jurnal ilmiah mahasiswa pendidikan sejarah konflik antar

21
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79 59 KONFLIK ANTAR ETNIS DI TANAH GAYO: TINJAUAN INTERAKSI SOSIAL ANTAR ETNIS JAWA DAN ETNIS ACEH TAHUN 1989-2015 Nanda Winar Sagita, Mawardi Umar, Zainal Abidin AW Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala ABSTRAK Dalam konteks Aceh, kekerasan kultural tidak bisa dipisahkan dari kekerasan struktural. Artinya, kekerasan politik juga menggiring kepada kekerasan yang terjadi karena perbedaan etnis, agama dan bahasa. Salah satu daerah yang berpotensi besar menjadi tempat munculnya konflik semacam itu adalah Aceh Tengah. Di wilayah ini setidaknya terdapat 3 etnis yang dominan dengan akar kebudayaan yang sangat jauh berbeda, yaitu Gayo, Aceh dan JawaPenelitian ini mengangkat masalah tentang bagaimana interaksi sosial masyarakat pra- konflik, proses terjadinya konflik, dan dampaknya terhadap masyarakat di kampung Gayo Murni pasca-konflik terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan hubungan sosial antara masyarakat sebelum terjadinya konflik, proses dan periodesasi konflik yang sedang berlangsung, dan dampak terhadap masyarakat setelah konflik terjadi di Kampung Gayo Murni. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yakni wawancara dengan informan, dokumentasi pada arsip kampung dan surat kabar, dan observasi langsung ke Kampung Gayo Murni. Informan dalam penelitian ini meliputi Sarak Opat serta warga dari etnis Jawa, etnis Aceh, dan etnis Gayo yang berdomisili di kampung tersebut. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan sejarah kritis dengan pendekatan kualitatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa interaksi sosial antara etnis di Kampung Gayo Murni sebelum terjadinya konflik masih berjalan baik dan harmonis karena kampung tersebut masih dalam proses pembangunan yang seiring dengan kedatangan etnis Jawa melalui program transmigrasi. Konflik mulai terjadi ketika Pemerintah RI menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 2003. Konflik berlangsung dalam dua periode, yang pertama dalam kurun waktu 2003-2005 dan yang kedua dalam kurun waktu 2005-2008. Konflik tersebut berdampak besar pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Kampung Gayo Murni. Kata Kunci: Konflik, Etnis, Kampung Gayo Murni PENDAHULUAN Indonesia adalah negara heterogen yang terdiri dari berbagai macam etnis, agama dan bahasa. Keanekaragaman ini tidak hanya menjadi ciri khas yang mencerminkan eksistensi suatu bangsa multikultural, tetapi juga menyebabkan terjadinya perbenturan budaya yang sangat krusial antara satu golongan dengan golongan yang lain. Misbah Zulfa Elizabeth (dalam Musahadi HAM, 2007:12-13) menyatakan bahwa di dalam ruang lingkup kemajemukan, stereotype dan prasangka berkembang secara tidak terbatas sehingga dapat memunculkan konflik antara dua kelompok yang sedang berinteraksi. Hal ini disebabkan karena setiap kelompok

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

59

KONFLIK ANTAR ETNIS DI TANAH GAYO: TINJAUAN INTERAKSI SOSIALANTAR ETNIS JAWA DAN ETNIS ACEH TAHUN 1989-2015

Nanda Winar Sagita, Mawardi Umar, Zainal Abidin AWProgram Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Dalam konteks Aceh, kekerasan kultural tidak bisa dipisahkan dari kekerasan struktural.Artinya, kekerasan politik juga menggiring kepada kekerasan yang terjadi karena perbedaanetnis, agama dan bahasa. Salah satu daerah yang berpotensi besar menjadi tempat munculnyakonflik semacam itu adalah Aceh Tengah. Di wilayah ini setidaknya terdapat 3 etnis yangdominan dengan akar kebudayaan yang sangat jauh berbeda, yaitu Gayo, Aceh danJawaPenelitian ini mengangkat masalah tentang bagaimana interaksi sosial masyarakat pra-konflik, proses terjadinya konflik, dan dampaknya terhadap masyarakat di kampung GayoMurni pasca-konflik terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan hubungan sosialantara masyarakat sebelum terjadinya konflik, proses dan periodesasi konflik yang sedangberlangsung, dan dampak terhadap masyarakat setelah konflik terjadi di Kampung GayoMurni. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yakni wawancara dengan informan,dokumentasi pada arsip kampung dan surat kabar, dan observasi langsung ke Kampung GayoMurni. Informan dalam penelitian ini meliputi Sarak Opat serta warga dari etnis Jawa, etnisAceh, dan etnis Gayo yang berdomisili di kampung tersebut. Metode yang digunakan adalahmetode deskriptif dan sejarah kritis dengan pendekatan kualitatif. Hasil analisis datamenunjukkan bahwa interaksi sosial antara etnis di Kampung Gayo Murni sebelum terjadinyakonflik masih berjalan baik dan harmonis karena kampung tersebut masih dalam prosespembangunan yang seiring dengan kedatangan etnis Jawa melalui program transmigrasi.Konflik mulai terjadi ketika Pemerintah RI menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer(DOM) pada tahun 2003. Konflik berlangsung dalam dua periode, yang pertama dalam kurunwaktu 2003-2005 dan yang kedua dalam kurun waktu 2005-2008. Konflik tersebut berdampakbesar pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Kampung Gayo Murni.

Kata Kunci: Konflik, Etnis, Kampung Gayo Murni

PENDAHULUANIndonesia adalah negara heterogen

yang terdiri dari berbagai macam etnis,agama dan bahasa. Keanekaragaman ini tidakhanya menjadi ciri khas yang mencerminkaneksistensi suatu bangsa multikultural, tetapijuga menyebabkan terjadinya perbenturanbudaya yang sangat krusial antara satu

golongan dengan golongan yang lain. MisbahZulfa Elizabeth (dalam Musahadi HAM,2007:12-13) menyatakan bahwa di dalamruang lingkup kemajemukan, stereotype danprasangka berkembang secara tidak terbatassehingga dapat memunculkan konflik antaradua kelompok yang sedang berinteraksi. Halini disebabkan karena setiap kelompok

Page 2: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

60

memiliki kepentingan ekonomi dan politikyang berbeda dari kelompok lainnya.

Menurut Johan Galtung (dalam NovriSusan, 2010:119) munculnya konflik antarakelompok disebabkan karena satu pihakmerasakan adanya ancaman pada kelestarian,kesejahteraan, kebebasan dan identitasnya.Ancaman yang datang bisa berupa kekerasanstruktural atau kekerasan kultural dan salingberhubungan antara satu dengan yang lain.

Dalam konteks Aceh, kekerasankultural tidak bisa dipisahkan dari kekerasanstruktural. Artinya, kekerasan politik jugamenggiring kepada kekerasan yang terjadikarena perbedaan etnis, agama dan bahasa.Salah satu daerah yang berpotensi besarmenjadi tempat munculnya konflik semacamitu adalah Aceh Tengah. Di wilayah inisetidaknya terdapat 3 etnis yang dominandengan akar kebudayaan yang sangat jauhberbeda, yaitu Gayo, Aceh dan Jawa (ChairulFahmi, 2014a:22).

Ditinjau dari asal-usulnya, ketiga etnistersebut dapat diklasifikasikan ke dalam duakelompok, yaitu etnis asli dan etnispendatang. Sebagai penduduk asli, sampaisaat ini etnis Gayo masih menjadi mayoritas.Berdasarkan data yang diperoleh dari situsresmi Badan Pusat Statistik (BPS), padasensus penduduk terakhir yang dilaksanakantahun 2010-2011, jumlah etnis Gayomendominasi sekitar 60% dari jumlahkeseluruhan penduduk yang mendiamiwilayah Aceh Tengah. Di samping itu,persentase kedua etnis lain, selakupendatang, adalah 30% untuk etnis Jawa dan5% untuk etnis Aceh. Selebihnya adalahgabungan dari berbagai macam etnis sepertiBatak, Tionghoa, Padang dan lain-lain(Chairul Fahmi, 2014b:13).

Lebih tingginya jumlah etnis Jawaketimbang etnis Aceh di wilayah AcehTengah adalah suatu fenomena yang unik.Hal ini berkaitan dengan diferensiasi aruskedatangan kedua etnis tersebut. Menurut T.A. Hasan Husin (1980:16), orang Jawa untukpertama kalinya datang dalam jumlah besarke dataran tinggi Gayo adalah pada masapemerintahan Hindia Belanda di awal abadke-20. Mereka dibawa secara berkelompokoleh Pemerintah Hindia Belanda untukdipekerjakan sebagai buruh, atau yang lebihpopuler disebut sebagai Jawa Kontrak. Padamulanya, mereka dipekerjakan diperkebunan-perkebunan teh di KampungJanarata Kecamatan Bebesen, perkebunan-perkebunan damar di Isaq dan Lampahanserta perkebunan-perkebunan kopi di PondokBaru. Setelah masa kontraknya habis,kebanyakan dari mereka tidak mau kembalike daerah asalnya dan memilih untukmenetap. Akibatnya, sebelum programtransmigrasi dijalankan oleh PemerintahOrde Baru pada dekade 1970-1980-an,diaspora pemukiman Jawa sudah dapatditemukan di beberapa daerah sepertiKecamatan Jagong Jeget, Atu Lintang(sebelumnya kedua kecamatan itu masihbergabung dengan Kecamatan Linge) danSilih Nara.

Di sisi lain, kedatangan etnis Aceh kewilayah Aceh Tengah lebih didorong olehberbagai macam faktor yang bersifat privasi,seperti kepentingan bisnis dan ikatanperkawinan (T. A. Hasan Husin, 1980:19).Arus kedatangan yang tidak terstruktur inimenyebabkan para sejarawan mengalamikesukaran untuk menentukan secara pastiperihal waktu datangnya orang Aceh keTanah Gayo, namun diperkirakan peristiwa

Page 3: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

61

itu sudah berlangsung sejak awalkemerdekaan. Hal ini dapat ditilik dari situasipolitik dan keadaan ekonomi yangmemungkinkan pada waktu itu. Umumnya,orang-orang Aceh tersebut berprofesi sebagaipedagang dan menetap di sekitaran kota,meskipun tidak sedikit pula yang tinggal diperkampungan. Seiring dengandiberlakukannya status Daerah OperasiMiliter (DOM) di Aceh sejak tahun 1989, isuanti-jawa yang mulanya berkembang pesat diwilayah Aceh pesisir, mulai merebak kewilayah Aceh Tengah. Hal ini menyebabkaninteraksi antara etnis yang awalnya terjalinharmonis menjurus ke arah yang negatif.

Di Kabupaten Aceh Tengah, daerahyang menjadi titik rawan terjadinya konfliktersebut adalah Kampung Gayo Murni yangterletak di Kecamatan Atu Lintang. Dikampung tersebut, hampir separuh darijumlah penduduknya adalah orang Jawa,sehingga tidak terlepas dari pengaruh milisiyang sangat kuat. Di samping itu, orang Acehyang jumlahnya paling sedikit dianggapsebagai penyebar ide separatisme sehinggamendapatkan ancaman dan pengusiran yangberujung pada penculikan, pembantaian, danpembakaran rumah.

Sisi yang menarik dari peristiwa iniadalah pertikaian yang terjadi justrumelibatkan langsung etnis-etnis pendatangyang menjadi minoritas, sedangkan posisietnis asli dalam konflik tersebut masih perluditeliti lebih lanjut, antara berpihak kepadakelompok tertentu atau bersikap netral.

METODE PENELITIANMetode yang sesuai untuk dipakai

dalam penelitian ini adalah metode sejarahkritis dengan pendekatan kualitatif. Hal inidikarenakan penulis ingin meninjau kembali

tentang eksistensi dan interaksi sosial etnisJawa dan etnis Aceh sejak kedatanganmereka ke Kampung Gayo Murni di akhirdekade 1980-an hingga pada saat ini.Menurut Helius Sjamsuddin (2007:17)metode sejarah kritis menggunakan beberapalangkah, yakni Heuristik, Kritik (meliputikritik eksternal dan internal), danHistoriografi (dengan melakukan penafsiran,penjelasan dan penyajian).

Selain itu, penelitian ini jugamenggunakan metode deskrptif. Hal inidikarenakan objek yang akan dikaji memilikifenomena yang dapat diungkapkan olehpeneliti. Fenomena yang dimaksud adalahrealitas sosial yang melibatkan tindakanmanusia dengan menggambarkan strukturdan pranata sosial (Burhan Bungin, 2007:83).

Adapun proses pengumpulan data didalam penelitian ini menggunakan tigateknik, yaitu; (1) Wawancara, teknik inidilakukan dengan proses wawancara padapelaku dan saksi yang menyaksikan langsungperistiwa yang terjadi. Hal ini dikarenakanperistiwa yang terjadi dapat diklasifikasikanke dalam bentuk sejarah yang diingat secarakolektif oleh masyarakat (Bernard Lewis,2009:11); (2) Dokumentasi; dan (3)Observasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kampung Gayo Murni

Kampung Gayo Murni adalah salahsatu kampung yang terletak di KecamatanAtu Lintang Kabupaten Aceh Tengah denganluas wilayah 475 Ha Berdasarkan letakgeografisnya, di sebelah timur berbatasandengan Kampung Meurah Jernang, disebelah selatan berbatasan dengan Kampung

Page 4: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

62

Meurah Muyang, di sebelah Barat berbatasandengan Kampung Kepala Akal, dan disebelah utara berbatasan dengan KampungDamar Mulyo (sumber: dokumen KampungGayo Murni).

Sebelum menjadi kampung yangmandiri, Gayo Murni merupakan bagian dariKampung Meurah Muyang. Hal ini berlakujuga dengan Kecamatan Atu Lintang yangsebelumnya juga masih bersatu denganKecamatan Linge. Seiring dengan prosespemekaran wilayah yang didasarkan padaQanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 1tahun 2006, Kecamatan Atu Lintangmemisahkan diri dari Kecamatan Linge.Meskipun demikian, Kampung Gayo Murniresmi menjadi kampung yang terpisah dariKampung Meurah Muyang sudah sejak tahun2002 (wawancara dengan Saladin, 7 Mei2016).

Secara administratif, Kampung GayoMurni terdiri dari 4 dusun, yaitu DusunGenap Mupakat, Sari Murni, Medang Jempa,dan Arami Sari. Jumlah penduduk yangmenempati Kampung Gayo Murni sampaitahun 2015 adalah 448 jiwa, yang manaterdiri dari 122 kepala keluarga (KK) denganjumlah laki-laki adalah 241 dan perempuan207 (sumber: dokumen Kampung GayoMurni). Semua penduduk di Kampung GayoMurni beragama Islam. Namun jika ditilikdari sisi etnis, orang Jawa adalah yang palingdominan.

Bentuk Interaksi Sosial MasyarakatKampung Gayo Murni

Secara umum, kedatangan etnis Jawake Kampung Gayo Murni berbarengandengan program transmigrasi yangdigalakkan pemerintah Orde Baru pada

dekade 1970-1980-an. Para transmigran yangikut serta dalam program tersebut tentu sajaharus memenuhi syarat sebagaimana yangtelah diatur dalam Pasal 25 PeraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 42Tahun 1973 tentang penyelenggaraantransmigrasi yang menyebutkan bahwa untukmenjadi transmigran, wajib memenuhisyarat-syarat: warga negara Indonesia,berkelakuan baik, berbadan sehat, sukarela,mempunyai kemampuan dan keterampilankerja, serta tunduk dan patuh pada peraturanpenyelenggaraan transmigrasi (Nurul Fitri,2014:58).

Untuk wilayah Atu Lintang, programtransmigrasi terdiri dari dua gelombangutama, yakni gelombang I pada tahun1981/1982 dan gelombang II pada tahun1995/1996. Khusus untuk gelombang I, paratransmigran dari Jawa tiba di Atu Lintangpada tanggal 24 Februari 1982. Hingga saatini, setiap tanggal tersebut masih diperingatioleh para transmigran sebagai hari istimewadengan mengadakan berbagai macamkarnaval dan pertunjukan seni. Peringatan inidiadakan di pusat Kecamatan Atu Lintangdan didanai oleh para transmigran dengansukarela, namun ada pula sumbangan daripemerintah dan tokoh-tokoh elit setempat(wawancara dengan Sumarto Ngatun, 9 Mei2016).

Jumlah mereka pada setiapgelombangnya berbeda. Pada Gelombang I,jumlah keseluruhan peserta transmigranadalah 200 KK yang terdiri dari 902 jiwa.Sedangkan pada Gelombang II, jumlahmereka meningkat menjadi 365 KK yangterdiri dari 1337 jiwa (Nurul Fitri, 2014:60).

Pembagian lahan pada prosespenempatan para transmigran tersebut,

Page 5: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

63

diadakan melalui sistem undian. Jatah lahanyang akan ditempati sudah memliki nomorundi masing-masing, dan tiap-tiap KKdiminta untuk mencabut nomor undian yangdisediakan oleh panitia. Setelah itu, barulahditetapkan kepemilikan masing-masing.Mereka diberikan dana subsidi dan bantuanmakanan pokok oleh pemerintah selamakurang lebih tiga tahun (wawancara denganMardiyanto dan Musikan, 9 Mei 2016).

Sementara itu, proses kedatanganorang Aceh ke Kampung Gayo Murni dapatdikatakan tidak terstruktur dan bersifatspontan. Ini disebabkan karena dalam adatAceh dikenal adanya istilah perantauan.Konsep perantauan di kalangan orang Acehmemiliki beberapa perbedaan yangdidasarkan pada tujuan rantau. Perantauandengan maksud berdagang disebut jaknaniaga (pergi berniaga), dan kalau untukbersekolah dikatakan jak meudagang (pergibermagang). Sedangkan perantauan dengantujuan bertani disebut jak seumuga (pergibertanam). Sebutan lain lagi untukperantauan adalah bungka (BambangSuwondo, dkk, 1982:35-36).

Meskipun demikian, mayoritas orangAceh yang datang ke Kampung Gayo Murnibertujuan untuk membangun kehidupan baruyang lebih baik. Diperkirakan mereka telahdatang sekitar awal tahun 1970-an. Jumlahmereka tidak banyak dan berasal dariberbagai daerah seperti Pidie, Aceh Barat,dan Aceh Timur. Beberapa di antarapendatang tersebut ada yang menikah denganpenduduk setempat dan ada juga yangmembawa serta keluarganya dari daerah asal(wawancara dengan Zainal Abidin, 7 Mei2016).

Hal pertama yang paling pentinguntuk diperhatikan dalam interaksi sosialantar etnis yang berbeda adalah penggunaanbahasa sebagai alat komunikasi. BiasanyaBahasa Indonesia adalah prioritas utamayang dipilih oleh masing-masing etnisberbeda untuk saling berhubungan, tetapi diKampung Gayo Murni, bahasa Gayo jugamenjadi alternatif lain.

Penggunaan bahasa Gayo di dalamhubungan antar etnis ternyata dipengaruhioleh beberapa hal. Lamanya seseorangberada di lingkungan orang Gayo ternyatabukan satu-satunya sebab penguasaan bahasaGayo oleh orang yang berasal dari etnis lain,khususnya Jawa, karena masih terdapat orangyang meskipun sudah sejak lama berada didaerah Aceh Tengah, namun penguasaanbahasa Gayo mereka masih kurang sekali(Harjono, 1978:19).

Di kampung Gayo Murni, jikadibandingkan penguasaan bahasa Gayoantara etnis Jawa dan entis Aceh, etnis Jawacenderung lebih cepat dan lebih baik dalampenguasaan bahasa Gayo. Ini dikarenakansifat pergaulan mereka jauh lebih terbuka.Sedangkan etnis Aceh, meskipun jumlahnyatidak begitu banyak, dapat dikatakan masihtertututp dan bertahan dengan budayanyasendiri, sebab di dalam kehidupan sehari-harimasih banyak yang menggunakan bahasaIndonesia untuk berkomunikasi.

Meskipun demikian, bahasa memangtidak dapat dijadikan satu-satunya patokandalam menentukan pola interaksi antar etnisyang terjadi di Kampung Gayo Murni.Selebihnya orang Aceh yang ada diKampung Gayo Murni memang sudahberkeluarga sebelum menempati kampungtersebut. Lain halnya dengan sekarang, yang

Page 6: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

64

mana perkawinan lintas etnis sudah dianggapsebagai proses sosial yang normal danmenjadi salah satu bentuk interaksi yangwajar (wawancara dengan Zainal Abidin, 7Mei 2016).

Profesi yang paling dominan digelutioleh masyarakat di Kampung Gayo Murniada di bidang pertanian, khususnya lagipetani kopi. Jika dipersentasekan, maka lebihdari 80% dari jumlah keseluruhanmasyarakat yang ada di kampung tersebutmemiliki pekerjaan yang berkaitan denganpertanian. Selebihnya yang 20% lagi adalahpedagang, PNS, dan wiraswasta. Jumlah initidak hanya berlaku bagi etnis tertentu, sebabbaik itu orang Gayo, Aceh dan Jawa, masing-masing mengambil peran di dalamnya.

Sistem pertanian orang Gayo diKampung Gayo Murni hampir sama denganorang Jawa. Mereka telah menempatikampung itu terlebih dahulu, jadi tanah yangada di sana memang milik pribadi yangdidapatkan dari hasil warisan atau jual-belidengan pemilik sebelumnya. Dalam bertanipun, orang Gayo telah menjadi pemula danpada masa-masa awal kedatangan paratransmigran, mereka sempat menjadipenyedia lapangan kerja bagi orang Jawayang masih hidup menumpang di rumah-rumah penduduk setempat (wawancaradengan Zainal Abidin, 7 Mei 2016).

Berbeda dengan kedua etnissebelumnya, mayoritas orang Aceh diKampung Gayo Murni berprofesi sebagaipedagang. Ada juga yang bekerja sebagaipetani, tetapi umumnya mereka berasal dariwilayah Aceh Barat. Sampai akhir tahun1999, orang Aceh yang menjadi petanitercatat ada sekitar 5 KK. Selebihnya adalahpedagang yang membuka kios dan grosir,

warung makan, PNS, serta tauke kopi. Salahsatu orang Aceh yang menjadi tauke terkenaldi Kampung Gayo Murni adalah Abu Abbas.Dia masih bertahan dengan bisnisnyatersebut sampai konflik mencapai puncaknyasekitar tahun 2003 s.d. 2005 (wawancaradengan Zainal Abidin, 7 Mei 2016).

Ada beberapa poin menarik darikehidupan ekonomi masyarakat di KampungGayo Murni. Pertama adalah tentangperbedaan kedisiplinan antara orang Jawadan orang Gayo dalam bekerja di kebun, dantentang pengaruh kedatangan orang Aceh dikampung tersebut. Jika dilakukan sebuahkomparasi, tingkat kedisiplinan kerja orangJawa dalam berkebun jauh lebih tinggidibandingkan dengan orang Gayo. Ini dapatterlihat dari jam kerja dan hasil yangdiperoleh. Kebanyakan orang Jawa memulaipekerjaan di kebun sekitar jam 07:00 WIB,sedangkan orang Gayo baru memulainyasekitar satu sampai dua jam kemudian.Secara keseluruhan hal ini memang tidakmemengaruhi hasil panen kopi, tetapi dapatdilihat bahwa banyak orang Jawa yang ada diKampung Gayo Murni sudah bisamembangun rumah yang lebih besardibandingkan dengan orang Gayo, meskipunmereka baru menempati kampung tersebutbelakangan (wawancara dengan ZainalAbidin, 7 Mei 2016).

Poin menarik selanjutnya adalahperihal kedatangan dan keberadaan orangAceh di kampung tersebut. Dapat dikatakanbahwa orang Aceh adalah salah satupendongkrak ekonomi di Kampung GayoMurni. Dengan adanya grosir dan kios milikmereka, masyarakat tidak perlu lagi belanjake pusat kecamatan atau ke kampungsebelah. Di samping itu, pada masa pra-

Page 7: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

65

konflik, yang memegang bisnis jual beli kopidi kampung tersebut juga orang Aceh. Inimenandakan bahwa secara tidak langsungusaha yang dikelola oleh orang Aceh turutmenyumbang kemajuan dan tingkatperekonomian di Kampung Gayo Murni.

Sebelum tahun 2002, Kampung GayoMurni masih menjadi bagian dari KampungMeurah Muyang, hal yang paling menonjoladalah penggunaan istilah untuk menyebutaparatur pemerintahan kampung. Pada saatitu istilah Sarak Opat yang menjadi ciri khasdalam sistem pemerintahan masyarakat Gayosecara turun-temurun, sama sekali tidakdigunakan, sebab pengaruh Jawa sangatkental di daerah tersebut. Setelah tahun 2002,Kampung Gayo Murni sudah berdiri sendiri,semua istilah yang berbau Jawa itu diganti.Kata-kata yang diganti dapat dilihat padatabel berikut ini:

Istilah UmumSebelum

Tahun 2002Sesudah Tahun

2002Kepala Desa Kepala Desa

(Kades)Reje Kampung

SekretarisDesa

Carik Banta

Kepala Dusun Polo PenghuluKepala Urusan Ulu-ulu Kejurun

(Sumber: wawancara dengan Saladin, 7 Mei 2016)

Dari tabel di atas jelas sekali terlihatadanya upaya melakukan revitalisasi sistempolitik masyarakat Gayo di Kampung GayoMurni. Tetapi istilah tersebut baru digunakansecara resmi pada tahun 2011 berdasarkanQanun Pemerintah Aceh Tengah Nomor 4Tahun 2011 tentang pemerintahan kampung.

Meskipun istilah Jawa dalam aparaturkampung pernah digunakan sejak lama, padakenyataannya sejak Kampung Gayo Murniberdiri, belum ada orang Jawa yang

menduduki posisi penting seperti kepala desadan sekretaris desa. Ini berhubungan dengantingkat pendidikan para transmigran yangmayoritas hanya tamatan SD dan SMP.(wawancara dengan Mardiyanto, 9 Mei2016).

Sementara itu peran dan partisipasietnis Aceh dalam sistem pemerintahan diKampung Gayo Murni dapat dikatakan lebihminim lagi. Ini berkaitan erat dengan profesiyang digeluti oleh mayoritas orang Aceh,yakni sebagai pedagang dan PNS. Dengandemikian, kedudukan dan posisi pentingdalam sistem pemerintahan di kampungtersebut sepenuhnya dipercayakan kepadaorang Gayo.

Akar Konflik Antar Etnis Jawa dan EtnisAceh di Kampung Gayo Murni

Pada dasarnya, konflik yang terjadiantara etnik adalah gejala yang sangat tipikaldari relasi antarmanusia (human relationship)yang terjadi pada setiap level, mulai darilevel psikologis hingga level global. Konfliktersebut umumnya berlaku antara etnismayoritas dan minoritas, meskipun diwarnaioleh faktor-faktor kultural dan struktural (AloLiliweri, 2005: 252). Dalam kasus diKampung Gayo Murni, konflik yang terjadimemang tidak terlepas dari sisi kultural danstruktural. Agar lebih sistematis, penulis akanmembagi faktor-faktor yang memicumeletusnya konflik tersebut ke dalam duakategori, yakni faktor eksternal dan faktorinternal.

Sebelum konflik antara pemerintah RIdan GAM menyebar secara menyeluruh didaerah Aceh, kehidupan masyarakat diKampung Gayo Murni pada umumnya masihharmonis. Baik dari segi kegiatan ekonomi

Page 8: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

66

atau interaksi sosial antara sesama kelompokmasyarakat, sama sekali belum mengalamigangguan yang dapat berakibat fatal.Perubahan yang signifikan terjadi ketikaAceh ditetapkan oleh pemerintah di bawahpimpinan Presiden Megawati Soekarnoputrisebagai wilayah darurat militer pada tanggal19 Mei 2003 melalui Keppres RI Nomor 28tahun 2003 tentang pernyataan keadaanbahaya dengan tingkatan keadaan daruratmiliter di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. Hal tersebut menandai awalmula keadaan yang lebih genting untuksebagian besar masyarakat yang menetap diProvinsi Aceh, termasuk yang berada diKampung Gayo Murni.

Memang pada tahun 1989 pemerintahjuga telah memperlakukan status DaerahOperasi Militer di Aceh, yang bertujuanuntuk mengamankan situasi dari tindakanGerakan Aceh Merdeka (GAM), yangselanjutnya disebut pemerintah dengan istilahGerakan Pengacau Keamanan (GPK),melalui Operasi Jaring Merah (NurAlamsyah dan Hendra dalam Al Chaidar,dkk., 1999: 107). Tetapi hal itu tidak terbuktimemiliki akibat langsung dalam mengusikkeamanan di Kampung Gayo Murni, sebabmasyarakat di kampung tersebut masih dalamtahap pembangunan dengan kehadiran paratransmigran.

Oleh karena itu, dapat dikatakanbahwa konflik vertikal yang terjadi antaraPemerintah RI dan gerakan separatis GAMbaru berpengaruh langsung terhadap polakehidupan di Kampung Gayo Murni ketikastatus DOM diberlakukan pada tahun 2003.Efek dari penetapan status darurat militertersebut adalah ditempatkannya pos militer diberbagai titik strategis, salah satunya adalah

di Kampung Meurah Mege yang letaknyatidak jauh dari Kampung Gayo Murni(wawancara dengan Edi Suharman, 9 Mei2016).

Penempatan pasukan militer ini jugaberpengaruh kepada masyarakat sipil. Salahsatunya adalah dibentuknya beberapa frontperlawanan rakyat atau milisi. Tujuan awalpembentukan milisi ini pada dasarnya untukmelindungi rakyat yang cemas dan ketakutan(Ruslan Jusuf,http://kompasiana.com/ruslan./peran-milisi-di-masa-konflik-aceh-1976-2005/, diakses 10Mei 2016 pukul 20:37 WIB). Untuk wilayahAceh Tengah, ada dua kelompok milisiterorganisir yang paling besar danberpengaruh luas, yakni Front PerlawananSeparatis GAM (FPSG) di bawah pimpinanSyukur Kobath dan Pembela Tanah Air(PETA) di bawah pimpinan Tagore AbuBakar. Meskipun kedua pimpinan kelompokmilisi tersebut adalah orang Gayo totok,namun untuk wilayah Kampung Gayo Murnidan sekitarnya, yang diketahui sebagaianggota milisi hampir seluruhnya adalahorang Jawa (wawancara dengan Saladin, 7Mei 2016).

Menyebarnya pengaruh milisi kekampung-kampung menimbulkan berbagaimacam reaksi. Bagi etnis Jawa, hal tersebutadalah kesempatan besar untuk dapatberpartisipasi dalam memberantaspergerakan organisasi separatis GAM.Sedangkan bagi etnis Aceh tentu saja merasadirugikan sebab posisinya yang terancam.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwaadanya kerja sama antara milisi danmasyarakat di kampung-kampung,khususnya Kampung Gayo Murni, makakonflik yang pada mulanya bersifat struktural

Page 9: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

67

antara pemerintah yang berkuasa dan aliansipenentangnya, berubah menjadi konflikkultural yang melibatkan etnis berbeda didaerah tersebut.

Sarlito Wirawan Sarwono (2006: 48)menyatakan bahwa menurut hasil penelitiandi berbagai tempat dalam waktu yangberbeda, satu hal yang selalu muncul ketikaterjadi konflik antara etnis di Indonesiaadalah prasangka etnis yang selalu bersifatkontekstual, artinya setiap konflik selaluterkait dengan situasi dan kondisi tertentu.Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi diKampung Gayo Murni, pernyataan tersebutsangat sesuai dengan yang terjadi dilapangan. Konflik yang terjadi antara etnisJawa dan etnis Aceh di kampung tersebutadalah imbas dari situasi yang sedang kacauhampir di seluruh wilayah Aceh.

Meskipun demikian, tidak dapatdipungkiri, ada hal lain yang memicu konflikdi Kampung Gayo Murni, yang mana berasaldari kehidupan masyarakat setempat.Memang jika dilihat dari segi kehidupanekonomi, tingkat kesejahteraan orang Acehjauh lebih tinggi dibandingkan dengan etnislain yang mendiami kampung tersebut.Meskipun tidak berlaku secara keseluruhan,untuk ukuran kehidupan di kampung, hal iniadalah salah satu pemicu munculnyaprasangka buruk (su’uzon) dan dengki antarasesama, yang mana hanya menunggu waktuyang tepat untuk mencuat ke permukaan(wawancara dengan Saladin, 7 Mei 2016).

Hal lain yang menjadi masalah yangberkaitan langsung dengan konflik adalahmunculnya rasa chauvinisme (mencintai sukubangsa sendiri dengan cara yang berlebihan)dari masing-masing etnis, yang mana haltersebut sangat rentan terjadi di tengah-

tengah konflik antar etnis. Padakenyataannya, etnis Jawa menganggap semuaorang Aceh mempunyai hubungan denganGAM yang menjadi biang keladi kerusuhan,sedangkan etnis Aceh menganggap orangJawa sebagai pendatang yang merugikansehingga dari kedua hal tersebut munculkebencian secara kolektif. Selain itu, halyang tidak bisa dihindari dan turutmemperkeruh suasana adalah sebuahpernyataan dari pihak milisi yang sangatterkenal pada waktu itu dengan menyinggungisu SARA yang amat sensitif dan bersifatdiskriminatif, yakni: “Aceh Tengah(termasuk juga Bener Meriah dan GayoLues), bukanlah daerah perjuangan bagiorang Aceh” (wawancara dengan Saladin, 7Mei 2016).

Proses Terjadinya Konflik Antara EtnisJawa dan Etnis Aceh di Kampung GayoMurni

Konflik yang terjadi di KampungGayo Murni, adalah salah satu konflik yangpaling besar dan berpengaruh jikadibandingkan dengan daerah lain di wilayahAceh Tengah. Hal ini disebabkan karenaKecamatan Atu Lintang adalah basis utamabagi etnis Jawa, baik yang datang melaluiprogram transmigrasi yang dikelola olehpemerintah atau secara mandiri.

Agar lebih memudahkan prosespenyusunan, penulis membagi konfliktersebut ke dalam dua periode, yang manamasing-masing mewakili rentang waktu danesensi dari konflik tersebut. Ada pun yangmenjadi pemisah antara dua periode yangdimaksud adalah proses konsiliasi atauperdamaian antara pihak RI dan GAM yangdilaksanakan di Helsinki pada tahun 2005.

Page 10: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

68

Satu hal yang perlu dicatat padaperiode pertama adalah konflik yang terjadimerupakan sebuah kajian mikroskopis sosialatau sejarah mikro yang merupakan bagiankecil dari fenomena besar yang sedangterjadi dan dalam beberapa peristiwakemungkinan memiliki akar permasalahanyang serupa. Tentang pengertian dari kajiantersebut, Peter Burke (2003: 55-63)menjelaskan bahwa sejarah mikro merupakansebuah tren dalam kajian yang memberiperhatian pada analisis sosial mikro. Ataudalam pengertian yang lebih sederhana,sejarah mikro dapat diartikan sebagai kajiansejarah yang memberi perhatian pada unitanalisis yang sempit, seperti peristiwatertentu, komunitas di pedesaan, sertakeluarga dan individu.

Dalam kasus di Kampung GayoMurni, serangkaian peristiwa yang terjaditidak terlepas dari konflik besar yang sedangberlangsung selama Aceh ditetapkan sebagaiDaerah Operasi Militer (DOM).Sebagaimana yang sudah dijelaskansebelumnya, pengaruh kehadiran militer dancampur tangan milisi memiliki andil yangsangat besar. Untuk Kampung Gayo Murnisendiri, dalam kurun waktu antara tahun2003 sampai tahun 2005, tercatat enam kasuspembakaran rumah, dua kasus penganiayaanyang melibatkan warga setempat dan duaorang dinyatakan hilang tanpa jejak(wawancara dengan Saladin, 9 Mei 2016, danUsman Arfi, 9 Mei 2016).

Kasus pembakaran rumah yangpertama, terjadi pada penghujung tahun2003. Saat itu situasi di Kampung GayoMurni dapat dikatakan tidak kohesif dansudah masuk ke dalam daftar dawat ilang(istilah dalam bahasa Gayo yang artinya

adalah tinta merah. Istilah itu digunakanuntuk menyebut kampung-kampung yangberpotensi besar sebagai wadah terjadinyakerusuhan).

Tujuan kedatangan kelompok orangtak dikenal itu adalah untuk menanyakanletak rumah Sumardi alias Pak Tangkas,seorang antek milisi. Namun para pemudatersebut menolak untuk memberitahu,sehingga terjadilah pertengkaran dengan adumulut dan saling ancam antara kedua belahpihak. Kebetulan pada saat itu di depanrumah korban terdapat satu drum bensin.Salah satu dari orang tak dikenal itumenendangnya sampai tumpah ke beradarumah korban yang terbuat dari papan. Padasaat itu, mereka menyalakan korek dandengan cepat api menyebar. Karena panik,orang-orang yang menyaksikan peristiwa itutidak sempat menahan para pelaku yangsudah melarikan diri. Tidak ada korban jiwadalam kejadian ini, tetapi kerugian yangditerima oleh keluarga Suwanto ditaksirsangat besar, karena rumahnya ludes terbakarapi (wawancara dengan Saladin, 7 Mei 2016,dan Boniyem [Istri Suwanto], 9 Mei 2016).

Insiden tersebut memang bukan yangpaling besar, namun berawal dari sana,beberapa kasus kebakaran rumah kembaliterjadi. Hal tersebut juga menyebabkanmunculnya prasangka buruk terhadap sesamawarga di Kampung Gayo Murni, yang manaimbasnya dirasakan oleh orang Aceh yangdicurigai dan dituduh memiliki hubungandengan anggota GAM.

Kasus kebakaran rumah yang keduaberselang sekitar satu minggu dari yagpertama. Peristiwa ini seiring denganpenganiayaan yang dilakukan olehsekelompok orang tak dikenal terhadap

Page 11: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

69

pemilik rumah yang merupakan dua orangAceh perantauan yang masih melajang, yakniSafrijal dan Hudri. Rumah mereka adalahsebuah kios yang menjual barang-barangsembako. Peristiwa naas itu terjadi sekitartengah malam. Korban didatangi olehbeberapa orang yang memakai topeng sebokarena dituduh memberikan bantuan kepadaGAM. Insiden kedua tersebut memilikipengaruh yang amat besar bagi kehidupansosial dan goncangan psikologis bagimasyarakat di Kampung Gayo Murni.Banyak orang Aceh yang sudah menetaplama, memutuskan untuk melakukan eksodusbesar-besaran demi mencari suaka ke rumahkerabatnya di kampung lain. Di samping itu,ada juga beberapa keluarga orang Gayo dansedikit keluarga orang Jawa yang jugamemilih untuk meninggalkan kampungtersebut untuk sementara waktu. Hal itumengakibatkan banyak rumah yang kosongkarena tidak ada penghuni, sehinggabeberapa dari keluarga yang melakukanpelarian itu, harus menjadi korban saat rumahmereka dibakar.

Setelah banyak warga yang pergi dariKampung Gayo Murni, tercatat ada empatkasus pembakaran rumah lagi dalam kurunwaktu Februari sampai Juli 2004. Rumahyang pertama adalah milik keluarga seorangtauke kopi yang bernama Abu Abbas, milikkeluarga warung makan yang bernama BakarA. A., lalu dua rumah lagi adalah milikkeluarga Andi dan M. Nasir yang bekerjasebagai petani. Faktanya, tiga dari empatpemilik rumah tersebut adalah orang Aceh,kecuali Bapak Andi yang merupakan orangGayo. Di samping itu, tiga insiden kebakaranterjadi pada malam hari, kecuali rumah milikAndi yang terjadi sekitar jam 14:00 WIB

(wawancara dengan Saladin, 7 Mei 2016,Zainal Abidin, 9 Mei 2016, dan EdiSuharman, 9 Mei 2016).

Selain pembakaran rumah, kasus lainyang menyita perhatian adalah hilangnya duawarga Kampung Gayo Murni yang didugamenjadi korban penculikan. Korban yangpertama adalah Jamaludin, seorang marbutmeunasah di Dusun Sari Murni, salah satudusun di kampung tersebut. Korbandiperkirakan menghilang pada bulan April2004 setelah salat isya. Pada saat itu diaberusia sekitar 24 s.d. 25 tahun dan masihmelajang. Hingga saat ini masih belum adakejelasan tentang kronologi hilang dan motifkhususnya, tapi dapat dipastikan bahwapelakunya lebih dari satu orang. Hal ituterbukti dari jejak yang ditinggalkan dirumah korban.

Warga menyadari hilangnyaJamaludin saat waktu subuh. Biasanyakorban selalu menjadi muazin di meunasahtersebut, namun pada saat itu suara azantidak terdengar, sehingga timbul kecurigaanwarga bahwa peristiwa tidak menyenangkantelah terjadi. Hal itu membuat RejeKampung, yang saat itu dijabat oleh Saladin,memerintahkan kepada segenap warga untukmencari korban. Pencarian dilakukan selamadua hari dengan hasil yang nihil. Namunyang meyakinkan warga bahwa korban tidakpergi dengan kehendak sendiri, tetapidijemput paksa oleh oknum tertentu, adalahkeadaan rumah korban ditinggalkan dalamtidak terkunci dan berantakan. Pihakkeluarganya yang berada di kampung lainjuga sudah mengkonfirmasikna bahwakorban tidak berada bersama mereka. Sampaisekarang, keberadaan Jamaludin masihbelum diketahui dengan pasti.

Page 12: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

70

Korban yang selanjutnya adalah M.Nasir. Diperkirakan korban hilang sekitarbulan Juni 2004 sekitar pukul 10:00 WIB. Disamping itu, rumahnya juga terbakar saatkeluarganya memutuskan untukmeninggalkan Kampung Gayo Murni. Saatpenculikan terjadi, usia korban bekisar antara39 s.d 40 tahun dan meninggalkan seorangistri beserta tiga orang putra.

Kasus penculikan M. Nasir berbedadengan Jamaludin. Sebelumnya telahdiketahui bahwa korban dicurigai olehkelompok milisi sebagai A1 (istilah untukmenyebut anggota GAM atau orang terlibatdengan organisasi tersebut). Dapatdipastikan, hilangnya korban tidak terlepasdari campur tangan anggota militer,khususnya Pasukan Rajawali yang bermarkasdi pos Kampung Meurah Mege.

Kronologi peristiwanya bermulaketika korban kembali ke Kampung GayoMurni setelah meninggalkan kampungtersebut. Alasannya adalah untuk melihatkebun kopinya yang tertinggal. Malamsebelum menghilang, dia menginap di rumahReje Kampung. Pada malam itu merekamerasa sedang dikepung dan diawasi olehorang tak dikenal. Reje Kampung memintakepada korban agar besok pagi langsungpergi meninggalkan kampung. Namunkorban tidak mendengarkan permintaan itudan justru kembali lagi ke kebun.

Tidak lama setelah itu, Reje Kampungmendengar informasi bahwa M. Nasir telahdibawa ke pos militer oleh beberapa orang.Untuk memastikan hal tersebut, dia pergi ketempat itu. Namun pihak militer tidakmengakui dan malah menuduh RejeKampung melindungi seseorang yang didugakeras sebagai A1, sehingga beberapa orang

tentara diutus untuk menggeledah rumahReje dengan dalih mencari barang bukti yangberupa senjata. Meskipun Reje Kampungterbebas dari tuduhan, namun diyakini adaperan warga Kampung Gayo Murni sendiridalam kasus ini dengan menjadi mata-matabagi tentara. Imbasnya, hingga saat inikeberadaan M. Nasir tidak juga diketahui(wawancara dengan Saladin, 7 Mei 2016,Zainal Abidin, 9 Mei 2016, dan EdiSuharman, 9 Mei 2016).

Dari keseluruhan kasus tersebut diatas, terlihat sangat jelas bahwa insiden yangterjadi lebih condong kepada konflik yangberkaitan dengan Etnis Jawa dan Etnis Aceh.Meskipun pada kurun waktu tersebut,pemerintah telah memberikan himbauankepada tiap-tiap kampung agar mewajibkanseluruh pria yang telah cukup umur untukmengikuti ronda dan jaga malam di garduyang ada di setiap dusun, namun hal tersebutterbukti tidak mampu untuk mencegahterjadinya ancaman yang mengganggukeamanan.

Satu lagi yang perlu dicatat adalahminimnya pemberitaan media pada kasus-kasus tersebut atau berdasarkan fakta yanglebih konkrit lagi bahkan tidak ada samasekali. Hal ini tentu saja wajar, mengingatbanyaknya peristiwa serupa yang terjadi ditempat lain seiring dengan diberlakukannyastatus DOM pada Provinsi Aceh (waktu itumasih Nanggroe Aceh Darussalam).Sehingga sangat koheren jika dikatakanbahwa konflik yang terjadi di KampungGayo Murni pada periode sebelumperdamaian adalah kajian yang menyangkutranah mikroskopis sejarah.

Konflik bersenjata yang terjadi antaraGAM dan pemerintah Republik Indonesia

Page 13: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

71

telah banyak mengubah pola kehidupanmasyarakat di Aceh. Pertikaian itu baruberakhir setelah ditandanganinya MoUHelsinki tanggal 5 Agustus 2005. Untukmendukung proses perdamaian, pihak yangterkait melakukan berbagai upaya agarmasyarakat memberikan apresiasi penuh.Salah satu alternatif bagi orang-orang yangmendukung perdamaian dan terlibat langsungdalam proses rekonstruksi Aceh tersebut,memilih untuk menjadi anggota KomitePeralihan Aceh (KPA) (KamaruzzamanBustamam-Ahmad, 2011: 280).

KPA sendiri adalah organisasi yangdidirikan oleh para mantan anggota GAMsebagai bentuk aspirasi dari perdamaian dandideklarasikan pada tanggal 27 Desember2005 di Banda Aceh. Tujuan dasardibentuknya organisasi ini adalah untukmenjaga kendali dan data atau sumberinformasi yang berkaitan dengan seluruhmantan kombatan GAM. Salah satu fungsiterpentingnya yaitu sebagai alat pemersatuperjuangan politik rakyat Aceh dan bertugasuntuk mewujudkan cita-cita MoU Helsinki,serta mewujudkan keadilan, kemakmuran,dan kedaulatan bagi rakyat Aceh. PengurusKPA terdiri dari panglima-panglima GAM,mulai dari tingkat provinsi sampai tingkatkecamatan (Arsil, 2014: 30).

Untuk wilayah Kecamatan AtuLintang, kantor KPA terletak di KampungMeurah Mege. Meskipun kampung tersebuttidak berbatasan langsung dengan KampungGayo Murni, faktanya kehadiran kantor KPAmasih memiliki pengaruh langsung terhadapmasyarakat. Oleh karena itu, puncak konflikyang terjadi pasca perdamaian sebenarnyalebih bersifat universal dan tidak hanyamencakup pada satu kampung saja.

Pada masa-masa awal perdamaian,khusus di Kampung Gayo Murni konsistensiantara masyarakat lintas etnis masih terjalindemi menjaga kerukunan. Hal itu terbukti,sebab mulai tahun 2005 hingga tahun 2008,tidak ditemukan adanya konflik yangmelibatkan warga setempat, baik dalambentuk personal maupun kolektif. Namun ditengah keharmonisan tersebut, pada bulanMaret 2008, masyarakat kembalidigemparkan dengan suatu insiden yangmengoyak perdamaian. Peristiwa itu dikenaldengan sebutan Tragedi Atu Lintang.

Berdasarkan pernyataan dari KepalaKepolisian Resor Aceh Tengah AjunKomisaris Besar AB Kawedar, kejadiannyamurni kriminal. Sebab masalahnya diawalidengan perselisihan soal lahan parkir antaraanggota KPA dengan anggota milisi PETAdan organisasi pengelola terminal yangdikuasai milisi (Win Ruhdi Batin,http://pantau.or.id/, diakses 12 Mei 2016pukul 14:52 WIB). Namun menurut LSMseperti Komisi untuk Orang Hilang danKorban Tindak Kekerasan (KontraS),peristiwa tersebut merupakan ekses daripembiaran konflik horizontal yang telahberlangsung lama di Aceh Tengah.Sedangkan pernyataan pihak-pihak yangmenyimpulkan modus dari peristiwa ini dariberbagai sisi, dipandang hanya sebagai salahsatu bentuk upaya agar masyarakat danoknum tertentu tidak terprovokasi. Karenaharus dipahami, Aceh merupakan daerahyang baru reda dari konflik politik panjang(KontraS, “Peristiwa Penyerangan danPembakaran di Atu Lintang”.http://kontras.org/, diakses 17 Mei 2016pukul 19:52 WIB).

Page 14: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

72

Dalam skala dan gradasi yangberbeda, peristiwa seperti ini berulang kaliterjadi saat konflik Aceh dan tidak mungkinberdiri sendiri atau muncul secara spontan.Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan darimasyarakat setempat, sebenarnya insiden itumasih berkaitan dengan prasangka antar etnispasca perdamaian.

Ditempatkannya kantor KPA diKampung Meurah Mege, pada awalnyabukanlah masalah bagi warga. Namun lama-kelamaan timbul keresahan yang disebabkankarena tingkah para anggota KPA yangsewenang-wenang. Mereka bertindakmelebihi batas karena sering melakukanpemerasan dan meminjam uang koperasiSinar Harapan, tanpa membayarnya. Halinilah yang menjadi salah satu pemicupembantaian terhadap anggota KPA, karenawarga sudah sampai di puncak kebencian danamarah. Sedangkan isu perebutan lahanparkir hanya sebagai pemancing untukmelakukan tindakan yang lebih anarkis. Olehkarea itu, ada juga anggapan dari masyarakatyang mengatakan bahwa KPA tidak lainmerupakan penjelmaan dari GAM (wawacaradengan Abdul Basith, 12 Mei 2016, danSaladin, 7 Mei 2016).

Peristiwa pembantaian di Atu Lintangmau tidak mau harus diletakkan dalamkonteks demikian. Insiden tersebut terjadisekitar pukul 03.00 WIB. Lokasi yang jadisasaran hanya 150 meter dari kantor Polsekdan lebih kurang 250 meter dari Koramil.Bagi banyak orang, sulit membayangkanwarga biasa di pedesaan mempunyaikeberanian menyerang markas organisasieks-combattan. Kecuali jika ada kekuatanbesar di belakang mereka dan memahamiseluk-beluk pertempuran. Lagi pula,

pengerahan ratusan massa di daerah pedesaanyang relatif sepi dan gelap gulita pada malamhari membutuhkan waktu, perencanaan, danpersiapan yang matang. Prosesnya tidakspontan dan mendahului kasus perebutanwilayah parkir belaka (Maruli Tobing,www.unisosdem.org, diakses 17 Mei 2016pukul 20:03 WIB).

Lima anggota KPA yang sedangberada di kantor tewas sangat mengenaskan.Empat di antaranya tewas terpanggangsetelah sebelumnya dibacok, yaitu Ramlan,Hasbi Gadeng, Salamat, dan Sabri dan satulagi yang diceburkan ke dalam sumur adalahSejahtera Putra. Sedangkan satu orang yangberhasil melarikan diri adalah Syahbandar(Anonim. “Lima Tersangka Insiden AtuLintang Ditangkap”. Serambi Indonesia. 6Maret 2008).

Kasus tersebut adalah insiden pertamayang mencoreng perdamaian di Aceh,sehingga tidak hanya menggegerkan wargayang tinggal di sekitar lokasi kejadian danAceh Tengah saja. Banyak wartawan darimedia cetak dan elektronik datang ke lokasiuntuk meliputnya. Bukan hanya dari medialokal dan nasional, wartawan dari stasiun TVasing Al Jazeera juga ada di sana. BahkanPresiden Susilo Bambang Yudhoyonolangsung memerintahkan polisi agarmengusutnya hingga tuntas. Polda Acehmembentuk tim khusus untuk mengusutkasus tersebut (Anonim. “Tim Khusus PoldaUsut Insiden Atu Lintang”. SerambiIndonesia. 3 Maret 2008).

Usaha tim khusus Polda bersamadengan jejeran polisi Aceh Tengah, dalamhitungan 2 x 24 jam sejak peristiwa ituterjadi, telah berhasil menangkap lima orangtersangka yang diduga kuat sebagai

Page 15: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

73

dalangnya. Mereka adalah M. Sarjono,Ahmad Zainuddin, Giman, Musikan, danSumardi. Di samping itu, pihak kepolisianjuga menginterogasi 40 orang saksi secaramaraton, 25 di antaranya juga ditetapkansebagai tersangka. Mereka berasal dariberbagai kampung, seperti Damar Mulyo,Pantan Damar, Atu Lintang, Gayo Murni,dan Meurah Pupuk. (Anonim. “LimaTersangka Insiden Atu Lintang Ditangkap”.Serambi Indonesia. 6 Maret 2008).

Tanggapan lain atas kasus tersebutberasal dari sembilan LSM di Banda Acehyang meminta Komisi Nasional Hak AsasiManusia (Komnas HAM) untuk melakukaninvestigasi langsung ke Atu LintangKabupaten Aceh Tengah. Hal itu disebabkanmereka mencurigai adanya tindakanpelanggaran HAM yang sistematis.pertimbangan keikutsertaan Komnas HAMdiharapkan bisa meredam terjadinya konflikhorizontal di wilayah itu (KontraS, “LSMMinta Komnas HAM ke Atu Lintang”.http://kontras.org/, diakses 17 Mei 2016pukul 19:52 WIB).

Jika ditilik dari asal etnis para korbandan tersangka, dapat diklasifikasikan bahwakonflik tersebut masih berkaitan dengankonflik antar etnis. Ini dikarenakan tiga darienam anggota KPA yang menjadi korbanadalah orang Aceh. Mereka adalah HasbiGadeng, Syahbandar, dan Ramlan.Sedangkan sisanya orang Gayo. Di sampingitu, hampir seluruh tersangka yang terlibatdalam kasus tersebut adalah orang Jawa.

Meskipun cakupan wilayah insidentersebut melingkupi Kecamatan Atu Lintangsecara keseluruhan, namun sangat berkaitandengan Kampung Gayo Murni yang menjadifokus utama dalam penelitian ini, karena dari

pihak korban dan tersangka, terdapat wargayang berdomisili di kampung tersebut. Halini juga dapat menjadi benang merah, bahwakonflik tersebut juga berpengaruh besarkepada pola kehidupan warga di sekitarnya,khususnya di Kampung Gayo Murni.

Akhir dari konflik tersebut, tidakterlepas dari diadakannya konsesus antarapihak yang terlibat. Konsesus artinyakesepakatan suatu kelompok mengenaitujuam, nilai atau pendapat (Jack C. Plano,dkk. 1985:41). Dalam hal ini kelompok yangterlibat relatif kecil atas masalah-masalahyang relatif jelas sehingga prosesnya berjalanlancar. Duski, S. H., penasehat hukumtersangka, ingin pihak yang bertikaimenyelesaikannya secara hukum dan adat. Iamenyurati Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin,dan juga Dewan Perwakilan RakyatKabupaten (DPRK). Karena jika kasus ini takdiselesaikan dengan baik, maka akan memicukasus yang lebih buruk, seperti tindak balasdendam antar kelompok maupun etnis. Halini akan mengganggu situasi di Aceh pascakonflik.

Di dalam suratnya, Duski, S. H.menawarkan cara menghilangkan dendamdan konflik antar warga atau biasa disebutkonflik horizontal itu. Pertama-tama,memberi diyat atau uang ganti rugi kepadaahli waris korban yang meninggal dunia.Besar diyat ditentukan setelahbermusyawarah dengan ahli waris korban.Kedua, kantor KPA dan koperasi yangdibakar dibangun kembali. Ketiga, kepadakeluarga tersangka diberikan santunan olehPemerintah Daerah (Pemda), selamatersangka menjalani hukuman.

Tapi surat yang dikirim Duski, S. H.pada Pemda dan DPRK tidak ditanggapi.

Page 16: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

74

Sehingga pada 24 April 2008, 225 wargaKecamatan Atu Lintang yang berasal dariberbagai kampung mendatangi kantor DPRKuntuk menyampaikan empat hal, yaitumemohon keringanan hukuman untuktersangka, meminta Pemda memperhatikanperekonomian tersangka, meminta DPRKmemfasilitasi perdamaian dengan keluargakorban, dan menyatakan bahwa pelakupembakaran Atu Lintang bukan 25 orangmelainkan massa, sebab mayoritastersangkanya adalah remaja di bawah usia 20tahun (Win Ruhdi Batin, http://pantau.or.id/,diakses 12 Mei 2016 pukul 14:52 WIB).

Dampak dari Konflik Terhadap PolaKehidupan Masyarakat di KampungGayo Murni

Konflik antar etnis yang terjadi diKampung Gayo Murni telah banyakmemengaruhi tatanan sosial masyarakat dikampung tersebut. Bergesernya nilai dannorma yang berlaku selama konflikberlangsung adalah pertanda bahwa sifatnyalebih dominan menuju ke arah yang negatif.

Bagi para warga yang merasakanlangsung konflik tersebut, memiliki perasaantraumatis yang masih membekas sehinggasebagian besar memutuskan untuk tidakkembali lagi ke Kampung Gayo Murni.Banyak di antara korban, khususnya orangAceh dan sebagian kecil orang Gayo, lebihmemilih menjual kebun mereka, ataumenitipkannya pada seseorang yang bersediauntuk mengelolanya dengan sistem bagi tigahasil (wawancara dengan Nurdin danSaladin, 7 Mei 2016).

Pada saat ini, interaksi sosial antarawarga di Kampung Gayo Murni memangsudah stabil. Namun berdasarkan data

demografi terakhir, jumlah etnis Aceh yangmasih bertahan dan menetap di kampungtersebut hanya tinggal satu KK saja, yaitukeluarga Bapak Sulaiman yang berprofesisebagai petani kopi. Selain itu, dampakyang paling menonjol setelah berakhirnyakonflik adalah semakin menguatnya rasatoleransi antara sesama. Hal itu dikarenakanselama konflik berlangsung, hampir semuaorang terjebak dalam perasaan dilematisuntuk membela dan mementingkankelompoknya masing-masing. Namun seiringdengan diadakannya rekonsiliasi yangditengahi oleh pemerintah setempat, makarasa persatuan mulai terjalin kembali secarautuh tanpa memandang etnis tertentu.

Bagi warga Kampung Gayo Murni,konflik vertikal yang terjadi antara GAM danRI yang pada akhirnya membentuk konflikhorizontal antara etnis Jawa dan etnis Acehdi kampung tersebut adalah sebuah bencanayang tidak dapat dihindari. Tidak hanyaberbentuk covert conflict (SoerjonoSoekanto, 1999: 86) yang berwujudtersembunyi dalam tindakan-tindakansabotase, keresahan, ketakutan, dansebagainya, tetapi telah berkembang kedalam bentuk yang lebih konkrit danmelibatkan fisik

Hal ini berkaitan dengan peraturanyang diberlakukan oleh pemerintah yangdikontrol oleh pihak militer, bahwa bagi laki-laki dilarang untuk bekerja di kebun denganalasan apa pun. Akibatnya, hasil panen kopidan palawija menjadi berkurang, sedangkanmayoritas warga di kampung tersebutberprofesi sebagai petani (wawancara denganMardiyanto, 9 Mei 2016).

Hal itu diperparah lagi dengan hargapasaran kopi dunia pada periode 2000-2004.

Page 17: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

75

Rata-rata pangsa eskpor kopi Indonesiamengalami penurunan (Forum PenelitianAgro Ekonomi, 2007: 44). Dari data tersebutdijelaskanbahwa, pada periode 2000-2004,produksi kopi Indonesia mengalamipenurunan dan kalah saing dengan negaraBrazil, Kolombia, dan Vietnam. Hal inimenyebabkan harga kopi di pasaran turutmenjadi murah, sehingga keadaan para petanidi Kampung Gayo Murni juga semakinterdesak. Selain itu, perginya para warga dariKampung Gayo Murni untuk mencariperlindungan juga turut menjadi penyebabsulitnya perekonomian. Hampir seluruhpedagang dan tauke yang ada di kampungtersebut adalah orang Aceh. Oleh karena itu,tanpa mereka kegiatan ekonomi dan upayamemenuhi kebutuhan bagi warga yang masihtetap tinggal tentu saja semakin sulit karenaharus pergi ke kampung lain untukberbelanja. Oleh sebab itu, konflik yangterjadi tidak hanya menyebabkan rentannyakeharmonisan antara etnis yang berbeda,namun telah banyak menyebabkan kerugiandalam bidang ekonomi bagi warga secarakeseluruhan.

Secara sederhana, politik artinyaadalah usaha menggapai kehidupan yangbaik. Namun dalam pengertian yang lebihkomplek, politik adalah upaya untukmencapai masyarakat yang baik melaluikekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan,alokasi nilai, dan sebagainya (MiriamBudiardjo, 2008: 13-14). Dengan demikian,sistem pemerintahan desa juga sahdikategorikan sebagai bagian dari politik.

Pada dasarnya, peta perpolitikaninternal di Kampung Gayo Murni sebelumdan sesudah konflik tetap didominasi olehorang Gayo dan orang Jawa. Hal itu bisa

dilihat dalam tabel 4.1 yang sebelumnyasudah dipaparkan. Pada tabel tersebut,diketahui bahwa berdasarkan asal-usul etnis,jumlah aparatur kampung dari kalanganorang Gayo dan orang Jawa dapat dikatakanseimbang, sedangkan orang Aceh tidakmengambil bagian dalam urusanpemerintahan. Di samping itu, salah satufakta paling unik adalah, posisi petuekampung yang tugasnya mengurusi masalahadat istiadat, justru dipegang oleh orangJawa. Ini menandakan bahwa diferensiasiantar etnis tidak lagi menjadi kendala utamadalam sistem pemerintahan di KampungGayo Murni.

Hal tersebut semakin diperkuatsetelah diadakan tiga kali pemilihan rejekampung secara demokratis di KampungGayo Murni, yaitu pada tahun 2004, 2009,dan 2014. Dalam ketiga pemilihan tersebut,semua calon reje kampung berasal dari etnisGayo. Setelah calon terpilih menjabatsebagai reje kampung, jika ditilik dari sisiasal-usul etnis para aparatur yang mengelolapemerintahan kampung, jabatan palingdominan dipegang oleh orang Jawa. Salahsatu alasannya adalah, setelah konflikberakhir, jumlah orang Jawa di KampungGayo Murni tetap menjadi mayoritas. Sebabdi samping orang Aceh, banyak orang Gayoyang memilih untuk tidak kembali lagi kekampung tersebut. Jadi rasio persentasejumlah perbandingan warga di KampungGayo Murni untuk saat ini sekitar 65% orangJawa, 30% orang Gayo, dan di bawah 5%untuk etnis yang lainnya, termasuk orangAceh (wawancara dengan Nurdin, 7 Mei2016).

KESIMPULAN

Page 18: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

76

Berdasarkan Sebelum konflik antaraPemerintah RI dan GAM menyebar secaramenyeluruh di daerah Aceh, interaksi sosialantara masyarakat di Kampung Gayo Murnimasih berjalan dengan harmonis. Selainorang Gayo, di kampung tersebut jugaterdapat orang Jawa dan orang Aceh. Awalmula kehadiran kedua etnis yang disebutterakhir memiliki latar belakang yangberbeda. Mayoritas etnis Jawa datang melaluiprogram transmigrasi yang digalakkanpemerintah Orde Baru pada dekade 1970 s.d.1980-an. Di samping itu, kedatangan etnisAceh dapat dikatakan tidak terstruktur danbersifat spontan yang diperkirakan sudahberlangsung sekitar awal tahun 1970-an.

Akar konflik antara etnis Jawa danetnis Aceh yang berlangsung di KampungGayo Murni memiliki dua faktor sebagaiberikut ini: Faktor eksternal berkaitandengan keputusan pemerintah yangmenetapkan Aceh sebagai Daerah OperasiMiliter (DOM) pada tahun 2003 sehinggamuncul konflik vertikal antara RI dan GAMhampir di seluruh Aceh. Dan Faktor internalberhubungan dengan prasangka yangmuncul antara kedua etnis sehinggamemancing timbulnya konflik horizontalantara mereka.

Proses terjadinya konflik antara etnisJawa dan etnis Aceh di Kampung Gayomemiliki dua periode yang memiliki esensiberbeda. Periode pertama berlangsung padatahun 2003 s.d. 2005. Adapun kekerasanyang terjadi meliputi enam kasuspembakaran rumah, dua kasus penganiayaan,dan dua kasus penculikan yang melibatkanwarga setempat. Sedangkan periode keduaberlangsung pada tahun 2005 s.d. 2008.Kasusnya adalah pembantaian atas lima

orang anggota KPA oleh puluhan warga yangdidukung milisi. Mayoritas korban darikedua periode konflik tersebut berasal darietnis Aceh.

Konflik yang terjadi antara etnis Jawadan etnis Aceh di Kampung Gayo Murnimemiliki dampak yang berpengaruh kepadapola kehidupan masyarakat setempat. Dalambidang sosial, banyak warga yangmemutuskan untuk meninggalkan kampungtersebut. Namun bagi yang masih tetapbertahan, mencoba dan berusaha untukmembangun kembali kehidupan baru yanglebih baik. Dalam bidang ekonomi, adanyapelarangan bagi petani untuk masuk danbekerja di kebun telah menyebabkanpenurunan jumlah panen. Selain itu, dengankepergian etnis Aceh, sistem perdaganganjuga mengalami kelumpuhan. Namun dalambidang politik, roda pemerintahan masihberjalan dengan normal. Hal ini dapat dilihatdari jumlah etnis Gayo dan etnis Jawamemegang jabatan dalam jejeran aparaturkampung masih tetap dominan, baik sesudahmaupun sebelum terjadinya konflik

Berdasarkan Berdasarkan kesimpulandari hasil analisi data penelitian tersebut diatas, maka penulis merekomendasikanbeberapa saran sebagaimana berikut ini:Untuk mencegah dan menghindariterulangnya proses sosial yang bersifatnegatif, Pemerintah Daerah di KabupatenAceh Tengah harus lebih memperhatikanpola kehidupan masyarakat di wilayah yangpernah dicap sebagai kampung dawat ilang,khususnya di Kampung Gayo Murni yangmemiliki keberagaman etnis dalam ruanglingkup multikultural dan sempat menjaditempat berlangsungnya konflik horizontal

Page 19: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

77

yang melibatkan etnis Jawa dan etnis Aceh dikampung tersebut.

Bagi masyarakat yang terlibatlangsung ke dalam konflik antara etnis Jawadan etnis Aceh di Kampung Gayo Murni,baik sebagai pelaku maupun saksi,diharapkan dapat membangun kembaliinteraksi sosial yang pernah terusik dan tetapmemelihara perdamaian atau konsiliasi yangtelah disepakati antara kedua belah pihak,agar keharmonisan antar sesama dapatterjalin dengan baik dan kontinu.

Kepada pihak civitas akademikaUniversitas Syiah Kuala, khususnyamahasiswa dan dosen FKIP Sejarah,diharapkan dapat melakukan studi penelitianyang berkaitan dengan kajian mikroskopissejarah, agar peristiwa penting yang belumpernah diungkapkan dapat muncul kepermukaan sebagai bahan dan informasitambahan yang dapat menambah wawasandalam meneliti kehidupan sosial masyarakatdi daerah tertentu.

Penelitian ini belum komprehensif,sebab hanya menekankan pada interaksisosial dan perkembangan masyarakat yanglebih terfokus pada konflik antara etnis diKampung Gayo Murni, oleh karena itu untukkebutuhan penelitian berikutnya. Bagi yangberminat meneliti permasalahan serupadiharapkan dapat mengkaji ranah yang lebihluas dan kompleks agar data dan fakta yangdiperoleh dapat melebihi ekspektasi semuapihak yang bersangkutan.DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. 5 Anggota KPA Tewas.Serambi Indonesia, 2 Maret 2008.

_______. 2008. Tim Khusus Polda UsutInsiden Atu Lintang. SerambiIndonesia, 3 Maret 2008.

_______. 2008. Lima Tersangka Insiden AtuLintang Ditangkap. SerambiIndonesia, 6 Maret 2008.

_______. Peristiwa Penyerangan danPembakaran di Atu Lintang. Diakses17 Mei 2016 pukul 19:52 WIB.http://kontras.org/.

Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. 2011.Acehnologi. Banda Aceh: BandarPublishing.

Arsil. 2014. Peran Komite Peralihan Acehdalam Menjaga Perdamaian di Aceh.Banda Aceh: Universitas SyiahKuala.

Batin, Win Ruhdi. Ada Apa di Atu Lintang?.diakses 12 Mei 2016 pukul 14:52WIB). http://pantau.or.id/?/=d/493/.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar IlmuPolitik. Jakarta: P.T GramediaPustaka Utama.

Bungin, Burhan. 2007. Analisis DataPenelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori-teoriSosial. Jakarta: Yayasan OborIndonesia.

Chaidar, Al, dkk. 1999. Aceh BersimbahDarah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Fahmi, Chairul. 2014a. Jejak Konflik Baru diAceh. Banda Aceh: Kesbangpol danLinmas Provinsi Aceh.

Page 20: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

78

____________. 2014b. Pemetaan KonflikSosial Kabupaten Aceh Tengah.Banda Aceh: Dinas Sosial ProvinsiAceh.

Fitri, Nurul. 2014. PerkembanganPemukiman Transmigrasi diKecamatan Jagong Jeget KabupatenAceh Tengah, 1982-2014. Skripsi.Banda Aceh: Universitas SyiahKuala.

Habib, Achmad. 2004. Konflik Antar Etnis diPedesaan: Pasang Surut HubunganCina-Jawa. Yogyakarta: LKiSYogyakarta.

HAM, Musahadi (Ed). 2007. Mediasi danResolusi Konflik di Indonesia: dariKonflik Agama hingga MediasiPeradilan. Semarang: WalisongoMediation Centre.

Harjono. 1978. Integrasi Sosial AntaraKelompok Etnis Jawa dan Gayo diAceh Tengah. Banda Aceh: PusatLatihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial.

Hasbullah. 2014. Sejarah Konflik, BudayaPolitik, dan Ketegangan di AcehMenjelang Pemilu 2014. Haba, No.70: 5.

Hidayah, Zulyani. 1999. Ensiklopedia SukuBangsa di Indonesia. Jakarta: PustakaLP3ES.

Husin, T. A. Hasan. 1980. Sistem GotongRoyong dalam Masyarakat Gayo diAceh Tengah. Banda Aceh: PusatDokumentasi dan Informasi Aceh.

Jusuf, Ruslan. “Peran Milisi di Masa KonflikAceh 1976-2005”. Diakses 10 Mei2016 pukul 20:37 WIB.http://kompasiana.com/ruslan./peran-milisi-di-masa-konflik-aceh-1976-2005/.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap BahasaIndonesia. Surabaya: Kartika.

Koentjaraningrat. 1998. Pengantar TeoriAntropologi. Jakarta: PenerbitUniversitas Indonesia.

Kustiari, Reni. 2007. “Perkembangan PasarKopi Dunia dan Implikasinya BagiIndonesia”. Forum Penelitian AgroEkonomi. Vol. 25. No. 1: 44.

Lewis, Bernard. 2009. Sejarah: Diingat,Ditemukan Kembali, Ditemu-ciptakan. Yogyakarta: Ombak.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik:Komunikasi Lintas BudayaMasyarakat Multikultur. Yogyakarta:LkiS Pelangi Aksara.

Plano, Jack C., dkk. 1985. Kamus AnalisaPolitik. Jakarta: Rajawali Pers.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2007. PsikologiPrasangka Orang Indonesia. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Sjamsuddin, Helius. 2007. MetodologiSejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soekanto, Sarjono. 1999. Kamus Sosiologi.Jakarta: Rajawali Pers.

Susan, Novri. 2010. Pengantar SosiologiKonflik dan Isu-isu KonflikKontemporer. Jakarta: Kencana.

Page 21: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah KONFLIK ANTAR

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan SejarahVolume 1, Nomor 1, Oktober 2016, hal. 59-79

79

Suwondo, Bambang, dkk. 1982. PengaruhMigrasi Penduduk TerhadapPerkembangan Daerah IstimewaAceh. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Tobing, Maruli. “Geger Atu Lintang danMusuh Bersama”. Diakses 17 Mei2016 pukul 20:03 WIB.www.unisosdem.org/.

Wirawan, I.B. 2013. Teori-teori Sosial dalamTiga Paradigma. Jakarta: Kencana.