jtptunimus gdl prasistiya 5254 2 bab2

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Status gizi adalah tingkat kesehatan sebagai akibat dari pemasukan semua zat gizi dalam makanan sehari-hari. Dapat pula dikatakan bahwa status gizi adalah derajat kesehatan seseorang yang dipengaruhi antara lain oleh tingkat kecukupan makanan yang dikonsumsi (Reksohadikusumo, 1989). 2. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu klinis, biokimia, biofisik dan antropometri. a. Penilaian secara klinis Penilaian secara klinis gizi adalah penilaian yang mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit kurang gizi. b. Penilaian Secara Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Penilaian keadaan gizi dengan cara ini, terutama di lapangan mengalami masalah khususnya tekhnis fasilitas laboratorium serta biaya yang relati mahal. c. Penilaian secara Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

Upload: aldi-sadega

Post on 08-Nov-2015

219 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

liiyyg

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi

    Status gizi adalah tingkat kesehatan sebagai akibat dari pemasukan semua zat gizi

    dalam makanan sehari-hari. Dapat pula dikatakan bahwa status gizi adalah derajat

    kesehatan seseorang yang dipengaruhi antara lain oleh tingkat kecukupan

    makanan yang dikonsumsi (Reksohadikusumo, 1989).

    2. Penilaian Status Gizi

    Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu

    klinis, biokimia, biofisik dan antropometri.

    a. Penilaian secara klinis

    Penilaian secara klinis gizi adalah penilaian yang mempelajari dan

    mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan

    dan penyakit kurang gizi.

    b. Penilaian Secara Biokimia

    Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji

    secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

    Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja, dan juga

    beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Penilaian keadaan gizi dengan

    cara ini, terutama di lapangan mengalami masalah khususnya tekhnis fasilitas

    laboratorium serta biaya yang relati mahal.

    c. Penilaian secara Biofisik

    Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi

    dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat

    perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi

    tertentu seperti kejadian epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi

    gelap.

  • d. Penilaian secara Antropometri

    Penilaian status gizi secara antropometri didasarkan atas pengeluaran keadaan

    fisik dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Untuk

    entropometri yang digunakan dalam penentuan status gizi diantaranya: berat

    badan, tinggi badan, tinggi badan, lingkar badan, lingkar lengan atas, lingkar

    kepala, lingkar dada dan tebal lemak pada kulit. Dari semua ukuran itu yang

    paling sering digunakan adalah berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) yaitu

    berat badan dibandingkan umur (BB/ U), tinggi badan dibandingkan umur (TB/

    U), berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/ TB). (Supariasa, 2001).

    3. Klasifikasi Status Gizi

    Klasifikasi status gizi menurut standar WHO-NCHS berdasarkan widya karya

    Nasional pangan dan gizi VII adalah sebagai berikut:

    TABEL 1.

    KLASIFIKASI STATUS GIZI

    No Klasifikasi Skor (Baku WHO-NCHS) 1. Gizi lebih > 2.0 SD 2. Gizi baik - 2.0 SD s/d 2.0 SD 3. Gizi kurang < - 2.0 SD 4. Gizi buruk < - 3.0 SD

    Sumber : Widya Karya Nsional Pangan dan Gizi Tahun 2000

    Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

    a. Konsumsi Makanan

    Status gizi masyarakat ditentukan oleh konsumsi zat dan kemampuan

    tubuh menyerap makanan yang mengandung zat gizi untuk kesehatan. Jika

    konsumsi makan kurang akan mempermudah timbulnya penyakit yang dapat

    mempengaruhi pertumbuhan dan mengakibatkan status gizi menurun.

    Konsumsi makanan yang kurang memenuhi syarat-syarat gizi

    merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak,

    terutama pada anak usia prasekolah (Roedjito, 1989).

    b. Penyakit Infeksi

  • Anak yang menderita gizi kurang akan mudah terkena penyakit infeksi

    khususnya diare dan penyakit saluran pernafasan. Masing-masing keadaan

    tersebut mendorong dan dapat memperburuk keadaan. Proses tersebut akan

    menimbulkan kesakitan yang semakin memburuk dan dapat menyebabkan

    kematian.

    Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan

    untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi

    menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti

    kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi

    menjadi turun. Infeksi memperburuk status gizi, dan sebaliknya gangguan gizi

    memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi (Aritonang,

    1996).

    c. Sanitasi Lingkungan

    Keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya

    berbagai jenis penyakit, antara lain diare dan infeksi saluran pencernaan.

    Seseorang yang kekurangan zat gizi akan mudah terserang penyakit dan

    pertumbuhan akan terganggu (Supariasa, 2001)

    d. Pendidikan Orang Tua

    Latar belakang pendidikan orang tua, merupakan salah satu unsur

    penting yang berperan dalam menentukan keadaan gizi anak. Pada masyarakat

    yang rata-rata tingkat pendidikannya rendah, menunjukkan prevalensi gizi

    kurang yang tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat

    pendidikannya cukup tinggi, prevalensi gizi kurang lebih rendah.

    e. Tingkat Pendapatan

    Tingkat pendidikan juga menentukan pola makan apa yang dibeli

    dengan uang tersebut. Jika pendapatan meningkat, pembelanjaan untuk

    membeli makanan juga bertambah. Dengan demikian pendapatan merupakan

    faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang selanjutnya

    akan berpengaruh terhadap zat gizi (Reksohadi Kusumo, 1989).

    B. Tinjauan Tentang Diare 1. Pengertian Diare

  • Diare adalah suatu keadaan abnormal dari pengeluaran berak dengan

    frekuensi 3 kali atau lebih dengan melihat konsistensinya lembik cair sampai

    cair dengan/ tanpa darah dan lendir dalam tinja (Dep Kes RI, 1990).

    2. Faktor-faktor penyebab Diare

    a. Faktor Makanan

    Makanan sebagai penyebab diare merupakan penyebab non infeksi yang

    paling sering, diantaranya:

    Makanan yang busuk, mengandung racun Perubahan susunan makanan yang mendadak, hal ini sering terjadi

    pada bayi.

    Susunan makanan yang tidak sesuai dengan umur bayi, yang berupa amolaritas yang tinggi ataupun terlalu banyak serat.

    b. Faktor Infeksi

    Faktor infeksi merupakan penyebab yang paling sering dari diare, dan pada

    garis besarnya dapat dibagi menjadi 2 golongan:

    Infeksi Parenteral Merupakan infeki di luar usus, diperkirakan melalui jalur susunan

    syaraf vegetatif mempengaruhi sistem saluran cerna sehingga terjadi

    diare.

    Infeksi Enternal Merupakan infeksi dalam usus. Dapat terjadi karena infeksi oleh

    organisme disentri basiler, bakteri, salmonella dan berbagai virus.

    c. Faktor Psikik

    Keadaan depresif pada umumnya melalui jalur susunan syaraf vegetatif

    dapat menganggu saluran cerna sehingga terjadi diare. Pada anak-anak

    kondisi lingkungan sosiobiologik sering berperan dalam penanganan diare.

    d. Faktor lingkungan

    Kurangnya penyediaan air bersih, kurangnya fasilitas sanitasi dan hygiene

    perorangan juga dapat menyebabkan diare.

    3. Akibat Diare

  • Akibat yang ditimbulkan diare adalah kekurangan cairan tubuh dan

    garam-garam yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Akibat

    kekurangan cairan, kemungkinan akan menimbulkan kematian. Kehilangan

    cairan terus menerus akan berakibat dehidrasi.

    Selain itu, diare juga dapat mengakibatkan malnutrisi karena nafsu makan

    yang berkurang. Malnutrisi akan menyebabkan resiko terjadinya diare lebih

    berat dan lama. Yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

    dan kematian (Dep Kes RI, 1996).

    4. Pencegahan Diare

    Pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:

    Mengkonsumsi air minum yang aman dan sehat Mengkonsumsi makanan yang dimasak Menjaga kebersihan perorangan Menjaga lingkungan tetap sehat Makan makanan yang bergizi

    C. Sanitasi Lingkungan 1. Pengertian

    Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan

    lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya

    status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan

    tersebut antara lain: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan

    air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan

    ternak (kandang) dan sebagainya (Notoatmodjo, 1997).

    Sehat menurut WHO sanitasi lingkungan merupakan usaha-usaha

    pengawasan terhadap semua faktor yang ada dalam lingkungan fisik yang

    memberi pengaruh atau memberi pengaruh buruk terhadap kesehatan, fisik,

    mental dan kesejahteraan sosial.

    Pengaruh lingkungan dalam rumah terhadap kegiatan sehari-hari tidaklah

    secara langsung. Lingkungan yang kelihatannya tidak memiliki potensi bahaya

    ternyata dapat menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya.

  • Lingkungan rumah bising, berdebu dan panas dapat menimbulkan

    gangguan kesehatan pada akhirnya dapat menganggu kegiatan sehari-hari (Dep

    Kes RI, 1996).

    2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan lingkungan

    Tingkat kesehatan lingkungan ditentukan oleh berbagai kemungkinan

    bahwa lingkungan berperan sebagai tempat pembiakan agen hidup, tingkat

    kesehatan lingkungan yang tidak sehat dapat diukur dengan:

    Penyediaan air bersih yang kurang Pembuangan air limbah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan kotoran serta cara

    buang kotoran manusia yang tidak sehat.

    Tidak adanya penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan sampah rumah tangga yang memenuhi persyaratan kesehatan.

    Tidak adanya penyediaan sarana pengawasan penyehatan makanan. Penyediaan sarana perumahan yang tidak memenuhi persyaratan

    kesehatan.

    3. Hal-hal yang menyangkut Sanitasi

    a. Ventilasi

    Situasi perumahan penduduk dapat diamati melalui perumahan yang

    berada di daerah perkotaan dan pedesaan. Perumahan yang berpenghuni

    banyak dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dapat

    mempermudah dan memungkinkan adanya transisi penyakit dan

    mempengaruhi keehatan penghuninya.

    Ventilasi dalam rumah diperlukan untuk mengganti udara ruangan

    yang terpakai, menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan.

    Ventilasi ruangan harus memenuhi syarat:

    Luas lubang ventilasi tetap

  • Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh debu. Aliran udara jangan menyebabkan orang sakit.

    b. Pencahayaan

    Pencahayaan yang tidak mencukupi akan menyebabkan kelelahan

    mata, disamping itu kurangnya pencahayaan akan menyulitkan pemeliharaan

    kebersihan rumah.

    Pencahayaannya yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam

    rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Pencahayaan dapat

    diperoleh dari pencahayaan dari sinar matahari. Pencahayaan dari sinar

    matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela, celah-celah dan bagian

    rumah yang terkena sinar matahari hendaknya tidak terhalang benda lain.

    Cahaya matahari ini berguna untuk penerangan, juga dapat mengurangi

    kelembaban udara, memberantas nyamuk, membunuh kuman penyebab

    penyakit. pencahayaan dari lampu atau yang lain berguna unuk penerangan

    suatu ruangan (Suyono, 1985).

    c. Lantai

    Pada rumah yang berlantai tanah kelembaban lantainya akan lebih

    tinggi dibandingkan dengan yang diplester. Lantai tanah tidak bisa

    dibersihkan seperti halnya pada lantai berplester (pengepelan lantai) dengan

    menggunakan bahan anti kuman. Sehingga pada lantai tanah kumah akan

    bertahan lebih lama dibandingkan dengan lantai plester/ ubin.

    d. Dinding

    Resiko menempati rumah dengan jenis dinding yang tidak memenuhi

    syarat bukanlah faktor resiko langsung terhadap penyakit, namun berkaitan

    dengan kelembaban udara.

    Dinding rumah harus bersih, kering dan kuat. Dinding selain untuk

    penyangga, juga untuk melindungi dari panas, hujan dan sebaiknya untuk

    dinding rumah dibuatkan dari batu bata. (Dirjen PPM dan PLP, 1992).

    e. Kepadatan Penghuni

    Resiko yang ditimbulkan oleh kepadatan penghuni rumah terhadap

    terjadinya penyakit dimungkinkan karena:

  • Kualitas udara dalam ruangan buruk Pemeliharaan ruangan tidak dilaksanakan dengan baik Jarak antar penghuni rumah lebih dekat.

    Adapun persyaratan rumah sehat adalah:

    Harus memenuhi kebutuhan psichologis Terhindar dari penyakit menular Terhindar dari kecelakaan

    f. Penyediaan air bersih

    Air yang bersih adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan

    sehari-hari yang kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan dan dapat

    diminum apabila sudah masak.

    Air untuk konsumsi rumah tangga yang didapatkan dari sumbernya

    harus diolah terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat kesehatan.

    Menurut Indang Entjan, syarat air minum ditentukan oleh 3 syarat,

    yaitu:

    1. Syarat fisik: air itu tidak berwarna, tidak mempunyai rasa, tidak berbau

    dan jernih.

    2. Syarat bakteriologis : air itu harus bebas dari segala bakteri terutama

    bakteri pathogen.

    3. Syarat kimia: tidak mengandung bahan kimia yang membahayakan

    kesehatan, misalnya CO2, NH4, H2S dan lain-lain.

    g. Pembuangan kotoran manusia (jamban)

    Tempat pembuangan kotoran manusia (jamban) merupakan hal

    yang sangat penting, dan harus selalu bersih, mudah dibersihkan, cukup

    cahaya dan cukup ventilasi, harus rapat sehingga terjamin rasa aman bagi

    pemakainya, dan jaraknya cukup jauh dari sumber air.

    Syarat pembuangan kotoran manusia menurut Ehlers dan Steel

    dalam Indah Entjan adalah:

    Tidak mengotori tanah permukaan Tidak mengotori air tanah

  • Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dipergunakan oleh lalat untuk bertelur dan berkembang biak

    Kakus harus terlindung dan tertutup h. Pembuangan air limbah atau sampah

    Air limbah merupakan exereta manusia, air kotor dari dapur, kamar

    mandi, WC, perusahaan-perusahaan, termasuk pula air kotor permukaan

    tanah. Pembuangan air limbah yang kurang baik akan menjadi sarang

    penyakit dan situasi rumah akan menjadi lembab.

    Pengaturan air limbah perlu dilakukan dengan baik, supaya:

    Mencegah pengotoran sumber air rumah tangga Kebersihan makanan terjaga Mencegah berkembangnya bibit penyakit Menghilangkan bau dan pemandangan tidak sedap

    D. Kerangka Teori

    ekonomi budaya pendidikan kepadatan penghuni

    Sanitasi Lingkungan: - Ventilasi - Pencahayaan - Jenis dinding - Jenis lantai - Kepadatan penduduk

    Higiene

    - Penyediaan air bersih - Jamban - Pembuangan air limbah/ sampah

    Makanan

    Penyakit Infeksi- ISPA- Diare

    Status Gizi

    Konsumsi makanan

    Sumber : Supariasa, 2001

  • E. Kerangka Konsep

    Sanitasi Lingkungan: Status Gizi- Ventilasi

    Diare

    - Pencahayaan- Jenis dinding - Jenis lantai - Kepadatan penghuni - Penyedi an air bersih a- Jamban - Pembuangan air limbah/ sampah

    F. Hipotesis - Ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan frekuensi diare pada balita

    - Ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan status gizi balita

    BAB II