jurnal ahkam vol xi no 1.pdf

147
Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dua kali dalam setahun pada bulan Januari dan Juli. Jurnal ini secara khusus menampilkan artikel-artikel ilmiah dalam bidang ilmu kesyariahan. Ketua Penyunting Syahrul A’dam Wakil Ketua Ahmad olabi Kharlie Penyunting Pelaksana Jaenal Aripin Khamami Zada Iding R. Hasan Alimin Mesra Mesraini Penyunting Ahli Ahmad Hidayat Buang (Universiti Malaya Malaysia) Muhammad Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Nur A. Fadhil Lubis (IAIN Sumatera Utara) Abdul Ghani Abdullah (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Jaih Mubarok (UIN Sunang Gunung Djati Bandung) Nadirsyah Hosen (Universitas Wollongong Australia) Irfan Idris (UIN Alauddin Makassar) Kamaruddin Amin (UIN Alauddin Makassar) Muhammad Iqbal (IAIN Sumatera Utara) Tata Usaha Maman Rahman Hakim Achmad Mashudi Nur Habibi Ihya Alamat Redaksi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Alamat: Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412 Telp. (62-21) 74711537 Faks. (62-21) 7491821 Vol. XI No.1 Januari 2011

Upload: razty-ajjah

Post on 01-Jan-2016

274 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dua kali dalam setahun pada bulan Januari dan Juli. Jurnal ini secara khusus

menampilkan artikel-artikel ilmiah dalam bidang ilmu kesyariahan.

Ketua PenyuntingSyahrul A’dam

Wakil KetuaAhmad !olabi Kharlie

Penyunting PelaksanaJaenal Aripin

Khamami ZadaIding R. HasanAlimin Mesra

Mesraini

Penyunting AhliAhmad Hidayat Buang (Universiti Malaya Malaysia)

Muhammad Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)Nur A. Fadhil Lubis (IAIN Sumatera Utara)

Abdul Ghani Abdullah (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)Jaih Mubarok (UIN Sunang Gunung Djati Bandung)Nadirsyah Hosen (Universitas Wollongong Australia)

Irfan Idris (UIN Alauddin Makassar)Kamaruddin Amin (UIN Alauddin Makassar)

Muhammad Iqbal (IAIN Sumatera Utara)

Tata UsahaMaman Rahman Hakim

Achmad MashudiNur Habibi Ihya

Alamat RedaksiFakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alamat: Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412Telp. (62-21) 74711537 Faks. (62-21) 7491821

Vol. XI No.1 Januari 2011

Page 2: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

DAFTAR ISI

Hisab Hakiki MuhammadiyahMaskufa ..................................................................................... 1 - 16

Paradigma Ijtihad Kontemporer Muhammad SyahrûrArip Purkon ............................................................................... 17 - 37

Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan Keluarga di MalaysiaRaihanah Azahari ...................................................................... 38 - 52

Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsîr Ayat HukumSaifuddin Zuhri ......................................................................... 53 - 66

Filsafat Hukum dalam AlquranAmir Hamzah ............................................................................ 67 - 79

Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer Abdurrauf .................................................................................. 80 - 95

Ihtikâr dalam Sorotan Hukum IslamAfidah Wahyuni ......................................................................... 96 - 105

Vol XI No.1 Januari 2011

Page 3: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

Perkembangan Metode Ijtihad dalam Merespons Perubahan Sosial Mustaming ................................................................................. 106 - 114

Status Anak menurut Perspektif Hukum IslamMasyrofah .................................................................................. 115 - 140

Page 4: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

1

HISAB HAKIKI MUHAMMADIYAH

Maskufa

Abstract: Muhammadiyah Essential Reckoning. Determination of the beginning of a month, especially in the months relating to the implementation of worship can be done with rukyat and reckoning. Both are the result of interpretation in understanding the texts of the Qur’an and the Hadith of the Prophet Saw. As a result of ijtihad, both can be true and could also be wrong, but in the spirit of ijtihad rewarding especially if one remains true then these two methods can be used independently or that one complements the other.

Kata Kunci: hisab, rukyat, hisab hakiki.

Pendahuluan

Hisab sebagai sarana untuk menentukan waktu-waktu ibadah salat dan arah kiblat sudah disepakati eksistensinya dalam tataran praksis. Sementara itu, untuk menentukan awal bulan khususnya yang berkaitan dengan bulan-bulan yang menyangkut peribadatan umat Islam yakni Ramadan, Syawal dan Zulhijjah penggunaan hisab masih diperdebatkan.

Satu pihak menetapkan hisab sebagai penentu masuknya tanggal baru dan tidak perlu rukyat dalam segala keadaan, sedangkan yang lain menetapkan hisab hanya sebagai pendukung pelaksanaan rukyat bukan sebagai penentu kecuali bila ahli hisab sepakat bahwa hilal masih di bawah ufuk kemudian ada laporan tentang keberhasilan rukyat, maka laporan itu ditolak dan hasil hisablah yang dipakai. Bagaimana argumumen Muhammadiyah yang dikenal sebagai representasi mazhab hisab dalam penetapan awal bulan Qamariyahnya dan bagaimana aplikasinya dalam praktek.

Pengertian Hisab

Hisab menurut bahasa berarti hitungan, perhitungan1, arithmetic (ilmu

1 Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, ( Yogyakarta:PP

Page 5: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

2

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation (perhitungan), calculation (perhitungan), estimation (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran)2. Semua makna tersbut terkait dengan kegiatan menghitung seperti tersurat dalam Q.s Yûnus [10]: 5, Q.s. al-Isra’ [17]: 12 dan Q.s. al-Rahmân [55]: 5. Oleh karena itu, ilmu hisab bermakna ilmu hitung atau ilmu arithmetik, yaitu suatu ilmu pengetahun yang membahas tentang seluk beluk perhitungan.

Di kalangan umat Islam selain dikenal ilmu Falak dan ilmu Faraid dikenal pula sebagai ilmu Hisab karena kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam kedua ilmu tersebut adalah perhitungan-perhitungan. Sementara di Indonesia orang memahami ilmu Falak yang dimaksud dengan ilmu Hisab.

Ilmu Falak atau Astronomi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit, tentang fisiknya, geraknya, ukurannya dan segala yang berkaitan dengannya3. Zubayr ‘Umar Jaylâni mendefinisikan astronomi secara teori sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda langit dari segi gerakannya, posisinya, terbit, proses pergerakannya, ketinggiannya, juga membahas masa siang dan malam yang masing-masing berkaitan dengan perhitungan bulan dan tahun, hilal dan gerhana bulan dan matahari4.

Benda langit yang dijadikan obyek kajian di kalangan umat Islam adalah matahari, bulan dan bumi yang terbatas pada posisinya masing-masing. Hal ini disebabkan karena perintah pelaksanaan ibadah baik waktu maupun cara berkaitan langsung dengan posisi benda langit, misalnya Q.s. al-Baqarah [2]: 185 “… Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu…”. Selanjutnya dalam ayat 189, Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:”Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi) ibadah haji …” . Kedua ayat itu menyebutkan bahwa bulan adalah tanda waktu khususnya bagi pelaksanaan ibadah puasa dan haji. Hal ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya “berpuasalah kamu bila melihat hilal dan berbukalah kamu apabila melihat hilal…”. Kemudian dalam Q.s. al-Isra [17]: 78 disebutkan tentang posisi matahari sebagai penentu awal waktu salat yaitu “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

Sementara itu, menurut istilah hisab adalah perhitungan benda-benda langit

“Al-Munawwir” Krapyak, 1984) h. 2822 Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Librairie Du Liban,

1980) h. 176.3 Depag, Almanak Hisab Rukyat, ( Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama

Islam, 1981), h. 14.4 Zubayr ‘Umar Jaylani, al-Khilashah al-Wafiyah fi al-Falaki bi Jadâwîl al-Lughoritmiyah,

(tth ) h. 4

Page 6: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

3

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Apabila hisab ini dalam penggunaanya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan, maka yang dimaksudkan adalah menentukan kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit pada saat-saat tertentu.

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan hisab di sini adalah hisab yang berkaitan dengan penentuan awal bulan Qamariyah. Penentuan awal bulan Qamariyah mempunyai makna yang sangat penting karena berkaitan dengan penentuan hari-hari besar Islam dan yang lebih penting lagi adalah berkaitan dengan penentuan masuknya awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, karena ketiga bulan ini berhubungan dengan masalah kewajiban umat Islam yakni ibadah puasa, salat Id, zakat fitrah dan haji.

Landasan Normatif

Adapun nâsh yang dijadikan landasan bagi kalangan penganut hisab, dalam hal ini Muhammadiyah5 adalah sebagai berikut:

شهر رمضان الذي أنزل فيه القرءان هدى للناس وبينات من اهلدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (Q.s. al-Baqarah [2]: 185).”.

هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنني واحلساب ما خلق اهللا ذلك إال باحلق يفصل اآليات لقوم يعلمون

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui’ (Q.s. Yunus [10]: 5).

وجعلنا الليل والنهار ءايتني فمحونا ءاية الليل وجعلنا ءاية النهار مبصرة لتبتغوا فضال من ربكم ولتعلموا عدد السنني واحلساب وكل شيء فصلناه تفصيال

“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda

5 Lihat PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, (yogyakarta: PP. Muhammadiyah, tth), cet. ke-3, h. 291, lihat juga KRT. Drs. Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, “Penngunaan Hisab dalam Penetapan Bulan Baru hijriyah/Qamariyah”, (Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Hisab dan Rukyat oleh badan litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta 20-23 Mei 2003), h. 6

Page 7: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

4

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas (Q.s. al-Isra [17]: 12).6

Dalam kitab-kitab tafsir7 disebutkan bahwa ayat tersebut menerangkan tentang susunan dan hukum yang berlaku di ruang angkasa yang juga menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran Allah swt dalam mengatur alam semesta dengan harmonis. Dengan ayat ini pula manusia dapat memahami manfaat dari sinar matahari dan cahaya bulan, malam untuk beristirahat dan siang hari untuk mencari penghidupan (bekerja) dan melakukan perjalanan. Juga ditetapkan pada masing-masing benda langit itu garis edar masing-masing sehingga memudahkan manusia dalam menghitung dan mengetahui bilangan tahun, bulan, hari dan seterusnya yang pada akhirnya manusia dapat membuat perencanaan-perencanaan bagi diri, keluarga dan masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan hamba Allah swt.

Selanjutnya, dengan ayat ini manusia berdasarkan pada adanya peredaran bulan dan matahari yang tetap dan harmonis dapat mengetahui perhitungan tahun, bulan dan hari. Manusia juga dapat melakukan perhitungan terhadap waktu salat, waktu berpuasa dan berhari raya dan waktu pelaksanaan haji sehingga kewajiban-kewajiban agama itu dapat dilaksanakan tepat waktu .

Di samping itu, hadis-hadis Nabi Saw. sebagai berikut :

(رواه ثالثني شعبان عدة فاكملوا عليكم غيب فان لرؤيته وافطروا لرؤيته صوموا البخاري)8

“Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh”. (H.r. Bukhâri)

صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غمى عليكم فاكملواالعدد (رواه مسلم )9“Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan bulan Sya’ban tiga puluh)”. (H.r. Muslim).ادارايتموا اهلالل فصوموا وادا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فاقدروا له ( رواه مسلم )10

6 juga al-Baqarah [2]: 189, An-Nahl [16]: 16, Al-Hijr [15]: 16, Al-Anbiyâ [21]: 33, Al-An’am [6]: 96-97, Ar-Rahman [55]: 5, 33, dan Yasin [36]: 38

7 Lihat Ibnu Kats"r, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid 2, h. 495-496, juga Jilid 3, h. 36-37. Lihat juga Muh Ali Al-Shâbuni, Shafwah al- Tafâsir, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmi, 1999), Jilid 1, h. 574 dan Jilid 2, h. 154

8 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shâhih al-Bukhâri, ( Dâr Nahrannil, tt ) Juz I, h. 327

9 Imam Abi Husain Muslim bin al-Hijaji al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991 ), Juz I, h. 472

10 Imâm Abî Husain Muslim bin al-Hijaji al-Qusyairi al-Naisabûri, Shahîû Muslim, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, tth. ), Juz I, h. 436

Page 8: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

5

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

“Bila kamu melihat hilal, maka berpuasalah, dan bila kamu melihat hilal maka berbukalah. Bila hilal itu tertutup awan maka kira-kirakanlah ia”. ( H.r. Muslim).

(رواه ثالثني شعبان عدة فاكملوا عليكم غيب فان لرؤيته وافطروا لرؤيته صوموا البخاري)11

“Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh”. (H.r. Bukhâri).

Baik surat al-Baqarah [2]: 185 maupun hadis di atas jelas menetapkan bahwa mengawali berpuasa dan berhari raya hendaklah dengan rukyat. Mereka memahami rukyat dalam arti melihat dengan ilmu atau akal (ruhyat bi al-’ilm)-. Pemahaman ini diperkuat oleh hadis Nabi berikut ini :

ادارايتموا اهلالل فصوموا وادا رايتموه فافطروا فان غم عليكم فاقدروا له ( رواه مسلم )12“Bila kamu melihat hilal, maka berpuasalah, dan bila kamu melihat hilal maka berbukalah. Bila hilal itu tertutup awan maka kira-kirakanlah ia”. (H.r. Muslim).

Kalimat “faqdurûllah” pada hadis di atas dimaknai oleh kalangan penganut hisab sebagai kira-kirakanlah yaitu dengan jalan hisab. Sementara bagi kalangan penganut rukyat kalimat tersebut masih mujmal, sedangkan hadis dengan teks “… fa akmilû ‘iddah Sya’ban tsalâtsîn” adalah mufasar. Maka yang mujmal harus dibawa ke yang mufasar. Jadi, makna faqdurûllah dalam hadis itu adalah istikmal (penyempurnaan), yaitu bila rukyat tidak berhasil maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban itu 30 hari.

Metodologi Istinbâth Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karenanya Muhammadiyah berusaha agar agama Islam dapat dilaksanakan dengan berpedoman pada Alquran dan Sunah, tanpa mengabaikan penggunaan akal dalam pemahaman dan penjabarannya. Untuk memberikan arah bagi kehidupan umat Islam, maka Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih sebagai pusat laboratorium dari mekanisme ijtihad bagi kalangan Muhammadiyah.

Adapun yang menjadi pijakan mekanisme ijtihad di kalangan Muhammadiyah yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum adalah (a) dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Hadis, (b) terhadap hal-hal yang tidak disebutkan dalam kedua sumber tersebut digunakan ijtihad untuk menemukan ketentuan hukumnya13. Dari sini jelas menunjukkan bahwa ijtihad bagi

11 Abî ’Abd Allâh Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Nahrannil, tt ) Juz I, h. 327

12 Imâm Abî Husain Muslim bin al-Hijaji al-Qusyairi al-Naisabûri, Shahîû Muslim, (Be -rut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, tth. ), Juz I, h. 436

13 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1993), cet ke-1, h. 278

Page 9: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

6

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

Muhammadiyah bukan merupakan sumber hukum melainkan metode penemuan dan penetapan hukum14.

Dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih15 kedua hal ini ditegaskan lagi. Selanjutnya, penetapan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah atau ijtihâd jamâ’îi dan tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab, tetapi pendapat imam-imam mazhab itu dapat menjadi bahan pertimbangan sepanjang sesuai dengan jiwa Alquran dan Sunah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Berkaitan dengan bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunah, Majelis tarjih dapat menerima pemahamannya dengan menggunakan akal sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannnya, meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi sehingga prinsip “mendahulukan nas daripada akal” memiliki kelenturan dalam menghadapi situasi dan kondisi.

Di antara jalan ijtihad yang ditempuh oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, adalah ijtihad bayâni, yaitu ijtihad terhadap nas yang mujmal baik karena belum jelas makna yang dimaksud maupun karena suatu lafal mengandung makna ganda (musytarak) atau karena pengertian lafal dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyâbih), ataupun karena adanya dalil-dalil yang tampak ditempuh jalan al-jam’u kemudian tarjih16.

Sementara itu, berpuasa merupakan ibadah mahdhah yang dalam pengamalannya harus berdasarkan pada nas. Demikian pula dengan hal yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal ada dasar-dasarnya baik yang berasal dari Alquran maupun Sunah. Di antara nas yang dijadikan landasan dalam ijtihadnya adalah Alquran dan hadis Nabi Saw. yang sudah disebutkan di atas. Secara eksplisit, ayat-ayat Alquran tersebut menjelaskan bahwa dijadikannya matahari dan bulan serta sistem peredarannya dapat dijadikan sarana untuk mengetahui perhitungan waktu, penentuan awal bulan dan tahun (Surat Yunus ayat 5), menjadikan matahari dan bulan untuk perhitungan (Q.s. al-An’âm [6]: 96), penciptaan gugusan bintang-bintang di langit (Q.s. al-Hijr [15]: 16), bintang-bintang sebagai petunjuk bagi perjalanan di malam gelap gulita (Q.s. al-Nahl [16]: 16), penciptaan siang dan malam, matahari dan bulan keduannya beredar di dalam garis edarnya (Q.s. al-Anbiyâ [21]: 33), matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (Q.s. al-Rahmân [55]: 5) dan peredaran matahari dan bulan pada garis edarnya masing-masing serta fase-fase perjalanan bulan dalam satu bulan (Q.s. Yasin [36]: 38-40).

Bila dikaitkan dengan penetapan awal bulan Qamariyah, ayat-ayat itu masih belum menjelaskan tentang bagaimana cara menentukan bahwa bulan baru itu lahir

14 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), cet ke-1, h. 70

15 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, h. 279-28016 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, h. 281

Page 10: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

7

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

kecuali hanya menjelaskan tentang fase-fase perubahan bulan dalam satu bulan. Sesuai dengan jalur ijtihad yang ditempuh oleh Muhammadiyah adalah ijtihad bayani, maka ayat yang masih mujmal itu dicarikan penjelasannya dalam Hadis Nabi Saw, berikut “Shûmû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi”. Menurut Majelis Tarjih, pengertian rukyat itu bisa berarti melihat dengan mata kepala atau dengan alat, bahkan dengan perhitungan hisab17.

Mengapa sarana untuk menetapkan awal bulan dapat dilakukan dengan hisab? Secara eksplisit, penggunaan hisab telah memunculkan dugaan bahwa Majelis Tarjih lebih mendahulukan akal dari pada nas. Padahal Hadis tersebut secara jelas mengatakan “Berpuasalah karena melihat bulan”. Di dalam Pokok-pokok Manhaj Tarjih yang berkaitan dengan ibadah di atas disebutkan di kalimat terakhir: “Prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi”. Asjmuni Abdurrahman menolak klaim ini, katanya: “Majelis Tarjih tidak mendahulukan akal dan membelakangkan nas. Kalau Majelis Tarjih menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal dengan hisab adalah mengamalkan nas Alquran dan Hadis dengan ijtihad. Menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan itu tidak bertentangan dengan nas Q.s. Yunus [10]: 5 dan Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim”18. Ini bisa dilihat dari perjalanan sejarahnya.

Dalam sejarah penetapan awal bulan Qamariyah, sebenarnya Muhammadiyah telah mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan iptek di bidang astronomi yaitu : 1) menggunakan sistem rukyat. 2). Sistem ijtimâ’ qablal al-ghurûb yaitu bila ijtima terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya sudah mulai tanggal baru. Akan tetapi, setelah melihat kenyataan bahwa pernah terjadi bulan mendahului matahari ketika memasuki ufuk sehingga bulan belum wujud, maka sistem ini kemudian ditinggalkan. 3). Sistem imkan al-ruhyah. Sistem ini memperhitungkan tinggi hilal waktu matahari terbenam, tetapi karena ketinggian hilal yang menjadi kriteria bulan dapat dilihat terlalu simpang siur maka sistem inipun ditinggalkan. 4). Sistem wujûd al-hilâl yaitu bila matahari terbenam lebih dahulu dari pada terbenamnya bulan dengan tiada batasan tertentu. Ketentuan ini mulai berlaku dari tahun 1388 H atau 1968 M sampai sekarang bahkan, pada Munas Tarjih Muhammadiyah ke-26 di Padang tahun 2004 diputuskan untuk tetap menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilâl sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah sebagaimana bulan-bulan yang lain dalam kalender Qamariyah19.

17 Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. ke 1, h. 135.

18 Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, h. 142-143.19 Lihat Suara Muhammadiyah No. 24/!. Ke 88/ 16-31 Desember 2003, Suplemen

“Wujudul Hilal Tetap Menjadi Pilihan Muhammadiyah”, h. 5.

Page 11: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

8

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

Dalam HPT cetakan ke-3 disebutkan sebagai berikut, “ Cara berpuasa (1) bila kamu menyaksikan datangnya bulan Ramadan, dengan melihat bulan, (2) atau persaksian orang yang adil, (3) atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari apabila berawan, atau (4) dengan hisab”20. Selain alternatif ke-4 sebenarnya semuanya termasuk dalam katagori rukyat atau kalau diringkas, ada dua cara yang ditempuh oleh Muhammadiyah dalam menetapkan awal Ramadan dan awal Syawal yaitu rukyat dan hisab.

Hal ini sesuai dengan bunyi HPT cetakan ke-3, yaitu: “Berpuasa dan Idul Fitrah itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab”. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Imam al-Bukhari bahwa Rasulullah bersabda: “Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” Dan firman Allah dalam Q.s. Yûnus [10]: 5, “Dialah yang membuat matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menentukan gugus manazil-manazilnya agar kamu sekalian mengerti bilangan tahun dan hisab”21.

Bagi Muhammadiyah, setelah mengkaji nas baik dari al-Quran maupun Hadis sekaligus dari berbagai pendapat ulama sebelumnya, maka rukyah bukanlah satu-satunya cara yang dapat dilakukan dalam menetapkan awal bulan Qamariyah seperti yang sudah disebutkan dalam HPT di atas. Pada perkembangannya kemudian Muhammadiyah menetapkan diri untuk hanya menggunakan hisab dengan kriteria wujudul hilâl dalam penentuan awal bulan itu.

Dalam sejarahnya, perhitungan yang dilakukan Majelis Tarjih ini selalu sesuai dengan hasil rukyat, kecuali dalam keadaan kritis yakni mendung di seluruh wilayah Indonesia sehingga rukyat tidak bisa dilakukan atau posisi hilal di bawah batas imkân al-ruhyah, maka dalam keadaan seperti ini bisa terjadi perbedaan antara hasil hisab dan hasil rukyat. Maka, Muhammadiyah berpendirian berdasarkan Hadis ”faqdurûllâh” itu yang artinya kadarkanlah atau hitunglah yang pelaksanaannya dengan hisab, sedangkan sebagian besar ulama menafsirkan hadis ini dengan menyempurnakan 30 hari. Jelas, perbedaan itu hanya karena perbedaan pemahaman bukan karena yang satu lebih mengutamakan akal daripada nas atau sebaliknya.

Muhammadiyah tidak menggunakan imkân al-ruhyah karena berdasarkan observasi-observasi yang dilakukan oleh ahli-ahli astronomi, hilal hanya dapat dirukyah bila posisinya di atas ufuk 6 derajat atau lebih. Sementara itu, angka imkân berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu Falak menetapkan 7 derajat, di Turki memakai 5 derajat dan di Indonesia menetapkan 2 derajat. Karena masalah imkân

20 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, (Yogyakarta: PP. Muhammadiyah, tth ), cet. Ke 3., h. 170

21 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, h. 291

Page 12: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

9

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

belum ada konsensus, maka Muhammadiyah akhirnya memutuskan memakai wujûd al-hilâl22. Alasan inilah yang dikemukakan oleh Wardan ketika ditanyakan kepadanya mengapa Muhammadiyah memegangi hisab wujûd al-hilâl,: “Ru’yah al-hilal pada ketinggian hilal sangat minim itu, amat sulit untuk dilaksanakan dan sangat banyak gangguannya, maka saya pilih yang mudah yaitu hisab wujûd al-hilâl. Agama itu mudah, maka permudahlah jangan dipersulit”23.

Perbedaan yang ada akhir-akhir ini antara Pemerintah dan Muhammadiyah dikarenakan adanya ketentuan dari pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Agama akan ketinggian hilal di atas horizon tidak kurang dari 2 derajat. Yakni rukyat dapat diterima bila menurut perhitungan hisab, hilal sudah di atas ufuk dengan ketinggian 2 derajat (imkân al-ru’yah). Sementara itu, Muhammadiyah tidak menggunakan pembatasan kemungkinan hilal dapat dirukyat itu atau dengan kata lain Muhammadiyah menggunakan kriteria wujûd al-hilâl.

Aplikasi

Sejalan dengan bunyi keputusan Majelis Tarjih yang terhimpun dalam HPT di atas, Muhammadiyah sudah sejak tahun 1932 menggunakan hisab dan rukyah dengan menempuh 4 cara dalam menentukan awal Ramadan yaitu : (1) dengan melihat hilal; (2) kesaksian orang yang adil, (3) dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari bila berawan; dan (4) dengan hisab.

Dua cara yang disebut pertama pada hakekatnya sama yaitu sumber pengetahuan untuk mengetahui masuknya bulan baru adalah dengan rukyat. Yang ketiga juga masih dalam koridor rukyat, tetapi dengan mengikutsertakan hisab (penggenapan 30 hari). Sementara itu, yang keempat adalah murni hisab. Peletakan hisab sebagai alternatif yang keempat bukan berarti hisab baru dilakukan setelah hilal tidak terlihat. Akan tetapi, alternatif itu sekaligus menunjukkan bahwa hisab dapat berdiri sendiri dalam menentukan awal bulan Ramadan. Oleh karena itu, maka hisab dapat dilakukan jauh sebelum bulan Ramadan itu datang. Kemandirian hisab itu dipertegas oleh keputusan Majelis Tarjih yang termaktub dalam HPT cet. ke-3: “Berpuasa dan Idul Fitrah itu dengan rukyah dan tidak berhalangan dengan hisab”.

Hisab pada hakekatnya adalah perhitungan. Bila dikaitkan dengan penetapan

22 Fahmi Amhar, “Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi Keragaman Waktu-Waktu Ibadah”. (Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pamikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pascasarjana Magister Studi Islam UMY Yogyakarta 19-20 Oktober 2002.), h. 2

23 Abdur Rachim, “Kriteria Wujudul Hilal sebagai penentuan Awal Bulan Qamariyah”, Makalah disampaikan pada Temu Kerja Hisab Rukyat tahun 2002, di Bogor 24-26 April 2002, h. 5

Page 13: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

10

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

awal bulan, maka yang dimaksudkan adalah menghitung bulan baru (hilâl) pada saat matahari terbenam. Hilâl secara astronomis adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap ke bumi beberapa saat di sekitar ijtimak karena pada saat itu sudut pandang matahari dan bulan paling kecil24.

Apa yang dimaksudkan oleh Muhammadiyah dengan hisab itu dapat dilihat dari pernyataan selanjutnya dalam HPT cet ke-3 : “Apabila ahli hisab sepakat bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud (wujûd al-hilâl), tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang melihat pada malam itu juga; manakah yang muktabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang muktabar”. Pernyataan ini menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan hisab adalah perhitungan tentang wujudnya hilal. Sedangkan yang dimaksudkan dengan hilal sudah wujud adalah bila matahari terbenam mendahului terbenamnya bulan25.

Bagaimana bila ada silang pendapat antara hasil ahli hisab dan ahli rukyat? Sesuai dengan HPT di atas, maka ditempuhlah langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, bila menurut hisab hilal pada saat matahari terbenam masih di bawah ufuk (belum wujud) atau sudah di atas ufuk, tetapi mustahil untuk dapat dirukyat. Bila ada laporan akan keberhasilan rukyat, maka hasil rukyatlah yang digunakan. Kedua, bila menurut hisab hilal sudah wujud dan ada kemungkinan untuk dapat dirukyat, akan tetapi tidak ada laporan keberhasilan rukyat, maka pendapat hisablah yang digunakan.

Walaupun secara teori antara hisab dan rukyat mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi dalam prakteknya Muhammadiyah tidak segan-segan untuk menolak hasil rukyat bila dari hasil hisab diketahui posisi hilal masih di bawah ufuk sekalipun ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam26. Sekaligus bersikukuh untuk menggunakan hasil hisab bila hilal sudah wujud padahal tidak mungkin untuk dirukyat. Ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya hisablah yang dominan dipakai oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadan dan awal Syawal.

24 Sa’aduddin Djambek, Hisab Awal Bulan, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 10.25 Lihat K.H. Muh Wardan, Hisab Urfi, Op. Cit., h. 43.26 Misalnya kasus yang terjadi pada akhir Ramadan 1412 H dan 1413 H, saat menetapkan

awal Syawal 1412H/April 1992 M dan awal bulan Syawal 1413 H/Maret 1993 M , menurut hisab yang dilakukan oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah bahwa pada saat matahari terbenam hari Jum’at tanggal 29 Ramadan 1412 H/3 April 1992 M dan saat terbenam matahari hari Selasa tanggal 29 Ramadan 1413 H/ 23 Maret 1993 M, posisi bulan masih di bawah ufuk walaupun ijtima’ terjadi beberapa jam sebelum matahari terbenam, namun terdapat kesaksian keberhasilan rukyat. Kesaksian ini oleh Muhammadiyah tidak diterima. Demikian pula yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 29 Ramadan 1414 H/12 Maret 1994 M untuk penetapan tanggal 1 Syawal 1414 H. Lihat Oman Faturahman “Hisab Muhammadiyah: Konsep, Sistem, Metode dan Aplikasinya”, Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pamikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam UMY Yogyakarta 19-20 Oktober 2002.), h. 3-4.

Page 14: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

11

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

Secara garis besar ada dua macam sistem hisab, yaitu hisab ‘urfi dan hisab haqîqî. Sistem hisab ‘urfi ini perhitungannya didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi. Lama hari antar bulan berselang seling antara 29 dan 30 hari yang bersifat tetap. Misalnya, Muharram 30 hari, Shafar 29 hari dan seterusnya kecuali untuk bulan Zulhijah bila termasuk tahun kabisat, maka dihitung 30 hari. Keberaturan ini sangat berguna dalam penyusunan kalender karena bisa dibuat jauh ke depan dengan tanpa memperhitungkan keadaan yang sebenarnya dari bulan dan matahari. Sistem ini juga sangat bermanfaat untuk menentukan awal bulan Qamariyah secara taksiran yang memudahkan pencarian data peredaran bulan dan matahari yang sebenarnya. Akan tetapi, karena sistem ini dianggap kurang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh syarak, maka umat Islam tidak menggunakan sistem ini dalam menetapkan waktu-waktu ibadah awal dan akhir Ramadan- karena menurut sistem ini umur bulan Sya’ban tetap 29 hari dan umur bulan Ramadan tetap 30 hari.

Sistim hisab hakiki adalah sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Sistem ini dapat digunakan dalam penentuian waktu-waktu ibadah karena dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksudkan syara’. Sebab, dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan wujudnya hilal. Dan sistem hisab inilah yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menetukan awal Ramadan dan awal Syawal.

Adapun dalam pelaksanaannya, sampai saat ini berkembang tiga macam sistem seperti yang disebutkan oleh K.H. Muh Wardan27. Pertama, sistem ijtima’ qabl al-ghurûb yaitu sistem yang memperhitungkan terjadinya ijtima’ yaitu bila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka waktu sesudah matahari terbenam itu sudah mulai tanggal baru. Pendapat ini diadopsi dari keterangan Imam Ibnu Yunus. Kedua, sistem imkân al-ruhyah yaitu sistem yang memperhitungkan tinggi hilal saat matahari terbenam. Kriteria visibilitas hilal amat beragam; ada yang menetapkan 7 derajat, 6 derajat dan lain-lain. Ketiga, sistem wujûd al-hilâl yaitu sistem yang menetapkan kriteria hilal telah wujud bila matahari terbenam lebih dahulu dari terbenamnya bulan (hilal) pada akhir bulan Qamariyah walaupun hanya sejarak 1 menit atau kurang, maka malamnya sudah masuk tanggal baru. Berdasarkan keterangan ini, maka paling tidak sejak tahun 1957 M Muhammadiyah telah mengenal beberapa sistem dalam menetapkan awal bulan.

Dari berbagai macam ragam sistem yang berkembang dan berlaku di Indonesia dan sejalan dengan perkembangan penggunaan hisab secara umum, Muhammadiyahpun mengalami perkembangan dalam menggunakan sistem hisab. Pada awalnya dipergunakan sistem ijtima’ qabl al-ghurûb, kemudian dipergunakan sistem wujûd al-hilâl sejak penentuan awal dan akhir Ramadan pada tahun 1388 H

27 K.H. Muh Wardan, Hisab Urfi. h. 43

Page 15: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

12

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

atau 1969 M. Ufuk yang dijadikan pedoman ada-tidaknya hilal adalah ufuk hakiki yaitu bila hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki pada saat matahari terbenam setelah terjadinya ijtima’, maka malam itu dan keesokan harinya sudah masuk tanggal baru28 tanpa memperhitungkan apakah hilal dapat dirukyat atau tidak. Dengan demikian, sistem yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah penggabungan antara ijtima’ qabl al-ghurûb dengan wujûd al-hilâl.

Sebenarnya bila dilihat dari keterangan yang terdapat dalam HPT cetakan ke-3, jelaslah bahwa kecenderungan penggunaan sistem wujûd al-hilâl sudah ada sejak tahun 1932. Ini terbukti dengan adanya istilah wujûd al-hilâl dalam keputusan tersebut. Akan tetapi, apakah yang dimaksudkan dengan istilah wujudul hilal dalam HPT tersebut seperti yang dikenal pada masa sekarang atau bukan masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

Bila yang dimaksudkan dengan wujûd al-hilâl itu seperti yang disebutkan oleh K.H. Muh Wardan sebagai matahari terbenam lebih dulu dari pada terbenamnya bulan, maka menurut Oman Faturahman29 ada dua hal yang perlu dikritisi. Pertama, ini menjadi tidak sejalan dengan sistem ijtima’ qabl al-ghurûb yang juga dianut oleh Muhammadiyah karena dalam sistem ini tidak mensyaratkan terbenam atau tidak terbenamnya bulan, tetapi yang dijadikan pedoman adalah bahwa ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam. Kedua, penggunaan ufuk hakiki sebagai pedoman dalam menetapkan wujud-tidaknya hilal juga menjadi tidak sejalan karena mempertimbangkan terbenamnya bulan. Maka, sudah seharusnyalah yang dijadikan pedoman adalah ufuk mar’i.

Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa Muhammadiyah sejak akhir tahun 1969M (1388 H) menggunakan sistem ijtima’ qabl al-ghurûb yang disempurnakan dengan memperhatikan posisi hilal di atas ufuk hakiki (wujûd al-hilâl). Ada beberapa langkah perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui hilal sudah wujud atau belum berdasar sistem hisab wujûd al-hilâl ini. Pertama, mencari saat terbenamnya matahari. Kedua, mencari saat terjadinya ijtima’ sehingga akan diketahui apakah ijtima’ itu terjadi sebelum atau sesudah matahari terbenam. Ketiga, adalah menghitung posisi bulan pada saat matahari terbenam sehingga diketahui apakah matahari lebih dahulu terbenam dari pada bulan atau sebaliknya.

Bila dari hasil hitungan itu bulan sudah di atas ufuk hakiki (positif ), maka ini berarti matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan. Hal ini menunjukkan bahwa bulan sudah wujud, sedangkan bila hasilnya negatif atau bulan masih di bawah ufuk, maka ini berarti bulan terbenam lebih dulu dari pada matahari. Hal ini menunjukkan bahwa bila bulan belum wujud, maka malam itu dan keesokan

28 Lihat Basit Wahid, Op.cit., h. 329 Oman Faturahman, “Hisab Muhammadiyah: Konsep, Sistem, Metode dan Aplikasinya”,

h. 7

Page 16: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

13

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

harinya masih terhitung bulan yang sedang berjalan yaitu tanggal 30.Sistim wujûd al-hilâl yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah tidak menentu-

kan imkân al-ru’yah. Persoalan muncul manakala dalam satu wilayah Indonesia itu ada garis limit yang memisahkan antara daerah yang mengalami wujûd al-hilâl dan daerah yang tidak mengalaminya melintasi Nusantara. Muhammadiyah termasuk ormas Islam yang lain telah menyetujui keterangan MUI yang dikemukakan oleh Prof. Ibrahim Husein bahwa seluruh Indonesia masuk dalam satu wilayah hukum (wilâyah al-hukm) mengenai penentuan awal bulan Qamariyah, yakni mempunyai satu mathla’ yang sama30. Misalnya kasus penetapan tanggal 1 Syawal 1423 H, ijtima’ menjelang Syawal 1423 terjadi pada hari Rabu tanggal 4 Desember 2002 pukul 14:35:24 WIB dan ketinggian hilal di Sabang=053’16”, Yogyakarta=0 41’42” dan Merauke=-025’30”. Karena seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayatul hukm –mempunyai satu mathla’- maka tanggal 1 Syawal 1423 H ditetapkan jatuh pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2003 walaupun di Papua hilal masih belum wujud atau masih di bawah ufuk. Keputusan ini dapat dipastikan akan berbeda dengan NU dan Pemerintah karena walaupun keduanya memerintahkan rukyat akan tetapi rukyat tidak mungkin berhasil dan kalaupun kemudian ada yang melaporkan keberhasilan rukyat itupun akan ditolak mengingat ketinggian hilal masih jauh di bawah ketentuan imkân al-ruhyah sebesar 2 yang juga sudah digunakan oleh NU dengan Hisab Penyerasiannya. Dan, kalaupun kemudian ada yang melaporkan keberhasilan rukyat itupun akan ditolak, NU maupun Pemerintah melalui sidang itsbatnya memutuskan untuk istikmal. Jadi tanggal 1 Syawal 1423 H itu bukan jatuh pada hari Rabu tetapi hari Kamis tanggal 6 Desember 2002 M.

Bagi Muhammadiyah, sebagai penganut hisab penetapan tanggal baru bulan Qamariyah dapat dilakukan jauh hari sebelumnya dengan tidak harus menunggu hasil Sidang Isbat dari Pemerintah. Ini dapat dilihat dalam kalender terbitan Suara Muhammadiyah PP. Muhammadiyah yang di dalamnya memuat data ijtima’, tinggi hilal dan langsung penetapan tanggal 1 RSD. Misalnya, penetapan tanggal 1 Syawal 1424 H, disebutkan ijtima’ terjadi pada Senin Wage 24 November 2003 Pk.06.00.00 dan Tinggi hilal: 0543’23” (hilal sudah wujud), maka 1 Syawal 1424 H jatuh pada hari selasa, 25 November 2003. Termasuk dalam penetapan Syawal untuk tahun 2006 Muhammadiyah memutuskan tanggal 23 Oktober 2006 hari Senin mendahului keputusan sidang isbat Pemerintah yang menetapkan tanggal 24 Oktober 2007 hari Selasa. Seperti pada tahun 2007 untuk Ramadan dan Zulhijah diprediksikan akan sama sedangkan untuk Syawal akan ada perbedaan mengingat

30 Lihat Basith Wahid, Putusan Majelis Tarjih tentang Awal dan Akhir Ramadan, (Makalah disampaikan dalam Workshop nasional Metodologi Penetapan awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah, diselenggarakan oleh Majelis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana magister Studi islam UMY Yogyakarta 19-21 Oktober 2002), h. 5-6.

Page 17: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

14

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

ketinggian hilal di seluruh Indonesia masih di bawah batas imkan al-ruhyat yaitu antara -1 s/d 0 40’ dan Indonesia terbelah oleh garis batas tanggal Hijriyah.

Untuk Yogyakarta berdasarkan hasil hisab hakiki wujûd al-hilâl Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk bulan Syawwal 1428 H adalah sebagai berikut: Ijtimak terjadi pada hari Kamis Legi 11 Oktober 2007 pukul 12:02:09 WIB, Tinggi hilal pada saat terbenamnya matahari di Yogyakarta = 037’31” (hilal sudah wujud), pada saat matahari terbenam tanggal 11 Oktober 2007 disebagian wilayah barat Indonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud. Dengan demikian, garis batas wujûd al-hilâl melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian. Berdasarkan Keputusan Munas Tarjih ke 26 di Padang tahun 3004 M / 1424 H, apabila garis wujûd al-hilâl melintasi wilayah Indonesia menjadi dua bagian, maka untuk kepastian Hari Raya Idul Fitri 1428 H diserahkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah tetapi seperti pada tahun sebelumnya hampir dapat dipastikan Muhammadiyah akan beridul fitri pada pada tanggal 12 Oktober 2007, mengingat hilal sudah wujud dan Indonesia merupakan satu wilayah hukum. Bila dalam satu wilayah hilal sudah wujud, maka ini bisa diberlakukan untuk wilayah lain di seluruh Indonesia.

Penutup

Penetapan awal bulan khususnya pada bulan-bulan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah dapat dilakukan dengan rukyat juga hisab. Keduanya merupakan hasil interpretasi dalam memahami nas-nas Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Sebagai hasil ijtihad keduanya bisa benar dan bisa juga salah, namun sesuai dengan jiwa ijtihad jika salah tetap berpahala apalagi benar, maka kedua cara ini dapat digunakan secara mandiri ataupun yang satu melengkapi yang lain.[] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-Karîm.Abdurrahman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka

pelajar, 2002.Bukhâri, al-, Muhammad Ibn Ismâil, Abi al-Abdillâh, Shahih al-Bukhâri, Dar

Nahrannil, tt.Amhar, Fahmi, ”Pengantar Memahami Astronomi Rukyat Mencari Solusi

Keragaman Waktu-Waktu Ibadah”, Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah,

Page 18: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

15

Maskufa: Hisab Hakiki Muhammadiyah

diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pamikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam UMY Yogyakarta 19-20 Oktober 2002.

Basyir, Azhar, Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1993.Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama

Islam, 1981.Djambek, Sa’aduddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976.Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, Jakarta:

Logos, 1995.Faturahman, Oman, dalam ”Hisab Muhammadiyah: Konsep, Sistem, Metode dan

Aplikasinya”, Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pamikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam UMY Yogyakarta 19-20 Oktober 2002.

Jaylani, ’Umar, Zubayr, al-Khilâshah al-Wâfiyah fi al-Falaki bi Jadawil al-Lugharitmiyah, tth.

Kamaludiningrat, Ahmad Muhsin, “Penngunaan Hisab dalam Penetapan Bulan baru hijriyah/Qamariyah”, Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Hisab dan Rukyat oleh badan litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta 20-23 Mei 2003.

Katsir, al-Imam Ibn, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.Munawwir, Warson, Ahmad, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta:PP

“al-Munawwir” Krapyak, 1984.Naisaburi al-, Muslim Ibn al-Hijâaji al-Qusyayri, Imam Abî Husayn, Shahîh

Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta: PP.

Muhammadiyah, tth. Rachim, Abdur, “Kriteria Wujudul Hilal sebagai penentuan Awal Bulan

Qamariyah”, Makalah disampaikan pada Temu Kerja Hisab Rukyat tahun 2002, di Bogor 24-26 April 2002, h. 5.

Shabuni al-, Muhammad Ali, Shafwah al- Tafasir, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmi, 1999.

Suplemen “Wujudul Hilal Tetap Menjadi Pilihan Muhammadiyah”, Suara Muhammadiyah No. 24/!. Ke 88/ 16-31 Desember 2003.

Wahid, Basith, “Putusan Majelis Tarjih tentang Awal dan Akhir Ramadan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan awal

Page 19: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

16

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana magister Studi Islam UMY Yogyakarta 19-21 Oktober 2002.

Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban, 1980.

Page 20: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

17

PARADIGMA IJTIHAD KONTEMPORER MUHAMMAD SYAHRÛR

Arip Purkon

Abstract: Paradigm of Contemporary Ijtihad (Critical Review of Ijtihad !inking By Muhammad Shahrur). One of the advantages of Islamic law is to have two aspects that are always together, ie a fixed aspect and the aspect that constantly change according to circumstances, conditions and changing times. Study of Islamic law is always made to harmonize the two aspects mentioned. And when the time is changing, especially in the fields of science and culture which can be felt so quickly, then Muslims definitely need some guidelines to deal with it. To answer that question then the clerics and scholars trying to study Islam from its di#erent aspects. !e results of their ijtihad and thought would be tested scientifically and naturally whether to exist or not.

Kata Kunci : Ijtihad, Qirâat, Alquran, Sunah, Ijmak dan Qiyas.

Pendahuluan

Pemahaman terhadap sebuah teori tidak hanya membawa manusia pada penjelasan yang konkret atau sampai pada hal-hal yang konkret dan terurai secara terperinci, melainkan lebih dari hal itu, juga untuk naik sampai pada penjelasan yang lebih bersifat filosofis. Dalam hal ini, teori hukum juga termasuk dalam penalaran yang demikian. Ia hendak mengejar terus sampai pada persoalan-persoalan yang bersifat hakiki dari hukum. Seperti dikatakan oleh Radbruch, tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai yang diproduksi oleh postulat-postulat hukum sampai pada landasan filosofis yang tertinggi.1

Teori hukum tidak bisa dilepaskan dari situasi sosio historis dimana ia dimunculkan. Teori hukum ini sering dilihat sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan pada suatu saat2. Oleh karena itu, sekalipun teori hukum berkeinginan

1 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h.253.2 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum…, h.254.

Page 21: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

18

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

untuk mengatakan satu pikiran secara universal, tetapi perlu dicatat bahwa teori tersebut muncul dan berkembang sesuai latar belakang sosio historis yang dimilikinya. Dengan demikian, seharusnya teori-teori hukum tidak dilepaskan dari konteks waktu pemunculannya. Maka sebaiknya sebuah teori dipahami beserta pemikiran dan kondisi sosio kultural yang melatarbelakanginya. Karena teori-teori yang lahir pada suatu abad, menggarap persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, dan bukan merupakan karakteristik persoalan untuk abad yang lain.

Persoalan inilah yang menjadi salah satu kegelisahan Syahrûr ketika melihat stagnasi pemikiran dunia Islam. Syahrûr menegaskan perlunya para ahli hukum selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai dengan latar belakang sosio kultural dan pengetahuan ilmiah objektif masa kontemporer. Sejarah mencatat bahwa usaha-usaha pembaharuan hukum ini tidak selalu berjalan mulus, dalam arti dapat diterima masyarakat dan para pemegang otoritas hukum yang terdiri dari para ulama dan penguasa, meskipun perlu dipertanyakan apakah otoritas hukum itu harus ada dan harus dikuasai oleh pihak tertentu3.

Dengan bertolak dari keyakinan bahwa Islam itu senantiasa relevan pada setiap waktu dan tempat (shâlih likulli zamân wa makân), Syahrûr berpendapat bahwa setiap generasi umat Islam harus memperlakukan kitab suci sebagai totalitas wahyu yang baru saja diturunkan dan dengan asumsi bahwa seolah-olah Nabi Muhammad Saw. baru saja wafat. Sikap seperti ini akan mengarahkan pemahaman umat Islam terhadap al-Kitâb selalu kontekstual dan relevan dalam segala situasi dan kondisi apapun. Sejalan dengan sikap ini, umat Islam harus melakukan desakralisasi terhadap semua produk tafsir yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu, karena pada hakikatnya yang sakral hanyalah teks kitab suci itu sendiri4.

Latar Belakang Pendidikan

Muhammad Syahrûr adalah seorang insinyur berkebangsaan Syiria yang dilahirkan pada tanggal 11 April 19385. Syahrûr mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan ’Abd al-Rahmân al-Kawâkibi, Damaskus. Pendidikan menengahnya ia selesaikan pada tahun 1957.

3 Menurut M. Abid al-Jabiri dalam Isykâliyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, sebagaimana dikutip Inam Esha, bahwa terdapat relasi signifikan pada titik tertentu antara suatu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat. M. Inam Esha, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Syahrur”, Jurnal Al-Huda, Vol.2, No.4, 2001, h.124.

4 Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qurân; Qirâ’ah Mu’âshirah, (Syria: Syirkah al-Mathbû’ah, 2000), h.44.

5 Peter Clark, “!e Shahrur Phenomenon, A Liberal Islamic Voice from Syiria”, dalam Islam and Christian Muslim Relation, Vol.7 No.3, h. 336. Beberapa pengkaji Syahrur ada yang keliru dalam menulis bulan kelahiran Syahrur pada Maret dan bukannya April.

Page 22: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

19

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

Setelah menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrûr melanjutkan studinya ke Moskow, Uni Soviet (sekarang Rusia) untuk mempelajari teknik sipil (al-handasah al-madaniyyah). Di negara inilah Syahrûr mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran Marxisme, walaupun ia tidak memproklamirkan diri sebagai penganut aliran tersebut. Gelar diploma dalam bidang teknik sipil (al-handasah al-madaniyyah) ia raih pada tahun 1964. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Syiria pada tahun 1964 dan bekerja sebagai dosen di Universitas Damaskus6.

Pada tahun 1967, Syahrûr memperoleh kesempatan melakukan penelitian di Imperial Colege di London, Inggris. Namun ia terpaksa pulang kembali ke Syiria karena terjadi perang Juni antara Syiria dan Israel yang mengakibatkan putusnya hubungan diplomatik antara Syiria dengan Inggris. Akhirnya Syahrûr memutuskan pergi ke Dublin, Irlandia sebagai utusan dari Universitas Damaskus untuk mengambil program Magister dan Ph.D di Universitas Nasional Irlandia mengambil bidang teknik sipil (al-handasah al-madaniyyah) dengan spesialisasi bidang teknik pondasi dan mekanika tanah. Gelar Doktor ia peroleh pada tahun 1972. Sejak itulah, Syahrûr secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus hingga sekarang7.

Meskipun dasar pendidikan Syahrûr adalah teknik, namun hal ini bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap wacana pemikiran keislaman. Di kemudian hari sejarah mencatat bahwa Syahrûr akhirnya tertarik untuk mengkaji Alquran dan hadis secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis buku dan artikel tentang pemikiran keislaman.

Perhatian Syahrûr terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya telah dimulai sejak berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil program magister dan doktoral. Disamping itu, peranan temannya, Ja‘far Dik al-Bâb juga sangat besar. Berkat pertemuannya dengan Ja‘far pada tahun 1958 dan 1964, Syahrûr dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa8.

Dilihat dari latar belakang pendidikannya, secara formal Syahrûr belum pernah menempuh studi dalam bidang keislaman. Namun Syahrûr belajar secara non formal dan otodidak tentang kajian keislaman khususnya dalam bidang penafsiran Alquran. Hal ini dilakukannya selama puluhan tahun. Pemikiran-pemikirannya tentang keislaman perlu diuji secara kritis untuk memperkaya khazanah keilmuan di dunia Islam.

6 Peter Clark, “!e Shahr$r..., h. 337.7 Peter Clark, “!e Shahr$r..., h. 337.8 Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qurân..., h. 46-47.

Page 23: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

20

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

Paradigma Ijtihad Kontemporer

Syahrûr berpendapat bahwa Ijtihad dalam pengertian kebahasaannya yang ketat, tidak berkaitan dengan konsep penafsiran. Ijtihad adalah proses dimana bahasa hukum digunakan untuk menghasilkan hukum tertentu sesuai dengan waktu dan tempat tertentu pula sehingga mungkin akan menghasilkan hukum yang berbeda, di tempat dan waktu yang lain. Sementara penafsiran meliputi perubahan makna dari teks ambigu sehingga memunculkan dua persepsi atau lebih dari satu kata yang sama9.

Tampaknya Syahrûr tidak mendefinisikan ijtihad secara komprehensif. Yang dijelaskan hanya salah satu bagian dari ijtihad yaitu ijtihad tathbîqi. Ijtihad tathbîqi adalah ijtihad dalam penerapan hukum. Sementara ijtihad istinbâthi, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha menggali hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan10, oleh Syahrûr tampaknya lebih didefinisikan sebagai qirâat.

Dalam kaitannya dengan ijtihad dan penafsiran ini ada dua kata yang sering disebutkan Syahrûr, yaitu qirâat dan mu’âshirah. Qirâat (pembacaan) adalah upaya untuk mencari dalil, merenung, menemukan, memaparkan dan menganalisis suatu masalah. Setelah semua ini dilakukan, maka seseorang akan sampai pada satu pemahaman terhadap apa yang dibacanya. Pembacaan dalam pengertian seperti ini berbeda dengan pengertian pembacaan secara umum, yaitu membaca kaligrafi dan memahami bentuk-bentuk huruf, meskipun hal itu dapat membawa pada deduksi atau interpretasi yang tidak lagi memuaskan11.

Sedangkan kata al-mu’âshirah (kontemporer) berasal dari kata al- ’ashr (masa). Makna al-’ashr ini sangat penting sehingga Allah menjadikannya sebagai salah satu objek bersumpah dalam Kitab-Nya12. Menurut Syahrûr, al-mu’âshirah (kontemporeritas) ini merupakan salah satu hal yang ditakutkan oleh umat Islam, disamping modernitas (al-hadatsah) dan perkembangan (al-tathawwur), sehingga umat Islam menjadi generasi sebagaimana yang disebutkan dalam Q.s. al-Maidah [5]: 104 dan al-Zukhruf [43]: 2213.

9 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 37.10 Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-“Arabi, t.t), h.

379.11 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî; Fiqh al-Mar’ah (al-

Wasiyyah, al-Irts, al-Qawâmah, al-Ta’addudiyyah, al-Libâs), (Syria: Al-Ahâlî li al-!ibâ’ah wa al-Nasyr, 2000), h. 117

12 Q.s. al-‘Ashr [103]: 1-3 :رب (2) واصوا بالص واصوا باحلق وتـ احلات وتـ والعصر(1) إن اإلنسان لفي خسر (2) إال الذين ءامنوا وعملوا الص

13 Redaksi kedua ayat dimaksud adalah :علمون شيئا وال نا ما وجدنا عليه ءاباءنا أولو كان ءاباؤهم ال يـ زل الله وإىل الرسول قالوا حسبـ عالوا إىل ما أنـ وإذا قيل هلم تـ

هتدون . يـ بل قالوا إنا وجدنا ءاباءنا على أمة وإنا على ءاثارهم مهتدون.

Page 24: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

21

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

Para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, yaitu antara lain mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Alquran dan sunah Rasulullah Saw, mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijmak' para ulama terdahulu, menguasai ilmu ushul fiqh dan bahasa Arab14.

Adapun Syahrûr menyebutkan beberapa syarat yang perlu diperhatikan ketika melakukan ijtihad atau penafsiran khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer. Beberapa syarat dimaksud adalah bahwa bahasa Arab harus dipahami sebagai bahasa yang terbebas dari sinonimitas. Teks kebahasaan apapun, baik yang bersumber dari al-Kitâb maupun bukan, serta harus dapat dipahami berdasarkan premis- premis logika. Para pemegang otoritas hukum harus memiliki pemahaman terhadap dasar-dasar pengetahuan ilmiah pada masa mereka hidup serta menguasai hukum-hukum ekonomi dan sosial serta mempertimbangan produk pemikiran para ilmuwan ilmu-ilmu alam dengan segenap cabang-cabangnya, seperti matematika, kedokteran, astronomi, fisika, kimia dan sebagainya, karena para ilmuwan eksakta berposisi sebagai partner utama penentu hukum. Selain itu juga harus berpegang teguh pada prinsip qiyâs syâhid ala syâhid dengan didukung oleh bukti-bukti materil obyektif sebelum mengeluarkan keputusan hukum apapun. Dalam konteks ini penentu hukum harus bekerja sama dengan para ahli survey atau pengelola data statistik yang valid. Jika salah satu faktor mengalami perubahan, khususnya kondisi obyektif yang melingkupi peristiwa hukum, maka hukum yang telah diputuskan harus ditinjau ulang.15.

Beberapa syarat ijtihad yang dikemukakan Syahrûr tersebut sebenarnya telah tercakup oleh dua syarat yang dikemukakan para ulama yaitu menguasai bahasa Arab dan ilmu ushul fiqh.

Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Alquran maupun hadis Nabi. Atau dengan kata lain ijtihad itu berlaku dalam masalah-masalah yang belum ada nashnya, juga berlaku dalam masalah-masalah yang telah ada nashnya namun belum pasti untuk masalah itu16.

Lebih lanjut Syahrûr menjelaskan bahwa fungsi Muhammad sebagai nabi bersifat keagamaan, sementara fungsinya sebagai rasul lebih bersifat legal, yaitu berkaitan dengan masalah hukum. Informasi kenabian berupa teks-teks yang ambigu, dalam arti bisa ditafsirkan dari bermacam perspektif. Bagian inilah yang dalam istilah Syahrûr disebut sebagai Alquran. Pada sisi lain, meskipun kandungan

14 Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’ashir, 2004), jilid I, h.496-497.

15 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 583.16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000),

h. 287-288.

Page 25: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

22

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

yang satunya berisi materi hukum yang bersifat unilokal, tetapi bagian ini menerima proses ijtihad. Dalam hal inilah Alquran disebut sebagai al-Kitâb. Menurut Syahrûr, pembagian ini harus jelas17.

Rekonstruksi Pemahaman Sumber Hukum Ijtihad

Syahrûr memulai kajiannya terhadap Alquran dengan menganalisis beberapa kata yang dianggap penting dan pokok yang terdapat dalam kitab suci tersebut. Analisis yang dilakukan Syahrûr lebih bersifat linguistik. Syahrûr berasumsi bahwa tidak ada sinonim dalam bahasa termasuk di dalam Alquran18.

Beberapa kata yang dianggap penting dan pokok dalam Alquran antara lain adalah beberapa kata yang selama ini dianggap sebagai nama lain dari Alquran itu sendiri, seperti al-Kitâb, al-Dzikr dan al-Furqân19. Adapun istilah-istilah lain yang merupakan pengembangan dari istilah-istilah di atas adalah muhkamât, mutasyâbihât, tafshîl al-kitâb, al-sab’u al-matsâni, umm al-kitâb, risâlah dan nubuwwah.

Syahrûr memulai pembahasannya dengan mengemukakan definisi al-Kitâb. Yang dimaksud dengan istilah al-Kitâb dalam pandangan Syahrûr adalah

جمموعة املواضيع اليت أوحيت إيل حممد صلي الله عليه و سلم من الله يف النص واحملتوى و اليت تؤلف يف جمموعها كل آيات املصحف من أول سورة الفاحتة إىل

آخر سورة الناس. “Himpunan seluruh objek pewahyuan yang disampaikan Allah kepada Muhammad Saw. yang mencakup bentuk tekstual wahyu dan muatannya. AI-Kitab terdiri dari seluruh ayat yang terhimpun dalam mushaf sejak dari surat al-Fatihah sampai akhir surat al -Nas”20.

Syahrûr membedakan kata kitâb (nakirah tanpa al) dengan al-kitâb (ma’rifah). Pengertian yang pertama, kata kitâb tanpa memakai al, hanya memuat satu tema atau kumpulan tema -tema tertentu dalam Alquran. Sehingga dengan demikian penyebutan seluruh isi Alquran mulai dari surat al-Fâtihah sampai surat al-Nâs dengan kitâb (tanpa al) adalah tidak tepat karena di dalam Alquran sendiri banyak mengandung berbagai tema21. Menurut Syahrûr, kitâb (tanpa al) sama sekali tidak memberikan pengertian yang sempurna (al-ma’na nâqisan) sebelum disatukan dengan sisipan kata lain seperti disebutkan dalam Q.S. Hud ayat 1 :

17 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 37.18 Namun dalam beberapa tempat Syahrur kurang konsisten dalam hal ini. Misalnya

menyamakan makna al-sab’u al-matsani dan sab’an min al-matsani, atau kata al-Quran dengan al-Hadits dan hadis.

19 Manna’ al-Qaththân, Mabâhits fi Ulûm al-Qurân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1998), h. 21-22.20 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân... , h.54.21 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h.53.

Page 26: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

23

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

لت من لدن حكيم خبري الر كتاب أحكمت ءاياته مث فصMakna kitâb dalam ayat dimaksud berarti kumpulan ayat-ayat muhkamât

dan bukan berarti seluruh mushaf. Sedangkan istilah al-kitâb (ma’rifah dengan al) disebutkan dalam salah Q.s.

al-Baqarah [2]: 2 :

ذلك الكتاب ال ريب فيه هدى للمتقنيMakna al-kitâb pada ayat dimaksud adalah kumpulan berbagai pokok pikiran

yang diwahyukan kepada Muhammad Saw.. dari Allah Swt, yang di dalamnya terkandung bukti kenabian (nubuwwah) dan kerasulan (risâlah). Atau secara lebih jelas bahwa al-Kitâb adalah kumpulan total kitab-kitab yang termuat dalam mushaf, mencakup seluruh isinya mulai dari surat al-Fâtihah sampai surat al-Na% 22. Dengan kata lain al-Kitâb sama dengan pengertian Alquran dalam penggunaan mayoritas umat Islam untuk menyebut seluruh wahyu Allah yang tertulis dalam mushaf.

M. Quraish Shihab memahami bahwa al-Kitâb adalah Alquran. Huruf alif dan lam yang dibubuhkan pada awal kata kitab dipahami dalam arti kesempurnaan. Dengan demikian, maka al-Kitâb adalah kitab yang sempurna. Walaupun dalam redaksi ayat tidak disebutkan Alquran –tetapi al-Kitâb- maka pikiran akan langsung menuju kepada Alquran23.

Berbeda dengan pengertian al-Kitâb yang dapat disejajarkan dengan al-Mushaf, Syahrûr berpendapat bahwa Alquran berbeda dengan al-Kitâb, karena Alquran merupakan bagian (al-khâsh) dari al-Kitâb (al-’âm) atau merupakan dua hal yang saling berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam Q.s. al-Hijr [15]: 1 :

رءان مبني الر تلك ءايات الكتاب وقـAyat ini kemudian dijelaskan oleh Q.s. al-Hijr [15]: 87 :

عا من المثاين والقرءان العظيم ناك سبـ يـ ولقد ءاتـAyat ini menunjukkan juga bahwa al-sab’u min al-matsâni bukan bagian dari

Alquran, akan tetapi merupakan bagian dari al-Kitâb. Dan juga terlihat dengan jelas bahwa Alquran dan al-sab’u min al-matsâni merupakan dua hal yang berbeda tetapi keduanya merupakan bagian dari al-Kitâb24.

Syahrûr memahami bahwa Alquran adalah :

22 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 51-54.23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Kesan, Pesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta:

Lentera Hati, 2000), Volume 1, h. 85-86.24 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 56-58.

Page 27: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

24

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

القوانني العامة الناظمةللموجود منذ اإلنفجار الكوين األول و حىت البعث و اجلنة و النار.

Yaitu merupakan himpunan aturan-aturan yang tersimpan dalam lawh al-mahfûdz dan al-imâm al-mubîn. Lauh al-mahfûdz berisi ketentuan-ketentuan umum yang mengatur alam semesta dan telah ditetapkan secara pasti sejak awal penciptaan sampai akhir masa dunia. Sedangkan al-imâm al-mubîn memuat ketentuan-ketentuan rinci bagi kejadian-kejadian alamiah dan arsip peristiwa-peristiwa historis. Alquran sudah ada sebelum proses inzâl dan tanzîl serta mengandung unsur-unsur tasyâbuh yang menjadikannya memiliki aspek potensi i’jâz. Dalam al-Kitâb, Alquran juga disebut dengan istilah al-Hadîts25.

Sementara itu al-sab’u al-matsâni dipahami sebagai tujuh pembuka surat, yaitu: alif-lam-mim, alif-lam-mim shad, kâf-hâ-yâ-ayn-shâd, yâ-sîn, thâ- hâ, thâ-sin-mim, dan hâ-mîm. Pengertian ini berdasarkan Q.s. al-Hijr [15]: 87 di atas. Pada ayat tersebut kata Alquran di-athaf-kan pada al-sab’u min al-matsâni yang menunjukan bahwa Alquran dan al-sab’u min al-matsâni adalah dua hal yang berbeda. Al-Sab’u min al-matsâni juga bukan bagian dari Alquran, karena al-sab’u min al-matsâni berarti hanya tujuh sementara Alquran jauh lebih banyak. Bahkan dalam Q.s. al-Zumar [39]: 2326 Allah menyebut al-sab’u al- matsâni dengan ahsan al-hadîts, sementara untuk Alquran cukup dengan al-Hadits. Dengan demikian, Alquran hanya bersifat mutasyâbih sedangkan al-sab’u al-matsâni memiliki dua sifat sekaligus yaitu mutasyâbih dan al-matsâni27.

Dalam masalah huruf pembuka surat ini tampaknya Syahrûr hanya mengatakan ada tujuh. Padahal susunan huruf yang dijadikan sebagai pembuka ada di 29 surat dalam Alquran28.

Adapun al-dzikr didefinisikan Syahrûr sebagai bentuk kebahasaan seluruh isi al-Kitâb yang jika dibaca bernilai ibadah meskipun tanpa disertai pemahaman terhadap maknanya. Keaslian al-dzikr dijamin oleh Allah sepanjang sejarah. Syahrûr menambahkan bahwa bentuk kebahasaan ini merupakan media wahyu yang penciptaannya bersifat baru (muhdats). Al-dzikr diposisikan sebagai media yang digunakan oleh Tuhan untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari bentuk eksistensi yang berada di luar kesadaran manusia menjadi bentuk yang teridentifikasi oleh kesadaran manusia. Media terbaik untuk proses hermeneutik ini adalah bahasa

25 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 90–94.26 Redaksi ayat dimaksud adalah :

هم إىل ذكر الله لوبـ هم مث تلني جلودهم وقـ قشعر منه جلود الذين خيشون ربـ الله نـزل أحسن احلديث كتابا متشاا مثاين تـهدي به من يشاء ومن يضلل الله فما له من هاد ذلك هدى الله يـ

27 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 96-9728 Jalaluddin al-Suy$thi, Al-Itqân fî Ulûm al-Qurân, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979), Jilid

II, h.13.

Page 28: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

25

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

Arab otentik29. Syahrûr mendasarkan analisisnya pada Q.s. al-Hijr [15]: 630 dan 931, Shâd [38]: 132 dan al-Anbiyâ [21]: 1033.

Sedangkan al-Furqân adalah sepuluh pesan Allah yang diwahyukan baik kepada Musa yang dalam tradisi Injil disebut sebagai !e Ten Commandement, kepada Isa, maupun kepada Muhammad Saw. Al-Furqân merupakan bagian Umm al-Kitâb tentang etika yang menjadi pegangan sesama agama-agama Yahudi, Nasrani, dan Is lam. Berbeda dengan al-Furqân yang diturunkan bersamaan dalam al-Kitâb kepada Muhammad, menurut Syahrûr, al-Furqân yang diturunkan kepada Musa berupa tulisan dalam papan (lauh) dan terpisah dari al-Kitâb yang diterimanya34.

Dengan demikian, Alquran sebagaimana yang dipahami oleh mayoritas umat Islam oleh Syahrûr dinamakan al-Kitâb. Akan tetapi, dalam beberapa tempat di bukunya Syahrûr tetap menggunakan istilah Alquran untuk makna al-Kitâb. Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa Syahrûr tidak konsisten dalam menggunakan istilah al-Kitâb35. Dan dalam memahami konsep-konsep dalam Alquran tampaknya Syahrûr lebih mengutamakan pemahaman secara etimologi dan kurang memperhatikan bagaimana konsep dimaksud dipakai dalam sunah serta pendapat para ulama tafsir.

Al-Kitâb diturunkan kepada Muhammad Saw. dalam kapasitas beliau sebagai Nabi dan Rasul sekaligus. Dengan demikian maka al-Kitâb mempunyai komposisi yang sesuai dengan posisi kenabian dan kerasulan tersebut. Oleh karena itu, maka al-Kitâb terbagi menjadi dua bagian besar yaitu kitãb al-nubuwwah dan kitãb al-risâlah. Dalam konteks al-Kitâb, al-nubuwwah dipahami sebagai akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad Saw. yang kemudian memposisikannya sebagai Nabi. Konsep al-nubuwwah mencakup seluruh informasi (al-akhbâr) dan pengetahuan ilmiah (al-ma’lûmât) yang terdapat dalam al-Kitâb, yang sekaligus juga berfungsi sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil atau antara kebenaran realitas (al-haqîqah) dan praduga semata (al-wahm)36. Dengan demikian al-nubuwwah identik dengan ilmu pengetahuan.

Sedangkan al-risâlah merupakan kumpulan penetapan hukum yang

29 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 61-6230 Redaksi ayat dimaksud adalah

ها الذي نـزل عليه الذكر إنك لمجنون وقالوا ياأيـ31 Redaksi ayat dimaksud adalah :

زلنا الذكر وإنا له حلافظون إنا حنن نـ32 Redaksi ayat dimaksud adalah :

ص والقرءان ذي الذكر 33 Redaksi ayat dimaksud adalah :

عقلون ال تـ زلنا إليكم كتابا فيه ذكركم أفـ لقد أنـ34 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 65-66.35 Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân; …,

h. 186, 198, 200 dan 251, Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 94, 197 dan 199.36 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 54-55.

Page 29: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

26

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

disampaikan kepada Muhammad Saw. sebagai pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan. Al-risâlah ini kemudian memposisikan beliau sebagai Rasul. Al -risâlah identik dengan hukum.

Syahrûr mengklasifi kasikan ayat-ayat dalam al-Kitâb ke dalam tiga kategori yaitu ayat muhkamât, ayat mutasyâbihât dan ayat bukan muhkam dan bukan mutasyâbih. Kategorisasi ini merujuk pada ayat ketujuh dari surat Âlî Imrân [3]:

زل عليك الكتاب منه ءايات حمكمات هن أم الكتاب وأخر متشاات هو الذي أنـعلم نة وابتغاء تأويله وما يـ يتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتـ م زيغ فـ لو فأما الذين يف قـر إال أولو نا وما يذك قولون ءامنا به كل من عند ربـ تأويله إال الله والراسخون يف العلم يـ

األلبابSecara eksplisit ayat ini menyebutkan kategori al-muhkam dan al-mutasyâbih.

Sedangkan kategori ketiga tafshîl al-kitâb, Syahrûr merujuk pada Q.s. Yu&us [10]: 37 :

فصيل ني يديه وتـ فتـرى من دون الله ولكن تصديق الذي بـ وما كان هذا القرءان أن يـالكتاب ال ريب فيه من رب العالمني

Argumentasi Syahrûr dalam memunculkan kategori ketiga adalah isyarat yang muncul pada penggalan ayat wa ukhar mutasyâbihât. Karena ukhar berbentuk nakirah maka harus dipahami bermakna sebagian yang lain, bukan keseluruhan. Maka konsekuensi logisnya akan timbul pertanyaan yaitu jika bagian pertama (secara keseluruhan) adalah muhkamât dan sebagian (dari bagian kedua) adalah mutasyâbihât, lalu apa sebagian yang lainnya lagi? Tentunya adalah yang tidak muhkam dan tidak mutasyâbih (lâ muhkam wa lâ mutasyâbih). Inilah yang kemudian dijelaskan pada surat Yunus sebagai ayat tafshîl a1-kitâb37.

Kata ukhar pada ayat dimaksud merupakan bagian lain (badal ba’dl min al-kull) dari al-Kitâb dimana bagian lainnya adalah diungkapkan dengan kata minhu âyatun muhkamât. Jadi kata ukhar disini harus dipahami secara komprehensif dengan kata sebelumnya dan tidak dipahami secara terpisah38.

Secara lebih rinci, Syahrûr menjelaskan ketiga kategori ayat-ayat di atas adalah Pertama, yang termasuk ayat-ayat muhkamât yang berfungsi sebagai induk al-Kitâb (umm al-kitâb) dan merepresentasikan tanda kerasulan Muhammad (risâlah) adalah ayat-ayat yang terkait dengan tema ibadah, etika (akhlâq), hukum temporer dan lokal, ajaran-ajaran (ta’lîmât) yang tidak termasuk dalam kategori penetapan

37 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h.5538 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Volume 2, h. 11-15.

Page 30: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

27

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

hukum baik yang umum untuk umat Islam maupun yang khusus untuk Nabi. Kedua, kenabian (al-nubuwwah) direpresentasikan dalam dua kategori, ayat-ayat mutasyâbihat dan ayat-ayat tafshîl al-kitâb. Ayat mutasyâbihât meliputi Alquran dan sab’u al-matsâni. Alquran mencakup ayat yang terkait dengan hukum alam, baik yang berlaku secara universal bagi alam semesta maupun yang khusus terkait dengan batasan ruang dan waktu (al-qawânîn al-‘âmmah wa al-juz’iyyah), kisah generasi terdahulu (al-qashash) dan hukum sejarah (qawânîn al-târîkh). Dan ketiga, ayat-ayat yang tidak masuk dalam dua kategori di atas disebut tafshîl al-kitâb atau ayat-ayat penjelas, yaitu ayat yang memberikan penjelasan kandungan al-Kitâb (al-âyat al-syârihah li muhtawiyât al-kitâb)39 .

Adanya kategori ketiga ini merupakan konsekuensi dari pemahaman Syahrûr yang memahami kata ukhar secara terpisah dari potongan ayat sebelumnya. Memunculkan kategori ketiga dengan istilah tafshîl al-kitâb juga perlu dipertanyakan, karena istilah ini terdapat pada ayat yang berbeda. Apabila dua ayat ini dipahami sebagai dua ayat yang saling menafsirkan maka diperlukan adanya dalil atau qarînah yang menunjukkan hal ini.

Pemahaman Syahrûr tentang makna ukhar pada ayat dimaksud berbeda dengan pemahaman para ulama selama ini. Makna potongan ayat dimaksud adalah bahwa apa yang diturunkan Allah itu terdiri dari dua kelompok, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyâbihat40.

Dari klasifikasi ini tampaknya Syahrûr hanya melihat bahwa suatu ayat dapat dikategorikan sebagai ayat hukum dari sisi tekstualnya saja. Padahal para ulama ushûl al-fiqh menjelaskan bahwa ada empat mekanisme penetapan hukum dari Alquran, yaitu ‘ibârah al-nash atau dilâlah ‘ibârah, isyârah al-nash atau dilâlah isyârah, dilâlah al-nash atau dilâlah al-dilâlah dan iqtidha’ al-nash atau dilâlah iqtidhâ’.

Secara umum, Syahrûr menjelaskan bahwa dalam ketentuan Allah yang disebutkan dalam al-Kitâb dan Sunah terdapat batas bawah dan batas atas bagi seluruh perbuatan manusia. Batas bawah merupakan batas minimal yang dituntut oleh hukum dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas merupakan batas maksimal. Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimal tidak sah, demikian juga yang melebihi batas maksimal. Ketika batas-batas ini dilanggar maka hukuman harus dijatuhkan menurut proporsi pelanggaran yang terjadi. Dengan demikian manusia dapat melakukan gerak dinamis di dalam batas-batas yang telah ditentukan. Dengan memahami teori ini maka akan dapat dilahirkan banyak ketentuan hukum41.

39 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 55-5640 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Volume 2, hal, 12.41 M. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya

pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), “Mazhab Yogya; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer”, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002), h.136.

Page 31: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

28

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

Dalam masalah batas-batas hukum dalam Alquran Syahrûr tidak memberikan kriteria bahwa suatu hukum merupakan batas maksimal atau batas minimal. Tampaknya batas minimal dan maksimal suatu hukum hanya ditentukan berdasarkan kajian terhadap Alquran saja tanpa merujuk bagaimana penafsiran dan pengamalannya berdasarkan sunah, para sahabat dan para ulama sesudahnya.

Syahrûr berpendapat bahwa definisi Sunah yang secara umum dipahami adalah keliru. Definisi bahwa Sunah Nabi adalah segala yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perintah, larangan dan ketetapan42 merupakan sesuatu yang keliru. Definisi ini bukan definisi yang diberikan oleh Nabi sendiri atau para sahabat sehingga dapat diterima atau ditolak. Definisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kebekuan dalam umat Islam. Nabi dan para sahabat tidak pernah mengenal definisi Sunah seperti ini. Dan yang menjadi dasar penetapan syariat dalam Islam adalah al-Kitâb dan Sunah (dengan definisi yang telah diperbaharui) bukan al-Kitâb dan Hadis43.

Sunah menurut Syahrûr adalah :

منهج يف تطبيق أحكام أم الكتاب بسهولة و يسر دون اخلروج عن حدود الله يف أمور احلدود أو وضع حدود عرفية مرحلية يف بقية األمور مع األخذ بعني اإلعتبار عامل احلقيقة الزمان و املكان و الشروط املوضوعية اليت تطبق فيها هذه االحكام معتمدين

على قوله تعاىل سورة البقرة 185 و احلج 78“Metode penerapan hukum-hukum umm al-Kitâb secara mudah tanpa keluar dari batasan-batasan hukum Allah dalam masalah-masalah yang terkait dengan hudûd atau untuk menetapkan batasan-batasan yang bersifat lokal temporal dalam masalah-masalah di luar hudûd. Usaha tersebut dilakukan dengan memperhatikan realitas nyata, ruang, waktu dan kondisi-kondisi obyektif yang menjadi wilayah dan ruang gerak bagi penerapan hukum-hukum tersebut dengan tetap berdasar pada firman Allah44. Hal ini antara lain berlandaskan pada Q.s. al-Baqarah [2]: 185 dan al-Haj [22]: 7845.

Apabila dianalisis, sebenarnya definisi sunah yang dipahami selama ini yaitu sesuatu yang berasal dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat merupakan definisi yang bersifat umum. Adapun definisi yang dikemukakan oleh Syahrûr adalah bagian dari definisi tersebut yaitu berkaitan dengan fungsi Sunah.

Dari sisi muatan hukumnya, Sunah mempunyai tiga kategori, yaitu kategori pertama adalah Sunah yang bermuatan syariah. Sunah dalam bentuk ini adalah

42 Muhammad Ajaj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1975), h. 19.43 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h.548.44 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 549. 45 Redaksi kedua ayat dimaksud adalah :

يريد الله بكم اليسر وال يريد بكم العسر... (البقرة : 185) ين من حرج ... (احلج : 78 (هو اجتباكم وما جعل عليكم يف الد

Page 32: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

29

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

Sunah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pembawa risâlah, misalnya tata cara salat, puasa, haji dan ibadah mahdhah lainnya. Sunah ini wajib dilaksanakan oleh umat Islam karena merupakan syariat dari Allah. Kategori kedua adalah Sunah yang dilaksanakan oleh Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai manusia dan orang Arab, seperti bentuk pakaian, jenis makanan dan kendaraan. Sunah dalam bentuk ini tidak wajib untuk diikuti, namun apabila dilaksanakan biasanya akan menambah kecintaan kepada Rasulullah. Walaupun Sunah dalam bentuk seperti ini tidak wajib diikuti akan tetapi umat Islam perlu memahami maqâshid al-syarî’ah dari Sunah dimaksud. Hal ini bertujuan agar nilai yang dilaksanakan oleh Rasulullah dalam Sunahnya dapat dipahami dan tetap dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi. Dan Sunah yang dikhususkan untuk Rasulullah, misalnya kebolehan mempunyai lebih dari empat orang istri dalam satu waktu dan tidak boleh menerima zakat atau shadaqah. Sunah dalam bentuk ini tidak berlaku untuk umat Islam46.

Syahrûr berpendapat bahwa kata sunnah berasal dari kata sanna yang dalam bahasa Arab berarti kemudahan dan mengalir dengan lancar, seperti dalam kalimat mã' masnûn, yang berarti air yang mengalir dengan lancar. Prinsip inilah yang dipegang Nabi Saw., yaitu dengan menerapkan hukum-hukum Umm al-Kitâb dalam lingkup batasan hukum Allah dan terkadang sampai pada batas maksimalnya dengan tetap mempertimbangkan realitas obyektif yang bersifat relatif semasa beliau hidup, bukan zaman sekarang, dan tidak pernah sekalipun dan dimanapun beliau bersikap ragu atau memutuskan sesuatu sebagai sesuatu yang mutlak47.

Makna Sunah secara etimologi yang dikemukakan Syahrûr hanya salah satu dari makna Sunah. Makna sunah yang lain antara lain adalah cara yang biasa dilakukan, yang baik maupun yang buruk, kebiasaan yang berlaku dan jalan yang diikuti. Para ulama memberikan makna khusus terhadap kata sunah dari Alquran dan bahasa Arab dengan cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama. Makna Sunah seperti inilah yang dikenal dalam periode awal Islam48.

Definisi Sunah yang dikemukakan Syahrûr terlalu dipengaruhi oleh salah satu pengertian Sunah secara etimologi. Padahal secara etimologi makna Sunah tidak hanya ada satu.

Syahrûr membagi sunnah menjadi dua ma cam, yaitu sunnah risâlah dan sunnah nubuwwah, sebagaimana kerangka teori yang ia digunakan sejak semula. Sunnah risâlah, sebagaimana al-Kitâb, dapat dibedakan isinya menjadi al-hu dûd (batas-batas dalam hukum), ibadah, akhlak dan pengaja ran (al-ta’lîmât). Adapun sunnah nubuwwah Syahrûr membaginya menjadi dua macam, yakni yang berkenaan

46 Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi…, jilid I, h. 478.47 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h.549.48 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II…, h. 73-74.

Page 33: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

30

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

dengan persoalan ghaib dan yang berkenaan dengan penjelasan terhadap tafsh"l al-kitâb, sehingga menurutnya memahami hadis haruslah didasarkan atas pemahaman terhadap al-Kitâb dan bukan se baliknya49.

Kriteria masing-masing kategori pembagian Sunah yang disebutkan Syahrûr belum jelas. Pembagian ini tampaknya hanya melihat esensi dari Sunah, bukan dari segi datang (wurûd)-nya.

Salah satu fungsi Sunah Nabi adalah pembatasan terhadap yang mutlak (taqyîd al-muthlaq) dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasi (ithlâq al-muqayyad)50 dalam wilayah al-halâl (yang dibolehkan). Pembatasan dan pemutlakan tersebut menggambarkan dimensi pembentukan bagi fluktuasi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dalam bingkai umum yang membatasi wilayah al-harâm (yang dilarang) dan wilayah al-halâl (hal yang dibolehkan51.

Lebih lanjut lagi Syahrûr menjelaskan bahwa hal lain yang dianggap penting dalam masalah Sunah ini adalah memahami peran Muhammad Saw. sebagai seorang Nabi. Sunah Nabi memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu merupakan ketetapan-ketetapan yang lahir dari kondisi kehidupan objektif dalam masyarakat Arab pada masa kenabian. Oleh karena itu maka Sunah merupakan ijtihad dalam membatasi sesuatu yang dihalal kan (al-halâl) serta tidak membutuhkan terhadap adanya wahyu. Ijtihad ini merupakan ijtihad yang bersifat pembatasan dalam wilayah yang dihalal kan secara mutlak, dimana sesuatu yang telah dibatasi tadi dimung kinkan untuk dimutlakkan kembali seiring dengan perubahan kondisi objektif yang ada. Selain itu. ijtihad ini juga merupakan ijtihad dalam wilayah yang dihalalkan, yang kemungkinan bisa salah dan benar, karena ia bukanlah wahyu dan karena kesalahan di dalamnya bisa dibenarkan kembali52.

Sunah juga, menurut Syahrûr, merupa kan ketetapan-ketetapan dari ijtihad Nabi dalam wilayah yang dihalal kan, tanpa memandang sumbernya apakah bersifat kenabian atau bukan, yang bukan termasuk syariat Islam, tetapi hanyalah merupakan undang -undang sipil (al-qânûn al-madani) yang tunduk pada kondisi sosial. Hal ini berarti bahwa Nabi semasa hidupnya telah menetapkan undang-undang sipil untuk mengatur masyarakat dalam wilayah yang dihalalkan dan untuk mem bangun pemerintahan serta masyarakat Arab pada abad ketujuh. Karena itulah maka ia tidak bersifat abadi sekalipun terdapat ratusan hadis mutawatir dan shahîh

49 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 549-554.50 Tampaknya definisi mutlak dan muqayyad yang dimaksud Syahrur berbeda dengan yang

dikemukakan oleh para ulama ushul al-fiqh. Dalam ushul al-fiqh, mutlaq didefinisikan antara lain adalah lafal yang menunjukkan hakikat zat sesuatu tanpa menyebut suatu ketentuan yang membatasinya. Adpun muqayyad didefinisikan antara lain adalah lafal yang menunjukkan zat sesuatu yang dibatasi oleh suatu ketentuan. Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi…, jilid I, h. 208-209.

51 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h.15152 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 151

Page 34: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

31

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

yang meriwayatkan hal tersebut53.Oleh karena itu, menurut Syahrûr, terdapat perbedaan yang sangat jelas

antara melarang (al-nahy) dan mengharamkan (al-tahrîm). Halal dan haram adalah bersifat tawqîfi (petunjuk) dari Allah semata, sementara perintah dan larangan adalah merupakan hak bersama antara Allah dan manusia. Allah menghalalkan dan mengharamkan sekaligus memerintah dan melarang, sedangkan manusia hanya memerintah dan melarang saja54.

Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa banyak ungkapan yang digunakan Alquran dan Sunah untuk menunjukkan haram. Diantaranya adalah tuntutan yang langsung menggunakan lafaz al-tahrîm dan yang seakar dengannya, sighat al-nahy, tuntutan untuk menjauhi suatu perbuatan, lafaz lâ yahillu, suatu perbuatan yang dibarengi dengan ancaman hukuman baik di dunia maupun di akhirat dan setiap lafaz yang menunjukkan pengingkaran yang muat terhadap suatu pekerjaan55.

Lebih jauh Syahrûr menegaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengkaji sunnah ini, yaitu bahwa sunnah adalah metode penerapan al-Kitâb dengan memberikan keluasan gerak di antara berbagai batasan hukum Allah (hudûd), berhenti pada batas tersebut, menetapkan batasan baru yang sesuai dengan batasan hukum Allah, atau menetapkan batasan yang bersifat lokal temporal (marhaliyah). Perlu dipertimbangkan keduduk an al-Kitâb sebagai sisi mutlak transendental dari Islam, sedangkan sunnah menduduki sisi manusiawi dari Islam yang menjadi objek ijtihad manusia56.

Dalam ushul fiqh, fungsi sunah terhadap Alquran antara lain dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sunah yang berfungsi memperkuat apa yang telah ditetapkan Alquran, memperjelas atau merinci apa yang telah digariskan dalam Alquran dan menetapkan hukum yang belum diatur secara eksplisit di dalam Alquran57.

Pada tataran ini tampaknya Syahrûr tidak memperhatikan masalah pokok yang menjadi ukuran dalam Sunah yaitu sanad. Syahrûr hanya melihat Sunah dari

53 Dari beberapa karakteristik sunah Nabi yang dikemukakan, tampaknya Syahrur hanya melihat sunah Nabi yang merupakan hasil ijtihad Nabi yang terlepas dari wahyu. Permasalahan ijtihad Nabi ini sejak dahulu sudah menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Pembahasan tentang ijtihad Rasulullah ini nampaknya cukup luas dan berbelit-belit. Secara teoritis umumnya para ulama sependapat bahwa ijtihad Rasulullah terjadi dalam urusan-urusan keduniawian seperti dalam menentukan taktik dan strategi peperangan serta keputusan-keputusan yang berhubungan dengan perselisihan dan persengketaan.Walaupun secara teoritis terdapat semacam kesepakatan, tetapi ditinjau dari segi agama (syarak) para ulama berbeda pendapat dalam seluruh persoalan termasuk juga dalam masalah dunia. Al-Syawkani, Irsyâd al-Fuhûl, (Kairo: Dâr al-!iba’ah al-Munirah, t.t), h.234, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghâzali, Al-Mustashfâ fi ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah, 1993), h. 252.

54 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 155.55 Wahbah al-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi…, jilid II, h. 80-81.56 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 571.57 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kuwait: Dâr al-Ilm, 1978), h. 39-40.

Page 35: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

32

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

sisi muatannya saja sebagai sebuah produk ijtihad seorang (Nabi) Muhammad Saw. dalam mengamalkan Alquran pada masanya. Apabila tidak hati-hati, hal ini akan membawa pada desakralisasi seluruh Sunah, sehingga Sunah menjadi bersifat relatif dan temporer.

Formulasi Ijmak Kontemporer

Syahrûr memahami bahwa ijmak' adalah :

ذا اإلمجاع م و هم سيلتزمون إمجاع أكثرية الناس على قبول التشريع املقرتحة بشأبتطبيق هذا التشريع

“Konsensus mayoritas orang yang menyetujui rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan mereka dan mereka mentaati hasil kon sensus ini dengan menerapkan undang-undang tersebut”58.

Oleh karena itu, dewan perwakilan rakyat, lembaga hukum independen dan kebebasan mengeluarkan pendapat adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem politik Islam yang tidak akan terlaksana tanpa didukung oleh konsep ijmak yang demokratis. Konsep inilah yang perlu dipahami sebagai konsep ijmak yang sesungguhnya dari demokrasi hukum dan kebebasan berpendapat dalam koridor batasan-batasan hukum Tuhan59.

Dengan demikian, maka ijmak merupakan kesepakatan dari orang-orang yang masih hidup dalam perundang-undangan berupa perintah (amr), larangan (nahy), pembolehan (simâh) dan pencegahan (man’u) dan tidak berkaitan sama sekali dengan hal-hal yang secara jelas telah diharamkan oleh Allah60. Ijmak seperti ini dapat dilakukan misalnya dalam masalah seperti rokok yang bisa dilarang setelah diketahui ada racun di dalamnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan fatwa, majelis negara dan parlemen. Demikian juga halnya poligami, yang mungkin dapat dilarang apabila ada hal-hal yang menuntut untuk melakukan hal ini, tetapi bukan diharamkan, dengan cara diadakan referendum atau melalui parlemen61.

Hal lain yang berkaitan dengan ijmak ini yaitu perundang-undangan (al-

58 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 582.59 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 582.60 Hal-hal yang secara jelas telah diharamkan tersebut adalah : menyekutukan Allah,

durhaka kepada orang tua, membunuh anak, melakukan perbuatan keji (al-fawahisy), zina, homo dan lesbi, membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan, mendzalimi anak yatim, berlaku curang dalam timbangan atau takaran, tidak berlaku adil, mengingkari janji khususnya dengan Al-lah, menikahi muhrim (yang haram untuk dinikahi), melakukan praktek riba, memakan makanan yang diharamkan.

61 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 192 – 193.

Page 36: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

33

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

tasyri’). Perundang-undangan Islam adalah perundang -undangan yang bersifat hudûdiyyâh (batas-batas hukum). Hal-hal yang diperbolehkan (al-mubâh) pada awalnya adalah bersifat mutlak (tidak terbatas), dan batas-batas hukum Allah adalah hal yang memberikan batasan terhadap al-mubâh ini sehingga kemungkinan akan terjadi pergeseran di dalamnya. Syahrûr berpendapat bahwa sebagian besar per-undang-undangan di dunia ini, jika tidak mengatakan seluruhnya, adalah pem-batasan terhadap al-mubâh (pembatasan terhadap yang mutlak) atau pemutlakannya kembali dalam ruang lingkup batas-batas hukum Allah. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Nabi dalam hal penetapan hukum62.

Dalam sejarah Islam, pembentukkan perundang-undangan ini telah dikenal sejak awal yaitu dengan adanya Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad Saw. Piagam Madinah ini bila dicermati sebenarnya sudah menggunakan bahasa undang-undang sebagaimana dikenal di zaman modern63.

Atas dasar hal inilah maka lebih jauh Syahrûr menegaskan bahwa apa yang telah dilaksanakan oleh Nabi harus dilaksanakan kembali oleh majlis perwakilan rakyat dalam memelihara batas -batas hukum Allah menyangkut hal yang haram, membatasi hal yang mubah kemudian memutlakkannya kembali dan dalam hal peru bahan dari satu ketetapan hukum ke ketetapan hukum yang lain dalam ruang lingkup batas-batas hukum yang telah ditetapkan Allah. Semua hal tersebut dapat terwujud di tangan para anggota majelis, disamping para dewan penasehat yang terdiri dari para ulama seluruh bidang yang mengikuti majelis dengan lebih mengutamakan statistik, data- data dan bukti-bukti.

Pembacaan pertama terhadap al-Tanzîl telah dilaksanakan pada masa sahabat sampai tiga abad setelahnya, yang darinya dihasilkan pemberian fatwa dalam fikih Islam yang historis. Sedangkan pembacaan kedua adalah pembacaan masa sekarang dimana dituntut untuk mela kukannya dengan mengabaikan peran mufti dan pemberian fatwa dalam perundang-undangan, serta menggantikannya dengan referendum dan dengan keputusan-keputusan dewan perwakilan yang ditegakkan atas dasar kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers dan adanya oposisi. Adapun sy#râ (konsultasi, musyawarah) dan demokrasi selama ini sering digambarkan sebagai dua hal yang bertentangan. Sy#râ adalah norma kemanusiaan yang harus diyakini, sebagaimana keyakinan akan wajibnya melaksanakan salat dari segi ritual, juga sebagaimana keyakinan akan wajibnya sedekah sebagai norma moral dari sisi kehidupan bermasyarakat64. Hal ini antara lain didasarkan pada pada Q.s. al-Syura [42]: 38 :

62 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 207 – 208.63 Muhammad Abu Zahrah, Al-Islâm wa Taqnîn al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h.

236.64 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 208.

Page 37: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

34

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

نفقون ناهم يـ هم ومما رزقـ نـ يـ الة وأمرهم شورى بـ والذين استجابوا لرم وأقاموا الصKetiga norma yang disebutkan dalam firman Allah tersebut (salat, musyawarah

dan sedekah) telah ada, dan merupakan obyek ke imanan pada abad ketujuh, dan demikian pula pada abad ke dua puluh satu. Akan tetapi norma-norma tersebut memiliki sisi teknis yang tampak pada rukun-rukunnya. Sisi teknis dari salat adalah bersuci, wudlu’, niat, menghadap kiblat, membaca al-Tanzîl, ruku’, sujud dan lain-lain. Ketika salat adalah salah satu dari rukun-rukun keimanan kepada Nabi Muhammad dan sisi teknis di dalamnya sangatlah penting karena ia menentukan afiliasi seseorang yang menjalankannya pada risalah Muhammad, maka ia sampai kepada generasi saat ini sebagaimana yang telah diajarkan Rasul. Salat akan senantiasa demikian karena pembaruan di dalamnya adalah termasuk bid’ah. Dari sini maka salat memiliki sifat yang tetap dan Nabi telah memisahkannya dari kekuasaan dalam masyarakat sipil karena kekuasaan dan masyarakat tunduk kepada perkembangan dan perubahan. Sedangkan musyawarah merupakan norma-norma kemanusia an yang sangat penting dalam melaksanakan kekuasaan kepemimpinan, terutama yang berkaitan dengan hukum, politik, ekonomi dan perundang-undangan. Hukum hanya berkaitan dengan peradilan65.

Ijmak oleh para ulama didefinisikan antara lain sebagai kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullah wafat atas suatu hukum syarak mengenai suatu kasus66. Definisi yang secara substansial berbeda dikemukakan oleh ulama Syiah. Ulama Syiah tidak menitikberatkan pada kata semua, tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang yang mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, ijmak ini bukan merupakan penetapan hukum di luar yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah, tetapi hanya upaya untuk menemukan adanya Sunah, yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum, yang dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw. dan ahl al-bait67.

Syahrûr tampaknya lebih mempersempit pengertian ijmak dari pengertian ijmak yang dikemukakan oleh mayoritas ulama. Bahkan pemahaman Syahrûr tentang ijmak lebih cenderung ke arah pengertian qânûn. Oleh karena itu maka kehujahan ijmak sebagaimana yang dipahami Syahrûr tidak sekuat sebagaimana ijmak yang didefinisikan oleh para ulama. Ijmak yang didefinisikan Syahrûr akan lebih bersifat relatif dan temporer.

65 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 208.66 Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh…, h.45.67 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I…, h.114.

Page 38: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

35

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

Formulasi Qiyas Kontemporer

Syahrûr berpendapat bahwa pendefinisian qiyâs dengan menganalogikan hal-hal yang terjadi pada masa sekarang (al-syâhid) dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu (al-ghayb) adalah sesuatu yang keliru dan tidak adil. Tidak dapat dibenarkan adanya analogi problem-problem masyarakat modern dengan masalah yang dihadapi masyarakat pada masa Nabi Saw. karena hal itu hanya akan menghasilkan kesimpulan yang meragukan dan samar-samar. Syahrûr mengemukakan definisi qiyas yaitu :

قياس الشاهد على الشاهد ضمن احلدود“Qiyâs yang mengukur sesuatu atau pihak yang hadir saat sekarang dengan sesuatu yang lain yang juga hadir pada saat sekarang dalam lingkup batas-batas hukum Tuhan68”.

Pihak syahid pertama terdiri dari bukti-bukti material yang bersifat obyektif, sedang kan pihak syahid kedua adalah masyarakat manusia yang berkepen tingan untuk dianalogikan yang hidup pada saat sekarang. Sebagai contoh, dalam undang-undang larangan merokok, yang berposisi sebagai syahid pertama adalah data-data kedokteran dan hasil survai statistika tentang masalah rokok, sedangkan syahid kedua adalah masyarakat manusia yang akan menerima penerapan undang-undang larangan merokok tersebut. Dalam hal ini, yang harus diperhatikan adalah bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri manusia bisa saja memiliki kemiripan tetapi hukum dari undang-undang yang diterapkan pada mereka tidak selalu sesuai untuk diterapkan secara general69.

Dengan demikian, maka qiyâs adalah analogi yang didasarkan atas bukti-bukti material dan pembuktian ilmiah yang diajukan oleh ahli ilmu alam, sosiolog, ahli statistik dan ekonom. Jadi, merekalah para penasehat otentik bagi otoritas pembentukan perundang-undangan dan otoritas politik, bukan ulama agama dan lembaga-lembaga fatwa. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka dapat ditetapkan pembolehan (simâh) atau pelarangan (man’) terhadap sesuatu, tetapi hal ini bukan penghalalan (tahlîl) atau pengharaman (tahrîm)70.

Menurut hemat penulis, pemahaman Syahrûr terhadap konsep qiyas yang dikemukakan oleh para ulama kurang tepat. Qiyâs yang dikemukakan oleh para ulama adalah menganalogikan hukum yang tidak disebutkan dalam nash dengan hukum yang disebutkan dalam nas71, bukan menganalogikan sesuatu yang terjadi sekarang dengan sesuatu yang terjadi pada masa Nabi. Objek analogi dalam qiyâs dapat berupa sesuatu yang terjadi saat ini. Jadi yang menjadi ukuran bukan waktu

68 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 581 – 582.69 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qurân…, h. 581 – 582.70 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah …, h. 193.71 Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami…, jilid I, h.602-603.

Page 39: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

36

Ahkam Vol. XI No. 1, Januari 2011

terjadinya, akan tetapi ada tidaknya penunjukkan hukum dari nash terhadap hal dimaksud.

Penutup

Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa konsep ijtihad yang ditawarkan oleh Syahrûr masih tampak belum komprehensif serta ada beberapa kesalahpahaman Syahrûr terhadap beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ulama dalam hukum Islam, yaitu menyangkut definisi Alquran, Sunah, ijmak dan qiyâs. Konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan hukum Islam tidak diberikan penjelasan atau ukuran-ukuran yang pasti sehingga mudah untuk dipahami. Oleh karena itu maka penulis merekomendasikan perlu adanya kajian secara terus menerus tentang ijtihad sehingga fikih Islam senantiasa dirasakan aktual dan tidak ketinggalan zaman. Kajian ini perlu dilakukan secara komprehensif dan mendalam, dengan tidak mengabaikan koridor yang telah ditetapkan oleh para ulama. Pendapat-pendapat para ulama terdahulu tetap dijadikan sebagai salah satu sumber rujukan. Selain itu, secara akademis perlu adanya apresiasi terhadap pemikiran-pemikiran baru khususnya dalam bidang hukum Islam untuk dikritisi dan diuji lebih lanjut secara ilmiah, sehingga konsep yang ditawarkan dapat teruji secara keilmuan, bersifat aplikatif serta tidak melanggar norma-norma hukum Islam itu sendiri. [] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-Karîm.Abdullah, M. Amin, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya

pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainurrofiq (ed.), “Mazhab Yogya; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer”, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002.

Abu Zahrah, Imam Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-“Arabi, t.th.

Esha, M. Inam, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Syahrûr”, Jurnal Al-Huda, Vol.2, No.4, 2001

Ghazâli, al-, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Al-Mustashfâ fi ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah, 1993.

Khatîb al-Muhammad, A’jaj, Ushûl al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1975.Peter Clark, “!e Shahrur Phenomenon, A Liberal Islamic Voice from Syiria”,

dalam Islam and Christian Muslim Relation, Vol.7 No.3

Page 40: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

37

Arip Purkon: Paradigma Ijtihad Kontemporer

Qaththân al-, Manna’, Mabâhits fi Ulûm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1998Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah; Kesan, Pesan dan Keserasian Alquran,

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume 1.Suyuthi, al-, Jalaluddin, Al-Itqân fî Ulûm al-Qurân, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979,

Jilid II.Syahrûr, Muhammad, Al-Kitâb wa al-Qurân; Qirâ’ah Mu’âshirah, Syria: Syirkah

al-Mathbû’ah, 2000.Syahrûr, Muhammad, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî; Fiqh al-Mar’ah

(al-Wasiyyah, al-Irts, al-Qawâmah, al-Ta’addudiyyah, al-Libâs), Syria: Al-Ahâlî li al-!ibâ’ah wa al-Nasyr, 2000.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000.

Syawkâni al-, Irsyâd al-Fuhûl, Kairo: Dâr al-!iba’ah al-Munirah, t.th.Zuhayli, al-, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’ashir,

2004, jilid I.

Page 41: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

38

PELAKSANAAN SHULH DALAM KASUS-KASUS PERSELISIHAN KELUARGA DI MALAYSIA

Raihanah Azahari

Abstract: !e Implementation of Shulh in Family Disputes Cases in Malaysia.!e Advantages of shulh as rules in settling disputes is an undeniable fact. Based on the data collected, and the reports of the mass media in Malaysia shows that despite a new implementation, this procedure has shown good results in the handling of family cases in the Syariah Courts in the state Selangor. Apart from successfully responding to the problem of outstanding cases (NST 09/04/02), the implementation of this rule is also seen as being able to give satisfaction to the parties to the dispute, as well as some other benefits such as reducing the cost of liability by the parties dispute.

Kata Kunci: shulh, kasus pertikai keluarga, perselisihan

Pendahuluan

Pada dasarnya konsep penyelesaian perselisihan secara damai atau mufakat pihak-pihak tanpa melibatkan institusi pengadilan formal, seperti mahkamah, merupakan tradisi di kalangan anggota masyarakat dan ia telah dilakukan secara meluas di kalangan bangsa-bangsa di dunia meskipun istilah ini tidak didefinisikan secara jelas pada masa itu. Sejarah juga mencatat bahwa semua masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia Samada Ponisia, Romawi, Greek, Hindu, Yahudi, Kristian, Cina, dan Muslim menggunakan aturan-aturan agama dan adat, dan bukan sistem mahkamah atau proses litigasi bagi penyelesaian perselisihan-perselisihan keluarga. Campur tangan proses litigasi, kalaupun perlu, hanya setelah penyelesaian secara tidak formal (non-litigasi) menemui jalan buntu dan keadilan tidak mungkin akan tercapai kecuali melalui proses tersebut.1

1 David C Buxbaum, Family Law And Customary Law in Asia, A Contemporary Legal Perspective , (Netherlands: !e Hague, 1968). h. xxvi; Fred Edmunt Jandt & Paul. B. Pedersen (eds) (1996), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases, (London: Sage Publication- Syed Khalid Rashid, 2002. Alternative Dispute Resolution: !e Emerging New Trend of Informal Justies,

Page 42: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

39

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

Setiap bangsa dan agama di dunia memiliki metode dan istilah tersendiri dalam merealisasikan mekanisme ini. Umpamanya, di kalangan orang-orang Cina, proses penyelesaian secara damai yang dikenali sebagai mediasi dianggap sebagai “one of China’s fine tradition”. Proses ini diakui sebagai tradisi yang telah berjalan dalam era Dinasti Zhou hampir 1.100 tahun dahulu.2

Orang-orang Cina yang menganut paham Confucius menganggap perselisihan sebagai sesuatu yang mengganggu stabilitas dan mereka amat menghargai toleransi, harmoni, dan kedamaian. Menurut mereka, proses penyelesaian secara mufakat adalah kaidah terbaik bagi upaya pengembalian keharmonian yang tergugat karena mereka berpegang kepada prinsip “peace is the best; lawsuit is the worst”.3

Selain itu proses perundingan secara langsung antara pihak-pihak bertikai juga diamalkan di kalangan mereka. Seperti yang disebut oleh Khalid Rashid, “Traditionally, Chinese prefer non-litigous dispute resolution. !e prefered mode of doing this is “ friendly consultation” (Youhao Xieshang), that is direct negotiation.”4 Kaidah ini merupakan langkah awal untuk menyelesaikan semua perselisihan masyarakat yang berkaitan dengan bidang komersial, industri, dan kekeluargaan.

Di kalangan orang-orang Jepang, yang juga berpaham Confucius, Undang-undang Shogun Tokugawa yang dilaksanakan sekira tahun 1603-1868 mengatur bahwa semua perselisihan-perselisihan masyarakat haruslah dirujuk kepada ketua kampung (village headmen) untuk tujuan mediasi. Penyelesaian yang coba dicapai pada tahapan ini merupakan prasyarat sebelum suatu perselisihan diajukan ke mahkamah untuk disidangkan.5

Di Sri Lanka, proses mediasi telah pula dipraktikkan sejak 425 tahun yang lalu sebelum dimulainya era Kristian dan ia dikendalikan oleh ketua suku (clan chiefs) yang bertindak selaku penengah. Di Pakistan dan Nepal perselisihan antara individu selalu diselesaikan oleh kalangan mereka yang agak berusia lanjut yang dikenal sebagai Panchayats. Di Bangladesh, Shalish ialah mereka yang agak berumur (village elders) di dalam komunitas kampung yang bertindak sebagai mediator dan juga memiliki kuasa untuk memutuskan sesuatu hukuman (arbiter) yang mengikat

in Tenth Inaugral Lecture disampaikan pada 8 Oktober 2002, International Islamic University Malaysia.

2 Fred Edmunt Jandt & Paul. B. Pedersen (eds) (1996), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases.

3 Di Cina Kanun Ch’ing (Ch’ing Code) yaitu suatu undang-undang yang diwarisi dari zaman pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644) telah memperuntukkan bahwa ketua kampung dan mereka yang agak berusia berbidangkuasa untuk melakukan proses mediasi dalam perselisihan-perselisihan kecil yang melibatkan hubungan domestik dan komuniti.

4 Fred Edmunt Jandt & Paul. B. Pedersen (eds) (1996), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases.

5 Fred Edmunt Jandt & Paul. B. Pedersen (eds) (1996), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases.

Page 43: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

40

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

pihak-pihak bertikai.6

Di dalam Islam, penyelesaian perselisihan tanpa melalui prosedur litigasi dikenali sebagai shulh. Pada zaman pra Islam konsep ini yang diaplikasi melalui kaidah tahkîm merupakan amalan tradisi masyarakat Arab dalam menyelesaikan perselisihan yang berlaku di kalangan mereka samada ia melibatkan perselisihan komersil atau perselisihan antarkabilah dan juga kekeluargaan. Meskipun dalam sistem kehidupan masyarakat pra Islam tidak ada kekuasaan politik dan sistem pengadilan yang tersusun, namun jika terjadi perselisihan mengenai hak milik, hak warisan, dan pelanggaran hukum selain dari pembunuhan, maka perselisihan ini akan dirujuk untuk diselesaikan oleh jurudamai (hakam) yang mewakili pihak masing-masing. Oleh karena sistem sosial pada masa itu didominasi oleh sistem suku atau kabilah maka setiap suku kaum memiliki hakam-nya sendiri.7

Sejarah juga mencatat Nabi Muhammad Saw. sebelum dilantik menjadi Rasul pernah menjadi hakam dalam perselisihan yang hampir-hampir mencetuskan pertumpahan darah di antara pembesar Quraisy. Peristiwa ini berlaku apabila masing-masing pihak tidak mau berkompromi dalam perselisihan untuk menentukan siapakah yang akan meletakkan kembali al-hajar al-aswad ke tempat asalnya.8

Tradisi penyelesaian perselisihan secara damai ini terus dikekalkan oleh Alquran yang kemudian melegitimasi amalan tersebut disebabkan adanya elemen-elemen yang positif dan konstruktif, yaitu kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang mementingkan kedamaian dan keharmonian di kalangan penganutnya. Hal ini bermakna, bahwa Islam tidak menghapuskan secara total semua tradisi masyarakat Arab pra Islam tetapi terdapat beberapa tradisi yang diteruskan, namun secara esensial diselaraskan dengan misi Islam itu sendiri.

Peruntukan Shulh dalam Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia

Pada hakikatnya, kaidah penyelesaian perselisihan secara tidak formal seperti konsiliasi dan mediasi merupakan amalan tradisi di kalangan masyarakat Melayu Islam dan mereka menggunakan kedua prinsip atau aturan Syariah dan Adat dalam amalan tersebut. Dalam sistem masyarakat itu terdapat semacam satu tekanan yang memengaruhi pihak-pihak bertikai untuk menyelesaikan perselisihan secepat mungkin dan kebiasaannya anggota keluarga yang terdekat dan dihormati, seperti

6 Fred Edmunt Jandt & Paul. B. Pedersen (eds) (1996), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases.

7 Lihat Muhammad Salâm Madkûr, al-Qadâ’ fi al-Islâm, (al-Qâhirah: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1964); Joseph Schacht (1955) “Pre Islamic Background And Early Development of Jurisprudence” dalam Majid Khadduri & Herbert J. Liebesny (ed) Law in !e Middle East, Vol. I, Washington D.C. !e Middle East Institute; N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh University Press, 1991).

8 Afzal Iqbal, !e Prophet’s Diplomacy, (Delhi, India: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1961).

Page 44: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

41

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

ibu-bapa atau ibu dan bapa saudara akan mengambil inisiatif sebagai mediator bagi menyelesaikan perselisihan.9

Keluarga dalam struktur masyarakat Melayu merupakan instrumen yang terpenting dalam mengawasi cara hidup individu. Karena itulah dalam setiap tindakan positif atau negatif, keluarga akan turut terlibat dalam memberikan sumbangan mereka dalam bentuk nasihat, teguran, dan bimbingan bergantung kepada tindakan tersebut.

Dari segi praktiknya, sebelum modifikasi terhadap struktur Mahkamah Syariah dan Undang-undang Keluarga Islam dilakukan di pertengahan tahun 1980, proses shulh atau penyelesaian perselisihan secara rundingan telah pula dilaksanakan di Mahkamah-mahkamah Kadi di negeri-negeri di Malaysia. Proses ini dikendalikan oleh Kadi-kadi dan ia berkaitan dengan perselisihan dan aduan dalam hal-hal perkawinan dan perceraian yang dikemukakan oleh suami-isteri.

Di Mahkamah Syariah Singapura rekonsiliasi perkawinan telah pula dilaksanakan semenjak tahun 1960. Dari segi praktiknya, apabila permohonan perceraian dikemukakan, Presiden Mahkamah Syariah akan merujuk kasus tersebut kepada Pekerja Sosial atau kepada Kadi di Mahkamah Syariah untuk tujuan penyiasatan dan rekonsiliasi. Permohonan tersebut tidak akan ditetapkan kecuali jika Presiden telah berkenan bahwa satu penyiasatan telah dibuat dan usaha-usaha kearah perdamaian telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Perlaksanaan proses rekonsiliasi ini sesungguhnya telah dapat mengurangi kadar perceraian di Singapura sekira tahun 1957 hingga tahun 1964.10

Praktik hukum ini kemudiannya diikuti oleh negeri-negeri lain di Malaysia seperti Selangor, Perak, Perlis, dan Negeri Sembilan (peraturan adat menetapkan bahwa suami haruslah melalui suatu timbangtara yang dikenal dengan istilah “bersuarang”). Di negeri-negeri ini peraturan mengenai perkawinan dan perceraian dan pembatalan perceraian telah mengatur bahwa permohonan perceraian tidak akan dikabulkan kecuali setelah melalui permohonan kepada Kadi. Kadi kemudiannya akan memanggil pihak-pihak kepada perselisihan tersebut untuk melakukan penyiasatan. Sebelum Kadi membenarkan sesuatu perceraian dia hendaklah berikhtiar mencapai perdamaian di antara suami dan isteri.

9 Lihat dalam Joseph Minnattur (1964) “!e Nature Of Malay Customary Law”MLR, Vol.6, No. 2, Desember 1964; David C Buxbaum (1968) , Family Law And Customary Law in Asia, A Contemporary Legal Perspective , Netherlands: !e Hague, h. xxvi; Sharifah Zaleha Syed Hassan, “Women, Divorce and Islam in Kedah” dalam Sojourn, 2, 1986; Wan Halim Othman, “Community Mediation In Malaysia”, in Fred Edmunt Jandt & Paul. B. Pedersen (eds), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases, London: Sage Publication, 1996; James A Wall Jr & Rhonda Robert Callister, “Malaysian Community Mediation” Journal Of Conflict Resolution, Vol.43, June 1999.

10 Lihat Mehrun Siraj, “Conciliation Procedures In Divorce Proceedings” dalam MLR, Vol.7, No. 2, Desember 1965.

Page 45: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

42

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Di sekitar tahun 1970-an lembaga Pegawai Penasihat Wanita telah diwujudkan di jabatan-jabatan Agama negeri-negeri. Lembaga ini bertugas untuk membantu tugas-tugas kadi bagi mengendalikan aduan-aduan yang dikemukakan oleh pasangan suami isteri (khususnya isteri) atau ahli keluarga yang memiliki masalah dalam hal-hal kekeluargaan Islam. Dengan kata lain, unit ini bertanggung jawab penuh untuk mengendalikan proses pra perbicaraan atau mediasi dengan menguruskan aduan-aduan dari pihak-pihak yang mengemukakan masalah perkawinan dan berusaha untuk mendamaikan mereka (reconciliation). Di Selangor, jawatan ini diwujudkan pada 1972 dan dikenal sebagai Pegawai Kebajikan Wanita Islam dan pada masa ini mereka hanya lulusan Râbi‘ Tsanawi. Di Wilayah Persekutuan pada 1976 di bawah Unit Perunding dan Pembangunan Keluarga JAWI (UPPK), di Perak pada 1979 dan di Kedah pada 1985).11

Dalam konteks ini Mahkamah Kadi dilihat sebagai telah melaksanakan proses shulh bagi menyelesaikan perselisihan yang timbul di antara pasangan apabila mereka mengemukakan permohonan untuk bercerai atau membuat pengaduan masalah rumah tangga.

Kenyataan di atas secara jelas menunjukkan bahwa proses shulh untuk tujuan penyelesaian perselisihan telah diperuntukkan dalam prosedur mahkamah (is a court induced). Dalam konteks perselisihan suami isteri, peraturan yang mesti diikuti ini bertujuan untuk memastikan bahwa usaha-usaha mendamaikan kembali pasangan yang bertikai telah dilakukan dan prosiding seterusnya hanya akan dilaksanakan jika usaha tersebut gagal mencapai perdamaian.

Ia juga menunjukkan bahwa pada peringkat awal pelaksanaan proses shulh yang diaplikasikan oleh para Kadi, banyak melibatkan kasus-kasus perselisihan semasa perkawinan dengan tujuan untuk mendamaikan kembali suami isteri (reconciliation). Jarang sekali proses tersebut dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan akibat perceraian seperti kegagalan suami menunaikan mut‘ah dan nafkah idah. Dengan demikian, tuntutan-tuntutan selepas perceraian diselesaikan secara dialogis (adjudication). Menurut Zaleha, hal ini terjadi karena amalan di mahkamah sendiri yang berkecenderungan menggunakan kaidah-kaidah seperti arbitrase hanya untuk mendamaikan pihak-pihak dengan tujuan mengelakkan perceraian, dari pada menggunakan kaidah-kaidah tersebut untuk menyelesaikan perselisihan tentang tuntutan-tuntutan yang timbul selepas perceraian secara damai.12 Apabila Undang-undang Keluarga Islam mengalami reformasi di sekitar tahun 1980-1990 peruntukan-peruntukan untuk melaksanakan proses shulh di bawah bidangkuasa Mahkamah Syariah telah bertambah.

11 Lihat Hj Mohd Naim Bin Hj Mokhtar, “Administration of Family Law In !e Syariah Court” [2001] 3 MLJ.

12 Zaleha Kamarudin, A Comparative Study of Divorce Among Muslims and Non Muslims in Malaysia, Tesis Ph.d. University of London, 1993.

Page 46: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

43

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

Selain dari peruntukan asal mengenai permohonan cerai isteri atau suami yang perlu disertakan pengakuan yang mengandung pernyataan terdapat langkah-langkah yang telah diambil untuk mencapai perdamaian dan peruntukan tentang hakam, semua enakmen keluarga di negeri-negeri Malaysia telah memperuntukkan peruntukan tentang perlantikan sebuah Jawatankuasa Pendamai bagi mengatasi sikak (perselisihan). Begitu pun peruntukan-peruntukan ini masih tertumpu kepada proses shulh untuk mendamaikan pihak-pihak bagi pencegahan perceraian.

Manakala dalam kasus-kasus perselisihan yang berbangkit dari perceraian, shulh dicapai menerusi perbincangan dan perundingan antara para pihak melalui atau tanpa peguam syar’i, di mana pihak-pihak hanya memohon kepada mahkamah untuk merekam terma-terma persetujuan yang telah dicapai, atau melalui cadangan-cadangan yang dikemukakan oleh hakim semasa perbicaraan. Dalam konteks ini tidak ada satu prosedur khusus yang diperuntukkan bagi tujuan mencapai shulh (dalam kasus-kasus berbangkit dari perceraian) dan tidak ada kaidah-kaidah tertentu yang secara spesifik diikuti bagi menentukan pelaksanaan shulh yang lebih berkesan dan berjaya mencapai matlamatnya. Oleh yang demikian proses ini dilakukan atas inisiatif pihak-pihak atau peguam atau hakim sendiri berdasarkan prinsip Islam yang amat menggalakkan perdamaian “wa al-shulh khayr”. Begitu pun amalan ini tidak menampakkan kesan yang positif dalam pengurusan kasus-kasus kekeluargaan di mana persoalan mengenai lambakan kasus-kasus tertangguh (case back-log), ketidakpuasan hati terhadap keputusan penghakiman dan penguatkuasaan perintah hukuman masih menjadi permasalahan yang besar kepada Mahkamah Syariah.13

Perkembangan seterusnya memperlihatkan pada awal tahun 1990-an shulh telah diperuntukkan dalam Kanun Acara Mal/Masyarakat negeri-negeri di Malaysia. (ss.87-93 Enakmen Kanun Prosedur Mal Syariah Selangor No 7/1991; ss.87-93 Ordinan Acara Mal Syariah Syariah Sarawak No. 7/1991; Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah Wilayah-Wilayah Persekutuan 1998 Akta 585 S.94; Enakmen Prosedur Mal Syariah Kedah 1979 Bil. 2/1984 ss 89-94; Enakmen Acara Masyarakat Syariah Kelantan No.5/1984 ss 91-96; Enakmen Kanun Prosedur Mal Syariah Melaka No. 7/1991 ss 87-93).

Demi untuk memastikan keberkesanan pelaksanaan shulh seperti yang diperuntukkan di dalam Acara Mal/Masyarakat Negeri-negeri dan untuk menyelaras pelaksanaan proses tersebut, satu Kaidah Tatacara Mal (Shulh) telah didaftarkan oleh Jawatankuasa Teknikal Undang-undang Syara‘ dan Masyarakat Kebangsaan. Kaidah ini digubal mengikut kuasa-kuasa yang diberikan oleh seksyen 247 (1) Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1998 Akta 585. Tindakan ini diambil hasil daripada keputusan Mesyuarat Jawatankuasa Pelaksanaan

13 Zaleha Kamaruddin, “Delays in Disposition of Matrimonial Cases”, IIUM Law Journal, Volume 7, Number 1, 1999.

Page 47: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

44

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Pelan Tindakan bagi Menanggani Masalah Kelewatan serta Kelemahan Perjalanan Kasus-kasus Mahkamah Syariah pada Julai 2001. Draf ini kemudiannya di kenali sebagai Kaidah-Kaidah Tatacara Mal (Shulh) Wilayah-Wilayah Persekutuan 1998. Sebagai percobaan, pelaksanaan shulh telah dimulakan di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur mulai 17 November 2001. Pemakaian shulh juga telah diperluaskan ke negeri-negeri lain mengikut Arahan Amalan No. 3 Tahun 2002 Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia (JKSM) berkenaan penggunaan Shulh.

Objektif Pelaksanaan Shulh

Dalam banyak hal penyelesaian kasus-kasus melalui proses perbicaraan mengundang pelbagai kekurangan dan kelemahan kepada pentadbiran Mahkamah Syariah samada dari segi prosedur perbicaraan, keputusan-keputusan kes yang diputuskan dan tempo perbicaraan atau jangkamasa sesuatu kasus diputuskan.

Secara jelasnya matlamat pelaksanaan shulh ialah untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini dan objektif paling utama ialah untuk mempercepatkan proses penyelesaian sesuatu kes dan seterusnya mengurangkan kasus-kasus tertangguh di mahkamah.

Penelitian awal menampakkan bahwa semenjak 1/5/2002 apabila prosedur shulh mula beroperasi dan pegawai-pegawai shulh di Mahkamah-mahkamah Syariah di Selangor memulakan tugas sehinggalah 31/5/2003 laporan statistik telah direkodkan dengan pendaftaran sebanyak 1529 kasus. Statistik ini menunjukkan bahwa dalam tempo setahun pertama pelaksanaan prosedur shulh, dari pada 1529 kasus yang didaftarkan di Mahkamah Syariah di seluruh Negeri Selangor, 1029 atau 67.3 persen dari padanya telah berjaya diselesaikan secara shulh, 387 atau 25.3 persen memilih perbicaraan dan hanya 113 atau 7.4 persen kasus ditangguhkan. (lihat jadual 1)

Jadual 1Statistik Kasus-kasus Shulh di Mahkamah-Mahkamah Syariah

Negeri Selangor Untuk Tempo Mei 2002-Mei 2003

Senarai Mahkmah Baki Daftar Selesai Bicara TangguhMTS Shah Alam 0 159 33 68 59MRS Shah Alam 0 129 62 47 20MRS Klang 0 271 240 24 7MRS Kuala Langat 0 73 66 6 1MRS Kuala Selangor 0 91 58 31 2MRS Sabak Bernam 0 73 61 9 3MRS Petaling Jaya 0 204 118 80 6MRS Gombak Barat 0 90 61 23 6MRS Gombak Timur 0 89 49 38 2

Page 48: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

45

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

MRS Hulu Langat 0 178 150 27 1MRS Sepang 0 97 80 11 6MRS Hulu Selangor 0 75 51 24 0Jumlah 0 1529 1029 387 113

Manakala dari tempo Mei 2002 hingga Oktober 2003 dari 2333 kasus yang

didaftarkan, 1573 kasus atau 68% daripadanya berjaya diselesaikan secara shulh,

603 kasus atau 25% memilih perbicaraan dan hanya 157 atau 7% daripadanya

ditangguhkan. Secara jelas statistik ini menunjukkan kejayaan prosedur shulh dalam menguruskan kasus-kasus kekeluargaan (lihat jadual 2).

Jadual 2Statistik Kasus-kasus Shulh di Mahkamah-Mahkamah Syariah Negeri Selangor

Untuk Tempo Mei 2002 – Oktober 2003

Senarai Mahkamah Baki Daftar Selesai Bicara TangguhMTS Shah Alam 0 271 71 122 78MRS Shah Alam 0 220 112 73 35MRS Klang 0 369 327 34 8MRS Kuala Langat 0 130 106 23 1MRS Kuala Selangor 0 144 89 51 4MRS Sabak Bernam 0 103 91 12 0MRS Petaling Jaya 0 305 193 102 10MRS Gombak Barat 0 131 90 36 5MRS Gombak Timur 0 135 82 51 2MRS Hulu Langat 0 277 235 42 0MRS Sepang 0 126 99 25 2MRS Hulu Selangor 0 122 78 32 12Jumlah 0 2333 1573 603 157

Tempo Penyelesaian Kasus

Kaidah Tatacara Mal (Shulh) Selangor 2001 tidak menetapkan masa tertentu bagi pihak-pihak yang mengadakan shulh dan terpulanglah kepada budibicara Pendaftar untuk menentukan waktu yang sesuai bagi pihak-pihak mengadakan shulh.

Walaupun kaidah tidak menetapkan tempo yang tertentu tetapi Pendaftar haruslah memberi perhatian kepada piagam mahkamah yang menjanjikan setiap permohonan akan disebut dalam tempo dua puluh satu hari selepas didaftarkan.

Dalam keadaan ini seseorang Pendaftar bertanggungjawab memastikan piagam tersebut dapat dilaksanakan dengan jayanya. Dari segi praktiknya Majelis Shulh akan diadakan dalam tempo dua minggu dari tarikh pendaftaran kes dilakukan.

Secara umumnya carta di atas menunjukkan bahwa proses penyelesaian

Page 49: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

46

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

sesuatu kasus akan dapat dipercepatkan berbanding proses perbicaraan biasa. Dari segi praktiknya sesuatu kasus hanya memerlukan tempo minimal sehari untuk diselesaikan dalam jarak masa yang kurang dari dua jam dan ia kadang-kadang melibatkan hanya sekali perjumpaan secara bersama (joint session).

Proses tersebut diselesaikan dengan hanya satu kali perjumpaan atau lebih bergantung kepada beberapa faktor: pertama, pegawai shulh yang mengendalikannya, kedua, latar belakang sesuatu kes dan ketiga kerjasama pihak-pihak iaitu kesediaan mereka untuk hadir dan berbincang dengan baik dan kemudian bersedia bertolak ansur dalam tuntutan yang dibuat. Sesetengah pegawai shulh menggunakan paling kurang dua kali perjumpaan untuk menyelesaikan sesuatu kasus, di mana perjumpaan yang pertama merupakan sesi perbincangan dan perundingan dan sesi yang kedua untuk menandatangani perjanjian. Dengan arti kata lain pihak-pihak diberikan ruang untuk berfikir tentang persetujuan yang telah dicapai sebelum menandatangi perjanjian persetujuan tersebut.

Sesetengah pegawai shulh pula bergantung kepada kategori atau jenis kasus yang dikemukakan, samada rumit atau mudah, kasus-kasus yang rumit kemungkinan memakan masa sehingga tiga kali perjumpaan dan sebaliknya jika kes tersebut mudah dan ringkas contohnya pihak-pihak telah membuat persetujuan diluar mahkmah dan datang ke mahkamah hanya untuk membuat endosmen terhadap perjanjian yang telah dipersetujui atau kes itu mendapat kerjasama yang baik dari kedua-dua pihak ia mungkin melibatkan satu kali perjumpaan sahaja.

Tempo masa yang singkat ini biasanya melibatkan kasus-kasus permohonan di mana pihak-pihak kepada permohonan itu hadir bersama-sama ke mahkamah untuk memfailkan tuntutan. Dalam konteks ini jika pihak-pihak selepas mendaftarkan kes mereka, bersedia untuk terus mengadakan shulh, maka pada hari yang sama juga majlis shulh diadakan, dan jika majlis shulh berjaya mencapai penyelesaian, pengerusi akan membawa kehadapan hakim untuk dikeluarkan sebagai perintah penghakiman. Situasi ini juga bergantung kepada ruang masa yang ada semasa pendafaran kasus dilakukan.

Jadual di bawah menunjukkan tempo masa yang diambil bagi penyelesaian sesuatu kasus. Tempo ini diambilkira daripada tarikh pendaftaran kasus dibuat sehingga tarikh persetujuan tersebut dibawa kehadapan hakim untuk diputuskan sebagai penghakiman berasaskan persetujuan bersama.

(Kasus-kasus ini ialah kes yang diputuskan sepanjang Mei 2002 hingga Desember 2003 yang dikumpulkan dari Mahkamah-Mahkamah Rendah Syariah Klang, Kuala Selangor, Sabak Bernam, Gombak Barat , Gombak Timur,

Hulu Langat dan Sepang)Jadual 4 ( Tempo Penyelesaian: 250 kes)

Page 50: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

47

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

Bil Tempo Penyelesaian Jumlah Kes persen1 1 bulan (30 hari) 142 56.82 3 bulan (31-90 hari) 99 39.63 6 bulan (91- 180 hari) 9 3.6

Jumlah 250 100

Limitasi Shulh

Salah satu prinsip yang menjadi asas dalam menentukan ruang lingkup shulh ialah Hadits Rasulullah Saw.:

الصلح جائز بني املسلمني اال صلحا احل حراما او حرم حالال Shulh (perdamaian) itu dibenarkan antara sesama muslim kecuali shulh (perdamaian) yang dibuat bagi menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Oleh yang demikian shulh diharuskan dalam semua perkara tetapi haruslah dalam konteks tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak mengharamkan yang halal. Berdasarkan kenyataan ini para juris telah memperincikan perbincangan mereka dengan menetapkan beberapa syarat dan peraturan bagi memenuhi kriteria shulh yang sah di sisi syarak.

Menurut Imam Ibn Qayyim dan al-Bulayhi, huqûq dibagi menjadi dua: hak-hak Allah (huqûq Allâh) atau hak umum dan hak-hak manusia (huqûq al -‘ibâd/ al-adami) atau hak individu. Shulh (perdamaian) berlaku dalam berbagai bidang hukum, kecuali hukum yang berhubung dengan hak Allah Swt. Dengan demikian shulh hanya dibenarkan dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia. Hak-hak ini samada berbentuk harta seperti harta tunai, utang, dan manfaat (‘ayn, dayn, dan manfa‘ah) atau bukan harta seperti qishâsh dan giliran bermalam.14

Para fukaha bersepakat bahwa shulh yang berlaku dalam perkara-perkara yang menyangkut hak Allah s.w.t adalah tidak sah dan haram. Oleh yang demikian shulh tidak boleh meliputi kasus-kasus yang berhubungan dengan hudûd. Jika shulh dilakukan juga ia dengan sendirinya terbatal karena shulh seperti ini ialah shulh menghalalkan perkara yang haram dan mengharamkan perkara yang halal.15

Adalah batal atau tidak sah shulh jika seseorang pelaku zina atau pencuri melakukan shulh dengan orang yang dizina atau orang yang dicuri hartanya dengan membayar sejumlah uang kepadanya supaya dia tidak mendakwa perbuatan tersebut di mahkamah. Dalam hal ini orang yang dizina atau dicuri hartanya tidak

14 Shâlih ibn Ibrâhîm al-Bulayhi, al-Salsabîl fî Ma‘rifah al-Dalîl Hâsyiyah ‘alâ Zâd al-Mustaqni‘, juz II, (al-Riyâdh: Maktabah al-Ma‘ârif, 1986); Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ‘I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, jilid I, (Beirut, Lubnan: Dâr al-Jayl, t.th).

15 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ‘I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn; Ibn ‘Âbidîn, Muhammad ‘Alâ’ al-Dîn Afandi, Takmîlah Rad al-Mukhtâr ‘alâ al-Dûr al-Mukhtâr, 1979.

Page 51: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

48

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

berhak untuk memaafkan atau menggugurkan kesalahan pelaku zina atau pencuri tersebut karena perbuatan mencuri dan berzina dihukumkan dengan hukuman hudûd yang berhubungan dengan hak Allah/umum.

Individu hanya berhak menggugurkan hak-hak yang menyangkut hak peribadinya secara mutlak atau hak peribadinya lebih mendominasi hak Allah (hak umum). Dalam undang-undang Islam jika ketentuan-ketentuan hukum yang berhubung dengan hak ini dilanggar, maka terserah kepada individu berkenaan untuk menuntut atau memaafkan.16

Keterangan-keterangan di atas menjelaskan bahwa shulh hanya boleh melibatkan perselisihan yang berkaitan dengan hak individu, di mana individu tersebut memiliki kuasa mutlak samada membuat tuntutan (dakwaan) atau memaafkan. Matlamat utama shulh ialah menyelesaikan perselisihan secara damai. Selaras dengan prinsip tersebut maka perselisihan yang boleh diselesaikan melalui shulh ialah perselisihan yang menerima untuk didamaikan. Perselisihan-perselisihan ini ialah perselisihan yang berkaitan dengan hak-hak individu atau hak sesama manusia seperti perselisihan mengenai harta benda. Manakala perselisihan yang berkaitan dengan hak umum atau hak Allah tidak boleh diselesaikan secara shulh.

Secara prinsip, Kaidah Tatacara Mal (Shulh) Selangor tidak menggariskan jenis-jenis kasus yang boleh diselesaikan melalui shulh. Oleh yang demikian rujukan hendaklah dibuat kepada seksyen 253(2) EKPMSS 1991 yang memperuntukkan, “Mengenai apa-apa perkara yang tidak ada, atau tidak diperuntukkan dengan nyata di dalam Enakmen ini, Mahkamah hendaklah mengikut Hukum Syara‘”.

Secara praktis, seperti yang terpapar di risalah (pamphlet) shulh Mahkamah Syariah Negeri Selangor, dijelaskan di antara kasus-kasus yang boleh diputuskan menerusi prosedur shulh ialah kasus-kasus: (1) Tuntutan karena melanggar janji untuk berkawin/pertunangan (sek.15 EUKIS 84). (2) Tuntutan-tuntutan berbangkit dari suatu perceraian seperti: Mut‘ah (sek.56 EUKIS 1984); Nafkah

’iddah (sek.56 EUKIS 1984); Nafkah tertunggak (sek.69 EUKIS 1984); Harta Sepencarian (sek.58 EUKIS 1984); Hutang Maskawin ( sek.57 EUKIS 1984); Hal-hal lain yang difikirkan munasabah; Tuntutan hak jagaan anak (hadanah) dengan melihat kepentingan anak-anak tersebut dalam tempo perkawinan mahupun selepas perceraian (sek. 81 EUKIS1984); Tuntutan nafkah anak (ss. 72, 73, 77 EUKIS 1984); Permohonan pelaksanaan perintah mahkamah; Lain-lain perkara (sek. 87 Enakmen Kanun Prosedur Mal Syariah 1991) dan sek. 3 Kanun Tatacara Mal (Shulh) Syariah Selangor 2001.

Fakta telah membuktikan bahwa pada asalnya masyarakat Melayu memang menggunakan mahkamah sebagai rujukan terakhir bagi menyelesaikan kasus-kasus

16 ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami, jilid II, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1986.

Page 52: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

49

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

kekeluargaan. Mimi Kamariah telah menjelaskan, “In Malaysia where familial ties are still fairly strong, parties whose marriages are facing di$culties should invirably seek help from members within the family circle”. Beliau kemudiannya menambah “ only if that fails, a party wuld consult a lawyer and be advised on the procedures, requirements and implications relevant to divorce proceeding”.17

Namun demikian belum ada kajian berbentuk kuantitatif yang membuktikan kecenderungan itu berada pada persen yang paling tinggi, malah beberapa kajian mutaakhir menjelaskan bahwa atas beberapa alasan, kecenderungan itu sudah semakin berkurangan terutamanya di kalangan penduduk bandar.18 Oleh yang demikian, apabila rujukan kepada proses rundingcara bagi tujuan perdamaian yang dijalankan di Jabatan Agama Islam bukan lagi suatu kemestian maka tanggungjawab tersebut haruslah dipikul oleh Mahkamah Syariah sebagai institusi pertama yang dituju oleh masyarakat bagi menyelesaikan masalah.

Ada benarnya kenyataan bahwa pihak-pihak yang mengemukakan permohonan terutamanya tuntutan di bawah seksyen 47 sememangnya tidak berminat untuk meneruskan lagi kehidupan kesuamiisterian, namun demikian tindakan ini menampakkan suatu bentuk pengabaian terhadap salah satu fungsi shulh yaitu berusaha mendamaikan kembali pasangan yang bertikai (reconciliation). Apalah artinya pelaksanaan shulh yang dapat mempercepatkan penyelesaian kasus-kasus dan mengurangkan lambakan kasus-kasus di mahkamah tetapi dalam waktu yang sama kasus-kasus perceraian semakin meningkat bilangannya.

Begitu pun usaha-usaha kearah mendamaikan kembali pasangan yang bermasalah hendaklah dilakukan pada peringkat awal sebelum sesuatu petisyen itu difailkan di mahkamah. Kajian telah menunjukkan bahwa prosedur perdamaian yang bermula setelah kes tersebut berada dalam situasi yang kronik dan kritikal atau prosedur perdamaian yang bermula apabila sesuatu petisyen di failkan di mahkamah telah menunjukkan persen kejayaan yang terlalu rendah dan kadang-kadang lebih bersifat sia-sia.19

Pada prinsipnya oleh karena penyelesaian perselisihan menerusi shulh dicapai berdasarkan persetujuan dan kerelaan kedua-dua pihak, maka sepatutnya tidak timbul isu mengenai pelaksanaan persetujuan tersebut. Begitupun jika berlaku keengganan oleh mana-mana pihak untuk melaksanakan apa-apa perkara yang dipersetujui melalui shulh, disebabkan persetujuan ini kemudian menjadi sebagian

17 Mimi Kamariah Abd. Majid, Family Law In Malaysia, (Malayan Law Journals, 1999).

18 Aida Othman, “Introducing Alternative Dispute Resolution In Malaysia: Prospects And Challenges”, 2 MLJ, 2002; Lim Lei !eng & Carol Liew, Community Mediation-Cultural Roots and Legal Heritage.

19 Zaleha Kamarudin, A Comparative Study of Divorce Among Muslims and Non Muslims in Malaysia, Tesis Ph.d. University of London, 1993.

Page 53: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

50

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dari perintah mahkamah, maka peruntukan yang berkaitan dalam Enakmen Acara Mal berhubung pelaksanaan dan penguatkuasaan perintah mahkamah bolehlah dirujuk untuk dipakai bagi tujuan pelaksanaan dan penguatkuasaan.

Penutup

Keunggulan shulh sebagai kaidah dalam menyelesaikan perselisihan adalah suatu hakikat yang tidak dapat dinafikan. Berdasarkan data-data yang terkumpul, dan laporan-laporan media massa di Malaysia menunjukkan meskipun pelaksanaannya baru bermula, namun prosedur ini telah memperlihatkan hasil yang membanggakan dalam pengurusan kasus-kasus kekeluargaan di Mahkamah-Mahkamah Syariah di negeri Selangor. Selain dari berjaya menanggani masalah kasus-kasus tertunggak (Harian Metro 4/9/02) pelaksanaan kaidah ini juga dilihat mampu memberikan kepuasan hati kepada pihak-pihak yang bertikai, disamping beberapa faedah lain seperti pengurangan kos tanggungan oleh pihak-pihak bertikai. Adalah menjadi harapan semua, meskipun perubahan yang telah dilakukan kepada sistem yang digunapakai ini dapat mempermudah dan meringkaskan prosedur-prosedur kehakiman serta memberikan impak yang positif kepada pengurusankasus-kasus kekeluargaan, dalam masa yang sama ia perlulah terus memastikan prinsip keadilan dapat ditegakkan. [] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-Karîm‘Asqalani, al-, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, 1987, Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-

Bukhâri, juz XIII, al-Qâhirah: Dâr al-Rayyân li al-Turâts, 1987.Abd. Majid, Mimi Kamariah, Family Law in Malaysia, Malayan Law Journal,

1999.Boulle, Laurence, Mediation-Skills & Techniques, Australia: Butterworth, 2001.Buhûti, al-, Manshûr ibn Yûnus Idrîs, Kassyf al-Qinâ‘, juz III, Dâr al-Fikr, 1982. Bulayhi, al-, Shâlih ibn Ibrâhîm, al-Salsabîl fî Ma‘rifah al-Dalîl Hâsyiyah ‘alâ Zâd

al-Mustaqni‘, juz II, al-Riyâd: Maktabah al-Ma‘ârif, 1986.Buxbaum, David C, Family Law And Customary Law in Asia, A Contemporary Legal

Perspective, Netherlands: !e Hague, h. xxvi-Introduction, 1968.Coulson, N.J., A History of Islamic Law, Edinburgh University Press, 1991.Ibn ‘Âbidîn, Muhammad ‘Alâ’ al-Dîn Afandi, Takmîlah Rad al-Mukhtâr ‘alâ al-Dûr

Page 54: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

51

Raihanah Azahari: Pelaksanaan Shulh dalam Kasus-kasus Perselisihan

al-Mukhtâr, 1979.Iqbal, Afzal, !e Prophet’s Diplomacy, Delhi: Idârah Adabiyyah Delli, 1961.Jandt, Fred Edmunt & Pedersen, Paul. B. (eds), Constructive Conflict Management:

Asia Pacipic Cases, London: Sage Publication, 1996. Jawziyyah, al-, Ibn Qayyim, ‘I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn, jilid I,

Beirut, Lubnan: Dâr al-Jayl, t.th.Kamarudin, Zaleha, “Delays in Disposition of Matrimonial Cases”, IIUM Law

Journal, Volume 7, Number 1, 1999Kamarudin, Zaleha, A Comparative Study of Divorce Among Muslims and Non

Muslims in Malaysia, Tesis Ph.d. University of London, 1993.Madkûr, Muhammad Salâm, al-Qadâ’ fi al-Islâm, al-Qâhirah: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1964.Minnatur, Joseph, “!e Nature Of Malay Customary Law”, dalam MLR, Vol. 6,

No. 2, Desember 1964.Mokhtar, Hj., Hj. Mohd Naim Bin, “Administration of Family Law In !e Syariah

Court” [2001] 3 MLJ, 2001.Muslim bin Hajjaj, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi. Kitâb ’Aqdiyyah, باب بيان

.ان حكم ا حلاكم ال يغري الباطن Othma, Wan Halim, “Community Mediation In Malaysia”, in Fred Edmunt Jandt

& Paul. B. Pedersen (eds), Constructive Conflict Management: Asia Pacipic Cases, London: Sage Publication, 1996.

Othma, Wan Halim, “Konflik Keluarga dan Intervensi”, kertas kerja yang dibentangkan dalam Seminar Kaunseling dan Kemanusiaan pada 15-16 Desember 1990.

Othman, Aida, “Introducing Alternative Dispute Resolution In Malaysia:Prospects And Challenges”, 2 MLJ, 2002. Schacht, Joseph, “Pre Islamic Background And Early Development of Jurisprudence”

dalam Majid Khadduri & Herbert J. Liebesny (ed), Law in !e Middle East, Vol. 1, Washington D.C. !e Middle East Institute, 1955.

Siraj, Mehrun, “Conciliation Procedures In Divorce Proceedings” dalam MLR, Vol.7, No. 2, Desember 1965.

!eng, Lim Lei & Carol Liew, Community Mediation-Cultural Roots and Legal Heritage.

Wall Jr, James A. & Rhonda Robert Callister, “Malaysian Community Mediation” dalam Journal Of Conflict Resolution, Vol. 43, June 1999.

Jenis-Jenis Kes Dan Seksyen: Seksyen 13-Persetujuan wali, Seksyen 23-Poligami, Seksyen 45-Pengesahan cerai, Seksyen 47 Permohonan Cerai, Seksyen 50-Ta‘liq, Seksyen 52-Fasakh, Seksyen 56-Mut‘ah, Seksyen 58-Harta

Page 55: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

52

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Sepencarian, Seksyen 59- Nafkah isteri, Seksyen 65-Nafkah ‘iddah, Seksyen 66-Ubah Perintah Nafkah Isteri, Seksyen 69-Nafkah Tertunggak, Seksyen 73-Nafkah Anak, Seksyen 75-Ubah Perintah Nafkah Anak, Seksyen 81-Hadanah, Seksyen 132- Penguatkuasaan perintah, Seksyen 134/, 135, 7/91-Pelaksanaan Perintah, Seksyen 155 /220 (2) 7/91 Perintah Memenjara/ Menghina Mahkamah.

Page 56: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

53

KOMPARASI TAFSIR TEMATIK DAN TAFSIR AYAT HUKUM

Saifuddin Zuhri

Abstract: !ematic Exegesis and Tafsîr. !ematic commentary and al-ahkâm commentary is an approach to assess the content of the Koran on certain issues. Both appear with its own characteristics as the specifications of each so that despite the recent birth of maudhu’i interpretation does not end the need for al-ahkâm commentary. Even one thing that is very realistic is discussing the verses of law in a thematic frame. !is is interesting because previously, the verses of the law [ahkam] is typically studied through analytical and atomistic approaches.

Kata Kunci: tematik, ahkam, metode, tafsir

Pendahuluan

Tafsir Alquran memasuki babak baru dengan muncul dan populernya penafsiran model tematik. Metode ini dianggap efektif dan efisien karena hanya berfokus pada isu tertentu, baik yang bersumber dari persoalan masyarakat yang dicarikan solusinya dalam Alquran, atau isu yang bersumber dari Alquran yang dielaborasi ke ranah kehidupan masyarakat. Tema yang diusung dalam tafsir tematik bisa apa saja, termasuk isu-isu hukum Islam dan isu-isu sosial kemasyarakatan, baik yang dibahas secara panjang lebar, ataupun yang dibahas secara ringkas dan sederhana.

Sebuah diskusi muncul kemudian tatkala tafsir tematik memasukkan unsur atau isu hukum Islam ke dalam pembahasannya. Sementara di pihak lain, telah berkembang pula model penafsiran yang “hanya” berfokus kepada isu-isu hukum dari ayat-ayat Alquran, yang populer dikenal dengan istilah Tafsir Ahkâm. Di sini terjadi persinggungan antara Tafsir Tematik dengan Tafsir Ahkam. Di satu sisi keduanya berbeda karena proses lahirnya. Tafsir Ahkam lahir dari model tahlîlî, yakni penafsiran ayat per-ayat, sedangkan Tafsir Tematik lahir dari gabungan ayat-ayat yang terkait dengan topik tertentu. Persamaannya terjadi ketika membahas isu hukum tertentu, misalnya isu riba. Di sini, keduanya menjadi sama dan sulit untuk dibedakan.

Page 57: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

54

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Sepintas tentang Tafsir Tematik

Tafsir tematik dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai al-tafsîr al-mawdhû`î. Istilah ini terdiri dari dua kata; al-tafsîr dan al-mawdhû`î. Kata al-tafsîr sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari dan memahami dengan sebaik-baiknya makna-makna Alquran beserta keterangan-ketarangan dan penjelasan-penjelasannya. Kata al-mawdhû`î berasal dari kata al-mawdhû` yang dibubuhi “yâ al-nisbah”. Pembubuhan yâ al-nisbah di sini bertujuan merubah bentuk kata benda menjadi kata sifat.1 Al-mawdhu` berasal dari kata al-wadh`. Al-wadh` dalam bahasa Arab berarti : الشئ ىف مكان menjadikan sesuatu) جعل berada di suatu tempat).

Dalam bahasa Indonesia kata ini bisa diterjemahkan kepada beberapa arti, antara lain: a) al-wadh’ berarti sesuatu yang disengaja. Pengertian ini digunakan dalam definisi i’rab dalam ilmu nahwu: 2 الكالم هو اللفظ املركب املفيد بالوضع (kalam adalah lafaz yang tersusun, mempunyai makna, dan disengaja (membuatnya); b) al-wadh’ berarti sesuatu yang dibuat-buat atau dipalsukan. Pengertian ini diambil dari istilah hadis mawdhû’ (al-hadîts al-mawdhû’); c) al-wadh’ berarti sesuatu yang rendah, hina, yang tidak memiliki kehormatan dan kemuliaan, sehingga seakan-akan tercampakkan atau tergeletak di atas tanah.3

Dari pemahaman kebahasaan ini terlihat ada kaitan makna dari kata al-wadh`, yakni menempati/bertempat pada suatu tempat dan tidak ke mana-mana (meninggalkan tempat tersebut). Makna ini tercakup dalam al-tafsîr al-mawdhû’î, yakni seorang mufassir (mawdhû`î) terikat pada suatu pengertian tertentu, dengan tema-tema yang dibatasi hanya dari Alquran, tidak bergeser dari pengertian dan makna tersebut hingga selesai proses penafsirannya.

Dalam bahasa Indonesia, al-tafsîr al-mawdhû`î diterjemahkan sebagai tafsir tematik. Tematik dalam bahasa Indonesia tersusun dari penambahan akhiran/imbuhan tik setelah kata tema, yang berarti mensifati atau bersifat. Dengan demikian, tafsir tematik adalah penjelasan tentang Alquran dengan pembahasan berdasarkan tema-tema tertentu.

Tafsir tematik merupakan istilah yang muncul di masa-masa terakhir ini. Istilah ini digunakan oleh para mufassir dan peneliti termasuk pelajar dan mahasiswa masa kini. Makna yang mereka maksud dengan istilah ini adalah kajian-kajian dan pembahasan-pembahasan yang mencakup tema tertentu dari tema-tema yang

1 Fu’âd Ni’mah, Mulkhash Qawâ`id al-lughah al-`Arabiyyah, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, h. 161.

2 Syamsuddin Muhammad Arâ’yni, Mutammimah al-Jurumiyyah, edisi Indonesia, diterjemahkan oleh Moch. Anwar dan Anwar Abu Bakr, (Bandung: Sinar Baru Algensindo}, cet. Ke-5, 2005, h. 4.

3 Lihat antara lain dalam Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren “Al-Munawwir” Krapyak, 1984), h. 1670-1671.

Page 58: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

55

Saifuddin Zuhri: Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Hukum

terkandung dalam Alquran.4 Para penulis di bidang ilmu ini memberikan beberapa definisi yang berbeda

atas istilah tafsir tematik ini. Definisi yang diberikan antara lain, yaitu: a) Ilmu yang mencakup ketentuan-ketentuan yang dikehendaki Alquran yang terdapat dalam satu surat atau lebih; b) Mengumpulkan ayat-ayat yang berbeda-beda dari surat-surat Alquran yang berkaitan dengan satu obyek/tema baik dari lafa maupun kandungannya, dan menafsirkannya sesuai kehendak Alquran.

Secara sederhana, proses penafsiran tematik adalah; pertama, mufassir mengumpulkan sejumlah ayat yang membahas suatu topik dari surat yang berbeda. Penafsir lalu menafsirkan ayat-ayat ini secara tematik, tidak secara tahlîlî sesuai dengan kehendak Alquran untuk memperoleh kesimpulan mengenai hakikat tujuan Alquran terhadap tema tersebut dengan bersumber dari ayat-ayat Alquran.5

Sejarah Munculnya Tafsir Tematik

Seperti disebutkan sebelumnya, tafsir tematik adalah metode penafsiran yang baru muncul di era modern. Dengan demikian, tidak didapati dari warisan masa lalu suatu penafsiran tematik yang sama dengan metode yang digunakan sekarang ini. Namun demikian, tidak dinafikan bahwa akar pertumbuhan metode penafsiran ini sudah didapati pada masa-masa awal periode penafsiran. Poin-poin berikut ini dapat dijadikan gambaran pertumbuhan tafsir tematik.

Pertama, Penafsiran Rasulullah Saw. terhadap beberapa ayat. Misalnya dalam kasus menjawab pertanyaan sahabat yang risau atas turunnya ayat Q.s. al-An’âm [6]: 82:

هم بظلم أولئك هلم األمن وهم مهتدون لبسوا إميانـ الذين ءامنوا ومل يـOrang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Nabi lalu menjelaskan kepada sahabat dengan menafsirkan ayat tersebut dengan ayat lain dalam Q.s. Luqmân [31]: 13:

رك لظلم عظيم ين ال تشرك بالله إن الش وإذ قال لقمان البنه وهو يعظه يابـDan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: «Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar».

Dalam hal ini Nabi menafsirkan dua ayat mengenai satu obyek, yaitu al-

4 Shalah Abd al-Fattah al-Khalidiy, al-Tafsir al-Mawdhu`I Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, (Aman: Dar al-Nafa’is, 2001) h.29-30.

5 Ibid

Page 59: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

56

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

zhulm.Kedua, Ibn Abbas R.a. mengkompromikan antara ayat-ayat yang pada

zahirnya bertentangan. Diriwayatkan oleh al-Bukhârî dari Sa`îd Ibn Jabîr, bahwa seseorang berkata kepada Ibn Abbâs, “Saya mendapati di dalam Alquran beberapa ayat yang bertentangan, yaitu: Q.s. Al-Mu’minûn [23]: 101:

تساءلون ومئذ وال يـ هم يـ نـ يـ ال أنساب بـ ور فـ فإذا نفخ يف الصApabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya

bertentangan dengan Q.s. Al-Shâ#ât [37]: 50:

تساءلون عض يـ عضهم على بـ بل بـ فأقـLalu sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain sambil bercakap-cakap.

Ibn Abbas menjawab bahwa tidak adanya pertalian nasab dan saling bertanya pada ayat 101 al-Mu’minûn terjadi pada tiupan sangkakala pertama. Sedangkan terjadinya percakapan dan saling bertanya pada ayat 50 al-Shâ#ât terjadi setelah peniupan sangkakala yang kedua.6

Pada masa awal perkembangan tafsir Alquran, aspek Alquran yang paling banyak diekspos adalah aspek sastranya. Ini wajar saja mengingat bahwa sastra Alquran jauh mengungguli, bahkan tidak bisa dipersandingkan dengan sastra biasa. Karena itu, karya-karya yang muncul kebanyakan menggunakan analisis redaksi untuk untuk memahamkan umat Islam akan kemukjizatan Alquran secara sastra tersebut. Namun keadaan ini tidak dapat bertahan lama seiring dengan semakin menurunnya kemampuan dan penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa Arab oleh mayarakat, baik bangsa Arab sendiri maupun non-Arab (ajamî). Muhammad al-Bâhî, dalam pengantarnya pada Tafsîr al-Qurân al-Karîm karya Mahmud Syaltut, melihat adanya kesan «memaksakan sesuatu terhadap Alquran. Kesan ini diperoleh dari usaha keras para penafsir untuk menjelaskan Alquran secara mendalam tetapi justru membuatnya semakin sulit difahami. Kesan ini juga dapat ditemukan ketika membaca Tafsir al-Jauhar, karya Tanthawi Jauhari. Pembahasan ilmu alam yang rumit menjadikan tafsir ini lebih terkesan sebagai kitab sains.

Metode yang selama ini digunakan sejak masa kodifikasi tafsir sekitar tahun 207 H., sampai tahun 1960 M. adalah metode Tahlîlî yang menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Metode ini menjadikan petunjuk-petunjuk Alquran terpisah-pisah dan tidak disajikan secara utuh kepada pembacanya. Namun, meski disadari oleh sebagian mufassir seperti Fakruddin al-Râzî (w. 606 H./1210 M.) dan Ibrahim bin 'Umar al-Biqa'î (809–885H), tetapi

6 Shalah Abd al-Fattah, h. 33-34

Page 60: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

57

Saifuddin Zuhri: Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Hukum

keduanya belum dapat meninggalkan (tradisi) penafsiran secara Tahlîlî yang umum berlaku. 7

Al-Syâtibî (w. 1388 M.) dianggap tokoh yang memulai ide awal perumusan metode tematik dalam tafsir. Ia menjelaskan bahwa satu surat, walaupun membahas banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut dapat dikaitkan antara satu dengan yang lain. Karena itu, seseorang yang mempelajari awal surat harus juga melihat akhir surat tersebut, demikian juga sebaliknya.8 Langkah al-Syâtibi kemudian ditindaklanjuti oleh Mahmud Syaltût, Syaikh al-Azhar, dalam karyanya Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm pada tahun 1960. Langkah ini bisa dikatakan sebagai wujud dari ide al-Syatibi tentang tafsir tematik, yang tidak sempat direalisasikannya. Dalam tafsirnya, Syaltût membahas Alquran bukan ayat demi ayat, melainkan surat demi surat atau bagian-bagian yang ada dalam suatu surat dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik dari surat tersebut.

Sementara itu, perkembangan peradaban masyarakat yang semakin maju memunculkan berbagai persoalan yang perlu mendapat respon dan solusi dari Alquran. Persoalan dan solusi yang ada pada penafsiran-penafsiran terdahulu tentu saja banyak yang tidak relevan dengan persoalan yang muncul kemudian. Bahkan beberapa tafsiran yang dulunya dianggap benar sebagai makna dari suatu ayat, ternyata pada masa berikutnya terbukti bahwa itu keliru. Ambil contoh penafsiran tentang tujuh langit yang ditafsirkan sebagai tujuh planet, dan penafsiran tentang bumi yang datar. Penafsiran ini akhirnya “out of date” dengan sendirinya setelah terbukti secara ilmiah bahwa itu bukanlah penafsiran yang tepat bagi ayat yang ditafsirkan itu.

Dengan demikian, dibutuhkan suatu metode baru yang dapat menafsirkan ayat-ayat Alquran secara komprehensif dan menyeluruh, tidak terpisah-pisah, dan membuat suatu pengertian yang utuh tentang suatu persoalan. Di sinilah para ahli mencoba melihat dan menganalisa problem-problem dan pertanyaan-pertanyaan baru yang timbul di masyarakat dan berusaha untuk mencari solusi dan jawaban dari petunjuk-petunjuk Alquran sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran dan penemuan yang telah dicapai oleh kemajuan peradaban manusia. Dari usaha ini, muncullah beberapa karya ilmiyah yang membahas topik tertentu dari sudut pandang Alquran, seperti, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân karya Abbâs Mahmûd al-Aqqâd dan al-Ribâ fî al-Qur’ân karya al-Mawdûdî. Lahirnya karya-karya ilmiyah seperti ini menjadi inspirasi bagi munculnya karya-karya baru di bidang tafsir.

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tahap-tahap perkembangan tafsir Tahlîlî juga telah memberi andil yang besar bagi lahirnya metode maudhû`î.

7 Lihat QUraish Shihab, Membumikan al-QUr’an, h. 112.8 Al-Syatibi, Al-Muwâfaqât Jilid III, h. 144.

Page 61: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

58

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Tafsir bercorak fikih (tafsir fiqhî) dapat dikatakan sebagai bibit dan cikal bakal tafsir tematik. Demikian juga dengan tafsir falsafi karangan Fakhr al-Râzî. Demikian juga dengan karya-karya tafsir lainnya seperti al-Bayân fî Aqsâm al-Qur’ân karya Ibn al-Qayyim, Majâz al-Qur’ân karangan Abû 'Ubaydah, dan Asbâb al-Nuzûl karya al-Wahidî, dapat dikategorikan sebagai tafsir bercorak tematik, karena metode yang digunakan sangat dekat dan mirip dengan metode dan corak maudhû`î yang muncul kemudian.9

Dengan latar belakang ini, maka muncullah metode mawdhû`î atau metode tematik yaitu metode yang menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tertentu untuk kemudian mengkaitkan satu dengan yang lain, sehingga pada akhirnya diambil suatu kesimpulan yang menyeluruh tentang persoalan atau tema tersebut.

Langkah-langkah Penafsiran Tematik

Abdul al-Hayy al-Famâwî mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode maudhû`î. Langkah-langkah tersebut adalah:10 a) Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas; b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang sebab turunnya ayat tersebut; d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing; e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline); f ) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan; g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yag sama, atau mengkompromikan antara yang ‘âm (umum) dan yang khâsh (khusus), mutlaq (bebas) dan muqayyad (terikat), atau yang pada zahirnya bertentangan, sehingga semua bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan dan pemaksaan.

Quraish Shihab memberikan beberapa catatan menyangkut langkah-langkah penafsiran tematik sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Farmâwî. Catatan tersebut antara lain: Pertama, menyangkut penetapan masalah (topik) yang akan dibahas, hendaknya memperhatikan persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka. Sebab, secara metodologis, tafsir tematik ini dapat saja menampung semua persoalan yang diajukan kepadanya, termasuk persoalan-persoalan yang lebih bersifat teoritis ketimbang praktis, sebagaimana masalah-masalah yang dicakup dalam metode tahlîlî. Ini berarti, dalam menetapkan topik

9 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h. 224

10 Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fi Tafsîr al-Mawdhu’iy, (Kairo: al-Hadharah al-Arabiyyah, 1977), cet. II, h. 62. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 114-115.

Page 62: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

59

Saifuddin Zuhri: Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Hukum

yang dibahas, penafsir terlebih dahulu harus melihat urgensi pembahasannya bagi kepentingan masyarakat, meskipun ini bisa saja bersifat subyektif. Paling tidak, diupayakan agar hasil jerih payah penafsir dalam meneliti makna yang mendalam dari Alquran lebih menyentuh akar persoalan yang berkembang di masyarakat.

Kedua, menyangkut runtutan ayat sesuai masa turunnya, dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan petunjuk Alquran mengenai persoalan yang dibahas, terutama bagi mereka yang berpendapat tentang adanya nâskh dan mansûkh. Sedangkan dalam penguraian kisah-kisah Alquran, maka runtutan yang dibutuhkan hanyalah runtutan kronologis. Ketiga, satu hal yang tidak disebutkan oleh al-Farmawi menyangkut uraian tentang makna kosa kata. Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang makna dan pengertian kosa kata, namun untuk kesempurnaan pembahasan, seharusnya penafsir berusaha memahami arti kosa kata ayat dengan merujuk kepada penggunaan oleh Alquran sendiri (tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân). Pengamatan terhadap makna kosa kata ini hendaknya diarahkan kepada bentuk dan timbangan kata, subyek dan obyeknya, kedudukan i’rab, serta konteks pembicaraannya. Kata yang berbentuk ism misalnya memberi kesan kemantapan, fi’il mengandung arti pergerakan dan kesinambungan, bentuk rafa’ sebagai subyek dan usaha, nashab sebagai obyek dan ketiadaan upaya, dan lain-lain.

Keempat, menyangkut sabab al-nuzûl, yang bukan merupakan langkah dalam penafsiran mawdhû`î, hendaknya tetap diperhatikan karena ia mempunyai peranan yang besar dalam memahami makna ayat. Sabab al-nuzûl, sebagaimana juga munâsabah (hubungan antar) ayat, memang tidak harus disebut dalam uraian. Tetapi jika diperlukan dan dapat mengurangi kedalaman analisis jika tidak dicantumkan, maka sewajarnya jika ia disebutkan dalam uraian.

Kelima, menyangkut pembuatan kerangka yang sempurna untuk menghindari bias dari konsep awal. Dengan adanya kerangka (outline) yang telah dibuat sebelumnya, maka pembahasan akan terus berlanjut didasarkan pada data obyektif yang terkumpul, dan mengindari asumsi dan persepsi subyektif dari penafsir.

Beberapa Kaidah dalam Tafsir Tematik

Setiap mufassir yang melakukan penafsiran Alquran secara maudhû`î harus memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut:

Pertama, memperhatikan makna kosa kata. Setiap kosa kata memiliki maknanya sendiri dan perubahan bentuk kata menyebabkan perubahan makna sekecil apapun itu. Kedua, mengutamakan penafsiran ayat dengan ayat dengan tetap memperhatikan makna kosa kata. Ketiga, sabab al-nuzûl tidak boleh dikesampingkan. Apalagi jika ayat yang dibahas berkaitan dengan hukum. Keempat, tidak memilih-milih ayat tertentu atau sebaliknya menolak ayat lainnya berdasarkan

Page 63: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

60

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

keinginan subyektif atau untuk kepentingan justifikasi teori atau konsep sendiri. Kelima, untuk menghindari keterlibatan pemikiran (ra’y) yang terlalu jauh dalam penafsiran, maka Alquran harus dijadikan rujukan, dan hasil penafsiran juga harus diuji dengan konsep ilmu yang sudah mapan.

Keistimewaan Metode Tematik

Sebagai metode teranyar dalam kancah tafsir Alquran, metode tematik memiliki keistimewaan dan kelebihan dari metode-metode pendahulunya. Keistimewaan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: a) Metode maudhû`î merupakan jalan terpendek dan termudah untuk menggali, memahami dan mencapai hidayah Alquran; b) Tafsir tematik menambal dan menghindari problem atau kelemahan dari metode sebelumnya; c) Dalam tafsir tematik, pemahaman atas satu topik didasarkan pada ayat-ayat Alquran yang komprehensif dan mengikutsertakan penjelasan ayat-ayat lain yang bertemakan sama, hadis-hadis Nabi, serta penemuan ilmiah terbaru. Ini kurang dimiliki oleh metode lain; d) Kesimpulan yang diperoleh mudah dipahami karena pembaca tidak dibebani dengan berbagai teori-teori dari berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, pembaca digiring dengan mudah kepada petunjuk Alquran, seakan Alquran ada bersamanya, karena Alquran menjawab dengan tuntas persoalan yang dihadapinya; e)Metode ini dapat menolak anggapan adanya ayat-ayat Alquran yang saling bertentangan, sekaligus menjadi bukti bahwa ayat-ayat Alquran senantiasa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarkat.

Seputar Tafsir Ayat Hukum

Tafsîr âyât al-ahkâm dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai “tafsir ayat ahkam” biasa juga disebut singkat dengan tafsîr al-ahkâm. Istilah ini terdiri dari tiga kata; tafsîr, âyât dan ahkâm. Kata tafsîr sudah dijelaskan pengertian ketika menjelaskan tafsir secara umum, yakni penjelasan atau ilmu yang menjelaskan tentang makna ayat-ayat Alquran. Kata âyâh secara bahasa (آيات) adalah bentu jamak (plural) dari âyat atau âyah (آية) yang secara harfiah berarti tanda. Terkadang juga kata âyat digunakan dalam arti pengajaran, urusan yang mengherankan (mukjizat) dan sekumpulan manusia. Jika digandengkan dengan kitabullah, maka ia berarti suatu perkataan dari kitab itu yang terpisah dengan pemisahan lafazh. 11

Kata âyah dalam tulisan ini adalah ayat dalam pengertian ayat-ayat Alquran, yaitu bagian-bagian tertentu dari Alquran yang tersusun atas satu atau beberapa kata (kalimah) meski sebagiannya hanya merupakan taqdîr (perkiraan), yang

11 Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-`Ulum, (Beirut: Mathba’ah al-Katulikiyah, 1965), h. 22 [آآمم  –  إإيیل]

Page 64: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

61

Saifuddin Zuhri: Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Hukum

memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.12

Kata ahkâm merupakan bentuk jamak dari kata hukm. Makna hukm secara harfiah :

إثبات الشيئ على الشيئ (Menetapkan sesuatu di atas sesuatu:)

Dalam terminologi ulama ushûl al-fiqh sebagaimana diformulasikan oleh Ibn al-Hâjib, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abû Zahrah makna hukm yang digandengkan dengan kata syar’î, adalah: 13

احلكم الشرعي هو خطاب الشارع املتعلق بأفعال املكلفني باإلقتضاء أو التخيري أو الوضع

“Hukum syari’i ialah khitab (titah) Allah yang berhubungan perbuatan atau tindakan orang-orang mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.”

Muhammad Amin Suma mendefinisikan âyâh al-ahkâm atau ayat hukum sebagai ayat-ayat Alquran yang berisikan perintah Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu) atau takhyîr (kebebasan memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan). Sedangkan Hasanuddin AF, mendefinisikan ayat hukum sebagai ayat Alquran yang mengatur dan berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia secara lahir.14 Dari kedua definisi ini dapat dipahami bahwa âyâh al-ahkâm atau ayat hukum adalah ayat-ayat Alquran yang mengandung aturan yang memerintahkan atau melarang atau memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan zahir seorang mukallaf.

Dengan demikian, pengertian âyâh al-ahkâm yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai ayat-ayat hukum adalah bagian-bagian tertentu dari Alquran yang lebih kecil dari surat, yang mengandung makna tuntutan atau ketetapan dari Allah Swt. kepada manusia muslim yang mukallaf. Jika digandengkan dengan kata tafsir, maka pengertian tafsîr al-ahkâm adalah penjelasan atau keterangan mengenai ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hukum.

Beberapa istilah relatif semakna dengan ayat-ayat hukum dalam Alquran yang populer di kalangan masyarakat. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah âyât al-fiqhiyyah (ayat-ayat tentang fikih), âyât al-qânûniyyah (ayat-ayat tentang peraturan),

12 Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 27.

13 Lihat Muhammad Abû Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabiy, t.th.,) h. 21.

14 Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Intinbath Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 195.

Page 65: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

62

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

fiqh al-kitâb (fikih Alquran), dan ahkâm al-Qur’ân (hukum-hukum Alquran).

Latar Belakang Munculnya Tafsir Ayat Hukum

Telah disebutkan dalam pengertian di atas bahwa tafsîr al-ahkâm berarti tafsir atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hukum. Pengertian hukum sendiri mencakup segi akidah, muamalah, dan akhlak. Dilihat dari segi ini, maka dapat dikatakan bahwa tafsîr al-ahkâm muncul dan lahir bersamaan dengan munculnya tafsir itu sendiri. Ini karena seorang mufassir (tahlîlî) saat menafsiran Alquran, tidak membeda-bedakan ayat yang akan ditafsirkan. Sehingga, ketika mencapai ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, meraka pun menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagaimana mereka menafsirkan ayat-ayat lainnya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa cikal bakal tafsîr al-ahkâm itu sendiri sudah lahir langsung dari sumber utama tafsir, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Nabi Muhammad Saw. dalam membina masyarakat Islam banyak sekali mendapat pertanyaan dari para sahabat atau dihadapkan kepadanya persoalan-persoalan hukum. Jawaban-jawaban dan solusi dari Nabi lalu diriwayatkan dari generasi ke generasi melalui media lisan atau hafalan. Setelah Nabi wafat, giliran para sahabat yang melakukan ijtihad atas persoalan-persoalan dan perkara hukum yang baru muncul, yang belum terjadi pada masa Nabi dan tidak ada hadis yang membicarakan hal tersebut, dengan berdasar kepada pokok-pokok ajaran dan prinsip dari Alquran dan Hadis. Pada masa berikutnya, giliran para Tâbi`în yang melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya dari Alquran, hadis, dan atau pendapat sahabat. Pembukuan tafsîr al-ahkâm ini terjadi pada abad ke-2 H. Namun, sejalan dengan perkembangan fikih sendiri, tafsir ini berkembang dengan lahirnya mazhab-mazhab fikih.15

Dalam perkembangan selanjutnya, para ulama pengikut mazhab tertentu menafsirkan ayat-ayat hukum sesuai dengan metode isntinbâth (penetapan) hukum yang berlaku pada mazhabnya. Karenanya, para penafsir seperti ini terkesan memaksakan penafsiran Alquran mengikuti paham mazhab yang dianutnya. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan antara lain untuk memperkuat dan membenarkan pandangan hukum mazhabnya dan menyesuaikan Alquran dengan pendapat mazhab mereka sendiri. Sementara mazhab-mazhab lain, selain mazhabnya tidak jarang mendapat kritikan pedas dalam adu argumentasi yang dipaparkannya sendiri.

Dari segi penamaan, beberapa kalangan mufassir seperti al-Qurthubî dan Ibn `Arabî secara gamblang memberi nama pada kitab tafsir karyanya sebagai Ahkâm

15 Tim Penulis; Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus), h. 179.

Page 66: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

63

Saifuddin Zuhri: Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Hukum

al-Qur’ân. Ini mungkin dimaksudkan untuk memberi nilai tambah dan penekanan bahwa unsur hukum menempati porsi yang cukup luas pada karyanya itu. Meski jika diperhatikan isi dari karya tafsir tersebut tidaklah selalu masalah-masalah hukum. Sebab, dengan penggunaan metode tahlîlî pada kedua kitab tafsir di atas, yakni menafsirkan secara berurutan ayat per ayat sesuai urutan mushaf, terdapat banyak ayat yang bukan merupakan ayat-ayat hukum.

Hal ini berbeda dengan beberapa kalangan lainnya semisal Imâm Syâfi’î dan Imâm al-Jashshâs, dengan judul karya tafsir yang juga diberi nama Ahkâm al-Qur’ân. Kedua “imam” ini secara konsisten hanya mencantumkan ayat-ayat hukum saja untuk ditafsirkan. Demikian juga dengan para mufasir belakangan seperti `Alî al-Sâyis dan Muhammad `Alî al-Shâbûnî.

Karya-karya di Bidang Tafsir Ahkam

Beberapa karya di bidang tafsir ayat-ayat hukum dari berbagai mazhab antara lain:16 a) Ulama-ulama mazhab Irak antara lain 'Ali Ibn Mûsa bin Yazdâd al-Qûmî (Ahkâm Al-Qur'ân), Abu Ja’far al-!ahâwî (Ahkâm Al-Qur'ân), Abû Bakr Ahmad bin Ali al-Râzi yang terkenal dengan nama al-Jashshâsh (Ahkâm Al-Qur'ân), Jamâl bin al-Sirâj Mahmûd Ibn Ahmad al-Qawnawî (Talkhîsh Ahkâm Al-Qur'ân); b) Ulama-ulama mazhab Madinah antara lain Ismâ’îl al-Qâdhî (Ahkâm Al-Qur'ân), Bakr bin al Alâ’î al-Qusyairî (Mukhtashar Ahkâm Al-Qur'ân li Ismâ’il al-Qâdhî), Ibn Bâkir (Ahkâm Al-Qur'ân), Abû Bakr Ibn Arabî (Ahkâm Al-Qur'ân), dan Ibn Furs (Ahkâm Al-Qur'ân); c) Ulama Mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i (Ahkâm Al-Qur'ân), Abu Bakr al-Bayhaqî (Ahkâm Alquran min al-Nushûsh al-Syâfi’i), al-Kiyâ al-Harrâsî (Ahkâm Al-Qur'ân).

Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Ahkam

Membandingkan antara tafsir ahkam dengan tafsir tematik setidaknya dapat dilihat dalam lima aspek, yakni: topik bahasan, sistematika, keluasan, referensi dan fungsi.

Pertama, topik bahasan, Tafsir tematik lebih membebaskan diri dari batasan-batasan topik tertentu. Tafsir ini misalnya dapat membahas topik sejarah, seperti dengan membahas perempuan-perempuan yang disebut dalam Alquran. Bisa juga membahas topik historis dan atau personal tertentu seperti kisah-kisah nabi, kisah-kisah umat tertentu seperti Bani Israil, atau persitiwa hari kiamat, dan sebagainya. Sejauh topik tersebut memiliki korelasi yang jelas antara aspek kemasyarakatan dengan kandungan Alquran. Hal ini berbeda dengan tafsir ahkam

16 Muhammad Zahid al-Kautsariy (pengantar) dalam al-Baihaqiy al-Naisaburiy, Ahkâm al-Qur’ân li al-Syafi’î, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 23.

Page 67: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

64

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

yang mengkhususkan diri pada topik-topik dan bahasan yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah atau fikih. Maka topik-topik yang banyak dibahas dalam tafsir ahkam adalah aspek hukum-hukum Islam, baik yang berkaitan dengan hukum pidana (jinayah), hubungan antar manusia (mu’âmalah), ibadah, dan seterusnya, yang banyak dibahas dalam fikih. Topik-topik seperti riba, jihad, asuransi, peradilan, wakaf, aurat, dan seterusnya termasuk dalam topik-topik bahasan dalam tafsir ahkam.

Kedua, sistematika pembahasan. Sistematika bahasan dan tertib penulisan dalam kedua tafsir tematik dan tafsir ahkam relatif sama. Sistematika yang digunakan lebih banyak menyerupai model penulisan ilmiah, seperti adanya pendahuluan, tema dan subtema, penutup dan kesimpulan. Hanya saja dalam tafsir ahkam terdapat subtema tertentu yang ditulis secara khusus, dan berbeda dengan tafsir tematik. Subtema yang dimaksud adalah makna kosakata (mufradât), sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl), keserasian urutan ayat (munâsabah), dan istinbâth (kesimpulan) hukum. Hal ini jarang dijumpai dan tidak menjadi kemestian dalam tafsir tematik.

Ketiga, keluasan dan keluwesan bahasan. Jika dilihat dari aspek ini, maka tafsir tematik lebih berpeluang meluas dan meluwes dibanding tafsir ahkam. Hal ini terutama terkait dari kebebasan topik dari tafsir tematik itu sendiri. Misalnya ketika membahas tentang topik “perempuan dalam Alquran”. Pembahasan tafsir tematik dari topik ini bisa melingkupi aspek biologis, psikologis, sosiologis, dan historis dari perempuan. Tentu saja ini bisa meluas ke berbagai hal yang terkait dengan aspek tersebut. Sementara dalam tafsir ahkam, berhubung tema yang diusung lebih kepada aspek hukum, maka pembahasannya terikat kepada hal-hal yang melingkupi aspek hukum tersebut. Bisa jadi ada bahasan di luar aspek hukum, namun lebih sebagai pelengkap dan tambahan keterangan saja.

Keempat, sumber data dan referensi. Tafsir tematik membuka diri kepada seluruh sumber (resources) data yang dapat diakses. Maka data-data dan penemuan terbaru sangat dipentingkan. Riwayat-riwayat hadis menjadi pelengkap dalam tafsir ini. Sedangkan dalam tafsir ahkam, data-data dan referensi yang sangat dibutuhkan adalah riwayat-riwayat Hadis, pendapat sahabat dan tabi’in, termasuk pendapat imam-imam mazhab. Dalam tafsir ini, penemuan dan pemikiran terbaru –meski penting juga- tetapi lebih banyak menjadi pelengkap dan pembanding dari pendapat-pendapat tradisional.

Kelima, fungsi dan manfaat. Kedua tafsir ini memiliki peran dan manfaatnya masing-masing bagi umat dan khazanah pemikiran Islam. Meskipun dari sisi kebutuhan masyarakat di era kekinian tampak cenderung membutuhkan penafsiran tematis ayat-ayat Alquran, namun, telaah dan kajian terhadap hukum-hukum dari Alquran tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Sebab, kebutuhan masyarakat terhadap interpretasi baru dari berbagai aspek terhadap ayat-ayat Alquran, tidak

Page 68: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

65

Saifuddin Zuhri: Komparasi Tafsir Tematik dan Tafsir Ayat Hukum

serta merta menafikan kebutuhan terhadap ketegasan hukum-hukum dari Alquran itu sendiri.

Penutup

Tafsir tematik dan tafsir ahkam dapat dipersamakan dari sisi kajiannya yang menjurus dan fokus terhadap hal-hal dan isu-isu tertentu. Keduanya tampil sebagai media kajian dan sumber informasi dan transformasi ilmu dan hidayah Alquran. Namun keduanya menampilkan ciri tersendiri sebagai jati dirinya. Tafsir tematik menawarkan berbagai informasi yang komprehensif terhadap berbagai isu Alquran yang dikaitkan dengan kehidupan masyarakat kekinian, atau membahas isu-isu kekinian secara proporsional dalam perspektif kandungan Alquran. Di pihak lain, tafsir ahkam menyajikan data-data konkret dan kontekstual dari ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan aturan-aturan dan hukum-hukum yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalani tata hidup bermasyarakat dan beragama.[] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-KarîmAbu Zahrah, Muhammad , Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabiy, t.th. Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,

1999. Arâ’ini, Syam al-Dîn Muhammad, Mutammimah al-Jurumiyyah, edisi Indonesia,

diterjemahkan oleh Moch. Anwar dan Anwar Abu Bakr, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-5, 2005.

Buchori, Didin Saefuddin, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.

Farmawi, ’Abd al-Hayy, Al-Bidâyah fî Tafsir al-Mawdhu’i, Kairo: al-Hadharah al-Arabiyyah, 1977, cet. II

Hasanuddin AF., Anatomi Alquran: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Intinbath Hukum dalam Alquran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Kautsarî, Muhammad Zahîd, (pengantar) dalam al-Baihaqiy al-Naisaburiy, Ahkâm Al-Qur’ân li al-Syafi’î, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Khâlidî, Shalâh 'Abd al-Fattâh, al-Tafsîr al-Mawdhu`i Bayna al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, Aman: Dâr al-Nafâ’is, 2001

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-`Ulûm, Beirut: Mathba’ah

Page 69: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

66

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

al-Katulikiyah, 1965. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren

“Al-Munawwir” Krapyak, 1984Ni’mah, Fu’âd, Mulakkhash Qawâ`id al-Lughah al-`Arabiyyah, Beirut: Dâr al-

Tsaqâfah al-IslâmiyyahShihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, Cet. II, Suma, Muhammad Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2001.Syâthibî, al-Muwâfaqât, Beirut: Mathba’ah al-Katulikiyah, 1967.

Page 70: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

67

FILSAFAT HUKUM DALAM ALQURAN

Amir Hamzah

Abstract: Philosophy of Law in Al-Qur’an. !is article asserts that in addition to containing the provisions of law, the Qur’an also contains a philosophy of law for the achievement of human welfare as an individual, the family and society. In order to explore the Koran as a source of law people are given a room for ijtihad. In this case, the stage or chronicle of revelation of verses is important to be examined to discover the philosophy and the spirit behind the establishment of law. !e philosophy and the spirit are then laid as a foundation in the dialogue between the Qur’an and reality.

Kata Kunci: filosofi, hukum, ijtihad

Pendahuluan

Dalam tatanan hidup manusia, baik kaitannya hidup bermasyarakat maupun bernegara dibentuk suatu aturan hukum yang dapat mengatur dan menjaga keharmonisan dalam berinteraksi suatu kelompok dengan masyarakat lainnya. Aturan hukum seperti ini, hanyalah terbatas pada aspek tertib bermasyarakat dan tidak mengandung aspek ritual. Hal ini berbeda dengan Alquran sebagai pedoman hidup yang tidak hanya berisi tuntunan ritual belaka, tetapi juga berisi ajaran-ajaran dasar berupa nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam penyusunan tertib masyarakat, di samping aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah untuk diamalkan.

Dari sini dapat dipahami bahwa, Alquran menaruh perhatian yang serius dalam mengungkap hukum-hukum Allah yang dibebankan kepada umat manusia. Selain itu ia juga berisi ajaran-ajaran yang menjadi dasar perundang-undangan.

Bukti-bukti bahwa Alquran menaruh perhatian serius terhadap persoalan hukum ditemukan di dalam teks-teks Alquran sendiri. Bukti-bukti tersebut antara lain Alquran sendiri menyebut dirinya dengan hukum di antara 90 julukan,1 surah

1 Q.s. al-Ra’d [13]:37, lihat Ahmad Musthafâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, Juz V, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1974), h . 113.

Page 71: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

68

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dan ayat yang terpanjang dalam Alquran adalah surah dan ayat yang berbicara masalah hukum,2 perintah berlaku adil, menegakkan kebenaran dan keadilan,3 kecaman atas orang yang mengabaikan hukum Allah,4 dan lain-lain.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka tulisan ini bermaksud mengungkapkan beberapa aspek filsafat hukum yang terdapat dalam Alquran, yang tentunya tidak akan mungkin mengungkapkan secara keseluruhan, tetapi hanya sebagian kecil saja sesuai dengan kemampun dan literatur yang didapatkan.

Filoso! Hukum dalam Alquran

Kata filsafat secara bahasa berasal dari bahasa Yunani ”philosophia” yang berarti cinta pada kebijaksanaan.5 Jadi orang yang berfilsafat berarti orang yang mencintai kebijaksanaan. Meski tidak ditemukan di dalam Alquran, namun ia dapat dipadankan dengan kata ”al-hikmah” (kebijaksanaan).6 Sedangkan kata ”hukum” dari segi bahasa berasal dari akar kata hakama yang berarti mencegah atau menolak, dan terkadang berarti tuntunan. Jadi mencegah ketidakadilan dan penganiayaan disebut dengan hukum.7 Sedangkan dari segi terminologi hukum adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia sebagai makhluk yang terbebani hukum (mukallaf ), baik berupa tuntutan, pilihan, maupun larangan.8 Dari sini dapat dipahami bahwa semua firman Allah yang terdapat dalam Alquran yang berkenaan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah, larangan, tuntunan, dan pilihan dapat dikategorikan sebagai hukum. Firman Allah yang berupa perintah oleh ulama ushul dikategorikan sebagai wajib, sedangkan yang berupa larangan dalam hukum, dikategorikan haram. Jadi apabila seseorang telah mengamalkan titah Allah, maka dengan sendirinya akan menolak kezaliman terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya.

Dalam ungkapan Alquran, hukum bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri,

2 Surah sekaligus ayat yang terpanjang dalam Alquran adalah surah al-Baqarah , terdiri dari 286 ayat, 3100 kata dan 25.500 huruf. Sedangkan ayat yang terpanjang adalah juga masalah hukum yaitu al-Baqarah ayat 282. Terdiri dari 504 huruf dan memuat 30 macam hukum, ayat ini memang sangat sarat dengan pelbagai aturan terutama hukum muamalah.

3 Perintah berbuat adil dan larangan berbuat zalim dapat dipahami bahwa di dalam Alquran dijumpai sekira 29 kali ayat tentang keadilan, 27 kali ayat tentang qisth, 299 kali kata zhulm yang melarang berbuat zalim,20 kali i’tida’ atau mencegah berbuat melampauhi batas dan 20 kata ‘ud-wân menerangkan sikap bermusuhan. Lihat, Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 7.

4 Lihat Q.s. al-Baqarah [2]: 85.5 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 136 Q.s. al-Baqarah []:269, lihat juga Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: M -

lang Press, 2007), h. 4.7 Abû Husayn Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Juz II, (Mesir:

Dâr al-Fikr li al-Tabâ’ah al-Nasyr wa Tawzi,1979), h. 91.8 Khudhari Bek, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ, 1969), h. 18.

Page 72: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

69

Amir Hamzah: Filsafat Hukum dalam Alquran

tetapi merupakan bagian integral dari akidah yang harus diyakini. Akidah tentang penciptaan alam semesta, yang mengatur, memelihara dan menjaganya sehingga segala makhluknya menjalani kehidupannya dengan baik dan melakukan fungsinya dengan baik dan tertib. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum Allah dalam Alquran meliputi segenap makhluk-Nya.9 Dengan pengamatan yang cermat, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini, dan dengan ilmu pengetahuan dapat dipahami bahwa keteraturan gerakan bintang-bintang di langit, pasti karena ada sebab, dan itulah hukum fisika yang biasa disebut dengan sunatullah.

Penemuan hukum alam tersebut memberikan informasi yang jelas bahwa betapa jagat raya ini mulai dari yang terkecil sampai partikel dan galaksi semuanya bergerak sesuai dengan aturan hukum alam. Ayat demikian itu berulang-ulang dalam Alquran di antaranya Q.s. Yûnus [10]; 101, al-A’râf [7]: 185, Âli ’Imrân [3]: 190-191. Ayat-ayat yang dimaksud memberikan isyarat yang sangat jelas tentang pentingnya memikirkan alam raya ini, bahkan Rasulullah Saw. memberikan komentar terhadap ayat tersebut dengan mengatakan bahwa celakalah orang yang membaca ayat ini kemudian tidak memikirkan kandungannya.10

Petunjuk Alquran yang mengarahkan manusia untuk menalar, mengamati, dan meneliti sebagaimana disinggung di atas yang sifatnya sangat global dilengkapi dengan petunjuk lain yang sifatnya detail, bahkan mencakup hukum yang berlaku atas alam tersebut.11Ayat-ayat tersebut cukup jelas dapat ditangkap oleh ilmuan astronomi. Ayat-ayat semacam inilah yang mendorong para filosof untuk mengemukakan isyarat-isyarat pengungkapan misteri alam dan hukum yang berlaku pada setiap kejadian alam tersebut.

Ada sejumlah ayat yang menerangkan tentang hukum alam tersebut di antaranya adalah Q.s. Fâthir [35]: 43:

                           

                             

          ”Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan Karena rencana (mereka) yang

jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang Telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.”

Sunatullah yang terdapat pada ayat tersebut di atas tidak hanya berlaku pada

9 Q.s. Âli ‘Imrân [3]:8310 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 441.11 Q.s. Yûnus [10]:5 dan Yâsin [36]:30-40.

Page 73: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

70

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

ketentuan-ketentuan yang mengatur alam materi saja tetapi juga menjangkau alam non-materi. Bahkan dalam Alquran pemakaian kata sunatullah lebih banyak mengacu pada apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan ”hukum sejarah”12 karena aspek kesejarahan mempunyai arti penting dalam pemahaman hukum-hukum syariah. Untuk mengolah suatu ayat sehingga menghasilkan sebuah hukum yang jelas tentunya harus memperhatikan aspek sejarahnya. Ali Yafi mengatakan bahwa untuk memperjelas terbentuknya suatu hukum perlu dipertimbangkan aspek sejarahnya dan latar belakang yang mendorong lahirnya hukum tersebut.13

Hukum sejarah sangat sejalan dengan hukum alam bahkan keduanya mempunyai titik temu dalam hukum kausalitas. Peran dan petunjuk Alquran kepada manusia adalah membimbing agar menyadari keterkaitan dengan segala sesuatu penyebab sebagai syarat bagi terjadinya sesuatu itu.14

Adapun penjabaran yang rinci tentang hukum yang terdapat dalam Alquran yang dilakukan oleh pakar hukum islam (ahl al-fiqh) yaitu adanya empat bidang utama yang menjadi sasaran dari hukum Alquran, yaitu bidang ibâdah, mu’amâlah, munâkahah, dan jinâyah. Hukum-hukum tersebut bersumber dari Alquran dan merupakan ciri utama hukum Islam, karena ibadah adalah perwujudan dari akidah yang diyakini, jadi sangat jelas hubungan antara keduanya. Hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta mempunyai peran untuk menilai prilaku manusia. Jelasnya, bahwa hukum yang terdapat dalam Alquran berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Menurut ilmu hukum, hukum itu terdiri dari suruhan atau perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong hukum. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar sehingga hukum yang dibuat oleh manusia banyak mendapat teguran dalam Alquran.

Ada tiga indikasi hukum dalam Alquran sebagai keputusan manusia yang keliru dan tidak masuk akal di antaranya adalah sebagai berikut: Q.s. Yûnus [10]:35, Q.s. al-Shâ#ât [37]:154 dan 68, Q.s. al-Qalam [68]:36. Dari ayat yang dimaksud dapat dipahami bahwa, manusia keliru karena tidak menggunakan logika dan pertimbangan dalam membuat kesimpulan.15 Dalam membuat keputusan

12 Lihat misalnya pada Q.s. al-Isrâ [17], Q.s. al-Kahfi [18] , Q.s. Fâthir [35], Q.s. al-Ahzâb [33], dan lain-lain).

13 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah (Bandung, Mizan, 1994), h. 101.

14 Ada sebagian orang yang berpendapat dan kurang memahami sunatullah dalam bentuk hukum alam dan hukum sejarah dengan melihat adanya semacam kontradiksi sebab-musabab dengan hukum teologis yang disebut dengan tauhid atau hukum moral yang disebut dengan tawakkal. Ia menganggap bahwa hokum tauhid cenderung memberikan cap syirik jika seseorang menganggap adanya penyebab selain Allah. Atau hukum tawakkal bertentatangan dengan hukum sebab- musabab. Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, h. 101.

15 Sikap yang tidak masuk akal tersebut antara lain: pertama, sikap orang musyrik yang tidak hanya memberikan kurban pada Allah, tetapi juga kepada manusia (Q.s. al-An’âm [6]); Kedua, sikap orang Arab Jahiliyah yang membunuh bayi perempuan karena khawatir akan mencemarkan

Page 74: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

71

Amir Hamzah: Filsafat Hukum dalam Alquran

hukum, manusia diminta untuk mendekati Allah dalam hal keadilan, kedalaman ilmu, kebesaran diri, keahlian, kembali ke jalan yang benar dan keluasan wawasan. Hal itu disebabkan karena adanya potensi di dalam diri manusia yang berasal dari Allah berupa unsur ilahiyyât (ketuhanan).

Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam rangka pembinaan hukum hanya diarahkan agar tidak melanggar rambu-rambu hukum, maka kepatuhan menjalankan hukum hanya bersifat semu dan lahiriah belaka. Berbeda dengan Alquran bahwa penegakan hukum berjalan sekaligus pembinaan moral dan akhlak yang bersumber dari akidah.16 Jadi tuntutannya harus dimulai dari diri sendiri. Jadi filsafat hukum menurut Alquran harus berdasarkan hati nurani individu. Manusia tidak hanya dinilai dari perbuatannya saja, tetapi juga ditentukan oleh maksud atau niat yang ada dalam dirinya.

Jelaslah bahwa Alquran memperkenalkan hukum yang bersifat integral, yang di dalamnya terpadu antara sunatullah dengan sunnah Rasulullah Saw. sebagaimana terpadunya antara akidah dan akhlak. Dengan demikian, ajaran Alquran mempunyai kekuatan tersendiri yaitu dari ajaran tersebut tidak sepenuhnya tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan pemaksa dari luar diri hukum tersebut.

Ide hukum yang diajarkan Alquran berkembang terus dari kurun waktu ke waktu dan menjelma menjadi ilmu dalam pelbagai disiplin. Seandainya hukum dalam Alquran itu tergantung pada suatu kekuasaan, maka sudah lama jenis hukum ini terkubur dalam sejarah atau sekurang-kurangnya hanya dapat menjadi barang pajangan di lemari-lemari museum. Bahkan hukum tersebut bertahan dan berkembang dalam bentuk baru melaui proses taqnîn (perumusan hukum positif ) melalui yurisprudensi atau perundang-undangan.

Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencairkan pandangan yang negatif terhadap Islam dan Alquran.17 Itulah sebabnya hukum yang diperkanalkan Alquran hidup terus, sekalipun harus mengalami pasang surut dan pasang naik dalam penerapannya. Selain itu, hukum tersebut ternyata juga kurang terpadu antara hukum-hukum yang menyangkut sunatullah yang berupa hukum alam dan hukum sejarah, yakni keseimbangan dan keterpaduan antara pemahaman, pelaksanaan, dan pengembangan wawasan hukum yang diperkanalkan Alquran. Hal ini merupakan tantangan ulama dan para cendikiawan muslim.

nama baik orang tuanya (Q.s. al-‘Ankabût [29]); ketiga, sikap sementara orang yang mengira bahwa perbuatan kebaikan dan perbuatan kejahatan akan diperlakukan sama di hadapan Allah, (Q.s. al-Jâtsiyah [45]:21; Lihat, Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khaerul Bayan, 2005), h. 80.

16 Q.s. al-Nisâ’ [4]:135.17 Salah satu dari perkembangan itu adalah minat para ilmuan barat untuk mempelajari

Alquran sebagai ilmu. Para ahli hukum dari mereka melakukan kongres yang wujudnya terinci dalam fikih. Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, h. 105.

Page 75: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

72

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Prinsip Penetapan Hukum

Dalam mengungkapkan suatu masalah, Alquran lazimnya berbicara secara global. Itulah sebabnya ia diturunkan secara bertahap agar hukum-hukum yang terkandung di dalamnya hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap prinsip dan metode penetapan hukum mutlak diperlukan. Adapun prinsip penetapan hukum dalam Alquran adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak menyempitkan. Alquran dalam menetapkan hukum senantiasa memperhatikan kemampuan manusia dalam melaksanakannya, memberi kelonggaran untuk menerima penetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliki oleh manusia sebagai obyek dan subyek hukum.18 Hal ini jelas terungkap pada Q.s. al-Baqarah [2]:286, ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia diberi beban hukum sesuai dengan kemampuannya. Tidak adanya pembebanan yang melebihi kemampuan manusia merupakan perwujudan kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya.19

Dalam penetapan hukum kepada manusia, Allah senantiasa memperhatikan kemampuan manusia. Namun demikian, bukan berarti bahwa hukum yang terdapat dalam Alquran tidak mengandung kesulitan dalam pelaksanaannya, sebab hukum itu sendiri adalah beban. Hanya saja, kesulitan yang dimaksud adalah menurut tradisi masyarakat tidak dianggap kesulitan (masyaqqah).20 Dari sinilah pentingnya dibedakan kesulitan sebagai suatu beban dalam syariat dengan kesulitan menurut kebiasaan umum yang dapat menimbulkan sikap meremehkan kewajiban agama, yaitu dengan selalu mencari kemudahan atau dengan cara mengakalinya.21

Kedua, mengurangi beban. Prinsip kedua ini orientasinya untuk menghindarkan manusia dari sikap mengurangi atau melebihkan kewajiban dalam pelaksanaan agama. Hukum-hukum Alquran tidak menuntut seorang mukallaf melaksanakan suatu kewajiban agama lebih dari apa yang telah ditetapkan, sekalipun wajar menurut adat suatu masyarakat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum yang terdapat dalam Alquran adalah hukum yang dapat hidup di tengah-tengah masyarakat, karena senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia dan menghindarkan mereka dari kesulitan. Kaitannya dengan prinsip ini, manusia disarankan agar tidak mencari hal-hal yang

18 Q.s. al-Hajj [22]:78 dan Q.s. al-Baqarah [2]; 185.19 Ahmad Musthafâ al-Marâghi, Tafsîr al-Maraghi, Juz III, (Mesir: Musthafâ al-Bâb al-

Halabi wa Awlâduh, 1974), h. 85.20 Umar Syihab, Al-Qur’an dan Kekenyalan Hukum, (Semarang: Dina Utama , 1993), h.

45.21 Sikap seperti ini disepakati oleh ulama fikih ketidakbolehannya karena dapat membuat

kemudaratan. Lihat, Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 352.

Page 76: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

73

Amir Hamzah: Filsafat Hukum dalam Alquran

dapat memberatkan dirinya, termasuk mempertanyakan hal-hal yang tidak perlu. Pesan ini ditemukan pada Q.s. al-Mâ’idah [5]:101, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan.”

Berdasarkan sebuah riwayat, sebab turunnya ayat ini adalah adanya seorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw., ketika Nabi sedang berkhutbah, dengan pertanyaan, ”Siapa bapak saya?” Nabi menjawab ”si fulan”, lalu turunlah ayat ini sebagai teguran kepada orang-orang yang suka bertanya pada hal-hal yang menyusahkan dirinya.22 Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa umat manusia dilarang untuk banyak bertanya pada hal-hal yang belum diterangkan hukumnya secara jelas pada saat wahyu diturunkan kepada Nabi Saw., agar apa yang ditetapkan tidak menjadi beban yang sulit untuk diembannya.

Berdasarkan uraian di atas, oleh para ulama menyimpulkan bahwa hukum yang terkandung dalam nash hanya berkisar pada lima hal, yaitu wajib, Sunah, mubâh, haram, dan makrûh.23 Kelima hal tersebut merupakan status hukum setiap tindakan seorang mukallaf. Asas mubah merupakan unsur yang paling banyak dan paling luas lapangannya di antara kelima norma tersebut.24

Ketiga, menetapkan hukum secara bertahap. Alquran sangat memperhatikan adat kebiasaan dan kondisi sosial masyarakat dalam proses penetapan hukum-hukumnya. Hal ini dapat dilihat pada dua segi, yakni berkaitan dengan adat- istiadat yang absah, dan berkaitan dengan kesiapan masyarakat secara psikologis untuk menerima suatu hukum yang ditetapkan.

Alquran menetapkan hukum-hukum dengan cara berangsur dengan tiga cara yaitu: (a) mendiamkan, yakni tidak menetapkan hukum pada sesuatu, karena sementara, pernah diperkenankan, lalu diharamkan; (b) menyinggung sesuatu secara global (belum diterapkan secara jelas), kemudian diberi tafsîl (keterangan yang luas dan jelas), dan mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur.25

Sebagai contoh cara pertama adalah Islam tidak segera mengubah aturan hukum kewarisan yang berlaku pada bangsa Arab sebelum turunnya ayat kewarisan, walaupun pada akhirnya dibatalkan. Cara kedua dapat dilihat dalam hal dasar

22 Penjelasan Hadis ini dapat dilihat lebih lanjut dalam kitab al-Fath al-Mubîn, Syarh al-Arba’în, karya Ibn Hajar al-Asqalani.

23 Kelima hal tersebut dinamakan juga hukum taklîfi. Lihat, Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, h.125. Dalam ilmu fikih, kelima norma hukum itu dikenal dengan istilah al-Ahkâm al-Khamsah, yang disebut oleh Hazairin sebagai ukuran baik atau buruknya suatu perbuatan, baik perbuatan yang termasuk dalam lingkungan aturan agama maupun yang termasuk dalam lingkup aturan dunia. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 68-72.

24 Sesuai dengan kaidah fikih”asal segala sesuatu adalah boleh,kecuali ada hal-hal tertentu yang telah ditetapkan ketidak bolehannya ”berdasarkan dengan Alquran dan Hadis.

25 Ahmad Sjalabi, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, (Jakarta:D jajamurni, t.th), h. 26

Page 77: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

74

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

hukum peperangan dan jihad pada masa permulaan Islam di Madinah,26 dan cara ketiga antara lain dapat dilihat pada masalah proses pengharaman minuman keras.

Dalam proses pengharaman minuman keras, Alquran pada awalnya memberikan keterangan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya mengenai persoalan judi dan minuman keras (Q.s. al-Baqarah [2]:219). Ayat ini belum menuntut orang meninggalkan minum arak dan judi, tetapi hanya memberikan informasi bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan juga mempunyai manfaat terhadap manusia. Meskipun dari segi bahasa, kata yang digunakan mengesankan suatu larangan sebab memberikan alternatif pemilihan antara mengerjakan sesuatu yang mengandung dosa besar atau hanya melihat manfaat kecil pada diri pelakunya.

Pada fase selanjutnya, setelah Q.s. al-Baqarah [2]: 219 tersebut diturunkan, kaum muslimin yang kuat imannya segera meninggalkan perbuatan itu, akan tetapi yang lemah imannya masih tetap melaksanakan perbuatan tersebut. Maka turun ayat yang lebih tegas, yakni Q.s. al-Nisâ’ [4]:43. Ayat ini mengandung larangan meminum khamr pada saat akan melaksanakan salat, karena dikhawatirkan mabuk dalam keadaan salat, sehingga tidak mengerti apa yang diucapkan. Mabuk itu diharamkan karena dapat merusak akal. Jadi dalam ayat ini, meminum khamr dilarang pada saat akan melaksanakan salat.

Kemudian, pada tahapan terakhir Allah mengharamkan khamr sebagaimana terlihat pada Q.s al-Mâ’idah [5]:90. Ayat ini menegaskan secara tersurat bahwa meminum khamr itu adalah haram secara mutlak, baik karena mengganggu salat atau tidak dan segala sesuatu yang sejenis dengan khamar yang dapat memabukkan.27

Penetapan hukum dalam Alquran secara berangsur-angsur, menunjukkan bahwa hukum Alquran selalu berpegang pada prinsip meringankan beban manusia. Sehingga proses pengharaman suatu masalah yang telah menjadi kebiasaan dapat diterima secara sadar dan ikhlas.

Metode Alquran seperti ini juga terlihat pada priodisasi turunnya ayat. Ayat-ayat yang turun sebelum hijrah (makkiyyah) pada umumnya berkisar pada perbaikan akidah dan hal-hal pokok yang berkaitan dengan akidah. Pada periode pascahijrah (madaniyyah) ayat-ayat yang diturunkan berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan yang bersifat praktis seperti hukum keluarga, ekonomi, jinayat, serta hal-hal yang mengarah pada pembinaan kemaslahatan individu maupun masyarakat.28

26 Q.s. al-Hajj [22]:39, al-Anfâl [8]:60, 67.27 Lihat, Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum

dalam al-Qur’an, (Jakarta: Pena madina, 2005), h. 409. 28 Uraian tentang hal tersebut dapat dilihat misalnya dalam, Muhammad Ismâ’îl Ibrâhîm,

Page 78: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

75

Amir Hamzah: Filsafat Hukum dalam Alquran

Keempat, sejalan dengan kemaslahatan manusia. Alquran menempatkan manusia sebagai obyek sekaligus subyek hukum. Semua hukum-hukum Alquran diperuntukkan pada kepentingan dan perbaikan kehidupan manusia, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama, maupun dalam pengelolaan harta bendanya.29 Karena itu, hukum-hukum Alquran selalu konsisten demi menjaga kemaslahatan umat manusia.

Kaitannya dengan ini, islam sangat akomodatif terhadap adat kebiasaan masyarakat pada lokus dimana hukum islam Itu diterapkan. Artinya, setiap ketetapan, aturan, atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Alquran dapat diterima dan dijadikan rujukan dalam membina hukum Islam. Dengan demikian, sebagian ulama mengungkapkan bahwa dimana saja terdapat kemaslahatan, maka di situ terdapat hukum yang sumbernya dari Alquran.30

Alquran bukanlah sebagai doktrin yang semata-mata membawa beban bagi manusia, tetapi juga mengandung ajaran untuk kesejahteraan mereka. Karenanya, segala sesuatu yang ada di muka bumi merupakan fasilitas bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Pada Q.s. Luqmân [31]: 20, Allah menjelaskan bahwa apa yang ada di langit dan di bumi dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia.

Prinsip kemaslahatan manusia merupakan ketetapan hukum dalam Alquran yang pada suatu saat apabila tidak lagi sejalan dengan prinsip tersebut, dapat dihapus atau ditangguhkan pelaksanaannya.31 Prinsip ini dapat ditemukan, baik dalam Alquran maupun dalam sejarah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyelaraskan ketetapan-ketetapan hukum yang ditetapkan dalam konteks kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

Kelima, persamaan dan keadilan. dalam pelaksanaan hukum, Alquran tidak membolehkan diskriminasi atas dasar apapun. Perbedaan individu atas yang lainnya di hadapan Allah hanya satu, yakni ketawaan (Q.s. al-Hujurat [43]: 13).32 Ayat yang

Al-Qur’ân wa I’jâzuh al-Tasyrî’, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1988), h. 73. Lihat juga Muhammad ‘Ali Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Atwâruh, (Beirut: Majmâ’ al-Buhûs al-Islâmiyyah,1970), h. 30.

29 Dalam hal ini, imam al-Gazali mengatakan bahwa segala tindakan yang mengandung pemeliharaan terhadap kelima unsur pokok kehidupan manusia tersebut merupakan maslahat dan segala yang dapat menghancurkan kelima unsure pokok itu, adalah bahaya dari kerusakan disebut kemudaratan, sedangkan upaya untuk menolak bahaya merupakan maslahat. Lihat, Imam al-Ghazâli, Al-Musthafâ min ‘Ilm al-Ushûl, Jilid I, (Mesir: Dâr al-Fikr, t.th), h. 286.

30 Lihat, Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998), h. 45.

31 Pengahapusan suatu keputusan hukum oleh nas yang datang kemudian disebut naskh hal ini diperselisihkan oleh ulama. Lihat, al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid II, (Mesir: Musthafâ al-Bâb al-Halabi, 1986), h. 20.

32 Q.s. al-Hujurât [49]:13.

Page 79: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

76

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dimaksud memberi tuntunan agar dalam bermasyarakat, manusia berpedoman pada prinsip persamaan hak, tidak saja bagi umat islam tetapi juga bagi penganut agama lainnya.

Metode Penetapan Hukum

Metode penetapan hukum dalam Alquran dimaksudkan untuk memudahkan umat manusia dalam memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum yang dihadapi. Adapun metode yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, segala urusan sesuai dengan maksudnya. Segala sesuatu yang dilaksanakan oleh manusia sangat tergantung oleh niat pelakunya. Niat yang tergantung pada perbuatan tersebut menjadi kriteria dalam menentukan hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada Q.s. Âli ’Imrân [3]:145, ”...Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu...”.

Ayat ini menunjukkan bahwa aktifitas manusia dinilai berdasarkan niat pelakunya, apakah yang dilakukan itu semata-mata untuk kesenangan duniawi, atau kesenangan ukhrawi. Apabila terjadi perbedaan antara niat dengan kenyataan dan sulit mengetahui apa yang diniatkan, maka diberlakukanlah hukum sesuai dengan kenyataan.

Kedua, kesukaran mendatangkan kemudahan. Hukum yang terdapat dalam Alquran bersifat umum, dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudharatan. Karena itu, Alquran memberi kemudahan untuk menolak kesukaran yang dihadapi.33 Adanya dispensasi pada ketetapan hukum yang sulit dilaksanakan karena adanya alasan-alasan tertentu merupakan rahmat bagi umatnya.

Ketiga, kemudharatan harus ditinggalkan.34 Apabila terdapat dua perlawanan dalam satu masalah, kerusakan dan kemaslahatan, maka menolak kemudaratan harus lebih dahulu dari pada menarik kemaslahatan. Dari sini dapat dipahami bahwa keharaman sesuatu oleh Alquran dapat gugur untuk sementara waktu, untuk menghindari kesulitan/kemudaratan.

Keempat, adat dapat ditetapkan sebagai hukum. Alquran datang dalam masyarakat yang tidak hampa budaya. Hal ini tidak hanya terjadi pada masa Alquran diturunkan. Kemanapun dan kapanpun, Alquran senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai lokal yang ada sebelumnya. Dalam hal ini, Alquran nampaknya mengenal toleransi dan memungkinkan untuk mengakomodasi nilai-nilai tersebut

33 Q.s. al-Baqarah [2]:185.34 Q.s. al-Qashash [28]:77.

Page 80: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

77

Amir Hamzah: Filsafat Hukum dalam Alquran

selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mendasar. Term al-ma’rûf yang muncul pada banyak tempat di dalam Alquran merupakan dasar yang jelas atas hal ini.

Keempat, sesuatu yang diyakini kebenarannya tidak dapat dihapus karena adanya keraguan.35 Prinsip dan metode penetapan hukum dalam Alquran seperti yang telah dijelaskan menunjukkan karakteristik hukum Alquran yang luas, luwes dan dinamis. Karakteristi tersebut dapat dinyatakan dengan: (a) nas Alquran tidak hanya menggariskan satu jalan bagi setiap hukum; (b) makna yang terkandung dalam Alquran tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual; (c) Alquran tidak hanya menetapkan hukum dan terbatas pada illah dan kemaslahatan sebagai dasar, tetapi juga berdasar pada prinsip kemaslahatan; dan d) aspek-aspek hukum yang terdapat dalam Alquran bersifat praktis seperti hukum perdata, jinâyah, dan lain sebagainya.

Selain prinsip dan metode penetapan hukum yang telah disinggung di atas, Alquran juga memberi beberapa kebijakan dalam pelaksanaan hukumnya secara praktis. Salah satu kebijaksanaan yang dimaksud adalah kemungkinan sesuatu yang semula haram menjadi boleh karena adanya faktor darurat.36 Hanya saja, seperti dikatakan al-Jasshâsh, kebolehan yang diberikan dalam hal ini sekadar penyambung hidup dan tidak berlebihan.37

Kemudian, Alquran juga memberikan keringanan dalam kesulitan. Maksud-nya, apabila dalam pelaksanaan ketetapan-ketetapannya Alquran memberikan dispensasi seperti dalam bentuk kebolehan menunaikan perintah di bawah standar atau syarat keabsahan pada kondisi yang normal.38 Salat misalnya dapat dilakukan dalam keadaan duduk bagi mereka yang tidak mampu melakukannya dalam keadaan berdiri, boleh berbaring bagi mereka yang tidak mampu melakukannya dalam keadaan berdiri atau duduk dan seterusnya.

Uraian-uraian di atas menunjukkan secara gamblang bahwa di balik ketegasan dan kepastian hukum Alquran, terdapat kebijaksanaan dan kelonggaran di saat kondisi-kondisi tertentu. Dispensasi itu diberikan demi terwujudnya kemaslahatan dalam pelbagai aspek kehidupan manusia.

Penutup

Berdasarkan uraian terdahulu, dapat dipahami bahwa falsafah hukum menurut Alquran adalah ketetapan, perintah, dan keputusan yang bersumber dari Allah

35 Umar Syihab, Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur’an, h. 63.36 Q.s. al-Baqarah [2]:173.37 Lihat al-Jashâsh, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h.12638 Q.s. al-Nisâ’ [4]:101.

Page 81: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

78

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Swt. yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan manusia, baik dalam kehidupan sebagai pribadi/individu, anggota keluarga, masyarakat, maupun sebagai warga negara. Hukum dan keadilan adalah titipan dari Allah yang harus ditegakkan untuk menjaga ketertiban hidup dan keserasian masyarakat. Sebagai titipan, maka hukum tersebut harus dipertanggungjawabkan di depan manusia dan Allah, inti dari norma hukum adalah perbuatan yang bertanggung jawab.

Dalam upaya penggalian Alquran sebagai sumber hukum, manusia diberi kebebasan sepenuhnya untuk menggalinya, dan dengan tujuan tersebut semangat dan proses ijtihad sangat diperlukan. Dalam ijtihad ini yang menjadi obyek kajian adalah ayat-ayat yang masih samar zhanni, meskipun hal ini masih diperdebatlkan oleh para cendikiawan muslim. Respon Alquran terhadap permasalahan yang dihadapi umat manusia dapat dilihat dari tahapan turunnya ayat. Proses ini dimaksudkan agar dengan penetapan hukum-hukumnya, manusia tidak merasa terbebani, tetapi untuk mengurangi beban. Demikian pula penetapan hukum dalam Alquran secara bertahap, karena Alquran sangat respek kepada perkembangan jiwa manusia dan memperhatikan kesanggupannya dalam melaksanakan hukum tersebut. [] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-Karîm.Bantani, al-, Nawawi , Mar’ah Labîb Tafsîr al-Nawawi, Juz II, Indunesiyyâ: Dâr

Ihyâ’ al-Kutub al-Islâmiyyah, t.th. Bek, Khudhari, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubra, 1969. Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Haq, Hamka, Filsafat Ushul al-Fiqh, Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998. Ibn Zakariyyâ, Abû Husayn Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Juz II,

Mesir: Dâr al-Fikr li al-Tabâ’ah al-Nasyr wa Tawzi, 1979.Ibrâhîm, Muhammad Ismâ’îl, al-Qur’ân wa I’jâzuh al-Tasyrî’, Beirut: Dâr al-Fikr

al-‘Arabi,1988. Imam al-Gazhâli, Al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Jilid I, Mesir: Dâr al-Fikr, t.th. Jashshâsh, al-, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam Alquran, Jakarta: Khaerul Bayan, 2005. Marâghi, al-, Ahmad Musthafâ, Tafsîr al-Marâqhi, Juz V, Beirut: Dâr al-Fikr,

1974. Nasr, Seyyed Husain, !e Heart of Islam, Diterjemahkan oleh Nurasaih Fakih Sutan

Page 82: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

79

Amir Hamzah: Filsafat Hukum dalam Alquran

Harahap dengan judul, Pesan-Pesan Universal untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003.

Sayis, Muhammad ’Âli, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Atwâruh, Beirut: Majma’ al-Buhûs al-Islâmiyyah,1970.

Sjalabi, Ahmad, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Djajamurni, t.th. Suma, Muhammad Amin, Pengantar Tafsir Ahkam I, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2002. Suyûthi, al-, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Jilid II, Mesir: Musthafâ al-Bâb al-Halabi,

1986. Syihab, Umar, Kontekstualisi al-Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum

dalam al-Qur’an, Jakarta: Pena Madina, 2005. Syihab, Umar, Al-Qur’an dan Kekenyalan Hukum, Semarang: Dina Utama, 1993. Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: Malang Press, 2007. Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, Hingga

Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1994. Yahya, Muhtar, dan Fathurrahman, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an

dan Hadis, Jakarta: Tintamas, 1982. Yahya, Muhtar, dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung:

al-Ma’arif, 1986. Zarkasyi, al-, Muhammad al-Badr al-Dîn, Al-Burhân fî ’Ulûm al-Qur’ân, Jilid I,

Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Page 83: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

80

ASURANSI DALAM PANDANGAN ULAMA FIKIH KONTEMPORER

Abdurrauf

Abstract: Insurance in Islamic Cotemporary Jurist Views. In the repertory of classical Islamic law, the questions on insurance and its current implementation was not yet known, therefore there was no legal status in their books. However, the studies regarding insurance in Islamic contemporary perspective have been widely conducted by jurists, both by Islamic jurists as well as Islamic economist. Recalling the absence of legal basis of the Islamic insurance in pre-Islamic era, the debate surrounding this matter is avoidable. Some Islamic jurists are disagree and therefore forbid the implementation of aforementioned insurance due to the element of usury, containing fraudulent and gambling, exploitation, etc

Kata Kunci: Asuransi, kontemporer, qiyâs, ‘illah, hukum, fikih.

Pendahuluan

Dalam perkembangan dunia modern, kebutuhan manusia tidak terbatas kepada sesuatu yang bersifat material belaka, tetapi juga meliputi jasa di berbagai bidang. Kebutuhan hidup manusia juga memerlukan pengamanan terhadap jiwa, keturunan, dan harta mereka, karena semakin maju kebudayaan rnanusia semakin kompleks pula persoalan yang mereka hadapi. Semakin berkembang ilmu penge-tahuan, semakin kompleks pula resiko yang ditimbulkannya. Dalam persoalan transportasi misalnya, semakin canggih alat transportasi yang ditemukan dan digunakan manusia, semakin tinggi dan besar pula resiko yang akan dihadapi mereka. Berkendaraan dengan mobil, berlayar dengan kapal laut, dan terbang dengan pesawat udara, membawa kepada akibat yang bisa menghilangkan jiwa seseorang. Membangun gedung dan rumah sebagai kebutuhan hidup manusia, juga mengandung resiko kerugian benda-benda tersebut, misalnya, melalui kebakaran atau gedung dan rumah itu runtuh, baik disebabkan kelalaian manusia itu sendiri maupun oleh gejala alam (gempa) di luar kekuasaan manusia. Lebih jauh dari itu, dalam upaya menjamin kebutuhan hidup tersebut, diperlukan persiapan yang matang oleh setiap orang.

Page 84: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

81

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

Untuk mengatasi resiko-resiko yang disebutkan di atas, di dunia modern ini dikenal suatu bentuk muamalah baru yang disebut dengan asuransi. Yaitu, suatu bentuk pertanggungan dari satu pihak kepada pihak lain berdasarkan persyaratan yang mereka sepakati.

Walaupun relatif baru dalam khazanah fikih Islam, namun pembahasan tentang asuransi dewasa ini telah banyak dilakukan oleh para pakar hukum Islam kontemporer. Kita banyak menemukan hasil karya tentang asuransi, seperti al-Ta’mîn wa Hukmuhâ ‘alâ Hudâ al-Syarî’ah al-Islâmiyah karya ‘Ali al-Khafîf, al-Ta’mîn: min Wujhah Nazhr al-Syarî’ah aI-Islâmiyah karya ‘Aisawi Ahmad Aisawi, Hukm al-Ta’mîn fi al-Syarî’ah al-Islâmiyah karya al-Sâdiq Muhammad al-Amin, ‘Aqd al-Ta’mîn karya Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Ta’mîn al-Ijtimâ’i karya Muhammad Tal’at Isâ, ‘Aqd al-Ta’mîn, karya Abdullah al-Qalqili, al-Ribâ wa al-Ta’mîn karya Murtadha Muthahhari, dan lain-lain.

Di samping karya ilmiah yang secara khusus membahas persoalan asuransi di atas, terdapat pula pembahasan tentang asuransi dalam kitab-kitab fikih yang disusun oleh para ulama kontemprer, seperti Wahbah al-Zuhayli, dari Syiria, dalam kitab al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhû, Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’, dalam buku al-Madkhal al-Fiqh al-‘Âm, kadang disebut juga al-Fiqh al-Islâmi fi Tsawbihî al-Jadîd, al-Sayyid Sâbiq, dalam buku Fiqh al-Sunnah, dan lain-lain.

Namun demikian, dari sekian banyak karya tulis yang ada, penulis buku lebih banyak menitikberatkan pembahasan asuransi dilihat dari aspek hukum muamalahnya, perbedaan pendapat yang terjadi di seputar hukumnya, sejarah kemunculannya, managemen dan sistim operasionalnya, dan lain-lain. Bahkan, mayoritas penulis tentang asuransi selalu menampilkan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama, walau memang hal demikian tidak bisa dielakkan, termasuk dalam artikel ini akan ditampilkan perbedaan ulama tersebut, tetapi itu dilakukan dalam rangka memudahkan untuk memetakan argumentasi dan metode penetapan hukumnya dan bukan menjadi inti tulisan.

Sedangkan dari aspek metodologis penetapan hukumnya, asuransi dalam hal ini tidak atau belum banyak disorot secara komperhensif dan mendalam. Di sinilah tulisan ini menemukan tempatnya. Maka berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian tentang metode ulama fikih kontemporer dalam menetapkan hukumnya.

Pengertian dan Sejarah Asuransi

Asuransi dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah insurance1, artinya

1 Lihat John M. Echols dan Hassan Sadilly, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 326

Page 85: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

82

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

asuransi dan jaminan. Dan dalam Bahasa Belanda menurut Wirjono Prodjodikoro dikenal dengan istilah assurantie, artinya asuransi, dan verzekering, artinya pertanggungan.2 Sementara Bahasa Arab menyebutnya dengan istilah ta’mîn (pengamanan), di samping juga beberapa istilah lainnya, di antaranya, takâful, tadlâmun, ta’âhud, yang semuanya dapat diartikan sebagai langkah penjaminan atau pertanggungan.3

Sedangkan secara terminologi asuransi adalah suatu ikatan yang berbentuk penggabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistim yang rapi untuk sejumlah manusia yang semuanya telah siap untuk menghadapi suatu peristiwa.4 Dengan redaksi yang lain, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas.5 Sementara Abbas Salim mengatakan asuransi adalah suatu kemauan mendapat kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugaian besar yang belum pasti.6

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, asuransi didefinisikan dengan transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.7 Kemudian, terakhir untuk definisi, penulis juga menukil rumusan definitif yang dituangkan pada Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian sebagai berikut:

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.8 Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan

salah satu bentuk pertanggungan terhadap musibah yang diperkirakan sewaktu-

2 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Pembimbing, 1958), h. 13 Lihat Muhammad Imârah, Qâmûs al-Mushthalahat al-Iqtishâdiyah fi al-Hadlârah al-

Islâmiyah, (Beirut: Dâr al-Syuruq, 1993), h. 1244 ‘Ali al-Khafif, Al-Ta’mîn wa Hukmuhâ ‘alâ Hudâ al-Syari’ah al-Islâmiyah, h. 105 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, h. 16 Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi (Principiles of Insurance), cet. ke-1, (Jakarta: PT. R -

jagrapindo Persada, 1995), h.17 Abdul Aziz Dahlan, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van

Hoeve, 1996), h. 138.8 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, cet. ke-4 (J -

karta: Rajawali Press, 2004), h. 186

Page 86: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

83

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

waktu akan terjadi. Karena itu, muncullah berbagai macam jenis asuransi atau pertanggungan, seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi kebakaran, asuransi pendidikan, bahkan asuransi yang berkaitan dengan pertanian dan pelaksanaan ibadah haji. Definisi-definisi di atas sekalipun secara redaksional ada sedikit perbedaan, namun terdapat benang merah yang menegaskan bahwa secara substansial asuransi bertujuan untuk saling membantu dan menolong sesama. Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’ menyatakan bahwa akad asuransi itu merupakan suatu sistim tadlâmun dan ta’âwun yang bertujuan untuk menutupi kerugian yang disebabkan oleh musibah.9

Jika ditelusuri dari sejarah kemunculannya, Afzalur Rahman mencatat konsep asuransi sangat berkaitan erat dengan kehidupan berkelompok. Dalam masyarakat primitif, orang biasanya hidup bersama dalam suatu keluarga besar atau suku dimana kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi dan terlindungi melalui kerjasama dan saling membantu. Oleh karena itu, mereka merasa tidak memerlukan suatu asuransi karena resiko sepenuhnya dilindungi oleh masyarakat. Dan pada waktu keluarga atau suku berubah menjadi kehidupan yang berpindah-pindah, secara individu keluarga tersebut mengahadapi berbagai macam bahaya tanpa adanya perlindungan dari keluarga maupun sukunya. Karena keadaan yang demikian itu, seorang individu secara mandiri terlepas sepenuhnya dari perlindungan keluarga maupun sukunya, sehingga ia mencari bentuk-bentuk perlindungan lain.10

Jadi menurut Afzalur Rahman, asuransi bermula dari manusia yang membutuhkan perlindungan terhadap kemungkinan resiko yang dihadapi atas dirinya, harta, maupun kepentingannya. Hanya saja, sejak kapan, bagaimana dan oleh siapa asuransi itu dimulai masih merupakan teka-teki yang perlu dicari jawabannya.11

Namun menurut Muhammad Sayyid al-Dasûqi, peraturan yang mengatur tentang asuransi, pertama kali muncul di Spanyol dan Portugal pada abad ke-15 M. Peraturan perasuransian ini dikenal dengan sebutan Peraturan Bercelona yang disahkan pada tahun 1436, 1458, 1461, dan 1484. Pada tahun-tahun itu terjadi perkembangan peraturan perasuransian, kemudian pada tahun 1601, pemerintah Inggris mengeluarkan undang-undang yang mengatur perasuransian, khususnya yang berkaitan dengan asuransi kelautan (pelayaran).12

Dengan demikian, asuransi yang pertama kali muncul di Eropa adalah

9 Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’, ‘Aqd al-Ta’mîn wa Mawqif al-Syarî’ah al-Islâmiyah Minhu, h. 403.

10 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (terj. Soeroyo dan Nastangin,), Vol. ke-4, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1996), h. 29

11 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 3012 Muhammad Sayyid al-Dasûqi, Al-Ta’mîn wa Mawqif al-Syarî’ah al-Islâmiyah Minhu,

(Kairo: Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyah, 1968), h. 13.

Page 87: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

84

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran dan dilanjutkan dengan asuransi jiwa sebagai konsekuensi pertanggungan terhadap keselamatan pelayaran. Pada perkembangan selanjutnya, asuransi berkembang pula terhadap pertanggungan kecelakaan di darat, seperti kebakaran, asuransi bangunan, asuransi mobil, pendidikan dan seterusnya yang bertujuan untuk memberikan pertanggungan dalam berbagai sektor kehidupan.

Muhammad Muslehuddin menambahkan, bila tujuan utama asuransi itu adalah tindakan preventif dan antisipatif, maka sesungguhnya praktik asuransi sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi dimana manusia pada masa itu telah melakukan suatu antisipasi untuk menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain dari kekurangan bahan makan. Salah satu cerita yang dikemukakan mengenai tindakan antisipasi dari kekurangan bahan makanan itu adalah cerita pada zaman Mesir Kuno semasa Raja Fir’aun berkuasa.13

`Berdasarkan penjelasan di atas, asuransi dalam kontek tersebut dapat dikatakan sejalan dengan tujuan-tujuan umum syariah (maqâshid al-syarî’ah)14, karena menurut rumusannya, asuransi adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling tolong-menolong, yang diatur dalam suatu aturan antara sejumlah besar manusia, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meringankan kerugian akibat peristiwa yang menimpa.15

Asuransi dalam Khazanah Fikih Kontemporer

Jika ditilik ke dalam khazanah fikih Islam kontemporer, akan kita jumpai berbagai silang pendapat di kalangan para pemikir Islam dalam menentukan hukum asuransi ini. Ada yang mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya haram secara mutlak dengan dasar bahwa di dalam akad asuransi terdapat unsur riba, dan riba jelas-jelas dilarang oleh agama.16 Ada pula yang berpendapat bahwa asuransi termasuk perkara syubhat, dengan alasan tidak ada yang secara tegas menunjukkan hukumnya, halal atau haram.17 Selain itu, ada pula ulama yang membolehkan sebagaian bentuk asuransi dan mengharamkan sebagian lainnya, karena menurut mereka asuransi termasuk ke dalam kategori muamalah yang mengandung

13 Muhammad Muslehuddin, Insurance and Islamic Law, (terj. Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan suatu alternative baru dalam perspektif Islam, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 7-12.

14 Lihat, al-Syâthibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, vol. 1, cet.ke-4, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1420 H- 1999 M), h. 325-326.

15 Husain Hamid Hasan, Hukm al-Syarî’ah al-Islâmiyah fi ‘Uqûd al-Ta’mîn, (terj. Aisyul Muzakki Ishak), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 4.

16 Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.ke-3, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), h. 300-304.

17 Yûsuf al-Qaradlâwi, al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1984), h. 56

Page 88: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

85

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

manfaat.18

Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya “Asuransi Koperatif.”19

Ahmad Musthafâ al-Zarqâ’ mengatakan bahwa hukum asuransi adalah boleh (mubâh), karena hukum asal dari segala sesuatu itu adalah halal/boleh (al-ibâhah), di samping juga syarak tidak hanya membatasi pada akad klasik yang sudah diketahui saja, dan juga tidak melarang adanya bentuk akad baru yang muncul kemudian sesuai kebutuhan zaman selama tidak bertentangan dengan aturan akad syariah dan syarat-syaratnya secara umum, di samping juga karena adanya kesesuaian antara akad asuransi dengan akad-akad mumalah yang berkembang pada masa pra Islam yang diakui kebolehannya oleh syariah, seperti akad muwâlah,20 nizhâm ‘aqilah,21 dan lain-lain.

Sependapat dengan al-Zarqâ’, ‘Abd al-Wahhâb al-Khallâf mengatakan, asuransi hukumnya boleh (jâiz), karena termasuk akad mudlârabah. Dan mudlârabah adalah akad berserikat di dalam keuntungan, dimana satu pihak bermodalkan harta, dan satu pihak lagi bermodalkan tenaga dan kerja. Dan dalam praktik ta’mîn sendiri menurut dia, modal bersumber dari para peserta ta’mîn yang membayar premi dan sementara tenaga dan managemen ada pada pihak perusahaan yang mengembangkan modal tersebut, dan keuntungan dibagi antara perusahaan dan peserta sesuai akad.22

Berbeda dengan dua pakar hukum Islam di atas, Yûsûf al-Qaradlâwi dalam “Al-Halâl wa al-Haram fi al-Islâm” mengatakan bahwa diharamkannya asuransi konvensional karena (1) semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan maksud tabarru’, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2) lembaga atau perusahaan asuransi pada umumnya memutar/menginvestasikan kembali

18 Abd al-Rahmân Isâ, al-Mu’âmalat al-Haditsah wa Ahkamuha, (Mesir: al-Mukhaimir, t.t.), h. 8.

19 Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (editor, H.M. Sonhadji, dkk), (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1997), h. 305

20 Akad muwalah adalah adalah kesepakatan yang terjadi antara seorang yang masuk agama Islam dari kalangan non Arab dengan seorang arab muslim agar: ia (arab muslim) membayar diyat jika muslim baru dari kalangan non arab tadi melakukan suatu jinayah, sementara muslim muallaf tadi menyepakati juga untuk menjadi ahli waris arab muslim itu jika ia tidak mempunyai ahli waris lain. (Lihat Isa Abduh, al-Ta’mîn baina al-Hilli wa al-Tahrim, (al-Qahirah: Dar al-I’tisham, t.t.), h. 140)

21 Nidham ‘aqilah adalah hubungan nasab menurut hirarki ahli waris. Menurut konsep ‘aqilah: apabila seseorang dari keluarga melakukan pembunuhan secara bersalah, maka yang menjamin dendanya adalah ahli warisnya. (Lihat Isa Abduh, al-Ta’mîn baina al-Hilli wa al-Tahrim, (al-Qahirah: Dar al-I’tisham, t.t.), h. 138)

22 Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, (Kairo: Dâr al-I’tishâm, t.t.), h. 154.

Page 89: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

86

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dana-dana tersebut dengan jalan riba.23

Muhammad Abu-Zahrah membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ta’mîn ta’âwuni), dan mengharamkan yang bersifat komersial. Alasan membolehkan yang bersifat sosial kurang lebih sama dengan alasan mereka yang membolehkan asuransi secara umum, demikian juga alasan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial sama dengan alasan mereka yang mengharamkan asuransi.24

Dari penjelasan di atas perbedaan pendapat tentang asuransi berkisar pada empat status hukum; boleh, haram, syubhat, hukum yang membedakan antara asuransi sosial dan asuransi komersial. Dan secara garis besar penulis di sini memetakannya menjadi dua kelompok perbedaan, karena alasan mereka yang mengatakan asuransi komersial itu tidak boleh dan syubhat, sama dengan alasan mereka yang mengharamkan asuransi.

Dengan demikan, asuransi sebagai bentuk muamalah baru dalam dunia ekonomi modern merupakan masalah ijtihâdiyyah dan khilâfiyyah dalam khazanah fikih Islam kontemporer, yaitu masalah yang status hukumnya didapat dari hasil ijtihad dan oleh sebab itu belum ada kesepakatan tentang status hukumnya. Perbedaan hasil ijtihad ini muncul karena banyak faktor, di antaranya perbedaan cara melihat kasus, perbedaan latar belakang pendidikan, dll.

Perdebatan tentang Hukum Asuransi

Pada prinsipnya berbagai bentuk muamalah modern dapat diterima selama hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Islam tidak menafikan bahwa kreasi manusia terhadap berbagai bentuk muamalah akan senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan yang mereka capai. Menyadari hal tersebut, para ulama menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat fleksibel dan elastis sebagai acuan dalam menyoroti suatu masalah baru, yaitu “al-ashl fi al-mu’âmalah al-ibâhah hattâ yadullu al-dalîl ‘alâ tahrîmih” 25 artinya, “prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah boleh (dilakukan) sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.

Di antara bentuk muamalah yang kemudian direkayasa dan dikembangkan oleh para ilmuan modern adalah asuransi.

Dilihat dari segi tujuan dan sasaran yang akan dicapai sebagaimana yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, bahwa asuransi mempunyai

23 Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, h. 154. 24 Masjfuk Zuhdi, Masâil Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1994); M. Ali Hasan, Masâil

Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 95.25 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân al-Suyûthi, al-Asybâh wa al-Nazhâir, (Singapore: Sulaiman

Mar’ie, t.t.), h. 123.

Page 90: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

87

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

nilai positif bagi kehidupan manusia karena prinsip ta’ âwun dan takâful ijtimâ’i merupakan termasuk bagian dari ajaran Islam yang amat fundamental sebagaimana termaktub dalam Q.s. al-Mâ’idah [5]: 2, “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.

Namun pada tataran operasional, konsep ideal dengan tujuan dan sasaran yang baik di suatu perusahaan asuransi itu, terkadang terkesan adanya ketidaksesuaian antara konsep atau teori idealnya dengan praktik yang terjadi di lapangan. Di sinilah kemudian muncul persoalan dan perbedaan pendapat para ulama fikih kontemporer tentang kedudukan hukum asuransi tersebut.

Terkait dengan persoalan perbedaan pendapat ini, penulis akan memetakan perbedaan pendapat tersebut, berikut argumentasi-argumentasi masing-masing kelompok kepada dua kutub, 26 yakni pendapat yang mengharamkan asuransi dan yang membolehkan asuransi. Kelompok pertama diwakili oleh Wahbah al-Zuhayli,27 al-Sayyid Sâbiq,28 Jalâl Mushtafâ al-Shayyâd,29 Husain Hâmid Hasan,30 Yusuf al-Qaradlâwi, 31 Muhammad Bakhit al-Muthi’i, 32 Abd al-Rahmân Qarâ’ah,33 dan Shâdiq Muhammad Amin.34 Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah (1) perusahaan asuransi yang ada selama ini dalam mengivestasikan dan mereasuransikan dana atau premi para pemegang polis dengan cara praktik riba, (2) asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi. Membantah alasan yang membolehkan, mereka mengatakan keridhaan kedua belah pihak tidak menjadi ukuran karena antara pemakan riba dan wakilnya sama-sama ridha, (3) mengandung unsur ketidakjelasan, (4) mengandung unsur riba/rente, (5) mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan, (6) di samping akad ta’mîn mengandung unsur riba, ia juga mengandung unsur murâhanah, (7) bahwa akad ta’mîn termasuk akad spekulatif

26 Masjfuk Zuhdi membagi perbedaan ulama dalam kasus asuransi menjadi 4 (empat) pendapat, namun dalam makalah ini penulis mempetakannya menjadi dua kelompok karena alasan kelompok yang mengatakan asuransi itu syubhat hampir sama dengan yang mengharamkannya, demikian pula yang mengatakan tidak haram secara mutlak alasannya hampir sama dengan yang mengatakan haram. (Lihat, Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1994).

27 Lihat dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Vol. ke-IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), H. 441.

28 Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983)29 Jalâl Mushtafâ al-Shayyâd “al-Ta’mîn wa Ba’dlus Syubhât”, (makalah disampaikan pada

seminar pertama tentang Ekonomi Islam di Mekah, Pebruari 1976). 30 Lihat dalam karyanya, Hukm al-Syari’ah al-Islâmiyah fi ‘Uqud al-Ta’mîn, (al-Qâhirah:

Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1976).31 Lihat dalam karyanya al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islam32 Lihat dalam buku Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, (al-Qâhirah: Dâr

al-I’tisham, t.t.), h. 17633 Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, h. 176.34 Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, h. 176

Page 91: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

88

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dan mengandung gharar, dan (8) hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Mahakuasa.

Kelompok kedua diwakili oleh ‘Abd al-Rahmân Isâ,35 Muhammad al-Bâhi,36 Abd al-Munshif Mahmûd, 37Abd al-Wahhâb al-Khallâf, 38’Ali al-Khafîf, 39Taufiq ‘Ali Wahbah, 40 Muhammad Yûsûf Mûsa,41 dan lain-lain. Kebolehan asuransi menurut kelompok ini mengacu pada sejumlah alasan, yakni (1) praktik perusahaan asuransi saat ini tidak lain bertujuan untuk memberikan khidmah (pelayanan) kepada masyarakat, berupa jaminan atas adanya resiko dan musibah yang menimpa, (2) akad ta’mîn menyerupai akad muwâlah karena pada kedua belah pihak adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, (3) akad ta’mîn menyerupai nizhâm ‘awâqil dalam Islam, (4) akad ta’mîn termasuk akad mudlârabah (5) akad ta’mîn bukanlah akad jual-beli, akan tetapi termasuk akad tadlâmun/takâfuli antara para peserta asuransi dalam menghadapi musibah dan meringankan dampaknya, (6) akad ta’mîn termasuk akad mu’âwadlah (pertukaran).

Di samping alasan-alasan di atas, faktor manfaat juga menjadi alasan bagi mereka membolehkan asuransi. Di antara manfaat asuransi menurut mereka adalah (1) sebagai sarana atau langkah kehati-hatian dan tindakan preventif, (2) adanya rasa ketenangan dan keamanan, (3) dapat membantu mengurangi beban ketika terjadi musibah, yang belum tentu sanggup ia tanggung sendiri, (4) sebagai sarana untuk kemajuan ekonomi dan pembangunan, (5) termasuk akad mudlârabah, dimana peserta asuran sebagai penanam modal dan pihak asuransi sebagai pengemban usaha, dan keuntungan di antara mereka dibagi sesuai akad, (6) mengandung manfaat dan kepentingan umum (mashlahah ‘âmah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek -prpyek yang produktif dan untuk pembangunan.

Metode Penetapan Hukum Asuransi

Bila kita cermati pandangan dari kedua kelompok di atas, maka dapat ditemukan kesamaan metode dalam pemaparan argumentasi, dimana kedua pihak

35 Dalam Bukunya, al-Mu’âmalat al-Haditsah wa Ahkâmuha, (Mesir: Mukhaimir, t.t.), h. 83-89.

36 Lihat Muhammad al-Bâhi, Nidhâm alTa’mîn fi Hâdi Ahkâm al-Islâm wa Darurat al-Mujtama’ al-Mu’âshir, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1965), h. 12.

37 Abdul Munshif Mahmûd, al-Ta’mîn al-Ta’âwuni wa al-Ijtimâ’i fi al-Mizân, dalam M -jalah Minbar al-Islam, No. ke-1, Muharram Tahun 1388 H.

38 Abdul al-Wahhâb al-Khallâf, al-Ta’mîn, dalam majalah, Liwa’ al-Islam, No.ke-11, Tahun VIII.

39 Syaikh Ali al-Khafif, “al-Ta’mîn wa Hukmuhu ‘alâ Hadyi al-Syari’ah wa Ushuluhâ al-‘Ammah”, makalah disampaikan pada seminar pertama tentang Ekonomi Islam, di Mekah, Peb-ruari 1976.

40 Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, h.16141 Isâ Abduh, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, h. 159

Page 92: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

89

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

menggunakan metode qiyâs42 (analogi) dalam menetapkan hukum asuransi. Pada kelompok yang mengharamkan asuransi, metode qiyâs ini dapat dilihat, misalnya, asuransi dianalogikan dengan riba, la’ab al-maysir (permainan judi), bay’i’ garar (jual beli dengan unsur penipuan), dan lain-lain. Dan pada kelompok yang membolehkan asuransi, metode qiyâs ini misalnya, tampak ketika mereka menganalogikan asuransi dengan akad mudlârabah43, muwâlah 44 dan nizhâm al- ‘awâqil 45 dalam Islam.

Untuk dapat memahami konsep qiyâs dalam penetapan hukum, ada baiknya ditelusuri terlebih dahulu cara kerja qiyâs itu sendiri. Karena dengan demikian kita dapat memahami pokok masalah yang sesungguhnya. Disamping itu, qiyâs sebagai salah satu metode penetapan hukum, mempunyai syarat dan rukun yang menjadi standar kerjanya. Rukun qiyâs yang dimaksud adalah,46 pertama: ashl (pokok), kadang disebut pula dengan maqîs ‘alaih. Yang dimaksud dengan ashl adalah suatu kasus yang sudah ada nash-nya yang dijadikan dasar analogi. Kedua, far’ (cabang), kadang disebut maqîs (yang dianalogikan) atau musyabbah (yang diserupakan). Yang dimaksud dengan far’ adalah kasus baru yang belum ada nash-nya dan yang akan dianalogikan dengan ashl. Ketiga, hukum ashl, yaitu hukum syarak terhadap ashl. Hukum syarak di sini bisa halal, haram, dan seterusnya. Keempat, ‘illat atau motif yang menjadi alasan untuk menetapkan suatu hukum.

Menurut Fathurrahman Djamil, dari keempat unsur (rukun) di atas, unsur yang disebut terakhir, ‘illat, adalah sangat penting dan menentukan. Karena ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat pada kasus tersebut.47 Hal ini berdasarkan kaidah “al-hukm yadûru ma’a al-‘illat wujûdan wa ‘adaman” hukum itu tergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘illat menurut Wahbah al-Zuhayli adalah sesuatu sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, menginformasikan tentang ada atau tidak adanya hukum yang akan ditetapkan berdasarkan sifat

42 Secara definitif, Abd al-Wahhâb al-Khallâf merumuskan qiyâs sebagai berikut: menyamakan suatu kasus yang tidak terdapat hukumnya dalam nash (Alquran dan al-Sunnah) dengan kasus yang hukumnya terdapat dalam nash, karena adanya persamaan ‘illat dalam kedua kasus hukum itu. (Lihat Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Mashâdir al-Tasyri’ al-Islâmi fi ma lâ nashsha fih, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972), h. 19

43 Akad mudlârabah adalah suatu sistem perniagaan di mana si pemilik modal (shâhib al-mâl) menyetorkan modalnya kepada pengusaha, yang selanjutnya disebut mudlârib, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal. (lihat Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syarî’ah, (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 164.

44 Pengertiannya lihat halaman 945 Pengertiannya lihat halaman 1046 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia,

1999), h. 8747 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet.ke-III, (Pamulang: Logos Wacana Ilmu,

1999), h. 135-136

Page 93: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

90

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dimaksud.48

Pengertian ‘illah yang dikemukakan di atas sekaligus menjelaskan fungsi ‘illah itu sendiri, yaitu sebagai alasan untuk menetapkan hukum suatu kasus, dimana keberadaannya merupakan penentu adanya suatu hukum. Kasus lama yang banyak dicontohkan dalam kitab-kitab fikih adalah kasus seorang sahabat Nabi Saw. yang sengaja membatalkan puasa Ramadan dengan jima’ di siang hari.49 Kemudian para ulama menarik hukum dari kasus tersebut. Sebahagian mereka, seperti Abû Hanifah, Imâm Mâlik, Imâm Tsawri, dan lain-lain mengatakan bahwa orang yang melakukan jima’ di siang hari Ramadan wajib baginya mengganti puasa Ramadannya di hari lain dan ka%ârat. ‘Illah (alasan) mereka menetapkan hukum wajib dan ka%ârat adalah karena perbuatan tersebut dianggap merusak kehormatan bulan suci Ramadan.

Sedangkan kasus baru (far’) yang dianalogikan dengan kasus lama (ashl), yang belum ada nash atau ketetapan hukumnya adalah kasus makan dan minum dengan sengaja di bulan Ramadan. Mereka menganggap orang yang makan dan atau minum di siang hari Ramadan dengan sengaja itu sama dengan orang yang melakukan jima’ di siang hari Ramadan. Hukumnya sama, wajib qadla’ dan ka%ârat, dan berdasarkan ‘illah yang sama pula menurut mereka.

Dalam kaitannya dengan kasus asuransi, di antara kasus lama yang dijadikan analogi adalah kasus praktik riba, bay’ al-garar (jual-beli yang mengandung penipuan dan ketidakjelasan), maysir (perjudian), mudlârabah, nizhâm ‘awâqil, dan muwâlah.

Namun mengingat keterbatasan yang ada, penulis hanya mengetengahkan 3 (tiga) contoh kasus yang dapat dianalogikan dengan asuransi, yaitu analogi asuransi dengan praktik riba, analogi asuransi dengan bay’ al-garar, dan analogi asuransi dengan la’b al-maysir.

Agar lebih mudah memahami cara kerja qiyâs dalam kasus asuransi ini, penulis menyajikannya dalam bentuk skema atau tabel berikut:

48 Wahbah al-Zuhayli, al-Wasîth fî Ushûl Fiqh, (Dimasyqi: al-Mathba’at al-‘Ilmiyyat, 1969), h. 415.

49 Lengkap kasusnya dijelaskan dalam salah satu hadits Nabi s.a.w. berikut: “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata: Celaka aku ya Rasulullah. Rasulullah bertanya: celaka kenapa ?. Ia menjawab: aku telah bersetubuh dengan isteriku (jima’) di siang hari Ramadan. Rasul s.a.w. berkata: apakah kamu mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang budak ?. Ia menjawab: tidak punya. Nabi s.a.w. bertanya lagi: Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut ?. Ia menjawab: tidak mampu. Nabi s.a.w. berkata lagi: punyakah kamu sesuatu untuk disedekahkan kepada orang miskin ?. Ia menjawab: tidak punya. Kemudian ia duduk, lalu Nabi s.a.w. memberikannya karung yang di dalamnya terdapat kurma. Nabi s.a.w. berkata: bersedekahlah kamu dengan ini. Ia berkata: apakah aku harus menyedekahkan kepada orang yang lebih miskin dariku, padahal tidak satu keluargapun di kampungku yang lebih membutuhkan dari keluargaku. Nabi s.a.w. tertawa dan berkata: pergilah dan bersedekahlah kepada keluargamu dengan makanan tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).

Page 94: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

91

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

CONTOH 1 Kasus yang ada nas 1: (yang dianalogikan dengannya)

PRAKTIK RIBA HUKUM ‘ILLAHRiba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.50 Atau dengan kata lain, menetapkan tambahan tertentu atas pokok harta pada awal akad

Misal: Tuan A mau meminjamkan duit ke Tuan B sebesar Rp. 1.000.000,- dalam tempo 3 bulan untuk keperluan keluarga, dengan syarat apabila tuan B tidak bisa melunasinya pada waktu yang telah disepakati maka ia wajib membayar uang tambahan sebesar 100.000,-.

Haram berdasarkan Alquran dan al-Hadits

adanya tambahan pada pokok 1.

harta yang ditetapkan di awal berdasarkan tenggang waktu, yaitu dari Rp. 1.000.000,- menjadi Rp. 1.100.000,-.di anggap riba karena adanya 2.

unsur kedzaliman, dimana Tuan B sudah jatuh ketimpan tangga lagi. ini dalam perspektif Alquran tindakan kedzaliman (Q.s. al-Baqarah [2]: 278-280).

Kasus baru: (yang dianalogikan dengan kasus riba)

ASURANSI HUKUM ‘ILLAHAsuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”51.

Contoh ilustrasi52:Takaful Dana Siswa:Bapak Ali, usia 30 tahun, mengikuti program TAKAFUL DANA SISWA dengan membayar premi Rp. 1.000.000,- tiap tahun untuk jangka waktu 17 tahun. Bila bapak Ali panjang umur hingga perjanjian berakhir, akan menerima dana pendidikan untuk anaknya (dengan asumsi tingkat investasi 12 %) , sebagai berikut:

Masuk Rp. di PT. Rp. SD1 1.700.000 !n ke-2 di PT 3.050.560SMP 2.550.000 !n ke-3 di PT 3.433.710SMA 3.400.000 !n ke-4 di PT 3.418.013PT 6.800.000 !n ke-5 di PT 3.664.110

Tergantung illatnya.Bagi yang menganggap ada unsur tambahan, akan berpendapat dalam asuransi ada praktik riba walaupun dinamakan mudharabah (bagi hasil). Dan bagi yang menganggap ini adalah bagi hasil murni, asuransi seperti ini sama saja dengan menabung dengan skema bagi hasil.

adakah unsur 1.

tambahan atau penambahan nilai ?.adakah unsur 2.

kedzaliman ?Keduanya sangat menentukan hukum asuransi.

50 Muhammad Syafi’ Antonio, Bank Syarî’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 37; Muh. Zuri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah tilikan antisipatif ), cet. ke-2, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1997), h. 106

51 Abdul Aziz Dahlan, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve, 1996), h. 138.

52 Brosur Asuransi Takaful, dikeluarkan oleh PT. Asuransi Takaful Keluarga, Jl. Mampang Prapatan Raya No.100, Jakarta

Page 95: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

92

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Bila bapak Ali meninggal dunia dalam masa perjanjian (misalnya pada tahun ke 5):Ahli warisnya menerima: Dana kebajikan Rp. 12.000.000,- Rekening tabungan Rp.2.625.000,- Bagi hasil Rp. 975.521 Total Rp. 15.600.521

Penerima hibah memperoleh: Dana pendidikan sesuai rencana

CONTOH 2 Kasus lama yang ada nash 2: (yang dianalogikan dengannya)

JUAL BELI GARAR HUKUM ‘ILLAHJual beli garar adalah jual beli yang didasarkan atas ketidakjelasan sejak dimulainya akad, atau jual beli yang ketidakjelasannya di waktu yang akan datang53.

Misal: Jual ikan yang masih di kolam.1.

menjual buah-buahan yang masih 2.

muda/belum laik dipetik.Menjual anak hewan yang masih berada 3.

dalam perut ibunya.

Haram berdasarkan Alquran dan al-Hadits (HR. Muslim)

adanya unsur penipuan 1.

karena belum jelas barangnya.bisa saja ikan yang ada di 2.

kolam, buah-buahan yang masih muda, dan anak hewan yang masih dalam perut induknya mendapat musibah.menjual sesuatu yang belum 3.

berada pada penguasaan penjual secara penuh.

Kasus baru: (yang dianalogikan dengan kasus jual beli gharar)

ASURANSI HUKUM ‘ILLAHAsuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”54.

Tergantung ‘illahnya.Bagi kelompok yang melihat adanya unsur penipuan, ketidakjelasan (gharar) dalam asuransi, maka menganggap hukumnya sama dengan bai’ al-gharar, haram. Sementara bagi kelompok yang menganggap tidak ada illat-illat tersebut, menganggap hukumnya boleh.

Adakah illat-illat bai’ al-garar di di sini ?.Adakah unsur penipuan ?Adakah Adakah ketidakjelasan ?

CONTOH 3 Kasus lama yang ada nas 3: (yang dianalogikan dengannya)

LA’BUL MAISIR HUKUM ILLATBerjudi adalah mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam

Haram berdasarkan Alquran (Q.s. al-Maidah [5]: 90), dan al-Hadits.

ada motif pelaku untuk 1.

mengundi nasib.

53 Muhammad al-Bâhi, Nizhâm al-Ta’mîn fi Hâdi Ahkâm al-Islâm wa Darurat al-Mujtama’ al-Mu’âshir, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1965), h. 12.

54 Abdul Aziz Dahlan, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve, 1996), h. 138.

Page 96: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

93

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

permainan tebak-tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dengan jumlah uang atau harta semula55.

Misal: Bermain judi; bermain dadu (kartu dsb) dengan bertaruh uang56.

ada unsur untung- 2.

untungan.adanya unsur 3.

ketidakjelasan.

Kasus baru: (yang dianalogikan dengan kasus la’bul maisir)ASURANSI HUKUM ‘ILLAH

Asuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”57.

Tergantung ‘illahnya.Bagi yang mengatakan adanya illah-illah perjudian pada kasus asuransi, menganggap asuransi sama dengan hukum perjudian, diharamkan. Sementara bagi yang mengatakan tidak ada illat-illat perjudian pada kasus asuransi, misalnya karena sudah adanya transparansi dari awal, menganggap asuransi tidak sama dengan la’bul maisir (permainan judi), bahkan menganggap qiyas tersebut bukan pada tempatnya.

adakah motif peserta 1.

asuransi untuk mengundi nasib?

adakah unsur untung-2.

untungan dalam asuransi?

adakah unsur 3.

ketidakjelasan dalam manajemen asuransi?

Penutup

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, jelaslah bahwa masalah asuransi adalah masalah ijtihâdiyyah dan sekaligus khilâfiyyah yang terjadi di kalangan pakar hukum Islam kontemporer. Artinya, suatu masalah yang belum mempunyai ketetapan hukum secara mutlak. Dua kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda – boleh dan tidak boleh – pada dasarnya sepakat menyatakan bahwa riba, maysir, dan bay’gharar itu adalah sesuatu yang diharamkan karena adanya kezaliman, unsur perjudian dan penipuan di dalamnya, dan inilah ‘illah mengapa praktik muamalah seperti itu dilarang, namun kemudian mereka berbeda pendapat dalam merefleksikan ‘illah tersebut dalam kasus asuransi modern. Menurut penulis, sebab perbedaan pendapat bukan pada metode penetapan hukumnya, karena keduanya sama-sama menggunakan metode qiyâs, akan tetapi sebab perbedaan lebih pada materi-materi qiyâs itu sendiri dan cara

55 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 367.

56 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 36757 Abdul Aziz Dahlan, dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van

Hoeve, 1996), h. 138.

Page 97: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

94

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

menginterpretasikan ‘illah-nya, yaitu ashl (yang dianalogikan dengannya), di mana satu pihak memandang adanya kesamaan ‘illah antara ashl atau kasus yang sudah status hukumnya secara jelas (dalam hal ini praktik riba, maysir, dan bay’ al-gharar) dengan far’ (dalam hal ini asuransi). Sementara pihak lain memandang sebaliknya, ‘illah pengharaman riba, maysir, dan bay’ al-gharar tidak terdapat pada praktik asuransi. Oleh karena itu, mengetahui ada tidaknya ‘illah dalam praktik asuransi modern dibutuhkan perlu adanya analisis oleh kolaborasi keahlian antara ahli asuransi dengan ahli hukum Islam, artinya perlu melibatkan praktisi asuransi itu sendiri dalam menetapkan hukum asuransi. Dimana dalam hal transparansi dan segala sesuatu yang terkait dengan managemen asuransi, biarlah ahli asuransi yang berbicara. Setelah itu biarkanlah para ahli hukum Islam menentukan sikap dan status hukumnya. [] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-KarîmAbduh, Isâ, Al-Ta’mîn Bayna al-Hill wa al-Tahrîm, Qâhirah: Dâr al-I’tishâm, t.th.Abdul Manan, Muhammad, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, editor, H.M.

Sonhadji, dkk, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1997.Abu Zahrah, Muhammad, Ushûl Fiqh, Dâr al-Fikr al-Arabi, 1377 H./1958 M.,Ali, Hasan, Asuransi dalam perpektif Hukum Islam, Cet. ke-5 Jakarta: Prenada

Media, 2005.Asuransi Takaful, Brosur dikeluarkan oleh PT. Asuransi Takaful Keluarga, Jl.

Mampang Prapatan Ray No.100, Jakarta.Bukhari, al-, Imâm, Shahîh al-Bukhâri, Cet. ke-1, Riyâdl: Dâr al-Salâm Li al-

Nasyri wa al- Tawzi’, 1417 H – 1997 M.Dahlan, Abdul Aziz, dkk editor, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 1996.Dasûqi, al-, Muhammad Sayyid, Al-Ta’mîn wa Mawqif al-Syarî’ah al-Islâmiyah

Minhu, Kairo: Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islâmiyah, 1968.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1990.Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet.ke-III, Pamulang: Logos Wacana

Ilmu, 1999. Husayn, Hamid Hasan, Hukm al-Syarî’ah al-Islâmiyah fi ‘Uqûd al-Ta’mîn, terj.

Aisyul Muzakki Ishak, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.Imârah, Muhammad, Qâmûs al-Mushthalahât al-Iqtishâdiyah fi al-Hadlârah al-

Page 98: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

95

Abdurrauf: Asuransi dalam Pandangan Ulama Fikih Kontemporer

Islâmiyah, Beirut: Dâr al-Syurûq, 1993.Isâ, Abd al-Rahmân, al-Mu’âmalat al-Hadîtsah wa Ahkâmuhâ, Mesir: al-Mukhaimir,

t.th.John M. Echols dan Hassan Sadilly, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,

1990Jurjâni, al-, Kitâb At-Ta’rifat, Beirut, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah 1408 H

- 1988 M.Khafifi, al-, Syaikh Ali, al-Ta’mîn wa Hukmuhâ ‘alâ Hudâ al-Syarî’ah al-Islâmiyah,

Makkah, 1968.Khallâf, al-, Abd al-Wahhâb, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978.Mushthafa, Ibrahim, dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, Turki, Istambul: al-Maktabah al-

Islâmiyah, t.th.Muslim, al-, Imâm, Shahîh Muslim, Cet. 1, Vol. 4, Beirut: Dâr Ibnu Hazam, 1416

H – 1995 M. Musthafâ Ahmad, Zarqâ’, al-, ‘Aqd al-Ta’mîn wa Mawqif al-Syarî’ah al-Islâmiyah

Minhu, Makkah, 1968.Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: Pembimbing,

1958.Qaradhâwi, al-, Yusuf, Al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, Mesir: Dâr al-Fikr al-

Arabi, 1984.Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin,, Vol. ke-4,

Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1996Sâbiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Vol.ke-3, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,

1998.Salim, A. Abbas, Dasar-dasar Asuransi Principles of Insurance, cet. ke-1, Jakarta: PT.

Rajagrapindo Persada, 1995.Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, cet.

ke-4 Jakarta: Rajawali Press, 2004.Suyûthi, al-, Jalâl al-Dîn, Al-Asybâh wa al-Nazhâir, Singapore: Sulaiman Mar’ie,

t.t..Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka

Setia, 1999Syâthibi, al-, Abu Ishâq, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, vol. ke-1, cet.ke-4,

Beirut: Dâr al-Ma’ârifah, 1999.Zuhayli, al-, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Dimasyqi: Dâr al-Fikri,

1417H/1996 M.Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1994Zuhri, Muh, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan

Antisipatif, cet. ke-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Page 99: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

96

IHTIKÂR DALAM SOROTAN HUKUM ISLAM

Afidah Wahyuni

Abstract: Ihtikâr (Stockpiling) in Islamic Law Perspective, Stockpiling (Ihtikâr) in the perspective of Islamic law is a trading tactic that is very immoral and inhuman, such trade practice causes a lot of di(culty for human life. Among the harm that it causes is distress (al-dhayyiq) for the community in getting food they need, especially in matters that are primary (dharuri). In the case of hoarding of food items that are primary and lead to conditions of distress (al-dhayyiq), when it occurs the goods are nominally limited and also the price is so high that there is no doubt that such conduct is haram (forbidden). !e actions of stockpiling will result in neglected public needs. Considering that t stockpiling is associated with the practice of monopoly, then by itself the monopoly resulting in distress (al-dhayyiq) for the community is also unlawful, because it is an open gate to a forbidden practice in Islamic law. For that case, it takes the role of government in order to avoid improper practices. Even in tackling such practices the government has the right to determine the punishment.

Kata Kunci: ihtikâr, ekonomi Islam, hukum Islam

Pendahuluan

Dalam Islam, permasalahan ekonomi merupakan salah satu yang sangat fundamental bagi umat Islam. Maka dari itu, tidak sedikit umat Islam pada masa lampau yang bergelut dalam permasalahan tersebut.1 Perlu diingat pula bahwa Islam pada sekitar empat abad (ke-8, ke-9, ke-10, ke-11) lamanya menjadi penguasa di belahan dunia ini. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam mendapat dukungan sektor ekonomi yang sangat besar. Dalam sejarah tercatat bahwa negara Islam pada masa itu menjadi transit perdagangan internasional sebelum barang-barang dagangan diekspor ke wilayah-wilayah Eropa dan sekitarnya.2 Namun, sayangnya umat Islam pada masa-masa berikutnya malah tertindas, bahkan dijajah oleh bangsa-

1 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopendi Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cetakan 1. h. 575.

2 H.A. Mukti Ali, “Agama dan Perkembangan Ekonomi di Indonesia”, Dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk, (Ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzalie, M.A. (Jakarta: Paramadina, 1995), Cetakan ke-1. h. 591.

Page 100: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

97

Afidah Wahyuni: Ihtikâr dalam Sorotan Hukum Islam

bangsa Barat. Permasalahan tersebut diduga oleh para pengamat akibat kurangnya perhatian para tokoh agama dalam masalah itu. Perhatian mereka lebih banyak terfokus kepada masalah-masalah ibadah saja. Akibatnya, dari banyak negara Islam di dunia pada umumnya tergolong negara miskin.3

Dalam rangka menggalakkan perekonomian umatnya, Islam memberikan motivasi yang sangat besar terhadap para pemeluknya. Sehubungan dengan hal itu, di dalam Alquran banyak ditemukan ayat-ayat yang bertendensikan ekonomi. Kata yang bertendensikan ke arah itu antara lain di dalam Alquran adalah (rizki). Dawam Rahardjo di dalam bukunya Ensiklopedia al-Quran mencatat bahwa kata-kata رزق itu disebut sebanyak 112 kali dalam 41 surah. Lokasinya yang terbanyak adalah surah al-Baqarah (12 kali), al-Nahl (9 kali), dan Saba’ (7 kali). Lebih lanjut ia mengatakan 45,6 persen dari jumlah itu berbentuk kata kerja ( فعل) dan sisanya berbentuk kata benda (اسم).4 Pemilahan Allah Swt. ke dalam bentuk فعل dan اسم tersebut barangkali dimaksudkan untuk memberikan dimensi aktif dan pasif dalam memperolah rizqi tersebut. Dengan kata lain, bahwasanya rizqi itu sudah disediakan oleh Allah Swt. Akan tetapi, untuk mencapainya seseorang harus bekerja keras dan tidak boleh berpangku tangan menunggu hujan rezeki.

Dalam kaitan manusia sebagai makhluk sosial,5 umat Islam tidak bisa menghindarkan diri dari proses ekonomi global seperti pada masa sekarang ini, karena ia merupakan salah satu tolak ukur bagi kesuksesan manusia itu sendiri. Betapa banyak orang berekonomi lemah di dunia ini yang tersisa dari percaturan kehidupan, bahkan ditindas dan hampir-hampir saja diperbudak oleh yang berekonomi kuat. Ini merupakan salah satu indikasi yang bisa dijadikan sandaran analisis selanjutnya bagi penyamaan peran serta umat Islam dalam bidang ekonomi. Mengingat pentingnya ekonomi di dalam kehidupan manusia, sampai-sampai Nabi Muhammad dalam suatu kesempatan bersabda,”Aku berlindung kepada-Mu (ya Allah) dari (malapetaka) kufur dan kefakiran”.6

Dengan demikian, dapat dipahami mengapa ekonomi sangat fundamental artinya bagi kehidupan umat Islam. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa kefakiran dapat membawa kekufuran.

Konsep Ekonomi Islam

Sebagai mahluk sosial, manusia sangat berkepentingan dengan ekonomi, oleh

3 M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung: Mizan, 1987), Cetakan ke-1. h. 121.

4 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran…, h. 578.5 Ali Yafi, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 202.6 Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ari as-Sajistani al-Azdi, Sunan Abû Dâud, (Bairut: Dar

al-Fikr, t.t.), Jilid II, h. 295.

Page 101: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

98

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

karena ia merupakan penopang kehidupannya. Karena sangat interesnya manusia akan hal itu, sampai-sampai Allah Swt. ketika menurunkan suatu wahyu-Nya, ia memulai dengan kalimat “tijârah”.

”Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan», dan Allah sebaik-baik Pemberi rizqi” (Q.s. al-Jumuah [62]: 11)

Kata tijârah tersebut diproyeksikan untuk menarik perhatian manusia yang secara naluriah berkecimpung dengan masalah ekonomi (perdagangan). Ini membuktikan bahwa prinsip ekonomi dalam Islam bersifat religius yang bertendensikan tauhid.7 Begitu juga sebaliknya orang yang taat beragama dan menghayati esensi ajarannya tidak akan mengabaikan aspek dunia.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.s. al Qashash [28]: 77)

Di dalam ayat ini tercakup aspek ekonomi. Oleh karena itu, aspek ekonomi tidak bisa dipisahkan dari tujuan untuk mencapai kehidupan akhirat karena ia merupakan pengantar bagi kehidupan itu.8 Indikasi akan hal itu dapat tercermin dari ucapan Nabi tersebut di atas bahwa antara kondisi kehidupan dunia berimplikasi kepada status keimanan seseorang.

Ekonomi Islam dikatakan bersifat religius yang bertumpu kepada tauhid, karena setiap muslim berkeyakinan bahwa rizqi yang mereka peroleh merupakan pemberian Allah Swt. kepadanya melalui sunah-Nya. Alquran juga menyebutkan bahwa setiap muslim harus berpartisipasi di dalam aktivitas ekonomi. “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.s. al-Jumuah [62]: 10)

Dan harus bekerja keras. “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. (Q.s. al-Muzzammil [73]: 20)

Di samping itu, disebutkan juga di dalamnya bahwa setiap muslim dijamin9 untuk mendapatkan dari apa yang diusahakannya.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada

7 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran..., h. 586.8 Weber mengatakan bahwa ajaran sebagian agama seperti Hidu, merupakan salah

satu penghambat pengembangan ekonomi oleh karena para pengikutnya lebih mementingkan kehidupan setelah di dunia dibandingkan dengan kehidupan dunia sekarang ini. Lihat Haryati Soebadio, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Sosial Budaya, Pascasarjana IAIN Jakarta, Bagian II, h. 17.

9 Abdul Karim Zaydan, al-Fard wa al-Daulah, (Lebanon: Dâr al Qur’an al-Karim, 1978), h. 75-76.

Page 102: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

99

Afidah Wahyuni: Ihtikâr dalam Sorotan Hukum Islam

sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. an-Nisaa' [4]: 32)

Namun, perlu diingat pula bahwa tidak sepenuhnya dari apa yang mereka peroleh dan mereka miliki menjadi milik seutuhnya. Hal ini terlihat dari adanya konsep infak wajib seperti zakat10 dan infak sunah seperti sedekah, hibah, dan lain-lain. Dengan demikian dapat dimengerti bahwasanya harta itu berfungsi sosial.11 Doktrin sosialisasi kepemilikan sangat penting artinya, karena dengan doktrin itu kondisi kesenjangan sosial12 yang menjurus kepada perilaku distorsi dapat dihambat.13 Tidak bisa dipungkiri bahwa ketidakteraturan, distorsi dan bahkan revolusi yang terjadi pada masa-masa silam dipicu oleh masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi. Akibatnya isu ekonomi itu menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menggugat hegemoni di dunia ini.14 Untuk menghindari hal itu, perlu diciptakan suatu kondisi keseimbangan di dalam masyarakat untuk memperoleh dan mendapatkan harta kekayaan sehingga tidak terjadi konsentrasi di kalangan tertentu di dalam masyarakat. Meskipun demikian perlu diingat bahwa keseimbangan tidak dimaksudkan penyamarataan sebagaimana di dalam sistem komunis, melainkan yang dimaksud adalah agar tidak terjadi kesenjangan yang luar biasa lebarnya antara si kaya dan si miskin, di samping agar setiap individu mempunyai kesempatan yang adil untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu, Islam tidak menafikan persaingan di dalam ekonomi. Hal ini terlihat dari firman-Nya.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. An- Nisaa' [4]: 32)

Ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang harus mencari harta secara wajar dan halal (usaha) meskipun dalam rangka mendapatkan hal itu harus terjadi suatu persaingan. Namun persaingan yang dilakukan adalah yang wajar pula.

10 Al-Quran (9:34) menyatakan yang arti lengkapnya sebagai berikut, “…. Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfakkan (sebagian) darinya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih”.

11 Joesoef Syuyb, Masalah Zakat dan Sistem Moneter, (Medan: Rainbow, 1987), cetakan I, h. 160-161.

12 Doktrin ini merupakan antipoda dari sistem kapitalis yang lebih mementingkan pengerukan dan penguasaan harta (kekayaan yang tidak terbatas bagi pemiliknya). Lihat Abu al-A’la al-Maududi, Problema-problema Ekonomi Islam dan Pemecahannya dalam Islam.., h. 37.

13 Muhammad Bedjaouni, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru, (Jakarta: Sumber Bahagia, 1985), cetakan II, h. 13-14. Lihat juga Sayid Quthb, Dasar-dasar Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir fi Dzilalil Qur’an, h. 36-37.

14 Muhammad Bedjaouni, Menuju Tata Ekonomi..., h. 16.

Page 103: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

100

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Usaha mencari harta seperti itu merupakan sebaik-baik cara bagi seorang muslim sebagaimana sabda Nabi,15 “Tidak seorangpun makan sesuatu yang lebih baik dari hasil kerja tangannya, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud makan dari hasil kerja tangannya.”

Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi seorang muslim untuk mendapatkan harta kekayaan selain harus berusaha, bekerja keras, karena ia merupakan cara yang halal baginya untuk mendapatkan harta (rizq).

Ekonomi dan Keuntungan

Merupakan suatu keharusan di dalam proses ekonomi apabila para pelakunya menginginkan keuntungan. Hanya saja keuntungan yang ingin diperoleh hendaknya tidak bertendensikan eksploitasi dan ketidakwajaran. Untuk menghindari hal itu Allah Swt menurunkan ayat al-Quran.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Q.s. al-Baqarah [2]: 75).

Ayat di atas menerangkan bahwa,“Allah Swt. menghalalkan jual beli dan mengahramkan riba”. Dengan kata lain, firman-Nya menegaskan bahwa praktek mencari keuntungan melalui jalan riba tidaklah sama dengan mencari keuntungan dengan cara yang wajar, yaitu jual beli. Oleh sebab itu, cara riba dan cara jual beli sama sekali berbeda. Di samping itu, juga dapat dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia selaku makhluk sosial, ia tidak berdiri sendiri di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah berlaku proses perdagangan di antara sesamanya agar satu sama lain saling melengkapi.

Islam tidak membenarkan praktik di dalam mencari keuntungan seperti apa yang terjadi di dalam sistem kapitalis. Yaitu, suatu sistem yang membenarkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar termasuk di dalamnya bentuk monopoli dan penimbunan barang dagangan16 yang kesemuanya itu akan menimbulkan kepincangan ekonomi di dalam masyarakat pada umumnya dan pelaku ekonomi itu sendiri pada khususnya. Oleh karena itu, pelaku ekonomi hanya diperkenankan mengambil keuntungan yang baik dan wajar, tidak terlalu

15 Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Ismâil Ibn Ibrahim Ibn al-Mu’asyarah Ibn Birdazbah al-Bukhari al-Ja’fa, Sahih al Bukhari, (Kairo: Mathabi’uay Sya’bi, t.t.), h. 67.

16 Abû al-A’lâ al-Maududi, Problema-problema Ekonomi Islam dan Pemecahannya dalam Islam…, h. 37.

Page 104: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

101

Afidah Wahyuni: Ihtikâr dalam Sorotan Hukum Islam

tinggi yang akan berakibat kepada kesusahan masyarakat, dan juga tidak terlalu rendah yang akan berakibat kepada kebangkrutannya.

Dapat dipahami bahwa, untuk menghindari praktik-praktik ekonomi yang tidak wajar seperti pengerukan keuntungan yang berlebihan maka diperlukan partisipasi semua pihak dalam ekonomi. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan penguasaan barang dagangan di satu tangan agar hal semacam itu tidak terjadi.

Ihtikâr dalam Fikih Islam

Penimbunan barang 17 atau di dalam bahasa Arabnya dikenal ihtikâr, merupakan salah satu problem ekonomi cukup serius tidak terkecuali Islam yang secara normatif telah memprediksikan hal itu, tetapi juga non-Islam. Sebelum membicarakan hal itu lebih lanjut, ada baiknya apabila diadakan perenungan kembali terhadap kandungan Q.s. Yûsuf [12]: 46-48 berikut:

“(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”

Kandungan Ayat-ayat di atas menunjukkan betapa Nabi Yûsuf18 sangat prihatin terhadap apa yang akan menimpa orang-orang Mesir apabila mereka tidak segera mengambil tindakan preventif guna mencegah musibah itu. Oleh sebab itu, ia menganjurkan mereka untuk menanam gandum sebanyak-banyaknya dan menyisihkan sebagian besar darinya untuk dijadikan sebagai cadangan pangan nasional. Tindakan itu sangat tepat menurut persepsi Nabi Yusuf agar nestapa akibat paceklik yang akan menimpa mereka dapat dihindari.

Namun demikian, perlu dikaji lebih lanjut apakah tindakan Nabi Yûsuf tersebut relevan dengan pembicaraan ihtikâr di dalam makalah ini atau tidak. Terlepas dari apakah hal itu relevan atau tidak, yang jelas banyak hadis Nabi yang berkaitan dengan masalah ihtikâr. Sebelum membicarakan perihal masalah itu secara lebih mendetail dan korelasinya dengan kebijakan Nabi Yûsuf, perlu diperhatikan terlebih dahulu Hadis-hadis yang berkaitan dengan ihtikâr itu. Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:

17 Berasal dari akar kata al-hukrah yang berarti mengumpulkan sesuatu dan menahannya untuk menunggu harga yang tinggi. Lihat al-Munjid, h. 146

18 Pertimbangan Yusuf tersebut berdasarkan permintaan Raja Mesir al-Rayyah al-Wahid (perdana menterinya bernama Al-Aziz) untuk mentakwilkan mimpinya. Lihat al-Syawkâni di dalam Fath al- Qadîr, h. 30-31

Page 105: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

102

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Pertama, Hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâud dari Abu Bakr Ibn Abi Syaybah,19 “Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa”.

Kedua, Hadis dari Nashr ibn Ali al-Jahdlam,20“Orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah (jalib) diberi rizqi, sedangkan orang yang menimbun dilaknat.

Ketiga, Hadis dari Yahyâ Ibn Hâkim,21 “Siapa saja yang menimbun makanan orang Islam Allah Swt akan menghukumnya dengan penyakit kusta atau bangkrut.”

Hadis-hadis yang penulis tampilkan itu, secara umum memberikan justifikasi negatif terhadap praktik ihtikar tersebut. Penilaian semacam itu ditandai dengan kata khâti’, la’an, majzûm dan iflas. Khati’ dan lainnya itu mengandung pengertian bahwa pelaku ihtikâr (muhtakir) berdosa karena perbuatannya itu bisa berakibat kesulitan bagi masyarakat dalam hal mendapatkan keperluannya. Kesulitan masyarakat untuk mendapatkan keperluannya di samping karena cadangan menipis atau bahkan tidak ada sama sekali, juga karena meskipun ada, harga sangat tinggi. Kondisi inilah yang ditunggu-tunggu oleh muhtakir guna mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.22 Keadaan ini menyebabkan masyarakat sulit untuk mendapatkan pangan (qût).23 Praktik ekonomi semacam ini sangat bertentangan dengan prinsip hukum Islam,24 الضرر وال ضرار (tidak boleh berbuat yang berbahaya dan membahayakan orang lain). Karena tujuan mereka hanya semata-mata mencari keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya dan di dalam pikiran mereka tidak pernah terlintas kesulitan yang dialami masyarakat. Apa yang mereka lakukan di dalam ihtikâr itu merupakan bentuk praktik ekonomi kapitalis yang hanya semata-mata mencari keuntungan belaka.25 Melihat perilaku mereka yang tidak Islami dan manusiawi itu, Nabi memberikan gelar negatif itu kepada mereka. Oleh sebab itu, ulama berpendapat bahwa ihtikâr itu pada prinsipnya haram, karena merusak kestabilan harga di pasar.26 Meskipun demikian, tidak semua ikhtiar diharamkan. Hal ini, terlihat dari kata جالب di dalam hadits nabi di atas, جالب pada dasarnya juga mengandung arti menimbun sebagaimana حمتكر. Letak perbedaan pada kedua pedagang tersebut adalah pada motivasi mereka masing-masing. Motivasi pada

19 Abû ‘Abd Allâh Ibn Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah (Bairut: Darul Fikr, t.t.), h. 728. Di dalam Sahih Muslim hadits itu berbunyi, “Man ihtakara fahuwa khâti”, (siapa saja yang menimbun maka ia berdosa). Lihat Sahih Muslim, jilid II, h. 52.

20 Abû ‘Abd Allâh Ibn Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah …, h. 728.21 Abû ‘Abd Allâh Ibn Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah …, h. 728.22 Taqiy al-Dîn al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam,

(Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 209. Lihat juga Zaydan, h. 72, Yusuf Qurdhawi, h. 442.23 Ahmad al-Riyadi, Yas’alunaka fi al-Dîn wal-Hayah, (Bairut: Daul Jail, 1990), h. 151.24 Jalal al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Asybah wa al-Nadhair, (Bairut:

Darul-Fikr, t.t.), h. 113.25 Yûsuf al-Qardhawi, Fatâwâ Mu’âshirah, (Kairo: Dâr al-Wafa’, 1993), h. 441.26 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1983), h. 162. Lihat juga Yûsuf

Qardlawi, Fatâwâ Mu’âshirah.., h. 441.

Page 106: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

103

Afidah Wahyuni: Ihtikâr dalam Sorotan Hukum Islam

adalah menimbun untuk dijadikan sebagai cadangan guna menghadapi masa جالبkrisis dan kemudian menjualnya pada masa krisis itu dengan harga yang layak.27 Sehubungan dengan hal itu perlu diperhatikan kisah 'Umar ibn al-Khathab ketika melakukan inspeksi pasar ketika itu. Selengkapnya terjemahan dari kisah itu adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan bahwa Umar Ibn Khattab ra. keluar dengan para sahabatnya, maka (tiba-tiba) ia melihat tumpukan bahan makanan di pintu Mekkah. (Melihat itu) ia berkata “makanan apa ini?” Mereka menjawab “makanan ini dijual kepada kami. Umar berkata, “Allah Swt memberkati makanan itu dan orang yang menjualnya. Dikatakan kepadanya, sesungguhnya makan itu sebelumnya ditimbun. Ia berkata “Siapa yang menimbunnya?” mereka menjawab budak Usman dan budakmu. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada mereka berdua. (Setibanya utusan itu bertanya) “apa yang menyebabkan kamu menumpuk makanan orang Islam? Mereka menjawab “tidak, kami membeli dengan uang kami untuk kemudian menjualnya? Lantas utusan Umar tadi membacakan hadits Nabi yang artinya, “Siapa saja yang menimbun makanan orang Islam, ia tidak akan meninggal sebelum terkena penyakit kusta atau bangkrut. Tidak lama kemudian budak Usman menjualnya kecuali budak Umar. Menurut riwayat budak Umar tadi kena penyakit kusta.28

Cerita di atas menunjukkan ada dua hal yang bisa dipahami. Pertama bahwa orang yang menghimpun dan menahan makanan dengan maksud menjadikan sebagai cadangan pada masa krisis pangan dan untuk kemudian menjualnya dengan harga yang wajar, tidaklah diharamkan. Kedua bahwa apabila motivasi penimbunan itu hanya untuk menunggu harga tinggi guna mendapatkan keuntungan yang besar, sudah pasti hal ini diharamkan karena praktik itu bertentangan dengan maslahat ammah.

Sehubungan dengan hal itu, ulama memberikan kriteria tertentu terhadap bentuk ihtikâr (penimbunan) yang diharamkan.29 Kriteria itu adalah sebagai berikut: a) Barang-barang yang ditimbun hendaklah melalui proses pembelian sebelumnya dari masyarakat. Adapun apabila barang dagangan itu semata-mata dari hasil pertanian30 sendiri (seperti apa yang dilakukan Nabi Yusuf itu) tidaklah termasuk ihtikâr yang diharamkan; b) Barang-barang itu berupa makan pokok (qût);31 c) Penimbunan barang dagangan itu hendaklah menyulitkan masyarakat. Di antara yang mengindikasikan hal itu adalah apabila di dalam suatu kota terdapat muhtakir (memonopoli penguasaan barang dagangan). Di samping itu

27 al-Sayyid Sâbiq, Fiqhus-Sunnah..., h. 165.28 Ibn Qudâmah, al-Mughni li Ibn Qudâmah, (Riyadl: Maktabah al-Riyâdliyah, t.t.), Jus IV,

h. 243.29 al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah.., 162. Lihat juga Yûsuf Qardlawi, Fatâwâ Mu’âshirah

…, h. 441.30 al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah.., 162.31 Ibn Qudâmah, al-Mugni..., h. 244-245, Jumhur Ulama (selain Syafi’i dan Ahmad Ibn

Hanbal) berpendapat bahwa ihtikar tidak hanya terbatas pada qut saja melainkan juga termasuk semua kebutuhan masyarakat yang apabila dengan adanya ihtikar itu harga menjadi tidak stabil di pasaran. Sebagian lagi hanya membatasi kepada makan dan pakaian. Yusuf Qardlawi, h. 431-442. Lihat juga Al-Kahlani di dalam Subulus Salam, hlm 25-26.

Page 107: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

104

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

juga, penimbunan dilakukan pada masa krisis pangan yang sudah mulai terjadi. Apabila hal itu dilakukan jauh-jauh dari sebelumnya seperti apa yang dilakukan Badan Urusan Logistik (Bulog) di Indonesia, tidak termasuk di dalam bentuk ihtikâr yang diharamkan, karena hal itu bisa memberikan manfaat di kala krisis pangan terjadi.32

Untuk menghidari terjadinya ihtikâr, salah satu cara yang harus ditempuh adalah mencegah praktik monopoli33 di dalam pengelolaan barang-barang dagangan. Praktik semacam itu harus dicegah guna menghindari madhârat yang besar bagi masyarakat. Tindakan ini sangat sesuai dengan prinsip الذريعة .di dalam Islam شد Untuk merealisasikan hal itu peran serta pemerintah sangat besar mengingat ia mempunyai kekuasaan (otoritas). Dengan otoritasnya itu ia berhak mengatur dan mencegah praktik ihtikar dan monopoli agar المصلحة العامة bisa terlindingi, meskipun di dalam melindungi المصلحة العامة tadi, المصلحة الفردية (individu) harus dikorbankan.34 Salah satu bukti bagi legalisasi intervensi pemerintah di dalam mengendalikan pasar adalah hadis-hadis Nabi tersebut dan tindakan 'Umar Ibn al-Khathâb.35

Penutup

Dalam rangka lebih menguatkan peran pemerintah di dalam melakukan pengawasan pasar, pemerintah berhak dan harus menentukan kriteria hukuman berupa takzîr.36 Bentuk hukuman itu diperlukan agar kebijakan bisa berjalan secara tegas dan lancar. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pembatasan pemilikan barang dagangan sangat diperlukan mengingat masalah itu akan berakibat fatal terhadap kemaslahan umat manusia pada umumnya dan masyarakat Islam pada khususnya.

Hal demikian menunjukkan bahwa, partisipasi pemerintah di dalam mencegah terjadinya praktik ihtikâr dan monopoli sebagaimana disebutkan di atas, sangat diperlukan agar kemaslahatan umum dapat dilindungi.[] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

32 Ibn Qudâmah, Al-Mughni..., h. 244-24533 Ibn Qudâmah, Al-Mughni..., h. 24534 Muhammad Abû Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), h. 377. Lihat

juga Abdul Wahhab Khallaf, di dalam Ilm Usul al-Fiqh, h. 20835 Ibn Qudâmah, Al-Mughni..., h. 244. Lihat juga Imam Malik di dalam Al-Muwatta’, h.

421. Irfan Mahmud Ra’ana, h. 5736 Ta’zir adalah suatu bentuk hukum yang semata-mata pertimbangan hakim (penguasa)

menurut syaltut, segala bentuk hukum yang tidak dijelaskan masih disebut ta’zir. Mahmûd Syaltût, Al-Islam, Aqîdah wa Syarîah, (Mesir: Darul Qalam, 1986), h. 316-317

Page 108: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

105

Afidah Wahyuni: Ihtikâr dalam Sorotan Hukum Islam

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-KarîmAli, H.A. Mukti, “Agama dan Perkembangan Ekonomi di Indonesia”, Dalam

Muhammad Wahyuni Nafis dkk, (Ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzalie, M.A. Jakarta: Paramadina, 1995, Cetakan ke-1. Azdi al-, Abû Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ari al-Sajistani, Sunan Abû Daud, Bairut:

Dar al-Fikr, t.t., Jilid II.Bedjaouni, Muhammad, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru, Jakarta: Sumber

Bahagia, 1985,Bukhâri, al-, Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Ismâil Ibn Ibrahim Ibn al-Mu’asyarah

Ibn Birdazbah, Sahih al Bukhari, Kairo: Mathabi’uay Sya’bi, t.t.Ibn Qudâmah, al-Mughni li Ibn Qudâmah, Riyadh: Maktabah al-Riyâdliyah, t.t.

Nabhani al-, Taqiy al-Dîn, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Qaradhâwi, al-, Yûsuf, Fatâwâ Mu’âshirah, Kairo: Dâr al-Wafa’, 1993.Qazwini, al-, Abû ‘Abd Allâh Ibn Muhammad Ibn Yazîd, Sunan Ibn Mâjah (Bairut:

Darul Fikr, t.t.), Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopendi Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 1996, Cetakan

1.Rahardjo, M. Dawam, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam,

Bandung: Mizan, 1987, Cetakan ke-1. Riyadi al-, Ahmad, Yas’alunaka fi al-Dîn wal-Hayah, Bairut: Daul Jail, 1990.Sayyid, al-, Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, Bairut: Dâr al-Fikr, 1983. Soebadio, Haryati, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Sosial Budaya, Pascasarjana

IAIN Jakarta, Bagian II.Suyûthi, al-, Jalal al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr, al-Asybah wa al-Nadhair,

Bairut: Darul-Fikr, t.t.) Syaltût, Mahmûd, Al-Islam, Aqidah wa Syari’ah, Mesir: Dar a- Qalam, 1986. Syuaib, Joesoef, Masalah Zakat dan Sistem Moneter, Medan: Rainbow, 1987,

cetakan I.Yafi, Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 1994.Zaydan, Abd al-Karîm, al-Fard wa al-Dawlah, Lebanon: Dâr al-Qur’ân al-Karîm,

1978.

Page 109: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

106

PERKEMBANGAN METODE IJTIHADDALAM MERESPONS PERUBAHAN SOSIAL

Mustaming

Abstract: Development of Ijtihad Methods in Response to Social Change. In addition to review common problems that are associated with the provision of ijtihâd, this paper also reflects the di#erences in methodology employed by the jurists. Using descriptive analysis, this article reveals that social changes over time or di#erences in the condition of society in di#erent places also contributed to the development of methods of ijtihâd. For that reason, the method of ijtihâd developed by the Legal A#airs Committee of Muhammadiyah, for example, do not follow a particular method of ijtihâd scholars.

Kata Kunci: ijtihad, perubahan sosial, sumber hukum

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menuntut para ulama untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khasanah pengetahuan Islam secara inovatif. Diperlukan adanya upaya para ulama melakukan ijtihad dalam segala aspek kehidupan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan antarmanusia. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan manusia dengan pelbagai aspeknya pun maju demikian pesat. Umat Islam dewasa ini dihadapkan kepada bermacam-macam tantangan global dan permasalahan baru yang belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu. Hal ini menjadi tugas yang harus dijawab melalui lembaga ijtihad sebagai sarana pengkajian hukum Islam. Untuk menggalakkan kegiatan ijtihad, metodologi1 ijtihad harus dikuasai, baik menyangkut penjelasan bahasa Arab, Alquran dan Sunnah, ushûl al-fiqh, maupun Maqâshid al-Syarî‘ah, sehingga ijtihad tidak sama dengan berpikir liberal. Namun, tidak dapat disangkal ada di antara intelektual atau cendekiawan muslim

1 Metodologi diartikan sebagai pembahasan konsep teoretis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), h. 9

Page 110: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

107

Mustaming: Perkembangan Metode Ijtihad

yang melakukan ijtihad dengan pendekatan holistik dan integral, yang menyatakan bahwa ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan dalam pelbagai bidang ilmu yang meliputi fikih, tasawuf dan filsafat.

Dalam wacana perkembangan ilmu-ilmu keislaman, ada tiga kelompok yang dikenal yang lebih banyak menggunakan akal atau nalar2, yaitu para pakar hukum yang disebut fukaha, para ahli di bidang teologi (kalam) disebut mutakallimîn dan para ahli di bidang filsafat murn, disebut sebagai filosof. Ketiga kelompok ini sama-sama memungsikan akal dalam melakukan kegiatan penalaran, tetapi karena bidang kajian yang berbeda maka masing-masing kelompok mempunyai metode yang berbeda.3 ‘Abd al-Wahhâb Abû Sulaymân, mengatakan bahwa para ahli fikih memandang akal sebagai sumber utama menyangkut hal-hal yang tidak ada penjelasannya dari syarak, tergantung pada ada tidaknya ‘illat.4 Akal berperan secara khusus pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan perorangan dan masyarakat dalam semua aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan mu’amalah. Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama melakukan ijtihad, baik secara perorangan maupun secara kolektif dalam satu lembaga, untuk menjawab masalah-masalah baru yang bermunculan dengan metode yang dipandang relevan dengan tuntunan zaman. Hal ini menunjukkan adanya metode yang telah disepakati. Risalah ini hendak menguraikan metode ijtihad yang dimaksud serta perihal apakah metode yang ada selama ini masih relevan dipergunakan untuk masa sekarang ini dalam berijtihad.

Ijtihad di Era Kontemporer

Ijtihad pada era modern ini merupakan suatu kebutuhan, bahkan boleh dikatakan sebagai satu keharusan bagi masyarakat Islam. Golongan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa pada setiap masa tidak vakum dari seorang mujtahid yang dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat dalam persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, yang selanjutnya sang mujtahid itu mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan masalah tersebut berdasarkan keputusan syarak yang hukumnya diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

2 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h. 79

3 Metode penalaran para ahli pikir dibidang hukum disebut ijtihad dan adapun metode p -nalaran para ahli pikir dibidang teologi, mengembangkan metode penalaran yang disebut Nazhar: yang sasarannya memantapkan akidah tentang Allah, alam gaib, rasul dan wahyu. Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Hukum Islam, pidato pengukuhan Guru Besar ter-buka luar biasa IAIN Alauddin 2004, h. 13.

4 Said Agil Husin al-Munawwar, Peranan Akal dalam Islam (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 9

Page 111: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

108

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Lebih dari itu, ada sebagian persoalan lama yang muncul dalam kondisi yang dapat mengubah tabiat, bentuk, dan pengaruhnya sehingga hukum atau fatwa yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu tidak relevan lagi. Hal demikian merupakan motivasi sekaligus tuntutan kepada mujtahid kontemporer untuk merevisi fatwa karena berubahnya masa, tempat, adat istiadat, dan kondisi sosialnya. Dengan demikian, ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat kontinu dalam rangka meresponi kondisi atau realita kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah dalam pelbagai aspek dan dimensinya. Kebutuhan akan ijtihad pada masa sekarang, melebihi kebutuhan akan ijtihad pada masa-masa sebelumnya, mengingat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat begitu radikal. Perkembangan di bidang industri dan tekhnologi sungguh telah berdampak besar pada tatanan sosial secara umum, bahkan terhadap tatanan rumah, pola relasi serta tatanan ekonomi. Kebutuhan akan ijtihad dalam kondisi yang senantiasa berubah seperti ini diakui oleh Yûsuf al-Qaradhawi. Pengamatannya terhadap sejumlah perbedaan pendapat di antara dua tokoh yang mempunyai hubungan sebagai guru dan murid sekalipun menunjukkan bahwa kebutuhan akan ijtihad untuk meresponi perubahan yang terjadi dari masa ke masa sudah terjadi sejak dulu. Al-Qaradhawi menegaskan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam Abû Hanîfah dengan dua orang muridnya, Muhammad al-Syaybâni dan Abû Yûsuf disebabkan karena perbedaan zaman, bukan disebabkan oleh perbedaan dalil dan argumentasi.5

Ijtihad merupakan penafsiran dalam memahami Alquran dan Hadis dengan mempertimbangkan seluruh makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ketika periode tâbi’ al-tâbi’în, ijtihad berkembang menjadi dua aliran yakni aliran rasional (ahl al-ra’y) yang tumbuh dan berkembang pesat di Irak dan aliran tradisonal (ahl al-Hadîts) yang berkembang di Madinah. Aliran yang pertama (ahl al-ra’y) dipimpin oleh Imam Abû Hanîfah (80-150 H/699-765 M). Penggunaan rasio atau nalar bagi Abû Hanîfah begitu besar disebabkan karena kota Irak lama mengalami kemajuan dalam bidang budaya. Oleh karena itu, sejak dahulu Irak dilanda pelbagai persoalan pelik dan kasus yang banyak yang memaksa mereka menguasai ijtihad secara mendalam. Metode ijtihad yang mereka gunakan istihsân.6

Aliran kedua, aliran ahl al-Hadîts yang tumbuh dan berkembang di Madinah dipimpin oleh Imam Mâlik (93-179 H/712-798 M). Aliran ini lebih banyak berpegang kepada Sunnah, khususnya amalan penduduk Madinah yang sebaliknya menghindari penggunaan ra’yu secara umum, tetapi terbatas pada hal-

5 Yûsuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihâd al-Mu’âtsir (Cairo: Dâr at-Tauzi wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1414 H/1994 M) diterjemahkan oleh Abu Barzani dengan judul Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 5-6

6 T. M. Hasbi Asshiddiqie, Pengantar Hukum Islam I (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 93.

Page 112: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

109

Mustaming: Perkembangan Metode Ijtihad

hal tertentu dengan penggunaan metode istislâh atau al-maslahah al-mursalah.7 Hal ini disebabkan kehidupan di Hijâz lebih kepada kondisi kesederhanaan yang lebih mirip dengan kehidupan pada masa Rasulullah Saw. Sebagai penengah antara kedua aliran tersebut muncul kelompok ketiga yang dipelopori oleh Imam al-Syâfi’i (150-240 H/767-820 M) yang tidak mengamalkan metode ahl al-ra’y kecuali jika tidak ditemukan nas dari Alquran atau Hadis. Pendekatan rasio (al-ra’y) kemudian ditumbuhkan dengan dibuat sejumlah aturan (kaidah) dan syarat-syarat yang kemudian dikenal dengan istilah metode analogi (qiyâs). Tetapi ketika analogi (qiyâs) tidak dapat digunakan, maka metode yang digunakan adalah istishâb.8 Perkembangan selanjutnya muncul ulama-ulama yang menyerukan agar menggalakkan ijtihad yang juga mendapatkan dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir maupun pembaharu.

Syarat dan Pola Ijtihad

Untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, akumulasi pengetahuan yang cukup sebagai bekal. Artinya, kendati pintu ijtihad diyakini selalu terbuka sepanjang masa dalam rangka meresponi realitas yang selalu berkembang, namun tidak semua orang boleh melakukannya begitu saja. Ijtihad hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mencapai kualifikasi tertentu yakni mereka yang memenuhi kriteria untuk disebut mujtahid. Syarat ataupun kriteria yang dimaksud terkait dengan integritas moral dan integritas intelektual. Imam al-Syâthibi menjelaskan hal ini dengan dua kata kunci9 yakni persyaratan teknis dan persyaratan kepribadian.

Persyaratan teknis melakukan ijtihad terdiri atas beberapa bagian yang meliputi, pertama, persyaratan pokok (al-syurûth al-asâsiyyah) yaitu syarat-syarat yang mendasar yang menurut mujtahid memiliki kecakapan mengetahui Alquran, memahami sunnah Rasulullah Saw., memahami maksud-maksud hukum syariah, dan mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawâ’id al-kulliyah) dalam hukum Islam. Kedua, persyaratan penting (al-syurûth al-hâmmah) yakni syarat-syarat yang mencakup penguasaan bahasa Arab, ilmu ushûl al-fiqh, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal suatu perkara (al-barâ’ah al-ashliyyah). Ketiga, persyaratan pelengkap (al-syurûth al-takmîliyyah) yang mencakup tidak adanya dalil qath’i bagi masalah yang dikaji berdasarkan jtihad, mengetahui tempat-tempat detail

7 T. M. Hasbi Asshiddiqie, Pengantar Hukum Islam I, h. 98. 8 T. M. Hasbi Asshiddiqie, Pengantar Hukum Islam I, h. 98.9 Menurut al-Syâthibi (w.790 H), disamping memiliki malakah seorang faqih harus

memiliki dua sifat: mampu memahami maksud-maksud syari>ah (maqashid al-syari>ah) dan sanggup mengistinbatkan hukum berdasarkan pemahamannnya sendiri terhadap maqâshid al-syarî’ah. Abû Ishâq al-Syâthibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijâriyah al-Kubra, t.th).

Page 113: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

110

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

perbedaan pendapat (khilâfiyyah), dan memelihara kesalehan dan ketakwaan diri.10 Ketiga persyaratan tersebut merupakan bagian dari persyaratan teknis, yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid selain dari pemenuhan persyaratan kepribadian.

Mengenai persyaratan-persyaratan kepribadian, Muhammad Abû Zahrah menyebutkan beberapa sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang mujtahid, antara lain: (a) kecerdasan dan kearifan,11 yakni kemampuan menggunakan persyaratan (ilmu-ilmu) teknis di atas sebagai alat yang memisahkan antara pendapat-pendapat yang benar dan yang keliru, atau yang lurus dan yang menyimpang dari tujuan syariat; dan (b) niat yang tulus dan iktikad yang baik.12 Para ulama (imam) besar yang telah mewariskan ilmu-ilmu yang luas dan mendalam, sebelum dikenal sebagai ahli-ahli fikih mereka dikenal secara luas dengan sifat warâ’ keluhuran pribadi dan kejujuran intelektualnya. Muhammad Khudhari Bik menambahkan bahwa seorang mujtahid harus memiliki keadilan (‘adâlah).13 Dengan ‘adâlah, seorang mujtahid memungkinkan mendapat kepercayaan (trust) dari orang lain dan menerima fatwa yang dikeluarkannya.

Menurut para sarjana ushûl al-fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid, selain itu tidak. Perumusan dan penetapan syarat-syarat seperti ini penting untuk mencegah pihak yang ingin memasukkan dirinya sebagai mujtahid, padahal kemampuan dan kepribadiannya masih jauh di bawah standar.

Derajat mujtahid dapat dibedakan ke dalam beberapa tingkatan, dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah, yaitu: Pertama, mujtahid mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang pokok (Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistinbatkan hukum mempunyai dasar-dasar istinbâth (ushûl al-istinbâth) sendiri, tidak mengikuti ushûl al-istinbâth mujtahid lain.

Kedua, mujtahid muntasib, yakni mujtahid yang dalam mengistinbatkan hukum mengikuti ushûl al-istinbâth imam mazhab tertentu (terikat) walaupun dalam maslah-masalah furû’ berbeda pendapat dengan imamnya. Ketiga, mujtahid mazhab, yakni mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya baik dalam masalah ushul maupun furû’. Ijtihad yang dilakukan terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak diperoleh dari imam mazhabnya.

Keempat, mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang tidak meng-istinbâth-

10 Haidar Baqir dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), h. 17, dapat pula dilihat dalam Asymuni Abdurrahman, Pengantar kepada Ijtihad (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 20

11 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (t.tp. Dâr al-Fikr al-’Arabi, t.th), h. 6912 Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 6913 Syekh Muhammad Khudhari Bik, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1988), h. 80

Page 114: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

111

Mustaming: Perkembangan Metode Ijtihad

kan hukum-hukum furû’ akan tetapi hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat. Kelima, mujtahid mustadill, adalah ulama yang tidak mengadakan tarjîh terhadap pendapat-pendapat yang ada, dengan mengemukakan dalil-dalil pelbagai pendapat dan menerangkan mana yang diikuti tanpa melakukan tarjîh terlebih dahulu.14

Metode Ijtihad

Praktik ijtihad dalam arti upaya untuk mendapatkan ketentuan hukum syarak telah dikenal pada masa Nabi saw. Hal ini terlihat jelas di dalam sebuah Hadis yang disabdakannya ketika akan mengutus Mu’âdz ibn Jabal ke Yaman sebagai hakim.15 Hadis yang dimaksud terjemahannya dinukil sebagai berikut:

“Dari Mu’âdz bin Jabal berkata, Bersabda Rasulullah Saw., “Apa yang kau akan lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?” Mu’âdz menjawab, “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan dalam Alquran”. Nabi bertanya lagi, Bagaimana jika dalam Alquran tidak terdapat ketentuan tersebut?, Mu’âdz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah Saw., Nabi bertanya lagi, Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak dikemukakan di dalam Sunnah Rasulullah? Mu’âdz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkarapun tanpa putusan”.

Khalifah pertama, Abû Bakr al-Shiddîq Ra., juga mempraktikkan ijtihad dalam menyelesaikan problematika yang ia hadapi sepanjang pemerintahannya. Ketika menghadapi masalah, ia mencari solusinya di dalam Alquran, apabila tidak ditemukan di dalamnya, ia mencari solusi itu di dalam Sunnah Rasulullah Saw. Jika pemecahannya ditemukan di dalamnya, maka diputuskan sesuai dengannya. Ketika tidak menemukan di dalam Sunnah maka beliau kumpulkan beberapa tokoh ulama di antara sahabat untuk musyawarah. Apabila terdapat kesepakatan pendapat untuk suatu kasus yang dihadapi, maka diputuskan sesuai kesepakatan tersebut. Demikian pula dilakukan oleh ‘Umar ibn Khaththâb. Selanjutnya praktik ijtihad ini dikembangkan oleh para ulama, tâbi’în hingga imam mujtahid dengan ijtihad (penggunaan rasio) seperti qiyâs, istihsân dan istishlâh serta al-‘urf (tradisi). Kemudian, hal tersebut dijelaskan secara sistimatis oleh Imam al-Syâfi’i di dalam kitabnya al-Risâlah yang kemudian diletakkan sebagai kitab ilmu ushûl al-fiqh yang pertama.16

14 Asymuni Abdurrahman, Pengantar kepada Ijtihad, h. 71.15 Hadis Riwayat Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, Juz II (Maktabah Dahlân, t.th), h. 30916 Wael B. Hallag, A History of Islamic Legal !eories. (New York: Cambridge University,

1997) diterjemahkan oleh E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Walid dengan judul Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 170-172. Bandingkan Jaih Mubarak, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 19

Page 115: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

112

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Atas dasar rangkaian perkembangan praktik ijtihad di atas, perlu dikemukakan di sini metode ijtihad dan istinbâth ulama muta’akhkhirîn yaitu ulama yang hidup setelah abad ke-20 M. Mengingat term ulama muta’akhkhirîn meliputi ruang lingkup yang sangat luas, dan tentu saja tidak mungkin diurai secara rinci pada lembaran-lembaran ini, maka kami mengarahkan pada satu fokus, yakni metode ijtihad yang ditetapkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Disadari bahwa kehadiran penjelasan ini di sini, terkesan ada loncatan jika ditinjau dari runtutan pembahasan dari awal. Namun hal tersebut dikesampingkan dengan pertimbangan pentingnya menyuguhkan informasi metode ijtihad yang hadir di dalam kehidupan kita dalam bentuk praktis. Dus, metode ijtihad yang dipraktikkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dapat dilihat pada penjelasan yang diberikan oleh Minhajuddin ,sebagai yang dinukil berikut ini. Pertama, ijtihad bayâni, ke dalam ijtihad ini dimasukkan semua nas yang dikaitkannya dengan kajian kebahasaan (semantik),17 kapan sesuatu lafal diartikan secara majâz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak, mana ayat yang umum: yang diterangkan (‘âm, mubayyan) dan mana pula ayat khusus, yang menerangkan (khâsh, mubayyin), mana ayat yang qath’i dan mana pula ayat yang zhanni, kapan sesuatu perintah dianggap wajib, sunnat, dan kapan larangan itu haram, makruh ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’ârudh). Sebagai contoh, di dalam Hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Alquran ada perintah mempersaksikan rujuk (Q.s. al-!alâq [65]:2). Ulama memahami kesaksian rujuk adalah sunnah, ulama sepakat bahwa masa idah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga qurû’. Adanya masa idah ini dianggap qath’i, tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti qurû’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid, pemilihan salah satu arti tersebut dianggap zhanni.

Kedua, ijtihad qiyâsi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashsh-nya kepada masalah baru yang tidak ada hukumnya dalam nashsh karena adanya kesamaan ‘illat. Dimaksudkan dengan ijtihad disini adalah membahas cara-cara menemukan ‘illat, persyaratan ‘illat, penggunaan ‘illat di dalam qiyâs dan istihsân serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan ‘illat baru sebagai pengganti yang lama. Sebagai contoh, dalam Hadis ada perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis).

Ketiga, ijtihad istishlâhi,18 yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuk nashnya sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah

17 Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978), h. 181

18 Analisis Istishlâhi dapat ditempuh lewat tiga pendekatan: pertama, pendekatan qâ’idah fiqhiyyah, kedua, pendekatan al-mashlahah al-mursalah, ketiga, pendekatan maqâshid al-syarî’ah, lihat al-Syâthibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, h. 16.

Page 116: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

113

Mustaming: Perkembangan Metode Ijtihad

yang ada kesamaannya. Dalam masalah demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan ‘illat kemaslahatan. Dalam metode ijtihad ini, ayat-ayat umum dikumpulkan untuk menciptakan beberapa prinsip yang digunakan melindungi atau mendatangkan kemaslahatan.

Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan, pertama, untuk memenuhi kebutuhan esensial (al-umûr al-dharûriyyât) yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan. Prinsip darurat ini meliputi urusan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua, untuk memenuhi kebutuhan hajiat (al-umûr al-hâjiyyât) yaitu hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan halangan. Ketiga, untuk merealisikan al-umûr al-tahsîniyyât yaitu kebutuhan pelengkap (komplementer) yang apabila tidak terpenuhi, tidaklah membuat hidup jadi kesusahan.19

Penutup

Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syarak yang bersifat zhanni dari dalil-dalil yang terperinci, sampai mujtahid merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu. Maka hasil ijtihad seorang mujtahid hanya bersifat relatif tidak mutlak benar.

Secara teoritis metode ijtihad Abû Hanîfah yang sangat ketat menerima suatu Hadis, maka berurutan didasarkan kepada Alquran, setelah itu qiyâs, kemudian ijmak, setelah itu baru Hadis, lalu istihsân, dan terakhir ‘urf. Sedangkan Imam Syafi’iy menyebutkan urutan proses ijtihadnya adalah mencari hukum dalam Alquran, kemudian Hadis, lalu ijmak dan âtsâr, kemudian qiyâs.

Adapun metode ulama muta’akhirîn, yang juga ditetapkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, membagi metode ijtihad menjadi tiga, yakni pertama, ijtihad bayâni, yaitu pengerahan segenap daya secara sungguh-sungguh untuk mencapai hukum yang dikehendaki Allah dari teks yang termasuk zhanni, baik wurûd maupun dalâlah-nya. Kedua, ijtihad qiyâsi, yakni qiyâs yang dilakukan dengan cara menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nas dengan menganalogikannya dengan kasus hukum yang ada pada nas, atas dasar adanya persamaan illat hukum. Meskipun suatu hukum dapat berubah karena perubahan ‘illat, kondisi, dan situasi. Ketiga, istishlâhi, yaitu penalaran illat, tertuju pada asas kemaslahatan yang diambil dari dalil-dalil nas yang berisi prinsip-prinsip maqâshid al-syarî‘ah yang meliputi kebutuhan dharûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah.[] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

19 Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, h. 333

Page 117: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

114

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-KarîmAbdurrahman, Asymuni, Pengantar kepada Ijtihad, Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Pelbagai Penyimpangan Surabaya: Risalah Gusti, 2000

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II Maktabah Dahlan, t.thAbû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, t.tp. Dâr al-Fikr al-’Arabi, t.thBaqir, Haidar dan Syafiq Basri (ed), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan,

1988 Bik, Muhammad Khudhari, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1988

Hallag, Wael B, A History of Islamic Legal !eories, New York: Cambridge University, 1997

Kusnadiningrat, E. , dan Abdul Haris bin Walid, Sejarah Teori Hukum Islam Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001

Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Hukum Islam, dalam pidato pengukuhan Guru Besar terbuka luar biasa IAIN Alauddin 2004

Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989

Munawwar, al-, Said Agil Husin, Peranan Akal dalam Islam, Semarang: Dina Utama, 1994

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan Jakarta: UI Press, 1986

Qaradhawi, al-, Yûsuf, Al-Ijtihâd al-Mu’âshir, Cairo: Dâr at-Tauzi wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1414 H/1994 M

Asshiddiqie, T. M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam I, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980

Syâthibi, al-, Abû Ishâq, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Mesir: Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ, t.th

Yahya, Muchtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1978

Page 118: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

115

STATUS ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Masyrofah

Abstract: Legal Status of Children Under Islamic Perspective. In Islam there are various status of the child, according to how the children were born or raised themselves. How the child was born, raised or his origin will determine the ‘status’ of a child. Each state determines his position, bringing his own nature and rights. In Islamic law the status of children is very influential in the social life of a child. !is has serious consequences when the child is growing up, and demanding what is his rights are. !erefore, the child’s status in Islamic law consists of biological children, adopted children, children of breast-feeding, foster children, stepchildren and children born of adultery. Each of child’s status will cause its own problems, whether in relation to descent, marriage, inheritance, the provisions of law to the public view. Some of the above, described in the Marriage Law No.1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law. Kata Kunci : status Anak, KHI, undang-undang perkawinan

Pendahuluan

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. Bersabda, “Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur (rahimnya). Karena sesungguhnya aku bangga atas banyaknya kalian sebagai umatku”. (H.r. Abû Dâwûd dan al-Tirmidzi)

Perkawinan adalah sunnah Rasulullah Saw. yang salah satu tujuannya untuk mendapatkan anak yang sah dan membina keluarga bahagia yang hidup penuh ketentraman diliputi rasa cinta serta kasih sayang satu sama lain. Perkawinan adalah pokok utama dan pertama untuk mengadakan keluarga. Di dalam Islam tidak ada jalan lain selain pernikahan untuk mendapatkan anak yang sah dan legal menurut hukum yang berlaku. Dapatlah dibayangkan tanpa kehadiran anak di tengah keluarga, akan terasa hampa dan sunyi. Anak merupakan karunia Allah Swt. yang sudah sepatutnya dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Orang tua wajib mengasuh dan mendidik anak-anak mereka dengan penuh rasa tanggung jawab agar mereka menjadi anak-anak yang berguna bagi agama dan bangsa. Dan tentunya orang tua menaruh harapan kepada anak-anak mereka agar kelak dapat

Page 119: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

116

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

membanggakan orang tua mereka di hari tua nanti. Seorang anak yang terlahir ke dunia tentunya dalam keadaan suci, bagaikan

kertas putih tanpa coretan. Namun keberadaan anak di dunia justru terkadang menimbulkan masalah tersendiri, hal ini berkaitan dengan status mereka dan berdampak pada akibat hukum pada kehidupan mereka. Sebenarnya orang tualah yang harus bertanggung jawab apa yang terjadi pada anak mereka, karena anak hanyalah manusia yang masih sangat bergantung kepada orang tua mereka, baik dalam hal nafkah, pendidikan, pengasuhan dan lain-lain yang merupakan hak-hak anak dan kewajiban orang tua untuk memenuhinya. Dalam Islam status anak terdiri dari anak kandung, anak angkat, anak susuan, anak temuan atau anak pungut, anak tiri dan anak zina. Ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan status anak, diantaranya akibat perceraian, poligami, anak yang hilang dan ditemukan orang lain serta akibat hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah.

Anak dan Tinjauan Terminologis

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Dari aspek lain, kata “anak” dipakai secara umum baik untuk manusia maupun untuk binatang bahkan juga untuk tumbuh-tumbuhan. Dalam perkembangan lebih lanjut kata “anak” bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia, tetapi juga dipakai untuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh atau anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa.1

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42 disebutkan, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan selama perkawinan. Jadi anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya serta berhak untuk memakai nama di belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal-usulnya. Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 99 disebutkan bahwa anak yang sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 38.

Page 120: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

117

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam pandangan hukum Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu: (1) Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah; (2) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijmak para fukaha sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan; (3) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para fukaha; (4) Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga lian. Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masa kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh istrinya dengan cara lian.2

Pernikahan merupakan satu-satunya jalan untuk mendapatkan anak yang sah menurut hukum Islam dan legal menurut hukum positif. Maka anak kandung adalah keturunan yang mempunyai hak penuh menerima seluruh hak ayah ibu. Hubungan ini didasarkan kepada tali penghubungnya yang datang dari Allah sebagai pencipta.

Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunannya.

Penentuan Asal-usul Anak

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.

Asal-usul anak adalah dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab (kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang

2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. 1, h.79.

Page 121: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

118

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

lahir sebagai akibat zina dan/atau lian, hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya menurut pemahaman kaum sunni. Lain halnya pemahaman kaum syi’ah, anak zina dan lian tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris kedua orang tuanya. Namun demikian, di Negara Republik Indonesia tampak pemberlakuan berbagai sistem hukum dalam masyarakat muslim.3 Penduduk yang mayoritas mendiami Negara Republik Indonesia beragama Islam yang bermazhab Syafi’i, sehingga Pasal 42, 43, dan 44 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur asal usul anak berdasarkan hukum Islam mazhab Syafi’i. Hal ini dijadikan dasar pada pasal 42; Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Selain itu Pasal 43 berbunyi: (1) Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya; (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pasal 44 berbunyi: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut; (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Kalau memperhatikan pasal-pasal di atas, dapat dipahami bahwa anak yang lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Namun, tidak dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung dari akibat perzinaan atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon mempelai wanita itu hamil. Anak yang lahir sesudah dilangsunkan akad nikah maka status anak itu adalah anak yang sah. Demikian juga halnya pengaturan status anak berdasarkan KHI. Pasal 99 KHI berbunyi:

Anak yang sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100 KHI menyebutkan, “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Kemudian Pasal 101 KHI: “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lian”.

Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tampak tidak merinci mengenai status anak yang sah. Namun bila menganalisis ayat-ayat al-Quran yang berkaitan proses kejadian manusia, ditemukan bahwa bayi yang berumur 120 hari belum mempunyai ruh kepada bayi dan sesudah 120 hari

3 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. I , h. 62.

Page 122: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

119

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

barulah Allah memerintahkan malaikat meniupkan ruh kepada bayi tersebut. Apabila dihubungkan dengan hadis yang mengungkapkan bahwa sesudah bayi mempunyai ruh disempurnakan bentuknya selama dua bulan sehingga batas minimal kandungan yang dapat dikategorikan anak yang sah adalah anak yang lahir minimal 6 bulan sesudah pelaksanaan akad nikah.4

Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 55 menegaskan: (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat; (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang mengeluarkan akte kelahirann bagi anak yang bersangkutan.

Nampaknya hal yang sama juga terdapat dalam KHI Pasal 103 berbunyi: (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya; (2). Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah; (3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Terkait dengan status anak, dalam Islam terdapat bermacam status dari para anak, sesuai dengan sumber asal anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang akan menentukan ‘status’ seorang anak. Setiap keadaan menentukan kedudukannya, membawa sifatnya sendiri dan memberi haknya. Hukum mengenai status anak berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Dengan sendirinya, jalan yang demikian menjadikan sang anak dekat atau jauh dari ibu bapaknya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah atau yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang pernah ada itu dibolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu bapaknya mempunyai syarat-syarat yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya itu. Perkawinan menentukan status anak, maka sang anak bergantung kepada perkawinan atau hubungan antara ibu dan bapak.

“Anak” menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Adapun istilah kata “Anak Adam” itu membawa arti umum yaitu seluruh manusia. Karena “Manusia Adam” lah sebagai makhluk manusia pertama yang diciptakan Allah.

4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 63.

Page 123: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

120

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan anak dalam Islam, di antaranya adalah: 1) anak kandung; 2) anak angkat; 3) anak susu; 4) anak temuan atau anak pungut (al-laqîth); 5) anak tiri; 6) anak zina dan anak lian.

Anak Kandung

Anak kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarkan perkawinan yang memenuhi syarat. Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga. Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadat dan akhlak anak dalam kehidupan sampai ia dewasa. Setelah anak itu dewasa, anak harus dapat berdiri sendiri. Apabila anak masih sekolah, maka ia dibiayai orang tuanya sampai pendidikannya selesai. Disamping itu anak mendapat warisan dari orang tuanya. Hubungan anak kandung dengan orang tuanya dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: 5

Pertama, dalam bahasa Arab anak dinamakan ibnun ( انب) sedangkan bapak abun ( أب) dan ibu disebut ummun ( أم). Kalau diperhatikan filologi kata-kata ini, akan didapatkan bahwa kata “ibnun” dengan kata “abun” bertemu dalam dua huruf yaitu “alif/hamzah” dan “bâ’” sedang antara “ibnun” ( ابن) dan “ummun“ ( أم) hanya dalam satu huruf yaitu “alif/hamzah“. Begitu pula kata “Ibnatun“ (ابنة) untuk anak perempuan. Ini berarti bahwa sang bapak mempunyai dua saham dalam diri anaknya itu, yaitu: a) Menyusun diri anak itu semenjak semula sampai ia dewasa sedangkan sang ibu mengembang biakkan anak itu untuk hidup; b) Seorang ayah adalah manusia yang aktif dalam rumah tangga semenjak ia melakukan perkawinan hingga ia menjadi ayah. Di dalam bahasa Arab sang ayah sekalipun tidak ia tidak melahirkan anaknya, ia tetap dinamakan “walîd” berarti yang melahirkan dalam arti sesungguhnya melahirkan anak itu dengan karya, jiwa, tenaga, usaha, dan alam pikirannya.

Kedua, sang isteri/wanita dapat menerima sperma dari bermacam pria selain suaminya dengan perbuatan serong yang diharamkan dalam Islam. Tetapi sang suami/pria hanya dapat memanfaatkan spermanya pada satu wanita tertentu dalam satu persetubuhan, karena wanita merupakan wadah yang menerima dan diibaratkan oleh Alquran sebagai ladang tempat persemian tanaman, sebagaiman disebutkan dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 223.

Ketiga, bapak dan ibu di dalam Islam dinamakan “zawj“ yang berarti satu pasang yang terikat satu. Kalau salah satu hilang, keduanya itu tidak lagi dinamakan “zawj“. Ini berarti ibu dan bapak adalah satu di dalam segalanya hingga tidak terpisah dalam membina rumah tangga. Dalam kedudukan tanggung jawab

5 Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), Cet ke-2, h. 36.

Page 124: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

121

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

yang sama ini terletak anak kandung yang menerima hasil daripada kerjasama ibu bapaknya. Dalam keadaan ini pulalah terdapat cinta dan kasih sayang yang tidak terbatas dari ibu bapak terhadap anak-anak mereka.

Keempat, hubungan darah yang sangat erat terjadi antara ketiga golongan manusia ini; ibu, bapak dan anak. Hidup mereka diatur oleh Islam dengan sangat mendalam di dalam segala segi. Allah melarang sang anak durhaka terhadap ibu bapaknya hingga tidak dibolehkan mengucap kata &ah& kepada ibu bapak, apalagi sampai menghardiknya. Hal ini ditegaskan dalam Alquran (Q.s. al-Isrâ’ [17]: 23-24). Maka anak kandung terikat dengan ibu bapaknya secara lahir dan batin sehingga hubungan ini tidak terputus sekalipun salah satu dari mereka telah meninggal dunia namun jiwa mereka tetap bersatu dalam arti yang padu. Anak yang shaleh merupakan perbekalan yang abadi bagi ibu bapaknya hingga doanya tidak mendapatkan halangan untuk diterima oleh Allah.

Kelima, hubungan cinta menimbulkan tanggung jawab yang meliputi segala segi kehidupan. Sewaktu anak dalam kandungan ibu berkewajiban memelihara diri sebaik-baiknya hingga waktunya melahirkan. Kemudian ibu bapak wajib membesarkannya, mendidiknya dengan pendidikan agama. Dalam pertumbu-hannya anak dididik di rumah, di sekolah dan di masyarakat agar terbentuk kepribadian yang Islami. Sampai tiba waktunya anak bertemu jodohnya, sang bapak menjadi wali dan ibu ikut kerukunan rumah tangga anaknya agar menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.

Keenam, disebabkan hubungan yang teramat erat antara orang tua dan anaknya, maka anak tidak dibenarkan menjauhkan diri dari orang tuanya dalam hal apa pun di dunia ini, baik dalam hal mencari jodoh hingga mereka meninggal dunia. Oleh karena jalinan komunikasi antara keduanya haruslah terjalin erat untuk menghindari terjadinya konflik keluarga. Dalam satu hadis disebutkan bahwa rida Allah ada pada rida orang tua dan murkanya Allah ada pada murkanya orang tua. Dan hal terpenting lainnya adalah menyusun keluarga yang besar dan bertambah lama bertambah besar, sebab itu pula Islam menganjurkan agar perkawinan dilakukan dengan keluarga yang berjauhan keturunan agar kesehatan keturunan lebih baik, kecerdasan lebih meningkat dan hubungan kekeluargaan lebih meluas.

Adapun hak-hak anak kandung, sebagai berikut: ٦ pertama, keutamaan/prioritas dalam menerima harta warisan, dengan pengertian bahwa anak kandung adalah manusia-manusia yang paling dekat kepada ibu bapak mereka dan tidak terdapat manusia lainnya yang dapat menggeser hak mereka. Ketentuan ini didapatkan antara lain dalam Q.s. Al-Nisâ’ [4]: 11-12 dan ayat 176. Namun hak anak kandung untuk mendapat warisan dan hak atas wasiat dapat terhalang apabila terjadi pembunuhan yang dilakukan anaknya terhadap orang tuanya. Hilangnya

6 Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, h. 40.

Page 125: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

122

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

hak mendapat warisan bagi pembunuh yang membunuh pewarisnya didasarkan pada sebuah hadis, yaitu: “ Tidak ada hak sedikitpun bagi pembunuh dari harta warisan” dan hadis Nabi yaitu “Tidak ada hak atas wasiat bagi seorang pembunuh”. Dalam mazhab Syâfi’i, pembunuhan yang menghalangi hal waris adalah semua jenis pembunuhan, baik langsung maupun dengan sebab. Dengan alasan bahwa menghalangi hak waris si pembunuh itu dimaksudkan untuk sadz al-dzarî’ah (menutup jalan kejahatan) dan untuk menghalangi si pewaris mempercepat dalam mendapatkan warisan.7 Begitu pula, apabila si anak berpindah agama (murtad) maka hilanglah hak warisnya berdasarkan hadis bahwa “Orang kafir tidak dapat mewarisi harta pusaka orang muslim dan orang muslim tidak dapat mewaris i harta pusaka orang kafir” (H.r. Muslim dari Usâmah Ibn Zayd).

Kedua, anak-anak kandung itu mempunyai kedudukan yang sama dalam arti kasih sayang ibu bapak terhadap mereka hendaklah sama. Yakni jangan melebihkan yang satu dari yang lain hingga menimbulkan dengki dan hasut antara mereka bahkan akan menjelmakan benci sebahagian dari mereka terhadap ibu bapak mereka sendiri. Oleh sebab itu pula tidak boleh memberikan wasiat kepada salah satu anak. Namun ada sesuatu sebab umpamanya seorang anak itu gila atau cacat boleh diberikan wasiat kepadanya bila disetujui oleh anak-anak yang lain.

Ketiga, jangan dibunuh anak-anak kandungmu itu karena takut lapar atau tidak mendapatkan makanan untuk mereka. Allah menyertai lahirnya seorang makhluk itu dengan memberikan rezekinya yang berarti Allah tidak melepaskan perhatian kepada siapa pun walaupun makhluk yang melata. Tetapi manusia juga harus mempunyai tanggung jawab dalam arti harus berusaha, berfikir, bekerja dan tolong menolong dalam segi kehidupan, hingga Islam mengatakan jika terdapat seorang muslim kelaparan maka tanggung jawabnya adalah atas pundak seluruh masyarakat. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.s al-An’âm [6]: 151 dan Q.s al-Isrâ’ [17]: 31.

Keempat, anak kandung berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan mendapatkan nafkah hidup, pendidikan dan bimbingan sebagai hak asasi mereka yang dibebankan atas ibu bapak mereka namun sesuai kesanggupan mereka. Anak-anak terlepas dari status mereka, tetap memiliki hak-hak mereka yang termuat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu pada bab III mengenai hak dan kewajiban anak pasal 4 sampai dengan pasal 19.

Kelima, anak kandung merupakan mahram/yang tidak boleh dikawini bagi ibu bapaknya dan ia tinggal bersama ibu bapaknya dalam satu rumah, sebab batas aurat antara mereka sesama mereka tetap berlainan dengan ketentuan aurat antara mereka dengan orang lain/yang tidak mahram. Sang anak bisa memakai nama bapaknya.

7 Abu Ishâq Al-Syîrâzi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Syâfi’î, jilid II, (Mesir; t.p., t.th.), h. 24-25.

Page 126: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

123

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Keenma, ketentuan mengenai perkawinan, perceraian dan adanya anak dengan segala aspeknya dijelaskan Allah Swt. secara mendetail dalam Q.s. al-Baqarah[2]: 221-224.

Ketujuh, ayah, ibu dan anak merupakan pokok dasar dari masyarakat terutama “masyarakat Islam” yakni anak adalah tangga pertama di dalam menyusun umat. Dari sang anak timbulnya kekuatan Islam, menjadi pondasi untuk menegakkan Islam. Hendaklah pada diri anak-anak itu terdapat lima kekuatan yang berupa; kekuatan jasmani, harta benda, ilmiah, rohaniah dan persatuan/persaudaraan.

Anak Angkat

Definisi anak angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.8 Fuad Muhammad Fachruddin memberikan definisi anak angkat yang berbeda dengan definisi tersebut, yaitu anak angkat dalam konteks adopsi adalah seorang anak dari seorang ibu bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Anak angkat tersebut mengambil nama orang tua angkatnya yang baru dan terputuslah hubungan nasab dengan orang tua aslinya. Peristiwa pengangkatan anak merupakan bentuk perpindahan milik, bertukar darah daging, dan keturunan dengan segala konsekuensinya.9

Sebagian pakar Hukum Islam,10 cenderung menggunakan istilah anak angkat dengan anak asuh/hadanah yang diperluas. Sedangkan anak asuh yang sering disamakan pengertiannya dengan pengangkatan anak dalam Hukum Islam diberikan definisi yang menunjukkan substansi berbeda, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

Istilah “pengangkatan anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”, mengangkat seorang anak,11 yang berarti “mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.”12 Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad

8 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 9.

9 Fuad Muhammad Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, h. 47.10 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Pasal 1 angka 10.11 Jonathan Crowther, (ed.) Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford University:

1996), h. 16.12 Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), h. 4.

Page 127: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

124

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Saw., pengangkatan anak telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan istilah tabannî yang berarti “mengambil anak angkat”.13

Secara etimologis kata tabanni berarti ittikhâdza ibnan yaitu “mengambil anak”.14 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah “adopsi” yang berarti “pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”.15 Istilah “tabannî” yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat,16 pengertian demikian memiliki pengertian yang identik dengan istilah “adopsi”.

Secara terminologis, menurut Wahbah al-Zuhayli, tabannî, adalah pengang-katan anak (tabannî); “Pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di-nasab-kan kepada dirinya”.17 Dalam pengertian lain, tabanni adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasab-nya harus dibatalkan.

Pengangkatan anak (adopsi, tabanni), yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “pengangkatan anak” dan istilah terakhir inilah yang kemudian dalam pembahasan selanjutnya akan digunakan untuk mewakili istilah adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hokum keluarga.

Menurut Mahmûd Syaltût bahwa setidaknya ada dua pengertian “pengangkatan anak”. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya; Cuma ia diperlakukan oleh orang tuanya angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak

13 Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntashir (et. al), al-Mu’jam Al-Wasîth, (Mesir: Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, 1392 H/1972 M), Cet. II, Jilid I, h. 72.

14 Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntashir (et. al), al-Mu’jam Al-Wasith, h. 72.15 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 7.16 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Âyat al-Ahkâm, (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali

Shabih wa Auladih, 1372 H/1953 M), Jilid IV, h. 7. 17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa al-Adillatuhu, Juz. 9 (Beirut: Dar al-Fikr al-

Ma’ashir, Cet. IV, 1997), h. 271, Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwâl al-Syahsiyyah ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Ilmi Li al-Malayain, 1964), h. 86.

Page 128: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

125

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.18 Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam melarang praktik

pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktek masyarakat jahiliyah; dalam pengertian pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah Swt.19

Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad Saw., Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya telah dipraktekan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktekkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan al-tabannî dan sudah ditradisikan secara turun temurun.20

Mahmud Syaltut lebih lanjut menyatakan bahwa pengangkatan anak dalam konteks mengangkat anak orang lain yang diperlakukan seperti memperlakukan anak sendiri dalam hal kasih sayang, nafkah sehari-hari, pendidikan, dan lain-lain, tanpa harus menyamakannya sebagai anak kandung, maka pengangkatan anak seperti ini dalam Islam dibenarkan.21

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ada dua bentuk pengangkatan anak (tabannî) yang dipahami dalam perspektif hukum Islam, yaitu: pertama, bentuk pengangkatan anak (tabannî) yang dilarang sebagaimana tabanni yang dipraktekkan oleh masyarakat jahiliyah dan hukum perdata sekuler, yang menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengan segala hak-hak sebagai anak kandung dan memutuskan hubungan hukum dengan orang tua asalnya, kemudian menisbahkan ayah kandungnya kepada ayah angkatnya, kedua, adalah pengangkatan anak (tabannî) yang dianjurkan yaitu pengangkatan anak yang didorong oleh motivasi beribadah kepada Allah Swt., dengan menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan, dan lain-lain tanpa harus memutuskan

18 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indoneisa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 97.

19 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indoneisa, h. 113.

20 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), h. 53.

21 Mahmud Syaltut, al-Fatawa, (Kairo Mesir: Dar al-Syurûq, 1991), h. 321.

Page 129: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

126

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, tidak me-nasab-kan dengan orang tua angkatnya, tidak menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak-haknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahmud Syaltut yang membagi status anak angkat menjadi dua, yaitu anak angkat yang telah dibatalkan oleh Islam, dan pengangkatan anak yang justru dianjurkan bahkan sebagai kewajiban kolektif umat Islam.

Tata cara pengangkatan anak, menurut ulama fikih adalah untuk mengangkat anak atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat mandiri di masa datang. Secara hukum tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dalam arti berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait dengan status hukum anak angkat yaitu dalam hal kewarisan dan perkawinan.

Menurut ulama fikih, dalam hal kewarisan dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan atau keturunan (al-qarâbah), karena hasil perkawinan yang sah, dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya (budak) dan wali yang memerdekakannya atau karena faktor saling tolong-menolong antara seseorang dengan orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Anak angkat tidak termasuk kategori tersebut di atas. Oleh karena itu, antara dirinya dan orang tua angkatnya tidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orang tua kandungnya secara timbal balik. Namun berdasarkan hubungan yang erat antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, maka Islam tidak menutup kemungkinan sama sekali anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Caranya adalah dengan hibah atau wasiat.22

Maka untuk memperkuat landasan hukum praktek penerimaan, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan semangat Hukum Islam oleh Pengadilan Agama, serta merespon kuat-nya semangat dan aspirasi masyarakat muslim Indonesia untuk mengangkat anak yang sesuai dengan nilai-nilai Hukum Islam, maka pada tanggal 20 April 2006 telah disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada penjelasan Pasal 49 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara “ asal usul anak dan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam.

22 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, h. 101-102.

Page 130: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

127

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Anak Persusuan

Kata penyusuan ini dalam bahasa Arab disebut radha’ atau radha’ah. Anak susu berarti seorang anak yang menyusu dari seorang wanita tertentu. Hal tersebut merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan di masa Jahiliyah dahulu bahkan Rasulullah Saw. sendiri disusukan oleh beberapa wanita yang terkenal diantara mereka “Siti Halimatussa’diyah”. Hukum penyusuan telah ada aturan dan ketentuannya. Segala hukum dan peraturan ada sendi dasar dan latar belakangnya dibuatnya hukum dan peraturan tersebut. Adapun mengenai penyusuan dalam Islam terdapat beberapa ketentuan yaitu: 23

Pertama, dalam batas umur, yaitu anak itu berumur di bawah dua tahun. Dalam artian bahwa bayi itu disusukan semenjak dilahirkan sampai berumur dua tahun. Dalam masa ini sang anak hanya mendapatkan dan memerlukan makanan dari air susu ibu sebagaimana pokok utama bagi hidupnya, karena hanya ASI makanan terbaik bagi bayi. Pertumbuhan jasmaninya bersandar kepada ASI yang didapatkannya dari sang ibu itu dan berarti pula bahwa anak itu berhubungan darah daging yang tidak dapat terpisah dari sang ibu yang menyusuinya. Sebenarnya kesadaran seorang ibu yang berkewajiban menyusui anaknya mulai menurun di zaman moderen ini dimana keberadaaan susu formula yang menggeser posisi ASI sebagai makanan terbaik bayi. Sehingga pada saat ini sangatlah jarang ditemukan seorang ibu yang mau menyusui yang bukan anaknya sehingga dinamakan “anak susu”.

Kedua, sedikitnya lima kali menyusui dalam jangka waktu dua tahun itu dari satu ibu. Kalau ibu yang menyusukan itu berlainan orangnya, maka tidaklah dinamakan para ibu itu ibu susu bagi sang bayi, dikarenakan masing-masing tidak memenuhi syarat penyusuan itu.

Ketiga, sampainya air susu itu ke dalam perut sang bayi. Ini berarti bahwa hendaklah air susu itu menjadi bahan makanan si bayi. Dari segi ini dapat dikatakan hubungan dan ikatan anak susu dengan ibu susunya lebih erat dan kuat serta dekat daripada hubungan dan ikatan dengan ibu dan bapak angkatnya. Oleh sebab itu pula ada hal-hal yang dilarang terjadi antara anak susu dengan ibu dan bapak susunya yang statusnya mendekat kedudukan anak kandung. Jika pun air susu itu dicampur dengan makanan lain, tetapi yang menjadi titik tolak dalam soal ini ialah air susu itu berada dalam jumlah yang dapat mengenyangkan sang bayi.

Keempat, Mazhab Syi’ah menambah satu syarat lagi yaitu anak itu harus menyusu langsung dari payudara sang ibu susunya. Menurut mereka faktor inilah yang menimbulkan kasih sayang antara anak dan ibu susunya karena anak itu melekat pada dada sang ibu yang merupakan tempat mencurahkan kasih sayang

23 Fuad Muhammad Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, h. 62.

Page 131: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

128

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

kepada buah hatinya. Syarat ini dipandang dari segi hubungan ruhani yang timbul dari perasaan cinta kasih bukan hanya sekedar tugas yang dilakukan tanpa mengandung arti dan makna.

Kelima, penyusuan ini hendaklah oleh manusia dewasa yaitu wanita yang telah mencapai umur kawin. Di sini jelas, bahwa manusia itu mempunyai tanggung jawab tersendiri di dalam hidup ini yaitu menjaga kebaikan hubungan antara satu dan lain dan hubungan darah itu mengandung arti yang luas.

Keenam, hendaklah penyusuan itu dari wanita Islam, sebab hal ini akan menimbulkan hubungan kekeluargaan. Hubungan kekeluargaan mempunyai dasar yang berguna, bermanfaat dan membawa arti dalam Islam. Dasarnya perkawinan dan mendapatkan anak adalah untuk menambah jumlah pengikut Rasulullah Saw. yang akan membanggakan beliau di hari kemudian.

Penyusuan menimbulkan hukum-hukum yang menentukan arti daripada penyusuan itu sendiri. Dari Siti Aisyah R.a. beliau berkata, “Diharamkan dengan penyusuan apa yang diharamkan dengan nasab/keturunan (dari ibu dan bapak)”. (H.r. al-Bukhari & Muslim)

Maka yang diharamkan dalam penyusuan itu sendiri ialah: Pertama, perkawinan antara anak yang menyusu dan keturunannya dengan keluarga daripada bapak dan ibu susunya, sebab mereka itu sedarah sedaging. Yang diharamkan disini ialah perkawinan yang mencakup tiga manusia ini (anak, ibu dan bapak susu) baik keturunan ke atas maupun ke bawah. Baik atas anak-anak kandung maupun anak susu berlaku hukum yang sama. Kedua, ketentuan ini tidak berlaku terhadap keluarga sampingan dari sang anak susu, sebab mereka tidak mempunyai sangkut paut apa pun dengan keluarga dengan keluarga ibu dan bapak susu itu. Yang dimaksud dengan keluarga sampingan ialah saudara-saudara, paman, bibi dan seterusnya dari anak susu itu. Ketiga, tidak haram bagi anak susu itu ibu dan saudara perempuan dari saudara yang menyusu dari satu wanita yang sama.

Adapun jumlah penyusuan yang menjadikan seseorang haram menikah atau dinikahi, yaitu Pertama, penyususan yang mencapai tiga kali isapan atau lebih, maka sudah termasuk dalam kategori yang haram dinikahi atau menikahi wanita yang menyusuinya dan orang-orang yang mempunyai hubungan dengannya baik karena keturunan maupun penyusuan. Demikian itulah pendapat yang disampaikan Dawud dan para sahabatnya serta sekelompok ulama. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah R.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Sekali dua kali hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan).“ (H.r. Muslim). Kedua, pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama salaf dan khalaf. Mereka menyatakan bahwa penyusuan itu baik sedikit maupun banyak dapat mengharamkan pernikahan. Pendapat ini bersumber dari Ali bin Abi !âlib, Ibnu Abbâs dan beberapa ulama salaf lainnya. Adapun pendapat para penganut mazhab al-Hadawiyah, penganut mazhab Hanafî,

Page 132: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

129

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

dan Imam Mâlik, mereka menyebutkan, “Yang menjadi batasannya adalah sampainya air susu ke dalam perut.” Ketiga, bahwa penyusuan itu tidak mengharamkan pernikahan kecuali lima kali penyusuan. Demikianlah pendapat Ibn Mas’ûd, Ibn Zubâir, dan sebuah riwayat dari Ahmad. Dalam hal ini mereka mendasari pendapat tersebut dengan hadis `Aisyah R.a. yang menyebutkan lima kali penyusuan yang berbunyi, “Dari `Aisyah R.a. bercerita: Pada awal-awal turunnya Alquran, sepuluh kali menyusu menjadi haram, kemudian ayat itu di-nasakh (dihapuskan) oleh ayat yang menyatakan lima kali saja sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah Saw. meninggal dunia, dan ayat Alquran itu masih tetap dibaca (dianggap) sebagai bagian Alquran.” (H.r. Muslim).24

Anak susu tidak menimbulkan hak dalam warisan dan ia tidak memasuki ruangan hak dan kewajiban anak kandung hanya saja ia mempunyai kedudukan di dalam hubungan darah yang mengharamkan beberapa jurusan perkawinan. Kedudukan anak susu lebih tinggi daripada kedudukan anak angkat, sebab anak angkat tidak mempunyai hubungan darah.

Anak Temuan atau Anak Pungut (al-Laqîth)

Menurut bahasa, al-laqîth disebut juga “al-manbûz” yaitu seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya di jalan. Sa’di Abu Jaib menambahkan, bahwa al-Laqîth adalah seorang anak yang ditemukan di jalan dan tidak diketahui orang tuanya.25 Sedangkan menurut istilah, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh fuqaha yaitu; menurut ulama Mazhab Syâfi’iyah, al-Laqîth adalah seorang anak yang dalam keadaan hidup dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau menghindari tuduhan zina. Imam Nawawi dalam kitab Raudhat al-!âlibîn mendefinisikan anak temuan (al-Laqîth) ialah anak-anak kecil (belum baligh berakal) yang disia-siakan oleh orang tuanya tanpa ada yang mengasuhnya (bapak, ibu, kakek, atau kerabat).26

Mâlikiyah mendefinisikannya al-Laqîth ialah seorang anak kecil yang tidak diketahui orang tuanya dan kerabatnya, sedangkan Hanâbilah mendefinisikan al-Laqîth adalah seorang anak yang tidak diketahui nasabnya atau anak yang tersesat di jalan, di antara kelahirannya sampai masa mumayyiz. Dalam hukum Islam pengasuhan terhadap anak yang tidak jelas asal-usulnya, termasuk dalam kelompok “anak pungut” al-Laqîth, yaitu anak yang dipungut dan tidak diketahui asal-usulnya secara jelas, karena bayi itu ditemukan dipinggir jalan, dan orang yang menemukan itu mengakui sebagai anaknya, maka nasab anak itu dapat dikuatkan

24 Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 187-189. 25 Sa’di Abu Jaib, al-Qâmûs al-Fiqh, (Suriah : Dar al-Fikr, 1998), h. 332.26 Imam Nawawi, Raudhatu al-!âlibin, (Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby, tth), jilid II,

h. 288.

Page 133: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

130

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

dan dipanggil berdasarkan orang tua angkat yang menemukannya. Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa al-Laqîth adalah

seorang anak yang hidup, yang dibuang keluarganya karena mereka takut akan kemiskinan, atau karena lari dari tuduhan. Pengertian ini dilihat dari segi sebab anak itu dibuang. Anak tersebut dibuang disebabkan dua hal. Pertama, karena takut tidak sanggup mendidiknya dan menafkahinya, kedua, karena takut adanya tuduhan yang menyangkut harga diri. Kemudian fuqaha sepakat bahwa anak yang tidak diketahui keberadaan keluarganya adalah termasuk dalam kategori al-Laqîth, sedangkan al-Hanâbilah dan al-Syâfi’iyah menambahkan batasan umur yaitu dari saat kelahirannya sampai masa tamyîz.

Adapun rukun al-Laqîth ada tiga, yaitu:27 1) mengambil anak yang dibuang; 2) anak yang dibuang; 3) orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut.

Imam Nawawi mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang menemukan anak tersebut agar dia bisa mengasuhnya, yaitu: 1) orang tersebut harus sudah cakap hukum (taklîf); 2) Merdeka, maka budak tidak diperbolehkan kecuali dapat izin dari tuannya; 3) Islam (seagama) antara anak tersebut dengan pengasuhnya; 4) Adil.

Memelihara kehidupannya berarti menghilangkan kesulitan semua orang, sama saja memberi kesejahteraan kepada mereka. Selain itu, anak adalah seorang manusia yang wajib dijaga jiwanya, seperti ketika ada orang yang sangat membutuhkan makanan, kita wajib membantunya, maka mengambil al-Laqîth lebih utama. Oleh karena itu, para ulama mewajibkan bagi yang menemukan anak tersebut (al-Laqîth) untuk mengambilnya jika tidak ada lagi orang selain dia. Para ahli fikih menetapkan bagi yang menemukan anak tersebut wajib (wajib kifayah) mengambilnya. Karena hal itu merupakan ihyâ’ li al-nafs. Dan diharapkan suatu saat dia akan bermanfaat dalam kehidupannya, hal ini ditegaskan dalam Q.s al-Maidah [5] : 32.

Namun pada kenyataannya, banyak orang yang tidak mengambil dan me-mungut mereka bahkan meninggalkannya, padahal mereka sanggup untuk memelihara dan mendidiknya. Karenanya, kemampuan yang cukup untuk pemeliharaan dan menjaga kehidupan orang lain termasuk tanggung jawab dalam lingkup jinayah dalam pandangan syariah dan undang-undang. Fukaha sepakat mengenai nasab al-Laqîth bahwa jika ada seorang muslim yang mengakui seorang anak sebagai anaknya, dan dia yakin bahwa anak tersebut bukan anak orang lain, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepadanya. Hal ini untuk menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan sang anak di antara masyarakat dengan menisbahkannya dengan ayah yang diketahuinya. Ketika ditetapkan nasabnya,

27 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid,(Kairo : Bab al-Halabi, 1981), jilid II, h. 30.

Page 134: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

131

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

maka harus ditetapkan juga hak-haknya sebagai seorang anak, baik berupa nafkah, pendidikan dan hak waris.28

Apabila tidak ada orang yang mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka dia tetap berada di tangan orang yang menemukannya. Orang tersebut menjadi walinya dan kewajibannya mendidik, dan memberikan pengetahuan yang bermanfaat supaya anak tersebut tidak menjadi beban masyarakat. Sedangkan nafkah menjadi kewajiban bait al-maal untuk membiayai hidupnya dan anak itu diasuh orang yang menemukannya. Orang yang menemukannya bertanggung jawab atas semua kebutuhan anak itu. `Umar bin al-Khathab berkata bagi orang yang menemukan seorang anak (al-mutalaqqith), “Kamu yang menjadi walinya, dan kewajiban kami menafkahinya.” Umar bin al-Khathab memberikan bagian nafkah anak itu dari apa yang dibutuhkannya, dan memberikan kepada walinya setiap bulan.29

Oleh karena itu, fukaha menetapkan bahwa jika yang menemukannya tidak baik perangainya, tidak bisa mendidiknya dengan baik, atau tidak jujur atas apa yang diberikan untuk nafkah anak itu, maka anak tersebut wajib diambil darinya dan penguasa berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tersebut.

Anak Tiri

Anak tiri ialah anak suami atau isteri dari perkawinannya dengan orang lain. Anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi anak tiri bagi sang suami atau sang isteri. Kedua keadaan ini membawa dampak persoalan dalam kedudukan anak. Di dalam kedua keadaan sang anak terkadang sering menimbulkan problema yang menyulitkan jalan hidup suami isteri.

Keberadaan anak tiri sering disalah-artikan oleh masing-masing pihak baik ibu atau ayah tirinya. Oleh karena itu anak tiri tersebut ada yang diserahkan kepada nenek atau kakek atau salah seorang anggota keluarga. Kemudian anak tiri ada yang diserahkan kepada panti asuhan, namun cara seperti ini tidaklah bijak karena sama saja orang tuanya tidak ingin mengasuhnya dan si anak akan merasa terasing dan jauh dari rasa kasih sayang orang tua mereka. Atau malah ada yang dibawa hidup dalam rumah tangga baru ini beserta ibu atau bapak tirinya. Namun masalah akan timbul tatkala orangtua mereka mempunyai anak yang lain. Tidak dapat dihindari akan timbul rasa cemburu satu sama lainnya. Alternatif terakhir mungkin anak tetap ikut serta dengan bapak atau ibu kandungnya yang menjanda atau menduda. Di dalam soal ini tidaklah terdapat problema apa pun, karena sang anak beserta ibu

28 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indoneisa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 172.

29 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), h. 60.

Page 135: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

132

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

atau bapak kandung sendiri.Akibat perceraian yang seringkali menjadikan status anak berubah, terlebih

ketika bapak atau ibunya menikah lagi. Maka akan timbul permasalahan mengenai pengasuhan anak. Menurut kalangan mazhab Imam Ahmad, apabila ibu menikah lagi dengan lelaki yang tidak dekat dengan anak-anak, maka menurut pendapat ini sebaiknya si ayah berhak mengambil mereka untuk diasuhnya.30

Adapun hukum anak tiri yaitu anak tiri tidak wajib dibiayai oleh ibu tirinya maupun bapak tirinya, tetapi nafkahnya ditanggung oleh bapak kandungnya. Dalam hal ini bukan berarti bahwa ibu atau bapak tiri itu tidak boleh membantu dan memperhatikan hidupnya karena tetap masih ada perasaan perikemanusiaan dan rasa santun yang menjadi jiwa manusia.

Anak tiri tidak boleh kawin dengan ibu atau bapak tirinya. Tetapi ia boleh kawin dengan keluarga bapak atau ibu tirinya. Anak tiri ditimbulkan oleh poligami atau perceraian. Anak tiri kadang-kadang menjadi penghalang bagi perkawinan ayah atau ibu kandungnya. Terkadang kedua manusia ini tidak mau melakukan perkawinan, karena khawatir kalau-kalau anak mereka tersiksa di dalam perkawinannya nanti. Anak tiri tidak mendapatkan warisan dari ibu atau bapak tirinya, tetapi mendapatkan bagian dari bapak kandung dan ibu kandungnya serta keluarga mereka masing-masing sesuai dengan aturan kewarisan.

Anak Zina dan Anak Lian

Anak zina (walad al-zinâ) adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah, dan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Secara implisit Alquran menyebutkan dalam Q.s. al-Mukminûn [23]: 5-6, menyatakan, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Selanjutnya di dalam Q.s. al-Isra’, [17]: 23 juga dijelaskan, Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan.

Larangan-larangan Alquran di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut.

Dan anak lian adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami istri saling melian dengan sifat tuduhan yang jelas. Definisi tersebut membicarakan dua jenis status anak, yaitu anak zina yang lahir dari

30 Yusuf bin Muhammad bin al-‘Atiq, Anak Bertanya Islam Menjawab, (Yogyakarta: Al-Manar, 2004), h. 168.

Page 136: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

133

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

hubungan yang tidak sah (zina) dan anak lian. Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila: a) istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan; b) melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.31

Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah menetapkannya selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surat al-Ahqâf [46]: 15, yang artinya, “Mengandung dan menyapihnya itu selama tiga puluh bulan”. Selanjutnya di dalam Q.s. Luqmân [31]: 14, Allah Swt. berfirman:

Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.

Dalam Q.s. al-Ahqâf [46]: 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqmân dijelaskan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24 bulan sama dengan enam bulan. Para ulama fikih sepakat bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun (24 bulan). Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24=6 bulan di dalam kandungan. Pendapat ini agaknya disepakati oleh ahli fikih yang diperoleh dengan menangkap dalil isyarah Alquran. Bahkan Wahbah al-Zuhayli menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan hukum yang sahih.32

Berdasarkan pandangan fikih ini, dapatlah dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.33

Dengan demikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Mengenai tenggang waktu ini ada aliran di antara ahli fikih yang berpendapat seorang anak lahir setelah melampaui tenggang ‘iddah sesudah perkawinan terputus, adalah

31 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, Cet ke-3, 2006), h. 278.

32 Musthafa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi Hukumnya, (Jakarta : Atmaja, 2003), h. 45.

33 Musthafa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi Hukumnya, (Jakarta: Atmaja, 2003), h. 45.

Page 137: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

134

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami istri itu. Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang waktu maksimum selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun tadi ibunya tidak ada mengeluarkan kotoran.34

Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Agaknya pandangan ini berdasarkan Hadis Rasulullah Saw. bersumber dari Ibn ‘Umar yang artinya;

Seorang laki-laki telah melian istrinya pada zaman Nabi Muhammad Saw. dan menafikkan anak yang lahir dari rahim istrinya tersebut. Nabi Muhammad menceraikan keduanya dan mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya. (H.r. Al-Bukhari dan Abu Daud). Pada riwayat yang lain juga ada penjelasan, “Rasulullah Saw. menetapkan hak waris anak lian (mulâ’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya.” (H.r. Abu Daud)

Adapun anak di luar kawin ialah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Dalam hukum pidana Islam, perbuatan zina tersebut merupakan tindak pidana (jarimah) hudûd yang telah ditentukan sangsi hukumannya dalam Nash baik Alquran maupun Hadis. Ada dua macam istilah yang digunakan bagi pelaku zina, yaitu (1) zina muhsan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah nikah. (2) zina Ghayr Muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa Zina ghair muhsan yang dilakukan oleh bujang/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhsan dirajam sampai mati sedangkan yang ghair muhson dicambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghair muhsan disebut anak di luar perkawinan.

34 Lihat, Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), h. 72.

Page 138: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

135

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam praktek hukum perdata pengertian anak luar kawin ada dua macam, yaitu: (1) apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin; (2) apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu disebut anak di luar nikah. Perbedaan keduanya adalah anak zina dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak di luar kawin dapat diakui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkennen) di pinggir akta perkawinannya. 35

Dalam Undang-undang Perkawinan no.1 tahun 1974 bab IX tentang kedudukan anak pasal 43 disebutkan bahwa, (1) anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Kemudian pasal 44 menyebutkan bahwa: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut; (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab VIII tentang kawin hamil pada pasal 53 berbunyi: Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (1) perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (2) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya; (3) dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dalam KHI pasal 100 disebutkan bahwa: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pasal 101 berbunyi: “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lian”. Pasal 102 berbunyi, (1) suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

35 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 81.

Page 139: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

136

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

KHI tampaknya menjelaskan lebih jauh berkenaan dengan anak sah menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami. Seorang suami yang mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan sedangkan istrinya tidak menyangkalnya, maka suami dapat menguatkan pengingkaran itu dengan lian.36

Dalam hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikannya, untuk menguatkan penolakannya suami harus dapat mem-buktikan, bahwa: pertama, suami belum pernah menjimak istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan. Kedua, lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjimak istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur. Ketiga, bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si isteri tidak dijimak suaminya.

Berkenaan dengan tata cara lian di atur di dalam pasal 126 dan 127. Pasal 126 berbunyi: “Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut”. Pasal 127 berbunyi: Tata cara lian di atur sebagai berikut: (1) suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. (2) istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar,”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar. (3) tata cara pada huruf (a) dan (b) tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. (4) apabila tata cara huruf (a) tidak diikuti dengan tata cara huruf (b), maka tidak dianggap terjadi lian.

Selanjutnya pada pasal 128 dinyatakan bahwa, “lian hanya sah dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama”. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada pengadilan agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah lahirnya anak atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Apabila gugatan diajukan setelah berlalu waktu tersebut di atas gugatan tidak dapat diterima.

Dalam penjelasan pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa yang berkepentingan wajib disumpah (maksudnya suami yang menyangkal sahnya anak tersebut), di dalam hukum Islam juga demikian halnya, yaitu si suami harus

36 Lian secara bahasa berarti laknat. Secara terminologis, lian adalah putusnya perkawinan karena si suami menuduh istrinya berzina dan si isteri menolak tuduhan itu. Keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah. Lihat, Sajuti !alib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1982), h. 118.

Page 140: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

137

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

bersumpah empat kali dengan mengatakan ia benar, dan pada yang kelima kalinya ia mengucapkan, “Bahwa ia akan dilaknat Allah kalau tuduhannya itu dusta”, inilah yang dimaksud dengan penyelesaian secara lian apabila si istri tidak menyangkal tuduhan suaminya tersebut.37

Yang menarik adalah KHI tampaknya juga mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi akibat kemajuan teknologi kedokteran seperti bayi tabung. Di dalam pasal 99 KHI dinyatakan, “Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Maksudnya pembuahan anak di luar rahim itu sah dan dibolehkan selama pembuahan itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan dilahirkan oleh istrinya sendiri. Sebaliknya, tidak dibenarkan menggunakan atau menyewa rahim wanita lain.38 Dengan demikian, yang membedakannya dengan konsepsi kelahiran normal hanyalah pada proses pembuahannya.

Dalam konteks pembaharuan hukum Islam di Indonesia, pasal-pasal yang berkenaan dengan asal-usul dan status anak ini ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi, yaitu: Pertama, pengertian anak sah sebagai lawan anak zina atau anak luar nikah diperluas, tidak saja dalam makna yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah, tetapi juga anak yang lahir “dalam” perkawinan yang sah. Artinya, anak yang konsepsinya di luar nikah, lalu lahir dalam perkawinan yang sah, maka statusnya sebagai anak sah. Ketentuan ini tentu berbeda dengan Fikih Islam.

Kedua, berkenaan dengan status anak luar nikah (anak zina) yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, Undang-undang Perkawinan dan KHI tidak berbeda dengan penjelasan fikih. Ketiga, proses lian yang dilakukan di depan Pengadilan Agama adalah satu bentuk inovasi hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah mursalah). Dikatakan inovasi karena, fikih Islam tidak ada menjelaskan bagaimana proses atau teknis lian itu dilakukan. Keempat, Tampaknya berkenaan dengan asal-usul anak ini, baik UUP dan KHI juga melakukan sebuah inovasi hukum yang secara metodologis mengacu pada al-maslahah al-mursalah. Jadi, di sini yang dipertimbangkan adalah kemaslahatan anak dengan adanya akta tersebut.39

37 Berkenaan dengan tata cara gugatan pengingkaran sahnya anak lebih luas dapat dilihat pada, Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata: Wewenang Peradilan Agama, (Ja-karta: Rajawali Pers, 2001), h. 83-84.

38 M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Dadan Muttaqin, Sidik Tono dan Amir Maulim (ed), Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), h. 106.

39 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, Cet ke-3, 2006), h. 290.

Page 141: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

138

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Penutup

Dari paparan tulisan ini, dapatlah disimpulkan bahwa: Pertama, pada dasarnya perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan (anak). Anak adalah amanat yang diserahkan Allah kepada kedua ibu bapaknya. Anak adalah penyambung susunan hidup ibu bapaknya hingga setelah matipun tetap ada hubungan antara anak, ayah dan ibunya. Hubungan yang demikian ini adalah hubungan darah dan bukan hubungan air. Allah menentukan tanggung jawab ibu bapak terhadap anak-anak mereka di dalam segala segi kehidupan. Hal ini ditegaskan Allah Swt. dalam Q.s. al-An’âm [6]: 151 dan Q.s. al-Isrâ’ [17]: 31.

Kedua, dalam hukum Islam, status anak terdiri dari anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan anak zina. Dari masing-masing status anak ini mendapat perhatian khusus dalam Islam yang menentukan statusnya baik di dalam keturunan, kewarisan maupun dalam pandangan masyarakat dan ketentuan hukumnya.

Ketiga, mengenai ketentuan hukum status anak, secara mendetail dijelaskan dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Oleh karena itu, dengan mengetahui kepastian status seorang anak, tentunya dapat menghindari permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari. Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku, seorang anak berhak mendapatkan haknya, apaun status anak tersebut di masyarakat. Padahal sepertinya tidaklah adil bagi seorang anak zina untuk memikul beban berat akibat status yang diembannya, dikarenakan akibat perbuatan orang tuanya. [] Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.

Pustaka Acuan

Al-Qur’ân al-Karîm`Atiq, al, Yusuf bin Muhammad bin, Anak Bertanya Islam Menjawab, Yogyakarta:

Al-Manar, 2004.Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006,

Cet. I.Anis, Ibrahim dan Abd. Halim Muntashir (et. al), Al-Mu’jam Al-Wasîth, Mesir:

Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I.Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006.Crowther, Jonathan, (ed.) Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford University:

1996.

Page 142: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

139

Masyrofah: Status Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.Fachruddin, Fuad Mohd., Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: CV. Pedoman

Ilmu Jaya, 1991, Cet ke-2.Harahap, M. Yahya, “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Dadan Muttaqin,

Sidik Tono dan Amir Maulim (ed), Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000.

Jaib, Sa’di Abu, al-Qâmûs al-Fiqh, Suriah : Dar al-Fikr, 1998.Kamil, Ahmad, dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

Indoneisa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2006, cet. 1Manan, Abdul, dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata: Wewenang Peradilan

Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2001.Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Ahwâl al-Syahsiyyah ‘ala al-Madzahib al-

Khamsah. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-Malayain, 1964.Nawawi, Imam, Raudhatu al-!âlibin, Mesir : Mustafa al-Baby al-Halaby, tth, jilid

II.Nuruddin, Amiur, & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia

(Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, Cet ke-3, 2006.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1960.Rahman, Musthafa, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta :

Atmaja, 2003.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Kairo : Bab al-Halabi, 1981, jilid II.

Sayis, al-, Muhammad ‘Ali, Tafsir Âyât al-Ahkâm, Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih’wa Auladih, 1372 H/1953 M, Jilid IV.

Simorangkir, JCT, Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru, 1987.Syaltut, Mahmud, al-Fatawa, Kairo Mesir: Dar al-Syurûq, 1991.

Page 143: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

140

Ahkam Vol. XI No. 1 Januari 2011

Syîrâzi, al-Abu Ishâq, al-Muhadzab fi Fiqh al-Syâfi’î, jilid II, Mesir; t.p., t.th..!alib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1982.Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar

Grafika, 2002Zuhayli, al-Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa al-Adillatuh, Juz. 9, Beirut: Dâr al-Fikr

al-Ma’ashir, Cet. IV, 1997

Page 144: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

PETUNJUK PENULISAN NASKAH

1. Tulisan merupakan karya asli penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi pada media lain;

2. Naskah dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh;3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Melayu, Inggris, Arab, atau bahasa internasional

lainnya;4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dalam bidang syariah;5. Aturan penulisan adalah sebagai berikut:

a. Judul: di tulis dengan huruf kapital, maksimum 3 baris diposisikan di tengah (centered);

b. Nama penulis: ditulis utuh, tanpa gelar, disertai afiliasi kelembagaan dengan alamat lengkap, dan alamat e-mail;

c. Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia untuk naskah yang berbahasa Asing dan bahasa Inggris untuk naskah yang berbahasa Indonesia, antara 100-500 kata;

d. Sistematika penulisan: sistematika penulisan naskah konseptual atau pemikiran tokoh sebagai berikut: 1) Judul;2) Nama penulis (tanpa gelar akademik), nama dan alamat afiliasi penulis, dan e-

mail;3) Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris, antara

100-150 kata;4) Kata-kata kunci: antara 2-5 konsep;5) Pendahuluan;6) Sub judul (sesuai dengan keperluan pembahasan);7) Penutup; dan 8) Pustaka Acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk);Untuk naskah hasil penelitian sebagai berikut:1) Judul;2) Nama penulis (tanpa gelar akademik ), nama dan alamat afiliasi penulis, dan

e-mail;3) Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia untuk naskah yang berbahasa Asing dan ba-

hasa Inggris untuk naskah yang berbahasa Indonesia, antara 100-500 kata;4) Kata kunci: antara 2-5 konsep;5) Pendahuluan: berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan peneli-

tian. 6) Metodologi;7) Hasil dan pembahasan;8) Penutup;

Page 145: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

9) Pustaka acuan (hanya untuk sumber-sumber yang dirujuk).e. Ukuran kertas: kertas yang digunakan adalah ketas HVS 70 gram, ukuran A4,

ukuran margin: atas 2,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri 3,5 cm, dan kanan 2,5 cm; f. Panjang naskah antara 10 s.d. 15 halaman, spasi 1; g. Pengutipan kalimat: kutipan kalimat dikutip secara langsung apabila lebih dari

empat baris dipisahkan dari teks dengan jarak satu spasi, sedangkan kutipan empat baris ke bawah di integrasikan dalam teks, dengan tanda apostrof ganda di awal dan di akhir kutipan. Setiap kutipan diberi nomor; sistem pengutipan adalah footnote (bukan bodynote atau endnote). Penulisan footnote menggunakan sistem turabian. Setiap artikel, buku, dan sumber lainnya yang dikutip harus tercantum dalam pustaka acuan.

h. Pengutipan ayat Alquran dan Hadis: Ayat yang dikutip menyertakan keterangan ayat dalam kurung, dengan menyebut nama surah, nomor surah, dan nomor ayat, seperti (Q.s. al-Mu’min [40]: 43). Pengutipan Hadis menyebutkan nama perawi (H.r. al-Bukhâri dan Muslim) ditambah referensi versi cetak kitab Hadis yang dikutip. Hadis harus dikutip dari kitab-kitab Hadis standar (kutub al-tis‘ah).

i. Cara pembuatan footnote: footnote ditulis dengan font times new roman, 10, untuk pelbagai sumber, antara lain:1) Buku: nama utuh penulis (tanpa gelar), judul buku (tempat terbit: penerbit, ta-

hun terbit), halaman. Contoh: Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 13.

2) Buku terjemahan, contoh: Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, diterjemahakan oleh M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 50.

3) Jurnal, contoh: Bilveer Singh, “The challenge of Militant Islam and Terrorism in Indonesia,” Dalam Australian Journal of internasional Affairs, Vol. 58, No. 1 (March 2004), h. 47-48.

4) Artikel sebagai bagian dari buku (antologi), contoh: Amiur Nurrudin, “Kontri-busi Fiqh Mu’amalah dalam Pengembangan Aktivitas Ekonomi Islam,” dalam Azhari Akmal Tarigan (ed), Ekonomi dan Bank Syari’ah pada Millennium Ke-tiga: Belajar dari Pengalaman Sumatera Utara (Medan: UIN Press dan FKEBI, 2002), h. 2.

5) Artikel dari internet, contoh: Ahmad Tholabi Kharlie, “Formalisasi Syariat Is-lam, Mengapa Tidak?” dalam http://ahmadtholabi.wordpress.com di unduh pada 17 Maret 2006;

6) Artikel dari majalah, contoh: Syu’bah Asa, “Pengantin Darah”, dalam Tempo, No. 30/XXX111/20, 20 September 2004.

7) Makalah dalam seminar, contoh: Syahrul A’dam, “Menggagas Zakat dan Wakaf Produktif ”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Filantropi Islam untuk Pemberdayaan Masyarakat, diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 5-6 Juni 2008.

j. Pustaka acuan: daftar pustaka acuan ditulis sesuai urutan abjad, nama akhir penulis pertama. Contoh:1) Buku: Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Page 146: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

2) Buku terjemahan: Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, diterjemahkan

oleh M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003.

3) Jurnal: Singh, Bilveer, “The Challenge of Militant Islam and Terrorism in Indonesia,”

dalam Australian Journal of International Affairs, Vol. 58, No. 1 (March 2004).

4) Artikel sebagai bagian dari buku: Nuruddin, Amiur, “Kontribusi Fiqh Mu’amalah dalam Pengembangan Aktivitas

Ekonomi Islam,” dalam Azhari Akmal Tarigan (ed), Ekonomi dan Bank Syari’ah pada Millennium Ketiga: Belajar dari Pengalaman Sumatera Utara, Medan: UIN Press dan FKEBI, 2002.

5) Artikel yang di kutip dari internet: Kharlie, Ahmad Tholabi, “Formalisasi Syariat Islam, Mengapa Tidak?”, dalam

http://ahmadtholabi.wordpress.com, diunduh pada 17 Maret 2006.6) Majalah: Asa, Syu’bah, “Pengantin Darah”, dalam Tempo, No. 30/XXX111/20, 20 Sep-

tember 20047) Makalah dalam seminar: A’dam, Syahrul, “Menggagas Zakat dan Wakaf Produktif,” makalah disampaikan

dalam Seminar Sehari Filantropi Islam untuk Pemberdayaan Masyarakat, diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 5-6 Juni 2008.

k. Pedoman transliterasi: ketentuan transliterasi (dari tulisan Arab ke tulisan latin) adalah sebagai berikut:

Konsonana = (اا) z = (زز) q = (قق)b = (بب) s = (سس) k = (كك)t = (تت) sy = (شش) l = (لل)ts = (ثث) sh = (صص) m = (مم)j = (جج) dh = (ضض) n = (نن)h = (حح) th = (طط) w = (وو)kh = (خخ) zh = (ظظ) h = (هه)d = (دد) ‘ = (عع) ’ = (ءء)dz = (ذذ) gh = (غغ) y = (يي)r = (رر) f = (فف) t = ( ةة )

Vokal Pendek Vokal Panjang______ = a â = (ـــ اا) = i î = (ـــ ىى)______ = u û = (ـــ وو)

Page 147: Jurnal Ahkam Vol XI No 1.pdf

Diftong Pembauranaw = (أأوو) al = (االل)ay = (أأيي) al-sy = (االش)

-wa al = (وواالل)

l. Istilah keislaman (Syariah): ditulis dengan berpedoman kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Berikut beberapa contoh:

No. Transliterasi Asal Dalam KBBI1 Shalât Salat2 ‘Iddah Idah3 Khulu’ Khuluk4 Thalaq Talak5 Nash Nas6 Nusyûz Nusyu7 Al-Qur’ân Alquran8 Al-Hadîts Hadis9 Fiqh Fikih10 Fuqahâ Fukaha11 Sunnah Sunah

Dan lain-lain (lihat KBBI)

m. Penutup: artikel ditutup dengan kesimpulan;n. Biografi singkat: biografi penulis mengandung unsur nama (lengkap dengan gelar

Akademik), tempat tugas, riwayat pendidikan formal (S1, S2, S3) bidang keahlian Akademik;

6. Naskah sudah diserahkan ke penyunting pelaksana, selambat-lambatnya dua bulan sebelum waktu penerbitan dengan menyertakan soft copy dan hard copy;

7. Penyunting berhak melakukan penyuntingan naskah tanpa mengubah substansi dan makna naskah;

8. Isi naskah di luar tanggung jawab penyunting.