes Balitbanginfo

Depnakertrans RI, Jakarta. 2004;XXXVI(3) Juli-

September.

29. OSHA. OSHA: Employee Workplace Rights.

US Department of Labor. 2003.

Page 29: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 139

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

30. Linehan A.Workplace Inspection and Regulatory

Enforcement. In: Ch. 57 Audits, Inspections and

Investigations. Encyclopaedia of Occupational

Health and Safety. Vol. II, Fourth Edition,

International Labour Office, Geneva. 1998.

31. Venkataraman N. Safety Performance Factor.

Journal Occupational Safety Health, National

Institute of Occupational Safety and Health

(NIOSH), Malaysia. 2008; 5: 27-30.

32. Reese CD. Occupational Health and Safety

Management: A Practical Approach.Lewis

Publishers, Boca Raton.2003.

33. Siriruttanapruk S. and P. Anatagulnathi.

Occupational Health and Safety Situation and

Research Priority in Thailand. Industrial Health,

2004; 42,135-40.

Page 30: jurnal kesmas

140 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...

HAMBATAN DAN HARAPAN SISTEM KREDENSIAL DOKTER:

STUDI KUALITATIF DI EMPAT RUMAH SAKIT INDONESIA

OBSTACLES AND EXPECTATION OF PHISICIAN CREDENTIALING SYSTEM:

A QUALITATIVE STUDY IN FOUR INDONESIAN HOSPITALS

Herkutanto1, Astrid Pratidina Susilo2

1Departemen Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ SMF Forensik

Klinik/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta2Departemen Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda

ABSTRACTBackground : The accountability of the physicians serving in

health care is a crucial factor to establish the patient safety.

The credentialing system, a process to grant clinical privilege,

aims to ensure the accountability. Credentialing processes vary

in different Indonesian Institutions, and frequently are

inadequately performed. Information about obstacles and

expectations on current credentialing process is needed to

design a strategy to develop credentialing system.

Methods: A qualitative study using Focus Group Discussions

(FGD) were conducted in four hospitals in Indonesia with

different characteristics. Every FGD was attended by 10-20

participants, consisted of physicians and hospital management.

The results of the FGDs were analyzed with qualitative

approach.

Results: The obstacles of the establishment of ideal credential

system rooted in the inappropriate perception that credential is

the same as physicians recruitment as hospital employees.

The expectations of the participants are the needs of monitoring

process, sound relationship between credential team and

hospital management, standardization of policy and credential

instruments, existence of objective credential team, and good

relationships among colleagues.

Conclusions: Indonesia needs a credentialing system that is

able to establish the patient safety. The expectations of

participants are in line with the recommended credential

system, which is based on the concept of professionalism.

Keywords: physicians credentialing system, professionalism,

patient safety

ABSTRAKLatar Belakang: Salah satu tonggak keselamatan pasien

adalah akuntabilitas dokter yang terlibat dalam layanan

kesehatan. Akuntabilitas ini dijamin melalui proses kredensial,

yaitu suatu proses untuk memberikan kewenangan klinis atas

suatu tindakan medis. Proses kredensial di berbagai institusi di

Indonesia masih bervariasi dan belum adekuat. Untuk menyusun

strategi pengembangan sistem kredensial, dibutuhkan informasi

tentang hambatan dan harapan atas sistem kredensial.

Metode: Studi kualitatif dengan diskusi kelompok terfokus

(Focus Group Discussion – FGD) dilaksanakan di empat rumah

sakit Indonesia dengan karakteristik berbeda-beda. Tiap FGD

dihadiri oleh 10-20 partisipan yang terdiri dari dokter dan

manajemen rumah sakit. Hasil FGD dianalisis berdasarkan

prinsip-prinsip analisis data kualitatif.

Hasil: Hambatan terwujudnya sistem kredensial ideal adalah

mispersepsi bahwa kredensial identik dengan proses

penerimaan dokter sebagai karyawan rumah sakit. Harapan

partisipan tercermin dari kebutuhan proses monitoring,

hubungan baik tim kredensial dengan pihak manajemen,

standardisasi aturan dan instrumen kredensial, adanya tim

kredensial yang obyektif, dan hubungan baik antar sejawat.

Kesimpulan: Indonesia membutuhkan sistem kredensial yang

dapat menjamin keselamatan pasien. Harapan partisipan sejalan

dengan elemen-elemen sistem kredensial yang

direkomendasikan, yaitu yang berdasar pada konsep

profesionalisme.

Kata kunci : sistem kredensial dokter, profesionalisme,

keselamatan pasien

PENGANTAR

“You medical people will have more lives to answer

for in the other world than even we generals.”

(Napoleon Bonaparte)

Salah satu tonggak keselamatan pasien adalah

akuntabilitas sumber daya manusia yang terlibat

dalam layanan kesehatan. Dokter, perawat, atau

tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk memiliki

kompetensi yang adekuat.1,2 Berpijak pada prinsip

dasar gerakan keselamatan pasien untuk ‘non

blaming culture’ atau budaya tidak menyalahkan,2,3,4

jaminan kompetensi yang adekuat inipun berbasis

pada pendekatan sistem. Oleh karena itu, dalam

tataran makro (sistem layanan kesehatan nasional),

dibutuhkan suatu sistem yang dapat

mengakomodasi kebutuhan jaminan kompetensi

tersebut. Jaminan kompetensi ini telah diatur dalam

Keputusan Menteri Kesehatan RS No. 631/

MENKES/SK/IV/2005 tentang Peraturan Internal Staf

Medis (Medical Staff Bylaws), dimana ditetapkan

bahwa subkomite kredensial komite medis di rumah

sakit bertugas mengatur masalah kewenangan klinis

(clinical privilege) setiap dokter yang bekerja di

rumah sakit tersebut. 5

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 140 - 147

Artikel Penelitian

Page 31: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 141

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Terdapat hubungan yang bermakna antara

jumlah klaim terhadap dokter dan rumah sakit yang

terkait dengan kelalaian tindakan medik dokter. Dari

98.609 kejadian yang tak diharapkan yang terjadi di

rumah sakit di New York tahun 1984 ternyata 27.179

di antaranya merupakan kelalaian medis.6 Leape

dkk7 melakukan penelitian lebih rinci terhadap tipe

kesalahan medis. Dari 1.133 pasien yang cedera

akibat tindakan medis, komplikasi medikamentosa

adalah bentuk yang tersering dijumpai (19%)

dibandingkan dengan komplikasi teknis (13%).

Kelalaian akibat pembedahan tercatat lebih sedikit

(17%) dibandingkan tindakan non-bedah (37%).

Proporsi kelalaian di bidang diagnostik cukup tinggi

(75%), sedangkan di bidang terapeutik, proporsi

kelalaian prosedur non-invasif adalah 77%. Untuk

mencegah terjadinya potensi klaim akibat tindakan

medis, setiap rumah sakit harus mengembangkan

strategi sistem kredensial yang adekuat.7

Proses kredensial adalah proses untuk

memberikan kewenangan klinis (clinical privilege)

bagi tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan

klinis tertentu. Kewenangan ini diberikan oleh

institusi kesehatan setelah mendapat rekomendasi

dari mitra bestari. Dalam proses ini, jika seorang

dokter atau tenaga kesehatan dianggap memiliki

kompetensi tertentu, ia akan mendapat penugasan

klinis (clinical appointment) dari Badan Pengampu

(Governing Board) rumah sakit yang dapat saja

didelegasikan kepada Direktur Rumah Sakit.1,8

Setiap kewenangan klinis tertentu yang dimiliki

seorang dokter harus ditinjau secara berkala, sesuai

dengan perkembangan kompetensi si dokter atau

tenaga kesehatan tersebut.1

Beberapa literatur memaparkan bahwa proses

kredensial merupakan sistem yang terintegrasi

dalam layanan kesehatan di berbagai negara. Di

USA, proses kredensial telah menjadi standar di

setiap rumah sakit.1 Sebuah publikasi

mendeskripsikan proses kredensial untuk dokter

spesialis anak.9 Sebuah Fakultas Kedokteran Gigi

di USA bahkan mengimplementasikan sistem

kredensial untuk menjamin kompetensi staf

pengajar.10

Sama seperti negara lain, Indonesia

membutuhkan proses kredensial untuk menjamin

akuntabilitas tenaga kesehatan. Proses ini adalah

bentuk tanggung jawab institusi kesehatan terhadap

masyarakat atas kepercayaan yang diberikan untuk

menjaga keselamatan pasien.11 Walaupun istilah

kredensial sendiri bukan hal yang baru dalam sistem

layanan kesehatan Indonesia, namun gambaran

implementasi proses dan pencapaian tujuan

kredensial bervariasi di berbagai institusi.8 Kondisi

ini yang menyebabkan proses kredensial yang

dilakukan oleh komite medik di Indonesia saat ini

masih belum adekuat.

Di masa mendatang di Indonesia, kredensial

yang mengarah kepada pemberian kewenangan

klinis yang lebih rinci (“delineation of clinical

privilege”). Pada proses kredensial dengan sistem

“delineation of clinical privilege” tersebut, kompetensi

dokter untuk setiap jenis tindakan medis disebuah

rumah sakit lebih terkendali. Dengan demikian,

keselamatan pasien akan lebih terjamin atas setiap

jenis tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.

Dengan terjaminnya keselamatan pasien atas

tindakan medis yang dilakukan dokter tentu akan

menurunkan jumlah klaim pasien terhadap dokter

dan rumah sakit.

Untuk menyusun strategi pengembangan sistem

kredensial yang dapat memberikan jaminan

akuntabilitas, dibutuhkan informasi tentang kondisi

yang ada saat ini. Oleh karena itu, suatu proses

penggalian kebutuhan dilaksanakan di empat rumah

sakit Indonesia menjawab rumusan masalah berikut:

1) Bagaimana proses kredensial dokter yang ada di

lapangan saat ini?, 2) Bagaimana harapan atas

sistem kredensial dokter di rumah sakit di masa

mendatang?

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Untuk menjawab rumusan masalah di atas,

suatu studi kualitatif dengan diskusi kelompok

terfokus (Focus Group Discussion – FGD)

dilaksanakan di empat rumah sakit di Indonesia.

Metode ini dipilih karena diharapkan dapat

memberikan informasi naratif yang diperkaya dengan

interaksi antar partisipan.12,13

Sesuai dengan prinsip studi kualitatif yang

mementingkan maximum diversity,12 rumah sakit

yang dipilih memiliki karakteristik yang berbeda-

beda. Rumah Sakit 1 (RS1) adalah rumah sakit

pemerintah tipe A. Rumah Sakit 2 (RS2) adalah

rumah sakit swasta tipe B berbasis agama. Rumah

Sakit 3 (RS3) adalah rumah sakit khusus yang

melayani satu jenis spesialisasi, sedangkan Rumah

Sakit 4 (RS4) adalah rumah sakit khusus yang

membutuhkan layanan terpadu multispesialisasi.

Keempat rumah sakit berlokasi di ibukota provinsi

di Pulau Jawa dan berperan sebagai rumah sakit

pendidikan. Rumah Sakit 2 (RS2) hanya menjadi

pusat pendidikan keperawatan saja, bukan

kedokteran.

Setiap FGD dilaksanakan dalam forum

pertemuan Komite Medis di tiap-tiap rumah sakit

Page 32: jurnal kesmas

142 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...

dan tiap FGD dihadiri oleh 10-20 partisipan yang

terdiri dari dokter dan pihak manajemen rumah sakit.

Focus Group Discussion (FGD) ini dilaksanakan

selama satu jam, dipimpin oleh seorang moderator

dan didampingi oleh seorang sekretaris. Partisipan

melakukan diskusi atas beberapa pertanyaan yang

dilemparkan oleh moderator. Pertanyaan disusun

oleh para penulis, dimodifikasi sesuai kondisi rumah

sakit, serta direvisi berdasarkan hasil FGD rumah

sakit sebelumnya, tanpa mengubah topik-topik

utama (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar Pertanyaan Focus Group Discussion

dokter dengan kualifikasi tertentu serta untuk

menjamin keselamatan pasien.

Persepsi bahwa proses kredensial adalah

proses penerimaan karyawan melandasi bagaimana

prosedur kredensial saat ini. Dokter kandidat yang

dikredensial diminta menyerahkan lamaran dan

dokumen penyerta seperti ijazah, transkrip

akademis, dan surat rekomendasi. Selanjutnya

kandidat akan menjalani wawancara serta beberapa

tes tambahan seperti tes kesehatan dan tes

psikologi. Pelaksana kredensial bisa Tim Kredensial

Komite Medis, panitia kredensial atau kelompok

sejenis yang ditunjuk Direksi. Proses ini bervariasi

di keempat rumah sakit dan terdapat perbedaan

pelaksana dan tes yang diterapkan. Namun ide

dasarnya sama yaitu seleksi karyawan. Prinsipnya,

proses kredensial yang ada saat ini mencoba

memotret pengetahuan, sikap, karakter,

keterampilan, dan profesionalisme kandidat.

Hasil proses kredensial adalah rekomendasi

kepada Direksi tentang kelayakan dokter.

Berdasarkan rekomendasi ini, Direksi akan

mengeluarkan Surat Keputusan pengangkatan

kandidat sebagai dokter karyawan. Pada kasus saat

kandidat melamar sebagai dokter tamu, maka yang

bersangkutan mendapat surat ijin merawat di rumah

sakit.

Partisipan FGD berpendapat bahwa proses ini

belum ideal, karena sering kali ditemukan false

positive. Dokter yang di awal nampak “baik-baik

saja”, seiring dengan berjalannya waktu mulai

menunjukkan sikap-sikap yang bermasalah. Rumah

sakit kesulitan untuk memutuskan hubungan kerja

dokter yang telah berstatus karyawan tetap karena

dibatasi oleh UU Tenaga Kerja atau karena rasa

segan (ewuh pakewuh – bahasa Jawa) antar kolega.

Partisipan FGD melihat masalah ini timbul karena

proses kredensial saat ini hanya memotret kandidat

pada satu titik waktu.

Harapan Sistem Kredensial di Masa Datang

Partisipan keempat FGD sepakat bahwa suatu

sistem kredensial yang baik akan menjamin kualitas

layanan rumah sakit terhadap pasien. Partisipan juga

sepakat bahwa proses kredensial belum ideal.

Harapan partisipan tercermin dari kebutuhan yang

tercetus dalam FGD, yaitu kebutuhan proses

monitoring, hubungan baik tim kredensial dengan

pihak manajemen, standardisasi aturan dan

instrumen kredensial, serta kebutuhan tim

kredensial yang ideal. Selain itu, partisipan juga

menggarisbawahi bahwa hubungan baik antar kolega

sangat penting untuk dijaga.

1 Hal-hal apa yang menurut pengalaman sejawat telah Anda ketahui tentang proses kredensial selama menjalankan profesi?

2 Bagaimanakah proses kredensial yang seharusnya menurut pendapat sejawat?

3 Bagaimana pendapat sejawat tentang proses

kredensial di Rumah Sakit Anda a. Apakah telah cukup ideal? b. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai? c. Hal-hal yang bisa dikembangkan?

Tidak semua FGD direkam secara elektronik karena

tidak semua partisipan berkenan. Seluruh FGD

dituangkan dalam notulensi terperinci. Notulensi FGD

dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip analisis data

kualitatif.14 Analisis dilakukan oleh tiap-tiap penulis,

kemudian didiskusikan sampai kesepakatan

tercapai. Pada akhir FGD atau pada pertemuan

berikutnya, hasil analisis FGD dipresentasikan

kepada partisipan. Partisipan diberi kesempatan

bertanya dan melakukan klarifikasi. Prosedur yang

disebut member checking ini bertujuan meyakinkan

bahwa interpretasi penulis sesuai dengan informasi

yang disampaikan oleh partisipan. Pada studi

kualitatif, prosedur ini bermanfaat untuk

meningkatkan kualitas studi.12

Sebelum FGD dilaksanakan, para partisipan

diberi informasi bahwa hasil FGD akan

dipublikasikan untuk kepentingan advokasi

pengembangan sistem kredensial di Indonesia, dan

diminta persetujuan. Nama partisipan dirahasiakan.

Partisipan memahami bahwa FGD ini dilakukan

bukan sebagai studi ilmiah, namun sebagai

penggalian kebutuhan untuk pengembangan proses

kredensial di rumah sakit masing-masing.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Proses Kredensial Saat Ini

Pada keempat FGD, persepsi dominan adalah

bahwa kredensial identik dengan proses penerimaan

dokter sebagai karyawan rumah sakit. Beberapa

partisipan memiliki pendapat lain, bahwa tujuan

proses kredensial dokter adalah untuk mencari

Page 33: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 143

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Kebutuhan monitoring lahir dari keterbatasan

proses kredensial yang hanya memotret kandidat

pada satu titik waktu. Salah satu usul adalah

diterapkannya periode uji coba bagi kandidat. Dalam

periode ini kompetensi kandidat diobservasi dan

disupervisi saat bekerja di lapangan. Usul lain adalah

pemanfaatan data rekam medis sebagai bahan

evaluasi track record dokter di rumah sakit. Salah

seorang partisipan FGD RS3 mengusulkan proses

rekredensial. Kewenangan klinis tidak diberikan

seumur hidup, namun disesuaikan dengan

kompetensi dan kondisi fisik dokter.

Kebutuhan hubungan baik tim kredensial dengan

pihak manajemen muncul sebagai salah satu

harapan perbaikan sistem kredensial. Pada FGD di

RS1 dan RS2, hubungan baik ini tercermin salah

satunya dalam bentuk umpan-balik atas

rekomendasi Tim Kredensial kepada Direksi. Tim

Kredensial ingin tahu apakah dokter yang

direkomendasikan pada akhirnya diterima di rumah

sakit atau tidak.“Kita hanya melakukan pertemuan pertamadengan calon karyawan, tetapi kita tidakmendapat evaluasinya.” [dr X, RS2]

Partisipan melihat umpan-balik sebagai salah

satu motivasi bagi anggota tim kredensial, supaya

proses ini tidak dipersepsi sebagai formalitas belaka.

Partisipan juga mengharapkan kewenangan lebih

untuk memutuskan diterima atau tidaknya seorang

dokter, sebagai bentuk kepercayaan Direksi. Focus

Group Discussion (FGD) RS3 melihat hubungan baik

dapat dibangun melalui kesepakatan wewenang dan

kedudukan tim kredensial dalam rumah sakit.

Kebutuhan standardisasi aturan dan instrumen

kredensial merupakan usaha untuk mengurangi

subjektivitas kolega pada proses kredensial. Aturan

dan instrumen dikembangkan sesuai kebutuhan lokal

rumah sakit, dan divalidasi oleh komite medis. Pada

FGD di RS1, seorang partisipan yang menyebutkan

bahwa proses kredensial menghasilkan kewenangan

klinis. Panitia kredensial membuat suatu kebijakan

atau petunjuk berdasarkan rekomendasi mitra

bestari. Tiap tahap proses kredensial diberi batas

waktu. Sanksi dapat diterapkan jika batas waktu

terlewati.

Selanjutnya, kebutuhan tim ideal untuk proses

kredensial digambarkan sebagai tim yang solid,

sungguh-sungguh bekerja, dan netral. Anggota tim

berasal dari komite medis maupun dokter tamu.

Mereka adalah orang-orang bijak dan berpengaruh

dari setiap spesialisasi. Partisipan juga berharap

supaya budaya segan (ewuh pakewuh – bahasa

Jawa) tidak menghambat proses kredensial.

“Kalau ada hubungan senioritas, hubungankerja, atau sering menggantikan praktik,kayaknya kurang pas....” [dr Y, RS2]

Terakhir, FGD juga menunjukkan bahwa sistem

kredensial seharusnya tidak menjadi sumber konflik

antar dokter, misalnya karena perebutan lahan antar

spesialisasi. Proses kredensial diharapkan dapat

menjaga hubungan baik antar sejawat. Kompetisi

yang muncul diharapkan bersifat positif, yaitu untuk

meningkatkan mutu dokter. Proses kredensial dapat

menjadi sarana untuk legitimasi kompetensi seorang

dokter yang telah memiliki kewenangan klinis. Selain

itu, peserta FGD RS1 juga berharap agar kredensial

tidak kontradiktif dengan proses yang dilakukan oleh

kolegium.

Tabel 2. Rangkuman Topik Hasil Analisis FGD

Empat Rumah Sakit

1 Proses kredensial saat ini

1.1. Tujuan a. Penerimaan karyawan b. Keselamatan pasien

1.2 Prosedur

Melalui dokumen aplikasi, wawancara, tes untuk memotret pengetahuan, sikap, karakter, keterampilan, dan profesionalisme

1.3 Pelaksana Tim/panitia kredensial 1.4 Keluaran kredensial Rekomendasi kepada Direksi , diikuti SK

penerimaan karyawan Proses kredensial saat ini dianggap tidak ideal

karena banyak false positive

2 Harapan sistem kredensial masa datang

2.1. Kebutuhan monitoring a. Periode uji coba b. Analisis track record dokter melalui data rekam

medis c. Proses rekredensial 2.2 Kebutuhan hubungan baik dengan pihak

manajemen

a. Umpan balik manajemen atas rekomendasi dari tim kredensial

b. Kesepakatan atas kewenangan dan

kedudukan tim kredensial di rumah sakit 2.3 Kebutuhan standardisasi aturan dan instrumen a. Mengurangi subyektivitas b. Kebijakan atau petunjuk dibuat oleh mitra

bestari 2.4 Kebutuhan tim ideal a. Anggota Komite Medis atau dokter tamu b. Bijak, berpengaruh, netral

c. Menghindari budaya ewuh pakewuh 2.5 Kebutuhan hubungan baik antar sejawat

PEMBAHASAN

Tujuan utama pembentukan komite medis

adalah menjaga profesionalisme para tenaga medis

di sebuah rumah sakit. Dengan dijaminnya

profesionalisme tenaga medis maka keselamatan

dan harkat martabat pasien di rumah sakit akan

Page 34: jurnal kesmas

144 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...

senantiasa terjaga dengan baik. Dua komponen

utama profesionalisme kedokteran yang harus

senantiasa dijaga rumah sakit adalah masalah

perilaku (conduct) dan kompetensi tenaga medis.15,16

Rumah sakit berkewajiban menjaga kedua

komponen utama profesionalisme kedokteran

tersebut melalui komite medis, bahkan memiliki

tanggung jawab hukum atas akibat tidak

diterapkannya profesionalisme (non-delegable duty).

Sayangnya, komite medis pada kebanyakan

rumah sakit di Indonesia belum melaksanakan tugas

untuk menjaga kedua komponen utama

profesionalisme tenaga medis dengan baik. Komite

medis masih dipersepsikan sebagai kelompok yang

berfungsi untuk menjaga kepentingan (ekonomis)

para dokter di rumah sakit.11 Fungsi kredensial,

peningkatan mutu profesi, dan penjagaan disiplin

profesi belum terlaksana dengan baik karena konsep

profesionalisme belum diimplementasikan oleh

komite medis.

Upaya utama untuk melindungi keselamatan

pasien adalah rumah sakit menjamin kompetensi

setiap dokter yang melakukan tindakan medis melalui

mekanisme kredensial. Dengan kurang berfungsinya

komite medis, tentu ingin diketahui hal apa sajakah

yang dapat menghambat proses kredensial yang

baik di rumah sakit. Penelitian ini telah menunjukkan

bahwa proses kredensial belum seperti yang

diharapkan karena adanya mispersepsi dari para

dokter. Namun demikian, perbaikan terhadap proses

kredensial di rumah sakit sangat memungkinkan

dilakukan karena para dokter masih memiliki

kebutuhan untuk perbaikan dan telah memiliki

pemikiran yang sejalan dengan elemen-elemen

proses kredensial yang ideal.

Mispersepsi Dokter tentang Konsep Kredensial

dan Kebutuhan Masa Mendatang di Indonesia

Dalam penelitian ini nampak bahwa akar

mispersepsi proses kredensial adalah tumpang-

tindih proses kredensial dengan proses penerimaan

karyawan. Persepsi dominan ini melandasi seluruh

proses kredensial yang ada saat ini. Selama ini,

kredensial bukan menjadi prosedur untuk menjamin

profesionalisme dokter, tetapi berperan sebagai

bagian proses seleksi karyawan rumah sakit.

Studi ini juga menunjukkan bahwa dokter

berpendapat bahwa proses kredensial yang ada

sekarang belum ideal. Untuk menjawab kebutuhan

Indonesia, kami merekomendasikan suatu model

yang: (1) menjawab tujuan keselamatan pasien, (2)

sesuai dengan konsep profesionalisme, (3) telah

dicoba di berbagai negara dengan hasil yang baik.1

Model kredensial ini bertumpu pada tiga proses

inti. Pertama, praktisi medis melakukan aplikasi

clinical pivilege dengan metode self assessment.

Kedua, mitra bestari mengkaji dan memberikan

persetujuan aplikasi berdasarkan buku putih (white

paper) yang memuat syarat seorang dokter

melakukan tindakan medis tertentu. Ketiga, rumah

sakit menerbitkan clinical appointment berdasarkan

rekomendasi dari mitra bestari. Secara periodik,

dokter akan melalui proses rekredensial, di mana

tiga proses inti tersebut akan berulang. Selain itu,

jika seorang dokter dianggap akan membahayakan

keselamatan pasien, clinical privilegenya dapat

ditangguhkan (suspension of clinical privilege)

sebagian atau seluruhnya, sehingga dokter yang

bersangkutan tidak diperkenankan melakukan

tindakan medis di rumah sakit tersebut.8

Mungkin saja ada pendapat yang

mempertanyakan kewenangan rumah sakit dalam

mengatur dokter dalam melakukan tindakan medis

di rumah sakit tersebut. Dokter yang memiliki surat

tanda registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran

Indonesia (KKI) memang berwenang untuk

melakukan tindakan medis di wilayah Indonesia

sesuai dengan ijazah spesialisnya yang diterbitkan

oleh kolegium. Namun demikian, KKI dan Kolegium

tidak dapat digugat atau dituntut oleh pihak pasien

bila ternyata seorang dokter tidak kompeten

melakukan tindakan medis tertentu, sehingga

menimbulkan kecederaan. Selain dokter tersebut,

rumah sakit juga bertanggung jawab terhadap dokter

yang tidak kompeten (non-delegable duty). Rumah

sakit berkewajiban melindungi pasien dari dokter

yang tidak kompeten dengan menerapkan

mekanisme kredensial. Konsep kredensial rumah

sakit model ini (delineation of clinical privileges)

diikuti di dunia internasional dalam akreditasi rumah

sakit oleh Joint Commission International (JCI). 17

Model kredensial ini dapat dilihat pada Gambar

1, sementara Tabel 3 membandingkan mispersepsi

dan rekomendasi model.

Model kredensial di atas banyak diterapkan di

berbagai negara karena merupakan bentuk klasik

konsep professionalisme yang didasarkan pada

kontrak sosial.18 Konsep kontrak sosial ini berawal

dari daratan Eropa sekitar lebih dari 150 tahun yang

lalu, dan tetap bertahan hingga saat ini yang di

banyak negara dituangkan dalam bentuk Undang-

Undang Praktik Kedokteran (medical practice act).

Dalam kontrak sosial tersebut, kelompok profesi

dokter terikat untuk memproteksi masyarakat

dengan melakukan penapisan (kredensial) terhadap

dokter yang akan menjalankan praktik dalam

Page 35: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 145

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

masyarakat. Sebaliknya, kelompok profesi dokter

memperoleh hak istimewa (privilege) untuk

melakukan praktik kedokteran dengan mekanisme

perizinan. Perizinan ini dilaksanakan oleh suatu

lembaga yang dibentuk oleh UU (statutory body)

yang biasanya disebut sebagai medical council atau

medical board.19 Mereka yang tidak mempunyai izin

praktik dilarang melakukan praktik kedokteran

dengan ancaman pidana. Dokter yang telah memiliki

izin praktik (clinical privilege) akan menikmati

manfaat ekonomis dalam bentuk honorarium dari

pasien. Namun demikian, bila dokter itu melakukan

pelanggaran standar profesi (professional

misconduct) maka izin praktik tersebut dapat

ditangguhkan (suspension of clinical privilege) agar

masyarakat terhindar dari praktisi medis yang tidak

profesional. 19

Model kredensial di atas sangat dimungkinkan

untuk diterapkan pada berbagai rumah sakit di

Indonesia. Pada awalnya profesi medis Indonesia

memang belum mengenal konsep profesionalisme

dengan model kontrak sosial karena pemerintahan

Kolonial Belanda tidak memperkenalkan hal tersebut

di Hindia Belanda pada masa lampau. 20 Namun saat

ini, dasar utama untuk menerapkan model kredensial

tersebut telah terdapat di Indonesia karena konsep

profesionalisme dengan model kontrak sosial di atas

telah mulai diterapkan di dunia kedokteran Indonesia

sejak tahun 2004.21,22 Penerapan konsep

profesionalisme dengan model kontrak sosial saat

di Indonesia ini telah dilakukan oleh KKI dan Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.20, 21, 22, 23

Adanya Pemikiran Dokter yang Sejalan dengan

Elemen-Elemen Sistem Kredensial yang Ideal

Walaupun ada mispersepsi atas proses

kredensial, studi ini juga menunjukkan bahwa

harapan para dokter sebenarnya sejalan dengan

elemen-elemen sistem kredensial yang

direkomendasikan oleh penulis seperti terangkum

dalam Tabel 4.

Gambar 1. Tiga proses inti kredensial

Tabel 3. Mispersepsi Sistem Kredensial dan

Rekomendasi Masa Depan

Mispersepsi Rekomendasi

Tujuan Seleksi karyawan Keselamatan Pasien

Prosedur Telaah dokumen aplikasi, wawancara,

dan tes atas dokter pelamar

Self assessment atas clinical privilege dan

approval dari Mitra Bestari

Standar White Paper

Pelaksana Tim kredensial Mitra Bestari Keluaran SK penerimaan

karyawan Clinical Appointment

Page 36: jurnal kesmas

146 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Herkutanto, dkk.: Hambatan dan Harapan Sistem ...

Tabel 4. Sistem Kredensial: Harapan dan Bentuk Ideal

Mekanisme Kredensial2. Wachter RM. Understanding Patient Safety.

McGraw Hills, USA, 2008.

3. WHO. World Alliance For Patient Safety.

Forward Programme 2008-2009. World Health

Organization, Geneva, 2008.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (Patient Safety). Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta, 2006.

5. Keputusan Menteri Kesehatan Rumah Sakit No.

631/MENKES/SK/IV/2005 tentang Peraturan

Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws).

Jakarta. 2005.

6. Localio AR, Lawthers AG, Brennan TA, Laird

NM, Hebert LE, Peterson LM, et al. Relation

Between Malpractice Claims and Adverse

Events Due to Negligence. Results of the Harvard

Medical Practice Study III. N Engl J Med.

1991;25(Juli):245-51.

7. Leape LL, Brennan TA, Laird N, Lawthers AG,

Localio AR, Barnes BA, et al. The Nature of

Adverse Events in Hospitalized Patients.

Results of the Harvard Medical Practice Study

II. N Engl J Med. 1991;7:324(6)Feb:377-84.

8. Herkutanto. Credential and Clinical Privileges,

The Way to Patient Safety. Presentasi pada

Kongres Nasional PERSI, Jakarta, 2008.

9. O’Connor, ME, Commitee on Hospital Care.

Medical Staff Appointment and Delineation of

Pediatric Privileges in Hospitals. Pediatrics,

2002; 110:414-8.

10. Valenza JA, George LA, O’Neil PN. A Model for

Clinical Credentialing of Dental School Faculty,

Journal of Dental Education, 2005; 69:8.

11. Herkutanto. Profil Komite Medis di Indonesia

dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kinerjanya dalam Menjamin Keselamatan

Pasien. Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan, 2009; 2(1) Maret: 41-7.

12. Berg BL. Qualitative Research Methods for the

Social Sciences. Pearson Education, Boston,

2004.

13. Wong LP. Focus Group Discussion: A Tool for

Health and Medical Research. Singapore Med J,

2008;49(3):256.

14. Lacey A, Luff D. Qualitative Research Analysis.

Trent RDSU, Sheffield, 2007.

15. Browne K, Freeling P. The Doctor-Patient

Relationship. E&S Livingstone Ltd., Edinburgh,

1967.

16. Tahka V. The Patient Doctor Relationship. ADIS

Health Science Press, Sydney, 1984.

Harapan dokter Bentuk Ideal

Kebutuhan monitoring Proses rekredensial dan

audit medis Kebutuhan hubungan baik

dengan pihak manajemen

Clinical Appointment dan

Clinical Privilege

Kebutuhan standardisasi aturan dan instrumen

Clinical Privilege Forms, White Papers

Kebutuhan tim ideal Mitra Bestari

Dengan demikian, perbaikan terhadap proses

kredensial di rumah sakit sangat memungkinkan

dilakukan karena para dokter masih memiliki

kebutuhan untuk perbaikan dan telah memiliki

pemikiran yang sejalan dengan elemen-elemen

proses kredensial yang ideal.

Keterbatasan Studi

Keterbatasan dalam studi ini adalah: 1) Keempat

rumah sakit ini berlokasi di ibu kota provinsi yang

berada di Pulau Jawa. Gambaran proses kredensial

di lokasi-lokasi lain, misalnya di rumah sakit

kabupaten atau di rumah sakit di luar Pulau Jawa

perlu digali.

Sebagai suatu studi kualitatif, temuan ini

menyumbang informasi untuk menyusun strategi

pengembangan sistem kredensial di Indonesia.

Untuk menguji penerapan model dengan konteks

layanan kesehatan di Indonesia, dibutuhkan suatu

studi eksperimental atau evaluasi lebih lanjut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Studi ini menunjukkan tiga hal utama yaitu : 1)

Proses kredensial dokter di rumah sakit Indonesia

sering dicampuradukkan dengan proses penerimaan

karyawan. 2) Pada dasarnya dokter memiliki

kebutuhan perbaikan sistem kredensial. 3) Harapan

Dokter selaras dengan model kredensial yang

mengarah kepada “delineation of clinical privilege”.

Model ini bertonggak pada proses segitiga kredensial

yang terdiri dari clinical privilege, white paper, dan peer

group, dengan keluaran berupa clinical appointment.

4) Sistem kredensial dokter di rumah sakit dengan

menggunakan model “delineation of clinical privilege”

sangat memungkinkan untuk diterapkan karena

berbagai elemen yang diperlukan telah terdapat dalam

profesi medis di Indonesia saat ini.

KEPUSTAKAAN

1. The Joint Commission on Accreditation of

Healthcare Organization. Credentialing,

Privileging, Competency, and Peer Review. Joint

Commission Resources, Illinois, 2003.

Page 37: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 147

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

17. Joint Commission International, Joint

Commission International Accreditation

Standards for Hospitals, 3rd Edition, USA, 2007.

18. Cruess RL, Cruess SR, Johnston SE.

Professionalism and Medicine’s Social

Contract. Journal of Bone and Joint Surgery,

2000;82A:1189.

19. The Royal College of Physicians. Doctors in

Society: Medical Professionalism in a Changing

World. The Royal College of Physicians,

2005;18.

20. Herkutanto, Protecting Patient’s Rights and

Safety: A Comparative Study of Recent

Regulatory Reforms in Indonesia and Victoria,

Master of Laws Thesis, La Trobe University,

Melbourne, 2006.

21. Herkutanto, Freckelton. I, Indonesian Health

Practitiones Regulation. Law in Context, Special

Edition: Regulating Health Practitioners, The

Federation Press, New South Wales, 2006; 23

(2): 229-42.

22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29

Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Jakarta, 2004.

23. Konsil Kedokteran Indonesia, Penyelenggaraan

Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia.

Jakarta, 2007.

Page 38: jurnal kesmas

148 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...

UPAYA MENINGKATAN PENANGGULANGAN GAKI PADA ANAK SEKOLAH DI

DAERAH GONDOK ENDEMIK BERAT DI KOTA SURABAYA

EFFORT TO ASSET IODINE DEFICIENCY DISORDER AT PRIMARY SCHOOL CHILDREN

AT SURABAYA CITY

Oktarina1, Dwi Astuti Soekisno Putri2

1Pusat Penelitian Pengembangan Sistem Dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya2 Dinas Kesehatan Kota Surabaya

ABSTRACTBackground: Iodine deficiency disorder is one of four

malnutrition problems in Indonesia. Initial surveys at Primary

School children in East Java reveal the goiter prevalence is

high, the Total Goiter Rate (TGR) 22,9%. The recent study at

Surabaya City, has 16,93% of severely iodine-deficiency

villages, higher than normative value (less than 5%). Since

Surabaya is regarded as the second largest city after Jakarta,

the iodine-deficiency disorder have been considered major

problem. This need to be examined and analysed the

implementing programmed after all.

Method: The purpose of this study was a descriptive type,

done cross sectionally a carried out from Mei to July 2005. The

study was conducted to examine the effect of iodine-deficiency

disorder in 7 district area at 10 villages in Surabaya; Tambak

Oso Wliangun, Romokalisari (Benowo), Sidotopo Wetan,

Tambak Wedi (Kenjeran), Manyar Sabrangan (Mulyorejo),

Kedung Cowek (Bulak), Perak Utara, Nyamplungan (P.Cantikan),

Bubutan, and Bangkingan (Lakarsantri).

Result: The result show many faktor, such as social economic

factors from the society, the lack of iodine-deficiencies discrder

knowledge, low health staff motivation to run the program etc.

The middle term and short programme of iodine-deficiency,

planning, organizing, actuating and coordination at the Primary

Health Center (Puskesmas) should be taken soon.

Conclusion: The recommendation as follow promotive,

preventive, curative and rehabilitative strategy, by socialization,

advocation salty iodine and knowledge of goiter disease to

related cross sectoral department, as well as health staffs,

Primary Health Center staff, the society in severely iodine-

deficiency, nutrition and food awareness area. Provide overall

health services for iodine-deficiency disorder problems; diet

counseling, medical treatment, integrated management planning,

organizing and actualization. Coordinating and evaluating the

programme, improve the quality and professionalism in managing

the iodine-deficiency disorder problem especially in Primary

Health Center in Surabaya City.

Keywords: iodine-deficiency disorder problem, society and

health staff factors, management and control

ABSTRAKLatar Belakang: Kekurangan iodium disorder adalah salah

satu dari empat masalah gizi buruk di Indonesia. Survei awal di

Sekolah Dasar di Jawa Timur mengungkapkan prevalensi

gondok yang tinggi, angka gondok total (TGR) sebesar 22,9%.

Studi baru-baru ini di Kota Surabaya, memiliki berat 16,93%

dari kekurangan iodium-desa, lebih tinggi dari nilai normatif

(kurang dari 5%) karena Surabaya dianggap sebagai kota

terbesar kedua setelah Jakarta, gangguan kekurangan iodium

telah dianggap sebagai masalah besar. Ini perlu diteliti dan

dianalisis oleh pelaksana setelah semua diprogram.

Metode: Tujuan penelitian ini adalah jenis deskriptif, yang

dilakukan sebuah sectionally silang dilakukan dari Mei sampai

dengan Juli tahun 2005. Kajian ini dilakukan untuk memeriksa

efek dari gangguan kekurangan yodium di 7 daerah kabupaten

di 10 desa di Surabaya; Tambak Oso Wliangun, Romokalisari

(Benowo), Sidotopo Wetan, Tambak Wedi (Kenjeran), Manyar

Sabrangan (Mulyorejo), Kedung Cowek ( Bulak), Perak Utara,

Nyamplungan (P. Cantikan), Bubutan dan Bangkingan

(Lakarsantri).

Hasil: Hasil menunjukkan banyak faktor, seperti faktor-faktor

ekonomi sosial dari masyarakat, kekurangan-kekurangan

iodium disorder pengetahuan, rendah motivasi staf kesehatan

untuk menjalankan program menengah dan jangka pendek dari

program-kekurangan iodium, perencanaan, pengorganisasian,

actuating dan koordinasi di Pusat Kesehatan Primer

(Puskesmas) harus diambil segera.

Kesimpulan: Rekomendasi sebagai berikut promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif strategi, dengan sosialisasi, advokasi

asin yodium dan pengetahuan tentang penyakit gondok untuk

departemen lintas sektoral terkait, serta staf kesehatan, staf

Pusat Kesehatan Primer, masyarakat dalam kekurangan iodium

parah, kesadaran gizi dan makanan daerah. Memberikan

pelayanan kesehatan secara keseluruhan kelainan kekurangan

iodium-masalah, diet konseling, perawatan medis, perencanaan

pengelolaan terpadu, pengorganisasian dan aktualisasi.

Koordinasi dan mengevaluasi program, meningkatkan kualitas

dan profesionalisme dalam mengelola kekurangan iodium-

masalah gangguan terutama di Pusat Kesehatan Primer di Kota

Surabaya.

Kata kunci: defisiensi iodium-masalah gangguan, staf

kesehatan masyarakat dan faktor-faktor, pengelolaan dan

pengendalian

PENGANTAR

Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)

merupakan masalah utama kesehatan dan gizi di

Indonesia.1 Masalah gizi masyarakat ini masih

merupakan prioritas untuk ditanggulangi. Ada empat

masalah gizi kurang di Indonesia yaitu Kurang

Energi Protein (KEP), Anemia, Kekurangan Vitamin

A (KVA), dan GAKI. Di Indonesia, daerah endemik

berat (prevalensi gondok >30%) mencapai 7% di

seluruh kecamatan, daerah endemik sedang

(prevalensi gondok 20%-29%) mencapai 5% dan

daerah endemik ringan (prevalensi gondok 5%-

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 148 - 155

Artikel Penelitian

Page 39: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 149

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

19,9%) mencapai 21%. Gangguan Akibat

Kekurangan Iodium (GAKI) terjadi pada daerah atau

lingkungan yang kekurangan iodium yaitu bila kondisi

tanah dan sumber air minum di wilayah tersebut

kekurangan iodium. Iodium adalah zat gizi

(micronutrient yang dibutuhkan tubuh manusia, yang

terdapat dalam makanan atau minuman dengan

kadar minimal 100-150 mikrogram/hari, diserap

kelenjar gondok dan diubah menjadi hormon T4.2

Gondok (simple goiter) dapat disebabkan karena

kekurangan iodium atau karena sebab lain yaitu

bertambahnya kebutuhan iodium pada masa

pertumbuhan, kehamilan, laktasi atau karena

pengaruh zat goitrogenik. Gangguan Akibat

Kekurangan Iodium (GAKI) mengakibatkan

gangguan sintesa hormone thyroid yang

mempengaruhi metabolisme/sekresi hormone

thyroid yaitu L-thyroxine (T4) dan 3,5,3-triodo-

thyronine (T3). L-thyroxine (T4) dan 3,5,3-triodo-

thyronine (T3) berfungsi memacu proses

pertumbuhan sampai dewasa (20 tahun), memacu

proses metabolisme otak, otot, jantung, hati, ginjal

dan organ reproduksi.3

Data status iodium global yang dikumpulkan

oleh WHO dari 126 negara menunjukkan bahwa 54

(43%) negara masuk kategori kekurangan iodium.

Sebanyak 5 (4%) negara masuk kategori berlebihan

iodium yang berisiko iodium induced hyperthyroidism

(IIH) dan bahaya gangguan kesehatan lainnya.4

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iodium

sebagai kalium iodat yang ditambahkan dalam

garam kandungan tidak stabil. Iodium dalam garam

Indonesia menurun sebesar 20% dalam wadah

tertutup Low Density Poly Ethylene (LDPE) pada

kelembaban relatif 60% dan suhu 400C setelah satu

tahun. Untuk mendapatkan jaminan bahwa mutu

produk garam beriodium selalu memenuhi

persyaratan perlu dilakukan pemantauan secara

berkala baik terhadap kandungan iodium dalam

garam maupun pelaksanaan pengolahan garam

beriodium, serta meningkatkan sistem

pengawasannya.5

Hasil survei gondok pada anak sekolah di Kota

Surabaya yang dilaksanakan mulai tahun 1997

sampai dengan tahun 2002 semakin menunjukkan

peningkatan prevalensi Total Goiter Rate (TGR)

sampai 16,65%. Dari 163 kelurahan di seluruh Kota

Surabaya yang di survei didapat kelurahan dengan

endemik berat sebanyak 10 kelurahan (16,39%),

kelurahan dengan endemik sedang terdapat pada

18 kelurahan (29,51%), dan kelurahan dengan

endemik ringan terdapat pada 25 kelurahan

(40,96%).6

Upaya menurunkan prevalensi gondok adalah

dengan intensifikasi penanggulangan GAKI berupa

jangka pendek dengan pemberian kapsul iodium,

upaya jangka menengah berupa pemakaian garam

beriodium (fortifikasi) dan upaya jangka panjang

dengan meningkatkan konsumsi makanan beriodium

dan menghindari bahan goitrogenik, dengan jalan

memberikan lebih banyak pengetahuan berupa

penyuluhan yang lebih intensif dan terarah kepada

sasaran, sehingga diharapkan prevalensi gondok

menurun menjadi di bawah 5% di tahun 2010.6

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di

Sekolah Dasar Negeri Bubutan X dan Sekolah Dasar

Negeri Bubutan XII terdapat perbedaan yang cukup

bermakna pada prestasi belajar anak yang menderita

gondok dan tidak gondok7.

Pada Tabel 1 prestasi belajar responden yang

menderita gondok dengan prestasi belajar yang tidak

baik sebanyak 28 orang (63,6%), sedangkan yang

tidak gondok dengan prestasi belajar tidak baik

sebanyak 18 orang (62,1%).

Tabel 1. Distribusi Prestasi Belajar Responden yang

Menderita Gondok dan Tidak Gondok

di Sekolah Dasar Negeri Bubutan X dan

Sekolah Dasar Negeri XII, Tahun 2003

Untuk menurunkan angka prevalensi gondok

endemik anak sekolah di Kota Surabaya menjadi

kurang dari 5% perlu analisis program

penanggulangan GAKI yang telah dilaksanakan

pemerintah terutama yang berkaitan dengan

manajemen tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas

yang berhubungan langsung dengan masyarakat

dalam peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku

mereka terhadap garam beriodium yang merupakan

faktor potensial penyebab timbulnya penyakit gondok

pada anak sekolah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

program penanggulangan GAKI anak sekolah dalam

peningkatkan upaya penanggulangan GAKI anak

sekolah di daerah gondok endemik berat di Kota

Surabaya. Tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk

menganalisis faktor provider (pelaksana gizi, bidan/

palpator, paramedis) yang meliputi pendidikan,

pengetahuan, keterampilan, motivasi, pelatihan,

imbalan, biaya, dan kepala Puskesmas atau dokter

Perstasi

Belajar

Tidak

Gondok n (%)

Gondok n

(%)

Total n

(%)

Tidak baik (rata-rata nilai < 7 ) Baik (rata-rata nilai >7 )

18 (62,1)

11 (37,9)

28 (63,6)

16 (36,4)

46 (63,0)

27 (37,0)

Total 29 (100) 44 (100) 73 (100)

Page 40: jurnal kesmas

150 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...

Puskesmas sebagai perencana, pelaksana, penilai,

Pengawas dan Pengendalian Program GAKI. Faktor

masyarakat yaitu anak Sekolah Dasar atau

Madrasyah Ibtidaiyah kelas V dan kelas VI dengan

status gizi anak, dan orang tua (ibu) dengan

penghasilannya, pemberian uang jajan, perilaku

(kebiasaan sarapan pagi), serta implementasi

Program GAKI di sekolah atau keterlibatan petugas

kesehatan di sekolah (riwayat mendapat kapsul

beriodium dari petugas kesehatan) yang menjadi

penyebab tingginya prevalensi GAKI anak sekolah

di Kota Surabaya.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik

dengan pendekatan cross sectional. Waktu

pelaksanaan penelitian bulan Mei sampai dengan

Juli 2005. Populasi sampel pada tujuh Puskesmas

di Kota Surabaya dengan kriteria daerah gondok

endemik berat, yaitu Puskesmas Lidah Kulon

(Lakarsantri), Gundih (Bubutan), Semeni (Benowo),

Mulyorejo, Sidotopo Wetan dan Kenjeran.

Pengambilan sampel secara multistage random

sampling. Sampel penelitian terdiri dari petugas

kesehatan 21 orang, yang masing-masing

Puskesmas diambil tiga orang yaitu Kepala

Puskesmas atau Dokter Puskesmas, Pelaksana

Gizi, dan Paramedis. Sampel kedua adalah anak

Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah dari kelas

V dan kelas VI sebanyak 100 orang yang menderita

gondok derajat 1a atau 1b dan 100 orang anak

sekolah yang tidak gondok yang berada di 10

kelurahan yang merupakan daerah gondok endemik

berat di Kota Surabaya. Sampel ketiga orang tua

(ibu) yang berasal dari anaknya yang menderita

gondok derajat 1a atau 1b 100 orang dan 100 orang

ibu dari anaknya yang tidak gondok yang berada di

10 kelurahan yang merupakan daerah gondok

endemik berat. Pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara terstruktur dan pengamatan dokumen.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Gondok di Daerah Gondok Endemik

Berat

Di Kota Surabaya sudah dilaksanakan Program

Penanggulangan GAKI sejak mulai Program

Pembangunan Jangka Panjang I sampai Program

Pembangunan Jangka Panjang II dan sampai sekarang.

Tetapi pada survei gondok yang dilaksanakan tahun

2002, ternyata prevalensi GAKI masih cukup tinggi

yaitu mencapai 16,93%. Pemeriksaan kelenjar gondok

yang dilakukan di sekolah dengan cara inspeksi dan

palpasi/perabaan dan didasarkan atas klasifikasi

sebagai berikut (Tabel 2).

Tahun 2002 dilakukan survei palpasi gondok di

Sekolah Dasar dengan hasil pada Tabel 3 daerah non-

endemik sebesar 13,11%, berasal dari 8 kelurahan

dari 5 kecamatan di Kota Surabaya, dengan rata-rata

TGR sebesar 10,37% (jumlah anak yang diperiksa

3803 anak). Pada daerah endemik ringan sebesar

39,34% berasal dari 24 kelurahan dari 18 kecamatan

di Kota Surabaya, rata-rata TGR sebesar 12,94%

(jumlah anak yang diperiksa 10.267 anak).

Tabel 2. Klasifikasi Gondok

Derajat Inspeksi Palpasi Keterangan

Grade 0

Grade 1a Grade 1b

Grade II

Grade III Grade IV

Tidak ada pembesaran

Tidak terlihat Tidak terlihat jelas (umumnya),baru. Dapat

dilihat bila posisi kepala tengadah Mudah dilihat, kepala posisi biasa.

Terlihat dari jarak jauh Tertentu. (> 6m). Struma yang amat besar (monstrous)

Tidak teraba, bila teraba

besarnya normal Teraba struma/ tidak lebih besar dari kelenjar thyroid nomal. Pembesaran: 2-4 kali lebih besar normal. Teraba struma

Ukuran normal sebesar ruas pertama ibu jari

Total Goiter Rate = 1a, 1b,II, III/ Jumlah yang diperiksa x 100%

Visible Goiter Rate = 1b, II, III/ Jumlah diperiksa x 100% Prevalensi (TGR) = 0 – 4 % : Tidak endemik 5 – 19 % : Endemik ringan 20 – 29% : Endemik sedang

> 30% : Endemik berat

Page 41: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 151

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tabel 4 daerah endemik sedang di Kota

Surabaya sebanyak 29,50% berasal dari 18

kelurahan dari 15 kecamatan. rata-rata TGR sebesar

24,47% (jumlah anak yang diperiksa 7364 anak) dan

daerah endemik berat sebesar 16,93% berasal dari

10 kelurahan dari 7 kecamatan, dengan rata-rata

TGR sebesar 38,44% (lebih besar rata-rata daerah

gondok endemik berat di Jawa Timur).

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa daerah endemik

sedang dan berat di wilayah Kota Surabaya kumulatif

telah mencapai 46,43%, yang berarti bahwa hampir

separuh dari populasi anak sekolah di Kota

Surabaya telah mengalami kekurangan iodium, bila

terjadi terus-menerus dalam jangka waktu lama akan

menimbulkan dampak negatif yang dapat

menurunkan kualitas sumber daya manusia,

terutama generasi muda dan akhirnya dapat

mengganggu proses pembangunan kesehatan di

Kota Surabaya.3

Dari hasil penelitian, sarana prasarana yang ada

di Puskesmas, ada 2 Puskesmas yang baik, 3

Puskesmas cukup, dan 2 Puskesmas kurang baik,

sehingga untuk meningkatkan kualitas penyuluhan,

dianjurkan memaksimalkan pelayanan pojok gizi di

Puskesmas, meningkatkan sarana prasarana (food

model dan iodine test), melengkapi prosedur tetap

(protap) diet yang lengkap, leaflet dan konseling

garam beriodium. Sarana prasarana Program GAKI

di Puskesmas kurang (28,66%), terutama ketiadaan

food model (42,68%), pojok gizi (28,64%) dan protap

diet dan leaflet tentang GAKI (14,52%).

1. Faktor Provider

Faktor yang menentukan petugas/provider untuk

melaksanakan suatu tindakan dipengaruhi oleh

pengetahuan dan keterampilan. Petugas/provider

akan lebih mudah berkomunikasi bila memiliki

pengetahuan yang cukup dan baik.8 Pengetahuan

Tabel 3. Hasil Survei Palpasi Gondok Anak Sekolah Dasar di Kota Surabaya

Daerah Non-endemik dan Endemik Ringan Tahun 2002

Daerah Non-endemik 13,1

Kecamatan Kelurahan TGR (%) Jumlah Anak Diperiksa

Manunggal Tandes Jambangan Krembangan Tambak Sari

Kwijenan Manunggal Buntaran Balong Sari Tubanan Margorejo Kemayoran

Pacar Kembang

0 0 0 0 0

2,78 3

4,59

164 288 223 629 381 937 701

480

Total X: 10,37 3803

Daerah Endemik

Ringan 39,34%

Jumlah Anak

Sekolah

Tenggilis Mejoyo Wonocolo Tegal Sari

Semampir

Gunung Anyar Karang Pilang Sambikerep

Krembangan Jambangan Simokerto

Pakal Wonokromo Wiyung

Gubeng Sawahan

Asem Rowo Tambak Sari Kenjeran

Kutosari Siwalan Kerto Keputran

Wonorejo Ampel Wonokromo Ujung

Runggut Menanggal W.Gunung Bringin

Sambikerep Mr.Krembangan Jambangan Sidodadi

Pakal Wonokromo Ngagel Rejo Jajar Tunggal

Airlangga Kupang Krajan Pakis

Greges Tambak Sari Tanah Kali Kedinding

5,08

5,2 6,64

8,77 6,9 9,88 11,81

7,33 9,7

10,24

17,96 12,21 12,5 13,44

13,95 14,93 16,57 14,95

15,16 17,89 19,88

19,67 19,91 19,96

748

711 301

251 203 334 237

623 536 498

373 393 341 387

301 221 492 361

231 548 664

244 417 852

Total X: 12,94 1027

Page 42: jurnal kesmas

152 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...

petugas kesehatan tentang Program GAKI yang

sedang dilaksanakan masih kurang baik sebanyak

(57,14%), sedangkan pengetahuan tentang

prevalensi GAKI di wilayahnya masih kurang

(64,27%). Kurangnya koordinasi lintas program

(42,62%). Untuk meningkatkan motivasi petugas

kesehatan sangat diperlukan komitmen pimpinan

dalam memecahkan masalah yang ada di

Puskesmas, melalui minilokakarya dan

pembentukan tim yang baik.9

Pada kegiatan minilokakarya membicarakan

GAKI jarang dilaksanakan (28,58%), kegiatan mini

lokakarya membicarakan GAKI dengan lintas sektor

tidak dilaksanakan (50%), pengetahuan yang benar

tentang perlakuan terhadap garam atau makanan

beriodium kurang (85,72%), pengetahuan distribusi

kapsul iodium pada ibu hamil kurang (14,29%).

Pada penelitian ini ditemukan masih ada kerja

sama yang kurang baik yaitu (21,42%), padahal

dalam pencapaian tujuan organisasi sangat

dibutuhkan kerja tim yang baik.10 Kerja sama, beban

kerja dan pemenuhan kebutuhan yang optimal ini

dapat mempengaruhi tingkat motivasi petugas/

provider dalam melaksanakan pekerjaannya.

Selain itu, masih ada sebagian petugas/provider

yang merasa pekerjaannya kurang sesuai (21,42%),

serta sebagian besar (57,14%) merasa pimpinan

mereka belum pernah memberikan penghargaan bila

mereka berprestasi, dan 50% petugas belum

mengikuti pelatihan.

Dalam survei pembesaran kelenjar tiroid

(gondok), World Health Organization (WHO)

merekomendasi agar dilakukan palpasi pada anak

sekolah. Pembesaran kelenjar tiroid pada anak usia

sekolah menandakan masih adanya kasus baru

kekurangan iodium di suatu masyarakat. Kendala

yang ditemukan dengan melakukan palpasi pada

anak sekolah adalah hampir semua pembesaran

kelenjar tiroid yang terdeteksi pada anak sekolah

hanya berukuran teraba (palpable), jadi belum

sampai terlihat (visible). Pengalaman tidak mudah

untuk menghindari inter-observer variation pada

palpasi khususnya pada pembesaran kelenjar tiroid

yang hanya teraba.11

Berdasarkan wawancara dengan petugas,

ternyata sebagian besar (78,57%) petugas

membutuhkan pelatihan palpasi gondok anak

sekolah yang lebih intensif dan (42,86%) petugas/

Tabel 4. Hasil Survei Palpasi Gondok Anak Sekolah di Kota Surabaya

Daerah Endemik Sedang dan Endemik Berat, Tahun 2002

Daerah Endemik Sedang: 29,50%

Kecamatan Kelurahan TGR (%) Jumlah Anak Sekolah

Gayungan Rungkut

Genteng Sukolilo

Mulyorejo Tambak Sari

Tegal Sari Gubeng Wonokromo

Bubutan Bulak

Dukuh Paris Simokerto Pakal

Asem Rowo

Menaggal Rungkut Kidul

Penjar Sari Embong Kaliasin Kapasari Medokan S Gebang Putih

Sutorejo Gading

Tegal Sari Barata Jaya Sawung Galing

Jepara Komplek. Kenjeran

Gunung Sari Simokerto Sumber Rejo

Asem Rowo

20,95 21,95

26,93 21,62 25,35 21,76 24,02

22,95 23,12

23,73 24,29 25

25,3 25,59

25,68 26,94 27,33

28,44

164 288

251 223 301 629 480

381 937

701 3803 748

711 203

623 536 334

498

Total X: 24,47 7364

Daerah Endemik Berat 16,93%

Jumlah Anak Sekolah

Benowo

Kenjeran

Mulyorejo Bulak P. Cantikan

Bubutan Lakarsantri

T.Oso Wilangon

Romo Kalisari Sido Topo Wetan

Tambak Wedi Manyar Sabrangan Kedung cowek Perak Utara Nyamplungan

Bubutan Bangkingan

30,34

40,01 31,89

31,89 32,02 33,84 35,1 42,37

48,34 57,3

234

160 698

698 253 263 245 177

151 225

Total X: 38,44 3176

Page 43: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 153

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

provider yang tidak menerima imbalan. Salah satu

cara manajemen untuk meningkatkan perstasi kerja,

motivasi dan kepuasan kerja karyawan adalah

melalui kompensasi atau imbalan.12

Biaya merupakan faktor penting dalam

menunjang keberhasilan program. Dari hasil

penelitian didapatkan bahwa dana yang diterima

tidak sesuai dengan dana yang dibutuhkan. Biaya

atau dana yang dialokasikan untuk Program GAKI

tidak cukup atau kurang (55,0%) untuk pendataan,

distribusi kapsul iodium, palpasi gondok anak

sekolah dan monitoring garam beriodium.

Perencanaan Program GAKI sebagian besar 5

Puskesmas (71,42%) tidak mempunyai rencana

kerja tahunan Program GAKI antara lain dalam

penyediaan data khusus sasaran distribusi kapsul

iodium, sasaran palpasi gondok anak sekolah, jadwal

penyuluhan dan peta endemis gondok (28,66%),

penyediaan data prevalensi GAKI (42,68%), rencana

kerja tahunan (57,12%) dan microplanning (42,68%)

serta hanya 1 Puskesmas (14,52%) cukup dan ada

1 Puskesmas (14,52%) baik perencanaan

programnya. Perencanaan dalam organisasi sangat

penting karena dapat menunjang keberhasilan

program. Perencanaan yang baik dapat dicapai

dengan mempertimbangkan kondisi yang akan

datang dan kondisi saat perencanaan dibuat.8

Pada pelaksanaan Program GAKI ada 1

Puskesmas (14,28%) dengan nilai baik (>75%) dan

ada 2 Puskesmas (28.57%) pelaksanaan Program

GAKI dengan nilai cukup, serta ada 4 Puskesmas

(57,14%) dengan nilai kurang. Pelaksanaan Program

GAKI yang baik di butuhkan pembagian tugas yang

jelas siapa pemberi palayanan, pemberi penyuluhan

dan siapa yang melakukan pendataan/palpasi

gondok anak sekolah.

Pada penilaian, pengawasan dan pengendalian

Program GAKI ada 3 Puskesmas (42,86%) dengan

nilai baik dan yang mendapat nilai cukup ada 3

Puskesmas (42,62%) dan yang nilai kurang (14,52%)

1 Puskesmas. Penilaian, pengawasan dan

pengendalian Program GAKI di Puskesmas masih

kurang (57,14%) terutama pada umpan balik, baik

dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya maupun dari

Kepala Puskesmas (57,14%), kegiatan penilaian,

pengawasan dan pengendalian yang baik

memerlukan pelaporan yang lengkap dan rutin, ada

kejelasan target, ada pembinaan, pelatihan dan

supervisi program dan penilaian kinerja.

Pada pemberdayaan karyawan ada 1

Puskesmas (14,50%) yang mempunyai nilai baik

(>15), nilai cukup ada 2 Puskesmas (28,36%) dan

nilai kurang ada 4 Puskesmas (57,14%). Untuk

meningkatkan pelayanan Program GAKI, Puskesmas

sebaiknya melaksanakan kegiatan pemberdayaan

karyawan yang meliputi pendelegasian wewenang

Program Penanggulangan GAKI, pembinaan terhadap

pelaksana gizi, bidan dan paramedis untuk

memaksimalkan cakupan kegiatan Program GAKI

yang dampaknya dapat menurunkan prevalensi GAKI

di wilayah kerja Puskesmas. Pemberdayaan sumber

daya manusia di tingkat Puskesmas sangat penting

artinya untuk kualitas keberhasilan (efektivitas) suatu

program Puskesmas.12

2. Faktor Masyarakat

a. Anak Sekolah

Untuk status gizi anak sekolah dengan gondok

derajat 1a dan 1b yang bertubuh kurus (42,0%), dan

anak sekolah non gondok dengan bentuk tubuh

normal (46,0%). Pengetahuan anak sekolah dengan

gondok derajat 1 tentang garam beriodium juga

kurang (24,0%) dibandingkan dengan pengetahuan

anak sekolah non gondok (44,5%). Cakupan

distribusi kapsul iodium kepada anak sekolah juga

lebih banyak (14,5%) kepada anak sekolah non-

gondok dan anak sekolah dengan gondok derajat 1

tidak mendapat kapsul iodium (9%). Sehingga perlu

dicermati beberapa alasan anak sekolah tidak mau

kapsul iodium (muntah). Anak sekolah dengan

gondok derajat 1a dan 1b juga mendapat uang jajan

yang diterima kurang dari seribu rupiah (67,0%) dan

tidak pernah sarapan pagi (25,5%). Upaya untuk

meningkatkan pengetahuan tentang GAKI adalah

melalui guru sekolah masing-masing, sehingga perlu

kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan

pertemuan dengan guru sekolah secara rutin.

b. Orangtua (Ibu)

Pendidikan orang tua (ibu) dari anak sekolah

dengan gondok derajat 1 berpendidikan SD dan tidak

tamat SD/MI (36,0%). Tetapi kebanyakan ibu dari

daerah gondok endemik berat masih berpendidikan

rendah/ tamat SD/MI (45,0%). Orang tua (ibu) dari

anak sekolah non gondok lebih banyak bekerja

(25,0%), sehingga dapat menambah penghasilan

keluarga dan meningkatkan sosial ekonomi/

pendapatan keluarga. Penghasilan orang tua (ibu)

dari anak sekolah dengan gondok derajat 1

>Rp900.000,00 (32,5%). Pengetahuan tentang GAKI

yang diperoleh dari petugas kesehatan kurang

(45,5%), sebanyak (39,0%) ibu dari anak dengan

gondok derajat 1a dan1b tidak mengetahui akibat

kekurangan iodium pada kecerdasan anak, dan

orang tua (ibu) dari anak dengan gondok derajat 1a

dan 1b sebagian besar (48,5%) tidak mengetahui

perlakuan terhadap garam/ makanan yang dapat

mengurangi kadar iodium.

Page 44: jurnal kesmas

154 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Oktarina, dkk.: Upaya Meningkatan Penanggulangan GAKY ...

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Secara umum penyebab tingginya prevalensi

GAKI anak sekolah didaerah gondok endemik berat

adalah kurangnya sarana prasarana (food model dan

iodina test, konseling garam beriodium, pojok gizi,

protap diet, leaflet) di Puskesmas, pengetahuan

petugas tentang Program GAKI yang sedang

dilaksanakan, petugas tidak mengikuti pelatihan

tentang GAKI, kurangnya dana yang dibutuhkan

untuk distibusi kapsul iodium, palpasi gondok anak

sekolah dan monitoring garam beriodium, motivasi,

imbalan, pelaksana gizi, bidan dan paramedis

mengenai program penanggulangan GAKI,

manajemen program penaggulangan GAKI yang

masih kurang baik (perencanaan, pelaksanaan,

penilaian, pengawasan dan pengendalian),

pemberdayaan karyawan yang masih kurang.

Pendidikan yang rendah dari masyarakat, sosial

ekonomi yang rendah, pengetahuan yang kurang

tentang akibat kekurangan iodium pada kecerdasan

anak sekolah, perlakuan terhadap makanan/ garam

beriodium yang salah, kurang terlibatnya petugas

kesehatan dalam memberikan penyuluhan kepada

masyarakat.

Upaya promotif dan preventif yaitu sosialisasi

dan advokasi (penyuluhan) Program Penanggulangan

GAKI yang lebih luas kepada masyarakat dengan

diseminasi informasi kepada seluruh jajaran

kesehatan dan tokoh masyarakat, Gerakan Sadar

Pangan dan Gizi, perilaku masyarakat dalam

pengertian bagaimana perlakuan yang benar

terhadap garam beriodium 85,72%, mengenal

kelainan akibat gondok sejak dini, berupaya untuk

meningkatkan gizi keluarga secara mandiri dan terus

berupaya untuk meningkatkan kesehatan dan

kesejahteraan anak, keluarga dan lingkungan.

Strategi kuratif dan rehabilitatif yaitu

meningkatkan status gizi individu, keluarga dan

masyarakat dengan menurunkan prevalensi GAKI,

memberika, pelayanan kesehatan kepada individu,

keluarga dan masyarakat agar sadar bahwa

berkepanjangan dan menimbulkan efek misalnya

menurunnya kecerdasan pada anak, gangguan

pertumbuhan dan gangguan kesuburan,

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di

Puskesmas dan di luar Puskesmas secara aktif

dengan meningkatkan keterpaduan lintas sektor dan

lintas program serta memberikan pelayanan yang

professional (dokter, pelaksana gizi, paramedis yang

sudah terlatih).

Memberikan pelayanan kesehatan untuk

masalah KEP dan GAKI secara menyeluruh yang

meliputi konseling diet, pengobatan medis,

penanganan masalah GAKI secara terpadu dengan

pembentukan tim leaning di Puskesmas dan

meningkatkan cara kerja tim (Team Work).

Saran

Bagi Dinas Kesehatan perlu disusun upaya

peningkatan penanggulangan GAKI di daerah gondok

endemik berat di Kota Surabaya berupa upaya

jangka pendek dengan meningkatkan pengetahuan,

keterampilan dan komitmen seluruh petugas

kesehatan dalam penyusunan rencana kerja (POA),

minilokarya, pelaksanaan kegiatan, pendistribusian

kapsul iodium, palpasi gondok anak sekolah,

penyediaan peta prevalensi gondok, perbaikan

metoda dan media penyuluhan pada sasaran.

Perlunya peningkatan kualitas petugas/provider

dengan memberi kesempatan melanjutkan

pendidikan kejenjang yang lebih tinggi atau

mengikutsertakan dalam pelatihan pelatihan secara

berkala dan berkesinambungan, mengupayakan

adanya imbalan bagi petugas/ provider baik finansial

maupun nonfinansial untuk meningkatkan hasil kerja

(produktivitas), serta menyesuaikan beban kerja

petugas/provider sesuai kemampuannya agar dapat

meningkatkan motivasi petugas/provider.

Selain itu, kegiatan pendukung lain yang perlu

dilakukan adalah meningkatkan koordinasi lintas

program dalam manajemen penanggulangan GAKI

yang mencakup perencanaan, pelaksanaan,

penilaian, pengawasan dan pengendalian Program

Penanggulangan GAKI yang lebih efektif dan efisien

dengan membentuk team learning (team base) di

Puskesmas, meningkatkan koordinasi lintas sektor

untuk memberikan informasi lebih luas tentang GAKI

kepada masyarakat dan sekolah serta upaya

penanggulangannya, serta perlu diadakan kerja sama

dengan Akademi Gizi Surabaya dalam rangka

pelatihan, palpasi gondok anak sekolah.

KEPUSTAKAAN

1. Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat

Departemen Kesehatan RI. Masalah GAKI dan

Upaya Penanggulangannya. Makalah Rapat

Kerja Bupati/Walikota dalam Rangka

Desentralisasi Pelaksanaan Wajar Diknas 9

Tahun, Jakarta. 1999.

2. Tinker A, E Ransom. Healthymothers and

Healthy New Borns: The Vital Links, Save The

Children, Population Reverence Bureau. 2002.

3. Soegianto B. Gangguan Akibat Kekurangan

Yodium, Akademi Gizi, Surabaya. 2002

4. Anderson MB. Takkouche I. Egli HE. Allen and

B. De Benoist. Current global Iodine Status and

Progress over the Last Decade towards the

Page 45: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 155

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Elimination of Iodine Deficiency. IDD Newsletter,

2006;1:10-12.

5. Wisnu C. Penentuan Kadar Spesi Iodium dalam

Garam Beriodium yang Beredar di Pasar dan

Bahan Makanan Selama Pemasakan dengan

Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-

Pasangan Ion. Media Medika Indonesiana.

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,

Semarang,2008; 43(01): 22-.8.

6. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Standard

Pelayanan Minimal Dinas Kesehatan Propinsi

Jawa Timur. 2002.

7. Munfarida S. Perbedaan Prestasi Belajar Anak

yang Menderita Gondok dan Tidak Gondok di

Daerah Endemik Berat. Akademi Gizi,

Surabaya. 2003.

8. Handoko TH. Manajemen, Yogyakarta. BPPE.

2000.

9. Supriyanto. Team Learning, Journal Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan, Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

2003.

10. Dolinsky A. Elderly Patients Satisfaction with

the Our Come of Their Health Care Complaints.

Health Care Manage Rev, 22 (2), 33-40. Aspen

Publiser Inc. 1997.

11. Kartono D, Muhilal, Sunarno RW, Atmarita.

Indikator Total Goiter Rate (TGR) Anak Sekolah

Sebagai Dasar Kebijakan Program GAKI di

Indonesia. Jurnal GAKI Indonesia. 2006;5:1-2:

28-34

12. Simamora H. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Bagian Penerbitan STIE YKPN,

Yogyakarta.2001.

Page 46: jurnal kesmas

156 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Asiah Hamzah, dkk.: Analisis Penetapan Pasar Sasaran ...

ANALISIS PENETAPAN PASAR SASARAN

RUMAH SAKIT STELLA MARIS MAKASSAR TAHUN 2008

ANALYSIS OF DETERMINING TARGET MARKET

OF STELLA MARIS HOSPITAL IN MAKASSAR 2008

Asiah Hamzah1, Darmawansyah1, Sukri Palutturi1, Petrus Romeo²1 Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar2 Alumni Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRACTBackgrounds: The increasing of quality competition in service

of hospital health, driving management of Stella Maris Hospital

in Makassar to design business strategy which can be cost

effective and improve the earnings. Strategy of target marketing

is one of the accurate alternatives because hospital will get

some benefit namely: 1) more efficient resource allocation 2)

can chosen the more interesting target, 3) more comprehending

of requirement and market desire 4) progressively narrow the

scope market served, and 5) progressively understand the

hospital to its market behavior.

Objectives: The aim of this research is to find out the hospital

market segment based on: the consumer characteristics, the

interest of market segment, and the profile of Stella Maris

Hospital in Makassar.

Methods: The research was carried out in the inpatient unit

of Stella Maris Hospital in Makassar. The data were obtained

by survey and questionnaire to 115 patients or patients’ family

in the inpatient unit of Stella Maris Hospital in Makassar from

April 15 to May 15, 2008.

Results: The result shows that based on customers’

characteristics, there were three market segments namely

segment I consisting of 30 people (26.09%); segment II

consisting of 25 people (21.74%); and segment III consisting

of 60 people (52.17%). Based on the interest of market segment,

segment III is determined as the target market by Stella Maris

Hospital in Makassar and labeled as health care maximize.

Based on the profile of Stella Maris Hospital in Makassar which

is viewed from potential market size, market compartment, the

number of closest competitors, substitution attendance,

geographical accessibility, and relationship between segment

with partner companies or insurance, segment III is determined

as the target market by Stella Maris Hospital in Makassar, and

labeled as health care maximize.

Conclusions: Viewed from the segment interest and the

profile of Stella Maris Hospital in Makassar, segment III which

labeled as health care maximize is determined as the target

market of Stella Maris Hospital in Makassar in 2008.

Keywords: target market, segmentation, hospital marketing

ABSTRAKLatar Belakang: Meningkatnya kompetisi kualitas dalam

pelayanan kesehatan rumah sakit, mendorong manajemen

Rumah Sakit Stella Maris Makassar untuk merancang strategi

bisnis yang dapat menghemat biaya dan meningkatkan

pendapatan. Strategi pemasaran bersasaran merupakan salah

satu alternatif yang tepat karena rumah sakit akan mendapatkan

beberapa manfaat yaitu: 1) alokasi sumber daya yang lebih

efisien 2) dapat memilih sasaran yang lebih menarik (atraktif),

3) lebih memahami kebutuhan dan keinginan pasar, 4) semakin

sempit scope pasar yang dilayani, dan 5) semakin paham

rumah sakit terhadap perilaku pasarnya.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pasar

sasaran rumah sakit berdasarkan karakteristik masyarakat

pengguna, segmen pasar yang terbentuk, dan profil Rumah

Sakit Stella Maris Makassar.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei dengan

menyebarkan kuesioner kepada 115 pasien/keluarga pasien

yang menggunakan jasa layanan kesehatan rawat inap di

Rumah Sakit Stella Maris Makassar sejak tanggal 15 April hingga

15 Mei tahun 2008.

Hasil: Berdasarkan karakteristik pengguna layanan jasa Rumah

Sakit Stella Maris Makassar, teridentifikasi tiga segmen pasar

dengan jumlah anggota masing-masing adalah: segmen I

sebanyak 30 orang (26,09%); segmen II sebanyak 25 orang

(21,74%); dan segmen III sebanyak 60 orang (52,17%).

Kemampuan dan ketersediaan sumber daya Rumah Sakit Stella

Maris Makassar (bangunan, SDM, keuangan, jenis pelayanan,

manajemen organisasi, sistem informasi, alat dan teknologi

kesehatan, serta sarana dan fasilitas) cukup menunjang

pelaksanaan strategi pemasaran bersasaran.

Kesimpulan: Berdasarkan daya tarik segmen dan profil Rumah

Sakit Stella Maris Makassar, maka segmen pengguna III yang

diberi label health care maximizer, ditetapkan sebagai pasar

sasaran Rumah Sakit Stella Maris Makassar tahun 2008.

Kata Kunci: pasar sasaran, segmentasi, pemasaran rumah sakit

PENGANTAR

Dewasa ini paradigma jasa pelayanan rumah

sakit telah mengalami perubahan mendasar dari

suatu sistem yang berpijak pada dasar kemanusiaan

menjadi sebuah lembaga usaha yang mempunyai

misi sosial.1 Perubahan ini menempatkan rumah

sakit pada posisi kontradiktif, pada satu sisi rumah

sakit dituntut untuk memberikan pelayanan

kesehatan yang terbaik dalam memenuhi fungsi

sosialnya, dan pada sisi lain rumah sakit harus

dikelola dengan menerapkan prinsip bisnis modern

guna mendapatkan keuntungan bagi keberlanjutan

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 156 - 161

Artikel Penelitian

Page 47: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 157

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

pelayanannya. Oleh karena itu, rumah sakit perlu

melakukan strategi pemasaran bersasaran yaitu

rumah sakit mengidentifikasi segmen-segmen pasar

utama, membidik satu atau dua segmen itu, dan

mengembangkan produk serta program pemasaran

yang dirancang khusus bagi masing-masing

segmen. Dengan demikian, maka rumah sakit akan

mendapatkan beberapa manfaat yaitu: 1) alokasi

sumber daya lebih efisien, 2) rumah sakit dapat

memilih sasaran yang lebih menarik (atraktif), 3)

rumah sakit lebih memahami kebutuhan dan

keinginan pasar, dan 4) rumah sakit lebih memahami

situasi persaingan terutama dalam menghadapi

pesaing yang menawarkan produk yang sama

ataupun yang bersubstitusi secara dekat.2

Dewasa ini banyak rumah sakit yang telah

melaksanakan pemasaran sasaran. Rumah Sakit

Graha Medika Jakarta telah merancang organisasi

pemasaran untuk melayani kebutuhan sesuai

keinginan pasar yang terpilih yaitu golongan

menengah ke atas yang memiliki ciri sebagai berikut:

1) rata-rata berpendidikan cukup sehingga lebih kritis

dan selektif dalam menilai dan memilih pelayanan

kesehatan yang dibutuhkan, 2) sedikit banyak

memiliki pengetahuan tentang kesehatan secara

umum, 3) lebih menghendaki mutu pelayanan jasa

medis, 4) memiliki kemampuan untuk membayar

pelayanan yang dibutuhkan dan diinginkannya.3

Demikian pula Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

telah menetapkan 115 instansi/perusahaan sebagai

salah satu pasar sasarannya, dan telah

menghasilkan peningkatan angka kunjungan pasien

yang signifikan dari sejumlah 1.881 kunjungan pada

tahun 2002 menjadi 2.173 kunjungan pada tahun

2004.4

Rumah Sakit Stella Maris Makassar merupakan

salah satu rumah sakit milik yayasan keagamaan

yang ada di Kota Makassar. Sebagaimana yang

terjadi pada rumah sakit swasta milik lembaga

keagamaan dan kemanusiaan lainnya di Indonesia,

Rumah Sakit Stella Maris pada saat ini tengah

mengalami perkembangan menarik, seiring dengan

berkurangnya sumbangan dana-dana kemanusiaan

(charity funds) yang sebelumnya menjadi sumber

tradisional pendanaan rumah sakit. Hingga saat ini

belum ada informasi tentang strategi pemasaran

yang dilakukan manajemen rumah sakit dalam

menghadapi tantangan perubahan lingkungan

bisnisnya, sehingga perlu dilakukan penelitian ini.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian

kuantitatif eksplanatif5 untuk mengidentifikasi

segmen pasar rumah sakit yang terbentuk, serta

menguji efektivitas dan daya tarik segmen pasar

guna menentukan pasar sasaran yang dapat digarap

sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan

sumber daya yang dimilikinya.

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan,

terhitung sejak tanggal 15 April hingga 15 Mei 2008.

Populasi penelitian adalah semua konsumen

pengguna layanan jasa pelayanan kesehatan Rumah

Sakit Stella Maris Makassar. Sampel penelitian

adalah pasien rawat inap yang menggunakan jasa

pelayanan selama kurun waktu 15 April hingga 15

Mei 2008. Penentuan unit sampel menggunakan

metode nonprobability sampling dengan

pertimbangan bahwa pasien rawat inap mudah

dijumpai dan memiliki cukup waktu untuk mengisi

daftar pertanyaan. Penentuan sampel dilakukan

dengan menggunakan teknik sampling jenuh dengan

kriteria responden sebagai berikut: 1) bersedia

menjadi responden, dan 2) dapat mengisi lembar

daftar pertanyaan penelitian. Jumlah sampel yang

berhasil dijaring sesuai kriteria tersebut adalah

sebanyak 115 responden.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri

dari data primer dan data sekunder. Data primer

dikumpulkan melalui teknik penyebaran kuesioner

untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik

demografis, geografis, psikografis, perilaku, dan

kebutuhan, serta keinginan responden terhadap

pelayanan kesehatan rumah sakit. Data sekunder

dikumpulkan dari laporan dan dokumen rumah sakit,

serta instansi yang terkait dengan penelitian ini. Data

dimaksud di antaranya adalah profil rumah sakit,

jumlah kunjungan, jumlah penduduk, dan data lain

yang terkait dengan penelitian ini. Data yang

terkumpul, ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis

dengan menggunakan teknik analisis klaster non-

hirarkhis berupa K-mean klaster dengan bantuan

perangkat lunak SPSS.5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Usia responden sebagian besar berada pada

rentang usia 24 sampai 39 tahun yaitu sejumlah 33

orang (28,7%) diikuti kelompok usia di bawah 12

tahun sebanyak 27 orang (23,5%), 12 sampai 23

tahun sebanyak 26 orang (22,6%), dan persentase

terkecil terdapat pada kelompok usia 40 - 55 tahun

dan di atas 55 tahun masing-masing sebanyak 15,7%

dan 9,6%. Sebagian besar responden (59,1%)

berjenis kelamin perempuan dan yang berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 40,9%. Tingkat

pendidikan responden, sebagian besar (39,1%)

berpendidikan SLTA, diikuti tingkat pendidikan SD

(25,2%), SLTP (13,9%), sarjana (13,9%), dan tidak

tamat SD sebanyak 7,8%. Pekerjaan responden

Page 48: jurnal kesmas

158 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Asiah Hamzah, dkk.: Analisis Penetapan Pasar Sasaran ...

umumnya adalah karyawan swasta yakni sebanyak

56,5%, diikuti PNS/TNI dan Polri sebanyak 17,4%,

petani/petambak/nelayan sebanyak 13,9%, buruh

sebanyak 7,8%, pensiunan sebanyak 2,6%, dan

pemilik perusahaan sebanyak 1,5%. Tingkat

pendapatan keluarga sebagian besar berada pada

kelompok pendapatan menengah ke bawah, yaitu

sebanyak 37,4% memiliki pendapatan antara

Rp500.000,00 - Rp1.000.000,00 diikuti tingkat

pendapatan di atas Rp1.000.000,00 - Rp2.000.000,00

sebanyak 26,1% dan di bawah Rp 500.000,00

sebanyak 20,9%. Responden yang berpendapatan

tinggi (> Rp2.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 dan di

atas Rp3.000.000,00) hanya berjumlah 15,7%. Dilihat

dari lokasi tempat tinggal dan status tempat tinggal

responden umumnya merupakan masyarakat Kota

Makassar yaitu sebanyak 91,3% dan yang berasal

dari luar kota Makassar hanya sebanyak 8,7%.

Responden yang berasal dari luar kota Makassar

umumnya merupakan penduduk Kabupaten Gowa,

Takalar, dan Maminasata. Dari status tempat tinggal,

sebagian besar (58,3%) responden telah memiliki

rumah sendiri, tinggal di rumah keluarga sebanyak

26,1%, rumah kontrakan 13,9%, dan sebanyak

1,7% tinggal di rumah dinas.

Semua responden sangat termotivasi untuk

menggunakan jasa pelayanan Rumah Sakit Stella

Maris karena beberapa alasan sebagai berikut6:

pelayanannya baik dan cepat, letak rumah sakit

dekat dan strategis, kebersihan dan kenyamanan

ruangan dan lingkungan rumah sakit, memiliki

sarana dan fasilitas yang lengkap, memiliki tenaga

dokter ahli dan profesional, pelayanan paramedis

yang ramah dan profesional, menggunakan fasilitas

Askes, dan faktor lainnya seperti tarif yang sesuai

dan adanya keringanan dalam pola pembayaran jasa

pelayanan rumah sakit. Kedelapan faktor tersebut

mendapatkan penilaian baik oleh pasien dengan

kisaran antara 60,9% - 100%. Keyakinan responden

terhadap kemampuan rumah sakit dalam

memberikan pelayanan prima, terlihat dari jawaban

responden yang menilai bahwa Rumah Sakit Stella

Maris Makassar merupakan salah satu rumah sakit

dengan kriteria baik. Rumah sakit yang baik memiliki

kriteria utama: fasilitasnya lengkap, memiliki tenaga

dokter dan perawat yang lengkap dan profesional,

tarifnya tidak mahal dan terjangkau, kebersihan dan

kenyamanan ruangan dan lingkungan rumah sakit,

dan prosedur penerimaan dan pelayanan yang cepat.

Jawaban responden atas jenis pertanyaan mengenai

kriteria rumah sakit yang baik tersebut, berkisar

antara 60,0% - 97,4%.

Citra utama Rumah Sakit Stella Maris Makassar

menurut responden adalah pelayanannya yang

profesional, serta kebersihan dan kerapihan ruangan

dan lingkungan rumah sakit. Sumber informasi

tentang Rumah Sakit Stella Maris dan pelayanannya

umumnya bersumber dari keluarga dan teman, serta

pengalaman pribadi responden karena sebelumnya

pernah mengunjungi anggota keluarga dan kerabat

yang dirawat di Rumah Sakit Stella Maris Makassar. 7

Penggunaan jasa pelayanan Rumah Sakit Stella

Maris dilakukan responden ketika menderita sakit

ringan, sedang dan sakit berat, masing-masing

dengan persentase: 44%; 88%; dan 100%. Selain

menggunakan pelayanan kesehatan di rumah sakit,

responden juga menggunakan jasa pelayanan dokter

praktik, Puskesmas, pengobatan alternatif maupun

pengobatan sendiri dengan membeli obat di apotek

atau toko obat yang terdekat. Umumnya responden

menggunakan jasa pelayanan Puskesmas dan

melakukan pengobatan sendiri pada saat menderita

sakit ringan dan sedang. Pada kondisi sakit berat,

umumnya responden (individu dan keluarga)

menggunakan jasa pelayanan rumah sakit.

Alasan berobat ke Rumah Sakit Stella Maris

Makassar, sebanyak 84,3% responden mengambil

keputusan atas ajakan keluarga dan 41,7% atas

ajakan teman. Pilihan atas kemauan sendiri dan

ajakan tetangga hanya sebanyak 3,5 dan 7,8 %.

Frekuensi pemanfaatan Rumah Sakit Stella Maris

oleh individu adalah: 1 sampai 2 kali sebanyak 40%;

3 sampai 4 kali sebanyak 31,3%; 5 sampai 6 kali

sebanyak 18,3%; dan lebih dar 6 kali sebanyak

10,4%. Keluarga responden adalah: 1 sampai 2 kali

sebanyak 26,1%; 3 sampai 4 kali sebanyak 31,3%;

5 sampai 6 kali sebanyak 20,0%; dan lebih dar 6

kali sebanyak 22,6%.

Untuk mengetahui jumlah dan keanggotaan

segmen pasar yang terbentuk, dilakukan analisis

klaster. Analisis klaster adalah berkenaan dengan

obyek-obyek yang memiliki kemiripan karakteristik.8

Obyek yang karakteristiknya berbeda secara

ekstrim dengan obyek yang lainnya tidak dapat

memberikan sumbangan terhadap kesamaan

(similarlity) sebagai dasar dalam melakukan

pengelompokan obyek. Obyek yang berbeda secara

ekstrim dengan obyek lainnya dinamakan dengan

outliers.3 Kehadiran outliers akan sangat

mengganggu hasil analisis data, sehingga harus

dikeluarkan dari analisis. Hasil uji statistik dan output

analisis klaster hirarkhis dalam bentuk diagram

dendogram menunjukkan bahwa dari 115 responden

penelitian, tidak ada satupun obyek/responden yang

karakteristiknya berbeda secara ekstrim dengan

responden lainnya. Artinya, dari 115 responden

penelitian ini tidak ada satu pun yang dikeluarkan

dari analisis.

Page 49: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 159

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan skedul aglomerasi, memperlihatkan

bahwa solusi tiga segmen merupakan yang terbaik

dan menghasilkan keanggotaan segmen sebagai

berikut:

a) Segmen I beranggotakan responden no: 1,

7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 18, 20, 21, 22,

23, 24, 25, 26, 27, 28, 32, 34, 36, 39, 53,

54, 58, 71, 87, 97, dan 104

b) Segmen II beranggotakan responden no:

17, 19, 33, 38, 47, 51, 52, 55, 56, 57, 76,

79, 80, 81, 82, 86, 94, 95, 96, 100, 103,

105, 106, 109, dan 112

c) Segmen III beranggotakan responden no:

2, 3, 4, 5, 6, 15, 16, 29, 30, 31, 35, 37, 40,

41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 59, 70,

73, 74, 75, 78, 83, 84, 85, 88, 89, 90, 91,

92, 93, 98, 99, 101, 102, 107, 108, 110,

111, 113, 114, dan 115

Hasil analisis k-mean klaster juga mendapatkan

ukuran klaster sebagai berikut:5 segmen I sebanyak

30 orang, segmen II sebanyak 25 orang, dan segmen

III sebanyak 60 orang. Dilihat dari jumlah anggota

masing-masing segmen tersebut di atas, maka dapat

dikatakan bahwa ukuran relatif dari masing-masing

segmen yang terbentuk cukup besar, sehingga solusi

penetapan jumlah tiga segmen untuk segmentasi pasar

Rumah Sakit Stella Maris Makassar, sangat baik.

Hasil uji Anova memperlihatkan 31 karakteristik

yang nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05. Hal

ini berarti terdapat 31 karakter yang berbeda antara

segmen. Hasil penelitian ini berbeda dengan

penelitian Syam8 di Rumah Sakit Lasinrang Pinrang

yang hanya mengidentifikasi 21 karakter yang

signifikan berbeda antar masing-masing segmen.

Dalam analisis klaster, pengelompokan segmen

pasar rumah sakit didasarkan atas adanya

keserupaan karakteristik masyarakat pengguna.

Semakin serupa karakteristik anggota suatu

segmen, dan semakin berbeda karakteristik anggota

antar segmen maka dikatakan semakin baik proses

segmentasi tersebut. Hasil uji anova tersebut di atas

berarti pula bahwa segmentasi pasar pengguna jasa

pelayanan Rumah Sakit Stella Maris Makassar ke

dalam tiga segmen merupakan solusi yang terbaik.

Karakteristik dari masing-masing segmen,

memperlihatkan bahwa segmen I umumnya

merupakan masyarakat Kota Makassar yang berada

pada rentang usia 24 sampai 39 tahun. Berdasarkan

jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, status tempat

tinggal, pendapatan dan jumlah pengeluaran belanja

rumah tangga, maka status sosial anggota segmen

ini diduga merupakan kelompok masyarakat

menengah ke atas. Hal ini didukung pula dengan

besar pengeluaran untuk belanja kesehatan pribadi

dan keluarga yang lebih tinggi dibanding dengan

anggota segmen lainnya. Dengan tingkat pendapatan

rumah tangga yang besar, anggota kelompok ini

umumnya melakukan pembayaran jasa pelayanan

kesehatan secara tunai (out of pocket).4 Segmen I

umumnya mencari pelayanan kesehatan ke lembaga

penyaji layanan kesehatan baik pada saat sakit

ringan, sedang maupun sakit berat. Namun

pencarian layanan kesehatan ke rumah sakit tidak

terlalu giat. Jadi anggota segmen I merupakan

pengguna yang inertia. Faktor yang membuat

anggota kelompok I tertarik untuk menggunakan jasa

pelayanan Rumah Sakit Stella Maris adalah karena

pelayanannya yang cepat, dan faktor inilah yang

justru dinilai sebagai nilai unggul dari suatu rumah

sakit yang baik.9 Untuk memudahkan pengguna

dalam memanfaatkan jasa layanan, anggota

kelompok ini cenderung menginginkan adanya

kunjungan dokter ke rumah untuk melakukan

pemeriksaan secara berkala.

Segmen II umumnya adalah masyarakat Kota

Makassar yang berada pada rentang usia 40 - 55

tahun. Berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat

pendidikan, status tempat tinggal, pendapatan dan

jumlah pengeluaran belanja rumah tangga, maka

status sosial anggota segmen ini diduga merupakan

kelompok masyarakat menengah ke bawah.7 Hal ini

didukung pula dengan besar pengeluaran untuk belanja

kesehatan pribadi dan keluarga yang lebih kecil

dibanding dengan anggota segmen lainnya. Dengan

tingkat pendapatan rumah tangga yang relatif kecil,

anggota kelompok ini umumnya melakukan

pembayaran jasa pelayanan kesehatan dengan

Askeskin. Segmen II umumnya kurang mencari

pelayanan kesehatan ke lembaga penyaji layanan

kesehatan terutama pada saat sakit ringan dan

sedang. Mereka biasanya mencari pengobatan

alternatif tetapi ketika menderita sakit berat, mencari

pelayanan rumah sakit. Intensitas pemanfaatan rumah

sakit sangat rendah yaitu 1 - 2 kali dalam setahun.

Jadi anggota segmen II bukan merupakan pengguna

yang loyal.9 Faktor yang membuat anggota kelompok

II tertarik untuk menggunakan jasa pelayanan Rumah

Sakit Stella Maris karena pelayanannya yang cepat,

dan faktor inilah yang justru dinilai sebagai nilai unggul

dari suatu rumah sakit yang baik. Untuk memudahkan

pengguna dalam memanfaatkan jasa layanan,

anggota kelompok ini cenderung menginginkan rumah

sakit menyediakan sarana transportasi untuk antar

jemput pasien.9

Segmen III umumnya adalah masyarakat Kota

Makassar yang berada pada rentang usia 12 sampai

23 tahun. Anggota segmen ini sebagian merupakan

Page 50: jurnal kesmas

160 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Asiah Hamzah, dkk.: Analisis Penetapan Pasar Sasaran ...

orang yang sudah memiliki pekerjaan dan sebagian

lagi sedang berada dalam bangku pendidikan atau

masih dalam tanggungan orang tua. Berdasarkan

jenis pekerjaan/pekerjaan orang tua, tingkat

pendidikan, status tempat tinggal, pendapatan

(keluarga) dan jumlah pengeluaran belanja rumah

tangga, maka status sosial anggota segmen ini

diduga merupakan kelompok masyarakat

menengah.3 Walaupun pengeluaran untuk belanja

rumah tangga anggota segmen III sama dengan

segmen II, namun pengeluaran untuk belanja

kesehatan pribadi dan keluarga lebih besar

dibandingkan dengan segmen II. Dengan tingkat

pendapatan rumah tangga yang tidak terlalu besar,

anggota kelompok ini umumnya melakukan

pembayaran jasa pelayanan kesehatan dengan

jaminan dari perusahaan tempat pasien/orang tua

pasien bekerja.8 Segmen III umumnya mencari

pelayanan kesehatan ke lembaga penyaji layanan

kesehatan baik pada saat sakit ringan, sedang

maupun sakit berat. Ketika menderita sakit ringan

dan sedang mereka biasanya menggunakan jasa

layanan Puskesmas terdekat, sedangkan pada

kondisi sakit berat mereka mencari pelayanan rumah

sakit. Intensitas pemanfaatan rumah sakit baik oleh

anggota keluarga maupun oleh pribadi pasien, sangat

tinggi.6 Jadi anggota segmen III digolongkan sebagai

pengguna yang loyal. Faktor yang membuat anggota

kelompok III tertarik untuk menggunakan jasa

pelayanan Rumah Sakit Stella Maris adalah karena

pelayannya yang cepat, walaupun mereka

menempatkan kebersihan ruangan dan lingkungan

rumah sakit sebagai kriteria utama dari suatu rumah

sakit yang baik.6 Untuk memudahkan pengguna

dalam memanfaatkan jasa layanan, anggota

kelompok ini cenderung menginginkan rumah sakit

melakukan kunjungan ke rumah untuk mengadakan

pemeriksaan secara berkala.

Sebelum menentukan segmen pasar mana

yang akan dipilih sebagai pasar sasaran Rumah

Sakit Stella Maris, perlu dilakukan evaluasi terhadap

setiap segmen yang terbentuk.10 Evaluasi dilakukan

atas dasar kriteria sebagai berikut: 1) substansial,

2) dapat diukur, 3) dapat dijangkau, 4) dapat

dibedakan, dan 5) dapat dilayani. Berdasarkan hasil

analisis sebelumnya maka ukuran segmen pasar

Rumah Sakit Stella Maris diuraikan pada Tabel 1.

Dalam penelitian ini, pasar sasaran ditentukan

berdasarkan daya tarik segmen yang terbentuk dan

ketersediaan sumber daya Rumah Sakit Stella Maris.

Daya tarik segmen diukur dengan pendekatan:10

1) ukuran pasar, 2) intensitas persaingan, dan 3) akses

pasar, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.

Terlihat bahwa dari tujuh ukuran daya tarik

segmen, semuanya terindikasi baik dibanding

dengan segmen yang lainnya sehingga dapat

dikatakan bahwa segmen III efektif dan cukup baik

untuk dijadikan pasar sasaran Rumah Sakit Stella

Maris Makassar. Keputusan pemilihan segmen III

sebagai pasar sasaran utama, telah sesuai pula

dengan misi R u m a h S a k i t S t e l l a M a r i s

Makassar yaitu:11 1) Keberpihakan pada golongan

Daya Tarik Segmen Nilai Keterangan

Ukuran segmen 52,17% dari total pengguna layanan RSSM Baik

Ukuran pasar potensial (2007) 122.354 X 3,5 kunjungan/jiwa = 428.239 kunjungan per tahun

Baik

Pangsa pasar 56.428 : 428.239 X 100% = 13,18% Baik Jumlah competitor terdekat 8 (delapan) rumah sakit Baik Kehadiran substitusi Tidak ada Baik

Aksesibilitas geografis Letaknya strategis Baik Keterkaitan dengan perusahaan /asuransi mitra

Umumnya anggota segmen adalah pegawai swasta Baik

Tabel 2. Rangkuman Daya Tarik Segmen III (Health Care Maximizers)

Sumber: Data Primer Diolah

Kriteria Segmen I Segmen II Segmen III

Substansial 30 25 60

Dapat diukur Ya Ya Ya Dapat dijangkau Agak sulit (karakteristik

ambivalen)

Agak sulit (cenderung tidak

menggunakan jasa RSSM)

Ya

Dapat dibedakan Ya Ya Ya Dapat dilayani Agak sulit (cenderung

menghindari menggunakan jasa RS)

Agak sulit (program yang dibuat untuk

menarik segmen belum tentu efektif karena perilaku yg berbeda)

Ya

Keterangan Kurang efektif Kurang efektif Efektif

Tabel 1. Ukuran Segmen Pasar Rumah Sakit Stella Maris Makassar Tahun 2008

Sumber: Data Primer Diolah

Page 51: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 161

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

masyarakat lemah (option for the poor), 2) Pelayanan

dengan mutu keperawatan prima (excelent service),

dan 3) Pelayanan kesehatan dengan standar

kedokteran yang mutakhir dan komprehensif (one

stop medical services). Profil segmen III yang telah

diuraikan terdahulu menunjukkan anggota segmen

ini umumnya adalah masyarakat Kota Makassar

yang berada pada rentang usia 12 - 23 tahun dengan

status sosial menengah ke bawah. Tingkat

pendapatan keluarga berkisar antara Rp 1.000.000,00

- Rp2.000.000,00 dengan pengeluaran untuk belanja

kesehatan keluarga berkisar antara Rp500.000,00 -

Rp750.000,00 per tahun. Pekerjaan pasien/keluarga

umumnya adalah karyawan swasta.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan karakteristik pengguna layanan

jasa Rumah Sakit Stella Maris Makassar,

teridentifikasi tiga segmen pasar dengan jumlah

anggota masing-masing segmen adalah: segmen

segmen I sebanyak 30 orang (26,09%); segmen II

sebanyak 25 orang (21,74%); dan segmen III

sebanyak 60 orang (52,17%). Pasar sasaran Rumah

Sakit Stella Maris Makassar ditinjau dari daya tarik

segmen dan profil Rumah Sakit Stella Maris adalah

segmen pengguna III yang diberi label health care

maximizer.

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

pelayanan, Rumah Sakit Stella Maris Makassar,

perlu merancang strategi bauran pemasaran

bersasaran. Dalam konteks ini segmen pasar III yang

diberi label health care maximizer patut

pertimbangkan sebagai salah satu pasar sasaran

utama. Bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan

kesehatan Rumah Sakit Stella Maris Makassar, perlu

mengetahui profil lembaga penyaji layanan

kesehatan guna mendapatkan pelayanan yang

sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang

diharapkan dan bagi peneliti, diharapkan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi

bauran pemasaran Rumah Sakit Stella Maris

Makassar dengan menambahkan variabel positioning

dan Bauran pemasaran.

KEPUSTAKAAN

1. Kotler P. Kartajaya H, Huan HD, dan Liu S,

Rethinking Marketing, Sustainable Marketing

Enterprise di Asia. PT Indeks. Jakarta. 2004.

2. Setiadi JN, Perilaku Konsumen, Konsep dan

Implikasi untuk Strategi dan Penelitian

Pemasaran. Prenada Media. Jakarta. 2005.

3. Soebroto T, Soenarto S, dan Joh S, Evaluasi

Efektivitas di Rumah Sakit Panti Waluyo, Solo.

Sains Kesehatan, 2001;14 (1).

4. Mangopo SD, Kuntjoro T, dan Nusyirwan MS,

Strategi Pemasaran dan Perbaikan Mutu

Berdasarkan Analisis Kepuasan Karyawan

Instansi yang Bekerja Sama Dengan RS

Bethesda Yogyakarta. Jurnal Manajemen

Pelayanan Kesehatan, Diterbitkan Oleh Pusat

Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas

Kedokteran UGM. Yogyakarta. 2005; 08(01)

Maret:11-8.

5. Simamora B, Analisis Multivariat Pemasaran.

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

2003.

6. Foley RL, Kepuasan Pelanggan. Pengukuran

dan Penganalisisan dengan SPSS. Penerbit PT.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005.

7. Tigor HS, Achmad, Toto Suprapto, dan Emmy

KM, Bisnis Plan Rumah Sakit Stella Maris.

Makalah Seminar Tidak Dipublikasikan. 2008.

8. Zeithelm VA, and Bitner MJ, Services Marketing.

Integrating Costumer Focus across the Firm.

Second Edition. Irwin McGraw-Hill. 2000.

9. Kasali R. Membidik Pasar Indonesia,

Segmentasi, Targeting, Positioning. Cetakan

Keempat. Gramedia.Jakarta.2000.

10. Soejitno S, Ali Alkatiri dan Emil Ibrahim. Reformasi

Perumahsakitan di Indonesia. Bagian Penyusunan

Program dan Laporan Ditjen Pelayanan Medik

Depkes RI-WHO. Jakarta. 2000.

11. Anonimous, Laporan Kegiatan Tahun 2006

Rumah Sakit Stella Maris. Makassar, 2006.

12. Syam, Hasnah, Penetapan Pasar Sasaran

Rumah Sakit Umum Lasinrang Kabupaten

Pinrang. Tesis Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin. Makassar. 2006.

Page 52: jurnal kesmas

162 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB MELONJAKNYA ANGGARAN OBAT

PEMERINTAH KOTA BATAM SETELAH PEMBEBASAN

BIAYA RETRIBUSI PASIEN PUSKESMAS

ANALYSIS OF FACTORS CAUSING SHARP INCREASE OF

DRUG BUDGET AT BATAM MUNICIPALITY AFTER

THE EXEMPTION OF RETRIBUTION COST

OF HEALTH CENTER PATIENTS

Nurliyasman1, Rustamaji2, Sri Suryawati2

1Kantor Dinas Kesehatan Batam, Kepulauan Riau2Bagian Farmakologi Klinik, FK UGM, Yogyakarta

ABSTRACTBackground: Batam municipal government has implemented

the program of patient retribution cost exemption in all health

centers of Batam Municipality with no exception (includes the

haves and the have not) as long as they can show their

population identity card when they visit health canters.

Consequently health budget increases four times higher than

the previous fiscal year. This is interesting to study further in

order to find out the effectiveness or ineffectiveness of the

program implementation.

Objective: The study aimed to analyze the policy of retribution

exemption and increased drug expenditure budget.

Method: The study was retrospective observational using

both quantitative and qualitative data, analytical survey method

and cross sectional design. Quantitative data were obtained

with cluster sampling from documents of health centers such

as monthly report, number of visits of the patients, prescription

within three years (2005 – 2007) of samples of each year

were taken three months during peak visits to health centers

(June, July and August). Data obtained were tabulated and

analyzed using paired t-test at significance level 95%.

Qualitative data were obtained from in-depth interview with

related stakeholders.

Result: Retribution exemption program led to sharp increase

of visits to health centers to twice. There was no difference in

disease pattern before and after retribution exemption. The

result of paired t-test to prescription pattern showed difference

before and after retribution exemption. The Health Institution of

Batam succeeded to maintain good prescription pattern.

Conclusion : Caused sharp increase of drug budget after

retribution exemption in health centers was over anticipate of

drug procurement to forecast of visits health centre. The over

procurement can be anticipated by planning of drug

procurement the next years.

Keywords: health centers, retribution exemption, drug budget

ABSTRAKLatar belakang: Pemerintah Kota Batam telah menerapkan

program pembebasan biaya retribusi pasien di semua pusat

kesehatan masyarakat (Puskesmas) Kota Batam tanpa

pengecualian (termasuk yang kaya dan miskin) selama mereka

dapat menunjukkan kartu identitas penduduk mereka ketika

mereka kunjungi Puskesmas. Akibatnya anggaran kesehatan

dan juga kenaikan anggaran obat empat kali lebih tinggi

dibandingkan tahun fiskal sebelumnya. Hal ini menarik untuk

belajar lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi anggaran obat.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan

pembebasan retribusi dan peningkatan anggaran obat.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasi

menggunakan teknik kuantitatif dan kualitatif, dengan rancangan

cross sectional study. Data kuantitatif diperoleh dari laporan

penyakit (LB1), laporan kunjungan (LB4), dan resep-resep di

Puskesmas pada tahun 2005, 2006, dan 2007. Sampling

secara cluster, masing-masing tahun diambil sampel resep

tiga bulan perkiraan terjadinya puncak jumlah kunjungan pasien

Puskesmas (Juni, Juli, Agustus). Data yang diperoleh ditabulasi,

selanjutnya dilakukan analisis kebermaknaan menggunakan uji-

t berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95%. Secara

kualitatif, dilakukan wawancara mendalam terhadap para

stakeholder yang terlibat untuk mencari penjelasan mengenai

data kuantitatif.

Hasil: Setelah program pembebasan retribusi ini dicanangkan

telah terjadi lonjakan jumlah kunjungan pasien sampai dua kali

dibandingkan dengan sebelumnya. Penelitian terhadap pola

penyakit menunjukkan tidak ada perbedaan antara sebelum

dan setelah pembebasan retribusi. Hasil analisis terhadap pola

peresepan relatif sama antara sebelum dan setelah

pembebasan retribusi (uji t berpasangan p < 0,05). Artinya,

Dinas Kesehatan Kota Batam berhasil mempertahankan pola

peresepan yang baik.

Kesimpulan: Faktor yang menyebabkan lonjakan anggaran

obat setelah pembebasan retribusi puskesmas adalah kelebihan

antisipasi belanja obat terhadap prediksi lonjakan jumlah

kunjungan. Kelebihan ini dapat diantisipasi dalam merencanakan

belanja obat di tahun-tahun yang akan datang.

Kata Kunci : Puskesmas, pembebasan retribusi pasien,

anggaran obat

PENGANTAR

Penerapan otonomi daerah mengamanatkan

pengalihan beberapa peran pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah sebagai urusan wajib dan tugas

pembantuan, salah satunya adalah bidang

pelayanan kesehatan.1 Pemerintah Kota Batam

melaksanakan amanat tersebut dengan salah satu

programnya, yaitu pembebasan biaya retribusi

pasien Puskesmas bagi seluruh penduduk Kota

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 162 - 170

Artikel Penelitian

Page 53: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 163

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Batam, tanpa kecuali, baik miskin maupun kaya

terhitung sejak 2 Januari 2007. Walikota Batam

sebagai Kepala Daerah mengeluarkan kebijakan

tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan

kepada semua masyarakatnya, terutama dalam hal

kesehatan. Dengan sendirinya, Dinas Kesehatan

sebagai pelaksana teknis harus melaksanakan

program ini dengan sebaik-baiknya, yang harus

didukung oleh semua Puskesmas yang merupakan

ujung tombak pelayanan kesehatan tingkat dasar

tempat dilaksanakannya program tersebut.

Kota Batam sampai tahun 2007 telah memiliki

Puskesmas sebanyak 11 buah (8 buah di daerah

mainland dan 3 buah di daerah hinterland) dari 12

kecamatan. Jumlah penduduk 724.315 jiwa tahun

2007, dan tahun 2006 sebanyak 713.960, serta tahun

2005 sebanyak 681.586 jiwa. Penduduk Kota Batam

kebanyakan kaum muda yang sebagian besar bekerja

di industri, di samping itu ada juga yang menjadi

pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, kerja di

sektor informal, dan lain-lainnya, serta pengangguran.2

Pembebasan biaya retribusi pasien di Puskesmas ini

diharapkan bisa membantu mereka yang tidak mampu.

Akibat pembebasan biaya retribusi ini terjadi

kenaikan jumlah anggaran obat sampai 4 kali dari

tahun sebelumnya. Jumlah anggaran obat tahun 2007

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) Kota Batam sebesar Rp6.550.443.044,

tahun 2006 sebesar Rp1.514.500.000,00 dan tahun

2005 sebesar Rp 1.394.223.220.2

Berdasarkan uraian di atas, perlu dianalisis

faktor apa yang mempengaruhi terjadinya lonjakan

anggaran obat tersebut. Apakah program

pembebasan retribusi ini akan mengubah pola

penyakit dan pola peresepan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

kebijakan pembebasan retribusi terhadap kebutuhan

anggaran obat dan dampaknya terhadap sistem

pembiayaan kesehatan Kota Batam. Hasil penelitian

ini diharapkan bermanfaat bagi pembuat kebijakan

di Pemerintah Kota Batam untuk bahan

pertimbangan mencari bentuk sistem pembiayaan

kesehatan yang efektif dan efisien, sehingga

kebijakan tersebut bisa membantu masyarakat

miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan

tidak terlalu membebani anggaran.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian observasional

retrospektif menggunakan metode survei dengan

rancangan penelitian cross sectional. Penelitian

dilakukan di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau

Subjek pada penelitian ini adalah Puskesmas,

sebagai tempat pelaksanaan pelayanan yang

dibebaskan retribusinya. Unit analisis penelitian ini

adalah data jumlah kunjungan, jumlah obat yang

diresepkan, dan jumlah anggaran yang dialokasikan

untuk obat.

Data yang dikumpulkan adalah jenis kuantitatif

dan kualitatif. Kemudian dibandingkan jumlah

kunjungan pasien, pola penyakit dan pola peresepan

sebelum dan setelah pembebasan retribusi. Sampel

diambil secara cluster pada 3 tahun terakhir (2005,

2006 dan 2007), masing-masing tahun diambil data

pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Untuk

mendukung hasil data kuantitatif juga dilakukan

pengumpulan data kualitatif dengan wawancara

mendalam terhadap stakeholder yang terlibat, yaitu

Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Kepala

Gudang Farmasi Kota Batam, Kepala Seksi Farmasi

Makanan dan Minuman, Kepala Puskesmas,

Pengelola Obat Puskesmas, dan Gudang Farmasi.

Data yang diperoleh ditabulasi, kemudian dilihat

perbandingan sebelum dan setelah pembebasan.

Data kuantitatif dikumpulkan pada formulir kerja yang

sudah disiapkan, berpedoman kepada how to

investigate drug use in health facilities dari World

Health Organization (WHO).3 Kemudian direkap dan

selanjutnya diambil rata-rata 1 tahun dari masing-

masing indikator untuk semua sampel Puskesmas.

Selanjutnya diolah secara statistik menggunakan uji-

t berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95%

untuk melihat kebermaknaan data yang diperoleh.

Data kualitatif dari wawancara mendalam kemudian

dibuatkan matriksnya untuk mendapatkan

kesimpulan. Data kuantitatif dan kualitatif kemudian

ditriangulasi untuk memperkuat kesimpulan hasil

penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Alokasi Anggaran Obat pada APBD Kota

Batam

Persentase antara anggaran obat dengan

anggaran kesehatan pada tahun 2007 sebesar

18,6%, jauh lebih tinggi dari tahun 2005 dan

2006, yaitu perbandingan dengan dana

kesehatan hanya sebesar 6,9% dan 4,7%.

Sementara perbandingan antara dana

kesehatan dengan APBD pada tahun 2007

sebesar 4,7%, tahun 2006 sebesar 6,1% dan

tahun 2005 sebesar 5,7%. Untuk lebih jelasnya

bisa dilihat pada Tabel 1.

Page 54: jurnal kesmas

164 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...

Dana kesehatan dengan APBD dari tahun

2005, 2006 dan 2007 tidak terlalu tinggi

perbedaannya. Alokasi anggaran kesehatan

dalam APBD Kota Batam mengalami penurunan

pada tahun 2007 dibanding dengan tahun 2006.

Begitu juga dengan alokasi anggaran obat pada

tahun 2006, terjadi penurunan dibandingkan

dengan tahun 2005. Grafik pada Gambar 1

memberikan gambaran tentang fluktuasi alokasi

anggaran obat, kesehatan dan APBD Kota

Batam tersebut.

Pada Gambar 1 terlihat bahwa obat

mendapat prioritas pendanaan dari sektor

kesehatan. Perbandingan persentase anggaran

kesehatan terhadap APBD, pada tahun 2007

malah paling rendah. Artinya, dana kesehatan

tersedot untuk belanja obat.

2. Jumlah Kunjungan Pasien Puskesmas

Data yang diperoleh dari form laporan LB4

Puskesmas, menunjukkan adanya lonjakan

kunjungan pasien Puskesmas. Hal ini terjadi

pada semua Puskesmas, rata-rata 2 sampai 3

kali jumlah kunjungan pasien sebelum

diberlakukannya pembebasan retribusi. Hasil

selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tahun Jenis

Anggaran 2005 2006 Kenaikan Anggaran

2007 Kenaikan Anggaran

Dana obat *) Rp 1.394.223. Rp 1.514.500 Rp 120.276 Rp 6.550.443 Rp 5.035.943 Dana kesehatan *) Rp 20.115.925 Rp 32.395.410 Rp 12.279.485 Rp 35.253.307 Rp 2.857.897 ABPD kota *) Rp 353.762.787 Rp 529.566.084 Rp 175.803.297 Rp 746.039.000 Rp 216.472.916 % Dana obat dengan kesehatan 6,9 4,7 18,6 % Dana kesehatan dengan APBD 5,7 6,1 4,7

Tabel 1. Perbandingan Anggaran Obat, Anggaran Kesehatan dan APBD Kota Batam

*) Angka dalam ribuan rupiah.

Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Batam tahun 2005,2006 dan 2007

Gambar 1. Grafik Persentase Perbandingan Dana Obat dengan

Dana Kesehatan dan APBD Kota Batam

Tahun 2005, 2006 dan 2007

Page 55: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 165

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil

penelitian terhadap 8 sampel Puskesmas dari

data jumlah rata-rata kunjungan pasien setiap

bulannya, ternyata setelah pembebasan

retribusi terjadi lonjakan jumlah kunjungan

pasien Puskesmas sebesar 124%. Sementara

sebelumnya kenaikan kunjungan pasien dari

tahun 2005 ke tahun 2006 hanya 10%.

Jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan

pasien total semua Puskesmas se-Kota Batam

(11 buah Puskesmas) berdasarkan laporan Dinas

Kesehatan Kota Batam, data yang diperoleh dari

hasil penelitian tidak begitu jauh berbeda yaitu

kenaikan jumlah kunjungan setelah pembebasan

retribusi sebesar 110%. Jadi dari data tersebut

terlihat bahwa setelah pembebasan retribusi

terjadi kenaikan jumlah kunjungan 2 kali dari

jumlah kunjungan sebelumnya. Untuk lebih

jelasnya bisa dilihat pada Tabel 3.

3. Pola Penyakit

Hasil penelitian terhadap pola penyakit

yang ditangani oleh Puskesmas dari form

laporan LB1, ternyata tidak ada mengalami

perubahan pola penyakit antara waktu sebelum

dan setelah pembebasan retribusi terhadap

pasien Puskesmas. Sebelum pembebasan

retribusi pola penyakitnya dengan urutan ISPA

yang paling banyak diikuti oleh penyakit gigi

dan mulut, penyakit kulit, diare, hipertensi,

penyakit lain saluran napas atas, dan

seterusnya. Urutan setelah pembebasan

retribusi juga seperti itu tetap ISPA pada urutan

tertinggi diikuti oleh penyakit lain seperti

penyakit gigi dan mulut, penyakit kulit, diare,

penyakit lain saluran pernapasan atas, hipertensi

dan seterusnya, Jadi pada prinsipnya tetap

sama pola penyakit sebelum dan setelah

pembebasan retribusi. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 2.

Dari Gambar 2 terlihat bahwa urutan dari

yang besar ke yang kecil sama antara sebelum

dan setelah pembebasan retribusi. Jumlahnya

saja sedikit berbeda, seperti ISPA sedikit lebih

besar sebelum dari setelah pembebasan

retribusi, namun urutannya tetap sebagai

penyakit terbanyak kasusnya. Hal yang sama

juga terjadi pada penyakit gigi dan mulut, sedikit

Nomor Rata-rata jumlah pasien/bulan Persentase kenaikan

Puskesmas 2005 2006 2007 Sebelum Setelah

Puskesmas I 2610 2919 5313 12 % 82 % Puskesmas II 2521 2930 6695 16 % 129 % Puskesmas III * 1031 4359 * 323 % Puskesmas IV ** 1496 3185 ** 113 % Puskesmas V 1886 2047 2373 9 % 16 % Puskesmas VI 1687 1907 4738 13 % 149 % Puskesmas VII 1005 1119 2000 11 % 79 % Puskesmas VIII 2277 2182 4407 -4 % 102 %

Rata-Rata 1498 1954 4134 10 % 124 %

Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Kunjungan per Bulan Puskesmas Kota Batam

Sebelum dan Setelah Pembebasan Retribusi Tahun 2005, 2006 dan 2007

Catatan : * Data Puskesmas Sei Lekop tahun 2005 tidak ada, karena mulai beroperasi 2006

** Data Puskesmas Sei Pancur tahun 2005 tidak bisa diperoleh, berkas tidak ada lagi.

Jumlah kunjungan Persentase kenaikan Nomor Puskesmas

2005 2006 2007 Sebelum Setelah

Puskesmas I 15.916 33.870 69.344 113% 105% Puskesmas II 21.845 29.317 40.412 34% 38% Puskesmas III 5.525 19.267 34.913 249% 81% Puskesmas IV 14.809 43.097 191%

Puskesmas V 12.080 22.572 55.100 87% 144% Puskesmas VI 13.362 22.800 22.541 71% -1% Puskesmas VII 7.371 24.705 31.161 235% 26% Puskesmas VIII 29.103 14.390 26.213 -51% 82%

Puskesmas IX 11.705 13.702 22.066 17% 61% Puskesmas X 6.521 17.566 31.088 169% 77% Puskesmas XI 3.100 15.693 406%

Jumlah Total 123.428 216.098 391.628 Rata-rata 103% 110%

Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Batam Tahun 2005,2006 dan 2007

Tabel 3. Jumlah Kunjungan 11 Puskesmas di Kota Batam

Tahun 2005, 2006 dan 2007

Page 56: jurnal kesmas

166 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...

lebih besar sebelum dibandingkan dengan

setelah pembebasan retribusi, tetapi urutannya

sama pada peringkat kedua terbanyak kasus

penyakit yang ditangani oleh Puskesmas.

Perbedaan baru terlihat pada penyakit yang

persentasenya kecil, ada sedikit perubahan

urutan, namun hal tersebut tidak begitu

berpengaruh, karena angka dan selisihnya pun

cukup kecil.

4. Pola Peresepan

Pola peresepaan tidak berubah karena

pembebasan retribusi Puskesmas. Jumlah obat

yang diberikan pada setiap pasien antara 3-4

jenis. Penggunaan obat esensial rata-rata

disetiap Puskesmas berkisar antara 85% - 87%,

tidak ada perbedaan antara sebelum dan setelah

pembebasan biaya retribusi pasien. Sedikit

perbedaan terdapat pada penggunaan obat

generik, obat dengan merk dagang dan obat

antibiotika yang selengkapnya dapat dilihat pada

uraian berikut.

a. Persentase Penggunaan Obat Generik

Per Pasien

Penggunaan obat generik semua

Puskesmas terlihat persentasenya tidak jauh

berbeda satu sama lain. Persentase

penggunaan obat generik sebelum sedikit lebih

tinggi dari setelah pembebasan retribusi. Berarti

ada kecenderungan pengurangan penggunaan

obat generik setelah pembebasan retribusi. Hal

ini disebabkan oleh terjadinya kecenderungan

peningkatan penggunaan obat dengan nama

dagang. Sebagai akibat dari anggaran obat

yang cukup besar, dalam pengadaan obat

apapun jenis obat yang diusulkan Puskesmas

dikabulkan, yang tujuannya supaya pelayanan

tidak terganggu. Data selengkapnya terdapat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata Persentase Obat Generik

Diresepkan Sebelum dan Setelah Pembebasan

Retribusi Puskesmas

b. Persentase Penggunaan Obat dengan

Merek Dagang

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini

menunjukkan terjadi peningkatan pemakaian

obat dengan nama dagang. Hal ini seiring

dengan menurunnya penggunaan obat generik

setelah pembebasan retribusi. Pemakaian obat

dengan nama dagang lebih banyak pada saat

pembebasan retribusi dibandingkan dengan

sebelumnya. Data selengkapnya terlihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Rata-Rata Persentase Obat Nama Dagang

Diresepkan Sebelum dan Setelah Pembebasan

Retribusi Puskesmas

Gambar 2. Grafik Persentase 20 Terbanyak Penyakit

yang Ditangani Puskesmas Kota Batam Sebelum dan

Setelah Pembebasan Retribusi

Nomor Puskesmas Sebelum Setelah

Puskesmas I 95,9% 95,3% Puskesmas II 96,6% 95,9% Puskesmas III 94,3% 94,4% Puskesmas IV 96,0% 94,8% Puskesmas V 95,5% 94,6% Puskesmas VI 97,0% 93,7% Puskesmas VII 95,7% 94,8%

Puskesmas VIII 97,0% 94,3%

Rata-rata 96,0% 94,7*%

* uji t berpasangan p < 0,05

c. Persentase Penggunaan Antibiotika

Pada Pasien Puskesmas

Pengolahan data persentase pemakaian

antibiotika pada penelitian ini yang diamati

bukan jumlah item antibiotika per lembar resep,

Nomor Puskesmas Sebelum Setelah

Puskesmas I 4,2% 4,7% Puskesmas II 3,4% 4,1%

Puskesmas III 5,7% 5,6% Puskesmas IV 4,0% 5,2% Puskesmas V 4,5% 5,4% Puskesmas VI 3,0% 5,3% Puskesmas VII 4,3% 5,0% Puskesmas VIII 3,1% 5,8%

Rata-rata 4,0% 5,1*%

* uji t berpasangan p < 0,05

Page 57: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 167

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

tetapi ada atau tidaknya penggunaan antibiotika

dalam setiap resep. Ada diberi skor 1 dan tidak

diberi skor 0. Terjadi penurunan penggunaan

antibiotika pada waktu pelaksanaan

pembebasan retribusi. Data selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata Persentase Obat Antibiotika

Diresepkan Sebelum dan Setelah Pembebasan

Retribusi Puskesmas

Angka-angka di atas membuktikan bahwa

dukungan pemerintah daerah terhadap kesehatan

belum maksimal. Seperti yang disampaikan oleh

Murti5 bahwa program-program kesehatan dan

pemberdayaan masyarakat mendapat prioritas lebih

rendah dan karena itu sering dicoret. Rata-rata lebih

mengutamakan proyek pembangunan fisik yang

lebih terukur, mudah dilihat (konkrit) dan dapat

dirasakan dengan cepat, sedangkan program

kesehatan lebih abstrak. Jika dibandingkan dengan

situasi sebelum desentralisasi, dana kesehatan

berkisar antara 2,5% - 4% dan maksimum 7%.6

Berarti tidak jauh berbeda dalam pelaksanaan

dukungan pemerintah daerah terhadap program

kesehatan sebelum dan setelah otonomi daerah.

Lonjakan jumlah kunjungan pasien rata-rata

perbulan sebesar 124%. Jika dibandingkan dengan

laporan dari Dinas Kesehatan Kota Batam, jumlah

total kunjungan semua Puskesmas untuk satu tahun

terjadi kenaikan sebesar 110%, pada waktu

pembebasan retribusi. Jadi, dari angka tersebut di

atas kenaikan jumlah kunjungan pasien setelah

pembebasan retribusi adalah 2 kali dari jumlah

kunjungan sebelum pembebasan retribusi. Tidak

diketahui hal ini terjadi karena memang kualitas

pelayanannya yang bagus atau disebabkan karena

gratis, sehingga masyarakat banyak yang

mengunjungi Puskesmas. Masalah mutu pelayanan

Puskesmas yang tidak ditarik retribusinya,

sebagaimana sudah pernah diteliti sebelumnya oleh

Hartati7 menunjukkan bahwa memang mutu

Puskesmas jadi menurun.

Jenis dan bentuk pelayanan di Puskesmas

sama saja, baik sebelum maupun setelah

pelaksanaan program ini, begitu juga dengan jenis

obat-obatan yang digunakan sama saja. Hanya dari

jumlah kunjungan pasien saja yang meningkat,

karena sepertinya masyarakat dalam tahap mencoba

sesuatu yang baru, ingin merasakan pelayanan

Puskesmas yang tidak dipungut bayaran tersebut.

Setelah berjalan satu tahun, ternyata pada akhir

tahun sudah mulai terlihat penurunan dan pada tahun

kedua pelaksanaan, jumlah kunjungan kembali

normal seperti kondisi biasa, walaupun ada

peningkatan tetapi tidak banyak. Diperkirakan hal

ini wajar mungkin juga disebabkan oleh pertambahan

jumlah penduduk Kota Batam.

Perkiraan anggaran obat Dinas Kesehatan Kota

Batam tahun 2008 didasarkan pada data kunjungan

tahun 2005, 2006 dan 2007, yang dikorelasikan

dengan data besarnya anggaran obat pada tahun

yang sama, analisis dengan regresi didapatkan

persamaan sebagai berikut : Y = 20192X – 2E+09

Nomor Puskesmas Sebelum Setelah

Puskesmas I 54,3% 53,7%

Puskesmas II 60,7% 52,3% Puskesmas III 51,8% 45,8% Puskesmas IV 48,3% 49,3%

Puskesmas V 39,7% 26,4% Puskesmas VI 44,0% 31,0%

Puskesmas VII 49,7% 49,3% Puskesmas VIII 46,5% 46,3%

Rata-rata 49,4% 44,3*%

* uji t berpasangan p < 0,01

Persentase penggunaan antibiotika

sebelum lebih tinggi dari setelah pembebasan

retribusi, yang berarti terjadi penurunan

penggunaan antibiotika setelah pembebasan

retribusi. Hal ini membuktikan bahwa terjadi

penurunan kasus penyakit akibat infeksi setelah

pembebasan retribusi, dimana apabila dilihat

pola penyakit salah satunya kasus ISPA

memang terjadi penurunan persentase setelah

pembebasan retribusi.

Pembahasan

Anggaran obat setelah pembebasan retribusi

pasien melonjak sampai 4 kali anggaran

sebelumnya, dari anggaran total kesehatan

mencapai sebesar 18,6%. Alokasi yang jauh lebih

besar apabila dibandingkan dengan tahun 2005 yang

hanya sebesar 6,9% dan tahun 2006 sebesar 4,7%.

Apabila dilihat perbandingan antara anggaran total

kesehatan dengan ABPD tahun 2007 sebesar 4,7%,

tahun 2006 sebesar 6,1% dan tahun 2005 sebesar

5,7%, berarti terjadi penurunan persentase anggaran

kesehatan dalam APBD Kota Batam tahun 2007.

Hasil kesepakatan Bupati/Walikota se-Indonesia

tahun 2000, besarnya alokasi anggaran kesehatan

adalah sebesar 15% dari total dana APBD, tetapi

kenyataannya baru mencapai 9% pada tahun 2001

dan 3% - 4% tahun 2002.4 Berarti anggaran total

kesehatan Kota Batam masih jauh di bawah angka

kesepakatan tersebut. Namun, angka rata-rata yang

terjadi secara nyata di beberapa kabupaten/kota

lainnya di Indonesia sebesar 3% - 4%, di Kota Batam

tidak jauh beda yaitu 4,7%.

Page 58: jurnal kesmas

168 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...

(Gambar 2a). Dari persamaan tersebut, jika

diasumsikan jumlah kunjungan tahun 2008 naik 50%

dari tahun 2007 yaitu menjadi 588.000 pasien. Maka

besarnya anggaran obat tahun 2008 adalah

Rp9.872.896.000,00. Berarti sangat besar sekali

dana yang dibutuhkan untuk pengadaan obat. Hal

ini diakibatkan karena pada tahun 2007 terjadi

pengadaan yang terlalu banyak, mengakibatkan

melonjaknya anggaran obat sampai 4 kali dari

sebelumnya. Sehingga persamaan ini kurang tepat

dipakai untuk perkiraan dana tahun 2008, 2009 dan

seterusnya.

Sebagai koreksi, maka dilakukan simulasi

dengan asumsi dana pengadaan obat tahun 2007

sebesar Rp3.584.000.000,00. Angka tersebut

diperoleh dari perhitungan rata-rata biaya yang

dikeluarkan Pemerintah Kota Batam per pasien

tahun 2005 dan 2006, rata-rata biaya obat per

kunjungan Rp9.152. Maka tahun 2007, dana obat

yang diperlukan dengan jumlah kunjungan 391.628

pasien adalah 3,6 miliar rupiah. Analisis regresi dari

simulasi terhadap data jumlah kunjungan dengan

dana pengadaan obat diperoleh persamaan sebagai

berikut: Y = 8612,7 X + 7E+07 (Gambar 2b). Hasil

perkiraan kebutuhan anggaran obat tahun 2008 Kota

Batam butuh dana untuk pengadaan obat sebesar

Rp5.134.267.600,00 dengan asumsi jumlah

kunjungan meningkat 50% dari tahun sebelumnya,

yakni 588.000 pasien. Dengan demikian pada tahun

2007 terjadi kelebihan dana obat sebesar

Rp2.966.000.000,00 . Untuk itu dana riil yang

dibutuhkan untuk pengadaan obat tahun 2008 adalah

sebesar Rp2.168.267.600,00. Pengecekan terhadap

angka pengadaan obat Dinas Kesehatan Kota Batam

untuk tahun 2008 adalah sebesar 1,8 miliar rupiah.

Hasil perkiraan yang diperoleh, terjadi kekurangan

dana obat Dinas Kesehatan Kota Batam tahun 2008

sebesar Rp368.267.600,00 jika kunjungan naik 50%.

Pengalaman beberapa negara, seperti Central

African Republic, pusat kesehatan publik yang

mengelola sendiri dana obat dan pelayanan,

memiliki dana kembali lebih besar daripada yang

melakukan pembebasan. Pusat kesehatan publik

yang menerapkan sistem membayar, kualitas

pelayanannya juga meningkat. Di Thailand dengan

Village Drug Fund (VDF), suatu koperasi yang

menyediakan pelayanan kesehatan yang tidak

mahal dan menyediakan obat esensial dengan

kualitas bagus. Masyarakat 70% - 100% secara aktif

berpartisipasi dalam mendukung 50% pembiayaan

kesehatan. Negara Costa Rica dengan skema

asuransi The Costa Rica Social Security Fund

(CCSS), sebanyak 80% total belanja kesehatan

untuk pelayanan kuratif, preventif perorangan seperti

imunisasi, pelayanan rehabilitasi dan pendidikan

kesehatan. Eropa Timur dengan melaksanakan

pembebasan, timbul masalah, yaitu insentif yang

keliru, kekurangan bahan-bahan dan peralatan medis

dan duplikasi pelayanan antara klinik pelayanan

dasar dan rumah sakit. Inggris dengan National

Health Service (NHS), sebagian besar (85%) dibiayai

melalui anggaran pendapatan negara, dengan

pelayanan gratis.8 Jadi dari pengalaman beberapa

negara seperti yang diuraikan di atas, ada segi positif

dan negatif dari pembebasan terhadap biaya

pelayanan kesehatan. Kualitas dari pelayanan

kesehatan dengan pembebasan biaya tidak bisa

diharapkan sebagus pelayanan dengan ditarik biaya.

Sikap dan apresiasi para petugas Puskesmas

terhadap program pembebasan retribusi pun

beragam, tapi kebanyakan kurang puas. Penelitian

terdahulu oleh Elfian9, dengan melihat penerimaan

dokter dan perawat terhadap sistem pelayanan gratis

di Puskesmas Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

Sikap dokter dan perawat pada pelayanan gratis

memberikan layanan kepada pasien tidak sepenuh

Gambar 2a. Grafik Forecasting Terhadap Jumlah

Kunjungan Pasien dengan Anggaran Obat

Gambar 2b. Simulasi Forecasting dengan

Anggaran Obat Sesuai Jumlah Kunjungan Pasien

Page 59: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 169

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

hati, asal-asalan, sehingga akhirnya masyarakat

menilai pelayanan Puskesmas tidak bermutu. Hasil

penilitian yang telah dilakukan di Kota Batam

menunjukkan rata-rata Puskesmas tidak keberatan

dengan program pembebasan retribusi asal tidak

semua digratiskan, jika bisa dibatasi, terutama yang

memerlukan tindakan, sebaiknya harus bayar.

Akibatnya, Puskesmas lebih banyak merujuk pasien

ke rumah sakit, jika ada tindakan medis yang perlu

diberikan pada pasien. Petugas yang memberikan

pelayanan berharap supaya mendapatkan insentif

tambahan, karena sudah bekerja ekstra.

Pembebasan retribusi pada prinsipnya bisa

diteruskan, akan tetapi sebaiknya hanya diberikan

kepada masyarakat miskin saja, bagi yang kaya,

seharusnya diberikan tanggung jawab membayar,

dengan tarif tidak terlalu tinggi. Karena bagi

masyarakat miskin sangat membantu sekali, dengan

ketidakmampuannya untuk mengakses pelayanan

kesehatan, merasa terbantu dengan program

pembebasan retribusi ini. Keseimbangan dan

keadilan dalam pemberian subsidi kepada

masyarakat akan bisa tercapai, yaitu yang kaya

disubsidi dengan bayaran yang rendah dan

masyarakat miskin disubsidi dengan tidak

membayar.

Sebaran pola penyakit yang diteliti terhadap

laporan LB1 pada 8 buah Puskesmas menunjukkan

tidak ada perbedaan, baik dari jenis penyakit yang

muncul maupun dari segi jumlah dan urutan

persentase yang besar dan kecil, secara umum tidak

berubah. Sebaran pola penyakitnya tetap saja

didominasi oleh penyakit ISPA, rongga mulut, diare,

dan penyakit kulit. Hal ini barangkali disebabkan

karena Puskesmas hanya untuk pelayanan

kesehatan dasar, sehingga jenis penyakit yang

muncul pun tidak ada yang terlalu serius dan

mengkhawatirkan. Mungkin, apabila Puskesmas juga

melayani semua penyakit bisa saja akan terjadi

perubahan pola penyakit yang ditangani, apalagi

dengan tidak ditariknya retribusi kepada pasien. Tentu

saja akan terjadi perubahan dari fungsi Puskesmas

jika hal itu terjadi.

Tidak terjadinya perbedaan pola penyakit

sebelum dan setelah pembebasan retribusi. Berarti

Puskesmas dengan batasan layanannya sebagai

pelayanan kesehatan tingkat dasar, keragaman

penyakit yang ditangani tidak kompleks, sehingga

tidak membutuhkan dana yang besar untuk

menanganinya. Maka dengan diberlakukannya

pembebasan retribusi kepada pasien sebagai

subsidi pemerintah terhadap masyarakatnya,

apabila dikelola dan dimanajemen dengan baik, tidak

akan terlalu membebani anggaran.

Pola peresepan yang diteliti secara garis

besarnya tidak ada perubahan yang berarti antara

sebelum dengan setelah pembebasan retribusi.

Terjadi penurunan penggunaan obat generik, yang

disebabkan oleh terjadinya peningkatan pemakaian

obat dengan merk dagang pada saat

dilaksanakannya pembebasan retribusi.

Penggunaan obat antibiotika juga mengalami

penurunan, berarti para penulis resep meminimalkan

penulisan resep antibiotika jika tidak perlu yang

merupakan anjuran penggunaan obat yang rasional.

Pola peresepan yang relatif tetap ini, merupakan

suatu keberhasilan Dinas Kesehatan Kota Batam

dalam menerapkan pedoman pengobatan

dilingkungan pelayanan kesehatan dasar di

Puskesmas. Kondisi seperti ini tentu saja hasil kerja

keras dari unit pembina dan pengayom Puskesmas

yaitu bidang pelayanan medik Dinas Kesehatan.

Program-program pelatihan yang diberikan kepada

penulis resep, maupun paramedis untuk

meresepkan dan menggunakan obat secara rasional.

Para kepala Puskesmas juga selalu memonitor

setiap aktifitas di lingkungannya, sehingga bisa

berjalan sesuai dengan ketentuan dari departemen

kesehatan, maupun Dinas Kesehatan. Dinas

Kesehatan setiap tahun selalu mengeluarkan surat

edaran untuk menggunakan obat secara rasional,

serta menganjurkan pemakaian obat generik di

fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan publik,

terutama Puskesmas.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam

menyampaikan bahwa sudah dilakukan evaluasi

terhadap program ini dan akan terus dilakukan

supaya program ini berjalan dengan baik serta lebih

efisien dan efektif dalam melayani masyarakat. Hasil

dari evaluasi menunjukkan ternyata pihak Dinas

Kesehatan mengusulkan untuk dicarikan bentuk

alternatif lain, seperti tidak semua gratis, perlu

dilakukan batasan-batasan bentuk pelayanan. Bagi

yang sudah memiliki jaminan dari pihak asuransi,

Jamsostek atau lainnya, tidak perlu digratiskan

mungkin bisa diklaim ke perusahaan yang

menanggung.

Langkah yang perlu diambil oleh Pemerintah

Kota Batam dalam pembiayaan kesehatan adalah

dengan membentuk suatu sistem kesehatan daerah.

Sistem itu akan mengatur mekanisme penyaluran

subsidi terhadap kelompok masyarakat miskin,

dengan tidak mengabaikan kelompok masyarakat

kaya. Sistem cost sharing mungkin salah satu

bentuk pembiayaan kesehatan yang bisa dicontoh

dan diterapkan.

Page 60: jurnal kesmas

170 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Nurliyasman, dkk.: Analisis Faktor Penyebab Melonjaknya ...

KESIMPULAN DAN SARAN

Terjadi peningkatan anggaran pembiayaan obat-

obatan sampai empat kali dari anggaran sebelumnya.

Pembebasan biaya retribusi pasien Puskesmas

mengakibatkan lonjakan jumlah kunjungan jadi dua

kali dari sebelum pembebasan.

Tidak terjadi perubahan pola penyakit pada

waktu pelaksanaan pembebasan biaya retribusi

Puskesmas, hanya jumlahnya saja yang meningkat

seiring dengan bertambahnya jumlah kunjungan

pasien, serta pola peresepen secara umum tidak

berubah.

Jadi penyebab melonjaknya anggaran obat

Pemerintah Kota Batam adalah antisipasi belanja

obat yang ternyata terlalu banyak dibandingkan

dengan melonjaknya jumlah kunjungan Puskesmas.

Hal ini bisa dimengerti karena lonjakan kunjungan

pasien akibat pembebasan retribusi memang agak

sulit diprediksi karena belum ada presedennya. Pada

tahun-tahun yang akan datang kelebihan belanja obat

ini bisa dikompensasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Pemerintah

Kota Batam, Dinas Kesehatan Kota Batam,

Puskesmas se-Kota Batam, Gudang Farmasi Kota

Batam, Magister Manajemen dan Kebijakan Obat

atas semua fasilitas dan bantuannya sehingga

penelitian ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga

disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat

disebutkan satu-satu per satu dalam tulisan ini, yang

telah membantu atas terlaksananya penelitian dan

dalam penyelesaian tulisan naskah ini.

KEPUSTAKAAN

1. Dinas Kesehatan Kota Batam, Profil Kesehatan

Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau, Batam.

2006.

2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23

tahun 1992 tentang Kesehatan, Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 1992.

3. World Health Organization, How to Investigate

Drug Use in Health Facilities, Department of

Essential Drugs and Medicines Policy,

Geneva.1999.

4. Rachmat HH. Pembangunan Kesehatan di

Indonesia Prinsip Dasar, Kebijakan, Perencanaan

dan Kajian Masa Depannya, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. 2004.

5. Murti B. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan,

Penerbit Kanisius, Yogyakarta.2000.

6. Trisnantoro L. Desentralisasi Kesehatan di

Indonesia dan Perubahan Fungsi Pemerintah

2001-2003, Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta. 2005.

7. Hartati, Mutu Pelayanan Puskesmas dengan

Pembebasan Tarif Retribusi di Kabupaten

Simalungun Propinsi Sumatera Utara, Tesis

Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta. 2007.

8. Suryawati S. Review of Cost-Sharing

Experiences in Financing Drugs in South-East

Asia, Health Economics and Drugs DAP Series

No.8. World Health Organisation, Geneva.1998.

9. Elfian, Penerimaan Dokter dan Perawat

terhadap Sistem Pelayanan Gratis di

Puskesmas Kabupaten Kampar, Tesis Program

Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.2007.

Page 61: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 171

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 171

Resensi

Judul : Strategic Management of Health Care Organizations

Penulis : Linda E. Swayne, W. Jack Duncan, Peter M. Ginter

Penerbit : Blackwell Publishing

Edisi : Kelima

Tidak ada yang kekal di dunia ini, segala

sesuatu terus berubah, termasuk sektor

pelayanan kesehatan. Beberapa perubahan

mendasar yang mengubah tampilan sektor pelayanan

kesehatan kita adalah kemajuan pesat di bidang

penelitian dan terapi gen, kemajuan bioengenering,

ekonomi, dan pemasaran kesehatan yang berujung

pada persaingan ketat dalam industri pelayanan

kesehatan. Tentunya berbagai kemajuan yang ada

tidak terlepas dari berbagai masalah yang masih

menghantui sistem pelayanan kesehatan, antara lain

masalah kuantitas dan kualitas tenaga profesional

kesehatan, masalah mutu layanan, masalah

keterbatasan akses, dan berbagai masalah

pembiayaan lainnya.

Berbagai perubahan lingkungan di atas harus

disikapi oleh pengelola pelayanan kesehatan dengan

sebuah strategi yang jelas. Untuk memenuhi

kebutuhan itulah kemudian buku ini disusun. Buku

ini dari awal membawa kita kepada sebuah upaya

berpikir strategis yang secara jelas memisahkan

antara strategic thinking, strategic planning, dan

bagaimana mengelola strategi (managing strategic

momentum). Ketiga konsep tersebut ditawarkan

sebagai elemen utama konseptual model yang baru

dari manajemen strategis, dan dipercaya lebih

mencerminkan realitas dalam pengembangan dan

pengelolaan strategi.

Secara umum model baru ini menggambarkan

manajemen strategis sebagai proses dari berpikir

strategis, mengembangkan pemikiran strategis ke

dalam rencana strategis, dan mengelola strategi

momentum. Melalui manajemen perencanaan

strategis, pemahaman dan perspektif baru muncul

dan proses berpikir strategis, perencanaan, dan

pengelolaan dimulai kembali. Untuk itu, seorang

manajer pelayanan kesehatan harus menjadi

seorang pemikir strategis dengan kemampuan untuk

menganalisis perubahan lingkungan, menganalisis

data, mengembangkan pertanyaan, dan

mengembangkan ide-ide baru. Kemampuan lain

yang harus dimiliki adalah mengembangkan dan

menyusun sebuah rencana aksi melalui sebuah

perencanaan strategis. Ketika sebuah strategi

berhasil dirumuskan langkah selanjutnya adalah

memelihara momentum strategis dari organisasi kita.

Terakhir manajer yang baik akan selalu bertanya

apakah strategi yang mereka kembangkan berjalan

efektif atau tidak, dan kemudian dilanjutkan dengan

mengembangkan pemikiran strategis lainnya.

Dari sudut pandang penulis, strategic control

adalah bagian integral dari mengelola momentum

strategis, sehingga dalam edisi ini konsep kontrol

atau monitoring dan evaluasi diintegrasikan ke dalam

Bab Strategy Development di bawah judul Managing

Strategic Momentum. Penulis berharap dengan

menggunakan pendekatan ini, akan lebih

mencerminkan bagaimana strategic control bekerja

dalam sebuah organisasi sebagai bagian dari

mengelola strategi, bukan sebagai sesuatu yang

dipikirkan terakhir atau pelengkap sebuah

perencanaan.

Pada bagian akhir edisi kelima ini ditampilkan

beberapa contoh kasus yang diperbaharui dan yang

benar-benar baru mengikuti model dan perspektif

baru yang disajikan sebelumnya. Beberapa kasus

baru yang dimunculkan adalah: The Health Care

Industry Note, Midwest Medical Group, dan Riverview

the HMA Facility. Dengan hanya membaca beberapa

kasus yang tersedia, kita bisa meningkatkan wawasan

kita tentang manajemen strategis. Kita akan

diperkenalkan kepada berbagai variasi organisasi

pelayanan kesehatan dan bagaimana pendekatan

mereka terhadap manajemen strategis, tentunya

semua ini memberikan tambahan pemahaman

tentang perencanaan strategis kepada kita.

Satu hal yang dipertahankan dalam edisi ini

adalah bagaimana melatih pembaca untuk

mengembangkan pemikiran logis yang objektif dan

analitik dengan tidak meninggalkan kemampuan

intuisi dalam mengidentifikasi isu-isu strategis. Pada

akhirnya, buku ini adalah sebuah peta atau kompas

yang memberikan kita arah ke mana kita akan

memulai perjalanan pribadi kita dalam mengarungi

lautan pemikiran strategis. Memang buku ini

bukanlah satu-satunya peta atau kompas yang

tersedia, tetapi tetap sangat layak untuk

dipertimbangkan sebagai referensi bagi para calon

pemikir strategis, dimanapun mereka bertugas.

Selamat membaca.

Pande Putu Januraga

Bagian AKK PSIKM FK Universitas Udayana Bali

[email protected] atau

[email protected]

Page 62: jurnal kesmas

172 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

Korespondensi

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 03 September l 2009 Halaman 172 - 173

Korespondensi

Email ditujukan ke [email protected]

M elalui korespondensi ini mohon kiranya

diperkenankan saya memberikan

tanggapan dan masukan perihal artikel I Made Ady

Wirawan yang berjudul Developing Framework for

Civil Aviation Occupational Health and Safety

System in Indonesia (Mengembangkan Kerangka

Konsep Sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Penerbangan Sipil Di Indonesia) yang dimuat pada

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 12/

No. 2/Juni/2009.

Masih tingginya jumlah kasus kecelakaan

pesawat udara (penerbangan sipil) di Indonesia

selama tiga tahun terakhir ini sebagaimana yang

dikemukakan oleh penulis merupakan masalah

utama di sektor perhubungan khususnya

perhubungan udara yang memerlukan perhatian

serius bagi pihak otoritas yang berkompeten

termasuk manajemen maskapai penerbangan.

Meningkatnya kasus kecelakaan dan kerugiannya

serta meningkatnya potensi bahaya dalam aktivitas

kerja dibutuhkan pengelolaan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3) secara efektif, menyeluruh,

dan terintegrasi dalam manajemen perusahaan

melalui pendekatan SMK3.1 Pencegahan

kecelakaan merupakan tanggung jawab utama

manajemen dan upaya pencegahannya berbasis

pada manajemen melalui penerapan SMK3 yang

terintegrasi di dalam proses dan budaya bisnis.2

Pemerintah telah berupaya dalam pencegahan

kecelakaan pesawat udara melalui kebijakan yang

ditetapkan terkait dengan penerbangan (termasuk

keselamatan dan keamanannya) dengan berbagai

bentuk seperti Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, Permenhub, SK Dirjen Perhubungan

Udara, bahkan mengadopsi peraturan (standar

keselamatan) yang ditetapkan oleh badan

internasional (International Civil Aviation

Organization, Civil Aviation Safety Regulation),

namun jumlah kasus kecelakaan penerbangan

belum dapat ditekan seminim mungkin.

Akar penyebab (basic cause) masih tingginya

jumlah kasus kecelakaan pesawat udara

dimungkinkan manajemen maskapai penerbangan

belum melaksanakan (memenuhi) atau

DEVELOPING FRAMEWORK FOR CIVIL AVIATION OCCUPATIONAL

HEALTH AND SAFETY SYSTEM IN INDONESIA

melaksanakan sebagian saja dari kebijakan

(peraturan perundangan) dan standar keamanan dan

keselamatan penerbangan. Di samping belum

adanya Sistem K3 Penerbangan sebagaimana yang

dimaksud oleh penulis. Menurut saya lebih tepat

istilah Sistem K3 Penerbangan menjadi Sistem

Manajemen K3 Penerbangan, mungkin sama dengan

yang penulis maksud. Bila kita mau menurunkan

angka kecelakaan pesawat terbang atau ingin

mencapai nihil kecelakaan (zero accident), maka

perlu suatu program keselamatan penerbangan yang

konsisten.3 Program  K3 yang disusun merupakan

komponen dari SMK3.       

Pada alinea pertama dari pengantar artikel

tersebut dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia

telah melaksanakan Program Keselamatan dan

Keamanan Penerbangan Sipil Nasional yang

berbasis pada peraturan perundangan yaitu Undang-

Undang (UU) No. 15/1992 tentang Penerbangan, dan

seterusnya.  Sepengetahuan saya bahwa UU No.

15/1992 tentang Penerbangan telah diganti (direvisi)

dengan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan tanggal

12 Januari 2009.  Dalam UU ini telah diatur tentang

pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan yang

dinyatakan pada Bab XIII Keselamatan Penerbangan

Bagian Keempat Sistem Manajemen Keselamatan

Penyedia Jasa Penerbangan (mulai pasal 314 - pasal

322).  Pasal 314 ayat 1 dinyatakan bahwa “Setiap

penyedia jasa penerbangan wajib membuat,

melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan

secara berkelanjutan sistem manajemen

keselamatan (safety management system) dengan

berpedoman pada program keselamatan

penerbangan nasional”. Pelaksanaan Sistem

Manajemen Keselamatan ini dijabarkan lebih rinci

pada Peraturan Menteri Perhubungan No.  KM 20/

2009 tentang Sistem Manajemen Keselamatan.

Sistem Manajemen Keselamatan yang diatur

dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 20/

2009 sepertinya tidak mencakup ruang lingkup

kesehatan kerja. Pada hakikatnya upaya

keselamatan kerja harus sejalan dengan kesehatan

kerja. Oleh karena itu, Sistem Manajemen

Keselamatan hendaknya menyatu dengan

Page 63: jurnal kesmas

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009 l 173

Kesehatan Kerja. Saya sangat menghargai adanya

konsep desain Sistem K3 Penerbangan Sipil di

Indonesia dari penulis berupa program keselamatan

dan kesehatan kerja sebagaimana yang disajikan

dalam artikel, namun saya belum melihat detail dari

desain tersebut.

Sebenarnya kita telah memiliki suatu standar

pengelolaan K3 melalui pendekatan suatu sistem

yang dikenal dengan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang

pelaksanaannya terintegrasi dalam manajemen

perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan

Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 05/1996.

SMK3 ini dapat diterapkan diberbagai sektor usaha/

jasa (termasuk penyedia jasa penerbangan sipil).

Pada pasal 3 Permenaker ini dinyatakan bahwa

setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga

kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau

mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh

karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat

mengakibatkan kecelakaan kerja, penyakit akibat

kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran wajib

menerapkan SMK3.4       

Hingga saat ini belum banyak perusahaan

maskapai penerbangan sipil yang menerapkan

SMK3 tersebut, oleh karena itu perlu ada kerja sama

dan koordinasi antara instansi Departemen Tenaga

Kerja dengan Departemen Perhubungan agar SMK3

dapat diterapkan oleh manajemen perusahaan

maskapai penerbangan sipil. Departemen

Perhubungan dapat mengembangkan SMK3 yang

ditetapkan Permenaker No. 05/1996 sesuai dengan

situasi dan kondisi penerbangan di Indonesia,

sehingga disain Sistem K3 Penerbangan Sipil yang

diusulkan penulis dapat menjadi masukan bagi

Departemen Perhubungan.

Penerapan SMK3 di bidang penerbangan sipil

bukanlah suatu pekerjaan yang mudah seperti

membalikkan telapak tangan, namun diperlukan

komitmen yang kuat dari manajemen maskapai

penerbangan sipil dengan melibatkan seluruh

jajarannya untuk memerapkan SMK3, pembinaan

dan pengawasan dari pemerintah Departemen

Perhubungan, peran serta Komite Nasional

Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Badan

Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta

pihak lainnya yang peduli terhadap masalah K3

penerbangan sipil. Output dari penerapan SMK3

dapat mendongkrak citra maspakai penerbangan

sipil yang sekaligus mewujudkan zero accident, di

samping rasa nyaman dan aman dari pengguna jasa.

 

KEPUSTAKAAN

1. Rudiyanto. Penerapan SMK3 dan Pelaksanaan

Audit SMK3. Makalah Pelatihan Pengenalan

SMK3. Diselenggarakan oleh PT Sucofindo

(Persero), Jakarta.2004.

2. Alli BO. Fundamental Principles of Occupational

Health and Safety.  First Published, International

Labor Office, Geneva.2001.

3. Mulijadi H. Keselamatan Penerbangan. Tersedia

dalam http://news.vokezone. com/index.php/

ReadStory/2007/02/14/58/4512/keselamatan-

penerbangan, Diakses pada 14 Februari 2007.

4. Permenaker RI No. 05 Tahun 1996 tentang

Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. Dalam: Himpunan Peraturan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Cetakan Ke

2. Dicetak oleh Sekretariat ASEAN OSHNET,

Jakarta.  2002.

Gerry Silaban

Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara