jejak-vol.1-no.1-20081

90
ISSN 1979–715X JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNNES JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKA N Volume 1, Nomor 1, September, 2008 DAFTAR ISI Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pati Tahun 2002–2005 Bambang Prishardoyo ................................................................................................................... 1–8 Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang terhadap Kemacetan Lalulintas di Wilayah Pinggiran dan Kebijakan yang Ditempuhnya Etty Soesilowati .............................................................................................................................. 9–17 The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas P. Eko Prasetyo .............................................................................................................................. 18–31 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah Hadi Sasana ..................................................................................................................................... 32–40 Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: Studi Kasus Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru di Indonesia Andryan Setyadharma ..................................................................................................................... 41–49 Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model Logit Shanty Oktavilia ............................................................................................................................... 50–62 Keterkaitan Desentralisasi Fiskal sebagai Political Process dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Lesta Karolina Sebayang ....................................................................... ........................................ 63–69 Peningkatan Produksi Kerajinan sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan Siti Maisaroh ..................................................................................................................................... 70–82 INDEK ................................................................................................................................................ 83

Upload: rafi-januzaj

Post on 20-Nov-2015

241 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

  • ISSN 1979715X

    JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNANFAKULTAS EKONOMI UNNES

    JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

    Volume 1, Nomor 1, September, 2008

    DAFTAR ISI

    Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pati Tahun 20022005

    Bambang Prishardoyo ................................................................................................................... 18 Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang terhadap Kemacetan Lalulintas di Wilayah

    Pinggiran dan Kebijakan yang Ditempuhnya Etty Soesilowati .............................................................................................................................. 917 The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital sebagai Pemacu

    Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas P. Eko Prasetyo .............................................................................................................................. 1831 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah

    Hadi Sasana ..................................................................................................................................... 3240 Penentuan Bentuk Fungsi Model Empirik: Studi Kasus Permintaan Kendaraan Roda Empat Baru

    di Indonesia Andryan Setyadharma ..................................................................................................................... 4149 Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model Logit

    Shanty Oktavilia ..................................................................................... .......................................... 5062 Keterkaitan Desentralisasi Fiskal sebagai Political Process dengan Tingkat Kemiskinan di

    Indonesia Lesta Karolina Sebayang ....................................................................... ........................................ 6369 Peningkatan Produksi Kerajinan sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan

    Siti Maisaroh ..................................................................................................................................... 7082 INDEK ................................................................................................................................................ 83

  • Pengantar Redaksi Salam hormat dan kasih,

    Puji syukur redaksi pajatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahNya yang diberikan kepada kita semua. Hanya dengan kekuasaanNya-lah, dan setelah melalui proses yang cukup menghabiskan waktu serta energi, maka Jurnal Ekonomi dan Kebijakan (JEJAK) Volome 1, Nomor 1, September 2008, yang dikelola oleh Tim Redaksi di Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNNES dapat terbit perdana untuk mengunjungi Anda semua. Redaksi mengucapkan terimakasih atas dapat terbitnya perdana jurnal JEJAK ini kepada semua pihak terutama kepada seluruh pengirim artikel dan penyunting Ahli. Sungguh menjadi kebanggaan redaksi tersendiri karena semua artikel yang terbit pada edisi perdana ini tanpa disadari ternyata saling keterkaitan yang teridentifikasi dari masalah pertumbuhan ekonomi, kebijakan, investasi, model teori dan aplikasi serta upaya cara mengatasinya yang tercermin dalam masalah upaya pengentasan kemiskinan baik dari kajian teori maupun aplikasinya.

    Pada terbitan perdana ini, disajikan delapan artikel yang 87,5% atau tujuh artikel merupakan hasil riset dan 12,5% atau satu artikel merupakan hasil kajian teoritis. Semua artikel ini merupakan kajian kusus dalam ruang lingkup bidang ilmu ekonomi pembangunan dan kebijakan. Artikel pertama ditulis oleh Bambang Prishardoyo menganalisis tentang tingkat pertumbuhan ekonomi dan potensi ekonomi terhadap PDRB di Kabupaten Pati periode 2000-2005. Selanjutnya Etty Soesilowati menganalisis tentang dampak pertumbuhan ekonomi Kota Semarang terhadap kemacetan lalulintas di wilayah pinggiran dan kebijakan yang ditempuhnya. Untuk menjembatani masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan masalahnya, baik ditingkat regional maupun nasional, P. Eko Prasetyo mengkaji masalah kualitas pertumbuhan ekonomi melalui; peran faktor teknologi dan investasi human capital sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Masih terkait tetang kajian investasi, Hadi Sasana mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta di Jawa Tengah.

    Selanjutnya, kajian dari segi model teori ekonomi dan aplikasinya diawali dari artikel hasil karya Andryan Setyadharma yang mengkaji penentuan bentuk fungsi model empirik; studi kasud permintaan kendaraan roda empat di Indonesia. Sedangkan, Shanty Oktavilia, telah mengidentifikasikan variabel makro dengan model logit untuk mengkaji masalah diteksi dini krisis perbankan Indonesia. Kajian model selanjutnya tentang keterkaitan desentralisasi fiskal sebagai political proces dengan tingkat kemiskinan di Indonesia adalah merupakan artikel hasil karya dari Lesta Karolina Sebayang. Kemudian sebagai penutup dalam edisi perdana ini, masih terkait dengan artikel masalah kemiskinan, Siti Maisaroh telah mengkaji masalah peningkatan produksi kerajinan sebagai upaya mendukung program pengentasan kemiskinan.

    Akhir kata, berbagai upaya telah tim redaksi upayakan agar jurnal ini berkualitas. Namun, karena jurnal ini baru terbit pertama kali dan belum banyak pengalaman sudah barang tentu masih banyak kekurangan. Karena itu, jika ada kritik dan saran yang membangun demi lebih sempurnanya jurnal ini dapat redaksi terima dengan senang hati. Harapan redaksi semoga terbitnya jurnal JEJAK ini akan banyak manfaatnya bagi para pembaca semua. Amin.

    Semarang, September 2008 Pimpinan Redaksi

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 1

    ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN EKONOMI DAN POTENSI EKONOMI TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)

    KABUPATEN PATI TAHUN 2000-2005 Bambang Prishardoyo

    Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:[email protected]

    ABSTRACT

    Developing the economy in a region is a process in which a regional government and its society manage and exploit their resources by having a partnership between the regional government and private businessmen, so that it stimulate the economy activities or increase the economy growth and there will be a new wide range of work fields. The problems of the present study are stated as follow: (1)what sectors are the basis for Kabupaten Pati from 2000 to 2005? (2)what are the roles of kabupaten Pati and the others areas in supporting the economy growth. The aims of the study are: (1) for knowing which economy sectors that become the basis for kabupaten Pati, (2) the roles of Kabupaten Pati and the others area in supporting the economy growth. This study uses quantitative qualitative approach and the data analyzed are taken from Kabupaten Pati. Furthermore, in analyzing the data, economy based model which uses location quotient(LQ) analysis, shift share analysis, gravity analysis was chosen. Finally, the LQ analysis showed that the basis sectors that could be developed were agricultural sector (average: 1,66); electricity, gas and water sector (average: 1,27); construction sector (average: 1,14); finance, rent and company services sector (average: 1,71) and the gravity analysis showed that the interaction between Kabupaten Pati and Kudus was the best and the strongest. Keywords: economic growth, economic base.

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang Masalah

    Perjalanan pembangunan ekonomi telah menimbulkan berbagai macam perubahan terutama pada struktur perekonomian. Perubahan struktur ekonomi merupakan salah satu karakteristik yang terjadi dalam pertumbuhan ekonomi pada hampir setiap negara maju. Berdasarkan catatan sejarah tingkat pertumbuhan sektoral ini termasuk pergeseran secara perlahan dan kegiatan-kegiatan pertanian menuju ke kegiatan non pertanian dan akhir-akhir ini dari sektor industri ke sektor jasa (Arsyad, 1995:75). Pembangunan daerah sebagai integral dari pembangunan nasional merupakan suatu proses perubahan yang terencana dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang di dalamnya melibatkan seluruh kegiatan yang ada melalui dukungan masyarakat di berbagai sektor. Pembangunan daerah harus sesuai dengan kondisi potensi serta aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang. Apabila pelaksanaan prioritas pemba-

    ngunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka peman-faatan sumber daya yang ada menjadi kurang optimal. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan.

    Proses lajunya pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertambahan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), sehingga tingkat perkembangan PDRB per kapita yang dicapai masyarakat seringkali sebagai ukuran kesuksessan suatu daerah dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi. (Sukirno, 1981:23).Secara makro pertumbuhan dan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun merupakan indikator dari keberhasilan pembangunan daerah yang dapat dikategorikan dalam berbagai sektor ekonomi yaitu: Pertanian, Pertambangan dan peng-galian, Industri pengolahan, Listrik, gas dan air ber-sih, Bangunan, Perdagangan, perhotelan dan resto-ran, Pengangkutan dan komunikasi, Keuangan, per-sewaan dan jasa perusahaan, Sektor jasa lainnya.

  • Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8) 2

    Semakin besar sumbangan yang diberikan oleh masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB suatu daerah maka akan dapat melaksanakan pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di lihat dari PDRB merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi melalui indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang berarti pula akan meningkatkan kese-jahteraan dan kemakmuran rakyat.Untuk mening-katkan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah peran pemerintah sangat diperlukan yaitu dalam pembuatan strategi dan perencanaan pembangunan daerah, dengan memperhatikan pergeseran sektor ekonomi dari tahun ke tahun.

    Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Sektor-sektor ekonomi mana yang menjadi basis

    untuk dikembangkan sebagai penunjang pertum-buhan ekonomi di Kabupaten Pati?

    2. Sejauh manakah keterkaitan Kabupaten Pati dengan daerah-daerah sekitarnya sehingga saling menunjang pertumbuhan ekonominya?

    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meng-analisis sektor-sektor ekonomi mana yang paling strategis untuk dikembangkan dan menganalisis keterkaitan-keterkaitan Kabupaten Pati dengan daerah di sekitarnya sehingga saling menunjang pertumbuhan ekonominya. Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dan bahan kajian tentang perkembangan perekonomian daerah.

    LANDASAN TEORI

    Pembangunan Ekonomi

    Pembangunan ekonomi diartikan sebagai peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yaitu tingkat pertambahan Gross Domestic Product (GDP) pada satu tahun tertentu melebihi tingkat pertam-bahan penduduk. Perkembangan GDP yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dibarengi oleh

    perubahan dan modernisasi dalam struktur ekonomi yang umumnya tradisional, sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan itu lebih besar dalam GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau apakah terjadi perubahan struktur atau tidak (Sukirno,1981:13-14).

    Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pem-bangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu: 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk

    memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs). 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem)

    masyarakat sebagai manusia. 3. Meningkatnya kemauan masyarakat untuk memi-

    lih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.

    Dari definisi tersebut jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai empat sifat penting pemba-ngunan ekonomi merupakan: Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus, usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita, kenaikan pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang, perbaikan sistem kelem-bagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya).

    Pertumbuhan Ekonomi

    Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai ke-naikan GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. (Arsyad,1997:13). Jika ingin mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi kita harus membandingkan pendapatan nasional dari tahun ke tahun. Dalam membandingkannya harus disadari bahwa perubahan nilai pendapatan yang nasional yang terjadi dari tahun ke tahun disebabkan oleh dua faktor yaitu perubahan tingkat kegiatan ekonomi dan perubahan harga-harga. Adanya pengaruh dari faktor yang kedua tersebut disebabkan oleh penilaian pendapatan nasional menurut harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkem-bangan jika tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai lebih tinggi dari waktu sebelumnya.

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 3

    Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Sukirno 1994:425): a. Tanah dan kekayaan alam lain

    Kekayaan alam akan mempermudah usaha untuk membangun perekonomian suatu negara, terutama pada masa-masa permulaan dari proses pertumbuhan ekonomi.

    b. Jumlah dan mutu penduduk dan tenaga kerja Penduduk yang bertambah akan mendorong maupun menghambat pertumbuhan ekonomi. Akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada pertumbuhan ekonomi dapat terjadi ketika jumlah penduduk tidak sebanding dengan faktor-faktor produksi yang tersedia.

    c. Barang-barang modal dan tingkat teknologi Barang-barang modal penting artinya dalam mempertinggi efisiensi pertumbuhan ekonomi, barang-barang modal yang sangat bertambah jumlahnya dan teknologi yang telah menjadi bertambah modern memegang peranan yang penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi yang tinggi.

    d. Sistem sosial dan sikap masyarakat Sikap masyarakat akan menentukan sampai di-mana pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.

    e. Luas pasar sebagai sumber pertumbuhan Adam Smith telah menunjukkan bahwa spesia-lisasi dibatasi oleh luasnya pasar, dan spesiali-sasi yang terbatas membatasi pertumbuhan ekonomi.

    Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

    Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ada-lah indikator ekonomi makro yang dapat memberikan gambaran tentang keadaan perekonomian suatu wilayah. Di dalam menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang di timbulkan dari suatu region, ada 3 pendekatan yang digunakan yaitu: 1. PDRB menurut pendekatan produksi

    Merupakan jumlah nilai barang atau jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi yang berada di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.

    2. PDRB menurut pendekatan pendapatan Merupakan balas jasa yang digunakan oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam waktu tertentu.

    3. PDRB menurut pendekatan pengeluaran Merupakan semua komponen pengeluaran akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok dan ekspor neto dalam jangka waktu tertentu.

    Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

    Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson (1973) yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Dalam teori basis ekonomi (economic base) bahwa semua wilayah merupakan sebuah sistem sosio ekonomi yang terpadu. Teori inilah yang mendasari pemikiran teknik location quotient, yaitu teknik yang membantu dalam menentukan kapasitas ekspor perekonomian daerah dan derajat keswasembada (Self-sufficiency) suatu sektor.

    Menurut Glasson (1990:63-64), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor yaitu: a. Sektor-sektor basis adalah sektor-sektor yang

    mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

    b. Sektor-sektor bukan basis adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan.

    METODE PENELITIAN

    Populasi dan Sampel

    Populasi dalam penelitian ini adalah PDRB sektoral Kabupaten Pati dan Jawa Tengah yang dihitung berdasar harga konstan. Adapun sampel penelitian ini adalah PDRB atas dasar harga konstan dari tahun 2000-2005.

  • Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8) 4

    Variabel Penelitian

    Variabel dalam penelitian ini meliputi: pertum-buhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Sektor-sektor ekonomi, Komponen Diffe-rential shift, Komponen Proportional Shift, Jarak.

    Metode Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: wawancara merupakan alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan pertanyaan lisan dengan narasumber untuk menggali data yang diperlukan, dokumentasi merupakan suatu cara memperoleh data dengan melihat kembali laporan-laporan tertulis, baik berupa angka maupun keterangan, observasi merupakan cara pengumpulan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung.

    Metode Analisis Data

    1. Analisis Location Quatient (LQ) Merupakan teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis sektor potensial atau basis dalam perekonomian suatu daerah. Rumus untuk menghitung LQ adalah sebagai berikut:

    YtYiytyiLQ

    //

    =

    Dimana: yi = Pendapatan sektor ekonomi di Kabupaten

    Pati yt = Pendapatan total Kabupaten Pati (PDRB) Yi = Pendapatan sektor ekonomi di Propinsi

    Jawa Tengah Yt = Pendapatan total ekonomi di Propinsi Jawa

    Tengah 2. Analisis Shift Share

    Adalah suatu teknik untuk menganalisis perubah-an struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Rumus analisis shift share (John Glosson 1990: 95-96) sebagai berikut:

    Gj : Yjt Yjo

    Nj : Yjo(Yt/Yo)- Yjo

    (P+D)j : Yjt- (Yt/Yo) Yjo

    Pj : i [(Yit/Yio)- (Yt/Yo)] Yijo

    Dj : t [Yijt- (Yit/Yio) Yijo]

    Keterangan: Gj : Pertumbuhan PDRB Total Nj : Komponen Share Pj : Proportional Shift Dj : Diferential Shift Y : PDRB total Propinsi Jawa Tengah o,t : Periode Awal dan Periode Akhir

    3. Analisis Gravitasi (keterkaitan wilayah) Adalah analisis untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan (inter linkage) antara Kabupaten Pati dengan Kabupaten lain disekitar. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

    ijdPP

    T jiij 2=

    Dimana : T ij = Daya tarik-menarik antar daerah i de-

    ngan j P i = Jumlah penduduk di daerah i P j = Jumlah penduduk di daerah j d ij = Jarak antara i dan j

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Penelitian

    1. Analisis location quotient (LQ)

    Berdasarkan tabel 1, maka dapat teridentifikasi yang merupakan sektor basis maupun non basis. Kabupaten Pati mempunyai 4 sektor basis, sektor tersebut yaitu sektor pertanian, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, Sektor bangunan, Sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan

    2. Analisis Shift Share

    Berdasarkan tabel pertumbuhan komponen pro-porsional Kabupaten Pati selama periode 2000-2005 (lihat tabel 2), diketahui bahwa nilai proporsional shift (Pj) Kabupaten Pati dari tahun 2000-2005 nilainya ada yang positif dan negatif, hal ini bila Pj > 0, maka Kabupaten Pati akan berspesialisasi pada sektor

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 5

    yang di tingkat propinsi tumbuh lebih cepat. Sebalik-nya jika Pj < 0, maka Kabupaten Pati akan berspe-

    sialisasi pada sektor yang tingkat propinsi tumbuh lebih lambat.

    Tabel 1. Hasil Analisis LQ Kabupaten Pati Tahun 2000-2005

    No Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata

    1 Pertanian 1.68 (b)

    1.70 (b)

    1.63 (b)

    1.68 (b)

    1.65 (b)

    1.64 (b)

    1,66 (b)

    2 Pertambangan 0.87 (nb)

    0.79 (nb)

    0.78 (nb)

    0.78 (nb)

    0.78 (nb)

    0.76 (nb)

    0,79 (nb)

    3 Industri Pengolahan 0.56 (nb)

    0.58 (nb)

    0.62 (nb)

    0.61 (nb)

    0.61 (nb)

    0.62 (nb6)

    0,6 (nb)

    4 Listrik, Gas 1.13 (b)

    1.26 (b)

    1.23 (b)

    1.28 (b)

    1.40 (b)

    1.33 (b)

    1,27 (b)

    5 Bangunan 1.15 (b)

    1.19 (b)

    1.16 (b)

    1.11 (b)

    1.09 (b)

    1.12 (b)

    1,14 (b)

    6 Perdagangan 0.86 (nb)

    0.89 (nb)

    092 (nb)

    0.92 (nb)

    0.94 (nb)

    0.92 (nb)

    0,91 (nb)

    7 Pengangkutan 0.97 (nb)

    0.92 (nb)

    0.89 (nb)

    0.85 (nb)

    0.85 (nb)

    0.85 (nb)

    0,89 (nb)

    8 Keuangan,sewa 1.5 (b)

    1.57 (b)

    1.65 (b)

    1.77 (b)

    1.86 (b)

    1.89 (b)

    1,71 (b)

    9 Jasa-jasa 0.68 (nb)

    0.73 (nb)

    0.07 (nb)

    0.74 (nb)

    0.74 (nb)

    0.75 (nb)

    0,62 (nb)

    Sumber : Data sekunder yang diolah Keterangan : (b) : sektor basis ; (nb) : sektor non basis

    Tabel 2. Komponen Pertumbuhan Proportional (Pj) Kabupaten Pati Tahun 2000-2005

    SEKTOR 2000 - 2001 2001 - 2002 2002 - 2003 2003 - 2004 2004-2005 Rata-rata

    Pertanian -28828,773 (tlp) 16690,748

    (tcp) -83698,962

    (tlp) 2422,073

    (tcp) -8921,270

    (tlp) -20467,237

    (tlp)

    Pertambangan 1162,3224 (tcp) -105,3423

    (tlp) 135,8892

    (tcp) -622,633

    (tlp) 1049,375

    (tcp) 323,92226

    (tcp)

    Industri 3036,9362 (tcp) 11015,728

    (tcp) 3159,975

    (tcp) 8266,676

    (tcp) -3784,631

    (tlp) 4338,9368

    (tcp)

    Listrik & Air Bersih -788,3063 (tlp) 2424,928

    (tcp) -1431,933

    (tlp) 1142,741

    (tcp) 2009,783

    (tcp) 671,44254

    (tcp)

    Bangunan 2467,049 (tcp) 12310,259

    (tcp) 14806,030

    (tcp) 5373,107

    (tcp) 3212,856

    (tcp) 7633,8602

    (tcp)

    Perdagangan -27024,162 (tlp) -10418,520

    (tlp) 1641,699

    (tcp) -17569,732

    (tlp) 4734,111

    (tcp) -9727,3208

    (tlp)

    Pengangkutan 5355,749 (tcp) 2352,358

    (tcp) 1268,164

    (tcp) -637,016

    (tlp) 2845,321

    (tcp) 2236,9152

    (tcp)

    Keuangan -3069,867 (tlp) -2235,557

    (tlp) -4307,021

    (tlp) -2865,855

    (tlp) -796,517

    (tlp) -2654,9634

    (tlp)

    Jasa-jasa 28778,638 (tcp) -21962,008

    (tlp) 266655,567

    (tcp) 1114,488

    (tcp) -1347,376

    (tlp) 54647,862

    (tcp)

    Jumlah -18910,4 (tlp) 10072,59

    (tcp) 198229,4

    (tcp) -3376,15

    (tlp) -998,348

    (tlp) 37003,41

    (tcp) Sumber: Data sekunder yang diolah Keterangan (tcp): sektor tumbuh cepat di tingkat propinsi ; (tlp): sektor tumbuh lambat di tingkat propinsi

  • Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8) 6

    Tabel 3. Komponen Pertumbuhan Diferensial (Dj) Kabupaten Pati SEKTOR 2000 - 2001 2001 - 2002 2002 - 2003 2003 - 2004 2004-2005 Rata-rata

    Pertanian 12762,709 (tlcbp) -63398,25

    (tllbp) 6826,395

    (tlcbp) -28382,518

    (tllbp) -28936,974

    (tllbp) -20225,728

    (tllbp)

    Pertambangan -2378,96517 (tllbp) -334,36382

    (tllbp) -830,28257

    (tllbp) -14,17334

    (tllbp) -1609,63037

    (tllbp) -1033,4831

    (tllbp)

    Industri 1830,2082 (tlcbp) 5220,8323

    (tlcbp) -1387,2178

    (tllbp) -2125,5172

    (tllbp) 3410,6169

    (tlcbp) 1389,7845

    (tlcbp)

    Listrik & Air Bersih 3203,0862 (tlcbp) -1070,15497

    (tllbp) 649,69086

    (tlcbp) 1783,39201

    (tlcbp) -1757,18742

    (tllbp) 561,76534

    (tlcbp)

    Bangunan 7189,0674 (tlcbp) -7697,7161

    (tllbp) -12348,3434

    (tllbp) -3622,538

    (tllbp) 2307,2126

    (tlcbp) -2834,4635

    (tllbp)

    Perdagangan 22364,7021 (tlcbp) 19260,6147

    (tlcbp) -19056,7144

    (tllbp) 5741,6819

    (tlcbp) -17963,0086

    (tllbp) 2069,4551

    (tlcbp)

    Pengangkutan -7985,4512 (tllbp) -5020,1101

    (tllbp) -5293,0049

    (tllbp) -3253,7639

    (tllbp) -5149,9404

    (tllbp) -5340,4541

    (tllbp)

    Keuangan 6643,0954 (tlcbp) 8016,7445

    (tlcbp) 9201,1495

    (tlcbp) 6009,4648

    (tlcbp) 1528,053

    (tlcbp) 6279,7015

    (tlcbp)

    Jasa-jasa -15072,3952 (tllbp) 17466,5643

    (tlcbp) -22971,7273

    (tllbp) -2087,963

    (tllbp) 358,6539

    (tlcbp) -4461,3735

    (tllbp) Sumber:Data sekunder yang diolah Keterangan: (tlcbp): sektor tumbuh lebih cepat dibanding propinsi (tllbp): sektor tumbuh lebih lambat dibanding propinsi

    Berdasarkan tabel diatas, sektor-sektor yang memiliki rata-rata positif yaitu sektor industri pengolahan dengan Dj rata-rata sebesar 1389,7845; sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 561,76534; sektor perdagangan sebesar 2069,4551; sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan sebesar 6279,7015. Sedangkan nilai negatif menunjukkan sektor tersebut tumbuh lambat dibanding dengan pertumbuhan sektor yang sama di tingkat Jawa Tengah. Sektor-sektor yang memiliki rata-rata negatif yaitu sektor pertanian dengan Dj rata-rata sebesar -20225,728; sektor pertambangan dan penggalian sebesar -1033,4831; sektor bangunan sebesar -2834,4635; sektor pengangkutan dan komunikasi

    sebesar -5340,4541; sektor jasa-jasa sebesar -4461,3735.

    3. Analisis Keterkaitan Wilayah (Gravitasi)

    Berdasarkan perhitungan analisis gravitasi maka dapat diketahui hasil analisis gravitasi berikut pada tabel 4.

    Pada tabel analisis gravitasi diatas, tercermin bahwa periode penelitian penulis yang paling kuat dengan Kabupaten Pati adalah Kabupaten Kudus, kedua adalah Kabupaten Rembang, ketiga adalah Kabupaten Grobogan, keempat adalah Kabupaten Blora, Kabupaten Jepara.

    Tabel 4. Hasil Perhitungan Gravitasi Kabupaten Pati Tahun 2000-2005

    Tahun Kab. Kudus Kab. Rembang Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Jepara 2000 1,393,695,814 489,762,165.9 293,771,701.9 178,453,187.7 127,397,013.4 2001 1,422,898,580 498,435,694.7 299,582,526.3 181,210,005.7 130,873,780.3 2002 1,461,177,242 512,012,179.1 308,475,270.9 185,710,743.6 135,432,685.7 2003 1,522,516,811 528,224,802.8 314,889,794.3 189,396,088.6 142,094,449.4 2004 1,551,073,788 538,028,668.2 321,289,425.2 192,415,555.9 145,852,852.3 2005 1,599,817,751 550,943,522. 330,507,952.7 196,829,190. 151,211,392.7

    Rata-rata 1,491,863,31 519,567,838.8 311,419,445.2 185,335,795.3 138,810,362.3 Sumber : Data sekunder yang diolah

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 7

    Pembahasan

    a. Sektor Pertanian Dari hasil analisis location quotient, sektor pertanian merupakan sektor basis. Analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata Pj sebesar -20467,237 sektor ini termasuk kedalam sektor yang memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Sedangkan komponen Dj sebesar -20225,728, sektor ini pertumbuhannya lebih lambat dibanding propinsi karena daya saingnya menurun.

    b. Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian merupa-kan sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertum-buhan proporsional (Pj) sebesar 323,92226, yang berarti sektor ini merupakan sektor yang tumbuh cepat di propinsi Jawa Tengah. Komponen diferensial (Dj) sebesar -1033,4831 yang berarti sektor ini mempunyai daya saing menurun sehingga pertumbuhannya lebih lam-bat.

    c. Sektor Industri Pengolahan Berdasarkan hasil analisis LQ, sektor industri pengolahan termasuk sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 4338,9368. Nilai rata-rata komponen Dj adalah sebesar 1389,7845 menunjukkan daya saing sektor ini meningkat sehingga pertum-buhannya lebih cepat dari propinsi.

    d. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Hasil analisis location quotient, sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor basis dengan nilai rata-rata1,27. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertum-buhan proporsional (Pj) positif sebesar 671,44254, yang menunjukkan bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Komponen Dj sebesar 561,76534 menunjukkan daya saing sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari propinsi.

    e. Sektor Bangunan Sektor bangunan merupakan sektor basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 7633,8602, yang menunjukkan bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Komponen Dj negatif sebesar -2834,4635 menunjukkan daya saing sektor ini menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibanding pertumbuhan di propinsi.

    f. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Potensi sektor perdagangan, hotel dan restoran jika dilihat dari kriteria LQ merupakan sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan propor-sional (Pj) sebesar -9727,3208, sektor ini memi-liki pertumbuhan lebih lambat di tingkat propinsi. Nilai komponen Dj sebesar 2069,4551 menun-jukkan sektor ini pertumbuhannya lebih cepat dibanding pertumbuhan di propinsi.

    g. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Berdasarkan hasil analisis LQ sektor ini meru-pakan sektor non basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertum-buhan proporsional (Pj) positif sebesar 2236,9152, yang menunjukkan bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan lebih cepat di tingkat propinsi. Nilai rata-rata komponen Dj sebesar -5340,4541 menunjukkan daya saing sektor ini menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibanding pertumbuhan di propinsi.

    h. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan Dari hasil analisis location quotient sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor basis. Hasil analisis shift share menunjukkan nilai rata-rata komponen pertumbuhan proporsional (Pj) negatif sebesar -2654,9634 yang berarti bahwa sektor ini meru-pakan sektor yang tumbuh lambat di propinsi Jawa Tengah. Nilai rata-rata komponen Dj sebesar 6279,7015 menunjukkan daya saing sektor ini meningkat sehingga pertumbuhannya lebih cepat dari propinsi.

    i. Sektor Jasa-jasa Sektor jasa-jasa berdasarkan hasil analisis LQ termasuk dalam sektor non basis. Hasil analisis

  • Analisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Ekonomi: . . . (Prishardoyo: 1 - 8) 8

    shift share menunjukkan nilai rata-rata kompo-nen pertumbuhan proporsional (Pj) positif sebesar 441425,8553 berarti bahwa sektor ini merupakan sektor yang tumbuh cepat di propinsi Jawa Tengah. Nilai komponen Dj sebesar -4533,71247 menunjukkan daya saing sektor ini menurun sehingga pertumbuhannya lebih lambat dibanding pertumbuhan di propinsi.

    Kesimpulan

    1. Berdasarkan hasil analisis location quotient sektor-sektor potensial yang dapat diandalkan selama tahun analisis 2000-2005 adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan.

    2. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan wilayah (Gravitasi) selama tahun analisis 2000-2005 menunjukkan bahwa Kabupaten yang paling kuat interaksinya dengan Kabupaten Pati adalah Kabupaten Kudus dengan nilai interaksi rata-rata sebesar 1,491,863,31. Sedangkan yang paling sedikit interaksinya adalah Kabupaten Jepara dengan nilai interaksi rata-rata sebesar 138,810,362.3.

    Saran

    Dari hasil kesimpulan maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Pati

    selaku penggerak pembangunan daerah dapat memberi perhatian pada sektor pertanian; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor bangunan; dan sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan

    sebagai sektor-sektor basis agar berkembang lebih cepat.

    2. Memantapkan program keterkaitan antar sektor ekonomi baik antara sektor basis maupun non basis sehingga pertumbuhan semua sektor dapat tumbuh dan berkembang minimal setara dengan sektor-sektor sejenis secara nasional.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arikunto, Suharsimi,1998, Prosedur Penelitian, Yogyakarta: Rineka cipta.

    Arsyad, Lincolin,1995, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta: BPFE

    Badan Pusat Statistik, 2006, Kabupaten Pati Dalam Angka

    Djojohadikusumo, Sumitro, 1995, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembanguna, Jakarta: LP3ES.

    Glasson, John, 1990, Pengantar Perencanaan Re-gional, terjemahan Paul Sitohang, Jakarta: LPFE UI

    Prasetyo, Supomo, 1993, Analisis Shift- Share: Perkembangan dan Penerapan, Yogyakarta: JEBI

    Soeratna dan Lincolin Arsyad,1988, Metodologi Penelitian Untuk Ekonomi Dan Bisnis, Yogyakarta: BPFE

    Suryana, 2000, Model Gravitasi sebagai Alat Peng-ukur Hiterland dari Central Placa: Satu Kajian Teoritik, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Yogyakarta:UGM

    Warpani, Suwardjoko, 1984, Analisis Kota dan Daerah, Bandung: Penerbit ITB.

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 9

    DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SEMARANG TERHADAP KEMACETAN LALULINTAS DI WILAYAH PINGGIRAN DAN

    KEBIJAKAN YANG DITEMPUHNYA Etty Soesilowati

    Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:[email protected]

    ABSTRACT

    The aim of this research is to know how much is the impact of Semarang economics growth to the intensity of traffic jam on Semarang Mranggen road, and, what is the strategy to solve it. This research used descriptive percentase and SWOT analysis. The economics growth which is measured is Gross Domestic Product per capita (PDRB) during 1996 2005, and it had become a free variable. Meanwhile, the level of the annual average traffic jam during 1996 2005 had become a bounded variable. To know the policy strategy, it was done by interviewing some stake holders that has an authority in the field of transportation. The result of this research showed that the economics growth of Semarang city had impact on individual role to the traffic jam as sum of 80,9%. The rest, 44,6% was influenced by some other things such as the activity of micro trader (PKL), parking man, public transportation and also people who crossed the road. Based on SWOT analysis, the most appropriate strategy to solve the traffic jam is by integrated horizontal strategy. It means, all institutions that subordinated by Local Government (Pemda) such as Bapeda, Dinas Perhubungan dan Satpol PP, should work together to overcome the traffic jam based on each authority. Nevertheless, the role of the police of Demak County as a vertical institution is not less important. In the long run, it is important to develop a modern public transportation system which is integrated, comfortable and also efficient, geometry road system that will be able to avoid the traffic intersection, and also to educate people how to do a good manner in traffic Keywords: Economic Growth, Traffic Jam, Policy Strategic.

    PENDAHULUAN

    Kota merupakan pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman atau daerah modal. Sedangkan daerah di luar pusat konsentrasi tersebut dinamakan dengan berbagai istilah, seperti daerah pedalamn, wilayah belakang atau pinggiran (hinterland).

    Daerah perkotaan seperti Semarang yang sarat akan berbagai fasilitas, prasarana dan sarana secara logis tentu memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat jika dibanding dengan wilayah yang berada di luarnya. Di satu sisi pertumbuhan ini menyebabkan semakin terbukanya kesempatan kerja baru, di sisi lain pertumbuhan ini berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung dengan Kota semarang, antara lain Kecamatan Mranggen di Kabupaten Demak, Kecamatan Ungaran di Kabupaten Sema-rang, dan Kecamatan Kaliwungu di Kabupaten Kendal.

    Berdasarkan data dalam buku Kecamatan Dalam Angka, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kecamatan Mranggen, Ungaran, dan Kaliwungu secara berturut-turut adalah sebesar 123.721 jiwa, 110.546 jiwa, dam 88.156 jiwa. Namun dalam kurun waktu lima tahun jumlah penduduk Kecamatan Mranggen meningkat menjadi 127.131 jiwa, Keca-matan Ungaran 124.872 jiwa, dan Kecamatan Kaliwungu 91.515 jiwa. Jika dilihat dari tingkata kepadatan penduduk, maka tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Mranggen yaitu sebesar 1,740 jiwa/km 2.

    Perkembangan daerah-daerah pinggiran Kota Semarang tersebut menyebabkan terjadinya pening-katan intensitas pergerakan manusia yang tercermin dari peningkatan arus lalulintas pada jam-jam teretntu di pintu-pintu masuk kota. Hal itu paling terlihat di Kecamatan Mranggen, dimana pagi dan sore hari terjadi kemacetan lalulintas akibat penum-pukan kendaraan pribadi, sepeda maupun angkutan umum yang membawa penduduk Mranggen ke Kota

  • Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17) 10

    Semarang. Jika dilihat dari mata pencahariannya, sebagian besar penduduk Mranggen banyak yang bekerja di sektor pertanian. Namun pertumbuhan penduduk di sektor ini semakin berkurang dikarena-kan semakin menyempitnya lahan pertanian di satu sisi, sedangkan di sisi lain pertumbuhan industri di kota semakin cepat sehingga banyak penduduk yang beralih profesi menjadi buruh industri dan bekerja di sector informal (buruh bangunan, pedagang, dan lain-lain)

    Kecamatan Mranggen sebagai salah satu jalur pintu masuk ke Kota Semarang dari arah Timur ini dilalui jaringan jalan propinsi dengan fungsi kolektor primer (penghubung antar kota kecamatan maupun antar ibukota kabupaten) yaitu jalan Raya Mranggen. Di sepanjang Jalan Raya Mranggen ini terdapat beberapa persimpangan yang merupakan pangkal dari beberapa ruas jalan protokol (jalan yang menghubungkan antar bagian wilayah kecamatan atau antar pusat kegiatan) yang ada di Kecamatan Mranggen. Tingkat kepadatan lalulintas tersebut dapat disajikan pada tabel 1 dibawah.

    Tabel 1. menunjukan tingkat kepadatan lalu-lintas pada jam sibuk (pukul 06.00 08.00 dan 16.00 18.00) di berbagai ruas jalan lokal di Kecamatan Mranggen. Jalan Raya Mranggen selain merupakan pangkal dari beberapa ruas jalan lokal, jalan ini juga dilalui oleh mobilitas penduduk Kabupaten Grobokan maupun Kabupaten Blora yang menuju Kota Semarang. Untuk mewujudkan system transportasi yang tertib, lancar, nyaman serta terintegrasi diperlukan penelitian untuk menyusun alternative kebijakan yang dapat memecahkan masalah sekaligus mendukung pertumbuhan

    ekonomi wilayah sekitarnya.

    LANDASAN TEORI

    Menurut Permendagri No.2 Tahun 1987 Pasal 1 menyebutkan bahwa Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan administrasi yang diatur dalam perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan cirri kehidupan perkotaan. Kota memiliki ciri-ciri: (1) secara administratif adalah wilayah keruangan yang dibatasi oleh batas administrasi atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) secara fungsional sebagai pusat berbagai kegiatan fungsional yang didominasi oleh fungsi jasa, distribusi, dan produksi kegiatan-kegiatan pertanian; (3) secara sosial ekonomi merupakan konsentrasi penduduk yang memiliki kegiatan usaha dengan dominasi sektor non pertanian, seperti industri, perdagangan, transportasi, perkantoran, dan jasa yangsifatnya heterogen; (4) secara sosial budaya merupakan pusat perubahan budaya yang dapat mempengaruhi pola nilai budaya yang ada; (5) secara fisik merupakan suatu lingkungan terbangun (built up area) yang didominasi oleh struktur fisik binaan; (6) secara geografis merupakan suatu pemu-satan penduduk dan kegiatan usahayang secara geografir akan mengambil lokasi yang memiliki nilai strategis secara ekonomi, sosial, maupun fisiografis; (7) secara demografis diartikan sebagai tempat dimana terdapat konsentrasi penduduk yang besarnya ditentukan berdasarkan batasan statistik tertentu.

    Secara teoritik Charles C.Colby dalam

    Tabel 1. Panjang Ruas Jalan dan Tingkat Kepadatan Lalulintas di Kecamatan Mranggen

    No. Nama Ruas Panjang Ruas Jalan (m) Volume

    (V) Kapasitas Jalan

    (C) V/C Kecepatan Rata-rata

    (km/jam) 1. Mranggen-Banyumeneng 10.170 473 1.920 0,25 23,24 2. Mranggen- Bulusari 6.570 294 1.920 0,15 30,32 3. Candisari- Karanggawang 3.375 274 858 0,32 22,62 4. Kangkung-Tlogorejo 7.600 231 858 0,27 19,52 5. Jalan SMU Mranggen 2.400 112 857 0,13 18,23 6. Brambang- Waru 8.460 128 857 0,15 20,24 7. Mranggen- Kebonbatur 4.200 133 862 0,15 25,60 8. Banyumeneng- Kawengan 2.300 - 862 - -

    Sumber : Studi Manajemen Transportasi, 2006

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 11

    Daldjoeni (1992: 171) menjelaskan adanya dua daya yang menyebabkan kota berekspansi atau memusat, yaitu daya sentripetal dan daya sentrifugal. Daya sentripetal adalah daya yang mendorong gerak ke dalam dari penduduk dan berbagai kegiatan usaha-nya, sedangkan daya sentrifugal adalah daya yang mendorong gerak ke luar dari penduduk dan ber-bagai usahanya dan menciptakan disperse kegiatan manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone kota.

    Adapun faktor-faktor yang mendorong gerak sentripetal adalah: (1) adanya berbagai pusat pela-yanan, seperti pusat pendidikan, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan sebagainya; (2) mudahnya akses layanan transportasi seperti pelabuhan, stasiun kereta, terminal bus, serta jaringan jalan yang bagus; (3) tersedianya beragam lapangan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Sedangkan factor-faktor yang mendorong gerak sentrifugal adalah : (1) adanya gangguan yang berulang seperti macetnya lalulintas, polusi, dan gangguan bunyi-bunyian yang menimbulkan rasa tidak nyaman; (2) harga tanah, pajak maupun sewa di luar pusat kota yang lebih murah jika dibandingkan dengan pusat kota; (3) keinginan untuk bertempat tinggal di luar pusat kota yang terasa lebih alami (Daldjoeni, 1992 : 172)

    Selain daya sentifugal maupun sentripetal, pemekaran wilayah dapat juga terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang sengaja mengembang-kan kota tersebut dengan cara membangun infra-struktur dan mendatangkan berbagai investor sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Wilayah pinggiran atau yang disebut sebagai suburbia secara ekologis merupakan kawasan dimana terjadi invasi (masuk-nya penduduk baru) dan adanya peraturan daerah yang lemah (lax zoning regulation) yang meng-inginkan tersebarnya bangunan-bangunan baru seperti pompa bensin, restoran, tempat hiburan dan lain sebagainya. Wilayah pinggiran biasanya diba-ngun tanpa rencana dimana tata guna lahan ditangani secara semrawut. Meski kawasan tersebut status resminya perdesaan (rural) tetapi dalam kenyataannya merupakan campuran rural-urban.

    Daerah pinggiran atau perbatasan memiliki karakteristik, dimana daerah pinggirannya berbasis sumberdaya alam (primer) dan daerah pusat meru-pakan penghasil barang dan jasa (sekunder/tersier). Dengan demikian apabila wilayah pusat (core)

    berkembang, maka wilayah pinggiran (periphery) juga akan turut berkembang sehingga dalam jangka panjang core-periphery akan habis. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perluasan pasar, penemuan sumber baru, perbaikan sarana transpor-tasi dan kebijakan daerah yang mendukung. Namun apabila core-periphery terlalu jauh, maka dampak dari perkembangan core terhadap periphery tidak terasa.

    Hilmann dalam Daldjoeni (1992:189) mempre-diksi terjadinya interaksi spasial tersebut disebabkan beberapa faktor: pertama, adanya wilayah yang berbeda kemampuan sumberdayanya (satu pihak berlebihan, sementara pihak yang lain kekurangan) sehingga terjadi aliran yang sangat besar dan membangkitkan interaksi spasial yang tinggi. Kedua, adanya fungsi jarak yang diukur dalam biaya dan waktu yang nyata, termasuk karakteristik khusus dari komoditas yang ditransfer. Komoditas yang dihasil-kan tertentu dan dibutuhkan oleh daerah lain memiliki nilai transfer yang cukup tinggi. Intensitas interaksi akan berkurang bila jarak kedua daerah semakin jauh. Sementara arus yang terjadi dapat berwujud arus ekonomi, sosial, politik maupun arus informasi.

    Interaksi spasial terdiri dari: pertama, keter-kaitan fisik yang berbentuk integrasi manusia melalui jaringan transportasi. Kedua, keterkaitan ekonomi yang berkaitan dengan pemasaran sehingga terjadi aliran komoditas berbagai jenis barang/ jasa serta modal, dan juga keterkaitan produksi ke depan (foward linkage) maupun kebelakang (backward linkage) diantara berbagai kegiatan ekonomi. Ketiga, keterkaitan atau pergerakan penduduk dengan pola migrasi, baik permanen maupun kontemporer. Keempat, keterkaitan teknologi terutama peralatan, cara dan metode produksi yang harus terintegrasi secara spasial dan fungsional. Kelima, keterkaitan sosial yang merupakan dampak dari keterkaitan ekonomi terhadap pola hubungan sosial penduduk. Keenam, keterkaitan pelayanan sosial seperti rumah sakit, sekolah dan sebagainya. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik dan kelembagaan misalnya struktur perbatasan administrasi maupun sistem anggaran.

    Carrothers dalam Tarigan (2004) telah meng-analogikan formulasi interaksi dengan hukum gravi-tasi, yang dijabarkan sebagai berikut:

  • Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17) 12

    2)Dij(f)Pj Pi(fij I =

    Keterangan: I ij = Interaksi antara tempay i dan tempat j P i = Penduduk i P j = Penduduk j D ij = Jarak antara tempat i dan tempat j

    Hukum gravitasi tersebut memberikan gambaran bahwa semakin besar I ij maka semakin erat hubung-an kedua wilayah tersebut, dan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

    Sementara pertumbuhan ekonomi menggam-barkan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dimana persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk. (Budiono dalam Tarigan, 2004 : 44). Kondisi ini mensyaratkan bahwa berbagai perubahan dalam pertumbuhan penduduk perlu menjadi pertimbangan, karena jika suatu kenaikan pendapatan nyata yang dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka akan terjadi kemunduran ekonomi.

    Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnnya akan menyebabkan pen-duduk terdorong untuk melakukan migrasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah melalui otonomi daerah. Melalui otonomi daerah laju pertumbuhan diharapkan akan semakin seimbang dan serasi sehingga pelaksanaan pembangunan nasional semakin merata di seluruh pelosok tanah air.

    Adapun migrasi internal yang bersifat kedae-rahan akan menyebabkan mobilitas penduduk ulang-alik maupun sirkuler akan meningkat. Gejala ini dimungkinkan karena banyak penduduk yang bertempat tinggal jauh dari tempat kerja ataupun pusat pendidikan. Dengan berkembangnya pola mobilitas pinggiran-perkotaan, maka kebutuhan akan alat transportasi yang efisien dan efektif menjadi meningkat. Dalam masyrakat modern berbagai alat transportasi memegang dua fungsi penting: pertama, sebagai modal untuk mengangkut orang pergi ke tempat kerja atau memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Kedua, sebagai barang akhir untuk memenuhi berbagai keperluan sosial masyarakat seperti rekreasi dan sebagainya.

    Untuk memenuhi alat pengangkutan yang efektif dan efisien sebagai sarana mobilitas, ken-daraan pribadi menjadi pilihan dikarenakan sistem transportasi publik memiliki karakteristik layanan yang tidak konsisten, jadwal yang tidak pasti, serta meningkatnya tarif sehingga minat penggunaan transportasi kecil. Kebutuhan ruang yang berupa ruas jalan secara kuantitas menjadi semakin berkem-bang sementara pemerintah terkendala dengan anggaran yang terbatas. Kondisi ini menyebabkan kemacetan dimana-mana, khususnya kota besar.

    Kemacetan identik dengan kepadatan (density), yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang tertentu dari lajur atau jalan, dirata-rata terhadap waktu, biasanya dinyata-kan dalam kendaraan per mil atau kendaraan perkil-ometer atau jalan. Namun karena setiap jenis kenda-raan memiliki karakteristik pergerakan yang berbeda yang disebabkan perbedaan dimensi, kecepatan, percepatan maupun kemampuan manuver selain pengaruh geometrik jalan, maka digunakan Satuan Mobil Penumpang (SMP) untuk menyamakan satuan dari masing-masing jenis kendaraan. Besarnya SMP yang direkomendasikan oleh Direktorat Jendral Bina Marga Jalan Indonesia (MKJI) adalah sebagai berikut.

    Tabel 2. Faktor Satuan Mobil Penumpang

    No. Jenis Kendaraan Kelas SMP

    1. Sedan Oplet Mikrobus Pick Up

    LV

    1,00

    2. Bus Standar Truk Sedang Truk Besar

    HV

    1,30

    3. Sepeda Motor MC 0,50 4. Becak

    Sepeda Andong, dll

    UM

    1,00

    Sumber : Direktorat Jendral Bina Marga (2002) Keterangan : LV = Light Vehicle (Kendaraan Berat) HV = Heavy Vehicle (Kendaraan Ringan) MC = Motor Cycle (Sepeda Motor) UM = Unmotorrized (Kendaraan Tak Ber-

    motor)

    Secara ekonomis, masalah kemacetan lalulin-tas akan menciptakan biaya sosial, biaya operasional yang tinggi, hilangnya waktu, polusi uadara, tingginya

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 13

    angka kecelakaan, bising, dan juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki. Sementara untuk mengelola sebuah pertumbuhan beserta implikasinya diperlukan kebijakan-kebijakan yang terintegrasi antar aktor-aktor yang terlibat. Kebijakan itu sendiri menurut Anderson merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seor-ang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapai (1986 : 58)

    Kelembagaan merupakan salah satu aspek penting dalam konteks analisis subsistem kebijakan karena aspek kelembagaan akan banyak berperan dalam setiap siklus kebijakan, mulai dari perencana-an sampai dengan timbulnya umpan balik. Bagaima-na sebuah kebijakan dirancang, direncanakan, didesain, diimplementasikan dan dievaluasi akan membutuhkan partisipasi kelembagaan. Apabila aktor menunjuk pada orang perorangan, maka kelembagaan merupakan sebuah totalitas orang perorangan yang terikat pada norma dan tatanan organisasi. Dalam konteks kelembagaan, penyam-paian kebijakan (delivery system) telah menjadi perhatian utama, khususnya dalam penyediaan layanan publik. Penyediaan pelayanan publik dila-kukan melalui seperangkat institusi dan instrumen yang kompleks dan beragam disebut sebagai campuran (delivery mixes) Delivery mixed dalam konteks pelayanan publik melibatkan interaksi antara sektor privat, sukarela (voluntary) dan komunitas. Hubungan antara privat, komunitas dan sukarela oleh Colebatch dan Lamour dikatakan merupakan hubungan yang terus menerus mengalami perubahan.

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini bersifat deskriptif dengan populasi penduduk Kecamatan Mranggen yang melakukan mobilitas ulang-alik ke Kota Semarang dan stake-holder dibidang kelalulintasan, meliputi: Satlantas Polres Demak dan Kepala Kantor Perhubunan Kabupaten Demak. Pengambilan sampel dilakukan

    dengan teknik purposive random sampling dengan pertimbangan jumlah populasi yang tak tentu.

    Adapun variabel yang diteliti adalah pertum-buhan ekonomi Kota Semarang mulai tahun 2001 2005 yang diukur dari PDRB perkapitanya , variabel laju kenaikan tingkat kemacetan tahun 2001 2005 di Kecamatan Mranggen yang diukur dari tingkat kepadatan lalulintas.

    Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode dokumentasi dipergunakan untuk mencari data PDRB dan data arus lalulintas, metode wawancara untuk menjaring pendapat para menglaju, langkah-langkah yang ditempuh Pemda serta strategi-strateginya. Sedangkan metode observasi digunakan untuk mendukung data-data kuantitatif seperti kondisi riil sistem transportasi, sebab-sebab kemacetan serta titik-titik kemacetan terjadi.

    Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif persentase untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi Kota Semarang dan tingkat kemacetan di Kecamatan Mranggen, analisis gravitasi, serta metode analisis SWOT untuk merumuskan strategi yang tepat dalam mengatasi kemacetan tersebut.

    HASIL DAN PEMBAHASAN.

    Untuk mengetahui seberapa kuat keterkaitan (inter linkage) antara pusat dengan pinggirannya digunakan model gravitasi yang meliputi keterkaitan antara Kota Semarang terhadap Kecamatan Mranggen, Kecamatan Kaliwungu, dan Kecamatan Ungaran. Semakin tinggi tingkat gravitasi maka bisa dikatakan indikator kegiatan sosial dan ekonomi kedua wilayah tersebut besar kaitannya. Hasil perhitungan tingkat gravitasi dapat penulis sajikan sebagai berikut pada tabel 3.

    Hasil perhitungan analisis gravitasi tersebut dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 5 tahun Kecamatan Mranggen merupakan wilayah yang paling kuat daya tariknya terhadap pusat kota Semarang.

  • Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17) 14

    Dari klasifikasi jalan menunjukan bahwa jalan raya Purwodadi-Semarang (Kec. Mranggen) ber-fungsi sebagai kolektor primer dan termasuk golongan kelas II, yang berarti konstruksi permu-kaannya aspal beton. Tataguna lahan disepanjang jalan berupa pasar, pertokoan dan beberapa perkantoran. Berkaitan dengan berbagai aktivitas yang terjadi di sekitar kawasan pasar, trotoar yang digunakan untuk berdagang, parkir, angkutan umum dan pejalan kaki memakan sebagian badan jalan dan mengurangi lebar efektif jalur lalulintas jalan tersebut.

    Adapun arus dan tingkat kepadatan lalulintas di jalan raya Mranggen dan perkembangannya dapat penulis sajikan sebagai berikut.

    Tabel 4. Jumlah Arus dan Tingkat Kepadatan Lalulintas di Jalan Raya Mranggen Tahun 2001

    2005 serta Perkembangannya

    Tahun Arus lalulintas

    Rata-rata Tahunan (smp/jam)

    Tingkat Kepadatan Lalulintas (smp/km)

    Pertum- buhan

    (%) 2001 12.970,80 324,27 - 2002 13.008,60 325,22 1,29 2003 13.188,60 329,72 1,60 2004 13.317,85 332,95 0,75 2005 13.387,95 334,70 0,54 Sumber: Data Diolah

    Hasil perhitungan menunjukan bahwa setiap kenaikan nilai PDRB per kapita sebesar satu satuan, maka akan diikuti kenaikan kemacetan lalulintas di Kec. Mranggen sebesar 0,0000173. Atau jika PDRB per kapita naik sebesar Rp.100.000,- maka kema-cetan naik sebesar 1,73 smp/jam.

    Besarnya kontribusi PDRB per kapita Kota Semarang terhadap kemacetan lalulintas di Keca-matan Mranggen adalah sebesar 65,4%, sedangkan sisanya 44,6% dipengaruhi oleh faktor lain seperti adanya aktivitas PKL, parkir, angkutan umum, serta

    penyeberang jalan dan simpang tak bersinyal. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukirno (1976 :169) yang mengatakan bahwa jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki oleh warga masyarakat berkembang pesat sebagai akibat dari pertambahan pendapatan di perkotaan serta kemajuan teknologi kendaraan bermotor.

    Lebih jauh, fungsi kendaraan sebagai modal memiliki arti bahwa kendaraan sebagai input untuk menaikan produktivitas harus efisien. Contoh kasus apabila seorang penduduk harus mengeluarkan biaya perjalanan untuk berangkat dan pulang kerja dalam jarak tertentu difungsikan sebagai biaya tetap (FC), artinya jumlah biaya yang dikeluarkan tetap meskipun waktu tempuh perjalanan bisa lebih cepat atau lebih lambat. Jadi biaya totalnya sama dengan biaya tetap (TC = FC). Untuk mendukung produk-tivitasnya, dia mengeluarkan biaya untuk membeli sepeda motor yang disebut biaya marginal (MC). Setelah memiliki sepeda motor nilai FC akan turun dan menimbulkan biaya variabel (VC) yaitu berupa biaya pemeliharaan sepeda motor, sehingga TC = FC + VC. Namun dalam kenyataannya TC perjalanan dengan angkutan umum > TC perjalanan dengan sepeda motor.

    Sementara hasil wawancara juga menunjukan bahwa penyebab kemacetan juga diakibatkan oleh aktivitas pasar Ganefo yang terletak di sebelah Timur pasar Mranggen, banyaknya becak, dokar serta angkuta umum yang ngetem di pinggir jalan, dimana disepanjang jalan tersebut terdapat beberapa industri besar.

    Instansi perhubungan sendiri tidak mempunyai kebijakan yang riil untuk mengurangi masalah kemacetan lalulintas. Tapi sebagai instansi di bawah Pemda bersama-sama dengan Bappeda dan Satpol PP telah memiliki kebijakan untuk menertibkan PKL dan tempat parkir. Sebenarnya dipersimpangan

    Tabel 3. Tingkat Gravitasi antara Kecamatan Mranggen, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Ungaran Tahun 2001-2005

    Tingkat Gravitasi Kecamatan Jarak ke Pusat

    2001 2002 2003 2004 2005 Mranggen 12 km 67.046.471 72.986.218 73.830.892 74.965.512 75.664.133 Kaliwungu 21 km 15.599.414 16.990.713 17.207.330 17.384.424 17.785.037 Ungaran 24 km 14.976.679 16.813.153 17.005.955 18.451.092 18.579.913

    Sumber : Data diolah

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 15

    sebelah Barat pasar Mranggen sudah dipasang traffic light, tapi nampaknya tidak bisa efektif dioperasionalkan karena volume kendaraan yang tidak seimbang. Selain itu ada pihak-pihak tertentu yang tidak setuju kalau traffic light diaktifkan, yaitu para tukang parkir dan ojeg yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjual jasa penyeberangan (polisi capek).

    Sementara langkah-langkah yang telah dilaku-kan oleh instansi Polisi sebagai instansi vertikal: pertama, mengatur lalulintas secara langsung pada

    jam-jam sibuk dengan menurunkan petugas di titik-titik kemacetan seperti persimpangan dan pasar. Kedua, Memasang pembatas jalan (traffickun) yang berfungsi melebarkan jalur ke Semarang kalau esok hari dan sebaliknya di sore hari. Ketiga, menindak tegas pengguna jalan yang tidak mematuhi aturan lalulintas.

    Di satu sisi langkah-langkah kebijakan tersebut efektif, namun di sisi lain masih ada kendala-kendala yang ke depannya perlu ditangani, antara lain: pertama, masih kurangnya kesadaran masyarakat

    Tabel 5. Hasil Analisis SWOT 1. Identifikasi faktor-faktor strategis eksternal

    Faktor Strategis Eksternal Bobot Peringkat Skor Peluang:

    Pertumbuhan pelayanan angkutan umum Penempatan polisi lalulintas di simpang tak bersinyal pada jam sibuk Penambahan kapasitas jalan dengan memperlebar median jalan khusus

    pada jam sibuk Adanya pemasangan traffic light di persimpangan Penindakan tegas bagi pelanggar lalulintas

    Ancaman: Pertumbuhan penduduk Mobilitas penduduk yang tinggi Ketidaknyamanan dan inefisiensi angkutan umum Pertumbuhan permintaan kendaraan pribadi terutama sepeda motor Jenis kendaraan besar sampai ringan melintas jalan ini

    0,05 0,10 0,20

    0,10 0,10

    0,15 0,03 0,10 0,15

    0,02

    3 4 4 3 4 1 2 1 1 2

    0,15 0,40 0,80

    0,30 0,40

    0,15 0,06 0,10 0,15 0.04

    Total 1 2,55

    2. Identifikasi faktor-faktor Strategis internal

    Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Skor Kekuatan:

    Kondisi jalan dalam keadaan baik Kapasitas efektif jalan yang memadai Dekat dengan kantor Polsek dan Pos Polisi Rambu lalulintas cukup jelas untuk dilihat Kesadaran pengguna jalan dalam berlalulintas

    Kelemahan: Arus lalulintas kendaraan meningkat pada jam sibuk Banyaknya kegiatan ekonomi penduduk yang memakai badan jalan Banyaknya penyeberang jalan Aktivitas angkutan umum yang menaikan /menurunkan penumpang serta

    berhenti di sembarang tempat Adanya simpang tak bersinyal

    0,05 0,15 0,10 0,05 0,10

    0,15 0,20 0,02 0,15

    0,03

    3 4 4 3 4 2 1 2 1 2

    0,30 0,60 0,40 0,15 0,40

    0,30 0,20 0,04 0,15

    0.06

    Total 1 2,60 Sumber : Data diolah

  • Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang . . .. (Soesilowati: 9 - 17) 16

    berlalulintas terutama para pengguna sepeda motor dan angkot. Kedua, belum berfungsinya traffic light di persimpangan. Ketiga, adanya becak dan andong yang parkir di sembarang tempat. Keempat, banyak-nya mobil barang dan truk yang diparkir di bahu jalan.

    Untuk memperoleh formulasi strategi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah kemacetan dipergunakan analisis SWOT dengan tahapan seperti tersaji pada tabel 5.

    Dari total skor yang diperoleh, yaitu faktor strategis eksternal sebesar 2,55 dan faktor strategis internal sebesar 2,60 menunjukan titik koordinat terletak di daerah pertumbuhan V pada internal-eksternal matrik, yang berarti strategi kebijakan

    pemecahan masalah kemacetan harus melalui integrasi horisontal.

    Dari hasil analisis dengan menggunakan teknik SWOT, dapat diajukan beberapa strategi kebijakan yang dapat digunakan oleh Pemda Kab. Demak dan Satlantas Polres Demak, yaitu strategi kebijakan integrasi horisontal. Artinya instansi-instansi yang bersifat horisontal, yaitu Bappeda, Kantor Perhubungan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkoordinasi dalam satu bingkai kebijakan dan bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Sementara Polres Demak memiliki tanggungjawab untuk menciptakan ketertiban berlalulintas. Dengan adanya strategi kebijakan tersebut diharapkan akan tercipta sistem transportasi yang lancar dan terintegrasi, membentuk pola

    Tabel 6. Matriks SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal

    Kekuatan Kondisi jalan dalam keadaan

    baik Kapasitas efektif jalan yang

    memadai Dekat dengan kantor Polsek

    dan Pos Polisi Rambu lalulintas cukup jelas

    untuk dilihat Kesadaran pengguna jalan

    dalam berlalulintas

    Kelemahan : Arus lalulintas kendaraan

    meningkat pada jam sibuk Banyaknya kegiatan ekonomi

    penduduk yang memakai badan jalan

    Banyaknya penyeberang jalan Aktivitas angkutan umum yang

    menaikan /menurunkan penumpang serta berhenti di sembarang tempat

    Adanya simpang tak bersinyal

    Peluang : Pertumbuhan pelayanan angkutan

    umum Penempatan polisi lalulintas di simpang

    tak bersinyal pada jam sibuk Penambahan kapasitas jalan dengan

    memperlebar median jalan pada jam sibuk

    Adanya pemasangan traffic light di persimpangan

    Penindakan tegas bagi pelanggar lalulintas

    Strategi SO Meningkatkan efisiensi kinerja

    persimpangan dengan mendirikan pos penjaga lalulintas dan memasang traffic light

    Menciptakan kawasan tertib lalulintas dengan memantau pengguna jalan, jika terjadi pelanggaran langsung ditindak

    Strategi WO Menertibkan PKL di setiap pasar

    dengan pengelolaan parkiran yang baik

    Meningkatkan pengawasan aktivitas angkutan umum karena berpotensi melanggar aturan lalulintas

    Ancaman : Pertumbuhan penduduk Mobilitas penduduk yang tinggi Ketidaknyamanan dan inefisiensi

    angkutan umum Pertumbuhan permintaan kendaraan

    pribadi terutama sepeda motor Jenis kendaraan besar sampai ringan

    melintas jalan ini

    Strategi ST Lebih meningkatkan efektivitas

    sistem kinerja jalan dengan sebisa mungkin meminimalkan tingkat hambatan

    Membenahi menejemen angkutan umum agar tercipta sistem transportasi publik yang efektif dan efisien

    Strategi WT Segera membangun jalan lingkar

    sebagai jalur alternatif sesuai RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Kabupaten Demak

    Mendirikan tempat pemberhentian angkutan umum (halte)

    Sumber: Data diolah

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 17

    mobilitas pinggiran-perkotaan yang tidak timpang, bahwa migrasi internal yang bersifat antar daerah dan perdesaan-perkotaan akan terus berlangsung sampai kesenjangan pendapatan, kesempatan kerja dan fasilitas sosial semakin berkurang.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Dari hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, pengaruh laju pertum-buhan ekonomi Kota Semarang terhadap tingkat kemacetan di Kec. Mranggen sebesar 65,4%. Kedua, adanya faktor lain yang memiliki kontribusi terhadap tingkat kemacetan, yaitu aktivitas PKL, parkir, angkutan umum, serta penyeberang jalan sebesar 34,6%.

    Adapun saran yang dapat diberikan adalah: pertama, untuk mencegah penduduk menggunakan mobil pribadi, dalam jangka panjang perlu diciptakan sistem transportasi publik yang modern, nyaman dan efisien semacam Busway dan KRL. Kedua, jika perlu dibangun sistem geometri jalan yang dapat meng-hindarkan traffic semacam Fly over sehingga kemacetan di persimpangan dapat dihindari. Ketiga, untuk kedepannya perlu perencanaan jalan lingkar serta pembinaaan SDM transportasi dalam disiplin berlalulintas serta penegakan hukum.

    DAFTAR PUSTAKA

    Anderson, J.E., 1986, Public Policy Making, New York: Holt, Praeger

    Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan. Yogjakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN

    Butcher, H.A. Glen, P.Henderson and J.Smith, (eds) 1993, Community and Public Policy. London: Pluto Press.

    Chambers, Robert 1983, Rural Development Putting the Last First, Published by Longman Inc.

    Daldjoeni, N., 1992, Geografi Baru: Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Penerbit Alumni.

    Dunn, W.N., 2000, Public Policy Analysis: An Introduction. Pengantar Kebijakan Publik. Muhadjir Darwin (Penyunting), Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Yogyakarta: Gajah Mada Univertity Press.

    Dye, T.R. 1978. Understanding Public Policy. Prentince- Hall. Inc. Englewood Cliff. New Jersey.

    Hauser, Philip M, 1982, Population and The Urban Future, Masri Maris (penterjemah). 1985, Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

    Heidenheimer, A.J., Heglo, H., and Adams, C.T., 1996, Comparative Public Policy, New York: ST. Martins Press.

    Laswell, HD., 1971, A Preview of Policy Sciences, New Yprk: American Elsevier.

    Parson, Wayne, 1995 Public Policy: An Introduction to The Theory and Practice of Policy Analysis, USA: Edward Elgar Publishing,Inc.

    Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis Swot: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Starling, O.G., 1998, Managing The Public Sector, Houston: Harcourt Brace College Publisher.

    Tarigan, Robinson, 2004, Ekonomi Regional Teori & Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara.

  • The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31) 18

    THE QUALITY OF GROWTH: PERAN TEKNOLOGI DAN INVESTASI HUMAN CAPITAL

    SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS P. Eko Prasetyo

    Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang e-mail:[email protected]

    ABSTRACT

    In the process of developing economy in a whole and continuously, the macro economy stability of a country is an essential prerequisite for producing a quality economic growth. For achieving the quality economic growth, there should be a continuous capital human investment and the use of continuous science and technology (IPTEK). The process of developing economy will be able to transform the society condition from vicious circle to virtuous circle condition if the growth of economy is qualified. Keywords: Quality of growth; human capital, technology and virtuous circle.

    PENDAHULUAN

    Menurut Presiden SBY visi Indonesia kedepan yang hendak diwujudkan pada tahun 2030 adalah menjadi negara maju yang unggul dalam penge-lolaan kekayaan alam secara berkelanjutan atau kualitas hidup modern yang merata, self growth. Salah satu sasaran utama untuk mewujudkan hal tersebut adalah bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata, tetapi growth with equity (pertumbuhan disertai pemerataan). Karena itu, untuk mewujudkan visi tersebut menurut presiden SBY (2008) perlu dirumuskan; growth must be inclusive, growth must be broad based, growth must be just.

    Karena itu, tujuan pelaksanaan pembangunan ekonomi dalam rencana kerja pememerintah (RKP) tahun 2008 adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara utuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa target; (1) percepatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) yang berkualitas dengan dukungan stabilitas ekonomi yang tetap terjaga; (2) megurangi pengangguran (pro-job); (3) mengurangi kemiskinan (pro-poor), (Indrawati, 2007). Menurut Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (2007), pengelolaan ekonomi yang pro growth dimaksudkan untuk mendorong pecepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan disertai pemerataan distribusi pendapatan (growth with equity). Karena itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah

    satu sasaran pokok yang menjadi indikator perbaikan kondisi perekonomian.

    Pokok persoalannya adalah bahwa sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja belumlah cukup menjadi jaminan bahwa kesejahteraan masya-rakat akan meningkat secara merata. Oleh karena itu, laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya harus diiringi dengan pmerataan distribusi pendapatan sebagai dua sasaran yang sama pentingnya yang harus dicapai agar hasil-hasil pertumbuhan tersebut dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, sasaran pembangunan tidak hanya berhenti sampai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja seperti yang selama ini dilakukan, melainkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan memperhitungkan pemerataan pendapatan serta pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

    Pengelolaan ekonomi yang pro job lebih ditekankan pada percepatan perluasan lapangan pekerjaan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas mampu mencerminkan adanya peningkatan aktivitas dunia usaha dan ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan peluang besar kepada angkatan kerja di pasar. Karena itu, pertum-buhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas baru dapat dicapai jika disertai dengan peningkatan ke-sempatan kerja dan penurunan tingkat pengang-guran di masyarakat. Peningkatan jumlah partisipasi angkatan kerja dan penurunan pengangguran merupakan diskripsi kemampuan masyarakat untuk

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 19

    mengambil manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menikmati bagian dari peningkatan pendapatan. Dengan demikian, kondisi pengang-guran di negara ini harus terus ditekan seminimal mungkin. Karena itu, kebijakan pemerintah harus mampu mendorong sektor riil yang banyak menyerap tenaga kerja.

    Selanjutnya, pengelolaan ekonomi yang pro poor diarahkan untuk mengurangi kemiskinan. Menurunnya jumlah penduduk miskin merupakan indikator keharusan yang secara loangsung dapat menunjukkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, berbagai kebijakan pemerintah dan program pemerintah secara langsung maupun tidak langsung harus mampu menyentuh masyarakat di lapisan bawah. Karena itu, sasaran pembangunan menjadi tidak hanya untuk peningkatan pendapatan, melainkan juga harus mampu untuk memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, air bersih dan sebagainya. Upaya-upaya tersebut harus dilaksana-kan sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjalankan tujuan pembangunan millenium deve-lopment goals (MDGs). Berdasrkan target-target tersebut diharapkan dapat terciptanya distribusi pendapatan yang lebih merata (growth with equality).

    Untuk mewujudkan berbagai hal tersebut di atas, maka kita mesti harus sadar bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekedar tinggi saja melainkan juga harus berkualitas. Persaoalanya adalah kita harus mampu mendayagunakan semua potensi yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, baik itu modal alam atau fisik, modal manusia (human capital), dan juga modal sosial (social capital) serta kemampuan dan penguasaaan terha-dap penggunaan teknologi. Perlu digaris bawai bahwa, modal sosial mempunyai potensi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi bangsa ini. Karena tanpa disinergikan dengan modal sosial, kita tidak akan pernah mampu memiliki equity social, maka tanpa peran modal sosial yang dasat pertumbuhan ekonomi yang merata (growth with equality) tidak pernah akan tercapai.

    Dalam kaitannya dengan semua hal tersebut di atas, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas baru dapat dicapai jika dipenuhi beberapa persyaratan, di mana stabilitas ekonomi makro adalah sebagai salah

    satu prasyarat esensial yang umum harus dipenuhi. Karena itu, syarat perlu untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas diperlukan beberapa faktor pendorong utama seperti; investasi human capital yang cukup dan berkelanjutan serta penguasan penggunaan teknologi. Sedangkan, syarat cukupnya harus ada kesinergian antara peran dan potensi modal sosial yang dimiliki. Tujuan artikel ini baru ingin menjelaskan betapa pentingnya peran dan potensi investasi human capital dan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas yang selama ini pernah dicapai oleh beberapa negara maju. Secara teoritis dan empiris, peran keduanya telah terbukti mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

    PEMBAHASAN

    The New Growth Theory: Beyond and Behind The Solow Model

    Sebuah teori Klasik sebelum Robert M Solow (Behind the Solow model), mengatakan bahwa sebuah negara berkembang atau terbelakang hanya perlu meningkatkan akumulasi capital fisik (C), tenaga kerja (L) dan sumber daya manusia (H) dan efisiensi alokasi dalam penggunaannya. Dalam hal ini, peran teknologi belum dipandang sebagai pemacu dalam pertumbuhan ekonomi. Apabila ada kegagalan dalam pasar dalam proses pembangunan tesebut, maka hanya akan diselesaikan melalui mekanisme perencanaan efisiensi alokasi dan pena-rikan investasi penggunaan sumber daya tersebut.

    Selanjutnya, pandangan pemikiran baru dari teori Neo-Klasik setelah model Solow (Beyond the Solow model) mengatakan bahwa, pentingnya transformasi dalam proses pembangunan yang baik tidak hanya terbatas pada peningkatan efisiensi alokasi dan akumulasi faktor (C, L, dan H) saja. Dalam hal ini telah memandang bahwa pendidikan dan ketrampilan adalah penting, karena pendidikan tidak hanya mampu meningkatkan faktor H, tetapi juga mampu meningkatkan wawasan faktor H untuk menerima perubahan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, peran teknologi sudah mulai nampak walaupun baru secara implisit melalui parameter pendidikan dari faktor sumber daya manusia (H). Dalam model Solow tersebut variabel teknologi ini masih dianggap sebagai variabel

  • The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31) 20

    endogen. Selajutnya, setelah model Solow, variabel teknologi sudah mulai nampak sebagai variabel eksogen yang dapat menentukan kualitas pertum-buhan ekonomi.

    Artikel ini secara teoritis bertujuan untuk men-jelaskan bagaimana peran variabel investasi human capital dan teknologi secara eksplisit (eksogen) dapat sebagai pemacu utama dalam pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas diharapkan akan diperoleh hasil pembangunan ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraaan seluruh masyarakat. Dengan pertum-buhan ekonomi yang berkulitas diharapkan ada transformasi dari masyarakat yang terbelenggu dalam keterbelakangan (vicious circle) akan mampu menuju masyarakat yang lebih maju (virtuous circle), (Stiglitz, 2000, 2001; Handoko, 2001; Prasetyo, 2008).

    Model teoritis peran human capital dan tekno-logi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas dapat ditelusuri mulai dari model Solow, (Romer, 1996). Pemikiran Robert M Solow sejak 1956 telah memasukan unsur human capital dan teknologi sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Sumbangan pemikiran Solow ini kemudian dikembangkan oleh Romer dan telah membawa revolusi besar dalam teori pertumbuhan ekonomi yang kini sering dikenal dengan The New Growth Theory. David Romer, (1996) telah membuat model stok human capital dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai berikut. Asumsi pertama model ini mengikuti Mankiw dan David Romer sendiri di mana output mengikuti fungsi:

    [ ] ,1 )t(L)t(A)t(H)t(K)t(Y = , > 0, > 0, dan + < 1 (1)

    Di mana H adalah stok human capital, L jumlah tenaga kerja. Persamaan (1) ini menunjukkan bahwa output (Y) ditentukan oleh capital, labour, dan human capital per worker. Jadi K, H, dan L diasumsikan constan return to scale. Asumsi kedua, adalah dinamika dari K dan L sebagai berikut.

    ),t(Y )t(K KS.

    = (2)

    ),t(nL )t(L.

    = (3)

    KS adalah akumulasi kapital fisik, dan diasumsikan tidak ada depresiasi. Selanjutnya, pertumbuhan teknologi adalah konstan dan eksogeneous.

    ),t(gA )t(A.

    = (4)

    Dalam hal ini, akumulasi modal manusia dimo-delkan sama dengan akumulasi modal fisik sebagai berikut.

    Y(t), )t(H HS.

    = (5)

    Selanjutnya, secara ekonomi dinamik dan paralel dengan model Solow, dan mengikuti model modal fisik, maka k = K/AL, h = H/AL, dan y = Y/AL, sehingga:

    ,)t(h )t(k )t(y = (6)

    Dengan melihat k lebih dahulu, definisi dari k dan persamaan yang melibatkan K, L, dan A mengan-dung makna sebagai berikut:

    ),t(k)gn( -)t(h k(t) )t(k K S.

    += (7)

    atau [ ] ( ) ( )+= 1/-11/S h )gn/( k K Dengan demikian, k adalah sama dengan nol ketika

    ( )kgn hk S K += seperti ditunjukkan dalam Gambar-1 di bawah ini. Kenaikan k paralel dengan kenaikan h. Jika < 1- (ke kiri dari k=0), maka k akan negatif, dan jika ke kanan dari k=0, maka k akan positip.

    Kemudian, dengan memperhatikan persamaan (7), maka dinamika h dapat diketahui sebagai berikut.

    ( ) ),t(h gn -)t(h)t(k)t(h KS.

    += (8)

    di mana .h adalah akan sama dengan nol ketika

    h)gn(hk S K += atau dapat ditulis sebagai ( ) += /11/S h ] /)gn[(k H . Hal ini dapat dilihat pada

    Gambar-1 di bawah ini, jika 1 > , maka h akan positip di atas h=0, dan negatif jika di bawah h=0. Selanjutnya, dinamika dari k dan h yang menuju kepada keseimbangan di titik E. Titik E secara global adalah stabil, darimanapun memulainya perekono-mian, maka dia akan menuju ke titik E, dan sekali titik E dicapai, maka tidak akan berubah.

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 21

    k

    0h.

    )0k(.

    E 0k.

    )0k(.

    )0h(.

    )0h(.

    0 h

    Gambar 1. Dinamika human capital per unit tenaga kerja efektif

    Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas diperlukan saving dan teknologi. Sementara saving dan teknologi tersebut dapat dihasilkan oleh karena adanya investasi human caital yang cukup berkualitas. Dengan ada-nya saving dan penguasaan terhadap penggunaan teknologi tersebut akan diperoleh jalan emas (golden rule) dari berbagai alternatif pilihan teori yang terbaik (trunpike theorema).

    Model Solow telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam pendapatan per pekerja harus berasal dari kemajuan teknologi. Model Solow yang ini telah menjelaskan variabel teknologi sebagai variabel eksogeneous, namun determinan teknologi belum dijelaskan secara lebih detail. Kemudian, perkembangan pemikiran pertumbuhan ekonomi setelah model Solow telah berupaya menjadikan variabel teknologi sebagai variabel endogeneous. Untuk lebih jelasnya keterangan ini dapat dilihat pada Gambar-2 di bawah ini.

    Selanjutnya, para peneliti dan ahli ekonomi pertumbuhan ekonomi yang baru seperti; Robert Barro, David Romer, Paul Romer, Gregory Mankiw, Xavier Sala-I-Martin adalah tokoh-tokoh baru teori pertumbuhan ekonomi yang lebih banyak meng-angkat isyu bahwa perspektif jangka panjang dalam ekonomi makro tidak kalah pentingnya dengan model-model stabilitas ekonomi, (Handoko, 2001). Studi-studi mereka hingga kini telah banyak dimuat

    dalam berbagai literatur termasuk bank dunia, baik yang menyangkut ekonomi makro maupun pertum-buhan ekonomi dalam jangka panjang. Hasil studi mereka menemukenali berbagai faktor yang menentukan perjalanan perekonomian suatu negara yang tadinya tertinggal cukup jauh dengan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara, kini telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sedemikian cepat dan berkualitas, sehingga Penda-patan Nasional per kapita mereka telah mampu melampaui negara-negara maju. Jepang, Singapura dan Swiss adalah contoh negara-negara kecil yang kini sangat maju.

    Jepang dan Singapura adalah contoh negara kecil yang sangat sempurna dalam membangun ekonomi makro melalui pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dipacu oleh peran sumber daya manusia yang berkualitas dalam mendorong kema-juan bangsanya. Jika dulu kiblat manajemen industri dan bisnis hanya di negara barat, kini sudah ada kiblat alternatif di Asia yakni Jepang dan Singapura. Selain itu, salah satu fenomena pertumbuhan ekonomi yang pernah sangat menonjol di Asia pada awal tahun 1970 hingga pertengahan tahun 1990-an adalah apa yang dikenal dengan East Asian Miracle. Tujuh negara yang pada waktu itu oleh Bank Dunia dapat disebut sebagai keajaiban Asia Timur adalah negara-negara; Korea Selatan, Thailand, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Indonesia.

  • The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31) 22

    Persoalanya adalah mengapa tujuh negara keajaiban Asia Timur tersebut khususnya Indone-sia, kini justru makin terpuruk dan menuju ke negara yang dapat dikatakan negara gagal. Tesis Paul Krugman sebenarnya telah menyangkal bahwa prediksi negara-negara Asia Timur tersebut akan mengambil alih perkembangan ekonomi dari negara-negra industri maju karena kemampuan mereka untuk menerapkan teknologi maju menuju ke tingkat produktivitas yang tinggi. Menurut hasil penelitian Krugman, negara-negara Asia Timur berhasil mencapai pertumbuhan tinggi karena berhasil dalam mengakumulasi kapital dan tenaga kerja yang sangat tinggi, dan bukan karena kemampuan dalam penggunaan teknologi yang maju, sehingga mereka kemudian akan mengalami law of diminishing return. Artinya, mereka tidak akan pernah mampu melampui negara-negara maju yang tingkat produktivitasnya telah tinggi.

    Selanjutnya, Alwyn Young dan Lawrence Lau melanjutkan penelitian seperti yang dilakukan oleh Krugman dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP) di negara-negara Asia Timur itu. Ia menjelaskan bahwa memang negara-negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen hingga 7 persen per tahun selama 25 tahun, tetapi nilai TFP-nya hanya tumbuh 3-4 persen saja, dan tidak berbeda jauh dengan negara-negara OECD. Artinya, bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur ini memang tinggi tetapi, karena tidak ditompang oleh nilai produktivitas yang tinggi pula, maka pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi tidak berkualitas. Selanjutnya, adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas tersebut menyebabkan stabilitas ekonomi makro

    negara yang bersangkutan menjadi lebih rentan terhadap ganguan krisis ekonomi. Ketika, pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi di Asia dan krisis energi di dunia pada saat ini, adalah bukti nyata bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia timur terutama Indonesia adalah belum kokoh karena memang tidak berkualitas. Akibatnya stabilitas ekonomi makro negara tersebut (Indonesia) menjadi mudah terkena ganguan krisis tersebut.

    Reformasi Investasi Human Capital dan Teknologi: dari Vicious Circle ke Virtuous Circle

    Stiglitz, (2000, 2001) telah mengamati beberapa faktor penyebab keterbelakangan, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak berkua-litas yaitu; dimulai dari kurangnya kapital fisik (K), kemudian kurangnya kapital sumber daya manusia (H), dan kurang berfungsinya peran intervensi pemerintah (ekonomi kelembagaan). Dengan model fungsi produksi agregatif dapat dituliskan sebagai Q = f (A, K, L, R, H). Di mana Q adalah output produksi, L adalah tenaga kerja, R adalah sumber daya alam (natural capital), serta faktor A adalah terdiri dari; informasi, ilmu pengetahuan (knowledge) dan teknologi, termasuk proses produksi serta faktor modal sosial (social capital).

    Selanjutnya, tanpa mengupas lebih mendalam variabel A tersebut, ia menegaskan bahwa intensitas variabel A akan menentukan apakah proses pembangunan merupakan vicious circle ataukah virtuous circle. Jika sebuah proses pembangunan dipandang sebagai sebuah transformasi dari sebuah tataran masyarakat yang satu ke tataran yang lain tanpa pendidikan, maka sebuah masyarakat tersebut

    Investas

    i yang dib

    utuhkan

    Modal per orang

    Outp

    utpe

    rora

    ngJalur E ke F ataudari E ke F = golden rule

    ko dan k* = turnpiketeorema

    Tabungan

    Teknologi

    Gambar 2. Peran Teknologi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

  • JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 23

    akan terjebak pada tataran keterbelakangan (vicious circle) karena ketidakmampuannya untuk meramu variabel (K, L, R, dan H) yang tersedia untuk menuju ke sebuah dinamika tataran yang lebih maju (virtuous circle) yang juga memiliki daya saing tinggi (lihat Gambar-3 di bawah).

    Pada umumnya negara-negara berkembang sering terjebak dalam keterbelakangan ini. Karena, negara-negara berkembang pada prinsipnya hanya perlu meningkatkan akumulasi K, L, dan H serta efisiensi alokasi penggunaannya, kurang memikirkan kuantitas dan kualitas variabel A secara konsisten dan berkesinambungan melalui pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vinod Thomas (2000) dalam The Quality of Growth, ia mengatakan bahwa pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masya-rakat dan memperluas peluang untuk menentukan nasibnya sendiri secara merdeka.

    Dalam era millineum ketiga ini dan ke depan yakni setelah ilmu ekonomi dianggap mati oleh Paul Omerod, maka paradigma dan arah pembangunan ekonomi baru (new economy) pada saat ini dan mendatang adalah pembangunan ekonomi yang padat investasi sumber daya manusia (human capi-tal) yang berkualitas khususnya melalui pendidikan dan latihan. Dengan kata lain perlu dikembangkan perpaduan antara faktor H dan faktor A untuk mengelola faktor L, dan K, sehingga dapat dihasilkan produksi (Q) yang berkualitas seperti yang diharap-kan. Karena dalam new economy faktor pendidikan,

    informasi, dan teknologi merupakan pendorong utama dalam kegiatan ekonomi di suatu negara, (Prasetyo, 2008).

    Dengan demikian, reformasi investasi human capital dan teknologi melalui pendidikan yang lebih berkualitas di segala bidang di Indonesia sudah mutlak harus segera dilakukan secara besar-besaran agar terhindar dari keterbelakangan (vicious circle) tetapi, mampu menuju ke sebuah negara yang lebih maju (virtuous cirlce). Pembangunan yang hanya mengandalkan sumber daya fisik dan kekayaan alam saja, kini sudah dapat dikatakan telah gagal. Pengalaman menunjukkan bahwa sumber daya alam Indonesia kaya-raya tetapi, mengapa masih banyak rakyat Indonesia tetap miskin dan menganggur, serta masih terbelakang hampir dalam segala bidang?

    Kerangka kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas serta memiliki daya saing yang baik di Indonesia masih kurang didukung oleh peran teknologi dan human capital (melalui pendidikan yang berkualitas), maka dampaknya tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas tetapi daya saing ekonomi Indonesia juga tetap rendah. (lihat Gambar-3 di bawah ini). Rendahnya daya saing ekonomi Indonesia karena produktivitasnya yang rendah dan rendahnya produktivitas karena rendahnya teknologi dan faktor pendidikan, maka dampaknya kualitas tenaga kerja juga tetap rendah dan menghasilkan produk yang rendah kualitasnya.

    Framework for improving competitiveness

    Gambar 3. Kerangka Kerja Ekonomi Yang Berdaya Saing Tinggi

  • The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital . . . (Prasetyo: 18 - 31) 24

    Kebijakan pemerintah dan para universitas harus berorientasi jauh ke depan dan mengangkat semangat kompetisi yang sehat sangat diperlukan. Orientasi kebijakan ke depan yang sehat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang baik. Artinya, dengan tingkat investasi human capital yang memadahi, akan mampu mereformasi bangsa Indonesia dari keterbelakangan (vicious circle) menuju ke masyarakat yang lebih maju secara elegan (virtuous circle). Karena, perbedaan produk-tivitas pada suatu investasi dapat membuat perbeda-an satu hingga dua persen terhadap tingkat pertum-buhan GNP per kapita. Jika hal tersebut dilakukan, diyakini akan mampu membantu merubah stagnasi ekonomi Indonesia ke dalam semangat untuk meningkatkan kemampuannya di segala