jukri, dkk (2013), keanekaragaman jenis ikan di sungai lamunde, urnal mina laut indonesia

Upload: zagat-nata

Post on 31-Oct-2015

293 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

tiko

TRANSCRIPT

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 23

    Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Lamunde Kecamatan Watubangga Kabupaten

    Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara

    Diversity of Fish Species in Lamunde River of Watubangga District, Kolaka Regency, Southeast

    Province

    Muhammad Jukri *)

    , Emiyarti **)

    dan Syamsul Kamri ***)

    Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kendari 93232

    e-mail: *[email protected],

    **[email protected], dan

    ***[email protected]

    Abstrak

    Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Sungai Lamunde selama 2 bulan, Maret-April 2012. Tujuan penelitian ini

    untuk mengetahui keanekaragaman jenis ikan dan kondisi kualits air Sungai Lamunde. Data yang dikumpulkan

    selama penelitian yaitu data parameter lingkungan dan data komunitas ikan. Alat tangkap yang digunakan untuk

    sampling ikan adalah jaring insang, bubu, seser, pancing, dan jaring tebar. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

    30 famili, 31 genus, 34 spesies dan 1024 individu ikan, berdasarkan hasil penelitian Stasiun I ditemukan 28 jenis

    ikan, Stasiun II 30 jenis ikan, dan Stasiun III 11 jenis. Berdasarkan indeks keanekaragaman (H) berada pada dua kategori yaitu rendah dan sedang berkisar antara 0,743-1,399 yang berturut-turut pada Stasiun I, Stasiun II

    dan Stasiun III yaitu 1,156; 1,399 dan 0,743 dengan rata-rata 1,099 (kategori sedang), nilai indeks keseragaman

    (E) berada pada dua kategori yaitu rendah dan tinggi berkisar antara 0,485-0,914 yang berturut-turut pada

    Stasiun I, Stasiun II dan Stasiun III yaitu 0,755; 0,914 dan 0,485 dengan rata-rata 0,718 (tinggi), sedangkan nilai

    indeks dominansi (C) berada pada kategori rendah berkisar antara 0,102-0,515 yang berturut-turut pada Stasiun

    I, Stasiun II dan Stasiun III yaitu 0,102; 0,515 dan 0,250 dengan rata-rata 0,289 (kategori rendah). Parameter

    lingkungan perairan yang terukur selama penelitian kecepatan arus berkisar 0,105-0,388 m.dtk-1

    , debit air

    berkisar 2,92-41,22 m3.dtk

    -1, suhu berkisar 30,5-31

    oC, kecerahan berkisar 18,7-46,7%, salinitas berkisar 3,25-

    28o/oo. pH berkisar 7,3-8 dan oksigen terlarut berkisar 6,64-8,7 mg.L

    -1.

    Kata Kunci: Keanekaragaman, Ikan, Kualitas perairan, Sungai Lamunde

    Abstract

    This research was conducted in Lamunde River during 2 months i.e. from March to April 2012. The aim of this

    research was to observe type of diversity of fish and water quality in Lamunde River. Data collected was

    environment parameters and fish community data. Fishing gears used to take fishes were gill nets, fish traps, fish

    net, fishing rods and stocking net. The results showed that there were 30 families, 31 genus, 34 species and 1024

    individual fishes. At Station I was found 28 species of fish, Station II 30 species and Station III 11 species.

    Diversity index values were at the medium to high categories ranging from 0.743-1.399, i.e. Station I, Station II

    and Station III were 1.156; 1.399; and 0.743 respectively with average 1.099 (the medium category) Unformity

    index values were in lows category i.e. at Station I, Station II and Station III were 0.328; 0.397 and 0.211

    respectively with average 0.312 (the low category), while values of the dominance index were in low categories

    i.e. at Station I, Station II and Station III were 0.102; 0.515 and 0.250 respectively with average 0.289 (the low

    category). Environmental parameters showed that current velocity was 0.105-0.038 m.sec-1

    , water discharge

    2.92-41.22 m3.sec

    -1, temperature 30.55-31

    oC, water clarity 8.7-46.7%, salinity 3.25-28

    o/oo. pH 7.3-8 and

    dissolved oxygen 6.64-8.7 mg.L-1

    .

    Key words: Diversity, Fish, Water quality, Lamunde River

    Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 01 No. 01 (23 37) ISSN : 2303-3959

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 24

    Pendahuluan

    Kabupaten Kolaka adalah salah satu

    kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi

    Tenggara. Berdasarkan data profil Tahun 2005

    Kabupaten Kolaka mempunyai luas perairan umum

    sekitar 20.000 km2 yang terdiri dari perairan sungai,

    rawa, danau, chek dam, dan genangan air lainnya.

    Di Kabupaten Kolaka terdapat beberapa sungai

    utama antara lain: Sungai Toari, Sungai Lamunde,

    Sungai Watubangga, Sungai Wolulu, Sungai Oko-

    oko, dan Sungai Merah.

    Perairan Sungai Lamunde merupakan salah

    satu sungai utama di Kabupaten Kolaka dengan

    panjang + 6 km dan bermuara di Teluk Bone. Hasil

    observasi di lapangan bahwa Sungai Lamunde

    melintasi pemukiman penduduk, areal perkebunan

    dan areal pertambakan. Sumber air dari sungai ini

    tidak ditemukan dari mata air dan danau, melainkan

    sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan pasang

    surut. Hujan yang turun melewati lereng-lereng

    dataran tinggi dan tertangkap di daerah persawahan

    tadah hujan dan mengalir ke sungai tersebut. Debit

    air Sungai Lamunde meningkat di musim penghujan

    dan menurun di musim kemarau.

    Sumberdaya hayati ikan yang ada di sungai ini

    mempunyai peran penting. Sungai Lamunde saat ini

    dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk

    kegiatan perikanan. Selain itu terdapat juga

    kegiatan-kegiatan perbaikan saluran sungai yang

    tidak ramah lingkungan dan penebangan mangrove.

    Akibat adanya aktifitas masyarakat di sepanjang

    Sungai Lamunde diduga telah menyebabkan kondisi

    perairan terganggu dan mempengaruhi stabilitas

    ekosistem perairan tersebut serta mengancam

    keberadaan biota yang hidup di Sungai Lamunde

    khususnya ikan. Keberadaan ikan dapat dipengaruhi

    oleh kualitas perairan di sekitarnya.

    Keanekaragaman dan kelimpahan ikan juga

    ditentukan oleh karakteristik habitat perairan.

    Karakteristik habitat di sungai sangat dipengaruhi

    oleh kecepatan aliran sungai. Kecepatan aliran

    tersebut ditentukan oleh perbedaan kemiringan

    sungai, keberadaan hutan atau tumbuhan di

    sepanjang daerah aliran sungai yang akan berasosiasi

    dengan keberadaan hewan-hewan penghuninya

    (Ross, 1997; Hallet et al., 2012).

    Beberapa studi keanekaragaman jenis ikan

    telah dilakukan di beberapa tempat. Akan tetapi

    penelitian ini belum pernah dilakukan di Sungai

    Lamunde dan secara umum penelitian yang

    terpublikasi masih dianggap sangat kurang

    mengingat data-data dasar yang bersifat time series

    atau tahunan masih belum dilakukan secara intensif.

    Hal ini menjadi acuan bahwa diharapkan penelitian

    ini akan memberikan informasi yang bermanfaat

    bagi pengelolaan sungai tersebut. Dengan melihat

    uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan

    bahwa terdapat beberapa permasalahan utama dalam

    rangka pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungan

    di Sungai Lamunde antara lain sebagai berikut: 1)

    Belum diketahuinya jenis-jenis ikan yang hidup di

    Sungai Lamunde, 2) Belum diketahuinya nilai

    Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan

    Indeks Dominansi Jenis. Tujuan penelitian ini yaitu

    untuk mengetahui keanekaragaman jenis ikan yang

    ada di Sungai Lamunde dan kondisi kualitas air

    Sungai Lamunde.

    Manfaat penelitian ini dapat menjadi bahan

    informasi bagi masyarakat, pemerintah, maupun bagi

    peneliti selanjutnya mengenai keanekaragaman jenis

    ikan di Sungai Lamunde. Hasil penelitian ini

    diharapkan dapat menjadi referensi dalam upaya

    pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di

    sepanjang Sungai Lamunde.

    Metode dan Bahan

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-

    April 2012, yang bertempat di Sungai Lamunde

    Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Provinsi

    SulawesiTenggara.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 25

    Gambar 1. Peta lokasi penelitian (BAPPEDA, 2011)

    Variabel yang diamati dalam penelitian ini

    meliputi data spesimen ikan, pengumpulan data

    parameter lingkungan Sungai Lamunde (suhu,

    kecepatan arus, debit air, kecerahan, pH, dan DO),

    dan informasi dari nelayan dan penduduk setempat

    (jumlah dan jenis hasil tangkapan).

    Penentuan lokasi penelitian dipilih di daerah

    aliran Sungai Lamunde dengan menggunakan

    metode acak sistematik (systematic random

    sampling) yaitu penentuan stasiun pengamatan

    dengan melakukan pembagian lokasi secara merata

    berdasarkan jumlah contoh atau stasiun yang

    diinginkan. Adapun tiga stasiun penelitian dengan

    deskripsi lokasi sebagai berikut :

    1. Stasiun I berada pada muara Sungai Lamunde (0430'47.2''LS 12129'42.1''BT sampai

    0430'45.4''LS 12129'56.3''BT) yang

    dipergunakan sebagai tempat parkiran kapal-

    kapal nelayan dan kegiatan penangkapan ikan.

    2. Stasiun II berada di sekitar wilayah pertambakan rakyat (0430'36.4''LS 12130'5.1''BT sampai

    0430'51.2''LS 12130'12.6''BT) yang berjarak +

    2 km dari Stasiun I dan Stasiun III.

    3. Stasiun III berada di sekitar wilayah persawahan dan perkebunan rakyat (0431'1.7''LS

    12130'5.7''BT sampai 431'25.9''LS

    12129'50.4''BT).

    Pada setiap stasiun pengamatan dilakukan

    pengoperasian berbagai alat pengukur parameter

    lingkungan dan untuk pengambilan sampel ikan

    dilakukan dengan koleksi bebas. Alat tangkap yang

    digunakan antara lain pancing, jaring insang, bubu,

    dan jala tebar.

    Pengukuran kualitas perairan dilakukan

    dengan bersamaan penangkapan ikan. Data yang

    dikumpulkan pada penelitian ini yaitu data primer

    fisik dan kimia perairan. Parameter fisik yang

    diukur yaitu kecepatan arus, kecerahan, suhu,

    salinitas dan debit air. Parameter kimia yang diukur

    yaitu oksigen terlarut (DO) dan pH.

    Pengambilan data dilakukan setiap dua

    minggu sekali dalam dua bulan penelitian. Sebagai

    data penunjang dari data diatas maka dilakukan

    wawancara dengan masyarakat nelayan atau

    penduduk setempat yang berada di sekitar sungai

    tersebut mengenai jumlah jenis ikan yang ada dan

    alat tangkap yang digunakan.

    Analisis Data

    1. Komposisi Jenis (P)

    Kekayaan jenis ikan dalam setiap lokasi

    pengamatan dinyatakan dengan melihat komposisi

    jenisnya melalui rumus (Odum, 1996).

    P =

    x 100%....(1)

    Peta Lokasi Penelitian

    Desa Lamunde

    Lokasi Penelitian

    (Sungai Lamunde)

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 26

    Dimana:

    P = Komposisi Jenis (%)

    ni = Jumlah Individu Tiap Jenis

    N = Jumlah Individu Seluruh Jenis

    2. Indeks Keanekaragaman (H) Menurut Soegianto (1994) bahwa indeks

    keanekaragaman jenis (H) adalah indeks yang menunjukkan banyak tidaknya jenis dan individu

    yang ditemukan pada suatu perairan. Selanjutnya

    menurut Fachrul (2007) menjelaskan bahawa indeks

    keanekaragaman (indeks of diversity) berguna dalam

    mempelajari gangguan faktor-faktor lingkungan

    (abiotik) terhadap suatu komunitas atau untuk

    mengetahui suksesi atau stabilitas suatu komunitas.

    Tujuan utama teori informasi Shannon-Wienner

    adalah untuk mengukur tingkat keteraturan dan

    ketidakteraturan dalam suatu sistem. Adapun

    persamaannya adalah sebagai berikut.

    H = - pi log2 pi ..(2)

    Dimana:

    H= Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pi= Perbandingan antara jumlah individu spesies

    jenis ke-i dengan jumlah total individu (ni/N)

    S = Jumlah spesies

    ni = Jumlah individu jenis ke-i

    N = Jumlah total individu

    Kriteria penilaian berdasarkan keanekaragaman

    jenis adalah:

    H < 1 : Keanekaragaman rendah 1 < H < 3 : Keanekaragaman sedang H > 3 : Keanekaragaman tinggi

    3. Indeks Keseragaman (E)

    Menurut Odum (1996) bahwa indeks

    keseragaman adalah indeks yang menggambarkan

    ukuran jumlah individu antara spesies dalam suatu

    komunitas ikan. Semakin merata penyebaran

    individu antara spesies maka keseimbangan

    ekosistem semakin meningkat. Sedangkan Dahuri

    dkk. (1993) dalam Fachrul (2007) menjelaskan

    bahwa semakin besar indeks keseragaman spesies

    atau genus, berarti jumlah individu setiap spesies

    dapat dikatakan tidak jauh berbeda dan dalam

    komunitas tersebut didominasi komunitas tertentu

    kecil.

    Indeks keseragaman adalah indeks yang

    menunjukkan pada sebaran biota yaitu merata atau

    tidak. Jika nilai indeks keseragaman relatif tinggi

    maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam

    kondisi merata (Fachrul, 2007). Adapun

    persamaannya adalah sebagai berikut.

    E =

    .(3)

    Dimana:

    E = Indeks keseragaman

    H maks = Log2 S

    S = Jumlah spesies dalam komunitas

    H = Indeks keanekaragaman Shannon Wienner

    Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1.

    Kriteria nilai indeks keseragaman sebagai berikut:

    E =0 :Kemerataan antara spesies rendah, artinya

    kekayaan individu yang dimiliki masing-

    masing spesies sangat jauh berbeda.

    E =1 : Kemerataan antara spesies relatif merata atau

    jumlah individu masing masing spesies relatif

    sama.

    4. Indeks Dominansi jenis (C)

    Indeks Simpson dapat digunakan untuk

    mengetahui terjadi dominansi jenis tertentu di

    perairan (Fachrul, 2007). Adapun persamaannya

    adalah sebagai berikut.

    C = =1 [

    ]

    2 .(4)

    Dimana:

    C = Indeks dominansi simpson

    S = Jumlah genera/spesies

    ni = Jumlah individu jenis ke-i

    N = Jumlah total individu

    Nilai indeks dominasi antara 0-1. Kriteria

    indeks dominansi adalah sebagai berikut:

    C =0 :Dominansi rendah, artinya tidak terdapat

    spesies yang mendominasi spesies lainnya

    atau struktur komunitas dalam keadaan

    stabil.

    C =1 :Dominansi tinggi, artinya terdapat spesies

    yang mendominasi jenis spesies yang

    lainnya atau struktur komunitas labil, karena

    terjadi tekanan ekologis (stress).

    5. Debit Air

    Debit (discharge) dinyatakan sebagai volume

    yang mengalir pada selang waktu tertentu, biasanya

    dinyatakan dalam satuan m3.dtk

    -1. Perhitungan debit

    air tertentu ditentukan dengan persamaan (Effendi,

    2003).

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 27

    D = V x A ..(5)

    Dimana:

    D = Debit air (m3.dtk

    -1)

    V = Kecepatan arus (m.dtk-1

    )

    A = Luas penampang (m2)

    Hasil

    Hasil penelitian parameter lingkungan yang

    diperoleh selama periode penelitian adalah sebagai

    berikut:

    a. Kecepatan Arus

    Hasil pengukuran rata-rata kecepatan arus

    pada tiap stasiun selama penelitian berkisar

    antara 0,105-0,388 m.dtk-1

    , pada Stasiun I

    (0,388 m.dtk-1

    ), Stasiun II (0,282 m.dtk-1

    ),

    dan Stasiun III (0,105 m.dtk-1

    ). Hasil

    pengukuran kecepatan arus Sungai Lamunde

    disajikan pada Gambar 2.

    Gambar 2. Histogram hasil pengukuran kecepatan arus Sungai Lamunde pada setiap stasiun pengamatan

    b. Debit Air Hasil pengukuran rata-rata debit air pada tiap

    stasiun selama penelitian berkisar antara 2,92-41,22

    m3.dtk

    -1, pada Stasiun I (41,22 m

    3.dtk

    -1), Stasiun II

    (4, 96 m3.dtk

    -1), dan Stasiun III (2,92 m

    3.dtk

    -1).

    Selengkapnya disajikan pada gambar 3 dibawah ini.

    Gambar 3. Histogram hasil pengukuran debit air pada setiap stasiun pengamatan

    c. Suhu Hasil pengukuran rata-rata suhu pada tiap

    stasiun selama penelitian berkisar antara 30,5-31oC,

    pada Stasiun I (30,75 o

    C), Stasiun II (31 o

    C), dan

    Stasiun III (30,5 o

    C). Hasil pengukuran suhu Sungai

    Lamunde disajikan pada Gambar 3.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 28

    Gambar 3. Histogram hasil pengukuran suhu Sungai Lamunde pada setiap stasiun pengamatan

    d. Salinitas Hasil pengukuran rata-rata salinitas pada tiap

    stasiun selama penelitian berkisar antara 3,25-28o/oo,

    pada Stasiun I (28), Stasiun II (23,25), dan Stasiun

    III (3,25). Hasil pengukuran salinitas Sungai

    Lamunde disajikan pada Gambar 4.

    Gambar 4. Histogram hasil pengukuran salinitas Sungai Lamunde pada setiap stasiun pengamatan

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 29

    e. Derajat Keasaman (pH) Hasil pengukuran rata-rata pH pada tiap

    stasiun selama penelitian berkisar antara 7,3-8,0,

    pada Stasiun I (8), Stasiun II (8), dan Stasiun III

    (7,3). Hasil pengukuran pH Sungai Lamunde

    disajikan pada Gambar 5.

    Gambar 5. Histogram hasil pengukuran derajat keasaman (pH) Sungai Lamunde pada setiap stasiun pengamatan

    f. Oksigen Terlarut (DO) Hasil pengukuran rata-rata oksigen terlarut pada

    tiap stasiun selama penelitian berkisar antara 6,64-8,7

    mg.L-1

    , pada Stasiun I (8,7 mg.L-1

    ),StasiunII(7,16 mg.L-1

    ),

    dan Stasiun III (6,64 mg.L-1

    ). Kadar oksigen terlarut

    tertinggi pada Stasiun I dan tang terendah pada Stasiun

    III. Hasil pengukuran oksigen terlarut Sungai Lamunde

    disajikan pada Gambar 6.

    Gambar 6. Histogram hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) Sungai Lamunde pada setiap stasiun pengamatan

    Pembahasan

    1. Kecepatan Arus

    Kecepatan arus merupakan jarak yang

    ditempuh suatu badan air per satuan waktu.

    Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian

    diperoleh kecepatan arus Perairan Sungai

    Lamunde pada setiap stasiun tidak

    memperlihatkan perbedaan yang besar yakni

    berkisar 0,105-0,388 m.dtk-1

    .

    Kecepatan arus di perairan ini cukup untuk

    pertumbuhan dan kehidupan ikan. Rendahnya

    arus pada Stasiun III yang mempunyai kecepatan

    0,105 m.dtk-1

    , hal ini dikarenakan pada stasiun

    tersebut tidak memiliki sumber mata air dari

    gunung melainkan bersumber dari hujan yang

    mengalir turun di sungai ini dan dipengaruhi

    oleh air pasang.

    Pola drainase yang berkelok-kelok, dan

    lebar sungai serta kedalaman yang lebih rendah

    jika dibandingkan dengan Stasiun I dan Stasiun

    II.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 30

    Menurut Odum (1996) bahwa kecepatan

    arus ditentukan oleh kemiringan, kekerasan,

    kedalaman, dan kelebaran dasarnya. Sedangkan

    pada Stasiun I dengan kecepatan arus 0,388

    m.dtk-1

    (arus yang sedang) disebabkan oleh air

    yang terkumpul di badan sungai dari kali-kali

    kecil dan saluran pertambakan pada saat surut.

    Selain itu Stasiun I adalah areal muara sungai

    yang merupakan penampung air dari semua

    aliran-aliran yang ada di sepanjang sungai ini.

    Selanjutnya Effendi (2003); Mulya (2004)

    menjelaskan bahwa kecepatan arus sangat

    dipengaruhi oleh waktu, iklim dan pola drainase.

    2. Debit Air

    Berdasarkan hasil pengukuran di lokasi

    penelitian didapatkan bahwa debit air Sungai

    Lamunde berkisar 2,92-41,22 m3.dtk

    -1.

    Selanjutnya berdasarkan stasiun

    pengamatan, debit air sungai cenderung menurun

    dari Stasiun I sampai Stasiun III. Hal ini

    disebabkan karena lebar, kedalaman, dan

    kecepatan arus yang lebih besar jika

    dibandingkan dengan Stasiun II dan Stasiun III

    sehingga debit air pada Stasiun I lebih besar.

    Pada saat surut air cenderung mengalir deras ke

    arah hilir dan pada saat pasang cenderung

    mengalir ke arah Stasiun III dengan debit air

    yang besar dan daerah aliran sungai yang masih

    panjang dan berkelok-kelok.

    Sedangkan kecilnya debit air pada Stasiun

    III di saat pasang dan surut, disebabkan oleh

    kurangnya pasokan air dari sawah tadah hujan

    pada saat surut dan terhentinya daerah aliran

    sungai (DAS) pada saat pasang. Selain itu

    kedalaman dan lebar sungai pada Stasiun III

    yang lebih kecil dibandingkan dengan Stasiun I.

    Sehingga debit air yang mengalir pada Stasiun

    III lebih keci

    3. Suhu

    Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama

    penelitian, tidak memperlihatkan adanya

    perbedaan suhu yang besar pada masing-masing

    stasiun. Kisaran suhu yang diperoleh selama

    penelitian yaitu berkisar antara 30,5-31oC.

    Kisaran suhu yang diperoleh merupakan

    kisaran yang umum dijumpai pada perairan

    tropis dan masih mendukung bagi kehidupan

    ikan. Menurut Cheng et al. (2011) suhu dapat

    mempengaruhi struktur komunitas ikan di

    sungai. Selanjutnya Sutisna dan Sutarmanto

    (1995) bahwa kisaran temperatur yang baik bagi

    pertumbuhan ikan adalah antara 25-35oC.

    Selanjutnya Susanto (1991) menjelaskan

    bahwa suhu perairan pada siang hari meningkat

    hingga 31oC dan menurun pada saat malam hari

    hingga 26oC. Selain itu suhu adalah salah satu

    faktor yang mempengaruhi nafsu makan dan

    pertumbuhan badan ikan. Suhu yang terendah

    selama periode penelitian di peroleh pada

    Stasiun III. Hal ini diduga kerena pengukuran

    dilakukan pada pukul 08.00-10.00 Wita dan pada

    malam harinya terjadi hujan. Sehingga kondisi

    suhu pada Stasiun III relatif rendah jika

    dibandingkan pada Stasiun I dan Stasiun II.

    Selanjutnya Susanto (1991) menjelaskan bahwa

    suhu perairan pada siang hari meningkat hingga

    31oC dan menurun pada saat malam hari hingga

    26oC. Selain itu suhu adalah salah satu faktor

    yang mempengaruhi nafsu makan dan

    pertumbuhan badan ikan. Suhu yang terendah

    selama periode penelitian di peroleh pada

    Stasiun III. Hal ini diduga kerena pengukuran

    dilakukan pada pukul 08.00-10.00 Wita dan pada

    malam harinya terjadi hujan. Sehingga kondisi

    suhu pada Stasiun III relatif rendah

    dibandingkan Stasiun I dan Stasiun II yang

    memperoleh kisaran suhu 30,75-31oC.

    Kondisi suhu sangat erat kaitannya dengan

    kecepatan arus sungai, dimana berdasarkan hasil

    pengukuran yang dilakukan kecepatan arus

    Sungai Lamunde juga tidak menunjukkan variasi

    yang sangat berbeda diseluruh stasiun dengan

    kisaran 0,105-0,388 m.dtk-1

    , dengan demikian

    terjadi pengadukan massa air sampai ke dasar

    sungai yang hampir merata disetiap stasiun. Hal

    tersebut sesuai dengan pernyataan Whitten dkk.

    (1987) dan Dongkyun et al (2012) bahwa

    ketinggian tempat, hujan, keterbukaan, sumber

    air, kecepatan arus dan suhu sekitar merupakan

    faktor utama yang mempengaruhi suhu perairan

    sungai.

    4. Kecerahan

    Menurut Effendi (2003) menjelaskan bahwa

    kecerahan merupakan ukuran transparansi

    perairan yang ditentukan secara visual

    menggunakan secchi disk, dimana nilai

    kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai

    ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca,

    waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan

    tersuspensi. Berdasarkan hasil pengukuran

    (Gambar 7) kecerahan yang diperoleh pada

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 31

    Stasiun I berkisar 19,4-46,7%, Stasiun II

    berkisar 22,2-31,3%, dan Stasiun III berkisar

    18,7-33,3%. Nilai kecerahan yang terendah

    terlihat pada Stasiun III akibat masuknya

    limpasan air dari areal persawahan tadah hujan,

    sehingga cahaya tidak menembus hingga ke

    dasar perairan. Sedangkan nilai kecerahan

    tertinggi pada Stasiun I disebabkan oleh dekat

    dengan laut dan adanya sirkulasi air laut yang

    masuk ke sungai melalui pasang surut, serta jauh

    dari areal persawahan dan pertambakan yang

    membuang atau mengairi sungai ini. Sehingga

    kecerahan tinggi pada Stasiun I.

    Menurut Effendi (2003) bahwa kecerahan

    air tergantung pada warna dan kekeruhan.

    Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang

    ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang

    diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang

    terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan

    oleh adanya bahan organik dan anorganik yang

    tersuspensi dan larut (misalnya lumpur dan pasir

    halus), maupun bahan organik dan anorganik

    yang berupa plankton dan mikroorganisme lain.

    Selanjutnya Dongkyun et al., (2011)

    menjelaskan bahwa kekeruhan dapat

    mempengaruhi habitat organisme perairan.

    Tingginya tingkat kekeruhan dapat

    menyebabkan stress bahkan kematian pada ikan.

    5. Salinitas

    Menurut Sudradjat (2006) bahwa salinitas

    didefinisikan sebagai jumlah rata-rata seluruh

    garam yang terdapat di dalam perairan.

    Selanjutnya Fujaya (2004) menyatakan bahwa

    salinitas memberikan pengaruh terhadap tekanan

    osmoregulasi organisme dan kelarutan beberapa

    gas di dalam perairan sehingga apabila terjadi

    perubahan salinitas yang mendadak atau dengan

    nilai yang besar akan memberikan dampak

    terhadap kehidupan organisme khususnya ikan

    yang berasosiasi di daerah tersebut.

    Hasil pengukuran salinitas di setiap stasiun

    pengamatan selama periode penelitian pada tiga

    stasiun pengamatan yaitu berkisar 3,25-28o/oo.

    Kisaran salinitas yang diperoleh pada penelitian

    ini masih berada pada kisaran yang baik bagi

    kehidupan organisme. Salinitas normal menurut

    Klisman (1964) dalam Fujaya (2004) yaitu

    berkisar 30-35o/oo. Fluktuasi salinitas pada

    daerah intertidal di pengaruhi oleh dua hal yaitu

    air hujan yang tinggi dan adanya aliran air tawar

    yang masuk kedalam perairan tersebut sehingga

    menyebabkan salinitasnya akan turun.

    Berdasarkan hasil pengamatan terlihat

    bahwa salinitas tertinggi pada Stasiun I, hal ini

    terjadi karena Stasiun I adalah daerah muara

    sungai yang merupakan daerah pertemuan antara

    air laut dan air sungai. Salinitas terendah terlihat

    pada Stasiun III, hal ini terjadi karena pada

    stasiun ini merupakan daerah yang dekat dengan

    arael persawahan tadah hujan sehingga lebih

    banyak menerima pasokan air tawar yang berasal

    dari sawah dan kurang mendapat pasokan air

    laut yang berasal dari muara sungai. Menurut

    Effendi (2000) dan Miller et al (2006)

    menjelaskan bahwa nilai salinitas perairan tawar

    biasanya < 0,5o/oo, perairan payau 0,5-30

    o/oo, dan

    perairan laut 30-40o/oo. Salinitas perairan

    hipersaline biasanya mencapai kisaran 40-80o/oo.

    Nilai kisaran pada perairan pesisir sangat

    dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai.

    6. Derajat Keasaman (pH)

    Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

    kisaran pH yaitu 7,3-8,0. Kisaran tersebut

    menunjukkan bahwa pH Perairan Sungai

    Lamunde berada dalam kategori basa. Hal ini

    sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa

    pH dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan

    yaitu pH = 7 (netral), 7 < pH < 14 (alkalis/basa),

    0 < pH < 7 (asam). Selanjutnya Pescod (1973)

    menjelaskan bahwa pH yang ideal untuk

    kehidupan nekton berkisar antara 6,5-8,5.

    Tingginya pH pada Stasiun I disebabkan karena

    stasiun ini terletak pada muara sungai dan

    Stasiun II diduga adanya percampuran massa air

    pada saat pasang, dengan demikian terjadi

    percampuran antara massa air tawar dengan

    massa air laut yang cenderung bersifat basa atau

    alkalis serta kedua stasiun ini cenderung

    memiliki kadar garam yang lebih tinggi yaitu

    berkisar 23,25-28o/oo (perairan payau). Menurut

    Kackereth et al. (1989) dalam Effendi (2003)

    bahwa pH juga berkaitan erat dengan

    karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5

    alkalinitas bisa mencapai nol. Semakin tinggi

    nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan

    semakin sedikit kadar karbondioksida bebas.

    Sedangkan rendahnya kadar pH pada Stasiun III

    disebabkan oleh adanya limpasan air dari hujan

    yang terjadi dimalam hari dan memiliki salinitas

    yang rendah yaitu berkisar 2-5o/oo dengan rata-

    rata 3,25o/oo serta kondisi saat pengambilan

    sampel pada saat surut sehingga diduga tidak

    terjadi percampuran antara massa air sungai

    dengan massa air laut.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 32

    Menurut Daelamis (2002) keadaan pH yang

    dapat menggangu kehidupan organisme air

    khususnya ikan adalah pH yang terlalu rendah

    (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi

    (sangat basa). Setiap jenis ikan akan

    memperlihatkan respon yang berbeda terhadap

    perubahan pH dan dampak yang ditimbulkannya

    berbeda-beda. Selanjutnya menurut NTAC

    (1968) dalam Saefullah (1983) menjelaskan

    bahwa perairan yang ideal bagi kehidupan ikan

    adalah yang mempunyai pH berkisar 6,5-8,5.

    Berdasarkan hal tersebut, maka pH Perairan

    Sungai Lamunde selama penelitian yang berkisar

    7,3-8,0 masih baik untuk kehidupan ikan.

    7. Oksigen Terlarut (DO)

    Jeffries dan Mills (1996) dalam Effendi

    (2000) mengatakan bahwa atmosfer bumi

    mengandung oksigen sekitar 210 mg.L-1

    .

    Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut

    dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut

    dalam perairan alami bervariasi tergantung pada

    suhu, turbulensi air dan tekanan atmosfer.

    Berdasarkan hasil penelitian, oksigen terlarut

    yang diperoleh pada tiga stasiun pengamatan

    berkisar antara 6,64-8,7 mg.L-1

    . Pada masing-

    masing stasiun semakin ke hilir kadar oksigen

    meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin

    ke hilir air semakin bergolak yang ditandai

    dengan kecepatan arus dan kecerahan yang

    tinggi serta suhu perairan semakin rendah jika

    dibandingkan dengan Stasiun III yang

    mempunyai kecepatan arus dan kecerahan yang

    rendah serta suhu yang relatif tinggi. Jeffries

    dan Mills (1996) dalam Effendi (2003)

    menjelaskan bahwa kadar oksigen yang terlarut

    di perairan alami bervariasi, tergantung pada

    suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan

    atmosfer.

    Hasil pengukuran oksigen terlarut di setiap

    stasiun pengamatan selama periode penelitian

    yang diperoleh yaitu berkisar 6,64-8,7 mg.L-1

    menunjukan bahwa oksigen terlarut di Perairan

    Sungai Lamunde masih baik untuk kehidupan

    ikan. Menurut Daelamis (2002); Das et al

    (2006); Perez et al (2012) bahwa kandungan

    oksigen yang optimal bagi kehidupan ikan yaitu

    5 mg.L-1

    . Selanjutnya Afianto dan Evi (1993)

    menjelaskan bahwa beberapa jenis ikan mampu

    bertahan hidup pada perairan dengan konsentrasi

    oksigen terlarut 3 mg.L-1

    . Namun demikian,

    konsentrasi minimum yang dapat diterima oleh

    beberapa jenis ikan untuk dapat hidup dengan

    baik adalah sebesar 5 mg.L-1

    . Selanjutnya

    Irianto (2005) mengatakan bahwa, jumlah

    oksigen yang dikonsumsi ikan sangat tergantung

    pada laju metabolisme dan suhu lingkungan.

    Pada badan air, oksigen berasal dari tiga sumber

    yaitu: 1.) difusi langsung dari atmosfer, 2.)

    akibat angin dan ombak, dan 3.) hasil

    fotosintesis tumbuhan air dan fitoplankton.

    Oksigen yang berasal dari fotosintesis

    diproduksi pada siang hari. Adapun malam hari

    oksigen turun karena selain hewan, tumbuhan

    sendiri melakukan respirasi. Di daerah beriklim

    sedang, pada musim panas di siang hari

    kandungan oksigen perairan dapat mencapai 14

    mg.L-1

    akibat fotosintesis fitoplankton, tetapi

    pada malam hari kandungan oksigen dapat turun

    hingga 4-5 mg.L-1

    karena oksigen digunakan

    untuk respirasi fitoplankton.

    8. Ikan

    a. Komposisi Jenis Ikan

    Selama periode penangkapan diperoleh 34

    spesies ikan yang tertangkap yait: Anabas

    testudineus, Apogon melas, Strongylura incisa,

    Trichogaster pectoralis, Caranx ignobilis, Lates

    calcarifer, Ambassis agrammus, Chanos chanos,

    Oreochromis mossambicus, Anodontosdoma

    chacunda, Ophiocara aporos, Butis melanos,

    Butis amboinensis, Elops hawaiensis, Gerres

    filamentosus, Gerres abbreviatus, Glossogobius

    aureus, Hemiramphus far, Lutjanus fulvus,

    Lutjanus johni, Lutjanus argentimaculatus,

    Leognathus equulus, Megalops cyprinoides, Liza

    dussumieri, Epinephelus tauvina, Scatophagus

    argus, Siganus vermiculatus, Sphyraena

    flavicauda, Therapon jarbua, Chelonon patoca,

    Toxotes jaculatrix, Periophthalmus koelreuteri

    kalolo, Platax orbicularis, dan Plotosus lineatus

    yang berasal dari 31 genus serta berasal dari 30

    famili yaitu Anabantidae, Apogonidae,

    Belonidae, Belontiidae, Carangidae,

    Centropomidae, Chandidae, Chanidae,

    Chiclidae, Clupeidae, Eleotrhidae, Eleotrididae,

    Elopidae, Gerridae, Gobiidae, Hemiramphidae,

    Lutjanidae, Leognathidae, Megalopidae,

    Mugilidae, Serranidae, Scatophagidae,

    Siganidae, Sphyraenidae, Teraponidae,

    Tetraodontidae, Toxotidae, Periophthalmidae,

    Platacidae, dan Plotosidae, dengan total jenis

    ikan yang tertangkap yaitu 1024 individu.

    Persentase tertinggi terdapat pada jenis

    Therapon jarbua (14,3%) atau 147 individu.

    Sedangkan persentase terendah terdapat pada

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 33

    jenis Lates calcarifer dan Platax orbicularis

    masing (0,19%) atau 2 individu.

    Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan

    bahwa secara keseluruhan tingginya persentase

    Therapon jarbua disebabkan karena ikan

    tersebut terdapat hampir disemua wilayah

    penelitian dengan jumlah individu relatif lebih

    banyak jika dibandingkan dengan jenis ikan

    lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi

    lingkungan yang cocok untuk perkembangbiakan

    dan toleransi terhadap perubahan kondisi

    lingkungan yang tinggi dimiliki oleh jenis ikan

    ini. Sehingga ikan jenis Therapon jarbua atau

    dikenal dengan nama Ikan Kerong-kerong

    (Indonesia) memiliki persentase tertinggi yang

    diperoleh selama penelitian di Perairan Sungai

    Lamunde.

    Sedangkan rendahnya persentase jenis Lates

    calcarifer disebabkan sedikitnya jumlah

    inidividu yang tertangkap disemua stasiun

    pengamatan dan hanya didapatkan pada Stasiun

    II dengan jumlah individu 2 ekor (0,195%).

    Lates calcarifer atau yang sering disebut Kakap

    Putih (Indonesia) memijah di laut dalam dengan

    salinitas sekitar 28-32o/oo dan temperatur 28-

    34oC. Menurut Murtidjo (1997); Yustina (2001)

    menjelaskan bahwa Ikan Kakap Putih memijah

    dilaut dalam dan masa pemijahan alami Ikan

    Kakap Putih bergantung pada fase bulan.

    Sesudah berusia 3-5 bulan, Ikan Kakap Putih

    sudah bergerak dengan aktif mendekati pantai,

    menuju perairan payau dan perairan tawar.

    Proses pencapaian ukuran konsumsi cukup lama

    sekitar 4-8 bulan. Selain itu penyebab sedikitnya

    jenis ikan ini yang tertangkap di Perairan Sungai

    Lamunde salah satunya diduga karena tingginya

    laju mortalitas, baik itu mortalitas karena

    predator maupun mortalitas melalui

    penangkapan, sehingga ikan ini relatif sedikit

    dijumpai pada Perairan Sungai Lamunde.

    Spesies ikan yang paling dominan pada

    Stasiun I yaitu jenis ikan Therapon jarbua

    dengan Famili Carangidae (68 individu)

    sehingga mempunyai persentase komposisi jenis

    tertinggi yaitu 21,4%. Selain itu ikan ini juga di

    temukan pada Stasiun II dengan jumlah individu

    71 (terbanyak pada Stasiun II) dengan persentase

    16,6% serta Stasiun III dengan jumlah individu 8

    persentase 2,8%. Hal ini diduga makanan dan

    kondisi lingkungan yang mendukung serta sifat

    predator sehingga Therapon jarbua dapat

    dominan di Stasiun I dan Stasiun II.

    Hasil penelitian pada Satasiun II jumlah

    individu yang tertangkap adalah 427 dan

    didominasi oleh jenis ikan Therapon jarbua atau

    dikenal dengan Ikan Kerong-kerong (Indonesia)

    dari Famili Teraponidae (71 individu) dengan

    persentase 16,6% dan jenis ikan Caranx

    ignobilis atau dikenal dengan Ikan Kuweh

    (Indonesia) dari Famili Carangidae (50 individu)

    dengan persentase 11,7%. Selanjutnya

    komposisi jenis ikan yang paling sedikit

    tertangkap pada Stasiun II adalah ikan jenis

    Lates calcarifer atau Ikan Kakap Putih dari

    Famili Centropomidae dengan persentase 0,5%.

    Hasil penelitian pada Stasiun III diperoleh

    jumlah individu yang tertangkap sebesar 280

    individu yang didominasi oleh jenis ikan

    Oreochromis mossambicus atau dikenal dengan

    Ikan Mujair (Indonesia) dari Famili Chiclidae

    (117 individu) dengan persentase 41,7%. Ikan

    ini mendominasi Stasiun III disebabkan oleh

    toleransi terhadap perubahan lingkungan yang

    tinggi dan sifat ikan yang umumnya

    bergerombol serta termasuk golongan ikan

    omnivora. Menurut Sugiarti (1988) menjelaskan

    bahwa ikan mujair mempunyai toleransi yang

    besar terhadap kadar garam/salinitas. Jenis ikan

    ini mempunyai kecepatan pertumbuhan yang

    relatif lebih cepat, tetapi setelah dewasa

    percepatan pertumbuhannya akan menurun.

    Panjang total maksimum yang dapat dicapai Ikan

    Mujair adalah 40 cm.

    Ikan Mujair merupakan suku besar ikan air

    tawar yang bersal dari Amerika Tengah dan

    Selatan, Afrika, India dan Sri Lanka. Dua jenis

    dari Oreocrhomis (juga sering disebut Tilapia)

    masuk ke Indonesia melalui budidaya di kolam

    tetapi juga dilepaskan di danau-danau dan

    sungai-sungai. Jenis lainya dimasukkan secara

    tidak sengaja dari akuarium. Bersifat omnivora

    dan buas memakan ikan-ikan kecil lainya dan

    banyak jenis asli yang terdapat di Indonesia

    musnah atau menderita karena dimakan oleh

    ikan-ikan anggota suku ini (Kottelat, 1993).

    b. Indeks Keanekaragaman (H) Hasil analisis data diperoleh nilai

    keanekaragaman jenis ikan (H) di lokasi penelitian pada Stasiun I sebesar 1,156 (sedang),

    Stasiun II sebesar 1,399 (sedang), dan pada

    Stasiun III sebesar 0,743 (rendah). Terlihat

    bahwa nilai keanekaragaman sedang pada

    Stasiun I dan Stasiun II yang diduga faktor

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 34

    kondisi lingkungan yang baik untuk ikan-ikan

    yaitu diantaranya salinitas yang tidak

    memperlihatkan kisaran yang sangat bervariasi.

    Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas

    dalam penyebaran ikan-ikan di daerah sungai.

    Selain itu masih banyaknya pohon-pohon

    mangrove yang terlihat di sepanjang Stasiun I

    dan Stasiun II serta adanya aliran-aliran kecil

    yang bermuara di Stasiun II berasal dari saluran-

    saluran irigasi pertambakan. Hal ini sesuai

    dengan pernyataan Ross (1997), bahwa

    keanekaragaman dan kelimpahan ikan juga

    ditentukan oleh karakteristik habitat perairan.

    Karakteristik habitat di sungai sangat

    dipengaruhi oleh kecepatan aliran sungai.

    Kecepatan aliran tersebut ditentukan oleh

    perbedaan kemiringan sungai, keberadaan hutan

    atau tumbuhan di sepanjang daerah aliran sungai

    yang akan berasosiasi dengan keberadaan

    hewan-hewan penghuninya.

    Keanekaragaman rendah yang diperoleh

    pada Stasiun III, hal ini disebabkan oleh adanya

    penebangan mangrove sepanjang 2 km di tepi

    sungai yang telah dilakukan bulan Januari 2012.

    Menurut Wantasen (2002); Kusmana (2002);

    Miller dan Skelleter (2006) bahwa fungsi hutan

    mangrove sebagai tempat mencari makan,

    tempat memijah, dan tempat berkembang biak

    ikan-ikan. Selanjutnya Perez-Dominguez et al.

    (2012) menyatakan bahwa adanya tekanan

    antropogenik di wilayah estuari dan pesisir dapat

    menyebabkan terjadinya degradasi habitat yang

    selanjutnya akan mempengaruhi organisme yang

    hidup di dalamnya khususnya ikan. Selain itu

    kedalaman perairan yang relatif rendah serta

    badan sungai yang sempit membuat penyebaran

    ikan-ikan relatif sedikit dibandingkan pada

    Stasiun II yang memiliki badan sungai yang

    lebar serta ekosistem mangrove yang masih

    utuh. Sedangkan pada Stasiun I

    keanekaragaman rendah dikarenakan stasiun ini

    dekat dengan pemukiman penduduk dan tempat

    parkir kapal-kapal nelayan sehingga secara tidak

    langsung berpengaruh terhadap keberadaan dan

    kepadatan ikan di daerah ini, walaupun secara

    ekologis kondisi perairannya sangat mendukung

    seperti; suhu air, kecerahan, kedalaman air,

    kecepatan arus, pH air dan oksigen terlarut

    (DO). Indeks keanekaragaman (H) adalah keanekaragaman yang menunjukkan banyak

    tidaknya jenis dan individu yang ditemukan pada

    suatu perairan, artinya semakin besar jumlah

    jenis dan jumlah individu setiap jenis suatu

    organisme maka nilai indeks keanekaragaman

    (H) semakin tinggi. Hasil analisis keanekaragaman jenis ikan

    (H) di lokasi penelitian bahwa nilai keanekaragaman yang diperoleh berkisar 0,743

    sampai 1,399 dengan rata-rata 1.099 (kategori

    sedang). Nilai indeks keanekaragaman (H) dikatakan sedang disebabkan kerena jumlah

    jenis dan jumlah individu relatif sedikit. Pada

    Stasiun I diperkirakan nilai keanekaragaman

    jenis ikan masih bisa bertambah jika alat tangkap

    yang digunakan lebih banyak dan periode

    penangkapan yang cukup lama serta tenaga

    profesional yang banyak pula. Hal ini

    disebabkan stasiun ini terletak di daerah muara

    Sungai Lamunde yang berhadapan dengan Teluk

    Bone. Informasi dari masyarakat yang kerap

    kali melakukan penangkapan ikan di sungai ini

    ada beberapa jenis ikan dari famili Gobiidae

    (belosoh), Tetraodontidae (buntel), Sillaginidae

    (besot), Dasyatidae (pari), dan Anguillidae

    (sidat). Hal ini diduga banyak ikan-ikan yang

    bermigrasi ke sungai ini baik itu dalam

    pencarian makanan, perlindungan, pemijahan

    ataupun untuk daerah asuhan ikan-ikan.

    Sehingga, jenis-jenis ikan yang belum diketahui

    dapat tertangkap.

    c. Indeks Keseragaman Jenis (E)

    Hasil analisis data menunjukkan bahwa

    nilai indeks keseragaman (E) ikan di Sungai

    Lamunde berdasarkan kriteria indeks Shannon-

    Wienner pada Stasiun I yaitu 0,755 (tinggi/relatif

    merata); Stasiun II yaitu 0,914 (tinggi/relatif

    merata); dan Stasiun III yaitu 0,485

    (rendah/relatif tidak merata) dengan rata-rata

    0,718 (tinggi/relatif merata). Nilai tersebut

    menunjukkan bahwa keseragaman jenis di

    Perairan Sungai Lamunde yang dimiliki masing-

    masing spesies relatif merata atau jumlah

    individu masing-masing spesies relatif sama.

    Menurut Styobudiandi dkk. (2009) bahwa indeks

    yang mendekati 0 menunjukkan adanya jumlah

    individu yang terkonsentrasi pada satu atau

    beberapa jenis. Hal ini dapat diartikan ada

    beberapa jenis biota yang memiliki jumlah

    individu yang relatif sedikit. Sedangkan nilai

    indeks keseragaman yang mendekati 1

    menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap

    spesies adalah sama atau hampir sama.

    Selanjutnya Fachrul (2007) menjelaskan bahwa

    indeks keseragaman menggambarkan ukuran

    jumlah individu antara spesies dalam suatu

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 35

    komunitas ikan. Semakin merata penyebaran

    individu antara spesies maka keseimbangan

    ekosistem semakin meningkat.

    Kisaran nilai indeks keseragaman yang

    diperoleh yakni 0,485 sampai 0,914 dengan rata-

    rata 0,718. Berdasarkan pernyataan Odum

    (1996), bahwa individu ikan dalam komunitas

    menyebar dalam 3 (tiga) pola dasar, yaitu

    penyebaran secara acak, merata atau seragam

    dan bergerombol atau berkelompok. Pola

    penyebaran biota atau jenis ikan atau komunitas

    tergantung dari faktor fisik, kimia dan biologi.

    Pola tersebut tergantung juga dari jenis

    ekosistem dan jenis ikan sehingga masing-

    masing menunjukkan karakteristik sendiri-

    sendiri.

    d. Indeks Dominansi Jenis (C)

    Berdasarkan hasil penelitian (tabel 7)

    terlihat bahwa hasil indeks dominansi jenis ikan

    (C) di Perairan Sungai Lamunde berkisar antara

    0,102-0,515 yang masing-masing pada Stasiun I,

    II dan III yaitu 0,102; 0,515; dan 0,250 dengan

    rata-rata 0,289 (rendah).

    Nilai tersebut menunjukkan bahwa

    dominansi jenis ikan di perairan Sungai

    Lamunde dalam kategori rendah. Pengkategorian

    ini berdasarkan kriteria indeks dominansi

    Simpson dalam Krebs (1985), yang menjelaskan

    bahwa apabila dominansi rendah artinya tidak

    terdapat spesies yang mendominasi spesies

    lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan

    stabil.

    Simpulan

    1. Hasil pengukuran kualitas air pada Perairan Sungai Lamunde masih menunjukkan

    kisaran yang baik bagi kehidupan ikan di

    perairan tersebut.

    2. Selama periode penangkapan, total jenis ikan yang tertangkap pada perairan Sungai

    Lamunde terdiri dari 1024 individu dari 30

    famili dan 34 jenis sedangkan komposisi

    jenis ikan yang tertinggi pada Stasiun II.

    Dimana dari 34 jenis yang tertangkap

    diseluruh stasiun, 30 jenis berada pada

    Stasiun II dan yang terendah ada pada

    Stasiun III dengan jumlah spesies hanya 11

    jenis.

    3. Komposisi jenis ikan yang tertinggi pada jenis Therapon jarbua selanjutnya

    Oreochromis mossambicus, Caranx

    ignobilis dan Ambassis agrammus.

    Sedangkan persentase terendah yaitu

    Leognathus equulus, Ophiocara aporos,

    Platax orbicularis, dan Lates calcarifer.

    4. Keanekaragaman jenis ikan di Perairan Sungai Lamunde dalam kategori sedang

    (1,099), nilai keseragaman cenderung

    seragam atau tidak ada yang mendominasi

    (0,718), dan dominansi dalam kategori

    rendah (0,289).

    Persantunan

    Penulis menyampaikan ucapan terrima

    kasih kepada Bapak Agustian selaku Kepala

    Desa Lamunde yang telah memberikan izin

    penelitian dan banyak membantu dalam

    penelitian ini. serta para dosen dan staf lingkup

    fakultas perikanan dan ilmu kelautan universitas

    haluoleo yang telah banyak membantu dalam

    penyelesaian studi penulis dan ilmu yang telah

    diberikan selama masa studi.

    Daftar Pustaka

    Affandi, R. dan U.M. Tang., 2002. Fisiologi

    Hewan Air. Uni Press. Pekanbaru. 213 hal.

    Afianto, E. dan Evi, L., 1993. Pengendalian

    Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Jakarta.

    113 hal.

    Cheng, L., Lek, S., Lek-Ang, S., Zhongjie Li.,

    2011. Predicting fish assemblages and

    diversity in shallow lakes in the Yangtze

    River Basin. Limnologica, 42: 127-136

    Daelamis, D.A.S., 2002. Agar Ikan Sehat.

    Penebar Swadaya. Jakarta. 312 hal.

    Das, S. K., Chakrabarty, D., 2006. The use of

    fish community structure as a measure of

    ecologicaldegradation: A case study in two

    tropical rivers of India. BioSystems, 90: 88196.

    Dongkyun, I., Kang, H., Kyu-Ho, K., Sung-Uk,

    C., 2011. Changes of river morphology and

    physical fish habitat following weir

    removal. Ecological Engineering, 37: 883-

    892.

    Effendi, H., 2000. Telaah Kualitas Air bagi

    Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

    Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya

    Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan Bogor. Bogor. 258 hal.

    Effendi, H., .2003. Telaah Kualitas Air bagi

    Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

    Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 36

    Fachrul, M.F., 2007. Metode Sampling

    Bioekologi. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

    Fujaya, Y., 2004. Fisiologi Ikan. Dasar

    Pengembangan Teknik Perikanan. PT

    Rineka Cipta. Jakarta. 179 hal.

    Genisa, A.S., 2003. Sebaran dan Struktur

    Komunitas Ikan di Sekitar Estuaria Digul,

    Irian Jaya. Jurnal Ilmu Kelautan dan

    Perikanan, 13 (1): 01-09

    Genisa, A.S., 2000. Ikan-ikan Pangan dari

    Muara Sungai Bagian Barat Indonesia.

    Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Potensi

    Laut dan Pesisir. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu

    Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 84 hal.

    Hallet, C. S., Valesini, F. J., Clarke, K. R., Hesp,

    S. A., Hoeksema, S. D. 2012. Development

    and validation of fish-based, multimetric

    indices for assessing the ecological health

    of Western Australian estuaries. Estuarine,

    Coastal, and Shelf Science, 104-105: 102-

    103.

    Hutomo, M., 1978. Ikan-ikan pada Muara

    Sungai Karang : Suatu analisis pendahuluan

    tentang kepadatan dan struktur komunitas.

    Dalam: Oseanologi pada Indonesia, 9: 13-

    28.

    Irianto, A., 2005. Patologi Ikan Teleostei.

    Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

    256 hal.

    Kusmana, C., 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas

    Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    309 hal.

    Kottelat, M. and A.J. Whitten with S.N.

    Kartikasari, and S. Wirjoatmodjo., 1993.

    Freshwater fish of Indonesia and Sulawesi.

    Periplus Edition (HK) Ltd, in Collaboration

    With Enviromental Management Project.

    Ministry of State for Population and

    Enviroment. Republic of Indonesia.

    Jakarta. 363 Hal.

    Krebs, C.J., 1985., Ecology. The Experimental

    Analysis of Distribution and Abundance.

    New York: Harper Collins, Publisher, p.

    894.

    Langkosono., 2011. Fauna Ikan di Perairan

    Pantai Kota Raha Pulau Muna Sulawesi

    Tenggara dan Sekitarnya. Neptunus

    Universitas Hang Tuah. Jurnal Kelautan,

    17(2): 115 - 127.

    Miller, S. J., Skilleter, G. A., 2006. Temporal

    variation in habitat use by nekton in a

    subtropical estuarine system. Journal of

    Experimental Marine Biology and Ecology,

    337: 82-95.

    Mulya, M.B., 2004. Keanekaragaman Ikan di

    Sungai Deli Provinsi Sumatera Utara Serta

    Keterkaitannya Dengan Faktor Fisik Kimia

    Perairan. Jurnal Komunikasi Penelitian, 16

    (5): 10-16.

    Murtidjo, B.A., 1997. Budi Daya Kakap dalam

    Tambak dan Keramba. Kanisius.

    Yogyakarta. 116 hal.

    Nurcahyadi, W., 2003. Keanekaragaman

    Sumberdaya Hayati Ikan di DAS Cikiniki

    dan Cisukawayana, Taman Nasional

    Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi.

    Progaram Studi Manajemen Sumberdaya

    Perairan. FPIK. IPB. Bogor. 87 hal.

    Odum, E.P., 1996. Dasar-Dasar Ekologi

    (Diterjemahkan Oleh Tjahjono Samingan)

    Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga. Gadjah

    Mada University Press. Yogyakarta. 697

    hal.

    Perez-Dominguez, R., Maci, S., Courrat, A.,

    Lepage, M., Borja, A., Uriarte, A., Neto, J.

    M., Cabral, H., St.Raykov, V., Franco, A.,

    Alvarez, M. C., Elliot, M., 2012. Current

    developments on fish-based indices to

    assess ecological-quality status of estuaries

    and lagoons. Eclogical Indicators, 23: 34-

    45.

    Peristiwady, T., 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis

    Penting di Indonesia. Petunjuk Identifikasi.

    LIPI Press. Jakarta. 270 hal.

    Pescod, N.B., 1973. Investigation of Rational

    Effluent and Stream for Tropical Countries,

    Asian Institute of Technology, Bangkok. p.

    276.

    Ross, R., 1997. Fisheries Conservation and

    Management. USA: Prentice Hall, Inc. p.

    224.

    Saefullah, 1983. Studi Kualitas Air Kali Sunter

    Ditinjau dari Sifat Fisika, Kimia dan

    Keanekaragaman Jenis Bentosnya. Program

    Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

    Bogor. 17 hal.

    Setyobudiandi, I., Sulistiono, F. Yulianda, C.

    Kusmana, S. Hariyadi, A, Damar, A.

    Sembiring, dan Bahtiar., 2009. Sampling

    dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan.

    MAKAIRA-FPIK. Institut Pertanian Bogor.

    Bogor. 313 hal.

    Schiemer, F. and M. Zalewski., 1992. The

    Importance of Riparian Ecotone For

    Diversity & Productivity or Riverine Fish

  • Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU 37

    Comunities. Netherland Journal of Zoology,

    42 (2-3): 323-335.

    Sinaga, T.P., 1995. Bioekologi Komunitas Ikan

    di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas,

    Jawa Tengah. Tesis. Program Pasca

    Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 97

    hal.

    Sudradjat, 2006. Glosarium Kelautan dan

    Perikanan. BRKP Pusat Riset Perikanan

    Budidaya. Departemen Perikanan dan

    Kelautan. Jakarta. 191 hal.

    Sugiarti, 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair

    dan Nila. CV Simpleks (Anggota IKAPI)

    Jakarta. 12 hal.

    Sutisna, D.H. dan S. Sutarmanto., 1995.

    Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius,

    Yogyakarta. 97 hal.

    Wantasen, A., 2002. Kajian Potensi Sumberdaya

    Hutan Mangrove di Desa Talise, Kabupaten

    Minahasa, Sulawesi Utara. Makalah

    Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana.

    Institut Pertanian Bogor. 60 hal.

    Whitten, A.J., M. Mustafa and G.S. Henderson.,

    1987. The Ekology Of Sulawesi. Gadjah

    Mada University Press. Yogyakarta. pp.

    335-375. p. 844.

    Yustina, 2001. Keanekaragaman Jenis Ikan di

    Sepanjang Perairan Sungai Rangau, Riau

    Sumatra. Jurnal Natur Indonesia, 4 (1): 1-

    14.