jurnal ilmiah perlindungan hukum pengetahuan … · registration fee and the origin ... untuk...
TRANSCRIPT
JURNAL ILMIAH
PERLINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN OBAT TRADISIONAL BERDASARKAN
SISTEM PATEN
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
LALU CAESAR NEBULA
D1A013 196
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2017
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
PERLINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN OBAT TRADISIONAL BERDASARKAN
SISTEM PATEN
Program Studi Ilmu Hukum
OLEH :
LALU CAESAR NEBULA
D1A 013 196
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Dr. Kurniawan, SH.,M.Hum. NIP. 19770303200312 1 001
PERLINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN OBAT TRADISIONAL BERDASARKAN SISTEM PATEN
LALU CAESAR NEBULA
D1A013196
FAKULTAS HUKUM UNRAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional dalam sistem Paten dan untuk mengetahui dan memahami prosedur dan tahapan untuk mendapat perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional. Penelitian ini merupakan penelitian Hukum Normatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undangan dan metode konseptual. Hasilnya bahwa: Pertama: pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional dalam sistem Paten di atur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016. Kedua: pada dasarnya pendaftaran Pengetahuan Obat Tradisional sama dengan pendaftaran Paten pada umumnya, yang membedakan hanyalah biaya yang harus dikeluarkan dan harus disebutkan dengan jelas dan benar asal sumberdaya genetic atau Pengetahuan Obat Tradisional tersebut dalam deskripsi. Terkait tahapan untuk mendapat perlindungan hokum Pengetahuan Obat Tradisional ada beberapa tahapan yaitu: Tahap Awal / Identifikasi, Tahap Perlindungan, Tahap Pembagian Manfaat, Tahap Pengawasan, dan Tahap Penegakan Hukum.
Kata Kunci: Perlindungan, Paten, Pengetahuan, Obat, Tradisional.
THE LAW PROTECTION FOR THE TRADITIONAL MEDICINE KNOWLEDGE BASED ON THE PATENT SYSTEM
ABSTRACT
This research is aimed to know and comprehend the arrangement of the traditional medicine knowledge in the patent system and the procedure and steps to get the law protection for it. This research itself is a Norm Law research. The approach method that is used in this research is the legislation approach and the conceptual method. The findings are: First: the arrangement of the traditional medicine knowledge based on the patent system is arranged under the Section 26 Law number 13 in the Year of 2016. Second: basically, the registration of the traditional medicine knowledge is the same with the general patent registration. The only differences are the amount of the registration fee and the origin of the genetic source of the traditional medicine knowledge should be mentioned right and clear in the description. To get the law protection for the traditional medicine knowledge, there are some steps that should be done: First Stage / Identification, Protection Stage, Profit Distribution Stage, Surveillance Stage, and Law Maintenance Stage.
Keywords: Protection, patent, knowledge, medicine, traditional.
i
I. PENDAHULUAN
Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang sering
memberi cap negara-negara berkembang sebagai pembajak.Tercatat 40
pendaftaran Paten telah diterbitkan sertifikasinya oleh Jepang yang
menggunakan bahan tanaman obat-obatan asal Indonesia, seperti: brotowali,
daun sukun gondopuro, sambilito, cabe Jawa, dan sebagainya. Akhirnya ada
sebagian dari Paten tersebut ditarik sendiri oleh Perusahaan Shiseido asal
Jepang tersebut. Dari kasus ini dapat diketahui bahwa peneliti atau perusahaan
Jepang telah berhasil mengembangkan bahan dan pengetahuan tradisional
Indonesia menjadi temuan mereka sendiri yang memperoleh perlindungan
Paten di Jepang. Pemerintah Indonesia maupun pihak-pihak yang
berkompeten tidak mendapatkan sepeser pun dari keuntungan yang diperoleh
Jepang tersebut.1
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diambil beberapa rumusan
masalah yang akan menjadi inti dalam penulisan ini yakni:Bagaimana
pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional dalam sistem Paten? dan
Bagaimana prosedur dan tahapan untuk mendapat perlindungan hukum
Pengetahuan Obat Tradisional?
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan memahami pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional dalam
1 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat, PT Alumni, Bandung, 2013, hlm. 4.
ii
sistem Paten, untuk mengetahui dan memahami prosedur dan tahapan untuk
mendapat perlindungan hukum Pengetahuan Obat Tradisional.Dan adapun
manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalahsecara akademik,
untuk memenuhi salah satu persyaratan guna mencapai Program Strata Satu
(S1) pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Secara teoritis, hasil dari
penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat positif bagi
pengembangan ilmu hukum, khususya hukum bisnis sehingga dapat
menambah literatur atau referensi tentang perlindungan hukum Pengetahuan
Obat Tradisional.Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan bahan
masukan dan pertimbangan bagi pembaca sebagai tambahan pengetahuan
tentang Perlindungan Hukum Pengetahuan Obat Tradisional berdasarkan
sistem Paten.
Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan
mempertimbangkan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti.Metode pendekatan yang digunakan adalahpendekatan perundang–
undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan adalah sumber hukum
kepustakaan yang terdiri dari sumber hukum primer yaitu mengenai beberapa
peraturan perundang – undangan yang menyangkut dengan pengetahuan obat
tradisional ini, ditunjang dengan bahan hukum sekunder yang bersifat
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum tersier yang digabungkan
iii
dalam bahan hukum primer dan sekunder.Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalahdata kepustakaan terdiri darimempelajari dokumen-
dokumen, buku-buku, teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan,
artikel-artikel dan tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti. Adapun analisis bahan hukum yang diperolehdalam
studi kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan dan literature yang
dimaksud, penyusun uraikan dan dihubungkan sedemikiran rupa, sehingga
disajikan dengan penjelasan yang lebih sistematis guna menjawab
permasalahannya yang telah dilakukan analisa kualitatif dengan cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara dedukatif yaitu menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke hal-hal yang
khusus.
iv
II. PEMBAHASAN
Pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional Dalam Sistem Paten
Pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional Dalam Sistem Paten-TRIPs
Secara internasional, diskusi terkait perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional sebenarnya telah dibahas lebih dari 40 tahun yang
lalu. Dari diskusi-diskusi tersebut kemudian menghasilkan beberapa
kesepakatan internasional yang penting terkait perlindungan bagi pengetahuan
tradisional dan/atau Pengetahuan Obat Tradisional (POT), diantaranya di
dalam sistem Paten (TRIPs Agreement) dan diluar sistem Paten (Convention
on Biological Diversity/Konvensi Keanekaragaman Hayati).
Adapun dalam Paten Perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional
(POT) dianggap masuk dalam cakupan invensi di bidang teknologi.
Pengaturannya dapat ditemukan dalam Pasal 27-34 Perjanjian TRIPs, yang
mengatur mengenai hal-hal yang terkait dengan paten dan pengetahuan
tradisional.2
TRIPs memberikan standar minimum untuk Paten dan Hak Kekayaan
Intelektual lain bagi anggota WTO. Pasal 27 TRIPs menekankan bahwa
anggota WTO harus menyediakan perlindungan Paten bagi invensi apapun,
apakah berupa produk atau proses, disemua bidang teknologi tanpa adanya
2 Dwi Martini, Hayyanul Haq, Budi Sutrisno, Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Obat-Obatan Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia (Studi Pada Masyarakat Tradisional Sasak), Jurnal Hukum Dan Peradilan, Vol. VI, No. 1, 2017,hlm. 78.
v
diskriminasi, tergantung pada pengujian kebaruan, langkah inventif, dan
kegunaan dalam industri. Permasalahan kemudian akibat perlindungan paten
yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya genetik. TRIPs
memperbolehkan Paten atas jasad renik dan TRIPs tidak mengatur ketentuan
pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik kepada
pemiliknya.3
Kemudian terjadi konflik antara TRIPs dan Konvensi
Keanekaragaman Hayati adalah bahwa Pasal 27 ayat 3(b) TRIPs mengijinkan
pemberian paten terhadap beberapa materi genetik. Namun, TRIPs
mengabaikan bagaimana paten tersebut diperoleh, apakah masih konsisten
atau tidak, bahan genetik yang dipergunakan dengan hak dari negara-negara
yang memiliki bahan genetik tersebut, ada ketidakseimbangan antara negara
berkembang dengan negara-negara maju.4
Muncul beberapa usulan sebagai upaya pemecahan masalah terkait
dengan konflik antara TRIPs dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati, yaitu
amandemen Pasal 27 ayat 3(b) TRIPs, yang berbunyi: “Anggota juga dapat
mengecualikan dari patentability: tanaman dan hewan selain mikroorganisme,
3 Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, dan Yayasan KEHATI, Merajut Penyepakatan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, dan Yayasan KEHATI, Jakarta, 2008, hlm. 15.
4 Abdul Bari Azed, Kepentingan Negara Berkembang atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetik, dan Pengetahuan Tradisional, Lembaga Pengkaji Hukum Internasional Fakultas Hukum Universiitas Indonesia dan Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2005, hal. 14.
vi
dan pada dasarnya merupakan prokreasi biologis untuk produksi tanaman atau
hewan selain proses non biologis dan mikrobiologis.”
Sebagian negara berkembang menginginkan agar ketentuan Pasal 27
ayat 3(b) diubah yaitu tidak diperbolehkan mempatenkan mikroorganisme
dengan pertimbangan bahwa pematenan makhluk hidup bertentangan dengan
moralitas, untuk mikroorganisme yang sudah ada di sekitar alam,
mikroorganisme tersebut merupakan discovery, tanaman dan hewan telah
dikecualikan dari patentabilitas, sementara tidak ada batasan definisi yang
jelas dari perbedaan antara mikroorganisme dengan hewan dan tanaman itu
sendiri, karenanya mikroorganisme juga sudah seharusnya dikecualikan dari
patentabilitas.
Posisi Indonesia terkait dengan amandemen Pasal 27 ayat 3(b) adalah
tidak mendukung dihapuskannya/diubahnya ketentuan ini dengan
mempertimbangkan bahwa sumber daya genetik mempunyai potensi
ekonomi, dengan dukungan sistem hak kekayaan intelektual memberikan
peluang yang besar dalam pengembangan sumber daya genetik.5
Perlunya pengungkapan asal dari sumber daya genetik sebagai bentuk
untuk mencegah tindakan biopiracy dan misappropriation terhadap sumber
daya genetik yang sebagian besar dilakukan oleh indutsri di negara-negara
5Dede Mia Yusanti, Upaya Melindungi Sumber Daya Genetik: Dimensi Internasional Terkait Hak Kekayaan Intelektual, (Artikel) dalam buku Merajut Penyepakatan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, dan Yayasan KEHAT, Jakarta, 2008, hlm. 69.
vii
maju. Sehingga dengan amandemen diharapkan menjadikan posisi negara-
negara berkembang yang kaya akan sumber daya hayati kuat terutama untuk
memperjuangkan pembagian keuntungan yang adil dan merata atas
pemanfaatan sumber daya genetik.
Negara-negara berkembang juga harus mempersiapkan suatu
mekanisme akses dan pembagian keuntungan yang tepat atas pemanfaatan
sumber daya genetik. Sehingga ketika pengungkapan asal sumber daya
genetik telah diterima dalam secara internasional, negara-negara berkembang
telah siap dengan mekanisme tersebut. Negara berkembang juga harus
mempersiapkan database sumber daya genetik. agar ketika terjadi klaim
terhadap sumber daya genetiknya, negara berkembang siap menyatakan secara
legal bahwa sumber daya genetik tersebut adalah miliknya.
Pasca kemerdekaan, Indonesia sudah memiliki beberapa Undang-
Undang Paten. Pada tahun 1989 DPR mengesahkan Undang-Undang No. 6
Tahun 1989 Tentang Paten. Undang-Undang ini kemudian mengalami
perubahan, sehingga menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 1997, dan
Undang-Undang No.14 Tahun 2001. Pemerintah kembali memperbaharui
Undang-Undang Paten dengan mengesahkan Undang-Undang No. 13 Tahun
2016 Tentang Paten dengan tujuan diadakannya perubahan-perubahan
viii
tersebut adalah untuk menyesuaikan perlindungan HKI di Indonesia dengan
standar Internasional seperti yang terdapat dalam perjanjian TRIPs.6
Namun, dalam berbagai Undang-Undang Paten tersebut. Pembahasan
mengenai POT/Pengetahuan Tradisional baru diatur dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 akan tetapi itu hanya melindungi mikroorganisme
yang berbentuk jasad renik. Yang pada kenyataannya bahwa pengaturan
dalam Undang-Undang Paten Tahun 2001 ini merugikan masyarakat adat
sebagai pemangku pengetahuan tradisional dikarenakan tidak adanya
pengaturan yang khusus mengenai Pengetahuan Obat Tradisional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Dalam Undang-Undang ini tidak dicantumkan mengenai perlindungan
terhadap pengetahuan obat tradisional atau pengetahuan tradisional
sehingga memudahkan tindakan penyalahgunaan atau klaim yang
dilakukan oleh pihak asing dengan alasan bahwa obat tradisional tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang Paten ini. Akan tetapi dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 menetapkan invensi yang tidak
dapat diberikan Paten di Indonesia. Sehingga apabila mengacu pada Pasal
7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten tersebut hanya
cukup memberikan ruang bagi sumber daya genetik yang menyangkut
jasad renik untuk mendapatkan Paten. Berdasarkan pasal tersebut, salah
6 Tim Lindsey dkk, Hak kekayaan Intelektual, suatu pengantar cet-ke-2, Bandung, PT Alumni, 2003,hlm. 183.
ix
satu yang dapat dipatenkan adalah jasad renik. Penjelasan pasal 7
menyatakan bahwa jasad renik adalah makhluk hidup yang berukuran
kecil dan tidak dapat dilihat secara kasat mata melainkan harus dengan
bantuan mikroskop, misalnya amuba, ragi, virus, dan bakteri.
Pasal 27 ayat 3(b) TRIPs juga mengijinkan pemberian Paten terhadap
beberapa materi genetik termasuk sumber daya genetik dan
mikroorganisme. Perjanjian TRIPs memungkinkan diberikannya Paten
untuk material genetika dan produk-produk turunannya dengan sistem sui
generis. Perjanjian TRIPs tidak mengatur bagaimana hak paten diperoleh.
Apakah konsisten atau tidak dengan hak negara (sovereignity) asal dari
sumber daya genetik tersebut. Perjanjian TRIPs menyediakan
perlindungan material genetika dan produk-produk turunannya melalui
paten, tanpa memastikan bahwa ketentuan Konvensi Keanekaragaman
Hayati, yang meliputi prior informed consent dan benefit sharing
dipertimbangkan.
Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut bahwa Undang-Undang
Tahun 2001 ini tidak mencakup mengenai pengaturan tentang
Pengetahuan Tradisional secara maksimal, maka itu menjadi salah satu
pertimbangan Pemerintah untuk merevisi Undang-Undang ini menjadi
Undang-Undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016.
x
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Paten oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 28 Juli
2016 merupakan awal dari suatu sejarah dalam bidang perlindungan
Kekayaan Intelektual khususnya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, inovasi, dan teknologi. Terdapat poin penting perubahan
dalam UU ini, yaitu bahwa UU Paten yang baru lebih berpihak pada
kepentingan nasional. Hak paten akan didorong pada sumber daya genetik
seperti mikroorganisme dan pengetahuan tradisional, semisal jamu, herbal
dan kuliner. Apabila ada kerja sama dengan asing dalam dua hal
tersebut, maka mereka harus turut mencantumkan sumber daya alam dari
Indonesia. Dengan begitu, akan ada pembagian hasil antara ahli olah
teknologi dari asing dengan petani Indonesia.7
Mengenai Pengetahuan Obat Tradisional diatur dalam Pasal 26
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten yang berbunyi
sebagai berikut:“Ayat (1) Jika Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal
dari sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional, harus
disebutkan dengan jelas dan benar asal sumber daya genetik dan/atau
pengetahuan tradisional tersebut dalam deskripsi.Ayat (2) Informasi
7 Deliana Pradhita Sari, RUU Paten Disahkan, Ini Beberapa Perubahan Penting, http://industri.bisnis.com/read/20160728/12/569989/ruu-paten-disahkan-ini-beberapa-perubahan-penting, Diakses Pada Tanggal 12 Maret 2017.
xi
tentang sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga resmi yang
diakui oleh pemerintah.Ayat (3) Pembagian hasil dan/atau akses
pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional di bidang
sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.”8
Adapun pada kenyataannya walaupun sudah diatur di dalam UU ini
mengenai perlindungan terhadap Pengetahuan Obat tradisional tersebut
namun seperti yang sudah disebutkan ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi untuk suatu invensi dapat dipatenkan, berikut ada beberapa
ketidaksesuaian antara pengetahuan obat tradisional dan paten,
yaitu:pengetahuan obat tradisional tidak dapat memenuhi syarat kebaruan
karena suatu invensi untuk dapat dipatenkan harus merupakan sesuatu
yang sama sekali baru, tidak dapat terpenuhinya syarat adanya langkah
inventif, dan sangat sulit memenuhi syarat dapat diterapkan dalam
industri,
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa bentuk
Perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional yang terdapat dalam UU
Paten yang baru ini juga belum maksimal karena walaupun sudah
8 Indonesia, Undang-Undang tentang Paten, UU No. 13 Tahun 2016, LN No. 176 Tahun 2016 TLN No. 5922, Psl. 26.
xii
disebutkan dalam UU namun ditentang oleh syarat dari invensi yang dapat
dipatenkan itu sendiri. Oleh karena belum memadainya pengaturan
mengenai Pengetahuan Obat Tradisional tersebut, maka pengaturan
mengenai POT tersebut juga dapat kita temui di peraturan-peraturan lain
diluar sistem TRIPs.
Pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional Diluar Sistem HKI-TRIPs
Konvensi keanekaragaman hayati merupakan konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang ditandatangani oleh 157 kepala negara atau wakil
pemerintahan pada waktu diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi
Bumi (Earth Summit). KTT Bumi dengan dukungan Perserikatan Bangsa-
bangsa ini diadakan antara tanggal 3-14 Juni di kota Rio de Janerio, Brazil.
Karena itu konvensi ini dikenal dengan nama United Nations Conventions on
Biological Diversity atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai
Keanekaragaman Hayati.
Dalam Pasal 8 huruf j Konvensi Keanekaragaman Hayati
menghendaki negara anggota dari Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk
tunduk pada peraturan perundang-undangan nasional dengan menghormati,
melindungi, dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-
praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri
tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan memajukan penetapannya secara lebih luas
xiii
dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan inovasi-inovasi dan
praktik-praktik tersebut semacam itu mendorong pembagian yang adil
keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi
dan praktik-praktik semacam itu.9
Pasal 8 tersebut secara eksplisit mengakui kontribusi masyarakat asli
dan setempat terhadap konservasi keanekaragaman hayati yang menghendaki
agar menghormati dan mendukung pengetahuan mereka, inovasi-inovasi dan
praktik-praktik dan menegaskan hak-hak penduduk asli mengenai
pengetahuan yang dimilikinya dan pasal ini juga menghendaki adanya
pembagian keuntungan yang adil (benefit sharing).10
Akses dan pembagian keuntungan, selain ditetapkan sebagai salah satu
tujuan utama Konvensi Keanekaragaman Hayati, juga diatur secara khusus
pada Pasal 15, di mana negara pihak berkomitmen untuk
mengimplementasikan akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan
sumber daya genetik, termasuk kewajiban untuk menciptakan kondisi untuk
memfasilitasi akses terhadap sumber daya genetik.
Segala macam obat tradisional adalah berbahan dasar tumbuhan dan
termasuk dalam sumber daya genetik atau termasuk dalam konvensi
9Konvensi Keanekaragaman Hayati, Pasal 8. 10 Cita Citrawinda, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak atas Inddikasi
Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional, disampaikan dalam Lokakarya HKI yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI pada 6 April 2005, hal 8.
xiv
keanekaragaman hayati tersebut sehingga secara tidak langsung ketentuan-
ketentuan dalam Pasal CBD tersebut memberikan perlindungan terhadap
semua bentuk pengetahuan obat tradisional yang artinya jika ada pihak asing
yang ingin memanfaatkan pengetahuan obat tradisional tersebut harus
mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Pasal CDB, baik mengenai
permohonan izin akses, pembagian keuntungan dengan masyarakat setempat
pemilik pengetahuan obat tradisional ataupun sebagainya.
Selain dalam peraturan-peraturan diluar sistem TRIPs, yang menjadi
dasar Pemerintah dalam melakukan berbagai upaya untuk melindungi
Pengetahuan Obat Tradisional tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan Konstitusional
Pengakuan atas eksistensi dan produk-produk tradisional masyarakat
adat sejatinya adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) yang menyatakan
bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Kemudian, Pasal 33 ayat (3) menjadi dasar pengaturan tentang
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia termasuk di dalamnya adalah
sumber daya genetik yang menjadi bagian dari sumber daya alam hayati.
xv
Pasal 33 ayat (3) menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.11
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sendiri merupakan landasan dalam
membuat peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga dengan telah
terakomodirnya pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam, maka
dapat menjadi acuan untuk membuat peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur tentang pemanfaatan
sumber daya genetik atau pengetahuan obat tradisional (POT).
Prosedur Dan Tahapan Untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum
Pengetahuan Obat Tradisional
Prosedur Pendaftaran Paten Penegetahuan Obat Tradisional Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
Pengakuan HKI diwujudkan dalam pemberian beberapa hak seperti
Hak Paten. Perolehan hak tersebut memerlukan keaktifan dari pihak penemu
(inventor) untuk mengajukan Hak Kekayaan Intelektualnya kepada
pemerintah. Artinya tanpa ada permohonan untuk mendaftarkan Kekayaan
Intelektualnya, maka pemilik HKI tidak berhak atas pengakuan HKI.
Pemberian Hak Paten dilakukan melalui prosedur pendaftaran melalui
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak
11 Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 ayat (3).
xvi
Asasi Manusia (Ditjen HAKI) dengan mengajukan permohonan Hak Paten
melalui prosedur yang telah ditentukan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada Pasal 26 bahwa
pengetahuan obat tradisional atau sumber daya genetika atau pengetahuan
tradisional telah diatur dalam rezim Paten, prosedur pendaftaran untuk
pengetahuan obat tradisional tersebut sama seperti prosedur pendaftaran Paten
pada umumnya.
Dalam masalah Paten, ada ketentuan bahwa pemegang Paten wajib
melaksanakan patennya di wilayah dimana Paten tersebut didaftarkan. Itu
artinya, ia mesti memproduksi patennya di Indonesia mulai dari investasi,
penyerapan tenaga kerja, hingga masalah transfer teknologi. Adapun untuk
prosedur Paten di dalam negeri disebutkan bahwa: Mengajukan Permohonan,
pada tahap ini permohonan Paten dapat mengajukan permohonan dengan
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan; Pemeriksaan
Administratif, pada Tahap ini pemeriksa melakukan pemeriksaan secara
cermat dari pemohon untuk melihat apabila adanya kekurangan-kekurangan
persyaratan yang diajukan. Dalam hal adanya kekurangan pemeriksa dapar
mengkomunikasikan hal ini kepada pemohon untuk diperbaiki dalam
tenggang waktu 3 (tiga) bulan dan apabila tidak dapat diperbaiki maka
permohonan tersebut ditolak; Pemeriksaan Substansi, pada tahap ini
permohonan diperiksa. Permohonan Paten dengan tipe produk Paten yang
berbeda-beda. Tim ahli yang terdiri dari para pemeriksa yang ahli pada
xvii
bidangnya memeriksa isi dari pernyataan-pernyataan yang telah diajukan
untuk memastikan kebenarannya dengan pengkoreksian, setelah dinyatakan
memadai maka akan dikeluarkan laporan pemeriksaan yang usulannya akan
disampaikan kepada Direktorat Jenderal. Jika permohonan ditolak maka
pemohon dapat mengajukan tanggapan terhadap penolakan tersebut/
pemeriksaan substansi dilaksanakan paling lama selama 18 (delapan belas)
bulan; Pengumuman, setelah melewati berbagai pemeriksaan dan memenuhi
persyaratan untuk diberi Hak Paten. Maka, Direktorat Jenderal HAKI akan
mengumumkan keputusan tersebut dalam Berita Resmi Hak Paten selama 6
(enam) bulan; Terbit Sertifikasi Hak Paten, setelah tahap pengumuman
terlewati atau selama 6 (enam) bulan tidak ada keberatan/banding dari
masyarakat. Maka DirJen HAKI kemudian memberikan sertifikasi
Pendaftaran Hak Patennya untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak
terjadinya Filling date. Sertifikat dapat diperbaiki apabila terjadi kekeliruan;
Keberatan/Banding, permohonan banding dapat diajukan kepada Komisi
Banding Paten oleh Pemohon atau Kuasanya terhadap Penolakan Permohonan
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan penolakan diterima dengan
membayar biaya yang telah ditetapkan.
Perlindungan Atas Pengetahuan Obat Tradisional Terkait Sumber Daya
Genetik Dan Pengetahuan Tradisional Indonesia
Dalam rencana pengembangan skema perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik terdapat beberapa
xviii
tahapan yang harus dilakukan:Tahap Awal / Identifikasi, mencakup kegiatan
identifikasi, inventarisasi, dokumentasi dan registrasi sumber daya genetik
dan pengetahuan tradisional serta siapa saja pengemban haknya (custodian)
dan pihak mana saja yang berhak memperoleh manfaat dari hak tersebut
(beneficiaries); Tahap Perlindungan, mencakup ragam bentuk perlindungan
hukum dalam hal terjadi pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan
tradisional oleh pihak diluar pemegang hak, baik secara komersial maupun
non komersial; Tahap Pembagian Manfaat (Benefit Sharing),mencakup
mekanisme pemberian kompensasi atau pembagian keuntungan antara pihak
pemegang hak dengan pihak pengguna (holder dengan user) berdasarkan
benefit sharing agreement. Kompensasi ini dapat bersifat ekonomis, seperti
pembayaran royalti maupun non – ekonomis, seperti program pemberdayaan
masyarakat lokal di negara sumber / provider; Tahap Pengawasan, mencakup
tindakan – tindakan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional serta pengawasan
mengenai pemenuhan hak dan kewajiban dari para pihak dalam hal dibuat
benefit sharing agreement; Tahap Penegakan Hukum, mencakup tindakan
represif berupa pengenaan sanksi administratif, denda maupun pidana dalam
hal terjadi penggunaan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
secara melawan hukum.12
12Tisni Santika, Perlindungan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional Sebagai Perwujudan Kedaulatan Negara Dalam Pembangunan Hukum Kekayaan Intelektual Nasional di
xix
Dalam upaya menjalankan tahap–tahap perlindungan terhadap sumber
daya genetik dan pengetahuan tradisional tersebut diatas, terdapat beberapa
alternatif perlindungan yang dapat diterapkan, yaitu:Perlindungan Defensif,
dilakukan dengan memanfaatkan sistem registrasi; Perlindungan positif,
mengacu pada tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk secara aktif
mendorong perlindungan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
dengan mengakui hak – hak komunitas lokal atas sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang dimilikinya; Pengaturan Sui Generis, di bidang
hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut jenis – jenis aturan
hukum secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat spesifik atau
unik atau untuk mengidentifikasi klasifikasi hukum yang ada yang terlepas
dari kategorisasi lain karena singularitas atau karena penciptaan spesifik dari
suatu hak dan kewajiban.
Era Pembangunan Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Economy), (Tesis Magister Hukum Universitas Pasundan), 2016, hlm. 33-34.
xx
III. PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada Bab-Bab diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan Pengetahuan Obat
Tradisional dalam sistem Paten di Indonesia terdapat dalam Pasal 26 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang mengganti Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pembentukan pengaturan
dalam Paten tersebut didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 dan Pasal 33. Sedangkan pengaturan
Internasional yang mendasari pembentukan Undang-Undang Paten di
Indonesia adalah Trade-Related Aspects of Intellectual
PropertyRights (TRIPs) Agreement dan Convention on Biological
Diversity (CBD). Namun, bentuk Perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional
yang terdapat dalam UU Paten yang baru tersebut masih belum maksimal
karena walaupun sudah disebutkan dalam UU namun tidak didukung oleh
syarat dari invensi yang dapat dipatenkan. 2. Prosedur Pendaftaran Paten
Pengetahuan Obat Tradisional di Indonesia pada dasarnya sama seperti
pendaftaran Paten pada umumnya, yang membedakan hanyalah biaya yang
harus dikeluarkan dan harus disebutkan dengan jelas dan benar asal sumber
daya genetik atau Pengetahuan Obat Tradisional tersebut dalam deskripsi
Paten. Selebihnya, tahapan-tahapan pendaftaran Pengetahuan Obat
xxi
Tradisional sama seperti pendaftaran Paten lainnya. Namun pada
kenyataannya pendaftaran Pengetahuan Obat Ttadisional masih cenderung
sedikit dan dianggap rumit oleh masyarakat. Adapun tahapan untuk
mendapatkan perlindungan hukum terhadap Pengetahuan Obat Tradisional
terkait sumber daya genetik adalah melalui: Tahap Awal / Identifikasi, Tahap
Perlindungan, Tahap Pembagian Manfaat (Benefit Sharing), Tahap
Pengawasan, dan Tahap Penegakan Hukum. Dalam upaya menjalankan
tahap–tahap perlindungan terhadap sumber daya genetik atau pengetahuan
obat tradisional tersebut, terdapat beberapa alternatif perlindungan yang dapat
diterapkan, yaitu melalui perlindungan defensif, perlindungan positif, dan
pengaturan sui generis.
Saran
1. Pengaturan sumber daya genetik atau Pengetahuan Obat Tradisional di
Indonesia masih bersifat sektoral, sehingga perlu menyatukan peraturan
perundang-undangan terkait dengan sumber daya genetik atau Pengetahuan
Obat Tradisional menjadi lebih terintegrasi. Perlu adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur sumber daya genetik (Pengetahuan Obat
Tradisional) secara lengkap, antara lain memuat tentang database sumber
daya genetik (Pengetahuan Obat Tradisional) di Indonesia, pengakuan dan
pelibatan masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya genetik
(Pengetahuan Obat Tradisional), mekanisme akses dan pembagian
keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik termasuk mekanisme
xxii
perpindahan sumber daya genetik dan pelibatan pihak ketiga, hak dan
kewajiban para pihak, konsep perlindungan dan pelestarian dari sumber daya
genetik, pengawasan dan penegakan hukum terhadap akses dan pemanfaatan
sumber daya genetik, model kelembagaan yang tepat, mekanisme
penyelesaian sengketa dan ketentuan pidana dan sanksi.2. Prosedur
pendaftaran Paten Pengetahuan Obat Tradisional perlu dibuat lebih mudah
dan cepat, serta dibedakan dengan pendaftaran Paten lainnya sehingga tidak
mempersulit masyarakat lokal dalam mendaftarkan Patennya, dan RUU
sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, dan ekspresi budaya tradisional
(SDGPTEBT) harus segera diundangkan, atau dapat dibuat dalam bentuk
Peraturan Pemerintah.
xxiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Makalah dan Artikel Abdul Bari Azed, Kepentingan Negara Berkembang atas Indikasi Geografis,
Sumber Daya Genetik, dan Pengetahuan Tradisional, Lembaga Pengkaji Hukum Internasional Fakultas Hukum Universiitas Indonesia dan Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2005.
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI,
Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat, PT Alumni, Bandung, 2013.
Cita Citrawinda, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak atas Inddikasi
Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional, disampaikan dalam Lokakarya HKI yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI pada 6 April 2005.
Dede Mia Yusanti, Upaya Melindungi Sumber Daya Genetik: Dimensi
Internasional Terkait Hak Kekayaan Intelektual, (Artikel) dalam buku Merajut Penyepakatan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, dan Yayasan KEHAT, Jakarta, 2008.
Dwi Martini, Hayyanul Haq, Budi Sutrisno, Perlindungan Hukum Terhadap
Pengetahuan Obat-Obatan Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia (Studi Pada Masyarakat Tradisional Sasak), Jurnal Hukum Dan Peradilan, Vol. VI, No. 1, 2017.
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pertanian, dan Yayasan KEHATI, Merajut Penyepakatan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, dan Yayasan KEHATI, Jakarta, 2008.
Tim Lindsey dkk, Hak kekayaan Intelektual, suatu pengantar cet-ke-2, Bandung,
PT Alumni, 2003.
xxiv
Tisni Santika, Perlindungan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional Sebagai Perwujudan Kedaulatan Negara Dalam Pembangunan Hukum Kekayaan Intelektual Nasional di Era Pembangunan Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Economy), (Tesis Magister Hukum Universitas Pasundan), 2016.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia, Undang-Undang tentang Paten, UU No. 13 Tahun 2016, LN No. 176
Tahun 2016 TLN No. 5922. Konvensi Keanekaragaman Hayati. Sumber lain seperti Kamus, Media Masa, website, dll. Deliana Pradhita Sari, RUU Paten Disahkan, Ini Beberapa Perubahan Penting,
http://industri.bisnis.com/read/20160728/12/569989/ruu-paten-disahkan-ini-beberapa-perubahan-penting, Diakses Pada Tanggal 12 Maret 2017.