istilah hukum

36
Hukum Bisnis Dosen : Yuliasara Isnaeni

Upload: robby-pangestanto

Post on 26-Dec-2015

33 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Menjelaskan arti arti dan istilah istilah hukum dalam bernegara.

TRANSCRIPT

Page 1: Istilah Hukum

Hukum

BisnisDosen : Yuliasara Isnaeni

Page 2: Istilah Hukum

Kelas : C

Mahasiswa : Roby Pangestan.

NIM : 28130130

Tugas : Mengetahui istilah dan prinsip dalam Hukum.

Page 3: Istilah Hukum

A. Das Sein dan Das Sollen

Das Sein berarti keadaan yang sebenarnya pada waktu sekarang, sedangkan das Sollen

berarti apa yang dicita-citakan; apa yang harus ada nanti, atau untuk singkatnya arti dari

keduanya adalah "yang ada dan yang seharusnya". Keduanya diambil dari bahasa Jerman .

Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir dan bersikap.

Contoh : dunia norma, dunia kaidah dsb. Dapat diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah

dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.

Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang

kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das sein merupakan

peristiwa konkrit yang terjadi.

Das Sein adalah sebuah realita yang telah terjadi sedangkan Das Sollen adalah apa yang

sebaiknya dilakukan yaitu sebuah impian dalam dunia utopia yang menjadi keinginan dan

harapan setiap manusia sedangkan Das Sollen merupakan realita yang menimpa manusia itu

sendiri. Hal inilah yang disebut dengan sebuah harapan dan kenyataan.

Perbedaan:

1. Das sollen, yaitu kaedah hukum berisi kenyataan normatif (apa yang seyogyanya

dilakukan) Contoh:“Barangsiapa mencuri harus dihukum”; “Barangsiapa membeli

sesuatu harus membayar”.

2. Das sein, yaitu kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit. Contoh : Kalau secara nyata-

nyata telah terjadi seseorang mencuri, kalau nyata-nyata telah terjadi seseorang

membeli sesuatu tidak membayar.

Ketentuan yang berbunyi “barangsiapa yang mencuri harus dihukum” tidak berarti bahwa telah

terjadi peristiwa pencurian dan pencurinya dihukum, tetapi barangsiapa mencuri harus

dihukum. Persyaratannya (mencuri) menyangkut peristiwa (sein), sedangkan kesimpulannya

Page 4: Istilah Hukum

(dihukum) menyangkut keharusan (sollen). Dihukumnya pencuri bukanlah merupakan akibat

pencurian. Orang tidak dihukum karena (sebagai akibat) mencuri, tetapi pencuri harus dihukum

berdasarkan undang-undang yang melarangnya. Di sini tidak berlaku hukum sebab akibat.

Kaedah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan, atau preskriptif.

Das sollen memerlukan Das sein, karena kaedah hukum merupakan ketentuan atau pedoman

tentang apa yang seyoyganya atau seharusnya dilakukan. Sebagai pedoman kaedah hukum

bersifat umum dan pasif. Agar kedah hukum itu tidak berfungsi pasif, agar kaedah hukum itu

aktif atau hidup, diperlukan “rangsangan”. Rangsangan untuk mengaktifkan kaedah hukum

adalah peristiwa konkrit (das sein). Dengan terjadinya peristiwa konkrit tertentu kaedah hukum

baru dapat aktif, karena lalu dapat diterapkan pada pertistiwa konkrit tersebut.

Das sein memerlukan Das sollen, karena kaedah hukumlah peristiwa konkrit itu menjadi

peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang

oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum atau peristiwa yang oleh hukum dihubungkan

dengan timbulnya atau lenyapnya hak dan kewajiban. Suatu peristiwa konkrit tidak mungkin

dengan sendirinya menjadi peristiwa hukum. Suatu peristiwa hukum tidak mungkin terjadi

tanpa adanya kaedah hukum. Peristiwa hukum tidak dapat dikonstatir tanpa menggunakan

kaedah hukum.

Peristiwa hukum itu diciptakan oleh kaedah hukum. Sebaliknya kaedah hukum itu dalam proses

terjadinya dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa konkrit. Apakah suatu peristiwa itu peristiwa

hukum itu tergantung pada adanya kaedah hukum. Kaedah hukum itu mengkualifisir suatu

aspek dari suatu peristiwa menjadi peristiwa hukum. Apakah suatu aspek dari kenyataan itu

dapat berlaku sebagai peristiwa hukum tergantung pada kaedah hukum yang bersangkutan,

yaitu dapat diterapkan dalam situasi yang konkrit. Contoh: Merokok merupakan peristiwa

konkrit, tetapi kalau ada orang merokok didekat pompa bensin yang ada papan larangan

merokok dan kemudian terjadi kebakaran yang disebabkan oleh rokok orang tersebut, maka

merokok menjadi peristiswa hukum yang dapat menyebabkan si perokok dihukum.

Page 5: Istilah Hukum

B. De facto dan de Yure

De facto

De facto dalam Bahasa Latin adalah ungkapan yang berarti "pada kenyataannya (fakta)" atau

"pada praktiknya". Istilah ini biasa digunakan sebagai kebalikan dari de jure (yang berarti

"menurut hukum") ketika orang mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan hukum,

pemerintahan, atau hal-hal teknis (seperti misalnya standar), yang ditemukan dalam

pengalaman sehari-hari yang diciptakan atau berkembang tanpa atau berlawanan dengan

peraturan. Bila orang sedang berbicara tentang suatu situasi hukum, de jure merujuk kepada

apa yang dikatakan hukum, sementara de facto merujuk kepada apa yang terjadi pada

praktiknya.

Istilah de facto dapat pula digunakan apabila tidak ada hukum atau standar yang relevan, tetapi

sebuah praktik yang lazim sudah mapan dan diterima, meskipun mungkin tidak sepenuhnya

bersifat universal.

Berdasarkan sifatnya, de facto terbagi dua yaitu:

1. sementara

De facto bersifat sementara adalah pengakuan dari negara lain tanpa melihat perkembangan

negara tersebut. Apabila negara tersebut hancur, maka negara lain akan menarik

pengakuannya.

1. tetap

De facto bersifat tetap adalah pengakuan dari negara lain terhadap suatu negara yang hanya

bisa menumbulkan hubungan di bidang perdagangan dan ekonomi.

Pengakuan de facto

Page 6: Istilah Hukum

- Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara lain yang telah memenuhi

unsur-unsur negara, seperti ada pemimpin, rakyat dan wilayahnya.

Berdasarkan sifatnya, pengakuan de facto bersifat tetap, yakni pengakuan dari negara lain

dapat menimbulkan hubungan bilateral di bidang perdagangan dan ekonomi untuk tingkat

diplomatik belum dapat dilaksanakan. Dan pengakuan de fakto yang bersifat sementara, yakni

pengakuan yang diberikan oleh negara lain dengan tidak melihat jangka panjang apakah negara

itu eksis atau tidak, apabila ternyata negara tersebut tidak dapat bertahan maka pengakuan

terhadap negara tersebut ditarik kembali.

Pengakuan de facto ini berkaitan dengan pengakuan kedaulatan de facto suatu

negara, menunjuk pada adanya pelaksanaan kekuasaan secara nyata dalam masyarakat yang

dinyatakan merdeka atau telah memiliki independensi. Kekuasaan yang nyata dalam

masyarakat yaitu dimana masyarakat telah tunduk pada kekuatan penguasa secara nyata yang

di sebut de facto.

Penguasa yang secara nyata di kuasai oleh suatu masyarakat dianggap memiliki pengakuan

secara de facto. Penguasaan dalam memperoleh kekuasaan mungkin syah dan tidak syah. Tapi

penguasa tetap berstatus sebagai orang yang ditaati oleh masyarakat. Untuk itu perolehan

kekuasaan bukan merupakan suatu ukuran untuk dapat menjastifikasi keabsahan kedaulatan

secara de facto.

Kedaulatan de facto yang tidak syah

Disebabkan oleh adanya penguasa yang berkuasa terhadap suatu kelompok masyarakat tidak

didasarkan atas persetujuan masyarakat dan keinginan masyarakat. Tapi kekuasaan yang

diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak moral seperti cara membujuk, menteror,

mengancam, dan pada tingkat yang tertinggi melakukan kegiatan pembunuhan. Kekuasaan

dengan melakukan hal-hal seperti itu dapat dibenarkan atau diakui ( ini pernah terjadi pada

masa pemerintahan Hitler di Eropa dan Asia, juga pada masa pendudukan belanda dan Jepang

di indonesia ) tapi ketaatan rakyat terhadap panguasa disebabkan karena ketakutan akan

ancaman dan berbagai teror sehingga rakyat tidak tenang dalam hidup bermasyarakat. Oleh

Page 7: Istilah Hukum

karena itu masyarakat di paksa untuk mengakui penguasa, dan pada saat itu, penguasa

memperoleh pengakuan kedaulatan de facto yang tidak syah.

Kedaulatan de facto yang syah

Kekuasaan yang diperoleh penguasa secara murni dari masyarakat atau kehendak masyarakat

( hal ini pernah terjadi pada kasus Timor-Timur pada tahun 1975, pada saat itu sebagian besar

rakyat Timor-timur secara sadar memilih penguasa pemerintah Indonesia berkuasa atasnya,

dan dinyatakan pemerintah Indonesia mempunyai pengakuan kedaulatan de facto atas Timor

Timur secara syah.

De jure

De jure (dalam bahasa Latin Klasik : de iure) adalah ungkapan yang berarti "berdasarkan (atau

menurut) hukum", yang dibedakan dengan de facto, yang berarti "pada kenyataannya (fakta)".

Istilah de jure dan de facto digunakan sebagai ganti "pada prinsipnya" dan "pada praktiknya",

ketika orang menggambarkan situasi politik. Suatu praktik dapat terjadi de facto, apabila orang

menaati suatu kontrak seolah-olah ada hukum yang mengaturnya meskipun pada

kenyataannya tidak ada. Suatu proses yang dikenal sebagai "desuetude" dapat memungkinkan

praktik-praktik de facto menggantikan hukum-hukum yang sudah ketinggalan zaman. Di pihak

lain, suatu praktik mungkin tercantum di dalam peraturan atau de jure, sementara pada

kenyataannya tidak ditaati atau diikuti orang.

Berdasarkan sifatnya, de jure terbagi dua yaitu:

1. penuh

De jure bersifat penuh adalah terjadinya hubungan antarnegara yang mengakui dan diakui

dalam hubungan dagang, ekonomi, dan diplomatik. Negara yang mengakui berhak memiliki

konsulat atau membuka kedutaan di negara yang diakui.

1. tetap

Page 8: Istilah Hukum

De jure bersifat tetap adalah pengakuan dari negara lain yang berlaku untuk selamanya karena

kenyataan yang menunjukkan adanya pemerintahan yang stabil.

Pengakuan de jure

- Pengakuan de jure adalah pengakuan terhadap suatu negara secara resmi berdasarkan

hukum dengan segala konsekuensi atau pengakuan secara internasional

Berdasarkan sifatnya pengakuan de jure dibagi menjadi dua, yakni :

1. Tetap, ini berlaku untuk selama-lamanya sampai waktu yang tidak terbatas

2. Penuh, ini mempunyai dampak dibukanya hubungan bilateral di tingkat diplomatik dan

Konsul, sehingga masing-masing negara akan menempatkan perwakilannya di negara

tersebut yang biasanya di pimpin oleh seorang duta besar yang berkuasa penuh.

Pengakuan ini juga berkaitan dengan pengakuan kedaulatan de jure suatu negara. Kedaulata de

jure suatu negara adalah pengakuan suatu wilayah atau suatu situasi menurut hukum yang

berlaku yang ditandai dengan adanya pengakuan dunia internasional secara hukum, sudah

dicapai ketika para pendahulu kita memproklamasikan kemerdekaan RI pada tanggal 17

Agustus 1945.

Secara teoritis kedaulatan de jure menjalankan kekuasaan, dan tidak perlu ditaati secara nyata.

Oleh karena itu, kedaulatan de jure hanya membutuhkan pengakuan dari rakyat dan ketaatan

rakyat pada penguasa secara hukum. Dalam pengakuan kedaulatan de jure yang dibutuhkan

yaitu berbagai norma negara dan aturan negara dapat ditaati dan dapat berfungsi untuk

mengatur kehidupan bernegara.

Penguasa menggunakan kedaulatan de jure adalah untuk semata-mata mengatur tingkah laku

masyarakat dalam berhubungan dengan pemerintah atau penguasa, mengatur batas wilayah

negara, mengatur gerak dan langkah aparat dalam melayani masyarakat.

Page 9: Istilah Hukum

Dalam suatu sistem politik secara yuridis formal kedaulatan de jure haruslah memiliki unsur

warga negara dan wilayah negara sebagai tempat berpijak warga negara serta unsur

pemerintah yang berfungsi menjalankan kekuasaan negara.

Dalam praktek ketatanegaraan antara pengakuan de facto dan de jure harus bersamaan.

Secara Defacto Indonesia diakui mempunyai batas-batas wilayah yang terbentang dari sabang

sampai merauke. Negara butuh di akui kedaulatannya bila menggunakan batas-batas wilayah

sebagai tempat eksistensinya. Secara De Jure berarti negara itu diakui secara hukum

internasional kalau bentuk negaranya ada dan mempunyai pemerintahan yang bisa menjalan

roda pemerintahan. Ada wilayah yang secara defacto dikuasai oleh suatu kelompok tapi secara

de Jure tidak. biasanya itu bila ada pemberontakan , pemberontak menguasai wilayah tersebut

tapi tidak dapat pengakuan dari dunia internasional. Dengan pengakuan secara defacto dan de

jure maka Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) adalah negara yang sah yang diakui oleh

dunia Internasioanal yang mempunyai kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri.

Page 10: Istilah Hukum

C. Ius Constitutum dan Ius Constituendum

Ius constitutum

Ius constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat

tertentu dalam suatu daerah tertentu.Singkatnya, Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat

pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu.contohnya seperti undang undang dasar 1945.

"ada sarjana yang menamakan hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat tertentu

pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu hukum positif ini "Tata Hukum". (kansil

1982:71)

Ius Constituendum

Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan Negara, tetapi

belum merupakan kaidah dalam bentuk undang-undang atau berbagai ketentuan lain.

Pendapat yang demikian juga diketengahkan oleh Sudiman Kartohadiprojo (Purnadi

Purbacaraka-Soerjono Soekanto, 1980). Ius Constituendum juga bisa diartikan hukum yang

diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.

Proses Perubahan Ius Constitutum menjadi Ius Constituendum

Ius constitutum dapat menjadi Ius constituendum dengan beberapa proses yang dilakukan,

yaitu :

1. Unsur-unsur Ius Constituendum

Ius constitutum suatu ketentuan hukum, ketentuan hukum itu memilki beberapa unsur di

dalamnya. Ius constitutum secara harfiah memang berarti hukum yang telah ditetapkan.

Namun dalam proses politik hukum ius constitutum itu diartikan juga ketentuan hukum yang

belum ditetapkan atau ketentuan hukum yang belum ada. Contoh peraturan tentang yayasan.

Page 11: Istilah Hukum

Pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan ius constitutum adalah pasal 1 ayat 1

Indische staatsregeling yang menetapkan bahwa “pelaksanaan pemerintahan hindia belanda

dilakukan oleh gubernur jenderal atas nama raja, dilakukan sesuai dengan ketentuan IS ini dan

dengan memperhatikan petunjuk raja. Dalam ketentuan tersebut mengandung unsur-unsur:

· pelaksanaan pemerintahan umum hindia belanda dilakukan oleh gubernur jenderal.

· gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya dilakukan atas nama raja.

· gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan pada ketentuan IS dan

petunjuk raja.

2. Unsur-unsur perubahan kehidupan masyarakat

Perubahan kehidupan masyarakat yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 mengandung

unsur:

· proklamasi kemerdekaan adanya pernyataan melepaskan diri dari kekuasaan negara lain.

· dengan melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain, bangsa Indonesia menetapkan

mengambil kekuasaan atas dirinya dii tangannya sendiri.

· bangsa Indonesia berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka.

3. Membandingkan unsur-unsur Ius Constitutum dengan unsur-unsur perubahan

masyarakat

Ius constitutum pada saat Indonesia merdeka adalah pasal 1 ayat 1 IS, yang diatur oleh raja

Belanda, sedangkan perubahan kehidupan masyarakat yang terjadi waktu itu dengan adanya

proklamasi kemerdekaan telah menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi dijajah dan sudah

memegang sendiri kedaulatannya.

Pelaksanaan pemerintahan umum Hindia Belanda, yang telah berubah menjadi Indonesia, oleh

gubernur jenderal, yang melakukan pemerintahan atas nama raja Belanda tidaklah sesuai

dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang telah melepaskan diri dari kekuasaan bangsa

asing.

Page 12: Istilah Hukum

4. Pelaku proses politik hukum

Pelaku proses politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni alat pemerintahan

dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam bidang yudikatif.

Ius Constituendum

Pengertian

a. ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.

b. Secara harfiah ius constituendum adalah hukum yang seharusnya berlaku, yang meliputi

dua pengertian, yakni apa dan bagaimana hukum yang harus ditetapkan serta apa dan

bagaimana penetapan hukum itu.

Bentuk bentuk Ius Constituendum

Kebanyakan ketentuan hukum itu dirumuskan dalam bentuk kalimat berita, kalimat bersyarat

(hipotesis), kalimat mengharuskan, dan kalimat larangan.

1. Bahasa sehari-hari dan bahasa hukum

Seharusnya bahasa yang digunakan dalam kehidupan hukum seharusnya bahasa sehari-hari,

yakni bahasa yang digunakan masyarakat tempat berlakunya hukum tersebut. Namun

kenyataannya dalam pembentukan hukum para ahli sering menggunakan bahasa khusus,

katakanlah bahasa hukum sesuai kekhususan hukum yang bersangkutan.

2. Peraturan dan ketetapan

Ketentuan hukum yang berlaku umum lazim disebut peraturan, dan ketentuan hukum yang

berlaku khusus lazim disebut ketetapan.

3. Proses penetapan ketentuan hukum

Page 13: Istilah Hukum

Proses pembentukan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada prinsipnya ada

dua macam, yaitu perundang-undangan dan kebiasaan.

Sahnya Ius Constituendum

Hukum yang seharusnya berlaku ditetapkan dalam proses politik hukum haruslah merupakan

hukum yang sah, yang berarti berlaku menurut hukum (rechtsgelding). Agar suatu ketentuan

hukum itu merupakan hukum atas ketentuan hukum yang sah, harus memenuhi beberapa

syarat:

a. ditetapkan oleh alat pemerintahan yang berwenang

b. penetapan hukum atau ketentuan hukum itu tanpa cacat kehendak

c. bentuk penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai dengan bentuk yang ditetapkan

peraturan yang menjadi dasar penetapan hukum.

d. isi dan tujuan penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai dengan isi dan tujuan

yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar penetapan hukum tersebut.

Page 14: Istilah Hukum
Page 15: Istilah Hukum

D. Lex Specialis Derogat Legi Generalis

Pengertian

Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa

hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex

generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih

secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati

pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang

gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap

dipertahankan.

Di Tinjau dari segi UU dan hukum internasional.

Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam

suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang

khusus itulah yang diterapkan. Pasal 63 ayat (2) KUHP ini menegaskan keberlakuan (validitas)

aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik kedalam aturan

pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP

terkandung asas Lex specialis derogat legi generalis yang merupakan suatu asas hukum yang

mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan

yang bersifat umum (general). Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis, aturan

yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika telah ada aturan

yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid, yang mempunyai

kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.

Menentukan suatu aturan yang berifat khusus itu (lex specialis, berpangkal tolak dari

metode deduktif (dari yang khusus ke yang umum). Aturan yang bersifat khusus itu

dibandingkan dengan aturan umumnya dengan mengidentifikasikan sifat-sifat umum yang

terkandung dalam dalam aturan yang bersifat khusus itu. Sifat-sifat umum ketentuan tersebut

dapat diketahui dengan memahami secara baik aturan yang bersifat umum tersebut. Sehingga

Page 16: Istilah Hukum

ditemukan aturan yang khusus (lex specialis) berisi hal-hal yang bersifat umum yang ditambah

hal lainnya (yang merupakan kekhususannya). Suatu aturan hukum yang tidak memuat norma

yang hakekat addressat-nya tertuju pada perlindungan benda-benda hukum yang umum

ditambah sifat khususnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis, oleh karena dalam

aturan yang bersifat khusus terdapat keseluruhan ciri-ciri (kenmerk) atau kategoris dari aturan

yang bersifat umum (lex generalis) dan ditambahkan ciri-ciri baru yang menjadi inti

kekhususannya itu.

Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Hart, aturan hukum yang memuat

asas lex specialis derogate legi generalis termasuk kategori rule of recognition. Asas lex specialis

derogat legi generalis, mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan

yang berlaku, dan asas lex specialis derogat legi generalis merupakan suatu secondary rules,

yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur

(pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi

terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.

Ditinjau dari teori criminal law policy yang dikemukakan Ancel, bahwa asas lex specialis

derogat legi generalis merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi

(application policy) yang mengatur tentang kewenangan. Artinya, bukan berkenaan dengan

perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan

game-rules dalam penerapan hukum. Asas lex specialis derogat legi generalis ini penting bagi

aparat penegak hukum guna menentukan aturan apa yang di terapkan atas suatu peristiwa

yang diatur oleh lebih dari satu aturan, yang manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut

yang bersifat umum dan yang manakah aturan-aturan yang lain tersebut yang bersifat khusus.

Menyimak ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menegaskan keberlakuan atau

validitas aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu perbuatan yang masuk baik

kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Namun, apa yang dimaksud

dengan aturan pidana tersebut, tidak ada dijelaskan dalam undang-undang. Dengan demikian

Page 17: Istilah Hukum

perlu adanya penafsiran, sehingga jika melihat pandangan Friedmann yang menyatakan suatu

sistem hukum terdiri substansi (substance), struktur (structure) dan budaya (culture), maka

aturan pidana dimaksud yaitu substansi (materi) hukum itu sendiri dalam hal ini, aturan pidana

tersebut yaitu sub-bagian hukum yang masuk kedalam ruang lingkup hukum pidana itu sendiri.

Kemudian, jika memperhatikan pandangan Packer yang menyatakan ruang lingkup hukum

pidana tersebut meliputi pengaturan tentang tindak pidana (crime), pertanggungjawaban

pidana (responsibility) dan pemidanaan (punishment), maka aturan pidana diartikan ke dalam

aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Sehingga, jika

terdapat aturan yang sifatnya khusus mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan

pemidanaan, maka aturan yang sifatnya umum menjadi tidak lagi valid.

Aturan hukum yang mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, berlaku bukan

hanya dalam menyikapi perbuatan-perbuatan yang taatbestand dengan aturan pidana yang

terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat

dalam undang-undang lain di luar KUHP. Bahkan sepanjang tidak diatur sebaliknya, asas ini juga

berlaku terhadap sesama undang-undang di luar KUHP. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal

103 KUHP, yang menentukan: “ketentuan ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh

ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu

ditentukan lain”. Sehingga, ketentuan Pasal 63 ayat (2) tidak hanya berlaku ketika mencermati

peristiwa konkrit dihadapkan pada aturan-aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban

pidana pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga terhadap hal yang sama yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP dihadapkan dengan KUHP itu

sendiri, atau lebih jauh lagi terhadap dihadapkannya dua atau lebih undang-undang di luar

KUHP. Sepanjang suatu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus,

maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau undang-undang di

luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak absah dalam arti tidak lagi valid.

Page 18: Istilah Hukum

Ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, tidak ada hubungannya dengan masalah samenloop

dari beberapa perilaku yang terlarang. yang diatur dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP , mengenai

kemungkinan suatu perilaku yang terlarang itu telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana

tertentu, akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali di dalam suatu ketentuan pidana

yang lain, dan ketentuan pidana tersebut merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat

khusus, dalam arti secara khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam

suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang harus

diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal seperti itu berlakulah ketentuan hukum

yang mengatakan: lex specialis derogat legi generalis.

Untuk dapat mengetahui, suatu ketentuan pidana itu secara lebih khusus telah mengatur

suatu perilaku, yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang lain,

sehingga ketentuan tersebut dapat disebut sebagai suatu bijzondere strafbepaling atau

ketentuan pidana yang bersifat khusus, tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan

sebagai pedoman. Namun demikian, ada doktrin cara memandang suatu ketentuan pidana,

yaitu: a. cara memandang secara logis ataupun juga yang disebut logische beschouwing, dan b.

cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga disebut jurisdische

atau systematische beschouwing.

Berdasarkan pandangan secara logis (logische beschouwing), suatu ketentuan pidana itu

dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana

tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu

ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische

specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.

Selanjutnya, berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu

ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat

umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila

dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk

Page 19: Istilah Hukum

memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat

khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atau systematische specialiteit,

yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis. Perkataan systematische

specialiteit, untuk pertama kalinya dipergunakan Ch.J. ENSCHEDE dalam tulisannya yang

berjudul “Lex specialis derogat legi generali” di dalam Tijdschrift van het Strafrecht pada

halaman 177 di tahun 1963.

Kekhususan ketentuan-ketentuan pidana yang bersifat khusus itu dapat juga terletak

pada sifatnya yang memberatkan atau meringankan hukuman. Menurut P.A.F. Lamintang,

untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan

pidan itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat

umum. Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu ketentuan

pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan kualifikasi kejahatan-kejahatan

yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan pidana tersebut, melainkan hanya menyebutkan

pasal-pasal dari kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana

tersebut harus juga dipandang sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.

Ketentuan pidana sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP, perlu diperhatikan oleh

hakim maupun Jaksa Penunut Umum. Sebab, jika suatu tindak pidana yang telah didakwakan

terhadap seorang sebagaimana diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum,

dan kemudian ternyata bahwa tindak pidana tersebut yang bersifat khusus, maka unsur-unsur

dari ketentuan pidana yang bersifat khusus inilah yang harus ia cantumkan di dalam surat

dakwaannya. oleh karena, jika jaksa penuntut umum hanya mencantumkan unsur-unsur dari

tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum di dalam

surat dakwaannya, dan di dalam sidang peradilan kemudian yang terbukti (dapat

dibuktikannya secara sah) yaitu perbuatan terdakwa yang telah memenuhi semua unsur dari

suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus,

maka hakim harus membebaskan terdakwa dari segala yang telah didakwakan oleh jaksa

penuntut umum di dalam surat dakwaannya tersebut .

Page 20: Istilah Hukum

Kejadian sebagaimana diterangkan di atas, pernah diputuskan oleh HOGE RAAD dalam

arrest-nya tanggal 6 Desember 1960, N.J. 1961 no. 54, HOGE RAAD yang telah membebaskan

tertuduh dari segala tuntutan hukum, oleh karena penuntut umum di dalam surat tuduhannya

hanya menuduhkan pelanggaran terhadap Pasal 494 ayat (2) KUHP, yang pada hakekatnya

hanya merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang

bersifat umum, namun kemudian di persidangan peradilan kemudian ternyata perbuatan

tertuduh itu telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana seperti yang telah diatur di dalam

Pasal 13 ayat (3) juncto Pasal 84 Wegverkeerreglement yang berlaku di Negeri Belanda, yang

pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus yang mengatur

tindak pidana yang sama secara lebih khusus. HOGE RAAD di dalam pertimbangannya

menyebutkan: walaupun apa yang telah dituduhkan oleh penuntut umum itu memang terbukti,

akan tetapi perbuatan-perbuatan yang terbukti itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana,

oleh karena dalam hal ini yang harus diberlakukan adalah ketentuan pidana yang bersifat

khusus.

Contoh/kasus yang berkenaan dengan asas lex specialis derogat legi generali :

1. Pemberlakuan KUHD terhadap KUHPerdata dalam hal perdagangan.

Apabila ada suatu perbuatan dibidang perdagangan, maka yang hukum yang digunakan

adalah KUHD meskipun pebuatan tersebut diatur didalam KUHPerdata. Hal ini dikarenakan

KUHD merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan KUHPerdata masih bersifat umum.

2. Kasus Bank Global Tbk. (Kasus yang bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi

generali).

Dalam kasus Bank Gobal, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik

tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal

dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada

bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan

Page 21: Istilah Hukum

keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan

dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.

Putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN,

membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan

Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS

dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar

Undang-undang Korupsi.

Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan

melanggar doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah

menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat

umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Dari hal

tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak

pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan

sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini,

Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena

putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin

dilindungi oleh undang-undang perbankan .

Seharusnya MA menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat

asas lex specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU Perbankan merupakan

ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi merupakan ketentuan yang lebih umum,

bukan sebaliknya.

3. Kasus yang terjadi di tengah masyarakat

Seorang yang dengan sengaja tidak membayar bea masuk / cukai, tidak membayar pajak,

ataupun mencuri kayu di hutan milik negara. Sudah jelas perbuatan mereka tersebut dilakukan

dengan sengaja secara melawan hukum / bertentangan dengan hukum, dapat merugikan

keuangan negara, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur-

Page 22: Istilah Hukum

unsur perbuatan mereka tersebut ternyata memenuhi seluruh unsur yang ada dalam ketentuan

pidana Pasal 2 UU Tipikor.

Dalam aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali. Dengan demikian

apabila ada seseorang yang secara sengaja melakukan suatu perbuatan mencuri kayu di hutan

negara, atau memiliki, membawa dan mengangkut kayu tanpa dilengkapi SKSHH ( Surat

Keterangan Sahnya Hasil Hutan ), menurut pembentuk undang-undang kepada mereka

tersebut sebagai perbuatan illegal loging dan melanggar UU No.41 Tahun 1999 tentang

kehutanan, dan bukan sebagai perbuatan yang koruptif, walaupun perbuatan mereka tersebut

memenuhi unsur Pasal 2 UU Tipikor. Begitu pula bagi masyarakat yang dengan sengaja tidak

membayar pajak seperti tidak membayar PBB atau tidak membayar Pajak kendaraan bermotor,

maka harus dijerat dengan UU perpajakan dan bukan UU Tipikor, karena secara yuridis

pembentuk UU telah menghendaki atau bermaksud untuk memberlakukan ketentuan

perpajakan bagi mereka yang tidak membayar pajak walaupun perbuatan mereka memenuhi

unsur - unsur yang termuat dalam Pasal 2 UU Tipikor

4. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-undang

Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi

hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang berbeda dengan apa yang diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (legi generali).

5. Perkara korupsi yang telah diatur dengan UU No. 35 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengalahkan ketentuan dalam KUHP yang

mengatur mengenai pencurian.

6. UU Kesehatan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dengan KUHP sebagai lex generalis

(hukum yang umum). Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan diatur

perihal diperbolehkannya aborsi atas indikasi medis, yaitu dalam keadaan darurat yang

membahayakan jiwa ibu hamil dan atau janinnya. Berbeda dengan UU Kesehatan, KUHP sama

sekali tidak memperkenankan tindakan aborsi, apapun bentuk dan alasannya. Artinya dalam hal

ini, jika terjadi suatu kasus aborsi atas indikasi medis (seperti diatas), berdasarkan asas Lex

Specialis derogate Legi Generalis, maka yang berlaku adalah UU Kesehatan dan bukan KUHP.

Page 23: Istilah Hukum
Page 24: Istilah Hukum

E. Lex Posterion deroget legi priori.

Pengertian

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang

sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.

Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara

otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.

Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara

ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior

Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No.

20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor

48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing

(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara

Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

Kasus yang bertentangan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori: Seorang TNI

bernama Wisnu di Jakarta, menemukan permasalahan berkaitan dengan peraturan yang ada.

Saat bergabung dengan TNI disampaikan bahwa salah satu syarat untuk menjadi anggota

adalah sanggup untuk melaksanakan Ikatan Dinas Pertama sekurang-kurangnya 10 tahun dan

menandatangani perjanjian Ikatan Dinas Pertama.

Saat ini Wisnu telah selesai melaksanakan Ikatan Dinas Pertama dan tidak ingin

melanjutkan pengabdian di dalam TNI karena berbagai macam pertimbangan. Namun pada

prosesnya dihambat dan kemudian diterbitkan suatu peraturan baru yang berlaku surut untuk

menahan seorang prajurit yang ingin mengakhiri masa dinas setelah ikatan dinas pertama.

Dengan peraturan baru ini, mustahil seorang prajurit dapat mengakhiri ikatan dinas pertama

karena secara otomatis diperpanjang dalam Ikatan Dinas Khusus karena mengikuti pendidikan

kejuruan.

Page 25: Istilah Hukum

Dalam PP No.39 Tahun 2010 pada pasal 1 No.13 sangat jelas bahwa yang dimaksud

dengan Ikatan Dinas Khusus adalah Ikatan Dinas dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga)

bulan dan paling lama 4 (empat) tahun sebagai tambahan yang dikenakan bagi Prajurit TNI yang

mengikuti pendidikan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu di

luar lembaga pendidikan TNI dengan biaya negara. Hal ini bertentangan dengan Buku Petunjuk

Pelaksanaan TNI AU tentang Pemisahan Prajurit yang dengan semena-mena memasukkan

komponen pendidikan dasar kejuruan sebagai salah satu pendidikan yang akan menambah

Ikatan Dinas sampai dengan 8 (delapan) tahun. Padahal semua prajurit pasti akan mengikuti

pendidikan tersebut dan tidak mungkin dapat berdinas tanpa pendidikan itu. Di PP No.39 Tahun

2010 juga dijelaskan bahwa semua Ikatan Dinas harus dimulai dengan penandatanganan Surat

Perjanjian sebelumnya. Kasus ini memberikan gambaran bahwa peraturan bertentangan

dengan peraturan diatasnya

Page 26: Istilah Hukum

F. Lex Superior Dorogat legi Priori.

Asas lex superior derogat legi inferiori yaitu peraturan yang lebih

tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada

suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi

tersebut. Bagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi, maka dapat dilakukan Judicial Review (uji material) yang diajukan melalui gugatan dan

keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Kasus yang bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferior:

Episode kejatuhan Bank Tripanca memunculkan suatu sisi permasalahan hukum dalam

pengelolaan keuangan daerah. Pemkab Lampung Timur berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun

2006 bersikeras bahwa penyimpanan dana APBD di Bank Tripanca tidak bertentangan dengan

hukum. Peraturan Perundang-Undangan yang melandasi pengelolaan pemerintahan daerah

adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; Kedua peraturan perundang-

undangan ini menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah

memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri namun tetap dalam koridor sistem hukum dalam

pengertian dilaksanakan berdasarkan hukum. Oleh karena itu, ketika dihadapkan kepada konflik

antara UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan Permendagri No. 13

Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, tentunya sesuai dengan teori hirarki

hukum kita harus mendahulukan U No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap

Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Disini kemudian

timbul pertanyaan sejauh mana Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan

Page 27: Istilah Hukum

Keuangan Daerah dapat dijadikan dasar keberlakukan suatu kebijakan pengelolaan keuangan

daerah, tentunya berdasarkan teori hirarki hukum, kita harus mendasarkan jawaban kita.

Pasal 193 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan

dana APBD tidak boleh disimpan atau didepositokan di bank nonpemerintah. Pasal ini secara

jelas memberikan norma larangan untuk menyimpan atau mendepositokan dana APBD di bank

nonpemerintah, dengan kata lain dana APBD hanya dapat disimpan atau didepositokan di bank

pemerintah. Sementara itu Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah, yang menyebutkan bupati dapat membuka rekening kas daerah di lebih dari satu bank

yang sehat merupakan suatu ketentuan lanjutan dari ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah dalam artian bank yang sehat ini haruslah masuk ke dalam kategori bank

pemerintah sesuai teori hirarki hukum. Perlu dipertanyakan lagi apakah Bank Tripanca

termasuk kategori bank pemerintah atau nonpemerintah. Kalau memang Bank Tripanca bukan

merupakan Bank pemerintah, berarti Pemkap Lampung Timur telah melanggar Pasal 193 Ayat

(1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (bertentangan dengan asas lex

superior derogat legi inferiori).