iv. hasil dan pembahasan 4.1. penyebaran populasi macan ... · 1 satuan areal terkecil yang dapat...
TRANSCRIPT
69
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penyebaran Populasi Macan Tutul Jawa
4.1.1. Penyebaran Menurut Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Dari 20 KPH yang diteliti terdapat 15 KPH yang wilayahnya masih menjadi
daerah sebaran macan tutul jawa. Dari 15 KPH tersebut terdapat 48 titik indikasi
keberadaan macan tutul jawa. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut wilayah
pengelolaan hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah disajikan pada Tabel 4.1.
Sebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan lokasi ditemukannya pada unit area
pengelolaan hutan terkecil (Resort Pemangkuan Hutan/RPH), satuan ekosistem dan
kisaran ketinggian wilayahnya disajikan pada Tabel 4.2.
Beberapa titik mungkin overlap atau sebenarnya merupakan satu populasi,
misalnya jika dalam satu hamparan hutan yang kompak ditemukan beberapa titik
indikasi keberadaan macan tutul seperti di KPH Pekalongan Timur, Pekalongan Barat
dan Pemalang. Beberapa titik lainnya tampak secara jelas merupakan satu populasi
tersendiri. Populasi ini bisa menjadi bagian dari metapopulasi di suatu wilayah (region)
atau populasi yang terisolasi yang tidak memiliki peluang berinteraksi dengan populasi
lainnya karena adanya penghalang (barrier) yang tidak dapat dilewati.
Contoh populasi yang terisolasi antara lain populasi macan tutul jawa di Pulau
Nusakambangan yang tidak terhubung dengan populasi macan tutul jawa di daratan
Pulau Jawa seperti populasi macan tutul jawa di Majenang, Pesahangan, Cimanggu dan
Mandirancan-Kebasen. Populasi-populasi di puncak-puncak gunung yang di
sekililingnya telah berubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman juga menjadi
populasi yang terisolasi.
Dari Tabel 4.2. tampak bahwa ada sembilan lokasi indikasi macan tutul jawa
yang memiliki ketinggian 1.000 m atau lebih dari permukaan laut. Lokasi-lokasi
tersebut umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah ditetapkan sebagai
hutan lindung yaitu : Gunung Slamet, G. Prahu, G. Sindoro, G. Sumbing, G. Merapi, G.
Merbabu, G. Lawu, G. Ungaran dan.G. Muria. Sementara itu, Gunung Merapi dan
Gunung Merbabu telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 2004
(Departemen Kehutanan, 2007b).
70
Tabel 4.1. Keberadaan macan tutul jawa menurut wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
No. Kesatuan
Pemangkuan Hutan Luas (Ha)
Tanaman Utama (Kelas Perushaan)
Vegetasi Habitat Macan Tutul
Jumlah Lokasi Temuan Macan
Tutul Jawa
1 Banyumas Barat 39.466,30 Pinus1,5
Campuran; Pinus; Hutan alam dataran rendah 4
2 Banyumas Timur 12.776,00 Pinus Pinus; Hutan alam pegunungan
2 2.947,90 Damar2
3
Kedu Selatan
29.792,00 Pinus Campuran; Hutan alam dataran rendah; Jati 2
10.665,80 Damar
4.263,90 Jati3
4
Kedu Utara
25.079,00 Pinus Hutan alam pegunungan 6 11.274,39 Mahoni4
5
Surakarta
10.799,90 Jati Hutan alam pegunungan 1 22.350,10 Pinus
6 Semarang 29.119,40 Jati Jati 0
7 Telawah 18.272,70 Jati Jati 1
8 Gundih 30.049,50 Jati Jati 0
9 Purwodadi 19.636,50 Jati Jati 1
10 Blora 15.105,00 Jati Jati 0
11 Randublatung 32.464,10 Jati Jati 1
12 Cepu 33.047,30 Jati Jati 1
13 Kebunharjo 17.801,36 Jati Jati 1
14 Mantingan 16.746,13 Jati Jati 0
15 Pati 38.544,20 Jati Hutan alam dataran rendah 1
16 Kendal 20.389,70 Jati Jati; Campuran; Hutan alam dataran rendah 3
17 Pekalongan Timur 52.791,40 Pinus Pinus 6
18 Pekalongan Barat 40.797,76 Pinus5 Pinus 12
19 Pemalang 24.423,40 Jati Jati 6
20 Balapulang 29.790,13 Jati Jati 0
Jumlah 588.393,87 Jumlah 48
Keterangan : 1 Pinus merkusii 2 Agathis alba 3 Tectona grandis 4 Swietenia macrophylla 5 Pinus oocarpa
71
Tabel 4.2. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut unit areal pengelolaan hutan terkecil, satuan ekosistem, ketinggian tempat, kelas lereng dan tipe curah hujan di Provinsi Jawa Tengah.
Wilayah KPH Unit areal manajemen hutan terkecil 1
Satuan Ekosistem Kompak 2
Ketinggian dpl (m)5
Kelas Lereng
(%)3
Tipe Curah Hujan4
Banyumas Timur 1. RPH Mandirancan – RPH Kebasen*
RPH Mandirancan –RPH Kebasen (kecil terisolasi)
200-350 25-40% A
2. RPH Tunjungmuli * Gunung Slamet 750-1.000 25-40% A
Banyumas Barat 3. RPH Pesahangan* RPH Majenang-RPH Pesahangan-RPH Dayeuhluhur
350-500 0-8% B
4. RPH Mejenang* 500 – 1.000
0-8% B
5. RPH Cimanggu* RPH Cimanggu (kecil terisolasi)
200-400 0-8% B
6. Cagar Alam Nusakambangan*
Pulau Nusakambangan (kecil terisolasi)
0-200 0-8% B
Kedu Selatan 7. RPH Pringombo* BKPH Banjarnegara 530-930 25-40% B
8. RPH Karangsambung BKPH Kebumen 300-500 25-40% B
Kedu Utara 9. RPH Kwadungan Gunung Sindoro 2.000-3.300 > 40% C
10. RPH Kemloko - RPH Kecepit
Gunung Sumbing 2.000-3.000 25-40% C
11. RPH Gempol Gununug Ungaran 1.000 – 2.050 25-40% C
12. Taman Nasional Merapi
Gunung Merapi 1.000-2.900 25-40% C
13. Taman Nasional Merbabu*
Gunung Merbabu 1.200-3.142 25-40% C
14. RPH Kenjuran Gunung Prahu 2.000-2.500 > 40% C
Surakarta 15. BKPH Lawu Utara - BKPH Lawu Selatan
Gunung Lawu 1.000-3.265 15-25% D
Telawa 16. RPH Karangwinong* BH Karangsono 100-300 0-8% C & D
Purwodadi 17. BKPH Sambirejo* BKPH Sambirejo 60-560 0-8% C
Randublatung 18. RPH Soko* BH Ngliron 100-300 0-8% C & D
Cepu 19. RPH Cabak BKPH Cabak 100-300 0-8% C & D
Kebonharjo 20. BKPH Ngandang-BKPH Sale*
BKPH Ngandang- Sale 100-300 0-8% C
Pati 21. Bagian Hutan Muria Gunung Muria 800 – 1.000 25-40% A, C, D & E
Kendal 22. RPH Darupono* BKPH Boja- Mangkang- Kalibodri
100-200 0-8% C & D
23. RPH Besokor* RPH Besokor (kecil terisolasi)
200-300 8-15% C & D
24. RPH Jatisari Utara* BKPH Subah- Plelen (terfragmentasi jalan provinsi)
50-200
0-8% C & D
Pekalongan Timur 25. RPH Brondong* Bagian Hutan Paninggaran – Bagian Hutan Bandar
300-500 0-8% D
26. RPH Pedagung* 300-500 0-8% D
27. RPH Paninggaran* 300-500 8-15% A & B
28. RPHWinduaji* 300-500 0-8% A & B
29. RPH Jolotigo* 300-500 0-8% D
30. RPH Lemah Abang 300-500 0-8% D
Pekalongan Barat 31. RPH Winduasri* Bagian Hutan Bantarkawung
500 – 1.000 > 40% D
32. RPH Indrajaya 200 -500 0-8% B
33. RPH Cikuning* 200 -500 25-40% D
72
Wilayah KPH Unit areal manajemen hutan terkecil 1
Satuan Ekosistem Kompak 2
Ketinggian dpl (m)5
Kelas Lereng
(%)3
Tipe Curah Hujan4
34. RPH Kretek* Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
400-500 25-40% B
35. RPH Sirampok* 1.000 – 1.300 15-25% B
36. RPH Kalikidang* Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
900-1.000 25-40% B
37. RPH Igiriklanceng* 1.000 – 1.300 15-25% B
38. RPH Dukuh Tengah* Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
1.100 – 1400
25-40% B
39. RPH Guci * Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet
1.000 - 1.250 8-15% B
40. RPH Karangsari* 1.000-1.300 0-8% B
41. RPH Kalibakung* RPH Kalibakung (kecil terisolasi)
400-500 8-15% B
42. RPH Moga* RPH Moga (kecil terisolasi)
500-900 > 40% B
Pemalang 43. RPH Cipero – RPH Dukuhrandu*
Bagian Hutan Bantarbolang-Jatinegara-Comal
50-250 0-8% A & B
44. RPH Mangunsari* 500-1000 25-40% A & B
45. RPH Kenyere* 500 -1000 25-40% A & B
46. RPH Lobongkok 200-500 0-8% A & B
47. RPH Kejene* 1.000-1.200 0-8% A & B
48. RPH Karangasem* 1.000-1.200 > 40% A & B
Keterangan: 1 Satuan areal terkecil yang dapat diidentifikasi sebagai habitat macan tutul Jawa (Smallest unit area that can be identified as
habitat of Javan leopard) 2 Unit area hutan yang masih menyambung atau kompak menjadi kesatuan ekosistem integral (Unit of forested area that have
continuity or compactness so can be defined as unity of an integrated ecosystem).
3 Kelas lereng di lokasi indikasi keberadaan macan tutul berdasarkan overlay antara peta sebaran indikasi macan tutul dengan peta topografi yang telah diklasifikasi. Klasifikasi lereng berdasarkan: KepMentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung Sangat Curam (40 % atau lebih); Curam (25 – 40 %); Agak Curam (15 – 25 %); Landai (8 – 15 %); Datar (0 – 8 % )
4 Tipe curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson.
5. Hasil pengukuran menggu nakan altimeter pada saat survei lapangan untuk lokasi yang disurvei; berdasarkan peta topografi masng-masing KPH untuk titik indikasi macan tutul yang tidak disurvei.
* Berdasrkan survei lapangan. (36 lokasi)
Peta indikasi sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah yang diplotkan
pada peta kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah disajikan pada Gambar 4.1. Label
nomor titik-titik sebaran macan tutul jawa mengacu pada Tabel 4.2 dan titik-titik
sebaran macan tutul jawa yang punah mengacu pada Tabel 4.7.
73
Gambar 4.1. Peta indikasi sebaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009.
Label nomor titik indikasi sebaran mengacu pada Tabel 4.2 dan indikasi punah lokal Tabel 4.7.
Data indikasi tahun 2009 diplotkan ke peta tutupan lahan tahun 2006 pada kawasan hutan
74
4.1.2. Penyebaran Menurut Tipe Hutan
Di Provinsi Jawa Tengah, hutan tanaman jati memiliki proporsi luas paling besar
yaitu mencakup 55,3% dari total kawasan hutan, diikuti hutan tanaman pinus 36,3%,
Hutan alam pegunungan 6,1%, hutan tanaman campuran 1,5% dan hutan alam dataran
rendah 0,7% (Perum Perhutani, 2006). Meskipun demikian, dari 48 titik lokasi indikasi
sebaran macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ditemukan di hutan pinus (43,8%) diikuti
hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%)
dan hutan alam dataran rendah (6,3%) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan
Gambar 4.2.
Table 4.3. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah.
No. Tipe Hutan
Luas (Ha)
Persentase
Jumlah Lokasi Macan tutul
Persentase
1 Tanaman Campuran1 9.633,1 1,57 4 8,33 2 Tanaman Jati 340.453,2 55,34 13 27,08 3 Tanaman Pinus 223.052,6 36,25 21 43,75 4 Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 6,25 5 Hutan Alam Pegunungan 37.725,6 6,13 7 14,58 Jumlah 615.243,6 100,00 48 100,00
Keterangan: Campuran dari dua atau lebih jenis-jenis : Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain.
Gambar 4.2. Lokasi sebaran populasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di
lima tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah.
75
Hutan produksi tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vries dan Pinus
oocarpa Schiede ex Schltdl.) tersebar di tujuh wilayah KPH Perum Perhutani Unit I
Jawa Tengah seperti dapat dilihat pada Tabel 4.4. Luas keseluruhan hutan pinus di
Provinsi Jawa Tengah adalah 244.121,41 Ha, namun yang masih dikelola oleh Perum
Perhutani 238.946.26 Ha, sedangkan selebihnya telah diserahkan menjadi Taman
Nasional Gunung Merbabu dan Taman Nasional Gunung Merapi. Dari seluruh hutan
pinus yang ada di Provinsi Jawa Tengah, sebagian besar merupakan hutan produksi
(74,58%) dan 20,81% merupakan hutan lindung, sementara sisanya merupakan bagian
dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (4,62%) (Perum Perhutani,
2006) .
Tabel 4.4. Luas, sebaran dan fungsi kawasan hutan tanaman pinus (Pinus spp.) di Provinsi Jawa Tengah.
KPH
Luas Hutan Ha
Hutan Pinus Fungsi
Produksi 1 Lindung 2 Konservasi 3
Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Surakarta 33.150,00 22.350,10 6.937,10 31,04 15.413,00 68,96 0,00 0,00
Pekalongan Timur
52.791,40 52.791,40 47.990,50 90,91 4.790,80 9,07 10,10 0,02
Pekalongan Barat
40.591,36 40.591,36 29.801,55 73,42 10.734,11 26,44 55,70 0,14
Banyumas Barat
55.546,20 39.466,30 39.387,00 99,80 79,30 0,20 0,00 0,00
Banyumas Timur
46.624,20 28.876,10 18.531,20 64,17 10.344,90 35,83 0,00 0,00
Kedu Selatan 44.721,70 29.792,00 25.578,80 85,86 4.213,20 14,14 0,00 0,00
Kedu Utara 36.353,39 25.079,00 13.867,80 55,30 11.211,20 44,70 0,00 0,00
Jumlah 309.778,25 238.946,26 182.093,95 76,21 56.786,51 23,77 65,80 0,03
Sumber : Perum Perhutani. (2006). Keterangan : 1) Termasuk tanaman yang tidak produktif tetapi peruntukannya produksi . 2) Termasuk alur, tetapi tidak termasuk hutan lindung terbatas. 3) Yang sudah menjadi bagian TN. Gunung Merapi dan TN. Gunung Merbabu, dikeluarkan dari wilayah kerja Perum Perhutani.
Sebagian besar hutan pinus tersebar di daerah yang memiliki ketinggian di atas
500 m dpl dengan iklim yang relatif basah yaitu berdasarkan tipe curah hujan Schmidt
dan Ferguson termasuk tipe A atau B. Ada sebagian kecil hutan pinus terletak di
ketinggian kurang dari 500 m dpl yaitu di RPH Mandirancan-RPH Kebasen (KPH
Banyumas Timur) dan RPH Cimanggu (KPH Banyumas Barat). Sebagian besar (lebih
dari 50%) kawasan hutan pinus memiliki topografi bergelombang (15-25%) sampai
curam (> 40%) (Tabel 4.5).
76
Tabel 4.5. Ketinggian, iklim dan topografi habitat macan tutul jawa di lansekap hutan pinus.
KPH Lokasi Macan Tutul Ketinggian m dpl
Tipe Curah Hujan Dominan
Dominasi topografi wilayah *
1. Banyumas Timur RPH Mandirancan – RPH Kebasen
200-350 A
79,65 % agak curam sampai sangat curam
RPH Tunjungmuli 750-1.000
2. Banyumas Barat RPH Pesahangan 350-500 B
48,62 % agak curam sampai sangat curam RPH Mejenang 500 - 1000
RPH Cimanggu 200-400
3. Kedu Selatan RPH Pringombo 530-930 B 83,6% agak curam sampai sangat curam RPH Karangsambung 300-500
4. Kedu Utara RPH Kwadungan 2.000-3.300 A dan B 93,84% agak curam sampai sangat curam RPH Kemloko - RPH
Kecepit 2.000-3.000
RPH Gempol 1.000 – 2.050
Taman Nasional Merapi
1.000-2.900
Taman Nasional Merbabu
1.200-3.142
RPH Kenjuran 2.000-2.500
5. Surakarta BKPH Lawu Utara - BKPH Lawu Selatan
1.000-3.265 A 68,36 % agak curam sampai sangat curam
6. Pekalongan Timur RPH Brondong 300-500 A dan B 68 % agak curam sampai sangat curam RPH Pedagung 300-500
RPH Paninggaran 300-500
RPHWinduaji 300-500
RPH Jolotigo 300-500
RPH Lemah Abang 300-500
7. Pekalongan Barat RPH Winduasri 500 – 1.000 B 85,2 % agak curam sampai sangat curam RPH Indrajaya 200 -500
RPH Cikuning 200 -500
RPH Kretek 400-500
RPH Sirampok 1.000 – 1.300
RPH Kalikidang 900-1.000
RPH Igiriklanceng 1.000 – 1.300
RPH Dukuh Tengah 1.100 – 1400
RPH Guci 1.000 - 1.250
RPH Karangsari 1.000-1.300
RPH Kalibakung 400-500
RPH Moga 500-900
77
Menurut Chundawat (1990), salah satu karakteristik habitat yang disukai macan
tutul adalah topografi yang curam dengan lereng-lereng yang lebih dari 40% dan
patahan tebing. Sementara dataran yang dihuni macan tutul umumnya merupakan
dataran di puncak atau punggung bukit yang dekat dengan patahan tebing. Chundawat
(1990) mendapati dari 52 lokasi macan tutul salju (Panthera uncia) di Hemis National
Park, India, 40% berlereng curam, bahkan dari 52 lokasi tersebut, 57% berada patahan
tebing dan 32% berada di dekat patahan tebing.
Prefernsi terhadap tempat berlereng curam tampaknya juga dimiliki oleh macan
tutul jawa. Berdasarkan Tabel 4.5 terlihat bahwa dari tujuh KPH kelas perusahaan
pinus yang menjadi sebaran macan tutul jawa (Banyumas Timur, Banyumas Barat,
Kedu Selatan, Kedu Utara, Surakarta, Pekalongan Timur, Pekalongan Barat), enam di
antaranya memiliki wilayah dominan (>65%) dengan topografi bergelombang sampai
curam. Sementara hanya satu KPH (Banyumas Barat) 48,62 % wilayahnya memiliki
topografi bergelombang sampai curam.
4.1.3. Perkiraan Populasi Macan Tutul Jawa
Dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan populasi melalui sensus,
tetapi pendugaan populasi dilakukan berdasarkan pendekatan-pendekatan yang
ditujukan hanya untuk memberi gambaran umum kelimpahan dan sebaran relatif
populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Pendugaan jumlah individu pada
setiap populasi dilakukan berdasarkan metode sebagaimana diuraikan pada sub bab
3.5.1.
Berdasarkan metode tersebut diperoleh perkiraan populasi macan tutul jawa di
Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah total terendah 234 ekor dan tertinggi 383 ekor
(Lampiran 2). Populasi tertinggi terdapat di KPH Pekalongan Barat, diikuti Pekalongan
Timur dan Kedu Utara (Gambar 4.3). KPH Pekalongan Barat dan KPH Pekalongan
Tmur merupakan kelas perusahaan pinus, sedangkan KPH Kedu Utara merupakan kelas
perusahaan pinus dan kayu rimba (mahoni, damar dan puspa).
78
Gambar 4.3. Perkiraan populasi macan tutul jawa di 15 KPH Perum Perhutani Unit I
Jawa Tengah.
Berdasarkan tutupan vegertasi hutan yang dominan, 77,8% populasi macan tutul
jawa tersebar di kelas perusahaan pinus dan sisanya 22,2% tersebar di kelas perusahaan
jati (Gambar 4.4). Hal ini dapat menjadi indikasi awal bahwa lansekap hutan pinus
memiliki kesesuaian habitat lebih tinggi bagi macan tutul jawa dibandingkan lansekap
hutan jati. Dengan perkataan lain hutan tanaman pinus memiliki peranan penting bagi
kelestarian macan tutul jawa.
Dengan menggunakan formula 3.1a dan formula 3.1b dapat dihitung perkiraan
jumlah individu macan tutul jawa pada setiap patch habitat macan tutul jawa
berdasarkan model pemanfaatan habitat (Lampiran 2). Dari perhitungan tersebut
diperoleh jumlah minimal macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah adalah 240 ekor
dan maksimal 400 ekor. Perkiraan jumlah minimal hasil inventarisasi dan hasil
perhitungan berdasarkan model pemanfaatan tidak berbeda secara signifikan (thitung = -
2,1149 < t(0,05;76). Perkiraan jumlah maksimal hasil inventarisasi dan hasil perhitungan
berdasarkan model pemanfaatan juga tidak berbeda secara signifikan (thitung = -2.1857 <
t(0,05;76).
Gam
has
Dar
ham
mem
dpl
yan
Tab
1.
2.
mbar 4.4. mb
Perkiraa
sil inventaris
ri Tabel 4.6
mpir dua kal
mperkuat bu
l. Preferens
ng lebih baik
bel 4.6. Kepteng
Metode PeInventarisasi• Minimu• Maksim
Model Keses• Minimu• Maksim
Taksiran mimenurut kelberdasarkan
an kepadata
sasi dan pen
tampak bahw
li dari kepad
ukti bahwa m
si ini diduga
k daripada di
padatan popugah.
enghitungan i um mum suaian Habitaum mum
inimum danlas perusaha
n hasil invent
an populasi
ndekatan mo
wa kepadata
datan di daer
macan tutul
a karena fak
i daerah deng
ulasi macan
Ket
at
n maksimumaan KPH Petarisasi.
macan tutu
odel kesesua
an populasi m
rah dengan k
lebih menyu
ktor keaman
gan ketinggi
tutul jawa
Kepadatantinggian 0-50
m sebaran poerum Perhut
ul jawa di J
aian habitat
macan tutul
ketinggian 0
ukai daerah
nan habitat
ian 0-500 m
menurut ket
n Populasi (In00 m dpl
0.07470.1228
0.10020.1535
opulasi mactani Unit I
awa Tengah
disajikan p
di ketinggian
0-500 m dpl.
dengan keti
dan ketersed
dpl.
tinggian di P
ndividu per KKetinggian
can tutul jawJawa Tenga
h berdasarka
ada tabel 4.
n > 500 m d
. Hal ini jug
inggian > 50
diaan mang
Provinsi Jaw
Km2) >500 m dpl
0.15530.2529
0.10060.1997
wa ah
an
.6.
dpl
ga
00
sa
wa
39
67
80
4.1.4. Populasi yang Mengalami Kepunahan Lokal
Jika dibandingkan dengan sebaran populasi macan tutul jawa pada 10-20 tahun
sebelumnya yang diperoleh dari berbagai sumber literatur, maka ada beberapa lokasi
yang sekarang tidak lagi menjadi sebarannya. Ada 15 lokasi macan tutul jawa di Jawa
Tengah dan dua lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diperkirakan telah
kehilangan populasinya. Jumlah tersebut cukup signifikan jika dibandingkan dengan
lokasi macan tutul jawa yang masih ada saat ini (48 lokasi). Hal ini berarti populasi
macan tutul jawa yang diduga telah mengalami kepunahan lokal sekitar 26% dalam
kurun waktu sekitar 20 tahun. Lokasi-lokasi sebaran populasi macan tutul jawa yang
telah punah secara lokal disajikan pada Tabel 4.7.
Kepunahan lokal macan tutul jawa di sebagian besar lokasi terjadi setelah tahun
2000. Hal ini diduga ada kaitannya dengan degradasi hutan di Jawa yang terjadi setelah
gerakan reformasi tahun 1998-1999 yang menghasilkan euforia berlebihan dalam
bentuk penebangan liar dan perambahan hutan untuk bercocok tanam secara besar-
besaran.
Dari 17 lokasi populasi macan tutul jawa yang punah lokal, 16 diantaranya
(94%) merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, hanya satu lokasi
merupakan kawasan hutan cagar alam, yaitu Cagar Alam Gunung Clering (1.328,4 ha).
Empat belas lokasi (82%) merupakan hutan tanaman jati, dua lokasi (12%) hutan
tanaman pinus dan satu lokasi (6%) merupakan hutan alam dataran rendah.
Kawasan hutan produksi dengan tanaman jati tampaknya lebih rentan terhadap
perambahan yang mengancam keberadaan macan tutul jawa. Hal ini diduga karena:
1. Hutan jati umumnya ada di daerah dataran rendah dengan topografi relatif datar
dan landai sehingga menarik untuk bercocok tanam apalagi lokasinya yang dekat
dengan pemukiman dan akses jalannya mudah.
2. Kayu jati bernilai ekonomis tinggi dengan akses jalan sampai ke pasar yang sangat
mudah (jaringan jalan perhutani terhubung dengan jalan umum).
3. Kegiatan tumpangsari atau PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat) secara
ekstensif sebagai respon atas krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan
berkurangnya ruang habitat satwa mangsa dan meningkatnya intensitas aktivitas
manusia yang mengganggu satwaliar, khususnya macan tutul jawa.
81
Tabel 4.7. Lokasi yang pernah dilaporkan ada populasi macan tutul jawa tetapi sekarang telah mengalami kepunahan lokal.
Lokasi/Wilayah
Tipe Hutan
Fungsi Kawasan
Kelas Ketinggian (m dpl)
Kelas Lereng (%)
Perkiraan punah
Sumber Informasi
1. KPH Blora RPH Krocok, BKPH Ngapus,
KPH Blora
Jati HP 0-500 0-8% 2002* Wakil KKPH/KSKPH Blora (Pers. Comm., 2009) Gunawan (1988)
2. RPH Segorogunung, BKPH Segorogunung, KPH Gundih
BKPH Monggot dan BKPH Panunggalan, KPH Gundih
Jati HP 0-500 0-8% 2006* KSS Perencanaan KPH Gundih (Pers. Comm., 2009) Gunawan (1988)
3. Gunung Lasem, KPH Mantingan
Jati HP 500-1.000 0-8% 2003* Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009)
4. BKPH Barisan, KPH Pati Jati HP 0-500 0-8% Akhir 1990an
Gunawan (1988)
5. RPH Pasedan, BKPH Medang, RPH Mantingan
Jati HP 0-500 25-40% 2002 Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009)
6. Gunung Surojoyo, RPH Ngiri, KPH Mantingan
Jati HP 0-500 0-8% 2002 Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009)
7. KPH Semarang Resort KSDA Manggal;
Gunung Pati; Ngalian (Tugu)
Jati HP 0-500 8-15% Akhir 1990-an
Hoogerwerf (1970) Gunawan (1988)
8. Resort KSDA Gunung Clering, Pati Barat
Alam Cagar Alam 0-500 > 40% 2000 an Gunawan (1988)
9. BH Sragen, KPH Telawa Jati HP 0-500 0-8% 2000-2005 Direktorat Jenderal PHPA (1987)
10. RPH Pagersari, BKPH Baturetno (Kab. Wonogiri), KPH Surakarta
Jati HP 0-500 15-25% 2002-2003 BKSDA (pers comm 2008)
11. Notog (RPH Sidamulih), BKPH Kebasen, KPH Banyumas Timur
Jati HP 0-500 15-25% 2000 Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
12. BKPH Jatilawang, KPH Banyumas Timur
Pinus HP 0-500 0-8% 2000 Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
13. Karangkobar, KPH Banyumas Timur
Pinus HP 500-1.000 15-25% 1990-1995 2001*
KBKPH Banjarnegara (Pers. Comm, 2009)
14. Kulonprogo, KPH Kedu Selatan
Kokap, Kuonprogo, Dishut DIY**
Jati Jati
HP 500-1.000 8-15% Akhir 1990an
Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
15. RPH Bruno, BKPH Purwareja, KPH Kedu Selatan
Jati HP 0-500 25-40% 1995-2000 KSS Perencanaan KPH Kedu Selatan (Pers. Comm, 2009)
16. KPH Balapulang Jati HP 0-500 8-15% 2000 Kasi PSDAH KPH Balapulang (Pers. Comm., 2009); Gunawan (1988)
17. RPH Gubug rubuh, RPH Giring (BDH Playen); RPH Candi (BDH Karangmojo); RPH Kedungmangu (BDH Paliyan) Gunung Kidul, Dinas Kehutanan DIY**
Campuran HP 0-500 0-8% 2000* Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988)
Keterangan : *) Temuan terakhir berdasarkan informasi Didik Raharyono, Ketua LSM Peduli Karnivora Jawa **) No. 14 dan 17 masuk wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
82
Sementara itu, hutan pinus memiliki beberapa kelebihan dibandingkan hutan jati
dalam hal keamanan dari gangguan aktivitas manusia, yaitu antara lain:
1. Umumnya hutan pinus ada di daerah dataran tinggi atau mendekati pegunungan
dengan topografi relatif lebih berat, jauh dari pemukiman dan akses jalan lebih
rendah sehingga kurang menarik untuk lahan pertanian.
2. Sifat alelopati tegakan pinus dan sifat asam tanahnya membuat kurang disenangi
untuk kegiatan tumpangsari.
3. Getahnya disadap setiap hari oleh masyarakat sehingga ketergantungan
masyarakat pada keutuhan hutan sangat tinggi dan masyarakat merasa perlu ikut
menjaga.
4. Kayu pinus bernilai ekonomis rendah dan akses jalan sampai ke pasar lebih sulit
(umumnya jalan setapak untuk patroli dan jauh dari jalan umum).
Dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 86,67% berada di
daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl dan 46,67% memiliki topografi datar (Gambar
4.5 A dan B). Hal ini sejalan dengan dugaan bahwa kepunahan macan tutul jawa di
suatu lokasi berkaitan erat dengan faktor keamanan (tekanan dari penduduk) di sekitar
hutan.
Gambar 4.5. Proporsi sebaran macan tutul jawa yang punah lokal menurut ketinggian
tempat (A) dan kelas lereng (B).
Secara statistik hubungan kondisi topografi terhadap kepunahan lokal macan
tutul jawa tidak signifikan. Dari Tabel 4.8. diperoleh nilai χ2hitung = 5,1368 lebih rendah
83
daripada χ2(0,05;4), sehingga keputusannya menerima Ho dengan kesimpulan tidak ada
hubungan antara kondisi topografi dengan kepunahan lokal macan tutul jawa.
Hubungan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal macan tutul jawa
adalah signifikan karena χ2hitung (= 7,2367) lebih besar daripada χ2
(0,05;2). Perhitungan
selengkapnya disajikan pada Tabel 4.8. Hubungan ketinggian dengan kepunahan lokal
diduga tidak terkait dengan kesesuaian ekologis tetapi berhubungan dengan faktor
keamanan. Ada kecenderungan bahwa di satu sisi semakin tinggi tempat, pemukiman
semakin jarang di sisi lainnya semakin tinggi tempat kawasan hutan semakin terlindungi
karena banyak yang ditetapkan sebagai hutan lindung.
Tabel 4.8. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor topografi dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa.
Kelas Lereng
Populasi Bertahan Populasi Punah Lokal Jumlah Observasi Observasi Harapan1 Observasi Harapan1
Sangat curam > 40% 5 4,4308 1 1,5692 6 Curam 25-40% 15 12,5538 2 4,4462 17 Agak curam 15-25% 4 5,1692 3 1,8308 7 Landai 8-15% 3 4,4308 3 1,5692 6 Datar 0-8% 21 21,4154 8 7,5846 29
Jumlah Observasi 48 17 65 Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ2
hitung = 5,1368 < χ2(0,05;4)
Tabel 4.9. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa.
Ketinggian Tempat Populasi Bertahan Populasi Punah Lokal Jumlah Observasi Observasi Harapan1 Observasi Harapan1
< 500 dpl 25 28,8000 14 10,2000 39 500-1000 m dpl 8 8,1231 3 2,8769 11 > 1000 m dpl 15 11,0769 0 3,9231 15
Jumlah Observasi 48 17 65 Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ2
hitung = 7,2367 > χ2(0,05;2)
Sementara faktor tipe hutan (vegetasi) juga berhubungan signifikan dengan
kepunahan lokal macan tutul jawa (χ2hitung = 13,8646 lebih besar daripada χ2
(0,05;4).
Sebagian besar (76,47%) lokasi kepunahan lokal macan tutul jawa merupakan hutan
84
tanaman jati. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.10. Secara ekologis
macan tutul dapat hidup di berbagai tipe vegetasi hutan. Hubungan tipe vegetasi hutan
dengan kepunahan lokal macan tutul jawa diduga bekerja pada mekanisme
pengelolaannya. Sebagai contoh, hutan jati sebagai tipe vegetasi hutan yan paling
banyak kehilangan populasi macan tutul jawa dikelola dengan sistem tebang habis dan
dalam pemeliharaannya ada kegiatan penjarangan serta tumpangsari. Sistem silvikultur
tersebut sangat mempengaruhi keamanan habitat macan tutul jawa, karena dapat
berdampak pada pengurangan atau penghilangan habitat, fragmentasi habitat dan
penurunan kualitas habitat (seperti menurunnya jumlah mangsa dan kualitas pelindung).
Tabel 4.10. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor tipe hutan (vegetasi) dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa.
Tipe Hutan Populasi Bertahan Populasi Punah Lokal Jumlah Observasi Observasi Harapan1 Observasi Harapan1
Tanaman Jati 13 19,2000 13 6,8000 26 Tanaman Pinus 21 16,9846 2 6,0154 23 Tanaman Campuran 4 3,6923 1 1,3077 5 Hutan Dataran rendah 3 2,9538 1 1,0462 4 Hutan Pegunungan 7 5,1692 0 1,8308 7
Jumlah Observasi 48 17 65 Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ2
hitung = 13,8646 > χ2(0,05;4)
Kepunahan lokal macan tutul jawa di beberapa lokasi diduga kuat banyak
dipengaruhi oleh faktor keamanan habitat dan isolasi habitat. Dari Gambar 4.1. tampak
bahwa dari 17 lokasi macan tutul jawa yang punah, tujuh (41,28%) diantaranya
merupakan populasi yang terisolasi yaitu populasi-populasi di Gunung Clering, Gunung
Lasem, Pasedan, Notog, Jatilawang, Gunung Kidul dan Kulonprogo. Sementara 10
lokasi (28,82%) diduga disebabkan oleh faktor keamanan habitat. Perambahan yang
ekstensif sejak tahun 2000 diduga menyebabkan hilangnya vegetasi hutan yang penting
sebagai tempat berlindung yang aman bagi macan tutul jawa.
4.2. Seleksi Habitat
Terkait dengan proporsi sebaran macan tutul jawa di berbagai tipe hutan, diduga
macan tutul melakukan seleksi dalam menempati habitatnya. Untuk itu perlu dilakukan
uji Chi Square (χ2) dengan hipotesis null (Ho): macan tutul jawa tidak melakukan
85
seleksi terhadap habitat yang ditempatinya. Kaidah keputusannya menolak Ho apabila
nilai χ2hitung lebih besar dari χ2
tabel yang berarti macan tutul menyeleksi tipe hutan
tertentu sebagai habitatnya. Untuk itu, dari Tabel 4.3 diturunkan perhitungan
sebagaimana Tabel 4.11.
Berdasarakan perhitungan pada Tabel 4.11 diperoleh nilai χ2hitung = 47,98.
Karena nilai χ2hitung lebih besar dari χ2
(0,05; 4) maka Ho ditolak dan kesimpulannya macan
tutul jawa menyeleksi habitatnya. Dengan perkataan lain, tipe hutan merupakan faktor
yang berpengaruh bagi macan tutul jawa, oleh karena itu dalam pembuatan model
kesesuaian habitat, tipe hutan termasuk sebagai faktor penyusun model.
Untuk mengetahui tipe hutan yang paling disukai oleh macan tutul jawa maka
dilakukan penghitungan indeks seleksi Neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.12.
Dari Tabel 4.12 tampak bahwa hutan alam dataran rendah memiliki nilai indeks seleksi
tertinggi (w = 8,5560) diikuti oleh hutan tanaman campuran (w = 5,8911), hutan alam
pegunungan (w = 2,9795) dan hutan tanaman pinus (w = 1,1758). Hutan jati walaupun
memiliki proporsi luas paling besar tetapi tidak disukai oleh macan tutul jawa karena
nilai indeks seleksinya kurang dari satu (w = 0,4769).
Tabel 4.11. Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk uji signifikansi seleksi tipe hutan oleh macan tutul jawa.
Tipe Hutan
Luas (Ha)
%
Frekuensi Observasi
(Oi)
Frekuensi Harapan
(Ei)
(Oi-Ei)2/Ei
1 2 3 4 5 6 Tanaman Campuran1 9.633,1 1,57 4 0,75 14,04 Tanaman Jati 340.453,2 55,34 13 26,56 6,92 Tanaman Pinus 223.052,6 36,25 21 17,40 0,74 Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 0,75 20,68 Hutan Alam Pegunungan 37.725,6 6,13 7 2,94 5,59
Jumlah 615.243,6 100,00 48 48,00 47,98
Keterangan: 1Campuran dari dua atau lebih jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain. Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 6) = kolom 3 x jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ2
hitung = 47,98 > χ2(0.05;4)
86
Tabel 4.12. Indeks seleksi Neu untuk habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah.
Tipe Hutan
Ketersediaan Hutan Lokasi Macan Tutul Indeks Luas (Ha)
Proporsi (a)
Tercatat Proporsi (r)
Seleksi (w)
Terstandar
Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 6,25 8,7810 0,4831Hutan Tanaman Campuran1) 9.633,1 1,57 4 8,33 5,3223 0,2928Hutan Alam Pegunungan 37.725,6 6,13 7 14,58 2,3783 0,1308Tanaman Pinus 223.052,6 36,25 21 43,75 1,2068 0,0664Tanaman Jati 340.453,2 55,34 13 27,08 0,4894 0,0269
Jumlah 615.243,6 100,00 48 100,00 18,1778 1,0000Keterangan : 1Campuran dari dua atau lebih jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain.
4.3. Karaketristik Habitat
4.3.1. Luas Ruang (Space) Habitat
Empat puluh delapan titik indikasi macan tutul jawa tersebar di 30 patches
habitat dengan luasan terkecil 619,90 ha yaitu patch hutan Kalibakung, KPH
Pekalongan Barat dan terbesar 41.090,30 ha yang merupakan lansekap hutan Brondong-
Pedagung-Paninggaran di KPH Pekalongan Timur. Rata-rata luas patches yang dihuni
macan tutul jawa adalah 8.008,96 ha. Luas total patches hutan di Provinsi Jawa tengah
yang menjadi habitat macan tutul jawa adalah 240.268,86 ha atau hanya 39,05% dari
total luas hutan yang ada. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu luas patch
minimal yang dianggap mampu mendukung kehidupan macan tutul adalah 600 ha
tampaknya benar. Hal ini terbukti dari patch hutan yang ditemukan menjadi habitat
macan tutul luasnya lebih dari 600 ha.
4.3.2. Vegetasi
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.2. macan tutul jawa tersebar di
berbagai tipe vegetasi hutan di Jawa Tengah, yaitu di hutan pinus (43,8%), hutan jati
(27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%) dan hutan
alam dataran rendah (6,3%).
Vegetasi sebagai cover seringkali lebih penting strukturnya daripada jenisnya.
Cover biasanya digunakan oleh predator untuk mengintai mangsa, perlindungan
terhadap iklim yang ekstrim, mendukung perkembangbiakan, penjelajahan, melarikan
87
diri, bersarang dan beristirahat (Bailey, 1984; Shaw, 1985). Struktur vegetasi yang
direspon oleh satwa antara lain bentuk vegetasi, kerapatan (Bailey, 1984) dan persentasi
penutupan pohon (Palomares, 2001).
Macan tutul jawa adalah satwa arboreal, yang berarti mereka banyak melakukan
aktivitas di atas pohon seperti makan, tidur dan memburu mangsanya dari atas pohon
(Alderton, 1998). Dengan demikian struktur vegetasi pohon vertikal (strata) dan
horisontal (kerapatan) menjadi penting . Untuk mengetahui struktur vertikal dan
horisontal vegetasi habitat macan tutul jawa maka dibuat bisect dari suatu jalur contoh
(Soerianegara dan Indrawan, 1980), sepanjang 50-100 m di setiap tipe habitat macan
tutul. Diagram profil vegetasi habitat macan tutul jawa disajikan pada Gambar 4.6
sampai 4.13.
Gambar 4.6. Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 40 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Daruponon, KPH Kendal.
Gambar 4.6 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman jati umur 40 tahun di
RPH Darupono (KPH Kendal) di sekitar Cagar Alam Pagerwunung Darupono yang
merupakan habitat tempat berlindung dan beristirahat macan tutul jawa. Tampak pada
diagram profil tersebut banyak terdapat anakan jati yang tumbuh secara alami berasal
dari biji-biji jati yang jatuh dan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara. Tegakan
ini telah dijarangi sebanyak sembilan kali sehingga jarak antar pohon berkisar antara 5 –
10 m dengan kerapatan berkisar antara 331 – 430 pohon per hektar. Tumbuhan bawah
0m
10m
20m
50m
30m
Tinggi (m) 1 1 1 1 1 1 1
1a 1a1a
1a1a 1a 1a 1a
1a 1a 1a
Keterangan: 1. Tectona grandis 1a. Anakan alami Tectona grandis
Tanaman Tectona grandis umur 40 tahun Di RPH Darupono
88
yang dominan antara lain Eupathorium sp., Oplismenus burmanni, Lantana camara
Panicum uncinatum dan Carallia lucida dengan tinggi rata-rata kurang dari satu meter.
Gambar 4.7. menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman jati umur 30 tahun
di RPH Jatisari Utara (KPH Kendal) sekitar Cagar Alam Ulolanang. Tegakan hutan jati
ini telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan setempat sehinga relatif tidak ada
kegiatan pemeliharaan atau penggarapan tumpangsari. Di tegakan ini juga terdapat
banyak anakan jati yang tumbuh secara alami dari biji-biji yang jatuh. Tegakan ini telah
mengalami penjarangan tujuh kali sehingga jarak antar pohon berkisar 4-5 m dan
memiliki kerapatan sekitar 783 pohon per hektar. Tumbuhan bawah yang dominan
antara lain Eupathorium sp., Ischaemum tomorense, Polytrias praemorsa, Oplismenus
burmanni, Lantana camara, Panicum uncinatum dan Carallia lucida dengan tinggi rata-
rata kurang dari 1,5 meter. Disamping itu juga terdapat rotan (Calamus sp.) dan pandan
(Pandanus sp.).
Gambar 4.7. Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 30 tahun
habitat macan tutul jawa di RPH Jatisari Utara, KPH Kendal.
Gambar 4.8 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman campuran di RPH
Besokor, KPH Kendal. Petak hutan ini ditetapkan sebagai hutan lindung karena
lerengnya yang terjal dengan tebing-tebing tegak dan berlubang yang diduga sebagai
persembunyian macan tutul jawa. Hutan tanaman campuran ini sudah menyerupai
hutan alam dengan strata yang beragam dan pohon-pohonnya sudah beregenerasi secara
0m
20m
10m
30m
50m
Tinggi (m)
1a 1a
1a 1a
1a
1a1a1a 1a 1a
1a1a
1 1 1 1 1 1
2
3
Keterangan : 1. Tectona grandis 1a. Anakan alami Tectona grandis 2. Calamus sp. 3. Pandanus sp.
Tanaman Tectona grandis umur 30 tahun Di RPH Jatisari Utara
89
alami. Beberapa jenis pohon yang ditanam pada petak hutan ini adalah: Swietenia
macrophylla, Lagerstroemia speciosa, Cassia siamea, Dracontomelon dao,
Pithecelobium jiringa, Pterospermum javanicum dan Spondias pinnata. Beberapa jenis
pohon yang tumbuh secara alami antara lain: Garcinia dulcis, Macaranga tanaria,
Gluta renghas, Artocarpus elasticus, Ficus altiissima dan Ficus variegata. Tumbuhan
bawah pada petak ini sangat rapat dan tingginya mencapai 2 meter atau lebih sehingga
sangat cocok menjadi tempat perlindungan dan persembunyian macan tutul jawa.
Gambar 4.8. Diagram profil hutan tanaman campuran habitat macan tutul di RPH Besokor, KPH Kendal.
Gambar 4.9 menggambarkan profil vegetasi hutan alam Cagar Alam
Pagerwunung di RPH Darupono, KPH Kendal. Vegetasi ini merupakan vegetasi alami
dengan jenis-jenis pohon hutan alam dataran rendah. Cagar Alam Pagerwunung
diperuntukan bagi konservasi pohon jati alam, namun vegetasi di dalamnya lebih
banyak didominasi oleh jenis-jenis selain jati. Vegetasi di cagar alam ini memiliki
strata tajuk yang lengkap seperti halnya hutan tropis dataran rendah (5 strata). Beberapa
jenis pohon raksasa di hutan ini antara lain: Lithocarpus elegans, Tectona grandis,
Artocarpus elastica, Pterospermum javanicum, Toona sureni, Tetrameles nudiflora dan
Ficus benjamina. Pada strata di bawahnya antara lain Baccaurea rcemosa,
Pithecelobium jiringa, Vitex pubescens, Azedarachta indica dan Cinnamomum sintoc.
0m
20m
10m
30m
100m
Tinggi (m)
Keterangan: 1. Spondias pinnata 7. Pithecelobium jiringa 13. Swietenia macrophylla 2. Ficus variegata 8. Garcinia dulcis 14. Lagerstroemia speciosa 3. Pterocymbium javanicum 9. Butea monosperma 15. Cassia siamea 4. Ficus altiissima 10. Macaranga tanaria 16. Sterculia longifolia 5. Neonauclea obtusa 11. Pterospermum javanicum 17. Dracontomelon dao 6. Artocarpus elasticus 12. Gluta renhas .
90
Jenis-jenis pohon kecil (tingkat pancang) antara lain: Eugenia densiflora, Streblus
asper, Protium javanicum, Leea indica, Phyllanthus emblica dan Eriglossum
rubiginosum. Tumbuhan bawah di cagar alam ini cukup rapat sehingga cocok sebagai
tempat bersembunyi atau berlindung macan tutul jawa..
Gambar 4.9. Diagram profil hutan alam dataran rendah sekunder habitat macan tutul jawa di Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal.
Gambar 4.10 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman pinus (Pinus
merkusii) berumur 33 tahun yang ditetapkan sebagai hutan lindung di RPH
Mandirancan, KPH Banyumas Timur. Hutan lindung ini merupakan habitat macan tutul
jawa yang tersisa di fragment hutan yang terisolasi. Pada tegakan pinus ini juga
terdapat beberapa pohon jati tanaman. Tumbuhan bawah tegakan pinus di RPH
Mandicarancan ini relatif jarang, namun banyak dijumpai perdu jenis Ficus spp dan
rotan (Calamus sp.).
Gambar 4.11 menggambarkan diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus
oocarpa umur 30 tahun di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalonga Barat. Pohon-pohon
pinus tersebut memiliki jarak antar pohon sekitar 4-5 m dan masih disadap getahnya.
Hutan tanaman pinus ini terletak pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl dan
berbatasan langsung dengan hutan alam pegunungan Gunung Slamet yang merupkan
Keterangan: 1. Eugenia densiflora 8. Streblus asper 15. Tetrameles nudiflora 22. Azedarachta indica 2. Dracontomelon dao 9. Eriglossum rubiginosim 16. Toona sureni 23. Pterospermum javanicum 3. Garcinia dulcis 10. Leea indica 17. Tectona grandis 24. Cinnamomum iners 6. Protium javanicum 11. Schleichera oleosa 18. Vitex pubescens 25. Actinophora buurmani 4. Lithocarpus elegans 12. Lagerstremia speciosa 19. Artocarpus elastica 26. Calamus sp 5. Ficus benjamina 13. Arenga pinnata 20. Phyllanthus emblica 7. Baccaurea rcemosa 14. Pithecelobium jiringa 21. Cinnamomum sintoc .
0m 100m
10m
20m
30m
Tinggi (m)
12
1
2
3
4
1
5
6
7
8 9
8 11 1
3 13
14
15 164
17
19
1020
21
8 1
22
23
24
25
26
14
18
91
hutan lindung.. Hutan pinus di RPH Dukuh Tengah memiliki tumbuhan bawah yang
relatif rapat dengan tinggi sampai 1,5 meter. Berbeda dengan Pinus merkusii, Pinus
oocarpa relatif lebih tinggi.
Gambar 4.10. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus merkusii umur 33 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur.
Gambar 4.11. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat.
Gambar 4.12 menggambarkan diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus
oocarpa umur 20 tahun di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat. Tegakan pinus ini
Tinggi (m)
0m
10m
20m
30m
50mKeterangan: 1. Pinus merkusii 2. Ficus spp. 3. Calamus sp. 4. Tectona grandis
1 1 1 1 1 1 1 1 4 4
2 2 2 2 3 2
Pinus merkusii umur 33 tahun
Pinus oocarpa umur 30 tahun 30m
10m
20m
0m 50m
Tinggi (m)
92
disadap getahnya sehingga terpelihara dengan baik. Tanaman pinus di daerah ini
berbatasan langsung dengan hutan lindung yang bervegetasi hutan alam. Vegetasi alami
juga terdapat di sepanjang kiri dan kanan sungai. Vegetasi alami tersebut diduga
merupakan tempat berlindung dan bersembunyi macan tutul jawa. Tumbuhan bawah di
tegakan Pinus oocarpa relatif jarang dengan tinggi sekitar satu meter. Hutan di wilayah
RPH Pesahangan berbatasa langsung dengan hutan di wilayah Salem, KPH Pekalongan
Barat sehingga merupakan satu bentang lansekap yang tak terpisahkan.
Gambar 4.12. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 20 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat.
Gambar 4.13. menggambarkan diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan
di Gunung Slamet, di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat. Vegetasi ini
memiliki strata tajuk yang lengkap dan relatif rapat. Tumbuhan bawahnya sangat rapat
dengan tinggi mencapai dua meter sehingga sangat cocok sebagai tempat bersembunyi
atau berlindung macan tutul jawa. Pohon-pohon raksasa di hutan ini antara lain
Podocarpus imbricata, Castanopsis argentea, Glochidion zeylanicum, Quercus
blumeana, Sterculia javanica dan Gluta renghas. Tumbuhan bawah yang banyak
ditemui adalah pisang hutan (Musa sp.), Pakis tiang (Alsophila glauca) dan rotan
(Calamus sp.). Hutan alam Gunung Slamet bersama-sama dengan hutan tanaman Pinus
oocarpa di sekitarnya merupakan habitat macan tutul jawa di wilayah RPH Dukuh
Tengah.
Pinus oocarpa umur 20 tahun 30m
10m
20m
0m 50m
Tinggi (m)
93
Gambar 4.13. Diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan habitat macan tutul jawa
di Gunung Slamet, RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat.
Perbandingan antara kerapatan tumbuhan bawah di habitat tempat berlindung
dan bukan tempat berlindung macan tutul jawa dapat dilihat pada Gambar 4.14. Dari
Gambar 4.14 tampak bahwa tempat berlindung macan tutul jawa umumnya memiliki
kerapatan tumbuhan bawah yang tinggi yaitu lebih dari 300.000 individu per hektar.
Sementara yang bukan tempat berlindung memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang
relatif lebih rendah yaitu kurang dari 13.000 individu per hektar. Tampaknya kerapatan
pohon dan tumbuhan bawah menjadi faktor penting bagi macan tutul jawa dalam
pemilihan tempat bersembunyi atau berlindung. Tempat yang memiliki pohon dan
tumbuhan bawah dengan kerapatan tinggi umumnya adalah hutan lindung, baik berupa
hutan alam maupun hutan tanaman. Hutan tanaman sejenis maupun campuran yang
memiliki tumbuhan bawah dengan kerapatan tinggi, sama-sama digunakan sebagai
habitat tempat berlindung atau bersembunyi.
30m
20m
10m
Tinggi (m)
70m0m
Keterangan: 1. Alsophila glauca 7. Castanopsis argentea 13. Sterculia javanica 2. Musa sp. 8. Cinnamomum parthenoxylon 14. Schefflera aromatica 3. Ficus fistulosa 9. Glochidion zeylanicum 15. Garcinia dulcis 4. Podocarpus imbricata 10. Mallotus sp. 16. Calamus sp. 5. Laportea ardens 11. Quercus blumeana 17. Gluta renghas 6. Litsea javanica 12. Turpinia sphaerocarpa
1
16 1
2 2
2
2
3
4
5
6
7 9
8 10
11
12
13
14
17
15
16
16
94
Gambar 4.14. Kerapatan tumbuhan bawah di berbagai tipe hutan habitat macan tutul jawa.
4.3.3. Mangsa
a. Keanekaragaman Jenis Mangsa
Berdasarkan hasil inventarisasi satwa di enam lokasi contoh ditemukan 21 jenis
satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul jawa (Tabel 4.13). Sebagaimana
disebutkan dalam berbagai literatur, mangsa utama macan tutul adalah primata dan
ungulata maka dari Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa mangsa utama macan tutul jawa
yang potensial di Jawa Tengah adalah : monyet, lutung, owa jawa, surili, rekrekan,
kukang jawa, babi hutan, kijang, rusa, dan kancil.
Dengan menggunakan Formula 3.3, Formula 3.5 dan Formula 3.6 maka
diperoleh nilai indeks Shannon untuk keanekaragaman jenis (H’) dan keseragaman atau
evenness (E) serta variance H’ untuk tiga lokasi contoh di KPH kelas perusahaan jati
(Tabel 4.14). Untuk mengetahui perbedaan nilai H’ di antara ketiga lokasi maka
dilakukan uji t. Hipotesis (Ho) yang akan diuji adalah tidak ada perbedaan indeks
keanekaragaman jenis (H’) antar lokasi dengan kaidah menerima Ho apabila nilai thitung
kurang dari ttabel pada taraf α = 5%.
Bukan tempat berlindung macan tutul jawa
Tempat berlindung macan tutul jawa
Keterangan
95
Tabel 4.13. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul di enam lokasi contoh.
No.
Jenis Satwa
Jumlah individu dijumpai saat inventarisasi (ni)
di Lokasi Contoh* A B C D E F
1 Monyet (Macaca fascicularis Raffles, 1821) 24 28 0 24 32 26 2 Lutung (Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812) 20 10 0 15 10 12 3 Owa jawa (Hylobates molloch Audebert , 1798) 0 0 0 4 0 5 4 Surili (Presbytis comata Desmarest, 1822) 0 0 0 5 0 0 5 Rek-rekan (Presbytis fredericae Sody, 1930) 0 0 0 2 0 4 6 Kukang Jawa (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) 0 0 0 1 3 0 7 Babi hutan (Sus scrofa Linnaeus, 1758) 4 8 10 12 20 20 8 Kijang (Muntiacus muntjak Rafinesque, 1815) 2 2 1 3 4 4 9 Rusa (Rusa timorensis, Blainville, 1822) 1 1 0 0 0 0
10 Kancil (Tragulus javanicus Osbeck ,1765) 2 1 1 1 0 0 11 Lingsang (Prionodon linsang Hardwicke, 1821) 2 1 0 4 8 4 12 Garangan (Herpestes javanicus E. Geoffroy-Hilaire, 1818) 4 1 2 0 0 0 13 Landak (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) 2 1 1 2 1 3 14 Luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777) 1 2 3 6 3 2 15 Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) 1 1 1 0 0 0 16 Kucing hutan (Prionailurus bengalensis Kerr, 1792) 1 1 1 0 0 0 17 Kelelawar (Pteropus sp.) 1 1 3 0 0 0 18 Cukbo (Iomys horsfieldii, Waterhuse, 1838) 3 2 1 0 0 0 19 Bajing (Callosciurus sp.) 3 2 2 0 0 0 20 Tikus (Rattus rattus Linnaeus, 1758) 6 1 5 0 0 0 21 Tupai (Tupaia sp.) 8 4 13 0 0 0
Jumlah total individu (N) 85 67 44 79 81 80 Jumlah total jenis (S) 17 17 13 12 8 9
*Keterangan: A : Cagar Alam Pagerwunung, Darupono dengan vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m
dpl), KPH Kendal B : Hutan Lindung Besokor dengan vegetasi tanaman rimba campuran (100-200 m dpl), KPH Kendal C : Hutan Produksi dengan tanaman jati, Jatisari Utara (50-100 m dpl), KPH Kendal D : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet (1.000 – 1.200 m
dpl) KPH Pekalongan Barat E : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus oocarpa (500-700 m dpl), RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat F : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus merkusii (300-400 m dpl), RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur
96
Tabel 4.14. Rekapitulasi Indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks keseragaman (E) komunitas mangsa macan tutul di tiga tipe habitat di hutan produksi kelas perusahaan Jati*.
No.
Lokasi Habitat*
Indeks Shannon Variance H’ Keanekaragaman jenis (H’) Keseragaman (E)
1. Cagar Alam Pagerwunung 2,245 0,792 0,08356
2. Hutan Lindung Besokor 2,055 0,725 0,02057
3. Hutan Produksi tanaman jati Jatisari Utara
2,107 0,821 0,01598
*Keterangan: Cagar Alam Pagerwunung : Vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH
Kendal Hutan Lindung Besokor : Vegetasi tanaman rimba campuran (100-200 m dpl), KPH Kendal Hutan Produksi Jatisari Utara : Vegetasi tanaman jati (50-100 m dpl), KPH Kendal
Dengan menggunakan Formula 3.7 dan Formula 3.8 diperoleh nilai thitung dari
pasangan lokasi yang diuji sebagaimana disajikan pada Tabel 4.16. Berdasarkan uji t
antar masing-masing lokasi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan indeks
keanekaragaman jenis satwa mangsa yang signifikan antar pasangan lokasi di KPH
kelas perusahaan jati yang diperbandingkan.
Indeks Shannon untuk keanekaragaman jenis (H’) dan keseragaman (E) serta
variance H’ untuk tiga lokasi contoh di KPH kelas perusahaan pinus disajikan pada
Tabel 4.15. Berdasarkan uji t antar masing-masing lokasi dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan yang signifikan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa antar pasangan
lokasi yang diperbandingkan di KPH kelas perusahaan pinus (Tabel 4.16)
Tabel 4.15. Rekapitulasi indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks keseragaman (E) mangsa macan tutul di tiga lokasi hutan produksi kelas perusahaan pinus.
No.
Lokasi Habitat*
Indeks Variance H’ Keanekaragaman jenis (H’) Keseragaman (E)
1. Pekalongan Barat 2,057 0,828 0,00829 2. Banyumas Barat 1,646 0,792 0,07320 3. Banyumas Timur 1,834 0,835 0,00734
*Keterangan: KPH Pekalongan Barat : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan
Gunung Slamet (1.000 – 1.200 m dpl) KPH Banyumas Barat : Hutan Produksi dengan tanaman pinus (500-700 m dpl) KPH Banyumas Timur : Hutan Produksi dengan tanaman pinus (300-400 m dpl)
97
Berdasarkan pembandingan sembilan kombinasi pasangan lokasi contoh (kelas
perusahaan jati dan kelas perusahaan pinus) juga diperoleh kesimpulan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara semua pasangan indeks keanekaragaman jenis satwa
mangsa yang diperbandingkan (Tabel 4.16).
Tabel 4.16. Rekapitulasi uji t pembandingan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa antar sembilan kombinasi pasangan lokasi.
Tipe Habitat
Hutan alam dataran rendah1
Hutan alam pegunungan2
Hutan Pinus oocarpa3
Hutan Pinus merkusii4
Hutan tanaman campuran5
Hutan tanaman jati6
Hutan alam dataran rendah1
0,62030 ns 1,51287 ns 1,36320 ns 0,58880 ns 0,43739 ns
Hutan alam pegunungan2
1,43974 ns 1,78384 ns 0,29433 ns 0,32093 ns
Hutan Pinus oocarpa3
-0,66246 ns 1,33567 ns 1,54370 ns
Hutan Pinus merkusii4
1,32305 ns 1,78783 ns
Hutan tanaman campuran5
-0,27201 ns
Hutan tanaman jati6
Keterangan: ns = tidak nyata (not significant) 1 Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal 2 Hutan Lindung RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat 3 RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat 4 RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur 5 Hutan Lindung RPH Besokor, KPH Kendal 6 RPH Jatisari Utara, KPH Kendal
Jika masing-masing komunitas satwa mangsa dibandingkan kemiripannya
menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Similarity index) seperti pada Formula 3.9,
maka diperoleh nilai-nilai indeks kemiripan komunitas sebagaimana disajikan pada
Tabel 4.17. Dalam Tabel 4.17 tersebut tampak bahwa komunitas satwa mangsa di tiga
lokasi di dalam kelas perusahaan jati KPH Kendal memiliki indeks kemiripan yang
tinggi (0,867 – 1,000). Demikian juga komunitas satwa mangsa di tiga lokasi dalam
kelas perusahaan pinus memiliki indeks kemiripan yang tinggi (0,762 – 0,824).
Perbandingan antar komunitas dari kelas perusahaan yang berbeda menghasilkan nilai
indeks kemiripan yang lebih rendah (0,364 - 0,560).
98
Tabel 4.17. Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas satwa mangsa di enam lokasi contoh habitat macan tutul jawa.
Lokasi* Lokasi*
A B C D E F A 1,000 0,867 0,552 0,560 0,538B 0,867 0,552 0,560 0,538C 0,400 0,381 0,364D 0,800 0,762E 0,824F
*Keterangan: A : Cagar Alam Darupono dengan vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl),
KPH Kendal B : Hutan Lindung Besokor dengan vegetasi tanaman rimba campuran (100-200 m dpl), KPH Kendal C : Hutan Produksi dengan tanaman jati, Jatisari Utara (50-100 m dpl), KPH Kendal D : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet (1.000 –
1.200 m dpl) KPH Pekalongan Barat E : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus oocarpa (500-700 m dpl), RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat F : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus merkusii (300-400 m dpl), RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur
Nilai indeks kemiripan komunitas yang semakin rendah menunjukan adanya
perbedaan yang semakin tinggi dalam struktur jenis-jenis penyusun komunitas tersebut.
Meskipun demikian, secara umum semua tipe habitat macan tutul jawa yang diteliti
masih memiliki jenis-jenis satwa mangsa utama macan tutul jawa, yaitu primata dan
ungulata.
b. Klasifikasi Kekayaan Jenis Mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I
Mengingat bahwa dari segi struktur dan keanekaragaman jenis satwa mangsa di
KPH kelas perusahaan jati dan pinus relatif seragam, maka dalam pembuatan
pemodelan kesesuaian habitat, faktor satwa mangsa yang dipertimbangkan hanya
kekayaan jenis satwa mangsa utama, yaitu primata dan ungulata. Dari data margasatwa
Perum Perhutani dan BKSDA Jawa Tengah dibuat rekapitulasi dan klasifikasi kekayaan
jenis satwa mangsa menurut wilayah KPH
Kekayaan jenis satwa mangsa dikelompokkan menjadi tiga kelas dengan kriteria
sebagaimana diuraikan pada Tabel 4.18. Berdasarkan kriteria pada Tabel 4.18.
diperoleh rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa yang disajikan
pada (Tabel 4.19). Terdapat empat KPH yang memiliki kelas kekayaan jenis mangsa
tinggi, lima KPH memiliki kekayaan jenis mangsa sedang dan 11 KPH memiliki
99
kekayaan jenis satwa mangsa rendah. Kelas keakayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah dan beberapa faktor lainnya selanjutnya akan digunakan
dalam membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa.
Tabel 4.18. Kriteria kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa di wiilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
Kelas kekayaan jenis mangsa Kriteria 1. Kekayaan Tinggi 6 jenis atau lebih 2. Kekayaan Sedang 4-5 jenis 3. Kekayaan Rendah 3 jenis atau kurang
Tabel 4.19. Rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
No. KPH
Jumlah jenis mangsa utama*
Jumlah Jenis
Kategori Kelas Kekayaan
Ungulata Primata 1. Banyumas Barat 3 3 6 Tinggi2. Banyumas Timur 3 3 6 Tinggi 3. Pekalongan Timur 3 3 6 Tinggi 4. Pekalongan Barat 3 3 6 Tinggi 5. Kedu Utara 3 2 5 Sedang 6. Kedu Selatan 2 2 4 Sedang 7. Semarang 2 1 3 Rendah 8. Pemalang 2 1 3 Rendah 9. Kendal 2 2 4 Sedang 10. Mantingan 2 1 3 Rendah 11. Telawa 2 1 3 Rendah 12. Surakarta 2 2 4 Sedang13. Gundih 2 1 3 Rendah14. Purwodadi 2 1 3 Rendah15. Pati 2 1 3 Rendah16. Balapulang 2 1 3 Rendah17. Randublatung 2 1 3 Rendah18. Cepu 2 2 4 Sedang19. Blora 2 1 3 Rendah 20. Kebonharjo 2 2 4 Sedang
Keterangan: *) Berdasarkan laporan bulanan margasatwa Perum Perhutani Unit I dan BKSDA Jawa Tengah
100
4.3.4. Sumber Air
Hasil evaluasi peta kerja 20 KPH Perum Perhutani dan tutupan lahan hasil
interpretasi citra, di 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa memiliki sumber air berupa
sungai dan anak sungai yang selalu berair sepanjang tahun. Secara umum ketersediaan
air tidak menjadi masalah di habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Secara
visual dalam observasi lapangan, tampak bahwa ketersediaan air cenderung lebih
melimpah di kawasan hutan kelas perusahaan pinus dibandingkan kelas perusahaan jati.
Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim dominan di kelas perusahaan pinus adalah iklim
basah, menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe curah hujan A dan B.
Sementara di kelas perusahaan jati umumnya memiliki ikilim lebih kering yaitu tipe
curah hujan C, D dan E.
Sumber air lebih penting bagi satwa mangsa macan tutul jawa seperti babi hutan,
kijang, kancil, monyet dan lingsang. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tanda-tanda jejak
dan feces satwa-satwa tersebut di sekitar sumber air. Karena merupakan tempat
berkumpul satwa, maka sumber air juga menjadi tempat mencari mangsa yang mudah
bagi macan tutul jawa.
4.3.5. Iklim
Daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah terdiri dari berbagai
kondisi iklim. Berdasarkan klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson meliputi tipe
A, B, C, D dan E. Untuk keperluan pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul
jawa, wilayah 20 KPH Perum Perhutani unit I Jawa tengah dapat diklasifikasikan
berdesarkan tipe curah hujan dominannya sebagaimana disajikan pada Tabel 4.20.
Dari Tabel 4.20 tampak bahwa ada tujuh KPH yang memiliki tipe curah hujan
dominan A dan B. Ketujuh KPH tersebut merupakan kelas perusahaan pinus, dimana
tanaman pinus (Pinus merkusii dan P. oocarpa) menjadi tanaman utama disamping
tenaman jenis lain seperti mahoni (Swietenia macrophylla) dan damar (Agathis alba).
Sepuluh KPH memiliki tipe curah hujan dominan C dan D, sedangkan tiga KPH
memiliki tipe curah hujan D atau E.
Iklim tidak berpengaruh langsung pada keberadaan macan tutul jawa, tetapi
iklim berpengaruh pada kondisi tumbuhan bawah. Selanjutnya tumbuhan bawah akan
mempengaruhi kelimpahan satwa herbivora (Marker and Dickman, 2005) seperti rusa,
101
kijang, kancil, babi hutan dan monyet. Satwa herbivora merupakan mangsa macan tutul
jawa.
Tabel 4.20. Kelas tipe curah hujan untuk kesesuaian habitat macan tutul Jawa di 20 KPH Perum Perhutani Uni1 I Jawa Tengah.
No.
KPH
Tipe Curah Hujan Dominan
Kategori*
Skor
1. Banyumas Barat B Tinggi 10 2. Banyumas Timur A Tinggi 10 3. Pekalongan Timur A, B Tinggi 10 4. Pekalongan Barat B Tinggi 10 5. Kedu Utara A, B Tinggi 10 6. Kedu Selatan B Tinggi 10 7. Semarang C dan D Sedang 5 8. Pemalang D Rendah 1 9. Kendal C dan D Sedang 5 10. Mantingan C dan D Sedang 5 11. Telawa C dan D Sedang 5 12. Surakarta A Tinggi 10 13. Gundih D Rendah 1 14. Purwodadi C Sedang 5 15. Pati A, C, D, E Sedang 5 16. Balapulang D Rendah 1 17. Randublatung C dan D Sedang 5 18. Cepu C dan D Sedang 5 19. Blora C Sedang 5 20. Kebonharjo C Sedang 5
*) Keterangan : A dan/atau B Kesesuaian Tinggi C dan D Kesesuaian Sedang D dan/atau E Kesesuaian Rendah
Diduga ada hubungan antara frekuensi keberadaan macan tutul jawa di suatu
wilayah dengan kondisi ikim (tipe curah hujan). Untuk itu perlu dilakkan uji χ2.
Hipotesis null (Ho) yang diuji adalah: tidak ada hubungan antara kehadiran macan tutul
jawa di suatu wilayah dengan kondisi iklim. Kaidah keputusannya menolak Ho jika
nilai χ2hitung lebih besar dari χ2
tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan uji χ2 disajikan
pada Tabel 4.21.
102
Tabel 4.21. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kondisi iklim dengan wilayah sebaran macan tutul jawa.
Tipe Curah Hujan
Dominan
Jumlah KPH
Prakiraan Luas (Ha)
Proporsi Frekuensi Observasi
macan tutul jawa (Oi)
Frekuensi Harapan
macan tutul jawa (Ei)
(Oi-Ei)2/Ei
1 2 3 4 5 6 7
AB 7 263.004,45 0,45 33 21 6,212
CD 10 271.175,89 0,46 9 22 7,784
D/E 3 54.213,53 0,09 6 4 0,563
Jumlah 20 588.393,87 1,00 48 48 14,558 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 6) = kolom 4 x kolom jumlah kolom 5 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ2
hitung = 14,558 > χ2(0.05;2).
Berdasarkan Tabel 4.21 diperoleh nilai χ2
hitung lebih besar daripada χ2tabel
sehingga keputusannya menolak Ho dan kesimpulannya ada hubungan antara
keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi iklim (tipe curah hujan) di suatu wilayah.
Dalam hal ini tampak bahwa macan tutul jawa lebih banyak dijumpai daerah beriklim
basah (A dan B) (68,75%) daripada di daerah beriklim kering (C, D, E) (31,25%).
Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor lingkungan yang perlu
dipertimbangkan dalam pembuatan model kesesuaian habitat macan tutul jawa.
Iklim (curah hujan) diduga berpengaruh terhadap keberadaan satwa mangsa
macan tutul yang merupakan herbivora. Satwa herbivora tergantung pada ketersediaan
hijauan pakan yang umumnya merupakan tumbuhan bawah. Kelimpahan tumbuhan
bawah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan setempat.
4.3.6. Status Fungsi Kawasan
Status fungsi kawasan berpengaruh pada intensitas gangguan manusia terhadap
kawasan. Kawasan yang berfungsi Hutan Konservasi (HK) seperti taman nasional,
cagar alam dan suaka margasatwa relatif lebih aman bagi satwaliar dibandingkan Hutan
Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP). Hal ini
karena dalam pengelolaan hutan konservasi, misalnya taman nasional, tidak
diperbolehkan adanya kegiatan yang bersifat eksploitatif, bahkan di zona inti sama
sekali tidak boleh ada kegiatan kecuali penelitian (UU No. 5/1990; PP 68/1998).
103
Di hutan lindung relatif lebih aman daripada hutan produksi karena di hutan
lindung juga ada pembatasan kegiatan pemanfaatan, yaitu hanya diperbolehkan kegiatan
yang tidak menebang pohon (PP34/2002). Sementara hutan produksi paling rentan
terhadap gangguan manusia, karena ada aktifitas penanaman, pemeliharaan dan
penebangan pohon. Di samping itu, sistem pengelolaa hutan produksi dengan program
tumpang sari atau PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) membolehkan
adanya kegiatan budidaya pertanian di antara tegakan hutan.
Pentingnya status fungsi kawasan hutan bagi kesesuaian habitat macan tutul
jawa juga ditunjukkan oleh fakta bahwa dari 17 lokasi sebaran macan tutul yang
mengalami kepunahan lokal, 94% (16) di antaranya berada di hutan produksi dan hanya
satu yang berada di hutan konservasi (hutan alam). Dari 16 lokasi sebaran macan tutul
jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 87,5% (14) diantaranya merupakan hutan
tanaman jati dan hanya dua lokasi yang merupakan hutan tanaman pinus (Tabel 4.8).
Dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 14,58%
tersebar di kawasan hutan lindung, 6,25% di hutan konservasi dan 79,17% di hutan
produksi (Gambar 4.15). Pada penelitian ini tidak ditemukan macan tutul di hutan
rakyat. Demikian juga berdasarkan laporan dari Perhutani Unit I dan BKSDA Jawa
Tengah tidak ada macan tutul menggunakan habitat hutan rakyat.
Hutan Konservasi yang masih memiliki macan tutul jawa di Jawa Tengah adalah
Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu dan Cagar Alam
Nusa Kambangan (Barat dan Timur). Hutan konservasi yang tersebar secara mosaik di
dalam lansekap hutan produksi, merupakan tempat berlindung dan berkembangbiak
yang aman bagi macan tutul jawa. Hal ini seperti yang terjadi di CA Ulolanang dan
CA Pagerwunung di KPH Kendal, CA Pringombo di KPH Kedu Selatan, CA Cabak di
KPH Cepu dan CA Gunung Butak di KPH Kebonharjo.
Dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa, status fungsi
kawasan merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan
tingkat kerawanan (vulnerability) habitat terhadap gangguan. Hal ini berkaitan dengan
intensitas gangguan (disturbance) yang potensial dapat mempengaruhi kesesuaian
habitat secara umum (Marker and Dickman, 2005).
104
Gambar 4.15. Komposisi sebaran macan tutul jawa menurut status fungsi kawasan
hutan di Provinsi Jawa Tengah.
4.3.7. Topografi
Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau
puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat
berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia (Chundawat, 1990; Marker and
Dickman, 2005). Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan
dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul jawa
banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam.
Hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi macan tutul dengan peta topografi
yang diklasifikasikan menjadi lima kelas diperoleh sebaran macan tutul jawa menurut
kelas lereng sebagaimana disajikan pada Gambar 4.16. Dari 48 lokasi indikasi macan
tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar (43,8%), curam (31,3%)
dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai, agak curam dan sangat
curam. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kelas lereng dan keberadaan
macan tutul jawa maka dilakukan uji χ2 dengan hipotesis null (Ho) : tidak ada hubungan
antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi topografi (lereng). Kaidah
keputusannya menolak Ho jika χ2hitung lebih besar dari χ2
tabel pada taraf α 5%. Hasil
perhitungan χ2 disajikan pada Tabel 4.22.
105
Gambar 4.16. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas lereng di Provinsi Jawa
Tengah.
Tabel 4.22. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kondisi kelerengan dengan sebaran macan tutul jawa.
Kelas Lereng
Luas (Ha)
Proporsi
Frekuensi Observasi macan tutul jawa (O)
Frekuensi Harapan macan tutul jawa (E) (0-E)2/E
1 2 3 4 5 6 Sangat curam > 40% 27.015,21 0,06 5 2,88 1,56Curam 25-40% 68.966,61 0,15 15 7,36 7,95Agak curam 15-25% 44.955,80 0,10 4 4,79 0,13Landai 8-15% 27.826,58 0,06 3 2,97 0,00Datar 0-8% 281.319,11 0,63 21 30,00 2,70
Jumlah 450.083,31 1,00 48 48 12.34Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 5) = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ2
hitung = 12,34 > χ2(0.05;4).
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.22 diperoleh nilai χ2hitung yang lebih besar
dari χ2tabel pada taraf α = 5%, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada
hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya.
Untuk mengetahui kondisi lereng yang paling banyak digunakan maka dilakukan uji
lanjutan dengan menghitung nilai indeks neu sebagaimana disajikan pada Tabel 4.23.
Keterangan : Datar = kelerengan 0 – 8% Curam = kelerengan 25 – 40% Landai = kelerengan 8-15% Sangat curam = kelerengan > 40% Agak curam = kelerengan 15-25%
106
Tabel 4.23. Indeks Neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap kondisi kelerengan habitatnya.
Kelas Lereng
Availability
Proporsi (a)
Records
Proporsi (r)
Indeks Seleksi w Terstandar
Curam 25-40% 68.966,61 0,15 15 0,31 2,04 0,32Sangat curam > 40% 27.015,21 0,06 5 0,10 1,74 0,27 Landai 8-15% 27.826,58 0,06 3 0,06 1,01 0,16 Agak curam 15-25% 44.955,80 0,10 4 0,08 0,83 0,13 Datar 0-8% 281.319,11 0,63 21 0,44 0,70 0,11
Jumlah 450.083.31 1,00 48 1.00 6,32 1,00
Berdasarkan hasil perhitungan indeks seleksi (w) ternyata macan tutul jawa lebih
banyak menggunakan habitat dengan kondisi lereng curam (w = 2,04) dan sangat curam
(w = 1,74). Kondisi datar justru memiliki nilai indeks seleksi kurang dari satu (w =
0,70) yang berarti tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Dengan demikian, benar
bahwa macan tutul lebih menyukai kondisi topografi yang berat. Hal ini diduga ada
kaitannya dengan faktor keamanan habitat, karena pada kondisi toporafi yang berat
umumnya tingkat kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di
lapangan memang kawasan hutan bertoografi berat jarang dirambah manusia dan
umumnya juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan
eksploitasi.
Pentingnya faktor topografi juga ditunjukkan pada sub bab 4.1.3 dan Gambar
4.16 dimana dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di
Provinsi Jawa Tengah, 46,67% memiliki topografi datar. Hal ini diduga ada kaitannya
dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar hutan (tekanan dari
penduduk).
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa topogrofi kemirinagn lereng )
merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model
kesesuaian habitat macan tutul jawa. Untuk keperluan pemodelan, kelerengan
dikelompokkan ke dalam tiga kelas sebagaimana Tabel 4.24.
107
Tabel 4.24. Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan kesesuaian habitat macan tutul jawa.
Kelas lereng Kategori Kesesuaian Skor
Datar – Landai 0-15% Rendah 1
Agak curam 15-25% Sedang 5
Curam – sangat curam >25% Tinggi 10
4.3.8. Ketinggian Tempat (Altitude)
Berdasarkan hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi keberadaan macan
tutul dengan peta ketinggian (altitude) di atas permukaan laut (dpl), dari 48 lokasi
indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ada di ketinggian 0 – 500 m dpl (52,1%)
diikuti ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (31,3%) dan ketinggian 500-1.000 m dpl
(16,7%) (Gambar 4.17)
Gambar 4.17. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas ketinggian (altitude) di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah.
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kondisi ketinggian tempat
dengan sebaran macan tutul jawa maka dilakukan uji χ2 dengan hipotesis null (Ho) :
tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat
(altitude). Kaidah keputusannya menolak Ho jika χ2hitung lebih besar dari χ2
tabel pada
taraf α 5%. Hasil perhitungan χ2 disajikan pada Tabel 4.25.
108
Tabel 4.25. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa.
Kelas ketinggian
Availability
Proporsi (%)
Frekuensi observasi macan
tutul jawa (O)
Frekuensi harapan amcan tutul jawa
(E) (O-E)2/E
1 2 3 4 5 6 0-500 m dpl 30.3698,19 0,67 25 32,39 1,69
500-1000 m dpl 68.363,76 0,15 8 7,29 0,07
> 1000 m dpl 78.021,36 0,17 15 8,32 5,36
Jumlah 450.083,31 1,00 48 48 7,12 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 5) = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ2
hitung = 7.12 > χ2(0.05;2).
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.25 diperoleh nilai χ2hitung yang lebih besar
dari χ2tabel pada taraf α = 5%, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada
hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat. Untuk
mengetahui kondisi ketinggian tempat yang paling banyak digunakan (prefered) maka
dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks Neu sebagaimana disajikan pada
Tabel 4.26.
Tabel 4.26. Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap ketinggian tempat di atas permukaan laut.
Kelas ketinggian tempat Availability
Proporsi (a) Records
Proporsi (r)
Indeks Seleksi w Terstandar
> 1000 78.021,36 0,17 15 0,31 1,80 0,49 500-1000 68.363,76 0,15 8 0,17 1,10 0,30 0-500 303.698,19 0,67 25 0,52 0,77 0,21
Jumlah 450.083,31 1,00 48 1,00 3,67 1,00
Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa sebaran macan tutul tidak
dibatasi oleh ketinggian tempat, namun macan tutul jawa ditemukan banyak
menggunakan daerah ketinggian. Dari Tabel 4.26 tampak bahwa lokasi dengan
ketinggian kurang dari 500 m dpl memiliki indeks seleksi kurang dari satu (w = 0,77),
artinya tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Sementara indeks seleksi tertinggi
adalah pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (w = 1,80) atau paling disukai.
109
Hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan habitat oleh macan tutul jawa
diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap gangguan. Dalam hal ini
kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan. Perkampungan dan pemukiman
padat umumnya berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1.000 m
dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman.
Disamping itu, kawasan hutan di daerah ketinggian lebih dari 1.000 m dpl banyak yang
merupakan kawasan hutan lindung, khususnya di gunung-gunung seperti Gunung
Slamet, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Lawu dan
Gunung Muria serta merupakan taman nasional yaitu TN Gunung Merapi dan TN
Gunung Merbabu
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu dari enam provinsi di Indonesia
yang memiliki proporsi tertinggi rumah tangga rawan pangan yang berkisar antara 37,3
– 54,2% (Salem et al., 2005). Pada tahun 2008, dari 34.142.100 jiwa penduduk Jawa
tengah, 17,23% (5.883.310 jiwa) di antaranya merupakan penduduk miskin (Munhur,
2009). Oleh karena itu, Provinsi Jawa Tengah juga memiliki laju deforestasi yang
tinggi, yaitu antara tahun 2000-2005 rata-rata 142.560 ha per tahun. Dari segi luasan,
deforestasi di Jawa Tengah (2003-2006) 5.073,2 ha merupakan yang terbesar (80,6%)
dari total deforestasi di Pulau Jawa) (Departemen Kehutanan, 2007a).
Pentingnya faktor ketinggian tempat (altitude) juga diuraikan pada subab 4.1.3
dan Gambar 4.2. di mana dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah,
86,67% berada di daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl. Hal ini diduga berkaitan erat
dengan faktor kerawanan terhadap tekanan dari penduduk di sekitar hutan yang lebih
tinggi di daerah dataran rendah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketinggian tempat merupakan
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun model kesesuaian habitat macan
tutul jawa. Walaupun berbagai literatur menyebutkan bahwa ketinggian tempat bukan
merupakan faktor pembatas, namun dalam penelitian ini terbukti macan tutul jawa lebih
banyak menggunakan habitat di tempat-tempat ketinggian. Untuk keperluan
penyusunan model kesesuaian habitat, ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi tiga
kelas seperti disajikan pada Tabel 4.27.
110
Tabel 4.27. Klasifikasi dan skoring ketingian tempat untuk penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa.
Kelas Ketinggian tempat Kategori Kesesuaian Skor
< 500 m dpl Rendah 1
500 – 1.000 m dpl Sedang 5
> 1.000 m dpl. Tinggi 10
4.4. Fragmentasi Hutan Alam
Kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas 656.193,89 ha, sebagian besar
(83,84%) merupakan hutan tanaman, sementara sisanya (16,16%) merupakan hutan
alam (Perum Perhutani, 2006). Hutan alam di Jawa Tengah tersebar secara mosaik di
antara hutan tanaman dan berfungsi sebagai kantong-kantong habitat perlindungan
macan tutul jawa. Dari panelitian ini juga terbukti bahwa hutan alam merupakan tipe
tutupan lahan paling disukai oleh macan tutul jawa dengan nilai indeks seleksi Neu (w)
8,5560. Di sisi lain, dari tahun ke tahun hutan alam di Provinsi Jawa Tengah terus
mengalami deforestasi dan fragmentasi. Dalam kurun waktu 16 tahun (1990-2006)
provinsi ini telah kehilangan hutan alamnya seluas 446.561,09 Ha atau 88,0%. Puncak
laju deforestasi di Provinsi Jawa Tengah terjadi antara tahun 2000 – 2005 yaitu seluas
142.560 hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a).
Secara umum sisa-sisa hutan alam di Pulau Jawa ada di sekitar puncak-puncak
gunung yang pada umumnya jauh dari jangkauan manusia dan sulit diakses oleh
masyarakat untuk pertanian dan pemukiman. Meskipun demikian, seiring dengan
berjalannya waktu, sisa-sisa hutan alam di gunung-gunung di Jawa Tengah juga
mengalami fragmentasi sehingga terjadi kehilangan habitat (habitat loss) dan isolasi
habitat (isolation). Sebagai contoh, Gunung Muria telah kehilangan hutan alamnya
85,50%, kemudian disusul oleh Gunung Slamet (83,91%), Gunung Lawu (77,51%) dan
Gunung Ungaran (75,33%).
111
Gambar 4.18. Perubahan tutupan hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah (A) tahun 1990; (B) tahun 2000; (C) tahun 2006.
2006
2000
1990
B
A
C
112
Fragmentasi telah terjadi di semua hutan alam yang tersisa di gunung-gunung
lainnya seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing,
Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Gunung-gunung tersebut merupakan
daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah (Gunawan, 1988). Proses
fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai bagi satwaliar atau memiliki
kesesuaian rendah bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat (Hunter, 1997).
Dengan demikian, keberadaan macan tutul jawa menjadi semakin terancam
kelestariannya.
Dari Gambar 4.19 dan Gambar 4.20 tampak jelas perubahan jumlah fragment
(patches) hutan maupun luas hutan. Jumlah fragment dan luas yang menurun
menunjukkan telah terjadi fragmentasi habitat dan kehilangan habitat (habitat loss).
Pada tahun 1990, luas hutan alam lahan kering masih 507.407,51 Ha yang tersebar
dalam 108 fragment hutan. Tahun 2000 menurun drastis (77,5%) menjadi 114.044,23
Ha dalam 88 fragment hutan dan pada tahun 2006 hutan alam lahan kering yang tersisa
tinggal 60.846,42 Ha dalam 39 fragment hutan atau menurun 46,6% dari tahun 2000.
Secara total dari tahun 1990 sampai tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan
hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 Ha (88,0%) atau rata-rata 27.910 hektar per
tahun.
Fragmentasi hutan alam lahan kering di Jawa Tengah juga dapat diihat dari
parameter Total Edge (TE). Total edge hutan alam lahan kering yang terus menurun
dari tahun 1990 sampai tahun 2006 menunjukkan bahwa fragmentasi disamping
memecah patches hutan juga diikuti oleh hilangnya patches hutan tersebut. TE tahun
1990 adalah 42,43 km menurun menjadi 15,08 km pada tahun 2000 dan pada tahun
2006 total edge hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah menjadi 8,75 km
(Gambar 4.21).
Edge Density (ED) hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah juga
menurun dari tahun 1990-2006 yang juga menunjukkan bahwa fragmentasi bukan saja
memecah patches tetapi juga disusul dengan hilangnya patches. ED pada tahun 1990
adalah 151.061,78 m2/ha kemudian menurun menjadi 53.342,70 m2/ha pada tahun 2000
dan menjadi 31.076,62 m2/ha pada tahun 2006 (Gambar 4.22).
113
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
1990 2000 2006
Luas
(Ha)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
1990 2000 2006
Jum
lah
Patc
hes
Gambar 4.19. Perkembangan luas hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah
dari tahun 1990 – 2006.
Gambar 4.20. Perkembangan jumlah patches hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1990 – 2006.
114
Gambar 4.21. Perkembangan Total Edge (TE) hutan alam lahan kering di Provinsi
Jawa Tengah.
Gambar 4.22. Perkembangan Edge Density hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah.
Pada skala fragment (patch) hutan individual, hilangnya vegetasi hutan dan
fragmentasi dapat memiliki pengaruh luas pada survival populasi, interaksi ekologi dan
keanekaragaman hayati (Fahrig & Grez, 1996). Seiring fragment hutan mengecil,
populasi cenderung lebih rentan untuk punah karena resiko-resiko demografik,
lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987). Ketika fragment-fragment
hutan menjadi terisolasi tanpa adanya ketersambungan di antara mereka, migrasi
organisme bisa terhalangi (Kareiva, 1987). Fragment hutan yang kecil juga memiliki
115
ratio edge:interior yang lebih tinggi. Untuk spesies hutan interior (seperti macan tutul
jawa), hal ini juga berarti kehilangan habitat lebih luas daripada luas fragment
sebenarnya yang hilang (Wilcove et al., 1986; Williams-Linera, 1990). Besarnya
pengaruh tergantung pada pola kehilangan hutan pada skala lansekap yang akan
menentukan jumlah fragment yang tersisa, ukurannya, bentuknya, jarak antara fragment
dan kondisi matrix habitat di sekitarnya (Groom & Schumaker, 1993).
Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992), ada empat cara
fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies mulai keluar dari kantong
habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena
pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan
populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap
bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4)
fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat
menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh
merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi.
Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh
positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat
yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwaliar generalis.
Fragmentasi memberikan pengaruh negatif ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2)
terbentuk kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi;
(3) habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh
aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah edge meningkat karena fragmentasi habitat
merugikan spesies interior (Barnes, 2000).
Untuk kasus di Provinsi Jawa Tengah tampaknya hilangnya habitat lebih
berperan bagi kepunahan macan tutul jawa secara lokal, karena hilangnya habitat tidak
saja menyebabkan penurunan total habitat tetapi juga menyebabkan terputusnya
penyebaran habitat yang tersisa. Terputusnya kesinambungan habitat tersebut antara
lain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian, pemukiman, jalan raya, irigasi,
waduk dan jaringan listrik saluran udara tegangan esktra tinggi (SUTET).
116
Gambar 4.23. Beberapa penyebab fragmentasi hutan di Provinsi Jawa Tengah: (a) sistem tebang habis; (b) perambahan hutan; (c) jaringan jalan raya; (d) jaringan listrik SUTET; (e) pertanian; (f) jaringan irigasi.
4.5. Metapopulasi
Fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan suatu populasi macan tutul
jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong habitat (patches) yang
terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang menyebar di Provinsi Jawa
Tengah dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti yang diklasifikasikan
oleh Harrison & Taylor (1997) yaitu: (1) classic metapopulation; (2) mainland-island
metapopulation; (3) non equilibrium metapopulation; dan (4) patchy population.
a b
c d
e f
KPH Kendal KPH Pemalang
Alas roban KPH Kendal KPH Kendal
Besokor, KPH Kendal KPH Pemalang
117
1. Non equilibrium population
Contoh metapopulasi tipe non equilibrium di Provinsi Jawa Tengah adalah
populasi di Gunung Muria (KPH Pati), populasi di Mandirancan dan sekitarnya (di KPH
banyumas Timur dan Banyumas Barat), populasi di Gunung Merapi, Gunung Merbabu,
Gunung Ungaran dan Gunung Sindoro; serta populasi di Gunung Lawu, Gunungkidul
dan Kulonprogo.
Gambar 4.24. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Muria dan sekitarnya (KPH Pati).
Di Gunung Muria dan sekitarnya (Gambar 4.24), fragmentasi menyebabkan
kantong-kantong habitat terpisah cukup jauh dan ada penghalang berupa pemukiman di
antara kantong habitat tersebut. Populasi di patch Gunung Muria (A) yang sebelumnya
mungkin merupakan sumber (mainland) bagi patches di sekitarnya (B, C, D, E, F) telah
terpisah jauh akibat fragmentasi oleh pemukiman. Akibatnya populasi Gunung Muria
tidak dapat melakukan kolonisasi terhadap patches tersebut. Populasi macan tutul di
kantong habitat C (Gunung Clering) mengalami kepunahan lokal pada tahun 2000an
akibat perambahan hutan dan tidak ada konektifitas untuk migrasi ke patches lain serta
tidak adanya rekolonisasi dari Gunung Muria karena tidak ada konektifitas.
Populasi macan tutul jawa di Mandirancan (C) dan sekitarnya (Gambar 4.25),
terfragmentasi dan terpisah jauh dengan populasi di Notog (D), Jatilawang (B), RPH
DE
F
B
C
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
A
118
Kretek (E), Cimanggu (F) dan Nusakambangan (A). Populasi Mandirancan berdekatan
dengan populasi Notog namun terfragmentasi secara alami oleh Sungai Serayu dan jalan
raya Purwokerto-Cilacap. Sementara populasi Nusakambangan terfragmentasi secara
alami oleh Segara Anakan sehinga terpisahkan dari populasi macan tutul di daratan
Pulau Jawa. Populasi Cimanggu dan Kretek terpisahkan dari populasi lainnya oleh
jalan raya dan pemukiman yang berkembang di sekitar hutan. Dengan kondisi
demikian, populasi-populasi tersebut diperkirakan rentan terhadap kepunahan, bahkan
populasi Notog dan Jatilawang telah mengalami kepunahan lokal. Dalam metapopulasi
ini, populasi Mandirancan, Cimanggu dan Nusakambangan diperkirakan tidak akan
bertahan lama. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konektifitas dengan populasi lain
dan luasan habitat yang kecil, yaitu Nusakambangan 952 ha, Mandirancan 1.228,4 ha
dan Cimanggu 1.750,8 ha. Sementara Populasi RPH Kretek diperkirakan dapat
bertahan karena memiliki habitat yang lebih luas dan adanya kemungkinan rekolonisasi
dari Gunung Slamet.
Gambar 4.25. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di RPH Mandirancan (KPH Banyumas Timur) dan sekitarnya.
Pada Gambar 4.26 tampak bahwa populasi macan tutul jawa di Gunung Sindoro
(D), Gunung Sumbing (C), Gunung Ungaran (F), Gunung Merapi (A) dan Gunung
Merbabu (B) dapat dianggap sebagai populasi tunggal yang terisolasi karena tidak ada
A
BC
D
EF
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
119
konektifitas satu sama lain. Dalam beberapa tahun mendatang, meskipun terisolasi,
populasi ini diperkirakan masih dapat bertahan karena luasan habitatnya cukup luas
sekitar 5000 ha atau lebih dan jumlah individu dalam populasi tersebut diperkirakan
masih cukup banyak. Populasi macan tutul jawa di puncak-puncak gunung juga relatif
sedikit mendapat tekanan atau gangguan dari manusia.
Gambar 4.26. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di beberapa gunung di Jawa Tengah.
Populasi macan tutul jawa di Gunung Lawu (B), Gunungkidul (C), Kulonprogo
(D) dan Gunung Merapi (A) terpisah jauh, mungkin sejak lama (Gambar 4.27).
Populasi-populasi tersebut tidak memiliki konektifitas satu sama lain sehingga tidak ada
migrasi untuk kolonisasi atau rekolonisasi. Akibatnya populasi Gunungkidul dan
Kolonprogo telah mengalami kepunahan lokal dan tidak akan pernah mendapat
rekolonisasi dari populasi Gunung Merapi maupun Gunung Lawu. Populasi Gunung
Lawu dan Gunung Merapi menjadi populasi tunggal yang terisolasi. Meskipun
terisolasi, kedua populasi tersebut diperkirakan akan dapat bertahan dalam beberapa
dekade mendatang karena berada di kawasan hutan yang terlindungi (Taman Nasional
Gunung Merapi dan Hutan Lindung Gunung Lawu) yang memiliki luasan cukup besar
serta tekanan penduduk yang kecil karena berada di puncak-puncak gunung yang
bertopografi berat.
A
B
F
C
D
E
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
120
Gambar 4.27. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo.
Tipe non equilibrium metapopulation juga terjadi pada populsi di KPH Kendal
dan sekitarnya (Gambar 4.28). Populasi Subah (A), Besokor (B) dan Darupono (C)
terpisah cukup jauh dan tidak ada konektifitas satu sama lain sehingga tidak dapat saling
bertukar individu. Demikian juga dengan populasi di Gunung Prahu (F) dan Gunung
Ungaran (D) di KPH Kedu Utara. Kelima populasi tersebut tidak terhubungkan satu
sama lain sehingga dalam jangka panjang rentan terhadap kepunahan lokal. Populasi
yang diperkirakan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah populasi Darupono,
Gunung Ungaran dan Gunung Prahu karena memiliki luasan habitat yang relatif besar
(Darupono 13.568,14 ha; Gunung Prahu 2.402.,32 ha; Gunung Ungaran 4.711,97 ha).
Disamping itu, kantong habitat di Gunung Ungaran dan Gunung Prahu merupakan
hutan lindung sehingga relatif lebih aman dibandingkan populasi di hutan produksi (A,
B, C).
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
AB
CD
121
Gambar 4.28. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jwa di KPH Kendal dan sekitarnya.
Populasi yang paling rawan menghadapi kepunahan lokal dalam waktu dekat
adalah populasi Besokor. Hal ini disebabkan oleh luasan habitat yang kecil (692,1 ha)
dan tidak memiliki konektifitas dengan populasi Subah karena fragmentasi oleh
pertanian dan jalan raya Semarang – Pekalongan serta terfragmentasi dengan populasi
Darupono oleh lahan pertanian dan jalan raya Weleri-Temanggung. Sementara populasi
Subah memiliki luasan yang lebih besar (2.422,77 ha).
Populasi non equilibrium lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah
kumpulan populasi di KPH Kedu Selatan (Gambar 4.29). Populasi Pringombo (B)
terpisah jauh dengan populasi Karangsembung (A) dan populasi Bruno (C). Populasi
Bruno telah mengalami kepunahan lokal dan tampaknya sulit mendapatkan kolonisasi
kembali dari populasi Pringombo maupun Karangsembung karena jaraknya jauh dan
adanya fragmentasi hutan. Populasi Pringombo dan Karangsembung tampakanya
memiliki resiko kepunahan lokal yang sama besar karena tekanan penduduk dan
kerusakan hutan akibat perambahan yang terjadi setelah gerakan reformasi tahun 1998.
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
A
B
C
DF
122
Gambar 4.29. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di KPH Kedu Selatan.
2. Mainland-island metapopulation
Mainland-island metapopulation merupakan sistem dari habitat patches
(islands) berlokasi di dalam jarak sebaran dari suatu habitat yang sangat besar
(mainland) di mana populasi lokal tidak akan pernah punah (Harrison & Taylor 1997).
Tipe metapopulasi Mainland-island bisa digambarkan dengan populasi macan tutul
jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya (Gambar 4.30). Populasi macan tutul jawa di
Gunung Slamet merupakan mainland population yang menjadi sumber kolonisasi bagi
patches hutan di sekitarnya seperti patch hutan RPH Kretek (B), Balapulang (C);
Kalibakung (D) Moga (E) dan Paninggaran (F).
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
A
B
C
123
Gambar 4.30. Tipe mainland-islands metapopulation macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya.
Populasi Balapulang (C) telah mengalami kepunahan lokal akibat perambahan
hutan dan tidak ada rekolonisasi dari Gunung Slamet karena tidak ada konektifitas
akibat fragmentasi. Sementara populasi Moga (E) terisolasi dari mainland Gunung
Slamet (A) dan populasi Paninggaran (F). Beberapa tahun mendatang populasi yang
rentan mengalami kepunahan lokal adalah populasi Moga karena terisolasi dan
luasannya kecil (2.513,6 ha) dan populasi Kalibakung (D) yang luasnya hanya 619,9 ha.
Sementara patch hutan Balapulang (C) masih bisa diharapkan menerima migrasi dari
populasi Kalibakung (D) jika ada koridor untuk migrasi.
3. Classic (Levins) Metapopulation
Classic metapopulation merupakan suatu jaringan besar dari patches kecil yang
serupa, dengan dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat
dibandingkan dinamika metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana
semua populasi lokal, meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu
resiko kepunahan yang signifikan (Harrison & Taylor 1997).
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
AB
C D
E F
124
Populasi-populasi di Jawa Tengah bagian Timur (KPH Semarang, Telawa,
Gundih, Purwodadi, Blora, Randublatung, Cepu dan Kebonharjo) dapat
menggambarkan tipe Classic metapopulation (Gambar 4.31) memiliki resiko kepunahan
lokal yang sama signifikannya karena memiliki kondisi hutan yang sama dan tingkat
ancaman yang relatif sama. Beberapa populasi telah mengalami kepunahan lokal
namun masih ada harapan direkolonisasi oleh populasi yang masih ada di dekatnya.
Populasi Gunung Lasem (M) dan Pasedan (L) mungkin akan sulit untuk mendapatkan
rekolonisasi dari populasi Kebonharjo (G) karena tidak ada konektifitas. Sementara
populasi Kebonharjo (G) masih ada konektifitas dengan populasi Cepu (F) dan
Randublatung (E).
Gambar 4.31. Tipe classic metapopulation macan tutul jawa di Jawa Tengah bagian
timur.
Populasi Karangsono, Telawa (C) dapat menjadi sumber kolonisasi populasi
yang telah punah lokal di Gunung Pati, Semarang (A), Sragen, Telawa (B) dan
Segorogunung, Gundih (D). Populasi Cepu (F) juga memiliki konektifitas dengan
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
A
B
DE
F
G
H
JK
LM
C
I
125
Populasi Segorounung (D) tetapi jaraknya cukup jauh. Populasi Barisan, Pati (J), Ngiri,
Mantingan (K) dan Krocok, Blora (H) hanya memiliki konektifitas dengan populasi
Sambirejo, Purwodadi (I). Sementara populasi Kebonharjo (G) tidak memiliki
konektifitas dengan ketiga populasi yang telah mengalami kepunahan lokal tersebut (J,
K, H) sehingga tidak bisa diharapkan mengkolonisasi ketiga patches hutan yang telah
kehilangan macan tutul jawa tersebut.
Dengan demikian populasi Karangsono, Telawa (C) dan populasi Sambirejo,
Purwodadi (I) memiliki peranan yang sangat penting untuk melakukan kolonisasi
kembali bekas-bekas kantong habitat macan tutul jawa yang telah kosong di sekitarnya.
opulasi Kebonharjo, Cepu dan Randublatung diperkirakan masih akan bertahan dalam
waktu yang lama ke depan karena ketiganya memiliki konektifitas sehinga dapat saling
bertukar individu.
4. Patchy population
Patchy population adalah suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar
sub populasi sangat tinggi sehingga dapat dapat dikatakan secara efektif merupakan satu
populasi. Dalam patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari
lebih satu sub populasi sepanjang hidupnya (Harrison & Taylor 1997).
Patchy population dapat digambarkan oleh metapoulasi di kelompok hutan
Salem (KPH Pekalongan Barat) yang menyambung dengan kelompok hutan Majenang
(KPH Banyumas Barat) (Gambar 4.32). Populasi macan tutul di Majenang (A) dan
Pesahangan (B) di KPH Banyumas Barat serta populasi di Indrajaya (C), Winduasri (E)
dan Cikuning (D) di KPH Pekalongan Barat saling terhubung sehingga memungkinkan
terjadinya pertukaran individu. Lansekap hutan masih tersambungkan meskipun ada
fragmentasi oleh pemukiman dan lahan pertanian. Metapopulasi ini diperkirakan akan
terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang. Hal ini disebabkan hutannya
merupakan tanaman pinus yang disadap getahnya sehingga relatif tidak ada kegiatan
penebangan dan sebagian merupakan hutan lindung, seperti di Indrajaya (C) dan
Cikuning (D).
126
Gambar 4.32. Tipe patchy population macan tutul jawa di kelompok hutan Salem, KPH Pekalongan Barat dan kelompok hutan Majenang, KPH Banyuas Barat.
Patchy population juga ada di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya (Gambar
4.33). Patchy population yang pertama adalah populasi macan tutul jawa di Brondong
(A), Lemahabang (B) dan Pedagung (C) di KPH Pekalongan Timur yang masih
terhubungkan satu sama lain. Patchy population kedua terdiri dari populasi macan tutul
jawa di Jolotigo, Pekalongan Timur (D), Cipero, Pemalang (G), Winduaji, Pekalongan
Timur (F) dan Paninggaran, Pekalongan Timur (E) yang masih saling terhubungkan
sehingga dapat saling migrasi. Sementara di sekitarnya ada populasi kecil, yaitu
Lobongkok, Pemalang (H) seluas 1.463,1 ha dan Moga, Pekalongan Barat (I) seluas
2.513,6 ha yang terisolasi dari kedua kelompok patchy population tersebut. Kedua
populasi kecil dan terisolasi tersebut diperkirakan akan mengalami kepunahan lokal
dalam beberapa tahun mendatang apabila tidak ada konektifitas ke populasi lain di
dekatnya.
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
A B
C
DE
127
Gambar 4.33. Tipe patchy population macan tutul jawa di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya.
Tipe patchy population juga ada di KPH Pemalang dan sekitarnya (Gambar
4.34). Populasi macan tutul jawa di Mangunsari (A), Karangasem (D), Kenyere (C) dan
Kejene (E) di KPH Pemalang serta populasi di Gunung prahu (B) di KPH Kedu Utara
saling terhubungkan satu sama lain sehingga arus pertukaran individunya lancar.
Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan. Metapopulasi tersebut tidak
memiliki konektifitas ke populasi di Karangkobar (F) yang telah mengalami kepunahan
lokal beberapa tahun yang lalu. Populasi di Gunung Sindoro (G) juga terfragmentasi
dari patchy population tersebut.
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
A B D
E F
G
H
I
C
128
Gambar 4.34. Tipe Patchy population macan tutul jawa di KPH Pemalang dan sekitarnya.
Dari analisis terhadap metapopulasi, populasi-populasi macan tutul jawa di
Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi. Terdapat enam
kelompok populasi yang membentuk non-equilibrium metapopulation yang melibatkan
15 populasi (lokasi indikasi macan tutul jawa) atau 31,25% dari seluruh populasi.
Terdapat satu satu metapopulasi tipe mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan
sekitarnya yang melibatkan 11 populasi atau 22,92% dari seluruh populasi. Hanya
terdapat satu classic metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42% dari
seluruh populasi dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42%
dari seluruh populasi (Tabel 4.28).
Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa tersebut tampak bahwa
non equilibrium metaoipulation cukup besar (31,25%). Hal ini tentu mengkhawatirkan
kelestarian macan tutul jawa di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut
A
BC
E FG
Patch pernah dilaporkan dihuni
Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini
Keterangan :
D
129
rentan terhadap kepunahan lokal akibat tidak adanya konektifitas untuk migrasi antar
populasi
Tabel 4.28. Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah.
Tipe Metapopulasi Jumlah Kelompok
Jumlah populasi
Proporsi (%)
1. Non Equilibrium Metapopulation 6 15 31,252. Mainland-Islands Metapopulation 1 11 22,923. Classic Metapopulation 1 5 10,424. Patchy Population 4 17 35,42
Jumlah 12 48 100,00
Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang
berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainland-
islands. Gunung Slamet menjadi patch sumber (source) kolonisasi (mainland) bagi
populasi-populasi di sekitarnya (islands) yang menjadi penerima (sink). Populasi yang
juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah populasi-
populasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH Pekalongan Barat-
KPH Banyumas Barat (Salem-Majenang), Pekalongan Timur (Brondong–Paninggaran
dan sekitarnya), dan KPH Pemalang dan sekitarnya.
Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola
Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH
Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH
Mantingan dan KPH Pati. Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi
ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik sementara
akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk pemukiman,
jalan dan lahan pertanian.
Berdasarkan analisis metapopulasi tersebut dapat dibuat peta resiko kepunahan
lokal macan tutul jawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.35. Dari Gambar 4.35
tampak ada delapan populasi (17%) yang memiliki resiko kepunahan lokal tinggi. Hal
ini disebabkan oleh luas habitatnya yang kecil dan terisolasi atau terdegradasi berat.
Sembilan belas populasi (39%) memiliki resiko kepunahan lokal sedang dan 21
populasi (44%) memiliki resiko kepunahan lokal rendah (Lampiran 3).
130
Gambar 4.35. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe metapopulasinya
131
4.6. Model Spasial Kesesuaian Habitat
Berdasarkan delapan komponen habitat macan tutul jawa yang telah dikaji dan
dievaluasi pada sub bab 4.3 (Karakteristik Habitat) dapat dibuat pemodelan spasial
kesesuaian habitat menggunakan program ArcView 3.2. Kesesuaian habitat dibangun
dari dua kelompok komponen habitat, yaitu komponen yang terkait dengan kebutuhan
hidup macan tutul (pemanfaatan habitat) dan komponen yang terkait dengan keamanan
dari gangguan (disturbance) (kerawanan habitat). Komponen yang yang terkait dengan
kebutuhan hidup macan tutul jawa adalah : (1) luas (ruang); (2) mangsa; (3) vegetasi
pelindung (cover); (4) air dan (5) iklim. Sementara komponen yang terkait dengan
kerawanan habitat terhadap gangguan didekati dengan: (1) status kawasan hutan; (2)
topografi dan (3) ketinggian dari permukaan laut (altitude).
4.6.1. Model Pemanfaatan Habitat Macan Tutul Jawa
Hasil overlay lima faktor pemanfaatan habitat (luasan, mangsa, tipe hutan, badan
air dan curah hujan) memberikan hasil seperti ditunjukan pada Gambar 4.36. Secara
kuantitatif jumlah dan luasan kantong habitat (habitat patches) menurut kelas
pemanfaatannya disajikan pada Tabel 4.29.
Tabel 4.29. Luas dan jumlah patches habitat menurut kelas pemanfaatannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006.
Kelas Pemanfaatan Habitat
Kisaran Total Skor
Jumlah Patches
Proporsi (%)
Luas Total (Ha)
Proporsi (%)
Tinggi 5,83-8,50 177.097 64,00 294.253,63 42,96Sedang 3,17-5,83 78.624 28,41 342.240,66 49,97Rendah 0,5-3,17 20.988 7,58 48.417,25 7,07 Jumlah 276.709 100,00 684.911,54 100,00
Dalam Tabel 4.29. tampak bahwa sebagian besar (64,00%) kantong habitat
(habitat patches) hutan di Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat pemanfaatan yang
tinggi sebagai habitat macan tutul jawa. Hanya sebagian kecil patches hutan yang
memiliki kelas pemanfaatan rendah (7,58%) dan selebihnya (28,41%) memiliki kelas
pemanfaatan sedang. Menurut luasnya, habitat yang memiliki pemanfaatan tinggi
42,96%, sedang 49,97% dan rendah 7,07% Secara umum kawasan berhutan di Jawa
Tengah masih memiliki tingkat pemanfaatan yang tinggi dan sedang sebagai habitat
macan tutul jawa. Hal ini juga berarti masih memiliki kesesuaian yang tinggi bagi
132
habitat macan tutul jawa. Kantong-kantong habitat yang memiliki pemanfaatan rendah,
terutama disebabkan oleh luasan yang kecil (<600 ha) dan ketiadaan satwa mangsa
utama.
Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat
disajikan pada Tabel 4.30. Dari Tabel 4.30 tampak bahwa distribusi lokasi indikasi
macan tutul jawa mengikuti pola distribusi kelas pemanfaatan habitat (Tabel 4.30), yaitu
macan tutul jawa terkonsentrasi di kantong-kantong habitat (patches) dengan kelas
pemanfaatan tinggi (68,75%), diikuti kelas pemanfaatan sedang (29,17%) dan hanya
2,08% berada di habitat dengan kelas pemanfaatan rendah.
Tabel 4.30. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat.
Kelas Pemanfaatan Jumlah Lokasi Indikasi Proporsi (%) Rendah 1 2,08 Sedang 14 29,17 Tinggi 33 68,75
Jumlah 48 100,00
Untuk menguji hipotesis null (Ho): ditribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul
mengikuti disribusi proporsi kelas pemanfaatan habitat maka dilakukan uji proporsi
(χ2). Kaidah keputusannya adalah menerima Ho jika χ2hitung kurang dari χ2
tabel pada
taraf α = 5%. Dengan menggunakan formula 3.20 diperoleh nilai χ2hitung = 5,86 lebih
kecil daripada χ2 (0,05;2), sehingga keputusannya menerima Ho yaitu distribusi proporsi
lokasi indikasi macan tutul mengikuti distribusi proporsi kelas pemanfaatan habitat.
Dengan demikian kesimpulannya adalah model pemanfaatan habitat sesuai dengan
kondisi sebaran populasi aktual di lapangan saat ini. Dengan menggunakan formula
3.19 diperoleh validitas model 97,92%. Hal ini juga menunjukkan bahwa model yang
dibuat dapat diandalkan untuk kondisi saat ini di Jawa Tengah.
133
Gambar 4.36. Peta pemanfaatan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah.
134
4.6.2. Model Kerawanan Habitat Macan Tutul Jawa
Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap potensi gangguan aktifitas manusia,
patches hutan di Provinsi Jawa Tengah hanya sedikit yang memiliki kelas kerawanan
rendah (aman) untuk habitat macan tutul jawa yaitu 16,90%. Sementara selebihnya
memiliki kerawanan tinggi atau tidakn aman (40,74%) dan sedang (42,36%).
Berdasarkan luasnya, areal berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah atau aman
untuk habitat macan tutul jawa hanya 11,07%, sedangkan sebagian besar lainnya
memiliki tingkat kerawanan tinggi atau tidak aman (69,19%) dan sedang (19,73%)
(Tabel 4.31). Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Jawa Tengah disajikan pada
Gambar 4.37.
Tabel 4.31. Jumlah dan luas patches habitat menurut kelas kerawanannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006.
Kelas Kerawanan Habitat
Kisaran Total Skor
Jumlah Patches
Proporsi (%)
Luas Total (Ha)
Proporsi (%)
Rendah 1,07-1,50 46.751 16,90 75.837,10 11,07Sedang 0,63-1,07 117.221 42,36 135.153,23 19,73Tinggi 0,20-0,63 112.737 40,74 473.921,20 69,19 Jumlah 276.709 100,00 684.911,54 100,00
Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut tingkat kerawanan
habitatnya disajikan pada Tabel 4.32. Dari Tabel 4.32 tampak bahwa distribusi lokasi
indikasi macan tutul jawa 40,74% berada di kantong-kantong habitat (patches) dengan
tingkat kerawanan tinggi (tidak aman), 42,36% di habitat dengan tingkat kerawanan
sedang dan hanya 1,7% berada di habitat dengan kerawanan rendah (aman). Hal ini
menunjukan bahwa macan tutul jawa dalam kondisi terancam karena sebagian besar
habitatnya tidak aman.
Tabel 4.32. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kerawanan habitat.
Kelas Kerawanan Jumlah Lokasi Indikasi Proporsi (%) Tinggi 21 43,75 Sedang 17 35,42 Rendah 10 20,83
Jumlah 48 100,00
135
Uji χ2 terhadap model dilakukan dengan hipotesis null (Ho) : distribusi lokasi
indikasi macan tutul jawa mengikuti distribusi proporsi kelas kerawanan habitat.
Dengan menggunakan formula 3.20. menghasilkan nilai χ2hitung =0,030 (kurang dari χ2
(0,05;2)) sehingga keputusannya menerima Ho dan dapat disimpulkan model keamanan
habitat tersebut sesuai dengan fakta di lapangan saat ini.
Faktor keamanan sangat penting dalam analisis kesesuaian habitat macan tutul
jawa karena dari hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa 66,67% populasi macan tutul
jawa yang mengalami kepunahan lokal berada di lokasi dengan kerawanan habitat
tinggi atau tingkat keamanannya rendah dan 33,33% berada di lokasi dengan tingkat
keamanan sedang (Tabel 4.33).
Tabel 4.33. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal menurut kelas kerawanan habitatnya.
Kelas kerawanan Jumlah Lokasi Indikasi Proporsi (%) Tinggi 10 66,67 Sedang 5 33,33 Rendah 0 00,00
Jumlah 15* 100,00 *Hanya yang di Jawa Tengah (dua lokasi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta)
136
Gambar 4.37. Peta kerawnan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah.
137
4.6.3. Model Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) Macan Tutul Jawa
Hasil overlay antara model pemanfaatan dan model kerawanan habitat
menghasilkan kesesuaian habitat yang disajikan pada Tabel 4.34. dan Gambar 4.38.
Pada Tabel 4.34. tampak bahwa 7,67% patches hutan kelas kesesuaian habitat rendah,
36,92% memiliki kelas kesesuaian sedang dan 55,41% memiliki kesesuaian tinggi.
Sementara dari segi luasan, areal berhutan yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi
adalah 30,86%, kelas kesesuaian habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat
rendah 7,90%.
Tabel 4.34. Jumlah dan luas patches habitat menurut kesesuaian berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006.
Kelas Kesesuaian Habitat
Kisaran Total Skor
Jumlah Patches
Proporsi (%) Luas (Ha)
Proporsi (%)
Tinggi 6,9-10 153.319 55,41 211.366,58 30,86Sedang 3,8-6,9 102.166 36,92 419.425,73 61,24Rendah 0,7-3,8 21.224 7,67 54.119,23 7,90 Jumlah 276.709 100,00 684.911,54 100,00
Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya
disajikan pada Tabel 4.35. Dari Tabel 4.35 tampak bahwa lokasi indikasi macan tutul
terkonsentrasi di habitat-habitat dengan kelas kesesuaian tinggi (54,17%), diikuti
dengan kelas kesesuaian sedang (41,67%) dan kelas kesesuaian rendah (4,16%).
Tabel 4.35. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya.
Kelas Kesesuaian Lokasi Indikasi Proporsi (%) Rendah 2 4,16Sedang 20 41,67Tinggi 26 54,17
Jumlah 48 100,00
138
Gambar 4.38. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah.
139
Untuk menguji apakah model kesesuaiandan habitat macan tutul sesuai dengan
kondisi aktual di lapangan saat ini, maka dilakukan uji χ2 dengan hipotesis null (Ho):
ditribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti disribusi proporsi kelas
kesesuaian habitat. Kaidah keputusannya adalah menerima Ho jika χ2hitung kurang dari
χ2tabel pada taraf α = 5%. Dengan menggunakan formula 3.20 diperoleh nilai χ2
hitung =
3,00 lebih kecil daripada χ2 (0,05;2), sehingga keputusannya menerima Ho yaitu distribusi
proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti distribusi proporsi kelas kesesuaian
habitat. Dengan demikian kesimpulannya adalah model kesesuaian habitat tersebut
sesuai dengan kondisi lapangan saat ini. Uji valditas model diperoleh nilai 95,83%,
sehingga model ini dapat diandalkan (valid)
Apabila dilakukan analisis secara pivot antara kelas pemanfaatan dan kelas
kerawanan habitat maka diperoleh sembilan kelas kombinasi pemanfaatan dan
kerawanan habitat sebagaimana disajikan pada Tabel 4.36. Pada Tabel 4.36 tampak
bahwa patches hutan yang pemanfaatannya tinggi oleh macan tutul dan memiliki
kerawanan rendah (aman) hanya 8,70% sedangkan yang kerawanannya tinggi mencapai
20,83%. Dari luasannya, habitat yang pemanfaatannya tinggi dan kerawanannya
rendah (aman) hanya 12,45% sedangkan yang kerawanannya tinggi mencapai 22,05%.
Tabel 4.36. Jumlah dan luas kantong-kantong habitat menurut kelas pemanfaatan dan kerawanannya.
No. Pemanfaatan-Kerawanan Luas (Ha) Proporsi
(%) Jumlah Patches
Proporsi (%)
1 Rendah-Rendah 1,013.99 0.15 856 0.31
2 Rendah-Sedang 8,636.60 1.26 7,155 2.59
3 Rendah-Tinggi 38,766.67 5.66 12,977 4.69
4 Sedang-Rendah 15,236.78 2.22 11,454 4.14
5 Sedang-Sedang 34,539.02 5.04 28,421 10.27
6 Sedang-Tinggi 292,464.85 42.70 38,749 14.00
7 Tinggi-Rendah 59,586.34 8.70 34,441 12.45
8 Tinggi-Sedang 91,977.62 13.43 81,645 29.51
9 Tinggi-Tinggi 142,689.68 20.83 61,011 22.05
Jumlah 684,911.54 100.00 276,709 100.00
140
4.7. Implikasi Pengelolaan
4.7.1. Pengelolaan Habitat
a. Pengelolaan Kerawanan Habitat
Dari penelitian ini diketahui bahwa 55,41% kantong-kantong (patches) hutan di
Provinsi Jawa Tengah memiliki kesesuaian habitat yang tinggi dan 36,92% memiliki
kelas kesesuaian sedang bagi macan tutul jawa. Menurut luasnya, areal berhutan yang
memiliki kesesuaian tinggi bagi habitat macan tutul jawa adalah 30.86% dan sedang
61,24%. Meskipun demikian, dari aspek keamanan habitat, hanya 16,90% dari patches
hutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah (keamaan tinggi) bagi habitat macan
tutul jawa, bahkan berdasarkan luasannya hanya 11,07% areal berhutan yang memiliki
tingkat kerawanan rendah (keamanan tinggi).
Faktor keamanan habitat memegang peranan penting bagi kelestarian macan
tutul jawa. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa populasi macan tutul jawa yang
mengalami kepunahan lokal berada di lokasi dengan tingkat kerawanan tinggi (66,67%)
dan sedang (33,33%). Habitat macan tutul jawa yang memiliki tingkat keamanan
rendah, karena rawan terhadap gangguan dari aktifitas manusia seperti perambahan,
penebangan liar, penggarapan tumpang sari pada segala kelas umur tegakan dan
aktifitas lainnya di dalam hutan.
Dalam pengelolaan habitat dan populasi macan tutul jawa ke depan, aspek
keamanan harus menjadi fokus perhatian. Lokasi-lokasi yang memiliki tingkat
kerawanan tinggi (keamanan rendah) dapat diketahui dengan pendekatan topografi,
ketingian dan status kawasan. Daerah bertopografi datar di dataran rendah dengan
status kawasan hutan produksi merupakan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi
(keamanan rendah) karena rawan terhadap ancaman perambahan dan aktifitas lainnya di
dalam hutan seperti kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),
penebangan, tumpangsari, pemanenan kayu bakar, perburuan dan lain-lain.
Di sisi lain, lahan pada ketinggian 0-500 m dpl umumnya sudah dikepung oleh
pemukiman padat sehingga rawan terhadap deforestasi akibat perambahan karena
tekanan ekonomi. Sejak gerakan reformasi tahun 1999, perambahan kawasan hutan
umum terjadi di KPH-KPH yang topografinya relatif datar dan dikelilingi pemukiman
padat. Puncak laju deforestasi di Provinsi Jawa Tengah terjadi antara tahun 2000 –
2005 yaitu seluas 142.560 hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a).
141
Mengingat habitat macan tutul jawa telah dibuat peta kerawanannya, maka
untuk efektifitas pengelolaan habitat, perlu dilakukan tindakan pengelolaan sesuai
dengan masing-masing kelas kerawanannya sebagai berikut:
(1) Habitat dengan tingkat kerawanan rendah (keamanan tinggi)
Mempertahankan kondisi keamanan habitat melalui patroli rutin.
Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kondisi habitat terutama untuk
areal-areal yang rawan gangguan.
Memberikan pnyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya
mempertahankan kelestarian hutan di daerahnya.
Menjaga hubungan antara petugas kehutanan dengan masyarakat sekitar hutan
dan bekerjasama apabila terjadi permasalahan dengan macan tutul jawa (seperti
pemangsaan ternak atau masuk kampung)
(2) Habitat dengan tingkat kerawnan sedang
Mengurangi intensitas gangguan manusia dengan membatasi jenis dan lokasi
kegiatan yang diperbolehkan di dalam kawasan hutan.
Membuat buffer terhadap “core” habitat macan tutul jawa, misalnya dengan
tidak melakukan penebangan hutan produksi di sekitar area HCVF (High
Conservation Value Forest) atau hutan konservasi.yang menjadi habitat inti
macan tutul jawa..
Meningkatkan pengamanan melalui patroli rutin
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan yang
menjadi habitat macan tutul jawa.
(3) Habitat dengan tingkat kerawanan tinggi (keamanan rendah)
Bila masih terdapat macan tutul jawa maka perlu dilakukan upaya-upaya seperti
pada butir (2) di atas.
Bila sering terjadi gangguan macan tutul memangsa ternak atau masuk ke
kampung, maka masyarakat perlu disarankan untuk mengandangkan ternaknya.
Menghentikan semua kegiatan non kehutanan di kawasan hutan yang menjadi
habitat macan tutul jawa ini, seperti tumpangsari dan PHBM.
142
Apabila upaya-upaya tersebut tidak memungkinkan dilaksanakan, maka perlu
dipertimbangkan untuk translokasi ke habitat baru yang lebih aman dengan
didahului penelitian secara menyeluruh.
b. Pengelolaan Habitat Berdasarkan Kesesuaiannya
Untuk efektifitas pengelolaan, maka habitat macan tutul jawa harus dikelola
berdasarkan kelas kesesuaiannya. Tindakan pengelolaan terhadap ketiga kelas
kesesuaian habitat yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
(1) Habitat dengan kesesuaian tinggi
Mempertahankan kekompakan habitat agar tidak terfragmentasi.
Pemeliharaan dengan tujuan mempertahankan kondisi habitat agar tidak terjadi
dergadasi, baik kualitas maupun kuantitasnya
Monitoring dan evaluasi komponen habitat secara berkala, khususnya populasi
satwa mangsa.
Menjaga agar tidak terjadi penurunan populasi satwa mangsa
Menjaga agar tidak terjadi gangguan manusia seperti perburuan, perambahan
atau penebangan liar.
(2) Habitat dengan kesesuaian sedang
Peningkatan ketersediaan populasi satwa herbivora yang menjadi mangsa macan
tutul jawa, misalnya melalui pengayaan habitat satwa mangsa.
Peningkatan ketersediaan tempat berlindung dan berkembang biak melalui
revegetasi kawasan hutan yang gundul.
Perluasan ruang habitat melalui rehabilitasi kawasan hutan yang rusak di sekitar
habitat macan tutul jawa.
Meningkatkan konektifitas dengan kantong-kantong habitat di sekitarnya
melalui pembuatan koridor antar kantong-kantong habitat.
(3) Habitat dengan kesesuaian rendah Jika masih terdapat macan tutul jawa maka perlu dilakukan pengayaan habitat
(habitat improvement) berupa peningkatan populasi satwa mangsa yang diawali
dengan program perbaikan atau pengayaan habitat satwa mangsa.
143
Jika masih terdapat macan tutul maka harus dilakukan perluasan ruang habitat
melalui restorasi hutan yang rudak dan membuat konektivitas dengan fragment-
fragment hutan di sekitarnya.
Bila butir kesatu dan kedua tidak mungkin dilaksanakan, maka perlu
dipertimbangkan untuk translokasi yang didahului dengan penelitian yang
komprehensif terhadap calon lokasi habitat baru.
c. Penetapan dan Pengelolaan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi
Hutan alam merupakan tipe vegetasi paling disukai (prefered) oleh macan tutul
jawa sebagai habitatnya. Disamping karena keanekaragaman jenis satwa mangsanya
tinggi, juga karena strukturnya yang rapat dan statusnya yang umumnya berada di
kawasan konservasi atau hutan lindung sehingga relatif lebih aman dibandingkan hutan
tanaman. Di sisi lain, hutan alam terus mengalami deforestasi sehingga luasannya
semakin menurun dan terfragmentasi. Dalam kurun waktu 16 tahun (1990-2006)
Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alamnya seluas 446.561,09 Ha atau
88,0%.
Hutan-hutan alam yang tersisa kini tersebar secara mosaik di dalam lansekap
hutan tanaman. Keberadaan mosaik hutan alam di hutan tanaman memiliki fungsi yang
penting sebagai tempat berlindung dan berkembang biak bagi macan tutul jawa atau
tempat pengungsian ketika hutan tanaman di sekitarnya ditebang. Hal ini karena hutan
alam umumnya berstatus sebagai hutan lindung atau kawasan lindung dan hutan
konservasi sehingga tidak ada kegiatan eksploitasi serta jarang ada aktifitas manusia.
Dalam rangka pengelolaan berkelanjutan dan sertifikasi hutan tanaman di Pulau
Jawa, maka keberadaan hutan alam secara`mosaik di lansekap hutan tanaman yang
homogen perlu dipertahankan dan dikuatkan statusnya menjadi kawasan hutan yang
bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest).
Dalam pengelolaan hutan tanaman ke depan, perlu dirancang untuk menciptakan
kantong-kantong hutan yang tidak dieksploitasi yang tersebar secara mosaik di dalam
lansekap hutan tanaman sebagai tempat perlindungan atau pengungsian macan tutul
jawa dan satwa mangsanya ketika hutan tanaman di sekitarnya dieksploitasi. Kantong-
lantong hutan seperti ini dapat berupa hutan lindung, kawasan lindung, hutan konservasi
atau hutan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest). Kantong-
144
kantong hutan tersebut harus dikelola dengan tujuan melestarikan keanekaragaman
hayati bernilai konservasi tinggi seperti macan tutul jawa.
Penetapan dan pengelolaan HCVF di lansekap hutan produksi sangat penting
untuk mendukung konservasi macan tutul yang tidak mungkin hanya ditopang oleh
hutan konservasi yang hanya 16.413 ha (2,54%) di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan
Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia (Konsorsium
Revisi HCV Tollkit Indonesia, 2008), habitat-habitat yang menjadi tempat perlindungan
macan tutul jawa termasuk kategori High Conservation Value (HCV) 1 yaitu area
dengan keanekaragaman hayati bernilai penting yang dapat teridiri dari :
Area yang memiliki atau mendukung fungsi perlindungan dan konservasi
keanekaragaman hayati.
Spesies yang kritis terancam punah (Critically Endangered)
Area yang memiliki habitat untuk kelangsungan populasi terancam punah, sebaran
terbatas atau spesies dilindungi
Area yang memiliki habitat yang digunakan sementara oleh spesies atau kelompok
spesies.
d. Zonasi Taman Nasional
Dalam zonasi taman nasional, habitat yang menjadi tempat berlindung atau
memelihara anak macan tutul sebaiknya ditetapkan sebagai zona inti, karena macan
tutul memerlukan tempat dengan tingkat keamanan yang tinggi dari gangguan aktivitas
manusia untuk berlindung dan memelihara anak. Daerah jelajah untuk aktivitas harian
seperti mencari makan dan mencari pasangan sebaiknya ditetapkan sebagai zona rimba.
Sedapat mungkin tidak membuat zona pemanfaatan di daerah jelajah macan tutul jawa
apalagi di teritori tempat berlindung dan memelihara anak Untuk itu, penetapan zonasi
di taman nasional yang memiliki macan tutul jawa, sebaiknya didahului dengan
penelitian tipe-tipe habitat dan sebaran macan tutul jawa tersebut.
e. Restorasi Habitat
Fakta menunjukkan bahwa habitat-habitat yang ditinggalkan oleh macan tutul
jawa merupakan hutan-hutan yang mengalami degradasi kualitas sebagai habitat macan
145
tutul jawa. Degradasi kualitas habitat ini disebabkan oleh kerusakan atau kehilangan
vegetasi akibat perambahan dan penggarapan untuk budidaya pertanian.
Kawasan hutan yang mengalami degradasi tersebut, perlu dipulihkan melalui
kegiatan restorasi. Mengingat kompleksnya proses-proses dan fungsi ekosistem dan
luasnya jelajah macan tutul jawa maka untuk dapat memperoleh kembali fungsi-fungsi
ekosistem hutan sebagai habitat macan tutul jawa, restorasi harus dilakukan pada level
lansekap.
Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat disertakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan secara tepat praktek-praktek penggunaan lahan yang
akan membantu pemulihan fungsi hutan secara keseluruhan lansekap. Dalam hal ini
difokuskan pada pemulihan fungsi-fungsi hutan pada level lansekap untuk optimalisasi
fungsi ekologi hutan dan pemeliharaan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tujuan
dari pendekatan ini adalah memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan,
kehutanan dan manajemen konservasi sumberdaya alam lainnya. Dengan perkataan lain
lebih mengutamakan pada optimalisasi penyediaan manfaat hutan dalam lansekap yang
lebih luas (IUCN, 2005).
4.7.2. Pengelolaan Metapopulasi
a. Pembuatan Koridor
Populasi-populasi macan tutul jawa yang berada dalam non equilibrium
metapopulation memiliki resiko kepunahan jangka pendek lebih tinggi dibandingkan
tipe metapopulasi lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya konektifitas antar populasi
sehingga setiap populasi memiliki resiko punah lokal karena erosi genetik akibat
inbreeding atau faktor demografik seperti tidak tersedianya jantan atau betina dalam
populasi tersebut. Jumlah populasi yang tersebar dalam non equilibriium population
cukup besar yaitu 31,25% dari seluruh populasi yang ada di Jawa Tengah. Oleh karena
itu, dalam pengelolaan di masa mendatang perlu mendapat perhatian.
Tindakan pengelolaan terhadap non equilibrium metapopulation yang perlu
segera dilakukan adalah menghubungkan populasi-populasi yang terisolasi dari populasi
terdekatnya. Dalam hal ini pembuatan koridor satwaliar dapat dipertimbangkan untuk
menghubungkan populasi-populasi tersebut. Dengan memberikan lintasan untuk
perpindahan antar populasi melalui koridor maka dapat meningkatkan peluangnya untuk
146
survival (Meret, 2007). Manfaat atau keuntungan potensial dari koridor satwaliar
adalah (Meret, 2007):
(1) Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara
keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan
kepunahan dan menghindarkan inbreeding.
(2) Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas.
(3) Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran
dan gangguan lainnya.
Beberapa populasi macan tutul yang dalam jangka panjang perlu dihubungkan
dengan koridor antara lain :
(1) Populasi di Gunung Merapi dengan populasi di Gunung Merbabu
(2) Populasi di Gunung Sindoro dengan populasi di Gunung Sumbing
(3) Populasi di Gunung Sindoro dengan populasi di Pegunungan Dieng dan
kelompok hutan Petungkriono (KPH Pekalongan Timur)
(4) Populasi di Gunung Slamet dengan populasi di KPH Pemalang dan KPH
Banyumas Barat (Kebasen, Majenang)
(5) Populasi di KPH Banyumas Barat (Majenang) dengan populasi di KPH Ciamis
dan KPH Kuningan (Jawa Barat).
Berdasarkan analisis metapopulasi terdapat 21 populasi macan tutul yang perlu
mendapat prioritas pengelolaan karena memiliki resiko kepunahan lokal tinggi dan
sedang seperti disajikan pada Lampiran 4. Delapan populasi macan tutul jawa yang
memiliki resiko kepunahan tinggi dan perlu mendapat prioritas penyelamatannya
adalah: RPH Lobongkok, RPH Mandirancan – RPH Kebasen, RPH Cimanggu, RPH
Pringombo, RPH Karangsambung, RPH Karangwinong, RPH Besokor dan BKPH
Sambirejo. Upaya-upaya yang harus dilakukan pada setiap populasi yang terancam
punah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4.
b. Translokasi atau Reintroduksi
Translokasi adalah pemindahan dan pelepasan satwa dari suatu lokasi ke lokasi
lainnya. Translokasi merupakan metode pengendalian populasi tetapi hanya cocok
147
dilakukan pada situasi yang sangat spesifik dan terbatas (Michigan Department of
Natural Resources, 2000). Translokasi bertujuan membangun populasi yang viable di
lokasi baru dan menghindarkannya dari kepunahan lokal akibat perburuan, degradasi
habitat dan bencana seperti epidemi dan kebakaran di lokasi lama. Translokasi juga
bertujuan untuk meminimalkan konflik antara satwa dan masyarakat sekitarnya yang
dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian satwa tersebut (WWF, 2003.).
Reintroduksi (Re-introduction) merupakan usaha membangun kembali populasi
suatu spesies di suatu tempat yang secara historis pernah menjadi daerah sebarannya,
tetapi kini telah punah. Reontroduksi bertujuan meningkatkan daya hidup spesies dalam
jangka panjang; membangun kembali populasi spesies kunci (keystone species) dalam
suatu ekosstem; memelihara atau merestorasi keanekaragaman hayati alami;
memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal dan nasional; dan
mempromosikan kepedulian konservasi. Reintroduksi harus dilakukan di daerah yang
pernah menjadi sebaran alaminya dan harus dikelola dalam jangka panjang (IUCN/SSC
Re-introduction Specialist Group, 1998).
Translokasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena mengandung banyak
resiko, seperti resiko bagi satwa yang ditranslokasi dan satwa yang sudah ada di lokasi
baru, resiko keselamatan masyarakat dan resiko bagi kondisi ekosistem di lokasi baru
(Michigan Department of Natural Resources, 2000; Sainsbury, 2009). Oleh karena itu
perlu dilakukan dengan perencanaan yang matang sebelum dilaksanakan dan evaluasi
serta monitoring setelahnya (Sainsbury, 2009)
Suatu ketika mungkin tindakan translokasi perlu dilakukan terhadap macan tutul
jawa dengan tujuan untuk membangun populasi baru yang viable dan
menghindarkannya dari kepunahan di suatu lokasi yang sudah tidak sesuai (sutable) lagi
sebagai habitatnya. Oleh karena itu pemetaan kesesuaian habitat macan tutul jawa
menjadi sangat penting untuk pengelolaan populasi dan habitat macan tutul jawa,
khususnya berkaitan dengan rencana translokasi.
Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan dalam melakukan translokasi
macan tutul jawa antara lain:
Jika sering terjadi konflik antara masyarakat dengan macan tutul jawa, misalnya
sering terjadi pemangsaan ternak dan macan tutul jawa terancam karena
masyarakat memasang jerat atau perangkap. Dalam kasus ini, mungkin
148
ketersediaan mangsa di habitatnya sudah sangat menurun, sehingga macan tutul
memperluas penjelajahannya mencari mangsa sampai ke kebun penduduk dan
perkampungan.
Jika habitatnya terisolasi dan tidak memungkinkan dibuat koridor ke hutan di
sekitarnya. Dalam kasus ini translokasi juga bertujuan menghindarkan inbreeding
dan untuk penyegaran genetik.
Jika terjadi penambahan populasi yang menyebabkan luas habitat yang ada tidak
mencukupi lagi untuk pembagian teritori individu jantan. Dalam kasus ini
kemungkinan makanan masih tersedia tetapi ruang terirori yang terbatas. Kasus
seperti ini diindikasikan dengan keluarnya macan tutul jawa jantan muda dari
habitatnya untuk mencari teritori baru karena tidak dapat bersaing dengan jantan
dewasa (induknya).
Jika habitatnya sudah tidak sesuai lagi, misalnya adanya perambahan atau
kegiatan manusia yang intensif, kebakaran hutan dan penyempitan kawasan
berhutan yang drastis. Keadaan seperti ini, jika tidak ditangani segera maka dalam
jangka panjang dapat mengancam kelestarian macan tutul jawa.
Perencanaan translokasi harus mencakup : tujuan program translokasi; jenis
satwa yang ditranslokasi; waktu translokasi; ekosistem sumber dan tujuan translokasi;
metode dan protokol veteriner yang digunakan; manfaat dan resiko; potensi resiko
kesehatan satwa serta resiko ekologi dan ekonomi (CCWHC-OIE, 2001). Metode-
metode dan prosedur yang perlu diperhatikan dalam translokasi antara lain :
penangkapan satwa, transportasi satwa, pengelolaan dalam kandang sebelum
dipindahkan, pakan, prosedur veteriner (kesehatan dan karantina) (CCWHC-OIE,
2001).
Bagi habitat tujuan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Memiliki luasan yang cukup untuk membangun satu populasi yang sehat (viable).
Memiliki ketersediaan satwa mangsa yang mampu mendukung kehidupan
populasi macan tutul secara terus menerus.
Ada jaminan bahwa tidak ada macan tutul jawa yang masih menghuni lokasi
tersebut, karena macan tutul jawa merupakan satwa teritorial, apabila di lokasi
149
tujuan sudah ada macan tutul jawa bisa terjadi penolakan atau perebutan teritori
dan yang kalah akan keluar (bisa menggangu masyarakat sekitarnya).
Diutamakan yang memiliki konektivitas dengan populasi macan tutul jawa lain di
sekitarnya.
Diutamakan kawasan hutannya tidak berbatasan langsung dengan pemukiman
tetapi memiliki buffer berupa hutan negara
Belum pernah ada konflik antara masyarakat dengan satwaliar.
Calon lokasi tujuan translokasi harus diteliti secara ilmiah yang melibatkan
lembaga penelitian.
Sebelum dilakukan translokasi harus didahului dengan sosialisasi kepada
masyarakat di sekitar hutan yang menjadi tujuan translokasi.
Diperlukan paradigma holistik untuk reintroduksi yang memfokuskan pada
sumber dampak dan penerima dampak dari empat kelompok variabel: (1) pertimbangan
biologi (ekologi, genetik, teknik reintroduksi, dll.); (2) issue kekuatan kewenangan
(pengendalian sumberdaya, peraturan dan perundangan, hubungan antar aktor, dll.); (3)
aspek organisasi (struktur program, perilaku birokrasi, kultur organisasi, dll.); dan (4)
pertimbangan sosial ekonomi (nilai-nilai dalam masyarakat, sikap, persepsi, kondisi
perekonomian, dll.). Paradigma ini dapat membantu masyarakat untuk peduli dan
berpartisipasi sehingga reintroduksi dapat berhasil (Richard et al., 2002).
Reintroduksi memerlukan pendekatan multi-disiplin yang melibatkan tim dari
beragam latar belakang seperti dari lembaga-lembaga pemerintah (kehutanan dan
lingkungan hidup), LSM, lembaga donor, universitas, lembaga veteriner, kebun
binatang dan taman safari dengan keahlian yang relevan. Salah satu kunci sukses
reintroduksi adalah sosialisai atau penyuluhan masyarakat akan pentingnya
menyelamatkan spesies yang diintroduksi, karena banyak kematian dan kepunahan
spesies disebabkan oleh konflik dengan masyarakat.
4.7.3. Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi
Gunung Slemet sebagai “mainland” populasi macan tutul jawa yang menjadi
sumber rekolonisasi kantong-kantong habitat di sekitarnya sebaiknya diusulkan menjadi
kawasan konservasi, khususnya taman nasional agar dapat lebih menjamin kelestarian
macan tutul jawa khususnya dan keanekaragaman hayati di Provinsi Jawa Tengah pada
150
umumnya. Hal ini karena disamping sebagai pusat populasi macan tutul jawa yang
relatif aman, Gunung Slamet juga merupakan pusat keanekaragaman hayati langka
lainnya di Jawa Tengah, seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi) (Raptor Indonesia,
2010); owa jawa (Hylobates moloch), rekrekan (Presbytis fredericae) dan lutung
(Presbytis comata) (Java Primate Center, 2010).
Gunung Slamet juga memiliki potensi dan peranan hidrologis yang penting bagi
delapan Kabupaten/Kota di sekitarnya (Tegal, Slawi, Brebes, Pemalang, Purbalingga,
Purwokerto, Banyumas dan Cilacap). Dari Gunung Slamet ini mengalir 11 sungai
penting yaitu sungai Banjaran, S. Logawa, S. Bojo, S. Penaki, S. Gronggongan, S.
Lembarang, S. Gung, S.Brengkah, S. Comal, S. Batur, S. Erang (Kompleet, 2001).
Selain potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, kawasan lansekap Gunung
Slamet dan sekitarnya juga memiliki potensi wisata alam yang menarik dan sudah
berkembang pesat. Kawasan ini juga menyambung dengan bentang alam dataran tinggi
Dieng yang memiliki kekayaan peninggalan budaya dan keindahan alam yang bernilai
tinggi. Penetapan kawasan Gunung Slamet sebagai kawasan konservasi akan
menambah kawasan konservasi daratan di Provinsi Jawa Tengah yang relatif masih
sedikit (2,54%).
4.7.4. Penataan Ruang Wilayah
Kepunahan dan keterancaman macan tutul jawa banyak disebabkan oleh
fragmentasi hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat, degradasi habitat dan
pemecahan habitat. Fragmentasi merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindari dari
pembangunan. Pembangunan itu sendiri diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia. Agar kegiatan pembangunan dapat harmoni dan sinergi dengan konservasi
keanekaragaman hayati umumnya dan macan tutul jawa khususnya maka kebijakan
penataan ruang merupakan awal kunci keberhasilannya.
Pada level regional (provinsi) maupun kabupaten, kebijakan yang dapat
berdampak pada kelestarian macan tutul jawa adalah kebijakan tata ruang wilayah yang
mencakup pola pemanfaatan ruang dan arahan pengelolaannya. Konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya masuk dalam pola pemanfaatan ruang Kawasan Lindung.
Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya provinsi merupakan arahan
umum yang harus ditindak-lanjuti dengan kebijakan di tingkat Kabupaten/Kota. Di
151
Provinsi Jawa Tengah, kawasan yang ditetapkan berfungsi lindung seluas 283.946
hektar, atau sekitar 8,7% dari luas wilayah provinsi. Di sini terlihat bahwa hutan
lindung merupakan sub kawasan lindung yang paling besar (4,23%). Sementara
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya hanya 0,45%
(BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah, 2003). Dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa
Timur, Provinsi Jawa Tengah termasuk lebih sedikit memiliki kawasan hutan
konservasi daratan, sehingga kelestarian satwa langka lebih banyak bergantung pada
hutan produksi
Issue fragmentasi habitat masih kurang mendapat perhatian para pengambil
kebijakan tata ruang, karena kurangnya pemahaman. Para pembuat kebijakan tata ruang
di daerah umumnya masih berpegang pada komposisi luasan dengan standar luas hutan
minimal 30% dari luas wilayah. Dari penelitian ini ditemukan tingkat fragmentasi
hutan alam yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada level daerah, masih
terdapat dua kelemahan utama dalam kebijakan tata ruang wilayah. Pertama adalah
belum dipertimbangkannya konsep kekompakan lansekap hutan dan konektifitas antar
kelompok hutan. Kedua belum adanya keterpaduan antar sektor terkait dalam
implementasi kebijakan yang menyangkut pemanfaatan pola ruang, sehingga sering
terjadi konflik kepentingan ruang antar sektor.
4.7.5. Kebijakan Nasional Konservasi Macan Tutul Jawa
Macan tutul jawa hanya terdapat di Pulau Jawa dan beberapa pulau kecil di
sekitarnya. Macan tutul jawa merupakan salah satu dari delapan sup spesies macan
tutul yang ada di dunia yang kondisinya palinig terancam (Critically Endangered).
Oleh karena itu, konservasi macan tutul jawa menjadi issue yang harus ditangani secara
nasional.
Dalam level nasional, Kementerian Kehutanan telah menetapkan macan tutul
jawa sebagai salah satu satwa langka yang menjadi prioritas untuk dibuat strategi dan
rencana aksi konservasinya. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dan dapat menjadi
masukan yang penting bagi penyusunan strategi konservasi macan tutul jawa tersebut.
Untuk Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten dapat dilakukan penelitian yang
sama untuk mengetahui status habitat dan populasi macan tutul jawa di ketiga provinsi
tersebut guna melengkapi strategi konservasi macan tutul jawa yang sedang disusun.