iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan...

81
35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Penilaian kinerja pengelolaan HLGD pada dua pemerintah daerah yaitu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango mengggunakan laju perubahan tutupan hutan, sedimentasi dan fluktuasi debit air sebagai indikator kinerja. Data perubahan tutupan lahan hutan diperoleh dari hasil analisis citra landsat TM dari tahun 1999 sampai tahun 2009, data fluktuasi debit air diperoleh dari data hasil pengukuran BALIHRISTI tahun 2003 sampai tahun 2009 sedangkan untuk sedimentasi menggunakan data tahun 2004 dan tahun 2005 oleh BP-DAS Bolango a. Perubahan Tutupan Hutan Kawasan Hutan Lindung Gunung Damar 1. Kabupaten Gorontalo Menurut Lo (1995) penutupan hutan menggambarkan konstruksi vegetasi alami maupun buatan yang menutup permukaan lahan yang secara umum dapat dibagi ke dalam tiga kelas , yaitu (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia, (2) fenomena biotik vegetasi alami (hutan), tanaman pertanian dan kehidupan binatang, (3) tipe-tipe pembangunan. Selanjutnya Malingreau dan Rosita (1991) mengatakan perubahan penutupan hutan terjadi karena adanya perubahan pola penggunaan lahan sebagai bentuk campur tangan manusia baik secara permanen maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan baik kebutuhan kebendaan, spiritual atau gabungan keduanya. Data mengenai perubahan tutupan hutan yang terjadi di kawasan HLGD di dalam wilayah Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999-2009 No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) pada Tahun 1999 2001 2004 2009 1 Hutan 7154.63 6906.73 5586.26 3793.42 2 Lahan pertanian 2331.64 2470.08 3096.16 4028.29 3 Semak belukar 466.07 960.42 529.71 345.09 4 Lahan terbuka 294.86 487.94 309.13 122.65 5 Lainnya 932.65 354.68 1658.58 2890.39 Total 11179.84 11179.84 11179.84 11179.84

Upload: phungcong

Post on 19-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar

Penilaian kinerja pengelolaan HLGD pada dua pemerintah daerah yaitu

Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango mengggunakan laju

perubahan tutupan hutan, sedimentasi dan fluktuasi debit air sebagai indikator

kinerja. Data perubahan tutupan lahan hutan diperoleh dari hasil analisis citra

landsat TM dari tahun 1999 sampai tahun 2009, data fluktuasi debit air diperoleh

dari data hasil pengukuran BALIHRISTI tahun 2003 sampai tahun 2009

sedangkan untuk sedimentasi menggunakan data tahun 2004 dan tahun 2005 oleh

BP-DAS Bolango

a. Perubahan Tutupan Hutan Kawasan Hutan Lindung Gunung Damar

1. Kabupaten Gorontalo

Menurut Lo (1995) penutupan hutan menggambarkan konstruksi vegetasi

alami maupun buatan yang menutup permukaan lahan yang secara umum dapat

dibagi ke dalam tiga kelas , yaitu (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia,

(2) fenomena biotik vegetasi alami (hutan), tanaman pertanian dan kehidupan

binatang, (3) tipe-tipe pembangunan. Selanjutnya Malingreau dan Rosita (1991)

mengatakan perubahan penutupan hutan terjadi karena adanya perubahan pola

penggunaan lahan sebagai bentuk campur tangan manusia baik secara permanen

maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan baik

kebutuhan kebendaan, spiritual atau gabungan keduanya.

Data mengenai perubahan tutupan hutan yang terjadi di kawasan HLGD di

dalam wilayah Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten

Gorontalo tahun 1999-2009

No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) pada Tahun

1999 2001 2004 2009

1 Hutan 7154.63 6906.73 5586.26 3793.42

2 Lahan pertanian 2331.64 2470.08 3096.16 4028.29

3 Semak belukar 466.07 960.42 529.71 345.09

4 Lahan terbuka 294.86 487.94 309.13 122.65

5 Lainnya 932.65 354.68 1658.58 2890.39

Total 11179.84 11179.84 11179.84 11179.84

36

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui, selama 10 tahun terakhir tutupan

hutan di Kabupaten Gorontalo berkurang sebesar 3361.21 ha atau 46.98%

Penurunan tutupan hutan di HLGD disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi

lahan pertanian. Hal ini terlihat dari meningkatnya lahan pertanian di HLGD

selama tahun 1999 sampai dengan 2009 yang mencapai 4028.29 ha atau 36.03%.

Peningkatan lahan pertanian didalam kawasan hutan, umumnya disebabkan oleh

aksi-aksi perambahan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat beberapa faktor masyarakat

yang tinggal disekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo melakukan

perambahan antara lain 1) ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan

yang tinggi, 2) rendahnya tingkat kesejahteraan yang diindikasikan dengan masih

tingginya tingkat kemiskinan. Kondisi seperti ini menyebabkan individu atau

kelompok melakukan jalan pintas dengan melakukan perambahan tanpa

memikirkan aspek kelestarian 3) terbatasnya alternatif sumber pendapatan selain

dari sektor pertanian, 4) kondisi biofisik kawasan hutan seperti lahan yang subur

5) aksesibilitas menuju kawasan HLGD yang mudah 6) lemahnya penegakan

hukum bagi para perambah. Situasi ini mengindikasikan HLGD telah mengalami

tekanan akibat aktivitas sosial ekonomi masyarakat baik secara individu maupun

kelompok. Dampak negatif sebagai akibat dari konversi hutan menjadi lahan

pertanian antara lain berkurangnya keanekaragaman hayati, terganggunya siklus

hidrologi, terjadinya erosi dan sedimentasi.

Kegiatan perambahan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo telah terjadi

sejak kawasan HLGD ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung. Perambahan hutan

dapat diartikan sebagai kegiatan menduduki kawasan hutan negara yang

dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun

besar untuk dijadikan areal lain seperti perkebunan, pertanian, pertambangan dan

lain sebagainya yang bersifat sementara atupun dalam waktu yang cukup lama.

Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah terjadinya degradasi hutan.

Menurut Lamb (1994) degradasi hutan merupakan kondisi dimana fungsi

ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil analisis,

rataan degradasi HLGD selama tahun 1999-2009 mencapai 4.96%/tahun. Berikut

37

ini diuraikan rataan degradasi hutan untuk setiap periode berdasarkan hasil

analisis citra landsat tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009

Pada periode 1999-2001 tutupan hutan di HLGD berkurang sebesar 247.90

ha dengan laju penurunan sebesar 1.73%/tahun. Penurunan tutupan hutan diikuti

dengan bertambah luasnya lahan pertanian sebesar 138.47 ha atau mengalami

peningkatan sebesar 2.97%/tahun. Peningkatan luasan yang cukup besar terjadi

pada semak sebesar 494.35 ha atau terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.30%.

Terbentuknya semak belukar di kawasan HLGD tidak terlepas dari sistem

peladang berpindah yang dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat sekitar HLGD.

Menurut Barbour et al. 1999, semak belukar merupakan lahan yang diberakan dan

mengalami suksesi dengan masuknya jenis-jenis tumbuhan secara alami mulai

dari komponen pionir hingga suksesi lanjut. Perubahan tutupan hutan pada

periode 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 9

Tabel 5. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di

wilayah Kabupaten Gorontalo No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per Tahun (%)

1 Hutan -247.90 -1.73

2 Lahan pertanian 138.44 2.97

3 Semak belukar 494.35 5.30

4 Lahan terbuka 193.07 3.27

Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan

Pada periode 2001-2004 penurunan tutupan hutan meningkat dibandingkan

dengan tutupan hutan tahun 1999-2001. Tutupan hutan berkurang hingga

mencapai 1320.47 ha atau mengalami degradasi sebesar 6.37%/tahun. Selain itu,

tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar pada periode ini

adalah lahan pertanian sebesar 626.08 ha atau meningkat sebesar 8.45%/tahun.

Selanjutnya laju perubahan tutupan hutan lindung tahun 2001-2004 dapat dilihat

pada Tabel 6

Tabel 6. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 2001-2004 di

wilayah Kabupaten Gorontalo No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)

1 Hutan -1320.46 -6.37

2 Lahan pertanian 626.08 8.45

3 Semak belukar -430.71 -14.95

4 Lahan terbuka -178.81 -12.21

Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan

38

Periode 2004-2009 merupakan periode dimana tekanan terhadap kawasan

HLGD sangat tinggi. Hal ini terlihat dari penurunan tutupan hutan sebesar

1792.85 ha atau mengalami degradasi sebesar 8.02%/tahun Selain itu, terdapat

juga tutupan lahan yang mengalami peningkatan yang sangat besar, yaitu lahan

pertanian sebesar 932.13 ha. Laju peningkatan lahan pertanian pada periode ini

sebesar 30.11% atau sebesar 7.53%/tahun. Peningkatan lahan pertanian yang

terjadi antara tahun 2004-2009 terjadi karena terkait dengan upaya pemerintah

daerah dalam mensukseskan program agropolitan yang dicanangkan sejak tahun

2003. Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang di

Kabupaten Gorontalo. Pemberian benih gratis beberapa komoditi unggulan seperti

jagung, cengkih dan coklat kepada kelompok tani tanpa mempertimbangkan

kepemilikan lahan telah mempercepat laju deforestasi di hutan lindung Gunung

Damar. Data-data mengenai perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat

dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 10

Tabel 7. Laju Perubahan Tutupan Hutan di Kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di

wilayah Kabupaten Gorontalo No Jeni Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)

1 Hutan -1792.84 -8.02

2 Lahan pertanian 932.13 7.53

3 Semak belukar -184.61 -8.71

4 Lahan terbuka -186.48 -15.08

Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan

Meskipun Jordan (1985) mengkategorikan sistem peladang berpindah

termasuk dalam kategori sedang sebagai penyebab degradasi hutan, tapi hasil

survey lapangan memperkirakan konversi hutan akan semakin meningkat jika

belum ditemukan solusi dalam mengatasi kegiatan perambahan hutan yang

umumnya disebabkan oleh sistem peladang berpindah. Saat ini terdapat dua

pemikiran yang saling mempertentangkan penyebab degradasi hutan. Pemikiran

pertama menyebutkan bahwa tingkat produktivitas pertanian yang kecil dan

meningkatnya jumlah petani kecil diduga sebagai peyebab deforestasi (FAO 1990,

World Bank 1990, Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut

cenderung memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor

utama dalam pembabatan hutan. Sedangkan pemikiran kedua menyebutkan

adanya kebijakan pemerintah dengan proyek-proyek pembangunannya yang tidak

39

tepat dan maraknya industri perkayuan telah meningkatkan laju deforestasi

termasuk di Indonesia. karena (Dick 1991, WALHI 1992, Ascher 1993,

Dauvergne 1994).

Menarik untuk ditelaah pendapat yang dikemukakan oleh Potter (1994)

yang mengatakan bahwa transformasi petani tradisional menjadi petani modern

telah menyumbang laju deforestasi meningkat. Menurut Dick (1991) peladang

berpindah hanya menyumbang 21% dari total laju degradasi hutan yang ada

didunia dibeberapa kawasan hutan. Kartawinata el al. (1989) yang mengamati

sistem peladang berpindah dibeberapa wilayah, mengemukakan pada umumnya

sistem peladang tradisional masih mengembangkan tanaman tahunan, sehingga

tidak beralasan jika peladang tradisional dituding sebagai pemicu degradasi hutan.

Namun Barrow (1991) secara lebih rinci menyatakan bahwa faktor-faktor utama

penyebab terjadinya perubahan lahan dari hutan ke lahan non hutan adalah: (1)

perubahan jumlah populasi manusia, (2) marjinalisasi tanah, (3) kemiskinan, (4)

status kepemilikan tanah, (5) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, (6)

kondisi sosial ekonomi, (7) masalah kesehatan, (8) praktek pertanian yang tidak

tepat, dan (9) aktifitas pertambangan dan industry. Secara umum laju degradasi

hutan antara tahun 1999-2009 disajikan pada Gambar 6

Gambar 6. Grafik Laju Degradasi Tutupan Hutan di kawasan HLGD Kabupaten

Gorontalo Periode 1999-2009

-247.9

138.44

494.35

193.07

-1320.46

626.08

-430.71

-178.81

-1792.84

932.13

-184.61 -186.48

-2000

-1500

-1000

-500

0

500

1000

1500

Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka

L

a

j

u

D

e

g

r

a

d

a

s

i

Jenis Penutupan Lahan

1999-2001 2001-2004 2004-2009

40

Gambar 7. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001

41

Gambar 8. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004

42

Gambar 9. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009

43

2. Kabupaten Bone Bolango

Berdasarkan hasil survey dan interpretasi citra landsat kondisi HLGD di

Kabupaten Bone Bolango sedikit mengalami tekanan dibandingkan dengan

kondisi HLGD di Kabupaten Gorontalo. Untuk melihat sejauh mana tekanan

tersebut maka dilakukan analisis perubahan tutupan hutan yang dibagi ke dalam

beberapa periode waktu yang sama dengan kabupaten Gorontalo. Perubahan

tutupan lahan HLGD di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 8

Tabel 8. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Bone

Bolango tahun 1999-2009

No Jenis Penutupan Lahan Luas(ha) pada Tahun

1999 2001 2004 2009

1 Hutan 8338.01 8028.38 7250.68 6056.73

2 Lahan pertanian 407.89 502.18 687.76 956.79

3 Semak belukar 68.24 101.71 99.70 45.57

4 Lahan terbuka 36.30 63.35 49.89 13.63

5 Lainnya 86.81 241.63 849.23 1864.53

Total 8937.26 8937.26 8937.26 8937.26

Berdasarkan data-data pada Tabel 8 tutupan hutan di kawasan HLGD adalah

yang paling banyak berubah sejak ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung

ditahun 1999. Tutupan hutan di kawasan HLGD hingga tahun 2009 berkurang

seluas 2281.28 ha atau berkurang 27.36%. Perubahan tutupan hutan di kawasan

HLGD Kabupaten Bone Bolango lebih kecil jika dibandingkan dengan penurunan

tutupan lahan hutan di HLGD Kabupaten Gorontalo yang mencapai 46.98% pada

periode yang sama. Sebaliknya lahan pertanian mengalami peningkatan sebesar

74.31% sejak sepuluh tahun terakhir. Selain itu, jenis tutupan yang mengalami

perubahan adalah semak belukar dan lahan terbuka. Semak belukar mengalami

peningkatan yang cukup besar, yaitu sebesar 27.58 ha, sedangkan lahan terbuka

meningkat sebesar 14.82 ha. Peningkatan lahan pertanian dan lahan terbuka di

HLGD Kabupaten Bone Bolango diakibatkan oleh adanya sistem ladang

berpindah yang dipraktekkan oleh masyarakat di desa Mongiilo dan Owata.

Praktek ladang berpindah ini telah lama dilakukan dengan siklus 5-7 tahun.

Berdasarkan sejarah desa, interaksi antara masyarakat dengan HLGD sudah

berlangsung ratusan tahun. Sistem peladang berpindah yang dipraktekkan oleh

masyarakat di empat desa yang menjadi sampel penelitian, merupakan bagian dari

44

upaya pelestarian budaya masyarakat sekitar HLGD. Didik et al. (1998)

menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat

dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif

menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan

mempertahankan kehidupan mereka. Sistem pemanfaatan HLGD yang berbasis

budaya berdampak terhadap kecilnya laju perubahan tutupan lahan pada periode

1999, 2001, 2004 dan 2009. Berikut ini dijelaskan perubahan tutupan lahan yang

terjadi di HLGD selama periode tersebut

Periode 1999-2001 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang

paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan

sebesar 309.65 ha dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1.86%/tahun. Apabila

dibandingkan dengan laju perubahan tutupan hutan pada periode yang sama di

Kabupaten Gorontalo yang mencapai 1.73%/tahun maka laju degradasi yang

terjadi di Kabupaten Bone Bolango lebih besar. Jenis tutupan lahan lain yang

mengalami perubahan cukup besar adalah peningkatan lahan pertanian. Lahan

pertanian dalam kawasan HLGD mengalami peningkatan sebesar 94.30 ha

mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.56%/tahun. Adapun jenis perubahan

tutupan lahan selama tahun 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 9

Tabel 9. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di

wilayah Kabupaten Bone Bolango

No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju per tahun (%)

1 Hutan -309.65 -1.86

2 Lahan pertanian 94.30 11.56

3 Semak belukar 33.46 24.52

4 Lahan terbuka 27.06 37.27

Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan

Periode 2001-2004 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang

paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan

sebesar 777.70 ha atau rata-rata laju penurunan hutan mencapai 3.23% per tahun.

Jenis tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar adalah tipe

lahan pertanian yang mengalami peningkatan sebesar 185.57 ha atau rata-rata laju

peningkatan lahan pertanian mencapai 12.32%/tahun. Data mengenai laju

perubahan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 10 dan pada Gambar

12.

45

Tabel 10. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2001-2004 di

wilayah Kabupaten Bone Bolango

No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)

1 Hutan -777.70 -3.23

2 Lahan pertanian 185.57 12.32

3 Semak belukar -2.01 -0.66

4 Lahan terbuka -13.46 -7.08

Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan

Periode 2004-2009 perubahan jenis tutupan lahan yang paling besar terjadi

pada tutupan hutan. Tutupan hutan ini mengalami penurunan yang paling besar

selama periode tahun 1999 sampai tahun 2009. Penurunan tutupan hutan

mencapai 1193.95 ha atau rata-rata sebesar 4.11%/tahun. Jika dibandingkan

dengan laju perubahan tutupan lahan hutan sebesar 8.02%/tahun di Kabupaten

Gorontalo maka laju perubahan tutupan lahan hutan di Kabupaten Bone Bolango

relatif lebih rendah. Tipe tutupan lahan lain yang mengalami peningkatan yang

cukup besar adalah lahan pertanian sebesar 269.03 ha atau rata-rata mengalami

peningkatan sebesar 9.78%/tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan lahan

pertanian di HLGD Kabupaten Gorontalo sebesar 7.53% maka tutupan lahan

pertanian di Kabupaten Bone Bolango relatif lebih besar. Data mengenai

perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar

13.

Tabel 11. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di

wilayah Kabupaten Bone Bolango

No Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)

1 Hutan -1193.95 -4.12

2 Lahan pertanian 269.03 9.78

3 Semak belukar -54.13 -13.57

4 Lahan terbuka -36.26 -18.17

Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan

Secara umum perbandingan tutupan lahan selama periode 1999-2009 dapat

dilihat pada Gambar 12

46

Gambar 10. Grafik laju degradasi tutupan hutan di kawasan HLGD Bone Bolango

Berdasarkan uraian di atas, ancaman terhadap keberadaan HLGD di

Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango berasal dari pemukiman,

perladangan dan pengambilan kayu secara tidak sah. Aktivitas sistem perladangan

oleh masyarakat, pemukiman dan pengambilan kayu secara tidak sah merupakan

aktivitas yang paling sering ditemukan di HLGD yang masuk dalam wilayah

administrasi Kabupaten Gorontalo, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango

aktivitas yang paling menonjol adalah perladangan berpindah. Aktivitas

perladangan dan pemukiman merupakan aktivitas yang dilakukan sejak lama

bahkan sebelum kawasan HLGD ditunjuk oleh menteri kehutanan menjadi

kawasan lindung. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah terbentuknya desa desa

tersebut. Pada umumnya desa yang terdapat disekitar kawasan HLGD telah ada

sekitar tahun 1800-an. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh

masyarakat diperoleh informasi bahwa terbentuknya pemukiman baru dimasa lalu

selalu disertai dengan pembukaan lahan pertanian untuk mendukung kehidupan

penduduk setempat. Pada umumnya ladang-ladang yang dibuka oleh masyarakat

relatif berdekatan dengan pemukiman penduduk. Pola pemukiman penduduk yang

tinggal di dalam kawasan HLGD menyebar dan tidak terkonsentrasi pada satu

lokasi saja. Aktivitas pengambilan kayu secara tidak sah biasanya terjadi pada saat

pembukaan ladang.

-309.65

94.30 33.46 27.06

-777.70

185.57

-2.01 -13.46

-1193.95

2690.35

-541.30

-36.26

-1500.00

-1000.00

-500.00

0.00

500.00

1000.00

1500.00

2000.00

2500.00

3000.00

Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka

L

a

j

u

D

e

g

r

a

d

a

s

i

Jenis Penutupan Lahan

1999-2001 2001-2004 2004-2009

47

Gambar 11. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001

48

Gambar 12. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004

49

Gambar 13. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009

50

b. Debit Air Sungai dan Sedimentasi

Tutupan hutan merupakan salah satu penentu kualitas DAS. Secara umum

kualitas DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo dan DAS Bone di Kabupaten Bone

Bolango tergolong buruk hal ini diindikasikan oleh debit air sungai dan

sedimentasi yang secara kuantitas dan kualitas menurun.. Penunjukkan Hutan

Gunung Damar sebagai kawasan lindung oleh pemerintah merupakan salah satu

keputusan yang dianggap penting untuk melindungi sistem tata air yang ada di

Propinsi Gorontalo. Menurut Lee (1988) vegetasi di dalam kawasan hutan mampu

mengintersepsi butir air hujan mengurangi limpasan permukaan, mengurangi erosi

tanah serta menjaga kelembaban permukaan tanah (Lee, 1988). Berdasarkan hasil

survey dan penelusuran literatur, HLGD merupakan hulu dari 2 sungai besar yaitu

sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo, Sungai Bolango yang

terletak di Kabupaten Bone Bolango. Keberadaan sungai-sungai ini sangat penting

karena menjadi sumber air baku PDAM dan mengairi sawah. Ketiga sungai ini

mengalir sepanjang tahun dengan rata-rata debit air yang berbeda disetiap

tahunnya. Adapun data fluktuasi debit air sungai tersebut terdapat pada Tabel 12

dibawah ini.

Tabel 12. Debit air Sungai Bionga dan Sungai Bolango No

Nama Sungai Rata-rata Debit (m

3/detik)

2003 2006 2009

1 Sungai Bionga Kabupaten Gorontalo 0.30 0.54 0.50

2 Sungai Bolango Kabupaten Bone Bolango 26.17 28.98 30.10

Sumber: Halida (2008), Balihristi (2008), Balihristi (2009)

Tabel 12 di atas menunjukkan debit air terbesar terdapat di Sungai Bolango

di Kabupaten Bone Bolango. Menurut Balihristi (2009), ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi debit sungai di antaranya luas daerah tangkapan, penutupan

lahan, curah hujan, jenis tanah, topografi serta model pengelolaan lahan. Dari

beberapa faktor tersebut maka luas daerah tangkapan menjadi yang paling

berpengaruh. DAS Bionga memiliki wilayah tangkapan air terluas yaitu 91004 ha

dibandingkan dengan DAS Bolango yang hanya sebesar 52775 ha. Dari luas

tangkapan ini terlihat bahwa DAS Bolango adalah DAS contoh dengan daerah

memberikan debit air yang lebih tinggi dibandingkan kedua DAS lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa ada unsur lain yang lebih berperan terhadap hasil air selain

luas daerah tangkapan. Penutupan lahan adalah unsur yang dapat diduga

51

mempunyai peran yang cukup besar mempengaruhi hasil air suatu DAS. Besarnya

laju perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di Kabupaten Gorontalo diduga

menyebabkan debit air sungai Bionga yang mempunyai hulu di HLGD mengalami

penurunan. Menurut Halida (2008) kondisi tutupan hutan primer yang relatif

terjaga di hulu DAS Bolango di Kabupaten Bone Bolango membuat kondisi debit

air sungai Bolango stabil bahkan debitnya meningkat. Sebaliknya kondisi

kerusakan diwilayah hulu DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo telah

menyebabkan debit air sungainya menjadi kecil.

Tingkat kerusakan hutan dihulu DAS juga berdampak pada jumlah sedimen

yang terdapat pada dua wilayah DAS seperti terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango

No Nama Sungai Sedimentasi (gram/ha/bulan)

2004 2005

1 DAS Bionga Kabupaten Gorontalo 0.73 2.10

2 DAS Bolango Kabupaten Bone Bolango 1.47 1.42

Sumber: Halida (2008), BP-DAS Bone Bolango (2009)

Berdasarkan tabel di atas terlihat pada tahun 2005 jumlah sedimen yang

terangkut pada aliran air sungai DAS Bionga lebih besar dibandingkan pada DAS

Bolango. Jumlah sedimen di DAS Bolango mengalami penurunan yakni 1.47

gram pada tahun 2004 menjadi 1.42 gram pada tahun 2005. Balai Penelitian

Agroklimat dan Hidrologi (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa

peningkatan luas hutan sebesar lima persen di sub DAS Cikao, dapat menurunkan

sedimen 2.69%. Peningkatan luas hutan 10% dapat menurunkan sedimen sebesar

5.72%. Dalam laporan yang sama dikemukakan bahwa peningkatan luas hutan

sebesar 5% di sub DAS Ciherang dapat menurunkan sedimen sebesar 2.21%.

Peningkatan luas hutan sebesar 10% dapat menurunkan sedimen sebesar 4.55%.

Indikator lain yang bisa dijadikan acuan telah rusaknya fungsi pengatur tata air di

HLGD adalah bertambah luasnya lahan kritis di DAS Bionga yakni 3.075 ha

sedangkan pada DAS Bolango 1.175 ha (BP-DAS Bone Bolango, 2009)

4.2. Situasi HLGD

a. Situasi Ekologi

Menurut Halidah et al. 2007 secara umum HLGD terdiri dari 2 tipe hutan

yaitu hutan alam sekunder dan hutan tanaman. Adapun ciri hutan alam sekunder

di HLGD antara lain tegakan muda, struktur lebih seragam, jenis kayu merupakan

52

kayu lunak, tidak awet, riap awal besar lambat laun mengecil. Sedangkan hutan

tanaman adalah hutan yang sengaja ditanam dengan jenis tanaman tertentu dengan

kepentingan tertentu. Vegetasi hutan tanaman di HLGD terdiri dari jenis tanaman

pinus dan agathis dengan umur lebih dari 80 tahun. Tidak ditemukan catatan

tertulis mengenai sejarah hutan tanaman di HLGD tetapi berdasarkan informasi

dari masyarakat, tanaman pinus dan agathis ditanam oleh pemerintah kolonial

Belanda.

Jenis vegetasi yang terdapat di Hutan lindung Gunung Damar antara lain

adalah Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaqium amboinansis), Cempaka

(Elmerelia ovalis), Pinus (Pinus merkusii), Jati (Tectona grandis), Damar (Agathis

mollucana), dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Sedangkan spesies kunci dari

mamalia yang terdapat di HLGD antara lain monyet hitam (Macaca heckii), babi

hutan (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), sedangkan untuk jenis aves

terdiri dari rangkong (Ryciteros cassidix), Maleo (Macropelon maleo), ayam

hutan (Gallus galus). Informasi terkait dengan potensi flora fauna juga didapatkan

dari masyarakat yang menyatakan sering melihat babi rusa (Babyrousa babirusa),

Anoa (Bubalus quarlesi), kuse (Palanger ursinus), tarsius (Tarsius sp) di sekitar

Gunung Pangga yang termasuk dalam kawasan HLGD (Maga 2010; Kaipa 2010).

Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 satwa-satwa ini termasuk yang

dilindungi oleh Pemerintah Indonesia.

Potensi lain yang terdapat di HLGD adalah tanaman obat dan tanaman hias.

Tanaman obat di HLGD terdiri dari 11 jenis tanaman obat yang didominasi oleh

tanaman jahe-jahean dengan potensi sebanyak 443 batang/ha. Sedangkan tanaman

hias terdiri dari 12 jenis dengan potensi antara 10 - 114 batang atau rumpun per-

hektar. Jenis tanaman hias ini didominasi oleh jenis paku-pakuan. Penyebaran

tanaman hias dan tanaman obat dipengaruhi oleh jenis tegakan. Pada umumnya

tanaman obat dan tanaman hias menyebar dibawah vegetasi tanaman pinus

(Halida et al. 2007). Potensi satwa dan vegetasi yang dijelaskan sebelumnya pada

umumnya menyebar di sebelah utara kawasan HLGD baik di wilayah Kabupaten

Gorontalo maupun Kabupaten Bone Bolango karena berdasarkan hasil interpretasi

citra digital dan ground check lapangan, kondisi hutan diwilayah ini relatif belum

terganggu oleh aktivitas manusia

53

Hasil interpretasi citra satelit tahun 2009 tutupan lahan di HLGD terdiri

hutan, lahan pertanian, semak dan lahan terbuka. Adapun tutupan lahan di HLGD

di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango bisa

dilihat pada Tabel 14

Tabel 14. Jenis tutupan lahan kawasan HLGD tahun 2009

No Jenis Penutupan Lahan Luas Tutupan Lahan (ha)

Gorontalo Bone Bolango

1 Hutan 3793.42 6056.73

2 Lahan Pertanian 4028.29 956.79

3 Semak 345.09 45.57

4 Lahan Terbuka 122.65 13.63

5 Lainnya 2890.39 1864.52

6 Sub Total Kabupaten 11179.84 8937.26

Luas Total 20117

Data pada Tabel 14 menunjukkan tutupan yang mendominasi di Kabupaten

Gorontalo adalah lahan pertanian seluas 4028.29 ha sedangkan di Kabupaten

Bone Bolango didominasi oleh tutupan lahan hutan seluas 6056.73 ha. Secara

umum luas HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo lebih besar yaitu

seluas 11179.84 ha dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang

memiliki luas 8937.26 ha.

Topografi di HLGD bervariasi mulai dari datar sampai curam. Topografi

HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo pada umumnya

bergelombang, sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango pada umumnya

curam dan hanya sedikit berada pada wilayah yang datar. Di sekitar HLGD

terdapat beberapa desa, total desa yang terdapat di sekitar HLGD adalah 15 desa

yang terdiri dari 6 desa diwilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan 9 desa di

Kabupaten Bone Bolango. Kelas lereng di HLGD dapat dilihat pada Tabel 15

Tabel 15. Kelas lereng dan luasannya di kawasan HLGD

No Kelas Lereng Luas (ha) Persentase

1 Datar 56.17 0.28

2 Landai 102.16 0.51

3 Agak Curam 433.89 2.16

4 Curam 10077.22 50.09

5 Sangat Curam 9447.56 46.96

Jumlah 20117 100.0

54

Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Gorontalo 1;250.000

terdapat 2 jenis tanah yang terdapat di HLGD yaitu jenis Tanah Litosol dan Tanah

Podzolik. Jenis Tanah Litosol merupakan tanah yang paling banyak ditemukan di

dalam kawasan hutan lindung, yaitu sebesar 13688.42 ha atau sekitar 68.04%.

Jenis tanah podsolik yang ada di dalam kawasan hutan lindung sekitar 6428.58 ha

atau mencakup sekitar 31.96% dari total luas wilayah hutan lindung. Menurut

Suwardi (2000) Tanah Litosol merupakan jenis tanah dengan lapisan tanah yang

tidak begitu tebal, kurang menyimpan air, sehingga pada kemiringan lereng besar

dan curah hujan besar rentan bencana tanah longsor, akan tetapi jenis tanah ini

agak tahan terhadap erosi. Sedangkan jenis tanah podsolik merupakan jenis tanah

yang berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa

bulan kering, curah hujan lebih 1500 mm/tahun. Tekstur lempung hingga berpasir,

kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering. Kesuburan kimiawi

rendah atau miskin unsur hara, reaksi tanah asam, solumnya dangkal dan mudah

tererosi. Adapun jenis tanah yang di HLGD terdapat pada Tabel 16.

Tabel 16. Jenis tanah dan luasnya di kawasan HLGD

No Jenis Tanah Luas (ha) Persentase

1 Tanah Litosol 13688.42 68.05

2 Tanah Podzolik 6428.58 31.95

Total 20117.00 100.00

Jenis tanah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berpengaruh

terhadap tingkat kedalaman solum tanah, Kedalaman solum tanah di kawasan

HLGD memiliki beberapa tingkatan. Adapun tingkat kedalaman solum tanah

dapat dilihat pada Tabel 17

Tabel 17. Tingkatan kedalaman solum tanah di kawasan HLGD No Solum Tanah (cm) Luas (ha) Persentase

1 30 – 60 534.54 2.66

2 60 – 90 3376.24 16.78

3 > 90 16206.22 80.56

Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010

Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa sebagian besar HLGD berada

pada tingkat solum tanah >90 cm atau sekitar 80.56% dari luas wilayah. Solum

tanah ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kawasan ini sangat potensial untuk

55

dijadikan sebagai lahan budidaya baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman

semusim karena memiliki solum tanah yang cukup dalam

Memiliki jenis tanah yang sebagian rawan terhadap erosi dan kemiringan

lereng yang didominasi oleh topografi yang curam, membuat kawasan HLGD

berpotensi memicu terjadinya erosi yang dapat mengurangi produktivitas tanah.

Menurut Lal (1995) pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas

pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung

yang tejadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari erosi tanah adalah

robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem

perakaran dan hanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya

kapasitas air tanah. Data mengenai erosi di kawasan HLGD terdapat di Tabel 18

Tabel 18. Tingkat bahaya erosi di kawasan HLGD No Kelas Bahaya Erosi Luas (ha) Persentase

1 Potensi Erosi berat 10.56 0.05

2 Potensi Erosi Sangat berat 20106.44 99.95

Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010

Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kawasan HLGD mengalami

tingkat erosi yang sangat besar dihampir seluruh kawasannya. Hal ini karena

adanya perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di kawasan HLGD.

Berdasarkan penelitian Monde (2008) alih guna lahan hutan menjadi lahan

tanaman semusim mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Hal

tersebut terjadi karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan

tanah yang terbuka memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun

hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran

permukaan.Luasnya potensi untuk terjadinya erosi di HLGD membuat kawasan

ini menjadi rawan terhadap lahan kritis. Berdasarkan tingkat kekritisannya maka

lahan kritis di HLGD di terbagi menjadi 3 yaitu; agak kritis, kritis dan sangat

kritis seperti yang terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Potensi lahan kritis dan luasannya di kawasan HLGD

No Potensi Lahan Kritis Luas (ha) Persentase

1 Potensi Agak kritis 3425.91 17.03

2 Potensi Kritis 8350.61 41.51

3 Potensi Sangat kritis 8340.48 41.46

Total 20117.00 100.00

Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010

56

Lahan agak kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup

vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi

kritis. Adapun ciri-ciri dari lahan kritis adalah persentase penutupan lahan < 50%,

wilayah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak

belukar tandus. Sedangkan lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak

sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat

sukar untuk direhabilitasi

Keadaan curah hujan diketahui dari 3 (tiga) stasiun klimatologi terdekat

yaitu stasiun klimatologi Bandara Jalaluddin, stasiun klimatologi Talumelito dan

stasiun klimatologi BPP Kwandang karena ketiga stasiun dapat mewakili lokasi

penelitian yaitu Hutan Lindung Gunung Damar. Curah hujan diperoleh

berdasarkan analisis data curah hujan tahunan selama 10 tahun. Analisis data

menunjukan bahwa pada Stasiun Meteorologi Jalaludin terdapat rata-rata curah

hujan sebesar 1.324 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson

termasuk dalam tipe C. Pada Stasiun Penakar Curah Hujan BPP Kwandang

terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.883 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim

Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Sedangkan pada Stasiun Penakar

Curah Hujan di Stasiun Geofisika Talumelito terdapat rata-rata curah hujan

sebesar 1.585 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk

dalam tipe C.

b. Situasi Sosial Ekonomi

Berdasarkan informasi yang didapat dari tokoh masyarakat, ketua adat dan

pemerintah lokal, keberadaan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD

di wilayah Kabupaten Gorontalo telah ada sejak tahun 1305 dimana desa yang

pertama kali terbentuk adalah Desa Talumelito, sedangkan pemukiman yang

pertama kali terbentuk diwilayah Kabupaten Bone Bolango terjadi pada tahun

1815 yaitu Desa Longalo. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penduduk yang

tinggal didesa sampel penelitian berjumlah 9936 jiwa dengan rata rata

pertumbuhan penduduk 1.2% per tahun ditahun 2009. Jumlah penduduk dan

pertumbuhan penduduk di HLGD di desa sampel terdapat pada Tabel 20

57

Tabel 20. Jumlah Penduduk di HLGD berdasarkan sampel desa No Kabupaten Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk (%)

1 Gorontalo 5907 1.37

2 Bone Bolango 4029 1.03

Sumber: Monografi desa sampel 2010

Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGD pada umumnya berprofesi

sebagai petani. Mata pencaharian ini menggambarkan tingkat ketergantungan

masyarakat terhadap sumberdaya alam hutan di HLGD. Selain itu mata

pencaharian penduduk bisa menggambarkan seberapa besar tekanan terhadap

HLGD dan daya dukung lahan disekitar HLGD. Tabel 21 menunjukkan mata

pencaharian pokok penduduk didesa sampel pada umumnya berasal dari sektor

pertanian seperti peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan kehutanan.

Tabel 21. Sumber mata pencaharian penduduk di desa sampel di HLGD

No Sektor Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango

1 Pertanian 2377 1820

2 Perdagangan 169 51

3 PNS 33 10

4 Konstruksi 40 44

5 Transportasi 125 51

Jumlah 2744 1976

Sumber: Hasil Olahan BPS 2010

Sebelum ditunjuk sebagai kawasan lindung oleh pemerintah di tahun 1999,

masyarakat yang tinggal disekitar HLGD telah mempraktekkan sistem pertanian

sejak lama. Pemanfaatan lahan-lahan hutan untuk pertanian masih sangat

tradisional. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di desa-desa di wilayah

administrasi Kabupaten Gorontalo menanami kebun mereka dengan tanaman

semusim berupa tanaman jagung, kecuali di Desa Dulamayo Selatan sebagian

besar masyarakatnya telah mempraktekkan sistem kebun campuran (ilengi)

berbasis cengkih, kemiri dan aren. Alasan sebagian besar masyarakat desa

memanfaatkan lahan hutan dengan tanaman semusim di wilayah Kabupaten

Gorontalo karena tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasilnya.

Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango memanfaatkan lahan hutan

dengan sistem kebun campuran yang sering disebut dengan ilengi. Pada umumnya

kebun campuran ini merupakan perpaduan antara tanaman jagung dan tanaman

kelapa, aren dan tanaman kemiri. Jagung merupakan tanaman unggulan yang

58

sering ditanam oleh petani di sekitar hutan dan kuantitasnya mengalami

peningkatan sejak ditetapkan program agropolitan berbasis jagung. Berdasarkan

BPS (2010) luas lahan jagung di sekitar HLGD berjumlah 3710.94 ha dengan

total produksi per tahun mencapai 10487.60 ton seperti terlihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Luas lahan jagung dan produksinya di sekitar HLGD

No Wilayah Luas (ha) Luas Panen

(ha)

Produksi per tahun

(ton)

1 Kabupaten Gorontalo 2383.38 2145.79 6673.41

2 Kabupaten Bone Bolango 1327.56 1226.43 3814.19

Jumlah 3710.94 3372.22 10487.60

Sumber: BPS 2010

Peningkatan produksi jagung yang terjadi di sekitar HLGD merupakan

respon petani terhadap kebijakan pemerintah daerah yang menjamin harga jagung

dengan cara membeli jagung tersebut dari petani melalui Badan Usaha Milik

Daerah dan adanya pembagian bibit unggul gratis kepada petani. Sejak

dicanangkan program agropolitan berbasis jagung ditahun 2003 harga jagung

meningkat 52.88%. Program Agropolitan merupakan program pemerintah yang

ingin menjadikan Propinsi Gorontalo menjadi daerah penghasil jagung terbesar di

Indonesia. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Pertanian dan

Tanaman Pangan, jagung yang dari Propinsi Gorontalo telah diekspor ke Malaysia

dan Philipina. Adapun harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango

dapat dilihat pada Tabel 23

Tabel 23. Perkembangan harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango No Tahun Harga Jagung (Rp)

1 2004 899

2 2009 1700

Sumber: BPS 2010

Pemanfaatan sumberdaya alam yang dikelola oleh petani di HLGD

memberikan kontribusi terhadap tingkat pendapatan petani. Tingkat pendapatan

petani disekitar HLGD dapat dijadikan indikator kondisi perekonomian keluarga.

Usahatani perkebunan cengkih kelapa, kemiri dan jagung berkontribusi besar

dalam menunjang perekonomian masyarakat di HLGD. Kondisi tanah yang relatif

subur dengan tingkat curah hujan yang sesuai sangat mendukung bagi usahatani

baik pertanian maupun perkebunan. Rataan tingkat pendapatan petani yang

tinggal di sekitar HLGD disajikan pada Tabel 24.

59

Tabel 24. Tingkat pendapatan petani disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo dan

Bone Bolango No Wilayah Pendapatan (Rp/bulan)

1 Kabupaten Gorontalo 1187923

2 Kabupaten Bone Bolango 980188

Secara umum rata-rata tingkat penerimaan petani sampel yang berada di

wilayah HLGD di Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan

pendapatan petani sampel di wilayah HLGD di Kabupaten Bone Bolango. Namun

demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi perekonomian di dua

wilayah relatif tidak berbeda. Indikator-indikator seperti kondisi rumah relatif

hampir sama dikedua wilayah. Sampai saat ini masyarakat masih terus melakukan

sistem peladang berpindah dengan siklus rata-rata di 2 wilayah kabupaten adalah

7 tahun.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa interaksi antara masyarakat

dengan HLGD telah lama terjadi. Interaksi ini terjadi karena faktor kedekatan

jarak rumah penduduk dengan kawasan HLGD. Bahkan terdapat beberapa dusun

di Desa Dulamayo Utara, Desa Malahu dan Desa Dulamayo Selatan yang terdapat

di Kabupaten Gorontalo masuk dalam kawasan HLGD. Semakin dekat jarak

rumah penduduk dengan kawasan HLGD maka semakin besar pula interaksinya

demikian pula sebaliknya. Pemahaman tentang jarak tempat tinggal dengan lahan

usaha tani diperlukan untuk mengetahui kemampuan petani mencapai ladangnya.

Implikasinya dengan mengetahui jarak pemukiman penduduk dan kemampuan

menjelajahnya maka dapat diperkirakan tekanan terhadap HLGD. Adapun rata-

rata jarak pemukiman penduduk dengan HLGD dapat dilihat pada Tabel 25

Tabel 25. Jarak pemukiman desa sampel dengan HLGD di Kabupaten Gorontalo

dan Bone Bolango No Wilayah Jarak Pemukiman dengan HLGD

1 Kabupaten Gorontalo 0.2 - 1 km

2 Kabupaten Bone Bolango 3 – 4 km

Tersedianya jalan desa di wilayah Kabupaten Gorontalo yang dapat dilalui

oleh kendaraan roda dua seperti ojek telah memudahkan akses masyarakat

terhadap kawasan HLGD, sehingga kegiatan perambahan hutan untuk

membangun ladang baru lebih cepat. Kegiatan perambahan hutan lebih sering

terjadi di wilayah Kabupaten Gorontalo karena jarak pemukiman masyarakat

60

dengan kawasan hutan sangat dekat. Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone

Bolango meskipun jaraknya relatif dekat, tetapi akses menuju kawasan HLGD

sangat sulit karena topografi kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango di

dominasi oleh lereng-lereng curam. Pada umumnya masyarakat lebih sering

membuka ladang yang tidak jauh dari jalan atau berdekatan dengan rumah mereka

yang terletak di dalam kawasan HLGD. Hal ini dilakukan untuk lebih mudah

dalam mempersiapkan ladang.

Sistem peladang berpindah dalam masyarakat yang tinggal di kawasan

HLGD terus dipertahankan karena disamping untuk mempertahankan hidup juga

untuk mempertahankan budaya mereka. Disamping memanfaatakan lahan

pertanian, masyarakat memanfaatkan kawasan HLGD untuk mengambil hasil

hutan non kayu seperti rotan, getah, buah bahkan tanaman obat dan beberapa jenis

kayu untuk keperluan konstruksi ringan hingga konstruksi berat. Menurut Halida

et al. (2007) tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat antara lain sirih

hutan (Piper antunuatum), kayu manis (Cinnamomum burmanii), Tahi ayam

(Lantara camara), Jahe (Zingeber officinale), keladi merah (Anthurium sp),

sedangkan untuk getah yang dimanfaatkan adalah getah damar (Agathis sp) dan

getah pinus (Pinus merkusii). Beberapa jenis buah juga ditemukan dikawasan

HLGD seperti Durian (Durio zibethinus) dan Langsat. Tanaman lain yang juga

sering dimanfaatkan adalah Aren (Arenga piñata) dan Bambu. Aren yang tumbuh

liar di dalam kawasan HLGD dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pembuatan

gula aren dan pembuatan arak lokal (Bohito), sedangkan bambu dipergunakan

masyarakat untuk memagari pekarangan rumah dan lahan usaha tani. Masyarakat

yang tinggal di sekitar HLGD juga memanfaatkan beberapa jenis kayu untuk

keperluan konstruksi ringan dan konstruksi berat. Menurut Hiola (2011) terdapat

10 jenis-jenis kayu konstruksi berat dan konstruksi ringan yang sering

dipergunakan oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan

5 jenis kayu seperti Michelia alba, M. champaca, Callophylum scutellaroides,

Bambusa sp dan Palaqium obavatum. Keputusan masyarakat untuk

memanfaatkan 5 jenis kayu ini didasarkan pada kekuatan dan daya tahan kayu

Sejak ditunjuk sebagai kawasan lindung keberadaan ladang-ladang

masyarakat yang terdapat di dalam kawasan HLGD menimbulkan konflik.

61

Masyarakat menganggap bahwa mereka telah menggarap lahan tersebut sejak

ratusan tahun tetapi oleh pemerintah hal ini tidak diakui karena bertentangan

dengan peraturan perundangan yang berlaku. Luas lahan konflik dan jumlah kasus

perambahan di HLGD bisa dilihat pada Tabel 26

Tabel 26. Luas lahan konflik dan jumlah gangguan di HLGD No Wilayah Lahan Konflik (ha)

* Jumlah Gangguan

**

1 Kabupaten Gorontalo 4028.29 58

2 Kabupaten Bone Bolango 956.79 14

Keterangan: *). Berdasarkan analisis citra landsat 2009, **) Data PPNS Dishut 2010 Menurut (Dolot, 2009) tahapan pembukaan lahan hutan di kawasan HLGD

menurut adat istiadat setempat terdiri dari molulawoto (memilih lokasi), molatato

(membersihkan lahan), motiboto (menebang pohon besar), molumbilo tiboto

(membakar lahan), Mamopomulo lohunggalawa (membersihkan lahan sehabis

dibakar), Mopomulo (menanam) dan Mamomaango (memelihara). Sebelum

mereka membuka lahan hutan biasanya mereka akan berkonsultasi dengan dukun

kampung dan panggoba4 untuk menentukan lokasi dan waktu bercocok tanam

Setelah kegiatan panen selesai, bekas areal peladang tersebut ditanami

dengan kacang-kacangan dan sayuran, ada pula yang dibiarkan menjadi semak

belukar. Menurut Greenland 1987, sistem usaha tani ladang berpindah yang

dipraktekkan oleh masyarakat seperti yang diungkapkan diatas merupakan cara

produksi hasil panen yang konstan dan tidak banyak memerlukan masukan input.

Secara alamiah masa bera pada kegiatan ladang berpindah memungkinkan

pulihnya kembali zat hara yang telah terhisap oleh tanaman sebelumnya. Secara

keseluruhan perilaku masyarakat yang melakukan interaksi dengan HLGD

dilandasi oleh kelembagaan informal berupa adat istiadat yang tumbuh dan

berkembang secara turun temurun.

Berdasarkan hasil survei, terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan

lahan di luar kawasan hutan. Sistem pemanfaataan lahan pada umumnya

didominasi oleh sistem pertanian tradisional yang berbasis tanaman semusim di

Kabupaten Gorontalo dan kebun campuran di Kabupaten Bone Bolango. Rata-rata

penguasaan kebun atau lahan pertanian berupa ilengi oleh masyarakat yang

4 Panggoba adalah sebutan bagi orang yang menguasai ilmu perbintangan. Ilmu tersebut

diwariskan turun-temurun. Dengan melihat posisi bintang, panggoba akan menentukan kapan

waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen.

62

tinggal disekitar kawasan hutan lindung bervariasi mulai dari 0.952 ha di

Kabupaten Gorontalo dan 1.109 ha di Kabupaten Bone Bolango, seperti yang

ditunjukkan oleh Tabel 27

Tabel 27. Luas kepemilikan lahan diluar kawasan HLGD No Kabupaten Luas Kepemilikan Lahan (ha/KK)

1 Gorontalo 0.952

2 Bone Bolango 1.109

Rata-rata 1.03

Tingginya interaksi masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD

mengindikasikan masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat

menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Berdasarkan hasil perhitungan

indeks kegiatan dasar wilayah menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor

yang paling dominan dibandingkan dengan sektor lain. Indeks sektor pertanian

didesa-desa yang menjadi sampel penelitian rata rata mencapai 2.25 di HLGD

wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo sedangkan di wilayah Kabupaten Bone

Bolango hanya 0.93. Rendahnya indeks sektor pertanian di Kabupaten Bone

Bolango karena faktor lahan yang tidak memungkinkan untuk digarap sebagai

lahan pertanian. Pada umumnya lahan lahan yang terdapat disekitar HLGD

memiliki topografi yang agak curam sampai curam kondisi ini menyebabkan

penduduknya bekerja disektor lain seperti ojek dan tukang bangunan. Data ini

menunjukkan desa-desa yang berada disekitar HLGD di wilayah Kabupaten

Gorontalo memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian

dibandingkan di Kabupaten Bone Bolango seperti yang terlihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Indeks LQ sektor pertanian di sekitar HLGD berdasarkan wilayah No Wilayah Indeks LQ Sektor Pertanian

1 Kabupaten Gorontalo 2.25

2 Kabupaten Bone Bolango 0.93

Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango (2010)

Berkembang pesatnya sektor pertanian di sekitar HLGD belum membuat

daya dukung wilayah menjadi rendah. Berdasarkan hasil survey dan analisis data

memperlihatkan indeks daya dukung di wilayah di Kabupaten Gorontalo

mencapai 0.35 sedangkan di Kabupaten Bone Bolango mencapai 0,34 seperti

yang terlihat pada Tabel 29

63

Tabel 29. Indeks daya dukung wilayah di sekitar HLGD No Wilayah Indeks Daya Dukung

1 Kabupaten Gorontalo 0.35

2 Kabupaten Bone Bolango 0.34

Menurut Soemarwoto (1991) jika indeks daya dukung lahan < 1 maka lahan

tersebut masih dapat menampung lebih banyak penduduk untuk melaksanakan

aktivitas sosial ekonomi

Berdasarkan data hasil penelitian di wilayah sekitar HLGD masih

ditemukan masyarakat miskin. Pengetahuan terhadap keberadaan penduduk

miskin menjadi sangat penting untuk mengetahui kapasitas masyarakat dalam

memanfaatkan sumberdaya hutan meskipun kemiskinan bukan merupakan

wilayah dari pengelolaan hutan. Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan

masyarakat miskin tapi intinya kemiskinan merupakan keadaan dimana

masyarakat kekurangan barang untuk melanjutkan hidupnya. Keadaan ini bisa

disebabkan oleh keterisolasian, ketidakberdayaan (powerless), buta huruf,

buruknya lingkungan hidup, dan derajat kesehatan yang rendah (World Bank,

2004 dalam Wijayanto 2005). Total jumlah penduduk miskin di sekitar wilayah

HLGD 1429 KK yang tersebar di desa-desa sampel. Untuk lebih jelasnya bisa

dilihat pada Tabel 30

Tabel 30. Jumlah penduduk miskin di sekitar HLGD No Wilayah Jumlah Penduduk Miskin (KK)

1 Kabupaten Gorontalo 879

2 Kabupaten Bone Bolango 550

Jumlah 1429

Salah satu dimensi yang bisa dilihat sebagai akar permasalahan kemiskinan

adalah tingkat pendidikan. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan

masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD masih sangat rendah.

Pendidikan yang rendah akan menyebabkan adaptasi masyarakat terhadap

pengetahuan menjadi rendah. Padahal pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat

bisa mengelola sumberdaya alam dengan lebih baik. Menurut Sumardjo et el.

(2008) masyarakat petani yang memiliki pendidikan rendah cenderung

berperilaku untuk mempraktekkan usaha tani ala kadarnya. Kondisi ini

64

menyebabkan potensi kemiskinan akan meningkat. Adapun tingkat pendidikan

masyarakat yang tinggal disekitar HLGD dapat dilihat pada Tabel 31

Tabel 31. Tingkat pendidikan penduduk di sekitar HLGD

No

Pendidikan

Kabupaten

Gorontalo

Persentase Kabupaten

Bone Bolango

Persentase

1 SD 95 79.16 98 85.96

2 SMP 8 6.66 10 8.77

3 SMA 17 14.16 12 10.52

Jumlah 120 100.00 120 100.00

Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah yang terjadi pada masyarakat

sekitar HLGD merupakan indikator lemahnya kapasitas masyarakat dan lemahnya

posisi tawar masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan HLGD. Posisi tawar

masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat diperlukan untuk menjadi bagian

dalam menentukan kebijakan pengelolaan HLGD.

Meskipun memiliki kapasitas yang rendah namun beberapa kelompok

masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD mempunyai pengetahuan lokal dalam

melestarikan sumberdaya alam seperti di desa-desa yang ada di wilayah

Kabupaten Bone Bolango. Kearifan lokal ini berupa kesepakatan adat, dimana

setiap pasangan yang melakukan pernikahan harus menanam tanaman seperti

kelapa dan kemiri. Kesepakatan ini dipatuhi oleh masyarakat yang berada di

empat desa seperti Desa Mongiilo, Desa Owata di Kabupaten Bone Bolango.

Pemerintah Kabupaten Gorontalo sebenarnya pernah mengeluarkan SK Bupati

Gorontalo No 54 Tahun 2007 yang mewajibkan para anak sekolah yang lulus

sekolah harus menanam tanaman kehutanan. Surat keputusan yang merupakan

kebijakan Bupati Gorontalo ini tidak efektif karena kurangnya sosialisasi ke

masyarakat dan pengambilan keputusan tersebut tidak melibatkan masyarakat.

Menurut Asikin (2001) lemahnya sensitifitas suatu kebijakan publik disebabkan

salah satunya oleh rendahnya tingkat partisipasi pihak-pihak yang terkait

(stakeholder) di dalam perumusan kebijakan pada semua tahapan. Harus diingat

kebijakan publik merupakan satu set keputusan yang saling terkait, diambil oleh

satu atau sekelompok pihak yang berkepentingan di bidang ini tentang suatu

tujuan dan cara mencapainya. Secara prinsip keputusan ini harus berada dalam

wilayah kendali semua stakeholders tersebut. Kualitas suatu kebijakan dapat

65

diukur dari efektifitasnya saat diimplementasikan. Betapa pun bagusnya isi teks

atau formula kebijakan, jika tidak dapat diimplementasikan, maka kebijakan

tersebut dianggap gagal. Oleh karena itu, selain teks (substansi), maka proses di

dalam penyusunannya juga memainkan peran penting

c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi

Berdasarkan situasi kawasan HLGD yang telah dijelaskan sebelumnya

dalam kaitannya dengan pengelolaannya dapat dijelaskan situasi pengelolaan

HLGD. Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber

interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah

kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif

institusi terhadap kinerja. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif

dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren

sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait

dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi,

biaya transaksi, joint impact goods, incompatibilitas dan surplus

1) Biaya ekslusi tinggi

Secara hukum (de jure) HLGD adalah sumberdaya bersama yang dikuasai

oleh negara dengan struktur hak penuh seperti hak untuk memasuki dan

memanfaatkan, hak menentukan pengelolaan dan menentukan siapa saja yang bisa

berpartisipasi serta hak untuk memperjualbelikan. Tapi fakta di lapangan

menunjukkan pemerintah tidak dapat melaksanakan hak-hak tersebut karena

pemerintah tidak mampu mempertahankan kawasan HLGD sesuai tujuan

pengelolaannya.

Hasil analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat TM7

antara tahun 1999-2009 menunjukkan tutupan hutan di kawasan HLGD

Kabupaten Gorontalo adalah 33.93% sedangkan tutupan hutan di kawasan HLGD

Kabupaten Bone Bolango adalah 67.76%. Perubahan tutupan hutan menjadi non

hutan yang begitu besar di Kabupaten Gorontalo disebabkan oleh adanya konversi

lahan berhutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan

pertanian di kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha

atau 36.03%. Seperti diketahui sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar

kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo mempunyai mata pencaharian dari

66

sektor pertanian dan perkebunan. Indeks LQ sektor pertanian disekitar wilayah

HLGD Kabupaten Gorontalo berjumlah 2.248 artinya masyarakat sangat

menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan, masyarakat yang tinggal di

beberapa dusun di desa Dulamayo Utara dan Malahu di Kabupaten Gorontalo

yang lokasinya berada dalam kawasan HLGD memanfaatkan lahan dengan

tanaman semusim seperti jagung dan kacang-kacangan, kecuali di Desa Dulamayo

Selatan masyarakat menanami lahan mereka dengan tanaman cengkih, coklat,

kemiri dan aren. Sedangkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan HLGD di desa-

desa di Kabupaten Bone Bolango pada umumnya merupakan kebun campuran

berbasis tanaman kelapa dan kemiri. Tidak ditemukan adanya pemukiman di

dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango. Situasi di atas menggambarkan

pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo menimbulkan biaya ekslusi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango

Beberapa alasan yang mendasari situasi biaya ekslusi tinggi di HLGD

diwilayah Kabupaten Gorontalo adalah 1) Tidak mungkin memindahkan

pemukiman dan masyarakat yang telah melakukan usaha tani di dalam kawasan

HLGD. Saat ini terdapat pemukiman di tiga desa yaitu Desa Malahu, Desa

Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara yang masuk dalam kawasan HLGD,

sedangkan di Kabupaten Bone Bolango semua desa berada diluar kawasan HLGD

2) Jika dipaksakan akan direlokasi maka pemerintah Kabupaten Gorontalo akan

menanggung biaya yang sangat mahal karena harus mencarikan lahan yang baru

3). Memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Situasi biaya

ekslusi tinggi di kawasan HLGD bisa memunculkan adanya penunggang gratis

(free rider). Kelompok free rider hanya bisa menikmati keuntungan tanpa

berkontribusi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut (Pakpahan 1989, Basuni,

2003)

2) Biaya Transaksi

Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul

karena pertukaran dengan pihak lain. Biaya transaksi sangat mempengaruhi

kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inheren dari situasi yang

dapat menentukan siapa yang menanggung biaya tersebut. Biaya transaksi dapat

67

dibedakan menjadi 3 yaitu; 1) biaya membuat kontrak, 2) biaya informasi dan 3)

biaya pemantauan dan pelaksanaan hukum. Menurut Williamson dalam Basuni

(2003) biaya transaksi sulit diukur dan dikuantifikasikan, tetapi biaya transaksi

dapat dideteksi melalui perbandingan institusi. Untuk mendeteksi adanya biaya

transaksi dalam pengelolaan HLGD, dalam Tabel 44 disajikan perbandingan

institusi pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dengan pengelolaan

HLGD di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Berdasarkan perbandingan institusi

tersebut, biaya transaksi tinggi dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo

bersumber dari:

a) Panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo hanya 14.65%

sedangkan panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango

yang telah mencapai 41.18%. Panjang batas kawasan merupakan salah satu

bentuk kontrak antara pemerintah selaku pihak pengelola kawasan dengan

masyarakat sekitar HLGD. Realiasisasi panjang tata batas kawasan HLGD

yang masih rendah di Kabupaten Gorontalo menimbulkan adanya resiko

penunggang gratis (free rider). Berdasarkan hasil pengamatan bentuk free rider

di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah adanya eksploitasi berlebihan

terhadap getah damar dan pengambilan secara berlebihan daun woka

(Livistonia rotundufolia) yang tumbuh liar di dalam kawasan HLGD.

Eksploitasi berlebihan terhadap getah damar, membuat masyarakat kesulitan

mendapatkan kualitas getah damar yang lebih baik. Begitu juga yang terjadi

dengan daun woka, masyarakat sangat kesulitan mencari daun woka yang

umumnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai wadah/kemasan dari gula

aren dan sebagai wadah untuk menyimpan makanan

b) Terbatasnya informasi tentang lokasi tata batas kawasan di HLGD Kabupaten

Gorontalo menyebabkan lahan hutan lebih dipersepsikan oleh sebagian anggota

masyarakat sebagai sumberdaya open acces daripada sebagai barang ekslusif,

sumberdaya milik Negara. Hal ini terlihat dari luasnya lahan konflik didalam

kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha. Biaya

pemantauan dan penegakan hukum sehubungan dengan perilaku free access

atas sumberdaya hutan dalam kawasan HLGD, dapat berkurang jika ada

68

informasi tentang tata batas kawasan HLGD kepada masyarakat di sekitar

hutan

c) Tingginya kasus perambahan yang terjadi di Kabupaten Gorontalo dibandingan

dengan Kabupaten Bone Bolango mengindikasikan lemahnya penegakan

hukum di Kabupaten Gorontalo. Bukti dari kapasitas pemerintah lemah dalam

melaksanakan penegakan hukum ditunjukkan oleh jumlah kasus pelanggaran

hukum di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang berhasil diungkap

sebanyak 130 kasus selama hampir 10 tahun. Berdasarkan informasi dari salah

satu anggota polisi hutan dan anggota penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)

pada umumnya kasus-kasus tersebut jarang dikenakan sanksi dan pemerintah

daerah memilih untuk menyelesaikan secara kekeluargaan karena ketiadaan

anggaran dalam memproses sebuah kasus. Situasi seperti ini telah membuat

pemerintah daerah melakukan toleransi terhadap penegakan hukum dan oleh

Williamson (1985) akan membuka peluang kolusi antara pengelola dan

pengguna kawasan HLGD. Menurut Van der Berg (2001) dalam Ismanto

(2010) jika penegakan hukum lemah maka secara rasional perilaku individu

akan memaksimumkan keuntungan sendiri dan cenderung bertindak tidak

produktif. Perilaku individu rasional yang dimaksud adalah perilaku dimana

individu akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada.

Individu-individu yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam

situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan yang baik

3) Joint Impact Goods

Joint Impact Goods adalah karakteristik sumberdaya dimana sekali

pemanfaatan, maka semua orang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan

dampaknya tanpa mengurangi utilitas orang lain yang memperoleh jasa yang sama

dan sebaliknya. Situasi HLGD merupakan sumberdaya yang dapat menimbulkan

dampak bagi semua pihak. Implikasinya dapat menimbulkan efek positif atau

negatif. Terjadinya alih fungsi hutan di kawasan HLGD menjadi lahan pertanian

dan perkebunan terutama di Kabupaten Gorontalo berdampak pada terjadinya

sedimentasi di daerah aliran sungai, menurunnya debit air dan kehilangan

beberapa satwa yang dilindungi

69

Hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan tokoh

masyarakat di Desa Dulamayo Selatan dan Dulamayo Utara menyebutkan debit

air yang berasal dari beberapa sungai kecil yang terdapat di hulu kawasan HLGD

mengalami penurunan terutama saat musim kemarau. Hal ini berdampak pada

kondisi debit air sungai utama yaitu Sungai Bionga yang merupakan sumber air

baku bagi PDAM Kabupaten Gorontalo. Menurut Halida (2008) rata-rata fluktuasi

debit air di Sungai Bionga hanya 0.50 m3/detik jauh lebih kecil jika dibandingkan

dengan rata-rata fluktuai debit air Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango yang

debit airnya mencapai 30.1 m3/detik. Situasi ini tidak saja dirasakan masyarakat di

hulu tetapi juga dirasakan masyarakat di hilir. Dampak negatif lain yang terjadi

akibat konversi hutan di kawasan HLGD adalah sedimentasi. Sedimentasi di

Sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo juga mengalami peningkatan

menjadi 2.10 gr/ha/bulan. Jika dibandingkan dengan sedimentasi yang terjadi di

Sungai Bolango yang sedimentasinya hanya 1.42 gr/ha/bulan maka sedimentasi di

DAS Bionga lebih tinggi (Halida, 2008). Hasil wawancara yang dilakukan dengan

masyarakat juga terungkap, jika musim hujan datang maka beberapa sungai di

hulu kawasan HLGD menjadi keruh hal yang sama juga dirasakan yang tinggal di

wilayah hilir. Menurut Balihristi (2009) tingginya sedimentasi di Sungai Bionga

menyebabkan sedimentasi di Danau Limboto sebesar 1.75 juta m3. Kondisi ini

menyebabkan Danau Limboto menjadi dangkal dengan kedalaman hanya berkisar

2-3 meter. Dosen dan mahasiswa Jurusan Kehutanan Universitas Gorontalo juga

merasakan dampak akibat perubahan tutupan hutan karena sangat susah

menemukan satwa seperti jenis burung dan mamalia yang menjadi obyek

penelitian di HLGD di Kabupaten Gorontalo. Adapun dampak positif yang

ditimbulkan oleh pembukaan lahan pertanian di kawasan HLGD adalah

tersedianya lapangan kerja baru yaitu jasa ojek yang mengangkut hasil-hasil

pertanian menuju pasar terdekat

4) Inkompatibilitas

Menurut Pakpahan (1989) inkompatibilitas adalah situasi dimana

pemanfaatan suatu sumberdaya oleh salah satu pihak meniadakan atau

mengurangi pemanfaatan oleh pihak yang lain . Faktor kepemilikan dapat

mengontrol masalah inkompatibilitas selama biaya transaksi rendah. Kepemilikan

70

mendefinisikan siapa yang berhak berpatisipasi dalam keputusan penggunaan

sumberdaya dan siapa yang tidak berhak berpartisipasi dalam penggunaan

sumberdaya bersama. Basuni (2003) mengemukakan faktor kepemilikan hanya

mampu mengendalikan inkompatibilitas tetapi tidak mampu mengendalikan

karakateristik lainnya seperti biaya ekslusi tinggi dan karakteristik lainnya

Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kemudian diikuti dengan

pemukiman di dalam kawasan HLGD menyebabkan fungsi HLGD sebagai

pengatur sistem tata air menjadi terganggu. Berdasarkan hasil survey terdapat 3

desa yang memiliki dusun di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yaitu:

Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara. Keberadaan

desa-desa di dalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan

prosentasi lahan pertanian meningkat menjadi 36%. Ini menunjukkan masyarakat

yang tinggal disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo memiliki preferensi untuk

mengkonversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan

dibandingkan dengan mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan.

Perilaku mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian terjadi karena masyarakat

belum memahami dengan baik dan benar tentang aturan main dalam pemanfaatan

hutan sebagai indikasi bahwa penggarap mengakui dan menerima aturan main

tersebut

Kemungkinan lain yang menyebabkan pengelolaan hutan inkompatibel

adalah karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti yang

diharapkan oleh pemerintah (Kartodihardjo 1998). Dalam kaitannya dengan pola

pemanfaatan kawasan HLGD, kemungkinannya penggarap memiliki perilaku dan

kapasitas untuk memanfaatkan lahan hutan dengan pola intensif. Sehingga mereka

akan berusaha mempengaruhi dengan menolak institusi yang ditetapkan.

Penolakan terjadi kemungkinan karena tidak sesuainya strata hak. Menurut

Kartodihardjo (1998) rendahnya strata hak mengakibatkan penggarap lahan tidak

memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti

yang diharapkan oleh pemerintah. Dihubungkan dengan pemanfaatan HLGD

rendahnya strata hak mengarahkan perilaku masyarakat yang memanfaatkan lahan

di kawasan HLGD tidak memperlakukan lahan tersebut sebagai asset guna

meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu masyarakat yang

71

memanfaatkan lahan pertanian di dalam kawasan HLGD tidak berusaha

melindungi dan melestarikan kawasan hutan, karena dianggap sebagai

penghambat untuk memaksimalkan keuntungannya

5) Surplus

Hamparan lahan yang berbeda memiliki tingkat produktivitas yang berbeda.

Hal ini disebabkan oleh karakteristik inheren dari lahan seperti tingkat kesuburan

atau lokasi lahan tersebut dekat dengan pusat ekonomi. Kondisi surplus

menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada

pengorbanan sedikitpun dari pemiliknya. Kondisi surplus belum menjamin akan

terjadinya peningkatan kesejahteraan bila rente tersebut bukan dimiliki oleh

masyarakat yang berada dikawasan tersebut, tetapi dimiliki pihak lain yang

mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut.

Secara umum nilai surplus sumberdaya lahan disekitar HLGD Kabupaten

Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Hal ini

bersumber dari jarak lahan tersebut dari pusat ekonomi dan keberadaan komoditi

pertanian di dalam lahan tersebut. Secara umum jarak lahan-lahan pertanian di

sekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo yang dikuasai oleh masyarakat hanya

berjarak 3-5 km dari ibukota Kabupaten Gorontalo. Menurut Pearce and Turner

(1990) nilai sebuah lahan akan sangat ditentukan oleh faktor manusia yaitu ada

tidaknya bangunan dan faktor eksternalitas misalnya kedekatan dengan pusat

ekonomi, bebas banjir dan terdapat akses jalan. Semakin dekat sebuah lahan

dengan pusat ekonomi maka nilai lahan tersebut akan semakin tinggi. Tingginya

nilai lahan disekitar HLGD yang ada di Kabupaten Gorontalo memicu terjadinya

jual beli lahan. Menurut Basuni (2003) fenomena terjadinya jual beli lahan

garapan pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya modal finansial yang dimiliki

oleh para petani pemilik lahan. Umumnya pembeli lahan berasal dari Kota

Gorontalo atau dari kota-kota lain, maka petani setempat yang menjual lahan

garapan berkeyakinan bahwa mereka masih dapat menggarap lahan yang

dijualnya. Situasi ini menghambat peningkatan kesejahteraan petani disekitar

kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo. Data menunjukkan bahwa kepemilikan

penduduk desa terhadap lahan disekitar HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo

mencapai 68.33%. Prosentase kepemilikan lahan ini lebih rendah dibandingkan

72

dengan kepemilikan lahan oleh penduduk desa sekitar HLGD di Kabupaten Bone

Bolango yaitu mencapai 89.67%.

4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung

Pengelolaan hutan lindung Gunung Damar tidak terlepas dari ketentuan

ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundangan. Hasil identifikasi

terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan

lindung berjumlah 11 peraturan-perundangan yang meliputi 1 surat keputusan

menteri kehutanan, 2 keputusan presiden, 5 peraturan pemerintah dan 3 undang

undang yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung seperti yang terlihat

pada Tabel 32.

Tabel 32 Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan

perundangan (lihat lampiran 1)

Aspek Peraturan

Perundangan Isi Interpretasi

Hak

Kepemilikan

Terhadap

Kawasan

HLGD

Pasal 33 ayat

3 UUD 1945

Bumi dan air dan

kekayaan alam yang

terkandung didalamnya

dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk

sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Seluruh sumberdaya alam

dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar

besarnya untuk

kemakmuran rakyat

Pasal 4 UU

41/1999

tentang

Kehutanan

Semua hutan di dalam

wilayah Republik

Indonesia termasuk

kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara

untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat

Penegasan penguasaan

negara atas kawasan hutan

termasuk potensi

sumberdaya alam yang

terkandung di dalamnya

Penetapan

dan

Pemantapan

Pasal 8

Keppres

32/1990

tentang

Pengelolaan

Kawasan

Lindung

Penunjukkan kawasan

hutan lindung didasarkan

pada kriteria kelerengan,

jenis tanah,curah hujan

yang melebihi skor 175

Kriteria yang dipergunakan

dalam penunjukkan

kawasan hutan lindung

belum mempertimbangkan

faktor sosial misalnya

adanya pemukiman di

dalam kawasan hutan

Pasal 24

butir 3 PP

No 44/2004

tentang

Perencanaan

Kehutanan

Kriteria Penetapan

kawasan hutan lindung

didasarkan pada kriteria

kelerengan, jenis

tanah,curah hujan yang

melebihi skor 175

Memperkuat

Kriteriapenetapan hutan

lindung yang telah

ditetapkan sebelumnya oleh

Keppres 32/1990

Pasal 5

Kepmen

Kehutanan

Kawasan hutan yang

ditunjuk harus memenuhi

kriteria sebagai berikut

Pemerintah daerah harus

memastikan kawasan hutan

yang tunjuk berdasarkan

73

No 32/Kpts-

II/2001

tentang

kriteria dan

standart

pengukuhan

kawasan

hutan

yaitu. a) belum pernah

ditunjuk atau ditetapkan

Menteri sebagai kawasan

hutan, b) tidak dibebani

hak hak atas tanah, c)

tergambar dalam peta

penunjukkan kawasan

hutan dan perairan yang

ditetapkan oleh Menteri

atau RTRWP/RTRWK

keputusan menteri

kehutanan atas

rekomendasi

Bupati/Gubernur tidak

tumpang tindih dengan

penggunaan lainnya

Pasal 10 PP

44/2004

tentang

Perencanaan

Kehutanan

Pemerintah daerah

menyelenggarakan

inventarisasi kawasan

hutan sebagai tahap awal

pengukuhan kawasan

hutan

Inventarisasi merupakan

kewenangan Pemerintah

daerah

Pasal 20 PP

N0 44/2004

tentang

Perencanaan

Kehutanan

Dalam pelaksanaan

penataan kawasan

permasalahan yang

berkaitan dengan hak atas

tanah disepanjang trayek

dan didalam kawasan

hutan harus diselesaikan

oleh panitia tata batas

Kewenangan penyelesaian

permasalahan hak hak atas

tanah menjadi tanggung

jawab pemerintah daerah

Pasal 19 PP

No 44/2004

tentang

Perencanaan

Kehutanan

Berdasarkan penunjukkan

kawasan maka

Pemerintah Daerah

melaksanakan penataan

kawasan hutan yang

dicantumkan dalam

RTRW

Pemerintah daerah

memiliki kewenangan

dalam penataan kawasan

hutan sebelum dikukuhkan

sebagai kawasan hutan oleh

Menteri Kehutanan

Penetapan

dan

Pemantapan

Pasal 20 PP 15

2010 tentang

Penyelenggara

n Penataan

Ruang

Pemerintah harus

melibatkan partisipasi

masyarakat dalam

penyusunan konsepsi

rencana tata ruang

Terbuka peluang

masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses

penyusunan konsepsi

kawasan hutan

Permenhut

28/2009 Tata

cara konsultasi

persetujuan

RTRW

Pemerintah daerah harus

mengkonsultasikan

PERDA RTRW kepada

Menteri Kehutanan

berkaitan dengan

substansi kawasan hutan

Menteri Kehutanan

dimungkinkan

membatalkan PERDA

RTRW jika tidak sesuai

dengan substansi kehutanan

Pasal 18 PP

44/2004

tentang

Perencanan

Kehutanan

Penunjukkan suatu

kawasan hutan termasuk

didalamnya adalah

kawasan hutan lindung

dilakukan berdasarkan

keputusan Menteri

Kehutanan

Pemerintah pusat masih

menganut single player

dalam penunjukkan

kawasan hutan meski

disebutkan penunjukkan

kawasan hutan tetap

mempertimbangkan RTRW

Pasal 16 PP

44/2004

tentang

Pengukuhan kawasan

hutan meliputi:

penunjukan kawasan

Kewenangan pengukuhan

berada ditangan pemerintah

pusat

74

Perencanan

Kehutanan

hutan, penataan batas,

pemetaan dan penetapan

Pengelolaan Pasal 21 UU

41/1999

tentang

Kehutanan

Pengelolaan hutan

meliputi: a) tata hutan

dan penyusunan rencana

pengelolaan hutan, b)

pemanfaatan hutan dan

penggunaan kawasan

hutan, c) rehabilitasi dan

reklamasi hutan, dan d)

perlindungan hutan dan

konservasi alam

Pengelolaan hutan

ditujukan untuk

memperoleh manfaat yang

sebesar besarnya serta

serbaguna dan lestari untuk

kemakmuran rakyat

Pasal 23 PP

No 6/2007 tata

hutan dan

rencana

pengelolaan

hutan serta

pemanfaatanny

a

Pemanfaatan Hutan

lindung hanya

diperkanankan untuk

pemanfaatan kawasan,

pemanfaatan jasa

lingkungan dan

pemanfaatan hasil hutan

bukan kayu

Menegaskan bahwa hutan

lindung hanya bisa

dimanfaatkan untuk jasa

lingkungan, pemanfaatan

kawasan

Pasal 2 Perpres

No 28/2011

Penggunaan

HL untuk

Pertambangan

Bawah Tanah

Kawasan hutan lindung

dapat dimanfaatkan

untuk pertambangan

bawah tanah

Keputusan ini bertentangan

dengan Pasal 23 PP No

6/2007 jo PP No 3/2008

Pengelolaan Pasal 4 PP No

24/2010

tentang

Penggunaan

Kawasan

Hutan

Didalam hutan lindung

dapat dibangun kegiatan

religi, pertambangan,

instalasi pembangkit,

transmisi, dan distribusi

listrik serta teknologi

energi baru dan

terbarukan,

pembangunan jaringan

telekomunikasi, stasiun

pemancar radiodan

televise sarana

transportasi yang bukan

transportasi umum,

sarana dan prasarana

sumber daya air

fasilitas umum, industri

terkait kehutanan,

pertahanan dan

keamanan, prasarana

keselamatan umum dan

penampungan korban

bencana alam

Keputusan ini bertentangan

dengan Pasal 23 PP No

6/2007 jo PP No 3/2008

Pasal 2 ayat 4

PP 38/2007

tentang

Pemerintah

menyerahkan 31

kewenangan urusan

Kewenangan yang

dimaksud hanya berupa

permintaan pertimbangan

75

Pembagian

Kewenangan

antara

Pemerintah

pusat,

pemerintah

provinsi dan

pemerintah

kabupaten/kota

pemerintahan kepada

daerah termasuk

kewenangan

pengelolaan kehutanan

kepada daerah

teknis yang bersifat

administrative berkaitan

dengan substansi kehutanan

tanpa berhak memutuskan.

Keputusan akhir tetap

berada ditangan pemerintah

pusat

Pembinaan

dan

Pengawasan

Pasal 123 PP

6/2007 tata

hutan dan

rencana

pengelolaan

hutan serta

pemanfaatanny

a

Kewenangan pembinaan

dan pengawasan berada

ditangan pemerintah,

Gubernur untuk tingkat

provinsi, Bupati untuk

tingkat kabupaten

Dimungkinkan untuk

melakukan koordinasi

pembinaan dan pengawasan

antar institusi pemerintah

Pasal 60 UU

41/1999

tentang

Kehutanan

Pemerintah, pemerintah

daerah, masyarakat

maupun perorangan

wajib berperan serta

dalam pengawasan

hutan

Pengawasan secara

kolaboratif sangat

dimungkinkan

Pembinaan

dan

Pengawasan

Pasal 15 dan

19 UU 32/

2009 tentang

Perlindungan

dan

Pengelolaan

Lingkungan

Pemerintah daerah wajib

membuat Kajian

Lingkungan Hidup

Strategis Untuk

menjamin kelestarian

lingkungan hidup setiap

perencanaan ruang

wajib

Pemerintah daerah

memiliki kewenangan

dalam menentukan norma

atau aturan dalam rangka

memantau dampak

pemanfaatan ruang

termasuk pemanfaatan

hutan lindung

Pasal 48-49 PP

45/2004

tentang

Perlindungan

Hutan

Pembinaan terhadap

pengelolaan hutan

terdiri dari pedoman,

bimbingan, pelatihan,

arahan, supervise

Ketentuan mengenai

pengawasan belum diatur

dalam peraturan

perundangan

Berikut ini uraian dari ketentuan ketentuan mengenai tahapan kegiatan

dalam penyelenggaraan hutan lindung

a. Hak kepemilikan (property rights) atas kawasan HLGD

Pasal 4 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa

Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Ketentuan ini merupakan turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang

menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

76

rakyat. Berdasarkan dua ketentuan tersebut maka lahan hutan lindung Gunung

Damar merupakan wilayah yang dikuasai oleh Negara dan bebas dari hak-hak

pihak lain yang membebani lahan tersebut. Terkait dengan strata hak kepemilikan

sebagaimana yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) maka negara

selaku pemilik sumberdaya berhak melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu 1) hak

akses (acces rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang

memiliki batas-batas yang jelas dan menikmati manfaat non ekstraktif 2) hak

memanfaatkan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit

sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya 3) hak pengelolaan

(management rights) hak untuk mengatur pola pemanfaatan sumberdaya 4) hak

ekslusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh

memiliki hak akses dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain, 5) hak

pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan

sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut. Jika sebuah sumberdaya dikuasai

oleh negara maka para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan

yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya

tersebut. Demikian pula pemerintah juga mempunyai hak untuk memutuskan

aturan main penggunanya (Asikin, 2001). Dalam pengelolaan sumberdaya CPR

secara efektif baik oleh negara maupun sekelompok masyarakat maka Ostrom

(1990) mengemukakan beberapa prinsip agar sumberdaya CPR tersebut mencapai

kinerja optimal antara lain 1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi

lokal 2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian

besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan 3) monitoring efektif yang

dilakukan oleh pemilik dalam hal ini pemerintah 5) terdapat sanksi bagi bagi yang

tidak menghormati aturan. Selanjutnya Kartodihardjo (2010) mengemukakan

kebijakan pengelolaan CPR oleh pemerintah seharusnya tidak memisahkan

masyarakat lokal dengan sumberdaya alam, melainkan menumbuhkan usaha

masyarakat agar menjadi pelindung SDA.

b. Penetapan dan pemantapan hutan lindung

Menurut Sadino (2006) penetapan kawasan hutan adalah proses penentuan

yuridis formal baik secara fisik di lapangan disertai dengan desain kawasannya

sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari dengan kata lain

77

penetapan kawasan hutan merupakan penegasan tentang kepastian hukum

mengenai status, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk

berdasarkan keputusan hukum yang bersifat mengikat, sedangkan pemantapan

kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang diarahkan untuk

memperoleh legitimasi dari individu atau kelompok masyarakat dan organisasi.

Proses kegiatan penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung dimulai

dengan inventarisasi kawasan. Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan maksud

untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya,

potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Ascher (1993)

mengatakan ketersediaan informasi sumberdaya hutan menjadi penting untuk

memastikan kepastian dalam hasil pengukuran kerja atau kinerja. Selama ini

pemerintah tidak menguasai data dan informasi tentang kondisi hutan sehingga

pengetahuan yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas.

Setelah proses inventarisasi hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah

daerah selesai maka Menteri Kehutanan menunjuk kawasan hutan atas

rekomendasi Gubernur dan memperhatikan RTRW dan atau paduserasi TGHK

dan RTRW. Proses penyusunan RTRW yang dilakukan oleh pemerintah daerah

dalam rangka menentukan peruntukkan kawasan termasuk kawasan hutan harus

melibatkan partisipasi masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 20 PP 15

2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang. Namun fakta di lapangan

menunjukkan kegiatan penyusunan RTRW diserahkan kepada konsultan ahli

perencanaan yang cenderung bekerja tanpa melibatkan masyarakat sejak awal.

Pelibatan masyarakat hanya dilakukan pada saat konsultasi publik setelah RTRW

selesai dibuat. Setelah proses administrasi pengesahan RTRW selesai maka

pemerintah daerah harus mengkonsultasikan RTRW tersebut dengan pihak-pihak

terkait termasuk menteri kehutanan dalam rangka konsultasi tentang substansi

masalah kehutanan sesuai dengan Permenhut 28/2009 tentang Tata Cara

Konsultasi Persetujuan Subtansi Kehutanan dalam RTRW. Dalam proses ini

menteri kehutanan dapat membatalkan RTRW tersebut jika terdapat

ketidaksesuaian masalah substansi kehutanan

Ketentuan penunjukkan kawasan hutan lindung didasarkan pada kriteria

yang terdapat pada pasal 24 ayat 3 butir b PP No 44 tahun 2004 tentang

78

perencanaan hutan dimana menyebutkan kawasan hutan dengan faktor

kelerengan, jenis tanah, curah hujan melebihi skor 175 dan/atau kawasan hutan

yang memiliki kelerengan lapangan 40% atau lebih dan atau kawasan hutan yang

memiliki ketinggian diatas 2000 mdpl atau lebih, kawasan hutan yang memiliki

jenis tanah yang peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15%,

kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air dan kawasan hutan yang

merupakan perlindungan pantai. Selain memperhatikan status kawasan,

penunjukkan kawasan hutan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 5 Keputusan Menteri Kehutanan No 32/Kpts-II/2001

tentang kriteria dan standart pengukuhan kawasan hutan pasal 5 disebutkan bahwa

kawasan hutan yang ditunjuk harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu. a)

belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak

dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar dalam peta penunjukkan kawasan hutan

dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri atau RTRWP/RTRWK.

Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan penataan batas

yang terdiri dari pemancangan patok batas sementara, penyelesaian hak-hak pihak

ketiga, penyusunan berita acara pengakuan masyarakat disekitar area batas,

penyusunan berita acara pemancangan batas patok sementara, pemasangan pal

batas, pemetaan hasil penataan batas, pembuatan dan penandatanganan berita

acara tata batas, pelaporan kepada menteri kehutanan dengan tembusan kepada

gubernur. Setelah tata batas dilakukan maka menteri menetapkan kawasan hutan

yang telah temu gelang.

Berdasarkan hasil analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan

dengan pemantapan dan penetapan kawasan hutan maka dapat dijelaskan hal-hal

sebagai berikut;

1) Proses penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung hanya memuat

berbagai prosedur yang sifatnya administratif, belum ada mekanisme yang

merancang sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah

merumuskan program untuk mengoptimalisasi pengelolaan dan

pemanfaatan hutan lindung sebagai contoh aturan formal penunjukkan

HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai pemberi

rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan. Situasi ini

79

menyebabkan menjadi berlarut-larutnya proses pengukuhan hutan. Semakin

lamanya proses pengukuhan kawasan hutan berakibat pada ketidakpastian

kawasan hutan. Menurut Contreras et al (2006) ketidakpastian hak-hak

sebagai akibat dari tidak jelasnya batas batas kawasan hutan berpotensi

menimbulkan konflik dan masyarakat akan memandang kawasan hutan

adalah sumberdaya yang “open acces”

2) Proses pengusulan penunjukkan kawasan hutan lindung oleh pemerintah

daerah yang tertuang dalam RTRW hanya mengacu pada kriteria biofisik

sesuai pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan

belum memperhatikan aspek sosial, sehingga terjadi tumpang tindih antara

kawasan hutan dan penggunaan lainnya seperti pemukiman rumah-rumah

permanen dan kampung-kampung (dusun, rumah tangga, desa) yang ada di

dalam kawasan hutan.

3) Pemerintah daerah belum menjalankan prosedur pada undang-undang

penataan ruang, yakni pentingnya partisipasi masyarakat dalam

pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan penetapan kawasan

hutan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kontrol

terhadap isi dan pelaksanaan program pembangunan yang mempengaruhi

kehidupan mereka. Menurut Singletton (1999) bentuk partisipasi merupakan

salah satu bentuk aksi kolektif yang dapat mengendalikan perilaku

opportunistik dan dapat juga menghilangkan penumpang gratis (free rider)

dari anggota kelompok serta dapat mengurangi biaya transaksi

4) Sampai saat ini belum ditemukan peraturan yang secara khusus mengatur

proses penyelesaian hak-hak pihak ketiga disepanjang trayek batas dan di

dalam kawasan hutan. Sehingga belum ada ruang bagi pelaksana di

lapangan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan hak-hak tata

batas. Ketentuan yang ada hanyalah menegaskan bahwa permasalahan

mengenai hak atas lahan baik sepanjang batas kawasan hutan maupun di

dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab panitia tata batas yang

dibentuk oleh Bupati. Implikasi di lapangan adalah pemerintah daerah

dalam hal ini Dinas Kehutanan belum bisa merumuskan bentuk-bentuk

penyelesaian hak-hak pihak ketiga

80

c. Pengelolaan hutan lindung

Landasan hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya hutan termasuk

hutan lindung tertuang dalam pasal 21 Undang-Undang Kehutanan Nomor

41/1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pengelolaan hutan meliputi: a)

tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b) pemanfaatan hutan dan

penggunaan kawasan hutan, c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d)

perlindungan hutan dan konservasi alam. Ketentuan ini kemudian dijabarkan

secara teknis melalui PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan

hutan serta pemanfaatan hutan. Dalam ketentuan yang tercantum dalam PP No 6

tahun 2007 menyebutkan kegiatan tata hutan dan perencanaan meliputi kegiatan

tata batas, inventarisasi, pembagian dalam blok/zona pengelolaan dan pemetaan.

Setelah kegiatan tersebut dilaksanakan maka pengelola kawasan hutan diwajibkan

untuk menyusun rencana pengelolaan jangka pendek dan jangka menengah.

Dokumen rencana pengelolaan hutan baik jangka pendek maupun jangka

menengah harus memiliki strategi kelayakan pemanfaatan, rehabilitasi dan

perlindungan kawasan hutan.

Sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung, maka pengelolaan hutan

lindung diarahkan untuk pemanfaataan hasil hutan bukan kayu sesuai dengan

ketentuan yang tercantum dalam pasal 23 Dalam PP No 6 tahun 2007, akan tetapi

ketentuan ini menjadi tidak jelas saat pemerintah mengeluarkan Peraturan

Presiden No 28 tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk

penambangan bawah tanah dan PP No 24 tahun 2004 tentang tentang Penggunaan

Kawasan Hutan. Dalam pasal 4 PP No 24 tahun 2010 disebutkan bahwa didalam

kawasan hutan lindung dapat dibangun seperti jalan umum, fasilitas umum,

instalasi air, stasiun relay dan lain lain. Ketentuan ini telah disalah artikan oleh

pemerintah daerah sebagai contoh pemerintah Kabupaten Gorontalo membangun

membangun kantor desa, membangun sekolah bagi masyarakat yang tinggal di

kawasan hutan lindung seperti yang terjadi di dalam kawasan HLGD.

Pembangunan berbagai fasilitas didalam kawasan HLGD secara tidak langsung

telah melegitimasi keberadaan mereka di dalam kawasan hutan lindung. Situasi ini

akan semakin mempersulit posisi pemerintah selaku penguasa atas lahan yang ada

81

dalam kawasan HLGD untuk memperoleh kepastian hak dari masyarakat yang

tinggal disekitar kawasan HLGD.

Dalam pengelolaan hutan lindung diatur pula ketentuan tentang kewenangan

pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan lindung.

Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai keputusan dalam pengelolaan

hutan, tidak banyak dibahas dalam UU 41/1999. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007.

Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung meliputi :

inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian

perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang

tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa

lingkungan skala kabupaten, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat dalam

pengelolaan hutan lindung adalah :

a. Pelaksana pengukuhan kawasan hutan lindung.

b. Pelaksana penunjukkan kawasan hutan lindung.

c. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan lindung.

d. Pelaksana penetapan kawasan hutan lindung.

e. Penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) dan pengesahan

rencana pengelolaan dua puluh tahunan dan lima tahunan.

f. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan.

g. Penetapan NSPK dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) dan

lima tahunan (jangka menengah) unit pemanfaatan hutan lindung.

h. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan unit usaha pemanfaatan hutan

lindung.

i. Penetapan NSPK dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan

hutan lindung

Beberapa kegiatan tersebut ternyata meninggalkan problem yang sangat

komplek dan sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh

pemerintah kabupaten karena belum semua NSPK tentang pengelolaan hutan

lindung sudah disusun oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), yang

dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjalankan tugasnya.

Hal ini sesuai dengan penelitian Ekawati (2010) yang menyatakan bahwa belum

dikeluarkannya beberapa NSPK sebagai acuan pemerintah daerah dalam

82

pengelolaan hutan lindung telah membuat pengelolaan dan pemanfaatan hutan

lindung seperti di Kabupaten Tanjung Jabung, Kabupaten Sorolangun dan

Kabupaten Solok belum berjalan optimal

Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan seperti yang telah disebutkan

diatas maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Mekanisme pengelolaan hutan lindung antara pemerintah daerah dan

pemerintah pusat masih lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat

instruksi yang sangat birokratis dan belum menyentuh penguatan

pengelolaan hutan dan status hutan lindung sehingga tidak mendorong

upaya untuk melestarikan hutan. Menurut Khan et al (2004) kebijakan

pengelolaan kehutanan yang lebih menekankan aspek teknis dan sangat

birokratis akan berakibat pada inefisiensi dan menimbulkan biaya ekonomi

tinggi

2. Beberapa peraturan perundangan tidak konsisten dengan peraturan di

atasnya sehingga menyulitkan pemerintah mencapai kinerja yang

diinginkan. Situasi ini bisa menimbulkan konflik yang disebabkan karena

perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sesuai dengan

temuan beberapa kajian tata kelola kehutanan menghasilkan kesimpulan

antara lain, peraturan perundangan tentang kehutanan Indonesia cenderung

simpang siur tumpang tindih (Ginoga et al 2005). Peraturan yang tidak

konsisten akan berakibat pada melemahnya penegakan hukum sehingga

akan memicu perilaku oportunistik individu atau kelompok dalam

memanfaatkan hasil hutan sebagai contoh diperbolehkannya penambangan

di kawasan hutan lindung dikhawatirkan hanya akan menjadi dalih agar bisa

mengeksploitasi kayu dari dalam kawasan hutan lindung yang selama ini

masih relatif baik.

3. Pengelolaan hutan lindung masih dikelola secara sentralistik hal ini terlihat

dari dominasinya pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan

pengelolaan hutan lindung, sedangkan pemerintah daerah hanya

ditempatkan sebagai pemberi rekomendasi dan lebih bersifat administrasi

tanpa diberi kewenangan untuk memutuskan. Menurut Steni (2004)

desentralisasi yang terjadi di Indonesia terutama dalam pengelolaan SDA

83

lebih bersifat teknis dan administratif. Ketentuan hukum yang ada lebih

banyak menjabarkan implementasi otonomi sistem pemerintahan secara

politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat

di daerah. Sehingga McCarthy (2004) menyimpulkan bahwa pelaksanaan

desentralisasi khususnya disektor kehutanan belum mencapai tujuan “good

governance”

d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung

Pembinaan dan pengawasan dalam rangka pengelolaan hutan ditujukan

untuk menjaga tertibnya pelaksanaan pengelolaan hutan. Berdasarkan PP 6/2007

pasal 123 menyatakan bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan

dilaksanakan oleh Menteri untuk mengendalikan kebijakan kehutanan yang

dilakanakan oleh Gubernur, Bupat/Walikota. Kegiatan pembinaan dan

pengawasan ini meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan,

supervisi, monitoring dan/atau evaluasi yang berkaitan dengan penyusunan

rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bimbingan penyusunan

prosedur dan tata kerja, pelatihan sumber daya manusia dan aparatur, arahan

penyusunan rencana program dan penilaian pengelolaan hutan lestari secara

periodik. Hal yang sama juga dikemukakan dalam PP 45/2004 tentang

perlindungan hutan pasal 48 dan 49. Sampai saat ini baik pemerintah kabupaten

Gorontalo dan Bone Bolango belum sepenuhnya menjalankan kewenangan dalam

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan lindung

Gunung Damar. Hal ini mengindikasikan rendahnya kepedulian pemerintah

daerah dalam melakukan pengawasan terhadap batas yurisdiksinya dan rendahnya

kepedulian pemerintah daerah dalam mengamankan hak kepemilikannya terhadap

kawasan. Situasi seperti ini bisa membuka peluang perilaku oportunistik

masyarakat yang tinggal sekitar HLGD untuk memanfaatkan sumberdaya HLGD

tanpa berusaha untuk melestarikannya. Ketentuan mengenai kegiatan pembinaan

dan pengawasan juga telah menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban

melakukan pengawasan, namun tidak ada ketentuan yang dapat memperkuat

posisi masyarakat sehingga sangat sulit untuk membuat pengawasan masyarakat

dapat berjalan efektif. Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kewenangan

pembinaan dan pengawasan adalah minimnya SDM dan pendanaan dalam

84

4.4. Perilaku Stakeholder di Hutan Lindung Gunung Damar

a. Stakeholders di HLGD

Secara etimologis stakeholders dapat dimaknai sebagai sebagai pihak pihak

dari luar organisasi yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap kinerja,

keberadaan dan keberlangsungan organisasi. Menurut Asikin (2001) stakeholder

adalah semua pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh dampak, baik positif

maupun negatif, yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan. Pihak yang terpengaruh

dampak ini dibedakan menjadi tiga bagian, yakni stakeholders utama dan kunci;

serta stakeholder pendukung. Sedangkan Mitchell et al 1997 dalam Sundawati

dan Askadi 2008) mengemukakan stakeholder merupakan kelompok individu

yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.

Brown et al. (2001) juga menambahkan bahwa analisis stakeholder merupakan

pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di

dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan sistem menilai kemungkinan

konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan.

Hasil identifikasi stakeholder, terdapat 18 stakeholder di Kabupaten

Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yang berkepentingan

dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat dilihat pada Tabel 33

Tabel 33. Daftar Stakeholder yang terlibat dalam Pengelolaan HLGD

No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango

1 BKSDA Sulawesi Utara BKSDA Sulawesi Utara

2 BPKH Wilayh XV Gorontalo BPKH Wilayh XV Gorontalo

3 BP-DAS Bone Bolango BP-DAS Bone Bolango

4 Dinas Kehutanan dan Pertambangan

Energi

Dinas Kehutanan dan Pertambangan

Energi

5 Badan Perencanaan Pembangunan

Pembangunan Daerah

Badan Perencanaan Pembangunan

Pembangunan Daerah

6 Dinas Pekerjaan Umum Dinas Pekerjaan Umum

7 Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup

8 DPRD DPRD

10 PDAM PDAM

11 Dinas Pertanian dan Tanaman

Pangan

Lembaga Donor EGSLP

12 Badan Penyuluh Kehutanan Tokoh Masyarakat

85

Lanjutan Tabel 33 No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango

13 Polisi Kehutanan Masyarakat lokal sekitar HLGD

14 Universitas Gorontalo Polisi Kehutanan

15 LSM Komunitas untuk Bumi

16 Lembaga Donor EGSLP

17 Tokoh Masyarakat

18 Masyarakat lokal sekitar HLGD

Berdasarkan daftar stakeholder yang tertulis diatas terlihat pengelolaan

HLGD melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah

daerah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat lokal. Beragamnya stakeholder

yang terlibat dalam pengelolaan HLGD dengan berbagai kepentingannya akan

membawa konsekwensi terhadap semakin kompleksnya pengelolaan HLGD, oleh

karena itu diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur perilaku stakeholder

agar bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan HLGD sesuai

dengan tujuan pengelolaan hutan lindung yang telah ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan

b. Tugas Pokok Stakeholder

Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia tugas pokok merupakan sasaran

utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Analisis tugas pokok

diperlukan untuk melihat sejauh mana kewenangan organisasi pemerintah daerah

dalam pengelolaan HLGD sekaligus melihat sejauh mana kepentingan dan

pengaruh organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLGD. Tugas pokok suatu

organisasi akan menentukan pola koordinasi antar organisasi karena berkaitan

dengan hak dan tanggung jawab organisasi dan bentuk keterlibatan sebuah

organisasi dalam suatu kegiatan. Selanjutnya pendapat Uphoff (1986) menyatakan

bahwa kinerja suatu institusi dapat diukur melalui bagaimana institusi dapat

menyelesaikan tugas pokoknya. Adapun tugas pokok stakeholder di Kabupaten

Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang terlibat dalam pengelolaan HLGD

dapat dilihat pada Tabel 34 dan Tabel 35

86

Tabel 34. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di

Kabupaten Gorontalo Stakeholder Tugas Pokok

1. BKSDA Sulawesi Utara 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan

kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman

wisata alam, dan taman buru,

2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya

dan hutan lindung serta

3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar

kawasan konservasi berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Permenhut

02/Menhut-II/2007)

2. BPKH Wilayah XV Gorontalo

1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan

kawasan hutan,

2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan

wilayah,

3. penyiapan data perubahan fungsi serta

perubahan status/peruntukan kawasan hutan,

4. penyajian data dan informasi pemanfaatan

kawasan hutan,

5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan

penyajian data informasi sumberdaya hutan

(Permenhut 13/Menhut-II/2011)

3. BP-DAS Bone Bolango Melaksanakan penyusunan rencana,

pengembangan kelembagaan dan evaluasi

pengelolaan DAS (Permenhut 15/Menhut-II/2007)

4. Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Energi

1. Penyiapan bahan rancangan teknis RHL,

Bimbingan Teknis RHL

2. Penataan lahan dan konservasi

3. Pengembangan dan pengelolaan peredaran hasil

hutan

4. Menyelenggarakan pelatihan masyarakat dan

perizinan dibidang pertambangan

5. Penyiapan rancangan teknis pertambangan dan

energy

6. Inventarisasi potensi tambang

7. Bimbingan teknis, pengawasan dan penelitian

pengembangan (Perda No 35/2007)

5. Kepala Desa Memberikan pelayanan, pembinaan dan

pengawasan kepada masyarakat (PP 72 tahun

2005)

6. Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah

(BAPPEDA)

Membantu kepala daerah dalam Penyelenggaraan

pemerintahan daerah dibidang perencanaan

pembangunan, penelitian dan pengembangan

daerah (Perda 16/2007)

7. Dinas Pekerjaan Umum

Bidang Penataan Ruang

Melaksanakan sebagian kewenangan di dinas PU

dan Menyusun perencanaan penataan ruang (Perda

No 33/2007)

87

Lanjutan Tabel 34 Stakeholder Tugas Pokok

8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan

kebijakan daerah yang bersifat spesifik pada

lingkup pengelolaan lingkungan hidup,

Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan

pengawasan (Perda No 18/2007)

9. DPRD Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan

pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004)

10. Dinas Pertanian dan Tanaman

Pangan

Melaksanakan kewenangan desentralisasi

dibidang pertanian (Perda No 33/2007)

11. Badan Penyuluh Pertanian Membantu Kepala Daerah dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang

Penyuluhan (Perda No 4/2008)

12. PDAM Membantu pemerintah daerah dalam peningkatan

pelayanan kepada masyarakat dalam bidang air

bersih (Perda No 6/1993)

13. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,

memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan

kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan

serta peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan

No. 55/KEP/M.PAN/7/2003)

14. Lembaga Donor EGSLP.

1. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan

sumber daya alam pada DAS dan menunjukan

pemecahannya bagi isu-isu pengelolaan sumber

daya alam prioritas yang diindetifikasi, dan

diimplementasikan oleh pemangku kepentingan

kunci pada tingkat masyarakat (desa) dan DAS;

2. Memperkuat institusi tatakelola lingkungan dan

prosesnya pada tingkat desa, kabupaten dan

propinsi.

15. Universitas Gorontalo Melaksanakan tridharma perguruan tinggi;

pengajaran, penelitian dan pengabdian pada

masyarakat (Pasal 3 PP No 60/1999)

16. Komunitas untuk

Bumi/KUBU (LSM) Melaksanakan advokasi dan kampanye

sumberdaya alam

Tabel 35. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di

Kabupaten Bone Bolango I. Stakeholder Tugas Pokok

1. BKSDA Sulawesi Utara 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan

cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam,

dan taman buru,

2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan

hutan lindung serta

3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan

konservasi berdasarkan peraturan perundang-

88

undangan yang berlaku (Permenhut 02/Menhut-

II/2007)

2. BPKH Wilayah XV

1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan

kawasan hutan,

2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah,

3. penyiapan data perubahan fungsi serta perubahan

status/peruntukan kawasan hutan,

4. penyajian data dan informasi pemanfaatan kawasan

hutan,

5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan

penyajian data informasi sumberdaya hutan

(Permenhut 13/Menhut-II/2011)

3. BP-DAS Bone Bolango Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan

kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS

(Permenhut 15/Menhut-II/2007)

4. Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Energi

Melaksanakan urusan pemerintahan daerah

berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di

bidang Kehutanan, Pertambangan dan energy:

1. Penyelenggaraan, inventarisasi pemetaan hutan,

pertambangan dan Energi.

2. penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi,

penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan

lindung serta batas wilayah pertambangan

3. penyelenggaraan pembentukan wilayah utama hutan

raya, wilayah pertambangan sesuai dengan Rencana

Tata Ruang Daerah ;

4. pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan

kawasan hutan dan pertambangan kecuali kawasan

suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman

buru;

5. penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi,

produktivitas lahan pada Daerah Aliran Sungai ;

6. Pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan jasa

lingkungan hutan dan wilayah pertambangan.

7. Pengesahan rencana tebang hutan;

8. Pemberian ijin dan pengawasan usaha pemanfaatan

hutan PSDH, dana reboisasi dan dana investasi untuk

biaya pelestarian hutan (Perda 12/2005)

5. Kepala Desa Melaksanakan tugas administrasi pemerintahan desa

(PP 72 tahun 2005)

6. Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah

(BAPPEDA)

Membantu pemerintah daerah dibidang perencanaan

pembangunan, Menyusun dan melaksanakan kebijakan

daerah dalam bidang perencanaan pembangunan

daerah (Perda 14/2005)

7. Dinas Pekerjaan Umum

Bidang Penataan Ruang

Melaksanakan penataan ruang dan membangun

infrastruktur (Perbup No19/2011)

89

Lanjutan Tabel 35

II. Stakeholder Tugas Pokok

8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan

daerah yang bersifat spesifik pada lingkup pengelolaan

lingkungan hidup:

1. Membantu Kepala Daerah dalam merumuskan dan

melaksanakan kebijakan teknis Bidang Lingkungan

Hidup

2. Mengkoordinasikan penyusunan program,

perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di

Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

dan Tata Lingkungan, termasuk Penataan Ruang

Terbuka Hijau

3. Mengkoordinasikan penyusunan program,

perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di

Bidang Pengendalian, Pengawasan Pencemaran

dan Kerusakan Lingkungan

4. Mengkoordinasikan penyusunan program,

perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di

Bidang Kebersihan (Perda No 10/2010)

9. DPRD Penyusunan kebijakan daerah tentang lingkungan

hidup (Pasal 24 UU 32/2004)

10. PDAM Optimalisasi pelayanan air bersih dalam rangka

memaksimalkan PAD (Perda 11/2011)

11. Lembaga Donor EGSLP.

a. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan sumber

daya alam pada DAS terpilih dan menunjukan

pemecahan yang berkelanjutan bagi isu-isu

pengelolaan lingkungan an sumber daya alam

prioritas yang diindetifikasi, dan diimplementasikan

oleh pemangku kepentingan kunci pada tingkat

masyarakat (desa) dan DAS;

b. Memperkuat dan institusionalisasi struktur tatakelola

lingkungan dan prosesnya pada tingkat desa,

kabupaten dan propinsi.

12. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,

memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan

kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta

peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan No.

55/KEP/M.PAN/7/2003)

Mengacu pada Bryson (2003) dilakukan identifikasi kesesuaian tugas pokok

dengan metode 4Rs (Rights, Responsibility, Reward and Relationship). Metode

4Rs merupakan tools untuk memperjelas hak dan tanggung jawab serta bentuk

interaksi yang dijalankan oleh stakeholder dalam pengelolaan HLGD berdasarkan

tugas pokoknya. Adapun kejelasan hak dan tanggung jawab serta bentuk interaksi

90

berdasarkan metode 4Rs untuk wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten

Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 36 dibawah ini dan Tabel 37 dihalaman

selanjutnya

Tabel 36. Stakeholders pengguna dan yang menikmati sumberdaya HLGD serta

terlibat dalam kegiatan teknis dan di Kabupaten Gorontalo dan Bone

Bolango

Stakeholder Rights Responsibility Rewards Relationship

I. Kabupaten

Gorontalo

1. Masyarakat

lokal

2. PDAM

II. Kabupaten

Bone Bolango

1. Masyarakat

2. PDAM

Menikmati

sumberdaya

yang

dihasilkan

oleh HLGD

Memperoleh

izin

pemanfaatan

Mengetahui

rencana

peruntukkan

hutan,

pemanfaatan

hasil hutan

Memberi

informasi dan

pertimbangan

dalam

pengelolaan

HLGD

Ikut

memelihara

dan menjaga

kawasan hutan

dari gangguan

dan perusakan

Melakukan

pengawasan

terhadap

pelaksanaan

pembangunan

kehutanan

Melakukan

kegiatan teknis

yang

menunjang

pemanfataan

HLGD

Meningkatnya

kesejahteraan

masyarakat di

dalam dan

disekitar

kawasan

HLGD

Mendapatkan

keuntungan

dengan

penjualan hasil

hutan bukan

kayu

Mendapatkan

pengetahuan

baru melalui

kegiatan riset

Terlibat

dalam

kegiatan

teknis

kehutanan

melalui

dukungan

tenaga kerja

Dapat

menyiapkan

dukungan

dana

Menyediaka

n informasi

yang

berkaitan

dengan

pengelolaan

HLGD

Berdasarkan identifikasi masing masing stakeholder seperti yang terlihat

pada Tabel 36 terdapat stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone

Bolango yang terdiri dari Masyarakat lokal dan PDAM yang menikmati

sumberdaya yang dihasilkan oleh HLGD. Sedangkan kewajibannya adalah ikut

menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan, melakukan kegiatan teknis

pemanfataan HLGD, penyediaan tenaga kerja, memberikan informasi dan

penyediaan dana pengelolaan HLGD.

91

Tabel 37. Stakeholders Pengelola, Penyedia Pedoman dan Pengawasan

Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango Stakeholder Rights Responsibility Rewards Relationship

1. BKSDA,

2. BPKH

Wilayah XV

Gorontalo

3. BP-DAS Bone

Bolango

4. Dinas

Kehutanan

Pertambangan

dan Energi,

5. kepala desa

dan

6. Polisi

Kehutanan,

7. Dinas PU

8. Universitas

Gorontalo

9. BAPPEDA,

10. DPRD,

11. LSM,

12. Badan

Lingkungan

Hidup,

13. EGSLP

Kabupaten Bone

Bolano

1. BAPPEDA

2. BLH,

3. PU,

4. DPRD

5 EGSLP

6.Dishutamben

7. BKSDA

8. BPKH

9. BP-DAS

10.Kep Desa

Memberi dan

mencabut

izin

pemanfaatan

Melakukan

pengelolaan

terhadap

kawasan

HLGD

Melakukan

pengawasan,

penilaian dan

memfasilitasi

program

Melaksanaka

n penelitian

dan

pengembang

an

Melakukan

pengelolaan

hutan secara

lestari

Melaksanakan

kewenangan

otonomi daerah

dalam rangka

pelaksanaan

tugas

desentralisasi

dibidang

kehutanan

Melaksanakan

kebijakan

pengelolaan

HLGD

Berupaya

mewujudkan

program

pemulihan

kawasan HLGD

Memberi

dukungan

penuh terhadap

segala bentuk

kegiatan

pengelolaan

hutan

Meningkatnya

PAD

Terwujudnya

visi misi

organisasi

Menikmati

kualitas

lingkungan

hidup yang

dihasilkan oleh

HLGD

Menyiapka

n norma,

standar,

pedoman

dan kriteria

pengelolaan

HLGD

Menyiapka

n dukungan

dana

Hasil identifikasi terhadap tugas pokok stakeholder pengelola, penyedia

pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo

terdapat beberapa stakeholder terlibat seperti BKSDA, BPKH Wilayah XV

Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi,

kepala desa, Polisi Kehutanan, Universitas Gorontalo, BAPPEDA, EGSLP,

92

DPRD, LSM, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Stakeholder pengelola,

penyedia pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di wilayah

Kabupaten Gorontalo terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan Kabupaten

Bone Bolango yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS

Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa,

BAPPEDA, EGSLP, DPRD, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Berkaitan

dengan hak dan kewajiban, stakeholder ini mempunyai hak menyiapkan norma,

standar, pedoman dan kriteria pengelolaan HLGD sedangkan kewajibannya

adalah menyelenggarakan kebijakan, kewenangan pengelolaan hutan lindung

lestari.

Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone

Bolango hanya melakukan aktivitas pemanfaatan jasa lingkungan berupa

pemanfaatan air minum melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Kegiatan pemanfaatan jasa air minum oleh PDAM merupakan salah satu bagian

dari strategi pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publik sekaligus

sumber pendapatan asli daerah (PAD) untuk membiaya pembangunan di daerah .

Menurut Fauzi (2004) keberadaan lembaga pemerintah di bidang industri

pengolahan air seperti dibentuknya Perusahaan Daerah Air Minum oleh

pemerintah daerah, tak lain untuk memberikan pelayanan penyediaan air bersih

kepada masyarakat secara kuantitas dan kualitas baik dan secara operasional

efisien serta berkelanjutan (sustainable). Intervensi pemerintah melalui PDAM

sebagai institusi pemerintah dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat

sebenarnya dapat diterima secara logis mengingat air sebagai barang publik

penggunaannya oleh masyarakat harus dikendalikan agar tidak menimbulkan

ekternalitas negatif

Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda),

pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Pemberlakuan UU

tentang Pemerintahan Daerah menjadi titik tolak bergesernya orientasi, arah dan

kebijakan pembangunan kehutanan. Selain itu kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah

daerah dalam berbagai perubahan sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu

perubahan tersebut adalah dalam pengurusan hutan hutan lindung oleh pemerintah

93

daerah yang diperkuat dengan keluarnya PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian

urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan

pemerintahan daerah kabupaten/kota setidaknya terdapat 58 kewenangan yang

seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah.

Pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah ternyata

menimbulkan permasalahan lain yaitu adanya tumpang tindih kewenangan dalam

menjalankan pengelolaan HLGD seperti yang terlihat pada Tabel 38.

Tabel 38. Aspek pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokok organisasi

pengelolaan hutan lindung

Aspek Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango

Penetapan dan

Pemantapan

BAPPEDA, BKSDA, BPKH,

Dishuttamben. PU

BAPPEDA, BKSDA, BPKH,

Dishuttamben, PU

Pengelolaan Dishuttamben, BPKH,

BKSDA, BP-DAS, PDAM

Dishuttamben, BPKH, BKSDA,

BP-DAS dan PDAM

Pembinaan dan

Pengawasan

Dishuttamben, BLH, DPRD,

Polhut, Kepala Desa

Dishuttamben, BLH, DPRD,

Kepala Desa

Hasil identifikasi terhadap lembaga pemerintah pusat dan daerah

menunjukkan bahwa terdapat 10 lembaga yang terkait dengan pengelolaan hutan

lindung Gunung Damar. Pada tabel diatas juga menunjukkan terjadi tumpang

tindih kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung berdasarkan

tupoksi yang digariskan melalui pasal 10 UU No 41 tahun 1999 tentang

kehutanan. Pada tugas pokok pemantapan dan penetapan kawasan hutan beberapa

lembaga pemerintah pusat dalam hal ini unit pelaksana teknis (UPT) Departemen

Kehutanan terlibat seperti BKSDA dan BPKH XV Gorontalo sedangkan di level

pemerintah daerah terdapat BAPPEDA dan Dinas Kehutanan Pertambangan dan

Energi, Bidang Tata Ruang Dinas PU. Menurut Manan (2001) secara umum

ketidakjelasan kewenangan yang terjadi dalam pengelolaan hutan lindung

disebabkan oleh; 1) terdapat lebih dari satu lembaga pemerintah yang memiliki

tanggung jawab terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan

lindung 2) belum jelas dan tegasnya pembagian kewenangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah. Banyaknya kantor kantor pusat di daerah sangat

mempengaruhi kewenangan otonomi. Untuk menjamin kemandirian daerah,

kantor kantor pusat di daerah harus ditiadakan atau dikurangi kecuali sangat

94

diperlukan sama sekali. Urusan pusat yang memerlukan pelaksanaan di daerah

dapat diserahkan kepada satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan

c. Klasifikasi dan Partisipasi Stakeholder

Hasil identifikasi stakeholder seperti yang diuraikan dalam Tabel 33

terdapat 18 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten

Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yaitu 1). BKSDA, 2)

BPKH Wilayah XV Gorontalo, 3). BP-DAS Bone Bolango, 4). Dinas Kehutanan

dan Pertambangan Energi, 5).BAPPEDA, 6). Dinas Pekerjaan Umum, 7). Badan

Lingkungan Hidup, 8). DPRD, 9). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 10)

Badan Penyuluh Pertanian, 11) Polisi Kehutanan, 12) Kepala Desa (formal

leader), 13) tokoh masyarakat (informal leader) 14) Lembaga Donor EGSLP, 15).

Perguruan Tinggi, 16). LSM Komunitas untuk Bumi (KUBU), 17). PDAM dan

18). masyarakat lokal. Secara umum stakeholder pengelolaan HLGD terdiri dari

organisasi pemerintah dan non pemerintah (organizations), masyarakat lokal

(communities). Hal ini hampir sesuai dengan yang dikemukakan oleh IIED (2005)

bahwa stakeholders dapat meliputi organisasi atau kelompok-kelompok sosial dan

komunitas masyarakat lokal. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, Reed et

al (2009) mengelompokkan stakeholder menjadi 4 bagian yaitu stakeholder

subyek, stakeholder key player, stakeholder context setter dan stakeholders

crowd. Menurut Hermawan et al (2005), tingkat pengaruh mengindikasikan

kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi keberhasilan atau

ketidakberhasilan suatu kegiatan. Sedangkan tingkat kepentingan keterlibatan

berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholder. Dalam penelitian

ini, kepentingan dan pengaruh stakeholder diidentifikasi berdasarkan

kewenangannya yang tertuang dalam tugas pokok dalam mengambil keputusan

terkait dengan proses pengelolaan hutan lindung dan realita yang terjadi di

lapangan. Adapun informasi tentang tingkat kepentingan keterlibatan dan tingkat

pengaruh stakeholder di Kabupaten Gorontalo disajikan pada Tabel 39.

95

Tabel 39. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di

Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh

BKSDA Sulawesi

Utara

Tinggi. Penyelenggaraan

konservasi di dalam dan di

luar kawasan konservasi

Tinggi. Pengambil kebijakan

konservasi sumberdaya alam

hayati dan koordinasi teknis HL

BPKH Wilayah XV

Gorontalo

Tinggi. Koordinasi

pemantapan kawasan dan

penataan kawasan hutan

Tinggi. Pengambil Kebijakan

dalam penataan kawasan hutan

BP-DAS Bone

Bolango

Tinggi. Otoritas pengelola

wilayah hulu DAS di

HLGD

Tinggi. Pengambil kebijakan

pengelolaan DAS

Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Energi

Tinggi. Koordinator

pengelola SDH di daerah

Tinggi. Wilayah teritorial,

implementasi dan control

Kepala Desa.

Tinggi. Sebagai Pembina

dan masyarakat sekitar

hutan

Tinggi. Koordinasi

pemerintahan dan kontrol

wilayah teritori

Badan Perencanaan

Pembangunan

Daerah (BAPPEDA)

Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Kontrol implementasi

perencanaan

Dinas Pekerjaan

Umum

Tinggi. Pemeliharaan

infrastruktur seperti jalan,

bangunan pemerintah di

HLGD

Tinggi. Koordinasi penataan

ruang

Badan Lingkungan

Hidup (BLH)

Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Koordinasi terhadap

pengawasan lingkungan

DPRD Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Dukungan proses

pengambilan keputusan tingkat

lokal

Badan Penyuluh

Pertanian

Rendah. Tidak menerima

dampak

Rendah. Tidak mempunyai

kebijakan tentang kehutanan

Dinas Pertanian dan

Tanaman Pangan,

Tinggi. Memiliki demplot

pengembangan beberapa

varietas jagung dan

komoditi pertanian lainnya

Tinggi. Mempunyai kebijakan

tentang Agropolitan

PDAM

Tinggi. Pemanfaat

sumberdaya air

Rendah. Tidak memiliki akses

terhadap pengambilan keputusan

Polisi Kehutanan Tinggi. Dukungan terhadap

pengamanan kawasan Tinggi. Kontrol terhadap SDH

Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat

dari sumberdaya hutan

Rendah. Tidak mempunyai

akses terhadap kebijakan

Tokoh masyarakat Tinggi. Menerima manfaat

dari keberadaan

sumberdaya hutan

Rendah. Tidak mempunyai

akses terhadap kebijakan

96

Lanjutan Tabel 39

Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh

Lembaga Donor

EGSLP.

Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Memiliki akses terhadap

pengambilan kebijakan

Universitas

Gorontalo Tinggi. Melaksanakan salah

satu tridharma perguruan

tinggi yaitu penelitian dan

pengabdian masyarakat di

HLGD

Tinggi. Memiliki akses

memberikan masukan kepada

pemerintah

LSM KUBU Rendah. Tidak menerima

dampak

Rendah. Tidak bisa

mempengaruhi keputusan

Klasifikasi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan keterlibatan dan

pengaruhnya dalam pengelolaan HLGD juga dilakukan di wilayah Kabupaten

Bone Bolango. Stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya

akan dianalisis pada 4 kelompok stakeholder. Adapun klasifikasi stakeholders

untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 40

Tabel 40. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di

Kabupaten Bone Bolango Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh

BKSDA Sulawesi

Utara

Tinggi. Penyelenggaraan

konservasi di dalam dan di

luar kawasan konservasi

Tinggi. Pengambil kebijakan

konservasi sumberdaya alam

hayati dan koordinasi teknis

HL

BPKH Wilayah XV

Gorontalo

Tinggi. Pelaksana

pemantapan kawasan dan

penataan kawasan hutan

Tinggi. Pengambil Kebijakan

dalam penataan kawasan hutan

BP-DAS Bone

Bolango

Tinggi. Pengelola wilayah

hulu DAS di HLGD

Tinggi. Pengambil kebijakan

pengelolaan DAS

Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Energi

Tinggi. Melaksanakan tugas

desentralisasi kehutanan

Tinggi. Pengambil kebijakan

kehutanan didaerah

Kepala Desa. Tinggi. Sebagai Pembina dan

masyarakat sekitar hutan

Tinggi. Koordinasi

pemerintahan dan kontrol

wilayah teritori

Badan Perencanaan

Pembangunan

Daerah (BAPPEDA)

Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Kebijakan perencana

dan pembangunan daerah

Dinas Pekerjaan

Umum

Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Koorditor penataan

ruang

Badan Lingkungan

Hidup (BLH)

Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. Koordinasi bidang

pengendalian, pengawasan

pencemaran dan

kerusakanlingkungan

97

Lanjutan Tabel 40 Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh

DPRD Rendah. Tidak menerima

dampak

Tinggi. proses pengambilan

keputusan tingkat lokal

PDAM

Tinggi. Pemanfaat

sumberdaya air

Rendah. Tidak memiliki akses

terhadap pengambilan

keputusan

Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat

dari sumberdaya hutan

Rendah. Tidak mempunyai

akses terhadap kebijakan

Tokoh masyarakat Tinggi. Tempat

melaksanakan aktivitas sosial

budaya

Rendah. Tidak mempunyai

akses terhadap kebijakan

Lembaga Donor

EGSLP.

Rendah. Tidak menerima

dampak

Rendah. Tidak Memiliki akses

terhadap pengambilan

kebijakan

Selanjutnya stakeholder yang telah diklasifikasi berdasarkan pengaruh dan

kepentingannya dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek

(subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton

(crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholders yang bisa melakukan

kerjasama dan stakeholders yang memiliki resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan.

Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15

Gambar 14. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas

pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo

K

e

p

e

n

t

i

n

g

a

n

Pengaruh

SUBYEK KEY PLAYER

CROWD CONTEXT SETTER

BKSDA

BPKH

BP-DAS

Dishuttamben

Kepala Desa

PU

Universitas Gorontalo

Dinas Pertanian

PDAM

POLHUT

Masyarakat lokal

Tokoh Masyarakat

LSM Kubu

EGSLP

DPRD

BLH

BAPPEDA

Badan Penyuluh

98

Gambar 15. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders tugas pokok

organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango

Berdasarkan matriks tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh yang

menempati posisi kuadran A (subyek) di kabupaten Gorontalo dan Kabupaten

Bone Bolango terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan tinggi dan

tingkat pengaruh yang rendah yaitu, tokoh masyarakat, masyarakat lokal, dan

PDAM. Apabila kegiatan ini ingin melindungi kepentingan mereka, maka

diperlukan inisiatif-inisitaif khusus terutama karena mereka adalah merupakan

para pihak yang paling besar menerima dampak dari kegiatan ini. Peningkatan

kemampuan dan peningkatan kesadaran terhadap hutan lindung sebagai salah satu

sistem penyangga kehidupan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh

untuk melibatkan stakeholder ini dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung

Gunung Damar

Posisi kuadran B (key players) di Kabupaten Gorontalo terdiri dari

BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas

Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan Polisi Kehutanan, Dinas

PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, sedangkan untuk Kabupaten

Bone Bolango terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS

K

e

p

e

n

t

i

n

g

a

n

Pengaruh

SUBYEK KEY PLAYER

CROWD CONTEXT SETTER

BP-DAS

BPKH

BKSDA

Dishuttamben

Kepala Desa

PDAM

Masyarakat lokal

Tokoh Masyarakat

BLH BAPPEDA

DPRD EGSLP

PU

99

Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa.

Stakeholder ini merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki

kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi. Kuadran B ditempati oleh lebih

banyak stakeholders dibandingkan dengan Kuadran A, C, dan D. Banyaknya

pihak yang berperan sebagai pemain adalah potensi besar dalam rangka

pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Perlu dilakukan kerjasama yang baik

agar kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat mencapai kinerja

yang diharapkan

Posisi kuadran C (context setter) di Kabupaten Gorontalo terdapat

stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang tinggi

yaitu BAPPEDA, DPRD, Badan Lingkungan Hidup, EGSLP sedangkan untuk

wilayah Kabupaten Bone Bolango terdiri dari BAPPEDA, BLH, PU, DPRD.

Stakeholder pengamat dapat diinterpretasikan bahwa kepentingan dari stakeholder

ini bukan merupakan target dari kegiatan. Oleh karena itu dalam konteks

pencapaian kegiatan kelompok stakeholders ini dapat dipandang sebagai sumber

dari resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Meskipun demikian stakeholder ini

memiliki manfaat dalam rangka merumuskan atau menjembatani keputusan dan

opini dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar.

Kuadran D (crowd) di Kabupaten Gorontalo terdapat stakeholders, dengan

tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu Badan

Penyuluhan Pertanian, LSM Kubu dan EGSLP. Sedangkan di Kabupaten Bone

Bolango adalah EGSLP. Stakeholder ini tidak memerlukan pelibatan intensif

dalam pencapaian tujuan kegiatan tetapi apabila memungkinkan, perlu dilakukan

monitoring dan evaluasi berkala untuk mengetahui perkembangan

kepentingannya.

Dalam pelaksanaan pengelolaan HLGD terlihat peran beberapa

stakeholders belum optimal dalam pengelolaan HLGD. Bryson (2003)

mengatakan belum optimalnya management sumberdaya di akibatkan oleh tidak

optimalnya peran stakeholders yang dalam menentukan kebijakan. Mengacu pada

Kuadran Stakeholder versi Reed et al (2009) stakeholder yang berpengaruh dalam

menentukan kebijakan dalam pengelolaan HLGD terdapat pada key stakeholder

dan context setter yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-

100

DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan

Polisi Kehutanan, Dinas PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, Badan

Lingkungan Hidup, DPRD, BAPPEDA. Hampir tidak terdapat perbedaan

stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan di Kabupaten

Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Untuk mengoptimalkan peran

stakeholder yang berpengaruh pada kebijakan pengelolaan HLGD maka perlu

dilakukan strategi pelibatan partisipasi stakeholder key player dan context setter

untuk dapat menghalangi atau memblokir kegiatan yang berdampak negatif pada

kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Partisipasi merupakan proses

keterlibatan stakeholders dalam mempengaruhi dan ikut mengendalikan jalannya

rangkaian penyusunan kebijakan yang berdampak kepadanya. Karena itu tiap

stakeholder akan memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan

bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat (kedekatan)

kepentingan stakeholder bersangkutan dengan pengambil keputusan dan kekuatan

pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi

stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan HLGD dapat dilakukan

dapat dilihat pada Tabel 41

Tabel 41. Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD

(diadaptasi dan di modifikasi dari Bryson 2003)

Aspek

Jenis Partisipasi

Memberikan

informasi

Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan

Penetapan

dan

Pemantapan

Kawasan

BPKH, BP-DAS,

BKSDA,

Universitas

Gorontalo, Dinas

Kehutanan

Pertambangan

Energi

BPKH, BP-DAS,

BKSDA,

Universitas

Gorontalo, Dinas

Kehutanan

Pertambangan

Energi,

BAPPEDA, Dinas

Pertanian, Kepala

Desa, Dinas PU,

BLH, DPRD

BPKH, BP-

DAS,

BKSDA,

Universitas

Gorontalo,

Dinas

Kehutanan

Pertambangan

Energi

101

Lanjutan Tabel 41

Aspek

Jenis Partisipasi

Memberikan

informasi

Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan

Pengelolaan Dinas Kehutanan

Pertambangan

dan Energi

Dinas Kehutanan

Pertambangan

dan Energi, Dinas

Pertanian dan

Tanaman Pangan

Universitas

Gorontalo,

PDAM

Masyarakat

Lokal

Pembinaan

dan

Pengawasan

Kepala Desa Kepala Desa dan

Polisi Kehutanan

Polisi

Kehutanan,

Dinas

Kehutanan

Pertambangan

dan Energi,

Kepala Desa

LSM

Berdasarkan tabel diatas jenis partisipasi yang bisa dilakukan oleh

stakeholder kunci dalam aspek pemantapan dan penetapan, pengelolaan

pembinaan serta pengawasan kawasan HLGD adalah memberikan informasi,

koordinasi, kolaborasi dan pemberdayaan. Memberikan informasi artinya

stakeholder kunci harus saling memberikan informasi yang jelas tentang

keberadaan HLGD. Selama ini organisasi di lingkungan pemerintah lebih

mengetahui informasi internal dibandingkan dengan informasi eksternal.

Stakeholder yang berasal pemerintahan cenderung bekerja secara sektoral dan

sangat jarang mensosialisasikan hasil-hasil kegiatannya kepada pihak lain.

Sebagai contoh hasil wawancara dengan pihak Dinas Kehutanan Pertambangan

dan Energi yang selama ini tidak mengetahui secara pasti panjang kawasan HLGD

yang telah ditata-batas. Seperti diketahui kegiatan penataan batas merupakan

tanggung jawab BPKH Gorontalo. Demikian halnya informasi hasil-hasil

penelitian berupa kondisi biofisik kawasan dan situasi sosial ekonomi yang

dilakukan oleh Universitas Gorontalo tidak pernah disosialisasikan kepada pihak

lain. Sehingga informasi yang dipegang oleh organisasi pemerintah kurang

lengkap dan sifatnya parsial. Situasi ini menimbulkan perilaku oportunistik pihak-

pihak yang memanfaatakan HLGD untuk mengeksploitasi sumberdaya sehingga

menimbulkan eksternalitas negative. Untuk itu pihak Dinas Kehutanan

Pertambangan dan Energi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango

selaku pengelola di daerah harus pro aktif mengumpulkan semua informasi yang

102

berkaitan dengan kondisi tata-batas, situasi sosial ekonomi dan biofisik kawasan

HLGD dari organisasi lainnya

Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key

player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah

pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses

perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang lebih

efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terjadi kendala

dalam melaksanakan koordinasi antara SKPD pemerintah daerah dan kantor UPT

Kementrian Kehutanan di daerah dalam pengelolaan HLGD karena masih

terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan RHL terjadi tumpang

tindih program antara Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kabupaten

Gorontalo dan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango

dengan BP-DAS Bone Bolango. Tumpang tindih program mengindikasikan

buruknya koordinasi pengelolaan hutan di daerah. Hasil kajian Sutrisno (2011)

menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung

menggunakan pendekatan vertical yang dicirikan oleh level tertinggi organisasi

pemerintah. Hal ini menjadi sumber penyebab kegagalan koordinasi antar

pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal cenderung hanya mengatur

bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah

organisasi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan HLGD maka koordinasi yang

dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yaitu mengkoordinasikan tindakan-

tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi (aparat) yang

setingkat.. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan komunikasi

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien.

Munandar (2001) menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah

membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan orang yang

berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersepsikan diri sendiri sebagai bagian

dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Langkah selanjutnya adalah melakukan kolaborasi yaitu pembagian peran dan

kerjasama di dalam pengelolaan HLGD. Kolaborasi dalam pengelolaan HLGD

sangat penting karena terbatasnya sumber daya yang terdapat dimasing-masing

organisasi. Kolaborasi yang terjadi diharapkan akan menjadi sebuah kegiatan

103

berbagi pengetahuan, belajar, dan membangun suatu kesepakatan dan pada

akhirnya meningkatkan kesuksesan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Partisipasi pemerintah dalam kolaborasi adalah berperan dalam

mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan wilayah dengan pengelolaan

HLGD. Sedangkan pihak Universitas Gorontalo berperan dalam pemberdayaan

masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalan dalam dirinya.

Keberadaan Universitas Gorontalo dinilai mampu melakukan transfer

pengetahuan dan teknologi pada masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial

yang dapat menjamin kelestarian HLGD. Kolaborasi pihak swasta dalam hal ini

PDAM sangat diperlukan, pihak swasta dapat berperan dalam menumbuhkan jiwa

kewirausahaan yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal.

Keterlibatan pihak PDAM akan mendukung kemajuan masyarakat dalam

mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk

meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Untuk

mengefektifkan partisipasi stakeholder, tindak lanjut harus diprioritaskan pada

upaya pelembagaannya secara mapan. Pemerintah perlu mengembangkan

kelembagaan melalui tiga aspek:

a) Penyusunan kerangka dan produk hukum yang mengatur masalah hak,

kewajiban, prosedur dan mekanisme partisipasi stakeholder. Kerangka

hukum ini diperlukan untuk memberikan keabsahan dan legitimasi politis

bagi stakeholder di satu pihak, serta batasan akan hak, kewajiban, dan

kewenangan mereka di lain pihak. Untuk menjamin efektifitasnya

ketentuan-ketentuan hukum ini perlu disusun sampai pada tingkat peraturan

pelaksanaannya.

b) Penyusunan tata cara, prosedur, serta mekanisme berpartisipasi sebagai

petunjuk teknis dan panduan baik bagi stakeholder maupun pemrakarsa

kebijakan dalam menjalankan proses partisipasi. Tercakup dalam panduan

teknis ini adalah, kriteria untuk pemberian suatu status bagi tiap stakeholder

yang relevan untuk suatu substansi kebijakan tertentu yang sedang dalam

proses penyusunan kebijakan. Melekat dalam status tersebut hak dan

kewenangan stakeholder sesuai dengan batasan yang diberikan oleh

peraturan perundangan yang telah ditetapkan.

104

Pengembangan kapasitas stakeholder melalui berbagai upaya penguatan

kelembagaan dan peningkatan kompetensi teknis mereka sesuai dengan

kepentingan masing-masing.

d. Perilaku dan Kinerja Stakeholder

Memahami perilaku masyarakat yang berkepentingan dan terlibat dalam

pengelolaan HLGD, merupakan informasi yang sangat bermanfaat bagi sebuah

lembaga pengambil kebijakan dalam menyusun kelestarian Tingkat kepentingan

dan pengaruh stakeholders yang dikemukakan sebelumnya mempengaruhi

perilaku dan kinerja pengelolaan daerah tersebut. Secara ringkas perilaku

stakeholders dan kinerjanya dalam pengelolaan HLGD disajikan pada Tabel 42

dan 43

Tabel 42. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD di Kabupaten

Gorontalo Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok

(Sesuai Peraturan

Perundangan)

Perilaku Kinerja

1. BKSDA

Sulawesi Utara

Menyelenggarakan

konservasi dan

koordinasi pengelolaan

Hutan Lindung

(Permenhut 02/Menhut-

II/2007)

Belum

melaksanakan

koordinasi

pengelolaan HL

dan konservasi

SDAH

Belum ada informasi

tentang potensi

keanekaragaman

hayati di HLGD

yang disediakan oleh

BKSDA

2. BPKH Wilayah

XV

Melaksanakan

pengukuhan kawasan

hutan dan menyajikan

informasi tentang

kawasan hutan

(Permenhut 13/Menhut-

II/2011)

Melaksanakan

sebagian penataan

batas di kawasan

HLGD

Belum ada kejelasan

batas-batas Hutan

Lindung Gunung

Damar

3. BP-DAS Bone

Bolango

Melaksanakan

penyusunan rencana

pengelolaan DAS,

pengembangan

kelembagaan dan

evaluasi (P. 15/Menhut-

II/2007)

Belum menyusun

rencana

pengelolaan 2

DAS besar; DAS

Bionga, DAS dan

DAS Bolango

Belum ada kegiatan

pengelolaan di DAS

Bionga

105

Lanjutan Tabel 42 Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok

(Sesuai Peraturan

Perundangan)

Perilaku Kinerja

4. Dinas

Kehutanan dan

Pertambangan

Energi

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan

inventarisasi pemetaan

hutan, penataan batas,

pemberian ijin dan

pengawasan

pemanfaatan kawasan

hutan (Perda No

35/2007)

Belum

sepenuhnya

melaksanakan

inventarisasi,

penataan batas,

pemberian ijin

usaha kehutanan

Tata batas kawasan

HLGD baru

mencapai 14.65%

5. Kepala Desa di

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan tugas

administrasi

pemerintahan dan

mengembangkan potensi

SDA (PP 72 tahun

2005)

Memungut pajak

hasil bumi kepada

masyarakat

sekitar HLGD

Ada Penerimaan

PAD dari pajak hasil

bumi pemanfaatan

HLGD

6. BAPPEDA

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan

perencanaan

pembangunan daerah

dan melaksanakan

kebijakan perencanaan

pembangunan (Perda

16/2007)

Menyusun

Perencanaan

pembangunan

daerah

Tidak ada

pengawasan terhadap

implementasi

perencanaan

pembangunan

7. Dinas Pertanian

Tanaman

Pangan

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan

kewenangan

pembangunan pertanian

(Perda No 33/2007)

Mensukseskan

program

Agropolitan

dengan

menyerahkan

Bibit Gratis

kepada kelompok

tani sekitar

HLGD

Meluasnya lahan

pertanian dan terjadi

peningkatan produksi

hasil pertanian di

dalam kawasan

HLGD

8. Polisi hutan

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan

pemantuan,

perlindungan &

pengamanan hutan

(Pasal 4 Kepmenpan

No.

55/KEP/M.PAN/7/2003)

Melaksanakan

operasi setiap 3

bulan

Kawasan HLGD

belum aman

9. Dinas PU

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan

kewenangan

pembangunan

infrastruktur (Perda No

31/2007)

Membangun jalan

desa-desa

disekitar dan

didalam kawasan

HLGD

Akses ke kawasan

HLGD menjadi lebih

mudah

10. DPRD

Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan legislasi,

budgeting dan

pengawasan (Pasal 24

UU 32/2004)

Pengawasan,

legislasi dan

budgeting

terhadap PEMDA

Ada kontrol terhadap

kebijakan tapi tidak

bisa membatalkan

kebijkan tersebut

106

Lanjutan Tabel 42 Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok

(Sesuai Peraturan

Perundangan)

Perilaku Kinerja

11. BLH Kabupaten

Gorontalo

Melaksanakan

Kebijakan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

(Perda No 18/2007)

Belum melakukan

pemantauan

terhadap

lingkungan

HLGD

Terdapat

peningkatan

sedimentasi DAS

Bionga

12. PDAM

Kabupaten

Gorontalo

Optimalisasi pelayanan

air bersih dalam rangka

memaksimalkan PAD

(Perda 6/1993)

Memperluas

pemasangan

jaringan bersih

untuk penerimaan

PAD

Meningkatnya

Penerimaan PAD

13. Universitas

Gorontalo

Melaksanakan

Tridharma Perguruan

Tinggi (Pasal 3 PP No

60/1999)

Melaksanakan

penelitian dan

pengabdian

masyarakat

Memiliki informasi

potensi sumberdaya

hutan dan kondisi

sosial ekonomi

masyarakat tapi

belum di

informasikan kepada

stakeholder lain

14. Badan Penyuluh

Pertanian,

Kehutanan

Kabupaten

Gorontalo

Membantu kepala

daerah dalam

melaksanakan

penyuluhan pertanian

dan kehutanan (Perda

No 4/2008)

Memberikan

penyuluhan dalam

rangka

peningkatan

kesadaran

Masyarakat masih

melakukan

perambahan

Tabel 43. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kab Bone

Bolango Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok

(Sesuai Peraturan

Perundangan)

Perilaku Kinerja

15. BKSDA

Sulawesi Utara

Menyelenggarakan

konservasi dan

koordinasi pengelolaan

Hutan Lindung

(Permenhut 02/Menhut-

II/2007)

Belum

melaksanakan

koordinasi

pengelolaan HL

dan konservasi

sumber daya alam

hayati

Belum ada informasi

tentang potensi

keanekaragaman

hayati di HLGD

yang disediakan oleh

BKSDA

16. BPKH Wilayah

XV

Melaksanakan

pengukuhan kawasan

hutan dan menyajikan

informasi tentang

kawasan hutan

(Permenhut 13/Menhut-

II/2011)

Telah

melaksanakan

sebagian besar

tata batas di

kawasan HLGD

Wilayah HLGD yang

ditata batas mencapai

41.18%

107

Lanjutan Tabel 43

Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok

(Sesuai Peraturan

Perundangan)

Perilaku Kinerja

17. BP-DAS Bone

Bolango

Melaksanakan

penyusunan rencana

pengelolaan DAS,

pengembangan

kelembagaan dan

evaluasi (P. 15/Menhut-

II/2007)

Belum menyusun

rencana

pengelolaan 2

DAS besar; DAS

Bionga, DAS dan

DAS Bolango

Belum ada kegiatan

pengelolaan di DAS

Bolango

18. Dinas

Kehutanan dan

Pertambangan

Energi Bone

Bolango

Melaksanakan

inventarisasi pemetaan

hutan, penataan batas,

pemberian ijin dan

pengawasan

pemanfaatan kawasan

hutan (Perda 12/2005)

Telah

melaksanakan

sebagian besar

inventarisasi dan

penataan batas

Wilayah HLGD yang

ditata batas mencapai

41.18%

19. Kepala Desa di

Kabupaten Bone

Bolango

Melaksanakan tugas

administrasi

pemerintahan dan

mengembangkan potensi

SDA (PP 72 tahun

2005)

Memungut pajak

hasil bumi kepada

masyarakat

sekitar HLGD

Ada Penerimaan

PAD dari pajak hasil

bumi pemanfaatan

HLGD

20. BAPPEDA

Bone Bolango

Melaksankan

perencanaan

pembangunan daerah

dan kebijakan

perencanaan

pembangunan (Perda

14/2005)

Menyusun

Perencanaan

pembangunan

daerah

Tidak ada

pengawasan terhadap

implementasi

perencanaan

pembangunan

21. Dinas PU Bone

Bolango

Melaksanakan

kewenangan

pembangunan

infrastruktur (Perbup

No19/2011)

Membangun jalan

di desa-desa

disekitar HLGD

Terdapat akses ke

desa-desa sekitar

kawasan HLGD

22. Polisi hutan

Bone Bolango

Melaksanakan

perlindungan &

pengamanan hutan

(Pasal 4 Kemenpan No.

55/M.PAN/2003)

Melaksanakan

patroli jika ada

laporan

pengambilan hasil

hutan secara

illegal dari

pemerintah desa

Masih ditemukan

adanya gangguan

23. DPRD Bone

Bolango

Melaksanakan legislasi,

budgeting dan

pengawasan (Pasal 24

UU 32/2004)

Pengawasan,

legislasi dan

budgeting

terhadap

pemerintah

daerah

Ada kontrol terhadap

kebijakan

pembangunan tetapi

tidak bisa

membatalkan

kebijkan tersebut

108

Lanjutan Tabel 43

Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok

(Sesuai Peraturan

Perundangan)

Perilaku Kinerja

24. BLH Bone

Bolango

Melaksanakan

Kebijakan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

(Perda No 10/2010)

Melakukan

pemantauan

terhadap

lingkungan di

HLGD

Terdapat beberapa

papan larangan

disekitar HLGD

25. PDAM Bone

Bolango

Peningkatan pelayanan

air bersih dalam rangka

memaksimalkan PAD

Memperluas

pemasangan

jaringan bersih

untuk penerimaan

PAD

Meningkatnya

Penerimaan PAD

Tabel 42 dan 43 diatas menunjukkan bahwa sebagian perilaku stakeholders

yang terlibat pengelolaan hutan belum sesuai dengan tugas pokok yang ditetapkan

melalui peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa peraturan pemerintah

yang berlaku tidak mampu mengendalikan perilaku pihak pihak yang terkait

dengan kawasan HLGD. Sebagai contoh sampai saat ini Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Energi di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango

belum melaksanakan inventarisasi lengkap dan penataan batas sesuai yang

digariskan oleh peraturan perundangan. Pelaksanaan inventarisasi dan penataan

batas merupakan langkah awal dalam rangka memberikan status hukum bagi

HLGD. Situasi ini menyebabkan pihak-pihak lain yang berada diluar institusi

kehutanan memiliki perilaku oportunisme dan moral hazard yang disebabkan oleh

karakteristik yang menyebabkan sumber interdependensi antar individu atau

kelompok masyarakat dalam penggunaan sumberdaya yaitu biaya transaksi, biaya

ekslusi tinggi, surplus dan inkompatibilitas ekologis dalam pola penggunaan

lahan.

4.5. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung

Damar di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango

Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini terdapat empat faktor

yang membentuk kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan

Kabupaten Bone Bolango yaitu organisasi, hak kepemilikan (property right),

batas yurisdiksi dan aturan representasi. Keempat faktor ini dipengaruhi oleh

situasi atau kondisi sebagai sumber interdependensi. Sebaliknya kelembagaan

109

yang terdapat di HLGD dapat mempengaruhi perilaku stakeholders dan kinerja.

Berdasarkan hasil analisis citra landsat yang mencirikan indikator kinerja

pengelolaan HLGD menunjukkan kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten

Bone Bolango lebih baik dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan di

Kabupaten Gorontalo. Adapun perbandingan kelembagaan pengelolaan HLGD di

Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango disajikan dalam Tabel 44:

Tabel 44. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten

Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango Situasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango

I. Situasi Ekologi

1. Tutupan hutan 3793.42 ha (33.93%) 6056.73 ha (67.76%)

2. Tutupan lahan pertanian 4028.29 ha (36.03%) 956.79 ha (10.71%)

3. Semak 345.09 ha (3.09%) 45.57 ha (0.51%)

4. Lahan terbuka 122.65 ha (1.09%) 12.63 ha (0.15%)

II. Situasi Sosial

Ekonomi

Jumlah Penduduk 5907 4029

Jumlah tenaga kerja 2744 1976

Jumlah Desa dalam Kawasan

HLGD

3 Desa: 1) Desa Malahu, 2)

Desa Dulamayo Selatan, 3)

Desa Dulamayo Utara

Tidak ada

Produksi Jagung Sekitar

HLGD (ton/tahun)

6673.14 ton/tahun 3814.19 ton/tahun

Tingkat Pendapatan

(Rp/bulan)

1187923 980188

Rata-rata kepemilikan lahan

(ha)

0.952 1.109

Indeks LQ Sektor Pertanian 2.248 0.930

Daya Dukung 0.355 0.341

Jumlah Penduduk Miskin

(KK)

879 550

Jarak pemukiman dengan

HLGD (km)

0.2 - 1 3 – 4

Komoditas pertanian dan

perkebunan Utama disekitar

HLGD

Cengkih, Kemiri, Langsat,

Durian, Jagung, Aren,

Vanili, Coklat

Kemiri, Kelapa, Coklat,

Jagung,

Tingkat Pendidikan

Responden

SD 79.17%, SMP 6.67%,

SMA 14.17%

SD 85.96%, SMP 8.77%,

SMA 10.53%

110

Lanjutan Tabel 44

III. Organisasi

1. BPKH Aktif Berperan dalam

penataan batas kawasan

Aktif Berperan dalam

penataan batas kawasan

2. BKSDA Belum berperan dalam

konservasi dan koordinasi

pengelolaan kawasan

HLGD

Belum berperan dalam

konservasi dan koordinasi

pengelolaan kawasan

HLGD

3. BP-DAS Belum berperan dalam

pengelolaan wilayah hulu

DAS Bionga

Belum berperan dalam

pengelolaan hulu DAS

Bolango

4. Dinas Kehutanan dan

Pertambangan Energi

Aktif dalam pemanfaatan

HLGD

Aktif dan berperan dalam

pengelolaan HLGD

5. Bidang Tata Ruang Dinas

PU

Berperan dalam penataan

ruang

Berperan dalam penataan

ruang

6. BAPPEDA Berperan dalam

perencanaan pembangunan

Berperan dalam

perencanaan pembangunan

7. Dinas Pertanian dan

Tanaman Pangan

Aktif memberikan bantuan

Saprodi kepada kelompok

tani sekitar HLGD

Tidak aktif

8. Badan Penyuluh

Pertanian

Aktif memberikan

penyuluh

Tidak aktif

9. Badan Lingkungan Hidup Kurang aktif memantau

kualitas lingkungan spesifik

seperti air, erosi dan

sedimentasi

Aktif memberikan

penyuluhan dan

membangun kesadaran

tentang kualitas lingkungan

10. DPRD Berperan dalam legislasi,

penganggaran dan

pengawasan

Aktif dalam legislasi yang

berkaitan dengan

penyelamatan lingkungan

11. PDAM Aktif dalam pemanfaatan

air baku

Aktif dalam pemanfaatan

air baku

12. EGSLP Aktif melaksanakan

pemberdayaan masyarakat

berbasis DAS

Aktif melaksanakan

pemberdayaan masyarakat

berbasis DAS

13. Polisi Hutan Melaksanakan patroli

kawasan 3 bulan sekali

Melaksanakan patroli jika

terjadi gangguan di HLGD

14. Kepala Desa Aktif memberikan

pembinaan dan pengawasan

Aktif memberikan

pembinaan dan pengawasan

15. Tokoh Masyarakat Aktif memberikan

pembinaan dan pengawasan

Aktif memberikan

pembinaan dan pengawasan

16. Universitas Gorontalo Aktif melaksakanakan

penelitian

Tidak aktif

17. LSM Kubu Aktif melaksanakan

advokasi lingkungan

Tidak aktif

18. Masyarakat lokal Aktif memanfaatkan lahan

di dalam dan sekitar HLGD

untuk keperluan subsisten

dan komersial

Aktif memanfaatkan lahan

di dalam dan sekitar HLGD

untuk keperluan subsisten

dan sosial budaya

111

Lanjutan Tabel 44

IV. Batas yurisdiksi

1. Panjang Batas Kawasan

HLGD

31.87 km 45.65 km

2. Panjang tata batas HLGD 4.67 km atau 14.65% 18.8 km atau 41.18%

V. Hak kepemilikan

1. Luas Lahan Konflik 4028.29 ha atau 36.03% 956.79 ha atau 10.71%

2. Jumlah Gangguan 58 kali 14 kali

VI. Aturan representasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango

Biaya koordinasi Tinggi. Stakeholders yang

terlibat dalam pengelolaan

HLGD berjumlah 18

Rendah. Stakeholders yang

terlibat dalam pengelolaan

HLGD berjumlah 43

VII. Kinerja Laju Perubahan Tutupan

HLGD: 46.98%/10 tahun

Laju Perubahan Tutupan

HLGD: 27.36% /10 tahun

Hasil evaluasi dan fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian

menemukan beberapa perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara

pemerintah Kabupaten Gorontalo dan pemerintah Kabupaten Bone Bolango.

Perbedaan ini tentu saja menghasilkan perbedaan kinerja pengelolaan HLGD.

Adapun perbedaan institusi tersebut dijelaskan berdasarkan hak kepemilikan,

batas yurisdiksi dan aturan representasi.

a. Batas Yurisdiksi

Batas yurisdiksi merupakan batas organisasi dalam melakukan pengelolaan

terhadap sumberdaya. Dalam melaksanakan pengelolaan HLGD maka batas

yurisdiksi pemerintah adalah batas kawasan. Berdasarkan informasi penelaah

pengukuhan kawasan hutan BPKH XV Gorontalo, total panjang kawasan HLGD

adalah 77.52 km dengan batas kawasan terpanjang berada di Kabupaten Bone

Bolango yang mencapai 45.65 km sedangkan Kabupaten Gorontalo mencapai

31.87. Namun demikian total wilayah yang sudah ditatabatas baru mencapai

55.83%. Capaian wilayah yang telah ditata-batas di kawasan HLGD Kabupaten

Gorontalo lebih rendah yaitu 14.65% jika dibandingkan dengan Kabupaten Bone

Bolango yang mencapai 45.65%.

Menurut Suwito (2011) minimnya capaian penaatan batas dan penyelesaian

hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan mengakibatkan tumpang tindih hak dan

sering menjadi pemicu konflik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan

masyarakat lokal. Situasi ini menunjukkan biaya eksklusi yang ditanggung oleh

112

Pemerintah Kabupaten Gorontalo cukup tinggi jika dibandingkan dengan

Kabupaten Bone Bolango. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya biaya

ekslusi adalah luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten

Gorontalo yang mencapai 36.03% dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian di

dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 10.71%.

Luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo

disebabkan populasi penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD

Kabupaten Gorontalo lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupate Bone

Bolango. Besarnya populasi penduduk cenderung akan meningkatkan permintaan

terhadap lahan. Masyarakat yang tinggal di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo

cenderung mengganggap lahan-lahan di dalam sebagai sumberdaya terbuka

daripada barang ekslusif sumberdaya milik negara. Dalam situasi dimana

pemanfaatan bersifat tidak kompatibel disertai dengan biaya ekslusi tinggi,

perilaku penunggang gratis (free rider) merupakan fenomena yang mudah

berkembang

b. Hak Kepemilikan

Perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara pemerintah Kabupaten

Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dari aspek hak kepemilikan

terletak pada luasnya lahan konflik, tingginya gangguan di dalam kawasan HLGD

dan kepemilikan lahan di Kabupaten Gorontalo di bandingkan dengan Kabupaten

Bone Bolango. Hal ini menunjukkan pemerintah Kabupaten Gorontalo selaku

pengelola tidak mampu mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil

keuntungan tanpa memberikan kontribusi (free rider) terhadap pengelolaan

HLGD. Akibatnya timbul biaya ekslusi tinggi dalam pengelolaan HLGD karena

banyaknya pemanfaatan kawasan HLGD yang tidak sesuai dengan tujuan

pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Menurut Basuni (2003) kepemilikan

sumberdaya hanyalah gugus kosong apabila biaya untuk mencegah pihak lain

memanfaatkan sumberdaya yang bersangkutan jauh lebih besar dari nilainya.

Konsep kepemilikan dengan strata lengkap yang dimiliki oleh pemerintah di

kawasan HLGD seperti hak memasuki, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak

mengecualikan dan hak memindahtangankan tidak sepenuhnya dapat

113

dilaksanakan. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam

pengelolaan HLGD tidak berfungsi secara efektif.

Mengatasi masalah tersebut, perlu diciptakan sebuah kebiasaan baru yaitu

pemberian hak khusus kepada masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang

telah terlanjur melakukan perambahan. Hak penggunaan secara khusus hanya

diberikan pada lahan-lahan pertanian yang telah dirambah dan menjadi satu-

satunya sumber kehidupannya. Hak khusus tersebut adalah hak memasuki (acces),

hak menggunakan (withdrawal), hak kelola (management) dan hak mengeluarkan

(exclusion). Hak khusus yang diberikan ini tidak bisa diperjualbelikan. Pemberian

hak khusus sebaiknya diberikan pada kelompok kecil dan keanggotaan terdefinisi

dengan jelas agar lahir aksi bersama. Kawasan kelola terbatas harus dipetakan

secara jelas dan luasannya memenuhi prinsip prinsip daya dukung. Menurut

Agrawal (2001) kunci sukses kelembagaan untuk pengelolaan CPR terletak pada

keanggotaan kelompok terdefinisikan dengan jelas, ukuran kelompok kecil,

terdapat batas-batas wilayah pengelolaan, kemudahan dalam monitoring, ada

sanksi hukum dan kedekatan lokasi pengguna dengan sumberdaya. Selanjutnya

Kartodihardjo (2006) menambahkan kelembagaan untuk pengelolaan CPR harus

mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi

sumberdaya alam, terdapat pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, terdapat

pengakuan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi dan teknologi yang

digunakan dan cara pemanfaatannya. Kegiatan pemberian hak harus diikuti

dengan upaya peningkatan pendidikan dan peningkatan kesempatan berusaha.

Melalui kegiatan ini diharapkan kualitas dan kapasitas masyarakat di desa-desa

sekitar HLGD akan meningkat sehingga performance pengelolaan HLGD menjadi

lebih baik

c. Aturan Representasi

Aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses

pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya

ditentukan oleh kaidah-kaidah keterwakilan. Secara umum pengelolaan HLGD

didominasi oleh keterwakilan pihak pemerintah dan pemerintah daerah dan

peluang keterlibatan masyarakat sekitar HLGD kecil. Dominasi pemerintah dalam

pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari keputusan dan kebijakan yang

114

dikeluarkan oleh pemerintah bersifat sangat teknis dan saintifik murni. Hal ini

tentusaja sangat menyulitkan masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD untuk

berpartisipasi mengingat pendidikan masyarakat hanya tamatan sekolah dasar.

Pelibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan cenderung diskriminatif,

karena pemerintah daerah seringkali hanya mengakui dan melibatkan kelompok-

kelompok organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum formal. Hal ini

menyebabkan organisasi masyarakat di tingkat lokal dan atau organisasi yang

tidak berbadan hukum misalnya asosiasi petani lokal asosiasi masyarakat adat-

tidak dilibatkan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan,

pengelolaan dan evaluasi pembangunan kehutanan. Padahal peran mereka sebagai

organisasi sosial, ekonomi dan budaya sangat kongkrit dan berdampak langsung

pada peningkatan kesejahteraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya.

Pengelolaan HLGD di wilayah di Kabupaten Gorontalo melibatkan

stakeholders lebih banyak yaitu 18 stakeholders jika dibandingkan dengan

stakeholders Kabupaten Bone Bolango yang hanya berjumlah 14 stakeholders.

Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berkepentingan dengan HLGD bisa

menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan dan tingginya biaya koordinasi.

Biaya koordinasi yang ditimbulkan terdiri dari biaya sosialiasi, pertemuan,

pengawasan dan pencarian informasi. Tingginya biaya koordinasi menunjukkan

ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan

baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu

mekanisme yang efisien dalam menurunkan biaya transaksi. Salah satu yang bisa

dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan HLGD kepada

pemerintah daerah. Menurut Ostrom et al. (1993) dan Mody (2004) Penyerahan

kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semangat desentralisasi akan

meminimalkan biaya transaksi dan memudahkan perencanaan karena adanya

kedekatan pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi dan mendorong

partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Basuni (2003)

Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan

pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah

harus berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder

untuk mengurangi biaya koordinasi. Dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator

115

dan koordinator stakeholders, pemerintah daerah dapat memanfaatkan

kelembagaan yang aktif dalam masyarakat, dengan demikian dapat meningkatkan

peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Untuk lebih

meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan perubahan pada mekanisme

pengambilan keputusan. Masyarakat sekitar kawasan HLGD perlu dilibatkan

dalam pengambilan keputusan mulai dalam tahap perencanaan sampai dengan

tahap evaluasi