journal reading mata daftar isi

28
BAB I PENDAHULUAN Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten. Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa.

Upload: arinamanasikana

Post on 22-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

jurnal mata

TRANSCRIPT

Page 1: Journal Reading Mata Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva

bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen

tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok,

limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh.

Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel

limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten.

Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang

atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India

menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis

flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus. Hal ini juga terjadi di

Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi

kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa.

Page 2: Journal Reading Mata Daftar Isi

BAB II

PEMBAHASAN

I. Anatomi

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan yang meliputi permukaan

dalam palpebra dan bola mata sampai sebatas limbus. 1,2

Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

Konjungtiva palpebra

Berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva

tarsal superior dan inferior akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata

sampai berbatasan dengan konjungtiva bulbar.

Konjungtiva forniks

Merupakan tempat peralihan antara konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar,

strukturnya sama dengan konjunctiva palpebra namun hubungan dengan jaringa

dibawahnya lebih lemah dan membentuk lipatan-lipatan. Pada daerah konjungtiva

forniks terdapat banyak pembuluh darah sehingga mudah terjadi pembengkakan pada

daerah tersebut.

Konjungtiva bulbi

Konjungtiva bulbi terutama melapisi bagian anterior dari sklera dan umumnya menyatu

dengan sel epitelium kornea dilimbus. Didekat kantus internus konjungtiva bulbi

membentuk lipatan plika semilunaris.

Pendarahan dari konjungtiva berasal dari arteri konjungtiva posterior dan arteri siliaris

anterior, dimana kedua arteri tersebut juga melakukan anastomosis. Yang berasal dari arteri

siliaris anterior akan berjalan mengikuti otot rektus pengerak bola mata kecuali rektus

lateralis dan menembus sklera didekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata.

Persarafan pada kornea berasal dari N. V/ Nervus Trigeminus cabang pertama/

ofltalmika.1,2,7

Page 3: Journal Reading Mata Daftar Isi

II. Histologi

Lapisan epitel pada konjungtiva merupakan lapisan epitel tanpa keratin dan terdiri dari

dua sampai lima lapisan sel epitel kolumnar yang superfisial. Pada lapisan dasar merupakan

sel epitel yang berbentuk kubus yang akan berubah menjadi sel epitel yang datar sebelum

terlepas nantinya. Sel epitel superfisial terdiri dari sel goblet terdapat di antara sel epitel

konjugtiva, kurang lebih 5-10% dari sel basal dan jumlah terbanyak dari sel goblet adalah

berada disekitar inferonasal dan forniks, dimana fungsi dari sel goblet adalah menghasilkan

musin dan air mata sehingga memudahkan pergerakan bola mata.

Lapisan stroma pada konjugtiva/ substansia propia terdiri dari lapisan adenoid di bagian

superfisial dan lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid

dan dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral germinatikum.

Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3 bulan. Sedangkan lapisan

fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva

juga terdapat kelenjar aksesoris (kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan

fungsi dan struktur kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks

superior dari pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus

bagian atas.2

Page 4: Journal Reading Mata Daftar Isi

BAB II

KONJUNGTIVITIS FLIKTEN

I. Definisi

Konjungtivitis flikten/ Konjungtivitis skrofulosa adalah merupakan radang terbatas pada

konjungtiva dengan pembentukkan satu atau lebih tonjolan kecil yang berwarna kemerahan.1

Bila terjadi pada konjungtiva saja maka disebut sebagai konjungtivitis flikten, sedangkan

apabila terjadi pada daerah limbus maka disebut sebagai keratokonjungtivitis flikten. 1,2,3

II. Etiology

Penyebab terjadinya Konjungtivitis flikten merupakan reaksi hipersensitivitas Gell dan

Coomb’s tipe IV yang dicetuskan oleh karena adanya antigen yang berasal dari bakteri.

Umumnya secara klasik konjungtivitis flikten dihubungkan dengan adanya infeksi

Mycobacterium tuberculosis terutama pada negara yang berkembang, sedangkan pada

Amerika Serikat penyebab terbanyak dari konjungtivitis flikten adalah bakteri

Staphylococcus aureus. Pada beberapa literatur juga dibahas penyebab dari konjungtivitis

flikten dapat disebabkan selain bakteri anatara lain infeksi virus, jamur parasit dan bahkan

infeksi gigi.4

Tabel organisme yang berkaitan dengan patogenesis konjungtivitis flikten

Mikroorganisme

Mycobacterium tuberculosis

Staphylococcus aureus

Chlamidia trachomatis

Neisseria gonorrhea

Coccidiodes immitis

Bacillus sp.

Herpes simplex virus

Page 5: Journal Reading Mata Daftar Isi

Ascaris lumbricoides

Hymenlepis nana

Candida albicans

III. Patogenesis

Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap terhadap

patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida,

helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada

margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus

urogenital.1,2

Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi

inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat

dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 berkontribusi dalam

terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya adalah proses inflamasi10. Reaksi

inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel

Th17 akan didominasi oleh neutrofil.5

Page 6: Journal Reading Mata Daftar Isi

Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:

a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida yang

ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang berfungsi sebagai

autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsived sel T.

Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan Th1 atau Th17 terlihat pada

produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat aktivasi sel T. APC

memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi Th1. IFN-γ akan

diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin

seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β

untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17. Beberapa dari diferensiasi sel ini

akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama.

b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang

berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC.

Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab

dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag

yang akan memfagositosis dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai

sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang

memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga menyekresikan TNF,

IL1, dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan hasil

produksi makrofag yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme

tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi

tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi akan berlanjut sehingga

jaringan luka akan menjadi semakin luas.5,6

Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam penyakit

autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain.

Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses

inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.

Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan

jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh

sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs

juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan

memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T

Page 7: Journal Reading Mata Daftar Isi

CD8+8. Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut

dan juga akan berakibat pada kerusakan sel.

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang  terinfeksi yang dimediasi oleh sel T yaitu

CTLs yang mengenali sel target akan menyekresikan kompleks yang berisikan perforin,

granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan masuk ke sel target melalui proses

endositosis7. Dalam sitoplasma, sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari

kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang

akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast

ligand, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed pada

sel target dan memicu apoptosis.Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat

dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terpapar oleh

beberapa agen kontak.5,6

IV. Klasifikasi

Secara klinis konjungtivitis flikten dibagi menjadi:

a. Konjungtivitis flikten

Tanda radang/ inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat yang

terdapat flikten dan sekret hampir tidak ada

b. Konjungtivitis kum flikten/ fliktenularis

Tanda radang/ inflamasi tampak jelas, tampak sekret mukus-mukopurulen dan

umumnya konjungtivitis flikten timbul akibat infeksi sekunder pada konjungtivitis

flikten.1,2,3

V. Manifestasi klinis

Gejala Klinis pada konjungtivitis flikten:

Berupa mata merah, mata gatal, mata berair, dan nyeri. Apabila terdapat keterlibatan

korne/ Keratokonjungtivitis fliten didapatkan gejala tambahan mulai dari fotofobia, nyeri

dan blefarospasme. Apabila disertai dengan infeksi sekunder dapat disertai dengan sekret

mukopurulen yang kental.

Page 8: Journal Reading Mata Daftar Isi

Gejala klinis pada kerato konjungtivitis flikten:

Umumnya gejala yang timbul pada keratokonjungtivitis flikten gejalanya hampir

sama dengan konjungtivitis flikten namun lebih berat karena melibatkan kornea.

Umumnya keluhan fotofobia, lakrimasi dan blefarospasme akan lebih berat.

Tanda Klinis pada konjungtivitis flikten:

Karakteristik dari konjungtivitis flikten adalah umumnya lesi flikten ditemukan pada

daerah dekat limbus, daerah konjungtiva palpebra maupun bulbi. Lesi flikten berukuran

kecil, berupa nodul yang berwarna pink keabu-abuan yang terdapat dibagian tengah dari

area yang hiperemis, dalam beberapa hari bagian dari permukaan nodul tersebut akan

mengalami perlunakan dan menjadi abu-abu, kemudia mencekung kemudian akan

menghilang tanpa adanya bekas.

Konjungtivitis Flikten Milier terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran

disekitar limbus ataupun menyebar secara tidak merata

Tanda Klinis pada Keratokonjungtivitis Flikten

Umumnya tanda klinis yang dapat dinilai pada keratokonjungtivitis flikten

mempunyai karakteristik dimana lesi umumnya dimulai dari tepi limbus berupa

gambaran penonjolan yang yang sesuai dengan tepi limbus yang berwarna putihyang

dikelilingi oleh pembuluh darah yang mengalami dilatasi maupun ulkus marginal.

Kemudian lesi yang berada ditepi limbus akan mengalami perlunakan dan nekrosis yang

umumnya akan menyebabkan jaringan parut yang perwarna putih keabu-abuan pada

kornea. 1,3

VI. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang penting untuk konjungtivitis flikten penting untuk dilakukan

untuk mengetahui penyebab dari konjungtivitis flikten, sehingga rekurensi dari penyakit

terserbut akan berkurang.

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah mulai dari darah lengkap,

pemeriksaan foto thoraks, tes matoux, pemeriksaan urine dan feces dan pencarian terhadap

fokus infeksi lokal seperti infeksi pada telinga maupun saluran atas.3

Page 9: Journal Reading Mata Daftar Isi

VII. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada kasus konjungtivitis flikten adalah mencari penyebabnya untuk

mempercepat penyebuhan dan mengurangi angka rekurensi.

Pemberian obat kortikosteroid lokal sebagai tetes mata yang dikombinasikan dengan

antibiotik seperti Kloramfenikol + kortikosteroid dan Polimiksin + kortikosteroid

umumnya memberikan akan penyembuhan yang cukup baik. Serta diberikan roboransia

yang mengandung vitamin A, B kompleks dan C untuk membantu penyembuhan.

Pemberian antibiotik tetrasiklin secara oral dengan dosis 250 mg 4 kali sehari

diberikan selama 3 minggu memberikan efektivitas yang cukup baik pada kasus yang

disebabkan oleh karena staphylokokus, namun karena efek samping pewarnaan pada gigi

sebaiknya tetrasiklin tidak diberikan, dan diganti dengan antibiotik golongan makrolid

seperti eritromisin. (inet)

Apabila pemeberian steroid secara lokal tidak membaik, harus diberikan suntikan

kortikosteroid ( kortison asetat 0,5%) yang disuntikan subkonjunctiva di forniks superior

supaya tidak menggangu kosmetik, diberikan sebanyak 0,3-0,5 cc setiap kali sebanyak 2

kali perminggu.

Karena angka rekurensi cukup tinggi maka harus diperhatikan efek samping yang

timbul akibat penggunaan steroid dalam jangka waktu lama.1,2,3

VIII. Prognosis

Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan

sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada

limbus.

Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea

karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas. Namun

beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang memadai. 1,2

Page 10: Journal Reading Mata Daftar Isi

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Roirdan P, Taylor A, dan Whitcher JP. Vaughan and Asbury General Opthalmology. Edisi

ke-17. New York: McGraw-Hill; 2007.

2. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthamology A Sistematic Approach. 7 Edition.

Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.

3. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. Hal 134-

135.

4. Muthialu A, Jensen LE, Wagoner M. Phyctenular Keratokonjunctivitis: 12 old Female with

Staphylococcal Blepharitis. Eye Round.org. Febuary 27, 2009; Available from:

http://www.eyerounds.org/cases/89_Phyctenular-Keratoconjunctivitis-Staphylococcal-

Blepharitis.htm

5. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando: Saunders; 1994. Hal 298-

299, 482-484.

6. Kumar V, Fausto N, dan Abbas A. Robin and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-7.

Los Angeles: Saunders; 2004. Hal 720.

7. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi ke-

5. New York: Wiley; 2005.

Page 11: Journal Reading Mata Daftar Isi

Siklosporin A Topikal pada Anak dengan Keratokonjungtivitis

Flikten Dependen-Steroid yang Berat

Serge Doan, Eric Gabison, Damien Gatinel, Minh-Hanh Duong, Olivia Abitbol dan Tanh

Hoang-Xuan

Abstrak

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui efektivitas dari siklosporin A (CsA) pada anak dengan

keratokonjungtivitis flikten dengan inflamasi kornea yang dependen steroid yang berat.

Desain Penelitian: Prospektif, Noncomparative, interventional case series.

Metode Penelitian:

Pasien: Anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang disertai inflammasi kornea yang

dependen terhadap steroid yang berat dan tidak berespons terhadap antibiotik oral ( golongan

siklin atau eritromisin)

Intervensi: Topikal CsA 2% 4 kali sehari, pada awal terapi dikombinasi dengan

deksametasone topikal untuk minggu pertama.

Penilaian Utama Hasil Intervensi: Efektivitas dari intervensi ditentukan oleh pasien

(berdasarkan gejala pada pasein dan mata merah) dan dokter spesialis mata ( kemerahan pada

mata dan inflammasi kornea). Pasien dimonitor mengenai efek samping, dan siklosporinemia

di ukur tiap 3 bulan.

Hasil Penelitian: Diteliti dari 11 anak (13 mata) dengan umur rata-rata 9 tahun (antara 4

sampai 15 tahun). Inflammasi yang terjadi dapat dikurangi pada semua mata dalam waktu

kurang dari 14 hari. Inflammasi tidak timbul kembali dalam menggunakan CsA monoterapi,

dalam follow-up rata-rata 12 ± 8 bulan ( antara 6 sampai 31 bulan). Terapi CsA dihentikan

pada 8 pasien ( 10 mata) setelah menerima terapi dalam durasi 13 ± 9 bulan ( anatra 6 sampai

31 bulan) dan tidak terjadi rekurensi pada mata dalam waktu 10 ± 3 bulan dalam follow-up

( antara 6 samapi 12 bulan). Toleransi lokal CsA cukup baik. Tidak terdapat pasien penelitian

yang terdeteksi adanya kandungan CsA dalam darah. CsA ditarik dalam satu kasus setelah 6

bulan terapi karena timbulnya rash pada seluruh tubuh.

Page 12: Journal Reading Mata Daftar Isi

Kesimpulan: Pemakaian CsA 2% topikal pada jangka waktu panjang aman dan efektif pada

pasein anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang dihubungkan dengan adanya

inflammasi kornea yang dependen steroid yang berat.

Latar Belakang

Keratokonjugtivitis flikten pada anak merupakan kasus yang jarang dan sering

megalami kesalahan diagnosis dengan penyakit yang berhubungan dengan meibomitis kronik

dan pada kebanyakan kasus Kalazion.1,2 Sering sekali juga dinamakan sebagai anak dengan

rosasea okular, karena penuman pada mata mirip dengan kasus yang ditemukan pada orang

dewasa dengan akne rosasea. Namun kelainan pada kulit tersebut sangat jarang ditemukan

pada usia anak-anak.3 Flikten timbul dalam bentuk vesikel yang bening pada konjungtiva

maupun sklera. Lesi pada kornea yang paling sering ditemukan adalah berupa flikten dan

keratopati pungtata superfisial inferior. Umumnya, keterlibatan pada kornea lebih berat

karena dapat menyebabkan ulkus pada kornea dan infiltrat, neovaskularisasi, sikatriks dan

bahkan perforasi.4 Lemua lesi yang timbul umumnya terdapat pada bagian bawah kornea.

Prognosis jangka panjang pada pengelihatan penderita penyakit tersebut dihubungkan dengan

sikatriks kornea dan astigmatisma ireguler ( Doan S, et al. AAO Annual Meeting, November

2001, New Orelans, Louisiana).

Mekanisme yang mendasari penyakit tersebut adalah reaksi hipersensitifitas tipe IV

Gell and Coombs terhadap antigen stafilokokus, dimana yang termasuk didalam antigen

stafilokokus adalah peptidoglikan dan protein A.5 Terapi pada keratokonjungtivitis flikten

ringan dan sedang adalah berupa kebersihan kelopak mata dan oral antibiotik ( golongan

siklin dan makrolid).6 Kortikosteroid topikal umumnya dipakai untuk mengendalikan

inflamasi pada kornea yang berat. Ketergantungan/ dependen terhadap steroid sering terjadi

dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan, terutama pada anak-

anak.

Siklosporin A merupakan agen immunosupresif, dimana fungsinya adalah untuk

menghambat keterlibatan imunitas seluler yaitu dengan menghambat pelepasan interleukin 2

(IL-2) oleh sel T. Siklosporin A topikal telah berhasil dalam mengobati berbagai penyakit

Page 13: Journal Reading Mata Daftar Isi

mata,7 seperti keratokonjugtifitis vernal,8 ulkus Mooren’s,9 rejeksi graft kornea,10

keratokonjungtivitis sika,11 dan keratitis limbus superior.12 karena penyebab yang mendasari

keratokonjungtivitis flikten, siklosporin topikal merupakan pilihan yang logis dalam

mengobati penyakit tersebut.

Dalam studi yang dilakukan ini, kami melakukan penilaian efektivitas dari

penggunaan CsA 2% sebagai terapi alternatif pada pasien dengan keratokonjungtivitis flikten

yang disertai dengan inflamasi pada kornea yang dependen terhadap steroid yang berat.

METODE

Pasien: kami melakukan seleksi anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang berat yang

mengalami kegagalan dalam terapi dengan menggunakan antibiotik topikal dan menjaga

kebersihan palpebra, dan anak yang sudah dependen/ ketergantungan terhadap penggunaan

steroid topikal. Inflamasi di anggap berat apabila lebih dari 25% kornea bagian bawah

terlibat atau ketika aksis visual terganggu. Ketergantungan/ dependen terhadap steroid

didefinisikan sebagai inflamasi pada kornea yang timbul kembali dalam 2 bulan setelah tidak

menggunakan steroid. Semua anak telah dilakukan seleksi dan dilakukan terapi di

departemen mata di rumah sakit Bichat, Paris, Prancis dari September tahun 2000 sampai

April 2003. Studi ini merupakan studi prospective noncomparative interventional case series.

Intervensi: terapi yang digunakan adalah Siklosporin A (CsA) 2% tetes mata dalam minyak

castrol (tidak dijual secara umum, dibuat dalam departement farmasi dari Hotel-Dieu

Hospital, Paris, Prancis) 4 kali sehari, dikombinasikan dengan deksametasone ( Maxisex,

Alcon, Rueil-Malmaison, Prancis) 4 kali sehari pada minggu pertama, ditambah dengan

Page 14: Journal Reading Mata Daftar Isi

saline instilation ad libitum dan menjaga kebersihan palpebra. Deksametasone dihentikan

setelah 1 minggu, tanpa tapering. Terapi dengan menggunakan antbiotik sistemik dihentikan

sebelum dimulai terapi dengan menggunakan CsA. Apabila setelah terapi keadaan mata

membaik, frekuensi penetesan CsA dikurangi menjadi 3 kali sehari setelah 3 bulan dan

menjadi 2 kali perhari setelah 6 bulan. Pasien diperiksa ioleh dokter spesialis mata yang sama

setelah 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan dan setiap 3 bulan kemudian

Penilaian Utama Hasil Intervensi: Efiktivitas CsA dinilai berdasarkan gejala pada kedua

mata, keluhan mata merah yang timbul yang dikeluhkan pasien sejak terakhir kali dilakukan

pemeriksaan dan tanda klinis yang ditemukan oleh dokter spesialis mata antara lain: skor

hiperemis pada konjungtiva (0 sampai +4), keratopati pungtata superfisial, infiltrat pada

kornea, neovaskularisasi dan sikatriks yang timbul. Toleransi pada mata dilakukan evaluasi

setiap kali visite pada pasien. Siklosporinemia dan kreatininemia dan tekanan darah

dilakukan pengukuran setelah satu bulan terapi kemudian tiap 3 bulan.

HASIL

SEBELAS PASIEN (EMPAT LAKI-LAKI DAN TUJUH WANITA, 13 MATA)

telah dilakukan pendataan pada studi (Tabel 1). Rata-rata umur adalah 9 ± 4 tahun ( dengan

umur antara 4 sampai 15 tahun), dan rata-rata penyakit sudah dialami 33 bulan ( durasi antara

8 bulan sampai 5 tahun). Pada pendataan yang dilakukan semua mata pada pasien mengalami

inflamasi yang tidak terkendali walaupun sudah diberikan antibiotik oral (eritromisin pada 7

pasien dan minosiklin pada 4 pasien), topikal steroid (8 pasien, 10 mata), normal salin dan

higine pada kelopak mata. Tiga pasien telah mendapatkan terapi topikal steroid dengan

program tapering namun mengalami inflamasi kembali. Semua anak dalam objek penelitian

mengeluhkan perasaan tidak nyaman dan/ atau nyeri dan fotofobia. Tajam pengelihatan tidak

dapat dilakukan karena umur pada anak-anak yang masih muda. Walaupun konjungtivitis

flikten dapat terlihat pada seluruh mata (Gambar-1), inflamasi aktif dan keterlibatan kornea

yang berat hanya bersifat unilateral pada 9 pasien dan 2 pasien mempunyai bilateral

keratokonjungtivitis flikten yang berat. Roseasea pada kulit dialami oleh satu pasien dalam

studi.

Follow-up pada pasien dilakukan rata-rata 12 ± 8 bulan ( anatar 6 sampai 31 bulan)

(Tabel-2). Semua gejala dan hiperemis pada konjungtive menghilang dalam 14 hari setelah

mendapatkan terapi CsA. Inflamasi kornea dapat dikendalikan dan neovaskularisasi pada

Page 15: Journal Reading Mata Daftar Isi

kornea dan infiltrat kataral juga menurun ( Gambar-2). Tidak didapatkan perburukan gejala

selama dilakukan follow-up. Menariknya, pasien yang mengalami keterlibatan mata yang

asimetris dan menndapatkan terapi CsA pada mata yang lebih berat, umumnya inflamasi

konjungtiva tidak terlihat perubahan pada mata yang tidak didapatkan terapi.

Siklosporin A dihentikan pada 8 kasus (73%) (10 mata) setelah rata-rata 13 ± 9 bulan

(anatara 6 sampai 31 bulan) dan tidak mengalami rekurensi dalam jangka waktu 10 bulan ± 3

bulan dari follow-up yang dilakukan paska terapi (antara 6 sampai 12 bulan). Dan sisanya

pada 3 pasien bergantung pada CsA dosis rendah ( 2 kali pemberian perhari).

Toleransi lokal sangat baik. Hanya 2 pasien yang mengeluhkan sensasi perih yang

ringan ketika dilakukan penetesan, dan tidak didapatkan adanya efek samping pada mata.

Hanya satu anak yang mengalami rash pada seluruh tubuh setelah 6 bulan terapi CsA,

walaupun pasien diketahui memiliki riwayat alergi terhadap berbagai jenis obat. Kadar darah

CsA juga selalu berada di bawah batas yang diharuskan yaitu 25 ng/ml, dan kadar kreatinine

pada darah dan tekanan darah selalu berada dalam range yang normal.

DISKUSI

KEBERSIHAN KELOPAK MATA DAN ANTIBIOTIK ORAL TIDAK SELALU efektif

pada inflamasi kornea berat yang dihubungkan dengan keratokonjungtivitis flikten.

Kortikosteroid topikal dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan terbaik pada beberapa

pasien, tetapi ketergantungan terhadap steroid sering terjadi dan menyebabkan terjadinya

katarak, glaukoma, infeksi dan penyembuhan luka menjadi lama. Meskipun menjadi sangat

penting dalam mengendalikan inflamasi yang terjadi ketika inflamasi mendekati aksis visual

Page 16: Journal Reading Mata Daftar Isi

dan keamanan dari penggunaan anti-inflamasi sangat penting terutama pada usia anak-anak

dengan keratokonjungtivitis flikten.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan dari

penggunaan CsA sebagai alternatif dati steroid topikal pada anak yang mengalami

keratokonjugtivitis flikten berat yang bergantung terhadap steroid dan gagal respons terhadap

obat tersebut. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian pertama ditujukan untuk

mengetahui ke efektifan dari penggunaan CsA pada keratokonjungtivitis flikten. Keterlibatan

dari sel T pada konjungtivitis flikten mempengaruhi keefektifan dari pemakaian obat tersebut.

Kami menggunakan sediaan siklosporin A karena telah banyak penelitian yang menujukkan

bahwa konsentrasi tersebut efektif sebagai pengobatan optimal pada keadaan mata yang

berhubungan dengan permukaan mata seperti keratokonjungtivitis vernal.13,14 Pengunaan CsA

0,05% yang merupakan sediaan yang disetujui oleh FDA dalam terapi mata kering

kosentrasinya 40 kali lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi yang kami gunakan,

sehingga mungkin saja memberikan efek yang lebih minimal pada keratokonjungtivitis

flikten. Pada studi awal yang dilakukan yang tidak dilakukan publikasi, kami menemukan

bahwa penggunaan CsA topikal secara terus-menerus memberikan efektifitas yang cukup

baik, sedangkan penggunaan terapi CsA yang diberhentikan dihubungkan dengan adanya

rekurensi. Kami melakukan pemberian obat CsA untuk terapi paling minimal selama 6 bulan.

Tidak didapatkan ada rekurensi yang lebih berat yang timbul dalam follow-up dan pasien

juga tidak memerlukan lanjutan terapi steroid. Namun, kami tidak dapat menilai efektivitas

dari penggunaan CsA terhadap perbaikan tajam pengelihatan, karena beberapa objek adalah

merupakan anak-anak yang masih terlalu muda dalam melakukan pengukuran. Delapan

pasien dapat dilakukan penghentian pengobatan CsA topikal dan tidak terdapat rekurensi

dalam follow-up selama 10 bulan. Walaupun inflamasi pada kornea sudah dapat dikendalikan

dalam 14 hari sejak diberikan terapi CsA pada semua pasien namun flikten pada pasien

menghilang secara bertahap. Terapi CsA topikal merupakan salah satu pilihan yang baik pada

pasien yang mengalami keratokonjungtivitis flikten.

Kami mengkombinasikan steroid topikal dengan CsA pada minggu awal terapi, namu

dalam untuk mengetahui efeikasi dari pemakaian CsA maka terapi steroi topikal kami

hentikan. Terapi menggunakan plasebo tidak dipakai karena pertimbangan etis akibat

beratnya penyakit yang diderita oleh pasien. Dan pada pasien yang kontrol juga tidak

mungkin hanya diberikan steroid topikal, karena semua anak yang didalam kelompok

penelitian tersebut sudah mendapatkan terapi steroid jangka panjang. Dalam pengalaman

Page 17: Journal Reading Mata Daftar Isi

kami, inflamasi umumnya timbul ketika terapi steroid dihentikan. Untuk membandingkan

efek dari penggunaan steroid dan CsA, penggunaan steroid harus dilakukan secara terus

menerus, dosis tinggi dan jangka lama (minimal 6 bulan) seperti CsA namun steroid tidak

dipakai karena efek samping yang kurang baik.

Toleransi mata terhadap pemberian CsA 2% topikal cukup baik terhadap anak-anak

dalam penelitian tersebut, namun efek pada orang dewasa belum diketahui secara pasti.

Perbedaan ambang nyeri antara pasien dewasa merupakan salah satu alasan yang

menjelaskan hal tersebut. Walaupun secara teori penggunaan CsA dapat meningkat resiko,

namun hal tersebut tidak ditemukan pada penelitian ini.

Toleransi sistemik terhadap penggunaan CsA topikal cukup baik, dimana kadar CsA

didalam darah didapatkan dibawah ambang batas. Walaupun demikian, kami menyarankan

kepada pasien untuk melakukan kompres pada daerah kantus medial dengan menggunakan

jari tangan ketika melakukan penetesan CsA untuk menghidari absorbsi melalui mukosa

nasal. Berdasarkan literatur yang ada, bahwa penggunaan CsA 2% secara topikal tidak

memiliki efek samping baik sistemik maupun lokal terutama pada anak.15-17 CsA topikal 2%

memiliki efek samping yang umumnya lebih dapat ditoleransi dibandingkan penggunaan

steroid.

Kesimpulan, kami menunjukkan bahwa penggunaan CsA topikal 2% merupakan

terapi yang efektif untuk anak dengan keratokonjungtivitis flikten yang dihubungkan dengan

inflamasi pada kornea yang berat. Jumlah pasien dalam penelitian yang dilakukan tersebut

cukup kecil yaitu 11 pasien (13 mata), namun rosasea okuler yang berat didalam anak

merupakan kasus yang jarang dan sering mengalami kesalahan diagnosis. Publikasi terakhir

mengenai penyakit rosasea mata pada anak terakhir hanya melibatkan 6 anak.18 Untuk

melakukan studi yang lain dengan objek penelitian yang lebih besar dan jangka waktu yang

kebih lama dan mungkin menggunakan kurva untuk menentukan periode terapi yang optimal

dan konsentrasi untuk keamanan dalam penggunaan CsA topikal.

Page 18: Journal Reading Mata Daftar Isi

DAFTAR PUSTAKA

1. Thygeson P. The etiology and treatment of phlyctenular keratoconjunctivitis. Am J

Ophthalmol 1951;34:1217–1236.

2. Duke-Elder S. Phlyctenular kerato-conjunctivitis. In: Duke-Elder S, editor. System of

ophthalmology. Volume 8. Disease of the outer eye. St Louis: CV Mosby, 1965.

3. Erzurum SA, Feder RS, Greenwald MJ. Acne rosacea with keratitis in childhood. Arch

Ophthalmol 1993;111:228 –230.

4. Ostler HB. Corneal perforation in nontuberculous (staphylococcal) phlyctenular

keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol 1975;79:446–448.

5. Abu el Asrar AM, Geboes K, Maudgal PC, et al. Immunocytological study of phlyctenular

eye disease. Int Ophthalmol 1987;10:33–39.

6. Zaidman GW, Brown SI. Orally administered tetracycline for phlyctenular

keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol 1981; 92:178 –182.

7. Holland EJ, Olsen TW, Ketcham JM, et al. Topical cyclosporin A in the treatment of anterior

segment inflammatory disease. Cornea 1993;12:413– 419.

8. BenEzra D, Pe’er J, Brodsky M, Cohen E. Cyclosporine eyedrops for the treatment of severe

vernal keratoconjunctivitis. Am J Ophthalmol 1986;101:278 –282.

9. Zhao JC, Jin XY. Immunological analysis and treatment of Mooren’s ulcer with cyclosporin

A applied topically. Cornea 1993;12:481– 488.

10. Goichot-Bonnat L, Chemla P, Pouliquen Y. Cyclosporin A eyedrops in the prevention of

high-risk corneal graft rejection. II. Postoperative clinical results. J Fr Ophtalmol 1987;

10:213–217.

11. Gunduz K, Ozdemir O. Topical cyclosporin treatment of keratoconjunctivitis sicca in

secondary Sjogren’s syndrome. Acta Ophthalmol (Copenh) 1994;72:438–442.

12. Perry HD, Doshi-Carnevale S, Donnenfeld ED, Kornstein HS. Topical cyclosporine A 0.5%

as a possible new treatment for superior limbic keratoconjunctivitis. Ophthalmology

2003;110:1578 –1581.

13. Bonini S, Coassin M, Aronni S, Lambiase A. Vernal keratoconjunctivitis. Eye

2004;18:345–351.

14. Tomida I, Schlote T, Brauning J, et al. Cyclosporin A 2% eyedrops in therapy of atopic and

vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmologe 2002;99:761–767.

15. Cosar CB, Laibson PR, Cohen EJ, Rapuano CJ. Topical cyclosporine in pediatric

keratoplasty. Eye Contact Lens 2003;29:103–107.

Page 19: Journal Reading Mata Daftar Isi

16. Pucci N, Novembre E, Cianferoni A, et al. Efficacy and safety of cyclosporine eyedrops in

vernal keratoconjunctivitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2002;89:298 –303.

17. Bleik JH, Tabbara KF. Topical cyclosporine in vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmology

1991;98:1679 –1684.

18. Nazir SA, Murphy S, Siatkowski RM, et al. Ocular rosacea in childhood. Am J Ophthalmol

2004;137:138 –144.