islam keindonesiaan nu dan muhammadiyyah sebagai penjaga …

14
Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 255 Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI Ahmad Fithonik Ibnu Malik 1 1 Madrasah Diniyah Darussalamah, sumbersari kencong kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 64293, Indonesia. Email: [email protected] Abstrak: Wajah Islam di berbagai belahan dunia kadang terlihat keras dan bahkan arogant. Hal ini berbeda dengan Islam di Indonesia yang cenderung ramah, ini menunjukkan bahwa Islam di Indonesia masih tetap dapat dinilai sebagai Islam yang moderat. gambaran Islam yang ramah ini sempat terganggu dengan adanya gerakan radikal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama adalah dua organisasi yang menjadi penjaga moderatisme Islam di Indonesia. Meskipun keduanya banyak perbedaan, namun di sisi lain juga banyak persamaan, terlebih dalam menjaga keutuhan NKRI. Dalam penelitin ini akan disajikan berbagai aspek persamaan dan perbedaan dari NU dan Muhammadiyah serta berbagai perjuangannya dalam menjaga keutuhan dan kesatuan NKRI. Kata Kunci: NU, Muhammadiyah, Perjuangan. 1. Pendahuluan Nahdlotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, adalah dua organisasi keagamaan yang terbentuk pada awal abad ke-20, tampak peranannya dalam perjuangan usaha mempertahankan kemerdekaan. Baik secara keorganisasian maupun individu tokohnya dapat dilihat andil mereka, baik pada masa prakemerdekaan maupun pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan sejak berdiri sampai perjalanan yang mengiringinya, baik Nahdatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah tampak sekali kontribusinya bagi bangsa Indonesia. Dari NU tampak kontribusinya terhadap berdirinya bangsa Indonesia, kendati awal berdirinya diketahui sebagai respon dari berdirinya organisai Muhammadiyah. Sebagaimana dikatakan, bahwa NU didirikan oleh KH. Hasyim Asyári yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis dan radikal seperti Wahhabi. Pengaruh muhammadiyah dan Sarekat Islam di dalam negeri dan aliran Wahhabi diluar negeri yang semakin meluas telah memarjinalisasikan Kiai Hasyim, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan juru bicara komunitas muslim, dan selain itu ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka. Oleh karena itu, NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan kiai, visualisasi vis a vis pemerintah dan juga kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang hadir lebih dulu [1, pp. 2122]. Karena tuntutan zaman pada waktu itu, NU pun selanjutnya banyak andil dalam perjuangan kemerdekaan. Misalnya, sebagaimana telah disinggung, NU banyak andil dalam badan perjungan Hizbullah dan Sabilillah. Andree Feillard mengungkapkan, sejak September 1945, pasukan Inggris mendarat di Jawa, mewakili sekutunya, Belanda, yang berusaha menanamkan kembali kekuasaannya di Hindia Belanda. Jakarta, Bandung, dan Semarang telah jatuh ke tangan mereka

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 255

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI

Ahmad Fithonik Ibnu Malik1 1 Madrasah Diniyah Darussalamah, sumbersari kencong kepung, Kabupaten Kediri,

Jawa Timur, 64293, Indonesia.

Email: [email protected]

Abstrak: Wajah Islam di berbagai belahan dunia kadang terlihat keras dan bahkan

arogant. Hal ini berbeda dengan Islam di Indonesia yang cenderung ramah, ini

menunjukkan bahwa Islam di Indonesia masih tetap dapat dinilai sebagai Islam yang

moderat. gambaran Islam yang ramah ini sempat terganggu dengan adanya gerakan

radikal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama adalah dua organisasi

yang menjadi penjaga moderatisme Islam di Indonesia. Meskipun keduanya banyak

perbedaan, namun di sisi lain juga banyak persamaan, terlebih dalam menjaga

keutuhan NKRI. Dalam penelitin ini akan disajikan berbagai aspek persamaan dan

perbedaan dari NU dan Muhammadiyah serta berbagai perjuangannya dalam

menjaga keutuhan dan kesatuan NKRI.

Kata Kunci: NU, Muhammadiyah, Perjuangan.

1. Pendahuluan

Nahdlotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, adalah dua organisasi

keagamaan yang terbentuk pada awal abad ke-20, tampak peranannya dalam

perjuangan usaha mempertahankan kemerdekaan. Baik secara keorganisasian

maupun individu tokohnya dapat dilihat andil mereka, baik pada masa

prakemerdekaan maupun pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan sejak

berdiri sampai perjalanan yang mengiringinya, baik Nahdatul Ulama (NU) maupun

Muhammadiyah tampak sekali kontribusinya bagi bangsa Indonesia.

Dari NU tampak kontribusinya terhadap berdirinya bangsa Indonesia,

kendati awal berdirinya diketahui sebagai respon dari berdirinya organisai

Muhammadiyah. Sebagaimana dikatakan, bahwa NU didirikan oleh KH. Hasyim

Asyári yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam

reformis dan radikal seperti Wahhabi. Pengaruh muhammadiyah dan Sarekat Islam

di dalam negeri dan aliran Wahhabi diluar negeri yang semakin meluas telah

memarjinalisasikan Kiai Hasyim, yang sebelumnya merupakan satu-satunya

pemimpin dan juru bicara komunitas muslim, dan selain itu ajaran kaum pembaru

sangat melemahkan legitimasi mereka. Oleh karena itu, NU didirikan untuk

mewakili kepentingan-kepentingan kiai, visualisasi vis a vis pemerintah dan juga

kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang

hadir lebih dulu [1, pp. 21–22].

Karena tuntutan zaman pada waktu itu, NU pun selanjutnya banyak andil

dalam perjuangan kemerdekaan. Misalnya, sebagaimana telah disinggung, NU

banyak andil dalam badan perjungan Hizbullah dan Sabilillah. Andree Feillard

mengungkapkan, sejak September 1945, pasukan Inggris mendarat di Jawa,

mewakili sekutunya, Belanda, yang berusaha menanamkan kembali kekuasaannya

di Hindia Belanda. Jakarta, Bandung, dan Semarang telah jatuh ke tangan mereka

Page 2: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

256 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

dan kedatangan mereka di tunggu di Surabaya. Menghadapi ancaman ini, para

ulama NU berkumpul pada tanggal 22 Oktober 1945 dan menyatakan Perang Jihad

melawan sekutu Inggris-Belanda. Sementara itu, pesantren-pesantren sering

dijadikan tempat berlindung dan berkumpul pasukan Hizbullah dan Sabilillah.

Dan dari Muhammadiyah, yang sejak berdiri memang tidak campur tangan

dalam politik melawan kolonial, meskipun para anggotanya banyak yang terlibat,

juga banyak berkontribusi dalam perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Meskipun pada dasarnya di sekolah-sekolah Muhammadiyah, perasaan anti

kolonialisme Belanda disimpan secara rahasia namun efektif. karena Belanda tidak

mencurigai bahwa gerakan Muhammdiyah ini berbahaya [2, p. 66].

Deliar Noer mencatat, bahwa organisasi Muhammadiyah didirikan dengan

maksud menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada

penduduk bumiputra dan memajukan hal agama Islam kepada anggotaanggotanya.

Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi ini bermaksud mendirikan lembaga-

lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tablig yang di dalamnya dibahas

dan dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta

menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah [3,

p. 86].

Menurut Syafii Maarif, Muhammadiyah mengambil alih sistem pendidikan

Barat berupa sistem klasikal tanpa rasa beban. Pada pusat-pusat pendidikan

Muhammadiyah, apa yang disebut disiplin-disiplin sekuler juga diajarkan, hanya

saja dicoba diintegrasikan dengan ajaran Islam, sekalipun belum berhasil semua

secara teori. Dengan cara ini, Muhammadiyah berharap, setidak-tidaknya dalam

jangka panjang, akan mampu menciptakan pribadi-pribadi muslim yang utuh, yaitu

semacam kombinasi antara seorang alim dan seorang intelektual [2, p. 67].

2. Metode

Artikel ini ditulis dengan kajian pustaka. Karena kajian ini bersifat pustaka,

untuk itu dalam seluruh prosesnya dari awal hingga akhir penelitian, penulis

menggunakan berbagai macam pustaka yang relevan untuk menjawab

permasalahan yang dicermati. Sementara itu, penelitian kajian pustaka merupakan

penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian

pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai topik atau masalah kajian, dimana

memuat beberapa gagasan atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh

data yang diperoleh dari sumber pustaka. Obyek penelitian adalah komponen-

komponen dan pengembangan kurikulum Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan menerapkan analisa konten

sebagaimana yang digagas oleh Shelley dan Krippendorff yaitu teks, mengajukan

pertanyaan riset, memahami konteks, menganalisa konstruks, melakukan inferensi

dan validasi data.

3. Hasil

Tahun 1926 M menjadi tahun mahapenting bagi ulama pesantren. Jam'iyah

Nahdlotul Ulama (NU) berdiri dan memulai program kegiatannya. Kegiatam yang

bersifat keagamaan dan kemasyrakatan. Bahkan, dedikasi nasionalisme kalangan

pesantren semakin kuat. Maklum, pada masa berdirinya NU, tahun 1926 M itu

Page 3: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 257

nusantara dalam kungkungan penjajah Belanda. KH Hasyim Asy'ari adalah tokoh

yang gencar melakukan perlawanan terhadap Penjajah di Indonesia. Terbentuknya

organisasi NU setidaknya menjadi wadah negosiatif dengan tanggungjawab besar

membebaskan belenggu penjajahan. Yang terpenting, NU dalam sejarahnya

termasuk organisasi besar yang ikut menjaga perjalanan kedaulatan negara

kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Kelahiran Jamiyah Nahdlotul Ulama (NU) tidak bisa lepas dengan sosok

KH. Hasyim As'ari. Beliau tercatat salah satu dari sejumlah Kiai yang

memprakarsai lahirnya organisasi Nahdlotul Ulama. Ada dua orang Kiai

kharismatik lagi yang dianggap sebagai lokomotor lahirnya jamiyah berfaham

ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) ini. Beliau berdua adalah Kiai Wahab Hasbullah

dan Kiai Moh. Kholil [4, p. 59]. Sebelum tercetus nama Jamiyah Nahdlotul Ulama,

para Kiai berfaham Ahlussunah Wal Jamaah memimiki perkumpulan komite Hijaz.

Komite Hijaz didirikan oleh Kiai pesantren karena merasa 'diabaikan' oleh

pemerintah pada saat ini. Salah seorang ulama dari barisan kiai pesantren, Kiai

Wahab Hasbullah tidak bisa ikut serta ke kerajaan Arab karena dianggap tidak

memiliki organisasi. Padahal, suara Kiai pesantren pada saat itu hanya untuk

menyampaikan komitmen menjaga kelurusan bermadzhab dan menolak kebijakan

kerajaan Arab Saudi yang dianggap kurang professional [5, p. 9].

Peran NU dalam membangun karakter umat dan bangsa dapat dilihat dari

berbagai lembaga dan ruang yang digunakannya dalam mendidik masyarakatnya.

NU tidak hanya memainkan peran membangun karakter bangsa lewat pendidikan

formal saja. NU juga memaksimalkan jalur pendidikan informal baik masjid,

mushalla, dan rumah-rumah anggotanya atau simpatisannya. Berikut ini sarana

yang menjadi tempat NU dalam membangun dan mempertahankan karakter bangsa

Indonesia yang Islamized:

1) Pesantren

Ada 5 elemen penting sebuah pesantren dikatakan pesantren NU, lima

elemen tersebut antara lain: Kyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab Kuning

[6, p. 25]. Dari kelima elemen tersebut, biasanya, Kitab Kuning dijadikan

elemen yang membedakan pesantren NU atau bukan.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pesantren adalah basis pergerakan

dan kaderisasi NU. Meskipun pesantren ada sebelum NU didirikan akan

tetapi NU adalah organisasi Islam yang sangat peduli akan keberlangsungan

pesantren di Indonesia selama ini. Sehingga NU lebih diidentikan dengan

kaum tradisional ketimbang Muhammadiyah dalam hal pemilihan pesantren

sebagai bentuk dan substansi pendidikan NU [7, p. 66]. Kelahiran NU juga

dianalisa sebagai kebangkitan Kyai, Santri dan Pesantren.

2) Madrasah

Keberadaan madrasah sangat akrab dengan keberadaan NU sendiri

ketimbang ormas-ormas Islam lainnya. Tipologi madrasah dan

perkembangannya sampai saat ini merupakan bukti bahwa madrasah sangat

dekat dengan kalangan nahdliyyin, meskipun seluruhnya bukan monopoli

NU. Karena Muhammadiyah, al Irsyad, Perhimpunan Umat Islam dan Persis

juga memiliki madrasah baik Diniyah, Awaliyah, Ibtida’iyah, Tsanawiyah

dan Aliyah.

Page 4: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

258 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

3) Perguruan Tinggi

NU sudah terkenal dengan pesantrennya yang saat ini jumlahnya

sekitar 10 ribu atau madrasahnya yang jumlahnya sekitar 12 ribu. Namun

harus diketahui NU juga telah merambah ke perguruan tinggi yang berlabel

universitas. Tercatat hingga kini lebih dari 26 Universitas Nahdlotul Ulama

(UNU) telah berdiri di beberapa provinsi dan kota di pulau Jawa. UNU juga

sudah merambah ke pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Menurut Sekretasi Jenderal Pengurub Besar Nahdlotul Ulama (PBNU)

Helmy Faishal Zaini jumlah tersebut belum termasuk perguruan tinggi yang

tidak ada label NU seperti Darul Ulum, Diponegoro, dan lainnya yang

mencapai 130 unit. Perguruan tinggi NU terus focus pada kualitas ketimbang

kuantitas. Dalam misinya, NU memberikan perhatian pada pemberian

landasan moral dan spiritual untuk mencapai pembangunan mahasiswa

seutuhnya.

4) Tarekat

Hubungan NU dengan tarekat sebagaimana kedekatan pesantren

dengan tasawuf. Tarekat berbeda dengan pesantren karena ada dua hal yang

terdapat dalam tarekat: pertama, menjalankan amalan seperti wirid atau zikir

secara bebas; kedua, mengikuti sebuah kelompok tarekat tertentu dan

menjalankan wirid sesuai dengan yang telah ditentukan dalam tarekat

tersebut. Pada point kedualah yang membedakan tarekat dengan pesantren

meskipun ada pesantren yang beraliran tarekat tertentu namun pesantren

yang tidak beraliran tarekat lebih dominan.

5) Masjid

Pada awalnya masjid digunakan sebagai pusat kegiatan kaum

muslimin baik untuk pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian,

kegiatan administrasi dan kultural. Bahkan ketika belum ada madrasah

masjid merupakan tempat representatif dalam menyelenggarakan pendidikan

[6, p. 33]. Nampaknya, NU masih meneruskan tradisi tersebut meskipun

tidak menolak pembaharuan pendidikan. Hal itu terlihat dalam pemanfaatan

masjid di kalangan warga NU tidak hanya untuk sholat lima waktu atau

shalat jum’ah saja. Warga NU juga memanfaatkan masjid sebagai tempat

belajar ilmu-ilmu keIslaman ketika madrasah, sekolah dan perguruan tinggi

tidak dapat meyediakan bangku untuknya atau ketika kesibukan tidak

memungkinkan untuk dapat duduk dibangku tersebut. Adapun bentukbentuk

kegiatan di masjid basanya bersifat tahunan namun juga ada yang bersifat

usbu’iyah. Rajaban, peringatan maulid, peringatan Muharram, lebaran anak

yatim adaah bentuk-bentuk agenda tahunan sedang pengajian kitab kuning

seperti seperti sullam taufiq, safinatun najah dan lain-lain merupakan

kegiatan usbu’iyah.

6) Musholla

Berbeda dengan masjid mushalla tidak digunakan untuk sholat jum’at

dan shalat ’Idain. Akan tetapi mushalla tidak lepas dijadikan sebagai tempat

pengajaran ilmu-ilmu keislaman dalam tradisi NU. Disamping digunakan

untuk rajaban dan maulidan untuk tingkat RT atau antar RT, di mushalla

juga biasanya diadakan pengajian tiap pekan dan ada juga yang digunakan

Page 5: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 259

tempat untuk belajar mengaji anak-anak yang biasanya digerakkan oleh

guru-guru yang masih muda.

7) Majlis Ta’lim

Majlis Ta’lim berawal dari pemberian pengajian yang dilakukan di

masjid-masjid di sekitar Jakarta yang dilakukan oleh KH. Abdullah Syafi’i.

Model yang dilakukan oleh KH. Abdullah Syafi’i kemudian mengalami

perkembangan yang pesat di tanah air yang kemudian biasa disebut Majlis

Ta’lim. Pesatnya perkembangan majlis ta’lim di tanah air memunculkan

badan yang mengatur majlis tersebut yang dikenal dengan BKMT (Badan

Kontak Majlis Ta’lim) yang seluruhnya adalah dari kalangan kaum hawa.

Melihat latar belakang kemunculannya, kehadiran majlis ta’lim tidak

lepas dari peran Kyai NU, paling tidak sepaham dengan NU, dan para

pengikutnya yang keseluruhan adalah nahdliyyin dan pengajiannya pun

berpaham NU.

8) Rumah

Rumah kyai atau guru dan warga NU juga tidak lepas dari sarana

memberikan pendidikan. Banyak para kyai atau guru menjadikan rumah dan

pelatarannya sebagai sarana penyiraman ruhani begitu juga rumah warga

NU. Biasanya ada pengajian tiap pekan yang berbentuk arisan pengajian atau

bentuk lain. Paling tidak rumah warga NU pasti menjadi tempat tahlilan atau

maulidan dimana sang guru tidak hanya membaca surat Yasin, do’a dan

Rawi saja akan tetapi juga ada yang bersifat tuntunan atau ajaranajaran Islam

dalam hidup dan tujuan hidup.

Jika menengok awal kemunculan NU, tujuan dan maksud NU dalam

Anggaran Dasar 1926 adalah ”berikhtiyar memperbanyak madrasah-

madrasah yang berdasarkan agama Islam” dan ”memperhatikan hal-hal yang

berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu

juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang fakir miskin” [8, p.

181]. Dari kata-kata tersebut NU dapat diambil kesimpulan bahwa NU

merupakan organisasi kemasyarakatan yang mementingkan pendidikan dan

pengajaran Islam untuk bangsa Indonesia kedepan. Bahkan dalam

pergerakannya NU menitikberatkan pada bidang pendidikan disamping

sosial dan perekonomian. Maka pada akhir tahun 1356/1938 komisi

perguruan NU sudah melakukan pembaruan pendidikan dengan tetap

melestarikan pendidikan ala pesantren [9, p. 122] dengan mengeluarkan

reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan

mulai 2 Muharram 1357. Susunannya adalah sebagai berikut:

a) Madrasah Awaliyah, lama belajar 2 tahun.

b) Madrasah Ibtidaiyah, lama belajar 3 tahun

c) Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun

d) Madrasah Mu’allimin ’Ulya, lama belajar 3 tahun [10, p. 269].

Para ulama dan para kiai mempunyai pengaruh yang sangat besar,

terlebih karena sifat pendidikan agama di pesantren, pondok yang mengarah

pada orientasi vertikal kalangan santri kepada para gurunya yang dalam

filosofis diartikan harus di“gugu” dan di”tiru” menyebabkan pengaruh

kewibawaan para ulama dan kiai sangat besar. Karena itulah, dalam

Page 6: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

260 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

menjangkau perspektif pembangunan politik di Indonesia dalam arti yang

seluas-luasnya, para ulama sangat berperan penting dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara [11, p. 238].

Adapun komitmen NU dalam bidang pendidikan ketika menjadi partai

politik dan aktif dalam kegiatan politik praktis masih tetap menjadikan

pendidikan sebagai bagian dari gerakannya, setidaknya kata-kata

”mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam” masih tercantum

dalam Anggaran Dasarnya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri merebaknya

kekhawatiran perlakuan diskriminatif menghantui lembaga pendidikan NU.

Alhasil, banyak warga NU yang mendirikan lembaga pendidikan enggan

menggunakan label NU, bahkan tidak sedikit yang menarik dari

keorganisasian NU karena rasa takut terhadap kegiatan politik radikal yang

dilakukan NU pada tahun 1970-an dan itu sangat menghantui di bidang

pendidikan. Takut akan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Oleh karena

itu, istilah Madrasah Ibtida’iyah NU (MINU), sekolah NU mereka rubah

dengan nama-nama yang tidak mencolok seperti sekolah ”Wahid Hasyim”.

Begitu juga Universitas NU di Malang diberi nama ”Universitas Sunan Giri”

[12, p. 304].

4. Pembahasan

A. NU dan Kemerdekaan NKRI

Belanda sebagai bangsa yang paling lama menguasai bangsa Indonesia

sudah melakukan banyak kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat

Indonesia [13, p. 29]. Sikap kolonial Belanda telah menumbuhkan benih-benih

ketidak puasan bangsa Indonesia sehingga para pemuka agama menghimpun

kekuatan melalui dunia pesantren diantaranya adalah Nahdlotul Ulama (NU) [11,

p. 235]. Ditambah adanya beberapa program kristenisasi yang digalakkan oleh

penjajah Belanda di bumi nusantara ini menjadikan Nahdlotul Ulama bangkit

menghimpun laskar-laskar kekuatan (ḥizbullāh) untuk melawan penjahan

Belanda yang dianggap kafir dan dhalim. NU dengan segala kekuatan yang ada

pada tingkat komunitas masyarakatnya secara menyeluruh memberikan pengaruh

yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri,

yang kemudian karena kekuatan NU ini semakin lama semakin kuat, maka oleh

penjajah Belanda ingin dijauhkan dari pengaruh politiknya.

NU mendirikan pasukan dengan nama Hizbullah (Tentara Allah) dan

kemudian Sabiliillah adalah organisasi yang bersifat militer yang di dalamnya

NU dan Muhammadiyah banyak berperan. Dikatakan, Hizbullah sejak awal

berdirinya berkaitan dengan aspirasi ke arah kemerdekaan Indonesia. Para

anggota Hizbullah yang dilatih oleh para perwira Peta, telah menyatakan

kesetiaannya pada Masyumi [14, p. 186]. Wahid Hasyim (tokoh NU), sebagai

wakil presiden Masyumi, secara resmi memeriksa latihan barisanbarisan

Hizbullah [1, p. 50]. Sementara itu, ketua Hizbullah adalah Zainal Arifin (salah

seorang delegasi NU dalam pengurus Masyumi) dan Mohammad Roem

(Muhammadiyah) sebagai wakilnya [14, p. 319].

Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia

tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan masyarakatnya, akan tetapi

juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap

Page 7: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 261

melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan negara Republik

Indonesia.

Sedangkan pembelaan santri dan ulama’NU yang paling terkenal adalah

tragedy pembelaan kemerdekaan RI pada 10 November 1945 di Surabaya yang

sampai sekarang dirkenal dengan sebutan Hari Pahlawan.

Keterlibatan Nahdlotul Ulama (NU) mempunyai arti penting dalam

perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia, yang

terbentuk dalam Panitia Sembilan dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 yang menghasilkan

dokumen sejarah penting, yaitu “Piagam Jakarta”[15, p. 208].

Syukurlah rumusan “Atas berkat rahmat Allah... “ itu tidak dituntut untuk

dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya....”, seperti kita pahami

“tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia

mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang mengaku menyampaikan

aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur, bahwa mereka tidak mau bergabung

dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar

pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya Bung

Hatta tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya

tersebut [16, p. 68].

B. Peran NU dalam Memberantas Komunisme dan Radikalisme

Sikap NU terhadap Komunis adalah anti dari dahulu, meskipun pada waktu

demokrasi terpimpin para tokoh-tokoh tua dan kiai tetap setia kepada Presiden

Soekarno. Namun sebagai politisi lainya yang diberi jabatanjabatan rendah

selama Demokrasi Terpimpin menuntut agar 96 Komunis dilarang. Peranan yang

sangat berpengaruh pada hari-hari itu dimainkan oleh Subhan ZE, yang bangkit

sebagai salah seorang pengorganisir demonstrasi-demontrasi mahasiswa yang

mengakibatkan pembentukan “KAP-Getapu” [1, p. 86].

Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (NU) beserta delapan ormasormasnya

tanggal 5 Oktober 1965 telah mengeluarkan sejumlah pernyataan yang antara lain

memohon kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi

agar dalam tempo yang sesingkatsingkatnya membubarkan Partai Komunis

Indonesia, Pemuda Rakyat, Gerwani, Serikat Buruh Pekerja Umum atau SOBSI,

serta semua ormasormas lainnya yang ikut mendalangi dan/atau bekerja sama

dengan apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Selain itu,

dimohonkan pula kepada Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi agar

mencabut izin terbit untuk selama-lamanya semua surat kabar/media publikasi

lainnya yang langsung atau tidak langsung telah mendukung dan/atau membantu

apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September. Perlawanan NU terhadap

PKI dilakukan disemua ruang [17, p. 91], seperti:

Page 8: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

262 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

PKI NU

Mebanggakan masanya: lewat Lekra

(Lembaga Kebudayaan Rakyat)

Menandinginya: dengan Lesbumi

(Lembaga Seniman Budajawan

Muslimin Indonesia)

Menggerakan : Gerwani menggerakan Muslimat

Menjadikan: Pemuda Rakyat selaku

pasukan pelopor mereka

NU menjadikan: Gerakan Pemuda

Ansor

Menggrakan: Barisan Tani Indonesia

(BTI)

Menggaktifkan Pertanu

Mempunyai SOBSI Menggerakan: Sarbumusi

Menyanyikan: Lagu Genjer-genjer Menciptakan: Solawat Badar

Radikalisme pada hakikatnya adalah gerakan dari kaum fundamentalis.

Karena Amstrong dalam bukunya berjudul “Berperang Demi Tuhan” yang

dikutip Abdul Karim Al-Jilani menyatakan bahwa: dalam segala bentuknya,

fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan

ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka

bela. Misalnya, mereka sangat selektif dalam membaca Kitab Suci, tetapi mereka

mengabaikan pluralitas al-Qur’an dan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk

membenarkan kekerasan yang diperbuat. Mereka juga mengabaikan ayat yang

jauh lebih banyak yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan sikap memaafkan.

Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi

sebenarnya religiusitas sejenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan [18, p. 95].

Radikalisme dalam sebuah ideologi dan agama biasanya terjadi karena

beberapa faktor, seperti kegagalan dalam memahami pesan-pesan agama secara

integral dan comprehensive, sehingga pada akhirnya memilih prilaku yang

ekstrim. Namun tidak jarang radikalisme diciptakan oleh para elitnya untuk

meraup sesuatu kepentingan politis. Untuk kasus radikalisme di Indonesia, pada

masa Orde Baru, mainstream umat Islam yang mayoritas Ahlussunnah wal

Jama‘ah ini sempat mendapat perlindungan akidah dari negara. Karena kala itu,

setiap ada aliran sesat yang mencoba untuk merongrong Aswaja sebagai arus

utama umat, langsung dilibas oleh Kopkamtib dan Laksusda dengan pendekatan

keamanan untuk tujuan stabilitas nasional. Adapun ciri-ciri fundamentalis pada

umumnya adalah rigit dan literalis. Dua ciri ini berimplikasi pada sikap yang

tidak toleran, radikal, militan, dan berpikir sempit, bersemangat secara berlebih-

lebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan cara kekerasan [19, p. 10].

Adapun kelompok-kelompok yang dianggap radikal dan berkembang di

Indonesia antara lain:

1) Ikhwanul Muslimin

2) Hizbut Tahrir

3) Jihadi Ikhwani dan Salafi (Wahhabi)

4) Salafi Dakwah dan Salafi Surur

5) ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)

6) Syi’ah

Page 9: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 263

7) Jama’ah Tabligh

8) Front Pembela Islam (FPI)

9) MTA (Majelis Tafsir al-Qur’an) [20, p. 131].

Di sisi lain berdirinya NU adalah untuk menangkal penyebaran aliran

Wahhabi yang telah keluar dari akidah Aswaja murni. Yang pada saat itu sudah

merebak di daerah timur tengah, terkhusus Saudi Arabia. Tangkalan ini bertujuan

untuk menyelamatkan akidah kultural dan budaya di jawa yang lampau telah

diajarkan oleh para wali songo dengan memasukkan nilai-nilai ajaran islam

dalam setiap kegiatannya.

C. Peran Muhammadiyah dalam Kemerdekaan NKRI

Muhammadiyah termasuk organisasi Islam progresif. Kelahirannnya

dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang labil, tensi politik imprialis, dan kondisi

umat yang berada dalam tekanan dimensional. Tahun 1912 M, tahun berdirinya

Muhammadiyah, merupakan tahun kelam bagi bangsa Indonesia. Sebab, pada

tahun ini tanah air sudah berada dalam kuasa Penjajah Belanda. Kuku Penjajah

Belanda sangat kuat melakukan tekanan Fisik dan phisikologis. Misi Penjajah

memang adalah mengambil untung dari tanah jajahannya. Indonesia, pada masa

itu merupakan ladang potensi alam yang sangat disukai oleh Penjajah Belanda.

Maklum, di banding negara lain di kawasan Asia, Indonesia termasuk kawasan

yang memiliki sejuta kekayaan alam. Yang paling menarik hari Penjajah adalah

kawasan penghasil rempah-rempah.

Salah satu spirit perlawanan itu dilakukan sejumlah tokoh penting negeri

ini, seperti KH. Ahmad Dahlan. Sepulang dari perantauannya di kawasan timur

tengah, Beliau mulai melakukan analisa kritis atas kondisi sosial, cara beragama

umat Islam –di kawasan Yogyakarta, secara sepisifik-, dan ghirah untuk merdeka

dari Penjajah. Gerakan perlawanan pertamdimulai KH. Ahmad Dahlan dengan

mencoba mendobrak ‘gaya beragama’ masyarakat. KH. Ahmad Dahlan, melihat

ada sesuatu yang harus dilurus dari cara bergama masyarakat di kawasannya.

Yaitu, mengambalikan kemurnian ajaran agama Islam. Gerakan kembali ke

pemurnian ajaran agama Islam ini, karena kondisi masyarakat di kawasan

Yogyakarta sudah terbawa arus tahayul, bidah (syaiah), dan Khurafat yang sangat

kental syirik kepada Tuhan. Kondisi sosiorelegi ini memaksa KH Ahmad Dahlan

untuk berjuang keras untuk meyakinkan masyarakatnya tentang Islam yang

rahmatan lil’alamin. Tentang ajaran agama yang menentang nista terhadapTuhan.

Atas fakta inilah, sebagian orang mengidentikan KH Ahmad Dahlan –

Muhammadiyah, sebagai organisasi- sebagai pembawa ruh modenisasi ajaran

keislaman. Berkembang kemudian, Islam modernis.

Alasan lain, KH. Ahmad Dahlan melihat realitas timpang dunia pendidikan

masyarakat Indonesia. Maklum, pada tahun 1912 tersebut merupakan masa

gencargencarnya Pemerintah Belanda melakukan sabotase akademik di kalangan

masyarakat pribumi yang Islam. Belanda meyakini, politiasi pendidikan secara

simultan akan memuluskan gerakan mobiliasi masa dalam rengluh Penjajah.

Faktanya sangat simpel, lembaga pendidikan bentukan Belanda akan menjadi

media untuk menyampaikan misi Penjajah kepada rakyat yang menjadi bagian

dari sekolah bentukan Belanda (school). Politisasi Pendidikan Belanda ini

Page 10: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

264 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

dianggap sebagai langkah jitu untuk merekrut lulusan sekolah kepada pihak

Belanda. Atas inisiatif seorang Profesor Belanda bernama Snouck Hurgronje,

pada tahun 1889-1906 M Belanda mendirikan Pax-Neerlandica. Ikatan ini

menjadi perkumpulan untuk menyatukan masyarakat Pribumi dengan Belanda.

Perkumpulan ini dimaksudkan untuk mempermudah Belanda menjadi bagai dari

Penjajah. Sayang, usaha ini sia-sia. Justru sebaliknya, sejumlah tokoh yang

belajar di lembaga pendidikan bentukan Belanda semakin gigih melakukan

perlawanan kepada Belanda [21, p. 255].

Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,

telah membangkitkan semangat berjuang kepada masyarakat Indonesia, baik di

bidang perjuangan fisik, maupun politik. Hal ini tidak luput juga peran serta

warga Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan

lain sebagainya. Mereka merasa terpanggil untuk berbakti mempertahankan

kemerdekaan dan supaya negara yang baru merdeka ini dapat berdiri dengan

tegak. Salah satunya adalah berusaha untuk membentuk dasar konstitusi negara

dengan peranannya di BPUPKI, bersama para tokohtokoh lainnya. Selain itu,

tokoh-tokoh Muhammadiyah juga turut serta dalam mewarnai komite, partai

politik, maupun dalam revolusi fisik.

Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk Komite Nasional

Indonesia Pusat (KNIP) dan komite tersebut dilantik Presiden pada tanggal 29

Agustus 1945. Anggota KNIP terdiri dari 140 orang di antaranya ada tokoh

Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusuma. Sementara itu, pimpinan Pusat

KNIP terdiri dari Kasman Singodimejo sebagai ketua, Sutarjo sebagai wakil

ketua I, Latuharhary sebagai wakil ketua II, dan wakil ketua III dijabat oleh

Adam Malik. Tugas dari KNIP ini adalah untuk membantu tugas dari Presiden

dalam menjalankan pemerintahan, terutama di masa awal-awal, mengingat

kondisi dari negara Indonesia yang belum stabil. Setelah KNIP terbentuk, tidak

beberapa lama didirikanlah Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di

Yogyakarta pada tanggal 29 Oktoer 1945. Ki Bagus Hadikusuma diangkat

sebagai penasihat bersama dengan BPH Purboyo, dan Sukiman [22, p. 72].

Setelah pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3

November 1945, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Hatta, yang berisi

tentang anjuran untuk membentuk partai-partai politik, maka partai-partai politik

pun bermunculan [23, pp. 192–204]. Hal ini untuk menunjukkan bahwa negara

Republik Indonesia yang baru dibentuk ini menganut sistem demokrasi. Isi dari

maklumat tersebut yaitu:

1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya

partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham

yang ada dalam masyarakat.

2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum

dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada

bulan Januari 1946.

Keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut dan juga keinginan untuk

mempersatukan umat Islam di Indonesia, maka pada tanggal 7 November 1945,

seluruh organisasi Islam mengadakan kongres di gedung Madrasah Mualimin

Muhammadiyah Yogyakarta.

Page 11: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 265

D. Peran Muhammadiyyah dalam Bidang Pendidikan

Di dalam modernisasi pendidikan Muhammadiyah metode termasuk hal

yang harus diperbaharui. Metode pendidikan pesantren yang selama ini

menggunakan metode bandongan, sorogan dan hafalan diganti dengan beberapa

metode, sebagai berikut:

1) Metode penghayatan. Maksudnya menghayati dan memahami apa yang

dibaca. Metode ini digunakan untuk mengganti metode menghafal yang

banyak diterapkan di dunia pesantren. Kelemahan metode menghafal pada

umumnya bersifat normatif dan maknanya tidak diketahui peserta didik.

2) Metode klasikal yakni belajar secara bersama-sama di kelas dan dibimbing

oleh seorang guru [24, p. 71]. Metode ini mirip dengan metode diskusi di

kelas, pada saat itulah terjadi dialog antara murid dan saling bertanya.

3) Metode ceramah, artinya para guru menerangkan di depan kelas dengan

ceramah. Metode ini tergolong tua usianya, keunggulannya; guru dapat

menguasai kelas, mudah mengorganisasikan peserta didik, guru dapat

menguasai bahan ajar. Kelemahannya apa yang disampaikan oleh guru

sering tidak diingat oleh peserta didik, menyebabkan peserta didik bersifat

pasif, guru menganggap peserta didik paham tentang pelajaran pada hal

peserta didik tidak paham dan bagi mereka membosankan.

4) Metode berkelompok, belakangan metode ini disebut metode mutual

education. Contoh, Hadis Nabi Muhammmad Saw; artinya shalatlah kamu

sebagaimana kamu melihatku shalat.

5) Metode pemberian contoh dan keteladanan. Metode keteladanan bukan saja

dianut oleh para guru sekolah-sekolah Muhammadiyah tetapi juga dianut

oleh pendiri Muhammadiyah yakni K.H. Ahmad Dahlan, para Pimpinan

Pusat Muhammadiyah seperti K.H. AR. Fakhruddin yang selalu

menonjolkan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Mengutip

Masyitoh Chusnan dimensi moralitas dan spiritualitas Muhammadiyah

merupakan esensi atau bahkan ruh Muhammadiyah itu sendiri. Kedua

dimensi ini juga merupakan titik tolak dan landasan bagi setiap amal usaha

Muhammadiyah. 19 Sifat-sifat keteladanan guru Muhammadiyah antara lain;

sabar, syukur, wara’, zuhud, qanaah, tawakkal, ikhlas beramal, dan rida.

Demikian pula para guru Muhammadiyah menjauhi akhlak tercela seperti

kikir, sombong, pemarah, takabbur, ‘ujub dan sifat tidak ikhlas dalam

mengajar.

6) Metode melalui bimbingan dan penyuluhan. Metode ini banyak digunakan di

sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk membimbing peserta didik sehingga

akal dan spiritualnya terbimbing dengan baik.

Dari penjelasan tersebut, maka dapat kita temukan beberapa perbedaan

antara peran NU dan Muhammadiyah dalam mewarnai Indonesia ini. Misalnya,

NU lekat dengan usahanya mempertahankan budaya kultural dan merambah

masyarakat urban, menggabungkan kearifan lokal dengan nilai-nilai Islam, serta

memilih satu dari mazhab fiqih besar dalam Islam. Sedangkan Muhammadiyyah

lebih identik dengan upaya Memodernkan masyarakat kultural, Pendidikan

system modern dan klasikal, mengklasifikasikan perbedaan kearifan lokal dan

Page 12: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

266 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Islam, serta tanpa memilih mazhab tertentu (ini bukan serta merta berarti tidak

bermazhab).

Sedangkan beberapa persamaan umum yang mungkin dapat kita ditemukan

diantaranya adalah sama-sama memiliki sikap yang toleransi dengan agama lain,

tidak berat sebelah dan menjalankan nilai-nilai Pancasila, tradisi pendalaman

ilmu Islam, kecintaan terhadap ibu pertiwi (hubbul wathan), serta kuatnya ruhud

da’wah (semangat berdakwah).

5. Kesimpulan

Wajah Islam di berbagai belahan dunia kadang terlihat keras dan bahkan

arogant. Hal ini berbeda dengan Islam di Indonesia yang cenderung ramah, ini

menunjukkan bahwa Islam di Indonesia masih tetap dapat dinilai sebagai Islam

yang moderat. Namun demikian, gambaran Islam yang ramah ini sempat terganggu

dengan adanya gerakan radikal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan Nahdlotul

Ulama adalah dua organisasi yang menjadi penjaga moderatisme Islam di

Indonesia. Meskipun keduanya banyak perbedaan, namun di sisi lain juga banyak

persamaan, terlebih dalam menjaga keutuhan NKRI. Gerakan sosial Islam moderat

seperti Muhammadiyah dan NU, haruslah tetap menjaga ciri khas keislamannya

yang sejati tanpa perlu memperjuangkannya dengan cara-cara kekerasan. Karena

bagaimanapun, gerakan Islam tetap harus memperlihatkan missi Islam sebenarnya

sebagai gerakan yang mengusung missi rohmatan lil ‘aalamiin.

6. Daftar Referensi

[1] M. van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana

Baru. Yogyakarta: LKiS, 2008.

[2] A. S. Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang

Perdebatan dalam Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2006.

[3] D. Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES,

1980.

[4] A. M. Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran. Surabaya:

Khalista, 2006.

[5] M. Hasyim and A. Athoillah, Khazanah Katulistiwa: Potret Kehidupan dan

Pemikiran Kiai - Kiai Nusantara. Tuban: Kakilangit Book, 2009.

[6] A. Haedari and A. Hanif, Masa depan Pesantren Dalam Tantangan

Modernitaas aadan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press,

2004.

[7] A. M. Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia, 1999.

[8] Z. Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

[9] H. Muhammadiyah and S. Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia. Jakarta:

elSAS, 2004.

[10] M. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.

[11] A. M. Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di

Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.

[12] A. Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.

Yogyakarta: LKiS, 1999.

[13] S. Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.

Bandung: Al-Ma’arif, 1979.

Page 13: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …

Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga NKRI I 267

[14] H. J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa

Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1985.

[15] Z. M. Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan

Menegakkan Indonesia 1945- 1949. Tangerang: Pustaka Compass, 2014.

[16] N. Goncing, “Politik Nahdatul Ulama dan Orde Baru,” The Politics: Jurnal

Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, vol. 1, no. 1, pp. 61–74,

2015.

[17] K. Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926. Jakarta:

Erlangga, 1992.

[18] A. K. Al-Jilani, “Perspektif Karen Armstrong Tentang Gerakan Muslim

Fundamentalis di Abad Modern,” Marâji: Jurnal Ilmu Keislaman, vol. 1, no.

1, pp. 81–114, 2014.

[19] M. Baharun, Isu Syiah dan Ilusi Ukhuwwah. Jakarta: Pembela Islam, 2014.

[20] M. H. Afandi, “Doktrin Shi’ah Membelenggu Ukhuwwah,” Jurnal Lentera:

Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi, vol. 1, no. 2, pp. 143–158,

2015.

[21] S. Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru; 1500 - 1900. Jakarta:

Gramedia, 1987.

[22] Suhatno, Ki Bagus Hadikusuma, Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta:

Proyek IDSN Ditjarahnitra-Depdikbud, 1982.

[23] G. M. T. Kahin, “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia,” Jakarta: Sinar

Harapan, 1995.

[24] A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal

Abad ke 20. Bandung: Bina Ilmu, 1986.

Page 14: Islam Keindonesiaan NU dan Muhammadiyyah sebagai Penjaga …