jkk
DESCRIPTION
kibbkibuTRANSCRIPT
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
1
JURNAL
EKONOMI
INKLUSIF
Volume 2, Nomor 1, Apri 2014
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN YANG BERPIHAK KEPADA PENDUDUK MISKIN
Werry Darta Taifur
DAMPAK EKONOMI BENCANA DI INDONESIA-10: PENDEKATAN SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR)
Sufi Arini dan Abdul Khaliq
PENGARUH ZAKAT TERHADAP KONSUMSI MASYARAKAT DI PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 1983-2011
Desi Arinil Haq dan Fery Andrianus
KRIMINALITAS SEBAGAI BIAYA SOSIAL KETIMPANGAN Davy Hendri
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP KINERJA BANK DI INDONESIA
Aula Ahmad Hafidh
ISSN: 1411-1004
JJUURRNNAALL
EEKKOONNOOMMII
IINNKKLLUUSSIIFF
Volume 2, Nomor 1, Apri 2014
JJUURRNNAALL
EEKKOONNOOMMII
IINNKKLLUUSSIIFF
Volume 2, Nomor 1, April 2014
ISSN: 1411-1004
DAYA SAING INDUSTRI AGRO SUMATERA BARAT MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
Werry Darta Taifur
DAMPAK EKONOMI BENCANA DI INDONESIA-10: MODEL SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR)
Sufi Arini dan Abdul Khaliq
KEMAMPUAN PERBANKAN SYARIAH DALAM BERKOMPETENSI DENGAN INDUSTRI PERBANKAN
KONVENSIONAL Refni Wahyuni
KRIMINALITAS SEBAGAI BIAYA SOSIAL KETIMPANGAN Davy Hendri
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP KINERJA BANK DI INDONESIA
Aula Ahmad Hafidh
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
2
JURNAL EKONOMI INKLUSIF
Dewan Editor Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE, MA (Unand) Prof. Dr. Said Muhammad, MA (Unsyiah)
Prof. Dr. Ina Primiana Syinar, SE, MT (Unpad) Prof. Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE (USU)
Prof. Dr. Syamsurizal (Unsri)
Pemimpin Editorial Indrawari, Ph.D
Abdul Khaliq, SE, MA
Direktur Eksekutif Ferry Andrianus, SE, MSi
Sekretariat
Arie Sukma, SE, MSc
Penerbit Yayasan SAGA Indonesia ISEI Cabang Padang
Jurnal ini diterbitkan oleh Yayasan SAGA Indonesia bekerjasama dengan ISEI Cabang Padang. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan‐tulisan dijurnal ini sepenuhnya tanggungjawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi penerbit. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada jurnal ini, tulisan dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy ke Yayasan SAGA Indonesia Jl. Kandang Pedati No. 3, Padang, email: [email protected]. Jurnal ini diterbitkan secara kwartalan pada bulan April, Agustus dan Desember, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi penerbit.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
3
JURNAL EKONOMI INKLUSIF
Volume 2, Nomor 1, April 2014
Daya Saing Industri Agro Sumatera Barat Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Werry Darta Taifur
1
Dampak Ekonomi Bencana Di Indonesia‐10: Model Seemingly Unrelated Regression (SUR) Sufi Arini dan Abdul Khaliq
19
Kemampuan Perbankan Syariah Dalam Berkompentensi Dengan Industri Perbankan Konvensional
Refni Wahyuni
43
Kriminalitas Sebagai Biaya Sosial Ketimpangan Davy Hendri
57
Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Bank Di Indonesia Aula Ahmad Hafidh 74
Yayasan SAGA Indonesia ISEI Cabang Padang
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
4
Halaman ini sengaja dikosongkan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
1
DAYA SAING INDUSTRI AGRO SUMATERA BARAT MENGHADAPI
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
Werry Darta Taifur1
Abstract This paper observes competitiveness of agroindustry product of West Sumatra in facing ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Using detailed agroindustry’s trade flows over the period 2008‐2012 and, several trade competitiveness indexes based on RCA, Normalized RCA, Trade Entropy Index (TEI), this study reveals that the product of animal and vegetables oils and fats of West Sumtra is relatively competitive compare to other product. The agro industry products that related to product of animal and vegetables oils and fats are palm oil, palm fruit bunch, and other fatty acids. Palm oil (SITC 422.21) and palm fruit bunch (SITC 422.29) has been the main export commodities of West Sumatra period 2008‐2012. Key Words: Industri Agro, Revealed Comparative Advantage, Competitive Advantage, Sumatera Barat JEL Classification: F11, F14
1 staf pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi Unand
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
2
1. Latar Belakang
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal. Hal ini akan menyebabkan aliran barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja akan semakin bebas. Menyonsong pengimplementasian AEC tersebut, banyak pihak yang masih mempertanyakan kesiapan Indonesia dalam mengadapi AEC. Pertanyaan yang sering muncul belakangan adalah apakah industri nasional mampu membuat barang‐barang berkualitas baik dan mampu bersaing dengan barang‐barang yang sama buatan negara‐negara ASEAN yang masuk ke pasar domestic serta juga mampu menembus pasar di negara‐negara anggota ASEAN lainnya?. Hal ini sering menjadi pertanyaan karena beberapa tahun terakhir disinyalir bahwa daya saing Indonesia dalam perekonomian global khususnya daya saing industri cenderung rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Untuk menjawab apakah Indonesia telah siap dalam menghadapi AEC atau tidak, kita perlu berkaca pada kondisi rill daya saing Indonesia saat ini. Hasil survey yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF), dengan menggunakan indikator Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI), mengatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 50 (dari 144 negara), dan posisi ini relatif memburuk dibandingkan posisinya pada periode sebelumnya (2011‐2012) yakni di peringkat 46 (dari 142 negara), atau untuk periode 2010‐2011 di peringkat 44 (dari 139 negara).
Salah satu kunci untuk bersaing pada AEC adalah dengan meningkatkan daya saing nasional. Peningkatan daya saing dapat dilakukan secara bertahap mulai dari daya saing perusahaan, daya saing industri, dan daya saing nasional pada tingkat mikro dan makro pada masing‐masingnya (Taufik, 2006). Pada tingkat mikro, peningkatan daya saing bisa dilakukan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), kompetensi, dan spesialisasi. Sedangkan pada level makro, daya saing diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menawarkan kondisi yang kondusif dan produktif untuk mengembangkan bisnis dan inovasi (Taufik, 2006). Upaya untuk mewujudkan daya saing pada tingkat nasional ini membutuhkan sinergi antara bebarapa pihak yang selanjutnya disebut dengan Sistem Inovasi Nasional (SIN). Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa daerah merupakan basis perekonomian nasional. Kondisi ini menyiratkan bahwa SIN juga harus didukung oleh Sistem Inovasi Daerah (SID). Hal ini sejalan dengan pernyataan Cook (2003) yang menjelaskan bahwa tuntutan perekomian global terhadap peningkatan daya saing nasional harus ditopang oleh membaiknya kinerja daya saing daerah.
Provinsi Sumatera Barat yang juga bagian dari NKRI mau tidak mau harus siap dalam menghadapi AEC. Melalui pengembangan sektor unggulannya, provinsi Sumatera Barat di harapkan bisa bersaing tidak hanya dengan provinsi lain tapi juga dengan negara lain dalam era AEC. Salah satu sektor andalan yang bisa dimanfaatkan adalah sektor industri agro. Industri agro adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Industry agro dapat mencakup lima kelompok industry berikut yaitu: (1) Industri Pengolahan Hasil Pertanian (IPHP), (2) Industri Peralatan Dan Mesin Pertanian (IPMP) dan (3) Industri Jasa Sektor Pertanian (IJSP).
Pada tingkat nasional, sektor industri agro, merupakan salah satu kelompok industri yang selama ini menjadi salah satu produk ekspor non‐migas andalan Indonesia. Selanjutnya, ketersedian sumber daya di Sumatera Barat merupakan kekuatan tersendiri bagi sektor industri agro untuk berkembang dan bersaing dalam kancah AEC. Sehingga diharapkan bahwa pengimplementasian AEC meruakan peluang yang besar bagi sektor industri agro untuk semakin berkembang.
Namun disisi lain, sebagian besar pelaku sektor industri agro adalah UMKM. Hal ini tentu saja akan menjadi tantangan tersendiri bagi Sumatera Barat untuk menjaga agar sektor ini tidak collapse dengan keberadaan AEC tersebut. Kegagalan sektor UMKM ini bersaing dalam AEC akan semakin
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
3
memperburuk kondisi pengangguran dan kemiskinan dan bahkan bisa berdampak negatif terhadap pendapatan devisa dari ekspor‐ekspor produk yang berbasis pertanian.
Berdasarkan uraian di atas, studi ini akan mengidentifikasi daya saing daerah dengan menggali informasi tentang kesiapan serta peluang dan tantangan bagi industri agro di Sumatera Barat dalam menghadapi AEC 2015. Terkait dengan tujuan tersebut, studi ini akan bermanfaat bagi stakeholder dan pembuat kebijakan dalam rangka mempersiapkan industri agro agar bisa bersaing di ranah AEC.
2. Tinjauan Literatur
Daya saing identik dengan keunggulan comparatif. Namun sampai saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli mengenai definisi daya saing. McFetridge (2005) menggunakan tiga tingkatan agregasi, yaitu daya saing pada tingkat perusahaan, industri (sektoral), dan negara untuk mnedefinisikan daya saing. Ketiga tingkatan tersebut berbeda dalam hal indikator dan cara megukurnya.
De Cruz (1992) mendefinisikan daya saing perusahaan sebagai merupakan kemampuan perusahan tersebut untuk merancang, memproduksi, dan memasarkan produk mereka sehingga dapat berkompetisi dengan produk lain yang sejenis dalam hal harga dan kulalitas. Sejalan dengan itu, McFertidge (2005) mengatakan bahwa profitabilitas, strukturbiaya, produktivitas, dan pangsa pasar merupakan indikator untuk mengkur daya saing pada tingkat perusahaan.
Selain pada tingkat perusahaan, daya saing juga dapat diukur pada tingkat industri (sektoral). Daya saing pada tingkat industri diartikan sebagai kemampuan suatu industri untuk bisa mempertahankan pangsa pasar dan berkompetisi dengan kompetitornya baik di dalam maupun luar negeri. Pengukuran daya saing pada tingkat industri lebih banyak dilakukan karena keterbatasan data dan informasi pada tingkat perusahaan. Pengukuran daya saing pada tingkat industri dilakukan dengan membandingkan industri yang sama dalam satu negara. Bahkan untuk mengukur daya saing industri antar negara, dimungkinkan untuk membandikan industri yang sama suatu negara dengan negara lain.
Analisis mengenai daya saing industri antar negara biasanya dilakukan dengan membandingkan perdagangan internasional suatu negara. Oleh sebab itu, pengukuran daya saing pada tingkat industri lebih banyak menggunakan pendekatan‐pendekatan ekonomi. Indikator‐indikator yang sering digunakan antara lain adalah EMS (Export Market Share), RCA (Revealed Comparative Advantage), RXA (Relative Export Advantage), RMA (Relative Import Advantage), dan NEI (Net Export Index) (Carraresi dan Banterle, 2008).
Selanjutnya, daya saing pada level nasional didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuhan GDP perkapita yang tinggi dan berkelanjutan (World Economic Forum, 2001). Hal ini terkait dengan kemampuan negara untuk memaksimalkan keunggulan komparatifnya. Pandangan terbaru pada abad 21 menyatakan bahwa keunggulan komparatif bukan hanya ditentukan oleh sumbe daya berbasis lokal dan rasio modal per tenaga kerja saja, tetapi jua ditentukan oleh fungsi teknologi dan keahlian (Houghton dan Sheehan, 2000). Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi akan menciptakan ide‐ide baru dan inovasi serta mampu untuk menerapkannya pada sektor‐sektor ekonomi yang akan menciptakan keuntungan komparatif. Lebih konkritnya, hal ini dijelaskan oleh Sistem Inovasi Nasional (SIN). Secara sederhana, sistem inovasi nasional merupakan sinergi antara perguruan tinggi, dunia usaha dan pemerintah untuk sama‐sama melakukan dan mengembangkan aktivitas inovasi.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
4
Terdapat beberapa kajian yang membahas hubungan Antara inovasi, teknologi dan pertumbuhan ekonomi (Aminullah, 2000; Lundvall, 2002; Bozkurt dan Ozdenli, 2004; Resende dan Torres, 2008). Bozkurt dan Ozdenli (2004) memandang bahawa Sistem Inovasi Nasional sangat penting untuk menarik masuknya investasi asing kedalam negeri. Mereka menyebutkan bahwa para investor cenderung tertarik kepada negara yang mempunyai tekonologi yang tinggi, karena negara dengan teknologi yang tinggi industri cenderung bisa lebih berkembang dengan baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Martinez dan Sahpira (2004), Oyelaran (2002), Vitalis (2008), dan Patalinghug (2003) untuk negara Amerika Latin, Nigeria, New Zealand, dan Filipina masing‐maisngnya juga menemukan bahwa inovasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Balzat (2003) secara jelas mendeskripsikan pengaruh inovasi terhadap pertumbuha ekonomi berdasarkan gambar dibawah ini.
Innovation
Increased efficiency in production
Lower cost and lower product prices
Attractive range of products Competitiveness
Higher market share
More employment
Higher demand
Economic growth
Gambar 1. Pengaruh Inovasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Balzat, M. (2003), “Benchmarking in the Context of National Innovation Systems:Purpose and
Pitfalls”;
3. Metodologi dan Data
3.1. Data
Sumber data dan informasi didapatkan dari data sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai artikel dan jurnal yang berhubungan dengan kesiapan, peluang dan tantangan Indonesia dan Sumatera Barat dalam menyambut AEC 2015, publikasi dan laporan BPS, Kementrian Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Porvinsi Sumatra Barat serta data lainnya yang relevan dengan penelitian. Data terakhir yang dapat ditampilkan dalam studi ini adalah data tahun 2011.
3.2. Metodologi
Data dianalisis dengan metode kuantitatif deskriptif. Analisis kuantitatif deskriptif merupakan menganalisis hasil perhitungan daya saing menggunakan RCA dan pengembangannya. Pengukuran Revealed Comparative Advantage dan Competitive Advantage mengikuti Balassa (1965). Tetapi,
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
5
sebelum Balassa memperkenalkan indeks RCA pada tahun 1965, Liesner (1958) telah memformulasikan pengukuran sederhana RCA sebagai berikut:
1 ij njRCA X X (1)
dimana X adalah ekspor, i adalah negara/daerah, j adalah komoditi, dan n adalah set
negara/daerah.
Formulasi pengukuran RCA secara intensif dikemukakan oleh Balassa (1965). Pengukuran ini lebih luas diterima dalam literatur pengkuran keunggulan daya saing:
2 ij it nj nt ij nj it ntRCA X X X X X X X X (2)
dimana X adalah ekspor, i adalah negara/daerah, j adalah komoditi, t adalah set komoditi, dan n
adalah set negara/daerah.
Sebagai alternatif pengkuran RCA adalah dengan mempertimbangkan ekspor dan impor secara bersamaan:
3 ij ij ij ijRCA X M X M (3)
Rasio indeks RCA berkisar antara ‐1 ( 0ijX dan revealed comparative disadvantage) dan +1
( 0ijM dan revealed comparative advantage).
Selain itu, dapat pula diformulasikan versi lain RCA dari Balassa (1965) adalah:
4 ij it ij it ij ij it itRCA X X M M X M X M (4)
dimana X dan M adalah ekspor dan impor secara berurutan, i adalah negara/daerah, j adalah komoditi, t adalah set komoditi.
Dengan cara yang sama dapat pula diformulasi indeks RCA berikut:
5 ln *100ij it ij itRCA X X M M (5)
Vollrath (1991) mengemukakan tiga alternatif lain untuk mengukur RCA suatu negara/daerah yaitu the relative trade advantage (RTA), the logarithm of the relative export advantage (lnRXA), dan revealed competitiveness (RC), dimana
6RCA RTA RXA RMA (6)
Dimana 2 ij it nj ntRXA RCA X X X X dan ij it nj ntRMA M M M M
Selanjutnya:
7 2ln lnRCA RXA RCA (7)
Dan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
6
8 ln lnRCA RC RXA RMA (8)
Untuk memperkaya pengkuran RCA maka dilakukan pula dengan mengukur konsentrasi ataupun dispersi dari perdagangan menggunakan Trade Entropy Index (TEI) terhadap ekspor dan impor sebagai berikut:
ln 1/x ij ijTEI a a dengan 0 1ija dan 1ija (9)
ln 1/M ij ijTEI b b dengan 0 1ijb dan 1ijb (10)
Dimana:
xTEI adalah entropy indeks ekspor
MTEI adalah entropy indeks impor
ija andil ekspor negara i ke negara j
ijb andil impor negara i ke negara j
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Analisis Hasil Estimasi
Bagian ini menjelaskan analisis perhitungan daya saing relatif industri agro Sumatera Barat dalam industri agro Indonesia di pasar dunia. Basis perhitungan daya saing menggunakan revealed comparative advantage (RCA) yang dikemukakan oleh Balassa (1965). Selanjutnya, perhitungan alternatif daya saing yang lebih komprehensif mengikuti Utkulu dan Seymen (2004). Perhitungan daya saing dilakukan terhadap kelompok komoditi atau barang yang diekspor dan diimpor Sumatera Barat pada SITC 1 digit. Sebenarnya perhitungan daya saing sebaiknya dilakukan terhadap klasifikasi komoditi yang lebih detil, namun keterbatasan ketersediaan data untuk Sumatera Barat maka perhitungan daya saing untuk kelompok barang hanya dapat dilakukan pada SITC 1 digit.
Hasil perhitungan daya saing rata‐rata tahunan produk Sumatera Barat dalam komposisi produk Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil perhitungan lengkap disajikan dalam Tabel 2‐Tabel 11. Dari berbagai cara penghitungan daya saing rata‐rata produk Sumatera Barat terlihat bahwa golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani memiliki daya saing atau keunggulan komparatif relatif yang kuat dibandingkan dengan golongan barang lainnya. Tingginya daya saing golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani diperlihatkan oleh tingginya angka perhitungan RCA2‐RCA8, NRCA dan Trade Entropy Index of Export (TEIx). Penyebab tingginya daya saing golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani dikarenakan Sumatera Barat hanya mengekspor golongan barang ini dan tidak memiliki impor yang signifikan bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Dengan kata lain, Sumatera Barat telah memiliki daya saing berbasis hasil pertanian yang kuat dan masuk dalam golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani.
Daya saing komoditi golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani Sumatera Barat ditunjukkan oleh RCA2 atau relative export advantage (RXA) sebesar 5,76545, RCA6 atau relative trade advantage (RTA) sebesar 5,76545 dan lnRTA sebesar 1,74774, dan RCA8 atau revealed competitiveness (RC) sebesar 1,74774. Hasil perhitungan normalized revealed comparative advantage (NRCA) juga
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
7
mempertegas daya saing golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani dari Sumatera Barat dalam produk perdagangan Indonesia di pasar global.
Tabel 1. Daya Saing rata‐rata industri agro Sumatera Barat dalam industri agro Indonesia
SITC Golongan Barang 2008‐2012
RCA2 (RXA)
RCA6 (RTA)
RCA7 (lnRXA)
RCA8 (RC) NRCA
>1 >0 >0 >0 >0
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.76413 0.48952 ‐0.28139 0.59056 ‐0.00019
1 Minuman dan Tembakau 0.06036 0.06036 ‐0.95464 ‐0.95464 ‐0.00006
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 2.71444 2.30819 0.98681 2.32462 0.00271
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst 0.09220 ‐3.51493 ‐2.43532 ‐3.69984 ‐0.00392
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 5.76545 5.76545 1.74774 1.74774 0.00706
5 Bahan Kimia dan Produknya 0.14316 ‐0.54483 ‐2.07086 ‐1.36299 ‐0.00068
6 Hasil Industri Pabrik 0.04981 ‐0.27941 ‐4.47997 ‐3.32617 ‐0.00181
7 Mesin dan Alat Perlengkapan 0.00116 ‐0.12901 ‐8.80378 ‐6.66524 ‐0.00172
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya 0.00002 ‐0.03762 ‐8.46497 ‐4.89300 ‐0.00139
SITC Golongan Barang 2008‐2012
RCA3 RCA4 RCA5 TEIx TEIm >0 >1 >0 0<TEI<1 0<TEI<1
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.70545 1.33769 38.79334 0.13313 0.07222
1 Minuman dan Tembakau 0.40000 0.00000 0.00000 0.00190 0.00000
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.96233 28.36800 306.31534 0.35716 0.07347
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐0.77144 0.03814 ‐335.32640 0.09974 0.18920
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 1.00000 undefined undefined 0.29927 0.00000
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐0.40717 0.19843 ‐214.89708 0.03795 0.18044
6 Hasil Industri Pabrik ‐0.48014 0.12891 ‐343.66876 0.03160 0.14718
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐0.96507 0.00495 ‐769.76564 0.00124 0.13433
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐0.98046 0.00312 ‐469.58944 0.00003 0.00811
Sumber: Data diolah
Keterangan: undefined disebabkan pembagian angka dengan bilangan nol
Bila ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya kelompok komoditi yang identik dengan golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani adalah kelompok industri agro. Kelompok barang industri agro yang menjadi andalan Sumatera Barat adalah minyak kelapa sawit, minyak biji kelapa sawit, asam berlemak lainnya, dan hasil industri agro lainnya seperti hasil biji, buah tanaman industri/obat. Minyak kelapa sawit (SITC 422.21) dan minyak biji kelapa sawit (SITC 422.29) telah menjadi komoditi unggulan Sumatera Barat dalam komposisi ekspornya. Besarnya nilai komoditi kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit dalam komposisi golongan barang industri agro Sumatera Barat disebabkan harga untuk komoditi ini relatif tinggi di pasar global sehingga mendongkrak nilai ekspor Sumatera Barat.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
8
Tabel 2. Hasil Perhitungan RCA2 (RXA) (>1)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.59414 0.95393 0.77533 0.80463 0.69261
1 Minuman dan Tembakau 0.00000 0.00000 0.00000 0.03124 0.27054
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 2.63311 2.09210 2.53327 3.06022 3.25350
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst 0.12102 0.07931 0.07285 0.13201 0.05579
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 5.67971 6.68732 5.95448 5.31113 5.19462
5 Bahan Kimia dan Produknya 0.08439 0.08561 0.09886 0.15043 0.29649
6 Hasil Industri Pabrik 0.10880 0.10761 0.02995 0.00250 0.00021
7 Mesin dan Alat Perlengkapan 0.00064 0.00283 0.00224 0.00008 0.00000
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya 0.00003 0.00000 0.00002 0.00001 0.00004
Tabel 3. Hasil Perhitungan RCA6 (RTA) (>0)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.32621 0.95393 0.49428 0.38649 0.28667
1 Minuman dan Tembakau 0.00000 0.00000 0.00000 0.03124 0.27054
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 1.30913 1.87366 2.38249 2.89707 3.07858
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐2.34306 ‐4.35169 ‐3.89684 ‐3.38996 ‐3.59311
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 5.67971 6.68732 5.95448 5.31113 5.19462
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐1.83087 ‐0.15111 ‐0.44413 ‐0.36634 0.06829
6 Hasil Industri Pabrik ‐0.26669 ‐0.26056 ‐0.41758 ‐0.18945 ‐0.26276
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐0.08124 ‐0.08536 ‐0.07910 ‐0.16465 ‐0.23471
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐0.02210 ‐0.03391 ‐0.10054 ‐0.01159 ‐0.01996
Tabel 4. Hasil Perhitungan RCA7 (lnRXA) (>0)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup ‐0.52064 ‐0.04717 ‐0.25447 ‐0.21738 ‐0.36728
1 Minuman dan Tembakau ‐3.46590 ‐1.30732
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.96817 0.73817 0.92951 1.11849 1.17973
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐2.11176 ‐2.53440 ‐2.61940 ‐2.02487 ‐2.88618
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 1.73690 1.90021 1.78414 1.66981 1.64762
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐2.47235 ‐2.45793 ‐2.31404 ‐1.89425 ‐1.21573
6 Hasil Industri Pabrik ‐2.21828 ‐2.22922 ‐3.50832 ‐5.98992 ‐8.45410
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐7.34638 ‐5.86777 ‐6.10076 ‐9.49082 ‐15.21315
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐10.29932 ‐10.84925 ‐11.11533 ‐10.06096
Tabel 5. Hasil Perhitungan RCA8 (RC) (>0)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.79640 ‐0.04717 1.01474 0.65456 0.53426
1 Minuman dan Tembakau 0.00000 0.00000 0.00000 ‐3.46590 ‐1.30732
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.68753 2.25939 2.82143 2.93159 2.92319
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐3.01358 ‐4.02303 ‐3.99809 ‐3.28389 ‐4.18061
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 1.73690 1.90021 1.78414 1.66981 1.64762
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐3.12220 ‐1.01707 ‐1.70338 ‐1.23410 0.26177
6 Hasil Industri Pabrik ‐1.23874 ‐1.23001 ‐2.70430 ‐4.33941 ‐7.11839
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐4.84397 ‐3.43944 ‐3.59170 ‐7.68735 ‐13.76376
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐6.48866 3.38415 ‐8.55227 ‐6.65935 ‐6.14888
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
9
Tabel 6. Hasil Perhitungan NRCA (>0)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup ‐0.00041 ‐0.00003 ‐0.00017 ‐0.00014 ‐0.00022
1 Minuman dan Tembakau ‐0.00007 ‐0.00006 ‐0.00006 ‐0.00006 ‐0.00004
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.00308 0.00129 0.00277 0.00366 0.00278
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐0.00444 ‐0.00300 ‐0.00386 ‐0.00438 ‐0.00392
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 0.00895 0.00673 0.00703 0.00653 0.00605
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐0.00087 ‐0.00056 ‐0.00071 ‐0.00079 ‐0.00049
6 Hasil Industri Pabrik ‐0.00232 ‐0.00151 ‐0.00189 ‐0.00186 ‐0.00146
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐0.00220 ‐0.00159 ‐0.00174 ‐0.00159 ‐0.00149
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐0.00173 ‐0.00126 ‐0.00137 ‐0.00137 ‐0.00121
Tabel 7. Hasil Perhitungan RCA3 (>0)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.82547 1.00000 0.71350 0.53847 0.44984
1 Minuman dan Tembakau 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 1.00000
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.89936 0.97329 0.98325 0.98228 0.97348
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐0.53752 ‐0.81853 ‐0.85344 ‐0.73108 ‐0.91664
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 1.00000 1.00000 1.00000 1.00000 1.00000
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐0.82327 ‐0.24060 ‐0.60836 ‐0.41846 0.05483
6 Hasil Industri Pabrik 0.16249 0.06545 ‐0.69217 ‐0.93882 ‐0.99768
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐0.97028 ‐0.91085 ‐0.94507 ‐0.99915 ‐1.00000
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐0.94943 ‐1.00000 ‐0.99687 ‐0.97905 ‐0.97693
Tabel 8. Hasil Perhitungan RCA4 (>1)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 2.08980 undefined 2.02901 1.18384 1.38581
1 Minuman dan Tembakau 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 3.77098 19.03268 40.17772 39.72661 39.13201
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst 0.06010 0.02570 0.02683 0.05517 0.02287
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani undefined undefined undefined undefined undefined
5 Bahan Kimia dan Produknya 0.01937 0.15767 0.08261 0.14560 0.58688
6 Hasil Industri Pabrik 0.27734 0.29365 0.06172 0.01121 0.00061
7 Mesin dan Alat Perlengkapan 0.00301 0.01202 0.00958 0.00015 0.00000
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya 0.00518 0.00000 0.00053 0.00376 0.00614
Tabel 9. Hasil Perhitungan RCA5 (>0)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 73.70689 undefined 70.75466 16.87645 32.62869
1 Minuman dan Tembakau 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 132.73344 294.61577 369.33127 368.20213 366.69409
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst ‐281.17104 ‐366.11256 ‐361.83752 ‐289.72909 ‐377.78178
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani undefined undefined undefined undefined undefined
5 Bahan Kimia dan Produknya ‐394.41550 ‐184.72583 ‐249.36367 ‐192.68712 ‐53.29330
6 Hasil Industri Pabrik ‐128.25075 ‐122.53515 ‐278.52213 ‐449.12133 ‐739.91443
7 Mesin dan Alat Perlengkapan ‐580.43770 ‐442.14757 ‐464.79097 ‐880.06983 ‐1481.38212
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya ‐526.24057 ‐754.00444 ‐558.34927 ‐509.35289
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
10
Tabel 10. Hasil Perhitungan TEIx (0<TEI<1)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.11574 0.16404 0.13024 0.12874 0.12687
1 Minuman dan Tembakau 0.00112 0.00837
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.35782 0.32984 0.36533 0.36787 0.36495
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst 0.11765 0.08517 0.08281 0.13893 0.07413
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani 0.29410 0.25877 0.30536 0.33260 0.30552
5 Bahan Kimia dan Produknya 0.02471 0.02454 0.02871 0.04398 0.06783
6 Hasil Industri Pabrik 0.06694 0.06544 0.02283 0.00253 0.00026
7 Mesin dan Alat Perlengkapan 0.00077 0.00307 0.00228 0.00009 0.00000
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya 0.00004 0.00002 0.00002 0.00005
Tabel 11. Hasil Perhitungan TEIm (0<TEIm<1)
SITC Golongan Barang 2008 2009 2010 2011 2012
0 Bahan Makanan & Binatang hidup 0.06749 0.07837 0.11445 0.10077
1 Minuman dan Tembakau
2 Bahan Baku dan Hasil Tambang 0.19530 0.05043 0.03901 0.04309 0.03954
3 Bahan Bakar, Bahan Penyemir dst 0.31383 0.11900 0.17473 0.17047 0.16796
4 Minyak/Lemak nabati dan hewani
5 Bahan Kimia dan Produknya 0.34122 0.10231 0.18083 0.17726 0.10056
6 Hasil Industri Pabrik 0.16623 0.15705 0.18195 0.10007 0.13062
7 Mesin dan Alat Perlengkapan 0.09773 0.11143 0.10292 0.15694 0.20262
8&9 Hasil Industri dan Transaksi Lainnya 0.00474 0.00787 0.02011 0.00288 0.00495
Tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan daya saing rata‐rata, hasil perhitungan detil daya saing produk Sumatera Barat dalam komposisi produk yang diperdagangkan Indonesia juga memperlihatkan kuatnya daya saing golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani yang didominasi oleh komoditi minyak kelapa sawit (SITC 422.21) dan minyak biji kelapa sawit (SITC 422.29). Daya saing golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani relatif konstan dan menguat selama periode 2008‐2012. Fakta ini ditunjukkan oleh hasil perhitungan RCA2 atau relative export advantage (RXA), RCA6 atau relative trade advantage (RTA) dan lnRTA, dan RCA8 atau revealed competitiveness (RC) dan hasil perhitungan normalized revealed comparative advantage (NRCA). Hasil yang sama ditunjukkan pula oleh hasil perhitungan RCA3, RCA4, RCA5 dan trade entropy index of export (TEIx).
Dari perhitungan yang telah dilakukan diatas maka dapat pula dilakukan pemetaan daya saing komoditi industri agro Sumatera Barat dalam industri agro Indonesia di pasar global. Pemetaan dilakukan dengan melihat neraca perdagangan Sumatera Barat dan persaingan internasional produk Sumatera Barat dalam komposisi produk Indonesia di pasar dunia mengikuti Widodo (2008). Pemetaan dilakukan dengan melihat hubungan antara hasil perhitungan RCA3 dan NRCA yang telah dikemukakan pada tabel 1 dimana posisi golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani berada pada kuadran A (NRCA > 0 dan RCA3 > 0). Ini berarti Sumatera Barat memiliki keunggulan komparatif dan spesialisasi perdagangan pada golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani selama periode 2008‐2012 dalam pemetaan industri agro Indonesia di pasar dunia. Fakta ini menyiratkan bahwa komoditi minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit merupakan bagian terpenting dari golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani asal Sumatera Barat di pasar internasional. Dengan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
11
kata lain, golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani menempati posisi pasar ideal yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya sebagai Rising Star atau bintang terang. Kondisi ini menunjukkan bahwa Sumatera Barat memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk tersebut yang bertumbuh cepat (fast‐growing products).
Hasil perhitungan daya saing golongan barang minyak/lemak nabati dan hewani didukung oleh fakta dominasi minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit dalam Nilai ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 nilai ekspor minyak kelapa sawit sebesar 1.276,7 juta USD (atau 53,5% dari total nilai ekspor Sumatera Barat) meningkat menjadi 1.325,8 juta USD ditahun 2012 (atau 56,1% dari total nilai ekspor Sumatera Barat). Kondisi yang sama terlihat pula pada nilai ekspor minyak biji kelapa sawit yang meningkat dari 123,2 juta USD di tahun 2009 menjadi Rp. 203,5 juta USD pada tahun 2011 tetapi di tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 97 juta USD. Peningkatan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit terutama disebabkan tingginya permintaan dari negara mitra dagang utama untuk komoditi ini yaitu India, Singapura dan Malaysia.
Gambar 2. Pemetaan produk Sumatera Barat
NRCA NRCA>0
(B) (A)
Minyak/lemak nabati dan hewani
NRCA<0
(D) Bahan kimia dan
produknya
(C) Bahan makanan dan
binatang hidup
RCA3<0 RCA3>0
RCA3
Sumber: Data diolah
Pada tahun 2012 nilai ekspor komoditi minyak kelapa sawit ke mitra dagang ASEAN seperti Singapura mencapai 346,7 Juta USD dan ke Malaysia sebesar 25 juta USD. Sementara untuk ekspor minyak biji kelapa sawit juga didominasi oleh Singapura dan Malaysia untuk kawasan ASEAN dimana ekspor minyak biji kelapa sawit ke Singapura sebesar Rp.6,5 juta USD dan ke Malaysia sebesar 38,3 juta USD. Untuk kedua komoditi ini Sumatera Barat telah menjadi net eksportir. Fakta ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan harga hingga US$ 5/ton dengan harga minyak sawit Malaysia yang lebih tinggi (Subramani, 2005 dalam Rifin, 2010).
Selain itu, kondisi ini didukung pula oleh potensi sumberdaya kedua produk ini dimana Sumatera Barat telah menyediakan kawasan perkebunan yang meliputi kabupaten‐kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Dharmas Raya, Solok Selatan dan Pasaman Barat untuk kelapa sawit sehingga dapat menjadi komoditi ekspor utama Sumatera Barat. Lahan perkebunan sawit
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
12
yang telah 280 ribu hektar dan yang belum digunakan sebesar 14 ribu hektar. Status perkebunan sawit ini adalah perkebunan rakyat dan swasta. Selain minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit, industri agro yang tumbuh di Sumatera Barat adalah crumb‐rubber. Nilai ekspor crumb‐rubber telah mencapai 702,8 juta USD di tahun 2012 meningkat dari sebelumnya sebesar 651,3 juta USD di tahun 2008. Selain itu, produk industri agro yang berkembang adalah minyak atsiri (SITC 551) yang termasuk kelompok bahan kimia dan produknya. Meskipun Sumatera Barat belum berspesialisasi dalam produk ini, minyak atsiri memiliki keunggulan komparatif yang kuat yang terbukti dari besarnya nilai ekspor mencapai 17,4 juta USD di tahun 2012. Prioritas RPJM Sumatera Barat dalam pengembangan minyak atsiri diduga telah mendorong produksi dan ekspornya terutama ke Singapura.
Sedangkan, produk industri agro lainnya yang sedang dikembangkan Sumatera Barat adalah industri pengolahan kakao dan pengolahan ikan. Hanya saja ekspor untuk kedua komoditi ini masih berupa biji kakao SITC 072 dan ikan SITC 034 (termasuk dalam kelompok bahan makanan dan binatang hidup) yang belum diolah atau belum optimal menjadi produk industri agro. Hasil pemetaan produk terlihat bahwa Sumatera Barat telah berorientasi pada ekspor biji kakoa dan ikan yang belum diolah sehingga belum menghasilkan RCA yang kuat (lihat kuadran C). Nilai ekspor biji kakao telah mencapai 31 juta USD di tahun 2012 yang meningkat dari sebelumnya sebesar 27 juta USD di tahun 2008 dan ekspor ikan tuna/tongkol telah mencapai 0,24 juta USD di tahun 2012 dengan tujuan negara mitra dagang Malaysia, Singapura dan Thailand. Pencanangan Sumatera Barat sebagai daerah sentra kakao dan sentra perikanan (produk unggulan) seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010‐2015 dan Peraturan Menteri Perindustrian 93/M‐IND/PER/8/2010 tentang peta panduan pengembangan produk unggulan Provinsi Sumatera Barat telah mendongkrak nilai produksi kakao dan perikanan sekaligus nilai ekspornya. Daerah sentra utama kakao adalah Kab. Pasaman, Kab. Padang Pariaman, dan Kab. Pasaman Barat dan daerah penghasil perikanan adalah Kab. Tanah Datar, Kab. Solok, Kota Padang, Kab. Pesisir Selatan, Kab. Padang Pariaman, Kab. Agam dan Kab. Pasaman Barat. Jika potensi ini dapat diolah maka kakao dan ikan dapat menjadi komoditi baru sebagai penyumbang peningkatan daya saing produk industri agro Sumatera Barat kedepannya. Faktanya, sampai saat ini ekspor komoditi kakao dan ikan belum mengalami pengolahan atau belum menjadi produk unggulan industri agro Sumatera Barat seperti yang dicanangkan pemerintah daerah Sumatera Barat.
4.2. Langkah Strategik Meningkatkan Daya Saing Industri Agro Sumatera Barat
Pemerintah Sumatera Barat telah mencanangkan industri unggulan meliputi pengolahan kakao, pengolahan ikan dan industri makanan ringan seperti yang tertuang dalam RPJMD 2010‐2015 dan Peraturan Menteri Perindustrian 93/M‐IND/PER/8/2010 tentang peta panduan pengembangan produk unggulan Provinsi Sumatera Barat. Sayangnya, berdasarkan estimasi daya saing produk industri agro Sumatera Barat dalam komposisi industri agro Indonesia di pasar dunia belum menampakkan hasil yang optimal. Produk kakao dan ikan yang dipasarkan masih berupa produk mentah yang belum diolah seperti biji kakao dan ikan tuna yang tergambar dari volume dan nilai ekspor Sumatera Barat. Oleh karena itu, kedua produk ini belum memperlihatkan keunggulan komparatif dan kompetitif dalam bentuk industri agro Sumatera Barat.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
13
Tampaknya kebijakan yang dicanangkan pemerintah daerah dan pusat yang menjadikan Sumatera Barat sebagai sentra kakao dan pengolahan ikan belum menemui keberhasilan yang optimal. Sementara itu, produk industri agro Sumatera Barat yang muncul dan memiliki keunggulan komparatif dan daya saing di pasar dunia terutama di pasar ASEAN adalah minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit. Langkah strategis yang mesti diambil pemerintah kedepannya adalah mencanangkan produk industri agro minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit sebagai produk unggulan industri agro Sumatera Barat. Pada saat bersamaan perlu memperkuat dan mempertajam kembali strategi dan kebijakan pengembangan industri pengolahan kakao dan pengolahan ikan yang telah ditetapkan dalam RPJMD dan peraturan menteri perindustrian sebelumnya. Evaluasi pelaksanaan kebijakan pengembangan industri pengolahan kakao dan pengolahan ikan mesti dilakukan sehingga sasaran kebijakan yang terlihat dari peningkatan nilai ekspor kakao olahan dan ikan olahan benar‐benar dapat diwujudkan.
Beberapa Langkah strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah Sumatera Barat terkait dengan upaya meningkatkan daya saing Industri agro di Sumatera Barat adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan dan mengevaluasi kembali Road Map Pengembangan Industri Unggulan Sumatera Barat yang dituangkan dalam RPJMD 2010‐2015 dan Peraturan Menteri Perindustrian 93/M‐IND/PER/8/2010, dengan memasukan Industri Pengolahan Minyak dan Biji Kelapa Sawit sebagai produk Industri unggulan Sumatera Barat, karena pada kenyataannya Industri ini telah menjadi tulang punggung industri pengolahan di Sumatera Barat sekaligus memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekembangan ekonomi daerah terutama pada daerah penghasil Sawit seperti Kabupaten Sijunjung, Dharmas Raya, Solok Selatan dan Pasaman Barat sebagai lahan perkebunan sawit
b. Mengevaluasi kinerja dan program instansi terkait yang menjadi leading sektor dalam perkembangan industri kakao di Sumatera Barat, karena sampai saat sekarang keberadaan industri kakao belum terlihat dengan jelas peranannya sebagai industri unggulan di Sumatera Barat. Hal ini dapat dilihat pada SBDA Tahun 2013, dimana kontribusi kakao masih dalam bentuk biji, belum merupakan hasil olahan. Pada tahun 2006, baru pabrik mini yang ada di Sumatera Barat yang menghasikan permen /batangan, dan dipasarkan secara lokal. Walaupun secara kualitas sebenarnya sudah layak dipasarkan secara nasional karena sudah memenuhi kriteria produk dan rasa untuk dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia, untuk itu perlu kebijakan pemerintah yang mendorong nilai tambah dari produksi kakao ini.
c. Mendorong pengusaha (sebagian besar IKM) untuk meningkatkan kualitas produk (seperti kemasan dan variasi produk) untuk industri makanan sehingga mampu bersaing dengan produk lain yang sejenis dari luar daerah Sumatera Barat. Disamping itu promosi untuk makanan perlu dilaksanakan secara rutin terutama dalam even‐even budaya dan kegiatan pariwisata dengan melibatkan para perantau yang selama ini belum dioptimalkan.
d. Menumbuhkembangkan industri pengolahan ikan melalui ketersediaan jaminan pasokan bahan baku (seperti melakukan pelatihan penangkapan ikan menggunakan citra satelit), perbaikan sarana prasarana perikanan (seperti merevitalisasi pelabuhan perikanan Samudera Bungus, Pelabuhan Pantai Sikakap, Pelabuhan Pantai Carocok dan pangkalan pendaratan ikan lainnya di sepanjang pantai barat Sumatera Barat), penguatan kelembagaan nelayan, pengembangan dan peningkatan kualitas produk turunan dan produk sampingan perikanan yang berpedoman pada standar mutu yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai Stnadar Nasional Indonesia (SNI) .
e. Memfasilitasi dan mempermudah Industri Agro di Sumatera Barat untuk melengkapi seluruh persyaratan administrasi (seperti SIUP danTDP) serta persyaratan lain yang sangat dibutuhkan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
14
oleh Industri Agro terutama yang masih berbentuk informal (sebagian besar UMKM) untuk bisa menjadi bankable dalam meningkatkan dan mengembangkan usaha agro terutama untuk mendapatkan dana atau modal dari perbankan. Masih banyak kota dan kabupaten di Sumatera Barat yang belum melaksanakan Peraturan Menteri Perdagangan RI tentang kemudahan SIUP dan TDP untuk usaha UMKM. Padahal, kebijakan ini dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk mendorong UMKM untuk bisa berkembang lebih cepat, karena selama ini persyaratan administrasi menjadi momok bagi UMKM dalam mendapatkan modal dari perbankan.
f. Strategi selanjutnya adalah mendorong dan meningkatkan kecintaan terhadap produk lokal, hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk Peningkatan Penggunanan Produk Dalam Negeri (P3DN) di berbagai kalangan masyarakat, terutama pelajar SD sampai Mahasiswa, karena sebagaian besar produk agro terutama makanan merupakan makanan tradisional yang memiliki historis dan nilai budaya lokal yang tidak dimiliki oleh produk lain. Dengan peningkatan kecintaan terhadap produk lokal atau dalam negeri, secara tidak langsung sudah menciptakan deman sendiri terhadap produk yang dihasilkan. Secara bertahap kualitas dan mutu produk akan ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya deman masyarakat sehingga pada akhirnya akan mampu bersaing dengan produk luar baik ASEAN maupun dunia.
g. Untuk memperluas pangsa pasar produk industri agro Sumatera Barat ke ASEAN dan dunia, kerjasama dengan mitra dagang perlu ditingkatkan, promosi secara konsisten penting pula dilaksanakan disamping tetap meningkatkan standar mutu dan kualitas sehingga mampu berdaya saing global.
5. Kesimpulan
Sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing Industri Agro di Sumatera Barat, maka pemerintah daerah melalui Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Perindustrian Republik Indonesia telah membuat Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Produk Unggulan Provinsi Sumatera Barat yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian 93/M‐IND/PER/8/2010. Road Map ini juga sejalan dengan RPJMD Sumatera Barat Tahun 2010‐2015 yang fokus pada peningkatan Industri Agro di Sumatera Barat. Dalam Road Map tersebut dijelaskan bahwa industri unggulan di Sumatera Barat meliputi: Industri Pengolahan Kakao, Industri Pengolahan Ikan, Industri Makanan Ringan.
Namun, dalam perkembangannya, daya saing produk industri agro Sumatera Barat dalam komposisi industri agro Indonesia di pasar dunia belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Produk kakao dan ikan yang diekspor masih berupa produk mentah yang belum diolah seperti biji kakao dan ikan tuna. Hal ini menunjukkan bahwa produk‐produk ini belum memiliki daya saing pada industri agro baik nasional maupun dunia. Hal yang hampir sama juga terjadi pada produk makanan olahan. Kondisi ini bisa terjadi kemungkinan akibat beberapa permasalahan yang ada pada industri agro Sumatera Barat yaitu: sektor industri agro masih didominasi oleh sektor informal, rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan informasi, dan terbatasnya akses pelaku usaha terhadap sumber daya produktif serta masih maraknya ekonomi biaya tinggi.
Terkait dengan permasalahan diatas maka upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah merumuskan dan mengevaluasi kembali Road Map Pengembangan Industri Unggulan Sumatera Barat, mengevaluasi kinerja dan program instansi terkait yang menjadi leading sector industri agro, mendorong pengusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas produk sesuai standar nasional dan global, menumbuhkembangkan industri pengolahan ikan, memfasilitasi dan mempermudah industri
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
15
informal dalam mengurus perizinan usaha, dan meningkatkan kesadaran konsumen untuk lebih mencintai produk dalam negeri.
Terlepas dari kondisi diatas, maka keberhasilan produk industri agro Indonesia khususnya Sumatera Barat untuk dapat bersaing dengan negara‐negara tetangga tergantung kepada kemauan “political will” pemerintah untuk bisa konsisten terhadap kebijakan pemerintah itu sendiri dan juga strategi‐strategi pengembangan industri agro sebagaimana yang telah dikemukakan pada tulisan ini.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
16
Daftar Pustaka
Abasta, A. (2004). Competitiveness of the Firm: Review of Theory, Frameworks, and Models. Singapore Management Review. 26(1).
Aminullah, E. (2000). The Dynamic of Industrial Technological Capability in Indonesian Economic Development. Indonesian institute of science.
Balassa, B. (1965). Trade Liberalisation and ‘Revealed’ Comparative Advantage. The Manchester
School, 33, 99‐123.
Bozkurt, B. B., and Ozdenli, O. (2004). Internationalization and National Innovation System: An Invesment Perpective. Bussines scholl of Aston university.
Cook, P. (2003). Strategies for Regional Innovation Systems: Learning Transfer and Applications. United
Nations Industrial Development Organization. Vienna.
Delgado et al. (2012). The Determinant of National Competitiveness. Working Paper 18249. NBER
Liesner, H.H. (1958). The European Common Market and British Industry. Economic Journal, 68, 302‐
16.
Lundvall (2002). National system of production, innovation and competence building. Departement of bussines studies, Aalborg university, Denmark.
Martinez and Shapira. (2004). National Innovation System: Lessons From East Asia to Latin America. Case Studies of Costa Rica and Chile. Georgia Institute of Technologi.
McFetridge, D.G. (2005). Competitiveness: Concept and Measures. Occasional paper No. 5. Industry Canada.
Oyelaran, B. (2002). Manucfaturing Response in a National System of Innovation: Evidence From the Brewing Firm in Nigeria. The United Nation University.
Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 49/M‐IND/PER/5/2009 tentang Pedoman Penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 93/M‐IND/PER/8/2010 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan Provinsi Sumatera Barat.
Resende and Tores (2008). National Innovation System, Competitiveness And Economic Growth. Faculdade de Ciencias Economicas, Universidade Federal de Minas Gerais.
Rifin, A. (2010). Daya Saing Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. http://scialert.net/abstract/?doi=tae.2010.1.18.pdf, Diakses tanggal 9 September 2013
Taufik, T.A. (2006). Konsep dan Pragmatisasi Peningkatan Daya Saing Daerah : Paradigma Sistem Inovasi. Makalah disampaikan dalam Workshop dan Sosialisasi “Optimalisasi Kerjasama antar Daerah dalam Peningkatan Daya Saing Kawasan Berdasarkan Potensi Unggulan dan Inovasi Teknologi“. Solo.
UNDP. (2001). Human Development Report 2001 (http://hdr.undp.org/).
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
17
Utkulu, U., and Seymen, D. (2004). Revealed Comparative Advantage and Competitivenness: Evidence
for Turkey vis‐à‐vis the EU/15.Presented at the European Trade Study Group 6th annual
conference, ETSG.
Vitalis, V. (2008). Trade and Innovation Project Case Studi 2: Domestic Reform, Trade Innovation and Growth in New Zealand`s Agriculture Sector. OECD Trade Policy, Working Paper No. 74.
Vollrath, T.L. (1991). A Theoretical Evaluation of Alternative Trade Intensity Measures of Revealed Comparative Advantage. Weltwirtschaftliches Archiv, 130, 265‐79.
Widodo, T. (2008). Dynamic Changes in Comparative Advantage : Japan “Flying Geese” Model and Its Implications for China. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies, 1(3), 200‐213.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
18
Halaman ini sengaja dikosongkan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
19
DAMPAK EKONOMI BENCANA DI INDONESIA‐10:
MODEL SEEMINGLY UNRELATED REGRESSION (SUR)
Sufi Arini dan Abdul KHALIQ1
Abstract This study examines the effects of disasters on selected macroeconomic variable of Indonesia‐10. Using detailed macroeconomic province‐level data and their history of disaster experience over period 1990‐2010, and seemingly unrelated regession (SUR) model, this research show the effect of disaster on the value of regional economic activity, government investment, household expenditure, inflation, unemployment, migration, and infrastructure damages. The finding further reveals the differential macroeconomic effects of disasters on economic activity in the different provinces; and these differences potentially appear to be related to the degree of provinces to access the reconstruction fund both from the private and from the central government. Key Words: Bencana, seemingly unrelated regression, Indonesia‐10, JEL: O40, Q54, R11
1 Koresponden: staf pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi Unand [email protected]
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
20
1. Pendahuluan
Bencana merupakan kejadian yang disebabkan oleh alam maupun oleh kelalaian manusia. Tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, tsunami, banjir dan tanah longsor, letusan gunung merapi, kekeringan serta gelombang pasang adalah bencana yang disebabkan oleh alam. Sementara itu aksi teror, konflik, kecelakaan industri, kecelakaan transportasi, dan kebakaran hutan merupakan bencana akibat kelalaian manusia. Bencana yang disebabkan oleh alam dan kelalaian manusia sama‐sama menimbulkan kerugian terhadap lingkungan dan perekonomian.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengklasifikasikan kerugian bencana menjadi korban meninggal, hilang, mengungsi, luka‐luka, menderita, kerusakan rumah, kerusakan fasilitas kesehatan dan sekolah, kerusakan jalan, dan kerusakan lahan. Rasmussen (2004) membagi kerugian bencana menjadi empat yaitu jumlah kejadian berdasarkan wilayah, jumlah kejadian berdasarkan populasi, jumlah kejadian berdasarkan total populasi, dan kerusakan berdasarkan GDP. Sedangkan Pelling et al (2002) mengklasifikasikan kerugian berdasarkan direct damages dan indirect damages.
Wilayah Indonesia secara geologi terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu lempeng Indo‐Australia dibagian selatan, lempeng Eurasia dibagian utara dan lempeng pasifik dibagian timur. Ketiga lempeng saling berbenturan dan bergerak. Lempeng Indo‐Australia bergerak ke utara dan lempeng Eurasia ke selatan. Pergerakan ini menimbulkan jalur gempa, rangkaian gunung merapi aktif dan patahan. Kondisi ini membuat kawasan Indonesia menjadi rawan bencana. Gempa bumi dan letusan gunung merapi senantiasa dapat terjadi kapanpun (BNPB, 2011).
Berdasarkan data BNPB terdapat 10.021 bencana yang terjadi di Indonesia tahun 1990‐2010 pada 33 provinsi. Bencana dikategorikan menjadi 17 yaitu aksi teror, banjir, banjir dan tanah longsor, gelombang pasang, tsunami, gempa bumi, gempa bumi dan tsunami, kejadian luar biasa (klb), tanah longsor, kecelakaan industri, kecelakaan transportaasi, kebakaran hutan, hama tanaman, konflik, kekeringan, puting beliung, dan letusan gunung merapi. Lima bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah banjir, kekeringan, puting beliung, tanah longsor, dan gempa bumi. Sementara itu bencana terbanyak terjadi pada tahun 2008 yaitu 1849.
Provinsi yang mengalami bencana terbanyak adalah Jawa Tengah yaitu sebanyak 1.954 bencana. Posisi kedua adalah provinsi Jawa Barat dengan jumlah bencana 1.580. Posisi ketiga oleh provinsi Jawa Timur dengan jumlah bencana 915 bencana. Posisi keempat dan kelima oleh provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan jumlah bencana bertuurt‐turut 516 dan 504 bencana. Sementara itu provinsi yang menempati posisi terbawah adalah Kepulauan Riau dengan jumlah 9 bencana.
Bencana juga terjadi di negara‐negara seperti Jepang, Australia, Philipina, Italia, Mexiko, Samoa, New Zealand, kawasan Karibia (Antigua dan Barbuda, Dominica, Grenada, St. Lucia, St. Kitts dan Nevis), Taiwan, Bangladesh, Malawi, Amerika dan kawasan Eropa. Bencana yang terjadi seperti banjir, ledakan energi nuklir, badai Katrina, letusan gunung merapi, kekeringan, badai tropis, dan Gempa bumi. Akibat bencana ini banyak dampak yang ditimbulkan baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Australia merupakan negara maju yang telah melakukan penanggulangan bencana sehingga dampak bencana dapat diatasi. Ini diwujudkan melalui penerbitan buku economic and financial aspects of disaster recovery. Rassmussen (2004) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pemerintah perlu mempersiapkan sejumlah dana untuk menanggulangi bencana yang akan terjadi. Kejadian bencana memang tidak dapat dielakkan, namun pemerintah dapat melakukan persiapan sebelum bencana itu terjadi untuk mengatasi dampak bencana.
Penelitian untuk melihat dampak bencana terhadap perekonomian dan penanggulangannya telah banyak dilakukan di berbagai Negara. Doyle dan Noy (2013) meneliti tentang dampak gempa bumi di
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
21
Canterbury menggunakan metode VAR. Aufrect (2003) meneliti tentang volatilitas konsumsi yang tinggi setelah terjadi bencana di kawasan Karibia. Sementara itu di Indonesia penelitian tentang bencana ini masih minim. Penelitian yang dilakukan cenderung membahas beberapa bencana yang terjadi di beberapa tempat saja.
Hilmi (2012), meneliti tentang bencana abrasi dan tsunami yang terjadi di Cilacap. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk mengurangi dampak bencana tsunami dan abrasi harus dibangun waterbreak, seaweell, greenbelt dan jalur evakuaasi tsunami. Penelitian berbeda dilakukan oleh Maarif et al (2012), menyimpulkan bahwa respon masyarakat terhadap bencana gunung merapi dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman masyarakat dari generasi ke generasi menghambat proses penanganan korban gunung merapi yang enggan direlokasi karena mereka berpegang pada pengetahuan lokal. Artiani (2011) mengemukan bahwa, dampak bencana dalam jangka pendek memang dapat teratasi karena adanya bantuan. Namun dalam jangka panjang goncangan yang terjadi akibat bencana dapat mempengaruhi perekonomian sehingga perlu di temukan sebuah model yang dapat menjawab sejauh mana perekonomian terganggu akibat bencana.
Dalam konteks Indonesia, studi bencana alam telah banyak dilakukan dengan fokus pada beberapa tempat kejadian bencana. Sementara itu, studi yang menganalisis dampak ekonomi bencana secara menyeluruh belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, tulisan ini membahas dampak ekonomi bencana alam di Indonesia‐103 dengan menelusuri dampak ekonomi bencana terhadap provinsi‐provinsi yang sering mengalami bencana secara serentak menggunakan model seemingly unrelated regression.
2. Tinjuan Literatur
2.1. Definisi Bencana
UU no. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mendefenisikan bencana merupakan “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.
UU no 24 tahun 2007 juga mengklasifikasikan bencana dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah bencana alam yaitu bencana yang terjadi akibat peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa, banjir, tsunami, gunung meletus. Kedua adalah bencana nonalam yaitu peristiwa yang terjadi akibat kegagalan teknologi, wabah penyakit, kegagalan modernisasi. Ketiga adalah bencana sosial yaitu bencana terjadi akibat peristiwa yang disebabkan oleh manusia, seperti aksi teror, kerusuhan, perang.
Pelling et al. (2002) menyatakan bahwa, bencana dapat dikategorikan menjadi empat bagian yaitu:
a. nature seperti: gempa bumi, banjir, tsunami. b. Violence seperti: perang, konflik bersenjata. c. Technology seperti: ketumpahan minyak, faktor ledakan, limbah berbahaya.
3 Indonesia‐10 adalah sepuluh provinsi teratas di Indonesia yang paling banyak merasakan kejadian bencana
dalam dua dekade belakangan ini, yaitu (1) provinsi Aceh, (2) Sumatera Utara, (3) Sumatera Barat, (4) Jawa
Barat, (5) provinsi Jawa Tengah, (6) provinsi Jawa Timur, (7) provinsi Kalimantan Selatan, (8) provinsi Sulawesi
Selatan, (9) provinsi Sulawesi Tenggara, dan (10) provinsi NTT.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
22
d. Deterioration seperti: penurunan pelayanan sosial, degradasi lingkungan.
Di Indonesia lembaga yang melakukan penanggulangan bencana disebut Badan Nasinal Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB bertugas untuk menanggulangi bencana dan mendata bencana‐bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB telah mendata bencana ynag terjadi sejak tahun 1815‐2013. Terdapat website BNPB atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Departemen Dalam Negeri, United Nations Development Programe (UNDP), dan Department for International Development (DFID). DFID merupakan lembaga pendonor BNPB dari negara Inggris. UNDP berperan membiayai sebagian dana untuk pengelolaan website dan mensosialisasikan metodologi dan peralatan yang diperlukan keseluruh dunia termasuk Indonesia.
2.2 Konsep Ekonomi Bencana
Bencana yang terjadi karena faktor alam, kekerasan, kelalaian manusia akan menimbulkan kerugian. Kerugian yang ditimbulkan oleh bencana meliputi direct losses, asset losses, indirect losses, output losses, market and non market losses, dan welfare losses. Direct losses merupakan konsekuensi fenomena fisik bencana. Direct losses diklasifikasikan menjadi direct market losses dan direct non‐market losses. Market losses adalah hilangnya barang dan jasa yang diperdagangkan dipasar, dan untuk harga bisa dengan mudah diamati. Sedangkan non‐market direct losses adalah semua kerusakan yang tidak bisa diganti melalui pembelian dipasar (Hallegatte dan Przyluski, 2010).
Sementara itu Pelling et al (2002) mengklasifikasikannya menjadi direct damages, indirect damages and flow losses dan secondary effects. Direct damages adalah semua kerusakan aset tetap, barang jadi dan setengah jadi, bahan baku dan spare part yang merupakan konsekuensi langsung dari fenomena alam sehingga menimbulkan bencana. Indirect damages adalah aliran barang yang akan tidak berproduksi dan melayani setelah terjadinya bencana. Selain itu peningkatan pengeluaran juga terjadi karena kerusakan infrastruktur dan inventaris setelah terjadi bencana. Secondary effects adalah dampak keseluruhan yang diperlihatkan oleh perekonomian melalui variabel makroekonomi seperti GDP, neraca pembayaran, penurunan penerimaan pajak, peningkatan pengeluaran pemerintah, dan investasi.
Petrucci (2012) mengatakan bahwa direct damage assessment dibagi kedalam beberapa bagian yaitu:
a. Bagian B: Buildings. Buildings ini terdiri dari private dan public building. public building ini terdiri dari sekolah, rumah sakit, tempat ibadah.
b. Bagian C: Roads. c. Bagian D: Railways d. Bagian E: Productive activities. Produvtive activities terdiri dari sektor industri, iklan, pertukangan
atau kerajinan, sektor pariwisata, dan sektor pertanian. e. Bagian F: Network Service, Network service terdiri dari saluran pipa, kabel listrik, kabel telepon,
terowongan air, dan sistem drainase. f. Bagian G: People
Bull (1994) menyatakan bahwa, kunci untuk menghadapi bencana agar negara yang mengalami bencana dapat melakukan penanggulangan bencana dengan baik sehingga efek negatif dari bencana dapat dikurangi adalah:
1. Melakukan proses identifikasi terhadap korban bencana yang pantas menerima bantuan berupa makanan maupun kredit uang sebagai program rehabilitasi dan recovery.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
23
2. Menentukan bagaimana lembaga kredit dan pemerintah membayar hutang yang jatuh tempo saat terjadi bencana dan kemungkinan penundaan. Hal ini ditentukan untuk berapa lama penundaan tersebut akan dilakukan.
3. Menentukann bagaimana proses recovery atau penanggulangan bencana untuk memonitor pada peminimuman perbedaan antara keuangan aktual dengan program kerja fisik.
4. Menentukan jalan terbaik untuk mengkoordinasikan konsesi atau penderma yang mau memberikan bantuan keuangan.
Dalam kehidupan nyata, bencana menimbulkan banyak kerugian. Kerusakan bangunan dan berbagai faktor produksi telah menghambat kegiatan produksi. Selanjutnya pemerintah yang seharusnya memberikan aliran dana untuk ekspansi usaha malah dialihkan menjadi dana untuk relokasi dan rekonstruksi faktor‐faktor produksi yang rusak. Oleh Karena itu penurunan produktifitas yang terjadi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun setelah terjadi bencana banyak aliran dana yang masuk dari berbagai lembaga internasional namun hal ini tidak menjamin pertumbuhan ekonomi akan membaik dalam situasi bencana.
Bencana alam yang terjadi di kawasan Karibia yaitu negara yang tergabung dalam Eastern Caribbean Currency Union (ECCU) berdampak terhadap perekonomiannya. Bencana yang melanda kawasan Karibia adalah angin topan, badai tropis, banjir dan letusan gunung merapi. Bencana menyebabkan ekspor turun dan meningkatnya impor sehingga current account deficit mencapai 10,8%. Pendapatan total pemerintah turun sementara pengeluaran pemerintah meningkat. Akan tetapi terjadi peningkatan pendapatan pemerintah yang berasal dari luar negeri (Rasmussen, 2004).
Aufrect (2003) meneliti volatilitas konsumsi yang tinggi di enam negara kawasan Karibia dan sepuluh Negara Amerika Latin. Guncangan produksi saat terjadi bencana menjadi sebab volatilitas konsumsi tinggi. Guncangan produksi ini terjadi karena tidak efektifnya risk‐management mechanism. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, bencana alam menimbulkan dampak terhadap penurunan pertumbuhan output, penurunan pertumbuhan investasi, penurunan konsumsi serta memperburuk current account neraca pembayaran.
Noy dan Nualsri (2011) dalam penelitian mereka menyatakan bahwa, bencana besar akan membuat negara maju meningkatkan pengeluaran pemerintah dan menurunkan pendapatan pajak. Di sisi lain negara berkembang akan menurunkan pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pendapatan pajak akibat dari bencana alam yang besar. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Baccera et al. (2010) menyimpulkan bahwa, pada negara berkembang bantuan luar negeri yang diberikan bergantung pada besar kecilnya kerusakan yng ditimbulkan oleh bencana. Jika kerusakannya besar maka bantuan yang masuk kedalam negara yang terjadi bencana akan besar pula.
Selanjutnya, Noy dan Vu (2009) menemukan, bencana alam menyebabkan pertumbuhan menurun, namun mahalnya biaya akibat bencana mendorong perekonomian dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek daerah yang terjadi bencana mengalami kendala dalam distribusi kebutuhan pokok, sehingga ketersediaan barang pokok menjadi sedikit. Jumlah barang yang sedikit dipasaran menyebabkan harga barang menjadi mahal. Kelangkaan barang dipasar yang menyebabkan harga barang mahal akan memicu inflasi di daerah bencana. Oleh karena itu pengambil kebijakan di daerah yang terkena bencana sebaiknya mengantisipasi kendala distribusi barang‐barang pokok agar tidak memicu inflasi.
Loayza et al (2009) menyimpulkan banyak penelitian yang mengatakan bahwa bencana alam berdampak negatif terhadap pertumbuhan. Pertumbuhan di negara berkembang sensitif terhadap bencana alam. Kekeringan menimbulkan dampak negatif pada pertanian. Bencana kekeringan akan mengurangi sektor pertanian perkapita tahunan sebesar 1%. Begitu juga angin topan menimbulkan dampak negatif terhadap sektor pertanian. Sebaliknya, bencana berdampak positif pada sektor
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
24
industri di negara berkembang. Gempa bumi dan angin topan meningkatkan sektor industri sebesar 1%.
Gempa bumi yang terjadi di Senday, Japan telah menghancurkan sebesar 5‐6% GDP Japan, sedangkan gempa bumi yang terjadi di Haiti menghancurkan sebesar 125% GDP. Selanjutnya perkiraan bahwa negara berkembang akan mengalami penurunan GDP sebesar 9% setelah bencana sedangkan negara maju akan mengalami peningkatan komulatif sebesar 1%. Oleh karena itu, negara dengan pemerintahan yang baik, pendidikan masyarakat yang baik, dan akses rekonstruksi sumberdaya yang baik akan dapat mengatasi dampak bencana (Noy, 2011).
Kasus yang berbeda terjadi di Philippina yaitu besarnya tingkat bencana yang terjadi di Philippina menyebabkan penurunan jumlah orang dan aset yang mudah terkena resiko. Intensitas bencana ini menyebabkan kemiskinan di Philippina semakin bertambah. Selain itu ketidakstabilan kondisi akibat bencana menyebabkan iklim investasi di Philippina terganggu. Untuk menyelesaikan permasalahan akibat bencana Philippina membentuk suatu lembaga yang berfungsi untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan managemen resiko bencana. Lembaga ini diberi nama National Disaster Coordinating Council (NDCC) (NDCC, 1‐61).
Penelitian yang dilakukan oleh NDCC menyatakan bahwa mengidentifikasi resiko bencana merupakan langkah awal menghadapi bencana yang akan terjadi. Bagian dari strategi untuk mengurangi resiko bencana adalah tidak hanya mementingkan mitigasi bencana saja namun juga penanggulangan perekonomian akibat bencana serta kemungkinan tidak adanya pajak yang diberikan oleh masyarakat karena bisnis mereka terkena dampak bencana. Setelah melakukan identifikasi resiko maka langkah selanjutnya adalah mengurangi resiko. Pembentukan NDCC merupakan bentuk penanggulangan resiko bencana.
2.3. Studi Empiris Ekonomi Bencana
Studi empiris ekonomi bencana cukup banyak dilakukan. Doyle dan Noy (2013) meneliti Gempa di New Zealand terjadi dua kali yaitu pada 4 September 2010 dan 22 Februari 2011. Hasil penelitian yang menggunakan model VAR ini adalah gempa bumi mengurangi inflasi IHK. Pada gempa bumi kedua Bank Sentral New Zealand mengurangi tingkat bunga dari 3% menjadi 2,5%. Ini merupakan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral New Zealand untuk mengantisipasi dampak gempa bumi.
Penelitian mengenai bagaimana bantuan luar negeri setelah bencana alam besar terjadi menggunakan data 196 negara dari tahun 1970 sampai tahun 2008. Beberapa Negara yang menjadi sampel pada penelitian ini yaitu perang di Afganistan pada 2002, Bangladesh saat proses kemerdekaan tahun 1973, Haiti saat intervensi politik oleh PBB tahun 1994, Iran saat konflik militer tahun 1972, Saint Lucia’s saat proses kemerdekaan dari Inggris tahun 1980, Turki tahun 1999 dan Venezuela tahun 1999. Hasil dari penelitian ini adalah aliran bantuan kepada negara berkembang mengikuti besarnya bencana alam. Selanjutnya kerusakan yang terjadi pada daerah bencana juga mengindikasi besar kecilnya bantuan yang diberi. Pendapatan yang tinggi dan pendapatan perkapita yang tinggi akan mengurangi jumlah bantuan yang diberikan (Becerra et al, 2010).
Berbeda dengan studi sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Hallagete dan Przyluski (2010) membahas konsep dan metode ekonomi bencana alam. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa direct economic cost pada bencana alam bukanlah semua biaya yang keluar atau semua kerugian yang diterima akibat bencana, tetapi ada indirect disaster cost. Namun diperlukan lebih banyak data lagi untuk menafsirkan berapa indirect disaster cost ini.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
25
Noy (2007) melakukan penelitian tentang konsekuensi makroekonomi tehadap bencana. Hasil dari penelitian ini adalah negara maju yang memiliki perekonomian besar dengan tingkat melek huruf yang besar, institusi pemerintahan yang baik, pendapatan perkapita tinggi, dan pengeluaran pemerintah yang besar akan menghadapi goncangan akibat bencana dengan lebih baik dari pada negara berkembang dengan perekonomian yang kecil.
Studi empiris dampak ekonomi bencana di Indonesia masih relatif sedikit. Salah satunya adalah penelitian BNPB mengenai gempa dan tsunami di Cilacap, dan kointegrasi pengetahuan penduduk lokal terhadap penanganan bencana. Supriyatna (2011) yang meneliti bencana gempa tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta semburan lumpur di Sidoarjo menyimpulkan bahwa bencana menurunkan output sektor perikanan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta tenaga kerja buruh tani berturut‐turut 4,58%, 2,3%, dan 1,89%. Sementara itu penurunan terhadap pendapatan rumah tangga pengusaha tani, pendapatan rumah tangga buruh tani, pendapatan perusahaan, dan penerimaan negara mengalami penurunan berturut‐turut 0,81%, 0,8%, 0,69%, dan 0,47%. Terlihat bahwa terdapat penurunan output yang besar pada sektor perikanan dari pada sektor keuangan. Hal ini berimplikasi bahwa dampak langsung bencana atau direct cost tidak selalu sejalan dengan dampak tidak langsung dari bencana atau indirect cost.
3. Metodologi dan Data
Untuk menguji dampak ekonomi bencana terhadap kondisi makro ekonomi Indonesia‐10 dilakukan serangkaian proses metode analisis data seperti uji prasyarat dan pengolahan data dengan pendekatan Seemingly Unrelated Regression (SUR).
3.1 Data dan Sumber Data
Tulisan ini menggunakan data makroekonomi dan data bencana di Indonesia‐10 periode 1990‐2010. Data makroekonomi yang dipakai adalah PDRB, konsumsi pemerintah (CGOV), konsumsi rumah tangga (CRT), inflasi (INF), pengangguran (UN), dan migrasi neto (MIG). Data bencana meliputi rumah rusak (RS) dan jumlah kejadian bencana (SUM) yang terjadi tiap tahunnya. Data makroekonomi bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia, sedangkan data bencana bersumber dari website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) www.bnpb.go.id.
3.2. Metode Analisis Data
Menurut Zellner (1962), SUR merupakan metode yang dapat mengintegrasikan dua persamaan yang berbeda. Hubungan persamaan ini tidak dapat dilihat dengan aplikasi least square. Moon dan Perron (2006) menyimpulkan SUR adalah metode yang digunakan untuk menemukan hubungan pada persamaan yang berbeda. Metode ini juga lebih efisien digunakan untuk mengintegrasikan persamaan sehingga hubungan kedua persamaan dapat terlihat.
3.2.1. Model Umum SUR
Model umum Seemingly Unrelated Regression. Moon dan Perron (2006), menjelaskan bahwa yit variabel dependen, Ki adalah vector variabel explanatory untuk i unit observasi dan uit adalah error term yang tidak bisa diobservasi. Model klasik SUR dilihat pada persamaan linier berikut:
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
26
y1t = ß’1x1t + u1t (1)
yNt = ß’NxNt + uNt (2)
Jika persamaan disusun untuk setiap observasi maka,
Yt = X’t ß + Ut (3)
Dimana Yt merupakan [y1t, ….. yNt], Xt adalah [x1t, ….xNt], dan Ut adalah [u1t, …. uNt]. Langkah lain untuk menemukan Model SUR adalah dengan membuat regresi multivariat dengan restriksi parameter. Perhatikanlah bahwa Xt = [x’1t, ….x’2t, …, x’NT]’ dan A (ß) = diag (ß1,... ßN) disusun kedalam (L*N) diagonal coefficient matrix. Kemudian persamaan (1) bisa dituliskan menjadi:
Yt = A(ß)’ Xt + Ut, (4)
dan coefficient A(ß) memenuhi
vec (A(ß)) = G ß, (5)
Dengan (NL*L) matrik G akan penuh. K1 = …KN = K, dan G = diag(i1, …, iN) ⊗IK, dimana ij merupakan kolom j’th N*N identitas matrik IN.
Asumsi:
Pada model umum SUR, setiap I = 1,…,N, xi = [xi1, …,xiT]’ adalah full rank Ki,
Dan kondisi setiap regressor X’ = [x1, …, Xt], kesalahan Ut adalah iid setiap waktu dengan maksud nol dan varians homoskedastis Σ=E (utu’t| X). selanjutnya diasumsikan Σ adalah positif ditunjukkan oleh σij (I,j)th elemen dari E [vec(U)( vec(U))’] = Σ ⊗ IT.
Estimasi ß:
1. Penilaian Ordinary least Square OLS Penilaian Yt dengan regressor Xt merupakan penilaian pertama terhadap ß,
ßOLS = 1
1 1' '
T T
t tXtXt XtYt
(6)
2. Generalized Least Square (GLS) dan feasible GLS (FGLS)
Telah diketahui bahwa sistem kovarian matrix Σ, penilaian GLS adalah:
ßGLS = 11 1
1 1' '
T T
t tXt Xt Xt Yt
(7)
Ketika tidak diketahui Σ, maka GLS menjadi FGLS dengan menggunakan τμ penilain Σ dirubah menjadi σij sehingga:
ßFGLS = 11 1
1 1' '
T T
t tXt Xt Xt Yt
(8)
3. Penilaian Gaussian quasi‐maximum likelihood (QMLE)
Fungsi dari Gaussian quasi‐maximum likelihood adalah:
L (ß,Σ) = const + T/2 det Σ –1/2 1
1' '
T
tYt X t Yt X t
(9)
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
27
3.2.2. Model Spesifik SUR Indonesia‐10
Penggunaan SUR dalam studi ini untuk menganalisis dampak bencana secara terintegrasi yang terjadi di provinsi‐provinsi Indonesia‐10. Untuk pengolahan data, provinsi disimbolkan dengan i=1, 2, …, 10, dimana (1) provinsi Aceh, (2) Sumatera Utara, (3) Sumatera Barat, (4) Jawa Barat, (5) provinsi Jawa Tengah, (6) provinsi Jawa Timur, (7) provinsi Kalimantan Selatan, (8) provinsi Sulawesi Selatan, (9) provinsi Sulawesi Tenggara, dan (10) provinsi NTT.
Studi ini mengembangkan model SUR ekonomi bencana di Indonesia‐10 dengan mengadopsi model Cavallo dan Noy (2010), Noy (2009), Becerra et al (2010), dan Felbermayr and Gröschl (2013). Model SUR yang yang terbentuk adalah:
PDRBit = γ + δCGOVit + ϵCRTit + μINFit + ΦMIGit + αUNit + πRSit +λSUMit (10)
CGOVit = δ + ϵCRTit + μINFit + ΦMIGit + αU1t + λSUMit + πRSit + γPDRBit (11)
CRTit = ϵ + δ CGOVit + μINFit + ΦMIGit + αUNit + λSUMit + πRSit + γPDRBit (12)
INFit = μ + ϵCRTit + δ CGOVit + ΦMIGit + αUNit + λSUMit + πRSit + γPDRBit (13)
MIGit = Φ + ϵCRTit + δ CGOVit + μINFit + αUNit + λSUMit + πRSit + γPDRBit (14)
UNit = α+ϵCRTit + δ CGOVit + μINFit + ΦMIGit +λSUMit + πRSit + γPDRBit (15)
RSit =π+ ϵ CRTit + δ CGOVit + μINFit + ΦMIGit + αUNit + λSUMit+ γPDRBit (16)
Keterangan:
PDRBit : PDRB provinsi i waktu ke t CGOVit : persentase konsumsi pemerintah provinsi i waktu ke t INFit : inflasi provinsi i waktu ke t MIGit : migrasi provinsi i waktu ke t CRTit : persentase konsumsi rumah tangga provinsi i waktu ke t UNit : pengangguran provinsi i waktu ke t SUMit : jumlah bencana provinsi i waktu ke t RSit : rumah rusak provinsi i waktu ke t π, ϵ, δ, μ, Φ, λ, dan γ adalah koefisien RS, CRT, CGOV, INF, MG, SUM, dan PDRB
4. Temuan Empiris dan Analisis
4.1 Hasil Uji Prasyarat
Pengolahan data diawali dengan uji prasyarat yaitu uji stasioneritas. Uji prasyarat dilakukan untuk melihat karakteristik data. Dengan melihat karakteristik data maka dapat ditentukana metode yang tepat untuk mengolah data. Setelah data melalui uji stasioneritas maka data dapat diolah dengan metode yang sesuai dengan karakteristik data.
4.1.1 Uji stasioneritas
Uji stasioneritas dilakukan untuk melihat apakah data stasioner atau tidak. stasioneritas data terbagi tiga yaitu data stasioner pada level, data stasioner pada first difference, dan data stasioner pada
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
28
second difference. Uji stasioneritas data dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan tes Augmented Dickey Fuller (ADF) dan tes Philips‐Perron (PP). Tabel 1.1 memperlihat hasil uji stasioneritas menggunakan tes Augmented Dickey Fuller (ADF). Hasil uji ADF adalah untuk variabel PDRB semua data stasioner, ada yang stasioner pada first difference dan ada yang stasioner pada second defference. Selanjutnya variabel CRT, provinsi Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur memiliki data yang tidak stasioner. Begitu juga dengan variabel UN provinsi Aceh dan Sumatera Utara memiliki data yang tidak stasioner.
Tabel 1. Hasil Uji Stasioneritas dengan Metode Augmented Dickey Fuller (ADF)
Variabel ACEH SUMUT SUMBAR JABAR JATENG JATIM KALSEL SULSEL SULTENG NTT
PDRB I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
CGOV I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
CRT I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
UN (0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
RS I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1)
I(0)
I(0) I(1)
I(0)
MIG I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
INF I(0) I(1)
I(0) I(1)
I(0) I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0) I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0) I(1)
I(0)I(1)
SUM I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2
I(0) I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
Sumber: Hasil Olahan Catatan: I(0, I(1), I(2), dan I(‐) artinya data stasioner pada level, first difference, second difference, dan tidak stasioner
Variabel yang paling banyak tidak stasioner adalah variabel MIG. Pada variabel ini hanya provinsi Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Tengah saja yang stasioner. Kondisi diduga disebabkan data migrasi hanya diterbitkan dalam lima tahun. Variabel RS yang datanya stasioner adalah provinsi Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Variabel selanjutnya yaitu INF semua data stasioner namun hanya Jawa Timur yang stasioner pada level, sementara provinsi lain stasioner pada first difference. Variabel terakhir adalah SUM dengan provinsi yang tidak stasioner adalah Jawa Timur.
Dengan uji Philips Perron (PP) stasioneritas data yang dihasilkan untuk variabel CGOV, RS, INF, dan SUM memiliki data yang stasioner. Sementara itu varibael MIG tidak ada data yang stasioner pada setiap provinsi, sedangkan variabel CGOV stasioner pada setiap provinsi. Selanjutnya untuk variabel PDRB, CRT, dan UN berturut‐turut provinsi yang tidak stasioner adalah NTT, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah. Data penelitian ini terdapat structural break pada data bencana sehingga pada analisis uji stasioneritas yang dipakai adalah Uji PP.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
29
Tabel 2. Hasil Uji Stasioneritas dengan Metode Philips Perron (PP)
Variabel ACEH SUMUT SUMBAR JABAR JATENG JATIM KALSEL SULSEL SULTENG NTT
PDRB I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
CGO I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2
I(0)I(1) I(2)
I(0)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
CRT I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
UN (0) I(1)
I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
RS I(0) I(1)
I(0) I(1)
I(0)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0) I(0)I(1)
I(0) I(0) I(1)
I(0)
MIG I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
I(0) I(1) I(2) I(‐)
I(0)I(1) I(2) I(‐)
INF I(0) I(1)
I(0) I(1)
I(0) I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0) I(1)
I(0)I(1)
SUM I(0) I(1)
I(0) I(1)
I(0) I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0)I(1)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1) I(2)
I(0)I(1)
I(0) I(1)
I(0)
Sumber: Hasil olahan Catatan: I(0, I(1), I(2), dan I(‐) artinya data stasioner pada level, first difference, second difference, dan tidak stasioner
5.2 Hasil Estimasi Model SUR
Hasil estimasi memperlihatkan dampak bencana terhadap berbagai variabel makroekonomi di Indonesia‐10. Bencana diposisikan tetap sebagai variabel eksogen untuk setiap estimasi, sementara variabel makroekonomi secara bergantian diposisikan sebagai variabel dependen terhadap dampak bencana. Sementara antar variabel makroekonomi diasumsikan saling mempengaruhi akibat kejadian bencana.
Secara umum bencana memberikan dampak berbeda‐beda terhadap PDRB di Indonesia‐10. Bencana memberikan dampak positif signifikan pada PDRB di provinsi Sumater Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sementara itu, provinsi lain seperti Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan NTT memiliki dampak negatif tidak signifikan. Sedangkan provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara mengalami dampak positif bencana tetapi tidak signifikan terhadap PDRB.
Pengaruh positif signifikan bencana terhadap PDRB diduga karena saat terjadi bencana di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yaitu gempa bumi dan letusan gunung merapi pemerintah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Kerusakan akibat bencana seperti kerusakan rumah, infrastruktur ekonomi menyebabkan banyak kegiatan ekonomi tidak berjalan sehingga pemerintah merehabilitasi dan merekonstruksi kerusakan tersebut. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi meningkatkan permintaan barang dan jasa serta kegiatan ekonomi lainnya. Peningkatan ekonomi ini memicu peningkatan PDRB di daerah bencana, seperti provinsi Jawa Tengah yang melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi selama 3 tahun (2011‐2013). Selama proses ini PDRB Jawa Tengah meningkat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan temuan Yuliandari (2012) bahwa dampak bencana gempa tahun 2006 yang terjadi di provinsi DIY telah meningkatkan output, investasi, dan lapangan kerja.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
30
Tabel 3. Estimasi sistem SUR PDRB (SUR_PDRB)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constanta Konsumsi Pemerintah (CGOV)
Pengangguran (UN)
Migrasi (MIG)
Inflasi (INF)
Konsumsi RT (CRT)
Rumah Rusak (RS)
Bencana (SUM)
PDRB ACEH
44289296 [20.15308]*
42162178 [2.082289]*
1137970 [4.190404]*
‐1.879696 [‐0.237539]
53116.64 [0.936470]
‐1.03 [‐5.310932]*
92.05360 [0.507771]
‐207329.1 [‐0.913643]
0.440574
PDRB SUMUT
66155739 [5395890]*
6.20 [4.789100]*
93.95232 [8.484955]*
31.92749 [5.940526]*
49332.85 [0.739656]
‐92320204 [‐2.879805]*
‐56.10133 [‐1.571282]
‐19765.07 [‐0.483472]
0.931768
PDRB SUMBAR
48446139 [4.881043]*
‐2.99 [‐5.461704]*
‐7.411119 [‐1.029101]
7.488481 [1.269665]
11638.18 [0.816538]
37282342 [9.554305]*
19.16047 [7.224861]*
52028.78 [5.879589]*
0.977583
PDRB JABAR
19511188 [4.679132]*
‐1.61 [‐2.762422]*
2.371137 [4.369298]*
6.440814 [9.321758]*
23875.58 [1.312913]
‐3126972 [‐1.569675]
15.42267 [4.636356]*
26077.96 [5.846784]*
0.969639
PDRB JATENG
80083775 [5.921857]*
3.10 [1.596173]
28.73392 [2.749915]*
1.452621 [1.986296]*
59080.83 [0.285826]
‐1446984 [‐0.526653]
‐61.46972 [‐2.060851]*
77493.51 [2.276265]*
0.797488
PDRB JATIM
‐3408551 [‐0.137460]
‐1.68 [‐5.891999]*
‐4551049 [‐1.039854]
‐279.5028 [‐21.11683]*
‐179449.0 [‐1.866400]
‐4.81 [‐8.830301]*
90.33659 [1.069901]
‐76803.34 [‐1.821887]
0.975804
PDRB KALSEL
6670756 [2.569041]*
15981352 [0.758957]
37.63395 [6.635804]*
153.5267 [2.710104]*
‐4001.455 [‐0.313112]
‐20379667 [‐3.724032]*
107.5470 [2.383718]*
42745.26 [5.980605]*
0.983524
PDRB SULSEL
3996927 [0.501565]
‐10248326 [‐0.470845]
10.05903 [4.262631]*
‐42.64467 [‐26.10672]*
‐9012.293 [‐0.506946]*
‐198678.0 [‐0.016143]
‐10.55560 [‐0.361706]
5700.991 [0.755078]
0.979822
PDRB SULTENGG
50918989 [10.08507]*
‐49354788 [‐2.159099]
13.76099 [2.751862]*
3.395489 [1.158551]
2630.139 [0.361537]
‐61306032 [‐8358618]*
9.602220 [0.948249]
4060.107 [1.603850]
0.919744
PDRB NTT
‐2371012 [‐2.198461]*
19145443 [3.142124]*
20.62747 [2.723747]*
‐77.07939 [‐3462062]*
21333.43 [1.649770]
1714723 [0.928862]
336.6565 [1.289707]
‐3066.107 [‐1.012312]
0.907998
Sumber: Hasil Olahan Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, * signifikan pada level 5%
Faktor lain yang menyebabkan bencana berpengaruh positif terhadap PDRB adalah bantuan dari luar negeri terhadap daerah bencana. Bantuan luar negeri disalurkan kepada daerah bencana untuk membantu pemulihan daerah bencana. Dalam buku Kemitraan Australia Indonesia Untuk Rekonstruksi Dan Pembangunan menyatakan bahwa, bantuan yang diberikan dapat berupa obat, makanan, pembangunan fasilitas umum, dan pelatihan kepada perangkat pemerintahan. Bantuan luar negeri ini dilakukan oleh Australia saat terjadi bencana gempa tahun 2004 yang telah menghancurkan Aceh.
Sementara pengaruh negatif bencana terhadap PDRB diduga karena bencana telah merusak berbagai infrastruktur seperti infrastruktur publik, aset individu (rumah, lahan pertanian), dan pabrik yang memiliki banyak karyawan. Kerusakan ini memicu rendahnya output yang dihasilkan oleh daerah bencana sehingga akan berdampak pada penurunan PDRB. Temuan ini didukung oleh studi Doyle dan Noy (2013) yang menyatakan bahwa kedua gempa yang terjadi di New Zealend menurunkan pertumbuhan GDP riil. Ini juga sejalan dengan studi Rasmussen (2004) bahwa bencana alam yang terjadi di Eastern Caribbean Currency Union (ECCU) telah menurunkan pertumbuhan GDP riil sebesar 2,2%.
Pada hasil estimasi terlihat bahwa rumah rusak memberikan pengaruh berbeda pada PDRB daerah bencana. Pengaruh positif terjadi karena kerusakan rumah pasca bencana diikuti oleh pembangunan rumah‐rumah baru untuk pemukiman penduduk. Bencana gempa bumi tahun 2009 di Sumatera Barat mendapat bantuan dari luar negeri dan BNPB untuk membuat perumahan penduduk. Pembangunan ini meningkatkan kegiatan ekonomi sehingga PDRB meningkat. Sementara itu pengaruh negatif rumah rusak terhadap PDRB di Jawa Tengah karena proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan Jawa Tengah didanai dari APBD dan APBN sehingga mengurangi PDRB.
Hasil estimasi SUR PDRB menunjukkan di provinsi Aceh, dan Sumatera Utara variabel konsumsi pemerintah mempengaruhi positif dan signifikan. Sedangkan di provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Timur konsumsi pemerintah mempengaruhi PDRB secara negatif. Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTT tidak terdapat pengaruh antara konsumsi pemerintah terhadap PDRB. Pengaruh positif konsumsi pemerintah terhadap PDRB diduga karena pasca bencana pemerintah melakukan konsumsi yang lebih besar untuk penanggulangan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
31
bencana. Hal ini didukung oleh temuan Grenberg et al (2007) menyimpulkan bahwa terdapat cost dan benefit yang ditimbulan oleh penanganan bencana seperti engineered structure, penggunaan lahan dan perencanaan fasilitas, proses evakuasi dan relokasi, serta recovery dan restorasi.
Konsumsi pemerintah juga memberikan pengaruh positif terhadap PDRB karena setiap pengeluaran yang dilakukan pemerintah sebagai konsumsi pemerintah akan meningkatkan kegiatan perekonomian. Temuan ini didukung oleh Rustiono (2008) menyatakan bahwa konsumsi pemerintah, investasi swasta dan angkatan kerja berpengaruh positif terhadap PDRB di Jawa Tengah. Sementara itu, jika pengalokasian konsumsi pemerintah tidak digunakan secara proporsional untuk kepentingan publik maka konsumsi tersebut bisa tidak berpengaruh terhadap PDRB.
Pengaruh positif konsumsi rumah tangga terjadi karena konsumsi rumah tangga merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sektor rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga meningkatkan kegiatan perekonomian sehingga PDRB meningkat. Sementara itu pengaruh negatif konsumsi rumah tangga terhadap PDRB diduga karena peningkatan konsumsi barang impor sehingga keuntungan dari transaksi ekonomi tidak terhitung sebagai PDRB. Peningkatan konsumsi ini dapat memicu inflasi. Sementara itu, inflasi memiliki dampak negatif terhadap PDRB. Temuan ini mendukung studi yang dilakukan oleh Salian dan Gopakur (1‐28) bahwa inflasi memiliki hubungan negatif terhadap PDRB. Goncangan pada inflasi sangat mempengaruhi PDRB dari pada goncangan yang terjadi pada PDRB terhadap inflasi.
Pada hasil estimasi menunjukkan bahwa pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di Indonesia‐10 kecuali provinsi Sumatera Barat dan Jawa Timur. Selain itu, pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan di provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Pengangguran ini berdampak negatif karena besarnya jumlah pengangguran dapat mengurangi output yang terbentuk dalam perekonomian serta meningkatkan dependency ratio. Seharusnya penduduk usia produktif dapat meningkatkan output perekonomian dengan bekerja produktif. Namun jika banyak pengangguran maka output yang seharusnya optimal tidak dapat dicapai sehingga berdampak pada PDRB.
Sementara itu migrasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Pengaruh positif migrasi ini disebabkan karena banyak orang ingin tinggal dan bekerja didaerah dengan PDRB tinggi. Daerah dengan PDRB tinggi cenderung memiliki upah minimum lebih tinggi dari pada daerah dengan PDRB rendah. Pada umumnya migrasi terjadi disebabkan adanya keinginan pelaku ekonomi untuk merubah pendapatan dan kesejahteraan menjadi lebih meningkat. Daerah dengan PDRB tinggi memikat pelaku ekonomi yang dari daerah berpendapatan rendah.
Studi juga menemukan pengaruh berbeda bencana terhadap konsumsi pemerintah di provinsi yang berbeda. Bencana berpengaruh positif dan secara statistik signifikan terhadap konsumsi pemerintah pada provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sebaliknya, bencana menunjukkan pengaruh negatif tidak signifikan terhadap konsumsi pemerintah provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan NTT. Sementara itu, di provinsi Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan bencana berpengaruh positif tidak signifikan. Pengaruh positif bencana terhadap konsumsi pemerintah juga ditemukan oleh Fuente (2010) dimana dalam kurun waktu 1998‐2008 konsumsi pemerintah Nepal dan Meksiko meningkat untuk penanggulangan pasca bencana guna rehabilitasi, rekonstruksi dan emergency responses. Di negara Nepal 57% dari konsumsi digunakan untuk penanggulangan pasca bencana. Nepal dan Meksiko mengeluarkan biaya post disaster lebih besar dari biaya pre disaster. Sementara Kolombia mengeluarkan biaya pre disaster yang lebih besar dari biaya post disaster.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
32
Tabel 4. Estimasi sistem SUR Konsumsi Pemerintah (SUR_CGOV)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constanta Pengangguran (UN)
Migrasi (MIG)
Inflasi (INF)
Konsumsi RT (CRT)
Rumah Rusak (RS)
PDRB
Bencana (SUM)
CGOV ACEH
‐0.142819 [‐1.830155]
‐4.16 [‐1.225810]
1.42 [1.808631]
‐0.001808 [‐4.211791]*
0.857092 [4.448496]*
‐3.98 [‐2.293388]*
2.05 [1.118110]
0.006910 [3.458371]*
0.760012
CGOV SUMUT ‐0.051316 [‐3.888543]*
‐2.70 [‐1.707668]
‐2.39 [‐0.359568]
‐5.75 [‐1.025656]
0.166558 [6.174997]*
4.55 [1.276302]
4.68 [4.282679]*
0.000110 [2.763106]*
0.918500
CGOV SUMBAR
0.170249 [44.30764]*
‐8.01 [‐6.914246]*
4.74 [4.420455]*
4.55 [1.428435]
0.075923 [7.330512]*
3.65 [4.648206]*
‐‐1.60 [‐5.411622]*
4.63 [1.687003]
0.966898
CGOV JABAR 0.082426 [19.68041]*
1.06 [0.591625]
7.64 [2.508839]*
5.42 [1.248657]
‐0.007477 [‐1.328133]
3.26 [2.839970]*
‐1.52 [‐3.933903]*
7.05 [5.377528]*
0.200004
CGOV JATENG 0.009827 [0.969263]
3.47 [7.044364]*
2.23 [6.688049]*
‐0.000263 [‐2426416]
0.056680 [3.989887]*
‐1.21 [‐0.066251]
1.07 [1.250317]
7.92 [5.912873]*
0.925083
CGOV JATIM
0.039672 [4.310906]*
‐3.26 [‐21.762906]
‐‐8.35 [‐6.857287]*
‐7.08 [‐2.138115]*
‐0.187724 [‐7.208827]*
3.08 [0.802289]
‐2.09 [‐4.211333]*
‐2..52 [‐1.432932]
0.831330
CGOV KALSEL 0.088269 [6.084775]*
1.48 [3.624056]*
2.23 [1.302882]
0.000239 [2.674185]*
‐0.055890 [‐1.338098]
6.27 [2.655342]*
3.19 [0.338153]
5.91 [1.053567]
0.835334
CGOV SULSEL 0.180737 [4.229729]*
7.61 [5.425609]*
‐7.07 [‐1.512844]
‐0.000259 [‐2.484803]*
‐0.108358 [‐1.450330]
4.34 [2.747074]*
‐1.28 [‐1.252458]
‐7.10 [‐1.552451]
0.784608
CGOV SULTENGG
0.192896 [3.079181]*
‐3.40 [‐0.752602]
‐6.84 [‐0.313774]
‐1.24 [‐0.245628]
0.055834 [0566001]
2.27 [2.887773]*
‐1.52 [‐1.186878]
‐4.26 [‐1.932181]
0.674124
CGOV NTT
0.092852 [4.233237]*
8.29 [54.900193]*
‐1.65 [‐2.862484]*
‐0.000604 [‐2.569658]*
‐0.166974 [‐4.142290]*
‐6.85 [‐0.831606]*
5.22 [1.585860]
‐3.32 ‐0.040566
0.918804
Sumber: Data diolah Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, *signifikan pada level 5%
Pengaruh rumah rusak terhadap konsumsi pemerintah adalah positif di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Namun di provinsi Aceh dan NTT rumah rusak berpengaruh negatif dan signifikan. Rumah rusak memberikan pengaruh positif terhadap konsumsi pemerintah karena diduga pemerintah berkonsumsi lebih besar dari sebelumnya untuk penanggulangan bencana. Hal ini didukung oleh Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana bahwa penanggulangan bencana berasal dari dana APBN, APBD, dan masyarakat. Selain itu pemerintah menyediakan pula sejumlah dana untuk bencana berupa dana kontinjensi yaitu dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan bencana, dana siap pakai yaitu dana untuk kondisi tanggap darurat bencana sampai batas waktu darurat, dan dana bantuan sosial berpola hibah yaitu dana hibah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk penanggulangan pasca bencana.
Pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi pemerintah di provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan NTT. Pengaruh positif pengangguran terhadap pemerintah disebabkan karena pemerintah selalu melakukan konsumsi rutin untuk biaya sarana dan prasarana umum. Jika banyak masyarakat yang menganggur atau bisa disebut tidak memiliki konstribusi terhadap PRDB maka konsumsi pemerintah tetap akan bertambah karena biaya rutin yang dikeluarkan untuk pelayanan masyarakat.
Variabel selanjutnya adalah migrasi, dari hasil estimasi SUR menunjukkan bahwa migrasi berpengaruh negatif dan signifikan pada konsumsi provinsi Jawa Timur dan NTT, sedangkan pada provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah migrasi berpengaruh positif dan signifikan. Dampak positif migrasi terhadap konsumsi pemerintah disebabkan orang yang bermigrasi adalah orang yang produktif. Sementara jika yang bermigrasi tidak produktif ini akan berdampak negatif terhadap konsumsi pemerintah.
Sementara itu, inflasi berpengaruh positif terhadap konsumsi pemerintah di provinsi Kalimantan Selatan. Sebaliknya, di provinsi Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan NTT inflasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi pemerintah. Pengaruh negatif inflasi terhadap konsumsi pemerintah karena peningkatan konsumsi pemerintah berdampak pada peningkatan roda perekonomian sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. Pendapatan meningkat mendorong daya beli masyarakat sehingga inflasi akan turun. Temuan ini didukung oleh studi Surjaningsih et al (2012) bahwa penurunan inflasi akibat peningkatan konsumsi pemerintah merupakan multiplier effect untuk investasi, seperti
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
33
pembangunan infrastruktur akan memperlancar distribusi barang dan jasa sehingga dapat menekan inflasi.
PDRB berpengaruh positif terhadap konsumsi pemerintah di provinsi Sumatera Utara, tetapi diprovinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Timur PDRB berpengaruh negatif terhadap konsumsi pemerintah. Pengaruh positif PDRB terhadap konsumsi pemerintah karena konsumsi pemerintah menciptakan stimulasi tambahan bagi tambahan output rumah tangga. Temuan ini juga didukung oleh Surjaningsih et al (2012) bahwa guncangan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB sementara guncangan pajak berdampak negatif terhadap PDB. Pengaruh yang lebih dominan dari pengeluaran pemerintah dari pada pajak bisa menstimulasi perekonomian terutama dalam kondisi resesi.
Konsumsi rumah tangga juga berpengaruh terhadap konsumsi pemerintah yaitu pengaruhnya positif dan signifikan pada provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah. Sementara itu pada provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan NTT konsumsi rumah tangga berpengaruh negatif dan signifikan. Peningkatan konsumsi rumah tangga mendorong permintaan yang besar atas barang dan jasa sehingga produksi barang dan jasa juga akan meningkat. Peningkatan produksi barang dan jasa selanjutnya akan meningaktkan PDRB. Peningkatan PDRB dapat menunjang konsumsi pemerintah yang lebih baik lagi. Temuan ini juga disimpulkan oleh Shandra (2012) bahwa konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah secara bersama‐sama meningkatkan PDRB Sumatera Barat.
Analisis selanjutnya adalah konsumsi rumah tangga yang diperlihatkan pada tabel 5.5, terlihat bahwa bencana memberikan dampak berbeda‐beda terhadap konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga memberikan pengaruh negatif signifikan di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Timur sedangkan di provinsi Kalimantan Selatan bencana berdampak positif signifikan. Dampak bencana terhadap konsumsi rumah tangga di provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan provinsi Sulawesi Selatan adalah negatif tidak signifikan sedangkan terhadap provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tenggara dan NTT adalah positif tidak signifikan.
Tabel 5. Estimasi sistem SUR Konsumsi Rumah Tangga (SUR_CRT)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constant Konsumsi Pemerintah (CGOV)
Pengangguran (UN)
Migrasi (MIG)
Inflasi (INF)
Rumah Rusak (RS)
PDRB Bencana (SUM)
CRT ACEH
0.250180 [5.293332]*
0.578008 [4.465191]*
1.05 [6.088056]*
6.72 [1.057641]
0.000734 [1.694067]
7.06 [0.455693]
‐5.04 [‐4.202356]*
‐0.002129 [‐1.108996]
0.909622
CRT SUMUT
0.402810 [12.25085]*
2.922035 [5.651067]*
2.70 [3.766043]*
6.53 [2.017942]*
0.000451 [1.729081]
‐3.88 [‐.2.315342]*
‐1.52 [‐2.521591]*
‐0.000510 [‐2.906154]*
0.801593
CRT SUMBAR
‐1.454757 [‐6.952951]*
8.808058 [7.701308]*
4.09 [2.542089]*
‐4.40 [‐3.757512]*
‐0.000496 [‐1.533835]
‐4.53 [‐58.153405]*
2.14 [9.816575]*
‐0.000981 [‐3.940601]*
0.884560
CRT JABAR
0.573913 [1.237616]
‐4.672777 [‐0.800283]
1.13 [2.308697]*
1.65 [1.724766]
0.001298 [0.9440608]
‐7.69 [‐0.202844]
‐7.39 [‐0.546811]
1.66 [0.031718]
0.625846
CRT JATENG
0.325341 [4.065752]*
3.135418 [2.933066]*
9.83 [0.153544]
‐2.28 [‐0.540332]
0.000975 [1.117429]
‐2.57 [‐1.377461]
1.80 [‐0.248771]
‐0.000134 [‐0.718766]
0.676658
CRT JATIM
0.110804 [2.794757]*
‐3.467592 [‐7.327191]*
‐7.37 [‐0.000922]
‐4.54 [‐13770012]*
‐0.000301 [‐2.044658]*
1.18 [0.772299]
‐1.34 [‐7.888759]*
‐0.000162 [‐2.259355]*
0.958544
CRT KALSEL
0.353823 [8.884765]*
0.011780 [0.022405]
7.22 [3.917684]*
2.76 [4.892002]*
0.000409 [1.257142]
1.95 [1.758132]
‐1.50 [‐4.049403]*
0.000644 [2.497666]*
0.594695
CRT SULSEL
0.653140 [15.76432]*
‐0.772501 [2.406747]*
1.24 [3.526126]*
1.05 [0.951854]
0.000280 [1.170732]
5.72 [1.301645]
1.63 [0.690262]
‐0.000176 [‐1.639513]
0.418633
CRT SULTENGG
0.600357 [8.867361]*
0.170948 [0.585128]
2.19 [3.414251]*
‐5.16 [‐1.276349]
0.000136 [1.429959]
‐6.58 [‐0.468751]
‐9.27 [‐7.307381]*
8.81 [0.253066]
0.860100
CRT NTT
0.348345 [5.718161]*
‐2.010536 [‐3.968061]*
2.18 [3.321355]*
‐1.08 [‐7.321532]*
‐0.002138 [‐2.570655]*
‐23.44 [‐1.364814]
‐834 [‐0.723943]
4.97 [0.184156]
0.760572
Sumber: Data diolah Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, * signifikan pada level 5%
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
34
Bencana berskala besar menyebabkan terjadi goncangan konsumsi rumah tangga akibat goncangan produksi saat bencana. Gempa bumi 2009 di Sumatera Barat dan semburan lumpur lapindo di Jawa Timur telah menyebabkan konsumsi rumah tangga negatif saat terjadi bencana. Lain hal dengan provinsi Kalimantan Selatan banjir tahunan dan kebakaran hutan yang telah biasa terjadi di Kalimantan Selatan bukan lagi bencana yang asing bagi masyarakat karena mereka tiap tahun merasakannya oleh sebab itu bencana berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga di Kalimantan Selatan.
Bencana mengakibatkan rumah rusak sehingga berdampak pada konsumsi rumah tangga. Dampak rumah rusak negatif terhadap rumah tangga terjadi di provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Banyak rumah yang rusak di Sumatera Barat menyebabkan konsumsi rumah tangga terguncang. Kerusakan rumah dan aset pribadi lainnya menyebabkan persedian pendapatan mereka menjadi berkurang. Belum lagi kelangkaan barang pasca bencana menyebabkan tingkat inflasi di daerah bencana meningkat. Ini terlihat paada hasil estimasi pengaruh inflasi terhadap konsumsi rumah tangga diprovinsi Jawa Timur dan NTT.
Ketika konsumsi rumah tangga berkurang didaerah bencana maka pemerintah akan meningkatkan konsumsinya untuk tanggap darurat bencana serta proses mitigasi bencana agar dampak bencana dapat diatas. Hal ini terlihat pada hasil estimasi konsumsi pemerintah berpengaruh positif dan signifikan pada provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah terhadap konsumsi rumah tangga. Selanjutnya PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi rumah tangga di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Namun diprovinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara PDRB berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga.
Pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi rumah tangga pada setiap provinsi kecuali provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur pengangguran tidak berpengaruh signifikan. Pengangguran akan membebankan keluarga mereka yang menjadi tenaga kerja produktif. Karena hal itu konsumsi rumah tangga meningkat. Temuan ini didukung oleh penelitian tim evaluasi PNPM Indonesia dengan proyek pengembangan Kecamatan menyimpulkan bahwa desa kecamatan yang mengikuti proyek pengembangan mengalami peningkatan konsumsi rumah tangga sementara kecamatan yang tidak mengikuti proyek mengalami peningkatan pengangguran sebesar 1,5%. Ini juga membuktikan bahwa konsumsi pemerintah berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga.
Selanjutnya Migrasi berpengaruh negatif dan signifikan pada provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, dan NTT sedangkan pada provinsi Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan berpengaruh positif dan signifikan. Pengaruh migrasi yang positif terhadap konsumsi rumah tangga diduga para pelaku migrasi merupakan pekerja produktif sehingga saat mereka bermigrasi kedaerah yang lebih baik maka pendapatan mereka akan meningkat. Peningkatan pendapatan memicu meningkatnya konsumsi rumah tangga. Sebaliknya pengaruh negatif migrasi terhadap konsumsi rumah tangga diduga karena pelaku migrasi bukan pekerja produktif.
Tabel 6 memperlihatkan bencana berpengaruh negatif terhadap pengangguran di provinsi Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, artinya peningkatan intensitas bencana akan meningkatkan pengangguran. Hal ini terjadi diduga karena kondisi bencana akan menyebabkan banyak kerusakan yang akan mengganggu kegiatan perekonomian. Kerusakan akibat bencana seperti bencana lumpur lapindo, tsunami Aceh telah melumpuhkan kegiatan perekonomian disana sehingga banyak pengangguran pasca bencana. Dalam jangka pendek pengangguran akan terus bertambah, namun setelah proses recovery kawasan bencana berjalan maka jumlah pengangguran dapat berkurang seiring telah diperbaikinya infrastruktur daerah bencana. Rumah rusak akibat bencana akan menciptakan lapangan kerja bagi buruh bangunan.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
35
Tabel 6. Estimasi sistem SUR Pengangguran (SUR_UN)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constanta Konsumsi Pemerintah (CGOV)
Migrasi (MIG)
Inflasi (INF)
Konsumsi RT (CRT)
Rumah Rusak (RS)
PDRB
Bencana (SUM)
UN ACEH
‐137769.7 [‐3.388722]*
‐16320.54 [‐0.145886]
‐0.123849 [‐3.198520]*
‐154.4926 [‐0.502766]
490867.6 [5.679119]*
0.146664 [0.144318]
0.003713 [4.152710]*
250.1323 [0.194736]
0.906430
UN SUMUT
‐600817.5 [‐6231804]*
‐2414435 [‐2.016671]*
‐0.333556 [‐10.42725]*
‐553.2410 [‐1.054209]
808980.8 [3.007141]*
0.817325 [2.858048]*
0.006862 [9.394379]*
93.93049 [0.302616]
0.947456
UN SUMBAR
1293437 [7.442912]*
‐7599855 [‐7.330049]*
0.333315 [3.395755]*
1613014 [383596]
383596.5 [3.099747]*
0.053011 [0.691811]
‐0.005856 [‐1.7668743]
146.5608 [0.668502]
0.850525
UN JABAR
‐419294.1 [‐0.358817]
‐12862795 [‐0.871041]
‐0.836481 [‐3.860435]*
‐3631.538 [‐0.796372]
1476994 [3.930075]*
‐2.490322 [‐2.742113]*
0.142159 [5.204994]*
‐774.6664 [‐0.633736]
0.841253
UN JATENG
‐799944.2 [‐3.862111]*
10564118 [4.910648]*
‐0.045174 [‐6.266169]*
3053.778 [1.388439]
138857.3 [0.388841]
‐0.056192 [‐1.115374]
0.004962 [2.890237]*
‐1032.302 [‐2.698298]*
0.883054
UN JATIM
‐1147074 [‐1.136943]
‐26044750 [‐1.773699]
‐1.592396 [‐0.942683]
‐3135.476 [‐0.979983]
2096832 [0.579619]
4.870048 [1.311877]
‐0.006450 [‐1.132824]
261.4799 [0.165236]
0.644952
UN KALSEL
‐207966.3 [‐4.474435]*
1144879 [2.969676]*
‐2.321183 [‐6.059209]*
‐273.3995 [‐1.080806]
357149.3 [3.062462]*
‐1.803247 [‐2.051709]*
0.013562 [6.122348]*
‐512.1580 [‐2.992922]*
0.873026
UN SULSEL
‐1596786 [‐4.952827]*
4517297 [5.233673]*
0.941401 [2,785049]*
1130559 [0.120402]
1740358 [3.212148]*
0.452905 [0.319438]
0.026066 [3.716292]*
101.6634 [0.292059]
0.829449
UN SULTENGG
‐515900.5 [‐2.520706]*
‐516022.5 [‐0.868787]
0.136895 [1.734923]
‐379.0512 [‐1.845128]
1006428 [3.565930]*
‐0.0105050 [‐0.3824402]
0.010918 [2.919417]*
‐20.84818 [‐0.295581]
0.447273
UN NTT
‐43283.53 [‐2.461874]*
586118.3 [6.245867]*
1.679006 [4.151662]*
301.4332 [1.542286]
93383.04 [3.345034]*
14.09505 [2.480354]*
0.004974 [2,200476]*
‐50.44873 [‐0.866112]
0.893792
Sumber: Data diolah Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, * signifikan pada level 5%
Sementara itu konsumsi pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran di provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan NTT. Sementara itu diprovinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat konsumsi pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran. Peningkatan konsumsi pemerintah akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa serta proses produksi sehingga penyerapan tenaga kerja pun meningkat. Disamping itu pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pelatihan dan pengembangan masyarakat pengangguran agar memiliki pekerjaan. Namun hal ini bertolak belakang dengan studi yang dilakukan Rimdani (2012) bahwa program penanggulangan pengangguran yang menyebabkan kemiskinan meningkat di kota Padang tidak efektif berjalan. Ini terjadi karena setelah program pelatihan dilakukan tidak ada tindak lanjut setelah itu. Hasil studi ini mendukung pengaruh negatif signifikan konsumsi pemerintah terhadap pengangguran.
Migrasi memberikan pengaruh negatif dan signifikan diprovinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sementara itu di Sumatera Barat. Sulawesi Selatan dan NTT migrasi berpengaruh positif signifikan terhadap pengangguran. Migrasi yang terjadi di diduga dilakukan oleh pekerja tidak produktif sehingga setelah sampai di daerah tujuan migrasi mereka hanya meningkatkan pengangguran. Lain hal dengan migrasi yang terjadi ke provinsi Aceh, pasca tsunami banyak lowongan pekerjaan di provinsi Aceh sehingga orang yang bermigrasi kesana tidak akan meningkatkan jumlah pengangguran di Aceh.
Konsumsi rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan disemua provinsi kecuali di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak terdapat pengaruh signifikan. Pengaruh positif konsumsi rumah tangga terjadi karena anggota keluarga yang produktif dirumah tangga harus membiayai anggota keluarga pengangguran sehingga konsumsi rumah tangga meningkat. Temuan ini mendukung studi yang dilakukan oleh Adriana dan Karmini tentang konsumsi rumah tangga bahwa konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga dan pendapatan.
Selanjutnya dari tabel 5.6 terlihat bahwa PDRB memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran pada setiap provinsi kecuali provinsi Jawa Timur dan Sumatera Barat. Pengaruh positif ini diduga karena peningkatan PDRB tidak diikuti dengan peningkatan lapangan kerja sehingga. Sementara itu pengaruh negatif PDRB terhadap pengangguran terjadi karena pemerintah
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
36
mengalokasikan PDRB untuk membuka lapangan kerja baru sehingga pengangguran bisa bekerja. Temuan ini menudkung studi yang dilakukan oleh Dharmayanti (2011).
Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan tingkat inflasi tidak berpengaruh terhadap pengangguran di Indonesia‐10. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan Alghofari (2010) bahwa inflasi memiliki hubungan yang lemah terhadap pengangguran. Namun menurut kurva Philips inflasi dan pengangguran memiliki hubungan negatif. Kasus inflasi di Indonesia disebabkan oleh kenaikan harga barang bukan oleh kenaikan permintaan akibat permintaan upah yang tinggi, Oleh karena itu teori kurva Philips tidak berlaku di Indonesia.
Sebagaimana lazimnya, kejadian bencana berpengaruh positif signifikan terhadap rumah rusak pada provinsi Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan NTT. Fakta ini artinya semakin banyak bencana yang terjadi maka rumah rusak akan semakin banyak pula. Sementara itu, terhadap provinsi Sumatera Barat dan Jawa Barat bencana berpengaruh negatif signifikan terhadap rumah rusak. Kerusakan rumah ini akan diiringi oleh kerusakan infrastruktur lainnya seperti jembatan, sekolah, rumah sakit, lahan pertanian.
Tabel 7. Estimasi sistem SUR Rumah Rusak (SUR_RS)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constanta Konsumsi Pemerintah (CGOV)
Pengangguran (UN)
Migrasi (MIG)
Inflasi (INF)
Konsumsi RT (CRT)
PDRB Bencana (SUM)
RS ACEH
‐4238618 [0.550793]
‐34290.94 [‐1931946]
‐0.022524 [‐0.722293]
‐0.003587 [‐0.465897]
‐194.0878 [‐4.687822]*
4799.437 [0.207457]
0.000193 [1.114480]
1177.330 [20.03775]*
0.961113
RS SUMUT
52579.65 [0.878587]
828613.3 [1.523886]
0.075300 [1.169692]
0.017367 [0.642854]
211.3692 [0.929308]
‐118455.7 [‐0.880667]
‐0.000848 [1.648183]
220.4098 [1.497562]
0.279755
RS SUMBAR
‐1547694 [‐3.686904]*
9437076 [3.929293]*
0.235093 [0.814603]
‐0.411530 [‐1.847070]
‐‐660.1716 [‐1.167290]
‐1435109 [‐8.872368]*
0.0034611 [7.773625]*
‐2053.309 [‐5.181463]*
0.774525
RS JABAR
‐‐742792.2 [‐4.105995]*
7263663 [2.970353]*
‐0.020297 [‐0.815087]
‐0.053187 [‐1.182526]
‐1042.966 [‐1.553924]
‐91659.27 [‐1.168452]
0.023560 [4.940130]*
‐1030.276 [‐5.631583]*
0.668480
RS JATENG
75068.25 [0.882293]
688874.8 [0.625463]
0.029008 [0.497270]
0.001200 [0.304616]
11.99204 [0.017468]
‐128577.6 [‐0.887017]
‐0.000635 [‐1.044103]
172.0312 [1.094444]
0.225821
RS JATIM
8943.819 [0.211547]
396220.1 [0.599726]
0.007542 [1.027249]
0.034559 [0.485248]
53.33464 [0.360945]
25420.94 [0.184767]
9.69 [0.382200]
186.5179 [3.165345]*
0.450576
RS KALSEL
‐15355.72 [‐1.5576816]
38855.90 [0.611199]
‐0.069420 [‐2.894323]*
‐0.298810 [‐3.463816]*
‐33.98628 [‐0.746112]
39934.74 [1.771729]
0.001676 [3.375042]*
‐46.51724 [‐1.391930]
0.275648
RS SULSEL
‐58824.18 [‐1.659442]
255344.6 [3.586621]*
‐0..10468 [‐1.009873]
0.026100 [1.028753]
171.9137 [2.228405]*
42838.46 [0.754132]
0.000618 [1.105274]
‐0.989149 [‐0.037713]
0.369936
RS SULTENGG
‐227866.6 [‐2.077556]*
1349535 [4.805271]*
‐0.008203 [‐0.102097]
0.000948 [0.022049]
‐36.83801 [‐0.361408]
‐11.5375.0 [‐0.707549]
0.001886 [0.865749]
95.45331 [2.530415]*
0.344897
RS NTT
557.1977 [1.449217]
‐1566.798 [‐0.636974]
0.008244 [3.046859]*
0.000428 [0.040173]
‐1.9220322 [‐0.389292]
‐449.5342 [‐0.756521]
‐3.70 [‐0.623184]
8.543924 [15.24012]*
0.786749
Sumber: Data diolah Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, * Signifikan pada level 5%
Konsumsi pemerintah berpengaruh positif terhadap rumah rusak di provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. In terjadi karena pemerintah pusat dan daerah melakukan proses penanggulangan bencana untuk mengurangi dampak lebih luas pasca bencana. Peningkatan konsumsi pemerintah biasanya diiringi oleh peningkatan konsumsi rumah tangga namun hasil estimasi menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga berpengaruh negatif terhadap rumah rusak di Sumatera Barat. Ini terjadi diduga karena jumlah rumah rusak yang harus di bangun ulang sangat banyak saat gempa tahun 2009 sehingga alokasi dana untuk konsumsi rumah tangga selain untuk perumahan menjadi berkurang.
Selanjutnya pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan diprovinsi Kalimantan Selatan dan berpengaruh positif signifikan di provinsi NTT. Provinsi Kalimantan Selatan mengalami bencana tahunan seperti banjir pada musim hujan dan kebakaran hutan pada musim kemarau. Bencana yang rutin terjadi menyebabkan masyarakat telah beradaptasi terhadap hal tersebut sehingga rumah rusak akibat bencana tidak menyebabkan pengangguran bertambah.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
37
Studi juga menemukan pengaruh konsumsi pemerintah terhadap migrasi. Konsumsi berpengaruh positif dan signifikan terhadap migrasi pada provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sementara itu diprovinsi Jawa Timur dan NTT konsumsi pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap migrasi. Selanjutnya pengangguran berdampak positif signifikan terhadap migrasi pada provinsi Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan NTT. Namun diprovinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Aceh berpengaruh negatif dan signifikan. Konsumsi rumah tangga dan PDRB juga terdapat pengaruh positif dan negatif terhadap migrasi yaitu pada PDRB Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Tabel 5.8. Estimasi sistem SUR Migrasi (SUR_MIG)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constanta Konsumsi Pemerintah (CGOV)
Pengangguran
(UN)
Inflasi (INF)
Konsumsi RT (CRT)
Rumah Rusak (RS)
PDRB
Bencana (SUM)
MIG ACEH
85069.19 [0.433785]
242634.7 [0.489063]
‐2.170290 [‐3.101152]*
‐736.7953 [‐0.534439]
523451.8 [0.870682]
‐3.013837 [‐0.668054]
7.98 [0.017890]
2493.849 [0.434931]
0.637561
MIG SUMUT
‐1026415 [‐3.697447]*
‐572074.5 [‐0.192684]
‐1.779399 [‐9.434906]*
‐1567.416 [‐1.207568]
627888.7 [0.893664]
1.443807 [.010704]*
0.011180 [5.060651]*
‐609.8815 [‐0.800048]
0.810649
MIG SUMBAR
‐1316401 [‐7.198321]*
6688234 [5.836484]*
0.492114 [3.230417]*
‐999.3520 [‐2.585596]*
‐514207.1 [‐4.408084]*
‐0.216761 [‐3.025584]*
0.001005 [0.298401]
221.8736 [0.973119]
0.883736
MIG JABAR
‐1346834 [‐3.106040]*
13767357 [2.466154]*
‐0.217746 [‐3.828893]*
‐1682.425 [‐0.697304]
522403.4 [2.935902]*
‐0.326590 [‐0.741371]
0.092813 [9.884300]*
‐1205.423 [‐2.623377]*
0.886225
MIG JATENG
‐9312695 [‐2.885557]*
1.48 [4.583359]*
‐10.06706 [‐6.551912]*
18110.64 [0.548106]
‐4881137 [‐0.983153]
‐10.14249 [‐1.521071]
0.057182 [2.232758]*
‐15498.88 [‐2.820278]*
0.640567
MIG JATIM
22702.94 [0.271755]
‐‐7646066 [‐9 059277]*
‐0.028838 [‐1.961457]
‐768.4745 [‐2.468285]*
‐1690909 [‐13.27032]*
‐0.023241 [‐0.082443]
‐0.003305 [‐18.52318]*
‐2.94.1744 [‐2.533051]*
0.991379
MIG KALSEL
‐58166.88 [‐4.270002]*
181168.1 [1.621698]
‐0.235453 [‐6.892326 ]*
‐34.46029 [‐0.457583]
137047.6 [4.708551]*
‐‐0.664518 [‐2.748309]*
0.005315 [15.93137]*
‐235.8874 [‐4.670070]*
0.970834
MIG SULSEL
‐43527.05 [‐0.240027]
‐328536.2 [‐0.611314]
0.142690 [2.390467]*
‐391.0384 [‐0.990713]
170673.1 [0.609268]
0.157450 [0.223069]
‐0.021016 [‐24.12757]*
63.57074 [0.361745]
0.978823
MIG SULTENGG
110245.0 [0.308997]
‐935022 [‐0.917161]
0.394404 [1.380948]
661.4876 [1.517895]
248805.3 [0.505944]
0.272508 [0.593883]
0.018140 [2.648614]*
‐129.6926 [‐0.993255]
0.510100
MIG NTT
2172.439 [0.301999]
‐128887.3 [‐2.835246]*
0.196557 [3.879268]*
‐33.61875 [‐‐0.460943]
‐‐44517.38 [‐4.599189]*
‐0.408047 [‐0.179329]
‐0.002774 [‐3.277641]*
‐15.34552 [‐0.4859]
0.896362
Sumber: Data diolah Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, * signifiksn pada level 5%
Inflasi dan jumlah bencana berpengaruh negatif terhadap migrasi untuk provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan pada provinsi Sumatera Barat dan Jawa Timur berpengaruh positif. Selanjutnya adalah rumah rusak yang berpengaruh negatif terhadap migrasi pada provinsi Sumatera Utara, namun pada provinsi Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan rumah rusak berpengaruh positif terhadap migrasi. Rumah rusak dan bencana berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi. Konsumsi pemerintah berpengaruh signifikan positif pada provinsi Kalimantan Selatan dan berpengaruh negatif dan signifikan pada provinsi Aceh dan Sulawesi Selatan. Rumah rusak berpengaruh positif terhadap inflasi pada provinsi Aceh dan Sumatera utara. Begitu juga dengan bencana yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi pada provinsi Aceh.
Hasil estimasi pada tabel 9 menunjukkan bahwa pengangguran, konsumsi rumah tangga, dan PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi.Ketiga variabel ini tidak mempengaruhi inflasi karena telah ditanggulanginya kebutuhan darurat masyarakat yang terkena dampak bencana sehingga tidak terjadi kelangkaan, distribusi barang yang tidak lancar karena jalan dan infrastruktur lainnya rusak. Sehingga jelas bahwa penanganan darurat bencana sangat penting sebagai langkah awal untuk mengurangi dampak perekonomian pasca bencana.
Konsumsi pemerintah memberikan dampak positif di Kalimantan Selatan terhadap migrasi karena bencana di Kalimantan Selatan bukanlah bencana besar yang menyebabkan goncangan produksi yang berakibat terhadap goncangan konsumsi. Sehingga konsumsi pemerintah berdampak positif terhadap inflasi sedangkan di Aceh dan Sulawesi Selatan berdampak negatif artinya peningkatan konsumsi
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
38
pemerintah akan menekan inflasi. Terhindarnya daerah bencana dari kelangkaan kebutuhan pokok mereka menyebabkan konsumsi pemerintah berpengaruh negatif terhadap inflasi.
Tabel 9. Estimasi sistem SUR Inflasi (SUR_INF)
Variabel Coefficient [t‐statistik] R‐Squared
Constanta Konsumsi Pemerintah (CGOV)
Pengangguran (UN)
Migrasi (MIG)
Konsumsi RT (CRT)
Rumah Rusak (RS)
PDRB Bencana (SUM)
INF ACEH
‐19.36359 [‐0.659033]
‐217.4542 [‐3.923955]*
‐9.69 [‐0.855486]
1.49 [0.547259]
137.5258 [1.677834]
0.001994 [‐4.202931]*
5.04 [0.760535]
2.907268 [5.856095]*
0.735303
INF SUMUT
‐5.086409 [‐0.220318]
‐225.4295 [‐1.365756]
‐2.74 [‐1.273050]
‐1.30 [‐1.568037]
36.54567 [0.877675]
8.87 [2.270180]*
1.89 [0.904806]
‐0.036091 [‐0.709963]
0.080496
INF SUMBAR
‐61.69701 [‐0.614352]
403.,0499 [0.699053]
2.24 [0.362663]
‐5.95 [‐1.273644]
‐50.38784 [‐0.902449]
‐3.45 [‐1.095572]
3.65 [0.246911]
‐0.034631 [‐0.332942]
0.124058
INF JABAR
20.43776 [0.652410]
‐109.2809 [‐0.286670]
‐1.04 [‐0.286670]
‐5.07 [‐0.766429]
6.787050 [0.621356]
‐9.11 [‐0.386369]
1.88 [0.205874]
‐0.012805 [‐0.387368]
0.058173
INF JATENG
12.27034 [0.686971]
‐130.5525 [‐0.693225]
5,61 [0.552441]
1.58 [0.220005]
8.402006 [0.319221]
1.86 [0.051585]
8.68 [0.0.064472]
‐0.007183 [‐0.250749]
0.103500
INF JATIM
31.26807 [0.931131]
‐738.2612 [‐1.814088]
‐4.12 [‐0.544926]
‐7.18 [‐1.618616]
‐125.6020 [‐1393733]
9.12 [0.096510]
‐2.43 [‐1.562402]
‐0.042795 [‐0.950324]
0.130442
INF KALSEL
‐30.79783 [‐1.160577]
386.1285 [2.359589]*
‐3.88 [‐0.544926]
‐9.42 [‐0.369052]
46.86859 [0.754719]
‐0.000208 [‐0.541752]
‐3.34 [‐0.227379]
‐0.051276 [‐0.298279]
0.181276
INF SULSEL
19.97592 [0.298279]
‐386.1745 [ ‐2.177713]*
1.57 [0.718007]
‐4.43 [‐0.734704]
73.75136 [0.749182]
0.000469 [1.902936]
‐9.54 [‐0.726519]
0.007303 [0.124900
0.306396
INF SULTENGG
‐39.24461. [‐0.452548]
15.82702 [0.067287]
‐2.32 [‐0.380625]
2.72 [0.666184]
84.34310 [0.699422]
2.90 [0.026939]
‐7.13 [‐0.0.338015]
0.023990 [0.873551]
0.054315
INF NTT
32.83741 [2.590543]*
‐36.62658 [‐0.427404]
2.65 [0.244313]
0.000169 [0.516493]
‐25.35640 [‐1.147082]
‐0.001724 [‐0.429316]
1.52 [0.847336]
0.012013 [0.302460]
0.167890
Sumber: Data diolah Catatan: Dalam kurung adalah t statistik, *signifikan pada level 5%
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil estimasi dan analisis maka dapat disimpulkan bahwa bencana memberikan dampak yang berbeda‐beda terhadap PDRB di Indonesia‐10. Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan NTT memiliki dampak negatif tidak signifikan sedangkan provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara memiliki dampak positif tidak signifikan terhadap PDRB. Bencana berdampak positif signifikan terhadap PDRB di provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Hal ini terjadi karena poses rehabilitasi dan rekonstruksi di daerah bencana menyebabkan permintaan barang dan jasa meningkat sehingga proses produksi juga meningkat. Hal inilah yang menyebabkan PDRB meningkat saat terjadi bencana.
Bencana memberikan dampak yang berbeda‐beda terhadap konsumsi pemerintah. Dampak bencana terhadap konsumsi pemerintah di provinsi Sumatera Barat, dan Kalimantan Selatan adalah positif tidak signifikan sedangkan terhadap provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan NTT adalah negatif tidak signifikan. Namun bencana diprovinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah bencana memberikan dampak positif signifakan terhadap konsumsi pemerintah. Temuan ini terjadi diduga karena pemerintah meningkatkan konsumsinya untuk proses tanggap darurat bencana, selain itu dana untuk mitigasi bencana didapat dari sumbangan pusat kedaerah dan bantuan dari luar negeri.
Bencana memberikan dampak yang berbeda‐beda bagi konsumsi rumah tangga di Indonesia‐10. Konsumsi rumah tangga di provinsi Aceh, Sulawesi Tenggara dan NTT berdampak positif tidak signifikan terhadap bencana sedangkan terhadap provinsi Aceh dan Sulawesi Selatan berdampak
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
39
negatif tidak signifikan. Dampak bencana di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Timur adalah negatif signifikan, sementara itu provinsi Kalimantan Selatan berdampak positif signifikan terhadap bencana. Perbedaan ini diduga karena perbedaan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Jika berdampak besar maka dana untuk tanggap darurat bencana akan besar juga sehingga konsumsi rumah tangga akan meningkat.
Dampak bencana terhadap inflasi juga berbeda‐beda di Indonesia‐10. Dampak bencana di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan adalah negatif tidak signifikan sedangkan di provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan NTT bencana berdampak positif tidak signifikan terhadap inflasi. Hal berbeda terjadi di provinsi Aceh yaitu bencana berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi artinya ketika terjadi bencana tingkat inflasi di provinsi Aceh meningkat. Peningkatan inflasi saat bencana terjadi karena kerusakan infrastruktur akibat bencana menyebabkan kelangkaan barang pokok didaerah bencana sehingga memicu inflasi.
Dampak bencana terhadap pengangguran di Indonesia‐10 juga berbeda‐beda. Bencana berdampak positif tidak signifikan terhadap pengangguran di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan sedangkan terhadap provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, dan NTT berdampak negatif tidak signifikan. Sementara itu di provinsi Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan bencana memberikan dampak negatif signifikan terhadap pengangguran artinya bencana akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Dampak yang ditimbulkan bencana terhadap rumah rusak di provinsi Sumatera Utara dan Jawa Tengah adalah positif tidak signifikan sedangkan di provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan berdampak negatif tidak signifikan. Sementara itu bencana memberikan dampak positif signifikan terhadap rumah rusak diprovinsi Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan NTT artinya semakin banyak bencana terjadi diprovinsi tersebut maka semakin banyak pula rumah rusak.
Bencana memberikan dampak yang berbeda‐beda terhadap migrasi di Indonesia‐10. Dampak bencana terhadap migrasi di provinsi Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan adalah positif signifikan sedangkan terhadap provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, dan NTT bencana berdampak negatif tidak signifikan. Lain hal dengan provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan bencana berdampak negatif signifikan terhadap migrasi. Temuan ini terjadi karena bencana yang besar menyebabkan jumlah migrasi keluar lebih banyak dari pada migrasi masuk sehingga bencana berdampak negatif terhadap migrasi neto.
Temuan studi ini mengimplikasikan bahwa penting meningkatkan pengeluaran pemerintah didaerah terjadi bencana karena itu dapat meningkatkan PDRB dan meningkatkan konsumsi rumah tangga serta dapat membantu mengurangi pengangguran. Untuk menghindari inflasi sebagai akibat kelangkaan kebutuhan pokok di daerah bencana, pemerintah secepatnya mendistribusikan bantuan ke daerah bencana. Selain itu, untuk mengatasi dampak bencana setelah kejadiannya, pemerintah perlu mempersiapkan sejumlah dana untuk berjaga‐jaga terutama dalam menghadapi masa tanggap darurat. Dana ini diperlukan untuk mengurangi ekses negatif yang lebih luas dalam kondisi tanggap darurat bencana. Selanjutnya, dampak bencana yang tidak simetris di Indonesia‐10 tidak memungkinkan untuk dilakukan penyamaan kebijakan nasional penanganaan bencana karena karakteristik bencana dan kemampuan ekonomi daerah yang terkena bencana di Indonesia‐10 berbeda‐beda.
40
Daftar Pustaka
Alghofari, F. (2010). Analisis Pengangguran di Indonesia Tahun 1980‐2007. Skripsi FE‐UNDIP.
Artiani, E.L. (2011). Dampak Ekonomi Makro Bencana: Interaksi Bencana dan Pembangunan Ekonomi Nasional.
Auffret, P. (2003). High Consumption Volatility: The impact of natural disasters? World bank policy research working paper 2962.
Becerra, O., Cavallo, E., and Noy, I. (2010). In the aftermath of large natural disaster, what happens to foreign aid? Working paper no. 10‐18.
BNPB. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi Dan Rekosntruksi Wilayah Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi Di Provinsi D.I Yogyakarta Dan Provinsi Jawa Tengah ahun 2011‐2013. Diambil Dari http://www.bnpb.go.id/pubs/448.pdf
Bull, R. (1994). Disaster economic. Disaster management training program and United Nations Development Program.
Cavallo, E., and Noy, I. (2010). The Aftermath of Natural Disasters: Beyond Destruction. CESifo Forum.
Doyle, L., and Noy, I. (2013). The short‐run nationwide macroeconomic effects of the Canterbury earthquakes. SEF working paper: 01/2013.
Felbermayr, G., and Gröschl, J. (2013). Naturally Negative: The Growth Effects of Natural Disasters. CESIFO WORKING PAPER NO. 4439.
Grenberg, M. R., Lahr, M. L., and Mantell, N. (2007). Understanding tha economic cost and
benefits of Catastriphes ans their aftermath. Hallegatte, S., and Przyluski, V. (2010). The economics of natural disasters: concepts and
methods. World bank policy research working paper 5570. Hilmi, E. (2012). Analisis Potensi Bencana Abrasi dan Tsunami di Pesisir Cilacap. Jurnal
Penanggulangan Bencana. Vol.3. No.1. 35‐42.
Loayza, N., Olaberría, E., Rigolini, J., and Christiaensen, L. (2009). Natural Disasters and Medium ‐ Term Economic Growth: The Contrasting Effects of Different Events on Disaggregated Output. Mimeo, the World Bank.
Maarif, S., Pramono, R., Kinseng, R.A., and Sunarti, R. (2012). Kontestasi pengetahuan dan pemahaman tentang ancaman bencana alam (studi kasus ancaman bencana merapi). Jurnal Penanggulangan Bencana, Vol.3. No.1, 1‐13.
Moon, H. R., and Perron, B. (2006). Seemingly Unrelated Regressions. Diambil dari http://www.mapageweb.umontreal.ca/perrob/palgrave.pdf. Diakses tanggal 13 Januari 2014.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
41
NDCC., Republic Of The Philippines And World Bank East Asia And Pacific Region. Natural disaster risk management in the Philippines: enhancing poverty allevation through disaster reduction.
Noy, I. (2009). The macroeconomic consequences of disaster. Journal of development economics, 88, 221‐231.
Noy, I., and T.Vu. (2009). The economic of natural disaster in a developing country: The case of Vietnam. Journal of Asian Economics, 21(2010), 345‐354.
Noy, I., and Nualsri, A. (2010). Fiscal storms: public spending and revenues in the aftermath of natural disasters. Environment and Development Economics, 16, 113‐128. doi: 10.1017/S1355770X1000046X
Noy, I. (2011). The Economic Aftermath of the Recent Earthquake in Sendai, Japan. European Business Review.
Pelling, M., Ozerdem, A., and Barakat, S. (2002). The macro‐economic impact of disasters. Progress in development studies, 283‐305.
Petrucci, O. (2012). The impact of natural disasters: simplified procedures and open problems. Pp.110‐132
PP Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Diambil dari http://www.bnpb.go.id/uploads/pubs/5.pdf Diakses tanggal 25 Januari 2014.
Rasmussen, T.N. (2004). Macroeconomic Implications of natural Disasters in the Caribbean. IMF Working paper WP/04/224.
Rimdani, R. (2012). Proses Formulasi Program Penaggulangan Kemiskinan Kota Padang (Studi Kasus Dinas Perindagtamben. Skripsi FISIP‐UNAND.
Rustiono, D. (2008). Analisis Pengaruh Investasi tenaga kerja dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Tesis FE‐UNDIP.
Shandra, Y. (2012). Konsumsi dan Investasi serta Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat. Jurnal kajian Ekonomi, 1(1).
Supriyana, Y. (2011). Analisis Dampak Bencana Terhadap Perekonomian Indonesia Dengan Pendekatan SNSE. Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Surjaningsih, N., Utari, G.A.D., dan Trisnanto, B. (2012). Dampak kebijaka fiskal terhadap output dan inflasi. Buletin ekonomi moneter dan perbankan. Diambil dari http://www.bi.go.id. Diakses tanggal 25 Januari 2014.
UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Diambil dari www.bnpb.go.id/uploads/pubs/1.pdf. Diakses pada Oktober 2013.
Yuliandari, Y.R. (2012). Perubahan struktur dan dampak ekonomi bencana di provinsi DIY. Skripsi FE‐UI.
Zellner, A. (1962). An efficient method of estimating seemingly unrelated regression and tests
for aggregation bias. Journal of American Statistical Assosiation, 57(298), 348‐368.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
42
Halaman ini sengaja dikosongkan
43
KEMAMPUAN PERBANKAN SYARIAH DALAM BERKOMPETENSI
DENGAN INDUSTRI PERBANKAN KONVENSIONAL
Refni Wahyuni1
Abstract
This empirical study is concerned with examining and comparing the financial stability of a sample of Indonesia Islamic bank and conventional bank, using the monthly returns for the period for two years (October 2007 ‐ September 2009). The study covers a sample of 122 conventional, 5 islamic banks and 24 islamic banks that branch of convenstional banks. This case becomes more important because more sides have shown enthusiasm and hope of Islamic economic system. The general objective of this research was to compare ability of Islamic Banks and Conventional Banks in fulfilling of the investment and financial performance demand. Islamic banks operate under different principles, such as risk sharing dan the prohibition of interest, yet both types of banks face similar type of economic and competitive conditions. Econometric models that were used consist of regressions estimated using the ordinary least square, autoregressive conditional heterocedasticity (ARCH) method, structural change analysis, and difference analysis of the mean between two population groups. Results of this research among others showed that (a) Islamic Bank was more profitable as an investment place than Conventional Bank (b) in general the Islamic Banks’ financial performance was better than Conventional Banks’ in all time. The study recommended that Islamic banks in Indonesian need to improve the branch network throughout the country and must be improve in financial permormance in product and technology inovation, and conventional banks must open Islamic branches, to benefit from this worthy system and to diversify their risks. Keywords: Islamic bank, conventional, investment analysis JEL Classification: G24, C22, Z12
1 Alumni Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fak. Ekonomi
44
1. Pendahuluan
Industri perbankan di Indonesia sangat penting peranannya dalam perekonomian. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting di dalam perekonomian suatu Negara sebagai lembaga perantara keuangan, hal ini dikarenakan perbankan merupakan salah satu dari sistem keuangan yang berfungsi sebagai Financial Intermediary, yaitu suatu lembaga yang mempunyai peran untuk mempertemukan antara pemilik dan pengguna dana, maka kegiatan bank harus berjalan secara efisien pada skala makro maupun mikro. Bank mempunyai fungsi sangat strategis dalam pembangunan nasional, mengingat fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana, dengan tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Jenis bank di Indonesia dibedakan menjadi 2, dibedakan berdasarkan pembayaran bunga/bagi hasil usaha yaitu bank yang melakukan usaha secara konvensional dan bank yang melakukan usaha secara syari’ah. Perbedaan mendasar antara bank syari’ah dengan bank konvensional secara umum terletak pada dua konsep yaitu konsep sistem perbankan dan konsep imbalan. Bank syari’ah tidak mengenal sistem bunga yang diharamkan menurut Al‐Quran (Ali ‘Imran [3]: 130 dan Al‐Baqoroh [2]: 275) dan Al‐Hadits (Bank Indonesia 2007). Berdasarkan perbedaan prinsip‐prinsip tersebut, dimungkinkan terjadi perbedaan pendapatan (return) investasi dan kinerja keuangan antara perbankan syari’ah dan konvensional di Indonesia.
Tabungan dan investasi merupakan dua indikator yang dapat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Di Indonesia, untuk membiayai pembangunan nasional yang mencakup investasi domestik, dana yang digunakan bersumber dari tabungan nasional dan pinjaman luar negeri. Namun, karena terbatasnya jumlah dana serta pinjaman yang diperoleh dari luar negeri, maka diperlukan tabungan nasional yang lebih tinggi sebagai sumber dana yang utama. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan tabungan dan investasi masyarakat melalui sektor perbankan syari’ah.
Kehadiran perbankan syari’ah di Indonesia tidak menjamin peningkatan investasi masyarakat dalam bentuk tabungan. Sebab ada banyak faktor yang akan memengaruhi keputusan seseorang untuk berinvestasi. Sehingga meskipun perbankan syari’ah menawarkan sebuah konsep baru dalam sistem perbankan, total aset Bank Syari’ah di Indonesia belum mampu mencapai proporsi 5% total aset perbankan nasional sampai dengan bulan September 2009 (BI 2009c). Padahal konsep syari’ah yang ditawarkan Bank Syari’ah diduga lebih mampu bertahan dalam menghadapi gejolak perekonomian.
Oleh karena itu diperlukan analisis apakah perbankan syari’ah, mampu menjawab tuntutan nasabah dalam berinvestasi, dan mampukah perbankan syari’ah berkompetisi dengan industri perbankan konvensional. Dornbusch (2004) menyebutkan beberapa hal yang menjadi pertimbangan seseorang dalam berinvestasi diantaranya adalah nilai penyusutan modal (depreciation), nilai sekarang (net present value) dari ekspektasi keuntungan dan resiko yang kecil. Sarker (1999) menyebutkan ada beberapa analisis yang perlu dilakukan untuk menjawab tuntutan investasi tersebut, diantaranya adalah investment opportunity utilization test dan test of elasticity in financing/loan. Sedangkan Samad dan Hassan (1999) mengunakan risk and solvency ratios test untuk mengetahui apakah sebuah bank mampu memenuhi kewajibannya (solvent) atau tidak. Sebuah bank dikatakan solvent bila aset yang dimiliki lebih besar dari kewajiban bank tersebut. Jika tidak, maka bank tersebut dikatakan bangkrut (insolvent) dan investasi pada bank tersebut sangat beresiko.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
45
2. Penelitian Terdahulu
Suyanto (2005) melakukan penelitian di Indonesia terhadap kinerja keuangan perbankan konvensional, perbankan Islam (perbankan syari’ah) dan perbankan asing di Indonesia. Metode analisis yang dipergunakan adalah analisis perbedaan nilai rata‐rata dua populasi Hasil penelitiannya adalah Bank Islam lebih efisien dalam biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Umum, dilihat dari kategori likuiditas, Bank Islam kurang likuid dibandingkan dengan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum Pada kategori commitment to community, Bank Islam lebih berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat dibandingkan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.
Berbeda dengan Rashid (2007) melakukan penelitan terhadap kinerja keuangan perbankan Islam (Meezan Bank) di Pakistan untuk dibandingkan dengan perbankan konvensional (secara umum) di negara tersebut. Metode peneltian yang dipergunakan adalah perbandingan nilai rata (mean), yang melibatkan nilai standard deviation, T‐test dan F‐test dalam pengujiannya. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perbankan konvensional lebih mampu menghasilkan keuntungan dibandingkan perbankan syari’ah. Hal ini mungkin disebabkan produk utama perbankan Islam yakni mudharabah dan musharakah belum populer di Pakistan.
Sedangkan Danesh (2007) melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan perbankan syari’ah dan konvensional yang berada di bawah naungan Gulf Cooperation Council (GCC) yang meliputi Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab. Metode analisis yang digunakan adalah analisis DEA (data envelopment enalysis) dan analisis regresi. Hasil penelitian, baik dengan menggunakan analisis DEA maupun analisis regresi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara efisiensi kinerja keuangan perbankan syari’ah dan konvensional. Hanya saja, berdasarkan data tahun 2006, perbankan syari’ah relatif lebih efisien dibandingkan perbankan konvensional. Meskipun demikian, seluruh bank (baik perbankan syari’ah maupun perbankan konvensional) dinyatakan telah bekerja dengan efisien.
Juga dalam waktu yang berbeda, Mareyah dan Dr. Dayanand Pandey 2010 melakukan penelitian menguji performance bank islam dan bank konvensional yang berada di bawah naungan Gulf Cooperation Council (GCC). Metode analisis yang digunakan adalah analisis rasio keuangan. Hasil penelitian, baik dengan menggunakan analisis ratio keuangan menunjukkan bahwa pertumbuhan aset dan kewajiban: (presentase pertumbuhan aset bank Islam dibandingkan dengan bank konvensional) adalah jauh lebih cepat dan lebih tinggi, bahkan selama masa ekonomi lambat dan resesi ketika bank yang konservatif dalam penyaluran kredit dan pendanaan. Di lihat dari sisi Profitabilitas: bank syariah lebih menguntungkan dibandingkan bank konvensional dalam hal Return on Asset Rata‐rata (ROAA).
Penelitian yang dilakukan oleh Olson & Zoubi (2008) menyimpulkan bahwa bank syariah lebih menguntungkan dibandingkan bank konvensional tapi tidak efisien. Bank syariah yang profitabilitas yang lebih tinggi disebabkan karena risiko, sementara sisanya karena lebih mengandalkan deposito untuk ketersediaan modal. Bank syariah secara sukarela memegang uang tunai lebih dibandingkan dengan deposito dibandingkan bank konvensional karena risiko penarikan deposito
Penelitian lainnya dilakukan oleh Asa'ad Hamieed O. Al‐ali 2009 melakukan studi empiris berkaitan dengan membandingkan stabilitas keuangan dari Yordania untuk bank Islam dan bank konvensional yang terdaftar di Bursa Efek Amman sebelum dan sesudah krisis keuangan, menggunakan periode (2005/02/01 untuk 26/01/2010). GARCH, E‐GARCH dan GJR‐GARCH model digunakan untuk memperkirakan volatilitas karena mampu memperhitungkan efek leverage tetapi tergantung pada hasil log kemungkinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank syariah lebih stabil dibanding bank konvensional. Hal ini dibuktikannya melalui analisa model GARCH menunjukkan bank syariah stabil karena bekerja atas dasar pembagian risiko yang meningkatkan kepercayaan investor di
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
46
bank‐bank. Terutama karena investor tidak bergantung pada obligasi atau saham dan terhindar dari spekulasi pasar. Sehingga membuat kegiatan bank Islam 'lebih erat terkait dengan ekonomi riil dan cenderung mengurangi kontribusi mereka terhadap ekses‐ekses dan gelembung. Bank syariah memiliki beberapa alternatif untuk produk perbankan konvensional seperti Ijarah, Murabahah, Musyarakah, Mudharabah, Sukuk, Amanah dll, yang menunjukkan bahwa perbankan Islam suatu sistem perbankan yang sehat dan sistematis.
3. Metodologi dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari publikasi Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut bersifat runtun waktu (time series data) yang dipublikasikan bulanan selama priode Oktober 2007 ‐ September 2009. Data yang dipergunakan meliputi data 122 Bank Konvensional, 5 Bank Umum Syari’ah dan 24 Unit Usaha Syari’ah. Data utama yang dipergunakan meliputi data beberapa variabel kinerja industri perbankan nasional, total asset, jumlah rekening, BI rate dan inflasi. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan software Microsoft Excel dan EViews 6.0 untuk menganalisis data.
Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ARCH atau autoregressive conditional heterocedasticity. Model ini dikembangkan terutama untuk menjawab persoalan adanya volatilitas pada data ekonomi dan bisnis, khususnya dalam bidang keuangan (Firdaus 2006). Model ARCH dalam penelitian ini dipergunakan pada dua bentuk pegujian kemampuan industri perbankan dalam menjawab tuntutan investasi, yakni investment opportunity utilization test dan risk and solvency ratios test.
3.1. Investment Opportunity Utilization Test
Investment opportunity utilization test untuk kedua sistem perbankan (syari’ah dan konvensional) dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat model ekonometrika terhadap variabel return on equity (ROE) sebagai variabel tak bebas (dependent variable). Variabel ROE merupakan variabel yang mampu mencerminkan efisiensi dan efektivitas industri perbankan dalam mendapatkan laba bersih berdasarkan modal yang tersedia (Nachrowi dan Usman 2006). Sedangkan variabel bebas (independent variable) yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel inflasi, FDR (financing deposit ratio) atau LDR (loan deposit ratio)
Variabel inflasi dipilih sebab inflasi merupakan salah satu variabel makro ekonomi yang mampu memengaruhi distribusi pendapatan disemua sektor ekonomi, termasuk industri perbankan (Blanchard 2006). Variabel FDR atau LDR dipilih karena kedua variabel ini selain mencerminkan tingkat likuiditas perbankan juga merupakan salah satu perangkat untuk menghasilkan pendapatan (income) bagi industri perbankan (Samad dan Hassan 1999).
Persamaan model ARCH bagi kedua industri perbankan adalah:
(1)
(2)
Keterangan: Ŷt = Nilai estimasi return on equity (ROE) pada bulan ke‐t Yt‐1, Yt‐2, Yt‐p = Nilai ROE pada bulan‐bulan sebelumnya It = Nilai Inflasi pada bulan ke‐t Nt = Nilai FDR/LDR pada bulan ke‐t εt = Nilai eror pada bulan ke‐t
tttptptt NIYYY 21110 ...
tmtmttt 22
222
1102 ...
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
47
εt 2 = Nilai estimasi volatilitas eror pada bulan ke‐t εt‐1, εt‐2, εt‐m = Nilai volatilitas pada bulan‐bulan sebelumnya β0, β1, βp = Nilai koefisien model AR(p) untuk ROE θ1, θ2 = Nilai koefisien inflasi, FDR/LDR dan dummy variable λ0, λ1, λ2, λm = Nilai koefisien model AR(m) untuk volatilitas eror τt = Faktor gangguan (disturbance) yang stokastik 3.2. Risk And Solvency Ratios Test
Risk and solvency ratios test dilakukan dengan membuat model ARCH pada variabel debt to total asset ratio (DTAR) sebagai variabel tak bebas (dependent variable). Sebab selain CAR, ukuran yang umum digunakan untuk mengukur rasio risk and solvency adalah nilai DTAR (BI 2004). Sedangkan variabel bebas (independent variable) yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel inflasi, varibel income expense ratio (IER), financing deposit ratio (FDR) atau loan deposit ratio (LDR).
IER merupakan indikator efisiensi biaya dalam menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi IER semakin tinggi efisiensi biaya untuk menghasilkan pendapatan (Samad dan Hassan 1999). Variabel FDR dan LDR dipilih sebab kedua variabel ini mampu mencerminkan resiko likuiditas industri perbankan. Semakin kecil FDR/LDR semakin baik likuiditas bank tersebut. Sedangkan alasan memilih variabel inflasi sebagai bagian dari variabel bebas dalam model adalah untuk melihat pengaruh variabel makro terhadap kinerja keuangan industri perbankan.
Risk and solvency ratios test dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien kedua model ARCH yang terbentuk. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan yang signifikan pada kedua model industri perbankan tersebut. Sehingga hasilnya diharapkan akan mampu menunjukkan investasi mana yang lebih beresiko bagi seorang nasabah, apakah berinvestasi diperbankan syari’ah atau berinvestasi diperbankan konvensional.
Persamaan model ARCH bagi kedua industri perbankan adalah:
(3) (4)
Keterangan: Ŷt = Nilai estimasi debt to total asset ratio (DTAR) pada bulan ke‐t Yt‐1, Yt‐2, Yt‐p = Nilai DTAR pada bulan‐bulan sebelumnya It = Nilai inflasi pada bulan ke‐t Mt = Nilai income expense ratio (IER) pada bulan ke‐t Nt = Nilai financing/loan to debt ratio (FDR/LDR) pada bulan ke‐t εt = Nilai eror pada bulan ke‐t εt 2 = Nilai estimasi volatilitas eror pada bulan ke‐t εt‐1, εt‐2, εt‐m = Nilai volatilitas pada bulan‐bulan sebelumnya β0, β1, β2, βp = Nilai koefisien model AR(p) untuk DTAR θ1, θ2, θ3 = Nilai koefisien Inflasi, IER, FDR λ0, λ1, λ2, λm = Nilai koefisien model AR(m) untuk volatilitas eror τt = Faktor gangguan (disturbance) yang stokastik
3.3. Test Of Elasticity In Financing/Loan
Model ekonometrik kedua yang digunakan adalah model regresi liniear sederhana dalam bentuk logaritma. Model ini merupakan metode yang tepat untuk melakukan test of elasticity in financing/loan. Model regresi liniear sederhana dalam bentuk logaritma merupakan metode yang tepat untuk melakukan test of elasticity in financing/loan. Sebab nilai koefisien dari variabel bebas
ttttptpttt NMIYYYY 32122110 ...
tmtmttt 22
222
1102 ...
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
48
(independent variable) merupakan nilai elastisitas bagi variabel tak bebas (dependent variable) terhadap perubahan variabel bebas tersebut. Test of elasticity in financing/loan dilakukan dengan membuat model persamaan regresi linier sederhana antara variabel pembiayaan (financing) atau pinjaman (loan) dengan nilai aktiva (asset) bank tersebut (Sarker 1999).
Persamaan modelnya adalah: (5)
Keterangan: Yt = Nilai estimasi pembiayaan (financing)/ kredit (loan) pada bulan ke‐t Xt = Nilai aktiva (asset) pada bulan ke‐t εt = Nilai eror pada bulan ke‐t β0, β1 = Nilai koefisien model regresi β1 = Nilai elastisitas pembiayaan terhadap nilai aktiva (asset)
Setelah model‐model ekonometrika tersebut diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah
melakukan analisis atau uji perbedaan dua koefisien regresi. Uji ini dipergunakan untuk melihat apakah ada perbedaan yang cukup signifikan diantara koefisien persamaan perbankan syari’ah dengan konvensional. 4. Analisis Investasi dan Industri Perbankan Nasional 4.1. Investment Opportunity Utilization Test
Investment opportunity utilization test untuk kedua sistem perbankan dilakukan dengan membuat model ekonometrika terhadap variabel return on equity (ROE) sebagai variabel tak bebas (dependent variable). Nilai koefisien dan standar eror masing‐masing variabel pada persamaan ekonometrika untuk analisis investment opportunity utilization test bagi perbankan syari’ah ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai koefisien model ARCH investment opportunity utilization test bagi perbankan syari’ah dan nilai signifikansinya
Variabel Bebas Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
Constant ‐45.9084 22.0643 ‐2.0807 0.0375 FDR 0.9859 0.2089 4.7185 0.0000 INFLASI 9.0685 0.8952 10.1306 0.0000 MA(1) 0.9654 0.0358 26.9419 0.0000
Variance Equation
Constant 15.38997 12.7884 1.2034 0.2288 RESID(‐1)^2 0.69906 0.2828 2.4717 0.0134 GARCH(‐1) ‐0.62193 0.2892 ‐2.1504 0.0315
R2 0.74868 F Hitung 6.80922
Adjusted R2 0.63873 Signifikansi F Hitung 0.00075
Sumber: Data Bank Indonesia, 2009 (hasil pengolahan).
Berdasarkan Tabel 1, dapat disusun persamaan ARCH investment opportunity utilization test bagi
perbankan syari’ah sebagai berikut:
(6)
(7)
ttft LnXYLn 10
1965.0069.9986.0908.45 tttt INFLASIFDRROE 2
12
12 622.06699.0390.15ˆ ttt
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
49
Sedangkan nilai koefisien dan standar eror masing‐masing variabel pada persamaan ekonometrika untuk analisis investment opportunity utilization test bagi perbankan konvensional ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai koefisien model ARCH investment opportunity utilization test bagi perbankan konvensional dan
nilai signifikansinya
Variabel Bebas Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
Constant 32.9019 0.5018 65.5688 0.0000 LDR ‐0.1130 0.0067 ‐16.8967 0.0000 INFLASI ‐0.0791 0.0596 ‐1.3271 0.1845
Variance Equation
Constant 0.0078 0.0156 0.5030 0.6149 RESID(‐1)^2 1.1176 0.9272 1.2053 0.2281
R2 0.83716 F Hitung 18.50776
Adjusted R2 0.79193 Signifikansi F Hitung 0.00000
Sumber: Data Bank Indonesia, 2009 (hasil pengolahan).
Berdasarkan data pada tabel 2, model persamaan ARCH investment opportunity utilization test
bagi perbankan konvensional adalah sebagai berikut:
(8)
(9)
Tahap selanjutnya adalah membandingkan nilai koefisien antara persamaan perbankan syari’ah
dan konvensional. Hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Analisis perbedaan dua koefisien regresi pada persamaan investment opportunity utilization test.
Variabel Koefisien Konstanta* Std. Error Nilai tobs Nilai tTabel(α = 5%)
Keputusan
1 Syari’ah FDR 0.986 ‐0.113 0.209 5.26 2.093 Beda Inflasi 9.069 ‐0.079 0.895 10.22 2.093 Beda Eror 0.699 1.118 0.283 ‐1.48 2.080 Sama 2 Konvensional LDR ‐0.113 0.986 0.007 ‐164.38 2.086 Beda Inflasi ‐0.079 9.069 0.060 ‐153.51 2.086 Beda Eror 1.118 0.699 0.927 0.45 2.074 Sama
*) Nilai konstanta adalah nilai koefisien persamaan tandingan Sumber: Data Bank Indonesia, 2009 (hasil pengolahan).
Berdasarkan analisis investment opportunity utilization test dapat disimpulkan bahwa perbankan syari’ah merupakan tempat investasi yang lebih menguntungkan sebab:
1 Nilai bagi hasil (return) perbankan syari’ah lebih baik sebab variabel FDR dan inflasi berpengaruh positif terhadap nilai ROE. Sebaliknya, nilai LDR dan inflasi berpengaruh negatif terhadap nilai ROE perbankan konvensional. Dan perbedaan koefisien untuk variabel yang sama pada kedua persamaan (syari’ah dan konvensional) adalah signifikan berdasarkan analisis perbedaan dua koefisien regresi.
2 Ditinjau dari aspek resiko investasi, tidak ada perbedaan volatilitas (fluktuasi) nilai ROE kedua industri perbankan tersebut. Hal ini didasarkan pada persamaan nilai varian eror, keduanya mempunyai koefisien yang relatif sama.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Akkas (1995). Akkas berhasil membuktikan secara ekonomi dan matematis (dengan bantuan grafik), bahwa investment opportunity utilization perbankan
ttt INFLASILDRROE 790.0113.0902.32 2
12 118.10078.0ˆ tt
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
50
syari’ah lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Namun hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Samad (2004). Samad mengadakan penelitian terhadap kinerja perbankan syari’ah dan konvensional di Bahrain priode 1991‐2001. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai ROE perbankan konvensional di Bahrain lebih besar daripada perbankan syari’ah, namun perbedaannya tidak signifikan. Begitu pula hasil penelitian Samad dan Hasan (1999) yang membandingkan kinerja perbankan syari’ah dan konvensional di Malaysia periode 1984‐1997. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa nilai ROE dan ROA kedua industri perbankan tersebut berbeda namun tidak signifikan
4.2. Test of Elasticity in Financing/Loan
Hasil pengolahan data dengan menggunakan program Eviews 6.0, menghasilkan nilai koefisien dan standar deviasi variabel persamaan elasticity in financing bagi perbankan syari’ah seperti yang terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai koefisien model ARCH elasticity in financing test bagi perbankan syari’ah dan nilai signifikansinya
Variabel Bebas Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
Constant 0.2993 0.4345 0.6889 0.4909 ASSET2 0.9483 0.0404 23.4619 0.0000
Variance Equation
Constant 0.0005 0.0002 2.2338 0.0255 RESID(‐1)^2 0.5011 0.5511 0.9092 0.3632
R2 0.9586 F Hitung 154.2427
Adjusted R2 0.9524 Signifikansi F Hitung 0.0000
Sumber: Data Bank Indonesia, 2009 (hasil pengolahan).
Berdasarkan Tabel 4, disusun model persamaan ekonometrika untuk elasticity in financing bagi
perbankan syari’ah sebagai berikut:
(10)
(11)
Berdasarkan persamaan 10, dapat diartikan bahwa apabila total aset mengalami perubahan 100%
maka akan terjadi perubahan pembiayaan sebesar 94.8% dengan asumsi cateris paribus. Hasil pengolahan data dengan menggunakan program yang sama terhadap variabel‐variabel industri perbankan konvensional ditampilkan pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 Nilai koefisien model ARCH elasticity in financing test bagi perbankan konvensional dan nilai signifikansinya
Variabel Bebas Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
Constant ‐5.1338 0.6248 ‐8.2165 0.0000 ASSET1 1.3114 0.0429 30.6006 0.0000
Variance Equation
Constant 0.0001 0.0001 1.0409 0.2979 RESID(‐1)^2 1.1836 0.7666 1.5440 0.1226
R2 0.9024 F Hitung 61.6319
Adjusted R2 0.8877 Signifikansi F Hitung 0.0000
Sumber: Data Bank Indonesia, 2009 (hasil pengolahan).
Model persamaan bagi perbankan konvensional berdasarkan data pada Tabel 5 adalah:
tt AssetFIN 948.0299.0 2
12 501.00005.0ˆ tt
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
51
(12)
(13)
Tahap selanjutnya adalah membandingkan nilai koefisien antara persamaan perbankan syari’ah dan konvensional. Hasilnya disajikan pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6 Analisis perbedaan dua koefisien regresi pada persamaan investment opportunity utilization test.
Variabel Koefisien Konstanta* Std. Error Nilai tobs Nilai tTabel(α = 5%)
Keputusan
Syari’ah Aset 0.948 1.311 0.040 ‐8.983 2.074 Beda Eror 0.501 1.184 0.551 ‐1.238 2.074 Sama Konvensional Aset 1.311 0.948 0.043 8.472 2.074 Beda Eror 1.184 0.5011 0.767 0.890 2.074 Sama
*) Nilai konstanta adalah nilai koefisien persamaan tandingan Sumber: Data Bank Indonesia, 2009 (hasil pengolahan).
Berdasarkan hasil analisis Test of Elasticity in Financing/Loan, perbankan konvensional lebih elastis dalam menggunakan setiap rupiah penambahan asetnya untuk dipinjamkan dibandingkan perbankan syari’ah. Hal ini sejalan dengan penemuan Sarker (1999) saat melakukan penelitian perbankan syari’ah di Bangladesh. Hasil penelitian Sarker (1999) menunjukkan bahwa mekanisme pembiayaan perbankan syari’ah cendrung kurang elastis disebabkan keterbatasan metode (lack of suitable modes) untuk menyalurkan dana sesuai dengan syari’ah Islam. Bukan hanya dalam menyalurkan dana kepada debitur, perbankan syari’ah di Bangladesh juga bermasalah dalam mencari model untuk peminjaman antar bank. 4.3. Risk and Solvency Ratios Test
Model persamaan ekonometrika untuk analisis risk and solvency ratios test bagi perbankan syari’ah dibuat dalam bentuk persamaan ECM. Karena pada persamaan regresi awal, nilai sisaan (error) bersifat homokedastisitas maka persamaan ARCH tidak dapat dibentuk. Nilai sisaan (error) bersifat homokedastisitas menunjukkan bahwa antara variabel DTAR, IER, FDR, inflasi membentuk keseimbangan jangka panjang. Nilai koefisien dan standar eror variabel dari model ECM yang dibentuk ditampilkan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7 Nilai koefisien model ECM risk and solvency ratios test bagi perbankan syari’ah dan nilai signifikansinya
Variabel Bebas Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
Constant ‐0.0086 0.1275 ‐0.0673 0.9471 D(IER2) 0.0475 0.0969 0.4900 0.6304 D(FDR) ‐0.2256 0.0487 ‐4.6316 0.0002 D(INFLASI) 0.3416 0.2394 1.4269 0.1717 EROR1(‐1) ‐0.4796 0.2089 ‐2.2963 0.0346
R2 0.8847 F Hitung 26.0954
Adjusted R2 0.8508 Signifikansi F Hitung 0.0000
Berdasarkan Tabel 7 di atas, disusun persamaan ekonometrika untuk model persamaan risk and solvency ratios test bagi perbankan syari’ah sebagai berikut:
…………………….. … (14)
tt AssetLOAN 311.1134.5 2
12 184.10001.0ˆ tt
tttt InflasiFDRIERDTAR 342.0226.0047.00086.01480.0 tEror
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
52
Sedangkan persamaan jangka panjang untuk variabel DTAR adalah:
(15)
Hasil pengolahan data menghasilkan nilai koefisien dan standar eror bagi variabel DTAR, LDR,
inflasi perbankan konvensional sebagaimana ditampilkan pada Tabel 8 berikut:
Tabel 8 Nilai koefisien model ARCH risk and solvency ratios test bagi perbankan konvensional dan nilai signifikansinya
Variabel Bebas Koefisien Standar Eror Nilai t Signifikansi
Constant 91.8109 2.7888 32.9208 0.0000 LDR ‐0.2121 0.0366 ‐5.7873 0.0000 INFLASI ‐0.2685 0.0533 ‐5.0408 0.0000 AR(1) 0.6496 0.0439 14.8097 0.0000 MA(1) 0.8929 0.0391 22.8624 0.0000
Variance Equation
Constant 0.1346 0.0424 3.1791 0.0015 RESID(‐1)^2 ‐0.2930 0.1457 ‐2.0111 0.0443
R2 0.8342 F Hitung 10.7812
Adjusted R2 0.7568 Signifikansi F Hitung 0.0001
Berdasarkan Tabel 8 di atas persamaan ARCH pada risk and solvency ratios test bagi perbankan konvensional adalah sebagai berikut:
………………………… (16)
…………………………. (1… (17)
Berdasarkan analisis risk and solvency ratios test, dalam jangka panjang perbankan syari’ah relatif
lebih aman sebagai tempat berinvestasi dibandingkan perbankan konvensional sebab:
1 Nilai deposit perbankan syari’ah mempunyai keseimbangan jangka panjang dengan variabel FDR dan inflasi. Selain keseimbangan jangka panjang, variabel inflasi yang memberi pengaruh positif terhadap nilai DTAR. Pengaruh posistif tersebut akan semakin meningkatkan kemampuan perbankan syari’ah dalam memenuhi keawajibannya (solvency) dan memperkecil resiko gagal bayar (risk).
2 Nilai DTAR perbankan konvensional cendrung tidak stabil dan berfluktuasi (volatile) sepanjang waktu. Hal ini terlihat dari adanya komponen eror (dengan koefisien terbesar) di dalam persamaan model dan memiliki persamaan varian eror.
3 Berdasarkan data sampel, perbankan syari’ah memiliki nilai rata‐rata nilai DTAR yang relatif sama dengan perbankan konvensional. Sehingga dalam jangka pendek kemampuan risk and solvency ratio perbankan syari’ah adalah sama dengan perbankan konvensional.
Hasil analisis ini sejalan dengan hasil penelitian Rashid (2007) yang membandingkan perbankan syari’ah dan konvensional di Pakistan periode 1999‐2006. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perbankan syari’ah mempunyai resiko yang lebih kecil dan lebih mampu memenuhi kewajibannya (less risk and more solvency) dibandingkan perbankan konvensional. Hasil yang sama juga ditemui dalam penelitian Samad dan Hasan (1999) yang membandingkan kinerja perbankan syari’ah yang tergabung
ttttt ErorInflasiFDRIERDTAR 897.0225.0213.086.55
1650.0269.0212.0811.91 tttt DTARINFLASILDRDTAR1893.0 t
21
2 293.0135.0ˆ tt
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
53
dalam Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dengan delapan bank konvensional di Malaysia periode 1984‐1997. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa BIMB relatif lebih mampu memenuhi kewajibannya dan mempunyai resiko yang lebih kecil (relatively more liquid and less risky) dibandingkan dengan delapan bank konvensional tersebut.
5. Kesimpulan
Hasil analisis investasi menunjukkan bahwa perbankan syari’ah merupakan tempat investasi yang lebih menguntungkan daripada perbankan konvensional. Selain lebih menguntungkan dari segi pendapatan (return), dalam jangka panjang perbankan syari’ah juga memiliki kemampuan memenuhi kewajiban yang lebih baik dan resiko yang lebih kecil (more solvency and less risky) dibandingkan perbankan konvensional. Namun dari segi pemanfaatan penambahan aset, perbankan konvensional lebih elastis dalam menggunakan setiap rupiah penambahan asetnya untuk dipinjamkan dibandingkan perbankan syari’ah.
Penelitian ini hanya menggunakan data bank umum, bank umum syari’ah dan unit usaha syari’ah. Sedangkan data bank perkreditan rakyat (BPR) dan BPR syari’ah tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga tidak memperhatikan ukuran dan status kepemilikan bank di dalam masing‐masing kelompok. Padahal ukuran dan status kepemilikan bank juga akan sangat menentukan kemampuan bank dalam menginvestasikan dana nasabah. Oleh karena itu, penelitian yang melibatkan BPR dan BPRS serta memperhatikan unsur ukuran dan status kepemilikan bank diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
Hasil penelitian berimplikasi pada:
1 Aspek sumber daya manusia. Peningkatan kapasitas ekspansi perbankan syari’ah dimasa depan akan menuntut penambahan SDM baik secara kualitas maupun kuantitas. Pihak perbankan syari’ah dapat melakukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi atau lembaga‐lembaga kursus pendidikan dan pelatihan untuk mendapatkan SDM yang berkualitas.
2 Aspek regulasi. Perkembangan perbankan syari’ah harus selalu mendapat dukungan regulasi. Sebab ketentuan perundang‐undangan yang tidak kondusif akan menghambat pertumbuhan perbankan syari’ah. Perbankan syari’ah harus dapat menggandeng pihak pembuat undang‐undang (pemerintah dan DPR) agar dapat mengeluarkan regulasi yang akan mendukung kegiatan industri perbankan yang berbasis syari’ah
3 Peran serta teknologi informasi. Kinerja perbankan syari’ah perlu ditopang sistem teknologi informasi yang cukup dan memadai. Sebab persaingan industri perbankan sangat ditentukan oleh kecepatan pelayanan dan inovasi produk. Perbankan syari’ah dapat melakukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi dan lembaga provider telekomunikasi. Dengan jalinan kerja sama tersebut, diharapkan perbankan syari’ah dapat meningkatkan pelayanan perbankan yang berbasis informasi teknologi (IT).
4 Aspek inovasi produk syari’ah. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan perbankan syari’ah menyajikan produk‐produk yang menarik, kompetitif dan inovatif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah Islam
5 Optimalisasi jaringan. Keterbatasan jumlah kantor perbankan syari’ah harus diimbangi dengan pengoptimalan jaringan yang telah ada. Hal ini dilakukan agar perluasan ekspansi pasar perbankan syari’ah tetap diimbangi oleh pelayanan prima. Dalam hal ini perbankan syari’ah dapat melakukan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
54
kerja sama yang lebih intensif dengan perbankan konvensional sesuai dengan koridor syari’ah. Hal ini penting mengingat jaringan perbankan konvensional yang jauh lebih luas dan lengkap dibandingkan jaringan perbankan syari’ah.
6 Dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat diwujudkan dengan turut serta menabung atau berinvestasi di Bank Syari’ah
7 Sosialisasi dan koordinasi. Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia harus mendapatkan komitmen dan dukungan lembaga pemerintah, tokoh masyarakat (seperti guru agama, guru sekolah, pemuka agama) dan peran serta media massa
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
55
Daftar Pustaka Akkas, S.M.A. (1995). Modelling Operation of Islamic Bank under Conventional Bank Framework: A
Comparative Efficiency Analysis in Deployment of Investible Fund. Thoughts on Economics, 5, 1‐18.
Assa’ad H.O.A. (2012). Investigation of Jordan Islamic and Conventional Banks, Stability: Evidence from the Recent Financial Crisis. http://www.eurujournals.com/EJEFAS.htm. European Jourmal of Economics, Finance and Administrative Sciences. ISSN 1450‐2275 Issue 44(2012)
Bank Indonesia. (2007). Perbankan Syari’ah. Jakarta.
Bank Indonesia. (2009a). Statistik Perbankan Syari’ah September 2009. http:// www. Bi.go.id. diakses tanggal 23 November 2009.
Bank Indonesia. (2009b). Statistik Perbankan Indonesia (SPI) bulan September 2009. http:// www. Bi.go.id. diakses tanggal 23 Agustus 2009.
Čihák M, and Hesse, H. (2008). Islamic Banks and Financial Stability: An Empirical Analysis. IMF Working Paper. WP/08/16.
Danesh IA. (2007). An Investigation of Islamic Banks Performance: A Comparison with Conventional Banks [Thesis]. Cranfield: Finance and Management, Cranfield University.UK.
Dornbusch, R. (2004). Makroekonomi. PT. Media Global Edukasi. Jakarta.
Firdaus, M. (2006). Analisis Deret Waktu Satu Ragam. IPB Press. Bogor.
Mareyah M.A. and Pandey, D. (2010). Are Islamic banks better immunized than conventional banks in the current economic crisis? The British University in Dubai. ISBN No: 9780983045212.
Rashid, H. (2007). The Performance Of Pakistani Islamic Bank During 1999‐2006: An Exploratory Study. http://www.centerforpbbefr. rutgers. Edu /2007/Papers/.doc.
Samad, A. (2004). Performance of Interest‐Free Islamic Bank Vis‐a‐Vis Interest‐Based Conventional Banks of Bahrain. IIUM Journal of Economics and Management, 12(2): by The International Islamic University Malaysia.
Samad, A. and M. Kabir H. (1999). The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984‐1997: An Exploratory Study. International Journal of Islamic Financial Services, 1(3).
Sarker, Md. A. A. (1999). Islamic Bank in Bangladesh: Performance, Problems & Prospects. International Journal of Islamic Financial Services, 1(3).
Weill, L. (2009). Do Islamic Bank Have Greater Power? Working Paper 2009‐02. http://ideas.repec.org/p/lar/wpaper/2009‐02.html. Diakses tanggal 23 Agustus 2009.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
56
Halaman ini sengaja dikosongkan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
57
KRIMINALITAS SEBAGAI BIAYA SOSIAL KETIMPANGAN1
Davy Hendri2 (IAIN Imam Bonjol Padang)
Abstract Indonesia has witnessed a tremendous surge in crime over the past two decades. The author tries to explain the evolution of the economic causes of crime by determining primary. Analysis the authors show that income inequality and poverty is a key determinant. Authors also find it interesting that that although crime rates are positively related to the level of income inequality, but goes in a pattern of decreasing marginal. Granger causality test also proves there is bidirectional causality between crime and the income inequality. So that the effect of inequality of income distribution in the crime rate is no longer confusing. Keywords: crime, income distribution, poverty JEL Classification: D63, O15, I32
1 Penulis sangat berterima kasih kepada sdr. Windhiarso Putranto dari BPS Pusat, atas komentar dan support
data yang sangat berharga dan Fajri Muharja atas saran membangun selama proses diskusi. Paper ini tidak akan
dapat diselesaikan tanpa bantuan mereka. Namun demikian, pendapat dan kesimpulan yang diungkapkan di sini
adalah murni menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari mereka dan lembaga tempat
mereka berafiliasi. Korespondensi dengan penulis: Davy Hendri, Department of Economics, Indonesia University,
Depok, Indonesia. email: [email protected]
2 Mahasiswa Program Doktoral pada Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
58
1. Pendahuluan Ada dua fenomena penting dalam perjalanan pembangunan Indonesia yang menarik untuk dicermati dalam beberapa waktu belakangan ini. Pertama, berita menggembirakan dari sisi perekonomian. Bangsa ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil dan menunjukkan trend menaik. Jika tahun 2009, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 % maka pada tahun 2010 dan 2011, berturut‐turut naik menjadi 6,0 % dan 6,3 %. Kedua, berita menyedihkan dari sisi social. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak dinikmati oleh seluruh rakyat sesuai proporsi mereka. Gini index sebagai proxy ketimpangan pendapatan, merangkak pelan namun pasti dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 index gini baru sebatas 0,34, naik menjadi 0,37 pada tahun 2009 dan kemudian menjadi 0,41 pada tahun 2011. Di bidang lain, angka kriminalitas juga semakin meninggi. Jumlah kriminalitas di tahun 2012, tepatnya hingga November 2012, mencapai 316.500 kasus. Risiko penduduk yang mengalami kriminalitas sekitar 136 orang tahun ini. Jadi, setiap 91 detik terjadi satu kriminalitas di Indonesia sepanjang tahun 20123 (BARESKRIM MABES POLRI, 2012).
Tidak bisa dipungkiri kedua catatan itu kontraproduktif. Hal ini tentu menjadi sebuah fenomena menarik. Timbul pertanyaan lugas, apakah pertumbuhan ekonomi identik dengan ketimpangan dan kriminalitas ?. Jika jawabannya iya, hal ini tentu sebuah paradoks. Para sosiolog dan ekonom kemudian mulai menitikberatkan dugaan mereka pada keterkaitan antara ketimpangan pendapatan dan kriminalitas4. Contoh studi sosiologis dilakukan oleh Hagan dan Petersen (1995), Kennedy et al. (1998) dan Daly et al. (2001). Hagan dan Petersen (1995) berpendapat bahwa frustrasi dirasakan oleh individu
3 Indikator kriminalitas yang pertama adalah total kejadian kriminalitas (C) yang terjadi dan dilaporkan kepada
atau dicatat oleh pihak kepolisian dalam satu tahun. Sementara itu, resiko penduduk terkena kriminaliats
merupakan rasio antara total kejadian kriminalitas per 100.000 penduduk (C/populasi)*100.000. Sementara itu
rentang waktu kejadian krimalitas merupakan rasio jumlah detik dalam satu tahun terhadap total kejadian
kriminalitas (3600*365*24/C). Lebih detail lihat Statistik Kriminalitas, BPS
4 Berbagai teori tentang kriminalitas yang berbeda dikemukakan dari sudut pandang ilmu yang berbeda pula.
Kriminologi sebagai bidang ilmu yang khusus mempelajari penyebab timbul, motiv dan pelaku dari kriminalitas,
juga memiliki pendekatan berbeda. Para kriminolog mempunyai berbagai teori mengenai penyebab kriminalitas.
Sumber : Data diolah dari Statistik Kriminalitas, BPS
Grafik 1. National Crime rate and Gini Index 2005‐2011
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
59
berpenghasilan rendah ketika mempersepsi kesejahteraan orang lain, sebuah fenomena yang dikenal sebagai perasaan "relatif kekurangan," mungkin menjadi sumber efek positif ketidaksetaraan terhadap kriminalitas. Mereka juga mengklaim bahwa kemiskinan menghasilkan disorganisasi sosial, yang kemudian menurunkan kontrol informal atas individu yang miskin, dan karenanya mengakibatkan peningkatan kriminalitas. Kennedy et al. (1998) mendalilkan bahwa kesenjangan yang tumbuh antara kaya dan miskin segmen masyarakat merusak kohesi sosial, atau modal sosial dan penurunan modal sosial meningkatkan kejadian kriminalitas mengunakan senjata api dan kekerasan.
Studi ekonomi juga berpendapat bahwa ada hubungan positif antara ketimpangan pendapatan dan kriminalitas. Menurut Ehrlich (1973), imbal balik moneter dari kegiatan kriminal berhubungan positif dengan pendapatan individu dari strata berpenghasilan tinggi. Dengan demikian, ceteris paribus, jika pendapatan tersebut menjadi lebih tinggi, semakin tidak merata distribusi pendapatan, akan semakin besar pula insentif bagi seseorang untuk menjadi seorang kriminal. Bourguignon (1999) memberikan wawasan model teoritis di mana kemiskinan relatif dan ketimpangan pendapatan merupakan penentu utama dari kegiatan kriminal.
Model ini diuji dengan data cross‐sectional untuk sejumlah negara dan hasil empiris menunjukkan bahwa prediksi teoritis ini akurat. Para peneliti tadi mendalilkan bahwa keputusan individu apakah menjadi atau tidak menjadi kriminal didasarkan pada target tingkat konsumsi yang dicita‐citakan setiap individu untuk dicapainya. Jika seseorang tidak dapat mencapai tingkat konsumsi yang diinginkan melalui jalur hukum, ia mungkin dapat melakukannya dengan terlibat dalam kegiatan kriminal. Kecenderungan untuk menjadi kriminal meningkat seiring perbedaan antara tingkat konsumsi yang ditargetkan dan aktual. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan orang kaya relatif terhadap pendapatan orang miskin akan membuat distribusi pendapatan yang lebih tidak merata dan meningkatkan tingkat kriminalitas.
Paper ini mengeksplorasi dampak ketimpangan pendapatan dan kemiskinan pada jenis kriminalitas secara umum dengan mengontrol perubahan demografi dan indikator ekonomi lainnya. Untuk menangkap efek lokal ketimpangan pendapatan pada kriminalitas, semua variabel diukur dengan menggunakan data panel di seluruh provinsi, bukan data nasional, dalam rentang 2006‐2011, sehingga menyediakan total 198 observasi. Selanjutnya bagian 2 dari paper ini menyajikan tinjauan literatur terkait isu ini. Bagian 3 akan membahas membahas set data panel serta variabel yang digunakan dalam model empirik. Bagian 4 merupakan bagian penyajian hasil yang diperoleh di bawah berbagai spesifikasi serta tes kausalitas. Terakhir bagian 5, merupakan kesimpulan dari studi dan menawarkan rekomendasi untuk pembuatan kebijakan.
2. Landasan Teori Jogmook Choe (2008) menemukan hubungan yang kuat antara ketimpangan pendapatan dan jenis kriminalitas. Dia menggunakan data panel dari semua negara bagian termasuk District of Columbia untuk tahun 1995 sampai 2004, dengan menggunakan koefisien Gini dan rasio kuintil pendapatan yang berbeda (Choe 2008). Kriminalitas‐kriminalitas ini termasuk kriminalitas, pemerkosaan, perampokan, penyerangan, perampokan, pencurian dan pencurian kendaraan bermotor. Variabel terikat diukur sebagai kriminalitas per 100.000 penduduk di suatu negara. Variabel kontrol termasuk disposable income per kapita, tingkat pengangguran, umur, pendidikan, tingkat urbanisasi, dan tingkat kemiskinan. Variabel dependen tertinggal digunakan untuk menjelaskan autokorelasi, karena kriminalitas di masa lalu biasanya punya pengaruh kuat pada tingkat kriminalitas saat ini.
Di antara empat jenis kriminalitas kekerasan, perampokan hanya ditemukan memiliki hubungan positif signifikan secara statistik dengan ketimpangan pendapatan. Untuk kriminalitas properti, hanya
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
60
pencurian yang ditemukan memiliki hubungan yang kuat dengan ketimpangan pendapatan. Sementara studinya menyediakan beberapa bukti hubungan antara ketimpangan pendapatan dan kriminalitas, namun Choe tidak menemukan peranan faktor‐faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas, seperti variasi dalam pekerjaan polisi dan undang‐undang senjata oleh negara.
Jesse Brush (2007) menilai hubungan antara ketimpangan pendapatan dan kriminalitas menggunakan analisis seri kedua cross‐sectional dan waktu negara bagian Amerika Serikat. Data pada level daerah dapat memberikan hasil yang lebih bermakna, karena ketimpangan yang dirasakan dalam satu lingkungan daerah mungkin berdampak kriminalitas lebih kokoh dari ketimpangan pada level nasional atau negara bagian. Data cross‐sectional membuktikan hipotesis adanya hubungan ketimpangan pendapatan‐kriminalitas, sementara dengan analisis seri waktu, model fixed‐efek tidak menemukannya (Brush 2007). Data terdiri dari tingkat kriminalitas dari Kantor Sensus AS, data Kabupaten dan Kota untuk tahun 1990 hingga 2000.
Pada model pertama, yang diukur data cross‐sectional untuk tahun 2000, Brush menemukan bahwa kabupaten dengan persentase lebih besar dari individu dengan pendapatan tinggi, secara signifikan berkorelasi dengan kriminalitas. Namun, ia tidak menemukan bahwa angka kemiskinan secara signifikan berkorelasi dengan kriminalitas. Meskipun hal ini mungkin menunjukkan bahwa ada keuntungan yang lebih tinggi untuk mencuri di daerah berpenghasilan tinggi, Brush juga menemukan bahwa pendapatan rata‐rata positif berkorelasi dengan kriminalitas. Model kedua, yang digunakan data time series, mengungkapkan bahwa perubahan dalam ketidaksetaraan pendapatan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan kriminalitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa angka kemiskinan memiliki hubungan mengejutkan, yaitu negatif signifikan dengan ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kriminalitas di tahun 1990 dan bahwa ada faktor‐faktor lain yang menjelaskan kecenderungan ini. Sedangkan koefisien Gini sebagai indikator pengukuran yang berguna untuk mengukur ketidaksetaraan pendapatan, tidak memperhitungkan kekayaan akumulasi atau pendapatan tambahan yang diperoleh dari pekerjaan, seperti manfaat kesehatan.
Untuk mengatasi masalah ini, Matz Dahlberg dan Magnus Gustavsson menganalisis dampak ketimpangan pendapatan pada kriminalitas properti di Swedia menggunakan penghasilan permanen dan sementara (Dahlberg & Gustavsson 2008). Mereka berhipotesis bahwa pendapatan transitoris, perubahan jangka pendek dalam pendapatan, hanya akan memiliki efek yang bisa diabaikan pada kriminalitas. Namun, pendapatan permanen, yang meliputi aset atau kekayaan riil, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kriminalitas. Penelitian ini memisahkan efek dari kedua pendapatan dari pada menggunakan total pendapatan sebagai ukuran ketimpangan pendapatan. Daerah dengan ketimpangan pendapatan rendah dalam pendapatan permanen akan memiliki tingkat kriminalitas yang rendah namun sebaliknya, bisa memiliki distribusi yang luas jika diukur dari sisi pendapatan transitoris. Pendapatan permanen diukur dengan menggunakan random walk dan model pertumbuhan acak. Kriminalitas properti dibagi menjadi tiga kategori: mengutil, perampokan, dan pencurian mobil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ketidaksetaraan pendapatan permanen menghasilkan efek positif yang signifikan pada semua tiga kategori, sedangkan peningkatan ketidaksetaraan pendapatan transitoris tidak menghasilkan pengaruh yang signifikan pada salah satu dari kriminalitas.
John Nunley, Richard Segel, dan Joachim Zietz (2011) mempelajari efek dari kondisi ekonomi makro pada kriminalitas properti menggunakan Data Laporan Kriminalitas 1948‐2009. Variabel makroekonomi termasuk tingkat inflasi, indeks pengangguran manufaktur, dan imbal hasil pada pasar saham. Penurunan lapangan kerja di sektor manufaktur proporsional mengurangi pilihan pasar tenaga kerja untuk laki‐laki muda perkotaan, karena upah yang tinggi di luar sektor ini biasanya menuntut keterampilan tinggi. Imbal hasil pada variabel pasar saham membantu menjelaskan efek akumulasi kekayaan dan ketidaksetaraan pendapatan yang akan menciptakan target menarik bagi para penjahat, karena individu miskin umumnya tidak berpartisipasi di pasar saham. Selain itu, penelitian sebelumnya
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
61
juga menunjukkan bahwa penjahat lebih didorong oleh kemiskinan relatif dibandingkan dengan kemiskinan absolut. Persentase orang dewasa muda dalam populasi, sebagai kontrol, memiliki dampak positif yang signifikan pada tingkat pencurian, tetapi tidak pada pencurian kendaraan bermotor dan tingkat perampokan. Mereka menemukan bahwa tiga variabel makroekonomi memiliki dampak positif yang signifikan secara statistik pada kriminalitas. Namun, variabel terebut menjelaskan tidak lebih dari 15 persen lonjakan dalam kriminalitas properti dari tahun 1960 ke tahun 1980 dan kejatuhan mereka selama tahun 1990. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat kriminalitas selama periode ini.
3. Metodologi Penelitian
Dalam studi ini, penulis menguji hubungan antara ketimpangan pendapatan dan kriminalitas untuk semua provinsi di Indonesia dengan menggunakan data kriminalitas yang diperoleh dari Statistika Kriminalitas publikasi BPS. Data kriminalitas tercatat (reported crime) yang digunakan di sini tidak membedakan kriminalitas ke dalam klasifikasi detail seperti kriminalitas kekerasan (violent crime) yang berupa kriminalitas, pemerkosaan, perampokan, dan penyerangan, sedangkan ukuran kriminalitas properti (property crime) yang termasuk perampokan, pencurian, dan pencurian kendaraan bermotor.
3.1. Kerangka Teoritis
Teori rational choice diperkenalkan Gary S. Becker, menyatakann bahwa keputusan seorang individu untuk melakukan kriminalitas didasari oleh analisis untung dan rugi (cost‐benefit analysis). Diasumsikan individu yang risk‐neutral secara rasional akan memutuskan untuk melakukan kejahatan jika harapan benefit (expected benefit) (nb) melakukan kriminalitas minimal sama dengan expected perolehan (yaitu probabilitas tidak tertangkap (1‐pr) dikalikan hasil kriminalitas (l) dikurangi biaya terkait untuk merencanakan dan melakukan kriminalitas (c), dikurangi penghasilan dari aktivitas legal yang hilang (w) dan dikurangi dengan perkiraan hukuman dari kriminalitas yang dilakukan
Kemudian diasumsikan juga setiap orang memiliki stock nilai moral (m) sebagai treshold bagi keputusannya untuk melakukan kriminalitas atau tidak.
Selanjutnya variasi karakteristik masing‐masing individu yang berbeda dalam model persamaan (1) tadi akan menghasilkan variasi keputusan untuk terlibat dalam kriminalitas. Penjabaran karaktersitik individu yang akan diagregasi sehingga berujung kepada level kriminalitas nasional adalah sebagai berikut :
Lama dan capaian pendidikan individu (e), dapat mempengaruhi kriminalitas melalui beberapa cara. Pertama, semakin besar capaian (attainment) dan level (enrollment) akan meningkatkan gaji dari pekerjaan legal (w). Kedua, dalam konteks keterkaitan dengan lingkungan social, orang berpendidikan akan semakin meningkatkan moral threshold (m). Ketiga, sebaliknya, dengan pendidikan yang semakin tinggi akan menurunkan biaya melakukan kejahatan (c) dan keempat, dalam konteks kejahatan kerah
)1...(..........**)1( puprwclprnb
)2.......(............................0
........1
mnbketikad
mnbketikad
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
62
putih, meningkatkan hasil kejahatan (l). Sehingga dampak total dari pendidikan e terhadap kriminalitas nb adalah a priori atau ambigu.
, , , 0.....(3)dnb
e l c w mde
Pengalaman kriminil individu 1td , dapat mempengaruhi kriminalitas melalui beberapa cara.
Pertama, stigma sebagai mantan criminal akan menyulitkan seseorang memperoleh pekerjaan dan menurunkan expected pendapatan (w). Kedua, seseorang yang pernah terlibat dalam kriminalitas dianggap telah berpengalaman learning by doing sehingga akan menurunkan biaya untuk melakukan kejahatan ulangan (c). Ketiga, seseorang yang pernah terlibat krimalitas cenderung menurun ambang
batas moralnya (m). Sehingga dampak total dari pengalaman criminal individu 1td terhadap
kriminalitas nb berjalan searah (positif).
11
, , 0......(4)tt
dnbd c w m
dd
Kejadian kriminalitas masa lalu di masyarakat 1tD dapat mempengaruhi kriminalitas melalui cara
yang hampir sama dengan pengalaman kriminaliats individu. Kejadian kriminalitas masa lalu di
masyarakat 1tD sebagai agregasi dari pengalaman criminal individu 1td , akan menurunkan biaya
untuk melakukan kriminalitas dan akan menurunkan standar moral masayarakat lainnya5. Sehingga
dampak total dari kejadian kriminalitas masa lalu di masyarakat 1tD terhadap kriminalitas nb berjalan
searah (positif)
11
, 0......(5)tt
dnbD c m
dD
Level dan pertumbuhan akjtivitas perekonomian (EA) dapat mempengaruhi kriminalitas melalui cara. Pertama, aktivitas perekonomian akan menciptakan peluang memperoleh pekerjaan dan penghasilan (w). Kedua, sebaliknya, hal ini juga berarti semakin memperbesar peluang memperoleh gain (l) jika seseorang memutuskan untuk melakukan kriminalitas. Sehingga dampak total dari aktivitas ekonomi EA terhadap kriminalitas nb adalah a priori atau ambigu
, 0.....(6)dnb
EA l wdEA
Ketimpangan pendapatan (INEQ) dapat mempengaruhi kriminalitas melalui beberapa cara. Bagi orang miskin, memburuknya inequality akan memperbesar gap antara expected perolehan hasil kejahatan (l) yang diharap dari orang lain yang lebih kaya dengan gaji dari hasil pekerjaan legal mereka sendiri (w) yang sebesar (l‐w). Kedua, memburuknya inequality juga menurunkan batas moral si miskin sebagai dampak kecemburuan social (envy effect). Jadi setidaknya, bagi sebagian orang ini dampak total dari ketimpangan pendapatan INEQ terhadap kriminalitas nb berjalan searah (positif)
5 Konsep ini analog dengan konsep ekternalitas (negative externalities) dalam konteks public goods. Prose produksi dari seorang produsen akan member pengaruh lansung terhadap masyarakat yang tidak terlibat lansung dalam prosesnya, baik pengaruhnya menguntungkan (benefit, utility, baik) maupun merugikan (cost, disutity, buruk). Apalagi jika yang dihasilkan adlah jelas‐jelas komoditi dan jasa yang buruk.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
63
( ), 0......(7)dnb
INEQ l w mdINEQ
Sementara itu, kuatnya system hukum dan kepolisian (JUST) dapat mempengaruhi kriminalitas melalui beberapa cara. Pertama, peningkatan probabilita tertangkap (pr) dan probabilita dihukumnya (pu) seorang criminal akan menguranngi insentif untuk melakukan kriminalitas. Kedua, informasi “suramnya” kehidupan semasa penjara dan susahnya menjalani kehidupan di masyarakat sekeluar dari penjara dalam interaksi sistemik dengan mantan kriminil akan memperkuat kesan ini, yang disebut sebagai detterent effect. Sehingga dampak total dari system hukum dan kepolisian JUST terhadap kriminalitas nb berjalan berkebalikan (negative)
, 0.....(8)dnb
JUST pr pudJUST
Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa
11
11 1
(1 ) ( , , , , ) ( , , , )
( , , ) ( )* ( , , , , ) 0......(9)
tt
tt t
pr l e EA INEQ DRUGS JUST c e d D other
w e d EA pr JUST pu m e d D INEQ other
Dalam bentuk reduced form :
? ?
11( , , , , , , ) 0...(10)
ttf e d D EA INEQ DRUGS other
Sehingga secara aggregate dengan menggunakan pendekatan panel data, penulis memulai analisis dengan mengikuti spesifikasi di bawah ini :
ititit vxc ' , untuk TtNi ,...,1;,...,1 ,………(11)
Di mana itc merupakan jumlah tingkat kriminalitas (berdasarkan yang tercatat/recorded), itx adalah vector dari independent variables yang dinyatakan dalam persamaan 10 dan itiit uv adalah
vector dari error terms. parameter i adalah stokastik dan memenuhi 2)( 2
iE . Parameter itu
adalah non‐stochastic disturbance yang berkorelasi dengan ),( x sehingga2)( 2
uiuE .
Sehingga dengan mensubsitusikan 11
( , , , , , , )tt
f e d D EA INEQ DRUGS other
pada persamaan (10) ke
dalam itx pada persamaan (11) maka dapat dituliskan spesifikasi ekonometri sebagai berikut :
Namun sebagai catatan, dalam penelitian ini, model yang digunakan tidak akan memasukkan variable detterent effect seperti jumlah polisi, anggaran, system perasilan dan hukum. Model akan disesuaikan dengan tujuan penelitian dan ketersediaan data.
jikad ...1
tiitititi
titititi
OtherJustDrugs
EAerateLaggedCrimEducCrimerate
,,6,5,4
,3.2,10,
1,..., ; 1,...,i N t T
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
64
3.2. Variabel dan Data Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan publikasi oleh BPS berupa data laporan total kejahatan tercatat (crime reported) yang dirilis oleh MABES POLRI setiap tahunnya (crimenom) dan resiko penduduk terkena kriminalitas (rasio kejahatan total per 100.000 penduduk) sebagaimana umumnya yang digunakan dalam penelitian terkait crime (crate)6.
Variabel independent utama, ketimpangan pendapatan, ditentukan dengan menggunakan koefisien Gini (gini). Sementara variable kontrol meliputi ; PDRB per kapita (PDRB), pertumbuhan PDRB per kapita (PDRB‐gr), jumlah penduduk miskin (Miskin), jumlah pengangguran terbuka (Penganggur) dan rata‐rata lama sekolah penduduk laki‐laki berusia > 15 tahun (Sekolah). Semua variabel diubah menjadi logaritma natural (ln), terkecuali variabel dalam satuan indeks seperti indeks gini dan rata‐rata lama sekolah. Ini berarti bahwa koefisien dari variabel independen adalah elastisitas.
Tabel 1. Sumber Data untuk Variabel Utama
Variabel Keterangan Periode Level
Crimenom Ln dari jumlah tindak kriminalitas yang dilaporkan tercatat pada Statistik Kriminalitas, BPS
2006‐2011 Provinsi
Crate Ln dari tingkat kriminalitas per 100.000 penduduk, tercatat pada Statistik Kriminalitas, BPS
2006‐2011 Provinsi
Gini Gini rasio, dari Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial‐Ekonomi Indonesia, BPS
2008‐2011 Provinsi
Gini2 Gini rasio kuadrat 2008‐2011 Provinsi
PDRB Ln PDRB per kapita, Data dan Informasi Kinerja Pembangunan, BAPPENAS
2006‐2011 Provinsi
PDRB_gr Growth dari Ln pdrb per kapita 2007‐2011 Provinsi
Sekolah Record rata‐rata lama sekolah laki‐laki dewasa (> 15 tahun) dari Data dan Informasi Kinerja Pembangunan, BAPPENAS
2006‐2011 Provinsi
Miskin Ln dari jumlah penduduk miskin dari Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial‐Ekonomi Indonesia, BPS
2006‐2011 Provinsi
Unemp Ln dari jumlah pengangguran terbuka 2006‐2009 Provinsi
6 Data total yang kemudian di logaritma naturalkan (ln_Cr), lebih besar derajat kenormalannya dibandingkan
dengan data rasio crime reported (Cr). Dapat dilihat histogram sebaran data log natural total kriminalitas
(crimenom) dengan resiko penduduk terkena kriminalitas (crate)
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
65
Selanjutnya statitistik deskriptif dari data yang digunakan dapat dilihat dari table berikut:
Tabel 2. Statistik deskriptif data
crimenom crate gini gini_2 miskin pdrb sekolah Unemp pdrb_gr
Mean 8.65161 4.98369 0.34674 0.12183 13.10681 16.61487 8.37576 11.80469 5.7253
Max 11.0613 6.32257 0.46000 0.21160 15.71032 18.47950 11.22 14.75611 8.05561
Min 5.60212 2.56495 0.26000 0.06760 11.12432 15.17289 6.61 10.02792 4.14195
Std Dev 1.06294 0.67912 0.03679 0.02833 1.08214 0.69112 0.90056 1.19023 0.74993
Obs 198 198 132 132 198 198 198 132 165
Sementara itu, korelasi antara data variable yang ditampilkan pada tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa data secara umum tidak mengalami multikolinearitas.
Tabel 3. Matrik Korelasi
pdrb pdrb_gr sekolah crimenom miskin gini gini_2 crate Unemp
pdrb 1.0000
pdrb_gr ‐0.1145 1.0000
sekolah 0.5611 ‐0.1076 1.0000
crimenom 0.3204 ‐0.1031 0.1211 1.0000
miskin ‐0.0419 ‐0.0690 ‐0.2497 0.5298 1.0000
gini 0.1938 0.0012 0.0152 0.0763 0.0695 1.0000
gini_2 0.1932 0.0049 0.0171 0.0765 0.0732 0.9975 1.0000
crate 0.2317 ‐0.0213 0.2454 0.3109 ‐0.3933 ‐0.0584 ‐0.0596 1.0000
Unemp 0.2690 ‐0.1680 0.1284 0.6808 0.8224 0.0889 0.0887 ‐0.2591 1.0000
Korelasi antara varibel gini dan gini_2 yang hampir mendekati 1 atau multikolineariti sempurna merupakan keadaan seharusnya, karena gini_2 berasal dari variable gini*gini (adapun angkanya tidak mencapai 1 hanya karena masalah pembulatan semata). Namun, terlihat bahwa variable miskin dan unemployment mempunyai korelasi yang sangat tinggi. Demikian juga, ada korelasi yang cukup kuat antara variable pdrb dengan sekolah. Multikolineariti ini akan menjadikan taraf signifikansi dan parameter dari masing‐masing variable tadi dalam model dapat menjadi bias nantinya. Untuk itu, variable pdrb dan miskin akan dikeluarkan dari estimasi hasil regressi model statis (PLS, FE dan RE). Namun, karena pentingnya peranan variable tadi dalam kerangka teori maka masalah ini akan diselesaikan dengan introduksi model 2‐SLS dan system persamaan dynamis.
4. Hasil dan Diskusi
Hasil ekonometrik model statis disajikan pada Tabel 4. Kolom (1) memberikan kita hasil yang berkaitan dengan estimasi model dengan regresi OLS sederhana. Kolom (2) dan (3) menunjukkan hasil untuk spesifikasi efek random dan fixed. Uji Breusch‐Pagan menunjukkan bahwa kita harus menolak hipotesis nol bahwa spesifikasi pooling sederhana adalah benar. OLS mengalami bias dan tidak konsisten. Perhatikan, misalnya, hasil yang diperoleh untuk variabel Gini dan variabel turunannya, gini^2. Dalam model (2). (3) dan (4) ditemukan bahwa ketimpangan pendapatan secara positif mempengaruhi kriminalitas, sedangkan hubungan sebaliknya diamati dengan estimator OLS. Hal ini disebabkan, bahwa dalam regresi OLS, kekhususan antar unit individu (negara) tidak diperhitungkan. Faktor‐faktor seperti itu harus dipertimbangkan, karena mereka dapat berperan dalam mengubah estimasi koefisien variabel.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
66
Kemudian pilihan antara model fixed effect dan random effect, dari uji Hausman‐test, ternyata model random effect merupakan model yang lebih baik dalam menjelaskan teori kriminalitas berdasarkan data yang ada. Namun, kesemua model akan tetap ditampilkan untuk memperkaya analisis.
Tabel 4. Hasil Regressi Model Statis
Variable PLS (1)
FE (2)
RE (3)
2‐SLS (4)
gini 67.035638 94.00393*** 86.271992*** 94.050064***
gini_2 ‐103.49993 ‐141.32964*** ‐128.25776*** ‐139.92467***
sekolah ‐.0377728 .51341305 .04627998 .34067703**
Un .61116366*** ‐.38895737 .56071122*** omitted
pdrb_gr .02269784 ‐.14305762 ‐.14475786* ‐.19226178**
miskin .69751536***
_cons ‐8.9150008 ‐6.3979093 ‐12.515631*** ‐18.81678***
N 66
r2_a .46 .18 .48 .38
Notes: *** Significant at 1% level, ** Significant at 5% level, * Significant at 10% level
4.1. Analisis Model Statis
Interpretasi hasil estimasi masing‐masing variable pada model 2, 3 dan 4 disajikan sebagai berikut :
Gini Index
Sesuai dengan bangun teori yang dikemukakan, dalam model fixed effect dan random effect dan 2‐SLS, ketimpangan pendapatan mempengaruhi tingkat kriminalitas secara signifikan dan searah. Kenaikan 1 point gini index akan meningkatkan angka kriminalitas dalam rentang 86 – 94 %. Dengan kata lain, 0,1 point perubahan gini index akan meningkatkan pertumbuhan angka kriminalitas dalam rentang 8,6 % – 9,4 %.
Pengangguran
Sesuai dengan bangun teori yang dikemukakan, pada model random effect, pengangguran secara signifikan mempengaruhi angka kriminalitas dalam arah yang sama. Kenaikan angka pengangguran sebesar 1 % akan menaikkan angka kriminalitas sebesar 0.45 %. Sementara itu dalam model 2‐SLS yang dikemukakan, pengangguran dan pdrb adalah regressor dari kemiskinan dan berperan positif signifikan. (Model 2‐SLS tersendiri, dapat dilihat pada lampiran 1). Sebaliknya pada model (1) dan (2), pengangguran ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kriminalitas. Hal ini sesuai dengan Ehrlich (1973) yang menyatakan bahwa meskipun efek bersih dari pengangguran sebagai proksi dari aktivitas ekonomi (EA) yang dikemukakan dalam kerangka teori di awal adalah ambigu, namun efek positif parsial pada tingkat kejahatan yang pasti karena tingkat pengangguran yang lebih tinggi akan mengurangi biaya kesempatan melakukan kejahatan.
Namun, pada model fixed effect, arahnya berjalan berkebalikan dengan kerangka teori yang ada. Akan tetapi, beberapa penelitian menyatakan hasil yang serupa. Sebagaimana diutarakan dalam Cantor dan Lahan (1985), tingkat pengangguran yang lebih tinggi akan mengurangi sejumlah target yang cocok untuk kejahatan properti karena dua alasan. Pertama, dengan diberhentikan dari pekerjaan, lebih
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
67
banyak orang akan tinggal di rumah mereka. Orang yang tinggal di rumah saja akan mengurangi risiko menjadi korban. Kedua, tingkat pengangguran yang lebih tinggi dapat diambil sebagai sinyal penurunan ekonomi. Oleh karena itu, kegiatan produsen dan konsumen juga cenderung melambat, baik untuk orang yang bekerja dan tidak bekerja. Penurunan akumulasi kekayaan tersebut dengan demikian akan memberikan kesempatan lebih sedikit untuk kejahatan properti. Mengingat alasan yang tercantum di atas, dengan asumsi cateris paribus, semua hal lain dianggap sama, tingkat pengangguran yang lebih tinggi akan menurunkan probabilitas keinginan dan motivasi pelaku dan karenanya, menurunkan tingkat kejahatan (terutama kejahatan properti).
Pertumbuhan PDRB per kapita
Ketiga model (2, 3 dan 4) menunjukkan arah berkebalikan dari pengaruh pertumbuhan pdrb per kapita terhadap kriminalitas, walaupun pada model fixed effect, poengaruhnya tidak signifikan. Pada model random effect dan 2‐SLS, pertumbuhan PDRB per kapita signifikan mempengaruhi angka kriminalitas. Kenaikan 1 % PDRB per kapita akan menurunkan angka kriminalitas dalam rentang 0,15 – 0,19 %. Hal ini berarti, jika dalam kerangka teori, dikemukakan ambiguitas dampak bersih dari aktivitas perekonomian terhadap angka kriminalitas, data yang digunakan dalam penelitian ini menyatakan bahwa hubungan kedua variable tadi adalah negative.
4.2. Model Kuadratik Temuan menarik di sini adalah bahwa hasil laju pertumbuhan kriminalitas menurun seiring dengan membesarnya ketimpangan pendapatan (indeks gini). Hal ini dapat dilihat dari variabel gini^2 yang bernilai minus), yang berarti meski kriminalitas berhubungan positif dengan ketidaksetaraan pendapatan (dCr/dGini > 0), namun hubungan itu berjalan dalam pola decreasing marginal (d2Cr/dGini2 < 0). Hal ini menunjukkan bahwa pola hubungan antara kriminalitas dengan ketidaksetaraan pendapatan tidaklah linier tetapi seperti pelana kuda (U‐invers). Sampai pada satu range tertentu, meningkatnya ketimpangan akan mendorong kriminalitas, namun setelah melewati range tersebut, akan menurun kembali.
4.9
4.9
55
5.0
55.1
Fitt
ed
valu
es
.2 .25 .3 .35 .4 .45gini
Artinya ada treshold gini (gini = n) yg mempengaruhi crime. Pada derah dengan gini di bawah n (gini < n) maka pengaruh gini terhadap crime adalah positif. Sebaliknya daerah dengan gini > n, kenaikan gini
Gambar 2 U‐invers antara Crate dengan Gini
Turning Point = 0.34
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
68
justru menurunkan crime. Pada daerah dgn gini besar, namun ditopang oleh pdrb per kapita besar maka ada kemungkinan penjelasan;
1. Orang kaya memiliki banyak investasi pribadi untuk mencegah crime. Hal ini dperkuat oleh tidak signifikannya hubungan antara crime dgn pdrb per kapita. Kombinasi pdrb perkapita yang besar dengan gini yang juga membesar, menyiratkan bahwa kekayaan semakin di tangan orang kaya. Semakin kaya, semakin terhindar dari begal. Hal ini tidaklah mengherankan. Di lapangan kita dapat melihat fakta bahwa kelas menengah mempekerjakan security dan membangun portal pengaman di lingkungan perumahan mereka, yang merupakan investasi private (dalam bentuk iuran warga per rumah tangga/keluarga) untuk meminimalkan probabilitanya menjadi korban jenis kriminalitas umum tadi.
2. Orang miskin, mulai membangun dan memiliki aspek social capital yg kuat. Mulai ada ronda malam saat crime mulai dirasa meresahkan (pada saat gini semakin besar mulai melewati treshold)
Namun, kesemua kemungkinan di atas harus diuji dengan ketersediaan data mengenai social capital dan pengeluaran k perlindungan dari ancaman kejatahan. 4.3. Analisis Model Dinamis
Bukti yang disajikan sejauh ini menunjukkan bahwa , dari sudut pandang lintas negara , ada korelasi yang kuat antara kejadian kejahatan dan tingkat ketimpangan pendapatan. Namun, ada beberapa isu yang harus kita hadapi dalam rangka untuk memastikan bahwa korelasi ini bukanlah hasil dari bias estimasi. Pertama, seperti disebutkan, kejadian kejahatan kekerasan tampaknya memiliki sifat inersia (yaitu ketekunan ) yang dicatat dalam literatur teoritis dan didokumentasikan dalam pekerjaan empiris mikro dan makro (Glaeser, Sacerdote, dan Scheinkman 1996; Fajnzylber, Lederman, dan Loayza 1998). Untuk menjelaskan inersia kriminal, kita perlu bekerja dengan model ekonometrik dinamis.
Tabel 5. Hasil Regressi Model Dinamis
Variable 2‐SLS Lag (5)
AB (6)
BB (7)
L1. Crimenom .87132333*** ‐2.3504718** .47629036***
gini 13.762554 10.124172 83.165717**
gini_2 ‐22.054477 ‐15.13477 ‐128.47752**
sekolah .00115116 ‐.04834281 ‐.4508285**
Un .07501619 1.5097853 ‐.35901616***
pdrb_gr ‐.09688432 .02415832 ‐.14475786***
pdrb ‐ 1.7446568 1.5568659***
miskin ‐ .4681995 1.3669745***
_cons ‐1.7544175 ‐24.931743 ‐34.310053***
N 66 33 66
Prob > Chi2 < 0.0000 < 0 .0296 < 0.0000
Notes: *** Significant at 1% level, ** Significant at 5% level, * Significant at 10% level
Isu kedua yang harus kita diatasi adalah bahwa hubungan antara tingkat kejahatan dan faktor
penentu mereka sering ditandai dengan dua arah kausalitas. Kegagalan untuk mengoreksi endogenitas
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
69
gabungan dari variabel penjelas akan mengakibatkan koefisien konsisten, yang tergantung pada tanda kausalitas terbalik akan bias over‐ atau under ‐ perkiraan pengaruhnya terhadap tingkat kejahatan. Untuk mengatasi masalah endogenitas bersama dengan menggunakan prosedur variabel diterapkan pada model dinamis data panel, yaitu Generalized Method of Moments ( GMM ) estimator yang menggunakan sifat dinamis dari data untuk menghasilkan variabel instrumen yang tepat.
Kesulitan estimasi ketiga adalah ada kemungkinan bahwa kesalahan pengukuran masih menimpa data kejahatan kita. Mengabaikan masalah ini mungkin juga mengakibatkan bias estimasi parameter terutama karena kejahatan tidak dilaporkan sangat berkorelasi dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejahatan itu sendiri seperti ketidaksetaraan, pendidikan dan tingkat pendapatan rata‐rata.
Dalam aplikasi pada model dinamis, maka variable miskin ditengarai sebagai endogenus variable dari variable Un dan pdrb (lihat lampiran 4, 5 dan 6). Oleh karenanya, dalam model dinamis AB dan BB, miskin merupakan instrument variable tersendiri sehingga persamaan model yang semula tunggal menjadi persamaan sistem7.
Berikut analisis dan inpterpretasi masing‐masing variable dari model dinamis yang ditawarkan. Dengan menggunakan model Arelano Bond (AB) dan Boulder Bond (BB), variable pdrb per kapita dan Un (pengangguran) dijadikan predetermined variabel, tidak berkorelasi dengan error transisi saat ini, tetapi dengan error sebelumnya. Dengan kata lain, shock terhadap crimenom justru akan mempengaruhi pdrb dan Un di masa datang. Laju pendapatan per kapita Sejalan dengan model statis (fixed dan random effect), maka pada model dinamis, laju pendapatan per kapita juga berpengaruh negatif dan siginifikan terhadap angka kriminalitas terutama pada model BB. 1 % laju PDRB per kapita akan menurunkan angka kriminalitas sebesar 0.35 %. Crimelag Sesuai dengan bangun teori, maka pengalaman kriminal masa lalu (hanya lag 1) berpengaruh signifikan terhadap kegiatan kriminalitas yang ada sekarang. Hal ini terbukti berpengaruh positif dan signifikan pada ketiga model dinamis yang ada. Ada 2 interpretasi terhadap temuan ini; Pertama, pertambahan 1 % tindakan kriminal masa lalu lalu seorang kriminil meningkatkan kegiatan krimalitasnya saat ini sebesar 0,48 % atau pertambahan 1 % kegiatan kriminal di masa lalu dalam masyarakat akan meningkatkan kegiatan kriminal saat ini sebesar 0,48 % Sekolah Semakin lama (record) sekolah laki‐laki dewasa (> 15 tahun) akan semakin menurunkan kriminalitas. 1 tahun tambahan record sekolah laki‐laki dewasa akan menurunkan angka kriminalitas sebesar 0,45 %. Kehadiran di sekolah mengurangi waktu yang tersedia untuk kegiatan lain, termasuk melakukan kejahatan. Namun, korelasi negatif antara kehadiran di sekolah dan tingkat kejahatan bisa berjalan dari arah berlawanan: catatan kriminal bisa mengurangi peluang kerja di masa depan dan, karena itu, mengurangi hasil yang diharapkan dari investasi sekolah. Di sisi lain, meningkatkan alternatif upah diharapkan dapat mengurangi kejahatan properti dengan meningkatkan biaya peluang dari pasar tenaga kerja. Perkiraan hasil, oleh karena itu, menyiratkan bahwa per kapita PDB telah gagal untuk menangkap efek memotivasi keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dari kriminalitas.
7 Untuk lebih jelas, dapat dibaca manual tentang dynamic panel data dengan Arelano Bond dan Boulder Bond
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
70
5. Kesimpulan
Ketimpangan pendapatan, diukur dengan indeks Gini, memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap terjadinya kejahatan. Kesimpulan ini diperkuat oleh penggunaan 2 indikator kriminalitas crimenom dan crate sebagai variabel dependen, sampel propinsi, set variabel tambahan yang menjelaskan tingkat kejahatan (variabel kontrol) dan metode estimasi ekonometrik. Secara khusus, hasil ini tidak berubah bila menggunakan sifat dinamis untuk mengendalikan endogenitas bersama dari variabel penjelas.
Dalam proses hingga tiba pada kesimpulan ini, penulis menemukan hasil yang menarik lainnya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya. Pertama, terjadinya kejahatan memiliki derajat inersia yang tinggi, yang membenarkan intervensi awal untuk mencegah gelombang kejahatan. Kedua, tingkat kejahatan menurun ketika pertumbuhan ekonomi membaik. Oleh karenanya, mempertahankan pertumbuhan ekonomi amat penting. Kriminalitas bersifat counter‐cyclical. Ekonomi yang stagnan akan memicu pertumbuhan angka kriminalitas. Pembangunan yang lebih merata (re‐distributive policy) untuk menekan dampak criminogenic. Kombinasi dari dampak signifikansi siklus bisnis dengan distribusi income, menyiratkan bahwa kemungkinan penurunan kemiskinan akan menurunkan angka kriminalitas. Ketiga, harus ada shift paradigm dari penjara kepada lembaga pemasyarakatan, dari kurungan kepada pembinaan. Terutama bagi “pemain baru” dan tipe kriminalitas “kecil”. Khususnya, hal ini untuk mencegah akumulasi pengetahuan dan ekternalitas negative berupa transfer pengetahuan “kriminalitas” tadi dari masyarakat kriminil terhadap bagian masyarakat lainnya. Keempat, Preventif action dengan fokus kepada pendidikan (formal?). Walaupun data enrollmen rate SMP tidak ada, sehingga tidak menggambarkan relasi untuk laki‐laki muda. Mempertahankan mereka tetap sekolah dan menarik lainnya dari jalanan merupakan strategi penting. Kelima, ada pola kuadratic dari hubunga ketimpangan yang diproksikan oleh gini index dengan angka kriminalitas.
Namun tulisan ini memiliki beberapa kekurangan penting. Pertama, penulis belum menyediakan cara untuk menguji atau membedakan antara berbagai teori tentang terjadinya kejahatan. Secara khusus, hasil temuan konsisten dengan kedua paradigma ekonomi dan sosiologis. Kelemahan ke kedua, yaitu bahwa penulis belum mengidentifikasi dampak ketimpangan terhdap berbagai jenis kejahatan secara khusus, yaitu kejahatan terhadap diri (violent crime) dan kejahatan terhadap harta (property crime). Kelemahan ketiga, apa sebenarnya dan melalui mekanisme apa yang menyebabkan terjadinya marginal decreasing (fungsi kuadratic) dampak ketimpangan terhadap kriminalitas?. Ketidakpastian tentang mekanisme ini menimbulkan berbagai pertanyaan dengan implikasi kebijakan yang penting. Misalnya, haruskah perlindungan polisi dan keadilan diarahkan ke lapisan masyarakat miskin? Seberapa penting pencegahan kejahatan melalui program transfer pendapatan pada saat resesi ekonomi ? Sampai sejauh mana otoritas publik harus peduli dengan pendapatan dan polarisasi kelas ? Apakah kebijakan yang mempromosikan partisipasi dalam organisasi komunal dan membantu mengembangkan " modal sosial " di antara penduduk miskin juga mengurangi kejahatan ? Semoga, paper ini akan membantu membangkitkan minat pada isu dan bisa menjawab sebagian pertanyaan terkait pencegahan kriminalitas.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
71
Daftar Pustaka
Becker, G. (1968). Crime and punishment: An economic approach. Journal of Political Economy, 76, 169–217
Bourguignon, F. (2001). Crime as a Social Cost of Poverty and Inequality : A Review Focusing on
Developing Countries. World Bank Discussion Paper 2001:44
Brand, Sam and Price, R. (2000). The economic and social costs of crime. Home Office Research Study
217, London, United Kingdom Brush, J. (2007). Does Income Inequality Lead to More Crime? Economic Letters, 264‐268. Cameron, L and Shah, M. (2011). Mistargeting of Cash Transfers, Social Capital Destruction, and Crime
in Indonesia. Monash University. Capasso, S. (2004). Crime, Inequality and Economic Growth. Working paper CSEF, University of
Salerno, September 2004 Choe, C. (2005). Income variables and the measures of gains from crime. Oxford Economic Papers, 57,
112‐119. Chiu, W. and Madden, P. (1998). Burglary and income inequality. Journal of Public Economics, 69, 123‐
141.
Demombynes, G., and Ozler, B. (2003). Crime and local inequality in South Africa. Journal of
Development Economics, 76, 265– 292 Detotto, C., and Otranto, E. (2010). Does Crime Affect Economic Growth? KYKLOS, 63(3), 330–345.
Doyle, J., Ahmed, E., and Horn, R. (1999). The Effect of Labor Markets and Income Inequality on Crime.
Southern Economic Journal, 65,717‐738. Fajnzylber, P., Lederman,D., and Loayza, N. (2002). Inequality and violent crime, Journal of Law and
Economics, 45(1), 1‐40. Freeman, R.B. (1996). Why Do So Many Young American Men Commit Crimes and What Might We Do
About It ? Journal of Economic Perspectives, 10(1), 25‐42.
Imai, S., and Krishna, K. (2001). Employment, dynamic deterrence and crime. Working Paper, National
Bureau of Economic Research, Cambridge, MA
Imrohoroğlu, A., Merlo, A., and Ruper, P. (2000). On the Political Economy of Redistribution and Crime.
International Economic Review, 41, 1‐25. Kennedy, B. (1998). Social Capital, Income Inequality, and Firearm Violent Crime. Social Science
Medicine, 47, 7‐17. Kelley, M. (2000). Inequality and crime. The Review of Economics and Statistics, 82(4), 530‐539.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
72
Lochner, L. (1999). Education, work, and crime: theory and evidence. University of Rochester Working
Paper, No. 465.
Magnus, G. and Matz, D. (2008). Inequality and crime: Separating the effects of permanent and
transitory income, Oxford Bulletin of Economics & Statistics, 70(2), 129‐153.
Neumayer, E. (2005). Inequality and Violent Crime: Evidence from Data on Robbery and Violent Theft. Journal of Peace Research, 42(1), 101–112.
Nunley, J., Seals, R., and Zietz, J. (2011). The Impact of Macroeconomic Conditions on Property Crime.
Auburn University Department of Economic Working Papers Series. 1‐21 Rosefeld, R., Messner, S., and Baumer, E. (2001). Social Capital and Homicide. Social Forces, 80, 283‐
310. Sharma, G. (2011). Crime and Inequality in India, working paper of University of Missouri April 2011. Soares, R. (2003). Development, crime, and punishment: Accounting for international differences in
crime rates. Journal of Development Economics, 155‐184 Teles, V.K. (2004). The effects of macroeconomic policies on crime. Economic Bulletin, 11(1), 1‐9
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
73
Halaman ini sengaja dikosongkan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
74
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP KINERJA BANK DI
INDONESIA
Aula Ahmad Hafidh1
Abstract
This paper uses a new dataset to reassess the relationship between bank ownership and bank
performance, providing separate estimations each performance criteria for public and private
ownerships. The results show that state‐owned banks have lower profitability and higher costs than
their private counterparts. Moreover, this paper states the strong correlation between bank
ownership and performance.
Keywords : Kepemilikan, Kinerja Bank JEL Classification: G21, G32
1 Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
75
1. Pendahuluan
Kinerja suatu bank sangat erat sekali hubungannya dengan peran dan fungsi manajemen dari bank tersebut. Maju tidaknya kegiatan operasional suatu bank sangat tergantung dengan kemampuan dari manajemen tersebut mengelola banknya masing‐masing. Disamping besarnya peran manajemen agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, peran pemilik bank itu sendiri juga cukup besar untuk memberikan kontribusi dalam memilih manajemen yang bagus. Pemilik namk menginginkan manajemen dapat mengoptimalkan sumber daya sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal. Tujuan akhir suatu bank adalah profit yang tercermin dengan kinerja yang bagus. Untuk mencapai tujuan yang bersifat profit motives dari pemilik bank, maka pemilik akan selalu memilih manajemen yang bagus dengan memberikan gaji yang tinggi. Mengingat pentingya hubungan antara pemilik dengan manajemen suatu bank maka perlu dianalisis apakah struktur kepemilikan berpengaruh terhadap kinerjanya.
Penelitian Gunarsih (2000) pada industri manufaktur menunjukkan bahwa kepemilikan
perusahaan oleh institusi asing berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Pada industri
perbankan Indonesia hal sama mungkin terjadi, bank yang sebagian sahamnya dimiliki asing memiliki
tingkat risiko rendah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah struktur kepemilikan
berpengaruh terhadap tingginya tingkat risiko bank di Indonesia.
2. Teori dan Bukti Empiris Struktur Kepemilikan
a. Struktur Kepemilikan Bank dan Kinerja
Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi (apakah dimiliki oleh orang dalam atau luar) menarik untuk diteliti apakah akan meningkatkan, menurunkan atau tidak berpengaruh terhadap kinerja perbankan. Peningkatan kinerja karena struktur kepemilikan yang terkonsentrasi didasarkan pada 3 (tiga) alasan. Pertama, menurut Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan semakin besar kepemilikan saham dikuasai seseorang atau perusahaan akan semakin meningkatkan kinerja karena adanya insentif yang besar kepada manajer dan pemegang saham lainnya. Principal‐agent conflict akan hilang ketika manajer juga sebagai pemegang saham mayoritas. Kedua, menurut Shleifer and Vishny (1986) menyatakan eskipun control pemegang saham tidak memasuki wilayah manajemen, mereka dapat memonitor dan mengendalikan manajer agar menunjukkan kinerja yang lebih baik. Ketiga, Stein (1989) and James (1998) berpendapat bahwa perusahaan yang dimiliki keluarga (family‐owned firms) mungkin mempunyai keputusan investasi yang lebih baik, juga lebih baik dalam derajat pengetahuan perusahaan, mengurangi keengganan, sehingga meningkatkan kinerja.
Sedangkan konsentrasi kepemilikan yang menyebabkan kinerja negatif karena 4 (empat) alasan. Pertama, tingginya kendali pada satu pihak akan menimbulkan konflik kepentingan antara pemegang saham pengendali dan minoritas, Stulz (1988) and Barclay and Holderness (1989) menyatakan rendahnya tingkat kendali berakibat turunnya kesempatan mengambil alih dan menempatkan manajer yang diinginkan. Kedua, jika manajer atau pemegang saham pengendali lebih mementingkan kepuasan dirinya tetapi menyebabkan kebijakan yang tidak optimal. Sebagai contoh, pemilik yang memberikan kompensasi besar pada dirinya sendiri atau menunjuk anggota keluarga yang kurang kompeten. Ketiga, karena konsentrasi kekayaan keluarga dalam bisnis dan adanya warisan keluarga, Morck, Wolfenzon and Yeung (2005) berpendapat bahwa family‐owned firms cenderung menghindari resiko (risk aversion) dan lebih memilih ekspansi atau merger yang menguntungkan. Dan keempat, penggunaan mekanisme control yang memisahkan hak control
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
76
terhadap arus kas weakens the alignmentbetween controlling and minority shareholders and increases the incentives for controlling shareholders to extract private benefits (DeAngelo and DeAngelo 1985; Johnson et al. 2000).
Terakhir, konsentrasi kepemilikan tidak berhubungan dengan kinerja karena factor endogen. Demsetz (1983), Demsetz dan Lehn (1985) and Kole dan Lehn (1997) berpendapat kepemilikan dan kinerja perusahaan adalah endogen dan seharusnya akan berbeda oleh perusahaan dan industri. Pasar yang efisien akan menghasilkan struktur kepemilikan terbaik (best firm‐specific ownership structure), dan perusahaan dengan struktur kepemilikan yang tidak efisien akan gagal dalam jangka panjang. Oleh karena itu tidak ada hubungan antara kepemilikan dan kinerja perusahaan.
Demsetz dan Lehn (1985) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan dan kinerja perusahaan, konsisten dengan pandangannya bahwa kinerja adalah factor endogen.Himmelberg, Hubbard dan Palia (1999) menjelaskan hasil yang tidak konsisten karena adanya potensi kausalitas terbalik antara kepemilikan dan kinerja sehingga menghasilkan bias karena heterogenitas perusahaan. Studi lainnya menunujukkan Villalonga and Amit (2006) kemilikan mempunyai dampak postif terhadap kinerja dan keuntungan jika pemilik juga bertindak sebagai CEO atau Chairman dengan CEO dari luar.
Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Michael Porter (1990) menyatakan bahwa tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur, corporate governance dan proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan. Setelah strategi ditentukan maka langkah selanjutnya adalah implementasi strategi dan mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki perusahaan untuk pencapaian tujuan perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak lepas dari peran pemilik. Dapat dikatakan bahwa peran pemilik sangat penting dalam menentukan keberlangsungan hidup perusahaan.
Dalam mengkaitkan antara struktur kepemilikan dengan kinerja bank, terdapat satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pencapaian sasaran organisasi bank serta kinerjanya, yaitu manajemen atau pengurus bank. Pencapaian tujuan dan kinerja bank tidak terlepas dari kinerja manajemen itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, hubungan antara manajemen suatu bank dengan pemilik bank akan dituangkan dalam suatu kontrak (performance contract). Hubungan kontrak antara pemilik dan manajemen tersebut sejalan dengan Agency Theory (Jensen dan Meckling, 1976). Agency relationship didefinisikan sebagai kontrak dimana satu atau lebih orang (disebut owners atau pemegang saham atau pemilik) menunjuk seorang lainnya (disebut agen atau pengurus atau manajemen) untuk melakukan beberapa pekerjaan atas nama pemilik. Dalam hal ini manajemen diharapkan oleh pemilik untuk mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada di bank tersebut secara maksimal.
Kajian yang menghubungkan antara kepemilikan suatu bank dengan kinerja telah dilakukan oleh Barth, Caprio Jr dan Levine (2002). Tujuan dari pada kajian yang mereka lakukan adalah untuk (i) mengumpulkan dan melaporkan data lintas negara mengenai pengaturan dan kepemilikan bank, serta (ii) mengevaluasi hubungan antara praktek pengaturan/kepemilikan yang berbeda dengan kinerja sektor keuangan dan stabilitas sistem perbankan. Dalam penelitian tersebut, mereka menggunakan data empiris dari 60 negara, dan mengupas permasalahan yang lebih luas dari sekedar hubungan antara struktur kepemilikan dengan kinerja bank. Beberapa temuan dan kesimpulan dari kajian yangberkaitan dengan struktur kepemilikan dan perkembangan bank adalah sebagai berikut :
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
77
1. Membatasi kepemilikan bank oleh perusahaan non‐keuangan tidakberkaitan dengan kerapuhan keuangan maupun kinerja bank tersebut.
2. Semakin besar industri perbankan dikontrol/dikendalikan oleh bank pemerintah, maka inovasi di sektor perbankan akan semakin berkurang.
3. Kepemilikan pemerintah yang semakin besar pada bank cenderung berkaitan dengan semakin banyaknya pelaksanaan sistem keuangan yang buruk, serta berkaitan pula dengan semakin banyaknya bank yang perkembangannya lambat/buruk.
4. Bukti empiris memperlihatkan hubungan yang negatif antara tingkat kepemilikan bank oleh pemerintah dan perkembangan keuangan. Negaranegara dengan kepemilikan bank oleh pemerintah semakin besar cenderung untuk memiliki bank‐bank maju (developed banks) yang lebih sedikit.
Studi tersebut menggunakan pengukuran alternatif kepemilikan bank, serta menguji
hubungan antara kepemilikan pemerintah dan perkembangan keuangan.Hasil studi mereka
memperlihatkan bahwa kepemilikan pemerintah memperlambat perkembangan yang terjadi di
sektor keuangan.
b. Struktur Kepemilikan di Indonesia
Pada perusahaan‐perusahaan di negara maju, kepemilikan sahamnya relatif tersebar sehingga terdapat pemisahan antara kepemilikan dan kontrol. Konflik utama yang muncul adalah konflik antara pemilik dan pengendali. Manajer memiliki potensi untuk melakukan tindakan yang merugikan pemegang saham. Kepemilikan saham oleh manajer diharapkan mampu menyelaraskan tindakan manajer dengan kepentingan pemilik. Pada kasus Indonesia seperti pada kasus di negara sedang berkembang lainnya, struktur kepemilikan perusahaan sangat terkonsentrasi dan konsentrasi terbesar terletak pada individu maupun keluarga. Artinya individu maupun keluarga memiliki sebagian besar saham sehingga mereka menjadi pengendali perusahaan.
La Porta dkk (1999) menyatakan bahwa hanya sekitar 36% persen perusahaan besar di dunia yang kepemilikannya tersebar, 30% berada pada kontrol keluarga, 18% berada di berada pada kontrol negara dan sisanya berada pada kontrol institusi dan campuran. Hasil penelitian mereka juga menunjukkan bahwa kepemilikan saham yang relatif tersebar berada pada negara yang memiliki sistem hukum yang baik. Kondisi tersebut terdapat di Amerika Serikat. Sedangkan untuk negara di luar Amerika (perlindungan terhadap pemegang saham minoritas lemah), kepemilikan perusahaan relatif terkonsentrasi (pemegang saham pengendali). Dapat dikatakan bahwa belum terdapat pemisahan yang jelas antara kepemilikan dan kontrol pada banyak perusahaan di berbagai negara di luar Amerika.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Menurut Husnan (1999), struktur kepemilikan perusahaan masih didominasi oleh institusi domestik, individu maupun keluarga. Struktur kepemilikan juga sangat terkonsentrasi, artinya sebagian besar saham perusahaan hanya dimiliki oleh sedikit pemilik. Walau perusahaan tersebut mempekerjakan manajer professional namun keputusan strategis masih dipegang pendiri perusahaan atau founders. Hasil tersebut didukung oleh Claessens et al. (2000) yang menyatakan bahwa belum terdapat pemisahan yang jelas antara kepemilikan dan kontrol pada perusahaan yang terdaftar di BEJ. Pengendali pada perusahaan di Indonesia juga merupakan pemilik atau masih memiliki hubungan keluarga dengan pemilik.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
78
Pada industri perbankan hal yang sama terjadi. Konsentrasi kepemilikan saham ada pada individu, keluarga dan institusi domestik. Saat bank dikuasai oleh individu, keluarga dan institusi domestik, mereka akan menggunakan asset secara lebih berisiko atas beban deposan. Hal ini disebabkan keinginan untuk meningkatkan nilai opsi dari saham yang mereka miliki (Leonard dan Biswas, 1998; Esty, 1997). Saat asset dikelola secara berrisiko, volatilitas earnings meningkat dan akan dinikmati oleh pemegang saham sedangkan risiko akan ditanggung oleh deposan maupun debtholder (moral hazard). Penelitian ini tidak membedakan kepemilikan individu, keluarga dan institusi domestik karena diperkirakan perilaku risiko mereka sama. Institusi yang dibuat hanya menjadi alat untuk menjalankan kepentingan mereka atas bank yang mereka miliki. Slovin dan Sushka (1993) menyatakan bahwa kepemilikan institusi dapat menurunkan nilai perusahaan saat kepentingan institusi sejalan dengan kepentingan manajer. Artinya mereka berkolusi dan pada akhirnya berakibat pada turunnya nilai perusahaan.
Kepemilikan bank yang terkonsentrasi pada individu, keluarga dan institusi domestik sangat umum di Indonesia. Kepemilikan yang terkonsentrasi menyebabkan mereka memiliki kendali besar terhadap bank yang mereka miliki. Bank dengan kepemilikan yang sangat terkonsentrasi memiliki problem moral hazard yang lebih tinggi dibanding pada bank dengan konsentrasi rendah. Sebagai pemegang saham pengendali, perilaku mereka akan lebih berrisiko. Artinya, pemegang saham akan meningkatkan kemakmurannya tanpa tambahan biaya dengan cara meningkatkan variabilitas return melalui penggunaan asset secara lebih berisiko atau menggunakan hutang (moral hazard). Buser, Chen dan Kane menyatakan, saat tidak adanya agency cost of debt (ada lembaga penjaminan simpanan) dari depositor dan batasan peraturan, pemegang saham akan memperoleh benefit dengan meningkatkan hutang dan menanamkan dananya pada asset yang berisiko (Cebenoyan, Cooperman dan Register;1995).
Kepemilikan bank‐bank di Indonesia sangat bervariasi karena dari 141 bank yang ada ternyata kepemilikannya tersebar. Sebagian kecil dari jumlah bank yang ada dimiliki oleh pemerintah, sebagian lagi dimiliki oleh pihak swasta baik swasta dometik maupun swasta asing. Peta struktur kepemilikan bank saat ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah bank di Indonesia berdasarkan kepemilikannya tahun 2005
Kepemilikan bank Jumlah Persentase
Bank asing 10 7%
Bank pemerintah daerah 26 18%
Bank pemerintah pusat 5 4%
Bank swasta 76 54%
Bank campuran 24 17%
141 100%
Secara umum, beberapa alasan bagi bank untuk go public adalah dalam rangka menambah
modal, meningkatkan ekspansi kredit, meningkatkan likuiditas perusahaan, serta agar lebih
transparan kinerjanya. Dengan keikutsertaan masyarakat luas menjadi pemilik bank, maka kontrol
masyarakat terhadap penyelenggaraan operasional perbankan tersebut menjadi semakin besar.
Sebagai konsekuensinya, diharapkan bank‐bank tersebut akan mampu melaksanakan good
corporate governance dengan baik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja bank‐bank go
public tersebut. Disamping itu, dengan semakin besarnya kontrol masyarakat atas bank‐bank yang
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
79
telah go public, maka manajemen dari bank tersebut akan lebih professional serta memiliki visi
dan strategi yang jelas.
3. Metodologi
3.1. Spesifikasi Model
Penelitian ini menggunakan regresi data panel untuk menggambarkan korelasi antara kepemilikan bank dan kinerjanya. Data yang digunakan adalah data panel bank tahun 2000‐2006 yang mencakup indikator standar seperti kemampulabaan (profitabilitas) dan efisiensi seperti Return on Assets (ROA), Net Interest Margin (NIM) dan Operating Cost Ratio (OCR) untuk mengestimasi model persamaan. Estimasi dimulai dengan membandingkan bagaimana faktor kepemilikan berpengaruh terhadap kinerja bank kemudian hasilnya diuji apakah terjadi robustness karena perubahan spesifikasi ekonometrikanya.
PERFi,t = α + αPUBi,t + αPRIVi,t + + αNONINT i,t+ αDDEPi,t + αLTAi,t + εi,t
Dimana PERF = Kinerja, PUB = Variabel dummy (1) untuk bank milik pemerintah, PRIV = Variabel dummy (1) untuk bank milik swasta, NONINT = Pendapatan bukan bunga, DDEP = Demand deposit, LTA = Total aset
Untuk variabel dependen kinerja, dispread menjadi Return on Assets (ROA), Net Interest Margin
(NIM) dan Operating Cost Ratio (OCR) sehingga nantinya terdapat tiga system persamaan parsial.
Kinerja perbankan dapat dilihat dari beberapa sudut, dalam penelitian ini digunakan profitabilitas
dan efisiensi sebagai ukuran kinerja. Pengukuran profitabilitas dari ROA dan efisiensi dari NIM dan
OCR. ROA didefinisikan sebagai net profit dibagi average total assets, yang menunjukkan kemampuan
manajemen menghasilkan pendapatan bersih dari aset yang dimiliki. NIM didefinisikan sebagai selisih
antara pendapatan bunga dan beban bunga sebagai proporsi dari average total assets. OCR
didefinisikan sebagai rasio total biaya operasional dibagi average total assets.
Sistem persamaan diatas menggambarkan error structure dari model. Model tersebut merupakan
random effects dalam model persamaan dengan menggunakan data panel yang mengontrol bank‐
specific dan time‐specific effect yang tidak terobservasi. Alasan memilih random effects model
daripada fixed effects karena keberadaan data. Dalam model fixed effect , adanya dummy kepemilikan
menghasilkan nilai yang sama untuk setiap periode waktu. Sehingga matriks variabel penjelasnya
singular, nilai determinasinya menjadi nol dan tidak bisa dibalik (inverted).
Matriks variance‐covariance dari error term tidak memenuhi asumsi model regresi klasik, sehingga
digunakan Generalised Least Squares (GLS). Metode regresi panel ini memperhatikan masalah
endogenitas. Masalah endogenitas dalam penelitian ini adalah debat antara apakah kepemilikan
mempengaruhi kinerja atau sebaliknya, kinerja menentukan struktur kepemilikan.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
80
3.2. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari Direktori Perbankan Indonesia
(DPI) dan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Pembedaan kepemilikan bank berdasarkan pengelompokkan yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
dalam penelitian ini mengeluarkan (excluded) bank milik pemerintah daerah dan bank asing. Data yang
diambil berasal dari tahun 2000:1 sampai dengan 2007:12. dismpaing itu juga diambil data‐data lain
yang diperlukan yang berasal dari sumber lain seperti majalah Infobank
4. Hasil dan Analisis Data
Dari data yang diperoleh, bank swasta nasional yang masuk dalam perhitungan adalah bank dan bank pemerintah bank. Oleh karena itu penelitian ini berusaha untuk membandingkan lebih fokus pada kedua kepemilikan bank tersebut
Tabel 2. Hasil Regresi
Variabel Return on Assets Net Interest Margin Operating Cost Ratio
KONSTANTA PUB PRIV NONINT DDEP LTA
0,092 (1,785)* 0,125 (0,052) ‐0,023 (0,169) ‐0,058 (0,784) 0,215 (0,786) 0,452 (0,126)
0,051 (6,897)***
0,012 (4,842)** 0,003 (0,769) 0,061
(1,721)* 0,161 (0,924) 0,036
(‐5,526)**
0,053 (15,466)***
0,0125 (8,426)***
0,006 (‐0,889) 0,017
(1,592)* 2,183
(1,620)* 0,0256
(9,253)***
R2 0,36 0,41 0,29
*** Signifikan pada pada alpha 1% ** Signifikan pada pada alpha 5% * Signifikan pada pada alpha 10%
Dalam model 1 yaitu mengukur kinerja dari sudut Return on Assets (ROA) tidak ada dummy kepemilikan yang mempunyai efek signifikan terhadap ROA, hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya angka yang signifikan pada kedua dummy tersebut.meskipun dummy PUBLIC mempunyai efek positif tetapi tidak signifikan. Model secara keseluruhan menunjukkan hubungan yang lemah antara kepemilikan dengan kinerja ROA. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat privatisasi yang sering dilontarkan pemerintah guna meningkatkan kinerja perbankan. Sedangkan model kedua yang menunjukkan kinerja dari sudut Net Interest Margin (NIM), kepemilikan dummy PUBLIC menunjukkan koefisien positif dan sangat tinggi signifikansinya dengan t rasio yang cukup besar (4,842). Dummy PRIVATE juga menunjukkan koefisien yang positif tetapi tidak signifikan. Bank swasta nasional lebih kecil dalam mencapai NIM daripada bank pemerintah. Terdapat beberapa alasan untuk menjawab mengapa bank pemerintah lebih menguntungkan (kinerjanya). Kebanyakan bank milik pemerintah di Indonesia dapat menghimpun dana dengan muruh seperti tingkat suku bunga simpanan yang murah, menghimpun dana mengambang (floating fund) yang besar. Mereka juga bisa menghimpun dana dari berbagai pelosok negeri dengan adanya jaringan kantor cabang yang luas dan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
81
merata. Untuk bank pemerintah seperti BRI, Bank Mandiri atau Bank BNI mempunyai kantor (minimal kantor kas) sampai tingkat kecamatan di seluruh Indonesia. Disamping itu adanya pengalaman telah beroperasi sekian lama menjadikan bank pemerintah mempunyai keunggulan tersendiri. Tingginya NIM juga adanya penetapan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi terutama pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Sedangkan pada model ketiga yang mengukur kinerja perbankan dari sisi Operating Cost Ratio
(OCR). Koefisien dummy PUBLIC mempunyai koefisien positif (0,0125) dan sangat signifikan (8,426)
pada derajat kepercayaan 99%. Sedangkan untuk dummy PRIVATE terhadap OCR nilainya negatif dan
tidak signifikan. Dari nilai tersebut dapat diketahui bank swasta nasional lebih efisien dalam
operasional perbankan. Seperti dijelaskan dalam teori privatisasi, perusahaan akan melakukan
efisiensi sumber daya yang ada dan meningkatkan produktifitas. Untuk variabel kontrol lainnya,
pendapatan bukan bunga (NONINT) hubungannya negatif dan tidak signifikan. Penghasilan non bunga
tidak mempengaruhi aset, berbeda dengan NIM dan OCR yang berpengaruh positif dan signifikan
meskipun nilainya kecil (0,061) dan (0,017). Sedangkan variabel deposito DEP berpengaruh positif
terhadap ketiga ukuran kinerja, tetapi hanya pada model 3 yaitu OCR yang nilainya signifikan pada
alpha 10%. Demikian juga untuk variabel Total Aset LTA berpengaruh terhadap kinerja pada ketiga
model.
5. Kesimpulan
Tulisan dalam artikel ini berusaha untuk menganalisis hubungan atau pengaruh antara kepemilikan suatu bank terhadap kinerja perbankan dilihat dari Return on Asset (ROA), Net Interest Margin (NIM) dan Operating Cost Ratio (OCR). Dari hasil analisis data factor kepemilikan tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja perbankan. Kinerja bank lebih ditentukan oleh kemampuan manajerial yang bertanggungjawab terhadap operasional bank sehari‐hari. Para pemilik atau pemegang saham tidak berkaitan dengan kinerja, meski ada campur tangan.
Yang utama dalam meningkatkan kinerja adalah memilih para manajer atau direktur yang cakap dan kompeten, sehingga kinerja bank dipengaruhi oleh pemilik sebatas kemampuannya memilih dan mendudukkan para manajer yang handal.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
82
Daftar Pustaka
Altunbas, Y., Evans, L., and Molyneux, P. (2001). Bank ownership and efficiency. Journal of Money, Credit and Banking, 33(4), 926–954.
Andrews, M. (2005). State‐owned banks, stability, privatization, and growth: practical policy decisions in a world without empirical proof. Working Paper # 05/10. International Monetary Fund.
Barth, J., Caprio, G., and Levine, R. (2001). Banking systems around the globe: do regulation and ownership affect performance and stability? In: Mishkin, F. (Ed.), Prudential Supervision: What Works and What Doesn’t? National Bureau of Economic Research and University of Chicago Press, Chicago.
Berger, A., Clarke, G., Cull, R., Klapper, L., and Udell, G. (2005). Corporate governance and bank performance: a joint analysis of the static, selection, and dynamic effects of domestic, foreign, and state ownership. Policy Research Working Paper # 3632. The World Bank.
Bonin, J., Hasan, I., and Wachtel, P. (2005). Bank performance, efficiency and ownership in transition countries. Journal of Banking and Finance, 29(1), 31–53.
Claessens, S., Demirgu¨c¸‐Kunt, A., and Huizinga, H. (2001). How does foreign entry affect the domestic banking market? Journal of Banking and Finance, 25(5), 891–911.
Clarke, G., Cull, R., D’Amato, L., and Molinari, A. (2000). The effect of foreign entry on Argentina’s domestic banking sector. In: Claessens, S., Jansen, M. (Eds.), Internationalization of Financial Services: Issues and Lessons for Developing Countries. Kluwer Academic, Boston.
Demirgu¨c¸‐Kunt, A., and Huizinga, H. (2000). Determinants of commercial bank interest margins and proftability: some international evidence. World Bank Economic Review, 13(2), 379–408.
DeYoung, R., and Nolle, D. (1996). Foreign owned banks in the US: earning market share or buying it? Journal of Money, Credit and Banking, 28(4), 622–636.
Himmelberg, C.P., R. Glenn Hubbard, R.G., and Palia, D. (1999). Understanding the Determinants of Managerial Ownership and the Link between Ownership and Performance. Journal of Financial Economics, 53(3), 353‐84.
Husnan, S. (1999). Indonesian Corporate Governance Its Impact on Corporate Performance and Finance. Asian Development Bank.
James, H.S., Jr. (1999). Owner as Manager, Extended Horizons and the Family Firm. International Journal of the Economics of Business, 6(1), 41‐55.
La Porta, R., Lopez‐de‐Silanes, F., and Shleifer, A. (1999). Corporate Ownership around the World. Journal of Finance, 54(2), 471‐517.
Morck, R.K., Wolfenzon, D., and Yeung, B. (2005). Corporate Governance, Economic Entrenchment, and Growth. Journal of Economic Literature, 43(3), 655‐720.
Laeven, L. (2001). Insider lending and bank ownership: The Case of Russia. Journal of Comparative Economics, 29, 207–229.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
83
La Porta, R., Lo´pez‐de‐Silanes, F., and Shleifer, A. (2002). Government ownership of banks. Journal of Finance, 57 (2), 265–301.
Levy‐Yeyati, E., Micco, A., and Panizza, U. (2004). Should the government be in the banking business? The role of state‐owned and development banks. Research Working Paper # 517. Inter‐American Development Bank.
Mian, A. (2003). Foreign, private domestic, and government banks: new evidence from emerging markets. Mimeo, University of Chicago.
Micco, A., and Panizza, U. (2004). Bank ownership and lending behavior. Research Working Paper # 520. Inter‐American Development Bank. Forthcoming in Economics Letters.
Micco, A., Panizza, U., and Yan˜ ez, M. (2005). Appendix for Bank Ownership and Performance, Does Politics Matter? Retrieved from: http://www.geocities.com/upanizza/APPENDIX_MPY.pdf.
Jensen, M.C., and Meckling, W.H. (1976). Agency Costs and the Theory of the Firm. Journal of Financial Economics, 305‐360.
Porter, M.E. (1990). The Competitive Advantage of Nation. The Free Press, USA.
Rodrik, D. (2005). Why we learn nothing from regressing economic growth on policies? Mimeo, Harvard University.
Sapienza, P. (2004). The effects of government ownership on bank lending. Journal of Financial Economics, 72(2), 357–384.
Shleifer, A., and Vishny, R. (1994). Politicians and Firms. Quarterly Journal of Economics, 109, 995‐1025.
Stein, J.C. (1989). Efficient Capital Markets, Inefficient Firms: A Model of Myopic Corporate Behavior. Quarterly Journal of Economics, 104(4): 655‐69.
Stulz, R.M. (1988). Managerial Control of Voting Rights: Financing Policies and the Market for Corporate Control. Journal of Financial Economics, 20(1/2), 25‐54.
Villalonga, B., and Amit, R. (2006). How Do Family Ownership, Control and Management Affect Firm Value? Journal of Financial Economics, 80(2), 385‐417.
Verbrugge, J., Megginson, W., and Owens, W. (1999). State ownership and the financial performance of privatized banks: an empirical analysis. Working Paper Presented at the World Bank/Federal Reserve Bank of Dallas Conference on Bank Privatization, Washington, DC, March 15 and 16.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
84
Halaman ini sengaja dikosongkan
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
85
PETUNJUK PENULISAN
1. Tulisan merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar
hak cipta. Tulisan yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu bersamaan. Hak cipta atas tulisan TETAP menjadi hak penulis.
2. Tulisan dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Dianjurkan untuk mengirimkan softcopy ke: [email protected]
3. Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam compact disk (CD) dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut:
Yayasan SAGA Indonesia Jl. Kandang Pedati No. 3, Padang Sumatera Barat
4. Tulisan dibatasi ± 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), huruf Calibri Light dengan ukuran huruf 11. Persamaan matematis dan simbol ditulis dengan menggunakan Microsoft Equation atau Mathtype.
5. Setiap tulisan disertai abstrak, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Tulisan dalam bahasa Indonesia, abstrak‐nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya.
6. Tulisan disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL) pada http://www.aeaweb.org/journal/jel_class_system.html.
7. Tulisan ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
1. JUDUL BAB 1.1. Sub Bab 1.1.1. Sub Sub Bab
8. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
9. Sistem referensi dibuat mengikuti aturan American Psycological Association (APA) style (dapat dilihat pada https://www.apa.org/):
a. Publikasi buku:
Green, W.H. 2012. Econometric analysis (7th edition). PrenticeHall, New Jersey.
b. Artikel dalam jurnal:
Cardinas, J.C., & Stranlund, J. (2000). Local Environmental Control and Institutional Crowding Out. World Development, 28(10), 1719‐1733.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain:
Coase, R.J. (2000). The Problem of Social Cost. In C. Gopalakrishnan (Eds.), Classic papers in natural resource economics (pp. 87‐137). Great Britain: Palgrave McMillan Press Ltd.
d. Kertas kerja (working papers):
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
86
Anyanwu, J.C. (2013). Determining the Correlates of Poverty for Inclusive Growth in Africa. Working Paper Series No 181, African Development Bank, Tunis, Tunisia.
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan:
Lopez, H., & Servén, S. (2004). The Mechanics of Growth‐ Poverty‐Inequality Relationship. Mimeo World Bank.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya:
Kelkar, V. (2010). Financial Inclusion for Inclusive Growth. ASCI Journal of Management, 39(1), 55–68. Retrieved from http://journal.asci.org.in/Vol.39%282009‐10%29/39_1_Vijay%20Kelkar.pdf
g. Artikel di koran, majalah dan periodik sejenis:
Robinson, L. (2002, September 10). Simple solutions to address nursing labour shortage. The Hamilton Spectator, p. B4.
10. Tulisan disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, dan e‐mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.
Jurnal Ekonomi Inklusif Volume 2, Nomor 1, April 2014
87
Penerbit Yayasan SAGA Indonesia & ISEI Cabang Padang Jalan Kandang Padati No. 3 Padang 25152, INDONESIA e-Mail : [email protected]