jurnal ekonomi kuantitatif terapan - unud

92
DAFTAR ISI JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN VOLUME 9 NO. 1 FEBRUARI 2016 Pengantar Redaksi ............................................................................................................................. iii Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Hendra Kusuma ........................................................................................................................... 1 - 11 Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko (Studi Kasus di Kota Surabaya) Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana ........................................................ 12 - 27 Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik Nindy Purnama Sari ................................................................................................................... 28 - 36 Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama ..................................................... 37 -45 Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Penggunaan Jasa Pengolahan Sampah Zulfa Emalia dan Dewi Huntari ................................................................................................. 46 -52 Partisipasi Masyarakat dalam Program Bank Sampah: Model Logit Ni Made Ratiabriani dan Ida Bagus Putu Purbadharmaja ...................................................... 53 - 58 Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan Jarot Kurniawan ........................................................................................................................ 59 - 67 Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni ...................................................... 68 - 79 Model Regresi Logistik pada Kelulusan Ujian Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Rukini ........................................................................................................................................... 80 -84 Mitra Bestari (Reviewer) .................................................................................................................... 85 Indeks ................................................................................................................................................. 86 Pedoman Penulisan Naskah ............................................................................................................... 89 Formulir Berlangganan ...................................................................................................................... 91

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

DAFTAR ISI

JURNAL EKONOMI

KUANTITATIF TERAPAN

VOLUME 9 NO. 1 FEBRUARI 2016

Pengantar Redaksi ............................................................................................................................. iii

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Hendra Kusuma ........................................................................................................................... 1 - 11

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko (Studi Kasus di Kota Surabaya) Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana ........................................................ 12 - 27

Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik Nindy Purnama Sari ................................................................................................................... 28 - 36

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama ..................................................... 37 -45

Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Penggunaan Jasa Pengolahan Sampah Zulfa Emalia dan Dewi Huntari ................................................................................................. 46 -52

Partisipasi Masyarakat dalam Program Bank Sampah: Model Logit Ni Made Ratiabriani dan Ida Bagus Putu Purbadharmaja ...................................................... 53 - 58

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan Jarot Kurniawan ........................................................................................................................ 59 - 67

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni ...................................................... 68 - 79

Model Regresi Logistik pada Kelulusan Ujian Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Rukini ........................................................................................................................................... 80 -84

Mitra Bestari (Reviewer) .................................................................................................................... 85Indeks ................................................................................................................................................. 86Pedoman Penulisan Naskah ............................................................................................................... 89Formulir Berlangganan ...................................................................................................................... 91

Page 2: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

ii

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan (JEKT) diterbitkan sebagai kelanjutan dari Jurnal INPUT, Jurnal Sosial dan Ekonomi. INPUT terbit berkala sebanyak dua kali dalam setahun, dengan No-mor ISSN 1978-7871, dan di tahun kelima, INPUT telah terbit sebanyak sembilan edisi, dengan terbitan terakhirnya adalah Volume V, Nomor 1 Februari 2012. Pembaharuan INPUT menjadi JEKT tercetus pada pertemuan antara tim redaksi jurnal jurusan bersama pimpinan kampus, awal Maret 2012. Setelah melakukan beberapa evaluasi dan dengan merujuk kepada Peratu-ran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 49/dikti/kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah, maka terbit-lah jurnal jurusan: Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan yang dimulai dari Volume V, Nomor 2 Agustus 2012.

Page 3: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

iii

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat,

Pada JEKT Volume 8, No. 1, Redaksi mendiskusikan mengenai perkembangan metode kuantitatif khususnya ekonometrika dalam mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah, khususnya yang dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemudian, pada JEKT Volume 8, No. 2, kami lanjutkan bahwa untuk mendukung proses evaluasi sebuah kebijakan diperlukan adanya data yang baik. Data tidak hanya dalam bentuk data makro namun kemampuan untuk mempresentasikan data mikro yang baik sudah menjadi suatu keharusan bagi sebuah perekonomian, jika ingin melaksanakan program perbaikan ekonominya. Sehingga pada intinya JEKT Volume 8 mencoba menyampaikan bahwa proses pembangunan ekonomi dalam tataran implementasi tidak akan dapat lepas dari metode kuantitatif dan data.

JEKT Volume 9, No. 1, kembali mencoba untuk mengingatkan kepada kita semua bahwa betapa canggihnyapun metode kuantitatif yang digunakan dan kompleksnya data yang dimiliki namun jika logika ekonomi yang mendasarinya tidak masuk akal maka semua itu hanya percuma saja. Mungkin kita perlu mengingat kembali tulisan Heckman (2001) yang menyatakan ekonometrika akan berguna jika dapat membantu ekonom menganalisis dan menginterpretasikan data ekonomi. Hal ini mengisyaratkan kepada para sarjana ekonomi dalam menggunakan ekonometrika yang menjadi tujuan utama haruslah solusi bagi permasalahan ekonomi dan sosial di masyarakat, dan bukan hanya untuk mempertontonkan kepiawaian dalam menggunakan matematika dan statistika dan software komputer.

Salah satu indikator kesejahteraan yang paling fundamental adalah konsumsi. Memiliki pemahaman yang baik mengenai konsumsi akan memberikan arahan yang lebih baik dalam perencanaan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Seperti tema dalam penganugerahan Nobel dalam bidang ilmu ekonomi tahun 2015 yang diberikan kepada Angus Deaton, hubungan antara keputusan konsumsi individu, dan outcome perekonomian secara makro memiliki peranan penting dalam mentransformasi mikro ekonomi, makro ekonomi dan ekonomi pembangunan moderen. Bertitik tolak pada literatur-literatur yang ditulis Angus Deaton mungkin kita dapat merancang kebijakan yang kita gunakan untuk Indonesia. Karakter ekonomi dan demografi yang beranekaragam membuat area penelitian ini masih sangat luas untuk diungkap, apa lagi yang menyangkut masalah perilaku.

Memahami mengenai perilaku masyarakat dalam memutuskan barang dan atau jasa yang dikonsumsinya akan membantu dalam memberikan guidelines dalam merancang kebijakan pembangunan ekonomi. Berbicara mengenai perilaku maka ilmu ekonomi akan sangat memerlukan bantuan dari ilmu sosial lainnya seperti ilmu

JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF

TERAPANVOLUME 9 NO. 1 FEBRUARI 2016

Page 4: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

iv

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

psikologi misalnya. Sekali lagi hal ini menyiratkan bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu sosial yang mempelajari aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. JEKT hadir dalam rangka memberikan ruang untuk menjembatani metode-metode kuantitatif dengan berbagai isu-isu sosial yang melingkupi kehidupan manusia. Redaksi JEKT kali ini kembali mengingatkan walaupun tema utama JEKT adalah kuantitatif namun isu-isu sosial tetap menjadi jiwa dalam setiap artikel terbitannya.

Kami menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di bidang sosial dan ekonomi, selain didukung oleh kemajuan teori juga didukung dengan riset-riset aplikasi terapan dari teori-teori dimaksud. Untuk itu JEKT selalu menanti partisipasi Sidang Pembaca yang terhormat untuk menuangkan hasil riset dan kajian tersebut dalam bentuk artikel ilmiah, sehingga dapat terpublikasi dengan baik. Edisi enam bulanan JEKT juga bisa dibaca melalui ojs.unud.ac.id/index.php/jekt.

Selamat membaca.

Redaksi

Page 5: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

1

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Hendra Kusuma]JEKT ❖ 9 [1] : 1 - 11 ISSN : 2301 - 8968

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Hendra Kusuma*)

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAK

Desentralisasi fiskal di Indonesia telah diberlakukan sejak tahun 2000, konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah diberikannya kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah. Namun dalam penerapan kewenangan tersebut terdapat beberapa permasalahan diantaranya adalah apakah pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Peran pemerintah pusat dalam membantu pertumbuhan ekonomi di daerah tercermin dari berbagai macam dana transfer yang diberikan seperti DAU, DAK dan DBH. Dengan menggunakan data provinsi di pulau Jawa dan Sulawesi antara tahun 2010 hingga 2013 serta melihat ukuran desentralisasi dengan proxy yang digunakan adalah kemampuan daerah dari transfer dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi (AII) dan ukuran kemampuan pendapatan asli daerah dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi (AIII) maka akan memberikan gambaran yang lebih objektif pada pertumbuhan ekonomi di daerah pada masa desentralisasi fiskal. Hasil estimasi dengan menggunakan random effect menunjukkan bahwa rasio belanja modal terhadap total belanja pemerintah daerah, indikator desentralisasi fiskal yang diwakili kemampuan dana transfer terhadap pembentukan Pendapatan daerah serta kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan, menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi terutama dari kontribusi belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Kata kunci : desentralisasi fiskal, dana transfer, pertumbuhan ekonomi, data panel

Fiscal Decentralization and Economic Growth in Indonesia

ABSTRACT

The fiscal decentralization in Indonesia has been applied since 2000, the consequences of this policy are given the financial to local governments. However, there are several issues which are whether the delegation of authority given by the central government to the local governments that can contribute to economic growth in the region in the implementation of authority. The role of central government in helping economic growth in the region is reflected in the various kinds of funds transfer that is given, such as DAU, DAK and DBH. By using data of provinces in Java and Sulawesi between 2010 and 2013 and seeing the size of the decentralization of the proxy used is the capability area of the transfer in the creation of economic growth (AII) and the measure capability of local revenue in contributing to economic growth (AIII), so that it will give more objective overview to economic growth in the region during fiscal decentralization. The result of estimation by using random effect indicate that the ratio of capital expenditures to total expenditures of local governments, indicator of fiscal decentralization represented the capability of funds transfer to the establishment of regional income and the contribution of local revenues to total revenues, concluding that fiscal decentralization in Indonesia have an impact on economic growth, especially the contribution of spending conducted by local governments.

Keywords: fiscal decentralization, funds transfer, economic growth, data panel

*) E-mail: [email protected] Ucapan terima kasih dari penulis kepada para akademisi yang ikut berkontribusi dalam penyempurnaan tulisan hingga Universitas Muhammadiyah Malang melalui

Fakultas Ekonomi dalam menyediakan pendanaan

Page 6: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

2

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pintu gerbang reformasi di bidang birokrasi dan ekonomi, dengan berlakunya undang-undang pemerintah daerah telah diberikan saluran baru untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat serta mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk mendukung berlakunya undang-undang tersebut dana pemerintah yang semula dikelola oleh pemerintah pusat menjadi wewenang pemerintah daerah melalui skema dana transfer.

Transfer pemerintah pusat ke daerah melalui dana perimbangan diperkirakan akan mereduksi peranan pengelolaan fiskal pemerintah pusat, hal sebaliknya akan dirasakan oleh pemerintah daerah dimana proposri total pengeluaran pemerintah daerah melalui APBD akan meningkat tajam. Pergeseran pengelolaan fiskal dari pemerintah pusat ke daerah pada umumnya akan berdampak pada peningkatan pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan umum kepada masyarakat serta mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintah daerah itu sendiri.

Kemampuan PAD dalam mencukupi anggaran belanja daerah sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan lancar jika hanya membebankan kepada pemerintah. Kemampuan keuangan daerah yang meningkat dari proses desentralisasi akan menimbulkan diskersi daerah dalam bidang anggaran, sehingga terdapat keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam penyediaan prasarana dan pemberian layanan kepada masyarakat.

Desentralisasi telah mampu meningkatkan pendapatan pemerintah daerah yang diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Salah satu peran pemerintah daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah mengefektifkan belanja pemerintah daerah dalam menunjang aktifitas perekonomian masyarakat seperti pembangunan sarana umum, selain itu dengan pengalokasian yang tepat pada belanja pemerintah maka diharapkan pendapatan daerah juga akan meningkat.

Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintah membutuhkan modal yang diantaranya didapat dari potensi ekonomi daerah serta transfer yang diberikan dari pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat jika dalam pemenuhan modal pemerintah daerah hanya mengandalkan

transfer dari pemerintah pusat sebagai salah satu bentuk pendelegasian pengelolaan keuangan kepada daerah. Manfaat positif dari tingginya dana perimbangan pemerintah pusat adalah jika dana transfer digunakan untuk konsumsi barang dan jasa yang berhubungan dengan kelancaran kegiatan ekonomi, transfer untuk pengeluaran konsumsi barang dan jasa dari pemerintah pusat memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Devarajan, Swaroop, & Zou, 1996).

Menurut Oates (1993)Desentralisasi fiskal telah menjadi sebuah rujukan penting untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi di daerah menjadi lebih baik dan efisien. Dengan berpindahnya beberapa kewenangan dan pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tersebut diharapkan kebijakan publik yang telah dibuat menjadi lebih baik dan efisien, selain itu pelayanan dan penyediaan kebutuhan publik menjadi selaras dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah daerah.

Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintah membutuhkan modal yang diantaranya didapat dari potensi ekonomi daerah serta transfer yang diberikan dari pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat jika dalam pemenuhan modal pemerintah daerah hanya mengandalkan transfer dari pemerintah pusat sebagai salah satu bentuk pendelegasian pengelolaan keuangan kepada daerah. Provinsi yang ada di pulau sulawesi menunjukkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap dana perimbangan tahun 2006 proporsi dana perimbangan terhadap pendapatan mencapai 82 persen. Hal yang sama juga terjadi pada provinsi yang berada di pulau kalimantan, namun secara berturut turut proporsi dana perimbangan terhadap pendapatan daerah menurun hingga tahun 2010.

Manfaat positif dari tingginya dana perimbangan pemerintah pusat adalah jika dana transfer digunakan untuk konsumsi barang dan jasa yang berhubungan dengan kelancaran kegiatan ekonomik, transfer untuk pengeluaran konsumsi barang dan jasa dari pemerintah pusat memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Devarajan et al., 1996).

Belanja pemerintah yang salah satunya adalah untuk pembangunan infrastruktur merupakan sebuah bentuk dari investasi. Pada umumnya investasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya untuk mencari keuntungan, namun untuk kelancaran roda ekonomi masyarakat. Selain pemerintah investasi juga dilakukan oleh masyarakat baik lokal maupun internasional. Sumber daya alam dan manusia yang

Page 7: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

3

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Hendra Kusuma]

dimiliki daerah merupakan daya tarik bagi penanam modal, namun akan lebih menarik jika kelengkapan sarana publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai bentuk dari investasinya dapat dipenuhi. Morrison dan Schwartz (1992) menyatakan bahwa bagi penanam modal ketersediaan infrastruktur mampu mengurangi biaya faktor produksi. Selain itu Globerman dan Shapiro (2002) mengemukakan bahwa ketersediaan infrastruktur terutama dari pemerintah adalah determinan penting dalam mempengaruhi investasi baik dari dalam maupun luar negeri.

Peran pemerintah pusat dalam membantu belanja pemerintah daerah yang dicerminkan melalui dana transfer telah diteliti oleh beberapa penelitian empiris. Penelitian Davoodi dan Zou (1998) dengan menggunakan analisis endogeneus growth model dan data yang digunakan adalah data panel dengan jumlah observasi 46 negara maju dan berkembang antara tahun 1970 - 1989 menunjukkan bahwa negara maju lebih dapat menerima kebijakan desentralisasi dari pada negara yang sedang berkembang (33% vs 20%) dimana pertumbuhan GDP nya juga lebih tinggi negara maju yang terdesentralisasi dari pada negara berkembang yang terdesentralisasi ( 2% vs 1,6%).

Penelitian yang lain dilakukan oleh Thornton (2007) dengan membandingkan 19 negara yang tergabung dalam OECD dan model yang digunakan adalah OLS didapatkan bahwa desentralisasi fiskal pada penambahan pendapatan pemerintah daerah melalui transfer tidak berdampak kepada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Dari penelitian yang telah dilakukan hasil menunjukkan dampak yang tidak signifikan antara desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, hal tersebut dikarenakan negara yang tergabung di OECD telah mempunyai kemandirian ekonomi yang sangat tinggi, sehingga akan menjadi sulit untuk membandingkan antar negara anggota OECD. Penelitan yang telah dilakukan oleh Nobuo Akai (2002)dengan menggunakan data cross section dan Time Series sebanyak 50 negara bagian di Amerika Serikat serta mengikuti persamaan yang telah dibuat Xie, Zou, dan Davoodi (1999), didapatkan hasil bahwa desentralisasi fiskal akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi di negara-negara bagian tersebut. Ukuran kemampuan daerah atau negara bagian di dalam pelaksanaan belanja daerah terkait dengan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat menunjukkan nilai yang positif terhadap produk domestik bruto.

Desentralisasi di indonesia telah membawa banyak perubahan baik positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Anis & Ardi,

2007; Laras & Priyo, 2008; Muslimin, 2010; Priyo, 2005). Keberagaman respon dari desentralisasi juga telah diteliti oleh Davoodi dan Zou (1998) dengan menggunakan menggunakan analisis endogeneus growth model dan data panel penelitian desentralisasi yang telah dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa negara maju lebih dapat menerima kebijakan desentralisasi dari pada negara yang sedang berkembang. Sementara penelitian yang lain dengan menggunakan analisis OLS data panel menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan berdampak pada penambahan pendapatan pemerintah daerah namun desentralisasi fiskal tidak berdampak kepada pertumbuhan ekonomi daerah Thornton (2007). Beberapa penelitian mengenai desentralisasi baik di dalam dan luar negeri tersebut telah memberikan gambaran bahwa desentralisasi fiskal membawa dampak yang beragam kepada negara atau wilayah yang lebih maju.

Indonesia yang telah menerapkan sistem desentralisasi sejak dikeluarkannya UU nomor 22 Tahun 1999 diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah sesuai dengan karakteristik yang melekat pada daerah tersebut. Untuk mengetahui apakah pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat berjalan sesuai dengan tujuan, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, maka dibutuhkan pengamatan lebih mengenai proporsi belanja daerah, kemampuan daerah dari transfer dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi, serta kemampuan pendapatan asli daerah dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pendelegasian sebagian urusan kepada daerah atau desentralisasi merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mencapai sebuah tujuan bernegara. Tujuan dari pendelegasian sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah untuk memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat dan menciptakan demokratisasi politik dalam keputusan publik. Pelimpahan wewenang kepada pemerintahan yang lebih rendah diwujudkan dengan memberikan kepercayaan kepada daerah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan pemungutan pajak, pembentukan dewan dan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, serta bantuan keuangan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Definisi dari desentralisasi mencakup berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek administrasi, fiskal, politik dan pembangunan sosial ekonomi.

Desentralisasi mempunyai empat jenis pendelegasian yaitu desentralisasi dibidang urusan

Page 8: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

4

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

administrasi, desentralisasi fiskal, desentralisasi politik dan desentralisasi di bidang ekonomi1. Pendelegasian di bidang urusan dan administrasi merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintah. Dalam desentralisasi pada hakekatnya pemerintah mengemban tiga fungsi utama diantaranya fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stinglitz, 2000). Dalam fungsi distribusi pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih lengkap untuk dapat melaksanakan asas pemerataan pendapatan kepada masyarakat melalui distribusi pembangunan ekonomi serta menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi alokasi merupakan peran pemerintah dalam mengendalikan dan mengalokasikan sumber daya ekonomi termasuk alokasi transfer keuangan dari pemerintah pusat. Dalam fungsi stabilisasi pemerintah bertindak sebagai penyeimbang di berbagai aspek sosial ekonomi seperti tingkat pengangguran, harga dan pertumbuhan ekonomi. Dalam peran tersebut pemerintah daerah dituntut untuk dapat menggunakan berbagai macam sumber daya yang dimiliki untuk mengurangi pengangguran, menstabilkan harga dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Sesuai dengan tujuan dari desentralisasi bahwa pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam pengelolaan keuangan termasuk dana transfer yang diberikan, maka jika pemerintah daerah dapat memanfaatkannya secara efektif pertumbuhan ekonomi yang stabil akan tercapai dan kestabilan tingkat harga dapat dicapai.

Desentralisasi fiskal merupakan sebuah instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan untuk mendorong perekonomian di daerah atau pusat. Kebebasan pemerintah daerah dalam mengelola dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pengelolaan keuangan sehingga pelaksanaan pembangunan di daerah akan tercapai dengan baik dan akan berimbas kepada kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal mempunyai tiga variasi. Pertama desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam limgkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah/pemerintah daerah. Kedua delegasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga devolusi (pelimpahan), yaitu bukan saja implementasi yang diberikan kepada daerah, tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan oleh daerah (Richard &

1 Tercantum dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Villancourt, 2002).Perjalanan desentralisasi fiskal di Indonesia

masih mempunyai berbagai macam kelemahan dan kekurangan baik dalam konsep maupun dalam implementasinya. Masih terdapat berbagai macam peraturan yang saling berbenturan yang menyebabkan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia kurang berjalan dengan baik. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik apabila Pemerintah Pusat kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement

Penyediaan kebutuhan publik oleh pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan publik tersebut dapat mengalokasikan pendapatan pemerintah yang diperoleh dari pendapatan asli daerah ataupun dari dana transfer pemerintah pusat. Menurut Martinez dan McNab (2003) hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi yang bersifat multidimensional, dapat dibedakan dalam hubungan yang bersifat direct dan indirect. Hubungan yang bersifat langsung didasarkan pada pendapat Oates (1993) yang menyebutkan bahwa penyediaan barang publik dalam kerangka desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi yang akan dicapai selaras dengan setting pertumbuhan ekonomi yang dicapai.

Hubungan yang bersifat langsung antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi seperti yang diungkapkan Oates (1993) masih memerlukan pengembangan lebih lanjut, namun ada beberapa potensi yang dapat dikembangkan terkait masalah hubungan tidak langsung antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi.

Penelitian yang menggambarkan hubungan desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi juga dilakukan oleh Oates (1993) yang menyatakan bahwa desentralisasi akan menciptakan efisiensi ekonomi dan memiliki pengaruh pembentukan dinamis pada pertumbuhan ekonomi. Tetapi pengaruh dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi masih banyak diperdebatkan baik dari sisi teori maupun studi empiris yang juga terus berkembang. Pada awalnya yang lebih diperhatikan adalah kuantitas pengeluaran pemerintah, namun ada tahap selanjutnya mengenai aspek-aspek lain dari kebijakan pemerintah. Selain cross section studies yang dilakukan Baffes dan Shah (1998) dan Aschauher (2000), hubungan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi pada tingkat daerah di suatu negara juga telah mendapat perhatian, seperti halnya studi yang dilakukan oleh Rappaport (1999) dengan kasus di Amerika Serikat. Untuk kasus di Indonesia Brata dan Arifin (2003)

Page 9: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

5

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Hendra Kusuma]

juga telah menganalisis aspek fiskal pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia.

Jin dan Zou (2002) melakukan penelitian mengenai desentralisasi fiskal di China, mendapatkan hasil bahwa desentralisasi pengeluaran tidak meningkatkan pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi China. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah pusat lebih efisien dalam mengatur pengeluarannya dibanding pemerintah daerah Zhang dan Zou (1998). Sedangkan desentralisasi di bidang penerimaan berpengaruh positif dan signifikan, hal ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Shah dan Mundial (1994) bahwa desentralisasi penerimaan akan menstimulasi mobilisasi penerimaan dari sumber-sumber keuangan daerah. Hasil ini mendukung hal yang fundamental bahwa pengaruh dari desentralisasi sangat tergantung pada institusi fiskal dan sistem politik yang ada di negara tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitianRodden and Rose-Ackerman (1997) bahwa desentralisasi fiskal terhambat jika pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang memadai dibanding pemerintah pusat. Teori mengenai rancangan desentralisasi fiskal menyarankan sejumlah potensial trade off antara efisiensi dan tujuan lainnya seperti equality dari distribusi sumber daya antar pemerintah atau stabilitas makroekonomi. Beberapa penulis mengatakan bahwa memberikan sedikit kebijakan makroekonomi pada pemerintah daerah akan meningkatkan stabilitas makroekonomi (shah 2006).

Pemberlakuan undang-undang 32 dan 33 tahun 2004 mengenai keuangan pemerintah daerah telah menyebabkan perubahan yang cukup berarti bagi sistem keuangan pemerintahan di Indonesia. Dari undang-undang tersebut pendelegasian sistem keuangan dari pemerintah pusat ke daerah telah merubah pemerintahan yang dahulunya sentralistik menjadi lebih terdesentralisasi. Kedua undang-undang mengenai desentralisasi tersebut telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, termasuk kewenangan untuk memanfaatkan dan mengalokasikan keuangannya. Dengan besarnya wewenang yang dilipahkan ke pemerintah daerah, maka diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan perekonomian daerah yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

DATA DAN METODOLOGI

Model yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh dari desentralisasi fiskal dalam

pertumbuhan ekonomi mengguakan sampel pada kabupaten dan kota di provinsi Jawa, Sulawesi dan Papua. Pengambilan sampel pada kabupaten/kota di pulau jawa diharapkan mampu menggambarkan dan mewakili Indonessia bagian Barat sedangkan pulau Sulawesi mewakili Indonesia tengah dan timur. Periode yang diambil antara tahun 2010 – 2012 dengan menggunakan data panel dimana akan dipilih pendekatan yang terbaik dari common effects, fixed effect atau random effect. Untuk mengatasi berbagai macam asumsi klasik maka digunakanlah pendekatan Feasible Generalized Least Square (FGLS).

Guna mengetahui dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah peneliti mengadopsi model pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Kemudian diadopsi bersama dengan variabel kontrol model dari Nobuo Akai (2002) seperti Openess, pertumbuhan penduduk dan pendidikan sebagai berikut dirumuskan seperti rumus (1).

GrYit = α0 + β1RBMIit +β2AIIit + β3AIIIit + β4 (GrG)it + β5(GrJP)it + vit ..................(1)

Variabel terikat dalam penelitian yang dilakukan adalah pertumbuhan ekonomi yang digambarkan dengan pertumbuhan PDRB di setiap provinsi. Variabel bebas pada penelitian ini menggunakan pengeluaran pemerintah dan untuk variabel kontrol menggunakan, pertumbuhan jumlah penduduk. Definisi operasional variabel-variabel tersebut adalah, pertama pertumbuhan ekonomi digunakan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto. Kedua, Pengeluaran pemerintah menggunakan Rasio Belanja Modal (RBM) yang merupakan proxy untuk ukuran kemampuan daerah dalam pelaksanaan belanja modal daerah terkait dengan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Rasio Belanja Modal di dapatkan dari rasio antara belanja modal kabupaten atau kota terhadap total belanja kabupaten atau kota, belanja modal kabupaten atau kota digunakan dalam satuan juta rupiah. Ketiga, Authority Indicator (AII) adalah proxy yang digunakan sebagai ukuran kemampuan daerah dari transfer dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi. Authority Indicator didapatkan dari pendapatan asli daerah kabupaten/ Kota terhadap penerimaan total kabupaten/Kota dengan tidak menyertakan transfer dari provinsi.

Keempat, transfer dan penerimaan total provinsi dalam satuan juta rupiah Authority Indicator (AIII) adalah proxy yang digunakan sebagai ukuran kemampuan pendapatan asli daerah dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Page 10: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

6

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Authority Indicator didapatkan dari rasio pendapatan asli daerah kabupaten/kota terhadap penerimaan total provinsi dengan memasukkan transfer dari provinsi dan pemerintah pusat. Nilai pendapatan dan penerimaan total provinsi dalam satuan juta rupiah. Kelima Pertumbuhan Jumlah Penduduk (GrJP) adalah proxy yang digunakan untuk menggambarkan salah satu faktor penggerak pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Keenam Pertumbuhan belanja pemerintah daerah (GrG) adalah ukuran untuk mengetahui tingkat perkembangan total belanja daerah di setiap tahunnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelimpahan wewenang dan tata kelola keuangan dari pemerintah pusat ke daerah dapat memberi ruang kepada daerah untuk meningkatkan ekonomi sesuai dengan potensi yang dimiliki. Melalui keleluasaan pengelolaan keuangan diharapkan pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk peningkatan pelayanan publik serta kegiatan ekonomi masyarakat.

Dukungan pemerintah pusat dalam peningkatan ekonomi di daerah tidak hanya melalui pelimpahan kewenangan dan keuangan saja. Kebijakan lain untuk meningkatkan ekonomi daerah juga dilakukan oleh pemerintah pusat salah saatunya melalui kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut merupakan upaya dalam memaksimalkan eksploitasi sumber daya sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing.

Perubahan pola pengelolaan keuangan pasca diberlakukannya desentralisasi fiskal di Indonesia pada tahun 1999 telah memberikan banyak perubahan dalam tata kelola keuangan daerah. Pemerintah daerah yang dipandang memiliki informasi lebih mengnai keunggulan daerahnya diharapkan mampu mengelola dana transfer dari pemerintah pusat.

Seperti terlihat pada Tabel 1 bahwa sebelum diberlakukannya desentralisasi fiskal dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat masih sedikit yaitu 503 Milyar untuk dana bagi hasil dan meningkat menjadi 3,5 Triliun di tahun 2000. Namun jika dibandingkan dengan setelah desentralisasi jumlah tersebut sangat sedikit bahkan terjadi peningkataan sebesar 4,9 kali dari tahun 2000 ke 2001. Secara bertahap pemerintah pusat telah memberikan dana yang berlimpah untuk daerah dengan tujuan pemerintah daerah mampu meningkatkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) supaya kegiatan masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Pada masa sebelum desentralisasi diberlakukan pemerintah daerah tidak diberikan kesempatan untuk dapat mengelola keuangannya sendiri termasuk alokasi belanja daerah. Seluruh belanja kegiatan pemerintah daerah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, hal tersebut akan berdampak kepada terhambatnya ide kreatif daerah dalam pengembangan pembangunan daerah.

Dana Alokasi Umum yang berfungsi sebagai penyelaras keuangan daerah telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan pasca desentralisasi, informasi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dana alokasi umum untuk daerah dengan 27 provinsi pada tahun 1990 sebesar 6,5 Triliun dan meningkat pesat di tahun 2012 menjadi 273,8 Triliun Rupiah. Hal tersebut menggambarkan bahwa untuk meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah pemerintah pusat sangat mengharapkan peran aktif dari alokasi belanja yang tepat dari pemerintah daerah. Seiring dengan berjalannya waktu pemerintah daerah menjadikan dana perimbangan sebagai sumber utama pembiayaan kegiatan pemerintah daerah, hal tersebut dapat berdampak positif bagi daerah dengan berasumsi bahwa dana perimbangan merupakan tambahan modal bagi pemerintah daerah dengan harapan penambahan dana tersebut mampu dijadikan pemicu pertumbuhan ekonomi daerah.

Desentralisasi fiskal yang telah berjalan lebih dari 10 tahun di Indonesia secara perlahan telah membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa desentralisasi telahberdampak positif terhadap pertumbuhanekonomi di daerah. Nilai pertumbuhan dapat semakin besar ketika modal yang diterima oleh pemerintah daerah dialokasikan atau dibelanjakan pada sektor yang dapat memicu kegiatan ekonomi secara luas.

Seiring dengan besarnya limpahan wewenang dari pemerintah pusat, desentralisasi memberi dampak kepada biaya pelaksanaan pemerintahan yang semakin tinggi. secara rata-rata rasio transfer terhadap total pendapatan Provinsi mengalami penurunan hingga dibawah 50% di tahun 2012. Penurunan rasio tersebut memberi indikasi awal bahwa desentralisasi tidak selalu memberi efek negatif terhadap ketergantungan pendanaan. Dibutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memberi ruang kepada daerah dalam memenuhi kegiatan pemerintah daerah dari pendapatan asli daerah.

Desentralisasi yang digambarkan dengan belanja modal daerah terbukti mampu membantu pertumbuhan ekonomi di daerah. Pengaruh positif

Page 11: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

7

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Hendra Kusuma]

tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah daerah telah memulai proses transisi untuk dapat meningkatkan pandapatan daerah melalui keuntungan belanja modal. Salah satu yang diterapkan oleh pemerintah daerah dalam belanja modal adalah belanja untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia baik di lingkungan pemerintah sebagai penyedia jasa pelayanan publik ataupun untuk masyarakat luas dengan tujuan meningkatkan kualitas ketersediaan tenaga kerja.

Seiring dengan peningkatan proporsi dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Tabel 1) diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan karakterwilayah yang dimiliki. Dana transfer yang diberikan tidak hanya berfungsi untuk menutup selah fiskal yang dihasilkan dari aktivitas pemerintah daerah, namun lebih kepada memberikan stimulus untuk percepatan pertumbuhan ekonomi.

Stimulus yang diberikan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat berupa belanja daerah dibidang pendidikan. Pendidikan yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dapat berupa pendidikan formal maupun non formal. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia sehingga dapat meningkatkan daya tawar pada pasar tenaga kerja.

Keterangan: Dep.var pertumbuhan PDRB (2010-2013) pada Tabel 2 ditunjukkan nilai koefisien (baris pertama) dan t-statistik (baris kedua) dengan level signifikasi 10%(***) 5%(**) 1%(*). Jumlah observasi sebanyak 644 kab/kota di Pulau Jawa & Sulawesi

Beberapa skenario yang diambil untuk mendapat-kan gambaran yang lebih lengkap dari desentralisasi yang telah diterapkan di Indonesia sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu (Tabel 2). Hasil menunjuk-kan dengan menggunakan seluruh variabel desentral-isasi (skenario 3 pada 1.3 di Tabel 2) yang digunakan menggambarkan bahwa unutuk rasio belanja modal (RBM) yang menggambarkan kemampuan daerah dalam pelaksanaan belanja modal daerah terkait den-gan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke

pemerintah daerah menunjukkan hasil yang positif.Besaran belanja modal menjadi salah satu alat

untuk memicu pertumbuhan ekonomi di daerah. Semakin tinggi belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah, maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan pola konsumsi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat akan meningkatkan belanja daerah, namun belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dari sisi

Tabel 1. Perkembangan Dana Perimbangan (Milyar Rupiah)

KeteranganTahun Skala Perubahan

1990 2000 2001 2012 1990-2000 2001-2012 2000-2001Dana Bagi Hasil 503 3,54 21,18 108,42 6.0 4.1 4.98Dana Alokasi Umum 6,55 30,35 60,51 273,81 3.6 3.5 0.99Dana Alokasi Khusus - - 701 26,11 0.0 36.3Dana Perimbangan 7,06 33,89 82,40 408,35 3.8 4.0 1.43 Sumber : SEKI Bank Indonesia (data diolah), 2014

Tabel 2. Output Regresi dengan Random effect FGLSVariabel 1.1 1.2 1.3RBM 0,857

[37,16]*0,829

[35,04]*0,846

[36,33]*AI1 0,046

[6,91]*- 0,0391

[5,43]*AI2 - 0,137

[5,056]*0,0824

[2,899]*GRBELANJA 0,002

[0,490]0,0002[0,055]

0,0017[0,410]

GRJP 0,047[1,27]

0,0214[0,569]

0,0435[1,179]

Coef. -0,01[-1,45]

0,0044[0,709]

-0,0128[-1,4]***

R2 0,685 0,608 0,69Sumber : hasil olah data, 2014

Gambar 1. Rata-rata perkembangan Belanja dan Trans-fer 2005-2010

Sumber : DJKP, data diolah. 2014

Page 12: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

8

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

peningkatan konsumsi masyarakat (Gambar 1). Nilai positif pada rasio belanja pegawai menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah dapat dipicu dari peningkatan pendapatan masyarakat, dimana peningkatan pendapatan tersebut diperoleh dari tingginya dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pada sisi lain seharusnya peningkatan pendapatan pegawai provinsi lebih disebabkan dari peningkatan PAD, namun PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah kurang dari 30 persen (Iskandar, 1993). Sehingga kebutuhan rutin pemerintah daerah sebagian besar dipenuhi oleh dana transfer, hal tersebut yang membuat proporsi dana transfer untuk pembangunan daerah berkurang.

Masih pada skenario yang ketiga variabel kedua yaitu AII yang menggambarkan ukuran kemampuan daerah dari transfer dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi, dimana rasio tersebut menggunakan Pendapatan Asli Daerah dan penerimaan total (tanpa transfer pemerintah pusat). Hasil analisis menunjukkan nilai yang positif dan signifikan yang berarti bahwa setiap peningkatan penerimaan dengan menghilangkan transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan direspon dengan pertumbuhan ekonomi yang positif pula.

Besaran pertumbuhan ekonomi daerah tanpa adanya transfer dari pemerintah pusat menjadi sebuah hasil yang menarik. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi meskipun transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat ditiadakan. Indikasi yang lain untuk menggambarkan hasil terebut adalah telah terjadi peningkatan pendapatan asli daerah yang mampu dipergunakan untuk menggerakkan perekonomian.

Belanja pemerintah daerah merupakan stimulus dalam menggerakkan perekonomian. Meskipun belanja yang dipergunakan sebagian besar dipergunakan untuk belanja kegiatan rutin seperti

belanja pegawai, jika dilihat dari sisi konsumsi setiap pengeluaran dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pemberian remunerasi, insentif tambahan bagi pegawai pemerintah daerah dan bonus lainnya dalam jangka pendek dapat meningkatkan konsumsi masyarakat yang kemudian dikonversi dalam bentuk pertumbuhan ekonomi.

Provinsi yang terletak di pulau Jawa dan Sumatera menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang konsisten meskipun terjadi pengurangan dana transfer dari pemerintah pusat. Kegiatan bisnis pemerintah daerah yang dilakukan BUMD dan pendapatan dari retribusi mampu mengurangi beban belanja rutin. Secara rata-rata rasio yang dihasilkan dari PAD terhadap tetal pendapatan di Pulau Jawa lebih dari 50% (Tabel 3).

Hasil analisis pada variabel ketiga yaitu AIII yang merupakan ukuran kemampuan pendapatan asli daerah dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai yang dihasilkan dari analisis adalah positif 0,0824 dengan level signifikasi dibawah 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Hasil berbeda didapatkan antara skenario ke dua (hasil 1.2) dan ketiga (1.3) terutama pada nilai koefisiennya. Jika berasumsi semua variabel dianggap kosntan, maka skenario kedua menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan berdampak positif kepada pertubuhan ekonomi di daerah, namun hal sebaliknya ditunjukkan pada hasil dengan skenario 1.3.

Secara umum dari sampel yang diambil yaitu pada seluruh kabupaten dan kota yang berada di pulau Jawa dan Sulawesi dapat dinyatakan bahwa pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi. Meskipun belum semua indikator desentralisasi menunjukkan arah yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun beberapa hal penting seperti kemampuan pemerintah daerah dalam membelanjakan keuangan

Tabel 3. Rasio PAD dan DAPER terhadap Total Pendapatan

PulauRata-rata Rasio PAD thd Total

Pendapatan Rata-rata Rasio DAPER thd Total Pendapatan

2006 2007 2008 2009 2010 2006 2007 2008 2009 2010

Sumatera 44% 35% 33% 39% 41% 75% 49% 50% 55% 52%Jawa 67% 61% 55% 63% 63% 37% 21% 33% 36% 36%Kalimantan 42% 36% 29% 38% 42% 88% 32% 52% 60% 56%Sulawesi 26% 22% 23% 27% 28% 82% 60% 75% 69% 68%Bali. NTT & NTB 42% 41% 38% 40% 40% 60% 44% 62% 59% 57%Papua 5% 3% 5% 5% 5% 76% 24% 66% 66% 31%Sumber : DJKD data diolah. 2014

Page 13: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

9

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Hendra Kusuma]

yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi serta kemampuan PAD dalam memicu pertumbuhan ekonomi (AIII) dapat mewakili representasi keberhasilan penerapan desentralisasi di Indonesia.

Meskipun hasil dari analisis pada kabupaten dan kota yang berada di pulau Jawa dan Sulawesi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan atas pertumbuhan belanja dengan pertumbuhan ekonomi, namun keberadaannya menunjukkan arah yang positif. Hasil tersebut menghasilkan gambaran bahwa besaran belanja pemerintah daerah akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tidak terbatas kepada belanja modal saja, namun berbagai macam pengeluaran pemerintah akan selalu direspon positif oleh pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan kuantitas menunjukkan bahwa semakin tinggi belanja maka dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi semakin baik. Belanja pegawai yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang proporsinya secara rata-rata dapat mencapai lebih dari 40% tentu akan direspon positif oleh pertumbuhan ekonomi.

Desentralisasi menyarankan untuk meminimumkan celah fiskal supaya pertumbuhan ekonomi di daerah lebih baik. Kemampuan daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal dengan tujuan untuk mengurangi clah fiskal yang terjadi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan memperhatikan dan meningkatkan sumber daya manusia serta peningkatan sarana insfrastruktur guna memperlancar roda perekonomian. Desentralisasi fiskal terhambat jika pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas fiskal yang memadai dibanding pemerintah pusat (Rodden dan Rose-Ackerman, 1997).

Kemampuan daerah dalam menciptakan pendapatan asli menyebabkan ketergantungan fiskal kepada pemerintah pusat. Setidaknya terdapat lima penyebab utama rendahnya pendapatan asli daerah (Kuncoro, 2010): pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; kedua, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; ketiga kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan; keempat, faktor politis, terdapat kekhawatiran jika daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan sepatisme; kelima, kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pemerintah pusat memberikan subsidi dalam bentuk block grants dan spesifik. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa

daerah memiliki keleluasaan dalam penggunaan dana subsidi blok, sedang penggunaan dana subsudi spesifik sudah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah tidak punya keleluasaan dalam penggunaan dana tersebut.

Pertumbuhan ekonomi daerah dapat berjalan dengan baik jika Pendapatan asli daerah mampu mencukupi kebutuhan fiskal serta dapat memenuhi kebutuhan publik. Hasil analisis menunjukkan nilai yang positif dan signifikan pada pengaruh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Nilai yang positif tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah dalam memenuhi standart pelayanan minimum yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat terselenggara dari pendanaan Pendapatan Asli Daerah.

Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat ke daerah akan semakin efektif jika nilai rasio otonomi yang dihasilkan semakin besar, selain itu otonomi menjadi semakin baik jika kebutuhan fiskal daerah dibiayai dari pendapatan asil daerah (Akai Sakata, 2002). Pendapatan asli daerah sangat tergantung kepada sumber daya alam yang dimiliki serta jumlah penduduk. Pendapatan pajak dan retribusi merupakan salah satu penyumbang pendapatan asli daerah, namun jika daerah yang berpenduduk sedikit maka pemanfaatan sumber daya alam oleh BUMD dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.

Pendapatan daerah melalui transfer menjadi variabel penting dalam pertumbuhan ekonomi. Semakin besar peranan dana transfer dalam menutup kebutuhan fiskalnya maka akan mengurangi kemandirian pemerintah daerah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif yang ditunjukkan dalam analisis antara pendapatan asli daerah dengan pertumbuhan ekonomi telah menggambarkan bahwa investasi pemerintah di sektor layanan umum tidak secara langsung dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang positif.

Kabupaten dan kota yang terletak di pulau Jawa menunjukkan kemandirian dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah. Proporsi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan mencapai lebih dari 50%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan peran aktivitas ekonomi daerah dalam menyumbang pendapatan. Pemerintah pusat dapat mengurangi proporsi DAU yang kemudian diganti dengan DAK untuk membantu pemerintah daerah pada masalah yang paling substansial yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Dalam undang-undang pemerintah daerah

Page 14: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

10

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

memang diberikan ruang untuk mendapatkan nilai tambah dari dana transfer dari sisi DAU. Tambahan tersebut diakibatkan kebutuhan fiskal dari pemerintah daerah yang tidak mampu dicukupi dari pendapatan asli daerah. Pada fase awal desentralisasi fiskal diberlakukan peran pemerintah pusat dalam menutup kebutuhan fiskal pemerintah daerah mutlak diperlukan. Diharapkan desentralisasi fiskal di era otonomi daerah mampu tercukupi dari Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus. Dana Bagi Hasil merupakan indikator kekuatan ekonomi daerah dari aktivitas masyarakat yang dilihat dari penerimaan pajak. Semakin besar Dana Bagi Hasil yang didapatkan oleh pemerinta daerah, maka mengindikasikan bahwa pemerintah telah terjadi peningkatan aktivitas ekonomi di daerah. Namun jika terjadi penignakatan pada Dana Alokasi Umum maka mengindikasikan bahwa daerah belum mampu sepenuhnya mencukupi kebutuhan fiskalnya.

Dana Alokasi Khusus merupakan pendanaan pemerintah pusat untuk program yang menjadi prioritas Nasional. Pelaksana dari DAK adalah pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Semakin kecil DAK maka dapat dinyatakan bahwa pemerintah daerah telah mampu menyediakan serta melaksanakan program prioritas Nasional.

Pemerintah daerah sebagai penyedia kebutuhan publik diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. kegiatan masyarakat menjadi lebih lancar jika sarana infrastruktur dapat terpenuhi dengan baik. Layanan pemerintah dalam penyediaan sarana infrastruktur dapat menigkatkan arus investasi di daerah.

Insfrastruktur merupakan salah satu cara untuk menarik investor, namun ketersedian sumber daya manusia yang mencukupi menjadi kekuatan dalam menggerakkan roda perekonomian. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik apabila berpedoman pada kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat Halim (2007). Meningkatnya sumber daya manusia di daerah akan memberikan berbagai macam dampak positif bagi pembangunan daerah. Kegiatan ekonomi yang dilakukan swasta menjadi lebih baik karena mendapatkan input produksi sumber daya manusia yang semakin baik. Hal tersebut akan berdampak pada alur investasi daerah yang semakin meningkat.

Pembentukan pendapatan asli daerah dari kegiatan ekonomi masyarakat menjadi tujuan utama pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan asli daerah dapat berupa

sumber daya alam ataupun bentuk aktifitas lain seperti jasa. Namun peran pemerintah pada massa desentralisasi akan menjadi penting karena pengaruh dari desentralisasi sangat tergantung pada institusi fiskal dan sistem politik yang ada di negara tersebut. Desentralisasi fiskal terhambat jika pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang memadai dibanding pemerintah pusat (Rodden dan Rose-Ackerman, 1997).

SIMPULAN

Meningkatnya belanja pemerintah daerah akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, peningkatan belanja dapat dilakukan di sisi pengeluaran rutin seperti belanja pegawai. Peningkatan belanja pegawai mampu meningkatkan konsumsi masyarakat yang merupakan salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi. Sedangkan belanja modal pada era desentralisasi dimana pemerintah daerah telah diberikan kewenangan sepenuhnya dalam mengalokasikan belanja modal secara bertahap telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak hanya pada bentuk fisik kegiatan, namun juga pada sektor peningkatan sumber daya manusia, dimana hal tersebut akan membentuk pertumbuhan ekonomi yang konsisten.

Variabel Authority Indicator (AII dan AIII) yang merupakan ukuran kemampuan daerah dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi di daerah mempunyai nilai yang positif dan signifikan. Indikator desentralisasi kemampuan pendapatan asli daerah dalam pembentukan total pendapatan telah menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

SARAN

Kebijakan desentralisasi tidak hanya kepada pengelolaan keuangan namun juga administrasi dan politik, oleh sebab itu perlu dilakukan kajian yang lebih merata terhadap gambaran dari desentralisasi. Melihat kontribusi transfer pemerintah pusat terhadap penerimaan jauh lebih besar dibandingkan kontribusi PAD sehingga memunculkan kesenjangan kekuasaan penerimaan dan belanja sehingga perlu ditinjau ulang keseimbangan antara fungsi, tugas dan kewajiban antar tingkat pemerintahan dapat tercapai.

Penelitian yang telah dilakukan memiliki keterbatasan dalam analisis yaitu belum terwakilinya seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, sehingga penelitian hanya menghasilkan kesimpulan secara

Page 15: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

11

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Hendra Kusuma]

sampel yang mewakili beberapa kabupaten dan kota di wilayah Indonesia bagian Barat dan beberapa kota di Indonesia bagian timur.

REFERENSI

Anis, & Ardi. (2007). Analisis Pengaruh PAD,DAU, DAK dan Belanja Pembangunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pengangguran: Pendekatan Analisis Jalur. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia.

Aschauher, D. A. (2000). Public capital and economic growth: issues of quantity, finance, and efficiency. Economic Development and Cultural Change, 48(2), 391-406.

Baffes, J., & Shah, A. (1998). Productivity of public spending, sectoral allocation choices, and economic growth. Economic Development and Cultural Change, 46(2), 291-303.

Brata, A., & Arifin, Z. (2003). Alokasi Investasi Sektor Publik dan Pengaruhnya Terhadap Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia. Media Ekonomi, 13(20), 59-71.

Davoodi, H., & Zou, H.-f. (1998). Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study. Journal of Urban Economics, 43, 244-257.

Devarajan, S., Swaroop, V., & Zou, H. (1996). The composition of public expenditure and economic growth. Journal of monetary economics, 37(2), 313-344.

Globerman, S., & Shapiro, D. (2002). Governance infrastructure and US foreign direct investment. Journal of International Business Studies, 34(1), 19-39.

Halim, A. (2007). Pengelolaan keuangan daerah yogyakarta : UPP STIM YKPN.

Jin, J., & Zou, H. (2002). How does fiscal decentralization affect aggregate, national, and subnational government size? Journal of Urban Economics, 52(2), 270-293.

Laras, W., & Priyo, H. (2008). Perilaku asimetris Daerah Terhadap Transfer Pemerintah Pusat, The 2nd national

Conference UKWMS. Martinez, V. J., & McNab, R. (2003). Fiscal decentralization and

economic growth. World development, 31(9), 1597-1616. Morrison, C., & Schwartz, A. (1992). State infrastructure and

productive performance. National Bureau of Economic Research.

Muslimin. (2010). Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Peran Kelembagaan Dana Otonomi Khusus Papua di Provinsi Papua Barat. Publikasi Ilmiah Universitas Brawijaya.

Nobuo Akai, and Masayo Sakata. (2002). Fiscal decentralization contributes to economic growth: evidence from state-level cross-section data for the United States. Journal of Urban Economics, 52, 93-108.

Oates, W. (1993). Fiscal Decentralization and Economic Development. National Tax journal, 46(2), 237-243.

Priyo, H. (2005). Analisis Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada kabupaten dan kota se Jawa-Bali). Jurnal Interdisipliner Kritis UKSW.

Rappaport, J. (1999). Local growth empirics. Richard, B. M., & Villancourt, F. (2002). Desentralisasi Fiskal

negara-negara Berkembang. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Rodden, J., & Rose-Ackerman, S. (1997). Does federalism preserve markets? Virginia Law Review, 1521-1572.

Shah, A., & Mundial, B. (1994). The reform of intergovernmental fiscal relations in developing and emerging market economies World Bank.

Stinglitz, J. (2000). Economics of the Public Sector. Third Ed. New York: W.W. Norton & Company.

Thornton, J. (2007). Fiscal decentralization and economic growth reconsidered. Journal of Urban Economics, 61, 64-70.

Xie, D., Zou, H., & Davoodi, H. (1999). Fiscal decentralization and economic growth in the United States. Journal of Urban Economics, 45, 228-239.

Zhang, T., & Zou, H. F. (1998). Fiscal decentralization, public spending, and economic growth in China. Journal of public economics, 67(2), 221-240.

Page 16: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

12

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko (Studi Kasus di Kota Surabaya)

Lilik SugihartiNi Made Sukartini*)

Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Tanti HandrianaDepartemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

ABSTRAK

Studi empiris yang mengkaji aspek keprilakuan pada perilaku adiksi seperti merokok, melaporkan adanya perbedaan temuan tentang preferensi perokok dan non perokok terhadap pilihan waktu (time preference) dan sikap terhadap resiko (risk attitude). Studi empiris yang menggunakan time preference task, melaporkan adanya variasi temuan pilihan orientasi waktu antara perokok dan non perokok. Beberapa studi melaporkan bahwa perokok bersikap impulsive, memilih opsi hadiah atau tugas dengan perspektif waktu yang bersifat “segera”, meskipun dengan nilai utilitas yang lebih rendah. Sementara itu, dalam studi-studi yang lain dilaporkan bahwa non-perokok yang berperilaku impulsive. Dalam studi yang lain dilaporkan bahwa dengan menggunakan probability discounting task, perokok cenderung bersikap risk averse. Studi ini menggunakan pendekatan standar time preference task dan probability discounting task dari Pla dan Jones (2003). Kesimpulan yang diperoleh dalam studi ini bahwa tidak ada perbedaan preferensi terhadap waktu antara perokok dan non perokok, namun perokok dilaporkan bersikap lebih menghindari resiko dibanding non perokok.

Kata kunci: Perilaku adiksi, Merokok, Preferensi Terhadap Pilihan Waktu

The Linkage between Smoking Behavior, Time Preference and Risk Preference (Case Study in Surabaya City)

ABSTRACT

Empirical studies focus on the behavioral agents such as smoking addiction reported there is ambiguity in preference between smokers and non smokers, in terms of time and risk attitude. Study focuses on times preference between smokers and non smokers come to difference conclusion. Some studies reported that smokers tend to behave impulsive in time preference task. On the other hand, other studies reported that non smokers behave impulsive. This study applies task and metodelogy of Pla and Jones (2003). Our study find there is no difference in time preference between smokers and non smokers, but compare to their counterpart, the smokers indeed avoid risky choices.

Keywords: Addiction behavior, smoking, time preferences

PENDAHULUAN

Jumlah perokok pria di Indonesia diperkirakan telah meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980, dan prevalensi perokok pria di Indonesia tercatat kedua tertinggi di dunia (WHO, 2012). Data ini mengindikasikan bahwa penduduk Indonesia mempunyai peluang yang tinggi terkena dampak negatif dari paparan asap rokok, khususnya kondisi kesehatan, serta biaya kesehatan di Indonesia.

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, di Indonesia secara nasional, prevalensi penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok sebesar 34,7 persen, dimana 28,2 persen diantaranya adalah perokok setiap hari, dan 6,5 persen perokok kadang-kadang. Yang memprihatinkan, hampir sebagian besar perokok aktif di Indonesia mulai merokok sejak usia belia. Data dalam Riskesdas 2010, sekitar 17,5 persen diantaranya mulai merokok di rentang usia 10-14 tahun, diperkirakan sekitar 43,3 persen mulai merokok di usia 15-19 tahun, dan

JEKT ❖ 9 [1] : 12 - 27 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

Page 17: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

13

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

14,6 persen di usia 20-24. Bahkan di antara para perokok, sebanyak 1,7 persen mulai merokok sejak usia lima sampai sembilan tahun. Data ini akan memberi indikasi bahwa semakin muda seseorang mulai mengenal rokok, maka semakin tinggi peluang dari perokok belia ini akan menjadi pecandu rokok pada usia belasan tahun. Semakin muda mereka menjadi pecandu, maka semakin sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari kecanduan pada rokok.

Secara psikologi dilaporkan bahwa konsumsi rokok, apabila dilakukan secara terus menerus, dapat menimbulkan perilaku kecanduan. Hal ini disebabkan oleh kandungan tar dan nikotin dalam rokok, yang memicu perilaku kecanduan tersebut1. Telah diketahui umum bahwa ada banyak jenis barang maupun jasa yang di konsumsi secara berulang dan rutin, dapat memicu perilaku kecanduan. Kecanduan pada rokok telah memicu perhatian para pengambil keputusan, oleh karena biaya ekonomi yang ditimbulkan oleh asap rokok, akan ditanggug dalam jangka panjang tidak hanya oleh perokok, tetapi juga pemerintah dalam bentuk dana kesehatan.

Dalam literatur ekonomi keperilakuan mulai banyak dikaji parameter yang berkaitan dengan masalah preferensi, khususnya perilaku ekonomi dari merokok. Ekonomi keprilakuan diharapkan dapat memberikan insight bagi teori perilaku konsumen maupun rekomendasi bagi para pengambil kebijakan, terkait dengan perilaku kecanduan pada konsumsi rokok. Kecanduan pada rokok telah menjadi perhatian publik. Upaya pencegahan konsumsi sampai pada efek kecanduan terus dilakukan, salah satunya dibentuknya framework convention on tobacco control (FCTC). Beberapa studi mulai mengkaji kaitan antara preferensi terhadap waktu dan resiko dengan kecanduan pada rokok di level individu. Preferensi terhadap waktu secara umum dikaji dengan menyajikan pilihan waktu kepada individu, yang disebut time preference task, sementara pengujian preferensi terhadap resiko dikaji melalui opsi probability discounting task.

Dalam time preference task individu diberi tugas untuk memilih hadiah dengan pilihan hadiah bernilai kecil dan diterima langsung versus hadiah dengan nilai besar tetapi diterima beberapa waktu kemudian. Individu dikatagorikan bersifat impulsive apabila dalam tugas ini memilih hadiah yang kecil dan segera dibanding hadiah besar namun diterima beberapa waktu berikutnya. Sedangkan dalam probability discounting task individu ditugaskan untuk antara memilih hadiah yang bernilai kecil dengan kepastian 1 Informasi ini diperoleh dari: http://cancercontrol.cancer.gov/brp/TCRB/

monographs/13/m13_complete.pdf; dan http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1640397/pdf/brmedj00520-0014.pdf

dibandingkan dengan hadiah dengan nilai besar tapi dengan resiko ketidakpastian. Individu dikatakan berperilaku impulsive apabila ia memilih hadiah yang bernilai besar namun beresiko (Mitchell, 1999).

Studi yang berfokus pada kaitan dari perilaku merokok dengan time preference task dan probability discounting tasksebagian besar melaporkan bahwa perokok ditemukan berperilaku lebih impulsive dibanding non perokok. Dalam time preference task perokok cenderung memilih hadiah atau rewards yang lebih cepat meski dengan nilai yang lebih kecil, lihat misalnya studi dari Mitchell (1999), Bickel et al. (1999), Odum et al. (2002), Baker et al. (2003), Reynolds et al. (2004),dan Ohmura et al.(2005).Dalam studi dari Reynolds et al. (2004) menemukan ada korelasi positif signifikan dari jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari dan pilihan hadiah yang diterima dikemudian hari (delay discounting rate). Studi dari Ohmura et al. (2005) menemukan kuantitas dan kualitas dari nikotin yang dikonsumsi sejumlah pecandu nikotin berkorelasi positif dengan high time discounting, dimana individu melaporkan konsumsi rokok dengan kadar nikotin tinggi cenderung pada awal-awal bulan, ketika jumlah uang yang dimilki untuk membeli nikotin masih banyak.

Namun, dalam studi dari Chesson dan Viscusi (2000), ditemukan bahwa perokok cenderung memiliki discount rate yang lebih rendah dibanding non perokok, dimana dalam time preference task perokok lebih banyak memilih rewards yang lebih besar dan dalam perspektif waktu yang lebih lama. Studi dari Reynolds et al.(2003) dan Sato dan Ohkusa (2003) menemukan bahwa perilaku impulsive dalam time discounting task mungkin lebih berkaitan dengan seorang remaja yang baru mulai mencoba rokok dibanding perilaku yang ditunjukkan oleh perokok aktif. Dalam studi dari Reynolds et al. (2004), ditemukan bahwa meskipun perokok secara umum lebih berperilaku impulsive dibanding non perokok dalam pengujian preferensi terhadap waktu maupun preferensi terhadap resiko, namun menurut Reynolds et al., preferensi penundaan (delay discounting) merupakan indicator yang lebih baik dibanding probability discounting.

Pada beberapa studi yang berfokus pada delay discounting menemukan adanya variasi dalam perilaku impulsive. Studi dari Green et al. (1994 dan 1996) melaporkan bahwa anak-anak bersifat lebih impulsive dibanding orang dewasa.Studi dari Kirby dan Markovic (1996) menemukan bahwa pria berperilaku lebih impulsive di banding wanita. Dalam studi yang lain,kelompok penjudi dan kelompok ketergantungan obat penenang, juga berperilaku lebih

Page 18: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

14

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

impulsive dibanding penduduk biasa (Alessi dan Petry, 2003; Petry, 2001; serta Bickel dan Marsch, 2001). Studi-studi ini telah melaporkan adanya ketidaksamaan dalam perilaku kecanduan pada pilihan preferensi waktu.Sebagian studi melaporkan perokok bersikap impulsive, sementara studi yang lainnya melaporkan hal yang sebalinya.Studi ini akan mengkaji perbedaan preferensi waktu dan perilaku terhadap resiko antara perokok dan non perokok dalam masyarakat Indonesia, serta mengkaji kaitan antara antara laporan subjektif tentang religiusitas dan peluang menjadi perokok pada sejumlah 165 (seratus enam puluh lima) subjek di kota Surabaya. Dengan menggunakan analisis regresi two stage least square studi ini menemukan tidak ada kaitan antara laporan subjektif tentang religiusitas individu dan peluang individu tersebut menjadi perokok. Di sisi yang lain studi ini menemukan bahwa perokok sama-sama tidak berperilaku impulsive seperti non perokok, namun perokok berperilaku menghindari resiko.

Review Studi Sebelumnya Terkait Perilaku Merokok

Beberapa studi empiris yang berfokus pada perilaku kecanduan rokok, produk minuman beralkohol, dan obat-obat yang mengandung zat adiktif lainnya melaporkan secara umum hal berikut. Sejumlah studi yang menggunakan data agregat maupun data individu, baik yang dilakukan di Amerika Serikat maupun di negara lain, menemukan bahwa secara keseluruhan elastisitas perubaha harga terhadap permintaan rokok berkisar antara -0,30 sampai -0,50. Perubahan prevalensi merokok karena kebijakan pemerintah, baik menaikkan sin tax maupun pemberian informasi dampak kesehatan atau dalam bentuk larangan, berkisar antara -0,1 sampai dengan -0,20 (Chaloupka dan Tauras, 2000).

Sejumlah studi yang berfokus pada remaja, melaporkan bahwa perilaku merokok remaja lebih mendekati prediksi model konvensional. Perokok remaja dilaporkan lebih sensitif terhadap perubahan harga, yang diduga berkaitan dengan faktor pendapatan yang masih rendah, dan mencoba rokok karena faktor pengaruh atau tekanan dari teman. Temuan ini juga masih konsisten dengan prediksi model rational addiction, perokok pemula atau perokok remaja akan bersifat lebih sensitif terhadap perubahan harga, oleh karena remaja dalam konsumsi cenderung berperilaku present oriented, dan secara umum belum memasuki tahap kecanduan pada rokok.

Studi dari Lewit et al. (1981), melaporkan bahwa

perilaku merokok di Amerika Serikat secara umum berkebalikan dengan karakteristik usia. Studi dari Lewit et al. melaporkan bahwa perokok remaja usia di bawah 20 tahun ditemukan sekitar 3(tiga) kali lipat lebih sensitif terhadap perubahan harga dibanding perokok usia di atas 25 tahun. Dalam studi lain, Lewit dan Coate (1982) melaporkan kesimpulan yang sama, bahwa perokok muda lebih sensitif terhadap perubahan harga di banding perokok usia lanjut, dan perokok pemula usia belasan tahun ditemukan paling sensitif. Hal ini diduga karena perokok pemula masih dalam tahap mencoba-coba rokok. Hanya dalam studi dari Wasserman et al.(1991) yang melaporkan bahwa data di level individu di Amerika Serikat, ditemukan tidak ada perbedaan dalam perilaku merokok antara perokok remaja dan perokok usia lebih lanjut.

Rangkuman sejumlah studi empiris dapat disimak pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 nampak bahwa sebagian besar studi yang telah dilakukan di negara Amerika khususnya, elastisitas permintaan rokok cenderung inelastis trhadap perubahan harga, dan dalam kebanyakan studi di Amerika ditemukan konsumsi rokok mengikuti karakteristik barang inferior. Semakin tinggi pendapatan individu, maka semakin rendah porsi dari pendapatan tersebut yang digunakan untuk membeli rokok. Pada Tabel 1 juga nampak bahwa elastisitas perubahan harga terhadap permintaan rokok lebih inelastis bagi perokok pemula atau perokok yang berusia lebih muda, yaitu usia dibawah 30 tahun [Lewit et al. (1981), serta Lewit dan Coate (1982)]. Dikaitkan dengan jenis kelamin dari perokok, ada variasi temuan. Di Inggris, perokok pria kurang sensitif terhadap perubahan harga dibanding perokok wanita (Foster dan Jones, 2001), namun di Spanyol berlaku sebaliknya, perokok wanita lebih sensitif terhadap perubahan harga dibanding perokok pria (Lopes, 2001).

Studi lain yang berfokus pada perokok remaja usia belasan tahun, diantaranya dilakukan oleh Chaloupka dan Grossman (1996), Chaloupka et al. (1997), Chaloupka dan Wechsler (1997), dan Chaloupka dan Pacula (1998). Dalam Chaloupka dan Grossman (1996) dilaporkan bahwa elastisitas prevalensi merokok terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam bentuk sin tax di Amerika Serikat sebesar -0,675. Elastisitas permintaan rokok kondisional pada perubahan harga sebesar -0,638; sementara unconditional elastisitas dilaporkan sebesar -1,313. Chaloupka et al. (1997) melaporkan elastisitas negatif pada permintaan rokok dan produk tembakau diantara perokok pria. Chaloupka dan Pacula (1998) melaporkan perbedaan elastisitas permintaan

Page 19: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

15

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

periode 1929-1973 melaporkan level elastisitas yang berbeda pada permintaan rokok karena perbedaan kebijakan harga. Kebijakan penurunan harga rokok berdampak lebih inelastis pada permintaan rokok dibanding kebijakan menaikkan harga rokok. Elastisitas perubahan permintaan karena penurunan harga sebesar -0,61, sedangkan perubahan permintaan karena peningkatan harga sebesar -0,30. Temuan serupa juga dilaporkan untuk kasus di Finlandia (Pekurinen, 1989).

Studi-studi yang berkaitan dengan hipotesis rational addiction, banyak dikaji oleh Becker dan Murphy (1988) dan Chaloupka (1988, 1990, 1991, dan 1992). Studi-studi ini secara umum melaporkan bahwa:1) Perilaku merokok di sejumlah negara, khususnya

di Amerika Serikat terbukti mengikuti perilaku kecanduan (addictive) dan model perilaku rational addiction. Jumlah konsumsi di periode sebelumnya berpengaruh pada level konsumsi saat ini, Chaloupka (1991)dan prediki konsumsi di masa yang akan datang berdasarkan

Tabel 1. Ringkasan Studi Empiris tentang Konsumsi Rokok di beberapa Negara

Peneliti Konsumsi Adiktif yang Diteliti

Negara dan Kriteria Studi

Elastisitas Konsumi karena Perubahan Pendapatan/ Harga

Lewit et al. (1981) Rokok Amerika Serikat i) perubahan harga (-0,46)ii) perubahan pendapatan (-0,26)

Lewit dan Coato (1982) Rokok Amerika SerikatPerokok usia 12-17 20-25

i) Perubahan harga (-1,20)ii) Perubahan harga

- Wanita (-0,74)- Pria (-0,20)

Baltagi dan Levin (1986) Rokok Amerika Serikat Perubahan harga (-0,4)Baltagi dan Goel (1987) Rokok Amerika Serikat Elastisitas perubahan harga antara (-0,17 s/d -0,56)Wasserman et al. (1991) Rokok Amerika Serikat Elastisitas perubahan harga

i) 1970 (-0,28)ii) 1970 – 1985 (-0,06 s/d -0,23)

Haris (1994) Rokok Amerika Serikat(1964-1993)

i) Perubahan harga (-0,47)ii) Perubahan pendapatan (-0,238)

Keller et al. (1996) Rokok Amerika Serikat Perubahan harga (-0,4)Chaloupka dan Wochsler (1996)

Perokok pemula Amerika Serikat i) Perubahan pendapatan (-0,53)ii) Perubahan harga (-1,11)

Farrelly dan Bray (1998) Rokok Amerika SerikatPerokok usia 18-24 Usai 18 keatas

Elastisitas perubahan harga -0,58 -0,25

Hsich et al. (1999) Rokok Amerika Serikat Elastisitas perubahan hargaDomestik (-0,58)Import ( -0,25)

Lopez (2001) Mantan perokok

Perokok pemula

Spanyol Wanita (-1,5)Pria (-1,3)Wanita dan Pria (0,07)

Forster dan Jones (2001) Mantan Perokok Inggris Wanita (-0,46)Pria (-0,60)

Sumber: Dirangkum dari Pla dan Jones (2003)

rokok berdasarkan karakteristi gender dan ras di Amerika Serikat. Berdasarkan karakteristik gender, perokok pria lebih sensitif terhadap perubahan harga dibanding perokok wanita. Dalam katagori ras, perokok pemula ras kulit hitam dilaporkan lebih sensitif terhadap perubahan harga dibanding perokok pemula dengan ras kulit putih.

Sejumlah studi yang berfokus pada model myopic melaporkan stylish facts berikut. Di level data agregat Amerika Serikat, ditemukan bukti empiris perilaku kecanduan pada konsumsi rokok dan minuman ber-alkohol. Jumlah konsumsi periode sebelumnya secara positif dan signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi pada tahun ke-t [Houthaker dan Taylor (1996, 1970)]. Selanjutnya, beberapa studi lain melaporkan adanya asimetris respon konsumsi terhadap perubahan harga, yang diduga berkaitan dengan level kecanduan. Menggunakan data Inggris di level agregat, selama periode 1870 – 1938, Farrel (1952) melaporkan adanya bukti empiris perilaku kecanduan merokok pada remaja Inggris. Di sisi lain, Young (1983) menggunakan data di negara Amerika

Page 20: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

16

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

informasi perubahan harga juga secara signifikan mempengaruhi konsumsi saat ini (Chaloupka (1992), serta Hidayat dan Thabrany (2011) untuk kasus di Indonesia).

2) Elastisitas perubahan harga dalam jangka panjang sekitar 2 (dua) kali lebih inelastis dibanding perubahan harga dalam jangka pendek.

3) Dikaitkan dengan karakteristik individu, model rational addiction melaporkan bahwa: perokok usia muda dilaporkan lebih myopic dibanding perokok usia lebih tua, dan individu dengan pendidikan lebh rendah juga lebih myopic dibanding individu berpendapatan menengah ke atas [Townsend et al. (1994) untk data di Inggris, dan Farrelly et al. (2001) untuk data di Amerika]. Selanjutnya, perokok pria juga dilaporkan lebih myopic dalam jangka panjang (-0,61) di banding perokok wanita, dimana pengaruh perubahan harga pada wanita dilaporkan tidak signifikan].

4) Dukungan temuan studi tentang hipotesis perilaku rational addiction diantaranya dari: a). Kesimpulan studi yang menggunakan data dari negara bagian California dan Amerika bagian Barat pada umumnya konsisten dengan temuan dari studi yang menggunakan data agregat Amerika, rational addiction berlaku pada perilaku merokok di Amerika [Keeler et al. (1993) dan Sung et al. (1994)]. b). Dengan menggunakan retrospektif dari survei nasional tahun 1987 di Amerika, Douglas (1998) melaporkan fenomena strong rational addiction; setiap 10 persen kenaikan harga rokok diikuti oleh penurunan dalam durasi memulai merokok, yang berlaku bagi perokok pemula dan individu yang berusaha berhenti merokok.

5) Temuan di negara lain juga masih konsisten dengan temuan studi empiris di Amerika, misalnya Pekurinen (1991) untuk studi di Findlandia, serta Bardsley dan Olokans (1998) untuk studi di Australia. Untuk studi yang menggunakan data time series yang singkat, temua menjadi kurang konsisten dan tidak signifikan [Duffy (1996) untuk studi Inggris, Conniffe (1995) untuk studi di Irlandia].

Perilaku Konsumsi pada Barang Adiktif Lain­nya1) Minuman ber-Alkohol

Studi awal yang berfokus pada analisis perilaku kecanduan pada konsumsi minuman ber-alkohol dilakukan oleh Chaloupka et al. (1992). Studi ini membandingkan tingkat kematian dan indikator pada liver cirrhosis dengan konsumsi alkohol.

Chaloupka et al. menyimpulkan bahwa elastistas permintaan alkohol terhadap perubahan harga dalam jangka panjang sebesar -1,30, dan temuan ini hampir 2 (dua) kali lipat dari elastisitas dalam jangka pendek. Temuan ini memberi indikasi adanya perilaku ketagihan dan non myopic behavior. Studi lainnya, yang dilakukan oleh Grossman, Chaloupka dan Sirtalan (1998), berfokus pada data panel level individu di Amerika, selama tahun 1976-1985. Secara umum studi ini melaporkan hal-hal berikut. Pertama, indikasi kecanduan alkohol dalam remaja usia sekolah SMA cukup tinggi. Jumlah alkohol yang dikonsumsi pada tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap jumlah alkohol yang dikonsumsi tahun ini. Kedua, elastisitas permintaan alkohol terhadap perubahan harga dengan mengabaikan perilaku kecanduan adalah sebesar -0,29. Ketiga, ekspektasi konsumsi alkohol pada periode berikutnya dengan mempertimbangkan kenaikan harga berpengaruh positif dan signifikan pada jumlah konsumsi alkohol tahun ini, mengindikasikan adanya perilaku non myopic behavior. Nilai elastisitas permintaan alkohol terhadap perubahan harga dalam jangka pendek adalah -0,41 dan dalam jangka panjang adalah -0,65. Rasio elastistas permintaan jangka panjang terhadap jangka pendek mengindikasikan bahwa perilaku minum alohol pada siswa SMA mengarah kecanduan, namun tidak setinggi pada perilaku merokok.

2) Konsumsi obat-obatan terlarang (Marijuana, Kokain dan Heroin)

Dalam literatur maupun studi empiris tentang studi penggunaan obat-obat terlarang relatif langka, yang disebabkan oleh keterbatasan data. Stud-studi awal telah dilakukan oleh Nisbet dan Vakil (1972), Silverman dan Spruill (1977), Brown dan Silverman (1974), secara umum melaporkan bahwa permintaan pad heroin dan marijuana bersifat inelastis. Sejumlah studi yang berfokus pada konsumsi alkohol, dirangkum dalam Tabel 2.

Pada sejumlah studi yang dirangkum pada Tabel 2, nampak bahwa konsumsi minuman beralkohol, obat-obatan terlrang seperti marijuana dapat yang juga diklasifikasikan sebagai barang konsumsi yang dapat memicu perilaku kecanduan, semuanya mempunyai elastisias permintaan yang negatif terhadap perubahan harga. Ini bermkana, dalam kondisi mendekati kecanduan, peningkatan persentase harga direspon dengan penurunan konsumsi rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang lainnya dalam persentase yang lebih rendah.

Page 21: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

17

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

Tabel 2. Rangkuman Studi pada Kecanduan AlkoholStudi dari Cakupan Studi Kesimpulan

Leung dan Phelps (1993)

Meta Analisis dari 15 studi Elastisitas permintaan [...] terhadap perubahan harga: Beer = -0,30; Anggur = -1,00, dan Sprite/ Coke = -1,50

Kenkel (1993) Amerika Serikat Elastisitas perubahan perilaku minum minuman ber-alkohol pada saat menyetir, dari: Semua sampel = -0,92; usia 18-21 tahun = -2,24; remaja pria =-0,74 dan remaja wanita = -0,81

Manning et al. (1995)

Amerika Serikat, data antar wilayah tahun 1983

Elastisitas permintaan dari kelompok peminum berat (heavy drinker) kurang elastis dibanding kelompok peminum sedang dan ringan

Nelson (1997) Amerika Serikat Elastisitas permintaan [...] terhadap perubahan harga: Beer = -0,16; Anggur = -0,58, dan Sprite/ Coke = -0,52

Clements et al. (1997)

Studi Cross country yang terdiri dari negara-negara Nordic, Kanada, Inggris, Australia dan New Zealand

Elastisitas permintaan [...] terhadap perubahan harga: Beer = -0,35; Anggur = -0,68, dan Sprite/ Coke = -0,98

Grossman et al. (1998)

Amerika Serikat Elastisitas permintaan alkohol terhadap perubahan harga:Mengabaikan efek kecanduan = -0,29Mempertimbangkan efek kecanduan: Jangka pendek = -0,41; Jangka panjang = -0,65

Smith (1999) Inggris, periode 1993 – 1996

Elastisitas permintaan [...] terhadap perubahan harga: Beer = -0,76; Anggur = -1,69, dan Sprite/ Coke = -0,86

Mayo (2000) Amerika Serikat, pooled data dari 4 wilayah

Elastisitas permintaan alkohol terhadap perubahan harga : -2,90

Belinska dan Young (2001)

Amerika Serikat, pooled data periode 1982-1997

Elastisitas permintaan alkohol terhadap perubahan harga pada rentang=-0,53 s/d -1,24

Angulo et al. (2001) Spanyol 1990-1991 Elastisitas permintaan [...] terhadap perubahan harga: Beer = -1,52; Anggur = -2,44, dan Sprite/ Coke = -4,65; Cava = -2,99

Saffer dan Dave (2002)

Cross Countries 20 negara periode 26 tahun

Rata-rata elastisitas perubahan permintaan alkohol terhadap perubahan harga sebesar -0,19

Sumber: di rangkum dari Pla dan Jones (2003)

Aspek Preferensi Waktu dan Pengambilan Keputusan dengan Resiko

Sejumlah studi berfokus pada preferensi waktu dan perilaku pada perawatan kesehatan, dan kajian ini pada umumnya mempunyai implikasi pada kebijakan publik. Analisis ini berfokus pada bagaimana kaitan keputusan psikologi dan kaitannya dengan perilaku irasional dalam perawatan kesehatan (Chapman, 2003). Preferensi waktu secara psikologi dan ekonomi memberi indikasi bagaimana perilaku individu dalam menjaga kesehatan fisik dalam jangka panjang. Cara pengukuran secara umum dari prefrensi waktu pada individu, menurut Fredrick et al. (2002), yang melakukan identifikasi sejumlah studi yang berfokus pada ekperimen lapangan dan eksperimen laboratorium. Dalam kajian eksperimen laboratorium pendekatan pengujian preferensi waktu dilakukan dengan: choice tasks, matching tasks, rating tasks, dan pricing tasks. Di sisi yang lain, kajian eksperimen lapangan tentang preferensi waktu relatif lebih sulit dilakukan, karena sulitnya mengontrol hal-hal lain yang tidak terukur, dapat mempengaruhi prefrensi waktu.

Oleh karena itu, studi yang menggunaan pedekatan ini sangat terbatas. Hanya studi dari Shanmugam (2006) teantang pilihan individu untuk menentukan jenis pekerjaan berdasarkan tingkat resiko kecelakaan atau kehilangan pekerjaan di wilayah India.

Fredrick et al. (2002), menggunakan discret choice experiment untuk menguji preferensi waktu pada individu. Dalam eksperimen ini, individu atau subjek diberi tugas untuk memilih antara pilihan dia yang bernilai kecil tetapi bersifat segera dibanding pilihan bernilai lebih besar tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Kadangkala pilihan dalam permainan dilakukan dengan domain uang atau hipotesis, yang kemudian dianalogikan dengan perilaku perawatan kesehatan (Chesson et al.,2006). Sebuah studi yang dilakukan oleh Hardisty dan Weber (2009), menggunakan skenario pilihan kondisi kesehatan dan hipotetikal uang yang diinvestasikan. Khwaja et al. (2007) menggunakan skenario berupa pilihan kesehatan secara hipotesis dengan perilaku merokok.

Dalam sejumlah studi, untuk melihat preferensi terhadap resiko (risk preference) dari individu

Page 22: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

18

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

seringkali menggunakan tabel seperti Tabel 3 di bawah ini. Tabel ini juga dikenal dengan Multiple Price List (MPL). Strategi dalam eksperimen ini digunakan oleh Anderson et al. (2008).

Tabel 3 memberikan ilustrasi pengujian sikap individu dalam mengambil keputusan yang

mengandung resiko. Dalam tabel ini ada dua option yang harus dipilih oleh responden yang di survei atau subjek dalam eksperimen. Opsi A dan opsi B sama-sama memberikan pilihan dengan probabilitas yang meningkat pada kondisi pertama dan probabilitas yang menurun pada kondisi yang kedua. Dalam pilihan ini, pada opsi A memberi pilihan peningkatan prbabilitas mendapat nilai hadiah yang menurun dari $2,90 sampai dengan $2,00. Pada opsi B, di samping ada peningkatan probabilitas, nilai hadiah yang diperoleh lebih tinggi dan tetap sebesar $3,85. Dalam strategi ini, individu yang memahami aturan permainan dengan baik, dan bersikap rasional akan selalu memilih pilihan B. Namun apabila individu bersikap risk averse, maka individu akan memilih opsi A pada awal permainan dan berpindah ke opsi B setelah periode ke-3. Untuk menguji pilihan preferensi waktu, pengujian yang digunakan seperti dijabarkan pada Tabel 4.

Pada Tabel 5, menyajikan pilihan yang harus dibuat oleh responden, yang umumnya merupakan indikator untuk menguji apakah individu bersifat tidak sabar atau sabar, apakah terpengaruh oleh magnitude atau sign effects. Individu yang selalu memilih opsi A memberi indikasi ia selalu bersikap tidak sabar (sooner the better).

Studi Tentang Discount Rate yang Terkait de­ngan Bidang Kesehatan

Pada kajian ekonomi keprilakuan (Behavioral Economics), preferensi individu merupakan kajian yang paling banyak menarik perhatian. Dalam teori

Tabel 3: Contoh Pengukuran Preferensi terhadap Nilai dan ResikoOPSI A OPSI B

10% peluang memenangkan $2,90; dan 90% peluang memenangkan $1,60

10% peluang memenangkan $3,85; dan 90% peluang memenangkan $0.10

20% peluang memenangkan $2,80; dan 80% peluang memenangkan $1,60

20% peluang memenangkan $3,85; dan 80% peluang memenangkan $0.10

30% peluang memenangkan $2,70; dan 70% peluang memenangkan $1,60

30% peluang memenangkan $3,85; dan 70% peluang memenangkan $0.10

40% peluang memenangkan $2,60; dan 60% peluang memenangkan $1,60

40% peluang memenangkan $3,85; dan 60% peluang memenangkan $0.10

50% peluang memenangkan $2,50; dan 50% peluang memenangkan $1,60

50% peluang memenangkan $3,85; dan 50% peluang memenangkan $0.10

60% peluang memenangkan $2,40; dan 40% peluang memenangkan $1,60

60% peluang memenangkan $3,85; dan 40% peluang memenangkan $0.10

70% peluang memenangkan $2,30; dan 30% peluang memenangkan $1,60

70% peluang memenangkan $3,85; dan 30% peluang memenangkan $0.10

80% peluang memenangkan $2,20; dan 20% peluang memenangkan $1,60

80% peluang memenangkan $3,85; dan 20% peluang memenangkan $0.10

90% peluang memenangkan $2,10; dan 10% peluang memenangkan $1,60

90% peluang memenangkan $3,85; dan 10% peluang memenangkan $0.10

100% peluang memenangkan $2,00; dan 0% peluang memenangkan $1,60

100% peluang memenangkan $3,85; dan 0% peluang memenangkan $0.10

Sumber : Andersen et al. (2008)

Tabel 4. Contoh Pengukuran Preferensi terhadap Waktu

OPSI A OPSI BMenerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $305 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $310 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $315 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $320 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $325 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $330 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $335 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $340 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $345 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $350 4 bulan lagi

Menerima hadiah $300 bulan depan

Menerima $355 4 bulan lagi

Sumber : Andersen et al. (2008)

Page 23: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

19

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

ekonomi konvensional, preferensi individu terhadap waktu (time preference) diasumsikan bersifat konstan dan bila diikaitkan dengan masalah intertemporal choice, individu diasumsikan akan memberi bobot berimbang antara pilihan saat ini dan pilihan di masa yang akan datang. Hal yang sama juga diasumsikan pada preferensi terhadap resiko, individu diasumsikan memandang resiko secara netral.

Ilmu konomi kesehatan mulai menggunakan analisis ekonomi keprilakuan dalam memprediksikan bagaimana individu mengalokasikan waktu dan membuat pilihan yang brkaitan dengan perawatan kesehatan mereka di masa datang. Kesehatan merupakan salah satu komponen dalam utilitas individu, namun bersifat non tradable goods. Apabila dalam pilihan konsumsi dan tabungan, individu merujuk pada suku bunga (discount factor) sebagai insentif untuk mngurangi konsumsi dan memilih untuk mendabung. Semakin tinggi discount factor, semakin tinggi insentif untuk menabung, agar bisa mempertahankan level konsumsi yang sama dengan level konsumsipada saat sekarang dengan saat memasuki masa pensiun nanti.

Mengingat kesehatan adalah nontradable goods, individu seringkali berperilaku mengabaikan perawatan kesehatan, tidak berinvestasi dalam bentuk asuransi dan bentuk pengabaian lainnya. Untuk menguji bagaimana individu berinvestasi pada kesehatan di masa yang akan datang, beberapa studi awal menggunakan metode survei untuk menngambarkan bagaimana individu berprilaku dalam menghindari beberapa penyakit menular, diantaranya malaria (Robberstad, 2005), pilihan asuransi dan kecelakaan kerja (Robberstad dan Chaims, 2007), dan pilihan bekerja atau tidak saat sedang sakit (Sanmugam, 2006). Informasi yang sama dapat disimak dalam Tabel 5 di bawah ini.

Studi yang dirangkum dalam tabel di atas berfokus

pada pilihan perawatan kesehatan dan pekerjaan. Dalam sejumlah studi yang lain, dikaji kaitan antara jenjang pendidikan dengan pilihan perilaku merawat kesehatan. Mengikuti studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya, parameter preferesi diproxi dengan jenjang pendidikan formal dan pilihan pada aktivitas berolah raga, pilihan konsumsi makanan sehat atau berlemak. Studi ini dilakukan oleh (Huston dan Finke, 2003). Sementara itu studi dari Komlos et al. (2004), mengkaji pilihan intertemporal choice antara mengkonsumsi hari ini atau menabung. Studi ini menggunakan data agregat level negara. Dalam studi dari Zhang dan Rashad (2008), Sloan et al.(2009), dan Ayyagari et al.(2011), mengkaji preferensi pilihan individu berdasarkan pada pilihan persetujuan individu pada pernyataan “Saya menikmati kehidupan saya yang sekarang, dan tidak mau berpikir banyak tentang masa depan”. Individu yang memilih setuju pada pernyataan ini mengindikasikan perilaku present oriented atau memberi discount yang rendah pada waktu yang akan datang. Sementara itu studi dari Zhang dan Rashad (2008) menggunakan pilihan upaya dengan effort yang tinggi atau keingian tanpa didukung oleh upaya. Hal ini dirangkum dalam Tabel 6.

Pada sejumlah studi yang lain telah berfokus pada individu perokok dan preferensi merokok. Fersterer dan Winter-Ebner (2003) mengkaji dampak dari lama (waktu) mulai merokok terhadap capaian akademik, kesehatan dan capaian kesejahteraan ekonomi. Studi ini menggunakan data survei yang menanyakan apakah individu sudah aktif merokok ketika berusia 16 tahun. Secara umum studi ini menyimpulkan bahwa individu yang merokok sejak usia 16 tahun memiliki kesejahteraan ekonomi dan indikator kesehatan yang lebih rendah dibanding individu non perokok. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada indikator pendidikan antara

Tabel 5. Studi Empiris Time Preference dan Kesehatan

Studi dari Negara & sampel Metode Variabel Kesehatan Waktu dan Rata-rata discount rate

Robberstad (2005) Tanzania, 226 subjek Hipotetikal, discounted utility, dan open ended stated preference

Insiden Malaria dan penyakit menular lainnya

3-6 tahun0,071

Shanmugam (2006) India, 522 subjek Pilihan pekerjaan dalam kehidupan nyata, dan resiko yang berkaitan dengan pekerjaan yang dipilihnya

Tabel usia dan harapan usia hidup yang dipertimbangkan setiap individu

0,076

Robberstad andCairns (2007)

Tanzania, 450 subjek Non hipotetikal, Harvey utility, dan open ended stated preference

Penyakit yang tidak fatal, tetapi bisa menyebabkan absen kerja

3-6 tahun0,122

Sumber :dirangkum dari Andersen et al. (2008)

Page 24: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

20

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

perokok dan non perokok pada studi ini.Khwaja et al. (2007), mengkaji preferensi waktu

dari perokok dengan mengajukan pernyataan berikut: “menikmati 20 hari lebih lama dengan jaminan badan yang sehat sempurna dalam tahun ini, setara dengan menikmati.....hari dengan kesehatan yang prima.” Beberapa studi yang lain berfokus pada preferensi pilihan mengoptimalkan konsumsi saat ini dengan pilihan jenis pekerjaan. Semakin beresiko sebuah pekerjaan yang dimiliki individu diduga berkaitan dengan preferensi suka pada resiko (risk seeker). Contoh dari jenis pekerjaan yang berkaitan dengan resiko tinggi adalah pemadam kebakaran, dokter bedah, pengumpul sampah, polisi, hakim, jaksa dan lain-lain.

DATA DAN METODOLOGI

Sumber DataStudi ini menggunakan data primer yang digali

dari survei terhadap 165 responden, dengan rincian

50 responden non perokok, 55 responden pernah merokok dan saat ini berusaha berhenti merokok, serta 60 responden perokok aktif. Responden diperoleh dari karywawan dan warga di sekitar 4(empat) kampus, masing-masing 1 kampus di Surabaya selatan, 1 kampus di Surabaya pusat dan 2 kampus di Surabaya Timur.

MetodologiAdapun metodologi yang digunakan dalam studi

ini adalah kombinasi analisis deskriftif dan analisis kuantitatif berupa regresi two stage least square. Adapun model empiris yang diestimasi dinyatakan dalam persamaan Analisis Regresi Two Stages Least Square untuk melihat kaitan tingkat religiusitas dan status merokok. Model empiris yang digunakan dinyatakan dalam persamaan model (1) dan (2).

Tahap 1: iiiji indKarakmerokokStat εααα +++= lgRe*_*_ 50

........ (1)

Tabel 6. Kaitan Preferensi Waktu dan Indikator Kesehatan

Studi dari Variabel Kesehatan Proxi atau Metode ElicitasiHuston dan Finke (2003)

Obesitas Proxi preferensi waktu: level pendidikan formal, merokok, berolah raga, pengetahuan tentang makanan sehat, mengkonsumsi makanan sehat atau tidak

Komlos et al. (2004) Obesitas Proxi preferensi waktu: tabungan dan rasio hutang terhadap pendapatan Zhang and Rashad (2008)

Obesitas Proxi preferensi waktu: degree of willpower dan “desire but no effort”

Sloan et al. (2009) Diabet dan manajemen obesitas

Proxi preferensi waktu : persetujuan pada “I live life one day at a time and don’t think much about the future”

Ayyagari et al. (2011) Diabet dan manajemen obesitas

Proxi preferensi waktu : persetujuan pada “I live life one day at a time and don’t think much about the future”

Sumber: dirangkum dari berbagai sumber, 2003-2011.

Tabel 7. Beberapa Studi yang Mengkaji Perilaku Merokok dan Perilaku Resiko

Studi dari Variabel Proxi atau Metode ElicitasiFersterer danWinter-Ebmer (2003)

Perilaku Merokok dan Level Pendidikan

Proxi preferensi waktu: status merokok atau tidak pada saat usia subjek 16 tahun

Khwaja et al. (2007) Perilaku merokok Proxi preferensi waktu: Intertemporal pilihan keuangan dan kesehatan (“20 extra days in perfect health thisyear would be just as good as __ extra days in perfect health x year(s) from now”)

Goto et al. (2009) Perilaku merokok Proxi preferensi waktu: pilihan diskret dari pertanyaan standard dalam Andersen et al. (2008)

Adams (2009b) Perilaku merokok Respon terhadap pernyataan: “…in planning your/your family’s saving and spending, which of the following time periods is more important to you and your husband /wife / partner?”

Ida and Goto (2009b) Perilaku merokok Proxi preferensi waktu: pilihan diskret dari pertanyaan standard dalam Andersen et al. (2008)

Scharff and Viscusi (2011) Perilaku merokok Proxi preferensi waktu: status pekerjaan dan trade off antara upah yang diterima dan resiko fatal (kematian) yang dihadapi dalam pekerjaan yang dipilih

Sumber: dirangkum dari berbagai sumber, 2003-2011.

Page 25: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

21

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

Tahap 2: iiiiiii HMSMMSITmnHSHmerokokStatTP εδδδδδδδδ ++++++++= lgRe******_* 76543210

iiiiiii HMSMMSITmnHSHmerokokStatTP εδδδδδδδδ ++++++++= lgRe******_* 76543210 ……… (2)

Penjelasan masing-masing variabel dijabarkan berikut ini. “Relgi” adalah Laporan subyektif dari responden tentang religiusitas mereka. Respon individu dnyatakan dalam opsi:1. sangat religius, 2. Agak religius, 3. Religius, dan 4. Tidak religius. Respon ini lalu diyatakan dalam variabel dummy: 1 = untuk opsi 1,2, dan 3 dari responden, dan 0 = opsi 4. “Kark_indvi” adalah Karakteristik individu responden, yang diwakili oleh: usia, jenis kelamin (1= pria), tingkat pendidikan (1=SD, 2=SMP, 3=SMA, 4=Diploma atau Universitas), tingkat pendapatan (dinyatakan dalam range antara 1 juta sampai di atas 5 juta), dan jumlah anggota RT. “Modal sosial individu” adalah Variabel yang diproxy dengan respon individu pada pernyataan: (i). Di lingkungan tempat tinggal saudara, setiap orang dapat dipercaya; (ii). Di lingkungan tempat tinggal saudara, aman untuk menitipkan kunci rumah (anak) apabila saudara sedang bepergian. Nilai 1 = setuju, nilai 0 = tidak setuju. Dari 3 pertanyaan ini kemudian diambil nilai rata-ratanya. “Status Merokok” adalah Laporan subyektif individu tentang status merokok: (i). aktif merokok, (ii). berhenti merokok, (iii). bukan perokok.

Untuk melihat perbedaan preferensi waktu dan sikap terhadap resiko, antara responden perokok dan non perokok digunakan Analisis Regresi Probit. Adapaun model empiris yang digunakan, dinyatakan dalam persamaan (3) dan (4).

iiiiiii HMSMMSITmnHSHmerokokStatTP εδδδδδδδδ ++++++++= lgRe******_* 76543210

iiiiiii HMSMMSITmnHSHmerokokStatTP εδδδδδδδδ ++++++++= lgRe******_* 76543210 ....(3)

iiiiiii HMSMMSITmnHSHmerokokStatRP εγγγγγγγγ ++++++++= lgRe******_* 76543210

iiiiiii HMSMMSITmnHSHmerokokStatRP εγγγγγγγγ ++++++++= lgRe******_* 76543210 ……..(4)

Adapun notasi dalam persamaan (3) dan (4) diuraikan sebagai berikut: “TPi” menyatakan time preference dari masing-masing individu responden untuk beberapa pernyataan pilihan A atau pilihan B. Pilihan A secara umum memberi opsi hadiah hipotetikal yang bernilai kecil namun diterima segera (small but sooner), versus opsi B berupa hadiah hipotetikal dengan nilai yang lebih besar tetapi di terima di periode yang akan datang ( besok, sebulan, setahun, dll). Dalam studi ini juga digunakan opsi memilih hadiah berupa: opsi A. 1 buah apel yang diterima hari ini (1 tahun yang akan datang), atau

opsi B. 1 buah apel diterima besok ( 1 tahun yang akan datang + 1 hari).

“RPi” menyatakan sikap individu terhadap pilihan yang mengandung resiko atau tidak. Opsi A. berupa sejumlah hadiah (Rp X) yang di terima dengan pasti, atau opsi B. berupa 50% mendapat Rp 0 dan 50% mendapat Rp Y; dimana Y >= 2X. “Stat_merokoki” merupakan status merokok, definisi sama dengan persamaan (1) dan (2). “HSHi” merupakan Harapan standar hidup dari responden. Variabel ini berupa skor rata-rata yang dihitung dari sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan keyakinan individu tentang standar hidup merea saat ini, tahun depan, 5 tahun yang akan datang, dan standar hidup anak-anak mereka. “Tmni” adalah Laporan subyektif individu tentang seberapa sering mereka: menelpon, di telpon, mengunjungi atau dikunjungi oleh teman/sahabat atau keluarga yang tidak tinggal serumah dengan mereka. Nilai 1 = sering dan kadang-kadang, 0 = tidak pernah dan hampir tidak pernah. “MSIi” merupakan Modal sosial individu. Definisi operasional sama dengan persamaan (1) dan (2). “MSMi” merupakan Modal sosial masyarakat. Nilai rata-rata dari pernyataan 1= setuju atau 0=tidak setuju dari responden tentang: jika mereka kehilangan dompet, dimana di dalam dmpet tersebut berisi uang, surat-surat berharga, dan kartu identitas lengkap; dompet akan kembali jika di temukan oleh: polisi, tetangga atau orang yang dikenal, oraang asing. “H” adalah Happiness, pernyataan kebahagiaan individu tentang: pekerjaan, pendapatan, pendidikan, standar hidup anak, dan lain-lain. Dan, “Relgi” adalah Tingkat religiusitas. Definisi operasional sama dengan persamaan (1) dan (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden PenelitianTabel menyajikan karakteristik individu dari

responden penelitian dalam studi ini. Berdasarkan karaktersitik usia, rata-rata usia responden non perokok adalah 35,52 tahun, responden yang sedang berhenti merokok 47,76 tahun dan responden perokok 38,75 tahun. Di lihat dari jenis kelamin, pada ketiga katagori yaitu perokok, berhenti merokok dan perokok, secara umum responden pria lebih banyak dibanding responden wanita. Dilihat dari karateristik pendidikan, sebagian besar responden telah berpendidikan SMP ke atas. Pada kelompok perokok dan sedang mengurangi rokok, jumlah responden dengan latar pendidikan perguruan tinggi justru paling banyak.

Ditinjau dari jenis pekerjaan, kelompok responden non perokok yang mempunyai distribusi variasi

Page 26: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

22

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

pekerjaan paling banyak. Selanjutnya, berkaitan dengan status rumah dan pendapatan responden. Secara umum pada ketiga kelompok responden, sebagian besar responden telah memiliki rumah milik sendiri atau rumah warisa orang tua, namun sebagian besar dari responden juga tinggal serumah dengan lebih dari 1 keluarga. Berkaitan dengan level pendapatan, sebagian besar responden telah mempunyai pendapatan di atas Rp2.000.000. Berkaitan dengan prestasi akademik responden, dibedakan sebelum kuliah dan setelah kuliah. Prestasi responden pada level pendidikan SD, SMP dan SMA secara umum pada level terbaik dan sedang pada jenjang SD dan SMP, namun prestasi ini dilaporkan mulai berkurang pada level SMA, dan semakin bervariasi pada jenjang kuliah. Dikaitkan dengan laporan subjektif mengenai perkiraan jenjang karier, kondisi kesehatan, dan level kebahagiaan responden,

Tabel 9. Karakteristik dan Perilaku Merokok

Preferensi Konsumsi Rokok

Status Responden

Bukan Perokok

Mengu-rangi

Merokok

Aktif Merokok

Waktu mulai merokok setelah bangun pagiSudah Tidak Merokok 50 0 0Kurang dari 5 Menit 0 7 515 - 30 Menit 0 13 931 - 60 Menit 0 26 0Setelah 1 Jam 0 9 0

Kesulitan jika ada larangan merokok Tidak 50 30 0Ya 0 25 60

Sebatang rokok mana paling sulit dihindari?

Tidak ada 50 0 0Bangun pagi 0 17 45Sehabis makan/ sedang minum kopi 0 21 22Setiap saat butuh rokok 0 17 31

Kapan lebih membutuhan rokok? Tidak ada 50 0 0Bangun pagi 0 22 14Belajar/Bekerja 0 28 36Sehabis makan/ sedang minum kopi 0 5 41

Apakah Anda tetap merokok meski sedang sakit? Tidak 0 26 7Ya 0 29 53

Kapan mulai merokok? Bukan Perokok 50 0 0Kurang dari 5 tahun 0 0 66 -10 tahun 0 1 1411-15 tahun 0 23 45Di atas 15 tahun 0 31 0

Jumlah rokok yang dihisap pada saat coba-coba Bukan Perokok 50 0 01 - 2 batang per hari 0 14 143 - 5 batang per hari 0 33 23Lebih dari 5 batang per hari 0 8 28

Sumber : diolah dari data penelitian, 2015

Tabel 8. Karakteristik Individu Responden

Sosio Demografi

Status Responden

Bukan Perokok

Mengu-rangi

Merokok

Aktif Perokok

Jumlah Sampel (orang) 50 55 60Rata-rata Usia (tahun) 35,52 47,76 38,75Jenis Kelamin

Pria 30 46 56Wanita 20 9 4

Jenjang Pendidikan SD 3 7 4SMP 6 6 10SMA 28 19 16Perguruan Tinggi 13 23 30

Pekerjaan Buruh/ Tenaga Serabutan 10 3 9Petani 4 4 6Pedagang 5 4 5PNS 6 23 21Swasta 15 12 6Tenaga Kontrak 10 9 13

Status Rumah Rumah Sendiri 19 30 27Rumah Warisan Orang Tua 24 25 33Kontrak 7 0 0

Serumah lebih dari 1 Keluarga Ya 16 27 31Tidak 34 28 29

Pendapatan Antara Rp1-2 Juta 14 13 19

Rp2-3,5 Juta 26 36 25 Lebih dari 3,5 Juta 10 6 16

Sumber : diolah dari data penelitian, 2015.

ketiga katagori responden melaporkan bahwa mereka lebih sehat, mempunyai karier yang lebih bagus dan lebih bahagia dibanding rekan-rekan seusia mereka.

Pada Tabel 9 menyajikan data karakteristik individu yang berkaitan dengan pengetahuan dan perilaku merokok. Dalam tabel ini dapat disimak bahwa berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap dalam sebuan terakhir, 52 dari 60 responden perokok aktif mengaku merokok lebih dari 1 bungkus per hari. Responden yang dikatagorikan berusaha berhenti merokok, 42 dari 50 orang melaporkan masih merokok beberapa batang per hari, sedangkan sisanya masih

Page 27: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

23

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

Tabel 10. Pengaruh Keluarga dan Lingkungan dari Perokok

Sejarah Terkait Konsumsi Rokok

Status Responden

Bukan Perokok

Mengu-rangi

Merokok

Aktif Merokok

Bagaimana mengenal rokok pertama kali?Sampel SPG 0 0 0Sampel Konser 0 0 12Diajak ayah/kakak/teman coba-coba 0 48 54Mencoba rokok kakek/ayah/paman/kakak 0 48 58Iklan 0 42 47

Siapa anggota keluarga yang merokok di rumah?Kakek 42 21 29Ayah 41 42 52Paman 8 9 26

Kakak laki-laki 41 41 37Apakah Saudara merokok di dalam rumah?

Ya 0 37 52Tidak 0 4 0Kadang-kadang 0 14 8

Apakah Saudara mengijinkan tamu merokok di dalam rumah?

Ya 28 24 34Tidak 7 10 0Kadang-kadang 15 16 26

Pernahkah Saudara dinasehati tentang bahaya dari asap rokok?

Pernah 29 30 24Tidak Pernah 6 18 14Kadang-kadang 15 7 22

Pernahkah Saudara dinasehati agar tidak/berhenti merokok?

Pernah 0 22 21Tidak Pernah 39 23 18Kadang-kadang 11 10 21

Usia Berapa Saudara menjadi perokok aktifKurang dari 5 tahun 0 0 06 -10 tahun 0 0 511-15 tahun 0 19 44

Di atas 15 tahun 0 36 11Sumber : diolah dari data penelitian, 2015

merokok sampai 1 bungkus per hari. Secara umum perokok merasa sangat kesulitan untuk beraktivitas apabila ada larangan merokok di tempat tersebut. Sebatang rokok yang paling sulit dihindari adalah 5 menit pertama setelah bangun tidur bagi perokok aktif (85%) dan setengah jam setelah bangun tidur bagi kelompok yang berusaha berhenti merokok (47%).

Masih terkait dengan informasi dalam Tabel 9, dapat disimak bahwa perokok maupun kelompok yang berusaha berhenti merokok sama-sama kesulitan untuk menghindari rokok ketika bangun pagi, apabila

sedang minum kopi, dan bahkan setiap saat merasa membutuhkan rokok. Dilihat dari sejarah merokok, baik perokok maupun kelompok yang berusaha berhenti merokok, telah mulai merokok pada usia belasan tahun, setara dengan usia awal masuk SMP. Jumlah rokok yang dihisap pada masa mencoba-coba rokok telah mencapai 3-5 batang rokok, dan rokok dinikmati sebagian besar bersama teman-teman mereka di luar sekolah.

Pada Tabel 10, secara umum dapat disimak bahwa baik perokok dan yang berusaha berhenti merokok, mendapat banyak pengaruh untuk mencoba rokok dari anggota keluarga merokok, khususnya ayah, kakek dan kakak mereka. Dalam aktivitas sehari-hari, perokok dan yang berusaha berhenti merokok, sama-sama terbiasa merokok di dalam rumah, serta mengijinkan tamu mereka merokok di dalam rumah atau ruang tamu mereka. Tidak hanya itu, sebagian besar perokok dan yang berusaha berhenti merokok, hampir jarang sekali mendapat nasehat dari anggota keluarga tentang bahaya racun yang dikandung dalam asap rokok, dan mereka agak sedikit mendapat nasehat untuk berhenti merokok.

Persepsi Bahaya Asap Rokok bagi KesehatanPada Tabel 11, disajikan persepsi diri dan keyakinan

responden pada bahaya dari asap rokok. Berkaitan dengan berat badan, kelompok perokok dan yang berusaha berhenti merokok, tidak ada yang merasa kelebihan berat badan di atas 10 kg, dan secara umum mereka memeriksakan kesehatan diri ke dokter antara 1 sampai dengan 2 tahun terakhir. Dua belas orang dari 50 responden non perokok melaprkan diri mereka tidak memerikasakan diri lebih dari 2(dua) tahun yang lalu. Perokok dan kelompok yang berusaha berhenti merokok sama-sama kurang meyakini adanya bahaya asap dari rokok pada berbagai penyakit seperti jantung dan darah tinggi, bahaya impoten dan keguguran pada wanita yang sedang mengandung. Kedua kelompok responden ini juga menganggap bahwa bahaya asap rokok tidak sama bagi perokok aktif dan perokok pasif. Dalam sesi wawancara, diperoleh informasi bahwa perokok menganggap mereka yang menghisap rokok secara langsung, meskipun sebagian dikeluarkan kembali. Ini berarti komponen asap lebih banyak dihisap oleh perokok aktif. Ada sedikit kesamaan pada selurh responden, baik yang merokok, sedang berusaha berhenti merokok maupun non perokok, bahwa sebagian besar diantara responden tidak yakin bahwa merokok merupakan cara yang ampuh untuk diet, atau menurunkan berat badan.

Page 28: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

24

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

menggunakan instrument modal sosial individu, modal sosial dalam bermasyarakat dan kepercayaan pada lembaga kemasyarakatan dan polisi.

Tabel 12 menyajikan kaitan antara modal sosial dan karakteristik individu pada laporan subjektif religisiusitas pada sisi Tabel sebelah kiri, dan dalam Tabel di sebelah kanan disajikan instrument religisiusitas pada perilaku merokok. Analisis regresi probit menemukan bahwa responden pria ternyata kurang religious dibanding responden wanita. Selanjutnya, secara simultan laporan religiusitas dan karakteristik individu ditemukan bahwa semakin bertambah usia responden, maka semakin besar peluang yang bersangkutan akan menjadi perokok aktif.

Pada bagian selanjutnya akan disajikan kaitan antara perilaku merokok dan sejumlah karakteristik lain terhadap preferensi terhadap pilihan waktu dan prefernsi terhadap resiko. Hal ini disajikan dalam Tabel 13.

Pada Tabel 13, menyajikan 4 (empat) model regresi Probit yang dinotasikan dengan TP_01, TP_02, Apel_01 dan Apel_02. Model TP_01 merupakan mewakili konsepTime Preference yang pertama (01), yang memberikan pilihan kepada individu sebagai berikut. Dalam sebuah perumpamaan, pilihan A, individu mendapat Rp750.000 yang diterima hari ini, atau pilihan B senilai Rp1.250.000 yang diterima tahun depan. Selanjutnya, model TP_02 menyajikan pilihan A berupa Rp1.500.000 diterima

Tabel 11. Persepsi Responden pada Bahaya dari Asap Rokok Bagi Kesehatan

Kesehatan dan Konsumsi Rokok

Status Responden

Bukan Perokok

Mengu-rangi

Rokok

Aktif Merokok

Berat badan saat iniKurus 6 9 8Ideal 24 34 395-10 kg lebih dari berat ideal

10 12 13

Lebih dari 10 kg dari berat ideal

10 0 0

Kapan terakhir saudara periksa kesehatanBelum pernah periksa kesehatan

10 11 11

Sekitar tahun ini 25 36 321 – 2 tahun lalu 3 8 15Lebihd ari 2 tahun lalu 12 0 2

Sikap terhadap pernyataan: Rokok dapat memicu beragam penyakit

Sangat tidak yakin 1 0 15Tidak yakin 3 0 33Sangat Yakin 31 24 12Netral 15 31 0

Sikap terhadap pernyataan: Rokok dapat menyebabkan impoten

Tidak yakin 4 33 32Yakin 25 22 14Sangat yakin 17 0 0Netral 4 0 14

Sikap terhadap pernyataan: Rokok dapat menyebabkan mandul atau keguguran

Tidak yakin 0 0 27Yakin 21 30 22Sangat yakin 29 25 0Netral 0 0 11

Bahaya asap rokok sama bagi perokok dan perokok pasifTidak yakin 0 30 33Yakin 30 25 16Sangat yakin 20 0 0Netral 0 0 11

Merokok = cara yang gampang untuk dietSangat tidak yakin 0 8 0Tidak yakin 30 30 33Yakin 15 17 27Sangat yakin 5 0 0

Sumber : diolah dari data penelitian, 2015

Tabel 12. Kaitan antara Modal Sosial Individu, Religi-usitas dan Perilaku Merokok

First Stage, Dependent Variable : Religiucity

Second Stage, Dependent Variable: Smoking Status, Perokok atau menguragi

merokok =1Konstanta 63,22***

(10,29)Konstanta -2,363

(2,860)Usia -0,168

(0,134)Usia 0,204***

(0,084)Jenis Kelamin -6,529***

(3,191)Jenis Kelamin 0,458

(0,288)Lama Pendidikan 0,492

(0,369)Lama Pendidikan 0,214

(0,254)Pendapatan 0,000

(0,000)Pendapatan 0,0000

(0,000)Jumlah anggota Rumah Tangga

-1,191(0,802)

Jumlah anggota Rumah Tangga

0,0904(0,060)

Modal Sosial Individu 0,1017(0,108)

Religiusity 0,024(0,042)

Jumlah sampel (N) 165 Jumlah sampel (N) 165F-Statistik : F(6,158) 2,53 F-Statistik : F(6,158) 4,43RMSE 0,629 RMSE 0,629R2 0,09 R2 -Adj R2 0,05 Adj R2 -Sumber : diolah dari data penelitian, 2015

Kaitan antara Perilaku Merokok dengan Pre­ferensi Waktu dan Sikap Terhadap Resiko

Pada bagian ini disajikan temuan empiris dari pilihan pada preferensi waktu dan sikap terhadap resiko pada 3 (tiga) kelompok responden. Sebelum menyajikan kaitan tersebut, terlebih dahulu akan disajikan kaitan antara laporan subjektif tentang religiusitas dan perilaku merokok, dengan

Page 29: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

25

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

hari ini versus pilihan B berupa Rp4.000.000 yang akan diterima 5(lima) tahun kemudian. Selanjutnya, notasi Apel_01 menyajikan pilihan mendapat 1 buah apel yang diterima hari ini atau 2 buah apel yang diterima besok. Notasi Apel_02 menyajikan pilihan A berupa 1 buah Apel yang diterima tahun depan, versus pilihan B berupa 2 buah Apel yang diterima tahun depan ditambah 1 hari.

Model yang disajikan dalam Tabel di atas adalah TP_01 dan TP_02, dimana dua model ini menyajikan suku bunga eksplisit tertinggi, yaitu 67% pada TP_01 dan 22% pada TP_02 dari 6 pilihan yang disajikan dalam survei.Selanjutnya, hadiah moneter hipotetikal ini diperbandingkan dengan hadiah yang juga hipotetikal, namun berbentuk makanan sehat, yaitu apel. Pada ke-4 model di atas, yaitu TP_01, TP_02, Apel_01 dan Apel_02; nilai 1 dinyatakan untuk individu yang memilih hadiah saat ini, dan nilai nol untuk individu yang memilih 0(nol). Dengan menggunakan analisis regresi Probit, dapat disimak dalam Tabel 13, bahwa untuk pilihan preferensi waktu TP_01, dari sejumlah variabel bebas yang digunakan dan variable of interest yaitu status merokok, hanya rata-rata skor kebahagiaan yang berpengaruh signifikan. Selanjutnya, hal ini dapat bermakna bahwa individu yang melaporkan diri lebih bahagia dari yang lainnya, lebih cenderung untuk memilih hadiah diterima segera meskipun dengan nilai yang lebih kecil.

Masing-masing model dalam Tabel 13 mempunyai

keterkaitan dengan varaibel tergantung yang berbeda-beda. Dari 4 (empat) model yang disajikan, dengan variable of interest status merokok, pada model kedua, yaitu TP_02, hanya variabel perokok yang menunjukkan keterkaitan dengan preferensi pilihan antara menerima hadiah langsung atau diterima 5(lima) tahun lagi. Dalam model ini ditemukan bahwa responden perokok lebih kecil kemungkinannya memilih opsi A, yaitu menerima hadiah langsung atau segera.Dalam model ini dapat bermakna bahwa responden non perokok bersikap lebih impulsive dibanding responden perokok. Selanjutnya, untuk pilihan hadiah Apel, nampak bahwa responden perokok cenderung memilih hadiah apel yang diterima tahun depan, sedangkan reponden yang religious mempunyai probabilitas yang lebih kecil untuk memilih hadian apel untuk diterima hari ini.

Tabel 14 menyajikan model estimasi yang sama dengan model dalam Tabel 13; hanya saja variabel tergantung yang digunakan dalam model pada Tabel 14 adalah pilihan terhadap resiko. Model R_AB menunjukkan bahwa ada 2(dua) opsi yang ditawarkan yaitu opsi A dimana hadiah diterima dengan pasti dan opsi B yang memuat 2 (dua) kemungkinan, yaitu 50% mendapat hadiah senilai tertentu dan 50% tidak mendapat apa-apa. Dalam Tabel 10, model R_AB menunjukkan bahwa tidak hanya opsi A memberi kepastian, tetapi nilai harapan dari pilihan A juga lebih besar dibanding pilihan B. Model R_Netral bermakna bahwa meskipun pilihan

Tabel 13. Preferensi Individu Responden Terhadap Pilihan Waktu

Variabel Bebas yang digunakan:

Variabel Tergantung adalah:TP_01 TP_02 Apel_01 Apel_02

Konstanta -0,873(1,285)

1,853(1,317)

-1,3264(1,0947)

-1,7287(1,096)

Perokok 0,249(0,283)

-0,0215*(0,0276)

0,1818(0,2244)

0,3947**(0,2254)

Harapan Standar Hidup

-0,005(0,0148)

-0,0048(0,0014)

0,0089(0,0138)

0,0123(0,1371)

Pertemanan 0,0046(0,0095)

0,0020(0,0089)

0,0084(0,0088)

0,0087(0,0088)

Modal Sosial Individu

0,011(0,015)

0,0064(0,0147)

0,0021(0,014)

0,0082(0,1389)

Modal Sosial di Masyarakat

0,0066(0,0148)

-0,0183(0,0145)

-0,0168(0,0137)

-0,0073(0,136)

Indeks Kebahagiaan

0,8379**(0,4313)

-0,9317(0,5727

0,5358(0,4158)

0,3164(0,4314)

Religisiusitas -0,0055(1,285)

0,0025(0,0067)

0,0127**(0,0064)

0,0079(0,0063)

Jumlah sampel 165 165 165 165LR Chi-Sq 8,44 6,26 8,62 6,76Prob-Chi2 0,296 0,5099 0,2814 0,4545Pseudo R2 0,041 0,029 0,0382 0,303Sumber : diolah dari data penelitian, 2015

Table 14. Estimasi Preferensi Responden terhadap Re-siko

Variabel BebasVariabel Tergantung adalah:R_AB R_Netral R_BA

Konstanta 0,8135(1,1451)

0,2564(1,2534)

1,4642(1,1151)

Perokok 0,3969**(),2289)

-0,0397(0,2846)

0,1993(0,2258)

Harapan Standar Hidup 0,0153(0,0141)

0,0314((0,0146)

-0,0239*(0,0139)

Pertemanan -0,0193***(0.0091)

-0,0103(0,0091)

0,0157*(0,0191)

Modal Sosial Individu 0,0122(0,0193)

-0,0015(0,0017)

-0,0376(0,1571)

Modal Sosial di Masyarakat -0,0186(0,0136)

-0,0041(0,1479)

0,0376**(0,0145)

Indeks Kebahagiaan -0,5921(0,4914)

-0,0096(0,4536)

-0,0035**(0,1458)

Religisiusitas 0,0046(0,0064)

0,0062(0,0067)

-0,0121**(0,0066)

Jumlah sampel 165 165 165LR Chi-Sq 11,46 3,71 26,03Prob-Chi2 0,1127 0,8127 0,000Pseudo R2 0,054 0,0182 0,1139Sumber : diolah dari data penelitian, 2015

Page 30: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

26

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

A dengan kepastian dan pilihan B memiliki peluang mendapat sesuatu dan peluang tidak mendapatkan sesuatu, namun nilai harapan dari kedua opsi ini adalah sama. Selanjutnya, model R_BA menunjukkan bahwa nilai harapan B lebih tinggi dibanding nilai harapan pilihan A.

Selanjutnya, variabel bebas yang digunakan dalam model ini adalah perokok yang merupakan penjabaran dari status responden (perokok =1, dan bukan perokok =0). Variabel harapan pada standard hidup merupakan skor rata-rata dari pilihan pernyataan konsumen pada: harapan inflasi, standard dan kualitas makanan keluarga, perawatan kesehatan keluarga, kemampuan dan daya beli di masa yang akan datang, serta skor pada kualitas hidup. Modal Sosial Individu dan Modal Sosial di Masyarakat menggunakan definisi yang sama dengan estimasi pada Tabel 13. Indek Kebahagian merupakan hasil skor rata-rata dari pilihan pernyataan kebahagiaan saat ini, kebahagiaan tahun lalu, dan harapan kebahagiaan tahun yang akan datang. Religisiusitas menrupakan penyataan responden, nilai 1 jika responden mengaku religious dan 0 (nol) jika responden merasa tidak religius.

Model pertama menunjukkan bahwa responden perokok mempunyai probabilitas untuk memilih opsi pilihan A, berupa rewards yang pasti dan memiliki nilai ekspektasi yang lebih tinggi dibanding rewads pilihan B. Selanjutnya, dalam model ini juga ditemukan bahwa responden yang lebih sering melakukan kontak, memberi dan mendapat kabar dari saudara, teman dan sahabat lainnya, mempunyai peluang lebih keciluntuk memilih preferensi pilihan A dibanding pilihan B. Untuk model kedua, yaitu pilihan dengan risk netral, tidak ditemukan ada kaitan atau pengaruh yang signifikan, baik variabel merokok maupun variabel yang lainnya. Selanjutnya dalam model ketiga, yaitu R_BA; preferensi dengan alternatif pilihan

B dengan nilai rewards yang lebih besar namun mempunyai resiko, yaitu 50% mendapatkan rewards yang dimaksud dan 50% tidak mendapatkan apa-apa.

Dalam model yang ketiga ini ditemukan bahwa individu yang secara relatif mempunyai harapan standard hidup yang lebih tinggi, mempunyai kecendrungan lebih rendah untuk memilih opsi hadiah yang lebih kecil namun memberi unsur kepastian. Selanjutnya responden yang mempunyai intensitas berkomunikasi dengan teman sahabat dan keluarga yang baik, atau mempunyai karakteristik dengan modal sosial bermasyarakat lebih tinggi, cenderung untuk memilih rewards yang lebih kecil namun pasti. Hal yang cukup unik dalam temuan

studi ini adalah bahwa responden yang mempunyai indeks kebahagiaan subjektif lebih tinggi, dan responden yang melaporkan diri religius ternyata mempunyai kecendrungan yang lebih tinggi untuk memilih opsi hadiah dengan nilai lebih rendah namun dengan unsur kepastian.

SIMPULAN

Dengan menggunakan laporan subyektif dari sejumlah responden yang di survey, studi menyimpulkan hal-hal berikut. (i) baik modal sosial maupun laporan religisiusitas subjektif dilaporkan tidak berpengaruh secara signifikan pada keputusan individu menjadi perokok. Namun, ada hal yang berbeda pada karakteristik individu, yaitu jenis kelamin; (ii) nilai budaya yang dianut bangsa Indonesia percaya bahwa tabu bagi perempuan untuk merokok. Namun dalam studi ini, karakteristik individu yaitu jenis kelamin, ditemukan bahwa pria mempunyai peluang lebih kecil menjadi perokok dibanding responden wanita. Selanjutnya, semakin bertambah usia responden ditemukan peluang menjadi perokok semakin tinggi.

Terkait dengan perbedaan preferensi antara perokok dan non perokok pada pilihan waktu dan pengambilan keputusan dengan resiko, studi ini menemukan sebagai berikut: (i) dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan preferensi waktu, studi ini menemukan bahwa perokok mempunyai probabilitas yang lebih kecil untuk memilih preferensi waktu yang berorientasi saat ini, meskipun rate of time preference yang ditawarkan cukup tinggi. Pada time preference dengan pilihan makanan sehat (Apel), probabilitas dari responden untuk memilih hadiah Apel yang dikonsumsi segera hampir 40% lebihtinggi dibanding responden non perokok; (ii) hampir 40% responden memilih hadiah yang bernilai tinggi dan mempunyai unsur kepastian adalah kelompok perokok. Dalam pilihan preferensi yang lain, perbedaan karakteristik perokok dan non perokok tidak signifikan.

SARAN

Adapun saran yang ingin disampaikan dalam studi ini adalah sebagai berikut. (i) Peringatan bahaya asap rokok secara tertulis pada bungkus rokok dianggap tidak relevan oleh sebagian besar responden, dimana sebagian besar responden perokok menunjukkan sikap tidak yakin. Oleh karena itu, metode visual yang lain perlu menjadi pertimbangan pemerintah dan lembaga terkait; (ii) Meskipun responden perokok

Page 31: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

27

Keterkaitan antara Perilaku Merokok, Preferensi Waktu dan Pilihan Terhadap Resiko..... [Lilik Sugiharti, Ni Made Sukartini dan Tanti Handriana]

dan non perokok tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dalam pilihan time preference, namun dalam pilihan terhadap keputusan dengan resiko, perokok ditemukan lebih memilih keputusan tanpa resiko. Hal ini telah memberi indikasi mendekati kecanduan. Oleh karena itu sosialisasi bahaya konsumsi rokok harus semakin ditingkatkan, agar jumlah individu yang kecanduan merokok dapat diturunkan.

REFERENSI

Adda, J. and V. Lechene (2001), «Smoking and endogenous mortality. Does heterogeneity in life expectancy explain differences in smoking behaviour?», UCL, mimeo. Available at http://www.ucl.ac.uk/~uctpjea/smoke.pdf.

Becker, G.S. and K.M. Murphy. 1988. A Theory of Rational Addiction, Journal of Political Economy 96, 675-700

Bickel, W.K., A.L. Odum, and G.J. Madden. 1999. Impulsivity and Cigarette Smoking: Delay Discounting in Current Never, and Ex-Smokers. Psychopharmacology 146, 447-454.

Becker, Gary S. and Mulligan, Casey S., “The Endogenous Determination of Time Preference, Quarterly Journal of Economics, 112(3), 1997, pp. 729-758.

Bickel WK, Amass L, Higgins ST, Badger GJ, Esch RA (1997) Effects of adding behavioral treatment to opioid detoxification with buprenorphine. J Consult Clin Psychol 65:803–810

Bickel, Warren K. and Matthew W. Johnson. 2003. “Delay Discounting: A Fundamental Behavioral Process of Drug Dependence,” In Time and Decision: Economic and Psychological Perspectives on Intertemporal Choice, edited by George Loewenstein, Daniel Read, and Roy Baumeister. New York: Russell Sage Foundation.

Blondel, S., Y. Lohéac, and S. Rinaudo. 2007. Rationality and Drug Use: An Experimental Approach. Journal of Health Economics 26, 643-658.

Chaloupka, F.J. and K.E. Warner. 2000. The Economics of Smoking, in: J. Newhouse and A. Culyer (eds.) The Handbook of Health Economics 1B, Amsterdam: North-Holland, 1539–1612.

Chaloukpa F. J. and M. Grossman (1996), «Price, tobacco control policies and youth smoking», Working Paper, No. 5740 (National Bureau of Economic Research).

Chaloukpa, F. J. and K. Warner (2000), «The Economics of smoking» (1540-1627), in Handbook of Health Economics, volume 1. Edited by A. Cuyler and J. P. Newhouse, Elsevier Science B.V., 1539-1627.

Chaloukpa, F. J. and H. Wechsler (1996), «Binge drinking in college: the impact of price», Contemporary Economic Policy, 14 (4): 112-24.

Coase, R. H. (1960), «The Problem of Social Cost», Journal of Law and Economics, (3): 1-44

Cook, P. J. and M. Moore (2000), «Alcohol» (1630-73), in Handbook of Health Economics, volume 1. Edited by A. Cuyler and J. P. Newhouse, Elsevier Science B.V., 1629-1673

Cutler, D.M and E.L. Glaese. 2009. Why Do Europeans Smoke More than Americans? in: D.A. Wise (ed.) Developments in the Economics of Aging. NBER Books, National Bureau of Economic Research, Inc.

Fehr, E. and P.K. Zych. 1998. Do Addicts Behave Rationally? Scandinavian Journal of Economics 100, 643-661.

Frederick, S., G. Lowenstein, and T. O’Donoghue. 2002. Time Discounting and Time Preference: A Critical Review, Journal of Economic Literature 40, 351-401.

Gerking, S. and R. Khaddaria 2011. Perceptions of Health Risk and Smoking Decisions of Young People, Health Economics (in press).

Green, L. and J. Myerson. 2004. A Discounting Framework for Choice with Delayed and Probabilistic Rewards. Psychological Bulletin 130, 769-792.

Gruber, J. and B. Koszegi. 2001. Is Addiction Rational: Theory and Evidence. Quarterly Journal of Economics 116, 1261-1303.

Halton, J. 1960. On the Efficiency of Evaluating Certain Quasi-Random Sequences of Points in Evaluating Multi-Dimensional Integrals. Numerische Mathematik 2, 84-90.

Heatherton, T.F., L.T. Kozlowski, R.C. Frecker, and K.O. Fagerström. 1991. The Fagerström Test for Nicotine Dependence: A Revision of the Fagerström Tolerance Questionnaire. British Journal of Addiction 86, 1119-1127.

Ida, T. dan Goto, R. (2009). Simultaneous Measurement of Time and Risk Preferences: Stated Preference Discrete Choice Modeling Analysis Depending on Smoking Behavior International Economic Review, Vol. 50, No. 4 (Nov., 2009), pp. 1169-1182

Ida, T. 2010. Anomaly, Impulsivity, and Addiction. Journal of Socio-Economics 39, 194-203.

Kan, K. 2007. Cigarette Smoking and Self-Control. Journal of Health Economics 26, 61-81.

Kementrian Kesehatan RI (2008).Keren, G. and P. Roelofsma. 1995. Immediacy and Certainty

in Intertemporal Choice. Organizational Behavior and Human Decision Processes 63, 287-297.

Laibson, D. 1997..Golden Eggs and Hyperbolic Discounting. Quarterly Journal of Economics 62:443-477.

Messinis, G. 1999. Habit Formation and The Theory of Addiction. Journal of Economic Surveys 13, 417-442.

Mitchell, S.H. 1999. Measures of Impulsivity in Cigarette Smokers and Non-Smokers. Psychopharmacology 146, 455-464.

Munasinghe, Lalith, and Nachum Sicherman. 2005. “Why Do Dancers Smoke? Smoking, Time Preference, and Wage Dynamics,” Barnard College, mimeo.

Odum, Amy L., Gregory J. Madden, and Warren K. Bickel. 2002. “Discounting of Delayed Health Gains and Losses by Current, Never- and Ex-smokers of Cigarettes,” Nicotine & Tobacco Research 4, 295-303

Pla, N.B. dan Jones, A.M. (2003). Addictive goods and taxes: A survey from an economic perspective. Hacienda Pública Española / Revista de Economía Pública, 167-(4/2003): 123-153

Reynolds, A., Richards, J.B., Horn,K., dan Karraker, K,.(2004). Delay discounting and probability discounting as related to cigarette smoking status in adults Brady. Behavioural Processes 65 (2004) 35–42

Page 32: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

28

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik

Nindy Purnama Sari*)

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

ABSTRAK

Meskipun data Sakernas Agustus 2014 menunjukkan rendahnya tingkat pengangguran di Kabupaten Badung, yaitu hanya sebesar 0,48 persen, namun hal ini bukan merupakan jaminan kemampuan penduduk Badung dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Kualitas pekerjaan yang digeluti penduduk sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya. Rendahnya keterikatan pekerjaan sektor informal terhadap tenaga kerjanya berakibat pada rendahnya kualitas pekerjaan sektor informal. Informasi mengenai karakteristik penduduk Badung yang berkerja di sektor informal, serta hubungan sekaligus kecenderungan antara karakteristik yang dimiliki dengan keputusannya untuk bekerja di sektor informal diharapkan dapat membantu Pemerintah Kabupaten Badung dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan kedepannya. Kajian ini memanfaatkan kelebihan data ketenagakerjaan milik Pemerintah Kabupaten Badung yang bersifat mikro dan data Sakernas yang bersifat makro, dimana data Sakernas Badung Agustus 2014 dan variabel karakteristik individu para pencari kerja yang dikumpulkan oleh Dinas Ketenagakerjaan (Disnakertrans) dianalisis untuk mengetahui kecenderungan karakteristik pekerja terhadap jenis pekerjaan dari pekerja. Berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui bahwa pada saat initransformasi pekerja ke sektor formal di Kabupaten Badung tengah berjalan. Ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, tingginya mobilitas pekerja dari sektor formal ke sektor informal sedikit menghambat proses transformasi tersebut. Lebih lanjut, analisis regresi logistik menunjukkan bahwa pekerja wanita yang berpendidikan lebih rendah dan usia yang lebih tua mempunyai kecenderungan untuk bekerja di sektor informal. Ternyata, kebutuhan ekonomi pekerja yang telah menikah tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam keputusannya untuk bekerja di sektor informal.

Kata kunci: ketenagakerjaan, formal, informal, transformasi.

Informal Worker Transformation to Formal Sector: Descriptif and Logistic Regression Analyses

ABSTRACT

Eventhough National Labour Force Survey (Sakernas) August 2014 shown a low open unemployment rate in Badung Regrency, that is 0.48 percent, but it cannot describe people ability to fulfill their daily needs. Quality of job effects quality of life. A weak relationship between employee and employment aggravates the quality of informal job. By finding information about characteristics of people who work in informal sectors and also its contribution and relationship to their decision to work in informal sector, hopes can help in formulatingthe employment policies. To seek further this information, we use Sakernas August 2014 of Badung Regency data and matching with individual characteristics collected by Employment Office (Disnakertrans) of Badung Regency. A descriptif analysis show that a transformation worker from formal to informal in Badung Regency has been running. Amout of informal worker in Badung Regency is decreased year by year. In the other hand, the higher number of mobility worker form formal sector to informal sector restrains the transformation. Furthermore, logistic regression analysis shown that women employee with a lower education and an older age tend to work in informal sector. Apparently, economy needs of married people does not give a significant contribution in deciding to work in informal sector.

Keywords: employment, formal, informal, transformation.

JEKT ❖ 9 [1] : 28 - 36 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

Page 33: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

29

Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik [Nindy Purnama Sari]

PENDAHULUAN

Kondisi ketenagakerjaan merupakan salah satu topik yang selalu hangat dibicarakan oleh pemerintah seperti halnya kemiskinan. Disamping angka pengangguran, peningkatan kualitas pekerjaan juga menjadi fokus perhatian bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Badung. Terlebih lagi, Kabupaten Badung yang merupakan pusat pariwisata, selain menjadi daya tarik bagi wisatawan juga menjadi daya tarik bagi para pencari kerja. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, dari 3,1 ribu penduduk usia 15 tahun ke atas di Badung yang sedang mencari kerja atau mempersiapkan usaha sekitar 15,35 persen diantaranya adalah penduduk pendatang dari luar Badung (migrasi risen masuk).Banyaknya penduduk yang mencoba peruntungannya dalam pasar tenaga kerja di Kabupaten Badung menjadi tugas rumah Pemerintah Kabupaten Badung dalam melakukan pengaturan dalam hal ketenagakerjaan.

Pada Agustus 2014, tercatat tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Badung mencapai 0,48 persen. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat pengangguran di Provinsi Bali bahkan Indonesia yang masing-masing mencapai 1,90 persen dan 5,94 persen. Namun demikian, rendahnya tingkat pengangguran di Badung tidak lantas menjadi jaminan bahwa kemampuan penduduk Badung untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya melebihi wilayah lainnya. Hasbullah (2012) mengatakan bahwa meskipun dalam jangka panjang tingginya angka pengangguran akan menurunkan kinerja perekonomian, namun dalam keadaan tertentu meningkatnya angka pengangguran bisa jadi karena peningkatan kesejahteraan. Terdapat kecenderungan penduduk angkatan kerja memilih menjadi pengangguran karena tidak tersediaanya lapangan usaha yang sesuai, bukan karena himpitan ekonomi. Justru penduduk yang terhimpit masalah ekonomi akan selalu berusaha memperoleh penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa melihat jenis, kesesuaian, bahkan kualitas pekerjaan yang mereka kerjakan.

Kualitas pekerjaan para tenaga kerja secara otomatis mempengaruhi kualitas hidup para pekerjanya. Meskipun pada deklarasi International Labour Organization (ILO) tahun 1998 dikemukakan konsep pekerja layak yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan formal tetapi juga pada pekerjaan informal, namun stigma rendahnya kualitas pekerjaan informal masih tetap melekat. Hubungan kerja antara usaha sektor informal dan tenaga kerjanya hanya didasarkan atas rasa saling percaya

dan kesepakat saja, sehingga tidak salah jika pekerja sektor informal dikenal dengan karakteristiknya yang berproduktivitas rendah, kondisi kerja yang buruk, perlindungan pekerja rendah, dan upah yang tidak memadai. Data Sakernas Agustus 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja di Badung (61,54 %) telah bekerja di sektor formal, namun demikian masih terdapat 38,46 persen pekerja yang masih bekerja di sektor informal atau sekitar 124,1 ribu jiwa.

Kemajuan perekonomian suatu wilayah ditunjukkan dengan adanya transformasi ke arah penurunan pekerja kasar yang direpresentasikan melalui pekerja sektor informal1. Melalui transformasi pekerjaan dari sektor informal ke sektor formal diharapkan selain dapat meningkatkan produktivitas para pekerja, juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dilain pihak, sifat keterikatan hubungan pekerjaan sektor informal yang rendah memberikan kemudahan bagi para pekerja untuk mendapatkan pekerjaan di sektor ini. Akibatnya, meskipun dianggap sebagai pekerjaan yang memiliki kualitas rendah dengan besaran pendapatan yang minim, namunpekerjaan sektor informal sangat berperan dalam menyerap tenaga kerja (Richardson, 1984). Hal inilah yang mengakibatkan pengembangan perekonomian melalui peningkatan sektor formal menjadi tantangan berat yang harus dihadapi pemerintah.

Perencanaan yang matang diperlukan guna keberhasilan transformasi pekerjaan dari sektor informal ke sektor formal. Dalam melakukan perencanaan tentunya diperlukan informasi yang dapat menggambarkan kondisi pekerja di Kabupaten Badung. Sayangnya, data ketenagakerjaan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Badung hanya terbatas pada data yang dikumpulkan melalui Kartu Tanda Pendaftaran Pencari Kerja AK/I atau Kartu Kuning. Pengumpulan data ini bersifat registrasi, sehingga meskipun dapat menentukan target kebijakan secara langsung data ini tidak dapat menggambarkan kondisi seluruh pencari kerja di Kabupaten Badung. Hal ini dikarenakan keterbatasan cakupan registrasi hanya terbatas pada mereka yang mendaftar. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang bersifat sampel, dapat membantu memberikan gambaran kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten Badung secara menyeluruh. Lebih lanjut, data Sakernas 2014 dan variabel karakteristik individu para pencari kerja yang dikumpulkan oleh Disnakertrans (kartu kuning) akan dianalisis untuk mengetahui kecenderungan karakteristik pekerja

1 Pekerja Sektor Formal/Informal. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Page 34: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

30

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

terhadap jenis pekerjaan dari pekerja. Informasi ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Kabupaten Badung dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi kebijakan ketenagakerjaan khususnya kebijakan transformasi pekerjaan bagi para pencari kerja.

Kajian ini mencoba menggali informasi terkait karakteristik penduduk yang bekerja di sektor informal, serta hubungan sekaligus kecenderungan antara karakteristik yang dimiliki dengan keputusannya untuk bekerja di sektor informal. Pengimplementasian informasi ketenagakerjaan tersebut memalui kebijakan penggunaan data ketenagakerjaan yang dimiliki Disnakertrans dapat secara langsung menuju ke sasaran. Sehingga, informasi ketenagakerjaan Kabupaten Badung selain berguna bagi pemerintah dalam mengevaluasi kebijakan yang diambil selama ini, juga dapat membantu dalam memformulasikan bentuk kebijakan yang akan diambil kedepannya.

Pekerja Sektor InformalBerdasarkan UU No. 25 Tahun 1997 tentang

Ketenagakerjaan, pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan. Definisi usaha sektor informal sendiri adalah kegiatan orang perseorangan atau keluarga, atau beberapa orang yang melaksanakan usaha bersama untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kepercayaan dan kesepakatan, dan tidak berbadan hukum. Hubungan kerja antara usaha sektor informal dan pekerjanya hanya didasarkan atas saling percaya dan sepakat dengan menerima upah dan/atau imbalan atau bagi hasil.

Pada pengintepretasian definisi sektor informal tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan pendekatan melalui status pekerjaan utama dari pekerja. Pengelompokan sektor informal yang dilakukan BPS agak berbeda dengan pengelompokkan yang dilakukan ILO. International Labour Organization mendefinisikan pekerja informal hanya mereka yang bekerja sebagai pekerja mandiri dan pekerja yang membantu keluarga, sedangkan BPS menambahkan mereka yang bekerja sebagai pekerja bebas dan berusaha dibantu pekerja bebas. Hal ini disebabkan sifat pekerja bebas di Indonesia yang biasanya bersifat informal dengan upah yang tidak memadai, produktivitas rendah dan kondisi kerja yang relatif buruk.

Lebih lanjut, ILO menyebutkan ciri-ciri pekerjaan sektor informal, antara lain: (i) Seluruh aktivitasnya bersandar pada sumberdaya sekitar; (ii) Skala

usahanya relatif kecil dan merupakan usaha keluarga; (iii) Aktivitasnya ditopang oleh teknologi tepat guna dan bersifat padat karya; (iv) Tenaga kerjanya terdidik atau terlatih dalam pola-pola tidak resmi; (v) Seluruh aktivitasnya berada di luar jalur yang diatur pemerintah; dan (vi) Aktivitasnya bergerak dalam pasar sangat bersaing.

Faktor Pekerja Sektor InformalBanyaknya persentase penduduk yang bekerja di

sektor informal tidak telepas dari berbagai bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Faktor-faktor makro seperti kebijakan dalam penentuan besaran tarif pajak usaha, prosedur pengurusan ijin usaha, dan lainnya sangat menentukan perkembangan pekerjaan sektor formal. Selain faktor makro, faktor mikro pekerja juga turut mempengaruhi keputusan para pekerja dalam menentukan jenis pekerjaan yang mereka geluti.

Masyarakat Badung yang mayoritas merupakan penduduk Bali masih menganut sistem patrilineal. Sistem ini menuntut laki-laki bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, sedangkan perempuan bertugas dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan ekonomi rumah tangga, para perempuan terdorong untuk ikut serta membantu perekonomian rumah tangga. Akan tetapi, tugas mengasuh anak dan mengurus rumah tangga yang diemban para perempuan membatasi gerak dan kemampuan perempuan untuk memilih pekerjaan yang layak. Akibatnya, pekerja perempuan lebih memilih pekerjaan yang memiliki fleksibilitas jam kerja, dimana dalam hal ini dimiliki pekerjaan sektor informal. Hal ini sejalan dengan Drogul (2012) yang mengatakan perempuan mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk bekerja di sektor informal dibandingkan laki-laki.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Baltagi, Baskaya dan Hulagu (2012) didapatkan hasil bahwa status perkawinan memiliki andil dalam jenis pekerjaan yang digeluti pekerja. Meskipun pekerja yang berstatus menikah mempunyai peluang yang lebih besar terganggu pekerjaannya karena urusan rumah tangga, namun berdasarkan penelitiannya yang dilakukan di Turki didapatkan hasil bahwa pekerja yang berstatus menikah lebihberpeluang untuk bekerja di sektor formal, sebaliknya pekerja yang tidak menikah cenderung bekerja di pekerjaan informal.

Menurut organisasi tenaga kerja internasional, dikemukakann bahwa pengalaman kerja dan latar belakang pendidikan memainkan peranan penting

Page 35: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

31

Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik [Nindy Purnama Sari]

dalam menentukan kualitas pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan dan kemampuan yang dimiliki seorang pekerja, maka semakin baik kualitas pekerjaan yang dimilikinya. Tuntutan syarat pendidikan di sektor formal membatasi pekerja yang berpendidikan rendah memasuki pekerjaan sektor formal. Akibatnya pekerja yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan tersebut hanya terserap pada pasar tenaga kerja sektor informal.

Urdinola dan Tanabe (2012) mengatakan bahwa pekerja usia muda cenderung bekerja di sektor informal. Kondisi fisik, kemampuan kerja, dan pengalaman sangat dipengaruhi oleh usia pekerja. Pekerja usia muda umumnya memiliki fisik yang kuat dan mempunyai semangat kerja tinggi namun minim pengalaman. Karakteristik pekerja usia muda ini sesuai dengan kebutuhan pekerjaan sektor informal. Pekerjaan sektor informal yang padat karya dan tidak mensyaratkan kemampuan dan mengalaman pekerjanya memberikan peluang yang besar kepada para pekerja muda untuk bekerja di pekerjaan sektor ini.

Data Ketenagakerjaan Selain data hasil Sakernas yang dihasilkan oleh

BPS, Disnaker Kabupaten Badung yang dalam hal ini adalah perpanjangan tangan dari Depnakertrans (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) telah mengumpulkan data pencari kerja. Pengumpulan data dilakukan melalui data pada Kartu Tanda Pendaftaran Pencari Kerja AK/I atau lebih dikenal dengan kartu kuning yang diisi oleh para pencari kerja. Bagi para pencari kerja, kartu ini selain berfungsi untuk salah satu syarat untuk mengikuti tes CPNS, juga digunakan untuk meyakinkan perusahaan bahwa yang bersangkutan tidak dalam ikatan kerja apapun dengan perusahaan lain. Sedangkan bagi Disnakertrans Kabupaten Badung, database pencari kerja ini berguna dalam mengukur persentase pencari kerja di wilayah Kabupaten Badung, sekaligus berguna dalam membantu memformulasikan kebijakan ketenagakerjaan yang akan diambil Pemerintah Kabupaten Badung.

Data yang tertera pada Kartu Tanda Pendaftaran Pencari Kerja AK/I antara lain nomor KTP, nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, agama, jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, dan alamat. Melalui data ini Disnaker Kabupaten Badung dapat membantu mencarikan pekerjaan bagi para angkatan kerja yang belum mendapatkan kerja, atau mereka yang sudah bekerja namun ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Baik data Sakernas maupun data ketenagakerjaan milik Disnakertrans Kabupaten Badung memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Data Sakernas yang merupakan data sampel tidak dapat digunakan dalam menentukan target kebijakan secara langsung, namun data ini dapat membantu dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan secara umum. Dilain pihak, data kartu kuning merupakan data registrasi. Meskipun dapat menentukan target kebijakan secara langsung, namun tidak semua pencari kerja mendaftarkan diri ke Disnakertrans. Akibatnya, tidak semua pencari kerja dicakup sebagai target kebijakan. Pemanfaatan kelebihan yang dimiliki dari masing-masing data tersebut diharapkan dapat membantu Pemerintah Kabupaten Badung dalam menentukan kebijakan ketenagakerjaan

DATA DAN METODOLOGI

Kajian ini menggunakan data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2014. Metode penarikan sampel Sakernas Agustus 2014 dirancang agar dapat melakukan estimasi hingga tingkat kabupaten/kota. Jumlah sampel Sakernas Agustus 2014 di Kabupaten Badung adalah sebanyak 439 rumah tangga, dimana 317 rumah tangga sampel berada di 32 blok sensus (BS) perkotaan dan 121 rumah tangga sampel lainnya berada di 12 BS perdesaan. Selain mengumpulkan data terkait karakteristik seluruh anggota rumah tangga, Sakernas Agustus 2014 juga mengumpulkan data terkait status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, pengangguran dan pengalaman kerja dari mereka yang berusia 10 tahun ke atas.

Menurut konsep dan definisi yang digunakan BPS, batasan penduduk usia kerja adalah mereka yang berusia 15 tahun keatas. Penduduk yang bekerja adalah mereka yang dalam kurun waktu seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam berturut-turut, termasuk mereka yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak aktif bekerja.

Penulisan kajian ini fokus pada para pekerja di Kabupaten Badung yang bekerja di sektor informal. Pengelompokan pekerjaan sektor formal dan informal dilakukan berdasarkan status dalam pekerjaan utama dari para pekerja. Berdasarkan ketujuh kategori status pekerjaan para pekerja selanjutnya dikelompokkan menjadi dua jenis kelompok pekerja, yaitu: (i) Sektor formal, yang terdiri dari mereka yang bekerja sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh

Page 36: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

32

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

dibayar dan mereka yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai; dan (ii) Sektor informal, yang terdiri dari mereka yang bekerja sebagai berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga. Metode analisis yang digunakan dalam penulisan kajian ini berupa analisis deskriptif, dan analisis regresi logistik, yang akan dijabarkan satu-persatu berikut ini.

Analisis DeskriptifAnalisis deskriptif merupakan analisis paling

sederhana namun memiliki kemampuan menerang-kan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antar variabelnya (Singarimbun, 1989). Pada kajian ini, analisis deskriptif dilakukan melalui tabulasi si-lang, sehingga terdapat gambaran hubungan antar variabel.

Analisis Regresi LogistikAnalisis regresi logistik digunakan untuk

menganalisis data kategorik atau peubah respon (Y) berskala biner dengan peubah-peubah penjelasnya (X) berskala kontinu dan/atau kategorik. Pada penulisan kajian ini, analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui bentuk hubungan dan kecenderungan karakteristik penduduk Kabupaten Badung yang bekerja terhadap keputusannya untuk bekerja di sektor informal. Model regresi logistik yang digunakan dengan sebanyak p buah peubah penjelas dijabarkan pada persamaan (1).

..…(1)

Dimana dan = banyaknya faktor penjelas. Probabilitas dari sebaran ini adalah:

Dengan variable respon berskala biner mengikuti sebaran Binomial, maka:

dan .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis DeskriptifKeberhasilan transformasi pekerja ke arah formal

di Kabupaten Badung dalam tiga tahun terakhir terlihat dari penurunan jumlah penduduk Badung yang bekerja di sektor informal. Data Sakernas 2012 hingga 2014 menunjukkan penurunan jumlah penduduk Kabupaten Badung yang bekerja di sektor

informal,dari 129,3 ribu jiwa di tahun 2012 menjadi 126,6 ribu jiwa di tahun 2013, dan kembali berkurang menjadi 124,2 ribu jiwa di tahun 2014. Hal ini terjadi meskipun pada tahun-tahun tersebut total penduduk Kabupaten Badung yang bekerja mengalami fluktuasi. Akibatnya, secara persentase penduduk Kabupaten Badung yang bekerja di sektor informal mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Meskipun jumlah dan persentase penduduk yang berkerja di sektor informal mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun besarnya penurunan semakin lama semakin berkurang. Tabel 1 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan tajam pada jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal pada tahun 2012, yaitu menurun sebesar 9,81 persen dibandingkan kondisi tahun 2011. Namun tingginya persentase penurunan pekerja sektor informal ini tidak dapat dipertahankan, akibatnya pada tahun 2013 persentase penurunan pekerja sektor informal di Kabupaten Badung berkurang drastis menjadi 2,10 persen, dan kembali berkurang menjadi 1,95 persen di tahun 2014.

Disebutkan sebelumnya, bahwa kemudahan untuk memasuki pekerjaan sektor informal mendorong tetap tingginya penduduk yang bekerja di sektor ini. Jika telaah lebih lanjut, kemudahan dalam memasuki pasar tenaga kerja sektor informal dapat dilihat dari dua hal, yaitu dari pekerja yang baru mulai bekerja atau usaha (new entrance), dan dari pekerja yang berpindah pekerjaan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dalam kajian ini, pekerja yang memasuki pekerjaan sektor informal dibatasi hanya dalam kurun waktu setahun terakhir.

Pada Gambar 1 tersaji data pekembangan jumlah penduduk yang baru memasuki pasar tenaga kerja menurut sektor formal/informal pada tahun 2012 hingga 2014. Terlihat bahwa sebagian besar pekerja new entrance dapat langsung diserap oleh pekerjaan sektor formal. Pada kurun waktu tiga tahun terakhir, di Kabupaten Badung penyerapan tenaga kerja sektor formal bagi para new entrance berada pada kisaran

Tabel 1. Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Informal, Kabupaten Badung Tahun 2012-2014 (dalam ribuan)

TahunJumlah Tenaga Kerja Penurunan

PekerjaSektor Informal

(%)Sektor Formal

Sektor Informal Total

(1) (2) (3) (4) (5)2012 190,7 129,3 319,9 9,812013 198,4 126,6 325,0 2,102014 198,7 124,2 322,9 1,95

Sumber: BPS, Sakernas 2012-2014

Page 37: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

33

Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik [Nindy Purnama Sari]

82 hingga 86 persen, dengan fluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini sejalan dengan penurunan persentase pekerja yang bekerja di sektor informal.

Berbeda dengan kondisi perkembangan penyerapan tenaga kerja new entrance, pada pekerja yang berpindah pekerjaan dalam setahun terakhir, pekerja yang berpindah pekerjaan dari pekerjaan formal ke informal jumlahnya lebih banyak dibandingkan mereka yang berpindah dari pekerjaan informal ke formal. Pada tahun 2014, jumlah pekerja Kabupaten Badung yang dalam setahun terakhir berpindah pekerjaan dari sektor formal ke informal sebanyak 1,8 ribu orang, sedangkan mereka yang berpindah dari sektor informal ke formal sebanyak 1,0 ribu orang. Tingginya pekerja yang beralih pekerjaan dari formal ke informal turut menghambat proses transformasi pekerja ke sektor formal di Kabupaten Badung.

Kemudahan untuk memasuki sektor informal menunjukkan persyaratan yang ringan untuk dapat memasuki pekerjaan sektor informal. Pekerja sektor informal tidak disyaratkan harus menyelesaikan suatu jenjang pendidikan tertentu. Ini berbeda dengan pekerjaan sektor formal yang menuntut penguasaan kemampuan dan keterampilan tertentu yang diwakili dengan tingkat pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, data Sakernas Agustus 2014 menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen pekerja sektor informal di Kabupaten Badung tidak mengecap pendidikan perguruan tinggi. Hanya 6,22

persen pekerja sektor informal yang menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi. Lain halnya dengan pekerja sektor informal, nyaris 30 persen pekerja sektor formal telah menamatkan pendidikannya di jenjang perguruan tinggi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu ciri pekerjaan sektor informal lainnya adalah kelonggaran dalam jam kerja. Hal ini sejalan dengan kondisi di Kabupaten Badung, berdasarkan data Sakernas 2014 tercatat sebanyak 32,9ribu pekerja sektor informal yang termasuk dalam pekerja tidak penuh (pekerja dengan jumlah jam kerja dalam seminggu yang lalu 1 hingga 35 jam), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor formal sebanyak 20,3 ribu jiwa. Sebaliknya, pekerja sektor formal yang termasuk dalam pekerja penuh (pekerja dengan jumlah jam kerja dalam seminggu yang lalu lebih dari 35 jam) sebanyak 178,4 ribu jiwa jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor informal sebanyak 91,3 ribu jiwa. Jumlah dan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut sektor formal/informal dan jam kerja di Kabupaten Badung tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 1. Perkembangan Penyerapan Pekerja New Entrance Menurut Sektor Formal/Infor-mal, Kabupaten Badung Tahun 2012-2014

Sumber: BPS, Sakernas 2012-2014

Tabel 2. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Berpindah Pekerjaan dalam Setahun Terakhir Menurut Sektor Formal/Informal, Kabupaten Badung Tahun 2014 (dalam ribuan)

Pekerjaan Sebelum Pekerjaan Sekarang

Pekerjaan SekarangFormal Informal

(1) (2) (3)Formal 11,5 1,8Informal 1,0 0,5Sumber: BPS, Sakernas 2014

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Sektor Formal/Informal dan Pendidikan Tertinggi, Kabupaten Badung Tahun 2014 (dalam ribuan)

PekerjaanPendidikan

SMA ke bawah Di atas SMAJumlah Persentase Jumlah Persentase

(1) (2) (3) (4) (5)Formal 141,1 71,00 57,6 29,00

Informal 116,5 93,78 7,7 6,22Jumlah 257,5 79,76 65,4 20,24

Sumber: BPS, Sakernas 2014

Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Sektor Formal/ Informal dan Jam Kerja, Kabupaten Badung Tahun 2014 (dalam ribuan)

Jumlah Jam Kerja Perminggu

Pekerja Sektor Formal Pekerja Sektor Informal

Jumlah Persentase Jumlah Persentase(1) (2) (3) (4) (5)

1-14 1,6 0,82 6,6 5,3415-24 7,4 3,70 12,8 10,3425-34 11,3 5,69 13,4 10,801-34 20,3 10,22 32,9 26,48

35+*) 178,4 89,78 91,3 73,52Jumlah 198,7 100,00 124,2 100,00

Sumber: BPS, Sakernas 2014Keterangan: *) Termasuk sementara tidak bekerja

Page 38: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

34

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Analisis Regresi LogistikPelaksanaan Sakernas Agustus 2014 Kabupaten

Badung mengambil sampel sebanyak 1.024 orang pekerja, dimana 450 diantaranya adalah pekerja sektor informal dan 574 sisanya adalah pekerja sektor formal.Kajian ini menggunakan satu variabel respon biner dan empat variabel penjelas yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Pengujian analisis regresi logistik dari data Sakernas 2014 dilakukan dengan menggunakan paket program SPSS versi 13.0. Berdasarkan output hasil uji simultan diperoleh keputusan bahwa variabel penjelas dikatakan tidak memberikan pengaruh terhadap variabel respon ditolak. Hosmer dan Lemeshow (2000) mengatakan bahwa nilai koefisien determinasi yang kecil pada regresi logistik merupakan hal yang wajar dan tidak mempengaruhi ketepatan model, sehingga meskipun besaran koefisien determinasi yang diperoleh kecil tidak menjadi penghambat dalam melakukan kajian ini. Sedangkan berdasarkan uji kelayakan model regresi didapatkan hasil bahwa tidak dapat dikatakan terdapat perbedaan antara model dengan nilai observasi secara signifikan, sehingga model dapat dikatakan layak.

Lebih lanjut, output SPSS memberikan gambaran mengenai kelayakan masing-masing variabel penjelas untuk masuk dalam model dan menjelaskan variabel respon (Tabel 6). Kelayakan variabel bebas dijelaskan

Tabel 5. Variabel dan Kategori VariabelPeubah

Kategori KeteranganNama Label

(1) (2) (3) (4)Informal Pekerja di KabBadung 0 : Pekerja Sektor Formal Variabel Respon

1 : Pekerja Sektor InformalSex Jenis Kelamin 0 : Perempuan Variabel Penjelas

1 : Laki-lakiEducation Pendidikan 0 : <= SMA Variabel Penjelas

1 : SMA ke atasAge Umur >= 15 tahun (kontinu) Variabel PenjelasMarriage Status Kawin 0 : Belum/Tidak Kawin Variabel Penjelas

1 : KawinSumber: hasil olah data penelitian (Sakernas, 2014)

Tabel 6. Ringkasan Estimasi Model Regresi Logistik

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)CI for Exp(B)

Lower Upper(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

Sex -0,723 0,146 24,334 1 0,000 0,486 0,364 0,647Education -1,915 0,253 57,441 1 0,000 0,147 0,090 0,242Age 0,071 0,006 122,167 1 0,000 1,073 1,060 1,087Konstanta -2,537 0,274 85,553 1 0,000 0,079Sumber: hasil olah data penelitian (Sakernas, 2014)

melalui Wald Test, dengan penjelasan masing-masing variabel dijabarkan pada paragraph berikut.

Jenis kelamin pekerja di Kabupaten Badung mempengaruhi keputusan pekerja untuk bekerja di sektor informal, dengan kecenderungan keputusan pekerja laki-laki untuk bekerja di sektor informal 0,486 kali dibandingkan keputusan pekerja perempuan. Sejalan dengan teori yang telah diuraikan sebelumnya, tanggungjawab perempuan dalam kepengurusan rumah tangga turut mempengaruhi tingginya keputusan pekerja perempuan untuk bekerja di sektor informal dibandingkan keputusan pekerja laki-laki.

Hasil di Kabupaten Badung menjelaskan, semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja maka semakin kecil kecenderungan pekerja tersebut memutuskan untuk bekerja di sektor informal. Kecenderungan pekerja yang berpendidikan perguruan tinggi untuk bekerja di pekerjaan sektor informal 0,147 kali dibandingkan pekerja yang hanya menamatkan pendidikan paling tinggi SMA. Pekerja dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan tingkat pendidikan di bawahnya,selain itu mereka juga memenuhi kualifikasi yang disyaratkan pekerjaan sektor formal. Hal inilah yang mengakibatkan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat bersaing di pasar tenaga kerja sektor formal.

Page 39: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

35

Transformasi Pekerja Informal ke Arah Formal: Analisis Deskriptif dan Regresi Logistik [Nindy Purnama Sari]

Berbeda dengan teori yang disebutkan sebelumnya bahwa semakin muda usia pekerja maka semakin tinggi kecenderungan pekerja tersebut bekerja di sektor informal, nilai statistik Wald Test menunjukkan hasil yang berkebalikandi Kabupaten Badung Tahun 2014. Meskipun usia pekerja menentukan keputusan pekerja untuk bekerja di pekerjaan sektor informal, namun di Kabupaten Badung secara rata-rata pekerja yang setahun lebih tua mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk bekerja di sektor informal. Kecenderungan pekerja yang setahun lebih tua untuk bekerja di pekerjaan sektor informal sebesar 1,073 kali dibandingkan pekerja yang berumur satu tahun lebih muda. Kondisi ini kemungkinan karena lebih dari 80 persen tenaga kerja new entrance yang pada umumnya usia muda langsung terserap oleh pekerjaan sektor formal.

Berdasarkan empat variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam model, terdapat satu variabel yang dikeluarkan dari model, yaitu variabel Marriage. Nilai signifikansi Wald Test untuk variabel Marriage yang lebih besar dari berakibat pada dikeluarkannya variabel tersebut dari model. Ternyata, kebutuhan ekonomi mereka yang telah menikah tidak mempengaruhi keputusan pekerja untuk bekerja di sektor informal atau formal. Secara keseluruhan, model regresi logistik dapat dituliskan dalam bentuk persamaan (2).

…….(2)

SIMPULAN

Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari penulisan kajian ini antara lain: sebagian besar pekerja di Kabupaten Badung sudah bekerja di sektor formal. Keberhasilan transformasi pekerja ke sektor formal di Kabupaten Badung dalam beberapa tahun terakhir ditunjukkan dengan penurunan jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal. Namun demikian, tingginya mobilitas pekerja dari sektor formal ke sektor informal sedikit menghambat proses transformasi tersebut.

Berlawanan dengan hasil studi yang dilakukan Urdinola dan Tanabe (2012) di Timur Tengah dan Afrika Utara, data Sakernas Agustus 2014 menunjukkan bahwa di Kabupaten Badung terdapat hubungan searah antara usia pekerja dengan keputusannya untuk bekerja di sektor informal. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh kemampuan sektor formal untuk dapat langsung menyerap pekerja new entrance yang notabeneadalah pekerja muda.

Berbeda dengan Baltagi, Baskaya dan Hulagu (2012) yang menyatakan bahwa status perkawinan memiliki andil dalam jenis pekerjaan yang digeluti pekerja, analisis regresi logistik tenaga kerja di Kabupaten Badung tidak menemukan hubungan antara status perkawinan dengan jenis pekerjaannya. Kebutuhan ekonomi antara pekerja yang berstatus menikah dan tidak menikah memberikan pengaruh yang tidak berbeda bagi pekerja untuk bekerja di sektor formal atau informal.

SARAN

Beberapa saran yang bisa dirumuskan berdasarkan hasil penelitian antara lain: perbaikan upah, dan jenjang karir pekerja seiring dengan bertambahnya masa kerja pada sektor formal diharapkan dapat menekan mobilitas pekerja dari sektor formal ke sektor informal. Dalam rangka menyukseskan transformasi pekerja ke sektor formal, kualitas pekerja melalui peningkatan pendidikan perlu lebih digalakkan. Pembekalan pengetahuan dan keterampilan oleh Disnakertrans Kabupaten Badung diharapkan mendorong transformasi pekerja ke sektor formal di Kabupaten Badung dan pada akhirnya dapat memperbaiki kondisi kerja pekerja. Peningkatan perlindungan kerja, produktivitas dan upah pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja.

REFERENSI

Baltagi, Badi. Baskaya, Yusuf. dan Hulagu, Timur. 2012. How Different Are the Wage Curves for Formal and Informal Workers? Evidence from Turkey. Discussion Paper Series IZA DP No. 6836.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2014. Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia, Agustus 2014.Jakarta: BPS Republik Indonesia.

___________. 2014. Statistik Ketenagakerjaan Provinsi Bali 2013. Bali: BPS Provinsi Bali.

Burns, Robert. dan Burns, Richard. 2008. Business Research Methods and Statistics Using SPSS. London: SAGE Publications Ltd.

Dogrul, Gunsel. 2012. Determinants of Formal and Informal Sector Employment in The Urban Areas of Turkey. International Journal of Social Sciences and Humanuty Studies Vol 4, No 2, 2012 ISSN: 1309-8063 (online).

Hasbullah, Jousairi. 2012. Tangguh dengan Statistik. Bandung: Nuansa Cendikia.

Hosmer, D.W. dan S. Lemeshow, 2000. Applied Logistic Regression. Second Edition. New York: John Willey & Sons.

ILO (International Labour Organization). 2015. Indonesia: Tren Sosial dan Ketenagakerjaan Agustus 2014. Asian Decent Work Decade 2006-2015.

Ghai, Dharam. 2003. Decent Work: Concept and Indicators. International Labour Review, Vol. 142 (2003), No. 2.

Page 40: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

36

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pekerja Sektor Formal/ Informal. diambil dari: http://kemenpppa.go.id/phocadownload/Pekerja%20Sektor%20 Formal.pdf. diakses tanggal: 4 September 2015.

Meydianawathi, Luh Gede. 2011. Kajian Aktivitas Ekonomi Buruh Angkut Perempuan di Pasar Badung. Piramida Vol 7, No. 1 Juli 2011.

Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Richardson, H. 1984. The Role of The Urban Informal Sector: An Overview, di dalam Regional Development Dialogue, Vol.5, No. 2.

Setianto, Yudi, Anton, dkk. 2008. Panduan Lengkap Mengurus Perijinan & Dokumen. Jakarta: Mediakita Praninta Offset.

Singarimbun, Masri. dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Urdinola, Diego. dan Tanabe Kimie. 2012. Micro-Determinants of Informal Employment in The Middle East and North Africa Region. SP Discussion Paper No. 1201.

Page 41: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

37

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 [Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama]

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008­2013

Ida Bagus Putu Wiwekananda*)

I Made Suyana UtamaJurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRAK

Dampak pembangunan suatu daerah seperti perubahan sektor-sektor yang meningkat atau menurun merupakan pengetahuan yang penting dalam pembangunan suatu daerah. Tingkat perubahan struktural dan sektoral yang tinggi berkaitan dengan proses pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Buleleng. Alat analisis yang digunakan adalah LQ beserta shift share, dan DLQ. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang di peroleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil perhitungan LQ ada empat sektor yang merupakan sektor basis yaitu, sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan jasa-jasa. Hasil analisis shift share penyerapan tenaga kerja menunjukan bahwa sektor jasa-jasa paling banyak menyerap tenaga kerja diikuti oleh sektor konstruksi, sektor PHR, sedangkan sektor pertanian menunjukan adanya penurunan penyerapan tenaga kerja. Hasil analisis shift share untuk kontribusi PDRB jumlah analisis shift share sektor PHR memberikan kontribusi terbesar di Kabupaten Buleleng diikuti dengan sektor jasa-jasa dan diikuti dengan sektor pertanian.

Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, transformasi struktur ekonomi, sektor unggulan LQ, DLQ, Shift Share

Transformation of Economic Structure and Competitive Sector in Buleleng Regency Period 2008­2013

ABSTRACT

The impact of development of a region, such as the changes in what sectors increases or decreases, the knowledge of which is important in the development of a region. High structural change and sectoral levels, are related to the process of economic growth. This study aims to analyze the economic structure and economic growth in Buleleng. The analytical tool used is LQ along with the shift share, and DLQ. This study used secondary data obtained from the Central Statistics Agency (BPS). Results of LQ are four sectors that constitute the base sectors namely, agriculture, mining and quarrying, manufacturing, and services. Shift share analysis results of employment shows that the services sector absorbs the most labor followed by the construction sector, PHR sector, while the agricultural sector showed a decrease in employment. Shift share analysis results for the GDP contribution of the sector number shift share analysis PHR gives the largest contribution in Buleleng followed by the services sector, followed by agriculture sector.

Keywords : economic growth , structural transformation of the economy , leading sectors LQ , DLQ, Shift Share.

JEKT ❖ 9 [1] : 37 - 45 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai serangkaian usaha dalam perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonomi sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan yang tinggi dan teknologi yang berkembang pesat. Implikasi dari perkembangan ekonomi ini diharapkan nantinya mampu menambah kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan kemakmuran masyarakat menjadi semakin tinggi (Sukirno, 2010:3).

Pembangunan ekonomi daerah pada hakekatnya

Page 42: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

38

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

merupakan bentuk realisasi pembangunan pembangunan nasional di suatu daerah yang disesuaikan dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM), sosial, tingkat ekonomi dan peraturan yang berlaku (purnomo & istiqomah, 2008: 137). Menurut (Radianto dalam Nugraha, 2007: 4), pembangunan ekonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur yang terjadi dapat berupa peralihan dari perekonomian ke non-pertanian, industri ke jasa, perubahan dalam unit-unit produktif, serta perubahan status kerja buruh.

Menurut (Arsyad, 1999: 47-54), Rostow dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth, proses pembangunan ekonomi dibedakan ke dalam lima tahapan yaitu: masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take off), tinggal landas (take off), menuju kedewasaan (the drive maturity) dan masa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption).

Dalam tingkat nasional, pertumbuhan ekonomi secara nasional ditunjukan oleh adanya perubahan pada Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan secara regional dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Adanya pertumbuhan ekonomi yang secara terus menerus akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada struktur perekonomian (Kusreni, 2009). Menurut Jhingan (2002) transformasi

struktur ekonomi merupakan adanya peralihan dari masyarakat tradisional (pertanian) menuju ke arah masyarakat modern (industri).

Untuk mengetahui gambaran perkembangan kemakmuran suatu masyarakat perlu dihitung pendapatan dengan harga tetap. Masyarakat dipandang mengalami pertambahan dalam kemakmuran apabila pendapatan per kapita menurut harga tetap atau pendapatan per kapita riil terus menerus mengalami pertambahan dari tahun ke tahun (Sukirno, 2011:424-425).

Transformasi struktur yang dikemukakan Jhingan (2002) akan menyebabkan kesempatan kerja yang semakin bertambah dan produktivitas buruh, stok modal, penggunaan sumber-sumber baru serta perbaikan teknologi akan semakin tinggi, oleh karena itu, dengan adanya transformasi struktur ke arah industri diharapkan mampu untuk menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Sukirno (2010: 143) menjelaskan bahwa, berdasarkan lapangan usaha maka sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian Indonesia dibedakan dalam tiga kelompok utama yaitu, sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier.

Menurut Kuznet (dalam Jhingan, 1992: 420), perubahan struktur ekonomi atau disebut juga tranformasi struktural sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan satu sama lainnya dalam komposisi dari permintaan agregat, perdagangan luar negri (ekspor dan impor),

Gambar 1. Grafik Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Buleleng atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2013 (%)

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2014 (data diolah)

Page 43: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

39

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 [Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama]

penawaran agregat (produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi, seperti penggunaan tanaga kerja dan modal) yang disebabkan dengan adanya proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Perekonomian pada suatu daerah dalam jangka panjang akan mengalami perubahan struktur perekonomian yang semula mengandalkan sektor pertanian akan menuju sektor industri atau jasa.

Pada Grafik 1 dapat dilihat bahwa pada periode 2008-2013 kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran pada periode yang sama mengalami peningkatan diikuti oleh sektor jasa-jasa dan sektor-sektor yang lain masih konstan. Bisa dikatakan pada kabupaten buleleng pada periode 2008-2013 sedang mengalami proses transformasi struktur perokonomian dari sektor primer menuju sektor tertier. Menurut Sukirno (2010: 126) dalam perkembangan ekonomi sedikit demi sedikit akan mengurangi peran dari sektor pertanian. Pada perekonomian modern seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, pertanian memegang peran yang sangat kecil dalam produksi nasional. Sejalan dengan berlakunya kemerosotan pada sektor pertanian maka peran sektor pertanian dalam menyediakan pekerjaan juga akan merosot.

Sepanjang proses pembangunan ekonomi sektor pertanian mengalami transformasi internal disektor pertanian maupun transformasi eksternal yang

hubungannya dengan sektor-sektor perekonomian lain. Transformasi eksternal adalah semakin menurunnya peran pertanian dalam sumbangannya dalam PDB maupun daya serapnya terhadap tenaga kerja (Hakim, 2002: 283). Menurut Todaro (dalam Hasani, 2010), pada dasarnya pembangunan ekonomi memiliki empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.

Tingkat perubahan struktural dan sektoral yang tinggi, berkaitan dengan proses pertumbuhan ekonomi. Beberapa komponen utama perubahan struktural tersebut mencakup “pergeseran” yang berangsur-angsur dari aktifitas pertanian ke sektor non petanian dan dari sektor industri ke jasa. Dampak pembangunan suatu daerah, seperti mengenai perubahan sektor-sektor apa yang meningkat atau menurun, merupakan pengetahuan yang penting dalam pembangunan suatu daerah (Todaro, 2008: 68).

Pada Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa penggunaan tenaga kerja di Kabupaten Buleleng masih belum maksimal. Tenaga kerja di sektor pertanian masih mendominasi dibandingkan tenaga kerja pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) serta pada sektor jasa-jasa. Padahal sumbangan sektor PHR dan sektor jasa-jasa pada PDRB Kabupaten Buleleng periode 2008-2013 lebih tinggi dari sektor

Gambar 2. Grafik Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng 2014 (data diolah)

Page 44: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

40

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

pertanian. Jika transformasi kurang seimbang maka dikhawatirkan akan terjadi proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer. Menurut Tambunan (2001), Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan tenaga kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus). Ketimpangan yang terjadi dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: (i) Untuk menganalisis struktur ekonomi kabupaten Buleleng berdasarkan pendekatan shift share dilihat dari penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap PDRB kabupaten Buleleng Periode 2008-2013.; (ii) Untuk mengetahui sektor basis Kabupaten Buleleng periode 2008-2013.; (iii) Untuk mengetahui perubahan sektor unggulan di masa akan datang.

DATA DAN METODOLOGI

Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Kabupaten Buleleng salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Bali. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder adalah data telah diolah yang diberikan kepada pengumpul data misalnya lewat dokumen (Sugiyono, 2013:193). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini di dapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Obyek dalam penelitian ini berfokus kepada pergeseran pangsa sektor perekonomian dilihat dari PDRB dan pergeseran terhadap penyerapan tenaga kerja yang terjadi pada Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013.

Identifikasi Sektor Unggulan (LQ)Identifikasi sektor unggulan di Kabupaten Buleleng

ini menggunakan teknik analisis Locattion Questient (LQ) Rumus LQ yang di gunakan rumus Persamaan (1) berikut.

...................................(1)

Dimana LQ adalah Indeks Locattion Quetient, Si adalah PDRB sektor i Kabupaten Buleleng, S adalah PDRB total Kabupaten Buleleng, Ni adalah PDRB sektor i Provinsi Bali, dan N adalah PDRB total Provinsi Bali. Berdasarkan rumus Persamaan (1) di dapatkan kriteria LQ sebagai berikut: pertama, bila LQ ≥ 1 maka sektor usaha dikategorikan sebagai sektor basis. Dengan kata lain produksi dari sector I di Kabupaten Buleleng dapat memenuhi kebutuhan di daerahnya sendiri maupun di ekspor keluar daerah;

dan kedua, bila LQ lebih kecil dari 1 maka sektor usaha akan dikategorikan sebagai sektor non basis. Dengan kata lain sektor i di Kabupaten Buleleng masih belum mampu memenuhi daerahnya sendiri sehingga diperlukan import dari daerah luar.

Analisis Indentifikasi Peran Sektor Usaha Di Masa Mendatang (DLQ)

Peranan sektor usaha di masa datang akan dapat di analisis menggunakan metode Dinamic Locattion Quetient (DLQ). Dengan rumus seperti Persamaan (2) berikut.

..................................(2)

Dimana, DLQ adalah Indeks Dinamic Locattion Quetient, g ik adalah laju pertumbuhan sektor i di regional (Kabupaten Buleleng), g k adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB sektor di regional (Kabupaten Buleleng), Gi adalah laju pertumbuhan sektor i di nasional (Provinsi Bali), G adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB sektor di nasional (Provinsi Bali), dan t adalah jumlah tahun yang akan di analisis. Berdasarkan rumus Persamaan (2) rumus di atas didapatkan kriteria sebagai berikut: pertama, apabila nilai DLQ = 1 berarti laju pertumbuhan sektor i terhadap laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Buleleng sebanding dengan lajur pertumbuhan sektor tersebut pada Provinsi Bali; kedua, apabila nilai Jika DLQ < 1 maka proporsi pertumbuhan sektor i terhadap laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Buleleng lebih rendah debandingkan laju pertumbuhan sektor tersebut pada Provinsi Bali; dan ketiga, apabila DLQ > 1 maka pertumbuhan sektor i terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Buleleng lebih cepat dibandingkan laju pada Provinsi Bali.

Analisis Shift ShareAnalisis Shift Share merupakan analisis

yang bertujuan untuk menentukan kinerja dari produktivitas perekonomian daerah dengan membandingkan dengan daerah yang lebih luas (kabupaten atau provinsi). Teknik analisis ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu variabel wilayah, seperti tenaga kerja, nilai tambah, pendapatan atau output, selama beberapa kurun waktu tertentu akan menjadi pengaruh-pengaruh : pertumbuhan nasional (N). Industri mis/bauran industri (M), dan keunggulan kompetitif (C) (Arsyad, 2010 : 389).

Page 45: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

41

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 [Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama]

Tabel 1. Hasil Perhitungan Analisis Location Quetion (LQ) periode 2008-2013.

No Lapangan Usaha 2008 2009 2010 2011 2012 2013 rata-rata1 Pertanian 1,26 1,22 1,23 1,24 1,23 1,23 1,232 Pertambagan & Penggalian 1,15 1,14 0,99 0,98 0,90 0,87 1,013 Industri Pengolahan 1,02 1,03 1,04 1,04 1,02 0,99 1,024 Listrik, Gas & Air Bersih 0,59 0,62 0,64 0,66 0,66 0,67 0,645 Konstruksi 0,65 0,70 0,69 0,69 0,63 0,63 0,666 Perdagangan, Hotel & Restoran 0,87 0,87 0,88 0,89 0,94 0,97 0,907 Pengangkutan & Komunikasi 0,33 0,33 0,33 0,33 0,32 0,32 0,328 Keu. Real Estat, & Jasa Perusahaan 0,61 0,62 0,60 0,59 0,56 0,54 0,599 Jasa-Jasa 1,80 1,82 1,79 1,75 1,73 1,67 1,76

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2014 (data diolah)

Menurut Soepomo (1993) bentuk umum persamaan dari analisis shift share dan komponen-komponennya adalah seperti Persamaan (3) berikut.

Dij = Nij + Mij + Cij ....................................(3)

Dengan, i adalah sektor-sektor ekonomi yang diteliti, j adalah variabel wilayah yang diteliti Kabupaten Buleleng, n adalah variabel wilayah Provinsi Bali, Dij adalah perubahan sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng), Nij adalah pertumbuhan nasional sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng), Mij adalah bauran industri sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng), dan Cij adalah keunggulan kompetitif sektor i di daerah j (Kabupaten Buleleng).

Dalam penelitain ini variabel yang akan digunakan adalah Tenaga Kerja dan PDRB yang yang dinotasikan sebagai (y), maka :

D ij = y* ij – y ij ..................................... (4)

N ij = y ij . r n ..................................... (5)

M ij = y ij (r in – r n) .................................(6)

C ij = y ij (r ij – r in) ..................................(7)

Keterangan :Yij = Tenaga kerja/PDRB sektor i di daerah j awal tahun

analisis (Kabupaten Bueleleng)y*ij = Tenaga Kerja/PDRB sektor i di daerah j akhir tahun

analisis (Kabupaten Buleleng)rij = Laju petumbuhan sektor i di daerah j (Kabupaten

Buleleng)rin = Laju pertumbuhan sektor i di daerah n (Provinsi Bali)rn = Rata-rata laju pertumbuhan Tenaga Kerja/PDRB di

daerah n (Provinsi Bali)

........................................(8)

..................................... (9)

................................... (10)

Keterangan :yin = Tenaga kerja/PDRB sektor i di daerah n awal tahun

analisis (Provinsi Bali)y*in = Tenaga kerja/PDRB sektor i di daerah n akhir tahun

analisis (Provinsi Bali)yn = Total tenaga kerja/PDRB semua sektor di daerah n

(Provinsi Bali) awal tahun analisisy*n = Total tenaga kerja/PDRB semua sektor di daearh n

(Provinsi Bali) akhir tahun analisis

Untuk suatu daerah, pertumbuhan nasional ataupun regional, bauran industri dan keunggulan kompetitif dapat dijumlahkan untuk semua sektor sebagai keseluruhan daerah, sehingga persamaan shift share yang di dapat untuk sektor I di wilayah j (Kabupaten Buleleng) sebagai berikut :

D ij = y ij . r n + y ij (r in – r n) + y ij (r ij – r in) .....(11)

Untuk menentukan kuat atau lemah suatu sektor dalam menunjang perekonomian nasional, Enders (dalam Suyana dkk, 1992) mengklasifikasi sebagai berikut:

1) Komponen industry mix dan pangsa daerah keduanya positif maka disebut sektor sangat kuat.

2) Komponen industry mix positif melebihi negatif pangsa daerah disebut sektor kuat.

3) Komponen pangsa daerah positif melebihi negatif industry mix disebut sektor agak kuat.

4) Komponen industry mix negatif melebihi positif pangsa daerah disebut sektor agak lemah.

5) Komponen pangsa daerah negatif melebihi positif industry mix disebut sektor lemah.

6) Komponen industry mix dan pangsa daerah negatif maka disebut sektor sangat lemah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Buleleng merupakan salah satu kabu-paten yang terletak di sebelah utara Provinsi Bali dan memanjang dari barat ke timur. Kabupaten Buleleng merupakan daerah berbukit yang membentang di ba-

Page 46: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

42

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

gian selatan, sedangkan di bagian utara merupakan dataran rendah. Pada Kabupaten Buleleng juga ter-dapat gunung berapi dan tidak berapi. Kabupaten Buleleng memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angi musim yang berganti setiap enam bulan.

Analisis Hasil Location Quotient (LQ)Dengan analisis LQ memungkinkan untuk

mengetahui sektor basis pada Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Buleleng. Melalui analisis LQ didapatkan hasil perhitungan seperti dijabarkan pada Tabel 1.

Ada empat sektor yang merupakan sektor basis yaitu sektor pertanian (1,23), sektor pertambangan dan penggalian (1,01), industri pengolahan (1,02), dan jasa-jasa (1,76). LQ lebih dari satu artinya empat sektor ini menjadi sektor basis yang memiliki keunggulan komparatif. Hasil dari sektor ini tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri tetapi juga dapat di ekspor ke luar wilayah.

Ada lima sektor lain yang merupakan sektor non basis yaitu sektor listrik, gas & air bersih (0,64), kontruksi (0,66), perdagangan, hotel dan restauran (0,90), pengangkutan dan komunikasi (0,32) dan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan (0,59). LQ kurang dari satu artinya kelima sektor ini menjadi sektor non basis. Hasil dari komoditas sektor ini berlum dapat memenuhi kebutuhan di daerah sendiri hingga perlu pasokan atau impor dari daerah lain.

Analisis Hasil Dinamic Location Quetion (DLQ)

Prinsip dari DLQ masih sama dengan LQ. Hanya saja untuk mengintroduksikan laju dari pertumbuhan digunakan untuk asumsi bahwa nilai

tambah sektoral maupun PDRB mempunyai rata-rata laju pertumbuhan sendiri selama kurun waktu antar tahun (0) dan tahun (t). Hasil perhitungan DL diuraikan pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil DLQ (Tabel 2) didapatkan Sektor Pertambangan & Penggalian (1,28) dengan nilai DLQ > 1 berarti pertumbuhan sektor ini memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor yang sama pada Provinsi Bali.

Ada enam sektor yang memiliki laju pertumbuhan sama dengan laju pertumbuhan di Provinsi Bali, yaitu sektor pertanian (1,00), industri pengolahan (1,02), konstruksi (1,05), pengangkutan dan komunikasi (1,03), keuangan real estat & jasa perusahaan (1,08), dan sektor jasa-jasa (1,02).

Ada dua sektor yang memiliki laju pertumbuhan lebih lambat dari laju pertumbuhan di Provinsi Bali, yaitu sektor listrik, gas & air bersih (0,88) beserta sektor perdagangan, hotel & restoran (0,92).

Analisis Hasil Perhitungan Shift ShareAnalisis Shift Share merupakan analisis

yang bertujuan untuk menentukan kinerja dari produktivitas perekonomian daerah dengan membandingkan dengan daerah yang lebih luas (kabupaten atau provinsi). Teknik analisis ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu variabel wilayah, seperti tenaga kerja, nilai tambah, pendapatan atau output, selama beberapa kurun waktu tertentu akan menjadi pengaruh-pengaruh : pertumbuhan nasional (N). Industri mis/bauran industri (M), dan keunggulan kompetitif (C) (Arsyad, 2010: 389).

Berdasarkan hasil perhitungan shift share tenaga kerja (Tabel 3) didapat bahwa sektor pertanian dari periode 2008-2013 terus mengalami kemerosotan tenaga kerja sebanyak -63.690 orang tenaga kerja

Tabel 2. Hasil Perhitungan Dinamic Location Quetion (DLQ) periode 2008- 2013

Lapangan Usaha 2008 2009 2010 2011 2012 2013 rata-rata1 Pertanian 1,01 0,98 1,01 1,01 0,99 1,01 1,002 Pertambangan & Penggalian 1,31 1,34 1,17 1,32 1,24 1,31 1,283 Industri Pengolahan 1,03 1,04 1,03 1,02 1,00 0,99 1,024 Listrik, Gas & Air Bersih 0,88 0,91 0,88 0,88 0,87 0,87 0,885 Konstruksi 1,03 1,14 1,05 1,05 0,96 1,07 1,056 Perdagangan, Hotel & Restoran 0,88 0,92 0,92 0,92 0,95 0,95 0,927 Pengangkutan & Komunikasi 1,02 1,05 1,04 1,04 1,02 1,04 1,038 Keu. Real Estat, & Jasa Perusahaan 1,13 1,12 1,07 1,07 1,05 1,06 1,089 Jasa-jasa 1,07 1,05 1,01 1,00 1,02 0,99 1,02

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2014 (data diolah)

Page 47: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

43

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 [Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama]

Tabel 3. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013

No Lapangan Usaha Nij Mij Cij DIJ KategoriEnders

1 Pertanian -3.637 -37.734 -22.319 -63.690 62 Pertambangan & Penggalian -17 -181 965 768 33 Industri Pengolahan -546 -21.410 28.640 6.684 34 Listrik, Gas & Air Bersih -20 185 -683 -518 55 Konstruksi -533 12.901 3.165 15.533 16 Perdagangan, Hotel & Restoran -1.803 26.946 -11.572 13.571 27 Pengangakutan & Komunikasi -227 -2.016 -546 -2.790 68 Keu. Real Estat, & Jasa Perusahaan -87 4.291 3.278 7.482 19 Jasa-Jasa -827 18.806 1.257 19.235 1

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng (data diolah).

dengan kategori Enders 6 yang berarti sektor pertanian termasuk kategori yang sangat lemah dalam menyerap tenaga kerja. Sektor konstruksi, keu. Real estat, & jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa berdasarkan kategori Enders mendapat kategori 1 yang berarti ketiga sektor ini merupakan sektor yang sangat kuat dalam menyerap tenaga kerja di Kabupaten Buleleng dengan jumlah masing-masing 15.533 orang tenaga kerja, 7.428 orang tenaga kerja dan 19.235 orang tenaga kerja. Sektor perdagangan, hotel & restoran berdasarkan kategori Enders mendapatkan skor 2 yang merupakan sektor kuat dalam menyerap tenaga kerja dengan jumlah 13.571 orang tenaga kerja.

Sektor pertanian berdasarkan hasil olahan shift share PDRB (Tabel 4) masih memberikan kontribusi yang positif terhadap PDRB di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 sebesar 108.814 juta rupiah dan berdasarkan kategori Enders sektor pertanian mendapat skor 6 merupakan sektor yang sangat lemah dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB. Sektor LGA dan sektor PHR berdasarkan kategori Enders mendapatkan skor 1 yang berarti sektor yang sangat kuat dalam memberikan kontribusi terhadap

Tabel 4. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share PDRB di Kabupaten Buleleng periode 2008-2013 (juta rupiah)

No Lapangan Usaha Nij Mij Cij DIJ KategoriEnders

1 Pertanian 274.075 -152.348 -12.913 108.814 62 Pertambangan & Penggalian 7.041 8.343 -8.463 6.921 53 Industri Pengolahan 109.110 -11.831 -10.914 86.364 64 Listrik, Gas & Air Bersih 9.459 2.203 5.373 17.035 15 Konstruksi 27.986 10.649 -2.348 36.287 26 Perdagangan, Hotel & Restoran 288.393 24.931 150.004 463.328 17 Pengangkutan & Komunikasi 38.264 44 -2.728 35.581 58 Keu. Real Estat, & Jasa Perusahaan 46.203 4.352 -20.578 29.977 59 Jasa-jasa 254.256 124.493 -71.351 307.398 2

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2014 (data diolah)

PDRB dengan jumlah masing-masing 17.035 juta rupiah dan 463.238 juta rupiah. Sektor jasa-jasa berdasarkan kategori Enders mendapatkan skor 2 yang berarti sektor ini termasuk sektor yang kuat dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB di Kabupaten Buleleng dengan jumlah 307.398 juta rupiah.

Dalam penelitian Prambudi (2008) dengan judul pergeseran struktur perekonomian atas dasar penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah menyatakan telah terjadi pergeseran struktur dari sektor pertanian (tradisional) ke sektor industri (modern). Penelitian yang dilakukan oleh Yudha Prawira dan Wahyu Hamadi dengan judul transformasi ekonomi Kabupaten Siak tahun 2001-2010 menyatakan bahwa struktur ekonomi di Kabupaten Siak telah bergeser dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan tersier. Pada Kabupaten Buleleng periode 2008-2013 telah mengalami pergeseran dari sektor primer menuju ke sektor tersier dilihat dari kontribusi PDRB dan penyerapan tenaga kerja yang ikut mengalami pergeseran. Pergeseran struktur yang terjadi pada setiap daerah menunjukan adanya perbedaan yang terjadi pada masing-masing sektor.

Page 48: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

44

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis DLQ di dapatkan ada satu sektor yang memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan yang sama pada Provinsi Bali yaitu sektor Pertambangan & penggalian. Pertumbuhan sektor ini lebih cepat dari pertumbuhan sektor yang sama pada Provinsi Bali maka bisa dikatakan sektor ini menjadi sektor basis di masa akan datang.

Hasil analisis LQ di dapatkan ada empat sektor yang merupakan sektor basis yaitu: (i) Sektor jasa-jasa, (ii) Sektor pertanian, (iii) Sektor industri pengolahan dan, (iv) Sektor pertambangan dan penggalian.

Berdasarkan hasil analisis shift share dan kategori Enders di dapatkan sektor konstruksi, keu. Real estat, & jasa perusahaan beserta sektor jasa-jasa yang merupakan sektor yang sangat kuat dalam menyerap tenaga kerja dengan jumlah masing-masing menyerap tenaga kerja sebanyak 15.533 orang tenaga kerja, 7.482 orang tenaga kerja dan 307.398 orang tenaga kerja. Sektor pertanian pada periode 2008-2013 terus mengalami penurunan dalam menyerap tenaga kerja sebanyak -63.690 orang tenaga kerja dan mendapat skor 6 dalam kategori Enders menjadikan sektor pertanian sangat lemah dalam menyerap tenaga kerja di Kabupaten Buleleng. Sektor yang sangat kuat dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB dengan kategori Enders 1 yaitu sektor LGA dan PHR yang berarti sektor ini merupakan sektor yang sangat kuat dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB di Kabupaten Buleleng periode 2008-2013 dengan nilai masing-masing 17.035 juta rupiah dan 463.328 juta rupiah.

Dalam periode 2008-2013 struktur ekonomi di Kabupaten Buleleng mengalami pergeseran dari struktur ekonomi primer menuju ke sektor tersier yang diikuti dengan pergeseran penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap PDRB yang terjadi dari sektor primer ke sekor tersier.

SARAN

Perubahan struktur perekonomian dari pereko-nomian tradisional ke perekonomian modern me-nyebabkan terjadinya pergeseran tenaga kerja dan kontribusi PDRB di Kabupaten Buleleng sehingga diharapkan pemerintah daerah agar lebih cermat dalam mengambil kebijakan dengan melihat trnas-formasi yang terjadi. Seperti memanfaatkan sektor yang potensial/ unggulan di Kabupaten Buleleng yai-tu sektor PHR dan jasa-jasa yang bisa memberikan

penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB dibandingkan den-gan sektor lainnya.

Pembangunan ekonomi di Kabupaten Buleleng harus lebih memperhatikan pergeseran struktur ekonomi yang terjadi seperti sektor pertanian yang mulai mengalami penurunan tenaga kerja dan kontribusinya terhadap PDRB. Penurunan yang terjadi ini di akibatkan oleh transformasi yang terjadi di Kabupaten Buleleng dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Sektor pertanian ini harus mendapatkan perhatian khusus dan harus tetap dipertahankan.

Pemerintah daerah Kabupaten Buleleng juga bisa memperhatikan pada sektor sekunder (industri). Diharapkan sektor ini bisa mendongkrak hasil output dari sektor pertanian. Dengan adanya industri yang kuat memiliki kuantitas dan kualitas yang bisa memenuhi permintaan pangsa pasar di sektor PHR dan juga pangsa ekspor maka diharapkan mampu membantu sektor pertanian dalam pembangunannya, mengingat sudah cukup banyak alih fungsi lahan yang terjadi pada sektor pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, restoran, dan lainnya.

REFERENSI

Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi daerah. BPFE. Yogyakarta.

-----------. 2010. Ekonomi Pembangunan. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

BPS Provinsi Bali. 2014. Bali Dalam Angka. Denpasar -----------. 2014. Buleleng Dalam Angka. DenpasarHakim, Abdul. 2002. Ekonomi Pembangunan. Ekonisia.

Yogyakarta.Hasani, Akrom. 2010. “Analisis Struktur Perekonomian

Berdasarkan Pendekatan Shift Share Di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun 2003 – 2008”. Skripsi. FE. Diponogoro

Jhingan, M.L. 1992 Ekonomi Pembangunan dan perencanaan, Terjemahan D. Guritno. Rajawali, Jakarta.

----------. 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan kesembilan. Diterjemahkan oleh D. Guritno. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta

Nugraha, R. Aga. 2007. Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Di Provinsi Bali Pasca Tragedi Bom. Dalam Kajian Ekonomi Kantor Bank Indonesia. Denpasar.

Prambudi, Andi. 2008. Pergeseran Struktur Perekonomian Atas Dasar Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal. Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponogoro

Prawira, Yudha dan Wahyu Hamidi. 2013. Transformasi Struktur Ekonomi Kabupaten Siak Tahun 2001-2010. Jurnal. Fakultas Ekonomi Universitas Riau. Vol.21. no.1

Purnomo, Didit dan Devi Istiqomah. 2008. Analisis Peranan Sektor Industri Terhadap Perekonomian Jawa Tengah Tahun 2000 dan Tahun 2004 (Analisis Input Output). Jurnal Ekonomi Pembangunan, 9(2): h:137-155.

Soepomo, Prasetyo. 1993. Analisis Shift-share, Perkembangan

Page 49: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

45

Transformasi Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kabupaten Buleleng Periode 2008-2013 [Ida Bagus Putu Wiwekananda dan I Made Suyana Utama]

dan Penerapan, Jurnal. Ekonomi dan Bisnis Indonesia.Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Alfabeta. BandungSukirno, Sadono. 2010. Ekonomi Pembangunan Proses,

Masalah, dan Dasar Kebijakan. Kencana. Jakarta.---------. 2011. Makroekonomi Teori Pengantar. Rajawali

Pers. JakartaSuyana Utama, Made, I Gusti Ayu Rai, dan Ida Bagus Darsana.

1992. Kajian Mengenai Pertumbuhan dan Pergeseran Kontribusi Produk Domestik Bruto Sektoral di Propinsi Bali. Laporan Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2008. Pembangunan Ekonomi Jilid 1 Edisi Kesembilan. Erlangga. Jakarta

Tulus T. H. Tambunan, 2001, Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Page 50: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

46

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Penggunaan Jasa Pengolahan Sampah

Zulfa Emalia*) Dewi Huntari

Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah faktor seperti jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan jumlah frekuensi pengangkutan berpengaruh terhadap kesediaan membayar (Willingness to Pay/WTP) oleh responden pengguna jasa pengolahan sampah. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat berapa besar nilai WTP yang bersedia dibayarkan oleh responden dan berapa besar tingkat kepatuhan responden dalam menggunakan jasa pengolahan sampah di Kelurahan Rajabasa Raya. Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari penyebaran kuisioner. Penelitian ini menggunakan metode Regresi Binary Logistic dengan alat analisis SPSS ver. 15. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor jumlah pendapatan dan tingkat pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap WTP. Sedangkan frekuensi pengangkutan memiliki hubungan positif namun tidak signifikan terhadap WTP. Rata-rata nilai WTP yang bersedia dibayar oleh responden adalah sebesar Rp. 18.200. Berdasarkan jumlah responden yanag bersedia membayar dan tidak bersedia membayar, dapat dilihat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penggunaan jasa pengolahan sampah. Sebesar 73 atau 77,7% responden memiliki tingkat kepatuhan dengan bersedia membayar untuk tetap menggunakan jasa pengolahan sampah. Sisanya yaitu 21 responden atau 22,3% dari total responden memiliki kepatuhan yang rendah.

Kata kunci: pendapatan, tingkat pendidikan, frekuensi pengangkutan, tingkat kepatuhan, willingness to pay, regresi binary logistic

Willingness to Pay of Society toward The Use of Waste Management Services

ABSTRACT

The aims of this study are to analysis factors such as the amount of income, education level, and the number of frequencies transporting effect on willingness to pay (WTP) by the respondent that using waste management services. This study is to see how much the value of WTP who are willing to pay by the respondents and how much the level of compliance of the respondents in using waste management service in Kelurahan Rajabasa Raya. This study uses data derived from questionnaires. This study uses Binary Logistic Regression with analysis tools SPSS ver. 15. The results from this study indicate that income and education levels factors have positive and significant effect to WTP. While the frequency of transporting has a positive but not significant effect to WTP. The average value of WTP that willing to pay by respondents is Rp. 18,200. Based on the respondents who are willing to pay and are not willing to pay, we can see the level of compliance of the public against the use of waste management services. By 73 or 77.7% of respondents have a level of compliance with the willing to pay to continue using the waste management services. The remaining 21 respondents, or 22.3% of total respondents have a low compliance.

Keywords: income, education level, frequency of transportation, level compliance, willingness to pay, binary logistic regression.

PENDAHULUAN

Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang terjadi selama ini erat kaitannya dengan meningkatnya pertumbuhan dan pola penyebaran

penduduk yang kurang seimbang jika dibandingkan dengan penggunaan sumberdaya alam serta daya dukung lingkungan yang tersedia. Selain itu, kerusakan yang terjadi akibat kurang tegasnya pemerintah dalam pembuatan peraturan mengenai penggunaaan sumber daya alam dan lingkungan yang

JEKT ❖ 9 [1] : 46 - 52 ISSN : 2301 - 8968

*). E-mail : [email protected]

Page 51: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

47

Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Penggunaan Jasa Pengolahan Sampah [Zulfa Emalia dan Dewi Huntari]

menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang parah di beberapa daerah (Nugroho, 1999).

Secara umum, masalah lingkungan disebabkan oleh peristiwa alam, pertumbuhan penduduk yang pesat, pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan , industrialisasi, dan transportasi. Selain itu, ada penyebab kerusakan lainnya yaitu sampah (refuse) dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dalam hal ini sampah yang dimaksudkan adalah sampah yang bersifat padat dan merupakan sisa dari konsumsi rumah tangga (Manik, 2003).

Masalah utama di lingkungan pemukimam dan masih belum terpecahkan adalah masalah limbah, baik cair maupun padat (sampah). Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 pasal 4 dan pasal 5, bahwa pengelolan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan. Berdasarkan undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal 11 tentang Pengelolaan Sampah menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau pihak lain yang diberi tanggung jawab.

Pemberian nilai ekonomi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan pun dilakukan untuk melihat sejauh mana kerusakan terjadi. Nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Konsep ini disebut kesediaan untuk membayar atau willingness to pay (WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran kesediaan menerima atau willingness to accept (WTA) yang merupakan jumlah minimum pendapatan seseorang mau menerima penurunan sesuatu (Yunis, 2012).

Pengolahan sampah di Bandar Lampung dilakukan secara bertahap, tidak langsung dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pengolahan dan pengangkutan dilakukan secara terstruktur dan sesuai dengan alur yang ditentukan pemerintah. Pada sampah rumah tangga, sampah-sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga dikumpulkan di belakang atau di depan masing-masing rumah dalam kantong plastik atau karung yang kemudian akan di ambil oleh petugas kebersihan menggunakan grobak sampah atau grobak motor. Kemudian sampah-sampah yang sudah di kumpulkan di

bawa ke Tempah Pembuangan Sementara (TPS) di tiap-tiap wilayah Kelurahan. Setelah sampai di TPS, sampah kemudian dipilah oleh para petugas. Kemudian sampah yang benar-benar tidak terpakai diangkut menuju TPA menggunakan mobil truck sampah. Tempat Pembuangan Akhir di Bandar Lampung terletak di wilayah Teluk Betung yaitu di TPA Bakung.Pengelolaan sampah di pemukiman menjadi tanggung jawab Kelurahan masing-masing daerah melalui Sokli.

Kelurahan Rajabasa Raya merupakan salah satu kelurahan yang dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaan kebersihan dan berjalannya program sokli. Kelurahan Rajabasa Raya juga merupakan Kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Rajabasa (Badan Pusat Statistik, 2014). Mereka mampu membeli alat-alat kebersihan sendiri dengan menggunakan hasil iuran jasa sokli yang dibayarkan oleh pengguna jasa tiap bulannya.

Pengguna jasa sokli di Kelurahan Rajabasa Raya adalah sejumlah 800 Kepala Keluarga, dimana hampir setengah dari jumlah penduduknya menggunakan jasa sokli dalam menjaga kebersihan lingkungan.

Berikut adalah Alur Pengangkutan Sampah di Kelurahan Rajabasa Raya :

TPABakung

TPS Perumahan

Gelora Persada

SampahRumahTangga

Gambar 1. Alur Pengangkutan Sampah di Kelurahan Rajabasa Raya.

Sumber : Sokli Kelurahan Rajabasa Raya, 2014

Untuk itu perlu diketahui seberapa besar kesediaan masyarakat untuk membayar (Willingness to Pay) dalam penggunaan jasa pengolahan sampah (SOKLI) di daerah kecamatan Rajabasa Raya dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh didalamnya. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan tingkat frekuensi pengangkutan terhadap willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap penggunaan jasa pengolahan sampah. Tujuan lain penelitian ini adalah untuk mengetahui besar nilai WTP masyarakat terhadap jasa pengolahan sampah. Selain itu, tujuan akhir penelitian ini adalah untuk mengetahui presentasi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penggunaan jasa pengolahan sampah.

Kesediaan untuk Membayar (Willingness To Pay)Jasa-jasa lingkungan pada dasarnya dinilai

berdasarkan willingness to pay (WTP) dan willingnes

Page 52: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

48

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

to accept (WTA). Willingness to pay dapat diartikan sebagai berapa besar orang mau membayar untuk memperbaiki lingkungan yang rusak (kesediaan konsumen untuk membayar), sedangkan willingness to accept adalah berapa besar orang mau dibayar untuk mencegah kerusakan lingkungan (kesediaan produsen menerima kompensasi) dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan. Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah parameter dalam penilaian ekonomi (Fujita, 2005).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi WTP beragam, dalam penelitian ini dibatasi terdapat tiga faktor yang mempengaruhi WTP diantaranya pendapatan, pendidikan, dan frekuensi penganggkutan sampah. Pendapatan rumah tangga yaitu pendapatan/penghasilan yang diterima oleh rumah tangga baik yang berasal dari kepala keluarga maupun pendapat)an anggota rumah tangga. Pendapatan tumah tangga dapat berasal dari balas jasa tenaga kerja/pekerja (upah dan gaji, serta keuntungan lainnya), balas jasa kapital (bunga, bagi hasil, dan lain-lain), dan pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain (transfer). Faktor lain yang mempengaruhi WTP adalah pendidikan. Pendidikan memiliki fungsi yang luas, salah satunya adalah sebagai pengubah kehidupan suatu masyarakat menjadi lebih baik dan menuntun masyarakat agar mengenal tanggung jawab bersama dalam bermasyarakat. Frekuensi pengangkutan didefinisikan sebagai jumlah perjalanan yang dapat dilakukan dalam periode waktu tertentu. Tingkat atau frekuensi pengangkutan sampah didasarkan oleh jumlah penduduk yang terlayani, luas daerah yang terlayani, dan jumlah sampah yang terangkat ke TPA. Pengangkutan sampah menurut UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah merupakan bagian dari penanganan sampah. Pengangkutan di definisikan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan atau dari tempat penampungan sampah sementara menuju ke tempat pegolahan sampah akhir.

DATA DAN METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk memperoleh informasi tentang pendidikan, pendapatan per bulan, tingkat konsumsi rumah tangga, dan jumlah frekuensi pengangkutan. Data primer diperoleh dengan cara melakukan sebar kuisioner ke calon responden yang tinggal di Kelurahan Rajabasa Raya

pada bulan Mei 2015 yang merupakan pengguna jasa SOKLI. Data sekunder mencakup data mengenai jumlah pengguna sokli dan alat-alat kebersihan yang terdapat di Kelurahan Rajabasa Raya tahun 2014, jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Rajabasa Raya tahun 2014, jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kelurahan Rajabasa Raya tahun 2014. Data-data tersebut di peroleh berdasarkan Profil dan Database Kelurahan Rajabasa Raya tahun 2014.

Populasi pada penelitian adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Rajabasa Raya dengan total populasi 1.678 Kepala Keluarga (KK). Penentuan Kecamatan Rajabasa sebagai sampel dilakukan secara tidak acak (nonprobability sampling) dengan menggunakan teknik purposive sampling. Penentuan besar jumlah sampel digunakan teknik simple random sampling dengan ketentuan semua mendapatkan kesempatan yang sama. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh jumlah sampel sebesar 94 jiwa. Untuk menentukan jumlah sampel digunakan Rumus Slovin : 1N(d)

N n 2 += . Berdasarkan

hasil perhitungan diperoleh ukuran sampel yang akan diteliti adalah sebanyak 94 responden.

Analisis Statistik DeskriptifAnalisis kuantitatif merupakan analisis yang

menggunakan angka-angka dengan perhitungan statistik dan beberapa alat analisis. Analisis ini dilakukan agar dapat mengetahui faktor-faktor mana saja yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar masyarakat terhadap penggunaan jasa pengolahan sampah di Kelurahan Rajabasa Raya. Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis dan skewness (kemencengan distribusi). Statistik deskriptif dalam penelitian pada dasarnya merupakan proses perubahan data penelitian dalam bentuk tabel sehingga mempermudah dalam proses pemahaman (Ghozali, 2007).

Model Regresi Binary LogisticModel Regresi Binary Logistic merupakan model

regresi dengan variabel dependen yang merupakan variabel dummy yang tujuannya untuk memprediksi terjadinya suatu peristiwa atau event. Regresi Logistik biner digunakan ketika hanya ada 2 kemungkinan variabel respon (Y). Analisis regresi logistik digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel respon yang berupa data dikotomik/biner dengan variabel bebas yang berupa data berskala interval dan atau kategorik. Menurut Gujarati (2012), persamaan

Page 53: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

49

Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Penggunaan Jasa Pengolahan Sampah [Zulfa Emalia dan Dewi Huntari]

regresi logistik dituliskan dalam persamaan sebagai

berikut: . Dimana : = Model Logit

dari WTP; Zi

i

i eP1

P=

− = Odds Ratio (Rasio Peluang);

dan I10i XââZ += .

Guna menentukan nilai kesediaan membayar (willingness to pay) dalam penelitian ini mengadopsi cara yang dikemukakan oleh Hanley dan Splash (dalam Indramawan, 2014). Adapun spesifikasi model dalam penelitian ini dijabarkan pada persamaan (1).

εFREQβEDUβINCββWTP 0000 ++++= …....…..(1)

Dimana, WTP = 1 (jika responden bersedia membayar) dan WTP = 0 (jika responden tidak bersedia membayar); β = Parameter; ε = eror term; INC = Pendapatan per Bulan; EDU = Pendidikan; dan FREQ = Frekuensi/ jumlah pengangkutan per hari.

Uji Hipotesis StatistikUji Chi-square. Pengujian pengaruh variable

bebas (INC, EDU, dan FREQ) terhadap variabel terikat (WTP) secara bersama-sama terhadap responden di Kelurahan Rajabasa Raya menggunakan uji Chi-square. Pengujian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95 persen (a = 0,05), dengan derajat kebebasan (df) = k – 1. Perumusan hipotesis: Ho: β1 = 0 variabel bebas (INC, EDU, dan FREQ)

secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat (WTP)

Ha: β1 ≠ 0 variabel bebas (INC, EDU, dan FREQ) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat (WTP).

Uji Wald. Pengujian pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan uji statistik Wald dengan pengujian pada tingkat kepercayaan 95 persen (a = 0,05). Hal ini berarti bahwa hasil penelitian tersebut kebenarannya 95% bisa diyakini (yakin 95%; dekat dengan bisa dipercaya 100%). Selain itu, hal ini menunjukkan sebanyak 0,05 = 5% yang ditanyai dalam penelitian secara kebetulan menjawab benar. Sehingga, jika terdapat 100 orang responden, ada 5 orang (atau 1 orang) yang menjawab benar, tapi hanya secara kebetulan menjawab benar.

Perumusan hipotesis : Ho = bi = 0, Artinya, variabel bebas secara parsial

tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

Ha = bi >0, Artinya, variabel bebas secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

Memperkirakan nilai rata­rata WTPPendugaan besar nilai WTP dalam penelitian

ini mengunakan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi jumlah responden. Dugaan rata-rata WTP dihitung menggunakan rumus

(Indrawan, 2014): nWi

EWTPn

1i∑ == . Dimana EWTP = dugaan nilai rata-rata WTP; Wi = nilai WTP ke-I; n = jumlah responden; dan I = responden ke-I yang bersedia membayar (i = 1, 2, 3, …… ,n).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Tabulasi Silang (Crosstab)Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui

bahwa variabel pendapatan, pendidikan dan tingkat frekuensi memiliki jumlah yang sama terhadap WTP yaitu jumlah responden yang bersedia sebesar 73 responden dan 21 responden yang tidak bersedia.

Penilaian Model Fit (Overall Model Fit)Hasil penilaian model fit dirangkum dalam Tabel

2. Hasil pengolahan data menunujukkan Nilai -2LogL pada step 1 adalah sebesar 25,684 atau lebih kecil dari nilai -2LogL pada tahap awal yaitu sebesar 99,826. Penurunan nilai tersebut dikarenakan di masukkannya variabel bebas ke dalam penghitungan. Adanya penurunan nilai Log Likelihood, menunjukkan bahwa penambahan variabel bebas ke dalam model regresi menjadikan model fit lebih baik. Atau dapat dikatakan penambahan variabel bebas membuat model yang dihipotesiskan fit dengan data.

Menilai Kelayakan ModelHasil dari Hosmer and Lemeshow Goodness-of-

Fit Test pada Tabel 3 menunjukkan nilai signifikan

Tabel 1. Hasil WTP Menurut Variable Penelitian (Crosstab)

KeteranganWTP

Bersedia Tidak Bersedia

WTP * Pendapatan 73 21WTP * Pendidikan 73 21WTP * Frekuensi Pengangkutan 73 21Sumber : Data diolah, 2015

Tabel 2. Overall Model FitIteration -2 Log likelihood

Step 0 99,862Step 1 25,684

Sumber : Data diolah, 2015

Page 54: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

50

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

sebesar 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa Ho dapat diterima karena nilai signifikan lebih besar dari tingkat signifikan yaitu 5% (α = 0,05). Model dinyatakan fit dan layak untuk digunakan.

Pengujian Regresi Binary LogisticHasil perhitungan binary logistic terhadap variabel-

variabel penelitian ditunjukkan pada Tabel 4. Perhitungan regresi logistik biner, diperoleh

persamaan regresi sebagai berikut:

ii

i ZPPLnWTP =⎥

⎤⎢⎣

−=

1

WTP = Zi

εFREQβEDUβINCββWTP 0000 ++++= Zi = -14,171 + 0,000INC + 2,457EDU + 0,360FREQ +

= -14,171 + (0,000)(8000000) + (2,457)(6) + (0,360)(4) = -14,171 + 0 + 14,742 + 1,44 = 2,011Nilai Probabilitas :

Pi =

=

=

= 0,8819Berdasarkan hasil penghitungan di atas, diketahui

bahwa nilai prediksi probabilitas kepala keluarga yang bersedia membayar adalah sebesar 0,8819. Sedangkan nilai prediksi probabilitas untuk kepala keluarga yang tidak bersedia adalah sebesar 0,1181 (1 – Pi). Hubungan antara masing-masing koefisien regresi dengan probabilitasnya tidak linier, hubungan linier hanya terjadi dengan log odd ratio-nya (logit).

dengan odds ratio sebesar 1,000. Dapat diartikan bahwa kepala keluarga dengan jumlah pendapatan yang tinggi cenderung akan bersedia membayar sebesar 1 kali lipat dari pada kepala keluarga dengan pendapatan yang rendah. Koefisien pendapatan adalah 0,000, hal ini menunjukkan bahwa variabel pendapatan memiliki pengaruh positif terhadap variabel WTP.

Koefisien EDU = 2,457 dan variabel pendidikan dengan odds ratio 11,669. Dapat dijelaskan kepala keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki kesediaan membayar 11,669 atau 11 kali lebih tinggi dari pada kepala keluarga dengan tingkat pendidikan yang rendah. Koefisien tingkat pendidikan adalah 2,457, artinya tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap variabel kesediaan membayar (WTP).

Koefisien FREQ = 0,360 dan variabel frekuensi pengangkutan dengan odds ratio 1,434. Ini berarti rumah tangga dengan tingkat frekuensi pengangkutan yang tinggi cenderung memiliki kesediaan membayar 1,434 atau 1 kali lebih tinggi dari pada kepala rumah tangga dengan tingkat frekuensi pengangkutan yang rendah. Koefisien frekuensi pengangkutan adalah 0,360 artinya tingkat frekuensi pengangkutan memiliki pengaruh positif terhadap kesediaan membayar (WTP).

Uji Hipotesis StatistikHasil uji Chi-Square. Berdasarkan hasil uji

chi-square seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, diketahui nilai chi-square adalah sebesar 74,179 dengan nilai sig sebesar 0,000. Nilai chi-square hitung lebih besar dari pada nilai chi-square tabel yaitu 5,991 (df= 2 dan tingkat signifikasi = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak, artinya bahwa variabel bebas (INC, EDU, dan FREQ) berpengaruh signifikan terhadap kesediaan kepala keluarga untuk membayar jasa pengolahan sampah (variabel WTP).

Tabel 4. Hasil Uji Koefisien Regresi Binary Logistic : Variables in the Equation

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)Step 1(a)

INC ,000 ,000 6,516 1 ,011 1,000EDU 2,457 ,951 6,680 1 ,010 11,669FREQ ,360 ,580 ,385 1 ,535 1,434Constant -14,171 4,315 10,784 1 ,001 ,000

Sumber: Data diolah, 2015

Tabel 3. Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square Df Sig.1 ,664 8 1,000

Sumber : Data diolah, 2015

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan regresi logistik biner tersebut dapat diinterpretasikan, seperti diurai masing-masing pada alenia berikut

Koefisien INC = 0,000 dan variabel pendapatan

Page 55: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

51

Willingness to Pay Masyarakat Terhadap Penggunaan Jasa Pengolahan Sampah [Zulfa Emalia dan Dewi Huntari]

Hasil uji Wald. Tabel 6 menjelaskan mengenai hasil uji wald dari masing-masing variabel penelitian. Berdasarkan hasil uji Wald, diketahui bahwa variabel pendapatan dan pendidikan memiliki hubungan yang signifikan terhadap WTP. Ho ditolak dan Ha diterima, dengan kata lain bahwa variabel pendapatan dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap WTP. Sedangkan variabel tingkat frekuensi tidak berpengaruh signifikan terhadap WTP. Ho diterima atau frekuensi pengangkutan sampah tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap WTP.

Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh nilai koefisien pendapatan sebesar 0,000 dengan nilai signifikansi Wald 0,011 lebih kecil dari tingkat signifikasi yaitu 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan kepala keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay. Hal ini menunjukkan bahwa hasil sesuai dengan hipotesis, yaitu pendapatan kepala keluarga memiliki pengaruh terhadap willingness to pay. Pendapatan yang tinggi akan membuat kepala keluarga bersedia untuk tetap menggunakan jasa bahkan menaikkan nilai kesediaan membayar terhadap jasa pengolahan sampah, karena kepala keluarga mampu untuk tetap membayar jasa pengolahan sampah tersebut.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki nilai koefisien sebesar 2,457 dengan nilai sig wald sebesar 0,010 yang lebih kecil dari pada tingkat signifikan 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap willingness to pay. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan nilai WTP sesuai dengan hipotesis. Nilai koefisien logit pada variabel ini adalah positif, menunjukkan kepala keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi atau mencapai jenjang perguruan tinggi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan

Tabel 6. Hasil Uji Wald Number of Runs Z Asymp. Sig. (1-tailed) Keterangan

INC Minimum Possible 8(a) -7,693 ,000Signifikan

Maximum Possible 22(a) -3,489 ,000EDU Minimum Possible 4(b) -8,894 ,000

Signifikan Maximum Possible 18(b) -4,690 ,000FREQ Minimum Possible 3(c) -9,194 ,000

Tidak Signifikan Maximum Possible 43(c) 2,818 ,998Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

Tabel 5. Hasil Uji Chi-Square

Chi-square Df Sig.Step 1 Step 74,179 3 ,000 Block 74,179 3 ,000 Model 74,179 3 ,000Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2015

terhadap willingness to pay jasa pengolahan sampah.Hasil pengujian menunjukkan bahwa tingkat

frekuensi pengangkutan sampah memiliki koefisien sebesar 0,360 dan nilai sig wald sebesar 0,535 yang nilainya lebih besar dari tingkat signifikansi yaitu 0,05. Diketahui bahwa tingkat frekuensi pengangkutan memiliki hubungan yang positif

namun tidak signifikan terhadap nilai willingness to pay. semakin tinggi tingkat frekuensi atau semakin banyak sampah yang terangkut maka semakin bersedia kepala keluarga untuk membayar. Tingkat frekuensi memiliki pengaruh positif terhadap kesediaan membayar, namun hal tersebut tidak berpengaruh besar terhadap kesediaan membayar oleh kepala keluarga di kelurahan Rajabasa Raya.

Estimating Willingness to Pay (EWTP)Pendugaan besar nilai WTP dalam penelitian

ini mengunakan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi jumlah responden. Dugaan rata-rata WTP dihitung menggunakan rumus berikut ini.

nWi

EWTPn

1i∑ ==

Rp18.19794

0Rp1.710.50EWTP ==

Berdasarkan penghitungan, diperoleh nilai rata-rata WTP sebesar Rp. 18.197 atau Rp. 18.200,-. Penilaian diperoleh dengan membagi total nilai WTP yaitu sebesar Rp. 1.710.500 dengan jumlah sampel yaitu 94.

Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sampah de­ngan Melihat Tingkat Kepatuhan Masyarakat

Berdasarkan jumlah responden yanag bersedia membayar dan tidak bersedia membayar, dapat dilihat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penggunaan jasa pengolahan sampah. Sebesar 73 atau 77,7% dari total responden memiliki tingkat kepatuhan dengan bersedia membayar untuk tetap menggunakan jasa pengolahan sampah. Sisanya yaitu 21 responden atau 22,3% dari total responden memiliki kepatuhan yang rendah, artinya mereka

Page 56: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

52

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

tetap menggunakan jasa pengolahan sampah tetapi ketika terjadi kenaikan iuran sampah mereka akan cenderung berhenti untuk berlangganan jasa tersebut. Jika masyarakat yang tidak lagi berlangganan sokli sampah tidak dapat mengelola sampah secara mandiri, maka akan menimbulkan timbunan sampah yang dapat mengganggu lingkungan sekitar. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang terpadu maka dampak yang dapat diharapkan adalah meningkatkan kepedulian masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan sampah. Dengan adanya peningkatan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sampah maka kebersihan lingkungan dapat terjaga.

Pengelola sampah di Kelurahan Rajabasa Raya pada khususnya dan pengelola sampah di Bandar Lampung pada umumnya perlu mengupayakan agar dapat menginternalisasikan perhitungan estimasi WTP pelanggan dan calon pelanggan dalam metode dan proses penentuan tarif atau iuran sampah. Internalisasi estimasi WTP sangat penting disamping untuk menyempurnakan sistem penghitungan tarif yang berlaku sekarang ini, juga dapat dipakai sebagai sarana pendidikan bagi konsumen atau pelanggan.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis menggunakan Model Regresi Binary Logistic untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi WTP serta nilai WTP dan tingkat kepatuhan masyarakat di Kelurahan Rajabasa Raya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut variabel pendapatan (INC), dan variabel tingkat pendidikan (EDU) memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar atau variabel WTP. Variabel tingkat frekuensi pengangkutan (FREQ) memiliki hubungan positif dan tidak signifikan terhadap kesediaan membayar atau variabel WTP. (2) Nilai rata-rata WTP adalah sebesar Rp18.200 dari total responden 94 responden. Berdasarkan nilai rata-rata WTP dan tarif yang dibayarkan oleh responden sebesar Rp. 15.000/bulan, surplus konsumen yang diterima responden adalah sebesar Rp.3.200/bulan.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, sebaiknya frekuensi pengangkutan perlu di tingkatkan oleh pihak kelurahan Rajabasa Raya sebagai penanggung jawab jasa pengolahan sampah. Adanya peningkatan jumlah frekuensi pengangkutan mungkin saja dapat menaikkan tingkat kepatuhan responden terhadap penggunaan jasa pengolahan sampah.

Sebaiknya dilakukan juga peremajaan peralatan sokli sebagai penunjang dalam peningkatan kualitas jasa pengolahan sampah di Kelurahan Rajabasa Raya. Kelurahan Rajabasa Raya selaku penanggung jawab jasa pengolahan sampah sebaiknya mendata ulang peralatan-peralatan yang dimiliki. Sehingga dapat diketahui cukup atau tidaknya perlatan tersebut untuk menunjang jasa pengolahan sampah. Jika peralatan yang digunakan sesuai dengan banyaknya pengguna jasa tersebut, maka para pengguna jasa akan merasa puas dengan pelayanan jasa pengolahan sampah.

REFERENSI

Fujita,Y.,Fujii,A.,Furukawa, S., and Ogawa, T. 2005. Estimation of Willingness To Pay (WTP) for Water and Sanitation Services Through Contingent Valuation Method (CVM)- A Case Study In Iquitos City. The Republic of Peru, JBICI Review. No.11, March 2005. pp 59-87.

Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS cetakan IV. Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang.

Gunatilake.H, Yang.J.C, Pattanayak.S, and Choe.K.A. 2007. Good Practices For Estimating Reliable Willingness To Pay Values In The Water Supply And Sanitation Sector. Asian Development Bank Report December 2007.

Indramawan, Dandy Permana. 2014. Analisis WTP Pengolahan Sampah Terpadu di Kecamatan Semarang Barat. Universitas Diponegoro. Semarang.

Irawan, Bambang. 2009. Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga. Fakultas Ekonomi Universitas Negri Semarang. Semarang.

Lihan, Irham dan M. Husaini. 2011. Analisis Regresi Variabel Kualitatif Penerapan dalam Ilmu Ekonomi dan Manajemen. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.

Mburu. 2007. Economic Valuation and Environmental Assesment. BMBF. East Africa.

Nazir.Moh, Ph.D. 2009. Metode Penelitian. GHALIA Indonesia. Jakarta Selatan.

Neolaka, Prof. Dr. Ir. Amos, M.Pd. 2008 . Kesadaran Lingkungan. PT. Rinka Cipta. Jakarta.

Pattanayak,S.K.,et.al. 2006. The Use of Willingness To Pay Experiment: Estimating demand for piped water connections in Sri Lanka. World Bank Policy Research Working Paper 3818. January 2006.

Setiarini, Destia. 2008. Studi Willingness tp Pay untuk Pengembangan Sistem Parkir Kampus Univeristas Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta.

Seth, Kwety, Samuel Jerry Cobbina, Wilhemina Asare, and Abudu Ballu Duwiejuah. 2014. Household Demand and Willingness to Pay for Solid Waste Management Service in Tuobodom in the Techim-North District, ghana. American Journal of Environmental Protection. 2014. Vol. 2, No.4, 74-78.

Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Utara.

Suparmoko, M. dan Irawan. 2000. Ekonomika Pembangunan. Edisi Kelima. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta.

Yunis, Mersi. 2012. Analisis Tingkat Kesediaan Membayar Masyarakat Terhadap Kebersihan Di Kecamatan Tampan Pekanbaru. Jurnal Ekonomi Lingkungan. Riau .FE Universitas Riau.

Page 57: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

53

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Bank Sampah: Model Logit [Ni Made Ratiabriani, Ida Bagus Putu Purbadharmaja]

Partisipasi Masyarakat dalam Program Bank Sampah: Model Logit

Ni Made Ratiabriani*)

Ida Bagus Putu PurbadharmajaJurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRAK

Bertambahnya jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, dan gaya hidup masyarakat di Kota Denpasar tentunya dapat meningkatkan jumlah timbunan sampah, jenis sampah, dan keragaman karakteristik sampah lainnya. Bank sampah merupakan suatu bentuk pengelolaan sampah berbasis lingkungan yang berfungsi sebagai tempat pemilahan dan pengumpulan sampah non organik yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali sehingga menghasilkan nilai ekonomis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana partisiapsi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar dan untuk menganalisis pengaruh variabel tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga secara signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Partisipasi masyarakat dalam program bank sampah merupakan variabel dependen yang bersifat dummy. Penelitian ini menggunakan jenis data primer, Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesioner, dan observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model logit. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam program bank sampah di Kota Denpasar yaitu sebesar 64,3 persen. Tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah.

Kata kunci: partisipasi masyarakat, bank sampah, kondisi sosial ekonomi

Public Participation in Waste Bank Program: Logit Model

ABSTRACT

Increase of population, changes in consumption patterns and lifestyles of people in Denpasar certainly can increase the amount of landfill waste, types of waste, and the diversity of characteristics other debris. Bank of waste is a form of waste management based environment that serves as a sorting and collection of non-organic waste that can be recycled or reused to produce economic value. The aim of this study was to analyze how the people in the program participation waste bank in Denpasar and to analyze the influence of variables education level, household income, employment status, and number of family members significantly affect the chances of participation in the program garbage bank in Denpasar. Partisiapasi community in garbage bank program is the dependent variable is a dummy. This study uses primary data types, data was collected through interviews, questionnaires, and observations. The data analysis technique used is logit model. Based on the analysis found that people who actively participate in the program garbage bank in Denpasar that is equal to 64.3 percent. Education level, household income, employment status, and number of family members and significant positive effect on the chances of participation in the program garbage bank.

Keywords: public participation, waste bank, socio-economic conditions

PENDAHULUAN

Lingkungan hidup merupakan semua benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang dimana manusia atau makluk hidup berada dan dapat memenuhi hidupnya. Menurut Suparmoko

(2002 : 211) Lingkungan hidup merupakan faktor terpenting bagi kehidupan manusia, karena memiliki tiga fungsi pokok yaitu: pertama sebagai penyedia bahan mentah (sumber daya alam), kedua sebagai sumber kesenangan yang bersifat alami, dan fungsi yang ketiga yaitu lingkungan menyediakan diri sebagai tempat untuk menampung dan

JEKT ❖ 9 [1] : 53 - 58 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

Page 58: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

54

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

mengolah limbah secara alami. Perkembangan pembangunan nasional yang dilakukan selama ini, mengakibatkan ketiga fungsi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Purwanti (2015) menyatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan secara terus-menerus tentunya dapat membawa dampak negatif maupun dampak positif bagi lingkungan. Salah satunya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan baru diantaranya adalah timbulnya sampah. Timbunan sampah dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terlalu padat dan aktivitas manusia yang tidak pernah berhenti.

Denpasar merupakan ibu Kota Provinsi Bali yang terkenal sebagai daerah wisatawan dan menjadi sentra penting bagi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali. Denpasar menduduki peringkat pertama dengan jumlah penduduk terpadat di Provinsi Bali dari tahun 2010-2014. Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kota Denpasar sebesar 793,000 jiwa meningkat menjadi 863.600 jiwa pada tahun 2014 (BPS, 2014). Bertambahnya jumlah penduduk di Kota Denpasar tentunya berpengaruh terhadap jumlah timbunan sampah yang dihasilkan. Pada tahun 2010 jumlah volume sampah yang dihasilkan di Kota Denpasar mencapai 2.521m3 sedangkan pada tahun 2014 mengalami peningkatan mencapai 2.743m3.

Berawal dari masalah sampah, pemerintah Kota Denpasar mengajak warga bersama-sama mendirikan bank sampah suatu bentuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada tahun 2010. Bank Sampah adalah suatu tempat dimana terjadi kegiatan pelayanan terhadap penabung sampah yang dilakukan oleh teller bank sampah. Mekanisme pengelolaan sampah dalam bank sampah hampir sama dengan bank konvensional pada umumnya. Bedanya, jika masyarakat menabung uang dapatnya uang, maka melalui bank sampah masyarakat menabung sampah dapatnya uang (Suwerda, 2012). Pengelolaan sampah pada bank sampah menggunakan sistem reward, dimana memberikan penghargaan atau hadiah kepada masyarakat yang mau memilah dan menyetorkan sejumlah sampah (Novyanti, 2013).

Pelaksanaan kegiatan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan bank sampah Denpasar bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan peranserta masyarakat akan arti pentingnya kebersihan lingkungan serta membantu memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat. Hingga saat ini pemerintah Kota Denpasar telah memiliki 36 bank sampah, dimana Kecamatan Denpasar Selatan memiliki 10 bank sampah dengan jumlah anggota sebanyak 1.200 orang, Denpasar Timur

memiliki 9 bank sampah dengan jumlah anggota sebanyak 1.774 orang, Denpasar Barat memiliki 7 bank sampah dengan jumlah anggota sebanyak 398 orang, dan Denpasar Utara memiliki 10 bank sampah dengan jumlah anggota sebanyak 1.218 orang.

Keikut sertaan masyarakat dalam program pengelolaan sampah tentunya dapat mengurangi beban lingkungan dengan adanya bahaya sampah, selain itu masyarakat juga dapat memperoleh keuntungan ekonomis dari mengikuti program pengelolaan sampah dimana masyarakat bisa mengolah sampah tersebut menjadi barang yang berguna seperti membuat tas, baju, dan perlengkapan lainnya dari sampah masyarakat juga dapat membuat pupuk organik dari sampah-sampah tersebut. Partisipasi masyarakat merupakan keikut sertaan masyarakat dalam menjalankan setiap kegiatan atau program yang di tetapkan oleh pemerintah untuk memberdayakan dan membangun masyarakat sehingga masyarakat mau ikut berperan aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan (Septa Satri, 2014).

Menurut Siagian (1985 : 2) partisipasi dapat bersifat pasif maupun aktif, partisipasi bersifat pasif berarti sikap, prilaku, dan tidakan yang dilakukan seseorang dengan tidak mengganggu kegiatan pembangunan. Sedangkan partisipasi yang bersifat aktif seperti: ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang ada. Partisipasi masyarakat tentunya dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Menurut Zaki Oktama (2013) sosial ekonomi merupakan kedudukan sesorang dalam suatu kelompok yang ditentukan oleh pendapatan, tingkat pendidikan, usia, dan kekayaan yang dimiliki. Sedangkan menurut Conyers (1991 : 5) kata sosial ekonomi mengandung pengertian sebagai sesuatu yang bersifat non moneter yang berkaitan dengan kualitas kehidupan insani. Masyarakat di Kota Denpasar terdiri dari berbagai macam lapis sosial yang hidup dan menyebar di desa-desa atau Kecamatan yang ada. Kondisi sosial ekonomi yang paling menonjol membedakan masyarakat di Kota Denpasar meliputi tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Pendidikan adalah salah satu faktor utama yang diyakini mampu meningkatkan sumber daya manusia sehingga dapat menciptakan manusia produktif yang mampu memajukan bangsa (Langinan, 2014).

Menurut Hamid (2013) tingkat pendidikan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi tingkat pengetahuan akan pentingnya suatu,

Page 59: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

55

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Bank Sampah: Model Logit [Ni Made Ratiabriani, Ida Bagus Putu Purbadharmaja]

sehingga semakin tinggi pula partisipasinya. Pendapatan keluarga adalah pendapatan yang diperoleh keluarga dalam waktu satu bulan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga. Selain itu pendapatan keluarga juga memiliki pengaruh terhadap partisiapsi masyarakat. Menurut Yadnya (2005) pendapatan keluarga berpengaruh positif dan nyata terhadap partisipasi masyarakat, semakin besar pendapatan yang diperoleh masyarakat maka semakin meningkat partisipasi masyarakat. Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha atau kegiatan (BPS, 2015). Menurut Erfinna (2013), status pekerjaan berhubungan secara signifikan dengan partisipasi masyarakat. Masyarakat yang bekerja umumnya merasakan pentingnya menjaga kesehatan individu maupun keluarga untuk tetap dapat hidup secara sehat dan dapat melaksanakan aktivitas sesuai pekerjaan yang dimilikinya.

Partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, dimana semakin besar jumlah anggota keluarga berarti semakin besar pula jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Sebaliknya semakin sedikit jumlah anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Sehingga keluarga yang jumlah anggotanya banyak, akan lebih berpartisipasi untuk memenuhi banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi (Erwin Adiana, 2012). Luali (2006) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga juga berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat, semakin kecil jumlah anggota keluarga, semakin besar pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana partisipasi masyarakat dalam mengikuti program bank sampah di Kota Denpasar, dan untuk menganalisis bagaimana pengaruh tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga secara signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ataupun pengetahuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap partisipasi masyarakat dalam program bank sampah. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran kepada pemerintah dalam mengambil kebijakan dan memberikan solusi kepada pemeritah terutama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program bank sampah.

DATA DAN METODOLOGI

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan paradigma asosiatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan atau pengaruh satu atau lebih variabel (Sumanto, 2014 : 119). Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar, karena Denpasar memiliki jumlah penduduk tertinggi dan jumlah volume sampah terbanyak di Provinsi Bali. Program bank sampah di Kota Denpasar sudah tersebar di masing-masing Kecamatan. Hal ini menarik minat peneliti untuk datang langsung ke lokasi meneliti para nasabah yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan Bank Sampah.

Obyek dalam penelitian ini adalah partisipasi masyarakat dalam program bank sampah dan foktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program bank sampah. Partisipasi masyarakat dalam program bank sampah (Y) merupakan variabel dependen yang di ukur dengan skala dummy dimana 1 = aktif dan 0 = tidak aktif. Sedangkan variabel independent dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan (X1), pendapatan keluarga (X2), status pekerjaan (X3) yang diukur dengan variabel dummy 1 = bekerja dan 0 = tidak bekerja, dan jumlah anggota keluarga (X4).

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Metode pengumpulan data wawancara, kuesioner, dan observasi. Wawancara adalah suatu proses yang dilakukan seseorang melalui tanya jawab langsung antara peneliti dengan responden yang terkait untuk mendapatkan data atau informasi yang dibutuhkan. Kuisioner adalah daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan diberikan kepada responden terpilih untuk memperoleh data responden. Dengan hasil kuisioner diperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survey dan dapat memperoleh informasi yang akurat. Observasi adalah teknik yang digunakan untuk melengkapi data dengan melihat dan mencermati secara langsung ke obyek yang akan diteliti.

Metode analisis data menggunakan model logit yang dituliskan dalam Persamaan (1).

= β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + µi.......…(1)

dimana : adalah probabilitas masyarakat

berpartisipasi dalam program bank sampah; β0 adalah intersep; β1,β2,β3,β4 adalah parameter; X1 adalah tingkat pendidikan; X2 adalah pendapatan

Page 60: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

56

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

keluarga; X3 adalah status pekerjaan; X4 adalah jumlah anggota keluarga.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian untuk melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam program bank sampah yang dilihat dari kehadiran nasabah dalam membawa sampah selama satu bulan. Kehadiran tersebut diukur dengan menggunakan variabel dummy dimana nasabah yang kehadirannya berkisar antara 2-4 kali dalam sebulan akan dikatan aktif dalam berpartisiapsi. Nasabah yang kehadirannya selama kurang dari 2 kali dalam sebulan dikatakan tidak aktif dalam berpartisipasi. Hal tersebut dilakukan untuk melihat seberapa besar nasabah tersebut berpartisipasi secara aktif dan tidak aktif yang dipaparkan pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukan bahwa nasabah atau anggota bank sampah yang berpartisipasi secara aktif sebesar 64,3 persen, berarti nasabah yang hadir berkisar antara 2-4 kali dalam sebulan lebih banyak dari pada masyarakat yang berpartisipasi tidak aktif dengan kehadiran kurang dari 2 kali dalam satu bulan sebanyak 35,7 persen. Pengaruh variabel independen secara serempak terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar dengan nilai chi-square sebesar 50,346 > χ2 tabel = 9,49, H0 ditolak dan H1 diterima artinya variabel tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan secara serempak terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah. Koefisien determinasi total atau R Square yang dilihat dari nilai Nagelkerke R Square diperoleh sebesar 0,552 mempunyai arti bahwa sebesar 55,2 persen partisipasi masyarakat di pengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga dan sisanya 44,8 persen dipengaruhi oleh variabel lain. Sedangkan pengaruh variabel independen secara parsial terhadap partisipasi masyarakat dalam program bank sampah dapat dilihat dari Tabel 2.

Pengaruh tingkat pendidikan terhadap peluang partisipasi masyrakat dalam program bank sampah

Tabel 1. Partisipasi Masyrakat Dalam Program Bank Sampah

Observed Orang Percentage Correct

Partisipasi Tidak Aktif 35 35,7Aktif 63 64,3

Sumber: hasil olah data primer, 2015

diperoleh nilai signifikansi tingkat pendidikan 0,048 < 0,05 yang artinya tingkat pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang partisiapsi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Hasil observasi yang dilakukan di Kota Denpasar menyatakan bahwa masyarakat di Kota Denpasar yang ikut berpartisipasi dalam program bank sampah rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik dengan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan yaitu SLTA/sederajat sebesar 37,8 persen. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Amini dan Yuliana (2015) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan berhubungan secara signifikan terhadap partisipasi masyarakat, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi peluang seseorang untuk berpartisipasi. Hal ini dikarenakan seseorang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki wawasan lebih luas dan dapat memahami berbagai pelaksanaan program pemerintah.

Pengaruh pendapatan keluarga terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah diperoleh nilai signifikan dari pendapatan keluarga sebesar 0,037 < 0,05 yang berarti bawah pendapatan keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Hasil observasi yang dilakukan di Kota Denpasar juga menunjukan bahwa masyarakat di Kota Denpasar yang banyak ikut berpartisipasi dalam program bank sampah yaitu masyarakat yang memiliki rata-rata pendapatan perbulan sekitar 2.000.000 - 6.400.000 sebanyak 72 keluarga atau 73.5 persen dari jumlah responden sebanyak 98 orang. sebanyak Penelitian yang dilakukan oleh Erwiantono (2006:46) mendukung pernyataan tersebut yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan adalah faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam setiap program, dengan tingkat pendapatan yang lebih baik atau tinggi dapat mendorong seseorang berpartisipasi lebih baik atau tinggi pula.

Pengaruh status pekerjaan berpengaruh terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,048 < 0,05 berarti status pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Hasil observasi yang dilakukan di Kota Denpasar menunjukan bahwa masyarakat di Kota Denpasar yang berstatus bekerja lebih banyak yang ikut berpartisiapasi dalam program bank sampah yaitu sebanyak 77 orang atau 78,6 persen dari 98 orang responden. Hal ini didukung oleh

Page 61: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

57

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Bank Sampah: Model Logit [Ni Made Ratiabriani, Ida Bagus Putu Purbadharmaja]

penelitian Ernovianthy (2012) yang menyatakan status pekerjaan berpengaruh terhadap peran serta masyarakat, karena mempengaruhi derajat aktifitas kelompok. Seorang yang bekerja tentu memiliki kesadaran untuk berpartisipasi sebab seseorang yang bekerja lebih banyak bersosialisasi dengan lingkungan dari pada orang yang tidak bekerja.

Pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah diperoleh nilai signifikansi 0,033 < 0,05 yang berarti jumlah anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Hasil observasi yang dilakukan di Kota Denpasar menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki jumlah anggota keluarga 3-4 orang lebih banyak berpartisiapasi dalam program bank sampah di Kota Denpasar yaitu sebesar 71 orang atau 72,5 persen dari 98 responden. Hal ini didukung oleh penelitian Amini dan Yuliana (2015) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan terhadap partisipasi masyarakat. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka beban dan tanggung jawab dari kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi semakin besar, maka untuk memenuhi tanggung jawab kebutuhan keluarganya masyarakat ikut berpartisipasi dalam suatu program.

SIMPULAN

Beberapa simpulan yang dapat dirumuskan dari pembahasan sebelumnya antara lain: (i) Masyarakat yang berpartisipasi secara aktif dalam program bank sampah di Kota Denpasar dari hasil olahan data diperoleh sebesar 64,3 persen. Angka ini mengindikasikan bahwa masyarakat sudah sadar akan dampak yang ditimbulkan dari adanya sampah bagi lingkungan dan kesehatan; (ii) variabel tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga berpengaruh secara serempak dan signifikan terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar. Variabel tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam

program bank sampah di Kota Denpasar, variabel pendaptan keluarga berpengaruh positif terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar, variabel status pekerjaan berpengaruh positif terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar dan variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap peluang partisipasi masyarakat dalam program bank sampah di Kota Denpasar.

SARAN

Beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain: (i) perlu upaya dari Pemerintah Kota dan pemerintah desa dalam meningkatkan partisipasi masyarakat agar masyarakat lebih aktif dalam berpartisiapsi, salah satunya dengan cara melakukan sosialisasi mengenai program bank sampah kepada masyarakat sekitar. Sosialisasi yang dimaksud antara lain, cara mengumpulkan sampah, cara memilah, dan cara menabungkan sampah ke bank sampah. Selain itu diharapkan pula kepada pemerintah untuk dapat meningkatkan keberadaan bank sampah dengan membentuk atau membuka bank sampah di setiap desa atau banjar; (ii) Pemerintah Kota diharapkan dapat mensubsidi sampah untuk mengatasi penurunan harga sampah yang terus mengalami penurun setiap harinya, dengan harga yang tinggi tentunya akan menarik perhatian masyarakat untuk berpartisiapsi terutama masyarakat yang memiliki pendapatan rendah tentu akan lebih berpartisiapsi secara aktif guna menambah pendapatan.

REFERENSI

Amini, Rohmiati dan Yuliana, Baiq. 2015. Analisis Pengaruh Partisipasi Masyarakat Pesisir (CCDP-IFAD) Terhadap Kemiskinan Di Kabupaten Lombok Barat.

Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi. 2015. Bali Dalam Angka.Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Denpasar. 2014. Denpasar

Dalam Angka.Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah

Kota Denpasar (BPMPD). 2014.

Tabel 2. Rangkuman Pengaruh Variabel independen secara parsial terhadap partisiapsi masyarakat dalam pro-gram bank sampah

Regresi B Standar Eror Wald Sig KeteranganTingkat Pendidikan (X1) 0,208 0,105 3,894 0,048 SignifikanPendapatan Keluarga (X2) 0,038 0.018 4,363 0,037 SignifikanStatus Pekerjaan (X3) 1,379 0,698 3,904 0,048 signifikanJumlah Anggota Keluarga (X4) 0,733 0,344 4,550 0,033 signifikanSumber: hasil olah data primer, 2015

Page 62: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

58

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Suatu Pengantar (terj. Susetiawan). Yogyakarta : UGM Pers

Dinas Kebersihan dan Pertanaman (DKP). Kota Denapasar. Pembentukan Bank Sampah Denpasar awa lBSD, http://dkp.denpasarkota.go.id pada 16 April 2015.

Erfinna, Tota Farida. 2013. Hubungan Karakteristik Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Di Lingkungan III dan V Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol 2. Universitas Sumatra Utara.

Ernovianthy, A. A. SG Erry. 2012. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Tertib Administrasi Kependudukan (Studi Kasus Dua Kelurahan di Kota Denpasar). Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

Erwin Adiana, Pande Putu. 2012. Analisis Pengaruh Pendapatan, Jumlah Anggota Keluarga dan Pendidikan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Gianyar. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

Hamid, Nur. 2013. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Mangrove Di Kelurahan Wonorejo Kecamatan Rungkut Kota Surabaya. Jurnal Pendidikan Geografi.

Luali, La Ode. 2006. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Persepsi, Sikap, dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah. Kasus: Kota Raha Kab. Runa Prov. Sulawesi Tenggara. Tesis, Universitas Gadjah Mada.

Langinan, Susantri. 2014. Pengaruh kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pendidikan (Suatu Studi Di Kecamatan Pulutan Kabupaten Kepulauan Talaud). Jurnal Universitas Sam Ratulangi.

Mujiburrahmad. 2014. Hubungan Faktor Individu Dan Lingkungan Sosial Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Kasus Kampung

Sengked, RT 03/RW 03 Desa Babakan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor). Jurnal Vol (15) No.1

Novyanti, Mita. 2013. Dampak Program Bnak Sampah Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan.

Nuryani, A. A. N. 2012. Peranan Bank Sampah Gemah Ripah Terhadap Kesempatan Kerja dan Pendapatan Keluarga Di Kecamatan Bantul Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.

Purwanti, Wuri Sulistiyorini. 2015. Perencanaan Bank Sampah Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Di Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Jurnal Universitas Brawijaya.

Septa Satria, Lupy Dwi. 2014. Pemimpin Pelopor Sebagai Faktor Penggerak Partisipasi Masyarakat Dalam Program Bank Sampah di RW.14 Kelurahan Taman Sari Kecamatan Bandung Wetan Kota Bandung. Thesis Universitas Pendidikan Indonesia.

Siagian. 1985. Administrasi Pembangunan. Jakarta : Gunung Agung

Sumanto. 2014. Teori dan Aplikasi Metode Penelitian. CAPS (Center of Academic Publishing Service).

Suparmoko. 2002. Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Otonomi Daerah.

Suwerda, Bambang. 2012.Bank Sampah (Kajian Teori dan Penerapan). Yogyakarta : Pustaka Rihana.

Yadnya, I Gede Putu. 2005. “Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kota Denpasar”. Tesis pada Program Pasca Sarjana Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana. Denpasar.

Yuliastuti, Ida Ayu Nyoman. 2013. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Di Kabupaten Badung. Jurnal Ilmiah Vol. 2, No.6. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

Zaki Oktama, Reddy. 2013. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Terhadap Tingkat Pendidikan Anak Nelayan Di Kelurahan Sugihwaras Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang Tahun 2013.

Page 63: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

59

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan [Jarot Kurniawan]

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan

Jarot Kurniawan*) Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan

ABSTRAK

Pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam proses perbaikan taraf hidup. Hal tersebut diyakini oleh sebagian besar orang tua. Tidak sedikit dari mereka yang bersusah payah membanting tulang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas mengatur pentingnya pendidikan bagi warga negara Republik Indonesia. Pemerintah pun punya kewajiban untuk menyediakan anggaran pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Pengorbanan yang besar dari orang tua maupun pemerintah yang telah menyediakan biaya untuk pendidikan apakah sebanding dengan yang diharapkan. Berdasarkan penelitian menggunakan uji beda dua rata rata dengan sumber data Susenas tahun 2013 diperoleh hasil bahwa di Kabupaten Grobogan tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan tingkat pendapatan masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu variabel yang mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan dan berkaitan erat pula dengan tingkat status sosial seseorang di masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh para peneliti dan akademisi.

Kata kunci: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, hubungan

Education and Income Dilemma in Grobogan Regency

ABSTRACT

Education is very important aspect in living standard improvement process.Thats believed by most of parents. Most of them have a great effort and struggle to provide a good education for their children. Article 31 UUD 1945 regulated the importance of education for the citizens of the Republic of Indonesia firmly. The government also has an obligation to provide education budget for the Indonesian people. The quetion is great sacrifice of parents and governments that provide funding for education is comparable to that expected. Based on research using two different test average with Susenas data source in 2013 showed that in Grobogan Regency, level of education have a relationship with income levels. Education is one of the variables that have relation with income level and social status level in society. This is relevant with previous studies that have been conducted by researchers and academics.

Keywords: education level, income level, relationship

PENDAHULUAN

Sering kita mendengar orang tua menasehati anaknya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin dengan harapan modal pendidikan tersebut akan mengantarkan anaknya mendapatkan pekerjaan yang baik dan tentunya penghasilan yang tinggi pula. Tidak sedikit orang tua rela mengeluarkan uang lebih dengan menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan anggapan pendidikan di luar negeri kualitasnya lebih baik daripada pendidikan di dalam negeri.

Kondisi di atas menggambarkan besarnya harapan

orang tua terhadap peran pendidikan dalam proses perbaikan tingkat pendapatan (mobilitas sosial vertikal). Kebanyakan orang tua yakin bahwa pendidikan merupakan faktor utama dalam mempengaruhi proses tersebut. Makin baik kualitas pendidikan, maka makin besar pula harapan untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Pemerintah pun menaruh perhatian serius terhadap dunia pendidikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas telah mengatur pentingnya pendidikan bagi warga negara Republik Indonesia. UUD 1945 Pasal 31 a berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” sedangkan Pasal 31 b berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional”.

JEKT ❖ 9 [1] : 59 - 67 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

Page 64: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

60

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Dalam alokasi anggaran pendidikan pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan mendekati angka ideal 20 persen dari total anggaran.

Semakin besarnya anggaran pendidikan yang digelontorkan oleh pemerintah diharapkan bisa memperbaiki tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya diharapkan bisa memperbaiki kualitas ekonomi masyarakat khususnya di Kabupaten Grobogan. Pertanyaannya apakah pendidikan mempunyai kontribusi nyata terhadap tingkat pendapatan masyarakat?

Penelitian ini diharapkan bisa menjawab pertanyaan tentang keterkaitan antara pendidikan dengan tingkat pendapatan masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Grobogan. Hasil tulisan ini bisa dijadikan rujukan bagi stake holder, yaitu para pengambil kebijakan kaitannya dengan pengembangan dunia pendidikan baik di Kabupaten Grobogan maupun di luar Kabupaten Grobogan.

Kabupaten Grobogan dipilih sebagai obyek penelitian dikarenakan memiliki luas wilayah terbesar kedua di Provinsi Jawa Tengah, setelah Kabupaten Cilacap. Angka kemiskinannya pun masih relatif tinggi di angka 14,87 persen atau pada urutan ke-14 terbanyak (kondisi tahun 2013). Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : Tingkat pendapatan masyarakat yang berpendidikan SMP sederajat kebawah (kelompok I) sama dengan tingkat pendapatan masyarakat yang berpendidikan SMA sederajat ke atas (kelompok II).

H1 : Tingkat pendapatan masyarakat yang berpendidikan SMP sederajat kebawah (kelompok I) berbeda dengan tingkat pendapatan masyarakat yang berpendidikan SMA sederajat ke atas (kelompok II).

Tinjauan tentang PendidikanPendidikan mempunyai definisi yang bervariasi,

tetapi pada hakekatnya mempunyai arti yang sama. Menurut Ramayulis dkk. (2009) istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak, istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan dan bimbingan.

Menurut UU No. 20 tahun 2003 Bab VI Pasal 13 Ayat 1 jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar

pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (UU No. 20 Tahun 2003 Bab I, Pasal 1 Ayat 8). Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, dan dalam hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi atau pun memasuki lapangan kerja.

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.

Guna mempermudah analisis non parametrik dalam tulisan ini, maka tingkat pendidikan masyarakat menurut jenjang diklasifikasikan menjadi dua. Pertama yaitu masyarakat yang tidak berpendidikan dan berpendidikan SMP sederajat ke bawah (kelompok I) dan kedua adalah masyarakat yang berpendidikan SMA sederajat ke atas (kelompok II). Penelitian ini memasukan pendidikan non formal (pendidikan kejar paket) setara dengan pendidikan formal dikarenakan pada tahun 2013 ada kebijakan pemerintah bahwa siswa yang tidak lulus ujian nasional bisa mengikuti ujian susulan lewat jalur pendidikan kejar paket.

Asumsinya perlakuan tersebut diharapkan bisa

Page 65: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

61

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan [Jarot Kurniawan]

mengcover siswa yg tidak lulus pada sekolah formal tetapi lulus pada jalur non formal. Konsep dari tingkat pendidikan dalam tulisan ini adalah berdasarkan kepemilikan ijazah yang dimiliki, sehingga orang yang dalam ujian susulan kejar paket lulus, tetapi pada jalur formalnya tidak lulus tetap tercakup dalam penelitian ini.

Tinjauan tentang PendapatanPendapatan adalah jumlah pendapatan yang

diterima oleh para anggota masyarakat untuk jangka waktu tertentu sebagai balas jasa atas faktor-faktor produksi yang mereka sumbangkan dalam turut serta membentuk produk nasional. Menurut Reksoprayitno (2009), pendapatan atau income adalah uang yang diterima oleh seseorang dan perusahaan dalam bentuk gaji, upah, sewa bunga, dan laba termasuk juga beragam tunjangan, seperti kesehatan dan pensiun.

Menurut Sunuharjo (2009), pendapatan dika-tegorikan menjadi tiga antara lain: (i) Pendapatan berupa uang yaitu segala penghasilan berupa uang yang sifatnya regular dan yang diterima bisaanya se-bagai balas jasa atau kontra prestasi; (ii) Pendapa-tan berupa barang adalah segala pendapatan yang sifatnya reguler dan bisaa, akan tetapi selalu ber-bentuk balas jasa dan diterima dalam bentuk barang dan jasa; (iii) Pendapatan yang bukan merupakan pendapatan adalah segala penerimaan yang bersifat transfer redistributive dan bisaanya membuat per-ubahan dalam keuangan rumah tangga.

Pada penelitian ini, sesuai konsep Susenas tahun 2013, jenis pendapatan yang dipakai adalah jenis pendapatan poin satu dan dua, yaitu pendapatan dalam bentuk uang dan barang.

Penelitian SebelumnyaPenelitian tentang pengaruh tingkat pendidikan

terhadap kondisi ekonomi masyarakat sudah banyak dilakukan. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Tarigan (2006), akademisi di Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam penelitiannya, Tarigan menggunakan model penelitian kepustakaan (literatur research). Penelitiannya tersebut membandingkan empat tesis mahasiswa pasca sarjana yang membahas secara langsung atau tidak langsung tentang keterkaitan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan. Hasil dari penelitian tersebut dijelaskan bahwa dari keempat tesis terjadi dua kesimpulan yang berbeda. Pertama menyatakan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tingkat pendapatan, sementara yang kedua menyatakan pendidikan tidak mempunyai pengaruh

terhadap tingkat pendapatan.Kondisi pertama terjadi pada tesis yang

menganalisis keterkaitan tingkat pendidikan dengan tingkat pendapatan untuk berbagai macam lapangan pekerjaan, sementara penelitian kedua khusus untuk satu macam lapangan usaha yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Contoh untuk kondisi yang kedua adalah pekerjaan nelayan dan pedagang kaki lima. Tulisan Tarigan ini bisa dijadikan rujukan awal dalam melakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan terhadap tingkat pendapatan suatu masyarakat di daerah lain, tidak terkecuali di Kabupaten Grobogan.

Penelitian lainnya yang membahas tentang hubun-gan antara pendidikan dengan tingkat pendapatan pernah dilakukan oleh Juwita dan Retno Budi Les-tari (2013). Dalam penelitiannya yang berjudul Kon-tribusi Tingkat Pendidikan Terhadap Pendapatan Sektoral Di Kota Palembang, menggunakan metode analisis regresi berganda dengan variabel dependen pendapatan tenaga kerja, dan beberapa variabel in-dependen yaitu tingkat pendidikan, umur, jam kerja dan jenis kelamin.

Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa variabel pendidikan, umur, jam kerja dan jenis kelamin secara konstanta mempunyai angka signifikan dibawah 0,05. Variabel independen tersebut berpengaruh terhadap pendapatan tenaga kerja. Jenis kelamin dan jam kerja memiliki konstanta negatif. Jenis kelamin berkonstanta negatif karena perusahaan memberikan besar kecilnya pendapatan tenaga kerja selalu berdasarkan tingat pendidikan dan tidak berdasarkan gender. Jam kerja juga memiliki konstanta negatif dikarenakan tenaga kerja pada titik tertentu (titik jenuh) akan lebih memilih istirahat daripada menambah jam kerja.

Selain dua penelitian di atas, penelitian yang berkaitan dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan pernah dilakukan juga oleh Clark (1944) dalam bukunya yang berjudul An Invesment in People. Dikutip dari situs www.uns.ac.id Clark menyatakan bahwa,“experiments in law-income communities show cleary that education can beused to help people obtain a higher standard of living through their own efforts”. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat dipergunakan untuk membantu penduduk dalam meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi melalui usaha mereka sendiri. Penegasan ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Salah satu hasil penelitiannya menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi pula tingkat penghasilannya (tamatan sekolah

Page 66: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

62

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

dasar maksimal antara empat s.d. lima ribu dolar setahun; tingkat sekolah menengah atas maksimal antara lima s.d. enam ribu dolar setahun dan tingkat perguruan tinggi maksimal antara delapan s.d. sembilan ribu dolar setahun. Walau demikian tentulah dimaklumi bahwa tidak semua orang mengalami atau memiliki korelasi antara tingkat pendidikan dan penghasilan seperti penjelasan diatas, penyimpangan tentu ada sebagaimana dalam masalah sosial lainnya.

DATA DAN METODOLOGI

Tulisan ini menggunakan sumber data primer (raw data) dari Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2013 (Susenas 2013). Data ini dipilih karena data yang tersedia di BPS Kabupaten Grobogan yang terakhir adalah tahun 2013. Jumlah sampel Susenas 2013 di Kabupaten Grobogan sebanyak 96 blok sensus yang terbagi menjadi empat triwulan. Masing-masing sampel untuk tiap triwulan sebanyak 24 blok sensus dan tiap-tiap blok sensus terdiri dari 10 rumah tangga sampel.

Hasil susenas didesain untuk estimasi sampai tingkat kabupaten/kota, meskipun sampelnya hanya 960 rumahtangga untuk Kabupaten Grobogan, namun jumlah sampel tersebut dianggap sudah mewakili populasi penduduk yang ada di Kabupaten Grobogan. Variabel yang diambil dari hasil susenas 2013 terdiri dari variable tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan. Data tersebut diambil dari keterangan individu anggota rumah tangga sampel.

Selain raw data Susenas, untuk menunjang analisis penulisan juga menggunakan data perhitungan PDRB, indikator pendidikan dan data kemiskinan di Kabupaten Grobogan. Data ini dipakai untuk menganalisis secara makro kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Grobogan.

Analisis DeskriptifAnalisis ini digunakan untuk mendukung analisis

non parametrik yang digunakan dalam tulisan ini. Melihat gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Grobogan dilihat dari sudut pandang tingkat pendidikan dan tingkat pendapatannya. Tabulasi silang merupakan instrumen yang dipakai dalam analisis deskriptif ini.

Uji Mann-WhitneyUji Mann-Whitney biasa disebut dengan U test.

Uji Mann-Whitney termasuk dalam kategori metode statistik non parametrik (Santoso, 2001). Metode ini untuk mengetahui perbedaan median atau pun

mean 2 kelompok bebas apabila skala data variabel adalah ordinal atau interval. Dalam hal penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan (ordinal) dengan tingkat pendapatan (rasio). Kelebihan metode non parametrik adalah tanpa mensyaratkan asumsi-asumsi seperti pada metode parametrik.

Prosedur pengujian adalah sebagai berikut: 1) Menyusun kedua hasil pengamatan menjadi

satu kelompok sampel2) Mengurutkan nilai pengamatan mulai nilai

terkecil dalam sampel gabungan3) Memberikan rangking untuk tiap-tiap nilai

mulai rangking 1 sampai rangking yang terbesar4) Memberi nilai jenjang menurut nilai sampel

gabungan5) Memisahkan kedua kelompok pengamatan yang

sebelumnya digabung kemudian dijumlahkan nilai jenjangnya.

6) Menghitung nilai U dengan rumus sebagai berikut:

.............................. (1)

............................ (2)

Dimana: n1 = Jumlah sampel kelompok I, n2 = Jumlah sampel kelompok II, R1 = Jumlah jenjang pada kelompok I, dan R2 = Jumlah jenjang pada kelompok II

7) Nilai U1 dan U2 dipilih nilai yang terkecil untuk dibandingkan dengan nilai U tabel.

8) Keputusan untuk menerima atau menolak Ho tergantung dari perbandingan nilai U tabel. Apabila nilai U hitung lebih besar dari nilai U tabel maka Ho diterima. Sebaliknya Ho akan ditolak jika nilai U hitung lebih kecil dari nilai U tabel. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, maka penentuan menerima atau menolak Ho bisa dilakukan melalui program SPSS dengan melihat nilai asymptotic sicnificance. Pada tingkat kepercayaan 95% Keputusan menerima Ho apabila nilai signifikansi > 0,05. Sementara keputusan menolak Ho apabila nilai signifikansi < 0,05 (Santoso,2001).

9) Uji Mann-Whitney menggunakan hipotesis sebagai berikut:Ho : Kedua populasi/sampel adalah identikH1 : Kedua populasi/sampel adalah tidak

identik

Page 67: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

63

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan [Jarot Kurniawan]

Gambar 1. Persentase Jumlah Penduduk di Kabupaten Grobogan berdasarkan Ijazah Terakhir yang dimiliki

Sumber: Susenas 2013, diolah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran tentang Pendidikan di Kabupaten Grobogan

Hasil Susenas 2013 di Kabupaten Grobogan memperlihatkan bahwa 39,5 persen penduduk di Kabupaten Grobogan hanya menyelesaikan pendidikannya sampai level SD. Nilai ini tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Angka tersebut memberi indikasi awal bahwa tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Grobogan relatif masih rendah, bahkan jumlah penduduk yang belum pernah mengikuti sekolah sampai tamat SD jumlahnya masih sangat tinggi, mencapai angka 27,1 persen.

Kecenderungan tingkat pendidikan SMP dan SMA mengecil bila dibandingkan dengan tingkat SD. Trend ini wajar mengingat tidak semua lulusan SD melanjutkan ke SMP, begitu pula tidak semua lulusan SMP melanjutkan pendidikan ke SMA. Penduduk bukan usia sekolah yang tidak mempunyai ijazah mayoritas adalah penduduk berusia di atas 50 tahun dan sebagian besar tinggal di perdesaan.

Tingkat partisipasi sekolah sebenarnya juga bisa dilihat dari angka partisipasi sekolah (APS). APS umur 7 s.d. 12 tahun di Kabupaten Grobogan tahun 2013 sebesar 98,87 persen, APS 13 s.d 15 tahun sebesar 93,25 persen, APS 16 s.d. 18 tahun sebesar 52,04 persen dan APS 19 s.d. 24 tahun sebesar 17,66 persen. Angka tersebut selaras dengan angka yang ada pada Gambar 1 yang memperlihatkan angka partisipasi sekolah untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi nilainya semakin mengecil. Makin besar nilai APS makin besar pula tingkat partisipasi sekolah masyarakat.

Menurut Todaro (1995), pada negara-negara

berkembang termasuk Indonesia tingkat melek huruf (konsep kebalikan dari tingkat buta huruf) rata-rata hanya mencapai 45 persen dari jumlah penduduk, itu artinya tingkat buta hurufnya masih berkisar 55 persen. Sementara negara-negara Dunia Ketiga lainnya yang relatif sudah berkembang, tingkat melek hurufnya 64 persen. Sedangkan angka untuk negara-negara maju telah mencapai 99 persen. Kondisi angka melek huruf di Kabupaten Grobogan pada tahun 2013 menurut data BPS sebesar 91,78 persen, ini artinya program pemberantasan buta aksara yang dilakukan Pemda Kabupaten Grobogan sudah mulai mendapatkan hasil yang positif.

Gambaran tentang Pendapatan di Kabupaten Grobogan

Kelompok distribusi pendapatan masyarakat Kabupaten Grobogan tahun 2013 berdasarkan hasil Susenas bisa dilihat seperti pada gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat ada empat kelompok masyarakat di Kabupaten Grobogan berdasarkan pendapatan yang diterima. Kelompok pertama adalah masyarakat yang mempunyai pendapatan nol rupiah, yaitu sebanyak 47,35 persen.

Kondisi tersebut berarti sebagian besar masyarakat di Kabupaten Grobogan usia 10 tahun ke atas yang bekerja berstatus sebagai pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar. Pada konsep Susenas orang yang bekerja sebagai pekerja keluarga dianggap sebagai orang yang bekerja asalkan dilakukan selama 1 jam berturut-turut selama seminggu yang lalu, dan dalam rangka memperoleh penghasilan atau membantu memperoleh penghasilan rumah tangga.

Kelompok masyarakat yang kedua memperoleh penghasilan antara 1 rupiah sampai 999.999 rupiah yaitu sebanyak 27,33 persen. Kelompok ini umumnya

Page 68: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

64

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

adalah para pekerja bebas di sektor pertanian. Dari seluruh masyarakat yang berpenghasilan pada kelompok kedua ini 41,2 persen berasal dari sub sektor tanaman padi dan palawija. Sementara kalau dilihat pada sektor pertanian keseluruhan sebanyak 46,6 persen.

Kelompok ketiga adalah masyarakat dengan penghasilan 1 juta rupiah sampai 2.999.999 rupiah. Ada sebanyak 21,42 persen masyarakat Kabupaten Grobogan yang berada pada kelompok pendapatan ini. Penyumbang terbesar pada kelompok pendapatan ketiga ini berasal dari sektor konstruksi dan bangunan yaitu sebanyak 36,6 persen.

Kelompok terakhir adalah kelompok keempat yaitu masyarakat dengan penghasilan di atas tiga juta rupiah. Masyarakat yang berada pada kelompok pendapatan ini hanya sekitar 3,9 persen dari total mayarakat di Kabupaten Grobogan usia 10 tahun ke atas yang berstatus bekerja. Lapangan usaha yang paling besar menyumbang pada kelompok keempat ini adalah sektor jasa kemasyarakatan, pemerintahan dan perorangan yaitu sebesar 28,1 persen.

Berdasarkan teori yang disampaikan Todaro (1995), salah satu ciri negara sedang berkembang adalah Ketergantungan pendapatan yang sangat besar kepada produksi sektor pertanian. Kondisi di Kabupaten Grobogan sektor pertanian berkontribusi terhadap PDRB sebesar 41,16 persen. Hal tersebut berarti sektor pertanian di Kabupaten Grobogan masih menjadi penyumbang terbesar terhadap

pendapatan masyarakat yang merupakan ciri dari sebuah negara berkembang.

Tabulasi Silang Variabel Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan

Sebagai gambaran awal, sebelum melakukan analisis menggunakan uji Mann-Whitney bisa dilakukan analisis sederhana dengan melakukan tabulasi silang terhadap kedua variabel yang menjadi indikator tersebut. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilakukan analisis antara variabel tingkat pendidikan yang ditamatkan dengan tingkat pendapatan yang diterima. Analisis pada Tabel 1 dibaca ke samping. Dari keseluruhan masyarakat yang tidak pernah sekolah/tidak tamat SD kelihatan jelas sebagian besar (58,6%) tidak berpendapatan. Tiga puluh persen berpendapatan di bawah 1 juta rupiah; sekitar 10,6 persen berpenghasilan antara 1 .d. 3 juta rupiah; dan sisanya 0,8 persen berpenghasilan di atas 3 juta rupiah.

Data Tabel 1. menjelaskan bahwa masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak pernah sekolah, tamat SD sederajat, tamat SMP sederajat, tamat SMA sederajat semakin besar jumlah pendapatannya semakin kecil jumlah populasinya. Hal sebaliknya terjadi untuk masyarakat yang berijazah D4/S1. Pada masyarakat golongan ini semakin besar tingkat pendapatan semakin besar jumlah populasinya. Sementara untuk lulusan D1/D2, DIII dan S2/S3 belum jelas polanya.

Sumber: Susenas 2013, data diolah

Gambar 2. Kelompok Distribusi Pendapatan Masyarakat Kabupaten Grobogan Usia 10 Tahun ke Atas yang Berstatus Bekerja pada Tahun 2013

Page 69: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

65

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan [Jarot Kurniawan]

Tabel 1. Persentase Kepemilikan Ijazah Penduduk 5 Tahun ke Atas di Kabupaten Grobogan menurut Tingkat Pendapatan Kondisi Tahun 2013 (dalam rupiah)

UraianKelompok Pendapatan

0 1 s.d. 999.999 1.000.000 s.d. 2.999.999 > 3.000.000

(1) (2) (3) (4) (5)Tdk punya ijazah SD 58,6 30,0 10,6 0,8SD/SDLB 48,4 25,1 24,3 2,2M. Ibtidaiyah 50,5 20,1 29,4 0,0Paket A 100,0 0,0 0,0 0,0SMP/SMPLB 35,5 31,5 30,9 2,1M. Tsanawiyah 65,2 12,5 19,9 2,5Paket B 19,8 47,6 32,6 0,0SMA/SMLB 31,0 26,5 33,2 9,3M. Aliyah 39,9 32,0 24,5 3,5SMK 30,1 31,5 24,5 13,8Paket C 0,0 100,0 0,0 0,0D1/D2 0,0 71,4 0,0 28,6D3/sarjana muda 24,1 17,7 47,7 10,4D4/S1 6,3 29,5 34,1 30,1S2/S3 35,5 41,4 0,0 23,1 Sumber : Susenas 2013, data diolah

Tabel 2. Persentase Distribusi Pendapatan Penduduk di Kabupaten Grobogan menurut Ijazah yang dimiliki Kondisi Tahun 2013 (dalam rupiah)

UraianKelompok Pendapatan

0 1 s.d. 999.999 1.000.000 s.d. 2.999.999 > 3.000.000

(1) (2) (3) (4) (5)Tdk punya ijazah SD 21,4 18,4 7,4 3,5SD/SDLB 50,0 43,5 47,8 27,9M. Ibtidaiyah 2,0 1,4 2,3 0,0Paket A 0,1 0,0 0,0 0,0SMP/SMPLB 10,7 15,9 17,8 7,8M. Tsanawiyah 5,8 1,9 3,4 2,7Paket B 0,2 0,7 0,6 0,0SMA/SMLB 5,5 7,9 11,3 20,7M. Aliyah 1,6 2,1 1,9 1,8SMK 1,9 3,3 2,9 10,7Paket C 0,0 1,0 0,0 0,0D1/D2 0,0 0,7 0,0 2,0D3/sarjana muda 0,3 0,4 1,3 1,9D4/S1 0,3 2,6 3,4 19,8S2/S3 0,1 0,3 0,0 1,1 Sumber : Susenas 2013, data diolah

Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat dilakukan analisis bahwa dari seluruh masyarakat yang tidak berpenghasilan 90,2 persen adalah masyarakat yang tidak berpendidikan dan berpendidikan SMP sederajat kebawah. Selanjutnya dari seluruh masyarakat yang berpenghasilan sampai dengan 999.999 rupiah 81,8 persennya adalah masyarakat yang tidak berpendidikan dan berpendidikan SMP

sederajat ke bawah.Pada kelompok masyarakat dengan pendapatan

1.000.000 rupiah s.d. 2.999.999 rupiah, 79,3 persen adalah masyarakat yang tidak berpendidikan dan berpendidikan SMP sederajat kebawah. Kelompok terakhir adalah masyarakat dengan tingkat penghasilan diatas 3.000.000 rupiah. Pada kelompok terakhir ini hanya 42 persen yang tidak berpendidikan

Page 70: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

66

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

dan berpendidikan SMP sederajat kebawah atau dengan kata lain masyarakat berpenghasilan 3 juta rupiah ke atas didominasi oleh masyarakat berpendidikan SMA sederajat keatas.

Uji Mann-Whitney Hubungan Tingkat Pendi­dikan dan Tingkat Pendapatan

Hasil Uji Mann-Whitney diperoleh nilai n sebanyak 1.534. Nilai tersebut adalah total dari seluruh sampel anggota rumah tangga yang memiliki penghasilan. Sebagian besar sampel merupakan anggota rumah tangga yang tidak berpendidikan dan berpendidikan SMP sederajat kebawah (kelompok I), yaitu sebanyak 1.285 sampel. Sementara sisanya 249 sampel adalah anggota rumah tangga dengan pendidikan SMA sederajat keatas (kelompok II).

Berdasarkan hasil hitungan SPSS seperti pada tabel 3 diperoleh nilai siknifikansi sebesar 0,00. Kondisi ini menurut Santoso (2001) memiliki arti bahwa Ho ditolak, atau dengan kata lain bahwa kedua populasi dari sampel tidak identik (nilai probabilitas< 0,05). Maksud dari kedua populasi sampel tidak identik sesuai dengan hipotesis penelitian adalah terjadi perbedaan yang berarti antara penghasilan masyarakat pada kelompok I dengan masyarakat pada kelompok II. Kondisi tersebut sejalan dengan beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Menurut Todaro (1995), dalam bukunya Pemba-ngunan Ekonomi pada Negara Dunia Ketiga dijelas-kan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya pertumbuhan ekonomi (pendapatan) suatu daerah/negara adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Semakin baik mutu SDM nya, sema-kin baik pula tingkat pertumbuhan ekonominya, se-mentara mutu SDM sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang ditamatkan.

Mutu SDM dilihat dari banyak aspek meliputi jumlah, tingkat keahlian, pandangan hidup, tingkat kebudayaan, sikap atau penilaian terhadap pekerjaan, serta akses secara kreatif dan otonom terhadap pekerjaan. Maksud dari peningkatan mutu SDM itu sendiri adalah untuk meningkatkan output. Peningkatan output akan diikuti oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan terdistribusi

Tabel 3. Hasil Uji Mann-Whitney

Uraian pendapatan bersih pekerjaan utama dalam sebulan

Mann-Whitney U 108468.500Wilcoxon W 934723.500Z -8.476Asymp. Sig. (2-tailed) .000Sumber: Susenas 2013, diolah

merata apabila kualitas SDM nya juga merata. Teori Human Capital yang dikemukakan oleh

Backer (1993) juga menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Pendapatan meningkat seiring dengan meningkatnya umur, dimana peningkatan tersebut juga berbanding lurus dengan tingkat keahlian individu tersebut. Hal ini yang menyebabkan teori Human Capital percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat.

Masyarakat menyadari bahwa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin banyak ijazah yang dimiliki seseorang, maka akan semakin baik pula kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi.

SIMPULAN

Kesimpulan dari tulisan ini adalah tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan tingkat pendapatan masyarakat di Kabupaten Grobogan. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah.

SARANBerdasarkan kesimpulan diatas dapat penulis

sarankan kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan untuk memberikan akses pendidikan formal bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Kelompok kelas ekonomi tersebut merupakan golongan yang sangat rentan untuk tidak bisa mengakses pendidikan dengan alasan ketiadaan biaya.

REFERENSI

Sunuharjo, Bambang Swasto. 2009. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Yayasan Ilmu Sosial.

Badan Pusat Statistik. Data dan Informasi Kemiskinan Jawa Tengah 2009 – 20013. Semarang: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah.

_____________. 2013. PDRB Kabupaten Grobogan 2013. Purwodadi: Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan.

_____________. 2013. Pedoman Pencacahan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

_____________. 2013. Raw Data Susenas 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

_____________. 2013. Statistik Pendidikan Jawa Tengah 2013. Semarang: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah.

Page 71: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

67

Dilema Pendidikan dan Pendapatan di Kabupaten Grobogan [Jarot Kurniawan]

Becker, Gary S. 1993. Human Capital, A Theoretical and Empirical Analysis with Special Reference to Education. Third Edition, The University of Chicago Press.

Clark. 1944. An Invesment In People. www.uns.ac.id/data/sp9.pdf.

Juwita, Ratna, dan Retno B.L. 2013. Kontribusi Tingkat Pendidikan Terhadap Pendapatan Sektoral Di Kota Palembang. Jurnal Ilmiah STIE MDP, Maret 2013, Volume 2, No 2.

Ramayulis dkk. 2009. Dasar-dasar pendidikan. Padang: The zaki Press.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jakarta.

_____________. Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Jakarta.

Santoso, Singgih. 2001. SPSS Versi 10. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Reksoprayitno, Soediyono. 2009. Ekonomi Makro. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE): UGM.

Sulaiman, Wahid. (2004). Analisis Regresi Menggunakan SPSS. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Tarigan, Robinson. 2006. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Tingkat Pendapatan Perbandingan Antara Empat Hasil Penelitian. Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3.

Todaro, Michael P. 1995. Terjemahan Agustinus Subekti dari Economic Development in The Third World. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 72: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

68

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir

Ni Made Ayu Indiradewi*)

A.A. Istri Ngurah MarhaeniJurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRAK

Pada umumnya aktivitas kelautan baik nelayan maupun pembudidayaan ikan identik dengan kemiskinan. Guna memperbaiki taraf hidup nelayan melalui peningkatan kesejahteraan, dilakukan pemberdayaan seperti Program Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (PUMP). Penelitian ini bertujuan mengetahui: 1) efektivitas Program PUMP, 2) tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan setelah Program PUMP terlaksana, 3) kendala-kendala dalam pengimplementasian Program PUMP, dan 4) kelemahan-kelemahan pada Program PUMP. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung, yang meliputi 11 Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang berada di Kecamatan Kuta. Sampel pada penelitian ini berjumlah 80 responden. Metode penelitian yang digunakan yaitu observasi, wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam. Penelitian ini menggunakan uji statistik deskriptif dan uji wilcoxon. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan Program PUMP dilihat dari variabel input, variabel proses, dan variabel output di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tergolong efektif. Kesejahteraan masyarakat nelayan meningkat setelah Program PUMP terlaksana.

Kata kunci: evaluasi, pemberdayaan, efektivitas, kesejahteraan

ABSTRACT

In general, the activity of both fishermen and marine fish farming synonymous with poverty. In order to improve the living standards of fishermen through increased well-being, conducted empowerment as Mina Rural Business Development Program (PUMP). This study aimed to: 1) the effectiveness of the Program PUMP, 2) the level of welfare of fishermen after PUMP program implemented, 3) the constraints in implementing PUMP program, and 4) weaknesses in Program PUMP. This research was conducted in Badung, which includes 11 Business Group (KUBE) in the district of Kuta. Samples in this study amounted to 80 respondents. The method in this research is observation, structured interviews, and in-depth interviews. This research uses descriptive statistical test and Wilcoxon test. Based on the analysis we concluded that the level of success seen PUMP program of input variables, process variables, and output variables in the district of Kuta Badung relatively effective. Public welfare increases after PUMP program implemented.

Keywords: evaluation, empowerment, effectiveness, welfare

PENDAHULUAN

Masyarakat pesisir yang berprofesi sebgai nelayan hingga kini masih menjadi salah satu pelaku usaha perikanan yang berkontribusi besar terhdap tingkat kemiskinan (Otniel, 2010). Faktor-faktor ekonomi penyebab kemiskinan antara lain modal yang terbatas, teknologi yang tergolong tradisional, akses pasar yang rendah dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengolahan sumber daya alam dan non ekonomi seperti tingginya pertumbuhan jumlah penduduk, tingkat pendidikan yang rendah,

kurangnya tingkat kesehatan serta terbatasnya sarana dan prasarana umum di wilayah pesisir (Prakoso, 2013). Menurut Rahmatika dkk (2013:2), rendahnya pendapatan nelayan yang berdampak pada kemiskinan disebabkan karena tidak stabilnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan, faktor tersebut didukung oleh sarana dan prasarana yang kurang memadai, iklim, serta adanya oknum tengkulak yang membeli hasil tangkapan nelayan dengan anggaran dana yang relatif murah.

Hasrat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam arti sebenarnya adalah tujuan mulia yang hendak dicapai. Guna memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan,

JEKT ❖ 9 [1] : 68 - 79 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

Page 73: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

69

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir [Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni]

pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya maka diperlukan peningkatan pendapatan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Menurut Sugiharto (2007:68), pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan salah satu kecenderungan baru dalam paradigma pembangunan.

Kuta merupakan salah satu wilayah yang terkenal dengan sektor perikanannya. Potensi perikanan terbesar di Kuta terdapat di wilayah Kedonganan yang telah ditetapkan sebagai salah satu sentra usaha perikanan dan kelautan terbesar di Bali (BPS, 2013). Sub sektor perikanan merupakan salah satu sektor unggulan Pemerintah Kabupaten Badung karena terdapat potensi-potensi di sektor kelautan yang perlu dikembangkan. Potensi kelautan yang cukup besar di Kecamatan Kuta tidak menutup kemungkinan akan terjaminnya kesejahteraan masyarakat pesisir.

Upaya Pemerintah Daerah dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan sudah terealisasi dengan adanya Program Pengembangan usaha Mina Perdesaan (PUMP). Program PUMP merupakan bagian dari pelaksanaan progam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri klaster II yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri melalui bantuan modal usaha dalam menumbuh kembangkan usaha perikanan tangkap. Sasaran utama Program PUMP ini adalah dengan terbentuknya Kelompok Usaha Bersama (KUBE).

KUBE merupakan badan usaha non badan hukum ataupun yang sudah berbadan hukum, berbentuk kelompok yang didasarkan hasil kesepakatan selu-ruh anggota nelayan yang dilandasi oleh keinginan bersama untuk berusaha bersama dan dipertang-gungjawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota. Kondisi masyarakat nelayan perlu diperhatikan mengingat sebagian besar ma-syarakat menggantungkan hidupnya dari penghasilan laut, keterbatasan biaya maupun kondisi yang ada didaerah ini terkadang kurang memadai misalnya alat pancing yang masih tradisional, perahu tangkap yang belum dilengkapi dengan fasilitas yang modern, bahkan tidak memiliki rumpon yang pada dasarnya sangat membantu kegiatan penangkapan (Chorneles, 2013).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: (i) untuk menganalisis efektivitas Program PUMP dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta yang dilihat dari indikator tingkat pendapatan masyarakat nelayan, perkembangan kelembagaan KUBE, dan

perkembangan kewirausahaan nelayan; (ii) untuk menganalisis kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta setelah terlaksananya Program PUMP; (iii) untuk menganalisis kendala yang dihadapi oleh masyarakat nelayan dalam pengimplementasian Program PUMP dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta; dan (iv) untuk menganalisis kelemahan yang terdapat pada Program PUMP dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta.

Adapun kegunaan penelitian ini dapat dibedakan menjadi kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat, memperkuat jurnal, membuktikan teori serta memperkaya ragam penelitian, sehingga dapat menambah referensi selanjutnya. Sedangkan dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi kepada pemerintah dan pihak yang berkepentingan lainnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Program PUMP untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaannya ke depan.

Proses pembangunan merupakan suatu perubahan sosial budaya. Menurut Bintoro dan Mustopadidjaya (1986:1), manusia dan struktur sosialnya menjadi faktor proses pembangunan yang dapat bergerak maju atas kekuatannya sendiri (self sustaining process). Pembangunan ekonomi akan memberikan manusia kemampuan dalam menguasai alam sekitarnya serta meningkatkan kebebasannya dalam mengadakan suatu tindakan tertentu (Irawan dan M. Suparmoko, 2002:8-9). Pembangunan ekonomi perlu dilakukan demi kehidupan manusia yang layak, salah satunya dengan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Modal merupakan salah satu faktor pendukung dalam menjalankan sebuah usaha (Purwanti, 2012). Dalam melakukan kegiatan usaha sangan dibutuhkan modal usaha, sehingga diperlukan dana sebagai dasar ukuran finasial atas usaha yang digalakan. Sebagai modal untuk pemberdayaan, manusia memiliki aset pribadi yang dapat digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kehidupan yang baik. Kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan harus dibangun di atas pemahaman tentang aset yang dimiliki dan sejauh mana mereka dapat menggunakan dan mengembangkannya (Syafrudin dkk, 2012). Dalam wacana pembangunan masyarakat konsep pemberdayaan selalu dihubungkan dengan konsep partisipasi, mandiri, jaringan kerja, dan keadilan (Sipahelut, 2010). Pemberdayaan umumnya merujuk pada kemampuan orang, seperti kelompok rentan dan lemah sehingga mereka kurang mampu dalam

Page 74: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

70

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

1) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti tidak hanya bebas dalam berpendapat, namun bebas dari kebodohan, kelaparan, serta kesakitan; 2) menjangkau sumber-sumber produktif yang mampu meningkatkan kesejahteraan melalui perolehan barang dan jasa yang diperlukan serta perolehan peningkatan pendapatan; dan 3) berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka serta proses pembangunan (Suharto, 2005;114).

Nelayan menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Helmi (2012) mengindikasikan bahwa kehidupan nelayan tergantung langsung pada hasil laut. Kehidupan nelayan yang bergantung pada kondisi lam dibuktikan dengan pendapatan neayan meningkat ketika musim ikan (Sukma, 2014). Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan diantaranya keterbatasan sumberdaya manusia, fluktuasi musim-musim ikan, jaringan pedagang ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, modal serta akses pasar. (Sugihartho, 2013).

Atas dasar uraian di atas, pemberdayaan masyarakat nelayan sangat diperlukan untuk mebangun kemandirian sosial guna mencapai kesejahteraan sosial yang bersifat berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan pada masa mendatang masyarakat nelayan menjadi subyek pembangunan di daerahnya dan kawasan pesisir memiliki perkembangan ekonomi yang dinamis.

PUMP adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan yang berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan. Program PUMP merupakan salah satu upaya dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Tulisan ini didukung oleh penelitian David, dkk (2013) dimana tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji penerapan hukum dan perundang-undangan menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.12/Men/2008 tentang bantuan langsung masyarakat kelautan dan perikanan di Kota Manado dimana penelitian yang dilakukan memberikan manfaat bagi pemerintah untuk mengevaluasi lebih lanjut sasaran Program PUMP agar tepat sasaran sehingga penerapan hukum dan perundang-undangan tentang bantuan sosial pemberdayaan masyarakat pesisir dan pembudidayaan ikan di Kota Manado berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, hipotesis yang digunakan untuk memecahkan pokok permasalahan pada rumusan masalah

mengenai kesejahteraan nelayan yaitu; pendapatan masyarakat pesisir di Kecamatan Kuta meningkat setelah terlaksanakannya Program PUMP dibandingkan dengan sebelumnya.

DATA DAN METODOLOGI

Lokasi penelitian ini meliputi 11 KUBE di Kecamatan Kuta. Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data bersumber dari data primer dan sekunder. Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: variabel keberhasilan program, persepsi tingkat kesejahteraan responden, dan persepsi responden terhadap manfaat PUMP. Variabel keberhasilan program dilihat dari tiga indikator, yaitu: (1) variabel input, yakni variabel masukan yang berkaitan dengan aspek-aspek sebelum Program PUMP dilaksanakan, yang diukur dari indikator pelaksanaan sosialiasi program, tingkat ketepatan sasaran, dan pencapaian tujuan program, (2) variabel proses, yakni variabel yang mengindikasikan proses pelaksanaan Program PUMP yang diukur dari persyaratan penerima BLM, pelaksanaan monitoring, dan pelaksanaan evaluasi, dan (3) variabel output, yakni variabel keluaran yang mengindikasikan hasil dari pelaksanaan Program PUMP, yang diukur dari penyaluran BLM, pelaksanaan fasilitasi, pemanfaatan BLM, dan pencapaian tujuan.

Variabel persepsi tingkat kesejahteraan responden diukur melalui indikator (i) perubahan tingkat pendapatan setelah Program PUMP (dalam satuan rupiah); (ii) perubahan tingkat pendidikan anggota keluarga ke jenjang yang lebih tinggi; (iii) perubahan tingkat kesehatan nelayan menjadi lebih baik setelah Program PUMP; dan (iv) perubahan tingkat keamanan dari sisi ekonomi.

Variabel persepsi responden terhadap manfaat PUMP diukur melalui : (i) perkembangan usaha penangkapan; (ii) perkembangan kelembagaan KUBE; dan (iii) perkembangan kewirausahaan.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat nelayan yang masuk dalam KUBE di Kecamatan Kuta yang berjumlah total 380 orang. Sampel yang diambil sebanyak 80 nelayan. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan pendekatan Slovin. Teknik sampling dalam penelitian ini mengunakan Non-random sampling dengan teknik accidental sampling.

Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik observasi, wawancara terstruktur dan wawancara mendalam. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis efektivitas

Page 75: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

71

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir [Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni]

Tabel 1. Hasil Uji ValiditasNo Variabel Koefisien Korelasi rkritis Simpulan1 Input (X1)

Sosialisasi Program (X1.1) 0,870 0,3 ValidTingkat Ketepatan Sasaran (X1.2) 0,789 0,3 ValidTujuan Program (X1.3) 0,822 0,3 Valid

2 Proses (X2)Persyaratan Penerimaan BLM (X2.1) 0,720 0,3 ValidMonitoring (X2.2) 0,858 0,3 ValidEvaluasi (X2.3) 0,788 0,3 Valid

3 Output (X3)Penyaluran BLM (X3.1) 0,831 0,3 ValidPelaksanaan Fasilitasi (X3.2) 0,853 0,3 ValidPemanfaatan BLM (X3.3) 0,911 0,3 ValidPencapaian Tujuan (X3.4) 0,889 0,3 Valid

4 Variabel PersepsiPerubahan Tingkat Pendapatan 0,713 0,3 ValidPerubahan Tingkat Kesehatan 0,735 0,3 ValidPerubahan Tingkat Pendidikan Anggota Keluarga 0,767 0,3 ValidPerubahan Tingkat Keamanan dari sisi ekonomi 0,771 0,3 Valid

5 Variabel ManfaatPerkembangan usaha penangkapan ikan 0,909 0,3 ValidPerkembangan KUBE menjadi lembaga Ekonomi 0,791 0,3 ValidPerkembangan Kewirausahaan Nelayan 0,868 0,3 Valid

Sumber: Data diolah, 2015

untuk mengetahui efektif tidaknya suatu program, Uji beda non parametric dengan Metode Wilxocon yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kesejahteraan yang diukur dengan indikator-indikator seperti pendapatan, tingkat kesehatan, tingkap pendidikan anggota keluarga, dan tingkat keamanan ekonomi masyarakat nelayan yang masuk dalam anggota KUBE sebagai penerima BLM melalui Program PUMP pada saat sebelum dan sesudah terlaksananya Program PUMP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Validitas dapat dijelaskan sebagai suatu derajat ketepatan alat ukur penelitian tentang inti atau arti sebenarnya yang diukur. Hasil uji validitas disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa korelasi (rhitung) antar skor item instrumen dengan skor total seluruh item pertanyaan lebih besar dari

rkritis (0,3). Jadi seluruh item instrumen dapat dinyatakan valid atau layak digunakan sebagai alat ukur.

Reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran dimana pengujiannya dapat dilakukan secara internal, yaitu pengujian dengan menganalisis konsistensi butir- butir yang ada. Hasil uji reliabilitas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s Alpha untuk setiap variabel lebih besar dari 0,60. Jadi dapat dinyatakan bahwa seluruh variabel telah memenuhi syarat reliabilitas atau kehandalan.

Teknik pengumpulan data melalui kuesioner yang digunakan terdiri atas pernyataan yang dibuat berdasarkan masing-masing variabel, yaitu variabel input yang terdiri dari pelaksanaan sosialisasi program, ketepatan sasaran, pencapaian tujuan program; variabel proses yang terdiri dari persyaratan penerimaan BLM, pelaksanaan monitoring, pelaksanaan evaluasi; serta variabel output yang terdiri dari penyaluran BLM, pelaksanaan fasilitasi, pemanfaatan BLM, dan pencapaian tujuan. Skala pengukuran (penilaian) menurut Supranto (2000:86) dibagi menjadi empat skala pengukuran dengan kriteria yaitu: 1,00 – 1,75 = sangat tidak baik, 1,76 – 2,25 = tidak baik, 2,26 – 3,25 = baik, dan 3,26 – 4,00 = sangat baik.

Berdasarkan Tabel 3 persepsi responden terhadap

Tabel 2. Hasil Uji Reliabilitas

No Variabel Cronbach’s Alpha Simpulan

1 Variabel Input 0,757 Reliabel2 Variabel Proses 0,667 Reliabel3 Variabel Output 0,887 Reliabel4 Variabel Persepsi 0,718 Reliabel5 Variabel Manfaat 0,820 Reliabel

Sumber: Data diolah, 2015

Page 76: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

72

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

upaya sosialisasi yang dilakukan petugas dalam sosialisasi program sebesar 46,3 persen responden menjawab Setuju, yang berarti upaya yang dilakukan petugas dalam sosialisasi program sudah memberikan pemahaman mengenai tujuan dilaksananya Program PUMP kepada masyarakat. Melalui hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada salah satu anggota KUBE Putra Bali, I Made Ripuk pada tanggal 20 Mei 2015 di pantai Kedonganan berpendapat seperti dijabarkan berikut ini.

“Sosialisasi Program PUMP yang dilakukan petugas dinas mampu sedikit tidaknya saya mengerti, karena saat sosialisasi berlangsung petugas menjelaskan dengan baik apa itu PUMP dan tujuan Program PUMP dilaksanakan, persyaratan yang harus dipenuhi calon penerima Program PUMP, sampai proses administrasi disampaikan dengan jelas sehingga saya dan calon penerima PUMP lainnya mampu memahami dengan baik paparan yang disampaikan petugas.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 41,3 persen, artinya upaya yang dilakukan petugas dalam sosialisasi program sudah sangat dipahami tujuan terlaksananya Program PUMP kepada masyarakat. Pembahasan ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat nelayan terhadap Program PNPM cukup baik, masyarakat memberikan tanggapan positif terhadap kegiatan-kegiatan yang telah terprogram salah satunya dalam mengikuti sosialisasi Program PUMP yang dilaksanakan, masyarakat nelayan juga ikut serta dalam tahapan-tahapan PNPM Mandiri Perdesaan, masyarakat yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan dan masyarakat yang menikmati hasilnya (Heru, 2013).

Responden yang menjawab Tidak Setuju sebesar 8,8 persen, yang berarti upaya yang dilakukan petugas dalam sosialisasi program tidak memberikan pemahaman tujuan dilaksanakannya Program PUMP kepada masyarakat. Menurut I Ketut Sujana yang merupakan anggota KUBE Kerta Bali saat wawancara mendalam pada tanggal 20 Mei 2015 di rumah Bapak

Suardinata berpendapat sebagai berikut.“Kurang pahamnya masyarakat nelayan terhadap sosialisasi yang diberikan disebabkan karena pada saat dilakukan sosialisasi tidak semua anggota kelompok nelayan menghadiri sosialisasi Program PUMP, hal ini disebabkan karena undangannya terbatas sesuai dengan dana yang dialokasikan DKP Provinsi Bali, jadi tidak semua anggota kelompok nelayan mengetahui dengan jelas tujuan dari adanya Program PUMP.”

Reposnden yang menjawab Sangat Tidak Setuju sebesar 3,8 persen, yang berarti upaya yang dilakukan petugas dalam sosialisasi program sangat tidak memberikan pemahaman tujuan dilaksanakannya Program PUMP kepada masyarakat.

Persepsi responden terhadap tingkat ketepatan sasaran 51,3 persen responden menjawab Setuju, yang berarti penerima BLM melalui Program PUMP sudah tepat sasaran. Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 21 Mei 2015 di KUBE Saman Jaya I kepada I Made Sadia selaku Bendahara KUBE Saman Jaya I berpendapat sebagai berikut.

“Dengan diberikannya sosialisasi serta arahan-arahan tentang alur perolehan dana PUMP, kelompok kami merasa sangat terbantu. Begitu juga dengan kelompok lainnya, saya merasa Program PUMP ini sudah tepat sasarannya, sebab yang dapat dana PUMP memang nelayan yang kondisinya memang kurang dan perlu diberdayakan. Disamping itu yang mendapat PUMP sudah pasti kelompok yang mengikuti alur dan prosedur dengan baik seperti membuat anggaran membeli apa saja dengan uang PUMP tersebut, tidak boleh terima dana double, tidak boleh ada PNS yang terima PUMP, dan kelompok sudah terdaftar di dinas.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 37,5, artinya penerima BLM melalui Program PUMP sangat tepat sasaran; 7,5 persen responden menjawab Tidak setuju, yang artinya penerima BLM melalui Program PUMP tidak tepat sasaran. Menurut I Ketut Suardinata yang merupakan Ketua KUBE Kerta Bali

Tabel 3. Deskripsi Jawaban Responden Terhadap Variabel Input

No PernyataanJawaban

Kete-ranganSTS TS S SS

Rata-rata% % % %

1 Sosialisasi Program PUMP yang diberikan oleh petugas terkait dapat dipahami dengan baik.

3,8 8,8 46,3 41,3 3,25 Baik

2 Penerima dana BLM melalui Program PUMP sudah tepat sasaran

3,8 7,5 51,3 37,5 3,22 Baik

3 Masyarakat pesisir mengetahui dengan baik tujuan Program PUMP

0 8,8 63,8 27,5 3,18 Baik

Total Rata-Rata 3,21 BaikSumber: Data diolah, 2015

Page 77: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

73

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir [Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni]

saat wawancara mendalam pada tanggal 20 Mei 2015 di rumah Bapak Suardinata berpendapat sebagai berikut.

“Dana PUMP melalui BLM tidak diberikan tepat sasaran sebab antara jumlah anggota KUBE yang berjumlah sedikit dan berjumlah banyak sama jumlahnya. Harusnya jika bisa untuk anggota KUBE yang anggotany lebih banyak diberikan bantuan dana yang lebih besar. “

Persepsi responden terhadap tujuan program sebesar 63,8 persen responden menjawab Setuju, yang berarti masyarakat pesisir mengetahui tujuan Program PUMP dengan baik. pernyataan ini disampaikan langsung oleh I Made Wirya yang merupakan salah satu anggota KUBE Putra Bali yang diwawancara pada 18 Juni 2015 di kediamannya, bependapat seperti diurai berikut ini.

“Tujuan dari PUMP ini memang sedikit tidaknya sudah kami ketahui tujuannya apa, seperti membantu meningkatkan hasil tangkap dan menumbuhkan wirausaha, disamping itu hal lain dapat dilihat dari antusias kelompok nelayan yang sudah tahu akan tujuan PUMP dalam menghadiri kegiatan sosialisasi.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 27,5 persen, artinya masyarakat pesisir mengetahui tujuan Program PUMP dengan sangat baik dan 8,8 persen responden menjawab Tidak Setuju, yang berarti masyarakat pesisir tidak mengetahui tujuan Program PUMP. Pendapat dari I Nyoman Sugi Artana yang merupakan anggota KUBE Bendesa Manik Mas saat wawancara pada 15 Juni 2015 di Pantai Kedonganan adalah sebagai berikut.

“Mengenai tujuan PUMP itu sendiri saya hanya tahu sekilas saja yaitu mensejahterakan nelayan dengan bantuan berupa uang, namun untuk detailnya tujuan keseluruhan dari Program PUMP saya kurang paham, sebab waktu dilakukan sosialisasi saya tidak dapat hadir sehingga saya hanya mendengar dari orang-orang tentang tujuan dari Program PUMP.”

Berdasarkan data tersebut, efektifitas pelaksanaan

Program PUMP pada variabel input, dapat di uraikan sebagai berikut:

Efektivitas Program =Realisasi

x 100%Target

Efektivitas Program =3,21

x 100%4

= 80,25% (Sangat Efektif)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat persepsi responden terhadap variabel proses yang terdiri dari beberapa indikator sebagai berikut. Persepsi responden terhadap persyaratan penerimaan BLM sebesar 53,8 persen menjawab Setuju, yang berarti persyaratan pengajuan penerimaan dana BLM melalui Program PUMP mudah dipenuhi. Hasil wawancara mendalam pada 20 Juli 2015 kepada I Ketut Sudina di kediamannya yang merupakan Ketua dari KUBE Tanjung Sari I berpendapat seperti diurai berikut ini.

“Proses pengajuan yang harus dipersiapkan tidak memberatkan calon penerima PUMP, karena persyaratan yang diberikan mudah dipenuhi bagi saya dan anggota kelompok. Persyaratan-persyaratan tersebut yaitu dengan mendaftarkan KUBE ke Dinas, KUBE sudah berdiri selama 1 tahun atau lebih, jumlah anggota kelompok minimal 10 orang, KUBE yang sudah pernah dapat dana BLM melalui Program PUMP tidak boleh mendaftar lagi, dan anggota kelompok yang menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS), Perangkat Desa, Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (POLRI) tidak boleh dapat bantuan.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 35, yang berarti persyaratan pengajuan penerimaan dana BLM melalui Program PUMP sangat mudah dipenuhi; 10 persen responden menjawab Tidak Setuju, yang berarti persyaratan pengajuan penerimaan dana BLM melalui Program PUMP tidak mudah dipenuhi. Menurut Putra Wira Pranata yang merupakan Ketua KUBE Bendesa Manik Mas

Tabel 4. Deskripsi Jawaban Responden Terhadap Variabel Proses

No PernyataanJawaban

KeteranganSTS TS S SS Rata-rata% % % %

1 Persyaratan pengajuan penerimaan dana BLM melalui Program PUMP mudah dipenuhi

1,3 10 53,8 35 3,22 Baik

2 Monitoring sering dilakukakan oleh petugas terkait mengenai penggunaan dana BLM

1,3 7,5 63,8 27,5 3,17 Baik

3 Evaluasi sering diadakannya mengenai pencapaian tujuan dalam pelaksanaan program

1,3 5 58,8 35 3,27 Sangat Baik

Total Rata-rata 3,22 BaikSumber : Data diolah, 2015

Page 78: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

74

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

saat wawancara pada 15 Juni 2015 di KFC Sanur berpendapat sebagai berikut.

“Dalam pengajuan penerimaan BLM ada beberapa hal yang menjadi kesulitan dalam pengajuan dana PUMP diantaranya seperti proses birokrasi dan administrasi. Anggota KUBE saya rata-rata sudah berusia 50 keatas yang sebagian besar pendidikannya kurang sehingga kurang paham akan alur serta proses pengajuan dana PUMP tepatnya seperti apa. Disini saya hanya ingin membantu beban yang dimiliki oleh anggota kelompok nelayan, tugas saya disini bukanlah melaut dan nelayan bukan pekerjaan saya, namun tugas saya hanya membantu KUBE Bendesa Manik Mas agar memperoleh dana PUMP, menegelola dana PUMP agar bisa dinikmati secara bersama oleh anggota saya, dan mengelola SDM agar organisasi tetap berjalan dengan baik dan bisa meningkatkan kesejahteraan anggota KUBE saya.”

Responden menjawab Sangat Tidak Setuju sebesar 1,3 persen, yang berarti persyaratan pengajuan penerimaan dana BLM melalui Program PUMP sangat tidak mudah dipenuhi.

Persepsi responden mengenai pelaksanaan monitoring sebesar 68,3 persen responden menjawab Setuju, yang berarti monitoring sering dilakukan oleh petugas terkait penggunaan dana BLM. Wawancara mendalam yang dilakukan pada 25 Juni 2015 di Kampung Kepiting kepada I Wayan Agus Wirawan yang merupakan anggota dari KUBE Wana Sari menegaskan sebagai berikut.

“Adanya pelaksanaan monitoring yang dilakukan bisa meminimalisir terjadinya penyelewengan dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah, sebab biasanya ketika dana diperoleh apalagi dana yang didapat adalah uang cuma-cuma tanpa harus dikembalikan kemungkinan besar akan terjadi penyalahgunaan dana, sehingga pelaksanaan monitoring harus terus dilakukan.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 27,5 persen, yang berarti monitoring sangat sering dilakukan oleh petugas terkait penggunaan dana BLM; 7,5 persen responden menjawab Tidak Setuju, yang berarti monitoring tidak sering dilakukan terkait penggunaan dana BLM. Menurut I Wayan Sadita yang merupakan anggota KUBE Segara Ayu saat wawancara mendalam pada tanggal 25 Mei 2015 di rumah Bapak Sadita berpendapat bahwa.

Proses monitoring harusnya dilakukan lebih rutin dan merata, agar dana PUMP yang diperoleh diketahui digunakan untuk apa saja. Data-data mengenai hasil produksi dan hasil penjualan juga sudah kami catat agar saat proses monitoring kami dapat dengan jelas

melaporkan bagaimana perkembangan KUBE setelah mendapat bantuan dana dari PUMP.”

Responden menjawab Sangat Tidak Setuju sebesar 1,3 persen, yang berarti monitoring sangat tidak sering dilakukan oleh petugas terkait penggunaan dana BLM.

Persepsi responden mengenai pelaksanaan evaluasi sebesar 58,8 persen responden menjawab Setuju, yang berarti evaluasi sering diadakan guna mengatasi kendala-kendala yang dialami dalam proses pencapaian tujuan pada pelaksanaan program. Menurut I Ketut Sujana pada wawancara yang dilakukan pada 30 Juni 2015 di Pantai Kedonganan yang merupakan salah satu anggota dari KUBE Puta Bali berpendapat sebagai berikut.

“Bermata pencaharian sebagai nelayan adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang waktu musim bagus, tidak hujan, dan harga ikan naik dan susah waktu hal yang gampang menjadi kebalikan. Banyak faktor yang menghambat produksi ikan seperti modal melaut, alat tangkap, serta kerusakan-kerusakan yang terjadi, sehingga melalui evaluasi rutin yang dilakukan selama satu bulan sekali dapat memberi solusi atas masalah dan hambatan yang kami rasakan.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 35 persen, yang berarti evaluasi sangat sering diadakan guna mengatasi kendala-kendala yang dialami dalam proses pencapaian tujuan pada pelaksanaan program; 5 persen responden menjawab Tidak Setuju, yang berarti evaluasi tidak sering diadakan guna mengatasi kendala-kendala yang dialami. Menurut I Ketut Suardinata yang merupakan Ketua KUBE Kerta Bali saat wawancara mendalam pada tanggal 20 Mei 2015 di rumah Bapak Suardinata menyatakan sebagai brikut.

“Evaluasi tentang PUMP harusnya lebih sering dilakukan paling tidak sebulan sekali, sebab ada saja kendala-kendala dalam melaut seperti faktor cuaca, dan harapannya evaluasi dapat dilakukan secara berkesinambungan, tidak hanya di awal saja, agar petugas atau pemerintah tau apa saja kendala yang kami hadapi setelah dana PUMP kami peroleh.”

Responden yang menjawab Sangat Tidak Setuju sebesar 1,3 persen, berarti evaluasi sangat tidak sering diadakan.

Berdasarkan data tersebut, efektifitas pelaksanaan Program PUMP pada variabel output, dapat di uraikan sebagai berikut.

Efektivitas Program = Realisasi x 100%Target

Page 79: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

75

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir [Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni]

Tabel 5. Deskripsi Jawaban Responden Terhadap Variabel Output

No PernyataanJawaban

KeteranganSTS TS S SSRata-rata

% % % %1 BLM yang diberikan sudah tersalurkan pada sasaran

yang tepat0 10 48,8 41,3 3,31 Sangat Baik

2 Terlaksananya Program PUMP mampu mengembangkan kelembagaan KUBE

0 8,8 61,3 30 3,21 Baik

3 Dana BLM yang diberikan digunakan dengan tepat sesuai tujuan

0 10 57,5 32,5 3,22 Baik

4 Pelaksanaan Program PUMP mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan

0 18,8 46,3 35 3,16 Baik

Total Rata-rata 3,22 Sumber : Data diolah, 2015

Efektivitas Program =3,22

x 100% 4

= 80,50% (Sangat Efektif).

Berdasarkan Tabel 5 persepsi responden terhadap variabel output yang terdiri dari beberapa indikator sebagai berikut. Persepsi responden mengenai penyaluran BLM sesebar 48,8 persen responden menjawab Setuju, yang berarti BLM yang diberikan sudah tersalurkan pada sasaran yang tepat. Melalui wawancara mendalam pada tanggal 30 Juni 2015 di Kampung kepiting kepada I Made Sumasa yang merupakan Ketua dari KUBE Wana Sari berpendapat sebagai berikut.

“Dana BLM sudah diberikan sudah tepat sasaran, dapat dilihat dari yang memperoleh bantuan BLM didominasi oleh nelayan yang alat tangkap dan melautnya masih tergolong tardional.”

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 41,3 persen, yang berarti BLM yang diberikan sudah tersalurkan pada sasaran yang sangat tepat. Pembahasan ini pula didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa modal kerja berpengaruh secara simultan terhadap pendapatan nelayan (Trisnawati,dkk : 2013). 10 persen responden menjawab Tidak Tepat, yang berarti BLM yang diberikan sudah tersalurkan pada sasaran yang tidak tepat. Menurut I Wayan Suwidia yang merupakan anggota KUBE Kerta Bali saat wawancara pada 20 Juni 2015 di Pantai Rumah Bapak Suardinata berpendapat.

“BLM disalurkan jumlahnya tidak tepat sesuai jumlah anggota KUBE, karena tidak ada bedanya perolehan dana BLM antara KUBE yang sedikit jumlahnya dengan yang banyak jumlahnya. Kalaupun memang tidak bisa, lebih baik diberikan solusi agar bisa terbentuk KUBE dengan jumlah anggota yang perposional sesuia kriteria agar dana bisa digunakan

secara maksimal.”Presepsi responden terhadap pelaksanaan

fasilitasi sebesar 61,3 persen responden menjawab setuju, yang berarti terlaksananya Program PUMP mampu memfasilitasi kelembagaan KUBE sehingga kelembagaan KUBE mampu berkembang. Menurut jawaban I Made Pulir pada wawancara mendalam yang dilakukan pada 25 Juni 2015 di KUBE Saman Jaya I yang merupakan Ketua KUBE Saman Jaya I terkait perkembangan lembaga KUBE karena adanya Program PUMP adalah seperti dijelaskan berikut ini.

Dengan diperolehnya dana BLM melalui Program PUMP, kelembagaan KUBE yang dulunya hanya mampu menyimpan laba hasil tangkap nelayan kini mampu menjadi lembaga ekonomi yang mampu memberikan kredit kepada masyarakat umum bahkan lembaga KUBE Saman Jaya I mampu memberi bantuan secara cuma-cuma berupa financial kepada istri-istri yang suaminya tergabung dalam KUBE Saman Jaya I. Bantuan ini bertujuan untuk pemberdayaan dan menciptakan kewirausahaan pada istri nelayan yang tidak bekerja sehingga diharapkan melalui pemberdayaan yang dilakukan mampu menambah nilai guna dari hasil tangkap yang diperoleh dan menambah pendapatan keluarga yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan.

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebesar 30 persen, yang berarti terlaksananya Program PUMP mampu memfasilitasi kelembagaan KUBE sehingga kelembagaan KUBE sangat mampu berkembang. Penelitian ini didukung pula oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa pemberdayaan ekonomi nelayan melalui penguatan kelembagaan koperasi nelayan merupakan solusi yang sangat strategis dan relevan. Secara individu nelayan sangat sulit berkembang karena lemahnya kekuatan pasar yang dimiliki. Tetapi secara kolektif melalui manajemen koperasi yang profesional, kekuatan pasar nelayan di pasar input dan output

Page 80: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

76

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

akan meningkat, dengan demikian kesejahteraan nelayan juga meningkat (Indarti, 2013). 8,8 persen responden menjawab Tidak Setuju, yang berarti terlaksananya Program PUMP mampu memfasilitasi kelembagaan KUBE sehingga kelembagaan KUBE tidak mampu berkembang. Menurut I Gede Sudiarta yang merupakan anggota KUBE Putra Bali saat wawancara pada 18 Juni 2015 di Pantai Kedonganan menyatakan pendapat berikut ini.

“Mengenai fasilitasi yang diberikan sayangnya tidak semua KUBE mampu berkembang karena perolehan fasilitasi berupa dana BLM. Dari 11 KUBE yang memperoleh Program PUMP hanya beberapa KUBE saja yang bisa berkembang. Hal ini disebabkan karna lemahnya kualitas SDM dalam mengelola organisasi serta BLM yang diperoleh sehingga dana BLM tidak dapat berputar.”

Persepsi reponden terhadap pemanfaatan BLM sebesar 57,5 persen responden menjawab Setuju, yang berarti dana BLM yang diberikan digunakan dengan tepat sasaran. Menurut I Wayan Sada pada wawancara mendalam yang dilakukan pada 25 Juni 2015 di KUBE Saman Jaya I, yang juga merupakan salah satu anggota KUBE Saman Jaya I berpendapat sebagai berikut.

“Dana yang cair dari Porgram PUMP sudah pasti kami gunakan sebaik-baikya. Sebab apa yang kami buat di awal seperti penganggaran RUB pasti tidak dapat diselewengkan, apalagi kami pakai untuk beli hal lain diluar RUB atau yang tidak ada hubungannya dengan melaut. Adanya monitoring yang dilakukan oleh petugas-petugas juga sangat ketat, karna bila petugas melakukan monitoring pada kelompok kami mereka sering menanyakan mana kapal yang kami beli oleh dana PUMP, jenis kapalnya apa, berapa GT, kwitansinya mana, ada juga yang bertanya berapa hasil produksi ikan, apa bertambah atau berkurang, sehingga denga monitoring yang dilakukan tersebut kami rasa dana akan digunakan tepat juga oleh kelompok lain, mengingat sanksi jika melakukan penyelewengan bisa di tahan dalam penjara, jadi saya rasa penggunaan BLM pasti sudah digunakan tepat baik oleh kelompok kami maupun kelompok lainnya yang dapat dana PUMP.”

Responden yang menjawab Tidak Setuju sebesar 10 persen, yang berarti dana BLM yang diberikan digunakan dengan tidak tepat. Menurut I Nyoman Pulir yang merupakan Ketua KUBE Saman Jaya I saat wawancara pada 25 Juni 2015 di KUBE Saman Jaya I menyatakan sebagai berikut.

“Mengenai dana BLM yang diberikan ada salah satu KUBE yang tidak menggunakan dana BLM secara tepat, karena dana yang diberikan digunakan untuk

keperluan lain diluar melaut.”Persepsi responden terhadap pencapaian tujuan

Program PUMP sebesar 46,3 persen responden menjawab Setuju, yang berarti pelaksanaan Program PUMP mampu mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan. Menurut I Made Sadia pada wawancara mendalam yang dilakukan pada 25 Juni 2015 di KUBE Saman Jaya I yang merupakan Bendahara KUBE Saman Jaya I berpendapat sebagai berikut.

Tujuan-tujuan dari terlaksananya Program PUMP sudah tercapai. Salah satu tujuan Program PUMP yang mampu mencapai hasil maksimal yaitu peningkatan pendapatan nelayan yang diperoleh melalui kegiatan usaha nelayan kecil perdesaan. Melalui BLM yang diperoleh nelayan bisa membeli alat tangkap serta kapal yang lebih berkualitas, penambahan armada baik kapal maupun alat tangkap yang diperoleh dirasa mampu menambah hasil tangkap nelayan, sebab semakin banyak kapal yang dimiliki oleh kelompok nelayan, maka tidak menutup kemungkinan pula terjadi peningkatan hasil tangkap karena banyak nelayan yang bisa melaut dengan adanya penambahan kapal tersebut.

Responden yang menjawab Sangat Setuju sebsar 35 persen, yang berarti pelaksanaan Program PUMP sangat mampu mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan dan 18,8 responden menjawab Tidak Setuju, yang berarti pelaksanaan Program PUMP tidak mampu mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan. Menurut I Wayan Suwita yang merupakan Wakil Ketua KUBE Ulam Sari saat wawancara pada 30 Juni 2015 di rumahnya berpendapat sebagai berikut.

Saat ini KUBE kami hanya mampu mancapai satu tujuan Program PUMP saja yaitu meningkatkan pendapatan nelayan dari sebelumnya. Untuk tujuan seperti menumbuhkan wirausaha dan mengembangkan KUBE menjadi lembaga ekonomi kami belum bisa, sebab bantuan PUMP yang kami peroleh belum bisa kami buat dananya berputar, disamping itu anggota kami juga belum bisa mengolah hasil tangkap menjadi bahan olahan makanan yang memiliki harga jual tinggi.

Berdasarkan data tersebut, efektifitas pelaksanaan Program PUMP pada variabel output, dapat di uraikan sebagai berikut.

Efektivitas Program =Realisasi

x 100%Target

Efektivitas Program =3,22

x 100%4

= 80,70% (Sangat Efektif)

Page 81: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

77

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir [Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni]

Dari hasil pembahasan mengenai tingkat efektivitas Program PUMP yang dinilai dari variabel input, proses, output, maka diperoleh hasil sebagai berikut.

Efektivitas Program = Realisasi x 100%Target

Efektivitas Program =3,21+3,22+3,22

x 100%3x4

= 80,41% (Sangat Efektif)

Hasil uji beda normalitas menunjukkan one sample kolmogorov- smirnov test menyebutkan bahwa hasil uji kolmogorov-smirnov sebelum sebesar 1,63 dengan tingkat signifikansi sebesar 0.01 dan hasil uji kolmogorov-smirnov sesudah sebesar 1.26 dengan tingkat signifikansi sebesar 0.08. Hasil uji normalitas menunjukan pada kedua kelompok data terdapat ketidaknormalan distribusi data. Jadi metode uji yang tepat digunakan yaitu uji beda non parametric yaitu dengan wilcoxon test. Hasil uji pengaruh Program PUMP terhadap tingkat pendapatan masyarakat nelayan yang masuk dalam anggota KUBE di Kecamatan Kuta menunjukkan bahwa Asymp. Sig sebesar 0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terlaksananya Program PUMP berdampak positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat nelayan yang masuk dalam anggota KUBE.

Program PUMP berpengaruh positif terhadap tingkat kesehatan masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta. Peningkatan pendapatan yang diperoleh ma-syarakat nelayan setelah terlaksananya Program PUMP mampu mengubah pola konsumsi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan akan lebih memperhati-kan konsumsinya menjadi lebih bergizi dari sebelum-nya. Konsumsi masyarakat nelayan yang lebih bergizi berdampak pada tingkat kesehatan yang dimiliki, sehingga jika nelayan memiliki kesehatan yang baik maka akan berdampak pula pada produktivitas ne-layan dalam melaut. Dampak lain yang ditimbulkan dari peningkatan pendapatan masyarakat nelayan yang diperoleh setelah Program PUMP terlaksana juga mampu memberi kesempatan masyarakat ne-layan untuk berobat ke tempat yang lebih baik.

Program PUMP berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anggota keluarga masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta. Terlaksananya Program PUMP yang berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat nelayan memberi pengaruh terhadap tingkat pendidikan anggota keluarga masyarakat nelayan. Peningkatan pendapatan yang diperoleh

masyarakat nelayan memberi pengaruh positif, berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti kepada Bapak Sudiasa yang merupakan wakil Ketua KUBE Ulam Sari berpendapat dengan meningkatnya pendapatan yang diperoleh setelah Program PUMP terlaksana nelayan memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan anggota keluarganya ke jenjang pendidikan yang lebih baik.

Program PUMP berpengaruh terhadap keamanan dari sisi ekonomi masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta. Rasa aman dari sisi ekonomi yang dirasakan masyarakat nelayan melalui peningkatan pendapatan yang diperoleh mampu membuat nelayan menyisihkan uangnya untuk ditabung sehingga dengan tabungan yang dimiliki masyarakat nelayan berdampak pada rasa aman dari sisi ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta. Pengaruh lain dari peningkatan pendapatan yang diperoleh masyarakat nelayan selain kemampuan untuk meningkatkan konsumsi, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman dari sisi ekonomi juga berdampak pada kemandirian yang dimiliki nelayan. Kemandirian yang dimiliki dari masyarakat nelayan dapat diukur dari kemampuan nelayan untuk memberi nilai tambah pada hasil tangkapan yang diperoleh.

Program PUMP Perikanan Tangkap merupakan bagian dari pelaksanaan PNPM Mandiri yang bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan (Perpres 15/2010: Klaster II), namun dalam proses pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah dalam pengimplementasian Program PUMP. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimplementasian berasal dari faktor-faktor, yakni sumber daya manusia dan teknologi.

Rendahnya pendidikan beberapa masyarakat nelayan menyebabkan pemahaman yang diperoleh mengenai tujuan diadakannya Program PUMP belum maksimal, karena menurut penelitian yang telah di-lakukan ada beberapa responden yang tidak mema-hami secara jelas mengenai sosialisasi yang telah di-lakukan petugas terkait. Rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh beberapa msyarakat nelayan akan ber-dampak pada kemampuan dalam berorganisasi dan mengelola keuangan atau bantuan yang diberikan. Pengetahuan akan teknologi sangat mendominasi kelancaran dari Program PUMP. Salah satu prasyarat pengajuan dana BLM melalui Program PUMP yaitu pembuatan proposal, pembuatan rencana usaha ber-sama (RUB) yang didalamnya berisi anggaran yang dibeli dari BLM yang diperoleh. Beberapa keluhan nelayan mengenai Program PUMP yaitu sulitnya nelayan dalam mengoperasikan beberapa aplikasi

Page 82: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

78

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

yang terdapat dalam komputer yang menghambat terealisasikannya Program PUMP secara merata.

Dari keterbatasan-keterbatasan yang kurang efektif dan efisien, masyarakat nelayan dituntut agar lebih mahir dalam mengoperasikan teknologi-teknologi, karena jika nelayan sudah mampu mengoperasikan teknologi seperti alat tangkap dan perahu yang modern maka produktivitas nelayan dalam melaut akan bertambah yang berdampak pada hasil produksi.

Setiap kebijakan–kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan seperti Program PUMP ini tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Dana BLM yang diperoleh KUBE sebesar Rp.100.000.000,00 masih dirasa tidak cukup dan masih kurang oleh beberapa kelompok nelayan di Kecamatan Kuta, sebab di Kecamatan Kuta masih terdapat beberapa KUBE yang beranggota melebihi kuota yang telah ditetapkan, sehingga dana yang didapat belum dapat dinikmati oleh seluruh anggota pada kelompok nelayan yang anggotanya melebihi kuota yang ditetapkan.

Sosialisasi merupakan salah satu upaya pengenalan tujuan dilaksanakan-nya Program PUMP. Adanya sosialisasi akan memberi pemahaman kepada masyarakat nelayan mengenai fungsi dan tujuan Program PUMP. Sosialisasi yang diberikan oleh petugas terkait dirasa kurang efektif oleh masyarakat nelayan sebab sosialisasi yang dilakukan petugas terkait tidak dilaksanakan di daerah nelayan, melainkan nelayan di undang untuk datang ke suatu tempat yang sudah ditentukan oleh petugas terkait untuk mengadakan sosialisasi, sehingga tidak semua nelayan mengetahui sosialisasi PUMP tersebut.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal berikut. . Efektivitas Program PUMP yang diukur dengan variabel input, proses, output memperoleh hasil sebesar 80,41% yang berarti Program PUMP tergolong Sangat Efektif. Hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan di Kecamatan Kuta tergolong meningkat. Kendala-kendala seperti kualitas SDM yang rendah sehingga kurang mampu dalam mengelola BLM yang diperoleh serta mengelola organisasi, kurangnya penguasaan terhadap IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), dan cuaca buruk. Kelemahan yang terdapat pada Program PUMP antara lain dana BLM yang dirasa kurang, serta sosialisasi yang kurang mendalam.

SARAN

Diperlukan campur tangan oleh petugas terkait proses administasi, pengelolaan dana BLM serta dalam proses pengorganisasian mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh nelayan. Pada saat dilaksanakannya sosialisasi Program PUMP sebaiknya seluruh anggota KUBE calon penerima PUMP diundang hadir agar tujuan mengenai Program PUMP dapat diketahui dengan baik. Petugas terkait harus turun langsung ke lapangan guna mengadakan sosialisasi, sebab tidak semua nelayan mengetahui tentang Program PUMP. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebaiknya dilakukan minimal sebulan sekali agar Program PUMP lebih efektif. Diperlukan peran petugas terkait dalam memfasilitasi KUBE yang kualitas SDM nya masih tergolong rendah, agar KUBE terkait mampu mandiri. Ketegasan sanksi terhadap penerima BLM yang tidak menggunakan dana PUMP sesuai tujuan. Ketepatan dalam pemberian dana BLM harus tepat sasaran, artinya dana yang diberikan sesuai dengan kriteria KUBE yang telah ditetapkan. Diharapkan agar dapat melaksanakan program-program sejenis Program PUMP secara berkesinambungan karena berpengaruh positif terhadap masyarakat yang memperoleh bantuan melalui Program PUMP.

REFERENSI

Badan Pusat Statistik Denpasar.2013.Bali Dalam Angka 2014.Denpasar.

Bintoro Ctjokroamitdjojo dan Mustopadidjaya A.R. 1986. Pengantar Pemikiran Tentang Teori dan Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: PT Gunung Agung.

Chorneles Reifan AH. 2013. Program Pengembangan Usaha Mina Perdesaan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Di Kel. Malalayang 1 Timur Kec. Malalayang Kota Manado. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/governance/article/viewFile/1560/1253, diunduh pada 23 April 2015

David E.B.S. Ticoalu, Emil Reppie, dan Aglius T.R. Telleng. 2013. Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Tangkap di Kota Manado. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap, 1(3) : h.5

Helmi Alfian dan Arif Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. Jurnal Makara Sosial Humaniora, 16(1): h.68-69

Heru S Efendi. 2013. Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Desa Sesulu Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser Utara. e-Journal Ilmu Pemerintahan, 1(2) : h.793

Indarti Iin dan Dwiyadi Surya Wardana. 2013. Metode Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Melalui Penguatan Kelembagaan di Wilayah Pesisir Kota Smarang. Jurnal BENEFIT, 17(2) : h.11

Irawan dan M. Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan, Edisi: Keenam. Yogyakarta: BPFE.

Prakoso Jati. 2013. Peranan Tenaga Kerja, Modal, dan

Page 83: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

79

Evaluasi Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir [Ni Made Ayu Indiradewi dan A.A. Istri Ngurah Marhaeni]

Teknologi Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat Nelayan di Desa Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang. Skripsi Sarjana Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang

Purwanti Endang. 2102. Pengaruh Karakteristik Wirausaha, Modal Usaha, Strategi Pemasaran Terhadap Perkembangan UMKM di Desa Dayaan dan Kalilondo Salatiga. Jurnal Among Makarti 5(9) : h.18-19

Rahmatika Delsa, Firdaus, dan Evi Susanti Tasri. 2013. Analysis Of Factors Affecting The Fishermen In The City Of Income Padang (Case Study In Community Fishing In Ulak Karang Padang). System Journal, 3(3): p.1

Sipahelut Michel, 2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Stanis Stefanus, Supriharyono, Azis Nur Bambang. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timut. https://scholar.google.co.id/scholar?biw=1366&bih=625&bav=on.2,or.&bvm=bv.99804247,d.c2E&um=1&ie=UTF-8&lr&q=related:Fi0x7W3Ms1L4XM:scholar.google.com/. (Diunggah pada 25 April 2015)

Subagyo, Ahmad Wito. 2000. Efektivitas Program Penanggulangan Masyarakat Perdesaan. Yogyakarta: UGM.

Sugiharto Eko, Salmani, Bambang Indratno Gunawan. 2013. Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, 18(2) : h.68

Sugiharto Eko. 2007. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik. Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan, 4(2): h.32-36. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman.

Suharto E, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Supranto, J. 2000. Statistik, Teori dan Aplikasi. Edisi Keenam. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Syafrudin Abu Bakar, Sahri Muhammad, Maryunani, Nuhfil Hayani. 2012. A Study on Empowerment Partner Model in Fishing Community in City of Bengkulu, Sumatra, Indonesia. Journal Asian Transactions on Basic and Applied Sciences (ATBAS), 2(4): p.46

Trisnawati Meta, Yenni Del Rosa, Yosi Eka Putri. 2013. Pengaruh Modal Kerja, Tenaga Kerja, Jam Kerja, Tehadap Pendapatan Nelayan Tradisional Di Nagari Koto Taratak Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan. e-journal.Program Studi Pendidikan Ekonomi. STKIP PGRI Sumatera Barat.

Page 84: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

80

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Model Regresi Logistik pada Kelulusan Ujian Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Rukini*)

Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan

ABSTRAK

Model regresi merupakan alat untuk menganalisis hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor. Model regresi logistik digunakan saat variabel responnya bersifat kualitatif. Model yang sesuai diperoleh setelah dilakukan penaksiran parameter, uji signifikansi dan uji kecocockan model. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh usia, masa kerja dan jenis kelamin peserta ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah terhadap kelulusan. Studi kasus ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Pusdiklat BPS RI gelombang II Tahun 2015. Data yang digunakan sebanyak 194 orang.Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa usiamempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kelulusan ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Semakin banyak peserta ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah usia kurang dari 35 tahun, maka kecenderungan untuk lulus semakin meningkat.

Kata kunci: sertifikat keahlian pengadaan barang dan jasa, organisasi pengadaan barang jasa, re-gresi logistik

Logistic Regression Models on Certification Test of Procurement of Government Goods and Services

ABSTRACT

The regression model a means to analyze the relationship between response variable and the predictor variables. Logistic regression model is used when response variable is qualitative. The appropriate model obtained after parameter estimation, significance test and compatibility test models. The goal of this research was to determine the effect of age, years of service and gender of participants exams towards graduation. The case study certification exams government procurement of goods and services to wave II Pusdiklat BPS RI Year 2015. The data used as many as 194 people. The processing results show that age has a significant influence on level the graduation certification exams of government procurement of goods and services. The more participants certification exam government procurement of goods and services for less than 35 years of age, the increasing tendency to pass .

Keywords: certificates of expertise procurement, procurement organization, logistic regression

PENDAHULUAN

Pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerin-tahannya, sudah pasti dibutuhkan logistik, peralatan dan jasa guna menunjang optimalnya kerja instansi tersebut.Kebutuhan ini dipenuhi oleh beberapa pi-hak, baik itu perusahaan milik pemerintah maupun swasta.Berbeda dengan pengadaan barang dan jasa di instansi dan perusahaan swasta, pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan lebih rumit karena berhubungan dengan perhitungan APBN/APBD yang digunakan untuk membayar barang atau jasa terse-but. Terlebih lagi ada beberapa aturan yang menga-tur proses pengadaan barang dan jasa tersebut, tata

cara pengadaan barang dan jasa diatur dalam Perpres 54 tahun 2010 yang kemudian diperbaharui dengan Perpres 70 Tahun 2012 dan perubahan yang terakhir atau perubahan keempat dari Perpres No. 54 Tahun 2010 yaitu Perpres 4 tahun 2015. Berdasarkan Per-pres tersebut organisasi pengadaan barang dan jasa (Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan) harus me-miliki sertifikat pengadaan barang dan jasa, artinya pengadaan barang dan jasa itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Pengertian sertifikat keahl-ian pengadaan barang dan jasa adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan ke-mampuan profesi di bidang Pengadaan Barang Jasa.

Seiring dengan penerapan aturan yang baru di-

JEKT ❖ 9 [1] : 80 - 84 ISSN : 2301 - 8968

*) E-mail: [email protected]

Page 85: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

81

Model Regresi Logistik pada Kelulusan Ujian Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah [Rukini]

harapkan semua instansi dapat melakukan proses pengadaan barang dan jasa dengan baikdan diharap-kan dapat mengatasi kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan barang dan jasa. Selain mensyaratkan PPK,ULP/Pejabat Pengadaan memiliki sertifikat juga mensyaratkan memiliki disiplin yang tinggi bertanggung jawab, memiliki kemampuan managerial, memahami pekerjaan serta memaha-mi proses pengadaan yang dilaksanakan. Sehingga masing-masing Kementerian/ Lembaga/ Departe-men/ Instansi (K/L/D/I) mempersiapkan SDM yang mampu dan mau untuk mengikuti ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tak jarang peserta melakukan sekali ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa langsung lulus. Berdasarkan hasil ujian sertifikasi peserta BPS yang dilaksanakan di Pusdiklat BPS RI pada Gelombang II tahun 2015, ternyata tidak mudah untuk mencapai kelulusan 100 persen. Sekitar 50 persen yang dinyatakan lulus, padahal dalam ujian tersebut diperbolehkan mem-buka Perpres. Hal inilah yang menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut faktor apakah yang mempengaruhi kelulusan ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah tersebut. Pengetahuan hubungan kelulu-san dengan faktor yang mempengaruhinya menjadi hal penting untuk mempermudah proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Jika hubungan itu dapat diketahui maka langkah-langkah yang diambil dapat lebih terarah. Model statistik yang dipakai secara luas untuk mengetahui hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor adalah analisis regresi. Model regresi yang diterapkan pada saat variabel respon-nya bersifat kualitatif adalah model regresi logistik.

Uji kecocokan model harus dilakukan pada model regresi logistik. Kurang cocoknya model dapat memberikan kesimpulan yang salah terhadap data hasil observasi. Uji kecocokan diperlukan untuk mengetahui apakah model statistik sudak layak atau belum yaitu menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow.

Model regresi logistikModel regresi merupakan alat untuk menganalisis

hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor. Regresi logistik merupakan model regresi yang digunakan bila variabel responnya bersifat kualitatif, (Hosmer dan Lemeshow, 1989).Menurut Kuncoro (2001, hal:217) regresi logistik cukup baik dan sering digunakan karena regresi logistik memiliki beberapa keuntungan dibanding regresi lainnya. Regresi logistik tidak memerlukan asumsi normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi dikarenakan variabel terikat yang terdapat pada regresi logistik

merupakan variabel dummy (0 dan 1), sehingga residualnya tidak memerlukan ketiga pengujian tersebut. Model regresi logistik sederhana yaitu model regresi logistik untuk satu variabel prediktor X dengan variabel respon Y yang bersifat dikotomi.

Nilai variabel 1Y = menyatakan adanya suatu karakteristik dan 0Y = menyatakan tidak adanya suatu karakteristik. Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989) model regresi logistik yang dipengaruhi oleh p variabel prediktor dapat dinyatakan sebagai nilai

harapan dari Y dengan diberikan nilai X .

01

01

( | )

1

p

k kk

p

k kk

x

x

eE Y x

e

β β

β β

=

=

⎛ ⎞⎜ ⎟+⎜ ⎟⎝ ⎠

⎛ ⎞⎜ ⎟+⎜ ⎟⎝ ⎠

=∑

+.……………………………..(1)

dengan 0 ( | ) 1E Y x≤ ≤ dan Y mempunyai nilai 0 atau 1. Nilai ( | )E Y x merupakan probabilitas sukses, sehingga dapat dinyatakan dengan ( )p x , sehingga persamaan (1) menjadi

01

01

( )

1

p

k kk

p

k kk

x

x

ep x

e

β β

β β

=

=

⎛ ⎞⎜ ⎟+⎜ ⎟⎝ ⎠

⎛ ⎞⎜ ⎟+⎜ ⎟⎝ ⎠

=∑

+

.......................................(2)

dengan bk menyatakan parameter-parameter regresi, kx adalah pengamatan variabel prediktor ke-k dari sejumlah p variabel prediktor. Transformasi logit diterapkan pada model regresi logistic seperti pada persamaan (3) berikut.

01

( )( ( )) ( ) ln1 ( )

p

k kk

p xLogit p x g xp x

xβ β=

⎡ ⎤= = ⎢ ⎥−⎣ ⎦

= +∑....................(3)

Transformasi logit bertujuan untuk membuat fungsi linear dari parameter-parameternya. Fungsi

( )g x linear terhadap parameter dan memiliki range ( ),−∞ ∞ , tergantung dari range variabel prediktor X .

Penaksiran Parameter ModelMetode penaksiran parameter yang banyak

digunakan dalam regresi logistik adalah metode maksimum likelihood. Setiap observasi untuk model regresi logistik adalah variabel random dari distribusi Bernoulli, (Netter et al., 1996). Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989), fungsi likelihood distribusi Bernoulli untuk n sampel independen adalah seperti dirumuskan pada Persamaan (4).

Page 86: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

82

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

1

1

( ) ( ) (1 ( ))i i

nY Y

i ii

l p x p xβ −

=

= −∏ ……………….....(4)

dan log-likelihood atau logaritma natural fungsi probabilitas bersamanya dirumuskan pada persamaan (5) berikut.

[ ]

1

1

0 11

0 11

( ) ln ( ) (1 ( ))

( )

ln 1 exp( )

i i

nY Y

i ii

n

i iin

ii

L p x p x

Y x

x

β

β β

β β

=

=

=

= −

= +

− + +

................……(5)

Taksiran parameter bk, diperoleh dengan mendiferensialkan fungsi log-likelihood terhadap bk,dengan k = 0,1. Nilai maksimum diperoleh bila hasil diferensial fungsi log-likelihood bernilai nol.

Uji Signifikansi ParameterPengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah

taksiran parameter yang diperoleh berpengaruh secara signifikan terhadap model atau tidak, dan seberapa besar pengaruh masing-masing parameter tersebut terhadap model.Uji signifikansi terdiri dari dua tahap yaitu uji signifikansi parameter model secara bersama dan uji signifikansi parameter model secara terpisah.

Uji signifikansi parameter model secara bersama dilakukan dengan uji rasio likelihood. Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989), suatu statistik uji rasio likelihood G adalah fungsi dari 0L dan 1L yang berdistribusi (Chi-square) dengan derajat bebas p(banyaknya variabel prediktor yang ada dalam model) yang didefinisikan sebagai Persamaan (6) berikut.

0 12( )G L L= − − …………………………...……………(6)

dengan 0L adalah log-likelihood dari model tanpa variabel prediktor, sedangkan 1L adalah log-likelihood dari model dengan p variabel prediktor. Nilai log-likelihood dihitung berdasarkan persamaan (5). Hipotesis nolnya adalah bk = 0, untuk semua k = 1, 2, ..., p, yang berarti bahwa semua variabel prediktor tidak signifikan terhadap model. Hipotesis nol ditolak jika 2

( ; )pG X a> ataunilai signifikansi < 0,05 dapat dikatakan variabel signifikan di dalam model.

Uji Wald Chi-square digunakan untuk menguji signifikansi parameter model secara terpisah. Uji Wald Chi-square didefinisikan dengan persamaan (7) berikut.

2ˆˆ ˆ( )

kk

k

WSEβ

β

⎡ ⎤= ⎢ ⎥⎣ ⎦

………………………………………(2.7)

dengan k=1,2,…,pStatistik uji kW mendekati distribusi Chi-square

dengan derajat bebas 1. Hipotesis nolnya adalah bk = 0, untuk setiap k = 1, 2, ..., p, yang berarti bahwa variabel prediktor ke-k tidak signifikan terhadap model. Hipotesis nol ditolak jika 2

( ;1)kW X a> atau nilai signifikansi <0,05.

Uji Kecocokan ModelUji kecocokan model digunakan untuk

mengevaluasi cocok tidaknya model dengan data, nilai observasi yang diperoleh sama atau mendekati dengan yang diharapkan dalam model. Cocok tidaknya model regresi logistik dinilai dengan menggunakan uji Hosmer dan Lemeshow. Jika uji Hosmer dan Lemeshow dipenuhi maka model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan model dapat diterima karena sesuai dengan data observasinya.

Uji Hosmer dan Lemeshow yang ditulis dengan uji C , dihitung berdasarkan taksiran probabilitas, (Hosmer dan Lemeshow, 1989).Statistik uji Hosmer dan Lemeshow C yang dihitung berdasarkan nilai y = 1 dirumuskan pada Persamaan (8).

( )( )

2'1

'1 1 1

ˆ ,1

gr r r

r r r r

o n pC

n p p=

−=

−∑ ……….............................(8)

dengan 1rp menyatakan rata-rata taksiran probabilitas sukses kelompok ke-r, ro adalah jumlah sampel kejadian sukses dalam kelompok ke-r, rnadalah total sampel kelompok ke-r, dan

1

g

rr

n n=

=∑ , dengan r = 1, 2, …, g. Statistik uji C mendekati distribusi Chi-Square dengan derajat bebas g-2, (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Hipotesis nol menyatakan bahwa model cocok dengan data. Hipotesis nol ditolak jika

2 2( ; 2)gC X a −> atau nilai signigikansi <0,05.

DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data peserta ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh BPS gelombang II tahun 2015 bertempat di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) BPS RI. Jumlah peserta sebanyak 194 peserta dari pegawai BPS di beberapa BPS Provinsi/ Kabupaten/ Kota se-Indonesia. Adapun variabel respon adalah hasil ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sementara variabel prediktor meliputi usia peserta,

Page 87: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

83

Model Regresi Logistik pada Kelulusan Ujian Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah [Rukini]

Hasil Uji Signifikansi Secara Keseluruhan (Overall Test)

Formula hipotesis pada pengujian keseluruhan ini, dijabarkan sebagai berikut: (i) Ho : bjk =0, untuk semua j=0,2 dan k=1,2,… (maka tidak ada variabel predictor yang berpengaruh); (ii) 1H : Terdapat paling tidak satu variabel predictor yang berpengaruh. Penentuan hasil statistik uji adalah Tolak 0H jika nilai signifikansi < 0,05. Berikut Tabel 2 menjabarkan hasil olah data overall test.

Hasil pengujian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nilai Chi-Square sebesar 45.832 dengan signifikansi 0,000 yang berarti bahwa dengan tingkat keyakinan 95 persen, ada minimal satu variabel bebas yang berpengaruh pada variabel tak bebas (variabel prediktor). Sehingga dapat disimpulkan bahwa model dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut.

Tabel 1. Variabel PenelitianVariabel Kode Kategori

Hasil Ujian (Y)0 Tidak lulus1 Lulus

Usia (X1)0 >35 Tahun1 <35 Tahun

Masa Kerja (X2)0 >10 Tahun1 <10 Tahun

Jenis Kelamin (X3)1 Laki-laki2 Perempuan

Sumber: desain penelitian, 2016

Tabel 2. Overal Test Omnibus Test of Model Coefficients

Chi-square df Sig.Step 1 Step 45,898 3 ,000

Block 45,898 ,000Model 45,898 3 ,000

Sumber: hasil olah data, 2016

Tabel 3. Partial TestVariables in the Equation

B S.E Wald df Sig. Efp(B)Step 1a Usia(1) 2,615 ,748 12,216 1 ,000 13,666

Masa_kerja(1) ,180 ,708 ,064 1 ,800 1,197JK(1) -,233 ,339 ,472 1 ,492 ,792Constant -1,908 ,781 5,967 1 ,015 ,148

Sumber: hasil olah data, 2016Keterangan : a. Variable(s) entered on step 1: Usia, Masa_kerja, JK

masa kerja dan jenis kelamin. Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik, karena variabel responnya bersifat kualitatif sehingga dibentuk variabel dummy (0 dan 1). Adapun langkah-langkah dalam pembentukan model regresi logistik meliputi penaksiran parameter, signifikansi parameter dan uji kecocokan model.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik yang dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 16. Langkah pertama yang dilakukan yaitu uji penaksiran parameter metode yang banyak digunakan adalah metode maksimum likelihood dengan alasan lebih praktis (Nachrowi dan Usman, 2002). Metode maksimum likelihoood ini menduga parameter dengan nilai yang memaksimumkan fungsi likelihood (likelihood function).

Langkah kedua yaitu uji signifikansi parameter yang terdiri dua tahap yaitu uji signifikasi parameter model secara keseluruhan (overall test) dan uji signifikasi secara parsial (partial test). Masing-masing hasil tahapan pengujian selanjutnya akan dijabarkan pada pembahasan berikut.

Hasil Uji Signifikansi Secara Parsial (Partial Test)

Formula hipotesis pada pengujian parsial ini adalah sebagai berikut: (i) Ho : bjk = 0, (variabel prediktor ke-k pada ( )jg x tidak signifikan terhadap model); dan (ii). Ho : bjk ≠ 0, (Variabel prediktor ke-k pada

( )jg x signifikan terhadap model). Penentuan hasil statistik uji adalah Tolak 0H jika nilai signifikansi < 0,05. Tabel 3 menjabarkan hasil perhitungan statistic terhadap olah data pada uji signifikansi parsial.

Hasil uji secara parsial dapat ditunjukkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95 persen variabel usia signifikan mempengaruhi kelulusan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 dan kurang dari 0,05. Sementara variabel masa kerja dan jenis kelamin tidak signifikan mempengaruhikelulusan.

Langkah ketiga uji kelayakan ataupun kesesuaian model, apakah model itu layak secara statistik. Hal tersebut diantaranya telah dilakukan diawal yaitu overall test dan partial test. Kriteria statistik lainnya adalah uji kelayakan model dan classification plot. Hasil uji statistic dari kedua kriteria uji ini akan dibahas satu-persatu pada pembahasan berikut.

Page 88: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

84

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

Uji Kelayakan Model Formula hipotesis pada uji kelayakan model

penelitian ini adalah: (i) 0H : Model telah cukup mampu menjelaskan data/ sesuai; dan (ii) 1H : Model tidak cukup mampu menjelaskan data. Kriteria hasil pengujian adalah Tolak 0H jika nilai sig < 0,05. Hasil olah data statistic uji kelayakan model dijabarkan pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil output pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai signifikan sebesar 0,740 yang berarti lebih besar 0,05. Sehingga dapat disimpulkan dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat diyakini bahwa model regresi logistik yang digunakan telah cukup mampu menjelaskan data/sesuai.

Clasification PlotKriteria statistik berikutnya adalah classification

plot. Hasil olah data ketepatan model dengan menggunakan kriteria klasifikasi ini, diuraikan pada Tabel 5. Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa model regresi logistik yang dihasilkan telah cukup baik, karena mampu menebak dengan benar 70,6 persen kondisi yang terjadi.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat dirumuskan beberapa simpulan penelitian sebagai berikut: (i) model regresi logistik yang diperoleh adalah

01

( )p

k kk

g x xβ β=

= +∑ dimana g(x) = –1,908 + 2,615x1 + 0,180x2 – 0,233x3; (ii). Variabel yang berpengaruh terhadap kelulusan hasil ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah variabel usia. Semakin banyak peserta ujian usia kurang dari 35

tahun kemungkinan lulus semakin meningkat; (iii). Jika dilihat secarastatistik bahwa variabel masa kerja (X2) dan Jenis Kelamin (X3) tidak signifikan, bukan berarti pengaruhnya tidak ada, melainkan ada pengaruhnya hanya saja pengaruhnya sangat kecil.

SARAN

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah, pada penelitian lanjutan perlu menambahkan variabel prediktor lainnya seperti informasi pengalaman pernah berapa kali mengikuti ujian serupa sebelumnya serta tingkat pendidikan. Harapannya adalah agar hasil dari model yang didapatkan lebih akurat.

REFERENSI

Hosmer, D.W, and Lemeshow, S. (1989). Applied Logistic Regression. John Willey, New York.

Mudrajad Kuncoro(2001).Metode Kuantitatif (Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi), Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta.

Nachrowi Djalal dan Hardius Usman (2002). Penggunaan Tehnik Ekonometri. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Netter, J., Kutner, M.H., Nachtseim, C.J and Wasserman, W. (1996). Applied Linier Statistical Models. Fourth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America.

Peraturan Presiden Republik IndonesiaNo. 54 Tahun 2010Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 70 Tahun 2012 Perubahan kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 4 Tahun 2015Perubahan keempat atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) BPS RI, Data Peserta Ujian Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Gelombang II Tahun 2015.

Tabel 4. Hasil Uji Kelayakan ModelHosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.1 1,969 4 ,742

Sumber: hasil olah data, 2016

Tabel 5. Ketepatan ModelClassification Table

Observed

PredictedHasil ujian

Percentage CorrectTidak

Lulus Lulus

Step 1 Hasil Ujian Tidak lulus 48 50 49,0Lulus 7 89 92,7

Overall Percentage 70,6Sumber: hasil olah data, 2016Keterangan : a. Cut value adalah 0,500

Page 89: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

85

MITRA BESTARI (REVIEWER)SEBAGAI PENELAAH AHLI

VOLUME 9, No. 1 Februari 2016

Untuk penerbitan Volume 9 No. 1 Februari 2016 semua naskah yang diserahkan kepada JEKT TELAH DITELAAH OLEH Mitra Bestari (Reviewer) berikut ini:

Atik Mar’atis Suhartini, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Deniey A. Purwanto, Institut Pertanian Bogor

Djoni Hartanto, Universitas IndonesiaKadek Dian Sutrisna Artha, Universitas Indonesia

Made Antara, Universitas UdayanaMohamad Arsyad, Universitas HasanudinPalupi Lindiasari S., Universitas Indonesia

Redaksi JEKT menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada para Mitra Bestari (Reviewer) atas bantuan mereka.

Page 90: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

86

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan diterbitkan sebagai media penerbitan hasil penelitian ilmu ekonomi yang orisinil, pengembangan ilmu ekonomi serta pengkajian masalah pembangunan ekonomi dan sosial, yang diukur dan dianalisis dengan menggunakan alat kuantitatif, baik Ekonometrik, Statistik Parametrik maupun Non-Parametric (deskriptif, komparatif, dan asosiatif), Input-Output, CGE dan alat analisis kuantitatif lainnya. Redaksi mengundang partisipasi segenap civitas akademika Fakultas Ekonomi di seluruh Indonesia dan Fakultas Sosial lainnya, dan praktisi untuk mencurahkan gagasan kreatif dan kajian di bidang pembangunan ekonomi dan sosial, dengan cara mengirimkan naskah artikel ilmiah dalam bentuk softcopy, ke alamat email: [email protected], [email protected], [email protected], atau [email protected].

Format penulisan naskah mengacu pada Petunjuk Penulisan Naskah berikut.1. Naskah harus orisinil, belum pernah diterbitkan di jurnal atau media penerbitan yang lain. Seluruh

bagian dari naskah dibuat menggunakan Microsoft Office Word diketik dalam format Book Antiqua ukuran font 12, spasi 1,5 (kecuali abstrak dan daftar pustaka spasi 1), ukuran kertas A4 dengan margin 4 cm untuk sisi atas dan kiri, serta margin 3 cm untuk sisi kanan dan bawah dengan jumlah halaman maksimum 20 halaman.

2. Gaya penulisan naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan mencantumkan abstrak dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Naskah ditulis dengan gaya naratif dengan pembabakan dibuat sederhana dan sedapat mungkin menghindari pembabakan bertingkat.

Tabel dan gambar harus mencantumkan sumber. Tabel, gambar dan persamaan matematika diberi nomor secara berurutan sesuai dengan kemunculannya. Penggunaan garis dalam tabel hanya untuk kepala (heading) dan akhir tabel. Nama/Judul Tabel dan Gambar diletakkan pada bagian atas Tabel dan Gambar.

Gambar dan grafik akan dicetak dalam format hitam putih sehingga perlu dibuat perbedaan pola antar data yang ditampilkan dan bukan dengan gradasi warna atau perbedaan warna.

Persamaan matematika ditulis dengan menggunakan Microsoft Equation Editor.

Pengacuan dan Pengutipan dilakukan sesuai dengan sistem Harvard Style yaitu penulisan referensi dalam kurung (author-date parenthetical referencing) yang berisi nama penulis dan tahun artikel. Contoh: (McFaden, 2002). Pengacuan terhadap buku teks disertai nomor halaman. Contoh: (Wooldridge, 2009: 10). Diharapkan tidak melakukan pengacuan bertingkat seperti: si Wayan (1969) dalam si Luh Gede (1998) dalam si Made (2009). Kutipan diawali dan diakhiri dengan tanda petik (“) dituliskan secara terpisah dengan spasi 1 dan indent kiri kanan 0,5cm. Lebih dianjurkan mengutip dengan paraphrase sehingga tidak menggunakan tanda kutip.

3. Urutan Naskah mengikuti format sebagai berikut: JudulNama dan Lembaga/Instansi Asal Penulis (*Alamat Korespondensi)Abstrak Kata KunciJudul dalam Bahasa InggrisAbstrak dalam Bahasa InggrisKeywordsPendahuluan

Page 91: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

87

Judul [Penulis]

Data dan MetodologiHasil dan PembahasanSimpulan dan/atau Rekomendasi KebijakanReferensi

Judul ringkas, informatif tidak melebihi 12 kata dan ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris.

Data Penulis Berisi nama lengkap semua penulis tanpa gelar, lembaga penulis serta alamat e-mail salah seorang penulis untuk korespondensi (juga mencakup telepon, email dan faksimili).

Abstrak maksimum 200 kata berisikan tiga hal yaitu topik yang dibahas, metodelogi yang dipergunakan dan hasil yang didapat.

Kata Kunci maksimum 5 subjek berupa kata atau frasa yang dianggap mewakili dan atau terkait dengan topik yang dibahas.

Pendahuluan memuat latar belakang, studi sebelumnya yang relevan, permasalahan atau hipotesis yang akan diuji, metodelogi atau alat analisis yang dipilih, narasi singkat dari hasil yang didapatkan jika tulisan adalah hasil pengujian empiris atau preposisi jika tulisan yang dibuat bersifat hasil pemikiran.

Data dan Metodologi berisi informasi teoritis dan teknis yang cukup memadai, dan dalam hal verivikasi hasil, editor dan mitra bestari (reviewer) berhak meminta data mentah (raw data) yang digunakan penulis.

Hasil dan Pembahasan memuat hasil yang didapat berdasarkan metode yang digunakan, juga interpretasi dari hasil dan diskusi menyangkut hasil penelitian sebelumnya. Dapat disajikan berupa tabel, gambar dan disertai uraian.

Simpulan dan/atau Rekomendasi Kebijakan merangkum hasil penelitian disertai saran dan rekomendasi yang ditujukan pada pemerintah, praktisi, atau stakeholders terkait lainnya sebagai solusi atau alternatif pemecahan masalah sesuai dengan hasil penelitian.

Naskah yang dikirimkan disertai dengan daftar riwayat hidup lengkap penulis.

Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengurangi substansi materi tulisan.

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan diterbitkan 2 (dua) kali setahun, bulan Februari dan Agustus. Naskah diterima paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan.

Page 92: JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN - UNUD

88

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 9 No. 1 • FEBRUARI 2016

FORMULIR BERLANGGANAN

Nama : …………………………………………………………………… Universita/Instansi : …………………………………………………………………... Alamat Pengiriman : …………………………………………………………………… …………………………………………………………………… …………………………………………………………………… Telp/Fax/E-mail : …………………………………………………………………… Telah mengirimkan uang sebesar Rp. ……………………. Rincian Rp. ………………. (……… edisi) Rp. ………………. (biaya kirim) Pilihan berlangganan : ☐ 3 Volume (6 Nomor) Rp. 240.000,- ☐ 5 Volume (10 Nomor) Rp. 400.000,- *) Biaya berlangganan belum termasuk biaya kirim sebesar:

• Sarbagita Rp. 80.000,- /3 Volume (@ Rp15.000) • Pulau Bali (Luar Sarbagita) Rp. 150.000,- /3 Volume (@ Rp25.000) • Luar Pulau Bali Rp. 210.000,-/ 3 Volume (@ Rp25.000)

Untu Berlangganan kirimkan scan formulir ini beserta dengan bukti transfer (format PDF atau JPG) via email ke: [email protected] dengan cc kepada [email protected]. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer ke rekening berikut: Bank BPD Bali Kantor Cabang Pembantu FE Unud, Nomor Rekening: 034.02.02.144404-4 atas nama JEKT FE UNUD FORMULIR INI DAPAT DIFOTOKOPI

JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF

TERAPAN  

JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF

TERAPAN