jj reseuu

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 pemerintah memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Peran pemerintah dalam memfasilitasi pendidikan yang layak bagi masyarakat merupakan dasar untuk mengembangkan seluruh sendi kehidupan berbangsa. H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2008:95) menjelaskan pendidikan merupakan alat penting dalam proses kesetaraan anggota masyarakat dalam arti mempunyai kesemapatan yang sama bagi semua orang untuk berkembang. Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuannya tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman mereka mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Namun kebijakan tersebut kembali lagi pada 1

Upload: indah-yaaqutah-timor

Post on 15-Sep-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MATERI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 pemerintah memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Peran pemerintah dalam memfasilitasi pendidikan yang layak bagi masyarakat merupakan dasar untuk mengembangkan seluruh sendi kehidupan berbangsa. H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2008:95) menjelaskan pendidikan merupakan alat penting dalam proses kesetaraan anggota masyarakat dalam arti mempunyai kesemapatan yang sama bagi semua orang untuk berkembang. Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuannya tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman mereka mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Namun kebijakan tersebut kembali lagi pada kearifan penguasa sebagai pengendali pendidikan di negeri ini, apakah penyelenggaraan pendidikan tersebut sudah memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat ? tentunya jawaban tersebut masyarkatlah yang lebih mengetahuinya. Apabila kita mengkoparasikan tentang konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan oleh para tokoh seperti Jean Jacques Rousseau dan Jhon Dewey maka dapat menjadi inspirasi dalam membangun sepeti apa pendidika yang diharapkan oleh masyarakat. JJ. Rousseau adalah seorang naturalis romantic yang menawarkan tentang kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan pada pendidikan. Hak warga Negara sebagai individu dalam memperoleh pendidikan harus di akomidir oleh pemegang kekuasaan karena siapa yang memiliki kekuasaan akan menentukan kehendak umum. Hal ini dimaksudkan bahwa keinginan masyarakat dalam pendidikan perlu di pahami oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam pendidikan. JJ. Rousseau juga memberikan konsep pendidikan alam dimana momentum belajar bagi peserta didikan dalam pertumbuhannya dari anak-anak hingga dewasa perlu adanya dinamika mengembangkan peluang, pengalaman baru dan merefleksikan perkembangan peserta didik dengan cara memberikan fasilitas yang sama dalam belajar.John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada. Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan menerapkan konsep tersebut maka dasar psikologis dan sosiologis pun perlu kita perhatikan. B. Pokok Bahasan1. Riwayat Hidup Jean Jacques Rousseau dan John Dewey

2. Ajaran Jean Jacques Rousseau dan John Dewey tentang Pendidikan3. Relevansi pada pendidikan di Indonesia

BAB IIPEMBAHASAN1. Riwayat Hidup Jean Jacques Rousseau.Jean Jacques Rousseau lahir di Jenewa 12 Juni 1712, ayahnya seorang pembuat arloji dan ibunya meninggal setealah melahirkannya, Rousseau kecil dibesarkan oleh ayah dan bibinya. Kehidupan Jean Jacques Rousseau sangat controversial. Awal karirnya yang gemilang adalah ia memenangkan kontes penulisan essai yang diselenggarakan oleh Academy Doijon tentang Apakah seni dan ilmu pengetahuan memberikan sumbangan kepada penjernihan atau kekeruhan moral ?.

Dalam karirnya ia mempunyai peranan sebagai guru music dan penulis. Ia menjadi terkenal sebagai filisuf politik Prancis. Konsep pemikiran Rousseau banyak menggambarkan penentangan filisuf afklarung pada zamannya. Pokok pemikiran Rousseau selanjutnya adalah pertentangan antar individu dan kolektivitas (Michele Erina Doyle dan Mark K. Smith. 2007:3). Tulisan-tulisan dibuatnya yang terkenal seperti Discourse on the Origin of Inequality, Emile dan The Social Contract. Jean Jacques Rousseau meninggal pada tanggal 2 Juli 1778 di Ermnonville di utara Paris dikarenakan penyakit ayan. Jean Jacques Rousseau adalah salah seorang tokoh kunci dalam revolusi renaissance di Prancis.2. Riwayat Hidup John DeweyIa dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat, ia selama 2 tahun menjadi guru (1879). Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapat gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu asisten professor dan kemudian professor di Michingan. Sebagai professor dalam filsafat di Chicago, ia memimpin juga dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu sekolah percobaan untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya. Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952 (Soejono.1980:126)3. Ajaran Jean Jacques Rousseau Tentang Pendidikan.Keyakinan Rousseau dalam pendidikan adalah bagaimana kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan dalam pelaksanaan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan harus dimiliki hak sepenuhnya dari kehendak rakyat yang kemudian di jalankan oleh penguasa sebagai kebijakan yang menampung keinginan masyarakat. Menurut (Grimsley, R. 1973:65)Ide modern tentang pendidikan telah dipengaruhi oleh doktrin Rousseau, khususnya oleh karyanya mile (1762). Dia mempopulerkan dalam beberapa hal menemukan sifat alam, rasa udara terbuka, pencarian panjang akan kesegaran, spotanitas, sifat sifat alamiah yang menguatkan. Dia memperkenalkan kritik tentang kekomplekan masyarakat. Dia mengidentifikasi dan menunjukan kepalsuan-kepalsuan peradaban. Penilaiannya terhadap alam, Rosseau mengajarkan ketidak percayaan terhadap peningkatan progresif dan gradual yang disebabkan oleh budaya materialis. Dalam hal ini, dia menolak pencerahan dan mencari solusi yang jauh lebih radikal. Dia menekankan bahwa penjelasannya sendiri mempunyai kelemahan yang mendasar jika digunakan sebagai alat untuk mengobati masyarakat. Namun ini juga tidak berarti bahwa akal manusia tidak cukup untuk menyebabkan perubahan-perubahan yang diperlukan karena akal merupakan sumber tersembunyi dari wawasan dan intuisi yang harus digunakan untuk merubah pendiktean dari suatu alasan atau suatu penjelasan. Dalam mengikuti alur pemikiran ini, Rosseau menulis karya Confessions yang selesai pada tahun 1770, meskipun tidak dipublikasikan sampai dia meninggal dunia. Ketiga, konsepnya merupakan awal dari pergerakan Romantik dan literature instropektif modern. Dalam hal ini dia mengambil penemuannya sendiri, hasil karya utama dari Renaissance. Konsep keempat, yang dipopulerkan oleh Rousseau adalah konsep yang paling dapat menembus semua lapisan. Ketika masyarakat berkembang dari sifat primitif ke sifat kompleks masyarakat perkotaan, dia berpendapat bahwa manusia adalah terkorupsi sifat individualis yang dia sebut sebagai amour de soi tertransformasi menjadi sebuah naluri yang jauh lebih rusak, disebut amour-prope, yang mengabungkan antara kesombongan dan harga diri. Manusia menghitung dirinya sendiri dengan bagaimana orang berpendapat tentang dirinya. Oleh karena itu, manusia terus mencari agar orang lain terkesan akan dirinya dengan uangnya, kekuatannya, superioritas otak dan moralnya. Sifat individualisnya menjadi kompetitif dan akusitif sehingga dia menjadi asing tidak hanya dari orang lain yang dia lihat sebagai kompetitor tetapi juga dari dirinya sendiri. Keterasingan ini memasukan penyakit psikologis ke dalam diri manusia yang ditandai dengan pembedaan tragis antara penampilan dan kenyataan. Fokusmileadalah sejalan dengan prinsip-prinsip 'pendidikan alam' dimana emile sendiri merupakan nama seorang bocah imajiner. Agar emile memperoleh pendidikan yang baik maka dia harus diisolasikan dari masyarakatnya yang bobrok, pengisolasian tersebut perlu dilakukan agar emile damendapatkan kembali keadaan alamihanya (H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho. 2008:98) Dari saat pertama kehidupan, manusia harus mulai belajar untuk hidup layak, dan, pada saat ia lahir, mereka mengambil hak-hak kewarganegaraan, secara instan yang seharusnya menjadi awal dari pelaksanaan tugas penguasa.Perlu adanya undang-undang untuk usia kematangan, harus ada hukum untuk anak, mengajar ketaatan kepada orang lain. pemerintah harus menerapkan pendidikan tanpa pandang bulu untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat.DalammileRousseau merujuk pada pemikir yang telah mendahuluinya - misalnya, John Locke pada pengajaran, tapi ia mampu untuk memadukan dengan baik system pendidikan yang koheren dan komprehensif dengan menggunakan media novel. Ia mampu mendramatisasi ide-ide dan menjangkau khalayak yang sangat luas.Dia mampu menggambarkan suatu sistem pendidikan sesuai dengan apa yang dia lihat sebagai 'alam' (Stewart dan McCann 1967:28).Ini tentu menekankan keutuhan dan harmoni, dan kepedulian bagi seorang pelajar.Inti dari gagasan ini adalah untuk melestarikan 'sifat anak yang sempurna/asli', 'dengan cara kontrol yang cermat dari pendidikan dan lingkungan, berdasarkan pada tahap analisis fisik dan psikologis yang berbeda pada tingkatan perkembangan anak didik.Ini adalah titik dasar pendapat Rousseau bahwa momentum untuk belajar diberikannya sesuai dengan pertumbuhan anak didik dan kemudian pendidik bertugas memfasilitasi anak didik dalam kesempatan untuk belajar. Alam berarti mereka dituntut untuk berpikir, untuk mencintai untuk menumbuhkan pikiran mereka dan melengkapi senjata-senjata di tangan mereka untuk menebus kurangnya. Mereka harus belajar banyak hal, tetapi hanya hal-hal yang cocok sesuai dengan kebutuhannya'(Everyman edn:. 327).Tahapan di bawah ini adalah yang berhubungan dengan perkembangan seorang anak menurut Rousseau : Tahap 1 Infancy (lahir sampai 2 tahun)Tahap pertama adalah bayi, dari lahir sampai sekitar dua tahun selesai dengan penyapihan.Dia menetapkan sejumlah maksim, semangat yang memberikan kebebasan anak lebih nyata dan daya yang lebih kecil, untuk membiarkan mereka berbuat lebih banyak untuk diri mereka sendiri dan permintaan kurang dari orang lain, sehingga dengan mengajarkan mereka dari yang pertama untuk membatasi keinginan mereka dalam batas-batas kekuasaan mereka, mereka hampir akan merasakan kerinduan dari segala sesuatu yang tidak dalam kekuasaan mereka (Everyman edisi: 35).

Siapkan waktu yang baik membentuk karakter kebebasan dan pelaksanaan kekuasaannya, dengan memungkinkan tubuhnya kebiasaan alam dan membiasakan dia selalu menjadi tuannya sendiri dan mengikuti perintah-Nya akan secepat ia memiliki kehendak sendiri.(mile, Buku 1 - terjemahan oleh Boyd 1956: 23; Everyman edisi: 30)

Tahap 2 "Usia Nature '(umur 2 sampai 12 tahun)Tahap kedua, dari dua hingga sepuluh atau dua belas, adalah 'usia Nature'.Selama ini, anak menerima hanya 'pendidikan negatif': ada instruksi moral, tidak ada pembelajaran verbal.Dia menetapkan aturan yang paling penting pada pendidikan (Everyman edn: 57; Boyd:. 41).Tujuan pendidikan pada tahap ini adalah untuk mengembangkan kualitas fisik dan terutama indra, tapi tidak pikiran.Pada bagian akhir Buku II, Rousseau menggambarkan budidaya masing-masing dari lima mile indra pada gilirannya.

Tahap 3 Pra-remaja (12-15) adalah Sekitar dua belas atau tiga belas kekuatan anak meningkat jauh lebih cepat daripada kebutuhannya '(Everyman edn. 128).Dorongan untuk kegiatan sekarang mengambil bentuk mental, ada kapasitas yang lebih besar untuk perhatian yang berkelanjutan (Boyd 1956: 69).Pendidik harus disesuaikan dengan merespon kebutuhan sesuai dengan masa pertumbuhannya. Guru kita yang sebenarnya adalah pengalaman dan emosi, dan manusia tidak akan pernah belajar apa layaknya seorang laki-laki kecuali dalam kondisi sendiri.Seorang anak tahu dia harus menjadi seorang laki-laki, semua ide yang mungkin untuk kebaikan manusia begitu banyak peluang untuk memerintah, tapi ia harus tetap dalam ketidaktahuan lengkap ide-ide yang berada di luar genggamannya. (Everyman edn: 141; Boyd: 81)

Tahap 4 Pubertas (15-20)Rousseau percaya bahwa pada umur lima belas anak akan berkembang dengan baik, dan dia kemudian akan mampu menghadapi berbagai emosi dari berbahaya remaja, dan dengan isu-isu moral dan agama.Paragraf kedua dari buku ini berisi baris yang terkenal: "Kita dilahirkan, sehingga untuk berbicara, lahir ke dalam keberadaan, dan lahir ke dalam kehidupan, kelahiran seorang manusia, dan lahir seorang pria '(Everyman edn: 172).Seperti sebelumnya, ia masih ingin menahan tekanan sosial dan pengaruh sehingga 'kecenderungan alami' dari orang tersebut mungkin semestinya muncul tanpa korupsi. Harus ada masukan bertahap pengenalan terhadap kehidupan masyarakat (Boyd 1956: 95).Tahap 5 Adulthood (20-25).Dalam Buku V, mile dewasa diperkenalkan ke pasangan ideal nya, Sophie.Dia belajar tentang cinta, dan siap untuk kembali ke masyarakat.Tugas akhir guru adalah untuk 'menginstruksikan pasangan muda akan hak perkawinan mereka dan tugasnya (Boyd 1956: 130).

Sophie.Buku terakhir ini termasuk bagian substansial mengenai pendidikan perempuan.Rousseau berpandangan bahwa perbedaan jenis kelamin adalah saling melengkapi dan pendidikan harus mempertimbangkan hal ini. (Everyman edn: 322).Pelatihan Sophie yang berhubungan dengan kewanitaan sampai usia sepuluh tahun melibatkan pelatihan fisik seperti berpakaian boneka yang mengarah ke gambar, menulis, berhitung dan membaca, dan pencegahan kemalasan dan indocility.Setelah usia sepuluh ada kekhawatiran dengan perhiasan dan seni yang menyenangkan, agama, dan pelatihan alasan. 4. Ajaran John Dewey Tentang Pendidikan.John Dewey adalah seorang pragmatis. (John Dewey: http://www.gutenberg.org) Sebagaimana dalam agama, demikian juga dalam pendidikan: Mendapatkan seluruh pengetahuan tapi kehilangan jati dirinya adalah sesuatu yang memalukan.(Dewey in The Child and The Curriculum). Apa itu pendidikan? Bagi John Dewey, pendidikan tidak lain adalah hidup itu sendiri. Dan hidup ini bukan hanya perkara hidup personal tapi secara luas menyangkut kehidupan masyarakat itu juga. Karena itu pendidikan adalah sebuah keniscayaan dan berlangsung secara alami, berfungsi sosial lantaran berlangsung dalam masyarakat itu sendiri, memiliki nilai dan makna membimbing lantaran kebiasaan hidup generasi lama yang berbeda dengan generasi baru serta menjadi tanda perkembangan peradaban suatu masyarakat. Pendidikan tidak lain adalah usaha menjaga keberlangsungan masyarakat itu sendiri.

Menurut Dewey, perubahan yang terjadi dalam masyarakat pasti ada dan tak terhindarkan. Pandangan ini sebenarnya tidak terlepas dari pemikiran filsafatnya mengenai realitas yang dipandangnya selalu mengalir. Tidak mengherankan jika Dewey berkata bahwa pendidikan lantas menjadi sebuah proses pembaharuan terus-menerus demi kelangsungan masyarakat dan anggota-anggotanya melalui keterampilan, tehnik, kreativitas, dan sebagainya. Sebuah pembelajaran yang terus disampaikan, dikomunikasikan seturut dengan keadaan yang dihadapi. Inilah yang membuat dia dikatakan sebagai seorang pemikir progresivisme (Muis Sad Iman.2004:3)Beberapa karyanya mengenai pendidikan antara lain, My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1900), Child and Curriculum (1902), Democracy and Education (1916) dan Experience and Education (1938). Keempat karya terakhir tampaknya merupakan uraian Dewey sendiri atas apa yang diyakininya dalam My Pedagogic Creed. Dan perlu diingat bahwa Dewey memikirkan pendidikan (baik formal maupun informal) selalu berada dalam kerangka kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Menurut Dewey penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen). Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Sekolah sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah. Oleh karena itu sekolah harus memberikan sebagai bahan pelajaran pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya. Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan (Muis Sad Iman.2004:10) Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan social, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.Bagi Dewey, anak sesungguhnya adalah salah satu pihak yang rentan terhadap penindasan. Bentuk penindasan ini tampak dalam pendidikan. Karena itu, Dewey berupaya agar pendidikan sungguh-sungguh memberi perhatian yang lebih besar kepada anak terutama dalam proses realisasi diri si anak. Dalam proses pendidikan, Dewey melihat anak sebagai mahkluk yang belum dewasa, belum berkembang. Di pihak lain, makna, nilai dan tujuan yang dihayati masyarakat berinkarnasi dalam diri orang dewasa. Karena itu, letak proses pendidikan berada dalam interaksi dua pihak ini. Dewey menyatakan hal ini berdasar pada penelitiannya atas pendidikan anak sebelum dan adanya proses industri dalam masyarakat.

Penelitian Dewey mengenai pendidikan terhadap anak sebelum terjadinya industrialisasi di kota-kota besar memperlihatkan bahwa pendidikan ini berlangsung di tengah keluarga. Menurut Dewey, keseharian anak dalam keluarga sesungguhnya mengatakan dunia yang mereka hayati dan hidup (John Dewey : http://www.gutenberg.org). Jadi, waktu itu belum ada keterpisahan kebutuhan dalam situasi keluarga dan masyarakat. Di dalam keluarga, anak-anak belajar apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan masyarakat secara tidak langsung mengajarkannya melalui orang tua. Memang pengalaman si anak tidak langsung dari sendirinya menjelaskan apa yang dibutuhkan masyarakat. Tapi, pengalaman mereka menandakan apa yang terjadi dan menjadi kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.

Setelah terjadinya industrialisasi, para orang tua harus bekerja. Implikasinya, pendidikan anak diserahkan kepada mereka yang bertugas mengajari. Pada tahap ini mulai terjadi apa yang disebut pendidikan formal, adanya sekolah, sebuah lingkungan khusus. Tujuan adanya sekolah adalah agar pengalaman keseharian yang diperoleh anak dapat membuat mereka mampu tumbuh dan berkembang dalam situasi masyarakat di mana mereka hidup. Namun, dengan semakin kompleksnya perkembangan masyarakat, tujuan ini semakin menyimpang. Penyimpangan yang dapat dirasakan secara langsung adalah anak bukan lagi menjadi pusat dan tujuan dari pendidikan. Anak digantikan oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan. Menurut Dewey, hal ini sangat berbahaya. Mengapa? Karena pelajaran-pelajaran yang diberikan didasarkan pada satu prinsip pengetahuan yang dirumuskan dan diinterpretasikan lepas dari pengalaman anak.Pendekatannya kepada pendidikan seperti ini harus dilihat dari gagasan filsafat instrumentalisnya. Dewey berpandangan bahwa realitas ini tidak pernah tetap, selalu mengalir. Akal budi manusialah yang dapat menangkap perubahan ini. Akal budi ini sekaligus menjadi instrumen untuk mencapai keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam pendidikan, kasus utamanya adalah anak. Apa yang dimengerti anak adalah apa yang dijalani dalam keseharian hidupnya. Ia belajar dan berkomunikasi dari apa yang menjadi pengalamannya. Ia berkembang dari apa yang ia pelajari itu. Karena itu, mengajari sesuatu yang tidak pernah mencakup pengalamannya akan menjadi bahaya dan kesulitan untuk hidup dengan lebih baik dalam masyarakat.

Pemahaman Dewey di atas membuat kita melihat bahwa Dewey lebih menekankan psikologi anak dalam pendidikan. Hal ini tidak berlebihan jika menyimak apa yang dikatakan Dewey sendiri yakni bahwa dunia anak pada dasarnya utuh, tidak terbagi, integral, dalam dunianya mereka tidak terlalu memperhatikan fakta dan hukum-hukum kausalitas, bukan kebenaran kepada fakta-fakta eksternal melainkan simpati dan afeksi yang menjadi kunci pemahaman di sini (John Dewey: http://www.gutenberg.org.) Dari pengertian ini, maka pendidikan anak tidak dapat dipisah-pisahkan. Pendidikan karena itu adalah proses yang bertujuan baik bagi anak dan sekaligus pula bagi kehidupan sosial.5. Relevansi pemikiran Jean Jacques Rousseu dan John Dewey pada pendidikan di Indoensia.Dari apa yang dibahas di atas, kita tahu bahwa gagasan pendidikan J.J. Rousseau dan John Dewey sebenarnya menekankan pendidikan dengan memberikanya kebebasan sehingga dia berkembang dengan semestinya. Pendidikan yang berbasis pada pengalaman (experiential education) di mana anak mempertanyakan segala sesuatu yang dialaminya, memikirkannya dan mencari solusi untuk masalah yang dihadapi. Jean Jacques Rousseau (selanjutnya disebut J.J. Rousseau) adalah tokoh yang dikenal berkat buku .'Emile': Odu de 'education, dimana ia menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir sampai remaja yang ideal. Pembukaan buku Emile tidak hanya memberikan pandangan yang berorientasi pada pendidikan saja, tetapi juga menunjukkan pemikiran yang berorientasi politik. Dikatakannya bahwa "Tuhan menciptakan segalanya baik, karena adanya campur tangan manusia, menjadikamya jahat'. Rousseau menyarankan kembali ke alam' (a return to nature) dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yang dikenal dengan naturalisme. Menurut Rousseau, dengan naturalisme anak akan berkembang tanpa hambatan. Oleh karenanya, ia menolak adanya pakaian seragam (dress code), wajib hadir, ketrampilan dasar yang minimum, tes yang distandardisasi dan kemampuan pengelompokan karena semuanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat tidak alamiah. Pendidikan yang bersifat alamiah menghasilkan dan memacu berkembangnya kualitas semacam kebahagiaan, spontanitas, dan rasa ingin tahu. Dalam buku Emile dikemukakan bahwa segala yang tidak ada sejak seseorang dan dibutuhkan pada saat perkembangan akan diperoleh dalam pendidikan. Pendidikan tersebut akan didapat dari alam, manusia, atau benda. Rousseau percaya bahwa walaupun kita telah melakukan kontrol terhadap pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sosial dan sensoris, kita tetap tidak dapat mengontrol pertumbuhan alami. Intinya, inilah yang disebut sebagai konsep `unfolding', di mana bawaan dari anak menuju apa yang akan terjadi; `unfolf adalah hasil dari kematangan yang dikaitkan dengan jadwal perkembangan yang sifatnya bawaan. Rousseau sangat yakin bahwa ibu yang dapat menjamin Pendidikan secara alamiah. Pada saat itu ia menganjurkan agar para ibu kembali mau menyusui anaknya sendiri. Pada masa itu banyak ibu terutama dari kalangan atas tidak suka menyusui anaknya walaupun hal tersebut memungkinkan. Hinsil bahwa dalam mendidik anak, orang tua perlu memberi kebebasan kepada anak agar tumbuh dan berkembang secara alamiah (Soemantri Patinodewono, 1998:4).Sejauh ini pendidikan kita memang masih menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Sebagai pendidikan yang berbasis kompetensi, itu berarti skill, kemahiran, kebiasaan diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan itu. Harapan ini memang berdasar pada kebutuhan masyarakat kita sendiri. Tapi, proses yang berlangsung seringkali dilumpuhkan oleh sistem pendidikan yang mekanis. Nilai dan ijazah menjadi dua hal penting dibandingkan dengan skill, bakat, minat dan keterampilan. Harus diakui masyarakat kita memang sedang menuju masyarakat industri walaupun sebagian besar masih berkarakter agrikultural dan malahan sangat multikultural. Inilah tantangan kita bersama dalam menetapkan arah pendidikan yang sesuai dengan masyarakat kita.Meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya mencakup pengalaman anak. Kurikulum bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Jika kurikulum menjadi tujuan pendidikan, itu berarti anak berhenti berpikir, berhenti merenungkan pengalamannya, dan pada akhirnya kematian masyarakat itu sendiri. Pendidikan harus membawa konsep mengenai perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurut Dewey, sekolah dan kurikulumnya harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari serta akhirnya mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Kurikulum harus mengabdi kepada anak sehingga dengan bantuan kurikulum anak dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam kurikulum adalah interaksi antar anak didik serta interaksi guru dan murid. Bukan relasi menguasai atau pun relasi subjek-objek di mana anak adalah pihak yang harus menerima tanpa bertanya. Interaksi ini bukan hanya persoalan interaksi fisik, tapi juga bersifat sosiologis. Artinya, nilai, tujuan, sikap, makna telah termasuk di dalamnya. Seringkali, hal-hal demikian disebut sebagai kurikulum tersembunyi.

Dewey melihat sekolah dan kurikulumnya memisahkan aspek-aspek pengalaman anak menjadi apa yang disebutnya spesialisasi. Bagi Dewey, dengan pemisahan demikian anak seolah-olah dapat menjawabi seluruh permasalahan. Dewey justru berpandangan sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa masalah serius di tataran praktis. Pengalaman si anak (brute experience) dikoyakkan dan diatur menurut sebuah prinsip tertentu. Anak tercerabut dari dunianya. Dewey menyebutkan 3 akibat dari hal ini. Pertama, dunia pribadi anak berhadapan dengan dunia impersonal yang sempit namun karena ditata berdasarkan prinsip tertentu, anak seolah berhadapan dengan semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas hidup anak dan adanya spesialisasi dan pembagian dalam kurikulum. Ketiga, prinsip klasifikasi yang logis berhadapan dengan ikatan yang utuh dari hidup anak. Ketiga hal ini mau mengatakan bahwa anak dan kurikulum seperti dua aspek yang sangat berbeda.

Sampai di sini kita telah melihat kritik Dewey atas kurikulum yang demikian. Tapi, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap diperlukan dalam pendidikan formal? Kurikulum tetap diperlukan lantaran kurikulum adalah mediasi dalam pendidikan formal. Kurikulum bukanlah pengganti pengalaman anak. Kurikulum adalah sebuah peta yang mengarahkan anak mencari jati dirinya. Nilai dan makna kurikulum hanya terletak dalam metodenya dan wawasan yang diberikannya. Karena itu, anak dan kurikulum sesungguhnya menggambarkan dua sisi mata uang dari proses yang sama. Apa yang dimaksud proses di sini. Dewey menggambarkannya dengan baik, Fakta dan kebenaran yang dihidupi dalam pengalaman keseharian anak, dan fakta dan kebenaran yang termuat dalam mata pelajaran pada dasarnya adalah sebuah interaksi awal dan akhir dari satu realitas. Dengan kata lain, dalam pandangan Dewey, pendidikan terhadap anak dan kurikulum sesungguhnya tidaklah berbeda.

Dalam kurikulum tercakuplah pengalaman anak di mana pengalaman mengartikulasikan keberlangsungan dan interaksi. Di satu sisi, keberlangsungan memaksudkan relasi dengan dunia di sekitar mereka dan di sisi lain interaksi memaksudkan relasi pengaruh situasional pribadi atas pengalamannya sendiri terhadap orang lain sampai baik pengalamannya sendiri maupun orang lain menjadi milik bersama. Akhirnya, semuanya mengarah kepada realisasi diri yang berguna baik bagi hidup personal maupun kehidupan masyarakat. Jadi, sebagaimana dalam agama, demikian juga dalam pendidikan: Mendapatkan seluruh pengetahuan tapi kehilangan jati dirinya adalah sesuatu yang memalukan.6. Beberapa Catatan KritisJJ Rousseau dan John Dewey pada dasarnya adalah seorang filosof yang berpandangan bahwa realitas ini dibangun melalui tindakan akal budi berdasarkan ingatan kita akan pengalaman masa lalu. Akal budi menggunakan ingatan ini sebagai cara atau alat untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik lagi. Nilai sesuatu yang baru itu bisa ditemukan melalui sebuah tindakan eksperimental atas apa yang kita lakukan dan perbuat. Akal budi yang dilihat sebagai cara atau alat inilah yang menjadikan JJ Rousseau sebagai filisuf romantic naturalis dan Jhon Dewey sebagai seorang filsuf intrumentalis. Melalui cara berpikirnya mereka berusaha mengaplikasikannya dalam bidang pendidikan. Sumbangan Dewey pada pendidikan terkenal dengan nama pendidikan yang berpusat kepada anak. Meskipun demikian, pemikiran Dewey dalam pendidikan ternyata memiliki beberapa kekurangan. Pertama, penekanan Dewey terhadap akal budi sebagai alat dan sarana untuk mencapai kehidupan personal dan masyarakat yang lebih baik didasarkan pada pengalaman sebagai pengetahuan masa lalu. Ini mengakibatkan makna dan tujuan hidup seseorang bahkan masyarakat kehilangan pendasarannya. Mengapa? Karena usaha menentukan tujuan yang tertata dengan baik kehilangan dasar rasional. Pemahaman ini menghantar pada kekurangan kedua, yakni bagaimana peran pendidik dipikirkan di sini sebagai orang dewasa di mana nilai, tujuan, makna berinkarnasi di dalam mereka. Kesulitan ini terjadi karena masyarakat terus berevolusi (progresif) ke arah bentuk yang lebih baik. Bentuk itu disebut Dewey sebagai masyarakat demokratis. Cuma dasar bagi masyarakat ini ternyata kabur jika mengandalkan pada pengalaman semata. Ketiga, ketika Dewey menggambarkan masyarakat industri di Amerika melumpuhkan fungsi intelek dalam sekolah, ia melupakan fakta bahwa sekolah juga melumpuhkan fungsi intelek dengan membiarkan pembelajaran menjadi tanggung jawab si anak.

Pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan landasan nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi. Kalau kita membandingkan antara konsep pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang sekarang dialami, maka kita akan menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan kepada para pendidik untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Sekolah yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata pelajaran. Namun, itu berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah seperti tersebut. Diantaranya; SMK dari segi guru dengan menggunakan pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral pengajaran. Akan tetapi fungsi guru lebih sebagai fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar. Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang dicita-citakannya.

BAB III

KESIMPULANPandangan-pandangan yang berasal dari Jean Jaques Rousseau yang naturalis romantik dan pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi alam bawah sadar dan berdampak pada kehidupan masyarakat, misalnya saja pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua sikap ini saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri. Oleh karena itulah saat akan diterapkan di Indonesia maka perlu dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat Indonesia. Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan pendidikan yang ada. Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana siswa mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat. Disinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat. Apalagi kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia capai. Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang nantinya akan melahirkan pola hidup yang hedonis dan mekanis.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.Dewey, John. 1955. Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan. alih bahasa E.M. Aritonang. Jakarta: 2006

Saksana.Dhofir, Zamahsary. 1990. Kamus Filsafat. Bandung : Rosda Karya. Djumhur, I. dan H. Danasuparta. 1974. Sejarah Prndidikan. Bandung: CV. Ilmu. Hadiwijono, Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta : Safiria Insani Press & MSI UII. Soejono. 1980. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu.Suparlan, Y. B.. 1984. Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.

Dewey John, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, (Jakarta: Saksana, 1955)Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung : CV. Ilmu, 1980)Zamahsary Dhofir,Kamus Filsafat, (Bandung : Rosda Karya, 1990)Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004.Ichele Erina Doyle dan Mark K. Smith (2007) 'Jean-Jacques Rousseau tentang pendidikan', ensiklopedi pendidikan informal Terakhir diperbaharui:29 Mei 2012 diakses http://www.infed.org/thinkers/et-rous.htm.Tanggal, 15 maret 2013.Rousseau, JJ.(1762)mile, London: Dent (. 1.911 edisi) edisi diterjemahkan dan dijelaskan oleh Allan Bloom (1991 edisi.), London: Penguin.Dewey, John. Democracy and Education. Diakses dari http://www.gutenberg.org. Tanggal, 15 maret 20134