jurnal kesehatan, vol. 6, no. 2, september 2014 · pdf fileefektivitas kinerja teamwork dalam...

211
Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014 1

Upload: hoangminh

Post on 20-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

1

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

2

JURNAL ILMU KESEHATAN

Terbit minimal 2 kali dalam setahun bulan Mei dan September, berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analisis kritis dibidang ilmu kesehatan

JUDUL JURNAL :

Jurnal Kesehatan

AIPTINAKES JATIM

JUMLAH ARTIKEL

8-10 Artikel yang terdiri dari:

Artikel dan Penelitian.

JUMLAH HALAMAN :

100 halaman (masing-masing

artikel maximum 10 halaman)

FREKUENSI TERBIT:

6 bulan sekali (kwartal)

MUIAI DITERBITKAN:

September 2011 (edisi perdana)

No. Terbitan: Volume 6, Nomor 2,

September 2014

ALAMAT REDAKSI:

Stikes Hang Tuah Surabaya,

JL. Gadung No. 1 Surabaya

KEPENGURUSAN:

Pelindung/Penasehat :

Ketua AIPTINAKES JATIM

Penanggung Jawab:

AIPTINAKES Korwil Surabaya

Ketua Dewan Redaksi:

Setiadi , MKep

Dewan Redaksi:

1. Dwi Priyantini, Skep.,Ns

2. Antonius Catur S., Mkep., Ns

Telepon/fax: (031)8411721.

Email : [email protected]

Web site:

http: adysetiadi.wordpress.com

i

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

3

DAFTAR ISI

cover dalam i

daftar isi ii

kata sambutan iii

sekapur siri iv

1. Pengaruh sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan dan kejadian penyakit terhadap prestasi belajar santri (Agus Aan Adriansyah1)

1

2. Analisa metode citizen charter sebagai salah satu metode upaya peningkatan kualitas puskesmas sebagai primary health care (Citra Mayangsari1, Ernawaty, drg.,Mkes)

9

3. Pengaruh tetes mata fenilefrin hidroklorid 10% terhadap tekanan darah (Heru Suswojo1) 23

4. Kejadian malpraktek oleh tenaga kesehatan di Indonesia (Susman Sjarif) 31

5. Disiplin kerja karyawan (Ummi Khoiroh) 41

6. Efektivitas Kinerja Teamwork dalam Pelacakan Kasus Gizi Buruk di Puskesmas (Vinsensius Maghi1, Ummi Khoiroh2, Nyoman Anita Damayanti2)

51

7. Pengukuran efektifitas modal pelatihan dokter dan perawat berdasarkan human capital indexs meassurment menurut watson wyatt di IGD RSU Surabaya tahun 2013 (Yuddy Riswandhy Noora1, Siti Rachmawati2, Tito Yustiawan3)

56

8. Sistem informasi untuk pembangunan jangka panjang sumber daya tenaga medis, paramedis, penyuluh, dan support staff untuk wilayah terpencil di indonesia (Anindya Astrianti M., S.KM)

64

9. Pengaruh Terapi Menulis Ekspresif Terhadap Tingkat Kecemasan Siswa Kelas Xii Ma Ruhul Amin Yayasan Spmma (Sumber Pendidikan Mental Agama Allah) Turi Di Desa Turi Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan (Moh. Saifudin, M. Nur Kholidin)

71

10. Efektifitas Pelaksanaan Terapi Aktifitas Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi Terhadap Kemampuan Pasien Skizofrenia Dalam Mengontrol Halusinasi Di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya (Dya Sustrami, Sri Sundari)

81

ii

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

4

KATA SAMBUTAN Puji syukur ke hadirat Tuhan Allah SWT, karena berkat pimpinan dan ridhonya sehingga Jurnal

Kesehatan Volume 6 Nomer 2 tahun 2014 ini telah diterbitkan.

Jurnal ini disusun untuk memfasilitasi karya inovatif dosen di seluruh jawa timur untuk dipublikasikan

secara regional dalam wilayah Jawa Timur. Jurnal ini, berisikan informasi yang meliputi dunia

Kesehatan yang dipaparkan sebagai hasil studi lapangan maupun studi literatur.

Jumal ini diharapkan dapat digunakan dan memberikan banyak manfaat bagi para pembaca, untuk

peningkatan wawasan di bidang llmu kesehatan

Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi baik mengolah dan menyunting sehingga

jurnal ini dapat disusun dan diterbitkan dengan baik, kami haturkan penghargaan dan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang membangan sangat kami harapkan untuk

kemajuan Jurnal ini di masa yang akan datang.

Surabaya, September 2014

KETUA AIPTINAKES SURABAYA,

iii

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

5

Sekapur Sirih dari Redaksi Puji syukur patut kami panjatkan Allah SWT untuk segala kebaikan yang telah Ia perbuat bagi kami sehingga Jurnal Kesehatan Volume 6 Nomer 2 bulan September, Tahun 2014 ini dapat diterbitkan. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat-sahabat kami Dosen Kesehatan yang sudah dengan suka rela mengirimkan tulisan ilmiah berupa penelitian, maupun artikel untuk dapat disajikan dalam Jurnal ini. Di tengah kesibukan redaksi dalam menjalankan tugas masih tersisih waktu untuk menyelesaikan sebuah "proyek" mewujudkan impian, Memang tidak mudah untuk memulai sesuatu, dimana budaya menulis belum begitu kental di kalangan akademisi. Perlahan namun tersendat adalah istilah yang patut kami cuplik sebagai ungkapan betapa susahnya merealisasikan sebuah terbitan ilmiah. Tentu, sesuatu hal yang baru dimulai adalah jauh dari sempurna. Apabila pembaca mendapati begitu banyak kekurangan, kesalahan dan ketidak tepatan baik mulai dari teknis penulisan, materi maupun penyuntingan, mohon dimaafkan dan mohon koreksi disampaikan kepada kami. Kami merentangkan tangan untuk menerima semua masukan demi kesempumaan terbitan Jurnal Kesehatan Nomer berikutnya. Semoga terbitan Jurnal Kesehatan Volume 6 Nomer 2 tahun 2014, ini merupakan langkah awal untuk sebuah kemajuan di Pendidikan Kesehatan. Semoga pada terbitan berikutnya kami dapat menyajikan tulisan ilmiah yang lebih baik lebih bermutu dan memenuhi harapan para pembaca. Di sisi lain, kami ingin menghimbau kepada sahabat-sahabat kami para dosen untuk memberanikan diri menulis karya ilmiah agar dapat diterbitkan pada Jural Kesehatan selanjutnya. Akhir kata, kami ingin menitipkan sebuah moto: “MARI MENULIS". Surabaya, September 2014 Dewan Redaksi

iv

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

6

PENGARUH SANITASI PONDOK PESANTREN, HIGIENE PERORANGAN DAN

KEJADIAN PENYAKIT TERHADAP PRESTASI BELAJAR SANTRI

Agus Aan Adriansyah1

1Mahasiswa Magister Manajemen Kesehatan

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya

Email: [email protected]

ABSTRACT

Study achievement especially for religious pupil in an environment of a Islamic boarding school is very

important to be continuously increased. In the implementation there is some factors that influences namely

internal and external factors. Internal factor comprises of personal hygiene and disease incidence. External

factor comprises of Islamic boarding school sanitation. This research was held in Sunan Drajat of Islamic

Boarding School, Banjaranyar, Paciran, Lamongan. This research was analitic study that held observationally

with cross sectional design and used quantitative approach. This research purposed to know the influence of

sanitation condition of islamic boarding school sanitation, personal hygiene and disease incidence, to study

achievement of religious pupil. Sample in this research was male religious pupil of Sunan Drajat Islamic

Boarding School with MTS level of education. Sample numbers were 97 religious pupil that was collected from

population with proportional random sampling. Variable test held using multiple linear regression analysis

method. The result of this research namely sanitation variable has p value = 0,000. The variable of personal hygiene has p value = 0,936. The variabel of disease incidence has p value = 0,143. From research result,

variable that has influence on religious pupil’s study achievement was sanitation variable of Islamic Boarding

School. Therefore, it is necessary to increase the quality and quantity of islamic boarding Sschool sanitation to

increase the study achievement of religious pupil.

Keywords : sanitation of Islamic boarding school, personal hygiene, disaster, achievement

ABSTRAK

Prestasi belajar khususnya untuk santri di lingkungan pondok pesantren sangatlah penting untuk selalu

ditingkatkan. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi higiene perorangan santri dan kejadian penyakit. Faktor eksternal

meliputi kondisi sanitasi pondok pesantren. Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sunan Drajat,

Banjaranyar, Paciran, Lamongan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara

observasional dengan rancang bangun cross sectional dan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kondisi sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan

santri dan kejadian penyakit terhadap prestasi belajar santri. Sampel dalam penelitian ini merupakan santri putra

Pondok Pesantren Sunan Drajat dengan pendidikan MTs. Jumlah sampel sebanyak 97 santri yang diambil dari

populasi dengan cara proportional random sampling. Pengujian variabel dilakukan dengan menggunakan

metode analisis regresi linear berganda. Hasil yang didapat pada penelitian ini yaitu variabel sanitasi pondok

pesantren memiliki nilai p = 0,000. Variabel higiene perorangan santri memiliki nilai p = 0,936. Variabel

kejadian penyakit memiliki nilai p = 0,143. Dari penelitian ini, variabel yang berpengaruh terhadap prestasi belajar santri variabel sanitasi pondok pesantren. Oleh sebab itu, dibutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas

dari sanitasi pondok pesantren untuk meningkatkan prestasi belajar santri.

Kata kunci : sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan, penyakit, prestasi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

7

PENDAHULUAN

Perkembangan jaman yang semakin

modern terutama pada era globalisasi seperti

sekarang ini menuntut adanya sumber daya

manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan

kualitas sumber daya manusia merupakan

prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan

pembangunan. Salah satu wahana untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia

tersebut adalah pendidikan. Pendidikan adalah

usaha sadar untuk menumbuh-kembangkan

potensi sumber daya manusia melalui kegiatan

pengajaran.

Dalam tujuan untuk menciptakan atau

menyiapkan peserta didik agar mempunyai

kemampuan untuk melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi, salah satu usaha

yang digunakan adalah meningkatkan prestasi

belajar siswa. Prestasi belajar merupakan tolok

ukur yang utama untuk mengetahui

keberhasilan belajar seseorang.

Menurut ungkapan yang disampaikan

oleh Dra. Mardien Suprapti S.Psi., Psikolog

Batam Medical Centre, Pencapaian prestasi

bukan semata ditentukan oleh intelegensi anak

saja tapi banyak juga faktor lain sebagai

pemicunya. Faktor yang berperan sebagai

pemicu penurunan prestasi anak sebenarnya

dibedakan menjadi dua yakni faktor internal dan

eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri

anak itu sendiri. Sementara faktor eksternal

berasal dari pergaulan di sekolah, lingkungan

rumah atau teman bermain atau bisa juga akibat

kondisi keluarga yang kurang kondusif

(Muhdar, 2008).

Aspek tingkatan sebuah prestasi belajar

yang dicapai dapat dipengaruhi oleh berbagai

macam faktor baik secara langsung maupun

tidak langsung seperti masalah sanitasi

lingkungan, higiene perorangan dan timbulnya

suatu penyakit maupun status kesehatan yang

dapat mempengaruhi pencapaian sebuah

prestasi belajar.

Lingkungan merupakan suatu kom-

ponen sistem yang ikut menentukan

keberhasilan proses pendidikan. Dalam

penelitian ini kondisi lingkungan tempat tinggal

(asrama pondok sebagai tempat tinggal)

menjadi perhatian karena faktor ini sangat dekat

dengan kehidupan sehari-hari siswa yang sangat

berpengaruh terhadap prestasi belajar. Kondisi

lingkungan sekitar yang didukung dengan

higiene perorangan yang buruk, yang juga

merupakan faktor dari dalam diri siswa, akan

menyebabkan mudah untuk terserang penyakit,

menurunnya kebugaran jasmani siswa dan akan

berimbas pada menurunnya motivasi dan daya

konsentrasi belajar sehingga berdampak pada

penurunan prestasi belajar jika hal ini terjadi

berulang-ulang.

Oleh karena itu, perlu diadakan penilaian

untuk menggambarkan sanitasi pondok

pesantren dan higiene perorangan santri di

Pondok Pesantren Sunan Drajat, Banjaranyar,

Paciran, Lamongan. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh dari kondisi sanitasi

pondok pesantren dan higiene perorangan santri

di pondok pesantren tersebut serta timbulnya

berbagai penyakit terhadap prestasi belajar

santri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

analitik yang dilakukan secara observasional

dengan rancang bangun cross sectional dan

dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh dari beberapa variabel independent

terhadap variabel dependent. Variabel

independent yang diteliti meliputi kondisi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

8

sanitasi pondok pesantren, higiene perorangan

santri dan kejadian penyakit. Sedangkan

variabel dependent yang diteliti adalah prestasi

belajar santri, yang diukur dari nilai raport santri

dari 4 mata pelajaran UNAS yaitu Bahasa

Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA.

Sampel dalam penelitian ini merupakan santri

putra Pondok Pesantren Sunan Drajat dengan

pendidikan MTs. Jumlah sampel sebanyak 97

santri yang diambil dari total populasi santri

MTS putra dengan cara proportional random

sampling. Data diperoleh dari data primer dan

data sekunder.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penilaian Higiene Perorangan Santri

Secara keseluruhan mengenai tingkat

higiene perorangan santri dari seluruh

responden yang meliputi frekuensi mandi,

penggunaan sabun dan handuk, kebiasaan

keramas, kebiasaan cuci tangan, kebiasaan sikat

gigi, kebersihan pakaian, potong kuku, olahraga

dan lama istirahat, termasuk dalam kategori

cukup baik sepert dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 1. Tingkat Higiene Santri

No. Higiene Santri Jumlah Persentase

1.

2.

3.

Kurang

Cukup

Baik

5

86

6

5,2

88,7

6,2

Total 97 100,0

Berdasarkan pada tabel diatas dapat

dilihat bahwa dari seluruh responden yang

paling banyak adalah responden yang memiliki

higiene perorangan yang cukup baik dengan

jumlah 86 responden (88,7%).

Sedangkan santri yang lainnya masih ada

yang memiliki higiene perorangan yang kurang

baik. Diantaranya adalah dalam kaitannya

kebiasaan mandi yaitu sebesar 46,4% santri

menggunakan sabun mandi yang juga kadang-

kadang dipakai oleh santri lainnya dan 19,6%

menyatakan sabun mandinya juga selalu dipakai

santri lainnya. Disamping itu, sebesar 37,1%

santri menggunakan handuk yang juga kadang-

kadang dipakai oleh santri lainnya dan 26,8%

menyatakan handuknya juga selalu dipakai

santri lainnya. Kemudian hal yang lain adalah

kebiasaan dalam menumpuk pakaian kotor dan

kebiasaan tidur yang kurang baik.

Oleh sebab itu, masih perlu untuk selalu

meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di

kalangan para santri untuk menurunkan angka

terjadinya kesakitan yang lebih disebabkan oleh

higiene perorangan. Seperti halnya santri yang

menderita penyakit kulit setiap bulannya selalu

menunjukkan angka kejadian yang tinggi.

Sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap

aktivitas santri sehari-hari terutama dalam

belajar di pondok pesantren.

2. Penilaian Sanitasi Lingkungan Pondok

Pesantren

Secara keseluruhan total skor dari

kondisi sanitasi lingkungan Pondok Pesantren

Sunan Drajat, Banjaranyar, Paciran, Lamongan,

yang meliputi kondisi bangunan asrama,

penyediaan air bersih, kamar mandi dan WC,

Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL),

sistem pengelolaan sampah, kondisi kamar

santri dan kondisi tempat belajar masuk dalam

kategori cukup baik.

Akan tetapi, perlu ditingkatkan lagi

dalam hal penyediaan fasilitas sanitasi dasarnya

dan selalu dilakukan perawatan agar tidak

menjadi kotor dan tidak terawat sehingga

mengakibatkan banyaknya bibit penyakit yang

berkembang biak ditempat tersebut. Dengan

kondisi kesehatan sanitasi lingkungan yang

baik, risiko kesehatan dan risiko lainnya akan

bisa dihindari. Hampir 80% penyakit yang ada

di pondok pesantren diakibatkan oleh kondisi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

9

kesehatan lingkungan yang tidak baik. Kondisi

yang baik juga akan meningkatkan estetika

pondok pesantren tersebut (Dinkes Jatim, 2008).

3. Identifikasi Kejadian Penyakit

Dari hasil pengamatan di Pondok

Pesanten Sunan Drajat, diketahui bahwa masih

banyaknya angka kejadian sakit yang dialami

santri khususnya yang terdata pada data

kunjungan berobat di klinik pondok. Pada

umumnya, kejadian sakit yang dialami santri

terutama berkaitan dengan higiene perorangan

yang buruk dan ditambah dengan kurang

baiknya kondisi sanitasi lingkungan pondok.

Dari data yang diperoleh pada klinik

pondok, didapatkan 14 jenis penyakit yang

sering diderita oleh santri putra MTs yang

menjadi responden seperti yang tercantum pada

tebel berikut ini. Penyakit-penyakit tersebut

diantaranya penyakit kulit, dan yang paling

dominan serta yang sering dialami santri adalah

penyakit scabies dengan frekuensi kejadian

tertinggi selama 3 bulan terakhir pendataan

mulai bulan April, Mei dan Juni dengan

kejadian 24 kali (25,5%). Selanjutnya penyakit

Gastritis dan ISPA yang sering terjadi dengan

frekuensi terbanyak kedua dan ketiga dengan

persentase masing-masing sebesar 21,3%.

Tabel 2. Jenis Penyakit yang Terjadi

No. Jenis Penyakit Frekuensi Persentase

1.

2.

3. 4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Anemia

Bisul

Comuncol Dermatitis

Febris

Gastritis

ISPA

Konjungtivis

Periodentitis

Scabies

Tonsilitis

Trauma

Typhus

Varicella

4

1

3 6

1

20

20

4

2

24

2

2

4

1

4,3

1,1

3,2 6,4

1,1

21,3

21,3

4,3

2,1

25,5

2,1

2,1

4,3

1,1

Total 94 100,0

Menurut hasil yang didapat, kejadian

penyakit beserta interaksinya dari para santri di

pondok pesantren termasuk dalam kategori

cukup baik. Hal ini dijelaskan dengan daya

respon maupun daya tanggap santri serta

aktivitas santri saat sedang mengalami sakit.

Pada umumnya para santri masih tetap

melakukan aktivitas seperti biasa walaupun

terkadang intensitasnya sedikit berkurang. Sama

halnya dengan kegiatan belajar, meskipun ada

yang merasa tidak terganggu, tidak sedikit para

santri yang merasa terganggu dengan sakit yang

diderita.

4. Penilaian Prestasi Belajar Santri

Prestasi belajar santri dapat dilihat dari

nilai raport yang diperoleh diakhir ujian setiap

semesternya. Nilai mata pelajaran yang

biasanya dipergunakan untuk penilaian tingkat

kelulusan (UNAS) diantaranya adalah nilai

mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa

Inggris, Matematika dan IPA. Oleh sebab itu,

keempat nilai dari 4 mata pelajaran tersebut,

masing-masing harus memenuhi nilai minimum

standar yang telah ditentukan untuk bisa

dikatakan lulus UNAS.

Berdasarkan hasil yang didapat,

diketahui bahwa rata-rata (53,6%) santri telah

mendapatkan nilai mata pelajaran khusus

UNAS dengan kriteria baik. Sedangkan sisanya

(46,4%) santri mendapatkan nilai UNAS dengan

kriteria cukup baik. Hal ini menandakan bahwa

untuk persiapan dalam ujian UNAS nanti para

santri kemungkinan besar akan mendapatkan

nilai prestasi yang cukup baik diatas nilai

standar minimum yang telah ditetapkan.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

10

5. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Pondok

Pesantren, Higiene Perorangan Santri

dan Kejadian Penyakit Terhadap Prestasi

Belajar Santri

Berdasarkan hasil analisis yang telah

dilakukan, didapatkan hasil bahwa dari ketiga

variabel bebas yang meliputi kondisi sanitasi

lingkungan pondok pesantren, higiene

perorangan dan kejadian penyakit terhadap

kaitan pengaruhnya dengan prestasi belajar

santri, hanya variabel sanitasi lingkungan

pondok pesantren saja yang cukup memberikan

pengaruh terhadap prestasi belajar santri.

Dalam analisis dengan menggunakan

SPSS analisis regresi berganda didapatkan

beberapa tabel yang menjelaskan besaran

pengaruh dari beberapa varibel independent

terhadap variabel dependent yang sedang

diteliti, yaitu sebagai berikut.

Tabel 3. Tabel Model Summary - Regresi Model Summaryd

,663a ,440 ,422 1,29470

,663b ,440 ,428 1,28784

,653c ,426 ,420 1,29738 1,793

Model

1

2

3

R R Square

Adjusted

R Square

Std. Error of

the Estimate

Durbin-W

atson

Predictors: (Constant), X3, X2, X1a.

Predictors: (Constant), X3, X2b.

Predictors: (Constant), X2c.

Dependent Variable: Yd.

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui

bahwa baris model 1 disebutkan variabel

higiene perorangan santri (X1) dan kejadian

penyakit (X3) belum dikeluarkan sehingga

adjusted R square = 0,422 berarti 42,2% variasi

nilai prestasi santri (Y) dipengaruhi oleh ketiga

variabel bebas, sisanya dipengaruhi oleh sebab-

sebab lain.

Baris model 2 disebutkan variabel

higiene perorangan santri (X1) telah

dikeluarkan sehingga R square = 0,440 berarti

44% variasi nilai prestasi santri dipengaruhi

oleh sanitasi lingkungan ponpes (X2) dan

kejadian penyakit (X3), sisanya dipengaruhi

oleh sebab-sebab lain.

Baris model 3 disebutkan variabel

higiene perorangan santri dan kejadian penyakit

telah dikeluarkan sehingga R= 0,653 berarti

65,3% variasi nilai prestasi santri dipengaruhi

oleh sanitasi lingkungan ponpes dan sisanya

dipengaruhi oleh sebab-sebab lain.

Selain itu, dalam perhitungan dengan

SPSS didapatkan 3 buah model dalam Tabel

Anova dengan variasi angka yang berbeda.

Tabel 4. Output Anova - Regresi ANOVAd

122,590 3 40,863 24,378 ,000a

155,892 93 1,676

278,482 96

122,579 2 61,290 36,954 ,000b

155,902 94 1,659

278,482 96

118,578 1 118,578 70,448 ,000c

159,904 95 1,683

278,482 96

Regression

Residual

Total

Regression

Residual

Total

Regression

Residual

Total

Model

1

2

3

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), X3, X2, X1a.

Predictors: (Constant), X3, X2b.

Predictors: (Constant), X2c.

Dependent Variable: Yd.

Dari ketiga model diatas yang diperoleh

dari Tabel Anova, didapatkan penjelasan bahwa

dari ketiga variabel bebas yang diteliti

pengaruhnya terhadap prestasi belajar santri,

hanya variabel sanitasi lingkungan pondok

pesantren yang memiliki pengaruh cukup besar

daripada variabel lainnya yang dapat dilihat

pada Model 3 diatas. Pada Model 3 diatas

disebutkan bahwa nilai F hitung yang hanya

menggunakan variabel sanitasi dalam penga-

ruhnya terhadap prestasi memiliki nilai yang

cukup besar daripada model yang lainnya.

Model 3 didapatkan nilai F= 70,448

dengan p=0,000. Oleh karena p< 0,05, maka

model 3 dapat dipakai untuk memprediksi nilai

prestasi santri, atau secara bersama-sama semua

variabel bebas berpengaruh terhadap nilai

prestasi santri pada taraf kepercayaan 95%.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

11

Setelah variabel higiene perorangan

santri dan kejadian penyakit dikeluarkan,

ternyata F hitung naik dari 24,378 menjadi

36,954 dan berubah lagi menjadi 70,448.

Dengan demikian, model 3 lebih baik daripada

model 1 dan model 2.

Disamping itu, angka probabilitas yang

didapat pada Tabel Coefficients sebesar 0,000

(< α, α = 5%) yang berarti dapat disimpulkan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

meskipun hanya satu variabel bebas saja, yaitu

sanitasi lingkungan pondok pesantren.

Sementara itu, untuk persamaan

regresinya dapat dilihat pada Tabel Coefficients.

Tabel 5. Output Coefficients - Regresi Coefficientsa

18,700 1,742 10,735 ,000

,004 ,048 ,007 ,080 ,936 ,793 1,262

,929 ,115 ,662 8,078 ,000 ,898 1,114

-,161 ,109 -,123 -1,479 ,143 ,875 1,142

18,742 1,651 11,350 ,000

,932 ,109 ,664 8,562 ,000 ,992 1,008

-,158 ,102 -,120 -1,553 ,124 ,992 1,008

17,313 1,381 12,535 ,000

,916 ,109 ,653 8,393 ,000 1,000 1,000

(Constant)

X1

X2

X3

(Constant)

X2

X3

(Constant)

X2

Model

1

2

3

B Std. Error

Unstandardized

Coef f icients

Beta

Standardized

Coef f icients

t Sig. Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Ya.

Persamaan yang diperoleh adalah

sebagai berikut :

Y = a + b1X2 = 17,313 + 0,916 X2

Keterangan :

Y = Nilai prestasi belajar santri

A = Konstanta

X2 = Nilai kondisi sanitasi lingkungan pondok

pesantren

Berdasarkan model perumusan regresi

diatas, maka dapat diartikan bahwa rata-rata

nilai prestasi belajar santri diperkirakan

meningkat atau menurun sebesar 0,916 untuk

peningkatan atau penurunan skor penilaian

sanitasi lingkungan pondok pesantren sebesar

satu unit.

Oleh sabab itu, perlunya untuk selalu

melakukan pemeliharaan dan peningkatan

kualitas lingkungan di pondok pesantren.

Meskipun variabel higiene perorangan santri

dan kejadian penyakit tidak memberikan

pengaruh yang kuat pada peningkatan prestasi,

semua warga pondok termasuk para santri untuk

selalu menjaga kebersihan diri sendiri,

melaksanakan program PHBS yang telah

disarankan oleh pihak klinik agar tetap terjaga

kondisi kesehatannya dan tidak sering

mengalami sakit, karena pada dasarnya tubuh

yang selalu terserang atau rentang terkena

penyakit akan memberikan dampak yang

banyak. Diantaranya susah untuk beraktivitas,

tidak kuat berangkat ke sekolah, konsentrasi

belajar terganggu dan pada akhirnya juga bisa

mengakibatkan prestasi belajar menurun.

Meskipun belum memberikan pengaruh

yang kuat terhadap prestasi belajar, diharapkan

kesadaran diri untuk selalu meningkatkan

higiene perorangan agar kesehatan jasmani

selalu terjaga sebagai bekal mencapai suatu

tujuan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Penilaian higiene perorangan santri MTs

secara umum termasuk dalam kategori

cukup baik (88,7%). Akan tetapi, 5,2%

santri memiliki kebiasaan yang kurang baik

diantaranya : penggunaan sabun mandi yang

jarang, handuk dan sabun yang juga dipakai

oleh teman, kebiasaan potong kuku kecuali

kalau panjang saja, kebiasaan mencuci

tangan yang kurang baik serta kebiasaan

olahraga yang umumnya tidak dilakukan

santri.

b. Penilaian sanitasi pondok pesantren yang

meliputi 6 asrama secara umum termasuk

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

12

dalam kategori cukup baik. Akan tetapi, dari

keenam asrama tersebut, ada 2 asrama yang

memiliki kondisi sanitasi yang lebih baik.

Namun ada 4 asrama yang tidak mendukung

sanitasi pondok pesantren.

c. Terdapat 14 jenis penyakit yang sering

diderita santri. Diantaranya adalah tertinggi

penyakit scabies dengan frekuensi kejadian

24 kali (25,5%), diikuti penyakit ISPA serta

gastritis dengan persentase (21,3%). Semua

jenis penyakit yang terjadi rata-rata karena

kondisi kebersihan diri santri dan sanitsi

lingkungan yang kurang baik. Kemudian

kejadian penyakit beserta interaksinya

termasuk dalam kategori cukup baik.

d. Nilai prestasi santri khusunya 4 mata

pelajaran UNAS secara umum (53,6%)

termasuk dalam kriteria baik. Sisanya

(46,4%) termasuk kriteria cukup baik.

e. Adanya pengaruh dari variabel sanitasi

lingkungan pondok pesantren terhadap

prestasi belajar santri.

2. Saran

a. Dalam higiene perorangan santri, harus

diadakan sosialisasi pentingnya perilaku

hidup sehat dan bersih (PHBS). Diantaranya

penggunaan sabun dan handuk milik pribadi,

kebiasaan mencuci tangan yang baik dengan

sabun dan air mengalir, kebiasaan

memotong kuku minimal seminggu 1 kali,

segera mencuci pakaian yang kotor dan

tidak dibiarkan menumpuk serta anjuran

berolahraga kepada para santri secara

intensif sehingga tidak mengabaikan

pentingnya menjaga kebersihan diri.

b. Dalam sanitasi pondok pesantren, sebaiknya

dilakukan renovasi atau perbaikan terhadap

beberapa asrama yang kurang memenuhi

persyaratan kesehatan yang menunjang

kegiatan pembelajaran santri, diantaranya :

1) Pengecatan dinding kamar santri yang

masih bewarna gelap menjadi terang

dengan memakai jenis warna cat yang

terang seperti warna putih.

2) Pemberian atap di bangunan yang belum

beratap.

3) Pembenahan dan perawatan kondisi

kamar mandi/WC yang kurang baik pada

beberapa asrama, termasuk dinding,

lantai, atap dan bak mandi.

4) Rekonstruksi bangunan SPAL yang lebih

baik. Pemberian saringan di saluran

pembuangan awal untuk menyaring

sampah. Memberikan penutup diatas

saluran limbah, dan selalu dibersihkan.

5) Membalikkan fungsi sanitasi kamar

sebagai sarana penetralan kondisi kamar,

memberi cahaya matahari masuk dengan

leluasa tanpa ada pengahalang,

diantaranya meng-usahakan agar tidak

mengantungkan pakaian didekat cendela.

Tidak meletakkan barang-barang

maupun almari didekat almari hingga

menutupi sebagian jendela.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian: Suatu

Pendekatan Praktik. Jakarta ; PT Rineka

Cipta.

Awaliyah, D., 2007. Pengaruh Status Sosial

Ekonomi Keluarga Santriyah Terhadap

Prestasi Belajar Santriyah Di Pondok

Pesantren Hasanatul Huda Kabupaten

Sumedang. Skripsi. 2007-03-22.

http://digilib.upi.edu/pasca /available/

etd-0522107-100046/ (sitasi 16

Desember 2007).

Azra, A., 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan

Modernisasi Menuju Milenium Baru.

Jakarta; Penerbit Kalimah.

Azwar, A., 1990. Pengantar Ilmu Dasar – Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta ;

Mutiara.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

13

Azwar, A., 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan

Lingkungan. Jakarta; PT. Mutiara

Sumber Widya.

Azwar, S., 1996. Tes Prestasi : Fungsi dan

Pengembangan Pengukuran Prestasi

belajar. Yogyakarta ; Kanisius.

Candra, B., 2007. Pengantar Kesehatan

Lingkungan. Jakarta ; EGC.

Depag. R.I., 2003a. Pondok Pesantren dan

Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan

Perkembangannya. Jakarta; Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen

Agama R.I.

Depag. R.I., 2003b. Pola Pengembangan

Pondok Pesantren. Jakarta;

Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan

Agama Islam Departemen Agama R.I.

Depag. R.I., 2003c. Pola Pembelajaran di

Pesantren. Jakarta ; Ditpekapontren

Ditjen Kelembagan Agama Islam

Departemen Agama R.I.

Depkes. RI., 1993. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Tempat-Tempat Umum.

Surabaya; Ditjen PPM dan PLP.

Dinkes. Jatim., 1997. Sanitasi Pondok Pesantren

di Jawa Timur. Surabaya ; Dinas

Kesehatan Jawa Timur.

Dinkes. Jatim., 2008. Materi Pelatihan Pos

Kesehatan Pesantren (POSKESTREN).

Surabaya ; Dinas Kesehatan Jawa Timur.

Griessman, B.E., 1994. Faktor-Faktor Prestasi.

Jakarta ; Binarupa Aksara.

Hasbullah, 1999. Sejarah Pendidikan Islam di

Indonesia: Lintasan

Sejarah Pertumbuhan dan Perkem-

bangan. Jakarta; PT Raja Grafindo

Persada : 24-27 dan 138-161.

Kusnoputranto, H., 1986. Kesehatan

Lingkungan. Jakarta ; FKM Universitas

Indonesia.

Ma‟rufi I., Keman S., Notobroto H.B., 2005.

Faktor Sanitasi Lingkungan Yang

Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan.

Vol. 2, No.1 hal 11-18.

Menteri Kesehatan R.I., 1999. Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999. Tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan.

Jakarta ; Menteri Kesehatan R.I.

M.U.I., 1990. Air, Kebersihan dan Kesehatan

Lingkungan Menurut Agama Islam.

Jakarta ; Majelis Ulama Indonesia.

Mukono, H.J., 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya ; Airlangga

University Press.

Rahman, A., 2003. Sanitasi Pondok Pesantren.

Surabaya ; FKM Unair.

Sukarni, M., 1995. Kesehatan Keluarga dan

Lingkungan. Yogyakarta ; Kanisius.

Srisoeswati, 1990. Pedoman Pengawasan

Sanitasi Tempat-Tempat Umum. Jakarta.

Syah, M., 1999. Psikologi Belajar. Jakarta ;

Logos Wacana Ilmu.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

14

ANALISA METODE CITIZEN CHARTER SEBAGAI SALAH SATU METODE UPAYA

PENINGKATAN KUALITAS PUSKESMAS SEBAGAI PRIMARY HEALTH CARE

(Analysis Method As A Citizen Charter One Method Of Health Quality Improvement Efforts

As Primary Health Care)

Citra Mayangsari1,

Ernawaty, drg.,Mkes

1Puskesmas Wates Kota Mojokerto Jawa Timur

2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pada era Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2014 ini puskesmas mau tidak mau dituntut untuk

memeberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat di Wilayahnya. Konsep puskesmas yang hanya

mengutamakan upaya promotif dan preventif harus beralih menjadi puskesmas yang juga mengutamakan

upaya kuratif dan rehabilitatif. Disini puskesmas berperan sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat

I atau Primary Helath Care sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2013 Tentang Pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, dimana puskesmas berperan

sebagai penyaring pertama dalam upaya peningkatan derajat kesehatan manusia. Sehingga kualitas

puskesmas menjadi kunci utama dalam menghadapi era JKN dan memberikan kepuasan kepada

masyarakat. Citizen Charter merupakan salah satu metode yang sudah banyak dipakai di puskesmas di

Indonesia. Tool ini dipercaya untuk meningkatkan kualitas puskesmas dalam rangka memberikan

kepuasan kepada masyarakat karena dapat membangun kepercayaan masyarakat kepada puskesmas.

Tujuan dari telaah pustaka ini adalah untuk menjelaskan apa dan bagaimana citizen charter. Artikel ini

menggunakan metode telaah pustaka dari berbagai sumber yang mengulas tentang citizen charter.

Beberapa puskesmas sudah berhasil melaksanakan metode citizen charter dan berhasil. Namun beberapa

puskesmas masih kesulitan untuk melaksanakan metode citizen charter ini. sehingga upaya

pengembangan metode Citizen charter sangat diperlukan.

ABSTRACT

In the era of National Health Insurance in 2014, the health center would not want to be prosecuted on to

provide the best service to the community in the Territory. The concept of health centers that only priority

promotive and preventive efforts should be shifted to primary care clinics also focus on supporting the

curative and rehabilitative. Here health centers act as Health Care Providers Level I or Primary Helath

Care that basic on Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2013 Tentang

Pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional,where health centers act as the first filter in

improving the health status of human So the quality of the health center is the key factor in the era of JKN

and give satisfaction to the public. Citizen Charter is one method that has been widely used in health

centers in Indonesia.This tool is believed to improve the quality of health centers in order to give satisfaction to the public because it can build public confidence in the health centers.The purpose of this

literature review is to explain what and how citizen charter. This article uses the method of literature

review to review the various sources of citizen charters. Some health centers have already accomplished

and successful when use the methods of citizen charters. However, some health centers are still

difficulties to implement this method of citizen charters. making efforts to develop methods Citizen charter

is needed.

Keywords : Primary Health Care, citizen charter, puskesmas

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

15

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari

pembangunan nasional mempunyai tujuan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar

terwujud derajat kesehatan masyarakat yang

optimal. Undang-Undang Republik Indonesia

nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 5

menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak

dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang

aman, bermutu dan terjangkau8.

Definisi Puskesmas menurut Depkes 19976

adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang

merupakan pusat pengembangan kesehatan

masyarakat yang juga membina peran serta

masyarakat disamping memberikan pelayanan

kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada

masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk

kegiatan pokok. Puskesmas merupakan ujung

tombak pelayanan kesehatan masyarakat, yang

fungsinya antara lain :

1. Pusat pengerak pembangunan berwawasan

kesehatan

2. Pusat pemberdayaanmasyarakat dan keluarga

dalam pembangunan kesehatan

3. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama

Puskesmas sebagai pusat pelayanan

kesehatan tingkat pertama seringkali dilupakan oleh

masyarakat. Masyarakat cenderung lebih memilih

pelayanan kesehatan di rumah sakit langsung pada

kunjungan pertama. Sehingga menyebabkan

overload pada pelayanan rumah sakit. Padahal

sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Indonesia nomor 001 tahun

2012 tentang Sistem Rujukan PelayananKesehatan

Perorangan bahwa sistem rujukan dilaksanakan

berjenjang sesuai kebutuhan medis7.

Citizen charter merupakan salah satu tool

atau alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan di

Puskesmas berdasarkan suatu kontrak pelayanan

antara puskesmas sebagai provider dan masyarakat

sebagai konsumen.

Citizen charter sudah terbukti efektif untuk

meningkatkan kualitas pelayanan di puskesmas,

salah satu puskesmas yang sudah menggunakan

citizen charter adalah puskesmas Bendo di kota

blitar.

Tujuan dari artikel ini adalah;

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep citizen

charter dilaksanakan.

2. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan

citizen charter

3. Untuk mengetahui contoh aplikatif citizen

charter.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Puskesmas

Menurut KepMenKes RI No.

128/MENKES/SKII/2004 yang dimaksud dengan

Puskesmas adalah : Unit Pelaksana Teknis Dinas

Kesehatan Kabupaten /Kota yang bertanggung

jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan

disuatu wilayah kerja16.

Puskesmas merupakan suatu kesatuan

organisasi kesehatan fungsional yang merupakan

pengembangan kesehatan masyarakat yang juga

memberikan peran serta masyarakat disamping

memberikan pelayanan secara menyeluruh dan

terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya

dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain

puskesmas mempunyai wewenang dan

tanggungjawab atas pemeliharaan kesehatan

masyarakat dalam wilayah kerjanya.

2. Puskesmas sebagai Primary Health Care.

Primary Health Care (PHC) menurut

WHO dalam Alma Ata Declaration (1978)

adalahpelayanan

kesehatanesensialberdasarkanmetode praktis,

ilmiahdan dapat diterimasecara sosialdan teknologi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

16

dapatdiakses secara universal untuk individu dan

keluarga dimasyarakat melalui partisipasi penuh

mereka dandengan biaya yangdapat dijangkau oleh

Negara dan masyarakat. PHC

merupakantingkatanpertama kontakindividu,

keluarga dan masyarakatdengan sistemkesehatan

nasionalsehinggaperawatan

kesehatandapatdilaksanakansedekat

mungkindengan tempat orangtinggal dan bekerja,

danmerupakanelemenpertama dari proses

perawatan kesehatanberkelanjutan11.

Puskesmas cukup efektif membantu

masyarakat dalam memberikan pertolongan

pertama dengan standar pelayanan

kesehatanapalagipudkesmasperkotaansudahlengkap

fasilitaskesehatanya. Pelayanan kesehatan yang

dikenal murah seharusnya menjadikan Puskesmas

sebagai tempat pelayanan kesehatan utama bagi

masyarakat, namun pada kenyataannya banyak

masyarakat yang lebih memilih pelayanan

kesehatan pada dokter praktek swasta atau petugas

kesehatan praktek lainnya atau bahkan langsung

memeriksakan diri ke rumahsakit. Kondisi ini

kemungkinandidasari oleh anggapan yang negatif

darisebagianbesar masyarakat terhadap pelayanan

kesehatanpuskesmas, misalnya anggapan bahwa

mutu pelayanan yang yang kurangbagus, artinya

Puskesmas tidak cukup memadai dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik

dilihat dari sarana dan prasarananya maupun dari

tenaga medis atau anggaran yang digunakan untuk

menunjang kegiatannya sehari-hari. Sehingga

banyak sekali pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat itu tidak sesuai dengan Standar

Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.

Sikap tidak disiplin petugas medis pada unit

pelayanan puskesmas juga menjadi sebuah

masalah. Padakenyataannya masyarakat selalu

diperlakukan kurang baik oleh para petugas medis

yang dinilai cenderung tidakramahdankasar.

Tidak hanya hal-hal yang telah

diungkapkan di atas,

adabeberapapermasalahanyang muncul di

puskesmas, misalnya: Jam kerja Puskesmas yang

sangat singkat, kemampuan keuangan daerah yang

terbatas, puskesmas yang kurang memiliki otoritas

untuk memanfaatkan peluang yang ada, puskesmas

belum terbiasa mengelola kegiatannya secara

mandiri, serta kurangnya kesejahteraan karyawan

yang berpengaruh terhadap motivasi dalam

melaksanakan tugas di puskesmas.

3. Pengertian Citizen Charter

Penyelenggaraan pelayanan publik saatini

harus sesuai dengan peradigma pelayanan publik

yang berkembang yakni new public service yang

memandang publik sebagai citizen atau warga

Negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang

sama. Tidak hanya sebagai customer yang dilihat

dari kemampuannya membeli atau membayar

produk atau jasa. Citizen adalah penerima dan

pengguna layanan pubik yang disediakan

pemerintah dan sekaligus juga subyek dari

kewaiban publik, seperti mematuhi peraturan

perundang-udangan, membayar pajak, membela

Negara dan sebagainya12.

Menurut John Major pada tahun 1991

Citizen Charter merupakan suatu program yang

dapat meningkatkan kualitas pelayanan oleh sektor

pemberi layanan, dimana dasar idenya adalah untuk

menentukan standar kualitas, menentukan ukuran

standar tersebut, dan meraih standar, dimana

pengguna layanan mengetahui secara pasti

mengenai pelayanan yang diberikan oleh pengguna

layanan dimana di dalamnya terdapat keterbukaan

tentang informasi mengenai standard an bagaimana

kualitas dari pelayanan. Salah satu mekanisme

dalam citizen charter adalah prosedur penanganan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

17

keluhan. Pelayanan masyarakat ini terdiri dari

pelayanan kesehatan, Industri, pendidikan,

keamanan masyarakat, dan pemerintahan local2.

Citizen Chartermerupakankesepakatanresmi

(formal)

antaramasyarakatsebagaikonsumendenganpenyelen

ggarapelayananpublik.

Biasajugadisebutsebagaikontrakpelyanan yang

berisikesanggupandankesediaanpemberilayananunt

ukmelakukanataumenyelenggarakanpelayanansesua

idenganperjanjian (kesepakatan),

disertaisangsiapabilakeepakatantidakdipenuhiataudl

aanggar, citizen

chartermenekankanaspekpelayananpublik yang

professional,transparan, berkepastian,

ramahdanberkeadilandenganmenghargaihakdankew

ajibanpenggunamaupunpenyedialayananan9.

Citizen Charter adalah suatu pendekatan

dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang

menempatkan pengguna layanan sebagai pusat

perhatian. Artinya, kebutuhan dan kepentingan

pengguna layanan harus menjadi pertimbangan

utama dalam seluruh proses penyelenggaraan

pelayanan publik. Berbeda dengan taktik

penyelenggaraan pelayanan publik yang terjadi

sekarang ini, yang menempatkan kepentingan

pemerintah dan penyedia layanan sebagai acuan

utama dari praktik penyelenggaraan pelayanan.

Citizen Charter menempatkan kepentingan

pengguna layanan sebagai unsur yang paling

penting. Untuk mencapai maksud tersebut, Citizen

Charter mendorong penyedia layanan untuk

bersama dengan pengguna layanan dan pihak-pihak

yang berkepentingan (stakeholder) lainnya untuk

menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya, serta

cara pelayanan. Kesepakatan tersebut harus

mempertimbangkan keseimbangan hak dan

kewajiban antara penyedia layanan, pengguna

layanan, serta stakeholder. Kesepakatan ini

nantinya akan menjadi dasar praktik

penyelenggaraan pelayanan publik13.

4. Tujuan, Manfaat, dan 8 sendi citizen charter.

Tujuan Citizen Charter adalah membuat

pelayanan publik menjadi lebih responsif

(kesesuaian antara pelayanan dengan kebutuhan

masyarakat), transparan (semua aspek pelayanan

yakni jenis, prosedur, waktu, biaya dan cara

pelayanan, dapat diketahui dengan mudah oleh

pengguna layanan), dan akuntabel (aspek

pelayanandan kontekspenyelenggaraannya dinilai

baik oleh pengguna layanan)4.

ManfaatCitizen Charterdapat dipakai baik

oleh pengguna layanan mauapun penyedia layanan.

Bagi pengguna layanan adalah4:

a. Memberikan jaminan bahwa pelayanan publik

akan menjadi lebih responsif transparan dan

akuntabel.

b. Memberikan kemudahan untuk mengakses

informasi pelayanan dan melakukan kontrol

terhadap penyelenggaraan pelayanan;

c. Menghargai martabat dan kedudukan pengguna

layanan sebagai warga yang berdaulat.

Sedangkan bagi penyedia layanan adalah:

a. Memudahkan dalam melakukan evaluasi

terhadap kinerja pelayanan ;

b. Membantu memahami kebutuhan dan aspirasi

warga, serta stakeholders mengenai

penyelenggaraan pelayanan publik ;

c. Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa

pelayanan publik bukan hanya tanggung jawab

pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab

semua, termasuk warga dan pengguna layanan.

Adapun delapan sendi pelayanan pada

Citizen Charteryang harus dipegang teguh antara

lain14:

a. Kesederhanaan (mudah, lancar, cepat)

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

18

b. Kejelasan dan Kepastian (prosedur,

penanggungjawab, biaya, waktu penyelesaian,

hak dan kewajiban)

c. Keamanan (kenyamanan, kepastian, hukum dan

penyimpanan)

d. Keterbukaan (informasi terbuka, peduli dan

sopan)

e. Efisiensi (waktu dan persyaratan lengkap)

f. Ekonomis (kesederhanaan, mudah, lancar dan

cepat)

g. Keadilan Yang Merata (tidak ada perbedaan

pelayanan)

h. Ketepatan Waktu (tepat sesuai permohonan)

5. Pelaksanaan citizen charter

Konsep dari Citizen Charter adalah

membangun kepercayaan antara pemberi layanan

dan pengguna layanan. Konsep ini pertama kali

ditemukan dan dilaksanaakan di Inggris dari

pemerintahan konservatif yaitu John Major pada

tahun 1991 sebagai program nasional dengan

tujuansederhana yaitu untuk meningkatkan kualitas

pelayanan publik di seluruh negeri sehngga seluruh

pelayanan merespon semua kebutuhan dan

keinginan pengguna layanan. Program ini

kemudian dilaunching pada tahun 1998 oleh

„labour Government’ yaitu Tony Blair, dan

menamakan program ini sebagai „Service First’1.

Program ini kemudian diadopsi oleh

Australia (Service Charter, 1997), B (Public

Service Users' Charter 1992), Canada (Service

Standards Initiative, 1995), France (Service

Charter, 1992), India (Citizen's Charter, 1997),

Jamaica (Citizen's Charter 1994), Malaysia

(ClientCharter, 1993), Portugal (The Quality

Charter in Public Services, 1993), and Spain (The

Quality Observatory, 1992) (OECD, 1996). Konsep

dari Negara-negara tersebut secara mendasar

hampir sama dengan model di Inggris yang pada

intinya memberikan pelayanan yang berkualitas

untuk seluruh pengguna layanan1.Di Indonesia

sendiri pelaksanaan Citizen Charterbaru mulai

sekitar tahun 2006 sampai tahun 2009 dimana pada

tahun tersebut lebih dari 60 kabupaten dan kota

daerah diberikan program pelatihan dan bantuan

teknis untuk mengembangkan perbaikan dan

peningkatan kapasitas organisasi pelayanan publik

menuju pada pelayanan yang responsif, partisipasif,

transparan dan akuntabel.

Para peneliti dari Universitas Gadjah

Mada telah melakukan uji-coba dan fasilitasi

penerapan Kontrak Pelayanan di beberapa daerah di

Indonesia. Aspek-aspek yang difasilitasi dengan

Kontrak Pelayanan itu kebanyakan meliputi

pelayanan di bidang kesehatan, kependudukan, dan

perijinan. Sebagai contoh, di kota Blitar, fokus

fasilitasi Kontrak Pelayanan adalah pada pelayanan

di Puskesmas, dimana puskesmas Bendo kota Blitar

sudah menerapkan konsep Citizen Charterini dan

berhasil meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan. Bahkan kota Blitar mendapatkan

penghargaan Otonomi award Tingkat nasional

Otonomi Award 2006, “Grand Category Region in

a Leading Breakthrough on PublicService”oleh

karena telah berhasil mengembangkan konsep

Citizen Charter.

Contoh yang lain yaitu di kabupaten

Semarang difokuskan dibeberapa kecamatan dalam

hal pelayanan KTP. Sedangkan di kota Yogyakarta

difokuskan pada urusan Akte Kelahiran. Saat ini

sedang dirintis untuk memperluas penerapan

Kontrak Pelayanan di kabupaten atau kota lain di

seluruh Indonesia.

6. Unsur-unsurCitizen Charter

Dalam melaksanakan proses citizen

charter ini, melibatkan 3 unsur yang ketiganya

dalam posisi sejajar sebaga mitra, 3 unsur tersebut

antara lain:

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

19

a. Unsur pemberi layanan yaitu birokrasi atau

pemerintah. Bila di puskesmas adalah petugas

kesehatan di puskesmas.

b. Unsur penerima layanan yaitu masyarakat

pengguna layanan.

c. Unsur stakeholder yaitu para pemangku

kepentingan bisa dari anggota DPRD yang

tinggal di wilayah kerja unit pelayanan, atau

mungkin dari Non government Organisation.

Dalam proses pelaksanaan pembuatan

dokumen ctizen charter bisa mengikutsertakan

fasilitator yang sekiranya dapat menjadi penengah

pada saat brainstorming pembuatan dokumen

Citizen Charter.

Birokasi dalam memberi pelayanan harus

mulai partisipatif dalam menentukan aturan main

penyelenggaraan pelayanan. Masyarakat bukan

sekadar obyek yang seenaknya saja dibebani

berbagai macam biaya yang terkadang tidak jelas

penggunaannya untuk apa. Dalam citizen charter ini

pelayanan kepada masyarakat bersifat terbuka dan

transparan.

7. isi dan langkah-langkah citizen charter.

Ada lima unsur pokok yang tercantum di

dalam isiKontrak Pelayanan, yaitu15.

a. Visi dan misi pelayanan. Yang termuat di sini

adalah rumusan tentang sejauh mana organisasi

pelayanan publik telah merujuk pada prinsip-

prinsip kepastian pelayanan. Harus diingat

bahwa visi dan misi pelayanan tidak hanya

difahami sebagai slogan atau motto, tetapi

harus diaktualisasikan ke dalam tindakan

konkret. Visi dan misi harus menjadi bagian

dari budaya pelayanan yang tercermin di dalam

cara pemberian layanan.

b. Standar pelayanan. Berisi penjelasan tentang

apa, mengapa dan bagaimana upaya yang

diperlukan untuk memperbaiki kualitas

pelayanan. Standar pelayanan memuat norma-

norma pelayanan yang akan diterima oleh

pengguna layanan. Dalam hal ini standar

pelayanan harus memuat standar perlakuan

terhadap pengguna, standar kualitas produk

(out-put) yang diperoleh masyarakat dan

standar informasi yang dapat diakses oleh

pengguna layanan.

c. Alur pelayanan. Berisi penjelasan tentang

unit/bagian yang harus dilalui bila akan

mengurus sesuatu atau menghendaki pelayanan

dari organisasi public tertentu. Alur pelayanan

harus menjelaskan berbagai fungsi dan tugas

unit-unit dalam kantor pelayanan sehingga

kesalahpahaman antara penyedia dan pengguna

jasa pelayanan dapat dikurangi. Bagan dari alur

pelayanan perlu ditempatkan di tempat

strategis agar mudah dilihat pengguna layanan.

Alangkah baiknya kalau bagan itu didesain

secara menarik dengan bahasa yang sederhana

dan gambar-gambar yang memudahkan

pemahaman pengguna pelayanan.

d. Unit atau bagian pengaduan masyarakat. Yang

dimaksud adalah satuan, unit atau bagian yang

berfungsi menerima segala bentuk pengaduan

masyarakat. Satuan ini wajib merespons

dengan baik semua bentuk pengaduan,

menjamin adanya keseriusan penyedia layanan

untuk menanggapi keluhan dan masukan. Ia

juga berperan untuk mengevaluasi system

pelayanan yang ada. Salah satu peran penting

dari unit pengaduan masyarakat ialah dalam

riset dan pengembangan sistem pelayanan.

e. Survai pengguna layanan. Di Indonesia, survai

pengguna layanan kebanyakan masih terbatas

dilakukan oleh perusahaan swasta dalam

bentuk survai pelanggan (customer survey).

Kontrak Pelayanan mengharuskan

dilakukannya survai pengguna layanan bagi

organisasi publik. Tujuannya ialahuntuk

mengetahui aspirasi, harapan, kebutuhan dan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

20

permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hasil

survei digunakan untuk memperbaiki system

penyelenggaraan pelayanan publik di masa

mendatang sesuai harapan masyarakat. Yang

diharapkan dari adanya survai pengguna

layanan itu ialah adanya hubungan baik dan

tingkat kepercayaan pengguna terhadap

penyedia layanan.

Alur Proses Penyusunan dan

Pengimplementasian Citizen‟s Charter ada pada

gambar 1.

a. Tahap Persiapan4

Persiapan dalam rangka penyusunan

citizen charter pelayanan publik antara lain:

1) Pembentukan Tim Penyusun citizen charter.

Tujuannya adalah memilih anggota dan

mempersiapkan pembentukan timApenyusun

citizen charter. Dalam mempersiapkan tim ini,

sebaiknya ada tim kecil (task force) yang

terdiri dari perwakilan pihak pemberi maupun

penerima pelayanan serta stakeholders lain.

2) Pemilihan Prioritas Jenis Pelayanan. Tujuan

dari tahapan ini adalah untuk melakukan

identifikasi dan prioritisasi pelayanan publik

yang akan dibuatkan dokumen citizen charter

di SKPD. Pembuatan Rencana Kerja dan

Anggaran Penyusunan citizen charter. Tujuan

pembuatan rencana kerja dan anggaran adalah

mengidentifikasi secara sistematissemua

langkah kegiatan

beserta sumber daya yang diperlukan, mulai

dari tahappersiapan

sampai dengan implementasi, serta replikasi

citizen charter.

b. Tahap Penyusunan Dokumen Citizen

Charter4

Tahap penyusunan dokumen citizen

charter antara lain:

1) Membuat Draft Dokumen citizen charter.

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk

merancang dan menyusun isi draft dokumen

citizen charter secara lengkap dan partisipatif.

Secara umum isi draft citizen charter yang

perlu disusun meliputi beberapa komponen:

a) Nama/Judul Pelayanan Publik.

b) Visi.

c) Misi.

d) Standar Pelayanan.

e) Hak dan Kewajiban Pemberi Pelayanan.

f) Hak dan Kewajiban Penerima Pelayanan.

g) Sanksi.

h) Mekanisme Pengaduan.

i) Survei Pengguna Pelayanan.

j) Halaman Pengesahan Dokumen citizen

charter.

Gambar 1. Alur Proses Penyusunan dan Pengimplementasian Citizen’s Charter4

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

21

2) Uji Coba dan Revisi Draft Dokumen citizen

charter. Pada tahap ini yang dapat dilakukan

adalah melakukan pertemuan, membuat materi

uji coba, membuat instrumen masukan atau

feedback, melakukan koordinasi dengan

stakeholders di tempat uji coba, melakukan uji

coba draft citizen charter melakukan pertemuan

review hasil uji coba, melakukan perbaikan

draft citizen charter. Uji coba dilakukan dengan

cara menanyakan langsung dokumen citizen

charter terutama pada standar pelayanan

kepada responden yaitu masyarakat umum dan

para petugas yang akan memberikan pelayanan

publik. Pelaksanaan uji coba dilakukan oleh

para peserta dan calon petugas yang terlibat

dalam memberikan citizen charter. Masyarakat

yang menjadi responden adalah masyarakat

umum dengan berbagai latar tingkat sosial

ekonomi. Hasil yang diharapkan adalah

terselengaranya uji coba dan dipahaminya draft

citizen charter pada masyarakat pengguna dan

pemberi serta mendapatkan masukan untuk

perbaikan citizen charter.

c. Legalisasi Dokumen Citizen Charter4

Tahap legalisasi dokumen citizen charter

antara lain :

1) Seminar dan Advokasi citizen charter. Langkah

yang dapat dilakukan adalah: Melakukan

koordinasi dan pertemuan; Menyusun

kepanitiaan; penugasan, dan menyusun

kebutuhan (menyusunagenda, membuat daftar

peserta dan pembicara, membuat surat

undangan, mencari tempat, sumber dana,

materi, protokoler); Melaksanakan seminar.

Hasil yang diharapkan adalah dukungan publik

melalui publikasi dalam seminar citizen charter

tingkat Kabupaten/Kota.

2) Pengesahan citizen charter. Pengesahan dapat

dilaksanakan

setelah melakukan publikasi dengan langkah

melakukan koordinasi tim; penyiapan

dokumen; Advokasi pada para perwakilan;

penandatanganan. Hasil yang diharapkan

adalah disyahkannya citizen charter oleh para

perwakilan pihak pemberi dan penerima

pelayanan public.

d. Tahap Implementasi Citizen Charter4

Tahap implementasi citizen charter antara

lain:

1) Sosialisasi dan Pelatihan citizen charter.

Sosialisasi dapat dilakukan dengan langkah:

Menyiapkan dokumen citizen charter;

Melakukan koordinasi internal dan eksternal

SKPD, melakukan pertemuan dan sosialisasi;

Menyiapkan dokumen atau modul pelatihan;

Mengundang petugas pemberi pelayanan

citizen charter terkait, Melakukan pelatihan

oleh tim citizen charter. Hasil yang diharapkan

adalah dokumen citizen charter pelayanan

publik tersosialisasi secara internal ke seluruh

tempat pelayanan publik yang terkait dalam

citizen charter. Sosialiasi penting untuk

memperhitungkan kesiapan pemberi

pelayanan. Selain itu juga untuk meningkatkan

kapasitas pemberi pelayanan publik agar

mampu melaksanakan penugasan ini.

2) Penerapan citizen charter. Langkah yang

dilakukan adalah: melakukan koordinasi yang

dipimpin SKPD terkait untuk melakukan

persiapan tempat dan sarana pendukung,

mempersiapkan petugas dan mejalankan

citizen charter. Hasil yang diharapkan adalah

sarana dan petugas pelayanan siap

melaksanakan pekerjaannya.

e. Tahap Monotoring Dan Evaluasi4

Langkah yang dilakukan antara lain:

Melakukan koordinasi dan pertemuan; Membuat

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

22

instrumen monitoring dan evaluasi; Menyiapkan

tim monitoring dan evaluasi; Melaksanakan

monitoring dan evaluasi pelaksanaan citizen

charter; Menganalisis hasil monitoring dan

evaluasi. Monitoring bisa dilakukan secara internal

(dari para pemberi pelayanan) maupun eksternal

(dari pengguna pelayanan atau kelompok

independen yang lain).

Hasil yang diharapkan adalah

teridentifikasinya faktor pendukung dan

penghambat yang dapat dijadikan umpan balik

perbaikan dalam pelayanan publik yang terdapat

dalam dokumen citizen‟s charter.

Agar kegiatan monitoring dan evaluasi

berjalan dengan baik diperlukan: kejelasan petugas

yang bertanggung jawab, instrumen monitoring,

metode pelaksanaan, indikator keberhasilan, dan

waktu pelaksanaan monitoring evaluasi.

f. Upaya Replikasi4

Langkah-langkah umum proses replikasi

citizen charter di lokasi lain adalah: Melakukan

pertemuan; Mengidentifikasi keberhasilan citizen

charter; Mengidentifikasi potensi dan karakteristik

yang dimiliki masing-masing tempat pelayanan;

Melakukan upaya replikasi ditempat tujuan

replikasi.

Hasil yang diharapkan adalah citizen

charter dapat diterapkan di tempat pelayanan publik

lain sesuai karakteristiknya. Upaya yang dapat

dilakukan agar replikasi efektif antara lain:

melakukan sosialisasi citizen charter; melakukan

kunjungan ke tempat yang telah berhasil

melaksanakan citizen charter; melakukan sharing

experience terkait keberhasilan antar tempat

pelayanan publik; memeriksa kesiapan sarana dan

prasarana; mengkaji kesiapan organisasi dan

jaringan; menyiapkan petugas/tim citizen charter.

g. Contoh aplikatif pelaksanaan Citizen

Charter

Indonesia sudah mulai banyak menerapkan

program citizen charter. Beberapa puskesmas sudah

menerapkan konsep citizen charter ini. Salah

satunya adalah di Puskesmas Bendo di Kota Blitar.

Dan puskesmas tersebut menjadi bahan rujukan

oleh banyak puskesmas di Jawa Timur. Salah satu

konsep penerapan Citizen Charter di Puskesmas

Bendo yang bagus adalah proses penyelesaian

complain di puskesmas. Proses penyelesaian

komplain di Puskesmas Bendo di Kota Blitar,

adalah sebagai berikut: Jika ada konsumen yang

tidak puas dengan kualitas pelayanan publik yang

diterimanya, yang pertama kali harus dilakukan

adalah memeriksa pada dokumen citizen charter

apakah telah terjadi pelanggaran oleh institusi

pelayanan publik dalam memberi layanan. Jika ya,

konsumen akan mengadukan masalah tersebut pada

orang yang namanya telah tercantum sebagai

penanggung jawab dalam citizen charter tersebut.

Jika konsumen tidak puas dengan respons yang

diterima, maka ia akan mengadukan pada

stakeholder, sebagai institusi independen yang

mendapat wewenang dalam hal ini. stakeholder

kemudian akan mendatangi pejabat dari pelayanan

publik yang dikomplain konsumen tersebut. Jika

para pejabat institusi pelayanan publik tersebut

tidak memberi respons yang diharapkan konsumen,

maka stakeholder akan mengangkat kasus ini di

media massa.

Salah satu puskesmas lain yang

mengadopsi citizen carter adalah Puskesmas

Kauman Kabupaten Tulung Agung. Pada tahun

2007, gagasan Citizen Charter ditawarkan oleh

Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung kepada

28 dan Puskesmas Kauman dengan kesediaan

sebagai percontohan di Kabupaten Tulungagung6

Diantara 28 Puskesmas yang ada saat itu, ditinjau

dari kelengkapan sarana prasarana, kondisi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

23

geografis, Puskesmas Kauman lebih siap untuk

menjalankan Citizen Charter, disamping sederetan

prestasi yang telah diraih, dari tingkat Kabupaten

hingga Nasional.

Sejak diimplementasikan tahun 2009

hingga saat ini, telah terjadi peningkatan mutu

layanan yang diindikasikan melalui peningkatan

standart mutu layanan, jumlah kunjungan, kuantitas

dan kualitas partisipasi masyarakat melalui

mekanisme penyelesaian pengaduan masyarakat,

forum Bedah Layanan sebagai forum monitoring

dan evaluasi penyelenggaraan Citizen Charter.

Sejak tahun pertama penyelenggaraan Citizen

Charter, tahun 2009, aduan lebih banyak diterima

melalui kotak saran. Adanya mekanisme pengaduan

pengguna layanan terbukti meningkatkan tanggung

jawab dan responsivitas masyarakat untuk

peningkatan mutu layanan di Puskesmas Kauman.

Aduan yang diterima Tim Penyelesaian

Pengaduan Masyarakat dicatat dalam Buku

Pengaduan yang kemudian dibahas terlebih dahulu

di internal tim untuk menentukan tingkatan aduan,

apakah dapat diselesaikan secara langsung, atau

memerlukan koordinasi lintas sektor dan

berhubungan dengan anggaran. Tahap berikutnya,

jika dapat diselesaikan secara langsung, tim akan

melakukan langkah klarifikasi dengan pihak-pihak

yang disebutkan dalam aduan untuk menemukan

data dan fakta yang benar hingga dapat ditentukan

solusi adil, berimbang dan terbaik. Penyelesaian

pada aduan kategori ini, paling lambat dilakukan

dalam 2 hari setelah pengaduan diterima, dan akan

disampaikan kepada pihak pengadu jika

identitasnya tercatat dengan lengkap dan jelas.

Sedangkan untuk jenis aduan terakhir, seperti

perbaikan menu makanan pada pasien rawat inap,

perbaikan lahan parkir dan taman, jam buka loket

tidak sesuai dengan Citizen Charter, ada musik di

ruang tunggu, penambahan sarana dan prasarana,

penambahan tenaga kesehatan, belum tersedianya

dokter jaga dan petugas laboratorium 24 jam untuk

layanan UGD,belum terpisahnya antara ruang rawat

inap dan isolasi, dan lain sebagainya tim, akan

dibawa ke forum Bedah Layanan yang

diselenggarakan setahun sekali untuk disepakati

solusi-solusinya.

Salah satu dasar peningkatan layanan

untuk mencapai kepuasan pengguna layanan adalah

aduan dan usulan dari pengguna layanan melalui 3

pintu layanan pengaduan, sehingga dapat dilakukan

pembenahan baik secara langsung maupun

bertahap. Ini adalah dampak positif dari Citizen

Charter, dengan mendorong kepedulian pengguna

layanan terhadap perbaikan dan peningkatan

layanan publik, khususnya layanan kesehatan.

Perubahan utama yang dihasilkan antara

lain:

a. Peningkatan manfaat layanan secara langsung

pada masyarakat.

b. Perubahan paradigma layananan dari

Puskesmas yang mengatur masyarakat menjadi

Puskesmas yang memenuhi harapan

masyarakat.

c. Perubahan pola pikir (mindset) pada seluruh

staf tentang layanan yang berorientasi pada

kepuasaan pengguna layanan.

Ke depan konsep pelayanan kesehatan di

puskesmas di seluruh Indonesia akan menggunakan

konsep citzen charter dalam meningkatkan kualitas

pelayanan keehatan di masyarakat.

h. Kekuatan dan kelemahan citizen charter16.

Tdak dapat dipungkiri bahwa citizen

charter atau kontrak pelayanan telah memberikan

kontribusi yang cukup besar dalam upaya

pelayanan kesehatan yang lebih responsif),

transparan, dan akuntabel. Bahkan citizen charter

dianggap sebagai sebuah konsep baru yang semula

diperkenalkan oleh lembaga-lembaga donor

internasional sebagai upaya menciptakan tata-

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

24

pemerintahan yang baik (good governance) kini

menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk

membenahi system pelayanan kesehatan di

Indonesia.

Adapun kekuatan dari citizen charter

antara lain bahwa citizen charter dapat :

1. Memberikan kepastian pelayanan yang

meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara

pelayanan.

2. Memberikan informasi mengenai hak dan

kewajiban pengguna layanan, penyedia

layanan, dan stakeholder lainnya dalam

keseluruhan proses penyelenggaraan

pelayanan.

3. Mempermudah pengguna layanan, warga, dan

stakeholder lainnya mengontrol praktik

penyelenggaraan pelayanan.

4. Mempermudah manajemen pelayanan dan

memperbaiki kinerja penyelenggaraan

pelayanan.

5. Membantu manajemen pelayanan

mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan

aspirasi pengguna layanan dan stakeholder

lainnya.

Namun karena yang pertama kalinya

mengungkapkan konsep ini adalah UNDP, Bank

Dunia, ADB, dan lembaga-lembaga donor yang

dikuasai oleh negara-negara Barat, tidak dapat

dipungkiribahwa gagasan-gagasan yang terdapat di

dalamnya seringkali tidak mampu benar-benar

menyentuh konteks sosial dan politik di negara-

negara berkembang. Dan ternyata banyak pakar di

negara-negara berkembang sendiri yang belum

bersedia bekerja keras untuk mewujudkan gagasan-

gagasan baik menyangkut tata-pemerintahan

berdasarkan kondisi lokal dengan mengutamakan

unsur-unsur kearifan lokal yang telah ada.

Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan

Citizen charter.Dari pihak pemerintah daerah,

kendala yang muncul dapat berupa:

1. Lemahnya komitmen politik para pengambil

keputusan di daerah untuk secara benar

melaksanakan citizen carter. Untuk

pelaksanaan Citizen Charter diperlukan

legalisasi Dokumen Citizen Charter dan

diperlukan advokasi terhadap para perwakilan

penerima dan pemberi pelayanan untuk

selanjutnya bisa dilakukan legalisasi dokumen

Citizen Charter tersebut. Untuk saat ini

pelaksanaan advokasi Citizen Charter ke

pemerintah daerah sangat sulit dan perlu sekali

banyak pertimbangan.

2. Lemahnya dukungan SDM yang dapat

diandalkan untuk melaksanakan citizen charter.

Kendala ini berasal dari internal puskesmas,

para pemberi layanan kurang mengerti benar

dengan konsep citizen charter, dan

menganggap bahwa tanpa Citizen Charter pun

pasien yang ada di puskesmas sudah sangat

banyak, sehingga tidak diperlukan kontrak

pelayanan dengan masyarakat.

3. Rendahnya kemampuan lembaga legislatif

dalam mengartikulasikan Citizen Charter untuk

kepentingan masyarakat. Hal ini mungkin

disebabkan kurangnya sosialisasi kepada

lembaga legislative, sehingga samapi saat ini

lembaga legislatif sendiri belum mengerti

benar manfaat citizen charter, padahal lembaga

legislatif diperlukan dalam pelaksanaan Citizen

Charter terutama sebagai stakeholder.

4. Lemahnya dukungan anggaran. Karena

kegiatan citizen charter seringkali hanya dilihat

sebagai proyek, maka pemerintah daerah tidak

menyiapkan anggaran secara berkelanjutan.

Akibatnya, kegiatan Citizen Charter hanya

berjalan beberapa saat dan selanjutnya

penyelenggaraan pelayanan publik akan

kembali kepada praktik-praktik lama seperti

pada saat program citizen charter belum

dilakukan.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

25

Sementara itu, dari pihak masyarakat kendala

pelaksanaan citizen charter dapat muncul karena

berbagai hal berikut:

1. Citizen charter masih belum terlalu

memasyarakat sehingga masyarakat tidak

mengerti benar tentan konsep citizen charter,

sehingga sosialisasi harus dilakukan secara

terus menerus.

2. Budaya paternalisme yang dianut oleh

masyarakat selama ini menyulitkan manakala

mereka diminta untuk melakukan diskusi

terbuka dengan para pejabat publik yang

mereka anggap menduduki posisi yang lebih

tinggi dalam masyarakat. Apalagi jika harus

melakukan kritik secara terbuka kepada pejabat

publik pada waktu dialog publik. Padahal

dalam pelaaksanaan citizn charter diperlukan

musyawarah yang berkelanjutan untuk

menentukan segala kebijakan yang harus

disepakati dan tertuang dalam dokumen

kontrak pelayanan.

3. Apatisme. Karena selama ini masyarakat

jarang dilibatkan dalam pembuatan kebijakan

oleh pemerintah daerah, maka mereka menjadi

bersikap apatis. Kondisi ini akan menyulitkan

ketika pemerintah melakukan inisiatif untuk

mengajak mereka berpartisipasi untuk

melaksanakan cc.

4. Tidak adanya kepercayaan (trust) masyarakat

kepada pemerintah. Pengalaman masa lalu di

mana masyarakat hanya dijadikan objek

pemerintah membuat masyarakat kehilangan

kepercayaan kepada pemerintah. Bahkan

masyarakat sering beranggapan bahwa citizen

charter mungkin hanya sesaat dan tidak bisa

bertahan dalam waktu lama.

PEMBAHASAN

Seperti yang sudah diketahui bersama

bahwa konsep citizen charter dapat memberikan

kontribusi yang banyak dalam upaya pelaksanaan

peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Oleh karena ada banyak hal yang bersifat sangat

fungsional di dalam Kontrak Pelayanan, yaitu

bahwa ia akan dapat dijadikan sebagai bentuk

rumusan dari kesepakatan bersama yang bersifat

terbuka, sebagai instrumen publik untuk

mengontrol penyelenggaraan pelayanan, dan juga

sebagai sarana untuk mengatur hak dan kewajiban

dari pengguna maupun penyedia pelayanan secara

seimbang dan adil.

Dengan demikian asumsi yang terdapat di

dalam good governance sangat sejalan dengan

Citizen Charter, yaitu bahwa pelayanan publik akan

menjadi urusan dan tanggung jawab bersama antara

pemerintah, swasta, dan masyarakat pengguna pada

umumnya.

Dari beberapa kasus di daerahyang telah

berhasil menerapkan CC, tampak bahwa sistem

Kontrak Pelayanan bisa merupakan terobosan bagi

penciptaan mekanisme pelayanan yang lebih

berkualitas serta reformasi birokrasi publik di

Indonesia. Kontrak Pelayanan jelas sangat sesuai

dengan gagasan tata -pemerintahan yang baik sebab

prinsip dasardari governance adalah keterlibatan

tiga pihak dalam proses pelayanan, yaitu

pemerintah daerah, unsur-unsur swasta, dan unsur-

unsur masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan.

Namun harus diakui bahwa penerapan

sistem Kontrak Pelayanan di Indonesia masih

merupakan hal yang baru dan belum banyak

dipahami dengan baik oleh para perumus kebijakan

di daerah. Prosedur pelayanan sering kali diatur

dengan peraturan daerah (Perda), yang tidak bisa

diubah begitu saja karena pelanggaran terhadap

Perda memiliki risiko yang besar bagi para pejabat

birokrasi. Dan tentu saja komitmen dari semua

unsur citizen charter memgang peranan yang sangat

penting dalam pelaksanaannya. Kendala dalam

pelaksanaan citizen charter di puskesmas yang

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

26

paling utama adalah advokasi kepada pemerintah.

Begitu banyaknya prosedur dalam advokasi

sehingga menyulitkan pihak puskesmas yang hanya

merupakan Unit pelaksana Teknis Dinas Kesehatan

untuk mandapatkan legalitas dari pelaksanaan

citizen charter.

Menurut Chandler (1996)2, dikatakan

bahwa citizen charter merupakan cara efektif

untukmeninkatkan kapasitas pemerintahan daerah

dan dalam pelaksanaannya memerlukan komitmen

yang kuat. Komitmen tersebut haruslah termasuk

peningkatan kualitas pelayanan. Bila komitmen

hanya ada di satu pihak misalnya hanya pada

pemberi layanan tetapi tidak ada komitmen dari

pihak lain maka tidak akan sukses peelaksanaan

citizen charter.

Pada Public Policy and Administration,

Taylor yang dikutip oleh Zannatun Nayem

menyimpulkan bahwa system citizen charter ini

kurang adekuat dalam memenuhi kebutuhan dari

customers, dan memerlukan systm yang lebih kuat.

Studi oleh Vijender Singhn Haryana

municipal council in India menunjukkan bahwa

citizen charter sangat dipengaruhi banyak factor

dan actor dalam proses pelaksanaannya. Jika tidak

didukung oleh kebijakan dari pemerintah maka

citizen charter tidak akan berhasil memberikan

perubahan yang lebih baik10.

Disamping itu, untuk dapat bertahan

pelayananan pada masyarakat juga harus

melakukan penyempurnaan terhadap mekanisme

dan prosedur kerjanya sesuai dengan kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat

menghasilkan pelayanan publik yang cepat dan

berkualitas dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat. Apabila organisasi tidak mampu

mengadopsi teknologi modern dan terbelenggu oleh

metode kerja yang tradisional, maka pelayanan

yang diberikan akan lambat dan kurang berkualitas.

Konsep citizen charter ini juga harus didukung oleh

teknologi masa kini.

Jelas sekali bahwa konsep citizen charter memang

seharusnya bisa memberian banyak perubahan

dalam hal peningkatan pelayanan kepada

masyarakat, namun banyak faktor yang dapat

menyebabkan gagalnya pelaksanaan citizen charter.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Citizen Charter merupakan kesepakatan

resmi (formal) antara masyarakat atau konsumen

dengan penyelenggara pelayanan publik. Biasa juga

disebut sebagai Kontrak Pelayanan yang berisi

kesanggupan dan kesediaan pemberi layanan untuk

melakukan atau menyelenggarakan pelayanan

sesuai dengan perjanjian (kesepakatan), disertai

sanksi apabila kesepakatan tidak dipenuhi atau

dilanggar. Citizen charter menekankan aspek

pelayanan publik yang profesional, transparan,

berkepastian, ramah dan berkeadilan dengan

menghargai hak dan kewajiban pengguna maupun

penyedia layanan.

Citizen charter dapat:

a. Memberikan kepastian pelayanan yang

meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara

pelayanan.

b. Memberikan informasi mengenai hak dan

kewajiban pengguna layanan, penyedia

layanan, dan stakeholder lainnya dalam

keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan

c. Mempermudah pengguna layanan, warga, dan

stakeholder lainnya mengontrol praktik

penyelenggaraan pelayanan.

d. Mempermudah manajemen pelayanan dan

memperbaiki kinerja penyelenggaraan

pelayanan.

e. Membantu manajemen pelayanan

mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

27

aspirasi pengguna layanan dan stakeholder

lainnya.

Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan

Citizen charter.Dari pihak pemerintah daerah,

kendala yang muncul dapat berupa:

a. Lemahnya komitmen politik para pengambil

keputusan di daerah untuk secara benar

melaksanakan citizen carter.

b. Lemahnya dukungan SDM yang dapat

diandalkan untuk melaksanakan citizen charter.

c. Rendahnya kemampuan lembaga legislatif

dalam mengartikulasikan cc untuk kepentingan

masyarakat.

d. Lemahnya dukungan anggaran.

2. Saran

Diperlukan sosialisasi secara berkelanjutan

kepada seluruh unsur yang terlibat pada citizen

charter. Dan juga diperlukan adanya pendampingan

yang tepat untuk pelaksanaan citizen charter.

Daftar Pustaka

Centre for Good Governance, “Handbook on Citizen's Charters” Centre for Good

Governance, Andhra Pradesh, India, 2008

J.A Chandler, “ The Citizen Charter” Universitas

Michigan, Dartmouth (1996),

Peraturan Menteri Kesehatan Repiblik Indonesia

Indonesia no 001 tahun 2012

Panduan penyusunan Citizen Charter dan Good

Practices, Local Governance Support

Program Local Government Management

Systems, Jakarta, 2009

Tim Revisi Buku Pedoman kerja Puskesmas 1991/1992, “Pedoman Kerja Puskesmas Jilid

1”, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta, 1997.

Tjut Zakiyah Anshari ,”Citizen Charter dan

Penyelesaian Pengaduan Masyarakat di

Puskesmas Kauman Tulungagung”, IGI

(Inisiatives for Governance Inovations),

Yogyakarta, 2007

http://www.cgi.fisipol.ugm.ac.id

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem

Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36

tahun 2009 tentang kesehatan

Wibowo, Cendikia, Rostanti, Sudarno,

“Implementasi Mekanisme Komplain

Terhadap Pelayana Publik Berbasis

Partisipasi Masyarakat”, Jakarta, PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional), 2007

Zannatun Nayem, “Problems of Implementing

Citizen Charter : A Study of Upazila Land

Office” Master in Public Policy and

Governance, Department of General and

Continuing Education, North South

University, Dhaka. http: // mppgnsu.org

/attachments/ 119_Zannat_Citizen

charter.pdf

Society, The Individual, and Medicine, Primary

Care: Definition and Historical development, Canada‟s university, August,

2013http://www.med.uottawa.ca/sim/data/Pr

imary_Care.htm

Parliamentary Center,26 Oktober 2010,

KinerjaBirokrasiPelayanan public, Nasional

2 Comments https: //www. academia.edu

/4627244/ Kinerja_ Birokrasi_ Pelayanan_

Publik

AH.Rahardian, Konsep Citizen Charter

SebagaiinovasidaampelayananPublik

https://www.stiami.ac.id/jurnal/download/70/k

onsep

Portal Pemerintah Kota Jogjakarta,

SitusResmiPemerintah Kota Jogjakarta

http://www.jogjakota.go.id/services/citizen-

charter

Kumorotomo,Wahyudi, Citizen Charter

(KontrakPelayanan):

PolaKemitraanstrategisuntukmewujudkan

Good Governance dalampelayanan public

http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/CivilSociety/citizen-charter-kemitraan-strategis-

good-governance-dlm-pelayanan-publik.pdf

Kepmenkes RI Nomor 128 tahun 2004

tentangkebijakandasarPuskesmas

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

28

PENGARUH TETES MATA FENILEFRIN HIDROKLORID 10%

TERHADAP TEKANAN DARAH

Heru Suswojo1

1Mahasiswa Magister Administrasi Rumah Sakit

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur

Email: [email protected]

ABSTRACT

Topical eye drugs can cause systemic effects that often not recognized and anticipated. Phenylephrine is

a sympathomimetic drug that stimulates the receptor α1 directly, so that can give effect to the cardiovascular

system. This study aims to determine the effect of Phenylephrine 10% eye drops against cardiovascular status,

i.e. blood pressure. The subjects of the study are 25 people, aged 30-70 years, were treated for the provision of

Phenylephrine 10% eye drops in one eye in accordance with the criteria of the sample. Hatching performed twice with an interval of five minutes, 30 minutes later cardiovascularstatus were examined. From examination

of the mean systolic blood pressure obtained before hatching Phenylephrine 123.52 ± 16.56 mmHg and 127.72 ±

15.89mmHg after hatching. The magnitude of change in mean systolic blood pressure was4.20 ± 5.42 mmHg.

Mean diastolic blood pressure before hatching Phenylephrine was 74.80 ± 8.79 mmHg and 77.44 ± 8.46mmHg

after hatching. The magnitude of change in mean diastolic blood pressure was 2.64 ± 4.60 mmHg. The results of

the analysis between the administration of Phenylephrine 10% eye drops against systolic and diastolic blood

pressure showed a significant change, the increase in systolic blood pressure (p = 0.0005) and diastolic blood

pressure (p = 0.004).

Keywords: Eye drops/Eye drugs, Phenylephrine, blood pressure, Systolic and Diastolic

ABSTRAK

Obat-obatan mata yang diberikan secara topikal dapat menimbulkan efek sistemik yang seringkali tidak

disadari dan diantisipasi. Fenilefrin merupakan obat simpatomimetik yang menstimulasi secara langsung

reseptor α1, sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh tetes mata Fenilefrin 10% terhadap status kardiovaskuler, yaitu tekanan darah. Subyek

penelitian sebanyak 25 orang, usia 30-70 tahun, diberi perlakuan berupa pemberian tetes mata Fenilefrin 10%

pada satu mata yang sesuai dengan kriteria sampel. Penetesan dilakukan dua kali dengan interval lima menit,

30 menit kemudian dilakukan pemeriksaan status

kardiovaskulernya. Dari pemeriksaan didapatkan tekanan darah sistolik rerata sebelum penetesan Fenilefrin

123,52 ± 16,56 mmHg dan sesudah penetesan 127,72 ± 15,89 mmHg. Besarnya perubahan tekanan darah

sistolik rerata 4,20 ± 5,42 mmHg. Tekanan darah diastolik rerata sebelum penetesan Fenilefrin sebesar 74,80 ± 8,79 mmHg dan sesudah penetesan 77,44 ± 8,46 mmHg. Besarnya perubahan tekanan darah diastolik

rerata 2,64 ± 4,60 mmHg. Hasil analisis antara pemberian tetes mata Fenilefrin 10% dan tekanan darah

sistolik maupun diastolik menunjukkan perubahan bermakna, yaitu meningkatkan tekanan darah sistolik (p

= 0,0005) dan tekanan darah diastolik (p = 0,004).

Kata kunci : Tetes mata, Fenilefrin, Tekanan darah, Sistolik, dan Diastolik

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

29

PENDAHULUAN

Obat–obatan mata yang diaplikasikan

secara topikal kebanyakan dalam bentuk tetes

mata. Kesalahpahaman yang umum terjadi

ialah bahwa tetes mata tidak mampu

mengakibatkan efek samping sistemik dari

dugaan medikasi pada mata memiliki absorpsi

sistemik yang buruk.

Setelah ditempatkan pada sakus

konjungtiva, jumlah obat signifikan untuk

terjadi absorpsi sistemik dan dapat

mengakibatkan efek samping sistemik yang

merugikan. Karena medikasi yang diberikan ke

mata akan mengalir melalui duktus

nasolakrimalis secara cepat, kemudian sebanyak

80% obat diabsorpsi melalui mukosa hidung dan

masuk ke dalam sirkulasi sistemik tanpa

dimetabolisme oleh hati sebelumnya.

Disamping itu, obat yang penetrasi ke

dalam mata dieliminasi dari bilik mata depan

melalui sawar akuos-darah menuju trabecular

meshwork dan kanal Schlemm, dari vitreus

menuju rute anterior (bilik mata belakang) dan

posterior melalui sawar retina-darah, akhirnya

akan menuju sirkulasi sistemik. Efek ini

seringkali tidak diantisipasi, dikenali, atau

diterapi secara tepat (Shiuey & Eisenberg 1996,

Urtti 2006).

Dilatasi pupil merupakan bagian rutin dari

pemeriksaan mata komprehensif. Fenilefrin 10%

sering digunakan sebagai midriatikum dalam

bidang mata untuk tujuan diagnostik dan

terapeutik (Aronson 2006). Keuntungan

Fenilefrin adalah onsetnya yang relatif cepat

dan durasi kerjanya cukup panjang (Bartlett

2007). Namun insiden efek merugikan tinggi

dengan penggunaan Fenilefrin 10%, yang

berkurang dengan konsentrasi lebih rendah.

Reaksi sistemik meningkat seiring peningkatan

frekuensi pemakaian dan ketika diberikan

dalam bentuk pledget (Aronson 2006, Duvall &

Kershner 2005).

Terdapat kontroversi tentang konsentrasi

Fenilefrin topikal yang dianjurkan untuk

midriasis diagnosis atau terapeutik. Samantary

dan Thomas (1975) melaporkan peningkatan

tekanan darah yang nyata setelah penggunaan

topikal Fenilefrin dalam semua kasusnya.

Kumar et al. (1985) menyimpulkan

bahwa tekanan darah rata–rata lebih tinggi

dengan Fenilefrin 10%. Kenawy dan Jabir (2003)

menunjukkan peningkatan tekanan darah

sistolik signifikan secara statistik pada

kelompok Fenilefrin 10%. Mathew et al. (2004)

menyimpulkan bahwa Fenilefrin 10% mengubah

secara signifikan tekanan darah perioperatif

(Bhatia et al. 2009, Škunca et al. 2007).

Mengingat adanya laporan–laporan studi

yang bertentangan mengenai efek sistemik,

terutama terhadap kardiovaskuler, penggunaan

topikal Fenilefrin 10% dan adanya kontroversi

tentang konsentrasi Fenilefrin topikal yang

dianjurkan untuk midriasis diagnosis atau

terapeutik, maka penelitian ini diajukan untuk

menilai pengaruh Fenilefrin hidroklorid 10%

terhadap tekanan darah.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode One

group pretest–posttest design. Penelitian ini

dilakukan di Unit Rawat Jalan Mata pada

sebuah Rumah Sakit Umum di Kabupaten

Lamongan selama tiga bulan.

Populasi pada penelitian ini adalah pasien-

pasien katarak yang berkunjung ke Unit

Rawat Jalan Mata Divisi Katarak, yang

dilakukan diagnostik pra bedah katarak selama

tiga bulan penelitian berlangsung. Sedangkan

untuk sampel penelitian adalah para pasien–

pasien yang telah memenuhi kriteria inklusi.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

30

Kemudian untuk cara pengambilan sampel adalah

dengan cara simple random sampling. Untuk

besar sampel yang dijakdikan objek penelitian

adalah sebanyak 25 responden.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah

pasien dengan usia 30 – 70 tahun, pasien yang

dilakukan diagnostik pra bedah katarak, dan

bersedia mengikuti penelitian setelah diberikan

informed consent. Sedangkan untuk criteria

Eksklusi nya adalah bilik mata depan dangkal

atau riwayat glaukoma sudut tertutup,

menggunakan obat–obatan inhibitor monoamin

oksidase, antikolinergik , beta bloker, Reserpin,

Guanetidin, Metildopa. Mengidap penyakit

sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, DM

dengan retinopati diabetik, CVA. Menggunakan

obat–obatan okuler topikal, kecuali artificial tears

nonpreservatif Kelainan–kelainan aktif yang

mengenai kelopak mata, sistem lakrimalis,

konjungtiva, dan kornea, serta pemakai lensa

kontak.

HASIL

1. Karakteristik Responden

Rentang usia subyek penelitian termuda

ialah 30 tahun dan tertua 70 tahun. Usia rerata

responden dalam penelitian ini adalah 52,12 ±

12,53 tahun. Jika dikelompokkan dalam beberapa

kategori, didapatkan distribusi usia subyek

sebagai berikut.

Tabel 1. Gambaran responden menurut usia

Tabel 2. Gambaran responden menurut jenis

kelamin

Tabel 3. Gambaran responden menurut penyakit

penyerta

2. Perubahan Tekanan Darah

a. Perubahan Tekanan Darah Sistolik Sebelum

dan Sesudah Pemberian Tetes Mata

Fenilefrin 10%

Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa

tekanan darah sistolik minimal dan maksimal

sebelum pemberian Fenilefrin ialah 95 mmHg

dan 150 mmHg dengan rerata 123,52 ± 16,56

mmHg. Tekanan darah sistolik minimal dan

maksimal sesudah pemberian Fenilefrin ialah

105 mmHg dan 152 mmHg dengan rerata

127,72 ± 15,89 mmHg. Besarnya perubahan

tekanan darah sistolik rerata 4,20 ± 5,42 mmHg.

Distribusi perubahan tekanan darah sistolik

bervariasi. Terdapat peningkatan tekanan darah

sistolik pada 20 subyek (80%), penurunan

pada 3 subyek (12%), dan tetap pada 2

subyek (8%).

Didapatkan perubahan bermakna

peningkatan tekanan darah sistolik antara

sebelum dan sesudah pemberian Fenilefrin (p

= 0,0005).

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

31

Tabel 4. Tekanan darah sistolik sebelum dan

sesudah pemberian Fenilefrin

Tabel 5. Gambaran tekanan darah sistolik

sebelum dan sesudah pemberian

Fenilefrin

b. Perubahan Tekanan Darah Diastolik Sebelum

dan Sesudah Pemberian Tetes Mata Fenilefrin

10%

Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa

tekanan darah diastolik minimal dan maksimal

sebelum pemberian Fenilefrin ialah 61 mmHg

dan 90 mmHg dengan rerata 74,80 ± 8,79

mmHg. Tekanan darah diastolik minimal dan

maksimal sesudah pemberian Fenilefrin ialah 61

mmHg dan 92 mmHg dengan rerata 77,44 ±

8,46 mmHg. Besarnya perubahan tekanan

darah diastolik rerata 2,64 ± 4,60 mmHg.

Distribusi perubahan tekanan darah diastolik

bervariasi. Terdapat peningkatan tekanan darah

sistolik pada 14 subyek (56%), penurunan

pada 1 subyek (4%), dan tetap pada 10

subyek (40%).

Didapatkan perubahan bermakna

peningkatan tekanan darah diastolik antara

sebelum dan sesudah pemberian Fenilefrin (p =

0,004).

Tabel 6. Tekanan darah diastolik sebelum dan

sesudah pemberian Fenilefrin

Tabel 7. Gambaran tekanan darah diastolik

sebelum dan sesudah pemberian

Fenilefrin

PEMBAHASAN

Fenilefrin hidroklorid dengan konsentrasi

10% digunakan secara luas sebagai midriatikum

untuk berbagai macam indikasi di bidang

mata. Fenilefrin yang diabsorpsi akan menuju

sirkulasi sistemik sehingga dapat menimbulkan

efek sistemik. Efek sistemik ini pertama kali

dikemukakan oleh Heath (1936) yang

melaporkan bahwa terdapat peningkatan tekanan

darah sistemik sebesar 50 mmHg setelah

pemberian Fenilefrin 3 mg dalam bentuk bubuk

pada kornea anjing (Tang et al. 1997).

Pada beberapa laporan kasus selama

ini, terdapat kejadian fatal akibat penggunaan

Fenilefrin. Lai (1989) melaporkan kasus

seorang laki-laki usia 57 tahun dengan retinal

detachment total yang dilakukan operasi di

bawah anestesi general mengalami hipertensi

berat (260/120 mmHg) setelah diberikan tetes

mata Fenilefrin 10% 4 kali praoperatif dengan

interval 30 menit dan 4 kali intraoperatif.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

32

Fraunfelder et al. (2002) melaporkan 11

kasus penggunaan Fenilefrin 10% dalam bentuk

pledget, didapatkan komplikasi cardiac arrest

pada 3 individu, edema paru 1 individu,

perdarahan subaraknoid 2 individu, CVA 1

individu, fibrilasi ventrikuler 1 individu, dan

hipertensi berat 9 individu. Weisberg (1993)

melaporkan 1 kasus perempuan usia 72 tahun

mengalami perdarahan intraserebral di daerah

talamus setelah mendapat 1 tetes Fenilefrin 2,5%

dan 1 tetes Tropikamid 1% pada masing-masing

mata.

Penelitian ini menggunakan tetes mata

Fenilefrin dengan konsentrasi 10% karena

preparat komersialnya lazim didapatkan dan

semua subyek dalam penelitian ini beriris gelap.

Individu beriris gelap memiliki banyak

pigmen dan Fenilefrin cenderung berikatan

dengan pigmen (Bartlett & Jaanus 2008, McEvoy

et al. 2005).

Dalam Fenilefrin 10%, 1 ml obat

mengandung 100 mg Fenilefrin. Ukuran alat

penetes obat pada penelitian ini tidak diketahui

secara pasti. Ukuran alat penetes obat rata -rata

adalah 25–50 µL, namun cul–de–sac hanya

mampu menahan 25–30 µL obat, sehingga

obat yang dapat ditampung sebanyak 2,5–3 mg

(dengan asumsi 1 ml setara dengan 20 tetes).

Dosis total yang kami gunakan sebanyak 2

tetes, sehingga setara dengan 5–6 mg obat.

Bilamana dianggap obat yang diabsorpsi

sebanyak 80% menuju ke sirkulasi sistemik,

maka didapatkan 4–4,8 mg Fenilefrin dalam

plasma. Dosis tersebut melebihi batas tertinggi

dosis aman yang diberikan secara intravena, yaitu

sebesar 1,5 mg (Bartlett & Jaanus 2008,

Fraunfelder et al. 2008).

Sulit untuk memprediksi konsentrasi

plasma efektif Fenilefrin topikal yang diberikan

pada mata. Berbagai faktor mempengaruhi

absorpsi obat-obat topikal. Faktor-faktor ini

meliputi waktu residensi obat pada air mata,

ikatan dan metabolisme obat oleh protein

jaringan dan air mata, difusi melewati struktur

okuler dan drainase nasolakrimal (Lee 1993).

Waktu pemeriksaan tekanan darah

setelah penetesan Fenilefrin pada penelitian ini

yang dipilih adalah 30 menit, karena periode ini

merupakan saat dimana pupil berdilatasi secara

maksimal dan diasumsikan bahwa obat telah

mencapai sirkulasi sistemik pada titik waktu

tersebut (Tang et al. 1997). Dalam suatu studi, 60

pasien diberikan aplikasi tetes mata Fenilefrin

10% 3 kali dengan interval 10 menit pada

masing-masing mata. Tiga puluh menit setelah

penetesan terakhir, terjadi peningkatan tekanan

darah sistolik sebesar 10-40 mmHg dan diastolik

sebesar 10-30 mmHg pada semua subyek.

Pada masing-masing kasus terdapat

penurunan denyut nadi sebesar 10-20 kali/menit

(Bartlett & Jaanus 2008).

1. Karakteristik Responden

1. Usia

Usia rerata subyek penelitian ini (52,12 ±

12,53 tahun) hampir sama dengan penelitian

Yospaiboon et al. (2004), yaitu 49,93 ± 17,03

tahun pada kelompok Fenilefrin 10% dan

52,37 ± 16,46 tahun pada kelompok Fenilefrin

2,5% (Yospaiboon et al. 2004).

Pada penelitian ini, karakteristik usia

tidak memberikan pengaruh terhadap efek

sistemik yang ditimbulkan oleh pemberian tetes

mata Fenilefrin 10%. Usia subyek dibatasi sampai

dengan usia 70 tahun mengingat adanya

beberapa laporan kasus tentang pemberian

Fenilefrin menimbulkan komplikasi-komplikasi

kardiovaskuler berat yang kebanyakan terjadi

pada usia di atas 70 tahun (Lai 1989).

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

33

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin subyek penelitian ini

hampir sama dengan penelitian Škunca et al.

(2007), terdiri dari 55,1% laki -laki dan 44,9%

perempuan. Karakteristik jenis kelamin pada

penelitian ini tidak memberikan pengaruh

terhadap efek sistemik akibat pemberian tetes

mata Fenilefrin 10%. Pada penelitian-penelitian

lain tidak dijelaskan apakah karakteristik jenis

kelamin turut berpengaruh atau tidak terhadap

efek sistemik penetesan Fenilefrin.

3. Penyakit Penyerta

Ada beberapa peneliti yang membagi

subyek menjadi kelompok normotensif dan

hipertensif, antara lain Chin et al. (1994), Tang et

al. (1997), dan Bhatia et al. (2009).

Meskipun penelitian ini tidak secara

khusus mengelompokkan subyek tanpa

kelainan dan dengan kelainan, namun terdapat

subyek dengan penyakit penyerta hipertensi

stadium 1 dan DM tipe 2 tanpa retinopati

diabetik. Hal ini sama dengan penelitian

Brown et al. (1980), terdapat subyek dengan

hipertensi pada kelompok Fenilefrin sebanyak

23% dan kelompok kontrol 30% serta DM

tipe 2 pada masing-masing kelompok

sebanyak 10% (Brown et al. 1980).

Hipertensi stadium 1 dalam kriteria

inklusi dibatasi pada tekanan darah ≤ 150/90

mmHg mengingat pemeriksaan terhadap

subyek dilakukan di Unit Rawat Jalan tanpa

ketersediaan alat-alat life saving yang akan

dibutuhkan bila terjadi komplikasi seperti krisis

hipertensi yang mengancam jiwa setelah diberi

perlakuan. DM tipe 2 dalam kriteria inklusi

dibatasi pada DM tanpa retinopati diabetik karena

durasi diabetes kemungkinan merupakan

prediktor paling kuat untuk perkembangan dan

progresifitas retinopati, serta insiden retinopati

berkorelasi secara signifikan dengan prevalensi

komplikasi-komplikasi terkait diabetes lainnya

(Cohen et al. 1998, Fong et al. 2004).

Dalam penelitian ini, hanya ada 3

subyek yang disertai kelainan sistemik,

sehingga sulit dianalisis apakah penyakit

penyerta turut berpengaruh atau tidak terhadap

efek sistemik pemberian Fenilefrin 10%.

2. Perubahan Tekanan Darah

a. Perubahan Tekanan Darah Sistolik Sebelum

dan Sesudah Pemberian Tetes Mata

Fenilefrin 10%

Pada penelitian ini terdapat variasi

perubahan tekanan darah sistolik antara sebelum

dan sesudah pemberian Fenilefrin. Peningkatan

tekanan darah sistolik paling tinggi sebesar 20

mmHg, penurunannya paling tinggi sebesar 5

mmHg. Ada beberapa subyek yang tidak

didapatkan perubahan tekanan darah sistolik.

Hasil ini sesuai dengan Kenawy dan Jabir

(2003) yang melaporkan adanya peningkatan

signifikan rerata tekanan sistolik sebesar 34,4

mmHg (grup normotensif) dan 22,8 mmHg (grup

hipertensif) pada kelompok Fenilefrin 10%

(Kenawy & Jabir 2003).

Berbeda dengan penelitian Malhotra et.al.

(1998) yang menyatakan tidak ada perubahan

tekanan darah yang berarti akibat pemberian

Fenilefrin topikal 2,5% dan 10%. Suwan-apichon

et al. (2010) menyatakan terdapat perbedaan

rerata tekanan darah sistolik yang tidak

bermakna secara statistik antara sebelum dan

sesudah penetesan Fenilefrin. Yospaiboon et al.

(2004) menunjukkan bahwa peningkatan tekanan

darah sistolik rerata tidak bermakna pada

kelompok Fenilefrin 2,5% maupun 10%; hal

ini mungkin berkaitan dengan dosis tunggal yang

diberikan sehingga konsentrasi Fenilefrin terlalu

rendah untuk mengakibatkan efek sistemik yang

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

34

signifikan (Malhotra et al. 1998, Suwan-apichon

et al. 2010, Yospaiboon et al. 2004).

Hasil analisis penelitian ini menyatakan

terdapat perubahan bermakna tekanan darah

sistolik antara sebelum dan sesudah perlakuan.

Adanya variasi tersebut bisa disebabkan oleh

banyak faktor, di antaranya terdapat refleks

kedip pada subyek, dilusi obat oleh lakrimasi,

adanya interaksi obat pada subyek yang men

derita DM tipe 2 dan hipertensi.

Variasi pengukuran juga dapat dipengaruhi

oleh kecemasan, kandung kemih yang mengalami

distensi, dan berbicara yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Lingkungan berisik, makan

makanan sesaat sebelum diperiksa, dan

penekanan bell yang berlebihan dapat

menurunkan tekanan darah (Kaplan 2006).

b. Perubahan Tekanan Darah Diastolik Sebelum

dan Sesudah Pemberian Tetes Mata Fenilefrin

10%

Perubahan Tekanan Darah Diastolik

Sebelum dan Sesudah Pemberian Tetes Mata

Fenilefrin 10% pada penelitian ini juga terdapat

variasi perubahan tekanan darah diastolik antara

sebelum dan sesudah pemberian Fenilefrin.

Peningkatan tekanan darah diastolik tertinggi

sebesar 16 mmHg, penurunan terendah sebesar 5

mmHg. Ada beberapa subyek yang tidak

didapatkan perubahan tekanan darah diastolik.

Hasil ini sesuai dengan penelitian

Kenawy dan Jabir (2003) yang melaporkan

adanya peningkatan signifikan rerata tekanan

diastolik sebesar 10,5 mmHg (grup

normotensif) dan 16,8 mmHg (grup

hipertensif) pada kelompok Fenilefrin 10%

(Kenawy & Jabir 2003). Hasil ini berbeda dengan

Suwan-apichon et al. (2010), yaitu terdapat

perbedaan rerata tekanan darah diastolik yang

tidak bermakna secara statistik antara sebelum

dan sesudah penetesan Fenilefrin. Yospaiboon

et al. (2004) menunjukkan bahwa peningkatan

tekanan darah diastolik rerata tidak bermakna

pada kelompok Fenilefrin 2,5% dan 10% (Suwan-

apichon et al. 2010, Yospaiboon et al. 2004).

Hasil analisis penelitian ini menyatakan

bahwa terdapat perubahan bermakna tekanan

darah diastolik antara sebelum dan sesudah

perlakuan. Adanya variasi tersebut bisa

disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor

yang mempengaruhi tekanan darah diastolik sama

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan

darah sistolik (Kaplan 2006).

Perbedaan nilai kemaknaan antara

tekanan darah sistolik dan diastolik dimana

nilai kemaknaan sistolik lebih tinggi daripada

diastolik bisa difahami karena Fenilefrin lebih

memberikan pengaruh terhadap tekanan arterial

(Ebadi 2008).

KESIMPULAN

Dari penelitian mengenai pengaruh tetes

mata Fenilefrin hidroklorid 10% terhadap

tekanan darah di Unit Rawat Jalan Mata Divisi

Katarak pada sebuah Rumah Sakit di Kabupaten

Lamongan dapat ditarik simpulan sebagai berikut

bahwa pemberian tetes mata Fenilefrin

hidroklorid 10% meningkatkan tekanan darah

sistolik dan tekanan darah diastolik secara

bermakna.

DARTAR PUSTAKA

Bartlett JD, ed. 2007. Ophthalmic drug facts. 18th

ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins. p.43–47.

Bartlett JD, Jaanus SD. 2008. Clinical ocular

pharmacology. 5th ed. Missouri:

Butterworth – Heinemann Elsevier.

p.17,39–41,68,114–117.

Bhatia J, Varghese M, Bhatia A. 2009. Effect of

10% phenylephrine eye drops on systemic blood pressure in normotensive &

hypertensive patients. Oman Medical

Journal 24(1): 30–32.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

35

Brown MM, Brown GC, Spaeth GL. 1980. Lack

of side effects from topically administered

10% phenylephrine eyedrops. Arch

Ophthalmol 98(3): 487–489.

Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I,

eds. 2008. Goodman & Gilman’s manual

of pharmacology and therapeutics. New

York: McGraw-Hill. p.110,162.

Chawdhary S, Angra SK, Zutshi R, Sachdev MS.

1984. Mydriasis-use of phenylephrine (a

dose-response concept). Indian J Ophthalmol 32: 213–216.

Chin KW, Law NM, Chin MK. 1994.

Phenylephrine drops in ophthalmic

surgery: a clinical study on cardiovascular

effects. Med J Malaysia 49: 158–163.

Davies NM. 2000. Biopharmaceutical

considerations in topical ocular drug

delivery. Annual

Ebadi M. 2008. Desk reference of clinical

pharmacology. 2nd ed. Boca Raton:

CRC Press. p.567–568. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL,

Blankenship G, Cavallerano JD, Ferris FL,

Klein R. 2004. Retinopathy in diabetes.

Diabetes Care 27(suppl .1).

Fraunfelder FT, Fraunfelder FW, Chambers

WA. 2008. Clinical ocular toxicology.

Philadelphia: Saunders Elsevier. p.3–

4,9,167–168.

Garg A. 2004. Mydriatics and cycloplegics.

In: Agarwal S, Agarwal A, Agarwal A,

eds. Phacoemulsification. 3rd ed. New

Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical

physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier

Saunders. p.106,110,112,121–

122,126,166,175.

Hardman JG, Goodman Gilman A, Limbird

LE. 1996. Goodman and Gilman’s the

pharmacological basis of therapeutics. 9th

ed. New York: McGraw–Hill. p.1626–

1628.

Kaplan NM. 2006. Kaplan's clinical hypertension. 9th ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins. p.23–

24,48–53,66.

Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, eds. 2009.

Basic and clinical pharmacology. 11th ed.

New York: McGraw-Hill. p.159.

Kenawy NB, Jabir M. 2003. Phenylephrine

2.5% and 10% in phacoemulsification

under topical anaesthesia: is there an

effect on systemic blood pressure? Br J

Ophthalmol 87: 505–506.

Lai YK. 1989. Adverse effect of intraoperative phenylephrine 10%: case report. Br J

Ophthalmol 73: 468–469.

Lee VHL. 1993. Precomeal, cornea1 and

postcomeal factors. In: Mitra AK, ed.

Ophthalmic drug delivery systems. New

York: Marcel Dekker. p.59–82.

Malhotra R, Banerjee G, Brampton W, Price

NC. 1998. Comparison of the

cardiovascular effects of 2.5%

Phenylephrine and 10% Phenylephrine

during ophthalmic surgery. Eye (Lond)

12(Pt 6): 973–975.

National Institutes of Health. 2004. The seventh report of the Joint National Committee on

prevention, detection, evaluation, and

treatment of high blood pressure. U.S.

Department Of Health And Human

Services, p.11–12,18.

Pratanu S. 2000. Buku pedoman kursus

elektrokardiografi. Surabaya: Karya

Pembina Swajaya, p.8,13,31,33,81–82.

Urtti A. 2006. Challenges and obstacles of

ocular pharmacokinetics and drug

delivery. Advanced Drug Delivery Reviews 58: 1131–1135.

Ward M, Langton JA. 2007. Blood pressure

measurement. Continuing Education in

Anaesthesia, Critical Care & Pain 7(4).

Weisberg LA. 1993. Intracerebral hemorrhage

after topical administration of mydriatic

agents. Southern Medical Journal 86(9):

1064–1066.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

36

Kejadian Malpraktek oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia

(Malpractice by Health Workers in Indonesia)

Susman Sjarif

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Health is everyone's dream because everyone can work optimally when in a healthy state. In practice conducted by

public health personnel frequent errors that can lead to a criminal act, such as fault diagnosis and errors in

surgery, as it is better known as malpractice. Incidence of malpractice could be as a result of health care actors are

still often ignore medical service standards, professional ethics, prudence and patient rights. The low performance

of health workers resulted in vulnerability to malpractice events. To avoid malpractice claims to health care, then

all health workers must have appropriate professional competence. Competence is a key factor for a person to

produce a good performance as well as a factor determining the success of an organization. A health worker should

have the competence related to intellectual ability, psychomotor and affective include professionalism, attitude and ethical behavior, basic medical sciences, clinical skills, communication skills, individual and system health in the

population, management information and to think scientifically and critically. If the health worker has to perform its

obligations according to their competencies, it is expected that the incidence of malpractice or allegations of

malpractice actions can be minimized.

Keywords: Malpractice, competence, professional ethics

ABSTRAK

Kesehatan merupakan dambaan setiap orang karena setiap orang dapat berkarya secara optimal manakala dalam

keadaan sehat. Dalam praktek yang dilakukan para tenaga kesehatan masyarakat sering terjadi kesalahan yang dapat

menimbulkan suatu tindak pidana, misalnya saja kesalahan diagnosis dan kesalahan dalam melakukan operasi, seperti yang lebih dikenal dengan istilah malpraktek. Kejadian malpraktek bisa sebagai akibat pelaku pelayanan

kesehatan masih sering mengabaikan standar pelayanan medik, etika profesi, sikap kehati-hatian dan hak-hak

pasien. Rendahnya kinerja tenaga kesehatan mengakibatkan kerawanan terhadap kejadian malpraktek. Untuk

menghindari tuntutan malpraktek pada tenaga kesehatan, maka semua tenaga kesehatan harus memiliki kompetensi

sesuai profesinya. Kompentensi merupakan factor kunci bagi seseorang untuk menghasilkan kinerja yang baik

sekaligus juga menjadi factor penentu keberhasilan suatu organisasi. Seorang tenaga kesehatan harus memiliki

kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan intelektual, psikomotor dan afektif meliputi profesionalisme, sikap

dan perilaku yang beretika, ilmu dasar pengobatan, ketrampilan klinis, ketrampilan komunikasi, sistem kesehatan

individu maupun dalam populasi, manajemen informasi dan berpikir secara ilmiah dan kritis. Jika tenaga kesehatan

sudah menjalankan kewajibannya sesuai kompetensinya, maka diharapkan kejadian malpraktek atau tuduhan

melakukan tindakan malpraktek dapat diminimalisir.

Kata kunci : Malpraktek, kompetensi, etika profesi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

37

PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan dambaan setiap

orang karena setiap orang dapat berkarya secara

optimal manakala dalam keadaan sehat.“

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial maupun ekonomi” (UU

Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, pasal 1 ayat 1).

Bentuk pelayanan kesehatan berupa pelayanan

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yang

diberikan sesuai kebutuhan setiap

orang.Pelayanan kesehatan memerlukan tenaga

kesehatan yang beragam, sesuai dengan keahlian

yang diperlukan.

Dewasa ini sistem pelayanan medis yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai

penyembuh banyak diperbincangkan masyarakat,

dan penilaian serba positif terhadap profesi

kesehatan mulai luntur dikarenakan dalam upaya

penyembuhan yang dilakukan tenaga kesehatan

tidak semuanya sesuai yang diinginkan oleh

pasien, yaitu kesembuhan. Dalam praktek yang

dilakukan para tenaga kesehatan masyarakat

sering terjadi kesalahan yang dapat menimbulkan

suatu tindak pidana, misalnya saja kesalahan

diagnosis dan kesalahan dalam melakukan

operasi, seperti yang lebih dikenal dengan istilah

malpraktek.

Malpraktek menurut Valentin v. La

Society de Bienfaisance Mutuelle de Los

Angelos, California, 1956 dapat didefinsikan

dengan, “kelalaian dari seorang dokter atau

perawat untuk mempergunakan tingkat

kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam

mengobati dan merawat pasien, yang lazim

dipergunakan terhadap pasien atau orang yang

terluka menurut ukuran di lingkungan yang

sama”.

Kasus dugaan malpraktek bisa dituduhkan

pada semua tenaga kesehatan sebagai akibat dari

meningkatnya kesadaran hukum pada

masyarakat. Kejadian malpraktek bisa sebagai

akibat pelaku pelayanan kesehatan masih sering

mengabaikan standar pelayanan medik, etika

profesi, sikap kehati-hatian dan hak-hak pasien.

Di lain pihak, tindakan malpraktek yang

dilakukan oleh beberapa tenaga kesehatan biasa

disebabkan karena ketidakmampuan dari tenaga

kesehatan tersebut untuk memberikan pelayanan

yang baik kepada para pasien, begitupun dalam

hal bidan yang melakukan malpraktek.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Malpraktek

Malpraktek Medis adalah suatu tindakan

medis yang dilakukan oleh tenaga medis yang

tidk sesuai dengan standartd tindakan sehingga

merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai

kealpaan atau kesengajaan dalam hukum pidana.

Malpraktek medis menurut J. Guwandi

(2004) meliputi tindakan-tindakan sebagai

berikut:

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak

boleh dilakukan oleh seorang tenaga

kesehatan.

b. Tidak melakukan apa yang seharusnya

dilakukan atau melalaikan kewajiban.

c. Melanggar suatu ketentuan menurut

perundang-undangan.

Guwandi (2004) juga memberikan

pengertian bahwa malpraktek dalam arti luas

dibedakan antara tindakan yang dilakukan:

a. Dengan sengaja (dolus, Vorsatz, intentional)

yang dilarang oleh Peraturan Peru ndang-

undangan, seperti dengan sengaja melakukan

abortus tanpa indikasi medis, euthanasia,

memberikan keterangan medis yang isinya

tidak benar.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

38

b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa)

atau karena kelalaian, misal : menelantarkan

pengobatan pasien, sembarangan dalam

mendiagnosis penyakit pasien.

Selanjutnya dikatakan perbedaan antara

malpraktek murni dengan kelalaian akan lebih

jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai

berikut :

a. Pada malpraktek (dalam arti sempit),

tindakannya dilakukan secara sadar, dan

tujuan dari tindakan memang sudah terarah

pada akibat yang hendak ditimbulkan atau

tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia

mengetahui atau seharusnya mengetahui

bahwa tindakannya adalah bertentangan

dengan hukum yang berlaku.

b. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif

atau tujuan untuk menimbulkan akibat.

Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang

sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

Dengan demikian di dalam malpraktek

medis terkandung unsur-unsur kesalahan yang

tidak berbeda dengan pengertian kesalahan

didalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan

atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang

menimbulkan kerugian baik materiil maupun

inmmateriil terhadap pasien.

2. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban

Pidana dalam Malpraktek Medis

Seorang dokter yang tidak melakukan

pekerjaannya sesuai dengan standar operasional

kedokteran dan standar prosedur tindakan medik

berarti telah melakukan kesalahan atau kelalaian,

yang selain dapat dituntut secara hukum pidana,

juga dapat digugat ganti rugi secara perdata

dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan

pertanggungjawaban pidana hanya dapat

dilakukan jika pasien menderita cacat permanen

atau meninggal dunia, sedangkan gugatan secara

perdata dapat dilakukan asal pasien menderita

kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil

(Supriadi,2001).

Untuk menentukan pertanggung-jawaban

pidana bagi seorang dokter yang melakukan

perbuatan malpraktek medis, diperlukan

pembuktian adanya unsur-unsur kesalahan, yang

dalam hukum pidana dapat berbentuk

kesengajaan dan kelalaian.Perbuatan malpraktek

medis yang dilakukan dengan kesengajaan,

tidaklah rumit untuk membuktikannya.

Definisi kelalaian medis menurut Leenen

sebagai kegagalan dokter untuk bekerja menurut

norma “medische profesionele standard” yaitu

bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut

ukuran standar medis dari seorang dokter dengan

kepandaian rata-rata dari golongan yang sama

dengan menggunakan cara yang selaras dalam

perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut

(Guwandi,2004) sehingga seorang dokter dapat

disalahkan dengan kelalaian medis apabila dokter

menunjukkan kebodohan serius, tingkat kehati-

hatian yang sangat rendah dan kasar sehingga

sampai menimbulkan cedera atau kematian pada

pasien. Hal ini oleh karena seorang dokter

disyaratkan mempunyai tingkat kehati-hatian

yang harus lebih tinggi dari orang awam, yang

disetarakandengan tingkat kehati-hatian dokter

rata-rata dan bukan dengan dokter yang terpandai

atau terbaik.

Tom Christoffel memberikan 4 (empat)

elemen yang mendasari terjadinya malpraktek

medis (Walter, 2005):

a. A duty Owed

“The profesional does not owed a duty to

the general public, but only to those with whom

he/she has development a profesional

relationship. In terms of health care, the question

of whether or not a provider patient relationship

exstend is very important. The health profesional

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

39

can be negligent’s clear need for profesional

assistance. The health profesional has a duty to

the patient to exercise reasonable care and skill,

and by implication, to process the skills, and by

implication, to process the skills expected of such

a profesional”.

b. A Duty Breached/Dereliction of that

Duty/Breach of Standar Care.

Seorang dokter dikatakan melakukan

penyimpangan/ pelanggaran terhadap

kewajibannya jika telah menyimpang dari apa

yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan

apa yang seharusnya dilakukan menurut standar

profesi medis, sehingga dokter yang bersangkutan

dapat dipersalahkan dan dituntut pertanggung

jawabannya. Untuk menentukan ada/tidaknya

penyimpangan kewajiban, harus didasarkan pada

fakta-fakta yang meliputi kasusnya dengan

bantuan pendapat ahli dan saksi ahli.

c. Harm/Damage

Adanya hubungan yang erat antara Damage

(kerugian) dengan Causation (penyebab)

kerugian. Untuk mempersalahkan seorang dokter

harus ada hubungan kausal (secara langsung/

adekuat) antar penyebab (tindakan dokter) dengan

kerugian (cedera/kematian) pasien, dan harus

tidak ada peristiwa atau tindakan sela di

antaranya. Dalam hal demikian maka penilaian

fakta-faktanya, yang akan menentukan

ada/tidaknya suatu penyebab yang adekuat yang

dapat dijadikan sebagai bukti.

Kelalaian (negligent/culpa) yang sering-kali

mendasari terjadinya malpraktek medis

memerlukan pembuktian yang rumit. Namun

tidak jarang terjadi seorang dokter melakukan

kelalaian dengan begitu jelas, sehingga orang

awan pun dapat menilai bahwa telah terjadi

kelalaian. Dalam hal ini berlaku asas “Res ipsa

Loquitur” yang berarti the “thing speaks for

itself” (faktanya sudah berbicara), sehingga

pembuktian adalah pembuktian terbalik, dokter

harus membuktikan bahwa dirinya tidak

melakukan kelalaian.

d. Direct Causation

Tindakan ini merupakan tindakan langsung

menyebabkan kerugian/ penderitaan pasien, hal

ini disebabkan oleh dokter/tenaga medis lainnya

yang melalaikan kewajibannya yang seharusnya

ia laksanakan.

3. Sanksi Hukum Tindak Pidana

Malpraktek.

Kelalaian (negligence, culpa) adalah suatu

kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja,

atau kurang hati-hati, atau kurang penduga-

duga.Akibat yang terjadi karena kelalaian

sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pembuat.

Didalam KUHP, tindak pidana yang

disebabkan oleh kelalaian diatur dalam pasal

359,360 dan 361 KUHP.

Kelalaian (negligence, culpa) adalah salah

satu faktor yang sering dijadikan sebagai

penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga

yang menyebutkan bahwa kelalaian dan

malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud

yang sama.

PEMBAHASA

1. Malpraktek Tenaga Kesehatan di

Indonesia

Berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun

1992 tentang Kesehatan, memberi peluang bagi

pengguna jasa atau barang untuk mengajukan

gugatan/tuntutan hukum terhadap pelaku usaha

apabila terjadi konflik antara pelanggan dengan

pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-

haknya, terlambat melakukan / tidak melakukan /

terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan

kerugian bagi pengguna jasa/barang, baik

kerugian harta benda atau cedera atau bisa juga

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

40

kematian. Hal Ini memberikan arti bahwa pasien

selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat

menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau

tenaga kesehatan lainnya jika terjadi konflik.

Dalam penegakan hukum kesehatan,

kesulitan yang dihadapi oleh penegak hukum,

pada umumnya berada dalam tataran pemahaman,

artinya, kurangnya kemampuan atau pengetahuan

aparat penegak hukum terhadap hukum

kesehatan, dalam konteks ini biasanya ditemukan

persoalan antara etik dan hukum.Artinya, apakah

perbuatan atau tindakan dokter yang dianggap

merugikan pasien itu merupakan pelanggaran etik

atau pelanggaran hukum positif yang

berlaku.Mengacu pada kenyataan betapa rumitnya

penegakan hukum dalam bidang kesehatan,

kiranya perlu dipahami beberapa faktor penting

yang perlu mendapat perhatian sehingga aparat

penegak hukum dapat menegakkan aturan-aturan

hukum di bidang kesehatan dan sekaligus dapat

melindungi pasien dan profesi kesehatan itu

sendiri. Penegakan hukum di bidang kesehatan

dipengaruhi oleh tiga unsur penting, yaitu :

a. Aturan hukum yang mengatur mengenai

profesi kesehatan.

b. Aparat penegak hukum

c. Institusi hukum

Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali

ditemukan beberapa tindakan-tindakan yang

mengancam kesehatan tersebut dapat berupa

kesengajaan, kelalaian, ataupun kecelakaan.Hal-

hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai

malpraktek yang lebih ditekankan kepada tindak

pidana malpraktek.Didalam UU Kesehatan tidak

dicantumkan pengertian tentang Malpraktek,

namun didalam Ketentuan Pidana pada Bab XX

diatur didalam Pasal 190 UU.No.36 tahun 2009.

Pembentukan perundang-undang- an di

bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal ini

dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat

dij erat dengan ketentuan yang tegas.Motif yang

ada pada pembentuk perundang-undangan untuk

menyusun peraturan-peraturan mengenai bidang-

bidang kehidupan tertentu sangat bervariasi.

Demikian pula halnya dengan dorongan-dorongan

untuk menyusun perundang-undangan pelayanan

kesehatan.

Landasan landasannya adalah antara lain,

sebagai berikut ( W .B.van der Mijn, 1982:15,

dan seterusnya) dalam (Soekanto,1987) :

a. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa

keahlian.

b. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian

tertentu.

c. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid).

d. Kebutuhan akan pengendalian biaya.

e. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat

untuk menentukan kepentingannya dan

identifikasi kewajiban pemerintah.

f. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum.

g. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi

para ahli.

h. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi

pihak ketiga.

2. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek

Menurut KUHP

Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak

diatur dengan jelas dalam KUHP karena

pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat

dari perbuatan malpraktek tersebut.

Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 KUHP serta

pasal 361 KUHP dalam (Soesilo,2007)

Pasal 360 KUHP

Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya

menyebabkan orang luka berat dihukum dengan

penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman

kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya

menyebabkan orang lukasedemikian rupa

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

41

sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau

tidak dapat menjalankan jabatannya atau

pekerjaannya sementara, dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan

atau hukuman kurungan selama- lamanya enam

bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya

Rp.4.500,-

Pada pasal 360 KUHP memiliki perbedaan

dengan pasal 359 KUHP, yakni pada pasal 359

KUHP dijelaskan akibat dari perbuatan yang

menyebabkan “kematian” orang sedangkan dalam

pasal 360 KUHP adalah :

a. Luka berat

Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai

luka berat atau luka parah yakni :

1) Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap

akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat

mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau

sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh

kembali dengan sempurna dan tidak

mendatangkan bahaya maut itu bukan luka

berat.

2) Terus menerus tidak cakap lagi melakukan

jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat

sementara saja bolehnya tidak cakap

melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka

berat. Penyanyi misalnya jika rusak

kerongkongannya, sehingga tidak dapat

menyanyi selama-lamanya itu masuk luka

berat.

3) Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu

pancaindera.

4) Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya.

5) Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa

menggerakkan anggota badannya.

6) Pikirannya terganggu melebihi empat minggu.

7) Menggugurkan atau membunuh bakal anak

kandungan ibu.

8) Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek)

atau terhalang pekerjaan sehari-hari.

3. Faktor Penyebab Tindak Pidana

Malpraktek

Jangkauan hukum medik menyangkut

berbagai cabang hukum. Hukum Perdata, Hukum

Pidana, Tata Usaha Negara, di samping disiplin,

dan juga etik. Untuk mengetahui apa yang

dimaksudkan dengan kecelakaan medik harus kita

melihat kepada literatur hukum pidana. Menurut

Jonkers suatu kesalahan (schuld) mengandung

4(empat) unsur, yaitu :

a. Bahwa tindakan itu bertentangan dengan

hukum, (wederrrech-telijkheid),

b. Bahwa akibatnya sebenarnya dapat

dibayangkan sebelumnya, (voorzien-

baarheid),

c. Akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau

dihindarkan, (vermijdbaarheid),

d. Sehingga timbulnya akibat itu dapat

dipersalahkan kepada si pelaku

(verwijtbaarheid) (Guwandi,2008).

Dari uraian Jonkers di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa suatu peristiwa yang tidak

mengandung keempat unsur tadi, bukanlah

kesalahan (negligence, schuld), dengan perkataan

lain termasuk kecelakaan. Dalam hubungan

tenaga medis dan pasien, seorang tenaga medis

hanya wajib berusaha sedapat mungkin untuk

menyembuhkan pasiennya

(Inspanningsverbintenis) dengan mempergunakan

segala ilmu, pengetahuan, kepandaian,

pengalaman yang dimiliki serta perhatian. Namun

ia sama sekali tidak dapat memberikan jaminan

akan penyembuhannya.

Kecelakaan medik tersebut tidaklah terjadi

begitu saja, ada beberapa hal yang menjadi

faktor-faktor terj adinya kecelakaan medik yang

lazim disebut juga dengan tindak pidana

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

42

malpraktek. Perbuatan kecelakaan medik ataupun

tindak pidana malpraktek tersebut dapat

disebabkan oleh 5 faktor:

a. Faktor kelalaian (culpa).

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua

macam.Pertama, “kealpaan

perbuatan”.Maksudnya ialah apabila hanya

dengan melakukan perbuatannya itu sudah

merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak

perlu melihat akibat yang ti mbul dari

perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan

Pasal 205 KUHP. Kedua, “ kealpaan akibat”.

Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu

peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu

sendiri sudah menimbulkan akibat yang

dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat

atau matinya orang lain seperti yang diatur

dalam Pasal 359,360,361 KUHP.

Dapat disimpulkan bahwa kealpaan itu paling

tidak memuat tiga unsur.

1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya

diperbuat menurut hukum tertulis maupun

tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah

melakukan suatu perbuatan (termasuk tidka

berbuat) yang melawan hukum)

2) Pelaku telah berlaku kurang hati-hati,

ceroboh, dan kurang berpikir panjang.

3) Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh

karenanya pelaku harus bertanggung jawab

atas akibat perbuatannya tersebut

(Guwandi,2009).

Perbedaan malpraktek dan Kelalaian

(Negligence)

Malpraktek tidak sama dengan kelalaian.

Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi

di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur

kelalaian. Jika dilihat beberapa defenisi di bawah

ini ternyata bahwa :malpractise mempunyai

pengertian yang lebih luas daripada negligence.

Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah

malpraktek juga mencakup tindakan-tindakan

yang dilakukan dengan sengaja (intentional,

dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang;

sedangkan arti negligence lebih berintikan

ketidaksengaj aan (culpa), kurang hati-hati, tak

acuh, tak peduli, di samping akibat yang

ditimbulkan pun bukan merupakan tujuannya.

Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita

melihat pada motif tindakan yang dilakukan,

yaitu :

a. Pada malpraktek ( sempit) : tindakannya

dilakukan dengan sadar, dan tuj uan tindakan

memang sudah terarah kepada akibat yang

hendak ditimbulkan, walaupun ia mengetahui

atau seharusnya mengetahui bahwa ti

ndakannya itu bertentangan dengan hukum

yang berlaku, sedangkan

b. Pada kelalaian : tidak ada motif atau pun tuj

uan untuk menimbulkan akibat yang terj adi.

Akibatnya yang ti mbul disebabkan karena

adanya kelalaian yang sebenarnya terj adi

diluar kehendaknya

b. Faktor kesengajaan.

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum

pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari :

1) Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi :

a) Kesengajaan dengan maksud, yakni di mana

akibat dari perbuatan itu diharapkan ti mbul,

atau agar peristiwa pidan itu sendiri terj adi;

b) Kesengajaan dengan kesadaran sebagai

suatu keharusan atau kepastian bahwa

akibat dari perbuatan itu sendiri akan

terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu

kemungkinan saja.

c) Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis).

Kesengajaan bersyarat di sini diartikan

sebagai perbuatan yang dilakuakan dengan

sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

43

mengarah pada suatu kesadaran bahwa

akibat yang dilarang kemungkinan besar

terjadi.

c. Faktor Kesalahpahaman (Dwaling)

Dwaling atau kesalahpahaman atau kekeliruan

terbagi dalam :

1) Kesalah pahaman yang Sebenarnya

(Feitelijke Dwaling)

Yaitu kesalahpahaman mengenai salah

satu unsur dari delik yang menyebabkan

opzet terhadap unsur-unsur tersebut harus

dianggap sebagai tidak ada (eror facti).

Tidak terpenuhinya salah satu unsur

delik ini akan menyebabkan suatu ti ndak

pidana akan dinyatakan tidak terbukti dengan

dasar hukum kesalah pahaman mengenai

salah satu unsur delik juga disebut kesalah

pahaman yang meniadakan pidana. Eror facti

non nocet atau ignorance of the fact excuse,

ignorance of the law ares not excuse.

2) Kesalahpahaman Mengenai Hukum (Rechts

Dwaling)

d. Faktor Kekeliruan Penilaian Klinis (Non-

neglicent clinical error of judgment)

Di dalam bidang yang kompleks seperti

pengobatan jarang terjadi kesepakatan bulat atau

pendapat mengenai terapi yang cocok terhadap

suatu situasi medis khusus. Ilmu kedokteran

adalah suatu seni dan sains (art and science) di

samping teknologi yang dimatangkan oleh

pengalaman. Maka bisa saja cara pendekatan

terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter

yang satu dan yang lain. Namun tetap harus

berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

e. Faktor Contributory negligence.

Pada umumnya contributory negligence

dipakai untuk menguraikan setiap sikap tindak

yang tidak wajar dari pihak pasien, sehingga

megakibatkan cedera pada diri pasien itu sendiri,

tak pedui apakah pada pihak dokter atau perawat

juga ada kelalaiannya atau tidak. Kadang-kadang

ada juga kasus di mana ada kesalahan pasien, dan

juga terdapat kesalahan pada dokter atau

perawatnya.

Seorang pasien yang dewasa dan bermental

sehat tentu sewajarnya akan mentaati nasehat

dokternya agar bisa lekas sembuh. Hal ini dapat

diharapkan dari seorang pasien yang normal dan

bertindak secara wajar. Namun kadangkala

karena kesalahan pasien, entah disengaja atau

mungkin juga tidak, ada sikap tindak pasien yang

tidak mentaati nasehat dokter, sehingga tambah

memperburuk keadaannya sendiri. Dalam hal ini

maka pasien yang menuntut dokternya, dapat

dibuktikan balik bahwa terdapat contributory

negligence dari pihak pasien itu sendiri.

Keadaan di mana ajaran- ajaran contributory

negligence banyak dikaitkan umummnya

menyangkut : sikap tindak yang tidak mentaati

nasehat dokter, seperti pulang-paksa, tidak

kembali lagi untuk follow up, atau tidak mentaati

instruksi lain dari dokternya.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan masalah dalam bab terdahulu, maka

dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan formulasi perlindungan hukum bagi

korban tindak pidana bidang medis dalam

hukum pidana positif di Indonesia saat ini

dilakukan dengan mengenakan sanksi bagi

pelaku tindak pidana berdasarkan KUH

Pidana, UU No. No. 23 Tahun 1992 tentang

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

44

Kesehatan, juga UU. No. 29 Tahun 2004,

tentang Praktek Kedokteran dan peraturan-

peraturan pendukung yang berlaku, ternyata

dalam pelaksanaannya masih terdapat

kelemahan baik dalam perumusan tindak

pidana, perumusan pertanggungjawaban

pidana, serta perumusan pidana dan

pemidanaannya.

2. Perumusan tindak pidana bidang medis

walaupun telah dirumuskan beberapa

perbuatan yang diusahakan untuk dicegah

dan dilarang, akan tetapi rumusan delik

materil dalam UU No.29 Tahun 2004 tentang

Kesehatan mengandung kelemahan dalam

upaya memberikari perlindungan hukum.

Agar tidak menjadi korban tindak pidana,

karena instrumen hukum pidana baru dapat

diterapkan setelah timbul akibat berupa cacat

fisik bahkan atau kematian kepada korban

yang tentunya akan sangat merugikan korban

dan keluarganya, dan bukan hanya untuk saat

ini, akan tetapi sepanjang hidup keluarga

korban, baik waktu dan material. Dalam hal

ini korban mengalami kerugian juga

penderitaan, yang sudah barang tentu

memerlukan perlindungan hukum pidana

yang optimal.

3. Perumusan pertanggungjawaban tindak

pidana dibidang medis ini bisa memiliki

subyek hukum perseorangan maupun

korporasi, di mana dalam hukum pidana

positif saat ini belum ada aturan yang

seragam dan konsisten. Peru ndang-undangan

di bidang medis yang ada dewasa ini

menjadikan korporasi sebagai subjek hukum

pidana, namun UU yang bersangkutan tidak

membuat ketentuan pidana atau

pertanggungjawaban pidana untuk korporasi.

(UU No. 23 Tahun 1992), dan bahkan dalam

KUH Pidana positif sebagai induk peraturan

hukum pidana, korporasi tidak dijadikan

subjek tindak pidana. Hal ini tentunya tidak

memberikan perlindungan dan rasa adil bagi

korban tindak pidana bidang medis

(malpraktek). Di samping itu dalam UU

No.23 Tahun 1992 sistem

pertanggungjawaban pidana berdasarkan

kesalahan (liability based on fault) menjadi

kendala dalarn pembuktian delik-delik tindak

pidana dan pembuktian kesalahan pada

subyek hukum khususnya pada korporasi.

Saran

Bagi tenaga kesehatan baik dokter, bidan,

perawat dan tenaga kesehatan lainnya hendaknya

memahami, dan patuh menjalankan standar

operasional dan prosedur tindakan medis yang

akan dilakukan. Selanjutnya jangan pernah

menyepelehkan suatu tindakan medis sekecil

apapun, terlebih lagi dengan mengabaikan suatu

tindakan medis yang karena menganggap bahwa

orang lain (pasien) telah memahami tindakan

medis tersebut dan dapat melakukannya secara

mandiri sesungguhnya tanpa disadari hal tersebut

akhirnya dapat berakibat fatal

DAFTAR PUSTAKA

Budianto.Kasus Malpraktek Antara Penegakan

Hukum Dengan Rasa Keadilan

Masyarakat.Medicinus.Vol. 3 No. 1

Februari 2009 – Mei 2009

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,

Jakarta, 1990 Cetakan ke 3, hal, 551

Guwandi,J ,Hukum dan Dokter, Sagung

Seto,Jakarta,2008,halaman : 60.

Guwandi,J, Kelalaian Medik, Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta, 1990, halaman : 10.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

45

J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law),

Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Jakarta, 2004, hal. 24.

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

POLITEIA, Bogor, 2007, halaman : 248.

Soerjono Soekanto,dkk, Pengantar Hukum

Kesehatan, Remadja Karya, Bandung,

1987, halaman : 33.

Walter G. Alton Jr., LL.B.2005. Malpractice: A

Trial Lawyer‟s Advice for Physicians

(How to Avoid, How to win), Little, Brown and Company, Boston, hal 30–32.

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,

Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 43.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

46

DISIPLIN KERJA KARYAWAN

UMMI KHOIROH

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK

Sudah menjadi rahasia umum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Negara tercinta ini menjadi sorotan dalam

masalah disiplin. Sebenarnya pemerintah juga sudah mengantisipasi berbagai keluhan masyarakat yang

berhubungan dengan disiplin, diantaranya dengan membuat banyak peraturan yang harus ditaati oleh seluruh

PNS dalam rangka menegakkan disiplin, tetapi berbagai macam peraturan tersebut belum mampu

meningkatkan disiplin kerja PNS. Untuk mengkondisikan karyawan agar senantiasa bersikap disiplin, maka

terdapat beberapa prinsip kedisplinan diantaranya pendisiplinan dilakukan secara pribadi, bersifat membangun,

pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan langsung dan keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan.

ABSTRACT

It is common knowledge Civil Servants (PNS) in this beloved country into the spotlight in a matter of

discipline. Actually, the government also has to anticipate public complaints relating to discipline, including

by making a lot of rules that must be obeyed by all civil servants in order to enforce discipline, but a wide

variety of these regulations have not been able to increase civil servants working discipline. To condition

employees to always be disciplined, then there are some principles of discipline disciplining them done in

private, constructive, discipline must be conducted by the immediate supervisor and fairness in discipline is

needed.

Keywords : PNS, discipline, principles of discipline

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

47

P E N D A H U L U A N

Sudah menjadi rahasia umum Pegawai

Negeri Sipil (PNS) di Negara tercinta ini menjadi

sorotan dalam masalah disiplin, masyarakat

banyak menyaksikan di televisi bagaimana PNS

di kejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja

(Satpol PP) karena meninggalkan tempat tugas

dan berada di pusat perbelanjaan tanpa izin atau

sepengatahuan atasanya.

Demikian pula ketika masyarakat

menguruskan sesuatu yang berhubungan dengan

birokrasi sudah pasti merasa malas karena

pelayanan yang kurang baik dari para aparatur

pemerintah, padahal kita semua tahu apabila PNS

itu digaji dari uang rakyat, dan sudah semestinya

mengabdi dan menjadi pelayan masyarakat, akan

tetapi dalam pelaksanaannya PNS bekerja seolah-

olah instansi tempatnya bekerja adalah milik

keluarganya sehingga kurang disiplin dalam

bekerja.

Sebenarnya pemerintah juga sudah

mengantisipasi berbagai keluhan masyarakat yang

berhubungan dengan disiplin, diantaranya dengan

membuat banyak peraturan yang harus ditaati

oleh seluruh PNS dalam rangka menegakkan

disiplin, tetapi berbagai macam peraturan tersebut

belum mampu meningkatkan disiplin kerja PNS,

bahkan pemerintah juga telah memberikan

berbagai macam penghargaan kepada PNS yang

memiliki kinerja baik, tapi tetap belum mampu

secara signifikan meningkatkan disiplin dalam

bekerja.

Pemerintah saat ini sedang giat-giatnya

melakukan reformasi birokrasi di semua bidang,

tidak terkecuali di lingkungan Dinas Kesehatan,

reformasi birokrasi tidak bisa ditawar-tawar lagi

karena sudah menjadi tuntutan masyarakat saat

ini seiring dengan berubahnya paradigma

kehidupan.

salah satu upaya reformasi birokrasi adalah

dengan melakukan pemberian TPP untuk

memberikan semangat lebih kepada PNS agar

lebih giat lagi dalam bekerja.

Salah satu kebijakan lain yang dilakukan

pemerintah adalah dengan menerbitkan Peraturan

Pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2010 tentang

Disiplin PNS, peraturan tersebut merupakan

pengganti dari PP Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Disiplin PNS. Namun demikian disiplin kerja

tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kepribadian

PNS itu sendiri tapi juga ada faktor lingkungan,

terutama lingkungan social yang juga ikut

menentukan terbentuknya disiplin pada diri

karyawan dalam hal ini PNS.

Dengan terbitnya peraturan disiplin yang

baru, banyak PNS yang merasa ”terusik”

terutama bagi mereka yang berada di lingkup

jabatan fungsional, padahal mereka juga sama

PNS sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Dan berikut ini adalah beberapa penjelasan

tentang disiplin PNS yang tertuan dalam PP No.

53 Tahun 2010, mudah-mudahan dapat lebih

memahami dan memaknai disiplin kerja, karena

dengan adanya peraturan disiplin banyak PNS

yang ”takut” dengan mesin daftar hadir finger

print, padahal sesuai dengan sumpah PNS apabila

bekerja akan patuh dan taat terhadap peraturan

yang ditetapkan pemerintah. Data finger print

PNS di Dinkes Kabupaten Gresik Oktober-

Desember tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data finger print PNS di Dinkes

Kabupaten Gresik Oktober-Desember tahun 2013

Jumlah

PNS

Kehadiran Rerata

Okt Nov Des

73 82% 85% 92 % 86,33%

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

48

LANDASAN TEORI

1. Pengertian Disiplin

Disiplin kerja karyawan sangat penting bagi

suatu organisasi dalam rangka mewujudkan

tujuan organisasi. Tanpa disiplin kerja karyawan

yang baik sulit bagi suatu organisasi mencapai

hasil yang optimal. Disiplin yang baik

mencerminkan besarnya tanggung jawab

seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan

kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja,

semangat kerja dan terwujudnya tujuan

organisasi.

Pengertian disiplin dapat dikonotasikan

sebagai suatu hukuman, meskipun arti yang

sesungguhnya tidaklah demikian. Disiplin berasal

dari bahasa latin “Disciplina” yang berarti latihan

atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta

pengembangan tabiat. jadi sifat disiplin berkaitan

dengan pengembangan sikap yang layak terhadap

pekerjaan.

Alfred R. Lateiner dan I.S. Levine telah

memberikan definisi antara lain, disiplin

merupakan suatu kekuatan yang selalu

berkembang di tubuh para pekerja yang membuat

mereka dapat mematuhi keputusan dan peraturan-

peraturan yang telah ditetapkan.

Di samping beberapa pengertian mengenai

disiplin karyawan tersebut di atas, A.S. Moenir

mengemukakan bahwa “Disiplin adalah ketaatan

yang sikapnya impersonal, tidak memakai

perasan dan tidak memakai perhitungan pamrih

atau kepentingan pribadi.

Pengertan Disiplin Kerja Menurut pendapat

Alex S. Nitisemito(1984: 199) Kedisiplinan

adalah suatu sikap tingkah laku dan perbuatan

yang sesuai dengan peraturan dari perusahaan

baik tertulis maupun tidak tertulis.

Adapun menurut peraturan disiplin

Pegawai Negeri Sipil sebagimana telah dimuat di

dalam Bab II Pasal (2) UU No.43 Tahun 1999,

ada beberapa keharusan yang harus dilaksanakan

yaitu :

a. Mentaati segala peraturan perundang-

undangan dan peraturan kedinasan yang

berlaku, serta melaksanakan perintah-perintah

kedinasan yang diberikan oleh atasan yang

berhak.

b. Melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya

serta memberikan pelayanan yang baik

terhadap masyarakat sesuai dengan bidang

tugasnya.

c. Menggunakan dan memelihara barang-barang

dinas dengan sebaik- baiknya.

d. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun

terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri

Sipil dan atasannya.

Dengan demikian, maka disiplin kerja merupakan

praktek secara nyata dari para karyawan terhadap

perangkat peraturan yang tedapat dalam suatu

organisasi. Dalam hal ini disiplin tidak hanya

dalam bentuk ketaatan saja melainkan juga

tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi,

berdasarkan pada hal tersebut diharapkan

efektifitas karyawan akan meningkat dan bersikap

serta bertingkah laku disiplin.

Di dalam buku Wawasan Kerja Aparatur

Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

pengertian disipln adalah : “Sikap mental yang

tercermin dalam perbuatan, tingkah laku

perorangan, kelompok atau masyarakat berupa

kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan-

peraturan yang ditetapkan Pemerintah atau etik,

norma serta kaidah yang berlaku dalam

masyarakat”.

Selanjutnya Alfred R. Lateiner dan I.S.

Levine telah memberikan definisi antara lain,

disiplin merupakan suatu kekuatan yang selalu

berkembang di tubuh para pekerja yang membuat

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

49

mereka dapat mematuhi keputusan dan peraturan-

peraturan yang telah ditetapkan

Adapun ukuran tingkat disiplin pegawai

menurut I.S. Levine,( I.S. Levine, Op. City, hal.

72.) adalah sebagai berikut :

“Apabila pegawai datang dengan teratur dan tepat

waktu, apabila mereka berpakaian serba baik dan

tepat pada pekerjaannya, apabila mereka

mempergunakan bahan-bahan dan perlengkapan

dengan hati-hati, apabila menghasilkan jumlah

dan cara kerja yang ditentukan oleh kantor atau

perusahaan, dan selesai pada waktunya.”

Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas,

maka tolak ukur pengertian kedisiplinan kerja

karyawan adalah sebagai berikut:

a. Kepatuhan terhadap jam-jam kerja.

b. Kepatuhan terhadap instruksi dari atasan,

serta pada peraturan dan tata tertib yang

berlaku.

c. Berpakaian yang baik pada tempat kerja dan

menggunakan tanda pengenal instansi.

d. Menggunakan dan memelihara bahan-bahan

dan alat-alat perlengkapan kantor dengan

penuh hati-hati.

e. Bekerja dengan mengikuti cara-cara bekerja

yang telah ditentukan.

Kedisiplinan karyawan dapat ditegakkan

apabila peraturan-peraturan yang telah ditetapkan

itu dapat diatasi oleh sebagian besar pegawainya

dalam kenyataan, bahwa dalam suatu instansi

apabila sebagian besar pegawainya mentaati

segala peraturan yang telah ditetapkan, maka

disiplin pegawai sudah dapat ditegakkaan

2. Macam-Macam Disiplin Kerja

Ada 4 macam disiplin kerja :

a. Disiplin diri

Menurut Jasin (1996:35) adalah disiplin

yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri

sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau

aktualisasi dari tanggung jawab pribadi yang

berarti mengakui dan menerima nilai-nilai yang

ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri

karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab

dan dapat mengatur dirinya sendiri untuk

kepentingan organisasi.

Penanaman nilai-nilai disiplin dapat

berkembang apabila didukung oleh

situasi lingkungan yang kondusif yaitu situasi

yang diwarnai perlakuan yang konsisten dari

karyawan dan pimpinan. Disiplin diri sangat

besar peranannya dalam mencapai tujuan

organisasi. Melalui disiplin diri seorang karyawan

selain menghargai dirinya sendiri juga

menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan

mengerjakan tugas dan wewenang tanpa

pengawasan atasan, pada dasarnya karyawan

telah sadar melaksanakan tanggung jawab yang

telah dipikulnya. Hal itu berarti karyawan mampu

melaksanakan tugasnya. Pada dasarnya ia

menghargai potensi dan kemampuannya. Di sisi

lain, bagi rekan sejawat, dengan diterapkan

disiplin diri akan memperlancar kegiatan yang

bersifat kelompok, apalagi jika tugas kelompok

tersebut terkait dalam dimensi waktu, dimana

suatu proses kerja yang dipengaruhi urutan waktu

pengerjaannya.

Ketidakdisiplinan dalam suatu bidang kerja akan

menghambat bidang kerja lain.

b. Disiplin Kelompok

Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang

bersifat individu selain disiplin diri masih

diperlukan disiplin kelompok. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa disiplin kelompok adalah

patut, taat dan tunduknya kelompok terhadap

peraturan, perintah dan ketentuan yang berlaku

serta mampu mengendalikan diri dari dorongan

kepentingan dalam upaya pencapaian cita-cita dan

tujuan tertentu serta memelihara stabilitas

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

50

organisasi dan menjalankan standar-standar

organisasional.

Disiplin kelompok akan tercapai jika

disiplin diri telah tumbuh dalam diri pegawai.

Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan

yang optimal jika masing-masing anggota

kelompok akan memberikan andil sesuai hak dan

tanggung jawabnya. Selain itu disiplin kelompok

juga memberikan andil bagi pengembangan

disiplin diri bagi pengembangan disiplin diri.

Misalnya, jika budaya atau iklim dalam

organisasi tersebut merupakan disiplin kerja yang

tinggi, maka mau tidak mau karyawan akan

membiasakan dirinya mengikuti irama kerja

pegawai lainnya. Karyawan dibiasakan bertindak

dengan cara berdisiplin. Kebiasaan bertindak

disiplin ini merupakan awal terbentuknya

kesadaran. Kaitan antara disiplin diri dan disiplin

kelompok seperti dua sisi dari satu mata uang.

Kedua mata uang, keduanya saling melengkapi

dan manunjang, dan bersifat komplementer.

Disiplin diri tidak dapat dikembangkan secara

optimal tanpa dukungan disiplin kelompok,

sebaliknya disiplin kelompok tidak dapat

ditegakan tanpa adanya dukungan disiplin

pribadi.

c. Disiplin Preventif

Disiplin preventif adalah disiplin yang

ditujukan untuk mendorong pegawai agar

berdisplin diri dengan mentaati dan mengikuti

berbagai standar dan peraturan yang telah

ditetapkan. Menurut T. Hani Handoko Disiplin

preventif adalah kegiatan yang dilakukan untuk

mendorong para karyawan agar mengikuti

berbagai standard an aturan sehingga

penyelewengan- penyelewengan dapat dicegah.

Dengan demikian disiplin preventif

merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh

organisasi untuk menciptakan suatu sikap dan

iklim organisasi dimana semua anggota

organisasi dapat menjalankan dan mematuhi

peraturan yang telah ditetapkan atas kemauan

sendiri. Adapun fungsi dari disiplin preventif

adalah untuk mendorong disiplin diri para

pegawai sehingga mereka dapat menjaga sikap

disiplin mereka bukan karena paksaan.

d. Disiplin Korektif

Disiplin korektif merupakan disiplin yang

dimaksudkan untuk menangani pelanggaran

terhadap aturan-aturan yang berlaku dan

memperbaikinya untuk masa yang akan datang.

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh

Prabu Mangkunegara bahwa Disiplin korektif

adalah suatu upaya untuk menggerakan pegawai

dalam menyatukan suatu peraturan dan

mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan

sesuai dengan pedoman yang berlaku dalam

perusahaan.

Berdasarkan pertanyaan di atas maka

dapat disimpulkan bahwa disiplin korektif

merupakan suatu upaya untuk memperbaiki dan

menindak pegawai yang melakukan pelanggaran

terhadap aturan yang berlaku. Dengan kata lain

sasaran disiplin korektif adalah para pegawai

yang melanggar aturan dan diberi sanksi yang

sesuai dengan aturan yang berlaku. Disiplin

korektif ini dilakukan untuk memperbaiki

pelanggaran dan mencegah pegawai yang lain

melakukan perbuatan yang serupa dan mencegah

tidak adanya lagi pelanggaran dikemudian hari.

e. Disiplin Progresif

Disiplin progresif merupakan pemberian

hukuman yang lebih berat

terhadp pelanggaran yang berulang. Tujuannya

adalah memberikan kesempatan kepada pegawai

untuk mengambil tindakan korektif sebelum

hukuman-hukuman yang lebuh serius.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

51

Dilaksanakan disiplin progresif ini akan

memungkinkan manajemen untuk membantu

pegawai memperbaiki kesalahan. Seperti yang

dikemukakan oleh Veithzal Rivai bahwa Disiplin

progresif dirancang untuk memotivasi karyawan

agar mengoreksi kekeliruannya secara sukarela.

Contoh dari disiplin progresif adalah teguran

secara lisan oleh atasan, skorsing pekerjaan,

diturunkan pangkat atau dipecat.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Disiplin Kerja

Pada dasarnya factor yang

mempengaruhi disiplin kerja berasal dari dua

factor, yaitu factor intrinsic dan factor ekstrinsik.

Fadila Helmi (1996:37) merumuskan factor-

faktor yang mempengaruhi disiplin kerja menjadi

dua factor, yaitu factor kepribadian dan factor

lingkungan.

a. Faktor Kepribadian

Faktor yang penting dalam kepribadian

seseorang adalah system nilai yang dianut. Sistem

nilai yang dianut ini berkaitan langsung dengan

disiplin. System nilai akan terlihat dari sikap

seseorang, dimana sikap ini diharapkan akan

tersermin dlaam perilaku. Menurut kelman

(1996:35) perubahan sikap mental dalam perilaku

terdapat tiga tingkatan yaitu disiplin karena

kepatuhan, identifikasi, dan disiplin karena

internalisasi.

1) Disiplin karena kepatuhan

Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang

didasarkan atas dasar perasaan takut. Displin

kerja dalam tingkatan ini dilakukan semata

untuk mendaptkan reaksi positif dari

pimpinan atau atasan yang memilki

wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak

ada di tempat disiplin kerja tidak akan

tampak. Contohnya seorang pengendara

motor akan memakai helm jika ada polisi

saja.

2) Disiplin Karena Identifikasi

Kepatuhan terhadap aturan-aturan didasarkan

pada identifikasi adanya perasaan kekaguman

pengahargaan pada pimpinan. Pemimpin

yang kharismatik adalah figure yang

dihormati, dihargai dan sebagai pusat

identifikasi. Karyawan yang menunjukkan

disiplin terhadap aturan-aturan organisasi

bukan disebakan pada atasnya disebakan

karena kualitas profesionalnya yang tinggi

dibidangnya, jika pusat identifikasi ini tidak

ada maka disiplin kerja akan memurun,

pelanggaran meningkatkan frekuensinya.

3) Disiplin Karena Internalisasi

Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi

karyawan punya system nilai pribadi yang

menujukkan tinggi nilai-nilai kedisplinan.

Dalam taraf ini, orang dikategorikan

mempunyai disiplin diri. Misalnya: walaupun

tidak ada polisi namun pengguna motor tetap

memakai helm dan membawa sim.

b. Faktor Lingkungan

Disiplin seseorang merupakan produk

sosialisasi hasil interaksi dengan

lingkungan, terutama lingkungan social. Oleh

karena itu pembentukan disiplin tunduk pada

kaidah-kaidah proses belajar. Disiplin kerja yang

tinggi tidak muncul begitu saja tapi merupakan

suatu proses belajar terus-menerus. Proses

pembelajaran agar efektof maka pemimpin yang

merupakan agen pengubah perlu memperhatikan

prinsip-prinsip konsisisten adil bersikap positif

dan terbuka. Konsisten adalah memperlakukan

aturan secara konsisten dari waktu ke waktu.

Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar,

maka rusaklah system aturan tersebut. Adil dalam

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

52

hal ini adlaah memperlakukan seluruh aryawan

dengan tidak membeda-bedakan.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tegak

tidaknya suatu disiplin kerja dalam suatu

perusahaan. Menurut Gouzali Saydam

(1996:202), faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Besar kecilnya pemberian kompensasi

b. Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam

perusahaan

c. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat

dijadikan pegangan

d. Keberanian pimpinan dalam mengambil

tindakan

e. Ada tidaknya pengawasan pimpinan

f. Ada tidaknya perhatian kepada pada

karyawan

g. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang

mendukung tegaknya disiplin

4. Hal-Hal Yang Menunjang Kedisiplinan

Menurut Alex S. Nitisemito (1984:119-

123) ada beberapa hal yang dapat menunjang

keberhasilan dalam pendisiplinan karyawan yaitu:

a. Ancaman

Dalam rangka menegakkan kedisiplinan

kadang kala perlu adanya ancaman meskipun

ancaman yang diberikan tidak bertujuan untuk

menghukum, tetapi lebih bertujuan untuk

mendidik supaya bertingkah laku sesuai

dengan yang kita harapkan.

b. Kesejahteraan

Untuk menegakkan kedisiplinan maka tidak

cukup dengan ancaman saja, tetapi perlu

kesejahteraan yang cukup yaitu besarnya upah

yang mereka terima, sehingga minimal

mereka dapat hidup secara layak.

c. Ketegasan

Jangan sampai kita membiarkan suatu

pelanggaran yang kita ketahui tanpa tindakan

atau membiarkan pelanggaran tersebut

berlarut-larut tanpa tindakan yang tegas.

d. Partisipasi

Dengan jalan memasukkan unsur partisipasi

maka para karyawan akan merasa bahwa

peraturan tentang ancaman hukuman adalah

hasil persetujuan bersama.

e. Tujuan dan Kemampuan

Agar kedisiplinan dapat dilaksanakan dalam

praktek, maka kedisiplinan hendaknya dapat

menunjang tujuan perusahaan serta sesuai

dengan kemampuan dari karyawan.

f. Keteladanan Pimpinan

Mempunyai pengaruh yang sangat besar

dalam menegakkan kedisiplinan sehingga

keteladanan pimpinan harus diperhatikan.

Salah satu tugas yang paling sulit bagi

seorang atasan adalah bagaimana menegakkan

disiplin kerja secara tepat. Jika karyawan

melanggar aturan tata tertib, seperti terlalu sering

terlambat atau membolos kerja, berkelahi, tidak

jujur atau bertingkah laku lain yang dapat

merusak kelancaran kerja suatu bagian, atasan

harus turun tangan. Kesalahan semacam itu harus

dihukum dan atasan harus mengusahakan agar

tingkah laku seperti itu tidak terulang.

Ada beberapa cara menegakkan disiplin kerja

dalam suatu perusahaan:

a. Disiplin Harus Ditegakkan Seketika

Hukuman harus dijatuhkan sesegera

mungkin setelah terjadi pelanggaran Jangan

sampai terlambat, karena jika terlambat akan

kurang efektif.

b. Disiplin Harus Didahului Peringatan Dini

Dengan peringatan dini dimaksudkan bahwa

semua karyawan haruss benar-benar tahu

secara pasti tindakan-tindakan mana yang

dibenarkan dan mana yang tidak

C. Disiplin Harus Konsisten

Konsisten artinya seluruh karyawan yang

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

53

melakukan pelanggaran akan diganjar

hukuman yang sama. Jangan sampai terjadi

pengecualian, mungkin karena alasan masa

kerja telah lama, punya keterampilan yang

tinggi atau karena mempunyai hubungan

dengan atasan itu sendiri

d. Disiplin Harus Impersonal

Seorang atasan sebaiknya jangan menegakkan

disiplin dengan perasaan marah atau emosi.

Jika ada perasaan semacam ini ada baiknya

atasan menunggu beberapa menit agar rasa

marah dan emosinya reda sebelum

mendisiplinkan karyawan tersebut. Pada akhir

pembicaraan sebaiknya diberikan suatu

pengarahan yang positif guna memperkuat

jalinan

hubungan antara karyawan dan atasan

e. Disiplin Harus Setimpal

Hukuman itu setimpal artinya bahwa

hukuman itu layak dan sesuai dengan tindak

pelanggaran yang dilakukan. Tidak terlalu

ringan dan juga tidak terlalu berat. Jika

hukuman terlalu ringan, hukuman itu akan

dianggap sepele oleh pelaku pelanggaran dan

jika terlalu berat mungkin akan menimbulkan

kegelisahan dan menurunkan prestasi.

5. Penilaian Disiplin Kerja

Dalam suatu organisasai , atasan yang

bertugas untuk mengawasi, atau mengepalai

bawahan, secara sistematis melakukan penilaian

disiplin kerja dalam melaksanakan tugas-tugas

mereka.

Tujuan dari penilaian disisplin kerja menurut

Michaelr.Carrel, Norbertf, Elbert, Robert

D.Hotfield ( 1994: 349-351 ).

Evaluatition objectives, yang terdiri dari :

a. Keputusan yang berhubungan dengan

kompensasi

a. Keputusan yang berhubungan dengan

staffing

b. Melakukan penilaian terhadap proses

rekrutmen, seleksi dan penempatan.

2. Depelopment objectives, yang terdiri dari:

a. Memberikan umpan balik pada pegawai

yang bersangkutan

b. Memberikan arah pada pegawai

mengenai disiplin yang harus dicapai

dimasa yang akan dating

c. Mengidentifikasikan kebutuhan training

dan development bagi pegawai

yang dinilai tersebut

Menurut Michael Amstrong yang dialih

bahasakan oleh Sofyan Cikmat dan Harianto (

1990;175), Tujuan dari penilaian disiplin kerja

yaitu :

a. Membantu memperbaiki disiplin dengan

mengetahui kekuatan dan kelemahan, serta

dengan melakukan hal-hal yang akan

mengembangkan kekuatan dan mengatasi

kelemahan.

b. Mengenal pegawai yang berpotensi untuk

menerima tanggung jawab yang lebih besar,

sekarang atau dimasa yang akan datang.

c. Membantu dalam memutus-kan kenaikan gaji

yang seimbang antara tingkat disiplin dengan

tingkat gaji.

Bila disimpulkan, maka sebenarnya

tujuan penilaian disiplin kerja adalah “ Untuk

tujuan evaluasi ( melihat disiplin kerja masa lalu),

dan untuk tujuan pengembangan yang menitik

beratkan pada peningkatan keterampilan dan

motivasi dari pegawai untuk meningkatkan

disiplin kerja dimasa yang akan datang”.

PEMBAHASAN

Program disiplin karyawan hendaknya

disusun secara cermat berdasarkan kepada

metode-metode ilmiah yang berpedoman pada

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

54

keterampilan yang dibutuhkan perusahaan atau

organisasi saat ini maupun untuk waktu yang

akan datang. Disiplin harus bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan teknis, teoritis,

konseptual dan moral karyawan supaya prestasi

kerjanya baik dan mecapai hasil yangoptimal.

Disiplin karyawan diarsakan semakin penting

mamfaatnya, karena adanya tuntutan

pekerjaan/jabatan dan bertujuan baik untuk karier

maupun non karier karyawan baru/lama melalui

disiplin.

Disiplin juga merupakan fungsi operatif

MSDM yang terpenting karena semakin baik

disiplin karyawan, maka semakin tinggi prestasi

kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin

karyawan yang baik , sulit bagi organisasi atau

badan mencapai hasil yang optimal.

Disiplin yang baik mencerminkan besarnya

rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-

tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini

mendorong gairah kerja, semangat kerja dan

mendukung tewujudnya tujuan suatu organisasi

atau badan, karyawan dan masyarakat.

Demikian juga yang ada di Dinas Kesehatan

Kabupaten Gresik, segala upaya sudah dilakukan

untuk memperbaiki disiplin karyawan. Salah satu

wujud nyata adalah dengan diberlakukannya

finger print. Dengan harapan karyawan yang ada

lebih disiplin terhadap peraturan waktu yang

sudah ditentukan.

Namun begitu ternyata rata-rata kehadiran

karyawan dalam 3 bulan terakhir masih belum

menunjukkan hasil yang memuaskan karena

masih 86,33% dari yang seharusnya 100%.

Penyusun akan membahas kondisi ini dengan

mengacu kepada kompilasi 2 teori tentang

kedisiplinan yaitu teori I.S.Levine tentang salah

satu tolak ukur kedisiplinan adalah kepatuhan

terhadap jam kerja dan teori Alex S.Nitisemito

bahwa untuk menegakkan kedisiplinan tidak

cukup dengan ancaman saja tetapi perlu

kesejahteraan yang cukup yaitu besarnya upah

yang diterima karyawan sehingga minimal

karyawan dapat hidup secara layak.

Pemberlakuan finger print akan

menunjukkan bagaimana kedisiplinan waktu kerja

karyawan dan hasilnya akan menjadi bahan untuk

menilai tingkat kedisiplinan karyawan.

Penilaian disiplin ini dilakukan oleh atasan

dalam organisasi dan menjadi bahan untuk

pengam-bilan keputusan yang berhu-bungan

dengan kompensasi yaitu upah yang akan

diterima karyawan. Pemberlakuan finger print ini

adalah salah satu cara untuk mengukur tingkat

disiplin karyawan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik

pemberian kompensasi untuk meningkatkan

kesejahteraan karyawan diwujudkan dalam

bentuk pemberian TPP disamping gaji yang

diterima setiap bulannya.

Adapun kegunaan disiplin kerja ,

berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh

William B.Werther Jr, Dan Keith Davis, ( 1996;

342 ) adalah :

1) Performance Improvement

Umpan balik pelaksanaan kerja

memungkinkan, para karyawan, manajer dan

departemen personalia dapat mengetahui

tindakan apa yang harus diambil untuk

meningkatkan disiplin kerja.

2) Compensation Adjusments

Evaluasi terhadap hasil kerja, membantu para

pengambilan keputusan untuk menentukan

kompensasi.

3) Placement Devisions

Dengan melihat disiplin kerja pegawai yang

bersangkutan dimasa lalu dapat membantu

para manajer dalam melakukan promosi,

taransfer, dan demos

4) Career Planning and Development

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

55

Umpan balik mengenai disiplin kerja, yang

dapat dijadikan pedoman untuk

mengarahkan jalur karir yang dipilih oleh

pegawai yang bersangkutan.

5) Staffing Process Deviciencis

Baik atau buruknya disiplin kerja

mencerminkan kekuatan atau kelemahan

prosedur staffing yang telah dilakukan.

6) Job Design Error

Penilaian disiplin kerja secara akurat, akan

menjamin keputusan penempatan internal

diambil tanpa diskriminasi.

KESIMPULAN

Dispilin merupakan suatu keadaan

tertentu dimana orang-orang yang tergabung

dalam organisasi tunduk pada peraturan-peraturan

yang ada dengan rasa senang hati. Kedisiplinan

harus ditegakkan dalam suatu organisasi karena

tanpa dukungan disiplin personil yang baik, maka

organisasi akan sulit dalam mewujudkan

tujuanya. Jadi dapatlah dikatakan bahwa

kedisplinan merupakan kunci keberhasilan suatu

organisasi dalam mencapai tujuan yang telah

ditentukan. Disiplin yang baik mencerminkan

besarnya tanggung jawab seseorang terhadap

tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini

mendorong gairah kerja, semangat kerja dan

terwujudnya tujuan organisasi.

Disiplin kerja sangat dibutuhkan oleh

setiap karyawan sehingga perlu diketahui tolak

ukur pengertian kedisiplinan kerja karyawan

adalah kepatuhan terhadap jam kerja, kepatuhan

terhadap instruksi dari atasan, berpakaian yang

baik paada jam kerja dan menggunakan tanda

pengenal, menggunakan dan memelihara bahan

dan alat perlengkapan kantor, bekerja dengan

mengikuti cara yang telah ditentukan. Untuk

mengkondisikan karyawan agar senantiasa

bersikap disiplin, maka terdapat beberapa prinsip

kedisplinan diantaranya pendisiplinan dilakukan

secara pribadi, bersifat membangun,

pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan

langsung dan keadilan dalam pendisiplinan sangat

diperlukan. Macam-macam disiplin kerja yaitu

disiplin diri, kelompok, preventif, korektif dan

progresif. Selanjutnya faktor-faktor yang

mempengaruhi disiplin kerja yaitu faktor

kepribadian dan lingkungan.

Penggunaan finger print karyawan sebagai

tolak ukur kedisiplinan waktu karyawan sehingga

atasan bisa menentukan keputusan pemberian

kompensasi untuk meningkatkan kesejahteraan

karyawan. Dan masih banyak cara lain atau

indikator lain yang bisa digunakan untuk

mengukur disiplin karyawan.

DAFTAR PUSTAKA

http://najasmileforyou.blogspot.com/2013/05/man

ajemen-sumber-daya-manusia-

disilpin.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/

38200/3/Chapter%20II.pdf

http://eprints.uny.ac.id/8771/3/BAB%202%20-

08404244003.pdf

http://wirasaputra23.blogspot.com/2013/07/pengertian-disiplin-kerja-makalah.html

file:///C:/Users/fiqril/Pictures/DISIPLIN%20KAR

YAWAN.htm

http://2frameit.blogspot.com/2011/12/definisi-

disiplin.html

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

56

Efektivitas Kinerja Teamwork dalam Pelacakan Kasus Gizi Buruk di Puskesmas

The Effectiveness of Teamwork Performance in Tracking Nutrition Issue at Primary Health Care

Vinsensius Maghi1, Ummi Khoiroh

2, Nyoman Anita Damayanti

2

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Strategi penanggulangan masalah gizi masih bersifat jangka pendek dan merupakan tindakan kuratif. Hal ini

menyebabkan tidak adanya tindak lanjut setelah suatu program selesai. Untuk menjaga stabilitas program

maka partisipasi masyarakat harus ditingkatkan melalui efektivitas teamwork dalam upaya penanggulangan

kasus gizi buruk. Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan

sedangkan Teamwork menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi. Dengan kompilasi dari

teori teamwork dan teory efektifitas, maka tim pelacakan kasus gizi buruk yang ada di puskesmas diharapkan

dapat bekerja secara lebih efektif.

ABSTRACT

The strategy for handling nutrition issues are still meant for short term and act as curative. These causes

improper follow up upon program completion. To maintain program stability would require active

participation from the community through effective teamwork in handling nutrition issue. Effectiveness is

related to as success or the achievement of objective, while teamwork will create a positive synergy through

coordinated effort. Based on the compilation of teamwork and effectiveness theory, then tracking nutrition

issue found at the primary health care can be done effectively by the team.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

57

PENDAHULUAN

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa

ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya

Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM

yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti

empiris menunjukkan bahwa kualitas SDM

sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan

status gizi yang baik ditentukan antara lain oleh

jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Hal ini

sejalan dengan pernyataan WHO yang

menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari

kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus

kehidupan.

Kesepakatan global yang dituangkan

dalam Millenium Development Goals (MDGs)

yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48

indikator. Bahkan berdasarkan penilaian Unit

Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan

Pengendalian Pembangunan (UKP4), status

capaian MDGs Bidang Kesehatan menunjukkan

bahwa dua dari lima indikator yaitu : MDGs 1C

tentang prevalensi balita dengan berat badan

rendah / kekurangan gizi, menurut Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) capaian penurunan

tahun 2010 mencapai (17,9%) masih sedikit di

atas target MDGs 2015 (15,5%) dan MDGs 4,

yaitu menurunkan angka kematian balita hingga

2/3 dalam kurun waktu 1990-2015, dari hasil

SDKI 2012 bahwa penurunan angka kematian

bayi, balita dan neonatal belum menunjukkan

hasil yang diharapkan. Hal ini sebagai penjabaran

menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak

balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan

defisit energi (mengkonsumsi energi kurang dari

70% kebutuhan untuk hidup sehat).

Strategi penanggulangan masalah gizi masih

bersifat jangka pendek dan merupakan tindakan

kuratif. Hal ini menyebabkan tidak adanya tindak

lanjut setelah suatu program selesai. Untuk

menjaga sustainabilitas program maka partisipasi

masyarakat harus ditingkatkan. System kemitraan

antara puskesmas-posyandu masyarakat

(masyarakat meliputi tokoh masyarakat, LSM

local, pemerintah desa) perlu

dikembangkan.Masyarakat dan posyandu

seharusnya memiliki peranan utama dalam

penanganan masalah gizi dan kesehatan

masyarakat, sedangkan puskesmas menjalankan

fungsi sebagai mediator. Untuk itu, penulis

mencoba mengkaji masalah penjaringan kasus

gizi buruk melalui efektifitas teamwork dalam

upaya penanggulangan kasus gizi buruk.

TINJAUAN PUSTAKA

Status Gizi Balita

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai

akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat

gizi.(Almatsier, 2002). Secara umum status gizi

lebih dapat di bagi menjadi lima kategori yaitu :

status gizi lebih, status gizi baik, status gizi

sedang, status gizi kurang, status gizi buruk.

Ada berbagai cara melakukan penilaian

status gizi. Salah satunya adalah

dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal

dengan antropometri. Pengukuran antropometri

yang dapat digunakan antara lain: berat badan

(BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB),

lingkar lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK),

lingkar dada (LD), dan lapisan lemak bawah kulit

(LLBK). Namun disini pengukuran antropometri

hanya menggunakan berat badan dan panjang/

tinggi badan. Dalam penilaian status gizi,

antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang

dikaitkan dengan variable lain, seperti: berat

badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau

tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U),

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan

lain-lain. Namun, untuk mempermudahkan dalam

penilaian status gizi terdapat grafik pertumbuhan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

58

standar yang dikeluarkan oleh Centers for

Disease Control and Prevention (CDC) tahun

2000 dengan menggunakan kurva persentil dan

World Health Organization (WHO) tahun 2005

dengan menggunakan kurva z-score. Alternatif

pengukuran lain yang paling banyak digunakan

adalah indeks BB/U, atau melakukan penilaian

dengan melihat perubahan berat badan pada saat

pengukuran dilakukan.

Teori Efektivitas

Bamard (1938:20) menyatakan bahwa

efektivitas organisasi merupakan kemahiran

dalam sasaran spesifik dari organisasi yang

bersifat objektif (“if it accomplished its specific

objective aim”). Schein dalam bukunya yang

berjudul Organizational Psychology

mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai

kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri,

memelihara diri dan juga bertumbuh, lepas dari

fungsi-fungsi tertentu yang dimiliki oleh

organisasi tersebut.

Efektivitas dapat didefinisikan dengan

empat hal yang menggambarkan tentang

efektivitas, yaitu :

1. Mengerjakan hal-hal yang benar, dimana

sesuai dengan yang seharusnya diselesaikan

sesuai dengan rencana dan aturannya.

2. Mencapai tingkat diatas pesaing, dimana

mampu menjadi yang terbaik dengan lawan

yang lain sebagai yang terbaik.

3. Membawa hasil, dimana apa yang telah

dikerjakan mampu memberi hasil yang

bermanfaat.

4. Menangani tantangan masa depan

Efektivitas pada dasarnya mengacu pada

sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan.

Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari

produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian

untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian

target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas

dan waktu.

Menurut Martani dan Lubis (1987:55), ada

tiga pendekatan dalam mengukur efektivitas

organisasi, yaitu:

1. Pendekatan sumber (resource approach)

2. Pendekatan proses (process approach)

3. Pendekatan sasaran (goals approach

Teori Teamwork

Stephen dan Timothy (2008) menyatakan

teamwork adalah kelompok yang usaha-usaha

individualnya menghasilkan kinerja lebih tinggi

daripada jumlah masukan individual. Teamwork

menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang

terkoordinasi. Hal ini memiliki pengertian bahwa

kinerja yang dicapai oleh sebuah tim lebih baik

daripada kinerja perindividu di suatu organisasi

ataupun suatu perusahaan.

Menurut Daft (2000) jenis teamwork terdiri

dari 6 (enam) jenis, yaitu:

1. Tim Formal

2. Tim Vertikal

3. Tim Horizontal

4. Tim dengan Tugas Khusus

5. Tim Mandiri

6. Tim Pemecahan Masalah

Hal yang sangat mendasar dalam mewujudkan

keutuhan sebuah tim agar dapat berkinerja dan

berdaya guna adalah dengan melakukan

perancangan tim yang baik. Pentingnya

perancangan tim yang baik diuraikan Griffin

(2004) dengan membagi ke dalam 4 (empat)

tahap perkembangan, yaitu:

1. Formng (pembentukan)

2. Storming (merebut hati)

3. Norming (pengaturan norma)

4. Performing (melaksanakan)

Selanjutnya Williams (2008) membagi ada 5

(lima) hal yang menunjukkan peranan anggota

dalam membangun kerja tim yang efektif, yaitu:

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

59

1. Para anggota mengerti dengan baik tujuan tim

2. Para anggota menyumbang keberhasilan tim

3. Para anggota berusaha mengerti sudut

pandang satu sama lain

4. Para anggota mengakui bahwa konflik adalah

hal yang normal

5. Para anggota berpartisipasi dalam keputusan

tim

Manfaat dan fungsi Teamwork bagi individu dan

tim bagi organisasi menurut Richard Y. Chang &

Mark J. Curtin (1998), yaitu:

1. Manfaat tim bagi individu

a. Pekerjaan lebih bervariasi

b. Lebih banyak kebebasan untuk membuat

dan menindaklanjuti keputusan yang benar

c. Meningkatkan kesempatan untuk

mempelajari keahlian baru

2. Manfaat tim bagi organisasi

a. Meningkatkan komitmen terhadap

keputusan yang diambil

b. Meningkatkan produktivitas tim kerja

c. Lebih fleksibel dalam operasional kerja

d. Meningkatkan rasa tanggungjawab

PEMBAHASAN

Banyak faktor yang bisa menjadi solusi

dalam penyelesaian masalah gizi buruk, namun

penulis hanya akan berkonsentrasi pada

efektifitas teamwork dalam pelacakan kasus gizi

buruk di puskesmas.

Tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan

teamwork dalam menentukan keberhasilan tujuan

program/kegiatan. Bahkan bisa dikatakan bahwa

berhasil tidaknya suatu organisi ditentukan oleh

keberadaan teamwork di dalamnya.Meskipun

membangun team work yang solid merupakan

langkah penting dalam membangun sebuah

organisasi, namun untuk menciptakannya di

tengah lingkungan kerja bukanlah perkara yang

mudah. Karena menyatukan sifat dan karakter

dari setiap individu yang berbeda menuju satu

tujuan yang sama, membutuhkan tenaga, strategi

dan waktu yang tidak sebentar.

Kerjasama dalam tim atau seringkali

diistilahkan teamwork berarti melakukan suatu

aktivitas kerja bersama lebih dari 1 orang dalam

sebuah team untuk mencapai suatu goal. Bila

diamati, setiap bentuk aktivitas terutama dalam

organisasi lebih dari 90% aktivitas itu adalah

kerjasama dan sedikit bidang yang aktivitas-nya

tidak memerlukan kerjasama. Setiap unit kerja,

bidang atau bagian umumnya memiliki tujuan

yang akan dicapai dengan format yang sudah

jelas, sehingga apabila kita perhatikan secara

lebih dalam tingkat keberhasilan masing-masing

kelompok tersebut akan sangat dipengaruhi oleh

dinamika teamwork.

Dengan kompilasi dari teori teamwork dan

teory efektifitas, maka tim pelacakan kasus gizi

buruk yang ada di puskesmas diharapkan dapat

bekerja secara efektif bila sesuai dengan teori

tersebut. Anggota tim sadar bahwa kerja mereka

dalam pelacakan kasus gizi buruk terdiri dari

anggota yang mempunyai tujuan yang sama yang

harus dicapai.

Masing-masing anggota mempunyai

tugas dan fungsi sendiri-sendiri dan harus

dilaksanakan dengan benar. Ada aturan organisasi

dalam hal ini puskesmas yang harus di patuhi.

Teamwork pelacakan kasus gizi buruk pada balita

adalah bagian dari organisasi besar puskesmas,

sehingga setiap anggota teamwork harus bisa

menyeimbangkan antara tujuan teamwork dan

tujuan organisasi puskesmas.

Sehingga penanganan kasus balita gizi buruk

melalui pelacakan dapat berjalan efektif.

KESIMPULAN

1. Teamwork merupakan kegiatan yang

dikelola dan dilakukan sekelompok orang

yang tergabung dalam satu organisasi.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

60

Teamwork dapat meningkatkan kerja sama

dan komunikasi di dalam dan di antara

bagian-bagian perusahaan. Biasanya

Teamwork beranggotakan orang-orang yang

memiliki perbedaan keahlian sehingga

dijadikan kekuatan dalam mencapai tujuan

organisasi.

2. Efektifivitas adalah tercapainya sasaran

yang telah disepakati bersama. Pada

dasarnya dikemukakan bahwa cara yang

terbaik untuk meneliti efektivitas ialah

memperhatikan secara serempak konsep

yang saling berhubungan didalamnya.

3. Teamwork pelacakan kasus gizi buruk pada

balita adalah bagian dari organisasi besar

puskesmas, sehingga setiap anggota

teamwork harus bisa menyeimbangkan

antara efektifitas teamwork dan tujuan

organisasi puskesmas. Sehingga penanganan

kasus balita gizi buruk melalui pelacakan

dapat berjalan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

berita-kedokteran-masyarakat.org/

index.php/BKM/article/view/136/61 oleh

IK Pakaya - 2012

eprints.undip.ac.id/33070/1/ZAENAB_1.pdf oleh

Z ISMAIL - 2011

eprints.undip.ac.id/23744/1/PADMI_SUPARTI.p

df oleh P SUPARTI - 2010

gizi.depkes.go.id/wp-content/.../Buku-Pedoman-

pelayanan-anakdfr.pdf

journal.uniba.ac.id/index.php/mbs/article/download/217/31 oleh K Andriani - 2013

library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/Bab%

202_240.pdf/filebagian/Modul_Gizi.pd

papers.bappenas.go.id/.../SubTema%20Pembang

unan%20SDM oleh H. Desky

repository.unhas.ac.id/.../BAB%20II%20LANDASAN%20TEORI.pdf?...

thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2009-2-00007-

AK%20Bab%202.pdf

repository.usuhttp://www.mysearchresults.com/se

arch?c=2642&t=01&q=peran%20anggot

a%20teamwork

.ac.id/bitstream/123456789/34112/4/Chapter%20

II.pdf oleh B Octarina - 2012

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26386/

3/Chapter%20II.pdf oleh GM Lubis - 2011

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30548/

3/Chapter%20II.pdf oleh TI Santoso -

2011

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

61

PENGUKURAN EFEKTIFITAS MODAL PELATIHAN DOKTER DAN

PERAWAT BERDASARKAN HUMAN CAPITAL INDEXS

MEASSURMENT MENURUT WATSON WYATT

DI IGD RSU HAJI SURABAYA TAHUN 2013

Yuddy Riswandhy Noora1, Siti Rachmawati

2, Tito Yustiawan

3

1. Mahasiswa Pascasarjana Administrasi dan kebijakan Kesehatan, 2. Bidang Diklit RSU Haji Surabaya, 3.

Departemen Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas

Airlangga

Alamat Korespondensi : [email protected]

ABSTRACT

Salah satu layanan unggulan Rumah Sakit Umum Haji Surabaya adalah pelayan Instalasi Gawat Darurat,

namun dalam pelaksanaannya masih sering mendapat keluhan dari pasien sehubungan dengan kualitas

pelayanan yang diberikan. Berdasarkan data pelatihan yang diikuti oleh tenaga dokter dan perawat Instalasi

Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Haji Surabaya, sertifikat yang dimiliki masih tidak memenuhi standar

yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 129 tahun 2008. Kondisi ini perlu dinilai apakah

efektif terhadap akuntabilitas kinerja dari Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Haji Surabaya.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan riset dokumen dan wawancara dengan tenaga dokter dan

perawat IGD. Pengolahan data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel untuk perhitungan dan

tabulasi data berdasarkan definisi operasional yang sesuai dengan dokumen yang ada. Pada hasil perhitungan,

perbandingan kondisi kompetensi dokter dan perawat yang ada saat ini dan akuntabilitas pada tahun 2013 berdasarkan human capital indexs meassurment yang di kemukakan oleh Watson Wyatt termasuk kategori

efektif. Pemenuhan standar kompetensi yang harus 100% seperti yang ada pada Peraturan Menteri Kesehatan

No. 129 Tahun 2008 membuat penilaian tidak efektif.

Keyword : human capital indexs meassurment, dokter dan perawat,efektifitas pelatihan.

ABSTRACT

One of the excellent services Surabaya Hajj General Hospital is a minister of Emergency Room, however in

practice they often receive complaints from patients regarding the quality of services provided. Based on

training data followed by doctors and nurses ER Surabaya Hajj General Hospital, which is owned certificate

still does not satisfy the standards according to Regulation of the Minister of Health number 129/2008. This condition needs to be assessed whether the effective performance of the accountability of the ER Surabaya

Hajj General Hospital. This research is descriptive research with approach documents and interviews to

doctors and nurses emergency room. Data processing was performed using Microsoft Excel for calculation

and tabulation of data based on the operational definition according to the documents. In the calculation, the

comparison of doctors and nurses competencies current and accountability in the year 2013 based on human

capital meassurment indexs were forward by Watson Wyattincluding the effective category. The fulfillment of

competency standards that must be 100% as that of the Minister of Health Regulation No. 129 of 2008 made

ineffective assessment.

Keywords: human capital indexs meassurment, doctors and nurses, the effectiveness of the

training

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

62

Pendahuluan

Rumah Sakit Umum Haji Surabaya

adalah rumah sakit milik pemerintah provinsi

Jawa Timur yang didirikan berkenaan peristiwa

yang menimpa para jamaah Haji Indonesia di

terowongan Mina pada tahun 1990, berdasarkan

SK Gubernur Jawa Timur nomor

188/441/KPTS/013/ 2008 tanggal 30 Desember

2008 Rumah Sakit Haji ditetapkan menjadi Badan

Layanan Umum Daerah (BLUD) dan berdasarkan

SK MENKES NO 1003/MENKES/SK/10/2008

tanggal 30 Oktober 2008 RSU Haji Surabaya

berkembang menjadi RSU pendidikan tipe B.

Rumah Sakit Umum Haji Surabaya berada pada

bangunan seluas 28254,96 m2 yang terletak di

jalan Manyar Kertoadi Surabaya. Total kapasitas

kamar 239 tempat tidur dan 969 orang karyawan

baik medis maupun non medis. Saat ini RSU Haji

surabaya telah mencapai akreditasi 16 pelayanan

plus.

Pelayanan gawat darurat RSU Haji

Surabaya merupakan bagian dari pelayanan yang

diselenggarakan oleh organisasi RSU Haji

Surabaya yang meliputi upaya memelihara dan

meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan

masyarakat. Pelayanan yang diberikan Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya selalu ingin

memberikan pelayanan yang berkualitas, oleh

karenanya kualitas pemberi pelayanan menjadi

sangat diperhatikan.(1)

Human Capital Management adalah

penggunaan metrik untuk memandu pendekatan

untuk mengelola orang-orang yang menganggap

mereka sebagai aset dan menekankan bahwa

keunggulan kompetitif dicapai dengan investasi

strategis pada aset melalui keterlibatan karyawan

dan retensi, manajemen bakat dan belajar dan

program pembangunan. Human Capital

Management berkaitan dengan memperoleh,

menganalisis dan melaporkan data yang

menginformasikan arah manajemen pada tingkat

manajemen lini depan. Human Capital

Management menyediakan jembatan antara

sumber daya manusia dan strategi bisnis.(2)

Selama ini Human Capital Management

ini belum pernah dilakukan di RSU Haji

Surabaya. Human Capital Management ini sangat

perlu dilakukan untuk dapat memantau tingkat

efektifitas kinerja pada sebuah unit dalam rumah

sakit maupun lingkup rumah sakit sendiri.

Berdasarkan alasan tersebut maka dicoba untuk

mengukur bagaimana efektifitas pelatihan dokter

dan perawat pada Instalasi Gawat Darurat RSU

Haji Surabaya.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriftif dengan menggunakan data Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya yang meliputi

data pelatihan yang diikuti oleh tenaga dokter dan

perawat, akuntabilitas, jumlah pasien true

emergency dan false emergency serta indeks

kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di

Instalasi Gawat Darurat RSU Haji Surabaya pada

tahun 2013.

Subyek penelitian adalah gabungan

tenaga dokter dan perawat di Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya yang berjumlah 35

orang. Pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan program Microsoft Excel untuk

perhitungan dan tabulasi data dengan penetapan

definisi operasional yang sesuai dengan dokumen

yang ada. Perhitungan kategori human capital

indexs dilakukan dengan batasan sebagai berikut:

1. Akuntabilitas

Nilai akuntabilitas didapatkan dari

perhitungan jumlah penghasilan (revenue)

Instalasi Gawat Darurat RSU Haji Surabaya

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

63

pada tahun 2013 dibagi dengan modal yang

dikeluarkan untuk memberikan pelatihan

kepada dokter dan perawat. Penghasilan ini

meliputi penghasilan pelayanan Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya termasuk

pelayanan OK. Sedangkan penghasilan dari

penunjang seperti laboratorium dan rontgen

tidak dimasukkan karena pada RSU Haji

Surabaya sebagai rumah sakit pemerintah

tidak mendapat pemasukkan atau tidak ada

fee dari unit tersebut untuk Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya. Perhitungan

modal yang dikeluarkan terhadap 35 orang

dokter dan perawat Instalasi Gawat Darurat

RSU Haji Surabaya, jumlah dokter dan

perawat yang dilatih ATLS 9 orang, BTLS

28 orang, PPGD 28 orang dan GELS 7

orang. Biaya masing-masing perlatihan

perorang adalah ATLS Rp 3.000.000,-,

BTLS Rp. 3.000.000,-, PPGD Rp.

2.000.000,- dan GELS Rp. 2.000.000,-.

Nilai akuntabilitas Rp. 1.409.576.000 dibagi

Rp.60.300.00 dikalikan 100% = 23,37%

2. Kategori Tenaga Yang Fleksibel

Untuk kategori ini, dari 35 dokter dan

perawat ini, 1 orang dokter dan 2 orang

perawat duduk di manajemen Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya sehingga tidak

ikut pada shif kerja. 8 dokter dan 24 perawat

terbagi dalam 4 shift dimana 3 shift aktif

dalam shift pagi, sore dan malam dan satu

shift off. 1 kelompok shift terdiri dari 2

dokter dan 6 perawat. Sehingga perhitungan

tenaga kerja fleksibel Instalasi Gawat Darurat

RSU Haji Surabaya adalah 8 dibagi 33 dikali

100% didapatkan hasil 24,22%.

3. Retensi Keunggulan

Penetapan hasil retensi keunggulan

ditetapkan dengan dasar bahwa selama tahun

2013 Instalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya tidak ada melakukan perekrutan

tenaga dan tidak didapatkan perpindahan

karyawan sehingga keunggulan yang ada

dengan sertifikat yang dimiliki oleh tenaga

dokter dan perawat Instalasi Gawat Darurat

RSU Haji Surabaya dapat dipertahankan.

Informasi ini diperoleh dari wawancara

dengan kepala ruangan Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya. Berdasarkan

keterangan tersebut maka disimpulkan nilai

retensi keunggulan adalah 100%

4. Integritas komunikasi

Penetapan nilai integritas komunikasi secara

terminologi yaitu integritas komunikasi

adalah suatu proses dimana suatu sistem

dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan

tujuan bahwa sinyal-sinyal yang dikirimkan

dan diterima dilakukan sesuai dengan aturan

dengan memperhatikan mutu yang

berlandaskan pada kejujuran. Pada penetapan

nilai integritas ini data rinci tidak didapatkan,

namun dapat dilihat dari penilaian indeks

kepuasan masyarakat terhadap pelayanan

yang dilakukan dokter dan perawat Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya. Nilai

tentang integritas komunikasi ini tidak terinci

secara nyata pada komponen hasil survey,

namun dapat menggambarkan persepsi

terhadap integritas komunikasi. Pada

pengukuran human capital indexs dokter dan

perawat Instalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya ditetapkan berdasar pada

peningkatan nilai indeks kepuasan

masyarakat terhadap pelayanan Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya yaitu

7,0%. Nilai ini didapatkan dari peningkatan

hasil indeks kepuasan masyarakat Instalasi

Gawat Darurat tahun 2012 sebesar 69,67 %

menjadi 76,67 % pada tahun 2013.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

64

Hasil Penelitian

Scarborough dan Elias (2002)

mendefinisikan human capital (diartikan menjadi

modal sumber daya manusia) sebagai hubungan

antara praktek sumber daya manusia dan bisnis

kinerja dalam hal aset dari proses bisnis. Human

capital adalah saham kompetensi, pengetahuan,

kebiasaan, sosial dan atribut kepribadian,

termasuk kreativitas, kemampuan kognitif,

diwujudkan dalam kemampuan untuk melakukan

kerja sehingga menghasilkan nilai ekonomi.

Human capital terdiri dari modal intelektual,

sosial dan organisasi. modal intelektual diartikan

sebagai saham dan arus pengetahuan yang

tersedia bagi suatu organisasi. Modal intelektual

dianggap sebagai sumber daya tidak berwujud

yang terkait dengan orang-orang yang bersama-

sama dengan sumber daya nyata (uang dan aset

fisik), terdiri dari pasar atau total nilai bisnis.

Bontis (1998) mendifinisikan sumber

daya tidak berwujud sebagai faktor selain

keuangan dan aset fisik yang berkontribusi pada

proses nilai ekonomi. Modal sosial merupakan

elemen lain dari modal intelektual, terdiri dari

pengetahuan yang berasal dari jaringan hubungan

di dalam dan di luar organisasi, sedangkan modal

organisasi adalah dilembagakannya pengetahuan

yang dimiliki oleh sebuah organisasi yang

disimpan dalam database, manual, dll (Youndt,

2000). Nilai tambah yang orang dapat

berkontribusi untuk sebuah organisasi ditekankan

sebagai aset dan menekankan bahwa investasi

oleh organisasi pada orang akan menghasilkan

keuntungan.

Teori human capital membantu untuk

menentukan dampak dari orang-orang dalam

bisnis dan kontribusi mereka terhadap nilai

pemegang saham (organisasi), menunjukkan

bahwa praktik sumber daya manusia

menghasilkan nilai laba atas investasi,

memberikan bimbingan pada strategi sumber

daya manusia dan bisnis di masa depan, serta

memberikan data yang akan menginformasikan

strategi dan praktek yang dirancang untuk

meningkatkan efektivitas manajemen sumber

daya manusia dalam organisasi.

Tujuan utama dari HCM adalah untuk

menilai dampak dari praktik-praktik manajemen

sumber daya manusia dan kontribusi yang dibuat

oleh orang-orang untuk kinerja organisasi. Data

utama yang digunakan untuk pengukuran human

capital management adalah data tenaga kerja,

data kinerja (pembelajaran dan pengembangan

program), data perseptual (survei sikap/opini

masyarakat) dan data Kinerja lain (

keuangan, operasional dan pelanggan).(3)

Watson Wyatt (2002) menyatakan tiga

kategori utama dari praktek sumber daya manusia

yang bisa dihubungkan dengan penciptaan

peningkatan nilai pemegang saham (modal dari

organisasi), yaitu: (3)

1. Proses identifikasi langkah-langkah dan

mengumpulkan dan menganalisis informasi

yang berkaitan dengan mereka akan fokus

perhatian organisasi pada apa yang perlu

dilakukan untuk menemukan, menjaga,

mengembangkan dan membuat penggunaan

terbaik dari sumber daya manusianya.

2. Pengukuran dapat digunakan untuk memantau

kemajuan dalam mencapai tujuan strategis

sumber daya manusia dan umumnya untuk

mengevaluasi efektivitas dari praktik Human

Resource.

3. Dikategorikan dapat mengelola (efektif)

sumber daya manusia apabila hasil

pengukuran akuntabilitas 16,5 persen tenaga

kerja fleksibel 9,0 persen

retensi keunggulan 7,9 persen

integritas komunikasi 7,1 persen

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

65

Penilaian terhadap efektifitas kompetensi

yang dimiliki dokter dan perawat di Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya ini, dengan

menggunakan human capital indexs measurement

yang dikemukakan oleh Watson Wyatt di atas,

didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 1. Perbandingan Nilai Human capital

Indexs kompetensi dokter dan perawat IGD RSU Haji Surabaya Tahun 2013

dan nilai standar Human capital Indexs

Menurut Watson Wyatt.

No Kate-Gori

Hci Menurut

Watson

Teory

Hci Igd

Rsu Haji

Sby

1 Akuntabili

tas

≥ 16,5 % 23,37 %

2 Tenaga

kerja yang

fleksibel

≥ 9,0 % 24,24%

3 keunggula

n dalam

rekrutmen

dan retensi

≥ 9,0 % 100%

4 Integritas

komunikas

i

7,1 % 7,0 %

Berdasarkan perbandingan penilaian

human capital indexs measurement menurut

Watson tersebut, didapatkan hasil perhitungan

human capital indexs pelatihan dokter dan

perawat Instalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan

oleh Watson Wyatt disimpulkan bahwa pada

tahun 2013 efektifitas modal pelatihan yang telah

dikeluarkan terhadap penghasilan Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya sudah efektif.

Kesimpulan terhadap efektifitas

pelatihan dokter dan perawat Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya dalam

implementasinya pada pelayanan yang diberikan

juga dikuatkan dengan jumlah kategori kunjungan

pasien pada Instalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya yang didominasi false emergency yang

mencapai 80,3% dari total kunjungan. Gambaran

kunjungan pasien di Instalasi Gawat Darurat RSU

Haji Surabaya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Data Kunjungan Pasien IGD RSU

Haji Surabaya Berdasarkan Kategori True Emergency dan

False Emergency Tahun 2011-

2013 (1)

Kondisi seperti ini tidak menuntut

pemenuhan kompetensi dokter dan perawat yang

harus 100% memiliki pelatihan ATLS, BTLS,

PPGD dan GELS seperti yang diatur dalam PMK

Nomor 129 tahun 2008.(4) Persentasi pelatihan

yang dimiliki dokter dan perawat Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya yaitu ATLS untuk

dokter 100%, BTLS untuk dokter dan perawat

80%, PPGD untuk dokter dan perawat 80% dan

GELS untuk dokter dan perawat 20% dirasa

sudah cukup efektif karena pada dasarnya

pelatihan tersebut harus dimiliki dengan tujuan

agar dokter dan perawat kompeten untuk

menangani pasien true emergency, sedangkan

pada kasus false emergency sertifikasi tersebut

tidak terlalu dibutuhkan.

Berdasarkan hasil hasil survey yang

dilakukan oleh bidang diklit RSU Haji Surabaya,

didapatkan hasil indeks kepuasan masyarakat

terhadap pelayanan Instalasi Gawat Darurat RSU

Haji Surabaya adalah 76,67% (kategori baik).(5)

Hasil survey ini juga menunjukkan bahwa dengan

kompetensi dokter dan perawat Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya yang ada saat ini

sudah dapat memberikaan pelayanan kepada

masyarakat dengan kategori baik. Mengacu pada

hasil survey ini maka dapat disimpulkan bahwa

efektifitas kompetensi pelatihan dokter dan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

66

perawat Instalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya saat ini sudah efektif.

Apabila pemenuhan standar kompetensi

pelatihan dokter dan perawat Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya menjadi 100% sesuai

dengan PMK 129 tahun 2008 dilakukan oleh

Instalasi Gawat Darurat RSU Haji Surabaya

berdasarkan pengukuran human capital index

diatas maka didapatkan nilai akuntabilitas hanya

15,8 % sehingga dapat dinilai tidak efektif lagi.

Pembahasan

Pemenuhan standar kompetensi masing-

masing unit pada sebuah rumah sakit merupakan

acuan yang ingin dicapai oleh seluruh rumah

sakit. Pemenuhan standar ini tentunya juga

melihat pada kebutuhan pemenuhan standar

kompetensi secara menyeluruh pada sebuah

rumah sakit. Kondisi ini yang mengharuskan

rumah sakit menentukan skala prioritas dalam

pemenuhan standar tersebut. Alokasi anggaran

yang harus benar-benar bisa mengakomodir

tujuan rumah sakit dalam pemenuhan kompetensi

tenaga kesehatan yang berkerja di rumah sakit

sangat diperlukan. Hasil akhir yang diharapkan

rumah sakit adalah penggunaan anggaran yang

efektif dalam pelaksanaan kegiatan di rumah

sakit.

Perhitungan Human Capital index

menurut Watson wyatt terhadap Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya tersebut diatas hanya

salah satu contoh guna menilai bagaimana tingkat

keefektifan penggunaan anggaran rumah sakit

dalam pemenuhan kompetensi tenaga kesehatan

yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya. Penilaian ini sangat baik jika dilakukan

pada seluruh unit yang ada di RSU Haji Surabaya

agar rumah sakit dapat menetapkan tingkat

efektifitas pelatihan yang diberikan rumah sakit

kepada tenaga kesehatannya terhadap pendapatan

yang dihasilkan oleh unit tersebut jika

dibandingkan dengan anggaran yang dibutuhkan

rumah sakit untuk memenuhi kompetensi tenaga

kesehatan tersebut.

Perhitungan Human Capital indexs ini

masih sangat jarang dilakukan di rumah sakit.

Perhitungan ini banyak digunakan pada

perusahaan. Pada era perdagangan bebas seperti

saat ini, rumah sakit selain berfungsi sebagai

lembaga sosial juga harus bisa menjadi sebuah

lembaga bisnis yang dapat menghasilkan profit

baik kepada pemerintah (sebagai rumah sakit

pemerintah) maupun kalangan swasta atau

pengusaha (rumah sakit swasta), Kondisi ini

mengakibatkan rumah sakit hendaknya

melakukan pengukuran efektifitas anggaran

dalam menjalankan kegiatannya. Salah satu yang

penting adalah pengukuran bagaimana tingkat

efektifitas penggunaan anggaran untuk

pemenuhan kompetensi tenaga kesehatannya

terhadap pendapatan, sehingga rumah sakit dapat

menentukan skala prioritas pemenuhan

kompetensi tersebut. Unit yang masih

memerlukan peningkatan kompetensi dan

merupakan penghasil pendapatan yang tinggi di

rumah sakit merupakan prioritas.(3)

Pada era perdagangan bebas saat ini

kehususan dalam bidang perumah sakitan

mengharuskan rumah sakit dapat menghadapi

tantangan : (6)

1. Profesionalisme

2. Liberalisasi tenaga kesehatan (tenaga

kesehatan luar negeri bebas masuk ke

Indonesia)

3. Rumah sakit harus dapat menjadi lembaga

bisnis yang kompetitif tanpa mengurangi

fungsi sosial

Yaitu :

a. Harga murah

b. Mutu ditingkatkan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

67

c. Pelayanan yang sempurna

d. Terjangkau dapat memenuhi

kebutuhan,tuntutan, harapan dan

kepuasan pasien

4. Berubahnya budaya paternalistik yang

berfokus kepada dokter dalam hubungan

dokter dan pasien menjadi budaya kemitraan

pada pasien yang berfokus pada kepuasan

pasien dalam hubungan dokter dan pasien

5. Menerapkan konsep rumah sakit dengan

cirri:

a. Rumah sakit adalah industi jasa

b. Anggaran dari masyarakat

c. Sistem pembayaran kapitasi

d. Manajeman mutu menjadi inti kegiatan

di rumahsakit

e. Berorientasi pada konsumen

Berdasarkan kebutuhan di era

perdagangan bebas tersebut maka rumah sakit

hendaknya dapat melakukan penghematan

anggaran dengan melakukan pengukuran

keefektifan anggaran tersebut terhadap

berlangsungnya kegiatan di rumah sakit.

Penghematan yang dilakukan tersebut nantinya

akan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi

pelayanan yang diberikan rumah sakit sehingga

rumah sakit dapat kompetitif dalam persaingan

pasar bebas.

Langkah yang dapat dilakukan adalah

pengukuran dengan menggunakan Human

Capital indexs Meassurment dari Watson Wyatt.

Pengukuran dengan menggunakan Human

Capital indexs Measument dari Watson Wyatt ini

sebagai salah satu metode menilai sumber daya

manusia yang dapat membantu manajemen dalam

pengambilan keputusan. Metode Ini dapat

membatu mengidentifikasi bagian mana yang

memerlukan bantuan manajemen secara financial

dalam kegiatannya.

Pengukuran ini penting dilakukan karena:(3)

1. Merupakan elemen kunci dari nilai pasar

rumah sakit yang ada saat ini dengan

memperkirakan nilai modal sumber daya

manusia terhadap total pendapatan

organisasi.

2. Mampu memberikan dasar untuk

perencanaan sumber daya manusia dan

untuk memantau efektivitas dan dampak

kebijakan dan praktek-praktek sumber daya

manusia yang ada.

3. Proses identifikasi langkah-langkah

mengumpulkan dan menganalisis informasi

yang berkaitan dengan sumber daya manusia

yang ada di rumah sakit menjadi fokus

perhatian organisasi (rumah sakit) pada apa

yang perlu dilakukan untuk menemukan,

menjaga, mengembangkan dan membuat

penggunaan terbaik dari sumber daya

manusianya.

4. Pengukuran dapat digunakan untuk

memantau kemajuan dalam mencapai tujuan

strategis sumber daya manusia dan

mengevaluasi efektivitas dari kegiatan

pengelolaan sumber daya manusia yang ada

pada organisasi (rumah sakit).

Pada akhirnya tujuan pengukuran ini

nantinya dapat menentukan tingkat keefektifan

penggunaan anggaran di rumah sakit dalam

menunjang kegiatan yang dilakukan oleh rumah

sakit. Pengukuran yang dilakukan pada setiap

unit yang ada di rumah sakit nantinya dapat

membantu manajemen dalam mempercepat

pemenuhan kebutuhan rumah sakit terutama yang

berhubungan dengan sumber daya manusia dalam

menghadapi perdagangan bebas yang akan kita

hadapi.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

68

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil perhitungan di atas,

berdasarkan teori human capital indexs

measurement dari Watson Wyatt maka

kompetensi tenaga dokter dan perawat Instalasi

Gawat Darurat RSU Haji Surabaya berada dalam

kondisi efektif. Pemenuhan standar sesuai PMK

nomor 129 tahun 2008 yang mengharuskan

seluruh tenaga dokter 100% memiliki sertifikat

ATLS dan seluruh dokter dan perawat memiliki

sertifikat BTLS, PPGD dan GELS dinilai menjadi

tidak efektif sehingga sebaiknya pemenuhan

standar ini tidak perlu dilakukan. Kondisi

kompetensi yang dimiliki tenaga dokter dan

perawat di Istalasi Gawat Darurat RSU Haji

Surabaya yang ada saat ini sudah dapat

memberikan pelayanan yang sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan RSU Haji Surabaya.

Perbandingan pengeluaran yang dilakukan oleh

RSU Haji Surabaya dalam pemenuhan

kompetensi tenaga dokter dan perawat terhadap

penghasilan yang didapatkan oleh RSU Haji

Surabaya dari Instalasi Gawat Darurat sudah

berada pada titik optimal.

Pengukuran efektifitas dengan

menggunakan teori human capital indexs

measurement dari Watson Wyatt kiranya dapat

dilakukan tidak hanya pada Instalasi Gawat

Darurat RSU Haji Surabaya saja, namun perlu

dilakukan pengukuran pada unit yang lain yang

ada di RSU Haji Surabaya agar efektifitas

anggaran dapat dimaksimalkan. Dalam era AFTA

2015 efektifitas anggaran sangat dibutuhkan

untuk menunjang kesinambungan rumah sakit

dan kebutuhan dalam menghadapi persaingan

bebas. Pengukuran ini hendaknya dapat dilakukan

oleh RSU Haji Surabaya dalam lingkup RSU Haji

Surabaya bukan hanya Instalasi Gawat Darurat

RSU Haji Surabaya saja. Pengukuran ini

hendaknya juga dilakukan oleh rumah sakit yang

ada di Surabaya atau di Indonesia pada umumnya

agar Rumah sakit kita dapat bersaing di era pasar

bebas nanti.

DAFTAR PUSTAKA

D. Laporan akuntabilitas kinerja IGD Tahun

2013. laporan internal tahun 2013.

Surabaya: RSU Haji Surabaya; 2014.

Mondy W&RMN. Human Resource

Management New Jersey: Prentice Hall Inc;

1996.

Amstrong M. Amstrong's Handbook of Human

Resource Management practice. 11th ed. London : Kagan Page; 2009.

Diklit B. Laporan survey indeks kepuasan

masyarakat corporate RSU Haji Surabaya

2013. laporan internal tahun 2013.

Surabaya: RSU Haji Surabaya; 2014.

Medik DBP. Kepmenkes no 129 tahun 2008

Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah

Sakit. [Online].; 2008 [cited 2013 july 03.

Available from: www.google.com .

MECO MMSA. AFTA 2015. [Online].; 2014

[cited 2014 september 17. Available from:

anti-remed.blogspot.com/2014/06/afta

2015.html .

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

69

SISTEM INFORMASI UNTUK PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG SUMBER

DAYA TENAGA MEDIS, PARAMEDIS, PENYULUH, DAN SUPPORT STAFF

UNTUK WILAYAH TERPENCIL DI INDONESIA

ANINDYA ASTRIANTI M., S.KM.

MAHASISWA MAGISTER ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN

MINAT MANAJEMEN KESEHATAN

ABSTRACT

Human resource management is one of the important instruments for the organization in achieving its

objectives. For the government sector, the bureaucracy great responsibility in providing services to the public

must be supported by a human resources professional and competent. In this case, the quality of Indonesian

human resources ranks 53rd of various countries in the world. When compared with Singapore, Indonesia and

Malaysia have lost much because of the position of the neighboring country was at number 22. As for

Thailand ranks 44th. The focus of the government in the health sector is still in the realm of curative and rehabilitative. From the above description shows still happen disparity availability of health resources in

Indonesia. Specificity Characteristics of this remote region must create the top-level managers in both the

Ministry of Health of the Republic of Indonesia or the district health office / city policies that can be

implemented. Availability of valid data and real time, can facilitate decision-making in order to establish an

organizational goals can be achieved effectively and efficiently.

Key Word: Primary health care,

ABSTRAK

Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu instrument penting bagi organisasi dalam mencapai

tujuannya. Bagi sektor pemerintahan, tanggung jawab besar birokrasi dalam memberi layanan kepada

masyarakat harus di dukung oleh sumber daya manusia yang professional dan kompeten.Dalam hal ini,

kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-53 dari berbagai negara di dunia.Jika

dibandingkan dengan Singapura, dengan Malaysia saja Indonesia kalah jauh lantaran posisi negeri jiran itu

berada di urutan ke-22. Adapun Thailand berada di urutan ke-44.Fokus pemerintah dalam bidang kesehatan

masih dalam ranah kuratif dan rehabilitative.Dari keterangan diatas menunjukkan masih terjadi disparitas

ketersediaan sumber daya kesehatan di Indonesia. Kekhususan karakterisrik wilayah terpencil ini harus

membuat para top manager baik di level Kementrian Kesehatan Republik Indonesia atau Dinas Kesehatan

kabupaten/kota membuat kebijakan yang dapat diimplementasikan.Ketersediaan data yang valid dan real time,

dapat mempermudah pengambil keputusan. Kata utusan menetapkan sebuah keputusan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efesien.

Kunci: Primary health care

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

70

PENDAHULUAN

Manajemen sumber daya manusia

merupakan salah satu instrument penting bagi

organisasi dalam mencapai tujuannya. Bagi sektor

pemerintahan, tanggaung jawab besar birokrasi

dalam memberi layanan kepada masyarakat harus

di dukung oleh sumber daya manusia yang

professional dan kompeten. Salah satu faktor

penentu efektiftas sumber daya manusia yaitu

berkaitan dengan budaya organisasi, iklim

organisasi dan nilai manajeril yang tidak relevan

dengan perubahan yang ada di sektor publik.

Indonesia adalah salah satu negara yang

juga diukur. Posisi Indonesia masih di bawah

negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Dalam hal ini, kualitas sumber daya manusia

Indonesia berada di urutan ke-53 dari berbagai

negara di dunia.Jika dibandingkan dengan

Singapura, dengan Malaysia saja Indonesia kalah

jauh lantaran posisi negeri jiran itu berada di

urutan ke-22. Adapun Thailand berada di urutan

ke-44.Namun, Indonesia setidaknya masih lebih

baik dari Filipina, yang berada di urutan ke-66.

Tabel 1 Rekapitulasi SDM Kesehatan yang

Didayagunakan Pada Fasilitas

Kesehatan di Indonesia

No. Jenis SDM

Kesehatan

Tahun

2010 2011 2012 2013

% % % %

1 Dokter Spesialis

1.67 2.50 3.86 4.35

2 Dokter Umum 5.05 5.01 5.28 4.74

3 Dokter Gigi 1.74 1.59 1.67 1.46

4 Perawat 33.88 34.82 33.29 33.12

5 Bidan 19.26 18.28 17.85 15.31

6 Kefarmasian 3.59 3.84 4.41 5.23

7 Tenaga Kesehatan Lainnya

12.95 15.06 13.84 14.04

8 Tenaga Non Nakes

21.81 18.85 19.76 21.72

TOTAL 100 100 100 100

Sumber: Bank Data SDM Kesehatan Badan

Pengembangan dan Pemberdayaaan SDM

Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013

Dari table 1.1 diperoleh gambaran

jumlah sumber daya manusia yang

didayagunakan pada fasilitas kesehatan di

Indonesia. Terjadi peningkatan setiap tahunnya

mulai 2010 sampai dengan tahun 2013 di semua

jenis sumber daya kesehatan. Namun adanya

penurunan apabila kita lihat jenis sumber daya

manusia di katagori perawat (33,29%), bidan

(17,85%), dan tenaga kesehatan lainnya (19,76%)

di tahun 2012.

Tabel 2 Rekapitulasi SDM Kesehatan di

Indonesia Berdasarkan Wilayah

No. Wilayah Jumlah (%)

1 Sumatera 235.643 26.36

2 Jawa dan Bali 436.990 48.88

3 Kep. Nusa Tenggara 35.729 4

4 Kalimantan 66.899 7.48

5 Sulawesi 84.555 9.46

6 Kep. Maluku 15.947 1.78

7 Papua 18.332 2.05

TOTAL 894.095 100

Sumber: Bank Data SDM Kesehatan Badan

Pengembangan dan Pemberdayaaan

SDM Kesehatan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, 2013

Berdasarkan Tabel 1.2 menyajikan data

yaitu persentase pesebaran sumber daya manusia

keshatan paling kecil di Kepulauan Maluku yaitu

sebersar 1,78% yang diikuti oleh Papua sebesar

2,05%. Sedangkan persentase pesebaran sumber

daya manusia kesehatan paling besar di wilayah

jawa dan bali sebesar 48,88%, hamper mencapai

separuh jumlah keseluruhan ketersedian sumber

daya manusia.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

71

Berikut adalah tujuan penelitian ini yaitu:

1. Tujuan umum dari penulisan makalah ini

adalah mengetahui seberapa besar CSR yang

dapat diberikan oleh sektor swasta dalam

rangka pembangunan jangka panjang sumber

daya tenaga kesehatan dan tenaga non

kesehatan untuk wilayah terpecil.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui keadaan kuantitas, kualitas,

dan distribusi tenaga kesehatan dan non

kesehatan di Puskesmas wilayah

terpencil.

b. Mengetahui potensi adanya kerja sama

antara pemerintah dan sektor swasta

dalam pembangunan sumber daya

manusia tenaga kesehatan dan tenaga

non kesehatan untuk wilayah terpecil.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Departemen Kesehatan RI

(2004), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di

suatu wilayah kerja, dijabarkan ke dalam 3 hal,

yaitu unit pelaksana teknis, pembangunan

kesehatan, pertanggungjawaban penyelenggaraan,

dan wilayah kerja

Perencanaan SDM baru dapat dilakukan

dengan baik dan benar jika informasi berikut ini

diperoleh (Hasibuan, 2006) yaitu job analysis,

organisasi, dan situasi persediaan tenaga kerja

Menurut Marimin, Tanjung, dan

Prabowo (2006), Sistem Informasi Sumber Daya

Manusia (SI-SDM) adalah suatu sistem yang

terdiri dari software dan hardware yang

dirancang untuk menyimpan dan memproses

semua informasi pegawai. Aplikasi SI-SDM

mempunyai peranan penting dalam menyiapkan

sumber daya manusia secara efektif dan efisien

melalui tersedianya informasi sumber daya

manusia yang cepat, lengkap, dan akurat.

Pembangunan atau pengembangan SIM-

SDM dalam suatu organisasi harus disesuaikan

dengan visi dan misi organisasi. Tujuan utama

dari pembangunan dan pengembangan SIM-SDM

haruslah dapat “memanusiakan” karyawan suatu

organisasi dengan cara memanfaatkan teknologi

informasi untuk membantu melaksanakan

aktivitas pekerjaan sehari-hari. Sebelum

mengembangkan atau mengganti sistem yang

baru, sistem lama yang ada harus dipahami dan

dikaji kekurangan dan kelebihannya (Marimin,

Tanjung, dan Prabowo, 2006).

Dalam membuat model SIM-SDM,

format umum yang digunakan sama dengan

subsistem input, database, dan subsistem output

yang telah digunakan di berbagai area fungsional

lain. Subsistem input merupakan kombinasi

standar dari pengolahan data, penelitian, dan

intelijen. Dalam banyak perusahaan, database

ditempatkan dalam penyimpanan komputer.

Subsistem output mencerminkan arus sumber

daya manusia dalam perusahaan.

Gambar 1. Model Sistem Informasi SDM

Secara teoritis, CSR dapat didefinisikan

sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan

terhadap para strategic-stakeholders-nya,

terutama pada komunitas atau masyarakat di

sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR

memandang perusahaan sebagai agen moral.

Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah

perusahaan harus menjunjung tinggi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

72

moralitas.Pada dasarnya belum ada definisi

tunggal tentang pengertian CSR itu sendiri

Pada akhirnya pelaksanaan CSR akan

bermanfaat bagi perusahaan, masyarakat,

pemerintah maupun bagi hubungan antara

perusahaan dan masyarakat. Manfaat CSR

bagi perusahaan antara lain sebagai penguatan

citra perusahaan, penguatan dukungan

masyarakat dan jaminan keamanan perusahaan.

Hasil survey The Millenium Poll on CSR (1999)

yang dilakukan oleh Enuironics International

(Toronto), Conference Board (New York) dan

Prince of Wales Business Leader Forum

(London) diantara 25.000 responden di 23 negara

menunjukkan bahwa dalam membentuk opini

tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa

etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak

terhadap lingkungan, tangung jawab sosial

perusahaan (CSR) akan paling berperan

sedangkan bagi 40% citra perusahaan dan brand

image yang akan paling mempengaruhi kesan

mereka hanya 1/3 yang mendasari opininya atas

faktor-faktor bsnis fundamental seperti faktor

finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan

atau manajemen. Lebih lanjut, sikap konsumen

terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan

CSR adalah ingin “menghukum” (40%) dan 50%

tidak akan membeli produk dari perusahaan yang

bersangkutan dan/ atau bicara kepada orang lain

tentang kekurangan perusahaan tersebut.

PEMBAHASAN

1. Keadaan Kuantitas dan Distribusi Tenaga

Kesehatan dan Non Kesehatan di

Puskesmas Wilayah Terpencil

Keadaan kualitas dan distribusi tenaga

kesehatan dan non kesehatan di Puskesmas

seluruh Indonesia, pada tabel 1, secara total

keseluruhan terdapat grafik peningkatan jumlah

pada tahun 2011 dan 2012 yaitu sebesar 15.118

jiwa. Apabila kita melihat jenis sumber daya

kesehatan terdapat peningkatan yang signifikan

pada tahun 2010 dan 2011 pada dokter spesialis

yaitu menjadi 2,5% dan pada tahun 2012 terjadi

peningkatan kembali menjadi 3,86%.

Jika melihat dari fungsi Puskesmas yaitu

penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,

pusat pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan

kesehatan strata pertama, maka dapat disimpulkan

bahwa inti dari tujuan pemerintah membangun

dan mengembangkan Puskesmas yaitu pada

wilayah preventif dan promotif, tanpa

meninggalkan fungsi kuratif dan rehabilitative.

Dapat kita lihat pada tabel 1, jumlah tenaga

kesehatan lainnya terjadi penurunan yaitu dari

15,06% menjadi 13,84%. Hal ini sangat berbeda

pada jenis tenaga kesehatan yang bertugas pada

ranah kuratif dan rehabilitative. Fokus pemerintah

dalam bidang kesehatan masih dalam ranah

kuratif dan rehabilitative.

2. Disparitas Kuantiatas dan Distribusi Tenaga

Tenaga Kesehatan dan Non Kesehatan di

Puskesmas Wilayah Terpencil

Dari table 2 dapat kita peroleh bila

Kepulauan Maluku berada pada prosentase

terendah dalam jumlah sumber daya manusia

keseahatan yaitu 1,78% dan disusul oleh Papua

sebesar 2,05%. Wilayah Jawa dan Bali

menduduki posisi pertama dalam jumlah sumber

daya manusia kesehatan yaitu 48,88%.

Apabila kita lihat dalam table 1.3,

Kepulauan Maluku terdiri dari Provinsi Maluku

dan Provinsi Maluku Utara, dengan karakteristik

yang tidak jauh berbeda terdapat perbedaan

jumlah yang besar yaitu Provinsi Maluku

memiliki 9.400 jiwa (1,05%) dan Provinsi

Maluku Utara memiliki 6.547 jiwa (0,7%).

Hal ini juga terjadi di wilayah Papua,

dari table 1.3 wilayah Papua terdiri dari Provinsi

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

73

Papua Barat dan Provinsi Papua, dengan

karakteristik yang tidak jaug berbeda terdapat

perbedaan yang signifikan yaitu Provinsi Papua

Barat memiliki 5.839 jiwa (0,65%) dan Provinsi

Papua memiliki 12.493 jiwa (1,39%)

Hal ini berbeda dengan jumlah tenaga

kesehatan yang berada di Wilayah Bali dan Jawa.

Untuk wilayah Kepulauan Jawa jumlah tenaga

kesehatan berjumlah 415,284 jiwa (46,45%) dan

Provinsi Bali 21.706 jiwa (2,42%). Untuk di

Kepualaun Jawa, jumlah tenaga kesehatan

terbesar berada di Provinsi Jawa Tenggah

sebanyak 111,204 jiwa (12,43%). Dari keterangan

diatas menunjukkan masih terjadi disparitas

ketersediaan sumber daya kesehatan di Indonesia.

3. Kerja Sama Pemerintah Daerah dengan

Perusahaan yang Memiliki Corporate Social

Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR)

sudah banyak dilakukan oleh organisasi berskala

nasional atau regional di Indonesi. Pemerintah

telah mengatur mekanisme CSR yang harus

dikeluarkan oleh perusahaan sebagai bentuk

tanggung jawab moral kepada lingkungan

sekitarnya. Bentuk program kegiatan CSR

disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar

sehingga manfaat program tersebut juga

dirasakan secara langsung oleh masyarakat dalam

tahap jangka pendek. Sebaiknya program CSR

yang dilakukan oleh perusahaan bersifat jangka

panjang dan melibatkan langsung masyarakat

sekitar agar program tersebut memiliki nilai lebih

di masyarakat.

CSR hanya merupakan sebuah stimulus

yang diberikan kepada masyarakat sekitar

sehingga mencapai tingkatan berdaya dalam

mengatasi masalah sosial dan non sosial di

wilayah tersebut. Diharapkan program CSR ini

akan membuat masyarakat di wilayah organisasi

tersebut dapat berdaya dan mandiri dalam

keberlangsungan program.

Berdasarkan jenis CSR, jiwa yang

dijunjung untuk meningkatkan kualitas sumber

daya manusia di bidang kesehatan yaitu motivasi

kewargaan. Semangat yang dijunjung yaitu terjadi

pencerahan sosial dan rekonsiliasi dengan

ketertiban sosial. Misinya yaitu mencari dan

mengatasi akar masalah dengan memberikan

kontribusi kepada masyarakat. Pengelolaan yang

dilakukan bersinergi dengan kebijakan

perusahaan. Sehingga manfaat yang didapat dari

program CSR dapat dirasakan oleh perusahaan

dan masyarakat secara luas.

Pemerintah daerah dalam proses

pengembangan sumber daya manusia di bidang

kesehatan terkendala oleh keterbatasan yang

dimiliki oleh organisasi. Seorang manager yang

memiliki jiwa kepemimpinan akan memikirkan

perencanaan sumber daya manusia dalam jangka

pendek, jangka menenga, dan jangka panjang.

Dapat ditetapkan target dalam setiap jangka

waktu yang telah dilakukan, antara lain :

a. Jangka waktu pendek yaitu program yang

memberikan manfaat secara langsung oleh

kedua belah pihak. Dalam program ini terjadi

interaksi dari masyarakat dan perusahaan

serta tersedianya layanan public yang sulit

diperoleh masyarakat. Contohnya adanya

beasiswa kepada murid di jenjang sekolah

dasar. Pemerintah dapat bekerja sama dengan

perusahaan untuk melaksanakan pelatihan

guna meningkatkan kualitas sumber daya

manusia sebagai strategi awal

penanggulangan ketersediaan sumber daya

manusia di bidang kesehatan.

b. Jangka waktu menengah yaitu program CSR

yang dirancang akan menciptakan

peningkatan kemampuan seseorang. Program

CSR disesuikan dengan gerakan preventif

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

74

dan promotif agar sesuai dengan fungsi

utama Puskesmas. Dalam program tersebut

terdapat kegiatan yang berkelanjutan dan

memberikan manfaat bagi lingkungan.

Contohnya pengembangan dan

pemberdayaan murid pemantau jetik malaria

pada tingkat sekolah dasar sampai dengan

sekolah menengah ke atas. Para murid yang

menjadi juru pemantau jentik malaria akan

membentuk jejaring di wilayah lainnya.

Keuntungan yang didapat akan langsung

dirasakan oleh pemerintah (Puskemas dan

sekolah negeri), perusahaan terkait, individu

bersangkutan, dan masyarakat.

c. Jangka waktu panjang yaitu adanya sinergi

dari pemerintah, perusahaan, dan masyarakat

dalam program CSR yang outcomenya dapat

dirasakan masyarakat. Contohnya adanya

program penjaringan siswa berprestasi yang

berminat di bidang kesehatan yang dapat

dimulai dari tingkat sekolah dasar untuk

mendapatkan beasiswa sampai dengan

pemenuhan job spesifikasi yang telah

dirancang oleh pemerintah, dalam hal ini

adalah Dinas Kesehatan setempat.

Pemerintah mendapatkan manfaat dalam

menjalin dan mendukung program CSR yang

dilaksanakan oleh pihak swasta. Tugas

menyelesaikan masalah sosial dan non sosial di

masyarakat dapat diatasi bersama dengan pihak

swasta. Tugas pemerintah untuk menciptakan

kesejahteraan bagi rakyatnya menjadi lebih

ringan dengan adanya partisipasi pihak swasta

(perusahaan) melalui kegiatan CSR.

CSR juga memberikan kontribusi positif

bagi hubungan antara perusahan dan

masyarakat. Pelaksanaan CSR diyakini dapat

meredam konflik antara perusahaan dan

masyarakat. Adanya kerja sama di antara dua

elemen tersebut akan membentuk komunikasi,

komitmen, dan sinergi untuk mengatasi masalah

yang terjadi di lingkungan.

Dalam pelaksanaannya perusahaan dapat

melakukan beberapa bentuk implementasi CSR

yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau

organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan

pihak lain (universitas atau media massa), dan

mendukung serta terlibat dalam konsorsium.

4. Pembangunan Sistem Informasi Sumber

Daya Manusia untuk Puskemas di

Wilayah Terpencil

Pelaksanaan CSR sebagai bentuk

tanggung jawab sosial sebuah perusahaan

terhadap lingkungan sekitarnya hanyalah sebagai

dari pendekatan proses manajemen yang terdiri

dari Input, Proses, dan Output. Dalam

pelaksanaan proses dibutuhkan kualitas data input

yang valid. Guna mendukung kebutuhan

mendasar tersebut pemerintah sebaiknya

melaksanakan sistem informasi sumber daya

manusia khusus untuk Puskesmas di wilayah

terpencil. Pemerintah pusat dan Pemerintah

daerah haruslah bersinergi dalam pemenuhan

utilitas yang terjadi pada sumber daya manusia di

bidang kesehatan.

Otonomi daerah ikut berperan dalam

keadaan yang ada saat ini, dikarenakan keputusan

apapun diserahkan kembali kepada wilayah

tersebut. Utilitas sumber daya manusia di bidang

kesehatan berbanding terbalik dengan adanya

kemampuan daerah untuk memberikan gaji yang

sesuai dengan standart yang telah ditetapkan.

Disparitas ketersediaan sumber daya manusia di

bidang kesehatan Indonesia sudah besar, sehingga

kebijakan yang dipilih dan diterapkan harusnya

dapat memperkecil jurang tersebut.

Sistem informasi sumber daya manusia

untuk Puskemas di wilayah terpencil haruslah

dimanajemen sama atau bahkan lebih baik

daripada wilayah lainnya. Kekhususan

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

75

karakterisrik wilayah terpencil ini harus membuat

para top manager baik di level Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia atau Dinas

Kesehatan kabupaten/kota membuat kebijakan

yang dapat diimplementasikan. Idelanya sumber

daya manusia yang didapatkan berasal dari

penduduk lokal wilayah terpencil tersebut.

Melalui program CSR yang diberikan oleh pihak

swasata dan dilakukan bersama maka akan

tercipta program pendidikan yang sesuai dengan

kebutuhan dimana informasinya didapatkan dari

sistem informasi yang berjalan baik.

internal dan sumbe internal haruslah

aktif dalam menghadapi perubahan data terkait

dengan sumber daya manusia. Sehingga data

tersebut dapat berproses menjadi informasi.

Ketersediaan data yang valid dan real

time, dapat mempermudah pengambil keputusan

menetapkan sebuah keputusan agar tujuan

organisasi dapat dicapai secara efektif dan

efesien.

Quality insurance dalam pelaksanaan

sistem informasi sebaiknya memiliki indikator

yang sensitife terhadap perubahan/kerusakan

yang terjadi sehingga meminimalisir kesalahan

proses.

Jurnal Kesehatan, Vol. 6, No. 2, September 2014

76

PENGARUH TERAPI MENULIS EKSPRESIF TERHADAP TINGKAT KECEMASAN SISWA KELAS XII MA RUHUL AMIN YAYASAN SPMMA (SUMBER PENDIDIKAN MENTAL AGAMA

ALLAH) TURI DI DESA TURI KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

Moh. Saifudin, M. Nur Kholidin

ABSTRAK

Remaja selalu dihadapkan pada beberapa tugas perkembangan yang secara bertahap memerlukan

persiapan psikologis maupun biologis. Individu yang tidak bisa menyesuaikan diri dan kurang bisa

mempersiapkan dirinya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun psikis tersebut

akan mengalami suatu „goncangan‟. Masalah kejiwaan yang dapat terjadi antara lain individu akan sering

diliputi kecemasan, stres bahkan sampai depresi oleh karena kecemasan yang tidak tertangani dan terus-

menerus. Oleh karena itu diperlukan penanganan serius untuk mengatasi kecemasan. Terdapat beberapa terapi

psikologis yang dapat digunakan, salah satunya adalah terapi menulis ekspresif.

Desain penelitian yang digunakan adalah Pre Eksperimen Design. Metode sampling yang digunakan

adalah Purposive Sampling. Besar sampelnya adalah 19 responden yaitu siswa kelas XII MA Ruhul Amin

Yayasan SPMAA Turi Lamongan Tahun 2014. Data diambil menggunakan kuesioner ZSAS pre dan post

intervensi terapi menulis ekspresif. Setelah ditabulasi data yang ada dianalisa menggunakan Wilcoxon Sign

Rank Test dengan tingkat kemaknaan 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecemasan pre intervensi adalah seluruh siswa mengalami

ansietas ringan sampai sedang atau 19 siswa (100%). Sedangkan hasil untuk tingkat kecemasan setelah

intervensi adalah Sebagian besar siswa dalam kategori normal atau tidak mengalami kecemasan atau 14 siswa

(73,7%) dan sebagian kecil siswa mengalami ansietas ringan sampai sedang atau 5 siswa (26,3%).

Hasil pengujian statistik diperoleh hasil terdapat pengaruh antara terapi menulis ekspresif terhadap

tingkat kecemasan siswa dengan nilai Z sebesar -3,472 dengan tingkat signifikan 0,000 (p <0,05).

Melihat hasil penelitian ini maka menulis ekspresif menjadi faktor penting yang harus diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari untuk menurunkan kecemasan seseorang.

Kata Kunci : Remaja, Kecemasan, Terapi Menulis Ekspresif, ZSAS

77

Pendahuluan

Masa remaja merupakan periode

peralihan antara masa kanak-kanak dan

dewasa sekaligus fase pencarian identitas diri

bagi remaja. Pada fase ini, remaja mengalami

banyak perubahan dalam berbagai aspek

kehidupan, diantaranya biologis, kognitif dan

psikososial yang biasa dikenal dengan istilah

pubertas. (Sarlito Wirawan Sarwono, 2007).

Sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam

diri remaja, mereka juga dihadapkan pada

tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada

masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui,

dalam setiap fase perkembangan, termasuk

pada remaja, individu memiliki tugas-tugas

perkembangan yang harus dipenuhi sebelum

melangkah ke tugas perkembangan fase

selanjutnya. Apabila tugas-tugas tersebut

berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan

tercapai kepuasan, kebahagiaan dan

penerimaan dari lingkungan. Begitu pula

sebaliknya, apabila individu tidak bisa

menyelesaikan tugas perkembangannya

dengan baik maka individu akan mengalami

kesulitan untuk memenuhi tugas

perkembangan berikutnya. Masalahnya,

seringkali remaja mengalami kesulitan dalam

menghadapi fase ini. Terdapat banyak hal

yang dapat menghambat dan mempersulit

individu dalam menyelesaikan tugas

perkembangannya, baik itu pada tahap

remaja awal, remaja madya, maupun remaja

akhir. Hambatan tersebut muncul karena

kurang siapnya individu dalam menerima

perubahan-perubahan yang terjadi, oleh

karena adanya ketidakseimbangan antara

perubahan fisik yang sangat cepat dengan

perubahan kejiwaan yang meliputi mental

dan emosional (Dzulkifli, 2009).

Hasil riset yang dilakukan Kemdikbud

pada tahun 2012 terhadap siswa SMA

sederajat di Indonesia yang akan menghadapi

UN menunjukkan sebagian besar peserta

ujian merasa cemas. Dari hasil survei

diketahui 21% siswa merasa biasa atau tidak

cemas, 56% merasa cemas dan yang merasa

sangat cemas ada 22% (Mohammad Nuh,

2012).

Berdasarkan hasil survei yang

dilakukan pada 21 November 2013 di MA

Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi

Lamongan ditemukan 6 dari 10 siswa

mengalami kecemasan. Sebanyak 5 siswa

mengalami cemas ringan sampai sedang,

sedangkan terdapat 1 siswa mengalami

cemas berat, dan selebihnya ditemukan 4

siswa dalam kategori normal atau tidak

mengalami kecemasan. Survei ini

menggunakan kuesioner skala Zung Self-

Rating Anxiety Scale (ZSAS) di mana subyek

diberi 20 pernyataan dan diminta untuk

memilih salah satu poin yang disediakan

(jarang sekali; kadang-kadang; beberapa kali;

sering/ hampir selalu). Skala ini

menitikberatkan pada 4 jenis manifestasi

ansietas yaitu aspek kognitif, otonomik,

motorik dan gejala sistem saraf pusat. Dari

data tersebut dapat disimpulkan bahwa masih

tingginya angka kecemasan remaja di MA

Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi

Lamongan.

78

Terdapat beberapa hal yang dapat

menyebabkan kecemasan. Wangmuba, 2009

menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi kecemasan seseorang

meliputi (1) Usia dan tahap perkembangan;

(2) Lingkungan; (3) Pengetahuan; (4) Peran

keluarga; (5) Emosional atau psikologis.

Pertama adalah faktor usia, umur

merupakan periode terhadap pola-pola

kehidupan yang baru, yang memegang

peranan penting dalam memenuhi tugas

perkembangan yang akan mempengaruhi

dinamika kecemasan seseorang. Kedua

adalah faktor lingkungan, lingkungan

merupakan kondisi yang ada di sekitar

manusia yang dapat mempengaruhi perilaku

yang melibatkan faktor internal maupun

faktor eksternal. Lingkungan yang kurang

kondusif akan meningkatkan resiko

kecemasaan pada seseorang. Selanjutnya

yakni faktor pengetahuan, tanpa pengetahuan

dan pengalaman yang memadai, individu

tidak akan memiliki fondasi yang kuat untuk

menghadapi masalah-masalah psikis,

termasuk kecemasan.

Faktor ke-empat yakni peran keluarga,

pola asuh yang salah, penelantaran anak dan

penyampaian informasi yang kurang edukatif

seringkali memicu remaja untuk bersikap

memberontak dan menjadi pribadi yang

kehilangan jati dirinya yang secara tidak

langsung individu akan menjadi labil dan

sering mengalami kecemasan. Yang terakhir

adalah faktor emosional, di sini jelas bahwa

selain fisik, kondisi psikis sendiri berperan

besar terlebih dengan adanya perubahan-

perubahan yang dialami pada masa pubertas

individu membutuhkan keseimbangan

emosional dan mental.

Ansietas merupakan gejala normal

pada manusia dan disebut patologis bila

gejalanya menetap dalam jangka waktu

tertentu dan mengganggu homeostasis

individu, karena itu perlu segera dihilangkan

dengan berbagai macam cara penyesuaian

(Maramis, 2005). Menurut Atkinson, dalam

Fitriani, 2010 ada dua cara untuk mengatasi

kecemasan, yaitu pertama dengan

menitikberatkan masalah, individu menilai

situasi yang dapat menimbulkan kecemasan

dan melakukan sesuatu untuk mengubah atau

menghindarinya. Kedua, dengan

menitikberatkan emosi, individu berusaha

mereduksi perasaan cemas melalui berbagai

cara dan tidak secara langsung menghadapi

masalah yang menimbulkan kecemasan itu.

Sehingga untuk mengatasi perasaan cemas

yang dapat dialami oleh siapa saja dalam

situasi tertentu, individu tersebut tentunya

mempunyai kemampuan untuk mengatasinya

sendiri.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk

mengurangi kecemasan. Salah satunya

dengan pendekatan emosional, termasuk

dengan menulis pengalaman emosional.

Menulis pengalaman emosional atau terapi

menulis ekspresif telah menjadi kajian yang

menarik pada dua dekade belakangan ini.

King, dalam Siswanto 2006 menyebutkan

bahwa emosi positif membuat individu

merasa aman dan terpuaskan.

79

Emosi positif juga memainkan peran

penting yang membantu fungsi individu

dalam relasi sosial sehingga lebih dapat

beradaptasi. Menulis berbeda dengan

berbicara. Terapi menulis ekspresif

dipandang sebagai terapi yang memiliki

kekuatan tersendiri karena menulis adalah

suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area

pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat

dijadikan sebagai suatu sarana untuk

berkomunikasi dengan diri sendiri dan

mengembangkan suatu pemikiran serta

kesadaran akan suatu peristiwa (Bolton,

2004).

Tujuan dari penelitian di atas adalah

untuk mengetahui pengaruh terapi menulis

ekspresif terhadap penurunan tingkat

kecemasan pada siswa kelas XII MA Ruhul

Amin Yayasan SPMAA Turi Lamongan.

Metode Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah analitik

komparasi dengan pendekatan Pre-

Eksperimen (One-Group Pretest-Posttest

Design). Populasi penelitian ini seluruh siswa

kelas XII MA Ruhul Amin SPMAA Turi di Desa

Turi Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan

tahun 2014 sebesar 31 siswa, sedangkan

sampel penelitian adalah sebagian siswa

kelas XII MA Ruhul Amin SPMAA Turi

Lamongan yang memenuhi criteria inklusi

dengan besar sampel 19 responden.

Variabel independen penelitian ini adalah

terapi menulis ekspresif, sedangkan variabel

dependennya adalah tingkat kecemasan

siswa kelas XII MA Ruhul Amin SPMAA Turi

Lamongan. Pengumpulan data penelitian

menggunakan teknik observasi dengan

mengukur tingkat kecemasan menggunakan

kuesioner ZSAS (Zung Self-Rating Anxiety

Scale) sebelum dan setelah intervensi

menulis ekspresif. Analisis penelitian

menggunakan uji Wilcoxon Signed Test.

Hasil Penelitian 1. Data Umum 1) Karakteristik Siswa (1) Distribusi Berdasarkan Umur Tabel 1. Karakteristik Siswa Berdasarkan Umur

di MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA

Turi di Desa Turi Kecamatan Turi

Kabupaten Lamongan Pada Tahun 2014

(2) Distribusi Berdasarkan Tempat Tinggal siswa

Tabel 2. Distribusi Siswa Berdasarkan Tempat

Tinggal di MA Ruhul Amin SPMAA

Turi di Desa Turi Kecamatan Turi

Kabupaten Lamongan Pada Tahun

2014

No Umur Frekuensi %

1 16 1 5,3

2 17 2 10,5

3 18 14 73,7

4 19 2 10,5

Jumlah 19 100

No Tempat Tinggal Frekuensi %

1 Rumah 3 15,8

2 Yayasan 16 84,2

Jumlah 19 100

80

2. Data Khusus

1) Tingkat Kecemasan Siswa Pre Intervensi

Tabel 3. Distribusi Siswa Berdasarkan

Tingkat Kecemasan pre intervensi di MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA

Turi di Desa Turi Kecamatan Turi

Kabupaten Lamongan Pada Tahun 2014.

No Tingkat

Kecemasan

Frekuensi %

1 Normal 0 0

2 Ringan-sedang 19 100

3 Berat 0 0

4 Sangat Berat 0 0

Jumlah 19 100

2) Tingkat Kecemasan Siswa Post

Intervensi

Tabel 4. Distribusi Siswa Berdasarkan

Tingkat Ansietas post intervensi di

MA Ruhul Amin SPMAA Turi di Desa Turi Kecamatan Turi

Kabupaten Lamongan Pada Tahun

2014.

3) Tabel Silang Tingkat Kecemasan Siswa

Pre-Post Intervensi

Tabel 5. Tabel Silang Pengaruh Pre dan Post Eksperimen Terapi Menulis Ekspresif Terhadap Tingkat Kecemasan pada Siswa Kelas XII MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi Desa Turi Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan Pada Tahun 2014

Berdasarkan tabel 5. di atas menunjukkan bahwa sebelum diberikan intervensi seluruh siswa mengalami kecemasan ringan sampai sedang atau 19 siswa (100%) sedangkan setelah diberikan intervensi sebagian besar siswa tidak mengalami

kecemasan atau sebesar 14 siswa (73,7%) dan

sebagian kecil siswa mengalami kecemasan

ringan sampai sedang (26,3%). Hasil uji statistik

Wilcoxon Sign Rank Test, menunjukkan nilai

signifikansi (p sign = 0,000) dimana hal ini berarti p sign < 0,05 sehingga H1 diterima artinya

terdapat pengaruh terapi menulis ekspresif

terhadap tingkat kecemasan. Pada tabel 4.3 (pre

intervensi) di atas menunjukkan bahwa dari 19

siswa, seluruh siswa mengalami ansietas ringan

sampai sedang atau 100%. Sedangkan sesudah

pemberian perlakuan menulis ekspresif sesuai

tabel 4.4 menunjukkan sebesar 14 siswa tidak

mengalami kecemasan atau sebesar 73,7%

sedangkan sisanya adalah 5 orang masih

mengalami ansietas ringan sampai sedang atau

26,3%.

Pembahasan

1. Tingkat Kecemasan Siswa Pre Intervensi

Berdasarkan tabel 3 di atas menunjukkan

bahwa dari 19 siswa (100%) semuanya

mengalami ansietas ringan sampai sedang atau

sebesar 100%. Sedangkan pada tabel 4.1

menunjukkan bahwa dari 19 siswa (100%),

sebagian besar siswa berumur 18 tahun atau

sebesar 14 siswa (73,7%) dan sisanya adalah

sebagian kecil berumur 17 tahun atau sebesar 2

siswa (10,5%), 19 tahun atau sebesar 2 siswa

(10,5%) dan 16 tahun atau sebesar 1 siswa

(5,3%). Pada tabel 4.2 menunjukkan dari 19 siswa

No Tingkat

Ansietas

Frekuensi %

1 Normal 14 73,7

2 Ringan-sedang 5 26,3

3 Berat 0 0

4 Sangat Berat 0 0

Jumlah 19 100

Karakteristik

Pre Eksperimen Post Eksperimen

No

Tingkat Kecemasan (ZSAS)

Freq % Freq %

1 Normal 0 0 14 73,7

2 Ringan- sedang

19 100 5 26,3

3 Berat 0 0 0 0

4 Sangat Berat 0 0 0 0

Jumlah 19 100 19 100

Asygmp sig 2 tailed (p) = 0.000

Z = -3,742α

81

(100%) hampir seluruhnya siswa tinggal di

Yayasan atau 16 siswa (84,2%) dan sisanya

sebagian kecil atau sebesar 3 siswa (15,8%)

tinggal di rumah.

Sesuai dengan hasil penelitian diketahui

bahwa umur siswa sebagian besar adalah 18

tahun atau sebesar 14 siswa (73,7%) sehingga

dapat dikategorikan dalam remaja lanjut (Late

Adolescent). Pada masa ini, mulai tumbuh tanda-

tanda kedewasaan antara lain adalah adanya

peningkatan minat terhadap fungsi-fungsi intelek,

egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara

kepentingan diri sendiri dengan orang lain dan

identitas seksual yang telah menetap. Namun

perlu diketahui juga bahwa semakin tinggi umur

remaja maka semakin berat pula tugas

perkembangan yang harus dijalani. Sedangkan

berdasarkan fakta di lapangan diketahui bahwa

setiap program kegiatan yang dijalankan di

SPMAA dibagi berdasarkan kelas dan umur, jenis

kelamin dan tingkat keimanan (program ABC).

Selain itu terdapat program penugasan utama

(dakwah dan penyebaran Islam) yang dilakukan

dari kota ke kota, pulau ke pulau secara

perorangan atau individu. Misalnya, santri A yang

diikutkan program penugasan tingkat pertama

harus berumur 15 ke atas dan telah menguasai

ilmu mental agama Allah (sekitar 3 tahun masa

pendidikan) untuk ditempatkan di kota kecil

terlebih dahulu sebelum ke luar pulau nantinya,

demikian tugas dilakukan secara

berkesinambungan sesuai dengan jadwal dan

tempat sasaran. Lalu secara bertahap dengan

semakin bertambahnya umur, maka visi dan misi

yang dijalankan oleh Yayasan mulai diterapkan

oleh individu. Siswa yang berumur 18 tahun

hampir seluruhnya telah menjalani program

penugasan baik di kota maupun di luar pulau

sehingga remaja sudah kenyang akan

pengalaman/ pengetahuan sosial, budaya, spiritual

dan peradaban masyarakat satu dengan

masyarakat lainnya. Dalam hal ini dapat

disimpulkan bahwa siswa yang berumur 18 tahun

dapat mempengaruhi tingkat kecemasannya

karena semakin tinggi usia remaja maka semakin

berat pula tugas perkembangan yang harus

dilaluinya.

Selain umur, terdapat beberapa faktor lain

yang dapat mempengaruhi kecemasan siswa yaitu

lingkungan (tempat tinggal). Berdasarkan fakta

diketahui bahwa hampir seluruhnya siswa tinggal

di Yayasan yang tentunya membuat aktivitas

siswa berbeda dengan di rumah. Di Yayasan ini

terdapat kegiatan keseharian yang wajib

dilakukan, kegiatan ini secara umum bersifat

dicipliner dan semi militer namun Islami, dimulai

dari bangun pagi (02.00 dini hari), sebelumnya

tiap ketua kelompok harus memeriksa dan

mengabsen anggotanya yang hadir (terdapat

hukuman khusus bagi siswa yang tidak hadir atau

terlambat), siswa wajib melakukan shalat

Tahajjud berjama‟ah dan shalat sunnah lain lalu

dilanjutkan shalat Shubuh. Setelah itu siswa

diwajibkan mengikuti pengajian dan membaca

Al-qur‟an sampai matahari menjelang dilanjutkan

dengan shalat Dzuha bejama‟ah. Setelah itu siswa

dikumpulkan ditengah lapangan layaknya tentara

militer dan tiap anggota kelompok melapor

kepada pembina sesuai dengan kelengkapan

anggotanya, bila terdapat satu anggota belum

hadir atau terlambat maka satu kelompok tersebut

belum diberikan ijin untuk sarapan pagi sampai

hukuman siswa tersebut selesai. Kegiatan di siang

hari antara lain bercocok tanam, bekerja dan

bersekolah sesuai umur dan status. Selain itu

terdapat kegiatan lain antara lain puasa sunnah

Senin-Kamis dan puasa Dawud.

Berbagai kegiatan religius tersebut dilakukan

lagi di petang hari sampai menjelang tidur

(sekitar pukul 10.00). Di sini jelas secara tidak

82

langsung tempat tinggal dapat membuat peran

keluarga menjadi sangat terbatas dan dapat dilihat

bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kondisi

mental individu yang dapat meningkatkan

kecemasan. Selain faktor tersebut, pengetahuan

juga dapat mempengaruhi kondisi mental

individu. Secara umum, siswa kelas XII dianggap

menguasai materi pendidikan pokok ditambah

lagi pengetahuan agama yang disisipkan pada tiap

pelajaran dan kegiatan dapat menambah wawasan

siswa dalam aspek kognitif dan kehidupan secara

umum sehingga dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan siswa luas dianggap kurang

berpengaruh untuk meningkatkan kacemasan

individu.

Sesuai dengan teori Wangmuba, 2009 di atas

semakin memperkuat bahwa umur (tahap

perkembangan), lingkungan (tempat tinggal),

peran keluarga, pengetahuan (yang kurang) dan

kondisi psikologis merupakan faktor penting yang

dapat mempengaruhi kecemasan remaja. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa antara remaja

selalu identik dengan kecemasan begitu pula

sebaliknya (saling mempengaruhi satu sama lain).

2. Tingkat Kecemasan Siswa Post Intervensi

Pada tabel 4. menunjukkan dari 19 siswa

yang telah diberikan intervensi menulis ekspresif,

sebagian besar siswa tidak mengalami kecemasan

atau sebesar 14 siswa (73,7%) dan sebagian kecil

masih mengalami kecemasan ringan sampai

sedang (25-24) atau sebesar 5 siswa (26,3%).

Kecemasan merupakan periode singkat

perasaan gugup atau takut yang dialami seseorang

ketika dihadapkan pada pengalaman yang sulit

dalam kehidupan (Greenperger & Padesky,

2004). Selain karena faktor umur, lingkungan dan

kondisi emosional yang labil, kecemasan juga

dapat timbul dari pengalaman yang sulit dalam

kehidupan. Namun hal tersebut justru dapat

dibalik atau kecemasannya dapat menurun bila

apa yang dirasakan, pengalaman yang diingat

tersebut dituangkan dalam tulisan yang dikenal

dengan menulis ekspresif.

Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis

memiliki kekuatan tersendiri karena menulis

adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area

pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat

dijadikan sebagai suatu sarana untuk

berkomunikasi dengan diri sendiri dan

mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran

akan suatu peristiwa (Bolton, 2004). Tindakan

menulis merupakan kerja otak bagian kiri, yang

bersifat analitis dan rasional. Ketika otak kiri

sedang aktif, otak kanan menjadi bebas untuk

berkreasi, menjadi intuitif dan merasakan,

sehingga menulis memindahkan hambatan mental

dan memungkinkan orang untuk menggunakan

semua kekuatan otak untuk memahami diri

sendiri, orang lain dan dunia sekitar dengan lebih

baik. Beberapa keuntungan menulis, seperti

mengklarifikasi pikiran-pikiran dan perasaan-

perasaan mengetahui diri sendiri dengan lebih

baik, menurunkan tekanan karena menulis

mengenai kemarahan, kesedihan dan emosi lain

yang menyakitkan, serta membantu melepaskan

intensitas perasaan-perasaan tersebut,

memecahkan masalah dengan lebih efektif karena

umumnya masalah dapat dipecahkan melalui otak

kiri, tetapi kadang-kadang hanya dapat ditemukan

dengan menggunakan otak kanan yang bersifat

kreatif dan intuitif. Selain itu CBT (Cognitive

Behaviour Therapy) diketahui sebagai terapi yang

memfokuskan individu/ pasien untuk melihat

dirinya sendiri dengan cara yang berbeda. Dengan

menulis pengalaman emosional, individu dapat

menggali sisi kepribadian positive yang selama

ini tersembunyi atau dihalangi oleh mindset yang

keliru dengan sendirinya melalui pikiran yang

83

dituliskan atau ungkapan-ungkapan emosional

(Siswanto, 2007).

Sesuai dengan fakta yang didapat bahwa

sebagian besar siswa tidak mengalami kecemasan

atau sebesar 14 siswa (73,7%) setelah dilakukan

terapi menulis ekspresif kurang lebih satu jam

(sesuai petunjuk). Menulis ekspresif dapat

menggali potensi negatif dari perasaan yang

memberikan pemahaman baru terhadap beberapa

persepsi yang ada dalam pikiran individu

sehingga memungkinkan individu mampu

menguasai mekanisme koping yang digunakan

untuk mengurangi tingkat kecemasan. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa menulis

ekspresif secara efektif mempunyai pengaruh

dalam menurunkan kecemasan remaja.

3. Pengaruh Terapi Menulis Ekspresif terhadap

Tingkat Kecemasan Pada Siswa

Sesuai tabel 4. terdapat perbedaan ansietas

sebelum dan sesudah diberikan intervensi, di

mana dari 19 siswa sebelum intervensi semua

responden mengalami ansietas ringan sampai

sedang atau 100%, setelah diberi perlakuan

menulis ekspresif sebagian besar siswa tidak

mengalami kecemasan atau sebesar 14 siswa

(73,7%) dan sisanya sebagian kecil siswa

mengalami ansietas ringan sampai sedang (25-44)

atau sebesar 5 siswa (26,3%.).

Berdasarkan data yang didapat bahwa

sebagian besar siswa sebelum diberikan

intervensi adalah mengalami ansietas ringan

sampai sedang. Ansietas ringan dapat dilihat dari

perasaan individu bahwa ada sesuatu yang

berbeda dan membutuhkan perhatian khusus.

Stimulasi sensori meningkat dan membantu

individu memfokuskan perhatian untuk belajar,

menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak,

merasakan dan melindungi dirinya sendiri. Pada

tingkat ansietas ini individu dapat memproses

informasi, belajar dan menyelesaikan masalah.

Pada kenyataannya, tingkat ansietas ini

memotivasi pembelajaran dan perubahan

perilaku. Selain ansietas ringan, siswa juga ada

yang mengalami ansietas sedang. Ansietas sedang

merupakan perasaan yang mengganggu bahwa

ada sesuatu yang benar-benar berbeda, individu

menjadi gugup atau agitasi. Pada tingkat ansietas

ini individu dapat memproses informasi, belajar

dan menyelesaikan masalah. Ketrampilan kognitif

masih mendominasi tingkat ansietas ini (Stuart

Gail W, 2006).

Terapi menulis adalah suatu aktivitas

menulis yang mencerminkan refleksi dan ekspresi

klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti

dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004).

Pusat dari terapi menulis lebih pada proses

selama menulis daripada hasil dari menulis itu

sendiri sehingga penting bahwa menulis adalah

suatu aktivitas yang personal, bebas kritik dan

bebas dari aturan bahasa seperti tata bahasa,

sintaksis dan bentuk (Bolton, 2004).

Penelitian ini dilakukan di alam terbuka

(Ruang Gazzebo) dengan tujuan kenyamanan dan

keheningan sehingga memungkinkan siswa untuk

dapat memaksimalkan indranya terhadap apa

yang peneliti sampaikan. Pada penelitian ini

peneliti menyiapkan beberapa instrumen

diantaranya 19 buku tulis, 19 bolpoin dan

instrumen pengukur ZSAS (Zung Scale Anxiety

Scale) sebanyak 2 x 19 lembar kuesioner. Agar

berjalan maksimal, dalam melakukan terapi ini

terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan

siswa. Setelah mengisi kuesioner ZSAS (sebelum

intervensi), peneliti memastikan bahwa situasi

tempat terapi tenang dan nyaman. Tahap pertama

adalah melakukan terapi meditasi, memposisikan

siswa berbaris rapi dengan kaki duduk menyilang

dan tubuh badan tegap. Selanjutnya siswa diminta

untuk memejamkan mata sekitar 15 menit, selama

84

itu pula peneliti mulai mengarahkan siswa untuk

menulis secara ekspresif dengan tujuan awal

untuk merilekskan tubuh dan pikiran individu

(membacakan panduan sesuai teori).

Tahap kedua setelah membuka mata, siswa

dipersilahkan untuk menulis pengalaman

emosional sesuai petunjuk (dilakukan sekitar 45

menit). Saat menulis, hal yang penting adalah

adanya perubahan ekspresi wajah dan hasil dari

tulisan itu sendiri (secara obsevatif peneliti

mendapati terdapat beberapa siswa menghabiskan

waktu untuk menulis lebih dari waktu ketentuan).

Setelah terapi selesai siswa diberikan waktu

istirahat dan diminta mengisi kuesioner yang

kedua.

Berdasarkan data diketahui bahwa tingkat

kecemasan siswa sebelum intervensi dari 19

siswa seluruhnya atau sebesar 19 siswa (100%)

mengalami ansietas ringan sampai sedang

dibandingkan dengan tingkat kecemasan post

intervensi yakni sebagian besar 14 siswa (73,7%)

dalam kategori normal atau tidak mengalami

kecemasan dan sebagian kecil hanya 5 siswa

(26,3%) menunjukkan bahwa terapi menulis

ekspresif mempunyai peran efektif dalam

menurunkan kecemasan remaja. Berdasarkan

hasil uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test,

menunjukkan nilai signifikansi (p sign = 0,000)

dimana hal ini berarti p sign < 0,05 sehingga H1

diterima artinya terdapat pengaruh terapi menulis

ekspresif terhadap tingkat kecemasan yang

dialami siswa kelas XII MA Ruhul Amin. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat

pengaruh antara terapi menulis ekspresif terhadap

tingkat kecemasan pada siswa kelas XII MA

Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi Lamongan.

Kesimpulan Dan Saran

1. Kesimpulan

1) Seluruh siswa kelas XII MA Ruhul Amin

Yayasan SPMAA Turi Lamongan sebelum

diberikan intervensi mengalami ansietas

ringan sampai sedang.

2) Sebagian besar siswa kelas XII MA Ruhul

Amin Yayasan SPMAA Turi Lamongan

setelah diberikan intervensi adalah tidak

mengalami kecemasan (normal) dan sebagian

kecil mengalami ansietas ringan sampai

sedang.

3) Terdapat pengaruh terapi menulis ekspresif

terhadap tingkat kecemasan pada siswa kelas

XII MA Ruhul Amin Yayasan SPMAA Turi

Lamongan.

2. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka

peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai

berikut:

1) Bagi Keperawatan

Hendaknya perawat dapat menerapkan

konsep menulis ekspresif dalam memberikan

pelayanan keperawatan psikologis kepada pasien

2) Bagi Yayasan

Hendaknya Yayasan atau pengurus lebih

dapat menerapkan terapi menulis ekspresif

sebagai alternatif dalam menurunkan kecemasan

dalam kegiatan sehari-hari kepada siswa-

siswanya di lapangan

3) Bagi Pendidikan

Hendaknya lembaga dan pendidik lebih dapat

memasukkan konsep menulis ekspresif dalam

kegiatan belajar mengajar pada siswa-siswanya

4) Bagi Remaja

Hendaknya remaja dapat menerapkan terapi

menulis ekspresif sebagai alternatif dalam

menurunkan kecemasan atau masalah kejiwaan

sehari-hari.

5) Peneliti Lain

85

Untuk lebih cermat dan lebih baik dalam

melakukan penelitian khususnya tentang

pengaruh terapi menulis ekspresif terhadap

tingkat kecemasan. Selain untuk kecemasan,

menulis ekspresif juga dapat memberikan

pengaruh terhadap masalah mental yang lain.

Daftar Pustaka

A. Aziz Alimul Hidayat. (2007). Riset

Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah.

Jakarta: Salemba Medika.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT

Rineke Cipta.

Asmita, Davit. (2013). Psikoterapi.

http://davitsasmita.blogspot.com/

2013/03/psikoterapi.html. Diakses : 26

November 2013

Hurlock, Elizabeth. (2004). Psikologi

Perkembangan.Edisi keempat Jakarta :

Erlangga.

Iyus Yosep. (2010). Keperawatan Jiwa. Bandung:

Refika Aditama.

Junaidi. (2012). Desain Penelitian Pra

Eksperimen. http://samoke2012.

wordpress.com/2012/09/28/desain-

penelitian-pra-eksperimen/. Diakses : 4

Desember 2014

Lia. (2013). Remaja dan Pubertas.

http://liahardianti.wordpress.com/ 2013/01/26/remaja-dan-pubertas/. Diakses :

9 November 2013.

Na‟im, N.J. (2010). Hubungan Dukungan

Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Ibu

Primipara Menghadapi Persalinan di

Puskesmas Pamulang Kota Tangerang

Selatan. Jakarta: Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi

Penelitian Kesehatan. Edisi. Rev. Jakarta :

PT Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep & Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.

Russicko (2001). Masalah Kesehatan Mental

Remaja. http://www.remaja .asp.com.

Diakses : 6 November 2013.

Rosyidi, Imron. (2009). Mengenal Terapi

Kognitif. http://www.imron46.blogspot.com.

Diakses : 13 November 2013

Sarwono, Sarlito (2007). Psikologi Remaja.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental: Konsep,

Cakupan dan Perkembangannya. Jakarta:

Andi Publisher

Soetjiningsih (2004). Tumbuh Kembang Remaja

dan Permasalahannya. Jakarta: CV. Agung

Seka

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan.

Bandung: Alfabeta

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Stuart Gail W (2006). Buku Saku Keperawatan

Jiwa. Jakarta: EGC

Susanti, F. K. (2008). Menuju Akil Balig. Jakarta:

Sunda Kelapa Pustaka

Susilowati, T.G., & Hasanat, N. Pengaruh Terapi

Menulis Pengalaman Emosional terhadap

Penurunan Depresi pada Mahasiswa Tahun

Pertama di Universitas Gadjah Mada.

http://www.terapimenulispdf.com. Diakses :

11 November 2013.

Yusuf, S., Nurihsan, J. (2007). Teori

Kepribadian. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

86

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK

STIMULASI PERSEPSI HALUSINASI TERHADAP KEMAMPUAN

PASIEN SKIZOFRENIA DALAM MENGONTROL HALUSINASI

DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT JIWA MENUR

SURABAYA

Dya Sustrami, Sri Sundari

Staf Dosen Stikes Hang Tuah Surabaya

ABSTRACT

Group Activity stimulation therapy is the client's perception perceives the stimulus provided by trained

or experienced stimulus. The goal is to help control hallucinations in schizophrenic patients. The purpose of the study to analyze the effectiveness of group therapy activity stimulation hallucinatory perception of the

ability of schizophrenia patients to control hallucinations. Pre-experimental research design with the design of

one group pretest-posttest.

The population of schizophrenia patients with hallucinations in Flamboyan Room Mental Hospital Menur

Surabaya.Teknik probability sampling sampling by 8 patients who met the inclusion criteria on the date of

December 13 to 17, 2013. Direct observation data collection.

Data were analyzed with the Cochran Q test. The results of the study there was a difference in the

patient's ability to recognize and rebuke hallucinations, before and after stimulation perception Therapy

Group Activity hallucinations. Cochran's Q statistic test showed p value = 0.000 <α = 0.05 means statistically

no difference level of ability before and after stimulation perception Therapy Group Activity hallucinations.

The implication of this research is the perception stimulation therapy group activity is great hallucinations in patients with schizophrenia nursing problems hallucinations changes in sensory perception.

Key words : Therapy Group Activity stimulation perception hallucinations, Schizophrenia

ABSTRAK Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi adalah klien dilatih mempersepsikan stimulus yang

disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Tujuannya membantu pasien skizofrenia dalam mengontrol

halusinasi. Tujuan penelitian untuk menganalisis efektifitas Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi

halusinasi terhadap kemampuan pasien skizofrenia dalam mengontrol halusinasi.

Desain penelitian pre eksperimental dengan rancangan one group pretest-postest. Populasi pasien

skizofrenia dengan halusinasi di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.Teknik sampling

Probability sampling sebanyak 8 pasien yang memenuhi kriteria inklusi pada tanggal 13 – 17 Desember 2013.

Pengumpulan data observasi langsung. Data dianalisa dengan uji Q Cochran.

Hasil penelitian ada perbedaan kemampuan pasien dalam mengenal dan menghardik halusinasi,

sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Uji statistik Q

Cochran menunjukkan nilai p value = 0,000 < α = 0,05 artinya secara statistik ada perbedaan tingkat

kemampuan sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Implikasi penelitian ini adalah Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi sangat bagus

dilakukan pada pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan perubahan persepsi sensori halusinasi.

Kata kunci : Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi, pasien skizofrenia

87

Pendahuluan

Halusinasi sering diidentifikasikan

dengan skizofrenia karena seluruh pasien

skizofrenia 70% diantaranya mengalami

halusinasi. Halusinasi adalah salah satu gangguan

jiwa dimana pasien mengalami perubahan

persepsi sensori tentang suatu obyek, gambaran

dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya

rangsangan dari luar meliputi suara dan sistem

penginderaan (Fitria, N., 2009 : 49-50).

Gangguan-gangguan halusinasi pada pasien

skizofrenia yang sering terjadi adalah pasien

bicara sendiri, mata melihat kekanan-kekiri,

sering tersenyum sendiri dan sering mendengar

suara-suara. Pasien halusinasi terkadang tiba-tiba

melakukan perilaku kekerasan seperti mengamuk

dan memukul orang yang tidak dikenal

dilingkungan sekitar sehingga orang-orang yang

tidak tahu apa-apa menjadi korban dari persepsi

halusinasi yang dirasakan. Terapi aktifitas

kelompok merupakan salah satu terapi modalitas

yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien

yang mempunyai masalah keperawatan yang

sama. Aktifitas digunakan sebagai terapi dan

kelompok digunakan sebagai target asuhan. Di

dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang

saling bergantung, saling membutuhkan, dan

menjadi laboratorium tempat klien berlatih

perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki

perilaku lama yang maladaptif (Keliat, B.A dan

Akemat, 2012 : 1).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar

2010 ada 11,6% penduduk Indonesia yang

berusia diatas 15 tahun mengalami gangguan

mental atau berkisar 19 juta penduduk (Post,

2012). Hasil laporan periode bulan Januari

sampai bulan September 2013, pasien yang

dirawat di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa

Menur Surabaya, dari 272 pasien yang dirawat

terdapat 128 pasien mengalami gangguan

persepsi sensori: halusinasi, 118 pasien perilaku

kekerasan, 16 pasien menarik diri, 8 pasien

waham dan 2 pasien harga diri rendah.

Halusinasi terjadi sebagai respons

metabolisme terhadap stres yang menyebabkan

terlepasnya zat halusinogenik neurotik

(buffofenon dan dimethytransferase). Halusinasi

juga merupakan respons pertahanan ego untuk

melawan rangsangan dari luar yang mengancam

dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

Beberapa tahap terjadinya halusinasi adalah

Tahap I (Non psikotik) dengan ciri pasien

mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah,

dan ketakutan. Tetapi pikiran dan pengalaman

sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.

Biasanya pasien tersenyum atau tertawa sendiri.

Menggerakkan bibir tanpa suara. Pergerakan mata

yang cepat, respon verbal lambat, diam,

berkonsentrasi. Tahap II (Non psikotik), pasien

bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat

kecemasan berat. Karakteristik yang muncul,

mulai merasa kehilangan kontrol, menarik diri

dari orang lain, perhatian terhadap lingkungan

menurun. Tahap III (Psikotik) pasien biasanya

tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat

kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat

ditolak lagi. Perilaku yang muncul: pasien

menuruti perintah halusinasi, sulit berhubungan

dengan orang lain, perhatian terhadap lingkungan

sedikit atau sesaat. Tahap IV (Psikotik) pasien

sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan

biasanya pasien terlihat panik. Perilaku yang

muncul pada pasien halusinasi adalah resiko

tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan

lingkungan.Tidak mampu merespons rangsangan

yang ada. Timbulnya perubahan persepsi sensori

halusinasi biasanya diawali dengan seseorang

yang menarik diri dari lingkungannya karena

1

88

orang tersebut menilai dirinya rendah (Fitria, N. ,

2012 : 56-58).

Terapi aktifitas kelompok stimulasi

persepsi: halusinasi merupakan upaya untuk

membantu pasien dalam mengontrol halusinasi.

Pasien dilatih mempersepsikan stimulus yang

disediakan atau stimulus yang pernah dialami.

Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan

ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini

diharapkan respons pasien terhadap berbagai

stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif.

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas

pelaksanaan Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi

persepsi: halusinasi dengan kemampuan pasien

mengontrol halusinasi.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kemampuan pasien

mengontrol halusinasi sebelum dilakukan

Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi:

halusinasi.

b. Mengidentifikasi kemampuan pasien

mengontrol halusinasi sesudah dilakukan

Terapi Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi:

halusinasi.

c. Menganalisis efektifitas Terapi Aktifitas

Kelompok stimulasi persepsi: halusinasi

dengan kemampuan pasien mengontrol

halusinasi.

Metodologi Penelitian

Desain penelitian untuk menganalisa

hubungan pelaksanaan TAK stimulasi persepsi

halusinasi terhadap kemampuan pasien

skizofrenia dalam mengontrol halusinasi di

Ruang Flamboyan RS Jiwa Menur Surabaya

adalah dengan menggunakan desain pre

eksperimental dengan rancangan one group

pretest-postest. Rancangan ini tidak ada

kelompok pembanding (kontrol) tetapi paling

tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest)

yang memungkinkan peneliti dapat menguji

perubahan yang terjadi setelah adanya

eksperimen.

Populasi dalam penelitian ini adalah

pasien skizofrenia dengan halusinasi di Ruang

Flamboyan RS Jiwa Menur Surabaya yang

berjumlah 9. Sampel dalam penelitian ini adalah

pasien skizofrenia dengan halusinasi di Ruang

Flamboyan RS Jiwa Menur Surabaya, yang

memenuhi kriteria inklusi, berdasarkan

perhitungan besar sampel menggunakan rumus

Deskriptif: Teknik sampling dalam penelitian ini

yaitu Probability sampling dengan menggunakan

Random sampling. Pemilihan sampel dengan

Random sampling adalah pengambilan sampel

dilakukan secara acak. Cara ini dipakai jika

anggota populasi dianggap homogen.

Variabel penelitian ada dua yaitu variabel

independen dan dependen. Variabel independent

dalam penelitian ini adalah pelaksanaan TAK

stimulasi persepsi halusinasi. Variabel dependent

dalam penelitian ini adalah kemampuan pasien

skizofrenia dalam mengenal dan mengontrol

halusinasi dengan cara menghardik.

Instrumen yang digunakan pada penelitian

ini adalah lembar observasi kemampuan pasien

skizofrenia dalam mengontrol halusinasi sebelum

dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi dan

observasi kemampuan pasien skizofrenia dalam

mengontrol halusinasi sesudah dilakukan TAK

stimulasi persepsi halusinasi.

Hasil Penelitian

1. Kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi sebelum dilakukan TAK Stimulasi

Persepsi Halusinasi

N

o

Variabel

Frekuensi Total

Mampu Tidak

mampu

Jumla

h

%

Juml

ah

(oran

%

Juml

ah

(oran

%

89

g) g)

a

Kemampu

an

mengenal

halusinasi

3 37,

5

5 62,5 8 10

0

b

Kemampu

an

menghardi

k

halusinasi

1 12,

5

7 87,5 8 10

0

2. Kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi setelah dilakukan TAK

Stimulasi Persepsi Halusinasi

a. Hari Pertama TAK

N

o

Variabel

Frekwensi Total

Mampu Tidak

mampu

Juml

ah

%

Jumla

h

(orang

)

%

Jumla

h

(orang

)

%

a Kemampua

n mengenal

halusinasi

4 50 4 50 8 10

0

b Kemampua

n

menghardik

halusinasi

1 12

,5

7 87,

5

8 10

0

b. Hari kedua TAK

N

o

Variabel

Frekuensi Total

Mampu Tidak

mampu

Juml

ah

%

Jumla

h

(orang

)

% Jumla

h

(oran

g)

%

a Kemampu

an

mengenal

halusinasi

6 75 2 25 8 100

b Kemampu

an

menghard

ik

halusinasi

5 62,5 3 37

,5

8 100

c. Hari Ketiga TAK

N

o

Variabel

Frekuensi total

Mampu Tidak

mampu

Juml

ah

%

Juml

ah

(oran

g)

%

Jumla

h

(oran

g)

%

a Kemampua

n

mengenal

halusinasi

7 87,

5

1 12,

5

8 100

b Kemampua

n

menghardi

k

halusinasi

6 75 2 25 8 100

d. Hari Keempat TAK

N

o

Variabel

Frekuensi Total

Mampu Tidak

Mampu

Jumla

h

%

Jumla

h

(oran

g)

%

Jumla

h

(oran

g)

%

a Kemampuan

mengenal

halusinasi

8 10

0

0 0 8 10

0

b Kemampuan

menghardik

halusinasi

7 87,

5

1 12,

5

8 10

0

e. Hari Kelima TAK

N

o

Variabel

Frekuensi Total

Mampu Tidak

Mampu

Jumla

h

%

Juml

ah

(oran

g)

%

Jumla

h

(oran

g)

%

a Kemampu

an

mengenal

halusinasi

8 10

0

0 0 8 100

b Kemampu

an

menghardi

k

halusinasi

8 10

0

0 0 8 100

3. Efektifitas Terapi Aktifitas Kelompok

stimulasi persepsi halusinasi

No

Variabel

Parameter P

value

TidakMampu Mampu

0,000

Jumlah

Prosentase

Jumlah

Prosentase

1 Kemampuan mengenal halusinasi

5 62,5 3 37,5

2 Kemampuan menghardik halusinasi

7 87,5 1 12,5

3 Kemampuan hari 1 (mengenal halusinasi)

4 50 4 50

4 Kemampuan hari 1

(menghardik halusinasi)

7 87,5 1 12,5

5 Kemampuan hari 2 (mengenal halusinasi)

2 25 6 75

6 Kemampuan hari 2

(menghardik halusinasi)

3 37,5 5 62,5

7 Kemampuan hari 3 (mengenal halusinasi)

1 12,5 7 87,5

8 Kemampuan hari 3 (menghardik halusinasi)

2 25 6 75

9 Kemampuan hari 4 (mengenal halusinasi)

0 0 8 100

10

Kemampuan hari 4 (menghardik halusinasi)

1 12,5 7 87,5

1

1

Kemampuan hari 5 (mengenal

halusinasi)

0 0 8 100

12

Kemampuan hari 5 (menghardik halusinasi)

0 0 8 100

90

Pembahasan

1. Kemampuan pasien mengontrol halusinasi

sebelum dilakukan Terapi Aktifitas

Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi

Kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi pada 8 pasien dari data pada tabel 5.2

menunjukkan sejumlah 5 pasien tidak mampu

mengenal halusinasi (62,5%) dan 3 pasien

mampu mengenal halusinasi (37,5%). Sedangkan

kemampuan pasien menghardik halusinasi

menunjukkan sejumlah 7 pasien tidak mampu

menghardik halusinasi (87,5%) dan 1 pasien

mampu menghardik halusinasi (12,5%). Sehingga

bisa diambil kesimpulan bahwa lebih dari 50%

pasien tidak mampu mengenal halusinasi dan

tidak mampu menghardik halusinasi.

Berdasarkan data yang didapatkan dari

observasi dan wawancara, pasien tidak mampu

mengenal halusinasi dan pasien juga tidak mampu

mengontrol halusinasi. Bila pasien tidak bisa

mengenal halusinasi dan tidak bisa mengontrol

halusinasi akan mengakibatkan dampak negatif

bagi diri pasien sendiri, orang lain dan

lingkungan. Tergantung halusinasi dari pasien,

bisa halusinasi pendengaran maupun halusinasi

penglihatan. Contohnya bila pasien mengalami

halusinasi pendengaran yang isinya menyuruh

memukul, bila pasien tidak mampu mengontrol

halusinasi maka akan menuruti perintah

halusinasi dan pasien bisa memukul orang yang

didekatnya.

Halusinasi adalah salah satu gejala

gangguan jiwa dimana klien mengalami

perubahan persepsi sensori, seperti merasakan

sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan atau penghiduan.

Halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi

sensori tentang suatu obyek, gambaran dan

pikiran yang sering terjadi tanpa adanya

rangsangan dari luar meliputi semus sistem

penginderaan yaitu pendengaran, penglihatan,

penciuman, perabaan, atau pengecapan

(Fitria,N,2009:49).

2. Kemampuan pasien mengontrol halusinasi

sesudah dilakukan Terapi Aktifitas

Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi

Data pada tabel 5.3 menunjukkan

kemampuan pasien mengenal halusinasi dan

kemampuan pasien menghardik halusinasi pada

pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi

hari pertama sejumlah 4 pasien tidak mampu

mengenal halusinasi (50%) dan 4 pasien mampu

mengenal halusinasi (50%). 7 pasien tidak

mampu menghardik halusinasi (87,5%) dan 1

pasien mampu menghardik halusinasi (12,5%).

Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi

hari kedua menunjukkan sejumlah 2 pasien tidak

mampu mengenal halusinasi (25%) dan 6 pasien

mampu mengenal halusinasi (75%). Kemampuan

pasien menghardik halusinasi 3 pasien tidak

mampu menghardik halusinasi (37,5%) dan 5

pasien mampu menghardik halusinasi (62,5%).

Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi

hari ketiga menunjukkan sejumlah 1 pasien tidak

mampu mengenal halusinasi(12,5%) dan 7 pasien

mampu mengenal halusinasi (87,5%).

Kemampuan pasien menghardik halusinasi 2

pasien tidak mampu menghardik (25%) dan 6

pasien mampu menghardik halusinasi (75%).

Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi

hari keempat menunjukkan sejumlah 8 pasien

mampu mengenal halusinsi (100%). Kemampuan

pasien menghardik halusinasi 1 pasien tidak

mampu (12,5%) dan 7 pasien mampu menghardik

(87,5%). Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi

halusinasi hari kelima menujukkan sejumlah 8

pasien mampu mengenal halusinasi (100%) dan 8

pasien mampu menghardik halusinasi (100%).

Dari data hasil pelaksanaan TAK

stimulasi persepsi halusinasi mulai hari pertama

91

sampai hari kelima dapat diambil kesimpulan

bahwa pelaksanaan TAK sangat efektif dalam

membantu pasien mengenal halusinasi dan

mengontrol halusinasi. Hasil evaluasi dari

pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi,

menunjukkan bahwa dari TAK hari pertama ke

TAK hari kedua kemampuan pasien dalam

mengenal halusinasi ada peningkatan 25% yaitu

dari 4 pasien yang mampu menjadi 6 pasien yang

mampu. TAK hari kedua ke TAK hari ketiga ada

peningkatan 12,5% yaitu dari 6 pasien yang

mampu mengenal halusinasi menjadi 7 pasien

yang mampu. TAK hari ketiga ke TAK hari

keempat ada peningkatan 12,5% yaitu dari 7

pasien yang mampu mengenal halusinasi menjadi

8 pasien yang mampu. Hari keempat sebanyak 8

pasien sudah mampu mengenal halusinasi yaitu

100%. Kemampuan pasien dalam menghardik

halusinasi hari pertama TAK ke TAK hari kedua

ada peningkatan 50% yaitu dari 1 pasien yang

mampu menghardik halusinasi menjadi 5 pasien

yang mampu. TAK hari kedua ke TAK hari

ketiga ada peningkatan 12,5% yaitu dari 5 pasien

yang mampu menghardik halusinasi menjadi 6

pasien yang mampu. TAK hari ketiga ke TAK

hari keempat ada peningkatan 12,5% yaitu dari 6

pasien yang mampu menghardik halusinasi

menjadi 7 pasien yang mampu. TAK hari

keempat ke TAK hari kelima ada peningkatan

12,5% yaitu dari 7 pasien yang mampu

menghardik halusinasi menjadi 8 pasien yang

mampu. Hari kelima sebanyak 8 pasien sudah

mampu menghardik halusinasi yaitu 100%.

Pelaksanaan TAK stimulasi persepsi

halusinasi harus dikembangkan dalam asuhan

keperawatan pasien skizofrenia dengan masalah

keperawatan halusinasi sehingga pasien bisa

mengenal halusinasi dan bisa mengontrol

halusinasi salah satunya dengan cara menghardik

halusinasi. Jika pasien mampu mengontrol

halusinasi maka pasien tidak akan menimbulkan

dampak negatif bagi diri pasien, orang lain

maupun lingkungan.

Kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi bisa kendalikan dengan Terapi

Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi halusinasi.

TAK stimulasi persepsi adalah klien dilatih

mempersepsikan stimulus yang disediakan atau

stimulus yang pernah dialami. Kemampuan

persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada

tiap sesi. Dengan proses ini diharapkan respons

klien terhadap berbagai stimulus dalam

kehidupan menjadi adaptif (Keliat,B.A &

Akemat, 2012:13). TAK stimulasi persepsi

halusinasi dibagi menjadi lima sesi yaitu sesi 1

mengenal halusinasi, sesi 2 mengontrol halusinasi

dengan menghardik, sesi 3 mengontrol halusinasi

dengan melakukan kegiatan, sesi 4 mengontrol

halusinasi dengan bercakap-cakap, sesi 5

mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.

3. Analisis efektifitas Terapi Aktifitas

Kelompok stimulasi persepsi halusinasi

dengan kemampuan pasien mengontrol

halusinasi

Dari hasil penelitian didapatkan

perbedaan kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi dari sebelum dilakukan TAK stimulasi

persepsi halusinasi kemampuan mengenal

halusinasi pasien mampu 37,5% dan pasien tidak

mampu 62,5% dan kemampuan menghardik

halusinasi pasien mampu 12,5% dan pasien tidak

mampu 87,5%. Sesudah dilakukan TAK stimulasi

persepsi halusinasi dari hari pertama sampai hari

kelima kemampuan pasien mengontrol

hasilusinasi bisa 100%. Hasil uji statistik Q

Cochran menunjukkan nilai p value = 0,000 < α =

0,05 artinya secara statistik ada perbedaan

tingkat kemampuan sebelum dilakukan dan

sesudah dilakukan TAK stimulasi persepsi

halusinasi.

92

Dalam pelaksanaan TAK stimulasi

persepsi halusinasi ada beberapa hal yang harus

disiapkan antara lain memilih pasien sesuai

kriteria inklusi yaitu pasien dengan perubahan

persepsi sensori: halusinasi, membuat kontrak

dengan pasien, mempersiapkan alat dan tempat

pertemuan. Menjelaskan kegiatan yang akan

dilakukan yaitu mengenal suara-suara yang di

dengar (halusinasi) tentang isinya, waktu

terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan pasien

saat terjadi halusinasi. Menjelaskan tujuan

kegiatan yaitu dengan latihan satu cara

mengontrol halusinasi dengan cara menghardik

halusinasi. Menjelaskan aturan main, yaitu jika

ada pasien yang ingin meninggalkan kelompok

harus ijin pada terapis, lama kegiatan 45 menit,

setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai

selesai.

Kegiatan TAK stimulasi persepsi

halusinasi baik sekali untuk mendorong pasien

bergaul dengan orang lain, pasien lain, perawat

dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak

mengasingkan diri lagi, karena bila pasien

menarik diri dapat menyebabkan hal yang tidak

baik, contohnya bisa menyebabkan halusinasi

(Maramis, W.E & Albert, A.M, 2009:278). TAK

juga bisa melatih kemamdirian pasien,

(contohnya dengan melatih ketrampilan hidup

sehari-hari). Memberikan perawatan yang positif

dan tanpa stigma diperlukan bagi pasien yang

akan kembali berhubungan dengan tim perawat

agar mematuhi perawatan (Katona, C. Claudia, C

& Marry, R, 2012:21).

Tujuan dari Terapi Aktifitas Kelompok

stimulasi persepsi halusinasi yaitu sesi 1

mengenal halusinasi, tujuan: klien dapat

mengenal halusinasi, klien mengenal waktu

terjadinya halusinasi, klien mengenal situasi

terjadinya halusinasi, klien mengenal perasaannya

pada saat terjadi halusinasi. Sesi 2 mengontrol

halusinasi dengan menghardik, tujuan: klien dapat

menjelaskan cara yang selama ini dilakukan

untuk mengatasi halusinasi, klien dapat

memahami cara menghardik halusinasi, klien

dapat memperagakan cara menghardik halusinasi

(Keliat,B.A dan Akemat, 2012:80-97).

Simpulan

Hasil penelitian yang telah dilakukan

di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur

Surabaya pada tanggal 13-18 Desember 2013,

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi sebelum dilakukan Terapi

Aktifitas Kelompok stimulasi persepsi

halusinasi sebagian besar pasien tidak

mampu mengenal halusinasi dan tidak

mampu menghardik halusinasi.

2. Kemampuan pasien dalam mengontrol

halusinasi setelah dilakukan Terapi Aktifitas

Kelompok stimulasi persepsi halusinasi

semuanya mampu mengenal dan

menghardik halusinasi.

3. Ada perbedaan kemampuan pasien dalam

mengontrol halusinasi sebelum dilakukan

dan sesudah dilakukan TAK stimulasi

persepsi halusinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyoso. (2009). Statistik 4 Life Beta,

htpp://statistik 4 life.blogspot.com/2009/12/ uji mann

whitney u.html, diunduh tanggal 30

Oktober 2013 jam 21.15 WIB.

Azizah,L.M. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi

Praktik Klinik, Edisi Pertama.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Dahlan, M.S. (2012). Statistik Untuk Kedokteran

Dan Kesehatan, Cetakan Kedua.Jakarta:

Salemba Medika

93

Dahlan, M.S. (2013). Statistik Untuk Kedokteran

Dan Kesehatan, Edisi 5. Jakarta:

Salemba Medika

Direja, A.H.S. (2011). Buku Ajar Asuhan

Keperawatan Jiwa, Cetakan I.

Yogyakarta: Nuha Medika

Fitria, N. (2012). Prinsip Dasar dan Aplikasi

Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan

Keperawatan, Cetakan Keempat.

Jakarta: Salemba Medika

Hastono, S.P. (2007). Basic Data Analysis for

Health Research Training. Jakarta:

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia

Keliat, B.A, Ria, U.P & Novy H.C.D. (2006).

Proses Keperawatan Jiwa, Edisi 2.

Jakarta: EGC

Keliat, B.A & Akemat. (2010). Model Praktik

Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:

EGC

Keliat, B.A dan Akemat. (2012). Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok. Jakarta:

EGC

Katona, C. Claudia, C & Marry, R. (2012). At a

Glance Psikiatri, Edisi Keempat. Jakarta:

Erlangga

Mahajudin, M.S et al. (2004). Pedoman

Diagnosis Dan Terapi, Edisi III.

Maramis, W.F & Albert, A.M (2009). Catatan

Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2.

Surabaya: Airlangga University Press

Nursalam, (2013). Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika

Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan

Riset Keperawatan, Edisi 2. Yogyakarta:

Graha Ilmu

Stuart, G.W. (2007). Buku Saku Keperawatan

Jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian

Administrasi,Cetakan ke 14.Bandung:

ALFABETA

Suliswati, et al. (2012). Konsep Dasar

Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Surabaya: SMF Ilmu Kedokteran Jiwa

Syarif, Y.S. (2009). Halusinasi Auditori

Pendengaran Salah Satu Gejala

Skizofrenia,

htpp://13306002.blogspot.com/2009/05/

halusinasi auditori pendengaran. html,

diunduh tanggal 30 Oktober 2013 jam

05.15 WIB.

Videbeck, S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan

Jiwa, Cetakan I. Jakarta: EGC

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

104

105

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

131

132

133

134

135

136

137

138

139

140

141

142

143

144

145

146

147

148

149

150

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

165

166

167

168

169

170

171

172

173

174

175

176

177

178

179

180

181

182

183

184

185

186

187

188

189

190

191

192

193

194

195

196

197

198

199

200

201

202

203

204

205

206

207

208

209

210