judul studi : prospek sustainabilitas apbn dalam … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah....

19
Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM JANGKA MENENGAH 2002 – 2007 Nama Unit Pelaksana : Direktorat Keuangan Negara Dan Analisis Moneter E-mail : [email protected] ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam mewujudkan fiscal sustainability, merekomendasikan kebijakan untuk mengatasinya dan menyajikan gambaran kondisi fiskal secara garis besar dalam jangka panjang (2002-2020) dan secara lebih rinci dalam jangka menengah (2002-2007). Analisa dilakukan Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam mewujudkan fiscal sustainability, merekomendasikan kebijakan untuk mengatasinya dan menyajikan gambaran kondisi fiskal secara garis besar dalam jangka panjang (2002-2020) dan secara lebih rinci dalam jangka menengah (2002-2007). Hasil Studi Pertama Kondisi fiskal selama masa pra krisis menunjukkan sustainabilitas. Hal ini didukung dengan kebijakan menjaga defisit pada tingkat yang aman, dan kesediaan untuk melakukan penyesuaian jika diperlukan (melalui prepayment pinjaman yang berbunga komersial). Kedua Pada masa krisis, pinjaman melonjak terutama didorong oleh munculnya pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang sangat besar guna membiayai restrukturisasi perbankan. Di samping itu, pinjaman luar negeri juga meningkat karena melemahnya nilai tikar rupiah terhadap US dolar dan kebutuhan untuk menutup defisit anggaran yang membengkak (sebagai langkah mengatasi dampak merosotnya perekonomian dan menjaga kondisi neraca pembayaran). Dengan perkembangan tersebut, muncul ancaman terhadap kesinambungan fiskal. Ketiga Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) menyadari beratnya permasalahan tersebut, dan telah meletakkan landasan kebijakan menuju kesinambungan fiskal. Dalam pelaksanaannya (periode tahun 2001-2002 dan rencana pelasanaan tahun 2003), telah dicatat kemajuan-kemajuan menuju kesinambungan fiskal, yang tercermin dari menurunnya rasio pinjaman/PDB dan semakin membaiknya stabilitas perekonomian. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi masih tetap besar dengan akan jatuh temponya pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang besar antara tahun 2004-2009. Keempat Tinjauan jangka menengah dan panjang menunjukkan bahwa permasalahan pinjaman dalam negeri tersebut akan dapat diatasi. Bahkan, jika dikehendaki, akan dapat dicapai pula penghapusan pinjaman luar negeri. Namun untuk itu diperlukan berbagai langkah yang akan disampaikan dalam rekomendasi berikut. Dalam pengelolaan pinjaman, perlu dilaksanakan: Pertama, penyelesaian pinjaman dalam negeri, selain reprofiling yang saat ini sudah dilaksanakan, diperlukan pula: (a) penyelesaian Surat Utang Pemerintah yang diterbitkan Pemerintah kepada Bank Indonesia. Upaya ini untuk mengurangi beban pinjaman yang nilainya dapat membengkak dan melebihi obligasi rekap (oleh karena nilai pokok utang diindeks dengan laju inflasi); (b) penyiapan refinancing, dengan pengembangan pasar sekunder. Keterlibatan Bank Indonesia dalam pasar Surat Utang Negara, akan membantu penyerapan dari obligasi untuk refinancing tersebut; (c) perlu dikaji langkah-langkah terobosan untuk meringankan beban pinjaman. Oleh karena, meskipun dengan langkah-langkah tersebut kesinambungan fiskal diperkirakan akan dapat dicapai, ongkos yang harus dikeluarkan akan mahal. Kedua, Untuk pinjaman luar negeri, perlu dipertimbangkan untuk dipertahankan setidak-tidaknya sampai tahun 2008, dengan jumlah yang semakin menurun. Untuk itu perlu segera diisi kembali pipeline pinjaman luar negeri yang saat ini sudah mulai menipis. Di samping itu, pengelolaan pinjaman yang mencakup pinjaman dalam negeri dan luar negeri akan memungkinkan pembagian resiko terhadap perkembangan perekonomian, baik domestik maupun internasional (lampiran 3). Dalam pengelolaan defisit, diperlukan: Pertama, peningkatan penerimaan negara, terutama dengan mencakup wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya. Kedua, kesediaan untuk melakukan penyesuaian di sisi pengeluaran jika dibutuhkan, seperti dengan mengendalikan kenaikan gaji yang merupakan salah satu komponen terbesar dalam belanja negara. Ketiga, meminimalkan kemungkinan biaya kontijensi, seperti yang diperlukan untuk mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban pengeluaran tetap harus mendapat perhatian utama. Di samping itu, perlu pula segera disiapkan perangkat peraturan dan kelengkapannya untuk pelaksanaan pinjaman daerah yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. 1

Upload: dangque

Post on 03-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM JANGKA MENENGAH

2002 – 2007

Nama Unit Pelaksana : Direktorat Keuangan Negara Dan Analisis Moneter

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam mewujudkan fiscal sustainability, merekomendasikan kebijakan untuk mengatasinya dan menyajikan gambaran kondisi fiskal secara garis besar dalam jangka panjang (2002-2020) dan secara lebih rinci dalam jangka menengah (2002-2007). Analisa dilakukan Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam mewujudkan fiscal sustainability, merekomendasikan kebijakan untuk mengatasinya dan menyajikan gambaran kondisi fiskal secara garis besar dalam jangka panjang (2002-2020) dan secara lebih rinci dalam jangka menengah (2002-2007).

Hasil Studi Pertama Kondisi fiskal selama masa pra krisis menunjukkan sustainabilitas. Hal ini didukung dengan kebijakan menjaga defisit pada tingkat yang aman, dan kesediaan untuk melakukan penyesuaian jika diperlukan (melalui prepayment pinjaman yang berbunga komersial). Kedua Pada masa krisis, pinjaman melonjak terutama didorong oleh munculnya pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang sangat besar guna membiayai restrukturisasi perbankan. Di samping itu, pinjaman luar negeri juga meningkat karena melemahnya nilai tikar rupiah terhadap US dolar dan kebutuhan untuk menutup defisit anggaran yang membengkak (sebagai langkah mengatasi dampak merosotnya perekonomian dan menjaga kondisi neraca pembayaran). Dengan perkembangan tersebut, muncul ancaman terhadap kesinambungan fiskal. Ketiga Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) menyadari beratnya permasalahan tersebut, dan telah meletakkan landasan kebijakan menuju kesinambungan fiskal. Dalam pelaksanaannya (periode tahun 2001-2002 dan rencana pelasanaan tahun 2003), telah dicatat kemajuan-kemajuan menuju kesinambungan fiskal, yang tercermin dari menurunnya rasio pinjaman/PDB dan semakin membaiknya stabilitas perekonomian. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi masih tetap besar dengan akan jatuh temponya pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang besar antara tahun 2004-2009. Keempat Tinjauan jangka menengah dan panjang menunjukkan bahwa permasalahan pinjaman dalam negeri tersebut akan dapat diatasi. Bahkan, jika dikehendaki, akan dapat dicapai pula penghapusan pinjaman luar negeri. Namun untuk itu diperlukan berbagai langkah yang akan disampaikan dalam rekomendasi berikut.

Dalam pengelolaan pinjaman, perlu dilaksanakan: Pertama, penyelesaian pinjaman dalam negeri, selain reprofiling yang saat ini sudah dilaksanakan, diperlukan pula: (a) penyelesaian Surat Utang Pemerintah yang diterbitkan Pemerintah kepada Bank Indonesia. Upaya ini untuk mengurangi beban pinjaman yang nilainya dapat membengkak dan melebihi obligasi rekap (oleh karena nilai pokok utang diindeks dengan laju inflasi); (b) penyiapan refinancing, dengan pengembangan pasar sekunder. Keterlibatan Bank Indonesia dalam pasar Surat Utang Negara, akan membantu penyerapan dari obligasi untuk refinancing tersebut; (c) perlu dikaji langkah-langkah terobosan untuk meringankan beban pinjaman. Oleh karena, meskipun dengan langkah-langkah tersebut kesinambungan fiskal diperkirakan akan dapat dicapai, ongkos yang harus dikeluarkan akan mahal. Kedua, Untuk pinjaman luar negeri, perlu dipertimbangkan untuk dipertahankan setidak-tidaknya sampai tahun 2008, dengan jumlah yang semakin menurun. Untuk itu perlu segera diisi kembali pipeline pinjaman luar negeri yang saat ini sudah mulai menipis. Di samping itu, pengelolaan pinjaman yang mencakup pinjaman dalam negeri dan luar negeri akan memungkinkan pembagian resiko terhadap perkembangan perekonomian, baik domestik maupun internasional (lampiran 3). Dalam pengelolaan defisit, diperlukan: Pertama, peningkatan penerimaan negara, terutama dengan mencakup wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya. Kedua, kesediaan untuk melakukan penyesuaian di sisi pengeluaran jika dibutuhkan, seperti dengan mengendalikan kenaikan gaji yang merupakan salah satu komponen terbesar dalam belanja negara. Ketiga, meminimalkan kemungkinan biaya kontijensi, seperti yang diperlukan untuk mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban pengeluaran tetap harus mendapat perhatian utama. Di samping itu, perlu pula segera disiapkan perangkat peraturan dan kelengkapannya untuk pelaksanaan pinjaman daerah yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

1

Page 2: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan salah satu titik rawan

bagi keberhasilan pemulihan ekonomi. Kemampuan mewujudkan konsolidasi fiskal guna mewujudkan kesinambungan fiskal akan dapat menjamin stabilitas ekonomi dan meningkatkan kepercayaan pelaku ekonomi, yang merupakan dasar bagi kelangsungan pemulihan ekonomi.

Perkembangan perekonomian dalam beberapa tahun tidak seperti yang diperkirakan semula. Laju pertumbuhan ekonomi antara tahun 2001-2004 diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan target Propenas. Di samping itu, laju inflasi yang diperkirakan mencapai sekitar 3%-5% pada tahun 2004, kini diperkirakan masih akan berkisar antara 6%-7%. Demikian pula tingkat suku bunga menjadi lebih tinggi dari perkiraan semula.

Sementara itu, mulai tahun 2003 jatuh tempo utang dalam negeri terus meningkat sampai dengan tahun 2008. Jika pada tahun 2002, berdasarkan kondisi awal penerbitan surat utang dan obligasi pemerintah, diperkirakan pinjaman yang jatuh tempo mencapai Rp 3,9 triliun. Pada tahun 2003 akan mencapai Rp 21,8 triliun, kemudian meningkat pada tahun 2004 menjadi sekitar Rp 70 triliun dan memuncak pada tahun 2008-2009 menjadi lebih dari Rp 120 triliun. Dengan perkembangan perekonomian seperti itu upaya menjadikan langkah konsolidasi fiskal akan semakin berat dan perlu mendapat perhatian yang seksama untuk dicarikan jalan pemecahannya.

TUJUAN Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam mewujudkan

fiscal sustainability, merekomendasikan kebijakan untuk mengatasinya dan menyajikan gambaran kondisi fiskal secara garis besar dalam jangka panjang (2002-2020) dan secara lebih rinci dalam jangka menengah (2002-2007).

KERANGKA ANALISIS Untuk mengukur tingkat sustainabilitas terhadap APBN digunakan beberapa

pendekatan. Dalam konteks fiskal, pengertian fiscal sustainability menurut Ouanes, A. dan S. Thakur (1997)1, dapat didefisikan sebagai :

“While there is no generally accepted definition of what constitutes a sustainable fiscal policy, there is a broad agreement that fiscal policy is not sustainable if the present and prospective fiscal stance results in a persistent and rapid increase in the public debt-to-GDP ratio. Thus, a key indicator of sustainability is based on the size and growth rate of the debt-to-GDP ratio”.

Dari pengertian tersebut, ada 2 (dua) indikator yang perlu diperhatikan dalam menilai posisi pinjaman pemerintah. Pertama, jumlah atau besarnya pinjaman yang dinyatakan dalam besarnya debt to GDP ratio. Kedua, peningkatan pinjaman atau pertumbuhan pinjaman. Namun demikian, definisi tersebut juga mengandung pernyataan 1 Ouanes, A and S. Thakur, 1997,”Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition Economies”, International Moneteray Fund, Washington D.C. (h. 66)

2

Page 3: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

bahwa belum ada kesepakatan terhadap tingkat keamanan besarnya rasio utang suatu negara sebagai prosentase terhadap PDB2, tingkat keamanan tersebut juga ditentukan oleh prospek perekonomian masing-masing negara.

Sementara itu menurut Dinh (1999)3, kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam jangka panjang menyangkut solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Solvabilitas fiskal suatu negara sangat tergantung pada aset dan kewajiban negara, yang secara sederhana dapat didefenisikan net worth = assets – liabilities. Jika net worth menunjukan nilai negatif maka negara tersebut dalam kondisi insolvent. Apabila kondisi solvent atau insolvent tersebut diwujudkan dalam perspektif intertemporal budget constraint, dapat dirumuskan sebagai berikut :

s* = (r-g) / (1+g) x Bo/Yo

Dimana, s* merupakan proporsi keseimbangan primer terhadap PDB, r tingkat suku bunga ril, g tingkat pertumbuhan ekonomi riil, Bo adalah nilai pinjaman pada awal tahun, dan Yo sebagai Produk Domestik Bruto secara nominal

Dari definisi di atas, suatu negara dapat dikatakan sebagai net debtor (yang dicerminkan melalui Bo/Yo > 0 ) akan menghadapi dua kemungkinan sebagai berikut :

1. Jika (r-g) > 0, maka untuk mencapai fiscal solvency dibutuhkan surplus dalam keseimbangan primer sejumlah nilai s*.

2. Jika (r-g) < 0, meskipun suatu negara sudah memiliki stok pinjaman sejumlah Bo/Yo, masih dimungkinkan memiliki defisit anggaran (diukur dalam keseimbangan primer) tanpa membahayakan fiscal solvency asal defisit tersebut tidak melebihi nilai s*.

Dengan demikian, besarnya pinjaman suatu negara, tidak secara langsung dapat menggambarkan keseinambungan fiskal. Suatu negara yang memiliki tingkat pinjaman (rasio pinjaman/PDB) rendah namun tetap menghadapi masalah solvabilitas fiskal, apabila prospek perekonomian negara tersebut buruk yang dicerminkan (r – g) > 0, dan sebaliknya, suatu negara memiliki tingkat pinjaman yang relatif tinggi tanpa membahayakan solvabilitas fiskal karena memiliki prospek perekonomian yang cerah secara teknis dicerminkan (r-g) < 0. Namun patut dicatat bahwa hal ini bukan berarti suatu negara dapat memiliki tingkat pinjaman yang terlalu tinggi, karena akan membuat resiko negara tersebut meningkat (r yang tinggi) dan prospek pertumbuhan ekonomi yang rendah (g yang rendah).

Dalam kontek solvabilitas fiskal, fiscal sustainability dapat didefinisikan sebagai kondisi fiskal suatu negara pada periode tertentu yang memungkinkan solvabilitas fiskal di masa datang (the one-period condition such that solvency can be assured in the

2 Salah satu indikator yang dapat dipergunakan sebagai pendekatan tingkat debt-to-GDP ratio yang aman adalah ketentuan Maastrict Treaty (1991) yang mensyaratkan negara-negara Eropa (pada waktu itu) yang akan bergabung pada European Monetary Union dengan matauang tunggal Euro, harus memliki rasio debt-toGDP kurang dari 60%. Syarat lain adalah rasio defisit anggaran/GNP kurang dari 3%, menjamin stabilitas harga, dan memelihara tingkat nilai tukar sesuai ketentuan Exchange Rate Mechanism (ERM). 3 Dinh, Hinh T. Fiscal Solvency and Sustainability in Economic Management. The World Bank, 1999.

3

Page 4: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

future). Dalam bentuk budget constraint untuk suatu periode, overall balance harus ada pembiayaannya, secara matematisdapat dituliskan sebagai berikut:

D + it x B(t-1) + Et x it* x (1-u) x B(t-1)* = δB + Et x δB* x (1-u) + δMt*

Dimana, D merupakan defisit dalam keseimbangan primer, i tingkat suku bunga nominal dalam negeri, B stok utang dalam negeri, E nilai tukar Rupiah terhadap US dolar, i* tingkat suku bunga luar negeri, u komponen hibah, B* stok pinjaman luar negeri, t adalah tahun dan M* pembiayaan perbankan melalui seignorage.

Dalam pernyataan di atas, juga disebutkan tentang fiscal stance (posisi kebijakan fiskal), yang dicerminkan dalam bentuk defisit anggaran. Semakin besar defisit anggaran, maka fiscal stance akan semakin ekpansif. Sebaliknya, kebijakan yang cenderung kontraktif dicerminkan dengan defisit anggaran yang lebih rendah.

Mengingat ada berbagai macam overall balance, secara umum defenisi overall balance yang digunakan adalah kesenjangan antara tabungan dengan investasi (saving-investment gap). Jika kesenjangan overall balance sector pemerintah ditambahkan dengan kesenjangan tabungan–investasi di sektor swasta, akan mencerminkan kesenjangan-investasi nasional yang jumlahnya sama dengan surplus/defisit transaksi berjalan (ekspor minus impor) dalam neraca pembayaran.

Dengan menggunakan formula di atas, analisis tentang APBN akan dibedakan dalam periode pra krisis dan krisis. Periode pra-krisis difokuskan pada tahun 1993/94–1996/97, sehingga dapat langsung dibandingkan dengan masa krisis (1997/98 – 2002)4.

ANALISA APBN / FISKAL

1. Periode Sebelum Krisis Krisis Kebijakan keuangan negara dalam periode sebelum krisis secara ringkas

dicerminkan oleh pokok-pokok kebijakan Program Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi yang dilaksanakan sejak Oktober 1966. Dalam aplikasinya terhadap APBN terkandung beberapa pokok kebijakan keuangan negara yaitu: (a) pengeluaran rutin dibiayai sepenuhnya dengan penerimaan dalam negeri; (b) pengeluaran pembangunan dibiayai dengan tabungan pemerintah dan pinjaman luar negeri, dan tidak ada pembiayaan dari dalam negeri; (c) pinjaman luar negeri sebagai pelengkap.

Dengan kebijakan tersebut, defisit APBN jika dinyatakan dalam konsep Government Financial Statistic (GFS)5, ada semacam pembatasan terhadap defisit 4 Pembedaan masa pra krisis dan masa krisis untuk menyederhanakan pembahasan terjadinya krisis keuangan, yang kemudian meluas dan sering disebut sebagai krisis multidimensional, yang diawali pada pertengahan tahun 1997. Dengan demikian, tulisan ini tidak bermaksud memasuki perdebatan tentang definisi krisis (misalnya, pada tahun 2001 dengan PDB yang secara riil mendekati masa pra krisis sudah dapat dianggap sebagai keluar dari krisis; ataukah berpatokan pada pendapatan riil per kapita yang saat ini masih di bawah pra krisis; ataukah berpedoman pada tingkat pertumbuhan yang seperti sebelum krisis sehingga tidak menambah tingkat pengangguran terbuka). 5 Perbedaan utama dengan tampilan APBN pada waktu itu adalah pada perlakuan unsur-unsur yang terkait dengan pinjaman, yang saat itu hanya mencakup pinjaman luar negeri. Dalam sistem anggaran berimbang dan dinamis yang

4

Page 5: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

anggaran. Pertama, unsur pokok pinjaman dimasukkan sebagai pengeluaran rutin bagian yang harus dibiayai dari penerimaan dalam negeri sehingga menyebabkan nilai tabungan pemerintah dalam konsep anggaran berimbang yang dinamis akan lebih tinggi jika dinyatakan dalam konsep GFS. Mengingat defisit dalam konsep GFS mencerminkan kesenjangan tabungan dan investasi, penyediaan tabungan yang lebih tinggi akan menekan defisit anggaran. Kedua, dengan pembatasan defisit melalui pinjaman luar negeri, ada semacam pembatasan berupa ketersediaan dana yang dimiliki para donor/kreditur. Para donor/kreditur tentu juga melakukan penilaian terhadap kemampuan Indonesia dalam mengembalikan pinjaman, sehingga dari sisi kreditur telah tercakup kehati-hatian dalam penyaluran pinjaman. Ketiga, juga diterapkan rambu-rambu agar pinjaman luar negeri sebagai pelengkap dana pembangunan. Meskipun ukuran “sebagai pelengkap” tidak dinyatakan secara jelas6, namun kebijakan ini sudah memberikan batasan dalam menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai defisit anggaran. Dengan ketiga kebijakan tersebut, perkembangan kondisi keuangan negara seperti tercermin pada tabel berikut :

Perkembangan APBN, 1991/92 – 1996/97 (persen PDB)

Masa Pra Krisis 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1995/96 1996/97

A. Pendapatan Negara dan Hibah 16.6 16.6 15.8 16.1 15.4 15.8 B Belanja Negara 17.1 18.0 17.0 15.6 14.0 14.4

- o/w Pembayaran bunga 1.8 1.8 1.8 1.5 1.5 1.4 C. Keseimbangan Primer 1.3 0.4 0.6 2.0 2.9 2.8 D. Surplus/Defisit -0.5 -1.4 -1.2 0.5 1.4 1.4 E. Pembiayaan 0.5 1.4 1.2 -0.5 -1.4 -1.4

I. Dalam Negeri -0.4 0.9 1.2 0.1 -0.5 -0.8 1. Perbankan -0.4 0.9 1.2 0.1 -0.5 -0.8 II. Luar Negeri 0.9 0.5 0.0 -0.6 -0.9 -0.6 1. Penyerapan pinjaman 4.1 3.8 3.2 2.5 1.9 2.1 2. Amortisasi -3.2 -3.4 -3.2 -3.0 2.8 -2.7

Memorandum Item A. Hutang Pemerintah 34.7 35.8 35.1 35.8 28.6 22.7

1. Luar Negeri (% dari PDB) 34.7 35.8 35.1 35.8 28.6 22.7 2. Dalam Negeri (% dari PDB) 0 0 0 0 0 0

B. Cicilan Hutang Pemerintah 1. Terhadap Pengeluaran Pemerintah 26.2 25.8 29.5 29.2 31.1 28.6 a. Pokok 16.0 16.6 18.8 18.4 20.4 19.0 b. Bunga 10.1 9.2 10.6 9.8 10.8 9.7 2. Terhadap Pengeluaran Rutin(%) 45.0 46.4 55.8 53.8 52.8 48.0 a. Pokok 27.6 29.8 35.6 35.7 34.6 31.8 b. Bunga 17.4 16.6 20.2 18.1 18.3 16.2

Sumber: Recent Economic Development, IMF (edisi 1997 dan 2000); dan Bank Indonesia (diolah)

dianut saat itu, pembayaran pokok pinjaman dimasukkan sebagai bagian pengeluaran rutin, sedang penarikan pinjaman disebut sebagai penerimaan pembangunan dan merupakan bagian dari sisi pendapatan. 6 Misalnya, tidak ada ketentuan yang jelas tentang rasio pinjaman terhadap pengeluaran pembangunan.

5

Page 6: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Defisit anggaran tahun 1991/92-1993/94 terjaga pada kisaran 0,5% - 1,5% PDB. Dengan demikian, jumlah pinjaman untuk membiayai defisit juga terkendali. Pengajuan pinjaman Pemerintah relatif terkendali, berkisar US$4,7 miliar – US$5,1 miliar. Kemudian antara 1993/94–1996/97, berkisar antara US$5,2 miliar – US$5,4 miliar.

Sampai tahun 1990-an, pinjaman pemerintah didominasi pinjaman lunak (conssesional) dan mengandung unsur hibah (grant element). Bank Indonesia (2001)7 mencatat bahwa: “Pinjaman lunak yang merupakan pinjaman Official Development Assistance (ODA) dalam periode 1981-1990 memiliki pangsa antara 50–67%. Sejalan dengan meningkatnya perekonomian dan pendapatan per kapita, sumber dana luar negeri berupa pinjaman bersyarat lunak semakin terbatas. Untuk keperluan tertentu, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional”.

Untuk menjaga kehati-hatian pinjaman pemerintah, September 1991 dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (Tim PKLN) yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1991. Dalam perkembangannya, dipandang perlu untuk mengurangi porsi pinjaman dalam batas kemampuan fiskal. Periode 1994-1997, dilakukan percepatan pembayaran (prepayment) pinjaman komersial sebesar US$3,4 miliar. Sumber pendanaannya beragam, yaitu dari penjualan saham PT Indosat, PT Telkom, PT Timah, dan penggunaan Sisa Anggaran Lebih (SAL).

Dengan percepatan pembayaran tersebut, porsi pembayaran pokok pinjaman terhadap pengeluaran negara menjadi meningkat. Pembayaran pokok pinjaman terhadap pengeluaran rutin pada tahun 1991/92 dan 1992/93 tercatat 27,6% dan 29,8%, pada periode 1993/94-1995/96 meningkat menjadi berkisar antara 34.6%-35,7% dan kembali menurun pada tahun 1996/97 menjadi 31,8%. Langkah-langkah tersebut menunjukkan pengelolaan fiskal yang berhati-hati agar pinjaman masih berada pada batas-batas yang aman bagi stabilitas ekonomi. Selain itu, stok pinjaman/PDB juga menurun hingga mencapai 22,7% PDB pada tahun 1996/978. Perkembangan APBN masa pra krisis menunjukkan kesinambungan jangka panjang (solvabilitas) maupun kesinambungan periode tertentu (sustainability). Gambaran solvabilitas tersebut adalah sebagai berikut:

7 Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. .Profil Pinjaman Luar Negeri Indonesia. 2001 8 Melonjaknya stok pinjaman luar negeri Indonesia lebih dikarenakan pinjaman luar negeri swasta, yang meningkat lebih dari US$ 36 miliar dalam kurun waktu 6 tahun (dari US$ 17,7 miliar pada tahun 1990 menjadi US$ 54,4 miliar pada tahun 1996). Meskipun pinjaman pemerintah juga cukup besar (US$55,3 miliar), namun karena bersifat jangka panjang dibandingkan swasta, beban pembayaran pinjaman menjadi lebih ringan. Beban pokok dan bunga pinjaman pemerintah sekitar US$6-8 miliar per tahun, sementara untuk swasta (terutama dengan meningkatnya pinjaman yang pesat sampai periode menjelang krisis) menunjukkan kecenderungan untuk meningkat dari US$11,3 miliar pada tahun pada tahun 1996 menjadi US$ 30,9 miliar pada tahun 1999.

6

Page 7: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Solvabilitas dan Sustainabilitas Fiskal, 1992/93 - 1996/97

(persen PDB)

1992/93 1993/94 1994/95 1995/96 1996/97SOLVABILITAS (Solvency) Keseimbangan Primer - Aktual 0.4 0.6 2.0 2.9 2.8 - Untuk Menjamin Solvabilitas -2.1 -2.2 -1.8 -1.7 -1.3SUSTAINABILITAS (Sustainability) Keseimbangan Primer - Aktual 0.4 0.6 2.0 2.9 2.8 - Untuk Menjamin Sustainabilitas -1.1 0.1 -0.8 0.0 -0.1 Memorandum Items Tingkat Suku Bunga Riil (Internasional) 0.8 0.5 2.1 3.1 2.8 Pertumbuhan Ekonomi Riil 7.2 7.3 7.5 8.2 7.8 Rasio Awal Pinjaman/PDB 34.7 35.8 35.1 35.8 28.6 Rasio Ekspor NFGS/PDB 26.9 25.9 27.4 27.2 27.2 Pertumbuhan Ekspor NFGS 15.2 3.3 13.7 7.7 7.6 Perubahan Nilai Tukar Riil 2.5 3.4 3.3 5.1 3.4

Sumber : Estimasi Penulis

Dari tabel diatas terlihat bahwa untuk menjamin solvabilitas masih dimungkinkan adanya defisit pada keseimbangan primer (karena pertumbuhan ekonomi tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga riil), sehingga nilai keseimbangan primer aktual selalu surplus. Hal ini menggambarkan solvabilitas yang sangat baik.

Demikian pula halnya jika ditinjau sustainabilitasnya. Angka-angka keseimbangan primer yang terjadi (aktual) masih lebih baik daripada yang diperlukan untuk menjamin sustainabilitas. Namun demikian, untuk tahun 1992/93 – 1993/94 selisih antara angka aktual dan perhitungan tersebut untuk sustainabilitas lebih rendah dibandingkan untuk solvabilitas. Artinya, meskipun dalam jangka panjang kesinambungan fiskal dapat dijamin, namun dalam jangka pendek kondisi sustainabilitas dapat terancam jika ada shock yang bersifat merugikan seperti kenaikan tingkat suku bunga riil atau merosotnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan prepayment pinjaman luar negeri yang berbunga komersial. Hasilnya dapat memperbaiki kondisi sustainabilitas fiskal pada tahun-tahun tersebut.

2. Periode Selama Krisis Dalam pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis keuangan yang

meluas menjadi krisis multidemensional. Krisis tersebut dipicu dengan merosotnya nilai tukar Rupiah, mengikuti jatuhnya matauang Baht di Thailand. Nilai Rupiah terhadap US$ menurun dengan 10,7% dan terus menurun tajam menjadi 25,7% pada bulan Agustus, 39,8% pada bulan September, 55,6% di bulan Oktober dan Nopember, dan langsung menjadi 109,6% di bulan Desember. Secara nominal, nilai tukar tersebut merosot dari

7

Page 8: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Rp2.450/US$ pada akhir bulan Juni 1997 menjadi Rp4.650/US$ dan cenderung terus memburuk hingga mencatat nilai terlemah pada bulan Juni 1998 (Rp14.900/US$).

Merosotnya nilai Rupiah tersebut memukul sektor swasta yang memiliki pinjaman luar negeri, terutama dunia usaha bukan perbankan9. Akibatnya banyak perusahaan tidak mampu membayar kredit yang dipinjam, termasuk kredit kepada perbankan nasional. Akibat kesulitan yang dialami perusahaan yang bergerak di sektor riil merambat ke dunia perbankan yang pada akhirnya memerlukan penyelamatan dengan menimbulkan beban pada APBN berupa Surat Utang Pemerintah kepada Bank Indonesia dan penerbitan obligasi untuk rekapitalisasi perbankan.

Secara ringkas, perekonomian saat itu di dalam situasi krisis yang dalam. Kegiatan produksi dan ekspor terhambat, jumlah pengangguran meningkat, kegiatan perbankan terganggu, demikian pula dengan jaringan distribusi barang dan jasa. Harga kebutuhan pokok, khususnya bahan makanan, tidak stabil, Tingkat kepercayaan (confidence) masyarakat sangat rendah, tercermin pada kurs Rupiah yang sangat mudah goyah dengan konsekuensinya berupa tekanan pada harga-harga di dalam negeri serta terhambatnya kegiatan produksi dan investasi dalam negeri.

Menghadapi keadaan tersebut, langkah yang dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan terutama yang menyangkut ketertiban dan keamanan, maupun berbagai langkah kebijakan di bidang ekonomi, di antaranya: (a) mengamankan penyediaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dengan harga terjangkau; (b) mencegah agar inflasi tidak menjadi inflasi yang tidak terkendali (hiperinflasi); (c) memfungsikan kembali peranan utama perbankan dalam mendukung perekonomian, termasuk pemulihan kembali tersedianya pembiayaan bagi perdagangan (trade financing); dan (d) meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga utama perekonomian, khususnya dalam menghadapi krisis dan keadaan darurat.

Sementara itu, dalam kebijakan fiskal, Pemerintah berketetapan untuk meringankan beban kelompok-kelompok masyarakat yang paling rawan terhadap dampak krisis, khususnya masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Untuk itu APBN sejauh mungkin diupayakan untuk dapat menampung program-program jaring pengaman nasional (social safety net). Meningkatnya alokasi anggaran untuk program JPS tersebut menyebabkan meningkatnya defisit anggaran meningkat. Untuk menutup defisit tersebut, diperlukan tambahan pinjaman luar negeri sehingga meningkatkan stok pinjaman luar negeri. Peningkatan pinjaman dalam dan luar negeri tersebut berdampak terhadap membengkakkan stok pinjaman pemerintah dan mempengaruhi solvabilitas dan sustainabilitas fiskal, sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

9 Pinjaman luar negeri swasta selama 6 (enam) tahun pertama dekade 1990-an melonjak hampir 3 (tiga) kali lipat dari US$17,7 miliar (tahun 1990) menjadi US$ 54,9 miliar (tahun 1996). Dari jumlah tersebut, proporsi pinjaman perbankan (BUMN dan Swasta) relatif kecil, yaitu US$2,6 miliar (tahun 1990) dan US$9,0 miliar (tahun 1996).

8

Page 9: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Perkembangan APBN, 1997/98 – 2000 (persen PDB)

Masa Krisis

1997/98 1998/99 1999/2000 2000

A. Pendapatan Negara dan Hibah 16.0 14.8 15.9 20.7B. Belanja Negara 17.0 17.2 19.9 23.9

- o/w Pembayaran bunga 1.6 2.3 3.8 5.7C. Keseimbangan Primer 0.7 -0.1 -0.1 2.5D. Surplus/Defisit -0.9 -2.4 -3.9 -3.2E. Pembiayaan 0.9 2.4 3.9 3.2

I. Dalam Negeri -0.6 -2.1 1.8 2.0 1. Perbankan -0.6 -2.3 0.0 0.0 2. Privatisasi --- 0.2 0.3 0.0 II. Luar Negeri 1.5 4.5 2.1 1.2 1. Penyerapan pinjaman 4.2 7.4 3.8 2.1 2. Amortisasi -2.7 -2.9 -1.7 -0.9

Memorandum Item A. Hutang Pemerintah 68.1 72.0 101.2 99.2

1. Luar Negeri (% dari PDB) 68.1 56.4 46.3 48.6 2. Dalam Negeri (% dari PDB) 0 15.6 54.9 50.5

B. Cicilan Hutang Pemerintah 1. Terhadap Pengeluaran Pemerintah 25.7 30.6 28.1 27.4 a. Pokok 16.2 17.0 8.8 3.6 b. Bunga 9.5 13.6 19.3 23.8 2. Terhadap Pengeluaran Rutin(%) 41.2 44.0 40.9 37.4 a. Pokok 26.0 24.4 12.8 4.9 b. Bunga 15.2 19.6 28.2 32.5

Sumber: Recent Economic Development, IMF (edisi 1997); Depkeu dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel diatas menunjukkan perubahan mendasar kesinambungan fiskal, yang mengarah pada situasi unsustainable, dicerminkan dari: (a) merosotnya nilai Rupiah yang mengakibatkan melonjaknya rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dari 22,7% pada tahun 1996/97 menjadi 68,1%; (b) defisit yang semula direncanakan sebesar 8,5% PDB tidak terjadi. Namun demikian, penyerapan pinjaman cukup tinggi pada tahun 1998/99. Meskipun demikian, nilai pinjaman luar negeri/PDB menurun karena besarnya pertumbuhan PDB nominal yang didorong oleh besarnya laju PDB deflator (laju inflasi yang tinggi); (c) munculnya pinjaman dalam negeri mulai tahun 1998/99 yang kemudian meningkat pada tahun berikutnya sehingga rasio pinjaman/PDB melonjak dua kali lipat menjadi sekitar 100% PDB pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan persoalan pinjaman dalam negeri yang besar; (d) keseimbangan primer tercatat lebih kecil dari pembayaran bunga. Dalam keadaan demikian, kondisi fiskal akan berkesinambungan jika pertumbuhan ekonomi melebihi tingkat suku bunga riil dalam jumlah yang cukup. Pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi sehingga kondisi fiskal mengarah pada ketidaksinambungan.

Jika ditinjau solvabilitas dan sustainabilitas fiskal, dapat disampaikan gambaran sebagai terlihat pada table berikut:

9

Page 10: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Solvabilitas dan Sustainabilitas Fiskal, 1997/98 - 2000 (persen PDB)

1997/98 1998/99 1999/00 2000

SOLVABILITAS (Solvency) Keseimbangan Primer - Aktual 0.7 -0.1 -0.1 2.5 - Untuk Menjamin Solvabilitas -0.2 13.3 1.8 -0.9SUSTAINABILITAS (Sustainability) Keseimbangan Primer - Aktual 0.7 -0.1 -0.1 2.5 - Untuk Menjamin Sustainabilitas 11.4 -1.1 2.3 0.3 Memorandum Items Tingkat Suku Bunga Riil (Internasional) 3.6 3.8 2.9 3.0 Tingkat Suku Bunga Riil (Domestik) 4.8 4.8 4.8 4.8 Pertumbuhan Ekonomi Riil 4.7 -13.1 0.8 4.9 Rasio Awal Pinjaman/PDB (Luar Negeri) 22.7 68.1 56.4 46.3 Rasio Awal Pinjaman/PDB (Dalam Negeri) 0 0 15.6 54.9 Rasio Ekspor NFGS/PDB 28.0 35.8 24.2 29.2 Pertumbuhan Ekspor NFGS 7.8 11.2 -31.8 26.5 Perubahan Nilai Tukar Riil 183.7 3.0 -13.0 25.0

Sumber : Estimasi Penulis

Pada awal krisis, solvabilitas fiskal masih belum terancam dengan keseimbangan primer aktual yang masih lebih baik dari yang dibutuhkan untuk menjamin solvabilitas tersebut. Namun, dengan depresiasi Rupiah yang sangat besar, sustainabilitas fiskal memburuk yang tercermin dari jauh lebih kecilnya keseimbangan primer aktual dibandingkan yang dibutuhkan. Kondisi ini terus memburuk sampai dengan tahun 1999/2000. Gambaran tersebut mencerminkan 3 hal penting yang melemahkan kinerja APBN, yaitu: Pertama, memburuknya stabilitas ekonomi dan merosotnya pertumbuhan ekonomi telah menurunkan kemampuan menggali pajak dan meningkatkan beban pengeluaran seperti subsidi BBM. Kedua, beban restrukturisasi perbankan yang memunculkan pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang besar. Ketiga, karena keterpurukan sektor swasta, maka pemerintah mengambil peran untuk menahan merosotnya perekonomian dan meringankan beban masyarakat dari dampak krisis.

UPAYA MEWUJUDKAN KESINAMBUNGAN FISKAL Menyadari permasalahan adanya ancaman terhadap kesinambungan fiskal selama krisis, berbagai upaya dalam mewujudkan kesinambungan fiskal telah dicantumkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), yang tersebar dalam beberapa program pembangunan seperti Program Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi, Program Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara yang tediri dari Program Peningkatan Penerimaan Negara

10

Page 11: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

dan Program Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara, dan Program Pengelolaan Utang Pemerintah. Selain itu, dicantumkan pula upaya meminimalkan resiko dari pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 melalui Program Implementasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Berbagai langkah kebijakan dalam program tersebut adalah:

1. Program Peningkatan Penerimaan Negara, utamanya diarahkan untuk: (a) memperluas basis pajak dengan menyederhanakan administrasi pajak; (b) menghilangkan berbagai pengecualian pajak; (c) meningkatkan penegakan hokum; (d) mengoptimalkan kepemilikan pemerintah dalam BUMN, termasuk melalui proses privatisasi10; (e) menertibkan dana off budget.

2. Program Peningkatan Efektivitas Pengeluaran Negara, melalui: (a) penghapusan subsidi secara bertahap, terutama untargeted subsidy; (b) menekan biaya restrukturisasi perbankan melalui perpercepatan penuntasan proses restrukturisasi perbankan; (c) mengendalikan peningkatan anggaran untuk belanja pegawai; (d) membatasi pengeluaran pembangunan pada kegiatan yang produktif, penting dan mendesak.

3. Program Pengelolaan Utang Pemerintah, melalui: (a) pengurangan pembiayaan luar negeri bersih secara bertahap11; (b) memeratakan beban utang melalui restrukturisasi utang luar negeri (termasuk penjadwalan kembali pinjaman luar negeri) dan refinancing sebagian obligasi yang jatuh tempo.

Untuk meringankan beban pembayaran pinjaman luar negeri dilakukan reschedulling melalui Paris Club I, II, dan III. Sementara, pinjaman dalam negeri melalui reprofiling (penataan ulang jatuh tempo obligasi dengan memperpanjang obligasi yang jatuh tempo antara tahun 2004-2009 menjadi 2010-2015), refinancing (menerbitkan obligasi baru untuk membiayai sebagian obligasi yang jatuh tempo, buy back (membeli kembali obligasi yang belum jatuh tempo), dan upaya penyelesaian kewajiban pemerintah kepada Bank Indonesia sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Pemerintah kepada Bank Indonesia (dalam rangka Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kesemua langkah tersebut, diarahkan untuk memeratakan beban pinjaman sehingga tidak menumpuk di tahun anggaran tertentu. Dengan demikian, pembayaran pokok dan bunga pinjaman luar dan dalam negeri masih dalam batas-batas kemampuan keuangan negara pada setiap tahunnya. Sementara itu, upaya memperingan terms and conditions, terutama dalam negosiasi pinjaman program, dengan menghapuskan ketentuan untuk menghasilkan suatu perundang-undangan dan digantikan dengan penyusunan draft perundang-undangan12.

10 Mengoptimalkan kepemilikan BUMN dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan meminimalkan biaya dari kepemilikan terhadap BUMN tersebut. Misalnya saja, suatu BUMN yang untuk meningkatkan kinerjanya diprivatisasi, akan menghasilkan penerimaan pada saat diprivatisasi dan diharapkan dapat menghasilkan deviden yang memadai dari kepemilikan pemerintah yang tersisa, meningkatkan perolehan pajak, dan meminimalkan biaya pengelolaan BUMN tersebut. 11 Pembiayaan luar negeri bersih adalah penyerapan pinjaman luar negeri (baik berupa pinjaman program maupun pinjam proyek) dikurangi dengan pembayaran pokok pinjaman. 12 Penarikan pinjaman program memerlukan pemenuhan matriks kebijakan yang disusun oleh Pemerintah dan donor. Di masa lalu, dengan persyaratan tentang perundang-undangan (misalnya Undang-undang Tentang Pencucian Uang), telah menghambat pencairan pinjaman karena proses pembahasan yang panjang antara pemerintah dan DPR. Jika

11

Page 12: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

4. Program Implementasi Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang terkait dengan upaya mewujudkan kesinambungan fiskal melalui : (a) penyusunan ketentuan yang memastikan bahwa peralihan pembiayaan kepada daerah akan bertahap sejalan dengan fungsinya; (b) penyediaan dana kontijensi (disisihkan dana untuk berjaga-jaga guna mengamankan pelaksanaan desentralisasi); (c) penyusunan peraturan khusus yang mengatur pinjaman daerah.

Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan defisit anggaran dapat menurun dan tercipta surplus primer yang memadai untuk menurunkan beban pinjaman. Stok pinjaman pemerintah diharapkan akan di bawah 60% PDB pada tahun 200413.

KERANGKA APBN / FISKAL 1. Jangka Menengah (2002-2007) Dalam melakukan perhitungan penerimaan negara secara agregat, pendekatan

yang digunakan adalah Elastisitas dan buoyancy pajak. Tax Elasticity merupakan perubahan relatif penerimaan perpajakan tanpa adanya perubahan dari sistem perpajakan dibandingkan terhadap perubahan relatif dari basis pajak. Sementara itu, tax buoyancy merupakan perubahan peningkatan penerimaan secara keseluruhan dibandingkan dengan peningkatan relatif terhadap PDB. Jika diasumsikan PDB sebagai basis pajak, maka elastisitas pajak dapat didefenisikan sebagai :

Elastisitas/Bouyancy = (Tt / T( t-1 ) - 1) / (PDBt / PDB( t-1 ) - 1)

Dimana, T adalah penerimaan perpajakan dan PDB merupakan basis pajak, Penerimaan pajak dikatakan elastis apabila nilainya lebih besar dari satu. Hal ini berarti bahwa penerimaan perpajakan meningkat lebih tinggi dibandingkan PDBnya. Peningkatan penerimaan perpajakan tersebut harus tanpa ada perubahan pada sistem perpajakan atau tanpa adanya peningkatan pada tariff pajak. Gambaran bouyancy penerimaan perpajakan Indonesia sudah cukup tinggi apabila dibandingkan dengan realisasi tahun-tahun sebelumnya terutama dibandingkan dengan sebelum terjadinya krisis yang kondisi perekonomian Indonesia relatif stabil dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara itu, upaya peningkatan penerimaan negara melalui kebijakan tariff akan dapat mendistortif perilaku perekonomian, yang selanjutnya berdampak terhadap meningkatnya inefisiensi. Selain itu, tariff yang tinggi akan mendorong pemberian insentif yang lebih tinggi bagi wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak, sehingga memberikan kelemahan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

yang disiapkan draft perundang-undangan, maka proses pencairan akan bergantung sepenuhnya pada pemerintah sehingga dapat lebih mudah dipenuhi. 13 Dalam Tabel 1 dan Tabel 4 PROPENAS, angka rasio pinjaman pemerintah/PDB menunjukkan 45,7% PDB. Namun patut dicatat, angka itu dapat tercapai apabila recovery rate hasil penjualan aset BPPN dapat fmencapai 70% dan dipergunakan untuk melunasi obligasi (nilainya sekitar 9,3% PDB).

12

Page 13: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Penerapan kebijakan (measures) pajak yang bertujuan untuk mendorong peningkatan penerimaan pada sektor lainnya (tax holiday) atau peningkatan perekonomian secara keseluruhan, cenderung mendorong pelaksanaan administrasi perpajakan yang jelek, yang seharusnya dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong pelaksanaannya menjadi lebih baik. Kondisi ini sebagai akibat dari ketidakjelasan kebijakan tax holiday terhadap investasi di Indonesia saat ini.

Sementara itu, kebijakan alokasi belanja negara melalui pemerintah pusat diarahkan untuk menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, memenuhi kewajiban pembayaran bunga utang dan kewajiban pemerintah lainnya kepada pihak ketiga dan melaksanakan program-program subsidi untuk membantu menjaga stabilitas harga dan perekonomian serta membantu masyarakat golongan kecil dan menengah. Sebagian besar komponen pengeluaran rutin tersebut lebih merupakan pengeluaran yang bersifat wajib (non-descretionary expenditure), hal ini berakibat pada rendahnya fleksibelitas pengelolaan fiskal.

Alokasi lainnya dalam belanja negara adalah alokasi belanja daerah yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) serta dana penyeimbang dan otonomi khusus. DAU sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri. DAU tahun 2003 adalah 25,16 % dari total penerimaan negara, sedangkan DAU tahun 2004-2007 adalah 26% dari total penerimaan negara. DAK diperuntukan untuk dana reboisasi dan kegiatan yang dianggap prioritas oleh pemerintah pusat. Tahun 2003, DAK dihitung berdasarkan kebutuhan dana reboisasi dan alokasi untuk sektor transportasi, kesehatan dan pendidikan. Hal yang sama untuk tahun 2004-2007 besarnya DAK diperkirakan 0,1% terhadap PDB. Besarnya alokasi DAK tersebut diperkirakan akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan negara dan kegiatan-kegiatan yang dianggap prioritas oleh pemerintah pusat. Sementara itu, perhitungan dana penyeimbang ditujukan untuk mengantisipasi ketimpangan alokasi DAU bagi daerah yang penerimaan DAU-nya lebih rendah dari tahun sebeumnya. Sedangkan dana otonomi khusus, dialokasikan sesuai dengan disyahkannya UU otonomi khsusus untuk Nanggroe Aceh Darusalam dan Papua. Besarnya alokasi dana otonomi khusus tersebut sebagaimana yang ditetapkan dalam kedua UU tersebut.

Pembiayaan defisit APBN berasal dari pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri utamanya terdiri dari pembiayaan perbankan dan pembiayaan non perbankan. Pembiayaan non perbankan terdiri dari privatisasi BUMN, penjualan asset program restrukturisasi perbankan dan surat utang negara. Sementara itu pembiayaan defisit yang berasal dari luar negeri berasal dari penarikan pinjaman (pinjaman program dan pinjaman proyek) dan pembayaran pokok utang yang jatuh tempo (lampiran 1).

2. Jangka Panjang (2002 – 2020) Dengan berbasiskan perhitungan APBN 2002-2007, perhitungan APBN dalam

jangka panjang dengan menggunakan simulasi-simulasi terhadap pemerataan utang pemerintah terutama utang dalam negeri. Pemerataan beban tersebut melalui reprofiling dan refinancing. Jika ditinjau dari struktur APBN, beban Obligasi Pemerintah untuk

13

Page 14: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

menjaga tingkat pengeluaran yang seperti saat ini14, dibutuhkan pinjaman luar negeri dalam jumlah sekitar US$4-6 miliar antara tahun 2003-2007. Hal ini menggambarkan masih besarnya peranan pinjaman luar negeri dalam APBN sampai dengan tahun 2007 tersebut, sehingga perlu diupayakan agar pipeline pinjaman luar negeri dapat terjaga. Sementara itu, pada tahun-tahun berikutnya peranan pinjaman luar negeri dapat terus menurun dan jika dikehendaki, dapat ditempuh kebijakan untuk tidak melakukan pinjaman baru (lampiran 2).

Mulai tahun 2011, jika dikehendaki, dapat dilakukan percepatan pembayaran pinjaman luar negeri dan mulai tahun 2006 sekaligus secara bertahap meningkatkan anggaran pembangunan, yang dicerminkan dengan peningkatan rasio (dana daerah + pengeluaan pembangunan pemerintah pusat) /PDB. Melalui skenario percepatan tersebut, seluruh pinjaman luar negeri akan dapat dilunasi pada tahun 2016, dengan ketersediaan anggaran pembangunan (mulai tahun 2017) yang sekitar 3% PDB lebih tinggi dari keadaan sekarang.

Sementara itu, dari segi stok pinjaman/PDB, diperkirakan dapat mencapai kurang dari 60% pada tahun 2004, dan terus menurun. Pada akhir periode peninjauan (2020), stok utang yang tersisa adalah surat utang tanpa jatuh tempo, tidak diindeks dan tanpa bunga, sejumlah Rp 134,5 triliun yang dalam tahun tersebut akan kurang dari 1% PDB.

KESIMPULAN 1. Kondisi fiskal selama masa pra krisis menunjukkan sustainabilitas. Hal ini didukung

dengan kebijakan menjaga defisit pada tingkat yang aman, dan kesediaan untuk melakukan penyesuaian jika diperlukan (melalui prepayment pinjaman yang berbunga komersial).

2. Pada masa krisis, pinjaman melonjak terutama didorong oleh munculnya pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang sangat besar guna membiayai restrukturisasi perbankan. Di samping itu, pinjaman luar negeri juga meningkat karena melemahnya nilai tikar rupiah terhadap US dolar dan kebutuhan untuk menutup defisit anggaran yang membengkak (sebagai langkah mengatasi dampak merosotnya perekonomian dan menjaga kondisi neraca pembayaran). Dengan perkembangan tersebut, muncul ancaman terhadap kesinambungan fiskal.

3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) menyadari beratnya permasalahan tersebut, dan telah meletakkan landasan kebijakan menuju kesinambungan fiskal. Dalam pelaksanaannya (periode tahun 2001-2002 dan rencana pelasanaan tahun 2003), telah dicatat kemajuan-kemajuan menuju kesinambungan fiskal, yang tercermin dari menurunnya rasio

14 Pengeluaran rutin di luar bunga pinjaman sebesar 5,4% (bunga pinjaman dalam negeri dihitung sesuai dengan skenario reprofiling, sedang bunga pinjaman luar negeri diperkirakan sekitar 4,5% dari outstanding pokok. Pengeluaran pembangunan pemerintah pusat, bersama-sama dengan dana daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan di daerah, dipertahankan pada sekitar 8,6% pada awal-awal tahun dari skenario. Penerimaan, baik yang bersumber dari pajak dan bukan pajak, diperkirakan pada sekitar 17,6% dalam jangka panjang. Hal ini didasarkan pendekatan terhadap middle income countries (1997) yang rata-rata penerimaannya sekitar 17,7% (lihat Lampiran 6 : Central Government Revenue as a percentage of GDP). Angka ini sudah lebih baik dibandingkan Filipina (15,4%) dan Thailand (15,9%).

14

Page 15: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

pinjaman/PDB dan semakin membaiknya stabilitas perekonomian. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi masih tetap besar dengan akan jatuh temponya pinjaman dalam negeri dalam jumlah yang besar antara tahun 2004-2009.

4. Tinjauan jangka menengah dan panjang menunjukkan bahwa permasalahan pinjaman dalam negeri tersebut akan dapat diatasi. Bahkan, jika dikehendaki, akan dapat dicapai pula penghapusan pinjaman luar negeri. Namun untuk itu diperlukan berbagai langkah yang akan disampaikan dalam rekomendasi berikut.

REKOMENDASI 1. Dalam pengelolaan pinjaman, perlu dilaksanakan: Pertama, penyelesaian pinjaman

dalam negeri, selain reprofiling yang saat ini sudah dilaksanakan, diperlukan pula: (a) penyelesaian Surat Utang Pemerintah yang diterbitkan Pemerintah kepada Bank Indonesia. Upaya ini untuk mengurangi beban pinjaman yang nilainya dapat membengkak dan melebihi obligasi rekap (oleh karena nilai pokok utang diindeks dengan laju inflasi); (b) penyiapan refinancing, dengan pengembangan pasar sekunder. Keterlibatan Bank Indonesia dalam pasar Surat Utang Negara, akan membantu penyerapan dari obligasi untuk refinancing tersebut; (c) perlu dikaji langkah-langkah terobosan untuk meringankan beban pinjaman. Oleh karena, meskipun dengan langkah-langkah tersebut kesinambungan fiskal diperkirakan akan dapat dicapai, ongkos yang harus dikeluarkan akan mahal. Kedua, Untuk pinjaman luar negeri, perlu dipertimbangkan untuk dipertahankan setidak-tidaknya sampai tahun 2008, dengan jumlah yang semakin menurun. Untuk itu perlu segera diisi kembali pipeline pinjaman luar negeri yang saat ini sudah mulai menipis. Di samping itu, pengelolaan pinjaman yang mencakup pinjaman dalam negeri dan luar negeri akan memungkinkan pembagian resiko terhadap perkembangan perekonomian, baik domestik maupun internasional (lampiran 3).

2. Dalam pengelolaan defisit, diperlukan: Pertama, peningkatan penerimaan negara, terutama dengan mencakup wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya. Kedua, kesediaan untuk melakukan penyesuaian di sisi pengeluaran jika dibutuhkan, seperti dengan mengendalikan kenaikan gaji yang merupakan salah satu komponen terbesar dalam belanja negara. Ketiga, meminimalkan kemungkinan biaya kontijensi, seperti yang diperlukan untuk mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban pengeluaran tetap harus mendapat perhatian utama. Di samping itu, perlu pula segera disiapkan perangkat peraturan dan kelengkapannya untuk pelaksanaan pinjaman daerah yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

____________

15

Page 16: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

A. Pendapatan Negara: 300,1 336,2 374,5 423,7 477,9 541,6 608,6 683,8 761,1 847,1 942,8 1.049,3 1.167,9 1.287,5 1.419,3 1.564,6 1.724,9 1.901,5 2.096,2 1. Pajak = [a*p] 211,0 254,1 294,8 343,0 393,1 446,0 501,2 563,1 626,7 697,6 776,4 864,1 961,8 1.060,3 1.168,8 1.288,5 1.420,5 1.565,9 1.726,3 2. Bukan Pajak = [A-1] 89,2 82,0 79,8 80,7 84,8 95,6 107,4 120,7 134,3 149,5 166,4 185,2 206,1 227,2 250,5 276,1 304,4 335,6 369,9

B. Pengeluaran Negara: 327,1 370,6 385,3 412,3 446,7 492,9 537,4 612,7 680,4 755,7 834,1 916,1 1.007,8 1.098,1 1.219,3 1.481,7 1.683,7 1.869,9 2.075,8

3. Pemerintah Pusat: 228,6 253,7 261,4 266,1 275,8 292,5 304,6 342,6 370,3 399,9 438,1 475,4 493,9 505,9 538,0 621,1 735,0 824,1 922,9 4. Rutin 188,5 188,6 191,8 193,9 205,0 220,7 237,2 262,2 286,9 308,0 331,8 358,0 385,6 411,7 441,8 474,9 515,2 563,9 618,4 5. Bunga Pinjaman: 90,1 82,0 78,9 77,8 74,9 74,1 72,5 69,2 63,0 58,9 54,5 49,4 42,1 33,0 24,4 14,7 7,9 4,7 1,8 - Dalam Negeri 64,4 55,2 52,8 51,3 48,4 47,7 46,4 43,3 38,0 35,1 32,2 29,7 25,6 21,5 18,5 14,7 7,9 4,7 1,8 - Luar Negeri = [g*h*k] 25,7 26,8 26,1 26,5 26,5 26,4 26,1 25,9 25,0 23,8 22,2 19,7 16,5 11,5 5,9 0,0 0,0 0,0 0,0 6. Rutin Lainnya = [c*p] 98,4 106,6 112,9 116,0 130,1 146,6 164,7 193,1 223,8 249,1 277,3 308,6 343,5 378,7 417,4 460,2 507,3 559,3 616,5 7. Pembangunan = [3-4] 40,2 65,1 69,6 72,3 70,8 71,8 67,5 80,4 83,4 91,9 106,4 117,4 108,4 94,2 96,2 146,2 219,8 260,1 304,6

8. Dana Daerah = [A*d] 98,4 116,9 124,0 146,2 170,9 200,4 232,8 270,1 310,1 355,8 396,0 440,7 513,9 592,2 681,3 860,5 948,7 1.045,8 1.152,9

9. Surplus/Defisit = [A-B] -27,0 -34,4 -10,8 11,4 31,3 48,8 71,1 71,1 80,7 91,4 108,7 133,2 160,1 189,3 200,0 83,0 41,2 31,6 20,4

10. Pembiayaan = -[9] 27,0 34,4 10,8 -11,4 -31,3 -48,8 -71,1 -71,1 -80,7 -91,4 -108,7 -133,2 -160,1 -189,3 -200,0 -83,0 -41,2 -31,6 -20,4

- Dalam Negeri 19,7 22,4 13,9 -2,7 -2,7 -16,5 -39,1 -31,1 -30,7 -34,9 -28,7 -38,2 -25,1 -39,3 -48,5 -83,0 -41,2 -31,6 -20,4 - Penerbitan Oblg./Reprofiling 2,0 7,7 36,9 32,7 53,9 56,5 63,2 74,1 20,0 20,0 25,0 25,0 30,0 30,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 - Pelunasan Pokok/Buy Back -3,9 -38,1 -35,9 -43,4 -64,6 -73,0 -102,4 -105,1 -50,7 -54,9 -53,7 -63,2 -55,1 -69,3 -48,5 -83,0 -41,2 -31,6 -20,4 - Lainnya 21,6 52,8 13,0 8,0 8,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

- Luar Negeri 7,3 12,0 -3,1 -8,7 -28,6 -32,3 -32,0 -40,0 -50,0 -56,5 -80,0 -95,0 -135,0 -150,0 -151,5 0,0 0,0 0,0 0,0 - Penarikan Pinjaman 19,3 29,3 35,8 32,4 18,5 18,9 19,3 13,3 4,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 - Pelunasan Pinjaman -12,0 -17,3 -39,0 -41,1 -47,1 -51,1 -51,3 -53,3 -54,9 -56,5 -80,0 -95,0 -135,0 -150,0 -151,5 0,0 0,0 0,0 0,0

Memorandum Item

ASUMSI a. Pajak/PDB 12,6% 13,1% 13,3% 13,6% 13,9% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% b. Pendapatan Bukan Pajak/PDB 5,3% 4,2% 3,6% 3,2% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% 3,0% c. Rutin Lainnya/PDB 5,9% 5,5% 5,1% 4,6% 4,6% 4,6% 4,6% 4,8% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% Dana Daerah d. Rasio thd. Pendapatan 32,8% 34,8% 33,1% 34,5% 35,8% 37,0% 38,3% 39,5% 40,8% 42,0% 42,0% 42,0% 44,0% 46,0% 48,0% 55,0% 55,0% 55,0% 55,0% e. Rasio thd. PDB 5,9% 6,0% 5,6% 5,8% 6,0% 6,3% 6,5% 6,7% 6,9% 7,1% 7,1% 7,1% 7,5% 7,8% 8,2% 9,4% 9,4% 9,4% 9,4% f. Pengeluaran Pemb. Pusat/PDB 2,4% 3,4% 3,1% 2,9% 2,5% 2,3% 1,9% 2,0% 1,9% 1,8% 1,9% 1,9% 1,6% 1,2% 1,2% 1,6% 2,2% 2,3% 2,5%

(Dana Daerah+Pengel.Pemb.Pusat)/PDB 8,3% 9,4% 8,7% 8,7% 8,5% 8,5% 8,4% 8,7% 8,8% 9,0% 9,1% 9,0% 9,1% 9,1% 9,3% 10,9% 11,5% 11,7% 11,8% g. Nilai Tukar (Rp/US$) 9.311 9.000 9.200 9.400 9.500 9.873 10.260 10.662 10.976 11.298 11.631 11.973 12.325 12.567 12.813 13.064 13.320 13.582 13.848

h. Bunga/Stok Pinjaman LN 3,9% 3,4% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9% 3,9%

i. Pembiayaan Luar Negeri 0,8 1,3 -0,3 -0,9 -3,0 -3,3 -3,1 -3,8 -4,6 -5,0 -6,9 -7,9 -11,0 -11,9 -11,8 0,0 0,0 0,0 0,0 Penarikan (US$ miliar) 2,1 3,3 3,9 3,4 1,9 1,9 1,9 1,2 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Pembayaran (US$ miliar) -1,3 -1,9 -4,2 -4,4 -5,0 -5,2 -5,0 -5,0 -5,0 -5,0 -6,9 -7,9 -11,0 -11,9 -11,8 0,0 0,0 0,0 0,0

INDIKATOR

j. Surplus/Defisit Thd PDB (%) -1,6% -1,8% -0,5% 0,5% 1,1% 1,5% 2,0% 1,8% 1,8% 1,8% 2,0% 2,2% 2,3% 2,5% 2,4% 0,9% 0,4% 0,3% 0,2%

Stok Pinjaman Luar Negeri: k. US$ Miliar 72,2 73,5 73,2 72,2 69,2 66,0 62,9 59,1 54,5 49,5 42,7 34,7 23,8 11,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 l. Rp. Triliun

Stok Pinjaman (end period): m. Rp Triliun = [n+o] 1.294,7 1.282,6 1.300,7 1.300,6 1.273,2 1.254,8 1.213,5 1.171,1 1.112,2 1.041,4 951,8 835,5 689,2 506,8 310,5 227,9 186,7 155,1 134,8 % PDB = [m/p] 77,6% 66,1% 58,7% 51,6% 45,0% 39,4% 33,9% 29,1% 24,8% 20,9% 17,2% 13,5% 10,0% 6,7% 3,7% 2,5% 1,8% 1,4% 1,1% Pinjaman Dalam Negeri: n. Rp Triliun 645,0 621,0 627,5 621,5 615,5 603,5 568,7 541,0 513,6 481,6 455,6 419,7 396,2 358,0 310,3 227,7 186,5 154,9 134,5 % PDB = [n/p] 38,7% 32,0% 28,3% 24,6% 21,8% 18,9% 15,9% 13,5% 11,5% 9,7% 8,2% 6,8% 5,8% 4,7% 3,7% 2,5% 1,8% 1,4% 1,1% Pinjaman Luar Negeri: o. Rp Triliun = [g*k] 649,7 661,6 673,2 679,1 657,8 651,3 644,8 630,1 598,6 559,8 496,2 415,8 293,1 148,8 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 % PDB = [o/p] 39,0% 34,1% 30,4% 26,9% 23,3% 20,4% 18,0% 15,7% 13,4% 11,2% 8,9% 6,7% 4,3% 2,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% p. PDB Nominal (Rp Triliun) 1.668 1.940 2.216 2.522 2.828 3.186 3.580 4.022 4.477 4.983 5.546 6.172 6.870 7.573 8.349 9.204 10.146 11.185 12.331

q. Pembayaran Pinjaman/Pendapat. 35,3% 40,8% 41,1% 38,3% 39,0% 36,6% 37,2% 33,3% 22,2% 20,1% 20,0% 19,8% 19,9% 19,6% 15,8% 6,2% 2,8% 1,9% 1,1% r. Pembayaran Pinjaman/Pengel. 32,4% 37,0% 39,9% 39,4% 41,8% 40,2% 42,1% 37,1% 24,8% 22,5% 22,6% 22,7% 23,0% 23,0% 18,4% 6,6% 2,9% 1,9% 1,1% s. Pembayaran Pinjaman/PDB 6,4% 7,1% 6,9% 6,4% 6,6% 6,2% 6,3% 5,7% 3,8% 3,4% 3,4% 3,4% 3,4% 3,3% 2,7% 1,1% 0,5% 0,3% 0,2%

Skenario Alternatif : Beban Obligasi Pemerintah terhadap Struktur Penerimaan dan Pengeluaran Negara Lampiran 2

16

Page 17: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Item 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Total

Jatuh Tempo:

I. Pokok Penjaminan + BLBI - 8,01 20,96 22,43 23,78 25,20 26,72 28,32 29,74 31,22 32,78 34,42 36,14 37,59 39,09 40,66 24,83 - - 461,91 II. Pokok Program Kredit - 0,21 0,43 0,46 0,48 0,52 0,55 0,59 0,63 0,68 0,73 0,78 0,78 0,88 0,88 0,88 0,50 - - 9,97

Sub Total I + II - 8,22 21,39 22,89 24,26 25,72 27,27 28,91 30,37 31,90 33,52 35,20 36,92 38,47 39,97 41,53 25,33 - - 471,88

III. Pokok Rekapitalisasi 3,93 13,54 48,67 44,38 59,03 68,10 94,53 96,85 - 0,92 - - - - - - - - - 429,94

a. Bunga Tetap - - 22,89 22,40 30,77 33,91 - 44,10 - - - - - - - - - - - 154,07 b. Bunga Mengambang 3,93 13,54 25,78 21,99 28,26 34,19 79,01 37,52 - 0,92 - - - - - - - - - 245,14 c. Hedge Bond - - - - - - 15,52 15,22 - - - - - - - - - - - 30,73

IV. Cicilan pokok (I+II+III) 3,93 21,76 70,06 67,28 83,29 93,82 121,80 125,76 30,37 32,83 33,52 35,20 36,92 38,47 39,97 41,53 25,33 - - 901,81

V. Bunga 68,07 65,89 62,03 53,66 45,97 38,86 30,61 20,41 8,43 7,81 7,02 6,24 5,36 4,33 3,24 2,06 0,79 (0,00) (0,00) 430,76

VI. Cicilan & Bunga (IV+V) 72,00 87,64 132,09 120,94 129,26 132,68 152,41 146,16 38,80 40,64 40,54 41,44 42,29 42,79 43,21 43,59 26,12 (0,00) (0,00) 1.332,57

Item 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Total

Jatuh Tempo: I. Pokok Penjaminan - 0,93 5,75 6,15 6,52 6,92 7,33 7,77 8,16 8,57 8,99 9,44 9,92 10,31 10,73 11,16 9,59 - - 128,23 II. Pokok Program Kredit - 0,35 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 3,00 3,62 - - - - - - - - - 9,97

Sub Total I + II - 1,28 6,25 6,65 7,02 7,42 7,83 8,27 11,16 12,19 8,99 9,44 9,92 10,31 10,73 11,16 9,59 - - 138,20

III. Pokok Rekapitalisasi 3,93 6,16 6,93 22,59 28,64 34,08 61,32 52,79 39,49 42,69 44,67 53,71 45,14 59,02 37,77 71,81 31,61 31,61 20,35 694,30 a. Bunga Tetap - - - 10,37 14,62 19,24 - 20,39 22,74 16,15 14,67 23,71 - - - - - - - 141,89 b. Bunga Mengambang 3,93 6,16 6,93 12,23 14,02 14,84 45,80 17,17 16,75 26,54 30,00 30,00 45,14 59,02 37,77 71,81 31,61 31,61 20,35 521,68 c. Hedge Bond - - - - - - 15,52 15,22 - - - - - - - - - - - 30,73

IV. Cicilan pokok (I+II+III) 3,93 7,44 13,18 29,25 35,66 41,50 69,15 61,06 50,65 54,87 53,66 63,15 55,06 69,33 48,50 82,97 41,19 31,61 20,35 832,51 V. Buyback dari Cicilan Pokok Rekap: 7,37 30,63 - - - - - - - - - - - - - - - - - 38,00 Jatuh tempo 2003 7,37 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Jatuh tempo 2004 - 19,00 - - - - - - - - - - - - - - - - - - Jatuh tempo 2005 - 7,63 - - - - - - - - - - - - - - - - - - Jatuh tempo 2006 - 1,47 - - - - - - - - - - - - - - - - - - Jatuh tempo 2007 - 2,53 - - - - - - - - - - - - - - - - - - Jatuh tempo 2008 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Jatuh tempo 2009 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

VI. Total Cicilan Pokok & Buyback (IV+V) 11,30 38,06 13,18 29,25 35,66 41,50 69,15 61,06 50,65 54,87 53,66 63,15 55,06 69,33 48,50 82,97 41,19 31,61 20,35 870,51

VII. Bunga 60,36 58,88 52,76 51,28 48,40 47,73 46,36 43,31 38,01 35,08 32,23 29,67 25,56 21,46 18,49 14,72 7,85 4,68 1,83 638,66

VIII. Cicilan Total & Bunga (IV+V) 71,66 96,94 65,94 80,53 84,07 89,22 115,51 104,36 88,66 89,95 85,90 92,82 80,62 90,79 66,99 97,68 49,04 36,28 22,18 1.509,16

Reprofiling - - 22,74 14,16 28,92 31,48 33,21 44,06 - - - - - - - - - 174,57

Penerbitan Obligasi 1,99 7,70 14,12 18,55 25,00 25,00 30,00 30,00 20,00 20,00 25,00 25,00 30,00 30,00 - - - - - 302,37

Bagian dari Pokok SU yang di-perpetual note-kan - 7,09 15,21 16,28 17,25 18,29 19,39 20,55 21,58 22,66 23,79 24,98 26,23 27,28 28,37 29,50 15,25 - - 333,67

Item 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Memorandum Item (Asumsi):

a. Pert. Ekonomi Riil (%) 3,6% 4,0% 5,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0%

b. Laju Inflasi (%) 10,0% 9,0% 8,0% 7,0% 6,0% 6,0% 6,0% 6,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 5,0% 4,0% 4,0% 4,0% 4,0% 4,0% 4,0%

c. Pert.PDB Nominal (%) = [(1+a)*(1+b)-1] 14,0% 13,4% 13,4% 13,4% 12,4% 12,4% 12,4% 12,4% 11,3% 11,3% 11,3% 11,3% 11,3% 10,2% 10,2% 10,2% 10,2% 10,2% 10,2%

d. PDB Nominal (Rp. Triliun) 1.667,9 1.940,0 2.216,2 2.522,3 2.828,1 3.186,0 3.579,8 4.022,3 4.476,8 4.982,7 5.545,7 6.172,4 6.869,8 7.573,3 8.348,8 9.203,7 10.146,2 11.185,2 12.330,5

e. Pajak/PDB (%) 12,6% 13,3% 13,3% 13,6% 13,9% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0% 14,0%

f. Pajak (Rp. Triliun) = [d*e] 211,0 258,0 294,8 343,0 393,1 446,0 501,2 563,1 626,7 697,6 776,4 864,1 961,8 1.060,3 1.168,8 1.288,5 1.420,5 1.565,9 1.726,3 Hasil:

Lampiran 3

Skenario Alternatif Pembayaran Utang Dalam Negeri, 2002 - 2020 (dalam triliun rp.)

Original Plan - Pembayaran Utang Dalam Negeri Pemerintah 2002-2018 (dalam triliun rp.)

17

Page 18: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

Profil Jatuh Tempo Utang Dalam Negeri Pada Original Plan dan Skenario, 2002 - 2020

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

Beba

n Ja

tuh

Tem

po (t

riliu

n rp

.)

Penjaminan & BLBIRekap. (FR, VR & HB)Skenario Penjaminan & BLBISkenario Rekap. (FR, VR & HB)

Penjaminan & BLBI - 8,22 21,39 22,89 24,26 25,72 27,27 28,91 30,37 31,90 33,52 35,20 36,92 38,47 39,97 41,53 25,33 - -

Rekap. (FR, VR & HB) 3,93 13,54 48,67 44,38 59,03 68,10 94,53 96,85 - 0,92 - - - - - - - - -

Skenario Penjaminan & BLBI - 1,28 6,25 6,65 7,02 7,42 7,83 8,27 11,16 12,19 8,99 9,44 9,92 10,31 10,73 11,16 9,59 - -

Skenario Rekap. (FR, VR & HB) 3,93 6,16 6,93 22,59 28,64 34,08 61,32 52,79 39,49 42,69 44,67 53,71 45,14 59,02 37,77 71,81 31,61 31,61 20,35

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Profil Jatuh Tempo Utang Obligasi Rekap, Penjaminan dan BLBI, Original Plan vs Skenario 2002 - 2020

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

Beb

an J

atuh

Tem

po (t

riliu

n rp

.)

OriginalSkenario

Original 3,93 21,76 70,06 67,28 83,29 93,82 121,80 125,76 30,37 32,83 33,52 35,20 36,92 38,47 39,97 41,53 25,33 - -

Skenario 3,93 7,44 13,18 29,25 35,66 41,50 69,15 61,06 50,65 54,87 53,66 63,15 55,06 69,33 48,50 82,97 41,19 31,61 20,35

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

18

Page 19: Judul Studi : PROSPEK SUSTAINABILITAS APBN DALAM … · mengamankan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, prinsip bahwa transfer penerimaan mengikuti kewajiban ... apabila prospek

DAFTAR PUSTAKA

1. Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, “Profil Pinjaman Luar Negeri Indonesia”, 2001

2. Bappenas, UNSFIR Discussion Paper, “Indonesia 2020 Long term Issues and Priorities”, July 2002

3. Buana, E. Chandra (2002), “Model Inflasi di Indonesia”, Proyek Studi Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional (SPKPPN), Tahun Anggaran 2002.

4. Buiter, William H., “Measuring Fiscal Sustainability”, Washington D.C, International Monetary Fund, August 29, 1995.

5. Dimas, Erwin (2002), “Pinjaman Daerah : Kajian Empiris dan Prospeknya”, Proyek Studi Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional (SPKPPN), Tahun Anggaran 2002

6. Ontowirjo, Boediastuti, “Obligasi Pemerintah Indonesia : Kinerja dan Daya Serap Pasar Dalam Negeri”, Kertas Karya, Studi Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional. Bappenas, 2002.

7. Ouanes, A and S. Thakur, 1997,”Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition Economies”, International Monetary Fund, Washington D.C. (h. 66)

8. Rosidi, Mohammad, “Penghitungan Defisit Anggaran”, Proyek Studi Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional (SPKPPN). Tahun Anggaran 2002.

9. Sekretariat Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, 2000

10. Suharmen, “Perkiraan Penerimaan Perpajakan di Indonesia”, 2002

11. “Kebijakan Penerimaan Perpajakan di Indonesia”, Proyek Studi Penyusunan Kebijakan dan Program Pembangunan Nasional (SKPPN) Tahun Anggaran 2002.

12. World Bank, “Indonesia in Crisis : A Macroeconomic Update”, Washington D.C. July 16, 1998.

19