jurnal kebijakan otonomi daerah terhadap …€¦ · daerah dan retribusi daerah yang mengatur...
TRANSCRIPT
JURNAL KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP KEMANDIRIAN FISKAL
DAERAH (Studi Kasus Kabupaten Eks-Karesidenan Kediri Tahun 2012-2016)
Dosen Pengampu :
Slamet Joko Utomo, S.E., M.E.
Disusun Oleh :
Ketua: M. Fuji Saputro 150231100026
Sekretaris: Jayanti Ayuning T. 150231100040
Anggota: 1. Siti Jamilah M. 150231100008
2. Indahwati 150231100012
3. Sumiati 150231100014
4. Siswahyu Ningsih 150231100017
5. Ghoniyah 150231100025
6. Dwi Ratna S. 150231100032
7. Wildan Nur A. 150231100103
8. Sandi Arestu A. 150231100125
9. Ainul Wildan 140231100069
PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 2
JURNAL KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP KEMANDIRIAN
FISKAL DAERAH
(Studi Kasus Kabupaten Eks-Karesidenan Kediri Tahun 2012-2016)
M. Fuji Saputro, Jayanti Ayuning T, dkk
Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis – UTM
ABSTRACT
This article aims to determine the implementation of regional autonomy policies
that have been implemented by districts existing in ex-residency of Kediri on the
fiscal independence of each region. From the existence of this policy will later
show about which region finance which management is effective and efficient and
right target. Data from this research is taken from the official financial institution
that is the directorate general of financial balance of the Republic of Indonesia.
This research is included in the type of quantitative descriptive research. Through
this descriptive research, it will be obtained a clear picture of the problems
studied, in this case that is about the fiscal independence of the existing district in
ex-residency Kediri. The results of this study indicate that the development of
PAD Blitar District from the Year 2012-2016 showed a very high increase of
118.187. Kediri District from the Year 2012-2016 showed a very high increase of
2,834,694. Nganjuk District from the Year 2012-2016 showed a very high
increase of 18.211,937, and the development of PAD Trenggalek District from the
Year 2012-2016 showed a very high increase of 74.931. From the increase in the
original revenue of this area shows that the existing area in Eks-Karesidenan
Kediri begin to find the potential and manage financial and financial resources
effectively and efficiently.
Keywords: Regional Autonomy, Local Fiscal Independence, PAD, Effective, and
Efficient
PENDAHULUAN
Desentralisasi fiskal di Negara
Indonesia dilatar belakangi sejak
disahkannya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 mengenai
pemerintah daerah. Selain dari latar
belakang undang-undang tersebut,
maka ditahun yang sama juga
dilakukan revisi atau perbaikan
undang-undang tersebut dengan
disahkannya undang-undang nomor
25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah
(PKPD). Namun, setelah adanya
aturan tersebut, tidak lantas
diterapkan pada tahun yang sama,
dan pelaksanaan desentralisasi
fiskal baru berlangsung dan
dijalankan dua tahun kemudian atau
lebih tepatnya pada tanggal 1
Januari 2001. Kemudian ada
undang-undang baru setelah
implementasi desentralisasi fiskal di
tahun 2001 tersebut yaitu dengan
adanya UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 3
pemerintah daerah. Sampai saat ini,
UU Tahun 1999 dan 2004 telah
dilakukan revisi-revisi yang bertujuan
untuk menyesuaikan perkembangan
yang ada supaya lebih baik lagi.
Sehingga adalagi Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang
mengatur hal-hal mengenai
kewenangan Pemerintah Daerah
dalam melakukan pemungutan
kepada masyarakat daerah guna
mendapatkan sumber pendanaan
bagi pembangunan daerah.
Kemudian, aturan mengenai
desentralisasi fiskal paling akhir
yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014
mengenai pemerintah daerah.
Apabila membahas mengenai
otonomi daerah, maka implementasi
bentuk perwujudan otonomi daerah
agar dalam menyelenggaraan
pemerintahan di daerah dapat
berjalan lancar harus
memperhatikan 5 kondisi strategi
(Rasyid dan Paragoan dalam
(Zahra, 2008) dalam (Setiawan,
2010)) yang meliputi: (1) Self
Regulating Power yakni
kemampuan dalam mengatur dan
melaksanakan otonomi daerah guna
kesejahteraan masyarakat di
daerah, (2) Self Modifying Power
yakni kemampuan dalam
menyesuaikan peraturan yang telah
ditetapkan secara nasional dengan
kondisi daerah, (3) Local Political
Support yakni penyelenggaraan
pemerintah daerah yang mempunyai
keleluasan legitimasi dari
masyarakat baik sebagai Kepala
Daerah yang merupakan unsur
eksekutif ataupun DPRD yang
merupakan unsur legislatif, (4)
Managing Financial Resource yakni
kemampuan mengembangkan
kompetensi dan mengelola secara
optimal sumber pendapatan dan
keuangan dalam pembiayaan
aktivitas pemerintah, pelayanan
publik dan pembangunan, (5)
Developing Brain Power yakni
pembangunan kualitas SDM yang
handal dan selalu bertumpu pada
kapabilitas penyelesaian masalah.
Di dalam perspektif otonomi daerah,
PAD diharapkan mampu menjadi
komponen terbesar dalam mendanai
kegiatan pembangunan dan
keberlangsungan aktivitas
pemerintah daerah. Sedangkan
penerimaan selain PAD seperti dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan
pendapatan daerah lain-lain yang
sah hanya sebagai pendukung
dalam kegiatan pembangunan dan
pemerintahan. Fakta yang terjadi di
lapangan, bahwa hampir di semua
daerah persentase PAD yang dimiliki
masih tergolong sedikit atau relatif
kecil bahkan sangat kontras dengan
banyaknya bantuan yang didapatkan
daerah berupa dana perimbangan.
Secara umum, transfer pemerintah
pusat dan transfer lainnya sesuai
peraturan perundang-undangan
mendominasi APBD suatu daerah.
Hal tersebut menyebabkan
kemampuan daerah dalam
mengembangkan potensi milik
mereka menjadi terbatas karena
masih bergantung terhadap bantuan
pemerintah pusat. Pemberian
wewenang bagi pemerintah daerah
utamanya untuk mengatur
pembangunan di daerahnya
merupakan tujuan yang sangat
penting. Otonomi daerah memiliki
beberapa tujuan, salah satunya
adalah kemandirian daerah
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 4
termasuk di dalamnya kemandirian
keuangan. Kemandirian keuangan
mencerminkan kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelola
pajak dan retribusi yang kemudian
digunakan untuk membiayai
pembangunan, kegiatan
pemerintahan, serta pelayanan
kepada masyarakat. (Ardhani, n.d.)
Indikator kemandirian keuangan
yaitu rasio PAD terhadap dana
pinjaman dan perimbangan.
Semakin tinggi rasio PAD suatu
daerah menunjukkan bahwa daerah
tersebut semakin mandiri.
Rumusan Masalah Berdasarkan paparan mengenai latar belakang di atas, sehingga bisa diambil beberapa rumusan masalah yakni sebagai berikut : 1. Bagaimana kemandirian daerah
apabila dilihat dari perkembangan PAD, Dana Perimbangan dan Rasio PAD terhadap pendapatan total penerimaan daerah di wilayah eks-karesidenan Kediri pada tahun 2012-2016 ?
2. Bagaimana kondisi kemampuan keuangan daerah (derajat kemandirian fiskal daerah) di wilayah eks-karesidenan Kediri pada tahun 2012-2016 ?
3. Bagaimana konsep value for money dalam melihat efisiensi dan efektivitas pengelolaan fiskal terutama efektifitas PAD dan rasio efektifitas PAD di wilayah eks-karesidenan Kediri pada tahun 2012-2016 ?
Tujuan Maksud dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan PAD dan Dana Perimbangan, ukuran kinerja, struktur dan proyeksi PAD, konsep value for money dalam melihat efisiensi dan efektivitas pengelolaan fiskal daerah terutama
rasio efektifitas PAD dan kondisi kemampuan keuangan daerah (derajat kemandirian fiskal daerah) di wilayah eks-karesidenan Kediri pada tahun 2012-2016. Manfaat Penelitian ini lebih di menekankan
untuk memberikan suatu manfaat
teoritis yang positif dalam
menganalisis dinamika masalah
manajemen keuangan berdasarkan
sistem pengelolaan dan sumber
penerimaan keuangan daerah di
Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri,
Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten
Trenggalek pada tahun 2012-2016,
yakni merumuskan pemikiran-
pemikiran yang bersifat teoritis
dalam otonomi daerah, serta
menganalisis struktur kinerja,
proyeksi PAD, tingkat kemandirian
fiskal, efektivitas, efisiensi, value of
money keuangan daerah yang
berdasarkan otonomi daerah dan
derajat desentralisasi fiskal. Di
samping itu, diharapkan memberikan
sumbangsih kepada kampus,
maupun stakeholder dan pemerintah
daerah terkait, sehingga pembaca
dapat mengaplikasikan dan
menerapkan ilmunya dalam
mengelola sumber potensi Sumber
Daya Alam untuk menunjang
pendapatan daerah secara efektif
dan efisien.
LANDASAN TEORI
Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kesatuan
masyarakat yang memiliki batas
wilayah, memiliki wewenang untuk
mengatur urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakatnya sesuai
dengan prakarsa atau kebutuhaan
sendiri yang berdasarkan pada
aspirasi masyarakat (Aji, Kirya, Putu,
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 5
& Jana, 2015). Menurut (Mawakere,
2014), selain ditentukan oleh prinsip-
prinsip otonomi daerah, juga
terdapat asas-asas otonomi daerah,
yaitu sebagai berikut: a) Asas
desentralisasi, yaitu menyerahkan
wewenang pemerintahan kepada
pemerintah daerah otonom. b) Asas
dekonsentrasi, yaitu pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat
kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah. c)
Perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yaitu
sistem pembiayaan pemerintah
mencakup pembagian keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah
secara proporsional, demokrasi, adil,
dan transparan dalam pengelolaan
dan pengawasan kegiatannya
Derajat Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan
pendistribusian tanggung jawab
dalam pengambilan keputusan dan
pengelolaan kepada pemerintah
daerah. Desentralisasi fiskal
merupakan mekanisme transfer
dana APBN terhdap daerah untuk
mewujudkan ketahanan fiskal yang
berkelanjutan dan memberikan
stimulus terhadap peningkatan
aktivitas perekonomian masyarakat.
Harapannya agar tercipta
pemerataan kemampuan keuangan
suatu daerah yang otonom. Derajat
desentralisasi fiskal dihitung
berdasarkan rata-rata dari rasio
pendapatan asli daerah (PAD)
terhadap total penerimaan daerah
(TPD), dan rata-rata rasio bagi hasil
pajak dan bukan pajak (BHPBP)
terhadap total penerimaan daerah
(TPD), serta berdasarkan rata-rata
rasio sumbangan/bantuan untuk
daerah terhadap total penerimaan
daerah yang dinyatakan dalam
satuan persen. Semakin tinggi rasio
PAD dengan TPD dan rasio BHPBP
terhadap TPD menunjukkan
desentralisasi yang tinggi. Namun,
apabila hasil rasio
sumbangan/bantuan terhadap TPD
tinggi menunjukkan
desentralisasinya rendah.
Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut akan diperoleh pola
hubungan keuangan dan tingkat
kemandirian daerah.
Tinjauan Keuangan Daerah
APBD menjadi pedoman dan
cerminan kinerja dan kemampuan
pemerintah daerah dalam
membiayai dan mengelola
penyelenggaraan manajemen
keuangan daerah dan pelaksanaan
program-program pembanguan
ekonomi di daerah masing-masing
pada satu tahun anggaran
(Muhammad & Mangkuwinata,
2014). Pemerintah daerah harus
memiliki dukungan sumber-sumber
pendapatan keuangan yang
memadai agar fungsi pelayanan
masyarakat dapat berjalan dengan
baik dan optimal. Tahap untuk untuk
mengoptimalkan sumber
pendapatan daerah dapat menggali
sumber potensi daerah untuk
dikelola dan dikembangkan menjadi
sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Dalam Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah
menjelaskan bahwa sumber-sumber
keuangan atau penerimaan daerah
dapat berasal dari: (1) Pendapatan
Asli Daerah (PAD), (2) Dana
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 6
Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah,
dan (4) Lain-lain Pendapatan
Daerah yang Sah (El, Eka, &
Jannah, n.d.).
Kemampuan Keuangan Daerah Dalam era otonomi daerah mengukur kemampuan keuangan daerah sering di ukur menggunakan indikator kinerja pendapatan asli daerah, besar kecilnya penerimaan daerah dapat di hubungkan dengan keberhasilan suatu daerah dalam menerapkan otonomi daerah (Kuncoro, dalam Savitry et al., 2011). Daerah yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam menggali sumber sumber keuangan, mengelola dan menggunakan sendiri keuanganya untuk membiaya program dan kegiatan yang akan di selenggarakan pemerintah. Daerah yang mempu mencari sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keuangan daerah melalui berbagai cara yang sesuai dengan prosedur dan tidak menyalahi aturan sekaligus mampu mengelola keuangan dengan baik untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan daerah maka, daerah tersebut mampu untuk melaksanakan otonomi daerah. Akan tetapi jika suatu daerah sudah mampu menggali sendiri sumber sumber keuangan daerah dan mengelola keuangan tersebut dengan efektif dan efisien, daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap bantuan keuangan dari pemerintah pusat.
Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah
menunjukkan bahwa pemerintah
daerah mampu membiayai secara
mandiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan daerah, dan
pelayanan kepada masyarakat yang
telah bersedia membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber utama
pendapatan yang sangat di perlukan
oleh daerah (Halim, dalam
Nurhayati, 2015). Indikator
kemampuan daerah adalah rasio
PAD daerah terhadap dana
perimbangan dari pemerintah pusat
dan pinjaman, dengan begitu PAD
dan dana perimbangan menjadi
sumber utama pengeluaran
pemerintah daerah dan memliki
pengaruh positif terhadap
pengeluaran pemerintah daerah.
pola hubungan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah
dilaksanakan sesuai kemandirian
keuangan daerah dalam proses
membiayai pelaksanan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan
daerah, meskipun kemandirian
keuangan daerah ini pada ujungnya
akan menimbulkan kesenjangan
antar daerah.
Rasio Efektivitas Rasio efektivitas menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD sesuai atau bahkah melebihi yang ditargetkan. semakin besar realisasi penerimaan pendapatan asli daerah di bandingkat target penerimaan yang telah direncanakan maka, dapat dikatakan sangat efektif pengelolaan keuangan daerah tersebut, begitu juga sebaliknya. Apabila persentase kinerja keuangan mendapatkan nilai di atas 100% dapat dikatakan sangat efektif, 90% sampai 100% efektif, 80% sampai 90% adalah cukup efektif, 60% sampai 80% kurang efektif, dan < 60% adalah sangat tidak efektif.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kuantitatif.
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 7
Pendekatan deskriptif merupakan suatu bentuk penilaian dalam menafsir, mengklarifikasi serta interpretasi data yang selanjutnya menunjukkan gambaran tentang masalah yang diteliti. Sedangan metode kuantitatif pada penelititian ini menghitung persentase rasio kemandirian keuangan (sisi penerimaan dan sisi pengeluaran), menghitung persentase derajat desentralisasi fiskal serta menghitung rasio efisiensi dan efektivitas kuangan daerah.
Definisi Operasional Menurut (Saputra, 2014), pada kinerja kemandirian keuangan daerah terdapat beberapa variabel dalam perhitungannya, diantaranya yaitu: (1) Pendapatan Asli Daerah yang merupakan pendapatan yang didapat daerah melalui pungutan yang didasarkan atas peraturan daerah sesuai perundang-undangan yang berlaku, (2) Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak yang merupakan dana yang didapatkan dari penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak, (3) sumbangan atau bantuan yang merupakan sumbangan maupun bantuan yang berasal dari pemerintah pusat kemudian disalurkan kepada pemerintah daerah, (4) Total Penerimaan Daerah yang merupakan jumlah penerimaan daerah yang secara umum bersumber dari penerimaan pembiayaan daerah ditambah dengan total pendapatan daerah yang masuk ke kas daerah, (5) Total Pengeluaran Daerah yang merupakan jumlah pengeluaran yang secara umum dipakai untuk belanja publik, belanja aparatur, dan pengeluaran pembiayaan (keluar dari kas daerah secara keseluruhan), (6) Pengeluaran Rutin Daerah yang merupakan bagian dari pengeluaran daerah yang digunakan untuk belanja operasional,
pemeliharaan, belanja barang, belanja perjalanan dinas, belanja pegawai, belanja lain-lain, bunga, angsuran pinjaman/hutang, bantuan keuangan daerah, serta pengeluaran tak terduga misalnya terjadi krisis ekonomi, bencana alam, dan sebagainya.
Subyek dan Obyek Penelitian Subyek dari penelitian ini ialah Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Trenggalek. Keempat kabupaten tersebut memiliki kondisi fisik dan karakteristik yang tidak jauh berbeda satu sama lain serta lokasinya juga berdekatan (se eks-karesidenan Kediri). Sedangkan untuk obyek dari penelitian ini terdiri atas variabel-variabel bebas (independent variable) yang mempengaruhi tingkat kemandirian daerah, diantaranya yaitu derajat desentralisasi fiskal, efektivitas dan efisiensi keuangan daerah.
Jenis dan Sumber Data Data penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yang didapatkan dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten, BPS (Badan Pusat Statistik), dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset. Selain data-data yang diperoleh dari beberapa lembaga tersebut, penelitian ini juga menggunakan sumber buku, literatur, dan berbagai informasi yang bersumber dari internet ataupun media-media lain sebagai bahan pendukung referensi yang akurat.
Prosedur Pengumpulan Prosedur pengumpulan data pada
penelitian ini dilakukan dengan studi
kepustakaan melalui metode
pengumpulan data dengan
pengamatan data yang bersumber
dari buku, literatur, dan berbagai
informasi yang bersumber dari
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 8
internet ataupun media-media lain.
Selain itu juga mengolah data
sekunder yang didapat dari laporan
tertulis lembaga/dinas/instansi
terkait.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Indikator kemandirian suatu daerah setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah dengan semakin meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kalau sudah demikian maka diharapkan akan semakin menekan subsidi dari pemerintah pusat baik melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Yang keduanya lebih ditekankan pada bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan. Menurut Harianto (2007) dimana Pendapatan Asli
Daerah adalah sumber pembelanjaan daerah, apabila Pendapatan Asli Daerah meningkat maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi serta tingkat kemandirian daerah akan meningkat juga, sehingga pemerintah daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi–potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apabila Rasio pertumbuhan PAD dalam suatu daerah mengalami peningkatan maka dalam hal ini menggambarkan dampak positif dan bisa dikatakan pertumbuhan PAD suatu daerah tersebut baik dan juga menggambarkan pemerintah daerahnya berhasil dalam membangun daerahnya.
Berikut adalah data perkembangan PAD tahun 2012-2016 yang ada di eks-karesidenan Kabupaten Kediri :
Grafik 1. Perkembangan PAD
Sumber: DJPK, data diolah
Dari grafik di atas bisa diketahui
bahwa perkembangan PAD pada
kabupaten yang ada dalam kawasan
eks-karesidenan Kediri mengalami
kenaikan signifikan dari tahun 2012-
2016. PAD Kab. Blitar tahun 2012
mencapai 95,782,155 kemudian
ditahun akhir yaitu 2016 mencapai
angka 224,106,76. Kemudian PAD
Kab. Kediri pada tahun 2012
mencapai angka 129,298,99
selanjutnya ditahun 2016
mmencapai 339,113,89. PAD Kab.
Nganjuk pada tahun 2012 yaitu
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 9
125,173,39, ditahun 2016 mencapai
323,045,17. Kabupaten terakhir yaitu
Trenggalek pada tahun 2012 PAD
mencapai 70,197,613 dan ditahun
2016 mencapai angka 182,174,29.
Hal ini merupakan dampak dari
adanya kebijakan otonomi daerah
yang diterapkan pemrintah sejak
tahun 2001 silam, sehingga daerah
tersebut harus berpikir ekstra agar
tidak bergantung pada pusat dan
mengetahui apa yang layak
dieksploitasi secara arif dan
dijadikan sumber pendapatan asli
daerah. Latar belakang lainnya dari
peningkatan PAD ini dikarenakan
daerah-daerah tersebut sudah
mengetahui potensi yang ada di
wilayahnya masing-masing, karena
masing daerah dituntut untuk
mandiri, walaupun masih
mendapatkan kucuran dana dari
pemerintah pusat. Komponen
Pendapatan Asli Daerah ini terdiri
dari pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan dari lain-lain
PAD yang sah.
Grafik 2. Perkembangan Dana Perimbangan
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah, data diolah
Perkembangan dana perimbangan
dari tahun ke tahun selalu
mengalami kenaikkan yang cukup
signifikan. Dimana di Kabupaten
Blitar ini memiliki rata-rata dana
perimbangan yang di bilang cukup
tinggi yaitu sekitar
1.212.680.003.983 miliar rupiah per
tahun. Namun dilihat dari
pendapatan asli daerah Kabupaten
Blitar ini berada pada peringkat
ketiga yang menghasilkan
pendaptan yang cukup sedikit jika di
bandingkan dengan dana bantuan
atau dana perimbangan yang
diberikan pemerintah pusat
berbanding terbalik. Bisa diartikan
bahwasanya Kabupaten Blitar ini
masih kurang dalam
pemanfaatannya dalam pengelolaan
potensi daerah yang dimilikinya.
Selanjutnya ialah pada Kabupaten
Kediri dimana memiliki rata-rata
dana bantuan atau dana
perimbangan yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat sebesar
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 10
1.330.563.574.580 miliar juta rupiah.
Hal ini cukup tinggi bila di
bandingkan dengan Kabupaten
Blitar, namun dilihat juga dari
pendapatan asli daerah di
Kabupaten Kediri menduduki
peringkat pertama dengan
pendapatan asli daerah yang cukup
tinggi. Pemerintah Daerah
Kabupaten Kediri ini sudah di bilang
bai karena perbandingan PAD
dengan Dana Perimbangan tinggi
dan lebih rendah dari dana bantuan
yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat. Serta Kabupaten Kediri ini
sudah memanfaatkan potensi
daerah secra maksimal. Kemudian
pada Kabupaten Nganjuk, dilihat dari
data dana perimbangan yang
diperoleh ialah rata-rata sebesar
1.156.233.267.136 miliar juta rupiah.
Dengan pendapatan asli daerah
Kabupaten Nganjuk ini menduduki
peringlat kedua setelah Kabupaten
Kediri. Hal ini sudah bisa dikatakan
cukup tingggi karena sama hal nya
dengan Kabupaten Kediri dana
bantuan lebih sedikit dari pada
pendapatan asli daerah yang
diterima oleh Kabupaten Nganjuk.
Secara tidak langsung Kabupaten
Nganjuk ini bisa bersaing dengan
kabupaten lainnya dengan potensi
daerah yang dimilikinya. Di sisi lain
pemerintah harus benar-benar
menepatkan perencanaan
pemabangunan yang berkelanjutan
yang baik dan tepat serta sesuai
dengan peraturan daerah dan
undang-undang yang berlaku serta
bisa memiliki dampak yang baik
untuk kesejateraan masyarakat.
Selanjutnya ialah pada Kabupaten
Trenggalek, bisa dilihat bahwasanya
untuk kenaikkan dana perimbangan
setiap tahunnya mengalami
kenaikkan dan dilihat di tahun 2015
ini kenaikkan dan perimbangan yang
diterima Pemerintah Daerah
Kabupaten Trenggalek cukup tinggi
hingga mencapai satu miliyar lebih
dengan lebih tepatnya ialah
1.217.293.670.903 miliar juta rupiah.
Serta Kabupaten Trenggalek ini
memiliki rata-rata dana perimbangan
yang diterimasetiap tahunnya ialah
berkisar 954.845.964.392 miliar juta
rupiah. Jika dibandingakan dengan
pendapatan asli daerah yang
diterima oleh Kabupaten Trenggalek
ini lebih sedikit dibandingkan dengan
dana perimbangan yang di terima
oleh Pemerintah Daerah. Di sisi lain
juga bisa dilihat dari data yang
disajikan bahwasanya Kabupaten
Trenggalek cukup baik karena
menerima dan bantuan paling sedikit
dibandingkan dengan kabupaten
lainnya. Namun yang buruk ialah
Kabupaten Trenggalek ini menerima
pendapatan asli daerah yang paling
sedikit dari pada kabupaten lainnya.
Oleh karena itu, Pemerintah daerah
serta Pemerintah pusat bisa lebih
memperhatikan daerah daerah yang
benar-benar belum mampu untuk
mengelola potensi yang ada di
daerah tersebut serta perlu bantuan
untuk perencanaan pembangunan
yang baik dan tepat dan tidak lepas
dari pembangunan yang
berkelanjutan.
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 11
Grafik 3. Rasio PAD Terhadap Total Penerimaan Daerah
Sumber: Data olahan
Dapat dilihat dari grafik 3 di atas
Menunjukan Rasio PAD terhadap
total Penerimaan Daerah Keempat
kabupaten ini memiliki PAD yang
berbeda Dimana Kabupaten Blitar ini
Mengalami Tren Peningkatan dalam
5 tahun terakhir ini dari 5,99 pada
tahun 2012 dan terus meningkat
sampai 8,44 Pada tahun 2016.
Sedangkan Kediri pun mengalami
Tren Peningkatan yang cukup
signifikan dari 5 tahun terakhir ini
dari 0,66 pada tahun 2012
meningkat sampai 11,72 pada tahun
2016. Total dari nilai rasio kab Kediri
ini paling tinggi dalam lima tahun
terakhir ini di antara kabupaten
lainya. Kemudian Kab Nganjuk
Memiliki rasio yang paling kecil di
bandingkan dengan kabupaten lain
dimana sekisar 0,03 sampai 0,06
selama lima tahun terakhir ini dan
yang terakhir Kab.Trenggarek pada
lima tahun terakhir ini mengalami
situasi Fluktuatif dimana rasio
kabupaten Trenggarek mengalami
peningkatan dan penurunan di lima
tahun terakhir ini.
Grafik 4. Analisis Kemandirian Fiskal Daerah
Sumber: Data olahan
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 12
Dari grafik 4 di atas terlihat, maka
nilai rasio kemandirian fiskal
Kabupaten Trenggalek dari tahun
2012-2016 nilainya lebih dari 100.
Hanya saja pada tahun 2015 yang
dibawah 100. Hal ini berarti bahwa
kemampuan keuangan Kabupaten
Trenggalek sudah dikatan tinggi
dengan pola hubungan yang
delegatif. Nilai kemandirian fiskal
Kabupaten Nganjuk dari tahun 2012-
2016 nilainya tinggi dengan pola
hubungan yang delegatif.
Sedangkan Dari tabel diatas terlihat,
maka nilai rasio kemandirian fiskal
Kabupaten Blitar dari tahun 2012-
2016 nilainya lebih dari 100. Hal ini
berarti bahwa kemampuan
keuangan Kabupaten Kediri sudah
dikatan tinggi dengan pola hubungan
yang delegatif. Dan Kab. Blitar nilai
rasio kemandirian fiskal Kabupaten
Blitar dari tahun 2012-2016 nilainya
lebih dari 100. Hal ini berarti bahwa
kemampuan keuangan Kabupaten
Blitar sudah dikatan tinggi dengan
pola hubungan yang delegatif.
Grafik. 5 Efektifitas Pendapatan Asli Daerah
Sumber: Data olahan
Dari grafik 5 di atas terlihat bahwa
nilai efektivitas PAD Kab.
Trenggalek dari tahun 2012-2014,
nilainya lebih dari 100. Hanya saja di
tahun 2015-2016 nilainya kurang
dari 100. Nilai yang lebih dari 100 ini
berarti bahwa dalam pengelolaan
keuangan Kabupaten Trenggalek
tidak efektif. Hal ini menunjukkan
bahwa anggaran Kabupaten
Trenggalek dalam tahun 2012-2014
mengalami defisit. Mengacu kepada
metode penelitian tersebut di atas
tentang pedoman penilaian dan
kemampuan keuangan, maka
kriteria pengelolaan keuangan
daerah Kab. Nganjuk dikatakan
hampir efisien, karena bernilai di
atas 90% namun ada bebrapa yang
lebih dari 100%, ini berarti anggaran
Kabupaten Nganjuk mengalami
defisit. Tabel berikut memperlihatkan
perkembangan tingkat efisiensi
anggaran Kabupaten Nganjuk
selama lima tahun (2012-2016).
Sedangkan Dari tabel diatas terlihat
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 13
bahwa nilai efektivitas Kab. Blitar
dari tahun 2012-2015, nilainya lebih
dari 100. Hanya saja di tahun 2016
nilainya kurang dari 100. Nilai yang
lebih dari 100 ini berarti bahwa
dalam pengelolaan keuangan
Kabupaten Blitar tidak efektif. Hal ini
menunjukkan bahwa anggaran
Kabupaten Blitar dalam tahun 2012-
2015 mengalami defisit. Dan Dari
Tabel di atas menunjukkan
bahwasanya nilai efektivitas PAD
Kab. Kediri dari tahun 2012 ini
sampai dengan tahun 2016 nilai
lebih dari 1,00 %. Hanya saja pada
masa dua tahun antara 2015 smapai
dengan 2016 ini mengalami
penurunan yang sangat drastis
dengan nilai dibawah dari 1,00%.
Jika nilai efektivitas keuangan
daerah Kabupaten Kediri ini lebih
maka tidak efektif. Dan menunjukkan
bahwa keuangan daerah Kabupaten
Kediri mengalami defisit.
Grafik 6. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
Sumber: Data olahan
Berdasarkan grafik 6 di atas
perbandingan dari 4 kabupaten eks-
Karesidenan Kediri, bahwasanya
rasio efektivitas PAD Kab. Blitar
mengalami penurunan pada tahun
2016, kemudian rasio efektifitas PAD
Kab. Nganjuk mengalami naik turun
dan hal itu dari tahun 2014 samapi
2016 terus mengalami penurunan
samapi mencapai 91,99%. Rasio
efektitas Kab. Kediri stagnan dari
tahun 2012-2013 dan naik pada
tahun 2014 dan mengalami
penurunan dari tahun 2014-2016
samapi mencapai 0,10%, Kab. Kediri
merupakan rasio efektifitas terendari
dari 4 Kabupaten Eks-Kediri. Rasio
efektifitas PAD Kab. Trengalek
merupakan Kabupaten yang unggul
dari ke-4 yaitu mengalami kenaikan
dari tahun 2012-2014 dan menurun
di tahun 2015 kemudian mengalami
kenaikan kembali pada tahun 2016.
PENUTUP Kesimpulan Dari hasil analisis mengenai
kemandirian dan kemampuan
keuangan daerah di wilayah eks-
karesidenan kediri yang meliputi
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 14
analisis data perkembangan
pendapatan asli daerah,
perkembangan dana perimbangan,
rasio pendapatan asli daerah
terhadap pendapatan asli daerah,
analisis kemandirian fiskal daerah,
efektifitas pendapatan asli daerah,
dan rasio pendapatan asli daerah.
Maka pendapatan asli daerah di
empat kabupaten ini terus
mengalami peningkatan secara
signifikan. Namun di sisi dana
perimbangan masih terus
mengalami peningkatan, hal ini
menunjukkan masih buruknya
kemampuan keuangan daerah,
karena masih tergantung suntikan
dana dari pusat atau yang dikenal
dengan transfer dari pusat.
Kemampuan keuangan yang berasal
dari daerah sendiri harus dikelola
secara optimal, agar ketergantungan
dari pusat bisa terkurangi.
Saran Kinerja dari keempat kabupaten
belum mampu mencukupi kebutuhan
daerahnya secara mandiri, maka
daripada itu pemerintah daerah dari
masing-masing kabupaten ini wajib
untuk meningkatkan sumber-sumber
penerimaan daerah dalam hal ini
yaitu pendapatan asli daerah
dengan mendorong peningkatan
komponen-komponennya berupa
pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah, dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang sah. Suatu hal yang cocok
untuk diterapkan yaitu dengan
memperkuat kelembagaan,
meningkatkan besaran tarif
pajak/retribusi daerah secara
proporsional, mempertahankan atau
meningkatkan keefektivitasan dalam
pemungutan pajak/ retribusi daerah
serta memberlakukan sistem
transparan. Apabila ini bisa
diwujudkan, maka daerah yang ada
di eks-karesidenan Kediri ini bisa
lebih baik lagi dalam hal keuangan
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, L. N. (2014). Perencanaan Dan Penganggaran Pada Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (Bpws) , 3-9.
Choliq,A..(2012). Kajian Undang-Undang Otonomi Daerah Terhadap Persoalan Batas Wilayah. Jurnal Hukum. Xxviii(2).
Cicilia, V. S. E., Sri Murni dan Daisy M. Engka. 2015. Analisis Efisiensi dan Efektivitas serta Kemandirian Pengelolaan Keuangan Daerah Di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah 17(2). https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jpekd/article/view/10245/9831 Diakses pada tanggal 28 Mei 2018.
Departemen Keuangan Indonesia. (2009). Buku 2 Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (Bpk).
El, H., Eka, L., & Jannah, N. U. R. (n.d.). Kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Dinas Pendapatan Kabupaten Mojokerto) 10(1): 1–8.
Mawakere, L. T. J. M. L. 2014. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Masa Otonomi Daerah pada Kabupaten Minahasa Tenggara. 2(2): 755–767.
Indah. (1993). Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Negara
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 15
Kesatuan Republik Indonesia. Kurniasih, D., & Daerah, O. (N.D.).
Penyelenggaraan Desentralisasi Fiskal Di Kabupaten Bandung, 1–14.
Machmud Masita, G. K. (2014). Analisis Kinerja Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007-2012 , 1-8.
Made,I..(2016). Pelaksanaan Dan Permaslahan Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Jurnal Ganec Swara. 10(1).
Mahardika, I. G. N. S. (2011). Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Di Era Otonomi Pada Pemerintah Kabupaten Tabanan, 733–750.
Makhfudz,M. Kontroversi Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Hukum. 3(2).
Muin,F.(2014). Otonomi Daerah Dalam Persepektif Pembngunan Urusan Pemerintah-Pemerintah Daerah Dan Keuangan Daerah. Jurnal Ilmu Hukum. 8(3).
Nurhayati. 2015. Analisis rasio keuangan untuk mengukur kinerja pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos 4(33).
Rahman, N., Naukoko, A. dan Londah, A. 2014. Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan Daerah di Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada Kota Manado dan Kota Bitung. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi 14(3): 56–70.
Ramadhani, F. 2016. Analisis Kemandirian dan Efektivitas Keuangan Daerah di Kota Tarakan Tahun 2010-2015. Jurnal Ekonomi Pembangunan 14(1).
Rasyid, T. (2012). Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah , 1-10.
Rendi, S. (2014). Pendekatan Dalam Proses Perencanaan Dan
Penyusunan Abk ,3-6. Sahrul, A...(2011). Konsep Dasar
Otonomi Daerah Dalam Era Reformasi. Jurnal Ganec Swara. 5(1).
Santoso,P.(2010). Satu Dekade Separuh-Jalan Proses Desentralisasi. Jurnal Desentralisasi. 8(5).
Saputra, D. 2014. Analisis Kemandirian dan Efektivitas Keuangan Daerah pada Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Barat. Artikel Ilmiah Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang. 1–26. http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/akt/article/viewFile/871/621 Diakses pada tanggal 28 Mei 2018.
Sasana, H. 2015. Dampak Implementasi Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Harga di Provinsi Indonesia. Jurnal Media Ekonomi dan Manajemen 30(1): 1–14.
Savitry, E. 2011. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar. Jurnal Ilmu Pemerintahan 4: 23–34.
Setiawan, A. 2010. Analisis Kinerja Keuangan Daerah pada Era Otonomi di Kabupaten Boyolali. Skripsi. Universitas Negeri Surakarta. https://core.ac.uk/download/pdf/12347140.pdf. Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
Situngkir, F. (2014). Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ekonom, 17(3), 125–137.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supriyadi, Armandelis dan Rahmadi, S. 2013. Analisis Desentralisasi
JURNAL MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Page 16
Fiskal di Kabupaten Bungo. 1(1): 1–10.
Suryani, & Faisal, H. B. (2016). Analisis Kondisi Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Di Aceh Dan Di Sumatera Utara. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 23(1), 63–71.
Wirawan,R.,& Mardiyono.,& Nurpratiwi, R. 2015.Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah. Malang: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. 4(2), 2442-2962.