jurnal dpt

7

Click here to load reader

Upload: ida-ayu-wahyuningtyas

Post on 10-Aug-2015

166 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

isinya mengenai jurnal Dasar Perlindungan Tanaman

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal dpt

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 63

Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.)merupakan salah satu tanaman

pangan yang dapat digunakan untukdiversifikasi menu guna mempertahan-kan swasembada beras. Ubi jalar dapattumbuh pada berbagai jenis tanah, ta-han kekeringan, dan dapat ditanamsepanjang tahun. Umumnya ubi jalar di-usahakan pada lahan tegalan, kebun, danpekarangan, serta pada lahan sawahtadah hujan (Kantor Statistik SulawesiSelatan 1990). Ubi jalar merupakan

tanaman penting ketujuh di dunia(Jansson dan Raman 1991). Di Taiwan,areal pertanaman ubi jalar mendudukiperingkat kedua setelah padi, begitu pulaproduksi totalnya.

Ubi jalar digunakan sebagai bahanmakanan berserat tinggi, pakan, danindustri. Daya simpan umbinya cukupbagus. Umbi dan daunnya mempunyainilai di masyarakat modern karenaberfungsi sebagai makanan alami danmenyehatkan.

Di sebagian besar daerah di Indo-nesia, ubi jalar merupakan bahan pangansampingan, tetapi di kawasan timurIndonesia terutama Papua, ubi jalarmerupakan bahan pangan pokok. Se-bagai tanaman palawija penghasilkarbohidrat, ubi jalar menduduki pering-kat ketiga setelah jagung dan ubi kayu.Tingkat konsumsi ubi jalar lebih rendahdibanding jagung dan ubi kayu. Tingkatkonsumsi jagung sebesar 30,71 kg, ubikayu 46,26 kg, sedangkan ubi jalar 10,93

BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN KUMBANGCylas formicarius Fabricius (COLEOPTERA:

CURCULIONIDAE)

Nurnina Nonci

Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274 Maros 90514, Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Kumbang Cylas formicarius F. (Coleoptera: Curculionidae) merupakan hama utama pada ubi jalar di dunia, baik didaerah tropika maupun subtropika. Hama ini merusak umbi di lapangan, di penyimpanan, dan di tempat karantina.Larva merusak umbi dengan menggerek, membuat lorong-lorong dan sisa gerekan ditumpuk di sekitar lubanggerekan dalam umbi. Umbi yang rusak menghasilkan terpene yang menyebabkan umbi terasa pahit sehingga tidakdapat dikonsumsi serta berbahaya bagi kesehatan. Kehilangan hasil akibat C. formicarius berkisar 10–90%. Kumbangbetina meletakkan telur secara tunggal sebanyak 3–4 butir/hari atau 122–250 butir selama hidupnya. Larva terdiriatas lima instar. Larva instar 1−5 merusak umbi dengan cara menggerek. Kumbang jantan dan betina dapatdibedakan dari bentuk antena. Pengendalian hama terpadu yang berorientasi pada ekologi dapat diterapkan untukmengendalikan kumbang C. formicarius. Beberapa komponen pengendalian tersebut meliputi cara budi daya,seperti pergiliran tanaman, tumpang sari, menutup retakan tanah, pemberian air, dan sanitasi serta penggunaanvarietas resisten, musuh alami, pengendalian secara kimiawi, dan seks feromon.

Kata kunci: Cylas formicarius, bioekologi, kerusakan, kehilangan hasil, pengendalian

ABSTRACT

Bioecology and control of sweet potato weevil Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Curculionidae)

Sweet potato weevil, Cylas formicarius F. (Coleoptera: Curculionidae) is the most serious pest of sweet potato inthe world both in tropical and subtropical regions. The pest causes tuber damage in the field, in storage, and inquarantine. The larvae attack the tuber by making bores, creating tunnels and producing piles of fecal materialssurrounding tunnels inside the tuber. As a response of damage, tuber produces terpene which causes tubers turn tobitter and unsuitable for human consumption. Yield losses caused by C. formicarius vary from 10 to 90%. Eggs arelaid singly in cavities in the root or stems. A female lays 3−4 eggs/day or 122−250 eggs during its life. Larvaeconsist of five instars. All larval stages cause damage on tubers by creating tunnels inside the tuber. Male and femaleweevil can be distinguished from their antenna. Integrated pest management which is an ecologically approach canbe applied to control sweet potato weevil. The control methods include cultural practices, such as crop rotation,intercropping, covering the broken soil, watering, and sanitation, and using resistant varieties, natural enemies,chemical control, and sex pheromone.

Keywords: Cylas formicarius, bioecology, damages, yield loss, control methods

Page 2: jurnal dpt

64 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

kg/kapita/tahun (Biro Pusat Statistik1991).

Faktor-faktor yang mempengaruhihasil ubi jalar antara lain adalah umur, je-nis atau varietas, kesuburan tanah, tinggitempat penanaman, iklim (musim tanam),serta gangguan hama dan penyakit.Ratusan spesies serangga dapat merusakubi jalar, namun yang paling merusakadalah Cylas formicarius atau sweetpotato weevil, disebut juga kumbangpenggerek umbi atau hama boleng. Tigaspesies utama dari kumbang penggerekumbi adalah: 1) C. formicarius, ditemukandi daerah tropis khususnya di Asia dimana lebih dari 60% ubi jalar duniadiproduksi, 2) C. punsticollis di Sub-Sahara Afrika, dan 3) Euscepis post-fasciatus ditemukan di Karibia danbeberapa negara kepulauan di Pasifik(AVRDC 2004). Ketiga spesies tersebutmempunyai siklus hidup yang serupa dandapat dikendalikan dengan cara yangsama.

C. formicarius merupakan hamautama pada ubi jalar dan tersebar diseluruh dunia (Capinera 1998; Komi 2000;Morallo dan Rejesus 2001). CIP (1991)melaporkan bahwa C. formicarius adalahhama utama dan termasuk 10 kendalautama yang perlu mendapat perhatian.Di Kenya (Afrika), hama ini merupakankendala kedua dalam peningkatan mutuubi jalar. Di Florida (Amerika Serikat),hama ini selalu ada sepanjang tahun(Waddil 1982), begitu pula di Indonesia,(Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Sup-riyatin 2001). C. formicarius merusakumbi di lapangan, di tempat penyimpanan,dan di karantina (Komi 2000; Sheng2000).

BIOLOGI, EKOLOGI, DANMORFOLOGI

Siklus hidup C. formicarius memerlukanwaktu 1–2 bulan, secara umum 35–40 haripada musim panas. Generasinya tidakmerata, demikian pula jumlah generasiselama setahun. Di Indonesia, terdapat 9generasi C. formicarius dalam setahun,(Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin2001), di Florida 6–8 generasi, di Texas 5generasi, dan di Louisiana Amerika Serikat8 generasi (Waddil 1982; Capinera 1998).Serangga dewasa tidak berdiapause,tetapi cenderung tidak aktif bila kondisilingkungan kurang sesuai. Semua fase

pertumbuhan dapat ditemukan sepanjangtahun jika tersedia makanan yang sesuai.

Telur

Telur diletakkan di dalam rongga kecilyang dibuat oleh kumbang betina dengancara menggerek akar, batang, dan umbi.Telur diletakkan di bawah kulit atauepidermis, secara tunggal pada saturongga dan ditutup kembali sehinggasulit dilihat (Morallo dan Rejesus 2001;AVRDC 2004). Menurut Supriyatin(2001), telur C. formicarius sulit dilihatkarena ditutup dengan bahan semacamgelatin yang berwarna cokelat.

Telur C. formicarius berwarna putihkrem, berbentuk oval tak beraturan(AVRDC 2004, Gambar 1), berukuran 0,46–0,65 mm (Supriyatin 2001), sedangkanmenurut Capinera (1998) panjang telur0,77 mm dengan lebar 0,50 mm. DiFlorida, lama fase telur berkisar 5 haripada musim panas dan 11–12 hari bilamusim dingin (Capinera 1998). Periodeinkubasi telur beragam sesuai dengansuhu, yakni 4 hari pada suhu 30oC dan7, 9 hari pada suhu 20oC. Di Indonesia,rata-rata lama fase telur adalah 7 hari(Supriyatin 2001), sedangkan di India

6,30 hari Rajamma (1983). Seekor kum-bang betina meletakkan telur 3–4 butir/hari atau 75–90 butir selama hidupnya(30 hari). Di laboratorium, setiap ekorkumbang betina mampu meletakkan telur122–250 butir (Capinera 1998), sedang-kan menurut Supriyatin (2001) sekitar90–340 butir.

Larva

Larva yang baru menetas berukuran lebihbesar dari telur, tanpa kaki, berwarnaputih dan lambat laun berubah menjadikekuningan (AVRDC 2004, Gambar 2).Larva yang baru menetas langsungmenggerek batang atau umbi. Bila larvamenggerek batang, biasanya arah gerekanmenuju umbi.

Larva C. formicarius terdiri atas tigainstar dengan periode instar pertama 8–16 hari, instar kedua 2–21 hari, dan instarketiga 35–56 hari (Capinera 1998).Supriyatin (2001) melaporkan bahwalarva C. formicarius terdiri atas 5 instardalam waktu 25 hari.

Suhu merupakan faktor utama yangmempengaruhi tingkat perkembanganlarva. Perkembangan larva mencapai 10dan 35 hari berturut-turut pada suhu 30oCdan 24oC (Capinera 1998). Di India, faselarva di laboratorium rata-rata berlang-sung 16 hari (Rajamma 1983) dan diTaiwan 25–35 hari. Larva instar akhirberukuran panjang 7,50– 8 mm dan lebar1,80–2 mm (CABI 2001, Gambar 3),berwarna putih kekuningan.

Caput besar berukuran sepertigadari panjang badan dan seperdua darilebar badan. Kepala berwarna kuninghingga cokelat, mandibula kuning ham-pir hitam dan abdomen larva agak besar(AVRDC 2004).Gambar 1. Telur Cylas formicarius

(AVRDC 2004).

Gambar 2. Larva Cylas formicarius instar 1(kiri) dan instar 3 (kanan) (Castner,dalam Capinera 1998).

Page 3: jurnal dpt

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 65

Pupa

Larva instar akhir membentuk pupa padaumbi atau batang, berbentuk oval, kepaladan elytra bengkok secara ventral.Panjang pupa berkisar 6–6,50 mm (Capi-nera 1998; CABI 2001; AVRDC 2004).Pupa berwarna putih, tetapi seiringdengan waktu dan perkembangannya,berubah menjadi abu-abu dengan kepaladan mata gelap. Lama masa pupa berkisar7–10 hari, tetapi pada cuaca dingin dapatmencapai 28 hari (Capinera 1998). Dilaboratorium di India, rata-rata stadiumpupa adalah 4,10 hari (Rajamma 1983).

Serangga Dewasa

Kumbang yang baru keluar dari pupatinggal 1–2 hari di dalam kokon, kemudiankeluar dari umbi atau batang. CABI(2001) melaporkan bahwa kumbang C.formicarius menyerupai semut, mem-punyai abdomen, tungkai, dan caputyang panjang dan kurus (Gambar 4).Kepala berwarna hitam, antena, thoraks,dan tungkai oranye sampai cokelatkemerahan, abdomen dan elytra biru

metalik (Capinera 1998; Morallo danRejesus 2001). Supriyatin (2001) jugamenyatakan bahwa C. formicariusmempunyai kepala, abdomen, dan sayapdepan berwarna biru metalik, sedangkankaki dan dadanya cokelat.

Tungkai mempunyai cincin disekeliling tibia. Antena mempunyai 10ruas. Perbedaan kumbang jantan danbetina terletak pada antena. CABI (2001)melaporkan bahwa antena kumbangjantan berbentuk benang, ruas antenamempunyai jarak yang sempit, dan tidaksama, berbentuk sosis, dan panjangnyalebih dari dua kali panjang flagelum.Antena kumbang betina berbentuk gada,jarak ruas antena 2/3 dari panjang flagelum(Gambar 5).

Suhu sangat berpengaruh terhadapperkembangan dan lama hidup C.formicarius. Mullen (1981) menyatakanbahwa kumbang C. formicarius yangdipelihara pada ubi jalar varietas Jewelmenurun perkembangannya sejalandengan meningkatnya suhu dari 20oCmenjadi 30oC. Kumbang akan hiduplebih lama pada suhu 15oC sehinggapenyimpanan ubi jalar pada suhu 15oCbelum dapat memusnahkan populasi C.formicarius. Kumbang betina dapathidup 113 hari dan mampu bertelur 90–340 butir. Siklus hidup setiap generasiberlangsung 38 hari, sehingga dalamsetahun terdapat 9 generasi (Supriyatin2001). Di India siklus hidup C. formicariusberkisar 23,20–24,70 hari pada bulanFebruari–Mei, 26,20–26,50 hari padabulan Juni–September, dan 27–29,10 haripada bulan Oktober–Januari. Periodepraoviposisi, oviposisi, dan pascaovi-posisi berturut-turut adalah 8,40; 82,60;dan 6,10 hari (Rajamma 1983). Pada suhu15oC di laboratorium, serangga dewasadapat hidup lebih dari 200 hari jikamakanan tersedia, dan hanya 30 hari jika

dilaparkan. Namun, lama hidup kumbangmenurun menjadi 3 bulan jika dipeliharapada suhu 30oC dengan makanan, dan 8hari tanpa makanan (Capinera 1998).

Kumbang dapat terbang tetapi ja-rang terjadi dan jarak terbangnya relatifdekat. Kaku et al. (1999) melakukanpengamatan terhadap pergerakan kum-bang C. formicarius di laboratoriumpada suhu 27oC, RH 70% dan 16 jamterang serta 8 jam gelap. Persentasekumbang dewasa yang bergerak dari satuumbi ke umbi lainnya selama 7 hariadalah 77,10% untuk kumbang jantandan 40% untuk kumbang betina. Per-sentase pergerakan kumbang jantanpada umbi yang berumur 30 hari adalah91,90% dan kumbang betina 41,40%.Dengan demikian, kumbang jantan ber-gerak lebih sering dibanding kumbangbetina, dan kumbang jantan tua lebih aktifdibanding kumbang jantan muda.

TANAMAN INANG, PENYE-BARAN, KERUSAKAN, DANKEHILANGAN HASIL

Tanaman Inang

Tanaman inang kumbang C. formicariusadalah dari famili Convolvulaceae,terutama genus Ipomoea. Ubi jalar adalahinang yang paling sesuai, diikuti olehIpomoea aquatica (bayam air). Kangkungliar (I. pescapreae dan I. panduratea)juga merupakan inang liar yang cocok(Capinera 1998). Selanjutnya Moodyet al. (1984) dan AVRDC (2004) melapor-kan bahwa selain ubi jalar, tanamanmorning glory (I. triloba) (Gambar 6)juga merupakan inang yang sesuai.Namun, larva C. formicarius lebihmenyukai ubi jalar dibanding morningglory. Beberapa tanaman dari familiConvolvulaceae, seperti Merramiaemerginata, M. mammosa, dan Ipomoeasp. juga merupakan tanaman inang C.formicarius (Austin 1991). Inang antaraini selalu ada sepanjang tahun sehinggaakan mempengaruhi perkembanganpopulasi hama tersebut.

Sharp (1995) melaporkan bahwaspesies liar yang disenangi oleh C.formicarius adalah Calystegia solda-nella, Dichondra carolinensis, I. alba,I. barlerioides, I. cardato triloba, I.hederacea, I. hederifolia, I. horsfalliae, I.imperati, I. indica, I. lacunosa, I.

Gambar 4. Kumbang Cylas formi-carius (CABI 2001).

Gambar 5. Kumbang betina Cylasformicarius dengan antenabentuk gada (CABI 2001).

Gambar 3. Larva Cylas formicariusinstar terakhir (CABI2001).

Page 4: jurnal dpt

66 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

macrorhiza, I. obscura, I. pandurata, I.sagittata, I. separia, I. setosa, I. triloba, I.tubinata, I. turbinata, I. wrightii,Jacquemontia curtissii, Merremiadissecta, dan Stictocardia tiliifolia.

PENYEBARAN

Cylas formicarius dijumpai hampir diseluruh daerah pertanaman ubi jalar didunia, baik di daerah tropika maupunsubtropika (Tabel 1). Di Indonesia, C.formicarius banyak ditemukan di Papua,Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa

Tenggara (Nonci dan Sriwidodo 1993;Trustina et al. 1993). Di Amerika Serikat,hama tersebut pertama kali ditemukan diLouisiana pada tahun 1875, kemudian diFlorida tahun 1878 dan Texas tahun 1890,dan diduga masuk melalui Kuba. Saat inihama itu sudah ditemukan di seluruhpantai bagian tenggara mulai dari CarolinaUtara hingga Texas, juga ditemukan diHawai dan Puerto Rico (Capinera 1998).

Komi (2000) melaporkan bahwa C.formicarius pertama kali ditemukan diJepang pada tahun 1900-an kemudianmenyebar ke bagian utara Pulau Amami,Tokara, Setokuchi, kemudian menjadiendemik. Pada tahun 1995, C. formicariusditemukan untuk pertama kalinya di kotaMuroto di Kochi Prefecture.

KERUSAKAN DANKEHILANGAN HASIL

C. formicarius merupakan kendala utamadalam peningkatan mutu ubi jalar (CIP1991). Di Kenya, hama ini merupakankendala kedua. Di Florida, hama ini selaluada sepanjang tahun dan dapat meng-hasilkan 6–8 generasi setiap tahun(Waddil 1982). Kumbang dewasa makan,bertelur, dan berlindung pada akar, ba-tang, dan umbi. Kumbang menyerang

epidemis akar atau batang dan permukaanluar umbi dengan cara membuat lubanggerekan. Larva juga menyerang akar,batang, dan umbi dengan cara yang sama,tetapi sisa gerekan ditumpuk di sekitarlubang gerekan (Gambar 2 dan 3) denganbau yang khas. Umbi yang rusak meng-hasilkan senyawa terpenoid sehinggaterasa pahit, dan tidak dapat dikonsumsiwalaupun kerusakannya rendah (Janssonet al. 1987).

Hasil pengujian laboratorium diJepang menunjukkan bahwa akar tanam-an ubi jalar yang terserang kumbang C.formicarius selama 24 jam akan meng-hasilkan terpene phytoalexins. Didugaenzim pektolitik yang terdapat padakumbang C. formicarius adalah terpen(Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakanbahwa sisa gerekan di dalam batangmenyebabkan malformasi, penebalan,dan patahnya batang rambat serta daunmenjadi hijau pucat. Supriyatin (2001)mengemukakan bahwa warna jaringan disekitar lubang gerekan pada umbi akanberubah menjadi lebih gelap dan mem-busuk, sehingga umbi tidak layak di-konsumsi karena rasanya pahit. Biladikonsumsi umbi tersebut akan me-rangsang pembentukan senyawa toksikyang dapat mempengaruhi kerja hati danparu-paru manusia (Supriatin 2001).

Di Indonesia, kerusakan akibatserangan kumbang C. formicarius terjadisejak tahun 1918. Kehilangan hasil akibatserangan hama ini berkisar antara 10–80%,bergantung pada lokasi, jenis lahan, danmusim (Bahagiawati 1989; Widodo et al.1994). Selanjutnya Nonci dan Sriwidodo(1993) melaporkan bahwa di kebunpercobaan Bontobili Sulawesi Selatanpada musim kemarau, persentase umbirusak oleh C. formicarius adalah 62,41%,81,88%, 59,99% dengan hasil umbi segar33,70; 25,39; dan 25,89 t/ha masing-masing untuk varietas Kalasan, Mendut,dan lokal Gowa. Di Homestead Florida,kehilangan hasil akibat serangan C.formicarius berkisar 60−80%. Kerusakankecil pun pada umbi menyebabkan umbitidak layak dikonsumsi karena adanyasenyawa terpenoid (Sato et al. 1982,Jansson et al. 1987).

UPAYA PENGENDALIAN

Pengendalian C. formicarius denganinsektisida secara konvensional sulitdilakukan karena hama ini terdapat di

Gambar 6. Ipomoea triloba L. (morningglory), inang alternatifCylas formicarius (Moodyet al. 1984).

Tabel 1. Penyebaran Cylas formicarius secara geografis di dunia.

Wilayah Penyebaran

Indonesia Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Nusa TenggaraAsia Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Cambodia, Cina,

Kepulauan Christmas, Kepulauan Cocos, India, Indonesia,Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Laos, Malaysia, Myanmar,Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Vietnam.

Afrika Kamerun, Cad, Republik Dekmoratik Kongo, Etiopía, Ghana,Kenya, Liberia, Lybia, Madagaskar, Mauritius, Mozambik, Reunion,Senegal, Sychelles, Somalia, Afrika Selatan, Sudan, Swaziland, Tanza-nia, Uganda, dan Zimbabwe.

Hemisphere Barat Aguilla, Antigua dan Berbuda, Bahama, Belize, Bermuda, Cayman,Islands, Kuba, Republik Dominika, Guatemala, Guyana, Haiti,Jamaika, Meksiko, Belanda, Antilla, Puerto Rico, Saint Kittsdan Nevis, Saint Lucia, Trinidad dan Tobago.

America Amerika Serikat, Virgin Island, Venezuella.

Oceania American Samoa, Australia, Belau, Caroline Islands, Cook Island,Fiji, Perancis, Polynesia, Guam, Kribati, Micronesia, Selandia Baru,Northern Mariana Islands, Papua Nugini, Pulau Solomon, Vanuatu,Wallis, dan Pulau Futuna Islands.

Sumber: Nonci dan Sriwidodo (1993); Trustina et al. (1993); Sharp (1995).

Page 5: jurnal dpt

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 67

dalam batang dan umbi. Pengendalianhama ini akan lebih efektif denganmenerapkan konsep pengendalian hamaterpadu (PHT). PHT merupakan pen-dekatan ekologi dalam pengelolaanagroekosistem. Oleh karena itu, PHTmengutamakan berfungsinya mekanismepengendalian alami yang secara dinamisdapat menjaga populasi hama tetapberada pada keseimbangan umum yangrendah. Komponen PHT meliputi peng-gunaan varietas tahan, teknik bercocoktanam, musuh alami, dan penggunaanpestisida bila diperlukan. CABI (2001)melaporkan bahwa beberapa komponenpengendalian C. formicarius yang telahditeliti meliputi teknik bercocok tanam,pemusnahan inang antara, serta peng-gunaan varietas tahan, musuh alami, danseks feromon.

Budi Daya

Pengendalian dengan teknik budi dayameliputi penggantian atau modifikasi carabercocok tanam yang secara langsungatau tidak langsung dapat menurunkanpopulasi atau memutus siklus hidup C.formicarius. Cara ini tidak mencemarilingkungan, relatif mudah dilaksanakan,dan kompatibel dengan pengendalianyang lain. Pergiliran tanaman merupakancara budi daya yang dapat mencegahserangan kumbang C. formicarius.Dianjurkan menanam ubi jalar hanyasekali dalam 5 tahun, mencegah menanam2 tahun berturut-turut pada areal yangsama, atau menanam padi di antara duapertanaman ubi jalar (AVRDC 2004). Padaprinsipnya pergiliran tanaman bertujuanmematahkan siklus hidup C. formicarius.Tumpang sari ubi jalar dengan buncis,ketumbar, labu, lobak, adas, kacang hijau,dan kacang tanah juga dapat mencegahserangan hama tersebut (CABI 2001).

Retakan tanah merupakan jalanutama bagi hama untuk mencapai umbidan akar untuk meletakkan telur. Umbiyang bertambah besar menyebabkantanah menjadi retak. Di Taiwan, kerusakanumbi lebih sedikit pada musim hujankarena retakan tanah berkurang (AVRDC2004). Retakan tanah dapat ditutupdengan memberikan air, mencangkul ataumenggunakan mulsa.

Trustina et al. (1993) menyatakanbahwa tingkat serangan C. formicarius di-pengaruhi oleh kadar air tanah. Kadar airtanah 15−35% akan menimbulkan

kerusakan 26,19−48,07% di Muneng dankadar air tanah 20−35% menimbulkankerusakan 36,72–37,30% di Kendalpayak.Pada periode yang sama di Muneng, bilakadar air tanah konstan sekitar 20%, makakerusakan menjadi 26% dan bila kadarair tanah berkurang hingga 15%, makakerusakan menjadi 49%.

Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman setelah panen juga pentingdalam pengendalian C. formicarius,karena hama ini terdapat pada akar danbatang. Dianjurkan mencabut danmemusnahkan semua tanaman inangalternatif. Pucuk batang (25–30 cm)merupakan bibit tanaman terbaik, karenabebas dari telur dan larva (AVRDC 2004).

Inang Resisten

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir,berbagai penelitian telah dilakukan untukmendapatkan sumber ketahanan ter-hadap C. formicarius dari tanamaninang resisten kemudian menggabung-kannya ke dalam kultivar yang dibudi-dayakan. Pengujian di laboratorium(USDA dan TITA) di Nigeria dan AVRDCTaiwan sejak tahun 1970-an telah men-dapatkan beberapa kultivar ubi jalartahan terhadap hama ini.

Lingkungan memegang perananpenting dalam interaksi antara tanamandan C. formicarius. Mullen (1984) mengujiketahanan 12 kultivar ubi jalar di GeorgiaAS, dan mendapatkan satu kultivar yangtahan yaitu W101. Selanjutnya Talekar(1997) melaporkan bahwa dari 1.243 ubijalar yang dievaluasi di lapangan, dua klonyaitu I 123 (6.712) dan I 959 (W-115) danempat progeni dari persilangan antara ubijalar dan Ipomoea trifida menunjukkantingkat ketahanan yang sangat tinggiterhadap C. formicarius. Terdapat korelasipositif antara jumlah C. formicarius dalamrambatan atau jumlah tanam rusak dengandiameter batang yang digunakan sebagaibibit.

Supriyatin (2001) telah mengevaluasiketahanan 54 klon harapan ubi jalar diMuneng dan mendapatkan 16 klon yangtahan dan agak tahan terhadap C.formicarius (Tabel 2). Dari 16 klontersebut, tujuh klon mempunyai potensihasil lebih dari 10 t/ha, yaitu MSU 98-14,MSU 152-27, Cangkuang, MSU 163-9,MSU 34-38, MSU 162-4, dan MSU 112-1.Pada penelitian tersebut tidak dilakukaninfestasi buatan, dan klon Pa’ong sebagaipembanding peka terserang 70% dilahan kering dan 61% di lahan sawah.Beberapa klon potensial yang tahanterhadap C. formicarius adalah klon

Tabel 2. Klon-klon ubi jalar yang tahan dan agak tahan terhadap Cylasformicarius dan hasil umbi, di Muneng MK 2000.

KlonHasil (t/ha)

KetahananTotal Umbi sehat

LK LS LK LS LK LS

MSU 98-14 16,20 11,49 5,78 4,67 AT ATMSU 152-27 14,65 12,16 3,62 4,82 AT ATCangkuang 12,47 13,55 5,87 5,40 AT ATMSU 163-9 13,99 11,72 5,10 4,27 AT ATMSU 34-38 10,20 14,35 2,58 5,22 AT ATMSU 162-4 13,13 11 5,10 6,22 AT ATMSU 112-1 4,53 11,73 2,05 7,28 AT TMSU 69-2 7,87 9,09 2,70 4,33 AT ATMSU 108-13 5,04 9,07 1,80 5,40 AT ATMSU 102-3 5,07 8,95 1,98 3,96 T ATBinoras OP95-2 6,78 5,51 2,91 2,92 AT TAB 94001-8 3,83 7,44 1,26 2,97 T ATMSU 160-3 4,12 6,44 1,58 4,19 AT ATW0014 1,83 3,08 0,74 2,03 T ATInaswang OP95-6 2,65 0,68 1,33 0,44 AT ATW0607 1,35 1,43 0,35 0,70 T AT

LK = lahan kering, LS = lahan sawah, T = tahan, AT = agak tahan.Sumber: Supriyatin (2001).

Page 6: jurnal dpt

68 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

an. Di Taiwan, penggunaan empat perang-kap/0,10 ha yang dipadukan denganinsektisida mengurangi kerusakan umbioleh C. formicarius sekitar 57−65%(Hwang 2000). Selanjutnya Supriyatin(2001) menyatakan bahwa kombinasiseks feromon dengan pencelupan setekke dalam larutan karbofuran 0,05% ba/ha selama 20 menit saat tanam, dapatmenekan populasi C. formicarius se-hingga hasil yang diperoleh lebih tinggidaripada perlakuan lainnya (Tabel 3).Perangkap feromon juga dapat diguna-kan untuk menandai dan memonitorkeberadaan C. formicarius di lapang.Hwang (2000) mengemukakan bahwaseks feromon (2)-3-dodecen-1-01 (E)-2-butenoate, mampu menarik seranggabetina.

KESIMPULAN

Kumbang C. formicarius merupakan hamapenting pada ubi jalar yang merusakumbi, batang, dan akar. Selain di perta-naman, C. formicarius juga menimbul-kan kerusakan saat umbi disimpan atau dikarantina. Kehilangan hasil akibat hamatersebut berkisar 10–90%. Umbi yangrusak menghasilkan senyawa terpenoid,yang menyebabkan umbi terasa pahitsehingga tidak dapat dikonsumsi danberbahaya bagi kesehatan.

Kumbang betina meletakkan telursecara tunggal 3−4 butir/hari atau 122–250 butir. Stadium telur berlangsung 5–7hari. Telur berwarna putih krem, berbentukoval tidak beraturan, berukuran 0,46–0,65mm. Larva terdiri atas lima instar, lamastadium larva rata-rata 25–35 hari. Larvaberwarna krem hingga putih kekuningan.Pupa berwarna putih atau abu-abu, lama

Tabel 3. Kerusakan umbi dan hasil ubi jalar dengan penggunaan seksferomon dan pencelupan setek ke dalam larutan insektisida.

PerlakuanKerusakan umbi (%) Hasil (t/ha)

Muneng Genteng Muneng Genteng

Feromon seks (10 mg) 98,30 17,50 13,60 44,80Celup setek (karbofuran) 97,30 18,50 16,40 44,60Feromon + celup setek 81,90 22,80 19 47,50 (karbofuran)Dara C. formicarius (10 99,10 26,60 15,70 45,40ekor/100 m2)Kontrol 100 58,20 12,20 32,60

Sumber: Supriyatin (2001).

490002 di Peru, klon ZS 684, ZS 687, ZS915, dan GN 888 di Cina, serta klon B 0046,B 0056, B 0067, dan B 0226 di Indonesia(CIP 1992).

Musuh Alami

Capinera (1998) melaporkan bahwa be-berapa spesies parasitoid C. formicariusyang telah berhasil diperbanyak dilaboratorium adalah Bracon mellitor Say.,B. punctatus (Muesebeck), Metapelmaspectabile Westwood (semua termasukordo: Hymenoptera: Braconidae) danEuderus purpureas Yoshimoto (Hymenop-tera: Eulophidae). Selanjutnya Supriyatin(2001) menyatakan bahwa dua jenisparasitoid Microbracon cylasovarus danBassus cylasovarus efektif menekanpopulasi C. formicarius. Sharp (1995)melaporkan bahwa Phaidole mega-cephala (semut berkepala besar) efektifmemangsa C. formicarius. Predator inilebih efektif dibanding insektisida dalammenekan populasi C. formicarius. Ber-dasarkan hasil pengamatan di lapang,pemangsa C. formicarius meliputi semut,kumbang, belalang (Staphylinidae), danlaba-laba yang hidup aktif pada per-tanaman ubi jalar (Supriyatin 2001).

Musuh alami yang berupa patogenbelum banyak diketahui baik jenis mau-pun perannya. Beberapa jenis patogenyang menjadi musuh alami C. formicariusadalah jamur, virus, bakteri, protozoa,dan nematoda. Di antara jamur entomo-patogenik, Beauveria bassiana adalahyang paling efektif. Mortalitas C. formi-carius mencapai 80–90% jika spora B.bassiana diaplikasikan pada tanah steril(Talekar et al. 1989). Capinera (1998)menyatakan bahwa B. bassiana mampumenyebabkan kematian yang besar padakondisi kelembapan tinggi dan kepadatanC. formicarius yang juga tinggi.

Insektisida

Sekitar 10% petani ubi jalar di SulawesiSelatan menggunakan insektisida untukmengendalikan C. formicarius (Nonci danSriwidodo 1993), sedangkan di JawaTimur dan Jawa Tengah sekitar 20%(Supriyatin 2001). Penggunaan insektisidasintetis untuk mengendalikan hama initetap dianjurkan, baik insektisida dalambentuk cairan maupun butiran, terutamayang sistemik. Aplikasi insektisida pada

saat tanam dapat mencegah kerusakanpada bibit, dan aplikasi setelah tanamdapat mencegah serangan C. formicariusdari tanaman di sekitarnya. Penggunaaninsektisida akan lebih baik jika dikom-binasikan atau dipadukan dengankomponen-komponen pengendalianlainnya seperti varietas tahan, cara budidaya (pergiliran tanaman, tanam serem-pak, sanitasi), dan musuh alami (predatordan parasit).

Nonci et al. (1994) melaporkanadanya interaksi antara penggunaanVarietas Kalasan dan insektisida (kar-bofuran). Varietas Kalasan yang dilepaspada tahun 1991 mempunyai sifat agaktahan terhadap C. formicarius sertaberadaptasi baik pada lahan keringberiklim kering. Karbofuran dengan dosis25 kg/ha/aplikasi yang diberikan saattanam dan pada 60 hari setelah tumbuhefektif menekan populasi dan kerusakanoleh C. formicarius pada pangkal batangdan umbi. Pada intensitas serangan yangberat, hasil umbi segar varietas lokalSidrap tetap tinggi, mencapai 23,10 t/ha,namun mutu umbi sangat rendah. Pe-nampilan umbi tampak utuh, tetapi biladibelah terdapat sisa kotoran larva C.formicarius berwarna hitam pada seluruhumbi. Waluyo (1992) mengemukakanbahwa kotoran C. formicarius dalam um-bi menyebabkan umbi bertambah beratdan terasa pahit jika dimakan.

Seks Feromon

Seks feromon merupakan salah satubagian dari sistem pengendalian hamaterpadu. Formulasi seks feromon untukC. formicarius telah dikembangkanbegitu pula desain perangkap di lapang-

Page 7: jurnal dpt

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 69

stadium pupa 7–10 hari. Kumbang jantandan betina dapat dibedakan dari bentukantena.

Pengendalian C. formicarius dapatdilakukan dengan cara budi daya, yangmeliputi pergiliran tanaman, penggunaanbibit sehat (setek pucuk 25−30 cm),pemusnahan sisa tanaman setelah panen,mencabut dan memusnahkan tanamaninang alternatif, tumpang sari denganbuncis, ketumbar, labu, lobak, adas,

kacang hijau, dan kacang tanah, menutupretakan tanah dengan mencangkul ataumenggunakan mulsa, pemberian air sertasanitasi. Penggunaan varietas resistendengan hasil lebih dari 10 t/ha sepertiMSU 98-14, MSU 152-27, Cangkuang,MSU 163-9, MSU 34-38, MSU 162-4, danMSU 112-1, juga efektif mengendalikanhama. Parasit yang efektif terhadap C.formicarius adalah Bracon mellitor Say.,B. punctatus (Muesebeck), Metaperla

DAFTAR PUSTAKA

Austin, D.F. 1991. Association between theplant family Convolvulaceae and Cylasweevil. In R.K. Jansen and K.V. Raman(Eds.). Sweet Potato Pest Management: AGlobal Perspective. Westview Press,Boulder. p. 45−57.

AVRDC. 2004. Integrated Pest Managementof Sweet Potato Weevil. http://www/AVRDC org/LC/Sweet Potato/Weevil.

Bahagiawati, A.H. 1989. Bionomics and controlof sweet potato weevil, Cylas formicariusin Indonesia. Bogor Research Institute forFood Crops, Bogor. 10 pp.

Biro Pusat Statistik. 1991. Neraca BahanMakanan di Indonesia 1988. Biro Pusat Sta-tistik, Jakarta. 63 hlm.

Capinera, J.L. 1998. Sweet Potato Weevil,Cylas formicarius (Fabricius). Institute ofFood and Agricultural Sciences. Universityof Florida. 7 pp.

CABI. 2001. Crop Protection Compendium.(CD-ROM), CABI, Rome.

CIP. 1991. Annual Report. Worldwide Potatoand Sweet Potato Improvement. CIP, Peru.p. 130−132.

CIP. 1992. Annual Report. CIP, Peru. p. 81−100.

Hwang, J.S. 2000. Integrated control of sweetpotato weevil, Cylas formicarius Fabricius,with sex pheromone and insecticide. Councilof Agriculture, Taiwan. http://www.agnet.org/library/article/eb494.htm.

Jansson, R.K., H.H. Bryan, and K.A. Sorensen.1987. Within-vine distribution and damageof sweet potato weevil, Cylas formicariuselegentulus (Coleoptera: Curculionidae), onfour cultivars of sweet potato in SouthernFlorida. Florida Entomologist 70(4): 523−526.

Jansson, R.K. and K.V. Raman. 1991. Biologicalcontrol of Cylas spp. In K.V. Raman (Ed.).Sweet Potato Pest Management: A GlobalPerspective. Westview Press, Boulder 10:169−201.

Kaku, K., M. Yonena, H. Yoshimura, and N. Ho.1999. Movement behavior of adults of Cylas

formicarius on host plant. Research Bulletinof the Plant Protection Service, Japan.(no. 35): 81.

Kantor Statistik Sulawesi Selatan. 1990. SulawesiSelatan dalam Angka 1989. Kantor StatistikPropinsi Sulawesi Selatan, Makassar. hlm.65.

Komi, K. 2000. Eradication of sweet potatoweevil, Cylas formicarius Fabricius fromMuroro Cyty, Kochi. Japan. 5 pp. http://www.agnet,org/library/article/eb4936.html.

Moody, K., C.E. Munroe, R.T. Lubingan, andE.C. Paller. 1984. Major weeds of thePhilippines. University of the Philippinesat Los Banos College, Laguna, Philippines.p. 50−65.

Morallo, B.R. and R.S. Rejesus. 2001. Biologyof insect pest postharvest significance.Department of Entomology, University ofthe Philippines at Los Banos, Laguna,Philippines. p. 74−99.

Mullen, M.A. 1981. Sweet potato weevil, Cylasformicarius elegantulus (summers): Develop-ment, fecundity, and longevity. Ann.Entomol. Soci. Am. 74(5): 478−481.

Mullen, M.A. 1984. Influence of sweet potatoweevil infestation on the yields of twelvesweet potato lines. J. Agric. Entomol. 1(3):227−230.

Nonci, N. dan Sriwidodo. 1993. Pengaruhpengendalian Cylas formicarius pada ubi jalarterhadap kerusakan ubi pada penyimpanan.Laporan Hasil Penelitian Jagung dan Ubi-Ubian (no. 3): 89−97. Balai PenelitianTanaman Pangan, Maros.

Nonci, N., Sriwidodo, dan A. Muis. 1994.Pengendalian hama penggerek ubi Cylasformicarius dengan insektisida pada beberapavarietas ubi jalar. Agrikam, PenelitianPertanian Maros (no. 3): 139−146.

Rajamma, P. 1983. Biology and bionomics ofsweet potato weevil Cylas formicarius Fabr.In S.C. Goel, (Ed.). Insect Ecology andResources Management. Sanatan DharmCollege, Muzaffar Nagar, India. p. 87−92.

Sato, K., I. Uritani, and T. Saito. 1982. Propertiesof terpene-inducing factor extracted from

adults of the sweet potato weevil, Cylasformicarius Fabricius (Coleoptera: Brethi-dae). Appl. Entomol. Zool. 17(3): 368−374.

Sharp, J.L. 1995. Mortality of sweet potatoweevil. Texas Agric. Exp. Stn. Bull. 308: 90pp.

Sheng, H.J. 2000. Integrated control of sweetpotato weevil, Cylas formicarius Fabricius,with sex pheromone and insecticide. http://www/agnet.org/library/article/eb494.html

Supriyatin. 2001. Hama boleng pada ubi jalardan cara pengendaliannya. Palawija (no. 2):22−29.

Talekar, N.S., R.M. Lain, and K.W. Cheng. 1989.Integrated control of sweet potato weevil atPenghu Island. Plant Prot. Bull. (Taiwan)31: 175−189.

Talekar, N.S. 1997. Sources of resistance to sweetpotato weevil (Coleoptera: Apionidae) insweet potato lines. Trop. Agric. 74(2): 146−149.

Trustina, Nur B., Nasrullah, dan Sumarno. 1993.Tanggap klon ubi jalar terhadap hama bolengpada lingkungan kekeringan dan kecukupanair. Penelitian Palawija 8(1 & 2): 57−67.

Waddil, V.H. 1982. Control of the sweet potatoweevil, Cylas formicarius elegantulus byfoliar application of insecticides. Proceedingof the First International SymposiumAVRDC Taiwan. p. 157−169.

Waluyo. 1992. Perbanyakan hama lanas Cylasformicarius F. di gudang. Dalam S.Hardjosumadi, M. Machmud, S. Tjokro-winoto, S. Pasaribu, Sutrisno, A. Kurnia,dan N. Mulyono (Ed.). Prosiding SeminarHasil Penelitian Tanaman Pangan. BalaiPenelitian Tanaman Pangan Bogor. hlm.33−35.

Widodo, Y., Supriyatin, and A.R. Braun. 1994.Rapid assessment of IPM needs for sweetpotato in some commercial production areasof Indonesia. International Potato Center,Bogor, Indonesia and Malang ResearchInstitute for Food Crops, Malang, Indonesia.19 pp.

spectabile Westwood, Euderus purpureasYoshimoto, Microbracon cylasovarus danBassus cylasovarus, dan untuk predatoradalah Phaidole megacephala (semutberkepala besar), kumbang, belalang, danlaba-laba, serta patogen yang efektifadalah B. bassiana. Penggunaan karbo-furan 25 kg/ha/aplikasi serta seks feromon(2)-3-dodecen-1-01(E)-2-butenoate jugadianjurkan.