bab ii tinjauan pustaka 2.1. keselamatan pasien ... ii.pdf3. pasien yang dirawat diidentifikasi...

38
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keselamatan Pasien (Patient Safety) 2.1.1. Pengertian Keselamatan pasien Keselamatan pasien menurut Vincent (2008), penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari hasil tindakan yang buruk yang berasal dari proses perawatan kesehatan. Menurut World Health Organization (WHO), keselamatan pasien adalah tidak adanya bahaya yang mengancam kepada pasien selama proses pelayanan kesehatan. Berdasarkan Peraturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017, keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Keselamatan pasien dapat diartikan sebagai upaya untuk melindungi pasien dari sesuatu yang tidak diinginkan selama proses perawatan. Insiden keselamatan pasien atau yang dikenal dengan istilah insiden menurut definisi WHO adalah suatu kejadian atau keadaan yang dapat mengakibatkan, atau mengakibatkan kerugian yang tidak perlu pada pasien. Berdasarkan PMK Nomor 11/2017 tentag Keselamatan Pasien, Insiden merupakan setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Keselamatan Pasien (Patient Safety)

    2.1.1. Pengertian Keselamatan pasien

    Keselamatan pasien menurut Vincent (2008), penghindaran, pencegahan

    dan perbaikan dari hasil tindakan yang buruk yang berasal dari proses perawatan

    kesehatan. Menurut World Health Organization (WHO), keselamatan pasien

    adalah tidak adanya bahaya yang mengancam kepada pasien selama proses

    pelayanan kesehatan. Berdasarkan Peraturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

    2017, keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih

    aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,

    pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak

    lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan

    mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan

    suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

    Keselamatan pasien dapat diartikan sebagai upaya untuk melindungi pasien dari

    sesuatu yang tidak diinginkan selama proses perawatan.

    Insiden keselamatan pasien atau yang dikenal dengan istilah insiden

    menurut definisi WHO adalah suatu kejadian atau keadaan yang dapat

    mengakibatkan, atau mengakibatkan kerugian yang tidak perlu pada pasien.

    Berdasarkan PMK Nomor 11/2017 tentag Keselamatan Pasien, Insiden

    merupakan setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan

    atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien

  • 10

    Taylor, et al. (1993) Mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan

    profesi yang berfokus kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien

    mencapai kesehatannya secara optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan

    asuhan keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa

    pelayanan keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan. Petugas

    kesehatan harus memiliki kesadaran akan adanya potensi bahaya yang terdapat di

    lingkungan pasien melalui pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi

    selama berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan

    pasien dan pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab

    petugas kesehatan selama pemberian asuhan keperawatan berlangsung.

    Threats to Australian Patient Safety (TAPS) membagi menjadi dua jenis

    insiden keselamatan pasien, yaitu: insiden yang terkait dengan proses perawatan

    dan isiden terkait dengan pengetahuan atau keterampilan12. Menurut PMK

    Nomor 11/2017, insiden keselamatan pasien yang terjadi di fasilitas pelayanan

    kesehatan terbagi menjadi empat jenis yaitu Kondisi Potensi Cedera (KPC),

    Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC) dan Kejadian

    Tidak Diharapkan (KTD).

    Adapun penjelasan dari masing-masing jenis insiden tersebut yaitu:

    1. Kondisi Potensi Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi

    untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. (Contoh:

    kerusakan alat ventilator, DC shock, tensi meter) :

    2. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)/Near miss adalah terjadinya insiden yang

    belum sampai terpapar ke pasien. (contoh: salah identitas pasien namun

    diketahui sebelum tindakan)

  • 11

    3. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke

    pasien, tetapi tidak timbul cedera. Hal ini dapat terjadi karena

    “keberuntungan” (misal: pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi

    tidak timbul reaksi obat), atau “peringanan” (suatu obat dengan reaksi

    alergi diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya)

    4. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/Adverse event adalah insiden yang

    mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian sentinel/Sentinel event

    merupakan suatu KTD yang mengakibatkan kematian, cedera permanen,

    atau cedera berat yang temporer dan membutuhkan intervensi untuk

    mempertahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak terkait

    dengan perjalanan penyakit atau keadaan pasien. Seperti melakukan

    operasi pada bagian tubuh yang salah (misal: amputasi pada kaki yang

    salah). Kasus sentinel yang dilaporkan kepada The Joint Commission dari

    tahun 2005 hingga 2017 sebanyak 13.688, sekitar 52,1% pasien

    mengalami kematian

    2.1.2 Indikator Keselamatan Pasien

    Berdasarkan laporan IOM tahun 1999 tentang masalah keselamatan pasien

    yang menghebohkan dunia kesehatan mendorong banyak pihak berupaya

    melakukan hal untuk memperbaiki kualitas pelayanan terutama yang berhubungan

    dengan keselamatan pasien. Para peneliti dalam bidang keperawatan berusaha

    mengembangkan indikator mutu pelayanan keperawatan yang potensial bersifat

    sensitif terhadap kepegawaian.

    Indikator mutu layanan keperawatan yang sensitif terhadap staffing pada

    saat ini secara terus menerus dikembangkan. Banyak lembaga yang berupaya

  • 12

    membuat indikator mutu, namun banyak dari indikator tersebut kurang

    mencerminkan pengaruh pelayanan keperawatan terhadap keselamatan pasien,

    karena hanya dianggap sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan (ANA,

    1995; Institute of Medicine , 1999, 2001, 2005; Joint Commision, 2007 &

    Montalvo, 2007). Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center For Patient

    Safety berupaya menetapkan Sembilan Solusi keselamatan pasien untuk

    mempermudah pendeteksian terjadinya masalah pada keselamatan pasien di

    Rumah Sakit, adapun faktor yang mempengaruhi keselamatan pasien yaitu :

    1. Kualitas keselamatan pasien

    2. Prosedur dan sistem untuk keselamatan pasien

    3. Pihak manajemen

    4. Tingkatkan kebersihan tangan unuk pencegahan infeksi nosokomial (WHO,

    2007 dalam Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

    2.1.3 Sasaran Keselamatan Pasien

    Fasilitas pelayanan kesehatan selain diwajibkan melaksanakan standar

    keselamatan pasien, juga melakukan perbaikan-perbaikan tertentu dalam

    keselamatan pasien. Penyusunan Sasaran Keselamatan Pasien ini mengacu pada

    Nine Life safing Patient Safety Solution dari WHO (2007) dan Joint Commission

    International (JCI) “Internatonal Patient Safety Goals (IPSG)”. Di Indonesia

    secara nasional untuk seluruh fasilitas pelayanan kesehatan diberlakukan Sasaran

    Keselamatan Pasien Nasional (SKPN), yang terdiri dari sasaran keselamatan

    pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :

    a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat

  • 13

    Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan

    ketelitian dalam mengidentifikasi pasien. Adapun maksud dari sasaran ini adalah

    untuk melakukan dua kali pengecekan dalam setiap kegiatan pelayanan ke pasien.

    Pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima

    pelayanan atau pengobatan dan kedua untuk kesesuaian pelayanan atau

    pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan atau prosedur tersebut

    memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien seperti

    nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan

    bar-code, dan lain.

    Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini adalah sebagai berikut :

    1. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang identitas

    sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau nomor rekam

    medik).

    2. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang ditentukan

    dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda untuk

    perempuan,merah untuk pasien yang mengalami alergi dan kuning untuk

    pasien dengan risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring dengan

    menggunakan protap penilaian skor jatuh yang sudah ada).

    3. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau

    produk darah.

    4. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen

    lain untuk pemeriksaan klinis.

    5. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

    tindakan/prosedur.

  • 14

    b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang Efektif.

    Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan

    komunikasi yang efektif antar para pemberi layanan. Komunikasi yang dilakukan

    secara efektif, akurat, tepat waktu, lengkap, jelas, dan yang mudah dipahami oleh

    pasien akan mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien.

    Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali

    hasil pemeriksaan kritis. Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian juga

    menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read

    back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat.

    Elemen penilaian pada sasaran II ini terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

    1. Melakukan kegiatan „READ BACK‟ pada saat menerima permintaan

    secara lisan atau menerima intruksi lewat telepon dan pasang stiker ‟SIGN

    HERE‟ sebagai pengingat dokter harus tanda tangan.

    2. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat

    melaporkan keadaan pasien kritis, melaksanakan serah terima pasien

    antara shift (hand off) dan melaksanakan serah terima pasien antar ruangan

    dengan menggunakan singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.

    c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian.

    Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki

    keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila obat-obatan menjadi

    bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen rumah sakit harus berperan

    secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien agar terhindar dari resiko

    kesalahan pemberian obat. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu

    kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai

  • 15

    berdasarkan data yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan atau prosedur juga

    dapat mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat,

    seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada

    elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi

    akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati.

    Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah sebagai

    berikut :

    1. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound Alike

    (LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)

    2. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER SIGN setiap

    distribusi obat dan pemberian obat pada masing-masing instansi

    pelayanan.

    3. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT berada di tempat

    yang aman dan diperlakukan dengan perlakuan khusus

    4. Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan pendelegasian

    Obat (Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa Berlaku Obat, Dosis,

    Waktu, Cara, dan Dokumentasi).

    d. Sasaran IV: Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan

    Operasi.

    Rumah sakit dapat mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan

    pemberian pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-

    pasien. Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi adalah sesuatu

    yang menkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit. Tanda itu harus

    digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator yang

  • 16

    akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika

    memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi

    operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur

    (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (bagian tulang belakang).

    Proses verifikasi praoperatif ditujukan untuk memverifikasi lokasi,

    prosedur, dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto

    (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia dan diberi label dengan baik

    serta dipampang dan melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau

    implant-implant yang dibutuhkan. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu

    didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist dan

    sebagainya.

    Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV ini adalah memberi tanda

    spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang tepat dengan

    cara yang jelas dimengerti dan melibatkan pasien dalam hal ini (Informed

    Consent).

    e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi

    Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko

    infeksi yang terkait pelayanan kesehatan yang diberikan. Pencegahan dan

    pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan

    kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan

    dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi

    pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai

    dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi

    pada aliran darah dan pneumonia.

  • 17

    Elemen yang menjadi penilaian sasaran V adalah sebagai berikut.

    1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Five Moment Hand

    Hygiene dan digunakan dalam tatanan kesehatan untuk pelayanan ke

    pasien.

    2. Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan pelatihan cuci

    tangan efektif.

    3. Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta yang jelas

    setiap melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter, CVC, WSD, dan

    lain-lain)

    f. Sasaran VI: Pecegahan Risiko Pasien Jatuh

    Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko

    pasien dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai

    penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks masyarakat yang

    dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya rumah sakit perlu

    mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi

    risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan

    telaah pasien yang bermkemungkinan mengkonsumsi alkohol, gaya jalan dan

    keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.

    Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI adalah sebagai berikut.

    1. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di rumah

    sakit.

    2. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh.

    3. Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning

    dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen.

  • 18

    2.1.4 Langkah-Langkah Penerapan Sistem Keselamatan Pasien

    Penerapan sistem keselamatan pasien membutuhkan dukungan dari

    berbagai bidang. Langkah-langkah yang harus dilakukan antara lain:

    a. Membangun budaya kerja yang mementingkan keselamatan dan keamanan

    pasien dengan meningkatkan kewaspadaan secara terus-menerus;

    penyelidikan yang seimbang dan terutama mempertanyakan mengapa,

    bukan siapa; keterbukaan dengan pasien untuk menciptakan suasana

    kerjasama dan saling percaya antara petugas rumah sakit dan pasien.

    b. Kepemimpinan dan dukungan terhadap seluruh petugas rumah sakit dalam

    menjaga keselamatan dan keamanan pasien : keteladanan, evaluasi dan

    umpan balik, coaching dan mentoring terhadap staf secara

    berkesinambungan untuk memberdayakan petugas rumah sakit, dukungan

    terhadap upaya keselamatan pasien juga mencakup lokasi sumber daya

    manusia, informasi, bahan dan peralatan.

    c. Melakukan manajemen risiko secara terpadu. Makna manajemen risiko

    tidak hanya terbatas pada litigasi oleh pasien maupun petugas kesehatan,

    tetapi lebih mendasar lagi khususnya keselamatan pasien, petugas

    kesehatan dan pengunjung rumah sakit, manajemen, analisis pemantauan,

    investigasi, dan Pertimbangan risiko harus menjadi bagian strategi

    menajemen pelayanan kesehatan.

    d. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan semua kasus medical error

    yang dapat digabungkan dari tingkat lokal sampai tingkat nasional dengan

    menjaga kerahasiaan pasien dan organisasi yang melaporkan. Pelaporan

  • 19

    harus menjadi pendorong pembelajaran yang harus dikembangkan dengan

    budaya pelaporan yang tanpa dibayangi ketakutan akan hukuman.

    e. Melibatkan pasien, keluarga dan seluruh masyarakat, menjelaskan dan bila

    perlu minta maaf, menyelidiki penyebab secara terbuka. Mendukung

    pasien dan keluarga bagaimana mengatasi dampak kesalahan medis,

    bekerjasama dalam pengobatan dan perawatan lebih lanjut, dan melibatkan

    pasien dalam investigasi dan rekomendasi untuk perubahan.

    f. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan tentang penyebab kegagalan

    medis diantaranya pendekatan root cause analysis, dinamika sistem,

    diagram tulang ikan, dan lain-lain.

    g. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah ”harm”, bukan hanya sebatas

    menganjurkan staf untuk berhati-hati tetapi mengatasi permasalahan

    mendasar, merancang peralatan dan sistem serta proses-proses lebih

    intuitif, mempersulit petugas untuk melakukan kesalahan dan

    mempermudah petugas untuk menemukan kesalahan.

    2.1.5 Standar Patient Safety

    Menurut PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang

    Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus ada beberapa standar yang wajib dimiliki

    oleh Rumah Sakit dalam menjalankan program keselamatan pasien.

    Standar I. Ketentuan tentang hak pasien

    Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi

    tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

    Adapun kriteria dari standar ini adalah :

    1. Harus terdapat dokter penanggung jawab pelayanan.

  • 20

    2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan

    kesehatan.

    3. Dokter yang menjadi penanggung jawab pelayanan wajib memberikan

    penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang

    rencana dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien

    termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

    Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.

    Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban

    dantanggung pasien dalam asuhan kesehatan pasien. Adapun kriteria dari standar

    tersebut antara lain.

    Dengan pendidikan tersebut di harapkan pasien dan keluarga dapat :

    1. Memberi informasi yang tepat, benar, jelas, lengkap dan jujur.

    2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.

    3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

    4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan kesehatan.

    5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.

    6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

    7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

    Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.

    Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan dan

    menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. pengobatan, rujukan

    dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

    Kriteria:

  • 21

    1. Adanya koordinasi yang baik dari pelayanan kesehatan secara menyeluruh

    mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan

    pelayanan, tindakan.

    2. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan yang di sesuaikan dengan

    kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan

    sehingga pada seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan

    dapat berjalan baik dan lancar.

    3. Adanya koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi

    untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan,

    pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan

    tindak lanjut lainnya.

    4. Adanya komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

    sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan

    efektif.

    Standar IV. Penggunaan metode- metode peningkatan kinerja untuk melakukan

    evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.

    Rumah sakit mesti mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang

    ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,

    menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan

    kinerja serta keselamatan pasien.

    Kriteria dari standar IV adalah sebagai berikut:

    1. Setiap rumah sakit melakukan proses perencanaan yang baik dengan

    mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien-

    petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang

  • 22

    sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai

    dengan ”Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”

    2. Setiap rumah sakit melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang

    terkait dengan pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi,

    mutu pelayanan dan keuangan.

    3. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua

    KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus

    resiko tinggi bagi pasien.

    4. Setiap rumah sakit menggunakan semua data dan informasi hasil analisis

    untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan agar kinerja dan

    keselamatan pasien terjamin.

    Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.

    1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan

    pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”Tujuh

    langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”

    2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

    mengidentifikasi risiko keselamatan pasien dan program untuk menekan

    atau mengurangi KTD/KNC.

    3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar

    unit terkait dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang

    keselamatan pasien.

    4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengkaji,

    mengukur, dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan

    keselamatan pasien.

  • 23

    5. Pimpinan mengkaji dan mengukur efektifitas kontribusinya dalam

    meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.

    Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut.

    1. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien

    guna meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

    2. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan dan

    program meminimalkan insiden yang mencakup jenis kejadian yang

    memerlukan perhatian, mulai dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near

    miss) sampai dengan KTD (Adverse event)

    3. Tersedianya mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen

    dari rumah sakit terintegrasi serta berpartisipasi dalam program

    keselamatan pasien.

    4. Tersedia prosedur yang cepat tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan

    kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain

    dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

    5. Tersedia mekanisme pelaporan baik internal dan eksternal yang berkaitan

    dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas

    tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program

    keselamatan pasien mulai di laksanakan.

    6. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan

    proaktif untuk memperkecil resiko termasuk mekanisme untuk

    mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian yang tidak diinginkan.

  • 24

    7. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan

    antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar

    disiplin.

    8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam

    kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien,

    termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.

    9. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan

    kriteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah

    sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan

    implementasinya.

    Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.

    1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk

    setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien

    secara jelas dan transparan.

    2. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang

    berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta

    mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien

    Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :

    1. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan

    orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien

    sesuai dangan tugasnya masing- masing.

    2. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien

    dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas

    tentang pelaporan insiden.

  • 25

    3. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan training tentang kerjasama

    kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif

    dalam rangka melayani pasien.

    Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan

    pasien.

    1. Rumah sakit harus merencanakan dan mendesain proses manajemen

    informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi

    internal dan eksternal.

    2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

    Kriteria dari standar ini adalah :

    1. Rumah sakit perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan

    mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi

    tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.

    2. Tersedia mekanisme untuk mengidentifikasi masalah dan kendala

    komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

    2.2 Kepatuhan Perawat

    2.2.1 Pengertian Kepatuhan

    Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat

    adanya interaksi antara peerawat dan pasien sehingga pasien mengerti rencana

    dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta

    melaksanakannya (Kemenkes RI, 2011). Menurut Smet (2004), kepatuhan adalah

    tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa

    yang disarankan atau dibebankan kepadanya .

  • 26

    Kepatuhan perawat terhadap handover adalah untuk selalu memenuhi

    petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat

    petugas tersebut bekerja. Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang

    berperilaku. Menurut Kelman dan Emaliyawati (2010), dijelaskan bahwa

    perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh,

    identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi.

    Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau

    ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan

    kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan

    baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).

    Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan

    tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu

    dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan

    dengan nilai-nilai lain dari hidupnya (Al-Assaf, 2010).

    2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Perawat

    Tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh faktor individu meliputi jenis

    kelamin, jenis pekerjaan, profesi, lama kerja dan tingkat pendidikan, serta

    faktor psikologis meliputi sikap, ketegangan dalam suasana kerja, rasa takut

    dan persepsi terhadap risiko (Suryoputri, 2011).

    Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet dkk. (2010),

    mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor

    eksternal, yaitu :

    a. Faktor Internal

    1. Karakteristik perawat

  • 27

    Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa tidak lain

    merupakan karakteristik perawat itu sendiri. Karakteristik peerawat

    merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan

    merawat klien sehat maupun sakit. Karakteristik perawat meliputi variable

    demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan)

    (Suryoputri, 2011).

    Menurut Smet (1994), & Damanik, dkk. (2010), variable demografi

    berpengaruh terhadap kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk

    Amerika lebih cenderung taat mengikuti anjuran atau peraturan di bidang

    kesehatan. Data demografi yang mempengaruhi ketaatan misalnya jenis

    kelamin wanita, ras kulit putih, orang tua dan anak-anak terbukti memiliki

    tingkat kepatuhan yang tinggi. Latar belakang pendidikan juga akan

    mempengaruhi perilaku seseorang dalam melaksanakan etos kerja.

    Semakin tinggi pendidikan seseorang, kepatuhan dalam pelaksanaan aturan

    kerja akan semakin baik.

    2. Kemampuan

    Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan

    berbagai tugas dalam pekerjaan yang meliputi kemampuan intelektual dan

    kemampuan fisik. Kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar

    dalam pekerjaan yang rumit, sedangkan kemampuan fisik mempunyai

    peranan penting untuk melakukanugas yang menuntut stamina, kecekatan,

    kekuatan dan keterampilan. Kemampuan seseorang bisa berbeda-beda

    dalam pelaksanan mencuci tangan. Bagi petugas kesehatan yang memiliki

  • 28

    kemampuan melaksanakan akan cenderung patuh untuk melakukan

    handover, (Suryoputri, 2011).

    3. Motivasi.

    Motivasi adalah sebuah rangsangan, dorongan dan pembangkit tenaga yang

    dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan

    bekerja sama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan

    untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Suryoputri, 2011).

    Motivasi dapat mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan suatu

    pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Motivasi adalah daya

    penggerak didalam diri orang untuk melakukan aktivitas tertentu demi

    mencapai suatu tujuan tertentu (Hamzah, 2008).

    b. Faktor Eksternal

    Faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas :

    1. Pola komunikasi

    Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh perawat akan

    mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan.

    Aspek dalam komunikasi ini adalah ketidakpuasan terhadap hubungan

    emosional, ketidak puasa terhadap pendelegasian maupun kolaborasi

    yang diberikan (Suryoputri, 2011).

    2. Keyakinan/ nilai-nilai yang diterima perawat

    Smet (1994) & Damanik, dkk. (2010) mengatakan bahwa keyakinan-

    keyakinan tentang kesehatan atau perawatan dalam sistem pelayanan

    kesehatan mempengaruhi kepatuhan petugas keehatan dalam melaksanakan

    peran dan fungsinya.

  • 29

    3. Dukungan sosial.

    Smet (1994) & Damanik, dkk. (2010) mengatakan dukungan sosial

    berpengaruh terhadap kepatuhan seseorang. Variabel-variabel sosial

    mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan. Dukungan sosial memainkan

    peran terutama yang berasal dari komunitas internal petugas, petugas

    kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau manajer

    pelayanan kesehatan.

    4. Kriteria Kepatuhan

    Menurut Depkes RI (2006) kriteria kepatuhan dibagi menjadi tiga yaitu:

    1. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun

    aturan dan semua aturan maupun perintah tersebut dilakukan dan

    semuanya benar.

    2. Kurang patuh adalah suatu tindakan yang melaksanakan perintah dan

    aturan hanya sebagian dari yang ditetapkan, dan dengan sepenuhnya

    namun tidak sempurna.

    3. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak

    melaksanakan perintah atau aturan sama sekali. Untuk mendapatkan

    nilai kepatuhan yang lebih akurat atau terukur maka perlu ditentukan

    angka atau nilai dari tingkat kepatuhan tersebut, sehingga bisa

    dibuatkan rangking tingkat kepatuhan seseorang. Menurut Yayasan

    Spiritia (2006) tingkat kepatuhan dapat dibedakan menjadi tiga

    tingkatan yaitu :

    1. Patuh : 75% - 100%

    2. Kurang patuh : 50% - < 75%

  • 30

    3. Tidak patuh : < 50%

    4. karakteristik Petugas Kesehatan

    Karakteristik adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari demografi

    seperti jenis kelamin, umur serta status sosial seperti, tingkat

    pendidikan, pekerjaan, ras, status (Widianingrum, 2008).

    a. Umur

    Umur berpengaruh terhadap pola fikir seseorang dan pola fikir

    berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umur seseorang secara garis

    besar menjadi indikator dalam setiap mengambil keputusan yang mengacu

    pada setiap pengalamannya, dengan semakin banyak umur maka dalam

    menerima sebuah instruksi dan dalam melaksanaan suatu prosedur akan

    semakin bertanggung jawab dan berpengalaman. Semakin cukup umur

    seseorang akan semakin matang dalam berfikir dan bertindak (Evin, 2009).

    b. Jenis Kelamin

    Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu

    spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses

    reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu.

    Jenis kelamin adalah istilah yang membedakan antara laki-laki dan

    perempuan secara biologis, dan dibawa sejak lahir dengan sejumlah

    sifat yang diterima orang sebagai karakteristik laki-laki dan perempuan

    (Dian, 2009).

    c. Tingkat Pendidikan

    Pendidikan berpengaruh terhadap pola fikir individu. Sedangkan pola

    fikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang dengan kata lain pola

  • 31

    pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan berbeda dengan pola

    pikir seseorang yang berpendidikan tinggi (Asmadi, 2010). Pendidikan

    kesehatan mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pelayanan

    keperawatan (Asmadi, 2010). Pendidikan yang tinggi dari seorang

    petugas kesehatan akan memberi pelayanan yang optimal.

    d. Masa Kerja

    Kreitner dan Kinichi (2009) menyatakan bahwa masa kerja yang lama

    akan cenderung membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi hal ini

    disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang cukup lama

    sehingga akan merasa nyaman dalam pekerjaannya. Semakin lama

    seseorang bekerja maka tingkat prestasi akan semakin tinggi, prestasi yang

    tinggi di dapat dari perilaku yang baik.

    e. Pengetahuan

    Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil

    “tahu” pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan

    terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan,

    pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pada waktu pengindraan

    sampai menghasilkan pengetahuan sangat dipengaruhi oleh intensitas

    perhatian terhadap obyek, yang sebagian besar pengetahuan manusia

    dipengaruhi oleh mata dan telinga. Pengetahuan erat hubunganya

    dengan pendidikan, diharapkan dengan pendidikan yang tinggi maka

    seseorang akan semakin luas pengetahuanya, tetapi bukan berarti

    seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah.

    Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan

  • 32

    formal, tetapi juga dapat diperoleh dari pendidikan non formal.

    Pengetahuan seseorang mengenai suatu obyek mengandung dua aspek

    yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek menentukan sikap

    seseorang semakin banyak aspek positif aspek positif terhadap obyek

    yang diketahui maka akan menimbulkan sikap positif terhadap obyek

    tertentu (Asmadi, 2010)

    2.2.3 Indikator Kepatuhan Perawat

    a. Identifikasi pasien

    Kesalahan dalam mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang

    dalam keadaan yang terbius/tersedasi, disorientasi, tidak sadar,

    bertukar tempat tidur, kamar/lokasi di rumah sakit, adanya kelainan

    sensori, atau akibat situasi yang lain

    b. Pergantian shift

    Bagaimana seorang perawat harus patuh dalam pergantian shift

    perawat harus benar-benar melaporkan kondisi pasien dan tindakan

    yang sudak dilakukan atau belum dilakukan kepada pasien sesuan sop.

    c. Cara pemberian obat dan penyimpanan obat

    Kesalahan dalam memeberi obat dianggap kejadian yang dapat

    dicegah, atau masalah dalam menyimpan obat-obatan

    d. Komunikasi efektif

    Komunikasi yang dilakukan secara efektif, akurat, tepat waktu,

    lengkap, jelas, dan yang mudah dipahami oleh pasien akan mengurangi

    kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi

  • 33

    yang mudah menimbulkan kesalahan persepsi kebanyakan terjadi pada

    saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon

    2.3. Handover

    2.3.1. Pengertian Handover

    Handover adalah proses pengalihan wewenang dan tanggung jawab

    utama untuk memberikan perawatan klinis kepada pasien dari satu pengasuh ke

    salah satu pengasuh yang lain. Pengasuh termasuk dokter jaga, dokter tetap

    ruang rawat, asisten dokter, praktisi petugas, petugas terdaftar, dan petugas

    praktisi berlisensi. (The Joint Commission Journal on Quality and Patient

    Safety, 2010). Sedangkan Australian Medical Association (2006),

    mendefinisikan handover sebagai transfer tanggung jawab profesional dan

    akuntabilitas untuk beberapa atau semua aspek perawatan untuk pasien, atau

    kelompok pasien, kepada orang lain atau kelompok profesional secara

    sementara atau permanen.

    2.3.2 Tujuan Timbang Terima (Handover)

    1. Menyampaikan masalah, kondisi, dan keadaan klien (data fokus).

    2. Menyampaikan hal-hal yang sudah atau belum dilakukan dalam asuhan

    keperawatan kepada klien.

    3. Menyampaikan hal-hal penting yang perlu segera ditindaklanjuti oleh

    dinas berikutnya.

    4. Menyusun rencana kerja untuk dinas berikutnya

  • 34

    2.3.3 Prinsip handover

    Australian Resource Centre for Healthcare Innovation (2009); Friesen,

    White, dan Byers (2009) memperkenalkan lima standar prinsip serah terima

    pasien, yaitu:

    a. Kepemimpinan dalam serah terima pasien: Semakin luas proses serah

    terima (lebih banyak peserta dalam kegiatan serah terima), peran

    pemimpin menjadi sangat penting untuk mengelola serah terima pasien

    di klinis. Pemimpin harus memiliki pemahaman yang komprehensif dari

    proses serah terima pasien dan perannya sebagai pemimpin. Tindakan

    segera harus dilakukan oleh pemimpin pada eskalasi pasien yang

    memburuk.

    b. Pemahaman tentang serah terima pasien: Mengatur sedemikian rupa

    agar timbul suatu pemahaman bahwa serah terima pasien harus

    dilaksanakan dan merupakan bagian penting dari pekerjaan sehari-hari

    dari perawat dalam merawat pasien. Memastikan bahwa staf bersedia

    untuk menghadiri serah terima pasien yang relevan untuk mereka.

    Meninjau roster dinas staf klinis untuk memastikan mereka hadir dan

    mendukung kegiatan serah terima pasien. Membuat solusi-solusi

    inovatif yang diperlukan untuk memperkuat pentingnya kehadiran staf

    pada saat serah terima pasien.

    c. Peserta yang mengikuti serah terima pasien: Mengidentifikasi dan

    mengorientasikan peserta, melibatkan mereka dalam tinjauan berkala

    tentang proses serah terima pasien. Mengidentifikasi staf yang harus

    hadir, jika memungkinkan pasien dan keluarga harus dilibatkan dan

  • 35

    dimasukkan sebagai peserta dalam kegiatan serah terima pasien. Dalam

    tim multi disiplin, serah terima pasien harus terstruktur dan

    memungkinkan anggota multiprofesi hadir untuk pasiennya yang

    relevan.

    d. Waktu serah terima pasien: Mengatur waktu yang disepakati, durasi dan

    frekuensi untuk serah terima pasien. Hal ini sangat direkomendasikan,

    di mana strategi ini memungkinkan untuk dapat memperkuat ketepatan

    waktu. Serah terima pasien tidak hanya pada pergantian jadwal kerja,

    tapi setiap kali terjadi perubahan tanggung jawab, misalnya; ketika

    pasien diantar dari bangsal ke tempat lain untuk suatu pemeriksaan.

    Ketepatan waktu serah terima sangat penting untuk memastikan proses

    perawatan yang berkelanjutan, aman dan efektif.

    e. Tempat serah terima pasien: Sebaiknya, serah terima pasien terjadi

    secara tatap muka dan di sisi tempat tidur pasien. Jika serah terima

    pasien tidak dapat dilakukan secara tatap muka, maka pilihan lain harus

    dipertimbangkan untuk memastikan serah terima pasien berlangsung

    efektif dan aman. Untuk komunikasi yang efektif, pastikan bahwa

    tempat serah terima pasien bebas dari gangguan, misal; kebisingan di

    bangsal secara umum atau bunyi alat telekomunikasi.

    2.3.4 Langkah-langkah dalam Timbang Terima (Handover)

    1. Kedua kelompok shift dalam keadaan sudah siap.

    2. Shift yang akan menyerahkan perlu menyiapkan hal-hal yang akan

    disampaikan.

  • 36

    3. Perawat primer menyampaikan kepada perawat penanggung jawab shift

    selanjutnya meliputi:

    a. Kondisi atau keadaan pasien secara umum

    b. Tindak lanjut untuk dinas yang menerima operan

    c. Rencana kerja untuk dinas yang menerima laporan

    d. Penyampaian timbang terima diatas harus dilakukan secara jelas dan

    tidak terburu-buri.

    e. Perawat primer dan anggota kedua shift bersama-sama secara

    langsung melihat keadaan pasien. (Nursalam, 2002)

    2.3.5 Jenis Handover

    Serah terima pasien terjadi di seluruh kontinum perawatan kesehatan

    dalam semua jenis pengaturan layanan. Ada berbagai jenis serah terima pasien

    dari satu penyedia jasa perawatan kesehatan kepada yang lain, seperti transfer

    pasien dari satu lokasi ke lokasi lain dalam suatu rumah sakit atau transisi

    informasi dan tanggung jawab selama serah terima pasien antar shift pada unit

    yang sama.

    Serah terima pasien interdisiplinary terjadi antara petugas dan dokter,

    dan perawat dengan tenaga kesehatan lainnya, sementara serah terima pasien

    intradisciplinary terjadi antara sesama perawat atau sesama dokter. Serah

    terima pasien juga dapat terjadi antar fasilitas kesehatan, seperti; antara rumah

    sakit dan antara beberapa organisasi penyedia pelayanan lainnya, termasuk

    pelayanan kesehatan di rumah, tempat penampungan, dan fasilitas perawatan

    jompo. Serah terima pasien mungkin melibatkan penggunaan teknologi khusus,

  • 37

    misalnya: perekam audio, catatan terkomputerisasi, faximili, dokumen tertulis,

    dan komunikasi lisan.

    Menurut Hughes (2008); Australian Resource Centre for Healthcare

    Innovation (2009); Friesen, White, dan Byers (2009) beberapa jenis serah

    terima pasien yang berhubungan dengan petugas, antara lain:

    a. Serah terima pasien antar shift.

    Metode serah terima pasien antar shift dapat dilakukan dengan

    menggunakan berbagai metode, antara lain: secara lisan, catatan tulisan

    tangan, di samping tempat tidur pasien, melalui telepon, rekaman,

    nonverbal, menggunakan laporan elektronik, cetakan komputer, dan

    memori. Kekuatan dari metode laporan di samping tempat tidur merupakan

    upaya untuk fokus pada laporan dan kondisi pasien. Namun, ada

    kekhawatiran tentang kerahasiaan pasien yang dapat dikompromikan jika

    tidak hati-hati dalam menanganinya. Sebuah studi kualitatif yang

    difokuskan pada gambaran persepsi pasien yang terlibat dalam kegiatan

    serah terima, menemukan beberapa pasien mendukung serah terima

    disamping tempat tidur, sementara yang lain tidak. Pasien juga menyatakan

    keprihatinannya mengenai jargon yang digunakan oleh petugas kesehatan

    saat kegiatan serah terima berlangsung.

    b. Serah terima pasien antar unit keperawatan.

    Pasien mungkin akan sering ditransfer antar unit keperawatan selama

    mereka tinggal di rumah sakit. Namun, sejumlah faktor telah diidentifikasi

    berkontribusi terhadap efisiensi selama transfer pasien dari satu unit

    keperawatan ke unit keperawatan yang lain, termasuk; ketidaklengkapan

  • 38

    catatan medis dan keperawatan, keterlambatan atau waktu yang terbuang

    disebabkan oleh kemacetan komunikasi, menunggu tanggapan dari petugas

    atau dokter atau tanggapan dari manajemen unit keperawatan tempat yang

    akan di tempati pasien atau masalah ketersediaan tempat tidur.

    c. Serah terima pasien antara unit perawatan dengan unit pemeriksaan

    diagnostik.

    Pasien sering dikirim dari unit keperawatan untuk pemeriksaan

    diagnostik selama rawat inap. Pengiriman dari unit keperawatan ke

    tempat pemeriksaan diagnostik (misalnya; radiologi, kateterisasi jantung,

    laboratorium, dll) telah dianggap sebagai konstributor untuk terjadinya

    kesalahan. Hal ini penting, ketika perubahan unit tempat keperawatan

    pasien terutama untuk tingkat pelayanan yang berbeda dari unit

    perawatan sebelumnya dan untuk keamanan pasien, staf pada unit

    pemeriksaan disgnostik harus memiliki informasi lengkap yang mereka

    butuhkan dan melakukan komunikasi yang konsisten. Kompleksitas

    kondisi pasien mungkin memerlukan perawat untuk menyertai pasien ke

    tempat pemeriksaan diagnostik.

    d. Serah terima pasien antar fasilitas kesehatan

    Pengiriman pasien dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas yang lain

    sering terjadi antara pengaturan layanan yang berbeda. Pengiriman

    berlangsung antar rumah sakit ketika pasien memerlukan tingkat

    perawatan yang berbeda. Pengiriman pasien antar fasilitas, meliputi; antar

    rumah sakit, pusat rehabilitasi, lembaga kesehatan di rumah, dan

    organisasi pelayanan kesehatan lainnya. Faktor yang cenderung membuat

  • 39

    pengiriman pasien tidak efektif adalah kesenjangan dan hambatan

    komunikasi antar fasilitas kesehatan tersebut dan juga dipengaruhi oleh

    perbedaan budaya organisasi.

    2.3.6 Prosedur dalam Timbang Terima (Handover) Antar Shif

    1. Persiapan

    a. Kedua kelompok dalam keadaan siap.

    b. Kelompok yang akan bertugas menyiapkan buku catatan.

    2. Pelaksanaan

    Dalam penerapannya, dilakukan timbang terima kepada masing-masing

    penanggung jawab:

    a. Timbang terima dilaksanakan setiap pergantian shift atau operan.

    b. Dari nurse station perawat berdiskusi untuk melaksanakan timbang terima

    dengan mengkaji secara komprehensif yang berkaitan tentang masalah

    keperawatan klien, rencana tindakan yang sudah dan belum dilaksanakan

    serta hal-hal penting lainnya yang perlu dilimpahkan.

    c. Hal-hal yang sifatnya khusus dan memerlukan perincian yang lengkap

    sebaiknya dicatat secara khusus untuk kemudian diserahterimakan kepada

    perawat yang berikutnya.

    d. Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat timbang terima adalah :

    1. Identitas klien dan diagnosa medis.

    2. Masalah keperawatan yang kemungkinan masih muncul.

    3. Tindakan keperawatan yang sudah dan belum dilaksanakan.

    4. Intervensi kolaborasi dan dependen. Rencana umum dan persiapan

    yang perlu dilakukan dalam kegiatan selanjutnya, misalnya operasi,

  • 40

    pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya,

    persiapan untuk konsultasi atau prosedur lainnya yang tidak

    dilaksanakan secara rutin

    e. Perawat yang melakukan timbang terima dapat melakukan klarifikasi,

    tanya jawab dan melakukan validasi terhadap hal-hal yang kurang jelas

    Penyampaian pada saat timbang terima secara singkat dan jelas

    f. Lama timbang terima untuk setiap klien tidak lebih dari 5 menit kecuali

    pada kondisi khusus dan memerlukan penjelasan yang lengkap dan rinci.

    g. Pelaporan untuk timbang terima dituliskan secara langsung pada buku

    laporan ruangan oleh perawat. (Nursalam, 2002)

    Timbang terima memiliki 3 tahapan yaitu:

    1. Persiapan yang dilakukan oleh perawat yang akan melimpahkan

    tanggungjawab. Meliputi faktor informasi yang akan disampaikan oleh

    perawat jaga sebelumnya.

    2. Pertukaran shift jaga, dimana antara perawat yang akan pulang dan datang

    melakukan pertukaran informasi. Waktu terjadinya operan itu sendiri yang

    berupa pertukaran informasi yang memungkinkan adanya komunikasi dua

    arah antara perawat yang shift sebelumnya kepada perawat shift yang

    datang.

    3. Pengecekan ulang informasi oleh perawat yang datang tentang tanggung

    jawab dan tugas yang dilimpahkan. Merupakan aktivitas dari perawat yang

    menerima operan untuk melakukan pengecekan data informasi pada

    medical record atau pada pasien langsung.

  • 41

    2.3.7 Hambatan individu dan organisasi dalam proses Handover

    Suatu proses standar untuk memandu kegiatan serah terima pasien dalam

    mentransfer informasi penting direkomendasikan. Penggunaan protokol yang

    mencakup klarifikasi fonetik dan angka, penting dalam membantu menyampaikan

    informasi secara akurat. Penggunaan protokol terkait dengan serah terima pasien

    dan pemindahan telah di rekomendasikan untuk praktek yang aman dan lebih

    efektif.

    Hughes (2008) membuat sebuah ringkasan tentang masalah dan hambatan

    faktor individu, kelompok dan organisasi dalam proses serah terima pasien

    menurut hasil kajian literatur berbasis bukti, sebagaif berikut:

    a. Komunikasi

    Bahasa dapat menyebabkan masalah dalam beberapa cara serah terima

    pasien. Dialek yang berbeda, aksen, dannuansa dapat disalahpahami

    atau disalahtafsirkan oleh petugas kesehatan menerima laporan.

    Singkatan dan akronim yang unik untuk pengaturan pelayanan

    keperawatan tertentu mungkin membingungkan bagi seorang perawat

    yang bekerja di lingkungan yang berbeda atau khusus.

    b. Gangguan

    Faktor-faktor situasional selama serah terima pasien yang dapat

    berkontribusi sebagai gangguan.

    c. Interupsi

    Interupsi dilaporkan sering terjadi dalam pengaturan perawatan

    kesehatan.

    d. Kebisingan

  • 42

    Latar belakang suara, seperti; pager, telepon, handphone, suara peralatan,

    alarm, dan berbicara, berkontribusi dalam meningkatkan kesulitan untuk

    mendengar laporan dan dapat mengakibatkan tafsiran informasi yang tidak

    tepat.

    e. Kelelahan

    Peningkatan kesalahan dapat terjadi oleh perawat yang bekerja pada shift

    yang berkepanjangan.

    f. Memori

    Memori jangka pendek dan daya penyimpanan yang terbatas dapat terjadi

    ketika sejumlah besar informasi yang dikomunikasikan selama serah

    terima pasien.

    g. Pengetahuan/pengalaman

    Petugas kesehatan pemula dan petugas ahli memiliki kebutuhan dan

    kemampuan yang berbeda. Petugas pemula mungkin menghadapi masalah

    dengan serah terima pasien. Petugas pemula mungkin memerlukan

    informasi tambahan yang lebih selama serah terima pasien.

    h. Komunikasi tertulis

    Mencoba untuk menafsirkan catatan yang tidak terbaca, mungkin akan

    membuat kesalahan dalam komunikasi.

    2.3.8 Dokumentasi dalam Timbang Terima (Handover) antar Shif

    Dokumentasi adalah salah satu alat yang sering digunakan dalam

    komunikasi keperawatan. Hal ini digunakan untuk memvalidasi asuhan

    keperawatan, sarana komunikasi antar tim kesehatan, dan merupakan dokumen

    pasien dalam pemberian asuhan keperawatan. Ketrampilan dokumentasi yang

  • 43

    efektif memungkinkan perawat untuk mengkomunikasikan kepada tenaga

    kesehatan lainnya dan menjelaskan apa yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan

    oleh perawat.

    Yang perlu di dokumentasikan dalam timbang terima antara lain:

    a. Identitas pasien.

    b. Diagnosa medis pesien.

    c. Dokter yang menangani.

    d. Kondisi umum pasien saat ini.

    e. Masalah keperawatan.

    f. Intervensi yang sudah dilakukan.

    g. Intervensi yang belum dilakukan.

    h. Tindakan kolaborasi.

    i. Rencana umum dan persiapan lain.

    j. Tanda tangan dan nama terang.

    Manfaat pendokumentasian adalah:

    a. Dapat digunakan lagi untuk keperluan yang bermanfaat.

    b. Mengkomunikasikan kepada tenaga perawat dan tenaga kesehatan

    lainnya tentang apa yang sudah dan akan dilakukan kepada pasien.

    c. Bermanfaat untuk pendataan pasien yang akurat karena berbagai

    informasi mengenai pasien telah dicatat. (Suarli & Yayan B, 2009)

  • 44

    . 2.4 Keaslian Penelitian

    Tabel 2.1

    No Judul Artikel;

    Penulis; Tahun

    Metode

    (Desain, sampel, variabel,

    Instrumen, Analisis)

    Hasil

    Penelitian

    1. Jurnal Handover

    Sebagai Upaya

    Peningkatan

    Keselamatan

    pasien

    Cecep Triwibowo1,

    Sulhah ulhah

    Yuliawati2, Nur

    Amri Husna3

    Volume 11,No. 2,

    Juli 2016

    Penelitian ini menggunakan metode

    analitik korelatif dengan pendekatan

    cross sectional. Penelitian ini

    menggunakan total sampling dengan

    mengundang 62 perwat di Rumah

    Saikit Sidawagi provinsi Jawa

    Tengah untuk terlibat.pengumpulan

    data menggunakan kuesioner

    tertutup. Analisis data menggunakan

    uji Chi Square. Instrumen dalam

    penelitian ini adalah kuesioner yang

    berisi karakteristik responden.

    Hasil: penelitian

    menunjukkan 53,2%

    perawat melaksanakan

    handover dengan baik

    dan 51,6 % patient safety

    termasuk kategori baik.

    Hasil uji Chi Square

    terdapat hubungan yang

    signifikan antara

    pelaksanaan handover

    patient safety di rumah

    sakit (p 0,04).

    2. Faktor-Faktor

    Yang

    Mempengaruhi

    Komunikasi Pada

    Saat Handover.

    Andi Maya

    Kesrianti , Noer

    Bahry noor, Alimin

    Maidin

    Penelitian ini bersifat survey analitik

    dengan rancangan cross sectional

    study. Sampel yang diambil

    sebanyak 130 Perawat. variabel

    komunikasi pada saat handover yang

    paling berpengaruh terhadap

    handover. Instrumen penelitian

    dilakukan melalui kuisioner.

    Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa

    variabel pengetahuan,

    sikap, ketersediaan

    prosedur tetap,

    kepemimpinan dan rekan

    kerja berpengaruh

    terhadap handover.

    Variabel yang paling

    berpengaruh terhadap

    handover adalah

    pengetahuan

    3. Analisis Penyebab

    Insiden

    Metode penelitian kuantitatif dengan

    menggunakan desain cross sektional

    Hasil penelitian ini

    menunjukan karakteristik

  • 45

    Keselamatan

    Pasien Oleh

    Perawat

    Dede Sry Mulyana

    Tahun, 2013

    pengambilan sampling penelitian

    trhadap, 100 perawat pelaksana

    individuyang terdiri dari,

    usia, masa kerja dan

    kompetensi dan variabe

    kerja sama yang

    memiliki hubungan

    signifikanterhadap

    kejadia IKP dan nilai p

    vanue masing-masing

    sebesar 0,028, 0,010

    0,028, dan 0,12. Dengan

    kata lain variabelyang

    paling berpengaruh

    terhadap kejadian IKP

    adalah variabel

    karakteristik individu

    menjadi petimbangan.

    4. Fakor Determinan

    yang Memengaruhi

    Budaya

    Keselamatan

    Pasien.

    Lia Mulyati, Dedy

    Rachman, Yana

    Herdiana,

    Volume 4 Nomor

    2 Agustus 2016

    Rancangan penelitian menggunakan

    survey analitik dengan pendekatan

    cross sectional, uji hipotesis

    digunakan Chi Square dan regresi

    logistik ganda. Teknik pengambilan

    sampel yang digunakan incidental

    sampling 88 orang perawat

    pelaksana. Instrumen penelitian

    menggunakan quesioner yang

    diadopsi dari Safety Attitudes

    Questionnary (SAQ) yang

    dikembangkan oleh Sexton et al.,

    (2006), yang terdiri dari 6 dimensi

    yaitu; iklim tim kerja (teamwork

    climate), iklim keselamatan (safety

    climate), persepsi manajemen,

    Hasil: penelitian

    menunjukan terdapat

    pengaruh signifikan

    antara persepsi terhadap

    manajemen (p 0.0005,

    odd rasio 21.3),

    dukungan tim kerja (p

    0.0005, odd rasio 13.34),

    stress kerja (p 0.006, odd

    rasio 3.94), kepuasan

    kerja (nilai p 0. 002)

    budaya keselamatan

    pasien. Tidak terdapat

    pengaruh yang signifikan

    kondisi kerja dengan

    budaya keselamatan

  • 46

    kepuasan kerja, kondisi kerja, dan

    stres.

    pasien dengan nilai p

    0.507. Berdasarkan

    analisis multuvariat

    diperoleh persepsi

    terhadap manajemen

    menjadi factor

    determinan dengan nilai

    p 0.000 < α 0.05.dari

    hasil.

    5. Analisis faktor

    yang berhubungan

    insiden

    keselamatan pasien

    Dwi Ernawati ,

    Diyah Arini , M.

    Hendrik Haryono

    Metode Penelitian ini menggunakan

    desain analitik korelasi dengan

    pendekatan cross sectional. Populasi

    pada penelitian ini adalah semua

    perawat Ambulans yang memberikan

    layanan Ambulans Gawat Darurat

    Sakit Instrument penelitian ini

    menggunakan kuisioner

    Hal ini pun sesuai atau

    sejalan dengan hasil

    penelitian dimana

    pengalaman kerja

    menunjukkan hubungan

    yang bermakna dengan

    kejadian insiden

    keselamatan pasien.

    Pengalaman kerja

    menjadi faktor yang

    berhubungan secara