jurnal analisis pendidikan dasar & menengah ......volume 2, nomor 1, januari 2016 123 hal tersebut...

135
Daftar Isi Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing Sunarijah ....................................................................................................... 121 Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar Ismawati ........................................................................................................ 137 Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan Mutrofin & Muhtadi Irvan ......................................................................... 149 Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar Sri Hartatik ................................................................................................... 163 Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes Sihono ............................................................................................................ 181 Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat Sumarni ......................................................................................................... 195 Menjadi Pengawas Sekolah Efektif Budi Sasmito ................................................................................................ 207 Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di Sekolah Dasar Berbasis Pendekatan Meritokrasi Endang Padmi Heruningsih ...................................................................... 217 Vol.2, No.1, Januari 2016 ISSN: 2460-5689 JURNAL ANALISIS PENDIDIKAN DASAR & MENENGAH INDONESIA (JA-DIKDASMEN)

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Daftar Isi

    Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan TerbimbingSunarijah ....................................................................................................... 121

    Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajarandi Sekolah DasarIsmawati ........................................................................................................ 137

    Dampak Bias Gender terhadap Profesi KeguruanMutrofin & Muhtadi Irvan ......................................................................... 149

    Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah DasarSri Hartatik ................................................................................................... 163

    Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam PembelajaranPenjasorkesSihono ............................................................................................................ 181

    Mendekatkan Sekolah dengan MasyarakatSumarni ......................................................................................................... 195

    Menjadi Pengawas Sekolah EfektifBudi Sasmito ................................................................................................ 207

    Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SekolahDasar Berbasis Pendekatan MeritokrasiEndang Padmi Heruningsih ...................................................................... 217

    Vol.2, No.1, Januari 2016 ISSN: 2460-5689

    JURNAL ANALISIS PENDIDIKAN DASAR &MENENGAH INDONESIA

    (JA-DIKDASMEN)

  • Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalamMengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalahmelalui Lesson StudyDyah Ayundawati ........................................................................................ 227

    Menjadi Kepala Sekolah DemokratisSupriyati ........................................................................................................ 241

  • JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 121

    MENINGKATKAN SIKAP ILMIAH SISWA SMPDALAM PEMBELAJARAN IPA MELALUI STRATEGI

    PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING

    SunarijahPengawas Sekolah SD/MI Kota Mojokerto, Jawa Timur

    Abstract

    Integrated science teaching in junior high school is in desperateneed of creativity and innovation of teachers in choosing learningstrategies as part of the elements of pedagogy. The nature ofscience teaching includes four main elements, namely, attitudes,processes, products, and applications. Classroom action researchconducted in collaboration with teachers focusing on attitudes,the scientific attitude of students. The study was conducted duringtwo cycles of treatment with guided discovery learning strategy.The results showed that the average percentage of scientificattitude of students in the first cycle is equal to 55.57% increaseto 76.14% in the second cycle. Thus, the action hypothesis whichreads “if teachers implement guided discovery instructionalstrategies in learning science in junior high school, then thescientific attitude of students will increase” acceptable.Based on the results of this research suggested that in certaintopics for learning science in class VII SMP, the teacher tried toapply guided discovery learning strategies. However, furtherresearch is needed to test the effectiveness of guided discoverylearning strategies when compared with other learning strategies,eg with expository teaching strategy. The focus of thecharacteristics of the students surveyed also needs to bebroadened, not only scientific attitudes but also achievementmotivation.

    Keywords: Scientific attitude, science education, guided discovery

    Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)ISSN: 2460-5689

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 121-136

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    122 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    PENDAHULUAN

    Pedagogi yang secara umum di-pahami sebagai ilmu tentang me-ngajar memiliki kedudukan vitaldalam pembelajaran. Secara seder-hana, menurut Pinto, Spares, &Driscoll (2012), pedagogi adalahtentang bagaimana pendidikandiselenggarakan, atau tentang apastrategi pembelajaran yang diguna-kan. Pedagogi mempengaruhi dandipengaruhi oleh konten dan topik.Bagian tanggung jawab profesionalguru ialah mengambil keputusanpedagogi, yakni dengan memilihdari banyak sekali pedagogi yangtersedia dan kemudian mengadap-tasikannya ke kelas yang diampu-nya.

    Masih menurut Pinto, Spares, &Driscoll (2012), ketika membuatpilihan pedagogi, ada banyak kri-teria yang perlu dipertimbangkan,baik secara sadar maupun menurutintuisi, misalnya: 1) kesesuaiandengan konten dan mata pelajarantertentu, 2) seberapa jauh mengacuke hasil pembelajaran tertentu, 3)keseuaian dengan usia anak padalevel kelas yang dibelajarkan, 4)bukti-bukti penelitian bahwa peda-gogi tertentu berkontribusi terha-dap pencapaian atau prestasi siswa,dan 5) kesesuaian dengan filosofi

    pendidikan guru, apakah berpusatpada guru ataukah berpusat padasiswa.

    Peran vital pedagogi dalampembelajaran”pada konteks ten-tang apa strategi pembelajaran yangdigunakan”memperoleh dukungankuat teori deskriptif pembelajaransebagai bagian dari variabel yangdihipotesiskan mempengaruhi hasilpembelajaran dalam interaksinyadengan kondisi pembelajaran ter-tentu (Reigeluth, 1983). Oleh ka-renanya, strategi pembelajaran rele-van diteliti terus menerus.

    Pembelajaran dalam konteksKurikulum 2013 diorientasikanuntuk menghasilkan insan Indone-sia yang produktif, kreatif, inovatif,dan afektif melalui penguatan sikap(tahu mengapa), keterampilan (tahubagaimana), dan pengetahuan (tahuapa) yang terintegrasi, (Kemendik-bud, 2013). Orientasi ini dilandasioleh adanya kesadaran bahwa per-kembangan kehidupan dan ilmupengetahuan abad ke-21, telah ter-jadi pergeseran ciri dibanding abadsebelumnya. Sejumlah ciri abad ke-21 tersebut adalah bahwa abad ke-21 merupakan abad informasi,komputasi, otomasi, dan komu-nikasi.

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 123

    Hal tersebut dipertegas dalamLampiran III Permendikbud RINomor 58 Tahun 2014 tentangKurikulum 2013 SMP/MTs bahwapembelajaran diarahkan untukmendorong peserta didik mencaritahu dari berbagai sumber obser-vasi, mampu merumuskan masalah(menanya) bukan hanya menye-lesaikan masalah. Di samping itupembelajaran diarahkan untuk me-latih peserta didik berpikir analitis(pengambilan keputusan) bukanberpikir mekanistis (rutin), sertamampu bekerjasama dan berkola-borasi dalam menyelesaikan masa-lah. Sehubungan dengan itu, Kuri-kulum 2013 menerapkan pendekat-an saintifik dalam pembelajarandan penilaian otentik yang meng-gunakan prinsip penilaian sebagaibagian dari pembelajaran. Untukmemperkuat pendekatan saintifik,perlu diterapkan pembelajaran ber-basis penemuan (discovery learning).Hal inilah yang melandasi mengapapembelajaran penemuan relevanditeliti.

    Secara teoretik, pembelajaranpenemuan ingin mengubah kondisibelajar yang pasif menjadi aktifdan kreatif, pembelajaran yangsemula berorientasi pada guru kepembelajaran yang berorientasi

    pada siswa, dan mengubah modusexpository siswa yang hanya mene-rima informasi dari guru ke modusdiscovery dimana siswa menemukaninformasi sendiri. Pembelajaranpenemuan adalah pembelajaran di-mana siswa menyusun pema-hamannya sendiri. Dalam pem-belajaran penemuan, siswa harusmencari tahu sendiri. Pembelajaranpenemuan berhubungan dengan idePiaget, yang mengatakan bahwasetiap kali guru memberi tahusiswa, maka sesungguhnya siswatidak belajar (Santrock, 2011).

    Bruner (1966), mempromosi-kan konsep pembelajaran penemu-an dengan mendorong guru untukmemberi siswa kesempatan belajarsendiri. Pembelajaran penemuanmendorong siswa untuk berpikirsendiri dan menemukan cara me-nyusun dan mendapatkan penge-tahuan sendiri. Bruner (1966),mengemukakan bahwa “discoverylearning can be defined as the learningthat takes place when the student is notpresented with subject matter in the finalform, but rather is required to organizeit himself ’.” Dasar ide Bruner ialahpendapat Piaget yang menyatakanbahwa anak harus berperan aktifdalam belajar di kelas.

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    124 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Pembelajaran penemuan sangatefektif dalam pembelajaran sains.Secara empirik telah ditemukanbahwa siswa yang mempelajarisains dengan menggunakan akti-vitas dan metode pembelajaranpenemuan mendapat nilai lebihtinggi dalam pelajaran sains dari-pada siswa di kelas yang diajar de-ngan metode pembelajaran lang-sung (Bredderman, 1982; dan jugaGlasson, 1989). Temuan ini diper-oleh pada sekolah dasar dan mene-ngah.

    Namun demikian, Santrock(2011), mengungkapkan bahwakebanyakan yang digunakan disekolah dewasa ini bukanlah pem-belajaran penemuan “murni.” Da-lam pembelajaran penemuan “mur-ni” siswa didorong untuk belajarsendiri dan instruksi diberikan padalevel minimal atau tidak diberikansama sekali. Sehingga saat gurumulai menggunakan pembelajaranpenemuan, guru menyadari bahwaagar efektif, ini perlu untuk dimodi-fikasi yang kemudian memuncul-kan istilah pembelajaran penemuanterbimbing (guided discovery learning).

    Pembelajaran penemuan ter-bimbing merupakan pembelajarandimana siswa didorong untuk me-nyusun sendiri pemahamannya,

    namun juga dibantu denganpertanyaan dan pengarahan dariguru. Hal ini dikarenakan belajarsendiri tidak selalu bermanfaat bagibanyak siswa. Memberi materi lalumembiarkan siswa belajar sendiriakan menyebabkan siswa men-dapatkan solusi yang salah danstrategi yang tidak efisien untukmenemukan informasi. Bahkan adasiswa yang tidak menemukanpengetahuan sama sekali.

    Menurut Eggen & Kauchak(2012), pembelajaran penemuanterbimbing dapat mendorong pe-mahaman materi secara mendalamdan mengembangkan kemampuanberpikir kritis siswa. Saat siswamemberikan bukti bagi kesimpulanyang diperoleh, hal ini sesungguh-nya inti dari berpikir kritis. Strategipenemuan terbimbing dalam pene-litian ini diterapkan untuk pem-belajaran Ilmu Pengetahuan Alam(IPA) di Sekolah MenengahPertama (SMP).

    IPA yang sering disebut jugadengan istilah pendidikan sainsmerupakan salah satu mata pelaja-ran dalam kurikulum pendidikanpada jenjang SMP. Menurut rumu-san Pusat Kurikulum (2006), IPAberkaitan dengan cara mencari tahutentang alam secara sistematis,

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 125

    sehingga IPA bukan hanya pe-nguasaan kumpulan pengetahuanyang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip sajatetapi juga merupakan suatu prosespenemuan. Pendidikan IPA diha-rapkan dapat menjadi wahana bagipeserta didik untuk mempelajaridiri sendiri dan alam sekitar, sertaprospek pengembangan lebih lanjutdalam menerapkannya di dalamkehidupan sehari-hari. Proses pem-belajarannya menekankan padapemberian pengalaman langsunguntuk mengembangkan kompe-tensi agar siswa menjelajahi danmemahami alam sekitar secarailmiah. Pendidikan IPA diarahkanuntuk inkuiri dan berbuat sehinggadapat membantu peserta didikuntuk memperoleh pemahamanyang lebih mendalam tentang alamsekitar.

    Secara umum IPA di SMP/MTs, meliputi bidang kajian energidan perubahannya, bumi dan anta-riksa, makhluk hidup dan proseskehidupan, dan materi dan sifatnyayang sebenarnya sangat berperandalam membantu peserta didikuntuk memahami fenomena alam.IPA merupakan pengetahuan ilmi-ah, yaitu pengetahuan yang telahmengalami uji kebenaran melalui

    metode ilmiah, dengan ciri:objektif, metodik, sistematis, uni-versal, dan tentatif. IPA merupakanilmu yang pokok bahasannyaadalah alam dan segala isinya.

    Carin dan Sund (1993), se-bagaimana dikutip Puskur (2006),mendefinisikan IPA sebagai“pengetahuan yang sistematis dantersusun secara teratur, berlakuumum (universal), dan berupakumpulan data hasil observasi daneksperimen.” Sains atau IPA adalahusaha manusia dalam memahamialam semesta melalui pengamatanyang tepat pada sasaran, sertamenggunakan prosedur dan dijelas-kan dengan penalaran sehinggamendapatkan kesimpulan(Susanto, 2013).

    Merujuk pada pengertian IPAitu, maka Puskur (2006), me-nyimpulkan bahwa hakikat pem-belajaran IPA meliputi empat unsurutama yaitu: (1) sikap: rasa ingintahu tentang benda, fenomenaalam, makhluk hidup, serta hubu-ngan sebab akibat yang menimbul-kan masalah baru yang dapat di-pecahkan melalui prosedur yangbenar; IPA bersifat open ended; (2)proses: prosedur pemecahan ma-salah melalui metode ilmiah;metode ilmiah meliputi penyusunan

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    126 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    hipotesis, perancangan eksperimenatau percobaan, evaluasi, pengu-kuran, dan penarikan kesimpulan;(3) produk: berupa fakta, prinsip,teori, dan hukum; (4) aplikasi: pe-nerapan metode ilmiah dan konsepIPA dalam kehidupan sehari-hari.

    Keempat unsur itu merupakanciri IPA yang utuh yang sebenarnyatidak dapat dipisahkan satu samalain. Dalam proses pembelajaranIPA keempat unsur itu diharapkandapat muncul, sehingga pesertadidik dapat mengalami proses pem-belajaran secara utuh, memahamifenomena alam melalui kegiatan pe-mecahan masalah, metode ilmiah,dan meniru cara ilmuwan bekerjadalam menemukan fakta baru.

    Pembelajaran IPA merupakanpembelajaran berdasarkan padaprinsip-prinsip, proses yang manadapat menumbuhkan sikap ilmiahsiswa terhadap konsep-konsep IPA(Susanto, 2013). Oleh karena itu,pembelajaran IPA di SMP dilaku-kan dengan penyelidikan sederhanadan bukan hafalan terhadap se-kumpulan konsep IPA. Dengan ke-giatan-kegiatan tersebut pem-belajaran akan mendapat penga-laman langsung melalui penga-matan, diskusi, dan penyelidikansederhana. Pembelajaran yang

    demikian dapat menumbuhkansikap ilmiah siswa yang diindikasi-kan dengan merumuskan masalah,menarik kesimpulan, sehinggamampu berpikir kritis melalui pem-belajaran IPA. Sikap ilmiah itulahyang menjadi fokus penelitian ini.

    Istilah sikap dalam bahasa Ing-gris disebut “attitude” sedangkanistilah attitude sendiri berasal daribahasa latin yakni “aptus” yang ber-arti keadaan siap secara mentalyang bersifat untuk melakukankegiatan. Sikap ilmiah merupakansikap yang harus ada pada diriseorang ilmuwan atau akademisiketika menghadapi persoalan-persoalan ilmiah. Sikap ilmiah iniperlu dibiasakan dalam berbagaiforum ilmiah, misalnya dalamdiskusi, seminar, loka karya, danpenulisan karya ilmiah.

    Sikap ilmiah dapat dibedakandari sekedar sikap terhadap Sains,karena sikap terhadap Sains hanyaterfokus pada apakah siswa sukaatau tidak suka terhadap pembe-lajaran sains. Tentu saja sikap po-sitif terhadap pembelajaran sainsakan memberikan kontribusi tinggidalam pembentukan sikap ilmiahsiswa. Sikap ilmiah dalam pem-belajaran IPA sering dikaitkan de-ngan sikap terhadap IPA. Keduanya

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 127

    saling berbubungan dan keduanyamempengaruhi perbuatan. Penilai-an hasil belajar IPA dianggap leng-kap jika mencakup aspek kognitif,afektif, dan psikomotor. Sikap me-rupakan tingkah laku yang bersifatumum dilakukan siswa. Tetapisikap juga merupakan salah satuyang berpengaruh pada hasil belajarsiswa (Herson, 2009).

    Menurut Hadiat dan I NyomanKertiasa (1976), ada beberapa sikapilmiah, yaitu: (1) objektif terhadapfakta, (2) tidak tergesa-gesa me-ngambil kesimpulan, (3) berhatiterbuka, (4) tidak mencampuraduk-kan fakta dengan pendapat, (5) ber-sifat hati-hati, dan (6) ingin menye-lidiki. Namun demikian pada ha-kekatnya banyak sekali sikap ilmiahyang dapat ditumbuhkan pada dirisiswa. Pengukuran sikap ilmiah sis-wa dapat didasarkan pada penge-lompokan sikap yang dimilikimasing-masing siswa. MenurutHerson (2009), “Sikap ilmiah di-ukur dengan bentuk penilaian nontes. Teknik penilaian non-tes yangsering digunakan adalah penga-matan (observasi), melakukan wa-wancara (interview), menyebarangket (kuisioner), dan dokumen(dokumentasi).”

    Menurut Harlen (2006), se-dikitnya ada empat jenis sikap yangperlu mendapat perhatian dalampengembangan sikap ilmiah siswa:(1) sikap terhadap pekerjaan di se-kolah, (2) sikap terhadap diri me-reka sebagai siswa, (3) sikap ter-hadap ilmu pengetahuan, khusus-nya sains, dan ( 4) sikap terhadapobjek dan kejadian di lingkungansekitar. Keempat sikap ini akanmembentuk sikap ilmiah yangmempengaruhi keinginan sese-orang untuk ikut serta dalam kegia-tan tertentu, dan cara seseorangmerespons kepada orang lain,objek, atau peristiwa. Dengandemikian, sikap ilmiah terhadapsains menurut Harlen (2006),meliputi: sikap ingin tahu (curiosity),respek terhadap data (respect forevidence), refleksi kritis (criticalreflection), tekun (perseverance),kreatif dan cenderung menemukan(creativity and inventiveness), bekerja-sama dengan orang lain (co-operationwith others), keinginan menerimaketidakpastian (willingness to tolerateuncertainty), dan peka terhadaplingkungan (sensitivity to environment).Sedangkan menurut AmericanAssociation for Advancement of Science(AAAS), sikap ilmiah meliputi:jujur (Honesty), ingin tahu (Curiosity),

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    128 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    berpikiran terbuka (Open minded),dan selalu ragu-ragu (Skepticism).

    Setelah mencermati ketiga des-kripsi mengenai sikap ilmiah ter-sebut, maka dalam penelitian inipenulis menggunakan angket (kue-sioner) dan lembar observasi seba-gai instrumen penilaian sikap ilmi-ah. Pernyataan-pernyataan dalamangket dan lembar observasi yangpenulis gunakan adalah pernyata-an-pernyataan yang penulis kem-bangkan dari indikator-indikatorsikap ilmiah yang telah disusunoleh ketiganya, namun dimodifikasimenjadi lima sikap, yaitu: Jujur(Honesty), Ingin tahu & ragu-ragu(Curiosity & Skepticism), Objektif-terbuka (Objective-open minded),Kreatif-reflektif (Creativity and reflec-tive), dan Sistematis-logis (Systematic-logical).

    Berdasarkan uraian di muka,penelitian ini diberi judul Meningkat-kan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalamPembelajaran IPA melalui StrategiPembelajaran Penemuan Terbimbing.Penelitian ini merupakan studipendahuluan sebelum dilakukanpenelitian kuasi eksperimentallebih lanjut dengan judul PengaruhStrategi Pembelajaran PenemuanTerbimbing versus Ekspositori danMotivasi Berprestasi terhadap Hasil

    Belajar IPA dan Sikap Ilmiah SiswaKelas VII SMP Negeri di KotaMojokerto.

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian yang di-gunakan adalah metode penelitiantindakan kelas (PTK), suatu pene-litian yang menurut Stringer (2007),sebagaimana dikutip Mertler(2012), adalah suatu “kerangkakerja yang sederhana, namun ber-pengaruh kuat” yang terdiri darirutinitas “melihat, berpikir, dan ber-tindak.” Selama setiap tahap,peneliti mengobservasi, mereflek-sikan, dan kemudian mengambilsejumlah tindakan. Aksi ini meng-arahkan peneliti ke tahap berikut-ya. Penelitian ini dilakukan dalamdua siklus.

    PTK yang dilaksanakan bersifatkolaboratif antara peneliti dan guruIPA. Sebelum penelitian dilakukan,peneliti terlebih dahulu memper-kuat pemahaman guru IPA tentangperlakuan tindakan, yakni strategipembelajaran penemuan. Penguat-an dilakukan dengan curah pen-dapat dan diskusi, serta pemberiancontoh tindakan. Setelah guru IPAbenar-benar siap, barulah pene-litian dilakukan.

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 129

    Penelitian ini dilakukan dengansubjek penelitian siswa Kelas VIISMP Islam Permata Mojokerto,Jawa Timur semester ganjil tahunakademik 2014-2015. Subjek pene-litian berjumlah 35 orang, terdiriatas 20 orang siswa perempuan dan15 orang siswa laki-laki.

    Materi ajar yang diajarkan da-lam penelitian ini merupakan materiIPA terpadu. Materi IPA terpadu inimemadukan dua cabang ilmu yakniFisika dan Biologi. Dengan meng-gabungkan dua cabang ilmu makatema yang diambil adalah “Kare-namu Aku Bisa Melihat.” Kompe-tensi Dasar (KD) bidang Fisikameliputi: 6.3 menyelidiki sifat-sifatcahaya dan hubungannya denganberbagai bentuk cermin dan lensa;dan 6.4 mendeskripsikan alat-alatoptik dan penerapannya dalamkehidupan sehari-hari. Adapunsubyek/materi adalah: Pembiasancahaya pada lensa cembung; Alatoptik, mikroskop. Sedangkan Kom-petensi Dasar (KD) bidang Biologimeliputi: 5.3 menggunakan mikros-kop dan alat pendukung lainnyauntuk mengamati gejala-gejalakehidupan; 2.1 mengidentifikasi

    struktur dan fungsi jaringan tum-buhan. Subyek/Materi: Mikroskopdan penggunaannya; Struktur danfungsi organ tumbuhan.

    Data sikap ilmiah dikumpulkanmelalui angket (kuesioner) danlembar observasi sebagai instrumenpenilaian sikap ilmiah. Data hasilangket kemudian dianalisis denganmenggunakan teknik analisis des-kriptif, sedangkan data hasil obser-vasi dianalisis dengan teknik narasikualitatif.

    Hipotesis tindakan dalampenelitian ini ialah: “jika gurumenerapkan strategi pembelajaranpenemuan terbimbing dalam pem-belajaran IPA di SMP, maka sikapilmiah siswa akan meningkat.”

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil PenelitianBerdasarkan analisis hasil

    kuesioner terhadap sikap ilmiahsiswa pada siklus I, diperoleh datarata-rata sikap ilmiah siswa selamamengikuti pembelajaran denganstrategi penemuan terbimbingsebagaimana dapat dilihat padaTabel 1 berikut.

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    130 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Tabel 1. Kriteria Sikap Ilmiah Siswa Siklus I

    No. Kriteria Frekuensi Persentase (%) 1. Sangat Tinggi 0 0 2. Tinggi 3 8,58 3. Cukup 30 85,71 4. Rendah 2 5,71 5. Sangat Rendah 0 0 Total 35 100

    Sikap ilmiah siswa untuk setiap indikator disajikan dalam Tabel 2berikut.

    Tabel 2. Persentase Rata-rata Sikap Ilmiah Siswa Siklus I

    No. Indikator Sikap Ilmiah Siswa Persentase Rata-rata (%) 1. Jujur (Honesty) 70,71 2. Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism) 55,71 3. Objektif-terbuka (Objective-open minded) 48,57 4. Kreatif-reflektif (Creativity and reflective) 47,86 5. Sistematis-logis (Systematic-logical) 56,42

    Persentase rata-rata sikap ilmiah siswa 55,57 Kategori cukup

    Data hasil kuesioner sikap ilmiah siswa pada siklus II disajikan padaTabel 3 berikut.

    Tabel 3. Kriteria Sikap Ilmiah Siswa Siklus II

    No. Kriteria Frekuensi Persentase (%) 1. Sangat Tinggi 6 17,14 2. Tinggi 15 42,86 3. Cukup 14 40 4. Rendah 0 0 5. Sangat Rendah 0 0 Total 35 100

    Data sikap ilmiah siswa untuk setiap indikator dapat dilihat pada Tabel4 berikut.

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 131

    Tabel 4 Persentase Rata-rata Sikap Ilmiah Siswa Siklus II

    No. Indikator Sikap Ilmiah Siswa Persentase Rata-rata (%) 1. Jujur (Honesty) 85 2. Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism) 78,57 3. Objektif-terbuka (Objective-open minded) 72,85 4. Kreatif-reflektif (Creativity and reflective) 69,28 5. Sistematis-logis (Systematic-logical) 85

    Persentase rata-rata sikap ilmiah siswa 76,14 Kategori Tinggi

    bekerja secara sistematis dan me-ngikuti logika atau alur yang benarmencapai 56,42%.

    Berdasarkan Tabel 3 di atas,sikap ilmiah siswa dalam pem-belajaran pada siklus II menunjuk-kan bahwa dari 35 siswa terdapat6 orang siswa (17,14%) dengansikap ilmiah sangat tinggi, 15 orangsiswa (42,86%) dengan sikap ilmi-ah tinggi, dan 14 orang siswa (40%)dengan sikap ilmiah cukup.

    Berdasarkan Tabel 4 di atas,sikap ilmiah siswa yang diamati me-liputi lima indikator. Sikap ilmiahdengan indikator kejujuran dalammengerjakan atau melaksanakantugas pembelajaran serta indikatorbekerja secara sistematis dan me-ngikuti logika atau alur yang benarmencapai persentase tertinggi yaitu85%. Indikator keingintahuankarena ragu-ragu terhadap suatukebenaran mencapai mencapai78,57%. Indikator sikap objektif

    PembahasanBerdasarkan Tabel 1, hasil pe-

    ngukuran sikap ilmiah siswa dalampembelajaran pada siklus I menun-jukkan, dari 35 siswa hanya ada 3orang siswa (8,58%) yang memilikisikap ilmiah tinggi, 30 orang siswa(85,71%) memiliki sikap ilmiahcukup, dan hanya 2 orang siswa(5,71%) yang memiliki sikap ilmiahrendah.

    Berdasarkan Tabel 2 nampakbahwa indikator sikap ilmiah siswatertinggi dengan persentase70,71% adalah kejujuran dalam me-ngerjakan atau melaksanakan tugaspembelajaran. Indikator keingin-tahuan karena ragu-ragu terhadapsuatu kebenaran mencapai 55,71%.Indikator sikap objektif terhadapdata dan terbuka dalam pelaksana-an pembelajaran mencapai48,57%. Indikator kemampuankreativitas dan kemampuan me-lakukan refleksi atas pekerjaannyamencapai 47,86%, dan indikator

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    132 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    terhadap data dan terbuka dalampelaksanaan pembelajaran men-capai 72,85%. Sedangkan indikatorkemampuan kreativitas dan ke-mampuan melakukan refleksi ataspekerjaannya mencapai 69,28%.

    Berdasarkan data yang disaji-kan dalam hasil penelitian menun-jukkan bahwa sikap ilmiah siswayang dimiliki pada siklus I menga-lami perubahan pada siklus II, halini dapat dilihat pada ringkasanTabel 5 berikut.

    Tabel 5. Analisis Perbandingan Sikap Ilmiah Siswa antara Siklus I danSiklus II

    No. Kriteria Hasil Siklus I (%) Hasil Siklus II

    (%) Selisih Siklus I dan

    Siklus II (%) 1. Sangat Tinggi 0 17,14 17,14 2. Tinggi 8,58 42,86 34,28 3. Cukup 85,71 40 45,71 4. Rendah 5,71 0 5,71 5. Sangat Rendah 0 0 0 Total 100 100

    Berdasarkan Tabel 5 diperolehdata perbandingan sikap ilmiahsiswa antara siklus I dan siklus II,hasil yang didapat adalah kriteriasangat tinggi memiliki peningkatan17,14% pada siklus II dari siklus I,kriteria tinggi mengalami pening-katan sebesar 34,28% pada siklusII dari siklus I, kriteria cukup me-ngalami penurunan sebesar45,71% pada siklus II dari siklus I,sedangkan kriteria rendah menga-lami penurunan sebesar 5,71% keangka 0% dari siklus I ke siklus II.Hal itu berarti penerapan strategipembelajaran penemuan ter-bimbing meningkatkan sikap ilmiah

    siswa. Tebel tersebut menunjukkanbahwa terjadi peningkatan padakriteria sikap ilmiah siswa sangattinggi, tinggi, cukup, rendah dansangat rendah. Jadi, dapat disim-pulkan bahwa pada siklus I sikapilmiah siswa belum maksimaldengan menerapkan strategi pem-belajaran penemuan terbimbing.

    Selain itu, berdasarkan masing-masing indikator sikap ilmiahsiswa, persentase sikap ilmiah siswapada pembelajaran IPA denganmenerapkan strategi pembelajaranpenemuan terbimbing sebagaiberikut.

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 133

    Berdasarkan Tabel 6 nampakbahwa persentase sikap ilmiahsiswa jika dilihat dari indikator sikapilmiah pada indikator kejujurandalam melaksanakan tugas pembe-lajaran dari 70,71% pada siklus Idan 85% pada siklus II berarti me-ngalami peningkatan sebesar14,29%. Indikator keingintahuankarena ragu-ragu terhadap suatukebenaran sebesar 55,71% padasiklus I dan 78,57% pada silus IImengalami peningkatan sebesar22,86%. Indikator sikap objektifterhadap data dan terbuka dalampelaksanaan pembelajaran sebesar48,57% pada siklus I dan 72,85%pada silus II mengalami pening-katan sebesar 24,28%. Indikatorkreativitas dan kemampuan me-lakukan refleksi atas pekerjaannyasebesar 47,86% pada siklus I dan

    69,28% pada siklus II mengalamipeningkatan sebesar 21,42%. Indi-kator bekerja secara sistematis danmengikuti logika atau alur yangbenar 56,42% pada siklus I dan85% pada siklus II mengalami pe-ningkatan sebesar 28,58%. Jika di-hitung rata-rata persentase sikapilmiah siswa pada siklus I yaitusebesar 55,57% meningkat menjadi76,14% pada siklus II.

    Refleksi TindakanTerhadap tindakan pada siklus

    pertama peneliti masih berkeyaki-nan bahwa sebagian besar siswayang bersikap ilmiah kategori cukuphingga tinggi bukanlah dampak daritindakan pembelajaran penemuanterbimbing. Hal itu didasari alasankarena subjek penelitian adalah sis-wa Kelas VII SMP, dimana menye-

    Tabel 6. Analisis Perbandingan Indikator Sikap Ilmiah Siswa AntaraSiklus I dan Siklus II

    No. Indikator Sikap Ilmiah Hasil

    Siklus I (%)

    Hasil Siklus II

    (%)

    Selisih Siklus I dan Siklus II (%)

    1. Jujur (Honesty) 70,71 85 14,29 2. Ingin tahu & ragu-ragu

    (Curiosity & Skepticism) 55,71 78,57 22,86

    3. Objektif-terbuka (Objective-open minded)

    48,57 72,85 24,28

    4. Kreatif-reflektif (Creativity and reflective)

    47,86 69,28 21,42

    5. Sistematis-logis (Systematic-logical)

    56,42 85 28,58

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    134 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    lidiki sifat-sifat cahaya dan hubu-ngannya dengan berbagai bentukcermin dan lensa dan mendeskrip-sikan alat-alat optik dan penerapan-nya dalam kehidupan sehari-harisudah dimulai sejak mereka masihSekolah Dasar (SD). Artinya, meng-gunakan alat optik dan mikroskopsudah pernah dilakukannya dikelas-kelas sebelumnya. Demikianpula ketika mengamati gejala-gejalakehidupan untuk mengidentifikasistruktur dan fungsi jaringan tumbu-han, mereka juga pernah mengguna-kan mikroskop dan mengenalistruktur dan fungsi organ tumbu-han.

    Akan tetapi ketika tindakanpembelajaran penemuan terbim-bing pada siklus kedua diintensif-kan, keyakinan tersebut mulai beru-bah. Sikap ilmiah yang meningkattajam di berbagai indikator meya-kinkan penulis bahwa strategi pe-nemuan terbimbing jika dilaksana-kan secara benar akan sangat me-narik bagi siswa. Siswa tidak me-rasa kehilangan kendali dalam me-ngatasi tugas-tugas yang harusdikerjakannya berkaitan dengantopik pembelajaran itu. Sikap jujurbahwa mereka belum menguasaisepenuhnya penggunaan alat-alatseperti lensa dan mikroskop me-

    ngemuka ketika mereka meng-ungkapkan kepuasannya atas hasilkerja sains yang mereka pelajari.Satu hal yang sebelumnya ter-sembunyi di balik kediaman danketidakberanian mereka untukmengungkapkannya di kelas.

    Di siklus pembelajaran yangkedua pula terungkap betapa antu-siasnya siswa berebut alat yang be-gitu terbatas jumlahnya, hanya inginmemuaskan rasa ketidaktahuanmereka dan ingin membuktikanbahwa teori yang didapat benaradanya. Hal lain yang relevandiketengahkan ialah bagaimana ter-bukanya para siswa terhadap saranteman-teman sejawatnya. Keriuhanyang terjadi di siklus dua bukanarena pasar atau bermain, melain-kan ajang kreativitas dan cara ber-pikir reflektif dengan menunjukkanperbedaan keanekaragaman hayatiyang ditemukan siswa di lingkungansekolah.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Pembelajaran IPA terpadu diSMP sangat membutuhkan kreati-vitas dan inovasi guru dalammemilih strategi pembelajaransebagai bagian dari unsur pedagogi.Hakikat pembelajaran IPA meliputiempat unsur utama yaitu, sikap,

  • Sunarijah

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 135

    proses, produk, dan aplikasi. Pene-litian tindakan kelas yang dilaksa-nakan melalui kolaborasi denganguru berfokus pada sikap, yaknisikap ilmiah siswa. Penelitiandilakukan selama dua siklus denganperlakuan strategi pembelajaran pe-nemuan terbimbing. Hasil peneliti-an ini menunjukkan bahwa rata-rata persentase sikap ilmiah siswapada siklus I yaitu sebesar 55,57%meningkat menjadi 76,14% padasiklus II. Jadi, hipotesis tindakanyang berbunyi “jika guru menerap-kan strategi pembelajaran penemu-an terbimbing dalam pembelajaranIPA di SMP, maka sikap ilmiahsiswa akan meningkat” diterima.

    Berdasarkan hasil penelitiaanini disarankan agar dalam topik-topik tertentu untuk pembelajaranIPA di Kelas VII SMP, guru men-coba menerapkan strategi pem-belajaran penemuan terbimbing.Namun demikian, diperlukan pene-litian lebih lanjut untuk mengujiefektivitas strategi pembelajaranpenemuan terbimbing jika diban-dingkan dengan strategi pembe-lajaran lain, misalnya dengan stra-tegi pembelajaran ekspositori. Fo-kus karakteristik siswa yang ditelitijuga perlu diperluas, bukan hanyasikap ilmiah melainkan juga moti-vasi berprestasinya.

    DAFTAR RUJUKAN

    Bredderman, T. 1982. Activity Science– The Evidence Shows It Matters.Science and Children, 20: 39-41.

    Bruner, J.S. 1966. Toward a Theory ofInstruction. New York: Norton.

    Eggen, P. & Kauchak, D. 2012.Strategic and Models for Teachers:Teaching Content and TeachingSkills. Boston: Pearson Edu-cation, Inc.

    Glasson, G.E. 1989. The Effect ofHands-On Teacher Demons-tration Laboratory Methods onScience Achievement inRelatiob to Reasoning Abilkuityand Prior Knowledge. Journal ofResearch in Science, 26: 121-131.

    Hadiat & I Nyoman Kertiasa.1976. Metodologi Ilmu Pengetahu-an Alam. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

    Harlen, W. 2006. Teaching, Learningand Assessing Science 5 12. Lon-don: Sage Publication, Inc.

    Herson, A. 2009. Penilaian SikapIlmiah dalam PembelajaranSains. Jurnal Pelangi Ilmu, 2 (5):103-114.

    Kemendikbud. 2013. Informasi Kuri-kulum (untuk Masyarakat). Ja-karta: Depdikbud.

    Mertler, C.A. 2012. Action Research:Improving Schools and EmpoweringEducators. Third Edition. Thou-sand Oaks, California: SAGE

  • Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPAMelalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing

    136 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Publication, Inc.Pinto, L.E., Spares, S., & Driscoll,

    L. 2012. 95 Strategies for Re-modeling Instruction: Ideas for Incor-porating CCSS. Thousand Oaks,California: SAGE Publication,Inc.

    Pusat Kurikulum Balitbang Dep-diknas. 2006. Panduan Pengem-bangan Pembelajaran IPA TerpaduSekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs). Jakarta: DepartemenPendidikan Nasional RI.

    Reigeluth, C.M. (Ed.). 1983. Ins-tructional Design: What Is Itand Why Is It? DalamReigeluth, C.M. (Ed.). Instruc-tional-Design Theories and Models:An Overview of their CurrentStatus. Hlm. 3-36. Hillsdale,New Jersey: Laurence ErlbaumAssociates Publishers.

    Santrock, J.W. 2011. EducationalPsychology. Fifth Edition. NewYork: MacGraw Hill.

    Susanto. 2013. Teori Belajar & Pem-belajaran di Sekolah Dasar.Jakarta: Prenadamedia Group.

  • JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 137

    MENGINTEGRASIKAN NILAI-NILAI KARAKTERDALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

    IsmawatiKepala SD Negeri Ketandan 4, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur

    Abstract

    Character values is necessary to ensure students benefit educatio-nal outcomes. The values character building are part of nationaldevelopment. Admittedly, the development of character valuesdo not require the allocation of its own time because it is notscience. This article suggest there are two ways that can be doneby the school for the character values into individual values arepracticed in life. In addition to integrating it into every topic oflearning by developing the syllabus and lesson plans on the existingcompetence in accordance with the values to be applied, canalso be implemented through classroom action research.

    Keywords: Character value, integrated learning, primary school

    Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)ISSN: 2460-5689

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 137-148

  • Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    138 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    PENDAHULUAN

    Apabila didalami secara serius,Lampiran Permendiknas RI No. 13Tahun 2007, tentang Standar Ke-pala Sekolah/Madrasah, secara ter-sirat mengharuskan setiap kepalasekolah/madrasah untuk memiliki,mengamalkan, dan memberikansuri tauladan perilaku yang sejalandengan nilai-nilai karakter bangsasebelum bertindak lebih jauh me-ngedepankan pendidikan karakterbagi peserta didik di sekolah yangdipimpinnya. Dimensi kompetensikepribadian dengan standar kom-petensi 1.1 hingga 1.5; Dimensikompetensi kewirausahaan denganstandar kompetensi 3.1 hingga 3.5;dan Dimensi kompetensi sosialdengan standar kompetensi 5.1,merupakan bagian dari 18 nilaikarakter yang diintroduksikan olehKemendiknas dan Kebudayaan.

    Sebagaimana dikatakanZuchdi, dkk. (2015), pendidikankarakter akhir-akhir ini semakinbanyak diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, ter-utama oleh kalangan akademisi.Sikap dan perilaku masyarakat danbangsa Indonesia sekarang cende-rung mengabaikan nilai-nilai luhuryang sudah lama dijunjung tinggidan mengakar dalam sikap dan

    perilaku sehari-hari. Nilai-nilai ka-rakter mulia, seperti kejujuran, ke-santunan, kebersamaan, dan reli-gius, sedikit demi sedikit mulai ter-gerus oleh budaya asing yang cen-derung hedonistik, materialistik,dan individualistik, sehingga nilai-nilai karakter tersebut tidak lagidianggap penting jika bertentangandengan tujuan yang ingin diperoleh.

    Sebagai bagian dari bangsaIndonesia yang memiliki peradabanyang mulia, yakni sebagai masya-rakat madani dan peduli denganpendidikan bangsa, sudah seyogya-nya kita berupaya untuk menjadi-kan nilai-nilai karakter mulia itutumbuh dan bersemi kembali me-nyertai setiap sikap dan perilakubangsa, mulai dari pemimpin ter-tinggi hingga rakyat jelata, sehinggabangsa ini memiliki kebanggaandan diperhitungkan eksistensinya ditengah-tengah bangsa-bangsa lain.Salah satu upaya ke arah itu adalahmelakukan pembinaan karakter disemuua aspek kehidupan masya-rakat, terutama melalui institusipendidikan.

    Mengapa nilai-nilai karakter iniharus dikembangkan dan dididik-kan? Menurut Mansyur Ramly(2011), nilai-nilai karakter ditem-patkan sebagai landasan untuk

  • Ismawati

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 139

    mewujudkan visi pembangunannasional, yaitu mewujudkan masya-rakat berakhlak mulia, bermoral,beretika, berbudaya, dan beradabberdasarkan falsafah Pancasila. Halini sekaligus menjadi upaya untukmendukung perwujudan cita-citasebagaimana diamanatkan dalamPancasila dan Pembukaan UUD1945. Di samping itu, berbagai per-soalan yang dihadapi oleh bangsaIndonesia dewasa ini makin men-dorong semangat dan upaya peme-rintah untuk memprioritaskan pen-didikan karakter sebagai dasar pem-bangunan pendidikan. Semangat itusecara eksplisit ditegaskan dalamRencana Pembangunan JangkaPanjang Nasional (RPJPN) tahun2005-2015, di mana Pemerintahmenjadikan pembangunan karaktersebagai salah satu program prioritaspembangunan nasional.

    Masih menurut Mansyur Ramly(2011), upaya pembentukan karak-ter sesuai dengan budaya bangsa initentu tidak semata-mata hanya di-lakukan di sekolah melalui serang-kaian kegiatan belajar mengajar danluar sekolah, akan tetapi juga me-lalui pembiasaan (habituasi) dalamkehidupan, seperti: religius, jujur,disiplin, toleran, kerja keras, cintadamai, tanggung-jawab, dan se-

    bagainya. Pembiasaan itu bukanhanya mengajarkan (aspek kognitif)mana yang benar dan salah, akantetapi juga mampu merasakan (as-pek afektif) nilai yang baik dan tidakbaik serta bersedia melakukannya(aspek psikomotorik) dari lingkupterkecil seperti keluarga sampaidengan cakupan yang lebih luas dimasyarakat.

    Nilai-nilai tersebut perlu ditum-buhkembangkan peserta didik yangpada akhirnya akan menjadi pen-cerminan hidup bangsa Indonesia.Oleh karena itu, sekolah (di bawahpimpinan kepala sekolah) memilikiperanan yang besar sebagai pusatpembudayaan melalui pengem-bangan budaya sekolah (schoolculture).

    Adalah benar bahwa mem-bangun karakter bangsa mem-butuhkan waktu yang lama danharus dilakukan secara berkesi-nambungan, sebab karakter yangmelekat pada bangsa kita akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadisecara tiba-tiba, tetapi sudah me-lalui proses yang panjang. Potret ke-kerasan, kebrutalan, dan ketidak-jujuran anak-anak bangsa yangditampilkan oleh media, baik cetakmaupun elektronik sekarang inisudah melewati proses panjang.

  • Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    140 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Budaya seperti itu tidak hanyamelanda rakyat umum yang kurangberpendidikan, tetapi sudah sampaipada masyarakat yang terdidik,seperti pelajar dan mahasiswa, bah-kan juga melanda para elite bangsaini (Zuchdi, dkk, 2015).

    Pendidikan yang merupakanagen perubahan (agent of change)harus mampu melakukan perbaik-an karakter bangsa kita. Karena itu,pendidikan kita perlu direkonstruk-si ulang agar dapat menghasilkanlulusan yang lebih berkualitas dansiap menghadapi dunia masa depanyang penuh dengan problem dantantangan serta dapat menghasilkanlulusan yang memiliki karaktermulia. Dengan kata lain, pendidikanharus mampu mengemban misipembentukan karakter (characterbuilding) sehingga para peserta didikdan para lulusannya dapat berparti-sipasi dalam mengisi pembangunandi masa-masa mendatang tanpameninggalkan nilai-nilai karaktermulia.

    Salah satu upaya untuk me-wujudkan pendidikan seperti diatas, para peserta didik harus di-bekali dengan pendidikan khususyang membawa misi pokok dalampembinaan karakter mulia. Pen-didikan seperti ini dapat memberi

    arah kepada para peserta didiksetelah menerima berbagai ilmumaupun pengetahuan dalam bidangstudi masing-masing, sehinggamereka dapat mengamalkannya ditengah-tengah masyarakat dengantetap berpatokan pada nilai-nilaikebenaran dan kebaikan yanguniversal.

    Kewajiban mengintegrasikanpendidikan karakter melaluiberbagai bidang studi di sekolah,terutama di tingkat pendidikandasar menjadi urgen, sebab sebagai-mana dikatakan Davidson,Lickona, & Khmelkov (2008), adasejumlah kekuatan nilai-nilai ka-rakter yang dibutuhkan bagi per-kembangan hasil belajar, yaitu: (1)Belajar sepanjang hayat dan ber-pikir kritis; (2) Rajin dan memilikikemampuan; (3) Memiliki kecerda-san sosial dan emosional; (4) Pe-mikir moral/etis; (5) Sebagai agenmoral, memiliki rasa hormat danbertanggung jawab; (6) Pribadiyang disiplin dan bergaya hidupsehat; (7) Menjadi anggota masya-rakat dan warga negara yang demo-kratis; dan (8) Terlibat dalammenyusun pranata kehidupanspiritual yang bertujuan mulia.

    Sebetulnya, Kemdiknas telahmenyusun buku pedoman pen-

  • Ismawati

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 141

    didikan karakter yang dirumuskanberdasarkan praktik terbaik (bestpractices) yang dipublikasikan tahun2011 oleh Kemdiknas untuk ling-kungan pendidikan anak usia dini(PAUD), pendidikan dasar (SD-SMP), dan pendidikan menengah(SMA/SMK). Artikel berikut inimencoba mengaktualisasikankembali urgensinya.

    PEMBAHASAN

    Konsep Dasar Nilai KarakterNilai merupakan satu prinsip

    umum yang menyediakan anggotamasyarakat dengan satu ukuranatau standar untuk membuat pe-nilaian dan pemilihan mengenaitindakan dan cita-cita tertentu.Nilai adalah konsep, suatu pem-bentukan mental yang dirumuskandari tingkah laku manusia. Nilaiadalah persepsi yang sangatpenting, baik dan dihargai (Mustari,2011). Menurut Clyde Kluckhohn(1953), sebagaimana dikutipMustari (2011), nilai adalah standaryang waktunya agak langgeng,dalam pengertian yang luas, suatustandar yang mengatur sistem tin-dakan. Nilai juga merupakan ke-utamanan (preference), yaitu sesuatuyang lebih disukai, baik mengenaihubungan sosial maupun mengenai

    cita-cita serta usaha untuk men-capainya.

    Di samping itu, nilai jugamelibatkan persoalan apakah suatubenda dan tindakan itu diperlukan,dihargai atau sebaliknya. Padaumumnya nilai adalah sesuatu yangsangat dikehendaki. Oleh sebab itu,nilai melibatkan unsur keterlibatan(commitment). Nilai juga melibatkanpemilihan. Di kalangan masyarakat,biasanya ada beberapa pilihan se-waktu seseorang menghadapi suatusituasi. Pemilihan suatu pilihantertentu biasanya ditentukan olehkesadaran seorang individu ter-hadap standar atau prinsip yang adadi kalangan masyarakat itu. Ke-banyakan tingkah laku yang dipilihmelibatkan nilai-nilai individu ataunilai-nilai kelompoknya.

    Jadi, yang dimaksud nilai,sebagaimana dikatakan Fraenkel(1980), adalah ide atau konsep yangabstrak tentang apa yang dipikirkanseseorang atau dianggap pentingdalam hidup seseorang. Nilai itubiasanya mengacu pada estetika(keindahan), etika (pola perilakubaik dan buruk), logika (benar/salah) dan keadilan (justice).

    Sedangkan karakter, menurutPusat Bahasa Depdiknas (2008:628), adalah “bawaan, hati, jiwa,

  • Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    142 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    kepribadian, budi pekerti, perilaku,personalitas, sifat, tabiat, tempera-men, watak.” Sedangkan karaktermenurut Kemendiknas (2011),adalah cara berpikir dan berperilakuyang menjadi ciri khas setiap indi-vidu untuk hidup dan bekerjasama,baik dalam lingkup keluarga,masyarakat, bangsa dan Negara.

    Secara terminologi, Lickona(2012), mengemukakan bahwakarakter adalah “Sebuah disposisibatin yang dapat diandalkan untukmenanggapi situasi dengan carayang baik secara moral.” Selanjut-nya ia mengemukakan bahwa ka-rakter memiliki tiga bagian yangsaling terkait, yaitu, pengetahuanmoral, perasaan moral, dan perilakumoral. Karakter baik menurutnyameliputi pengetahuan tentang ke-baikan, lalu menimbulkan komit-men (niat) terhadap kebaikan, danakhirnya benar-benar melakukankebaikan. Menurut Lickona (2012),orang yang berkarakter berartiorang yang mengetahui hal-hal yangbaik, menginginkan hal-hal yangbaik dan juga melakukan hal-halyang baik. Karakter sebagai suatuwatak dari dalam yang dapat di-andalkan untuk merespons situasidengan cara yang baik secara moral.

    Kata karakter itu sendiri berasaldari kata Yunani, charassein, yangberarti mengukir sehingga mem-bentuk sebuah pola. Mempunyaiakhlak mulia tidak secara otomatisdimiliki oleh setiap manusia begituia dilahirkan, tetapi memerlukanproses panjang melalui pengasuhandan pendidikan (proses “pengu-kiran”). Menurut leksikal bahasaarab karakter ini mirip denganakhlak (akar kata khuluk), yaitutabiat atau kebiasaan melakukanhal yang baik (Megawangi, 2004).

    Jauh-jauh hari, filsuf YunaniAristoteles mengajarkan bahwakarakter yang baik adalah hidupdalam kebaikan, kebaikan hidupdalam berhubungan dengan oranglain dan berhubungan dengan diri-nya sendiri. Aristoteles juga meng-ingatkan bahwa pada masa modernsekarang ada kecenderungan me-lupakan untuk hidup dengan ber-budi luhur termasuk orientasipengendalian diri seperti nilai kasihdan kedermawanan, kemampuanmengontrol diri dari hawa nafsu danberbuat baik bagi orang lain(Lickona, 2012).

    Manullang (2012), memberikangambaran bagaimana karakter me-warnai seluruh perilaku seseorang.Ketika seseorang ada di rumah ia

  • Ismawati

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 143

    membawa kebaikan. Ketika me-lakukan aktivitas bisnis, ia menun-jukkan kejujuran. Ketika bergaul ditengah masyarakat, ia menam-pakkan kesopanan. Ketika bekerja,ia bekerja dengan cermat. Ketikabergabung dalam sebuah permai-nan, ia menunjukkan sportivitas.Melihat orang yang beruntung, iamemberi selamat dengan tulus. Jikaberhadapan dengan orang yanglemah, ia menujukkan kemurahanhatinya untuk menolong. Jika ber-temu dengan orang jahat, ia bisabertahan untuk tidak ikut jahat.Ketika bertemu dengan orang yangkuat, ia percaya kekuatannya bisabermanfaat. Ketika berhadapandengan orang yang menyesal, iamemaafkan dengan sungguh-sungguh, dan terhadap Tuhan, iaselalu memuliakan dan mencintaidengan tulus.

    Karakter bukan sebatas sifat-sifat yang bisa dipilah-pilah, me-lainkan terintegrasi menjadi sebuahkepribadian. Individu yang ber-karakter baik atau unggul adalahindividu yang berusaha melakukanhal-hal yang terbaik terhadapTuhan YME, diri sendiri, sesamamakhluk, lingkungan, bangsa dannegara serta dunia internasional,dengan mengoptimalkan potensi

    dirinya yang disertai dengankesadaran, emosi dan motivasi.

    Dengan demikian, yang dimak-sud dengan nilai-nilai karakterdalam artikel ini adalah atributkompleks yang melekat padakepribadian seseorang menyangkutperi rasa, peri akal, dan peri laku,yang mampu membawa kebaikandirinya dalam menghadapi realitaskehidupan, baik sebagai individu,individu seorang anggota masya-rakat dan warga negara, maupunindividu seorang yang berprofesi.

    Dalam rangka lebih memper-kuat pelaksanaan pendidikankarakter telah teridentifikasi 18nilai yang bersumber dari agama,Pancasila, budaya, dan tujuan pen-didikan nasional, yaitu: (1) Religius,(2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin,(5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7)Mandiri, (8) Demokratis, (9) RasaIngin Tahu, (10) Semangat Kebang-saan, (11) Cinta Tanah Air, (12)Menghargai Prestasi, (13) Ber-sahabat/Komunikatif, (14) CintaDamai, (15) Gemar Membaca, (16)Peduli Lingkungan, (17) PeduliSosial, & (18) Tanggung Jawab(Pusat Kurikulum, 2009: 9-10).

    Meskipun telah terdapat 18 nilaipembentuk karakter bangsa, namunsatuan pendidikan dapat menentu-

  • Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    144 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    kan prioritas pengembangannyadengan cara melanjutkan nilaiprakondisi yang diperkuat denganbeberapa nilai yang diprioritaskandari 18 nilai di atas. Dalam imple-mentasinya jumlah dan jenis karak-ter yang dipilih tentu akan dapatberbeda antara satu daerah atausekolah yang satu dengan yang lain.Hal itu tergantung pada kepenti-ngan dan kondisi satuan pendidikanmasing-masing. Di antara berbagainilai yang dikembangkan, dalampelaksanaannya dapat dimulai darinilai yang esensial, sederhana, danmudah dilaksanakan sesuai dengankondisi masing-masing sekolahatau wilayah, yakni: bersih, rapih,nyaman, disiplin, sopan dansantun.

    Pengintegrasian PendidikanKarakter

    Di sekolah dasar (SD), dewasaini masih berlaku dua jenis kuri-kulum, ada yang masih melaksana-kan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) tahun 2004,dan ada yang sudah memberlaku-kan Kurikulum Tematik Terinte-grasi tahun 2013. Kedua jeniskurikulum tersebut memiliki bebandan alokasi waktu belajar yangrelatif tidak berbeda. Oleh karenaitu, menjadikan pendidikan

    karakter sebagai mata ajar tersendiritentu membutuhkan alokasi waktutersendiri, guru tersendiri, dan sis-tem asesmen tersendiri pula. Ope-rasional yang paling mungkin adalahdengan mengintegrasikannya kedalam pembelajaran.

    Bagi SD yang masih melaksana-kan KTSP, strategi pelaksanaanpendidikan karakter di satuan pen-didikan merupakan suatu kesatuandari program manajemen peningka-tan mutu berbasis sekolah yang ter-implementasi dalam pengemba-ngan, pelaksanaan dan evaluasikurikulum oleh setiap satuan pen-didikan. Strategi tersebut diwujud-kan melalui pembelajaran aktifdengan penilaian berbasis kelasdisertai dengan program remidiasidan pengayaan.

    Sejalan dengan Pedoman Kem-diknas (2011), ada beberapastrategi yang bisa ditempuh sekolahguna menyelenggarakan pendidik-an karakter, pertama, kegiatan pem-belajaran dalam kerangka pengem-bangan karakter peserta didik dapatmenggunakan pendekatan kon-tekstual sebagai konsep belajar danmengajar yang membantu guru danpeserta didik mengaitkan antaramateri yang diajarkan dengansituasi dunia nyata, sehingga

  • Ismawati

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 145

    peserta didik mampu untuk mem-buat hubungan antara pengetahuanyang dimilikinya dengan penerapan-nya dalam kehidupan mereka.Dengan begitu, melalui pembelaja-ran kontekstual peserta didik lebihmemiliki hasil yang komprehensiftidak hanya pada tataran kognitif(olah pikir), tetapi pada tataranafektif (olah hati, rasa, dan karsa),serta psikomotorik (olah raga).

    Pembelajaran kontekstual men-cakup beberapa strategi, yaitu: (a)pembelajaran berbasis masalah, (b)pembelajaran kooperatif, (c) pem-belajaran berbasis proyek, (d) pem-belajaran pelayanan, dan (e) pem-belajaran berbasis kerja. Kelimastrategi tersebut dapat memberikandampak ikutan (nurturant effect)pengembangan karakter pesertadidik, seperti: karakter cerdas, ber-pikir terbuka, tanggung jawab, danrasa ingin tahu.

    Kedua, Pengembangan BudayaSekolah dan Pusat Kegiatan Be-lajar. Pengembangan budaya seko-lah dan pusat kegiatan belajar dila-kukan melalui kegiatan pengem-bangan diri, yaitu: (a) Kegiatan ru-tin yaitu kegiatan yang dilakukanpeserta didik secara terus menerusdan konsisten setiap saat. Misalnyakegiatan upacara hari Senin,

    upacara besar kenegaraan, peme-riksaan kebersihan badan, piketkelas, shalat berjamaah, berbaris ke-tika masuk kelas, berdo’a sebelumpelajaran dimulai dan diakhiri, danmengucapkan salam apabila ber-temu guru, tenaga pendidik, danteman; (b) Kegiatan spontan. Ke-giatan yang dilakukan peserta didiksecara spontan pada saat itu juga,misalnya, mengumpulkan sumba-ngan ketika ada teman yang terkenamusibah atau sumbangan untukmasyarakat ketika terjadi bencana;(c) Keteladanan. Merupakan peri-laku dan sikap guru dan tenagakependidikan dan peserta didikdalam memberikan contoh melaluitindakan-tindakan yang baik se-hingga diharapkan menjadi panut-an bagi peserta didik lain. Misalnyanilai disiplin, kebersihan dan kera-pihan, kasih sayang, kesopanan,perhatian, jujur, dan kerja keras; (d)Pengkondisian. Pengkondisianyaitu penciptaan kondisi yang men-dukung keterlaksanaan pendidikankarakter, misalnya kondisi toiletyang bersih, tempat sampah, ha-laman yang hijau dengan pepoho-nan, poster kata-kata bijak yangdipajang di lorong sekolah dan didalam kelas.

    Ketiga, Kegiatan ko-kurikulerdan atau kegiatan ekstrakurikuler.

  • Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    146 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Demi terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yangmendukung pendidikan karakter,perlu didukung dengan perangkatpedoman pelaksanaan, pengemba-ngan kapasitas sumber daya manu-sia dalam rangka mendukung pelak-sanaan pendidikan karakter, danrevitalisasi kegiatan ko dan ekstra-kurikuler yang sudah ada ke arahpengembangan karakter.

    Keempat, Kegiatan keseharian dirumah dan di masyarakat. Dalamkegiatan ini sekolah dapat meng-upayakan terciptanya keselarasanantara karakter yang dikembangkandi sekolah dengan pembiasaan dirumah dan di masyarakat.

    Apabila pendidikan karakterdiintegrasikan dalam ko-kurikulerdan ekstrakurikuler akan memerlu-kan waktu sesuai dengan kebutuhandan karakteristiknya. Untuk itu, pe-nambahan alokasi waktu pem-belajaran dapat dilakukan, misal-nya: (1) Sebelum pembelajaran dimulai atau setiap hari seluruh siswadiminta membaca surat-suratpendek dari kitab suci, melakukanrefleksi (masa hening) selama 15-20 menit; (2) Di hari-hari tertentusebelum pembelajaran dimulaidilakukan kegiatan muhadarah(berkumpul di halaman sekolah)

    selama 35 menit. Kegiatan itu bisaberupa baca Al-Quran dan terjema-han, maupun siswa berceramahdengan tema keagamaan sesuaidengan agama dan kepercayaanmasing-masing dalam beberapabahasa (bahasa Indonesia, bahasaInggris, dan bahasa Daerah, sertabahasa asing lainnya), kegiatanajang kreativitas seperti: menari,bermain musik dan baca puisi.Selain itu juga dilakukan kegiatanbersih lingkungan di hari Jum’atatau Sabtu (Jum’at/Sabtu bersih);(3) Pelaksanaan ibadah bersama-sama di siang hari selama antara 30-60 menit; (4) Kegiatan-kegiatanlain diluar pengembangan diri, yangdilakukan setelah jam pelajaranselesai.

    Pengintegrasian nilai-nilai ka-rakter dalam pembelajaran dilaku-kan dengan cara mengembangkansilabus dan RPP pada kompetensiyang telah ada sesuai dengan nilaiyang akan diterapkan.

    Bagi sekolah yang telah melak-sanakan Kurikulum 2013, peng-integrasian nilai-nilai karakter jauhlebih mudah karena hanya menam-bahkan subtema yang berkaitandengan nilai-nilai karakter yangmenjadi target atau sasaran disetiap tema.

  • Ismawati

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 147

    Hal lain yang barangkali ter-golong baru adalah dengan merujukpengalaman terbaik (best practice)sebagaimana dilakukan oleh Zuchi,dkk. (2015), dimana nilai-nilaikarakter, selain diintegrasikanmelalui berbagai topik pembelaja-ran, juga dilaksanakan melaluiaplikasi penelitian tindakan kelas(PTK). Pelaksanaan PTK dengansasaran nilai-nilai karakter tertentudiprogram oleh guru. Hasilnya akanlebih memastikan nilai-nilai ka-rakter terinternalisasi oleh pesertadidik dan ada kepastian bagi gurudalam penilaiannya.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Nilai-nilai karakter sangat di-perlukan untuk menjamin parasiswa mendapatkan manfaat hasilpendidikan. Pengembangan nilai-nilai karakter adalah bagian daripembangunan kebangsaan. Harusdiakui, pengembangan nilai-nilaikarakter tidak memerlukan alokasiwaktu tersendiri karena ia bukan-kah ilmu pengetahuan. Ada duacara yang bisa dilakukan oleh seko-lah agar nilai-nilai karakter menjadinilai individu yang diamalkandalam kehidupan. Selain menginte-grasikannya ke dalam setiap topikpembelajaran dengan cara me-

    ngembangkan silabus dan RPPpada kompetensi yang telah ada se-suai dengan nilai yang akan di-terapkan, juga dapat dilaksanakanmelalui penelitian tindakan kelas.

    DAFTAR RUJUKAN

    Davidson, M., Lickona, T., &Khmelkov, V. 2008. Smart &Good School: A New Paradigmfor High School CharacterEducation. Dalam L.P. Nucci& D. Narvaez (Eds.). Handbookof Moral and Character Education.New York: Roudledge, Taylor& Francois Group. Hlm. 91-135.

    Fraenkel, J.R. 1980. Helping StudentsThink and Values: An AnalyticApproach. New Jersey: PrenticeHall, Inc.

    Kementerian Pendidikan Nasional.2011. Pedoman Pelaksanaan Pen-didikan Karakter (BerdasarkanPengalaman di Satuan PendidikanRintisan). Jakarta: Pusat Kuri-kulum dan Perbukuan, BadanPenelitian dan Pengembangan,Kementerian PendidikanNasional.

    Lickona, T. 2012. Mendidik untukMembentuk Karakter: BagaimanaSekolah Dapat MengajarkanSikap Hormat dan Tang gungJawab. Terjemahan Juma AbduWamaungo. Jakarta: PT. Bumi

  • Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    148 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Aksara.Manullang, B. 2013. Grand Desain

    Pendidikan Karakter GenerasiEmas 2045. Jurnal PendidikanKarakter, 3 (1): 1-14.

    Megawangi, R. 2004. PendidikanKarakter: Solusi yang Tepat untukMembangun Bangsa. Jakarta:BPMIGAS dan Star Energi.

    Mustari, M. 2011. Nilai Karakter:Refleksi untuk Pendidikan Karak-ter. Yogyakarta: LaksBangPRESSindo.

    Pusat Kurikulum. 2009. Pengemba-ngan dan Pendidikan Budaya &Karakter Bangsa: Pedoman Seko-lah. Jakarta: Pusat Kurikulumdan Perbukuan, Badan Pene-

    litian dan Pengembangan, Ke-menterian Pendidikan Nasio-nal.

    Ramly, M. 2011. “Kata Pengantar”dalam Kementerian PendidikanNasional, Pedoman PelaksanaanPendidikan Karakter (Berdasar-kan Pengalaman di Satuan Pen-didikan Rintisan). Jakarta: PusatKurikulum dan Perbukuan, Ba-dan Penelitian dan Pengem-bangan, Kementerian Pendidi-kan Nasional. Hlm. i.

    Zuchdi, D., dkk. 2015. PendidikanKarakter: Konsep Dasar danImplementasi di Perguruan Tinggi.Yogyakarta: UNY Press.

  • JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 149

    DAMPAK BIAS GENDERTERHADAP PROFESI KEGURUAN

    Mutrofin & Muhtadi IrvanPendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)-FKIP Universitas Jember

    Abstract

    Gender equality is common goal for all of nations. That goals isattainable if a part or all of the jobs give some assurance thatmale and female have same opportunity for access. That is whythere is efforts to attainment of gender equality. But, the impactof gender bias to teaching profession in the future must berethinking and restudied. This article describes about theconceptions of gender equality, research opinions about genderdifferences and the impact of gender bias to teaching professionbased on social cognitif theory of learning or observationallearning perspectives.

    Keywords: gender bias, teaching profession.

    Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)ISSN: 2460-5689

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 149-162

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    150 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    PENDAHULUAN

    Kesetaraan gender (genderequality) dalam berbagai profesiterus menerus menjadi perhatianpara ilmuwan. Gambaran tentangkesetaraan gender tersebut tercer-min dalam kutipan Dryden & Vos(1999), dari berbagai sumber yangkredibel. Ketika Amerika mencip-takan 22 juta lapangan kerja ditahun 1990-an misalnya, dua pertiga diantaranya diduduki oleh per-empuan. Dari keseluruhan mana-ger, 40% diantaranya adalah per-empuan. Tiga puluh lima persenahli atau ilmuwan komputer adalahperempuan. Di posisi akuntan bah-kan perempuan mencapai 50%,setara dengan peningkatan para ahlihukum dan dokter. Di sekolah-se-kolah bisnis dan medis, separuhmahasiswa barunya adalah per-empuan, dan perempuan yang men-ciptakan perusahaan baru sudahsetara dengan laki-laki.

    Tren kesetaraan gender tersebutjuga terjadi di Asia (Dryden & Vos,1999). Di Jepang misalnya, para pe-ngusaha jasa perdagangan keba-nyakan perempuan. Di Singapura,dalam 10 tahun terakhir, jumlahmanager perempuan meningkattiga kali lipat. Sedangkan di Hong-kong, satu dari lima posisi mana-

    gemen dipegang oleh perempuan.Bagaimana dengan kesetaraan

    gender dalam profesi keguruan? DiIndonesia, data mutakhir para pe-minat pendidikan guru mencapai1.293.490 orang, terdiri atas laki-laki sebanyak 491.777, dan801.713 orang perempuan. Di JawaTimur, data mutakhir para peminatpendidikan guru mencapai 188.234orang, terdiri atas laki-laki sebanyak79.570, dan 108.664 orang per-empuan. Berdasarkan data tahun2014, peminat pendidikan guru diFKIP-Universitas Jember mencapai2.240 orang calon mahasiswa, ter-diri atas 740 orang laki-laki dan1.582 orang perempuan. Mahasis-wa calon guru yang diterima 1.104orang, terdiri atas 290 orang laki-laki dan 814 orang perempuan. Jikaditelusur lebih jauh, tren yang samaterjadi di berbagai Lembaga Pen-didikan Tenaga Kependidikan(LPTK) di Indonesia, baik negerimaupun swasta. Data mendukungargumentasi bahwa telah terjadibias gender dalam pemilihan pro-fesi keguruan, yakni bias perempu-an.

    Seperti diketahui, wacanatentang gender berujung pada lokuspersoalan gender yang bersumbupada dua aras, yakni perbedaan

  • Mutrofin & Muhtadi Irvan

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 151

    gender dan kesamaan gender. Se-dangkan bias gender, terutama biaslaki-laki telah menimbulkan dam-pak yang dikenal luas seperti stereo-tipe, diskriminasi, kekerasan, danlain-lain sehingga menjadi justi-fikasi bagi upaya untuk mencapaiapa yang disebut sebagai kesetaraangender. Urgensi kesetaraaan genderitulah agaknya yang mendorongProgram PBB untuk Pembangunan(United Nations Development Pro-gram/UNDP) menetapkan keseta-raan gender sebagai tujuan ketigadari Tujuan Pembangunan Mileni-um (Millenium Development Goals/MDGs) hingga tahun 2015.

    Pertanyaan yang relevan untukdijawab ialah, apa dampak biasgender perempuan terhadap profesikeguruan di masa depan? Artikel inimembahas masalah tersebut dariperspektif teori kognisi sosial atauteori belajar observasional Ban-dura.

    PEMBAHASAN

    Konsepsi Kesetaraan GenderApakah yang dimaksud dengan

    istilah gender? Dalam ConciseOxford Dictionary of Current English(1995), tertulis, “Gender is a gram-matical classification of objects roughlycorresponding to the two sexes and

    sexlessness, property of belonging to sucha class.” Secara harfiah, gender me-rupakan pengklasifikasian grama-tikal yang berfungsi menggolong-kan suatu objek pada kelompok-kelompoknya. Pengklasifikasiantersebut, dalam pandanganMcDonald, Sprenger & Dubel(1999), sangat erat hubungannyadengan dua jenis kelamin (laki-lakidan perempuan). Pada umumnyajenis kelamin laki-laki berhubungandengan gender maskulin, sedangkanjenis kelamin perempuan berkaitandengan gender feminin, namun,hubungan tersebut bukan merupa-kan hubungan yang absolut (Ro-gers, 1980). Biasanya, kata Illich(1983), gender dipergunakan untukmenandai perbedaan segala aspekyang terdapat dalam masyarakatmelalui perbedaan seksual.

    Lebih gamblang Rogers (1980),mengatakan, gender secara kon-septual dapat didefinisikan sebagaikonstruksi sosial budaya mengenaiperbedaan peran, kedudukan, ke-sempatan antara laki-laki dan per-empuan dalam kehidupan keluargadan bermasyarakat. Mengingat gen-der adalah konstruksi sosial budaya,maka sudah barang tentu dapatberubah dan diubah sesuai denganperubahan zaman. Kebanyakankalangan peneliti feminis sepaham

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    152 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    bahwa gender adalah peran yangdibentuk oleh masyarakat sertaperilaku yang tertanam lewat prosessosialisasi yang berhubungan de-ngan jenis kelamin laki-laki danperempuan (Lorber & Farrell,1991). Itulah sebabnya mengapagender tidak disamakan dengan sexatau jenis kelamin yang merupakanperbedaan organ biologis antaraperempuan dan laki-laki, terutamapada bagian reproduksi.

    Jenis kelamin atau sex seringkalidipandang sebagai kodrat atautakdir Tuhan sehingga tidak dapatdigantikan perannya. Jenis kelaminmerujuk pada perbedaan biologisantara perempuan dan laki-laki.Karena perbedaan itu, peran biolo-gis perempuan dan laki-laki jugaberbeda: perempuan melahirkandan menyusui misalnya, sedangkanlaki-laki membuahi sel telur. Peranini tidak dapat berubah, oleh karenaitu jenis kelamin bersifat kodrati.Sedangkan gender adalah perbeda-an peran dan fungsi antara laki-lakidan perempuan yang dikonstruk-sikan oleh masyarakat dan budayasejak ia dilahirkan. Oleh karena itu,cara yang berbeda diberlakukankepada anak laki-laki dan perempu-an pada waktu mereka dibesarkan,disosialisasikan, diajari berperilaku,dan diharapkan.

    Gailey (1987), secara tegas me-nyatakan, gender tidak bersifat uni-versal. Gender bervariasi dan dapatberubah atau berbeda antarwaktu,antardaerah, dan antarkelompokmasyarakat. Sekalipun demikian,ada dua elemen gender yang ber-sifat universal, yakni (a). gendertidak identik dengan jenis kelamin;dan (b) gender merupakan dasardari pembagian kerja di semua la-pisan masyarakat (lihat pulaHumphrey, 1987).

    Untuk mengenal adanya unsur-unsur gender maka harus dilihatbagaimana nilai-nilai gender itudikonstruksikan pada masing-masing masyarakat. Hal ini karenanilai-nilai gender masyarakat ituhanya dapat dideskripsikan, bukandijelaskan. Sebab dikhotomi anta-rjenis kelamin terjadi di semua ma-syarakat yang melewati batas waktudan tempat sehingga tidak dapatdijelaskan bagaimana interaksi so-sial dalam masyarakat yang ber-beda-beda itu mengatur peranan-peranan berdasarkan seks. Bukti-nya, dalam kehidupan sehari-hari,seringkali ada kerancuan genderdan kodrati. Misalnya, sering ter-pikir bahwa peran gender bersifatkodrati: perempuan sebagai iburumah tangga dan laki-laki sebagaikepala keluarga.

  • Mutrofin & Muhtadi Irvan

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 153

    Sering terpikir bahwa sifat-sifattertentu, bersifat kodrati: laki-lakirasional, perempuan emosional,laki-laki teledor, perempuan cer-mat. Sering terpikir bahwa pekerja-an tertentu bersifat kodrati: laki-laki berhubungan dengan pekerja-an-pekerjaan teknik, perempuanpekerjaan kerumahtanggaan, dansebagainya. Dalam kenyataannyatidaklah seperti itu, pandangan se-perti itu disebut stereotipe gender.Menurut Inpres No. 9/2000 ten-tang Pengarusutamaan Gender dalamPembangunan Nasional disebutkan,gender adalah konsep yang me-ngacu pada peran-peran dan tang-gung jawab laki-laki dan perempu-an yang terjadi akibat dari dandapat berubah oleh keadaan sosialdan budaya masyarakat.

    Menurut Deaux & Kite (1987),gender dapat beroperasi dalam ma-syarakat dalam jangka waktu lamakarena didukung oleh sistem ke-yakinan gender. Sistem keyakinangender ini mengacu pada serang-kaian pembenaran pendapat ten-tang laki-laki dan perempuan dantentang maskulinitas dan femi-ninitas. Sistem tersebut mencakupstereotipe perempuan dan laki-laki;sikap terhadap peran dan tingkahlaku yang cocok bagi laki-laki dan

    perempuan; sikap terhadap indi-vidu yang dianggap berbeda secarasignifikan dengan pola baku. Sis-tem keyakinan gender mencakupelemen deskriptif dan preskriptif,yakni keyakinan tentang “bagai-mana sebenarnya laki-laki dan per-empuan itu” dan pendapat tentang“bagaimana seharusnya laki-lakidan perempuan itu.”

    Seiring dengan perkembanganstudi-studi feminisme dan teori-teori pembangunan, terutama se-telah para ilmuwan Barat menerap-kan konsep kesetaraan sosial untukmeneliti posisi kaum perempuan dinegara-negara berkembang yanglazim disebut sebagai negara-negaraDunia Ketiga, muncul pula konsepgender dengan berbagai atributyang menyertainya, misalnya gendermainstreaming; gender budget; genderequality; gender and development, genderneeds, dan sebagainya.

    Jadi, ketika istilah equality di-padukan dengan kosa kata gendersehingga menjadi frase genderequality, pada umumnya dimaknaisebagai “kesetaraan gender.” Na-mun jika dicermati lebih mendalamberdasarkan dimensi waktu, agak-nya konsep gender equality merupa-kan evolusi konsep equality of womensebagai hasil World Conference of the

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    154 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    International Women’s Year (Kon-ferensi Dunia tentang Tahun Per-empuan Internasional). Di luarmakna “kesetaraan gender” untukgender equality, ada pula yang meng-artikan sebagai “keadilan gender”untuk frase yang sama, meskipunsudah tersedia terminologi genderequity untuk makna “keadilangender.” Tanpa perlu memperten-tangkan keduanya, tentu menarikapa yang dikatakan Harsoyo (2008:8) bahwa “gender equity is a first steptowards the goal of gender equality.”Ada juga yang saling mempertukar-kan “kesetaraan gender” dan “ke-adilan gender” untuk memaknaigender equality; atau menggabung-kannya menjadi “keadilan dan ke-setaraan gender” untuk terminologiyang sama.

    Dengan memperhatikan uraianmengenai konseptualisasi genderyang secara jelas mewacanakan ten-tang “peran laki-laki dan perempu-an”, tidak sulit kiranya melacakfaktor pendorong munculnya kon-sep kesetaraan gender. Mengapademikian? Moore (1988) danGailey (1987), memberikan jawa-ban yang amat jelas dan kompre-hensif. Menurut mereka, gendermemang tidak bersifat universal,namun hirarkhi gender dapat

    dikatakan universal. Berbagai studilintas kultural menunjukkan bahwakaum perempuan selalu beradadalam posisi tersubordinasi (di-nomorduakan). Oleh karena sub-ordinasi perempuan tidak dapatdijelaskan dengan perbedaan jeniskelamin, maka kemudian lahirlahkonsep kesetaraan gender. Gaileysendiri kemudian menjelaskansecara rinci teori subordinasi untukmenjelaskan hirarkhi gender dalamempat kelompok besar, yaitu teoriadaptasi awal, teori teknik lingku-ngan, teori sosiobiologi, dan teoristruktural.

    Teori mengenai kesetaraangender pada dasarnya didorong olehteori-teori feminis. Sebagaimanadikatakan Humm (2008), semuavarian teori feminis cenderungmengandung tiga unsur atau asumsipokok berikut ini: gender adalahsuatu konstruksi yang menekankaum perempuan sehingga cen-derung menguntungkan laki-laki;konsep patriarkhi (dominasi kaumlaki-laki dalam lembaga-lembagasosial) melandasi konstruksi ter-sebut; serta, pengalaman dan penge-tahuan kaum perempuan harusdilibatkan guna mengembangkansuatu masyarakat non-seksis dimasa mendatang. Premis-premis

  • Mutrofin & Muhtadi Irvan

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 155

    dasar tersebut mewarnai dua agen-da utama teori feminis, yakni per-juangan untuk mengikis stereotipegender, dan perbaikan konstruksisosial budaya demi membelakepentingan kaum perempuan yangselanjutnya diejawantahkan sebagaimodel-model feminis baru. Padaintinya teori feminis berfokus padapengalaman seksualitas kaum per-empuan, lingkungan pekerjaan dankeluarganya, serta aspek-aspekkeperempuanannya yang acapkaliterabaikan dalam ilmu sosialdengan kedok universalisme.

    Sebagaimana dipaparkanHarsoyo (2008: 9), “gender equalityis often understood as equality ofopportunity. This means that women andmen, girls and boys are not discriminatedagainst in their access to opportunities.”(Kesetaraan gender sering dipahamisebagai peluang yang sama untukmendapatkan kesempatan. Hal ituberarti baik laki-laki dan perempu-an dewasa maupun anak-anakhendaknya tidak didiskriminasiaksesnya terhadap kesempatantersebut).

    Dalam Inpres No. 9/2000tentang Pengarusutamaan Genderdalam Pembangunan Nasional,kesetaraan gender disebut sebagaikesamaan kondisi bagi laki-laki dan

    perempuan untuk memperoleh ke-sempatan dan hak-haknya sebagaimanusia, agar mampu berperan danberpartisipasi dalam kegiatan po-litik, ekonomi, sosial budaya,pertahanan dan keamanan nasional,dan kesamaan dalam menikmatihasil-hasil pembangunan nasional.

    Berdasarkan paparan di muka,meskipun secara redaksional ber-beda, agaknya ada kesamaan subs-tansial bahwa yang dimaksud ke-setaraan gender adalah “suatu kon-disi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setaradan memiliki kondisi yang samauntuk mewujudkan secara penuhhak-hak asasi dan potensinya bagipembangunan di segala bidang ke-hidupan.” Pada konteks tersebut,kesetaraan gender menunjuk padadefinisi equality of opportunity, yakniterciptanya peluang yang samauntuk memperoleh kesempatan.Kesimpulan tersebut agaknya se-jalan dengan apa yang dikemuka-kan Muhadjir Darwin (2005),bahwasanya harus diakui, laki-lakidan perempuan secara kodratimemiliki ciri-ciri biologis dan peranreproduksi yang berbeda. Namunperbedaan peran reproduksi terse-but tidak seharusnya menimulkanperlakuan yang diskriminatif ter-

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    156 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    hadap perempuan dalam pengam-bilan keputusan di bidang politik,ekonomi, sosial dan budaya. Fokusperjuangan kesetaraan gender ada-lah tidak menjadikan perbedaanbiologis laki-laki dan perempuansebagai alasan untuk menciptakanhirarkhi dalam relasi sosial antar-keduanya.

    Riset Gender dan ProfesiKeguruan

    Menurut Cruickshank, Jenkins,& Metcalf (2012), dalam derajattertentu, karakteristik personalakan menentukan perilaku saat me-ngajar. Karateristik ini, terdiri atasgender, usia, pengalaman, kepri-badian, dan kepercayaan. Padamasa sekarang ini, kita sering kalimendengar mengenai gender danperbedaan gender, jadi sangatrelevan membicarakan bagaimanaperbedaan antara guru laki-laki danperempuan.

    Pendapat penelitian memper-lihatkan bahwa rata-rata guru laki-laki tampil lebih dominan danbersifat otoriter. Buktinya, kelasyang mereka tangani menjadi lebihterorganisasi dan terkendali(Dunkin, 1987; Weiner, 1995).Guru laki-laki juga cenderung me-nerapkan hukuman agresif kepada

    siswa laki-laki (Rodriguez, 2002).Mereka juga cenderung lebih jarangmenyarankan siswanya untuk men-dapatkan pendidikan khusus, yangartinya dapat menjadi baik atauburuk, baik jika memang para siswatidak membutuhkannya, buruk jikapara siswa membutuhkannya(McIntyre, 1988).

    Penelitian yang sama juga me-nunjukkan bahwa para guru per-empuan cenderung menciptakansituasi kelas yang ‘hangat’ dan lebihtoleran terhadap perilaku yangsalah (dan lebih banyak menya-rankan siswa untuk mendapatkanpendidikan khusus, berlawanandengan guru laki-laki). Lebih jauhlagi, pada kelas yang ditangani guruperempuan, para siswa cenderunglebih banyak bertanya, memberi-kan lebih banyak jawaban salah,dan berani mengambil risiko denganmenebak jawaban. Guru perempu-an juga cenderung lebih banyakmemuji dan lebih banyak mem-berikan jawaban yang benar ketikapara siswa tidak dapat menjawabpertanyaan.

    Dunkin menyimpulkan bahwasituasi kelas yang dibimbing guru-guru perempuan terasa lebih hangatdan lebih bersifat mengasuh.Sementara itu, kelas-kelas dengan

  • Mutrofin & Muhtadi Irvan

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 157

    guru-guru laki-laki akan lebih ter-organisasi, teratur, serta lebihberorientasi terhadap tugas. Coulter(1987), melaporkan hal yang tidakjauh berbeda mengenai perbedaangender tersebut. Ia menemukanbahwa guru perempuan biasanyalebih lembut dan suportif terhadaporang lain serta kurang autoritatif,dibandingkan guru laki-laki. Lebihlanjut, ia mencatat bahwa per-bedaan gender ini lebih menonjolpada tingkat pendidikan menengahdaripada para guru di tingkat pen-didikan dasar.

    Baik guru-guru perempuan danlaki-laki, lebih memperhatikan parasiswa laki-laki. Mereka berpen-dapat bahwa siswa laki-laki mem-perlihatkan lebih banyak inisiatifdan memiliki kapasitas lebih besaruntuk belajar secara independen.Mereka juga lebih cenderungmengkritik dan menghukum untukkebaikan siswa laki-laki, sertamenaruh harapan besar pada siswalaki-laki untuk mencapai standarintelektual yang lebih tinggi. Na-mun, guru dengan kedua gendermenaruh harapan yang kurangterhadap siswa-siswa perempuandan cenderung memberikan peng-hargaan akan perilaku baik sertakerapihan (Duffy, Warren, &

    Walsh, 2001; Weiner, 1995).Kebanyakan para guru pada

    zaman sekarang mungkin sajapercaya bahwa anak laki-laki danperempuan harus diperlakukansetara. Bagaimanapun juga, apakahkepercayaan mengenai kesetaraangender ini konsisten dengan caramereka memperlakukan anak laki-laki dan perempuan? Dalam sebuahpenelitian terhadap guru-gurupendidikan dasar, wawancara di-lakukan untuk mendapatkan pan-dangan mereka tentang kesetaraangender. Kemudian, mereka di-observasi selama pengajaran untukmelihat apakah perilaku para gurukonsisten dengan pendapat merekatadi. Meskipun para guru mem-bicarakan niatan untuk berlaku se-tara terhadap kedua gender, dalamderajat tertentu, ternyata perilakumereka mengingkari perkataanmereka (Garrahy, 2003).

    Guru dengan gender apakahyang membantu siswa belajar lebihbanyak? Penelitian membuktikanhasil yang bercampur aduk. Bebe-rapa penelitian melaporan bahwagender memang berpengaruh, yaitusiswa dapat lebih terbantu untukbelajar ketika diajar oleh gurudengan gender yang sama (Dee,2006). Meskipun ada penelitian lain

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    158 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    melaporkan bahwa faktor genderguru, ras, atau etnis memang meme-ngaruhi derajat, banyaknya materiyang diserap para siswa(Ehrenberg, Goldhaber, & Brewer,1995), namun apa pun gender gurudan siswa, apa pun ras mereka, parasiswa belajar dengan jumlah materiyang kira-kira sama dalam pelajaranmatematika, sains, sejarah, danmembaca.

    Guru dengan gender apakahyang lebih baik dalam memberimotivasi? Secara umum, siswaperempuan lebih termotivasi setaraakademis daripada siswa laki-laki,apa pun gender guru yang mengajarmereka (Marsh, Martin, & Cheng,2008).

    Apakah ada perbedaan panda-ngan terhadap persiapan pengajaranantara guru perempuan dan laki-laki? Ternyata guru perempuanpendidikan menengah memilikioptimistik yang lebih tinggi bahwapersiapan mereka akan membantumereka menjadi guru yang lebihbaik. Para guru perempuan inicenderung membuat pembelajaranyang mudah dipahami siswa, cen-derung menerima tanggung jawabmengajar siswa-siswa khusus, sertacenderung memiliki harapan yangrealistis terhadap pengajaran.

    Mereka juga kurang percaya diriakan diri mereka sebagai guru.Faktor kepercayaan diri mereka iniakan menjadi faktor pertimbangandalam pembentukan harapan yangrealistis (Kalaian & Freeman,1994).

    Dampak Bias GenderMenurut Schunk (2012), salah

    satu tantangan besar terhadapbehaviorisme berasal dari studi-studi pembelajaran observasionalyang dilakukan Albert Bandura danrekan-rekannya (1986, 2001).Temuan paling penting dari pene-litian ini adalah bahwa orang dapatmemelajari tindakan-tindakan baruhanya dengan mengamati bagai-mana orang lain melakukannya.Pengamat tidak harus melakukantindakan-tindakan tersebut padasaat ia memelajarinya. Penguatantidak diperlukan supaya pembelaja-ran dapat terjadi. Temuan-temuanini membantah asumsi sentral dariteori-teori pengkondisian.

    Bandura merumuskan teoribelajar observasional yang menye-luruh yang ia kembangkan untukmencakup penguasaan dan praktikdari bermacam-macam keterampil-an, strategi, dan perilaku. Prinsip-prinsip kognitif sosial telah

  • Mutrofin & Muhtadi Irvan

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 159

    diaplikasikan dalam belajar kete-rampilan-keterampilan kognitif,motorik, sosial, dan regulasi diri,dan juga dalam topik-topik kekera-san (secara langsung, melalui film),perkembangan moral, pendidikan,kesehatan, dan nilai-nilai sosial(Schunk, 2012).

    Bandura merasa bahwa yangdipelajari seseorang bukan diben-tuk oleh konsekuensinya, tetapikarena dipelajari langsung darimodel. Bandura mengemukakanbahwa belajar observasional baiklangsung maupun tidak langsungmelalui empat phase, yaitu me-naruh perhatian, mengingat peri-laku model, memroduksi perilaku,dan akhirnya termotivasi untukmengulangi perilaku itu.

    Berdasarkan perspektif ter-sebut, bias gender dalam profesikeguruan sudah selayaknya dipikir-kan kembali dan diteliti lebih lanjut.Sebab, baik maskulinitas maupunfemininitas dipastikan berpengaruhterhadap perkembangan siswa.Sebagaimana dikemukakan olehpendapat penelitian sebelumnya,perbedaan gender, lebih-lebih jikabias gender, akan berpengaruhterhadap pengajaran. Pada konteksteori belajar observasional, guruadalah model yang akan diper-

    hatikan perilakunya, diingat perila-kunya, diproduksi perilakunya danpada akhirnya diulang perilakutersebut jika siswa ternotivasi.

    Hipotesis yang mungkin terjadiialah, semakin feminin perilakumodel yang dijadikan acuan peri-laku, semakin feminin pula pro-duksi dan pengulangan perilaku.Bagi guru perempuan yang me-ngajar sepenuhnya siswa perempu-an, tentu tidak menjadi masalah,namun bagi siswa laki-laki yangsepenuhnya diajar oleh guru per-empuan tentu akan merugi. Sangatbesar kemungkinannya maskuli-nitas siswa laki-laki akan terdegra-dasi oleh femininitas guru per-empuan. Jika hal itu terjadi, makadi masa depan akan tidak baik bagiperkembangan bangsa ini.

    Sejauh ini ada beberapa sebabyang ditengarahi mengapa profesikeguruan lebih banyak diminatioleh perempuan ketimbang laki-laki. Sebab-sebab tersebut antaralain: (1) ada filosofi yang merugi-kan bahwa pekerjaan guru lebihbanyak berkaitan dengan cinta(love), peduli (care) dan kasih sayang(compassion); (2) gagalnya internali-sasi yang benar mengenai konsepsikesetaraan gender; (3) kurangnyasosialisasi yang intensif tentang

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    160 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    profesi keguruan di tingkat SMA/SMK; dan (4) kebijakan penerima-an mahasiswa calon guru di LPTKyang sangat liberal dan belummemperhatikan kesetaraan gender.

    SIMPULAN DAN SARAN

    Bias gender perempuan dalamprofesi keguruan sudah semestinyamenjadi perhatian serius para pe-mangku kepentingan (stakeholders)sebab jika bias gender laki-lakidalam berbagai bidang telah me-nimbulkan banyak persoalan, makabukan tidak mungkin bias genderperempuan dalam profesi keguruanjuga berdampak macam-macam.Hal yang harus diutamakan dalamprofesi keguruan adalah mencapaikeseimbangan, dalam arti mencapaikesetaraan gender, bukan biasgender.

    Guna mengantisipasi dampakbias gender perempuan dalamprofesi keguruan di masa depan,maka perlu dilakukan berbagai hal,antara lain: (1) melakukan sosiali-sasi yang tepat, terencana, konti-nyu, dan komprehensif perihal pro-fesi keguruan di tingkat SMA/SMK; (2) perlu ada proteksi dankebijakan yang berpihak dalampenerimaan mahasiswa baru calonguru dengan memprioritaskan

    prinsip kesetaraan gender; dan (3)diperlukan penelitian lebih lanjutperihal dampak yang nyata (actualimpacts) dari bias gender perempuanagar objektif.

    DAFTAR RUJUKAN

    Bandura, A. 1986. Social Foundationsof Thought and Action: A SocialCognitive Theor y. EglewoodCliffs, NJ: Prentice Hall.

    Bandura, A. 2001. Social CognitiveTheory: An Agentic Perpective.Annual Review of Psychology, 52:1-26.

    Coulter, E. 1987. Affective Cha-racteristics of Student Tea-chers. Dalam M.J. Dunkin(Ed.), International Encyclopediaof Teaching and Teacher Education.Hlm. 589-597. Oxford: Perga-mon Press.

    Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B., &Metcalf, K.K. 2012. The Act ofTeaching. 6 th ed. Singapore:McGraw-Hill Education (Asia).

    Dee, T. (Musim Gugur 2006). TheWhy Chromosome. EducationNext, 6 (4). http://www.hoover.org/publication/ednext/3853842.html

    Dryden, G. & Vos, J. 1999. TheLearning Revolution. Torrance,CA-USA: The Learning Web.

    Duffy, J., Warren, K., & Walsh, M.2001. Classroom Interactions.

  • Mutrofin & Muhtadi Irvan

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016 161

    Sex Roles, 45 (9/10): 579-593.Dunkin, M. J. 1987. Teacher’s Sex.

    Dalam M.J. Dunkin (Ed.),International Encyclopedia ofTeaching and Teacher Education.Hlm. 606-608. Oxford:Pergamon Press.

    Ehrenberg, R., Goldhaber, D., &Brewer, D. (April 1995). DoTeacher’s Race, Gender, andEthnicity Matter? Evidencefrom the National EducationLongitudinal Study. Industrialand Labor Relations Review, 48(3): 547-561.

    Gailey, C.W. 1987. EvolutionaryPerspectives on GenderHierarchy. Dalam Beth, B.H. &Myra, M.F. (Eds.). AnalyzingGender : A Handbook of SocialScience Research. London, UK.:Sage Publications, Inc.

    Garrahy, D. 2003. Speaking Louderthan Words: Teacher’s GenderBeliefs and Practices in ThirdGrade Classrooms. Equity andExcellence in Education, 36 (1):96.

    Harsoyo. (Agustus 2008). AnalisisGender. Makalah disajikan da-lam Pelatihan Metodologi Pe-nelitian Berperspektif Gender.Yogyakarta: Pusat Studi WanitaUniversitas Gadjahmada.

    Humm, M. 2008. Feminist Theory.Dalam Kuper, A. & J. Kuper.(Eds.). The Social Science Encyclo-

    pedia. London, Boston andHenley: Routledge & KeganPaul.

    Illich, I. 1983. Gender. London andNew York: Open ForumMarion Boyars.

    Inpres RI No. 9/2000 tentangPengarusutamaan Gender dalamPembangunan Nasional. Jakarta:Sekretariat Negara.

    Kalaian, H., & Freeman, D. 1994.Gender Difference in Self Con-fidence and EducationalBeliefs. Teaching and TeacherEducation, 10 (6): 647-658.

    Lorber, J. & S.A. Farrell. 1991. TheSocial Construction of Gender.Newbury Park: Sage Publi-cations.

    Marsh, H., Martin, A., & Cheng, J.(Februari 2008). A MultilevelPerspective in Gender Class-room Motivation. Journal ofEducational Psychology, 100 (l):78-95.

    McDonald, M., Sprenger, E., &Dubel, I. 1999. Gender dan Peru-bahan Organisasi: MenjembataniKesenjangan antara Kebijakan danPraktik. Yogyakarta: INSIST &REMDEC, Pustaka Pelajar.

    McIntyre, L. (Juni-Juli 1998). Tea-cher Gender: A Predictor ofSpecial Education Referral.Journal of Learning Disabilities,21 (6): 382-82.

  • Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan

    162 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    Moore, H. 1988. Feminism andAnthropology. Cambridge: PolicyPress.

    Muhadjir M. Darwin. 2005. Negaradan Perempuan: Reorientasi Ke-bijakan Publik. Yogyakarta:Grha Guru kerjasama denganMedia Wacana.

    Rodriguez, N. 2002. Gender Diffe-rence in Disciplinary Approaches.ERIC Document SPO41019.

    Rogers, B. 1980. Domestification ofWomen. New York: TavistockPublications.

    Schunk, D.H. 2012. Learning Theo-ries: An Educational Perspective.6 th Edition. Boston, MA:Pearson Education, Inc.

    Weiner, G. 1995. Gender and Ra-cial Differences among Stu-dents. Dalam L. Anderson(Ed.), International Encyclopediaof Teaching and Teacher Education.Ed. 2. Hlm. 319-323. Tarry-town, NY: Elsevier Science.

  • JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 163

    Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)ISSN: 2460-5689

    Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 163-179

    PEMANFAATAN TEKNOLOGIDALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

    Sri HartatikGuru SD Negeri Pandean, Gondang, Nganjuk, Jawa Timur

    Abstract

    Literate technology has become significant basic skills are justunder read, writing, and mathematics. This article definedtechnology are tool used to help students at the purpose oflearning, using technology not an end in itself. Using technologybe the goal is not use best technology. This article suggest thattechnology used deserve to when technology can help studentsmeet learn goals in more important than other tools implements.For however primary school teachers must be able to useinformation technology and communication in learning and theirlesson taught.

    Keywords: Using technology, primary school instructional

  • Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

    164 JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689

    PENDAHULUAN

    Sebagaimana dikatakan DeniDarmawan (2015), kemajuan tek-nologi dewasa ini dan di masa yangakan datang terutama di bidanginformasi dan komunikasi menye-babkan dunia menjadi semakinsempit cakupannya. Di bidang pen-didikan, peran guru untuk mendidikpeserta didik menjadi manusia yangselalu mengikuti perkembanganzaman tanpa meninggalkan akarbudaya sangat penting dalam me-nentukan perjalanan generasi bang-sa ini. Guru dituntut menjadi pen-didik yang bisa menjembataniberbagai kepentingan. Gagasaninilah titik berangkat artikel ini.

    Undang-undang (UU) RI No.14/2005, tentang Guru dan Dosenserta Peraturan Pemerintah (PP) RINo. 74 Tahun 2008 tentang Guru,menjelaskan bahwa profesi gurumemiliki sejumlah standar yang ber-laku secara nasional, baik standarkualifikasi maupun standar kom-petensi. Standar kompetensi secararinci diatur dalam lampiran Per-mendiknas No. 19 tahun 2007, ten-tang Standar Kualifi