islam...bahwa islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan...

289
ISLAM Kajian Analitik SI'-f 51 " hf ' : <■ iSAJ. Rtgnlnl) (Snort Qnrahaua rtaiilna'i/fah 1d1*>/Anril 1QQ5

Upload: others

Post on 17-Nov-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

I S L A M Kajian Analitik

S I ' - f 51 " h f '

: <■ iSAJ.

Rtgnlnl) (Snort Qnrahaua rtaiilna'i/fah 1d1*>/Anril 1QQ5

Page 2: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Perpustakaan Nasional ■: KatalogDalam Terbitan (KDT)

AL-QARDHAWI, Yusuf Karakteristik Islam ; kajian analitik / oleh Yusuf Al-Qardhawi. Surabaya :

Risalah Gusti, 1994. ix + 314 him.; 23 cm. ISBN 979-556-076-X.

1, Islam I. Judul. 297

Hak Cipta 1983, pad a Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Judul Asli : Al-Khashooish Al-Ammah Li Al-Islam (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1404/1983)

KARAKTERISTIK ISLAM; Kajian Analitik

Diterjemahkan RofT Munawwar, Lc. dan Tajuddin

hunting Maghastria Adityawan

Hak'enerbitan pada Risalah Gusti

Disain lampul Studio 10

Cetakan Kttiga, 1996

Penerbit Risakh Gusti Jl. Ikan Mungsijg XIII/1 Telp. (031) 339440, 3529800 Fax. (031)3529800 Surabaya-60177.

Page 3: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

PENGANTAR PENULIS

Allah ya Rabbi, hamba memuji-Mu dengan pujian yang banyak mengan- dung kebaikan dan berkat, sebagaimana memang layaknya hamba ucap- kan demi keagungan wajah-Mu, kelapangan dan kescmpurnaan nikmat- Mu. Kemudian shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan kita Muhammad hamba dan Rasul-Mu, serta rahmat-Mu bagi alam semesta, berikut untuk yang menyeru dengan dakwahnya dan mengikuti bimbing- annya sampai hari Kiamat. Amma ba 'du.

Sejak beberapa tahun terakhir, saya telah merencanakan untuk me- nulis buku tentang "Kepastian Jalan Keluar yang Islami" guna mengha- dapi suara-suara lantang yang kian menggema di Mesir dan Dunia (ka- wasan) Arab umumnya. Dimana suara-suara itu mempropagandakan apa yang mereka sebut "Kepastian Jalan Keluar Sosialisme".

Dari sejunilah bab yang telah saya tentukan untuk ditulis adalah bab dengan tema "Karakteristik jalan keluar yang Islami" yang merupakan topik bahasan yang cukup panjang sehingga — setelah merampungkan seluruhnya — harus dijadikan bagian yang berdiri sendiri dari rangkaian "Kepastian Jalan Keluar yang Islami".

Namun setelah saya analisa secara lebih dalam, maka saya memilik' satu kesimpulan, bahwa temyata karakteristik itu tidak lain adalah k;- rakteristik dari Islam itu sendiri. Mungkin lebih baik jika ditulis menjzdi sebuah buku tersendiri sebagai salah satu rangkaiannya yang akan dce- tak dan diterbitkan untuk menjawab, menghadapi atau merespon bcrba- gai fenomena dan isu aktual sehingga menjadi sebuah buku yang bcrarti

Kurang lebih lima tahun yang lalu saya diundang oleh Uni versitas Libya, Fakultas Dirasah Islamiyah dan Bahasa Arab di Baidha untuk menjadi pemakalah dalam seminar Hukum Islam (Nadwcilut Tasyri' Al- Islctmi), yang diselenggarakan di kota Baidlia’ pula. (Dimana saat itu saya diminta menyajik&n materi dengan tema: "Syariat Islam Sesuai untuk Di- tetapkan di Segala Zaman dan Tempat").

Di antara tema yang harus saya angkat ke permukaan untuk mem- perkuat argumentasi tentang kemaslahatan dan kelestarian syariat Islam adalah tema tentang "Kavakteristik Syariat Islam". Tema tersebut setelah saya analisa dan telusuri kembali proses penulisannya, temyata peril! juga rasanya untuk dirilis lagi menjadi sebuah buku tersendiri.

Kemudian setelah saya pertimbangkan, saya ingin memasukkan atau menggabungkan karakteristik syariat Islam itu ke dalam karakteristik umum Islam secara integratif, dengan menyebutnya sebagai akidah, iba- dat, akhlak dan syariat.

Dengan demikian terfokuslah pikiran saya, kendati masih ada bebe- ■ rapa kenalan saya yang mengusulkan supaya mempublikasikan karakteristik yang khas

Page 4: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dari syariat itu secara tersendiri, karena banyak kaum cendekiawan maupun terpelajar yang bergelut secara khusus di bidang fi- qih maupun hukum memandang cukup urgen untuk menelaah aspek ini. -

Untuk memanfaatkan analisa dan bahasan saya itu, terkadang ter- paksa harus berbenturanjuga dengan keinginan mereka. Hal ini dikarena- kan analisa dan bahasan saya tersebut terlalu menyentuh dan meliputi bahasan karakteristik umum Islam yang kadang-kadang menjadikan mereka tidak mau memandang sebelah mata pun padanya. Dan inilah yang kemudian membuat saya terkadang berpikir untuk segera menyelesaikan dan menuntaskan persoalan tersebut. Semoga Allah berkenan memberi- kan kemudahan.

Ketika dibukadua Fakultas Tarbiyah untuk muallimin dan muallimat di Universitas Qatar, dan saya dipercaya menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah serta dosen tetap untuk matakuliah Tsaqofah Islamiyah di ke- lua fakultas tersebut. Kebetulan pula ada bab khusus tentang karakte- rstik Islam, saat itulah saya pun berkesempatan untuk mematangkan dan msnggodog kembali apayang telah saya tulis, sekaligus untuk diterbitkan.

Dalam bidang ini, sebenamya As-Syahid Sayyid Quthb — ketika be- liau masih meringkuk dalam terali besi — telah menghasilkari satu karya- nya >ang cukup berkualitas yang berjudul: Khashaishu Al-Tashawwur Al-lslami (Karakteristik Persepsi Islami). Sebagaimana judulnya, maka muatan yang ada dalam buku ini terfokus pada satu aspek dari sekian aspek Islam yang sangat luas, yaitu aspek persepsi dan akidah.

Atau dengan kata lain, bukunya itu menjelaskan karakteristik flkrah (pemikiran) universal Islam yang bertalian dengan Allah, alarn, hidup dan manusia.

Sementara karakteristik yang erat hubungannya dengan manhaj (sistem), mazhab, atau nidhom (tatanan) Islam secara komprehensif (me- nyeluruh) — baik yang menyangkut akidah, ibadat, akhlak (moral) dan syariat — bukan merupakan materi utama dari buku tersebut, vvalaupun terkadang juga memuat sebagian darinya. Akan tetapi hal itu bukan sebagai topik bahasan utama.

Karenanya, maka buku ini merupakan pelengkap atau penyempuma dari buku yang ditulis oleh As-Syahid Sayyid Quthb itu. Tidaklah meng- herankan kalau saya mengutip sebagian tema sentral seperti Rabbaniyah, syumul (universal), dan tawazun (pola keseimbangan/keadilan) kendati- pun bukan untuk menirunya dalam interpretasi secara eksplisit. Mungkin akan saya perluas atau persingkat, dan mungkin pula saya tambah atau kurangi.

Sayyid Quthb membicarakan tentang karakteristik Rabbaniyah dalam kapasitas pengertiannya yang spesifik, dalam artian Rabbaniyah mashdar (sumber) dan asas. Namun dia tidak pemah melangkah keluar sampai pada makna lain dari Rabbaniyah itu sendiri, yakni apa yang ka- mi (penulis) namakan "Rabbaniyah tujuan dan sasaran". Dan bagi kami hal itu merupakan dimensi yang

VI Karakteristik Islam

Page 5: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sangat mendasar dan cukup prinsip yang barangkali akan segera tertangkap oleh benak seorang Muslim manakala disebut kata Rabbaniyah atau Rabbani.

Sebagaimana juga As-Syahid Sayyid Quthb, menekankan makna tsabat (konsisten) dalam Islam, dan menegaskannya dengan gaya pene- gasan yang kuat. Dari aspek konsep dan akidah, barangkali ini bisa di- terima, sebagaimana menjadi keharusan untuk menghadapi para propa- gandis yang menyerukan "perkembangan mutlak" di dunia kita sekarang ini. Namun kalau kita mencoba membicarakan Islam dalam kapasitasnya sebagai akidah, syariat dan nidhom (tatanan) kehidupan, saya menemu-j kan bahwa karakteristik Islam itu ada (terletak) pada pemaduannya an-j tara tsabat (konsisten) terhadap Islam dengan mengikuti laju perkembangan secara bersamaan. Dan ini yang akan saya tegaskan di sini.

Di sini akan saya uraikan tujuh karakteristik Islam, yaitu: I. Rabbaniyah (ketuhanan). II. Insaniyah (kemanusiaan).

III. Syumul (universal). Yang kami maksudkan di sini adalah syumul untuk semua zaman, tempat, dan manusia. Dan pada waqi ’ (konteks)- nya, syumul itu mencakup tiga ciri khas, yaitu: keabadian, keuniver- salan dan penguasaan.

IV. Al-Wasthiyyah atau tawazun (pola keseimbangan atau keadilan). V. Al-Waqi ‘iyyah (kontekstual). VI. Al-Wudhuh (kejelasan).

VII: Integrasi (pemaduan)antara tsabat (konsisten) dan murunah (luwes).

Pengantar Penulis vii

Page 6: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Saya tidak berasumsi bahwa ini semua adalah keseluruhan dari ka-rakteristik Islam secara umum. Sehingga masih mcnumgkinkan untuk di- tambah, dan barangkali saya akan menyempurnakannya dalam terbitan- terbitan berikutnya. Insyct Allah!

Sebagaimanajuga saya tidak berasumsi bahwa saya telah memenuhi hak-hak dari setiap karakteristik Islam tersebut. Namun yang jelas saya telah berijtihad dan berusaha sekuat tenaga. Dan setiap mujtahid akan mendapatkan balasan. ,/

“Dan tidak ada taufik bagi saya melainkan dengan (pertolongartTAl- lah. Hanya kepada Allah saya bertawakal, dan hanya kepada-Nya-lah saya kembali." (Q.s. Hud: 88).

Dr. Yusuf Al-QardhawiDAFTAR ISI

Pengantar Penulis ............................................................................................. v

I. Rabbaniyah (Ketuhanan)......................................................................... 1

II. Insaniyah (Kemanusiaan)...................................................................... 59

III. ..............................................................................................................

J Syumul (Universal) .................................................................................... 117 > __________________________________________

IV. Al-Wasthiyyah (Moderat) .................................................................... 141

V. Al-Waqi ’ iyy ah (Kontekstual)............................................................ 177

Vlli Karakteristik Islam

Page 7: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

VI. Al-Wudhuh (Jelas) ............................................................................... 211

VII. Menyatukan antara Tathawwur (Transformasi) dan Tsabat (Konsistensi) .............................................................................. 241

Indeks ............................................................................................................... 293

Page 8: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama
Page 9: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

RABBANIYAH (KETUHANAN)

Karakteristik pertama dari karakteristik umum bagi Islam adalah Rabbaniyah. Rabbaniyah — seperti dikatakan oleh para pakar (ulama) bahasa Arab — adalah mashdar shina 7 (mashdar bentukan) yang dinis- batkan kepada Rabb, ditambah dengan o/i/'dan nun tanpa qiyas tertentu. Artinya: penisbatan tersebut ditujukan kepada Rabb atau Allah swt. Ka- ta Rabbani biasanya akan ditujukan kepada manusia sebagai lagob (ju- lukan) — manusia Rabbani, jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitab-Nya.

Dalam Al-Qur'an Allah swt. berfirman:

“Akan tetapi (diet berkata), 'Hendaklah kamu menjadi orcmg-o- rang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebab- kan kamu telap mempelajarinya’.” (Q.s. Ali Imran: 79).

Yang dimaksud dengan Rabbaniyah di sini adalah yang meliputi dua kriteria: (1) Rabbaniyah ghoyah (tujuan) dan wijhcih (sudut pandang). (2) Rabbaniyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem).

1. Rabbaniyah Ghoyah (Tujuan) dan Wijhah (Sudut Pandang) Adapun Rabbaniyah tujuan dan sudut pandang yang kami maksud- kan adalah

bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama Islam, dan pada gilirannya nierupakan juga tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita. usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan di alam fana ini.

Page 10: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Allah swt. berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh- sungguh

menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. ” (Q.s. Al-Insyiqaq: 6).

“ danbahwasanyakepadaRabbmukesudahan (segalasesuatu) ...” (Q.s. An-Najm: 42).

Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam itu mempunyai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran lain yang bersifat social humanity (kemanusiaan) dan sosial kemasyarakatan. Namun setelah dikaji lebih dalam, temyata kita temukan bahwa sasaran-sasaran ini adalah dalam rangka memenuhi sasaran yang lebih besar, yaitu mardhatillah (mengharap keridhaan Allah) dan pahala (balasan) baik-Nya. Inilah sasaran dari semua sasaran dan, atau tujuaq dari semua tujuan.

Dalam Islam ada tasyri’ dan muamalat. Namun, hal itu dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia sehingga dapat merasakan keba- hagiaan, terhindar dari pergolakan memperebutkan perhiasan murahan, mencuralikan segenap tenaga dan pikiran untuk ma’rifatullah dan beriba- dat kepada-Nya, serta berusaha untuk meraih ridha-Nya.

Dalam Islam ada jihad dan perang melawan musuh, tetapi tujuannya adalah sebagaimana difimiankan oleh Allah swt, “... supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah.” (Q.s. Al-Anfal: 39).

Dalam Islam ada himbauan untuk berjalan menyusuri segala penju- ru bumi dan makan rezeki-Nya yang baik-baik, namun tujuannya untuk' mensyukuri nikmat Allah dan melaksanakan hak-Nya.

Allah swt. berfirman: “Makanlah olehrnu dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan

bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb yang Maha Pengampun.” (Q.s. Saba’: 15).

Segala yang ada dalam Islam baik syariat, taujih (bimbingan) dan irsyad itu semata-mata dimaksudkan hanya untuk menyiapkan manusia supaya menjadi seorang mukhlis kepada Allah, bukan pada selain-Nya. Karenanya, maka ruh dan globalitas Islam itu adalah tauhid,

Makna tauhid, yaitu hendaknya manusia tahu bahwa tidak ada Ilah selain Allah, beribadat dan ber-/o ’awim (meminta pertolongan) hanya kepada-Nya dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Inilah makna, “Iyyaka na’budu wa iyy aka nasta’ien (hanya Engkau-lah yang kami sem- bah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohoii pertolongan). ” (Q.s. Al-

2 Karakteristik Islam

Page 11: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Fatihah: 5). Pemyataan inilah yang selalu diulang-ulang oleh seorang Muslim dalam salatnya setiap hari sedikitnya tujuhbelas kali.

Allah swt. telah memerintahkan Rasul-Nya Muhammad saw. untuk memproklamirkan hakikat al-haq (kebenaran) itu kepada segenap urn- mat manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’anul Karim:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabbku pada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.' Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ihadatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orangyang perta- ma-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ Katakanlah, ‘Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala se- suatu’.” (Q.s. Al-An’am: 161-4).

Sesungguhnya manusia itu tidak diciptakan untuk sekadar makan dan minum, bersenda-gurau dan lagho (main-main) kemudian setelah itu kembali ke asalnya (meninggal dan menjadi tanah). Atau diciptakan hanya untuk menghambur-hamburkan harta bendanya dan loba atau rakus . seperti halnya binatang, seperti yang diceritakan oleh Al-Qur’anul Karim, “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang.” (Q.s. Muhammad: 12).

Akan tetapi, manusia diciptakan oleh Allah swt. untuk suatu tujuan yang sangat luhur (mulia).

Ada sementara orang yang mengatakan, “Sesungguhnya orang yang bodoh itu berprinsip bahwa hidup untuk makan, dan orang yang berakal (pandai) berdalih bahwa makan itu untuk hidup. ” Namun di sini tetap saja ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab, yaitu: Mengapa orang yang berakal itu hidup? Bukankah hidup sendiri bukan merupakan sebuah tujuan dalam dirinya dan tidak dimaksudkan untuk kepentingan pribadi- nya? Tetapi yang pasti manusia hidup itu mempunyai tujuan tertentu, ma- ka apa sebenamya tujuan (hidup) manusia itu?

Kaum materialis tidak menemukan sebuah jawaban pun di dalam filsafat mereka yang sekiranya dapat memenuhi pertanyaan tersebut. Sementara orang-orang Mukmin sendiri memegang prinsip, bahwa sesungguhnya orang hidup itu haruslah mengetahui pencipta dirinya, yaitu Allah swt, Ialu beribadat kepada-Nya dan dirikan serta menegakkan khilafah di atas bumi.

Rabbaniyah 3

Page 12: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

' ^

Jadi, hakikat hidup di mata orang yang bodoh adalah untuk makan, bagi orang berakal kebalikannya, yaitu makan untuk hidup. Sedangkan bagi orang-orang Mukmin justru hidup itu hanya untuk beribadat kepada Rabbul ‘alamien.

Sesungguhnya Al-Qur’an telah menggariskan hakikat dari kebenar- an itu sendiri secara jelas dan rinci, yaitu ketika menyebutkan tujuan dari penciptaan jin dan manusia.

Allah swt. berfirman: “DanAku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya me- reka

menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun darime- reka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-Iah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai ke- kuatan sangat kokoh." (Q.s. Adz-Dzariyat: 56-8).

Bahkan Al-Qur’an menjelaskan bahwa penciptaan seluruh alam se- mesta beserta isinya ini, dimaksudkan tidak lain kecuali agar manusia mengetahui Rabbnya Yang Maha Kuasa lagi Maha Tahu atas segala se- suatu. Pengetahuan ini merupakan sebuah pintu dari setiap kebenaran dan kunci setiap kebaikan.

Allah swt. berfirman: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langitdan seperti itu pula bumi. Perintah

Allah berlakupadanya, agar kamumengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. ” (Q.s. At-Thalaq: 12).

Jadi, manusia itu tidak diciptakan untuk memperturutkan kemau- annya sesuka hatinya di alam fana ini tanpa ada pertanggungjawaban kepada Sang Khalik. Oleh karenanya, segala sesuatu yang ada di alam fana diciptakan untuk melaksanakan khidmah (layanan) demi kepen- tingan makhluk yang lain. Dan juga manusia tidak diciptakan untuk tun- duk demi kepentingan sesuatu yang lain yang masih tergolong sebagai makhluk-makhluk-Nya. Maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sengaja ditundukkan oleh Allah swt. untuk kepentingan manusia, sebagaimana difirmankan-Nya:

“Tidakkah kamuperhatikan sesungguhnya All ah telah manindukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan di bumi, dan menyem- pumakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin." (Q.s. Luqman: 20).

Seluruh isi alam semesta diciptakan untuk manusia. Adapun manusia itu sendiri diciptakan untuk ber-w« 'rifat (mengetahui) dan beribadat hanya kepada Allah, dan melaksanakan amanat-Nya di muka bumi. Cu-

kuplah dengan menjalankan maksud penciptaan atas dirinya, maka manusia akan memperoleh kemuliaan dan terhormat di hadapan Allah. Dia (manusia) adalah sayyid (tuan atau penguasa) di dalam alam raya yang tugasnya hanya untuk beribadat kepada Sang Khaliknya semata.

Dampak Rabbaniyah pada Jiwa dan Kehidupan Yang tidak diragukan lagi bahwa Rabbaniyah tujuan dan sasaran ini

mempunyai faedah (nilai guna) dan pengaruh yang mendalam pada jiwa dan 4 Karakteristik Islam

Page 13: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kehidupan yang hasilnya dapat dinikmati di dunia ini oleh manusia, terlebih lagi di akhirat kelak.

Beberapa pengaruh dan hasil dari Rabbaniyah ini, di antaranya: Pertatna: Mengetahui tujuan wujud (keberadaan) manusia.

Hendaknya manusia mengetahui tujuan dan wujudnya, mengetahui arali perjalanan hidupnya dan memahami risalah kehidupannya. Dengan ini dia akan merasa dan menyadari bahwa hidupnya berharga atau ber- nilai, bermakna, memiliki kelezatan dan kenikmatan. Dan bahwa dia bukan sekadar molekul (atom) yang tidak bermuatan apa pun, dan juga bukan makhluk liar yang berjalan di kegelapan malam tanpa hudan (petun- juk) dan arah yang pasti. Hal tersebut identik dengan sosok kaum kafirin atau orang-orang yang ragu-ragu terhadap Allah swt, sehingga tidak ta- hu: Mengapa mereka terlahir ke dunia? Mengapa mereka hidup? Dan mengapa harus mati?

Sungguh, sekali-kali tidaklah demikian! Manusia tidak hidup dalam kebutaan, tidak berjalan dalam kegelapan dan tanpa arah tujuan yang pasti. Tetapi dia sebenamya melangkah di atas petunjuk dari Rabbnya, di atas kejemihan perintah-Nya dan kejelasan nasib akhimya. Tentu saja semua itu setelah dibekali oleh pengetahuan dan ma’rifatullah sertaikrar- nya atas wahdaniah (keesaan) Allah swt.

kata seperti perkataan penyair yang diliputi kera-

Kukenakan busana kehidupan Mengapa kukenakan dan aku kebingungan di antara aneka pikiran? Dan busana yang kukenakan akan kulepaskan Dan aku tidak tahu mengapa aku daiang? Dan ke mana aku kan dikembalikan?

Atau tidak juga berkata-kata seperti yang diJantunkan penyair lain- nya:

Aku tidak tahu dari mana aku datang Namun, aku telah datang! Sungguh tidaklah demikian jiwa yang dimiliki oleh seorang Mukmin itu, sasaran

Rabbaniyahnya sudah jelas. Dia paham dari mana dan me- ngapa datang (lahir ke dunia), kepada siapa dia akan berpulang kembali dan di mana tempatnya nanti! Seyogyanya orang yang sempit penalaran- nya seperti penyair di atas mau membaca kembali kitab Rabbnya, yaitu tentangjawaban-jawabanNabi Ibrahim a s. atas para penyembah berhala.

Firman-Nya: “... karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuh- ku, kecuali

Rabb semesta alam, (yaitu Rabb) yang telah menciptakan aku, maka Dia-lahyang menunjuki aku, dan Rabbku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dia-lah yangmenyem- buhkan aku, dan yang akan mematikan aku,

Rabbaniyah 5

Page 14: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kemudian akan menghi- dupkan aku (kembali), danyangamat kuinginkanakanmengampuni ke- salahanku pada hari Kiamat. ” (Q.s. Asy-Syu’araa’: 77-82). Kedua: Al-Ihtida ’ (mendapat petunjuk) menuju fitrah.

Termasuk di antara tsamaroh (buah) dan faedah Rabbaniyah tujuan dan sasaran ini, adalah manusia akan terbimbing pada fitrahnya yang telah diberikan oleh Allah. Fitrah yang mengajak kearah iman kepada-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan kedudukan iman ter- sebut dari dalam jiwanya.

Allah swt. berfirman. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Q.s. Ar-Rum: 30).

Terbimbingnya manusia pada fitrahnya bukan merupakan kerja mu- rahan, tetapi sebuah karya dan kekayaan yang tiada temilai. Di sana se- seorang bisa hidup damai dan tentram dengan ketenangan jiwanya serta dengan fitrah wujud kehidupan yang lebih makro (besar) di sekitamya. Maka seluruh alam beserta isinya mempunyai sasaran Rabbani, semua- nya bertasbih mengagungkan kebesaran Allah.

Di dalam Al-Qur’anul Karim dijelaskan. “Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya ...” (Q.s. Al-Isra’: 44).

Pada hakikatnya bahwa fitrah manusia itu tidak terisi oleh ilmu, ke- budayaan dan filsafat, akan tetapi bermuatan dengan iman kepada Allah swt.

Fitrah manusia akan merasa kosong (hampa)s-tapar dan haus (daha- ga) sehingga menemukan Allah, lantas berimart dan menghadap kepada- Nya.

Di sanalah fitrah itu akan istirahat dari berbqgai keletihan dan ke- susahan, simalah sudah rasa haus dahaga oleh siraman kesejukannya, serta terbebas dari ketakutan. Di sanalah dapat meraih hidayah (petun- juk) setelah melalui masa kebingungan, merasa tenang setelah tertatih- tatih dalam kegelapan, merasa damai setelah dirundung kegelisahan, ber- suka cita dan menemukan jati diri setelah sekian lama terasing dan me- ngembara di keluasan padang Sahara yang gersang dan tandus. Lalu sang fitrah melemparkan tongkatnya dan menemukan tempat yang dituju ba- gaikan seorang musafir yang berjalan jauh yang didera dahaga kemudian mendapatkan tuangan air yang mengalir dengan deras.

Maka jika seseorang tidak menemukan Rabbnva — padahal Dia le- bih dekat dibandingkan urat lehemya — alangkah sengsara nasibnya! Dia tidak akan menemukan kebahagiaan, ketenangan, hakikat dan jati dirinya: "... seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menja- dikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Q.s. Al-Hasyr: 19).

Dia akan terlihat sebagai seorang yang hidup tanpa menemukan jati dirinya, padahal menurut pendapatnya dan dalam pandangan sesama- nya dia adalah orang yang berakal, pandai, mendengar dan melihat, bah- kan barangkali seorang yang terpelajar, dan barangkali — di atas semua itu — bertitel doktor, pakar ataupun guru besar yang mumpuni dalam ber- bagai disiplin ilmu pengetahuan ataupun sastra

6 Karakteristik Islam

Page 15: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

budaya! Bagaimana dia akan menemukan jati dirinya, jika belum mengenal fitrahnya?

Bagaimana mungkin mengenal fitrahnya jika dia terbungkus oleh kepalsuan dan thagha (kesombongan)? Atau sibuk mengikuti hawa nafsu, cenderung pada pengultusan (pengekalan) diri di atas bumi, teng- gelam dalam kelezatan-kelezatan rasa, terbuai oleh thuulul amal (kein- dahan angan-angan kosong), larut dalam tuntutan-tuntutan jasadiah (fi- sik) dan tanah?

Sesungguhnya manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang penuh misteri dan sekaligus menakjubkan. Dia tersusun atas perpaduan dua unsur ciptaan, antara segenggam tanah bumi dan tiupan ruh Allah. Maka, barangsiapa yang hanya tahu atau mengenal aspek tanah dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, dia tidak akan tahu atau mengenal Iebih jauh ha- kikat manusia.

Orang yang memberi makan dan menyiram unsur tanah dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan dan menyuburkan bumi, dan tidak memberi makan aspek ruh dengan menu iman dan ma’rifatullah, maka sikapnya itu identik dengan pengurangan kapasitas hak fitrah insaniyah (kemanusiaan). Disamping juga sebagai tindakan yang menghalang-ha- langi serta menyembunyikan kemampuannya dari sesuatu yang dapat menghidupkan dan menyangga atau mengokohkannya.

Ibnul Qayyim berkata: Di dalam hati ini berantakan dan tidak akan terhimpun menyatu kembali kecuali menghadap Allah. Di dalam hati ada keberingasan dan tidak akan dapat dihilangkan, kecuali dengan turut mematuhi Allah. Di dalam hati ada duka cita dan tidak akan sirna, kecuali bersuka cita dengan ma ’rifatullah dan tulus bergaul dengan-Nya. Di dalam hati ada kegelisahan dan tidak akan pernah tenang kecuali menyatu dengan Allah dan lari kembali kepada-Nya. Di dalam hati ada bara api kesedihan yang tidak akan dapat dipadamkan, kecuali rela dengan perintah dan larangan Allah, qadha dan qadar-Nya, dan menggantungkan kesabarcm hingga datang waktu perjumpaan dengan-Nya. Di dalam hati ada kebutuhan yang tidak akan dapat tertutupi (terpenuhi), kecuali dengan mencintai Allah, menggantungkan diri kepada-Nya, teru.s berdzikir mengingat-Nya. benar-benar tulus-ikhlas kepada-Nya. Ahdaikata dunia dan semua isinya diberikan, maka selamanya tidak akan dapat memitupi kebutuhan itu.1 Itu bukan sekadar perkataan seorang alim semata, tetapi perkataan seorang yang

telah benar-benar merasakan dan mengalaminya. Dia me- ngatakan apa yang telah dialami dan dirasakan di dalam dirinya sendiri, dan apa yang telah dilihat dengan

1 Lihal Ibnul Qayyim, Ma 'rijus Salikien.

Rabbaniyah 7

Page 16: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

mata kepala sendiri akan realita kehi- dupan manusia yang ada di sekitamya. Bahwa fitrah manusia yang asholcih (sejati) tidak akan menemukan

ketenangannya,. kecuali mengharap hidayat dari Allah, beriman dan ber- lindung kepada-Nya.

Adalah fitrah yang tidak dapat dipungkiri, ditantang dan dilawan serta dibenci oleh orang-orang musyrik Arab yang larut dalam dunia ke- jahiliyahan mereka.

Difirmankan-Nya dalam Al-Qur’anul Karim: “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang

menjadi kan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bu- lan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’...” (Q.s. AI-’Ankabut: 61).

Terkadang fitrah itu tertimbun oleh karatan syubhat atau debu-debu syahwat. Terkadang menyimpang dan dinodai dengan memperturutkan dzan (prasangka) atau hawa nafsu, atau taklid secara buta terhadap ajar- an (tradisi) nenek moyangnya. Bahkan juga qanitat (taat) dan menerima sepenuh hati apa yang dikatakan oleh para pejabat, penguasa atau pemim- pin mereka, sekalipun harus mengorbankan keimanannya. Terkadang manusia ditimpa penyakit riya’ dan ujub, lalu timbul perasaan bahwa hanya dirinyalah yang dapat menentukan baik-buruknya kehidupannya, sehingga mengesampingkan Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt.

Tidak menutup kemungkinan, suatu waktu fitrah itu dapat saja layu namun tidak sampai mati, tergeser namun tidak sampai sima (hilang). Oleh karena itu Jika manusia ditimpa bencana maupun cobaan dari Allah yang dirinya merasa tidak mampu menghadapinya, bahkan tidak ada se- orang pun yang dapat menolong menyelamatkannya, maka barulah tam- pak fitrah kemanusiaannya. Dan sudah menjadi rahasia umum, siapa pun dia dan bagaimana pun kuat dan gagahnya, jika dirinya sudah dalam kon- disi kritis dan terjepit (bagai telur di ujung tanduk) barulah ingat kepada Allah dan memohon dengan segala kerendahan hati pertolongan dan am- punan-Nya.

Gambaran manusia-manusia seperti itu telah dijelaskan pula dalam Kitab Suci Al-Qur’an, “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, nis- caya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia.” (Q.s. Al-Isra’: 67).

Tentang adanya fitrah ini telah disepakati oleh para pakar sejarah manusia, agama-agama, peradaban dan kebudayaan. Mereka telah menemukan bahwa sejak zaman dahulu manusia itu telah beragama, beribadat dan meyakini adanya Ilahi. Sehingga ada salah seorang sejarawan ka-

8 Karakteristik Islam

Page 17: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

liber dunia berkata, "Dalam sejarah telah kutemukan kota-kota tanpa is- tana, pabrik dan benteng, namun belum pemah ada kota yang tanpa tem- pat peribadatan atau pemujaan."

Karenanya, maka tugas para Rasul (utusan Allah) pada semua ma- sa adalah mengajak dan mengarahkan manusia dari beribadat kepada makhluk-makhluk-Nya menjadi beribadat kepada Sang Khalik. Dan se- ruan mereka yang pertama-tama kepada kaumnya adalah:

“Sembahlah Allah (saja), danjauhilah thaghut (Q.s. An-Nahl:

36).

sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain- Nya.” (Q.s. AI-A’raf: 59).2

Adapun wujud Allah termasuk dalam persoalan yang wajib diterima apa adanya oleh semua insan di dunia dari zaman ke zaman. Tidak ada yang membantahnya, kecuali segelintir orang yang tidak perlu kami se- butkan di sini. Oleh karenanya, para Rasul Allah itu tidak pemah menyi- bukkan diri untuk menetapkan dan memberikan dalil akan wujud Allah. Tetapi, mereka bersatu padu bersama kaumnya untuk menetapkan Wah- daniyah (keesaan) Allah dalam kaitannya dengan Rububiyah dan Uluhi- yah-Nya, dan bahwa hanya Allah saja yang berhak untuk diibadati (di- sembah) tanpa yang lain-Nya.3

Dalam masalah ini Al-Qur’an menegaskan:

2Ayat yang sama diungkapkan Al-Qur’an melalui Nabi Null, Hud. Shaleh dan Syu’aib a.s. dalam Surat Al-A’raf: 65, 73 dan 85. Dan makiia yang sama disebutkan secara benilang-ulang dalam sejumlah surat di dalam Al-Qur'an.

3Lihat Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Al Irnan mil Hayali, him. 94-7,

Rabbaniyah 9

Page 18: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, me- lainkanKamiwahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak adaIlah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Q.s. Al-Anbiyaa’: 25).

Ketiga: Keselamatan diri dari tamazzuq (bercerai-berai) dan pergulatan.

Termasuk dari buah Rabbaniyah tujuan dan sasaran ini adalah me- nyelamatkan jiwa manusia dari tamazzuq (bercerai-berai), pergulatan yang bergejolak dalam diri, perpecahan dan dari pergulatan antarberba- gai kepentingan dan sudut pandang pemikiran.

Islam telah membatasi keanekaragaman tujuan manusia menjadi kesatuan tujuan yang sama, yaitu untuk mencari ridha Allah swt, dan mengaktualisasikan diri pada satu peranan penting, yaitu beramal sesuai apa yang diridliai-Nya.

Tidak ada sesuatu yang dapat menyejukkan jiwa manusia seperti sa- at berpadu dalam kesatuan tujuan dan sasaran dalam kehidupan. Sehingga ia pun menyadari dari mana harus memulai, ke mana dan dengan siapa ia akan melangkah.

Aneka tujuan hidup yang bertentangan, berbagai sudut pandang yang berbeda, kecenderungan yang saling bertabrakan. Maka suatu saat ia ke Timur, dan pada saat yang lain ke Barat. Suatu saat menuju ke ka- nan, sementara pada saat yang lain ke kiri. Suatu ketika rela dengan Zaid dan marah kepada Amru, sementara pada waktu yang lain rela kepada Amru dan marah kepada Zaid. Maka pada kedua kondisi kontradiktif ini dia bingung, antara rela kepada ini dan marah kepada itu.

Siapa gerangan di antara manusia yang senang kepada semua orang, padahal di antara pergulatan hawa nafsu ia punya jarak yang amat jauh?

Sebenamya akidah tauhid telah menganugerahkan keyakinan kepada setiap Muslim, bahwa tidak ada Rabb kecuali Allah yang paling ber- hak ditakuti sekaligus tempat mengharap. Tidak ada Ilah kecuali Allah yang dihindari murka-Nya dan dicari ridha-Nya. Karenanya, suatu keha- rusan bagi seorang Muslim untuk menyingkirkan Arhaab Mutazayyifah (tuhan-tuhan palsu) dari kehidupannya. Disamping itu juga meluluhlu- matkan segala bentuk berhala baik berupa material maupun maknawi (immaterial) dari kisi-kisi hati. Kemudian hanya ridha kepada Allah se- bagai Rabb, tempat bertawakal dan berlindung, dari keutamaan-Nya di- harap, kekuatan-Nya dijadikan sandaran. Kepada-Nya tempat mencu- rahkan kasih, kepada-Nya kita berhukum dan dengan (tali)-Nya kita ber- pegang teguh.

Firman-Nya: “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka

sesungguhnya ia telah diberi petunjuk pada jalan yang lurus.” (Q.s. Ali Imran: 101). Maka, bagaimana posisi dan nasib orang-orang musyrik terhadap Allah, yang

beragam tuhannya dan berlainan jalan-jalan hidupnya? Al- Qur’an mengumpamakan orang musyrik ini dengan seorang budak yang memiliki banyak majikan. Seluruh majikannya itu tergabung dalam satu perserikatan dan di antara mereka sering terjadi perselisihan. Setiap majikan memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan majikan lainnya, dan menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain.

Rabbaniynh 10

Page 19: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Maka (dalam posisi seperti ini) keinginannya berbelah dua dan hatinya terpecalli belah.

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya?” (Q.s. Az-Zumar: 29).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Yusuf a. s. kepada dua orang temannya semasa di penjara, tentang nasib mereka berdua yang beribadat kepada Ilah-ilah selain Allah:

"Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tu- han yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat- buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama- nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidakmengetahui. ”(Q.s. Yusuf: 39-40).

Keempat: Membebaskan manusia dari ubudiyah pada egoisme dan syahwat.

Termasuk dari buah Rabbaniyah — ketika Rabbaniyah ini telah ter- patri dalam lubuk jiwa — adalah membebaskan manusia dari ubudiyah pada ctnaniyah (egoisme), syahwat, kelezatan-kelezatan rasa, bertekuk lutut di hadapan tuntutan-tuntutan material, dan kepentingan-kepen- tingan pribadi.

Hal ini karena manusia Rabbani, dengan iman kepada Allah dan ha- ri Akhir, menjadikannya bersikap dengan sikap tawazim (seimbang) an- tara keinginan nafsunya dan tuntutan-tuntutan agamanya, dorongan syah- watnya dan apa yang menjadi perintah Rabbnya, apa yang dibutuhkan naluri kemanusiaannya dan kewajiban yang harus ditunaikannya, kenik- matan hari ini dan perhitungan esok, serta antara kelezatan sementara di dunia dan hari hisab yang menantinya di akhirat kelak.

Upaya menjaga keseimbangan semacam itu menuntut agar gelora ubudiyah pada hawa nafsu dan syahwat segera dilepaskan. Dan kemudian ditingkatkan pada ufuk (cakrawala) yang lebih tinggi daripada egois- me dan binatangisme (kebinatangan), menuju nilai insaniyah yang mer- deka, melangkah secara dinamis dengan penuh kesadaran dan kemauan, bukan didasarkan atas tuntutan penit, syahwat dan naluri hewani belaka.

Namunkalaupungagal menggapai ufuk yang tinggi itu, diaakankon- sisten, cenderung, menaruh perhatian dan bercita-cita untuk tetap meng- gapainya. Dan apabila suatu hari dia alpa, maka secepatnya kembali, ber- tobat atas dosa yang dilakukan seraya beristighfar kepada Rabbnya.

Karenanya, insan Rabbani itu bukanlah manusia malaikat yang ter- bebas dari segala kekhilafan maupun kelalaian. Manusia semacam ini mustahil ada, kecuali

Rabbaniyah 11

Page 20: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dalam dongeng dan khayalan belaka. Manusia Rabbani itu adalah manusia yang suka bertobat, merasa menyesal jika ber- buat salah dan segera kembali kepada Allah jika berbuat dosa.

Allah swt. berfirman, “... sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang mau bertobat.” (Q.s. Al-Isra’: 25).

Oleh karena itu, Allah swt. menjelaskan sifat-sifat muttaqin (orang- orang yang bertakwa), yang bagi mereka disediakan surga, luasnya sama dengan gugusan langit dan bumi. Di antara sifat-sifat itu adalah:

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan ke- ji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengam- puni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (Q.s. Ali Imran: 135).

Jadi, bukan sesuatu yang aneh kalau manusia suatu saat terjerumus pula dalam perbuatan maksiat kepada Allah, dan dikalahkan oleh syahwat maupun hawa nafsunya. Bukankah Abu I Basyariyah Adam juga tergelincir ke jurang maksiat terhadap Rabbnya. Beliau terlena dan ha- nyut oleh tipu daya setan hingga berani melanggar ketetapan Allah, yaitu makan buah terlarang. Namun beliau segera bertobat, kembali dan me- ngetuk pintu Rabbnya sembari mengakui kesalahan yang telah diperbuat dan disertai pula dengan istighfar.

“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, nis- caya pastilah kami termasuk orang-orangyang merugi. ” (Q.s. Al-A’raf: 23). ,

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.s. AI-Baqarah: 37).

Nabi Adam a s, telah berbuat maksiat, begitupun iblis. Akan tetapi, Nabi Adam a.s. mendapatkan pengampunan-Nya, sementara iblis tidak, karena kemaksiatan Nabi Adam a.s. dilatarbelakangi oleh kelengahan dan kelalaian. Di dalam Kitab Suci Al-Qur'an dikatakan, “... maka dia lupa (akan perinlah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kual.” (Q.s. Thaaha: 115).

Disamping itu juga, bahwa kemaksiatan yang terlanjur dilakukan temyata kemudian diikuti dengan tobat yang tulus ikhlas keluar dari dha- mir (nuram) untuk menghapus bercak-bercak dosa, seperti mentari pagi menghapus kegelapan malam.

“Kemudian Rabbnya memilihnya (sebagai orang yang dekat de~- ngan-Nya), maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Q.s. Thaaha: 122).

Adapun yang melatarbelakangi kemaksiatan iblis. tidak lain adalah kesombongan dan pembangkangan terhadap perintah Allah.

“Iblis menjawab, ‘Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah'.’’ (Q.s. Al- A’raf: 12)

Setelah itu dia (iblis) tidak berbuat apa-apa, kecuali semakin lama se- makin tenggelam dalam kesesatan dan terus-menerus menyesatkan.

12 Karakteristik Islam

Page 21: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Dikatakan dalam Al-Qur’an: “Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-

benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan^ mereka bersyukur (taat)’.” (Q.s. Al-A’raf: 16- 7).

Manusia Rabbani terkadang hidupnya dibayang-bayangi oleh syahwat haram yang setia mengikutinya, tanpa diketahui oleh siapa pun. Lalu dia meninggalkannya karena haya ’ (malu) kepada Allah, dan menjaga agar Dia melindungi dirinya nanti pada hari dimana tidak ada lagi tempat berlindung, kecuali lindungan Allah. Maka dia akan berkata seperti apa yang dikatakan Nabi Yusuf a.s. ketika digoda oleh istri Al-Aziz, “Ma’a- adzallah," (aku berlindung kepada Allah).

Manusia Rabbani terkadang dibayang-bayangi oleh harta haram dengan jalan suap-menyuap atau korupsi, atau dengan cara memanfaatkan jabatan dan wibawa, atau perilaku lainnya yang masuk kategori mema- kan harta manusia lain dengan cara yang batil. Maka dia menolaknya, ridha dengan yang sedikit, qanaah (merasa puas) dengan harta yang ha- lal dan yakin bahwa setiap daging (di badan) yang tumbuh dari jalan haram, nerakalah tempatnya. Dia tidak ingin membeli Jahannam dengan sesuatu pun, meski dengan kerajaan Timur dan Barat. Cukuplah dia berkata dan membaca firman Allah:

“Katakanlah, 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’.” (Q.s. Yunus: 58).

Manusia Rabbani kadang kalajuga dibayang-bayangi oleh jabatan dan kedudukan yang haram dengan cara memberikan loyalitas kepada kaum kafir, dengan pertolongan orang zalim atau turut menapaki jalan thaghut. Namun agamanya mencegah, imannya melarang sembari ber- tadzakkur (mengingat) firman Allah:

“Dan janganlah kamu cendemng kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuhi api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudi- an kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Q.s. Huud: 113).

Manusia Rabbani terkadang mampu di atas musuhnya. Nafsunya dapat mengalahkannya. Ia dapat membalas dengan kekuatan dua kali li- pat. Maka dengan mudah ia lampiaskan dendam dan menikmati keper- kasaan serta kemampuannya dalam mengalahkan lawan. Namun Rabbaniyah samhah (toleran) yang dimilikinya enggan berbuat seperti itu, kecuali bersikap mehgampuni, memberi maafdan toleran. la pun akan me- ngatakan sebagaimana apa yang dikatakan Y usuf a.s. kepada saudaranya: “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. ” (Q.s. Yusuf: 92). '.rbedaan Tujuan dan Sasaran di antara Individu

Manusia itu beragam dalam hal tujuan dan sasaran hidup mereka — lik pada

Rabbaniyah 13

Page 22: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

skala individu maupun kelompok — dan berbeda dengan per- ;daan yang mencolok. Sebagian mereka dapat mencapai ketinggian ufuk alaikat, tetapi sebagian lain bahkan turun ke lembah derajat setan. Per- ;daan antarmanusia pada hakikatnya adalah perbedaan besar dan men- isar, yakni perbedaan dalam hal sasaran-sasaran hidupnya.

Waqi ’ul ummat (kenyataan ummat) menunjukkan bahwa perbeda- ti terbesar dan paling mencolok di antara manusia adalah perbedaan da- im menentukan sasaran.

Adapun perbedaan wasilah (sarana) dan manhaj (sistem) merupa- an perbedaan wajar, ringan dan termudah setelah — tentunya — ada ke- epakatan terhadap tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.

Salah seorang penyair berkata: Semua orang dalam kehidupan ini mencari buruan yang sama hanya saja jaring yang mereka pakai berbeda-bedal Seharusnya, yang paling tepat, penyair tadi mengatakan: padahal bu- -uan itu

berbeda-beda. Sebab, perbedaan yang paling menonjol di antara nanusia bukan terletak pada jenis jala atau jaring yang mereka pakai untuk menangkap buruan, tetapi permasalahannya justru terletak pada buruan itu sendiri: Apa yang hendak diburu? Di mana adanya? Berapa? Dan bagaimana menangkapnya?

Kalau kita melihat kehidupan individu dan tujuan-tujuan hidup mereka, kita akan menemukan berbagai kelompok atau ashnaf (golongan) yang berbeda-beda: (A) Di antara mereka ada yang hidup tenggelam dalam kelezatan rasa, berputar-putar yang hanya di sekitar pemenuhan ambisi-ambisi pribadi- nya. Maka puncak tujuan, keseluruhan perhatian dan poros pemikiran- nya berputar di sekitar pengultusan individu. Ia mengelilinginya sebagaimana seorang paganis mengelilingi berhalanya. Tidak pernah menembus tabir rasa sampai kepada sesuatu di balik materi, dengan bashirah (ma- ta hati)nya tidak pernah menatap jauh kepada sesuatu di balik dunianya yang fana atau sementara, di balik syahwat kebinatangan dan tuntutan- tuntutan materialnya yang egoistis.

Dalam rangka mencapai tujuan itu, dia tidak peduli apa pun cara yang harus dipakai akan tetap ditempuh dan siap berkorban untuk meng- hadapi rintangan yang menghalanginya. Tidak peduli lagi terhadap nilai; akidah dan siapa pun yang merintangi dan menghalangi jalan menuju pe- menuhan syahwatnya.

Jika kebetulan memiliki kemampuan, dia tidak ragu-ragu lagi untuk melakukannya secara terang-terangan. Karena barangkali dia memiliki kedudukan dan memegang tampuk kekuasaan. Terkadang hal itu dilaku- kan secara sirri (sembunyi-sembunyi) atau terselubung karena takut terhadap sanksi dan perundang-undangan.

Untuk memenuhi kehendak syahwat dan hawa nafsunya, serta am- bisi dankepentingan pribadinya, baginya tidaklah penting apakah itu akan mengorbankan harga diri atau menghancurkan wibawa atau mengorban- kan keluarga dan anak, atau menjual teman seiring (dekat), mengkhianati negara, ataupun melanggar akidah.

14 Karakteristik Islam

Page 23: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Dia tjdak lagi merasa dibatasi oleh dhamir (hati nurani), sebab dha- mimya sudah mati dan ditimbun debu-debu kemaksiatan. Tidak diken- dalikan oleh imannya, sebab orang yang menjadikan hawa nafsu dan syahwatnya sebagai Ilah, maka tidak akan pcrnah tumbuh iman dalam dirinya. Akal sehatnya tidak berfungsi sama sekali, karena memang telah dinonaktifkan oleh syahwatnya, dan hawa nafsunya telah menutup jende- Ia-jendela pemikirannya.

“Dan siapakah yang lebih sc sal daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah scdikit pun.” (Q.s. Al-Qashash: 50).

Kita telah mengenal dan tahu betul golongan yang egois ini telah me- ngenai (menjalari) duagenerasi: dulu dan kini, sehingga kita sekarang se- lalu mengalami bencana demi bencana.

Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an telah mengingatkan golongan yang egois itu, seperti firman Allah:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan unlufe isi nerakajahannam 'keba- nyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak di pergundkannya untuk memahami (ayal-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tan- da kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayal-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lehih sesat lagi. Mereka itulah orang- orang yang lalai.” (Q.s. Al-A’raf: 179).

Dalam surat lain, Allah berfirman: “Terangkanlah kepadaku ten- tang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai llahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?. atau apakah kamu me- ngira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.s. Al-Furqan: 43-4).

Golongan binatangisme yang egois — penyembah hawa nafsu — ini telah merusak peralatan ma ’rifat (pengetahuan) yang telah diberikan Allah kepadanya yang berupa telinga, mata dan hati. Dia hidup lebih rendah dari tingkatan binatang, bahkan lebih sesat lagi. Hal itu karena dua hal.

Pertama, bahwa binatang itu menjalankan tugasnya dalam hidup ini sesuai dengan yang telah dititahkan untuknya. Maka Anda tidak akan pernah melihat ada sapi yang berontak untuk diperah susunya, dan tidak ada seekor unta pun yang membelot untuk dikendarai. Masing-masing binatang melaksanakan peran atau tugasnya untuk melayani manusia: membajak sawah, menyirami tanam-tanaman, membawa beban berat, memberikan air susu dan lain sebagainya. Anda pun dapat memanfaatkan bulu domba, bulu unta dan bulu kambing sebagai peralatan rumah tang- ga dan asesoris yang dapat dipakai sampai batas waktu tertentu.

Kedua, bahwa bangsa binatang itu tidak diberi berbagai karunia seperti yang dimiliki oleh golongan manusia, misalnya karunia akal pikiran dan ruhani. Selain itu, bahwa apa yang ada di langit dan di bumi tidak di- tundukkan untuk mereka (golongan binatang), tidak pernah diutus seorang Rasul secara khusus pada mereka,

Rabbaniyah 15

Page 24: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dan tidak pula diturunkan ki- tab suci atasnya. Semua karunia di atas hanya diberikan kepada golongan manusia. Maka jika dia

mengesampingkan nikmat-nikmat itu, tidak mensyukuri- nya, lupa peran dan fungsinya, hidup hanya demi perut, kemaluan dan syahwatnya sebagaimana pola hidup binatang, maka tidak diragukan lagi dia lebih tersesat katimbang binatang. (B) Ada di antara manusia yang hidup tanpa mempunyai tujuan yang jelas, kecuali hanya merendahkan, menzalimi dan menipu orang lain. Se- olah-olah fiingsi dan tugas penciptaannya adalah untuk membuat keru- sakan di atas bumi dan memusuhi sesama makhluk ciptaan Allah swt.

Maka jadilah nikmat-nikmat Allah yang ada di tangannya menjadi cemeti untuk menyakiti, senjata untuk membunuh, dan sebagai sarana- sarana untuk menghancurkan.

Golongan ini nyaris sama dengan golongan yang pernah datang se- belumnya, hidup hanya untuk dunianya yang sementara dan demi me- muaskan nafsu serakahnya, hanya saja perbedaannya terletak pada fak- tor pembawaan. Kalau golongan pertama, orientasinya adalah egoisme- syahwati, makagolongan keduaadalah egoisme-permusuhan. Kalau yang pertama merupakan karakteristik manusia yang berubah menjadi binatang, maka golongan kedua ini adalah karakteristik manusia yang berubah menjadi setan.

Maka setan itu tidak mempunyai peranan penting sama sekali kecuali merusak, menipu, menyesatkan dan menjerumuskan. Golongan inilah yang dilaknat dan dicela oleh Allah swt. sebagaimana dalam firman- Nya:

“Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya di- hubungkandan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orangitulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)(Q.s. Ar-Ra’ad: 25).

Golongan ini apabila suatu waktu diserahi amanat atau mendapat kepercayaan menjadi seorang pimpinan, kepala, ketua, atau dinobatkan sebagai public figure yang berwibawa dan cukup disegani, maka ia akan tampil seperti sosok Namrud pada zaman Nabi Ibrahim a.s. dahulu, yang berkata, “Aku dapat menghidupkan dan mematikan sebagaimana Allah menghidupkan dan mematikan!” Atau akan tampil sebagaimana Fir’aun yang hidup sezaman dengan Nabi Musa a.s, yang membantai anak-anak dan menghinakan kaum wanita, atau sebagaimana sosok thaghut Kaisar Nero di Roma, atau sebagaimana para pengkhianat sepanjang sejarah!

Adapun jika golongan ini tidak mempunyai kekuasaan sebagaimana Namrud dan Fir’aun, maka akan tampil sebagai thaghut kecil, atau akan menjadi budak bagi thaghut besar.

Fir’aun beserta seluruh aparat, menteri, bala tentara dan antek-an- teknya telah dikutuk dalam Al-Qur’an dengan dosa dan kehancuran. Se- bab yang membuat Fir’aun itu menjadi besar (pongah) adalah adanya du- kungan dari Fir’aun-fir’aun kecil.

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya

16 Karakteristik Islam

Page 25: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

adalah orang-oiang yang bersalah.” (Q.s. Al-Qashash: 8). Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan

mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat o- rang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke nerakadan pada hari Kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari Kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah)." (Q.s. Al-Qashash: 40-2).

Terkadang golongan ini menutup-nutupi kebusukan batinnya dengan memperindah dan memoles penampilan lahiriahnya yang cukup mengagumkan, dan lidah yang selalu dihiasi kata-kata manis bermadu.

Jika Anda ingin mengecek dalamnya, niscaya tidak akan Anda te- mukan sesuatu pun di balik penampilan lahiriahnya ini, kecuali jiwa yang rusak, nurani yang beku, nafsu angkara yang selalu ingin menindas makh- luk lain, sombong terhadap kebenaran, terbuka menerima keburukan dan kejahatan, dan menentang kebaikan. Itulah golongan manusia yang di- gambarkan oleh Al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada AM ah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentangyang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk meng- adakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan bina- tang temak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah,’ bangkitlah kesombongan- nya yang menyebabkaimya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu lempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (Q.s. Al-Baqarah: 204-6). (C) Golongan lain selain yang pertama (A) dan kedua (B) tadi. Golongan ini tidak menyembah nafsunya, tidak pula berputar di sekeliling ego- isme (diri)nya sebagaimana keledai yang berputar-putar berkeliling atau sapi dan kerbau yang berkubang di tanah yang berlumpur!

Golongan ini hanya menyembah kepada Allah semata dan tidak pemah menyekutukan-Nya. Maka yang menjadi sasaran (hidup)nya adalah mencari ridha-Nya. Tujuannya adalah mahabbatullah (mencintai Allah), bertaqarrub dan menjalin hubungan baik dengan-Nya, tidak meng- hendaki sesuatu kecuali ridha-Nya dan balasan (pahala)-Nva. Tidak se- nang atau benci kecuali rfntuk Allah, tidak memberi dan tidak menolak kecuali karena Allah.

Adapun dunia, menurut golongan ini adalah sebagai wahana (media) dan bukan sasaran, wasilah (sarana) dan bukan tujuan. Golongan inilah yang menguasai dunia, dan dunia tidak menguasainya. Dialah yang menjadi penakluk atas dunia, bukan sebaliknya dunia yang menundukkan- nya. Menjadikan dunia itu berada dalam genggamannya, tetapi tidak sam-

Rabbaniyah 17

Page 26: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Ya Allah, jangan Engkaujadikan dunia ini sebesar-besar keingin- an kami dan

batas ilmu kami.” Inilah dia golongan manusia Rabbani yang hidup untuk dan dengan Allah swt.

Salat, hidup, mati, niat, ilmu, ibadat, jerih payah dan per- juangannya semata-mata untuk Allah swt.

Golongan ini berbuat kebaikan, mengonsumsi yang ma’ruf (terbaik) untuk kalangan kaum dhu 'afa (golongan lemah) dan miskin, namun tidak minta penghargaan dari mereka atas kebaikan yang dilakukannya ta- di. Karena tujuannya adalah semata untuk mendapatkan pujian Allah bu- kan pujian mereka, keridhaan Allah dan bukan keridhaan mereka.

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anakyatim dan orang yang di taw an. Sesungguhnya kami mem- beri makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pul a (ucapan) terima kasih.” (Q.s. Al-Insan: 8-9).

Golongan ini senantiasa mencegah tangannya dari berbuat kejahat- an, menahan mulutnya dari hai-hai yang menyakitkan, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi justru membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik. Hal itu bukan karena takut kepada seseorang, tetapi se- mata-mata karena takut kepada Allah swt.

Tahukah Anda seorang Putra Adam yang memiliki keimanan sem- puma, yang diancam oleh saudaranya untuk dibunuh? Dia tidak membalasnya dengan kejelekan serupa, tetapi mengatakan dengan penuh rendah hati dan hormat:

“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb sekalian alam. ” (Q.s. Al-Maidah: 28)

Golongan ini senantiasa menyeru kepada kebaikan, beramar ma'ruf nahi munkar, melakukan islah di antara manusia, dan menghilangkan "du- ri" dari jalan-Nya.

pai menguasai hatinya. Golongan ini bemiunajat sebagaimana Nabi Muhammad saw. bermunajat kepada Rabbnya:

18 Karakteristik Islam

Page 27: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Golongan ini mengajari yang bodoh, memberi bimbingan kepad: yang sedang kebingungan, menunjukkan yang sesat dan tidak mengha rapkan balasan, kecuali dari Allah. Yang menjadi prinsip golongan in adalah apa yang diucapkan oleh setiap Rasul, sebagaimana Allah berfirman

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajak- an itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta al'am. ” (Q.s. Asy- Syu’araa’: 109).

Golongan ini suka meletakkan kepala di atas telapak tangannya {ta- wadhu ’), mempersembahkan nyawanya untuk membela kebenaran, ber- korban jiwa-raga dan harta benda untuk membela tatanan nilai dan hu- kum. Namun, dia tidak melakukan ini semua agar namanya dicatat dalam buku (sejarah) sebagai pahlawan, diperhitungkan eksistensinya dan di- ekspos oleh media cetak maupun elektronik. Tidak juga untuk menumpuk dan memperoleh keuntungan duniawi. Tetapi tujuannya adalah untuk me- negakkan kalimatullah agar tetap berkibar di atas persada, dan agar men- datangkan keuntungan sebagaimana dia telah melakukan akad dengan Allah, bahwa Dia akan membeli harta dan jiwa kaum Mukminin dan gan- tinya adalah surga.

Dan yang lebih mengagumkan, golongan yang sepertinya kurang memperhatikan nasib dirinya demi memenuhi hak Rabbnya, dan sampai melupakan dirinya hanya karena untuk dzikrullah semata, justru inilah golongan satu-satunya yang sebenamya bekerja dan berbuat untuk kepen- tingan dirinya sendiri, yaitu keselamatan dan kebahagiaannya.

Memang jika direnungkan, golongan inilah yang paham dan paling memperhatikan (peduli) akan kebahagiaannya. Dengan cahaya bashiroh dan kedalaman berpikimya, ia tidak mau menggadaikan sesuatu yang kekal abadi dengan sesuatu yang fana.

Seorang ahli hikmah berkata: “Andaikata dunia ini emas yang fana (segera binasa) dan akhirat adalah imitasi

yang kekal, maka seorang yang berakal harus memilih imitasi yang kekal daripada emas yang fana. Maka bagaimana ketika ta- hu bahwa dunia ini sebenamya adalah imitasi yang fana dan akhirat adalah emas yang kekal?”

Sungguh tidak diragukan lagi, bahwa perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat jauh lebih besar dan mendalam daripada hanya se- kadar antara emas dan imitasi. Hanya saja, perumpamaan di atas diung- kapkan untuk menjelaskan dan mendekatkan pada permasalahan.

Tidak diragukan lagi bahwa manusia yang paling merugi dan celaka adalah yang tidak dapat menikmati kebahagiaan abadi hanya demi menge- jar gemerlapnya perhiasan dunia yang sementara dan kenikmatan syahwat yang segera binasa (semu).

Manusia yang paling beruntung dalam jual-beli yang sebenamya adalah orang yang tnenjual kelezatan fana atau syahwat sementara untuk mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Di dalamnya terdapat sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar telinga dan terbersit dalam benak manusia.

“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan

Rabbaniyah 19

Page 28: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.s. As-Sajdah: 17). Pada kenyataannya, golongan ini tidak pernah tnengalami kerugian dunia

manakala lebih mendahulukan akhirat. Oleh sebab itu, dia juga me- ngerahkan dan mengorientasikan kemauannya serta berusaha untuk me- menuhi kehidupan di dunia, sedang dia tetap menjadi Mukmin.

Golongan ini mendapatkan dua kehidupan dan memadukan dua kebaikan sekaligus: kebaikan dunia dan akhirat yang memang harus diper- hatikan orang Mukmin. Mereka minta keduanya dari Allah s wt.: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. ” (Q.s. Al-Baqarah: 201).

Terkadang Rabbaniyah itu menghalangi manusia dari sebagian ke- lezatan-kelezatan dan kepentingan yang sifatnya fana (sementara), tetapi cara ini sebenamya untuk melindunginya dari berbagai keburukan, ke- jahatan, bahaya dan bencana yang akan menimpa diri manusia, masyara- kat, atau kemanusiaan secara umum, sebagaimana akan kami (penulis) jelaskan nanti.

Seiring adanya halangan untuk mendapatkan bagian kecil yang ter- batas oleh dimensi waktu itu, sebenamya Rabbaniyah telah menganuge- rahkan ketenangan jiwa, ketentraman ruhani yang nilainya tiada tertan- dingi dengan besamya suatu materi. Dan hal itulah yang merupakan ra- hasia kebahagiaan yang senantiasa dicari-cari oleh manusia. Maka hanya sebagian orang saja yang mendapatkannya.

Itulah yang diungkapkan oleh sebagian kaum Mukmin yang telah berhasil mereguk manisnya kebahagiaan tadi.

“Seandainya kebahagiaan itu diketahui oleh raja-raja, niscaya mereka akan memukul dan menebas kami dengan pedang!”

Jadi, dapat kita tegaskan bahwa golongan pertama (A) itu sebagai golongan manusia yang hewani (binatangisme), golongan kedua (B) adalah manusia syaithoniyah (setanis) dan ketiga (C) adalah manusia Rabbaniyah. j

Penyebutan dua golongan pertama dengan manusia adalah sekadar sebagai ungkapan majazi (baca: ungkapan personifikasi). Golongan ketiga itu sajalah yang benar-benar manusia.

Beberapa Cara Islam Menanamkan Rabbaniyah ke Dalam Jiwa dan Kehidupan

Islam berusaha menanamkan Rabbaniyah ini ke dalam jiwa setiap Muslim dan kehidupannya dengan berbagai wasilah (sarana) dan cara.

V^Dengan Jalan Ibadat. Dengan cara ibadat yang mafrudhah (wajib) sebagai suatu keha- rusan dan

ibadat manduubah (sunnah) yang dianjurkan. Berupa salat yang diulang-ulang sehari semalam lima kali. Salat bagi ruhani adalah seperti penempaan-penempaan material bagi fisik. Dimana menjadikan seorang Mukmin senantiasa bersama Allah di setiap saat.

Setiap kali manusia larut dalam berbagai kesibukan dan rutinitas se- hari-hari,

20 Karakteristik Islam

Page 29: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tiba-tiba seorang mu’adzin mengumandangkan gema adzan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hayya ‘Alas Shalah, Hayya 'Alai Falah.” Mendengar seruan itu, maka bersegeralah sejenak menanggalkan segala urusan dunia — dunia yang penuh dengan pergulatan dan hanya sebuah perhiasan — untuk menghadap (berdiri) beberapa saat di hadapan Rabbnya, sembari bermunajat demi kebaikan diri dan ummatnya, beranjak menanggalkan dunia materi menuju dunia ruhani, dari egoisme pada ke- pedulian sosial yang tampak jelas dalam permohonannya kepada Rabbnya dengan bentuk plural: Ihdinas shiratal mustaqiem (tunjukilah “kami” jalan yang lurus)!

Ada bentuk ibadat yang berupa puasa selama sebulan penuh yang secara periodik dilaksanakan setiap tahun. Selama menunaikan ibadat puasa (Ramadjian), seorang Muslim tidak diperkenankan memperturut- kan kemauan syahwatnya: makan, minum, bersenggama, dari mulai ter- bitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Ibadat puasa adalah sebuah bentuk tarbiyah (pendidikan) bagi kemauan, pelatihan (training) mem- bangun kadar ketakwaan dan untuk mencapai ubudiyah yang kamil (sem- puma) kepada Allah swt. Dalam konteks ini, Allah swt. berfirman dalam Hadis Qudsi:

Rabbaniyah 21

Page 30: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Puasa itu adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan mem- balasnya, Hamba-Ku meninggalkan makan demi Aku, meninggalkan minum demi Aku, meninggalkan (tidak bersetubuh dengan) istrinya demi Aku, dan meninggalkan kelezatan-kelezatannya demi Aku.” Sedangkan zakat yang dikeluarkan oleh seorang Mukmin itu adalah uhtuk menaklukkan kebakhilan dan kerakusan, membersihkan harta dan jiwa (rohaninya) serta sebagai manifestasi rasa syukur terhadap nikmat- nikmat yang telah dikaruniakan oleh Rabbnya kepadanya. Dalam kait- annya dengan masalah ini Al-Qur’anul Karim menegaskan:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka ...” (Q.s. At-Taubah: 103).

Karenanya, dinamakan "zakat" karena kosa kata ini yang mengan- dung multi (berbagai) makna dari lazkiyah (penyucian), pengembangan, dan berkat. Berbeda dengan kosa kata dharibah ("pajak") yang di dalamnya mengandung unsur-unsur petnaksaan dan denda yang wajib di- bayar. Dengan demikian, seorang Muslim dituntut untuk konsekuen dalam melaksanakan zakat ini atas kesadaran dirinya sembari bermunajat kepada Rabbnya:

“Ya Allah, jadikanlah zakat ini sebagai ghun.im.ah (keuntungan) danjanganjadikanhutang.”

Ada juga ibadat yang berupa haji, dimana dalam haji seorang Muslim meninggalkan negara dan tempat kelahirannya, keluarga dan kaum kerabat untuk berhijrah menuju, mihrab Allah. Mengorbankan jiwa dan harta, sabar menghadapi cobaan dan rintangan demi Dzat Allah, sehingga sampai ke tanah suci. Tanah yang di atasnya dibangun untuk pertama kali tempat ibadat kepada Allah di muka bumi ini. Di sana tersimpan ber- juta kenangan tentang sirah Nabawiyah (kisah para Nabiullah) yaitu, Nabi Ibrahim a.s, Ismail a.s. dan Siti Hajar a.s, juga tidak ketinggalan

Rabbaniyah ■ -Aft, if*.. TV'J

, & A « w kenangan indah tentang Nabi Muhammad saw. dan perjalanan dakwah- nya.

Di sana seorang Muslim harus menanggalkan busana yang biasa dikenakan — yang memperlihatkan adanya persamgan kelas dan berbau unsur-unsur etnik dan kedaerahan — untuk kemudian mengenakan pa- kaian ihram sebagaimana kain kafan

Page 31: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

jenazah, untuk mengalahkan mate- rialisme dan fenomena-fenomenanya, seraya menghadapkan diri kepada Allah dengan hati, lisan, syiar dan senandungnya:

Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laasyarika laka labbaik, Innal hamda wannikmata laka walmulka, laasyarika laka (Aku datang menyambut panggilan-Muya Allah. Aku datangmmyambut panggilan-Mu. Aku datang menyambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang menyambutpanggilan-Mu. Sesungguhnyapuja, nikmat karuniadan kekuasaan hanya milik-Mu sonata. Tidak ada sekutu bagi-Mu).

Di atas semua kewajiban yang prinsip itu yang merupakan batas minimal bagaimana seorang Muslim harus menjalin komunikasi (hubung- an) dengan Allah, maka Islam membuka pintu thathawwu ’ (amalan- amalan tambahan) untuk kebaikan dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Sedangkan bentuk amalan berupa nawaafil (ibadat-iba- dat sunnah): ada salat sunnah yang mengiringi salat wajib baik sebelum atau sesudahnya, puasa sunnah selain puasa wajib di bulan Ramadhan, dan sedekah selain zakat yang memang wajib, dan ada pula umroh selain haji yang wajib. Maka hendaklah berpacu wahai orang-orang yang ber- lomba, dan hendaklah saling mendahului wahai orang-orang yang ber- takwa!

Dalam sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a, Allah berfirman:

“Hamba-Ku tidak dekat kepada-Ku sedekat ketika ia melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan selama hamba-Ku masih mendekati-Ku dengan nawafil (ibadat sunnah), Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi telinganyayang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat dan tangannya yang ia gunakan untuk memegang. Jika ia minta per- lindungan kepada-Ku, maka akan Kulindungi ia, dan jika ia minta ke-pada-Ku, maka Aku akan memberiny fi. ”

Ibadat-ibadat itu — baik yang wajib maupun sunnah — tidak sekadar dimaksudkan untuk menjadikan seorang Muslim dekat dengan Pencipta- nya di saat dia melaksanakan ibadat tersebut. Namun setelah itu hilang ikatannya dengan Allah, jatuh ke bumi [cinta pada dunia], dan mengikuti hawa nafsunya.

Sekali-kali tidak demikian. Peran ibadat-ibadat itu adalah untuk me- nanamkan

Rabbaniyah 23

Page 32: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

ruh (semangat) takwa kepada Allah di dalam dhamir pelak- sananya. Selain itu juga memberikan muatan spiritual yang akan meng- ingatkannya kepada Allah setiap kali lalai, membangkitkan semangatnya ketika melemah, dan akan menerangi langkah-langkahnya di kala sekitar- nya gelap-gulita.

Islam tidak rela jika ada ummatnya (seorang Muslim) Rabbani yang rajin ruku’-sujud dan bermunajat serta berdoa di dalam masjid, lalu setelah keluar, temyata dia berbalik dari Rabbani ke hewani atau syaithoni.

Islam pun tidak rela jika ada seorang Muslim yang hanya Rabbani pada bulan suci Ramadhan, jika Ramadhan telah berakhir maka berakhir pula ibadat maupan ketaatannya kepada Allah. Dia seolah-olah me- ngultuskan bulan Ramadhan itu sendiri, dan bukan menyembah Tuhan- nya Ramadhan. Karenanya, para ulama generasi As-Salafus Shalih ber- kata, "Jadilah Anda Rabbani, dan jangan jadi Ramadhani (beribadat rnu- siman, hanya pada bulan Ramadhan)!"

Islam tidak rela kalau ada seorang Muslim yang hanya Rabbani selama dia berada di dekat Baitul Haram, Masjidil Haram, Masjid Naba- wi dan tempat-tempat yang suci. Namun, setelah melaksanakan ibadat haji, umroh, ziarah dan merencanakan kepulangannya kembali ke tanah air, dia justru lupa akan "iklim (suasana) dan hakikat Rabbani", lalu teng- gelam dalam temaramnya hidup materialis sebagaimana terlenanya o- rang-orang yang lalai.

Sungguh Islam tidak menginginkan itu semua terjadi atas diri seorang Muslim. Yang diinginkan Islam adalah terjalinnya hubungan yang terus-menerus dengan Allah, di masjid, jalan, rumah, tempat kerja, pada bulan suci Ramadhan, Syawal dan bulan-bulan yang lain, dalam iklim atau suasana haji yang begitu sakral (suci) di Mekkah, Arafah, Madinah dan sepulang ke tanah air, di setiap saat dan tempat. Karenanya, Nabi Muhammad saw. berwasiat:

(is

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kalian berada!” (H.r. Tirmidzi).

Allah berfirman di dalam Al-Qur’an, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.’’ (Q.s. Al-Baqarah: 115).

Dan Rasulullah saw. bersabda:

ji \ “Pekerjaan yang paling disenangi oleh Allah adalah amal yang terus-

menerus walaupun sedikit." (H.r. Bukhari).

v/Dengan Jalan Adab (Etika) Sopan Santun. Ada cara lain untuk menanamkan Rabbaniyah dalam dhamir dan kehidupan

seorang Muslim, yaitu dengan adab sopan santun keseharian yang terkait erat

24 Karakteristik Islam

Page 33: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dengan kehidupan seorang Muslim, seperti makan, mi- num, berpakaian, berhias, tidur, bangun, berkendaraan, bepergian, duduk, berjalan dan lain sebagainya yang masih dalam kategori aktivitas keseharian individu maupun sosial kemasyarakatan.

Maka Islam memanfaatl^an kesempatan melalui hal-hal yang tidak dapat lepas dari kehidupan manusia ini, untuk menghubungkan seorang Muslim dengan Allah swt.

Jika dia duduk di ruang makan dan hendak memulai menyantap hidangan, dia lantas dzikrullah (ingat Allah) bahwa makanan yang tersa- ji di depannya itu tidak lain adalah atas kemurahan (rezeki) dari Allah kepadanya. Kemudian ia pun memulainya dengan membaca basmalah.

Setelah merasa cukup kenyang. maka diakhirinya dengan memba- ca hamdalah. Dan sehabis minum, dia berucap:

S~s > • • • • “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), yang telah menjadikan air ini begitu la

war danjernih, dan tidak menjadikannya asin seasin gar am lantaran dosa-dosa kami. ”

Jika memakai atau mengenakan pakaian baru, dia berucap:

J A y ’ L K ' ' ' - a ’ T i ' ' $1/?*£jt>'—V «U^A

“Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), yang telah memberikan busana ini kepadaku, tanpa ada day a dan upaya dariku. Ya Allah, aku mohan kepada-Mu dari kebaikannya dan apa yang akan menjadikannya baik, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan apa yang<akan menjadikannya jelek.”f

Doa itu diucapkannya setiap kali memanfaatkan nikmat Allah. Jika mengendarai kendaraan bermotor atau binatang tunggangan atau yang

lainnya, dia berkata:

“Maha Suci Dzat yang telah menundukkan ini kepada kami, pa- dahal kami tidak mempunyai kekuatan, dan hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. ”

Jika akan memulai perjalanan, dia berdoa: •» J / ~ s •>

“Ya Allah, Engkau adalah sahabat dalam perjalanan, Khalifah dalam keluarga. Ya Allah, temanilah kami selama di perjalanan, danja- dilah Engkau Khalifah (wakil)

Rabbaniyah 25

Page 34: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kami dalam keluarga.” Jika telah sampai di tempat tujuan, dia berucap:

"Kami datang, bertobat, menyembah dan memuja-muji Rabb kami." Ketika hendak membaringkan diri di atas pembaringan, maka dia berdoa:

“Dengan nama-Mu wahai Rabbku, aku letakkan tulang rusukku ini, dan dengan Engkau pula aku mengangkatnya.”

Dan saat bangun dari tidumya, dia berdoa:

“Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), yang telah menghidup- kan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya-lah kehidupan akan kembali. ”

Sampai pada saat menikmati nafsu seksual — yang merupakan naf- su hewani — seorang Muslim tidak lupa akan unsur Rabbani yang akan meringankan gejolak syahwat. Disamping itu juga mengangkat orang yang bersangkutan ke tingkat tertinggi. Maka ketika hendak menunai- kan hajatnya (bersetubuh) dengan sang istri, dia berdoa:

“Bismillah (dengan nama Allah). Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami. ”

Begitulah setiap kali denyut nadi kehidupan berdetak, seorang Muslim tidak pemah melalaikan Rabbnya, tidak melupakan hubungan de- ngan-Nya. Akan tetapi, dia terus-menerus begitu dekat dengan-Nya, tunduk dan merasa selalu bersama-Nya. Maka dimensi Rabbaniyah ber- gerak bersamanya kapan pun dia bergerak, dan terus berjalan bersama- nya ke mana pun dia berjalan.

{fDengan Cara Tarbiyah dan Takwin (Pembentukan Diri). Kemudian cara yang ketiga untuk menanamkan dan menetapkan Rabbaniyah

dalam jiwa dan kehidupan seorang Muslim — dan ini barangkali merupakan cara yang urgen (paling penting) dan sangat mem- bekas, yaitu tarbiyah (pendidikan).

Untuk menanamkan Rabbaniyah pada akal dan perasaan, maka pendidikan harus dimulai dari bait (rumah) atau keluarga terlebih dahu- lu, dan barulah

26 Karakteristik Islam

Page 35: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kemudian pada lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) dengan cara dan sarana yang paling tepat.

Seorang ayah bertanggung jawab untuk memberi makan anaknya secara material, maka dia tidak boleh mengesampingkannya sehingga fi- sik sang anak kurus, sakit-sakitan atau (bahkan) menyebabkan kematian. Dia juga bertanggung jawab memberi makan secara ruhani, maka dia tidak boleh menyepelekannya sehingga akan menimbulkan bahaya yang sangat fatal, yakni ketika menghadapi kematian hati atau ruhani. Dan itu merupakan kehancuran yang abadi!

Di sinilah tanggung jawab itu.dirasa sangat penting (urgen):

- *'J\ 'i*

“Setiap kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap diri kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (H.r. Bukhari-Muslim).

Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...” (Q.s. At-Tahrim: 6).

Di sini kaum ayah diperintahkan untuk melatih anak-anaknya taat kepada Allah, dan komitmen dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban- Nya sejak mereka masih kecil atau usia dini, dimana mereka dapat dan mampu menerima pengajaran, yaitu sekitar usia tujuh tahun. Dan dengan

Rabbaniyah 27

Page 36: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Suruhlah anak-anakmu salat pada umur tujui jahun, dan pukul- lah

mereka jika tidak melaksanakannya sampai berumur sepuluh tahun. ” Perintah memukul pada hadis di atas bukan dimaksudkan untuk me- nyakiti

atau menyiksa sang anak, tetapi untuk memberikan kesan kepada anak akan kesungguhan sang ayah dalam menyuruhnya menjalankan ibadat dan betapa sang ayah akan marah kalau perintah itu dilanggar. Sebagaimana dia juga akan marah jika menyuruh sang anak, lalu malah tidak dihiraukan, tidak dipenuhi dan tidak mendapat tanggapan dari anak itu.

Adapun kaum ibu adalah pendamping (partner) suami atau ayah anak-anaknya dalam masalah tanggung jawab. Dia (ibu atau istri) merupakan penggembala dalam rumah tangganya, dan bertanggung jawab terhadap apa yang digembalakannya seperti yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan, keakrabannya dengan anak-anak, khususnya anak-anak putri, barangkali membawa dampak dan akan berpengaruh lebih kuat daripada sang ayah dalam banyak hal.

Sekolah juga memikul tanggung jawab terhadap kelangsungan pen- didikan para siswanya dalam menanamkan nilai-nilai Rabbaniyah. Tidak cukup hanya membekali murid-muridnya dengan berbagai pengalaman dan ketrampilan, yang bersifat material dan kesenian. Atau juga membekali mereka dengan berbagai hakikat dan informasi tentang bi 'ah (ling- kungan) hidup sekitamya. Kemudian membiarkan mereka sesat (terse- sat) dan bodoh (baca: tidak tahu) terhadap persoalan-persoalan hidup dalam sekup yang lgbih besar (makro) dan membingungkan itu: Dari mana ia datang? Siapa yang mendatangkannya? Ke mana hendak pergi setelah menjalani kehidupan di alam fana ini? Apakah ia (manusia) mempunyai misi antara kedatangan dan kepergiannya, atau antara hidup dan mati- nya? Apa misi itu? Siapa yang berhak menentukannya? Apa gerangan balasannya kalau mereka melaksanakan misi itu atau tidak melaksa-nakannya? \

cara yang agak keras, ketika mereka berusia sepuluh tahun, seperti yang disinyalir di dalam sebuah hadis berikut:

28 Karakteristik Islam

Page 37: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Hanya imanlah yang sanggup untuk menjawab pertanyaan-perta- nyaan tersebut dengan sesuatu yang dapat memuaskan akal pikiran, me- nenangkan dhamir, dan melapangkan dada. Yakni iman (yakin) terhadap Islam secara khusus, karena Islam lepas dari campur tangan, kesalahan, spekulasi, kedangkalan dan pertentangan manusia.

Lembaga pendidikan dan pengajaran (sekolah) yang tidak menanamkan iman ke dalam jiwa setiap anak didiknya, niscaya tidak akan me- lahirkan alumni kecuali generasi yang bingung. Generasi yang mengen- darai bahtera kehidupan dan terombang-ambing di tengah-tengah samu- dera, dihempas badai dan ombak, terkatung-katung tanpa nakhoda, peta, kompas dan mercusuar yang dapat membimbingnyake tepian pantai, dan tidak pemah berangan-angan untuk mendapatkan petunjuk.

Tarbiyah (pendidikan) dan ibroh (pengajaran) adalah termasuk ba- gian dari tugas, fungsi dan peran seorang Nabi. Allah sendiri telah me- ngukuhkan atas bangsa Arab dengan mengutus seorang Rasul dari bang- sa mereka sendiri.

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. ” (Q.s. Ali Imran: 164p

Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menjadi pengajar yang memudahkan.” (H.r. Muslim).

Dan mensinyalir tentang keutamaan para pengajar, sembari bersabda:

Rabbaniyah 29

Page 38: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Sesungguhnya Allah, malaikdt, semua penduduk langit dan bumi sampai semut di lubangnya dan sampai ikan di laut akan bersha- lawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. ” (H.r. Tirmidzi).

Kebaikan terbesar yang harus diketahui manusia adalah agar mereka mengenal Rabb (Tuhan) mereka. Dengan begitu mereka akan mengetahui asal mula (kejadian), tempat kembali dan rahasia keberadaan mereka.

Atau dengan kata lain, agar mereka benar-benar mengetahui hakikat diri mereka sendiri. Maka barangsiapa yang telah kenal Rabbnya, dia telah pula mengenal dirinya. Sebagaimana juga, bahwa orang yang telah mengenal betul dirinya, maka akan mengenal Rabbnya. dengan Cara Penerangan, Pengarahan dan Mencerdaskan Kehidupan Ummat.

Pendidikan, taujih (pengarahan) dan penerangan — dengan semua organisasinya, peralatan dan sarana-sarananya — harus ikut andil dalam memelihara dan menegaskan fungsi Rabbaniyah ini.

Masjid-masjid dengan khutbah, nasihat, salat dan aktivitas apa saja yang dapat menyinari ruhani, pikiran maupun akhlak (akidah).

Sarana penerangan yang bersifat audible (dapat didengar) dan visual (berdasarkan penglihatan) dengan materi sajian kebudayaan, hiburan, be- rita dan semua yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan dan kemauan.

Surat kabar harian, mingguan, bulanan, berkala dan tahunan, yang biasanya berisi tayangan gambar-gambar, artikel-artikel yang dimuat, in- formasi dan komentar-komentar yang disajikan.

Buku-buku dengan berbagai ragam bentuk, desain sampul, wama dan temanya: tentang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian, puisi, prosa, cerita fiksi dan hiburan, buku-buku akademis, buku-buku kebudayaan bangsa, ensiklopedia, dan berbagai sarana baca dan tulis.

Pentas drama dan film yang dapat berpengaruh dengan aktingnya, gambar dan dialog yang ditampilkan.

Semua sarana yang dapat membawa pengaruh dan mampu menga- rahkan itu harus saling bekerja sama dalam merealisasikan dan mengo- kohkan Rabbaniyah di dalam jiwa dan kehidupan, dengan tujuan agar manusia mau berusaha dan bergerak.

Dalam pandangan Islam, kita dilarang untuk menyerahkan fungsi dan tugas kepada masjid untuk mengokohkan dan menjelaskan dimensi Rabbaniyah di saat sentral-sentral penerangan dan kebudayaan yang lain demikian marak dan gencar menyebarkan nilai-nilai lain yang bertentang- an dengan Rabbaniyah, yang membuat keraguan, atau mengurangi fungsi dan peran Rabbaniyah tersebut.

Bagaimana mungkin masjid dapat (mampu) melaksanakan risalah (misi)nya, sementara media-media sajian yang lain justru merendahkan apa yang selama ini ditingkatkan oleh masjid, merusak apa yang sedang dibangun. ^ Adakah sebuah bangunan dapat rampung pembangunannya, jika Anda

30 Karakteristik Islam

Page 39: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

membangun dan sementara yang lain menghancurkannya? Semua instansi (baca: pusat keagamaan) dalam masyarakat Islam tidak akan

dijamin kelangsungannya, kecuali sebatas apa yang ia berikan untuk menjaga Rabbaniyah yang merupakan fiindamen dari keberadaan masyarakat Islam itu sendiri. Apakah andil (partisipasi) tersebut secara langsung atau tidak, dari dekat atau dari jauh.

Bahkan Islam memerintahkan ummatnya untuk menghancurkan pu- sat-pusat keagamaan yang tidak berdiri di atas landasan takwa dan ridha Allah swt. Walaupun itu berupa masjid dan sekaligus yang secara dhahir dilaksanakan salat di dalamnya. Sebagaimana Allah menyuruh Nabi dan Rasul-Nya Muhammad saw. untuk menghancurkan masjid Dhirar (masjid yang berbahaya). Masjid Dhirar ini dibangun oleh orang-orang muna- fik dengan maksud untuk menimbulkan petaka (bahaya), kekafiran dan menyebabkan perpecahan di antara kaum Mukniinin, dan sebagai basis persembunyian orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya saw.

dengan Cara Tasyri ’ (Perundang-undangan). Peran dan fungsi syariat adalah untuk membentengi, memperkuat dan menjaga

Rabbaniyah'dari segala jenis rongrongan, permusuhan dan semua usaha untuk mengecilkan perannya.

Oleh karenanya, maka Islam menentang keras atheisme dan per- misivisme (keserba-bolehan), dan jika keduanya dinyatakan maupun di- tampakkan secara terang-terangan, maka Islam memutuskan dan mem- vonisnya sebagai orang yang murtad dan fasik.

Adapun orang yang menyembunyikan kekafiran dan kefasikannya, maka urusannya ada di tangan Allah swt. Sebab, yang demikian itu tidak akan membawa bahaya kecuali kepada dirinya sendiri.

Sementara orang yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, maka dia akan membahayakan seluruh masyarakat Islam dengan cara menularkan dan menyebarkan kerusakan tadi. Oleh karena itulah, para fiiqaha bersepakat untuk memberikan hukuman kepada orang yang me- ninggalkan salat dan yang makan secara terang-terangan — tidak ada u- zur — di siang hari pada bulan suci Ramadhan. Akan'tetapi, masih ter- dapat perbedaan pendapat dalam menentukan bentuk hukuman itu. Se-hingga ada sementara mereka yang menjatuhkan hukuman mati bagi o- rang yang meninggalkan salat secara sengaja tanpa alasan. Adapun o- rang yang meninggalkannya karena meremehkan atau mengingkari far- dhiyahnya, maka dia divonis sebagai orang yang sesat dan keluar dari agama, dan berlaku baginya hukuman sebagaimana orang murtad menu- rut ijma' (kesepakatan) para ulama.

Dalam hal ini — yakni hukuman yang dijatuhkan kepada orang murtad dan yang menggalakkan kebebasan (penghalalan) segala cara, dan penghancuran pusat-pusat (instansi) kekafiran dan kemunafikan — bukan berarti menghalangi kebebasan, karena kebebasan individu itu ter- ikat, yaitu agar jangan sampai mencemari sistem masyarakat dan asas ideologis serta sosialnya. Sebagaimana juga kebebasan orang murtad yang terang-terangan itu bertentangan dengan kebebasan orang-orang

Rabbaniyah 31

Page 40: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Mukmin dalam menjaga (melestarikan) iman mereka. Mereka (kaum Mukminin) adalah mayoritas masyarakat dan kelompok (komunitas) yang paling berpengaruh. Maka kebebasan merekalah yang harus didahu- lukan.

2. Rabbaniyah Mashdar dan Manhaj Kami (penulis) telah menjelaskan hal-hal yang masih ada korelasi- nya dengan

dimensi pertama bagi Rabbaniyah, yaitu Rabbaniyah sasaran dan tujuan. Selanjutnya ada dimensi lainnya. yaitu Rabbaniyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem/metode). Yang kami maksud- kan di sini adalah bahwa manhaj yang telah ditetapkan oleh Islam guna mencapai sasaran dan tujuan itu adalah manhaj Rabbani yang mumi, karena sumbernya adalah wahyu Allah kepada Rasul pamungkas, Muhammad saw.

Manhaj ini tidak lahir sebagai sebuah hasil rekayasadari ambisi per- seorangan (individu), keluarga, golongan, partai atau ambisi dari bangsa tertentu. Tetapi dia (manhaj) datang dari iradat Allah yang mengingin- kannya sebagai hidayat dan nur (cahaya penerang), penjelas dan kabar gembira, penawar atau obat dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu hukti kebe- naran dari Rabbmu (Muhammad dan mukjizatnya) dan telah Kami tu- runkan kepadamu nur (cahaya) yang terang-benderang (Al-Qur’an).” (Q.s. An-Nisa’: 174).

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh (obat) bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. ” (Q.s. Yunus: 57).

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.s. Al-Anbiya’: 107).

“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Alkitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang herserah diri.” (Q.s. An-Nahl: 89).

“Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita pada cahaya terang-benderang dengan izxn Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji.” (Q.s. Ibrahim: 1).

Posisi Rasul dalam Manhaj Ini Allah swt. adalah Dzat pemilik manhaj ini. Karena itu, selalu dinis- batkan

kepada asma-Nya, sehingga dapat dikatakan: manhajullah (kon- sep/sistem/metode Allah) atau jalan Allah sebagaimana yang diungkap- kan oleh Al-Qur’an. Pengikutsertaan asma Allah tersebut mengindika- sikan bahwa Allah-lah sebagai peletak dan penentu manhaj, sebagaimana Dia juga yang menjadikan tujuan finalnya.

Adapun Rasulullah Muhammad saw, maka beliau adalah dai yang menyeru pada manhaj atau jalan itu, sebagai penjelas perintah-Nya yang masih samar bagi manusia. Allah swt. berfirman:

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (Al-Qur’an)

32 Karakteristik Islam

Page 41: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu t lar-benarmemberi petunjukpada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah y ig kepunyaan -Nya segala apa yang di langit dan apa yang ada di bumi Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Q.s. A iy-Syuraa: 52-3).

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nya- ta orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami ber- kata, ‘Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.’ Katakanlah, ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Rabbku pada siksa hari yang besar (Kiamat).’ Katakanlah, ‘Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahu- kannya kepadamu.’ Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (Q.s. Yunus: 15-6).

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyuyang diwahyukan (kepadanya).” (Q.s. An-Najm: 1-4).

Orang yang gemar merenungkan Al-Qur’an, akan mengetahui bahwa Rasulullah Muhammad saw. itu hanyalah sebagai seorang hamba yang diperintah oleh Sang Penguasa Yang Melindungi dan Menguasainya dan Memiliki hak untuk menegur dan menyalahkannya jika dia berijtihad dalam sebuah persoalan (masalah), lalu melakukan kesalahan. Seperti halnya pada kisah Ibnu Umi Maktum, tawanan perang Badar, orang-orang munafik yang mengikuti tentara Muslim dari belakang pada perang Tabuk, masalah Zainab binti Jahsyi, dan lain-lainnya. Pada hakikatnya bahwa Al-Qur’an itu merupakan kalamullah (firman Allah) yang ditu- runkan oleh Rabb semesta alam.

Maka Muhammad saw. tidak mempunyai andil terhadap Al-Qur’an ini, kecuali: Membaca dan menghafalnya: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu

tidak akan lupa ..." (Q.s. Al-A’la: 6). Menyampaikan dan berdakwah: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb- mu. Dan

jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 67).

Menafsirkan dan menjelaskannya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerang- kan kepada

ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan ...” (Q.s. An-Nahl: 44).

Sunnah (hadis) yang berfungsi menjelaskan Al-Qur’an itu merupakan wahyu Ilahi pula, hanya saja tidak dibacakan secara langsung oleh Allah dan bukan mukzijat seperti Al-Qur’an.

Rabbaniyah 33

Page 42: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Apa yang ada dalam sunnah yang dihasilkan dari ijtihad, maka Allah tidak memutuskannya salah, tetapi Dia turunkan wahyu untuk melurus- kan dan memperkuatnya.

Keistimewaan Islam di antara Manhaj yang Berlaku di Dunia Islam adalah manhaj, mazhab atau nidhom (tatanan/aturan) satu- satunya di

dunia yang hanya bersumber pada kalimatullah, tidak menga- lami penyimpangan, pergantian dan tidak bercampur aduk dengan spe- kulasi-spekulasi dan kesalahan-kesalahan manusia.

Manhaj atau tatanan selain Islam yang kita lihat sekarang di dunia ada tiga:

Pertama, manhaj mazhab atau aturan/tatanan budaya manusia (mur- ni buatan manusia) dimana sumbemya &da\ah fikrah (akal pikiran) atau filosofi (filsafat) seseorang atau sekelompok individu, seperti komunis- me, kapitalisme, eksistensialisme, dan lain-lainnya.

Kedua, manhaj atau aturan agama manusia (buatan manusia), seperti agama Budha yang berkembang pesat di Cina, Jepang dan India yang tidak pemah diketahui akar keilahiyahannya atau kitab samawinya. Jadi, sumbemya adalah buah pikiran manusia pula.

Ketiga, manhaj atau mazhab keagamaan yang menvimpang. Manhaj ini — walaupun mempunyai akar Ilahiyah — telah mengalami penyimpangan dan penggantian sehingga ada hal-hal lain yang dimasukkan ke dalamnya, ada bagiannya yang dihapus, di dalamnya bercampur aduk antara kalamullah dengan kata-kata manusia. Maka padagilirannya sumber keilahiannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan dan tidak otentik, seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani. Setelah kitab mereka: Taurat dan Injil mengalami penyimpangan bahkan masih ditambah pula dengan berbagai keterangan, penjelasan, beberapa takwil dan ilmu pengetahuan manusia yang dapat mengganti maksud dari kalamullah.

Adapun Islam itu sendiri merupakan manhaj tunggal yang mashdar- nya selamat dari campur tangan dan penyimpangan manusia. Hal itu di- sebabkan Al-Qur’an telah dijamin dan senantiasa dijaga kemumiannya oleh Allah swt. sebagai dustur (undang-undang) satu-satunya. Mashdar itu tidak Iain adalah Al-Qur’anul Karim. Dia sendiri yang memprokla,mir- kan kepada Nabi saw. maupun ummat-Nya.

“Sesungguhnya Kami-lah yangmenurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. ” (Q.s. Al-Hijr: 9).

Janji Rabbku adalah hak (benar). Berita akbar tentang keberadaan Al-Qur’an itu telah dibuktikan oleh berbagai kurun setelah diturunkan- nya — kendati kaum Muslimin mengalami aneka bencana yang menakut- kan dan menggemparkan. Al-Qur’an tetap otentik sepdrti ketika diturun- kan-Nya, sebagaimana dibaca Nabi Muhammad saw. dan diajarkan kepada para sahabat beliau. Sebagaimana pula yang dibacakan oleh mereka kepada para tabi’ien, generasi demi generasi mewariskannya kepada generasi penerusnya, membaca, menghafal dan menuliskannya tetap merupakan ibadat. Maka tidak heran jika Al-Qur’an itu tetap seperti se- diakala

34 Karakteristik Islam

Page 43: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tertulis dalam mushaf, disaritilawahkan dengan lisan, dihafal dalam dada, sehingga sampailah kepada kita secara mutawatir (meyakin- kan) berupa nukilan harfiyah dengan metode penulisan yang sama sejak masa khalifah ketiga, Khalifah Utsman r.a, sekalipun variasi (bentuk) letter (huruf) mengalami perkembangan. Yang sampai kepada kita adalah sama seperti cara pembacaannya di masa Nabi saw, sampai suara ghunnah (mendengung), mad (panjang), idh-har (terang atau jelas), idgham (cara masuknya huruf), iqlab (cara membaliknya huruf), ikhfa ' (cara menyembunyikan ungkapan huruf) tidak mengalami perubahan, tetap seperti sedia kala.

Islam Manhaj Rabbani yang Murni Sesungguhnya Islam adalah manhaj Rabbani murni seratus persen — dari segala

kekurangan atau cela — baik akidah, ibadat, adab dan akhlak, syariat dan aturan, semuanya merupakan Rabbaniyah Ilahiah. Yang saya maksudkan di sini dalam asas-asasnya yang universal dan prinsip-prin- sipnya yang umum, bukan dalam mas a! ah furti 'iyah (baca. masalah fi- qih), rincian dan metodologi penerapan.

Akidah Rabbaniyah Akidah Islam adalah akidah Rabbaniyah yang diambil dari kalamul- lah, yang

tidak akan ada kebatilan datang dari depan atau belakangnya. Al-Qur’anul Karim itulah yang memperkokoh asas-asasnya dan menje- laskan rambu-rambunya. Juga diambil dari As-Sunnah yang menjabar- kan (menjelaskan) Al-Qur'an itu sendiri.

Akidah Islam ini bukan susunan sebuah lembaga pengkajian. Tidak juga disandarkan kepada salah satu badan dan tidak pula ditulis oleh para uskup.

Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi Muhammad saw, tidak juga para imam (pemimpin) Islam maupun pakar (ulama) fiqih yang senior sekalipun yang berani menggeser dan mengubah akidah Islam. Apakah itu dengan menambah, mengurangi atau menyanggah, sebagaimana dilaku- kan oleh Santo Paulus dalam ideologi agama Kristen, hingga ada salah seorang penulis Barat moderen yang menyebut agama Kristen yang se- karang ini dengan sebutan: "Kristen Paulus" dan bukan "Kristen Isa Putra Maryam".

Tidak ada satu pun, baik Iembaga atau perkumpulan atau apa pun kedudukannya, yang berani menambahkan sesuatu pada akidah Islam atau menghapus sebagiannya. Tidak seperti pelecehan dan manipulasi yang dilakukan lembaga-lembaga pengkajian Kristen yang dimulai dari "Mujamma’ Naqiyyah" (Persekutuan Kudus) yang sangat terkenal pada tahun 325 M, dan sesudahnya bermunculan berbagai perkumpulan seru- pa. Ada yang menentukan ketuhanan Al-Masih, ada yang menentukan tempat Ruh Kudus yang "ada dalam tiga tetapi satu" atau yang lebih di- kenal dengan ajaran "Trinitas": Bapak, Anak dan Ruh Kudus, dan ada juga yang memberikan kuasa penuh kepada pastur untuk menentukan la- rangan, memberi tiket pengampunan, dan begitulah seterusnya.

Adapun akidah Islam itu tidak diambil dari siapa pun kecuali dari wahyu Ilahi. Sebenamya akidah itu merupakan masalah yang benar atau hakikat- hakikat dan

wujud dari Rabbul Wujud, Allah swt. Akidah Islam tidak ter- masuk kategori apa

Rabbaniyah 35

Page 44: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

yang kita sebut dalam logika dan ilmu balaghah in- sya ’ (sesuatu yang masih mengandung pertanyaan). Akan tetapi merupakan khabar (data otentik), karena memberikan data tentang persoalan- persoalan besar dalam wujud kehidupan ini: tentang Allah, asma dan si- fat-sifat-Nya, alam gaib, masa depan kehidupan dan manusia, balasan dengan berbagai bentuk dan gambarannya, dan lain-lain dari hal-hal yang ada di balik alam yang kasat mata (dapat dilihat) yang tidak akan diketa- hui oleh indra dan tidak akan dapat dijelaskan secara rinci oleh akal pikiran. Jadi, tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk menggambar- kan semua persoalan ini kecuali Dzat yang ilmu-Nya meliputi segalanya. Tidak ada yang berhak ikut campur dalam masalah itu, kecuali Pemilik alam ini, yaitu Allah swt.

Adapun manusia (makhluk) tidak mungkin akan mampu mengurai ilmu tentang alam gaib ini dalam spesialisasi mereka. Kalau mereka me- ngatakan mampu untuk mengurai berarti perkataannya tersebut tanpa di- dasari ilmu'dan bukti. Dalam masalah ini, Al-Qur’an menegaskan peng- ingkaran terhadap akidah kaum musyrikin, yang berkenaan tentang ma- laikat:

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat, yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang wa- nita. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai per- tanggungjawaban.’’ (Q.s. Az-Zukhruf: 19).

“Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka'sendiri." (Q.s. Al-Kahfi: 51).

“Dia (Allah) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka itu tidak dapat me- liputi ilmu-Nya.” (Q.s. Thahaa: 110).

Kalau ada sementara orang yang membuat atau merekayasa hadis dari dirinya sendiri, maka hadis tersebut jelas harus ditolak.

Rasulullah saw. sendiri bersabda:

“Barangsiapa yang membuat (mengada-adakan) sesuatu tentang urusan kami ini (urusan agama) yang sebenamya bukan dari agama, maka hal itu ditolak.” (H.r. Bukhari-Muslim).

Dan Allah swt. berfirman: “lkutilah apa yang di turunkan kepadamu dari Rabbmu dan jangan- lah kamu

mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Q.s. Al-A’raf: 3). Ibadat Rabbaniyah

Ibadat-ibadat dalam Islam — yaitu semua bentuk syiar ritual dan penyembahan Allah — adalah manifestasi ibadat-ibadat Rabbaniyah.

Maka, wahyi) Uahi-lah yang menjelaskan dan memberi gambaran, menentukan bentuk, rukun, syarat, waktu dan tempat kalau memang menjadi persyaratannya.

36 Karakteristik Islam

Page 45: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Oleh karena itu, tidak dapat ditolerir jika ada sementara orang — walaupun dia seorang mujtahid dalam agama dan mempunyai ilmu dan takwa melebihi tingginya Ka’bah — yang menciptakan bentuk-bentuk dan gambaran-gambaran ibadat sendiri untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Hal ini karena merupakan tandingan dan sekaligus tindakan meng- gurui Allah sebagai pencipta yang berwertang sepenuhnya dalam masalah ini.

Barangsiapa yang melakukan hal seperti itu, maka identik dengan membuat syariat (baru) dalam agama tanpa seizin Allah. Perbuatannya tersebut tergolong bid’ah dan kesesatan. Amalnya ditolak, ibarat badan moneter yang menolak uang palsu.

Dalam hal ibadat, Islam membawa dua prinsip besar yang tidak boleh terpisah antara satu dengan yang lainnya, yaitu:

Pertama, hendaknya tidak menyembah kecuali kepada Allah. Maka tidak ada ibadat bagi seseorang dan sesuatu selain-Nya, baik yang hidup di bumi atau di langit, berakal maupun tidak. Inilah yang merupakan tun- tutan Rabbaniyah tujuan dan sasaran.

Kedua, hendaknya tidak menyembah Allah, kecuali dengan apa yang telah disyariatkan-Nya. Yang disyariatkan itu dapat diketahui melalui para Rasul-Nya yang memang mempunyai tugas untuk menyampaikan. Nabi Muhammad saw. adalah penutup para utusan Allah, yang menghapus syariat-syariat sebelumnya, yang oleh Allah telah ditetapkan keabadian syariatnya. Bahkan Allah menjamin akan memeliharanya sehingga Allah mewariskan bumi dan para penghuni yang ada di dalamnya [sampai hari Kiamat],

Selain dari itu, hanyalah merupakan hawa nafsu dan bid’ah yang harus ditolak, kendati didorong oleh niat baik dan semangat tinggi untuk meningkatkan kadar taqarrub kepada-Nya. Namun, niat yang baik itu sendiri tidak menjamin amal itu dapat diterima selama belum memenuhi kriteria syar’i yang berdasarkan nash yang tsabit (tetap dan benar).

Sehingga amal (pekerjaan) yang diterima itu mempunyai dua rukun: harus iklilas semata-mata karena Allah, dan berdasarkan Sunnah Rasul- ullah saw.

Adapun para mubtadi ’ (yang suka mengada-adakan) dalam semua kurun waktu dan juga para ahli bid’ah akal pikiran, maka tidak ada tempat baginya dalam Dienullah, sebagaimana disinyalir dalam sebuah hadis:

"dS

(cJ^Sls t OIXJ ) “Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap bid’ah itu

adalah sesat." (H.r. Abu Daud dan Tirmidzi, hadis ini hasan-shahih).

Dalam nada pengingkaran, Al-Qur’an menegaskan: “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang

Rabbaniyah 37

Page 46: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?” (Q.s. Asy-Syura: 21).

Karenanya, Islam menutup rapat-rapat pintu yang mengarah pada berlebih-lebihan atau melampaui batas, penyimpangan dan perkataan yang dibuat-buat. Dan tidak pula memberikan hak lestari bagi bentuk. bid ’ ah dalam ubudiyah. Walaupun terj adi pada suatu saat disebabkan oleh kebodohan, hawa nafsu, atau berlangsung dengan bantuan para pem- bangkang atau penggadai agama.

Untuk itulah, maka di setiap penjuru dan di senuia kurun waktu tidak pemah kosong dari mereka yang menyeru pada sunnah dan menolak bid- 'ah, tidak menghiraukan cobaan dan rintangan yang ada demi fi sabilillah.

Sebagaimana ibadat-ibadat dalam Islam yang begitu besar ini akan tetap murni dan hakiki, pondasi dan akamya pun akan selamat dari penyimpangan, jauh dari campur tangan dan perubahan sebagaiman tam- pak dalam ajaran-ajaran di luar Islam.

Adab Rabbani Adab dan akhlak Islam adalah adab Rabbani, dalam artian bahwa wahyu Ilahi-

lah yang telah meletakkan dan menentukan dasar-dasamya, yang itu semua, berfungsi untuk menjelaskan petunjuk-petunjuk syakh- shiyah (kepribadian) Islami. Sehingga akan tanipak sempurna, konsisten dan teristimewa baik isi maupun fomialitasnya serta paham akan sasaran dan jalannya, kendati harus berbaur dengan berbagai jalan dan bersentuh- an dengan berbagai ideologi.

Kita tidak perlu heran bila Al-Qur’an sendiri menaruh perhatian untuk menjelaskan rambu-rambu asasi bagi adab dan akhlak seorang Muslim, seperti: berbuat baik kepada kedua orangtua, khususnya setelah mereka berdua atau,. saiah seorang di antara keduanya telah lanjut usia, berbuat baik kepada kaum kerabat, menjaga (menyantuni) anak yatim, dan menghormati tetangga terdekat. tetangga sebelah, sahabat, ibnu sabil, pembantu, serta peduli terhadap fakir miskin, memerdekakan budak, ju- jur dalam ucapan, ikhlas dalam amal. menundukkan pandangan, menjaga kehonnatan, nasihat-menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, beramar ma’ruf nahi munkar, menunaikan amanat kepada orang yang berhak, menegakkan hukum di antara sesama manusia dengan adil. Jugamenepati janji, meninggalkan kemungkaran, menghindarkan diri dari dosa-dosa besar, seperti syirik, sihir, pembunuhan, zina, mabuk, riba, makan (mengambil) harta anak yatim, menuduh wanita Mukminat berzi- na, dan lain sebagainya yang meaipakan dosa besar dan kekejian, yang merupakan akhlak positif dan negatif, bersifat individu maupun sosial.

Sampai-sampai kitatemukan Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang adab sopan-santun ketika berjalan:

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan ...” (Q.s. Luqman: 19). “Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah)

orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah had...” (Q.s. Al-Furqan: 63). “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena

sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu

38 Karakteristik Islam

Page 47: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.s. Al-Isra': 37). Islam mengatur tata cara dan adab dalam ziarah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan

rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, 'Kembali (saja)lah,’ maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih (baik) bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu ker- jakan.” (Q.s. An-Nuur: 27-8).

Adab sopan-santun dalam duduk: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Ber- lapang-

lapanglah kamu dalam majlis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan o- rang-orangyang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.s. Al-Mujadilah: 11). Ditambah oleh sunnah yang menjelaskan berbagai adab yang berke- naan dengan makan, minum, berbusana, berhias, tidur, bangun tidur, ke- luar-masuk suatu tempat, bepergian hingga pulang kembali, mengucap- kan salam penghormatan, minta izin, sampai pada masalah bersin, me- nguap, buang air besar maupun kecil, atau memenuhi kebutuhan seksual.

Kemudian yang menjadi sumber asasi penerapan akhlak dalam Islam itu bukan faktor kelezatan, daya guna atau manfaat, akal pikiran dan dhamir, tradisi, masyarakat, kemajuan dan bukan pula hal-hal lain yang banyak dianut oleh sekolah-sekolah filsafat moral, baik idealisme maupun realisme. Akan tetapi, yang menjadi sumber penerapan hukum akhlak — yang paling mendasar — adalah wahyu Ilahi.

Jadi, kebaikan itu adalah apa yang diperintahkan Allah, dan kebu- rukan adalah apa yang dilarang-Nya. Dengan kata lain, kebaikan ad'alah apa yang dianggap baik oleh syariat, dan kejelekan adalah apa yang dini- lai jelek olehnya. ,

Ini bukan berarti bahwa syariat itu datang untuk menjadikan baik apa yang dinilai jelek oleh akal pikiran, atau menjelekkan apa yang dianggap baik oleh akal pikiran tadi. Hal ini tidak dikenal dalam akhlak Islam, tidak juga dalam syariat Islam secara keseluruhan. Syariat Islam adalah syariat yang senantiasa sesuai dengan fitrah yang suci dan oleh akal yang liirus.

Maka tidak mengherankan bila Al-Qur’an memberikan julukan kepada orang yang berakhlak mulia dengan julukan Ulul Albab (Ahli Pi- kir), sebagaimana pula ketika menyudahi sebagian perintah dan la- rangan-Nya,' dengan kata-kata, “Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). ” (Q.s. Al-An’am: 151).

Jadi, kita dapatkan akhlak dalam Islam itu bukan semata-mata di- sandarkan pada perintah yang tegas dan beban ibadat. Tetapi, disandar- kan pada kepemahaman akal pikiran dan kebangkitan dhamir dalam berakhlak dengan sebuah pemahaman yang berorientasi pada hukum dan kemaslahatan-kemaslahatan yang terjadi dalam

Rabbaniyah 39

Page 48: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kehidupan dunia maupun akhirat. Di antaranya, firman Allah dalam wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya:

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Danjangan- lah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam ber jalan dan lemahkanlah suara- mu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. ” (Q.s. Luq- man: 17-9).

Contoh lainnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surat Al-Isra’ayat 29, 32, dan 37:

“... karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. ” “... sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan

yang buruk. ” "... sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali

kamu tidak akan sampai setinggi gunung. ”

Sistem Perundang-undangan yang Rabbani Syariat Islam datang untuk menata kehidupan individu, keluarga, masyarakat

dan negara. Jadi sistem perundang-undangan yang Rabbani yang saya maksudkan adalah pada asas, prinsip dan hukum-hukumnya yang mendasar. Dengannya, Allah ingin mengatur perjalanan kehidupan manusia, membina hubungan antarindividu maupun jamaah di atas lan- dasan (dasar-dasar) yang kokoh, jauh dari kekerdilan, ekstrimitas, hawa nafsu dan pertentangan manusia.

Ini adalah keistimewaan pertama yang dimiliki syariat Islam yang tidak dimiliki oleh syariat-syariat lain baik dulu maupun sekarang, tidak di Barat maupun di Timur, liberalisme atau sosialisme. Syariat Islam adalah syariat tunggal di dunia yang asasnya adalah wahyu Allah dan kali- mat-kalimat-Nya, yang terjaga dari kesalahan dan jauh dari kezaliman.

“Telah sempumalah kalimat Rabbmu (Al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-ka- limat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-An’am: 115).

Oleh karena itu, maka dalam prinsip Islam ditetapkan bahwa satu- satunya al-musyarri ’ (yang meletakkan syariat) adalah Allah swt.

Karenanya, Allah jualah yang berhak memerintah, melarang, meng- halalkan, mengharamkan, memberikan kewajiban, dalam kapasitasnya sebagai Rabb dan Ilah yang menguasai makhluk-Nya. Dia adalah Rabb, Raja dan Ilah manusia. Bagi-Nya segala penciptaan dan semua perkara, serta semua kerajaan. Baginya segala puji di dunia maupun akhirat, yang berhak memerintah, dan kepada-Nya semua makhluk akan kembali.

Selain-Nya, tidak seorang pun yang memiliki hak mutlak untuk membuat

40 Karakteristik Islam

Page 49: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

syariat, kecuali bila diizinkan Allah dalam hal yang tidak terte- ra nashnya. Yang diberi hak demikian adalah seorang mujtahid, mustam- bith (pengambil hukum) atau yang melakukan kompilasi hukum. Jadi Dia bukan pembuat dan peletak syariat. Bahkan Rasulullah saw. sendiri bu- kanlah seorang pembuat dan peletak syariat, tetapi harus tetap ditaati karena beliau adalah muballigh (penyampai) hukum dari Allah. Maka apa yang diperintahkan oleh beliau adalah termasuk perintah Allah pula.

“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah me- naati Allah. ” (Q.s. An-Nisa’: 80).

Maka, hukum syar’i yang mencakup wajib, istihbaab (sunnah), haram, makruh, atau mubah itu adalah milik Allah, bukan milik seseorang selain-Nya. Oleh karena itu, para ulama ushul fiqih mendefmisikan hukum syar’i sebagai: Kalam Allah yang berkaitan dengan pekerjaan-pe- kerjaan orang-orang mukallaf (yang melakukan hukum) sebagai tuntutan (keharusan) atau pilihan. Tuntutan di situ, berupa tuntutan keharusan agar dikerjakan yang berupa wajib dan sunnah, atau tuntutan untuk ditinggal- kan berupa haram dan makruh. Sebagaimana yang dimaksudkan dengan ikhtiyar (pilihan) tadi adalah mubah, dimana sang mukallaf diberi pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Maka, yang menyuruh, mem- berikan taklif (amanat hukum), memerintah dan melarang itu tidak lain kecuali Allah swt.

Al-Qur’an mencap musyrik kepada orang yang menyerahkan ke- kuasaan tasyri’ kepada sebagian manusia, seperti para pendeta yang me- ngubah kalimat-kalimat Allah dan menggantinya. Maka, mereka meng- halalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang diha- lalkan Allah, dengan maksud berbohong atas nama Allah.

Dalam masalah ini, Allah berfirman: “Mereka menjadikan orang-orangalimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai

Rabb selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Ma- sih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Q.s. At-Tau- bah: 31).

Al-Qur’an mengategorikan para pemuka agama, dan rahib-rahib ini sebagai tuhan-tuhan yang disembah selain Allah. Bentuk penyembahan mereka itu adalah menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh-Nya. Atau balnva mereka telah mem- berikan hak tasyri’ dalam hal yang tidak diperkenankan Allah. Seperti yang telah dijelaskan Nabi Muhammad saw. kepada 'Adi bin Hatim At- Tha’i.

Syahdan, ‘Adi bin Hatim At-Tha’i memeluk agama Nasrani di zaman jahiliyah. Maka, ketika sampai kepada Rasulullah saw. yang tengah membaca ayat ini: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan ra- hib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, ” ‘Adi bin Hatim pun berka- ta, "Wahai Rasulullah! Kami tidak menyembah mereka!" Dari sanggah- annya itu seolah-olah ‘Adi membatasi pemahaman ibadat hanya pada ruku’, sujud, salat dan semacamnya. Lalu Nabi saw. pun bersabda, “Bu- kankah mereka telah menghalalkan yang haram atas dirimu, kemudian engkau pun

Rabbaniyah 41

Page 50: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

turut menghalalkannya? Dan mereka telah mengharamkan atas dirimu apa yang sebenamya halal, lalu engkau pun mengharam- hannya?”

‘Adi bin Hatim menjawab, "Benarlah yang Anda katakan itu, ya Rasulullah!" Nabi saw. kemudian berkata, “Itulah bentuk penyembahanmu kepada mereka. ” Oleh karenanya, kita mendapatkan Al-Qur’anul Karim dalam ayat- ayat dan

syariat selalu mengakhiri dengan mengalihkan pandangan kepada Rabbaniyah mashdar (sumber hukum)nya. Agar jiwa menjadi ten- tram dan hati nurani tenang dan dada serasa lapang untuk menerima se- kaligus mengamalkannya, tidak bermalas-malasan atau selalu terlambat dalam menaati hukum Allah.

Di antara contoh itu adalah firman Allah sebagai berikut: — Di akhir ayat tentang pembagian sedekah.

"... sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. At-Taubah: 60). — Di akhir ayat tentang pembagian harta warisan.

“(Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” (Q.s. An-Nisa’: 11). — Begitu pula di penghujung ayat tentang harta waris yang kedua. “(Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar- benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentudn dari Allah.” (Q.s. An-Nisa’: 12-3). _ Ayat terakhir lainnya, yang juga menjelaskan tentang warisan.

“Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ” (Q.s. An-Nisa’: 176). — Ayat pertama Surat At-Thalaq tentang ketentuan talak.

“Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hu- kum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri." (Q.s. At-Thalaq: 1). _ Tiga ayat sesudahnya.

“Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepadamu. ” (Q.s. At- Thalaq: 5). — Hukum hijrah wanita-wanita Mukminat.

“Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” (Q.s. Al-Mum- tahanah: 10).

Komentar-komentar itu dan yang sejenisnya membimbing, mengi- ngatkan, dan menegaskan sumber asli yang menjadi syariat Islam, yakni Rabbaniyah samawiyah yang diturunkan dari Dzat yang tiada seorang pun dapat nienolak perintah-Nya dan mengomentari hukum ketetapan- Nya.

Di antara Buah Rabbaniyah Masdhar (Sumber Hukum) Kalau Rabbaniyah tujuan dan sasaran mempunyai buah atau hasil dan berbagai

keistimewaan sebagaimana telah saya sebutkan sebelum ini, maka Rabbaniyah dalam muatan dimensinya yang kedua — Rabbaniyah sumber hukum juga mempunyai

42 Karakteristik Islam

Page 51: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

berbagai buah dan keistimewaan yang barangkali lebih urgen, serta mempunyai pengaruh lebih jauh.

Semua buah dan keistimewaan itu adalah sebagai hasil final dari satu sebab, yaitu kesempumaan Allah sebagai pemilik dan sekaligus sumber manhaj ini (baca: Islam). Adapun manhaj-manhaj dan mazhab-maz- hab yang lain telah dilumuri oleh berbagai kekurangan, kelemahan dan kekerdilan wawasan manusia.

1. Terlepas dari Pertentangan dan Sikap Ekstrim Di antara keistimewaan itu adalah terlepas dari berbagai pertentangan, sikap

ekstrim dan perselisihan yang dialami oleh manhaj-manhaj, dan tata aturan buatan manusia yang diselewengkan.

Manusia — sebagaimana tabiat mereka — sering bertentangan dan berselisih dari masa ke masa, bahkan dalam satu masa, dari satu kawa- san ke kawasan yang lain, dari satu kondisi ke kondisi yang lain, dari suatu situasi lingkungan (miliu) ke situasi lingkungan yang lain, dari dalam komunitas (kesatuan) ummat dalam sebuah bangsa kepada bangsa lain, dari satu kelompok kepada kelompok yang lain, dari satu kesatuan individu menuju suatu kelompok, dan bahkan dari satu individu kepada in-dividu yang lain, dan dari waktu tertentu ke waktu lainnya.

Maka, kita pun sering melihat cara berpikir seseorang pada masa mudanya, bertentangan dengan cara berpikimya di masa tua. Yang ba- nyak kita dapatkan, pola pandangnya ketika dia mengalami kesulitan dan kemiskinan amat kontradiktif dengan di saat dia sedang dalam kemu- dahan dan bergelimang kekayaan.

Jika memang demikian watak akal pikiran manusia yang tidak lepas dari pengaruh waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka bagaimanamungkin akan bisa terhindar dari pertentangan dan perselisihan ketika mene- tapkan manhaj (tatanan) kehidupan baik manhaj ideologi dan konsep, maupun operasional dan perilaku. Perselisihan dan pertentangan adalah hal yang pasti terjadi pada manusia. Maha Besar Allah yang telah meng- isyaratkan hal itu.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Jika se- kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.s. An-Nisa’: 82).

Di antara fenomena pertentangan dapat kita lihat dan rdsakan dalam berbagai aturan kemanusiaan dan agama, baik agama buatan manusia atau agama suci yang terselewengkan, berupa pengurangan dan penam- bahan. Sebagaimana terlihat jelas dalam pandangannya terhadap masa- lah ruhiyah dan maddiyah (material), masalah individu dan sosial, ideali- ta dan realita, akal dan hati, tsabat (tetap dan konsisten) dan perkembang- an, dan lain sebagainy^ dari hal-hal yang saling bertolak belakang. Dimana setiap mazhab dan aturan tadi berdiri di suatu sisi dan mengabaikan sisi lain sebagai lawannya.

Rahasia yang tersirat dalam persoalan di atas — setelah berbagai ke- kerdilan dan keterbatasan manusia secara umum — bahwa pikiran manusia ketika menetapkan sebuah filsafat, metode atau mazhab (aliran) se- ringkali — secara langsung atau pun tidak — berupa reaksi dan refleksi terhadap problem setempat yang situasional.

Rabbaniyah 43

Page 52: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Dimana hal itu cukup ber- pengaruh pada persepsinya dan cara memvonis terhadap perkara, baik disadari atau tidak.

Tidak ada seorang pun yang dapat menyulitkan para ahli filsafat besar kendati dia begitu tulus menuntut hakikat kebenaran — dari pengaruh zaman dan lingkungan mereka, disamping pengaruh yang berkait- an status keturunan dan masalah-masalah pribadi.

2 Melepaskan Keberpihakan dan Hawa Nafsu Di antara buah Rabbaniyah sumber ini dalam Islam adalah kan- dungannya yang

berupa keadilan mutlak, keterlepasannya dari keberpihakan, kezaliman dan mengikuti hawa nafsu, yang itu semua, tidak bi- sa lepas dari diri manusia di mana pun berada.

Memang, manusia itu tidak dapat terjaga — kendati mempunyai ke- tinggian ilmu dan ketakwaan — dari pengaruh hawa nafsu, berbagai ke- cenderungan dan keinginan pribadi, pengaruh keluarga, iklim, partai dan kesukuan. Walaupun secara dhahir ia telah berusaha untuk adil dan ber- sikap netral.

Apabila manusia memiliki hawa nafsu tertentu, atau kecenderung- an-kecenderungan khusus yang mengarahkan dan mewamai pemikiran- nya, untuk cenderung kepada apa yang dia sukai, maka ini merupakan bencana besar. Ketika hawa nafsu itu bercampur dengan kekerdilan dan ke- terbatasan manusia, maka makhluk yang berasal dari tanah ini sama se- kali tiada bemilai.

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. “ (Q.s. Al-Qashash: 50).

Dan firman-Nya kepada Nabi Daud a.s.. “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (pe- nguasa) di

muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Q.s. Shaad: 26).

Jalan Allah merupakan jalan kebenaran dan keadilan yang terlepas dari keberpihakan, kezaliman (penindasan) dan penyimpangan.

Maksud dari pemyataan kami tadi adalah bahwa manhaj atau tata- nan apa pun yarfg dibuat oleh manusia tidak dapat terlepas dari pengaruh hawa nafsu yang mampu menyesatkan dari jalan Allah, yang memihak pada satu sisi dan mengabaikan sisi yang lain atau kepada satu golongan dan mengabaikan golongan lain.

Lain halnya dengan nidhom (tatanan) atau manhaj Allah. Dimana yang meletakkan dan membuatnya adalah Allah: Rabb manusia yang sama sekali tidak terpengaruh dengan ruang dan waktu. Karena Dia me- mang yang menciptakan ruang dan waktu tersebut. Dia tidak dihakimi oleh hawa nafsu dan berbagai kecenderungan, karena Dia itu suci dari hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan tersebut. Dia tidak membeda- kan jenis, wama dan kelompok tertentu, karena Dia adalah Rabb semua makhluk ciptaan. Mereka semua adalah hamba-hamba-Nya. Karenanya, Dia tidak pernah berpihak kepada golongan tertentu dan meninggalkan golongan yang lain. Tidak pernah berpihak kepada salah satu generasi dan membiarkan generasi yang lain, dan tidak juga kepada sebuah bangsa tertentu sementara bangsa yang lain

44 Karakteristik Islam

Page 53: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kurang mendapatkan perhatian. Karena itulah, Al-Qur’an menganggap bahwa apa yang selain syariat dan hukum

Allah adalah hawa nafsu belaka yang harus dihindari, termasuk juga orang yang bersangkutan yang membuat atau meletakkan dan menetapkannya.

Allah swt. berfirman kepada Rasul-Nya saw.: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (per- aturan) dari

urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu danjangan- lah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.s. Al-Jaatsiyah: 18).

"... dan hendaklah kamumemutuskanperkaradi antara mereka me- numt apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Q.s. Al-Maidah: 49). 3. Terhormat dan Mudah Diyakini

Termasuk buah Rabbaniyah sumber hukum ini juga adalah penyu- cian dan penghormatan terhadap peraturan atau manhaj Rabbani yang telah ditetapkan Allah, yang tidak mungkin ada peraturan atau manhaj buatan manusia yang dapat mengunggulinya.

Penghormatan dan penyucian ini bermula dari keyakinan seorang Mukmin terhadap kesempumaan Allah, dan keterhindaran-Nya dari berbagai kekurangan dalam penciptaan dan perkara-Nya. Bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan betul-betui it- qon (rapi dan teratur) terhadap apa yang diciptakan-Nya, sebagaimana firman-Nya:

“(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu." (Q.s. An-Naml: 88).

Semua syariat dan kitab yang diturunkan-Nya, dijelaskan secara mendetail: suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu ...” (Q.s. Huud: 1).

Penghormatan dan penyucian itu diikuti dengan sikap ridha terhadap ajaran yang terkandung di dalam aturan dan hukum-hukum-Nya, menerima secara benar dengan penuh lapang dada, kepuasan akal pikiran dan ketentraman hati nurani. Yang demikian adalah termasuk konsekuensi logis dari iman kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkarayang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Q.s. An-Nisa’: 65).

Sebagai keharusan dari penghormatan, penyucian dan penerimaan secara baik ini, adalah cepat dalam melaksanakan, mendengar dan me- naati baik dalam keadaan malas dan giat, tanpa keterlambatan dan ke- jenuhan atau berusaha menghindar dari tuntutan-tuntutan hukum. Juga senantiasa menepati perintah dan larangan-Nya.

Di sini kami ingin mengemukakan dua contoh untuk menjelaskan bagaimana sikap kaum Muslimin dan Muslimah dalam menepati keputusan Nabi saw. dalam

Rabbaniyah 45

Page 54: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

syariat Allah yang menyangkut perintah maupun larangan-Nya. Pertama: peristiwa terhadap kaum Mukminin Madinah setelah peng- haraman

khamr. Ketika itu orang-orang Arat) sangat suka minum minuman khamr bahkan

mampu menenggaknya bergelas-gelas. Allah Maha Tahu kebia- saan mereka (yang buruk) ini. Lalu Allah mengharamkannya secara ber- tahap, hingga akhimya turunlah ayat yang mengharamkannya secara te- gas dan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan “perbuatan ke- ji termasuk perbuatan setan”, sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. Al- Maidah: 90. Karenanya, Rasulullah saw. mengharamkan minum mi-numan keras, menjual dan memberikannya sebagai bingkisan kepada orang-orang non-Muslim. Ketika itulah, orang-orang Muslim membuang khamr berbotol-botol seraya menumpahkannya di jalan-jalan Madinah sambil menyatakan keterlepasan diri dari khamr tersebut.

Yang menakjubkan dari fenomena tuhduk kepada syariat Allah itu, ialah bahwa ada sebagian dari mereka tatkala sampai ayat pelarangan itu masih memegang gelas berisikan khamr, yang telah diminum sedikit dan sebagian masih tersisa dalam botol, mereka lemparkan itu semuanya dan berkata—sebagai jawaban (reaksi) dari firman Allah, maka berhenti- lah kamu,” (Q.s. Al-Maidah: 91), yaitu dengan jawaban mereka, "Ya kami telah berhenti wahai Rabb!"

Kalau kita hendak membandingkan antara kemenangan nyata dalam memerangi khamr, dan menghapuskannya dajam lingkungan masyarakat Islam, dengan upaya pemerintah Amerika Serikat ketika pada suatu saat memerangi minuman keras dengan berbagai cara. (Lihat buku Iman dan Kehidupan pada bab "Iman dan Akhlak"). Maka, kita sebenamya me- nyadari bahwa manusia itu tidak akan memperbaiki sesamanya kecuali dengan syariat langit yang berorientasi pertimbangan dhamir (suara hati nurani) dan iman sebelum orientasi pada kekuatan dan kekuasaan.

Kedua: sikap yang diperlihatkan oleh generasi awal kaum Muslim- ah, ketika Allah mengharamkan atas diri mereka ber-tabarruj (berhias diri) menyerupai orang-orang Jahiliyah dan ketika Allah mewajibkan kepada mereka —\ pada waktu itu — agar bersikap malu dan menutup aurat. Orang-orang Jahiliyah sudah terbiasa berjalan-jalan dengan dada terbu- ka, tidak ada sesuatu yang menutupinya. Banyak di antara mereka yang menampakkan leher, rambut dan telinga. Lalu, Allah mengharamkan wa- nita-wanita Mukminat agar tidak meniru tabarrujnya orang-orang Jahiliyah tersebut. Diperintahkan kepada kaum Mukminat untuk berani tampil beda, dari syiar-syiar yang mereka pakai. Dan harus menutupi bagian- bagian tubuh itu dengan penuh sopan, baik dalam penampilan atau dalam beradaptasi dengan lingkungan, yaitu dengan memanjangkan (mengulur) kerudung mereka, atau hams benar-benar menutupi kepala mereka, dada, leher maupun telinga.

Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah r.a. menjelaskan kepada kita ba- gaimana kaum wanita Muhajirin dan Anshor menerima syariat Ilahi yang menyangkut perubahan penting dalam pola dan gaya hidup wanita, yaitu yang menyangkut bi ’ah (lingkungan), pemakaian perhiasan dan berbu- sana.

46 Karakteristik Islam

Page 55: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Aisyah r.a. berkata, “Allah Maha Mengasihi kaum wanita Muhajirin pertama, ketika Dia telah menurunkan firman-Nya. ‘Dan hendaklah mereka menu tupkan kain kerudung ke dadanya, ..’(Q.s. An-Nuur: 31). Mereka pun memakai kerudung kendati terbuat dari tenunan bulu-bulu binatang.” (H.r. Bukhari).

Suatu hari datanglah beberapa orang wanita kepada Sayyidah Ai- syah r.a. dan membicarakan keistimewaan wanita-wanita Quraisy (baca: wanita Muhajirin). Lalu Aisyah berkata, “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy itu mempunyai kelebihan tertentu. Demi Allah, saya belum per- nah melihat kelebihan itu ada pada wanita-wanita Anshor. Begitu pula dalam hal pembenaran dan keimanannya kepada apa yang diturunkan (Allah).” Lalu Aisyah r.a. membacakan ayat, “Dan hendakltih mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ...”

Mendengar itu, maka suami-suami mereka membacakannya kepada istri-istri, putri-putri, saudara-saudara wanita dan kerabat-kerabat mereka. Setelah itu tanpa terkecuali semua wanita Mukminat menutupkan kain (kerudung) sebagaimana diperintalikan dalam ayat tadi, sebagai buk- ti keyakinan dan keimanan kepada apa yang telah diturunkan Allah itu. Sehingga tatkala mereka berjalan di belakang Rasulullah saw. seolah-olah di atas kepala mereka bertengger burung gagak. (Disebutkan oleh Ibnu Katsier dalam tafsimya).

Itulah sikap yang diambil oleh wanita-wanita Mukminat terhadap apa yang disyariatkan oleh Allah swt. Sikap cepat dan bergegas dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya tanpa keragu- an sedikit pun, tanpa berhenti atau menunggu. Sungguh mereka tidak pernah menunda-nunda sehari atau dua hari, atau sampai mereka mem- beli atau menjahit busana baru yang serasi dengan penutup kepala mereka dan membuat kain yang ukurannya dapat menutupi sampai dada me-reka. Tetapi busana apa pun yang ada tanpa peduli pada wamanya lang- sung dikenakan dan dianggap serasi, sesuai dan pantas. Mereka terpaksa menggunting (merobek-robek) pakaiannya guna menutupi kepala mereka tanpa mempedulikan sekalipun mereka tampak seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak, sebagaimana telah dijelaskan Ummul Muk- minin, Aisyah r.a.4

4. Membebaskan Diri dari Ubudiyah terhadap Sesama Manusia Buah Rabbaniyah mashdar (sumber hukum) — yang barangkali di atas

semuanya itu — adalah membebaskan manusia dari beribadat;kepada sesamanya. Bahwa bentuk ubudiyah itu sangat bermacam-macam dan beragam. Dan sangat

berbahaya, dan berpengaruh atau berdampak (negatif ten- tunya) adalah sikap tunduk manusia kepada sesamanya. Menghalalkan dan mengharamkan apa yang dia suka. Memerintah apa yang dikehendaki dan melarang apa yang dikehendaki. Atau dengan kata lain, bahwa dia telah meletakkan atau menetapkan manhaj atau peraturan (tatanan) hidup yang tidak boleh tidak harus diterima secara mutlak (tunduk) begitu saja.

4 Lihat Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Halal wal Haram, him. 240-1.

Rabbaniyah 47

Page 56: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Padahal yang berhak untuk menentukan dan menetapkan peraturan, dan manhaj yang harus ditaati oleh manusia ialah hanya Allah sema- ta, sebagai Rabb, Raja dan Ilah manusia. Dia saja yang berhak memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan bagi mereka dalam ka- pasitas-Nya sebagai Rabb, Pencipta dan Pemberi nikmat dengan segala macam corak maupun jenisnya.

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (da- tangnya) ...” (Q.s. An-Nahl: 53).

Karenanya, jika ada sementara orang yang mengklaim — atau di- akui — memiliki hak di atas, berarti mereka telah menentang hak Rubu- biyah, menyaingi kekuasaan Uluhiyah, dan membalikkan ibadat kepada Allah, kepada sesama mereka sendiri. Padahal mereka adalah makhluk yang mengikuti setiap peraturan dari Allah.

Tidak aneh bila Al-Qur’an mengingkari sikap Ahlulkitab yang men- jadikan para pemuka agama mereka sebagai Rabb dan Ilah, rela menyembah para rahib yang dipandang memiliki hak untuk menentukan syariat, mengeluarkan perintah dan larangan, menghalalkan dan mengharamkan tanpa memberikan hak kepada seorang pun untuk menentang (memban- tah), mengkritik atau mengevaluasi. Karenanya, Al-Qur’an mendakwa Ahlulkitab itu telah syirik dan beribadat kepada selain Allah. Dalam kon- teks ini, Allah swt. berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya (pemuka agama), dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka mem- pertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.s. At-Taubah: 31).

Ketika dakwah Islam merupakan dakwah pembebasan bagi seluruh ummat manusia dari penyembahan kepada selain Allah, maka kita mendapatkan Al-Qur’anul Karim juga mengarahkan panggilan (seruan)nya kepada para Ahlulkitab — karena mereka juga tergolong manusia — secara kaffah agar membebaskan diri mereka dari ubudiyah kepada se- lain Allah, dan hanya tunduk kepada Allah semata. Panggilan atau seru- an ini kita temukan dalam firman Allah:

“Katakanlah, ‘Hai Ahlulkitab, marilah kepada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb-rabb selain daripada Allah.’Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah o- rang-orang Muslim yang menyerahkan diri (kepada Allah)'. ” (Q.s. Ali Imran: 64).

Dengan ayat itu, Nabi Muhammad saw. selalu mengakhiri surat-su- rat beliau yang dikirimkan kepada raja-raja Nasrani dan para pembesar mereka.

II INSANIYAH

(KEMANUSIAAN)

48 Karakteristik Islam

Page 57: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Termasuk di antara karakteristik Islam setelah Rabbaniyah adalah Insaniyah: insaniyah (kemanusiaan/manusiawi).

Islam itu istimewa dengan kecenderungan kemanusiaannya yang jelas, tetap dan asholah (orisinil) dalam akidah, ibadat, syariat dan ori- entasi-orientasi (arahan-arahan)nya. Islam adalah agama manusia.

Antara Rabbaniyah dan Insaniyah Pada mulanya, barangkali banyak orang yang memimpikan bahwa akan ada

kontroversi antara pengukuhan (penetapan) ciri khas Rabbaniyah (ketuhanan) dan ciri khas insaniyah (kemanusiaan) dalam waktu yang bersamaan.

Yang tampak dan merupakan pemahaman aksiomatik dalam benak mereka bahwa penetapan salah satu ciri khas itu akan menafikan dan mencampakkan ciri khas yang lain. Sebagaimana dua hal yang bertentangan tidak mungkin dapat bertemu. Sehingga apabila ada Allah (Rabbaniyah), maka berarti manusia (insaniyah) tidak mendapat tempat.

Kami (penulis) telah menegaskan dalam karakteristik Rabbaniyah bahwa salah satu aspeknya adalah Rabbaniyah tujuan dan sasaran. Dalam artian bahwa jalinan hubungan baik dengan Allah yang sekaligus mencari ridha-Nya merupakan tujuan manusia dan sasaran Islam.

Sebagaimana juga kami maksudkan — salah satu aspeknya yang lain — adalah Rabbaniyah mashdar, dalam artian bahwa Islam merupakan manhaj Ilahi, pemilik, pencetus, perancang dan perekayasanya adalah Allah swt. semata, dan R,asul saw. hanyaberkapasitas sebagai muballigh. Ini berarti, bahwa dalam persoalan ini manusia tidak memiliki peran atau posisi. I

Nah, di manakah tempat bagi nlanusia kalau Allah merupakan tujuan, keridhaan-Nya adalah sebagai sasaran, dan Allah pula sebagai peletak manhaj untuk sampai kepada tujuan itu?

Maka hal itu kami tambahkan dengan kewajiban iman kepada takdir Allah — menurut pandangan mereka — berarti telah menafikan semua peranan manusia!

Sebenamya, penetapan takdir Allah itu akan membatalkan (mema- tahkan) kehendak manusia, dan penetapan syariat Allah itu akan mema- tahkan pikiran manusia. Apa yang tersis'a bagi manusia jika kemauan dan pikirannya telah lenyap? Bukankah manusia semata hanya merupakan kehendak dan pikiran?

Inilah sebagian yang terkadang membingungkan pemikiran manusia, yaitu mereka-mereka yang memahami takdir dan syariat Allah serta manusia yang mempunyai dan bercampur di dalamnya. Dalam memahami takdir Allah mereka bersandarkan pada pandangan "Jabariyah", dan dalam memahami syariat-Nya mereka bersandarkan pada pandangan "Dhahiriyah". Keduanya salah, sebagaimana akan kamijelaskan nan- ti. X

Insaniyah 49

Page 58: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Manusia Bukan Tandingan Allah Bahwa kesalahan awal yang sangat mendasar terletak pada pandangan

mereka terhadap Allah dan manusia. Keduanya seolah-olah di- pandang sebagai tandingan yang saling berlawanan. Mereka lupa, siapa Allah itu? Dan siapa pula manusia?

Sebenamya yang tidak usah diragukan lagi adalah bahwa Allah itu Pemilik, Rabb, dan Pemelihara alam semesta ini.

“Katakanlah, ‘Apakah aku akan men can Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu’.” (Q.s. Al-An’am: 164).

Manusia adalah termasuk makhluk temporal di antara sekian banyak makhluk Allah yang ada. Tidak dapat dibayangkan makhluk (manusia) ini akan menjadi tandingan bagi Sang Khalik, yang bersifat temporal akan menyamai yang azali, yang fana akan menjadi saingan bagi yang kekal abadi.

“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tia- da pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan- Nya’’(Q.s. Al-lkhlas: 1-4)

Manusia adalah makhluk Allah. Namun, dia mempunyai kedudukan khusus, dan berperan dalam wujud kehidupan ini. Yang memberikan pe- ran dan kedudukan ini adalah Penciptanya sendiri yaitu Allah swt.

Jadi, kita dituntut untuk melihat manusia dengan berpijak di atas da- sar itu, dan memakai kacamata yang sama pula.

Manusia adalah salah satu jenis makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi, di antara sekian makhluk, dialah yang termulia bagi Allah. Dia (manusia) adalah satu-satunya makhluk yang dinobatkan untuk menjadi khalifah (penguasa/pemimpin) di muka bumi. Keberadaannya dimuliakan dengan akal pikiran, dibimbing ke sebuah jalan, diberi al-bayan (penjeiasan-pen- jelasan kehidupan) dan diajarkan segala yang belum diketahuinya. Nikmat karunia Allah swt. kepadanya sangatlah besar.

Tidak Ada Pertentangan antara Rabbaniyah dan Insaniyah Jika kita sudah mengetahui hakikat al-haq (kebenaran) yang telah kami

(penulis) sebutkan itu, maka jelaslah sekarang bagi kita bahwa Islam dengan Rabbaniyah tujuan dan sasarannya temyata bersifat manu- siawi pula dalam tujuan dan sasarannya tersebut. Dari sini kita dapat me- ngatakan, “Sebenamya manusia itu mempunyai kedudukan, yakni ke- dudukan dalam (pencapaian) tujuan-tujuan Islam yang begitu tinggi dan sasaran-sasarannya yang demikian luhur. Dengan tetap bersandar pada tujuan Rabbaniyahnya itu, karena tidak ada pertentangan antara tujuan Rabbaniyah dan insaniyah, tetapi keduanya saling menyempumakan.

50 Karakteristik Islam

Page 59: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Baik, dalam pandangan Islam, tidak ada pertentangan antara Rabbaniyah dan Insaniyah. Maka takdir kemanusiaan manusia itu adalah termasuk bagian Rabbaniyah yang dijadikan pijakan oleh Islam.

Jadi, Allah-lah yang memuliakan manusia itu. Meniupkan ruh-Nya, dan mengangkatnya sebagai khalifah (penguasa/pemimpin) di atas bumi. Dia-Iah yang menundukkan semua apa yang ada di langit dan di bumi demi kepentingan manusia. Dia-lah yang menyempumakan nikmat-Nya atas manusia baik nikmat dhahir (lahir) maupun batin.

Apabila mashdar Islam itu bersifat Rabbani, maka manusialah yang akan memahami mashdar tadi. Dialah yang akan dapat ber-istimbath (mengambil hukum) dan berijtihad serta mengalihkannya kepada realitas operasional yang dapat dirasakan.

Apabila Rabbaniyah itu merupakan tujuan masyarakat Muslim sebagaimana menjadi tujuan setiap pribadi Muslim, maka substansi tujuan itu adalah kebahagiaan dan keberuntungan manusia dengan berbagai nikmat yang abadi di sisi Rabb alam semesta.

Apabila Rabbaniyah itu merupakan risalah (misi) setiap pribadi Muslim, maka pasti sasaran-sasaran Rabbaniyah ini adalah dalam rang- ka mewujud-nyatakan (merealisasikan) kebaikan dan ketinggian nilai bagi manusia, dan berusaha menjaga jarak antara dia dan penyimpangan serta kejatuhan nilai.

Dimensi-dimensi Rabbaniyah ^ng mengarahkan seorang Muslim yang berupa iman, tauhid, khauf oa roja’ dan lain sebagainya, pada ha- kikatnya merupakan dimensi-dimensi insaniyah (kemanusiaan). Karena termasuk bagian dari keberadaan (eksistensi) manusia itu sendiri sebagaimana telah difitrahkan Allah. Itu adalah rahasia di antara rahasia-ra- hasia firman Allah.

"... dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al- Hijr: 29).

Fikrah Islam adalah: manusia tidak mungkin dapat Rabbaniyah yang sesungguhnya tanpa menjadi insaniyah. Sebagaimana pula tidak akan mampu mencapai insaniyah yang sebenamya (hakiki) tanpa melalui Rabbaniyah tadi.

Sesungguhnya Rabbaniyah — dalam kapasitasnya sebagai tujuan dan sasaran — memerlukan keikhlasan niat dan amal, dan sasarannya hanya bagi Allah swt. semata. Menjadikan ridha dan pahala-Nya sebagai akhir maksud dan klimaks bagi setiap usaha yang berada di belakang setiap gerak, ucapan dan tindakan.

Namun maksud dan tujuan dari semua itu adalah memerdekakan, membahagiakan, menghormati, melindungi dan memuliakan manusia.

Semua itu merupakan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang se- nantiasa dijaga dan diusahakan oleh Islam, dan mengupayakannya dengan berbagai cara

Insaniyah 51

Page 60: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

untuk dapat segera mewujudkannya menjadi kenya- taan.

Sikap Positif Manusia di Hadapan Takdir Ilahi Pandangan orang yang benar-benar mempelajari Islam adalah bahwa

penetapan takdir Ilahi itu tidak akan menafikan sikap positif manusia di atas bumi dan perannya di dalam alam semesta ini.

Maka, sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan manusia. Dia-lah yang memberinya akal, kemauan dan kemampuan. Karenanya, dengan akal itu manusia dapat berpikir, dengan kemauan dapat membenarkan, dan dengan kemampuan dia dapat melaksanakan sesuatu. Semua ini adalah karunia dari Allah bagi manusia. Dengan qodratullah manusia ber- kemampuan, dan melalui iradatullah, ia punya kehendak. Inilah makna dari firman-Nya:

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dike- hendaki Allah.” (Q.s. Al-Insan: 30).

Jadi, manusia itu berkemauan karena Allah menghendakinya untuk berkemauan. Inilah realisasi dari makna Laa haulaa wa laa quwata ilia billah. Atau, bahwa manusia itu mempunyai daya dan kekuatan untuk mengambil manfaat dan menolak bahaya. Tetapi, daya maupun kekuat- annya itu bukan dari dan, dengan dirinya sendiri, namun dengan dan, dari Allah swt.

Berdasarkan itu, maka Allah memerintah dan melarang manusia. Ke- padanya Dia mengutus Rasul dan menurunkan Kitab Suci, menetapkan pahala dan siksa. Andaikata manusia itu tidak mempunyai iradat (kehen- dak) dan kemampuan, niscaya dia tidak akan memiliki arti apa pun untuk dipercaya sebagai pengemban tugas-tugas keagamaan. Tidak akan mendapatkan pahala maupun siksa yang sesuai dengan keadilan dan kebi- jaksanaan Ilahi. Dan tidak akan punya makna perihal pengangkatannya sebagai khalifah dan memakmurkan bumi. Padahal Allah berfirman: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmumya ...” (Q.s. Huud: 61).

Artinya, Allah menuntut agar Anda memakmurkan bumi. Sebenamya manusia itu adalah makhluk milik Allah. Namun dia makhluk istimewa dengan berbagai kehebatan, bakat, kekuatan ruhiyah, aqliyah (intelektual), dan material. Yang dengan ini semua Allah mem- persiapkannya untuk memikul tanggung jawab khilafah dan amanat tak- /;/(tugas-tugas keagamaan), sebuah amanat yang sangat berat dan agung, hingga Al-Qur’an n ;ngungkapkannya dengan sebuah gambaran menak- jubkan, yakni firmai. Allah:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas ke-agamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, makasemuanya eng- gan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhia- natinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan

52 Karakteristik Islam

Page 61: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

bodoh.” (Q.s. Al-Ahzab: 72). Sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang bertanggung jawab. Dia

harus bekerja keras hingga menghadap Rabbnya, lalu menda- pat balasan dengan kerjanya, jika baik, maka akan mendapatkan balasan yang baik, dan jika jelek, maka akan mendapatkan balasan yang jelek pula. Oleh sebab itu, Allah mengarahkan firman kepadanya: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menu- ju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. ” (Q.s. Al-Insyiqaq: 6).

Manusia tidak boleh terpedav ,ieh sesuatu, atau terkecoh oleh seorang pendusta dari jalan Rabbny,., dari apa saja yang berkaitan dengan dirinya dari kebenaran. Maka sangat disayangkan jika masih ada sementara orang (manusia) sampai terpedaya oleh kehidupan dunia atau oleh tipuan-tipuan yang lain. Allah berhak memanggil mereka dengan pang- gilan mencela.

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah. Yang telah mencipta- kan kamu lalu menyempumakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (Q.s. Al-Infithar: 6-8).

Antara Akal Manusia dan Wahyu Ilahi Jika Islam merupakan manhaj Ilahi yang dititahkan oleh Rabb manusia

untuk manusia, maka ini bukan berarti meniadakan peran, me- ngesampingkan dan memvonis manusia agar pasif apatis terhadap manhaj tadi. Tidak ada jalan baginya, kecuali menerima apa adanya, melak- sanakan dan pasrah tanpa punya hak untuk tanya: mengapa? atau bagaimana? Karena memang antara wahyu Allah dan akal manusia tidak sebanding. Apabila wahyu menitahkan kalimatnya, tidak ada jalan lain bagi akal, kecuali tunduk dan pasrah.

Kenyataannya hal ini tidak benar. Sesungguhnya takdir Allah itu sama sekali tidak meniadakan peran dan kreativitas manusia di alam se- mesta. Meski hal itu dengan tangan Allah dan meski iradat Allah dan ira- dat manusia dalam kekuasaan Allah, dan kemampuan manusia tidak sebanding.

Begitu juga wahyu Ilahi itu tidak akan meniadakan peran positif akal dalam memahami wahyu, melakukan istimbalh (mengambil hukum), qiyas (analogi) dan mengisi hal-hal yang didiamkan dalam syariat-Nya.

Sebenamya adanya nash Ilahi yang suci ini bukan merupakan suatu hambatan bagi akal untuk menciptakan dan berkreasi. Maka wahyu telah menyediakan berbagai bidang garapan untuk akal dalam upaya menun- jukkan jati diri dan- mengaktualisasikan kemampuannya.

Wahyu Ilahi telah memberikan berbagai peluang pada akal dalam se- jumlah lahan garapan:

Insaniyah 53

Page 62: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(a) Memberikan peluang pada akal dalam bidang akidah. yaitu supaya akal itu terbimbing pada dua hakikat kebenaran besar dalam wujud ini.

Hakikat pertama, wujud dan keesaan Allah. Wujud Allah — sebagaimana diakui oleh fitrah yang suci, juga perlu analisa yang benar dan akal yang sehat. Maka tidak heran bila Al-Qur’an itu mengemukakan da- lil (bukti kongkret) wujud Allah melalui alam dan diri manusia.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih ber- gantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. ” (Q.s. Ali Imran: 190).

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenamya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." (Q.s. Ath-Thur: 35-6).

Kemudian disertai dalil-dalil (bukti-bukti) ‘aqli sebagaimana dise- butkan Al-Qur’an melalui firman-Nya:

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, ten- tulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah, yang mempunyai ‘Arsy, daripada apa yang mereka sifatkan. ” (Q.s. Al-Anbi- ya’: 22).

“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, ‘Unjukkanlah hujjahmu’!” (Q.s. AI-Anbiya’: 24).

Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan

(yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing- masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain." (Q.s. Al-Mu’minun: 91).

Hakikat kedua, adalah penetapan wahyu, nubuwwah (kenabian) dan risalah (misi). Akallah yang akan menetapkan kemungkinan dan terja- dinya hal itu. Akallah yang menetapkan bahwa orang ini memang dipilih menjadi Rasul dari sisi Allah. Akallah penentu pertama dan terakhir dalam persoalan ini. Dan di sini tidak perlu mencari dalil (bukti) kongkret dari nash wahyu dan dalil naqli, sebab bagaimana akan mencari dalil jika belum ditetapkan oleh akal? Oleh karena itu, maka para ulama me- ngatakan:

“Sesungguhnya akal adalah asas dari naqli (dalil wahyu). Karenanya, akal — setelah puas akan bukti eksistensi dan kesempumaan Allah — mengetahui bahwa di antara kesempumaan dari kebijaksanaan Sang Maha Bijaksana dan rahmat dari Sang Maha Rahim adalah bahwa Dia tidak meninggalkan hamba-Nya begitu saja, tidak membiarkan mereka tenggelam dalam kebodohan dan kesesatan. Dia Maha Kuasa untuk memberi hidayat dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan perantara para muballigh-Nya (baca: para

54 Karakteristik Islam

Page 63: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Rasul)." Setelah akal mengetahui itu, ia tidak akan mengakui begitu saja kepada

orang yang mengaku sebagai Rasul Allah. Tetapi, akal akan me- nuntut orang tadi untuk membuktikan kebenaran pengakuannya tadi. Karena sesungguhnya ia tampil bukan atas keinginan pribadi, tetapi karena kehendak Allah yang tela' ^"utusnya. Maka, akal akan menuntutnya dengan mukjizat yang tidak satu .anusia mampu mengadakannya, kecuali Allah swt.

Akallah yang mampu untuk membedakan antara mukjizat yang se-sungguhnya, yang tidak mungkin kecuali dalam diri para Rasul Allah yang hak, dan fenomena-fenomena menakjubkan dan menipu yang muncul dari para tukang sihir pendusta.

Akallah yang akan mengetahui bukti kebenaran mukjizat yang di- tampakkan oleh Allah swt. Karena mukjizat adalah sebuah justifikasi akan kebenaran dakwah-Nya. Maka mukjizat seolah mengisyaratkan perkataan Allah: “Kebenaran hamba-Ku akan apa yang disampaikan dari- Ku. ”

Allah swt. tidak akan pemah membenarkan orang yang berdusta, karena membenarkan kedustaan seseorang itu adalah suatu bentuk ke- bohongan atau kedustaan. Dan mustahil Allah akan berbuat dusta. Semua ini merupakan premis-premis aqliyah, yang seandainya premis-pre- mis ini tidak diikuti wahyu, maka tidak akan tsabat. Dengan demikian, dien tidak akan tegak.

Akal akan melihat sirah (biografi) setiap orang yang mengemban risalah. Akal akan melihat sifat-sifat, akhlak (karakter), perkataan, perbuatan, dalam dan luamya untuk mengetahui: Apakah dia benar-benar pilihan Allah atau bukan? Kalau bukan, maka akal akan menolak dan me- nentangnya. Karenanya, untuk menetapkan bukti kebenaran risalah (ke- rasulan) Muhammad saw, Al-Qur’an mengambil keputusan dengan akal pikiran, seperti yang secara gamblang difirmankan oleh Allah swt.:

“Katakanlah) 'Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri,’ kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Q.s. Saba’: 46).

“Katakanlah, ‘Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak mem- bacakannya (Al-Qur’an) kepadamu dan Allah tidak (pula) memberi- tahukannya kepadamu.’ Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu be- berapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (Q.s. Yunus: 16). (b) Dalam bidang syariat, wahyu memberikan peluang pada akal untuk benar-benar meneliti dan meniahami nash-nash Al-Qur’an. Kemudian menentukan masalah-masalah furu’iyah dari ushul (akar/keadaan awal),

Insaniyah 55

Page 64: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

melakukan qiyas terhadap fiiru’iyah, menetapkan hukum-hukum, dan menyiasati berbagai kasus yang terjadi, meninjau kaidah-kaidah untuk mendatangkan kemaslahatan, mencegah kerusakan, menyelesaikan ke- sulitan dan mewujudkan kemudahan, menentukan kadar darurat sesuai kadamya, mempertimbangkan tradisi sebagai hukum, dan memperhati- kan situasi maupun kondisi di setiap waktu dan tempat.

Maka tidaklah mengherankan kalau timbul berbagai macam paham, mazhab-mazhab (aliran) dan pendapat yang pada akhimya nanti menja- dikan akal yang Islami di bawah naungan wahyu Ilahi sebagai aset (harta kekayaan) fiqih yang memiliki posisi strategis dan berkedudukan ting- gi dalam khazanah fiqih dunia. (c) Dalam bidang akhlak (moral), wahyu memberikan peluang bagi akal untuk menentukan hukum dan fatwanya dalam berbagai aktivitas. Dimana dalam berbagai aktivitas tadi masih tercampur aduk antara yang hak dan batil, dan masih syubhat antara yang halal dan haram. Tetapi dengan catatan tidak melupakan aspek wahyu sebagai sumber penerapan etika dan standar hukum akhlak.

Syariat itu sendiri setelah menjelaskan yang nyata-nyata halal dan nyata haram, temyata meninggalkan berbagai hal yang masih belum jelas sifatnya dan masih syubhat penentuan hukumnya. Maka saat itu, setiap orang diperkenankan untuk memohon fatwa kepada hati nuraninya, mencari hukum yang tepat yang dapat membawa ketenangan jiwanya dengan cara mengambil tindakan preventif dan hati-hati (dalam mengambil ke- putusan). Demikianlah sang Rasul yang bijak memutuskan, ketika beliau bersabda:

56 Karakteristik Islam

Page 65: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Yang halal itu sudah jelas, dan yang ha ram itu juga jelas, antara keduanya masih ada hal-hal yang syubhat (kurang jelas hukumnya) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa menjauhkan diri dari syubhat tadi berarti telah menjaga kehormatan diri dan agamanya.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih).

Dan beliau bersabda: ,

“Mintalah fatwa pada hati dan diri kalian sendiri. Kebaikan itu adalah apa yang menenangkan jiwa dan menentramkan had. Dan ke- rnvesakkan jiwa dan menimbulkan ge-

jolak atau keragu-raguan di daium dada. Meskipun saat itu orang- orang telah memberi fatwa kepada Anda.” (H.r. Ahmad dan Ad-Darimi) (d) Kemudian wahyu memberikan peluang pada akal untuk menjelajahi cakrawala dan berbagai penjuru alam ini. naik ke planet-planet dan turun ke bumi sembari memikirkan dan merenungi diri sendiri.

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi’.” (Q.s. Yunus: 101)

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi o- rang-orang yang yakrn, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu dada memperhatikan?” (Q.s. Adz-Dzariyat: 20-1).

Wahyu membiarkan akal untuk menyingkap fenomena-fenomena alam semampunya, dan menundukkan segala sesuatu semampunya. Sebab semua yang ada di dalam alam ini memang telah ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan manusia.

jelekan itu adalah ap

Insaniyah 57

Page 66: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (ke- kuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.s. Al-Jaatsiyah: 13).

“... dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluan) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. ” (Q.s. Ibrahim: 32-4). (e) Wahyu Ilahi membiarkan akal pikiran untuk terus berkreasi dan ber- karya dalam fasilitas-fasilitas hidup dan urusan-urusan dunia sekehen- daknya, sejauh masih tetap mematuhi batas-batas kebenaran dan ke- adilan. “Kalian lebih tahu tentang urusan-urusan dunia kalian.”

Dan, Allah swt. sendiri memfirmankan: “... danjanganlah kamu me- lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi ...” (Q.s. AI-Qashash: 77). (f) Wahyu Ilahi memberikan peluang pada akal pikiran untuk meman- faatkan pengalaman-pengalaman orang lain, warisan orang-orang ter- dahulu dan pengetahuan yang dimiliki orang-orang yang datang kemudian.

Allah swt. berfirman: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang- orang

yang mempunyai pandangan." (Q.s. Al-Hasyr: 2). "... maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka

mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendaigar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q.s. Al-Hajj: 46).

“Bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau pe- ninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Q.s. Al-Ahqaaf: 4).

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.s. An-Nahl: 43). Dan ayat yang sama dapat Anda lihat dalam Q.s. Al-Anbiya’: 7.

58 Karakteristik Islam

Page 67: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Dalam sebuah hadis Rasul saw. disebutkan:

i “Hikmah adalah barang berharga (yang hilang) dari seorang Mukmin,

maka di mana pun ditemukan, maka ia lebih berhak me- milikinya.” (H.r. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari sana jelaslah bahwa wahyu Ilahi itu tidak melumpuhkan dan membekukan pikiran manusia. Tetapi justru menolong dan membimbing dalam bidang-bidang tertentu. Disamping itu juga memberikan kebebasan manusia dan kemerdekaan penuh dalam bidang-bidang yang lainnya yang sangat banyak.

Al-Qur’an Kitab bagi Manusia Jika kita mencoba melihat pada sumber hukum pertama (dan utama) dalam

Islam yaitu Al-Qur’an, merenungkan ayat-ayatnya, memikirkan tema-tema dan fokus perhatiannya, maka kita dapat membuat kategori bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab untuk manusia. Secara keseluruhan, Al-Qur’an adakalanya berbicara kepada manusia atau berbicara tentang manusia.

Kata “insaan” disebut berulang-ulang di dalam Al-Qur’an sebanyak 63 kali. Selain itujugadigunakannya idiom lain seperti “bani Adam" yang disebut 6 kali dan “an-Naas ” sebanyak 240 kali, baik dalam surat Mak- kiyah ataupun Madaniyah.

Barangkali bukti yang paling jelas untuk itu (dalam membuktikan ke- istimewaan manusia), bahwa ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah 5 (lima) ayat Surat Al-’Alaq dimana di dalamnya termuat kata “insaan ” sebanyak dua kali. Dan kan- dungan isinya adalah perhatian terhadap manusia. Ayat-ayat yang di- maksud adalah:

“Bacalah dengan (menyebut) namaRabbmuyangmenciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah! Bacalah, dan Rabb- mulah yang paling pemurah, yang mengajar dengan kalam (pena), Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya!” (Q.s. Al- ’Alaq: 1-5).

Maksud dari ayat-ayat itu yang sekaligus merupakan wahyu pertama yang diturunkan:

<3l£tf^Jl SijJp-Z>L Vjs\ “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan. ” (Q.s.

Al-’AIaq) Ayat di atas cukup singkat (pendek), tidak sampai dua baris. Ayat- ayat itu

adalah wahyu pertama yang merupakan babakan baru bagi se- jarah kehidupan manusia. Mengungkapkan dengan ungkapan yang sangat gamblang tentang pandangan Islam terhadap manusia dan hubung- annya dengan Allah, sekaligus

59 Karakteristik Islam

Page 68: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hubungan Allah dengan manusia. Sasaran dari ayat itu adalah Nabi Muhammad saw. dan setiap orang yang mampu memahami perintah setelah beliau.

Dalam ayat di atas, manusia diperintahkanuntuk membaca. Mem- baca di sini sebagai kiasan dari segala jenis amal yang bermanfaat yang dilakukan manusia. Allah menyebutkan "membaca" secara khusus, karena membaca itu sendiri merupakan langkah awal bagi manusia dan kun- ci perkembangan maupun kemajuannya. Dan juga karena amal dalam Islam harus senantiasa berpijak pada ilmu, sedangkan kunci dari ilmu itu adalah "membaca".

Manusia diperintahkan untuk membaca dalam artian bahwa dengan membaca menjadikan manusia mampu untuk (beraksi), dan meninggalkan sesuatu. Hal ini mengindikasikan bahwa membaca merupakan kon- sistensi tanggung jawabnya. Maka alat yang merupakan instrumen untuk sebuah aksi itu tidak dapat memerintah dan melarang.

Di sini manusia tidak sekadar diperintah untuk membaca saja, tetapi juga membaca yang terikat dengan Bismi Rabbika (dengan/atas nama Rabbnya) sebagai Pencipta. Di sini, Al-Qur’an sangat memperhatikan ungkapan tentang Dzat Allah dengan kata-kata "Rabb" yang diarahkan kepada kata ganti orang kedua (yang diajak bicara) yakni manusia. Ini karena diilhami makna "Rabb" yang berarti tarbiyah, ri 'ayah (pemeli- haraan) dan tarqiyah (peningkatan) pada jenjang kesempumaan. Sebagaimana yang diajak bicara, mengandung maksud kedekatan, pengkhu- susan dan pemuliaan.

Pada ayat-ayat tadi, kata Rabb disebutkan sebanyak dua kali. Pertama, dengan sifat penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan, yang kedua, dengan sifat pemurah (Akrom) — “Dan Rabbmulah yang paling pemurah. ” Dengan demikian hubungan manusia dengan Allah bukan sekadar dalam artian hubungan dengan-Nya dalam kapasitas sebagai Rabb. Dan, bukan pula sekadar dengan Rabb yang pemurah, tetapi lebih dari itu adalah dengan Rabb yang amat pemurah. Karena Dia telah memberikan nikmat karunia kepada manusia dengan tanpa perhitungan, mengharapkan pam- rih, balasan maupun ganti.

Bukti kongkret dari Kemahapemurahan Allah kepada manusia, Al- Qur’an menyebutkan, “Yang mengajar dengan kalam/Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. ” (Q.s. Al-’Alaq: 5).

Jadi, Allah bagi manusia adalah sebagai "pendidik (guru)", dan manusia sendiri sebagai "murid (pelajar)" yang siap belajar apa yang belum diketahuinya. Inilah kelebihan manusia, yaitu kesiapannya untuk ibroh (belajar) dengan cara iqra ’ (membaca) dan menulis dengan kalam (pena).

Itulah nash (teks) pertama sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Merupakan nash unik yang mengagumkan, lantaran sejak awal sangat peduli untuk menegaskan masalah-masalah yang sangat

60 Karakteristik Islam

Page 69: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

menentukan, di antaranya: 1. Manusia adalah sebagai makhluk mukallaf (yang memikul beban

keagamaan). 2. Kepedulian terhadap kedudukan manusia dimana disebutkan ber- ulang-

ulang. 3. Pertama kali yang diperintahkan kepada manusia adalah membaca. 4. Mengagungkan membaca, dimana diturunkannya perintah untuk itu

sebanyak dua kali. 5. Alat pertama yang disebutkan dalam wahyu itu adalah qolam (pena). 6. Sifat Allah yang pertama disebutkan-Nya dalam ayat itu adalah: Rabb,

Khalik (Pencipta), Akrom (Paling Pemurah) dan AI-Mu 'allim (Pengajar). 7. Sifat pertama manusia yang dijelaskan Allah adalah kemampuannya untuk

belajar.

Muhammad adalah Rasul dari Manusia * Jika kita melihat sosok pribadi Muhammad dimana Allah memun- culkan

Islam dalam jiwanya, menjadikannya sebagai teladan hidup bagi ajaran-ajaran-Nya dan akhlaknya adalah Al-Qur'an. Maka, kita dapat menyifatinya bahwa beliau adalah "Rasul (utusan) dari manusia". Si rah (biografi)nya bukanlah sirah Tuhan, bukan sirah sebagian Tuhan, juga bukan malaikat yang terdiri dari daging dan darah. Akan tetapi, sirahnya adalah sirah Nabi dari manusia.

Dalam banyak kesempatan Al-Qur’an selalu memperkuat unsur- unsur kemanusiaan Rasulullah Muhammad saw, sebagai misal firman Allah berikut ini, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa’.” (Q.s. Al-Kahfi: 110).

Sisi kemanusiaan Rasul saw. itu terlihat ketika beliau menjawab tuntutan-tuntutan tidak rasional (nyleneh) kaum musyrikin yang memin- ta beliau untuk mendatangkan ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat kealam- an) yang masuk akal (logis) dan yang tidak masuk akal. Misalnya, mereka minta agar dipancarkan mata air dari bumi, diciptakan kebun anggur dan kurma secara tiba-tiba, dijatuhkan gumpalan-gumpalan dari langit, atau didatangkan Allah dan malaikat secara beriringan dan seterusnya. Itu adalah serangkaian tuntutan yang mengada-ada, tidak logis dan sangat aneh, maka Al-Qur’an menyuruh beliau untuk menjawab mereka itu dengan kalimat singkat, tapi cukup jelas:

“Maha Suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang 'menjadi Rasul?" (Q.s. Al-Isra’: 93).

Ketika sebagian mereka heran mengapa sang Rasul berasal dari ka- langan manusia biasa seperti halnya mereka, berjalan di atas bumi, kemudian mereka menuntut keharusan agar Rasul itu (beliau) berasal dari kalangan malaikat yang

Insaniyah 61

Page 70: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

turun dari langit, maka Al-Qur’an menjawab: “Katakanlah, 'Kalau sekiranya ada malaikat-malaikat yang berja- lan-

jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi Rasul’. ” (Q.s. Al-Isra’: 95).

Karenanya, maka kita melihat bahwa Rasul saw. makan, minum, ber- keluarga, beranak pinak, pandai, gembira, susah atau sedih, senang, ben- ci, benar, salah, ingat, lupa, dan membiasakan sesuatu yang biasa dilaku- kan orang, kecuali apabila di sana ada dosa atau cela yang tidak pantas disandang sang pengemban risalah. Dengan ini maka beliau pantas menjadi qudwah (teladan) bagi semua manusia.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...” (Q.s. Al-Ahzab: 21).

Sisi Kemanusiaan Dakwah Para Rasul Al-Qur’anul Karim memfokuskan pandangan kita bahwa para Nabi utusan

Allah itu adalah juru dakwah yang menyeru pada tauhid. Seru- an pertama mereka kepada kaumnya adalah:

62 Karakteristik Islam

Page 71: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali -kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya.” (Q.s. Al-Mu’minuun: 32).

Dakwah mereka'bukan mengesampingkan sisi kemanusiaan, tetapi berusaha untuk memperbaikinya dan meluruskan kerusakan serta pe- nyelewengan dalam kehidupan manusia.

Inilah dia Hud a.s. — sebagaimana beliau telah nfiengingkari syirik kepada Allah yang menggejala di antara kaumnya, bahkan juga meng- ingkari sifat kesia-siaan, penyimpangan, kekejaman dan status quo.

“Apakah kamumendirikanpada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang kejam dan bengis.” (Q.s. Asy-Syu’araa’: 128-30).

Nabi Shaleh a.s. menasihati kaumnya agar hati-hati sehingga tidak sampai seperti para thaghut perusak:

"... maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; danja- nganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (Q.s. Asy-Syu’araa’: 150-2).

Nabi Luth a.s. berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia, dan kamu

tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Rabbmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas." (Q.s. Asy- Syu’araa’: 165-6).

Nabi Syu’aib a.s. berkata kepada kaumnya: “Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudaramereka Syu’aib. Ia

berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Ilah bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbang- an, sesungguhnya akumelihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang mem- binasakan (Kiamat).’ Dan Syu’aib berkata, 'Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat ke- jahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika k,amu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorangpenjaga atas dirimu’. ” (Q.s. Huud: 84-6).

Di sini kita melihat bahwa Nabi Syu’aib a.s. telah memulai dak- wahnya dengan menyeru kaumnya pada tauhid yang merupakan pondasi dari konstruksi (bangunan) risalah-risalah Ilahiyah secara keseluruhan. Kemudian direntangkanlah jangkauan dan wawasan dakwahnya pada masalah keadilan sosial dalam pola pergaulan mereka di bidang ekonomi karena tampaknya mulai menggejala aksi tipu-menipu dan kerusakan, di- sebabkan kebodohan kaumnya. Karenanya, ada di antara mereka yang melancarkan ejekan-ejekan kepada beliau.

Insaniyah 63

Page 72: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Mereka berkala, ‘Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh hapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal’.” (Q.s. Huud: 87).

Begitulah kita mendapatkan dakwah-dakwah para Rasul yang tidak pemah lepas dari persoalan-persoalan manusia, tidak pemah mengabaikan situasi dan kondisi (keadaan) masyarakat manusia yang menuntut terapi dan perbaikan. Namun bagaimanagerangan antisipasi (sikap) dakwah Islam terhadap sisi kemanusiaan itu?

Sisi Kemanusiaan dalam Risalah Islam Bagi semua orang yang mempelajari Islam melalui Kitabullah Al- Qur’an

dan Sunnah Rasul-Nya, akan tampak jelas dan gamblang bahwa Islam itu telah mengarahkan kepeduliannya yang sangat pada sisi kemanusiaan. Disamping itu, memberikan pula tempat yang luas dari rangkai- an ajaran, bimbingan dan syariatnya.

Kalau Anda mau mengkaji dan menelaah fiqih Islam, akan Anda dapatkan bahwa “Bab Ibadat” itu hanya sekitar seperempat atau seper- tiga. Selebihnya berkaitan dengan permasalahan manusia, baik itu yang menyangkut keadaan syakhshiyah (kepribadian), muamalat (etika per- gaulan),jinayah (hukum pidana), sanksi-sanksi, dan Iain-lainnya.

Juga jika Anda merenungkan rangkaian ibadat-ibadat besar, Anda akan menemukan salah satunya memiliki hakikat kemanusiaan, yakni ibadat zakat. Zakat itu diambil dari orang kaya untuk disedekahkan kepada golongan fakir miskin. Bagi pihak pertama (si kaya) zakat itu memiliki dimensi lazkiyah (pembersihan dan penyucian), sedang bagi pihak kedua berdimensi untuk memenuhi kebutuhan dan membebaskan diri dari kefakiran.

64 Karakteristik Islam

Page 73: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama
Page 74: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Begitupun dengan ibadat-ibadat yang lain tidak pemah lepas dari aspek kemanusiaan yang dapat dirasakan di dalamnya. Maka salat mi- salnya, sebagai penolong manusia dalam memerangi (memperjuangkan) kehidupan di alam fana ini.

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu ...” (Q.s. AI-Baqarah: 153).

Ibadat puasa sebagai sarana untuk mendidik iradat manusia supaya sabar dalam menghadapi berbagai musibah, dan mendidik perasaannya agar peka terhadap penderitaan-penderitaan sesamanya. Sehingga dia selanjutnya merasa terpanggil untuk selalu berusaha membantunya. Karenanya, Nabi Muhammad saw. menyebut bulan suci Ramadhan itu sebagai bulan kesabaran, bantu-membantu atau tolong-menolong. (Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dari Salman).

Ibadat haji merupakan muktamar "Rabbani-Insani". Di situ Allah memanggil hamba-hamba-Nya yang Mukmin.

“.. supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentu- kan ...” (Q.s. Al-Hajj: 28).

Maka, mempersaksikan berbagai manfaat dalam konteks ayat itu mencerminkan sisi (aspek) kemanusiaan dalam sasaran-sasaran ibadat haji.

Di atas semua itu, kita mendapatkan bahwa Rasulullah saw', meng- anggap ibadat pada setiap amal yang dilakukan seorang Muslim, apabila mendatangkan manfaat material atau kegembiraan bagi manusia.

Barangkali tidak satu pun orang Muslim yang tidak mengatakan Hadis-hadis Nabi saw, dimana hadis-hadis tersebut menetapkan bahwa: menyingkirkan duri dari jalan adalah termasuk sedekah. Anda menyuruh beramar ma’ruf adalah sedekah, mencegah dari yang mungkar adalah sedekah, Anda membawa (memapah) orang yang lemah untuk menaiki (menunggang) hewan tunggangannya adalah sedekah. Anda memper- baiki hubungan antardua pihak adalah sedekah, tersenyum kepada sesa- ma saudara juga sedekah, mengucapkan kata-kata yang baik adalah sedekah, dan seteru'snya yang merupakan kandungan hadis dari berma- cam-macam perbuatan baik kepada manusia dan pelayanan sosial.

Bahkan, Nabi Muhammad saw. mengangkat citra kebaikan dan pengabdian terhadap kemanusiaan dalam urusan-urusan keseharian itu pada tingkatan wajib, yang akan disiksa bagi siapa yang meninggalkan- nya, sementara dia mampu melakukannya.

86 Karakteristik Islam

Page 75: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

'‘Setiap orang Muslim itu harus sedekah.’ Lalu para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai sesuatu untuk disedekahkan. ’ Dan mereka berkata lagi, ‘WahaiNabiullah, maka bagaimana orang yang tidak mendapatkan sesuatu untuk disedekahkan ? ”

Atau dengan kata lain, bahwa mereka mengira sedekah itu hanya terbatas pada pemberian sesuatu berupa harta benda kepada orang yang membutuhkannya. Maka, Nabi saw. pun menjelaskan keluasan pema- haman sedekah itu kepada mereka, dimana setiap Muslim diperintahkan untuk melakukannya sampai kepada orang yang tidak berharta sekalipun.

Beliau bersabda, “Bekerja secara mandiri lalu mendatangkan man- faat kepada dirinya sendiri dan bersedekah!”

Maka para sahabat berkata, "Jika tidak ada yang akan disedekah- kan?"

Rasul saw. menjawab, “Menolong orang yang mempunyai kebutuh- an mendesak.”

Mereka bertanya kembali, "Andaikata tidak mampu melakukan itu?" Dijawab oleh beliau, "Menyuruh pada yang ma’ruf (kebaikan).’’ Mereka kemudian berkata, "Bagaimana jika tidak mampu melakukan itu?" Maka Nabi saw. berkata, “Mencegah diri sendiri dari kejahatan itu juga

termasuk sedekah.” Lebih dari itu semua Rasulullah menjadikan kewajiban kemanusiaan dan

sosial sehari-hari ini harus dilakukan pada setiap ruas jasad manusia, yakni setiap bagian dari ruas-ruas tersebut.

Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. menyitir bahwa pekerjaan yang paling disenangi Allah adalah membawa kegembiraan bagi sauda- ranya sesama Muslim, sehingga mereka terbebas dari kesusahan, atau

Imam Bukhari dan Muslim r.a. meriwayatkan dari Abu Musa r.a, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

Insaniyah 77

Page 76: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

membayarkanhutangnya, mengentaskankelaparan, dan atau berjalan dengan saudaranya sesama Muslim untuk sebuah kebutuhan (hajat baik) itu disinyalir sebagai perbuatan yang lebih baik dari i’tikafiiya Rasulullah saw. selama sebulan di masjid Nabawi Madinah. Dan bagi orang yang mampu mengendalikan (menahan) kemarahannya, kelak hatinya akan dipenuhi oleh keridhaan Allah di hari Kiamat. Dan ordng yang berjalan bersama saudaranya sesama Muslim untuk memenuhi kebutuhannya, akan ditetapkan kedua telapak kakinya pada hari dimana semua telapak kaki manusia pada tergelincir.

Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban r.a, Rasul saw. menyebutkan bahwa pahala dari memperbaiki perselisihan itu lebih afdal daripada salat, puasa dan sedekah. Dan — sabda beliau pula — “Sehari bagi seorang pemimpin yang adil itu lebih baik daripada ibadat selama 60 (enam puluh) tahun

Kemanusiaan Manusia Dunia telah menyaksikan dari berbagai mazhab, aliran filsafat dan

pemikiran yang memperkenalkan dua kecenderungan pemikiran tentang manusia yang kontradiksi (saling bertentangan).

Pertama, menuhankan manusia, hingga ia menjadi tuhan atas dirinya. Dia tidak mempunyai Rabb yang menciptakan, dan tidak mempunyai Ilah yang mengatumya, tidak ada hisab yang kelak menunggunya dan tidak ada akhirat sebagai tempat akhir kembalinya. Dia dapat berbuat apa saja (sesukanya) dan menghukumi menurut kehendaknya.

Kedua, melihat manusia hanya sekadar sebagai hewan, yaitu hewan yang berevolusi, berproduksi, dan atau mungkin juga hewan yang ber- masyarakat (baca: Homo Sapiens). Yang penting bahwa dia adalah hewan, dan prinsipnya adalah unsur-unsur kehewanan. Dari sisi ini mereka melihat, bergaul, menjelaskan karakteristiknya dan menentukan batasan- batasan interaksi atau hubungan-hubungannya.

Sedangkan Islam tidak mengangkat manusia sampai kepada tingkat Ilahiyah, dan tidak pula sampai menjatuhkannya hingga ke tingkat hewan. Dia bukan Ilah yang dapat mewujudkan sesuatu yang sebelumnya

'Lihat juga H.r. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan dalam Al-Ausath dari Ibnu Abbas r.a.

belum ada, tidak juga menentukan batasan umur manusia itu panjang atau pendek. Dia lahir atau meninggal bukan karena ikhtiar (pilihan)nya sendiri. Selama hidup, dari sejak dilahirkan — ke alam fana — sampai kembali ke alam baka (meninggal), tidak kuasa untuk mempengaruhi Sun- natullah (hukum alam) yang berlangsung di dalam alam semesta ini. Manusia — sekalipun dikaruniai

78 Karakteristik Islam

Page 77: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

akal pikiran, kemauan dan berbagai sara- na — lemah dan tidak jarang bertekuk lutut di hadapan berbagai hal, pe- ristiwa dan kejadian. Sosok yang lemah dan senantiasa menyerah kalah ini bagaimana mungkin akan menjadi Ilah? Bukankah di antara sekian banyak sifat Ilah itu salah satunya adalah Maha Kuasa dan Maha Perka- sa?

Manusia bukanlah Ilah, tetapi juga bukan binatang. Penafikan Ilahi- yah pada diri manusia itu bukan berarti menetapkan sifat hayawaniah (perikebinatangan). Manusia adalah jenis makhluk yang lebih diistime- wakan dan dimuliakan Allah dengan karunia akal, kemauan dan ruh.

Beberapa Realitas Penghormatan Allah bagi Manusia Jadi, manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk istimewa, makhluk

yang dimuliakan. Allah mengistimewakan, memuliakan dan me- ngutamakan manusia di atas makhluk-makhluk-Nya yang lain. Ada baik- nya di sini kami akan menyebutkan sebagian realitas dari pemuliaan Ilahi kepada manusia itu.

(a) Dijadikan sebagai Khalifah di Bumi Islam telah memproklamirkan kemuliaan manusia dengan menja- dikannya

sebagai khalifah Allah di atas bumi ini. Ini adalah sebuah kedudukan yang menjadikan malaikat berdecak kagum, lantaran kedudukan itu tidak diberikan kepada mereka, tetapi justru diberikan oleh Allah kepada manusia.

“Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan me- nyucikan Engkau?’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama- nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benarY Mereka menjawab,

Insaniyah 79

Page 78: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, be- ritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu!’ Maka setelah dibe- ritahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku me-ngetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu la- hirkan dan apa yang kamu sembunyikan’." (Q.s. Al-Baqarah: 30-3).

Allah telah memuliakan manusia dengan kekhalifahan di muka bumi, dan untuk menyelenggarakan itu dikaruniai akal dan ilmu pengetahuan yang menjadikannya dapat mengungguli malaikat.

(b) Diciptakan dalam Bentuk yang Terbaik Islam juga telah memproklamirkan bahwa Allah telah memuliakan manusia

dalam bentuk dan ciptaan yang terbaik, sebagaimana difirman- kan-Nya: "... sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam baitukyang

sebaik-baiknya.” (Q.s. At-Tiin: 4). “Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupaimt itu, dan hanya

kepada-Nya-lah kembali(mu).” (Q.s. At-Taghabun: 3). Nabi Muhammad saw. mengulang-ulang doa ini setiap kali sujud:

®/vVj JwU “Wajahku bersujud kepada Dzat yang

telah menciptakan dan membentuknya, membuka pendengaran dan penglihatannya. Maha Pemberi berkat Allah, Dzat sebaik-baik pencipta.”

(c) Keistimewaannya dengan IJnsur Ruh (Ruhaniah) Di atas semua itu manusia dimuliakan dengan pemberian ruh yang tinggi

dari sisi Allah. Ruh itu berasal atau diambil dari nurullah dan tiup- an ruhullah. Dengan demikian manusia berhak untuk mendapatkan penghormatan dari malaikat atas perintah-Nya, sebagaimana difirman- kan Allah kepadanya:

80 Karakteristik Islam

Page 79: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. ” (Q.s. Shaad: 71-2).

Tiupan ruhiyah Ilahiyah bukan hanya dikhususkan untuk Abul Ba- syariyah (Nabi Adam a.s.) sebagaimana perkiraan sementara orang. Semua anak keturunannya juga mendapatkan bagian yang sama, yaitu tiupan ruh tadi, sebagaimana difirmankan Allah setelah menyebutkan proses penciptaan Adam:

"Kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempumakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyu- kur.” (Q.s. As-Sajdah: 8-9).

Pemuliaan ini tidak hanya untuk pribadi Adam saja, tetapi pemulia- an jenis manusia pada umumnya. Allah mengistimewakan mereka sebagaimana Dia telah memuliakan Adam, dengan keistimewaan yang berupa akal, ilmu pengetahuan dan ruh. Dan menjadikan mereka khalifah sebagaimana Dia telah menjadikan Adam sebagai khalifah-Nya di atas bumi. Karenanya, Al-Qur’an memproklamirkan kemuliaan seluruh manusia melalui firman Allah swt.:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sem- puma atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.s. Al- Isra’: 70).

Itu semua merupakan sebuah ketetapan bahwa manusia berbeda dengan segala jenis binatang. Hewan-hewan itu — walaupun menyerupai manusia dalam unsur-unsur ciptaannya yang berasal dari tanah — namun berbeda dengan manusia, manusia pun berbeda dengannya juga pemben- tukan maknawinya (spiritualismenya). Allah tidak menghormati hewan- hewan itu dengan memberikan karunia kemuliaan sebagaimana diberikan kepada manusia yang berupa ruh dan akal, karena hewan-hewan tersebut memang tidak dibebani tugas merekayasa kemakmuran bumi se- kaligus khalifatullah di atasnya. Hewan-hewan itu hanya sebagai alat bagi manusia dalam melaksanakan peran maupun tugasnya, semua tunduk demi kepentingan manusia.

Tidak diragukan lagi, bahwa isyarat makna kemanusiaan ini berbeda dengan makna kemanusiaan yang diartikan oleh mereka yang melihat manusia tidak ubahnya seperti "Hewan yang berevolusi" kemudian ber- kembang hingga akhimya berwujud manusia seperti yang ada sekarang ini.2 (d) Alam Tunduk untuk Kepentingan Manusia

Menurut pandangan Islam, termasuk karunia pemuliaan Allah bagi manusia bahwa Dia menjadikan seluruh alam ini khidmah (tunduk demi kepentingan) manusia. Untuk dimanfaatkan sebagai kepentingannya, Allah pun menundukkan alam semesta: langit, bumi, matahari, bulan, bin- tang-gemintang, malam, siang,

Insaniyah 81

Page 80: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

air, laut, sungai, tetumbuhan, hewan, ben- da-benda mati, semuanya tunduk demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, sebagai kemuliaan dan nikmat dari Allah kepadanya.

Allah swt. berfirman kepada manusia: “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurun- kan air

hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai- sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keper- luanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakan- nya. ” (Q.s. Ibrahim: 32-4).

“Allah-lahyang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat men- cari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan

Tidak tennasuk juga aliran (baca: teori) Darwin yang tidak mempunyai pedoman (titik acuan) dalil yang benar, kecuali hanya merupakan sebuah propaganda yang diko- mandoi dan demi kepentingan Zionisme. Sehingga para penganut teori ini pada akliir- nya menentang dan menolaknya. Untuk meluruskan teori Darwin, liliat Ustadz Qaisul Qirthas, Nadhoriyah Darwin Baina Muayyidiha wa Mu 'aridihaa (Teori Darwin, Antara Pendukung dan Penentangnya), Ustadz Abbas Al-‘Aqqad, Al-Insan Fit Qur'anil Karim (Manusia dalam Al-Qur’an), dan Muhammad Qutlib, Al-Insan Baina Al-Ma'd- diyah wal Islam (Manusia, Antara Materialisme dan Islam).

Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semua- nya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (Q.s. Al-Jatsiyah: 12-3).

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan di bumi dan me- nyempurnakan untukmu nikmat-Nya yang lahir dan batin.” (Q.s. Luq- man: 20).

Ditundukkan-Nya alam itu bagi manusia mengandung dua makna besar: Pertama, bahwa potensi-potensi alam itu semuanya disediakan dan

dikonsumsi untuk manusia. Tidak ada sesuatu pun yang akan sulit jika sekiranya memang dirasa telah mudah jalan untuk mencapainya. Dan kalau menyadari Sunnatullah di alam raya, maka manusia harus menge- rahkan segenap tenaga dan memfungsikan pikirannya semaksimal mungkin untuk membuka berbagai kesulitan. Begitu pula menyingkap hal-hal yang masih tersembunyi untuk digunakan pada sesuatu yang akan men- datangkan kebaikan dan kebahagiaan

82 Karakteristik Islam

Page 81: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

baginya. Kedua, bahwa manusia sebagai perantara akad kekhalifahan di alam ini,

meski kecil bentuk tubuhnya dalam hal tempat dan pendek umumya dalam hal waktu. Maka, manusia dilarang menuhankan sesuatu di alam ini, atau menyembah sesuatu karena senang atau takut terhadapnya. Mereka yang menyembah sesuatu, fenomena-fenomena atau kekuatan alam ini baik yang ada di kawasan alam bagian atas (langit) atau bawah (bumi), sebenamya mereka itu telah membalik kenyataan, mengubah manusia dari posisinya sebagai penguasa, dimana alam tunduk sedemikian rupa un- tuknya, menjadi hamba yang hina: bersujud pada bintang, matahari, bulan, pepohonan, sapi, bebatuan atau lainnya seperti yang telah dicatat oleh sejarah dari sekian banyak khayalan, kesesatan dan penyimpangan manusia dari hidaya^ Allah, membalik apa yang sebenamya menjadi ke- inginan Allah dari dan untuk manusia.

Keistimewaan "Insaniyah" dalam Islam. Tidak diragukan lagi bahwa di dunia ini ada agama-agama, ajaran- ajaran,

mazhab (aliran-aliran) dan filsafat-filsafat yang begitu menaruh perhatian kepada manusia, berusaha keras untuk menjaganya agar baha- gia, dan terkadang mengklaim dirinya sebagai penegak insaniyah.

Namun yang menjadi kekurangan dan sekaligus cela dari agama-ag; ma dan aliran-aliran tersebut adalah bahwa kesemuanya tidak mengaki manusia dengan pengakuan yang menyeluruh. Tetapi hanya melihatnj dari sudut tertentu atau dari aspek khusus, sementara aspek-aspek ata sisi-sisi lain, kendati sangat urgen bagi eksistensi manusia justru diaba kan. Maka akhirnya yang terjadi adalah penyimpangan atas hakikat m; nusia dengan mengatasnamakan manusia.

Ada sebagian agama dan filsafat yang hanya melihat manusia da aspek rohaninya, tidak mempedulikan aspek akal, perasaan dan materia nya, bahkan barangkali untuk mencapai kebahagiaan ruhani itu menj haruskan untuk menyiksa tubuh atau fisik.

Ada juga mazhab (aliran) dan filsafat yang tidak melihat manusi selain dari aspek materialnya belaka, selainnya tidak dipedulikan dan d akui. Dalam perspektif ini, manusia dipandang sebagai makhluk ekonc mis atau hewan yang produktif, tidak lebih dari itu.

Ada sementara aliran dan filsafat yang mempertuhankan manusi; dan menganggapnya sebagai satu-satunya yang dapat (mampu) berdi sendiri tanpa membutuhkan Allah. Aliran atau filsafat semacam ini ingi berbuat baik kepada manusia kendati pada hakikatnya sedang men| hina-dinakannya. Menjadikan manusia sebagai "pohon hantu (setan' yang hadir dalam wujud kehidupan ini tanpa ada penanamnya, tanpa ti juan selain hadir begitu saja lalu mengering binasa diterpa angin atau d lalap api.

Aliran yang lain, semacam kapitalisme, memanjakan dan menjad; kan fokus

Insaniyah 83

Page 82: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

perhiasan pada individu manusia — dengan mengatasnamE kan kebebasan —justru menghancurkan tanpa dapat mewujudkan sesus tu pun bagi masyarakat manusia dalam hal pengawasan, evaluasi da upaya demi kemaslahatannya dan kemaslahatan masyarakat yang ada c belakangnya.

Aliran lainnya, semacam sosialisme, memeras individu manusic membelenggu dengan berbagai ikatan, menghalanginya dari berbagai ke bebasan dan hak-haknya yang sah sebagai anggota masyarakat. Selling ga nyaris, secara individu, membuatnyatersisih dari kehidupan masyara kat itu.

Adapun Islam sendiri sangatlah berbeda dengan berbagai aliran, aga ma dan filsafat tersebut. Yaitu dengan pandangannya yang menyeluru tentang hakikat manusia, memberikan peluang yang seluas-luasnya un tuk melaksanakan peran, fungsi, dan karakteristiknya, tanpa harus cen derung pada aspek-aspek tertentu atau berlebih-lebihan, atau tidak juga menyepelekan aspek-aspek yang lain.

/ Antara Ummat Kristen dan Islam.

Agama-agama samawi itu semuanya sebenamya datang untuk mem-bebaskan, membahagiakan dan menghormati manusia. Tetapi agama- agama tadi telah berlebih-lebihan, mengalami penyimpangan dan peru- bahan dari hakikatnya, dan mengeluarkan dari risalahnya. Ini karena me- ngingat risalah-risalah tersebut sifatnya periodik dan terbatas oleh di- mensi waktu (temporer): Allah tidak menetapkannya kekal dan tidak men- jamin akan memeliharanya, sebagaimana Dia menjamin akan memeli- hara Al-Qur’an. Bahkan kemudian dijaga oleh para penganutnya, kemudian mereka menghilangkan dan mengubah risalah tadi.

Sebagai contoh, agama Nasrani sebenamya datang untuk menolong manusia dari dominasi pemikiran Yahudi, dalam materialismenya dan ra- sialismenya. Tidak lama kemudian — ia (agama Nasrani) pun — mengalami penyimpangan, dan pengurangan maupun penambahan di sana-sini, sehingga pada abad pertengahan berbalik menjadi belenggu yang menje- rat leher manusia dan mengikat kakinya.

Iman — dalam pandangan agama Nasrani — dianggap bertentangan dengan rasionalitas manusia. Oleh karena itu, motto yang kemudian di- gembar-gemborkan: "Silakan Anda berkeyakinan (meskipun) dalam ke- adaan buta!" Tubuh dianggap musuh ruhani, sehingga hams dikesamping- kan agar ruhani itu tetap kekal. Aktivitas kehidupan dianggap menafikan penyembahan kepada Allah, sehingga kemudian membuat syariat bam berupa sistem kependetaan dan uzlah dari kehidupan. Menganggap manusia telah dilumuri dosa sejak dilahirkan, sebab dosa tadi memang merupakan hal yang lazim bagi wujudnya yang merupakan warisan dari bapak- nya yang pertama: Adam. Agama Nasrani menghalangi manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, kecuali melalui seorang pendeta (pas- tur) yang di tangannya ada kunci-kunci surga dan dialah

84 Karakteristik Islam

Page 83: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

yang menguasai kerajaan langit.

(e) Menghcipus Perantara Kependetaan antara Allah dan Manusia Itulah ummat (manusia) Nasrani dalam lukisan sejarahnya yang sudah

cukup populer. Adapun ummat (manusia) Islam jelas berbeda dari itu. Menurut pandangan Islam, banyak bukti-bukti kongkret yang me-

nunjukkan adanya pemuliaan Allah bagi manusia. Bahwa Allah telah membuka pintu lebar-lebar bagi manusia untuk bertaqarrub (berkomu- nikasi) kepada-Nya sesukanya: di mana dan kapan saja. Tidak memer- lukan perantara yang dapat mengendalikan keinginan hatinya, tidak ada hijab (tabir penghalang) antara manusia dengan Rabbnya.

Allah berfirman kepada Rasul-Nya yang mulia, Muhammad saw.: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka

(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (Q.s. Al-Baqarah: 186).

“Dan Rabbmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku- perkenankan bagimu’!” (Q.s. AI-Mukmin: 60).

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menging- kati (nikmat)-Ku.” (Q.s. Al-Baqarah: 152).

Dalam Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari r.a. di- sebutkan, “Bahwa barangsiapa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah sejengkal, maka Allah akan mendekatinya sehasta, dan barang- siapa mendekati Allah sehasta, Allah akan mendekatinya dalam jarak se- depa.” (H.r. Bukhari).

Jadi manusia itu tidak butuh kepada seorang pendeta untuk sampai kepada Allah. Allah tidak akan menerima ibadat seseorang tanpa Dia sendiri sebagai perantaranya. Tobat seseorang atas dosa-dosanya tidak akan terkabulkan kecuali langsung duduk bersimpuh di hadapan-Nya dengan merendah dan mengakui kesalahan-kesalahan yang telah di- perbuatnya. Dalam Islam tidak mengenal istilah kependetaan maupun praktek-praktek perdukunan.

Karenanya, seorang Muslim itu dapat mengetuk pintu Rabbnya kapan dan di mana pun ia suka. Jauh dari dominasi para pendusta yang me- ngaku sebagai “media perantara (calo)” di antara Allah dan hamba-Nya.

Orang Muslim dapat berdoa kepada Rabbnya kapan saja dia suka, sehingga dia mendapatkan-Nya lebih dekat daripada urat lehemya, tanpa harus melalui perantara dan pemberi syafaat.

Allah swt. berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (Q.s. Al-Baqarah: 186).

Insaniyah 85

Page 84: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Orang Muslim dapat menunaikan ibadat salat dan beribadat di mana pun ia berada, sendirian atau berjamaah, tidak ada halangan dan rintang- an. Bumi ini semuanya adalah hamparan tempat bersujud baginya dan Allah pasti hadir di hadapannya, di mana pun ia berdiam.

maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (Q.s. Al-Baqarah: 115).

Seorang Muslim dapat bermunajat langsung kepada Allah swt. pu- kul berapa pun ia suka, malam ataupun siang. Di depan pintu-Nya tidak ada pengawal atau penjaga pintu.5

Ini bukan ditujukan khusus bagi orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik saja, sementara bagi orang-orang yang berbuat maksiat atau dosa tidak. Sekali-kali tidaklah demikian! Tetapi pintu Allah itu terbuka lebar-lebar bagi semua ummat-Nya yang berdoa memohon kepada-Nya, lalu bersimpuh di ambang pintu-Nya itu dalam keadaan tunduk dan pas- rah disertai istighfar (memohon ampunan) sekalipun sebelumnya pernah (telah) berbuat dosa-dosa besar dan kekejian.

Allah swt. berfirman: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan ke- ji atau

menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengam- puni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Q.s. Ali Imran: 135).

Dalam Hadis Qudsi disebutkan:

“Hai hamba-hamba-ltu, sesungguhnya kalian telah berbuat salah pada waktu malam dan siang. Dan Aku mengampuni semua dosa-dosa itu, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” (H.r. Muslim dari hadis Abu Dzar r.a ).

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Katakanlah, 'Hai hamha-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri

mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha

5Lihat buku saya (Dr. Yusuf Al-Qardhawi), Al-Ibadah Fi Al-Islam (Ibadat dalam Islam), pasal "Tahriirul Ibadali Min Riqqi Al Kaluiuuti" (Pembebasan Ibadat dari De- bu-debu Perdukunan), him. 148-56.

Insaniyah 86

Page 85: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Pengampun lagi Maha Penyayang’. ” (Q.s. Az- Zumar: 53). Alangkah indah dan lembutnya panggilan itu, “Hai hamba-hamba- Ku”.

Walaupun manusia telah berbuat dosa dan melampaui batas terhadap dirinya sendiri, namun Allah tidak mengusimya dari beranda-Nya dan tidak menampiknya dari keluhuran ibadat-Nya. Tetapi mengajaknya kepada Dzat-Nya Yang Maha Kudus dengan penuh kasih dan cinta.

(f) Mengakui Segala Eksistensi Manusia Termasuk pemuliaan Islam terhadap ummat manusia: pengakuan- nya

terhadap seluruh eksistensi (keberadaan) manusia sebagaimana Allah ciptakan: jasad, ruh, akal, hati, keinginan, naluri, dan lain-lainnya. Islam tidak mengesampingkan hak yang dimiliki oleh salah satu aspek di antara sekian aspek yang ada ini dengan hanya memperhitungkan yang lain. Tidaklah demikian. Oleh karenanya, Islam memerintahkan kepada ummatnya untuk: 1. Berusaha dan menelusuri serta menapaki seluruh pelosok bumi, makan

yang baik-baik (halal), menikmati dengan hiasan-hiasan Allah yang sengaja dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dianjurkan untuk menjaga kebersihan, keindahan, keseimbangan. Dilarang ber- mabuk-mabukan, dan diperintahkan untuk menjauhi segala sesuatu yang akan melemahkan dan berbahaya. Semuanya ini dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik.

2. Beribadat hanya kepada Allah semata. Bertaqarrub kepada-Nya dengan berbagai macam ketaatan, baik itu berupa salat, puasa, sedekah, zakat, haji, umroh, dzikir, doa, tawakal, perlindungan, takut. mengharap, kebajikan, jihad fi sabilillah, dan lain-lain yang merupakan jenis-jenis ibadat yang lafiir maupun batin, sebagai pemenuhan kebutuhan ruhani.

3. Menganalisa dan berpikir tentang kekuasaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi, makhluk ciptaan, nasib yang dialami ummat- ummat manusia, Sunnatullah (hukum alam) di tengah kehidupan masyarakat. Sebagaimana pula perintah-Nya untuk menuntut ilmu pe- ngetahuan, dan mencari hikmah dari mana pun datangnya. Mengu- furi kejumudan (stagnasi) dan taklid secara buta terhadap — ajaran maupun tradisi — nenek moyang dan para pembesamya. Semua itu sebagai pemenuhan kebutuhan akal pikirannya.

4. Menengok pada keindahan alam baik itu bumi, langit, pepohonan, hewan, dan apa saja yang dihias oleh Allah sehingga tampak indah dan baik, agar perasaan indah yang bersemayam dalam diri manusia terpenuhi. Disamping juga merasakan kedalaman keagungan Rabbnya yang telah menciptakan makhluk-Nya dalam bentuk cip- taan yang terbaik. Sebagaimana Islam juga membolehkan manusia untuk menikmati kesenangan yang dapat menghibur jiwa, mengusir kebosanan dan kejenuhan. Sebab perasaan itu dapat sakit dan letih sebagaimana dirasakan oleh badan. Ini semua dalam rangka men-

Insaniyah 87

Page 86: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

jaga aspek kebutuhan naluri (intuisi) dan perasaan manusia.6

(g) Membebaskan Manusia dari Keyakinan Dosa Warisan Di antara kemuliaan manusia dalam Islam: bahwa Islam itu meng-

hilangkan klaim bahwa manusia telah dilumuri dosa sejak ia lahir. Keyakinan ini sebagaimana pengakuan agama Nasrani yang menganggap bahwa kesalahan Adam — makan buah dari pohon terlarang — itu di- wariskan kepada anak keturunannya baik laki-laki maupun wanita. Sehingga tidak ada seorang pun yang lahir kecuali sudah berkalungkan dosa ini. Dan manusia tidak akan selamat kecuali bila dosa atau kesalahan itu disertai dengan penebusan, dan penebusan tersebut tidak akan terwujud menjadi kenyataan melainkan dengan penyaliban Al-Masih — ini me- nurut versi orang Nasrani. Karenanya, hams percaya kepada Al-Masih sebagai juru selamat yang sanggup menebus dosa!

Sementara Islam membantah kevalidan seluruh pandangan tersebut, dan menyatakan bahwa: “Setiap bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). ” (H.r. Bukhari). Tidak terkotori oleh dosa dan tidak mem- bawa kesalahan apa pun!

Sebagaimana juga Islam menetapkan secara jelas dan tegas akan tanggung jawab manusia atas dirinya sendiri. Maka dalam konteks ke- adilan Ilahi, seorang anak itu tidak dapat menanggung dosa yang telah di- lakukan bapaknya, tidak juga cucu menanggung dosa kakeknya.

“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemadharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Q.s. Al-An’am: 164).

Dan bahwa kemaksiatan Adam itu sendiri telah dicuci dengan air tobat, dan perkaranya sudah tuntas dan berakhir dengan terpilihnya Adam sebagai orang yang dekat kepada Allah dan mendapa't hidayah-Nya.

“... dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberi hi- dayah (petunjuk).” (Q.s. Thaha: 121-2).

Dalam bukunya,Muhammad: Ar-Risalah War-Rasul, seorang Kris- tiani berkebangsaan Mesir, Dr. Nadhami Lukas mengatakan: "Yang tidak bisa saya lupakan adalah bahwa sejak masa kecil telah merasa takut bercampur kegetiran karena dosa pertama — yang dilakukan Adam — akan menyeret ke dalam neraka Jahannam. Itulah ilustrasi menakutkan yang selalu dibayangkan oleh anak-anak kecil: Bagaimana kelak di dalam neraka Jahannam dimana kulit terkelupas setiap kali dijilat api neraka dan segera berganti kulit baru dan terus mengelupas lagi sebagai akibat dari dosa Adam yang jatuh ke dalam rayuan Hawa. Maka kalau

6Lihat buku saya (Dr. Yusuf Al-Qardhawi), Al-Halal wa Al-Haram, pasal “Al- lahwu wat Taraf’.

88 Karakteristik Islam

Page 87: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

bukan karena keselamatan berada di tangan Al-Masih yang telah menebus dosa manusia dengan darahnya yang suci, niscaya nasib akhir yang akan dialami manusia adalah kehancuran yang nyata.

Dan yang tidak dapat saya lupakan adalah perasaan takut yang terus-menerus menyelimuti dan menggelisahkan benak saya yaitu tentang nasib berjuta-juta manusia sebelum Al-Masih, bagaimana dan di mana gerangan mereka? Dan bagaimana dengan dosa mereka sehingga akan binasa tanpa mendapatkan kesempatan untuk diselamatkan oleh sang ju- ru selamat (Al-Masih)?

Tidak mungkin seseorang dapat mengetahui nilai-nilai akidah, kecuali orang yang hidup di bawah naungan akidah brengsek ini yang telah mewamai dengan wama ketakutan dan dosa pada setiap perbuatan seseorang. Maka ia akan hidup dengan perasaan ragu dan bimbang, tidak mau menerima kepercayaan karena di pundaknya telah membelenggu dosa warisan.

Pemikiran yang keras tersebut akan meracuni semua sumber kehidupan, akan menghilangkan karunia yang cukup besar dari orang yang dewasa hanya dengan meniupkan angin baru bagi suasana kehidupan baru. Bahkan Muhammad itu benar-benar baru dilahirkan dimana tidak di- ragukan lagi akan merobek-robek lembaran para pendahulunya, dan mele- takkan tali kendali di tangannya sendiri." Menegaskan Hak Asasi Manusia

Sebelum telinga dunia mendengar adanya hak asasi manusia, empat belas abad yang silam atau lebih, dimana seluruh dunia hanya memandang manusia dari segi kewajiban yang harus dilaksanakan. Dan jika kewa- jiban itu tidak dilaksanakan, maka akan mendapatkan sanksi (hukuman). Saat itu Islam datang untuk mendeklarasikan bahwa manusia itu mempunyai hak-hak yang harus dijaga, sebagaimana dia mengemban kewajiban yang harus dilaksanakan.

Sebagaimana manusia itu harus melaksanakan kewajibannya, maka dia pun juga harus diberi hak. Setiap ada kewajiban pasti ada hak, sebagaimana setiap hak itu pasti ada kewajiban. Hak-hak ini bukan merupakan karunia yang diberikan oleh makhluk sesamanya, dimana dapat memberikan dan mengambilnya kembali kapan saja ia inginkan. Sung- guh, pemberian karunia ini datangnya bukan dari dinasti, raja, atau pe- merintah, atau partai atau komite tertentu. Akan tetapi, ia adalah hak-hak yang telah ditentukan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Inilah hak- hak yang tetap akan abadi dengan lindungan hukum Islam dan syariat.

Di antara hak-hak tersebut adalah hak: hidup, mendapat penghormatan, berpikir, beragama, berkeyakinan, mengemukakan pendapat, belajar, memiliki, mendapatkan kelayakan hidup, serta hak aman atau be- bas dari ketakutan.

Di sini saya (penulis) akan mengupas sedikit saja tentang sebagian hak-hak di atas secara ringkas, adapun secara terinci membutuhkan ke- sempatan yang

Insaniyah 89

Page 88: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

lain.7

Hak Hidup Manusia Islam begitu menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia dan menja- ganya

dengan pendidikan, bimbingan, tasyri’, keputusan-keputusan hukum, dan dengan berbagai penegasan fikriyah, nafsiyah (kejiwaan) dan ijtima 'iyah (sosial). Islam memandang hidup sebagai sebuah karunia dari Allah dimana seseor&ng tidak boleh mengambil atau merampasnya dari orang lain. Seorang hakim tidak boleh merampas hak hidup dari orang yang terdakwa (terhukum), tuan tidak boleh merampas (hak) hidup dari

7Telah disusun buku-buku yang berkenaan dengan masalah itu. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci silakan merujuknya, seperti pada buku Hak Asasi Manusia dalam Islam, oleh Dr. Ali Abd. Wahid Juga buku Hak Asasi antara Islam dan KeputusanPBB, oleh Mohammad Al-Ghazali.

90 Karakteristik Islam

Page 89: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

budaknya, seorang suami tidak boleh merampas (hak) hidup istrinya, dan orangtua tidak boleh merampas hak hidup dari anak-anaknya.

Maka tidaklah mengherankan bila Al-Qur’an mengingkari tradisi orang-orang Jahiliyah yang tega membunuh darah daging (anak-anak) mereka secara bodoh tanpa pengetahuan. Membunuh anak wanita karena takut malu, dan membunuh anak-anak mereka baik laki-laki maupun wanita karena takut jatuh miskin. Al-Qur'an sendiri menganggap peker- jaan yang demikian itu sebagai dosa besar.

“Apabila bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Q.s. At-Takwir: 8-9).

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut ke- miskinan. Kami-lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Q.s. Al-Isra’: 31).

Dalam hak hidup. Islam tidak mendiskriminasikan antara orang ber- kulit hitam dengan yang putih, orang yang terhormat dengan tidak, yang merdeka dengan budak, laki-laki dan wanita, yang besar dengan si kecil, bahkan sampai kepada janin yang masih ada di dalam kandungan mem- punyai hak untuk dihomiati dan tidak boleh diusik, sampai ia (janin) yang dihasilkan dengan cara haram sekalipun, tidak boleh bagi sang ibu atau selainnya untuk menggugurkannya (abortus). Sebab ia (janin) tersebut adalah jiwa terhormat dan tidak dihalalkan (tidak dibolehkan) memu- suhinya.

Suatu ketika datanglah seorang wanita kepada Rasulullah Muhammad saw. dan mengakui bahwa dia telah berbuat zina sehingga hamil akibat dari zinanya itu. Dia memohon kepada Rasul saw. agar berkenan untuk menyucikan dirinya dengan menjatuhkan had (hukuman) sebagaimana ketetapan Allah swt. Rasulullah saw. bersabda, “Pulanglah Anda dan tunggulah sehingga dia (janin itu) lahir!” Setelah melahirkan. wanita tersebut kembali menghadap kepada beliau dengan menggendong seorang bayi sembari minta agar hukuman had segera dikenakan untuk- nya. Rasul saw. pun bersabda. "Tunggullah sampai tiba saat untuk me- nyapihnya!” Beg itu lah seterusnya, dan akhimya hukuman ini tidak di- laksanakan kecuali sang ibu membawa anaknya yang sudah mampu mengunyah makanan sendiri. Semua ini dalam rangka menjaga hak janin, disamping juga demi kelangsungan hidup anak yang masih sangat niem- butuhkan AS1 (Air Susu Ibu) karena dia tidak mempunyai dosa sebagaimana telah diperbuat oleh ibu atau bapaknya

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang fain." (Q.s. AI-An’am: 164).

Dalam rangka melindungi hak hidup, Al-Qur’an dan sejumlah Hadis Rasulullah saw. memperingatkan akan azab yang sangat pedih bagi orang yang melenyapkan jiwa sesamanya tanpa melalui prosedur (jalan) yang benar.

91 KaraliterL\riJi Islam

Page 90: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Karenanya, ada sementara ulama Islam yang berpendapat bahwa orang yang membunuh itu tidak akan diterima tobatnya.

Untuk menjaga kelangsungan hidup ummatnya, Islam mensyariat- kan hukum qishash bagi orang yang membunuh secara sengaja, dan pada saat yang sama menganjurkan untuk memaafkan dan membayar diyat (denda) bagi si pembunuh atau bebas dari itu.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang men dapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Q.s. Al-Baqarah: 178).

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang ber akal, supaya kamu bertakwa.” (Q.s. Al-Baqarah: 179).

Sebagaimana juga orang yang membunuh itu harus membayar diyat dan kaffarat.

“Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memer- dekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluar ga terbunuh) ber sedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia Mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya. maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara berto- bat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bi- jaksana.” (Q.s. An-Nisa’: 92).

Kita perhatikan pada ayat di atas bahwa orang kafir yang telah me- ngadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin disertai dengan sum- pah, maka orang yang membunuhnya secara salah harus membayar di- yat dan kaffarat sebagaimana ketika membunuh seorang Mukmin. Dan ada sejumlah Hadis Nabi saw. yang menguatkan tentang hal itu, bahwa orang yang membunuh orang yang ada dalam perjanjian, tidak akan men- cium aroma surga.

Bagaimana Islam tidak akan menjaga hak hidup bagi manusia, se- dang Islam itu sendiri melindungi kehidupan hewan yang tidak menim- bulkan pesakitan (baca: bahaya) bagi manusia.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

92 Karakteristik Islam

Page 91: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Bahwa seorang wanita itu masuk neraka karena telah memen- jarakan (mengurung) seekor kucing hingga rnati. Dia tiada memhe- rinya makan, dan tidak memberinya kesempatan untuk makan rerum- putan bumi.”

Dalam hadis yang lain disebutkan:

“Seandainya anjing itu tidak termasuk kategori ummat, maka aku (kata Nabi saw.) akan memerintahkan untuk membunuhnya.”

Nabi saw. sendiri merujuk kepada firman Allah swt.: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung- burung

yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan ummat-um- mat (juga) seperti kamu.” (Q.s. Al-An’am: 38).

Kalau itu adalah masalah kucing dan anjing dimana keberadaannya (hidupnya) dihormati sedemikian rupa dan dianggap sebagai komunitas ummat sebagaimana diri kita. Maka, bagaimana halnya dengan kedudukan manusia sendiri yang diberi kehormatan untuk menjadi khalifat- ullah di muka bumi ini? Hak Kemuliaan dan Penjagaan Kehormatan

Islam telah menegaskan pengharaman kehormatan dan kemuliaan manusia (agar tidak dilanggar) bersamaan dengan pengharaman darah dan harta bendanya. Nabi Muhammad saw. mengumumkan itu pada saat haji wada' (haji perpisahan) di hadapan massa yang tengah berkumpul di negeri haram (Mekkah), bulan haram (Dzulhijjah) dan pada hari haram.

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian darah, kehormatan dan harta kalian.’’ (H.r. Bukhari-Muslim dan lain-lain).

Maka manusia itu tidak boleh disakiti dan dihina dengan ghibah, baik menyakitinya secara kekerasan fisik maupun melukai perasaannya dengan perkataan atau ucapan. Boleh jadi menyakiti hati dengan perkataan itu menorehkan luka yang lebih mendalam dan tidak mudah terlupakan daripada melukai fisiknya dengan cemeti ataupun gigitan.

Insaniyah 93

Page 92: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Bagaimana Islam tidak akan mengharamkan pembunuhan, sedang- kan yang lebih rendah dari itu diharamkannya? Sungguh Islam telah mengharamkan memukul manusia tanpa cara yang benar, dan mencambuk tanpa ada alasan menghukum. Islam juga melaknat orang yang memukul o- rang lain secara zalim, termasuk juga orang yang menyaksikan (kezalim- an itu) yang membela atau melindunginya. Dengan demikian, maka Islam sangat melindungi fisik (badan) manusia dari penyiksaan.

Islam juga mengharamkan menyakiti hati (perasaan) manusia: meng-haramkan umpatan, celaan, memberikan julukan yang jelek, mengolok- olok,(ghibah, dan suudzdzan (buruk sangka). Tentang pengharaman ini, Allah menandaskan firtnan-Nya dalam Surat Al-Hujurat:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok- olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok- kan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) danjangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yangdiperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamumencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk- buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang-

94 Karakteristik Islam

Page 93: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orangyar zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah dari kebanyakan p’ sangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janga: xh kamu mcncari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian Lou meng- gunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu me- makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu me- rasajijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.s. AI-Hujurat: 11-2).

Dengan itu semua Islam sangat melindungi jiwa manusia dari peng- hinaan. Islam tidak cukup hanya melindungi manusia ketika dalam keadaan hidup.

Islam menjamin akan menghormatinya sampai setelah dia kembali menghadap-Nya (meninggal dunia); Dari sini kemudian datang perintah memandikan, mengafani, menyalati dan memakamkannya. Melarang ke- ras dalam merawat jenazah hingga mematahkan tulangnya, atau berbuat tidak baik terhadap jasadnya. Berbeda dengan sementara ummat yang mempunyai tradisi membakar jasad orang yang telah meninggal.

Di dalam sebuah hadis disebutkan:

“Mematahkan tulang mayit itu persis seperti mematahkan tulang orang yang masih hidup." (H.r. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)

Sedangkan dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar berkata: "Dapat di- ambil suatu faedah, bahwa penghormatan terhadap orang Mukmin sepe- ninggalnya (setelah meninggalnya) itu tetap sebagaimana semasa hidupnya."6

Sebagaimanajasad seorang Mukmin mendapat perlindungan setelah meninggal, maka Islam pun melindungi kehormatan dan prestasinya.

Rasulullah saw. bersabda:

6A1-Munawi, Faidhul Oadir Syarah Al-Jami' As-S/iugliir, jilid IV, him. 550-1

Insaniyah 95

Page 94: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Janganlah kalian menyebut-nyebut orang-orang yang telah me- ninggal di antara kalian kecuali dengan kebaikan.” (H.r. Abu Daud).

Hak Berkecukupan yang Sempurna Termasuk hak setiap orang hendaknya untuk mempunyai persedia- an yang

cukup layak (sempurna) bagi kehidupannya, dimana semua kebutuhan mendasar hidupnya dapat terpenuhi, baik itu berupa sandang, pa- ngan, papan, obat-obatan (kesehatan) dan kebutuhan-kebutuhan lain yang berhubungan dengan manusia.

Akan tetapi, yang menjadi keharusan bagi manusia adalah agar ia mempunyai income (pendapatan) yang cukup yang dapat merealisasikan hak berkecukupannya dengan jalan bekerja secara halal (yang disyariat- kan). Apakah itu dalam sektor pertanian, perdagangan, industri, atau bekerja sesuai dengan bakat — yang dimilikinya — yang dapat mendatang- kan manfaat (keuntungan) bagi ummat manusia. Entah itu pekerjaan orang untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk kepentingan orang lain dengan upah yang cukup sesuai dengan jerih payah dan tenaga yang telah dikerahkan.

Kalau temyata ada orang yang tidak mempunyai pendapatan yang memadai, maka kerabat-kerabatnya yang berkecukupan seyogyanya ikut mengulurkan tangan untuk menanggungnya. Karena bagaimanapun, dia adalah bagian dari mereka dan mereka pun bagian darinya.

Allah swt. berfirman: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabatitu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.” (Q.s. Al-Anfal: 75).

Jika dia tidak mempunyai kerabat yang berkecukupan dan dapat menanggungnya, maka hak berkecukupannya itu harus diambilkan dari zakat yang memang telah diwajibkan oleh Allah bagi kaum Muslimin. Zakat tersebut dihimpun dari orang-orang kaya untuk kemudian dikon- sumsikan (diberikan) kepada kaum fakir miskin. Jadi, pada hakikatnya zakat itu dari dan untuk ummat.

Yang termasuk baik di sini adalah bahwa temyata zakat itu tidak diwajibkan sekadar untuk merealisir (mewujudkan) kecukupan bagi fakir miskin semata. Tetapi. ia (zakat) tersebut benar-benar untuk mewujudkan kecukupan yang sempurna bagi sang fakir miskin, keluarga dan kerabat-kerabatnya. Maka batas minimal yang merupakan tuntutan orang fakir miskin itu dalam masyarakat Islam adalah bukan hanya sebatas agar

Insaniyah 96

Page 95: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dia berhenti meminta-minta dan bukan pula sekadar cukup. Tetapi agar dia betul-betul berkecukupan secara sempuma.

Para ulama fiqih menyebutkan: Tersedianya buku-buku (bagi penun- tut ilmu) adalah kecukupan yang sempuma, begitu juga alat-alat untuk bekerja termasuk dari kecukupan yang sempuma. Bahkan mereka meng- anggap menikah bagi orang yang belum beristri itu sebagai pertanda dari kecukupan yang sempuma. Dan yang menjadi keharusan sebenamya adalah agar sang fakir miskin dan keluarganya itu berkecukupan untuk jangka waktu satu tahun penuh.8

Bahkan Imam Syafi’ie berpendapat —juga pendapat seb? ian mazhab yang lain — bahwa fakir miskin itu wajib dipenuhi kecuki /annya se- panjang hidupnya, sehingga tidak lagi menggantungkan dir pada pem- berian zakat setelah itu. Pendapat ini diperkuat dengan ha*' s dari Umar r.a.:

“Demi Allah akan aku berikan kepada mereka sedekah secara ber- kala kendati masing-masing dari mereka memperoleh seratus

unta.”9

Seratus unta itu adalah sebuah ukuran yang sebanding dengan 20 nisab zakat unta.

Zakat itu bukanlah hak harta satu-satunya, tetapi adalah hak yang tetap berputar terus sehingga Islam mengangkatnya pada derajat wajib. Islam menganggap penunaian zakat itu termasuk di antara rukun Islam yang lima. Dalam puluhan ayat Al-Qur’an maupun hadis, zakat selalu disebut bersamaan dengan salat yang merupakan tiang agama.

8Lihat Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqhuz Zakat, him. 567. %Ibid, him. 564-7.

“Jika Anda sekalian memberi, maka cukupkanlah.”

Jnsaniyah 97

Page 96: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Zakat wajib ditunaikan dalam rangka tazkiyaturt nafs (membersihkan dan menyucikan jiwa), jika tidak dikeluarkan — sedang orang yang bersangkutan mampu — maka harus diambil secara paksa hingga dengan menggunakan "kekuatan senjata" (perang) sekalipun. Sehingga hak berkecukupan bagi fakir miskin dan keluarganya tidak hilang begitu saja. Dan tidak seorang pun yang tidak tahu tentang perangnya Khalifah Abu Ba- kar As-Shiddiq r.a. untuk membela hak-hak fakir miskin dari cengkeram- an para borjuis.

Bersamaan dengan ini, jika zakat tidak berhasil mewujudkan kecukupan bagi kaum fakir miskin, maka semua orang kaya di semua wilayah negara wajib berpartisipasi menangani kecukupan mereka, kalau tidak melakukan itu, maka pemerintah setempat wajib turun tangan — atas nama syariat — yang mewajibkan takaful (saling melindungi), saling men- jamin dan mewujudkan solidaritas antarsesama kaum Muslimin. Mereka ibarat sebuah bangunan yang kokoh, atau laksana satu tubuh (jasad). Bukan termasuk kategori Mukmin sejati (sempurna) orang yang kenyang sementara tetangga di sekitamya kelaparan.

Bahwa wilayah (ruang lingkup) saling bertanggung jawab dan solidaritas sosial ini bukan hanya diperuntukkan bagi sesama kaum Muslim saja, tetapi juga mencakup orang yang hidup di bawah naungan daulah (negara) Islam yang terdiri atas orang kafir dari ahli dzimmah.

Kita telah mengetahui bahwa Umar Al-Faruq r.a. menyuruh benda- hara baitul maal untuk memberikan kecukupan kepada orang Yahudi, ketika beliau melihatnya minta-minta kepada orang lain. Fenomena semacam ini dijadikan kaidah (sebuah rujukan) bagi orang Yahudi tadi dan se- lamnya dari Ahlulkitab. Begitu juga Umar bin Abdul Aziz yang mengha- ruskan seluruh gubemumya untuk melaksanakan hal yang sama.10

Sebagaimana juga, bahwa Umar r.a. — tatkala di tengah-tengah per- jalanannya menuju Syam — mendapatkan sekelompok orang Nasrani yang menderita penyakit kusta, lalu beliau menyuruh agar mereka diberi makanan sebagai bagian dari sedekah.

Sesungguhnya semua asset (hartakekayaan) negara itu wajib diabdi- kan untuk hak ini, yakni hak berkecukupan yang sempurna, jika semua harta zakat masih belum juga mencukupi untuk itu. Itu semua tentunya dengan ketetapan daulah dalam mengalokasikannya.

10Lihat Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Musykilat Al F'aqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-lslam (Masalah Kemiskinan, Bagaimana Islam Mengentaskarmya?), Get. II.

98 Karakteristik Islam

Page 97: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Buah-buah Insaniyah dalam Islam Yang termasuk buah-buah insaniyah (kemanusiaan) dalam Islam adalah

ukhuwah (persaudaraan), persamaan dan kebebasan. Kecenderungan kemanusiaan yang asholah dalam Islam merupakan asas

penting bagi prinsip persaudaraan manusia dan juga asas penting bagi prinsip human right (asas persamaan kemanusiaan) secara umum yang memang diserukan oleh Islam.

Demikian pula merupakan asas penting bagi prinsip kebebasan yang telah ditetapkan Islam. Islam mengerahkan dan memicu benar-benar dakwahnya menuju tiga prinsip kemanusiaan itu. Islam telah meletakkan konsep yang cukup gamblang untuk mempraktekkan ketiga prinsip kemanusiaan tadi, menghubungkan dengan akidah, syiar dan kode etiknya, dengan sebuah hubungan yang erat dan kuat. Ketiganya bukan hanya merupakan slogan angan-angan yang membuat j iwa terkatung-katung dan melayang-layang di udara, atau bukan sekadar fikrah (gagasan) yang dikhayalkan oleh otak-otak manusia, dan atau bukan goresan tinta di atas secarik kertas yang ditorehkan oleh pena-pena.

Cukuplah di sini saya akan berbicara tentang ukhuwah (persaudaraan) dan persamaan hak yang merupakan dua prinsip yang saling terkait.

Prinsip Persaudaraan Manusia Adapun tentang prinsip persaudaraan manusia secara umum telah

ditetapkan oleh Islam berdasarkan sebuah statement bahwa emua manusia itu adalah anak-anak keturunan dari satu bapak dan sati ibu: Adam dan Hawa. Satu jenis keturunan ini tcrjalin dalam tali hubur an silatur- rahmi. Karenanya Allah berfirman:

“Hai sekalian manusia, bertahwalah kepada Rabbmu /ang telah menciptakan kamu dari seorang istri, dan dari padanya AlU menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkemt 1 gbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Dan bertakwalah kepadi Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling minta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Q.s. An-Nisa’: 1).

Alangkah tepatnya jika kata al-arhaam (hubungan silaturrahmi) yang disebutkan dalam ayat di atas bila ditafsirkan dengan cakupannya yang umum: hubungan kemanusiaan secara umum, agar terjadi semacam korelasi dengan pennulaan ayat yang berbunyi, Ya ayyuhan naas (hai sekalian manusia). Kemudian disebutkan "jiwa yang satu" yang darinya Allah menciptakan seluruh manusia baik laki-laki maupun wanita, yaitu diri Adam alaihissalam, lalu disertai dengan sebutan lafaz "Allah" yang menunjukkan bahwa al-arhaam (hubungan silaturrahmmi) antarmanusia ini mempunyai urgensi yang besar.

Page 98: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Rasulullah saw. sendiri mengikrarkan persaudaraan itu dan mene- gaskannya setiap hari. Dalam kitab Musnad-nya, Imam Ahmad meri- wayatkan dari Zaid bin Arqam r.a. bahwa Rasulullah saw. berdoa selesai salat:

“Ya Allah, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu dan yang me- milikinya, saya bersaksi bahwa Engkau adalah benar-benar Allah yang tidak ada sekutu bagi-Mu, Ya Allah, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu dan yang memilikinya, saya bersaksi bahwa semua hamba itu adalah bersaudara."11

Dengan doa itu Rasulullah saw. bermunajat kepada Rabbnya setiap kali usai salat. Itu sebagai suatu indikasi bagi kita bahwa betapa persaudaraan itu sangat urgen dalam risalah Islam.

Pertama, sejak awal Rasulullah saw. sendiri menyebutkan persaudaraan itu (meliputi) antarseluruh hamba Allah, bukan antarsesama bangsa Arab maupun antarsesama Muslimin saja. Ini menunjukkan perlunya persatuan yang mencakup seluruh ummat manusia. Persatuan antaijenis, ras dan kedudukan mereka sebagai sebuah sarana ubudiyah kepada Allah swt.

Kedua, Rasulullah saw. mengikrarkan hal tersebut dalam bentuk doa sebagai upaya bermunajat kepada Rabbnya. Beliau mempersaksikan sendiri kebenaran prinsip ini di hadapan Allah swt. Atau, bahwa ikrar terhadap prinsip ini bukan sekadar ungkapan basa-basi untuk penegasan sikap sektoral atau untuk penyesatan dunia, tetapi itu adalah hakikat agama yang tidak usah diragukan lagi.

Ketiga, bahwa Rasul saw. menghubungkan prinsip ini dengan dua prinsip mendasar dalam akidah Islam dimana seseorang tidak akan dianggap masuk (memeluk) agama Islam ini kecuali jika telah meyakini keduanya, yaitu tauhidullah dan risalah (kerasulan) Muhammad saw. Hubungan ini menunjukkan betapa pentingnya prinsip persaudaraan ini bagi Rasulul Islam, Muhammad saw. Sebagaimana dalam lembaga ini ada petunjuk lain dalam penegasan prinsip ukhuwah, yakni bahwa sesungguhnya tauhidullah artinya menggugurkan

11Ibnul Qayyim menyebutkamiya dalam Zaadul Ma 'ad, perawinya adalah Abu Daud.

100 Karakteristik Islam

Page 99: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

mereka-mereka yang menuhan- kan dan menganggap tinggi kepada selain mereka. Ini adalah asas ukhuwah yang paling dalam. Sebagaimana pula syahadat bahwa "Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah", menunjukkan Muhammad itu bukan Tuhan, bukan pula separo Tuhan, sepertiganya dan bukan pula anak serta ke- turunan-Nya. Ini menegaskan esensi ukhuwah secara umum.

Keempat, Rasulullah saw. tidak hanya cukup menyebutkan persaudaraan itu sekali sepanjang umur atau dalam setahun, atau satu bulan atau satu minggu sekali. Akan tetapi, dari hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau mengulang-ulang menyebutkan kata persaudaraan itu setiap sele- sai salat atau lima kali sehari semalam. Ini sebuah bukti terhadap kepe- dulian dan perhatian besar beliau.

Kelima, bahwa Rasul saw. menjadikan persaudaraan itu sebagai dzi- kir dan doa untuk ibadat dan bertaqarrub kepada Allah dengan meng- ucapkannya secara berulang-ulang, dihubungkannya dengan salat dan se- lesai salat. Ini menegaskan kesucian dan kedudukannya yang tinggi dalam hati sanubari kaum Muslimin. Tidak ada satu pun prinsip di luar prinsip Allah dan petunjuk-Nya yang dapat menyamai keagungan prinsip Islam ini.

Persaudaraan ini akan bertambah kuat dan kokoh bila disertai dengan unsur iman, sehingga terpadulah ukhuwah diniyah (keagamaan) ke dalam ukhuwah insaniyah. Jika pintu iman sudah terbuka lebar-lebar bagi semua manusia tanpa ikatan, syarat, dan tidak pandang jenis atau ras, iklim atau kedudukan. Karena sesungguhnya ukhuwah diniyah yang ber- afiliasi pada iman dan sekaligus melibatkan akidah itu tidaklah melemah- kan persaudaraan yang berdimensi umum, bahkan saling menguatkan. Jadi, dengan demikian tidak ada kontradiksi (pertentangan) antara persaudaraan sesama manusia dengan persaudaraan keagamaan, yang dapat kita simak dalam firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. ” (Q.s. Al- Hujurat: 10).

Dan sabda Rasulullah saw.: “Orang Muslim itu adalah sesaudara dengan orang Muslim, maka tiada akan menzalimi dan menawannya. ” Islam telah mempraktekkan sistem persaudaraan yang luhur itu, dan menegakkannya di atas asasnya, sebuah masyarakat Rabbani sekaligus insan yang unik, dengan slogan:

“Tidak beriman seorang di antara kalian hingga mencintai sau- daranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.”

Konstruksi masyarakat semacam itu kita temukan di Madinah setelah hijrah, di bawah naungan akidah Islamiah, maka padamlah kobaran api pe,rmusuhan antara suku Aus dan Khazraj, mencairkan dinding pe- misah antara orang-orang Qahthon dan orang-orang keturunan suku Ad- nan di kalangan penduduk Arab.

Insaniyah 101

Page 100: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Sebagaimana juga kita lihat pada jalin- an mesra persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, hilanglah perbedaan antara orang-orang Arab dengan non-Arab, terhapuslah dinding pembeda antara si kaya dan si miskin, yang berperadaban dengan orang Badui (awam). Jadilah Masjidurrasul sebagai tempat yang demikian lapang yang menghimpun berbagai suku: dari Habsyi seperti Bilal, dari Persia seperti Salman, dari Rum seperti Suhaib, dan lain-lain dari kalangan generasi sahabat. Sebagaimana pula menghimpun (memper- satukan) orang-orang kaya semacam Ibnu ‘Auf dan Ibnu 'Affan, dan orang-orang yang fakir miskin semacam Abu Dzar dan Abu Hurairah. Di antara persaudaraan mereka tidak pernah terjadi riak perbedaan jenis, ras, wama kulit, suku, etnik, kelas, kedudukan atau status sosial, atau klaim-klaim kemanusiaan yang dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya.

Islam telah menyucikan jiwa dari kotoran-kotoran Jahiliyah, mem- bersihkannya dari dengki, hasud, dendam, egoisme, bakhil, dan bahkan sebagian jiwa itu telah naik ke derajat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) seperti kita lihat misalnya pada sikap Saad bin Rabi' Al- Anshari dan saudara seakidahnya Abdurrahman bin ‘Auf. Saat mena- warkan sebagian hartanya untuk dimiliki Abdurrahman. Dia juga mena- warkan salah satu istrinya agar dinikahinya, padahal istri adalah penye- juk jiwa dan penyedap mata.

Tradisi semacam itu sudah umum menjadi sikap kaum Anshar terhadap saudara-saudaranya kaum Muhajirin, sekalipun hams selalu ber- hadapan dengan tipu muslihat maupun makar orang-orang Yahudi dan munafik. Maka tidaklah mengherankan bila Allah mengabadikan sikap yang dimiliki orang-orang Mukmin itu dalam kitab suci-Nya. Al-Qur’an:

“Dan orang-orang yang sudah menempati kola Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka men.ci.ntai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka liada me- naruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka betikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya. mereka ilulah orang-orang yang beruntuiig." (Q.s. Al-Hasyr: 9).

Prinsip Emansipasi Manusia Adapun prinsip persamaan manusia yang diikrarkan dan diserukan Islam

dasamya adalah: bahwa Islam menghormati dan niemuliakan manusia sebagaimana kapasitasnya sebagai manusia, tidak dari yang lain- nya. Yakni manusia dari keturunan mana pun. ras atau wama kulit apa saja, tanpa membeda-bedakan antara satu unsur dengan unsur lain. Semua unsur kesukuan, ras maupun wama kulit tidak menjadi pertim- bangan sama sekali untuk menjadi unsur

102 Karakteristik Islam

Page 101: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

pembeda: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.s. AI-Hujurat: 113).

Rasulullah telah berkhutbah di hadapan manusia sesuai dengan makna ayat tadi pada haji wacia ’ (haji perpisahan) di pertengahan hari-hari tasyriq. Beliau bersabda:

“Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian adalah satu, bapak kalian adalah satu. Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih unggul bagi orang Arab atas orang ‘Ajami (non-Arab), orang non-Arab atas orang Arab, tidak juga bagi yang berkulit merah atas yang hitam, dan orang yang berkulit hitam atas yang merah kecuali dengan takwa. Sesungguhnya orang termulia di sisi Allah adalah orang yang paling ber takwa di antara kamu sekalian. ”

Dalam hadis yang lain disebutkan:

“Manusia adalah bani (keturunan) Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah. ”

Manusia dari negara dan bangsa mana pun, berkedudukan sama. Tidak ada perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa lain, satu iklim dengan iklim lain, tidak dikenal adanya diskriminasi ras. Semua negara maupun bangsa adalah milik Allah, dan seluruh manusia adalah hamba-ham- ba-Nya juga. Karenanya, tidak ada fanatisme suku maupun kebangsaan yang menjadikan sebagian penduduk sebuah negeri itu lebih unggul daripada yang lainrtya.

Insaniyah 103

Page 102: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Manusia dari status sosial mana pun, adalah sama. Tidak ada perbedaan antarkelas maupun antargolongan. Semua manusia sama, dan seluruh kaum Mukminin itu adalah bersaudara. Kekayaan dan kemiskinan (bahkan kefakiran) itu tidak menjadi ukuran untuk mendahulukan atau mengakhirkan manusia, bahkan seharusnya mereka dipergauli sesuai keadaan mereka, dan masing-masing diberi haknya yang proporsional, tanpa mempertimbangkan anggapan-anggapan di atas tadi.

Dengan demikian, maka tidak ada pertimbangan-pertimbangan status sosial sebagaimana yang dilakukan oleh banyak masyarakat, dahulu dan kini. Juga sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memperkuat teori filsafat mereka yang hitam dan penuh kedengkian, yang hanya mengakui satu status sosial dengan menghancurkan status-status sosial yang lain.

Bahkan ummat (manusia) dari agama apa pun, maka perbedaan agama-agama itu tidak menjatuhkan predikat dan mencerabut unsur-unsur kemanusiaan mereka. Bahkan Nabi Muhammad saw. berdiri di depan je- nazah, lalu dikatakan kepada beliau, "Jenazah itu adalah orang Yahudi!" Rasul saw. pun bersabda, “Bukankah dia juga jiwa (baca: manusia)?" (H.r. Bukhari).

Jadi, sebenamya tidak ada kedudukan bagi jenis yang diunggulkan, tidak juga bagi bangsa pilihan. Tidak juga bagi kelas penguasa maupun bagi suatu keluarga yang mempunyai hak memimpin orang lain.

Terkadang manusia mengalami perbedaan dari aspek jenis dan unsur-unsur serta atribut-atribut mereka. Di antara mereka ada bangsa Aria, As-Saami, Al-Haami, Al-’Arabi dan ‘Ajami.

Terkadang ada perbedaan nasab (keturunan), ada yang nasabnya bangsawan dan ada yang nasabnya berakhir pada keluarga dari kalangan rakyat jelata.

Terkadang ada perbedaan dalam hal harta kekayaan, maka muncul kelompok kaya, ada kelompok fakir, dan ada kelompok menengah.

Dalam pekerjaan, pangkat maupun kedudukan mereka berbeda-beda. Ada yang menjabat di pemerintahan (yang memerintah), rakyat, in- sinyur, buruh, dosen, petugas keamanan penjaga pintu, dan seterusnya.

Namun, semua perbedaan di atas tidak harus menjadikan satu pihak lebih memiliki nilai kemanusiaan daripada pihak lain hanya karena jenis ras, wama, kedudukan, kekayaan, pekerjaan, atau kelas atau pertimbang- an lainnya.

Nilai kemanusiaan untuk semua kalangan itu hanya satu. Arab adalah manusia, non-Arab, yang berkulit putih, berkulit hitam, pemerintah, rakyat, si kaya, koriglomerat, si fakir dan miskin, majikan, buruh, laki-la- ki, wanita, yang merdeka, masih hamba sahaya, semuanya itu adalah termasuk manusia. Selama mereka masih berpredikat manusia, maka mereka sama, seperti gigi-gigi sisir yang tergabung menjadi satu.

Bertitik tolak dari itulah, Islam menganggap permusuhan terhadap manusia,

104 Karakteristik Islam

Page 103: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

identik dengan memusuhi seluruh ummat manusia . Sebagaimana orang yang telah menyelamatkan atau menolong satu jiwa, berarti telah menolong semua manusia. Hal inilah yang ditetapkan dalam Al-Qur’an secara gamblang:

bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. ” (Q.s. AI-Maidah: 32).

Syiar Ritual Islam Membuktikan Makna Emansipasi Islam tidak sekadar mencetuskan prinsip persamaan dalam bentuk teori dan

gagasan semata, tetapi Islam menegaskannya secara operasi- onal nyata dengan hukum-hukum, dan ajaran-ajaran dari sebuah fikrah (gagasan) menjadi realitas terapan. Contoh untuk itu adalah syiar: ibadat yang diwajibkan oleh Islam dan menjadikannya sebagai rukun-rukun amaliah, dimana di atasnya tertancap tegak bangunan Islam yang kokoh, yakni salat, zakat, puasa, dan haji.

Maka, di dalam masjid — dimana didirikan salat Jum’at maupun salat jamaah — persamaan ini digambarkan secara amaliah dan, segala un- sur, yang dapat membedakan manusia ditiadakan. Oleh karena itu, siapa pun yang datang ke masjid lebih awal (pertama), ia berhak menempati shaf (barisan) terdepan sekalipun dari golongan orang miskin dan mempunyai kedudukan yang paling rendah. Sebaliknya, barangsiapa datang kemudian (terlambat) pasti akan mendapatkan shaf deretan belakang, kendati dia berasal dari kelas elite. Dapat dibayangkan, bila Anda men- coba melihat satu shaf dari sekian shaf orang yang melakukan salat, di situ Anda akan mendapatkan orang kaya berdampingan dengan orang miskin, yang berilmu (terpelajar) di samping orang yang buta huruf, yang baik keturunannya di samping rakyat jelata, dan bahkan kepala negara di samping seorang pembantu atau pelayan. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Semuanya sama di hadapan Allah, baik ketika mereka berdiri, duduk, ruku’, sujud. Kiblat mereka satu. Kitab mereka satu. Rabb mereka juga satu. Gerakan mereka satu, sama-sama di belakang satu imam.

Di tanah suci — tempat manasik haji — persamaan akan lebih tam- pak dan gamblang, dapat dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan. Kalau dalam satu shaf salat orang memakai busana yang berbeda-beda dengan mode yang beragam karena perbedaan suku, negara ataupun ke- las sementara dalam haji dan umroh, semua jamaah calon haji dan orang yang melakukan umroh itu harus menanggalkan busana tradisi ataupun yang biasa mereka kenakan sehari-hari. Kemudian menggantinya dengan pakaian putih yang belum dibentuk (belum didesain) dan dijahit, seolah- olah kain kafannva orang mati. Semuanya sama, antara manusia pengua- sa dan rakyat lemah, antara raja dan rakyat jelata, kemudian mereka be- rangkat dengan mengucapkan ucapan yang sama pula:

Insaniyah 105

Page 104: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Labbaika Al- lahumma Labbaika. Mereka menuju satu Rabb, bertawaf di Baitul Ha- ram, mengagungkan syiar-syiar-Nya, tidak ada lagi perbedaan antara tu- an dan hamba, pemerintah maupun rakyat.

Emansipasi di Hadctpan Undang-undang Islam Termasuk emansipasi operasional yang telah ditetapkan Islam secara teoritis

dan dipraktekkan dalam perbuatan nyata adalah: emansipasi di hadapan undang-undang dan hukum-hukum Islam.

Maka, yang halal itu adalah halal untuk semua kalangan. Yang haram adalah haram untuk semua kalangan. Yang wajib harus dilaksanakan oleh semua kalangan, dan hukuman harus ditegakkan dan diberlakukan untuk semua kalangan.

Suatu ketika ada salah satu kabilah masuk Islam dan minta dispen- sasi (keringanan) untuk meninggalkan salat untuk sementara waktu. Per- mintaan tersebut ditolak oleh Rasulullah saw. seraya bersabda: “Tidak ada kebaikan dalam agama tanpa ada salat di dalamnya.”

Ada sementara sahabat yang berusaha meminta kalabelece dari Usamah bin Zaid — yang sangat dicintai Rasul saw. — dalam kasus seorang wanita dari suku Quraisy bani Makhzum yang mencuri dan harus dijatuhi hukuman potong tangan. Lalu, Usamah yang dicintai Nabi saw. itu, membicarakan hal tersebut kepada beliau, dan beliau pun marah, sebagaimana kata-kata yang beliau lontarkan itu diabadikan oleh sejarah:

“Sesungguh nya usahanya orang-orang sebelum kamu adalah apabila yang mencuri itu elite masyarakat, mereka tidak menjatuhkan hukuman kepadanya. Namun apabila yang mencuri rakyat jelata, mereka menjatuhkan hukuman. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya Muhammad sendiri yang akan memotong tangannya!”

Pada masa Khulafaur-Rasyidin kita telah banyak mendapati berbagai ilustrasi dan contoh gamblang bagaimana penerapan prinsip emansi- pasi itu di tengah-tengah kehidupan manusia, tanpa perbedaan dan pandang bulu. Barangkali cukuplah bagi kita untuk mengungkap satu kisah, yakni kisah tentang Jabalah bin Al-Aiham (pemimpin Ghossan) dengan seorang Badui. Sang Badui mengadu kepada Umar bin Khaththab r.a. bahwa dia telah ditempeleng Jabalah tanpa sebab. Umar r.a. tidak mau memutuskan sebelum Jabalah hadir. Umar r.a. memutuskan supaya Badui itu melakukan qishash, yakni tempelengan dengan tempelengan, kecuali sang Badui memaafkan. Namun Jabalah sang Pemimpin suku Ghossan enggan untuk menerima keputusan itu. Dengan congkak ia berkata kepada Umar r.a, "Bagaimana qishash itu diberlakukan atas diriku, se- dangkan aku ini Pemimpin, sementara dia rakyat jelata?"

Umar r.a. pun menjawab, "Sesungguhnya Islam telah memandang Anda berdua sama!"

106 Karakteristik Islam

Page 105: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Kiranya sang Amir tadi (Jabalah) tidak memahami makna besar ini, dan lantas ia pun kabur (melarikan diri) dari Madinah sembari murtad dari Islam disebabkan penerapan persamaan dalam Islam antara seorang yang berkuasa dengan rakyat jelata menurut undang-undang syariat Allah. Dia pun menderita dan termasuk orang-orang yang merugi.

Baik Umar maupun kalangan sahabat lainnya tidak peduli dengan akibat dari kasus tersebut, sebab murtadnya seseorang dari Islam itu ja- uh lebih ringan daripada mengesampingkan salah satu prinsip besar dalam Islam, yakni emansipasi (persamaan). Dan kerugian individu tidak dapat dibandingkan dengan kerugian tidak diterapkannya prinsip Islam.

Kami juga akan memaparkan kisah Khalifah Umar r.a. bersama gubemumya di Mesir, Amru bin Ash. Putra Amru bin Ash telah memukul penduduk dari suku Qibthi secara agak kasar dan disertai kata-kata bahwa dia masih termasuk keturunan yang memiliki "titisan darah biru" (keturunan orang terhonnat). Orang Qibthi ini akhimya pergi dari Mesir ke Madinah untuk melaporkan kejadian itu sembari menuntut keadilan. Umar, yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, tidak dapat bertindak kecuali memanggil Amru bin Ash dan putranya tadi. Kemudian Umar menyuruh Ibnul Qibthi untuk memukul putra Amru tadi, sebagaimana ia dipukul, sembari beliau mengatakan dengan ungkapan yang sangat ter- kenal.

"Sejak kapan Anda memperbudak manusia, sedangkan ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?"

Yang penting untuk kita perhatikan dan kita catat di sini adalah sikap Al-Qibthi dan perjalanannya yang ditempuh dari Mesir ke Madinah yang jaraknya sangat jauh, jalannya sulit dan sarana transportasi amat jarang ketika itu. Padahal dulu Al-Qibthi dan (tentunya) ribuan manusia yang senasib dengannya: dipukul, disiksa baik anak-anak maupun keluarga mereka pada masa pemerintahan Romawi. Mereka tidak dapat mengadu dan bergerak sedikit pun.

Anda lihat, apa yang kemudian tiba-tiba datang kepada mereka? Apa yang mengubah pandangan mereka, sehingga mereka merasa sadar kalau diri mereka sedang dizalimi? Dan apa yang membuat mereka berani untuk menggugat tindak kesewenangan itu di saat mereka merasa demikian sulit meniti jalan untuk mencapai keadilan? Yang menjadikan mereka berani seperti itu adalah Islam. Memang tidak diragukan lagi, Islam telah menjadikan mereka peka akan kemuliaan kemanusiaannya. Islam membuat mereka paham (insaf dan sadar) bahwa mereka mempunyai hak-hak yang harus dijaga, sebagaimana mereka juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka tahu dan menyadari bahwa prin- sip-prinsip kemanusiaan yang baru ini bukan sekadar goresan tinta di atas kertas dan bukan pula spanduk-spanduk propaganda, tetapi prinsip ke-manusiaan itu adalah bagian dari agama yang harus dihormati dan direa- lisasikan.

Insaniyah 107

Page 106: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a., pernah suatu ketika baju besi beliau jatuh dan ditemukan oleh seorang Nasrani, sementara beliau tahu kalau dia yang menemukannya, sembari berkata, "Ini adalah baju besi saya!" Tetapi sang Nasrani tadi mengelak dan meng- klaim bahwa baju besi itu miliknya. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. tiada kuasa — untuk memaksanya — kecuali berkata kepadanya, "Antara saya dan Anda sekarang harus menyelesaikan masalah ini secara hukum!" Keduanya pun pergi menemui seorang hakim yang bemama Syuraih. Setelah sang hakim mendengarkan perdebatan antara keduanya, dia minta kepada sang khalifah (Ali bin Abi Thalib r.a.) untuk menunjukkan bukti atas dakwaannya, atau didatangkan saksi. Namun ter- nyata beliau tidak punya saksi. Lalu sang hakim memutuskan bagi sang Nasrani bahwa baju besi tersebut miliknya.

Si Nasrani terperanjat heran atas putusan sang hakim tadi karena ia tidak menduga sebelumnya, ia berkata, "Saya bersaksi bahwa hukum- hukum semacam ini adalah hukum para Nabi, Amirul Mukminin pergi bersama saya kepada seorang hakim dan memutuskan kebenaran bagi saya, hakim tahu kalau beliau (Ali bin Abi Thalib) tidak akan berbohong, maka sekarang saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Baju besi ini adalah milik Anda wahai Amirul Mukminin yang tadi telah jatuh, lalu saya memungutnya."

Amirul Mukminin berkata, "Kalau Anda memeluk Islam, maka baju besi ini saya hadiahkan kepada Anda."

Sistem apakah di dunia ini yang diberlakukan bagi kepala negara se-bagaimana diberlakukan atas rakyat yang dipimpinnya, selain sistem Islam?

Bagaimana Emansipasi dalam Peradaban Ummat, Ketika Islam Tampil ke Permukaan ?

Nilai emansipasi dalam Islam tidak akan pemah diketahui kadamya kecuali oleh orang yang menelaah terhadap bangsa-bangsa ketika awal kemunculan Islam. Ketika itu bagaimana perbedaan dan persaingan ter- jadi begitu tajam di antara manusia sambil menghina-dinakan kehormat- an manusia. Berikut ini kami cukup mengemukakan sepintas tentang dua negara yang cukup termasyhur dalam sejarah, yaitu Persia dan India.

Sebagai penguasa di Persia ada sejumlah kaisar yang mengklaim bahwa pembuluh-pembuluh mereka dialiri oleh darah Tuhan. Penduduk Persia memandang mereka itu sebagai tuhan. Penduduk Persia berkeya- kinan bahwa tabiat kejiwaan para kaisar adalah tinggi dan kudus. Maka, para penduduk di sana sangat menghormati dan menyenandungkan lagu- lagu ketuhanan, memandang mereka itu kebal hukum dan di atas manusia biasa, sehingga tidak ada yang berani menyebut-nyebut nama mereka, tidak berani menempati tempat duduk mereka, dan berkeyakinan bahwa mereka mempunyai hak bagi setiap

108 Karakteristik Islam

Page 107: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

manusia, dan manusia tidak mempunyai hak sama sekali terhadap mereka. Di antara keyakinan mereka itu terdapat dalam bait-bait syair spiritual,

bahwa kaisar-kaisar adalah para pemuka di kalangan kaum mereka. Para penduduk berkeyakinan bahwa mereka memiliki unsur-unsur cipta- an dari tanah yang kualitasnya jauh di atas manusia pada umumnya. Akal dan jiwa mereka berkemampuan di atas kemampuan manusia biasa. Karenanya, mereka diberi kekuasaan yang tiada terhingga (tidak ada ba- tasnya), dan para penduduk juga patuh sepenuh hati kepada mereka.

Seorang profesor bemama Either Sin yang mengarang sejarah Iran jl 'Ahdi As Sci-Saniyyin, mengatakan: "Masyarakat itu berdiri atas dasar ketumnan dan mata pencaharian. Di antara strata masyarakat terdapat jurang pemisah yang demikian renggang, tiada jembatan membentang, yang dapat menghubungkan antara satu strata masyarakat dengan strata masyarakat yang lain. Di antara masyarakat umum terjadi perbedaan yang sangat jelas. Masing-masing mereka mempunyai batasan-batasan tertentu dalam kehidupan bermasyarakat."

Dalam perbedaan yang terjadi antarstatus sosial itu terdapat peng- hinaan bagi kemanusiaan yang tampak jelas dalam majelis-majelis pe- merintahan dan orang-orang terhormat dimana manusia-manusia me- laksanakan kehendak pemerintah, seolah-olah mereka benda mati yang tidak bergerak dan kedudukannya tidak lebih seperti anjing.

Adapun di India, Allamah Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwi me- nyebutkan: "Bahwa dalam sejarah ummat manusia belum pemah dikenal adanya sistem undang-undang operasional yang sangat keras, sangat mengambil jarak antarkelas manusia, dan sangat menghina kehormatan manusia melebihi sistem yang dianut masyarakat India sebagai agama dan kebudayaan, dipatuhi sejak ribuan tahun dan masih tetap (berlaku) sampai sekarang."

Tiga abad sebelum kelahiran Al-Masih (s.M.) peradaban Brahma telah mengalami kemajuan yang pesat, dan berhasil meletakkan (menetapkan) peraturan bam bagi masyarakat India. Membuat aturan main dan undang-undang bagi tradisi dan politik yang disepakati oleh negara sehingga menjadi peraturan resmi dan sebagai rujukan agama dalam peri- kehidupan bemegara dan berbudaya. Yaitu, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan "sistem kasta". Dalam sistem ini manusia dibagi menjadi empat kasta: (1) Kasta Brahmana, kelas pendeta dan pemuka agama. (2) Kasta Syatria, kelas pasukan atau panglima perang. (3) Kasta Waisya, kelas para petani dan pedagang. (4) Kasta Sudra, kelas terendah (gelandangan).

Manua (Manu), pencetus sistem itu berkata: "Sesungguhnya Sang Penguasa Mutlak menciptakan Brahma dari mulutnya, Syatria dari ta- ngannya, Waisya dari pahanya, dan Sudra dari kakinya. Kemudian mem- bagi tugas dan kewajiban

Insaniyah 109

Page 108: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

untuk kemaslahatan alam. Brahma bertugas mengajarkan kitab Weda atau mempersembahkan sesaji kepada tuhan- tuhan dan sekaligus memberikan sedekah. Syatria bertugas menjaga ke- amanan manusia, bersedekah, mempersembahkan sesaji. mempelajari kitab suci Weda dan menjauhkan diri dari syahwat. Waisya bertugas meng- gembala binatang, membaca kitab suci Weda, berdagang dan bertani. Sudra tidak mempunyai tugas kecuali mengabdi kepada ketiganya."

Peraturan (undang-undang) ini telah memberikan tingkatan kedudukan (kasta) yang sangat istimewa bagi Brahma, dan memberikan hak ketuhanan kepadanya, seraya menegaskan: "Sesungguhnya Brahma adalah pilihan Dewa dan raja semua makhluk. Apa yang ada di alam ini adalah kerajaan atau kekuasaannya. Dia adalah makhluk paling utama dan pemimpin di muka bumi. Dia berhak mengambil harta milik Sudra se- maunya, karena bagi hamba itu tidak layak memiliki sesuatu, dan semua hartanya adalah milik tuannya semata."

Sesungguhnya Brahmalah yang menjaga (melindungi) kitab suci Weda. Dengan demikian, telah terampuni dosanya, walaupun tiga dunia pe- nuh dengan dosa-dosa dan amal-amal perbuatannya. Tidak boleh bagi penguasa di saat musim paceklik untuk menarik pajak kepadanya. Kalau temyata Brahma harus dijatuhi hukuman mati, maka bagi sang hakim tidak boleh membunuhnya kecuali mencukur rambutnya saja, adapun se- lainnya (selain Brahma) silakan dibunuh!

Adapun Syatria, meski kedudukannya dua tingkat di atas Sudra (kelas terakhir/terendah), namun dia berada jauh di bawah Brahma. Manu menyebutkan: "Brahma yang masih bam menginjak usia sepuluh tahun sudah melebihi Syatria yang telah mendekati usia seratus tahun, sebagaimana seorang ayah lebih unggul dari anaknya."

Sementara Sudra dalam masyarakat India, lebih rendah daripada binatang dan lebih hina dari anjing! Peraturan (undang-undang) menjelas- k'an bahwa termasuk kebahagiaan dan kehormatan bagi Sudra jika dia dapat mengabdikan diri sepenuhnya kepada Brahma, selain itu dia tidak akan mendapatkan balasan dan pahala.

Mereka dilarang mengumpulkan atau menyimpan harta kekayaan, karena hal itu akan menyakiti Brahma. Jika ada seorang Sudra menjulur- kan tangan atau tongkatnya kepada Brahma karena marah, maka raja hams menyetrika pantat Sudra tadi. Jika memegangnya dengan tangan atau mencacinya, maka lidahnyahams dipotong. Jika mengaku bahwa dia mengajarinya, maka hams disiram dengan minyak yang mendidih (meng- gelegak). Hukuman bagi anjing, kucing, katak, cecak, burung gagak, bu- mng hantu, dan seorang dari Sudra itu sama.

Kedudukan wanita di tengah-tengah masyarakat sama seperti kedudukan hamba sahaya. Terkadang terjadi sang suami hams merelakan istrinya dalam meja perjudian. Suatu ketika, wanita dapat memiliki ba- nyak suami (poliandri),

110 Karakteristik Islam

Page 109: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

jika suaminya sudah meninggal, dia hidup men- janda dan tidak boleh menikah lagi. Dia menjadi sasaran penghinaan. Bahkan dia dapat menjadi budak bagi saudara wanita suaminya yang mati tadi. Terkadang sampai ada yang membakar diri setelah kematian suaminya untuk menghindari siksa kehidupan dan pahitnya dunia.

Maka hendaklah bagi yang adil dan bijak membandingkan antara sistem tersebut dengan apa yang dibawa oleh Islam, agar tahu perbedaan antara kegelapan dan cahaya.

Kita patut mengetahui bahwa Islam itu menyeru kepada emansipasi secara teoritis dan dipraktekkan atau diterapkan dalam amaliah nyata. Di atas emansipasi ini, Islam membangun sebuah masyarakat yang siap menghancurleburkan perbedaan-perbedaan yang menegakkan dinding pemisah antarsesama manusia. Apakah itu berupa perbedaan rasial, iklim, ras, kelas, dan wama kulit, sebagaimana hal itu dengan jelas kita lihat dalam lembaran-lembaran peradaban Islam dan seperti kita lihat sekarang di tengah-tengah masyarakat Muslim, dengan segala penyimpangan dari hakikat Islam.

Islam telah menghapus perbedaan-perbedaan jenis, kelas, wama kulit maupun ras dari jiwa setiap pemeluknya yang telah mendominasi masyarakat banyak dan hingga sekarang masih bertahan mendominasi masyarakat lain. Sesungguhnya jutaan kaum Muslimin sepanjang abad telah mengungkapkan tentang Bilal r.a. — seorang budak hitam — yang telah dibeli oleh Abu Bakar r.a. dan dimerdekakannya. Sayyidina Bilal r.a. menjadi sangat terhormat dan membanggakan. Sehingga Umar r.a. — orang nomor tiga dalam Islam — mengatakan tentang Abu Bakar, “Dia (Abu Bakar) adalah sayyiduna (tuan kita), dan aku telah memerdekakan sayyidana (tuan kita).”

Sementara peradaban Barat telah memproklamirkan emansipasi hanya sekadar sebagai prinsip dan idealisme belaka, namun tidak mampu untuk menegakkannya di tengah-tengah masyarakatnya. Sampai sekarang persoalan rasialisme masih tetap ada. Kita telah banyak membaca dan mendengar — kalau tidak banyak menyaksikan — masalah rasialisme di Afrika Selatan dan negara-negara lainnya di kawasan Afrika, juga di sebagian wilayah (negara) bagian Amerika Serikat yang membedakan antara orang yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam sampai pada tingkat pembedaan tempat ibadat, maka orang-orang yang berkulit putih mempunyai gereja tersendiri sebagaimana juga orang-orang kulit hitam mempunyai gereja sendiri.

Pada suatu hari ada seorang kulit hitam (Negro) salah memasuki gereja untuk kalangan yang berkulit putih. Saat itu sang pendeta tengah berkhutbah dan memberi nasihat. Dia melihat ada wajah aneh di antara hadirin, maka kemudian dia mengeluarkan kertas dan diberikan kepada orang kulit hitam tadi. Ketika orang yang berkulit hitam tadi membu- kanya, dia mendapatkan tulisan berbunyi: “Alamat gereja untuk orang yang berkulit hitam di jalan ini . . .!”

Insaniyah 111

Page 110: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Di Rusia ada seorang pemuda Afrika yang sedang menempuh studi- nya (belajar) di Moskow, jatuh cinta kepada seorang pemudi yang ber- kulit blonde (merah kekuningan). Lalu dada kawula muda Sovyet sesak oleh amarah, bukan karena percintaan antara dua sejoli itu, karena di Sana masalah percintaan sangat boleh, tetapi karena sang pemuda Afrika tadi dianggap merusak kehormatan wama kulit. Pada hari berikutnya ditemukanlah mayat pemuda Afrika itu tergeletak di jalan. Para maha- siswa Afrika serentak mengadakan demonstrasi atas kematian teman- nya. Namun para mahasiswa Rusia melakukan hal yang sama seraya melontarkan kata-kata kasar dan kecaman pedas (kepada mahasiswa- mahasiswa Afrika): “Kembalilah kalian ke hutan, wahai kera-kera!” Sesungguhnya ruh peradaban Barat — baik liberalisme ataupun ko- munisnre — adalah ruh perbedaan dan kesombongan, dan bukan ruh persaudaraan maupun emansipasi.

112 Karakteristik Islam

Page 111: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Ill SYUMUL

(UNIVERSAL)

Dengan berbagai dimensi dan jangkauan jauh yang dikandungnya, syiimul adalah termasuk karakteristik yang membedakan Islam dari sega- la sesuatu yang diketahui manusia dari agama-agama, filsafat-filsafat dan mazhab-mazhab (aliran-aliran).

Bahwa sesungguhnya Islam itu syumul (universal) yang meliputi se- mua zaman, kehidupan dan eksistensi (keberadaan) manusia.

As-Syahid Hasan Al-Banna telah mengungkapkan jangkauan syumul dalam risalah Islam ini, seraya berkata:

“Adalah risalah yang panjang terbentang sehingga meliputi (men- cakup) semua abad sepanjang zaman, terhampar luas sehingga meliputi semua cakrawala ummat, dan begitu mendalam (mendetail) sehingga memuat urusan-urusan dunia dan akhirat.”

Risalah Semua Zaman Islam adalah risalah untuk semua zaman dan generasi, bukan risalah yang

terbatas oleh masa atau masa tertentu dimana implementasinya ber- akhir seiring dengan berakhimya zaman tadi. Sebagaimana risalah-risa- lah Nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Setiap Nabi sebelum beliau, di- utus untuk marhalah (periode) tertentu dan zaman yang terbatas, sehingga bila sudah berakhir periode itu, maka Allah pun mengutus Nabi lain.

Adapun Muhammad saw. adalah Khatamun Nabiyyin (pamungkas sekalian para Nabi). Risalahnya adalah risalah abadi yang ditakdirkan Allah akan tetap bertahan sampai hari Kiamat dimana Allah akan melipat dan menggulung bentangan alam semesta ini. Risalah Nabi Muhammad saw. mengandung hidayat Allah yang paling akhir bagi manusia. Maka tidak ada syariat lainnya setelah Islam. Tidak ada kitab lagi setelah Al- Qur’an, dan tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad saw. Tidak ada se- orang Nabi pun sebelum Nabi Muhammad saw. yang menyatakan bahwa risalahnya adalah risalah penutup dan tidak akan ada lagi Nabi sesudah- nya. Bahkan Taurat memberikan kabar gembira tentang datangnya Nabi yang akan datang setelah Musa a s. Dan Injil pun menyampaikan kabar gembira tentang Nabi yang akan datang setelah Isa a s, dan dialah yang akan menjelaskan semua kebenaran serta tidak berbicara dari dirinya sendiri [apa yang disampaikannya adalah berdasarkan wahyu],

Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah risalah masa depan, begitu pula Islam adalah risalah masa lalu. Secara substansial—dasar-dasar akidah dan moralnya —

113

Page 112: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Islam adalah risalah setiap Nabi yang diutus dan risalah (misi) setiap kitab suci yang diturunkan. Maka semua Nabi diutus dengan membawa risalah (misi) Islam, menyerukan tauhid dan menjauhi thaghut (setan). Dan inilah yang digariskan Al-Qur’an secara gamblang dan meyakinkan:

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, me- lainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak'ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Q.s. Al-Anbiya’: 25).

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’.” (Q.s. An-Nahl: 36).

Semua Nabi menyatakan bahwa mereka adalah Muslim, dan ber- dakwah kepada Islam.

Nabi Nuh a.s. berkata, “... dan aku disuruh supaya aku (ermasufi golongan orang-orang Muslim (yang berserah diri kepada-Nya)(Q.s. Yunus: 72).

Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s. berkata: “Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua Muslim (orang yang tunduk patuh

kepada Engkau) dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami ummat Muslim (yang tunduk patuh kepada Engkau) ...” (Q.s. Al-Baqarah: 128).

Baik Nabi Ibrahim a.s. dan Ya’kub a.s, mereka berdua mewasiat- kan kepada putranya masing-masing:

“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Q.s. Al-Baqarah: 132).

Yusuf a.s. berdoa kepada Rabbnya, “... wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh. ” (Q.s. Yusuf: 101).

Nabi Musa a.s. berkata, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar Muslim (orangyang berserah diri).” (Q:s. Yunus: 84).

Setelah beriman kepada Nabi Musa a.s, para tukang sihir Fir’aun berkata, “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wa- fatkanlah kami dalam keadaan Muslim (berserah diri kepada-Mu).” (Q.s. Al-A’raf: 126).

Nabi Sulaiman a.s. diutus kepada Ratu Balqis dan kaumnya: “Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah

kepadaku sebagai orang-orang Muslim (yang berserah diri). ” (Q.s. An-Naml: 31). Kaum Hawariyyin (sahabat-sahabat Nabi Isa a.s.) berkata kepada Nabi Isa a.s,

“Kami beriman kepada Allah', dan saksikanlah bahwa se- sungguhnya kami adalah orang Muslim (yangmenyerahkan diri). ” (Q.s. Ali Imran: 52).

Jadi secara substansial, Islam adalah risalah bagi setiap Nabi yang diutus dari sisi Allah sejak masaNuh a.s. sampai Muhammad saw. Islam adalah risalah bagi seluruh zaman.

Risalah bagi Seluruh Alam Semesta Jika risalah Islam ini tidak terbatas oleh waktu (masa) maupun ge- nerasi

114 Karakteristik Islam

Page 113: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tertentu, maka Islam pun tidak terbatas oleh tempat dan ummat, tidak pula terbatas kepada bangsa maupun status sosial tertentu.

Islam adalah risalah yang syumul (universal), yang berbicara kepada seluruh ummat, suku, bangsa dan semua status sosial.

Islam bukan risalah bagi bangsa tertentu yang mengklaim bahwa mereka sajalah merupakan bangsa yang dipilih Allah, dan bahwa semua manusia harus tunduk kepadanya!

Islam bukan risalah untuk daerah (wilayah) tertentu, yang semua daerah di muka bumi ini harus tunduk menganutnya, menikmati rezeki dan memetik buahnya.

Islam bukan risalah untuk kelas tertentu yang dalam aktivitasnya me- nundukkan kelas-kelas yang lain untuk mengabdikan diri demi kemasla- hatannya. Atau mengikuti kemauan-kemauannya, atau mengekor di bela- kangnya, baik kelas yang dikuasai ini terdiri atas orang-orang kuat atau dhu 'afa (lemah), kaum elite atau hamba sahaya, orang-orang kaya atau fakir miskin dan kaum papa. Islam adalah risalah bagi mereka semua, bukan untuk golongan tertentu, sementara yang lain tidak. Memahamkan, menjelaskan dan berdakwah (menyerukan) kepada risalah Islam bukan hanya dominasi kelas tertentu sebagaimana asumsi mayoritas (kebanyak- an) manusia.

Islam benar-benar merupakan hidayat Rabb manusia bagi segenap manusia, rahmat bagi sekalian hamba-Nya. Dan hal inilah yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an sejak fase (periode) Mekkah. Anda dapat mem- bacanya dalam firman Allah:

“Dan tiadalahKami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.s. Al-Anbiya’: 107).

“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua (Q.s. Al-A’raf: 158).

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Q.s. Al-Furqan: 1).

“Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. ” (Q.s. Shaad: 87).

Sebagian kaum orientalis menuduh bahwa Nabi Muhammad saw. itu pada mulanya tidak menyatakan bahwa dia diutus untuk seluruh manusia, tetapi dia melakukan (baca: menyatakan) itu setelah kaumnya yang terdiri dari bangsa Arab mengalami kemenangan. Namun ayat-ayat yang telah kami sebutkan tadi sebagai jawaban bagi mereka. Mereka suudz- dzan (berprasangka buruk), sebab ayat-ayat tersebut semuanya termasuk dari surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah)! Dan ayat senada yang merupakan awal-awal diturunkannya Al-Qur’an, sangatlah* banyak.

Risalah bagi Totalitas Manusia

Syumul 115

Page 114: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Islam adalah risalah bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai insan yang kamil (sempuma).

Islam bukan saja sebagai risalah bagi akal manusia tanpa ruhnya, bukan untuk ruhnya tanpa jasadnya, bukan pula untuk pikirannya tanpa pe- rasaannya. Tidak juga sebaliknya.

Islam benar-benar sebagai risalah bagi manusia secara total: ruh, akal, fisik, dhamir, kemauan, instink maupun naluri, seperti yang telah kami jelaskan dalam "Karakteristik Insaniyah".

Islam tidak memisahkan manusia dalam dua bagian sebagaimana dilakukan agama-agama lain: bagian ruhani diarahkan oleh agama, dan ditujukan ke tempat ibadat. Bagian ini untuk spesialis para pendeta. Di dalamnya mereka dapat membuat hukum dan manusia hams melaksana- kannya. Bagian yang lain adalah sisi material, dimana agama dan para pemukanya tidak mempunyai kekuasaan apa pun di sana. Bagian ini ada- lah untuk kehidupan, untuk dunia politik, masyarakat dan negara. Dan ini pada kenyataannya merupakan bagian terbesar dari kehidupan manusia.

Anda dapat melihat, apakah hal ini sudah sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia sebagaimana diciptakan oleh Allah?

Temyata sama sekali tidak sesuai, manusia — sebagaimana diciptakan Allah — tidaklah terpecah-pecah dan terbagi-bagi. Manusia adalah kesatuan yang sempuma dan satu eksistensi, ruhnya tidak berpisah dari materi, dan materinya tidak berpisah dari ruh, akalnya tidak berpisah dari perasaan, dan perasaannya tidak berpisah dari akal. Manusia adalah sebuah kesatuan yang tidak terbagi-bagi menjadi jasad, ruh, akal, dan hati nurani.

Karenanya, tujuan, sasaran dan jalannya hams satu. Dan inilah yang telah ditetapkan Islam. Islam menjadikan tujuan manusia yaitu Allah, dan sasarannya adalah akhirat.

Dengan demikian, manusia tidak akan terpecah menjadi dua asuhan yang berbeda, atau antara dua kekuatan yang saling bertentangan: yang ini menyuruh ke Timur, yang itu menyuruh ke Barat. Seperti budak yang mempunyai majikan lebih dari satu, yang satu memerintahkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh yang lain, maka perannya terpecah-pecah dan hatinya terbagi sebagaimana diungkap oleh Al-Qur’an dalam firman- Nya:

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perseli- sihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-la- ki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya?" (Q.s. Az-Zumar: 29).

Risalah bagi Manusia dalam Semua Fase Kehidupan Islam adalah risalah bagi manusia secara total. Islam juga merupakan risalah

bagi manusia dalam semua fase kehidupan dan wujudnva. Ini sebuah fenomena lain

116 Karakteristik Islam

Page 115: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dari fenomena-fenomena syumuliyasul Islam (in- tegritas Islam). Risalah Islam adalah hidayat Allah yang senantiasa menyertai manusia ke

mana pun menghadap dan berjalan dalam perkembangan-per- kembangan hidupnya. Islam menyertai manusia semenjak manusia itu masih bayi, kanak-kanak, remaja; dewasa dan sampai masa tua. Dalam semua periode ini, Islam telah menetapkan bagi manusia manhaj terbaik yang dicintai dan diridhai Allah.

Maka tidaklah mengherankan apabila dalam Islam Anda dapatkan hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang berhubungan dengan bayi sejak dia dilahirkan, misalnya menghindarkan rasa sakit darinya, mengumandang- kan adzan di telinganya, memilih nama yang baik, menyembelih (menye- lenggarakan) akikah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, dan la- in-lain sebagaimana telah banyak dijelaskan oleh para ulama seperti Ib- nul Qayyim dalam buku yang khusus membahas masalah tersebut dengan judul Tuhfatul Maudud ft Ahkamil Maulud.

Kita dapatkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah pe- nyusuan, berapa lama, kapan seharusnya disapih dan siapa yang me- nyusuinya, siapa yang berkewajiban memberi nafkah kepada sang ibu khususnya ketika terjadi talak dimana sang istri harus berpisah dari sua- minya. Dalam hal ini Al-Qur’an diturunkanguna menjelaskandan mengu- pas secara rinci hal tersebut:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewa- jiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruj. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar ke- sanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.s. AI-Baqa- rah: 233).

Setelah itu kita mendapatkan pula hukum-hukum yang berkaitan dengan manusia ketika kecil, muda, dewasa dan tua. Tidak ada jenjang ke- hidupan manusia yang berlalu begitu saja, kecuali Islam mempunyai tau- jih (arahan) dan syariat (tata cara atau ketentuan) di dalamnya.

Bahkan lebih dari itu, syariat Islam menaruh kepedulian kepada manusia semenjak dia belum lahir, dan sampai setelah dia meninggal.

Tidak mengherankan bila dalam Islam kita mendapatkan hukum-hu- kum yang berhubungan dengan janin, dalam hal penjagaan akan kelang- sungan hidupnya, yang terus-menerus harus diberi makan menurut kadar yang sesuai. Karenanya, syariat Islam mengharamkan aborsi, dan me- wajibkan membayar diyat kepada orang yang menggugurkan kandungan atau penyebab aborsi tadi. Disyariatkan pula kepada wanita hamil untuk berbuka (tidak puasa) pada bulan suci Ramadhan jika

Syumul 117

Page 116: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

memang khawatir janin yang sedang dikandungnya akan kekurangan zat makanan dan ber- dampak pula terhadap kesehatannya. Dan lain sebagainya dari hukum- hukum yang berkenaan dengan janin dan warisan yang diperolehnya, ser- ta orang yang hamil dan hak mendapatkan nafkah selama masa kehamil- an jika dia ditalak oleh suaminya.

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin ...” (Q.s. At-Thalaq: 6).

Sebagaimana kita juga mendapatkan di dalam Islam hukum-hukum lain yang berhubungan dengan orang mati, wajib dimandikan, dikafani, di- salatkan, dimakamkan secara khusus, disyariatkan pula takziyah, men- doakannya, melaksanakan wasiat-wasiatnya, melunasi hutang-piutang- nya terhadap sesama manusia atau Allah swt. dan lain sebagainya, yang merupakan cakupan dari kitab yang mengupas masalah jenazah maupun lainnya yang terdapat di dalam fiqih Islam.

Risalah Manusia dalam Segala Sektor Kehidupan Di antara dimensi (makna) syumul dalam Islam adalah: bahwa Islam

merupakan risalah bagi manusia pada semua sektor kehidupan dan segala aktivitas kemanusiaannya. Maka, Islam tidak pemah meninggalkan satu aspek pun dari aspek-aspek kehidupan manusia kecuali dia mempunyai sikap di dalamnya: Terkadang melalui keputusan dan ketetapan, atau pe- lurusan dan perbaikan, atau penyempumaan, atau penggeseran dan pe- ngubahan, atau melalui nasihat dan pengarahan, atau syariat (peraturan) dan perundang-undangan. Juga terkadang menempuh jalan mauidhah ha- sanah, memakai cara hukuman. Semua sikap itu diletakkan pada posisi- nya secara proporsional.

Di sini yang penting adalah bahwa Islam tidak akan membiarkan manusia berjalan sendiri tanpa hidayat Allah. Ke mana pun dia melang- kah dan dalam aktivitas apa pun dia lakukan: Apakah itu bersifat material ataupun spiritual, individu atau sosial, gagasan atau operasional, keaga- maan atau politis, ekonomis ataupun moral (akhlak).

Islam — sebagaimana yang dikatakan almarhum Abbas Mahmud Al- ’ Aqqad — adalah ideologi yang terbaik bagi manusia. Baik sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat, ketika beraktivitas untuk ruhnya atau jasadnya, ketika melihat dunianya atau akhiratnya. Ketika dalam ke- adaan damai atau perang, ketika memberi hak untuk dirinya, atau ketika melaksanakan perintah pimpinan dan negaranya. Tidak dapat dikatakan Muslim lantaran dia hanya meyakini eksistensi ruhani dan mengingkari ruhani, dan atau lantaran dia menyertakan (memakai) Islamnya dalam suatu kondisi tertentu dan meninggalkannya dalam situasi-kondisi yang lain. Namun dia akan dikatakan Muslim dengan akidahnya yang utuh (komprehensif) pada semua situasi dan kondisi, baik ketika dia sendiri atau ketika dia bergaul dan bergumul dengan kehidupan bermasyarakat.

Syumuliyatul akidah (universalitas akidah) dalam realitas individu dan sosial

118 Karakteristik Islam

Page 117: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

merupakan keistimewaan khusus dalam akidah Islamiyah. Ke- istimewaan yang memberikan isyarat kepada manusia bahwa akidah itu merupakan "keseluruhan" yang komprehensif, sehingga akan terhindar dari parsialitas ideologi-ideologi yang membagi-bagi kepribadian menjadi dua bagian kemudian dengan susah payah berupaya untuk memadu- kannya.1

Yang dimaksudkan oleh penulis almarhum Al-’Aqqad adalah bahwa sebagian agama-agama seperti Nasrani rela bila kehidupan ini dibagi menjadi dua: Bagian pertama untuk agama yang dikendalikan (dipimpin) oleh gereja. Dan, bagian lain untuk dunia yang dikendalikan oleh daulah (negara), sebagaimana telah kami jelaskan sebelum ini.

Tentang pembagian (pemilah-milahan) kehidupan menjadi dua bagian itu, tokoh-tokoh Nasrani menyandarkan statementnya ini kepada apa yang diceritakan oleh Injil mereka [yang sebenamya bukan] dari Al-Masih ‘Alaihi Salam, bahwa dia ketika ditanya oleh seseorang perihal kaisar (penguasa), beliau menjawab dengan jawaban yang masyhur, "Beri- kanlah apa yang menjadi hak milik kaisar (raja) kepada kaisar, dan beri- kanlah apa yang menjadi hak milik Allah kepada Allah!"

Namun, Islam,mengingkari dan menolak adanya pembagian (pemi- lahan) kehidupan itu, karena dua faktor:

Pertama, bahwa Islam menjadikan alam semesta dan semua makhluk adalah semata-mata milik Allah, dan kaisar tidak berhak memiliki sebiji zarroh (atom) pun di dalamnya. Jadi, kaisar dan apa yang dimiliki- nya itu adalah milik Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Dalam hal ini, Al-Qur’an menegaskan:

'Ustadz Abbas Mahmud Al-’Aqqad dalam Al-lslam fil Oomil ‘Isyriin (Islam dalam Abad XX), bab "Kekuatan yang Kokoh".

“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langii dan semua yang ada di bumi.” (Q.s. Yunus: 66).

“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langii, semua yang adadi bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang di bawah ta- nah.” (Q.s. Thaha: 6).

“... padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segdla apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa ... ” (Q.s. Ali Imran: 83).

Maka dalam akidah Islam seorang Muslim tidak boleh tunduk kepada kaisar atau raja dengan rela dan sengaja, sementara dia sebenamya mampu menaklukkan kaisar tadi agar tunduk pada perintah Allah. Seorang Muslim tidak boleh menyerahkan lahimya kepada kaisar sementara batinnya diserahkan kepada Allah.

"Sebenamya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah.” (Q.s. Ar- Ra’d: 31). Kedua, bahwa kehidupan itu dalam semua aspeknya merupakan sa- tu

himpunan yang tidak dapat dibagi-bagi dan dipisah-pisah (dipilah-pi- lah), kecuali di atas kertas atau dalam pembagian tugas. Adapun dalam kenyataannya, kehidupan itu

Syumul 119

Page 118: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

satu kesatuan dan tidak terbagi-bagi. Aga- ma tidak terpisah dari dciulah (negara), ekonomi tidak terpisah dari akh- lak (moral), individu dari keluarga, dan tidak juga kehidupan keluarga terpisah dari kehidupan masyarakat.

Karenanya, ideologi-ideologi besar selalu berusaha untuk mengua- sai semua aspek kehidupan dan mengarahkannya menurut fikrali (pe- mikiran) dan keyakinannya. Sampai gereja sendiri pada abad-abad per- tengahan di Eropa tidak mampu mengaplikasikan secara operasional apa yang secara teoritis tertuhs di dalam Injil. Bahkan saat itu gereja berusaha mengambil alih kekuasaan raja atau minimal menguasainya serta me- ngendalikan kehidupan politik demi kepentingannya.

Syumul (Universalitas) Ajaran-ajaran Islam Jika Islam merupakan risalah bagi seluruh ummat manusia dalam semua

jenjang perkembangannya, risalah kehidupan dengan seluruh aspek dan bidangnya, maka tidak heran kalau kita mendapatkan ajaran- ajaran Islam, semuanya memiliki keistimewaan dengan syumul ini dan melingkupi seluruh persoalan kehidupan dan manusia.

Kita dapatkan syumul itu tampak jelas dalam akidah dan persepsi, dalam ibadat dan taqarrub kepada Allah, dalam akhlak dan keutamaan-ke- utamaan, dan tampak jelas dalam syariat dan struktumya. Syumuliyatul Aqiclah Al-Islamiyah

Akidah Islam — apabila Anda menelaah — adalah akidah yang sya- mil dari aspek mana pun. (A) Akidah Islam bersifat syumul karena mampu menginterpretasikan semua masalah besar dalam wujud ini. Masalah-masalah yang telah dan masih membingungkan benak manusia, penuh dengan tanda tanya dan menuntut jawaban pasti yang mampu mengeluarkan manusia dari kehi- langan (jati diri), keraguan dan kebingungan, mengeluarkannya dari berbagai kerancuan filsafat-filsafat dan sekte-sekte yang senantiasa muncul dan saling bertentangan, baik dulu maupun sekarang, yakni masalah ulu- hiyah (ketuhanan), alam semesta, manusia, mtbuwwah (kenabian), dan masalah tempat kembali (baca. akhirat).

Jika ada sementara keyakinan (kepercayaan) yang hanya memiliki kepedulian terhadap masalah manusia dan tidak peduli terhadap masalah uluhiyah dan tauhid, atau peduli terhadap masalah uluhiyah dan tidak memperhatikan masalah nubuwwah dan risalah. Atau peduli terhadap masalah nubuwwah dan tidak peduli terhadap masalah balasan di akhirat kelak, maka akidah Islam sangat menaruh kepedulian terhadap semua masalah dan, dalam hal ini, semboyannya adalah keutuhan yang jelas dan kejelasan yang utuh. (B) Akidah Islam bersifat syumul karena tidak pemah membagi manusia di antara dua Ilah (Tuhan): Tuhan kebaikan dan cahaya, dan Tuhan kejahatan dan kegelapan sebagaimana dalam agama Majusi. Atau tidak membagi manusia di antara Allah dan setan yang di dalam Injil dikenal dengan sebutan "Pemimpin alam" dan

120 Karakteristik Islam

Page 119: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

"Tuhan kehidupan". Injil membagi alam antara setan dan dengan Allah. Setan mempunyai kerajaan dunia, sementara Allah mempunyai kerajaan langit. Seolah-olah aktivitas setan dalam pandangan Kristen persis perbuatan "Ahriman", Tuhan kegelapan dalam agama Majusi.12

Dalam pandangan Islam, setan merupakan kekuatan kejahatan yang tidak diragukan lagi. Akan tetapi, ia hanya merupakan suatu kekuatan dan tidak berkuasa sedikit pun atas hati nurani manusia, kecuali kekuatan menggoda, merayu, menyeru pada kejahatan, dan memperindah kejahatan tersebut dalam jiwa. Inilah puncak dan kemampuan tipu dayanya, se- buah tipu daya yang tidak berarti di hadapan keyakinan orang-orang Muk- min yang berpegang teguh dan bertawakal kepada Allah.

Allah berfirman sebagaimana pengakuan setan sendiri tatkala ber- cakap-cakap dengan orang yang disesatkannya:

“Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku ...” (Q.s. Ibrahim: 22).

Allah berfirman secara langsung kepada setan, “Sesungguhnya ham- ba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. ” (Q.s. Al-Isra’: 65).

“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnyajadipe- mimpin dan atas orang-orang yangmempersekutukannya dengan Allah. ” (Q.s. An-Nahl: 99-100).

“Sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. ” (Q.s. An-Nisa’: 76). (C) Akidah Islam bersifat syumul, pada sisi yang lain, adalah bahwa ia (Islam) dalam prinsip dimana ketetapannya tidak didasarkan pada instink atau perasaan semata sebagaimana filsafat-filsafat ketimuran dan aliran- aliran tasawuf. Juga sebagaimana agama Kristen yang menampik cam- pur tangan akal pikiran dalam akidah dimana semua ajaran harus diteri- ma dengan ketundukan mutlak, sebagaimana pemyataan mereka, "Ya- kinlah Anda kendati dalam keadaan buta!"

Akidah Islam juga tidak bersandar pada rasio (akal pikiran) semata sebagaimana filsafat-filsafat kemanusiaan yang menjadikan akal pikiran itu sebagai satu-satunya wasilah (medium) untuk ma'rifatullah (menge- nal Allah) dan alat memecahkan berbagai masalah dalam wujud kehidupan ini.

Namun, akidah Islam itu bersandarkan pada pikiran dan perasaan, atau akal dan hati nurani secara bersamaan, karena keduanya adalah alat yang saling melengkapi untuk mengenal kemanusiaan dan mencapai ke- sadaran manusia.

Sebenamya iman Islami yang benar adalah yang bangkit dari pancar- an cahaya akal dan kehangatan hati nurani. Dengan demikian, iman itu dapat melaksanakan perannya dan memberikan pengaruhnya dalam kehidupan.

12Lihat Ustadz Abbas Malmnid Al-'Aqqad dalam Haqoiqul Islam (Hakikat Islam), him. 103.

Syumul 121

Page 120: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(D) Akidah Islam juga dikatakan syumul karena merupakan akidah yang tidak mengenal pemilah-milahan. Hams diterima tanpa mengingkari semua kandungan akidah tersebut. Maka orang yang meyakini (mengimani) akidah ini 99% dan 1% mengingkarinya, dia tidak dapat disebut sebagai seorang Muslim. Jadi, Islam itu menuntut ummatnya agar menyerahkan semua sikap tunduknya kepada Allah, beriman dengan segala sesuatu yang datang dari sisi-Nya.

Menurut sudut pandang akidah Islam, seorang Muslim tidak boleh berkata, "Saya beriman pada Al-Qur’an dalam masalah yang bertalian dengan syiar ritual dan ibadat — misalnya, namun saya tidak meyakini- nya dalam masalah akhlak (moral) dan adab sopan santun." Atau berkata, "Saya mengambil sistem ibadat dan akhlak dari Al-Qur’an, namun dalam masalah peraturan dan perundang-undangan saya tidak akan mengambil darinya." Atau mengatakan, "Semua itu akan saya ambil dari Al- Qur’an, namun saya tidak membenarkan terhadap semua yang dipapar- kannya dari peristiwa-peristiwa sejarah." Atau, "Saya akan percaya dan membenarkannya dan bersikap tunduk (menyerahkan diri) kepada semua apa yang telah disebutkan tadi, namun saya tidak meyakini hakikat yang berkaitan dengan sifat-sifat akhirat dan surga maupun neraka."

Karenanya, Al-Qur’an sangat mengingkari bani Israil karena ke- imanan mereka kepada sebagian Rasul dan mengingkari sebagian lain- nya. Mereka hanya beriman pada sebagian kitab Allah dan kufiir pada sebagian lainnya.

Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kajir kepada Allah dan Rasul- rasul-Nya,

dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian (dari Rasul-rasul itu), dan kami kajir terhadap sebagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang- orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk o- rang-orangyang kafir itu siksaan yang menghinakan. ” (Q.s. An-Nisa’: 150-1).

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ing- kar kepada sebagian yang lain ? Tiadalah balasan bagi orang yang ber- buat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan du- nia, dan pada hati Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbual." (Q.s. Al-Ba- qarah: 85).

Syumuliyah (Universalitas) Jbadat dalam Islam Syumul Islam itu tercermin dalam ibadatnya sebagaimana tercermin dalam

akidahnya. Jadi, ibadat dalam Islam itu melingkupi seluruh keberadaan manusia. Maka

seorang Muslim tidak beribadat kepada Allah dengan lisannya saja, atau badannya, atau hatinya tanpa mengikutsertakan organ-organ tubuh yang lain, atau sekadar dengan akalnya, atau hanya dengan indera- nya saja. Akan tetapi, dia beribadat

122 Karakteristik Islam

Page 121: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kepada Allah dengan semuanya ini: Dengan lisannya dia berdzikir, berdoa dan membaca, dengan badannya dia salat, puasa dan berjihad. Dengan hatinya ia takut, mengharap, rnen- cintai, dan bertawakal. Dengan akalnya dia bcr-tqfakur (berpikir) dan me- renung dan, dengan segenap inderanya dia pergunakan untuk taat kepada Allah swt.

Sesungguhnya ibadat, seperti salat misalnya, tampak di dalamnya ada ibadat lisan dengan membaca, bertakbir, bertasbih dan berdoa. Ada juga ibadat fisik dengan berdiri, duduk, ruku’, sujud. Ada ibadat akal dengan memikirkan dan merenungkan makna dari ayat-ayat Al-Qur'an maupun rahasia-rahasia salat. Dan ada ibadat hati nurani yang berupa ke- khusyukan, cinta dan merasa akan adanya muraqabatullah (pengawasan Allah).

Makna lain dari syumul ibadat dalam Islam adalah bahwa ibadat dalam Islam itu jangkauannya menyentuh semua aspek kehidupan. Tidak terbatas hanya pada syiar-syiar ritual yang sudah biasa kita kenal berupa salat, zakat, puasa dan haji. Akan tetapi, mencakup pula seluruh gerak dan semua aktivitas yang bisa meningkatkan kualitas kehidupan dan memba- hagiakan manusia.

Maka, jihad fi sabilillah yang merupakan pembclaan terhadap al- haq, menjaga kehomiatan dan mencegah fitnah (kemurtadan) serta untuk meninggikan kalimatullah adalah ibadat yang tiada ternilai harganya.

Dari Abu Hurairah r.a. yang berkata: "Seorang sahabat Nabi saw. lewat di sebuah kampung suatu bangsa yang di dalamnya terdapat mata air jemih. Dia pun kagum seraya berkata, ‘Oh alangkah baiknya sean- dainya aku menyucikan diri dan berdiam di kampung tersebut untuk beribadat! Namun aku tidak melakukannya sebelum minta izin kepada Rasulullah saw.’ Ia menyebutkan hal tersebut kepada beliau, kemudian beliau bersabda, ‘Jangan lakukan itu! Karena kedudukan sal ah seorang di antara kalian fi sabilillah [tengah berjihad]. Itu lebih utama dari salat- nya bangsa tertentu di rumahnya selama 70 tahun. Bukankah kamu sekalian menginginkan agar Allah mengampuni dan memasukkan kalian ke surga? Berperanglah fi sabilillah! Barangsiapa berperangfi sabilillah (meski) seperti pelan-pelannya unta, wajib baginyamendapatkan surga’.” (H.r. Tirmidzi).

Dari Abu Hurairah r.a. yang berkata: “Dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, disamakan dengan apakah jihad fi sabilillah itu?’ Beliau menjawab, ‘Kalian semua tidak akan mampu (dapat) melakukannya.’ Mereka me- ngulangi pertanyaan yang sama dua atau tiga kali, dan beliau tetap menjawab, ‘Kalian semua tidak akan mampu (dapat) melakukannya.’ Kemudian Rasul saw. bersabda, 'Seorang mujahid.fi sabilillah itu seperti orang yang melaksanakan puasa dan salat malam, yang tidak pernah berhenti salat serta puasanya, sehingga sang rn.ujah.id fi sabilillah tadi pulang’." (H.r. Bukhari-Muslim).

Semua pekerjaan yang bermanfaat yang dilak, an seorang Muslim demi pengabdiannya kepada masyarakat, atau men, ng personil-per- sonilnya, khususnya mereka yang tergolong kaum dhu (kaum yang lemah) dan papa juga merupakan

Syumul 123

Page 122: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

salah satu bentuk ibada Dari itu, maka banyak hadis yang menganjurkan bersec. ,kah setiap hari sejak

matahari terbit. Menyingkirkan duri dari tengah jalan, mem- bantu seseorang yang lemah untuk mengendarai kendaraannya adalah sedekah, bahkan senyum Anda di hadapan saudara Anda adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, dan semua yang baik adalah sedekah.

Termasuk dalam jangkauan ibadat adalah usaha manusia untuk menghidupi diri dan keluarganya, untuk mencukupi mereka dengan — rezeki — yang halal dan harga diri mereka dari meminta-minta. Rasulullah saw. menilai orang yang melakukan itu berada [pada barisan] fi sabilillah, yakni seperti orang yang berada di medan jihad dan memerangi mu- suh-musuh Allah.

Lebih dari itu, bahwa orang yang meletakkan (menempatkan) syahwatnya dalam hal-hal yang halal itu akan mendapatkan balasan (pahala). Setelah para sahabat heran mendengar pemyataan demikian, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Bukankah orang yang menempatkan syahwatnya pada hal-hal yang haram itu akan mempunyai tanggungan dosa?" Mereka serempak menjawab, "Benar, ya Rasulullah!" Lalu beliau bersabda, “Begitujuga orang yang meletakkan (menempatkan)nya pada hal-hal yang halal, maka akan ada balasan (pahala) baginya! Adakah kalian hanya memperhitungkan kejahatan, dan tidak pemah memperhi- tungkan kebaikan?”13

Syumuliyah (Universalitas) Akhlak dalam Islam Syumuliyah Islam juga tampak sangat menonjol pada aspek akhlak dan

keutamaan-keutamaannya. Akhlak Islamiyah adalah bukan seperti yang sudah biasa dikenal oleh sebagian orang dengan sebutan "akhlak agama" yang tampak dalam pelaksanaan syiar-syiar ubudiyah, menghin- dar dari makan daging babi dan minum khamr dan lain sebagainya. Tetapi akhlak Islam ialah akhlak yang jangkauannya menyentuh semua sisi dan bidang kehidupan.

Akhlak dalam Islam tidak pemah meninggalkan satu aspek pun dari sekian aspek kehidupan manusia, baik itu bersifat ruhani atau jasmani, keagamaan atau duniawi, intelektual atau instink, individual atau sosial, kecuali telah meletakkan dan menetapkan manhaj (sistem) yang terbaik untuk menuju pada keluhuran. Maka apa pun yang telah dipilah-pilah oleh manusia dalam bidang akhlak dengan kedok agama, filsafat, tradisi atau masyarakat, sebenamya telah dicakup oleh disiplin akhlak dalam Islam secara integratif, sempuma dan — bahkan — mendapatkan nilai tambah. (I) Di antara akhlak Islam yang berkenaan dengan individu dalam semua seginya: a. Jasmani, ia pun mempunyai kebutuhan.

"... makan dan minumlah, danjangan berlebih-lebihan.” (Q.s. AI-A’raf:

13Lihat Dr. Yusuf Al-Qardhawi, yang mengupas masalah cakupan ibadat, Al-Iba- dah fi Al-Islam, bab "Majaalatui Ibadah fi A1 Islam".

124 Karakteristik Islam

Page 123: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

31). Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya badan kalian mempunyai hak

atas diri kalian.” (H.r. Bukhari). b. Akal mempunyai berbagai kemampuan dan wawasan.

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langitdan di bumi’. ” (Q.s. Yunus: 101).

"Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pi- kirkan (Q.s. Saba’: 46).

c. Jiwa mempunyai berbagai perasaan dan motivasi. sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan

sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.s. Asy-Syam: 9-10). (2) Akhlak Islam yang berkaitan dengan kehidupan keluarga: a. Hubungan antara suami-istri.

“Dan hergaullah dengan mereka secara patut (baik). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.” (Q.s. An-Nisa’: 19).

b. Hubungan antara kedua orangtua dan anak. “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua

ibu bapaknya ...” (Q.s. AI-Ahqaf: 15). “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

Kami-Iah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Q.s. Al-Isra’: 31).

c. Hubungan antarkerabat dan sanak famili. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat...” (Q.s. An-Nahl: 90). “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,

kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan ...” (Q.s. Al-Isra’: 26)., (3) Akhlak Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan: a. Dalam hal adab (tata krama) dan bidang-bidang garapannya.

“...janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (Q.s. An-Nuur: 27).

b. Dalam masalah ekonomi dan muamalat. “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-

orang yangapabilamenenma takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. ”(Q.s. Al-Muthaffiffin: 1-3).

Syumul 125

Page 124: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Hai orang-orang yang, beriman, apabila kamu bermuamalat tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah menganjurkannya ...” (Q.s. Al-Baqarah: 282).

c. Dalam persoalan politik dan pemerintahan. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. ”

(4) Termasuk akhlak Islam yang berkaitan dengan makhluk tidak ber- akal seperti hewan, bumng dan lain-lain. “Dan di setiap hati (bina- tangyang dimakan dengan cara yang baik) itu tingkatan pahala. ” (H.r. Bukhari)

(5) Termasuk akhlak Islam yang berkaitan dengan alam makro: a. Bahwa ia adalah tempat untuk merenung, merefleksi, mengambil i 'tibar

(pelajaran), melihat, dan bertafakur. Dari keindahan maupun keteraturannya kita dapat menjadikannya sebagai tempat mencari dalil (bukti) kongkret akan adanya Pencipta. dan sekaligus untuk membuktikan kekuasaan. ilmu dan hikmah-Nya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-ianda bagi orang- orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduli atau dalam keadaan berbanng dan mereka memikirkan ten tang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka’." (Q.s. Ali Imran: 190-1).

b. Dari hal alam sebagai tempat untuk mengambil manfaat dan mencari makan dengan karunia-karunia yang telah diberikan Allah di dalamnya berupa kebaikan-kebaikan. potensi-potensi yang memang dianugerahkan untuk kepentingan manusia, dari nikmat-nikmat yang telah disempumakan menuntut keharusan bersyukur kepada Sang pemberi nikmat itu.

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempumakan untukmu nikmat-Nya lahir dan ba- tin.” (Q.s. Luqman: 20).

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah ...” (Q.s. Al-Baqarah: 172).

(6) Sebelum dan, di atas semua itu, adalah etika (akhlak) yang berkaitan dengan hak Sang Khalik (Allah) Yang Maha Agung, dimana semua nikmat berasal dari-Nya dan semua pujian hanyalah milik-Nya se- mata:

"Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya Eng- kau-lah yang kami

126 Karakteristik Islam

Page 125: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sembah dan hanya kepada Enghau-lah kami mo- hon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (Q.s. Al-Fa- tihah: 2-6). Jadi, Allah-lah satu-satunya yang paling berhak mendapatkan semua bentuk

pujian, dimohon rahmat-Nya yang luas, dan ditakuti hukum- Nya yang adil pada hari pembalasan. Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah, dimintai pertolongan dan hidayat (petunjuk) menuju shiratal mustaqiem (jalan yang lurus).

Dengan demikian, tampaklah syumul akhlak Islam dari sisi materi dan kandungannya. Namun syumul akhlak Islam juga akan tampak jika kita mencoba melihat pada falsafah dan sumber pengaplikasiannya.

Allah telah berkehendak menjadikan Islam sebagai risalah umum yang monumental (abadi). Islam adalah hidayatullah bagi semua manusia yang berasal dari segala bangsa (ummat), semua lapisan masyarakat dan kelas (status sosial), semua individu, dan semua generasi. Manusia mempunyai kemampuan dan potensi spiritualnya (ruhaniah), aqliyah (in- telektual) dan instinktif yang berbeda-beda. Pola pandang, pola pikir dan tingkat kepedulian mereka juga variatif. Oleh karenanya, makafikrah (pemikiran) akhlak Islam menyatukan apa yang dipecah-belah oleh kelom- pok keagamaan dan aliran-aliran filsafat — dari segi idealita dan realita — maupun pandangannya pada akhlak dan aplikasinya.

Maka tidak semua yang dikatakan aliran-aliran filsafat ini salah, sebagaimana tidak semuanya benar. Hanya saja yang menjadi cacat semua teori adalah bahwa teori itu hanya melihat dari satu sisi, dan mengabaikan sisi yang lain. Satu hal yang merupakan aksiomatika pemikiran manusia dimana dia mustahil untuk memandang sebuah persoalan dengan pola pandang yang bisa menjangkau semua zaman dan waktu, jenis dan semua orang, semua keadaan, dan bisa menjangkau semua aspek (sisi atau segi). Ini jelas membutuhkan kekuasaan Ilahi Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana, Yang Meliputi segala sesuatu.

Karenanya, tidak heran kalau kita mendapatkan pandangan Islam itu begitu padu, kumulatif dan mencakup. Karena hal itu bukan teori manusia tetapi wahyu yang berasal dari Dzat Yang Maha Meliputi semua ilmu dan Maha Menghitung semua bilangan.

Dalam agama Islam Allah telah memberikan apa yang bisa meme- nuhi berbagai kebutuhan secara adil, dapat menimbulkan kepuasan dari berbagai segi dan sesuai dengan semua perkembangan. Maka seorang idealis, senantiasa cenderung pada kebaikan, ia menemukan idealisme- nya itu dalam akhlak Islami. Barangsiapa beriman pada standar kebaha- giaan, maka dalam fikrah Islamiyah ia akan mendapatkan sesuatu yang mampu merealisasikan kebahagiaannya dan kebahagiaan orang banyak. Barangsiapa yang beriman pada tolok ukur sebuah kepentingan (manfaat) baik yang bersifat individu maupun kolektif, ia akan mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya dalam Islam. Barangsiapa yang beriman pada peningkatan ke dalam sebuah kesempumaan, ia akan mendapatkan apa yang merealisasikan tuntutannya itu dalam Islam.

Adapun barangsiapa yang ingin beradaptasi dengan masyarakat, ia akan Syumul 127

Page 126: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

mendapatkan dalam Islam apa yang sesuai dengan sosial kema- syarakatannya. Termasuk pula orang yang meyakini urgensi kelezatan inderawi, akan mendapatkannya dalam apa yang dijanjikan Allah bagi o- rang-orang Mukmin di dalam surga, yang berupa kenikmatan material dan kesenangan rasa (inderawi).

.. dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diinginkan oleh hati dan sedap (dipandang) mata ...” (Q.s. Az-Zukhruf: 71).

Karenanya, telinga-telinga akan mendengarkan lagu-lagu yang di- senanginya, dan semua orang akan mendapatkan cita-cita yang selama ini diidam-idamkannya.14 Syumuliyah (Universalitas) Syariat dalam Islam

Syariat yang ada dalam Islam merupakan syariat yang juga syamil. Syariat Islam bukan hanya ditetapkan sebagai syariat (tata aturan) bagi individu tanpa memperhatikan kehidupan keluarga, bukan hanya untuk kehidupan keluarga tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat, dan bukan untuk masyarakat tertentu tanpa memperhatikan masyarakat yang lain.

Sesungguhnya, syariat Islam mencakup syariat (tata aturan) bagi individu dalam ibadat dan hubungannya dengan Rabbnya. Inilah yang di- jelaskan secara rinci pada "bab ibadat" dalam fiqih Islam yang tidak ada dalam syariat-syariat yang bersifat wadh ’/ (hukum positif).

Syariat Islam bagi individu mencakup perilakunya, baik yang bersifat khusus maupun umum. Dan hal yang meliputi apa yang disebut halal- haram atau larangan dan mubah (pembolehan).

Syariat Islam mencakup apa saja yang berhubungan dengan per- masalahan keluarga, yaitu masalah pemikahan, talak (perceraian), nafa- qoh (nafkah), penyusuan, warisan, penguasaan terhadap diri dan harta dan lain-lainnya. Ini mencakup apa yang di zaman kita disebut al-ahwaal asy-syakhshiyah (permasalahan-permasalahan individu).

Syariat Islam bagi masyarakat mencakup pula hubungannya dengan moneter dan bisnis serta apa saja yang berkaitan dengan tukar-menukar harta benda maupun kepentingan lainnya dengan imbalan atau tanpa im- balan. Apakah itu berupajual-beli, penyewaan, peminjaman, hutang-piu- tang, gadai, wesel, jaminan, asuransi, dan lain sebagainya yang di zaman kita ini diatur dalam undang-undang moneter dan perdagangan.

Syariat Islam juga mencakup apa saja yang berkaitan dengan krimi- nalitas berikut kadar hukumannya, seperti hudud, qishash, dan orang yang lalai (tidak sengaja melakukannya) cukup dengan diasingkan. Ini semua mencakup apa yang sekarang disebut hukum pidana dan perdata.

Syariat Islam juga mencakup apa saja yang berkaitan erat dengan kewajiban pemerintahan (kekuasaan) terhadap rakyat, kewajiban rakyat terhadap aparat pemerintah (penguasa). Dan mengatur komunikasi antara keduanya seperti yang

14Lihat alinarhum Dr. Muhammad Abdullah Daraz, sekapur sirih, dalam Mabadi ’ limit Akhlak.

128 Karakteristik Islam

Page 127: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

banyak diungkap oleh literatur-literatur poli- tik Islam dan perpajakan, dan hukum-hukum pemerintahan (kekuasaan) dalam fiqih Islam. Termasuk juga apa yang di zaman kita ini dikenal dengan undang-undang manajerial atau administrasi dan ekonomi.

Syariat Islam juga mencakup apa saja yang dapat mengatur hubungan antamegara, baik ketika damai maupun saat perang antara kaum Mus- limin dengan selain mereka. Dalam fiqih Islam, persoalan ini banyak di- kupas dalam buku-buku sirah (sejarah) atau buku-buku jihad. Buku-buku semacam itu biasanya, mengatur undang-undang kenegaraan.

Dari situ terlihat bahwa temyata tidak ada satu aspek pun dari as- pek-aspek kehidupan yang dikesampingkan oleh syariat Islam, kecuali seluruhnya diatur secara sempurna, baik itu berbentuk perintah atau la- rangan, atau berupa data informasi.

Cukuplah bagi kita untuk,mengetahui bahwa ayat terpanjang dalam kitab Allah itu turun untuk mengatur masalah moneter, yaitu urusan hu- tang-piutang dan mencatatnya.

Syumuliyah syariat Islam juga tampak dalam persoalan (urusan) yang lain, yaitu menembus kedalaman berbagai problem dengan sege- nap penyelesaiannya, memandangnya dengan sebuah pandangan yang mencakup dan menyeluruh, berdasarkan pengetahuan tentang kondisi, hakikat, motivasi (dorongan) dan keinginan-keinginan jiwa manusia. berdasarkan pada situasi dan kondisi kehidupan manusia dan aneka ragam kebutuhan maupun gejolak jiwanya, serta berusaha untuk menghubung- kannya dengan nilai-nilai agama dan akhlak. Dimana syariat tunduk me- layani, melindungi (mengendalikan) nilai-nilai tadi, dan menjadi penye- bab kehancurannya.

Orang yang mengetahui hal ini dengan baik, maka ia akan mampu memahami posisi dan kehebatan syariat Islam dalam berbagai persoalan. Misalkan dalam masalah talak (perceraian), poligami, warisan, riba, hu- dud, qishash, dan lain-lain. Sebagaimana telah dibuktikan oleh berbagai studi komparatif dan perjalanan sejarah serta realitas yang ada tentang kehebatan dan keunggulan Islam di atas semua sistem syariat. baik yang lampau maupun yang akan datang.

Sebenamya cacat manusia, yang inemang sudali merupakan kela- ziman sifat mereka yang terbatas, bahwa mereka melihat berbagai urusan dari satu aspek saja, mengabaikan aspek-aspek lainnya. Pada haki- katnya dalam serba keterbatasan ini mereka tidak salah dan memang tidak mempunyai strategi lain. Karena pandangan komprehensif yang meliputi segala sesuatu dari berbagai aspeknya, dan mengetahui semua ke- butuhannya, serta mengetahui berbagai kemungkinan dan antisipasinya. Tidak ada yang kuasa untuk itu. kecuali Rabb manusia dan Pencipta alam semesta.

“Apakah AUahyang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Hahis lagi Maha Mengetahui?" (Q.s. Al-Mulk: 14).

Syumuliyah Iltizam (Komitmen) dengan Islam secara Total

Syumul 129

Page 128: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Syumul yang menjadi ciri khas Islam ini—karena melingkupi semua kehidupan, seluruh manusia dalam semua perkembangan dan lapangan maupun bidang kehidupannya — harus diimbangi dengan syumul serupa dari sisi iltizam (komitmen) kaum Muslimm. Yakni iltizam dengan Islam secara total dalam keutuhan, integritas dan keluasannya. Maka seorang Muslim tidak boleh hanya mengambil sebagian ajaran dan hukum Islam, dan mencampakkan bagian yang lain, baik itu karena kesengajaan atau kemalasan. Karena ajaran dan hukum Islam itu satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah.

Al-Qur’anul Karim telah mencela bani Israil lantaran mereka me- milah-milah hukum-hukum agama, karena menuruti hawa nafsu. Mereka melaksanakan sebagian hukum-hukum itu yang dipandang menye- nangkan, dan meninggalkan yang dianggap berat. Allah sangat mencela mereka melalui firman-Nya:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ing- kar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan pada sifesa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhi- rat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (Q.s. Al-Baqarah: 85-6).

Maka dalam pandangan Islam, seorang Muslim itu tidak boleh hanya mengambil (melaksanakan) aspek akidah dan iman dari ajaran-ajaran- nya dan mengabaikan aspek ibadat atau akhlak. Seperti misalnya mereka yang berkata: "Kemaksiatan itu tidak akan membahayakan kalau disertai iman, sebagaimana ketaatan tidak akan berguna kalau disertai kekafiran." Sesungguhnya amal-amal saleh itu merupakan penyempuma iman, ben- teng bagi iman dan merupakan buah iman yang lazim (benar), sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman — yang sempuma iman- nya — itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ber- tambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka ber- tawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menaf- kahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benamya. ” (Q.s. AI-Anfal: 2-4).

Dalam pandangan Islam, seorang Muslim tidak boleh hanya peduli terhadap ibadat yang mengumandangkan syiar-syiar ritual saja dan mengabaikan aspek-aspek akhlak dan keutamaan-keutamaannya. Keuta- maan-keutamaan akhlak itu merupakan cabang dari iman dan buah dari ibadat yang benar.

“Iman itu jelas dan terbagi menjadi tujuh puluh bagian, dan rasa malu adalah sebagian dari pada iman. ” (H.r. Bukhari).

“...dandirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (per- buatan-

130 Karakteristik Islam

Page 129: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

perbuatan) yang mungkar. ” (Q.s. Al-Ankabut: 45). Dalam kitab Ash-Shahih disebutkan: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga,jika telah melaksanakan salat dan

berpuasa dia mengaku bahwa dirinya seorang Muslim: Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan bila di- percaya ia berkUianat. ”

Islam juga memandang, bahwa seorang Muslim tidak boleh memperhatikan aspek akhlak dan melalaikan aspek ibadat. Sebab, manusia itu diciptakan justru untuk mengenal Allah dan beribadat kepada-Nya.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. ” (Q.s. Adz-Dzariyat: 56).

Hanya saja, beribadat kepada Allah itu dengan apa yang disyariatkan dan diwajibkan dari syiar-syiar ritual dan kewajiban-kewajiban yang oleh Rasulullah dianggap sebagai rukun-rukun dimana Islam dibangun di atasnya. Dan akhlak pertama yang harus dilakukan oleh seorang Muslim adalah memenuhi janjinya kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, melaksanakan amanat-Nya, yaitu dengan melaksanakan hak-Nya yang telah diwajibkan kepada para hamba-Nya, berupa salat, zakat, puasa dan haji.

“Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” (Q.s. Ali Imran: 97).

Dalam pandangan Islam, seorang Muslim tidak boleh hanya sekadar melaksanakan semua yang disebutkan di atas, yang berupa akidah, ibadat dan akhlak, kemudian melalaikan aspek perundang-undangan, yang dengannya Allah mengatur kehidupan makhluk ciptaan-Nya. Dan de- ngannya pula Dia menurunkan Alkitab serta mizan (baca: keseimbangan) agar manusia bisa melaksanakan keadilan. Maka orang yang beriman (berkeyakinan) dengan keadilan Allah, kesempumaan ilmu dan hikmah- Nya, dan kebaikan dengan ciptaan-Nya, tidak boleh meninggalkan sya- riat-Nya secara sengaja, untuk kemudian mengambil keputusan (hukum) dengan syariat-syariat (aturan-aturan/undang-undang) buatan manusia yang harus dilaksanakan lantaran kebodohan dan nafsu mereka.

Karenanya, Allah berpesan dan menasihati Rasul-Nya — juga kepada semua penguasa (pemimpin) setelah beliau — agar jangan sampai meninggalkan atau berpaling dari “sebagian apa yang diturunkan Allah” (Al-Qur'an) karena pengaruh hawa nafsu dan fitnah orang lain. Orang yang meninggalkan hukum (keputusan) Allah, sudah pasti ia telah jatuh ke dalam hukum (keputusan) orang-orang jahiliyah, yang tidak ada hukum ketiga setelah keduanya itu.

"... dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawanajsumereka. Dan berhali-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa- dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang

Syumul 131

Page 130: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang- orang yang yakin?” (Q.s. Al-Maidah: 49-50).

132 Karakteristik Islam

Page 131: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

IV AL-WASTHIYYAH

(MODERAT)

Karakteristik yang lain dari beberapa karakteristik yang menonjol dalam Islam, ialah al-wasthiyyah (moderat) atau dengan ungkapan yang lain at-tawazun (keseimbangan). Adapun yang dimaksud dengan al-was- thiyyah atau at-tawazim ini adalah keseimbangan di antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan, dimana salah satu dari dua jalan tadi tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang lain. Juga salah satu dari dua arah tersebut tidak dapat mengambil hak lebih banyak dan melampaui yang lain.

Contoh-contoh dari dua arah yang saling bertentangan adalah: ruh- hiyah (spiritualisme) dengan maddiyah (materialisme), fardiyah (individu) dengan jama ’iyah (kolektif), waqi 'iyah (kontekstual) dengan mi- tsaliyyah (idealisme). Tsabat (konsisten) dengan taghayyur (perubahan) dan lain sebagainya.

Pengertian dari tawazun di antara kedua arah tadi adalah bahwa setiap arah sama-sama menghapus bidangnya, dan pada saat yang sama memberikan pula haknya secara adil sesuai porsi yang diberikan untuk- nya tanpa menambah atau mengurangi. tanpa melampaui atau menyim- pang. Hal ini selaras dengan yang diisyaratkan oleh Allah swt. dalam fir- man-Nya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia telah meletak- kan mizan (keadilan). Supaya kamu tidak melampaui batas tentang mizan itu.” (Q.s. Ar-Rahman: 7-8). Kegagalan Manusia Menciptakan Sistem yang Tawazun (Seimbang)

Ini adalah sesuatu yang jauh dari kemampuan manusia dengan akal- nya yang terbatas dan ilmu yang sedikit. Ditambah lagi dengan kecen- derungan-kecenderungait yang membawa implikasi tersendiri, baik ke- cenderungan individual, keluarga, kesukuan atau ras yang besar kemung- kinan dapat mengalahkan akal sehatnva, disadari atau tidak.

Oleh karena itu, setiap sistem atau manhaj buatan manusia — baik hasil dari perseorangan atau kolektif— tidak mungkin lepas dari keku- rangan atau justru terlalu berlebihan. Hal ini dapat dibuktikan melalui rentangan sejarah dan realitas yang ada.

Sesungguhnya Dzat yang mampu untuk memberikan segala sesua- tu di alam wujud ini baik secara material maupun spiritual sesuai kadar- nya dengan penuh perhitungan dan mizan hanyalah Allah. Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu, maka ditetapkan pula ukuran dan kadar ma- sing-masing dengan serapi-rapinya oleh Allah. Dia Maha Meliputi semua pengetahuan, Maha Menghitung semua jumlah dan Maha Luas ilmu dan rahmat-Nya.

133

Page 132: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Tidak heran, jika Anda melihat keseimbangan yang teliti dalam sik- lus peredaran makhluk Allah dan pada semua perkara dan urusan-Nya. Dia-lah pemegang kendali atas permasalahan seluruh makhluk, maka fe- nomena tawazun akan tampak pada segala sesuatu yang diperintahkan maupun yang disyariatkan-Nya dari hudct (petunjuk) dan dienul haq, yak- ni dalam Islam sebagai nidhom (aturan) dan mcmhajul hayah (sistem kehidupan). Sebagaimana pula fenomena tawazun ini tampak nyata di alam raya yang telah dititahkan oleh Allah swt. Dia telah mengatur dengan ra- pi segala sesuatu yang ada di dalamnya.

Fenomena Tawazun di Seluruh Alam Raya Kita amati apa yang ada di alam raya ini, maka kita akan menjumpai siang dan

malam. Gelap dan terang, panas dan dingin, air dan darat dan berbagai macam gas yang kesemuanya itu dengan kadar dan mizan serta perhitungan yang sangat rapi. Tidak mungkin yang satu akan melampaui yang lainnya dan tidak akan keluar pula dari garis ukuran yang telah di- tentukan untuknya.

Demikian pula matahari, bintang, bulan dan seluruh gugusan tata surya di angkasa raya. Semuanya beredar di garis edamya masing-ma- sing, tidak berbenturan dengan yang lain atau keluar dari daerah lintasan- nya. Maha Benar Allah tatkala berfirman: “Sesungguhnya Kami mencip- takan segala sesuatu dengan ukuran.” (Q.s. Al-Qamar: 49). “Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan llah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (Q.s. Al-Mulk: 3). “Tidak mungkin bagi matahari untuk mendapatkan bulan (di siang hati) dan malam pun tidak akan dapat mendahului siang. Dan masing-masi'ng beredar pada garis edamya.” (Q.s. Yaasin: 40). “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pcpohanan, kedua-duanya tunduk bersujud kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan meletakkan mizan (keadilan)(Q.s. Ar-Rahman: 5-7).

A1-Ustadz Taufiq Al-Hakiim, seorang intelektual terkemuka, melihat fenomena di alam raya yang luas ini sebagai fenomena tawazun dan ta ’adul (keserasian) antara hal-hal yang berlawanan di berbagai sisi alam kehidupan. Bertolak dari sini beliau menciptakan teori dalam adab, ke- trampilan dan tsaqofah. Beliau beri nama teori itu at-ta’aduliyah (keserasian).

Dalam teorinya itu beliau membahas bumi yang menjadi tempat hidup manusia dengan sebuah penegasan bahwa sifat terpenting dari bumi adalah "Bumi merupakan bola (globe) yang hidup dengan seimbang dan bertawazun dengan bola terbesar di alam ini yakni matahari."

Beliau mengatakan, "Apabila terjadi ketidakberesan dalam keseimbangan ini, maka matahari akan menelan bumi atau bumi akan hilang dari garis orbitnya. Dengan demikian, ta’adul merupakan hakikat pertama dalam kehidupan bumi.

Maka apakah sifat "ta’adul" juga merupakan hakikat pertama dalam eksistensi manusia?

Karenanya, mari kita lihat terlebih dahulu bagaimana manusia hidup dalam

134 Karakteristik Islam

Page 133: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kapasitasnya sebagai benda material. Notabene ia (manusia) hidup dengan bemafas. Bagaimana definisi bemafas itu? Bemafas adalah sebuah gerakan keserasian antara penarikan (pengambilan oksigen) dan pengeluaran nafas (pembuangan karbondioksida).

Apabila terjadi cacat dalam keseimbangan ini, misalnya penarikan nafas lebih panjang dari biasanya atau pengeluarannya lebih banyak hingga melebihi kapasitas penarikan nafas, maka tamatlah riwayat manusia. Ini adalah sebuah susunan material dalam diri manusia. Karenanya, apabila kita tinggalkan susunan ini, lantas beralih pada tarkiib ruuhy (susunan spiritual), niscaya kita juga akan mendapati adanya sebuah keserasian ini.

Susunan spiritual pada diri manusia juga mempunyai alat penarikan dan pengeluaran yang mungkin dapat kita namakan "pemikiran" atau al- fikru dan "perasaan" atau syu ’uur, atau dengan ungkapan Iain al-aqlu dan al-qalbu (hati). Ini berarti bahwa kehidupan ruhhiyah (spiritual) yang se- hat adalah apabila terjalin keseimbangan antara daya pikir dan perasaan. Dan terjadinya pemberian nama penyakit-penyakit akal dan syaraf tidak lain adalah karena adanya ketidaksinambungan pada keserasian dan ke- seimbangan ini. Adakalanya perasaan lebih unggul dan bahkan terkadang melebihi kadar yang telah diberikan untuknya atau menghentikan sama se- kali aktivitas daya pikir. Maka saat itu manusia kembali seperti anak- anak. Namun adakalanya daya pikir lebih mendominasi serta mematikan aktivitas perasaan, maka sarana berpikir manusia kala itu menjadi kacau dan semrawut.

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang seimbang, baik secara material maupun spiritual. Namun bukan manusia saja yang memi- liki keseimbangan ini, seluruh benda yang terkandung di dalam bumi mempunyai susunan penciptaan yang seimbang dan ini adalah sebuah rahasia kehidupan.

Hewan, tumbuh-tumbuhan, benda padat semuanya berada dalam lingkup hukum "ta’adul" di dalam susunan biologisnya, unsur-unsur ki- mia dan fisik empiriknya. Sampai dalam pandangan sains moderen yang telah banyak merombak teori-teori abad kesembilan belas, tentang "al- maddah", menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-maddah (mate- ri) tidak lain adalah ath-thaaqah (kekuatan) yang tersentral dengan satu si stem penataan yang sangat rapi.

Sains moderen juga telah menciptakan hukum-hukum baru yang berkaitan dengan gravitasi (daya tarik-menarik) antara unsur-unsur materi. Gravitasi merupakan asas keseimbangan dan keserasian. Karena gravitasi berarti wujudnya dua kekuatan, sedangkan ta’adul berarti meme- lihara kelangsungan dua kekuatan tadi agar salah satu dari keduanya tidak sima dan punah.1

Apa yang diamati oleh Ustadz Taufiq Al-Hakiim dalam alam kecil yaitu manusia dan alam raya, perihal fenomena tawazun dan ta’adul antara unsur-unsur yang ada di dalamnya dari atom sampai gugusan planet- planet, dan apa yang beliau bangun dari tawazun ini dalam teori-teorinya, yang berkenaan dengan adab dan farm

Al-Wasthiyyah 135

Page 134: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(seni), adalah sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri. Jauh-jauh Al-Qur’an telah mengisyaratkannya sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka. Dari tawazun beliau juga membangun teori filsafat dan sistem kehidupan semuanya, material dan spiritual, individu dan sosial kemasyarakatan dan bahkan mendeklarasi- kan sebuah keistimewaan ummat Islam yang unik, yakni al-wasthiyyah dan at-tawazun.

Dari karakteristik yang sangat menonjol ini, Allah mengisyaratkan dalam sebuah firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu

'Ustadz Tautik Al-Hakim, At-Ta'aduliyyah, him. 10-2.

136 Karakteristik Islam

Page 135: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

menjadi saksi atas (perbuatan)mu.” (Q.s. Al-Baqarah: 143).

Al-Wasthiyyah ummat Islam bertumpu pada sistem atau manhajnya, yakni manhaj pertengahan bagi ummat pertengahan. Manhaj yang serasi dan tawazun yang selamat dari kekurangan atau melebih-lebihkan.

Keistimewaan Al-Wasthiyyah day Faedah-faedahnya Di antara hikmah Allah dalam penciptaan ini adalah bahwa Dia te-

lah memilih wasthiyyah atau tawazun sebagai syiar yang khusus bagi ummat Islam, ummat akhir zam&n. Sebagai syiar bagi risalah Islamiyah yang juga merupakan risalah /akhir zaman dan Dia mengutus — atas risalah tersebut — seorang Niibi terakhir bagi kaffatal linnas (seluruh ummat manusia) dan menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).

Al-Wasthiyyah Sesuai dengan Risalah Ahadi Mungkin dalam risalah temporer yang dibatasi oleh ruang dan wak- tu untuk

mengantisipasi sebagian ekstrimitas di dalam suatu masalah dengan bentuk ekstrimitas lawannya. Maka apabila terjadi suasana keterla- luan dalam misinya terhadap waqi’iyah, dapat diluruskan dengan satu bentuk keterlaluan yang menjadi lawannya, yakni misi terhadap mitsa- liyyah (terlalu idealis).

Apabila terjadi suasana berlebihan dalam kecenderungan materialis- me dapat dibalas dengan suasana berlebihan yang sama dalam kecenderungan spiritualisme. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat pada agama Kristen dan sikapnya terhadap kecenderungan materialisme realistis yang dimiliki Yahudi dan Romawi. Apabila misi temporer ini telah berakhir ma- sanya dan suasana berlebihan itu telah mencapai klimaksnya, meski telah diantisipasi dengan suasana berlebihan yang menjadi lawannya, maka konsekuensinya harus bersedia kembali pada jalur pertengahan dan di jalan yang lurus. Sehingga dengan demikian. dua anak timbangan itu me- nunjukkan neraca yang sebanding (sama). Pada hakikatnya inilah yang di- bawa oleh risalah Islamiyah dengan karakteristiknya sebagai risalah kha- lidah (abadi).

Al-Wasthiyyah memiliki keragaman makna yang menjadi spesifika- si dari manhaj Islam dan ummatnya serta menjadikannya sebagai ummat yang layak untuk memegang kendali kepemimpinan dan keabadian.

menjadi safest atas (perbuatan) mar a dan agar Rasul (Muhammad)

Al-U'asthiyyah 137

Page 136: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

1. Al-Wasthiyyah Bermakna Adi I Di antara makna wasthiyyah yang menjadi ciri ummat Islam sebagaimana

tertera dalam ayat di atas (Q.s. 2: 143) dan kelayakan ummat Islam untuk menjadi saksi bagi manusia adalah: Adil, yang merupakan syarat diterimanya kesaksian seorang saksi. Kalau tidak adil, sudah pas- ti akan tertolak kesaksiannya. Adapun seorang saksi dan hakim yang adil, maka akan diterima kesaksian dan keputusannya oleh seluruh manusia.

Tafsir Al-Wasth pada ayat tersebut sama dengan "al-adlu" sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudzri, bahwasanya Rasulullah saw. menafsirkan al- wasthu pada ayat tersebut dengan "al-adlu".15 Al-adlu, at-tawassuthu dan tawazun adalah tiga kata yang mempunyai makna sama. Adil pada haki- katnya adalah pertengahan antara dua sisi yang berlawanan, atau dua sisi yang bertentangan dengan tidak cenderung atau condong pada salah sa- tunya. Dengan kata lain, adil adalah muwazanah (perbandingan) antara sisi-sisi ini dengan memberi masing-masing haknya tanpa dikttrangi atau dilebihkan. Dari situlah seorang penyair yang bemama Zuhair, berkata dalam gubahan syair pujiannya:

Mereka adalah wasthun (pertengahan) yang semua orang ridha dengan keputusannya Apabila turun kepada mereka suasana dan malam-malam yang genting. Sang penyair tadi menyifati mereka dengan keabadian dan keteguh- an serta

tidak berat sebelah. Para ahli tafsir menafsirkan kata Ausathuhum dalam ayat 28 Surat Al-Qalam

dengan arti A’daJuhum (yang teradil di antara mereka). Pen- dapat ini dipertegas oleh Imam Ar-Razi dalam tafsimya dengan ucapan beliau: "Sesungguhnya yang paling adil untuk kelangsungan sesuatu adalah yang berada di tengah. Karena hukum ketetapannya akan menyentuh seluruh aspek secara sama dan seimbang."16

Seorang mufassir bemama Abi Su’ud mengatakan: " Al-wasthu adalah bentuk dasar dari sebuah kata atau nama yang berarti kesamaan nis- bah (kadar) semua aspek seperti markas (tempat). Kemudian kata ini di- pakai untuk menyatakan sifat kemanusiaan yang terpuji, dimana sifat itu menjadi penengah di antara sifat-sifat tercela dari aspek melebihkan atau mengurangi."4

"Al-wasthu" berarti adil dan seimbang atau dengan kata lain ta’adul dan tawazun dengan tidak condong pada sikap melebihkan atau mengurangi. 2. Al-Wasthiyyah Bermakna Istiqomah

Al-wasthiyyah berarti istiqomah dari manhaj yang jauh dari kecenderungan dan penyimpangan. Maka manhaj yang lurus atau dengan ba- hasa Qur’ani, shirathal mustaqiim adalah — sebagaimana ungkapan Abi Su’ud dalam tafsimya — Jalan lurus yang terletak di antara jalan-jalan berkelok menuju arah pada bagian-bagian

15Tafsir Ibmt Katsier, jilid I, him. 190. iTafsir Al-Fakhnjr Razi, jilid IV, Get. Mesir, 1353/1935, him. 108-9

138 Karakteristik Islam

Page 137: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tertentu. Sehingga apabila kita menarik garis yang banyak lalu mempertemukannya antara kedua arah yang berlawanan, maka garis lurusnya adalah garis yang terletak di antara garis yang banyak tadi. Dan sebagai satu konsekuensi dari eksistensi ummat ini sebagai ummat pertengahan di antara jalan-jalan yang berkelok (ideologi-ideologi sesat), maka ummat ini dituntut menjadi penengah di antara ummat-ummat yang menuju jalan tidak lurus.

Dari sinilah Islam mengajarkan kepada seorang Muslim untuk me- mohon petunjuk menuju shirathal mustaqiim (jalan yang lurus) setiap hari minimal tujuh belas kali, yakni di setiap rakaat salat fardhu sehari se- malam. Permohonan tersebut disampaikan tatkala seorang Muslim mem- baca Surat AI-Fatihah dalam salatnya. Dengan penuh harap ia berdoa: “(Ya Allah) tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus. Yaitu jalan mere- ka-merekayang Engkau beri nikmat. Bukan (jalan) mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang tersesat. ” (Q.s. Al-Fatihah: 6-7).

Nabi Muhammad saw. telah memberikan contoh bahwa mereka yang dimurkai oleh Allah ialah orang-orang Yahudi dan, yang termasuk golongan kaum tersesat itu adalah orang-orang Nasrani. Tidak dapat di- pungkiri bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah berbuat ifrath (berlebih-lebihan) dan melakukan tafrith (pengurangan dan penyalah- gunaan) dalam banyak hal. Orang-orang Yahudi banyak yang membunuh para Nabi yang di utus untuknya, sedangkan orang-orang Nasrani

i& _ 4TafsirAbi Su ’ud, jilid I, him. 123.

Al-Wasthiyyah 139

Page 138: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

justru menuhankan Nabi yang di utus untuknya. Orang Yahudi berlebih- lebihan dalam mengharamkan, sedang orang Nasrani berlebih-lebihan dalam membolehkan, hingga mereka berani mengatakan: "Segala sesuatu itu baik bagi mereka yang baik." Orang-orang Yahudi berlebih-lebihan dalam sisi materi, sementara orang Nasrani menyia-nyiakannya. Orang Yahudi sangat ekstrim dalam menampilkan bentuk-bentuk dalam slogan dan ibadat ritual mereka, sementara orang Nasrani sangat ekstrim dalam upa- ya menghilangkannya.

Islam mengajarkan kepada kaum Muslimin agar menghindari eks- trimitas dari kedua kelompok ini dan hendaknya senantiasa beriltizam dengan manhaj moderat, yang merupakan jalan titian mereka-mereka yang diridhai Allah dan diberi nikmat dari para Nabi, orang-orang jujur, para syuhada’ dan orang-orang saleh. 3. Al-Wasthiyyah adalah Bukti Kebaikan

Demikian pula wasthiyyah adalah sebagai bukti kebaikan, figur ke- utamaan dan keistimewaan baik pada sisi material maupun spiritual. Dalam masalah-masalah material misalnya, kita melihat bahwa aqad yang paling utama adalah tengahnya (tidak berat sebelah). Kita melihat pula bahwa pemimpin kelompok senantiasa berada di tengah, sementara para pengikutnya berada di sekelilingnya. Dalam masalah spiritual misalnya, kita menjumpai bahwa tawassuth (moderat) itu selamanya lebih baik da- ripada ekstrimitas.

Oleh karena itu, dalam salah satu kata-kata hikmahnya orang Arab berkata: "Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan." Aristoteles berkata: "Keutamaan adalah pertengahan di antara dua kejelekan." Dari sini Ibnu Katsier menafsirkan finnan Allah, “Ummatan wasathan, "(Q.s. Al-Baqarah: 143) adalah ummat yang terpilih dan terbaik. Sebagaimana dikatakan: "Suku Quraisy adalah suku pertengahan orang Arab dari segi nasab dan tempat tinggal, yakni merupakan suku terbaik di antara mereka. Rasulullah saw. adalah orang yang berada di tengah-tengah (wasathan) kaumnya, artinya yang termulia di antara mereka dari segi nasab dan keturunan. Dalam Al-Qur’an terdapat kata-kata as-sholatul wustho, yakni salat yang paling utama."5

iTafsir Ibnu Katsier, jilid I, him. 90. 148

Karakteristik Islam

4. A I- Wasthiyyah Mencerminkcm Keamanan Wasthiyyah mencerminkan sebuah tempat yang aman, jauh dari ma- rabahaya.

Daerah-daerah pinggiran biasanya senantiasa terancam oleh marabahaya dan mudah dilanda kerusakan, berbeda dengan kawasan pertengahan, dimana daerah ini terjaga dan terpelihara dengan apa yang di sekelilingnya. Dalam hal ini salah seorang

Page 139: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

penyair berkata: Dia adalah pertengahan yang terjaga Hingga datanglah desakan-desakan peristiwa sampai akhirnya dia menjadi pinggiran. Maka, demikian halnya dengan sistem moderat dengan ummat yang moderat

pula. 5. Al-Wasthiyyah adalah Bukti Kekuatan

Wasthiyyah merupakan bukti kekuatan. Maka daerah tengah adalah markas (pusat) kekuatan. Tidakkah Anda melihat bahwa pemuda sebe- narnya merupakan fase kekuatan antara kelemahan masa kanak-kanak dan masa tua? Bukankah matahari di tengah hari lebih kuat sinamya daripada ketika di ufuk (pagi) dan senja (sore) hari? 6. A I- Wasthiyyah adalah Pusat Kesatuan

Wasthiyyah adalah pusat kesatuan dan sekaligus mencerminkan ti- tik temu. Karenanya, ketika daerah-daerah pinggiran itu kian membeng- kak jumlahnya hingga tiada terhitung, maka daerah pertengahan tetap hanya satu. Bahkan mungkin daerah-daerah pinggiran itu akan bertemu di sana (daerah tengah tadi). Maka, daerah itu adalah daerah pertengahan dan dialah yang menjadi titik pusat. Hal ini akan semakin tampak jelas dalam berbagai aspek, baik aspek material, fikriyyah (pemikiran) maupun aspek ma 'nawiydh (mentalitas).

Pusat daerah selalu berada di tengah. Mungkin setiap garis yang da- tang dari sekelilingnya akan bertemu di situ. Fikrah pertengahan mungkin akan bertemu dengan fikrah-fikrah primordial dan marjinal pada titik tertentu. yakni pada titik tawazun dan keseimbangan. Sebagaimana kebe- ragaman dan perbedaan pola pikir selalu terjadi manakala timbul gejala ekstrimitas dan primordial, dan sejauh mana kadarnya pasti akan banyak ditentukan oleh sejauh mana intensitas ekstrimitasnya. Sedangkan tawassuth dan keseimbangan adalah jalan menuju kesatuan fikrah dan pusat serta sumbemya. Oleh karena itu. sekte-sekte pemikiran ekstrimis selalu mendatangkan perpecahan dan khilaf di antara ummat yang satu ini. yang hal tersebut tidak akan terjadi pada sistem fikriyyah yang seimbang (moderat). Fenomena-fenomena Al-Wasthiyyah dalam Islam

Kalau wasthiyyah memiliki setiap keistimewaan di atas, maka tidaklah mengherankan jika keistimewaan-keistimewaan tersebut tampak jelas pada setiap aspek dalam Islam. Apakah itu dari aspek nadhariyah (teoritis) maupun amaliyyah (operasional) ataupun dari aspek tarbiyah (pendidikan) dan tasyri 'iyah (legislatif).

Islam adalah sistem yang moderat dalam hal ideologi dan tashaw- wur (persepsi), moderat dalam ibadat ritual, akhlak, adab (tatakrama), tasyri ’ dan dalam nidliom.

Al-Wasthiyyah dalam Ideologi a. Islam adalah agama yang bukan dianut kaum khurafat (yang ber- lebih-lebihan dalam keyakinan sehingga mempercayai segala sesuatu dan beriman

Al-Wasthiyyah 141

Page 140: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kepadanya tanpa hujjah) dan bukan pula sebagaimana kaum ma- addiyyin (yang mengingkari sama sekali segala sesuatu yang tidak ter- jangkau oleh indra, tidak menyambut panggilan fitrah, seruan akal dan kehebatan mukjizat).

Islam mengajak untuk beriman dan berkeyakinan, jika hal yang di- yakini itu memiliki dalil yang qoth’i dan hujjah yang kuat. Apabila yang selain itu harus ditolak dan dikategorikan sebagai khayalan belaka. Dalam hal ini slogan yang senantiasa dipakai adalah: “Katakan (Muhammad), ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu kalau engkau adalah orang yang benar’.” (Q.s. Al-Baqarah: 111). b. Islam adalah agama yang bukan dianut kaum atheis (tidak percaya adanya Tuhan), mencekik suara nurani yang ada dalam j iwa dan yang me- matikan akal pikiran di kepala ... dan bukan pula sebagaimana kaum po- litheis (percaya banyak tuhan) sampai pada penyembah kambing dan sa- pi serta mengultuskan area dan batu.

Karenanya, Islam mengajak beriman kepada Tuhan Yang Satu, yang tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan serta tiada satu pun yang menandingi dan menyerupainya. Selain Dia, adalah makhluk yang tiada kuasa mendatangkan bahaya, manfaat, kehidupan, kematian dan tidak dapat pula mendatangkan kebangkitan. Maka meng- Ilah-kan tuhan-tuhan makhluk tadi adalah sebuah bentuk kesyirikan, kezaliman dan kesesatan yang nyata.

Allah swt. berfirman: "Dan siapakah yang lebih sesat daripada o- rangyang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat dan mereka (se-

142 Karakteristik Islam

Page 141: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sembahan-sesembahan) tadi lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (Q.s. Al-Ahqaf: 5). c. Islam adalah agama yang bukan dianut kaum yang mengategorikan alam raya ini sebagai al-wujudul haq (eksis adanya) sedang yang tidak kasat (terlihat) mataadalah khayal dan fatamorganabelaka ... dan bukan pula sebagaimana kaum yang meyakini bahwa alam ini semuanya adalah khayal tidak bereksistensi bagaikan fatamorgana, yang dari kejauhan se- olah tampak (terlihat) adanya air, namun ketika orang yang dilanda da- haga itu mendekatinya, temyata tiada air sedikit pun di sana.

Islam meyakini bahwa keberadaan alam raya ini adalah sebuah ha- kikat yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, hakikat ini mengarah pada sebuah hakikat yang lebih besar lagi darinya, yakni tentang siapa pen- cipta, pengatur dan pemelihara alam ini yang tiada lain adalah Allah swt.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih ber- gantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulul albab, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring serta mereka memikirkan proses penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, makajagalah kami dari siksa neraka’. ” (Q.s. Ali Imran: 190-1). d. Islam adalah agama yang bukan dianut kaum yang menuhankan manusia, memberinya karakteristik rububiyyah, bahkan mengultus individu- kan dirinya, berhukum dan berbuat sekehendak hatinya ... dan bukan pula sebagaimana kaum yang menempatkan manusia sebagai budak belian dari sisi ekonomi maupun sosial keagamaan. Manusia tidak ubahnya seperti bulu diterpa angin atau seperti boneka yang dikendalikan oleh masyarakat, ekonomi atau takdir kehidupannya.

Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk mukallaf (mempunyai amanat) yang bertanggung jawab, pemimpin alam raya, hamba Allah yang mampu mengubah apa yang ada di sekelilingnya dengan kadar kemampuannya untuk mengubah dirinya (beradaptasi). “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah dengan diri mereka sendiri.” (Q.s. Ar-Ra’d: 11). e. Islam adalah agama yang bukan dianut kaum yang menguduskan para Nabi hingga mengangkat mereka ke derajat uluhiyah (ketuhanan) atau anak tuhan ... dan bukan pula sebagaimana kaum yang mendusta- kan para Nabi, menuduh dan menyiksa mereka.

Para Nabi adalah juga manusia seperti halnya diri kita. Makan ma- kanan dan berjalan-jalan di pasar. Sebagian mereka mempunyai istri-is- tri dan keturunan. Antara mereka ada perbedaan. Allah memberi mereka wahyu dan mendukung serta menguatkan mereka dengan mukjizat.

Allah berfirman: “Para Rasul berkata kepada mereka, ‘Kami tidak lain hanyalah manusia

seperti'kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang dikehcndaki di

Al-Wasthiyyah 143

Page 142: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami untuk mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan atas izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kaum Mukmin ber- tawakal’.” (Q.s. Ibrahim: 11). f. Islam adalah agama yang bukan dianut kaum yang hanya percaya pada akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber ma'rifat akan hakikat wujud kehidupan ... dan bukan pula sebagaimana kaum yang tidak percaya kecuali hanya dengan wahyu dan ilham, tidak mengakui akal sebagai pe- niada atau penetap sesuatu.

Islam percaya pada akal, bahkan mengajaknya untuk menganalisa dan berpikir. Islam mengingkari kejumudan, taklid, bahkan berbicara de- ngannya dalam uslub perintah dan larangan. Islam juga bertumpu pada akal untuk menetapkan dua hakikat terbesar dalam alam wujud ini, yakni wujudullah dan kebeftaran dakwah Nabi. Akan tetapi, Islam juga percaya pada wahyu sebagai penyempuma akal dan penolongnya tatkala ia tersesat dan dikendalikan (didominasi) oleh nafsu. Wahyu juga sebagai petunjuk bagi akal kepada sesuatu yang bukan spesialisasinya dan di luar kemampuannya dari hal-hal yang gaib, berita-berita dari langit dan juga cara-cara beribadat kepada Allah.

Al-Wasthiyyah Islam dalam Ibadat dan Syiar-syiar Agama Islam dalam hal ibadat dan syiar-syiamya adalah bukan sebagaimana agama-

agama dan sekte-sekte lainnya yang menghilangkan sisi Rabbaniyah dari jaringan filsafat dan kewajiban-kewajibannya. Seperti agama Budha yang membatasi kewajiban-kewajiban agamanya pada sisi moralitas kemanusiaan semata. Dan bukan pula sebagaimana agama-aga- ma dan sekte-sekte yang menuntut pengikutnya untuk b&r-tafarrugh (kon- sentrasi) hanya untuk beribadat dan menjauhi kehidupan, seperti sistem kependetaan dalam agama Kristen.

Islam mewajibkan kepada kaum Muslim untuk menjalankan syiar- syiar tertentu dalam keseharian seperti salat, atau secara periodik seta- hun sekali seperti shaum (puasa Ramadhan), atau sekali seumur hidup seperti ibadat haji. Ini dilakukan agar senantiasa berhubungan dengan Allah dan tidak terputus dari jalinan ridha-Nya. Kemudian selain itu, (Islam) menyuruh ummatnya untuk selalu berusaha dan produktif, berjalan di muka bumi [mencari penghidupan], dan makan dari anugerah rezeki Allah.

Mungkin dalil yang paling jelas dalam masalah ini adalah ayat berisi perintah untuk salat Jum’at. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu pada dzikrullah dan tinggdlkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. AI-Ju- mu’ah: 9).

Berikut ini adalah termasuk dari perilaku seorang Mukmin dalam berinteraksi dengan dien dan kehidupan sekalipun menjelang hari Jum'at. Yakni jual-beli dan amal (bekerja) sebelum salat, kemudian bersegera menuju dzikrullah sebelum salat serta meninggalkan jual-beli dan segala urusan (kesibukan-kesibukan) duniawi lainnya. Setelah menunaikan kewajiban tersebut, barulah kemudian bertebaran di

144 Karakteristik Islam

Page 143: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

muka bumi untuk mencari rezeki Allah tanpa harus melalaikan dzikrullah. Inilah asas keberun- tungan dan keberhasilan.

Al-Wasthiyyah Islam dalam Sistem Akhlak a. Islam dalam bidang akhlak adalah bukan sebagaimana kaum yang terlalu idealis, yang mengkhayalkan manusia sebagaimana malaikat atau makhluk semi malaikat. Maka mereka pun merekayasa tatanan nilai dan moral yang mustahil dapat diterapkan untuknya ... dan bukan pula sebagaimana kaum yang terlalu realistis dengan menyamakan kedudukan manusia setara binatang. Maka mereka pun merancang tatanan perilaku yang tidak sesuai bagi manusia. Mereka terlalu ber-khusnudzdzan (ber- baik sangka) terhadap fitrah nurani manusia, sehingga menganggapnya baik semuanya (kelompok pertama). Sementara yang kedua sangat ber- buruk sangka, sehingga menilai manusia jelek semuanya Untuk itu. Is- lamlah yang merupakan sistem tersendiri di antara kedua kelompok tadi. Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang mempunyai akal, syahwat atau instink kebinatangan dan mempunyai pula spirituali- tas kemalaikatan. la diberi petunjuk pada dua jalan dan dengan nurani fit- rahnya, ia akan meniti satu di antara dua jalan tadi. Maka adakalanya ia bersyukur [berislam] dan adakalanya kufiir (menentang Islam). Manusia mempunyai kesiapan untuk berbuat jahat dan juga untuk bertakwa. Oleh karena itu, tugasnya adalah untuk berjihad dan riyadhah melawan nafsunya agar dia dapat menyucikan diri.

Allah swt. berfirman: “... dan jiwa serta penyempumaannya (ciptaannya), maka Allah kemudian

mengilhamkan jiwa tadi dengan kefasikan dan ketakwaannya, sungguh beruntung bagi orang yang menyucikan jiwttnya dan merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.s. Asy-Syams: 7-9). b. Islam dalam memandang hakikat manusia bukanlah sebagaimana pandangan isme-isme yang menganggap manusia itu sebagai ruh ctlawi (ruh yang maha tinggi nilainya) yang terpenjara di jasad bumi. Ruh ini tidak mungkin akan dapat suci dan bemilai tinggi, kecuali harus disiksa se- demikian rupa dan dihilangkan keberadaan jasadnya, seperti para Brah- mana Hindu dan sejenisnya ... Dan bukan pula sebagaimana pandangan isme-isme materialis yang menganggap manusia hanyalah jasad semata. Keberadaan jasad tadi sama sekali tidak dihuni oleh ruh alawi dan tidak pula memiliki karakteristik samawi.

Sedangkan manusia dalam Islam merupakan makhluk yang berek- sistensi ruhiyah dan maddiyah. Sebagaimana hal itu diisyaratkan ketika penciptaan manusia pertama, yakni Adam a.s. Allah menciptakannyadari debu atau tanah liat. Ini mengisyaratkan tentang asal materi yang ada dalam badan manusia. Kemudian Allah meletakkan sesuatu^yang lain dalam jasad manusia ini, yakni rahasia keistimewaan manusia dan sum- ber kemuliaannya. Saat itulah Allah berfirman kepada malaikat: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh-Ku, maka tunduklah kamu (malaikat) kepadanya dengan bersujud.’’

At-ll'asthiyyah 145

Page 144: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(Q.s. Al-Hijr: 29). Dengan demikian, selama manusia mempunyai ruh dan raga (jasad), maka ruh

itu memiliki hak yang harus dipenuhi, demikian pula raga (jasad) juga punya hak yang harus dipenuhi. c. Islam dalam persepsinya tentang kehidupan bukanlah sebagaimana mereka-mereka yang mengingkari adanya akhirat dan menganggap dunia ini adalah segala-galanya, dunia adalah awal dan akhir. “Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): ‘Hidup hanyalah kehidupan di dunia ini saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan'.” (Q.s. Al-An’am: 29).

Karena itulah, akhimya mereka tenggelam dalam syahwat dan menyembah materi. Mereka mengabaikan sama sekali akan tujuan yang menjadi sasaran hidupnya. Yang mereka utamakan hanyalah keuntung-

146 Karakteristik Islam

Page 145: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

an individu keduniaan yang fana (sementara). Inilah perilaku para penga- nut materialisme di mana-mana ... Dan bukan pula sebagaimana mereka- mereka yang menolak kehidupan ini, mengabaikan keberadaannya, bah- kan mangasumsikan kehidupan dunia ini sebagai bentuk kejahatan yang harus dimusnahkan serta dihindari. Sehingga, akhimya mereka mengha- ramkan perhiasan duniawi serta mengharuskan diri mereka untuk uzlah (bermeditasi dan menyingkir) dari kehidupan, tidak mau memakmurkan bumi dan berproduksi di dalamnya.

Islam mengakui adanya dua sisi kehidupan dan mengombinasikan kebaikan dari kedua sisi tersebut. Islam menjadikan dunia sebagai la- dang bagi kehidupan akhirat dan menganggap bahwa memakmurkan bumi adalah ibadat serta sebagai realisasi pelaksanaan risalah kemanusiaan. Islam mengingkari para agamawan yang keterlaluan sampai meng- haramkan segala bentuk perhiasan dan rezeki yang baik. Sebagaimana ia juga mengingkari mereka-mereka yang tenggelam dalam kemewahandan syahwat.

Allah berfirman: “Dan orang-orang kafiritu bersenang-senang (di dunia) serta mereka makan

seperti halnya makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Q.s. Muhammad: 12).

Firman-Nya pula: “Wahai anakAdam, pakailah perhiasanmu (pakaianmuyangindah) di setiap

(memasuki) masjid, makan dan minumlah serta jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya unntuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik’?” (Q.s. Al- A’raf: 31-2).

Al-Qur’an menyebutkan bahwa kebahagiaan hidup di dunia adalah anugerah pahala dari Allah atas para hamba-Nya yang beriman: "Kare- naituAllah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.s. Ali Imran: 148). Juga setiap Mukmin paham doa untuk me- mohon kebaikan di dua kehidupan, dunia dan akhirat: “Wahai Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka.” (Q.s. Al-Baqarah: 201). Al-Wasthiyyah (Tawazun) antara Ruhiyah dan Maddiyah

Tidak mengherankan jika kita menjumpai bahwa di antara fenomena wasthiyyah atau tawazun dalam risalah Islamiyah adalah keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat atau dengan kata lain, antara ruhiyah dan maddiyah. a. Dalam sepanjang perjalanan sejarah, Anda dapat menjumpai ber- macam-macam kelompok dan individu. Semuanya bertujuan sama, yaitu untuk memenuhi sisi materi dalam diri manusia dan memakmurkan sisi ini dalam kehidupan tanpa niengindahkan sisi-sisi yang lain.

“Dan mereka tentu akan mengatakan (pula), ‘Hidup hanyalah kehidupan dunia ini saja, dan kita tidak mungkin akan dibangkitkan’.” (Q.s. Al-An’am: 29).

Al-Wasthiyyah 147

Page 146: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Suatu kecenderungan yang keterlaluan dalam memandang materi dan nilai dunia, wajarlah bila hanya melahirkan kemewahan, tirani ma- terialisme, rakus terhadap dunia, sombong dan berbangga diri ketika mendapatkan nikmat serta berputus asa dan mengeluh tatkala tertimpa musi- bah.

Kita dapat melihat dengan jelas apa yang dikisahkan oleh Allah kepada kita tentang pergolakan individu dan kelompok yang hidup hanya untuk dunianya saja, sama sekali tidak menoleh kepada nilai-nilai dien, tidak mengliiraukan kehidupan akhirat dan, dimana nilai-nilai ruhiyah sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam jivvanya.

Inilah kisah pemilik dua kebun yang sombong kepada salah seorang karibnya. la banggakan kekayaannya seraya mengatakan: “Hartaku jauh lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pcngikutku lebih kuat. Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri, seraya mengatakan: ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak yakin bahwa Kiamat itu akan datang...’.” (Q.s. Al-Kahfi: 34-6).

Karena kesombongannya ini, Allah lantas mengirimkan ketentuan- nya (kebinasaan) dari langit, hingga kebun itu bagai tanah licin tiada berarti. Air-airnya pun menjadi sirna, hingga ia tidak menemukannya lagi.

Inilah Qarun yang telah diberi oleh Allah harta berlimpah yang ter- simpan hingga kita tidak mampu mengangkut sendirian kunci-kunci pembuka gudang-gudang hartanya, kecuali bila dibawa oleh sekelompok orang-orang kekar. Dia sombong terhadap kaumnya dan bangga dengan hartanya serta mengembalikan kemuliaan itu pada dirinya semata dengan mengatakan: “Sesungguhnya aku mendapatkan ini semua (harta) karena ilma yang ada padaku (kepintaranku)." (Q.s. Al-Qashash: 78),

Karena kecongkakannya ini Allah kemudian menenggelantkan Qa- run beserta rumahnya ke dalam bumi.

Dan inilah Fir’aun yang berkata: “Hai kaumku, bukanlkah kerajaan Mesirini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalirdi ba- wahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (Q.s. Az-Zukhruf: 51).

Kemudian para penguasa lainnya dari berbagai kaum yang hidup ber- mewah-mewahan di dunia ini, mereka dihancurkan oleh kemewahannya itu sendiri dan diruntuhkan keberadaannya. Sungguh terbukti bagi mereka (datangnya) siksaan, diharamkan atas mereka pertolongan Allah dan maunah-Nya.

“Hingga apabila Kami timpahkan azab kepada orang-orang yang hidup mew ah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tidak akan mendapatkan pertolongan dari Kami. Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al-Qur'an) selalu dibacakan kepada kamuseka- lian, makei kamu selalu berpaling ke belakang...” (Q.s. Al-Mu’minuun: 64-6).

“Dan berapa banyak pendudult negm yang zalim yang telah Kami bindsakan

148 Karakteristik Islam

Page 147: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-ge- sa, kembalilah kamu pada nikmal yang telah kamu rasakan kepada tempat-tempat kediamanmu, supaya kamu ditanya. ” (Q.s. Al-Anbiya’: 11-3) b. Sebagai kebalikan dari kecenderungan di atas, terdapat golongan di antara mereka, baik dari kalangan individu maupun kelompok yang ine- mandang dunia ini dengan penuh kerendahan dan permusuhan. Mereka mengharamkan semua perhiasan dunia dan rezeki yang baik bagi diri mereka. Mereka sia-siakan kekuatan untuk memakmurkannya. enggan untuk mengembangkan dan memperbaiki kualitas kehidupan serta tidak ber- sedia mengelola apa yang dianugerahkan Allah di bumi ini.

Hal itu dapat dilihat pada kalangan Brahmana Hindu dan Persia. Da- pat dilihat pula secara jelas pada sistem kependetaan (Rabbanivah) cip- taan orang-orang Nasrani. Mereka memisahkan diri dari kehidupan, tidak mau menikmati dan berproduktivitas di dalamnya.

Sehingga yang kemudian berkembang dalam pemahaman manusia tentang agama dan cara memeluknya yang benar adalah melepaskan diri dari dunia dan konsentrasi penuh untuk ibadat. Yang beragama di antara mereka adalah yang pengangguran (tidak memiliki kesibukan kerja), me- ngekang diri tidak mau menikmati dunia, tidak mau menikah, beribadat terus-menerus tanpa mau berhenti, malamnya berjaga!, siangnya puasa, tangannya di dunia tertelungkup (tidak mau bergerak/bekerja), baginya kehidupan ini tidak ubahnya sebatas roti kering, pakaiannya compang- camping dan rumahnya beratapkan langit dan berlantaikan bumi. c. Di antara kedua kecenderungan kehidupan inilah, maka Islam dengan tegak mengumandangkan sistem tawazun dan keseimbangan. Kemudian membenarkan pemahaman manusia tentang hakikat manusia dan hakikat kehidupan.

Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk alamiah. Terdiri dari segenggam tanah dan tiupan ruh dari Allah. Dalam diri manusia terdapat (tersimpan) unsur duniawi yang tercermin dalam jasad, dimana sang jasad menuntut bagiannya dari apa yang keluar dari dalam bumi seperti makanan dan perhiasan. Juga terdapat unsur samawi yang tercermin dalam ruh yang senantiasa mengharap petunjuk yang datang dari langit.

Al-Qur’an telah mengisyaratkan tabiat pembuatan manusia ini dalam proses penciptaan manusia pertama, yakni Adam; bapak semua manusia.

Allah berfirman: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, 'Sesungguhnya Aku

akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah Kusempumakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya’. ” (Q.s. Shaad: 71-2).

II- Wasthiyyah 149

Page 148: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Al-Qur’an juga mengisyaratkan tabiat penciptaan ini dalam proses penciptaan atas seluruh anak cucu Adam.

Allah berfirman: “... dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia

menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, peng- lihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (Q.s. As- Sajdah: 7-9).

150 Karakteristik Islam

Page 149: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Di antara hikmah Allah adalah menciptakan manusia dengan tatan- an seperti di atas tadi. Hal itu sesuai dengan misi risalah manusia yang harus diembannya, yaitu menjadi khalifah di bumi.

Dengan unsur tanah — materi — ia mampu berusaha, memakmurkan dan berbuat ihsan di bumi serta mengelola apa yang dianugerahkan Allah di dalamnya: dari kekayaan alam dan berbagai nikmat kehidupan. Ia mampu menundukkan kekuatan-kekuatan bumi dengan izin-Nya untuk kepentingan dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Dengan demikian jasad materi yang ada dalam diri manusia bukan sebuah kejelekan dan laknat. Kendati manusia itu mempunyai ruh mumi seperti halnya malaikat, tentu ia mempunyai pendorong yang dapat menggerakkan dirinya untuk mengelola materi, berikhtiar di muka bumi (untuk mencari rezeki), mengadakan observasi dan beramal untuk memakmurkannya.

Dengan unsur spiritual samawi, manusia akan sanggup menerawang jauh ke depan, meniti alam yang lebih tinggi dan kehidupan yang lebih baik dan abadi (kekal). Dengan demikian, materi akan dapat ditundukkan dan bukan sebaliknya, akan menjadikannya dapat secara leluasa mem- pergunakan dan mengelola apa pun yang ada di bumi dari sumber kekayaan alam, dan bukan malah sebaliknya.

Bumi beserta isinya, sesungguhnya, diciptakan untuk manusia, se- dangkan manusia sendiri diciptakan untuk Allah, untuk beribadat kepada-Nya, berma'rifat dan ber-ihsanush shilah (berhubungan baik) dengan-Nya.

Kehidupan ini bukanlah penjara bagi manusia, bukan pula sebuah beban yang harus disandang. Akan tetapi, kehidupan adalah suatu ke- nikmatan yang harus disyukuri, risalah yang harus dilaksanakan dan la- dang bagi kehidupan lain yang lebih baik dan abadi. la tidak boleh disi- bukkan oleh kehidupan dan dilalaikan akan eksistensinya.

Al-Qur’anul Karim mengajak manusia untuk beramal bagi kehidupan, mengelola bumi, berjalan mencari penghidupan dan menikmati kekayaan alam yang ada di dalamnya. Disamping itu, Al-Qur’an juga me- wajibkan untuk bersiap-siap menyongsong kehidupan akhirat dan berbe- kal untuk hari penghisaban. Hal itu dapat ditempuh dengan iman, ibadat dan husnush shilah (hubungan baik) dengan Allah serta terus-menerus berdzikrullah yang merupakan sarana penentram hati.

Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa- apa yang

baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yangmelampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 87-8).

Allah juga berfirman: “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu dan berjalan- lah di

segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. ” (Q.s. Al- Mulk: 15).

Al-Wasthiyyah 151

Page 150: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

"Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah serta ingatlah Dia banyak-banyak su- paya kamu beruntung." (Q.s. Al-Jumu’ah: 10).

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian- mu akan kenikmatan dunia serta berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.s. Al-Qashash: 77).

Adalah Rasulullah saw, beliau makan rezeki yang baik-baik dari kehidupan ini dan tiada mengharamkannya. Akan tetapi, beliau tidak disi- bukkan olehnya dan tidak pula menjadi sentral pemikirannya. Di antara doa beliau dalam hal ini adalah:

( cJ> 1—

“Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan dunia ini sebesar-besar tujuan kami dan batas pengetahuan kami. ” (H.r. Tirmidzi dan Nasa’i).

Rasulullah saw. dengan cermat telah memberikan dunia ini haknya, sebagaimana akhirat dengan pembagian yang lurus dan sesuai tuntutan- nya. Di antara doa beliau, sebagaimana diriwayatkan Muslim.

-Ti . ’ i * i c^Jp ^ <-4

“Yci Allah, ishlahlah untukku a gam aku yang merupakan penjaga s&mua perkaraku, ishlahlah untukku duniaku yang di sana tempat la- han kehidupanku, ishlahlah untukku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, jadikanlah kehidupan ini sebagai penambah semua ke- baikan dan jadikanlah kematian sebagai sarana istirahatku dari segala kejahatan.”

Ini adalah doa Nabi saw. yang ma 'tsur (riwayatnya jelas). Doa tersebut menjelaskan bagaimana sikap seorang Muslim terhadap dien, dunia dan akhirat. Dalam doa ini Rasulullah saw. memohon segalanya, kebaik- an atas semuanya, dien, dunia dan akhirat. Karena salah satu tidak akan mungkin dapat berdiri sendiri dan tanpa membutuhkan yang lain. Dien bagi beliau merupakan penjaga dari semua perkara beliau dan pengon- trol kehidupan. Dunia bagi beliau adalah tempat kehidupan dan kenikmat- an sampai batas waktu tertentu. Sedang akhirat adalah tempat kembali dan dibangkitkan.

Doa di atas hampir sama dengan doa Qur’ani yang cukup ringkas (singkat), dimana Rasul saw. sering melafadzkan doa tersebut: “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka." (Q.s. Al-Baqarah: 201).

Rasulullah saw. dengan penuh ketekunan selalu memberikan taujih (nasihat)

152 Karakteristik Islam

Page 151: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kepada para sahabat agar senantiasa bertawazun antara dien dan dunia, hak pribadi dan hak Allah, dan antara kesenangan jasad dan kenik- matan ruhani. Apabila beliau melihat sebagian dari mereka berlebih-le- bihan dalam satu sisi, beliau segera meluruskan dan mengcmbalikan pada jalan yang lurus.

Ketika beliau melihat sebagian sahabat berlebih-lebihan dalam beribadat, puasa dan salat malam di luar kemampuan raga. keluarga dan ma- syarakatnya, beliau segera menegurnya: “Sesungguhnya bagi badanniu ada hak yang harus engkau laksanakan, sesungguhnya bagi istrimu ada hak yang harus engkau tunaikan dan sesungguhnya bagi telanggamu ada hak yang hams engkau kerjakan. Maka berikanlah inasing-masing sesuai haknya." (H.r. Bukhari).

Ketika menjumpai tiga orang. salah satu di antara mereka beriltizam untuk puasa terus-menerus dan tiada berbuka. satunya lagi beriltizam untuk terus-menerus salat lail dan tidak tidur. dan orang terakhir. ia men- jauhi wanita dan selamanya tidak akan menikah. Ketika mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh ketiga orang tersebut, maka Rasul saw. bersabda:

“Adapun aku, maka aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa. Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka, aku salat lail dan tidur, dan aku juga menikah. Maka bararigsiapa yang ben- ci dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku.” (H.r. Bukhari).

Sekembalinya Abu Ubaidah dari Bahrain dengan membawa harta rampasan perang yang banyak, ketika itu para sahabat pun mengetahui akan kedatangannya. Mereka ingin segera bertemu dan menunggu barangkali saja akan mendapatkan bagian dari harta itu. Tampaknya mereka cukup antusias terhadap kenikmatan rendah tersebut (harta pampas- an). Saat itulah Rasulullah mengingatkan kembali pada mereka atas fit- nah dunia dan tertarik akan perhiasannya. Maka, beliau bersabda:

“Bergembiralah kamu sekalian dan setelah itu bosan (jenuh)lah. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku takutkan atas kamu. Namun aku khawatir harta dunia ini melimpah, sebagaimana hal itu terjadi kepada ummat sebelum kamu. Maka kamu berlomba-lomba untuk mendapat- kannya, sebagaimana mereka juga demi kian, sehingga kamu pun rusak karenanya sebagaimana harta itu telah merusak keberadaan mereka. ” (H.r. Bukhari).

Demikianlah para sahabat belajar berbuat tawazun antara tuntut- an-tuntutan dunia dan akhirat. Mereka beramal untuk dunia sebaik apa yang harus dikerjakan oleh ahli dunia, dan mereka beramal untuk akhirat sebaik apa yang dikerjakan oleh ahli akhirat. Sang penakluk, Amru bin Ash berkata: “Berbuatlah kamu untuk duniamu seolah kamu hidup se- lama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah kamu mati besok pagi.”

Mereka sama sekali tidak pemah merasakan adanya pertentangan antara amal untuk agama dan untuk akhirat. Bahkan mereka justru merasakan adanya kesatuan, keserasian dan keseimbangan. Kewajiban- kewajiban agama memberi bekal kepada

.11- H nsthiyyah 153

Page 152: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

mereka untuk berkepribadian yang kuat guna melanjutkan perjuangan untuk dunia. Sementara amal- amal dunia memberikan kekuatan kepada mereka untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama.

Mereka berkeyakinan bahwa eksistensinya dalam beribadat maupun di masjid bukan berarti terputus dari kehidupan dunia. Sebagaimana mereka juga yakin bahwa ketika diri mereka berada di ladang serta dalam

154 Karakteristik Islam

Page 153: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

lingkungan (suasana) pemiagaan, bukan berarti mereka jauh dari agama. Semua amal yang dilakukannya adalah (bemilai) ibadat, jika niatnya be- nar dan juga sebagai upaya untuk bar-iltizam (komitmen) terhadap hukum-hukum Allah.

Al-Wasthiyyah Islam dalam Tasyri ’ Islam juga merupakan sistem yang mettiiliki keseimbangan dalam tasyri’

beserta aturan perundang-undangannya. Ia (Islam) dalam hal penghalalan dan pengharaman bukanlah sebagaimana

ideologi Yahudi, yang telah berlebihan dalam pengharaman. Sehingga banyak hal yang diharamkan bangsa Israil terhadap diri mereka sendiri, dan apa yang diharamkan oleh Allah akibat kezaliman dan ke- bandelan mereka, sebagaimana firman-Nya:

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haram- kan atas mereka (memakanmakanan) yangbaik-baik (yangdulunya) di- halalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang untuk memakannya dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.” (Q.s. An- Nisa’: 160-1).

Dan bukan pula sebagaimana ideologi Nasrani yang terlalu berlebihan dalam pembolehan dan penghalalan, hingga mereka halalkan hal-hal yang dahulu diharamkan dalam Taurat. Padahal Injil sendiri mendekla- rasikan bahwa Isa datang bukan untuk mengurangi apa-apa yang ada dalam Taurat, bahkan untuk menyempumakannya. Sekalipun demikian, para pendeta Kristiani bahkan mengumumkan bahwa segala sesuatu itu su- ci bagi orang-orang yang suci.

Islam datang dengan membawa ketentuan atas yang dihalalkan dan diharamkan. Namun Islam tidak menjadikan penghalalan dan pengharaman itu sebagai hak manusia, tetapi hanya Allah yang berhak atasnya. Tidak mengharamkan kecuali yang jelek (membahayakan), sebagaimana tidak menghalalkan kecuali yang baik dan bermanfaat. Oleh karena itu, Rasulullah saw. di mata Ahlulkitab adalah: “Rasul memerintah mereka padayangma’ruf, mencegah berbuat mungkar, menghalalkan yang baik-baik, mengharamkan yang jelek-jelek, meletakkan beban berat dan ketidakmampuanyangduluadapadaditi mereka. ”(Q.s. AI-A’raf: 157).

Syariat Islam juga merupakan sistem yang adil (seimbang) dalam masalah-masalah usroh (keluarga). Adil di antara mereka-mereka yang mensyariatkan poligami tanpa batas dengan mereka yang menolak dan mengingkari, meski oleh suatu keperluan mendesak dan demi sebuah mas- lahat.

Islam mensyariatkan pemikahan poligami dengan syarat mampu untuk menikah dan memberi nafkah serta dapat berbuat adil terhadap para istri. Kalau khawatir tidak mampu berbuat adil, maka hendaknya cukup dengan satu istri saja. “Maka apabila kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah dengan satu saja ...” (Q.s. An-Nisa’: 3).

Islam dalam hal talak bukanlah sebagaimana kaum yang mengha- ramkan A I- Wasth iyy ah 155

Page 154: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

talak. Sekalipun kehidupan rumah tangga dilanda kegoncangan dan tidak dapat diselamatkan lagi, sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh ummat Kristen Katholik. Seperti juga yang diyakini oleh penganut Kristen Ortodok yang mengharamkan segala jenis talak, kecuali karena zina dan pengkhianatan. Dan bukan pula sebagaimana kaum yang me- mudahkan dalam hal talak, sampai tidak memberi syarat apa pun. Siapa yang menghendaki talak baik laki-laki maupun wanita, maka dapat dengan mudah dilakukan. Oleh karena itu, kehidupan rumah tangga jadi mudah berantakan hanya oleh masalah sepele. Dengan demikian, ikatan yang kuat ini (pemikahan) lebih rapuh daripada sarang laba-laba.

Islam mensyariatkan talak ketika semua bentuk ilaaj (perbaikan) telah menemui kegagalan, demikian pula tahkiim (perundingan antara kedua belah pihak) dan islah tidak mampu mengatasinya. Walaupun demikian, talak masih berstatus sebagai perkara halal yang tidak disukai Allah. Begitu pula sang penalak dapat rujuk kembali untuk membina rumah tangga baru, sebagaimana finnan Allah: “Talak (yang dapat diru- juk) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cava yang baik.’’ (Q.s. Al-Baqarah: 229).

Islam dalam tatanan sosial bukanlah sebagaimana kaum liberalis atau kapitalis yang sengaja memanjakan individu dalam masyarakat, dengan banyak memberikan hak dan sedikit sekali memberikan'kewajiban yang hams dijalankan dan dimintakan pertanggungjawaban atasnya. Sehingga yang sering terdengar adalah perkataan "ini hakku" daripada per: kataan "ini kewajibanku" ... Dan bukan pula sebagaimana kaum Marxis- sosialis yang terlalu memperbesar peran sosial kemasyarakatan dengan menekan individu dan melindas hak-haknya serta membatasi kebebasan dan hak-hak asasinya. Tawazun antara Individu dan Jamaah

Dalam sistem Islam, individu dan jamaah (masyarakat) bertemu dalam bentuk yang seimbang dan menakjubkan. Seimbang antara kebebasan individu dan kemaslahatan jamaah, terpenuhi segala hak dan kewajib- an, dan terbagi rata semua kekayaan dan tanggung jawab dengan penuh keadilan.

Berbagai paham filsafat dan sekte telah lama gagal dalam hal mena- ta hubungan antara individu dan masyarakat. Apakah individu yang menjadi asal mula, sedang masyarakat sekonyong-konyong datang sebagai suatu keharusan, dimana masyarakat itu sendiri terdiri dari kumpulan individu? Ataukah masyarakat yang menjadi asal, sementara individu rne- ngikutinya, mengingat individu tanpa masyarakat adalah materi yang tiada berarti, dan sekaligus masyarakatlah pembentuk dan pemberi wama- nya. Jadi, apakah masyarakat itu pewaris wawasan, tatakrama, tradisi dan lain sebagainya pada individu? Dari sinilah akhirnya ada sebagian manusia lebih condong pada pendapat pertama dan, sebagian yang lain, con- dong pada pendapat kedua. Perselisihan semakin meruncing (tajam) an- tara para pakar filsafat, peletak undang-undang, ahli sosial ekonomi dan politikus dalam masalah ini. yang tidak juga menemukan titik temu.

156 Karakteristik Islam

Page 155: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Aristoteles misalnya, berpendapat tentang individualisme manusia dan sangat mengagungkan sistem yang bertumpu pada individualisme. Sedangkan sang guru, Plato berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial, sebagaimana yang dikemukakan dalam bukunya/1/ Jumhuriyyah [yang berbicara tentang "Negara"].

Dengan demikian filsafat Yunani — sistem filsafat kuno paling ter- kenal — tidak mampu mencari benang merah kesepakatan dan telah gagal mengeluarkan manusia dari kebingungan ini. Demikianlah sebenamya kondisi filsafat dalam menangani problem-problem besar, selalu rnelon- tarkan pendapat, namun pada saat yang sama ia juga melontarkan sang- gahannya. Hampir tidak pemah menemukan suatu hakikat yang satu. Sampai pada akhirnya. salah seorang pakamya mengatakan: "Filsafat itu tidak berpendirian!"

Persia merupakan pusat dua sekte filsafat yang kontroversial. Yang satu, individualisme mengajak pada tasawuf dan mencegah pemikahan, agar manusia siap menghadapi fananya alam yang akan diakhiri dengan berbagai macam penyakit dan kejahatan. Ini adalah sekte "Maani" yang mempakan sekte individualis yang ekstrim.

Sedang satunya lagi adalah sekte filsafat yang mencerminkan eks- trimitas dalam sosialisme, yakni sekte "Mazdak". Sekte ini menyuruh pemerataan terhadap harta dan wanita. Kemudian diikuti oleh mereka yang bodoh, yang senantiasa membuat kerusakan dan keonaran di muka bumi.

Agama-agama samawi datang untuk membuat tawazun dalam kehidupan dan keadilan sesama manusia, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam Al-Qur’anul Karim (Q.s. Al-Hadid: 25). Ironisnya justru para pengikutnya segera menukar dan menyelewengkan ayat-ayat Allah, sehingga agama-agama tersebut kehilangan perannya di masyarakat, se- iring dengan hilangnya ciri khas yang pertama, yakni Rabbaniyatul Mctshdcir (Rabbaniyah dari sisi sumber hukum).

Oleh karena itulah, agama-agama sebelum Islam tidak pemah mem- berikan jalan keluar dalam masalah ini. Orang-orang Yahudi yang ber- tebaran di muka bumi lebih mengutamakan kekuatan individualisme dengan metodologi pemikiran dan perilaku mereka yang egois. “dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah di- larang dari padanya dan karena mereka makan harta orang dengan jalan yang batil. ” (Q.s. An-Nisa’: 161).

Begitu pula Mctsihiyyah (Kristen) yang nlenitikberatkan pada ke- suksesan perseorangan (individualistik) dalam segala hal, memperuntuk- kan perkara kemasyarakatan kepada Kaisar. Ini dapat dipahami sebagaimana tcrmuat pada dhahimya nash yang dikisahkan Injil (Perjanjian Baru) dari Al-Masih, dimana beliau berkata: "Berikan bagian Kaisar untuk Kaisar dan bagian Allah untuk Allah!”

Kemudian bila kita membuka lembaran sejarah dan mengikuti dengan seksama dunia riil, apa yang akan kita jumpai?

Sesungguhnya di dunia kita saat ini terjadi sebuah pergolakan (per- seteruan) antara sekte individualisme dan sosialisme. Maka kita lihat pa- ham Kapitalisme sangat mendewakan individu dan menganggapnya sebagai asas pertama. Ia

Al-Wasthiyyah 157

Page 156: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

memanjakannya dengan memberikan keleluasaan hak, bahkan nyaris mencapai kuantitas yang mutlak. Individu tadi mempunyai hak pemilikan, kebebasan berbicara, beraktivitas, kebebasan me- nikmati segalanya, kendati kebebasan-kebebasan ini membahayakan diri sendiri dan orang lain. Ia dapat menguasai harta benda dengan cara mo- nopoli, menipu atau riba dan dengan bebas pula membelanjakannya untuk sekadar berfoya-foya (hura-hura), kemaksiatan dan segala bentuk kebejatan lainnya. Ia bebas untuk kikir terhadap fakir miskin dan orang- orang yang membutuhkan bantuan atau pertolongan. Tidak seorang pun dapat menguasai atau membatasinya, karena dia "bebas untuk berbuat apa pun".

Sementara itu paham Sosialisme — khususnya sosialisme ekstrim Marxisme — sangat mengecilkan peran individu, membatasi hak-haknya, memperbanyak tugas-tugasnya. Dan menganggap bahwa masyarakat adalah tujuan, karena pada dasamya masyarakatlah yang menjadi asal- muasal itu. Individu hanyalah sebuah variabel kecil dalam sebuah mesin yang besar, yakni masyarakat. Dan pada hakikatnya masyarakat adalah negara, sedang negara adalah partai pemerintah. Atau kalau boleh kita katakan. "Negara adalah lajnah (dewan) tertinggi partai, dia diktator."

Individu dalam sekte ini tidak memiliki hak pemilikan, kecuali perhiasan ala kadamya dan sebagian kecil kendaraan. Tidak mempunyai hak untuk menolak keputusan maupun mengeluarkan interupsi terhadap ke- bijakan politik bangsa dan negaranya. Apabila dia terlanjur melontarkan kritik, secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, maka pen- jaralah tempatnya dan kemungkinan pula disingkirkan (diasingkan) atau minimal diawasi gerak-geriknya dengan ketat.

Ini adalah filsafat-filsafat hasil daya cipta manusia dan juga agama- agama yang diselewengkan pemeluknya dalam mengungkap masalah individu dan masyarakat. Lalu bagaimanakah dengan sikap Islam sendiri?

Sikap Islam dalam menyiasati masalah ini memang sangat unik dengan tidak condong pada salah satu sekte tertentu. Tidak pula cenderung pada ekstrim kiri atau kanan.

Sesungguhnya peletak asas-asas Islam adalah Sang Pencipta manusia. Maka sangat tidak mungkin bahkan mustahil jika Sang Pencipta ini mensyariatkan hukum-hukum dan undang-undang yang mengabaikan dan mempertentangkan fitrah manusia. Allah telah menciptakannya dengan sebuah tabiat kombinasi antara individu dan sosial dalam waktu yang bersamaan. Maka sifat individual adalah bagian asasi dalam dirinya. Oleh karena itu, dia mencintai raganya dan cenderung niemunculkan dan membesarkan eksistensinya serta ingin selalu bebas dalam menangani ber- bagai macam urusannya.

Walau demikian, kita melihat di dalam diri manusia itu ada kecende- rungan fitrah yang senantiasa mengajak untuk hidup bermasyarakat dengan yang lainnya. Oleh karena itu, terbelenggu dalam kesendirian merupakan siksaan pahit bagi manusia, sekalipun di dalamnya dapat menik- mati segala kelezatan makanan dan

158 Karakteristik Islam

Page 157: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

minuman. Sebuah sistem yang benar adalah sistem yang mampu memelihara kedua sisi

ini, yakni sisi individual dan kemasyarakatan, tidak menutup peluang bagi salah satunya hanya karena ingin menonjolkan yang lain- nya. Tidak heran jika Islam — agama fitrah — datang sebagai suatu sistem yang adil, tidak mengecilkan peran individu dalam sebuah tatanan masyarakat, begitu pula tidak mengabaikan masyarakat karena membela kepentingan pribadi (individu). Tidak memanjakan individu dengan memberi banyak hak, namun juga tidak memberatkannya dengan memikul- kan beban tugas dan kewajiban yang berlebihan.

Islam membebani kewajiban-kewajiban sebatas kemampuan yang ada pada diri ummatnya, dengan tidak sampai membuatnya berat atau susah serta menetapkan baginya hak-hak yang sesuai dengan kewajib- an-kewajibannya. Segala kebutuhannya dipenuhi, dipelihara kemuliaan- nya dan dijaga pula nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh sebab itu: (1) Islam menetapkan "Pengharaman darah" atau harmatud dam. Islam menjaga "hak hidup", sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Al-Ka- rim: “Barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka se- akan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Q.s. Al-Mai- dah: 32)

Syariat Islam juga mewajibkan qishash bagi orang yang membunuh dengan sengaja. Kecuali kalau keluarga terbunuh berkenan memaafkan atau menerima pengganti. Islam juga mewajibkan untuk membayar den- da bagi yang membunuh dengan sengaja. (2) Islam menetapkan "Pengharaman kehormatan", maka Islam menjaga "Hak karomah (kemuliaan)" bagi individu. Dia tidak boleh dihinaketika bertemu atau disakiti ketika tidak berada di tempat dengan kata-ka- ta atau sindiran yang menyakitkan.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengo- lok-olokkan kaum yang lain, boleh jadi (yang diolok-olokkan) itu lebih baikdaripadayangmengolok-olok. Dan janganpula wanita-wanita (me- ngolok-olok) wanita yang Iain (karena) boleh jadi (yangdiolok-olok) ilu lebih baik dari yang mengolok-olok, dan janganlah kamu maicela dirimu sendiri serta janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar (sebutan) yang buruk setelah beriman ...” (Q.s. Al-Hujurat: 11).

“... dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan bangkai saudaranya yang telah meninggal (mati)?” (Q.s. Al-Hujurat: 12).

Al-Wasthiyyah 159

Page 158: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(3) Islam menetapkan "Pengharaman harta" atau harmalul maal, maka Islam menjaga "hak pemilikan" bagi setiap individu. Tidak halal diam- bil hartanya, kecuali atas izinnya. Tidak diperkenankan bagi negara atau seseorang yang hendak merampas hartanya tanpa ada alasan yang hak. Ketika Haji Wada’ (haji perpisahan), Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya darahmu, hartamu, kehormatanmu adalah haram hukumnya (untuk dilanggar) seperti haramnya harimu ini, pada bulanmu ini, di ne- gerimu ini.” (H.r. Muslim). (4) Islam menetapkan "Pengharaman ntmah" atau harmalul bait, maka dengan itu Islam menjaga "hak kebebasan individu". Karenanya, tidak halal bagi seseorang untuk memata-matai atau memasuki rumah tanpa izin pemiliknya.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminla izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (Q.s. An-Nur: 27).

“...janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain ... ” (Q.s. Al- Hujurat: 12). (5) Islam menetapkan "Kebebasan berideologi" bagi setiap individu. Maka seseorang tidak diperkenankan memaksa orang lain meninggalkan aga- manya untuk memeluk agama yang lain.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.” (Q.s. Al-Baqarah: 256). (6) Islam menetapkan "Kebebasan menyanggah". Setiap individu mempunyai hak untuk menyanggah sesuatu yang dipandangnya tidak tepat dan apa yang dilihatnya salah. Bahkan menjadi suatu kewajiban apabila tidak ada orang yang mclakukannya. Inilah yang disebut dalam Islam sebagai amar bit ma 'ruf dan nahi anil nmngkar. (7) Islam menetapkan "Kebebasan berpendapat dan berpikir". Setiap pri- badi manusia punva hak, bahkan wajib atas dirinya untuk melakukan ak- tivitas berpikir dan menganalisa. Islam telah memerintahkan kepada manusia untuk berpikir. Maka, selama berpikir itu menjadi hak atau kewajiban, maka setiap pemikir berhak untuk salah, hal ini tidak dapat dielak- kan. Islam tidak mengharamkan pahala bagi setiap mujtahid. benar atau salah. Dalam sebuah hadis dikatakan:

C )

“Seorang mujtahid apabila keliru (salah) mendapat satu pahala, bila benar mendapat dua pahala.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih).

Tidak satu pun ideologi atau agama di dunia ini yang mendorong manusia untuk berpikir dan memuji hasil pemikiran itu — bagaimanapun bentuknya — yang menyamai Islam. Islam memberi pahala bagi ijtihad yang salah.

Kemudian bentuk-bentuk pemikiran dan hasil-hasil ijtihad yang ber- aneka

Al-Wasthiyyah 160

Page 159: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

macam ini hidup secara berdampingan, tanpa merasa dibatasi atau tersiksa. Sebagaimana hal itu kita saksikan pada periode sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.

Dalam naungan kebebasan pemikiran inilah, muncul beberapa ma- daris dan mazhab dalam bidang fiqih, tafsir, ilmu kalam dan lain sebagainya tanpa ada kesulitan untuk menganalisanya, karena memang selalu dengan munctqasyah ilmiyah. (8) Islam menetapkan "Tanggungjawab individu" atau disebutjugama.v- ’uliyah fardiyah, bahkan dipertegas dengan pemyataan yang tandas dalam kitab-Nya. Allah berfirman:

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat- nya ...” (Q.s. Al-Mudatstsir: 38).

“la (manusia) mendapat pahala (dari kebajikan) yang diperbuat- nya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ” (Q.s. Al-Baqarah: 286).

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.” (Q.s. Al-Isra’: 15).

Ayat-ayat tersebut diperlukan oleh manusia baik di dunia maupun di akhirat. Jadi, dalam kedua kehidupan itu setiap pribadi manusia tidak akan menanggung dosa yang lainnya.

Sekalipun adanya (jaminan) akan hak-hak dan kebebasan yang telah diberikan Islam kepada individu sebagaimana tersebut di atas, namun Islam juga mengamanatkan kepada masyarakat, kewajiban-kewajiban yang setara dengan hak-hak dan kebebasannya. Dan membatasinya hanya untuk kemaslahatan orang banyak, jangan sampai hak-hak itu justru membahayakan orang lain. Tidak diperkenankan bagi individu untuk me- manfaatkan dan menyalurkan haknya guna menyakiti dan membahayakan kehidupan masyarakat. Dalam Islam tidak ada bahaya dan saling membahayakan. Artinya, seseorang tidak boleh melakukan aktivitas yang sekiranya dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Karenanya, apabila hak individu temyata bertolak belakang dengan hak-hak jama iyah (masyarakat), maka (kepentingan) masyarakat harus didahulukan. a. Kehidupan individu yang begitu dihormati dalam Islam itu, apabila masyarakat Muslim menuntut adanya pengorbanan demi menjaga ke- utuhan masyarakat, haruslah dipersembahkan dengan penuh keikhlasan dan dengan keyakinan bahwa kematian di sini adalah kunci kehidupan. Demikian pula jiwa yang berbuat aniaya terhadap jiwa lain, seperti mem- bunuh, melanggar hak masyarakat dalam hal keamanan dan ketentram- an, seperti merampok atau keluar dari jamaah atau murtad misalnya, maka hilanglah hak hidup baginya dan tidak ada pemeliharaan lagi [wajib di- bunuh]. b. Hak pemilikan (haqqut tamalluk) dibatasi oleh beberapa batasan, yakni harta yang dimiliki itu harus berasal dari jalan atau sumber yang halal. Lalu dibelanjakan pada tempatnya dan tidakbakhil (kikir) mana- kalaharta itu

Al-Wastliiyyah 161

Page 160: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dimintademi kepentingan jamaah. Maka pemilikan harta bagi individu itu tidak bersifat mutlak sebagaimana terdapat pada kaum li- beralis kapitalis, akan tetapi dibatasi oleh hukum Allah dan hak-hak masyarakat. Sehingga pemilikan harta ini boleh ditarik dari si empunya demi kemaslahatan umum dengan syarat diganti dengan harga sebanding.

Ini karena harta yang dimiliki seseorang adalah harta Allah, sedang- kan Dia menjadikannya (manusia) sebagai khalifah di muka bumi. Dengan kata lain. Individu adalah wakil jamaah dalam memelihara harta dan menginvestasikannya. Apabila si individu tersebut tidak benar dalam me- ngelolanya, maka menjadi hak jamaah untuk mencegahnya dari penggu- naan harta itu. Karena jamaah berhak atas harta tadi, baik hak tetap seperti zakat maupun hak tidak tetap (sesuai kebutuhan). Sebagaimana ter- tuang dalam hadis:

“Di dalam harta ada hak selain zakat.” (H.r. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Juga ada hak dari pemerintah, manakala harta itu dibutuhkan untuk diambil. c. Semua hak dan kebebasan dibatasi oleh nilai-nilai moral dan akidah yang berlaku di masyarakat. Kebebasan berideologi atau berpendapat bukan berarti bebas untuk mencela dan menjelek-jelekkan Islam dan pe- meluknya serta mendeklarasikan kekafiran terhadap' Allah, Rasul dan kitab-Nya, juga membuat keraguan terhadap sistem nilai yang diakui ketinggiannya. Kebebasan bukan berarti bebas menyebarkan pomografi dan kebejatan perilaku. Karena kebebasan seperti ini (kebebasan meru- sak) tidak dapat dikompromikan oleh akal maupun syara’. d. Tanggung jawab individu yang digariskan oleh Islam itu, seiring pula saat Islam menetapkan tanggung jawab terhadap masyarakatnya. Setiap individu dalam masyarakat Muslim bertanggung jawab dalam bidang tertentu yang ada di masyarakat. Sebagaimana dalam hadis shahih:

“Setiap kamu adalah penggembala dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap apa yang digembalakannya. ” (H.r. Muttafaq ‘Alaih dari hadis Ibnu Umar).

Sebagaimana seorang imam bertanggung jawab terhadap ummat yang dipimpinnya, maka orang laki-laki (kepala keluarga) bertanggung jawab terhadap keluarganya. Sedangkan wanita (istri) bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, sementara itu seorang pembantu bertanggung jawab terhadap harta majikannya.

162 Karakteristik Islam

Page 161: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Demikianlah, semua orang berada dalam kiprah Islami, maka tidak boleh diabaikan. Kewajiban amar bil ma’ruf dan nahi anil mungkar menuntut tang- gung jawab

dari setiap individu Muslim terhadap masyarakat, mengha- ruskannya untuk senantiasa mengikuti perkembangannya dan melurus- kan kebengkokannya manakala hal itu terjadi dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Pertama dengan tangannya (kekuasaannya), apabila tidak mampu, dengan lisannya, apabila tidak mampu, dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.

Al-Wastliiyyah 163

Page 162: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Sesungguhnya, memberi nasihat adalah kewajiban yang disyariat- kan dalam Islam, baik secara khusus maupun umurn. Dan barangsiapa yang tidak memperhatikan perkara kaum Muslimin, maka dia bukan termasuk golongan mereka.

Tidak layak bagi seorang Muslim untuk memisahkan diri dari kehidupan dan manusia yang lain seraya mengatakan: "Jiwaku ... jiwaku" [egoisme], Dari situ ia biarkan api kerusakan membara di setiap tempat, padahal jika api ini dibiarkan, tidak luput akan membakamya pula dan membakar apa saja yang dijaganya. Oleh karena itulah, Allah berfirman; “Dan takutlah dirimu akan fitnah (kerusakan) yang tidak khusus menimpa orang-orang zulim saja di an la ram u dan ketahuilali bahwa Allah amat Items siksa-Nya.” (Q.s. Al-Anfal: 25).

Dalam hadis dikatakan: “Sesungguhnya manusia apabila melihat orang zalim kemudian ti-

dakmencegahnya, dikhawatirkan Allah akan menebar siksanya pada ke- seluruhan mereka.” e. Di antara makna jamaah sebagaimana yang diketahui dalam syariat adalah apa yang disebut dengan nama"Fardhu Kifayah". Maka. setiap ilmu, pabrik, keahlian, aturan dan yayasan itu semuanya dibutuhkan oleh Jamaah Muslimin untuk menangani agama dan dunianya. Dalam merea- lisasikannyahukunwya adalah fardhu kifayah bagi Muslimin. Artinya, sc- jumlah orang yang memadai telah melaksanakan kewajiban salah satu bidang tertentu, maka yang lainnya terbebas dari dosa Namun bila tidak satu pun yang melaksanakan, seluaih anggota jamaah berdosa dan ber- hak mendapatkan siksa Allah. f. Kaum Muslimin memikul mas 'uliyah tadharmmiyyah (tanggung ja- wab secara kolektif) untuk merealisasikan syariat Islam dan menegakkan hukum-hukumnya. Oleh karena itulah, khitob /a£///'(pembicaraan ten- tang kewajiban) dalam Al-Qur'an banyak diarahkan kepadajamaah. bahkan diulang-ulang dalam finnan-Nva yang dimulai dengan seruan. “Yu ayyuhal ladzina aamanuu, ” (Wahai orang-orang yang beriman). Dengan shighal jama 'iyah (bentuk plural), ini menegaskan wajibnya tafakul (saling membantu) antara jamaah di dalam merealisasikan apa yang di- gariskan oleh Allah dan menjauhi larangan-N>a Seperti firman Allah swt. berikut ini:

“Pencuri lalzi-laki dan pencuii wanita, potonglah olehmu sekalian kedua tangannya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (Q.s. Al-Maidah: 38).

“Pezina wanita dan pezina laki-laki, maka deralah olehrnu sekalian tiap-tiap keduanya seratus kali deraan ...” (Q.s. An-Nur: 2).

Walaupun yang melaksanakan hukuman ini adalah daulah atau pe- merintah, namun jamaah yang bertanggung jawab dalam menegakkan- nya, dan Allah akan menyiksanya jika tanggung jawab tersebut dilepas- kan atau ditinggalkannya. ' g. Sampai pada masalah ibadat yang merupakan sarana komunikasi antara

. 1 /- Wasthiyyah 164

Page 163: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hamba dengan Rabbnya, Islam tidak menghendaki kecuali apabila dilakukan dengan sebuah ruh (semangat) kebersamaan dan dalam bentuk jamaah. Maka, Islam pun menganjurkan salat jamaah dan memuji pela- kunya, hingga menjadikannya lebih utama, dengan 27 derajat, daripada salat seorang diri. Semakin banyak jamaah yang hadir, semakin banyak pula keutamaan dan pahala dari Allah. Bahkan Rasul saw. suatu ketika pemah hendak membakar rumah suatu kaum karena mereka enggan sa-lat berjamaah di masjid. Rasulullah saw. juga tidak memberi dispensasi (keringanan) bagi Abdullah bin Ummi Maktum (sahabat yang menderita tuna netra), yang masih mampu mendengar adzan untuk tetap salat di rumahnya dengan meninggalkan salat jamaah.

Dalam sebuah hadis beliau bersabda: "Tidaklah salat (itu sempur- na) bagi orang yang melakukannya di belakang shaj sendirian.” (H.r. Abu Daud). Hadis ini merupakan kekhawatiran akan bahaya kesendi- rian, meski dalam formalitas. Andaikata seorang Muslim terpaksa harus salat sendirian, nilai kebersamaan dan jamaah tetap ada dalam benak dan perasaannya. Yakni, apabila dia ber-munajat (berdoa) kepada Allah, berdoa dalam bentuk jamak dan mengatasnamakan orang banyak. Suatu misal sebagai berikut:

“Kepada-Mu kami beribadat dan kepada-Mu kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus. ” (Q.s. Al-Fatihah: 5-6).

Islam juga mensyariatkan salat Jum’at sepekan sekali, salat led se- tahun sekali, mewajibkan berhaji sekali seumur hidup bagi setiap Muslim, semuanya itu dilakukan dalam bentuk jama ’iyah. h. Dalam bidang adab (etika) dan tradisi, Islam memerintahkan sejum- lah bentuk etika (norma) sosial. Ini tentunya bertujuan untuk mengeluar- kan kaum Muslim dari kungkungan kesendirian yang telah memisahkan dirinya dari masyarakat luas. Seperti membuka pertemuan dengan salam, berjabat tangan ketika bertemu, menjawab orang bersin, saling silatur- rahim dan memberi hadiah, menjenguk orang sakit, berbela sungkawa kepada yang terkena musibah, berbuat baik kepada tetangga, menghor- mati taniu, santun kepada anak yatim dan fakir miskin serta ibnu sabil dan lain sebagainya, dari bentuk-bentuk etika Islami dan kewajiban yang membuahkan syu 'ur jama ’i (rasa kebersamaan), tafkir jama 7 (berpikir secara bersama) dan suluk jama ’i (perilaku kebersamaan) sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. i. Dalam bidang akhlak, Islam memerintahkan untuk bermahabbah, ukhuwah dan itsaar (mendahulukan kepentingan saudaranya) serta memerintahkan untuk selalu ber-to ’awuun dalam kebaikan dan takwa. Islam juga menganjurkan agar senantiasa menyatukan kalimat dan menjaga shaf sebagaimana seruannya untuk saling mengasihi dan toleransi, mau berkorban, menghormati hukum dan taat kepada ulil amr (pemerintah) dalam hal yang ma ’rnf(baik).

Disamping itu semua, Islam melarang berbuat hasad (dengki), ber- musuhan dan dendam, berpecah-belah dan sifat-sifat keji lainnya yang dapat melahirkan

Al-Wasthiyyah 165

Page 164: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

egoisme dan berlebih-lebihan dalam mencintai materi serta mengumbar syahwat. Dengan ini semua, kita akhirnya mengetahui bagaimana Islam — dengan

tasyri’ dan tarbiyahnya — menegakkan neraca keadilan antara hak individu dan masyarakat atau antara perseorangan dan sosial dalam kehidupan manusia. Sebagaimana telah jelas di hadapan kita bahwa Islam tidak cenderung pada sekte-sekte individual, dan tidak juga mengunggul- unggulkan kecenderungan pada sosialisme. Hal ini karena Islam secara fungsional jauh dari kecenderungan-kecenderungan negatif tadi.

Demikiaiilah, Islam mengakui hak-hak individu dan masyarakat serta menetapki-n hak-hak keduanya secara adil dan merata. Begitu pula Islam dalam menetapkan kewajiban-kewajiban yang disesuaikan dengan kadardari hak-hak itu sendiri. Inilah yang disebut "wasthiyyah" atau "tawazun" yang menjadi ciri khas dienul Islam.

166 Karakteristik Islam

Page 165: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

V

AL-WAQI’IYYAH (KONTEKSTUAL)

Apakah Al-WaqViyyah Itu? Al-waqi 'iyyah (kontekstual) yang kami maksudkan di sini bukanlah seperti

yang diungkapkan oleh para ahli filsafat materialis Barat. Dimana mereka mengingkari atau menolak segala sesuatu yang tidak dapat di- cerna indra dan menganggap bahwa yang "waqi’" adalah segala sesuatu yang dapat dirasa dan sekaligus materi yang berbentuk. Karenanya, mereka pun kufur (mengingkari) adanya Ilah di alam, adanya ruh dalam diri manusia, dan di alam nyata ini tidak ada sesuatu yang bersifat gaib atau alam tidak kasat mata (tidak terlihat mata). Mereka juga tidak percaya bahwa dunia ini adalah sebuah kehidupan, karena semuanya itu tidak dapat dibuktikan oleh realita yang dapat dilihat dan diraba.

Sama sekali bukan seperti pemahaman "al-waqi’iyyah" yang kami maksudkan, karena hal ini amat kontradiktif dengan wahyu, fitrah manu- ' sia dan logika (akal sehat). Demikian pula kami tidak menghendaki bahwa pemahaman al-waqi'iyyah adalah menerima realita sesuai apa adanya, tunduk pada kenyataan tadi dengan segala kotoran dan keruntuhan yang ada di dalamnya tanpa berusaha untuk membersihkan dan memper- baiki kualitasnya.

Sekali-kali tidak demikian. Namun yang kita maksudkan dengan al- waqi’iyyah adalah mengakui realitas alam ini sebagai suatu hakikat yang faktual dan memiljki eksistensi yang terlihat. Dengan pengertian bahwa hakikat di sini menunjukkan pada sebuah hakikat yang jauh lebih besar, menunjukkan Wujud yang jauh lebih abadi daripada wujud alam ini. Wu- jud itu adalah sebuah Wujud yang ada dengan sendirinya, yakni Wujud Allah Sang Pencipta segala sesuatu. serta menentukan ukuran-ukuran- nya secara tepat.

Mengakui adanya realitas kehidupan yang merupakan marhalah yang senantiasa berganti-ganti antara kebaikan dan keburukan, berhenti dengan sebuah kematian dan kemudian bersiap-siap untuk menjalani kehidupan lain setelah kematian tadi. Saat itulah semua jiwa dibalas sesuai dengan

apa yang diusahakannya dan j iwa-j iwa itu pun kekal dalam menikmati apa yang diamalkan ketika di dunia.

Mengakui realitas manusia sebagai makhluk yajig mempunyai kom- binasi penciptaan. Dia adalah tiupan ruh dari Allah di balik jasad mate- rialnya dari tanah tersebut. Dalam dirinya ada unsur samawi (langit) dan ardhi (bumi). Islam juga mengakui realitas manusia yang terdiri dari laki- laki dan wanita yang masing-masing mempunyai proses pembentukan, kecenderungan dan tugas sendiri-sendiri serta sebagai suatu unsur penentu dalam masyarakat. Maka wajarlah bila dalam diri manusia sering terjadi pergolakan antara unsur ananiyah dan kecemburuan kepada yang lain.

167

Page 166: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Oleh karena itu, di dalam pengarahan pembentukan pola pikimya, dalam ajaran moralitasnya dan di dalam hukum konstitusionalnya, Islam tidak pemah melupakan realitas alam, kehidupan dan manusia dengan segala kondisi dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Karena Sang Pembuat hukum, mengarahkan dan mengajarkan manusia sekaligus menciptakan alam dan kehidupan ini. Dia-lah yang paling mengetahui tentang apa yang dapat memperbaiki dan apa pula pemsak eksistensi manusia. Dia pula yang Maha Tahu bagaimana cara manusia mampu mencapai ke- tinggian derajat di atas malaikat atau tunin ke derajat terendah seperti bi- natang.

“Apakah Allah yang mcnciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Q.s. Al-Mulk: 14).

Al-waqi'iyyah dengan makna ini bukan berarti bertentangan dengan kecenderungan idealisme dalam filsafat dan akhlak. Karena kecendc- ningan ini merupakan fitrah manusia yang mengarahkannya pada keting- gian kualitas diri dan kerinduan akan tipe ideal dalam hidup.

Oleh sebab itu, al-waqi'iyyah dalam Jslam adalah al-waqi 'iyyah al- mitsaliyah (kontekstual namun tidak mehgesampingkan idealisme). Kon- sep Islam dalam masalah ini dapat terselamatkan dari berlebih-lebihan- nya para pemuja idealisme tanpa memandang realitas dan juga dari pandangan sebelah mata yang dilakukan para pemuja idealisme tanpa memandang realitas dan juga dari pandangan sebelah mata yang dilakukan para penganut realitas tanpa mau berupaya melakukan idealisme. Sikap Mazhab-mazhab dan Aliran-aliran Filsafat Karya Manusia

Apa yang menjadi konsep Islam tersebut berbedajdengan aliran- aliran filsafat dan ideologi-ideologi buatan manusia. Semua ali?an itu di- buat oleh manusia yang notabene punya keterbatasan dalam kemampiuan dan ma’rifat. Punya keterbatasan dalam hal penguasaan menyeluruh terhadap realitas alam, kehidupan dan manusia. Punya keterbatasan dalam mengungkap seluruh kebutuhannya, kecenderungan-kecenderung- annya, potensi-potensinya dan perkembangan-perkembangan yang dila- luinya. Punya keterbatasan untuk mengungkap sisi manusia di segala tempat, zaman dan kondisi yang melingkupinya.

Ketika menyusun manhaj atau aturan kehidupan itu, mereka me- nvusunjiya dengan bergantung dan bahkan sangat dipengaruhi oleh ke- nyataan yang dialami manusia di lingkungan tertentu dan zaman tertentu pula [kontekstual], Yaitu dengan melupakan apa yang dialami manusia kemarin dan bodoh dengan apa yang dihadapinya esok hari. Bahkan apa yang dihadapi manusia pada zaman ini di lingkungannya atau di Hngkung- an-lingkungan lain, manhaj dan aturan buatan manusia tadi tidak mampu ber-iththila ’ (mengetahui dengan seksama). Ditambah lagi oleh ketidak- mampuan untuk mengetahui realitas alam raya yang berada di atas bumi dan di bawah langit. Jadi mereka, para pembuat aturan tadi mengetahui satu hal, namun bodoh terhadap banyak hal.

Apabila kita anggap mereka bisa melingkupi secara sempuma, jauh dari

168 KurakteristiU Islam

Page 167: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

pengaruh lingkungan atau situasi. Kemudian tidak bergantung pada tekanan-tekanan kejiwaan atau tekanan-tekanan dari luar. Namun hal itu sangat jauh dan mustahil untuk dilakukan.

Dari sanalah, aliran-aliran filsafat, sekte-sekte, pemahaman-pema- haman dan ideologi datang dengan membavva manhaj yang sempit dalam pandangannya terhadap realitas manusia, kehidupan dan juga cara me- meliharanya. Oleh karena itu, Anda dapat menjumpai banyak khayalan dan seperangkat ketidakpastian yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Katakanlah itu adalah komunisme misalnya. Komunisme ini telah membangun filsafatnya di atas asas kesamaan ekonomi antara semua orang, dimana dalam masyarakat komunis, seseorang tidak boleh mengambil sesuatu melebihi kebutuhannya, sesuai dengan slogan mereka: "Setiap orang sesuai kemampuannya dan setiap orang sesuai kebutuhannya."

A I- Waqi'iyyah 169

Page 168: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Komunisme telah berkuasa di Rusia 'ebih dari setengah abad yang lalu (Oktober 1917). Kendati demikiar? [hingga keruntuhannya] belum mampu mewujudkan angan-angannya, bahkan mendekati saja belum, bahkan semakin jauh, karena semakin hari, mereka temyata malah mengakui adanya hak individu dalam bentuk-bentuk tertentu, yang kesemua- nya itu sebelumnya mereka ingkari. '

Semua orang tahu, bahwa perbedaan pendapat pribadi di Uni Sovyet [baca: blok Komunis] adalah hal yang adanya tidak dapat diingkari. Maka di mana posisi pegawai, petani dan para karyawan rendahan yang disebutkan mendapatkan bagian sebanding dengan yang lain?

Pemikiran tentang persamaan ekonomi yang telah dilakukan oleh komunisme dan bahkan untuk memperjuangkannya telah dikorbankan "kebebasan individu". Inilah pemikiran imajinatif yang tidak bertumpu pada realitas. Oleh karena itu, manusia di sana merasa kehilangan hak kebe- basannya, namun pada saat yang sama juga tidak mendapatkan persamaan tersebut. [Bahkan kini komunisme telah hancur, tidak saja di Uni Sovyet, tapi juga di Eropa Timur maupun belahan dunia lainnya],

Juga yang jauh dari tuntutan realitas adalah pemikiran komunisme yang hendak menghilangkan bentuk daulah dengan apa yang ada di dalamnya, baik itu perangkat kepolisian, penjara, mahkamah dan lain sebagainya. Ini semua adalah angan-angan yang tidak mungkin akan tereali- sasikan. Karena manusia adalah tetap manusia yang membutuhkan itu semua.

Kalau para penyeru paham sosialis komunis telah melupakan realitas dalam falsafah mereka dan bertengger di belakang khayalan dan fa- tamorgana, maka para penyeru paham individualisme liberal juga mengalami nasib yang sama dengan yang dialami saudaranya atau "mu- suhnya" tadi. Sehingga para pemikir Barat ada yang bergumam sambil mengejek: "Sistem itu (sosialisme) tidak mungkin dapat terealisasi, kecuali jika Tuhan yang mengendalikan."

Sikap Agama-agama Bumi yang Temporer Sebagaimana aliran-aliran filsafat tadi, maka agama-agama buatan manusia

seperti Budha, Hindu dan sejenisnya atau juga agama-agama samawi yang temporer sifatnya dan, untuk memenuhi kebutuhan kaum- kaum tertentu, juga mengalami nasib yang sama. Karena agama-agama ini bukan merupakan risalah umum yang abadi, bukan pula untuk sekalian manusia di segala zaman dan situasi. Maka, Allah pun tidak berkenan menjaga dan memeliharanya.

Seiring dengan perjalanan waktu, agama-agama ini mengalami pe- rubahan dan penyelewengan, baik kata-kata maupun isinya. Yaitu dengan cara membuang kalimat-kalimat Allah dan diganti dengan kalimat manusia. Atau dengan cara menafsirkan kalam Allah yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya itu adalah penyelewengan kalam Allah dari makna dan tempat aslinya.

Agama Kristen adalah contoh yang paling tepat untuk membuktikan apa yang kita sebutkan tadi. Nasrani datang untuk memberikan perbaik- an sementara dalam menangani situasi khusus yang berkenaan dengan kerakusan bangsa Yahudi terhadap materi dan jauhnya mereka dari ruh dien yang hak serta nilai-nilai agung yang

170 Karakteristik Islam

Page 169: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

semestinya dimiliki. Sampai kepada tirani bangsa Romawi dan tenggelamnya mereka dalam menikmati dunia yang rendah.

Maka, Nasrani pun memperbaiki suasana tenggelam pada materi dengan suasana tenggelam yang lain, yakni tenggelam dalam spiritual. Nasrani berusaha untuk mengangkat manusia dari rendahnya kubangan realita dunia untuk terbang menuju langit idealita. Bahkan banyak dilaku- kan perbaikan ekstrimitas yang satu dengan model ekstrim lawannya. Namun perbaikan ini bersifat temporer dan terbatas, bukan perbaikan menyeluruh dan selamanya. Inilah kandungan agama Masihiyycth (Nas-rani) — yang asainya samawi — dalam hal ajaran-ajaran idealisme yang tentunya tidak sesuai untuk sekalian manusia di setiap tempat dan waktu.

Sementara itu ajaran-ajaran lainnya tidak sesuai dengan fitrah dan tidak logis sebagai bukti adanya penyelewengan dalam agama tersebut dan telah bercampur-aduk dengan nafsu dan berbagai keterbatasan manusia.

Keistimcwaan Islam Islam adalah serangkaian kalam Allah yang abadi bagi manusia. Islam adalah

hiday^t umum bagi yang berkulit merah maupun hitarn [seluruh bangsaj. Sebagai rahnmt yang menyeluruh bagi sekalian alam, Islam adalah kebenaran yang tidak mungkin ada kebatilan di muka dan di belakangnya. Karena itulah, Allah menjamin Islam ini sebagai ajaran yang sesuai dengan kondisi manusia di mana, kapan saja dan bagi segala jenis.

Tidak diragukan lagi bahwa Islam senantiasa menjaga dan memeli- hara realita di setiap aspek yang didakwahkan kepada manusia, mulai dari aspek akidah, ibadat, akhlak dan tasyri'. Al-Waqi’iyyah dalam Akidah Islamiyah

Islam datang dengan sistem akidah waqi'iyyah. Karena akidah Islamiyah mengungkap serangkaian hakikat yang terbukti dalam alam wujud ini, bukan seperangkat khayalan yang masih terbersit dalam benak dan pemikiran. Akidah Islamiyah menyuguhkan hakikat-hfikikat yang dapat diterima oleh akal dan membawa ketenangan jiwa serta tidak bertentangan dengan fitrah salimah (bersih).

Maka akidah Islamiyah mengajak untuk beriman kepada Ilah yang satu yang telah memaparkan keberadaan-Nya dengan ayat-ayat kauni- yah (tanda-tanda kekuasaan) dalam jiwa dan alam raya ini, serta ayat- ayat qauliyah sebagaimana yang Dia wahyukan kepada para Rasul-Nya. Dia bukanlah Tuhan yang ada dalam kisah-kisah Yunani atau hikayat- hikayat Romawi atau yang lainnya.

Al-Qur’an telah menyifati Ilah Yang Maha Tunggal ini dengan sifat- sifat, kemudian diikuti dengan asma’. Asma’ dan sifat-sifat ini telah me- muaskan intelektual para ahli filsafat, demikian pula dapat diterima dengan mudah oleh daya instink dan perasaan manusia secara umum. Asma’ dan sifat-sifat ini mengombinasikan antara kemuliaan dan keindah- an, kekuatan dan rasa penyayang.

Asma’ dan sifat-sifat ini pulalah yang mengaitkan dengan af al Allah swt. di alam raya ini dan hubungan Dia dengan makhluk. Maka Allah itu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Sang Raja diraja Yang Maha Suci lagi Maha

Al-lVaqi'iyyah 171

Page 170: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

memberi keselamatan, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Sombong, Maha Pencipta, Maha Pemelihara, Maha Pembentuk, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Mulia, Maha pemberi maaf, Maha Pengampun, Maha Lembut, Maha penerima syukur, Maha memberi rezeki, Maha Memberi, Maha Pengasih, Maha penerima tobat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.

Sebagaimana akidah Islamiyah juga mengajak untuk beriman kepada Rasul yang diutus oleh Allah guna mengakhiri nubuwwat dan me- nyempumakan makarimul akhlak. Rasul yang merupakan manusia seperti kita, tidak istimewa dari manusia lainnya. Perbedaartnya hanya karena beliau diberi wahyu.

“Katakan (Muhammad): ‘Sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kamu dan aku diberi wahyu ...” (Q.s. Al-Kahfi: 110).

Beliau bukan Tuhan, bukan anak Tuhan dan bukan pula malaikat. Beliau adalah rnanusia biasa yang makan dan minum serta berjalan di pasar. Beliau hidup dan dapat meninggal, sebagaimana yang dialami raa- nusia-manusia yang lain. Beliau juga melakukan jual-beli, bersahabat dan dapat juga memusuhi (orang kafir). Beliau dapat berdamai dan berperang, menikah dan berputra. Sebagaimana beliau dapat merelakan atau mem- benci, dapat bersedih dan bergembira, mencintai dan dapat murka juga.

Yang menunjukkan kejujuran dakwahnya adalah ruh beliau yang suci, dakwah beliau yang penuh petunjuk, dukungan Allah kepada beliau, kemenangan beliau atas muSuh-musuhnya, kepribadian yang berpenga- ruh kepada para sahabat beliau dan alam sekeliling. Dan kitab beliau (Al- Qur’an) yang para penentang berusaha untuk menandingi kehebatannya, namun tetap tidak mampu untuk mendatangkan satu ayat pun yang dapat menyamainya. Beliau mendeklarasikan bahwa kitab tersebut dijaga dan dipelihara oleh Allah sampai kapan pun, hingga tidak mungkin berubah satu kalimat atau satu huruf pun.

Kitab Uahi ini adalah Al-Qur’anul Karim yang tertulis di mushaf- mushaf, yang tertilawati oleh lisan-lisan suci, terpatri dalam dada, yang memberikan khitob pada akal dan hati secara bersamaan serta memberi- kan isyarat kepada manusia, baik dengan bentuk-bentuk menyenangkan atau menakutkan. Al-Qur’an adalah pemberi kabar gembira dan pembe-' ri peringatan dengan selalu mengaitkan antara ancaman dan kesenangan, memberikan gaya bahasa kerinduan untuk ke surga dan menakut-nakuti dari neraka.

Allah swt. sebagai penurun Al-Qur’an, Maha Tahu bahwa manusia tidak menggerakkan dirinya pada kebaikan atau menjauhkan dari kejelek- an, kecuali kerinduan yang dapat mendorongnya atau rasa takut yang dapat menghalanginya. Maka tidak ada pendorong lebih-utama (baik) da- ripada mengharap pahala Allah, dan tidak ada penghalang yang jitu me- lebihi takut akan siksa-Nya.

Akidah Islamiyah mengajak beriman pada kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini. Setiap orang akan dibalas amalnya, baik amalan saleh maupun jelek, berupa pahala atau siksa, kenikmatan atau kesengsaraan, surga atau neraka.

Keimanan akan kehidupan abadi yang ada dalam akidah ini adalah yang mampu memberikan kepuasan bagi manusia dalam alam kekekalan dan

172 Karakteristik Islam

Page 171: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

memberikan kesesuaian perasaan perihal keabadian di alam baka. Yang ini hampir sama di setiap ajaran agama dan aliran filsafat di Timur dan di Barat, mulai dari Mesir Kuno sampai India, sampai Yunani atau sampai ummat dan bangsa-bangsa yang lain.

Dalam hal iman kepada balasan Ilahi terhadap kebaikan dan keburuk- an di dunia dengan pahala atau siksa di akhirat, hal itu mampu memberikan kepuasan bagi nurani (instink fitrah) akan pentingnya sebuah balasan bagi para penjahat yang gagal dieksekusi oleh tangan-tangan keadilan dunia. Dan hal itu juga sebagai ajang pemberian pahala bagi yang gemar berbuat kebaikan, yang perbuatan baiknya itu belum mendapatkan balasan di dunia, melainkan hanya interogasi dan intimidasi.

Iman kepada balasan Ilahi ini untuk membuktikan ketidaksamaan antara para salihin dan penjahat, penyeru ishlah dan pembuat kerusakan.

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orangyang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan.” (Q.s. Jatsiyah: 21-2).

Iman pada surga dan neraka serta apa yang ada di dalamnya dari ke- nikmatan dan azab itu sangat sesuai dengan realitas manusia, dimana ia dicipta dari jasad dan ruh. Kedua komponen ini ada tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Juga sangat sesuai dengan konteks kemanusiaan yang tidak cukup dengan hanya kenikmatan ruhani atau jasmani saja atau azab ruhani atau jasmani saja. Karenanya, di surga juga terdapat makan- an, minuman dan bidadari, sebagaimana di neraka ada tali pengikat, po- hon zakkum (yang pahit rasanya), makanan dari duri yang tidak dapat dijadikan sebagai pelepas dahaga. Di atas itu semua para penghuni neraka mendapat kehinaan dan keruntuhan pribadi yang sangat menyakit- kan.

Al-Waqi’iyyah dalam Ibadat Islamiyah Islam datang dengan sistem ibadat yang waqi’ivyah. Karena Islam paham betul

akan kondisi spiritualitas manusia yang memerlukan ittshal (melakukan kontak) dengan Allah. Maka Islam pun mewajibkan amal- amal ibadat yang melegakan kehausan ruhani, memberikan kepuasan fitrah dan mengisi kekosongan jiwa. Akan tetapi, Islam juga menjaga kemampuan yang terbatas yang dimiliki manusia. Sehingga Islam pun tidak membebaninya dengan sesuatu yangjustru akan memberatkan dan menya- kitkan.

“Dan Dia sekali-kali t idakmenjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan.” (Q.s. Al-Hajj: 78). (1) Islam menjaga dan sangat memperhatikan realitas manusia dan kondisi keluarga, sosial dan ekonomi yang melingkupinya serta apa yang mengharuskan bagi dirinya untuk mencari ma 'isyah (penghasilan) dan berusaha untuk dunia. Karenanya, Islam tidak menuntut seorang Muslim agar terus-menerus beribadat sebagaimana pendeta di gereja. Bahkan an- daikata sampai manusianya yang menghendaki

Al-lVaqi'iyyah 173

Page 172: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

demikian itu, Islam tetap tidak memperkenankannya. Namun, Islam membebani seorang Muslim dengan amal-amal ibadat yang terbatas yang dapat menghubungkan dirinya dengan Rabbnya, akan tetapi juga tidak memutuskan hubungan de- ngari masyarakatnya. Mampu memenuhi kebutuhan akhiratnya, namun dalam waktu yang sama tidak mengabaikan kepentingan (urusan) dunia- nya.

Islam tidak menghendaki agar manusia menjadikan seluruh kehi- dupannya melambung ke alam sufistik yang tinggi dan mumi, bahkan dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: “Sesaat ... dan... sesaat. ” (H.r. Muslim). [Yang dimaksudkan pada hadis itu adalah sesaat untuk dunia dan sesaat untuk akhirat]. (2) Islam paham betul akan tabiat kebosanan yang ada pada diri manusia. Untuk itulah kemudian Islam memberikan variasi dalam hal ibadat. Ada ibadat badaniyah seperti salat dan puasa, ibadat mctliyyah (yang ber- kenaan dengan harta) seperti zakat dan sedekah, dan ada pula badaniyah sekaligus maliyyah seperti haji dan umroh.

Ibadat-ibadat tersebut ada yang harian seperti salat, ada yang ta- hunan seperti puasa, ada yang sekali seumur hidup seperti haji. Islam juga membuka pintu lebar-lebar bagi siapa yang ingin menambah kebaikan dan taqarrub ilctllah, maka kemudian mensyariatkan amalan-amalan sun- nah dalam ibadat. “Maka barangsiapa yang dengan kerelaan mengerja- kan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. ” (Q.s. Al-Baqarah: 184). (3) Islam juga memperhatikan kondisi-kondisi yang tidak terduga, seperti suasana bepergian atau sakit dan sejenisnya. Maka kemudian mensyariatkan rukhsoh yang juga dicintai oleh Allah. Seperti salatnya orang sakit dengan duduk atau berbaring, tayamum bagi yang terluka apabila menggunakan air dapat berbahaya, berbukanya orang sakit ketika Ra- madhan dengan mengqada’nya pada hari yang lain. Boleh tidak berpua- sa bagi orang yang sedang hamil atau menyusui apabila khawatir mempe- ngaruhi bayi atau janin dalam kandungannya, boleh tidak berpuasa bagi orang tua dengan membayar fidyah.

174 Karakteristik Islam

Page 173: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Keringanan-keringanan yang lain misalnya, mengqasar salat bagi musafir, menjamak antara dhuhur dan ashar atau maghrib dan isya’, syariat untuk tidak berpuasa bagi yang muqim (bepergian) ketika bulan Ra- madhan. Keringanan-keringanan ini semua merupakan perhatian akan realitas manusia dan kadar kondisi mereka yang tidak stabil. Ini semua juga merupakan kemudahan dari Allah bagi manusia. 'Sebagaimana firman Allah yang berkenaan dengan ibadat puasa. "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan lidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.s. Al-Baqarah: 185).

Al-Waqi’iyyah dalam Akhlak Islamiyah Islam datang dengan akhlak waqi’iyyah, memperhatikan kemampuan

pertengahan yang dimiliki mayoritas manusia. Akhlak manusia mengakui kelemahan manusia, mengakui dorongan-dorongan kemanusiaan, ke- butuhan-kebutuhannya baik material maupun psikis. (1) Islam tidak mewajibkan bagi orang yang hendak memeluk agama ini agar melepaskan semua masalah ma’isyah dan kekayaannya. Tidak seperti dalam Injil yang di dalamnya dikisahkan dari Al-Masih bahwa ia berkata: “Jua I semua yang engkau miliki, lain Haiti aku!" Ai-Qur'an juga tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Injil. "Sesungguhnya orang kaya itu tidak akan memasuki pintu-pmtu langit. kecuali jika unta itu dapat memasuki lubangjarum. ” [Mustahil],

Islam bahkan sangat memperhatikan kebutuhan individu dan masyarakat terhadap harta. Maka ia pun mengategorikan bahwa harta adalah tiang kehidupan dan memerintahkan untuk menginvestasikan serta menjaganya dengan baik. Al-Qur’an pun memuji nikmat harta dalam banyak tempat. Allah berfirman kepada Rasul-Nya: “Dia (Allah) meiida- patimu sebagai orangyang kekurangan (miskin), kanuclian inenjadikan- mu berkecukupan (kaya).” (Q.s. Adh-Dhuha: 8). Sedangkan Rasulullah saw. sendiri bersabda: “Tidak bermanjaat bagiku harta melebihi hartanya Abu Bakar. ” (H.r. Ahmad).

Kemudian sabda beliau kepada Amru bin Ash.

“Sebaik-baik harta ycing salch adalah bagi orang yang saleh.” (H.r. Ahmad).

Al-lVaqi'iyyah 175

Page 174: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

176 Karakteristik Islam

Page 175: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(2) Al-Qur’an atau As-Sunnah tidak pemah mengungkap seperti apa yang diungkap dalam Injil dari ucapan Al-Masih: “Cintailah musuh- musuhmu ... berkatilah orang-orang yang melaknatimu. Barangsiapa yang memukul pipi kananmu, maka berikanlah pipi kirimu [untuk di- pukul], Barangsiapa yang mencuri bajumu, maka berikarijuga sarung- mu kepadanya [kepada pencuri tadi], ”

Mungkin hal ini boleh untuk fase tertentu, guna memperbaiki kondisi khusus, tetapi tidak mungkin akan sesuai buat selamanya dan diperuntuk- kan kepada setiap orang di setiap zaman dan lingkungan. Sebab, menun- tut kepada orang biasa agar mencintai musuhnya dan memberkati yang mencelanya adalah sesuatu yang di luar kemampuannya. Oleh karena itulah Islam mencukupkan agar berbuat adil kepada musuh.

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum, men- dorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena berlaku adil itu lebih dekat pada takwa.” (Q.s. AI-Maidah: 8).

Juga memberikan pipi kiri setelah pipi kanan dipukul adalah sesuatu yang memberatkan jiwa dan bertentangan dengan nurani, bahkan mayo- ritas manusia tidak akan kuasa melakukannya. Kalau demikian halnya, maka kaum penjahat akan lebih berani kepada orang-orang baik dan sa- leh. Dan mungkin suatu ketika mereka akan menyiksa seperti permu- suhan yang diterima, kemudian tidak memberi maaf, maka dengan cara seperti di Injil ini, kejahatan akan lebih menggila dan beringas.

Oleh karena itu, tampak sekali waqi’iyyah Islam ketika mensyariat- kan membalas kejelekan (penganiayaan) dengan penganiayaan sejenis, tidak ditambah atau dikurangi. Dengan demikian Islam menetapkan keadilan dan menolak permusuhan. Sekalipun demikian, Islam juga menyu- ruh untuk memberi maaf, bersabar dan mengampuni pelaku kejahatan, dimana hal ini merupakan kemuliaan yang dianjurkan dan bukan kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal tersebut tertera dalam firman Allah swt.: "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." (Q.s. Asy-Syuura: 40).

“Danjika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang ama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (Q.s. An- Nahl: 126). (3) Di antara waqi’iyyah Islam dalam akhlak adalah bahwa akhlak Islam menetapkan sekaligus mengakui adanya perbedaan kemampuan nu- rani operasional antannanusia. Maka dalam hal kekuatan iman seluruh manusia tidak berada dalam kadar yang sama. Begitu juga dalam hal il- tizam dengan apa yang diperintahkan Allah, menjauhi larangan-Nya dan berpegang teguh dengan nilai-nilai yang agung. ,

Maka ada derajat dalam Islam, yaitu iman dan ihsan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Hadis Jibril yang sering kita dengar. Dan setiap derajat ada ahlinya sendiri-sendiri.

Begitu juga ada orang yang menzalimi jiwanya, ada yang pertengahan dan ada pula yang senantiasa bersegera dalam berbuat kebajik- an, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Al-Qur’an.

Al-lVaqi'iyyah 177

Page 176: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Orang yang menzalimi jiwanya adalah yang senang meninggalkan kewajiban dan sering mengerjakan hal-hal yang diharamkan.

Orang yang pertengahan adalah yang cukup dengan mengerjakan yang wajib saja, sementara yang sunnah sering ditinggalkan. Juga dapat meninggalkan yang haram, namun masih sering mengerjakan yang mak- ruh.

Sedangkan sabiq (yang bersegera pada kebajikan) adalah orang yang menambah hal-hal yang wajib dengan banyak mengerjakan amalan- amalan sunnah. Tidak hanya meninggalkan yang haram, namun juga meninggalkan syubhat dan makruh. Bahkan terkadang sampai meninggalkan yang halal karena khawatir terjebak pada yang haram dan makruh.

Perihal mereka di atas, Allah berfirman: “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di

antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara merka ada yang lebih dahulu berbuat kebajikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Q.s. Fathir: 32).

Ayat di atas menjadikan tiga kelompok tadi berdasarkan perbedaan derajat mereka masing-masing dari ummat yang dipilih oleh Allah dan diwariskan kitab kepada mereka. (4) Untuk menyempumakan waqi’iyyah dalam akhlak ini dapat kami tegaskan, bahwa akhlak Islam tidak mengharuskan ahli takwa itu dapat suci dari segala noda, terpelihara dari segala dosa seperti malaikat. Karena manusia ditakdirkan dalam penciptaannya terdiri dari tanah liat dan ruh. Maka apabila nih spiritualitas meninggi, tanah (jasad) itu akan cenderung merendah. Sedang keistimewaan orang yang bertakwa adalah si- fat tobatnya kepada Allah. Sebagaimana Allah menyifati mereka:

“(Di antara dri-dri orang yang bertakwa) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri, mereka mengingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (Q.s. Ali Imran: 135). (5) Dan di antara waqi’iyyah akhlak Islam adalah bahwa akhlak Islam memperhatikan situasi dan kondisi kliusus seperti perang. Maka saat itu dibolehkan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dibolehkan di kala ber- damai seperti menghancurkan bangunan, meinbakar pohon dan sejenis- nya. Begitu juga dibolehkan berbohong untuk menyesatkan musuh dari markas (barak) tentara Islam, dari jumlah mereka, strateginya dan taktik yang dipakai. Karena sesungguhnya perang — sebagaimana dalam ha- dis — adalah tipuan.

Al-Waqi’iyyah dalam Tarbiyah Islamiyah Tarbiyah Islamiyah adalah tarbiyah yang waqi’iyyah. Ia berinterak- si dengan

manusia sesuai posisinya; sebagai daging dan darah, pikiran dan perasaan, emosi dan kecenderungan, spiritual dan material.

Ketika seorang sahabat bemama Handzalah, ketika bersama ke- luarganya

178 Karakteristik Islam

Page 177: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

merasakan perasaan yang berbeda dengan ketika bersama Rasulullah saw. dalam segi kejemihan, kepatuhan dan ketakutannya kepada Allah, ia melihat bahwa ini merupakan bentuk kemunafikan. Dia pun keluar menyusuri jalan seraya berkata kepada diri sendiri: "Handzalah telah berbuat munafik!" Kemudian sampailah dia kepada Rasulullah dan menjelaskan apa yang terjadi, apa yang dirasakin dari perbedaan situasi spiritual antara bersama keluarga dan bersama Rasulullah. Rasulullah saw. mengomentari dengan sabda beliau: “Jika kondisi mu tetap seperti ketika bersamaku, sungguh engkau akan disalami malaikat di jalan-ja- lan, akan tetapi wahai Handzalah ‘sesaat dan sesaat’.” Dari sinilah ter- gubah sebuah peribahasa: "Sesaat untuk hatimu dan sesaat untuk Tu- hanmu".

Dengan kehidupan waqi’iyyah yang seimbang inilah Islam menarbi- yah kaum Muslimin. Islam tidak membiarkannya tenggelam dalam main- main, hingga tidak ada yang tersisa buat Rabbnya, begitu pula tidak mem- biarkan ghuluw (keterlaluan) dalam ibadat, hingga tidak ada yang yang tersisa bagi jiwanya.

Kendati Islam tidak mengakui adanya dosa warisan bagi bayi, namun Islam mengakui adanya pengaruh lingkungan dan bahayanya, khu- susnya lingkungan keluarga. Bahkan lingkungan itu dapat membentuk ideologi anak dan kecenderungan pola pikimya yang pfertama. Dalam hadis dikatakan:

“Setiap bayi dihihirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang- tuanyalahyang akan dapat menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (H.r. Bukhari).

Karenanya, Islam menyuruh para orangtua agar memberikan taujih dan tarbiyah yang baik kepada anak-anak mereka. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluar- gamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan balu. ” (Q.s. At-Tahriim: 6).

Rasulullah saw. bersabda:

“Setiap kamu sekalian adalah penggembala dan setiap kamu akan ditanya (diminta pertanggungjawaban) terhadap apa yang digeni- balakannya. Seorang laki-laki adalah penggembala dan akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang digembalakannya.”

Al-lVaqi'iyyah 179

Page 178: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(H.r. Muttafaq ‘Alaih). Islam sangat memperhatikan fase kanak-kanak. karena fase itu sangat peka

dalam menerima ia "allum (pelajaran), mudah terpengaruh dan terkondisi. Di fase inilah Islam memerintahkan para ayah dan mu rabbi agar senantiasa giat melatih anak-anak pada ketaatan. melaksanakan ke-

180 Karakteristik Islam

Page 179: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

wajiban ketika mereka sudah sampai pada fase tamyiz (mampu mem- bedakan yang baik dari yang buruk). Hadis Nabi menentukan bahwa fase ini adalah ketika anak berumur tujuh tahun. Sebagaimana Islam juga memerintahkan untuk tegas manakala anak sudah mendekati fase panca- roba, yaitu ketika menginjak usia sepuluh tahun.

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Perintahkan mereka (anak-anakmu) untuk salat ketika usia tujuh tahun dan

pukullah (kalau tidak mau salat) apabila herusia sepuluh tahun. ” Pemukulan di sini, yang dimaksud bukan pada esensi pukulannya, akan

tetapi lebih dititikberatkan pada penanaman terhadap anak akan urgensi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Juga merupakan wujud kesungguhan orangtua dalam memerintah serta memperhatikannya dalam merealisasikan perintah tadi dan tidak ada unsur mempermudah masalah. Hal ini mengingat masih terdapat sebagian orangtua yang memerintah anaknya hanya melalui lisannya saja, dimana anak pun tidak me- rasa bahwa ayahnya bersungguh-sungguh dalam memerintah. Karena- nya, datanglah perintah untuk memukul agar sang anak merasa bahwa perintah itu sungguh-sungguh, bukan main-main dan harus dilaksanakan, bukan sekadar ucapan belaka.

Pukulan yang seharusnya adalah pukulan yang dapat menimbulkan rasa sakit, namun tidak boleh sampai melukai atau menyiksa dengan sik- saan yang pedih. Islam menetapkan ini ketika dalam kondisi darurat atau sangat mendesak (diperlukan). Islam tidak seperti mereka-mereka yang melambung di dunia angan-angan, yang ramai-ramai meneriakkan peng-. hapusan metode pemukulan dari dunia tarbiyah, baik di rumah atau se- kolah. Ini adalah idealisme yang tidak sesuai bagi lingkungan mana pun dan kondisi apa pun serta untuk siapa pun obyeknya.

Memang, sebaik-baik orangtua dan murabbi adalah manakala tidak sampai melayangkan pukulan (kepada keluarga). Sebagaimana dalam hadis berkenaan dengan nasihat bagi para suami: “Dan tidak mungkin suami-suami pilihan itu akan memukul. ” Dan sebagaimana diriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw. sama sekali tidak pemah memukul dengan tangan beliau, baik kepada anak, wanita (istri), budak atau hewan se- kalipun. Ini adalah kepribadian yang tinggi yang tidak mungkin dapat di- jangkau oleh semua orang. Al-Waqi’iyyah dalam Syariat Islam

Demikian pula Islam datang dengan syariat waqi’iyyah, tidak me- ngabaikan konteks yang ada pada setiap perkara yang dihalalkan atau- pun diharamkan. Tidak melalaikan konteks ini di setiap aturan dan per- undang-undangan yang diperuntukkan bagi individu, keluarga, masyarakat, daulah dan kemanusiaan.

Dalam Hal Penghalalan dan Pengharaman Di antara fenomena waqi’iyyah dalam perkara halal dan haram adalah apa yang

berhubungan dengan urusan-urusan individu baik laki-laki maupun wanita. (1) Islam tidak akan mengharamkan sesuatu yang memang betul-betul

11- Waqi 'iyyah 181

Page 180: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dibutuhkan oleh manusia dalam realitas kehidupannya. Sebagaimana ia (Islam) tidak membolehkan sesuatu yang membahayakannya.

Dari sanalah Al-Qur’an mengingkari adanya pengharaman perhiasan dan hal-hal yang baik, dengan cara membolehkannya untuk dipakai manusia tetapi syaratnya harus ekonomis, seimbang dan tidak berlebihan.

“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah ketika engkau memasuki masjid, makan dan minumlah, serta jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros. Katakan (Muhammad), 'Siapa yang mengharamkan perhiasan dati Allah yang telah dikeluarkan-Nya bagi hamba-hamba-Nya dan juga rezeki yang baik?'” (Q.s. AI-A’raf: 31-2). (2) Syariat Islam juga memperhatikan fitrah manusia dalam hal kecen- derungannya pada main-main dan refreshing. Maka syariat Islam memberikan keringanan pada bermacam-macam permainan seperti lomba lari dan pacuan kuda (berkuda) serta yang sejenisnya selama tidak diikuti dengan praktek perjudian dan tidak sampai menghalangi dzikrullah. Khu- susnya dalam acara-acara pesta seperti walimah pemikahan atau hari-hari raya. Dua orang budak wanita menyanyi di depan Aisyah di rumah Rasulullah saw, kemudian karena hal tersebut, Abu Bakar r.a. sempat memarahi keduanya. Maka Rasulullah pun menegur Abu Bakar dengan bersabda: “Biarkan mereka berdua menyanyi wahai Abu Bakar, karena hati ini adalah hari raya." (H.r. Syaikhan).

Sabda beliau kemudian: “Agar orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kami juga terdapat suasana santai... dan aku diutus dengan hanafiyyah samhah (kelurusan yang toleran).” (H.r. Ahmad).

Disamping itu, Rasulullah juga inengizinkan orang-orang Habasyah bemiain silat di masjid dan memperkenankan istri beliau, Aisyali r.a. untuk melihatnya sampai puas.

Islam juga memperhatikan nurani (fitrah) wanita yang mencintai perhiasan dan senang berdandan. Syariat Islam membolehkan beberapa hal yang diharamkan bagi laki-laki seperti berhias dengan emas dan me- makai sutra. (3) Di antara waqi' iyyah syariat Islam adalah bahwa syariat Islam sangat memperhitungkan keadaan darurat yang sewaktu-waktu menimpa dan menekan keberadaan manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan rukhsoh untuk memakan makanan haram sesuai kadar kebutuhannya ketika dalam kondisi darurat. Para ahli fiqih juga telah menetapkan sebuah kaidah: "Keadaan darurat itu dapat membolehkan seseorang untuk mengerjakan yang terlarang." Hal ini bersandar pada ayat Al-Qur’an ketika menyebutkan makanan dan minuman yang haram:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, da- rah, daging babidan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan- nya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengam- pun lagi Maha Penyayang. ” (Q.s. Al-Baqarah: 173).

182 Karakteristik Islam

Page 181: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(4) Di antara waqi’iyyah syariat Islam adalah bahwa syariat Islam me- mahami betul ketidakberdayaan manusia di hadapan hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, syariat menutup rapat semua pintu yang me- mungkinkan untuk membuka peluang ke arah sana. Juga mengharamkan atas khamr, baik sedikit atau banyak. Sebab yang sedikit itu pun nantinya mengarah pada yang banyak.

Sebagaimana syariat Islam, sebagai tindakan preventif, mengatego- rikan sesuatu yang dapat mengarahkan pada perkara yang haram itu hukumnya juga haram. Dan sebagai penegasan akan realitas kebanyakan manusia yang tidak mampu menguasai dirinya manakala dibukakan jalan menuju yang haram. Dari sinilah, sehingga diharamkan seorang laki-laki ber-khalwcit (berduaan) di tempat sunyi dengan wanita yang tidak semuh- rim, guna menutup pintu kemungkinan yang mengantarkan aras angin ke- maksiatan, dimana manusia tiada kuasa untuk membendungnya. Juga, diharamkan memandang lawan jenisnya dengan (tatapan) penuh syahwat, karena mata merupakan utusan hati, dan pandangan yang penuh syahwat merupakan benih fitnah. Seorang penyair masa lain pernah berkata:

Setiap kejadian awalnya adalah dari pandangan dan pedihnya siksa neraka itu karena menganggap remeh kemaksiatan. Dan kini Ahmad Syauqi berkata: Pandangan, kemudian senyuman, kemudian ucapan salam, kemudian pembicaraan, lalu membuat janji dan berikutnya perjumpaan.

Dalam Syariat Pemikahan dan Keluarga (5) Di antara waqi’iyyah dalam syariat Islam adalah bahwa syariat Islam sangat memperhatikan dorongan seksual pada diri manusia. Maka, syariat tidak meninggalkannya begitu saja, tidak memandang remeh dan juga tidak dianggap sebagai suatu noda, sebagaimana yang dilakukan sekte-sekte yang lain.

Syariat juga tidak rela kalau manusia dipimpin oleh dorongan syahwatnya, sebagaimana hal itu dilakukan oleh penganut filsafat-filsafat Barat. Sehingga kemudian Islam mensyariatkan pemenuhan kebutuhan seksual dengan cara yang suci, bertujuan untuk menjaga kelangsungan dan kemuliaan manusia serta mengangkatnya dari derajat kebinatangan. Hal itu dengan disyariatkannya "pemikahan". Al-Qur’an mengisyaratkan hal ini setelah disebutkan pula siapa saja wanita yang haram dinikahi dan siapa yang dihalalkan dengan syarat-syarat tertentu.

Kemudian Allah berfirman: “Allah hendak menerangkan (hukum syarial-Nya) ini kepadamu, dan

menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan salihin) dan (hendak) menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah hendak menerirm tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (Q.s. An-Nisa’: 26-8).

Al-H’aqi'iyyah 183

Page 182: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Tentang kelemahan manusia yang dimaksudkan pada ayat ini adalah ketidakberdayaanm a di hadapan nafsu seksualnya.

184 Karakteristik Islam

Page 183: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Poligami (6) Bertolak dari pandangan yang kontekstual dalam kehidupan dan kemanusiaan, maka disyariatkan poligami oleh dienul Islam.

Karenanya, ketika sang istri dilanda "sakit" berkepanjangan, atau ha- id terus-menerus tidak pemah berhenti sampai tiga bulan lamanyaatau lebih dari itu, atau tidak melayani suanti kecuali dengan susah payah. Dalam kondisi seperti ini, jika sang suami tidak dapat menguasai nafsunya lagi, mengapa tidak kita buka kesempatan untuk menikah secara halal dalam keadaan terang-terangan daripada hams melakukan aktivitas seksual di luar secara sembunyi-sembunyi!

Apabila salah seorang istri temyata mengalami kemandulan, sementara sang suami berkeinginan keras untuk mendapatkan ketumnan, mengapa tidak kita beri kesempatan untuk mewujudkan keinginannya mem- peroleh anak dengan cara menikah lagi dengan wanita lain yang subur. Tindakan ini lebih mulia daripada hams melukai sang istri pertama dengan menceraikannya atau menghancurkan keinginannya (suami) memiliki anak dengan tidak menikah lagi!

Apabila jumlah wanita-wanita salihat yang siap menikah jauh melampaui jumlah kaum laki-laki, entah itu karena faktor alamiah atau sebab khusus seperti adanya peperangan, maka tidak ada jalan lain kecuali satu di antara tiga:

Pertama: Sang gadis akan menghabiskan umumya di rumah dalam keadaan menjadi perawan tua. Tidak ada kesempatan baginya untuk me- nyalurkan naluri sebagai istri dan keibuannya. Padahal itu merupakan naluri fitrah yang diberikan oleh Allah dalam diri wanita yang tiada dia akan kuasa membendungnya.

Kedua: Atau mencari jalan keluar yang tidak syar’i bila dipandang dari sudut kekeluargaan, kemasyarakatan dan etika (baca. melacur).

Ketiga: Atau dengan suami yang telah beristri (rela dimadu), yang akan mampu menjaganya dan akan dapat berbuat adil terhadap dirinya dan terhadap istri yang lain dari suaminya.

Kemungkinan pertama, maka di dalamnya ada bentuk kezaliman besar yang diderita wanita. Padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun dan kedatangan (keberadaan)nya di dunia bukan atas kehendak pri- badinya.

Kemungkinan kedua, di dalamnya ada semacam aniaya terhadap hak wanita, masyarakat dan moral. Ironisnya. inilah yang justru membudaya di Barat. Di sana diharamkan poligami. tetapi melegitimasi kumpul kebo dengan wanita-wanita kesayangan tanpa melalui proses pemikahan. Ar- tinya, tindakan masyarakat Barat itu pada hakikatnya menghamskan poligami, namun mereka tidak melakukannya dengan alasan memegang kendali moral dan juga (poligami) dianggap tidak manusiawi. Karena kaum laki-laki dapat memuaskan syahwat seksualnya tanpa harus ber- tanggung jawab dan menanggung risiko atau beban apa'pun dari perbuat- annya.

Adapun kemungkinan ketiga, maka inilah satu-satunya altematif pemecahan yang paling adil, bersih, manusiawi dan memperhatikan nilai moral. Dan inilah yang disyariatkan oleh Islam.

Talak

A /- H'l/i/i 'iyyah 185

Page 184: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(7) Di antara waqi ’ iyyah dalam syariat Islam adalah bahwa Islam membolehkan talak ketika tidak mungkin lagi dicapai kerukunan (keharmonis- an) suami-istri. Sekalipun demikian Islam masih menganggap agung hu- bungan suami-istri dan mengategorikannya sebagai milsaqcm ghalidha (ikatan yang kuat) (lihat Q.s. An-Nisa’: 21), yang sebutan ini sama per- sis dengan masalah kenabian (begitu pentingnya). Dimana sejak semula talak memang sesuatu yang cukup riskan, sebagaimana hal itu diperjelas oleh dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman perihal menghadapi istri yang meminta cerai:

“Makajika mereka menaatimu, janganlah sekali-kali mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.s. An-Nisa’: 34).

Al-Qur’an pun menganggap perbuatan yang memisahkan antara sua- mi dan istri sebagai perbuatan seorang tukang sihir (Q.s. AI-Baqarah: 102). Dan dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda: “Perbuatan halal yang dimurkai Allah adalah talak. ” (H.r. Abu Daud).

Meski demikian, fakta berbicara bahwa ada pemikahan yang dilan- da ketidakcocokan. Islam telah memerintahkan kepada para suami agar bersabar, hati-hati dan tidak memperturutkan naluri kebenciannya, wa- lau dia merasakan hal itu.

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara ma’ruf, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, hendaklah bersabar. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak. ” (Q.s. An-Nisa’: 19).

Islam juga memerintahkan agar para suami memperbaiki kondisi istrinya dengan berbagai cara, hingga sang istri kembali taat dan cocok. Islam juga memerintahkan kepada masyarakat untuk turut berbuat ishlah dengan jalan membentuk majelis keluarga, sebagaimana firman Allah: "... kirimkanlah seorang hakam dari pihak laki-laki dan seorang hakam dari pihak wanita. Jika kedua orang hakam ilu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi tau/ik kepada suami-istri itu." (Q.s. An-Nisa’: 35).

Namun meski telah diupayakan seperti itu, terkadang ketidaksesuai- an tidak dapat dihindarkan dan perselisihan kian memuncak. Segala bentuk perbaikan, perundingan dan penyesuaian terkadang sia-sia belaka. Maka, di sinilah talak bertindak sebagai altematif (terakhir), meski tera- sa pahit. Alangkah benamya apa yang dikatakan seorang penyair: 11 Kalau tidak mungkin lagi bersesuaian, mengapa tidak berpisah." Sebab an- dai masih tetap dipertahankan, tentu keadaannya akan menjadi seperti yang diungkapkan penyair benkut ini: "Sesungguhnya musibah yang besar adalah manakala ada sahabat yang tidak cocok denganmu, namun tidak juga mau meninggalkanmu." Atau seperti kata penyair Al-Muta- nabbi: "Di antara kepahitan dunia atas orang yang bebas merdeka ... adalah manakala melihat musuhnya belum pemah ia kenal sebelumnya."

Kenyataan yang ada pada ideologi Nasrani abad ini memaksanya untuk mengakui adanya talak (cerai). Meski itu diharamkan "secara qath’i" dalam Injil, dan

186 Karakteristik Islam

Page 185: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sekaligus dipakai sebagai senjata oleh para missionaris selama berabad-abad untuk menghancurkan Islam, hanya karena Islam membolehkan cerai. Tetapi, akhirnya mereka terpaksa hams membo- lehkannya sampai pada batas berlebihan, dan benteng terakhir dari garis keras Nasrani dalam masalah ini runtuh sudah seraya mengumumkan dibolchkannya perccraian. Kondisi ini terjadi di [Gereja] Katholik Roma, dimana dulunya amat dilarang keras (baca: anti) talak disebabkan oleh apa pun, sekalipun terjadi pengkhianatan pemikahan seperti zina.

Dalam Syariat sosial, Diperkenankan Pernilikan Pribadi (8) Termasuk di dalam waqi’iyyah syariat dalam bidang sosial ekonomi adalah bahwa syariat Islam mengakui adanya dorongan naluri sejati dalam jiwa manusia, yakni realitas "cinta pada pernilikan". Maka, syariat menetapkan prinsip milkiyyah fardiyyah (pernilikan pribadi) dan apa saja yang berhubungan dengan pernilikan tadi, dari hak menyalurkan apa yang dimiliki dan hak waris. Namun syariat Islam juga tidak mengabaikan realitas yang lain, yaitu maslahat dan hak sosial kemasvarakatan serta kebutuhan-kebutuhan para fakir miskin yang hidup dalam lingkup masyarakat tersebut.

Untuk itulah, maka pemilikan ini diberi batas-batas yang bermacam- macam, seperti batasan dalam cara memperoleh harta, mengembangkan, menikmati serta membelanjakannya. Khusus untuk yang terakhir ini syariat mewajibkan untuk menunaikan hak-hak Allah kepada manusia, dalam hal ini adalah zakat.

Pengalaman telah membuktikan dan realitas pun ikut berbicara, bahwa perolehan individu mempunyai peran yang sangat berarti dalam me- ningkatkan taraf kehidupan, mengembangkan sarana dan memperbaiki produktivitas serta meningkatkan kemanipuan untuk berkreasi dan ber- kiprah menggali bakat terpendam. Inilah yang memaksa kaum Marxis di Rusia — karena dorongan realita — untuk bergeser dari prinsip mereka yang kaku dan dengan terpaksa pula mereka akui keabsahannya. Maka, mereka pun kemudian membolehkan hak pemilikan pada laba yang dida- pat. Sekali lagi fitrah Allah unggul di atas khayalan institusi manusia.

Syariat Hudud, Oishash dan Ta 'ziir (I’engasingan) (9) Di antara waqi’iyyah dalam syariat adalah bahwa syariat Islam berusaha dengan segala kekuatan yang ada untuk membersihkan masyarakat dari sebab-sebab kriminalitas dan mendidik setiap individu agar ber- istiqomah dalam hidup dan kehidupan. Namun demikian. hal ini tidak cukup dengan hanya dorongan moral, meski dorongan moral itu dijaga dengan sebaik-baiknya. Juga tidak cukup dengan hanya tarbiyah. meski tarbiyah itu merupakan kebutuhan yang bersifat religi dan syar'i.

Adanya sekelompok manusia yang tidak mungkin menjadi jera. kecuali dengan hukuman, tidak cukup hanya dengan nasihat atau bimbing- an, maka untuk itu dibutuhkan cemeti penguasa disamping juga suara de- ngungan Al-Qur’an. Hingga dalam hal ini Utsman bin Affan r.a. berkata: "Sesungguhnya Allah akan membereskan dengan kekuasaan sesuatu yang tidak dapat dibereskan dengan Al-Qur'an."

A I- Waqi 'iyyah 187

Page 186: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Dari sinilah Islam menggariskan berbagai hukuman. seperti hudud. qishash dan pengasingan. Islam tidak terbuai oleh apa yang digembar- gemborkan para pengkhayal yang sesumbar hendak menghapus bentuk eksekusi mati, karena iba, tanpa mehhat-lmisibah yang dialami oleh si terbunuh dan keluarganya dari kepiluan dan kesedihan. Juga tidak melihat aspek keamanan sosial masyarakat pada sisi yang lain. Atau mereka- mereka yang menghapus hukum potong tangan bagi pencuri dengan dalih

188 Karakteristik Islam

Page 187: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

belas kasih terhadapnya yang tidak menyayangi dirinya sendiri dan orang lain, sehingga dia nekad melanggar kehomiatan, merampas harta, menga- cau keamanan. Untuk mewujudkan cita-citanya dan mengabaikan keadilan, dia tidak menghiraukan, meski harus menumpahkan darah orang yang tiada bersalah, membunuh wanita dan anak-anak.

Dalam hal qishash, Allah berfirman: “Dan dalam qishash itu ada (ja- minan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Q.s. Al-Baqarah: 179).

Kemudian dalam hal pencurian, Dia berfirman: “Laki-lakiyangmen- curi dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan dari apayang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. Al-Maidah: 38).

Bukti-buhti Al-Waqi’iyyah dalam Syariat Bukti-bukti waqi’iyyah dalam syariat Islam amatlah banyak, dian- taranya, kita

dapat melihatnya dalam ushul, kaidah dan pola-pola berpi- kimya yang asasi. Dan di antara kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip itu adalah: 1. Memudahkan dan menghilangkan kesulitan. 2. Memperhatikan tahapan masa. 3. Turun dari nilai idealita yang tinggi menuju realita yang rendah dalam situasi

darurat.

Memudahkan dan Al-Menghilangkan Kesulitan Dalam hal memudahkan, maka itu merupakan ruh yang menjalar dalam jasad

syariat secara keseluruhan, sebagaimana kambium menjalar pada setiap batang tumbuhan yang hidup. Kemudahan ini didasarkan karena memperhatikan kelemahan manusia, banyaknya beban, keragaman kesibukannya, tekanan kehidupan dan tuntutan-tuntutannya yang harus dipenuhi. Pencetus syariat dari Dien ini bersifat Maha Pengasih dan Penyayang, tidak menghendaki hamba-Nya dalam kesulitan dan tersiksa. Tetapi, menghendaki hamba-Nya agar senantiasa dalam keadaan baik, sejahtera, bahagia dalam kehidupan saat ini (dunia) dan esok (akhirat/tem- pat kembali). Inilah yang dicema dan dirasa oleh setiap insan yang paham betul akan diennya.

Maka Al-Qur’an adalah kitab yang mudah untuk diingat, akidah Islamiyah mudah untuk dipahami, sebagaimana syariat juga mudah untuk diamalkan dan direalisasikan. Tidak ada satu pun kewajiban yang me-

lampaui kemampuan manusia. Bagaimana mungkin, sedang Al-Qur’an sendiri telah mendeklarasikan hal itu beberapa kali: “Allah tidak membe- bani seseorang (jiwa) kecuali sesuai kemampuannya.” (Q.s. AI-Baqa- rah: 286). “Allah tidak memikulkan he ban kepada seseorang, kecuali (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. ” (Q.s. Ath-Thalaq: 7).

Sebagaimana Al-Qur’an juga mengajarkan kepada kaum Mukmin untuk berdoa kepada Rabb mereka: “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami sesuatu yang kami tidak mempunyai kemampuan di sana. ” (Q.s.

.41- Waqi 'iyyah 19 9

Page 188: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Al-Baqarah: 286). Dalam sebuah hadis shahih diterangkan bahwa siapa yang berdoa seperti itu Allah akan mengabul- kannya.

Al-Qur’an menafikan setiap keberatan dalam syariat, sebagaimana menafikan kesulitan dan ketidakmampuan. Dan pada saat yang sama menetapkan keringanan dan kemudahan. Allah swt. berfirman, ketika Dia memberikan rukhsoh dalam puasa bagi yang sakit dan musafir: “Allah menghendaki bagi kamu kemudahan, dan tidak menghendaki bagi kamu kesulitan. ” (Q.s. Al-Baqarah: 185).

Pada penghujung ayat tentang thaharah setelah memberikan rukhsoh dalam hal tayamum bagi yang tidak mendapatkan air, Allah berfirman: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak melt yucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.s. Al-Maidah: 6).

Pada ayat-ayat terakhir Surat Al-Hajj, Allah berfirman: “Dia telah memilih kamu dan sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan," (Q.s. Al-Hajj: 78).

Dalam Surat An-Nisa’ setelah dibolehkannya menikahi para budak karena tidak mampu menikahi yang merdeka, Dia berfirman: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (Q.s. An-Nisa’: 28).

Dalam Surat Al-Baqarah, setelah disyariatkan "pengampunan" bagi yang mau memaafkan dari keluarga terbunuh, Allah berfirman: “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rah- mat. ” (Q.s. Al-Baqarah: 178).

Demikian pula banyak hadis Nabi saw. yang turut mempertegas alur Al-Qur’an ini, misalnya: “Aku diutus dengan (dien) yang lurus dan tole- ran.” (H.r. Ahmad). “Sesungguhnya kamu sekalian diutus dalam rang- ka untuk memudahkan dan bukan untuk mempersulit." “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat

&»•■« sms ASS s^UlibCSA

Page 189: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

orang lari. ” Hadis ini disabdakan Rasulullah saw. kepada Mu’adz bin Ja- bal r.a. ketika beliau diutus Rasul ke Yaman.

Sementara itu identitas Rasul yang paling menonjol dalam kitab-ki- tab Ahlulkitab adalah identitas mempermudah, menghilangkan berbagai kesulitan dan keberatan yang sempat menghantui para penganut agama- agama terdahulu. Sebagaimana finnan Allah:

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruj dan mencegah dari berbuat yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, membuang dari mereka. beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Q.s. Al-A’raf: 157).

Dan di antara doa dalam Al-Qur’an yang diajarkan kepada kaum Mukmin dalam masalah ini adalah: “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankani kepada Kami beban yang berat, sebagaimana Engkau be- bankan kepada orang-orang sebelum kami." (Q.s. Al-Baqarah: 286).

Tidak dapat disangkal bahwa syariat Islam yang meringankan ini terjadi ketika ada sebab-sebab tertentu. Seperti keringanan untuk berta- yamum bagi orang yang takut menyentuh air karena dikhawatirkan mem- bahayakan atau karena dingin dan sebab yang lainnya. Hal ini sebagaimana tersirat dalam firman Allah: “Dan janganlah kau bunuh jiwa-ji- wamu; karena sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang terhadap kamu.” (Q.s. An-Nisa’: 29).

"... dan janganlah sekali-kali kau menjatuhkan dirimu ke dalam ke- binasaan. ” (Q.s. Al-Baqarah: 195)

Juga keringanan dalam salat dengan duduk bagi yang tidak mampu berdiri, salat dengan berbaring bagi yang tidak mampu dengan duduk.

Begitu pula rukhsoh untuk berbuka bagi wanita hamil dan menyusui, apabila khawatir tferhadap keselamatan sang ibu dan anak. Diperkenan- kan pula untuk tidak berpuasa bagi yang sakit atau dalam keadaan be- pergian. Bagi musafir diberi juga keringanan untuk mengqasar salat dan menjamaknya.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai untuk dilaksanakan rukhsoh-Nya sebagaimana membenci manakala berbuat maksiat kepada-Nya.” (H.r. Ahmad).

Rasulullah saw. secara tegas mengingkari orang yang memberat- kan dirinya dengan jalan berpuasa ketika dalam keadaan bepergian, padahal ia merasakan adanya beban berat ketika melakukannya dan ingin sekali berbuka. Maka berkenaan dengan hal ini beliau bersabda: “ Bukan- lah termasuk kebaikan bagi yang berpuasa ketika bepergian." (H.r. Bukhari). >

Dari sinilah muncul sebuah kaidah fiqih yang disepakati seluruh ulama mazhab, kaidah itu ialah: "Masyaqqah (keberatan) itu membuah- kan pemudahan". Kaidah ini adalah asas yang di bawahnya terdapat banyak kaidah cabang dalam beberapa bab fiqih. Seorang alim bemama Ibnu Nujaim Al-Hanafi telah mengungkap cabang-cabang dari kaidah ini yang tidak mungkin dapat disebutkan di sini karena

Al-lVaqi'iyyah 201

Page 190: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

banyaknya. Maka barangsiapa yang ingin memperluas, silakan niemjuk kitab yang dituiis oleh beliau dalam masalah ini.1

Terdapat banyak hal yang dapat dijadikan syariat sebagai sebab-se- bab kemudahan dan keringanan, seperti sakit, bepergian, keterpaksaan (darurat), lupa dan khilaf atau salah. Setiap sebab tersebut ada hukurn- hukumnya yang telah dirinci oleh syariat.

Memperhatikan Tahapan Masa Di antara fenomena Islam dalam memudahkan manusia adalah bahwa Islam

memperhatikan tahapan masa di dalam pensyariatan, baik penghalalan maupun pengharaman.

Dapat kita jumpai misalnya, ketika mensyariatkan salat, puasa dan zakat, Islam melakukannya dengan memperhatikan tahapan-tahapan dan kadar-kadar kemampuan, sampai pada tahap kesempurnaan.

Salat ketika pertama kali difardhukan adalah dua rakaat-dua rakaat. Kemudian jumlah ini ditetapkan ketika dalam keadaan bepergian dan ditambah menjadi empat rakaat di kala menetap. yakni untuk salat dhu- hur, asar dan isva'.

Puasa pertama kali disyariatkan dengan cara memilih. boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa dengan cara membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin sesuai jumlah hari atas puasa yang di- tinggalkan. Sebagaimana hal itu dirivvayatkan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin Al-Akwa’, sebagai penafsiran dari firman Allah:

'Yakni kitab Al-A.svhuh wan S'adhaair, him. 37 dan sclcrusnva

202 Karakteristik Islam

Page 191: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan fakir miskin. Barangsiapa yang dengan rela hati berbuat kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah: 184).

Setelah itu, maka puasa pun menjadi kewajiban yang lazim bagi siapa yang sehat dan menetap tanpa boleh beruzur (ketika dalam keadaan mampu menunaikannya).

“Maka barangsiapa di antara kamu yang menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Q.s. Al-Baqarah: 185).

Zakat pertama kali disyariatkan di Mekkah secara mutlak tanpa pembagian-pembagian tertentu dan tidak terikat dengan nisab, kadar yang dikeluarkan dan haul (pernilikan dalam satu tahun). Bahkan sengaja dibiarkan sesuai dengan perasaan s,ang pemberi dan kebutuhan individu serta masyarakat yang ada pada saat itu. Sehingga pada akhirnya zakat disyariatkan dengan nisab, kadar yang haras dikeluarkan dan haul, ketika di Madinah.

Demikian pula hal-hal yang diharamkan, tidak diharamkan secara langsung dan spontanitas. Allah Maha Tahu sejauh mana hal-hal tersebut berpengaruh dalam jiwa, serta interaksinya dalam kehidupan individu dan sosial.

Maka bukan termasuk hikmah satu syariat yang memaksa manusia dengan perintah langsung. Namun yang tidak termasuk hikmah adalah manakala mempersiapkan mereka secara kejiwaan dan pemikiran untuk bersedia melaksanakan syariat tersebut dan membawa mereka ke dalam suasana periodik dalam pengharamannya Sehingga apabila datang ins- tniksi langsung, mereka telah siap dan dengan cepat merealisasikannya seraya berkata: Sami 'na wa at ha 'naa.

Mungkjii contoh paling kongkret dalam masalah ini adalah kisah pengharaman khamr (minuman keras) dengan melalui tahapan-tahapan yang telah diketahui bersama dalam sejarah tasyri’ Islami. Maka ketika langsung turun ayat yang jelas dalam pengharamannya pada Surat Al- Maidah, dengan firman-Nya pada ujung ayat tersebut, “Maka apakah kamu berhenti (dari minuman keras),’ kaum Mukminin berkata serem- pak, ‘Sungguh kami telah berhenti wahai Rabbku’.”

Perhatian Islam terhadap metodologi tahapan inilah yang menye- babkannya tetap memberlakukan hukum perbudakan, yang dahulunya merupakan tradisi yang telah tersebar di kalangan bangsa-bangsa ketika lahimya Islam. Maka jika penghapusannya secara langsung justru me- nyebabkan kegoncangan kehidupan sosial ekonomi. Karenanya, dengan mempersempit dorongan atas sistem perbudakan, bahkan membendung- nya dan memperluas jalan-jalan untuk memerdekakannya adalah identik dengan penghapusan perbudakan secara periodik.

Ini adalah Sunnatullah dalam memperhatikan rrfasalah periodisasi penetapan hukum. Tentunya hal ini harus diterapkan dalam rangka me- nyiasati pergaulan dengan orang lain, juga ketika hendak menerapkan sistem Islam dalam kehidupan dan ketika memulai kehidupan yang Islami secara sempuma.

Apabila kita hendak mendirikan sebuah masyarakat Islam yang ha- kiki, maka jangan sampai ada yang mengkhayal bahwa hal itu akan dapat dilakukan dengan

Al-lVaqi’iyyah 203

Page 192: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hanya menggoreskan tinta keputusan atau ketetapan dari penguasa, raja atau parlemen. Hal itu akan terealisir melalui tahap- an-tahapan, yakni dengan persiapan nafsiyah (kejiwaan), fikriyah (pemikiran), khuluqiyah (moralitas) dan i/lima ’iyyah (sosial).

Ini adalah manhaj yang diterapkan oleh Rasulullah saw. untuk mengubah kehidupan jahiliyah menuju Islamiyah. Rasulullah selama tiga be- las tahun berada di Mekkah. Pada masa itu tugas beliau hanya terbatas menarbiyah generasi Mukmin yang siap dan mampu untuk mengemban amanat dakwah dan juga memikul beban jihad demi menjaga dan me- nyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Oleh karena itu, fase Mekkah bukanlah fase tasyri’ dan pembentuk- an hukum, namun fase tersebut merupakan fase tarbiyah dan pemben- tukan generasi.

Al-Qur’an sendiri pada fase Mekkah lebih menekankan — sebelum segala sesuatu — perbaikan akidah dan keteguhannya serta berusaha me- yakinkannya dalam jiwa dan kehidupan dengan akhlak dan amal saleh. Baru kemudian masalah syariat dan rincian-rincian hukum.

Turun dari Nilai ldealita yang Tinggi Menuju Realita yang Rendah dalam Situasi Darurat

Di antara bukti waqi’iyyah dalam syariat adalah bahwa kendati syariat Islam sangat memperhatikan agar bisa sampai pada nilai tertinggi dan sempuma dalam penerapan hukum-hukumnya, namun ia tidak menutup mata akan konteks operasional yang dialami manusia. Bahkan, kita men- dapati syariat turun ke bumi adalah kontekstual dalam hukum-hukumnya sesuai dengan realita sehingga tidak menghilangkan maslahat kemanusiaan maupun mengganggu perjalanan kehidupan.

Contoh-contoh untuk hal ini cukup banyak, di antaranya: (1) Dalam pemikahan yang diwajibkan antara lain adalah tidak meng- gunakan wali fajir dan jahat. Namun para fuqaha membolehkannya, manakala penerapan hal itu akan mengarah pada fitnah yang lebih besar. Ja- di, di sini dicari risiko (bahaya) yang lebih ringan dan masiahatnya pun sedikit. Oleh karena itu, di antara kaidah ahli fiqih yang telah mereka tetapkan adalah: "Bahaya itu harus dihilangkan." Akan tetapi, mereka juga memberikan batasan: "Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan ba-haya yang lain." Juga kaidah: "Bahaya yang ringan tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lebih besar."

Dan termasuk dalam konteks ini adalah tidak diperkenankan untuk mengubah kemungkaran dengan kekuatan, apabila itu akan memuncul- kan kemungkaran yang jauh lebih besar. (2) Yang asal dalam syariat adalah bahwa imamah atau kepemimpinan negara itu hams dipilih dan kemudian dibaiat sebagai realisasi dari prin- sip syura. Sekalipun demikian, syariat membolehkan imamah melalui jalan kudeta dengan catatan, bahwa hal ini — dilakukan semata-mata — untuk menangkal fitnah dan menutup rapat pintu-pintu kegoncangan dan ketidakstabilan serta agar aktivitas kemanusiaan tidak terhenti. Bahkan ada pepatah menyatakan: "Imamah yang jelek itu lebih baik daripada fitnah yang selalu ada (terus-menerus)". (3) Yang asal bagi setiap imam dan qadi (hakim) haruslah seorang muj- tahid

204 Karakteristik Islam

Page 193: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dan faqih yang mampu melakukan istimbath (mengambil dan me- nentukan) hukum dari dalil-dalilnya. Namun ketika taklid tidak dapat di- elakkan lagi serta timbulnya kesempitan dalam pemahaman mazhab, para ulama akhimya membolehkan orang yang taklid dalam bermazhab menjadi imam (pemimpin) dan hakim.

. Berkenaan dengan itu adalah apa yang disebutkan Ibnu Taimiyah dari sifat-sifat wajib yang ada pada diri setiap orang yang diberi amanat untuk menempati jabatan tertentu dalam daulah Islamiyah, yakni (sebagaimana disebutkan oleh beliau): Wilayah (kepemimpinan) itu mempunyai dua rukun (syarat); Kekuatan dan amanat (dapat dipercaya), sebagaimana firman Allah:

"... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (kepada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’’ (Q.s. Al-Qashash: 26).17

Beliau menjelaskan, bahwa kekuatan di dalain setiap kepemimpinan adalah kekuatan yang sesuai dengan corak kepemimpinan tersebut. Maka kekuatan dalam masalah perang adalah keberanian, kepiawaian dan kelincahan dalam strategi peperangan, sebab perang adalah tipu daya. Juga kemampuan untuk menguasai berbagai bentuk peperangan.

Kekuatan dalam hal pemerintahan adalah dapat berbuat adil sebagaimana yang digariskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mampu menerapkan syariat hukum Islam.

Sementara itu amanat terkait erat dengan khasyatullah (takut kepada Allah), tidak memperjual-belikan ayat-ayat Allah dengan harga vang murah dan tidak (pula) takut kepada sesama manusia. Tiga hal inilah yang dijadikan Allah sebagai syarat bagi setiap penguasa atas manusia, dalam firman-Nya:

“Maka janganlah engkau sekalian takut kepada manusia, (namun) takutlah kepada-Ku. Dan jangan memperjual-belikan ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.s. Al-Maidah: 44).

Itulah syarat yang harus dipenuhi oleh penguasa atau pejabat vang berkeinginan keras untuk menerapkan syariat Islam yang juga merupa- kan sasaran tarbiyah Islamiyah. Akan tetapi, apakah kekuatan dan amanat itu menjadi syarat dari setiap jabatan dalam pemerintahan?

Di sini kita melihat bagaimana Imam Ibnu Taimiyah berusaha untuk turun pada konteksnya; dengan mengatakan: "Terkumpulnya dua syarat, yakni kekuatan dan amanat dalam diri manusia itu sedikit sekali, sehingga Umar bin Khaththab r.a. pun berkata, ‘Ya Allah, aku mengadu ke ha- ribaan-Mu akan cambukan orang yang berbuat kejahatan dan tidak adanya rasa percaya diri.’ Maka yang hams dilaksanakan dalam setiap kepemimpinan adalah yang paling sesuai dengan coraknya.

Apabila terdapat dua kandidat pemimpin, dimana salah satu dari keduanya lebih menonjol dalam kekuatannya. sementara yang lain menon- jol dalam amanatnya. Maka yang harus didaluilukan di antara keduanva adalah yang lebih sesuai dengan

17Lihat Ibnu Taimiyyah dalam As-Siyasatusy Syar’iyyah fii Ishlahir Raa'i war Ra’iyya/i, him. 14-5. Al-lVaqi'iyyah 205

Page 194: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

corak kepemimpinan dan lebih kecil (sedikit) resikoyang diambil. Apabila dalam kepemimpinan perang. ten- tu saja yang lebih kuat dan beranilah yang dipakai sebagai prioritas utama, meski ia kurang sifat amanatnya. Ini lebih baik daripada yang lemah fisiknya, tetapi mempunyai amanat cukup tinggi. Sebagaimana Imam Ahmad Ibnu Hambal ketika ditanya tentang dua orang yang salah satunya

206 Karakteristik Islam

Page 195: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hendak dipilih menjadi panglima. Seorang di antaranya kuat dalam fisiknya, sementara yang lain agak lemah namun saleh. Dengan siapakah jiia berperang? 1 Imam Ahmad menjawab: ‘Adapun orang yang fajir tetapi kyat, maka kekuatannya itu untuk kaum Muslimin, sementara kefajirannya (ke- maksiatannya) untuk dirinya sendiri. Sedangkan orang yang lemah fisik- nya tetapi saleh, maka kesalehannya itu untuk dirinya sendiri, dan ke- lemahan fisiknya itu justru akan dirasakan seluruh kaum Muslimin. Oleh sebab itu, hendaknya berperang bersama orang yang kuat fisiknya, tetapi fajir.’

Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya Allah memperkuat posisi dien ini dengan orang yang fajir,' dan pada riwayat lain dikatakan, ‘dengan kaum yang tidak berakhlak.’ Maka seandainya ia itu fajir, tentu lebih berhak menjadi panglima perang daripada orang yang lebih saleh dalam agama [namun lemah], apabila tidak ada yang mampu menempati posisinya."3

Dan sebagaimana yang disebutkan Imam Ibnu Taimiyah di sini, bahwa sebagian ulama ditanya: "Apabila tidak ada yang dapat menempati jabatan sebagai hakim pengadilan, kecuali seorang alim yang fasik atau orang bodoh yang religius, mana yang harus didahulukan?"

Seorang ulama menjawab: "Apabila kebutuhan terhadap agama lebih diutamakan (lebih banyak), mengingat kian menjamumya kerusakan, maka lebih baik mendahulukan yang religius. Tetapi, bila kebutuhan terhadap ilmu lebih besar karena peliknya problem pengadilan, maka yang alim yang harus didahulukan."

Ibnu Taimiyah berkomentar: "Namun sebagian besar ulama mendahulukan yang religius (paham terhadap agama)."

Yang mengagumkan di sini adalah bahwa kita dapati Ibnu Taimiyah menegaskan perkara yang sangat urgen. Yakni turun dari idealita yang diharapkan menuju hukum realita yang ada. Ini bukan berarti menyerah pa<|a realitas dan rela serta pasif terhadap apa yang terjadi. Bahkan mata harus mencermati, keinginan yang kuat dihidupkan untuk berusaha sekuat tenaga mengubah realita yang ada menjadi lebih baik dan utama. Maka kondisi dan keputusan yang diambil karena situasi darurat itu tidak boleh dijadikan sebagai sifat dan ketetapan yang harus dilaksanakan te- rus-menerus dan dilestarikan. Tetapi, haruslah dilakukan langkah-lang- kali dan kesiapan untuk beralih pada kondisi yang aiami dan lebih baik bagi ummat Islam, sekalipun ditempuh secara periodik (melalui tahapan- tahapan).

Di sini Ibnu Taimiyah mengatakan: "Meski diperbolehkan untuk seseorang yang tidak layak menjadi pemimpiri menempfati posisi tersebut, apabila dia merupakan yang terbaik di antara lainnya. Tetapi haruslah senantiasa diupayakan untuk memperbaiki kondisi sampai mencapai ke- sempumaan sebagaimana yang dikehendaki masyarakat [yang dipim- pinnya] dari masalah-masalah kepemimpinan, pemerintahan dan sejenis- nya. Seperti halnya seorang yang kesulitan harus tetap berusaha untuk melunasi hutangnya, meski kondisi tidak menuntutnya, kecuali pada apa yang sesuai dengan kemampuannya."4

Ada banyak perkara maupun contoh dimana kita melihatnya sebagai suatu bentuk waqi’iyyah syariat. Di antaranya adalah apa yang ditegas- kan oleh Ibnul

Al-IVaqi'iyyah 207

Ubid, him. 17-8.

Page 196: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Qayyim dalam sebuah ucapannya: "Apabila tidak ada yang menempati posisi hakim, kecuali hakim yang tidak memenuhi syarat-sya- rat peradilan, bukan berarti negara harus mengosongkan jabatan hakim. Dan hendaklah dipilih yang baik kemudian yang lebih baik."

Ini berarti: Apabila kefasikan itu yang mendominasi sebuah negara, sementara kita tidak mau menerima kesaksian mereka terhadap perkara yang lain (karena kefasikannya) tentulah hak-hak itu akan terabaikan dan terlantar sebelum datangnya kesaksian orang yang baik dan kemudian yang lebih baik.

Juga berarti: Apabila haram dan syubuhat itu mendominasi hingga tidak didapatkan yang halal mumi, maka hendaknya dicari yang baik lalu yang lebih baik (di antara sekian banyak yang haram tersebut).

Juga berarti: "Kesaksian wanita terhadap sebagian yang lain dalam masalah hak badan, atau harta atau kehormatan, sementara tidak ada laki-laki yang dapat dijadikan saksi, maka kesaksiannya itu diterima sebelum adanya kesaksian yang lebih baik. Allah dan Rasul-Nya tidak akan menyia-nyiakan hak orang yang teraniaya dalam kondisi seperti ini. Bahkan Allah membolehkan menerima kesaksian orang kafir terhadap orang Islam ketika dalam kondisi bepergian dimana kesaksian itu dalam hal wasiat, di akhir sebuah ayat yang diturunkan.

*Ibid, him. 21. Ayat tentang hal tersebut sama sekali tidak dinasakh, baik oleh ayat yang/lain

atau oleh sunnah atau ijma’ ulama dan tidak ada hukum syariat yang lebih sesuai dari hukum tersebut. Karena sesungguhnya syariat itu diundangkan untuk menggapai kemaslahatan ummat sesuai tempat dan kondisi mereka.

Dan setiap maslahah bagi ummat dalam menghilangkan hak-hak mereka itu akan terjadi manakala tidak hadir dua saksi laki-laki Musli- min dan merdeka dalam akad. Bahkan apabila Anda katakan: ‘Diterima kesaksian wanita, jika tidak ada yang laki-laki.’ Ditetapkan [diterima] hukum [kesaksian] seorang fasik manakala tidak ada hakim yang adil dan alim, maka bagaimana tidak diterima kesaksian wanita apabila tidak ada laki-laki di kalangan mereka, atau kesaksian seorang budak, manakala tidak ada yang merdeka serta kesaksian orang kafir, manakala tidak ada yang Muslim saat terjadinya kejadian.”5

Ini adalah Islam. Ini adalah waqi’iyyah Islam dalam berbagai bidang. Tidak membebani manusia dengan kesulitan, tidak memberikan kepada mereka keberatan dan tidak menjadikan mereka dalam kondisi ketidakmampuan. Islam berusaha naik bersama mereka, namun Islam tidak mengabaikan manakala mereka dalam kondisi menurun. Islam menghendaki mereka sehat dan kuat, namun apabila sakit, Islam senantiasa membantu dan mengobati hingga sehat seperti sediakala dan dapat bangkit kembali.

Islam adalah manhaj fitrah, manhaj Allah yang di dalamnya berde- kapan antara realita dan idealita.

208 Karakteristik Islam

Page 197: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

-'Ahmad Muhammad Mankuur, Al-Fawakilml Adidah fil Masailil Mujidah Jil Fiqhil Hanbali, jilid HI, him. 82-3.

VI AL-WUDHUH (JELAS)

Al-wudhuh (jelas) adalah salah satu karakteristik Islam, baik yang berhubungan dengan ushul dan qawa’id, atau yang berhubungan dengan mashadir (sumber hukum) dan manabi ’ (tempat pengambilan hukum), atau yang berhubungan dengan sasaran dan tujuan, atau yang berhubungan dengan manhaj dan wasilah (sarana).

Kami akan berusaha menjelaskan itu semua dengan ringkas sebagai berikut:

I. Al-Wudhuh (Kejelasan) dalam Ushul dan Qawa ’id (Dasar-dasar) Islamiyah Fenomena al-wudhuh yang pertama dalam Islam adalah bahwa ushul dan

dasar-dasar umum dalam Islam itu jelas dan gamblang (nyata). Ini bukan hanya untuk para pemimpin dan pakar pemikir saja. juga bukan khusus untuk para mutsaqqafiin (yang berwawasan luas) saja, akan tetapi kejelasan ini untuk semua kaum Muslimin di mana pun berada. Kejelasan itu menyangkut ushul (asas-asas) akidah, syiar-syiar ibadat, po- kok-pokok keutamaan akhlak dan hukum-hukum syariat.

, Kejelasan Asas-asas Akidah Kejelasan asas-asas akidah pada dienul Islam ini terlihat dalam hal iman

kepada Allah dan risalah-Nya serta beriman kepada dantl akhirah (kehidupan kampung akhirat).

a. - .ruddah Tauhid. Tauhidullah — yang mempakan kunci semua asas — adalah prinsip utama

yang telah dipahami oleh setiap Muslim, dari jenis dan wama ku- lit apa pun, serta status sosial manapun. Telah diketahui dari kalimat tau- hid — Laa ilaha illallah — bahwa tidak ada tempat untuk menuhankan manusia atau batu [benda] dalam Islam, baik yang ada di bumi maupun di langit. Oleh karena itu, risalah Muhammad yang disampaikan kepada raja-raja dan pemimpin bumi adalah:

“Marilah berpegang kepada satu kalimdt yang tidak ada perselisih- an antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali hanya Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (Q.s. Ali Imran: 64).

Sesungguhnya masalah dualisme daiam uluhiyahf seperti tuhan kebaikan dan cahaya, tuhan kejelekan dan kegelapan, juga masalah Trinitas dalam paganisme tempo dulu atau dalam agama Nasrani (Tuhan bapak, anak dan ruhul kudus), tidak

Al-lVaqi’iyyah 209

Page 198: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

akan mampu memberikan kejelasan kepada para penganutnya. Karenanya, ideologi semacam ini lantas bertumpu pada doktrin "Percayalah meski Anda tidak tahu" atau "Pejamkan matamu, kemudian ikuti aku".

Berbeda dengan tauhid, maka dia bertumpu pada akal dan bersifat argumentatif. Al-Qur’an berkata kepada kaum musyrikin: “Apakah di samping Allah ada tuhan yang lain? Katakan (Muhammad), ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu, ji ka kamu memang orang-orang yang benar’.” (Q.s. An-Naml: 64).

Al-Qur’an juga memberikan argumentasi tentang wahdanitullah, sebagaimana firman Allah: “Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) akan rusak binasa. ” (Q.s. An-Naml: 22).

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing- masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Q.s. Al-Mu’- minun: 91).

Tauhid pada prinsipnya adalah masalah yang jelas dan gamblang dalam setiap benak seorang Muslim dan argumentasinya juga jelas dalam akal pikirannya. Sebagaimana pengaruhnya juga jelas dalam kehidupan- nya. Bagaimana tidak? Sedangkan ia menyambut kehidupan ini dengan tauhid di kedua telinganya ketika lahir. Begitu pula setiap Muslim saat hendak meninggalkan dunia juga diiringi dengan tauhid, sebagaimana di- sunnahkan untuk menalqin ketika sakaratul maut dengan kalimat Laa ilaha illallah.

210 Karakteristik Islam

Page 199: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

b. Akidah Jaza ’ Ukhrawi (Balasan Akhirat). Dalam Islam ada ideologi beriman pada jaza ’ (balasan) di hari akhir.

Bahwa kehidupan dunia ini adalah ladang bagi kehidupan akhirat. Dunia adalah kampung kesedihan dan kenikmatan sampai batas waktu tertentu, sedang akhirat adalah kampung baka dan juga pembalasan. Di akhirat akan dibalas setiap jiwa atas apa yang diusahakan dan akan diberi imbal- an dari apa yang diperbuat.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya dan barangsiapa yang mengerjakan kejelekan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (Q.s. Az-Zalzalah: 7-8).

Beriman bahwa ada tempat untuk memberi pahala atas orang-orang yang baik. Di tempat itu ada kenikmatan material dan spiritual yang tidak pemah dilihat oleh mata, tidak pemah didengar oleh telinga dan tidak per- nah terlintas dalam benak seseorang.

“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. ” (Q.s. As-Sajdah: 17).

Begitu pula ada tempat lain untuk menyiksa para pembuat dosa (pen- dosa). Di sana ada siksaan fisik dan mental yang tidak ada orang tahu kadamya selain Allah. Tempat ini adalah neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir. Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman akan adanya neraka ini:

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaga- nya para malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.s. At-Tahrim: 6).

Ini berarti bahwa tempat kembali setiap insan tidak di tangan dukun atau pendeta. Namun upaya meraih tempat kembali itu adalah atas usaha mereka sendiri, akan disaksikan oleh lembaran-lembaran amalnya dan diadili oleh mizannya masing-masing.

“Barangsiapa yang berat mizannya, maka mereka itulah orang- orang yang beroleh keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan mizannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri. Mereka kekal di dalam neraka Jahannam." (Q.s. Al-Mu’minun: 102-3).

Iman semacam ini adalah kategori iman yang asasi dan bukanlah menjadi rahasia lagi bagi setiap Muslim di Barat dan di Timur.

c. Iman kepada Risalah Langit. Iman di sini adalah iman kepada seluruh risalah langit, iman kepada apa yang

diturunkan oleh Allah dari kitab-kitab-Nya dan kepada para Rasul yang diutus-Nya. Mereka itulah yang memberikan hidayat pada al- haq, mengajak pada Al-Wudtiuh 211

Page 200: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kebaikan, menggandeng segenap tangan manusia menuju Allah, menunjukkan jalan menuju ridha-Nya. Meletakkan dasar- dasar keadilan dan tonggak-tonggak perilaku agar jelas tujuan yang hendak mereka capai dan terang-benderang jalan yang hendak mereka lalui. Sehingga tidak seorang pun yang dapat beralasan manakala tersesat dan menyeleweng.

“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya Rasul-rasul itu.” (Q.s. An-Nisa’: 165).

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasu! denganmembawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alki- tab dan mizan supaya mereka dapat melaksanakan keadilan. ” (Q.s. Al- Hadid: 25).

Allah telah mengutus di setiap ummat seorang Rasul pemberi petun- juk. Rasul-rasul itu diakhiri oleh Rasulullah saw. untuk menyempuma- kan akhlak yang mulia dan menjadikan ummat ini sebagai khairu ummah (ummat terakhir). Risalah beliau ini mempunyai karakteristik universal, abadi dan sesuai untuk setiap tempat dan waktu (fleksibel). Allah me- nurunkan kepada beliau sebuah kitab yang memuat tentang kebatilan di dalamnya. Ini adalah asas ketiga yang tidak ada keraguan dan perselisih- an di dalamnya.

Iman dengan Rasul-rasul Allah semuanya merupakan salah satu ru- kun dalam akidah Islamiyah yang setiap Muslim mengetahuinya. Demikian pula dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya dan hari akhir.

Masalah nubuwwat (kenabian) dan risalah merupakan masalah yang jelas dalam benak setiap Muslim. Masalah nubuwwat berbeda dengan masalah rububiyah dan uluhiyah. Rasul-rasul itu hanyalah manusia biasa seperti kita, hanya saja Allah memberi keistimewaan kepada mereka berupa wahyu.

“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul dan ibunya adalah o- rang yang sangat jujur, keduanya biasa memakan makanan.” (Q.s. Al- Maidah: 75).

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad).” (Q.s. Ali Imran: 144).

“Rasul-rasul itu berkata kepada mereka: ‘Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami untuk mendatangkan suatu bukti kepada kamu, melainkan dengan izin Allah.” (Q.s. Ibrahim: 11).

Kejelasan dalam akidah Islamiyah yang berkenaan dengan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad saw. ini bertolak belakang dengan ke- tidakjelasan dan kerancuan dalam ideologi yang lain. Contoh untuk itu adalah agama Nasrani yang hingga kini belum jelas di mata para pe- ngikutnya, tentang siapakah Al-Masih itu sebenamya. Hingga mereka mengadakan berbagai macam bentuk kajian

212 Karakteristik Islam

Page 201: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

untuk membahas hakikat Al- Masih. Apakah dia itu Tuhan? Ataukah anak Tuhan? Ataukah manusia biasa? Ataukah manusia yang mempunyai sifat-sifat ketuhanan? Ataukah dia itu bagian dari tiga kesatuan yang membentuk Tuhan, yakni ba- pak, anak dan ruh kudus? Ruh kudus itu sendiri masih diperdebatkan tentang hubungannya dengan kedua bagian yang lain. Demikian pula bunda Mariam [Maria dalam sebutan Nasrani] yang melahirkan Isa juga dipersengketakan, siapa dia sebenamya. Bagaimana posisinya dalam kemanusiaan dan ketuhanan?

Selumh pertanyaan di atas menjadi medan penelitian, perdebatan, perselisihan dan perpecahan, dimana dari pertanyaan-pertanyaan itu muncul firqah-firqah dan golongan-golongan yang salingmengafirkan antara yang satu dengan lainnya dan saling mencela. Sehingga pada akhirnya golongan-golongan itu tidak ubahnya seperti agama-agama yang saling berjauhan, dan tidak mungkin disatukan.

Kejelasan Syiar-syiar Ibadal Di antara fenomena al-wudhuh dalam Islam ialah bahwa aspek-as- pek

operasionalnya dan syiar-syiar ibadatnya jelas bagi siapa saja, baik secara khusus kepada seseorang maupun umum. Hampir setiap Mus-

Al-lVudJiuh 213

Page 202: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Dibangun Islam itu di atas lima perkara: Syahadat, bahwa tidak 'ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Bait- ullah bagi yang mampu.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih).

Salat adalah kewajiban harian — yang sudah jelas bilangannya — yakni lima kali sehari semalam, telah ditentukan waktu dan jumlah ra- kaatnya, demikian pula rukun-rukunnya, yakni dimulai dengan takbiratul ihram lantas diakhiri dengan salam. Kemudian disamping yang wajib ini, ada juga yang sunnah sebagai pelengkap siang dan malam. Dalam salat disyariatkan adzan yang khusus. Disyariatkan pula salat berjamaah yang akan bertambah pahalanya setiap pertambahan jumlah [makmumnya] dalam rangka memakmurkan rumah-rumah yang di sisi Allah diizinkan untuk meninggikan dan menyebut nama-Nya.

Zakat — yang merupakan ibadat maaliyah ijtima 'iyah (ibadat yang berkenaan dengan harta dan sosial) — secara global telah diketahui oleh segenap kaum Muslimin. Zakat diambil dari orang-orang kaya, kemudian diberikan kepada fakir miskin. Zakat ini tidak wajib, kecuali setelah mencapai nisab dengan segenap ketentuan-ketentuannya, yakni dalam rangka penyucian harta dan jiwa. Wajib ditunaikan atas harta sesuai kadar pengeluarannya antara dua setengah hingga sepuluh persen. Harta itu wajib ditunaikan zakatnya setiap tahun, selain tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang harus ditunaikan zakatnya tatkala musim panen.

Puasa Ramadhan — yang merupakan kewajiban tahunan telah jelas diketahui oleh setiap Muslim. Waktunya jelas, yakni pada bulan Qamari- yah (Ramadhan) yang terbatas awal waktunya dan masa berakhimya. Waktu puasa setiap harinya juga jelas, dimulai ketika terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Jenisnya pun jelas, yakni menahan diri dari ma-

lim — hingga anak-anak pun — hafal akan sebuah hadis Nabi saw. yang sangat masyhur -dan shahih riwayatnya, yakni:

214 Karakteristik Islam

Page 203: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kan dan minum serta bersetubuh (artinya mencegah dua macam syah-wat, syahwat perut dan kemaluan).

Sopan-santun dan etika puasa juga telah jelas. Seperti menyegera- kan berbuka, mengakhiri sahur, mencegah dari perkataan yang sia-sia dan kotor, mengerjakan qiyamullail, memperbanyak taat dan berbuat baik kepada manusia.

Syiar yang keempat adalah haji. Haji — yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup — secara global telah diketahui dengan jelas oleh seluruh kaum Muslimin. Tidak satu pun di antara mereka yang tidak mengetahui rukun ini dan kedudukannya dalam agama. Tempat pelak- sanaannya adalah Makkatul Mukarramah. Seseorang yang menunaikan ibadat haji harus ihram, thawaf di Baitil Haraam, sa’i antara Shofa dan Marwa, wukuf di Arafah, mabit (menginap) di Muzdalifah dan Mina, me- lempar jumroh dan tahallul.

Syiar-syiar ibadat di atas jelas dan gamblang dalam benak setiap Muslim secara global. Kalau ingin mengetahui secara lebih detail dapat dilakukan dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, atau membaca buku-buku referensi, atau bertanya kepada ahlinya. Semua itu mudah untuk dilaksanakan.

Sebelum itu semua, setiap Muslim telah mengetahui bahwa ibadat adalah tugas pertama dan utama bagi manusia dalam hidup ini.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali supaya beribadat kepada-Ku." (Q.s. Adz-Dzariiyaat: 56).

Dan ruh dari ibadat itu adalah niat dan ikhlas, tidak sekadar meng- andalkan bentuk dan pelaksanaan (pengamalan) semata.

“Dan tiada mereka diperintahkan, kecuali supaya mereka beribadat kepada Allah dengan ikhlas beragama.” (Q.s. Al-Bayyinah: 5).

Asas-asas Moral Di antara asas-asas Islam yang jelas adalah sesuatu yang berkaitan dengan

sisi moralitas (akhlak). Maka keutamaan-keutamaan akhlak yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syariat telah jelas adanya, begitu pula amalan-amalan tercela yang dilarang dan harus dijauhi juga telah jelas.

Setiap Muslim tahu bahwa Allah memerintahkan agar berbuat adil dan ihsan terhadap kedua orangtua, sanak saudara, anak yatim, fakir miskin, tetangga dekat dan jauh, teman karib dan ibnu sabil.

Setiap Muslim mengetahui bahwa Islam akan senantiasa memberikan berkat pada keutamaan-keutamaan perilaku kejujuran, amanat (dapat dipercaya), setia, sabar, hati-hati, malu, dermawan, pemberani, lem- but, itsar (mendahulukan kepentingan saudaranya), senantiasa berta’a- wun dalam hal kebaikan dan takwa.

Setiap Muslim paham betul bahwa Allah melardng perbuatan keji, mungkar dan permusuhan. Allah swt. tidak menyukai kerusakan dan o- rang-orang yang berkhianat. Dan bahwa tanda-tanda seorang munafik adalah, apabila berbicara berdusta, berjanji lantas diingkari, dan jika dipercaya berkhianat. Juga di antara Al-Wudhuh 215

Page 204: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dosa-dosa hesar adalah makan harta riba dan harta anak yatim. Setiap Muslim juga telah memahami akan kekejian kriminalitas, yang

karenanya, Allah mewajibkan hudud sebagai hukuman bagi pela- kunya. Seperti membunuh dengan sengaja, berbuat kerusakan di muka bumi dengan cara merampok, mencuri, berzina, menuduh berbuat zina dan minum minuman keras.

Jauh sebelum itu semua, setiap Muslim telah mengetahui nilai unsur moral dalam kehidupan dan kedudukannya di dalam Islam. Sehingga segala amal ibadat semuanya bertujuan dan mengacu pada nilai-nilai moral. Salat bertujuan mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Zakat dikumpulkan dari para hartawan yang bertujuan untuk menyucikan dan membersihkan jiwa mereka. Puasa sebagai tarbiyah dalam rangka me- ngendalikan keinginan dan mengajarkan kesabaran, "supaya kamu sekalian bertakwa,” (Q.s. Al-Baqarah: 183). Dan haji sebagai pelatihan kesabaran dan pengorbanan.

Sedemikian hingga Rasulullah saw. diutus untuk mendeklarasikan urgensi akhlak dalam risalah beliau. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempumakan akhlak yang terpuji. ”

Kejelasan Adab (Etika/Tata Krama) Seiring dengan akhlak, maka dalam Islam juga jelas tentang aturan adabnya,

seperti adab makan dan minum, tidur dan bangun dari tidur, berpakaian dan berhias, duduk, berjalan, berkunjung dan minta izin, ber- jumpa dan memberi penghormatan, berbicara dan lain sebagainya. Asas- asas dan etika-etika dasar dari adab-adab ini semuanya telah jelas dan dipahami.

Setiap Muslim memahami bahwa ketika makan disunnahkan meng- gunakan tangan kanan, dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah. Begitu pula ketika hendak tidur, harus diawali dengan dzikrul- lah dan ketika bangun pun harus diikuti dengan dzikrullah.

Seorang laki-laki tidak diperkenankan memakai sutra dan berpakai- an seperti layaknya pakaian wanita. Begitu pula wanita, tidak boleh memakai pakaian sebagaimana pakaian laki-laki. Dari sini antara dua laki- laki Muslim misalnya, akan mudah diketahui jenis (jatidiri) mereka tanpa harus menyebutkan bahwa dia laki-laki Sementara itu kaum non-Muslim akan mudah mengenali identitas kaum Muslimin pada awal jumpa dengan hanya mendengarkan ucapan salam, Assalaamu’alaikum, atau ketika makan dengan tangan kanan, atau ketika bersin mengucapkan hamdalah, atau tata krama lainnya yang menunjukkan identitas kepribadian Muslim.

Kejelasan Syariat Islam Di antara fenomena al-wudhuh dalam Islam adalah kejelasan syariat dan

perundang-undangannya, yakni asas-asas yang qath'i dari Syariat tadi. Baik yang berkenaan dengan individu, keluarga atau sosial kema- syarakatan.

Setiap Muslim mengetahui dengan jelas bahwa Islam mengharam- kan makan

216 Karakteristik Islam

Page 205: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

bangkai, darah, daging babi dan segala sesuatu yang disembe- lih bukan atas nama Allah. Sebagaimana Islam juga mengharamkan minum khamr dan bermain judi.

Setiap Muslim paham bahwa tidak halal baginya menikahi ibu, anak. salah satu mahramnya atau saudara sepersusuan atau kemenakan.

Setiap Muslim mengetahui bahwa dihalalkan baginya talak atau rujuk dua kali. Kemudian tidak diperkenankan baginya untuk melakukannya yang ketiga kali, kecuali setelah dinikahi orang lain. Dan setiap wanita harus menunggu masa iddah apabila berpisah dengan suaminya. baik karena talak atau kematian.

Setiap Muslim mengetahui bahwa Allah telah menghalalkanjual-beli dan mengharamkan riba. Allah telah mensyariatkan qishash bagi pembu- nuh dengan sengaja. Sebagaimana Allah juga mensyariatkan hudud dan hukuman setimpal terhadap praktek-praktek kriminal v ang telah jelas ke- beradaamiya. Seperti mencuri, zina, menuduh berzina. mabuk dan me- rampok.

Setiap Muslim mengetahui bahwa memerdekakan bumi Islam dari cengkeraman musuh adalah wajib hukumnya. A mar bil ma 'rufnahi anil mungkar wajib, dan barangsiapa yang berhukum dengan selain dari yang diturunkan Allah, maka dia itu berpredikat kafir, zalim dan fasik.

II. Kejelasan Sumber-sumber Hukumnya ', Di antara fenomena al-wudhuh dalam sistem Islam adalah bahwa sistem

Islam mempunyai mashadir (sumber-sumber hukum) jelas yang dari sana, diambil falsafah nadhariyah (kajianteoritis) dan tasyri’ opera- sionalnya.

Sumber hukum pertama adalah Kitabullah, Al-Qur’an yang “ayat- ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan dengan rinci yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. ” (Q.s. Hud: 1).

Di antara karakteristik Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an itu adalah ki- tabum mubiin (kitab yang jelas), sehingga Sang Penurun Al-Qur’an yakni Allah swt. menamakannya nur (cahaya), petunjuk bagi manusia, /W- qan (pembeda), burhaan (bukti nyata), bayyinah (kejelasan) dan nama- nama lainnya.

Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu nur (cahaya) yang

terang-benderang. ’’ (Q.s. An-Nisa’: 174). Allah berfirman kepada Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani): “Telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang mene- rangkan.

Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengi- kuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan mereka dari dhulumaat (jalan yang gelap gulita) kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lums.” (Q.s. Al-Maidah: 15-6).

Allah juga berfirman kepada Rasulullah saw, yang atas diri beliau diturunkan Al-Qur’an: “Dan Kami turun kan kepadamu Alkitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabargembira bagi Al-Hudhiih 217

Page 206: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

orang-orangyangberserah diri. ” (Q.s. An-Nahl: 89). Apabila dalam kitab ini (Al-Qur’an) terdapat ayat-ayat mutasya- bihat yang

mengandung pemahaman lebih dari satu, hal ini disebabkan tabiat bahasa itu sendiri. Jika terdapat keragaman dilalah (hal-hal yang ditunjuk) oleh kata antara hakikat dan kiasan dengan segala macamnya, juga karena aksiomatika tabiat kemanusiaan yang menuntut adanya keragaman pemahaman dan istimbath. Atau memang karena Islam me-

218 Karakteristik Islam

Page 207: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

nganjurkan untuk berijtihad, asalkan tidak sampai mengarah pada per- pecahan dan ta’ashshub ... sesungguhnya ayat-ayat yang demikian itu tidak banyak dibanding ayat-ayat muhkamat yang sudah jelas dilalah (petunjuk) dan keqath’iannya.

Oleh karena itu, ayat-ayat muhkamat tersebut dalam Al-Qur’an disebut "ummul kitab" yang artinya adalah asal atau induk Al-Qur’an. Ke sanalah dikembalikan semua ayat-ayat mutasyabihat, hingga ayat yang satu dengan lainnya saling menjelaskan dan bukannya saling bertentangan, sebagaimana kehendak mereka-mereka yang senantiasa ingin menak- wil yang mutasyabihat tadi karena mengharap terjadinya fitnah.

Dan di antara nikmat Allah adalah bahwa tidak ada satu pun di dunia ini kitab suci yang pemahaman dan tafsimya dibahas oleh berbagai di- siplin ilmu di segala penjuru dunia dengan berbagai wawasan pemikiran, kecuali Al-Qur’an.

Adapun sumber hukum kedua adalah Sunnah Rasulullah saw. Yang dimaksud dengan Sunnah di sini adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. baik berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan beliau. Sunnah adalah penjelasan teoritis dan realisasi operasional dari Al-Qur’an. Maka tafsir Kitab Allah yang paling jelas tertera dalam sirah (perjalanan hidup) Rasulullah saw, hingga Anda dapat mengatakan bahwa "Rasulullah itu Al-Qur’an berjalan". Aisyah r.a berkata berkenaan dengan masalah ini, bahwa Rasulullah akhlaknya adalah Al-Qur’an.

Cukuplah bagi kita untuk masalah ini bercermin kepada firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu (Muhammad) menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.s. An-Nahl: 44).

Juga firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suriteladan yang baik

bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan ke- datangan hari Kiamat dan dia banyak dzikrullah. ” (Q.s. Al-Ahzab: 21).

Dan yang berhubungan dengan Sunnah Rasulullah ini adalah sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelah periode Rasulullah saw. Merekalah yang tumbuh dan tertarbiyah dalam bilik nubuw- wat dan berjalan dalam naungan risalah. Kehidupan mereka tidak ubah- nya seperti perpanjangan dari kehidupan Rasul dan maha guru mereka. Maka apa yang mereka sabdakan, yang semua sahabat bersepakat dan tidak mengingkari, itulah sunnah yang harus pula diikuti.

Rasulullah saw. bersabda: “Kamu sekalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidinyang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah erat-erat dengan gigi gerahammu Ipeganglah kuat-kuat].”

Selain yang tertera di atas tadi, maka setiap orang dapat diikuti (di- pakai) ucapannya atau ditinggalkan. Tidak ada istilah ma’shum bagi muj- tahid, meski tinggi nilai ilmu dan takwanya. Artinya, dia mungkin benar dan dapat juga salah, Al-Wttdhuh 219

Page 208: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tetapi tetap mendapatkan pahala. Jika benar ijti- hadnya, akan mendapat dua pahala, sedangkan kalau salah akan mendapatkan satu pahala. Al-Qur’an telah menjelaskan masalah ini, perihal ketetapan hukum yang dilakukan oleh Daud a.s. dan Sulaiman a.s. dalam masalah kambing.

“Maka Kami telah memberikan kepahaman kepada Sulaiman ten- tang hukum yang lebih tepat dan kepada masing-masing mereka (Daud dan Sulaiman) Kami berikan hikmah dan ilmu. ” (Q.s. Al-Anbiya’: 79).

Di sini Allah mengkhususkan pemberian pemahaman kepada salah satu di antara mereka (Sulaiman a.s.) dan memberikan hikmah dan ilmu kepadanya.

III. Kejelasan dalam Hal Sasaran dan Tujuan Di antara fenomena al-wudhuh dalam sistem Islam ialah kejelasan dalam

sasaran dan tujuan. Ghayah (tujuan final) Islam semuanya telah jelas dan nyata di depan pelupuk mata setiap Muslim. Cukuplah baginya untuk ayat ini, dimana di dalamnya secara global dijelaskan tentang tujuan mulia dari dienul Islam.

Allah berfirman: “(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu

mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya yang terang- benderang dengan izin Tuhan mereka, menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Q.s. Ibrahim: 1).

Tujuan Al-Islam secara global adalah: mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya. Dhulumat (gelap-gulita) di sini dapat Anda tafsirkan dengan kebodohan atau kesyirikan atau keraguan dan kezaliman, mungkin juga berarti kedengkian dan lain-lain. Semua itu adalah gelap-gulita; gelap-gulita terhadap jiwa dan kehidupan. Dapat juga Anda tafsirkan cahaya itu dengan ilmu, tauhid, keyakinan, keadilan, cinta kasih dan lain-lain. Semua ini adalah cahaya yang menerangi jiwa dan kehidupan.

Allah telah memberikan rahmat kepada sahabat Rib’i bin Amir r.a, seorang Muslim yang paham betul akan tujuan mulia ini dan beliau serap dalam benak kemudian dipantulkannya dalam bentuk kata-kata di depan panglima perang Persia yang bemama Rustum. Maka beliau sampaikan hal itu dengan penuh keyakinan dan percaya diri.

Ketika Rustum bertanya: "Siapakah Anda?" Rib’i menjawab. "Kami adalah kaum yang diutus oleh Allah untuk

mengeluarkan siapa yang mau di antara hamba-hamba-Nya dari bentuk penyembahan kepada sesama menuju penyembahan kepada Allah se- mata. Dari sempitnya kehidupan dunia menuju keluasan dan dari keti- dakadilan agama-agama menuju keadilan Islam."

Sehingga cukuplah bagi seorang Muslim untuk memahami agama- nya agar tahu bahwa agama (Islam) ini bertujuan untuk pembentukan in- san saleh, keluarga dan ummat salehat.

220 Karakteristik Islam

Page 209: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Pembentukan Insan Saleh Setiap insan adalah batu-bata pembentuk bangunan sosial secara ke-

seluruhan. Oleh karena itu, perhatian Islam sangat tertuju kepadanya dalam setiap fase-fase kehidupannya dan tidak segan-segan memberi tasyri' (aturan hukum) dan taujih (pengarahan) mengingat individu (setiap insan) itu merupakan asas usroh (keluarga) dan mujiama' (masyarakat).

Apabila individu-individu ini baik, maka usroh akan baik dan bila usroh baik, maka jamaah dan ummat akan baik pula.

Kebaikan dan kelayakan individu dalam persepsi Islam tidak mungkin akan mencapai kesempumaan, kecuali dengan empat hal. Dimana keempat hal tersebut oleh Al-Qur'an disebut sebagai syarat-svarat menuju keselamatan dari penycsalan dan kehancuran di dunia dan akhirat. Empat hal ini tertera dalam sebuah surat pendek yang telah dihafal oleh kaum usia lanjut dan generasi mudanya, yang berilmu maupun yang awam. Surat itu adalah Surat Al-’Ashr, dimana dalam surat tersebut Allah swt. berfirman:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh. serta nasihat-menasihati dengan kebenaran (al-haq) dan kesabaran.” (Q.s. Al-’Ashr: 1-3).

Syarat pertama bagi kebaikan dan kelayakan individu — vang men- cerminkan keseluruhan asas bangunan — adalah iman. Imanlah yang me- luruskan persepsi manusia tentang hakikat dirinya. alam raya. kehidupan serta tentang Rabb yang mengatur atas keseluruhannya itu. Persepsi ten- tang masalah ini jika keliru, maka akan rusak seluruh rangkaian kehidupan yang bertendensi pula pada kerusakan amal perbuatan, etika dan hubungan sosial kemasyarakatan.

Kebenaran persepsi ini akan mendeftnisikan kepada manusia tentang misteri keberadaan dan tujuan hidupnya. Dengan begitu ia yakin bahwa dirinya bukanlah benda yang naif tiada berguna, bukan pula seperti angin yang berhembus kemudian sima. Tetapi, dia adalah makhluk yang dimuliakan yang hidup dengan sebuah tujuan besar, yakni khilafah dunia dan menuju keridhaan serta surga Allah di akhirat.

Syarat kedua adalah amal saleh. Amal saleh ini merupakan bua dari iman. Iman bukanlah sekadar sebuah endapan pemikiran atau lu >an emosional. Namun iman adalah hakikat gabungan dari ma ’rifat (pe je- tahuan), emosi dan keinginan serta kehendak yang mendorong man ;ia untuk melakukan amal kebajikan dan menjauhi kemaksiatan.

Al-Qur’an tidak membatasi amal saleh itu dengan bentuk amal tentu. Akan tetapi, dibiarkan begitu saja agar amal yang dimaksud , dapat mencakup seluruh amal yang memberikan kemaslahatan I- ;i manusia baik secara fisik maupun psikis, individu atau kelompok. S i itu juga yang mencakup seluruh amal yang membawa kemaslahatr bagi kehidupan, material maupun spiritual. Peradaban maupun mo' Al-H’udhuh 221

Page 210: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dari segenap perbuatan yang menyangkut ibadat, muamalat, adab d perilaku. Syarat ketiga adalah saling menasihati dalam hal kebenaran. Bentuk kata

"saling menasihati" menunjukkan interaksi dari dua belah pihak. Arti- nya, seorang Muslim harus mau menasihati yang lainnya dengan kebenaran, disamping itu ia pun mau menerima nasihat dari orang lain yang juga dengan konteks kebenaran. Ini memberikan gambaran kepada kita bahwa seorang Mukmin tidak mungkin hidup, kecuali dalam satu mujtama’ yang dapat memberi dan menerima. Gambaran seorang Mukmin bukanlah seperti biara yang menyendiri dalam pagoda, bukan pula seperti pertapa yang bersemedi dalam gua.

Dari sini, seorang Muslim dalam pandangan Al-Qur’an tidak cukup hanya baik bagi dirinya sendiri, benar akidahnya dan baik ibadatnya. Lantas membiarkan al-haq terbantai, kebatilan mendominasi, yang ma’- ruf tersingkir, sementara yang mungkar berkuasa. Dia tidak mau meng- gerakkan yang diam dan enggan berbicara memperbaiki keadaan.

222 Karakteristik Islam

Page 211: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Seorang Muslim harus hidup sebagai tentara bagi al-haq. Beriman pada al-haq tadi, mencintai, membela dan berdakwah di jalan-Nya. Syarat ketiga ini merupakan asas kewajiban amar bil ma 'ruf dan net hi anil mungkar dalam Islam.

Syarat keempat adalah saling menasihati dengan kesabaran. Orang yang mengemban risalah al-haq pasti membutuhkan kesabaran. Dengan kesabaran tersebut dia menasihati kepada diri sendiri dan orang lain. Maka, barangsiapa yang beriman seperti imannya para pejuang al-haq, niscaya dia pasti akan memantapkan dirinya untuk senantiasa bersabar. Karena itulah, Luqman Al-Hakim berkata kepada putranya:

“Hai anakku, dirikanlah salat, suruhlah manusia berbuat yang ma’- ruf, cegahlah mereka berbuat yang mungkar dan bersabarlah atas apa yangmenimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Q.s. Luqman: 17).

Keempat hal ini — yang merupakan syarat perbaikan individu —jelas adanya sebagaimana jelas dan gamblangnya Surat Al-’Ashr bagi setiap Muslim.

Dengan demikian, seorang insan yang saleh dalam pandangan Islam bukanlah orang yang menyendiri bertapa, memakmurkan akhirat dengan kehancuran dunia. Akan tetapi, insan Muslim yang saleh adalah yang mampu mengemban risalah dua kehidupan sekaligus [dunia dan akhirat] dan berusaha mencari kebaikan dari keduanya.

“Wahai Rabb kami anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat serta jauhkanlah kami dari siksa neraka.” (Q.s. Al-Baqarah: 201).

Sehingga, barangsiapa lebih mementingkan akhirat saja, tidak me- menuhi kewajiban dunianya, padahal Allah telah menjadikannya khalifah di bumi dan memerintahkan untuk memakniurkannya (“Sesungguhnya Aku jadikan dia khalifah di bumi.” Q.s. Al-Baqarah: 30); (“Dia-lah yang menumbuhkan kamu sekalian dari bumi dan menjadikan kamu pe- makmurnya.” Q.s. Huud: 61), maka dia telah menyalahgunakan dunia dan berbuat zalim terhadap diri sendiri dalam perkara keduniaannya. Dalam hadis dikatakan: “Sesungguhnya bagi badanmu ada hak yang harus engkau tunaikan dan bagi keluargamujuga ada hak yang harus engkau tun ai kan.”

Allah berfirman: “Katakanlah, ‘Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah

dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik’?” (Q.s. Al-A’raf: 32).

Namun, barangsiapa yang menjadikan dunia di luar batas pengeta- huannya, sebesar-besar keinginannya, kunci dari semua pemikiran, perasaan dan perilaku, maka dia telah berbuat zalim terhadap akhiratnya. Lalai akan tempat kembalinya, bahkan terhadap rahasia keberadaannya di bumi. Maha benar finnan Allah: “Adapun orang-orang yang melam- paui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (Q.s. An-Al-IVudhuh 223

Page 212: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Nazi’aat: 37-9). Karenanya, kita melihat bahwa sasaran-sasaran yang hendak dica- pai

manusia berbeda-beda bergantung pada apa yang menjadikan penu- runan derajatnya dengan syahwat dunianya atau meningkat derajatnya dengan karakteristik kemanusiaannya yang tinggi.

Kalau manusia dibiarkan memenuhi keinginan syahwatnya, tentu ia akan turun ke derajat binatang temak atau tersesat di jalan. Dari sini fung- si agama adalah menaikkan manusia sampai ke ufuk ketinggian malaikat dan mencapai ketinggian — dengan jembatan takwa — surga di haribaan Sang Raja diraja Yang Maha Kuasa. Dan ridha Allah itu lebih besar.

Allah swt. berfirman: “Dihiasi manusia itu kecintaan kepada apa-apa yang diingini dari wanita-

wanita, anak-anak, harta-benda yang banyak dati jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang temak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?' Bagi orang-orang yang bertakwa pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang di- sucikan serta mendapat keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. ” (Q.s. Ali Imran: 14-5).

Pembentukan Usroh (Keluarga) Salehat Demikian pula Islam bertujuan membentuk usroh (keluarga) salehat yang

sejahtera. Usroh salehat adalah sebuah lembaga yang bemaung di bawahnya nilai-nilai yang oleh Al-Qur’an dijadikan sebagai target pen- capaian kehidupan rumah tangga, yakni sakinah, mawaddah dan rahmat. Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu supaya kamu merasakan sakinah, dan dijadikan di antara kamu rasa mawaddah dan rahmat.” (Q.s. Ar-Ruum: 21).

Dan di dalam menggambarkan hubungan suami-istri, Allah berfirman: “Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kamu sekalian, dan kamu sekalian adalah pakaian bagi mereka (para istri).” (Q.s. Al-Baqarah: 187). Kata-kata "pakaian" di sini mengandung arti penjagaan, penu- tup, perhiasan, penghangat, kedekatan dan saling bersentuhan satu dengan yang lain.

Usroh salehat bertumpu pada nilai-nilai berikut: (1) Pemikahan hams berdasarkan saling ridha tanpa adanya tekanan dan paksaan

serta tanpa ada unsur menipu dari satu pihak ke pihak yang lain. (2) Saling merealisasikan hak dan kewajiban antara suami-istri dengan ma’ruf

(cara yang baik). “Dan para wanita (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya dengan cara yang ma’ruf. ” (Q.s. Al-Baqarah: 228). (3) Diwajibkan ber-mu ’asyarah (bergaul) dengan cara yang baik, khu- susnya di

224 Karakteristik Islam

Page 213: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

saat salah satu pihak merasakan adanya ketidaksukaan dan kejenuhan. Allah berfirman: “Dan bergaullah kamu sekalian dengan mereka (para istri) dengan

ma’ruf. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebajikan yang banyak. ” (Q.s. An-Nisa’: 19).

(4) Suami harus mengemban amanat qawamah (kepemimpinan), ofi- sial dan pengemban tanggung jawab terhadap usroh.

“Dan bagi kaum laki-laki (para suami) mempunyai tingkatan kelebihan dibanding istri-istrinya." (Q.s. Al-Baqarah: 228).

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (kaum laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka." (Q.s. An-Nisa’: 34).

(5) Istri hams mengemban amanat memimpin dan bertanggung jawab terhadap rumah dan apa yang ada di dalamnya.

“Setiap kamu adalah penggembala dan setiap kamu akan di- mintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya ... seorang laki-laki adalah penggembala anggota keluarganya, maka dia bertanggung jawab terhadap apa yang digembalakannya tadi, seorang wanita (istri) pemelihara rumah suaminya, maka dia pun harus bertanggung jawab terhadapnya." (H.r. Muttafaq ‘Alaih).

(6) Dari pihak ibu-bapak diwajibkan menarbiyah dan memelihara anak dan berbuat adil di antara mereka.

Nabi saw. bersabda: “Semoga Allah memberi rahmat seorang bapak yang membantu anaknya berbuat baik kepadanya.”

“Bertakwalah kamu sekalian dan berbuat adillah kepada anak- anakmu. ”

(7) Diwajibkan birml walidain dan berbuat ihsan kepada orangtua, khu- susnya ibu.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Q.s. Luqman: 14).

Pembentukan Mujtama’ (Masyarakat) yang Saleh Islam juga bertujuan membentuk masyarakat yang saleh, sebagaimana

pembentukan individu (insan) dan usroh (keluarga). Keduanya (pembentukan individu dan keluarga) merupakan asas yang kokoh untuk kebaikan dalam rangka terciptanya masyarakat yang didambakan. Al-Wudhuh 225

Page 214: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Mujtama ' (masyarakat) yang saleh adalah mujtama' yang berhasil mempertautkan antara individu-individu dan usroh-usrohnya dengan ni- lai-nilai Islam yang tinggi dan dasar-dasar pemikiran yang handal serta menjadikannya sebagai risalah kehidupan dan kunci keberadaannya. Nilai-nilai Islami terpenting dalam hal ini adalah:

Pertama, berkumpul dan berkelompok atas dasar akidah. Mujtama’ Islam bukanlah masyarakat nasionalis dan rasialis. Masyarakat Islam adalah masyarakat ideologis, fikrah dan akidah; akidahnya adalah Islam. Maka, Islam adalah asas ideologis bagi masyarakat.

Mungkin anggota masyarakat Islam ini berasal dari jenis dan suku yang beraneka ragam, warna kulit dan bahasa yang berbeda atau status sosial yang bermacam-macam. Namun keragaman ini semuanya larut dan kemudian mengkristal di dalam kesatuan akidah, di dalam panji Laa ilaha illallah Muhammadurrasulullah, mengkristal di dalam nilai-nilai iman yang semuanya terkumpul dalam naungan ukhuwah.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. ” (Q.s. Al-Hujuraat: 10).

Apabila kita hendak menyifati masyarakat ini dengan sebuah karakteristik yang tersendiri dan berbeda dengan yang lainnya, maka kita tidak akan mendapatkan sebuah karakter yang pas. Kecuali kita akan mengatakan bahwa masyarakat itu adalah "mujtama’ Mukmin" atau mujta- ma’nya kaum beriman.

Mereka itulah yang disifati oleh Allah di dalam awal-awal Surat Al- Baqarah dengan firman-Nya:

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat dan menajkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul sebelum kamu serta merekayakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapatkan petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung(Q.s. Al-Baqarah: 3-5).

Iman Islami bukanlah sekadar slogan atau pengakuan serta fanatisme kepada orang lain. Akan tetapi, iman yang benar adalah sebuah hakikat yang terpatri dalam jiwa, teraplikasi lewat perilaku dan dibuktikan dengan amal-amal yang positif.

Dari sinilah Islam juga memperhatikan nilai yang lain dari nilai-nilai yang dijadikan sebagai tumpuan sebuah masyarakat Muslim, dimana nilai itu oleh Islam harus dapat terealisasi.

Kedua, menghargai, bahkan menganggap suci amal saleh. Baik amal saleh itu berbentuk amal ritual keagamaan seperti salat, puasa, zakat, haji, dzikir, tilawah dan doa. Atau amal-amal yang bersifat keduniaan seperti berusaha mencari rezeki, memakmurkan bumi, berbuat baik kepada manusia. Ini semuanya adalah sebuah

226 Karakteristik Islam

Page 215: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hal yang aksiomatik, yang oleh Al-Qur’an dikategorikan sebagai rukun agama bersamaan dengan iman kepada Allah dan hari akhir.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Nasrani, dan orang- orang

Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.s. Al-Baqarah: 62).

Al-Qur’an meletakkan secara bersamaan antara iman dan amal saleh di banyak tempat, lebih dari tujuh puluh ayat, seperti finnan Allah:

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Q.s. Al-Kahfi: 30).

Tidaklah dipungkiri bahwa menegakkan syiar-syiar Allah serta melaksanakan fardhu-fardhu-Nya seperti menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah adalah yang pertama dan asasi dari realisasi amal saleh. Maka, tidak ada sebuah amal saleh yang tersaleh bagi makhluk, selain berma'rifat kepada Sang Khalik, beribadat kepada Rabbnya, ikhlas, syukur atas nikmat dan setia menepati hak-hak rububiyah-Nya.

Ketiga, berdakwah pada kebaikan, amar ma ’ruf nahi anil mungkar adalah landasan dasar yang jelas dalam agama Islam ini. Dalam pandangan Islam tidak cukup bila seseorang itu saleh bagi diri sendiri saja, dan membiarkan kerusakan melanda orang lain. Muslim yang saleh adalah yang berusaha memperbaiki dirinya, lalu berusaha memperbaiki orang lain dengan dakwah, memerintah dan melarang. Sebagaimana firman Allah:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang me- nyeru pada kebaikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.s. Ali Imran: 104).

Dengan karakteristik ini ummat Islam lebih unggul dibandingkan ummat-ummat yang lain: “Kamu sekalian adalah sebaik-baik ummat yang dilahirkan untuk manusia, untuk menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah.” (Q.s. Ali Imran: 110).

Dari sini Al-Qur’an mencatat bahwa Allah melaknat bani Israil — melalui lisan Daud a.s. dan Isa a.s. — karena sikap diam (kepasifan) mereka ketika melihat kemungkaran dan tiada upaya untuk mencegahnya.

“Telah dilaknati grang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka dur- haka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak berusaha melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa-apa yang telah mereka perbuat itu.” (Q.s. Al- Maidah: 78-9).

Keempat, jihad fii sabilillah. Ini berfungsi sebagai penjaga palang pintu al-Al-Wudhuh 227

Page 216: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

haq, alat penegas kebaikan, sebagai jaminan keamanan dari ke- langsungan dakwah Islamiyah, pencegah fitnah, benteng kebajikan, mem-

228 Karakteristik Islam

Page 217: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

beri pelajaran bagi para pembuat dosa dan sebagai penyelamat kaum mustadh'afiin (lemah). Jihad adalah asas Islami yang diketahui setiap Muslim dan tidak satu pun di antara mereka yang mengingkari kedudukan dan keutamaannya serta janji Allah bagi siapa yang menjalankannya di- samping ia sebagai syariat.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikata- kan

kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tetap tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (sebentar). Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan kamu akan diganti dengan suatu kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemadharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Ku- asa atas segala sesuatu. ” (Q.s. At-Taubah: 38-9).

Allah juga berfirman: “Hai orang-orang beriman, bersiap-siaplah kamu, dan majulah (ke medan

pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sa- ma. ” (Q.s. An-Nisa’: 71).

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yangdengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuh- mu dan orang-orang selain mereka yang kamu tiada mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafhahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.s. Al-Anfal: 60).

Kelima, menetapkan keutamaan-keutamaan moralitas di pelbagai bidang kehidupan, menyebarkannya dan berusaha untuk memelihara ke- beradaannya. Seperti adil. ihsan. berbuat baik. silaturrahim, ta'awun dengan kebaikan dan takwa. menghormati hukum. jujur, hati-hati, menjaga amanat dan tepat (memegang) janji. ikhlas dalam suasana rahasiadan te- rang-terangan, berkata benar dalam keadaan marah dan rela, ekonomis dalam keadaan kaya atau miskin. sabar dalam keadaan kekurangan (mis- kin) dan sengsara. kesucian hati dari iri dan dengki. Menjaga diri dari ri- ya\ nifak, hubud-dunnya (cinta dunia) dan semua penyakit hati. Kese- muanya itu merupakan pondasi spiritual, yang masyarakat Muslim mus- tahil dapat tegak. kecuali dengannya. IV. Kejelasan Manhaj dan Jalan Penyelesaian

Demikian pula Islam mempunyai keistimewaan dalam hal kejelasan manhaj dan jalan untuk merealisasikannya hingga mencapai tujuan dan sasaran yang didambakan.

Pertama: Dari rangkaian ibadat dan syiar-syiar ritual yang mampu menjadi pemuas ruhiyah, penyuci jiwa, menarbiyah iradat, menyatukan ittijah (sudut pandang berpikir) dan melatih manusia agar sampai ke pun- cak kesempumaan ibadat yang hanya diperuntukkan bagi Rabb Yang Maha Tinggi. Dia-lah yang

Al-H’uilhiih 229

Page 218: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

menciptakan dan menyempumakan, Dia-lah yang menakdirkan dan kemudian memberi hidayah.

Ibadat ini adalah amalan-amaian yang telah ditetapkan, maka tidak akan menerima amal-amal bid’ah. Tetapi amal-amal yang mudah, sehingga tidak menerima bentuk amalan yang menyusahkan. Amalan-amalan yang seimbang, dan tidak menerima bentuk amal yang ekstrim, dan amalan yang dalam nilainya menitikberatkan pada kualitas sebelum formal- itas.

Amal-amal ibadat dan syiar-syiar ritual yang tergolong mendasar ini adalah salat, zakat, puasa dan haji. Islam telah mengklasifikasikan iba- dat-ibadat tersebut ke dalam tiga bagian. Pertama, ibadat badaniyah seperti salat dan puasa. Kedua, ibadat maaliyah seperti zakat dan ketiga adalah ibadat maaliyah badaniyah seperti berhaji ke Baitullah.

Dari ibadat-ibadat ini ada yang dilaksanakan secara rutin setiap hari, seperti salat. Ada yang dikerjakan setahun sekali, yaitu puasa dan zakat. Sedangkan yang ditunaikan sekali seumur hidup adalah haji.

Di antara amal-amal ibadat ini ada yang berbentuk amal aktif seperti salat, zakat dan haji. Namun ada pula yang berbentuk larangan, pen- cegahan dan penjagaan saja, semisal puasa yang merupakan pencegahan diri dari pemenuhan syahwat perut dan kemaluan sebagai satu realisasi dari perintah Allah.

Semuanya ini harus dilakukan dengan niat yang ikhlas, karena niat adalah kunci dan rahasia keberhasilan sebuah amal perbuatan.

“Padahal mereka tidaklah diperintah, kecuali supaya menyembah Allah dengan memumikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Q.s. Al-Bayyinah: 5).

“Sesungguhnya tiap amal perbuatan itu harus disertai niat, dan se- sungguhnya setiap orangitu (dalam beramal) bergantung niatnya. ” (H.r. Muttafaq ‘Alaih).

Di antara ibadat-ibadat ini ada yang wajib dikerjakan oleh setiap Muslim dan Muslimat, tidak boleh ditinggalkan kecuali bila ada uzur yang sifatnya syar'i.

Begitu pula ada amal-amal ibadat yang sunnah hukumnya, seperti laba bagi modal. Barangsiapa yang memperbanyak amalan ini, maka itu lebih baik baginya. Tetapi, barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka tiada dosa baginya. Ini adalah medan bagi mereka-mereka yang ber- lomba dalam kebaikan dan saling bersegera dalam memperoleh sisa-sisa keutamaan.

Ibadat-ibadat ini pada dasamya adalah sebuah tujuan, sekalipun demikian ia adalah wasilah (sarana) satu-satunya untuk tarbiyah ruhiyah, akhlaqiyah dan ijtima ’iyah (sosial) serta sebuah manhaj Rabbani dalam rangka melatih Muslim untuk berperilaku dan berkehidupan yang mempunyai nilai.

Kedua: Dari rangkaian sistem moral yang dapat menghancurkan ego- isme, menarbiyah ruh kesemangatan, mementingkan kesucian individu dan keterikatan mujtama’, menyucikan kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat baik dan

230 Karakteristik Islam

Page 219: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

memotong kuku-kuku kotoran di masyarakat. Ini semuanya adalah fitriah, akhlak yang realistis, dipahami dengan mudah, utuh, seimbang dan mampu mengombinasikan antara apa yang bersum- ber dari akal dan dari nash dalam hal menganggap baik maupun jelek atas suatu perbuatan.

Ketiga. Dari seperangkat etika dan tradisi keagamaan yang mendidik perasaan, menjaga nilai-nilai moral, memperindah kehidupan, menciptakan suasana kesatuan nilai-nilai kebaikan, membentengi mujtama' (masyarakat) dari kebrengsekan para penganut kebebasan nilai dan eks- trimnya para ekstrimis.

Seperangkat adab dan etika ini senantiasa menyertai kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupannya, dalam hal makan dan minumnya, pakaian dan kendaraannya, bangun dan tidurnya, bepergian dan mukimnya serta dalam suasana sunyi maupun ramainya.

Adab dan tatakrama atau etika inilah yang menjaga hubungan ver- tikal antara Muslim dengan Allah di setiap waktu dan tempat. Dia tidur dengan dzikrullah, dia bangun juga dengan dzikrullah. Memulai makan dengan asma Allah dan menyudahinya dengan memuji Allah. Demikian pula saat berpakaian, naik kendaraan, ketika safar dan kembali. Apabila dia memberikan ucapan selamat atau berbela sungkawa, atau menjawab (mendoakan) orang bersin, atau ketika melepas kepergian dan lain se- bagainya tidak akan lupa kepada Allah swt. Bahkan setiap Muslim telah mengharuskan lisannya dengan dzikrullah baik dalam memuji, memohon, menyebut asma-Nya dan menjunjung-Nya sesuai dengan ajaran yang layak bagi-Nya.

Oleh karena itu, sejak awal kita sudah dapat membedakan antara kaum Muslim dan non-Muslim. Ketika kita melihat' mereka bertemu, mereka saling mengucapkan salam. Ketika berkumpul di sekitar meja makan, mereka makan dengan tangan kanan, dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah ... demikian seterusnya.

Keempat: Serta dari aturan-aturan perundang-undangan dan tasyri’ bagi individu, usroh dan bagi jamaah.

Syariat Islam telah jelas memberikan jalan kehidupan setiap insan (individu), menerangkan batasan perilakunya, menjelaskan halal dan haram. Sementara bagi usroh (keluarga), syariat Islam merupakan pe- nyangga dan penguat yang dapat mencegah dari keruntuhan dan meme- liharanya dari kehancuran. Syariat menjelaskan kepada setiap pihak dalam usroh tentang hak dan kewajibannya, menjaga kesinambungan dan kelestarian lembaga yang mulia ini dalam menunaikan risalahnya yang keberadaannya dapat memberi manfaat lebih banyak. Andaikata harus terjadi perpisahan (dalam keluarga), maka hal itu setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan.

Bagi jamaah, syariat dan aturan perundang-undangan merupakan standar nilai dan pokok pondasi. Tugasnya adalah menegakkan keadilan, menjaga ukhuwah, menghilangkan kejelekan masyarakat, mencegah per- selisihan, memelihara hak Al-Wudhuh 231

Page 220: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dan kewajiban, menjaga sekalian manusia dari agama mereka, darah, harta, kehormatan, akal intelektual dan keturunan mereka yang kesemuanya ini merupakaan dharuriyaat (hal-hal urgen) dimana kehidupan mustahil dapat tegak, kecuali dengannya. Sebagaimana syariat juga menjaga dan mengutamakan kebutuhan-kebutuhan kehidupan dengan segenap kelengkapannya. Semuanya diperhatikan sesuai kedudukan dan posisinya.

Dan merupakan satu penghormatan bagi kaum Muslimin, dimana syariat ini ditegakkan untuk menjaga dan menghormati manhaj Islami ini, untuk menerangkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkan- dung di dalamnya. Begitu pula memberikan kontribusi berupa berbagai bidang ilmu dan pengetahuan dalam lingkup tsaqofah Islamiyah seperti tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, akhlak, adab, dan tasawuf. Syubhat yang Tertolak

Sebagian orang mengatakan: "Seandainya Islam itu jelas sebagaimana yang dipaparkan, maka mengapa bermunculan firqah-firqah yang mengatasnamakan Islam sepanjang sejarah? Mengapa terjadi pembagian Sunnah dan Syi’ah? Mengapa ada perdebatan antara salafiah dan su- fiyah? Antara yang bermazhab dengan anti mazhab?"

Saya tidak menyangkal bahwa di sana ada sekelompok orang, dalam hal ini dari kalangan missionaris dan orientalis serta mereka-mereka yang tergabung di dalamnya, dengan sengaja membesar-besarkan dan me- nambah-nambah permasalahan. Ini tampak jelas dari tulisan-tulisan mereka yang mungkin disodorkan kepada Anda, dimana tulisan-tulisan itu mengatakan bahwa dienul Islam tidaklah satu sebagaimana yang diturunkan Allah. Akan tetapi, ada beratus-ratus Islam. Maka di setiap negara ada Islam, di setiap masa ada Islam, di setiap zaman ada Islam yang ber- lainan satu sama lain.

Namun di sini saya ingin menegaskan bahwa tidak ada di dunia ini satu pun ideologi keagamaan atau ideologi apa saja yang memiliki tingkat kejelasan dan kesatuan sebagaimana dimiliki oleh Islam.

Sesungguhnya Islam yang kita dakwalikan dan kita beri satu karakteristik "jelas" ini bukanlah Islam firqah, Islam negara tertentu, bukan pula Islam mazhab. Islam yang kita dakwahkan ini adalah Islam Qur'an dan Sunnah, Islamnya para sahabat, Islam pertama sebelum terjadinya firqah-firqah, isme-isme, bid’ah-bid'ah baru yang sengaja hendak tne- mecah belah ummat.

Saya telah mendengar ucapan dari seorang tokoh Syi'ah yang sangat merindukan adanya wihdalul ummcih (kesatuan ummat), yang ucapan ini layak untuk dicatat dan diperhatikan. Dia mengatakan: "Apakah ada kelompok Sunnah dan Syi’ah di saat Allah menycmpumakan agama-Nya bagi ummat ini, dan nikmat-Nya yang pada saat itu turun firman Allah, ‘Pada hari ini telah Kiisempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku serta telah Kutidhai Islam itu jadi agama bagimu’.” (Q.s. Al-Maidah: 3)

232 Karakteristik Islam

Page 221: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Tentu saja jawaban hadirin: "Tidak ada!" Jadi munculnya khilaf terjadi sesudah itu, di dalam menyikapi dan menyiasati

problema-problema kesejarahan7 Para hadirin kembali menjawab: "Ya!" Ada seorang cerdik yang kemudian berucap. "Kalau begitu, marilah kita

kesampingkan apa yang terjadi setelah turunnya firman Allah tadi. Dan marilah kita telaah kitab Allah, di sana akan kita dapatkan bekal yang cukup untuk mengantisipasi hal itu!"

Ini adalah pemyataan yang benar. Karena sumber khilaf antara Sun- nah dan Syi’ah adalah masalah khilafah dan siapa yang berhak meng- gantikan setelah Rasulullah saw. wafat. Secara historis mestinya khilaf ini telah usai (tiada). Mereka-mereka yang terlibat di dalamnya telah kem- bali kepada Allah.

Adapun yang kini masih tetap ada dan akan ada selamanya adalah Al-Qur’an yang tiada kebatilan di dalamnya, baik dari depan maupun be- lakangnya.

Di antara nikmat Allah yang diberikan kepada ummat Islam dan tidak diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya adalah bahwa Allah sendiri yang memelihara dan menjamin kemumian Al-Qur’an yang merupakan dustur ummat Islam, dan sumber hukum pertama bagi syariat dan per- undang-undangan.

Allah berfirman: “Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya. ” (Q.s. Al-Hijr: 9).

Pergantian abad demi abad telah membuktikan kebenaran janji Allah ini. Al-Qur’an tetap seperti semula sebagaimana yang diturunkan Allah, diterima Rasulullah saw, dihafal para sahabat dan disampaikan kepada kaum setelah mereka. Al-Qur’an senantiasa terpelihara dalam da- da, disenandungkan oleh lisan-lisan suci, tertulis dalam mushaf-mushaf, tiada penambahan satu kata pun, tidak pula ada satu kalimat pun yang mengalami perubahan.

Pada saat yang sama, semua kitab samawi terselewengkan atau bahkan hilang secara keseluruhan. Allah tidak menjamin kemumian ki- tab-kitab itu. Karena — kitab-kitab — itu merupakan kitab-kitab periodik dan terbatas untuk dakwah kepada kaum-kaum tertentu. Bukan kitab yang universal bagi sekalian manusia, tidak memiliki sifat keabadian hingga hari Kiamat nanti sebagaimana dakwah Islamiyah.

Demikian pula Sunnah Nabawiyah, telah terpelihara keberadaannya sebagai penjelasan teoritis dan operasional terhadap Al-Qur’an.

Jika sejarah Islam telah mencatat banyak nama-nama firqah yang muncul di masyarakat, maka dia juga mencatat bagaimana sebagian besar firqah-firqah itu tidak lagi disukai oleh kaum Muslimin dan tidak mendapatkan tempat di hati mereka. Bahkan telah larut dan menghilang se- jalan dengan perkembangan ummat. Memang masih ada kelompok-ke- lompok ekstrim dalam Islam, tentu saja Islam tidak akan menanggung ri- sikonya, tidak pula memperhitungkan dengan serius penyelewengan dan kenylenehannya, dan tidak akan banyak berpengaruh terhadap kebesaran ummat ini.

Al-Wudhuh 233

Page 222: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Islam telah membatasi sumber hukum yang digunakan sebagai ru- jukan kaum Muslimin ketika berselisih, dan itu sesuai dengan firman Allah:

“Apabila kamu berselisih (berlainan pendapat) tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnah- nya), apabila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. ” (Q.s. An-Nisa’: 59).

Kaum Muslimin telah bersepakat sejak awal, bahwa yang dimaksud kembali kepada Allah adalah kembali pada kitab-Nya, dan kembali kepada Rasulullah adalah kembali pada sunnahnya.

Kaum Muslimin telah meletakkan ilmu khusus dalam hal tafsir nash dan istimbath, yakni ilmu ushul fiqih, untuk mempermudah bagi kesatuan pemahaman. Saya tidak mengingkari bahwa banyak masalah ushul yang berbeda dan diperselisihkan. Tetapi, hal-hal yang sifatnya asasi tetap disepakati dan tidak ada perbedaan di dalamnya.

Namun demikian, ada satu terapi operasional untuk memperkecil bahaya ikhtilaf, yakni sebagaimana yang dikemukakan ulamakaum Muslimin, bahwa pendapat imam (pemimpin) akan menghapus berbagai pendapat dalam masalah khilafiah. Karenanya, ketika kaum Muslimin mempunyai imam syar’i yang proses imamahnya lewat cara pemilihan, mu- syawarah dan baiat, dengan demikian pendapatnya dalam masalah khila- fiah menjadi rujukan asasi. Adapun masalah-masalah teoritis, maka setiap orang mempunyai pendapat, mengenai perhitungannya itu semua se- mata-mata kembali kepada Allah.

Kerancuan dan Ketidakjelasan Ideologi-ideologi Moderen Mengherankan memang, mereka-mereka yang berusaha mengecil- kan arti

karakteristik ini (al-wudhuh) dari deretan karakteristik Islam dengan cara membesar-besarkan masalah khilafiah yang terjadi dalam sejarah kaum Muslimin, dan kemudian mengaitkan firqah-firqah sesat itu ke dalam tubuh ummat Islam. Mereka itu pura-pura buta dan tiada mengetahui adanya kerancuan dan perselisihan yang tiada kunjung berakhir, yang dialami dan dilihat oleh para peneliti ideologi-ideologi moderen di- mana hal itu menjadi berhala di abad ini. Sementara para pakamya tidak ubahnya sebagai dukun-dukun baru bagi berhala ini.

Ideologi-ideologi moderen ini sejak awal tidak memiliki satu definisi yang jelas dan mewakili yang dapat membatasi pola kerjanya, menjelas- kan tabiat (aksiomatika) dan ajaran-ajarannya yang asasi. Definisi yang semacam ini saja tidak dimiliki, oleh karena itu mereka berselisih dalam banyak hal, sampai dalam hal maknanya.

Suatu misal tentang: Demokrasi. Hampir semua ideologi pada abad ke-20 ini; niulai dari kerangka ideologi

sosial, struktur politik, liberalisme sampai sosialisme komunis atau sampai pada ideologi fasis dan nazi ... hampir kesemua ideologi itu mengklaim dan mempropagandakan dirinya sebagai ideologi demokratis sejati, sementara yang

234 Karakteristik Islam

Page 223: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

lainnya dianggap palsu. Banyak orang kemudian menjadi bingung, demokrasi mana yang sejati dan mana yang sekadar pemyataan (pengakuan)?

Tidak satu pun yang dapat keluar dari kerancuan dan ketidakjelasan ini untuk kemudian beralih pada standar nilai-nilai moral spiritual. Karena semuanya mengklaim sebagai pelestari kebebasan, emansipasi dan ke- muiiaan manusia.

Demikian pula, tidak satu pun di antara ideologi-ideologi itu yang mau merujuk pada standar sosial kemasyarakatan. Karena semua ideologi telah mempunyai tata nilai yang dianggap sebagai legitimasi manhaj dan sistem penyebarannya. Maka, para pemikir demokrasi Barat bertumpu pada standar politis dan mengaku bahwa demokrasi mereka mempunyai spesifikasi tersendiri, yakni sebuah kebebasan politik. Pada saat yang sama, para penganut Marxis bertumpu pada standar ekonomi dan mengaku bahwa demokrasi mereka mempunyai keistimewaan kebebasan di bidang sosial ekonomi.

Orang-orang Cina menantang dengan sekaligus berorientasi pada dua standar nilai B^rat (liberal) dan Marxis, yang mereka namakan sebagai demokrasi baru.

Demikian pula para ekstrimis demonstran di Asia dan Afrika yang muncul dengan demokrasi sosialismenya.

Bahkan kita dapati adanya paham yang berusaha mengombinasikan antara dua kutub yang berlawanan yang mereka namakan "Diktator Demokrasi".

Al-Wudhuh 235

Page 224: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Contoh lainnya adalah "Sosialisme" yang banyak ummat kita terfit- nah olehnya. Hingga kini mereka masih pusing untuk mendefinisikan sebenamya "sosialisme" itu sendiri apa? Bagaimanaesensinya? Apa sasar- an-sasarannya? Apa asas-asas pijakan berpikimya? Dan apa pula sumber hukumnya?

Kalau Anda ingin mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, sungguh Anda tidak akan menemukannya kecuali sebuah kerancuan dan ketidakjelasan. Anda akan mendapati pula sebuah perselisihan yang men- dalarn antara pendiri dan para pengikutnya.

Ustadz Tsawani berkata: "Sosialisme adalah sebagaimana ungkap- an-ungkapan lain yang masih diperselisihkan sebagai satu kekuatan politik berjenjang. Kata sosialisme tidak hanya diperselisihkan esensinya dari generasi ke generasi, tapi juga diperdebatkan dari masa ke masa."

Cool menegaskan perdebatan seputar ideologi sosialis antara negara yang satu dengan yang lain, dan antara satu generasi dengan generasi sesudahnya. Dia mengatakan: "Perbedaan persepsi ideologis ini bukan hanya sebagai buah perbedaan tenggang waktu, akan tetapi perbedaan ini juga muncul dalam bentuk yang beragam pada waktu dan periode yang sama."18

Di dalam buku "Inilah Sosialisme" yang ditulis oleh dua penulis Pe- rancis, George Bourjan dan B. Rambiert mengutip dari buku "Kontra Sosialisme Perancis" karya Maxim Lourou, disebutkan: "Tidak dapat di- pungkiri bahwa sosialisme itu beraneka ragam. Maka sosialisme versi Babon berbeda dengan versi Proudhon. Sosialisme versi Saint Simon dan Proudhon berbeda dengan sosialisme versi Belanski. Ini semuanya tidak sejalan dengan pola pikir Louis Blanc. Kabe, Feuerbach dan Becker. Dan Anda tidak akan mendapati dalam kelompok-kelompok tersebut, kecuali aneka bentuk permusuhan yang berkepanjangan. yang mendendangkan senandung kepahitan dan kesedihan."19

Kendati berdekatan waktunya antara Karl Marx (1882 M.) dan para pengikutnya yaitu Engels (1886 M.) dan Lenin (1924 M.) pendiri negara sosialis Marxis pertama, namun demikian kita jumpai adanya perbedaan yang dalam antara dua percobaan pendirian negara sosialis di Ru- sia dan Cina, dimana keduanya sama-sama mengaku berkiblat pada Marx

'Dr. Yusuf Izzuddin, Sosialisme dan K'asionalisme, him. 74. :Terjemahan Muhammad Aituni, Beirut, him. 13.

18lslani dan Kapitalisme, him. 24

240 Karakteristik Islam

Page 225: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Untuk menambah kejelasannya, di sini kami ingin mengungkap apa yang dikatakan seorang tokoh Marxis yang bemama Maxime Rodinson, yang juga seorang penulis Yahudi Perancis garis kiri. Dia mengatakan: "Pada hakikatnya ada bermacam-macam Marxis, berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus. Marx banyak mengatakan segala sesuatu, sehingga dengan mudah kita akan mendapati dalam bukunya apa saja yang dapat di- jadikan legitimasi pemikiran macam apa pun. Buku-buku warisannya (termasuk pula Injil dan Taurat beserta komentar darinya) di sana sampai setan pun dapat mencari sebuah dalil yang memperkuat kesesatannya."3

Inilah ideologi-ideologi kreasi manusia dengan segala kerancuan dan ketidakjelasannya serta perselisihan yang ada di dalamnya. Dan itulah Al-Islam dengan segala kejelasannya dan kesatuan sudut pandang pe- mikirannya.

"Alangkah jauh perbedaan antara apa yang disyariatkan Allah dengan apa yang direkayasa oleh manusia."

“Dan tidaklah sama antara orang yang buta dan orang yang melihat. Dan tidak sama (pula) antara gelap-gulita dengan cahaya." (Q.s. Fathir: 19-20).

Al-IVudhuh 237

Page 226: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

f VII

MENYATUKAN ANTARA TATHAWWUR (TRANSFORMASI) DAN TSABAT (KONSISTENSI)

Siapa pun yang menulis tentang Islam pada zaman kita sekarang ini, hampir tidak dapat terlepas dari dua golongan. Pertama, golongan penulis yang lebih menekankan pada masalah keluwesan (fleksibelitas) dan per- kembangan [bersifat transformatif] dalam hukum-hukum Islam serta ajar- an-ajarannya, bahkan ada kalanya hukum-hukum Islam itu diformulasikan amat lunak dan menerima setiap apa yang dikehendaki manusia dari kon- sep-konsep moral tanpa adanya batas dan ikatan.

Sementara golongan kedua, lebih menekankan sisi tsabat (konsisten- si) dan abadi dalam syariat dan ajaran. Sehingga tidak ubahnya seperti berada di depan sebongkah batu karang yang kokoh, tidak bergerak atau melunak sedikit pun.

Ini adalah sebuah cela yang dimiliki sebagian besar manusia. Mereka memandang permasalahan hanya dari satu dimensi dan mengabaikan dimensi lainnya, padahal pada sisi-sisi lainnya itu tidak kalah pentingnya. Sehingga mereka sering terjebak pada ifrath (berlebih-lebihan) atau taf- rith (menyia-nyiakan).

Sedikit sekali para penulis yang dapat terlepas dari penyakit berlebihan atau penyakit penyia-nyiaan tersebut. Penulis semacam ini memiliki sanubari dan pengetahuan yangjemih dalam memandang manhaj Ilahi yang spesifik, yang berdiri kokoh di atas pondasinya. Yakni, pada sebuah masyarakat Rabbani yang manusiawi dan sebuah bentuk peradaban yang sempuma dan seimbang.

Memang, pada prinsipnya masyarakat Muslim itu mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masyarakat se- lainnya. Karakteristik itu adalah tawazun, atau — kalau Anda ingin mengatakan lain —, "al-wasthiyyah", sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:

“Dandemikianlah (pula) telah Kamijadikan kamu sekalian (ummat Islam) sebagai ummatan wasathan [ummat pertengahan] (ummatyang adil dan pilihan).” (Q.s. Al-Baqarah: 143).

Karakteristik ini telah kita bahas secara rinci pada bab sebelumnya. Di antara fenomena tawazun atau wasthiyyah yang menjadi karakteristik

sistem Islam, berikut menjadi karaktecistik masyarakat Islam adalah tawazun, antara tsabat dan tathawwur. Sistem Islam mampu me- nyatukan keduanya dalairTsebuah kombinasi Vang menakjubkan dan meletakkan keduanya pada kedudukannya masing-masirfg. Tsabat di dalam persoalan yang memang harus lestari, sementara fleksibel atau luwes di dalam hal yang memang harus berubah dan berkembang [transformasi],

Karakteristik ini hanya ada di dalam risalah Islamiyah dan tidak akan terdapat dalam syariat samawi ataupun karya manusia yang lainnya. 238

Page 227: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Risalah samawiyah, umumnya lebih menekankan pada masalah tsabat, bahkan terkadang cenderung pada kebekuan. Sehingga sejarah sem- pat mencatat bagaimana kebekuan para tokoh agama tempo dulu dalam menghadapi gerakan perkembangan keilmuan dan penolakan mereka terhadap setiap sesuatu yang baru di bidang pemikiran, perundang-un- dangan atau struktur.

Adapun syariat wadh 'iyah (hukum positif), umumnya lebih menekankan keluwesan mutlak. Oleh karena itu, kita melihat ajaran-ajaran tersebut selalu dalam kondisi labil (berubah-ubah) dan nyaris tidak tetap dalam keadaan tertentu. Bahkan sampai pada sesuatu yang merupakan kunci perundang-undangan, dengan mudahnya dapat dihilangkan oleh seorang penguasa yang memerintah, atau oleh dewan revolusi atau oleh parlemen yang memenangkan pemilu. Akibatnya, banyak orang yang tidak mempunyai sebuah ketetapan hukum atau [bahkan] melecehkannya, padahal sebelumnya masih diagungkan dan dihormati.

Namun Al-Islam, yang merupakan risalah terakhir dari Allah, Dia telah memberikan atribut dimana di dalamnya terdapat unsur tsabat dan abadi serta dalam waktu yang bersamaan bersifat transformatif. Ini merupakan mukjizat yang mengagumkan dalam dienul Islam dan sebagai salah satu bukti kekekalan, keserasian dan integralitasnya pada setiap tempat dan kurun waktu.

Dalam hal tsabat dan keluwesan syariat Islam, kita dapat memberikan batasan sebagai berikut: Tsabat dalam hal sasaran dan tujuan, sementara luwes dalam hal sarana dan uslub (cara/teknik). Tsabat dalam hal kaidah-kaidah fundamental (pokok), sementara luwes dalam furu’ dan masalah-masalah juz’iyaat (bagian-bagian kecil). Tsabat dalam hal nilai-nilai dien dan akhlak, sementara luwes dalam hal-hal keduniaan dan ilmu. Tsabat dan Tathawwur dalam Kehidupan dan Alam Raya

Mungkin ada yang bertanya: "Mengapa Islam memakai cara demikian?" "Mengapa Allah tidak memberikan atribut sebagai satu ideologi yang mumi fleksibel atau konservatif tulen?"

Jawabannya: Islam dengan karakteristik seperti ini sangat sesuai dengan alam kehidupan manusia khususnya, dan juga sesuai dengan tabiat alam raya pada umumnya. Dien Islam ini datang sesuai dengan fitrah manusia dan fitrah wujud alam semesta.

Adapun tentang tabiat kehidupan manusia, maka di dalamnya terdapat unsur-unsur yang tetap dan kekal. Ada pula unsur-unsur yang se- harusnya mengalami perubahan serta perkembangan.

Dewasa ini, pengetahuan dan wawasan manusia mengalami lom- patan yang spektakuler, semakin tinggi pula kemampuannya mengolah sekaligus memanfaatkan segenap sumber daya alam di sekelilingnya. Salah satu bukti keberhasilan manusia adalah mampu menapakkan kakinya ke bulan dan tinggal di sana beberapa waktu lamanya. Di sana manusia meneliti dan membawa contoh bebatuan serta debu bulan untuk dibawa ke bumi.

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 239

Page 228: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Namun sekalipun demikian, apakah wujud manusia sekarang ini telah berubah dari wujud manusia prasejarah atau pasca sejarah?

Apakah wujud manusia moderen — yang telah berhasil mencapai bulan — telah berubah dari wujud manusia yang belum tahu bagaimana cara memakamkan jasad saudaranya yang tiada (meninggal dunia), hingga harus diajari oleh seekor burung gagak?

Tidak, tetap tidak berubah! Wujud manusia itu satu. kendati telah berkembang taraf pengetahuannya dan meningkat pula potensi dalam dirinya.

Manusia sejak masa nenek moyang pertamanya sampai kini. tetap- lah melakukan aktivitas makan, minum, mencintai kekekalan dan merasa lemah menghadapi gejolak jiwa yang ada di dalam atau pengaruh-pe- ngaruh kejahatan dari luar. Selanjutnya berbuat maksiat dan kejahatan, lalu naluri fitrahnya terjaga dan merasakan adanya dosa dalam dirinya. Sehingga, dia pun bertobat dan kembali ke jalan yang benar untuk mc- mulai lembaran baru dalam hidupnya.

Hal tersebut dapat kita jumpai dalam kisah Adam a.s. (bapak seluruh ummat manusia) ketika beliau memakan buah terlarang. Setelah digoda oleh setan dan dirayunya dengan mengatakan bahwa buah itu adalah buah kekekalan dan sebuah kekuasaan yang tidak akan pernah putus (ber- akhir). "Dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah dia. Kemudian Tuhan memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. ” (Q.s. Thahaa: 121-2).

Dalam diri anak manusia ada unsur kejahatan yang karenanya se- ngaja berbuat dengki kepada saudaranya, hingga tidak segan-segan untuk membunuhnya sebagai suatu perbuatan tercela tanpa' merasa berdosa.

Sebagaimana ada unsur manusia baik dan terdidik yang enggan berbuat kejahatan serta tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan serupa. Ini dapat kita lihat dalam kisah putra Adam, yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur’an. Ketika itu salah seorang putra Nabi Adam a.s. merasa dengki kepada saudaranya yang lain, kemudian membunuhnya. Sedang pada saat yang sama, saudaranya tidak mau membalas untuk saling berbunuh, dengan mengatakan: “Afeu takut kepada Allah Rabbul ‘alamiin(Q.s. AI-Maidah: 28).

Beribu-ribu bahkan berjuta-juta dari keturunan Adam, hingga kini masih memerankan kisah Qabil dan Habil. Dan keadaan seperti ini akan terus berlangsung dalam kehidupan manusia, sampai Allah mewariskan bumi ini kepada yang dikehendaki-Nya.

Apabila melihat alam raya di sekeliling kita, maka tahulah kita bahwa di dalamnya mengandung hal-hal yang bersifat kekal (tetap) adanya, meski telah berlangsung beribu-ribu atau bahkan berjuta-juta tahun. Seperti bumi, gunung, siang dan malam, bulan dan matahari dan juga bin- tang-gemintang. Semuanya beredar sesuai garis edamya masing-masing.

Dalam alam raya ini ada pula unsur-unsur partikel yang berubah, munculnya pulau-pulau baru, mengeringnya laut-laut kecil, sungai-su- ngai baru tergali, air

240 Karakteristik Islam

Page 229: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

yang meluap hingga ke daratan, daratan yang men- jorok hingga wilayah perairan, tanah gersang yang dapat ditanami, pa- dang pasir yang menghijau, negara-negara yang makmur, desa-desa yang hancur (porak-poranda), pertumbuhan tanaman dan lain sebagainya, yang menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan.

Itulah manusia dan alam raya. Terjadi tsabat dan tathawwur dalam waktu yang sama. Tsabat dalam dasar-dasar dan esensi, tathawwur dalam bagian-bagian kecil dan formalitas.

Apabila tathawwur merupakan satu aksiomatika dalam alam raya dan kehidupan, maka tsabat pun demikian pula halnya.

Dan apabila dalam filsafat tempo dulu, ada yang berpandangan bahwa tathawwur dan perubahan merupakan hukum azali yang meng- hukumi selumh alam raya, maka tentu saja ada pula yang berprinsip se- baliknya. Yakni tsabatlah yang merupakan asas dan asal-muasal dari ke- seluruhan alam raya ini.

Tepatnya adalah bahwa kedua pandangan ini — baik tsabat maupun tathawwur — mempunyai bentuk interaksi bersamaan dalam alam dan kehidupan. Sebagaimana hal ini dapat dirasa dan disaksikan dalam alam raya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika syariat Islam datang dengan membawa mabdct ’ (prinsip) yang sesuai dengan fitrah manusia dan fitrah alam wujud, mampu menyatukan antara unsur tsabat dan unsur fleksibelitas.

Dengan karakteristik ini, mujtama’ Muslim mampu hidup dan men- capai puncak cita-citanya, konsisten dalam dasar-dasar, nilai dan tuju- annya, sementara juga berkembang dalam pengetahuan, uslub dan sara- na-sarananya.

Dengan tsabat, mujtama' (masyarakat) Muslim akan terhindar dari faktor-faktor penyebab kehancuran dan keruntuhan. Atau larut dengan sistem yang ada di dalam masyarakat-masyarakat lain. Atau mengalami tumpang-tindih nilai ke dalam bentuk masyarakat yang beragam, terjadi pertentangan satu sama lain, walaupun secara formal berinisial satu bentuk masyarakat.

Dengan tsabat tasyri’, akan tetap teguh terjaga dan tsiqah (saling percaya) pun terpelihara. Hubungan dan interaksi sosial akan tegak di atas asas dan pondasi yang kokoh, tidak akan roboh oleh badai hawa nafsu, kegoncangan politik dan sosial yang terjadi dari hari ke hari.

Sementara dengan murunah (keluwesan) masyarakat Muslim ini akan dapat menyejajarkan dirinya dan hubungan-hubungan sosialnya sesuai dengan perkembangan zaman, situasi, tanpa harus kehilangan karakteristik kepribadiannya.

Namun, apakah fenomena-fenomena tsabat dan keluwesan (fleksibelitas) dalam syariat Islam? Apa bukti-buktinya? Inilah yang hendak kami bahas pada lembaran-lembaran berikut. Bukti-bukti Tsabat dan Fleksibelitas dalam Sumber Hukum Islam

Ada fenomena-fenomena dan bukti-bukti tsabat dan fleksibelitas yang akan Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 241

Page 230: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kita dapatkan dalam sumber hukum, syariat dan sejarah Islam. Tsabat dengan jelas kita dapatkan dalam sumber hukum yang utama dan

qath’i pada syariat Islam, yakni Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya saw. Al-Qur’an adalah asal dalam perundang-undangan, se- mentara Sunnah adalah penjelasan teoritis dan operasional bagi Al-Qur’an. Keduanya adalah sumber hukum dari Allah yang terpelihara. Tidak seorang pun dari kaum Muslim mampu berpaling darinya.

“Katakan, ‘Taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul’." (Q.s. An-Nuur: 54).

“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, ketika mereka dise- ru kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan, 'Kami mendengar dan kami patuh. ’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.s. An-Nuur: 51).

Sementara keluwesan (fleksibelitas) itu tampak jelas dalam sumber hukum yang bersifat ijtihad. Dimana para faqih berbeda pendapat sejauh mana berhujjah dengannya antara yang luas dan sempit atau sedikit dan banyak. Contoh dalam masalah ini adalah ijma’, qiyas, istihsan (sesuatu yang dianggap baik dengan dasar yang lain dan punya kesamaan esensi), mashalah mursalah (berkenan dengan maslahat dalam penentuan hukum), ucapan sahabat, syariat kaum sebelum kita dan lain sebagainya dari bermacam-macam sumber ijtihad dan jalan beristimbath.

Di dalam hukum-hukum syariat (yang dimaksud di sini lebih luas dari sekadar sisi perundang-undangan, yakni sebagaimana Rasulullah saw. diutus dengan akidah, ibadat, muamalat, akhlak dan iain-lainnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh At-Tahanawi dalam bukunya: Kasyful Isthilaahaatil Uluum wal Farm (Mengungkap Istilah-istilah dalam Ilmu dan Seni), kita jumpai adanya pemisahan menjadi dua bagian besar. Pertama, bagian yang mencerminkan tsabat dan kekekalan, dan yang kedua adalah bagian yang mencerminkan keluwesan dan perkembangan.

Tsabat ini akan kita dapati dalam kelima akidah asasi, yakni iman kepada Allah, malaikat, para Rasul, kitab-kitab dan pada hari akhir. Inilah yang disebut Al-Qur’an di banyak tempat, misalnya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya suatu kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,'hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para Nabi.” (Q.s. Al-Baqarah: 177).

“Barangsiapayang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q.s. An-Nisa’: 136).

Tsabat juga kita dapatkan dalam rukun-rukun operasional yang lima, yakni syahadatain, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah, sebagaimana hal itu ditegas- kan oleh Rasulullah saw. dalam

242 Karakteristik Islam

Page 231: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hadis shahih. Juga dalam perkara-perkara yang diharamkan secara qath’i seperti sihir,

membunuh, zina, makan riba, makan harta anak yatim, menuduh seseorang berzina, lari dari medan perang, mencuri, ghibah, namimah (mengadu domba) dan lain sebagainya. Hal itu sebagaimana dijelaskan secara qath’i, baik dalam Al-Qur'an maupun hadis shahih.

Tsabat dapat kita jumpai dalam inti-inti fadilah dari sifat jujur, amanat, hati-hati, sabar, setia dengan janji, malu dan lain sebagainya dari rangkaian akhlaqul karimah yang dikategorikan oleh Al-Qur’an maupun Sunnah sebagai cabang-cabang iman.

Demikian pula tsabat yang terdapat dalam syariat-syariat Islam yang qath’i dalam masalah pemikahan, perceraian, hukum waris, hudud, qishash dan sejenisnya dari aturan perundang-undangan yang digariskan oleh nash-nash qath'i, baik qath 'iyatuts tsubut (dalam periwayatannya) maupun qath 'iyatud dilalah (dalam petunjuk pelaksanaannya). Hal-hal tersebut di atas ditetapkan dengan Al-Qur'an, hadis-hadis shahih dan ij- ma' ulama. Maka mustahil bagi sebuah lembaga penelitian, atau sebuah muktamar atau seorang penguasa untuk menghilangkan atau tidak mem- berlakukan hukum-hukum tersebut. Karena itu semua merupakan inte- gralitas kaidah dan asas-asas agama.

Atau sebagaimana dikatakan oleh Imam Syathibi, bahwa hukum-hukum tersebut mempakan kulliyah abadiyah (integralitas abadi). Kare- nanyalah, ditegakkan dunia dan dengannya dijadikan berbagai kemas- lahatan bagi makhluk hidup secara turun-temurun. Demikian pula syariat datang sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan dari kesemuanya itu. Sebab itulah, maka hukum-hukum yang integral tersebut akan tetap abadi sampai Allah mewariskan bumi ini dan apa yang ada di dalamnya.1

Pada bagian lain sebagai kebalikannya, kita dapati hal-hal yang men- cemiinkan murunah. Hal-hal tersebut khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah furu’, dan lebih khusus lagi dalam bidang siyasyarusy syar ’iyah.

Dalam kitab Ighalsatul Lahfaan, Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa hukum itu ada dua macam:

Pertama: Hukum yang tetap dan tidak akan pemah berubah, baik oleh zaman, tempat dan oleh karena ijtihad imam. Seperti wajibnya perkara yang wajib, haramnya perkara yang haram dan hudud yang sudah dite-

'Asy-Syathibi, Al-Muwafaqaat. tapkan terhadap masalah-masalah kriminal. Ini semua tidak mungkin dapat berubah dan ada ijtihad yang mampu menentangnya.

Kedua: Hukum yang dapat berubah karena tuntutan maslahat, baik yang berkenaan dengan waktu, tempat dan situasi. Seperti jenis dan kadar ta 'ziir

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 243

Page 232: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(hukuman pengasingan bagi yang melanggar hukum). Dalam hal ini Allah memberikan keluasan sesuai maslahat. '

Dalam masalah ini Ibnul Qayyim mencontohkan bermacam-ma- cam contoh dari Sunnah Nabi saw. dan apa yang dilakukan oleh Khula- faur-Rasyidin, dengan perkataannya: "Ini adalah perkara luas yang ter- kadang membuat banyak orang menyamakan dengan hukum yang sudah baku dengan berbagai sebab maslahat yang sepertinya ada atau tidak."20

Tsabat dan Murunah (Luwes) dalam Petunjuk Al-Qur’an Bagi yang mau merenungkan Al-Qur’an, niscaya akan mendapatkan banyak

bukti tentang karakteristik ini, yakni "Penyatuan antara tsabat dan murunah dengan penuh tawazun dan seimbang".

Apabila disertai contoh akan lebih jelas lagi, maka di sini kami akan menyebutkan sebagian contoh yang akan menambah kejelasan dari apa yang kita katakan tadi. (1) Tsabat akan tampak jelas dalam firman Allah ketika Dia memberikan sifat sebuah masyarakat Muslim: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka ...” (Q.s. Asy-Syuura: 38).

Juga dalam firman-Nya: “Dan hendaklah engkau (Muhammad) me- lakukan syuro dengan mereka dalam memutuskan perkara. ” (Q.s. Ali Imran: 159).

Dengan demikian bagi seorang penguasa atau sebuah masyarakat sama sekali tidak diperkenankan untuk menghilangkan tradisi musyawarah dalam kehidupan sosial politik. Tidak diperkenankan bagi penguasa untuk memimpin rakyat secara otoriter dengan dalih kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya.

Sementara murunah terlihat jelas dalam hal tidak ditentukannya jenis musyawarah yang harus dipegang oleh segenap manusia di mana dan kapan pun. Sebab, dengan keterikatan ini justru akan memberatkan ma-

20Ighasatul Lahfaan, jilid I, him. 346-9.

244 Karakteristik Islam

Page 233: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

nusia, khususnya ketika terjadi perubahan situasi, lingkungan atau masa. Maka dengan tidak adanya keterikatan akan jenis tertentu dalan syuro, kaum Mukminin di setiap masa akan dapat merealisasikan syuro tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi mereka serta perkembangan yang ada tanpa harus terikat dengan sistem tertentu. (2) Tsabat tercermin dalam firman Allah: “Dan apabila kalian meng- hukumi manusia, hendaklah kalian menghukumi mereka secara adil.” (Q.s. An-Nisa': 58).

“... dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Q.s. Al-Maidah: 49).

Di sini Allah mewajibkan untuk berbuat adil dan komitmen terhadap apa yang diturunkan Allah serta melarang untuk mengikuti hawa nafsu. Ini menunjukkan bahwa sekali-kali tidak diperkenankan untuk mempermudah dalam hal peradilan. Hal ini menunjukkan sisi tsabat dalam peradilan dan penentuan hukuman. Sementara murunah tercermin dalam hal tidak adanya bentuk tertentu dalam soal mengadili. Apakah pengadilan itu menganut sistem hakim tunggal ataukah hakim kolektif? Apakah itu pengadilan yang khusus menangani pidana maupun yang khusus menangani perdata?

Kesemuanya itu diserahkan kepada ijtihad ulil amri dan ahlul hilli wal ‘aqdi. Yang utama bagi Sang Pembuat syariat, hal ini tidak dimaksudkan kecuali dalam rangka menegakkan keadilan, mengikis kezaliman, mewu- judkan maslahat dan menangkal mafsadah (kerusakan).

Sang Peletak syariat (Allah swt.) lebih meletakkan stressing dengan menggariskan nash atas mabda ’ (kaidah prinsip) dan tujuan, namun tidak mementingkan perihal uslub dan wasilah. Ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan melapangkan jalan bagi manusia agar me- milih uslub yang tepat bagi dirinya serta bentuk yang sesuai dengan zaman, lingkungan, situasi dan kondisinya. (3) Tsabat tampak jelas dalam finnan Allah: “Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin/pe- lindung) dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah ...” (Q.s. Ali Imran: 28).

Sementara murunah terlihat dalam hal pengecualian hukum tersebut manakala situasi darurat. Sebagaimana kelanjutan ayat tadi “kecuali karena siasat menjaga diridari sesuatu yang ditakuti...” (Q.s. Alilm- ran: 28). Sebagaimana pula firman Allah yang lain: kecuali orang yang dipaksa kajir, sementara hatinya masih tetap tenang dalam beriman ...” (Q.s. An-Nahl: 106). Juga dalam firman-Nya: “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yangdiucapkan) dengan terus terang, kecuali orang yang dianiaya.” (Q.s. An-Nisa’: 148).

Menyatukan antara Tathawtvur dan Tsabat 245

Page 234: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Pengecualian-pengecualian ini dan sejenisnya yaiig tertera dalam kitab Allah telah memberikan keluasan bagi orang yang terpaksa oleh situasi sosial dan kemasyarakatan serta tidak mampu bersikap sebagaimana mestinya. Namun yang paling utama adalah manakala masih tetap tegar terhadap sikap yang sebenamya (asli). Dan itulah asas dalam berpikir dan bersikap. (4) Tsabat tercermin dalam firman Allah:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dagingbabi, (da- ging hew an) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, di- pukul, jatuh, ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan anak pa- nah, karena itu adalah sebuah bentuk kefasikan. Pada hari ini orang-orang kajir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempumakan bagimu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku serta telah Kuridhai Islam itu sebagai agamamu. ” (Q.s. Al-Maidah: 3).

Sementara itu murunah tampak pada bagian ayat berikutnya: “Maka barangsiapa yang terpaksa karena kelaparan dan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penya- yang." (Q.s. Al-Maidah: 3).

Dengan ayat ini jelas bahwa Allah menegaskan sebuah prinsip "menjaga situasi darurat", namun tidak dibebaskan begitu saja, masih dibatasi dengan firman-Nya: “tanpa sengaja berbuat dosa. ” Artinya tidak cenderung ingin berbuat yang haram dan menikmatinya. Sebagaimana pada penggalan ayat yang lain; “tidak menginginkannya dan tidak (pula) me- lampaui batas.” (Q.s. Al-Baqarah: 173). Artinya, tidak melampaui batas daruratnya dan tidak ingin berbuat aniaya kepada orang lain. Ini adalah batasan melakukan hal terlarang daiam situasi darurat.

Dengan adanya batasan ini menjadikan seseorang tidak mudah untuk melakukan sesuatu yang haram dengan alasan darurat. Dari situlah ada sebuah kaidah ushul fiqih yang berbunyi. "Apa yang diperkenankan dalam situasi darurat, itu sekadar yang diperlukan saja."21 (5) Tsabat dapat dijumpai dalam hal pengharaman terhadap sesuatu yang mengarah kepada penghancuran dan perusakan, sebagaimana fir- man-Nya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi, setelah Allah memperbaikinya. ” (Q.s. Al-A’raf: 56).

"... dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (Q.s. Huud: 85). Ini adalah prinsip umum.

Sementara itu murunah dapat dilihat dalam hal pengecualian di saat- saat

21Ibnu Najm, Al-Ashbah wan Nadhair, him 43.

246 Karakteristik Islam

Page 235: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

perang dan upaya menghancurkan musuh serta niemaksa mereka untuk menyerah dengan mengorbankan kerugian seminimal mungkin. Ini dapat diketahui dari firman Allah:

“Apa saja yang kamu tebangdari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pangkalnya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” (Q.s. Al-Hasyr: 5).

Ayat ini turun berkenaan dengan pengepungan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap suku bani Nadhir dan penebangan yang dilakukan beliau terhadap pohon kurma milik mereka. Karena peristiwa itulah kemudian kaum Yahudi mengejek Rasulullah, seraya berkata: "Wahai Muhammad, bukankah engkau yang melarang berbuat kerusakan dan mencela pelakunya, maka mengapa penebangan dan pembakaran pohon kurma ini engkau lakukan?" Maka ayat ini turun sebagai jawaban terhadap mereka dan untuk menghinakan orang-orang fasik. (6) Tsabat dapat dilihat dalam hal penolakan Al-Qur'an terhadap semua bentuk ijtihad atau pendapat yang bertentangan dengan nash hukum, sebab pendapat makhluk tidak mungkin akan sejajar dengan statement Sang Pencipta. Oleh karenanya, Al-Qur'anul Karim mengecam mereka-me- reka yang menghalalkan riba dengan dalih identik dengan jual-beli. padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka saat itu tidak mungkin diterima apa yang disebut qiyas (analogi).

Berkenaan dengan hal tersebut, Allah berfirman: "... yang demikian itu karena mereka berkata, ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Q.s. Al-Baqarah: 275).

Pada saat yang sama murunah dapat pula dilihat dalam hal pensya- riatan ijtihad pada masalah-masalah peradilan dan sejenisnya yang memang di dalam pemahamannya ada perbedaan dan mempunyai taraf per- selisihan yang beragam. Dalam hal ini Allah berfirman:

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di saat keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat dan kepada masing-masing mereka telah Kami beri hikmah dan ilmu. ” (Q.s. Al-Anbiya’: 78-9)

Dalam ayat ini Allah memberikan kekhususan pemahaman kepada Sulaiman yang tepat dalam berijtihad dan Allah memuji keduanya dengan keluasan hikmah dan ilmu. Sekalipun salah satu di antara mereka salah, namun mereka telah berijtihad dan berpendapat terhadap masalah yang masih mengandung beberapa penafsiran (kemungkinan).

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 247

Page 236: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Tsabat dan Murunah dalam Sunnah Nabi Apabila kita mau merenungkan Sunnah Nabi saw. yang suci, baik itu berupa

ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau, niscaya kita akan men- dapatinya penuh dengan contoh-contoh dan bukti-bukti yang menerang- kan tentang tsabat dan murunah. (1) Tsabat dapat dijumpai dalam hal penolakan Rasulullah terhadap cara mempermudah dan asal-asalan dalam setiap hal yang berkaitan dengan penyampaian wahyu. Atau berkenaan dengan integralitas, nilai dan asas-asas ideologi serta moralitas dien.

Walau mereka berusaha sekuat tenaga dan menempuh berbagai macam tawar-menawar, ancaman-ancaman atau yang sejenisnya, maka sikap beliau tetap tidak berubah, yakni akan menolak secara tegas. Hal tersebut sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur’an dalam berbagai ke- sempatan dan peristiwa. Maka tatkala kaum musyrikin hendak melaku- kan negosiasi agar beliau mau menerima sesuatu dari ajaran agama mereka dan mereka pun bersedia menerima ajaran beliau, atau mereka me- nyembah Tuhan beliau dalam waktu tertentu dan beliau pun menyembah

248 Karakteristik Islam

Page 237: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tuhan mereka, dalam waktu tertentu pula. Semua tawaran tersebut dija- wab secara tegas oleh seorang penerima wahyu, sebagaimana yang ter- tera dalam Surat Al-Kafiruun.

Dalam surat itu dikikis habis segala bentuk tawar-menawar dan ditolak tegas semua bentuk perundingan. Allah berfirman:

“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sem- bah. Dan aku tidak pemah menjadi penyembah apa yang engkau sembah dan kamu tidak pemah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamu dan untukku agamaku. ” (Q.s. Al-Kafiruun: 1-6).

Ketika Rasulullah saw. membacakan ayat-ayat Allah dengan penuh kejelasan, yang isinya mengingkari segala bentuk kesyirikan dan keing- karan mereka serta menerangkan kesesatan dan kesombongan mereka, maka mereka membalasnya dengan perkataan: “Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini! ” Rasulullah pun menjawab dengan jawaban cukup tegas yang dituntun oleh wahyu: “Katakanlah, ‘Tidak patut bagiku meng- gantinyadari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tu- hanku pada siksa hari yang besar.’ Katakanlah, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tiada pula memberitahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal ber- samamu lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya’?” (Q.s. Yunus: 15-6).

Demikianlah Rasulullah saw. belajar dengan seksama dari wahyu Allah agar tidak memandang remeh dan mempermudah dalam urusan akidah dan apa pun yang berkaitan dengannya.

Ketika Utbah bin Rabi’ah mendatangi beliau, berbicara atas nama bangsa Quraisy seraya membujuk Nabi saw. dengan beberapa perhias- an dunia, barangkali saja beliau mau menerimanya dengan syarat harus mengundurkan diri dari medan dakwah yang sempat mengguncang sing- gasana Quraisy.

Saat itulah dia berkata kepada Nabi saw.: "Wahai anak saudaraku [panggilan akrab] apa yang engkau lakukan — yang dapat memecah jamaah kita ini — dengan maksud engkau ingin dunia (harta), akan kami kumpulkan harta-harta kami untukmu hingga engkau menjadi orang ter- kaya di antara kami. Kalau engkau menghendaki kekuasaan, akan kami angkat engkau menjadi raja bagi kami. Dan kalau engkau menghendaki kemuliaan, akan kami jadikan engkau orang termulia di antara kami, sehingga kami tidak memutus hubungan karena dakwahinu ini."

Ketika Utbah selesai berbicara, Rasulullah berkata kepadanya: “Cu- kupkah apa yang engkau bicarakan itu wahai Abu Walid (panggilan untuk Utbah) ? Baiklah, dengarkanjawabanku. ” Kemudian beliau membaca Surat Fushshilat mulai ayat pertama sampai firman Allah yang ber- bunyi: “Jika mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Aku telah memper- ingatkan kamu dengan petir, seperti

Menyatukan antara Tathnw-wiir dan Tsabat 249

Page 238: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

petiryang menimpai kaum ‘Aad dan kaum Tsamud’.” (Q.s. Fushshilat: 13). Setelah mendengar ayat-ayat tersebut, serasa petir telah menyam- bamya dan

menyambar kaumnya. Lalu dia berkata: "Semoga Allah mem- berimu rahmat wahai anak saudaraku, agar engkau dapat menghentikan ini."

Di saat bangsa Quraisy berusaha melakukan tekanan demi tekanan kepada Abu Thalib agar dia mau membujuk kemenakannya untuk menghentikan dakwahnya, minimal memperkecil volume semangatnya. Sampai suatu saat mereka bahkan menantang Abu Thalib beserta bani Ha- syim melakukan adu kekuatan hingga ada yang tampil sebagai peme- nangnya. Atau jika tidak dengan cara demikian, mereka menghendaki Abu Thalib agar mau menghentikan Muhammad di dalam mencela tuhan-tu- han Quraisy, menyesatkan para nenek moyang dan membodoh-bodohkan para tokoh mereka.

Abu Thalib akhimya tidak tahan menghadapi gencamya tekanan ini, lalu mengadukan masalahnya kepada Nabi Muhammad saw. seraya berkata: "Wahai kemenakanku! Janganlah sekali-kali engkau membebaniku dengan sesuatu yang aku tiada kuasa melakukannya." Dari ucapan Abu Thalib ini Rasulullah mengira bahwa pamannya tidak mau lagi membela dan hendak menyerahkan beliau kepada kaum Quraisy. Saat itulah air mata tidak mampu terbendung lagi dari kedua kelopak mata beliau sebagai pertanda keteguhan dan ketegarannya. Beliau lalu bersabda dengan kata- kata yang terkenal sepanjang sejarah:

“Demi Allah! Wahai Pamanku, seandainya mereka berhasil mena- ruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini [dakwah], sungguh aku tidak akan mening- galkannya sampai Allah memenangkan aku atau aku hancur karena- nya. ”

Demikian pula halnya sikap beliau terhadap sebagian kabilah Arab, yakni bani Amir bin Sha'sha’ah tatkala beliau berdakwah kepada mereka pada musim haji di Mekkah. Maka mereka akhimya mau menerima dan masuk Islam serta membela beliau, namun dengan catatan mereka ha- rus diberi kekuasaan setelah itu. Rasulullah menolak mentah-mentah tran- saksi bisnis murahan semacam ini seraya bersabda: “Perkara ini semuanya kembali kepada Allah dan akan diletakkan kepada yang dikehen- daki-Nya. ”

Juru bicara mereka berkata: "Apakah kami akan menyerahkan dada- dada kami kepada orang Arab selain Anda, sehingga ketika Allah me- menangkan Anda atas perkara ini jatuh kepada selain kami? Jika demikian, kami tidak membutuhkan Anda." Mereka akhirnya menolak seruan Nabi saw, namun beliau tidak mempedulikannya/’

Juga sikap beliau kepada Musailamah Al-Kadzdzab yang telah mengklaim dirinya sebagai Nabi bagi kaumnya. Dia menulis surat kepada Rasulullah saw.: "Dari Musailamah kepada Muhammad Rasulullah, semoga keselamatan atas Anda. Sesungguhnya dalam masalah ini (ke- nabian) aku sama dengan kamu [artinya sama-sama sebagai Nabi], Sesungguhnya kita datang untuk mengatur bumi, namun

250 Karakteristik Islam

Page 239: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

bangsa Quraisy adalah kaum yang melampaui batas." Rasulullah kemudian mengirim surat kepadanya: “Bismillahirrah-

maanirrahiim: Semoga keselamatan diberikan kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, sesungguhnya bumi ini milik Allah dan akan diwariskan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan sebaik- baik akhir (a hi bat) itu bagi orang-orang yang bertakwa. ”5

Inilah tsabat ideologis yang tidak mengenal (menerima) tawar-me- nawar dalam masalah akidah dan prinsip.

Dan sebagai kebalikannya, kita jumpai murunah dalam masalah si- kap-sikap yang berkenaan dengan politik dan strategi di dalam mengha- dapi musuh. Dimana memang dalam hal itu dibutuhkan sikap tertentu dari bentuk gerakan, pemahaman dan prakiraan di setiap sisi dan pergumul- an, tidak boleh jumud atau konservatif dalam bertindak.

Kita melihat dalam perang Ahzab misalnya, Rasul saw. justru menerima pendapat Salman untuk menggali khcmdaq (parit) di sekitar Madinah. Rasulullah juga bermusyawarah dengan para pemuka Anshar dalam hal kemungkinannya memberi sebagian mereka yang bertempur bersama bangsa Quraisy dengan sesuatu bagian dari buah yang ada di

‘'Sirah Ibnu Hisyam, jilid II, him. 66 5IbuL

jilid IV, him. 247.

Madinah. Hal ini untuk memancing kemudian mencerai-beraikan mereka agar dapat terpisah dari sekutu-sekutunya. Ini dilakukan untuk meman- faatkan kesempatan, sampai ada perubahan strategi.

Rasulullah saw. berkata kepada Na’im bin Mas’ud Al-Asyja’i — ketika itu dia telah masuk Islam dan ingin bergabung ke dalam barisan kaum Muslimin — : “Sesungguhnya Anda sendirian, 'maka berusahalah sedapat mungkin untuk membela kami. ” Maka dengan daya upayanya, Na’im bin Mas’ud memainkan peranannya untuk memecah belah barisan kaum Quraisy dan Ghathafan serta Yahudi bani Nadhir. [Artinya, Rasul tidak menentukan cara apa yang harus diambil atau dilakukan, namun itu semua diserahkan kepadaNa’im sesuai potensi yang dimilikinya].

Juga pada waktu perdamaian Hudaibiyah, tampak jelas murunah yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara yang sangat menakjubkan. Terlukis dalam ucapan beliau saat itu: “Demi Allah, tidaklah kaum Qu- raisy itu meminta kepadaku suatu strategi yang di dalamnya menuntut untuk silaturrahim, kecuali akan aku penuhi permintaan mereka.”

Murunah terlihat ketika beliau menerima tawaran untuk menanda- tangani akad perdamaian yang dibuka dengan kata-kata: “Bismikalla- hummah,” sebagai

Menyatukan antara Tathami’ur dan Tsabat 251

Page 240: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

ganti dari Bismillahirrahmaanirrahiim. Dimana kata-kata ini ditolak oleh bangsa Quraisy.

Rasulullah saw. saat itu juga bersedia menerima usulan mereka yang mengharuskan beliau untuk menghapus kata-kata: "Rasulullah" di belakang kata "Allah yang mulia". Padahal saat itu Ali r.a. bersikeras me- nolak usulan tersebut setelah kata-kata tersebut ditulis.

Sekalipun syarat-syarat tersebut tampak sangat memberatkan kaum Muslimin pada umumnya, namun dengan lapang dada diterima juga persyaratan itu oleh Rasulullah, dimana pada akhimya justru mengun- tungkan mereka.

Rahasia murunah di dalam peristiwa ini dan tsabat pada peristiwa- peristiwa sebelumnya adalah karena peristiwa-peristiwa sebelumnya berkaitan erat dengan masalah ideologi dan prinsip hidup. Maka di sana tidak ada istilah tawar-menawar atau upaya untuk mempermudah. Oleh karena itu, Rasul tidak surut sejengkal pun dari prinsip beliau. Adapun peristiwa-peristiwa yang baru kita ketengahkan tadi itu lebih terkait pada masalah-masalah non-prinsip dan siasat temporer atau hal-hal yang ber- sifat formalitas. Maka sikap yang diambil oleh beliau adalah luwes dan penuh kemudahan.

252 Karakteristik Islam

Page 241: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

(2) Tsabat dan murunah secara bersamaan tercermin dalam sikap Rasulullah saw. terhadap utusan bani Tsaqif. Saat itu mereka hendak masuk Islam, namun dengan syarat agar masih tetap diperkenankan untuk menyembah satu patung dimana sebelumnya menjadi sesembahannya, yakni Latta, selama tiga tahun saja. Rasulullah menolaknya. Kemudian mereka meminta keringanan satu tahun saja. Rasulullah juga menolaknya. Sampai akhirnya mereka minta keringanan untuk diperkenankan me- nyembahnya cukup satu bulan. Namun kendati demikian Rasulullah saw. tetap menolaknya hingga akhirnya beliau mengutus Abu Sufyan dan Mu- ghiroh bin Syu’bah untuk menghancurkan patung (Latta) tersebut.

Begitu pula pada saat yang sama, setelah mereka berhasil meninggalkan penyembahan pada sang patung, mereka memohon kepada Rasulullah kiranya berkenan memberi dispensasi kepada mereka untuk tidak melaksanakan salat dulu dan agar yang menghancurkan patung- patung yang ada bukan tangan mereka. Rasulullah saw. bersabda: “Kalau menghancurkan patung-patung yang ada tidak dengan tangan kalian, maka kami dapat mengabulkannya, tetapi tentang salat, maka sung- guh tidak ada kebaikan dalam agama yang tidak ada salat di dalam-nya. ”6

Di sini jelas, ketika di hadapkan pada akidah dan prinsip, sama sekali Rasulullah saw. tidak memberi keringanan (dispensasi) atau mem- permudah. Seperti dalam hal penyembahan atas Latta dan masalah salat. Tetapi, ketika berhadapan dengan masalah cara dan sarana, maka di sanalah tempatnya toleransi dan mempermudah. Seperti dalam hal cara menghancurkan patung, dimana masalah ini sama sekali tidak berhubung- an dengan masalah yang prinsip, hal itu berkenaan dengan cara penye- lesaiannya saja. (3) Tsabat tercermin dalam sikap beliau saat menghadapi seorang dari bani Makhzum yang mencuri. Saat itu bangsa Quraisy berusaha untuk membebaskannya dari hukuman dengan jalan memohon syafaat kepada Rasulullah saw. melalui sahabat kesayangan beliau, Usamah bin Zaid. Seketika itu juga beliau marah kepada Usamah, seraya berkata di hadap- an mereka (bangsa Quraisy):

“Sesungguhnya yang merusak orang-orang sebelum kamu adalah manakala yang mencuri di kalangan mereka itu orang terpandang, mereka membiarkannya (tidak dihukum). Namun bila si pencuri itu rakyat jelata, mereka laksanakan

6Sirah Ibnu Hisyam, jilid IV, him. 184-5.

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 253

Page 242: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hukuman (atasnya). Sungguh, demi Allah! Seandainya Fatimah bind Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya.” (H.r. Bukhari-Muslim)

Sementara itu murunah tampak di dalam sabda beliau: “Janganlah engkau potong tangan (karena mencuri) pada saat peperangan. ” Ini untuk menjaga suasana perang, karena dikhawatirkan jika sampai sang pe- laku pencurian itu justru akan bergabung dengan orang-orang kafir.

Juga seperti sabda Nabi saw.:

“Hindarilah hudud (hukuman) semampu kalian. Apabila ada ala- san untuk menanggalkannya, maka lakukanlah. Kekeliruan sang pemimpin di dalam pengampunan itu lebih baik daripada kekeliruan dalam hukuman(H.r. Al-Hakim). (4) Tsabat terlihat dalam hal kekerasan dan ketegasan Rasulullah saw. di dalam melaksanakan fardhu-fardhu Allah dan menegakkan syiar-syi- ar ibadat seperti salat, zakat, puasa dan yang lainnya. Bahkan beliau menjadikan salat itu sebagai batas antara Islam dan syirik. Beliau pun mendeklarasikan bahwa: “Barangsiapa meninggalkan salat ashar, maka akan terhapus semua kebajikan amalnya. Bahkan barangsiapa melalai- kan (menyepelekan) sebagian dari syarat-syaratsalat —padahal diame- lakukannya —maka dia akan menerima siksa di dalam kuburnya. De- mikian halnya dengan seseorang yang tidak dalam keadaan bersih kembali setelah buang air kecil.” Hadis ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim.

Kita juga dapat menjumpai, bahwa beliau hendak membakar rumah suatu kaum yang tidak melaksanakan salat jamaah. Dan ketika ada salah satu sahabat yang buta hendak meminta keringanan untuk melaksanakan salat di rumah, beliau berkata kepadanya: “Apakah engkau men- dengar suara adzan?” Ia menjawab: "Ya, sayamendengamya!" Maka Rasul pun bersabda: “Aku tidak dapat memberikan keringanan kepadamu.” (H.r. Muslim).

Dalam hal puasa, diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Ada tiga hal yang merupakan kunci agama dan kaidah Islam. Di atasnyalah

tertumpu asas-asas Islam. Barangsiapa yang meninggalkan salah satunya, maka dia itu telah kafir dan halal darahnya [halal untuk dibunuhj. Ketiganya itu adalah: 'Syahadat, bahwa tiada Ilah kecuali Allah, salat-salat wajib dan puasa pada bulan Ramadhan’." (H.r. Abu Ya’la dengan sanad hasan).

Diriwayatkan dari Abi Hurairah: “Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan tanpa

254 Karakteristik Islam

Page 243: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sebab dan sakit, maka dia tidak menebusnya meski puasa sepanjang hidupnya.” (H.r. Ashhabus Sunan dan Ibnu Huzaimah dalam kitab shahih-nya).

Di balik kekerasan dan ketegasan ini, kita jumpai adanya muainah dan toleransi. Ini terlihat dalam syariat mkshoh (dispensasi) terhadap masalah salat dan puasa. Seperti keringanan ketika sakit, bepergian, salah, lupa, dan dalam suasana terpaksa dan lain sebagainya.

Contoh untuk itu misalnya diperkenankan untuk mengqasar salat yang mempunyai bilangan empat rakaat dengan dua rakaat ketika dalam kondisi bepergian. Begitu juga jama' antara dua salat, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat perang Tabuk maupun pada kesempatan lainnya. Juga jama' sewaktu hujan dan takut akan musuh.

Klimaks dari itu semua adalah diperkenankannya jama' tanpa sebab bepergian dan hujan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah saw. Ketika ditanya sebab serta hikmah yang ada di dalamnya, Ibnu Abbas menjawab: "Beliau tidak ingin memberatkan ummat." Jadi, hikmahnya di sini adalah untuk menghilangkan beban berat atas ummat Islam.

Demikian pula syariat tayamum ketika tidak menemukan air, atau berbahaya jika menyentuhnya. Juga dibolehkan berbuka bagi orang sakit dan musafir, kaum wanita yang hamil dan menyusui, orang tua, dan diperintahkan kepada kaum mujahidin untuk berbuka ketika menghadapi musuh, kalau hal itu dapat menambah daya tahan tubuh.

Rasulullah saw. juga memerintahkan untuk tetap rhelanjutkan puasa bagi orang yang makan dan minum karena lupa ataupun tidak disengaja. Karena Allah-lah yang memberinya (menakdirkannya) makan dan minum tadi.

Di antara keluwesan dan toleransi yang diberikan oleh Rasulullah adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Abi Hurairah: "Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw, tiba- tiba datang seorang laki-laki dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, celakalah saya!’

Rasulullah bertanya: ‘Apa yang telah menimpamu?’ Dijawab oleh laki-laki itu: ‘Saya telah menggauli istri saya padahal saya

sedang puasa. ’ Rasulullah bertanya: ‘Mampukah dirimu memerdekakan budak?’ Dia

menjawab: ‘Saya tidak mungkin mampu untuk melakukannya.’ Rasulullah bertanya: “Apakah kamu sanggup untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’

Laki-laki tersebut menjawab: ‘Tidak sanggup, ya Rasulullah.’ Rasulullah bertanya: ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh fakir miskin?’

Dia menjawab: ‘Saya tidak mampu untuk menunaikannya.’ Kemudian beliau pun berkata: ‘Baik, sekarang duduklah!’ Dan Rasul pun masuk ke dalam dan keluar sambil membawa sekeranjang kurma. Beliau bertanya lagi: ‘Siapa yang membutuhkannya?’ Menyatukan antara Tathawtvur dan Tsabat 255

Page 244: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Dia menjawab: ‘Saya, ya Rasulullah!’ Rasul berkata: ‘Baiklah, ambillah ini dan sedekahkan kepada fakir miskin!’ Maka laki-laki itu berkata: ‘Apakah ada yang lebih fakir daripada diri saya

wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara kami tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarga saya. ’

Rasulullah saw. pun tertawa mendengar ucapan laki-laki tersebut, sampai gigi geraham beliau kelihatan seraya bersabda: ‘Baik, berikan ini kepada keluargamu’!”

256 Karakteristik Islam

Page 245: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Di sini kita melihat bagaimana Rasulullah sangat memperhatikan kondisi laki-laki tersebut. Beliau mewakilinya dalam memberi makan fakir miskin sebagai kaffarat dari dosa yang dilakukan orang itu. Kemudian memberikan keringanan untuk mengambil kurma pemberian beliau guna dikonsumsi oleh keluarganya. Dengan ini orang tadi kembali mem- bawa hadiah (pemberian Nabi saw.) sebagai pengganti hukuman atas dirinya, juga sarana untuk menjaga dan memelihara kondisi pribadinya. Khususnya karena dia datang dengan maksud bertobat, menyesal dan mengakui kesalahannya. (5) Tsabat juga tercermin dalam hal keingkaran Rasulullah terhadap orang yang membuat persyaratan justru bertentangan dengan hukum Allah dalam masalah akad. Beliau bersabda:

“Bagaimana mungkin orang-orang yang membuat persyaratan itu justru di luar ketentuan kitab Allah? Syarat apa pun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka syarat itu batal hukumnya, meski seratus syarat.” (H.r. Bukhari dalam kitab Al- 'Ithqu dari Aisyah r.a.).

Sementara itu murunah tampak dalam hal diperkenankannya syarat yang sesuai dengan keinginan kedua belah pihak yang melakukan akad, selama tidak bertentangan dengan nash atau kaidah syara’. Dengan kata lain, tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini sebagaimana dalam hadis: “Kaum Muslim itu sesuai dengan syarat yang ditentukan mereka." (H.r. Muslim dan Abu Daud).

Mengacu dari hadis ini, maka telah pula mengindikasikan pada semua akad yang dilakukan kaum Muslim apabila tidak bertentangan dengan syariat. Sebagaimana pendapat ini dipilih oleh pengikut Imam Ham- bali, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. (6) Tsabat terlihat dalam penolakan qadha’ (peradilan) apabila hal itu dilakukan atas dasar kebodohan dan ketidaktahuan, walaupun hasilnya benar. Karena hal itu dilakukan tidak sesuai prosedur yang ada, namun hanya sekadar ketidaksengajaan untuk mencapai kebenaran. Begitu pula qadha' yang bertentangan dengan al-haq, karena mengikuti hawa nafsu dan cinta dunia. Dari sanalah lahir sebuah hadis:

“Dua orang hakim berada di neraka dan seorang berada di surga. Seorang hakim yang tahu al-haq, kemudian memutuskan perkara dengan al-haq tadi, maka dia berada di surga. Seorang hakim yang tahu al-haq, tetapi memutuskan perkara bukan dengan al-haq tadi, maka hakim ini berada di neraka. Dan seorang hakim yang memutuskdn perkara dengan kebodohan, maka dia juga berada di neraka.”

Sementara murunah terlihat dalam persetujuan Rasulullah saw. terhadap Mu’adz bin Jabal atas ijtihad yang dilakukan olehnya ketika me- ngadili suatu perkara, setelah tidak ditemukan pemecahannya dalam Al- Qur’an maupun Sunnah. Juga persetujuan Rasulullah terhadap para sa- habat atas ijtihad yang mereka lakukan perihal salat ashar di kampung bani Quraidzah. Dimana saat itu

Menyatukan antara Tathaw’H'ur dan Tsabat 257

Page 246: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sekelompok sahabat berpendapat dengan mengambil dhahimya perintah, sementara yang lain mengambil maksudnya. Rasulullah justru membenarkan keduanya.

Beliau bersabda dalam masalah ini: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar dalam ijtihadnya itu, maka dia

mendapat dua pahala. Dan apabila berijtihad dan salah, maka dia mendapat satu pahala. ”

Terlihat di sini, Rasulullah menetapkan prinsip berijtihad untuk mengambil istimbath hukum syar’i pada setiap peristiwa baru. Baik istim- bath itu diambil dari nash, atau qiyas atau dari yang lainnya, yang ber- orientasi maslahat, dimana mashlahat itu sendiri merupakan maksud dari datangnya syariat. Dalam hadis ini pula Rasulullah saw. menetapkan pahala bagi mujtahid, meski salah dalam ijtihadnya. (7) Tsabat tampak jelas dalam hal penolakan dan pelarangan Rasulullah saw. terhadap segala penemuan baru dan bid’ah di dalam masalah yang berhubungan dengan ibadat serta bentuk-bentuk taqarrub kepada Allah. Sebab, yang asal dalam ibadat itu adalah haram dan nienyerah. [Maksudnya, haram untuk membuat topik baru dan menyerah kepada ke- tentuan Allah semata].

Karenanya, seseorang tidak beribadat kecuali sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh-Nya. Bukan karena akal menganggap baik atau tidak disebabkan disesuaikannya dengan tuntutan hawa nafsu. Jika hal ini sampai dilakukan, niscaya masuklah pada bab berlebih-lebihan dan penyelewengan dalam agama.

Tidak heran jika Rasul menutup rapat-rapat pintu ini, sebagaimana sabda beliau: “Barangsiapa membuat sesuatu (hal) baru dalam perkara agama kami ini yang tidak ada dasarnya, maka hal itu tertolak.” (H.r. Bukhari dari Aisyah r.a ).

Juga sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad dari Rasulullah saw., yang bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka perbuatan itu tertolak."

Begitu pula hadis riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Irbadh bin Sa- riyah: “Jauhilah perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap bid’ah itu sesat.”

Sementara itu murunah terlihat dalam hal dorongan untuk melakukan penemuan-penemuan baru dalam masalah-masalah keduniaan. Seperti alat-alat komunikasi yang diisyaratkan oleh firman Allah setelah menyebut kuda, himar dan keledai: “Dan Diajadikan apa yang kamu tidak tahu.’’ (Q.s. An-Nahl: 8). Seperti sarana-sarana peperangan yang tercakup dalam firman Allah. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kamu mampu sanggupi ...” (Q.s. Al-Anfal: 60).

Seperti juga pembuatan bendungan besar yang diisyaratkan oleh Allah dalam kisah Dzulqamain yang terdapat pada Surat Al-Kahfi dan juga seluruh pembuatan persenjataan dan alat-alat serba canggih lainnya, yang diisyaratkan oleh Allah dalam ayat: “Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (Q.s. Al-Hadid: 25).

258 Karakteristik Islam

Page 247: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Karena itulah, Rasulullah saw. menggali parit ketika perang Ahzab, menggunakan manjaniq (sejenis tombak besi) dalam perang Thaif, memerintahkan memproduksi sejumlah perlengkapan perang (senjata), hingga beliau mengategorikan pembuat anak panah sebagai seorang mujahid dalam hal mendapatkan pahala dari Allah. Dan melarang ummat agar tidak hanya terpaku pada satu bentuk tetanaman dan mengikut (mengekor) di belakang punggung sapi [taklid].

Sebagaimana kita ketahui pula bahwa Rasulullah menarik penda- patnya dan mengikiiti pendapat para sahabat, ketika beliau mengetahui bahwa mereka lebih tahu dan mengerti dalam masalah-masalah keduniaan vang berada di luar konteks wahyu. Hal ini sengaja dibiarkan bagi perkembangan akal dan pengaiaman. Mereka dapat belajar dari sana dengan dorongan kebutuhan dan perhatian terhadap maslahat dan kehidupan.

Contoh yang paling jelas untuk itu adalah dalam peristiwa penanam- an dan perkawinan kurma [antara putik dan benang sari] yang hal itu merupakan kebiasaan penduduk Madinah, karena mereka memang ahli di bidang penanaman kurma. Rasulullah saw. bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka perbuat, kemudian beliau menerangkan pen- dapatnya seraya bersabda: “Apa yang saya katakan tadi sepertinya cocok.” Pendapat Rasulullah ini sampai ke telinga mereka. Mereka semua mengira bahwa itu wahyu atau syariat. sehingga mereka tinggalkan cara yang biasa dilakukan dalam hal pembuahan kurma tadi. Akan tetapi, temyata hal itu justru menjadikan pohon kurma mereka tidak berbuah. Ketika Rasulullah saw. mengetahui hal itu, beliau pun bersabda:

“Sesungguhnya aku ini manusia hiasa. Apabila aku telah memerin- tahkan sesuatu dalam masalah agama, maka lakukanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu dengan pendapatku, maka sesungguhnya aku ini manusia. ”

Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Sesungguhnya aku ini berpendapat dan berprasangka, maka janganlah hal

ini engkau lakukan dengan dugaan. Kamu sekalian lebih mengerti dalam perkara duniamu. ” (H.r. Muslim). (8) Tsabat juga tercermin dalam hal penolakan dan larangan Rasulullah terhadap al-ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah agama dan me- ngalihkan Islam dari wasthiyyah (moderat) dan keseimbangannya menuju ekstrimitas beku, baik dalam masalah akidah, ibadat, akhlak maupun syariat.

Dari sana kita lihat Rasulullah saw. bersikap sangat tegas di dalam melarang perbuatan berlebih-lebihan terhadap masalah agama. Beliau bersabda:

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 259

Page 248: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Jauhilah al-ghuluw (berlebih-lebihan), karena sesungguhnya o- rang-orang sebelum kamu banyak yang rusak karena al-ghuluw.” (H.r. Muslim).

Oleh karena itu, Rasulullah saw. menolak sikap berlebihan dalam menyanjung beliau, guna memelihara dan menjaga tauhid dari benih-be- nih kesyirikan. Ketika ada seseorang berkata: "Ini adalah kehendak Allah dan kehendak Anda (Muhammad)," beliau langsung menegur: "Sungguh, sejelek-jelek pembicara adalah engkau, katakanlah, ‘Ini adalah kehendak Allah semata’!”

Beliau juga bersabda:

260 Karakteristik Islam

Page 249: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

“Janganlah engkau memujiku sebagaimana kaum Nasrani memuji Isa bin

Maryam, akan tetapi katakan saja, ‘(Muhammad itu) hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih).

Rasulullah sama sekali tidak pemah menganggap remeh pada masalah yang berhubungan dengan tauhid atau syirik. Dari sana beliau ber- komentar tentang pengalungan jimat dengan sabdanya: “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (sejenis jimat untuk kesempurnaan- nya), Allah tidak akan berkenan menyempumakannya. Dan barangsiapa yang menggantungkan wad’ah (jimat untuk penjagaan diri), Allah tidak akan menjaganya. ”

Beliau juga bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik. ”

Dalam bidang perilaku (akidah), beliau bersabda: “Celaka orang- orang yang berlebihan, celaka orang-orang yang berlebihan, celaka o- rang-orang yang berlebih-lebihan.” Orang yang berlebih-lebihan adalah para ekstrimis ortodok (dalam masalah agama).

Ketika sampai berita kepada beliau tentang sekelompok sahabat yang menuju ke arah berlebih-lebihan dalam beribadat dengan mengabaikan hak diri, keluarga, dan masyarakat mereka dimana salah satu di antara mereka bersikeras untuk terus-menerus berpuasa, sedangkan yang kedua akan terus-menerus qiyamullail dan tidak tidur, lalu yang ketiga akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah. Pada saat itulah Rasulullah langsung menegumya secara keras dan mengingkari perbuatan mereka seraya bersabda:

“Adapun aku, maka aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah daripada kamu. Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka, qiyamullail dan tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang benci dengan sunnahku, dia tidak termasuk golongan- ku. ” (H.r. Bukhari).

Adapula sebagian sahabat yang ingin memutuskan nafsu seksual- nya, kemudian minta izin kepada Rasulullah, namun beliau tidak meng- izinkannya.

Sementara itu murunah tercermin dalam hal cara untuk berdakwah, menyiasati manusia, mengajarkan nilai-nilai moral dan dalam hal berbicara dengan manusia sesuai kadar intelektual mereka. Oleh karenanya,

S'* >>_J s 1 S iy I -XJA£- H ^ ■" * s L? f*sV*

Menyatukan antara Tathawtvur dan Tsabat 261

Page 250: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dalam masalah ini beliau memerintahkan untuk senantiasa mempermu- dah dan menggembirakari serta melarang untuk mempersulit dan membuat mereka jadi lari dari dakwah. Beliau bersabda: “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan sekali-kali membuat o- rang lari. ”

Dalam sebuah kasus, ada seorang Badui kencing di masjid. Saat itu ada sahabat hendak memukulnya. Maka Rasulullah saw. pun bersabda: “Jangan engkau ganggu dia —jangan engkau putuskan kencingnya di tengah jalan — siramlah kencingnya itu dengan seciduk air, karena kamu diutus oleh Allah untuk mempermudah danhukan untukmempersulit. "

Di antara nilai akhlak yang dipegang teguh oleh beliau adalah bahwa beliau tidak memilih antara dua perkara kecuali pertengahannya, selama tidak ada unsur dosa. Andaikata sampai mengandung unsur dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhinya.

Dari sana, beliau sering menjawab pertanyaan yang sama namun dengan jawaban yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi dan situasi si penanya.

Dari sana pula, beliau sangat memperhatikan keberadaan dari kemanusiaan manusia serta bermuamalat dengan mereka sesuai dengan kemanusiaannya, bukan seperti malaikat yang suci. Sehingga ketika datang seorang sahabat bemama Handhalah yang mengeluh kepada Rasulullah akan perbedaan kondisi ketaatannya manakala sedang berkumpul bersama keluarga dan anak-anaknya, dengan ketika berkumpul bersama Rasulullah saw. Dia menyangka bahwa kondisi semacam itu adalah salah satu bentuk kemunafikan. Rasulullah bersabda kepadanya: “Wahai Handhalah, kalau engkau terus-menerus eksis dengan kondisimuini (kondisi ketika bersama Rasulullah), sungguh engkau akan disalami malaikat di jalan-jalan, akan tetapi wahai Handhalah ... sesaat dan sesaat..."

Begitu pula Rasulullah saw. memperkenankan disenandungkannya lagu-lagu di rumah Aisyah r.a. serta melarang Abu Bakar r.a. untuk menghentikan dua budak yang sedang bemyanyi, dengan sabda beliau: “Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, karena hari ini hari raya. ”

Rasulullah saw. juga memperkenankan Aisyah r.a. untuk menyaksi- kan para tentara dari Habasyah yang sedang bermain anak panah di masjid, sampai dia sendiri (Aisyah) yang meninggalkan arena. Ini untuk menghargai perasaan dan sifat kekanak-kanakannya. Bahkan Nabi saw. sendiri mengundang anak-anak gadis kaum Anshar agar mau bermain dan bersenda gurau dengan Aisyah.

Dan di antara murunah beliau adalah bahwa beliau menghargai setiap pendapat yang dilontarkan sahabat, meski bertentangan dengan pendapat ataupun perintah beliau sendiri. Seperti penghargaan beliau kepada Abi Hurairah yang memberi kabar gembira kepada manusia, bahwa barangsiapa yang berkata Laa ilaaha ilia Ilah, akan masuk surga. Ketika Umar r.a. menyangkal pendapat tadi, karena takut justru nantinya akan membebani manusia (disebabkan kemudahannya). Barulah kemudian Rasulullah saw. menetapkan pendapat beliau

262 Karakteristik Islam

Page 251: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sendiri dan mencabut pendapat Abi Hurairah r.a, sebagaimana hal ini diterangkan dalam hadis riwa- yat Muslim.

Tsabat dan Murunah dalam Petunjuk Sahabat dan Khulafaur-Rasyidin

Apabila kita menelaah petunjuk sahabat-sahabat Nabi saw. — semoga Allah meridhainya — dimana mereka adalah alumni madrasah nubuwwat, generasi yang paling paham tentang Islam, paling hati-hati dalam merealisasikannya dan dalam menjaga hak-haknya, khususnya Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintah oleh Nabi saw. mengikuti sunnah mereka22 dan kukuh memeganginya ... Apabila kita telaah, akan kita dapatkan lembaran-lembaran sejarah yang menerangkan secara jelas tentang karakteristik "Penyatuan antara tsabat dan murunah" tanpa ku- rang atau berlebihan. (1) Tsabat tercermin dalam sikap Abu Bakar r.a. terhadap mereka-me- reka yang tidak mau menunaikan zakat. Mereka mengatakan: "Kami salat dan kami tidak mengeluarkan zakat." Abu Bakar juga menolak pem- bedaan antara ibadat badaniyah (salat) dan ibadat amaliyah (zakat), karena keduanya selalu disebut secara bersama-sama dalam Al-Qur’an maupun Sunnah.

Dalam hal ini Abu Bakar berkata dengan perkataan yang abadi se- panjang sejarah: "Demi Allah, akan aku perangi orang-orang yang mem- bedakan antara salat dan zakat. Demi Allah, seandainya mereka mela- rangku untuk mengeluarkan zakatnya ilnaq (unta kecil), dimana hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw, sungguh aku akan memeranginya."

Di sisi lain, keluwesan tercermin pula dalam sikap beliau kepada "saifullah" (pedang Allah) Khalid bin Walid r.a, manakala terjadi ke- keliruan atas terbunuhnya Malik bin Nuwairoh dan pengikutnya dalam perang Riddah. Abu Bakar saat itu tidak begitu mengh'iraukan kemarah- an Umar dan Abu Qatadah Al-Anshari serta protes mereka berdua kepada Khalid bin Walid yang telah membunuh kaum yang temyata tidak murtad dari Islam.

Ketika Umar r.a. bersikeras untuk mempengaruhi Abu Bakar r.a. dalam masalah Khalid, beliau berkata kepada Umar: "Biarlah Umar! Dia itu telah berijtihad dan salah, maka hentikan kata-katamu terhadap Khalid." Umar belum puas mendengar jawaban Abu Bakar ini, dan terus-me- nerus berusaha mempengaruhi Abu Bakar. Ketika sudah sedemikian ter- jepit, Abu Bakar lantas berkata: "Wahai Umar! Tidak mungkin aku akan menyarungkan pedang yang dihunuskan oleh Allah kepada orang kafir."

Mungkin di sini Abu Bakar r.a. melihat kesalahan Khalid r.a. sebagai satu

22Bukanlah yang dimaksud Suiuiah KJiulafaur-Rasyidin itu adalah perkataan mereka (secara) pribadi dan pendapat-pendapat mereka sendiri dalam bidang fiqih, tafsir atau yang sejenisnya. Akan tetapi, yang dimaksud adalah manhaj mereka secara umum dalam memahami dan melaksanakan hukum Islam. Atau dengan kata lain mengikuti manhaj fikri dan amaliah mereka. Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 263

Page 252: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kelemahan dari sekian banyak keutamaan (kelebihan) yang di- milikinya. Kemenangan demi kemenangan telah diberikan oleh Allah le- wat tangannya dan dia pun masih diprediksikan untuk memenangkan kem- bali pertempuran-pertempuran mendatang, mengingat marabahaya masih menyelimuti jamaah Muslimat saat itu.

Kisah serupa juga pemah terjadi pada masa Rasulullah saw, ketika berkomentar tentang masalah Hatib bin Abi Balta’ah pada saat Fathu Makkah. Saat itu ia menginformasikan kabar keberangkatan Rasul dari Madinah beserta balatentara beliau kepada kaum musyrikin Mekkah. Perbuatan ini merupakan sebuah pengkhianatan.

Rasulullah bersabda: “Apa yang engkau ketahui tentang dia? Ba- rangkali Allah sendiri telah mengetahui bahwa dia dari ahli Badar, maka Dia pun berfirman, ‘Berbuatlah sekehendakmu, Aku telah mengam- puni dosa-dosamu’. ” [Dosa-dosa orang yang ikut dalam Perang Badar],

Sikap Nabi saw. ini menunjukkan bahwa kecemerlangan-kecemer- langan masa lalu itu dapat memberikan backing moral bagi pemilik (pe- laku)nya. Ini adalah rahasia keluwesan sikap Abu Bakar dalam masalah ini, sebagai timbal balik dari ketegasan sikap beliau dalam memerangi o- rang-orang yang enggan menunaikan zakat. Sebab, sikap pertama [masalah keengganan membayar zakat] itu berkaitan erat dengan fardhu (rukun) asasi yang notabene tidak boleh mundur sejengkal pun atau ada tawar- menawar di dalamnya. Sedang sikap yang kedua (masalah Khalid bin Wa- lid) itu berkenaan dengan sikap individual yang sangat mungkin untuk di- ta’wil dan juga dalam situasi yang tidak stabil. (2) Tsabat dapat dilihat dalam sikap Umar bin Khaththab r.a. terhadap Jibillah bin Al-Aiham, seorang pemimpin suku Ghassan ketika dia me- nempeleng seseorang dari kalangan rakyat jelata. Orang yang ditempe- leng tadi tidak mau memaafkannya kecuali dengan qishash. Umar memin- ta orang tadi untuk memaafkannya, namun ia masih bersikeras minta agar penempeleng dirinya tadi diqishash. Akhirnya Jibillah bin Aiham melari- kan diri dan murtad dari Islam dengan maksud untuk menghindarkan diri dari qishash. Umar tidak menghiraukannya. Karena menurut beliau, meninggalkan prinsip keadilan dan kesamaan derajat di depan syariat itu lebih berbahaya daripada murtadnya seseorang dari Islam. Menghormati dan merealisasikan prinsip ini lebih penting daripada hanya sekadar me- rekrut satu orang, apa pun kedudukan sosial yang disandangnya.

Sementara itu murunah dapat dilihat dalam hal penundaan yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab r.a. terhadap pengeluaran zakat atas binatang temak, seperti unta, kerbau dan kambing pada masa paceklik. Hal ini untuk memudahkan manusia, dimana zakat itu akan diambil manakala kondisi mereka membaik. Umar juga tidak memotong tangan pencuri di saat musim kelaparan, sebagai realisasi dari kaidah "Meninggalkan hukuman karena adanya syubhat". Prinsip dan kaidah

264 Karakteristik Islam

Page 253: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

ini temya- ta diambil dari Sunnah Nabi saw. Contoh yang hampir sama juga dapat dilihat dari keluwesan beliau di dalam

menyikapi kaum Nasrani bani Tsaghlab. Dikatakan kepada beliau: "Sesungguhnya kaum ini wataknya keras. Mereka adalah orang-orang Arab yang anti pajak. Maka jangan sekali-kali engkau jadikan mereka sebagai musuh [karena tidak mau membayar pajak], Ambillah dari mereka pajak dengan atas nama sedekah. Mereka sejak dulu mau membayar sedekah berlipat ganda asal tidak bemama pajak." Pada mulanya Umar menolak usul ini, tetapi kemudian hari justru menyetujuinya, sebab di dalamnya terdapat unsur mengais manfaat dan mencegah madharat.23

Dalam kisah ini pula terdapat riwayat, bahwa Umar r.a. berkata: "Mereka (kaum Nasrani) itu bodoh. Mereka menerima hakikat namun menolak nama dan formalitasnya."24

Keluwesan Umar r.a. ini dapat juga dilihat dari sikap beliau meng- hadapi orang-orang yang murtad dalam situasi khusus. Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab As-Sunanul Kubro dengan sanad dari Anas bin Malik r.a. Dia berkata: "Ketika kami sampai di suatu tempat bemama ‘Tasattur’, kemudian beliau (Anas) menyebutkan peristiwa dalam sebuah penaklukan dan peristiwa kedatangannya kepada/Umar bin Khath- thab."

Umar r.a. berkata: "Wahai Anas! Apa yang dilakukan oleh kelompok enam orang termasuk Bakar bin Wail, dimana sekelompok orang ini telah murtad dari Islam dan bergabung dengan kaum kafir (musyrik)?"

Anas berkata: "Kemudian aku mengalihkan ke pembicaraan lain, agar beliau lupa pada masalah tadi."

Umar bertanya: "Apa yang terjadi dengan sekelompok enam orang yang murtad dari Islam dan bergabung dengan kaum musyrik termasuk Bakar bin Wail?"

Anas menjawab. "Wahai Amirul Mukminin, mereka semuanya te- was dibunuh dalam peperangan."

Umar berkata: "Inna lillahi wa inna ilaihi raaji ’uun" Anas berkata: "Wahai Amirul Mukmin, bukankah jalan satu-satu- nya bagi

mereka adalah dibunuh!" Umar menjawab: "Memang, tetapi aku telah menawarkan kepada mereka

untuk kembali ke pangkuan Islam, seandainya menolak, mereka akan kumasukkan penjara."10

Dari kisah di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khaththab r.a. ber- pendapat, bagi orang murtad itu, tidak hams menerima hukum bunuh dalam setiap situasi. Mungkin dapat dibatalkan atau ditundajika ada kepentingan yang lebih besar untuk menunda atau menggugurkannya. Sedang- kan kepentingan di sini yaitu pada peristiwa peperangan, mengingat terlalu dekatnya kaum murtad dengan

23Lihat Abu Yusuf, dalam Al-Kharaj, him. 143. 24AI-Mughni, jilid IX, him. 226. Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 265

Page 254: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

orang musyrik dan juga dikhawatir- kan timbulnya fitnah. Umar bin Khaththab r.a. dalam masalah ini barang- kali menganalogikan dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Janganlah engkau memotong tangan (karena mencuri) di saat-saat perang. ”

Hal itu dikhawatirkan barangkali saja si pencuri justru akan bergabung kepada pihak musuh untuk menghindari hukum potong tangan.

lc,Iinam Baihaqi, As-Sunnan Al-Kubro, jilid VUI, him. 207.

266 Karakteristik Islam

Page 255: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Atau ada kemungkinan lain, yaitu bahwa pendapat Umar tentang sabda Rasulullah: “Barangsiapayang menukar agamanya, maka bunuh- lah!” Rasuluilab saw'. mengucapkan hal itu karena kapasitas beliau sebagai pemimpin ummat dan kepala negara. Artinya bahwa ini merupakan keputusan penguasa dan sekaligus aktivitas dari siyasah syar’iyah, bukan sebuah fatwa atau tabligh dari Allah yang harus dijadikan komitmen oleh ummat di setiap tempat, waktu dan kondisi.

Karenanya, masalah membunuh orang murtad atau orang yang menukar agamanya itu adalah menjadi hak dari pemimpin dan keputusan penguasa. Kalau memang diperintahkan, silakan dijalankan, tetapi bila tidak diperkenankan, maka tidak perlu dilakukan.

Dalam konteks ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Hanafiah dan Malikiyah tentang sebuah hadis: “Barangsiapa membunuh, maka dia berhak untuk mendapatkan barang rampasan dari si terbunuh.” Juga kata Abu Hanifah dalam hadis: “Barangsiapa membabat belukar, maka dia berhak memilikinya.” "

Kemungkinan pertama barangkali lebih kuat, dan mungkin juga alter- natif kedua itu semata hanyalah menukil dari pendapat seorang ahli fiqih tabi’in yang bemama Ibrahim An-Nakha’i dengan pendapatnya, bahwa orang murtad itu harus dipenjara sampai dia tobat.

Apa yang kita sebutkan tadi merupakan bukti-bukti dan contoh-con- toh beragam dari nash-nash Islam, hukum-hukum syariat-Nya, petunjuk kitab-Nva, petunjuk Nabi-Nya, dan perjalanan sebaik-baik masa dari generasi ummatnya. Dimana di sana tampak sekali adanya fenomena tsabat dan murunah, yang antara keduanya tidak ada pertentangan. Tsabat di dalam masalah yang memang harus abadi dan lestari, sementara murunah dalam hal yang memang dituntut untuk berubah dan berkembang serta tidak terpaku dalam satu keadaan.

Fiqih Islam antara Tsabat dan Tathawwur Setelah bersama-sama kita ungkap dari petunjuk Al-Qur'an, Sunnah Rasul

dan sikap-sikap (perilaku) sahabat yang menunjukkan adanya tsabat dan murunah, maka fidaklah mengherankan kalau kita jumpai fiqih Islam dengan keragaman madrasah. Dan mazhabnya pun mempunyai arah yang sama, tsabat dalam hal ushul dan integritasnya dan murunah serta berkembang dalam masalah ftiru' dan bagian-bagian marjinalnva.

"Lihat Al-Qarafi dalam A l-Ihhaam/ii tamyiizilJatawa mined ahkani, him. 86-106.

Menyatukan antara Tathauwur dan Tsabat in

Page 256: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Sesungguhnya setiap Muslim tidaklah diberi kebebasan mutlak untuk mengatur kehidupannya. Walaupun dalam hal yang berkenaan dengan ideologi, pemahaman dan nilai yang diakui kebaikannya. Begitu pula ia tidak diikat oleh syariat-syariat yang rinci dan detail dalam setiap urus- annya, hingga seolah tidak mungkin bergeser darinya.

Maka, seorang ahli fiqih akan terikat oleh nash-nash hukum yang tsabat dari Al-Qur’an dan Sunnah yang memang tidak diragukan lagi ke- tsabatannya dan qath’i dalam dilalah serta petunjuk hukumnya. Hal itu dimaksudkan oleh Sang Pencetus syariat agar segala pemahaman dapat bertemu di satu titik, sehingga khilaf serta perselisihan dapat terhindar- kan. Begitu pula agar ijma’ dapat diwujudkan.

Nash-nash yang muhkam (jelas hukumnya) dan tsabat ini merupakan asas kesatuan pemikiran dan suluk bagi mujtama ’ (masyarakat) Muslim. Bagi ummat, nash-nash ini merupakan gunung-gunung bagi bumi yang akan memeganginya dengan erat dan menjaganya agar tidak ber- guncang dan bergetar. Nash-nash semacam ini jumlahnya sangat minim dibandingkan dengan nash-nash yang lain.

Dengan keterikatan yang harus dijadikan komitmen ini, seorang fa- qih juga akan mendapatkan kebebasan yang luas di depan dua medan yang memungkinkannya untuk berkembang dari sisi ijtihad dan penggunaan pemikiran untuk melihat dan menganalisa.

1. Medan yang Hampa Syariat Medan pertama, adalah yang mungkin dapat kita sebut dengan "medan yang

hampa syariat". Medan ini sengaja ditinggalkan oleh nash untuk ijtihadnya ulil amri dan ahlul hilli wal aqdi dalam tubuh ummat ini. Dimana ijtihad tersebut dimaksudkan untuk merealisasikan maslahat umum dan memperhatikan maksud-maksud diturunkannya syariat tanpa harus terikat oleh perintah dan larangan dari Sang Pencetus syariat.

Medan yang oleh para ahli disebut al-afivu (dimaklumi) sebagai ma- nifestasi dari hadis:

“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, itu hukumnya halal, apa yang diharamkan oleh-Nya itu hukumnya haram, dan apa yang di- diamkan, maka itu dimaklumi. Oleh karena itu, terimalah permaklum- an Allah ini, karena sesungguhnya Allah itu tidak mungkin melupakan sesuatu,” kemudian Rasulullah saw. membaca ayat: “Dan Rabbmu itu tidak mungkin lupa. ” (H.r. Bazzar dan Hakim, sementara ayat tersebut dalam Q.s. Maryam: 64).

“Sesungguhnya Allah telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah sekali-kali kamu melanggamya, telah mewajibkan kewajiban- kewajiban maka jangan sekali-kali engkau tinggalkan, telah mengharamkan beberapa hal maka jangan engkau langgar dan sengaja diam (tidak mensyariatkan) dalam beberapa perkara yang lain sebagai rahmat bagi kamu dan bukan karena lupa,

272 Karakteristik Islam

Page 257: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Di dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda:

maka jangan engkau cari-cari da- lilnya.” (H.r. Daruquthni). Hudud (batasan-batasan) yang telah ditentukan oleh syariat, tidak boleh

dilanggar. Seperti batasan tentang akhlak yang hanya boleh ruju’ dua kali, batasan masa iddah bagi yang ditalak dengan tiga kali masa suci atau setelah melahirkan (bagi yang mengandung). Batasan pembagian warisan, nisab zakat dan kadar yang harus dikeluarkannya. Demikian pula hukuman-hukuman yang telah ditentukan dengan seratus kali cambuk atau delapan puluh kali atau dengan pemotongan tangan dan sejenisnya.

Maka, bagi seorang mujtahid atau penguasa sama sekali tidak diper-kenankan mengubah petunjuk-petunjuk ini dan melampaui kadar-kadar yang telah ditentukan oleh syariat.

Contoh lain, misalnya tentang kewajiban-kewajiban yang difardhu- kan seperti empat ibadat ritual yang merupakan rukun dan bangunan Islam (salat, zakat, puasa dan haji), jihad, amar bil ma’ruf dan nahi anil mungkar, birrul walidain, silaturrahim, berbaikan dengan tetangga, melaksanakan amanat, berhukum dengan adil dan lain sebagainya.

Maka, tidak boleh bagi seseorang untuk menggugurkan atau menghapus sesuatu dari kewajiban-kewajiban ini atau meremehkan dalam hal realisasinya. Kefardhuannya telah tsabat, dalam syariat Islam tidak menerima nasakh atau pengembangan dan tidak pula masyarakat Islam mengabaikanny a.

Demikian pula hal-hal yang telah jelas-jelas diharamkan, sebagaimana telah diungkapkan di depan. Seperti: syirik, sihir, membunuh, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, mundur dari arena peperangan, menuduh wanita berzina, zina, minum minuman keras, mencuri, memberi kesaksian palsu dan lain sebagainya.

Ini semuanya telah tsabat, tidak akan luntur oleh perubahan zaman, tidak mungkin akan melemah suatu hari sehingga menyebabkan sang mujtahid berfatwa atau sang penguasa memberi keringanan. Begitu pula hal-hal ini tidak boleh dilanggar dalam mujtama’ Muslim.

Selain batasan-batasan, kewajiban-kewajiban dan hal-hal yang diharamkan ini, ada pula perkara-perkara yang sengaja didiamkan dan di- tinggalkan, tidak dijelaskan dengan maksud sebagai medan ijtihad, rahmat bagi ummat, dan memudahkan serta memberi keluasan. Oleh karenanya, untuk yang satu ini ada medan untuk berkembang dan fleksibel, bergerak dengan mudah tanpa ada beban dosa dalam'agama atau rasa enggan dalam hal keduniaan.

Adapun bagaimana cara ummat untuk mengisi "kehampaan syariat" atau

Menyatukan antara Tathamvur dan Tsabat 273

Page 258: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

"medan al-afwu (dimaklumi)", yang sengaja tidak dijelaskan oleh nash. Maka, ada berbagai macam jalan yang beragam dalam penentuan kadar hukumnya. Dan dalam pemberlakuannya oleh para fuqaha antara diterima atau ditolak, mutlak atau muqayyad (terikat) dan diminimalisa- sikan atau diperbanyak.

Maka, di sana ada qiyas dengan segala keterikatan dan syarat-sya- ratnya. Kendati dalam masalah qiyas ini diingkari oleh Mu’tazilah dan Dhahiriyah (pengikut mazhab Daud Adh-Dhahiri) serta Syi’ah Imamiyah.

Ada istihsan yang dipakai oleh pengikut mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan di antara mereka ada yang mengategorikan istihsan ini sebagai sepersembilannya ilmu.

Ada ishtishlah atau maslahat mursalah, yakni suatu masalah yang tidak diterangkan secara nash khusus oleh Pembuat syariat, apakah masalah itu dipakai atau digugurkan. Ini dipakai oleh pengikut Maliki, meski keempat mazhab telah menggunakannya dalam hal tahqiq (penentuan permasalahan) dan tathbiiq (penerapan hukum). Sebagaimana hal tersebut dapat ditelaah dalam kitab-kitab dari masing-masing mazhab.

Ada z/r/ (adat dalam masyarakat) dengan batasan dan syarat-syarat- nya. Oleh karena itu, dalam kaidah kuliyah syar’iyyah ada kaidah yang berbunyi: "Adat itu dapat dijadikan sumber hukum". Dan "Urf yang su- dah terkenal di masyarakat itu bagaikan sebuah syarat yang harus di- realisasikan". Salah seorang ahli fiqih membuat sebuah syair:

Urf dalam syariat itu punya nilai Dia punya kekuatan hukum yang telah dimaklumi Ada mashadir (sumber penentuan hukum) dan dalil-dalil lain untuk beristimbath dalam hukum syar’i di dalam masalah yang tidak ada nash- nya. Hal ini dapat dirujuk dalam buku-buku yang berkenaan dengan permasalahan ushul fiqih.

274 Karakteristik Islam

Page 259: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

2. Medan Nash-nash yang Mengandung Berbagai Kemungkinan Arti Yang kedua adalah medan nash-nash yang mutasyabihat, yang memang

oleh Sang Pembuat syariat dijadikannya serba mengandung berbagai kemungkinan, lebih dari satu pemahaman maupun artinya. Antara yang luas maupun sempit, bersifat analogis maupun pemahaman formal, keras maupun yang penuh dengan keringanan dan antara yang bersifat ri- il maupun yang mungkin terjadi.

Dalam hal ini ada kesempatan luas bagi siapa yang hendak melakukan komparasi dan tarjih serta mengambil pendapat yang mendekati kebenaran. Yang menjadi pertimbangan utama dalam masalah ini adalah demi merealisasikan maksud diturunkannya syariat. Mungkin suatu pendapat itu sesuai untuk suatu zaman dan tidak untuk zaman yang lain Atau sesuai untuk suatu lingkungan dan tidak sesuai bagi lingkungan yang lain. Atau cocok untuk suatu kondisi namun tidak demikian pada kondisi yang lain.

Demikianlah dalam sistem Islam kita jumpai hal-hal yang bersifat ijma ’ (kesepakatan) yang tidak mungkin terjadi perselisihan antarulama di dalamnya. Dan inilah asas-asas yang tsabat yang merupakan penekan- an utama dalam bangunan sistem Islam. Seperti pemilikan bumi bagi individu dan kebebasan memanfaatkannya serta cara mevvariskannva. Untuk hal ini tidak terdapat satu pun perselisihan antarahli fiqih perihal ke- tsabatannya.

Namun apabila kita beralih pada masalah bagaimana cara meman- faatkan bumi, maka akan kita jumpai mazhab-mazhab dan pendapat- pendapat yang bermacam-macam. Kesemuanya itu bersandar pada dalil- dalil syar’i yang mungkin kuat dan mungkin pula lemah.

Tidak mengherankan jika di sana ada yang melarang muzaro 'ah dan membolehkan muazaroh, karena bersandar pada beberapa atsar dan sva- riat secara umum tentang hukum sewa-menyewa dalam banyak hal. Sebagian mereka — kebalikannya — ada yang membolehkan nuizaro'ah sesuai dengan dalil shahih tentang muamalat Rasulullah saw. dengan pen- duduk Khaibar, dan juga kerja sama beliau dengan mereka dalam urusan harta rampasan perang. Akan tetapi, pendapat ini tidak memperkenankan muazaroh, mengingat di sana ada unsur spekulasi dari benih, pem- biayaan serta kerja yang tidak membawa hasil bagi si penyewa. sementara sang empunya tanah tetap laba. Adapun nuizaro'ah, maka di sana ada kerja sama yang menyangkut rugi-laba sedikit atau banyak.

Ada juga pendapat yang membolehkan keduanya, yakni muzaro’ah dan muazaroh dengan catatan muzaro’ah tidak membubuhkan syarat yang cacat. Karena sesungguhnya tidak dibenarkan kalau ada yang melarang keduanya ini secara mutlak.

Sebagian mereka ada yang memberikan syarat bagi muazaroh, yakni sang pemilik tanah harus membebaskan biaya persewaan tanah saat teijadi kerusakan

Menyatukan antara Tatlianwtir dan Tsabat 275

Page 260: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

atau gagal panen, sesuai dengan biaya kerugian si peng- garap. Ini sesuai dengan hadis dari Rasulullah saw. yang mengharuskan untuk membebaskan sewa tanah manakala terjadi kerusakan tanaman.

Sebagian ada yang tidak membolehkan keduanya, tidak muazaroh tidak juga muzaro’ah. Dan bagi pemilik tanah, dapat memilih satu di antara dua:

Pertama: Si pemilik tanah dapat menanaminya sendiri serta kebu- tuhan-kebutuhan lainnya.

Kedua: Pemilik tanah dapat menyewakan tanahnya kepada orang lain, tanpa meminta laba, sesuai dengan hadis berikut ini:

“Barangsiapa yang mempunyai tanah, hendaklah dia menanaminya sendiri atau diberikan kepada saudaranya. ” (H.r. Muttafaq ‘ Alaih).

Keluwesan dan keluasan model apa pun memungkinkan untuk di- dapatkan oleh seorang ahli fiqih. Pada gilirannya nanti, masyarakat Islam akan luwes dalam menghadapi berbagai macam pendapat dan berbagai keragaman fiqih yang memberikan keluasan ini.

Setiap pendapat mempunyai sandaran fiqih dan dalil syar’i. Dan setiap pendapat itu sangat diperhitungkan.

Mungkin kita dapat mengambil pendapat yang menurut kita terkuat dan paling rajih serta paling dekat pada mashlahat dengan melihat kondisi masyarakat dan zaman kita, tanpa seorang pun dari kalangan ahli fiqih mengingkarinya. Karena sebagaimana telah disepakati bersama bahwa tidak ada pengingkaran kepada seorang mujtahid di dalam masalah-ma- salah ijtihad.

Demikian inilah syariat Islam. Andaikata sampai Allah berkehendak, tentu Dia akan menjadikan semua hukum-hukum-Nya memiliki dalil yang qath’i baik dari segi periwayatan dan petunjuk hukumnya. Sehingga tidak ada peluang untuk berijtihad atau beristimbath, tidak ada perselisihan dan keragaman pendapat serta perkembangan opini dan juga mustahil akan adanya perubahan fatwa akibat berubahnya zaman, tempat dan kondisi. Tetapi hanya akan ada satu hukum yang tsabat dan tidak akan berubah.

Allah juga dapat berkehendak untuk menjadikan nash-nash syar’i itu semuanya dhanniyatuts tsubuut (memungkinkan untuk diubah) dan juga dhanniyatud dilalah (petunjuk hukum yang masih dhanni). Dengan demikian, tidak ada hukum yang tsabat dan qath’i ditambah lagi dengan hukum-hukum yang memang tidak ada dalilnya. Namun jika sampai terjadi, tentu akan timbul banyak kerancuan di dalamnya, yang ini tentu- nya bertentangan dengan hikmah diutusnya para Rasul dimana mereka diutus oleh Allah dengan membawa bayyinaat (kejelasan-kejelasan). Allah pun telah menurunkan kitab dan mizan agar para Rasul tadi dapat berbuat adil di antara manusia dan untuk menghukumi manusia terhadap apa yang mereka perselisihkan serta menunjukkan mereka ke jalan yang lurus.

Tetapi dengan kehendak Allah, telah dijadikan-Nya sumber-sumber hukum

276 Karakteristik Islam

Page 261: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dalam agama ini. Semuanya qath’i yang tidak menerima perubah- an, tidak pula mengandung lebih dari satu arti. Juga tidak mungkin bagi seorang Muslim untuk mengabaikan atau berpaling darinya. Sebab, jika hal ini sampai terjadi, tentu akan terjadi cacat moral dalam hal keiman- annya pada kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi-Nya.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) wanita Mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain ...” (Q.s. Al-Ahzab: 36).

“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipang- gil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi di antara mereka, ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami taat’.” (Q.s. An-Nuur: 51).

Sebagaimana juga kehendak-Nya, bahwa Dia menjadikan disam- ping sumber-sumber hukum yang qath’i tadi, ada pula sumber hukum yang bersifat ijtihad dan dalil-dalil dhanni (mengandung lebih dari satu arti). Hal ini untuk melapangkan jalan bagi analisa dan tarjih, keragaman cara berijtihad, model-model istimbath, madrasah-madrasah pemikiran dan sejenisnya. Dengan demikian kita akan mendapatkan keluasan untuk perkembangan yang terpuji yang merupakan buah dari murunah dalam sumber-sumber hukum syariat.

Perubahan Fatwa karena Perubahan Waktu, Tempat dan Kondisi

Dari sini tidak kita jumpai dari para ahli fiqih di sepanjang zaman yang merasa ragu atau enggan ketika mengumumkan wajibnya perubahan fatwa akibat perubahan zaman, tempat dan situasi.

Imam Ibnul Qayy" — Fviinal perubahan fatwa sebagaimana yang telah kita ungkapkan tadi: “Ini adalah bab yang sangat bermanfaat. Karena sebuah kebodohan sering teijadi kesalahan fatal dalam hal pe- nentuan hukum syariat. Dimana hal ini menyebabkan kesulitan dan beban yang tidak mungkin dapat dihindarkan. Padahal sebagaimana telah dimaklumi bahwa syariat yang haq yang datang dengan puncak kemasla- hatan tidak mungkin seperti itu. Karena syariat itu asasnya adalah bertumpu pada hukum dan kemaslahatan hamba dalam kehidupan dan tempat kembali (ketika menghadap Allah).

Semuanya penuh dengan keadilan, rahmat dan maslahat. Maka, setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kezaliman, dari rahmat menuju sebaliknya, dari maslahat menuju kerusakan dan dari hikmah me- nuju kesia-siaan, bukanlah termasuk dari syariat meski ditakwil dengan model apa pun."12

Begitu pula Imam Al-Qarafi dalam kitabnya. Al-Ahkam, menulis ten- tang kesinambungan hukum yang sumbemya adalah urf (adat) dengan segala jenis perubahannya yang bertentangan dengan ijma’ dan kebodohan dalam agama. Juga dalam kitabnya Al-Furuq, beliau juga mengupas masalah ini.

Pada abad ketiga belas Hijriah, salah seorang pakar ilmu dari ma- zhab Hanafi yang bemama Ibnu Abidin, menulis sebuah risalah terkenal yang diberi

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 277

Page 262: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

judul Nasyrul Urflfii bimail Ahkam 'alal IJrfi (Mengguna- kan Urf untuk Meletakkan Hukum yang Berdasar Urf). Dalam buku ini dibahas secara ringkas hukum-hukum urf sebagaimana yang telah dite- tapkan oleh para ulama mazhab serta apa yang mereka fatwakan sepan- jang zaman.

Dalam risalah ini beliau menyebutkan, bahwa banyak hukum yang berbeda karena perbedaan zaman dan perubahan tradisi kaumnya atau karena terjadinya keadaan darurat, atau terjadinya kerusakan pada zaman itu. Yaitu dimana kalau hukum yang telah ditetapkan semula itu tidak diubah tentu akan memberatkan dan membahayakan manusia serta akan bertentangan dengan kaidah syariat yang bertumpu pada keringanan, kemudahan, dan menolak bahaya serta kerusakan.

nI’laamulMuwaqqi Vi/j, jilid II. [Barangkali jilid II semuanya membahas masalah tadi].

278 Karakteristik Islam

Page 263: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Oleh karena itu, sering kita jumpai para masayikh mazhab yang berselisih dengan apa yang telah ditetapkan oleh imam mazhab dalam banyak hal. Dan ketetapan-ketetapan itu didasarkan atas apa yang terjadi di zamannya. Karena, seandainya imam mazhab tersebut hidup pada zaman mereka, tentu akan mengubah fatwanya sesuai dengan apa yang mereka gariskan sekarang, dan tentunya dengan masih berpegang teguh terhadap kaidah-kaidah mazhabnya.25

Di antara contoh perubahan fatwa dan hukum karena perubahan lingkungan, waktu dan kondisi adalah sebagaimana yang pemah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika beliau masih menjabat sebagai gubemur di Madinah. Beliau pemah menghukumi seorang penu- duh, apabila dia hanya mengajukan satu orang saksi dan bersedia disum- pah. Beliau mengategorikan sumpahnya sebanding dengan dua orang saksi. Suatu ketika semasa beliau menjadi khalifah dan bermukim di Syam, beliau tidak mau menghukumi seorang penuduh kecuali dengan dua saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita. Ketika ditanya mengapa demikian, beliau menjawab: "Kami mendapati penduduk Syam berbeda dengan penduduk Madinah."26

Apa yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz di Syam sama sekali tidak bertentangan dengan apa yang pemah dilakukan Rasulullah saw. ketika beliau memutuskan perkara dengan satu saksi dan sumpah. Karena keputusan Rasulullah tersebut menunjukkan pembolehan syariat dan tidak menunjukkan wajib serta hams diikuti. Maka boleh memutuskan perkara dengan satu orang saksi dan disumpah dalam kondisi tertentu. Tetapi pada suatu saat terkadang tidak berlaku yang demikian itu, dengan memper- timbangkan alasan yang tepat sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz.

Contoh lain, adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Sar- khasi, bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat boleh memutuskan perkara dengan kesaksian orang yang tidak jelas jati dirinya pada masa tabi’ tabi’in. Karena pada masa ini semua orang dapat dipercaya. Adapun setelah masa tersebut. kedua sahabat beliau, yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani melarang apa yang dilakukan oleh Abu Ha- nifah, mengingat waktu itu telah merajalela berbagai tindak kebou di tengah-tengah kehidupan manusia.15

Ahli-ahli fiqih dari mazhab Hanafi mengomentari perbedaan pan- dangan antara Abu Hanifah dengan kedua sahabatnya ini sebagai perbedaan zaman dan waktu, bukan karena perbedaan dalil dan hujjah.

Adalah Abu Hanifah, pada masa kejayaan Islam /di Turki, beliau memberikan keringanan bagi orang yang sulit mengucapkan bahasa Arab, untuk melafadzkan Al-Qur’an dalam salat dengan bahasa Persia. Tetapi, setelah mereka

25Ibnu Abidin, Majmuatur Rasaail, jilid D, him. 125.

'“LihafOstadz Hasbullah dalam Ushulut Tasyri', him. 84-5. Menyatukan antara Tathawtvur dan Tsabat 279

Page 264: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sudah mampu berbahasa Arab secara baik dan benar, juga karena adanya penyimpangan dan bid’ah dalam masalah itu, maka beliau menarik pendapatnya kembali.16

Diriwayatkan dari seorang pakar fiqih Maliki yang bemama Abu Muhammad bin Abi Zaid Al-Qairuwani, pengarang RisalahMasyhuroh, bahwasanya beliau menjadikan anjing sebagai penjaga rumahnya. Sebagian ulama pada saat itu protes: "Mengapa Anda menjadikan anjing sebagai penjaga rumah, bukankah menurut Imam Malik hal itu makrah?" Beliau menjawab: "Seandainya Imam Malik hidup pada zaman kami ini, tentu beliau akan menjadikan singa sebagai penjaga."

Pada setiap mazhab yang diikuti, seorang analis akan mendapatkan contoh yang bermacam-macam tentang perubahan fatwa dari ulama mazhab karena perubahan tersebut disebabkan oleh situasi, tempat dan waktu.

Hal ini bukan bid’ah dari sang pelakunya — naudzubillah — namun ini mempunyai akar hujjah dari petunjuk Rasulullah saw. dan para sahabat setelah beliau.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah (Al-Hafidh Ibnu Katsir) ber- pendapat bahwa perawinya dapat dipercaya.'7 Bahwa ada seseorang datang menemui Ibnu Abbas, seraya bertanya: "Apakah seorang pembu- nuh orang Mukmin dapat bertobat?" Ibnu Abbas menjawab. "Tidak, tem- patnya adalah di neraka!" Maka ketika orang itu berlalu, sahabat-saha- bat Ibnu Abbas berkata: "Tidak begitu rriestinya, apa sebenamya yang terjadi pada hari ini?" Ibnu Abbas menjawab: "Aku melihatnya sangat an- tusias untuk membunuh." Maka mereka mengutus seseorang untuk mem- buntutinya, dan temyata laki-laki itu memang melakukan pembunuhan.

'Hbid. 16 Ibid. l7Lihat kitab At-Talkhiish, jilid IV, him. 187.

. Ibnu Abbas melihat kedua mata orang itu memancarkan kedengkian dan amarah serta berambisi sekali untuk membunuh. Ia meminta fatwa dengan harapan supaya dibukakan pintu tobat setelah dia melakukan tindak pembunuhan. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berusaha mencegahnya dengan jawaban tadi, agar jangan sampai melakukan dosa besar tersebut. Seandainya Ibnu Abbas melihat adanya rasa penyesalan setelah melakukan kejahatan, tentu dia akan memberikan jawaban berisi harapan untuk dapat bertobat.

Sa’id bin Mansur meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri yang berkata: "Ahli-ahli fiqih ketika ditanya tentang pembunuhan, mereka menjawab: ‘Tidak ada tobat bagi pelakunya. ’ Dan apabila seseorang diuji (ar- tinya tidak ada jalan lain kecuali membunuh), mereka menjawab: ‘Ber- tobatlah!’ (Artinya ada tobat

280 Karakteristik Islam

Page 265: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

baginya)."18 Senada dengan hal tersebut, apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud,

dari Abi Hurairah bahwasanya seseorang datang menemui Rasulullah saw. dan bertanya tentang hukum bercumbu bagi orang yang berpuasa, maka Rasulullah saw. memberikan keringanan baginya. Kemudian pada kesempatan yang lain datang seorang laki-laki dengan maksud bertanya tentang persoalan yang sama, namun Rasulullah melarang- nya (tidak memberi keringanan sebagaimana penanya pertama). Ter- nyata yang diberi keringanan itu adalah orang yang sudah lanjut usia, sementara yang dilarang adalah seorang pemuda.19

Lebih jelas lagi untuk masalah itu adalah bahwasanya Rasulullah saw. menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang berbeda. Ini disebabkan perbedaan kondisi para penanya. Maka, tentunya setiap penanya harus diberi jawaban sesuai dengan kondisinya dan pada akhirnya dia akan dapat memperbaiki kekurangannya.

Kita akan mendapati hal ini, ketika ada yang meminta nasihat secara umum, yang lantas oleh Rasulullah dijawab: “Jangan marah! ” Sementara kepada penanya lainnya, beliau menjawab: “Katakan aku beriman, kemudian beristiqomahlah!” Juga kepada penanya yang lain [masih dengan pertanyaan senada tentunya] beliau menjawab: “Jagalah lidahmu!”

Demikianlah, setiap orang diberikan obat (penawar) yang menurut Rasulullah akan mampu menyembuhkan penyakitnya dan memperbaiki kondisinya.

nIbid. 19Ibid.

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 281

Page 266: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Apa yang telah kami kemukakan merupakan latar belakang me- ngapa harus terjadi perbedaan cara menjawab, atau mengapa terjadi perubahan fatwa, karena perbedaan situasi,n kondisi si penanya.

Bertolak dari sini Imam Bukhari me/ .ayatkan dalam kitab Shahih- nya, dari Abi Hurairah — semoga Ay A meridhainya — yang berkata, bahwa Rasulullah saw. ketika ditar .. "Amalan apakah yang paling utama?" Beliau menjawab: “Iman b Aa Allah dan Rasul-Nya. ” Ditanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Be1' . menjawab: “Jihad di jalan Allah. ” Ditanya lagi: "Kemudian apa la_ .!" Beliau menjawab: “Haji mabrur.”20 Di sini beliau menjadikan jihad fii sabilillah sebagai amalan yang utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Senada dengan hadis tadi ada pula hadis-hadis lain yang berisi ja- waban atas pertanyaan para penanya bahwa tidak ada amalan yang mampu menandingi jihad, kecuali puasa seumur hidup, dan salat lail se- panjang malam tanpa tidur.

Akan tetapi, Imam Bukhari sendiri meriwayatkan dari Aisyah Um- mul Mikminin r.a, bahwasanya beliau berkata: "Wahai Rasulullah, kami memandang bahwajihad adalah amalan yang paling utama." Rasulullah menjawab: “Akan tetapi, seutama-utamanyajihadadalah haji mabrur. ”2' Ditambahnya kata-kata "akan tetapi" menunjukkan bahwa lafadz be- rikutnya itu memperjelas hakikat jihad. Atau dengan penafsiran yang lain, bahwa itu berguna untuk menerangkan secara lebih rinci. Adapun intinya adalah sama, yakni bahwajihad yang merupakan seutama-utamanya amal itu adalah hak laki-laki, sementara bagi wanita, jihad yang paling utama adalah haji mabrur. Di sini kita melihat perubahan fatwa dan jawaban beliau manakala yang bertanya itu seorang wanita. Karena memang perintah untuk memanggul senjata adalah ditujukan bagi kaum laki-laki.

Apa yang telah diungkap di atas tadi, sekali lagi adalah sebab-mu- sabab terjadinya perubahan fatwa atau jawaban karena perbedaan kondisi dan situasi masing-masing penanya, maka bagaimana pula dengan perubahan tempat dan waktu?

10 Ibid.

2'Shahih Bukhari, kitab Al-Hajji, bab “Keutamaan Haji Mabrur”. 282

Karakteristik Islam

Sikap Masyarakat Muslim terhadap

Page 267: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Masyarakat-masyarakat yang Lain Mengacu pada penjelasan di atas, terlukis bagaimana wajah masyarakat

Muslim itu di antara ciri-ciri yang jelas pembagiannya serta lebih spesifik yang merupakan keutamaan nyata dalam perikehidupannya. Yak- ni: dapat menyatukan antara konsistensi yang membuahkan keteguhan, yang tidak mungkin akan dapat bergeser dari prinsip-prinsipnya dan tidak berubah dari pijakan-pijakan asasinya... dan antara fleksibelitasnya yang akan senantiasa mengantisipasi perjalanan waktu dan perkembangan situasi.

, Masyarakat Islam mampu bersikap teguh terhadap beberapa masalah bagaikan batu karang. Ia pun dapat bersikap lunak pada beberapa masalah yang lain bagaikan sebuah adonan. Atau seperti yang diungkap- kan oleh penyair legendaris, Muhammad Iqbal ketika menggambarkan sifat atas diri seorang Muslim, bahwa seorang Muslim itu mampu menyatukan antara kelembutan sutera dan kekerasan besi.

Dari apa yang kita sebutkan di atas dapatlah diambil kejelasannya, bagaimana sikap masyarakat Muslim ini terhadap masyarakat-masyarakat lainnya yang berbeda dalam masalah ideologi, arah berpikir dan prinsip hidup.

Masyarakat Muslim tidak akan larut di dalamnya dan tidak pula mengikuti selera masyarakat-masyarakat itu. Tidak akan bertaklid kepadanya dan juga tidak akan meniru apa yang menjadi keyakinannya. Maka (kalau itu sampai terjadi) tentu masyarakat Muslim ini akan ke- hilangan asholah (orisinalitas) dan kepribadiannya yang baik serta pada akhirnya akan mengikuti di belakangnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Ini merupakan taklid buta yang sangat dilarang oleh Islam atas diri ummatnya. Karena sesungguhnya ummat (Islam) ini telah ditempatkan posisinya oleh Allah sebagai guru bagi kemanusiaan.

Sekalipun demikian, bukan berarti masyarakat Muslim akan meng- isolir diri dari percaturan masyarakat-masyarakat yang lain. Bahkan masyarakat Muslim akan dapat mengambil sesuatu dan mengais manfaat dari keberadaan masyarakat-masyarakat tadi. dari ilmu pengetahuan. pe- ngalaman dan potensi-potensi mereka. Dan ini tidak akan membahayakan keberadaan material dan spiritualnya. Karena kalau hanya sekadar ilmu dan apa yang menjadi cabang-cabangnya dari penemuan-penemuan. per- alatan-peralatan eksperimentalnya, maka itu tidak ada ciri khas atau bentuk tertentu yang menyangkut masalah ideologi.

Ilmu demikian itu bagaikan air, maka air - >n mengikut /arna wa- dah yang hendak dipakai sebagai penuangnya. v -

Maka unsur tsabat tampak jelas di sini dalam u ~>en ,an masyarakat Muslim terhadap masalah-masalah yang berkenaa. n«,_,gan akidah, prinsip hidup, arah berpikir, tatanan nilai dan simbol-simbol ritual yang ada pada masyarakat non-Muslim. Karena sumber hukumnya berbeda dengan sumber hukum Islam, arah berpikimya berbeda dengan arah berpikir yang Islami, jalan

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 283

Page 268: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

hidupnya berbeda pula dengan shirathal musta- qiim. Masyarakat Muslim adalah masyarakat yang unik dalam hal mash- dar (sumber hukum), arah berpikir dan manhaj, bahkan berbeda pula dalam hal identitas dan syiar kehidupan.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. selalu menjaga spesifikasi kaum Muslimin di setiap urusan mereka (agar) berbeda dengan kaum musyrik- in, Yahudi dan Nasrani. Untuk hal itu beli' : menolak membunyikan bel maupun genta guna memanggil orang > .ak salat, dan memilih adzan.

Karenanya kita simak, banyak 1 jis yang diawali dengan kata-kata: “Berbedalah kamu sekalian” ( s p ,ti hadis yang diriwayatkan Bukhari- Muslim dari Ibnu Umar: “Ber' Aalah kamu sekalian dari kaum musyrik- in, maka pendekkanlah k ,, smu dan panjangkanjenggotmu.”). Ini semua menunjukkan bahw Keistimewaan dan keunikan masyarakat Muslim adalah sesuatu yang memang sudah menjadi tujuan dari .Sang Pem- buat syariat.22

Oleh karena itu pula Al-Qur’an memberikan perhatian kepada Rasulullah saw. agar tidak mengikuti hawa nafsu dan selera orang-orang kafir dari golongan ahlulkitab dan kaum musyrikin. Atau terpengaruh dengan gunjingan dan desas-desus mereka yang akan dapat memalingkan beliau dari apa yang diturunkan Allah.

Allah berfirman: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di alas sebuah syariat dari urusan

(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa- an) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelin- dung bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.s. Al-Jatsiyah: 18-9).

“Ibnu Taimiyah menulis kitab yang mengupas masalah ini dan layak untuk di- telaah, yakni kitab Iqtidha' Shirathil Mustaqiim Jii Mukhalafati Ahlil Jahiim.

Ayat tersebut turun di Mekkah, sementara yang turun di Madinah adalah. “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka me- nurut

apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hati lah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari apa yang diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menim- pakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakahyang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.s. Al- Maidah: 49-50).

Ini adalah sikap individu dan masyarakat Muslim terhadap hukum kuffar.

284 Karakteristik Islam

Page 269: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Islam menolak mentah-mentah hukum tersebut dan tidak hendak menerima kecuali hanya hukum Allah. Karena barangsiapa yang tidak mau menerima hukum Allah, dia pasti akan terjerembab kepada hukum jahiliyah.

Sesungguhnya semboyan seorang Muslim terhadap apa yang diso- dorkan kepadanya dari prinsip hidup, pola pikir, sekte-sekte kuffar adalah kalimat berikut: "Apabila di dalamnya (hukum-hukum kuffar tadi) telah terdapat dalam Islam, maka sungguh Allah telah memperkaya kita dengan Al-Islam. Sehingga kita tidak akan menggadaikan agama dengan apa yang dimiliki semua orang di Barat dan Timur."

Di balik konsistensi ini kita dapat menjumpai keluwesan dan toleran- si dalam hal terapan operasional, khususnya yang berhubungan dengan cara, uslub (teknik) dan bukan yang berhubungan dengan masalah prinsip dan tujuan.

Apabila masyarakat non-Muslim mempunyai sistem mobilisasi mi- liter yang canggih atau dalam hal sistem komunikasi, sistem kontak jarak jauh, peningkatan produktivitas income perkapita, dalam hal peningkat- an mutu industri pertanian, perencanaan tata kota dan pedesaan, kese- hatan dan penanggulangan penyakit, pengalokasian sumber daya alam dengan kecanggihan ilmu dan teknologi demi kemaslahatan manusia serta yang lainnya. Yang berkenaan dengan sisi sains dan wawasan serta pe- nemuan struktur kerja yang baik, maka Islam sangat menerima hal itu dan akan berusaha menerapkannya pada kehidupan masyarakat Muslim. Tetapi, dengan catatan selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda: “Hikmah itu adalah penemuan seorang Mukmin, di mana ia mendapatkan, maka dia berhak memanfaatkannya. ” (H.r. Tirmidzi dari hadis Anas bin Malik).

Kita telah mengetahui bahwa Rasulullah saw. ketika pertama kali menginjakkan kaki di Madinah, beliau berkhutbah di atas batang kurma. Setelah jumlah kaum Muslimin bertambah dan kian ma£p; n, seorang tu- kang kayu dari Romawi yang Muslim membuatkan beliai sebuah mim- bar dengan tiga tangga. Beliau gunakan mimbar itu untu menyampaikan khutbah Jum’at dan acara-acara yang lainnya. Begitu la pada saat Perang Ahzab, Salman Al-Farisi mengusulkan kepada beli; *intuk membuat khandaq (parit) sekitar Madinah guna melindungi tern . Islam dari serangan kaum musyrikin. Ini adalah salah satu strategi ; ng Persia. Beliau kagum dan menyuruh untuk merealisasikan usulan dari Salman tersebut. Beliau tidak mengatakan: "Jangan dikerjakan, karena itu adalah cara orang Majusi!"

Bahkan kita juga dapat melihat bagaimana sahabat-sahabat Rasulullah menerapkan sebagian sistem y ’**'>han dan manajemen serta pemerataan finansial dari Persia atau Romawi. iv.*,. _' tidak menganggap itu sebagai masalah penting yang dapat merealisasikan maslahat, dan yang lebih penting lagi tidak bertentangan dengan nash atau kaidah syariat. Seperti aturan pajak yang berasal

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 285

Page 270: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dari Persia dan aturan tentang hutang-piutang, pertama kali berkembang di Romawi.

Kaum Muslimin pada Zaman Keemasan Pada masa keemasannya, kaum Muslim mampu menjaga dan mem-

pertahankan kepribadian Islaminya. Mereka tsabat dalam akidah, syiar agama, akhlak dan syariat. Sementara pada waktu yang sama mereka juga berhasil menerapkan sistem kemajuan bangsa Persia, Romawi dan India serta negara-negara pendahulu lainnya dari hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan sesuai dengan kondisi yang ada pada waktu itu.

Kaum Muslimin juga dapat mengambil manfaat dari peninggalan Yunani dalam ilmu pengetahuan setelah disaring dan disesuaikan dengan budaya mereka. Mereka pun menambahkan hal-hal yang dirasa masih kurang. Hal ini didukung oleh para fuqaha dan pemimpin mereka, bahkan turut berperan aktif di dalamnya. Mereka tidak berhenti, kecuali bila ada yang dirasa bertentangan dengan akidah dan fikrah mereka tentang Allah dan alam kehidupan. Ini yang berkenaan dengan masalah metafisika dalam filsafat Yunani. Sebagaimana tercermin dalam dialektika Aristote- les yang banyak ditentang oleh para ulama besar semisal Ibnu Shalah, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah. Khusus yang terakhir ini teiah menyusun sebuah buku yang menyanggah dialektika Aristoteles dengan sanggahan ilmu dan rasio. Dengan adanya sanggahan ini zaman moderen dapat ber- kembang (maju) demikian pesat dengan jalan analogi sebagaimana pemikiran Aristoteles.

Namun kendati demikian, banyak ahli fiqih Muslim yang mendu- kung pendapat Aristoteles ini dan berusaha untuk mencari legitimasi dari Al-Qur’an. Seperti halnya Abu Hamid Al-Ghazali yang menyusun buku berjudul Standar Keilmuan.

Yang penting di sini adalah bahwa kaum Muslimin berada di puncak kontekstualitas dalam sisi sains sesuai dengan perubahan zaman. Begitu juga dalam sisi manajemen, struktur, perencanaan, dan pembuatan ba- rang. Tidak ada larangan yang bersifat religius di dalam menerapkan ini semua, bahkan dituntut untuk menambah dan memperbaiki semampu- nya. Berbeda dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan fikrah dan akidah, maka dalam hal ini kaum Muslimin menolak filsafat Yunani dan menyalahkan para penganutnya serta mengarahkannya agar mengi- kuti alur pemikiran para ahli filsafat Islam. Bahkan Imam Ghazali me- ngafirkan mereka yang jelas-jelas mengikuti alur pemikiran yang bertentangan dengan agama (Islam). Sebagaimana hal itu dipertegas dalam buku beliau Tahafutul Falaasifah (Kerancuan Filsafat). Meski buku ini dirasa masih kurang sempurna, hingga mendapatkan sanggahan dari Ibnu Rusyd dalam bukunya, Tahafut Tahafutil Falaasifah (Kerancuan Buku Tahafuliil Falaasifah).

Para pakar sejarah peradaban Islam menegaskan bahwa manhaj ilmu moderen yang saat ini menjadi kebanggaan bangsa Barat, temyata

286 Karakteristik Islam

Page 271: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

mentransfemya dari kaum Muslimin yang telah lama mengungguli mereka dalam penemuan sistem keilmuan ini sebelum kebangkitan Eropa. George Sarthon, Gustav Labonc dan yang lainnya dari kalangan ilmuwan Barat yang bersikap obyektif membenarkan statemen ini.2’

Sejarah Islam pun masih mengoleksi dengan cermat nama-nama besar intelektual Muslim-dalam bidang kedokteran, kimia. fisika, ilmu falak (astronomi) dan lain sebagainya. Sebagaimana pula menjaga literatur-li-

“Lihat Dr. Ali Sami An-Nasyar dalam A lanahijul 'Ilmi J'tl Alamil Istami [Metodo- logj Riset menurut Pemikir Islam dan Penemuan Sistem Keilmuan pada Dunia Islam], Lihat pula Gustav Labonc dalam 1‘eradabatt Arab. teratur keilmuaan yang menjadi referensi intemasional satu-satunya selama berabad-abad.

Tabiat (Karakteristik) yang Jelas bagi Masyarakat Islam Saya yakin bahwa ciri masyarakat Islam tidak lagi samar bagi kita, setelah

kita kupas dasar-dasar dan contoh-contoh dari sumber hukum Islam yang kuat. Juga setelah kita telaah dari petunjuk Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw, Khulafaur-Rasyidin dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka dari para pemimpin Islam dan fuqaha mujtahidin.

Saya pun yakin bahwa tidak akan ada pertanyaan atau diskusi tentang eksistensi mujtama’ ini. Apakah dia mujtama’ yang tsabat dan beku ataukah yang berkembang dan fleksibel?

Kita telah melihatnya sebagai mujtama' (masyarakat) yang terkum- pul di dalamnya tsabat dan tathawwur, sebagaimana terkumpul di dalamnya nilai-nilai yang berlawanan, yang oleh kebanyakan orang mungkin dinilai sebagai sesuatu yang mustahil. Seperti penyatuan antara materialis- me dan spiritualisme, realita dan idealita, ilmu dan iman, dien dan daulah, serta peradaban dengan akhlak.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang tawazun eimbang), menyatu di dalamnya hal-hal yang kontradiktif, dimana seti; hal tersebut menempati proporsinya masing-masing dengan penuh ke1 atan. Irii- lah posisi masyarakat yang mampu menyatukan antara tsai (konsis- tensi) dan transformasi.

Masyarakat Islam — sebagaimana yang telah kita paparkan pada bagian terdahulu — adalah masyarakat yang tsabat dalam akidah dan prinsip, berkembang dalam masalah fitru ’ (cabang) dan uslub (teknik).

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang tetap dan dinamis (ber- gerak) pada waktu yang bersamaan.

Masyarakat Islam bagaikan sungai yang mengalir dan terarah. Ia tiada berhenti untuk bergerak, berbenah dan mengalir. Namun itu semua dilakukan dalam gerakan yang terara' '%yang tersusun rapi dan tujuan yang jelas.

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 287

Page 272: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Apabila tabiat masyarakat ini telah jelas dan nyata dalam hal keseimbangan yang menakjubkan, maka sungguh hikmahnya pun akan tampak nyata di depan mata.

Karena apabila masyarakat ini hanya menjadikan tsabat mutlak dalam konteks agama dan keduniawian, spiritual dan material, integral dan parsial, dasar dan funi’, begitu pula tsabat dalam hal wasilah (sarana) dan tujuan, tentunya kehidupan ini akan terasa beku dan statis. Orang tidak akan dapat mengambil guna dan manfaat dari penemuan-penemu- an dan eksperimen-eksperimen yang merupakan asas ilmu kauniah, se- kaligus perkara yang memang seharusnya ada dalam kehidupan mereka. Kalau ini sampai terjadi, tentu akan bertentangan dengan hukum alam dan fitrah kemanusiaan.

Demikian pula kalau masyarakat Islam ini hanya menjadikan murunah mutlak sebagai prinsip dan syiar kehidupan agar seketika itu dapat berkembang sepanjang zaman menuju sebuah masyarakat yang tanpa nilai, norma (patokan) serta kendali. Keberadaannya terlepas dari agama, atau justru agama menjadi tunduk pada situasi dan mengekor pada pola kehidupan yang ada. Sehingga dapatlah dikatakan, agama akan baik apabila lingkungan juga baik, dan agama menjadi jelek apabila lingkungan juga jelek. Padahal agamalah yang harus menjadi tolok ukur kehidupan, bukan malah sebaliknya. Sedangkan kehidupan sendiri harus tunduk pada nilai dan petunjuk agama, bukan agama harus ditundukkan oleh pola kehidupan yang ada dalam hal berkembang dan penurunannya.

Apabila dienul Islam (baca: masyarakat Islam) fleksibel dan lunak dalam fikrah, prinsip hidup, moral, tradisi dan syariat terhadap perkem- bangan yang ada sesuai dengan lingkungan, masa dan kondisi, tentu masyarakat ini akan kehilangan kesatuannya. Setiap kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam, akan berbeda dengan kelompok masyarakat Islam yang lain. Dengan demikian, tidak ada lagi ummatan waa- hidah (ummat yang satu) yang telah menjadi garis kehendak Allah. Tetapi, yang akan muncul ke permukaan adalah bentuk-bentuk masyarakat Islam yang saling bermusuhan dan bertentangan sebagaimana yang dike- hendaki musuh-musuh Islam.24

Barangsiapa yang ingin mengetahui nikmat Allah atas masyarakat Islam, dimana (nilai-nilai) Islam telah menjaga keseimbangannya antara tsabat dan tathawwur, dipersilakan untuk mengamati dari dekat bentuk- bentuk masyarakat yang lain, seperti masyarakat Barat. Bagaimana masyarakat tersebut telah melapangkan jalan selebar-lebamya untuk per- kembangan yang bebas dan mutlak dari segala hal. Sehingga tidak ada satu pun cabang kehidupan yang konstan dan tidak mengalami perubahan,

54Untuk memperjelas masalah ini silakan merujuk Almarhum Sayyid Quthb dalam Khashaish At

288 Karakteristik Islam

Page 273: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Tashawmiril Islami [Karakteristik Persepsi Islam],

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 289

Page 274: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

sampai dalam masalah akidah, keutamaan (nilai), tradisi dan syariat. Be- gitupun untuk setiap nilai yang merupakan warisan kemanusiaan yang di- dapat dari kitab-kitab samawi dan diajarkan oleh tangan-tangan suci dari Rasul-rasul Allah. Semuanya mengalami perubahan dan perkembangan.

Karenanya, hasil dari perkembangan dan perubahan nilai yang ber- lebihan ini adalah ketidakstabilan atau elastisitas dalam Setiap aspek kehidupan. Seperti terjadinya keresahan jiwa, kehancuran berpikir, deka- densi moral, broken home, sampai pada berubahnya tatanan sosial ke- masyarakatan.

Ekstrimitas (berlebihan) dalam berkembang ini juga berhadapan dengan “berlebihan” yang berlawanan. Hal itu terlihat pada para generasi mudanya yang menolak semua perkembangan yang terjadi di masyarakat sampai pada masalah materi dan sarana. Mereka lebih memilih sebuah kehidupan yang aneh seperti mereka yang tergabung dalam kelompok statis dan yang sejenisnya. Esktrimitas dalam hal ini juga akan mem- buahkan hasil yang sama dengan ekstrimitas di atas tadi. Dua Hal yang Akan Membawa Masyarakat Islam ke dalam Bahaya

Masyarakat Islam akan teijerembab ke dalam malapetaka sebagai akibat dari dua perkara.

Pertama: Apabila berlaku statis terhadap hal yang semestin a harus berubah, berkembang dan bergerak. Dari situasi ini masyarakat tan ter- serang kemandulan dan kebekuan, seperti air tenang yang tidak ;ngalir (menggenang) dan kotor, sehingga menyebabkan terkumpulnya jbagai macamjenis virus dan penyakit.

Ini terjadi di masa-masa kemunduran dan jauhnya ummat I n dari petunjuk Islam yang shahih. Kita dapat melihat saat itu bagaimana ijtihad dalam bidang fiqih terhenti. Begitu pula penemuan-penemuan il- miah, orisinalitas dalam adab, eksperimen teknologi, seni dalam berperang dan lain sebagainya, semuanya terhenti. Kehidupan tidak ubahnya seperti keadaan yang statis dan taklid pada sistem lain dalam segala hal. Dan peribahasa yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan ini adalah: "Tidak ada sesuatu pun yang ditinggalkan pendahulu kepada yang datang kemudian".

Sementara pada saat yang sama, rr '>rakat yang mestinya statis — namun karena telah belajar dari masyara»w Hm — mulai menggeliat bangkit dan berkembang, kemudian tumbuh da*, •’ju, lantas mampu menjadi penguasa dan penjajah. Sementara kaum Muslimin berada dalam keterlenaannya dan alpa.

Kedua: Apabila melakukan perkembangan dan perubahan dalam masalah yang semestinya harus tsaba't (konsis), abadi dan konstan. Sebagaimana hal itu kita jumpai pada zaman ini, bahwa sebagian kelompok kaum Muslimin ingin melepaskan ummat ini dari agamanya dan memi- sahkannya dari nilai-nilai luhur dengan mengatasnamakan perkembangan dan kemajuan.

Mereka ingin membukakan pintu atheisme dalam masalah akidah, terlepas

290 Karakteristik Islam

Page 275: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

dari syariat dan tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai moral. Semuanya ini dengan mengatasnamakan sebuah berhala baru, yakni berhala "kemajuan".

Mereka ingin mengembangkan (baca: mengubah) agama, agar sesuai dengan apa yang telah mereka impor dari Barat dan Timur, dari ma- salah-masalah yang berkenaan dengan akidah dan fikrah, nilai dan stan- dar hidup, aturan dan tradisi religius serta etika dan moralitas.

Padahal Allah menjadikan agama ini, agar manusia dapat berpegang teguh dengannya, tidak bergeser dan kembali pada masa Jahiliyah. Oleh karena itu, Dia mewajibkan dan mengharuskan agar agama dijadi- kan sebagai mizan yang tsabat, dimana manusia dapat berhukum kepadanya manakala terjadi perselisihan, dan kembali kepadanya manakala terjadi penyelewengan.

Namun apabila agama harus tunduk pada perubahan dan situasi kehidupan, akan baik jika kehidupan itu baik, dan jelek pula apabila situasi kehidupan itu jelek. Maka agama akan kehilangan perannya dalam kehidupan.

Pada hakikatnya perbaikan yang sesungguhnya adalah komitmen kita untuk memahami dengan baik apa yang seharusnya boleh berkembang dari aspek-aspek kehidupan. Maka saat itu kita kerahkan segenap poten- si yang ada pada diri kitaguna mengembangkan dan memperbaiki dengan logika ulama yang tegas dan berani, bukan dengan kebodohan dan fata- morgana para pengekor (orang yang taklid).

Sebagaimana pula, kita harus tahu betul apa yang seharusnya tetap (permanen) dari nilai, fikrah, akidah, akhlak, adab dan tatanan syariat. yang sekalipun gunung-gunung kokoh itu runtuh. nilai-nilai tersebut tidak akan pemah pudar.

Dengan sikap bijaksana ini kita mampu menghadapi sekaligus me- ngarahkan kemajuan dan perkembangan. Dengan begitu kita akan berun- tung di dunia dan tidak merugi dalam agama. Dan pada saat yang sama kita akan dapat menggapai ridha Allah sekaligus pengakuan dari kalangan intelektual.

Menyatukan antara Tatlianwur dan Tsabat 291

Page 276: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

292 Karakteristik Islam \

INDEKSA

abadi, 159 abad pertengahan, 125 Abbas Al-’Aqqad, Ustadz, 82n, 123, 124n, 126n Abdullah bin Ummi Maktum, 174 Darraz, Dr. Muhammad, 135n Abdurraliman bin ‘Auf, 104 aborsi, 122, 123 Abi Sa’id Al-Khudzri, 146 Abu

Bakar As-Shiddiq r.a, 99 Daud, 281 Dzar, 87, 103- Hanifah, 271,279, 280 Hurairah, 103, 129, 130 Muhammad bin Abi Zaid Al-Qairuwani, 280 Musa r.a, 77 Qatadah Al-Anshari, 268 Sutyan, 257

Su’ud, 146, 147 Thalib, 254 Ubaidah, 162 Walid, 254 Yusuf, 269n, 279 Abul

Basyariyah Adam, 13, 81 Hasan Ali An-Nadwi, Allamah Sayyid, 112 adab, 132, 150 dalam duduk, 45 ziarah, 45 Rabbani, 44 sopan santun, 45, 128 A’daluhum, 146 Adam a.s, 14, 89, 154 dosa, 90 ‘Adi bin Hatim At-Tha’i, 48, 49 adil, 146 adlu, al-, 146 administrasi, 136 adzan, 122, 216 af al, 82 afiliasi pada iman, 102 Afrika, 114, 115 Selatan, 114 afwu, al-, 272, 274 agama-agama, 115, 152 samawi, 166 agamawan, 155 Ahkam, Al, 278 alili akhirat, 162 Badar, 268 dunia, 162 dzimmah, 99 sosial ekonomi, 165 tafsir, 146 Alilul

hilli wal 'aqdi, 249, 272 Kitab, Al-Qur’an mendakwa, 57 kitab-kitab,

201 pengingkaran terhadap, 57 Alimad Ibnu Hambal, 206, 207 Ahriman, 126 ahwaal asy-syakhshiyah, al-, 136 air, 151, 156 Aisyah r.a, Sayyidah, 55, 56 akal, 120, 121, 131, 152, 153 akhlak, 125, 128, 138, 150, 153 agama, 13 1 Islamiyah, 131

Islam yang berkaitan dengan alammakro, 133 Kehidupan Keluarga, 132 kemasyarakatan, 132 makhluk tidak berakal, 133 Islam yang berkenaan dengan individu, 131 Muslim, 44 Akhirat, 117, 121, 126, 154, 155, 161 akidah,

180, 181 Islam, 125, 126 Islamiah, 103, 124 kaum musyirikin, 42 tauhid, 211 yang syamil, 126 akikah, 122 Akrom, 71,72 aksiomatika pemikiran, 135 aktivitas daya pikir, 143 perasaan, 144 alam kecil, 144 semesta, 124, 126 sufistik, 185 wujud, 152 Al-Aziz, istri, 15 All

Abd. Wahid, Dr, 9In bin Abi Thalib r.a, 110 alim, 207, 209 aliran-aliran filsafat, 134, 135 tasawuf, 127 Allah, 42, 43, 86, 87, 101, 117, 121, 126, 128, 134, 154 Al-Masih, 112, 124, 166 ketuhanan, 41,89, 90 Al-Qur’an, 138, 144, 148 surat

Adz-Dzariyat, 4, 68, 139, 217 Al-A’la, 38

Al-’Alaq, 70,71,72 Al-Ahqaaf, 69, 132 Al-Ahzab, 63,73,221,277 Al-An’am, 45, 47, 60, 90, 93, 94,

154, 156 Al-Anbiya’, 11, 37, 65, 69, 118, 120,157,222,252 Al-Anfal, 2, 97, 139, 173,231, 263 Al-Ankabut, 9, 139 Al-A’raf, 10, 14, 17, 42, 119, 120, 131,155,163,192,201,225,251 Al-’Ashr, 223, 225 Al-Baqarah, 14, 20, 23, 28, 76, 80, 86,87,93, 118, 122, 129, 133, 134, 138, 145, 146, 148, 150,

155, 161, 164, 169, 170, 185, 186, 193, 196,200, 201,203, 218, 225,227,229, 241,246, 250, 252

Al-Bayyinah, 217, 232 Al-Fatihah, 3, 134, 147, 174 Al-Furqan, 18, 45, 120 Al-Hadid, 166,214,263 Al-Hajj, 69, 76, 184,200 Al-Hasyr, 7, 69, 104, 251 Al-Hijr, 62, 154, 236 Al-Hujuraat, 95, 96, 103, 104, 168, 169,229 Ali Imran, 1, 12, 13,33,58,65,87, 119, 125, 133, 139, 151, 155, 189,212,215,226,230,248,249 Al-Ikhlas, 60 Al-Infithar, 64 Al-lnsan, 21,62 Al-Insyiqaq, 2, 63 Al-Isra’, 6,9, 13,45,47,73,81,92, 127, 132, 170 Al-Jatsiyah, 53, 69, 83, 184, 284 Al-Jumu’ah, 153, 160 Al-Kafiruun, 253 Al-Kahfi,42,73,156,182,230,263 Al-Maidah, 21, 38, 53, 54, 55, 107, 140, 160, 168, 173, 187, 200,

206, 215, 220, 230, 235, 244, 249, 250, 285 Al-Mudatstsir, 170 Al-Mujadilah, 45 Al-

Page 277: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Mulk, 138, 142, 160, 178 Al-Mu’min, 86 Al-Mu’minun, 65, 74, 157, 212, 213 Al-Mumtahanah, 50 Al-Muthaffiffin, 133 Al-Qamar, 142 Al-Qashash, 17,19,20,52,69,157, 160, 205 An-Nahl, 10, 37, 38, 57, 69, 118, 127, 132,187,220,221,250, 263 An-Najm, 2, 38 An-Naml, 54, 119, 212 An-Nazi’aat, 226 An-Nisa’, 37,48,49, 50,51,54,93, 100, 127, 128, 132, 163, 164, 166, 194, 196, 197,200, 201, 214,220, 227,231,237, 246, 249, 250 An-Nuur, 45, 55, 132, 169, 174, 246, 277 Ar-Ra’d, 19, 125, 151 Ar-Rahman, 141, 142 Ar-Ruum, 226 As-Sajdah, 23, 81, 158, 213 Asy-Syam, 132, 154 Asy-Syu’araa’, 6, 22, 74 Asy-Synra, 37, 44, 187, 248 At-Taghabun. 80 At-Tahrim, 31, 190, 213 At-Takwir, 92 At-Taubah, 25,48, 49, 57,231 At-Thalaq, 4, 50, 123, 200 At-Thur, 65 At'Tiin, 80 Az-Zalzalah, 213 Az-Zukliruf, 42, 135, 157 Az-Zumar, 12,88, 121 Fathir, 188, 240

Fushshilat, 254 Huud, 15, 54, 63, 74, 75, 220, 225, 251 Ibrahim, 37, 69, 82, 127, 152,215, 222 Luqman, 4, 45, 47, 83, 134, 225, 228

Maryam, 272 Muhammad, 3, 155 Saba’, 2, 66, 132 Shaad, 52,81, 120, 158 Thaaha, 14,42,90, 125,244 Yaasin, 142

Yunus, 15,37,38,67,68, 118, 125, 131,253 Yusuf, 12, 15, 118 amal, 43, 44, 153 saleh, 138 untuk agama, 162 amaliyyah, 150 amanat qawamah, 227 amarma’rufnahi munkar, 45, 169, 172 Amerika Serikat, negara (bagian), 1 14 pemerintah, 55 Amirul Mukminin, 270 Amru bin Ash, 109, 162, 186 anak tuhan, 151

yatim, 217, 247,273 ananiyah, 12 Anas, 270 Anshar, wanita, 56 aqad, 148 aqliyah, 63 aqlu, al-, 143 Arab Bahasa, v

bangsa, 33, 101, 120 Dunia, v kabilah, 254 orang-orang, 54, 103, 148 penduduk, 103

Arafah, 28, 217 Arbab Mutazayyifah,

11 area, 150 ardhi, 177 arhaam, al-, 100, 101 Aristoteles, 148, 164, 286 ashar, 186, 202, 258 ashnaf, 16 asholah, 9 akidah, 59 dalam ibadat, 59 Islam, 100 orientasi, 59 syariat, 59 ASI (Air Susu Ibu), 92 Asia, 238 aspek fitriyyah, 149 ma'nowiyah, 149 material, 149 Assalamu 'alaikum, 219- asuransi, 136 Asybah wan Nadhaair, Al-, 202n atheisme, 35 atom, 144 audible, 34 Ausathuhum, 146 ayat, 146 -ayat Kauniyah, 73 Muhkamat, 221 azab, 184

B

babi, 13 1 Babon, 239 Badui, 109,266 babasa Qur’ani, 147 Bahrain, 162 baiat, 205, 237 Baidha’, v Baihaqi, 270n Baitul Haram, 27, 108 Baitullah, 230, 246 Bakar bin Wail, 270 bakhil, 103, 171 balaghah, ilmu, 41 Balqis, Ratu, 119' bangsa ’Ajami, 106 Al-’Arabi, 106 Al-Haami, 106 As-Saami, 106 bani

Amir bin Sha’sha’ah, 254 Hasyim, 254 Israil, 128, 138, 163 Makhzum, 108,257 Nadhir, 251 Barat, 47, 121 penulis, 4] bashirah, 16 basmalah, 28, 219, 234 batil, 224, 236 batu, 150 bay an, al-, 61 bayyinah, 220 Becker, 239 Beirut, 23 9n Belanski, 239 benang sari, 263 benda padat, 144 berislam, 153 bi ’ah, 55 bid’ah, 43, 44 akal pikiran, 43 ubudiyah, 44 Bilal, 103, 114 binatang, 153 birrul walidain, 228, 273 Bismikallahummah, 256 Bism il lah irrahm aanirrah iim ,255 Bismi Rabbika, 71 borjuis, 99 Brahma, 112, 113 Brahmana Hindu, 154, 156 budak, 92, 1 14, 121 Budha, 180 buka, 217, 260 Bukhari r.a, Imam, 26, 202 buku-buku jihad, 137 sirah, 137 bumi, 143, 144, 153, 159 Bunda Mariam, 215 burhaan, 220

C

Indeks 293

Page 278: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

cacat dalam keseimbangan, 143 cakrawala ummat, 117 cara hukuman, 123 Cina, 238, 239 ciri khas insaniyah, 59 Rabbaniyah, 59 ummat Islam, 146 Cool, 239

D

dakwah Nabi, 152 darul akhirah, 211 darurat, 193,202, 204,249 Daud a.s, 222, 230, 252 Adh-Dhahiri, 274 daulah, 124, 125, 174 Islam, 99 debu, 154 Deklarasi, 218 demokrasi 237 Dewa, 1 13 dewan revolusi, 242 dhahir, 61, 166 Dhahiriyah, 60, 274 dhamir, 17, 33, 55, 120 pertimbangan, 55 dhani, 277 dhanniyatud di Ialah, 277 dhanniyatuts tsubuut, 277 dharibah, 25 dharuriyat, 234 dhu 'afa, 21, 119, 130 dhuhur, 186, 202 dhulumat, 222 dien, 153, 160 dienul haq, 142

Islam, 211,222, 235 Dienullah, 43 diktator, 167 demokrasi, 238 di Ialah, 220, 221, 272 dinasti, 91 diniyah, 102 diyat, 93, 94, 122 doa, 88, 101,201, 160, 161 Qur’ani, 161 dosa besar mabuk, 45 pembunuhan, 45 riba, 45 sihir, 45 syirik, 45 zina, 45 warisan, 89 dukun, 213, 237 dunia, 154, 157, 160 duniawi, 131, 153 dustur, 39, 236 dzarrah, 213 dzikir, 88, 229 dzikrullah, 153, 192,219,233,234 Dzulhijjah, 95 Dzulqamain, 263

E

egoisme, 103, 173, 175 ekonomi, 133, 151 ekonomis, 123 eksistensi ruhani, 124 umniat, 147 ekstrimitas, 145, 148, 149 Emansipasi dalam Islam, 111

Peradaban Ummat, 111 operasional di hadapan undang- undang dan hukum-hukum Islam, 108 sebagai prinsip dan idealisme, 114 secara teoritis, 114 Engels, 239 Eropa, 125, 287 Timur, 180 Erther Sin, profesor, 111 esensi ukhuwah, 102 etika, 134, 174 etnik, 103

F

fadilah, 247 Faidhul Qadis Syarah Al-Jami ’ As-Shaghir, 96n fajir, 207 fakir miskin, 44, 97, 98, 119, 166 Fakultas Dirasah Islamiyah, v Tarbiyah, vi falsafah, 134 fana, 155 faqih, 205, 246, 272 fardhu, 147, 202, 230 kifayah, 173 fardiyah, 141 fase, 149 fasik, 35, 207 Fasis, 238 fatamorgana, 151 Fathul Bari, 96 Fathu Makkah, 268 Fatimah binti Muhammad, 108, 258 fatwa, 67, 68, 271 ' fenomena alam,

68 Al-Wasthiyah, 150 Islam, 202 syumuliyasul Islam ,121 tawazun, 141,

142, 143, 144 Feuerbach, 239 fidyah, 185, 202, 203 fikrah, vi, 39, 100, 107, 125 Islamiyah, 135 marjinal, 149 pertengahan, 149 primordial, 149 Jikriyah, 204 fikru, al-, 143 filsafat -filsafat, 83, 117 kemanusiaan, 127 ketimuran, 127 Yunani, 165 fiqih, 170, 193 Islam, 75, 123, 136, 137 Fiqhuz Zakal, 98n Fir’aun, 19, 119, 156 firqah, 215, 235, 236, 237 fisik, 120 litnah dunia, 162 fitrah, 150, 153 manusia, 91, 121 nurani manusia, 153 fitriah, 233 forma litas, 174 fuqaha, 205, 286, 288 furqan, 220 furu’, 242, 247, 271, 288 furu 7ya/i, 40 dari

ushul, 67

G

gadai, 136 gagasan, 123 gaib, 177, 229 generasi, 134 gereja, 124, 125, 197 kulit hitam, 114 kulit putih, 114 George Bouijan, 239 Sarton, 287 ghanimah, 25 Ghassan, 269 ghathafan, 256 ghayah, 222 Ghazali,

294 Karakteristik Islam

Page 279: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Abu Hamid A1-, 287 Mohammad A1-, 9 In ghibah, 95, 247 ghunnah, 40 ghuluw, Al-, 263 globe, 143 gravitasi, 144 gugusan planet-planet, 144 Gustav Labonc, 287

H

Habil, 244 Habsyi, 103 had, 92 Hadis, 32, 94, 105, 266, 268, 270, 271, 281,282

dari Umar r.a, 98 Jibril, 187 riwayat Abi Hurairah, 260 Abu Daud, 97, 174, 196, 261

dan Tirmidzi, hasan shahih, 44 Abu Ya’la, 259 Ahmad, 101, 186, 192, 200,201, 262

Abu Daud dan Ibnu Majah, 96 dan Ad-Darimi Al-Hakim, 258 Ashhabus Sunan dan Ibnu Huzaimah, 259 Ath-Thabrani, 78 Bazzar dan Hakim, 272 Bukhari, 28, 55, 86, 89, 106, 131, 139, 161, 162, 190, 202, 261, 262, 265, 282

-Muslim, 31,42,77,95,130,258, 260, 284 Daruquthni, 273 Ibnu Abbas, 259 Muslim, 33, 87,161, 169,185,259, 261,264 Muttafaq ‘ Alaih, 68, 172,190,216, 232, 265,

276 Syaikhan, 192 Tirmidzi, 28, 34, 130,286 dan

Ibnu Majah, 70, 171 Nasa’i, 160 Qudsi, 24, 26, 87 Shahih, 246, 247, 272, 273 Hajar, Siti, 25 haji, 88, 107, 129, 185, 217 ' mabrur, 282 wada’, 95, 104, 169 Hajji, AI-, 282n hak, 146 Allah, 161 asasi

antara Islam dan keputusan PBB, 91 manusia, 91 dalam Islam, 91 Berkecukupan

yang sempuma, 97 fakir miskin, 99 hidup, 91 manusia, 91 jama’iyah, 171 janin, 92 karomah (kemuliaan), 168

kebebasan individu, 169 Kemuliaan dan Penjagaan Kehormatan, 95

milik Allah, 124 kaisar, 124 pemilikan, 169, 171 yang harus dipenuhi, 154 hakam, 197 hakim, 91, 146 Halal, 88, 108, 130, 13 1, 136, 164, 188, 192,

193 wal Haram, Al-, 56n, 89n Hambali,

26 1 hamba sahaya, 113, 119 hamdalah, 28, 219, 234 Hanafiah, 271, 274 Hanafiyyah Samhah, 192 Handhalah,.’266 haq, a!-, 3, 129, 214 Haq.oiqul Islam, 126 haqqut tamalluk, 171 haram, 108, 136, 188, 192, 193 harmalitd dam, 168 harmalul bait, 168 harta

rampasan perang, 162 riba, 218, 273 hasad, 175 Hasan Al-Banna, As-Svahid, 117 Hasbullah, 279n Hatib bin Abi Balta’ah, 268 haul, 203 Hawa, rayuan, 90 hidayat, 134 Allah, 83, 121, 123 Homo Sapiens, 78 hikmah, 203, 222, 252, 259, 278 Hindu, 180 hubud-dunya, 23 1 Hubungan antar

kerabat dan sanak famili, 132 negara, 137 antara

kedua orangtua dan anak, 132 suami-istri, 132 Hud, Nabi, lOn, 74 huda, 142 hudud, 136, 137, 198, 219 hujjah, 150, 246, 280 hukum azali, 244 Islam, 138 pemerintahan, 136 perdata, 136 pidana, 136 ta’adul, 144 husnush shilah, 150, 246, 280 hutang-piutang, 123, 136, 137

I

Ibadah fie Al-Islam, A/-, 87n, 13 In Ibadat, 24, 43 amaliyah, 267 badaniyah, 185 fisik, 129 haji, 25, 76 hati nurani, 129 lisan, 129 mafrudhah, 24 mal iyyah, 185 manduubah, 24 puasa, 24, 76, 129 Rabbaniyah, 42 salat, 129 Ibnu

Abbas, 259, 280, 281

Indeks 295

Page 280: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Abidin, 279n Abi Syaibah, 280 ‘Affan, 103 ‘Auf, 103 Hajar, 96n Katsier, 148 Najm, 25In Nujaim Al Hanati, 202 Qibthi, 109 Rusyd, 287 Sabil, 44,217 Shalah, 286 Taimiyah, 205, 206, 261, 283n, 287 Umar, 283

Umi Maktum, 38 Ibnul Qayyim, 8, 10In, 122, 208 Ibrahim a.s, 5, 19, 25, 118 An-Nakha’i, 271 ibroh, 33, 72 ideologi, 123, 150, 170 -ideologi besar, 125 sesat, 147 idgham, 40 idh-har, 40 ifrath, 241 Ighatsatul Lahfaan, 247n, 248n Ihkaam fii tamyiizil fatawa minal ahkam, al-, 27In ihram, 217 ihsan, 188, 217 ihsanush shilah, 159 Ihtida’, A!-, 5 ijma ’,36 ijtihad, 170, 221,246 ijtima ’iyah, 91 ikhfa ’, 40 ikhlas, 43,44 ikhtilaf, 237 ikhtiyar, 48 ilaaj, 164 Ilah, 12,47,57, 126 Ilahi, 89 ilham, 152 ilmu, 133, 140, 142 kalam, 170 iltizam, 138, 161, 187 imamah, 205 Iman, 138, 184, 188, 21 1, 224 dan Kehidupan, 55 Islami, 128 wal-Hayah, Al-, lOn indera, 129, 150 inderawi, 135 India, 111, 112, 183 individu, 45, 123, 134, 135, 144, 155 individual, 131 Injil, 39, 117, 124, 125, 126, 163 Inna lillahi wa inna ilaihi raaii 'uun, 270 Insan

Baina Al-Ma ’ddiyah wal Islam, Al-, 82n Fil Qur ’anil Karim, Al-, 82n

Insaniyah, vii, 8, 59, 83 buah-buah, 100 dimensi-dimensi, 62 instink, 120, 131, 184 kebinatangan, 153 intelektual, 131 intuisi, 89 Iqbal, Muhammad, 283 iqlab, 40 iqra ’,72 Iqtidha ’ Shirathil Mustaqiim fi Mukhalafati Ahlil Jahiim, 284n iradat, 63, 152 iradalullah, 62 Iran fi Ahdi As Sa-Saniyyin, 1 11 Irbadh bin Sariyah, 263 Isa (Putra Maryam), 41, 118, 119, 163 islah, 184, 197 Islam,91, 117, 1 18, 1 19, 123, 150, 151, 153,

154, 163 akidah, 41 dan Kapitalisme, 240 fil Qormil ‘Isyriin,

Al-, 124n integritas, 121 syariat, 122 ummat, 85 Ismail a.s, 25, 118 isme-isme, 154 materialis, 154 istighfar, 87 istihhab, hukum syar’i, 48 istihsan, 246, 274 istimbath, 61, 64 istiqomah, 147 istishlah, 274 isya’, 186,202 iththila’, 179 i'tibar, 133 itqon, 53 itsar, 103, 218 ittijah, 232 ittshal, 184

J

Jabalah bin Al-Aiham, 109 Jabariah, 60 Jahiliyah, orang-orang, 55, 92, 140 jama’, 186, 259 jama’ah, 171,216,223 jama ’iyah, 141, 174 jamak salat, 201 jaminan, 136 janin, 92, 122 jasad, 121, 154 bumi, 154 jasadiah, 7 kotoran-kotoran, 103 jasmani, 131 jaza, 213 ukhrawi, 213 jenazah, 123 jihad, 204, 282 fi sabilillah, 88, 129, 130 jimat, 265 jinayah, 75 jiwa, 132 jual-beli, 136 Jum’at, 153 Jumhuriyyah, A!-, 165 jumrah, 217 jumud, 255 justifikasi akan kebenaran dakwah-Nya, 66 juz 'iyaat, 242

K

Ka’bah, 42 Kabe, 239 Kabir, Al-, 78n kaffarat, 94, 261 kaffatul linnas, 145 kafir, 183,208,213,251,253 kaidah

cabang dalam beberapa bab fiqih, 202 fiqih, 202 kuliyah syar’iyyah, 274

syara’, 261 Kaisar, 111, 124, 166 kalam, 72 kalamullah,38 kalimatullah, 129 kambing, 150

Jndeks 296

Page 281: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

kamil, 120 kandidat, 206 kapitalisme, 84 karakteristik Insaniyah, 120 rububiyah, 151 samawi, 154 karbondioksida, 143 kasatmata, 151 Kasta Brahmana, 112 Sudra, 112, 113 Syatria, 112, 113 Waisya, 112, 113 Kasyjullsthilaahaatil Uluum walFann, 246 kaum ‘Aad, 254

Anshar, 55, 103, 104 atheis, 150 Hawariyyin, 119 khurafat, 150 maaddiyyin, 150 Muhajirin, 55, 103, 104 Muslimin, 137, 148 yang mendustakan para Nabi, 15 1 menempatkan manusia sebagai budak belian, 151 menguduskan para Nabi, 151 menuhankan manusia, 151 Kauri iyah, 73, 182 Keabadian, 146 keagamaan, 123, 131 kelompok, 134 Kebebasan berpendapat dan berpikir, 169 menyanggah, 169 kecenderungan individual, 141 keluarga, 141 kesukuan, 141 kedok agama, 131 filsafat, 13 1 masyarakat, 131 tradisi, 131 kehidupan ruhhiyah, 143 kejumudan, 152 kekafiran, 35 Kekuatan yang Kokoh, 124n kelas, 103, 134 para petani dan pedagang, 112

pasukan atau panglima perang, 112 pendeta dan pemuka agama, 112 terendah (gelandangan), 112 keluarga, 125, 136 „ kemanusiaan, 146 kependetaan, 86 keputusan-keputusan hukum, 91 kerajaan dunia, 126 langit, 126 kerancuan filsafat-filsafat dan sekte-sekte, 126 materialisme, 145 realistis, 145 spiritualisme, 145 kesaksian, 146 kesesatan, 150 kesyirikan, 150 keteguhan, 146 keturunan, 148 keutamaan Haji Mabrur, 282 kewajiban pemerintah terhadap rakyat, 136 rakyat terhadap aparat pemerintah, 136 kezaliman, 150 Khaibar, 275 khairu ummah, 214 khalidah, 145 Khalid bin Walid r.a, 268, 269 khalifah, 159, 171,225,279 Khalik, 72, 134 Khaliqiyah, Al-,1\ khalwat, 193 khamr, 13 1, 193,203,219 Kharuj, Al~, 269n Khasliaishu Al-Tashawwur Al-lslami, vi; 289n

Khasyatullah, 206 Khatamun Nabiyyin, 117 khayal, 151 khidmah, 4 khilaf, 149,202, 235 khilafah, 224, 236 tanggung jawab, 63 khilafiah, 237 khitob, 183 taklif 173 Khulafaur-Rasyidin, 109,221 Khuluqiyah, 204 khusnudzdzan, 153 kiamat, 43, 1 17 kiblat, 107 Kitab

Al-Qur’anul Karim, 39, 40, 138 Injil, 39, 163 Taurat, 39, 1 17, 163 Weda, 112 Kitabullah, 220 Kitabum mubiin, 220 klaim-klaim kemanusiaan, 103 kolektif, 135, 141 komite, 91 kompilasi hukum, 48 Komunisme, 179, 180 kriminalitas, 136 Kristen, 180 agama, 145

ideologi agama, 41, 127 Katholik, 164, 197 Ortodok, 164 pandangan, 126 Kristiani, 90 kudeta, 205 kuffar, 285 kufur, 128, 153, 177 kulit hitam, 114, 115 putih, 114, 115 kulliyah abadiyah, 247

L

Laa haulaa wa laa quwata ilia billah, 63 Laa ilaha illallah, 211,212, 267 Muhammadarrasulullah, 228 laba-laba, 164 Labbaika Allahumma Labbaika, 108 lagho, 3 lagob, 1 lagu-lagu ketuhanan, 111 lahwu wat Taraf, A1-, 89n lajnah, 167 langit, 83, 156 larangan, 137 Latta, 257 legislatif, 150 Lenin, 239 liberal, 180 liberalisme, 47, 237 literatur perpajakan, 136 politik Islam, 136 Louis Blanc, 239 Lourou, Maxim, 239 Luqman Al-Hakim, 46, 225 Luth a.s, Nabi, 74

M

Maaliyah ijtima’iyah, 126 Mabadi' Ilmil Akhlak, 135n mabda ’, 245, 249 mabit, 217 mad, 40 madaris, 170 maddah, a/-, 144 Maddiyah, 51, 141, 154 madharat, 23 1, 269 Madinah, 28, 54, 109, 1 10, 203

Indeks 297

Page 282: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Mukmimn, 54

298 Karakteristik Islam

Page 283: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

madrasah nubuwwat, 268 mafsadah, 249 mafrudhah, 24 maghrib, 186 mahram, 219 ma’isyah, 185, 186 Majaalatul Ibadah fi Al Islam, 13 In majazi, 24 majikan, 121 majmuatur Rasaail, 279n Majusi, agama, 126 makhluk, 124, 144 Makkatul Mukarramah, 217 Makkiyah, surat, 70, 120 makmum, 216 makruh, 188 malaikat, 42, 153, 159,214 Malik bin Nuwairoh, 268 Malikiyah, 271,274,280 manabi ’,211 Manahijul 'Ilmifil'AlamilIslarni, 287n manasik haji, 108 manduubah, 24 manhaj, vi, 16,39, 121, 131 tikri, 267 fitrah, 209 Islam, 145 moderat, 148

pertengahan bagi ummat pertengahan, 145 manhajul hayah, 142 manhajullah, 37 ■ Manua (Manu), 112, 113 manusia, 125, 131, 134, 144 dalam kapasitasnya sebagai benda material, 143 mardhatillah, 1 marhalah (periode), 1 17 ma’rifat, 4, 18, 152 ma’rifatullah, 8, 127 markas, 146 Ma ’rijus Salikien, 8n Marx, Karl, 239 ma’ruf, 196, 224, 225 Marxis, 198 , -Sosialis, 164 Marxisme, 167 Marwa, 217 masa iddah, 219, 273 Masayikh, 279 mashadir, 220, 274 Mashalah mursalah, 246 mashdar, vii shina’i, 1 mashdir, 211 ma’shum, 222 Masihiyyah, 180 masjid, 162 Dhirar, 35 Nabawi, 27, 78 Masjidil Haram, 27 Masjidurrasul, 103 maslahat, 204, 224 mas ’uliyah tadhamuniyyah, 173 Masyaqqah, 202 masyarakat, 121, 130, 134, 136 matahari, 143, 149 materi, 121, 134, 154, 175 material, 123, 135, 144, 148 materialisme, 145 ma ’tsur, 161 mauidhah hasanah, 123 mawaddah, 226 mazhab, 39, 67, 83, 205 -mazhab, 1 17 Mekkah, 28, 95, 120, 203 Mesir, 90, 109, 110, 146n Milkiyyah fardiyyah, 197 Mina, 217 misi temporer, 145 Missionaris, 235 mitsaliyyah, 141, 145 Mitsaqan ghalidha, 196 mizan, 140, 142 moneter, 136, 137 moral, 123 moralitas kemanusiaan, 152 Moskow, 115

Mu’adz bin Jabal r.a, 201, 262 Mu ’allim, Al-, 72 muamalat, 75, 133 Mu 'asyarah, 227 Muayyidiha waMu ’aridihaa, 82n Muazaroh, 275, 276 mubah, 48, 136 mubtadi ’, 43 mufassir, 146 Mughiroh bin Syu’bah, 257 Mughni, Al-, 269n Muhajirin, wanita, 55, 56 Muhammad saw, 28, 43, 48, 58, 86, 90, 92, 117, 147 Aitani, 239

Ar-Risalah war-Rasul, 90 bin Hasan Asy-Syaibani, 279 muhkam, 272 mujahidfi sabilillah, 130 mujahidin, 260 Mujamma’ Naqiyyah, 41 mujtahid, 170, 205, 222 Mujtama 223, 224, 228 mukallaf, 151 mukjizat, 152 Mukmin, 25, 135, 201 Mukminat, 45 wanita, 55, 56 muktamar "Rabbani-Insani", 76 munafik, 35, 189, 218 makar orang-orang, 104 munajat, 174 munaqasyah ilimiyah, 170 Munawi, Al-, 96n Muqayyad, 21A muqim, 186 Murrabi, 190 mursalah, 274 murtad, 35 murunah, vii, 245, 248 Musa a.s, 19, 117, 118 musafir, 186, 201 Musailamah Al-Kadzdzab, 255 mushaf, 40, 236 Muslim, 11, 27, 87, 118, 125, 147 Imam, 160 masyarakat, 114 orang-orang, 54 tentara, 38 Muslimah, generasi awal kaum, 55 sikap kaum, 54 Muslimin, antarsesama, 101 jutaan kaum, 114 sikap kaum, 54 Musnad Imam Ahmad, 101 mustambith, 47 mustadh ’afiin, 231 musyarri al-, 47 Musykilat AI Faqr wa Kaifa Alajaha Al Islam, 99n Mutanabbi, A1-, 197 Mutasyabihat, 220, 221, 274 mutawatir, 40 Mu’tazilah, 274 MutsaqqafJ'iin, 211 muttaqin, 13 Muwafaqaat, Al-, 247 muwazanah, 146 Muzaro 'ah, 275, 276 Muzdalifah, 217

N

Nabi, 117, 145, 148, 151, 152 Nadhami

Indeks 299

Page 284: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Lukas, Dr, 90 Nadhariyah, 150, 220 Darwin Baina ,\ luayyidiha vra Mu

'aridihaa, 82n S'adwatut Tasyri' Al-lslanti, v nalkah, 122. 123, 136 nafsivah. 91. 204

nalsu, 152 Nil'ini bin Mas'ud Al-Asvja'i, 256 naluri, 120 nannmah, 247 N a nund, 19 naqli, 65 nasab, 106, 148 nash, 237. 247 pertama sebagai wahyu Ilahi, 72 yang dikisahkan Injil, 166 nasakh, 209 Nasrani, 39, 49, 89, 124 agama,

85 ideologi, 163 orang. 110, 147, 148, 156 raja-raja, 58 ummat, 85 vang menderita penyakit kusta, 99 nalijah, 5

Nawawi, 287 Nazi, 238 negara, 121 nenek moyang, 89 neraka jahannam, 90 Nero, Kaisar, 19 nidhom, vi, vii, 33, 39, 142, 150 nil'ak, 23 1 Nilai akidah, 172 kemanusiaan, 106 moral, 172 -nilai agama, 137 akhlak, 137 ruhiyah, 156 nisab, 98,203,216 nisbah, 146 non

-Arab, 103, 106 -Muslim, 54 nubuwwah, 65, 126 Nuh, Nabi, lOn nurani, 121, 127 nurullah, 80

o observasi, 159 oksigen, 143 Oktober 1917, 180 operasional, 123, 150 orang-orang jujur, 148 kaya, 119 kuat, 1 19 saleh, 148 organ-organ tubuh, 129 orientalis, 235 otak-otak manusia, 100 otoritas, 248 otoriter, 248

P

paganisme, 212 pagoda, 224 pahala, 130, 131, 170, 174 pakar filsafat, 165 undang-undang, 165 pandangan sains moderen, 144 para Sahabat, 130 parlemen, 204, 242 parsialitas ideologi-ideologi, 124 partai, 91, 166 Paulus, Santo, 41 pembedaan tempat ibadat, 114 pemberi syafaat, 86 pemerintahan, 133 pemimpin alam raya, 15 1 peminjaman, 136

pendeta, 120 Kristiani, 163 pendidikan, 91, 150 penegasan fikriyah, 94 penganut materialisme, 155 Pengharaman darah, 168 harta, 169 kehormatan, 168 penguasaan terhadap diri, 136 harta, 136 penulis, 91 penyair, 146, 149 penyakit-penyakit akal, 143 syaraf, 143 penyewaan, 136 penyusuan, 136 peradaban Arab, 287 Barat, 114, 115 Brahma, 1 12 Islam, 1 14 Perancis, 240 Perang Ahzab, 255, 263, 286 Badar, 38, 268 Riddah, 268 Tabuk, 38, 259 Thai!', 263 Perbedaan iklim, 114 jems, 1 14 kelas, 1 14 ras, 1 14 rasial, 1 14 wama kulit, 1 14 perdagangan, 136 Perdamaian Hudaibiyah, 256

perintah, 137 periode sahabat, 170 Perjanjian Baru, 166 permisivisme, 35 pemikahan, 136, 164,, 165 perpajakan, 136 Persatuanantarjenis'rasdan kedudukan, 101 Persaudaraan keagamaan, 103 sesama manusia, 103 Persia, 103, 156 penduduk, 111 pesakitan bagi manusia, 94 Plato, 165 Pohon hantu, 84 zakkum, 184 P’ola

pandang, 134, 135 pikir, 134, 149 poliandn, 114 poligami, 137, 164, 195, 196 politik, 121, 125, 133 politikus, 165 politis, 123 Potensi aqliyah, 134 instinktif, 134 spiritual, 134 praktek-praktek perdukunan, 86 premis aqliyah, 66 Prinsip Allah, 102

antarseluruh hamba Allah, 101 emansipasi, 109 manusia, 104 human right, 100 kebebasan, 100 kemanusiaan, 1 10 persaudaraan manusia, 100 Syuro, 205 ukhuwah, 102

300 Karakteristik Islam

Page 285: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

Proudhon, 239 puasa, 107, 152, 161, 185 Ramadhan, 24, 216

Q Qabil, 244 qadha', 261 Qahthon, orang-orang, 103 Qaisul Qirthas,

Ustadz, 82n qalbu, al-, 143 Qamariyah, 2)6 Qarafi, A1-, 27 In, 278 Qardhawi, Dr. Yusuf A1-, I On, 56n, 87n, 89n, 99n, 13 In Qarun, 156 - qasar salat, 201 qatlvi, 150, 219, 221 Oath ’iyatud dilalah, 247 Qath ’iyatuts tsubul, 247 qauliyah, 182 ,

Qawa’id, 21 1 qishash, 93, 136, 137 qiyas, 64, 246 terhadap furu'iyah, 67 qiyamullail, 217, 265 qodratullah, 62 qolam, 72 qudwah, 73 Quraisy, 253, 254 wanita, 56, 108 Quthb,

Muhammad, 82n Sayyid, vi, vii, 289n

R

Rabb, 11, 34, 57, 86, 89, 102, 107 yang berarti tarbiyah, ri ‘ayah dan tarqiyah, 71 Rabbani, 1, 13 masyarakat, 103 Rabbaniyah, vii, 11, 12, 34, 50 G hoy ah, 1 manhaj, 1,36 mashdar, 1, 36, 49, 50, 56 satu hah, 1 5 Wijhah, 1 Rabbul Wujud, 41 rahmat, 134, 142 rahmatan lil 'alamin, 145 raja, 91, 125 rakaat, 147, 202 Ramadhan, 24, 27 Rambiert, B, 239 ras, 103 rasialisme, 114 rasio, 127 Rasul, 10, 33, 66, 102, 201 Rasulullah, 42, 101, 108, 148, 160 rezeki, 130, 153 riba, 219, 247 ridha, 146 risalah akhir zaman, 145 bagi Manusia dalam Semua Fase kehidupan, 121 setiap Nabi, 1 19 Totalitas Manusia, 120 Ilahiyah, 75 Islam, 101, 1 17, 145 langit, 214, 225 Manusia dalam Segala Sektor Kehidupan, 124 Masylturoh, 280 Muhammad, 102, 117 Nabi-nabi sebelum Muhammad saw, 1 17

penutup, 1 17 Semua Zaman, 1 17 temporer, 145

yang syumul, 119 ritual, 150 riya’, 23 1 riyadhah, 154 Rodinson, Maxime, 240 Roma, 19, 197 Romawi, 110, 145 Rububiyah, 10, 214 ruh, 120, 121, 154, 159 alawi, 154 kudus, 41 ruhani, 13 1 ruhiyah, 63, 141, 154 ruhullah, 80 ruku’, 107, 129 rukhsoh, 185, 201 rukun, 205, 216 -rukun, 138 Rum, 103 Rusia, 115, 180 Rustum, 223

S

Saad bin Rabi’ Al-Anshari, 104 sabiq, 188 safar, 233 sahur, 217 sa’i, 217 Said bin Mansur, 281 saifullah, 268 Sains moderen, 144 Saint Simon, 239 sakinah, 226 saksi, 146 Salafiah, 235 Salafus Shalih, As-, 27 salam, 216, 219 Salamah bin Al-Akwa’, 202 Salat, 88, 107, 129, 147, 148 jamaah, 174 Jum'at, 153,174 lail, 161 saleh, 207, 223, 225, 230, salihat, 195 salihin, 184, 194 sa/imah, 182 Salman Al-Farisi, 286 samawi, 177, 236, 242 Sami An-Nasyar, Dr. Ali, 287n Sami'na wa atha'naa, 203 sapi, 150 ' Sarkhasi, 279 saudara sepersusuan, 219 sayyidana, 114 sayyiduna, 114 sedekah, 88, 130, 260 Sejarah tasyri’ Islami, 203 sekte

individualis ekstrim, 165 Maani, 165 Mazdak, 165 -sekte, 152

pemikiran ektrimis, 149 senja, 149 setan, 126, 127 shai, 107, 174 Shahih,

Ash-, 139 Bukhari, 282n Shaleh, Nabi, lOn, 74 shighat jama’iyah, 173 shiratal mustaqiim, 134, 147,283 Shofa, 217 sholatul wustho, 148 Sirah

Ibnu Hisyam, 255n, 257n Nabawiyah, 25 setiap orang yang mengemban risalah, 66

Sistem akhlak, 153

Indeks 301

Page 286: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

tikriyyah yang seimbang, 149 ibadat, 128 kasta, 112 kehidupan, 144 kependetaan, 152, 156 yang Tawazun, 141

Siyasatusy Syar ’iyyah fii Ishlahir Raa ’iwar Ra ’iyyah, ,4s-, 205n Siyasyarusy Syar ’iyah, 247, 271 Solidaritus antarsesama kaum Muslimin, 99 sosial, 99 sosial, 45,123, 131, 144 keagamaan, 15 1 status, 119, 134 Sosialisme, 47, 84, 167 Sovyet, 115 Uni-,.180 spiritual, 144, 148 stagna.si, 89 standar keilmuan, 287 strata masyarakat, 111 sufistik, 185 suiivah, 235 sujud, 129 suku Adnan, 103 Aus, 103'

Badui, 103 (ihossan, 109 Khazraj, 103 Qihthi, 109 Quraisy, 148 terbaik, 148 Sufyan Ats-Tsauri, 281 Sulaiman a.s, 119,222,252 sit Ink jama 7, 175 Sunanul Kubro, .-l.v-, 270n Sunatullah, 83, 88 Sunnah,

As-. 40, 138, 187 Rasulullah, 43, 44 surga, 135, 224 susunan biologis, 144 material, 143

penciptaan yang seimbang, 144 spiritual, 143

suudzdzan, 95, 120 syafaut, 257 Svati’ie, Imam, 98 syahadat, 102, 259 syahadatain, 246 syahwat, 130, 153, 175 syair

pujian, 146 -syair spiritual, 111 Syakhshiyah, 44,75 Syam, 99, 279 syar’i, 43, 195, 198, 233,237 syariat, 122, 123, 136,201 Syathibi, Asy-, 247n Syawal, bulan, 28 Syi'ah, 235,236,274 sviar

bagi risalah Islamiyah, 145 ibadat, 128 -syiar-Nya, 108 ubudiyah, 13 1 ritual, 128, 139 Svirik, 222 fivxi’aiba.s, Nabi, IO11, 74, 75 syubhat, 67 antara halal dan haram, 67 penentuan hukumnya, 67 syuhada", 148 sviikur, 122 Syumul, vii, I 17 ajaran-ajaran Islam, 125 akhlak Islam, 134 dalam akhlak dan keutamaan- keulamaan, 126 akidah dan persepsi, 126 syariat dan struktumya, 126 Syumuliyah Akhlak dalam Islam, 1 3 1 Ibadat dalam Islam, 129 Iltizam dengan Islam, 138 Syariat dalam Islam, 1 3 6 Syuiiiiiliyatul

akidah. 124 Aqidah A l-lslain iyah, 126

Syuro, 248, 249 syu 'uur, 143 jaina’i, 175

T

ta’adul, 143, 144 Ta’aduliyyah, At-, I44n ta’allum, 190 ta’ashshub, 221 ta’awun, 218 tabiat manusia, 121 tabi’ien, 40 tabi’,279 tabligh, 271 tafakul, 99, 173 tafakur, 129 tafarrugh, 152 tafkir jama 7, 175 tafrith, 147, 241 Tafsir, 170 AbitSu’ttd, 147n Al-Fakhrur Razi, 146n Al-Wasth, 146

Ibnu Katsier, 146n, 147n, 148n taghayyur, 141 Tahafut Tahafutil Falaasifah, 287 Tahafutul Falaasifah, 287 tahallul, 217 Tahanawi, At-, 246 tahkiim, 164 tahqiq, 274

TahriirulIbadahMinRiqqiAlKalmuuti, 87n

Takbiratul lhram, 216 Takdir Ilahi, 62 taklid, 89, 152, 205, 291 taklif 48, 63 takwa, 175, 188, 189, 218, 222, 226, . 255 takwil, 221, 269, 278 Takwin, 3 1 talak, 122, 137, 164, 196, 197,219 Talkhiish, At-, 280 iamazzuq, 11 tamimah, 265 lamyiz, 19 i tanah '

Hat, 154 suci, 108 taqarrub, 86, 88, 102; 262 • Ilallah, 185 Tarbiyah, 31,, 150, 189, 190, 204, 218, 221,228 Islamiyah, 206 tarkiib ruuhy, 143 tasattur, 270 tasawuf, 165, 234 tasyri’, 2, 35, 91, 150, 204, 220 tasyri ’iyah, 150 tasyrtq, hari-hari, 104 Tathawwur, 241, 242, 243, 244, 245, 271,288 tathbiiq, 274 Taufiq Al-Hakiim, Al-Ustadz, 143, 144 tauhid, 118, 126, 212, 222, 264, 265 tauhidullah, 102,

302 Karakteristik Islam

Page 287: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

21 1 taujih, 2, 34, 161, 190, 223 tawaf, 108 tawakal, 88 tawassuthu, at-, 146 tawazun, vii, 13, 141, 144, 145, 146, 149 tayamum, 185, 200, 260 ta’ziir, 198,248 tazkiyah, 25, 75, 123 tazkiyatun nafs, 99 teori

abad kesembilan belas, 144 at-ta’aduliyah, 143 dalam adab, 143, 144 Darwin, 82n farm (seni), 144

Indeks 303

Page 288: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

filsafat, 106, 144 ketrampilaji, 143 si fat bumi, 143 tsaqofah, 143 teoritis, 150 terdakwa (terhukum), 91 thaaqah, ath, 144 thagha', 1 thaharah, 200 thathawwu', 26 thuulul amal, 7 tilawah, 229 Timur, 47, 121 tobat, 86 toleransi, 175 tradisi, 89, 104, 108, 174 Trinitas, 41,212 tsabat, vii, 51, 141, 241, 242, 243 Tsabit, 43 tsamaroh, 5 Tsamud, 254 Tsaqofah Islamiyah, 234 tsawani, 239 tsiqah, 245 Tuhan

kebaikan dan cahaya, 126 kejahatan dan kegelapan, 126 kehidupan, 126 Yang Satu, 150 tumbuh-tumbuhan, 144 Turki, 280

U .

Ubudiyah kepada Allah, 101 terhadap sesama manusia, 56 yang Kamil, 24 Uhfatut Maudud fi Ahkatnil Maulud, 122 UMiuwah, 100, 175 diniyah, 102

insaniyah, 102 ulama fiqih, 98 Util amr, 175 Uluhiyah, 10, 126, 151,212 Ulul Albab, 46 Umar r.a, 98, 99, 109, 267, 268, 269, 270,271 Umar bin Abdul Aziz, 99, 279 ummat, 119, 125, 147 akhir zaman, 145 I hnmalan waahidah, 289 wasathan, 148 'r' ummul kitab, 221 Ummul Mukminin, 280 umroh, 26, 88, 185 undang-undang ekonomi, 136 kenegaraan, 137 manajerial, 136 moneter, 136 perdagangan, 136 Universitas Libya,v Qatar, vi unsur duniawi, 158 fisik empirik, 144 kimia, 144 materi, 144 samawi, 158 spiritual samawi, 159 unta, 20 nisab zakat, 98 urf 274, 278 urusan-unisan dunia dan akhirat, 117 Usamah bin Zaid, 108, 257 ushul, 67, 211,237, 271 fiqih, 48', 234,237,251,274 Ushulut tasyri', 279n

uslub, 242, 249, 288 larangan, 152 perintah, 152 usroh, 163, 223, 226, 227, 228, 234 IJtbali bin Rabi’ah, 253, 254 IJtsman r.a, 40 uzlah, 85, 155 uzur, 203, 233

V

variabel, 167 visual, 34

W

Wad’ah, 265 Wadh’i (hukum positif), 136 Wadh’iyah, 242 Wdhdanilullah, 212 wahdattiyah, 5, 10 wahyu, 152, 182,214,252, 253,263 Ilahi, 41,64,67, 69 Ilahiyah, 44 Wali fajir, 205 Wanita hamil dan menyusui, 201 Waqi'iyah, Al-,vii, 141, 145, 177, 178 Waqi’ul ummat, 16 vvarisan, 136, 137 . * wama kulit, 103 wasathan, 148 wasiat-wasiat, 123 wasilah, 16, 127, 211, 233, 249, 288 Wasthiyyah, A!-, vii, 141, 144, 145, 146, 149, 152, 163,241,264 wasthu, al-, 146, 147 waslhun, 146 wesel, 136 wihdatul ummah, 235 Wudhuh, Al-, vii, 21 1, 215, 219, 220, 222, 237 Wujud Allah, 65 wujudullah, 152 wujudul haq, al-, 15 1

Y

Yahudi, 39, 180 dominasi pemikiran, 85 ideologi, 163 makar orang-orang, 104 orang-orang, 147, 148 Ya’kub a.s, 118 * Yaman, 201. yatim, 175 Yunani, 182, 183, 286, 287 Yusuf a.s, 12, 15, 118 Yusuflzzuddin, Dr, 239n

Z

ZaadulMa 'ad, 10 In Zaid bin Arqam r.a, 101 Zainab bind Jahsyi, 38 Zakat, 25, 97, 98, 107, 171, 202 Zakkum, 184 Zalim, 188, 220, 222, 225 zaman, 135 zarroh, 124 Zina, 164, 197, 218 «• Zionisme, kepentingan, 82n ■ Zuhair, 146

Page 289: ISLAM...bahwa Islam itu menjadikan tujuan akhir dan sasarannya yang jauh ke depan, yaitu dengan menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya. Itulah tujuan utama

314 Karakteristik Islam

f ■■■■: . ......

Indeks 305